Pencarian

Rahasia Ciok Kwan Im 1

Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long Bagian 1


" Pendekar Harum Seri ke 2
Rahasia Ciok Kwan Im
KARYA: GU LONG Jauh di ujung langit di tengah lautansana , segumpal mega sedang
melayang datang pelan-pelan. Kapal, mengalun berlenggang di tengah
permainan air laut, sinar matahari bercahaya terang benderang sehingga
dek kapal yang bersih mengkilap laksana sebongkah kaca besar.
Lekas Coh Liu-hiang tinggalkan pakaiannya, mencopot sepatu. Dek kapal
yang panas seperti membakar telapak kakinya, membuat hatinya terasa
seperti dikili-kili dan malas, seolah-olah badannya ingin melayang.
Tak tertahan ia berseru dengan lantang, "Soh Yong-yong, Li Ang-siu, Song
Thiam-ji, tidak lekas kalian boyong semua makanan yang paling lezat, biar
kutelan seluruh kapal ini."
Tiada sahutan, tiada reaksi, seluruh kapal tenggelam dalam suasana
tenang dan sunyi senyap, bahwasanya seorangpun tiada, Soh Yong-yong, Li
Ang-siu dan Song Thiam-ji telah menghilang entah kemana.
Rasa hangat dan malas-malas yang mengetuk hati Coh Liu-hiang seketika
buyar, dia sudah geledah dan obrak-abrik seluruh pelosok kapal, sampaipun
lemari, gentong beraspun sudah dia buka. Namun seujung rambut mereka
pun tak diketemukan oleh Coh Liu-hiang.
Kemanakah mereka"
Adakalanya Li Ang-siu pernah naik ke darat beli pupur atau gincu, Song
Thiam-ji ngelayap di pasar beli sayuran setengah hari, namun tiga orang
pergi sekaligus belum pernah terjadi selama ini. Memangnya mereka
minggat tanpa pamit"
Itu tidak mungkin, selama beberapa tahun ini mereka adalah tritunggal
yang merupakan salah satu bagian dari jiwa raga Coh Liu-hiang. Untuk ini,
siapapun takkan bisa memisahkan mereka. Lalu kemana mereka, kenapa tak
ada di atas kapal" Memangnya mengalami bencana dan kena dicelakai
orang" Kembali Coh Liu hiang menerjang masuk ke bilik-bilik di dalam kamar.
Ia percaya dan yakin akan kepandaian silat mereka sudah cukup
berlebihan untuk menghadapi segala perubahan yang mendadak, dan lagi di
dalam bilik-bilik setiap sudut kapalnya ini, ia ada pasang berbagai alat-alat
rahasia yang hebat dan lain dari yang lain. Semua alat-alat rahasia itu, bisa
dalam waktu yang amat singkat membuat seorang musuh seketika
kehilangan daya untuk melawan.Ada pula yang membuat musuh jatuh
pingsan, ada pula yang dapat membelenggu atau mengunci ke empat kaki
tangan orang, ada lagi alat yang bisa membuat seseorang terjungkir ke
dalam laut. Tapi kenyataan semua alat-alat rahasia itu tidak pernah tersentuh, tiada
sesuatu benda dan perabot yang morat-marit atau terletak tidak dalam
posisi sebenarnya. Dalam lemari makan yang bertabir kain tipis, terdapat
tiga ayam panggang, sebotol arak anggur yang paling ia gemari, demikian
pula cangkir arak yang paling dia sayangipun sudah diseka dan dibersihkan
sampai mengkilap. Di atas ranjang Li Ang-siu tergeletak sejilid buku
harian, lembaran buku terbuka tepat pada kejadian impian kejutnya.
Demikian pula di atas ranjang Soh Yong-yong terdapat sepasang benang
sulaman, sepasang kaos kaki yang belum jadi.
Jelas sekali mereka dengan tenang tanpa tergesa-gesa meninggalkan
perahu ini, kecuali di dalam waktu yang amat singkat seseorang bisa
sekaligus membekuk dan membuat mereka bertiga tidak berdaya. Tapi
tokoh seperti ini, sampai detik ini, dalam ingatan Maling Kampiun belum
pernah dilahirkan. Sungguh Coh Liu-hiang tidak habis mengerti.
Semakin dipikir dan diselidiki, semakin sulit dia memahami. Semakin gugup
dan risau pula hatinya.
Masgul dan gelisah seperti semua terkurung di kuali panas, tak hentihentinya
dia lari keluar masuk dari bilik ini ke bilik lain, putar kayun dan
sibuk setengah mati. Setelah jerih payahnya gagal, terakhir baru dia
temukan secara mendadak di atas kursi tempat duduk yang dia sukai,
terdapat segunduk pasir kuning yang mengkilap.
Di atas gundukan pasir ini terdapat sebutir mutiara hitam yang
cemerlang. Tempat ini sebetulnya paling gampang ditemukan, namun seseorang kalau
sudah terangsang oleh gugup dan gelisah, justru sering mengabaikan atau
melalaikan perhatiannya pada tempat yang paling menyolok.
Coh Liu-hiang meremas secomot pasir kuning itu, pasir berjatuhan dari
sela-sela jari-jarinya sederas hujan air. Maka dilihatnya pula secarik
kertas tertindih di bawah gundukan pasir kuning ini, dimana terdapat dua
baris huruf-huruf yang ditulis rapi dan bagus sekali.
Coh Liu-hiang mencuri kuda di pinggir danau. Hek-cin-cu menculik si cantik
di atas lautan.
* * * Kini Coh Liu-hiang bercongklang di punggung kuda Hek-cin-cu.
Hari itu ia tiba di sebuahkota kecil di pinggir Ma lian ho.
Matahari amat terik, deru angin membawa tebaran pasir, sebuahkota
kecil serba miskin dan kekurangan. Seorang perempuan tua yang
berpakaian tidak lengkap sedang menuntun seorang bocah laki-laki yang
pucat hijau seperti warna sayur, sedang sembunyi di belakang daun pintu
sambil mengintip ke dalam, menunggu sedekah dari tamu-tamu budiman.
Tapi di atas dataran tinggi bertanah kuning yang miskin dan tandus
ini,kota kecil ini sudah merupakan tempat yang makmur dan serba mewah,
karena di lingkungan ratusan li sekitarnya, hanya disini saja yang ada air
jernih. Oleh karena itu, walau dalamkota ini terdapat beberapa bilangan rumahrumah
tembok, beberapa toko dan rumah makan. Setelah Coh Liu-hiang
menempuh perjalanan jauh yang menyulitkan, seolah-olah dia sedang
memasuki sebuah sorga dikota kecil ini.
Boleh dikata hampir siang malam ia menempuh perjalanan di atas punggung
kudanya, hampir terlupa olehnya betapa lezat dan nikmatnya hidangan dan
bau arak, tidur, serta kejadian tempo hari.
Jikalau ia tidak menunggang kuda ini bahwasanya tak mungkin secepat ini
ia sudah tiba dikota kecil ini, di sini, pada cuaca terang yang tiada angin
puyuh, dari kejauhan dapat kau terawang kemegahan bangunan tembok
besar yang melingkar-lingkar di atas gunung gemunung di udarasana .
Hari ini angin berhembus kencang, pasir kuning berterbangan
membumbung ke angkasa, pelayan-pelayan toko dan pemilik warung makan
di pinggir jalan tak henti-hentinya menyapu bersih debu pasir yang hinggap
di atas kue kongpiang atau barang dagangan lainnya.
Cukup semenit saja kau menghentikan pekerjaanmu, kue-kue itu akan
terbungkus oleh lapisan debu pasir warna kuning laksana minyak sapi. Kue
macam itu, di tempat seperti ini, sudah merupakan makanan paling lezat
dan berharga untuk mengenyangkan perut.
Sebuah kereta bobrok ditarik seekor kuda sedang mendatangi dari ujung
jalansana , kusir kereta adalah laki-laki kekar yang tidak sabaran, seakanakan
ia hendak mencambuk dan menghabiskan tenaga kuda yang kurus
kering itu supaya kereta berlari lebih kencang lagi.
Tepat pada saat itu, seekor kucing berlari keluar dari sebuah warung
arak, agaknya hendak menyebrang jalan. Kebetulan kereta berkuda itu
sedang mencongklang pesat mendatangi, terang si kucing takkan bisa
terhindar lagi, tergilas atau terinjak mampus.
Pada saat itu pula, sekonyong-konyong sesosok bayangan orang menerjang
keluar pula dari warung arak itu, begitu cepat laksana anak panah meluncur
tiba, ia tubruk dan tangkap kucing itu, dengan badan raganya ia lindungi
kucing itu dari injakan kaki kuda dan tergilas roda kereta yang berat.
Maka kaki kuda menginjak punggungnya, demikian pula roda kereta
menggilas lehernya. Sudah tentu kejadian yang luar biasa ini membuat
banyak orang-orang di jalanan menjerit kuatir. Coh Liu-hiang sendiripun
berubah air mukanya.
Dengan pertaruhkan jiwa sendiri ini melindungi seekor kucing, apakah dia
berotak miring"
Demikian pula kusir kereta melihat keretanya menggilas seseorang,
kejutnya bukan kepalang. Lekas ia tarik kendali menghentikan kereta,
lompat turun lalu berlari ke belakang, ingin ia memeriksa dan menolong.
Dilihatnya orang itu masih rebah di tanah, sebelah tangannya memeluk
kucing itu sembari tawa berseri, katanya lucu, "Pus mungil, lain kali kalau
menyebrang jalan harus hati-hati, jaman seperti ini banyak manusia yang
buta matanya, kalau kau tergilas mampus oleh keparat seperti itu,
memangnya tidak sia-sia dan penasaran?"
Kaki kuda dan roda kereta menginjak dan menggilas badan orang ini, dari
atas kepala sampai ke ujung kaki, ternyata tak terlihat sedikit lukapun di
atas badan laki-laki ini, hanya baju rombeng yang dipakainya itu tambah
berlobang dua tempat.
Sudah tentu kejut dan gusar pula kusir kereta, bentaknya memaki, "Siapa
keparat yang kau maksud, jika kau mampus, bapakmu ini harus kena
perkara," saking gusar kontan ia layangkan kakinya menendang.
Tangan kanan orang itu masih memeluk kucing, mata melirikpun tidak,
cukup tangan kiri sedikit bergerak, entah apa yang terjadi, badan kusir
kereta yang tinggi kekar itu tahu-tahu melayang naik ke atas seperti
disurung ke atap rumah orang.
Kaget dan geli pula orang-orang yang menonton kejadian lucu di tengah
jalan ini, baru sekarang kusir kereta itu tahu takut dan kaget, jikalau
orang sedang kerepotan dan mencak-mencak di atap rumah. Orang itu
sebaliknya pelan-pelan bangkit terus masuk ke warung arak sambil
memeluk kucing manis itu, seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa atas
dirinya. Sinar matahari menyoroti selebar mukanya yang kehijauan ditaburi
cambang bauk lebat dan kasar, nampak seri tawanya yang kemalas-malasan,
sepasang matanya yang besar hitam dan bercahaya.
Tadi badannya bergerak secepat anak panah, gerak-geriknya gesit laksana
naga mencari harimau ngamuk, kini langkah kakinya malah bergoyang gontai
seperti ogah berjalan, ingin rasanya cepat-cepat ada orang yang
menggotong dirinya masuk ke dalam warung arak.
Mendadak Coh Liu-hiang melompat turun dari punggung kudanya,
teriaknya keras-keras, "Oh Thi-hoa, Oh hongcu (Oh si gila), kenapa kau
bisa berada di sini?"
Orang itu berpaling dan melihat Coh Liu-hiang pula, seketika ia
berjingkrak kegirangan, serunya tertawa besar, "Coh Liu-hiang, kau ulat
tua yang busuk ini, dengan cara bagaimana pula kau bisa berada di sini?"
Tanpa hiraukan kucing dalam pelukannya lagi ia memburu ke depan, sekali
pukul ia hantam pundak Coh Liu-hiang. Coh Liu-hiang tidak mau rugi, sekali
sodok iapun pukul perut orang.
Saking kesakitan keduanya menjerit mengaduh, namun tawa riang mereka
membuat mata berkaca-kaca hampir menangis saking kegirangan akan
pertemuan yang tak terduga ini.
"Tak heran selama beberapa tahun belakangan ini aku tidak melihatmu,
kukira kau sudah mampus karena malas, kiranya kau sembunyi di tempat
ini." Demikian kata Coh Liu-hiang.
"Kau Lo co jong ulat tua busuk inipun bagaimana bisa tiba di sini, apa
diusir oleh gendak-gendakmu itu sampai ngacir ke tempat ini?"
Kembali mereka saling pukul dan tertawa berhadapan, dengan langkah
semula mereka masuk ke kedai arak, mereka duduk di pinggir meja yang
sudah reot, kucing kembang itu segera loncat naik ke atas meja.
Sekali jewer Oh Thi-hoa segera menariknya turun ke bawah, katanya
tertawa, "Pus mungil, jangan kau cemburu, ulat tua busuk ini adalah teman
baikku, dia sudah datang, terpaksa kau mendekam di samping saja?" dalam
ocehannya Coh Liu-hiang ternyata dinamakan ulat busuk, kalau dipikir dia
sendiri hampir pecah perut saking geli.
Kata Coh Liu-hiang tertawa besar, "Sekian tahun tak bertemu, tak nyana
kau kucing malas ini sudah punya teman baru.. mari! Pus mungil, kau minum
dua cangkir bersamaku!"
"Apa, minum dua cangkir?" tanya Oh Thi-hoa membelalak. "Hari ini kalau
tidak kucekok kau dua ratus cangkir, anggap aku bukan teman baikmu."
Lalu ia gebrak meja dan berkaok-kaok, "Arak!Arak ! Lekas antarkan arak,
memangnya kau hendak membuat temanku mati kekeringan."
Seorang nyonya kurus, kecil hitam dan kering, menenteng sebuah poci
arak keluar. "Blang," ia banting poci arak yang terbuat dari tanah liat itu
ke atas meja, putar badan lalu tinggal pergi. Tanpa bersuara melirikpun
tidak kepada Oh Thi-hoa. Sebaliknya kedua mata Oh Thi-hoa terbelalak
seperti hendak mencolot keluar, menatapnya lekat-lekat tanpa berkedip,
seolah-olah dia mengawasi seorang perempuan yang tercantik di seluruh
jagad ini. Coh Liu-hiang tertawa geli, batinnya, "Mungkin kucing malas ini sudah
terlalu lama tidak melihat cewek, macam apa sebenarnya bentuk seorang
perempuan jelita, mungkin sudah dia lupakan."
Sebetulnya nyonya ini tidak begitu jelek, usianya pun belum tua.
Matanyapun bening bundar dan tidak sipit, cuma badannya kurus kering
bobot dagingnya tidak cukup empat kati, seperti ayam babon yang
kelaparan dan kering dihembus angin.
Setelah bayangan orang menghilang ke balik pintusana , baru Oh Thi-hoa
berpaling, dia tuang dua cangkir arak, katanya tertawa, "Coh Liu-hiang, kau
harus rada hati-hati. Oh Thi-hoa yang sekarang kau hadapi takaran
minumnya tidak sama dengan Oh Thi-hoa masa lalu. Masih segar dalam
ingatanku kau cekoki aku sampai mabuk sebanyak delapan puluh delapan
kati, sekarang aku harus mulai menuntut balas."
"Delapan puluh sembilan" masakah kau sudah lupakan kejadian dalam
genteng besar itu?"
"Mana bisa aku melupakan, kali itu aku hanya mencampur sesendok obat
urus-urus dalam arakmu, kau malah ceburkan badanku ke dalam gentong
arak keluarga Thio itu, sehingga aku mabuk tiga hari tiga malam."
"Apakah kau masih ingat kapan peristiwa itu terjadi?"
"Delapan belas" mungkin hampir genap sembilan belas, waktu itu, aku
bocah yang baru berusia delapan sembilan tahun. Jikalau tidak berkawan
dengan kau teman jelek ini, masakah aku bisa belajar minum arak."
Coh Liu-hiang berkakakan, ujarnya, "Jangan kau lupa, pertama kali kami
minum, arak itu toh hasil curianmu."
