Pencarian

Rahasia Ciok Kwan Im 4

Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long Bagian 4


di, bedanya cuma perutnya tak ada kambing
panggangnya."
Ki Ping-yan tertawa geli, mulutnya menggumam : "Orang yang sembarangan
waktu bisa jatuh mabuk memang kadangkala membawa rejeki nomplok."
Coh Liu-hiang rebut botol arak itu, lalu ditenggaknya sekali, katanya :
"Adakah sesuatu gerak-gerik yang mencurigakan dibagian luar?"
"Orang yang meninggalkan surat peringatan mungkin sudah berlalu, bahwa
orang bisa menancapkan secarik kertas di atas unta panggang di hadapan
sekian banyak hadirin, kepandaiannya tentu tidak rendah, ingin aku
menghadapinya."
"Kapan kaupun bisa terburu nafsu" Jarang terjadi."
"Memangnya kau kira aku ini mayat hidup!"
"Bagaimana juga orang itu menjadi bagianku, kalian tak boleh bergebrak
sama dia."
"Jadi kau takut aku bakal terbunuh oleh dia?"
"Akupun kuatir kau membunuhnya, jikalau orang macam itu sampai mati
rasanya sangat disayangkan."
"Hm!" Ki Ping-yan menggeram-geram, Botol arak direbutnya balik lalu
ditenggak pula dua kali, tiba-tiba ia bertanya : "Mana telur itu?"
Coh Liu-hiang menggerakkan lengan bajunya, tahu-tahu telur itu sudah
berada ditapak tangannya, begitu terhembus angin seketika menjadi beku
sekeras batu, kata Coh Liu-hiang : "Pisau perak itu sudah menusuk amblas
sedalam setengah dim, tapi hanya ujung pisau sebesar beras saja yang
kelihatan menjadi kehitaman, diri sini dapatlah kita bayangkan mungkin
telur putihnya tak beracun, racunnya hanya ada ditelur kuning."
Ki Ping-yan sambuti telur itu serta diamat-amatinya dengan seksama, lalu
iapun keluarkan sebilah pisau perak kecil, selapis demi selapis ia kikis
permukaan telur, lama kelamaan dia dapati sebatang jarum kecil lembut
laksana rambut didalam kuning telur. Dengan ujung pisau peraknya,
perlahan-lahan ia menjungkitnya keluar, seluruh batang pisau perak itu
seketika berubah hitam.
Coh Liu-hiang menghela napas panjang, katanya tertawa : "Perut unta
berisi kambing, perut kambing berisi ayam, telur berada didalam perut
ayam, didalam putih telur barulah kuning telur, bahwa dia bisa menaruh
racun didalam kuning telurnya saja, sungguh buah karya yang lihay."
Ki Ping-yan tertawa, katanya : "Dia menaruh racun ditempat begini rupa,
namun bisa ketahuan oleh kau, bukankah kau lebih lihay?" mendadak roman
mukanya kelam, sambungnya : "Kui-je-ong sendiri yang menjungkit telur ini
dan diberikan kepadamu?"
"Benar!"
Kecuali dia sendiri, sebelum ini mungkin tiada siapapun yang tahu kepada
siapa telur ini hendak dia berikan, jadi orang yang menaruh
racun?".apakah Kui-je-ong sendiri"
Kalau Kui-je-ong sendiri yang menaruh racun, waktu dia menjungkit telur
kenapa harus pakai pisau perak" sebentar ia termenung lalu menambahkan:
"Kalau bicara soal kesempatan untuk menaruh racun didalam telur, hanya
koki atau tukang masak saja yang mungkin melakukan."
"Terang bukan koki itu."
"Kau sudah menyelidikinya?"
"Ya!" sahut Ki Ping-yan pendek.
"Masa kau tahu bila ia tidak berbohong?"
"Aku cukup tahu," cepat jawaban Ki Ping-yan tapi meyakinkan.
Coh Liu-hiang tidak bertanya lebih lanjut, jikalau Ki Ping-yan sudah begitu
yakin, sia-sia ia membuang ludah. Kalau jawabannya begitu sederhana,
tentulah pertanyaan yang dia ajukan kepada koki teramat jelas dan teliti
dan lagi tentu menggunakan suatu cara yang menyudutkan orang yang
ditanya, sehingga mau tidak mau harus menjawab dengan jujur. Sudah
tentu Coh Liu-hiang cukup tahu akan watak Ki Ping-yan.
Rada lama kemudian Ki Ping-yan bersuara lagi: "Untuk menaruh racun
didalam telur seperti ini, belum tentu harus dilakukan oleh seorang koki
saja, siapapun bisa turun tangan dikala orang lain tidak waspada, jarum
racun dia sambitkan masuk ke dalam telur cuma?".orang itu pasti amat
dekat dengan Kui-je-ong dan lagi dia sudah perhitungkan bahwa telur itu
bakal diberikan padamu." matanya melotot kepada Coh Liu-hiang berpikir
siapakah orang itu"
Lama Coh Liu-hiang berpikir-pikir, katanya tertawa: "Yang terang
sekarang takkan bisa disimpulkan, lekaslah kau pergi tidur saja."
"Kau"."
"Kau sudah berjaga setengah malam, sisa setengah malam menjadi
giliranku," kata Coh Liu-hiang.
Lewat setengah malam hawa semakin dingin, Coh Liu-hiang pun sudah
duduk cukup lama, bergemingpun tidak, kalau Ki Ping-yan bisa duduk
seperti itu, tak perlu dibuat heran, bahwa Coh Liu-hiang bisa duduk begitu
lama tanpa bergerak, sungguh siapapun takkan pernah menduganya.
Tempat itu amat gelap, api lilin didalam perkemahan kelihatannya seperti
berjarak amat jauh, tiada orang yang melihatnya, namun dengan jelas Coh
Liu-hiang bisa mengamati setiap orang.
Kini suasana dalam perkemahanpun mulai reda, dua tiga orang saling
payang dan papah bergoyang gontai keluar, ada yang nyanyi-nyanyi kecil,
ada yang menggerundel.
Suara nyanyian akhirnya berhenti dan sirap, deru angin yang berhembus
di gurun pasir berubah laksana nyanyian duka cita yang memilukan hati,
membuat orang bergidik seram dan hambar! Tabir malam yang tak
berujung pangkal, bintang-bintang bertebaran mulai lenyap, ditengah
gurun pasir seluas ini tinggal Coh Liu-hiang seorang saja yang masih segar
dan sadar. Lambat laun sanubarinya memikirkan banyak kejadian, urusan dan banyak
orang. Soh Yong-yong, Song Thiam-ji dan Li Ang-siu dimanakah mereka kini"
Sampai detik ini Coh Liu-hiang masih belum berhasil menemukan jejak atau
mendapat kabar mereka! Tapi musuh yang berada di sekelilingnya justru
semakin banyak, Ciok-koan-im yang misterius dan menakutkan itu, jejaknya
tak menentu, gerak-geriknya serba tersembunyi, pembunuh yang tak
terukur kepandaian silatnya?""apakah dirinya harus terbenam di tengah
gurun pasir yang tak kenal kasihan ini"
Coh Liu-hiang tenggak lagi araknya, teringat akan Oh Thi-hoa, serta
merta tersungging senyuman kecil di ujung bibirnya, "Bocah itu, sungguh
bahagia dan besar rejekinya."
Tiba-tiba ia mendapati seseorang sedang datang ke arahnya, badannya
terbungkus oleh selembar kemul besar yang terbuat dari bulu angsa,
selintas pandang seperti sebuah kemah kecil sedang bergerak berjalan.
"Siapa?" tegur Coh Liu-hiang.
Tidak menjawab malah terdengar suara cekikikan tawanya. Ternyata
pendatang ini adalah Pipop-kongcu, mempelai perempuan membolos keluar
dari kamar pengantin.
Senyuman yang tersungging di bibir Coh Liu-hiang seketika membeku,
serunya perlahan : "Untuk apa kau kemari?"
Sambil menyeret kemul bulu angsa yang besar itu, Pipop-kongcu
melangkah mendatangi, tawanya semakin riang, sahutnya : "Kau boleh
datang kemari, memang aku tidak?"
"Tidak pantas kau datang ke tempat ini!"
"Kenapa?" berkedip-kedip biji mata Pipop-kongcu.
Coh Liu-hiang menarik muka, katanya kandas : "Jikalau tak segera kembali
ke kamar pengantinmu, biarku?"?" kata-katanya terputus oleh tawa
cekikikan Pipop-kongcu semerdu kelintingan.
Katanya dengan tertawa riang : "Kau?".kau ingin pergi?""untuk apa
masuk ke kamar pengantin?"
Ke kamar pengantin sudah tentu untuk?".untuk?"..suara Coh Liu-hiang
yang sirap seketika, sungguh tak tega ia melanjutkan kata-katanya di
depan seorang gadis, terpaksa ia gosok-gosok hidung sendiri.
Kata Pipop-kongcu sambil mengerling penuh daya tarik : "Katakanlah,
sudah tentu melakukan apa?"
Sungguh Coh Liu-hiang tidak tahu apa yang harus dikatakan, selama hidup
boleh dikata belum pernah ia berhadapan dengan gadis secentil dan
seberani ini, Pipop-kongcu malah semakin riang melihat sikap kikuk dan
malu-malunya, katanya lincah : "Kalau aku masuk kedalam kamar pengantin,
jangan kau heran kalau aku dilabrak oleh mempelai perempuan!"
Coh Liu-hiang benar-benar menjublek, katanya tersendat: "Mempelai
perempuan?"".memangnya bukan kau?"
"Siapa bilang aku mempelai perempuan?"
"Ta?"".tapi jelas sekali?""."
"Putri raja kan bukan hanya aku saja dalam negeri Kui-je kita, yang
menikah dengan Oh Thi-hoa adalah kakakku! Orang pikun?"?"
"Kakakmu?".kenapa tidak sejak semula kau jelaskan?"
