Pencarian

Rahasia Ciok Kwan Im 5

Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long Bagian 5


ngun dengan murka, dengan menghardik
seperti geledek, segera ia menubruk maju.
Teman-temannya yang lain melihat dia berani turun tangan, beramai-ramai
merekapun meluruk maju, sambil menggerakkan kaki tangan seraya
bersorak sorai, ada yang mengambil kursi, ada yang menyingsing lengan.
Kedua tangan laki-laki hitam itu menekan meja, tiba-tiba ia menyedot
napas, entah bagaimana terjadi tahu-tahu meja dan kursi yang didudukinya
ikut terseret ke samping beberapa kaki. Sebetulnya Lo-ban sudah
mengincar dengan tepat, siapa duga tubrukannya mengenai tempat kosong,
celaka malah nubruk seorang temannya yang kebetulan berdiri di sebelah
sana, kebetulan pula laki-laki ini sedang angkat kursi mengepruk "Brak"
untung badan Lo-ban sedang tersungkur sehingga badannya melenceng dan
cepat menggelengkan kepalanya, kalau tidak tentu batok kepalanya
terkepruk pecah. Namun demikian toh dirasakan punggung dan pundaknya
sakit luar biasa, dengan murka ia berjingkrak bangun seraya mencaci:
"Siau-ui, kau anak anjing ini, memang sudah gila?"
Dimaki secara kasar, merah padam muka Siau-ui, serunya: "Siapa suruh
kau main tubruk, memangnya kau picak, kau sendiri anak anjing."
Memang dalam permainan judi tadi, orang she Ui ini selalu menang, maka
Lo-ban merasa iri kepadanya, kini setengah badannya terasa kaku ngilu,
lebih berkobar lagi amarahnya, dampratnya sambil mencak-mencak: "Biar
tuan besarmu tahu siapa keturunan anjing yang tulen."
Ditengah suara caci maki kedua orang itu sudah bergumul dan berhantam
keras lawan keras, kepalan dibalas pukulan, tendangan dibalas sepakan,
suasana menjadi ramai dengan suara gedebukan, keduanya memukul dengan
sekuatnya dan tak berusaha berkelit, maka dalam sekejap saja keduanya
sudah babak belur dan keluar kecap dari hidungnya, laki-laki baju hitam itu
malah menonton mereka berkelahi, matanya tak pernah berkedip.
Ciangkui itu kini menarik muka dan merengut tak bersuara. Tujuh laki-laki
yang menonton disamping ada yang merupakan kenalan baik Lo-ban dan ada
pula yang suka menjilat kepada laki-laki she Ui, mereka sama tepuk tangan
dan berjingkrak memberi semangat dan dorongan kepada kedua orang yang
sedang pukul memukul ini.
Tiba-tiba laki-laki baju hitam kembali menggebrak meja, dampratnya:
"Siapa suruh kalian anjing gigit anjing?"
Baru sekarang Lo-ban dan Siau-ui sama sadar, keduanya tertegun dan
menghentikan serangan, berdiri saling pandang sebentar, amarah Lo-ban
agaknya belum terlampias, dampratnya dengan murka: "Biar tuanmu adu
jiwa dengan kau."
Seperti orang kesetanan ia menubruk membabi buta, tahu-tahu badan
laki-laki baju hitam mengkeret, kembali bersama meja dan kursi melesat
ke samping beberapa kaki, Lo-ban kembali menubruk tempat kosong. Kali
ini orang lain sudah kapok, tiada seorangpun yang berani membantu,
tampak Lo-ban tubruk sana hantam sini, main tendang dan terkam, namun
ujung baju orangpun tak mampu disentuhnya.
Mengelap meja dan memindahkan kursi agaknya sudah menjadi keahlian
laki-laki baju hitam ini, kemana badannya bergerak, meja dan kursi segera
meluncur ke arah yang dikehendakinya. Ruangan ini sebetulnya tidak begitu
besar, apalagi terdapat meja kursi lainnya pula, tapi justru dia bisa
bergerak secara pas-pasan, bergerak leluasa diantara celah meja dan
kursi-kursi, tanpa menyentuhnya sedikitpun.
Biji mata Lo-ban sudah membara, mukanyapun sudah membengkak,
keringat sudah membasahi selebar mukanya, makinya sambil berjingkrak
murka: "Kau keparat, kalau berani berdirilah dan lawan tuan besar
berkelahi, kalau kepandaianmu hanya menyingkir saja, kau bukan manusia,
kau binatang!"
Laki-laki baju hitam terkekeh dingin, jengeknya: "Memangnya tampangmu
setimpal bergebrak dengan aku."
Lo-ban semakin murka, dampratnya: "Kalau pandaimu mengolok-olok saja,
kau memang binatang."
Tiba-tiba melotot biji mata laki-laki baju hitam, sorot dingin terpancar
dari biji matanya, ancamnya sepatah demi sepatah: "Kau ingin aku turun
tangan?" "Aku?"..aku?"." tersendat mulut Lo-ban dengan muka pucat. Tadi dia
begitu beringas, tapi karena dipelototi mata lelaki baju hitam, terasa
kedua kaki menjadi lemas lunglai, lekas ia putar tubuh memburu kehadapan
rombongan laki-laki lainnya, dampratnya mencak-mencak: "Kalian anak
kura-kura, melihat keramaian apa" memangnya tangan kalian sudah kutung
semua?" Karena dampratan ini mereka jadi rikuh dan tak enak hati berpeluk
tangan. Tampak laki-laki baju hitam pelan-pelan menanggalkan sebilah pedang
yang panjang dan tipis, sarungnya berkulit hitam legam, pedang panjang
laksana ular beracun ini diletakkannya di atas meja. Pelan-pelan ia
mengelusnya seraya menjengek dingin: "Pedang ini tak sembarangan keluar
dari sarangnya, sekali keluar harus melihat darah, kalau keluar jiwa pasti
melayang," mulutnya seperti menggumam, namun bagi pendengarnya serasa
mendirikan bulu roma dan menciutkan nyali mereka, saling pandang tiada
yang berani mendahului turun tangan.
Ciangkui itu tiba-tiba menghela napas, katanya: "Kalau tidak berani turun
tangan, tidak lekas ngacir saja, buat apa berdiri di situ membuat malu
saja." Semua laki-laki itu sama menundukkan kepala, keringat dingin
berketes-ketes membasahi badan. Tertawa besar Ciangkui mengawasi lakilaki
baju hitam, serunya memuji: "Sahabat, hebat kepandaianmu, memang
sengaja kau hendak bikin gara-gara disini?"
Melirikpun tidak laki-laki baju hitam itu kepadanya, mulutnya mendehem
saja. Kembali Ciangkui tertawa besar, katanya: "Bagus, kawan berani kemari,
tentunya kami tidak akan bikin saudara kecewa."
Di atas meja kasir ada kelintingan kecil, segera ia mengangkatnya serta
digoyang-goyang. Begitu suara kelintingan kumandang, tujuh delapan
jendela persegi satu kaki di sekeliling dinding serempak terbuka, di luar
jendela kelihatan bayangan orang, disusul setiap jendela menongol keluar
ujung anak panah yang runcing mengkilap tertuju ke arah laki-laki baju
hitam, terang anak panah sudah terpasang di atas busur dan terpentang
tinggal melepas saja.
Laki-laki pelancong yang dilempar keluar masuk tadi, disaat orang sedang
berkelahi, secara diam-diam ia meraih sebuah ceret berisi air teh terus
diteguknya sepuas-puasnya, kini sedang menentramkan napasnya yang
tersengal-sengal, mau tak mau ia merasa kuatir pula bagi keselamatan lakilaki
baju hitam itu.
Sebaliknya laki-laki baju hitam tetap bercokol di atas kursinya dengan
sikap tenang tak gentar sedikitpun, panah yang sudah terpasang di atas
busurnya tertuju padanya, bahwasanya dianggap tidak melihatnya sama
sekali, cuma mulutnya menyungging senyuman dingin. Terdengar dari luar
seseorang bergelak tawa, katanya: "Sahabat, besar benar nyalimu,
memangnya kau tidak takut mati?" suara tawanya laksana genta bertalutalu,
membuat orang yang mendengarnya serasa pecah kupingnya, sebuah
pintu di belakang ruangan tiba-tiba terbuka, dari luar melangkah lebar
seseorang. Tampak orang ini berperawakan tinggi kekar, kira-kira sembilan kaki,
selebar mukanya tumbuh cabang bauk, pintu itu tidak besar namun tidak
kecil, orang itu harus membungkuk badan baru bisa melangkah masuk.
Baju bagian atas laki-laki ini terbuka lebar, tampak dadanya yang kekar
dan tumbuh bulu-bulu lebat hitam, tangannya menjinjing sebilah golok
emas bergelang sembilan berpunggung tebal, panjangnya lima kaki, paling
tidak ada empat lima puluh kati. Orang seperti ini dengan senjata yang luar
biasa pula, sungguh mengejutkan nyali setiap orang yang menghadapinya.
Laki-laki baju hitam cuma meliriknya dengan tawar, jengeknya: "Kau ini
Pan-thian-hong?"
Laki-laki cambang bauk tergelak-gelak pula, serunya: "Bocah, bagus
ternyata kau tahu disini ada Pan-thian-hong, jadi kau memang sengaja
hendak cari gara-gara, baik tuan besarmu biar memberi hajaran kepadamu
saja!" Ditengah berkumandangnya gelak tawa, Kim-pwe-to yang beratnya lima
puluh kati itu terayun tinggi terus membacok dengan dahsyat, tajam golok
sampai mengeluarkan deru angin keras, sementara gelangnya berbunyi
kerontangan, begitu keras dan hebat perbawanya sampai semua hadirin
serasa pekak telinganya, terbang arwahnya.
Demikian pula laki-laki baju hitam agaknya tersedot semangatnya oleh
perbawa golok yang hebat ini, dengan mata mendelong ia awasi golok besar
itu membacok turun mengarah batok kepalanya tanpa bergerak sedikitpun.
Serempak semua hadirin sama unjuk rasa senang, mereka kira sekali
bacokan golok besar ini, pasti mampu membelah badan laki-laki baju hitam
itu menjadi dua potongan. Maka terdengarlah " Prak" golok emas telak
sekali mengenai sasarannya.
Meja kayu yang terbuat dari kayu tebal dan berat bobotnya itu ternyata
terbelah menjadi dua potong, namun laki-laki baju hitam justru tetap
duduk ditempatnya tanpa kurang suatu apapun dan masih segar bugar.
Jelas semua orang melihat dia tidak bergeming dari tempat duduknya, tapi
entah mengapa bacokan golok itu ternyata tidak mengenai dirinya. Semua
hadirin seketika melongo keheranan dan saling pandang. Lo-ban mendadak
terkekeh-kekeh serunya: "Masakah kalian tidak melihat" Ji-ko sengaja
berbelas kasihan, cuma sengaja main gertak sambal belaka untuk menakuti
bocah ini, lalu membabat kutung bagian batok kepalanya."
Semua laki-laki yang hadir sama bersorak senang, seru mereka: "Benar,
bacokan Ji-ko selanjutnya tak usah menaruh belas kasihan lagi, ya bukan!"
Laki-laki cambang bauk menyeka keringat di atas jidatnya, sungguh dia
sendiripun keheranan sendiri kenapa bacokan goloknya tahu-tahu mengenai
tempat kosong, terpaksa ia unjuk tawa kering, katanya: "Adik-adik boleh
lihat, bacokan Ji-ko kedua kalinya biar kucabut jiwanya."
Laki-laki baju hitam tiba-tiba menjengek dingin: "Ilmu golok seperti
permainanmu, paling-paling hanya bisa untuk membelah kayu dan menebang
pohon, jikalau ingin membunuh orang?"..hehehe! Masih jauh sekali!"
Merah padam muka laki-laki bercambang bauk, serunya dengan gusar:
"Ilmu golok yang bagaimana baru bisa membunuh orang?"
Laki-laki baju hitam pelan-pelan mengelus sarung pedangnya, sahutnya
kalem: "Ilmu golok yang bisa membunuh orang seperti ini," ditengah
ucapannya semua orang seperti melihat pedang panjangnya itu terlolos
keluar dari sarungnya, sekali berkelebat belum lagi kata-katanya terucap
habis, pedang runcing panjang laksana ular berbisa itu seperti masih tetap
berada didalam sarungnya tak bergerak.
Sementara laki-laki bercambang baukpun masih berdiri tegak di
tempatnya, cuma kulit mukanya mulai kerut kemerut dan mengejang,
sepasang matanya pelan-pelan melotot seperti biji mata ikan mas.
Melirikpun tidak sudi, berkata laki-laki baju hitam: "Sekarang kau sudah
paham belum?"
Laki-laki cambang bauk menyahut sumbang: "Aku?""aku sudah
paham?"".." belum selesai kata-katanya, tiba-tiba terdengar suara
gemerantang golok berpunggung tebal di tangannya tiba-tiba jatuh
kerontangan disusul tubuh kekar dan tinggi dari laki-laki cambang bauk ini,
tumbang seperti pohon yang kehilangan tunjangan akar-akarnya. Tak
terlihat sedikitpun luka-luka pada sekujur badannya, cuma tenggorokannya
saja kelihatan Setitik Merah darah. Luka-luka yang mencabut nyawanya
ternyata hanya setitik darah saja.
Semua hadirin sama membuka mulut dan tak kuasa bersuara, matapun
terkesima mana mampu bicara lagi. Sesaat kemudian satu persatu mata
mereka melirik ke arah ujung panah yang masih nongol dari balik jendela.
Ujung panah sama masih tertuju ke arah batok kepala dan dada laki-laki
baju hitam, tapi melirikpun dia ogah, tangannya masih mengelus pedang di
pangkuannya. Lo-ban menyurut mundur selangkah demi selangkah, tak tahan dia
berteriak ketakutan dengan suara gemetar: "Ma?"masih tidak lekas lepas
panah?" Entah sejak kapan Ciangkui sekarang sudah keluar dari balik meja
kasirnya, tiba-tiba ia renggut tengkuk orang, sekaligus tangannya yang lain
bekerja pulang pergi menampar mukanya puluhan kali. Serasa hampir
semaput Lo-ban dibuatnya, serunya penasaran: "Lo-toa,?""..kenapa kau
pukul aku?"
Si Ciangkui murka, dampratnya: "Kalau tidak menghajarmu siapa yang
harus dipukul" Apa saja yang kau katakan barusan?"
"Aku?".aku cuma minta para saudara lepas panah!"
Ciangkui tertawa dingin, jengeknya: "Kau ingin supaya mereka lepas panah,
tahukah kau bila panah dilepas siapa yang akan mampus?"
"Sudah tentu bocah keparat itu."
Belum habis kata-katanya si Ciangkui kembali layangkan tangannya
menggampar beberapa kali pula ke pipinya, bentaknya murka: "Tampangmu
juga berani memanggilnya bocah, tahukah kau siapa sahabat ini?"
"Dia?"?"".dia siapa?" Lo-ban terkesiap.
Ciangkui tidak hiraukan pertanyaannya, dengan langkah cepat dia
menghampiri ke depan laki-laki baju hitam, dengan laku hormat dia
menjura, seraya unjuk seri tawa, sapanya: "Para saudara tidak tahu bila
Setitik Merah dari Tionggoan sudah berkunjung ke tempat kami yang
jorok ini, maaf kami tak menyambut selayaknya, harap tuan suka
mengampuni dosa-dosa mereka."
Orang ini betul-betul serigala bangkotan yang licin dan licik, terlebih
dahulu dia hajar Lo-ban habis-habisan, membuktikan bahwa saudarasaudaranya
ini memang tidak tahu dan mengenal Setitik Merah. Baru dia
memohon maaf kepada Setitik Merah. Ini pula yang dinamakan tingkah
laku seorang kawakan Kangouw. Kaum persilatan yang suka kelana di
Kangouw biasanya memang mengutamakan perbuatan tengik seperti itu, dia
kira setelah mendengar dan melihat tindakannya, orang tentu menjadi
sungkan dan sekedar basa-basi selayaknya.