"Apa benar?" ujar Oh Thi-hoa dengan tertawa getir. "Aku sudah lupa."
Akhirnya ia berkakakan pula, serunya, "Bicara terus terang, arak curian
rasanya memang lebih nikmat, selama hidup ini aku takkan bisa merasakan
arak seenak itu," dia hanya menengadah kepala, arak semangkok besar itu,
sekejap saja sudah habis.
Coh Liu-hiang melihat perbuatan orang, diapun habisi araknya, lalu
tanyanya mengerut alis, "Apakah ini arak?"
"Apa kalau bukan arak?"
"Tadi kukira cokak!"
Oh Thi-hoa terbahak-bahak, kembali dia tuang arak dan berkata, "Di
tempat seperti ini ada arak seperti ini pula, sudah terhitung besar
rejekimu."
Coh Liu-hiang terima arak yang diangsurkan, gumamnya, "Agaknya kucing
malas ini bukan saja sudah lupa akan paras jelita yang sesungguhnya,
sampaipun rasa arak yang tulenpun sudah dia lupakan."
Puluhan poci arak, dalam sekejap sudah tertenggak habis ke dalam perut,
sudah tentu nyonya kurus kecil itupun berulang kali keluar masuk puluhan
kali. Setiap kali ia banting poci arak di atas meja terus putar badan tinggal
pergi. Belakangan setiap orang menongol keluar pintu, hati Coh Liu-hiang menjadi
tegang, hampir tak tertahan dia hendak menutupi kedua telinganya, apa
boleh buat, kedua tangannya dengan tersipu-sipu harus pegangi meja, kalau
tidak meja reot itu pasti bisa remuk dan rontok seluruhnya.
Sebaliknya setiap kali nyonya kurus kecil itu muncul, biji mata Oh Thi-hoa
lantas bersinar cemerlang, suara tawanya pun lebih lantang, sikapnya yang
semula malas dan ogah-ogahan seketika bersemangat.
Tak tertahan akhirnya Coh Liu-hiang menghela nafas, ujarnya, "Anak
muda yang harus dikasihani, bahwasanya berapa lama kau sudah menetap
di tempat seperti setan ini."
Oh Thi-hoa mengedip-ngedip matanya, sahutnya, "Masihkah kau ingat,
berapa tahun sudah berselang sejak terakhir kali aku bertemu dengan
kau?" "Tujuh tahun, tak nyana sekejap saja sudah tujuh tahun."


Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mata Oh Thi-hoa memandang keluar nan jauh disana , katanya rawan,
"Waktu itu musim panas, di Mo-jin-ouw danau jangan murung. Tahun itu
kembang teratai berkembang biak amat indahnya di Mo-jin-ouw, kami
gunakan daun kembang teratai sebagai cawan arak, setiap kali tenggak
habis melempar selembar daun, belakangan daun-daun teratai itu hampir
saja menenggelamkan perahu yang kita tumpangi, daun teratai di pinggirmu
sudah bertumpuk setinggi hidungmu."
Coh Liu-hiang tersenyum, ujarnya, "Musim panas tahun itu, sungguh cepat
berlalu!" Mendadak Oh Thi-hoa berkakak, serunya, "Masihkah kau ingat siapa pula
yang tahun itu berada bersama kami?"
"Seumpama kita sudah melupakan kehadiran manusia dalam dunia ini,
tentu takkan terlupakan kepada Ko Ah-nam, waktu itu dia baru saja
berhasil mempelajari Wi hong li-kiam dari Hong-san, setiap kali mabuk,
tentu dia mainkan ilmu pedang itu di hadapan kami sehingga Kim-leng yang
suka iseng setiap hari merubung di pinggir danau tak mau pergi ingin
menonton pertunjukan gratis, sudah tentu di antara mereka ada yang ingin
mencuri belajar ilmu pedangnya itu."
"Bicara terus terang, ilmu pedangnya itu tidak begitu bermutu,
belakangan setiap kali ia berlatih ilmu pedangnya, aku lantas terkencingkencing.
Sungguh aku heran, nama julukan Leng-hong-ji kiam-khek gelarnya
itu entah cara bagaimana dia dapatkan."
Coh Liu-hiang tertawa, katanya, "Katamu ilmu pedangnya tidak baik, tapi
Ki Bing-yam malah bilang bahwa ilmu pedangnya itu tiga puluh persen lebih
bagus dari Hoa-san-pay Ciangbun Ji Siok-tin."
"Benar!" seru Oh Thi-hoa mengelus tapak tangan. "Jago Mampus itu bisa
tiga hari tidak bicara, namun begitu buka suara selalu mengagulkan ilmu
pedangnya sendiri. Kukira delapan puluh persen dia sudah jatuh hati
kepadanya."
"Tapi dia sebaliknya malah jatuh hati kepada kau, kalau tidak masakah dia
sudi bergaul dan keluntungan dengan laki-laki setan arak seperti kami ini,
apa kau masih ingat waktu hari kau mabuk, pernah kau berjanji hendak
menikah dengan dia."
Oh Thi-hoa menyengir, ujarnya, "Masa aku tidak ingat, hari kedua setelah
aku sadar sudah kulupakan peristiwa itu, siapa tahu dia justru tidak lupa,
malah dia menuntut dan desak aku ingkar janji, dia takkan punya hidup lagi,
dia hendak bunuh diri, terpaksa malam itu juga aku terjun ke dalam air,
dan selulup sejauh mungkin melarikan diri."
Belum habis cerita orang, Coh Liu-hiang sudah mendekap meja karena
perut sakit tertawa terpingkal-pingkal, katanya dengan nafas ngos-ngosan,
"Tak heran, hari kedua setelah terang tanah, tiba-tiba kudapati kalian
berdua sudah tidak kelihatan pula bayangannya, itu waktu aku kira kalian
sudah kawin lari. Oleh karena itu Ki Ping-yam yang menjadi masgul dan
murung, malam itu hampir saja dia mampus karena mabuk, hari ketiga
ternyata diapun menghilang, sampai sekarang belum pernah aku
melihatnya."
Oh Thi-hoa tertawa getir, katanya, "Kalau bukan lantaran Ko Ah-nam
mengejarku mati-matian, memangnya aku bisa lari ke tempat nan jauh ini?"
"Sejak tujuh tahun kau lari ke sini, kau tetap tinggal di sini?"
"Tiga tahun setelah dia mengejarku, baru aku lari ke tempat ini."
"Jadi kau sudah empat tahun menetap di sini?"
Oh Thi-hoa teguk araknya, katanya pula, "Tiga tahun sepuluh bulan."
"Soal apa yang menyebabkan kau kerasan tinggal di tempat setan seperti
ini selama itu, sungguh aku tidak habis mengerti."
Kembali Oh Thi-hoa tenggak araknya, mendadak ia pelototi Coh Liu-hiang,
serunya, "Kau ingin aku bicara kepadamu?"
"Lekas katakan!"
Oh Thi-hoa dekatkan mulutnya ke telinga Coh Liu-hiang, katanya,
"Sudahkah kau melihat tegas perempuan yang mengantar arak tadi?"
Coh Liu-hiang berjingkrak berdiri, serunya, "Kau" jadi lantaran dia kau
menetap sedemikian lama di tempat ini?"
"Tidak salah!"
Lekas Coh Liu-hiang berpegangan meja, agaknya dia kuatir kalau dirinya
jatuh semaput. Dari atas ke bawah bolak-balik ia amati Oh Thi-hoa dengan
seksama, seperti setua ini baru pertama kali ia pernah melihat laki-laki
brewok di hadapannya ini. Ia lalu pelan-pelan duduk kembali di tempatnya,
setelah tenggak secangkir arak, berkata pelan-pelan, "Aku ingin mohon
sesuatu kepadamu."
"Soal apa?"
"Perempuan itu dari kaki sampai kepala, dalam hal apa dia lebih elok dari
Ko Ah nam, bisakah kau jelaskan?"
Kembali Oh Thi-hoa habiskan tiga cawan arak, sahutnya, "Biar kuberitahu
kepadamu, Ko Ah-nam hendak mengejar aku, sebaliknya aku mengejar dia
malah empat tahun lamanya aku tak berhasil menyanderanya, disitulah
letak kebalikannya, kau tahu tidak?"
Mata Coh Liu-hiang menatap mukanya, melotot sepeminuman teh lamanya,
baru dia unjuk rasa senang dan tertawa besar pula, sambil mendekap meja,
katanya, "Karena baru sekarang aku mau percaya, bahwa karma memang
bisa terjadi di dunia ini."
Oh Thi-hoa manggut-manggut, dengusnya, "Apa yang kau tertawakan, aku
memang tahu perasaan hati manusia yang paling suci dan bersih ini, orang
kasar dan awam seperti kau, selama hidup pasti takkan mengerti."
Coh Liu-hiang menekan perut, katanya, "Oh Tuhan! Cinta suci nan setia!
Sukakah kau ampuni aku" Aduh, perutku hampir pecah!"
Dengan bersungut-sungut Oh Thi-hoa diam saja, sekaligus dia habiskan
tiga cawan lagi. Mendadak iapun terbahak-bahak, keduanya mendekap
meja, dan tertawa besar berhadapan saling pandang dan tuding, air mata
sampai bercucuran.
Jilid 13 "BAGAIMANA bisa terjadiasmara suci murni ini coba kau kisahkan
kepadaku."
"Setelah kuceritakan kau jangan tertawa lho!"
"Tidak! Tanggung tidak tertawa!"
"Pertama kali aku tiba di sini, sudah tiga bulan aku tak pernah melihat
perempuan, begitu melihat dia, kau boleh mengatakan dia kurang cantik,
tapi aku beranggapan ditempat ini ia merupakan perempuan yang paling
cantik." "Aku mengakui."
"Oleh karena itu aku ingin?"". bermain-main dengan dia, dalam
anggapanku, sekali raih tentu berhasil, siapa tahu dia justru pandang aku
sebagai orang mati, melirikpun tidak sudi kepadaku.
Coh-Liu-hiang tahan rasa gelinya, katanya: "Memangnya Hong-liu 'bajul
Kaucu Hoa-tiap oh 'kupu kembang', dipandang sepele oleh perempuan kecil
itu, sungguh keterlaluan dan penasaran! Sampai akupun ikut merasa
jengkel" Semakin ia tidak hiraukan aku, Semakin merupakan daya tariknya dalam
pandanganku. aku siap dalam bulan, siapa tahu dua bulan kemudian,
sedikitpun aku tidak mendapat kemajuan maka aku persiapkan dari tiga
bulan, siapa tahu?" ia tertawa getir, "Tak usah kukatakan kaupun sudah
melihatnya, aku sudah berjerih payah selama tiga tahun sepuluh bulan
penuh, dalam pandangan matanya tetap sebagai orang mati, malah unjuk
tawa atau tersenyum kepadakupun dia tidak pernah."
Coh Liu hiang memang tahan geli dan tak tertawa, memang dia takkan bisa
tertawa. Ikut prihatin akan usaha teman karibnya yang gagal ini.
Kembali Oh Thi-hoa habiskan tiga cawan arak, katanya keras: "Jikalau kau
unjuk sedikit rasa kasihan kepadaku, biar kutuang arak sepoci ini ke dalam
hidungmu."
"Aku tidak kasihan kepadamu, aku malah kagum kepadamu, kagum hampir
mampus." Oh Thi hoa terkial-kial sampai arak dalam mulutnya menyemprot keluar
membasahi selebar meja, "Sekarang." katanya, "Aku ingin dengar
ceritamu, kenapa pula kau bisa sampai disini" Memangnya ada siapa yang
hendak paksa kau untuk mengawini dia menjadi binimu?"
Sikap riang Coh Liu hiang tadi seketika sirna, mukanya tampak masgul dan
kesal, sesaat ia berdiam diri, lalu katanya pelan-pelan: "Apa kau masih
ingat Soh Yong-yong, Li Ang siu dan Song-Thiam ji?"
"Sudah tentu masih ingat, waktu itu mereka masih gendak genduk cilik,
sekarang tentunya sudah tumbuh dewasa menjadi perawan jelita, masakah
mereka hendak menikah dengan kau, tak heran kau lari ke tempat sejauh
ini." "Orang lain sama menyangka hubunganku dengan mereka rada kurang
genah, bahwasanya sejak berusia dua belasan mereka sudah ikut padaku,
tidak lebih mereka pandang aku sebagai toakonya sendiri, anggap aku
sebagai teman karib, dan aku" tentunya kau tetap percaya kepadaku,
sejak mula aku pandang mereka sebagai adik kandungku."
"Orang lain tidak percaya kepada kau, tapi aku tahu kau ulat tua busuk ini,
kalau bertindak rusuh memang bikin kepala orang lain pusing tujuh keliling,
tapi bila kau bertindak baik, orang lain mimpipun tidak pernah
menduganya."
Coh Liu hiang menarik napas panjang, ujarnya rawan: "Kini mereka bertiga
sama diculik oleh orang."
Tersirap darah Oh Thi-hoa, serunya: "Diculik orang" Siapa orangnya yang
punya nyali sebesar itu?"
"Pernahkah kau dengar nama Ca Bok-hap rajapadang pasir?"
"Keparat itu berani mencari gara-gara terhadapmu" Biar kubeset dia
menjadi umpan anjing!"
"Bukan dia, tapi putranya Hek tin-cu."
"Persetan dia Hek tin-cu atau Pek tin-cu 'mutiara putih' berapa banyak
sih dia punya nyali, berani mengganggu usik saudara kami?" Tiba-tiba ia
gebrak meja seraya berdiri, serunya lantang: 'Hayo berangkat! Kita buat
perhitungan kepadanya!"
"Kau ingin ikut aku?"
"Kau ulat tua busuk ini." damprat Oh Thi-hoa gusar. "Kau pandang aku
apa" Kau menghadapi kesulitan, kalau tidak aku membantumu siapa yang
bantu kau"
Coh Liu hiang berjingrak berdiri, serunya: "Dengan kau sebagai teman
seperjalananku, kalaupadang rumput tidak kuobrak-abrik jangan panggil
aku sebagai Maling kampiun!" mendadak ia hentikan tawanya, sekilas ia
melirik ke pintu belakang, katanya: "Tapi bagaimana dia" Kau tidak mau
perdulikan ia lagi?"
Oh Thi hoa tertawa lebar, ujarnya: "Cukup asal sepatah katamu saja,
batok kepalaku ini pun boleh kuserahkan, masakah aku tidak tega
meninggalkan dia?"
Dengan tertawa besar, mereka beriring keluar pintu.
Tak nyana nyonya kurus kecil itu mendadak memburu keluar dengan
langkah seperti terbang dari belakang pintu, dengan kencang dia tarik
lengan baju Oh Thi-hoa, teriaknya lantang: "Kau hendak tinggal pergi
demikian saja?"
Sekilas Oh Thi-hoa melengak, tanyanya: "Apa rekening arakku belum
kubayar?" "Siapa sudi terima uangmu." suruh nyonya kecil kurus dengan suara serak:
"Yang kuinginkan adalah kau sendiri."
Kata-kata ini seketika membuat Oh Thi-hoa terpaku di tempatnya,
demikian juga Coh Liu hiang menjublek tak bergerak.
Berkata Oh Thi-hoa tersendat: "La" lalu kenapa kau selama ini tidak
hiraukan sapa tegurku?"
"Aku tidak mau hiraukan kau, lantaran aku tahu, kau menyukai aku karena
aku tak mau hiraukan kau!" jawab nyonya kurus kecil.
Kembali Oh Thi-hoa melenggong, katanya tertawa getir: "Coh Liu hiang,
kau sudah dengar" Jangan sekali-kali kau pandang perempuan siapa saja
sebagai manusia pikun, siapa bila pandang perempuan seorang pikun, dia
sendiri yang pikun."
Bercucuran air mata nyonya kurus kecil, katanya: "Kumohon kepadamu
jangan tinggalkan aku, asal kau tidak pergi, segera aku rela menikah
dengan kau."
Kata-kata 'menikah' laksana sengat kala yang menusuk ulu Oh Thi-hoa,
dengan kaget ia tarik lengan bajunya, seperti kelinci yang ketakutan
dikejar harimau lapar cepat ia melarikan diri.