Bersinar cemerlang bintang kejora biji mata Pipop-kongcu, katanya sambil
gigit bibir: "Kenapa harus ku jelaskan, memang sengaja hendak kubuat kau
marah-marah, supaya kau gelisah," karena tawa cekikikannya badannya
bergetar, dari dalam kemulnya juga terdengar suara berdering yang ramai,
waktu dia julurkan sebelah lengannya dari dalam kemul yang membungkus
badannya, ternyata tangannya menjinjing dua botol arak. Dengan
mengacungkan kedua botol arak ini, dia tertawa riang, serunya : "Pikun kau
lekas sambut kedua botol arak ini, jangan sibuk mainkan hidung saja, nanti
copot dari mukamu!"
Mengawasi orang perlahan-lahan Coh Liu-hiang berkata: "Kau memang
setan kecil yang nakal, lincah dan cerewet, sembari bicara pelan-pelan ia
bangkit berdiri seraya ulur sebelah tangannya.
"Kau?""apa yang kau inginkan?"
"Coba kau terka?"
"Aku tidak takut, aku tidak takut padamu, aku tidak?"?"" seperti hendak
mundur tapi tidak bergerak, tiba-tiba mulutnya menjerit lirih, tahu-tahu
sebelah tangannya dicekal oleh Coh Liu-hiang, tak kuasa badannya
tersungkur masuk ke dalam pelukan Coh Liu-hiang.
Kemul bulu angsa di atas badannya seperti hampir melorot kebawah,
pelan-pelan kelihatan pundaknya tampak jelas, kulit badannya yang halus
putih merah selicin kain sutera, lambat-lambat pasti kemul itu melorot
turun lagi, kembali tampak sepasang bukit tandus yang menjulang, montok
dan kenyal. Ternyata badannya telanjang bulat, tak terbungkus selembar
benangpun, kemul itu terus melorot ke bawah .
Kembali Coh Liu-hiang terkesima dan mematung di tempatnya,
tangannyapun tak bergerak lagi. Terdengar suara Pipop-kongcu bergetar:
"Pikun, kau hendak bikin aku kaku kedinginan?" kedua tangannya
terpentang mengembangkan kemul bulu angsa itu.
Tampak oleh Coh Liu-hiang bentuk badan polos seorang gadis yang masih
perawan dan belum terjamah oleh tangan siapapun jua, begitu sempurna
dengan lekak-lekuk yang jelas, sepasang dada yang putih dan menantang,
kaki atau sepasang paha yang mempesonakan, lambat laun pandangan Coh
Liu-hiang menjadi gelap dan tak terlihat apa-apa lagi. Seluruh badannya
tahu-tahu sudah terbungkus masuk ke dalam kemul bulu angsa yang lebar
dan besar. Kedua orang itu sama-sama roboh bergelundungan jatuh di atas selimut
tempat duduknya tadi, kemul bulu angsa yang merah menyolok itu kini
benar-benar sesuai menjadi fungsinya sebagai kemah mini yang terkecil
diseluruh dunia.
Sesuatu sedang bergerak-gerak didalam kemah mini itu, lalu segalanya
berhenti. Cekikikan Pipop-kongcu kembali terdengar dari dalam : "Aku tidak takut
padamu, masakan kau malah takut kepadaku?"
Agaknya Coh Liu-hiang menghela napas,, katanya : "Kau memang binal!"
"Pernahkah kau melihat si binal yang begitu cantik dalam dunia ini?"
"Belum pernah."
"Akupun belum pernah melihat si pikun yang gagah mungil dalam dunia
ini?".si pikun?"pikun?" suaranya semakin lirih dan akhirnya tak terdengar
lagi. Tak lama kemudian sebuah botol melayang keluar dari dalam kemah
mini, disusul sebuah botol lainnya yang masih berisi setengah arak.
Sesaat kemudian sebuah kaki putih yang halus mulus dan indah terjulur
keluar dari dalam kemah dengan gemetar, tapi cepat-cepat menyurut lagi,
perlahan-lahan dan pasti terdengar suara napas mulai menderu, semakin
cepat dan cepat lagi. Apakah mereka kedinginan" Kenapa seluruh kemah
mini itu serasa bergetar"
Sang surya akhirnya merambat naik perlahan-lahan. Sinar surya yang baru
saja terbit serasa lembut san hangat seperti dengus napas seorang bayi.
Terdengar suara lagi dari dalam kemah mini.
Itulah suara Coh Liu-hiang : "Agaknya hari sudah terang tanah."
"Belum, belum?"umpama sudah terang tanah juga tidak menjadi soal,
semua orang disini semalam sudah rebah semua karena terlalu banyak
minum arak, mana mereka bisa bangun begini cepat?" kata Pipop-kongcu,
suaranya kedengarannya seperti merintih penuh kenikmatan.
Coh Liu-hiang tidak bicara lagi, agaknya dia setuju orang tetap mengeram
didalam kemah mini itu.
Tiba-tiba Pipop-kongcu bersuara lagi: "Aku berbuat begini baik kepadamu,
tahukah kau apa maksudku?"
"Meskipun aku ini bukan laki-laki yang suka iseng, tapi sungguh tak habis
aku mengerti kecuali si gadis mencintai laki-laki itu sampai dia rela
menyerahkan dirinya, memangnya masih ada sebab lainnya?"
"sudah tentu aku menyukai kau, tapi jikalau tiada lain tujuan, akupun
takkan"..takkan demikian."
"Masih lantaran apa kau?"
Sesaat Pipop-kongcu termenung, lalu menjawab pelan-pelan : "Karena aku
takkan menikah sama kau."
"O?" Coh Liu-hiang bersuara heran.
"Bukan saja aku tidak bakal menikah dengan kau, malah kelak?"pertemuan
kita kelakpun mungkin amat terbatas."
"O?" "O, o, o,"..," mendadak Pipop-kongcu berteriak sengit : "Memangnya kau
bisu dan hanya bisa menjawab "O" saja, memangnya kau tidak punya
komentar?"
"Komentar apa yang harus kuberikan?"
"Kau, kau, sedikitnya kau harus tanya kepadaku, kenapa aku tak bisa
menikah dengan kau?"
"Kalau kutanyakan, apakah kau sudi menjawab!"
Agaknya Pipop-kongcu tertegun, lama juga berdiam diri, katanya kemudian
sambil menghela napas : "Aku takkan jelaskan."
"Justru aku tahu kau takkan menjelaskan maka aku tidak bertanya."
"Kau?".masakan sedikitpun tidak sedih atau mendelu" Seumpama hatimu
tidak perih pantasnya kau berujar beberapa kata."
Sejak semula sudah kuberitahu kau, aku selamanya tak pernah berbohong.
"Kau?"".kau bergajul, benar-benar tidak merasa rawan?"
"Bicara terus terang, seumpama kau pasti harus menikah sama aku,
apakah aku bakal mempersunting kau, bagi aku masih merupakan tanda
tanya?" "Plak," sekonyong-konyong terdengar suara gamparan keras, sesosok
badan orang menerobos keluar dari kemah itu, dari pakaian kelihatannya
seperti Coh Liu-hiang?"?".Eh! Coh Liu-hiang mana bisa memelihara
rambut sepanjang itu" Apakah dia Pipop-kongcu yang mengenakan pakaian
Coh Liu-hiang"
Bagai terbang kakinya melangkah terbirit-birit, mulutnya masih mencaci
maki kalang kabut : "Kau dasar bergajul, laki-laki hidung belang, kau?"kau
ulat busuk, seumpama seluruh laki-laki dalam dunia ini pada mampus, aku
tidak sudi menikah sama kau !"
Suasana masih hening gelap, memang belum ada seorangpun yang bangun.
Dengan tangan terbungkus kemul bulu angsa merah itu, dengan merundukrunduk
Coh Liu-hiang lekas berlari masuk ke dalam kemahnya seperti
pencuri yang sedang beroperasi, untung Ki Ping-yan masih tertidur lelap.
Dari kepala sampai kekaki seluruh badannya mengkeret ke dalam selimut,
sampai bernapaspun kelihatannya amat susah, lekas Coh Liu-hiang mencari
pakaian dan mengenakannya, tapi orang tetap tidur nyenyak tanpa
bergerak setengah mati.
Coh Liu-hiang tiba-tiba tertawa, katanya : "Aku tahu sejak tadi kau sudah
siuman, tak perlu kau pura-pura tidur, memangnya apa yang barusan
kulakukan tidak perlu main sembunyi di depan matamu, toh soal mau sama


Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mau bukan suatu yang memalukan."
Ki Ping-yan tetap memeluk lutut, tanpa memberi reaksi, tidak bergerak!
"Seorang laki-laki yang normal, berhadapan dengan gadis yang ketagihan,
ditengah malam buta yang dingin dan sepi ini, coba kau katakan, apa pula
salahnya?"
Coh Liu-hiang sendiri jadi bingung, apakah dia sedang memberi penjelasan
kepada orang lain atau penjelasan untuk membela perbuatan diri sendiri.
Yang terang Ki Ping-yan tetap tidak pedulikan ocehannya.
Coh Liu-hiang membetulkan letak pakaiannya, sambil menghela napas,
ujarnya : "Dihitung-hitung, Siau Oh lah yang serba menderita, boleh dikata
suatu penipuan perkawinan, calon istrinya itu, ternyata dari kepala sampai
ujung kakinya tak pernah berani mengunjukkan diri, aku akan keheranan
kalau istrinya itu bukan perempuan jelek."
Mendadak dilihatnya seseorang menerobos masuk, kiranya Oh Thi-hoa.
Coh Liu-hiang kira mendengar kata-katanya ini, seumpama tidak
berjingkrak marah marah tentulah raut muka Oh Thi-hoa membesi buruk,
siapa tahu Oh Thi-hoa justru melangkah maju dengan berseri tawa puas
dan terhibur, bukan saja tidak marah, malah kelihatan amat riang.
Coh Liu-hiang sendiri yang melongo marah.
Dilihatnya Oh Thi-hoa tertawa cengar-cengir duduk dihadapannya,
cengar-cengir mengawasi dirinya, seperti baru saja dia mendapatkan
sekeping uang emas besar dari tanah.
Coh Liu-hiang mendengus hidung, tanyanya memancing : "Kau?""apa kau
baik-baik?"
"Baik sekali!"
"Kau?""sudahkah kau melihat mempelai perempuan!"
"Memangnya kau kira aku menantu pikun" Tanpa melihat istrinya lantas
membolos keluar dari kamar pengantin?"