Siapa nyana Setitik Merah justru tidak perduli segala tingkah dan
perilakunya yang tengik ini. Meski seorang kawakan Kangouw yang cukup
berpengalaman, cara apapun yang digunakan bila berhadapan dengannya
boleh dikata sia-sia belaka. Menggerakkan kelopak matapun Setitik Merah
tidak sudi, suaranya tetap dingin kaku: "Teh ini tidak bisa diminum, ganti
yang lain."
Si ciangkui tertegun sebentar, tetap unjuk seri tawa, sahutnya: "Ya,ya,ya
air teh ini tak bisa diminum biar saudaraku ganti yang lain."
Setelah seseorang mengganti dengan air teh dalam ceret yang lain,
dengan kedua tangan sendiri dia angsurkan ke depan orang, siapa tahu
Setitik Merah meraih cangkir terus dibanting ke atas lantai: "Teh ini
kurang baik, ganti ceret yang lain."
Seketika berubah rona muka semua laki-laki yang hadir, sebaliknya si
Ciangkui masih bersikap hormat, roman mukanya tetap berseri tawa,
katanya: "Ya,ya,ya ganti dengan ceret yang lain."
Benar juga dia ganti dengan air teh dari ceret yang lain, kembali ia
angsurkan dengan kedua tangannya, pikirnya: "Seumpama kau memang ingin
membuat keributan kali ini, tentu kau takkan ada alasan main-main lagi."
Tak nyana mengendusnya saja tidak, Setitik Merah kembali membanting
hancur cangkir teh itu, bentaknya: "Teh ini tetap tak bisa kuminum."
Sungguh sabar luar biasa si Ciangkui ini, tak segan-segannya dia
mengganti sendiri secangkir air teh yang lain pula, pikirnya: "Ingin aku
melihat apakah kau tetap akan membantingnya?"
Memang keterlaluan, sekaligus secara beruntun Setitik Merah sudah
membanting hancur delapan cangkir, sikapnya tetap kaku dan dingin. Kini
hadirin sudah menyadari bahwa dia memang sengaja hendak cari gara-gara
menimbulkan keonaran, keringat dingin sebesar kacang sama menghiasi
jidat setiap hadirin.
Meski muka si Ciangkui masih mengulum senyuman, tapi hatinya sudah tak
sabar lagi, tanyanya: "Air teh yang bagaimana baru tuan mau
meminumnya?"
"Air teh yang tidak bau, tentu boleh kuminum," sahutnya.
Ciangkui tertawa kering, katanya: "Masakah air teh ini bau?"
"Hm!"
"Setegukpun saudara tidak mencicipinya darimana bisa tahu bila teh ini
bau?" "Karena tangan orang di sini semuanya berbau."


Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekilas biji mata Ciangkui mengerling ke arah pedang panjang yang
ditopang di atas pangkuan Setitik Merah, katanya terloroh-loroh: "Apa
betul tangan manusia-manusia ini berbau" Cayhe jadi ingin mengendusnya,"
pelan-pelan ia menghampiri terus menarik tangan Lo-ban, ujung kakinya
tiba-tiba menyungkit golok emas terus diraihnya, sekali ayun ia membacok.
Lo-ban melolong sekeras-kerasnya, kontan jatuh semaput.
Dengan membawa kutungan tangan Lo-ban yang berlepotan darah, si
Ciangkui betul-betul mendekatkan ke depan hidungnya untuk dicium satu
persatu, roman mukanya berseri tawa, seperti orang menikmati sesuatu
yang memikat hatinya: "Kedua tangan ini sebetulnya sih tak begitu bau,
cuma mengandung bau anyir darah."
Agaknya dia merasa kata-kata yang dia ucapkan ini adalah banyolan yang
menggelikan, belum selesai kata-katanya, badannya sudah bergoyang
karena loroh tawanya yang keras. Tapi kecuali dirinya siapa pula yang bisa
tertawa. Bahwasanya dia sendiri heran betapa dia sendiripun bisa tertawa.
Dengan mendelik matanya menatap kepada Setitik Merah, batinnya:
"Membunuh orang cukup menganggukkan kepala, seumpama kau memang
ingin cari gara-gara, apa yang kulakukan kiranya sudah cukup keterlaluan?"
Jikalau orang lain, meski hati sedang dirundung kepedihan atau sedang
marah besar, setelah melihat adegan seram tadi mestinya amarahnya
sedikit banyak tentu sudah terlampiaskan, seorang bila bisa menahan diri
sampai sedemikian jauh, apa pula yang dapat dilakukan orang lain.
Sampaipun si Burik dan si bungkuk dalam hati merasa kasihan dan menarik
napas, mereka heran kenapa orang yang berjanji dengan Setitik Merah
untuk bertemu ditempat ini belum juga kunjung tiba"
Apa boleh buat, hati Setitik Merah seperti dibuat dari besi baja, apapun
yang dia katakan, apapun yang dia lakukan, dia bisa anggap tidak melihat
dan tidak mendengar, sikapnya tetap kaku tak bergerak.
Lama kelamaan si Ciangkui tak bisa tertawa lagi, setelah dua kali tertawa
kering, dia maju menghampiri dan menuang secangkir air teh dengan kedua
tangannya, ia haturkan kepada Setitik Merah, katanya: "Selama dua puluh
tahun Cayhe tidak pernah menyuguh air teh kepada siapapun dengan kedua
tanganku ini, maka kedua tanganku ini tentu tidak bau, jikalau saudara suka
memberi muka kepada Cayhe, sungguh Cayhe teramat terima kasih."
Setitik Merah melirikpun tidak ke arahnya, matanya malah mengawasi
cangkir ditangan orang, katanya pelan-pelan: "Jadi kau inilah Pan-thianhong!"
Ciangkui tertawa dibuat-buat, sahutnya: "Ah, julukan yan tak berarti,
bikin kotor pendengaran saja."
"Tak heran kau bisa hidup sampai sekarang, orang seperti tampangmu ini
kiranya Pan-thian-hong itu, sungguh tak kentara."
"Di hadapan seorang sahabat, sebetulnya Cayhe tak bisa dianggap Panthian-
hong, hanya boleh dipandang seekor ulat".haha! Cuma seekor ulat
belaka, buat apa saudara harus berurusan dengan seekor ulat."
"Benar, kau memang seekor ulat, tanganmu itu lebih busuk dari mereka."
Kulit muka Pan-thian-hong yang kuning itu seketika berubah pucat,
suaranya mulai gemetar: "Saudara, kau"..sebetulnya kau ingin."
Tiba-tiba terdengar tawa cekikikan nyaring dari luar pintu, seorang
berkata dengan suara merdu: "Kiranya tangan Pan-thian-hong juga berbau
busuk, ingin aku menciumnya malah, tahu-tahu seorang gadis muda berusia
belasan tahun bermata bening, bergigi putih rata, rambutnya dikepang
menjadi dua, pakaiannya serba merah, dengan gemulai melangkah masuk.
Hujan pasir ditengah gurun sering terjadi, orang-orang yang memasuki
rumah selalu berlepotan lumpur berpasir, tapi badan gadis jelita ini
sedikitpun tidak kotor.
Hawa membunuh memuncak didalam rumah ini, darah berceceran, mayat
menggeletak tak diurus. Tapi tawa gadis jelita ini begitu manis begitu
riang seolah-olah dia baru saja keluar dari taman kembang yang subur
semerbak memasuki kamar tidurnya sendiri, laki-laki kasar yang memenuhi
ruangan ini seolah-olah adalah kacung atau pesuruh di rumahnya.
Pada saat seperti ini, ditempat seperti ini pula, tiba-tiba muncul seorang
gadis jelita seberani ini, pandangan semua orang secara tak sadar sama
mendelong mengawasinya, mulut terbuka lebar tak bersuara.
Tampak sambil berseri tawa, gadis jelita itu langsung menghampiri ke
depan Pan-thian-hong, katanya sambil melerok: "Apa tanganmu benarbenar
busuk?" Pertanyaan ini sungguh jenaka dan bikin orang jengkel dan geli pula,
sesaat lamanya Pan-thian-hong sendiri megap-megap tak mampu menjawab:
"Nona?"".Cayhe?"?"
"Kelihatannya kedua tanganmu ini putih bersih, mana bisa berbau busuk"
Aku tidak percaya?"?"" pelan-pelan ia raih kedua tangan Pan-thian-hong.
Gadis jelita secantik ini, tawa nan merdu, masakah Pan-thian-hong tega
menolak tangannya diperiksa"
Setitik Merah tetap tak menunjukkan perubahan mukanya, cuma sekilas
biji matanya melirik kepada si Burik dan Si Bungkuk, seperti bertanya:
"Kalian lihat orang macam apa sebenarnya gadis ini?"
Si Bungkuk dan si Burik beradu pandang, dalam hati masing-masing sama
teringat akan Ciok-kwan-im. Jikalau gadis ini bukan Ciok-kwan-im tentu dia
punya hubungan erat dengan Ciok-kwan-im. Orang mendadak muncul
ditempat ini, apakah tujuannya"
Sekonyong-konyong tampak selarik sinar perak berkelebat, disusul jeritan
keras yang memekakkan telinga. Tampak Pan-thian-hong sempoyongan
mundur tiga langkah, kontan badannya tumbang celentang seperti pohon
roboh. Tahu-tahu tangan gadis baju merah itu telah mencekal sebuah pisau yang
berkilauan, ujung pisau masih berlepotan darah, cara bagaimana orang
menggerakkan pisau peraknya tiada seorangpun yang melihat jelas.
Terdengar gadis baju merah cekikikan pula, katanya: "Tangan ini
sebetulnya sih tidak bau, cuma sedikit berbau darah."
Laki-laki yang lain serempak menggembor seperti kesetanan, berbareng
menubruk maju. Jelalatan biji mata gadis baju merah, jari-jarinya mengkili-kili pipi sendiri
sambil menggoda jenaka: "Kalian mau apa, begini banyak laki-laki hendak
menganiaya anak perempuan, tidak tahu malu?" mulut bicara sementara
pisau di tangannya bekerja dengan tangkas, dua laki-laki yang menubruk
duluan seketika menjerit dan roboh tak bernyawa lagi, tenggorokannya
berlubang dan darahpun bercucuran.
anak gadis semuda ini, bersikap aleman, halus dan jenaka, ditengah senda
guraunya beruntun menamatkan jiwa dua laki-laki kasar, yang lain mana
berani banyak tingkah pula.
Mengawasi darah yang muncrat kemana-mana itu, si gadis baju merah
menghela napas, ujarnya menawan hati: "Tak heran Setitik Merah dari
Tionggoan menggetarkan dunia, baru sekarang aku tahu membunuh orang
tak kelihatan darah, hanya setitik darah di ujung pedang! "Gampang" katakata
ini diucapkan, tapi untuk melakukannya sungguh tak mudah."
Biji matanya mengerling ke arah Setitik Merah, katanya pula: "Coba lihat,
hanya sedikit menggunakan tenaga, darah mereka sudah berceceran
sedemikian banyak, sungguh memualkan, dibanding caramu jauh sekali
bedanya." Dengan dingin Setitik Merah mengawasinya, katanya dingin: "Peduli siapa,
membunuh orang tiada seninya dan enak dipandang mata."
Gadis baju merah cekikikan pula, ujarnya: "Cuma kau, orang lain membunuh
orang ya membunuh orang, kau membunuh orang sebagai buah karya yang
tiada bandingannya."
Siau-ui sedang menyurut mundur, diam-diam ia memberi isyarat ke
jendela, maksudnya supaya mereka melepas anak panah, tak nyana
kerlingan mata gadis baju merah tiba-tiba tertuju ke arahnya, teriaknya
nyaring: "Aduh! Coba kalian lihat jahat tidak orang ini, dia ingin orang lain
memanah mati diriku."
Seketika dingin tengkuk dan kaki tangan Siau-ui, kakinya tak bergerak
lagi. Gadis baju merah malah menghela napas, ujarnya lembut: "Sayang panahpanah
itu takkan bisa memanah mati orang, tidak percaya coba kau lihat."
langkahnya ringan menghampiri jendela, dengan kedua jarinya ia jepit
pelan-pelan sebatang anak panah, panah itu dengan gampang terjepit
diantara jari-jarinya, sekali potes patah menjadi dua.
Semua laki-laki kasar itu semakin ketakutan, bernapaspun tak berani
keras-keras. "Apa kalian heran?" ujar gadis baju merah.
"Sebenarnya tak perlu dibuat heran, orang hidup baru bisa main panah,
orang mati mana bisa lepaskan panah?"
Bergetar suara Siau-ui: "Kau?"".kau bunuh mereka?"
"Coba kau pikir, bila ada orang hidup mengacungkan panah kepadaku, apa
aku bisa masuk kemari" Nyaliku kecil, tak punya kepandaian seperti
Setitik Merah ini."
Serasa lemas kaki Siau-ui, seketika ia melorot jatuh dengan lunglai.
Tak tahan Setitik Merah bertanya: "Dari mana kau tahu namaku?"
"Kenapa aku tak tahu namamu, kau adalah orang yang paling kukagumi,
apalagi kedatanganku sekarang tujuannya adalah menyambut kau."
Berkerut alis Setitik Merah, "Menyambut aku?"
"Bukankah kau ada janji bertemu dengan orang di sini?"
"Ehm!"
"Kini mereka sedang sibuk urusan penting maka tak bisa kemari dan suruh
aku membawa kau kepada mereka. Sekarang aku sudah datang, kaupun
perlu segera berangkat."
"Berangkat?".." Setitik Merah ragu-ragu.
"Kau tak mau berangkat" Memangnya hendak bunuh habis orang-orang ini"
Sungguh kebetulan malah, selamanya aku mengharap bisa melihat kau
membunuh orang."
Tanpa banyak bicara Setitik Merah tarik kedua utas tali yang membelit
orang, terus ditariknya si Bungkuk dan si Burik, tiba-tiba berkerut alisnya,
katanya: "Kau tangkap kedua orang sebagai gandengan anjing mainan,
kenapa tidak kau pilih yang bagus dan cantik" Manusia seburuk ini, aku
sebal melihatnya, memalukan saja, lebih baik aku kirim mereka pulang ke
asalnya saja," dimana tangannya terayun, pisau perak di tangannya
menyambar ke tenggorokan si Burik dan si Bungkuk, "Creng" sarung pedang
hitam laksana ular sakti tahu-tahu menangkis pisau perak itu.
"Lho! Kau merasa sayang bikin mereka mampus?"
"Orang yang ingin kubunuh, tak perlu orang lain mewakili aku turun
tangan." "Kau kira aku suka berebut membunuh orang dengan kau?"
"Urusan membunuh orang, tiada orang yang bisa berebut dengan aku,
tiada orang yang berani."
"Legakan hatimu, orang seperti ini kubunuh dia malah mengotori
tanganku!"
Jilid: 21 Begitu gadis baju merah ini mengatakan hendak menjemput Setitik Merah
si Bungkuk lantas tahu urusan rada ganjil. Katanya pemimpin pemberontak
negeri Kui - je dengan Go kiok-kan itu hendak menunggu kedatangan
Setitik Merah di penginapanpadang pasir satu satunya ini, kenapa
mendadak merubah rencana" Kenapa pula mereka suruh gadis jelita baju
merah ini membawa Setitik Merah entah kemana."
