Pukulan Si Kuda Binal 5
Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long Bagian 5
ni mempertaruhkan jiwa untuk mengantar berita, maka kabar
yang dia bawa pasti amat penting."
Tanpa berjanji mereka mengulur tangan hendak mengambil gulungan kertas yang terselip di
sela-sela lubang meja. Sudah tentu gerakan Teng Ting-hou paling cepat, ketika gulungan kertas
itu dibeber di atas meja, tampak kertas kumal kecil tergulung itu hanya terdapat beberapa huruf
yang berbunyi: Tepat tengah malam, Toa-po-tha.
Kertasnya kumal, kasar dan kotor, gaya tulisannya juga jelek tidak keruan mirip anak-anak yang
baru belajar menulis.
"Apa maksudnya?" tanya Ong-toasiocia.
"Maksudnya ialah, nanti tengah malam, kita harus pergi ke Toa-po-tha," Teng Ting-hou
menerangkan. "Karena di sana akan terjadi sesuatu?"
"Ya, kejadian yang akan menjadi kunci untuk membongkar kedok pembunuh keji itu."
"Toa-po-tha adalah nama suatu tempat?"
"Toa-po-tha adalah nama sebuah menara," Lo-shoa-tang menjawab.
"Dimana letak menara itu?" tanya Ong-toasiocia.
"Di belakang San-sin-bio (biara penunggu gunung)."
"San-sin-bio dimana?" tanya Teng Ting-hou pula.
"Di depan Toa-po-tha," Lo-shoa-tang menjawab dengan sabar,
"Bisa tidak kau jelaskan tempatnya."
"Tidak bisa."
"Mengapa?"
Setelah menghabiskan arak dalam cawannya, Lo-shoa-tang menghela napas, "Orang dilarang
pergi ke tempat itu." Tiba-tiba sikapnya berubah tegang dan serius, suaranya juga tertekan dan
pelan, "Tempat itu keramat dan ditakuti orang, kabarnya orang yang pernah ke sana, tidak
pernah ada yang pulang ke rumahnya lagi."
Ong-toasiocia tertawa kaku, "Apakah di menara itu ada setan atau dedemit?"
"Entah aku tidak tahu," sahut Lo-shoa-tang gugup.
"Kau belum pernah ke sana?"
"Aku takut ke sana, maka sampai sekarang aku masih hidup." Sikapnya sungguh-sungguh, jelas
bukan berkelakar atau pura-pura.
Ong-toasiocia mengawasi Teng Ting-hou, yang diawasi menyengir tawa, wajahnya kelihatan
kecut. Maklum lebih banyak persoalan yang dia pikir, sebagai kawakan Kangouw pikirannya lebih
panjangdan iuasdalam menghadapi suatu masalah. Undangan ke Toa-po-tha itu bukan mustahil
merupakan jebakan belaka, kalau ke sana berarti masuk perangkap musuh, namun keadaan
memaksa mereka untuk ke tempat itu.
"Kalau betul di sini ada menara yang dinamakan Toa-po-tha, dimana pun letaknya pasti dapat
kita temukan," ucap Teng Ting-hou.
Ong-toasiocia berjingkrak berdiri, serunya, "Hayolah sekarang juga kita cari."
"Sekarang belum boleh pergi," buru-buru Teng Ting-hou mencegah.
"Mengapa?" tanya Ong-toasiocia aseran.
"Kalau sekarang kita ketempat itu, mungkin diketahui orang-orang Ngo-hou-kang. Itu berarti
menyingkap rumput mengejutkan ular."
"Betul, menghadapi persoalan ini, jangan gegabah."Lo-shoa-tang menyeletuk.
Ong-toasiocia mengomel, "Memangnya sepanjang hari ini kita hanya duduk makan minum dan
tidur saja tanpa bekerja?"
Lo-shoa-tang tertawa, "Tinggal di warungku ini, kalian tidakakan kubiarkan dudukdan makan
gratis. Rumahku serba kotor, mumpung ada tenaga, hayolah bantu aku membersihkan rumah."
* * * * * Cuaca mulai gelap.
Luka lengan Teng Ting-hou sudah diganti obat dan dibalut lagi secara rapi. Tanpa bersuara dia
sedang sibuk membersihkan sekantong Thi-lian-ou (biji teratai besi) dengan secarik kain kering.
Pelahan dia membersihkan butir demi sebutir, tekun dan amat hati-hati, penuh pertiatian, setiap
biji teratai besi dibersihkan sampai mengkilap. Gaman Teng Ting-hou yang terkenal ampuh
adalah sepasang tinjunya, hampir tiada orang persilatan yang tahu bahwa dia juga mahir
menggunakan Am-gi (senjata raha-sia). Sekantong teratai besi itu sudah lamatidak pernah
digunakan. Pernah terjadi ketika dia berduel dengan seorang musuh tangguh, dengan biji teratai besi itu dia
menyerang musuh yang bersenjata golok besar. Bukan saja lawan tidak berhasil dirobohkan,
malah biji teratai besi timpukannya berhasil disampuk mencelat oleh golok lawan yang tebal dan
berat, hingga melukai seorang teman yang menonton di pinggir arena. Sejak kejadian itu dia
merasa malu dan tidak menggunakan senjata rahasianya lagi, peristiwa ini sudah belasan tahun
yang lalu, waktu dirinya masih muda, belum punya nama di dunia persilatan. Tapi sekarang
keadaan memaksa dia menggunakan senjata rahasia lagi. Kadang kala seorang dipaksa oleh
keadaan untuk melakukan sesuatu yang sebetulnya tidak ingin dia lakukan.
Teng Ting-hou menghela napas, biji teratai besi terakhir yang dibersihkan dia masukan ke dalam
kantong asalnya, kantong kulit itu dia gantung di pinggang.
Sejak tadi Ong-toasiocia memperhatikan gerak-gerik-nya, baru sekarang ia bertanya, "Sekarang
apakah sudah saatnya kita berangkat?"
Teng Ting-hou mengangguk sekali, dia tenggak dulu secawan arak. Arak dapat membuat gerak
orang Iamban dan kaku, salah dalam menentukan langkah kerja, tapi dapat menambah
keberanian dan semangat.
Begitulah kejadian di dunia ini, ada yang baik tapi juga ada yang jelek. Kalau sering berpikir ke
arah yang baik, maka akan hidup gembira dan tenteram.
Ong-toasiocia juga menghabiskan secawan arak, lalu berdiri, katanya tertawa kepada Lo-shoatang,
"Terima kasih atassuguhan arak, ayam bakardan bakpaomu."
Lo-shoa-tang mengangkat kepala, matanya terbelalak, lama dia menatap gadis ini, mendadak dia
bertanya, "Kau mau ikut?"
"Ya, aku harus ikut. Memangnya aku harus menjaga rumahmu?" tegas suara Ong-toasiocia.
"Tadi sudah kujelaskan, orang yang ke sana banyakyang tidak kembali. Kau masih berani pergi
ke sana?" Ong-toasiocia tertawa, "Dapat pulang atau tidak, tidak penting, yang penting adalah kami bisa ke
sana." Teng Ting-hou hanya menyengir saja.
Lo-shoa-tang berkata puia, "Watakmu memang patut dipuji, bila kaujngin melakukan sesuatu,
sebelum terlaksana dan tercapai, kemana juga kau pasti meluruknya?"
Teng Ting-hou tertawa, "Sebetulnya bukan aku mesti pergi ke sana soalnya aku juga takut mati.
Tapi kalau aku tidak ke sana, maka hidupku selanjutnya mungkin tidak tenteram, selalu dibayangi
ketakutan."
"Bagus, pendapat bagus," seru Lo-shoa-tang, mendadak dia berdiri, "Hayolah kita berangkat."
Teng Ting-hou melengak, tanyanya heran, "Kita?"
Lo-shoa-tang tertawa, "Kalau tidak kutunjukkan jaian-nya, kemana kalian akan menemukan
tempat itu?"
"Terangkan saja letaknya, biar kami pergi sendiri," pinta Ong-toasiocia.
"Tidak bisa," sahut Lo-shoa-tang tegas.
"Mengapa tidak bisa?" desak Ong-toasiocia.
"Karena aku juga ingin ke sana."
"Tadi kau bilang,' kalau ke sana mungkin tidak bisa pulang."
"Setelah kujelaskan kalian masih bertekad mau pergi, kalau kalian boleh pergi, mengapa aku
tidak boleh?"
"Soalnya ada persoalan yang harus kami bereskan di sana."
"Tapi aku juga punya alasan, aku ingin melihat tontonan."
"Alasanmu kurang baik. Ingat melihat tontonan jangan mempertaruhkan jiwa."
"Bagi diriku, alasanku cukup setimpal," ujar Lo-shoa-tang tertawa. "Kalian masih muda, masih
remaja, masadepan riiasih terbentang luas di depan mata. Demikian juga dia, namanya tersohor,
punya duit dan berkuasa. Sebaliknya aku" Aku sudah tua, sebatangkara lagi, aku punya apa?"
"Kau......kau......" Ong-toasiocia tergagap, tidak dapat mendebatnya.
"Usiaku sudah lanjut, tubuhku sudah reyot. Orang yang sudah siap masuk kubur," tukas Lo-shoatang.
"Aku tidak punya bini tiada anak, tidak punya harta tiada sawah ladang, setiap malam
kerjaku hanya minum dan minum sampai mabuk, keuntungan yang kuperoleh dari warung ini
selalu habis di meja judi, lalu apa bedanya kehidupanku ini dengan bangkai" Kalau kalian berani
mempertaruhkan jiwa ragademi menoiong kawan, berjuang demi kesejahteraan kaum persilatan,
mengapa aku tidak boleh?" Makin bicara makin emosi, otot di lehemya sampai merongkol.
Lo-shoa-tang berkata pula, "Umpama kalian tidak sudi memandangku sebagai teman, sebaliknya
aku senang bergaul dengan kalian, aku adalah sahabat Siau Ma, senang bergaul dengan Ting
Si, maka aku pun ingin ikut ke sana."
Ong-toasiocia menatap Teng Ting-h'ou. Yang ditatap menghirup secawan arak pula, katanya
kemudian, "Hayolah berangkat."
"Maksudmu kita bertiga?"tanya Ong-toasiocia melotot.
"Ya, mari kita berangkat," ujar Teng Ting-hou.
* * * * * Angin berhembus dingin dari puncak gunung di kejauhan sana, tabir malam sudah membuat
alam semesta gelap gulita.
Ketiga orang itu beranjak keluar dari rumah dengan langkah tegap. Lo-shoa-tang malah
membusungkan dada, berjalan paling depan. Begitu melangkah ke depan, dia tidak pernah
menoleh ke belakang lagi.
"Kau tidak menutup dan mengunci pintu rumahmu?" tanya Ong-toasiocia beberapa kejap
kemudian. "Kalian berani mempertaruhkan jiwa, mati hidup sudah tidak dipikir lagi, mengapa aku harus
sibuk memikirkan warung bakpao yang tidak seberapa nilainya."
Puncak gunung di kejauhan itu keiihatan amat jauh dan terselubung kabut dan tabir malam, tapi
betapapun jauh letak gunung itu, akhirnya akan tercapai juga. Dalam pelukan gunung belukar ini,
deru angin malam terasa mengiris badan, suaranya yang ribut membisingkan telinga, denging
suaranya berbeda-beda, kadang kaia berubah rendah sumbang mirip seorang menghela napas
rawan. Entah untuk siapa dia menghela napas" Mungkin karena manusia beriaku kejam dan
bodoh" Entah mengapa manusia harus saiing tipu, celaka-mencelakai, saling bunuh lagi"
Sinar lampu berkelap-kelip di kota bawah sana, keiihatan jauh, mirip bintang yang bertaburan di
angkasa, iebih jauh dibanding bayangan gunung waktu dilihat dari bawah tadi.
Di bawah penerangan cahaya bintang, keadaan pegunungan remang-remang, samar-samar
kelihatan di atas lereng bukti sana ada bayangan sebuah kuil kecil.
Teng Ting-hou bertanya dengan menekan suaranya, "Apakah bayangan gelap itu San-sin-bio?"
"Ehm," Lo-shoa-tang menjawab dalam mulut.
"Toa-po-tha berada di belakang San-sin-bio itu?"
"Ehm."
Giliran Ong-toasiocia bertanya, "Mengapa aku tidak meiihat bayangan menara?"
"Mungkin matamu lamur," sahut Lo-shoa-tang.
"Matamu masih tajam, apa kau sudah melihatnya?"
"Ehm."
"Dimana?" desak Ong-toasiocia.
Sekenanya Lo-shoa-tang menuding ke depan. Yang dituding adalah sebentuk bayangan gelap,
lebih tinggi dari San-sin-bio, dilihat dari bawah, ujung atas bayangan gelap itu keiihatan muncul
dan Iebih tinggi sedikit dari wuwungan San-sin-bio, rata persegi seperti puncak gunung digergaji
pucuknya, bentuknya mirip bukit rendah atau panggung batu. Bentuk bayangan gelap itu boleh
dikata mirip apa saja, tapi pasti tidak mirip sebuah menara.
"Maksudmu bayangan hitam itu adalah Toa-po-tha?" tanya Ong-toasiocia.
"Ehm."
"Berbagai macam menara pernah kulihat, meski bentuknya berbeda-beda, besar kecil atau tinggi
rendah, tapi menara yang satu ini.......aneh."
Mendadak Lo-shoa-tang menukas, "Aku kan tidak mengatakan bayangan itu sebuah menara."
"Kau tidak mengatakan?"
"Bahwasanya, bayangan itu memang bukan menara," ujar Lo-shoa-tang.
Ong-toasiocia bingung, Teng Ting-hou juga heran tanyanya kemudian, "Bayangan apakah itu?"
"Bayangan gelap itu adalah menara buntung."
"Apa?" Teng Ting-hou menegas.
"Menara mana ada yang buntung," bantah Ong-toasiocia.
"Ayam panggang bisa diparoh, demikian pula bakpao bisa diiris, mengapa menara tidak boleh
buntung?" debat Lo-shoa-tang.
"Ayam bakar dan bakpao semua utuh, merijadi separoh karena dimakan orang, betul tidak?"
"Betul."
"Lalu mengapa menara itu menjadi buntung. Dimana sisa yang buntung?"
"Sudah ambruk."
"Lho, mengapa ambruk?"
"Karena menara itu terlalu tinggi," bola mata Lo-shoa-tang seperti bersinardi malam gelap.
"Menara seperti juga manusia, kalau terlalu tinggi manusia merayap ke atas, bukankah lebih
mudah terjungkal jatuh?"
Teng Ting-hou tidak bertanya lagi, namun menghela napas panjang. Makna yang diterangkan
Lo-shoa-tang, mungkin tidak ada orang yang bisa menjiwainya seperti dirinya. Makin banyak
persoalan yang dipahami, makin sedikit orang buka suara.
"Semula menara itu dibangun tiga belas tingkat," tutur Lo-shoa-tang. "Konon untuk membangun
tiga belas tingkat menara itu, memakan waktu delapan tahun lamanya."
"Dan sekarang?" tanya Ong-toasiocia.
Bersinar mata Lo-shoa-tang, "Waktu tujuh tingkat ba-gian atas menara itu ambruk, kebetulan
banyak orang sedang bersembahyang di San-sin-bio."
"Wah, kan jatuh banyak korban yang meninggal?" seru Ong-toasiocia kuatir.
"Banyak sih tidak, konon yang meninggal hanya tiga belas orang."
Kaki tangan Ong-toasiocia berkeringat dingin.
Suara Lo-shoa-tang berubah tawar, "Kalau manusia mati penasaran, arwahnya akan
gentayangan, maka tiga belas orang yang mati itu menjadi tiga belas setan gentayangan."
Kebetulan angin gunung berhembus, tanpaterasa Ong-toasiocia bergidik merinding, "Dalam
keadaan begini, kuharap kau tidak asal mengoceh saja."
"Boleh saja," ujar Lo:shoa-tang.
Pada saat itu, tampak cahaya api dari sebuah lentera menyala di atas menara yang putus dan
papak itu. Sinar lampu yang redup mirip mata setan.
Ong-toasiocia menahan napas, tanyanya kepada Lo-shoa-tang. "Lho, di atas itu ada orang?"
Lo-shoa-tang terkekeh, "Apa yang kukatakan?"
Ong-toasiocia menggigit bibir, katanya sambil membanting kaki, "Peduli manusia atau setan di
atas menara itu, aku ingin naik ke sana memeriksanya."
Cepat Teng Ting-hou menariknya, "Tak usah kau naik ke sana, aku tanggung dia pasti manusia,
hanya saja ada kalanya manusia lebih menakutkan dibanding setan atau iblis."
Terbayang betapa kejam dan telengas perbuatan orang itu, Ong-toasiocia menjadi mengkirik dan
merinding. Padahal hatinya takut, lahirnya saja dia masih berlaku bandel, "Tapi kalau kita tidak
berani melihat ke sana, buat apa kita datang kemari?"
"Sudah tentu harus melihat ke sana," ujar Teng Ting-hou.
"Kita bertiga maksudmu?" tanya Ong-toasiocia.
Teng Ting-hou geleng kepala, "Aku sendiri yang akan naik ke sana. Kalian tunggu aku di sini."
Hampir menjerit suara Ong-toasiocia, "Tunggu di sini melihat apa?"
Teng Ting-hou menjelaskan, "Kalian mengawasi keadaan sekitar sini, ikut menjaga keamanan.
Jika aku gagal, sedikit banyak kalian bisa memberi pertolongan padaku."
"Tapi aku......"
"Tiga orang bergerak, bisa menarik perhatian, kalau seorang kan lebih menguntungkan?"
Ong-toasiocia mengangguk, alasan Teng Ting-hou memangbenar.
"Kalau jejak kita bertiga diketahui, itu berarti kita sudah terjebak oleh perangkap musuh."
Terpaksa Ong-toasiocia bungkam, kalau bungkam selalu dia menggigit bibir.
Lo-shoa-tang seperti mendapat angin, katanya, "Di belakang San-sin-bio ada sepucuk pohon
mangga yang tumbuh besar dan tinggi, letak pohon itu tidak jauh dari menara buntung itu, Rami
akan bersembunyi di atas pohon mangga yang rimbun itu, kami siap membantu bila kau
memerlukan bantuan kami."
MendadakOng-toasiocia bertanya, "Pohon mangga itu berbuah tidak?"
"Kau ingin makan mangga?" tanya Lo-shoa-tang.
Ong-toasiocia jengkel, "Aku tidak ingin makan mangga, aku ingin menyumbat mulutmu dengan
mangga." .
* * * * * Menara buntung itu hanya enam tingkat, namun masih Sebih tinggi dibanding kuli kecil di
depannya, makin dekat terasa betapa tinggi menara buntung bertingkat enam itu.
Demikian puia manusia, setelah bergaui dekat baru tahu betapa tinggi budi pekertinya, betapa
agung jiwanya. Kalau berdiri di bawah menara dan mendongak ke atas, cuma kegelapan saja yang terlihat, sinar
Iampu di pucuk menara itu pun tidak kelihatan. Hembusan angin gunung terasa berat, seberat
orang menghela napas rawan, sekeliling sunyi senyap.
Gerak-gerikTeng Ting-hou amat enteng, lincah dan gesit. Biasanya dia memang bangga pada
Ginkangnya sendiri, ia percaya seekor kucing yang merunduk mangsanya juga takkan selincah
gerak-geriknya sekarang. Apalagi tabirmalam seperti membungkus bayangannya, dia yakin
entah manusia atau setan yang menyalakan Iampu di pucuk menara itu, lawan takkan mudah
menemukan jejaknya.
Pada saat Teng Ting-hou tiba di bawah menara, dari atas menara justru berkumandang suara
orang mengejek, "Bagus sekali, ternyata kau datang tepat waktunya."
Teng Ting-hou berjingkat, sukar dia meraba kepada siapa perkataan itu ditujukan.
Terdengar suara itu berkata pula, "Kau sudah berani datang, mengapa tidak segera naik
kemari?" Teng Ting-hou menghela napas, kali ini Sebih jeias, ucapan itu ditujukan kepada dirinya. Meski
gerak-geriknya selincah kucing, namun pendengaran dan perasaan lawan ternyata lebih tajam
dari anjing pelacak, mungkin juga dirinya sudah dimata-matai sejak tadi. Maka Teng Ting-hou
membusung dada sambil mengepal tinju, suaranya dibuat rendah dan tenang, "Aku berani
kemari, sudah tentu aku akan naik ke atas."
Setiap tingkat dari menara enam susun itu terdapat payon yang menjorok keluar, tingkat demi
tingkat"payon itu makin kecil dibanding payon di bawahnya. Dengan Gin-kang Teng Ting-hou,
tidak sukar meiompat ke atas, apa-lagi tinggi setiap payon itu dapat dicapai dengan sekali
lompatan Ginkangnya yang tinggi. Tapi untuk naik ke atas menara ini, dia justru memilih
anaktangga, Teng Ting-hou cukup cerdik menerawang keadaan, dia tidak mau dirinya dijadikan
Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sasarar bidikan senjata rahasia musuh di kala dirinya terapung di udara. Dia pun tidak
mengharap dirinya ditendang jatuh dari atas dan terbanting marnpus di tanah seperti anjing yang
dibanting tukang jagal.
Biar pelan dan membuang tenaga, tapi selamat, maka Teng Ting-hou memilih anak tangga.
Peduli betapa gelap keadaan dalam menara, betapa sempit anaktangga dan ruang geraknya, ia
tetap memilih anak tangga. Umpama .ada musuh siap membokong dirinya, kalau kakinya
beranjak mantap dengan penuh kepercayaan, rasanya tak perlu kuatir.
Selangkah demi selangkah Teng Ting-hou naik ke atas, biar lambat asal selamat sampai tujuan.
Anehnya bukan saja dirinya tidak dibokong, ternyata menara ini kosong melompong.
Kertas jendela sudah banyak yang koyak dan kotor, bila angin berhembus kencang, kertas
jendela itu mengeluarkan suara berisik. Makin tinggi, hembusan angin makin kencang, makin
ribut dan gaduh. Demikian pula jantung Teng Ting-hou makin berdebar.
Sejak tingkat bawah, menara ini tidak terjaga, juga tiada perangkap apa-apa. Apakah seluruh
kekuatan yang terpendam di menara ini terpusatkan di puncaktertinggi" Teng Ting-hou insyaf,
bila dirinya tiba di atas, mungkin takkan bisa turun lagi, mengapa dirinya harus ikut campur
urusan orang lain dan mencari kesulitan"
Telapak tangannya basah oleh keringat dingin, keringat juga membasahi ujung hidungnya. Bukan
karena takut, tapi lantaran tegang.
Siapakah pengkhianat itu" Siapa pula pembunuh durjana itu" Teka teki akan segera terbongkar.
Dalam menghadapi saat-saat yang menentukan ini, perasaan siapa yang tidak merasa tegang"
* * * * * Kalau ada lampu menyala, tentu ada orang di pucuk menara. Satu lampu menerangi dua orang.
Sebuah lampion kertas kuning digantung miring dengan galah bambu yang tertancap di tembok,
lampion itu bergoyang-gontai dihembus angin.
Di bawah lampion ada orang. Seorang tanpa daksa, orang bungkuk yang bertubuh kurus,
wajahnya yang hitam jelek dihiasi codet bekas bacokan senjata tajam.
Orang bungkuk ini bukan lain adalah Oh-lo-ngo, Oh-lo-ngo yang berani adu jiwa. Saat itu dia
bukan mengadu jiwa, tapi sedang mengisi arak ke dalam cawan.
Cawan di atas meja, meja di bawah lampion, cawan itu berada di depan seorang berperawakan
tinggi kekar. Di kanan kiri meja, berhadapan dua kursi kosong. Salah satu kursi sudah diduduki
seorang berpakaian hitam. Orang ini duduk membelakangi anaktangga.
Begitu Teng Ting-hou tiba di puncak tertinggi, matanya hanya melihat bayangan punggung orang
ini, walau hanya duduk, namun bayangannya kelihatan tinggi. Telinganya tentu mendengar
langkah kaki Teng Ting-hou yang sudah berada di belakangnya, namun dia tidak bergerak, tidak
menoleh, hanya mengulur tangan menuding kursi di depannya. "Silakan duduk," katanya.
Teng Ting-hou beranjak ke sana dan duduk di kursi yang ditunjuk. Setelah pantatnya menyentuh
kursi baru dia mengangkat kepala. Tanpa berkedip ia mengawasi orang di depannya dengan
seksama. Orang itupun menatap dirinya tak kalah tajam, begitu pandangan mereka beradu, laksana dua
golok tajam yang beradu, memercikkan api. Wajah mereka tampak serius dan tegang.
Teng Ting-hou mengenal orang ini, pernah melihatnya beberapa kali. Pertama kali melihat orang
ini di Koan-gwa, di padang rumput luas yang membentang di kaki gunung Tiang-pek, tepatnya di
kantor Tiang-ceng Piaukiok.
Sejak pertemuan pertama dulu, setiap berhadapan dengan orang ini, sanubarinya selalu diliputi
rasa hormat dan senang. Hormat karena dia menghargai pribadi dan karirnya, senang karena
orang ini ramah dan bajik, hubungan mereka pun makin dekat dan intim. Tapi setelah sekian
lama berpisah, sejak kasus pengkhianatan dan pembunuhan itu terjadi, baru hari ini mereka
bertatap muka kembali. Tampak oleh Teng Ting-hou, sorot mata maupun mimik wajahnya
menampilkan rasa derita dan penasaran, amarah yang membakar sanubarinya. Dia bukan lain
adalah Pek-li Tiang-ceng. Ternyata memang dia, Pek-li Tiang-ceng...... Mengapa kau lakukan
perbuatan terkutuk itu" Dalam hati Teng Ting-hou menjerit, namun mulutnya berkata tawar, "Kau
baik-baik saja?"
Kelam muka Pek-li Tiang-ceng, katanya dingin, "Aku tidak baik, buruk sekali."
"Kau tidak menduga aku akan datang kemari?"
"Hm," Pek-li Tiang-ceng hanya mendengus.
Teng Ting-hou menghela napas, "Sudah lama aku menduga akan dirimu......"
Teng Ting-hou tidak meneruskan ucapannya, karena dilihatnya Pek-li Tiang-ceng mengerut
kening. Agaknya ada yang ingin dibicarakan, Pek-li Tiang-ceng tidak sabar mendengar.
Teng Ting-hou tidak mau bicara bila orang yang diajak bicara tidak suka mendengar, apalagi
semua rahasia yang selama ini menjadi teka-teki akan segera terbongkar, dua sahabat karib
yang saling hormat menghormati, sekarang berhadapan sebagai musuh, seorang di antara
mereka harus roboh atau gugur bersama, banyak omong sudah tidak diperlukan lagi..
Betapapun sempurna seorang mengatur rencana suatu muslihat, betapapun pandai seorang
melakukan kejahatan, suatu ketika perbuatannya pasti terbongkar. Demikiah pula halnya sebuah
gunung yang tinggi dan angker, tiada gunung yang sempurna tanpa lubang atau cacat dengan
jurang dan ngarai.
Entah lewat lubang jendela yang mana, angin berhembus kencang ke dalam. Hembusan angin di
tempat tinggi terasa lebih tajam, makin tinggi makin dingin, rasanya seperti terpencil di awangawang,
seperti sebatangkara. Dalam keadaan terpencil di tempat dingin, orang akan teringat
pada arak yang dapat menghangatkan badan. Kebetulan di depannya ada cawan, Oh-lo-ngo
segera mengisi cawannya, Teng Ting-hou langsung menenggak habis. Dia percaya tokoh selihai
Pek-li Tiang-ceng dengan kedudukannya yang tinggi dan disegani kawan maupun lawan, tidak
akan berlaku rendah menaruh racun di dalam arak yang disuguhkan.
Setelah cawan diangkat, lalu diacungkan ke hadapan Pek-li Tiang-ceng. Mungkin sebagai tanda,
untuk terakhir kali ini aku memberi hormat dan ucapan selamat kepada sahabat lama.
Sejak kedatangan Teng Ting-hou dan melihat wajahnya, rona mata Pek-li Tiang-ceng diliputi
derita. Mungkin terjadi perang batin dalam sanubarinya, menyesali perbuatan yang pernah
dilakukan selama ini. Tapi kejahatan sudah telanjur dilakukan, apa boleh buat, menyesal juga
sudah kasip. Sekali tenggak Teng Ting-hou habiskan cawan araknya. Arak terasa pahit dan getir. Pek-li Tiangceng
juga mengangkat cawan dan arak pun ditenggaknya habis. Tiba-tiba ia berkata,
"Sebetulnya kita adalah sahabat karib, betul tidak?"
Teng Ting-hou mengangguk sebagai jawaban.
"Apa yang kita lakukan sebetulnya tidak salah," ucap Pek-li Tiang-ceng lagi.
Teng Ting-hou sependapat.