"Jadi kau".kau?".kau tidak marah?"
"Kenapa aku harus marah" Boleh dikata selama hidupku belum pernah
hatiku seriang ini."
Apa kau sudah sadar dari mabuk"
"Selamanya belum pernah aku sesadar sekarang ini."
Coh Liu-hiang malah menjublek.
"Tentunya kau sudah tahu bahwa istri baruku itu bukan Pipop-kongcu."
"Em!"
"Maka kau pikir, kalau calon istriku semula tak berani unjuk muka didepan
umum, tentulah dia bermuka burik, bertampang jelek seperti setan, kalau
tidak kenapa dia tak berani unjuk muka?"benar tidak?"
Coh Liu-hiang bersungut-sungut: "Ya, mungkin tidak terlalu jelek, cuma"."
"Tak perlu kau ikut prihatin bagi aku, tak perlu membujuk dan
menghiburku. Ketahuilah bukan saja istriku tidak jelek, malah berani
kukatakan kecantikannya sepuluh kali lipat lebih elok, rupawan dan jelita
dari Pipop-kongcu."
Kini Coh Liu-hiang benar-benar melongo, kalau tuan putri yang tua itu
begitu cantik, kenapa sebelum ini tidak berani berhadapan muka dengan
orang lain" sungguh ia kurang percaya.
"Apa kau tidak percaya?" teriak Oh Thi-hoa keras.
Coh Liu-hiang mengelus hidung, sahutnya tertawa geli: "Ini, mungkin".!"
Oh Thi-hoa berjingkrak berdiri, serunya : "Baik! Kau tidak percaya, mari
kuajak kau menemuinya." Belum Coh Liu-hiang sempat buka suara, Oh Thihoa
sudah menyeretnya. Keadaan di luar masih sunyi senyap, bayangan
seorangpun tak kelihatan.
"Sepagi ini, kau lantas menyeretku membuat geger di kamar pengantin,
apa tidak lucu?" kata Coh Liu-hiang.
"Ah, saudara sendiri, memangnya ada persoalan apa?"
Seumpama kau sendiri merasa tiada apa-apa tapi istrimu"
"Ketahuilah bukan saja istriku itu teramat cantik, malah wataknya baik,
sikapnya lemah lembut penuh kasih sayang, pandai meladeni
dan?"?".dan?"".sungguh aku tak bisa bilang apa yang harus kupujikan
padanya." Mendengar kata-kata orang, mau tidak mau Coh Liu-hiang ikut girang,
katanya tertawa: "Agaknya orang bodoh mempunyai rejekinya sendiri yang
lain dan jauh artinya, "belum habis kata-katanya Oh Thi-hoa sudah
menariknya menerobos masuk ke dalam kamar pengantin.
Kamar pengantin yang dimaksud adalah sebuah kemah tersendiri yang
baru saja dibangun, keadaan didalam tak ubahnya seperti sebuah istana
raja, segala sesuatunya serba baru, mewah dan megah, mungkin baru saja
mengalami perjuangan atau kerja berat sampai mempelai perempuan malas
bangun, kelihatan masih rebah di atas ranjang, hanya rambutnya saja yang
kelihatan terurai di luar kemul yang tebal itu.
Begitu berada didalam kamar Oh Thi-hoa lantas berkaok-kaok: "Ada tamu
datang lekaslah bangun! Inilah sahabatku yang paling akrab, seumpama
saudara sepupuku, tidak perlu kau malu-malu kucing dihadapannya."
Orang lain setelah menikah tiga bulan, suami istri setiap beradu muka
sang istri masih sering menunjukkan rasa malu, tapi Oh Thi-hoa menikah
belum setengah hari, tingkah dan sikapnya sudah seperti suami istri lanjut
usia. Sudah tentu Coh Liu-hiang hampir terloroh-loroh geli namun iapun ikut
senang bagi perkawinan Oh Thi-hoa kali ini, jikalau mempelai perempuan
tidak mencocoki seleranya mana mungkin orang bersikap begitu wajar dan
terbuka. Tapi mempelai perempuan tetap meringkuk dalam kemul, malah tidak
bergerak. Dengan langkah lebar Oh Thi-hoa memburu maju, katanya sambil
tertawa : "Cepat atau lambat kau toh pasti akan menemui dia, kenapa?".."
kata-katanya mendadak berhenti seperti mulutnya tiba-tiba disumbat
sesuatu benda, rona mukanyapun seketika berubah kaku kering.
Darah! Kemul beludru yang masih baru itu tampak berlepotan darah.
Dengan tangan gemetar Oh Thi-hoa menyingkap kemul itu dengan sekali
hentakan. Jelas kelihatan perempuan yang meringkuk didalam kemul itu
ternyata sudah mati.
Serasa terguling jatuh dari atas loteng tinggi, seketika lemas lunglai
sekujur badan Oh Thi-hoa.
Lekas Coh Liu-hiang memburu maju, memayang badannya : "Kapan kau
meninggalkan kamar ini?"
"Aku?""aku?"".baru saja keluar mencari kau?"".."
"Dalam waktu sesingkat itu ada orang lain masuk dan menurunkan tangan
jahat! Siapakah dia" Ada dendam atau permusuhan apa kau dengan dia"
Kenapa setengah hari setelah pernikahan dia membunuh?".."
Tiba-tiba Oh Thi-hoa berjingkrak berdiri, teriaknya : "Kau kira dia inikah
mempelai perempuannya?"
"Memangnya bukan dia?" Coh Liu-hiang kaget.
"Sudah tentu bukan, siapa perempuan ini seumur hidup aku tak pernah
melihatnya."
"Jadi?"..jadi, dimana mempelai perempuan yang tulen?"
"Iya! Dimanakah dia" Terang tadi dia masih rebah didalam selimut."
Sembari berteriak-teriak ia sibuk mencari kian kemari dan melongok
kolong ranjangnya. Siapa perempuan ini" Bagaimana bisa berada di kamar
pengantin ini" Siapa pula pembunuhnya" Kemana sebenarnya mempelai
perempuan yang tulen"
Oh Thi-hoa hanya keluar sebentar saja tapi kenyataannya pembunuhan
sudah terjadi begitu cepat dan besar didalam kamar pengantinnya!
Sungguh seumur hidup Coh Liu-hiangpun belum pernah mengalami peristiwa
seaneh ini. Tampak mayat perempuan ini dibagian mukanya sudah melembung besar,
dapatlah dibayangkan diwaktu masih hidup raut mukanya tentu teramat
jelek, kini di dadanya yang telanjang itu ternyata telah berlubang oleh
jari-jari yang kuat, sungguh bukan buatan ngeri dan seram keadaannya.
Sebetulnya apakah yang telah terjadi" gerutu Oh Thi-hoa membanting
kaki. Perempuan ini kenapa bisa rebah telanjang bulat di atas ranjangku"
Kapan dia masuk kemari" Masakah istriku itu tidak mengetahuinya"
"Yang terang perempuan ini tentu bukan masuk kemari sendiri," kata Coh
Liu-hiang dengan suara berat.
"Dari mana kau bisa tahu?"
Walau darah berlepotan di atas kemul, sedikitpun kasur dan seprai tidak
kotor, dari sini dapat kita simpulkan bahwa perempuan ini dibunuh lebih
dulu, baru dipindahkan ke atas ranjang.
"Kalau begitu lebih aneh lagi, setelah orang itu membunuhnya, kenapa
harus dipindahkan lagi ke atas ranjang?"
Jilid 19 "Waktu kau keluar tadi apakah benar istrimu masih rebah di atas
ranjang?" "Tidak salah, jelas sekali dia mendengkur nyenyak, kini kenapa
menghilang?"
Coh Liu-hiang mengerut kening, sungguh diapun bingung dan belum bisa
mengambil gambaran dari kejadian misterius ini, apa pula latar belakang
didalam kejadian serba aneh dan rahasia ini.
Oh Thi-hoa berlari dan berkaok-kaok : "Tolong! Tolong!Ada orang mati
didalam kamarku, lekas kalian kemari, periksalah siapa dia?"
Orang yang memburu datang pertama kali adalah Pipop-kongcu, disusul
Kui-je-ong yang kelihatan masih ngantuk, dengan mata sepat berlari
terhuyung-huyung. Begitu mereka melihat mayat di atas ranjang, seketika
berdiri menjublek berubah hebat air mukanya.
Seru Oh Thi-hoa : "Siapa perempuan ini", kalian?"
Belum habis kata-katanya Kui-je-ong tahu-tahu merenggut bajunya,
serunya menggembor : "Kenapa kau membunuhnya?"
"Aku membunuhnya?" seru Oh Thi-hoa naik pitam, "Apa kau melihat
setan" Selamanya aku tak kenal dia, kenapa harus membunuhnya?"
"Meskipun tampangnya rada jelek, jelek-jelek dia sudah menjadi istrimu,
kenapa kau turun tangan begitu keji" kau, kau bukan manusia, kau
binatang!"
Oh Thi-hoa berjingkrak kaget, serunya: "Apa katamu" Perempuan
ini?"adalah?""adalah istriku?"
Merah padam biji mata Kui-je-ong, serasa hampir gila, dia mendamprat:
"Seandainya dia bermuka rada jelek, betapapun dia putri raja yang masih
suci bersih, memangnya dia tidak setimpal menjadi istri bajingan seperti
tampangmu" Kau?"umpama kau tidak sudi mengawini, tidak
seharusnya?"."
Sekali ayun tangannya Oh Thi-hoa dorong orang jatuh duduk di atas
tanah, serunya terbelalak kaget: "Orang ini gila, orang ini sudah gila!"
Kaulah yang gila! damprat Kui-je-ong.
Heran, bingung dan curiga menyelimuti sanubari Coh Liu-hiang, lekas ia
bantu memayang Kui-je-ong berdiri, katanya berat : "Siapa sebenarnya
perempuan diatas ranjang ini" Apa Ongya mengenalnya?"
Putriku sendiri, kenapa aku tidak mengenalnya"
"Jadi yang kawin dengan Oh Thi-hoa semalam adalah nona ini?"
"Sudah tentu putriku ini."