Gerak-gerik gadis baju merah ini serba misterius, jelas mempunyai asal
usul yang luar biasa, orang seperti dia, masakah sudi mendapat perintah
dari pemberontak negeri Kui-je" Memangnya dalam hal ini mereka ada
intrik dengan Ciok-koan-im"
Hati si Bungkuk dan si burik bertanya tanya tak tenang tapi tak masuk ke
sarang harimau, mana bisa menangkap anak harimau urusan sudah
terlanjur, sedemikian jauh, memangnya mereka masih punya pilihan lain"
Begitu mereka tiba di luar kembali mereka dibikin tercengang. Di luar
pintu ternyata berlabuh sebuah kapal. Di atas padang pasir nan luas penuh
misterius dan serba menakutkan ini perduli terjadi peristiwa besar yang
mengejutkan mereka takkan terkejut dan heran, tapi sungguh mimpipun
mereka tidak menyangka di sini mereka bakal melihat sebuah kapal.
Letak penginapan padang pasir ini boleh dikata ditengah atau di pusat
gurun pasir, dari mana datangnya kapal"
Tapak kapal ini panjang dan siur, haluan dan buritan kapal sama dihias dan
diperlengkapi dengan alat-alat luar biasa, ruang-ruang kapal yang luas
dihiasi sebagai perabot yang mewah sampaipun kerai pintupun terdiri dari
untaian mutiara.
Jadi gadis baju merah tadi keluar dari kapal ini langsung masuk ke dalam
rumah, tak heran badannya kelihatan begitu bersih, namun cara bagaimana
kapal ini bisa melaju sampai ke tempat ini" Sungguh luar biasa dan susah
dibayangkan. "Kenapa melongo?" seru gadis baju merah, "silahkan naik ke atas kapal!"
Berkilat biji mata Setitik Merah, namun mulutnya bungkam.
"Ehm!" Setitik Merah mendehem sebagai jawaban.
"Setelah kau ikut aku naik ke atas kapal segera kau akan tahu."
Kalau orang lain perhatikan bagian atas perahu, justru si Bongkok sedang
perhatikan atas atau dasar kapal. Tampak kapal ini di bawahnya, di atas
dua papan panjang yang sempit, papan bambu besar yang disisir licin dan
kuat. Setiba di atas kapal, kembali ia dapati kapal ini kebanyakan dibangun dari
belahan-belahan bambu kuning, demikian dinding ruang kapal, dek dan
dasarnya, maka bentuk kapal ini sempit panjang dan bobotnya tentu amat
ringan. Dari bawah memang tidak kelihatan, tapi setiba di atas dan didalam kapal,
maka siapapun bisa lihat puluhan ekor burung-burung elang yang kokoh
kekar dan bersayap lebar sama bertengger di atas dek kapal.
Dua anak laki-laki berpakaian serba merah pula, sedang memberi makan
dengan daging-daging segar begitu mereka naik ke atas kapal, salah satu
anak laki-laki itu terus menanggalkan sebuah cambuk panjang, "Tar" ia
lecutkan cambuknya ke tengah udara.
Rombongan elang segera pentang sayap terbang ke angkasa, puluhan utas
rantai kemilau yang lembut sebanyak jumlah elang-elang itu segera
terbawa terbang, rantai lembut itu kini terikat di atas kapal, maka kapal
segera bergerak dan melaju dengan tenang di atas pasir lembut seperti
meluncur di atas salju, mulai lambat, lalu lambat laun cepat laksana
terbang orang-orang yang di atas kapal seolah-olah naik awan ikut tertiup
angin. Bungkuk dan Burik beradu pandang sekali, hati mereka diam-diam memuji
dan kagum akan cara pembuatan kapal ini yang begini rapi dan serba
praktis. Maklumlah elang punya tenaga besar dan kuat bertahan lama kala seekor
kambing besarpun mampu mereka sambar dan di bawa terbang ke angkasa,
kini puluhan ekor kerja sama menyeret sebuah kapal yang terbuat dari
bambu meluncur di permukaan pasir yang datar licin sudah tentu bukan
persoalan sulit.
Dan lagi elang punya kesabaran yang tak dimiliki binatang lain, ada kalanya
untuk menunggu ajal seseorang baru memakan bangkainya dia kuat
bertahan beberapa hari terbang berputar-putar diangkasa. Maka tenaga
elang dipakai sebagai tenaga penggerak sebuah kapal ringan, tak perlu
kuatir burung-burung elang ini tidak bakal mogok ditengah jalan, asal saja
dalam waktu-waktu tertentu mereka diberi makan kenyang.
"Coba kau katakan, untuk menempuh perjalanan di gurun pasir, kendaraan
apa yang bisa laju lebih cepat, lebih nyaman dari kapal ini?"
Kembali Setitik Merah mendehem saja.
"Dan lagi bila kau tidak mau dilihat orang bila kau duduk didalam kapal ini,
tanggung tak perlu takut, diketahui jejakmu oleh orang lain, selamanya
takkan ada orang bisa menemukan jejak kapal ini, memang ada sementara
orang pernah melihat kapal ini sedang melaju ditengah gurun pasir secepat
angin puyuh, tentulah kabur atau melihat setan!"
Terdengar seorang menanggapi dari dalam ruangan sambil tertawa: "Oleh
karena itu orang-orang yang mengembara di padang pasir sama menamakan
kapal ini kapal setan!"
Suara ini kalem dan tenang, seorang menyingkap kerai berjalan keluar,
tapi baru setengah badannya menongol keluar, lekas sekali mengkeret
masuk, katanya terbawa: "Di luar angin amat besar kenapa Ang heng tidak
masuk saja?"
Bentuk muka orang ini segi-tiga berwarna kuning seperti malam, namun
panca inderanya seperti hendak saling tumbuh menjadi satu bagian,


Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beberapa utas jenggot terpelihara di bawah janggutnya, tampaknya
seperti keledai bermata tikus, muka yang sebegini jelek, siapapun takkan
menyangka suara yang lembut dan berisi ternyata keluar dari mulut orang
seperti ini. Bungkuk dan Burik kembali beradu pandang batin mereka: "Mungkin orang
ini adalah Go kiok kan yang terkenal itu. Setitik Merah bilang tampangnya
menyebalkan, sedikitpun tidak salah."
Orang-orang lainnya yang berada dalam kamar tampangnya jauh lebih
bagus. Kedua orang ini sama berpakaian perlente, bermuka lebar, beralis
tebal, biji mata mundur besar, sikapnya gagah dan berwibawa selintas
pandang, orang akan tahu bahwa orang-orang seperti ini sudah biasa
memegang tampuk pimpinan dan punya kekuatan besar.
Seorang lagi sebaliknya, belum buka suara sudah tertawa lebih dulu rona
mukanya welas asih dan sopan santun, bentuk badannyapun biasa dan gagah
serta royal, kelihatan seperti seorang pedagang yang maju dalam
usahanya. Kedua orang ini sama mengenakan pakaian ala bangsa Han, tapi rambutnya
kuning keriting, biji matanya cekung dan berhidung tinggi terang mereka
inilah pembesar negeri Kui-je yang berontak itu.
Bahwa mereka sudah berada di sini, kenapa tadi dikatakan: "Lantaran ada
urusan penting tak datang?" Memangnya mereka hendak memancing
Setitik Merah naik ke atas kapal"
Begitu melihat Setitik Merah kedua orang segera menjura, sapanya:
"Cong-su orang gagah banyak capai!"
Laki-laki seperti pedagang besar itu selanjutnya menambahkan dengan
tertawa: "Cayhe kuatir Congsu mengalami sesuatu di luar dugaan, tapi Bin
ciangkun amat mengagumkan ilmu pedang Congsu tak perlu dikuatirkan,
Haha! agaknya pandangan Bin Ciangkun memang lebih tajam."
Sambil mengelus jenggot kambingnya Go Kiok kan menyela bicara: "Ang
siangkong sejak lama berdiam dalam istana, tidak tahu urusan kasar sudah
tentu tak tahu mengandalkan kepandaian Ang-heng tidak sulit mengambil
batok kepala orang ditengah pasukannya."
Bin Ciangkun tertawa besar menggebrak meja katanya: "Semoga Ang
congsu jangan salah sasaran memenggal batok kepalaku." bahasa Han-nya
cukup fasih maklumlah negeri Kui-je yang termasuk dalam bilangan
Tiongkok bagi mereka yang menduduki pangkat tinggi, masakah boleh tidak
fasih menggunakan bahasa Han"
Dingin tatapan Setitik Merah katanya tiba-tiba "Kalian toh sudah datang,
kenapa tidak masuk ke dalam penginapan itu bertemu dengan aku?"
Go-kiok-kan tertawa, ujarnya: Bicara didalam penginapan kurang leluasa,
apalagi, Pan-thian hong masih punya hubungan erat dengan Bin-ciangkun."
Bin-ciangkun tertawa besar, sombongnya "Bicara terus terang, Pan thian
hong dulu adalah seorang panglima bawahanku, setelah jadi perampok, dia
masih bantu aku mengerjakan banyak urusan, kalau Congsu sedang mencari
gara-gara kepadanya, aku masuk kesana bukankah keadaan bakal runyam?"
Setitik Merah malah mendengus. "Bahwa perampok adalah sekongkol
dengan ciangkun, apa pula yang bisa dikatakan."
Gadis baju merah itu cekikikan pula, timbrungnya "Tahukah kau, ransum
yang diperoleh Bin-ciangkun dalam pergerakannya kali ini kebanyakan atas
bantuan Pan-thian-hong yang meminjam sana sini."
Si Bungkuk diam-diam membatin "Kiranya begitu, pergerakan besar kalian
sekarang sudah berhasil, mungkin diapun akan minta bantuan dan balas
jasanya, oleh karena itu kalian lantas membunuhnya untuk tutup mulutnya."
Setitik Merah melotot kepada gadis baju merah, katanya rendah "Siapa
pula kau perempuan ini, kenapa kalian suruh dia".."
Go-kiok-kan sedang menukar kata-katanya "Apakah isteriku ini berbuat
salah kepada Ang heng?"
Tak terasa Setitik Merah melengak, tanyanya "Dia".dia isterimu?"
Gadis baju merah cekikikan pula, katanya "Kau berani" Waktu aku
menikah sama dia memang banyak orang keheranan, semua bilang sekuntum
bunga mekar tertancap di atas gundukan". Di atas gundukan?"" akhirnya
ia tak tega mengatakan "Kotoran sapi. saking geli tawanya sampai
terpingkal-pingkal dan memeluk perut.
Sebaliknya, sikap Go Kiok-kan tetap biasa, katanya tersenyum "Tentunya
tugas Ang heng sudah mencapai sukses yang menggirangkan, entah dimana
batok kepala raja lalim itu?"
"Batok kepalanya masih berada di atas lehernya." sahut Setitik Merah.
Berobah roman muka Bin-ciangkun dan Ang siangkong, sekilas mereka
beradu pandang lalu tanyanya "Kenapa Congsu belum berhasil
membunuhnya?"
Hm..! Setitik Merah hanya menggerung saja.
Memangnya raja lalim itu sudah lari menyembunyikan diri" tanya Go Kiokkan.
"Em!" kembali Setitik Merah hanya mendehem saja.
Bin ciangkun dan Ang siangkong berdiri sambil menghela napas, sebaliknya
Go Kiok-kan mandah tertawa tawar, katanya "Gagal pun tak menjadi soal,
cepat atau lambat batok kepalanya itukan bakal dikutungi oleh Ang heng."
lalu dia melirik kepada si Bungkuk, tanyanya "Entah siapa pula kedua orang
ini?" Si Bungkuk menjawab lebih dulu "Bahwasanya kami tiada sangkut paut
dengan raja lalim itu, kami cuma undangan saja, entah kemana sekarang
raja lalim itu menyembunyikan diri."
Go Kiok-kan tersenyum tawar, katanya "Ang heng menawan mereka,
apakah kau hendak mengompes keterangan mereka?"
"Em!"
"Kenapa Congsu tidak tanya kepada mereka saat itu juga?"
"Aku hanya bisa membunuh orang, mengompes keterangan aku tidak bisa."
Go Kiok-kan berkata: "Cayhe sebaliknya bisa membunuh orang, mengompes
keterangan sih cukup mampu." pelan-pelan dia menghampiri kedua orang
buruk rupa ini, katanya sambil membungkuk badan "Siapa nama besar
kalian berdua?"
"Kau tak perlu tanya." ujar si Burik, "Kami orang-orang keroco yang tak
punya nama." ikatan tali dikedua tangannya memang amat kencang, sudah
tentu banyak pura-pura untuk dilihatkan kepada orang lain mengandalkan
kekuatan lwekang mereka sembarang waktu bisa kerahkan tenaga untuk
memutus tali-tali pengikat itu. Tujuan mereka untuk menyelidiki keadaan
musuh kini apa yang mereka inginkan sudah tak perlu dihiraukan lagi, si
Burik sudah siap-siap hendak beraksi, cuma si Bungkuk sejauh itu tidak
mulai, terpaksa dia menunggu dengan hati kurang sabar.
Go Kiok kan berkata pula tetap tersenyum "Kedua orang ini tiada
hubungan apa-apa dengan raja lalim itu, tiada punya dendam dan sakit hati
dengan kita menurut pendapat Cayhe, lebih baik melepas mereka pulang
saja." "Orang sudah kuserahkan kepadamu, terserah bagaimana putusanmu"
sahut Setitik Merah.
"Kalau demikian biar Cayhe membuka belenggu mereka lebih dulu, sembari
bicara Go Kiok-kan membungkuk badan hendak membuka ikatan tali, sudah
tentu si Bungkuk dan si Burik tak enak bergerak siapa tahu tangan Go
Kiok-kan mendadak bergerak secepat angin kanan kiri kerja sama,
beruntun menutuk tujuh delapan Hiat-to dibadan mereka. Laki-laki buruk
rupa yang kenamaan ini ternyata adalah seorang tokoh Bulim yang
berkepandaian tinggi.
"Apa yang kau lakukan?" bentak Setitik Merah.
Baru saja ia hendak memburu maju, terasa ujung tangkai pisau yang
runcing dingin sudah mengancam tengkuknya, terdengar gadis baju merah
berkata lembut, "Orang sudah kau serahkan kepadanya, biarkan apa yang
dia suka lakukan, benar tidak?"
Setitik Merah insaf asal dirinya sedikit bergerak, ujung pisau kecil tajam
itu bakal bersarang di lehernya.
Si Bungkuk sebaliknya tetap tenang dan bersabar, katanya dingin "Hebat
benar gerakan sahabat ini, cuma menggunakan kepandaian sebaik ini
menghadapi dua orang keroco yang terbelenggu, bukankah urusan kecil kau
bikin besar?"
Go Kiok-kan berkata dengan lantang "Masakah si Maling kampion yang
kenamaan itu adalah keroco yang tak bernama?"
Mendengar kata-kata ini seketika serasa tenggelam Setitik Merah.
Si Bungkuk sebaliknya tertawa lebar katanya "Maling kampion" Jikalau
aku ini maling kampion memangnya aku mandah diikat orang demikian
rupa?" seolah-olah dia merasa kenyataan ini amat menggelikan, saking geli
air mata pun sampai meleleh keluar.
Dengan tenang-tenang Go Kiok kan mengawasinya setelah tertawa reda
baru ia berkata tawa. "Ikatan tali sebesar itu memangnya mampu
membelenggu maling kampion" Kalau maling kampion berhasil menyelidiki
keadaan kita, sekali meronta gampang saja kau bebaskan diri, benar
tidak?" Si Bungkuk akhirnya tak bisa tertawa, sungguh tak habis mengerti Go
Kiok-kan ternyata adalah tokoh kosen selihai ini. Berkata Go Kiok-kan
lebih lanjut "Masakah Maling kampion masih tidak mau mengaku"
Memangnya perlu Cayhe mengambil air mencuci mukamu?"
Tak tahan berkata Coh Liu-hiang "Sahabat, tajam benar matamu, entah
dari mana saudara cacat mengenali penyamaranku?"
"Kepandaian menyamar si Maling Romantis tiada bandingannya dikolong
langit, tapi betapapun pintar seorang merias diri, ada titik-titik tempat
dimukanya yang tak mungkin bisa diubahnya."
"Oh titik tempat manakah itu" tanya Coh Liu hiang heran tak mengerti.