Walau gerak-gerik Coh Lui-hiang tidak lambat, kuda tunggangannya dapat
berlari sekencang angin puyuh, tapi dia harus kerahkan segala tenaganya,
barulah berhasil menyandak Oh Thi-hoa, serunya tertawa besar : "Kau tak
usah takut, dia takkan menyandak kau, dia tidak memiliki Ginkang setinggi
Ko Ah-nam."
Baru sekarang Oh Thi-hoa kendorkan larinya, katanya tertawa getir: "Kau
dengar, ternyata dia tahu bahwa aku menyukai dia lantaran dia tidak mau
hiraukan aku! Kau bunuh akupun, aku takkan mau percaya, perempuan
tampangnya itu, ternyata sedemikian cerdik."
"Sebodoh-bodoh perempuan, tentulah seorang ahli pula dalam bidang ini,
mungkin selama hidupnya ini memang dia sedang menjebak dan memancing
laki-laki goblok seperti kau ini terjerat muslihatnya, memangnya dia tidak
bisa pentang mata lihat orang?"
"Perempuan!" ujar Oh Thi-hoa menghela napas. "Selama hidupku ini,
mungkin takkan bisa menyelami jiwa perempuan."
"Tapi perempuan justru paling paham menghadapi laki-laki, mereka tahu
kebanyakan laki-laki itu bertulang kere!"
Akhirnya Oh Thi-hoa bergelak tertawa, katanya : "Maksudmu tak lain
hanya ingin mengatakan bahwa aku ini memang balong(tulang) kere"
"Kalau toh kau berpikir demikian, kenapa aku harus menyangkal!" dia
sudah lompat turun dari kudanya, jalan berjajar dengan Oh Thi-hoa,
beberapa jauh kemudian baru ia sadari bahwa Oh Thi-hoa membawanya
menempuh perjalanan yang keliru, segera ia bertanya: "Kemana kau hendak
pergi?" "Lan-ciu"
"Lan-ciu! Heng-tin-cu tinggal dipadang pasir di luar perbatasan, untuk apa
kita menuju ke Lan-ciu?"
"Demikian saja kita berdua hendak pergi kepadang pasir, setelah kau
berhadapan dengan Hek-tin-ciu, mungkin tanganmu sendiripun kau tidak
mampu mengangkatnya, memangnya kau ingin melabrak orang?"
Coh Liu-hiang mengerutkan keningnya, katanya : "Aku sudah tahu
bahwapadang pasir serba berbahaya."
"Berbahaya" Memangnya kau sangka cukup dilukiskan dengan sepatah kata
'berbahaya' saja" Orang yang belum pernah kepadang pasir, mimpipun tak
pernah terpikir olehnya betapa menakutkanpadang pasir itu."
"Kau sedang gertak dan menakuti aku?"
Oh Thi-hoa pejamkan mata, ujarnya : "Ditengahpadang pasir nan luas tak
kelihatan ujung pangkalnya itu, jiwa seseorang manusia merupakan sebutir
kerikil yang tak berarti sama sekali, seumpama Coh Liu-hiang si maling
kampiun yang kenamaan itu mampus ditelan pasir kuning disana juga
merupakan kejadian biasa, tak terhitung istimewa."
"Kau takkan bisa membuatku takut!"
Oh Thi-hoa tidak hiraukan ocehannya, katanya pelan-pelan: "Disana begitu
terik sehingga ingin rasanya kau sendiri membeset kulitmu, sebaliknya
kalau malam dinginnya bisa bikin darahmu membeku dalam badan. Gundukan
gunung dalam sedetik bisa berubah menjadi tanah yang datar, tanah datar
tiba-tiba menjadi tanah yang tinggi, dikala angin badai melanda tiba,
sebuah kota besarpun mungkin bisa terpendam dan dikubur didalam pasir,
ditambah air yang merupakan barang termahal melebihi jiwa, khabarnya
dalam setiap jam, sepuluh manusia yang berada di padang pasir mati
kekeringan."
"Tempat yang sepuluh kali lebih berbahaya daripadang pasirpun pernah ku
datangi," sela Coh Liu-hiang tertawa.
Terbuka mata Oh Thi-hoa, katanya keras: "Yang kau hadapi dulu hanya
manusia, tapi yang harus kau hadapi disana adalah kebesaran alam serta
kekejamannya! Apalagi kau tidak tahu menahu tentang seluk beluk padang
pasir, sebaliknya Hek-tin-cu sejak kecil dibesarkan di padang pasir, cuaca,
situasi bumi, tata kehidupan manusia serta pergaulan adat istiadat bangsa
minoritas di sana, tiada yang kau ketahui, mengandalkan apa kau hendak
mengikuti dia?"
Coh Liu-hiang menghela napas, ujarnya: "Ucapanmu ini memang benar!"
"Apalagi, sampai sekarang kau sendiri belum tahu dimanakah dia


Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebetulnya berada, benar tidak?"
Coh Liu-hiang manggut sambil mengiakan.
"Kalau demikian, hakekatnya kau takkan bisa menemukan dia, kau
kirapadang pasir hanya sebesar taman kebun rumahmu" Disana langit
tersentuh bumi, bumi bersambung dengan langit, sehingga kau sulit
membedakan arah, dan lagi bahasa pergaulan bangsa gembala sepatah
katapun kau tidak mengerti. Jikalau kau hendak menjelajah kesana,
membentur nasib, cukup dua putaran jalan, kau pasti sudah tersesat jalan,
dalam jangka tujuh hari kau akan mati kering karena dahaga," matanya
semakin melotot mengawasi Coh Liu-hiang, tambahnya keras : "Sebetulnya
kau seorang yang punya otak jernih dan pikiran pandai, memangnya kali ini
kau sudah gila saking gelisahnya?"
Sesaat lamanya Coh Liu-hiang berdiam diri, katanya kemudian dengan
tertawa getir : "Memang aku gila saking gelisah, tapi betapapun sukar dan
berbahayanya, aku tetap akan menyusul kesana, jikalau kau?"?"?""
"Kau ulat busuk ini," damprat Oh Thi-hoa gusar : "Kau sangka aku gentar?"
"Jadi maksudmu?"?".."
"Maksudku, jika kita memang harus pergi, kita harus bekerja dengan
sempurna dan mempersiapkan diri. Urusan harus berhasil dengan gemilang,
jangan seperti orang pikun terima menghantar kematian secara sia-sia
belaka. Kita harus bertindak dengan tenang dan kepala dingin."
"Apa sekarang kau tenang dan dingin kepala?" tanya Coh Liu-hiang
tertawa. Oh Thi-hoa ikut tertawa, ujarnya : "Melihat kau bersikap seperti anak
kecil yang diburu nafsu, sungguh tak tertahan aku ingin marah, kita
sekarang sudah cukup dewasa, pekerjaan seorang dewasa harus
menunjukkan gengsi dan pamor orang dewasa pula."
Coh Liu-hiang geleng-geleng kepala, katanya gemas : "Beberapa hari ini,
pikiranku memang terlalu kusut!"
"Kau bisa berpikir demi keselamatan orang lain, jelas bahwa kau ini
memang anak mungil, tidak seperti tutur kata orang lain, adalah seekor
rase, seekor ular beracun." kembali ia berkaok-kaok keras :" Jika kita
ingin menolong mereka, kita harus menjadi rase atau ular berbisa,
ditempat seperti itu manusia yang berpegang pada prikemanusiaan takkan
bisa berumur panjang."
Coh Liu-hiang mengamat-amatinya, katanya geleng-geleng : "Mungkin aku
masih bisa menjadi rase, tapi ular beracun?"?""..akupun tak kuasa
berbuat demikian apalagi kau."
"Oleh karena itu, kita harus mencari orang yang dapat merubah kita
menjadi ular beracun itu."
"Siapa?"
"Si-kong-ke Ayam jantan mati."
Maksudmu Ki Ping-yan" Kau tahu dimana ia berada"
"Dia berada di Lan-ciu."
"Dia" memangnya dia amat hapal dan sudah menjadi lurah dipadang
pasir?" "Ketahuilah dia sudah kaya raya, kekayaannya itu dia keduk daripadang
pasir. Setelah dia berpisah dengan kau, langsung dia menuju kepadang
pasir, dan dalamlima tahun dia sudah menjadi pedagang yang paling pintar
dan cerdik, dia sekarang seorang hartawan besar."
"Sebaliknya kau tetap laki-laki yang paling rudin yang serba miskin!" Olok
Coh Liu-hiang. "Maka itulah pernah kukatakan, laki-laki yang gagal dalam permainan
bidang perempuan, dia akan lebih sukses dalam usahanya."
Coh Liu Hiang terloroh-loroh godanya: "Memangnya kau sendiri kira, kau
seorang ahli dalam bidang perempuan?"
Lan-ciu, merupakankota besar yang termasyhur, ramai, makmur dan pusat
perdagangan yang terletak di persimpangan jalan, pusat dari segala
kekayaan alam, pusat perdagangan, pusat berkumpulnya orang-orang kaya
yang suka berpetualang.
Di tempat seperti ini, kekayaan bukan apa-apa dalam pandangan manusia,
tapi bila kau benar-benar memiliki kekayaan yang berlimpah, masyarakat
tetap akan bersikap hormat dan tunduk kepadamu.
Ki Ping-yang adalah salah satu dari sekian banyak hartawan yang
menimbulkan hormat dan disegani, itu pertanda hartawan seperti dia ini,
dimanapun sukar dicari keduanya.
Sebetulnya dia tidak punya usaha dagang yang menentu, setiap usaha
dagang apapun asal mendatangkan keuntungan uang, ia pasti sukar
menanamkan modal dan kaki atau tangannya, berbagai perdagangan
didalamkota Lan cui kalau uang yang berputar sepuluh prosen
keuntungannya, satu persen adalah miliknya.
Orang yang begini luas pergaulan dagangnya orangnya yang dihormati dan
disegani, siapa pula yang tidak mengenalnya" Oleh karena itu, dengan
gampang Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa menemukan tempat tinggalnya.
Seorang laki-laki menyambut tamu berbadan tegap kekar membawa
mereka memasuki pekarangan yang lebat ditumbuhi pepohonan dan pemuda
berbaju putih bersih mengantar mereka memasuki sebuah pendopo yang
luas dan terpanjang mewah dan megah, dan setiap orang yang mereka
temui bersikap hormat dan sopan santun, walaupun mereka mengenakan
pakaian seorang penyambut tamu.
Ruang tamu yang besar terbuka ini dilembari kerai-kerai bambu, sehingga
terik matahari di musim kemarau ini, teraling di luar angin lalu
menghembus deras sehingga kerai bergoyang, selintas pandangan didalam
kerai seolah-olah ada burung walet sedang terbang bebas diangkasa.
Oh Thi-hoa menghela napas ujarnya: "Beginilah pamor seorang hartawan,
umpama kacung-kacung itu sama memandang rendah kami, mimik muka
mereka masih hormat dan sopan. Jago Mampus kita itu seperti ditakdirkan
lahir untuk kaya, sedikitpun tidak memperlihatkan sikap kasar sebagai
tuan tanah atau keluarga penindas."
Sorot mata Co- Liu-hiang mengawasi bayangan kembang di atas jendela,
kupingnya mendengar suara air gemerisik, tangannya menumpang secangkir
air teh bening wangi merangsang hidung, katanya tiba-tiba:
"Menurut hematku ini amat sulit."
"Soal apa amat sulit?" tanya Oh Thi-hoa.
"Memangnya kau belum paham karakternya, ingin menariknya keluar dari
tempat semewah ini kepadang pasir yang terik dan sering terbit badai itu,
kukira siapapun takkan mampu dan sudi."
"Tepat! Memang dia seorang laki-laki sejati, laki-laki yang keras kepala
dan berhati baja selamanya tak pernah minta bantuan orang lain,
selamanyapun tiada maksud ingin membantu kesulitan orang lain, tapi kau
jangan lupa, betapapun dia adalah teman karib kita."
Coh Liu-hiang tersenyum: "Bagaimanapun teman takkan lebih baik
daripada diri sendiri."
"Jangan masgul, aku pasti punya akal untuk menyeretnya ikut kami, kalau
terpaksa biar kita bakar saja rumah mewah ini, coba lihat dia mau pergi
tidak"' Baur saja kata-katanya habis, terdengar seorang batuk-batuk di luar
kerai. Dua gadis berpakaian serba putih berparas elok dengan rambut
tersanggul tinggi, pelan-pelan melangkah masuk sambil memikul sebuah
usungan kursi empuk, seseorang rebah semendeh di atas kursi empuk ini,
mulutnya terpentang lebar, serunya tertawa lebar:
"Coh Liu-hiang, Oh Hong cu, tak nyana kalian setan arak ini, kiranya kalian
belum lupa kepadaku." Meskipun tertawa lebar dengan sikap gembira,
namun kedua biji matanya tetap dingin tajam laksana burung elang yang
buas. oh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa lekas menyongsong maju dengan tertawa
besar pula. Kata Oh Thi-hoa: "Gengsimu semakin besar, berapa sih harga
kebesaranmu ini, melihat kawan lama, masih enak-enak rebah tak mau
berdiri." Ki Ping Yan tertawa-tawa, sambutnya : "Jikalau kau bisa membuatku
berdiri, seluruh milikku kuhadiahkan kepadamu."
Oh Thi-hoa tertegun, matanya mendelong mengawasi kedua kakinya yang
tertutup selimut kain beludru, teriaknya : "Kakimu?"
Ki Ping-yan menghela napas, ujarnya : "Kedua kakiku ini sudah tak berguna
lag." Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa seketika menjublek.
Tak tahan akhirnya Oh Thi-hoa menjerit keras : "Sebetulnya kapan hal ini
terjadi" Keparat siapa yang melakukan Biar kupukul hancur kedua kaki
keparat itu!"
"Kalau kau ingin bantu aku menuntut balas agaknya harus bikin kau kecewa
saja." ujar Ki Ping-yan.
Oh Thi-hoa gusar, serunya: "Jikalau aku dan Coh Liu-hiang tidak mampu
menuntaskan balas sakit hatimu, dalam dunia ini mungkin tiada orang lain
yang mampu menebus sakit hatimu."
"Memang tiada orang yang bisa menuntut balas bagi sakit hatiku." Ki Pingyang
menegaskan. "Kenapa?" suaran Oh Thi-hoa menjerit.
Ki Ping-yan geleng-gelengkan kepala ujarnya :
"Yang bikin kedua kakiku ini lumpuh, sebenarnya bukan manusia,
tapipadang pasir! Matahari yang patut mampus dan angin yang harus mati
ditengahpadang pasir" " ia tertawa getir lalu melanjutkan: "Selamalima
tahun penuh kau mengembara dan keluntang-lantung ditengah
samudrapadang pasir, bagaimana aku melewatkan kehidupanlima tahun
dipadang-padang pasir mungkin tiada orang yang bisa membayangkan.
Suatu ketika secara hidup-hidup aku terpendam di bawah tumpukan pasir
dua hari kemudian baru aku tertolong oleh rombongan unta yang kebetulan
lewat. Padangpasir yang harus mampus itu memang memberikan berkah harta
benda yang takkan habis kumakan selama hidup, namun mendapatkan
penyakit rematik di seluruh badanku, sekarang sudah mending, tinggal
kedua kakiku ini yang lumpuh dan tak mampu bergerak lagi.
Oh thi-hoa melongo pula, ujarnya:
"Ki Ping-yan, Ki Ping-yan! kukira kau ini manusia besi bertulang baja,
selama ini kukira tiada sesuatu dalam dunia ini yang bisa membuatmu
cidera atau luka-luka, siapa tahu?" tiba-tiba ia sepak mencelat sebuah
kursi disampingnya, suaranya gemuruh:
"Padangpasir yang patut mampus, kenapa dalam dunia ini terdapat tempattempat
setan seperti itu" Kenapa pula kita diharuskan meluruk kesana"'
Ki Ping-yan menjerit kaget dan kuatir, tanyanya: "Kalianpun hendak pergi
kepadang pasir"'
Dengan rasa berat Coh Liu-hiang menganggukkan kepala, "benar."