"Sayang sekali, ada sementara pekerjaan yang tidak tepat kita lakukan dan akibatnya terjadilah
peristiwa seperti hari ini."
Teng Ting-hou menghela napas, "Ya, memang harus dibuat sayang, memang terlalu."
"Celakanya, aku harus berada di sini, dan kau pun muncul disini."
"Kau kira aku tidak pantas berada di sini?"
"Ya, entah aku atau kau, sebetulnya tidak pantas datang kemari."
"Mengapa?"
"Karena sebetulnya aku tidak ingin membunuhmu."
"Dan sekarang?"
"Seorang di antara kita ada yang takkan pulang," tegas dan tenang suara Pek-li Tiang-ceng,
penuh keyakinan.
Mendadak Teng Ting-hou tertawa lebar. Sebetulnya dia agak jeri terhadap Pek-ii Tiang-ceng,
namun kemarahan telah mengobarkan semangatnya, membangkitkan keberanian dan
kekuatannya yang terpendam. Meiawan penindasan adalah salah satu cara melampiaskan
amarah, ha! ini sudah terjadi sejak zaman purba. Karena manusia dibekali kekuatan terpendam
yang akan bangkit mana kala amarah itu berkobar, oleh karena itu, manusia bisa bertahan hidup
dan abadi, hidup turun temurun..
Teng Ting-hou tertawa, katanya kalem, "Kau yakin seorang di antara kita yang hidup dan pulang
adalah kau?"
Pek-li Tiang-ceng tidak bersuara, diam berarti membenarkan.
Pelahan-iahan Teng Ting-hou berdiri dengan senyum menghias wajahnya, dia keringkan pula
arak dalam cawannya. Dia habiskan sendiri araknya tanpa mengajak Pek-li Tiang-ceng minum,
lalu katanya tawar, "Silakan."
Pek-li Tiang-ceng mengawasi jari-jari tangan Teng Ting-hou yang meletakkan cawan di atas
meja. "Tanganmu terluka?" tanyanya prihatin.
"Tidak jadi soal."
"Tangan adalah gamanmu selama ini."
"Ya, aku tahu, dengan kedua tanganku ini, aku takkan mampu mengalahkanmu."
"Lalu gaman apa yang kau gunakan untuk menghadapiku?"
"Kekuatan, dengan kekuatan aku yakin dapat mengalahkanmu."
Pek-li Tiang-ceng menyeringai dingin. Dia tidak bertanya kekuatan apa yang dikatakan Teng
Ting-hou, Teng Ting-hou juga tidak menjelaskan, namun dalam hati dia rnemberi peringatan
kepada diri sendiri. "Sesat tidak akan mengalahkan kebenaran, untuk memperoleh kebenaran
memang pahit getir, namun kebenaran itu takkan punah untuk seiamanya, maka buah dari
kebenaran itu akhirnya pasti manis."
Deru angin makin kencang dan ribut. Apakah angin ribut ini bisa mendorong semangat orang"
Mendorong semangat siapa"
Teng Ting-hou menyobek pakaiannya lalu dibagi empat pula, dengan kalem ia mengikat kencang
lengan baju dan ceiananya. Dari pinggir Oh-lo-ngo mengawasi dengan melongo, sorot matanya
tampak ganjil, seperti iba, tapi juga seperti mencemooh atau menghina. Tetapi Teng Ting-hou tak
peduli, tak memperhatikan. Dia tidak ingin memperoleh julukan Teng Ting-hou ahli adu jiwa, dia
paham akan watak sendiri, tapi dia juga memahami kekuatan iawannya.
Di kalangan Kangouw sukar dicari lawan setangguh ini, lawan yang menakutkan seperti Pek-li
Tiang-ceng. Bukan dia kuatir biia Oh-lo-ngo yang menonton di pinggir memandang dirinya penakut. Karena
keberanian sejati banyak macamnya. Hati-hati, waspada dan kesabaran adalah satu diantaranya.
Mungkin Oh-lo-ngo tidak paham liku-liku ini, tapi dia tahu Pek-li Tiang-ceng pasti mengerti. Walau
dia hanya berdiri seenaknya, seenak orang yang menunggu kekasih, namun sorot matanya tidak
menampilkan perasaan hina atau memandang.rendah, sebaliknya menunjukkan kewaspadaan
dan rasa hormat.
Semua makhluk di dunia, entah manusia atau binatang, dia punya hak untuk mempertahankan
hidup, mernpertahankan jiwanya. Untuk mempertaruhkan haknya itu, peduli perbuatan apapun
yang dilakukan, dia patut dihormati, harus dihargai.
Teng Ting-hou mulai membusungkan dada, seluruh kekuatan, semangat dan perhatian
dipusatkan menghadapi Pek-li Tiang-ceng.
Mendadak Pek-li Tiang-ceng berkata, "Selama beberapa buian ini, kulihat ilmu silatmu
memperoleh banyak kemajuan."
"O?" "Paling tidak kau sudah menyelami, tepatnya menjiwai dua jurus, kalau ingin mengalahkan
musuh tangguh, dua jurus ini tidak boleh diabaikan."
"Dua jurus yang mana?"
"Sabar dan tenang."
Teng Ting-hou menatapnya pula, rasa hormat terpancar pula pada sorot matanya. Lawan adalah
sahabat yang patut dihargai, namun lawannya ini harus diperhatikan.
Pek-li Tiang-ceng menatapnya lekat, katanya, "Adakah sesuatu urusan yang belum sempat kau
bereskan?"
Teng Ting-hou termenung sebentar, "Aku punya sedikit simpanan, apa yang kutinggalkan cukup
untuk hidup isteri dan anak-anakku sampai tua, kurasa tiada perlu kukuatirkan."
"Bagus sekali."
"Kalau aku gugur di medan laga, kuharap kau dapat melakukan satu hal untukku."
"Katakan."
"Jangan ganggu Ong Seng-lan dan Ting Si, biar mereka menikah dan punya anak, pilihkan satu
yang paling bodoh sebagai ahli warisku, semoga keluarga Teng tidak putus turunan ditanganku."
Terunjuk lagi rasa derita dan serba bertentangan di mata Pek-li Tiang-ceng, lama sekali baru dia
berseru, "Mengapa kau pilih yang paling bodoh?"
Teng Ting-hou tertawa ewa, "Orang bodoh biasanya hidup bahagia, sederhana dan banyak
rezeki, kuharap dia dapat hidup damai hingga hari tua." Tawa yang ewa, permintaan yang
sederhana, namun menyentuh duka lara setiap manusi yang punya perasaan.
Duka laranya sendiri, juga duka lara Pek-li Tiang-ceng
Ternyata Pek-li Tiang-ceng juga mengajukan permohonan kepadanya, "Bila aku gugur, kuminta
kau mencari seorang perempuan bernama Kang Hun-sin, serahkan seluruh harta peninggalanku
kepadanya."
Teng Ting-hou tertarik, "Mengapa?" tanyanya heran.
"Sebab......" Pek-li Tiang-ceng bimbang sejenak. "Aku tahu dia memberi aku seorang keturunan."
Mereka tidak bicara lagi, hanya saling pandang dengan lekat. Mereka tahu bahwa lawan akan
melaksanakan permintaannya, karena dalam hati mereka sudah terbenam kepercayaan pada
musuhnya. Lalu mereka pun bertarung, hampir bersamaan mereka turun tangan.
Serangan Teng Ting-hou kuat lagi ganas, keras juga keji. Dia insyaf, kalah atau menang dalam
duel sengit ini, aka membawa pengalaman yang pahit dan getir. Dia harap pengalaman pahit
getir ini berlangsung dalam waktu yang singkat saja. Maka setiap jurus serangannya
menggunakan tipu-tipu yang mematikan, serangan dilontarkan dengan seluruh kekuatan yang
dimiliki. Siau-lim-sin-kun memang mengutamakan keras dan kuat, bila gaya permainan
dikembangkan, setiap gerak kaki dan tangan membawa deru angin keras bagai harimau
mengamuk, mengundang angin ribut yang dapat menggoncang pohon.
Padahal ruang kosong di atas menara tingkat keenam itu tidak lebar, beberapa kali terjadi, Pek-li
Tiang-ceng suda terdesak hampir terjungkal ke bawah. Tapi di saat yang gawat, entah
bagaimana mendadak tubuhnya berkisar, tahu-tahu sudah menempatkan diri pada posisi yang
bebas. Empat puluh jurus kemudian, hati Teng Ting-hou mulai mencelos, perasaannya makin
tenggelam. Di saat-saat yang gawat begini, entah mengapa, mendadak dia teringat kejadian tiga
puluh tahun yang lalu. Dalam biara yang kuno itu, waktu dirinya masih belajar di Siau-lim-si,
gurunya pernah memberi wejangan kepadanya, 'Lunak dapat mengalahkan keras, lemah dapat
menundukkan yang kuat. Golok baja memang keras, tapi air yang mengalir meski hanya segaris
juga takkan bisa dibacoknya putus, demikian pula angin yang menghembus sepoi-sepoi itu
lemah, .namun dapat melunakkan amukan geiombang pasang. Kau harus selalu ingat satu hal,
kelihatannya kau memang ramah dan lembut, padahal watakmu keras dan ketus. Aku percaya
kelak kau bisa ternama, dengan bekal watak dan bakatmu, kau dapat mengembang luaskan tinju
sakti Siau-lim kita, tapi kalau kau lupa akan wejanganku ini, di saat kau berhadapan dengan
musuh tangguh, maka kau akan kalah secara konyol'.
Di bawah cuaca yang remang-remang, di belakang kuil yang berlapis-lapis, padri tua beralis putih
itu duduk bersimpuh memberi wejangan panjang lebar kepada pemuda yang berlutut
didepannya. Dalam detik-detik yang gawat ini, bayangan masa lalu mendadak terpeta dalam benaknya.
Petuah-petuah bak mutiara kata yang tulen dan sejati, laksana baja yang ditempa, kembali
terngiang di telinganya, Sayang sekali, sejak lama Teng Ting-hou melupakan wejangan gurunya
itu, di saat keadaan sudah gawat baru dia teringat, tapi sudah terlambat.
Bersambung ke 10
Di bawah cuaca yang remang-remang, di belakang kuil yang berlapis-lapis, padri tua beralis putih
itu duduk bersimpuh memberi wejangan panjang lebar kepada pemuda yang berlutut
didepannya. Dalam detik-detik yang gawat ini, bayangan masa lalu mendadak terpeta dalam benaknya.
Petuah-petuah bak mutiara kata yang tulen dan sejati, laksana baja yang ditempa, kembali
terngiang di telinganya, Sayang sekali, sejak lama Teng Ting-hou melupakan wejangan gurunya
itu, di saat keadaan sudah gawat baru dia teringat, tapi sudah terlambat.
Akhirnya Teng Ting-hou sadar bahwa sekujur tubuhnya seperti dibelenggu kencang oleh suatu
arus yang lunak tapi ulet, selunak otot yang mengering, dipotongpun tidak bisa putus. Umpama
macan yang kecemplung di air yang dalam, atau lalat yang tersangkut di sarang laba-laba.
Laksana bayangan raksasa, telapak tangan Pek-li Tiang-ceng yang mirip kipas itu menindih
tubuhnya. Jelas Teng Ting-hou tidak mampu mengelak. Bagaimanakah rasanya mati. Teng Tinghou
sudah memejamkan mata. Terbayang olehnya, di kamar pengantin pada malam pertama
pemikahannya, betapa lembut isterinya memberi kenikmatan, tubuhnya yang montok kenyal dan
paha yang mulus. Entah mengapa dalam sekejap sebelum ajalnya, semua adegan masa lalu
terbayang dalam benaknya. Sandang pangan istri dan anak-anakku yang semua perempuan itu
tidak akan kekurangan seumur hidup, tiada persoalan yang perlu dibuat kuatir, aku dapat
mangkat dengan rasa lega. Apa betul hatinya lega" Sesat tak mungkin mengalahkan kebenaran,
keadilan akhirnya pasti menang. Mengapa justru dia yang kalah"
Walau dirinya kalah, namun ia percaya, keadilan dan kebenaran itu tidak akan pernah tumbang.
Di saat Teng Ting-hou memejamkan mata, di kala jiwanya terancam elmaut, mendadak segulung
angin kencang menyelonong dari samping mematahkan tenaga pukulan Pek-li Tiang-ceng,
seumpama sinar mentari mengusir bayangan gelap di balik gunung. Demikian pula tenaga besar
itu mirip sinar matahari, walau hangat dan lembut, tapi tak boleh dilawan atau ditahan.
Pek-li Tiang-ceng mundur tiga langkah, matanya terbelalak, dengan kaget dia mengawasi orang
yang mendadak menyelonong dari pinggir. Waktu melihat orang ini, setelah Teng Ting-hou
membuka mata, dia pun kaget dan terkesima.
Tadi orang ini kelihatan loyo dan reyot, bungkuk lagi, kalau berjalan timpang dan terseok-seok,
namun sekarang dia berdiri tegak dan angker, sorot matanya pun tidak redup, tapi berubah
garang, gagah dan muda bercahaya.
"Kau bukan Oh-lo-ngo?" teriak Teng Ting-hou.
"Ya, bukan."
"Siapa kau?"
Rambut awut-awutan yang sudah beruban itu ternyata rambut palsu, demikian pula kulit muka
yang berkerut- merut itu ternyata adalah topeng, setelah rambut palsu dan topeng dikelupas,
tampaklah seraut wajah gagah jenaka di balik topeng, wajah yang tidak akan bosan untuk
dipandang meski sehari semalam.
Ting Si. Tanpa kuasa, Teng Ting-hou menjerit kaget, namun girang. "Ting Si?"
Pek-li Tiang-ceng menatapnya nanar. "Jadi kau inilah Ting Si yang pintar itu?"
Ting Si mengangguk, rona aneh terbayang disorot matanya, mimiknya pun ganjil.
"Ilmu silat apa yang barusan kau gunakan?" tanya Pek-li Tiang-ceng sambil menatap tajam.
"Ilmu silat tetap ilmu silat, ilmu silat hanya ada satu jenis, entah ilmu silat untuk membunuh orang
atau ilmu silat untuk menolong orang, sama saja."
Bercahaya mata Pek-li Tiang-ceng, tak terduga olehnya pemuda ini bisa mengemukakan falsafat
yang mendalam artinya. Seluruh jenis ilmu silat yang ada di dunia ini memang berasal dari satu
sumber, semua sama.
Walau makna ini sudah jelas dan gamblang, semua insan persilatan tahu akan hal ini, namun
Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang yang benar-benar memahami falsafat ini amat jarang, sedikit yang bisa menyelami
maknanya. Siapa dan bagaimana asal-usul pemuda ini" Pek-li Tiang-ceng menatapnya penuh perhatian,
tiba-tiba tangannya bergerak menyerang, gerak serangan yang lamban saja, seumpama
hembusan angin sepoi yang dapat menenteramkan gelombang pasang di lautan teduh. Bagai
aliran air terjun yang mengalir dari bukit yang tinggi, takkan putus meski dipotong dengan apa
saja. Pek-ti Tiang-ceng salah perhitungan, bukan golok baja yang dia hadapi, bukan gelombang
pasang di lautan teduh, seluruh tenaga yang dia salurkan untuk menyerang hakikatnya tidak
bermanfaat sama sekali.
Pek-li Tiang-ceng terbelalak, kaget dan tercengang, matanya terbeliak, gaya pukulan segera
berubah, dari lembut dan lunak berubah keras dan kuat, kalau tadi lamban, kini berganti cepat,
gerak tangannya menerbitkan deru angin kencang.
Reaksi Ting Si ternyata ikut berubah.
Terasa oleh Teng Ting-hou yang mundur ke samping, permainan ilmu silat kedua orang tua dan
muda ini hakikatnya sama, mirip satu dengan yang lain. Seolah ada satu titik persamaan di
antara kedua orang yang berbeda umur dan perawakan ini. Agaknya Pek-li Tiang-ceng sendiri
juga sudah merasakan dan menyadari hal ini, begitu tinjunya menjotos, mendadak dia mundur
dua langkah. Ternyata Ting Si juga menghentikan gerakannya, tidak menyerang lebih lanjut.
Pek-li Tiang-ceng menatapnya sekian lama, lalu bertanya dengan nada tinggi, "Siapa yang
mengajarkan ilmu silat kepadamu?"
"Tiada orang yang mengajarkan ilmu silat kepadaku," sahut Ting Si kaku.
"Lalu darimana kau memperoleh ilmu silat tadi?"
"Masa kau tak tahu" Apa benar kau tak tahu?" sikap dan mimik Ting Si agak aneh, suaranya
juga ganjil, seperti merasa duka dan kecewa, amat menderita lahir batin.
Ternyata sikap dan rona muka Pek-li Tiang-ceng juga berubah aneh, hulu hatinya seperti ditusuk
sembilu, entah mengapa mendadak badannya bergetar, dalam waktu singkat, kekuatan dan
semangatnya seperti luluh dan buyar, lidahnya menjadi kelu, sepatah kata pun tak terucapkan
lagi. Sebagai tokoh besar yang sudah tergembleng lahir batin, kekuatan dan tekadnya, tak
mungkin dalam waktu sesingkat itu luiuh.
Teng Ting-hou mengawasi dengan seksama, lalu menoleh ke arah Ting Si, Mendadak dia
merasa kaki tangannya sendiri ikut menjadi dingin dan berkeringat.
Pada saat suasana diliputi duka dan derita, mendadak api lampion padam, keadaan menjadi
gelap gulita. Di saat perubahan terang menjadi gelap itu, seolah ada serumpun desir angin tajam
meluncur di udara. Desir angin yang tajam dan runcing, begitu lirih dan enteng, sehingga sukar
didengar. Hanya senjata rahasia yang menakutkan, bila disambitkan menimbulkan desir angin
seperti itu. Kepada siapa senjata rahasia ini ditujukan" Siapakah sasarannya"
Begitu mendengar desir angin senjata rahasia menyerang, dengan seluruh kekuatan Teng Tinghou
menjejakkan kaki ke lantai, tubuhnya melambung ke atas satu tombak. Padahal keadaan
gelap gulita, kelima jari sendiri sukardilihat, apalagi senjata rahasia musuh itu lembut lagi enteng,
yang pasti dari desir angin senjata rahasia itu dapat dipastikan senjata rahasia yang disambitkan
banyak jumlahnya, sehingga sukar diraba kepada siapa senjata rahasia itu ditimpukkan. Paling
penting menyelamatkan diri, maka tanpa ayal Teng Ting-hou melambung tinggi ke udara.
Bagaimana nasib Pek-li Tiang-ceng dan Ting Si" Di saat hati dirundung rasa sedih dan haru, di
waktu lahir batin terpukul dan perasaan terpukau, dirangsang oleh gejolak emosi, apakah mereka
tetap waspada untuk menyelamatkan diri dari serangan gelap"
Kegelapan tak berujung pangkal.
Begitu Teng Ting-hou melambung tinggi ke udara, perasaannya justru seperti terbenam ke
bawah. Di saat tubuhnya melambung dan bersalto di udara, matanya masih sempat melihat ke
bawah, padahal sekujur badan ditelan kegelapan, demikian pula keadaan sekeliling, apa yang
terjadi di sekitarnya, hakikatnya tidak diketahui sama sekali.
Waktu datang tadi, dengan seksama dia sudah memperhatikan keadaan menara ini, keadaan
kosong melompong, sejak dari bawah hingga tingkat teratas, tidak pernah ia melepaskan
perhatian dan kewaspadaan, yakin Pek-li Tiang-ceng dan Ting Si juga pasti selalu hati-hati.
Kalau ada musuh datang menyergap, seorang di antara mereka pasti tahu. Tapi mereka tidak
mendengar apa-apa, itu berarti tidak ada orang datang, lalu darimana datangnya serangan gelap
itu" Teng Ting-hou tidak habis pikir.
Sementara itu, hawa murni yang dia himpun tidak mungkin mengangkat atau menahan tubuhnya
lebih lama di udara, maka badannya mulai melorot turun ke bawah. Perubahan apa yang terjadi
di bawah" Apakah senjata rahasia ganas yang dapat menamatkan jiwa orang masih
menunggunya"
Tinggi seluruhnya dari menara enam tingkat itu ada puluhan tombak, makin ke bawah, akan
terasa makin tinggi puncak menara papak itu. Maka bila berada di puncak menara dan melongok
ke bawah, hati akan merasa ngeri dan giris. Dari tempat puluhan tombak tingginya, siapa berani
melompat ke bawah, kecuali orang sinting atau seorang yang sudah kecewa hidup dan ingin
bunuh diri. Di saat tu.buhnya melayang ke bawah, Teng Ting-hou mengertak gigi, dengan sisa tenaga
terakhir dia membalik badan, lalu diam membiarkan tubuhnya meluncur ke bawah. Beberapa
tombak kemudian, kira-kira berada di tingkat ketiga, dengan tangkas ia mengulur tangan meraih
ujung payon. Untung bangunan payon menara itu cukup kuat menahan daya luncurdan berat badannya,
sehingga Teng Ting-hou berhasil menahan tubuhnya di udara dan tidak melayang turun ke
bawah lagi, diam-diam ia menghela napas lega, karena dengan Ginkangnya yang tinggi,
tubuhnya dapat bergerak seenteng daun. Lebih untung lagi setelah bersalto dua kali, seringan
kapas kakinya berhasil menyentuh bumi, berpijak di bumi yang keras dengan selamat. Dalam
sekejap itu, perasaannya berubah dua kali, mirip seorang bocah cilik yang lama berpisah,
mendadak bertemu dan dipelukdi haribaan ibunda.
Di bawah temyata juga gelap gulita. Malam pekat, matanya tidak bisa melihat keadaan
sekelilingnya, suara lirih apapun tidak terdengar.
Apa yang terjadi di tingkat keenam" Entah Ting Si selamat atau celaka oleh serangan musuh"
Teng Ting-hou mengepal tinju, rasa berdosa dan bersalah mendadak merangsang sanubarinya,
dia merasa malu dan tidak pantas meninggalkan teman di saat orang menghadapi bahaya,
padahal teman ini pernah menyeiamatkan jiwanya. Di saat jiwa penolongnya terancam bahaya,
dirinya tidak berusaha menolongnya, sungguh aib dan memalukan.
Kalau di luar gelap, di dalam menara lebih gelap lagi, setiap jengkal mungkin ada perangkap,
namun betapapun besar bahaya menunggu dirinya, kini Teng Ting-hou tidak gentar dan takut
!agi. Untuk menolong sahabatnya, dia akan nekad menerjang ke atas. Untunglah sebelum dia
menerjang ke dalam menara, bayangan seorang telah menerjang keluar.
Padahal Teng Ting-hou sudah telanjur bergerak, segera dia menghimpun kekuatan, tenaga
dikerahkan memberatkan badan, sehingga tubuh yang bergerak ke depan merandek dan anjlok
ke bawah. Begitu kaki berpijak ke bumi, berbareng dengan bentakan mengguntur, tinju pun
menggenjot ke arah bayangan orang yang melayang keluar.
Itulah Pak-pou-sin-kun, ilmu pukulan Siau-lim-pay yang sakti, tidak pernah luntur meski sudah
menggetar Bulim selama tiga ratus tahun lebih. Pukulan tinju dilancarkan dengan landasan
tenaga yang dahsyat, jangan kata telak mengenai tubuh, deru anginnya saja cukup membuat
seorang pemberani pecah nyalinya.
Namun kali ini Teng Ting-hou benar-benar dibuat kaget dan heran serta tidak percaya. Jelas
pukulan tinju dahsyat itu dengan telak mengenai sasarannya, namun tidak tampak terjadi reaksi
yang mengejutkan. Umpama tombak yang terbuat dari es, meski runcing dan keras, waktu
disambitkan tahu-tahu sirna dan mencair tanpa bekas karena ditimpa cahaya matahari.
Tahu bahwa pukulan tinjunya gagal merobohkan sasaran, Teng Ting-hou menghela napas lega
malah, segera dia berkata lunak, "Kau Siau Ting?"
Bayangan orang yang meluncur keluar dari menara itu memang betul Ting Si.
Kembali Teng Ting-hou tertawa getir sendiri. Biasanya Teng Ting-hou cukup cermat dan teliti bila
melontarkan pukulan tinjunya, tapi hari ini dia gagal, mungkin karena terlalu tegang sehingga
tindakannya agak berangasan. Maklum turun tangan lebih dulu memang lebih menguntungkan.
Petuah ini belum tentu tepat, karena situasi dan kondisi merupakan penentu yang tidak boleh
ditawar lagi. Menunggu untuk mengunci, tenang menundukkan kekerasan, bergerak belakang
tiba mendahului lawan, itulah makna mendalam dari berbagai unsur ilmu beta diri yang sejati.
Berbagai macam ilmu silat yang menjadi ajaran tunggal pihak Siau-lim memang patut membuat
orang menaruh hormat dan menghargainya. Bukan karena kehebatannya, tapi karena pelajaran
ilmu silat itu dapat menyatukan kekuatan intisari ilmu silat dengan ajaran agama yang mereka
anut. Ilmu silat dan agama manunggal.
Teng Ting-hou menghela napas, mendadak ia sadar, nama besar dan sukses bukan jaminan
bagi umat manusia untuk tumbuh dan hidup lumrah, malah sebaliknya dapat membuat manusia
mundur dan loyo. Karena kebesaran nama dan kesuksesannya, manusia akan lupa daratan, lupa
akan hal-hal yang sebetulnya perlu mereka canangkan. Tapi sekarang bukan saatnya berduka
dan menyesal, Teng Ting-hou mengempos semangat, katanya kemudian, "Kau mendengar
sambaran angin senjata rahasia itu?"
"Ehm," Ting Si menjawab dengan suara dalam mulut.
"Siapakah pembokong itu?" tanya Teng Ting-hou.
"Entah, aku tidak tahu."
"Kalau aku tidak salah duga, senjata rahasia tadi disambitkan dari tingkat kelima, jadi dari bawah
menyerang ke atas."
"Ya, mungkin."
"Tapi aku tidak melihat ada orang keluar dari bawah."
"Aku juga tidak melihat."
"Aku yakin orang itu bersembunyi dalam menara."
"Kenyataan tidak ada."
"Kau tak menemukan jejaknya" Atau memang orangnya tidak ada?"
"Kalau ada pasti dapat ditemukan."
"Senjata rahasia jenis apapun, tanpa sebab tidak mungkin menyerang sendiri."
"Ya, tidak mungkin."
"Kalau senjata rahasia itu disambitkan, tentu dilakukan oleh manusia."
"Ya, pasti manusia."
"Kalau benar manusia, tak mungkin bisa lenyap tanpa bekas."
"Benar."
"Lalu dimana orang itu" Apa mungkin penyerang gelap itu bukan manusia, tapi setan?"
"Kau percaya ada setan di dunia ini?"
"Aku tidak percaya."
"Seharusnya kau sudah tahu siapa penyerang gelap itu, juga tahu bagaimana dia berada di
tempat ini" Bagaimana pula dia menyingkir" Tapi kau tidak mau memberi penjelasan
kepadaku?"
Ting Si diam saja, tidak menyangkal.
"Mengapa tidak kau jelaskan?" desak Teng Ting-hou.
Ting Si terpekur malah, akhirnya ia menarik napas panjang, "Umpama kujelaskan, kau pasti tidak
percaya." "Mengapa?"
"Karena banyak segi kebetulan dalam peristiwa ini."
"Segi apa yang kebetulan?"
"Dalam pelaksanaan kerjanya, rencana sudah diatur rapi dan cermat, tapi kalian masih dapat
menemukan berbagai titik kelemahannya, setiap kelemahannya itu, kebetulan dapat menuntun
berbagai sumber penyelidikan pula. Secara kebetulan pula seluruh sumber penyelidikan itu
cocok dengan pribadi dan kondisi Pek-li Tiang-ceng seorang saja."
- Bertamu tengah malam pada tanggal 13 bulan 5.
- Waktu yang juga kebetulan.
- Ilmu silat yang tinggi tiada tara.
- Dengus napas yang tersengal-sengal dari seorang penderita penyakit asma.
- Obat yang dibuat dari candu.
- Rahasia perusahaan yang tidak mungkin diketahui orang luar.
Teng Ting-hou menghela napas gemas, "Kalau dipikir secara cermat, berbagai kejadian dan
persoalan itu memang kebetulan cocok."
"Tapi semua itu bukan paling kebetulan."
"Jadi ada yang paling kebetulan?" tanya Teng Ting-hou.
Suara Ting Si menjadi getir, "Kebetulan aku adalah putra Pek-li Tiang-ceng."
Teng Ting-hou menghela napas panjang, "Jadi Kang Hun-sin adalah ibu kandungmu?"
"Kau sudah tahu sebelumnya?" tanya Ting Si.
Teng Ting-hou menggeleng kepala sebagai jawaban.
"Kenyataan ini agaknya tidak membuatmu heran."