Tentunya Maling Romantis juga tahu roman muka orang, kulit dan
suaranya bisa dirubah menurut sesuka hati, sampaipun tinggi rendah badan
orangpun bisa dipalu, tapi cuma jarak antara kedua mata orang saja yang
tak mungkin dirubah. Meski ilmu tata rias maling kampiun amat tinggi,
takkan mungkin bisa mengubah jarak dan letak antara kedua matanya
sendiri?" Coh Liu hiang melirik kepada Ki Ping-yan katanya tertawa "Tak nyata hari
ini aku kebentur dengan seorang ahli."
Kata Go Kiok-kan lebih lanjut "Apalagi asal mau sedikit perhatian, dengan
mudah orang bisa membedakan jarak antara kedua mata siapa saja, pasti
tiada yang sama dalam jagat ini, namun terpautnya juga hanya seperseratus
mili saja."
"Kalau demikian, jadi tuan sudah pernah menghitung jarak antara kedu
amataku?" "Maaf, maaf" ujar Go Kiok kan sambil menjura.
"Tapi kenapa aku seperti tak pernah melihat tuan?"
"Kaum keroco seperti aku ini, meski Maling Romantis pernah melihatnya
juga sudah lama dilupakan."
Wah, kalau demikian lebih baik seorang jangan terlalu besar nama dan
menyolok perhatian orang lain. Dalam situasi seburuk ini dengan wajar dan
tenang dia masih bisa tertawa lebat, sebaliknya Setitik Merah dan Ki Ping
yan serasa hampir gila karena gelisah.
Sekonyong-konyong badan Setitik Merah menubruk maju ke depan,
berbareng kaki kanan menyepak ke belakang.
Kepandaian permainan kakinya sungguh sudah dilatihnya sempurna betul,
begitu menubruk maju, boleh dikata badannya sudah hampir merata
dengan lantai, siapa nyana ujung pisau ini masih tetap mengancam
tenggorokannya, sia-sia dia berusaha membebaskan diri.
Badan si gadis merah tahu-tahu sudah bergelantungan di atas belandar,
katanya tertawa "Aku sudah menjadi ulat dalam perutmu, selamanya kau
takkan bisa bebas dari intaianku."
Dengan tertawa Coh Liu hiang awasi Go Kiok-kan katanya" "Kau mengawini
bini yang begitu pintar melihat orang, tentunya hidupmu cukup tersiksa
juga." Go Kiok-kan tertawa ewa, sahutnya "Lebih sayang lagi kehidupan tuan
selanjutnya mungkin jauh lebih tersiksa."
Di sini tempat paling gelap di dasar perahu, begitu gelap sampai jari
sendiripun tak kelihatan, dasar kapal yang bergesek dengan pasir terus
kumandang di telinga mereka, serasa seperti jarum menusuk ke ulu
hatinya. Perduli siapapun rebah ditempat seperti itu sudah tentu takkan merasa
nyaman dan segar terutama Ki Ping yan dan Coh Liu hiang yang biasanya
mengutamakan kehidupan foya-foya berkemewahan ini, kini justru
terkurung ditempat seperti ini.
Entah karena apa, Go Kiok-kan tidak ingin segera membunuh jiwa mereka,
Setitik Merah pun tidak dibunuhnya, seolah-olah terasa sayang bila
sekarang juga mereka dihabisi nyawanya.
Coh Liu hiang menarik napas panjang, mulutnya menggumam "Go Kiok kan!
Go Kiok kan! Bahwasanya tokoh macam apakah dia" Bagaimana mungkin
sekali pandang lantas mengenali penyamaranku?"
Ki Ping yan menjengek dingin "Kau kira samaranmu cukup baik" Di dalam
kamar rias di atas kepalamu mungkin kau bisa menyamar sehingga orang
lain tak mengenalimu, tapi kali ini sampaipun aku sekali pandang bisa
mengenalmu."
Sudah tentu kau bisa kenal aku, tapi jangan kau lupa, betapa akrab dan
intimnya hubungan kita, memangnya siapa Go Kiok kan itu" Bagaimana
mungkin mengenalku begitu apal?"
"Mungkin dia Mutiara hitam," ujar Ki Ping yan setelah berpikir sebentar.
"Pasti bukan dia."
"Sampai detik ini, kau masih begitu yakin kepadanya."
"Sudah tentu Mutiara hitam bisa saja menyamar, tapi ilmu silatnya tak
mungkin ditiru, dari cara dan ilmu untuk Go Kiok-kan ini aku dapat tahu
bahwa Go Kiok-kan ini berkepandaian lebih tinggi dari Mutiara hitam.
Ki Ping-yan terkancing mulutnya, dari atas terdengar gelak tawa yang
kedengaran sayup-sayup sampai, bahwa kapal ini kebanyakan dibangun dari
bambu, sudah tentu tak mungkin terbendung begitu saja.
Kalau Coh Liu hiang bertiga bakal mampus sudah tentu orang lain tak perlu
kuatir dengan penjagaan ketat segala, entah beberapa lama berselang
kapal tiba-tiba berhenti.
Terdengar suara Bin Ciangkun berkata "Di sini tempat perjanjian dengan
Ciak-hujin itu?"
Omongan apapun Coh Liu hiang tak pernah perhatikan, suara gesekan
papan kapal dengan pasir sungguh amat menyebalkan, ingin rasanya mereka
menyumbat telinga mereka masing-masing. Tapi setiap mendengar katakata
Bin-ciangkun, Coh Liu hiang, Ki Ping yan dan Setitik Merah segera
pasang kuping mendengarkan dengan cermat.
Maka terdengar Go Kiok-kan menyahut "Ya disinilah tempatnya, takkan
salah!" Ang siangkong bergelak tertawa, katanya "Apapun yang dilakukan Go
siansing, sekali-kali takkan keliru, cuma". entah Ciok hujin benar-benar
punya maksud kerja sama dengan kita setulus hati?"
"Jikalau dia tiada maksud itu, kita hendak berjumpa dengan dia, mungkin
sesukar memanjat ke langit."
"Ah! Apakah ilmu silatnya lebih tinggi dari Go siansing?" tanya BinKoleksi
Kang Zusi ciangkun. "Ilmu kepandaian Cayhe yang rendah ini seumpama kunang-kunang
dibandingkan cahaya rembulan bila dibedakan dengan kepandaian Ciokhujin,
bahwasanya satu sama lain tidak boleh disejajarkan."
"Kalau demikian" ujar Bin ciangkun, "Dengan mendapat bantuan Ciok-hujin
ini, kita bakal menang total dan selanjutnya boleh makan tidur tanpa kuatir
apa-apa." "Ya memang begitulah!" Go Kiok-kan mengumpak.
"Dalam hal ini bantuan besar Go siansing amat kami harapkan." timbrung
Ang siangkong "Kalau bukan bantuan Go siansing, masakah Ciok-hujin sudi
kerja sama dengan manusia kasar seprti kami ini."
"Tepat, setelah segala usaha besar kita berhasil dengan gemilang, dari
atas sang raja, ke bawah sampai aku dan Ang siangkong kita semua takkan
melupakan budi bantuan Go siansing yang berharga."
"Cayhe rakyat jelata, dapat berkata demi kejayaan negara dan
ketentraman negeri, sungguh amat bangga dan bersyukur." Go Kiok kan
pura-pura merendahkan diri.
Gadis baju merah ikut menimbrung "Kau tak usah pura-pura sungkan
jikalau usaha kali ini berhasil, bukankah kau hendak mohon jabatan kepada
Bin ciangkun atau Ang siangkong supaya akupun bisa mengecap kehidupan
mewah dan senang tentram."


Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan kuatir, bila usaha kita berhasil, kau bakal menjadi nyonya besar
kelas satu." puji Ang-singkong.
Lalu terdengar gelak tawa kegirangan mereka disusul suara sentuhan
cangkir. Sampai kini, semakin mendelu dan tenggelam rasa sanubari Coh Liu hiang.
Baru sekarang mereka mendapat tahu bahwa Go Kiok kan memang ada
intrik dengan Ciok koan im malah dia pula yang menjadi kurir antara
pemberontak kerajaan Kui-je dengan Ciok koan im. Dengan susah payah
baru orang-orang ini berhasil merebut kedudukan raja Kui je, dengan
intrik tersembunyi ini, secara tidak langsung mereka sudah angsurkan
kedudukan dan segala kepentingan negeri Kui je kepada Ciok Koan im dan
Go Kiok kan. Manusia seperti Go Kiok-kan sudah tentu tujuannya bukan
melulu pangkat dan kemewahan, seumpama dia menjadi perdana menteri,
diapun takkan bisa duduk dengan tenang.
Cuma dalam keadaan kalut begini, bagaimana pula kedudukan Mutiara
hitam" Sejak kecil dia dibesarkan di padang pasir, memangnya dia
terhitung anak buah Ciok koan im" Kini Ciok-koan im akan segera datang,
nasib Coh Liu Hiang bertiga, mungkin segera akan diputuskan.
Mendadak Ki Ping yan berkata "Coh Liu hiang, biasanya kau amat yakin,
kali ini kau pikir apa kau bisa keluar dengan tetap hidup?"
Coh Liu hiang tersenyum, katanya "Beberapa kali tajam golok orang sudah
mengancam tenggorokanku, aku toh masih bisa hidup sampai sekarang."
Ki Ping yan tertawa getir katanya: "Coh Liu hiang, Coh Liu hiang! sampai
kapan baru kau akan putus asa?"
"Bila orang belum memenggal kepalaku selamanya aku takkan pernah putus
asa!" Sekonyong-konyong terdengar pekik elang, disusul suara keresekan, ramai
yang menggetarkan bumi semakin mendekat.
"Nah, itu datang!" Setitik Merah bersuara dalam kegelapan.
Ciok koan im ternyata juga menumpang kapal setan itu seperti ini, ujar Ki
Ping yan. "Kukira kapal ini kemungkinan besar juga pemberian Ciok koan im." Coh Liu
hiang utarakan dugaannya.
Tengah mereka bercakap-cakap, agaknya kapal itu sudah mendekat dan
akhirnya berhenti suara langkah di atas dek bergerak, Go Kiok kan dan lain
agaknya keluar menyambut.
Tahu Ciok koan im sebentar akan naik ke atas kapal ini, Coh Liu hiang
bertiga seolah olah dipengaruhi oleh sesuatu kekuatan mistik jantungnya
berdetak keras, mulutpun tak berani bicara lagi.
Terdengar suara gadis baju merah itu berkumandang "Tecu Tiangsun Ang,
menghadap Hujin."
Dugaan Coh Liu hiang memang tepat gadis itu ternyata adalah murid Ciok
koan im, bahwa Ciok koan im mau mengawinkan muridnya kepada Go Kiok
kan agaknya Go Kiok kan ini memang mempunyai asal usul yang luar biasa.
Tak lama kemudian langkah kaki beralih memasuki ruangan.
Suara Ang siangkong sekarang yang berkumandang "Wanseng sudah lama
kagum dan memuja kewibawaan Hujin tak nyana hari ini dapat bertemu,
sungguh". sungguh menyenangkan." biasanya orang ini fasih berbahasa Han
dan omongannya cakap lincah tapi untuk mengucapkan beberapa patah kata
ini dia harus tarik nafas beberapa kali demikian pula Bin ciangkun,
mulutnya tergagap tak mampu mengeluarkan suara marah.
Kedua orang ini sudah biasa menghadapi berbagai persoalan dan pergaulan
luar diantara orang berpangkat tinggi namun berhadapan dengan Ciok kan
im masih kelihatan begitu tegang dan gugup, dari sini dapatlah dibayangkan
bahwa Ciok koan im memang teramat cantik agung melebihi bidadari
sehingga orang tak berani memandangnya secara langsung.
Setelah kata sanjung puji dan basa basi umumnya, maka terdengarlah
sebuah suara merdu mengasikkan selicin suara halus berkata pelan-pelan
dengan tertawa "Takdir menentukan kalian berdua bakal menjabat
kedudukan tinggi kelak masih bisa menanjak lebih tinggi, orang macam apa
aku ini, kenapa kalian sungkan, membuat aku rikuh dan tidak tahu dimana
harus menempatkan diri."
Suara ini agaknya tepat berada diatas kepala Coh Liu hiang. Terbayang
oleh Coh Liu hiang perempuan secantik bidadari misterius laksana iblis
jahat, kini sedang duduk di atas kepalanya sungguh betapa perasaan
sanubarinya, ingin rasanya segera menerjang naik ke atas ingin dia melihat
iblis diantara bidadari, bahwasanya tokoh macam apakah dia punya
kekuatan mistik apa pula.
Terdengar Bin ciangkun buka suara "Apakah Hujin ada bawa Ki loh ci sing
sekalian?"
Ciok koan im balas bertanya "Apakah Bin ciangkun sudah tahu rahasia dari
Ki loh ci sing itu?"
"Be" Belum tahu!"
"Kalau Bin ciangkun tidak tahu rahasianya, permata itu paling-paling
sebutir perhiasan mahal, meski aku hadiahkan kepada ciangkun apa pula
manfaatnya bagi ciangkun?"
Agaknya Bin ciangkun tercengang melongo.
Lekas Ang sianseng unjuk tawa, selanya "Tapi wanseng beramai sama tahu,
bila permata itu jatuh ke tangan raja lalim itu, nilainya tentu jauh
berbeda, maka menurut hemat Wanseng Ki loh si cing sekali-sekali jangan
sampai terjatuh ke tangan raja lalim."
Ciok koan im tersenyum katanya "Tapi aku sudah berkeputusan untuk
bertukar dengan raja lalim itu."
Agaknya Ang siangkong dan Bin-ciangkun sama terkejut, teriaknya
"Wah". sekali kali jangan dilakukan!"
Dengan tertawa Go Kiok kan segera menimbrung "Kalian tak usah kaget,
Hujin serahkan Ki loh ci sing kepada raja lalim itu, dengan tujuan
tersendiri."
"Ada" tujuan lain apa?" tanya Bin ciangkun penasaran.
"Karena dikolong langit ini, hanya raja lalim itu saja yang tahu akan
rahasianya sampai matipun dia tak mau membocorkan rahasia ini, untuk
tahu akan rahasianya terpaksa harus tunggu bila raja lalim itu sudah
mendapatkan kembali "."
Ang siangkong paham selanya "Sekarang keadaannya sudah kepepet
begitu mendapatkan barangnya kembali, tentu dia akan segera melihatnya,
tatkala itu kita secara diam-diam menguntit dan mengawasinya, tentu
akhirnya dapat pula kita ketahui rahasianya.
"Ang Siangkong memang seorang pintar", puji Go Kiok kan
Bin ciangkun bergelak tertawa, serunya "Di sekeliling raja lalim itu kini
sudah tiada jago kosen yang melindunginya, sembarang waktu kita tetap
bisa merebut kembali Ki loh ci sing itu". hahaha! Akal bagus!" sampai di
sini tiba-tiba ia merandek sesaat baru melanjutkan "Untung kita belum
sampai membunuhnya, kalau tidak bukankah rahasia ini bakal ikut terkubur
bersama dia, agaknya rejeki kita masih tetap mujur."
Tiangsun-Ang sebaliknya cekikikan pula, katanya "Kau kira kami betulbetul
tidak mampu menggorok lehernya" Kalau Hujin betul-betul ingin
mencabut jiwa raja lalim itu, seumpama dia punya sepuluh kepala, sejak
lama sudah protol semuanya."
Kata-kata ini membuat Coh Liu hiang bertiga yang berada di dasar perahu
sama tertegun Ang siangkong dan Bin ciangkun agaknya lebih terkejut
sampai mulut seperti tersumbat.
Rada lama kemudian baru Ang siangkong bersuara tersendat "Kalau
demikian, kenapa Sianseng mengudal yang mengundang para jago-jago
pembunuh itu?"