Sahutnya. "Dengarlah nasehatku, selama hidup ini jangan kalian pergi kepadang
pasir, kau boleh percaya kepadaku, tempat itu tidak patut didatangi oleh
seorang manusia yang berotak jernih dan sadar."
Coh Liu-hinag tersenyum kecewa, ujarnya: "Siapa bilang sekarang aku ini
orang yang berpikiran jernih?"
Ki Ping-yang kaget katanya. memangnya ada persoalan apa dalam dunia ini
yang bisa bikin Maling Kampiun pusing kepala?"
Kembali Oh Thi-hoa menyela bicara : "Sebetulnya kami hendak ajak kau
ikut serta, dari para pelancong yang pulang daripadang pasir, kami
mendengar pengalamanmu menjadi kaya. Kami kira kau sudah
menundukkanpadang pasir, siapa tahu".sekarang kau"."
Mendadak Ki Ping-yan pegang kedua kakinya yang terbungkus di bawah
selimutnya, serunya serak: "Tapi kini kedua kakiku ini, aku hanya
mendelong awasi teman-teman baikku pergi"pergi?" Orang yang biasanya
bersikap dingin tenang ini, ternyata terharu dan terbawa emosi, seperti
hendak meronta bangun, tapi kedua kakinya tak mampu bergerak seperti
kayu, rasa sakit merangsang ulu hati lagi, akhirnya ia meloso jatuh dari
kursi empuknya.
Lekas Oh Thi-hoa memayangnya, melihat keadaan temannya yang harus
dikasihani ini hampir saja Oh Thi-hoa mengucurkan air mata saking
kasihan, tapi mulutnya tertawa lebar serunya:
"Kaupun tak perlu bersedih, tanpa kau, aku dan ulat busuk tetap bisa
bikinpadang pasir porak poranda. Tunggulah saja kabar baik di sini
sekaligus kami akan lampiaskan penasaranmu."
Matanya sudah berkaca-kaca. Setelah mengucek matanya kembali ia
berkata tertawa besar "Jikalau kau sangka tanpa kau ikut, kami berarti
mengantar kematian, tentulah otakmu ini perlu disikat dan diperbaiki lagi.
Aku dan ulat busuk bukan nona besar yang lemah takut dihembus angin
besar." Dengan kedua tapak tangan Ki Ping-yan dekat mukanya. Seluruh badan
bergetar menahan emosi dan gejolak hatinya.
Coh Liu-hiang menyela: "Tapi kalau kau tidak lekas sediakan arak
seumpama aku menggendongmu pergi kau akan ku seret pergi kepadang
pasir pula."
Pelan-pelan KiPing -yan kembali tenang. Iapun tertawa besar, serunya:
"Sudah sekian lama Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa datang kemari kenapa
tidak lekas kusiapkan arak bagus dan hidangan lezat, memang aku pantas
mampus"."
Piring, mangkok dan cangkir serta perabotan-perabotan antik yang berisi
hidangan lezat memenuhi meja besar, cangkir arak terbuat dari batu
pualam hijau, berisi arak warna merah jambrud, dalam pandangan seorang
penggemar arak, merupakan suatu perjamuan yang paling mewah dalam
dunia ini, apalagi yang melayani mereka makan minum adalah dua gadis
cantik rupawan yang bisa membuat laki-laki ngiler dan terpesona.
Tapi kali ini Coh Liu-hiang tidak perlihatkan sikap biasanya untuk
menikmati hidangan dihadapannya, menikmati kecantikan kedua pelayan ini,
karena sikap mesra kedua gadis rupawan ini adalah sedemikian keluar
batas terhadap Ki Ping yan, umpama seorang anakpun bisa merasakan
keganjilan ini. Memang diapun sedang menikmati arak bagus temannya ini,
tapi ia cukup sadar, jangan sekali-kali kau bikin teman lamanya ini merasa
jelus. Demikian juga Oh Thi-hoa, dia melirikpun tidak kepada mereka, yang dia
ingat hanya gegares sekenyang dan sepuas hatinya, memang kebanyakan
orang bilamana hati sedang risau dan kusut, sering mereka lampiaskan
gejolak hatinya dengan makan minum sebanyak banyaknya.
Bukan saja dia mengisi perut sendiri secangkir demi secangkir, diapun
cekoki kepada Ki Ping-yan, dia berpendapat asal seseorang masih bisa
minum makan dan minum, seumpama kaki sudah buntung, juga tidak
menjadi soal. Sekonyong-konyong Oh Thi-hoa bergelak tertawa, serunya: "Ki Ping yan
legakan saja hatimu kau pasti takkan mati seseorang yang masih bisa
minum begini banyak, paling cepat masih bisa hidup tiga puluh tahun"
Ki Ping yan tersenyum, sahutnya: "Arakkau bukan diminum dengan kaki,
benar tidak?"
"Benar! Seumpama kedua kakimu sudah rusak anggota badanmu yang lain
masih segar bugar baru sekarang aku bisa berlega hati."
Tiba-tiba Ki Ping yan menarik napas panjang, katanya pula: "Tapi aku rada
kuatir." "Apa pula yang masih kau kuatirkan?"
"Begini saja kalian hendak pergi kepadang pasir?"
"Setelah perutku kenyang! Segera kami berangkat!"
"Kalian hendak pergi kepadang pasir, aku berani tanggung kalian takkan
kuat menahan hidup sepuluh hari."
Coh Liu-hiang tersenyum, timbrungnya: "Berapa lama orang lain bisa hidup
disana, berapa lama pula kami harus hidup, kecuali semua manusia dipadang
pasir sudah mampus seluruhnya kalau tidak, kitapun tetap akan bertahan
hidup." "Itu berlainan, manusia yang hidup ditengahpadang pasir, mereka sudah
digembleng sekeras baja, sedemikian keras dan kuat pertahanan mereka
sampai kalianpun takkan pernah bisa membayangkan, sebaliknya kalian?"
Oh Thi-hoa marah, semprotnya: "Memangnya kau kira aku dan Coh Liuhiang
tidak ungkulan dibanding mereka?"
"Kepandaian silat kalian dan kecerdikan otak sudah tentu jauh lebih
unggul dari orang lain, tapi hati kalian, tulang dan anggota badan kalian,
sudah lama terendam oleh arak, permainan perempuan, dan menjadi lemas
oleh kehidupan yang foya-foya. Jadi kehidupan dipadang pasir jauh sekali


Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak mencocoki selera dan kondisi kalian."
Coh Liu-hiang tersenyum pula, katanya: "Kau kira kami hidup foya-foya
dan serba kesenangan?"
"Paling tidak sepuluh kali lebih senang dari kehidupan manusia
ditengahpadang pasir, karena kuatir air dalam badan mereka terkuras dan
menguap, mereka boleh seharian tidak bicara, tidak bergerak, apa kalian
mampu" Dikala perut mereka lapar, mereka bisa tangkap kadal dan
dibakar, gegares kadal sebagai ganti paha ayam, apa kalian sudi" Bila mulut
dahaga, mereka menggali pasir sampai beberapa tombak dalamnya hanya
dengan kedua tangan saja, tujuannya hanya sekedar menghisap air di
bawah pasir, dengan mengandal setitik air itu, mereka kuasa bertahan
hidup tiga hari lagi, apakah kalian bisa minum kencing unta, apa kalian mau"
Cukup asal kalian mengendus baunya yang sedap saja perut kalian pasti
berontak dan muntah-muntah, dan sekali kalian muntah, elmaut sudah
menunggu, ajal kalian akan semakin cepat."
Ki Ping-yan menghela napas, katanya pula: "Manusia ditengahpadang pasir,
apa saja yang mereka lakukan demi bertahan hidup, bukan saja kalian
takkan mampu melakukan, malah berpikirpun tentu takkan berani."
Oh Thi-hoa tertawa getir, katanya: "Memang paling tidak aku takkan
berani minum kencing, apalagi kencing unta!"
"Disaat perlu kalau kau tidak berani minum, jiwamu akan mampus,
sebaliknya mereka berani minum, maka mereka kuat bertahan hidup, oleh
karena itu, mereka jauh lebih kuat dari kalian, ini persoalan tentang hidup,
jauh bedanya dengan kepandaian ilmu silat dan tiada hubungan kepintaran
otak lagi."
Sekian lama Coh Liu-hiang menepekur lalu katanya sepatah demi sepatah:
"Adakalanya menghadapi sesuatau urusan, meski kau tahu bakal mati, tapi
kau tetap akan melaksanakan juga."
"Sudah tentu akupun tahu" ujar Ki-Ping yan menghela napas "Bila Coh Liuhiang
berketetapan hendak melaksanakan suatu urusan, siapapun takkan
bisa menghalanginya, tapi kalau kalian berkukuh hendak pergi, janganlah
pergi demikian saja."
"Bagaimana kita harus berangkat?"
"Kalian harus mempersiapkan banyak perbekalan."
"Apa saja yang harus kami persiapkan?"
"Paling sedikit kalian harus membawalima ekor unta, air yang banyak,
makanan dan banyak pula barang-barang keperluan lainnya.
Kelihatannya memang tak berguna, tiba saatnya semua itu adalah barangbarang
yang amat berguna dan besar manfaatnya, disamping harus mencari
seorang tukang yang ahli dalam memelihara binatang tunggangan."
"Barang-barang itu." katanya lebih lanjut dengan tertawa: "Sudah tidak
perlu kalian sendiri berjerih payah, besok sore sebelum magrib aku akan
siapkan seluruhnya dengan lengkap dan sempurna."
Coh Liu-hiang tertawa ujarnya: "Tapi tujuan kami kesana bukan hendak
melancong atau ingin hidup foya-foya, jangan kau bikin kita hidup
kemewahan disana . Soal binatang tunggangan aku bisa mempersiapkan
sendiri dua ekor kuda, beberapa kantong air dan ransum, kukira sudah
berkecukupan. Jikalau kau bisa siapkan beberapa arak untuk si gila she Oh
ini sudah tentu lebih baik!"
Ki Ping-yan menghela napas, gumannya: "Coh Liu-hiang, Coh Liu-hiang! Tak
nyana watak kerbaumu tak berubah selama sepuluh tahun ini!"
Oh-Thi hoa bercokol di atas kudanya, kuda ini merupakan tunggangan yang
terpilih diantara ribuan kuda yang lain, tapi tindak tanduknya seperti jeri
mendekati kuda tunggangan Coh Liu-hiang, kuda hitam milik Hek-tin-cu itu,
meski Oh-Thi hoa sudah melecut dan mengepraknya sampai jengkel, kuda
itu tetap tak berani lari berendeng.
Terpaksa Oh-Thi hoa hanya mengintil di belakang Coh Liu-hiang, karena
kurang senang mulutnya terus mengoceh dan menggerundel.
Sebaliknya sikap Coh Liu-hiang biasa saja, sedikitpun ia tidak
memperhatikan sesuatu gejala, cuma sejak berpisah dengan Ki-Ping yan
sampai sekarang dia tak pernah buka suara.
"Coh Liu-hiang!" seru Oh-Thi hoa tak tahan, "Tahukah kau, sekarang aku
mulai curiga apakah kau begitu setia kawan seperti yang pernah
kubayangkan dulu."
"O" Kenapa?"
"Kedua kaki Jago Mampus putus, ternyata sedikitpun kau tidak
memperlihatkan prihatin dan simpatik atas kesengsaraannya, aku tahu kau
dulu bukan orang macam begituan."
Sesaat Coh-Liu hiang berdiam diri, tiba-tiba ia berpaling dan tertawa,
katanya: "Berapa lama kau kenal baik dengan Ki-Ping yan?"
"Walau tidak selama kau, sedikitnya ada sepuluh tahun!"
"Pernahkah kau dengar dia suka omong begitu panjang lebar?"
Tanpa pikir Oh-Thi hoa segera menjawab: "Sudah tentu tidak! Siapapun
tahu kalau ingin Jago Mampus bicara jauh lebih sukar untuk
mengundangnya makan minum."
"Pernahkah kau dulu melihat sikap sedih dan emosinya seperti itu?"
"Kemarin waktu aku lihat dia jatuh dari atas kursi hampir saja ingin aku
menangis sepuas-puasku, tapi kau" matamu berkedip pun tidak, kau malah
masih tertawa geli."
"Sudah belasan tahun kau mengenalnya, masakah kau belum tahu akan
wataknya, jikalau kedua kakinya itu benar-benar putus, masakah dia suka
omong sedemikian panjang lebar, dipengaruhi emosinya lagi?"
Oh-Thi hoa tertegun, mendadak ia berjingkrak dengan berteriak keras:
"Apakah maksud ucapanmu ini?"
"Kau belum paham apa maksudku?"
"Apakah kau maksudkan, bahwa apa yang dia lakukan itu hanyalah purapura
untuk dipertontonkan kepada kita?"
"Pernahkah kau perhatikan kedua nona jelita yang melayani kita itu?"
"Maksudmu Ing-yan dan Poan-ping kedua gadis ayu itu?"
"Benar, pernahkah kau perhatikan sikap dan tindak-tanduk mereka
terhadap Ki Ping-yan?"
Oh Thi-hoa bergelak tertawa, serunya: "Apa kau merasa jelus"
Perempuan dikolong langit ini,kan tidak semua baik terhadap Coh Liu-hiang,
ada kalanya ada satu dua orang yang pandang sepele kepada Coh Liuhiang."
"Kau lihat sikap mesra mereka terhadap Ki Ping-yan, apakah sikap
terhadap seorang laki-laki yang sudah cacat badannya" Pernahkah kau
perhatikan kerlingan mata mereka, serta sorot mata mereka bila
mengawasi Ki Ping-yan?"
Tiba-tiba lenyap tawa Oh Thi-hoa, mulutnya melongo.
Berkata Coh Liu-hiang lebih lanjut: "Kaupun seorang yang cukup
berpengalaman menghadapi perempuan, tentunya kaupun bukan seorang
picak." "Benar!" gumam Oh Thi-hoa mendelong. "Seorang laki-laki bila tidak bisa
memuaskan perempuan, tiada perempuan yang bersikap seperti itu
terhadapnya, apalagi seorang laki-laki cacat, selamanya takkan bisa
membuat puas orang lain?" mendadak ia menjerit keras: "Kenapa waktu itu
kau tidak katakan kepadaku?"
"Kalau toh dia tidak mau pergi, buat apa aku harus memaksanya?"
"Jago Mampus yang pantas mati, bukan saja menipuku, malah membuat
hatiku ikut pilu dan kasihan, berani dia gunakan akal liciknya ini terhadap
kawan karib yang sudah dikenalnya belasan tahun."
"Terhadap kita, dia tidak perlu dicela."
"Kau masih memujinya?"
"Dia bicara panjang lebar, itu pertanda bahwa sanubarinya terketuk,
pertanda dia masih pandang kita sebagai temannya, kalau tidak bisa saja
dia menolak terus-terang "tidak mau ikut", memangnya kita bisa
menelikung dia serta menggusurnya pergi, benar tidak?"
Melotot mata Oh Thi-hoa, serunya: "Begitu tercela sikapnya terhadapmu,
sedikitpun kau tidak marah?"
"Kalau kau ingin berkenalan dengan seorang teman, kau harus paham dan
menyelami wataknya, jikalau dia punya kekurangan, kau harus memaafkan
dia, waktu aku mengenalnya dulu, aku sudah tahu memang begitulah
wataknya, buat apa aku harus marah".
Coh Liu-hiang terloroh-loroh, katanya lebih lanjut: "Apalagi bisa membuat
seorang teman baik, aku sudah amat puas."
Oh Thi-hoa gusar, serunya: "Tapi aku tidak sebaik dan sesabar kau,
memberi maaf apalagi, aku?"
"Memangnya kau sendiri kira sudah setia kawan" Beberapa teman baik
kumpul bersama, tapi kau tega tinggal pergi begitu saja tanpa pamit,
minggat sampai tujuh delapan tahun, memangnya orang lain tidak marah
kepada kau?"
"Tapi aku" aku tidak seperti dia?"
"Benar! Kau tidak seperti dia, dikala teman menghadapi kesulitan kau
takkan mundur, tapi kaupun punya kekurangan sendiri, seperti pula KiPing -
yan mempunyai kebaikannya sendiri."