"Dulu pernah kupikir tentang hal ini, tapi kalau kau tidak menjelaskan, aku tidak berani
memastikan."
"Apa yang dapat kau pastikan" Memastikan bahwa Pek-li Tiang-ceng adalah penghiianat" Matamata
atau pembunuh keji itu?"
"Sebetulnya hampir aku yakin demikian, maka......"
"Maka begitu kau berhadapan dengan Pek-li Tiang-ceng, tanpa tanya duduk persoalannya, kau
lantas mengajaknya berduel."
"Dalam keadaan seperti itu, memangnya aku harus tanya apalagi?"
"Sepantasnya kau tanya padanya, mengapa dia berada di tempat itu" Siapa yang dia tunggu di
sana." "Jadi bukan dia yang mengundang kami ke sini?"
"Bukan."
"Lalu siapa yang dia tunggu?"
"Seperti engkau, dia pun ditipu orang untuk kemari. Yang ditunggu adalah orang yang sedang
kau cari." .
"Jadi dia pun mencari pembunuh itu?"
"Kau tidak percaya?"
"Waktu melihatku, apakah dia tak berpendapat, akulah pembunuh itu?"
"Waktu kau melihat dia di sini, bukankah kau juga beranggapan demikian?"
Teng Ting-hou melongo.
Ting Si menarik napas dalam, "Kelihatannya Ngo-siansing memang seorang cerdik,
pandangannya terhadap kalian tidak meleset.."
"Siapa Ngo-siansing?"
"Ngo-siansing adalah pimpinan cabang Ceng-liong-hwe dengan kodetanggal 13 bulan 5,
tepatnya pemeran utama atau perencana seluruh peristiwa ini. Jelas dialah biang keladinya."
Teng Ting-hou menjublek.
Kata Ting Si sambil menyeringai dingin, "Ngo-sian-sing sudah memperhitungkan, begitu
berhadapan kalian akan saling labrak. Sebagai pendekar besar, orang gagah yang disegani dan
berwibawa, kalian selalu beranggapan apa yang kalian pikirdan kerjakan pasti benar, kalau
persoalan sudah jelas, buat apa banyak omong lagi. Kalau bertarung dengan sengit, entah mati
atau hidup, bukankah menyenangkan."
Teng Ting-hou diam mendengarkan dengan cermat, hatinya mengakui apa yang diucapkan Ting
Si memang benar, memang demikianlah penyakit umum setiap tokoh persilatan.
"Menurut rencana, saat ini kalian sudah mampus di menara itu, sayang sekali......"
Akhirnya Teng Ting-hou mengangkat kepala, katanya dengan tertawa, "Sayang sekali, kebetulan
kau adalah putra Pek-li Tiang-ceng. Kebetulan pula kau adalah teman baikku, lebih kebetulan
pula kau adalah Ting Si yang cerdik pandai."
Wajah Ting Si kaku, matanya menatap tajam, sinar matanya membayangkan rasa senang dan
lega. Di tengah malam yang hening itu, dari dalam menara tingkat tiga, mendadak berkumandang
bentakan keras, menyusu! suara "Blang" yang keras, seperti batu raksasa jatuh dari langit,
sehingga menimbuikan getaran keras. Tiba-tiba dinding menara jebol dan bolong. Keadaan
dalam lubang itu gelap guiita, lima jari sendiri pun tidak kelihatan.
"Mana Pek-li Tiang-ceng?" seru Teng Ting-hou terkesiap kaget. "Waktu kau keluar, kau
melihatnya tidak?"
Ting Si menggeleng kepala.
"Apa dia bentrok dengan Ngo-siansing?" tanyanya gugup.
Ting Si menggeleng kepala lagi, roman mukanya mulai masam, perasaannya berat.
"Mengapa kami hanya menonton saja di sini, apakah tidak......"
Belum habis Teng Ting-hou bicara, dari dalam menara berkumandang lagi bentakan dan caci
maki, suaranya berada di tingkat dua. Menyusul terdengar "Blang" sekali iagi, kali ini tembok
ambruk, hampir saja Teng Ting-hou dan Ting Si tertimpa.
Walau tidak menyaksikan pertarungan yang terjadi di atas, namun dapat mereka bayangkan
betapa tinggi kepandaian dua jago yang berlaga di atas menara, dari tenaga pukulan mereka
yang mampu merobohkan dinding.
Ilmu silat Pek-li Tiang-ceng belum terhitung nomor satu di dunia persilatan, namun nama besar
dan kedudukannya, diperoleh karena ilmu silatnya yang tinggi. Sementara kaum Bulim
berpendapat, di kalangan Piaukiok gabungan itu, ilmu silat Pek-li Tiang-ceng juga belum
termasuk paling top. Tapi orang yang mengenal pribadinya tentu tahu, bahwa Pek-li Tiang-ceng
memiliki kekuatan tersembunyi, menyimpan ilmu silat yang tidak diketahui orang, karena ilmunya
itu belum pernah dipertunjukkan di depan umum.. Dirinya bak naga yang bersembunyi di rawa.
Latihan Lwekang dan Gwakangnya, boleh dikata sudah mencapai puncak tertinggi, apalagi meski
sudah lanjut usia, dia masih tekun berlatih dan belajar, selaiu menyeiami intisari ilmu silat
berbagai cabang perguruan yang terkenal. Jarang ada tokoh besar yang bisa menandingi dirinya
dalam bidang ini.
Berbagai persoalan yang dikemukakan di atas, tentu sudah diketahui oleh Teng Ting-hou,
apalagi barusan dia sudah bergebrak langsung dengan Pek-li Tiang-ceng.
Musuh yang bergebrak melawan Pek-li Tiang-ceng dalam menara, tentu memiliki ilmu silat yang
luar biasa, kemampuannya tidak di bawah kepandaian Pek-li Tiang-ceng, lalu siapa Ngo-siansing
sebetulnya" Siapakah tokoh kosen yang memiliki ilmu silat tinggi yang mampu menandingi Pek-li
Tiang-ceng"
Kaiau Ngo-siansing adalah mata-mata atau pengkhianat yang menjual rahasia perusahaan,
pembunuh Ong-loyacu, maka boleh diduga, kalau bukan Kui Tang-king, Kiang Sin, tentu Sebun
Seng. Apakah ketiga orang ini patut dicurigai"
Persoalan ruwet ini berkelebat sekejap direlung hati Teng Ting-hou, di saat seperti ini, dia tak
sempat merenungkan lebih jauh. Teng Ting-hou siap menerjang ke dalam menara, mendadak
terjadi getaran keras, suara gemuruh seperti gempa dahsyat. Menara yang sudah buntung itu
mendadak ambruk dan runtuh total rata dengan tanah.
Bagaimana nasib Pek-li Tiang-ceng yang sedang bertarung dengan musuh dalam menara"
Apakah mereka terkubur bersama" Debu, pecahan kayu, bata dan genteng laksana gumpalan
Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mega gelap, dengan suara gemuruh menggoncang puncak gunung itu.
Baru saja terbesit pikiran dalam benak Teng Ting-hou untuk melompat mundur, Ting Si sudah
bertindak menarik tangannya, begitu tubuhriya terlempar di udara, ia bersalto mundur ke
belakang. Waktu dirinya masih muda dulu, di Siau-lim-si yang kuno dan tua serta angker itu, sering para
padri agung yang berkepandaian tinggi memuji dirinya, 'Watakmu memang handal, tapi gegabah,
biasanya anak-anak yang berwatak seperti dirimu, jarang yang bisa memperoleh taraf
kepandaian yang kau miliki sekarang, tapi ingat, bila kelak kau bertarung dengan orang, apalagi
kepandaiannya lebih tinggi, kalau kau berlaku tabah dan sabar, belum tentu lawan dapat
mengalahkanmu, reaksimu cukup cepat untuk mendahului lawan'.
Setiap manusia, bila mendapat pujian dan diagulkan orang lain, dengan mudah akan mengukir
peristiwa itu dalam lubuk hatinya. Sebetulnya sudah lama Teng Ting-hou melupakan pujian itu,
tapi sekarang dia sadar, bahwa reaksinya sudah tidak secepat dulu, geraknya tidak setangkas
waktu mudanya dulu.
Terbukti Ting Si yang lebih muda bergerak lebih cepat, gerakannya lebih cekatan. Apakah usia
menjadi penentu gerak manusia" Lebih tua usianya makin lambat gerak-geriknya, apakah 'tua'
itu dapat mengundang duka lara bagi umat manusia"
Teng Ting-hou terlempar lima tombak jauhnya, dengan ketangkasannya dia dapat hinggap di
tanah dengan berdiri tegak, lalu menjublek di situ tanpa bergerak sekian lama. Debu pasir
reruntuhan menara menghujani tubuhnya, namun tidak dirasakan olehnya.
Adalah jamak bila setiap orang menilai tinggi kemampuan diri sendiri, bila suatu ketika seorang
menyadari betapa rendah nilai harga dirinya, pasti dia akan merasa kehilangan sesuatu. Itulah
salah satu duka lara manusia, duka lara ini jelas takkan bisa dihindarkan.
Keadaan menjadi sunyi, alam semesta seperti beku, seluruh keributan berhenti, kebekuan ini
justru menyadarkan Teng Ting-hou dari lamunannya. Kegelapan tetap terbentang di depan mata.
Menara enam tingkat yang kelihatan angker tadi, kini sudah runtuh tinggal puing yang hampir
rata dengan tanah. Kejadian hanya sekejap, semula menara itu mirip raksasa yang berjongkok di
atas gunung, memandang hina bumi dengan pohon dan rerumputan di bawah kakinya. Tapi
sekarang raksasa itu runtuh, ambruk di atas tanah dan rerumputan yang dia hina, yang dia
remehkan. Ternyata menara juga mirip manusia, makin tinggi manusia merambat ke atas, lebih mudah dia
terjungkal, makin tinggi memanjat, jatuhnya pun lebih parah.
Akhirnya Teng Ting-hou menghela napas.. Bukankah Pek-li Tiang-ceng dan Ngo-siansing adalah
tokoh besar yang sudah merambat cukup tinggi. Teringat Pek-li Tiang-ceng, mendadak Teng
Ting-hou berjingkrak kaget, teriaknya, "Mereka sudah keluar belum?"
"Belum," sahut Ting Si.
Kalau menara ambruk dan orang di dalamnya tidak sempat keluar, itu berarti tertindih dan
terkubur di bawah reruntuhan menara yang ambruk. Berubah air muka Teng Ting-hou, bergegas
dia melompat ke sana, di tengah kegelapan, di tempat berdirinya menara tadi, batu bata bertumpuk
mirip sebuah kuburan besar. Manusia yang terkubur di bawah tanah, jangan harap kuat
bertahan hidup. Apalagi di bawah reruntuhan sebuah menara enam tingkat.
Tangan Teng Ting-hou dingin berkeringat, lututnya terasa lemas dan goyah. Pek-li Tiang-ceng
bukan teman baiknya, namun entah mengapa hatinya amat sedih dan pilu, menyesal karena
merasa dirinya bersalah terhadap Pek-li Tiang-ceng.
Ting Si berada di belakangnya, mengawasi tanpa suara, seperti ikut merasakan gejolak yang
merangsang hati temannya. Setelah menghadapi kenyataan ini, curiga dan salah paham
terhadap Pek-li Tiang-ceng, disadari merupakan kesalahan yang tidak Bisa dipungkiri lagi.
Maka tampak rasa lega dan senang dalam sorot mata Ting Si, kejadian ini memang diharapkan
setulus hati. Kebetulan Teng Ting-hou menoleh, sekilas dia mejihat mimik Ting Si itu, maka dia berkata, "Apa
benar Pek-li Tiang-ceng ayahmu?"
"Benar," Ting Si menjawab dengan suara lantang, tegas dan penuh keyakinan.
Teng Ting-hou menarik muka, teriaknya, "Kalau benar dia bapakmu, kini dia terkubur di
reruntuhan itu, tapi kau masih enak-enak berdiri, tidak sedih malah senang. Beginikah perilaku
seorang anak terhadap ayahnya?"
Ting Si tidak menanggapi luapan amarah Teng Ting-hou, dia malah balas bertanya, "Apa kau
tahu, mengapa menara ini mudah ambruk?"
"Karena terlalu tinggi?"
"Banyak menara di dunia ini, yang lebih tinggi juga tidak sedikit, tapi belum pernah aku
mendengar ada menara ambruk."
"Mungkin ada seluk beluk yang tidak kuketahui?"
"Ya, karena menara yang satu ini kosong bagian tengahnya."
"Setiap menara tentu ada ruangan atau kamar, sudah tentu kosong bagian dalamnya."
"Yang kumaksud kosong bukan ruangannya, tapi dindingnya, pondasi bangunan menara ini pun
kosong bagian dalamnya."
Teng Ting-hou segera paham, "Jadi menara ini dibangun dengan dinding rangkap" Ada lorong
bawah tanah maksudmu?"
"Ya, dari tingkat bawah sampai yang paling tinggi."
Teng Ting-hou mengerut kening, "Menara adalah tempat berdoa bagi buat umat Buddha, untuk
apa menara ini dibangun dengan dinding rangkap?"
"Yang pasti menara ini bukan dibangun oleh umat Buddha."
"Memangnya siapa yang membangun menara ini?"
"Kawanan berandal."
Bukit hijau di belakang menara ini, dahulu adalah sarang kawanan penyamun yang berpangkalan
di daerah ini. "Untuk meloloskan diri dari buruan kawanan opas, untuk menghilangkan jejak, mereka sepakat
membangun menara di sini, dinding rangkap untuk menyelamatkan diri, lorong sempitdi dalam
dinding itu memang sering menyelamatkan kawanan bandit, karena di bawah menara juga
dibangun lorong bawah tanah yang tembus ke markas mereka di atas gunung."
Akhirnya Teng Ting-hou paham duduk persoalannya, "Jadi orang itu membokong kita dari balik
dinding yang kosong itu?"
"Betul."
"Makanya penduduk di sekitar gunung ini bilang, menara ini dihuni kawanan setan, mungkin
karena menara ini berdinding rangkap dengan jalan rahasia di tengah dinding."
Banyak orang yang masuk ke menara ini tahu-tahu lenyap tak keruan paran, hilang secara
misterius. "Supaya rahasia ini tetap abadi, orang yang tahu tentang rahasia ini, entah sengaja atau tidak
sengaja, jiwanya harus ditamatkan untuk menyumbat mulutnya. Selama puluhan tahun, rahasia
di balik menara ini memang tidak pernah bocor."
Ting Si tertawa getir, "Betul, rahasia kita sebagai perampok juga tidak diketahui oleh kawanan
Piausu dari perusahaan pengawalan manapun."
Teng Ting-hou ikut tertawa getir, waktu Ting Si mengucap "Piausu", segera ia sadar telah salah
omong. Apakah karena dalam lubuk hatinya juga menganggap dirinya sebagai perampok"
Perubahan apapun yang terjadi pada dirinya, seperti sudah ditakdirkan menjadi perampok"
Diam-diam Teng Ting-hou bersumpah dan bercita-cita dalam hati. Dia bersumpah selanjutnya dia
akan merubah pandangan dan pikiran. Bercita-cita merubah orang lain, merubah tujuan hidup
temannya yang satu ini.
Ting Si seperti meraba jalan pikirannya, katanya dengan senyum khasnya, "Bagaimana juga, aku
adalah bocah yang dibesarkan dan tumbuh di atas gunung. Sudah selayaknya aku tahu akan
rahasia ini."
"Lantaran kau tahu adanya rahasia itu, maka sekarang kau masih hidup," ujar Teng Ting-hou,
lalu menghela napas panjang. Agaknya dia sudah paham tentang rencana adu domba yang
dirancang Ngo-siansing.
"Sengaja dia mengatur rencananya supaya kita saling labrak, setelah kehabisan tenaga, syukur
ada yang terbunuh, baru dia turun tangan keji dari balik dinding, orang lain tentu berpendapat kita
gugur bersama setelah duel mati-matian. Selama hidup tiada orang tahu perbuatan jahatnya,
bebas dari tuntutan hukum yang berlaku."
Ting Si menghela napas, katanya dengan tawa getir, "Hanya saja, kalau kau menjadi korban
muslihat jahatnya itu, kau terhitung yang paling untung di antara kita."
"Mengapa?"
"Orang banyak pasti berpendapat, kau gugur dalam menunaikan tugas, melenyapkan oknum
jahat dari perusahaan gabungan itu, gugur karena menuntut balas kematian Ong-loyacu, tak
segan kau gugur bersama musuh. Bila kau mati, bukan mustahil, kau akan dipuja dan disanjung
sebagai pahlawan, akan tetapi......"
Akan tetapi bila Pek-li Tiang-ceng yang meninggal, nama busuknya takkan tercuci bersih untuk
selamanya. Ting Si berkata lebih lanjut, "Setelah kalian gugur bersama, bukan saja durjana itu bebas dari
tuntutan hukum, selanjutnya dia akan memegang tampuk pimpinan dan berkuasa dalam
perusahaan pengawalan gabungan itu. Sebagai pimpinan sudah tentu dia menguasai hak dan
tanggung jawab besar. Seluruh kaum persilatan di Tiong-goan, entah dari aliran putih atau
golongan hitam, semua berada dalam genggamannya."
Mengingat betapa jahat dan rumit serta teliti rencana jahat yang dirancang orang itu, Teng Tinghou
yang sudah kenyang menderita hidup inipun tak urung bergidik dan merinding..
Teng Ting-hou menyengir, "Untung kami tidak mampus, karena......"
Ting Si juga tertawa, "Karena dia tidak pernah menyangka, Ting Si muncul dan merusak
rencananya."
"Lebih tidak terduga lagi, bahwa Ting Si yang pandai adalah putra tunggal Pek-li Tiang-ceng,
bocah itupun kawan karib Teng Ting-hou. Kedua hal inilah yang membuatnya gagal total." Kini
Teng Ting-hou dapat tertawa bebas, sekarang dia menyadari satu hal, betapapun jahat, kejam
dan rumitnya suatu rencana, menghadapi kenyataan hidup, akhirnya pasti gagal dan kalah. Di
dunia ini terdapat suatu kekuatan besar, yaitu kepercayaan dan cinta kasih yang menjadi dasar
kehidupan setiap manusia.
Ting Si percaya pada diri sendiri, cinta kasih terhadap ayah dan temannya, Siau Ma, demi orangorang
yang dicintai, dia rela dan berani menempuh bahaya. Seorang pembunuh yang berdarah
dingin, tentu tidak akan meresapi betapa luhur dan besar arti cinta kasih itu. Karena penjahat itu
melalaikan cinta kasih, betapapun sempurna rencana jahatnya, akhirnya pasti gagal dan bubar.
* * * * * Di bawah tumpukan puing itu, Ting Si dan Teng Ting-hou tidak menemukan jenazah manusia,
bangkai tikus pun tidak mereka temukan.
Lega hati Ting Si dan Teng Ting-hou, dua orang yang berhantam itu tidak mati terpendam di
bawah reruntuhan menara, berarti mereka berhasil menyelamatkan diri, lewat lorong bawah
tanah, temyata mulut lorong bawah tanah itu tersumbat oleh reruntuhan tembok dan genteng.
Teng Ting-hou berkata, "Lawan yang berhantam dengan Pek-li Tiang-ceng di atas menara tadi,
mungkin bukan Ngo-siansing?"
"Ya, mungkin sekali."
"Ngo-siansing bukan nama aslinya?"
"Ya, bukan."
"Dalam melakukan kegiatannya, dia selalu mengenakan kedok muka."
"Ya," Ting Si menjelaskan. "Kedok muka yang dipakai terbuat dari kulit wajah manusia, dibikin
sedemikian rupa oleh seorang ahli, mudah dipakai, bersih, bagus dan rajin bikinannya, sedikitnya
dia memilki tujuh delapan macam kedok muka. Dalam sekejap mata dia mampu merubah dirinya
menjadi ojang lain yang berbeda-beda raut wajahnya."
"Pakaiannya selalu berwama hitam."
"Ya, biasanya memang hitam."
"Setelah disergap dengan hamburan senjata rahasia, Pek-li Tiang-ceng menemukan jejak
musuh, musuh berkedok yang berpakaian hitam, sudah tentu Pek-li Tiang-ceng tidak
melepaskannya begitu saja."
"Apalagi keadaan memaksa dia bertindak."
"Oleh karena itu, bila pembokong itu melarikan diri iewat lorong bawah tanah, kemana pun
keparat itu Sari, Pek-li Tiang-ceng pasti mengejarnya."
"Makanya mereka tidak terkubur di sini, juga tidak kelihatan batang hidungnya."
"Apa betul lorong bawah tanah ini tembus ke markas besar di atas gunung?"
"Ya."
"Ngo-siansing pasti lari ke markas besarnya."
"Setelah masuk lorong panjang itu, tiada jalan lain untuk meloloskan diri."
"Oleh karena itu, dapat diduga bahwa saat ini Pek-li Tiang-ceng tentu berada di markas musuh
itu." Ting Si mengangguk kepala.
"Kau pernah bilang, markas itu bak rawa naga gua harimau, siapa masuk ke sana jarang ada
yang bisa keluar."
"Ya, aku pernah bilang demikian."
Teng Ting-hou menatapnya, katanya dengan kalem, "Pek-li Tiang-ceng adalah ayah kandungmu,
sekarang dia berada di sarang naga gua harimau, lalu apa yang akan kau lakukan?"
"Bagaimana menurut pendapatmu" Apa yang harus kulakukan?"
"Seharusnya kau tahu apa yang harus kau lakukan."
"Maksudmu kita harus bekerja keras, menyingkirkan reruntuhan menara yang menyumbat lorong
bawah tanah dalam waktu sesingkat mungkin, lalu meluruk ke sarang musuh untuk dibunuh
mereka." "Mengapa harus menyerahkan jiwa kepada mereka?"
"Sebentar lagi, cuaca akan terang tanah, kita kelelahan setelah bekerja keras, badan basah
kuyup oleh keringat, apalagi......"
Teng Ting-hou menukas, "Kita tidak perlu lewat lorong, kukira masih ada jalan lain di sekitar
gunung ini."
"Ya, memang ada jalan rahasia lain di sini."
"Mengapa kau tidak mau ke sana?"
"Aku yakin dia mampu mempertahankan diri, apalagi aku belum ingin mati saat ini."
"Kau pernah naik ke atas gunung sana?"
"Waktu itu, keadaan berbeda dengan sekarang."
"Dalam hal apa berbeda?"
"Waktu itu aku dapat mencari tempat perlindungan yang bagus."
"Oh-lo-ngo yang rela mengadu jiwa itu maksudmu?"
Ting Si mengangguk, "Setiap manusia yang tinggal di atas gunung itu, menganggap dirinya
bukan manusia lumrah, orang buangan yang tidak berguna, memandang wajahnya terasa jijik,
apalagi memperhatikan tubuhnya yang bungkuk dengan gaya jalannya mirip bebek. Seorang diri
orang jelek ini tinggal di sebuah rumah kecil di belakang gunung, belum pernah ada orang
mempedulikan mati hidupnya."
"Jadi kalau kau menyamar menjadi dirinya, pasti dapat mengelabui mata mereka?"
Ting Si tertawa, "Kalian pun kukelabui, apalagi orang lain?"
"Menyamar sebagai Oh-lo-ngo, dua kali kau mengantar surat ke warung Lo-shoa-tang?"
"Ya, sudah dua kali aku ke sana," ujar Ting Si. "Aku sudah menduga, kalian akan tertarik oleh
munculnya seorang yang bernama Oh-lo-ngo, namun kalian tidak memperhatikan diriku, karena
tampang dan bentuk tubuh Oh-lo-ngo, sesungguhnya memang amat jelek dan menjijikkan."
"Namun rahasia penyamaranmu sudah terbongkar, kalau kau naik ke gunung dengan samaran
yang sama, tentu kau akan terancam bahaya."
"Oleh karena itu......"
"Meski kau tahu Pek-li Tiang-ceng dan Siau Ma mati di atas gunung, kau tidak akan bekerja
dengan gegabah, jiwamu lebih berharga dibanding orang lain."
"Bukan jiwa ragaku lebih berharga, sebagai bekas anak gelandangan, jiwaku justru tidak
berharga, umpama aku punya jiwa rangkap, dengan suka rela aku akan menyerahkan
kepadamu, walau kau minta untuk umpan anjing sekalipun."
"Sayang jiwa ragamu manunggal, hanya satu."
"Ya, sayang sekali."
"Apa betul kau tidak menguatirkan keselamatannya?"
Berubah kelam rona muka Ting Si, agak lama kemudian baru dia berkata dengan sikap dingin,
"Sebelum aku lahir, dia sudah minggat. ibuku perempuan biasa, bukan kaum persilatan,
kesehatannya sering terganggu lagi, mana kala aku dilahirkan, kondisinya lebih parah lagi, maka
sejak usia tiga tahun, aku sudah harus bekerja mencari nafkah, tidak jarang aku menjadi
pengemis minta sedekah kepada para dermawan, sering puia dengan mangkuk bolong aku minta
sesuap nasi di depan restoran. Dalam usia enam tahun, aku sudah mahir mencopet, dalam
keadaan mendesak aku berbuat jahat, bila ketahuan dan tertangkap basah, kalau badan hanya
babak belur masih mending, aku sudah biasa dicaci maki, ditendang dan dihajar orang, namun
aku tahan uji, hanya ibu yang menaruh kasihan dan kasih saying kepadaku, sampai sebesar ini
usiaku, kecuali ibunda, belum pernah ada orang menguatirkan diriku. Lalu mengapa aku harus
menguatirkan keselamatan orang lain, memperhatikan orang lain?" suara Ting Si makin kaku dan
ketus, wajahnya juga tidak menampakkan perasaan, tapi jari jemarinya tampak gemetar, jeias
emosi bergelut dalam sanubarinya.
Lama Teng Ting-hou menatapnya, dia menarik napas panjang, "Untung aku ini temarimu, untung
pula aku sudah menyelami jiwamu, tahu luar dalam atau lahir batinmu.. Kalau orang lain tentu
menganggap kau seorang yang tidak punya perasaan, orang yang tidak kenal budi pekerti."
"Memangnya sejak kecil aku sudah menjadi orang tidak berbudi, orang yang tidak tahu apa
artinya cinta kasih," demikian jengek Ting Si kaku.
"Kalau betul kau tidak bercinta kasih, tidak berbudi, buat apa kau menyerempet bahaya,
berusaha menolong jiwa orang iain" Mengapa pula kau berdaya upaya mencuci bersih nama
baiknya, kau ingin membuktikan bahwa dia tidak bersalah atau berdosa."
Ting Si bungkam.
"Sebetulnya aku maklum, dalam hatimu ada sesuatu rencana matang, namun kau tidak mau
menjelaskan kepadaku,"
Ting Si tetap diam, tidak menyangkai juga tidak mengaku.
"Mengapa tidak kau jelaskan?"
Akhirnya Ting Si menarik napas, "Umpama benar ada persoalan yang ingin kubicarakan, tapi
persoalan ini tidak mungkin hanya kubicarakan denganmu seorang."
Bersinar mata Teng Ting-hou, "Betul, persoalan harus dibicarakan secara terbuka, dalam hal ini
kami tidak boleh mengabaikan Ong-toasiocia."
"Dimana dia sekarang?" tanya Ting Si.
"Di atas pohon mangga di belakang To-te-bio."
Ting Si tertawa ewa, "Tak kusangka, dia mau tunduk dan patuh pada nasehatmu, seorang diri
diam di atas pohon."
"Dia tidak sendirian."
"Lho, dengan siapa?"
"Lo-shoa-tang menemaninya."
Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kaki Ting Si sudah beranjak ke depan, mendadak dia berhenti.tubuhnya tampak gemetar dan
mengejang. "He, mengapa kau berhenti?" tanya Teng Ting-hou.
Cukup lama Ting Si mengancing mulut, pandangannya nanar, setelah menghela napas, dia
berkata lirih, "Tak usah ke sana lagi."
"Mengapa," tanya Teng Ting-hou bingung.
"Tidak ada orang lagi di atas pohon mangga itu," suara Ting Si dingin, wajahnya tetap tidak
menunjuk perubahan perasaan hatinya, namun jari-jari tangannya tampak gemetar.
Teng Ting-hou melihat kejanggalan ini, teriaknya terkesiap, "Apakah Lo-shoa-tang yang itu bukan
temanmu?" Kalem suara Ting Si, "Lo-shoa-tang betul adalah temanku, tapi Lo-shoa-tang yang meladeni
kalian di warung bakpao itu bukan Lo-shoa-tang yang asli."
Berubah jelek romah muka Teng Ting-hou. Sekarang. baru dia paham, mengapa dua kali Ting Si
berkirim surat kepada dirinya" Meski tahu undangan ke Toa-po-tha itu hanyalah perangkap yang
sudah direncanakan lebih dulu. Soalnya dia pantang dirinya dicurigai oleh Lo-shoa-tang, muslihat
lawan dihadapi dengan muslihat juga, sekaligus membongkar dan menelanjangi kedok dan
rahasia Ngo-siansing.