Oh Thi-hoa menyelutuk hampir berteriak: "Bukan dia, pasti bukan dia, aku
melihat jelas sekali dengan mata kepalaku sendiri, calon istriku itu adalah
gadis rupawan yang cantik jelita, terang bukan si buruk rupa ini!"
"Aku sendiri yang kawinkan putriku kepadamu, memangnya aku tidak
tahu!" Mempelai laki-laki bilang si korban pasti bukan istrinya, sebaliknya sang
mertua secara kukuh mengakui si korban sebagai putrinya. Kejadian
seaneh ini sungguh jarang terjadi di dunia ini, Coh Liu-hiang seperti
tergencet ditengah-tengah, ia jadi sukar berketetapan pihak mana yang
harus ia percayai omongannya"
Oh Thi-hoa membanting kaki, serunya : "Kalau perempuan jelek ini adalah
mempelai perempuan, lalu siapa perempuan cantik yang bergaul sama aku
semalam" Memangnya ada orang lain yang memalsu calon istriku ini?"
"Kau sudah membunuhnya, kini kau mengarang cerita bohong untuk
mendustai orang lain?"
"Kenapa aku harus menipu kau" Memangnya semalam aku bertemu dengan
setan?" "Coba kutanya," tiba-tiba Pipop-kongcu menyela bicara, "Kalau kau
katakan dia bukan istrimu, memangnya kemana perempuan yang semalam
bergaul dengan kau" Asal kau bisa menyeretnya keluar, kita akan percaya
padamu." "Aku?""aku?""." bahwasanya dia memang tidak tahu kemana perempuan
cantik yang dia anggap sebagai istrinya dan gaul sama dirinya semalam, dia
hanya keluar sebentar, kenyataan istri cantik bak bidadari itu tahu-tahu
hilang tak karuan rimbanya.
Pipop-kongcu tertawa dingin, katanya : "Seumpama semalam perempuan
yang kau hadapi bukan kakakku, kenapa kakakku tahu-tahu sudah ajal di
atas ranjangmu" Kalau bukan kau yang membunuhnya, siapa pembunuhnya?"
Tentu kalian sengaja mengganti yang tulen dengan yang palsu, tapi akulah
yang menjadi korban dan difitnah semena-mena.
"Kentut!" maki Kui-je-ong, masakah aku tega membunuh putri kandungku
sendiri?" Bukti dan kenyataan, Oh Thi-hoa sendiri menyadari apa yang dia katakan
bahwasannya sukar bisa membuat orang lain percaya, terpaksa dia
memburu kedepan Coh Liu-hiang, serunya gugup : "Kau,?"?"kenapa kau
tidak bantu aku bicara" Memangnya kaupun tidak percaya padaku?"
Coh Liu-hiang menghela napas, ujarnya : "Apa yang harus kukatakan?"
"Baik! Kalian sama tak percaya kepadaku, sampai kaupun bantu orang lain
memfitnah aku, sungguh penasaran! Seumpama memang aku yang
membunuhnya, mau apa" Siapa suruh kalian menipuku untuk mempersunting
perempuan jelek ini?"
"Kau sudah membunuh jiwa orang, harus menebus dengan jiwamu pula."
Damprat Pipop-kongcu. ditengah gerungannya, kesepuluh kuku jarinya
tahu-tahu mencengkeram ke leher Oh Thi-hoa.
Gerak serangannya ini sungguh cepat dan gesit. Tapi orang macam apa Oh
Thi-hoa, masakan gampang kecundang" Sudah tentu ia tidak pandang
sebelah mata ilmu silat lawan. Bentaknya gusar: "Minggir! Aku belum ingin
melukai kau, tapi jangan kau ganggu dan membuatku gusar!" cukup ia
gerakkan sebelah tangan tahu-tahu badan Pipop-kongcu tertolak mundur
seperti diterjang angin badai.
"Kau?""kau hendak lari?" Seru Kui-je-ong.
Oh Thi-hoa tertawa terloroh-loroh, "Mau pergi kenapa" Siapa yang
mampu merintangi aku?"
"Kau takkan lolos!" teriak Kui-je-ong. Ditengah gerungan kemurkaannya,
tujuh delapan tombak gantolan tahu-tahu menusuk kedalam dari luar
kemah. Melirikpun tidak, tahu-tahu sebelah tangan Oh Thi-hoa menyambar dua
ujung tombak gantolan diantaranya, tahu-tahu sudah terenggut olehnya,
sedikit sendal dan tarik kedepan, dua orang tahu-tahu terseret maju
tersungkur ke dalam kemah. Serempak beberapa busu yang lain
menghardik murka, delapan tombak terbagi ke berbagai sasaran kembali
menusuk datang lagi.
Gerakan Oh Thi-hoa laksana angin puyuh, maka terdengar jeritan
kesakitan saling susul, delapan busu sama terjungkal roboh diiringi senjata
masing-masing yang jatuh kerontangan tiada satupun yang utuh.
Kui-je-ong belum pernah saksikan kegagahan yang luar biasa seperti ini,
seketika ia terkesima mematung di tempatnya.
Tampak dengan langkah lebar Oh Thi-hoa beranjak keluar sambil angkat
dada, serunya bengis: "Siapa pula yang berani maju, biar kugencet batok
kepalanya sampai hancur luluh."
Serombongan busu yang bersenjata lengkap di luar sana sama berdiri
melongo, tiada seorangpun yang berani maju. Sekonyong-konyong sesosok
bayangan orang berkelebat, tahu-tahu seseorang menghadang di depan Oh
Thi-hoa. Berubah muka Oh Thi-hoa, tiba-tiba ia terkial-kial: "Bagus! Kaupun turut
mencegatku! Biarlah hari ini kita menentukan siapa yang lebih unggul di
sini." Coh Liu-hiang menarik napas dengan geleng kepala, ujarnya : "Masakah aku
mau bergebrak dengan kau?"
"Kalau demikian, marilah kita pergi bersama."
"Kau tidak boleh pergi."
"Kenapa?"
"Kalau kau tinggal pergi begitu saja, penasaranmu takkan tercuci bersih."


Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Memangnya kenapa kalau tidak bisa mencuci penasaranku" Yang terang
dalam hatiku, aku tak pernah berbuat kejahatan seperti ini, persetan apa
yang dikatakan orang lain, biar ku anggap kentut melulu."
"Persoalan lain tak menjadi soal, tapi peristiwa ini harus dibikin jelas!"
"Aku sudah tahu kau memang berat untuk meninggalkan tempat ini,
baiklah! kau tidak mau, biar aku pergi sendiri, "belum habis kata-katanya
kembali Coh Liu-hiang merintangi, "Kau berhak menghalangiku?"
"Kemana kau hendak pergi?"
"Ke tempat mana aku bisa pergi?"
"Gurun pasir jangan kau anggap Tionggoan, seorang diri kemanapun kau
tidak bisa pergi."
"Kalau kau tidak mau ikut, walau aku mampus tak perlu kau kuatirkan
diriku." "Tahukah kau, si pembunuh memang sengaja menyudutkan kau sehingga
kau pergi demikian saja, kalau kau pergi berarti terlaksana keinginan dan
maksud-maksud jahat selanjutnya."
"Memangnya apa kehendakmu?"
"Kau harus tetap di sini, dalam tiga hari pasti aku bantu kau menemukan si
pembunuh, jikalau sekarang kau berkeras mau tinggal pergi, meski harus
adu jiwa aku akan berusaha merintangimu."
"Jikalau orang lain bicara begini rupa terhadapku, jangan heran kalau aku
melabrakmu, tapi kau ..kau ulat busuk ini, menghadapimu sungguh aku
kehilangan akal." Mendadak Oh Thi-hoa membanting kaki, serunya. " Baik!
Kuterima usulmu, tinggal di sini, kalau toh kau ingin batok kepalaku,
terpaksa secara sukarela biar kugorok dan persembahkan kepadamu
dengan kedua tanganku."
Dari kejauhan Kui-je-ong mendengar percakapan mereka, timbul pula
nyalinya, bentaknya: "Mana orangku! Lekas ringkus dia!"
Para busu bertombak itu bangkit pula keberaniannya, beramai-ramai
mereka menerjang maju pula.
Maka terdengarlah suara jeritan gemerantang dan gedebukan, puluhan
batang tombak entah bagaimana, tahu-tahu sudah berada ditangan Coh
Liu-hiang, enteng sekali kedua tangannya bekerja sekaligus terdengar pula
suara peletak-peletok batang-batang pedang itu sama-sama kutung dan
tercecer di tanah.
Berubah roman muka Kui-je-ong, serunya: "Kau?"..kenapa kau?"
Kata Coh Liu-hiang : "Kalau dia bilang mau tinggal di sini, pasti takkan
pergi, dalam tiga hari lagi aku pasti dapat meringkus pembunuhnya, tapi
jangan sekali kali diantara kalian ada yang berani mengganggu seujung
rambutnya."
"Dia".jikalau dia lari?"
"Kalau dia pergi, aku yang menebus jiwa putrimu."
"Kalau kau tidak berhasil membekuk si pembunuh dalam tiga hari?"
"Dalam tiga hari kalau dia tak berhasil meringkus pembunuhnya, biar
akupun menebus jiwa putrimu," sela Oh Thi-hoa aseran.
Kedua orang ini sama menyerahkan jiwa sendiri sebagai pertanggungan
kepada orang lain, sahabat macam ini memang jarang diketemukan dalam
dunia ini. Lama Kui-je-ong melongo, katanya kemudian : "Baik, aku percaya padamu."
Coh Liu-hiang tarik Oh Thi-hoa masuk ke dalam kemahnya sendiri.
Pipop-kongcu menghirup hawa, katanya menggumam : "Kedua orang ini
jelas bisa tinggal pergi dengan mudah, namun mereka justru tak mau pergi,
malah bersumpah segala, untuk apakah mereka sebenarnya" Apakah benar
kakakku bukan mereka yang membunuhnya?"
Kui-je-ong berkata : "Bukan dia, siapa yang membunuh" Masakah benarbenar
terjadi dalam dunia ini ada perempuan yang memalsu istri orang
lain" Oh Thi-hoa sedang menggumam : "Bicara terus terang aku sendiripun
tidak berkukuh hendak pergi, sebelum peristiwa ini dibikin terang sungguh
penasaran benar hatiku. Kalau yang mati itu benar putri Kui-je-ong, lalu
siapakah perempuan yang kuhadapi semalam" Kenapa dia memalsu
mempelai perempuan" Adakah manfaatnya bagi dia?"