Go Kiok kan menjawab dengan tersenyum "Ku undang jago-jago pembunuh
itu hanya untuk menggertak dan membuat raja lalim itu ketakutan, seorang
bila merasa jiwanya terancam bahaya, ada kalanya tanpa disadarinya
membeberkan rahasia pribadinya yang biasanya tak mungkin diketahui
orang lain karena bila rahasia itu ada sangkut pautnya dengan sanak
familinya masakah dia mau membawanya ke liang kubur?"
Tiangseng Ang menambahkan "Siapa nyana mulut raja lalim ternyata
serapat tutup botol, meski menghadapi mara bahaya segawat dan
segenting apapun, tetap dia tak mau memberi tahu rahasia itu kepada
siapapun, sampaipun terhadap putri atau orang-orangnya yang terdekat
diapun tak mau membocorkan."
Sampai disini tak urung Coh Liu hiang tertawa getir, katanya "Tak heran
beberapa kali Kui je ong hidup kembali dari berbagai ancaman mara bahaya
orang memang tidak ingin mencabut nyawanya, kita jadi ikut tegang dan
bekerja mati-matian, tak kira hanya terjebak dan tertipu mentah-mentah!
Sekonyong-konyong terdengar Ciok koan im tertawa katanya "Bisa bikin
Maling kampiun yang kenamaan di seluruh jagat tertipu, sungguh bukan
pekerjaan gampang" Orangnya berada di atas, tapi suaranya seperti
diucapkan di sisi telinga Coh Liu hiang betapa kuat tenaga dalamnya,
suaranya bisa dia bulatkan.
Hari Coh Liu hiang kaget, mulutnya malah tertawa ujarnya "Masa hujin
tidak pandang cayhe terlalu tinggi, Cayhe sudah biasa tertipu!"
"Kenapa Maling Kampiun begini sungkan" Musuh-musuh tangguh yang
pernah kuhadapi memang tidak sedikit diantaranya adalah tokoh-tokoh
kosen tapi bicara soal kepintaran kecerdikan dan tingkat kepandaian
silatnya, sungguh tiada seorangpun yang bisa dibandingkan Maling
kampiun." "Jikalau Cayhe betul-betul begitu hebat seperti apa yang Hujin katakan
masakah sekarang bisa terima meringkuk di bawah kaki hujin?"
"Maling kampiun perlu tahu, keadaan seperti dirimu sekarang, malah ada
orang yang suka mencoba tapi tak bisa mendapatkannya.
Ki Ping yan menjengek dingin "Iblis perempuan ini hendak memancingmu
dengan obrolannya, mungkin dia sudah ketarik kepadamu apakah kami bisa
lolos dan hidup, nah tergantung kepada permainan romanmu!"
Sudah tentu kata-katanya ini diucapkan dengan suara lirih yang paling
lirih, Coh Liu hiang masih kuatir terdengar oleh Ciok koan im, lekas dia
tukas dengan kata-katanya yang keras "Bisa meringkuk di bawah kaki
perempuan cantik, meski senang dan memalukan, cuma sayang meski Cayhe
ingin berhadapan muka dengan Hujin, kejadian justru berputar-putar,
harapan selalu tak tercapai."
Agaknya Ciok koan im menangkap kata-kata orang yang menyindir, diam
sesaat lamanya, baru dia bersuara pula "Kau ingin bertemu dengan aku?"
"Harapan tak tercapai nasib selalu mempermainkan orang!"
"Kau tak usah khawatir, pasti aku kan beri kesempatan kepadamu untuk
bertemu dengan aku."
"Sekarang?"
"Kenapa kau tak punya kesabaran?"
"Bukan tidak sabar, soalnya Cayhe khawatir jiwaku takkan hidup selama
itu." "Kau akan hidup sampai pada waktunya."
Mendadak Go Kiok kan menimbrung dengan keras "Dia takkan hidup
selama itu"
"Siapa bilang?" jengek Ciok koan im dingin.
Go Kiok kan menarik napas panjang, katanya "Masakah Hujin belum pernah
dengar, membiarkan bisul menimbulkan penyakit, jikalau".."
Beringas suara Ciok koan im, bentaknya "Memangnya aku perlu kau
peringatkan?"
Go Kiok kan tak berani bicara lagi.
Lekas Ang siangkong batuk-batuk kering dua kali, katanya unjuk tawa
dibuat-buat "Jikalau tiada kepentingannya, lebih baik memang ketiga
orang dilenyapkan saja."
Suara Ciok koan im kembali sabar dan menderu "Seorang ahli gambar bila
selesai mengerjakan buah karyanya tanpa ada orang yang menikmatinya,
dia akan merasa buah karyanya tak berharga, seolah-olah segala jerih
payahnya selama itu sia-sia, benar tidak?"
Sudah tentu Ang siangkong tidak bisa menangkap makna ucapannya, ia
diam saja tak berani menjawab.
Seorang biduan kenamaan yang sedang bernyanyi, bila tiada orang yang
mendengarkan kebagusan suaranya, diapun akan merasa tiada artinya
bernyanyi, benar tidak"
Ang siangkong hanya berdehem saja.
"Kita melakukan sesuatu pekerjaan harus seperti ahli gambar atau
seorang biduan, perlu dinikmati atau dirasakan oleh orang akan hasil karya
kita yang jelas bukan usaha sembarang usaha."
"Benar, kita harus bekerja secara teliti dan menghasilkan buah tangan
yang benar-benar dapat dinilai secara umumnya." puji Ang siangkong
mengumpak. "Oleh karena itulah kita perlu pertahankan jiwa mereka, supaya mereka
hidup melihat hasil gemilang usaha kita yang luar biasa lukisan antik baru
bisa dinilai oleh seorang ahli, lagu bagus juga hanya bisa dinikmati atau
dinilai orang semacam Coh Liu hiang si Maling kampiun saja, benar tidak?"
"Benar" sahut Ang siangkong tepuk tangan. "Pendapat Hujin memang
hebat siapapun takkan bisa menandingi.
Go Kiok kan menyela pula "Tapi, tapi orang ini".."
"Tak perlu kau banyak bicara." sentak Ciok koan im.
terhadap siapapun tutur katanya lemah lembut dan sungkan cuma
terhadap Go Kiok kan sedikitpun ia tidak memberi hati, bersikap kasar dan
pemberang ternyata Go Kiok kan mandah dibina dan menurut saja, sambil
tunduk ia mengiakan.
"Kalau demikian, tiga orang di bawah itu hendak ku bawa pulang serta,
entah bagaimana pendapat kalian?"
"Cayhe sih terserah saja bagaimana keputusan Hujin, sahut Ang
siangkong. "Kalian tak usah khawatir aku pasti mengawasi mereka dengan hati-hati."
xxx Setelah menahan sabar dan menekan gejolak hatinya, hampir saja Oh Thi
hoa jatuh sakit, entah berapa banyak arak sudah dia habiskan anehnya
ternyata semakin minum pikirannya semakin jernih dan sadar.
Hari ini bakal berselang pula, tak henti hentinya Oh Thi hoa berkeluh
kesah gumamnya "Coh Liu hiang ulat busuk kenapa kau masih belum pulang
memangnya kau kebentur setan.
Diluar tahunya bahwa Coh Liu hiang memang kebentur setan. Sekonyongkonyong
kerai tersingkap tahu-tahu Piop kongcu menerjang masuk.
Penasaran Oh Thi hoa selama ini memangnya tiada sasaran untuk
melampiaskan, segera ia papak kedatangan orang dengan gerungan marah
"Kutanya kau, kau ini tahu aturan tidak"
Dengan dingin Pipop kongcu mengawasinya jengeknya "Aturan apa?"
"Kau ini gadis rupawan yang bakal kawin, memangnya tidak tahu sopan
santun pergaulan. Mau masuk ke kamar orang kan harus ketuk pintu dan
permisi?" "O, oh.. kiranya kau dulupun pernah belajar membaca buku-buku kuno."
"Pujian belaka." sahut Oh Thi hoa menggendong kedua tangan."
Pipop kongcu menarik muka jengeknya sinis "Cuma kau sudah lupa
keadaanmu sekarang."
"Keadaan kenapa?" tanya Oh Thi hoa melotot.
"Sekarang kau adalah tawanan kita, hakekatnya aku tidak perlu sungkan
terhadap kau."
Lama-lama Oh Thi hoa melotot mengawasi orang, tiba-tiba ia tertawa
lebar, katanya "Laki-laki sejati tak sudi perang tanding dengan kaum hawa,
kau sendiri yang mengatakan hal itu, ya anggap habis saja, jikalau orang
lain yang bilang, hehe! Akan ku bikin dia merangkak keluar dari sini!" ia
jatuhkan badannya ke arah pembaringan, dengan selimut ia tutupi
kepalanya, tak perduli pula kehadiran orang.
"Kau hendak pura-pura mampus?" damprat Pipop kongcu naik pitam.
"Bangun!"
Oh Thi hoa terbahak-bahak dalam selimut, serunya "Aku ingin tidur ya
tidur, mau bangun sesuka hatiku, siapapun jangan urus diriku."
Pipop kongcu membanting kaki maju selangkah dengan keras ia tarik
selimut. Oh Thi hoa berkaok-kaok "Aku bukan ular busuk lho, jangan kau salah
mencari orang."
Merah muka Pipop kongcu, suaranya kedengaran lembek katanya
"Permaisuri hendak bertemu dengan kau ayo bangun, lekas ikut aku!"
Oh Thi hoa melengak sigap sekali ia berjingkrak bangun, tanyanya.
"Permaisuri memanggil aku" Untuk apa dia ingin bertemu dengan aku?"
"Biasanya dia tidak suka menemui orang, kini beliau hendak menemui kau,


Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tentunya ada urusan penting."
Berputar biji mata Oh Thi hoa, katanya tertawa "Kalau dia ada keperluan
dan ingin menemui aku, suruhlah dia kemari, mulut bicara kembali ia
menjatuhkan diri ke atas pembaringan.
Pipop kongcu membanting kaki dengan kesal katanya "Kau" kau ini laki-laki
malas seperti tak punya tulang?"
Oh Thi hoa angkat kedua kakinya, serunya "Jangan lupa dia yang ada perlu
dengan aku suruh dia kemari menemui aku."
Pipop kongcu kertak gigi, mendadak menjengek dingin. "Aku tahu sudah
memangnya kau merasa berdosa, tak berani berhadapan dengan beliau?"
Belum habis kata-katanya Oh Thi hoa sudah mencelat bangun, serunya
geram "Aku punya dosa apa" Kenapa aku tak berani menemui dia?"
Pipop kongcu menahan geli katanya. "Kalau kau punya keberanian, hayo ikut
aku." Perkemahan tempat tinggal permaisuri Kui je ong sungguh jauh lebih
mewah dan megah dari apa yang dibayangkan Oh Thi hoa. Dalam
perkemahan tercium bau kayu cendana, bau obat begitu wangi dan harum
sampai orang rasanya susah bernapas.
Didalam kelambu yang penuh dihiasi mutiara permaisuri Kui je ong
setengah duduk tiduran kelihatannya amat lemah dan sakit-sakitan.
Meski terhalang kain kelambu, tapi kelihatan wajah dan sikap agungnya
yang cantik rupawan tak berani orang memandangnya dengan tatapan
kejam Oh Thi hoa sendiripun merasa dirinya terlalu kerdil dan serba
runyam di hadapan orang.
Permaisuri tersenyum, katanya "Badan yang sakit-sakitan ini, tak bisa
turun ke tanah, harap Kongcu tidak berkecil hati!"
Oh Thi hoa membasahi tenggorokan dengan ludahnya, lalu berkata "Tak"
tak usah sungkan."
Permaisuri menghela nafas, ujarnya "Peristiwa kemarin malam, sungguh
harus disesalkan."
Menyinggung peristiwa itu, seketika Oh Thi hoa naik pitam, jengeknya
dingin "Apa permaisuri hendak mengompres keteranganku" Maaf Cayhe
tidak sudi didakwa," sembari bicara ia putar badan hendak pergi.
Permaisuri malah tertawa, katanya "Tunggu sebentar, silahkan Kongcu
duduk, jangan curiga."
"Bukan aku yang curiga kalianlah yang sembarang menuduh."
"Kami memang salah faham terhadap Kongcu, kesalahan kami memang kami
sendiri yang melakukan, harap Kongcu memaafkan."
Oh Thi hoa melengak, tanyanya "Kalian sudah tahu bahwa bukan aku yang
melakukan?"
"Pembunuhnya sudah tentu bukan Kongcu, kalau tidak masakah Kongcu
masih tinggal di sini" Jikalau Kongcu ingin pergi, siapa yang mampu
menahan aku?"
"Disaat hatiku sebal dan penasaran karena fitnah yang semena-mena ini,
tiba-tiba aku berhadapan dengan orang yang tahu duduknya persoalan,
sungguh membuat hati amat riang dan gembira."
"Apa Kongcu sekarang masih marah?" tanya Permaisuri.
"Seharusnya Cayhe memang harus marah, tapi Permaisuri berkata
demikian, aku jadi rikuh!"
"Kongcu kuundang kemari, memang ada persoalan penting yang hendak
mohon bantuan."
"Apa yang permaisuri ingin lakukan, bila aku memang mampu ke air atau ke
api aku takkan menolak."
"Kongcu berbudi luhur dan berjiwa ksatria sudilah terima hormatku."
Tiba-tiba Oh Thi hoa sadar, dalam perkemahan ini hanya tinggal dirinya
dengan Permaisuri saja yang berhadapan, Pipop kongcu dan para dayang
entah kapan sudah mengundurkan diri di luar tahunya.
Entah mengapa jantungnya tiba-tiba berdebar seperti dampratan ombak
samudra, seolah-olah terasa olehnya, permaisuri didalam kelambu sedang
unjuk senyuman genit kepadanya. Seketika dia memaki diri sendiri dalam
batin "Kenapa hari ini aku jadi begini hidung belang, orang menghadapiku
sebagai kesatria, jangan sembarang ngelamun ke persoalan yang tidaktidak."
segera ia berkata lantang, "Permaisuri tak usah sungkan, ada
petunjuk apa silahkan katakan saja."
"Entah Kongcu masih ingat, besok adalah waktu perjanjian kita dengan
mereka, untuk menukar Ki loh ci sing, entah Kongcu Sudi?"
Meski Oh Thi hoa sekuatnya menekan perasaannya, tapi entah mengapa
mendadak terbayang olehnya, adegan ranjang pada malam pertama waktu
pernikahannya tempo hari. Permaisuri di depan kelambu di depannya ini
seakan akan mirip benar dengan ?".. Oh Thi hoa tak berani memandang
tak berani membayangkan lagi, katanya lantang "Jadi permaisuri ingin
supaya aku menukar Ki loh ci sing itu?"
Permaisuri menghela nafas, katanya "Kami sekeluarga terpaksa harus
hijrah kemari, menteri memberontak sanak kadang berpisah sungguh
terpaksa kami harus bikin kongcu terlibat oleh urusan tetek bengek ini,
hatiku sungguh tak bisa tentram."
Berkata Oh Thi hoa dengan gagah "Jikalau Cayhe tak bisa menukar balik
Ki loh ci sing itu, dengan senang hati aku suka kerahkan batok kepalaku
ini." "Kongcu begitu luhur dan bajik sungguh aku".aku". suaranya seperti
sesenggukan dan terputus di tenggorokan. Tiba-tiba dari balik kelambu ia
ulurkan sebelah tangannya yang halus dan lembut seperti tak bertulang, di
bawah penerangan api lilin, tampak jari-jarinya yang runcing halus rada
gemetar, tak ubahnya seperti sekuntum kembang yang sedang meronta
ditengah hujan badai, jikalau tiada orang yang melindunginya, sebentar lagi
pasti tersapu hilang oleh hujan badai.
Seketika Oh Thi hoa rasakan darah mendidih, kepalanya terasa berat dan
pandangannya menjadi remang-remang, waktu otaknya kembali menjadi
jernih, tiba-tiba terasa entah bagaimana tahu-tahu dirinya sudah
memegang kencang jari-jari orang.