Sekarang Teng Ting-hou paham, mengapa Lo-shoa-tang ikut mereka ke Toa-po-tha dan apa
tujuannya, begitu gugup dia berangkat sampai pintu rumah sendiri tak sempat ditutupnya.
Seorang berdagang ayam baker selama puluhan tahun dengan warung bakpaonya pula, seorang
kikir yang tidak rela menggares sekarat daging paha ayam bakarnya sendiri, mana mungkin rela
mengorbankan seluruh harta miliknya begitu saja. Sekarang Teng Ting-hou sadar duduk
persoalannya, sayang sekali sadar setelah segala sesuatu telah terjadi. Semua sudah
berkembang dan terlambat untuk bertindak atau mencegah.
Di pohon mangga itu sudah tiada orang, bayangan setan juga tidak kelihatan, yang ada hanya
sobekan kain yang tersangkut di dahan pohon. Itulah sobekan kain celana Ong-toasiocia.
Ong-toasiocia tentu diculik Lo-shoa-tang palsu itu ke atas gunung. Siapa pun setelah berada di
sarang penyamun, apalagi dia seorang perempuan, jarang ada yang bisa pulang. Demikian pula
nasib Ong-toasiocia jika benar diculik ke sarang penyamun itu.
Teng Ting-hou berdiri di tengah kegelapan, dihembus angin malam nan dingin, badan terasa
makin dingin dan hampir menggigil, maklum sekujur badannya basah kuyup oleh keringat dingin,
dia merasa ngeri membayangkan nasib Ong-toasiocia.
Sejak Teng Ting-hou iulus dari perguruan dan berkecimpung di Kangouw, dipandang dari mata
kaum persilatan, dia termasuk seorang yang terpandang, seorang pintar dan berbakat, persoalan
yang pelik sekalipun, dapat dia tangani dengan tenang dan mantap, seluruhnya berakhir dengan
memuaskan. Dari keberhasilan yang tidak pernah mengalami hambatan atau kesukaran itu,
lambat laun laki-iaki yang suka mengagulkan diri ini merasa bangga dan tinggi hati, menganggap
dirinya serba bisa, memang Teng Ting-hou terlalu yakin pada kemampuannya sendiri, percaya
kepada diri sendiri. Akan etapi, sekarang kenyataan membuatnya sadar bahwa hakikatnya,
dirinya tidak lebih hanyalah seorang laki-iaki pikun, teledor dan dungu. Seorang yang pandai
bermuka-muka dan congkak, seorang bodoh yang dimabuk keyakinannya sendiri.
Ting Si menepuk pundaknya, "Tak usah kau bersedih, masih ada harapan untuk menolongnya."
"Masih ada harapan apa?" tanya Teng Ting-hou.
"Ada harapan untuk menemukan dan menolong Ong-toasiocia."
"Kemana kita harus mencarinya?"
"Kukira lebih mudah kita mencari ke warung bakpao Lo-shoa-tang."
"Apa Lo-shoa-tang yang bukan Lo-shoa-tang membawanya pulang ke warung bakpao itu?"
"Justru karena dia bukan Lo-shoa-tang yang tulen, maka dia akan kembali ke warung bakpao
itu." "Mengapa?"
"Karena di warung bakpao, selain dapat membuat bakpao, juga dapat melaksanakan apa saja
menurut keinginannya."
"Melakukan apa?"
Ting Si menghela napas, "Masa kau tidak tahu?"
Teng Ting-hou menggeleng kepala.
"Jika kau kenal pribadi Lo-shoa-tang yang bukan Lo-shoa-tang itu, tentu kau paham mengapa
aku bilang demikian."
"Apa kau mengenalnya?"
Ting Si mengangguk.
"Siapakah dia?"
"Seorang cabul, laki-iaki tua hidung belang."
* * * * * Mega mulai buyar, bintang-bintang pun berkurang. Malam makin larut.
Sinar lampu masih menyorot keluardari celah-celah dinding papan dari warung bakpao Lo-shoatang.
Dari kejauhan Teng Ting-hou sudah melihat lampu itu. Teng Ting-hou tidak tahu, apakah dirinya
harus menghela napas atau harus kuatir"
Dalam keadaan seperti ini, umpama Ong-toasiocia belum diculik ke sarang penyamun, sudah
tentu dicaplok oleh macan liar yang rakus dan cabul. Perbedaan antara jatuh ke sarang
penyamun dan mulut macan yang cabul itu sebetulnya tidak banyak. Yang pasti kejadian itu
hanya berlangsung dalam waktu yang singkat saja, sesuai kekuatan si macan cabul itu. Bila kau
nekad menerobos masuk ke sana, kau akan melihat adegan atau tontonan yang tidak ingin kau
pandang lebih lama lagi. Tiada macan yang meninggalkan mangsanya setelah sang korban
berada di mulutnya.
Teng Ting-hou tidak berani melihat mimik wajah Ting Si, melirik pun tidak berani. Maka Teng
Ting-hou menempatkan dirinya di belakang orang, umpama dia ingin tahu bagaimana reaksi Ting
Si, orang juga tidak akan memberi kesempatan kepadanya, apalagi malam pekat, gelap berkabut
lagi. Teng Ting-hou tidak bersuara.
Ting Si dudukdi kursi, dian menyala di atas meja, duduk diam mengawasi hidangan yang
berserakan di depannya, sejak masuk dan duduk dalam warung bakpao Lo-shoa-tang, Ting Si
tidak bersuara, pandangannya pada irisan daging sapi yang sudah mengering.
"Kau ingin minum arak?" kata Ting Si mencoba memecah kesunyian, wajahnya tetap kaku
dingin. Memang demikianlah keadaan Ting Si, menghadapi persoalan peiik macam apapun,
kalau mau meneliti lahiriahnya saja, tidak akan ditemukan gejala apapun pada dirinya.
Bila diperhatikan dengan seksama, akan ditemukan perbedaan yang tidak kentara pada ujung
mulutnya yang sering mengulum senyum, senyum yang menyenangkan, senyum yang
mengundang simpati orang lain, senyum yang bisa melegakan ketegangan urat-syaraf. Berbeda
dengan keadaan hari ini, secercah senyum pun tidak terlihat menghiasai wajah maupun ujung
mulutnya, entah hatinya kuatir dan serius menghadapi persoalan di depan matanya" Entah
menguatirkan keselamatan Ong-toasiocia atau menguatirkan dirinya sendiri"
Demikian pula keadaan Teng Ting-hou, sejak berada di warung bakpao ini, dia tidak tahu apa
yang harus dilakukan.
"Kau kira di warung ini masih ada arak?"
"Pasti ada kalau kau mau minum arak, pasti disediakan."
"Masih ada waktu untuk minum arak?"
"Masih ada, kukira masih ada cukup waktu untuk minum sepuasnya."
"Kalau begitu aku mau menemani minum sedikit."
"Kalau mau minum harus minum sepuasnya, sebetulnya tidak perlu kau menggunakan istilah
'menemani', kau tahu yang ingin minum bukan hanya aku saja."
"Betul, untuk diriku sendiri aku minum, kalau hanya minum sedikit memang tidak mencukupi
selera, tapi untuk minum sepuasnya, apakah masih cukup waktu?"
"Asal kau mau minum, waktu masih cukup panjang."
Teng Ting-hou menduga, bila saat-saat tegang seperti ini masih ada waktu untuk minum, tentu
persoalan akan berubah. Maka ia menghela napas lega, teriaknya sambil menggebrak meja,
"Arak, keluarkan arak yang paling bagus."
Dalam warung bakpao Lo-shoa-tang itu, tiada orang lain kecuali Teng Ting-hou dan Ting Si.
Jelas Ting Si juga tahu bahwa warung itu kosong tiada orang lain kecuali mereka berdua. Teng
Ting-hou yang sudah menginap dan bekerja sehari di warung ini lebih jelas, kecuali Lo-shoa-tang
yang menjadi majikan merangkap pelayan, tidak ada orang lain lagi. Tapi mereka tahu arak
masih tersedia di warung ini, sudah tentu tiada orang yang meladeni teriakan Teng Ting-hou
yang lantang itu.
Biasanya arak disimpan di bawah meja, ada beberapa guci dari tanah liat, bau arak terendus
wangi, dari bau wangi ini Ting Si dan Teng Ting-hou dapat menilai arak dalam guci kecil ini
berkualitas bagus.
Jajan di warung arak, kalau mau minum harus ambil sendiri, aturan macam apa"
Bersambung ke 11
Bagian 11 - TAMAT
Teng Ting-hou tidak berani gegabah, Ting Si juga tak mau mengambil arak, Teng Ting-hou
duduk diam, akhirnya ia berteriak pula tidak sabar, "He, ada orang tidak?"
Setelah ditunggu sekian lama tiada reaksi, akhirnya Teng Ting-hou ketagihan, dia memberanikan
diri mencopot satu guci arak ukuran kecil, begitu sumbat dibuka, bau arak sedap merangsang
hidung. Akhirnya Ting Si meniru perbuatan Teng Ting-hou, satu orang satu guci, seperti
berlomba mereka mengangkat guci dan mendongak, arak berpindah ke dalam perut mereka.
Lebih banyak arak masuk perut, sang waktu juga berlalu tanpa terasa.
Sejauh persoalan ini berkembang, Teng Ting-hou tidak merasa heran atau kaget, juga tidak
merasa mendelu. Dia maklum dalam banyak hal dirinya memang ketinggalan jauh disbanding
Ting Si. Seorang bila sudah mengaku asor terhadap orang lain, pikiran dan perasaannya malah tenteram.
Teng Ting-hou berpendapat, seharusnya Ting Si menghentikan minum dan berunding dengan
dirinya, cara bagaimana harus menerjang ke dalam kamar di bagian belakang itu" Dengan cara
kilat mereka harus menyelamatkan jiwa Ong-toasiocia.
Setiap aksi harus direncanakan secara cermat, jika tidak yakin berhasil, buat apa turun tangan.
Di saat otaknya mulai menerawang itulah, mendadak Ting Si beraksi dengan kecepatan kilat,
sekali tendang pintu kamar yang setengah rapuh itu jebol dan berantakan, tubuh Ting Si
menerjang ke dalam.
Cara yang digunakan Ting Si paling manjur, langsung, sederhana tapi kilat. Sebetulnya cara
yang digunakan itu cukup gegabah, terlalu memandang remeh musuh dan berbahaya.
Hakikatnya Ting Si tidak mempertimbangkan keselamatan dirinya, begitu yakin akan kemampuan
sendiri, maka dia menggunakan cara yang mudah, cepat dan lekas selesai.
Dalam hati Teng Ting-hou menghela napas gegetun, di saat dia siap membantu. Begitu dirinya
ikut menerjang ke dalam kamar. Dilihatnya Ong-toasiocia sudah duduk, Lo-shoa-tang
menggeletak di lantai. Agaknya grebekan mereka sudah selesai, sukses dengan gemilang.
Maklum anak muda, dalam menunaikan tugas selalu diburu nafsu, dipermainkan emosi. Teng
Ting-hou akhirnya tertawa getir. Akhirnya dia sadar dan maklum, kalau anak muda bekerja
dengan caranya sendiri, ternyata hasilnya juga tidak keliru. Lalu disadari pula olehnya, bahwa
kemampuan sendiri ternyata sudah mundur, jauh ketinggalan dibanding anak muda yang satu ini.
Teng Ting-hou dapat berpikir secara cermat, tanggap dalam menilai sesuatu, maka jiwanya tidak
pernah luntur meski ditempa oleh keadaan yang paling buruk sekalipun, maka dirinya kuat
bertahan hidup sampai hari tua. Sayang sekali, jarang ada manusia di Bulim yang punya
kedudukan seperti dirinya, dapat berpikir secara terbuka.
Ganti berganti Ong-toasiocia mengawasi Teng Ting-hou lalu menatapTing Si. Akhirnya melotot
kepada Lo-shoa-tang yang menggeletak di lantai. Padahal banyak persoalan ingin dibicarakan,
namun sepatah kata pun tak keluar dari mulutnya. Hakikatnya Ong-toasiocia memang bingung,
tidak tahu kepada siapa dia harus bertanya lebih dulu.
Ting Si juga bungkam, tidak berusaha memberi penjelasan.. Cepat atau lambat, toh akan tahu,
mengapa harus buru-buru menjelaskan. Aksi mereka berakhir dengan sukses gemilang. Lalu
bagaimana selanjutnya"
Teng Ting-hou sedang bingung, maka ia bertanya, "Sekarang kita harus duduk makan bakpao
dan minum arak" Atau tidur dalam kamar?"
"Sekarang juga kita harus naik gunung," kata Ting Si tegas.
Teng Ting-hou melenggong, "Lho, bukankah kau tadi bilang, kau tidak boleh naik gunung?"
"Ting Si memang tidak boleh naik, tapi Lo-shoa-tang boleh mondar-mandir dengan leluasa,
apalagi akan membawa dua orang tawanan, lebih cepat lebih baik. Hayolah bersiap-siap."
Akhirnya Teng Ting-hou mengerti rencana Ting Si, "Membawa dua tawanan, maksudmu aku dan
Ong-toasiocia?"
Ting Si mengangguk.
"Dan kau yang menyamar sebagai Lo-shoa-tang?" Teng Ting-hou menegas.
Ting Si tertawa, katanya berolok-olok, "Setan tua cabul ini dapat menyamar sebagai Lo-shoatang,
memangnya setan cilik macam diriku tidak mampu?"
"Apa kau mampu mengelabui banyak mata di atas gunung itu?" tanya Teng Ting-hou.
"Setiap manusia memiliki ciri-ciri tersendiri, sehingga orang bisa membedakan dan dibedakan,"
Ting Si menjelaskan lebih lanjut. "Untuk beda membedakan, satu hal yang terpenting adalah
wajah orang, baru perawakan, sikap, gerak-gerik dan bau badannya."
"Bau badannya?"
"Setiap orang memiliki bau badan. Ada sementara orang sejak dilahirkan berbau wangi, tapi ada
juga yang berbau apek."
"Soal bau tidak menjadi soal. Bau badan Lo-shoa-tang dari kaki sampai ujung rambutnya pasti
berbau bak-pao dan ayam bakar."
Ting Si tertawa geli, "Tapi kalau aku hanya mengenakan pakaiannya saja, bau badanku tentu
seperti ayam bakar."
"Perawakanmu memang mirip kalau tidak mau dibilang sepadan, bila perutmu dibalut kain tebai,
lalu punggungmu diberi punuk sekedarnya, berjalan sambil terbungkuk-bungkuk tentu mirip."
"Sejak kecil aku sering mencuri bakpao di warung ini, sikap, tutur kata dan tirvdak tanduknya
sudah sering ku-perhatikan, kuyakin dapat menirunya dengan persis."
Mendadak Ong-toasiocia menimbrung, "Kelihatannya kau memang pandai menjadi badut,
selanjutnya bila kau mau bermain sebagai bintang panggung, kuyakin kau lekas terkenal,"
Tawar suara Ting Si, "Aku memang ingin merubah pekerjaanku, menjadi bintang panggung
memang jauh lebih aman dan damai daripada berperan di bawah panggung."
"Kau ingin berperan di atas panggung?" tanya Ong-toasiocia.
"Bukankah kehidupan manusia mirip bermain sandiwara" Bukankah kita-kita ini sebagai
pelakunya?"
Terkancing mulut Ong-toasiocia. Apa yang diucapkan Ting Si, selalu memaksa mulutnya
bungkam. "Tapi wajahmu......" Teng Ting-hou masih kuatir.
"Wajahku memang berbeda, tetapi bisa menjadi mirip dengan tata rias, walau ilmu tata rias yang
kupelajari belum mahir benar. Untung tampang Lo-shoa-tang yang jelek itu tidak menarik
perhatian banyak orang. Umpama orang harus memperhatikan dua kali, yang kedua tentu
memandang dengan memicingkan mata atau meram, bukan mustahil orang sudah jijik untuk
kedua kalinya memperhatikan wajahnya." Dengan menyengir kuda ia menambahkan, "Apalagi
aku membawa tiga kado yang penting artinya, orang yang mengantar kado biasanya disambut
dengan ramah dan gembira."
Teng Ting-hou mengangguk, "Aku dan Ong-toasiocia adalah kado yang akan kau bawa ke atas
gunung." "Ya, kalian termasuk dua di antara tiga kado yang kumaksud."
"Jadi masih ada satu lagi" Apakah kado ketiga?"
"Ya, kado ketiga adalah ayam bakar."
* * * * * Rumah besar itu dibangun dengan balok kayu raksasa, dahan-dahan pohon besar, walau
kelihatan kasar dan sederhana, namun membawa suasana purba yang liar dan asli, membawa
kewibawaan, angker dan membuat orang jeri serta tunduk lahir batin.
Demikian pula tampang orang-orang itu, liar, perkasa, pemberani, mirip binatang buas di alam
purba. Hanya seorang terkecuali di antara sekian banyak hadirin di pendopo itu. Orang ini berpakaian
serba hitam, wajahnya yang pucat dingin tidak memperlihatkan perasaan, namun sepasang
matanya bersinar tajam. Kelihatannya orang ini tidak liar, tidak garang, namun lebih menakutkan
dibanding orang-orang yang hadir.
Kalau orang sebanyak itu ibarat binatang liar, maka orang yang satu ini adalah pemburu
binatang. Kalau orang tain bagai sebatang tongkat, maka dia adalah ujung tombak.
Orang ini bukan lain adalah Ngo-siansing.
Pek-li Tiang-ceng berdiri di tengah pendopo sambil bertolak pinggang. Menghadapi kawanan
manusia liar seperti binatang buas, berhadapan langsurig dengan ujung tombak.
Hanya seorang diri Pek-li Tiang-ceng meluruk dan mengejar ke sarang binatang liar ini.
Keadaannya tidak lebih lembut dibanding kawanan binatang liar itu, tidak lebih tumpul dibanding
ujung tombak yang runcing lagi ganas itu.
Ngo-siansing menatapnya lalu menghela napas, katanya sinis, "Sepantasnya kau tidak berada di
tempat ini, tidak boleh berada di sini."
Pek-li Tiang-ceng hanya menyeringai dingin.
"Seharusnya kau sudah mampus, mayatmu sudah kaku dingin, jika kau dan Teng Ting-hou
mampus, bukankah dunia bakal aman sentosa?"
"Umpama kami berdua mampus, kan masih ada Ting Si," jengek Pek-li Tiang-ceng.
"Ting Si bocah hijau itu tidak perlu dibuat takut."
"O" Mengapa?"
"Karena kau adalah pendekar besar, sebaliknya bocah itu hanya rampok cilik."
"Satu hal mungkin tidak pernah kau pikir, ada kalanya pendekar besar juga bisa berubah menjadi
rampok cilik."
"Aku yang kau maksud?" tanya Ngo-siansing.
Pek-li Tiang-ceng diam saja.
"Kau sudah tahu siapa aku?" tanya Ngo-siansing.
"Sudah lama kau adalah kawan karib Pa-ong-jio, sejak muda, jadi sudah puluhan tahun kau
kenal pribadinya, kau tahu seluruh seluk-beluk Piaukiok gabungan itu. Kau pun tahu bagaimana
keadaan luar dalamku. Biasanya kau jarang mempertunjukkan llmu silatmu di hadapan orang
lain. Kau angkat Cong-piauthau perusahaanmu sebagai wakilmu, bekerja dalam perusahaan
gabungan itu, maka kau tidak perlu terjun sendiri," demikian ucap Pek-li Tiang-ceng kalem sambil
menatap tajam Ngo-siansing. "Berapa banyak orang macam dirimu dapat ditemukan di
Kangouw?" "Ya, hanya aku seorang," ucap Ngo-siansing memanggut..
"Memang hanya kau saja yang kupikir sejak mula."
Ngo-siansing menghela napas, "Jadi sejak mula kau sudah tahu siapa aku sebenarnya,
maka......"
"Kalau bukan kau yang mampus, biar aku yang gugur," tantang Pek-li Tiang-ceng dengan suara
Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lantang. Wajah Ngo-siansing kelihatan tetap kaku, namun sinar matanya seperti sedang tertawa. "Setiap
hari kalian sibuk menyelesaikan urusan perusahaan, membereskan urusan besar kecil yang
terjadi di Kangouw. Sebaliknya aku tekun memperdalam ilmu di rumah, aku punya banyakwaktu
untuk belajar dan meniru gaya tulisan orang lain, mencari tahu rahasia orang lain."
"Kau sengaja membocorkan rahasia Piaukiok kepada Ting Si, karena kau tahu bocah itu adalah
putra kandungku?" demikian tanya Pek-li Tiang-ceng.
"Aku malah tahu jelas apa yang pernah kau lakuklan bersama Ong-lothau di daerah Bing-lam
dulu." "Karena kau sudah menjadi anggota Ceng-liong-hwe sejak waktu itu."
"Ceng-liong-hwe memperalat diriku, aku pun memperalat mereka, jadi satu sama lain saling
memperalat dan saling untung, tiada pihak yang dirugikan kecuali pihak ketiga."
"Aku hanya heran akan satu hal," ucap Pek-li Tiang-ceng.
"Apa yang kau herankan?"
"Dengan kedudukan, nama besar dan kekayaan yang sudah kau miliki sekarang, mengapa kau
masih tega melakukan perbuatan terkutuk ini?"
"Aku sering bilang, selama hayat masih dikandung badan, ada dua hal takkan pernah membuat
aku cukup dan puas."
"Ya, harta dan perempuan."
"Betul,"seru Ngo-siansing sambil bertepuk tangan sekali.
Mendadak seorang tertawa lebar di luar pendopo, serunya lantang, "Sekarang harta benda
bertambah banyak, perempuan juga tambah satu lagi."
Pek-li Tiang-ceng menoleh ke arah datangnya suara, terlihat Teng Ting-hou dan Ong-toasiocia
terbelenggu tambang besar sedang digiring masuk oleh seorang setengah bungkuk dengan
wajah dan pakaian yang jelek dan kotor berminyak. Orang jelek yang menggiring Teng Ting-hou
dan Ong-toasiocia ini adalah Ting Si sebagai Lo-shoa-tang. Hanya saja Pek-li Tiang-ceng tidak
tahu bahwa laki-laki tua buruk rupa dan kotor ini adalah samaran Ting Si, temyata di antara
sekian banyak hadirin termasuk Ngo-siansing juga tidak mengira bahwa Lo-shoa-tang yang
menggiring tawanan ini adalah palsu.
Ngo-siansing tertawa lebar, serunya gembira, "Kau keliru, perempuan memang hanya bertambah
satu. Tetapi harta bendaku sekaligus tambah empat bagian."
"Empat bagian?" seru Ting Si yang menyamar sebagai Lo-shoa-tang.
"Teng Ting-hou satu bagian, Ong-toasiocia satu bagian, milik Pek-li Tiang-ceng satu bagian,
ditambah keuntungan mereka dalam perusahaan, bukankah seluruhnya ada empat bagian?".
Ting Si yang menyamar Lo-shoa-tang ikut bertepuk tangan dan berseru gembira, "Mungkin
bukan hanya empat bagian saja."
"O?" meninggi suara Ngo-siansing. "Masih bisa tambah bagian lagi?"
"Kiang Sin sudah berpenyakitan, Sebun Seng di bawah perintahmu, mereka sudah jatuh ke
dalam cengkeramanmu, di kolong langit ini siapa berani dan mampu menandingimu. Seluruh
harta benda kaum persilatan, bukankah bakal jatuh menjadi milikmu?"
Ngo-siansing tertawa lebar, "Jangan lupa, julukanku adalah Hok-sing-ko-cau," sembari bicara
Ngo-siansing berbangkit lalu turun undakan, maju ke depan Ting Si serta menepuk pundaknya.
"Sudah pasti aku tidak akan melupakan bantuan para saudara yang berjasa."
Ting Si tertawa gembira, "Aku tahu kau memang baik hati, mengerti isi hati anak buahmu, kau
tidak pernah lupa memberi imbalan kepada anak buahmu yang berjasa besar. Hanya saja kau
selalu makan daging, sebaliknya kami justru menelan tulang saja."
Waktu Ting Si mengucap 'daging', Teng Ting-hou dan Ong-toasiocia yang semula terbelenggu
tambang besar, mendadak terlepas lalu menubruk maju. Ting Si sendiri juga turun tangan, belum
habis dia mengucap "tulang", maka tulang dada Ngo-siansing patah tiga belas batang.
Hanya sekejap saja, Kui Tang-kin yang berjuluk Rezeki Selalu Nomplok, mendadak berubah
menjadi Petaka Merubah Nasib. Perubahan terjadi begitu cepat dan tidak terduga, bak
perubahan cuaca yang sukar diramaikan sebelumnya. Demikian pula nasib manusia sukar
ditebak. Itulah kehidupan manusia, hanya saja perubahan yang terjadi kali ini memang teramat
cepat, mendadak lagi. Seorang yang selalu unggul dan berada di atas angin, mendadak jatuh
dan roboh tak mampu merangkak. Perubahan yang begitu cepat, bukan saja Pek-li Tiang-ceng
tidak menduga, Teng Ting-hou juga tidak habis mengerti, tidak dapat meresapi hikmah dari
semua kejadian di depan matanya.
Kini semuanya sudah selesai. Mereka sudah mengundurkan diri dari sarang penyamun itu,
keluar membawa Siau Ma dan Ton Siau-lin. Menangkap perampok meang harus membekuk
kepalanya. Setelah Kui Tang-kin roboh tidak berdaya, anak buahnya meski liar dan kuat, tidak
perlu ditakuti lagi, mereka pun tidak berani turun tangan, umpama nekad melayani juga mudah
diganyang. Di tengah jalan Teng Ting-hou tidak kuat menahan diri, tanyanya kepada Ting Si, "Kau selalu
bilang persoalan ini amat pelik, terlalu sukar dan berbahaya. Mengapa justru mudah
dibereskan?"
Ting Si tertawa tawar, suaranya juga tawar, "Justru urusan ini amat pelik, terlalu sukar dan
bahaya, maka Kui Tang-kin tidak menduga ada orang berani menyerempet bahaya."
"Hanya lantaran dia tidak menduga, maka kau berhasil dan sukses?"
Ting Si tertawa, kini lebih cerah, "Bukan hanya dia seorang yang tidak menduga, aku sendiri juga
tidak menduga, urusan bisa beres semudah ini."
Akan tetapi, sekarang mereka mengerti, manusia bila berani menyerempet bahaya, maka tiada
persoalan pelik atau bahaya apapun yang tidak bisa dibereskan. Di zaman dahulu Kan Cau dan
Thio Se, seorang diri berani menempuh bahaya, karena mereka mempunyai keberanian luar
biasa. Pahlawan gagah atau enghiong sejak zaman dulu kala hingga sekarang, tidak sedikit yang
mampu menciptakan suatu prestasi besar dengan sukses gemilang, karena dia memiliki
'keberanian'. Tapi keberanian itu tidak datang sendiri atau jatuh dari langit, tapi berani karena
adanya cinta. Cinta antara ayah dan anak, cinta antara dua teman atau keakraban dari dua
insan, cinta asmara antara laki dan perempuan, cinta kasih terhadap sesama manusia. Sayang
terhadap jiwa raga, setia pada nusa dan bangsa. Semua itu karena dilandasi cinta, kalau tiada
cinta, entah apa yang akan terjadi di dunia ini, dunia entah berubah menjadi apa.
Ting Si melangkah lebar, dia berjalan di depan. Ong-toasiocia berjalan cepat-cepat memburu di
belakangnya. Cukup lama dan jauh mereka menempuh perjalanan, yang satu di depan, yang lain
terus mengikut di belakang, entah berapa puluh li sudah mereka tempuh, tiada tegur sapa, tiada
pembicaraan. Tiada orang tahu kemana akan pergi"
Tiada orang tahu apa dan kemana tujuan Ting Si" Tiada orang tahu kecuali Ong-toasiocia
sendiri, sampai kapan dia akan menguntit dan membuntuti Ting Si.
Betapapun keras hati seorang laki-laki, apalagi laki-laki seperti Ting Si akhirnya lunak
menghadapi kebandelan cewek yang satu ini. Apalagi cewek ini sudah bertekad menyerahkan
diri, ke ujung langit pun akan selalu ikut dan menempel Ting Si.
Akhirnya Ting Si tidaktahan, ia berhenti dan menoleh, "Mengapa sejak tadi kau mengikuti aku?"
Tegas dan tandas jawaban Ong-toasiocia, "Karena aku senang ikut kau."
Apa boleh buat, Ting Si membalik badan, melangkah pula ke depan. Tapi langkahnya tidak
selebar dan secepat tadi, berjalan santai saja, seperti sepasang kekasih lagi berjalan-jalan
mencari angin sambil menikmati keindahan alam di pagi hari.