"Masakah kau tidak mengerti?"
"Memang aku tak habis mengerti."
"Pertama kau harus percaya, nona yang mati itu memang putri Kui-je-ong,
atau istrimu!"
"Kenapa aku harus percaya?" sentak Oh Thi-hoa.
Coh Liu-hiang tertawa getir, ujarnya : "Lantaran putrinya yang satu ini
buruk rupa, maka Kui-je-ong selalu kelabui kau, kalau tidak mana Pipopkongcu
berani main trobosan kian kemari, kenapa dia selalu
menyembunyikan diri?"
Oh Thi-hoa menarik napas, mulutnya terkancing.
Kau harus tahu pula, bukan pagi hari ini dia dibunuh, barusan kuperiksa
sedikitnya dia sudah mati empat lima jam sebelumnya.
"Empat lima jam" Jadi sebelum aku masuk ke kamar pengantin, dia sudah
dibunuh?" "Ya, begitulah kejadiannya."
"Tapi mayatnya?"?"
"Dikolong ranjang ada noda-noda darah, setelah membunuhnya, tentu
mayatnya disembunyikan di bawah ranjang, lalu dia sendiri menyaru
sebagai mempelai perempuan tidur di atas ranjang."
"Maksudmu?"waktu semalam kami gaul di atas ranjang, ada mayat
dikolong ranjang?"
"Tidak akan salah."
Bergidik dan merinding Oh Thi-hoa dibuatnya, "Dia?".dia tahu bahwa
dikolong ranjang ada mayat, masih begitu asyik main dengan
aku?"..bergaul sama aku di atas?"!" Serasa hampir saja muntah-muntah,
sampai kata-katanyapun tenggelam dalam tenggorokan.
"Tadi waktu kau keluar mencariku, segera ia pindah mayat di bawah itu ke
atas ranjang, tujuannya adalah untuk menjebak kau, supaya Kui-je-ong
menuduh kaulah pembunuhnya."
"Kenapa dia berbuat demikian?"
"Karena jikalau kita berserikat dengan Kui-je-ong, terang tidak
menguntungkan bagi gerakannya, perbuatannya ini ditujukan untuk
mengadu domba hubungan kita dengan Kui-je-ong, diapun sudah
perhitungkan apapun yang kau katakan pasti tak dipercaya oleh mereka,
kalau murka kau tinggal pergi, mungkin dia hendak bikin kau mampus
ditengah gurun pasir."
Oh Thi-hoa menyeka keringat dingin di atas jidatnya, katanya : "Masakah
dia itu?".adalah?"".adalah"
"Orang yang menyamar mempelai perempuan kemungkinan adalah Ciokkwan-
im sendiri." tutur Coh Liu-hiang.
Gemetar dingin sekujur badan Oh Thi-hoa.
"Konon khabarnya Ciok-kwan-im adalah perempuan cantik yang jarang
terlihat di kalangan Kangouw, meski usianya rada lanjut, tapi tentulah dia
pandai merawat badan, disamping dia pandai merias diri, apalagi ditengah
malam kaupun sedang mabok."
Oh Thi-hoa tutup mukanya, teriaknya keras : "Oh Thian!" badannya roboh
terlentang menggeletak di atas ranjang, tapi Ki Ping-yan yang tidur di atas
ranjang masih meringkel nyenyak, seperti tidak merasa ada orang menindih
ke atas badannya.
Sedikit berubah air muka Coh Liu-hiang, sekali raih ia tarik badan Oh Thihoa,
mulutnya memonyong ke atas ranjang, begitu beradu pandangan,
terasa dingin hati mereka.
Biasanya Ki Ping-yan cukup cerdik, cekatan dan waspada, seumpama
dirumah sendiri diapun takkan tidur begini lelap, jikalau diapun mengalami
sesuatu" Oh Thi-hoa tiba-tiba mengerung, terus menubruk ke arah ranjang, sekali
sentak ia tarik kemul beludru itu.
Orang yang meringkel didalam selimut ternyata bukan Ki Ping-yan, tapi
seorang busu Kui-je, pakaian yang dia kenakan masih seragam untuk pesta
pora semalam, sampaipun sepatunya tidak dicopot.
Oh Thi-hoa cengkeram rambut orang, terus dijinjingnya dari atas ranjang,
bentaknya bengis: "Bagaimana kau bisa tidur di atas ranjang ini" Katakan!
Lekas katakan!"
Busu itu seperti tidak bertulang badannya, lemas lunglai tergantung oleh
jinjingan tangan Oh Thi-hoa yang kokoh kuat.
Coh Liu-hiang mengerut alis, katanya: "Orang ini tertotok jalan darahnya."
Belum habis kata-katanya Oh Thi-hoa sudah bergerak secepat angin
membuka totokan Hiat-to orang, baru saja dia hendak ulang pertanyaan
tadi. Tak nyana baru saja busu ini membuka mata, dia sudah menjerit
terlebih dahulu, serunya: "Lho, aku kok berada di sini" Apakah yang telah
terjadi?" "Apa yang telah terjadi, memang aku hendak tanya kau," damprat Oh Thihoa.
Sekeras-kerasnya si Busu gelengkan kepalanya, kiranya mabuknya belum
hilang, kepala masih pening, dengan kedua tangan ia ketuk kepala sendiri
berulang kali, mendadak ia berseru keras : "Sudah kuingat, semalam aku
minum terlalu banyak, aku keluar mau kencing, waktu aku membalikkan
badan entah bagaimana tahu-tahu aku direnggut dan diseret ke dalam sini,
selanjutnya apapun aku tidak tahu."
"Siapa yang menyeretmu kemari?" tanya Oh Thi-hoa.
"Cepat sekali gerakan orang itu, aku?"..seumpama aku dalam keadaan
sadar juga takkan bisa melihatnya."
"Biar kuhajar kau, nanti kau akan bisa melihatnya." Begitu membalik
punggung, tangannya melayang hendak menggampar muka orang, untuk Coh
Liu-hiang lekas menariknya, selanya : "Lepaskan dia pergi!"
Sudah tentu Oh Thi-hoa kurang senang, baru saja jarinya terlepas, Busu
itu lantas berlari keluar dengan langkah sempoyongan. Oh Thi-hoa
membanting kaki : "Keparat ini tentu komplotannya, entah kemana?"?""
dia hendak katakan poyokan Jago Mampus, tapi setiba di ujung mulut,
terasa diwaktu seperti ini tidak enak dia bicara soal mampus, segera ia
ganti haluan : "Lo-ki juga tentu terjatuh ke tangan mereka, keparat ini
yang disuruh?".."
"Begitu Hiat-to orang ini terbuka, dia lantas siuman, ilmu totokan yang
tidak melukai badan dan menghilangkan daya ingatan seperti ini memang
ilmu tunggal Lo-ki, tak mungkin orang lain menirunya."
"Maksudmu keparat ini tertotok dan dibekuk kemari oleh Lo-ki?"
"Tentu begitulah kejadiannya."
"Kenapa Jago Mampus harus menggunakan permainan ini" Saat ini
ditempat ini masih punya hati dia main guyon-guyon dengan kita, kemana
pula dia pergi seorang diri?" Begitu bernapsu bicara, tanpa sadar ia
gunakan juga poyokan Jago Mampus.
Coh Liu-hiang menghela napas, katanya tertawa getir: "Orang lain sering
menyangka Lo-ki seorang yang tahan uji dan sabar, bahwasannya dia dingin
dimuka panas didalam, seperti pula kau dan aku, semalam aku bilang supaya
musuh tangguh itu serahkan kepadaku saja, mulutnya diam saja, hatinya
tentu kurang senang, maka menurut rekaanku, ia sekarang pergi cari
musuh tangguh itu untuk bertanding."
"Darimana ia bisa tahu dimana musuh tangguh itu berada?"
"Sutou Liu-che sudah menunjukkan arah dimana kemah mereka, masakah
Lo-ki takkan bisa mencarinya?"
Oh Thi-hoa berpikir sebentar, mendadak ia lari menerjang keluar. Lekas
Coh Liu-hiang menahannya, tanyanya : "Apa yang hendak kau lakukan?"
"Belum tentu Lo-ki menjadi tandingan orang itu, sudah tentu aku harus
susul dia memberi bantuan."
"Kau sudah lupa akan sumpah janjimu kepada mereka?"
Saking gugup Oh Thi-hoa membanting kaki serunya: "Lalu bagaimana
baiknya?" Kau tinggal disini, biar aku pergi mencarinya!
"Kini kita bertiga harus berpencar, Ciok".Ciok-kwan-im itu bila?"
Semalam jadi suami istri dikenang seratus hari, masakah dia tega melukai
kau. Merah muka Oh Thi-hoa, lehernya seperti melepuh besar, serunya
menggerung : "Ulat busuk, sekali lagi kau mengolok dan mencemooh diriku,
kulabrak kau."
Aku hanya ingin mengatakan bahwa Ciok-kwan-im sudah terlanjur berbuat
demikian untuk mengadu domba hubungan kita dengan Kui-je-ong, terang
untuk sementara dia tidak akan mau unjuk diri berhadapan langsung
dengan kita, sudah tentu diapun tahu bahwa kita tidak boleh dibuat mainmain.
"Hm!" Oh Thi-hoa mendengus geram.
Coh Liu-hiang menepuk pundaknya, katanya : "Duduklah dan minum dua
cawan arak untuk menghilangkan kerisauan hatimu, aku tidak akan lama
pergi." Belum lama Coh Liu-hiang keluar, laki-laki raksasa itu melangkah masuk ke
dalam kemah, kontan Oh Thi-hoa mendelik kepadanya, tanyanya aseran :
"Untuk apa kau kemari?"
Dengan kedua lengannya yang berotot kekar, Ganial memeluk dada, diapun
balas melotot tanpa buka suara.
"Jadi kau hendak mengawasiku?"
"Hm!" Ganial mengejek.