Ternyata Permaisuri tidak tarik tangannya tidak menghindar, cuma
suaranya gemetar "Keberangkatan Kongcu harus hati-hati, aku percayakan
segalanya kepada Kongcu."
Terasa jantungnya hampir melompat keluar dari rongga dadanya, Oh Thi
hoa jadi bingung apakah dia harus segera melepaskan pegangan tangannya,
mulutnya terkancing tak tahu apa pula yang harus dia katakan.
Terasa jari-jari permaisuri malah menggenggam kencang tangannya,
katanya "Kecuali itu aku masih punya urusan pribadi yang ingin ku
sampaikan kepada Kongcu."
Oh Thi hoa merasa kepalanya pening tujuh keliling, tanpa pikir ia berkata
keras "Cayhe tadi sudah bilang, asal urusan menyangkut kepentingan
permaisuri matipun Cayhe pasti akan melaksanakannya."
"Aku hanya memohon bantuan Kongcu untuk mencari tahu rahasia
sebenarnya dari Ki loh ci sing itu."
"Beberapa tahun sudah aku sebagai permaisuri Ongya, hubungan kita
memang boleh dikata amat intim dan erat lahir batin, tapi hanya persoalan
inilah dia tidak mau beritahu kepadaku."
Oh Thi hoa berpikir sebentar, ujarnya "Kalau permaisuri sendiri tidak
diberi tahu masakah Ongya sudi memberi tahu rahasia itu kepada Cayhe?"
"Sejak jaman dulu kala, secara tradisi kerajaan Kui je yang terdahulu
pasti meninggalkan harta tersembunyi yang tak terhitung nilainya,
biasanya tiada orang yang menyentuhnya bila mana kerajaan benar-benar
mengalami krisis dan terancam keruntuhan baru harta terpendam itu boleh
digunakan untuk membangkitkan kembali kerajaan soal dimana harta itu
disembunyikan, kecuali rajanya sendiri yang mewarisi kedudukan tiada
orang lain yang tahu."
"Jadi permaisuri berpendapat bahwa rahasia dari Ki loh ci sing ada
sangkut pautnya dengan harta terpendam itu?"
"Tentunya begitu!"
"Kalau demikian, mungkin Ongya takkan memberi tahu rahasia itu
kepadaku."
"Tapi dengan kekuatan Ongya seorang diri jelas takkan mungkin dapat
mengeduk harta terpendam yang berjumlah besar itu benar tidak?"
"Ya, memang begitu!"
"Bukan saja memerlukan tenaga manusia untuk mengeluarkan, perlu tenaga
orang pula untuk melindunginya, ya tidak?"
"Kembali Oh Thi hoa mengiakan.
"Tadi sudah kukatakan!" ujar permaisuri lebih lanjut, Sekarang Ongya
tidak punya seorangpun pembantu yang boleh diandalkan, terutama tiada
orang yang benar-benar mampu bantu dia untuk melindungi harta
terpendam itu! "Permaisuri beranggapan, bahwa Ongya mungkin bisa minta tolong
kepadaku untuk melindungi harta itu?"
"Kukira demikian!"
Oh Thi hoa tertawa getir, katanya "Kalau Ongya benar-benar percaya
kepadaku, dia tidak akan memfitnah aku sebagai pembunuh putrinya."
"Memang Ongya sedikit salah faham terhadap kongcu, tapi bila Kongcu
berhasil membawa pulang Ki loh ci sing, pandangannya terhadapmu tentu
berubah, apalagi kecuali Kongcu seorang, tiada orang yang boleh
dipercaya."
"Adakah permaisuri tahu, bahwa Ongya jauh lebih percaya terhadap
temanku itu daripada kepadaku."
"Bukankah sejak tadi Cayhe sudah berjanji?"
"Jikalau Ongya minta atau suruh Kongcu bersumpah merahasiakan hal
itu?" Berpikir sebentar Oh Thi hoa tertawa katanya "Tapi Cayhe sudah
berjanji lebih dulu kepada permaisuri ya tidak?"
Sudah tentu hal ini tiada melanggar aturan dan menyeleweng dari
kebiasaan jikalau orang lain, tentu tidak akan mau terima, tapi Oh Thi hoa
selamanya memang tidak pernah memikirkan aturan atau kebiasaan segala
persetan bahwa tindakannya itu menyeleweng" Asal dia berpendapat apa
yang dia lakukan benar dan pantas dia selesaikan, maka harus dia
laksanakan, demikian sekarang ini, dia berpendapat bahwa permaisuri dari
negeri Kui je ini adalah perempuan tercantik yang paling baik hati di
seluruh jagat ini, sebaliknya Ongya adalah keparat dan manusia dogol,
jikalau demi seorang baik untuk menipu seorang dogol, bukankah hal ini
patut dibanggakan dan sudah jamak, cukup masuk akal dan tidak melanggar
aturan" Soal untuk apa permaisuri Kui je ini begitu besar hasratnya ingin
mengetahui rahasia itu" Hakikatnya tidak pernah terpikir dalam benak Oh
Thi hoa sudah tentu diapun segan mengajukan pertanyaan.
Tepat tengah hari, terik matahari seperti bara api yang memanggang
kulit. Tepat tengah hari, terik matahari seperti bara api yang memanggang
kulit. Oh Thi hoa membawa tiga ekor unta, langsung dibedal ke arah barat.
Kepalanya memang dibungkus udeng-udeng kain putih yang tebal dan
tinggi, namun rasa kepalanya masih puyeng dan kering oleh terik matahari,
tiga orang Busu negeri Kui je yang mengiringi perjalanannya, meski ilmu
silatnya bukan tandingannya tapi mereka sudah kulino menjadi kafilah di
padang pasir bukan mereka sudah tergembleng dan ditempa sekeras besi
baja, sekilas pandang keadaan mereka malah jauh lebih segar dan ademayem.
Oh Thi hoa menghela nafas, mulutnya menggumam "Agaknya aku terlalu
banyak tenggak air kira-kira, kalau tidak kenapa begitu kena terik
matahari kepala lantas pening seperti gadis pingitan yang tak pernah
dihembuskan angin kalau keadaan seperti ini, dilanjutkan apakah akan
tahan?" Sebetulnya lantaran semalam dia memandang terlalu letih dan banyak
mengurus tenaga, bukan saja kebanyakan minum arak, malah semalam
suntuk boleh dikata dia tak pernah istirahat terlalu banyak main ranjang
maka seluruh kekuatan dan energi badannya terbuang sehingga kondisi
badannya sekarang terlalu lemah.
Sebetulnya semalam pagi-pagi benar dia sudah mapan tidur tapi bila
teringat olehnya malam pertama dalam hari pengantinnya itu, terbayang
sepasang tangan dan badan yang halus merah laksana bidadari itu dia jadi
gundah bolak-balik tak bisa pulas, semakin dipikir-pikirkannya semakin
melayang dan memikirkan yang muluk-muluk, perempuan secantik dan
begitu rupawan namun dia masih bisa pula mengeritik pribadinya sendiri
sebagai hidung belang yang kemaruk paras cantik. Tapi entah mengapa
permaisuri raja yang cantik itu seolah-olah adalah kekasih mainnya diatas
ranjang yang selalu dia rindukan dan impi-impikan, tidak mungkin otaknya
tidak membayangkan bentuk badan yang menggiurkan dan genit serta
mempesonakan itu.
Biasanya watak Oh Thi hoa tidak seiseng ini belakangan malah dia
menghibur hari sendirian "Kemungkinan aku sudah mulai ketularan Ulat
busuk yang serba romantis itu!"
Tapi serta teringat kepada Coh Liu hiang si Maling Romantis, seakan tidak
bisa tidur Coh Liu hiang sudah pergi dua hari, bukan saja tidak pulang,
malah sedikit khabarnya pun tiada, apakah dia sudah dicelakai oleh
pembunuh misterius bersama Ki Ping yan" Selayang pandang gurun pasir
nan luas tak berpangkal ujung, tidak kelihatan ada kehidupan di sini, tiada
manusia, binatang, burung ataupun mega dan anginpun seolah sudah tak ada
di sini. Ada kalanya paling muncul satu dua ekor kadal padang pasir yang
berukuran lebih besar tapi bentuk dan coraknya begitu memualkan,
merambat dicelah-celah batu, merambat ke dekat kaki unta, tapi
kehadirannya malah menambah suasananya seram dan bawa kematian.
Kepalan kanan Oh Thi hoa menghantam telapak tangan kiri, gumamnya
"Seumpama Ulat busuk dan Jago Mampus, mereka takkan ngelayap dan
tamasya di tengah gurun pasir yang begini terik ini, mereka sama-sama
tidak pulang. Jikalau mereka tidak pulang tentu mengalami sesuatu yang
membahayakan. Tiba-tiba seekor unta dikeprak maju menyusul dirinya, Busu di atas onta
berseru "Di depan ada tempat teduh, apa perlu kita mampir kesana
istirahat?"
"Berapa jauh kita sudah tempuh perjalanan ini?" tanya Oh Thi hoa setelah
menepekur sebentar.
"Kira-kira sepuluh li" sahut busu itu.
"Baru sepuluh li lantas mau istirahat," ujar Oh Thi hoa mengerut kening
"jarak lima puluh li bukankah harus kita tempuh sampai besok pagi?"
Busu itu unjuk tawa, ujarnya "Lima puluh li dalam perjalanan di gurun
pasir, seumpama lima ratus li berjalan di tanah pegunungan, Apalagi untaunta
ini dibebani muatan emas yang berharga laksaan tail."
Oh Thi hoa tertawa. "Apapun yang terjadi sekarang masih terlalu pagi
untuk istirahat kita harus tempuh lima puluh li ini sebelum hari menjadi
petang angin aku melihat jelas orang yang ingin menukar barang dengan
kita itu manusia macam apa tampangnya?" mulai bicara segera ia keprak
untanya supaya berjalan lebih cepat.
Busu itu menghela napas, katanya seorang diri "Menempuh perjalanan jauh
seperti caramu ini, setiba ditujuan, mungkin jiwamu dan jiwa unta itu bakal
terjemur kering oleh teriknya matahari, jikalau orang tiba-tiba ingkar
janji, coba bagaimana kau hendak menghadapinya?"
Seorang Busu yang lainnya segera menyusul datang, selanya "Bahwasanya
tanggung jawab persoalan ini dia sendiri yang memikulnya, dia ingin gagahgagahan
unjuk kekuatan, biarkan saja, tiba pada waktunya bila pihak
mereka turun tangan kita boleh menyingkir ke tempat yang jauh."
Busu ketiga berludah dulu baru mencemooh "Orang liar dari selatan ini
mengentutpun tidak bisa, berani dia malang melintang ditengah gurun pasir
memangnya dia sendiri yang minta digebuk.
Para Busu ini berulang kali kena dipermainkan dan mendapat rugi oleh
godaan Coh Liu hiang dan Oh Thi hoa, kini secara diam-diam mereka
mengumpat caci dan mengolok-olok cuma bahasa yang mereka gunakan
sudah tentu bahasa daerah mereka sendiri, seumpama Oh Thi hoa
mendengar percakapan mereka sedikitpun dia tidak tahu arti dari
percakapan mereka.
Tapi apa yang mereka perbincangkan memang tidak salah perjalanan lima
puluh li di padang pasir di bawah teriknya matahari memang cukup
melelahkan dan menyiksa mereka untunglah setelah lohor, sinar matahari
sudah mulai tidak seterik sebelumnya. Waktu matahari terbenam Oh Thi
hoa memang hampir saja tak tahu lagi, meskipun dia sudah tenggak
beberapa air segar tapi bibir dan mulutnya masih terasa kering dan
merekah.

Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak lama kemudian tampak di depan batu-batu runcing laksana hutan
mencuat tinggi ke tengah angkasa, didalam keremangan malam yang
mendatang, kelihatannya laksana seekor binatang buas yang menyeramkan
sedang menyeringai liar, di sana sedang mendekam menunggu mangsanya.
Hati Oh Thi hoa rada dingin, katanya berpaling ke belakang "Sekarang
kita sudah menempuh berapa jauh?"
Salah seorang Busu menengadah melihat cuaca sahutnya "mungkin sudah
lebih lima puluh li."
"Dalam surat itu sudah dijelaskan ke arah barat lima puluh li, tentu ada
orang akan menyambut kalian untuk barter dengan barang-barang yang
cocok dengan permintaan, kalau begitu biar kita tunggu saja di sini! Kita
tunggu mereka datang, sekaligus untuk istirahat memupuk tenaga, boleh
kalian lihat, nanti akan kuberi mereka hajaran setimpal"
Busu itu berkata kalem "Jikalau sebaliknya mereka yang sudah menunggu
di sini berbalik kita yang akan digasak dan dihajar habis-habisan oleh
mereka." Oh Thi hoa melengak, katanya tertawa "Ucapanmu memang masuk akal, ya
kita harus hati-hati.
"Busu itu semakin takabur katanya dingin "Tadi sianjin bilang ingin
beristirahat sebentar ditengah jalan, maksudku untuk berjaga-jaga dari
segala kemungkinan itu."
OH Thi hoa menggosok-gosok hidung, katanya "Watakku memang gugup,
jangan kau salahkan aku!" memang dia seorang polos dan jujur jikalau tahu
dirinya bersalah secara langsung dia suka mengakui kesalahannya betul ya
betul, kalau salah harus mengaku salah, perbedaan antara baik dan buruk
ini masih bisa membedakan dengan tegas.
Busu itu malah menjadi rikuh, katanya tertawa "Untung kami ada
membawa sedikit arak, sedikit banyak bisa membangkitkan semangat dan
menggairahkan tenaga!"
"Dimana" seru Oh Thi hoa kegirangan.
Si Busu segera angsurkan sebuah kantong kambing, katanya "Inilah arak
anggur buat Toa hoan minum sampai mabukpun tidak akan mengganggu
kesehatan."
"Aku tahu, sahabatku si Ular busuk itu, justru paling menyukai arak
seperti ini" segera ia buka sumbatnya terus menuangkan ke mulut dua
teguk, katanya setelah menarik napas panjang "Waktu mau berangkat, aku
sudah berjanji takkan minum lagi, tapi toh sudah kau bawa arak sebagus
ini, hahaha".." kembali ia tuang arak anggur itu ke dalam mulut.
Ketiga Busu itu berdiri diam disamping sambil mengawasi tingkah lakunya,
begitu pesona dan takjub mereka mengawasi seolah-olah selama hidup
mereka belum pernah melihat cara orang minum arak seperti itu.
Sekaligus Oh Thi hoa pindah setengah kantong arak anggur itu ke dalam
mulutnya baru dia merasa segar kembali dan puas, dengan lengan bajunya
dia seka mulutnya katanya dengan tertawa meringis "Coba lihat arak ini
hampir ku tenggak habis, silahkan kalianpun minum dua teguk."
Ketiga Busu negeri Kui je berbareng tertawa menyeringai, bukan saja
mimik tawa mereka mirip satu sama lain, waktu buka mulut dan tutup
mulutpun bersamaan tiada berdaya, seolah-olah mereka sedang berperan
dalam lakon sandiwara di atas panggung.
Jilid 22 Salah seorang yang berdiri ditengah berpaling ke kanan kiri kepada
temannya lalu berkata dengan tertawa "Araksebanyak itu tidak cukup
dibagi tiga, lebih baik silahkan Ongya habiskan sekalian!"
"Ah, mana boleh jadi, aku rikuh sendiri seru Oh Thi hoa lantang, Mulutnya
berkata demikian, tapi kantong arak itu masih dipegangnya kencangkencang,
bukan saja tidak dia angsurkan, malah kelihatannya dia khawatir
orang lain merebutnya.
Ketiga Busu saling pandang pula, kali ini mereka tertawa lebih lebar, tawa
riang, Busu pertama tadi berkata pula "Kenapa Ongya sungkan-sungkan
terhadap kami orang rendahan?"