Oh Thi-hoa mengelus hidung, tanpa bicara lagi. Betapapun tak malu dia
menjadi kawan dekat Coh Liu-hiang, penyakit Coh Liu-hiang yang suka
mengelus hidung, dia bisa mempelajarinya begitu mirip dan persis.
Menjelang lohor, mereka menemukan suatu tempat untuk istirahat, ingin
Coh Liu-hiang membuat suatu rencana untuk mempermudah perjalanan ini,
siapa tahu waktu ia berpaling, ternyata Oh Thi-hoa sudah menghilang.
Terpaksa Coh Liu-hiang hanya menyengir tawa getir, terpaksa dia harus
menunggu. Seumpama hatinya gelisah dan gugup, apa pula gunanya, perangai Oh Thihoa
yang melebihi bara panasnya, lebih liar dari kuda binal, lebih dogol dan
bandel dari keledai, memangnya dia belum bisa memahaminya selama ini.
Sudah tentu cepat sekali ia sudah dapat meraba kemana tujuan Oh Thihoa.
Terbukti dia pulang tidak sendirian.
Tampak di belakangnya kuda pilihannya itu, mengintil pula seekor kuda
lain, seorang diri dia menarik dua tali kekang, kuda di sebelah belakangnya
ternyata dinaiki dua orang. kedua orang ini bukan lain adalah Ing-yan dan
Poan-ping. Rambut sanggul mereka yang mengkilap sudah buyar terhembus angin,
kulit mukanya yang halus jelita diliputi rasa kaget, ketakutan jari-jari
tangan mereka yang halus mungil diikat kencang oleh Oh Thi-hoa.
Selama itu Coh Liu-hiang tetap menunggu di luar pintu kedai kecil sambil
memandang ke tempat jauh, tapi setelah melihat bayangan mereka
mendatangi segera ia kembali masuk ke dalam kedai, duduk membelakangi
pintu di luar. Setelah kudanya tiba di depan pintu baru Oh Thi-hoa lompat turun lalu
iapun tarik tali kekang kuda di belakangnya, pelan-pelan satu persatu ia
tolong kedua gadis di punggung kuda itu melompat turun.
Kuda mereka kuda jempolan, perbawa Oh Thi-hoa sedemikian gagah dan
kereng, ditambah dia menggusur dua nona jelita yang terikat kedua
tangannya lagi. Semua orang di pinggir jalan sama melotot matanya
mengawasi mereka, jikalau mereka tidak gentar menghadapi sikap Oh Thihoa
yang garang itu, mungkin mereka sudah merubung maju.
Tapi Coh Liu-hiang sebaliknya tidak berpaling muka, bahwasanya
melirikpun dia tidak memandang kepada Oh Thi-hoa.
Dengan langkah gemulai Oh Thi-hoa datang menghampiri, katanya tawar :
"Aku kembali!"
"Ehm!" Coh Liu-hiang bersuara dalam mulut.
"Akupun bawa dua orang tamu kemari." Oh Thi-hoa menambahkan.
Coh Liu-hiang berdiri, menarik dua kursi dengan senyum manis ia
persilahkan kedua gadis yang ketakutan itu duduk, lalu ia menarik muka
pula dan duduk kembali ditempatnya tanpa hiraukan Oh Thi-hoa.
Oh Thi-hoa minta sepoci arak, dia tuang dan tenggak sendiri, mulutnya
mengerundal : "aku tahu kau tidak senang, tapi Ki Ping-yan memang
keterlaluan terhadap teman, jikalau aku tidak bongkar permainan
sandiwaranya ini, mungkin seumur hidupku takkan bisa tidur nyenyak."
Akhirnya Coh Liu-hiang menghela napas, katanya : "Tapi kenapa kau
menghadapi mereka" Kaum wanita tiada sangkut pautnya dengan persoalan
ini!" Hanya cara ini yang bisa kukalukan! kata Oh Thi-hoa sejujurnya.
Disaat kau pergi, apakah Ki Ping-yan sedang tidur siang" tanya Coh Liuhiang.
"Aku tahu penyakit lamanya itu takkan bisa berubah, maka
kuperhitungkan tepat pada waktunya aku meluruk kesana, ternyata benar
dia sedang tidur, coba kau pikir, asal kuundang kedua nona ini kemari dalam
jangka satu jam, dia pasti sudah menyusul tiba."
Saking senang ia bergelak tawa serunya pula : "Seperti juga diriku karena
orang membawa Soh Yong-yong melancong, tidak segan-segan kau hendak
mengejarnya kepadang pasir. Bicara terus terang, cara yang kugunakan ini
aku menelat perbuatan Hek-tio-cu."
Tapi cara ini betapapun terlalu rendah dan memalukan.
Menghadapi orang seperti dia itu, kalau tidak menggunakan cara yang
rendah seperti ini kau mampu menghadapinya?" Oh Thi-hoa berdiri, lalu
pelan-pelan menjura kepada kedua nona jelita yang pentang kedua matanya
lebar-lebar, katanya tertawa :
"Kali ini meski bikin susah kedua nona, tapi dari kejadian hari ini dapatlah
membuktikan rasa cintanya terhadap nona berdua, sedikit banyak kalian
mendapat hasil juga"
Ong yan membuka mulut tertawa lebar, katanya : "Kalau demikian kami
berdua malah harus berterima kasih kepada Kongcu."
"Memang kalian harus berterima kasih kepadaku, kalau tidak jangan
mengharap seumur hidup kalian melihat sikap Ki Ping-yan yang gelisah dan
gugup lantaran kalian berdua?" tak tertahan dia terloroh-loroh geli.
Tak urung Coh Liu-hiang ikut tertawa pula, ujarnya : "Bicara soal tebalnya
muka, mungkin aku tidak akan ungkulan dibanding kau."
Poan Ping cekikikan, katanya : "Kalau demikian, mohon Kongcu suka
membuka belenggu kedua tangan kami, jikalau kami tidak meladeni Kongcu
berdua makan minum, mana kami bisa perhatikan betapa besar rasa terima
kasih kepada Kongcu."
Tapi satu jam telah berselang, dua jam telah berlalu, bayangan Ki Ping-yan
belum juga kunjung tiba setelah hari menjelang tengah malam, Ki Ping-yan
masih belum menyusul datang, lambat laun Poan ping dan Ing-yan sudah tak
bisa tertawa pula.
Poan-ping berkata hampir menangis : "Mungkin rekan kongcu melesat,
mungkin dia tidak begitu prihatin akan diri kami seperti yang Kongcu
bayangkan. Oh Thi-hoa pun mulai gundah, namun mulutnya masih tertawa lebar
katanya : "Tak usah kuatir, dia pasti datang."
"Kalau dia tidak datang?" tanya In-yan, Oh Thi-hoa tertegun. lekas ia
berpaling kepada Coh Liu-hiang.
"Sudah tentu ini urusanku kau kira kau gelisah dan gugup" Sudah
kuperhitungkan dengan tepat, dia pasti akan datang?"
"Kalau dia mau datang, sejak tadi tentu sudah berada di sini?" sela PoanKoleksi
Kang Zusi ping. Oh Thi-hoa tak bisa tertawa pula katanya tergagap-gagap : "Mungkin"
mungkin dia kesasar ke lain tempat."
"Dia sendiri yang mengantar kami berangkat, masakan dia tidak tahu jalan
di daerah ini"
"Memangnya?" "Kecuali dia tidak menduga bila kaulah yang melakukan
gara-gara ini."
"Aku sengaja meninggalkan beberapa tanda yang mencolok, seumpama
orang lain tidak kenal tanda khasku itu, tapi Ki Ping-yang usialima tahun,
mungkin dia sudah bisa membedakannya."
Berkerut alis Coh Liu-hiang, katanya : "Kalau demikian, kenapa sampai
sekarang dia tidak kunjung datang?"
Poan-ping menyela pula : "Jikalau dia benar-benar tidak kemari, apa yang
Kongcu hendak lakukan terhadap kami?"
"Ini?" Oh Thi-hoa menyengir kecut. "Ini" aku?"
Berputar biji mata Ing-yang, tiba-tiba ia tertawa cekikikan katanya : "Dia
tak datang tak menjadi soal, biar kami berdua ikut Kongcu saja.
Oh Thi-hoa menjingkrak seperti disengat kala, teriaknya : "itu tidak
mungkin!" "Kongcu anggap kami jelek dan tidak setimpal?" desak Ing-yan.
"Aku" bukan begitu maksudku, cuma tapi?"
"Memangnya apa maksud Kongcu sebenarnya?" desak Ing-yan pula.
Timbrung Poan-ping : "kongcu menggusur kami kemari tidak sudi bawa


Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kami sekalian! kami" apakah selanjutnya kami bisa berhadapan muka
dengan orang lain?" suaranya semakin pilu matapun merah berkaca-kaca.
Sembarang waktu air mata dapat bercucuran.
"Nona-nona baik, kumohon kalian sekali-kali jangan merengek dan
menangis. Setiap kali melihat anak perempuan nangis hatiku jadi bingung
dan tak bisa berketetapan !"
Kata Poan-ping dengan mata merah : "Lalu kenapa Kongcu tidak mau
terima kami?"
Kembali Oh Thi-hoa melompat sambil berteriak : "Maksudmu cuma supaya
Jago Mampus itu kehilangan orangnya, sekali-kali tiada maksudku hendak
merebut bininya, aku" walau aku amat suka kepada kalian tapi?"
Seketika berseri tawa muka Ing-yan, katanya nyaring: "Jikalau Kongcu
suka kepada kami, kami berjanji akan ikut setia kepada Kongcu."
Poan-ping ikut menyela bicara: "Kalau toh dia tidak perhatikan kami
berdua kenapa kami harus ikut dia?"
Saking gugup Oh Thi-hoa menggosok-gosok kedua tapak tangannya. Coh
Liu-hiang sebaliknya duduk ongkang-ongkang di tempatnya, dengan
tersenyum geli ia habiskan araknya. Oh Thi-hoa menerjang maju merebut
cawan araknya, suaranya menggembor gusar: "Coh Liu-hiang masih tidak
lekas kau bantu mencari akal?"
"Sejak tadi sudah kukatakan, urusanmu sendiri apalagi dua gadis cantik
rupawan seperti mereka janji setia hendak ikut kau, aku harus memberi
selamat dan ikut senang bagi rejekimu yang besar, sekaligus mendapat dua
bini." Oh Thi-hoa berteriak aneh, dampratnya: "Coh Liu-hiang kau ulat busuk ini,
perduli apa yang sedang kau pikirkan dalam benakmu, jika tidak temani aku
antar mereka pulang, biar aku adu jiwa dengan kau!"
Sepanjang jalan, tak henti-hentinya Poan-ping dan Ing-yan cekikikan geli.
Berkata Ing-yan: "Kalau kami harus diantar pulang, kenapa pula semula
kami direbut dan digusur pergi secara kekerasan?"
Poan-ping ikut tertawa, katanya: "Kalau aku tidak kasihan melihat sikap
gugup dan gelisahmu ini, bagaimanapun juga aku tidak mau pulang."
Menghadapi rau muka Oh Thi-hoa yang bersungut-sungut ini, tak terasa
Coh Liu-hiang terkial-kial geli, katanya: "Oh Thi-hoa kuharap selanjutnya
kau tahu diri perempuan dalam dunia ini, tidak semuanya sama seperti Ko
Ah-nam gampang dihadapi, kau merasa Ko-Ah nam enak dihadapi lantaran
kau menyukainya."
"Benar," ujar Oh Thi-hoa getir: "selanjutnya aku tak berani bilang aku
pandai menghadapi perempuan, sekarang ingin rasanya aku berlutut di
hadapan Ko Ah-nam, mencium kakinya yang bau."
Coh Liu-hiang terbahak-bahak, "Kau bisa paham akan pengertian ini,
terhitung kau masih bisa ditolong."
"Kalau kau begitu pintar, tentu kau tahu kenapa Ki Ping-yan tidak
menyusul kemari?" tanya Oh Thi-hoa sambil mendekap mulut.
"Jikalau dia sudah memperhitungkan kau pasti akan mengantar mereka
pulang, buat apa dia susah menyusul sejauh ini?"
Oh Thi-hoa tidak bicara, sesaat kemudian ia berkata pelan: "Jikalau dia
berpikir demikian tentu dia salah! Tiada manusia bodoh sebanyak itu dalam
dunia ini, cuma ada kalanya sementara orang tidak mau melakukan sesuatu
urusan yang memperlihatkan kecerdikan otaknya."
"Disitulah letaknya kenapa Ki Ping-yan bisa menjadi kaya raya dalam
waktu yang begitu singkat, dan sebab kenapa kau selamanya takkan punya
uang, lantaran setiap orang suka bilang kenapa kau ini mungil dan jenaka."
"Ternyata apa aku ini mungil jenaka" Baru hari ini aku tahu?" gelak
tawanya mendadak berhenti, karena dilihatnya jauh di depansana
mendatangi sebuah barisan, ada kereta, ada kuda, agaknya masih terdapat
tujuh delapan ekor unta.
Tatkala itu sudah tengah malam, sepanjang jalan ini boleh dikata bayangan
setanpun tak kelihatan, kenapa rombongan besar manusia dan binatang ini
melakukan perjalanan ditengah malam buta rata"
Bertaut alis Oh Thi-hoa, dalam tubuhnya mengalir darah yang suka turut
campur urusan orang lain, setiap menghadapi kejadian ganjil, jikalau kau
melarang dia pergi melihatnya biar jelas, boleh dikata jauh lebih
menderita daripada kau gorok lehernya.
Kata Coh Liu-hiang tertawa sambil mengawasinya: "Apa pula yang tengah
kau pikir dalam benakmu?"
Alis berkerut, tangan meraba dagu, mengumam mulut Oh Thi-hoa:
"Tengah malam buta rata, menggiring kereta dan binatang kuda dan unta
sedemikian banyaknya, sudah tentu bertujuan mengelabui mata kuping
orang lain, menurut hematku, jikalau orang-orang itu bukan brandal, tentu
kawanan perampok."
"Apa kau ingin hitam mencaplok hitam?"
Oh Thi-hoa tertawa senang. "Kau lho yang mengusulkan." segera dia
keprak kuda terus memapak ke depan.
Tampak rombongan yang berbaris panjang ini terdapat kereta, kuda dan
unta, tapi hanya terdapat dua orang saja, seorang adalah kusir kereta yang
duduk bercokol di tempatnya, seorang lagi adalah laki-laki kekar yang
berkulit hitam. Laki-laki ini mencekal seutas cambuk panjang setombak
lebih, mengenakan kaos yang terbuat dari kulit kambing, nampak jelas
otot-otot dan daging badannya yang kekar sekeras baja.
Laki-laki hitam ini berjalan di barisan paling belakang, meski hanya satu
orang, kuda dan unta dapat ia kendalikan dengan baik dan rapi, satu demi
satu berbaris memanjang menelusuri jalan menuju ke depan, tiada seekor
kuda yang binal, tiada seekor untapun yang meninggalkan barisan, seolaholah
mereka ini pasukan besar yang sudah dapat gemblengan dalam latihan
berat. Bentuk kereta besar itupun amat ganjil, empat persegi, mirip benar
dengan sebuah peti mati, pintu jendela tertutup rapat, entah apa yang
berada didalamnya.
Semakin dipandang dan ditegasi Oh Thi-hoa semakin merasa aneh dan
janggal, bukan saja tidak mirip rombongan brandal atau perampok dan
begal, tidak mirip pedagang, atau suatu perusahaan ekspedisi segala.
Tak tertahan ia lecut kudanya menghampiri laki-laki kekar yang bertubuh
keras seperti menara itu, sapanya tertawa lebar: "Saudara tengah malam
buta rata tergesa-gesa menempuh perjalanan, masakah tidak letih?"
Laki-laki besar kekar itu cuma melirik kepadanya tanpa bersuara.
Baru sekarang Oh Thi-hoa melihat jelas raut muka orang seperti kulit
jeruk yang dikeringkan, kulit dagingnya lekak-lekuk tiada sesentipun kulit
mukanya yang bersih dan mengkilap.