Oh Thi-hoa tiba-tiba tertawa besar, serunya : "tuan besarmu bilang tak
pergi, ya tidak akan minggat, jikalau tuan besarmu mau pergi, memangnya
kau kepala dogol ini bisa merintangi aku?" mulut bicara tiba-tiba
kepalannya menjotos.
Ganial ulurkan tapak tangannya yang segede kipas, pundak kiri Oh Thi-hoa
menjadi sasaran cengkeraman jarinya. Tak nyana pergelangan tangan Oh
Thi-hoa berputar dengan enteng dan lincah, dengan nakal ia gelitikkan
ketiak orang. Laki-laki raksasa ini memang berbadan kekar laksana baja dan berotot
kawat, ternyata paling takut digelitik, begitu jari-jari Oh Thi-hoa
menyontek ketiaknya, seketika dia terbahak-bahak geli, saking geli sampai
terpingkal-pingkal memeluk perut.
Sedikit memiringkan badan, badan Oh Thi-hoa menerjang dengan
pundaknya, badan Ganial yang kokoh besar seberat dua ratus kati lebih
itu, seketika keterjang terbang terguling-guling. Dengan menepuk-nepuk
tapak tangan, mulut Oh Thi-hoa berkaok-kaok : "Bawa arak kemari, kalian
hendak menahan tuan besarmu disini, kalian harus sediakan makan minum
tuan besarmu." Rasa gemas dan kedongkolan hatinya dia lampiaskan kepada
orang-orang rendahan ini.
Kalau lahirnya Coh Liu-hiang bersikap tenang dan kelakar, bahwasanya
hatinya amat prihatin. Memang untuk kesekian kalinya dia membongkar
muslihat Ciok-kwan-im, tapi dia tak kuasa memberikan bukti-bukti di
hadapan Kui-je-ong, walau dia memperhitungkan bahwa Ciok-kwan-im
berada di sekeliling tempat itu, namun sulit juga dia meraba dimana
tempat persembunyian Ciok-kwan-im. Apalagi sekali gagal, pasti Ciok-kwanim
akan mengatur perangkap lain, musuh ditempat gelap, pihaknya
ditempat terang, betapapun serangan gelap musuh susah dijaga.
Kini Siau-phoa sudah gugur, Ciok Tho tak keruan rimbanya, Oh Thi-hoa
terfitnah dan susah mencuci bersih tuduhan, Ki Ping-yanpun sedang
menghadapi mara bahaya, lima orang yang berangkat bersama kegurun
pasir, kini sudah berantakan dan bercerai-berai, jejak Soh Yong-yong, Li
Ang-siu dan Song Thiam-ji masih belum diketemukan.
Keadaan dan situasi yang begini tidak menguntungkan, betapa hati Coh
Liu-hiang tidak akan gundah dan was-was.
Apalagi sekarang dia harus melindungi orang-orang ini, terpaksa harus
melindungi Kui-je-ong ayah beranak, betapapun ia tidak akan membiarkan
kedua ayah beranak ini mengalami kekejian tangan kejam musuh.
Tapi kenapa semalam Pipop-kongcu mencari dirinya" Apakah perbuatannya
mengandung suatu muslihat" Bukankah hendak menahan dan mengelabui
mata dan pendengarannya, sehingga tak sempat hiraukan urusan lain"
Coh Liu-hiang menghela napas dengan geleng-geleng. Ia berkeputusan
takkan pikirkan persoalan ini lagi, lebih penting temukan dulu Ki Ping-yan.
Apa yang pernah dikatakan sikera hitam Sun Khong dan Sutou Liu-che
kalau tak terlalu dibesar-besarkan, maka Ki Ping-yan sekarang sedang
menghadapi situasi gawat dan genting, dinilai dari kecerdikan, ketabahan
dan keberanian, serta banyak akal muslihat nya dalam menghadapi segala
perubahan, tiada orang lain yang sebanding dengan Ki Ping-yan. Tapi kalau
dinilai kepandaian silatnya yang sejati, belum tentu Ki Ping-yan bisa
mengungguli Oh Thi-hoa.
Tapi gurun pasir seluas ini, selayang pandang ribuan li tanpa kelihatan


Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jejak manusia, ditempat seluas seperti ini, asal sedikit selisih perjalanan
saja bakal kesasar dan terpaut ribuan li jauhnya.
Untunglah sang surya baru saja terbit, sinar cahayanya yang terik dan
kekuatannya belum unjuk gigi, belum begitu panas namun hawa dingin
semalam mulai menguap dan menghilang, saat inilah waktu ternyaman di
padang pasir didalam bilangan sehari.
Dengan mengembangkan Ginkang tinggi yang tiada bandingan di seluruh
kolong langit, Coh Liu-hiang berlari-lari sekaligus beberapa puluh li sudah
dicapainya, kakinya masih belum kelihatan kendor, pandangan matanya yang
tajam laksana burung elang tidak menyia-nyiakan setiap benda yang
dilihatnya, meski itu hanya sebatang pohon atau selembar daun.
Sekonyong-konyong didengarnya suara gemuruh yang ramai, bergulunggulung
ikut terhembus angin ke arahnya, baru saja hati Coh liu-hiang
kaget, matanya sudah melihat jelas, itulah sebuah wajan besar dari besi.
Tapi di gurun pasir yang tak kelihatan jejak manusia, darimana datangnya
wajan gede ini"
Tampak wajan besar itu terguling-guling dihembus angin puyuh, cepat
sekali menggelinding datang, sekali melesat Coh Liu-hiang setombak lebih,
dengan ringan ujung kakinya menutul dan menjungkit, sebat sekali ia raih
di tangannya, setelah diawasi sekian lamanya, tahu-tahu badannya
melambung tinggi melesat ke arah datangnya angin dari mana wajan itu
menggelundung datang.
Kali ini matanya dipasang lebih tajam, kira-kira setanakan nasi, di depan
dilihatnya pula batu cadas yang sudah kering berubah bentuknya lantaran
hembusan angin berpasir, beberapa pucuk pohon Sian-jin-ciang.
Memang Coh liu-hiang belum pernah kelana di padang rumput, tapi setelah
mengalami penderitaan dan pahit getirnya kebesaran gurun pasir, tempat
ini adalah daerah yang paling baik untuk bercokol dan membuat
perkemahan. Apakah para menteri yang berontak di negeri Kui-je dan pembunuhpembunuh
itu semalam berkemah ditempat ini" Selepas pandang matanya
tak kelihatan adanya perkemahan. Sebentar Coh Liu-hiang menerawang,
lalu ia berjongkok seperti anjing pemburu yang mengendus-endus jejak
buruannya, mendadak ia kerahkan jari-jarinya sekeras baja dan mengeduk
serta menggali pasir.
Meskipun bertangan kosong, tetapi dengan kekuatan Lwekangnya,
kesepuluh jarinya laksana sepuluh batang garuk besi, beberapa kali galian
saja dari tumpukan pasir berhasil dikeduknya kayu-kayu hangus bekas
terbakar. Terang disinilah letak perkemahan atau pos sementara dari para
pemberontak negeri Kui-je, mungkin tahu bahwa jejak mereka sudah
konangan, maka malam-malam itu juga mereka mengundurkan diri.
Begitu cermat dan hati-hati benar gerak-gerik orang-orang ini, setelah
perkemahan dicopot dan mengundurkan diri tanpa meninggalkan jejak yang
mencurigakan. Cepat sekali otak Coh Liu-hiang bekerja, ia duga diantara
rombongan pemberontak itu pasti terdapat satu dua orang cerdik pandai
yang banyak akal muslihatnya sebagai penasehat atau perancang segala
langkah-langkah mereka.
Tapi apakah Ki Ping-yan sudah berhasil menemukan tempat ini ataukah
sudah menemui orang-orang ini" Jikalau sampai bentrok, pihak lawan
banyak, apakah dia sudah mengalami bencana oleh kekejian musuh"
Semakin gundah hati Coh Liu-hiang, dengan cermat matanya menjelajah
keadaan sekelilingnya, tiba-tiba dilihatnya di atas permukaan batu cadas
itu, bekas-bekas tapak kaki manusia yang ditinggalkan, melesak setengah
dim ke dalam batu.
Di gurun pasir, tapak kaki yang ditinggalkan manusia sebentar saja sudah
tidak membekas dihembus angin, sebaliknya kedua tapak kaki ini
membekas dalam permukaan batu, kalau dikata batu cadas di padang pasir
sudah terlalu kering dan keropos menjadi lunak, tapi kalau tidak
mengerahkan Lwekang di ujung kaki, tidak mungkin kaki manusia bisa
melesak masuk setengah dim, dari sini dapat disimpulkan bahwa tapak kaki
ini memang sengaja ditinggalkan di sini.
Diam-diam Coh Liu-hiang menerawang, mungkin Ki Ping-yan sengaja
meninggalkan bekas tapak kakinya" Dia sudah tiba di sini dan sembunyi di
belakang batu ini mengintip gerak gerik musuh, sungguh di luar dugaannya
pihak musuhpun ada seorang yang kosen, jejaknya konangan, maka tokoh
kosen dari rombongan pembunuh itu lantas turun tangan melabraknya, baru
sekarang dia menyadari kekerdilan tenaganya seorang diri, maka sengaja
meninggalkan bekas tapak kakinya di ermukaan batu ini, supaya aku tahu
kemana jejaknya.
Karena rekaannya ini, seenteng burung walet, badannya melambung naik ke
atas batu cadas, maka segera didapatkannya pula dua bekas tapak kaki
lainnya, kedua tapak kaki ini tak begitu dalam ujung kakinya, tertuju ke
arah barat. Coh Liu-hiang membatin pula : "Kedua tapak kaki ini tentu peninggalan Ki
Ping-yan, sebelum berlalu dengan tergesa-gesa, saat itu ia bergebrakan
antara mati dan hidup dengan tokoh kosen dari rombongan pembunuh itu.
Tak urung hatinya jadi gugup dan tegang, maka bekas tapak kakinya tak
begitu dalam, dilihat dari jurusan yang tertuju oleh tapak kakinya, jelas
bahwa tujuan mereka adalah tepat ke barat. Karena kesimpulan ini, tanpa
banyak sangsi Coh Liu-hiang segera kembangkan Ginkangnya pula, berlari
menuju ke barat. Tapi baru lari puluhan tombak tiba-tiba ia hentikan
langkahnya pula seraya membatin : "Tidak benar!"