"Kalau demikian, baiklah aku menuruti keinginan kalian saja." seru Oh Thi
hoa tertawa lebar. Sebetulnya dia tidak ingin minum arak Khawatir begitu
terlalu banyak minum bisa bikin kapiran urusan, tapi setelah setengah
kantong arak anggur masuk ke dalam perutnya cacing dalam perutnya
segera bergolak dan ketagihan malah.
Orang yang suka minum arak kebanyakan memang punya penyakit seperti
ini, kalau jumlah arak banyak, sedapat mungkin dia menunjuk orang lain
untuk ikut minum sepuasnya ingin mencekok orang supaya mabuk.
Sebaliknya kalau araknya cuma sedikit, khawatir orang lain minta bagian.
Ketiga Busu negeri Kui-je dengan berseri tawa mengawasinya
menghabiskan sekantong penuh arak anggur itu, belakangan mereka malah
berontak gembira, seolah-olah lebih menyenangkan daripada mereka
sendiri yang minum.
Kata Oh Thi hoa tertawa sambil menyeka mulut "Arak bagus, arak bagus,
cuma sayang bukan saja terlalu sedikit, arak inipun rada tawar."
Ketiga Busu itu cekikikan, sahutnya "Apa Oh ya merasa arak ini rada
tawar?" "Ya, menurut perasaanku minum biar akan lebih segar dan nikmat dari
arak ini."
"Tapi biar tidak akan bisa bikin orang mabuk atau mampus."
Oh Thi hoa tertawa lebar "Memangnya rak setawar ini bisa bikin orang
mabuk sampai mampus?"
"Tidak bisa mabuk sampai mampus, tapi kira-kira hampir sama."
"Tapi sekantong penuh sudah kuhabiskan, kenapa sedikitpun aku tidak
merasakan pening memangnya takaran minumku tambah berlipat ganda?"
Busu itu mendadak tidak tertawa, matanya melotot, katanya "Apa benar
sedikitpun Oh ya tidak merasa pening atau mabuk?"
Oh Thi hoa mengerling mata, katanya tertawa "Arak sebanyak ini masa
bikin aku mabuk hehe! Tujuh delapan kantong lagi juga tidak menjadi soal
bagiku. Melotot ketiga biji mata Busu itu, mulut mereka terkancing kencang.
"Kalau kalian tidak percaya, biar kalian lihat dan buktikan apa benar aku
ini sudah mabuk." Bahwasanya dia bisa berkata demikian itu berarti dia
sudah mabuk, seorang yang tetap segar bugar dan tidak mabuk selamanya
takkan pernah berpikir dalam benaknya untuk membuktikan di hadapan
orang lain bahwa dirinya tidak mabuk.
Tapi ketiga Busu itu teramat kejut sampai mulutnya terbuka melompong,
matapun terbelalak.
Tampak dengan berdiri limbung pelan-pelan Oh Thi hoa membuat satu
garis di tanah berpasir lalu sebuah dengkul ditekuk, dengan sebelah kaki
yang lain ia melompat dari sebelah sini ke sebelah sana melewati garis
melintang itu. Dua kali beruntun dia lakukan pulang pergi, lalu katanya tertawa lebar
"Kalian sudah jelas, orang yang sudah mabuk masakah mampu bermain
lompatan seperti ini?"
Berputar biji mata seorang Busu, katanya tertawa, "Seorang yang benarbenar
tidak mabuk setelah minum arak dia masih mampu bersalto."
"Bersalto" Oh Thi hoa bergelak tawa, "Apa sih sukarnya?" mulut bicara
badannya tahu-tahu sudah melambung ke tengah udara dan bersalto dua
kali, dengan bekal kepandaiannya yang tinggi, jangan kata cuma bersalto
satu dua kali, seumpama tujuh delapan puluh kali, dianggapnya seperti dia
makan kacang saja, bisa dan gampang dilakukan.
Siapa tahu baru saja badannya setengah berputar, tiba-tiba melorot
turun dan meluncur jatuh "bluk" terbanting keras di tanah berpasir sampai
melegak-legok ke dalam.
Oh Thi hoa geleng-geleng kepala, kucek-kucek mata, ketika menyeringai
"Kali ini urat pinggangku nyasar, tidak masuk hitungan."
"Ya, benar, boleh diulang sekali lagi." si Busu menganjurkan dengan
senang. Oh Thi hoa meronta bangun tertatih-tatih, kembali ia enjot badan dan
berusaha bersalto lagi, terdengar "Blak" kali ini lebih keras, seolah-olah
dari tengah-tengah angkasa tahu-tahu sebuah batu besar melayang jatuh.
Kali ini dia tidak mampu bergerak dan merangkak bangun lagi, katanya
meringis "Aneh, kenapa hari ini badanku menunjukkan gejala yang tidak
normal?" Bersinar biji mata Busu itu, tanyanya "Apa Oh ya tahu apa sebabnya?"
"Mungkin terjemur sinar matahari yang amat terik tadi."
"Tidak, bukan!"
Oh Thi hoa miringkan kepala berpikir sebentar, katanya "Mungkin dalam
dua hari belakangan aku terlalu penat,"
"Juga tidak benar."
Kau hanya tahu tidak benar, mata Oh Thi hoa melotot. Kau hanya tahu
kentut! Busu itu tertawa besar, ujarnya "Sudah tentu aku tahu, karena aku
sendirilah yang turun tangan memasukkan obat ke dalam arak itu."
"Menaruh obat?" Oh Thi hoa melongo "Kau taruh obat apa?"
Busu itu berseri tawa ujarnya "Negeri Kui je kita memang negara kecil
tapi yang menjadi raja seperti juga kalian, tidak mungkin tidak suka main
perempuan benar tidak?"
"Kalau benar kenapa?"
"Oleh karena itu didalam istana kami, juga ada menyediakan semacam
obat khusus diperuntukkan menghadapi perempuan-perempuan yang anggap
dirinya suci dan gagah perwira, Arak macam itu manis, wangi tapi tawar,
tak ubahnya seperti air manis tapi siapapun yang meminumnya, seluruh
badan seketika bakal lemas tak punya sedikit tenagapun."
"Jadi, kau". arak yang kau berikan kepadaku tadi". itu?"
"Benar, arak yang kuberikan kepada Oh ya tadi adalah arak berobat
seperti yang saya katakan tadi, dengan susah payah aku berhasil mencuri
sekantong dari dalam. Oh ya malah merasa kurang banyak, kalau minta
tambah lagi akupun tak bisa memberi lagi!"
Sekian lama Oh Thi hoa melongo, mendadak ia tertawa lebar, katanya
"Aku inikan bukan perempuan suci yang galak mempertahankan kebersihan
badannya, bapak kalianpun takkan sudi melihat tampangku ini, kenapa
kalian gunakan arak macam ini untuk mencekoki aku, bukankah aku ini
celaka dua belas?"
"Konyol, konyol! Ucapanmu itu lucu dan menyenangkan, seseorang yang
sudah dekat ajalnya ternyata masih bisa bicara membanyol seperti kau ini,
sukar dicari keduanya.
Oh Thi hoa semakin lebar tawanya ujarnya "Aku sih belajar kepada si Ular
busuk itu, seseorang baru saja jebrol dilahirkan lantas menangis dikala
hidup kesempatan untuk ketawa pun belum tentu banyak, maka dikala
menjelang ajal bila tidak bergelak tawa sepuasnya tidak sia-sia kau hidup
selama ini?" "Aha Oh ya sudah tahu bahwa jiwamu sudah menjelang ajal?"
"Aku malah tahu bahwa kalian berbuat demikian lantaran mengincar harta
di atas onta-onta itu bukan?"
"Tidak nyana otak Oh ya bisa selekas ini sadar dan pikiran menjadi jernih.
Tidak salah, memang itulah tujuan kita. Oh ya terusir dari istananya, hidup
dan kekuasaannya terhitung sudah ludes, memangnya kita selama hidup
harus tetap menghamba kepadanya ditempat setan seperti ini, lebih baik
berusaha menggasak harta sebanyak ini untuk modal datang ke tempat lain
yang lebih makmur."
"Masuk akal, masuk akal. Tapi masakah tidak kalian pikirkan, bahwa harta
itu untuk barter dengan Ciok koan im, bukan mustahil sebentar sudah
datang, masakah dia berpeluk tangan saja membiarkan kalian semua
membawanya pergi?"
"Apakah Oh ya berpendapat ditempat inikah alamat pertemuan dengan
Ciok koan im itu?"
"O, masa bukan di sini?"
"Lima puluh li ke arah barat barulah tempat perjanjian itu, benar tidak?"
"Masa kita belum sampai?"
Busu itu tertawa, katanya "Waktu berangkat memang betul kita menuju
ke arah barat, tapi sepuluh li kemudian arah yang kita tempuh sudah
berubah, Ditengah gurun pasir seluas ini, sedikit kau keliru menentukan
arah, tujuannya menjadi banyak bedanya, tempat ini sedikitnya terpaut
tiga sampai dua puluh li dari tempat yang dijanjikan itu.
OH Thi hoa tertawa ujarnya "Tak heran setelah menempuh jalan sepuluh
li tadi, kalian lantas minta aku istirahat, jadi waktu itu kalian pada
bermaksud mencekoki arak obat itu kepadaku."
"Ya, karena Oh ya tidak mau istirahat, terpaksa kami sengaja membuat
salah arahnya, Oh ya anggap kami ini kuda tua yang sudah tahu jalan
ditengah padang pasir, dengan hati tentram dan tanpa curiga mengikuti
petunjuk dan perjalanan ini, maka kau sendiripun tak pernah
memperhatikan arah lagi." tertawa senang lalu si Busu menambahkan lagi
"Tapi Oh ya tidak perlu menyesal banyak orang sering kesasar ditengah
padang pasir."
Seorang Busu yang lain segera menimbrung dengan olok-olok "Lain kali bila
Oh ya hendak menitis hidup kembali, lebih baik kau pilih dan tentukan
arahnya lebih dulu, jangan sampai sudah menitis ke kandungan, ternyata
masuk ke kandang babi, tentu hidupmu bakal penasaran." tak pernah
terpikir olehnya bahwa dirinya pandai humor dan mengeluarkan kata-kata
yang lucu ini, semakin bicara, hati semakin senang dan semakin lucu, tak
tahan dia sendiri malah terbahak-bahak sendiri.
"Sekarang kalian sudah siap hendak membunuh aku?" tanya Oh Thi hoa.
"Kalau Oh ya tidak dihabisi jiwanya, bila kadar racun dalam badanmu
sudah punah tentu kau akan mengudak kita". ya, apa boleh buat, harap Oh
ya suka memaafkan tindakan kita yang terpaksa ini."
Oh Thi hoa memicingkan mata, katanya tertawa "Tapi siapa diantara
kalian yang berani turun tangan?"
"Siapa saja diantara kami bertiga yang turun tangan sama saja." sahut
seorang Busu. "Kau kira aku ini betul-betul sudah tak punya tenaga" Jangan kalian
hendak membunuh aku malah kugorok leher kalian lho." sikap Oh Thi hoa
semakin adem-ayem.
Sebetulnya ketiga busu itu sudah melangkah maju bersama, mendengar
ancaman ini mendadak mereka berhenti, betapa hebat dan kelihaian
kepandaian Oh Thi hoa mereka cukup tahu dan sudah pernah merasakan
sendiri. Berkata Oh Thi hoa tertawa "Bukan mustahil kadar racun dalam arak itu
tidak selihai yang kalian bayangkan, bukan mustahil arak ini tidak akan
banyak manfaatnya untuk seorang lelaki seperti berguna untuk
melumpuhkan seorang perempuan, benar tidak?"
Ketiga Busu itu jadi beradu pandang, batinnya "Benar, bukan mustahil dia
masih membekal sedikit tenaga, kalau tidak masakah dia masih mampu
bicara dan tertawa begitu riang gembira?"
"Baiklah, sekarang siapa diantara kalian yang berani turun tangan, silahkan
maju!" tantang OH Thi hoa malah.
Kembali ketiga Busu berpandangan, tiada seorangpun yang berani tampil
ke muka. "Menurut pendapatku." ujar Oh Thi hoa tertawa lebar. "Lebih baik lekas
kalian bawa harta benda itu dan melarikan diri sipat kuping saja"
Seorang busu tiba-tiba berkata "Jikalau orang ini masih punya tenaga,
masakah dia sudi membiarkan kita membawa harta benda itu pergi?"
"Benar." Teman-temannya bertepuk kegirangan. "Tentu dia sedang
menggertak kita."
Orang ketiga bergelak tawa, serunya "Kau ingin aku turun tangan, biarlah
aku lakukan!"
"Sret" dari pinggangnya ia loloskan golok sabit, sekali golok yang kemilau
itu sudah terangkat ke atas, agaknya dia benar-benar hendak menabas
kutung batok kepala orang seperti membela semangka.
Walau Oh Thi hoa masih tertawa, tapi tawanya sudah dipaksakan,
mendadak ia berkata pula "Untuk seorang diri memang harta benda itu
cukup untuk foya-foya seumur hidup, tapi kalau dibagi tiga" hehe.
Masakah kalian tidak merasa terlalu sedikit bagiannya nanti?" selama
hidup pernah dia melakukan perbuatan adu domba, kini dalam keadaan
gawat, terpaksa dia gunakan akalnya, harapannya ketiga orang sudah saling
gasak dan membunuh sendiri sebelum dirinya ajal.
Tak nyana Busu itu malah terloroh-loroh serunya "Seumpama kita masingmasing
ingin melalap sendiri harta sebanyak itu, sekali-kali tidak akan
saling bunuh lebih dulu di hadapanmu, sehingga kau punya kesempatan
melarikan diri, kukira tiada manusia setolol itu dalam dunia ini."


Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Busu yang lain terkekeh kekeh pula, katanya "Agaknya Oh ya sudah terlalu
kenyang mendengar dongeng."
Dengan tertawa mengira orang ketiga sudah ayun goloknya pula
membacok, serunya "Tertawalah kau, jikalau sekarang kau masih mampu
berseri tawa, sungguh aku kagum kepadamu!" mendadak suaranya
tersendat seperti tenggorokannya tersumbat sehingga napasnya sesak
golokpun teracung tinggi ditengah udara tak mampu diayunkan ke bawah.
Karuan temannya mengerutkan alis, katanya "Melongo apa kau, hati tidak
tega?" "Kapal".." seru Busu itu terkesima "Aku melihat sebuah kapal."
"Kapal?" Busu yang lain tertawa geli, padang pasir masa ada kapal, mungkin
matamu ".. mimik tawanya tiba-tiba menjadi kaku, matanyapun melotot
kesima. Orang ketiga seketika menginsapi keadaan yang ganjil ini, waktu ia
berpaling seketika ia menjerit kaget "Kapal" di sana memang ada sebuah
kapal yang sedang laju ke arah kita.
Ketiga Busu seketika pucat pias dan menampilkan rasa ketakutan, mulut
terbuka, lidah melelet badan kaku tak mampu bergerak.
Kejut dan girang hati Oh Thi hoa, batinnya "Mungkin tiga orang ini
melihat setan, jikalau kapal bisa melaju di padang pasir, bukankah
orangpun bisa naik kuda ditengah lautan?" Tapi waktu ia berpaling kesana,
seketika iapun terkejut melongo.
Ditengah debu pasir yang membumbung tinggi ke tengah angkasa, betul
juga dilihatnya sebuah kapal sedang meluncur secepat angin ke arah sini.
Sebetulnya kapal ini melaju mengikuti arah angin, tapi semakin dekat
semakin lambat, ditengah suara pekik burung elang riuh rendah, akhirnya
kapal itu semakin lambat dan akhirnya berhenti tak jauh di depan mereka.