Mengawasi sepasang matanya bersinar guram remang-remang hampir
putih hitam biji matanya susah dibedakan siapapun takkan pernah
membayangkan dalam dunia ini ada manusia yang memiliki sepasang mata
begini rupa. Biji matanya melotot kepada Oh Thi-hoa, namun seolah-olah tidak melihat
Oh Thi-hoa, dulu jelas sorot matanya mengandung hawa ganjil namun
seperti kosong melompong dan hampa.
Ditengah malam buta rata, bertemu dan berhadapan dengan manusia
seperti ini, sungguh bukan suatu kejadian yang menarik, ingin ketawapun
Oh Thi-hoa tak kuasa mengeluarkan suaranya.
Dasar wataknya memang kukuh, namblek, kalau orang tidak hiraukan
dirinya, semakin getol dia mengganggu orang, ingin dia bertanya biar jelas,
lekas kudanya ia putar balik mengejar ke depan, katanya keras: "Hanya
orang yang ada setannya, tidak mau menjawab pertanyaan orang, saudara
apakah ada setan dalam hatimu?"
Kali ini melototpun tidak laki-laki ini kepadanya, hakekatnya orang tidak
perdulikan dirinya.
Oh Thi-hoa tertawa dingin, jengeknya: "Sementara orang boleh kau tak
usah hiraukan mereka, meski dia marah, apa boleh buat orang toh tak
dapat berbuat apa-apa terhadap kau, tapi aku ini bukan orang macam
begituan, jikalau aku sampai marah?"
Dari dalam kereta tiba-tiba menongol keluar sebuah kepala manusia,
katanya sambil tertawa tawar: "Kau tidak perlu marah, hakekatnya dia
tidak mendengar ocehanmu, dia seorang tuli."
Hampir saja Oh Thi-hoa terjungkal roboh dari atas tunggangannya,
teriaknya keras: "Ki Ping-yan, kaukah itu! Kau Jago Mampus ini, sebetulnya
permainan apa yang sedang kau lakukan?"
Orang yang berada di dalam kereta ternyata adalah Ki Ping-yan.
Dari dalam kereta itu ulurkan sebuah tangannya memberi ulapan tangan
sebagai isyarat, barisan segera berhenti, lalu ia buka pintu kereta, pelanpelan
melangkah turun.
Hampir gila Oh Thi hoa saking marahnya, dampratnya menggembor:
"Bukankah kedua kakimu sudah buntung" Sekarang kenapa bisa berjalan?"
Seolah-olah Ki Pin-yang tidak pernah mendengar ocehannya, langsung dia
memapak ke arah Coh Liu-hiang yang kebetulan sedang mendatangi. Coh
Liu-hiang lekas lompat turun dan memapak maju pula.
Mereka berpandangan sambil tertawa lebar, kata Ki Ping-yan: "Aku sudah
datang." "Bagus sekali!"
"Karena aku harus mempersiapkan diri dalam perjalanan keluar
perbatasan, sehingga aku datang terlambat."
Sekilas Coh Liu-hiang pandang barisan ini, katanya tersenyum: "Terlalu
banyak persiapanmu."
"Kebanyakan lebih mending daripada kekurangan."
"Pengalamanmu jelas lebih luas daripadaku, aku dengar petunjukmu."
"Kereta itu boleh untuk istirahat, besok pagi saja boleh kau periksa
segala keperluan kita ini ya."
"Baik." Coh Liu-hiang tidak banyak komentar.
Keduanya tak pernah menyinggung soal kaki putus, tidak bicarakan Ingyan
dan Poan-ping seolah-olah peristiwa hakekatnya tidak pernah terjadi.
Saking gusar dan menahan amarahnya Oh Thi-hoa sampai memburu
napasnya, raut mukanya membesi hijau, tak tahan ia memburu maju.
Ki Ping-yan menyambutnya dengan tawa tawar, katanya: "Di atas kereta
ada arak, jikalau kau belum mabuk, mari silahkan minum beberapa cangkir
lagi!" Sekian lama Oh Thi-hoa melotot mengawasinya, akhirnya ia bergelak
tertawa, serunya:
"Bagus! Meski kau buat aku tertipu mentah-mentah, tapi aku tidak boleh
bersikap kasar terhadap teman baik, kami boleh terhitung seri, mari naik,
kuhaturkan tiga cangkir kepada kau!"
Setelah berada di atas kereta, baru Oh Thi-hoa mengerti, kenapa Ki Pingyan
membuat petak kereta ini mirip dengan peti mati, karena dengan
bentuk seperti ini, ruangan kereta ini menjadi lebar dan nyaman. Boleh
dikata bukan kereta tapi sebuah petak rumah yang berjalan.
Dalam kereta terdapat beberapa balai besar yang empuk, beberapa kain
beludru tebal sebuah meja, setiap benda yang berada di sini agaknya
sudah diatur sedemikian rupa setelah dipertimbangkan dengan masak,
meski banyak jumlah barang, kelihatannya tidak saling berdesakan.
"Mana araknya?" baru saja Oh Thi-hoa hendak bertanya.
Ki Ping-yan sudah ulur tangan menekan sesuatu di bawah balai-balai, dari
kolong balai-balai mendadak meluncur keluar sebuah laci terdapat enam
gelas perak yang mengkilap dan sepuluh botol persegi yang terbuat dari
perak pula. Kata Ping-yan: "Di sini terdapat sepuluh macam arak, dari Motai, Toabin,
Bu-yap ceng sampaipun arak susu kambing dari luar perbatasanpun ada,
kelihatannya botol ini tidak begitu besar, namun isinya tiga kati duabelas
tahil. Kau ingin minum apa" katakan!."
Oh Thi-hoa sudah terbelalak mengawasi laci itu. lama baru dia berkata
menghela napas: "Sekali rekan berbagai macam arak sudah diantar keluar
seolah-olah sebuah khayalan indah bagi seorang setan pemabuk tak heran
manusia siapa saja ingin punya harta kaya memang banyak manfaatnya.
Tiga orang sudah menghabiskan tiga botol arak Oh Thi-hoa tak tahan lagi
katanya : "Kini kalau ada udang besar dari Kangpak cakar merak dan pupu menjangan
dari Kim-hoa untuk teman arak, tempat ini boleh dikata menyerupai sorga,
cuma sayang" "
Belum habis ia bicara dari kolong selimut tebal itu mencelat keluar pula
laci yang lain, dimana bukan saja terdapat udang besar dari Kang-pak,
cakar merak dan pupu menjangan dari Kim-hoa, malah ada ikan rendam
arak dari Hikian angsa panggang ulat laut dari Hayling, daging tulang dari
bagi tapak biruang dari Tiang pek san dan lain-lain pendek kata setiap
makanan yang paling lezat untuk teman sudah lengkap tersedia didalam laci
ini. Kontan Thi-hoa berjingkrak girang teriaknya : "E, eh, apa kau sekarang
sudah pandai main sulapan!"
"Manusia hidup sedapat mungkin harus menikmati segala kesenangan
terutama orang yang punya dosa dan banyak membuat kesukaran orang
lain, pernah suatu ketika, aku kelaparan sampai rasanya aku kupas kulit
dagingku sendiri untuk isi perut, oleh karena itu, sekarang dimanapun aku
berada, lebih dulu aku tumpuk berbagai macam makanan, sampaipun kolong
ranjang, tempat tidurku ada arak ada daging.
Ingin rasanya Oh Thia-hoa tertawa mendengar omongan lucu ini, tapi
setelah ia pikir kau secara seksama, bukan saja tak bisa tertawa, malah
ingin rasanya ia menangis. Katanya yang datar dan tawar ini, bahwasanya
mengandung penderitaan pahit getir, dikala manusia ketakutan menghadapi
kelaparan perutnya, maka boleh kau bayangkan betapa besar derita dan
kesengsaraan yang pernah dialaminya Lama Oh Thi Hoa melongo, bergegas
dia tenggak habis tiga cangkir arak, lalu ia katanya menghela napas dengan
menengadah: "Mungkin memang tidak pantas aku paksa kau kemari."
Ki ping-yan berkata dingin: "Kau tidak paksa aku, jikalau aku benar-benar
tak sudi datang, siapapun jangan harap bisa paksa aku kemari."
Oh Thi-hoa tertawa kecut, tiba-tiba ia bertanya:
"Bagaimana dengan kedua nona jelita itu?"
Jilid 14 "Kenapa tidak kau undang mereka kemari ikut makan dan minum?"
"Mereka sudah pulang"
"Biar apa kau keburu buru suruh mereka pulang, aku dan Coh Liu hiang
cukup tahu dan suka humor, kami pasti akan beri kesempatan kepadamu
untuk bercengkerama dengan mereka"
"kini tiada waktu lagi, sejak kini kita mulai perjalanan menuju ke padang
pasir nan luas, selanjutnya kereta ini takkan berhenti selewat dua kali
minuman teh, dan lagi setiap kali hanya boleh berhenti tiga kali aku
percaya mengandal tenaga dan kekuatan kita, sedapat mungkin sudah
harus dapat kendalikan diri untuk tidak berak dan kencing."
Oh Thi-hoa angkat pundak, tanyanya: "Masakah turun kereta untuk jalan
kakipun tak boleh?"
"Sekali-kali tidak boleh!"
"Kenapa?"
"Memang kita belum tahu apakah pihak musuh sudah menyebar matamatanya
diberbagai tempat untuk menyelidiki dan mencari tahu jejak dan
gerak-gerik kita, oleh karena itu kita harus berjaga-jaga untuk hal ini."
"Kukira itu tidak perlu," sela Oh Thi-hoa.
"Jikalau kita ingin berhasil segala kemungkinan, harus kita perhitungkan
secara matang, jikalau musuh berani, mengganggu Coh Liu-hiang, pastilah
dia bukan sembarang orang."
"Memangnya kita ini orang sembarangan?"
"Sudah kukatakan orang-orang yang tumbuh dan hidup dipadang pasir,
mereka sudah digembleng sedemikian rupa sampai lebih kuat bertahan dari
unta, lebih cerdik dari rase, lebih buas dari serigala, sebaliknya di
dalampadang pasir itu kita selemah seekor kelinci yang tidak tahu selukbeluk
disana ." "Kau terlalu mengunggulkan kebolehan musuh, memangnya kami begitu
tidak becus."
"Karena aku tidak mau mampus dipadang pasir, elang memakan daging
busukan, serigala gegares tulang belulang, sekarang aku masih hidup dan
ingin hidup foya-foya."
"Tapi aku berpendapat?"
"Aku tidak ingin tahu pendapatmu, cuma ingin tahu kalau toh kalian ingin
aku kemari apakah segala sesuatunya dalam perjalanan ini kalian suka
mendengar petunjukku?"
Selama ini Coh Liu-hiang tinggal diam mendengarkan percakapan mereka,


Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baru sekarang ia menyahut tersenyum: "Kau bisa keluar daripadang pasir
dengan tetap hidup membawa kekayaan itu, apa yang kau katakan tentunya
masuk akal dan boleh dipercaya, selalu aku mau menerima dan tunduk
kepada omongan yang masuk akal."
"Bagaimana dirimu?" tanya KiPing -yan melotot kepada Oh Thi-hoa.
Oh Thi-hoa geleng-geleng sambil menghela napas, ujarnya: "Aku hanya
bisa bilang tidak seharusnya aku paksa kau kemari, kalau kau sudah di sini
apa pula yang dapat kulakukan."
"Bagus!" ujar Ki Ping-yan, tiba-tiba ia turunkan semua arak dan sayuran
dari atas meja sekali tekan, lembaran meja itu tiba-tiba bergerak terbalik
ternyata muka sebelahnya bergambar sebuah peta yang jelas sekali
dengan tulisan-tulisan petunjuk.
Dengan sumpit dibasahi arak Ki Ping-yan menggambar sebuah garis
lempang, katanya: "Seharusnya kita tidak boleh menempuh jalan ini untuk
keluar perbatasan, soalnya kau tidak kenal jalan, tapi kebacut sudah
berada di sini maka terpaksa kita harus menyelusuri jalan ini."
"Apakah disini letak Hongho?" tanya Coh Liu-hiang.
"Ya, disini letak hulu Hongho, kita boleh menyelusuri sungai terus sampai
di Ginjwan, aku tahu pengaruh Ca-Bok-hap dulu, belum meluas sampai
selatan Linsan, maka di sepanjang jalan ini kita tak perlu mengharap
memperoleh sumber dari mereka, namun harus berjaga-jaga terhadap
mata kuping mereka."
Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Oleh karena itu," Ki Ping-yan melanjutkan. "Besok setelah kita tiba di Loliong-
wan "teluk naga tua" kalian harus menitipkan kuda disana , disana aku
punya langganan, kau tak usah kuatir."
"Kudaku itu aku harus membawanya", kata Coh Liu-hiang.
"Tidak boleh!" kata Ki Ping-yan tegas dan tandas.
"Mengapa?"
"Bukan saja kuda itu terlalu menyolok mata, juga bisa mendatangkan
banyak kesulitan, apalagi milik mereka, kalau kita bawa kuda itu, itu
berarti membawa pertanda yang gampang dikenali, sekali-kali kita tidak
bole menempuh bahaya sebodoh ini!"
Setelah dipikir-pikir, akhirnya Coh Liu-hiang bungkam.
"Kau harus tahu, sekarang bukan saja pihak lawan secara diam-diam
sedang menunggu dengan segala persiapannya, malah mereka sudah
mendapat keuntungan secara situasi alam dan bumi adat istiadat,
bahwasanya kita tidak punya persyaratan dalam hal ini, jikalau ingin
menang kita hanya main sergap secara di luar dugaan, oleh karena itu
sebelum kita menemukan jejaknya, jejak kita sekali-kali jangan sampai
konangan oleh mereka. Jikalau mereka pinjam keuntungan persyaratan
tadi, kita akan mati konyol tanpa liang kubur."
Lama Coh Liu-hiang menepekur, katanya menghela napas: "Memang tidak
sebanyak itu yang pernah kupikirkan, aku?"
"Kau harus ingat," kata Ki Ping-yan sepatah demi sepatah, "Musuh tahu
karena ditempat mana saja tak berhasil membunuh kau, maka kau
dipancingnya ke padang pasir, kalau dia memancingmu kemari, tentulah
karena dia yakin dan punya pegangan membunuhmu di padang pasir, inilah
suatu perjuangan hidup yang paling besar rumit dan sulit selama hidupmu,
mana boleh kau tidak lebih banyak berpikir?"
Coh Liu-hiang menyengir kecut, ujarnya: "Tapi ada kalanya sesuatu tidak
boleh dipikir terlalu banyak dan luas."
Ki Ping-yan menenggak seteguk arak, katanya: "Baik! Sekarang persoalan
apapun tak perlu kita pikirkan, tidurlah lebih dulu, meski tak bisa tidur
harus dipaksa untuk tidur, karena sejak sekarang kita jangan membuang
tenaga." Balai-balai itu cukup besar, ketiganya sudah rebah dan tidur.
Tangan Oh Thi-hoa masih pegangi sebuah cangkir, tiba-tiba berkata
dengan tertawa: "Bagaimanapun, sekarang terhitung kami bisa tidur
bersama pula, seperti puluhan tahun yang lalu"! Kehidupan manis dan indah
masa lalu."
"Hari-hari itu belum tentu indah, waktu itu kita minum arak kecut, rebah
di atas rerumputan yang dingin, sekarang kita justru tidak di atas ranjang
yang empuk dan hangat."
Oh Thi-hoa menghela napas, ujarnya menggeleng: "Kehidupan masa silam
selamanya merupakan kenangan manis, sayang soal demikian selamanya kau
takkan mengerti, karena kau kurang romantis, terlalu jujur dan suka
menghadapi kenyataan terlalu kasar, kau hanya tahu?" tiba-tiba ia gerakan
mulutnya, karena ia dapati Ki Ping-yan sudah mendengkur.
Hari kedua menjelang magrib, mereka tiba di Lo-liong-wan.
Di dalam sebuah perkampungan petani milik Ki Ping-yan, Coh Liu-hiang
bertiga turun dari kereta, mendadak hatinya merasa berat berpisah
dengan kuda hitam ini, tanpa sadar ia menggumam dengan tertawa getir:
"Mungkin aku memang sudah tua hatiku semakin lembek, kuda itupun
meringkik sedih."