Biasanya kalau Ki Ping-yan sudah mengumbar adatnya, dableknya melebihi
Oh Thi-hoa. Jikalau dia sudah kukuh bertanding sampai ajal dengan
pembunuh itu, pasti melarang orang lain mencampuri urusannya. Oleh
karena itu dia ringkus busu itu untuk mengelabui pandangan orang lain,
tujuannya ialah tak suka Coh Liu-hiang mencampuri urusannya dan kemana
arah tujuannya, masa mungkin dia mau meninggalkan tapak kakinya, hingga
Coh Liu-hiang lebih gampang menemukan jejaknya"
Coh Liu-hiang menghela napas, sebat sekali ia sudah melesat kembali ke
atas batu cadas itu. Kedua kaki tepat berdiri di atas bekas tapak kaki itu,
muka menghadap ke barat sementara otaknya sedang diperas untuk
berpikir. Ki Ping-yan tahu cepat atau lambat aku pasti dapat mencarinya sampai di
sini, maka sengaja dia meninggalkan bekas tapak kaki ini, supaya aku tahu
bahwa dia benar-benar sudah pernah berada di sini tapi ia tidak suka aku
mencampuri urusannya, maka sengaja hendak mengaburkan pandangan dan
menyesatkan kesimpulanku, lalu ke jurusan mana ia pergi bersama tokoh
kosen dari rombongan pembunuh itu" Jurusan selatan jelas ia takkan
kesana karena dari arah sana tadi Coh Liu-hiang datang, kalau toh barat
juga tidak, jadi tinggal timur dan utara. disaat Coh Liu-hiang bimbang dan
kusut pikirannya tiba-tiba terlintas pikirannya.
Sejak kecil Ki ping-yan paling benci sorot matahari yang menyilaukan
mata, bila dirumah sering ia tidur sampai lewat lohor baru mau bangun,
sebelum hari terang tanah ia takkan tidur.
Karena kebiasaan ini, sudah terang Ki Ping-yan tak akan menuju kearah
timur menyongsong matahari yang baru terbit, jadi kesimpulan akhirnya
bahwa ia menuju ke utara, meski hal ini tak bisa diputuskan dengan
meyakinkan terpaksa harus dicoba dan mengadu untung.
Maka Coh Liu-hiang segera merubah arah berlari ke arah utara. Selama
pengalaman beberapa hari ditengah gurun pasir ini, sedikit banyak Coh Liuhiang
sudah menyadari bahwa air merupakan mustika yang lebih berharga
dari permata, maka tak luput iapun membawa kantong air yang terbuat
dari kulit kambing.
Setelah menenggak beberapa tegukan air, sekaligus ia berlari-lari dua li,
tampak tidak jauh di depan sana dilihatnya beberapa pucuk Sian-jin-ciang,
tapi seluruhnya sudah gundul terbabat kutung.
Coh Liu-hiang hentikan larinya, dari atas pasir ia jemput setengah potong
dahan Sian-jin-ciang, dengan cermat ia awasi bekas papasan dari bagian
yang kutung. Jikalau ada orang lain melihat tingkah lakunya ini, tentu orang
merasa heran, entah apa sih yang menarik perhatian dari potongan dahan
pohon itu, memangnya kutungan dahan pohon itu bisa tumbuh kembang"
Sekian saat Coh Liu-hiang membolak balik dengan teliti, semakin lama
alisnya berkerut semakin dalam, mulutnyapun menggumam seorang diri:
"Tebasan pedang yang teramat cepat! Ilmu pedang yang bagus sekali."
Jadi dari bekas kutungan dahan pohon itu dia dapat menilai betapa tinggi
tingkat kepandaian ilmu pedang orang yang menebas dahan Sian-jin-ciang
ini. Senjata Ki Ping-yan bukanlah pedang, melihat pedang yang dipakai
lawannya sedemikian tajam dan ganas, mau tak mau kuatir juga hati Coh
Liu-hiang, demi keselamatan Ki Ping-yan kembali ia mondar mandir di
sekelilingnya mencari-cari dan menemukan setengah potongan dahan Sianjin-
ciam. Bekas kutungan Sian-jin-ciang yang ini terang tidak selicin dan serata
yang diambilnya semula, terang seperti dipukul kutung dengan semacam
senjata berat yang tumpul, justru senjata Ki Ping-yan adalah Boan-koanpit,
Potlot Baja. Coh Liu-hiang mengamatinya lagi sekian lama, kedua alisnya yang berkerut
lambat-lambat mengembang, gumamnya: "Berkutet melawan musuh tangguh
ini setengah harian, tenaganya sedikitpun tidak kelihatan menjadi lemah,
tak nyana selama beberapa tahun belakangan ini ilmu silatnya ternyata
maju begini pesat."
Semula ia menyangka karena kehidupan yang foya-foya dan berlebihan itu,
tenggelam dalam pelukan perempuan ayu dan kebanyakan air kata-kata,
tentu Lwekang dan kepandaian silatnya sudah terlantar, begitupun
tenaganya tentu jauh berkurang, baru sekarang setelah dia memeriksa
bekas kutungan dahan itu baru lega hatinya.
Tapi kedua orang itu sedang berkelahi dengan sengitnya, tanpa sebab
masakah memukul dan menebas kutung dahan-dahan Sian-jin-ciang ini, apa
sih maksudnya" Kesimpulannya adalah lantaran didalam pohon Sian-jinciang
ini mengandung air, setelah bertanding setengah hari, sedikit banyak
mereka sudah menguras tenaga sehingga tenggorokan kering dan bibir
gatal, jadi mereka berhenti sebentar untuk mengisap air secukupnya,
mereka lalu melanjutkan pertempuran.
Dari kesimpulan dan kenyataan yang dilihatnya, terang jurusan yang
ditempuh Coh Liu-hiang tidak salah. Lekas diapun meneguk setegak air,
setelah menentramkan hati dan mengatur pernapasan, bukan lantaran dia
terlalu letih dalam perjalanan adalah dia memperhitungkan dengan tepat
bila dia berhasil menemukan jejak mereka, kemungkinan dia sendiripun
harus mengalami suatu pertempuran sengit, maka dia perlu menghimpun
semangat dan mengumpulkan tenaga, siap sedia.
Setelah beranjak beberapa kejap lagi tampak di depan menghalang
segundukan pasir tinggi, kira-kira puluhan tombak! Perubahan alam di
gurun pasir memang aneh dan cepat sekali, semalam mungkin tempat ini
masih merupakan tanah datar, pagi ini sudah berubah menjadi gundukan
bukit pasir yang menjulang ke atas.
Sudah tentu gundukan pasir ini tidak kokoh, meski kebanyakan orang juga
bisa memanjat naik ke atas, asal sedikit lengah, bila pasir gugur mungkin
manusia bisa terkubur hidup-hidup di bawah pasir yang ribuan kati
beratnya. Coh Liu-hiang menghirup napas panjang, sekali tutul badannya melambung
tinggi seenteng kapas seperti daun melayang terhembus angin, dengan
ringan ia tancapkan kaki di puncak bukit pasir. Selepas mata memandang
tampak beberapa li sekitarnya cuma gundukan-gundukan pasir melulu yang
tersebar dimana-mana, malah terdapat batu-batu cadas dan rumpun
semak-semak pohon berduri.
Memang tumbuhan ada pula yang bisa tumbuh di padang pasir, memang
sementara tumbuhan ada yang tidak memerlukan air untuk pertumbuhan,
namun bisa tetap subur, cuma selamanya tidak bisa tumbuh tinggi.
Sekonyong-konyong terdengar suara Trang! selarik sinar pedang laksana
lembayung berkelebat ditengah angkasa, berkelebat di belakang gundukangundukan
pasir dikejauhan sana, cepat sekali tahu-tahu sudah menghilang,
betapa cepat dan hebat sambaran kilat pedang itu, sungguh luar biasa.
Bagai burung camar, cepat Coh Liu-hiang meluncur ke bawah, laksana
burung walet badannya melesat ke depan. Dia tak berani bersuara atau
memanggil, soalnya pertempuran tokoh-tokoh silat kelas tinggi paling
pantang perhatiannya terpecah, kalau Ki Ping-yan mendengar suaranya,
sedikit banyak konsentrasinya tentu terganggu, kemungkinan bisa
mengalami bencana.
Tapi waktu Coh Liu-hiang melesat tiba di gundukan pasir tadi, bayangan
manusiapun tidak terlihat olehnya, semak-semak berduri di pinggir batu
cadas memang terbabat runtuh oleh tebasan pedang tajam.
Dari kenyataan yang dihadapinya ini Coh Liu-hiang beranggapan dan
semakin tebal keyakinannya bahwa ilmu pedang orang itu teramat ganas
dan telengas, sungguh mengejutkan. Jadi apa yang diuraikan oleh si kera
hitam Sun Khong dan Sutou Liu-che mengenai kehebatan orang memang
bukan bualan belaka.
"Sreng" sekonyong-konyong terdengar pula suara benturan senjata keras
yang nyaring. Bagai terbang Coh Liu-hiang memburu ke arah datangnya
suara, lagi-lagi ia menubruk tempat kosong. Tapi batu cadas di sini banyak
yang runtuh menjadi bubuk lembut bertaburan kemana-mana.
Terang reruntuhan batu cadas ini lantaran disapu hancur oleh potlot baja
Ki Ping-yan, karena pukulan keras seperti ini tak mungkin dilakukan dengan
pedang. Dari sini dapatlah dibayangkan bahwa kekuatan Ki Ping-yan masih
cukup hebat, masih kuat bertahan untuk adu jiwa.
Coh Liu-hiang menghirup napas panjang, sampai detik ini, meski dia belum
menyaksikan secara langsung pertempuran kedua orang yang sedang
berhantam sengit ini, tapi betapa dahsyat dan hebat pertandingan adu
kekuatan kedua orang ini, dapatlah dibayangkan. Dari tempat beberapa li
kedua orang bertempur terus sambil jalan dan bergeser kedudukan sampai
sini, dari pagi sampai sore menjelang malam, dari malam sampai pagi adu
kekuatan seperti ini sungguh jarang terjadi.