T A M A T Seruling Samber Nyawa 5 Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Kisah Pendekar Bongkok 9
ni mempertaruhkan jiwa untuk mengantar berita, maka kabar
yang dia bawa pasti amat penting."
Tanpa berjanji mereka mengulur tangan hendak mengambil gulungan kertas yang terselip di
sela-sela lubang meja. Sudah tentu gerakan Teng Ting-hou paling cepat, ketika gulungan kertas
itu dibeber di atas meja, tampak kertas kumal kecil tergulung itu hanya terdapat beberapa huruf
yang berbunyi: Tepat tengah malam, Toa-po-tha.
Kertasnya kumal, kasar dan kotor, gaya tulisannya juga jelek tidak keruan mirip anak-anak yang
baru belajar menulis.
"Apa maksudnya?" tanya Ong-toasiocia.
"Maksudnya ialah, nanti tengah malam, kita harus pergi ke Toa-po-tha," Teng Ting-hou
menerangkan. "Karena di sana akan terjadi sesuatu?"
"Ya, kejadian yang akan menjadi kunci untuk membongkar kedok pembunuh keji itu."
"Toa-po-tha adalah nama suatu tempat?"
"Toa-po-tha adalah nama sebuah menara," Lo-shoa-tang menjawab.
"Dimana letak menara itu?" tanya Ong-toasiocia.
"Di belakang San-sin-bio (biara penunggu gunung)."
"San-sin-bio dimana?" tanya Teng Ting-hou pula.
"Di depan Toa-po-tha," Lo-shoa-tang menjawab dengan sabar,
"Bisa tidak kau jelaskan tempatnya."
"Tidak bisa."
"Mengapa?"
Setelah menghabiskan arak dalam cawannya, Lo-shoa-tang menghela napas, "Orang dilarang
pergi ke tempat itu." Tiba-tiba sikapnya berubah tegang dan serius, suaranya juga tertekan dan
pelan, "Tempat itu keramat dan ditakuti orang, kabarnya orang yang pernah ke sana, tidak
pernah ada yang pulang ke rumahnya lagi."
Ong-toasiocia tertawa kaku, "Apakah di menara itu ada setan atau dedemit?"
"Entah aku tidak tahu," sahut Lo-shoa-tang gugup.
"Kau belum pernah ke sana?"
"Aku takut ke sana, maka sampai sekarang aku masih hidup." Sikapnya sungguh-sungguh, jelas
bukan berkelakar atau pura-pura.
Ong-toasiocia mengawasi Teng Ting-hou, yang diawasi menyengir tawa, wajahnya kelihatan
kecut. Maklum lebih banyak persoalan yang dia pikir, sebagai kawakan Kangouw pikirannya lebih
panjangdan iuasdalam menghadapi suatu masalah. Undangan ke Toa-po-tha itu bukan mustahil
merupakan jebakan belaka, kalau ke sana berarti masuk perangkap musuh, namun keadaan
memaksa mereka untuk ke tempat itu.
"Kalau betul di sini ada menara yang dinamakan Toa-po-tha, dimana pun letaknya pasti dapat
kita temukan," ucap Teng Ting-hou.
Ong-toasiocia berjingkrak berdiri, serunya, "Hayolah sekarang juga kita cari."
"Sekarang belum boleh pergi," buru-buru Teng Ting-hou mencegah.
"Mengapa?" tanya Ong-toasiocia aseran.
"Kalau sekarang kita ketempat itu, mungkin diketahui orang-orang Ngo-hou-kang. Itu berarti
menyingkap rumput mengejutkan ular."
"Betul, menghadapi persoalan ini, jangan gegabah."Lo-shoa-tang menyeletuk.
Ong-toasiocia mengomel, "Memangnya sepanjang hari ini kita hanya duduk makan minum dan
tidur saja tanpa bekerja?"
Lo-shoa-tang tertawa, "Tinggal di warungku ini, kalian tidakakan kubiarkan dudukdan makan
gratis. Rumahku serba kotor, mumpung ada tenaga, hayolah bantu aku membersihkan rumah."
* * * * * Cuaca mulai gelap.
Luka lengan Teng Ting-hou sudah diganti obat dan dibalut lagi secara rapi. Tanpa bersuara dia
sedang sibuk membersihkan sekantong Thi-lian-ou (biji teratai besi) dengan secarik kain kering.
Pelahan dia membersihkan butir demi sebutir, tekun dan amat hati-hati, penuh pertiatian, setiap
biji teratai besi dibersihkan sampai mengkilap. Gaman Teng Ting-hou yang terkenal ampuh
adalah sepasang tinjunya, hampir tiada orang persilatan yang tahu bahwa dia juga mahir
menggunakan Am-gi (senjata raha-sia). Sekantong teratai besi itu sudah lamatidak pernah
digunakan. Pernah terjadi ketika dia berduel dengan seorang musuh tangguh, dengan biji teratai besi itu dia
menyerang musuh yang bersenjata golok besar. Bukan saja lawan tidak berhasil dirobohkan,
malah biji teratai besi timpukannya berhasil disampuk mencelat oleh golok lawan yang tebal dan
berat, hingga melukai seorang teman yang menonton di pinggir arena. Sejak kejadian itu dia
merasa malu dan tidak menggunakan senjata rahasianya lagi, peristiwa ini sudah belasan tahun
yang lalu, waktu dirinya masih muda, belum punya nama di dunia persilatan. Tapi sekarang
keadaan memaksa dia menggunakan senjata rahasia lagi. Kadang kala seorang dipaksa oleh
keadaan untuk melakukan sesuatu yang sebetulnya tidak ingin dia lakukan.
Teng Ting-hou menghela napas, biji teratai besi terakhir yang dibersihkan dia masukan ke dalam
kantong asalnya, kantong kulit itu dia gantung di pinggang.
Sejak tadi Ong-toasiocia memperhatikan gerak-gerik-nya, baru sekarang ia bertanya, "Sekarang
apakah sudah saatnya kita berangkat?"
Teng Ting-hou mengangguk sekali, dia tenggak dulu secawan arak. Arak dapat membuat gerak
orang Iamban dan kaku, salah dalam menentukan langkah kerja, tapi dapat menambah
keberanian dan semangat.
Begitulah kejadian di dunia ini, ada yang baik tapi juga ada yang jelek. Kalau sering berpikir ke
arah yang baik, maka akan hidup gembira dan tenteram.
Ong-toasiocia juga menghabiskan secawan arak, lalu berdiri, katanya tertawa kepada Lo-shoatang,
"Terima kasih atassuguhan arak, ayam bakardan bakpaomu."
Lo-shoa-tang mengangkat kepala, matanya terbelalak, lama dia menatap gadis ini, mendadak dia
bertanya, "Kau mau ikut?"
"Ya, aku harus ikut. Memangnya aku harus menjaga rumahmu?" tegas suara Ong-toasiocia.
"Tadi sudah kujelaskan, orang yang ke sana banyakyang tidak kembali. Kau masih berani pergi
ke sana?" Ong-toasiocia tertawa, "Dapat pulang atau tidak, tidak penting, yang penting adalah kami bisa ke
sana." Teng Ting-hou hanya menyengir saja.
Lo-shoa-tang berkata puia, "Watakmu memang patut dipuji, bila kaujngin melakukan sesuatu,
sebelum terlaksana dan tercapai, kemana juga kau pasti meluruknya?"
Teng Ting-hou tertawa, "Sebetulnya bukan aku mesti pergi ke sana soalnya aku juga takut mati.
Tapi kalau aku tidak ke sana, maka hidupku selanjutnya mungkin tidak tenteram, selalu dibayangi
ketakutan."
"Bagus, pendapat bagus," seru Lo-shoa-tang, mendadak dia berdiri, "Hayolah kita berangkat."
Teng Ting-hou melengak, tanyanya heran, "Kita?"
Lo-shoa-tang tertawa, "Kalau tidak kutunjukkan jaian-nya, kemana kalian akan menemukan
tempat itu?"
"Terangkan saja letaknya, biar kami pergi sendiri," pinta Ong-toasiocia.
"Tidak bisa," sahut Lo-shoa-tang tegas.
"Mengapa tidak bisa?" desak Ong-toasiocia.
"Karena aku juga ingin ke sana."
"Tadi kau bilang,' kalau ke sana mungkin tidak bisa pulang."
"Setelah kujelaskan kalian masih bertekad mau pergi, kalau kalian boleh pergi, mengapa aku
tidak boleh?"
"Soalnya ada persoalan yang harus kami bereskan di sana."
"Tapi aku juga punya alasan, aku ingin melihat tontonan."
"Alasanmu kurang baik. Ingat melihat tontonan jangan mempertaruhkan jiwa."
"Bagi diriku, alasanku cukup setimpal," ujar Lo-shoa-tang tertawa. "Kalian masih muda, masih
remaja, masadepan riiasih terbentang luas di depan mata. Demikian juga dia, namanya tersohor,
punya duit dan berkuasa. Sebaliknya aku" Aku sudah tua, sebatangkara lagi, aku punya apa?"
"Kau......kau......" Ong-toasiocia tergagap, tidak dapat mendebatnya.
"Usiaku sudah lanjut, tubuhku sudah reyot. Orang yang sudah siap masuk kubur," tukas Lo-shoatang.
"Aku tidak punya bini tiada anak, tidak punya harta tiada sawah ladang, setiap malam
kerjaku hanya minum dan minum sampai mabuk, keuntungan yang kuperoleh dari warung ini
selalu habis di meja judi, lalu apa bedanya kehidupanku ini dengan bangkai" Kalau kalian berani
mempertaruhkan jiwa ragademi menoiong kawan, berjuang demi kesejahteraan kaum persilatan,
mengapa aku tidak boleh?" Makin bicara makin emosi, otot di lehemya sampai merongkol.
Lo-shoa-tang berkata pula, "Umpama kalian tidak sudi memandangku sebagai teman, sebaliknya
aku senang bergaul dengan kalian, aku adalah sahabat Siau Ma, senang bergaul dengan Ting
Si, maka aku pun ingin ikut ke sana."
Ong-toasiocia menatap Teng Ting-h'ou. Yang ditatap menghirup secawan arak pula, katanya
kemudian, "Hayolah berangkat."
"Maksudmu kita bertiga?"tanya Ong-toasiocia melotot.
"Ya, mari kita berangkat," ujar Teng Ting-hou.
* * * * * Angin berhembus dingin dari puncak gunung di kejauhan sana, tabir malam sudah membuat
alam semesta gelap gulita.
Ketiga orang itu beranjak keluar dari rumah dengan langkah tegap. Lo-shoa-tang malah
membusungkan dada, berjalan paling depan. Begitu melangkah ke depan, dia tidak pernah
menoleh ke belakang lagi.
"Kau tidak menutup dan mengunci pintu rumahmu?" tanya Ong-toasiocia beberapa kejap
kemudian. "Kalian berani mempertaruhkan jiwa, mati hidup sudah tidak dipikir lagi, mengapa aku harus
sibuk memikirkan warung bakpao yang tidak seberapa nilainya."
Puncak gunung di kejauhan itu keiihatan amat jauh dan terselubung kabut dan tabir malam, tapi
betapapun jauh letak gunung itu, akhirnya akan tercapai juga. Dalam pelukan gunung belukar ini,
deru angin malam terasa mengiris badan, suaranya yang ribut membisingkan telinga, denging
suaranya berbeda-beda, kadang kaia berubah rendah sumbang mirip seorang menghela napas
rawan. Entah untuk siapa dia menghela napas" Mungkin karena manusia beriaku kejam dan
bodoh" Entah mengapa manusia harus saiing tipu, celaka-mencelakai, saling bunuh lagi"
Sinar lampu berkelap-kelip di kota bawah sana, keiihatan jauh, mirip bintang yang bertaburan di
angkasa, iebih jauh dibanding bayangan gunung waktu dilihat dari bawah tadi.
Di bawah penerangan cahaya bintang, keadaan pegunungan remang-remang, samar-samar
kelihatan di atas lereng bukti sana ada bayangan sebuah kuil kecil.
Teng Ting-hou bertanya dengan menekan suaranya, "Apakah bayangan gelap itu San-sin-bio?"
"Ehm," Lo-shoa-tang menjawab dalam mulut.
"Toa-po-tha berada di belakang San-sin-bio itu?"
"Ehm."
Giliran Ong-toasiocia bertanya, "Mengapa aku tidak meiihat bayangan menara?"
"Mungkin matamu lamur," sahut Lo-shoa-tang.
"Matamu masih tajam, apa kau sudah melihatnya?"
"Ehm."
"Dimana?" desak Ong-toasiocia.
Sekenanya Lo-shoa-tang menuding ke depan. Yang dituding adalah sebentuk bayangan gelap,
lebih tinggi dari San-sin-bio, dilihat dari bawah, ujung atas bayangan gelap itu keiihatan muncul
dan Iebih tinggi sedikit dari wuwungan San-sin-bio, rata persegi seperti puncak gunung digergaji
pucuknya, bentuknya mirip bukit rendah atau panggung batu. Bentuk bayangan gelap itu boleh
dikata mirip apa saja, tapi pasti tidak mirip sebuah menara.
"Maksudmu bayangan hitam itu adalah Toa-po-tha?" tanya Ong-toasiocia.
"Ehm."
"Berbagai macam menara pernah kulihat, meski bentuknya berbeda-beda, besar kecil atau tinggi
rendah, tapi menara yang satu ini.......aneh."
Mendadak Lo-shoa-tang menukas, "Aku kan tidak mengatakan bayangan itu sebuah menara."
"Kau tidak mengatakan?"
"Bahwasanya, bayangan itu memang bukan menara," ujar Lo-shoa-tang.
Ong-toasiocia bingung, Teng Ting-hou juga heran tanyanya kemudian, "Bayangan apakah itu?"
"Bayangan gelap itu adalah menara buntung."
"Apa?" Teng Ting-hou menegas.
"Menara mana ada yang buntung," bantah Ong-toasiocia.
"Ayam panggang bisa diparoh, demikian pula bakpao bisa diiris, mengapa menara tidak boleh
buntung?" debat Lo-shoa-tang.
"Ayam bakar dan bakpao semua utuh, merijadi separoh karena dimakan orang, betul tidak?"
"Betul."
"Lalu mengapa menara itu menjadi buntung. Dimana sisa yang buntung?"
"Sudah ambruk."
"Lho, mengapa ambruk?"
"Karena menara itu terlalu tinggi," bola mata Lo-shoa-tang seperti bersinardi malam gelap.
"Menara seperti juga manusia, kalau terlalu tinggi manusia merayap ke atas, bukankah lebih
mudah terjungkal jatuh?"
Teng Ting-hou tidak bertanya lagi, namun menghela napas panjang. Makna yang diterangkan
Lo-shoa-tang, mungkin tidak ada orang yang bisa menjiwainya seperti dirinya. Makin banyak
persoalan yang dipahami, makin sedikit orang buka suara.
"Semula menara itu dibangun tiga belas tingkat," tutur Lo-shoa-tang. "Konon untuk membangun
tiga belas tingkat menara itu, memakan waktu delapan tahun lamanya."
"Dan sekarang?" tanya Ong-toasiocia.
Bersinar mata Lo-shoa-tang, "Waktu tujuh tingkat ba-gian atas menara itu ambruk, kebetulan
banyak orang sedang bersembahyang di San-sin-bio."
"Wah, kan jatuh banyak korban yang meninggal?" seru Ong-toasiocia kuatir.
"Banyak sih tidak, konon yang meninggal hanya tiga belas orang."
Kaki tangan Ong-toasiocia berkeringat dingin.
Suara Lo-shoa-tang berubah tawar, "Kalau manusia mati penasaran, arwahnya akan
gentayangan, maka tiga belas orang yang mati itu menjadi tiga belas setan gentayangan."
Kebetulan angin gunung berhembus, tanpaterasa Ong-toasiocia bergidik merinding, "Dalam
keadaan begini, kuharap kau tidak asal mengoceh saja."
"Boleh saja," ujar Lo:shoa-tang.
Pada saat itu, tampak cahaya api dari sebuah lentera menyala di atas menara yang putus dan
papak itu. Sinar lampu yang redup mirip mata setan.
Ong-toasiocia menahan napas, tanyanya kepada Lo-shoa-tang. "Lho, di atas itu ada orang?"
Lo-shoa-tang terkekeh, "Apa yang kukatakan?"
Ong-toasiocia menggigit bibir, katanya sambil membanting kaki, "Peduli manusia atau setan di
atas menara itu, aku ingin naik ke sana memeriksanya."
Cepat Teng Ting-hou menariknya, "Tak usah kau naik ke sana, aku tanggung dia pasti manusia,
hanya saja ada kalanya manusia lebih menakutkan dibanding setan atau iblis."
Terbayang betapa kejam dan telengas perbuatan orang itu, Ong-toasiocia menjadi mengkirik dan
merinding. Padahal hatinya takut, lahirnya saja dia masih berlaku bandel, "Tapi kalau kita tidak
berani melihat ke sana, buat apa kita datang kemari?"
"Sudah tentu harus melihat ke sana," ujar Teng Ting-hou.
"Kita bertiga maksudmu?" tanya Ong-toasiocia.
Teng Ting-hou geleng kepala, "Aku sendiri yang akan naik ke sana. Kalian tunggu aku di sini."
Hampir menjerit suara Ong-toasiocia, "Tunggu di sini melihat apa?"
Teng Ting-hou menjelaskan, "Kalian mengawasi keadaan sekitar sini, ikut menjaga keamanan.
Jika aku gagal, sedikit banyak kalian bisa memberi pertolongan padaku."
"Tapi aku......"
"Tiga orang bergerak, bisa menarik perhatian, kalau seorang kan lebih menguntungkan?"
Ong-toasiocia mengangguk, alasan Teng Ting-hou memangbenar.
"Kalau jejak kita bertiga diketahui, itu berarti kita sudah terjebak oleh perangkap musuh."
Terpaksa Ong-toasiocia bungkam, kalau bungkam selalu dia menggigit bibir.
Lo-shoa-tang seperti mendapat angin, katanya, "Di belakang San-sin-bio ada sepucuk pohon
mangga yang tumbuh besar dan tinggi, letak pohon itu tidak jauh dari menara buntung itu, Rami
akan bersembunyi di atas pohon mangga yang rimbun itu, kami siap membantu bila kau
memerlukan bantuan kami."
MendadakOng-toasiocia bertanya, "Pohon mangga itu berbuah tidak?"
"Kau ingin makan mangga?" tanya Lo-shoa-tang.
Ong-toasiocia jengkel, "Aku tidak ingin makan mangga, aku ingin menyumbat mulutmu dengan
mangga." .
* * * * * Menara buntung itu hanya enam tingkat, namun masih Sebih tinggi dibanding kuli kecil di
depannya, makin dekat terasa betapa tinggi menara buntung bertingkat enam itu.
Demikian puia manusia, setelah bergaui dekat baru tahu betapa tinggi budi pekertinya, betapa
agung jiwanya. Kalau berdiri di bawah menara dan mendongak ke atas, cuma kegelapan saja yang terlihat, sinar
Iampu di pucuk menara itu pun tidak kelihatan. Hembusan angin gunung terasa berat, seberat
orang menghela napas rawan, sekeliling sunyi senyap.
Gerak-gerikTeng Ting-hou amat enteng, lincah dan gesit. Biasanya dia memang bangga pada
Ginkangnya sendiri, ia percaya seekor kucing yang merunduk mangsanya juga takkan selincah
gerak-geriknya sekarang. Apalagi tabirmalam seperti membungkus bayangannya, dia yakin
entah manusia atau setan yang menyalakan Iampu di pucuk menara itu, lawan takkan mudah
menemukan jejaknya.
Pada saat Teng Ting-hou tiba di bawah menara, dari atas menara justru berkumandang suara
orang mengejek, "Bagus sekali, ternyata kau datang tepat waktunya."
Teng Ting-hou berjingkat, sukar dia meraba kepada siapa perkataan itu ditujukan.
Terdengar suara itu berkata pula, "Kau sudah berani datang, mengapa tidak segera naik
kemari?" Teng Ting-hou menghela napas, kali ini Sebih jeias, ucapan itu ditujukan kepada dirinya. Meski
gerak-geriknya selincah kucing, namun pendengaran dan perasaan lawan ternyata lebih tajam
dari anjing pelacak, mungkin juga dirinya sudah dimata-matai sejak tadi. Maka Teng Ting-hou
membusung dada sambil mengepal tinju, suaranya dibuat rendah dan tenang, "Aku berani
kemari, sudah tentu aku akan naik ke atas."
Setiap tingkat dari menara enam susun itu terdapat payon yang menjorok keluar, tingkat demi
tingkat"payon itu makin kecil dibanding payon di bawahnya. Dengan Gin-kang Teng Ting-hou,
tidak sukar meiompat ke atas, apa-lagi tinggi setiap payon itu dapat dicapai dengan sekali
lompatan Ginkangnya yang tinggi. Tapi untuk naik ke atas menara ini, dia justru memilih
anaktangga, Teng Ting-hou cukup cerdik menerawang keadaan, dia tidak mau dirinya dijadikan
Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sasarar bidikan senjata rahasia musuh di kala dirinya terapung di udara. Dia pun tidak
mengharap dirinya ditendang jatuh dari atas dan terbanting marnpus di tanah seperti anjing yang
dibanting tukang jagal.
Biar pelan dan membuang tenaga, tapi selamat, maka Teng Ting-hou memilih anak tangga.
Peduli betapa gelap keadaan dalam menara, betapa sempit anaktangga dan ruang geraknya, ia
tetap memilih anak tangga. Umpama .ada musuh siap membokong dirinya, kalau kakinya
beranjak mantap dengan penuh kepercayaan, rasanya tak perlu kuatir.
Selangkah demi selangkah Teng Ting-hou naik ke atas, biar lambat asal selamat sampai tujuan.
Anehnya bukan saja dirinya tidak dibokong, ternyata menara ini kosong melompong.
Kertas jendela sudah banyak yang koyak dan kotor, bila angin berhembus kencang, kertas
jendela itu mengeluarkan suara berisik. Makin tinggi, hembusan angin makin kencang, makin
ribut dan gaduh. Demikian pula jantung Teng Ting-hou makin berdebar.
Sejak tingkat bawah, menara ini tidak terjaga, juga tiada perangkap apa-apa. Apakah seluruh
kekuatan yang terpendam di menara ini terpusatkan di puncaktertinggi" Teng Ting-hou insyaf,
bila dirinya tiba di atas, mungkin takkan bisa turun lagi, mengapa dirinya harus ikut campur
urusan orang lain dan mencari kesulitan"
Telapak tangannya basah oleh keringat dingin, keringat juga membasahi ujung hidungnya. Bukan
karena takut, tapi lantaran tegang.
Siapakah pengkhianat itu" Siapa pula pembunuh durjana itu" Teka teki akan segera terbongkar.
Dalam menghadapi saat-saat yang menentukan ini, perasaan siapa yang tidak merasa tegang"
* * * * * Kalau ada lampu menyala, tentu ada orang di pucuk menara. Satu lampu menerangi dua orang.
Sebuah lampion kertas kuning digantung miring dengan galah bambu yang tertancap di tembok,
lampion itu bergoyang-gontai dihembus angin.
Di bawah lampion ada orang. Seorang tanpa daksa, orang bungkuk yang bertubuh kurus,
wajahnya yang hitam jelek dihiasi codet bekas bacokan senjata tajam.
Orang bungkuk ini bukan lain adalah Oh-lo-ngo, Oh-lo-ngo yang berani adu jiwa. Saat itu dia
bukan mengadu jiwa, tapi sedang mengisi arak ke dalam cawan.
Cawan di atas meja, meja di bawah lampion, cawan itu berada di depan seorang berperawakan
tinggi kekar. Di kanan kiri meja, berhadapan dua kursi kosong. Salah satu kursi sudah diduduki
seorang berpakaian hitam. Orang ini duduk membelakangi anaktangga.
Begitu Teng Ting-hou tiba di puncak tertinggi, matanya hanya melihat bayangan punggung orang
ini, walau hanya duduk, namun bayangannya kelihatan tinggi. Telinganya tentu mendengar
langkah kaki Teng Ting-hou yang sudah berada di belakangnya, namun dia tidak bergerak, tidak
menoleh, hanya mengulur tangan menuding kursi di depannya. "Silakan duduk," katanya.
Teng Ting-hou beranjak ke sana dan duduk di kursi yang ditunjuk. Setelah pantatnya menyentuh
kursi baru dia mengangkat kepala. Tanpa berkedip ia mengawasi orang di depannya dengan
seksama. Orang itupun menatap dirinya tak kalah tajam, begitu pandangan mereka beradu, laksana dua
golok tajam yang beradu, memercikkan api. Wajah mereka tampak serius dan tegang.
Teng Ting-hou mengenal orang ini, pernah melihatnya beberapa kali. Pertama kali melihat orang
ini di Koan-gwa, di padang rumput luas yang membentang di kaki gunung Tiang-pek, tepatnya di
kantor Tiang-ceng Piaukiok.
Sejak pertemuan pertama dulu, setiap berhadapan dengan orang ini, sanubarinya selalu diliputi
rasa hormat dan senang. Hormat karena dia menghargai pribadi dan karirnya, senang karena
orang ini ramah dan bajik, hubungan mereka pun makin dekat dan intim. Tapi setelah sekian
lama berpisah, sejak kasus pengkhianatan dan pembunuhan itu terjadi, baru hari ini mereka
bertatap muka kembali. Tampak oleh Teng Ting-hou, sorot mata maupun mimik wajahnya
menampilkan rasa derita dan penasaran, amarah yang membakar sanubarinya. Dia bukan lain
adalah Pek-li Tiang-ceng. Ternyata memang dia, Pek-li Tiang-ceng...... Mengapa kau lakukan
perbuatan terkutuk itu" Dalam hati Teng Ting-hou menjerit, namun mulutnya berkata tawar, "Kau
baik-baik saja?"
Kelam muka Pek-li Tiang-ceng, katanya dingin, "Aku tidak baik, buruk sekali."
"Kau tidak menduga aku akan datang kemari?"
"Hm," Pek-li Tiang-ceng hanya mendengus.
Teng Ting-hou menghela napas, "Sudah lama aku menduga akan dirimu......"
Teng Ting-hou tidak meneruskan ucapannya, karena dilihatnya Pek-li Tiang-ceng mengerut
kening. Agaknya ada yang ingin dibicarakan, Pek-li Tiang-ceng tidak sabar mendengar.
Teng Ting-hou tidak mau bicara bila orang yang diajak bicara tidak suka mendengar, apalagi
semua rahasia yang selama ini menjadi teka-teki akan segera terbongkar, dua sahabat karib
yang saling hormat menghormati, sekarang berhadapan sebagai musuh, seorang di antara
mereka harus roboh atau gugur bersama, banyak omong sudah tidak diperlukan lagi..
Betapapun sempurna seorang mengatur rencana suatu muslihat, betapapun pandai seorang
melakukan kejahatan, suatu ketika perbuatannya pasti terbongkar. Demikiah pula halnya sebuah
gunung yang tinggi dan angker, tiada gunung yang sempurna tanpa lubang atau cacat dengan
jurang dan ngarai.
Entah lewat lubang jendela yang mana, angin berhembus kencang ke dalam. Hembusan angin di
tempat tinggi terasa lebih tajam, makin tinggi makin dingin, rasanya seperti terpencil di awangawang,
seperti sebatangkara. Dalam keadaan terpencil di tempat dingin, orang akan teringat
pada arak yang dapat menghangatkan badan. Kebetulan di depannya ada cawan, Oh-lo-ngo
segera mengisi cawannya, Teng Ting-hou langsung menenggak habis. Dia percaya tokoh selihai
Pek-li Tiang-ceng dengan kedudukannya yang tinggi dan disegani kawan maupun lawan, tidak
akan berlaku rendah menaruh racun di dalam arak yang disuguhkan.
Setelah cawan diangkat, lalu diacungkan ke hadapan Pek-li Tiang-ceng. Mungkin sebagai tanda,
untuk terakhir kali ini aku memberi hormat dan ucapan selamat kepada sahabat lama.
Sejak kedatangan Teng Ting-hou dan melihat wajahnya, rona mata Pek-li Tiang-ceng diliputi
derita. Mungkin terjadi perang batin dalam sanubarinya, menyesali perbuatan yang pernah
dilakukan selama ini. Tapi kejahatan sudah telanjur dilakukan, apa boleh buat, menyesal juga
sudah kasip. Sekali tenggak Teng Ting-hou habiskan cawan araknya. Arak terasa pahit dan getir. Pek-li Tiangceng
juga mengangkat cawan dan arak pun ditenggaknya habis. Tiba-tiba ia berkata,
"Sebetulnya kita adalah sahabat karib, betul tidak?"
Teng Ting-hou mengangguk sebagai jawaban.
"Apa yang kita lakukan sebetulnya tidak salah," ucap Pek-li Tiang-ceng lagi.
Teng Ting-hou sependapat.