Coh Liu-hiang mengelus punggungnya yang datar dan bidang, katanya
tertawa: "Apa kau pun berat berpisah dengan aku" Kuatir setelah berpisah
hari ini, selamanya takkan berjumpa lagi?"
Oh Thi-hoa sebaliknya seperti amat bersemangat, bersama Ki Ping-yan
mereka sedang periksa kereta dan unta, setiap benda harus diperiksa
dengan teliti, tanya ini tanya itu.
Sekarang dia sudah tahu laki-laki kekar tinggi bisu tuli itu bernama Ciok
Tho "unta batu", tapi sungguh ia tidak habis berpikir, kulit daging manusia
bagaimana bisa berubah begitu rupa.
Kini dia pun sudah tahu anak muda yang pegang kendali itu bernama SiauKoleksi
Kang Zusi Phoa, Siau-phoa sebetulnya bukan anak muda lagi, sedikitnya sudah berusia
tiga puluhan tahun cuma pembawaan mukanya mungil seperti raut muka
orok kecil sebelum bicara mukanya sudah tertawa, setelah bicara masih
tertawa juga, sehingga setiap orang yang menghadapinya tak bisa marah
meski hatinya mendongkol.
Semakin dipandang Oh Thi-hoa merasa orang ini amat menarik, tak tahan
ia menghampiri dan tanya: "Siau-phoa, tahun ini apa usiamu sudah tigalima
?" "Bicara terus terang, satu bulan lagi, usiaku sudah genap empat puluh
tiga." "Hah, empat puluh tiga, sungguh luar biasa" laki-laki usia empat puluhan
tahun, kau msih suka dipanggil Siau-phoa (phoa sikecil), emangnya kau
begitu senang?"
"Umpama aku sudah berusia delapan puluh, orang tetap memanggilku Siauphoa,
tapi ini bukan soal yang harus ditonjolkan, malah boleh dikata suatu
yang memalukan!"
"Ki Ping-yan mau membawamu, kau tentu mempunyai sesuatu kepintaran
yang luar biasa, coba kau punya kebolehan apa" Pertunjukkan kepadaku
mau tidak?"
Siao-phoa unjuk tawa berseri, sahutnya: "Kebolehanku justru aku tidak
bisa apa-apa, apapun aku tidak mengerti. Seseorang setelah mencapai usia
empat puluhan, namun apapun tidak bisa dan diketahui, kukira suatu hal
yang sulit dilakukan orang lain, coba pikir, benar tidak?"
Oh Thi-hoa terkial-kial serunya: "Kau bisa bicara demikian, ini
menunjukkan bahwa kepintaranmu tentu luar biasa."
Lama kelamaan, lebih jelas ia mengetahui bukan saja Siau-Phoa ini setiap
kali bertemu dengan orang bisa bicara dan berkelakar bertemu setan
menggunakan bahasa setan, malah dia memiliki suatu kepandaian istimewa.
Bahasa daerah dari dua pinggiran sungai besar, dari Hokkian sampai ke
Kwiciu dari Tibet sampai ke Sinkiang bahasa dari suku bangsa dan daerah
dapat diucapkan dengan lancar dan logat yang mirip sekali, seolah-olah dia
memang penduduk asli dari daerah-daerah itu, hubungan apapun dan
persoalan apapun terhadap orang lain itu, boleh pasrahkan kepadanya
dengan lega hati, seumpama dia bekerja dengan pejamkan mata, tanggung
takkan bisa dirugikan.
Sebaliknya Ciok Tho meski bisu dan tuli tak bisa bicara dengan manusia,
tapi dia bisa bercakap-cakap dengan binatang peliharaannya, seolah-olah
dia menguasai sesuatu bahasa rahasia yang luar biasa untuk hubungan
antara pikiran dan raganya dengan binatang-binatang itu.
Apapun yang sedang dipikirkan dalam benak keledai, kuda atau unta, dia
bisa tahu dengan baik, apa yang hatinya ingin supaya binatang itu lakukan,
ternyata binatang itu menurut berbuat seperti petunjuknya.
Kadang kala Oh Thi-hoa berpikir-pikir dan tak habis mengerti entah
dengan cara apa KiPing -yan berhasil menemukan kedua orang ini, sungguh
tidak bisa tidak ia harus memuji dalam hati.
Kereta berjalan terus siang malam tak hentinya. Siau-phoa dan Ciok Tho
seolah-olah tidak pernah tidur, tapi beberapa hari kemudian semangat
Siau-phoa masih segar bergairah, mukanya selalu berseri tawa riang dan
gembira, sementara Ciok Tho pun tak pernah menundukkan kepala.
Berkata Oh Thi-hoa: "Apakah kedua orang itu boleh tak usah tidur?"
"Adasementara orang, apapun yang sedang dia lakukan, dia boleh bekerja
sambil tidur."
"Waktu pegang kendali menjalankan kereta juga bisa tidur?"
"Kuda sudah tahu jalan, kenapa kusirnya tidak boleh tidur?"
Oh Thi-hoa berpikir-pikir, ujarnya: "Benar. Waktu kendalikan kereta ia
tetap duduk tapi Ciok Tho bukan saja tidak pernah duduk, malah berdiri
tegakpun dia tidak pernah, memangnya sambil berjalan diapun bisa tidur?"
"Ya, memang begitulah kejadiannya." sahut Ki Ping-yan tawar.
Oh Thi-hoa terloroh-loroh, serunya: "Kau anggap aku ini bocah umur tiga
tahun?" Ki Ping-yan menarik muka dan tunduk kepala, mulutnya terkancing rapat.
Coh Liu-hiang malah menyela tertawa: "Memang ia tak menipu kau,
memang ada orang yang bisa tidur sambil berjalan, karena kedua kakinya
bergerak, tapi semangatnya sudah lepas dan pikiranpun kosong, mirip
benar dengan orang tidur."
"Suatu kebolehan lain yang tidak kecil artinya." ujar Oh Thi-hoa tertawa.
"Kebolehannya itu bukan pembawaan sejak dilahirkan, tapi merupakan
hasil tumpuan dan gemblengan yang luar biasa, seorang bila dia digusur
dengan cambuk, tanpa berhenti berjalan satu tahun lamanya, asal
pejamkan mata cambuk pasti melecut badannya, lama kelamaan seumpama
dia berjalan diatas salju dengan kaki telanjang, diapun bisa tidur dengan
nyenyak." "Apakah Ciok Tho dulu pernah mengalami penderitaan begitu rupa?"
"Em! berat suara Ki Ping-yan.
"Tapi kenapa orang lain menyuruhnya terus berjalan, sampai setahun
lamanya?" Sesaat kemudian baru Ki Ping-yan berkata: "Pernahkah kau melihat
keledai yang menarik gilingan?"
"Pernah"
"Nah, dia pernah dipandang sebagai keledai untuk menarik gilingan, cuma
sudah tentu keadaannya jauh lebih sengsara dari keledai, keledai punya
waktu-waktu tertentu untuk istirahat, kakinya justru tak pernah berhenti,
dia menarik gilingan setahun penuh.
Bergidik Oh Thi-hoa dibuatnya, katanya naik pitam: "Siapa orang itu"
Kenapa begitu kejam" Kenapa pula menyiksanya sedemikian rupa?"
Ki Ping-yan geleng-geleng kepala, tak bersuara lagi.
Terpaksa Oh Thi-hoa tenggak arak sebanyak banyaknya, sungguh hatinya
kurang percaya. "Mana mungkin seseorang bisa tidur diwaktu berjalan?"
akhirnya dia berkeputusan hendak membuktikan diri.
Seumpama kereta ini merupakan kereta paling nyaman, segar dan mewah
di seluruh kolong langit, tapi setiap hari harus dikurung didalamnya, tidak
bisa bergerak tidak boleh keluar lama kelamaan Oh Thi-hoa merasa sebal
dan gerah, hampir saja ia menjadi gila karenanya. Memangnya dia ingin
mengerjakan sesuatu pekerjaan. Maka dia mendekam d pinggir jendela
kereta, dengan mata terpentang lebih dia awasi Ciok Tho, ingin dia melihat
bagaimana dia tertidur dikala kakinya melangkah.
Biji mata Ciok-Tho yang berwarna kelabu itu, selalu terbelalak lebar,
dengan kosong memandang jauh ke depan, seolah-olah dapat melihat suatu
pemandangan indah, yang tak mungkin terlihat oleh orang lain.
Dengan seksama Oh Thi-hoa selalu memperhatikan dirinya, sendiri
kemudian, mendadak ia tertawa gelak-gelak katanta :
"Keparat benar Jago Mampus kau ini, ternyata menipuku lagi."
Heran Ki Ping-yan dibuatnya tanyanya mengerut alis : "menipu apa kau?"
"Matanya selalu terbuka dan tidak pernah terpejam, mana bisa dia
tertidur?"
"Dia tidur tanpa pejamkan mata." sahut Ki Ping-yan.
"Memangnya kenapa pula?"
Karena dia memangnya seorang buta. Buta" Oh thi-hoa berjingkrak
bangun. Maksudmu bukan saja dia bisu dan tuli, matanya pun buta?"
Ki Ping-yan bungkam, selamanya tak pernah dia memberi keterangan
kedua kalinya. "Tak heran kedua biji matanya itu kelihatan begitu aneh, tapi" seorang
buta kenapa bisa berjalan seperti dia" Sungguh aku lebih tidak mengerti."
"Binatang disampingnya tiada binatang?" "Dia akan berusaha mencarinya
seekor." "bicaramu semakin membingungkan, seperti dongeng belaka, memangnya
dia itu seekor binatang?"
"Adakalanya memang dia boleh dianggap seekor binatang, karena dia
sendiripun menganggap bahwa dia itu seekor binatang buas malah dia
beranggapan berkumpul sama binatang buas, jauh lebih gampang dan aman
daripada dengan manusia"
"kalau begitu, kenapa dia mau bekerja bagi kau?"
Mulut Ki Ping-yan terkancing lagi, Oh Thi-hoa melihat bukan saja orang
tidak sudi menjawab pertanyaan ini, orangpun tidak mau
memperbincangkan persoalan ini. Siapa tahu sesaat kemudian, dengan
kalem sepatah demi sepatah Ki Ping-yan malah bilang : "Itulah karena aku
pernah menolong jiwanya."
Kini Oh Thi-hoa yang berdiam diri, katanya menghela napas kemudian :
"Jadi kenapa kau suka membawa seorang yang buta tuli dan bisu itu untuk
menempuh bahaya dipadang pasir?"
Karena bila dipadang pasir, dia jauh lebih berguna dari sepuluh orang yang
tidak buta, tidak tuli dan tidak bisu.
Padangpasir. akhirnya mereka tiba dipadang pasir.
Itulah sebuahkota kecil di pinggiranpadang pasir, berdiri didekat pintu
sebuah penginapan satu-satunya yang terdapat dikota kecil itu menyawang
jauh ke depansana , kepadang pasir nan luas tak berujung pangkal.
Dalamkota kecil itu hanya terdapat beberapa keluarga saja, mereka hidup
dengan penuh penderitaan ditengah badai pasir yang tak kenal kasihan itu.
Barang mustika satu-satunya kolektif mereka hanyalah sebuah perigi yang
birisi air yang tidak boleh dikatakan jernih.
Dengan harga yang sepuluh lipat lebih mahal dari harga arak. Ki Ping-yan
membeli puluhan kantong air itu, lalu dengan harga yang jauh lebih murah
dari daging babi dia jual beberapa ekor kuda yang sudah kelihatan itu
kepada penghuni kota kecil itu, lalu menyulut api membakar petak kereta
itu, itulah barang-barang kesayangannya dia tak bisa membawanya,
terpaksa dibakar saja.
Dia paling pantang segala miliknya yang paling dia sukai terjatuh ke tangan
orang lain. Tak tahan bertanya Coh Lui-hiang : "aku tahu kenapa kau bakar kereta
besar ini. Tapi tak mengerti kenapa kuda-kuda itu kau jual" Seumpama kau
ini seorang kikir, memangnya kau ingin menambah beberapa keping uang
perak sebagai ongkos jalan?"
"Jikalau kita bawa kuda-kuda ini kepadang pasir, dalam jangka tiga hari,
mereka sudah akan mampus keletihan."
"Kenapa tidak kau lepas mereka saja" Kuda tahu jalan dan bisa pulang,
mungkin dia bisa tiba dirumah."
"Mereka pasti takkan bisa pulang."
"Kenapa?"
"Sepanjang jalan ini, bukan hanya saja banyak begal, kuda yangmalang
melintang sepanjang tahun tidak sedikit jumlah manusia yang kelaparan,
jikalau aku melepas mereka pulang, seumpama mereka tidak tertangkap
oleh kawanan begal kuda, mereka bahkan menjadi santapan perut orangorang
kelaparan itu. "Kau anggap penghunikota kecil ini bakal memeliharanya baik-baik?"


Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, mereka penduduk genah, suka menghemat dan berhati baik, terhadap
kuda peliharaan pasti menyayanginya, aku yakin kuda-kuda itu akan
dipelihara dengan baik," baru sekarang ujung mulutnya menyungging
senyuman katanya pula:
"Dengan demikian, kalau mereka menjual kuda-kuda itu, tentu harga yang
lebih tinggi, maka orang itu sekali-kali takkan membunuh kuda itu untuk
dimakan." "Kalau demikian kenapa tidak kau berikan saja kuda itu kepada mereka?"
"manusia biasanya terlalu sayang dan eman terhadap sesuatu barang yang
dibelinya jikalau barang sumbangan atau pemberian orang sedikit banyak
tentu dipandangnya sepele dan kurang berharga."
Lama Oh Thi-hoa menepekur, katanya kemudian dengan menarik napas:
"Kat nyana kau bisa berpikir begitu cermat bagi kuda-kuda itu, agaknya
belakangan ini kau sudah sedikit berubah."
"Kau kira itu maksudku sendiri?"
"Bukan maksudmu, memangnya maksud siapa?"
Pertanyaan ini tidak perlu dijawab oleh Ki Ping-yan, karena saat itu dia
sudah melihat raut muka Ciok Tho yang dingin kaku, buruk seperti diukir
dari batu batu keramik.
Raut muka yang seperti diukir dari batu batu keramik ini, tatkala itu
sedang menampilkan perasaan sedih, seolah-olah sedang sedih karena
harus meninggalkan teman baiknya, sementara ringkik kuda-kuda itupun
terdengar sumbang dan lemah seperti helaan napasnya.
Kini Coh Liu-hiang, Oh Thi-hoa dan Ki Ping-yang sudah berdandan, samaran
mereka mirip benar dengan pedagang pelancongan yang hendak menempuh
perjalanan jauh ditengah lautan pasir nan luas ini.
Ciok Tho sebaliknya berdandan seperti orang Mongol, selembar kain putih
yang lebar dan panjang dia ikat di atas kepalanya, tujuannya bukan untuk
menutupi batok kepalanya dari terik matahari, tujuannya adalah untuk
menutupi selembar mukanya.
Mengenai Siau-phoa" Dia boleh sembarangan suka mengenakan pakaian
apa saja, meski kau campurkan dia dengan segala macam bangsa,
kehadirannya tidak akan menyolok mata.
Disaat hari hampir mendekati magrib mereka berangkat memasuki lautan
pasir. Tatkala itu, walau sang surya sudah terbenam, hawa panas sedang
mengepul naik dipermukaanpadang pasir, maka panasnya luar biasa, ingin
rasanya mencopoti pakaian yang melekat dibadan.
Tapi tak menjelang lama suhu panas itu dengan capat sudah menghilang,
disusul hawa dingin yang menusuk tulang menerpa muka terasa pedas dan
perih seperti diiris dengan pisau.
Ingin rasanya Oh Thi-hoa menyembunyikan badannya di bawah perut unta,
duduk di punggung unta, rasanya seperti naik perahu yang diombangambingkan
ditengah samudera raya. Coh Liu-hiang, Ki Ping-yan dan SiauKoleksi
Kang Zusi phoa pun duduk d ipunggung unta, melihatgaya duduk Oh Thi-hoa diatas
unta, hampir saja mereka terpingkal-pingkal. Memang siapapun yang duduk
di atas punggung unta takkan enak dan sedap dipandang mata.