Debu pasir yang berterbangan ditengah udara lambat laun hilang
terhembus angin, di ujung kapal pelan-pelan muncul sesosok bayangan
putih kaki tangan, badan dan raut mukanya tersembunyi didalam
pakaiannya yang serba putih dan tutup muka yang putih pula, sampai
matanya pun tidak kelihatan.
Sekilas ketiga busu saling pandang, pelan-pelan kaki mereka menggeser
mundur, raut muka mereka dihiasi butiran-butiran keringat sebesar
kacang, dengan menarik kendali onta, mereka hendak melarikan diri.
Tiba-tiba orang serba putih itu tertawa dingin, jengeknya "Aku sudah tiba
disini, kalian masih ingin lari?" suaranya merdu nyaring, ternyata dia
seorang perempuan.
Walau matanya tertutup, tapi gerak gerik orang lain ternyata tak bisa
mengelabuhi dirinya, seketika gemetar sekujur badan ketiga Busu itu, tali
kendali yang baru saja terangkat tiba-tiba meluncur jatuh pula. Seru salah
seorang busu itu "Kau ".. siapakah kau sebetulnya?"
Tanpa hiraukan pertanyaan orang serba putih berkata "Memangnya aku
sedang heran, kenapa kalian tidak menepati janji, baru sekarang aku tahu,
ternyata kalian bertiga inilah yang membuat gara-gara." Tanpa kelihatan
badannya bergerak, badannya tahu-tahu sudah melayang turun dari ujung
kapal, bentaknya bengis, "Tapi barang yang sudah menjadi hak milikku
masih berani kalian hendak mengangkanginya?"
Ketiga Busu itu sudah kaget dan ketakutan melihat ilmu Ginkang orang
yang begitu tinggi, sesaat lamanya baru kuasa bersuara dengan tergagap
"Siaujin sih tidak"tidak bermaksud jahat."
"Koan im Posat sudah tentu punya ribuan mata ribuan tangan, berani kalian
mengelabuhi aku?" jengek orang serba putih itu.
Tak tertahan Oh Thi hoa menyeletuk sambil menghela napas "Ciok koan
im, Ciok koan im, tak nyana akhirnya aku bisa bertemu dengan kau, Cuma
dalam keadaanku seperti ini bertemu dengan kau sungguh menyebalkan dan
memakan semangatku."
"Memangnya kenapa dalam keadaan seperti ini?" tanya orang serba putih
"Memangnya kau ingin coba kepandaian dengan aku?"
"Benar, memang aku punya maksud demikian."
"Kukira masih terpaut jauh sekali kau ini, sampaipun budak-budak yang
tak becus seperti merekapun dapat menipu dan mengingusi kau, Oh Thi hoa
yang tenar dan punya nama besar ternyata hanya begini saja, sungguh
amat mengecewakan aku, sambil bicara sekarang dia sudah berhadapan
dengan Oh Thi hoa, ketika Busu itu segera saling memberi tanda, cepat
sekali tangan mereka terbalik mencabut golok bagai baling-baling yang
berputar kencang ketiga bilah golok mereka serempak membacok ke arah
orang serba putih dari belakang.
Orang serba putih mandah menggendong tangan tanpa berpaling kepala
pula, seolah-olah tidak menyadari bahwa jiwanya terancam mara bahaya,
tapi begitu ketiga bilah golok hampir saja, mengenai badannya kesepuluh
jari jarinya mendadak menyentil dari dalam lengan bajunya.
"Trang benturan keras menusuk kuping, sinar golok laksana bianglala
serentak terbang menjulang ke angkasa. Hakekatnya ketiga Busu ini tidak
melihat jelas cara bagaimana musuh turun tangan, tahu-tahu pergelangan
tangan tergetar separoh badannya seketika kesemutan, golok ditangan
mereka berbareng mencelat lepas dari cekalannya.
Saking kaget dan ketakutan ketiga Busu serasa copot arwahnya, mana
sempat hiraukan harta benda lagi, tanpa berani berpaling ke arah si orang
serba putih, putar badan segera mereka berlomba lari cepat, sipat kuping.
Sebetulnya mereka tidak pernah latihan ilmu Ginkang, tapi disaat genting
yang bakal menentukan hidup mati jiwa mereka, ternyata lari mereka tidak
kalah cepat dari seorang juara lari yang dapat menandingi kecepatan kuda,
kira-kira sepuluh tombak kemudian, baru golok-golok mereka melayang
jatuh dari tengah udara.
Pelan-pelan saja orang serba putih melambaikan tangan, ketiga batang
golok itu diraihnya katanya tawar, "Golok ini milik kalian nih kukembalikan
kepadamu!" dia tetap tidak berpaling, tangannya terayun balik ke belakang
ternyata ketiga bilah golok ini seperti tumbuh mata, dalam sekejap mata,
masing-masing mengejar pemiliknya sendiri. Maka terdengarlah tiga lolong
jeritan yang menyayangkan hati darah muncrat ke tengah udara laksana
kembang api, ketiga batang golok itu tahu-tahu sudah menusuk tembus ke
ulu hati mereka, seperti paku raksasa ke tiganya terpantek di tanah.
Oh Thi hoa tertawa ewa, katanya "Manusia mati lantaran harta burung
mampus karena makanan, tapi kenapa harus begini jadinya?"
"Kau sudah ketakutan?" cemooh orang serba putih.
"Aku takut apa?" seketika melotot mata Oh Thi hoa.
"Sudah tentu kau takut aku membunuhmu."
"Apa kau lihat tampangku ini seperti orang yang takut mati?"
"Kulihat lahirmu memang sedang unjuk gagah, tampangmu seperti Eng
hiong, namun harinya sudah kebat-kebit dan ketakutan setengah mati."
tanpa menunggu reaksi Oh Thi hoa tiba-tiba berputar badan dan bertepuk
tangan, dari atap kapal setan itu segera melompat turun beberapa laki-laki
seluruh muatan di atas onta dibongkar ke atas kapal.
"Hai! Jangan kau lupa barang-barang itu kubawa kemari untuk barter
dengan Ki loh ci sing itu."
"Kau ingin bawa Ki loh ci sing itu pulang?" tanya orang serba putih
membalik badan menghadapinya lagi.
"Sudah tentu harus kubawa pulang."
"Dengan anggapan apa kau kira aku tidak akan membunuhmu?"
"Umpama harus mampus di sini akupun akan membawa Ki loh ci sing
kembali." "Aneh kalau begitu, seorang yang sudah ajal jiwanya mana bisa membawa
pulang sesuatu?"
Terbelalak besar biji mata Oh Thi hoa, mulutnya tidak banyak kata lagi.
Disaat Oh Thi hoa menunggu ajal, mimpipun tidak pernah terpikir olehnya
bahwa Coh Liu hiang dan Ki Ping yan sedang mengintip ke arah dirinya tak
jauh dari tempatnya. Coh Liu hiang dan Ki Ping yan ternyata berada dalam
kapal setan puluhan tombak disampingnya itu.
Dari sebuah kapal yang lain mereka di pindah ke kapal yang ini, lantaran
Ciok koan im ingin memberi service secara istimewa kepada mereka, maka
mereka masih tetap hidup sampai sekarang, Cuma mereka sejauh ini belum
pernah melihat Ciok koan im.
Oh Thi hoa sendiripun menyangka bahwa orang serba putih ini adalah Ciok
koan im pribadi, di luar tahunya bahwa dia bukan lain hanya salah seorang
muridnya saja, sudah lama Ciok koan im berlalu. Jejaknya memang serba
rahasia dan tersembunyi, bukan saja pergi datang tak menentu, malah
selamanya tiada orang yang tahu darimana dan kemana arah datang dan
perginya. Kini Coh Liu hiang dan Ki Ping yan berada didalam kapal setan ini, malah
sedang duduk diambang pintu yang tertutup kerai, dari tempat mereka
dengan jelas mereka bisa melihat keluar ke arah Oh Thi hoa.
Namun mereka cukup tahu diri, sudah tentu mereka tak berani bersuara
dan tak bisa bergerak, karena mereka tahu keadaan Oh Thi hoa saat ini
tak mungkin kuat menolong mereka, apa lagi orang serba putih itu pernah
memberi peringatan "Jikalau kalian bersuara minta tolong, sedikitpun
tiada gunanya, tidak lebih kalian malah bikin kematian Oh Thi hoa lebih
cepat saja, karena itu kuanjurkan kalian lebih baik tutup mulut saja."
Bahwasanya hal ini tidak perlu disinggung Coh Liu hiang berdua sudah
cukup tahu diri. Tapi mereka tidak bisa tutup mulut terus terusan. Melihat
keadaan Oh Thi hoa, sungguh hati mereka merasa mendelu dan patah
semangat. Tak tahan Coh Liu hiang buka mulut lebih dulu "Dilihat gelagatnya,
mungkin dia dibikin celaka lagi oleh arak keparat itu."
"Kalau dia tidak mampus lantaran arak, barulah merupakan hal yang aneh."
Jengek Ki Ping yan.
"Tapi dia baik dan harus dipuji." timbrung Setitik Merah. "Dia tidak takut
mati." "Apa, tidak takut mati lantas baik?" cemooh Ki Ping yan pula. "Orang pikun
selamanya memang tidak takut mati."
Setitik Merah balas mendebat "Betapapun orang yang tidak takut mati
jauh lebih baik dari yang takut mampus."
Coh Liu hiang tersenyum, ujarnya "Kalian berdebat apa, kali ini aku
tanggung dia takkan mati."
"Mengandalkan apa au begitu yakin bahwa orang tidak akan
membunuhnya?" tanya Ki Ping yan. Kata-kata ini hampir dia ucapkan
bersama, pertanyaan si orang serba putih kepada Oh Thi hoa, bukan saja
pertanyaan yang sama, malah nadanya pun hampir mirip.
"Jikalau dia membunuhnya, lalu siapa yang dia suruh untuk membawa
pulang Ki loh ci sing itu?" kata Coh Liu hiang.
Maka mendengar orang serba putih itu berkata demikian kembali ia
menambahkan dengan tertawa "kau sudah dengar" Orang mati mana bisa
membawa pulang suatu barang"
"Darimana kau bisa tahu bahwa dia hendak suruh Oh Thi hoa membawa
pulang Ki loh ci sing?" tanya Ki ping yan
Coh Liu hiang tersenyum ujarnya "Jikalau tiada orang yang membawa
pulang Ki loh ci sing, cara bagaimana bisa menipu raja dogal itu membuka
rahasianya?"
Meski hati Ki Pinig yan masih kurang percaya omongan Coh Liu hiang, mau
tidak mau dia harus percaya juga, karena saat dimana dilihatnya orang
serba putih itu sedang melangkah balik kearah kapal.
Oh Thi hoa masih tetap hidup.
Coh Liu hiang menghela napas, ujarnya "Semoga saja raja dogol itu jangan
membocorkan rahasia itu, kalau tidak bukan saja jiwanya sendiri bakal
berkorban, mungkin Oh Thi hoa juga mampus mengiringinya."
"Kenapa begitu?" tanya Ki Ping yan.
"Sekarang Ciok koan im sendiri mungkin sudah insaf dirinya takkan
mungkin memaksa raja dogol itu membeberkan rahasia ini, tapi dia
beranggapan bukan mustahil raja dogol itu kemungkinan bisa minta bantuan
kepada Oh Thi hoa, jikalau sekarang dia anggap Oh Thi hoa cukup berguna
untuk mencapai keinginannya, sudah tentu dia takkan membunuhnya."
Ki Ping yan bungkam, namun dalam hati ia berdo'a "Semoga raja dogol itu
jangan membocorkan rahasianya sendiri."
Orang serba putih itu pergi, kapal setan itupun berlalu.
Baru sekarang hati Oh Thi hoa benar-benar mulai takut. Sungguh dia
sendiripun tak pernah menduga bahwa dirinya masih bisa bertahan hidup.
Sebetulnya tiada alasan, kenapa Ciok koan im tak membunuhnya. Tapi
kenyataan Ciok koan im memang tak mengganggu usik seujung rambutnya,
bukan saja tidak membunuhnya, malah Ki lo ci sing itu benar-benar
diberikan kepada dirinya, apa benar Ciok koan im seorang yang benarbenar
dapat dipercaya dan bisa pegang janji!"
"Bagaimanapun Oh Thi hoa tidak mau percaya, tapi mau tidak mau dia
harus percaya karena kenyataan sudah di abuktikan sendiri.
Malam semakin berlarut hawa dingin semakin dingin hampir membeku
badan, saking kedinginan gemetar sekujur badan Oh Thi hoa.
Sekarang kadar racun dalam tubuhnya pelan-pelan punah, meski lambat
laun dia sudah dapat bergerak, tapi sekujur badannya masih lemas lunglai,
untapun sudah digebah pergi ketakutan. Oh Thi hoa insaf walau dalam
keadaan biasa dirinya jangan harap bisa menempuh perjalanan lima puluh li
ditengah gurun pasir ini, apa lagi kini dalam keadaan lumpuh sama sekali.
Kalau hari terang tanah, disaat dia punya kekuatan apa dia kuat berjalan
masih merupakan tanda tanya besar, apa lagi kini malam sudah larut hawa
begini dingin lwekangnya boleh dikata sudah mogok tak mau bekerja sama
sekali. Ki Loh ci sing berada didalam kantong bajunya, betapapun dia tidak bisa
menempuh bahaya. Tapi belakangan sungguh tak tahu lagi dia kedinginan,
dengan merangkak segera ia mencari ranting kering di semak-semak
sekelilingnya, ditemukan sebuah tempat di sela-sela batu yang
tersembunyi untuk berteduh, di sini dia menyalakan api unggun.
Ada manfaatnya pula berada ditengah gurun pasir yaitu gampang sekali
untuk membuat api, karena tetumbuhan yang hidup ditengah gurun pasir
ini, tentu kering dan gampang termakan api, seorang diri Oh Thi hoa
menggumam "Mungkin disinilah satu-satunya tempat berteduh paling baik."
kata-katanya tiba-tiba terhenti, pelan-pelan bangkit melangkah maju lalu
jongkok lagi, pandangan lurus mengawasi sebuah batu di depannya, umpama
yang dia hadapi dan yang dia pandangi ini adalah seorang perempuan cantik
yang telanjang bulat diapun takkan begitu tertarik dan perhatian.
Tapi batu itu tidak lebih hanya batu cadas yang sudah terkikis halus oleh
desingan pasir dengan tempaan panas dingin, tiada sesuatu yang istimewa
dari bentuk batu ini. Tapi sinar api berkelap-kelip, sorot matanya pun
bercahaya terang.
Ternyata di atas batu cadas yang licin dan sedikit berdebu ini ada
berlepotan bahan-bahan hitam dan kuning, terdapat pula beberapa tetes
lem karet yang sudah membeku kering kelihatannya adalah lem kulit sapi
yang bermutu paling baik. Sebetulnya apa yang dia lihat atau ketemukan ini
bukannya barang-barang yang luar biasa dan harus dibuat aneh, tapi
ditengah padang pasir, di suatu pojok tempat yang tersembunyi ini,
ditemukan barang-barang yang tak mungkin bisa ada di situ, disitulah letak
keanehannya. Apa lagi, betapapun Oh thi hoa seorang kawakan Kang ouw, meski dia
sendiri tidak pernah belajar ilmu tata rias, namun dia cukup tahu bahwa
bahan-bahan dan lem itu adalah bahan-bahan vital untuk merias muka.
Siapa orangnya yang berada ditempat seperti ini, untuk merias diri
berubah bentuk" Ia tahu Coh Liu hiang selalu membawa bahan-bahan
seperti ini. Oh Thi hoa menghirup napas panjang, katanya seorang diri "Ternyata Ulat
busuk pernah berada di sini, kenapa pula dia harus merias diri menyaru ke
bentuk muka lain" Dari warna bahan yang digunakan ini kuning dan hitam,
mungkinkah dia ketakutan
Golok Halilintar 14 Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long Kisah Para Pendekar Pulau Es 8
^