"Sayang sekali, ada sementara pekerjaan yang tidak tepat kita lakukan dan akibatnya terjadilah
peristiwa seperti hari ini."
Teng Ting-hou menghela napas, "Ya, memang harus dibuat sayang, memang terlalu."
"Celakanya, aku harus berada di sini, dan kau pun muncul disini."
"Kau kira aku tidak pantas berada di sini?"
"Ya, entah aku atau kau, sebetulnya tidak pantas datang kemari."
"Mengapa?"
"Karena sebetulnya aku tidak ingin membunuhmu."
"Dan sekarang?"
"Seorang di antara kita ada yang takkan pulang," tegas dan tenang suara Pek-li Tiang-ceng,
penuh keyakinan.
Mendadak Teng Ting-hou tertawa lebar. Sebetulnya dia agak jeri terhadap Pek-ii Tiang-ceng,
namun kemarahan telah mengobarkan semangatnya, membangkitkan keberanian dan
kekuatannya yang terpendam. Meiawan penindasan adalah salah satu cara melampiaskan
amarah, ha! ini sudah terjadi sejak zaman purba. Karena manusia dibekali kekuatan terpendam
yang akan bangkit mana kala amarah itu berkobar, oleh karena itu, manusia bisa bertahan hidup
dan abadi, hidup turun temurun..
Teng Ting-hou tertawa, katanya kalem, "Kau yakin seorang di antara kita yang hidup dan pulang
adalah kau?"
Pek-li Tiang-ceng tidak bersuara, diam berarti membenarkan.
Pelahan-iahan Teng Ting-hou berdiri dengan senyum menghias wajahnya, dia keringkan pula
arak dalam cawannya. Dia habiskan sendiri araknya tanpa mengajak Pek-li Tiang-ceng minum,
lalu katanya tawar, "Silakan."
Pek-li Tiang-ceng mengawasi jari-jari tangan Teng Ting-hou yang meletakkan cawan di atas
meja. "Tanganmu terluka?" tanyanya prihatin.
"Tidak jadi soal."
"Tangan adalah gamanmu selama ini."
"Ya, aku tahu, dengan kedua tanganku ini, aku takkan mampu mengalahkanmu."
"Lalu gaman apa yang kau gunakan untuk menghadapiku?"
"Kekuatan, dengan kekuatan aku yakin dapat mengalahkanmu."
Pek-li Tiang-ceng menyeringai dingin. Dia tidak bertanya kekuatan apa yang dikatakan Teng
Ting-hou, Teng Ting-hou juga tidak menjelaskan, namun dalam hati dia rnemberi peringatan
kepada diri sendiri. "Sesat tidak akan mengalahkan kebenaran, untuk memperoleh kebenaran
memang pahit getir, namun kebenaran itu takkan punah untuk seiamanya, maka buah dari
kebenaran itu akhirnya pasti manis."
Deru angin makin kencang dan ribut. Apakah angin ribut ini bisa mendorong semangat orang"
Mendorong semangat siapa"
Teng Ting-hou menyobek pakaiannya lalu dibagi empat pula, dengan kalem ia mengikat kencang
lengan baju dan ceiananya. Dari pinggir Oh-lo-ngo mengawasi dengan melongo, sorot matanya
tampak ganjil, seperti iba, tapi juga seperti mencemooh atau menghina. Tetapi Teng Ting-hou tak
peduli, tak memperhatikan. Dia tidak ingin memperoleh julukan Teng Ting-hou ahli adu jiwa, dia
paham akan watak sendiri, tapi dia juga memahami kekuatan iawannya.
Di kalangan Kangouw sukar dicari lawan setangguh ini, lawan yang menakutkan seperti Pek-li
Tiang-ceng. Bukan dia kuatir biia Oh-lo-ngo yang menonton di pinggir memandang dirinya penakut. Karena
keberanian sejati banyak macamnya. Hati-hati, waspada dan kesabaran adalah satu diantaranya.
Mungkin Oh-lo-ngo tidak paham liku-liku ini, tapi dia tahu Pek-li Tiang-ceng pasti mengerti. Walau
dia hanya berdiri seenaknya, seenak orang yang menunggu kekasih, namun sorot matanya tidak
menampilkan perasaan hina atau memandang.rendah, sebaliknya menunjukkan kewaspadaan
dan rasa hormat.
Semua makhluk di dunia, entah manusia atau binatang, dia punya hak untuk mempertahankan
hidup, mernpertahankan jiwanya. Untuk mempertaruhkan haknya itu, peduli perbuatan apapun
yang dilakukan, dia patut dihormati, harus dihargai.
Teng Ting-hou mulai membusungkan dada, seluruh kekuatan, semangat dan perhatian
dipusatkan menghadapi Pek-li Tiang-ceng.
Mendadak Pek-li Tiang-ceng berkata, "Selama beberapa buian ini, kulihat ilmu silatmu
memperoleh banyak kemajuan."
"O?" "Paling tidak kau sudah menyelami, tepatnya menjiwai dua jurus, kalau ingin mengalahkan
musuh tangguh, dua jurus ini tidak boleh diabaikan."
"Dua jurus yang mana?"
"Sabar dan tenang."
Teng Ting-hou menatapnya pula, rasa hormat terpancar pula pada sorot matanya. Lawan adalah
sahabat yang patut dihargai, namun lawannya ini harus diperhatikan.
Pek-li Tiang-ceng menatapnya lekat, katanya, "Adakah sesuatu urusan yang belum sempat kau
bereskan?"
Teng Ting-hou termenung sebentar, "Aku punya sedikit simpanan, apa yang kutinggalkan cukup
untuk hidup isteri dan anak-anakku sampai tua, kurasa tiada perlu kukuatirkan."
"Bagus sekali."
"Kalau aku gugur di medan laga, kuharap kau dapat melakukan satu hal untukku."
"Katakan."
"Jangan ganggu Ong Seng-lan dan Ting Si, biar mereka menikah dan punya anak, pilihkan satu
yang paling bodoh sebagai ahli warisku, semoga keluarga Teng tidak putus turunan ditanganku."
Terunjuk lagi rasa derita dan serba bertentangan di mata Pek-li Tiang-ceng, lama sekali baru dia
berseru, "Mengapa kau pilih yang paling bodoh?"
Teng Ting-hou tertawa ewa, "Orang bodoh biasanya hidup bahagia, sederhana dan banyak
rezeki, kuharap dia dapat hidup damai hingga hari tua." Tawa yang ewa, permintaan yang
sederhana, namun menyentuh duka lara setiap manusi yang punya perasaan.
Duka laranya sendiri, juga duka lara Pek-li Tiang-ceng
Ternyata Pek-li Tiang-ceng juga mengajukan permohonan kepadanya, "Bila aku gugur, kuminta
kau mencari seorang perempuan bernama Kang Hun-sin, serahkan seluruh harta peninggalanku
kepadanya."
Teng Ting-hou tertarik, "Mengapa?" tanyanya heran.
"Sebab......" Pek-li Tiang-ceng bimbang sejenak. "Aku tahu dia memberi aku seorang keturunan."
Mereka tidak bicara lagi, hanya saling pandang dengan lekat. Mereka tahu bahwa lawan akan
melaksanakan permintaannya, karena dalam hati mereka sudah terbenam kepercayaan pada
musuhnya. Lalu mereka pun bertarung, hampir bersamaan mereka turun tangan.
Serangan Teng Ting-hou kuat lagi ganas, keras juga keji. Dia insyaf, kalah atau menang dalam
duel sengit ini, aka membawa pengalaman yang pahit dan getir. Dia harap pengalaman pahit
getir ini berlangsung dalam waktu yang singkat saja. Maka setiap jurus serangannya
menggunakan tipu-tipu yang mematikan, serangan dilontarkan dengan seluruh kekuatan yang
dimiliki. Siau-lim-sin-kun memang mengutamakan keras dan kuat, bila gaya permainan
dikembangkan, setiap gerak kaki dan tangan membawa deru angin keras bagai harimau
mengamuk, mengundang angin ribut yang dapat menggoncang pohon.
Padahal ruang kosong di atas menara tingkat keenam itu tidak lebar, beberapa kali terjadi, Pek-li
Tiang-ceng suda terdesak hampir terjungkal ke bawah. Tapi di saat yang gawat, entah
bagaimana mendadak tubuhnya berkisar, tahu-tahu sudah menempatkan diri pada posisi yang
bebas. Empat puluh jurus kemudian, hati Teng Ting-hou mulai mencelos, perasaannya makin
tenggelam. Di saat-saat yang gawat begini, entah mengapa, mendadak dia teringat kejadian tiga
puluh tahun yang lalu. Dalam biara yang kuno itu, waktu dirinya masih belajar di Siau-lim-si,
gurunya pernah memberi wejangan kepadanya, 'Lunak dapat mengalahkan keras, lemah dapat
menundukkan yang kuat. Golok baja memang keras, tapi air yang mengalir meski hanya segaris
juga takkan bisa dibacoknya putus, demikian pula angin yang menghembus sepoi-sepoi itu
lemah, .namun dapat melunakkan amukan geiombang pasang. Kau harus selalu ingat satu hal,
kelihatannya kau memang ramah dan lembut, padahal watakmu keras dan ketus. Aku percaya
kelak kau bisa ternama, dengan bekal watak dan bakatmu, kau dapat mengembang luaskan tinju
sakti Siau-lim kita, tapi kalau kau lupa akan wejanganku ini, di saat kau berhadapan dengan
musuh tangguh, maka kau akan kalah secara konyol'.
Di bawah cuaca yang remang-remang, di belakang kuil yang berlapis-lapis, padri tua beralis putih
itu duduk bersimpuh memberi wejangan panjang lebar kepada pemuda yang berlutut
didepannya. Dalam detik-detik yang gawat ini, bayangan masa lalu mendadak terpeta dalam benaknya.
Petuah-petuah bak mutiara kata yang tulen dan sejati, laksana baja yang ditempa, kembali
terngiang di telinganya, Sayang sekali, sejak lama Teng Ting-hou melupakan wejangan gurunya
itu, di saat keadaan sudah gawat baru dia teringat, tapi sudah terlambat.
Bersambung ke 10
Di bawah cuaca yang remang-remang, di belakang kuil yang berlapis-lapis, padri tua beralis putih
itu duduk bersimpuh memberi wejangan panjang lebar kepada pemuda yang berlutut
didepannya. Dalam detik-detik yang gawat ini, bayangan masa lalu mendadak terpeta dalam benaknya.
Petuah-petuah bak mutiara kata yang tulen dan sejati, laksana baja yang ditempa, kembali
terngiang di telinganya, Sayang sekali, sejak lama Teng Ting-hou melupakan wejangan gurunya
itu, di saat keadaan sudah gawat baru dia teringat, tapi sudah terlambat.
Akhirnya Teng Ting-hou sadar bahwa sekujur tubuhnya seperti dibelenggu kencang oleh suatu
arus yang lunak tapi ulet, selunak otot yang mengering, dipotongpun tidak bisa putus. Umpama
macan yang kecemplung di air yang dalam, atau lalat yang tersangkut di sarang laba-laba.
Laksana bayangan raksasa, telapak tangan Pek-li Tiang-ceng yang mirip kipas itu menindih
tubuhnya. Jelas Teng Ting-hou tidak mampu mengelak. Bagaimanakah rasanya mati. Teng Tinghou
sudah memejamkan mata. Terbayang olehnya, di kamar pengantin pada malam pertama
pemikahannya, betapa lembut isterinya memberi kenikmatan, tubuhnya yang montok kenyal dan
paha yang mulus. Entah mengapa dalam sekejap sebelum ajalnya, semua adegan masa lalu
terbayang dalam benaknya. Sandang pangan istri dan anak-anakku yang semua perempuan itu
tidak akan kekurangan seumur hidup, tiada persoalan yang perlu dibuat kuatir, aku dapat
mangkat dengan rasa lega. Apa betul hatinya lega" Sesat tak mungkin mengalahkan kebenaran,
keadilan akhirnya pasti menang. Mengapa justru dia yang kalah"
Walau dirinya kalah, namun ia percaya, keadilan dan kebenaran itu tidak akan pernah tumbang.
Di saat Teng Ting-hou memejamkan mata, di kala jiwanya terancam elmaut, mendadak segulung
angin kencang menyelonong dari samping mematahkan tenaga pukulan Pek-li Tiang-ceng,
seumpama sinar mentari mengusir bayangan gelap di balik gunung. Demikian pula tenaga besar
itu mirip sinar matahari, walau hangat dan lembut, tapi tak boleh dilawan atau ditahan.
Pek-li Tiang-ceng mundur tiga langkah, matanya terbelalak, dengan kaget dia mengawasi orang
yang mendadak menyelonong dari pinggir. Waktu melihat orang ini, setelah Teng Ting-hou
membuka mata, dia pun kaget dan terkesima.
Tadi orang ini kelihatan loyo dan reyot, bungkuk lagi, kalau berjalan timpang dan terseok-seok,
namun sekarang dia berdiri tegak dan angker, sorot matanya pun tidak redup, tapi berubah
garang, gagah dan muda bercahaya.
"Kau bukan Oh-lo-ngo?" teriak Teng Ting-hou.
"Ya, bukan."
"Siapa kau?"
Rambut awut-awutan yang sudah beruban itu ternyata rambut palsu, demikian pula kulit muka
yang berkerut- merut itu ternyata adalah topeng, setelah rambut palsu dan topeng dikelupas,
tampaklah seraut wajah gagah jenaka di balik topeng, wajah yang tidak akan bosan untuk
dipandang meski sehari semalam.
Ting Si. Tanpa kuasa, Teng Ting-hou menjerit kaget, namun girang. "Ting Si?"
Pek-li Tiang-ceng menatapnya nanar. "Jadi kau inilah Ting Si yang pintar itu?"
Ting Si mengangguk, rona aneh terbayang disorot matanya, mimiknya pun ganjil.
"Ilmu silat apa yang barusan kau gunakan?" tanya Pek-li Tiang-ceng sambil menatap tajam.
"Ilmu silat tetap ilmu silat, ilmu silat hanya ada satu jenis, entah ilmu silat untuk membunuh orang
atau ilmu silat untuk menolong orang, sama saja."
Bercahaya mata Pek-li Tiang-ceng, tak terduga olehnya pemuda ini bisa mengemukakan falsafat
yang mendalam artinya. Seluruh jenis ilmu silat yang ada di dunia ini memang berasal dari satu
sumber, semua sama.
Walau makna ini sudah jelas dan gamblang, semua insan persilatan tahu akan hal ini, namun
Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang yang benar-benar memahami falsafat ini amat jarang, sedikit yang bisa menyelami
maknanya. Siapa dan bagaimana asal-usul pemuda ini" Pek-li Tiang-ceng menatapnya penuh perhatian,
tiba-tiba tangannya bergerak menyerang, gerak serangan yang lamban saja, seumpama
hembusan angin sepoi yang dapat menenteramkan gelombang pasang di lautan teduh. Bagai
aliran air terjun yang mengalir dari bukit yang tinggi, takkan putus meski dipotong dengan apa
saja. Pek-ti Tiang-ceng salah perhitungan, bukan golok baja yang dia hadapi, bukan gelombang
pasang di lautan teduh, seluruh tenaga yang dia salurkan untuk menyerang hakikatnya tidak
bermanfaat sama sekali.
Pek-li Tiang-ceng terbelalak, kaget dan tercengang, matanya terbeliak, gaya pukulan segera
berubah, dari lembut dan lunak berubah keras dan kuat, kalau tadi lamban, kini berganti cepat,
gerak tangannya menerbitkan deru angin kencang.
Reaksi Ting Si ternyata ikut berubah.
Terasa oleh Teng Ting-hou yang mundur ke samping, permainan ilmu silat kedua orang tua dan
muda ini hakikatnya sama, mirip satu dengan yang lain. Seolah ada satu titik persamaan di
antara kedua orang yang berbeda umur dan perawakan ini. Agaknya Pek-li Tiang-ceng sendiri
juga sudah merasakan dan menyadari hal ini, begitu tinjunya menjotos, mendadak dia mundur
dua langkah. Ternyata Ting Si juga menghentikan gerakannya, tidak menyerang lebih lanjut.
Pek-li Tiang-ceng menatapnya sekian lama, lalu bertanya dengan nada tinggi, "Siapa yang
mengajarkan ilmu silat kepadamu?"
"Tiada orang yang mengajarkan ilmu silat kepadaku," sahut Ting Si kaku.
"Lalu darimana kau memperoleh ilmu silat tadi?"
"Masa kau tak tahu" Apa benar kau tak tahu?" sikap dan mimik Ting Si agak aneh, suaranya
juga ganjil, seperti merasa duka dan kecewa, amat menderita lahir batin.
Ternyata sikap dan rona muka Pek-li Tiang-ceng juga berubah aneh, hulu hatinya seperti ditusuk
sembilu, entah mengapa mendadak badannya bergetar, dalam waktu singkat, kekuatan dan
semangatnya seperti luluh dan buyar, lidahnya menjadi kelu, sepatah kata pun tak terucapkan
lagi. Sebagai tokoh besar yang sudah tergembleng lahir batin, kekuatan dan tekadnya, tak
mungkin dalam waktu sesingkat itu luiuh.
Teng Ting-hou mengawasi dengan seksama, lalu menoleh ke arah Ting Si, Mendadak dia
merasa kaki tangannya sendiri ikut menjadi dingin dan berkeringat.
Pada saat suasana diliputi duka dan derita, mendadak api lampion padam, keadaan menjadi
gelap gulita. Di saat perubahan terang menjadi gelap itu, seolah ada serumpun desir angin tajam
meluncur di udara. Desir angin yang tajam dan runcing, begitu lirih dan enteng, sehingga sukar
didengar. Hanya senjata rahasia yang menakutkan, bila disambitkan menimbulkan desir angin
seperti itu. Kepada siapa senjata rahasia ini ditujukan" Siapakah sasarannya"
Begitu mendengar desir angin senjata rahasia menyerang, dengan seluruh kekuatan Teng Tinghou
menjejakkan kaki ke lantai, tubuhnya melambung ke atas satu tombak. Padahal keadaan
gelap gulita, kelima jari sendiri sukardilihat, apalagi senjata rahasia musuh itu lembut lagi enteng,
yang pasti dari desir angin senjata rahasia itu dapat dipastikan senjata rahasia yang disambitkan
banyak jumlahnya, sehingga sukar diraba kepada siapa senjata rahasia itu ditimpukkan. Paling
penting menyelamatkan diri, maka tanpa ayal Teng Ting-hou melambung tinggi ke udara.
Bagaimana nasib Pek-li Tiang-ceng dan Ting Si" Di saat hati dirundung rasa sedih dan haru, di
waktu lahir batin terpukul dan perasaan terpukau, dirangsang oleh gejolak emosi, apakah mereka
tetap waspada untuk menyelamatkan diri dari serangan gelap"
Kegelapan tak berujung pangkal.
Begitu Teng Ting-hou melambung tinggi ke udara, perasaannya justru seperti terbenam ke
bawah. Di saat tubuhnya melambung dan bersalto di udara, matanya masih sempat melihat ke
bawah, padahal sekujur badan ditelan kegelapan, demikian pula keadaan sekeliling, apa yang
terjadi di sekitarnya, hakikatnya tidak diketahui sama sekali.
Waktu datang tadi, dengan seksama dia sudah memperhatikan keadaan menara ini, keadaan
kosong melompong, sejak dari bawah hingga tingkat teratas, tidak pernah ia melepaskan
perhatian dan kewaspadaan, yakin Pek-li Tiang-ceng dan Ting Si juga pasti selalu hati-hati.
Kalau ada musuh datang menyergap, seorang di antara mereka pasti tahu. Tapi mereka tidak
mendengar apa-apa, itu berarti tidak ada orang datang, lalu darimana datangnya serangan gelap
itu" Teng Ting-hou tidak habis pikir.
Sementara itu, hawa murni yang dia himpun tidak mungkin mengangkat atau menahan tubuhnya
lebih lama di udara, maka badannya mulai melorot turun ke bawah. Perubahan apa yang terjadi
di bawah" Apakah senjata rahasia ganas yang dapat menamatkan jiwa orang masih
menunggunya"
Tinggi seluruhnya dari menara enam tingkat itu ada puluhan tombak, makin ke bawah, akan
terasa makin tinggi puncak menara papak itu. Maka bila berada di puncak menara dan melongok
ke bawah, hati akan merasa ngeri dan giris. Dari tempat puluhan tombak tingginya, siapa berani
melompat ke bawah, kecuali orang sinting atau seorang yang sudah kecewa hidup dan ingin
bunuh diri. Di saat tu.buhnya melayang ke bawah, Teng Ting-hou mengertak gigi, dengan sisa tenaga
terakhir dia membalik badan, lalu diam membiarkan tubuhnya meluncur ke bawah. Beberapa
tombak kemudian, kira-kira berada di tingkat ketiga, dengan tangkas ia mengulur tangan meraih
ujung payon. Untung bangunan payon menara itu cukup kuat menahan daya luncurdan berat badannya,
sehingga Teng Ting-hou berhasil menahan tubuhnya di udara dan tidak melayang turun ke
bawah lagi, diam-diam ia menghela napas lega, karena dengan Ginkangnya yang tinggi,
tubuhnya dapat bergerak seenteng daun. Lebih untung lagi setelah bersalto dua kali, seringan
kapas kakinya berhasil menyentuh bumi, berpijak di bumi yang keras dengan selamat. Dalam
sekejap itu, perasaannya berubah dua kali, mirip seorang bocah cilik yang lama berpisah,
mendadak bertemu dan dipelukdi haribaan ibunda.
Di bawah temyata juga gelap gulita. Malam pekat, matanya tidak bisa melihat keadaan
sekelilingnya, suara lirih apapun tidak terdengar.
Apa yang terjadi di tingkat keenam" Entah Ting Si selamat atau celaka oleh serangan musuh"
Teng Ting-hou mengepal tinju, rasa berdosa dan bersalah mendadak merangsang sanubarinya,
dia merasa malu dan tidak pantas meninggalkan teman di saat orang menghadapi bahaya,
padahal teman ini pernah menyeiamatkan jiwanya. Di saat jiwa penolongnya terancam bahaya,
dirinya tidak berusaha menolongnya, sungguh aib dan memalukan.
Kalau di luar gelap, di dalam menara lebih gelap lagi, setiap jengkal mungkin ada perangkap,
namun betapapun besar bahaya menunggu dirinya, kini Teng Ting-hou tidak gentar dan takut
!agi. Untuk menolong sahabatnya, dia akan nekad menerjang ke atas. Untunglah sebelum dia
menerjang ke dalam menara, bayangan seorang telah menerjang keluar.
Padahal Teng Ting-hou sudah telanjur bergerak, segera dia menghimpun kekuatan, tenaga
dikerahkan memberatkan badan, sehingga tubuh yang bergerak ke depan merandek dan anjlok
ke bawah. Begitu kaki berpijak ke bumi, berbareng dengan bentakan mengguntur, tinju pun
menggenjot ke arah bayangan orang yang melayang keluar.
Itulah Pak-pou-sin-kun, ilmu pukulan Siau-lim-pay yang sakti, tidak pernah luntur meski sudah
menggetar Bulim selama tiga ratus tahun lebih. Pukulan tinju dilancarkan dengan landasan
tenaga yang dahsyat, jangan kata telak mengenai tubuh, deru anginnya saja cukup membuat
seorang pemberani pecah nyalinya.
Namun kali ini Teng Ting-hou benar-benar dibuat kaget dan heran serta tidak percaya. Jelas
pukulan tinju dahsyat itu dengan telak mengenai sasarannya, namun tidak tampak terjadi reaksi
yang mengejutkan. Umpama tombak yang terbuat dari es, meski runcing dan keras, waktu
disambitkan tahu-tahu sirna dan mencair tanpa bekas karena ditimpa cahaya matahari.
Tahu bahwa pukulan tinjunya gagal merobohkan sasaran, Teng Ting-hou menghela napas lega
malah, segera dia berkata lunak, "Kau Siau Ting?"
Bayangan orang yang meluncur keluar dari menara itu memang betul Ting Si.
Kembali Teng Ting-hou tertawa getir sendiri. Biasanya Teng Ting-hou cukup cermat dan teliti bila
melontarkan pukulan tinjunya, tapi hari ini dia gagal, mungkin karena terlalu tegang sehingga
tindakannya agak berangasan. Maklum turun tangan lebih dulu memang lebih menguntungkan.
Petuah ini belum tentu tepat, karena situasi dan kondisi merupakan penentu yang tidak boleh
ditawar lagi. Menunggu untuk mengunci, tenang menundukkan kekerasan, bergerak belakang
tiba mendahului lawan, itulah makna mendalam dari berbagai unsur ilmu beta diri yang sejati.
Berbagai macam ilmu silat yang menjadi ajaran tunggal pihak Siau-lim memang patut membuat
orang menaruh hormat dan menghargainya. Bukan karena kehebatannya, tapi karena pelajaran
ilmu silat itu dapat menyatukan kekuatan intisari ilmu silat dengan ajaran agama yang mereka
anut. Ilmu silat dan agama manunggal.
Teng Ting-hou menghela napas, mendadak ia sadar, nama besar dan sukses bukan jaminan
bagi umat manusia untuk tumbuh dan hidup lumrah, malah sebaliknya dapat membuat manusia
mundur dan loyo. Karena kebesaran nama dan kesuksesannya, manusia akan lupa daratan, lupa
akan hal-hal yang sebetulnya perlu mereka canangkan. Tapi sekarang bukan saatnya berduka
dan menyesal, Teng Ting-hou mengempos semangat, katanya kemudian, "Kau mendengar
sambaran angin senjata rahasia itu?"
"Ehm," Ting Si menjawab dengan suara dalam mulut.
"Siapakah pembokong itu?" tanya Teng Ting-hou.
"Entah, aku tidak tahu."
"Kalau aku tidak salah duga, senjata rahasia tadi disambitkan dari tingkat kelima, jadi dari bawah
menyerang ke atas."
"Ya, mungkin."
"Tapi aku tidak melihat ada orang keluar dari bawah."
"Aku juga tidak melihat."
"Aku yakin orang itu bersembunyi dalam menara."
"Kenyataan tidak ada."
"Kau tak menemukan jejaknya" Atau memang orangnya tidak ada?"
"Kalau ada pasti dapat ditemukan."
"Senjata rahasia jenis apapun, tanpa sebab tidak mungkin menyerang sendiri."
"Ya, tidak mungkin."
"Kalau senjata rahasia itu disambitkan, tentu dilakukan oleh manusia."
"Ya, pasti manusia."
"Kalau benar manusia, tak mungkin bisa lenyap tanpa bekas."
"Benar."
"Lalu dimana orang itu" Apa mungkin penyerang gelap itu bukan manusia, tapi setan?"
"Kau percaya ada setan di dunia ini?"
"Aku tidak percaya."
"Seharusnya kau sudah tahu siapa penyerang gelap itu, juga tahu bagaimana dia berada di
tempat ini" Bagaimana pula dia menyingkir" Tapi kau tidak mau memberi penjelasan
kepadaku?"
Ting Si diam saja, tidak menyangkal.
"Mengapa tidak kau jelaskan?" desak Teng Ting-hou.
Ting Si terpekur malah, akhirnya ia menarik napas panjang, "Umpama kujelaskan, kau pasti tidak
percaya." "Mengapa?"
"Karena banyak segi kebetulan dalam peristiwa ini."
"Segi apa yang kebetulan?"
"Dalam pelaksanaan kerjanya, rencana sudah diatur rapi dan cermat, tapi kalian masih dapat
menemukan berbagai titik kelemahannya, setiap kelemahannya itu, kebetulan dapat menuntun
berbagai sumber penyelidikan pula. Secara kebetulan pula seluruh sumber penyelidikan itu
cocok dengan pribadi dan kondisi Pek-li Tiang-ceng seorang saja."
- Bertamu tengah malam pada tanggal 13 bulan 5.
- Waktu yang juga kebetulan.
- Ilmu silat yang tinggi tiada tara.
- Dengus napas yang tersengal-sengal dari seorang penderita penyakit asma.
- Obat yang dibuat dari candu.
- Rahasia perusahaan yang tidak mungkin diketahui orang luar.
Teng Ting-hou menghela napas gemas, "Kalau dipikir secara cermat, berbagai kejadian dan
persoalan itu memang kebetulan cocok."
"Tapi semua itu bukan paling kebetulan."
"Jadi ada yang paling kebetulan?" tanya Teng Ting-hou.
Suara Ting Si menjadi getir, "Kebetulan aku adalah putra Pek-li Tiang-ceng."
Teng Ting-hou menghela napas panjang, "Jadi Kang Hun-sin adalah ibu kandungmu?"
"Kau sudah tahu sebelumnya?" tanya Ting Si.
Teng Ting-hou menggeleng kepala sebagai jawaban.
"Kenyataan ini agaknya tidak membuatmu heran."
"Dulu pernah kupikir tentang hal ini, tapi kalau kau tidak menjelaskan, aku tidak berani
memastikan."