Hanya Ciok Tho yang mengikuti langkah unta-unta itu selangkah demi
selangkah berjalan tak kenal lelah, perduli dipadang pasir, di tanah datar,
dipadang rumput atau ditengah rawa-rawa, dingin atau panas?"".segala
perubahan seolah tiada pengaruh apa-apa bagi manusia cacat yang satu ini.
Jikalau dulu, pasti Oh Thi-hoa sudah mengajukan pertanyaan : "Kenapa
kaupun tidak duduk diatas unta?"
Kini dia tak perlu mengajukan pertanyaannya, dia tahu Ciok Tho takkan
sudi duduk di punggung kuda, unta atau keledai, karena dia pandang
mereka sebagai teman baiknya.
Malam semakin larut, hawa dingin semakin merangsang dan menjadi-jadi.
Saking kedinginannya Siao-phoa sudah gemetar di punggung unta, untung
tak lama kemudian Ki Ping-yan berhasil menemukan sebuah tempat untuk
berlindung dari hembusan angin badai. Mereka mendirikan kemah di
belakang gundukan bukit pasir, membuat api unggun dari kotoran binatang.
Ciok Tho jejer unta-unta itu menjadi semacam bundaran, punuk unta
untuk menutupi cahaya api.
Diatas api unggun dimasak sewajan sayur, mereka duduk mengelilingi api,
minum arak, mencium hawa yang berbau campuran merica, lombok dan
berambang dimasak campur daging sapi dan kambing.
Baru sekarang Oh Thi-hoa merasa lebih nyaman dan segar.
Sebaliknya Ciok Tho, tetap duduk dikejauhan sana, di bawah penerangan
bintang-bintang yang kelap kelip di padang pasir ini, bukan saja raut
mukanya lebih dingin kaku, lebih buruk, malah terunjuk pula mimik dan
sikap yang aneh.
Pada tempat yang semakin kosong dan luas, diwaktu yang sunyi dan lebih
tenang, sikap dan mimiknya ini jauh lebih jelas dan menyolok, kini dia
duduk menyendiri ditengah padang pasir yang tak berujung pangkal,
ditengah kegelapan malam yang dingin pula, kelihatannya dia seperti
seorang raja yang terusir dari negeri dan rakyatnya, dia sedang mengecap
kesunyian, penderitaan dan penghinaan yang kelewat batas dengan diamdiam.
Sampaipun Coh Liu-hiang, tak terasa diapun mulai tertarik akan
petualangan masa lalu dari manusia misterius yang sudah mengalami
akibatnya dulu, namun sukar dia berhasil menyelami isi hatinya dan jalan
pikiran orang yang misterius ini.
Tapi tak pernah Coh Liu-hiang menanyakan kepada KiPing -yan. Dia tahu Ki
Ping-yan takkan mau menjelaskan atau memang dia sendiripun mungkin
tidak tahu. Setelah larut malam, mereka masing-masing menyelinap masuk ke dalam
kemah untuk tidur. Ciok Tho cukup membungkus badannya dengan selimut
tebal, tidur disamping unta, celentang menghadap langit dimana bintangbintang
bercokol di cakrawala.
Coh Liu-hiang pun tidak tahu apakah orang sudah tidur belum, namun ia
maklum orang lebih suka tidur di pinggir unta, matipun dia tidak mau tidur
disamping orang lain. Sudah tentu Oh Thi-hoa pun ada perhatian akan hal
ini, tidak seperti Coh Liu-hiang, dia tidak bisa menyimpan didalam hatinya.
Setelah ditahan-tahan setengah harian akhirnya ia tak kuat menahan
sabar, tanyanya: "Kenapa dia tidak masuk kemari tidur bersama kita?"
"Karena dia tidak pandang sama derajat dengan kita."
Oh Thi-hoa berjingkarak bangun serunya marah :" Dia pandang rendah
kita?" "Siapapun dia pandang rendah."
"Terhadap kaupun dia memandang rendah?" tanya Oh Thi-hoa melengak.
Ki Ping-yan tertawa tawar, ujarnya :" Ya, sampai akupun tidak terpandang
sebelah matanya."
"Dia pandang rendah dirimu, kenapa mau bekerja demi kau?"
"Bila kau melakukan sesuatu hal untuk orang lain, tidak mesti harus
memandangnya, benar tidak?" tanya KiPing -yan, "Sekarang dia bekerja
demi aku, karena dia merasa hutang budi terhadapku, bila dia merasa
hutangnya lunas, meski aku turut berlutut minta bantuannya dia takkan
sudi tinggal bersama kami."
Kembali Oh Thi-hoa menjublek di tempatnya, lekas ia tuang sebuah cawan
besar penuh arak terus ditengaknya, dia ingin lekas bisa tidur, tapi bolakbalik
selalu matanya terbayang akan raut muka buruk yang bermimik aneh
itu. Siapakah sebenarnya orang ini" Siapa pula yang membuatnya begitu
rupa" Sudah tentu dia tak mendapat jawaban, tanpa sadar mulutnya
menggumam. "Tempat setan seperti ini, sulit juga hidup dalam hari-hari
seperti ini."
Ki Ping-yan yang seperti sudah pulas, saat itu tiba-tiba menyeletuk dingin
:" Sekarang kau sudah merasa sedih dan sengsara ya" Hari-hari yang
betul-betul penuh derita belum lagi mulai lho!"
Dumulai sejak Oh Thi-hoa berani terjun ke dalam sungai di belakang
rumahnya untuk berenang, ia sudah menyukai matahari, sejak itupula
setiap hari cerah, matahari menyinarkan cahayanya yang gemilang, tak
tahan lagi dia pasti mencopot pakaian, menjemur diri dipasir. Yang-ci-kiang
di puncak Ai-ho-lau, di puncak Ceng-shia diatas budur, ditempat teduh di
puncak Hoa-san, ditempat yang paling tinggi di Thaysan, dia pernah
melihat bermacam-macam matahari.Ada yang terik dan panas seperti bara,
laksana laki-laki kebakaran jenggot, ada pula yang halus lembut laksana
pemuda perlente yang romantis, ada yang remang-remang gelap seperti
pandangan si kakek yang sudah lamur, dan ada pula yang cemerlang
menakjubkan seperti seraut muka gadis jelita.
Berani mati, selama hidup belum pernah dia lihat dan menghadapi terik
matahari seperti ini. Meskipun matahari yang satu ini pula, tapi matahari
ditengahpadang pasir ini, mendadak berubah menjadi sedemikian kejam,
ganas luar biasa, seolah-olah seluruhpadang pasir ini hendak dibakarnya
sampai menyala oleh teriknya itu.
Sedemikian panas terik matahari ini sampai Oh Thia-hoa tiada selera
minum arak, hatinya pepat dan mengharap sang surya lekas terbenam
keperaduannya, seorang pemabokan bila sampai tiada selera minum arak
lagi, tentu dia sudah amat menderita serasa ingin mati saja.
Tiada angin, sedikitpun tak terasa adanya angin berlalu, tiada suara yang
paling lirihpun ditengah terik mentari ini, seluruh jiwa kehidupan
ditengahpadang pasir ini, semuanya sudah terbenam dalam keadaan telerKoleksi
Kang Zusi teler hampir mati.
Sungguh tak tahan lagi, ingin rasanya Oh Thi-hoa melompat ke punggung
unta dan mencak-mencak seperti orang kesetanan" pada saat itulah, entah
dari mana datangnya, sayup-sayup ia mendengar suara rintihan. Rintihan
yang amat lemah, tapi ditengah padan pasir yang tenang sunyi seperti
tiada kehidupan ini, kedengarannya begitu jelas seperti seseorang berbisik
di pinggir telinganya.
Tanpa berjanji, Coh Liu-hiang, Ki Ping-yan dan Oh Thi-hoa serempak
menegakkan punggung duduk pasang kuping.
"Kalian mendengar suara itu?" tanya Oh Thi-hoa melebarkan matanya.
"Em!" Coh Liu-hiang mengiakan dengan suara dalam tenggorokan.
"Menurut pendengaranmu, suara apa itu?" tanya Oh Thi-hoa yang suka
cerewet. "Disekirar sini ada orang." sahut Coh Liu-hiang.
"Tidak salah!Ada orang, tapi orang yang sudah dekat ajalnya."
"Dari mana kau tahu?" jengek Ki Ping-yan dingin.
Oh Thi-hoa menyeringai, ujarnya: "Walau aku tidak suka membunuh orang,
tapi suara rintihan orang meregang jiwa melayang ajal, sudah sering
kudengar, menurut hematku, kalau orang itu bukan hampir mati kekeringan
oleh terik matahari tentu melayang ajal karena dahaga."
Pada saat itu pula, terdengar suara erangan lain kumandang, Oh Thi-hoa
sudah tau suara rintihan ini datang dari belakang gundukan pasir tinggi di
sebelah kirisana . Kontan Oh Thi-hoa lompat turun dari punggung ontanya,
serunya: "Disana orangnya, lekas kita tengok kesana."
"Seseorang yang melayang ajal, apanya sih yang enak kau tonton?" tukas
Ki Ping-yan dingin.
"Apanya yang bisa ditonton?" teriak Oh Thi-hoa. "Kau tahu ada orang
hampir mati, memangnya kau cuma melihat saja tanpa sudi menolongnya?"
"Sejak mula sudah kuberi tahu, kepada kau, di ataspadang pasir ini, setiap
hari kau bisa bertemu dengan sepuluh manusia yang meronta-ronta
menjelang ajal, jikalau kau ingin menolong orang, jangan kau lakukan
pekerjaan lain."
Oh Thi-hoa berjingkrak, serunya: "Kau" memangnya kau tidak mau
menolong orang yang hampir mati?"
"Memangnya kedatangan kita kemari hanya untuk menolong orang hampir
mati?" "Begitu kejam hatimu!"
"Ditempat setan seperti ini, hanya orang yang berhati baja saja yang bisa
tetap bertahan hidup, bilamanapun kau hampir mampus, jelas takkan ada
orang yang mau menolong kau, karena bila ada orang sudi membagi air
kepadamu dia sendiri bakal mati karena dahaga."
Coh Liu-hiang tersenyum, timbrungnya: "Tapi bukankah air kita sekarang
cukup berlebihan?"
"Terdapat sejenis manusia lain di dalampadang pasir ini jikalau kau
menolong dia disaat tenaganya pulih badan menjadi segar kembali, malah
mungkin dia membunuhmu, lalu merampas ramsum dan binatang
tungganganmu tinggal lari!"
"Mengandalkan kekuatan kami bertiga, manusia mana dalam dunia ini yang
mampu membunuh kami?"
"Benar!" sela Oh Thi-hoa memberi dukungan.
"Siapa bisa membunuh kita?" lalu ia melotot kepada Ki Ping-yan,
sambungnya: "Agaknya bukan saja hatimu semakin kejam dan telengas,
malah nyalimu justru semakin kecil, seorang bila mempunyai uang terlalu
banyak, mungkin bisa berubah seperti keadaanmu sekarang."
Membeku roman mukaKi Ping-yan,ia tak banyak bicara lagi.
"Peduli kau sudi tak pergi menolong orang, aku pasti akan kesana
melihatnya."
Coh Liu-hiang tersenyum, "Kalau mau pergi mari kita bersama-sama."
Sudah tentu kata-katanya itu ia tujukan kepada Ki Ping-yan, sesaat
lamanya Ki Ping-yan diam saja, akhirnya dia menghela napas, maka barisan
segera membelok ke arah kiri.
Gundukan bukit pasir di sebelah kiri sana tidak luas dan tinggi, begitu
mereka tiba di pengkolan bukit pasir sebelah sana, dari kejauhan mereka
melihat dua orang, begitu melihat kedua orang ini, hati Coh Liu-hiang dan
Oh Thi-hoa serasa hampir membeku dingin.
Kedua orang ini sudah tidak mirip seperti manusia umumnya, tapi mirip dua
bongkah kerat daging kambing yang dipanggang di atas api unggun, dengan
telanjang bulat kedua orang disalip di atas pasir pergelangan kedua
kakinya yang telanjang bulat, jidat dan lehernya masing-masing terikat
kencang oleh kulit sapi, kulit kerbau umumnya basah, tapi setelah dijemur
matahari dan menjadi kering, maka libatan ikatannya menjadi semakin
kencang dan erat, melesak masuk ke dalam kulit daging.
Seluruh kulit badan mereka hampir sudah gosong karena terik matahari,
bibirpun sudah retak, kelopak matanya setengah terpejam, biji matanya
sudah kering, seperti dua buah lubang yang tak terukur dalamnya.
Baru sekarang Oh Thi-hoa benar-benar maklum dan mengerti cara
bagaimana kedua biji mata Ciok Tho itupun menjadi buta. Mata Ciok Tho
mirip pula dengan kedua biji mata kedua orang ini, picak karena dijemur
terik matahari secara hidup-hidup.
Meski Ciok Tho tidak bisa melihat, tak dapat mendengar, tapi begitu ia
berada ditempat itu sekujur badannya mendadak gemetar keras, seolaholah
dia punya indera istimewa yang aneh, bisa merasakan gejala yang
tidak wajar di sekelilingnya serta bencana yang bakal menimpa mereka.
Tali kulit kerbau diputus, dengan selimut tebal Coh Liu-hiang membungkus
badan kedua orang ini, lalu dengan handuk yang dibasahi air dimasukan ke
dalam mulut supaya mereka pelan-pelan menghisapnya.
Lama kelamaan, baru kedua orang ini bisa bergerak dengan gemetar, suara
rintihannyapun semakin keras.
"Air" Air?" mereka bisa mengeluarkan suara, tak henti-hentinya menjerit
mengeluh dan minta tolong.
Coh Liu-hiang tahu bila sekarang mereka lantas diberi air secukupnya,
mereka bisa segera mati.
Oh Thi-hoa menghela napas, katanya: "Sahabat jangan kau kuatir, disini
air cukup banyak, berapa kau ingin minum boleh sesuka hatimu."
Orang yang hampir mati itu dengan melongo hampa membuka mata,
mulutnya tetap merintih: "Air" Air?"
Oh Thi-hoa tertawa katanya: "Kau tidak lega hati?" lalu ia berdiri
menepuk kantong kambing di punggung onta katanya pula: "Coba lihat,
disinilah airnya."
Ki Ping-yan mendadak menghardik dengan bengis: "Siapa yang menyalib
kalian disini?" "Dosa apa yang pernah kalian lakukan"
Orang yang hampir mati ini menggeleng-geleng kepala sekeras-kerasnya,
sahutnya tergagap: "Tidak, tidak" perampok."
"Perampok?" seru Oh Thi-hoa. "Dimana?"
Orang hampir mati ini meronta-ronta angkat sebelah tangannya menunjuk
ke satu arah yang jauhsana , lalu sekuatnya pula menjambak rambut
sendiri, raut mukanya kembali bergetar dan berkerut-kerut kejang,
badanpun gemetar semakin keras.


Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berkata Ki Ping-yan dengan bengis: "Menurut apa yang kutahu, disekitar
sini tiada jejak kawanan perampok, apa kalian membual ya?"
Kedua orang kembali geleng kepala, agaknya kedua biji mata hampir
berlinang air mata.
Berkata Oh Thi-hoa keras: "Mereka sudah dalam keadaan begini
mengenaskan, buat apa kau hendak kempes mereka" Memangnya kenapa
umpama mereka membual, badan mereka tidak mengenakan selembar
benangpun, masakah bisa mencelakai kami?"
Kembali Ki Ping-yan bungkam tidak melayaninya. Soalnya ucapan Oh Thihoa
memang kenyataan kedua orang ini bukan saja telanjang bulat dengan
badan kering dan kusut masai, bertangan kosong lagi tanpa bawa senjata,
seumpama mereka tidak terluka, tiada sesuatu tanda-tanda yang
menunjukkan gejala yang mencuri
Dendam Iblis Seribu Wajah 12 Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Golok Halilintar 3
^