"Apa yang dapat kau pastikan" Memastikan bahwa Pek-li Tiang-ceng adalah penghiianat" Matamata
atau pembunuh keji itu?"
"Sebetulnya hampir aku yakin demikian, maka......"
"Maka begitu kau berhadapan dengan Pek-li Tiang-ceng, tanpa tanya duduk persoalannya, kau
lantas mengajaknya berduel."
"Dalam keadaan seperti itu, memangnya aku harus tanya apalagi?"
"Sepantasnya kau tanya padanya, mengapa dia berada di tempat itu" Siapa yang dia tunggu di
sana." "Jadi bukan dia yang mengundang kami ke sini?"
"Bukan."
"Lalu siapa yang dia tunggu?"
"Seperti engkau, dia pun ditipu orang untuk kemari. Yang ditunggu adalah orang yang sedang
kau cari." .
"Jadi dia pun mencari pembunuh itu?"
"Kau tidak percaya?"
"Waktu melihatku, apakah dia tak berpendapat, akulah pembunuh itu?"
"Waktu kau melihat dia di sini, bukankah kau juga beranggapan demikian?"
Teng Ting-hou melongo.
Ting Si menarik napas dalam, "Kelihatannya Ngo-siansing memang seorang cerdik,
pandangannya terhadap kalian tidak meleset.."
"Siapa Ngo-siansing?"
"Ngo-siansing adalah pimpinan cabang Ceng-liong-hwe dengan kodetanggal 13 bulan 5,
tepatnya pemeran utama atau perencana seluruh peristiwa ini. Jelas dialah biang keladinya."
Teng Ting-hou menjublek.
Kata Ting Si sambil menyeringai dingin, "Ngo-sian-sing sudah memperhitungkan, begitu
berhadapan kalian akan saling labrak. Sebagai pendekar besar, orang gagah yang disegani dan
berwibawa, kalian selalu beranggapan apa yang kalian pikirdan kerjakan pasti benar, kalau
persoalan sudah jelas, buat apa banyak omong lagi. Kalau bertarung dengan sengit, entah mati
atau hidup, bukankah menyenangkan."
Teng Ting-hou diam mendengarkan dengan cermat, hatinya mengakui apa yang diucapkan Ting
Si memang benar, memang demikianlah penyakit umum setiap tokoh persilatan.
"Menurut rencana, saat ini kalian sudah mampus di menara itu, sayang sekali......"
Akhirnya Teng Ting-hou mengangkat kepala, katanya dengan tertawa, "Sayang sekali, kebetulan
kau adalah putra Pek-li Tiang-ceng. Kebetulan pula kau adalah teman baikku, lebih kebetulan
pula kau adalah Ting Si yang cerdik pandai."
Wajah Ting Si kaku, matanya menatap tajam, sinar matanya membayangkan rasa senang dan
lega. Di tengah malam yang hening itu, dari dalam menara tingkat tiga, mendadak berkumandang
bentakan keras, menyusu! suara "Blang" yang keras, seperti batu raksasa jatuh dari langit,
sehingga menimbuikan getaran keras. Tiba-tiba dinding menara jebol dan bolong. Keadaan
dalam lubang itu gelap guiita, lima jari sendiri pun tidak kelihatan.
"Mana Pek-li Tiang-ceng?" seru Teng Ting-hou terkesiap kaget. "Waktu kau keluar, kau
melihatnya tidak?"
Ting Si menggeleng kepala.
"Apa dia bentrok dengan Ngo-siansing?" tanyanya gugup.
Ting Si menggeleng kepala lagi, roman mukanya mulai masam, perasaannya berat.
"Mengapa kami hanya menonton saja di sini, apakah tidak......"
Belum habis Teng Ting-hou bicara, dari dalam menara berkumandang lagi bentakan dan caci
maki, suaranya berada di tingkat dua. Menyusul terdengar "Blang" sekali iagi, kali ini tembok
ambruk, hampir saja Teng Ting-hou dan Ting Si tertimpa.
Walau tidak menyaksikan pertarungan yang terjadi di atas, namun dapat mereka bayangkan
betapa tinggi kepandaian dua jago yang berlaga di atas menara, dari tenaga pukulan mereka
yang mampu merobohkan dinding.
Ilmu silat Pek-li Tiang-ceng belum terhitung nomor satu di dunia persilatan, namun nama besar
dan kedudukannya, diperoleh karena ilmu silatnya yang tinggi. Sementara kaum Bulim
berpendapat, di kalangan Piaukiok gabungan itu, ilmu silat Pek-li Tiang-ceng juga belum
termasuk paling top. Tapi orang yang mengenal pribadinya tentu tahu, bahwa Pek-li Tiang-ceng
memiliki kekuatan tersembunyi, menyimpan ilmu silat yang tidak diketahui orang, karena ilmunya
itu belum pernah dipertunjukkan di depan umum.. Dirinya bak naga yang bersembunyi di rawa.
Latihan Lwekang dan Gwakangnya, boleh dikata sudah mencapai puncak tertinggi, apalagi meski
sudah lanjut usia, dia masih tekun berlatih dan belajar, selaiu menyeiami intisari ilmu silat
berbagai cabang perguruan yang terkenal. Jarang ada tokoh besar yang bisa menandingi dirinya
dalam bidang ini.
Berbagai persoalan yang dikemukakan di atas, tentu sudah diketahui oleh Teng Ting-hou,
apalagi barusan dia sudah bergebrak langsung dengan Pek-li Tiang-ceng.
Musuh yang bergebrak melawan Pek-li Tiang-ceng dalam menara, tentu memiliki ilmu silat yang
luar biasa, kemampuannya tidak di bawah kepandaian Pek-li Tiang-ceng, lalu siapa Ngo-siansing
sebetulnya" Siapakah tokoh kosen yang memiliki ilmu silat tinggi yang mampu menandingi Pek-li
Tiang-ceng"
Kaiau Ngo-siansing adalah mata-mata atau pengkhianat yang menjual rahasia perusahaan,
pembunuh Ong-loyacu, maka boleh diduga, kalau bukan Kui Tang-king, Kiang Sin, tentu Sebun
Seng. Apakah ketiga orang ini patut dicurigai"
Persoalan ruwet ini berkelebat sekejap direlung hati Teng Ting-hou, di saat seperti ini, dia tak
sempat merenungkan lebih jauh. Teng Ting-hou siap menerjang ke dalam menara, mendadak
terjadi getaran keras, suara gemuruh seperti gempa dahsyat. Menara yang sudah buntung itu
mendadak ambruk dan runtuh total rata dengan tanah.
Bagaimana nasib Pek-li Tiang-ceng yang sedang bertarung dengan musuh dalam menara"
Apakah mereka terkubur bersama" Debu, pecahan kayu, bata dan genteng laksana gumpalan
Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mega gelap, dengan suara gemuruh menggoncang puncak gunung itu.
Baru saja terbesit pikiran dalam benak Teng Ting-hou untuk melompat mundur, Ting Si sudah
bertindak menarik tangannya, begitu tubuhriya terlempar di udara, ia bersalto mundur ke
belakang. Waktu dirinya masih muda dulu, di Siau-lim-si yang kuno dan tua serta angker itu, sering para
padri agung yang berkepandaian tinggi memuji dirinya, 'Watakmu memang handal, tapi gegabah,
biasanya anak-anak yang berwatak seperti dirimu, jarang yang bisa memperoleh taraf
kepandaian yang kau miliki sekarang, tapi ingat, bila kelak kau bertarung dengan orang, apalagi
kepandaiannya lebih tinggi, kalau kau berlaku tabah dan sabar, belum tentu lawan dapat
mengalahkanmu, reaksimu cukup cepat untuk mendahului lawan'.
Setiap manusia, bila mendapat pujian dan diagulkan orang lain, dengan mudah akan mengukir
peristiwa itu dalam lubuk hatinya. Sebetulnya sudah lama Teng Ting-hou melupakan pujian itu,
tapi sekarang dia sadar, bahwa reaksinya sudah tidak secepat dulu, geraknya tidak setangkas
waktu mudanya dulu.
Terbukti Ting Si yang lebih muda bergerak lebih cepat, gerakannya lebih cekatan. Apakah usia
menjadi penentu gerak manusia" Lebih tua usianya makin lambat gerak-geriknya, apakah 'tua'
itu dapat mengundang duka lara bagi umat manusia"
Teng Ting-hou terlempar lima tombak jauhnya, dengan ketangkasannya dia dapat hinggap di
tanah dengan berdiri tegak, lalu menjublek di situ tanpa bergerak sekian lama. Debu pasir
reruntuhan menara menghujani tubuhnya, namun tidak dirasakan olehnya.
Adalah jamak bila setiap orang menilai tinggi kemampuan diri sendiri, bila suatu ketika seorang
menyadari betapa rendah nilai harga dirinya, pasti dia akan merasa kehilangan sesuatu. Itulah
salah satu duka lara manusia, duka lara ini jelas takkan bisa dihindarkan.
Keadaan menjadi sunyi, alam semesta seperti beku, seluruh keributan berhenti, kebekuan ini
justru menyadarkan Teng Ting-hou dari lamunannya. Kegelapan tetap terbentang di depan mata.
Menara enam tingkat yang kelihatan angker tadi, kini sudah runtuh tinggal puing yang hampir
rata dengan tanah. Kejadian hanya sekejap, semula menara itu mirip raksasa yang berjongkok di
atas gunung, memandang hina bumi dengan pohon dan rerumputan di bawah kakinya. Tapi
sekarang raksasa itu runtuh, ambruk di atas tanah dan rerumputan yang dia hina, yang dia
remehkan. Ternyata menara juga mirip manusia, makin tinggi manusia merambat ke atas, lebih mudah dia
terjungkal, makin tinggi memanjat, jatuhnya pun lebih parah.
Akhirnya Teng Ting-hou menghela napas.. Bukankah Pek-li Tiang-ceng dan Ngo-siansing adalah
tokoh besar yang sudah merambat cukup tinggi. Teringat Pek-li Tiang-ceng, mendadak Teng
Ting-hou berjingkrak kaget, teriaknya, "Mereka sudah keluar belum?"
"Belum," sahut Ting Si.
Kalau menara ambruk dan orang di dalamnya tidak sempat keluar, itu berarti tertindih dan
terkubur di bawah reruntuhan menara yang ambruk. Berubah air muka Teng Ting-hou, bergegas
dia melompat ke sana, di tengah kegelapan, di tempat berdirinya menara tadi, batu bata bertumpuk
mirip sebuah kuburan besar. Manusia yang terkubur di bawah tanah, jangan harap kuat
bertahan hidup. Apalagi di bawah reruntuhan sebuah menara enam tingkat.
Tangan Teng Ting-hou dingin berkeringat, lututnya terasa lemas dan goyah. Pek-li Tiang-ceng
bukan teman baiknya, namun entah mengapa hatinya amat sedih dan pilu, menyesal karena
merasa dirinya bersalah terhadap Pek-li Tiang-ceng.
Ting Si berada di belakangnya, mengawasi tanpa suara, seperti ikut merasakan gejolak yang
merangsang hati temannya. Setelah menghadapi kenyataan ini, curiga dan salah paham
terhadap Pek-li Tiang-ceng, disadari merupakan kesalahan yang tidak Bisa dipungkiri lagi.
Maka tampak rasa lega dan senang dalam sorot mata Ting Si, kejadian ini memang diharapkan
setulus hati. Kebetulan Teng Ting-hou menoleh, sekilas dia mejihat mimik Ting Si itu, maka dia berkata, "Apa
benar Pek-li Tiang-ceng ayahmu?"
"Benar," Ting Si menjawab dengan suara lantang, tegas dan penuh keyakinan.
Teng Ting-hou menarik muka, teriaknya, "Kalau benar dia bapakmu, kini dia terkubur di
reruntuhan itu, tapi kau masih enak-enak berdiri, tidak sedih malah senang. Beginikah perilaku
seorang anak terhadap ayahnya?"
Ting Si tidak menanggapi luapan amarah Teng Ting-hou, dia malah balas bertanya, "Apa kau
tahu, mengapa menara ini mudah ambruk?"
"Karena terlalu tinggi?"
"Banyak menara di dunia ini, yang lebih tinggi juga tidak sedikit, tapi belum pernah aku
mendengar ada menara ambruk."
"Mungkin ada seluk beluk yang tidak kuketahui?"
"Ya, karena menara yang satu ini kosong bagian tengahnya."
"Setiap menara tentu ada ruangan atau kamar, sudah tentu kosong bagian dalamnya."
"Yang kumaksud kosong bukan ruangannya, tapi dindingnya, pondasi bangunan menara ini pun
kosong bagian dalamnya."
Teng Ting-hou segera paham, "Jadi menara ini dibangun dengan dinding rangkap" Ada lorong
bawah tanah maksudmu?"
"Ya, dari tingkat bawah sampai yang paling tinggi."
Teng Ting-hou mengerut kening, "Menara adalah tempat berdoa bagi buat umat Buddha, untuk
apa menara ini dibangun dengan dinding rangkap?"
"Yang pasti menara ini bukan dibangun oleh umat Buddha."
"Memangnya siapa yang membangun menara ini?"
"Kawanan berandal."
Bukit hijau di belakang menara ini, dahulu adalah sarang kawanan penyamun yang berpangkalan
di daerah ini. "Untuk meloloskan diri dari buruan kawanan opas, untuk menghilangkan jejak, mereka sepakat
membangun menara di sini, dinding rangkap untuk menyelamatkan diri, lorong sempitdi dalam
dinding itu memang sering menyelamatkan kawanan bandit, karena di bawah menara juga
dibangun lorong bawah tanah yang tembus ke markas mereka di atas gunung."
Akhirnya Teng Ting-hou paham duduk persoalannya, "Jadi orang itu membokong kita dari balik
dinding yang kosong itu?"
"Betul."
"Makanya penduduk di sekitar gunung ini bilang, menara ini dihuni kawanan setan, mungkin
karena menara ini berdinding rangkap dengan jalan rahasia di tengah dinding."
Banyak orang yang masuk ke menara ini tahu-tahu lenyap tak keruan paran, hilang secara
misterius. "Supaya rahasia ini tetap abadi, orang yang tahu tentang rahasia ini, entah sengaja atau tidak
sengaja, jiwanya harus ditamatkan untuk menyumbat mulutnya. Selama puluhan tahun, rahasia
di balik menara ini memang tidak pernah bocor."
Ting Si tertawa getir, "Betul, rahasia kita sebagai perampok juga tidak diketahui oleh kawanan
Piausu dari perusahaan pengawalan manapun."
Teng Ting-hou ikut tertawa getir, waktu Ting Si mengucap "Piausu", segera ia sadar telah salah
omong. Apakah karena dalam lubuk hatinya juga menganggap dirinya sebagai perampok"
Perubahan apapun yang terjadi pada dirinya, seperti sudah ditakdirkan menjadi perampok"
Diam-diam Teng Ting-hou bersumpah dan bercita-cita dalam hati. Dia bersumpah selanjutnya dia
akan merubah pandangan dan pikiran. Bercita-cita merubah orang lain, merubah tujuan hidup
temannya yang satu ini.
Ting Si seperti meraba jalan pikirannya, katanya dengan senyum khasnya, "Bagaimana juga, aku
adalah bocah yang dibesarkan dan tumbuh di atas gunung. Sudah selayaknya aku tahu akan
rahasia ini."
"Lantaran kau tahu adanya rahasia itu, maka sekarang kau masih hidup," ujar Teng Ting-hou,
lalu menghela napas panjang. Agaknya dia sudah paham tentang rencana adu domba yang
dirancang Ngo-siansing.
"Sengaja dia mengatur rencananya supaya kita saling labrak, setelah kehabisan tenaga, syukur
ada yang terbunuh, baru dia turun tangan keji dari balik dinding, orang lain tentu berpendapat kita
gugur bersama setelah duel mati-matian. Selama hidup tiada orang tahu perbuatan jahatnya,
bebas dari tuntutan hukum yang berlaku."
Ting Si menghela napas, katanya dengan tawa getir, "Hanya saja, kalau kau menjadi korban
muslihat jahatnya itu, kau terhitung yang paling untung di antara kita."
"Mengapa?"
"Orang banyak pasti berpendapat, kau gugur dalam menunaikan tugas, melenyapkan oknum
jahat dari perusahaan gabungan itu, gugur karena menuntut balas kematian Ong-loyacu, tak
segan kau gugur bersama musuh. Bila kau mati, bukan mustahil, kau akan dipuja dan disanjung
sebagai pahlawan, akan tetapi......"
Akan tetapi bila Pek-li Tiang-ceng yang meninggal, nama busuknya takkan tercuci bersih untuk
selamanya. Ting Si berkata lebih lanjut, "Setelah kalian gugur bersama, bukan saja durjana itu bebas dari
tuntutan hukum, selanjutnya dia akan memegang tampuk pimpinan dan berkuasa dalam
perusahaan pengawalan gabungan itu. Sebagai pimpinan sudah tentu dia menguasai hak dan
tanggung jawab besar. Seluruh kaum persilatan di Tiong-goan, entah dari aliran putih atau
golongan hitam, semua berada dalam genggamannya."
Mengingat betapa jahat dan rumit serta teliti rencana jahat yang dirancang orang itu, Teng Tinghou
yang sudah kenyang menderita hidup inipun tak urung bergidik dan merinding..
Teng Ting-hou menyengir, "Untung kami tidak mampus, karena......"
Ting Si juga tertawa, "Karena dia tidak pernah menyangka, Ting Si muncul dan merusak
rencananya."
"Lebih tidak terduga lagi, bahwa Ting Si yang pandai adalah putra tunggal Pek-li Tiang-ceng,
bocah itupun kawan karib Teng Ting-hou. Kedua hal inilah yang membuatnya gagal total." Kini
Teng Ting-hou dapat tertawa bebas, sekarang dia menyadari satu hal, betapapun jahat, kejam
dan rumitnya suatu rencana, menghadapi kenyataan hidup, akhirnya pasti gagal dan kalah. Di
dunia ini terdapat suatu kekuatan besar, yaitu kepercayaan dan cinta kasih yang menjadi dasar
kehidupan setiap manusia.
Ting Si percaya pada diri sendiri, cinta kasih terhadap ayah dan temannya, Siau Ma, demi orangorang
yang dicintai, dia rela dan berani menempuh bahaya. Seorang pembunuh yang berdarah
dingin, tentu tidak akan meresapi betapa luhur dan besar arti cinta kasih itu. Karena penjahat itu
melalaikan cinta kasih, betapapun sempurna rencana jahatnya, akhirnya pasti gagal dan bubar.
* * * * * Di bawah tumpukan puing itu, Ting Si dan Teng Ting-hou tidak menemukan jenazah manusia,
bangkai tikus pun tidak mereka temukan.
Lega hati Ting Si dan Teng Ting-hou, dua orang yang berhantam itu tidak mati terpendam di
bawah reruntuhan menara, berarti mereka berhasil menyelamatkan diri, lewat lorong bawah
tanah, temyata mulut lorong bawah tanah itu tersumbat oleh reruntuhan tembok dan genteng.
Teng Ting-hou berkata, "Lawan yang berhantam dengan Pek-li Tiang-ceng di atas menara tadi,
mungkin bukan Ngo-siansing?"
"Ya, mungkin sekali."
"Ngo-siansing bukan nama aslinya?"
"Ya, bukan."
"Dalam melakukan kegiatannya, dia selalu mengenakan kedok muka."
"Ya," Ting Si menjelaskan. "Kedok muka yang dipakai terbuat dari kulit wajah manusia, dibikin
sedemikian rupa oleh seorang ahli, mudah dipakai, bersih, bagus dan rajin bikinannya, sedikitnya
dia memilki tujuh delapan macam kedok muka. Dalam sekejap mata dia mampu merubah dirinya
menjadi ojang lain yang berbeda-beda raut wajahnya."
"Pakaiannya selalu berwama hitam."
"Ya, biasanya memang hitam."
"Setelah disergap dengan hamburan senjata rahasia, Pek-li Tiang-ceng menemukan jejak
musuh, musuh berkedok yang berpakaian hitam, sudah tentu Pek-li Tiang-ceng tidak
melepaskannya begitu saja."
"Apalagi keadaan memaksa dia bertindak."
"Oleh karena itu, bila pembokong itu melarikan diri iewat lorong bawah tanah, kemana pun
keparat itu Sari, Pek-li Tiang-ceng pasti mengejarnya."
"Makanya mereka tidak terkubur di sini, juga tidak kelihatan batang hidungnya."
"Apa betul lorong bawah tanah ini tembus ke markas besar di atas gunung?"
"Ya."
"Ngo-siansing pasti lari ke markas besarnya."
"Setelah masuk lorong panjang itu, tiada jalan lain untuk meloloskan diri."
"Oleh karena itu, dapat diduga bahwa saat ini Pek-li Tiang-ceng tentu berada di markas musuh
itu." Ting Si mengangguk kepala.
"Kau pernah bilang, markas itu bak rawa naga gua harimau, siapa masuk ke sana jarang ada
yang bisa keluar."
"Ya, aku pernah bilang demikian."
Teng Ting-hou menatapnya, katanya dengan kalem, "Pek-li Tiang-ceng adalah ayah kandungmu,
sekarang dia berada di sarang naga gua harimau, lalu apa yang akan kau lakukan?"
"Bagaimana menurut pendapatmu" Apa yang harus kulakukan?"
"Seharusnya kau tahu apa yang harus kau lakukan."
"Maksudmu kita harus bekerja keras, menyingkirkan reruntuhan menara yang menyumbat lorong
bawah tanah dalam waktu sesingkat mungkin, lalu meluruk ke sarang musuh untuk dibunuh
mereka." "Mengapa harus menyerahkan jiwa kepada mereka?"
"Sebentar lagi, cuaca akan terang tanah, kita kelelahan setelah bekerja keras, badan basah
kuyup oleh keringat, apalagi......"
Teng Ting-hou menukas, "Kita tidak perlu lewat lorong, kukira masih ada jalan lain di sekitar
gunung ini."
"Ya, memang ada jalan rahasia lain di sini."
"Mengapa kau tidak mau ke sana?"
"Aku yakin dia mampu mempertahankan diri, apalagi aku belum ingin mati saat ini."
"Kau pernah naik ke atas gunung sana?"
"Waktu itu, keadaan berbeda dengan sekarang."
"Dalam hal apa berbeda?"
"Waktu itu aku dapat mencari tempat perlindungan yang bagus."
"Oh-lo-ngo yang rela mengadu jiwa itu maksudmu?"
Ting Si mengangguk, "Setiap manusia yang tinggal di atas gunung itu, menganggap dirinya
bukan manusia lumrah, orang buangan yang tidak berguna, memandang wajahnya terasa jijik,
apalagi memperhatikan tubuhnya yang bungkuk dengan gaya jalannya mirip bebek. Seorang diri
orang jelek ini tinggal di sebuah rumah kecil di belakang gunung, belum pernah ada orang
mempedulikan mati hidupnya."
"Jadi kalau kau menyamar menjadi dirinya, pasti dapat mengelabui mata mereka?"
Ting Si tertawa, "Kalian pun kukelabui, apalagi orang lain?"
"Menyamar sebagai Oh-lo-ngo, dua kali kau mengantar surat ke warung Lo-shoa-tang?"
"Ya, sudah dua kali aku ke sana," ujar Ting Si. "Aku sudah menduga, kalian akan tertarik oleh
munculnya seorang yang bernama Oh-lo-ngo, namun kalian tidak memperhatikan diriku, karena
tampang dan bentuk tubuh Oh-lo-ngo, sesungguhnya memang amat jelek dan menjijikkan."
"Namun rahasia penyamaranmu sudah terbongkar, kalau kau naik ke gunung dengan samaran
yang sama, tentu kau akan terancam bahaya."
"Oleh karena itu......"
"Meski kau tahu Pek-li Tiang-ceng dan Siau Ma mati di atas gunung, kau tidak akan bekerja
dengan gegabah, jiwamu lebih berharga dibanding orang lain."
"Bukan jiwa ragaku lebih berharga, sebagai bekas anak gelandangan, jiwaku justru tidak
berharga, umpama aku punya jiwa rangkap, dengan suka rela aku akan menyerahkan
kepadamu, walau kau minta untuk umpan anjing sekalipun."
"Sayang jiwa ragamu manunggal, hanya satu."
"Ya, sayang sekali."
"Apa betul kau tidak menguatirkan keselamatannya?"
Berubah kelam rona muka Ting Si, agak lama kemudian baru dia berkata dengan sikap dingin,
"Sebelum aku lahir, dia sudah minggat. ibuku perempuan biasa, bukan kaum persilatan,
kesehatannya sering terganggu lagi, mana kala aku dilahirkan, kondisinya lebih parah lagi, maka
sejak usia tiga tahun, aku sudah harus bekerja mencari nafkah, tidak jarang aku menjadi
pengemis minta sedekah kepada para dermawan, sering puia dengan mangkuk bolong aku minta
sesuap nasi di depan restoran. Dalam usia enam tahun, aku sudah mahir mencopet, dalam
keadaan mendesak aku berbuat jahat, bila ketahuan dan tertangkap basah, kalau badan hanya
babak belur masih mending, aku sudah biasa dicaci maki, ditendang dan dihajar orang, namun
aku tahan uji, hanya ibu yang menaruh kasihan dan kasih saying kepadaku, sampai sebesar ini
usiaku, kecuali ibunda, belum pernah ada orang menguatirkan diriku. Lalu mengapa aku harus
menguatirkan keselamatan orang lain, memperhatikan orang lain?" suara Ting Si makin kaku dan
ketus, wajahnya juga tidak menampakkan perasaan, tapi jari jemarinya tampak gemetar, jeias
emosi bergelut dalam sanubarinya.
Lama Teng Ting-hou menatapnya, dia menarik napas panjang, "Untung aku ini temarimu, untung
pula aku sudah menyelami jiwamu, tahu luar dalam atau lahir batinmu.. Kalau orang lain tentu
menganggap kau seorang yang tidak punya perasaan, orang yang tidak kenal budi pekerti."
"Memangnya sejak kecil aku sudah menjadi orang tidak berbudi, orang yang tidak tahu apa
artinya cinta kasih," demikian jengek Ting Si kaku.
"Kalau betul kau tidak bercinta kasih, tidak berbudi, buat apa kau menyerempet bahaya,
berusaha menolong jiwa orang iain" Mengapa pula kau berdaya upaya mencuci bersih nama
baiknya, kau ingin membuktikan bahwa dia tidak bersalah atau berdosa."
Ting Si bungkam.
"Sebetulnya aku maklum, dalam hatimu ada sesuatu rencana matang, namun kau tidak mau
menjelaskan kepadaku,"
Ting Si tetap diam, tidak menyangkai juga tidak mengaku.
"Mengapa tidak kau jelaskan?"
Akhirnya Ting Si menarik napas, "Umpama benar ada persoalan yang ingin kubicarakan, tapi
persoalan ini tidak mungkin hanya kubicarakan denganmu seorang."
Bersinar mata Teng Ting-hou, "Betul, persoalan harus dibicarakan secara terbuka, dalam hal ini
kami tidak boleh mengabaikan Ong-toasiocia."
"Dimana dia sekarang?" tanya Ting Si.
"Di atas pohon mangga di belakang To-te-bio."
Ting Si tertawa ewa, "Tak kusangka, dia mau tunduk dan patuh pada nasehatmu, seorang diri
diam di atas pohon."
"Dia tidak sendirian."
"Lho, dengan siapa?"
"Lo-shoa-tang menemaninya."
Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kaki Ting Si sudah beranjak ke depan, mendadak dia berhenti.tubuhnya tampak gemetar dan
mengejang. "He, mengapa kau berhenti?" tanya Teng Ting-hou.
Cukup lama Ting Si mengancing mulut, pandangannya nanar, setelah menghela napas, dia
berkata lirih, "Tak usah ke sana lagi."
"Mengapa," tanya Teng Ting-hou bingung.
"Tidak ada orang lagi di atas pohon mangga itu," suara Ting Si dingin, wajahnya tetap tidak
menunjuk perubahan perasaan hatinya, namun jari-jari tangannya tampak gemetar.
Teng Ting-hou melihat kejanggalan ini, teriaknya terkesiap, "Apakah Lo-shoa-tang yang itu bukan
temanmu?" Kalem suara Ting Si, "Lo-shoa-tang betul adalah temanku, tapi Lo-shoa-tang yang meladeni
kalian di warung bakpao itu bukan Lo-shoa-tang yang asli."
Berubah jelek romah muka Teng Ting-hou. Sekarang. baru dia paham, mengapa dua kali Ting Si
berkirim surat kepada dirinya" Meski tahu undangan ke Toa-po-tha itu hanyalah perangkap yang
sudah direncanakan lebih dulu. Soalnya dia pantang dirinya dicurigai oleh Lo-shoa-tang, muslihat
lawan dihadapi dengan muslihat juga, sekaligus membongkar dan menelanjangi kedok dan
rahasia Ngo-siansing.
Sekarang Teng Ting-hou paham, mengapa Lo-shoa-tang ikut mereka ke Toa-po-tha dan apa
tujuannya, begitu gugup dia berangkat sampai pintu rumah sendiri tak sempat ditutupnya.
Seorang berdagang ayam baker selama puluhan tahun dengan warung bakpaonya pula, seorang
kikir yang tidak rela menggares sekarat daging paha ayam bakarnya sendiri, mana mungkin rela
mengorbankan seluruh harta miliknya begitu saja. Sekarang Teng Ting-hou sadar duduk
persoalannya, sayang sekali sadar setelah segala sesuatu telah terjadi. Semua sudah
berkembang dan terlambat untuk bertindak atau mencegah.
Di pohon mangga itu sudah tiada orang, bayangan setan juga tidak kelihatan, yang ada hanya
sobekan kain yang tersangkut di dahan pohon. Itulah sobekan kain celana Ong-toasiocia.
Ong-toasiocia tentu diculik Lo-shoa-tang palsu itu ke atas gunung. Siapa pun setelah berada di
sarang penyamun, apalagi dia seorang perempuan, jarang ada yang bisa pulang. Demikian pula
nasib Ong-toasiocia jika benar diculik ke sarang penyamun itu.
Teng Ting-hou berdiri di tengah kegelapan, dihembus angin malam nan dingin, badan terasa
makin dingin dan hampir menggigil, maklum sekujur badannya basah kuyup oleh keringat dingin,
dia merasa ngeri membayangkan nasib Ong-toasiocia.
Sejak Teng Ting-hou iulus dari perguruan dan berkecimpung di Kangouw, dipandang dari mata
kaum persilatan, dia termasuk seorang yang terpandang, seorang pintar dan berbakat, persoalan
yang pelik sekalipun, dapat dia tangani dengan tenang dan mantap, seluruhnya berakhir dengan
memuaskan. Dari keberhasilan yang tidak pernah mengalami hambatan atau kesukaran itu,
lambat laun laki-iaki yang suka mengagulkan diri ini merasa bangga dan tinggi hati, menganggap
dirinya serba bisa, memang Teng Ting-hou terlalu yakin pada kemampuannya sendiri, percaya
kepada diri sendiri. Akan etapi, sekarang kenyataan membuatnya sadar bahwa hakikatnya,
dirinya tidak lebih hanyalah seorang laki-iaki pikun, teledor dan dungu. Seorang yang pandai
bermuka-muka dan congkak, seorang bodoh yang dimabuk keyakinannya sendiri.
Ting Si menepuk pundaknya, "Tak usah kau bersedih, masih ada harapan untuk menolongnya."
"Masih ada harapan apa?" tanya Teng Ting-hou.
"Ada harapan untuk menemukan dan menolong Ong-toasiocia."
"Kemana kita harus mencarinya?"
"Kukira lebih mudah kita mencari ke warung bakpao Lo-shoa-tang."
"Apa Lo-shoa-tang yang bukan Lo-shoa-tang membawanya pulang ke warung bakpao itu?"
"Justru karena dia bukan Lo-shoa-tang yang tulen, maka dia akan kembali ke warung bakpao
itu." "Mengapa?"
"Karena di warung bakpao, selain dapat membuat bakpao, juga dapat melaksanakan apa saja
menurut keinginannya."
"Melakukan apa?"
Ting Si menghela napas, "Masa kau tidak tahu?"
Teng Ting-hou menggeleng kepala.
"Jika kau kenal pribadi Lo-shoa-tang yang bukan Lo-shoa-tang itu, tentu kau paham mengapa
aku bilang demikian."
"Apa kau mengenalnya?"
Ting Si mengangguk.
"Siapakah dia?"
"Seorang cabul, laki-iaki tua hidung belang."
* * * * * Mega mulai buyar, bintang-bintang pun berkurang. Malam makin larut.
Sinar lampu masih menyorot keluardari celah-celah dinding papan dari warung bakpao Lo-shoatang.
Dari kejauhan Teng Ting-hou sudah melihat lampu itu. Teng Ting-hou tidak tahu, apakah dirinya
harus menghela napas atau harus kuatir"
Dalam keadaan seperti ini, umpama Ong-toasiocia belum diculik ke sarang penyamun, sudah
tentu dicaplok oleh macan liar yang rakus dan cabul. Perbedaan antara jatuh ke sarang
penyamun dan mulut macan yang cabul itu sebetulnya tidak banyak. Yang pasti kejadian itu
hanya berlangsung dalam waktu yang singkat saja, sesuai kekuatan si macan cabul itu. Bila kau
nekad menerobos masuk ke sana, kau akan melihat adegan atau tontonan yang tidak ingin kau
pandang lebih lama lagi. Tiada macan yang meninggalkan mangsanya setelah sang korban
berada di mulutnya.
Teng Ting-hou tidak berani melihat mimik wajah Ting Si, melirik pun tidak berani. Maka Teng
Ting-hou menempatkan dirinya di belakang orang, umpama dia ingin tahu bagaimana reaksi Ting
Si, orang juga tidak akan memberi kesempatan kepadanya, apalagi malam pekat, gelap berkabut
lagi. Teng Ting-hou tidak bersuara.
Ting Si dudukdi kursi, dian menyala di atas meja, duduk diam mengawasi hidangan yang
berserakan di depannya, sejak masuk dan duduk dalam warung bakpao Lo-shoa-tang, Ting Si
tidak bersuara, pandangannya pada irisan daging sapi yang sudah mengering.
"Kau ingin minum arak?" kata Ting Si mencoba memecah kesunyian, wajahnya tetap kaku
dingin. Memang demikianlah keadaan Ting Si, menghadapi persoalan peiik macam apapun,
kalau mau meneliti lahiriahnya saja, tidak akan ditemukan gejala apapun pada dirinya.
Bila diperhatikan dengan seksama, akan ditemukan perbedaan yang tidak kentara pada ujung
mulutnya yang sering mengulum senyum, senyum yang menyenangkan, senyum yang
mengundang simpati orang lain, senyum yang bisa melegakan ketegangan urat-syaraf. Berbeda
dengan keadaan hari ini, secercah senyum pun tidak terlihat menghiasai wajah maupun ujung
mulutnya, entah hatinya kuatir dan serius menghadapi persoalan di depan matanya" Entah
menguatirkan keselamatan Ong-toasiocia atau menguatirkan dirinya sendiri"
Demikian pula keadaan Teng Ting-hou, sejak berada di warung bakpao ini, dia tidak tahu apa
yang harus dilakukan.
"Kau kira di warung ini masih ada arak?"
"Pasti ada kalau kau mau minum arak, pasti disediakan."
"Masih ada waktu untuk minum arak?"
"Masih ada, kukira masih ada cukup waktu untuk minum sepuasnya."
"Kalau begitu aku mau menemani minum sedikit."
"Kalau mau minum harus minum sepuasnya, sebetulnya tidak perlu kau menggunakan istilah
'menemani', kau tahu yang ingin minum bukan hanya aku saja."
"Betul, untuk diriku sendiri aku minum, kalau hanya minum sedikit memang tidak mencukupi
selera, tapi untuk minum sepuasnya, apakah masih cukup waktu?"
"Asal kau mau minum, waktu masih cukup panjang."
Teng Ting-hou menduga, bila saat-saat tegang seperti ini masih ada waktu untuk minum, tentu
persoalan akan berubah. Maka ia menghela napas lega, teriaknya sambil menggebrak meja,
"Arak, keluarkan arak yang paling bagus."
Dalam warung bakpao Lo-shoa-tang itu, tiada orang lain kecuali Teng Ting-hou dan Ting Si.
Jelas Ting Si juga tahu bahwa warung itu kosong tiada orang lain kecuali mereka berdua. Teng
Ting-hou yang sudah menginap dan bekerja sehari di warung ini lebih jelas, kecuali Lo-shoa-tang
yang menjadi majikan merangkap pelayan, tidak ada orang lain lagi. Tapi mereka tahu arak
masih tersedia di warung ini, sudah tentu tiada orang yang meladeni teriakan Teng Ting-hou
yang lantang itu.
Biasanya arak disimpan di bawah meja, ada beberapa guci dari tanah liat, bau arak terendus
wangi, dari bau wangi ini Ting Si dan Teng Ting-hou dapat menilai arak dalam guci kecil ini
berkualitas bagus.
Jajan di warung arak, kalau mau minum harus ambil sendiri, aturan macam apa"
Bersambung ke 11
Bagian 11 - TAMAT
Teng Ting-hou tidak berani gegabah, Ting Si juga tak mau mengambil arak, Teng Ting-hou
duduk diam, akhirnya ia berteriak pula tidak sabar, "He, ada orang tidak?"
Setelah ditunggu sekian lama tiada reaksi, akhirnya Teng Ting-hou ketagihan, dia memberanikan
diri mencopot satu guci arak ukuran kecil, begitu sumbat dibuka, bau arak sedap merangsang
hidung. Akhirnya Ting Si meniru perbuatan Teng Ting-hou, satu orang satu guci, seperti
berlomba mereka mengangkat guci dan mendongak, arak berpindah ke dalam perut mereka.
Lebih banyak arak masuk perut, sang waktu juga berlalu tanpa terasa.
Sejauh persoalan ini berkembang, Teng Ting-hou tidak merasa heran atau kaget, juga tidak
merasa mendelu. Dia maklum dalam banyak hal dirinya memang ketinggalan jauh disbanding
Ting Si. Seorang bila sudah mengaku asor terhadap orang lain, pikiran dan perasaannya malah tenteram.
Teng Ting-hou berpendapat, seharusnya Ting Si menghentikan minum dan berunding dengan
dirinya, cara bagaimana harus menerjang ke dalam kamar di bagian belakang itu" Dengan cara
kilat mereka harus menyelamatkan jiwa Ong-toasiocia.
Setiap aksi harus direncanakan secara cermat, jika tidak yakin berhasil, buat apa turun tangan.
Di saat otaknya mulai menerawang itulah, mendadak Ting Si beraksi dengan kecepatan kilat,
sekali tendang pintu kamar yang setengah rapuh itu jebol dan berantakan, tubuh Ting Si
menerjang ke dalam.
Cara yang digunakan Ting Si paling manjur, langsung, sederhana tapi kilat. Sebetulnya cara
yang digunakan itu cukup gegabah, terlalu memandang remeh musuh dan berbahaya.
Hakikatnya Ting Si tidak mempertimbangkan keselamatan dirinya, begitu yakin akan kemampuan
sendiri, maka dia menggunakan cara yang mudah, cepat dan lekas selesai.
Dalam hati Teng Ting-hou menghela napas gegetun, di saat dia siap membantu. Begitu dirinya
ikut menerjang ke dalam kamar. Dilihatnya Ong-toasiocia sudah duduk, Lo-shoa-tang
menggeletak di lantai. Agaknya grebekan mereka sudah selesai, sukses dengan gemilang.
Maklum anak muda, dalam menunaikan tugas selalu diburu nafsu, dipermainkan emosi. Teng
Ting-hou akhirnya tertawa getir. Akhirnya dia sadar dan maklum, kalau anak muda bekerja
dengan caranya sendiri, ternyata hasilnya juga tidak keliru. Lalu disadari pula olehnya, bahwa
kemampuan sendiri ternyata sudah mundur, jauh ketinggalan dibanding anak muda yang satu ini.
Teng Ting-hou dapat berpikir secara cermat, tanggap dalam menilai sesuatu, maka jiwanya tidak
pernah luntur meski ditempa oleh keadaan yang paling buruk sekalipun, maka dirinya kuat
bertahan hidup sampai hari tua. Sayang sekali, jarang ada manusia di Bulim yang punya
kedudukan seperti dirinya, dapat berpikir secara terbuka.
Ganti berganti Ong-toasiocia mengawasi Teng Ting-hou lalu menatapTing Si. Akhirnya melotot
kepada Lo-shoa-tang yang menggeletak di lantai. Padahal banyak persoalan ingin dibicarakan,
namun sepatah kata pun tak keluar dari mulutnya. Hakikatnya Ong-toasiocia memang bingung,
tidak tahu kepada siapa dia harus bertanya lebih dulu.
Ting Si juga bungkam, tidak berusaha memberi penjelasan.. Cepat atau lambat, toh akan tahu,
mengapa harus buru-buru menjelaskan. Aksi mereka berakhir dengan sukses gemilang. Lalu
bagaimana selanjutnya"
Teng Ting-hou sedang bingung, maka ia bertanya, "Sekarang kita harus duduk makan bakpao
dan minum arak" Atau tidur dalam kamar?"
"Sekarang juga kita harus naik gunung," kata Ting Si tegas.
Teng Ting-hou melenggong, "Lho, bukankah kau tadi bilang, kau tidak boleh naik gunung?"
"Ting Si memang tidak boleh naik, tapi Lo-shoa-tang boleh mondar-mandir dengan leluasa,
apalagi akan membawa dua orang tawanan, lebih cepat lebih baik. Hayolah bersiap-siap."
Akhirnya Teng Ting-hou mengerti rencana Ting Si, "Membawa dua tawanan, maksudmu aku dan
Ong-toasiocia?"
Ting Si mengangguk.
"Dan kau yang menyamar sebagai Lo-shoa-tang?" Teng Ting-hou menegas.
Ting Si tertawa, katanya berolok-olok, "Setan tua cabul ini dapat menyamar sebagai Lo-shoatang,
memangnya setan cilik macam diriku tidak mampu?"
"Apa kau mampu mengelabui banyak mata di atas gunung itu?" tanya Teng Ting-hou.
"Setiap manusia memiliki ciri-ciri tersendiri, sehingga orang bisa membedakan dan dibedakan,"
Ting Si menjelaskan lebih lanjut. "Untuk beda membedakan, satu hal yang terpenting adalah
wajah orang, baru perawakan, sikap, gerak-gerik dan bau badannya."
"Bau badannya?"
"Setiap orang memiliki bau badan. Ada sementara orang sejak dilahirkan berbau wangi, tapi ada
juga yang berbau apek."
"Soal bau tidak menjadi soal. Bau badan Lo-shoa-tang dari kaki sampai ujung rambutnya pasti
berbau bak-pao dan ayam bakar."
Ting Si tertawa geli, "Tapi kalau aku hanya mengenakan pakaiannya saja, bau badanku tentu
seperti ayam bakar."
"Perawakanmu memang mirip kalau tidak mau dibilang sepadan, bila perutmu dibalut kain tebai,
lalu punggungmu diberi punuk sekedarnya, berjalan sambil terbungkuk-bungkuk tentu mirip."
"Sejak kecil aku sering mencuri bakpao di warung ini, sikap, tutur kata dan tirvdak tanduknya
sudah sering ku-perhatikan, kuyakin dapat menirunya dengan persis."
Mendadak Ong-toasiocia menimbrung, "Kelihatannya kau memang pandai menjadi badut,
selanjutnya bila kau mau bermain sebagai bintang panggung, kuyakin kau lekas terkenal,"
Tawar suara Ting Si, "Aku memang ingin merubah pekerjaanku, menjadi bintang panggung
memang jauh lebih aman dan damai daripada berperan di bawah panggung."
"Kau ingin berperan di atas panggung?" tanya Ong-toasiocia.
"Bukankah kehidupan manusia mirip bermain sandiwara" Bukankah kita-kita ini sebagai
pelakunya?"
Terkancing mulut Ong-toasiocia. Apa yang diucapkan Ting Si, selalu memaksa mulutnya
bungkam. "Tapi wajahmu......" Teng Ting-hou masih kuatir.
"Wajahku memang berbeda, tetapi bisa menjadi mirip dengan tata rias, walau ilmu tata rias yang
kupelajari belum mahir benar. Untung tampang Lo-shoa-tang yang jelek itu tidak menarik
perhatian banyak orang. Umpama orang harus memperhatikan dua kali, yang kedua tentu
memandang dengan memicingkan mata atau meram, bukan mustahil orang sudah jijik untuk
kedua kalinya memperhatikan wajahnya." Dengan menyengir kuda ia menambahkan, "Apalagi
aku membawa tiga kado yang penting artinya, orang yang mengantar kado biasanya disambut
dengan ramah dan gembira."
Teng Ting-hou mengangguk, "Aku dan Ong-toasiocia adalah kado yang akan kau bawa ke atas
gunung." "Ya, kalian termasuk dua di antara tiga kado yang kumaksud."
"Jadi masih ada satu lagi" Apakah kado ketiga?"
"Ya, kado ketiga adalah ayam bakar."
* * * * * Rumah besar itu dibangun dengan balok kayu raksasa, dahan-dahan pohon besar, walau
kelihatan kasar dan sederhana, namun membawa suasana purba yang liar dan asli, membawa
kewibawaan, angker dan membuat orang jeri serta tunduk lahir batin.
Demikian pula tampang orang-orang itu, liar, perkasa, pemberani, mirip binatang buas di alam
purba. Hanya seorang terkecuali di antara sekian banyak hadirin di pendopo itu. Orang ini berpakaian
serba hitam, wajahnya yang pucat dingin tidak memperlihatkan perasaan, namun sepasang
matanya bersinar tajam. Kelihatannya orang ini tidak liar, tidak garang, namun lebih menakutkan
dibanding orang-orang yang hadir.
Kalau orang sebanyak itu ibarat binatang liar, maka orang yang satu ini adalah pemburu
binatang. Kalau orang tain bagai sebatang tongkat, maka dia adalah ujung tombak.
Orang ini bukan lain adalah Ngo-siansing.
Pek-li Tiang-ceng berdiri di tengah pendopo sambil bertolak pinggang. Menghadapi kawanan
manusia liar seperti binatang buas, berhadapan langsurig dengan ujung tombak.
Hanya seorang diri Pek-li Tiang-ceng meluruk dan mengejar ke sarang binatang liar ini.
Keadaannya tidak lebih lembut dibanding kawanan binatang liar itu, tidak lebih tumpul dibanding
ujung tombak yang runcing lagi ganas itu.
Ngo-siansing menatapnya lalu menghela napas, katanya sinis, "Sepantasnya kau tidak berada di
tempat ini, tidak boleh berada di sini."
Pek-li Tiang-ceng hanya menyeringai dingin.
"Seharusnya kau sudah mampus, mayatmu sudah kaku dingin, jika kau dan Teng Ting-hou
mampus, bukankah dunia bakal aman sentosa?"
"Umpama kami berdua mampus, kan masih ada Ting Si," jengek Pek-li Tiang-ceng.
"Ting Si bocah hijau itu tidak perlu dibuat takut."
"O" Mengapa?"
"Karena kau adalah pendekar besar, sebaliknya bocah itu hanya rampok cilik."
"Satu hal mungkin tidak pernah kau pikir, ada kalanya pendekar besar juga bisa berubah menjadi
rampok cilik."
"Aku yang kau maksud?" tanya Ngo-siansing.
Pek-li Tiang-ceng diam saja.
"Kau sudah tahu siapa aku?" tanya Ngo-siansing.
"Sudah lama kau adalah kawan karib Pa-ong-jio, sejak muda, jadi sudah puluhan tahun kau
kenal pribadinya, kau tahu seluruh seluk-beluk Piaukiok gabungan itu. Kau pun tahu bagaimana
keadaan luar dalamku. Biasanya kau jarang mempertunjukkan llmu silatmu di hadapan orang
lain. Kau angkat Cong-piauthau perusahaanmu sebagai wakilmu, bekerja dalam perusahaan
gabungan itu, maka kau tidak perlu terjun sendiri," demikian ucap Pek-li Tiang-ceng kalem sambil
menatap tajam Ngo-siansing. "Berapa banyak orang macam dirimu dapat ditemukan di
Kangouw?" "Ya, hanya aku seorang," ucap Ngo-siansing memanggut..
"Memang hanya kau saja yang kupikir sejak mula."
Ngo-siansing menghela napas, "Jadi sejak mula kau sudah tahu siapa aku sebenarnya,
maka......"
"Kalau bukan kau yang mampus, biar aku yang gugur," tantang Pek-li Tiang-ceng dengan suara
Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lantang. Wajah Ngo-siansing kelihatan tetap kaku, namun sinar matanya seperti sedang tertawa. "Setiap
hari kalian sibuk menyelesaikan urusan perusahaan, membereskan urusan besar kecil yang
terjadi di Kangouw. Sebaliknya aku tekun memperdalam ilmu di rumah, aku punya banyakwaktu
untuk belajar dan meniru gaya tulisan orang lain, mencari tahu rahasia orang lain."
"Kau sengaja membocorkan rahasia Piaukiok kepada Ting Si, karena kau tahu bocah itu adalah
putra kandungku?" demikian tanya Pek-li Tiang-ceng.
"Aku malah tahu jelas apa yang pernah kau lakuklan bersama Ong-lothau di daerah Bing-lam
dulu." "Karena kau sudah menjadi anggota Ceng-liong-hwe sejak waktu itu."
"Ceng-liong-hwe memperalat diriku, aku pun memperalat mereka, jadi satu sama lain saling
memperalat dan saling untung, tiada pihak yang dirugikan kecuali pihak ketiga."
"Aku hanya heran akan satu hal," ucap Pek-li Tiang-ceng.
"Apa yang kau herankan?"
"Dengan kedudukan, nama besar dan kekayaan yang sudah kau miliki sekarang, mengapa kau
masih tega melakukan perbuatan terkutuk ini?"
"Aku sering bilang, selama hayat masih dikandung badan, ada dua hal takkan pernah membuat
aku cukup dan puas."
"Ya, harta dan perempuan."
"Betul,"seru Ngo-siansing sambil bertepuk tangan sekali.
Mendadak seorang tertawa lebar di luar pendopo, serunya lantang, "Sekarang harta benda
bertambah banyak, perempuan juga tambah satu lagi."
Pek-li Tiang-ceng menoleh ke arah datangnya suara, terlihat Teng Ting-hou dan Ong-toasiocia
terbelenggu tambang besar sedang digiring masuk oleh seorang setengah bungkuk dengan
wajah dan pakaian yang jelek dan kotor berminyak. Orang jelek yang menggiring Teng Ting-hou
dan Ong-toasiocia ini adalah Ting Si sebagai Lo-shoa-tang. Hanya saja Pek-li Tiang-ceng tidak
tahu bahwa laki-laki tua buruk rupa dan kotor ini adalah samaran Ting Si, temyata di antara
sekian banyak hadirin termasuk Ngo-siansing juga tidak mengira bahwa Lo-shoa-tang yang
menggiring tawanan ini adalah palsu.
Ngo-siansing tertawa lebar, serunya gembira, "Kau keliru, perempuan memang hanya bertambah
satu. Tetapi harta bendaku sekaligus tambah empat bagian."
"Empat bagian?" seru Ting Si yang menyamar sebagai Lo-shoa-tang.
"Teng Ting-hou satu bagian, Ong-toasiocia satu bagian, milik Pek-li Tiang-ceng satu bagian,
ditambah keuntungan mereka dalam perusahaan, bukankah seluruhnya ada empat bagian?".
Ting Si yang menyamar Lo-shoa-tang ikut bertepuk tangan dan berseru gembira, "Mungkin
bukan hanya empat bagian saja."
"O?" meninggi suara Ngo-siansing. "Masih bisa tambah bagian lagi?"
"Kiang Sin sudah berpenyakitan, Sebun Seng di bawah perintahmu, mereka sudah jatuh ke
dalam cengkeramanmu, di kolong langit ini siapa berani dan mampu menandingimu. Seluruh
harta benda kaum persilatan, bukankah bakal jatuh menjadi milikmu?"
Ngo-siansing tertawa lebar, "Jangan lupa, julukanku adalah Hok-sing-ko-cau," sembari bicara
Ngo-siansing berbangkit lalu turun undakan, maju ke depan Ting Si serta menepuk pundaknya.
"Sudah pasti aku tidak akan melupakan bantuan para saudara yang berjasa."
Ting Si tertawa gembira, "Aku tahu kau memang baik hati, mengerti isi hati anak buahmu, kau
tidak pernah lupa memberi imbalan kepada anak buahmu yang berjasa besar. Hanya saja kau
selalu makan daging, sebaliknya kami justru menelan tulang saja."
Waktu Ting Si mengucap 'daging', Teng Ting-hou dan Ong-toasiocia yang semula terbelenggu
tambang besar, mendadak terlepas lalu menubruk maju. Ting Si sendiri juga turun tangan, belum
habis dia mengucap "tulang", maka tulang dada Ngo-siansing patah tiga belas batang.
Hanya sekejap saja, Kui Tang-kin yang berjuluk Rezeki Selalu Nomplok, mendadak berubah
menjadi Petaka Merubah Nasib. Perubahan terjadi begitu cepat dan tidak terduga, bak
perubahan cuaca yang sukar diramaikan sebelumnya. Demikian pula nasib manusia sukar
ditebak. Itulah kehidupan manusia, hanya saja perubahan yang terjadi kali ini memang teramat
cepat, mendadak lagi. Seorang yang selalu unggul dan berada di atas angin, mendadak jatuh
dan roboh tak mampu merangkak. Perubahan yang begitu cepat, bukan saja Pek-li Tiang-ceng
tidak menduga, Teng Ting-hou juga tidak habis mengerti, tidak dapat meresapi hikmah dari
semua kejadian di depan matanya.
Kini semuanya sudah selesai. Mereka sudah mengundurkan diri dari sarang penyamun itu,
keluar membawa Siau Ma dan Ton Siau-lin. Menangkap perampok meang harus membekuk
kepalanya. Setelah Kui Tang-kin roboh tidak berdaya, anak buahnya meski liar dan kuat, tidak
perlu ditakuti lagi, mereka pun tidak berani turun tangan, umpama nekad melayani juga mudah
diganyang. Di tengah jalan Teng Ting-hou tidak kuat menahan diri, tanyanya kepada Ting Si, "Kau selalu
bilang persoalan ini amat pelik, terlalu sukar dan berbahaya. Mengapa justru mudah
dibereskan?"
Ting Si tertawa tawar, suaranya juga tawar, "Justru urusan ini amat pelik, terlalu sukar dan
bahaya, maka Kui Tang-kin tidak menduga ada orang berani menyerempet bahaya."
"Hanya lantaran dia tidak menduga, maka kau berhasil dan sukses?"
Ting Si tertawa, kini lebih cerah, "Bukan hanya dia seorang yang tidak menduga, aku sendiri juga
tidak menduga, urusan bisa beres semudah ini."
Akan tetapi, sekarang mereka mengerti, manusia bila berani menyerempet bahaya, maka tiada
persoalan pelik atau bahaya apapun yang tidak bisa dibereskan. Di zaman dahulu Kan Cau dan
Thio Se, seorang diri berani menempuh bahaya, karena mereka mempunyai keberanian luar
biasa. Pahlawan gagah atau enghiong sejak zaman dulu kala hingga sekarang, tidak sedikit yang
mampu menciptakan suatu prestasi besar dengan sukses gemilang, karena dia memiliki
'keberanian'. Tapi keberanian itu tidak datang sendiri atau jatuh dari langit, tapi berani karena
adanya cinta. Cinta antara ayah dan anak, cinta antara dua teman atau keakraban dari dua
insan, cinta asmara antara laki dan perempuan, cinta kasih terhadap sesama manusia. Sayang
terhadap jiwa raga, setia pada nusa dan bangsa. Semua itu karena dilandasi cinta, kalau tiada
cinta, entah apa yang akan terjadi di dunia ini, dunia entah berubah menjadi apa.
Ting Si melangkah lebar, dia berjalan di depan. Ong-toasiocia berjalan cepat-cepat memburu di
belakangnya. Cukup lama dan jauh mereka menempuh perjalanan, yang satu di depan, yang lain
terus mengikut di belakang, entah berapa puluh li sudah mereka tempuh, tiada tegur sapa, tiada
pembicaraan. Tiada orang tahu kemana akan pergi"
Tiada orang tahu apa dan kemana tujuan Ting Si" Tiada orang tahu kecuali Ong-toasiocia
sendiri, sampai kapan dia akan menguntit dan membuntuti Ting Si.
Betapapun keras hati seorang laki-laki, apalagi laki-laki seperti Ting Si akhirnya lunak
menghadapi kebandelan cewek yang satu ini. Apalagi cewek ini sudah bertekad menyerahkan
diri, ke ujung langit pun akan selalu ikut dan menempel Ting Si.
Akhirnya Ting Si tidaktahan, ia berhenti dan menoleh, "Mengapa sejak tadi kau mengikuti aku?"
Tegas dan tandas jawaban Ong-toasiocia, "Karena aku senang ikut kau."
Apa boleh buat, Ting Si membalik badan, melangkah pula ke depan. Tapi langkahnya tidak
selebar dan secepat tadi, berjalan santai saja, seperti sepasang kekasih lagi berjalan-jalan
mencari angin sambil menikmati keindahan alam di pagi hari.
T A M A T Seruling Samber Nyawa 5 Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Kisah Pendekar Bongkok 9