Walau kelihatannya kedua orang sampai sekarang masih setanding alias
seri, Coh Liu-hiang pun tak perlu gelisah lagi karena gelisahpun tak
berguna, didalam situasi seperti ini untuk segera menemukan mereka
sungguh betapa sulitnya. Apalagi jikalau Ki Ping-yan tahu dirinya sudah
datang kuatir dirinya turut campur, mungkin orang sengaja hendak main
petak umpet dan membuat dirinya kecele.
Oleh karena itu terpaksa Coh Liu-hiang menahan sabar dan menekan
gejolak perasaannya dengan cermat ia pasang kuping, sesaat kemudian
betul juga, terdengar pula suara benturan senjata keras yang nyaring, kali
ini kumandang dari arah kiri sana.
Tapi kali ini Coh Liu-hiang tidak langsung menubruk ke tempat itu, namun
dari arah kiri dia berputar setengah lingkaran, pikirnya hendak berputar
mendahului mereka kesebelah depan memapak dan menghalangi mereka.
Lagi-lagi dia tetap menubruk tempat kosong, kedua orang itu kiranya
bertempur ke arah lain yang berlawanan. Coh Liu-hiang hanya gelenggeleng
kepala dengan tertawa getir, tapi sekonyong-konyong rona mukanya
berubah hebat. Di atas pasir kuning yang merata didepan sana tampak beberapa tetes
noda darah yang masih segar. Kalau Oh Thi-hoa yang melihat noda darah
ini, mungkin dia tidak akan gugup karena dia sangka noda darah ini menetes
keluar dari luka-luka badan musuh. Tapi Coh Liu-hiang cukup tahu bila mana
potlot baja Ki Ping-yan sampai berhasil menutuk lawannya, pasti musuh
sudah menggeletak dan tak berkutik, bukan saja takkan mengeluarkan
darah, pertempuranpun takkan dilanjutkan pula.
Semakin gelisah hatinya, dia semakin tak bersuara, kini Ki Ping-yan sudah
terluka bukan mustahil luka-lukanya tidak ringan, jikalau konsentrasinya
sampai pecah bukankah badannya bakal menjadi sasaran empuk lawannya
dan terbanglah jiwanya. Maklumlah meski sepak terjang Coh Liu-hiang
amat gagah perwira dan tidak kenal kesopanan tapi demi keselamatan
sahabat baiknya, tindakan dan gerak geriknya ternyata jauh lebih cermat
dan hati-hati dari kaum hawa.
Tak jauh dari noda-noda darah itu terdapat juga sebongkah batu cadas,
sekali enjot badan Coh Liu-hiang lompat ke atasnya, dari sini ia hendak
menunggu suara benturan senjata keras dan berkelebatnya sinar pedang
yang mungkin terlihat diantara semak-semak pohon dan sela batu.
Tak nyana pada saat itu juga dari balik gundukan pasir di depan sana tibatiba
muncul dua orang, senjata ditangan kedua orang ini dimainkan
kencang, seumpama hujan badaipun takkan tembus membasahi badan


Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka, sekencang itu mereka mainkan senjatanya, tapi tak terdengar
suara benturan senjata, mungkin setelah berhantam setengah hari ini,
masing-masing sudah apal dan tahu jelas seluk beluk permainan silat
lawannya, sebelum suatu jurus serangan dilancarkan ditengah jalan sudah
berubah pula dengan tipu serangan yang lain.
Cara tempur seperti ini, sudah tentu kedua pihak harus bergerak teramat
cepat, ganas dan keji, sedikit meleng atau serangannya meleset setengah
mili umpamanya, senjata lawan pasti akan segera menerjang masuk ke
dalam titik kelemahan ini.
Akan tetapi cara serang menyerang mereka memang cukup seru dan
menarik, namun keadaan mereka sudah runyam benar. Baju yang dipakai
kedua orang ini sudah sama tak karuan, sekujur badan, kepala, rambut dan
alis penuh pasir, laksana dua setan gentayangan yang baru nongol keluar
dari liang pasir. Untunglah Coh Liu-hiang tahu benar senjata yang
digunakan Ki Ping-yan, kalau tidak sungguh sukar dia membedakan yang
mana Ki Ping-yan dari kedua orang berpasir ini.
Tampak pundak kiri Ki Ping-yan dibalut kencang dengan sobekan kain baju,
darah masih kelihatan merembes keluar, terang bahwa pundaknya cidera
oleh tusukan pedang. Tapi kedua orang sedang bertempur begitu sengit,
cara bagaimana dia sempat membalut luka-lukanya dulu" Memangnya
setelah lawan melukainya, lantas memberi peluang dan menunggu dia
membalut luka-lukanya baru melanjutkan pertempuran pula.
Mereka sudah berkelahi sekian lamanya, memangnya masing-masing sudah
timbul rasa simpatik terhadap musuh sendiri, maka setelah salah seorang
terluka, seorang yang lain tidak merangsak terus memanfaatkan
kesempatan yang ada. Tapi jurus-jurus permainan mereka terang
merupakan serangan ganas yang mematikan, perkelahian adu jiwa, seolaholah
tiada maksud membiarkan musuhnya hidup, serangannya tak mengenal
kasihan. Sungguh heran dan tak habis mengerti Coh Liu-hiang menghadapi
tontonan pertempuran yang lucu ini, ia tahu sementara Ki Ping-yan masih
kuat bertahan, ia sadar bila dirinya ikut turun tangan, Ki Ping-yan pasti
akan marah. Tapi setelah menyaksikan sekian lamanya, terasa pula oleh Coh Liu-hiang
bahwa jurus permainan pedang lawan Ki Ping-yan itu seperti sudah
dikenalnya. Gerak pedang orang ini laksana putaran angin, betapa cepat jurus
serangannya, sungguh sukar dibayangkan, tapi lengan bagian sikut ke atas
sedikitpun tidak bergeming, jadi setiap jurus tipu serangannya dilancarkan
hanya dengan kekuatan pergelangan tangan saja.
Orang yang mampu memainkan ilmu pedang semacam ini setahu Coh Liuhiang
cuma satu saja dikolong langit ini, yaitu Tionggoan It-tiam-ang. Tapi
ilmu pedang yang disaksikan sekarang sedikit banyak rada berbeda dengan
kepandaian It-tiam-ang. Secara keseluruhannya ilmu pedang ini lebih
mantap, tenang dan rapat, tapi tidak seganas dan sekeji tusukan pedang
It-tiam-ang yang telak mengincar tenggorokan musuh.
Hati Coh Liu-hiang sedang menimang-nimang, entah apa hubungan orang ini
dengan It-tiam-ang, Setitik Merah dari Tionggoan itu, agaknya kalau
bukan saudara seperguruan, tentu keduanya punya sangkut paut yang
dekat dan erat.
Kebetulan sekilas terlihat oleh Coh Liu-hiang pancaran sorot mata orang
ini. Itulah sepasang biji mata yang dingin seperti es, buas laksana serigala,
memutih merah seperti salju di puncak gunung, teguh kukuh laksana
gunung. Mata seperti itu kecuali Setitik Merah dari Tionggoan tiada orang
lain lagi. Sungguh kaget, girang pula hati Coh Liu-hiang, tak tertahan hampir saja
dia bersorak memanggil. Tiba-tiba dilihatnya pedang panjang It-tiam-ang
menusuk lurus mengarah dada, lekas kedua tangan Ki Ping-yan ditekan
turun, sepasang potlot bajanya bersilang menyongsong serangan lawan,
inilah jurus Cap-ci-bong-bun atau palang melintang menutup pintu. Cuma
biasanya kalau orang lain meluncurkan jurus ini tujuannya khusus hanya
bertahan dan melindungi badan, lain dengan Ki Ping-yan, disamping
bertahan rapat, diapun bisa balas menyerang, laksana gunting tajam, kedua
potlot menggunting senjata lawan. Kombinasi permainan antara menjaga
diri sekaligus menyerang ini sungguh amat hebat dan menakjubkan.
Tapi begitu Coh Liu-hiang melihat dia melancarkan jurus ini, seketika
mencelos dingin hati dan sekujur badannya.
Ternyata Setitik Merah memang sengaja pancing dirinya menggunakan
jurus ini, soalnya permainan pedangnya jauh berlainan dengan semua
perguruan ilmu pedang dari aliran manapun, pedang menyerang
mengandalkan kekuatan pergelangan, sudah tentu gerak perubahan dan
variasinya jauh lebih banyak dan cepat.
Sebaliknya jurus Ki Ping-yan ini disamping menyerang mengandung
pertahanan, sudah tentu kekuatan pertahanannya sedikit banyak
terganggu, bila menghadapi musuh lain serangan lawan akan kehabisan
tenaga dan berhenti sampai titik yang tertentu saja, maka dengan mudah
bisa saja dia mengunci senjata lawan dengan kedua potlotnya.
Tapi lengan Setitik Merah masih mengandung kekuatan yang tak terukur
besarnya, kalau tenaga pergelangan terkuras habis, gampang saja ia
kerahkan kekuatan lengannya untuk melandasi serangan itu lebih lanjut,
begitu pedangnya menyendal disurung maju, sebelum Ki Ping-yan berhasil
mengunci pedangnya, ujung pedangnya tentu sudah menusuk tenggorokan
Ki Ping-yan. Hebat memang Setitik Merah dari Tionggoan, tadi berulang kali dia sudah
menyaksikan Ki Ping-yan menggunakan jurus ini, dalam hati sudah berhasil
mencapai suatu pikiran cara memecahkannya, kini kembali dia pancing
lawan menggunakan jurus ini lagi.
Sebagai penonton yang lebih jelas, paham dan tahu benar jalan liku-liku
permainan pedang Setitik Merah, sudah tentu Coh Liu-hiang paling jelas.
Meskipun hatinya melonjak kaget, tapi dia tak mampu berbuat apa-apa.
Serangan pedang It-tiam-ang laksana terjangan angin puyuh, dalam kolong
langit ini siapa mampu menghadapinya" Siapa tahu tepat pada saat itu juga
pedang panjang Setitik Merah tiba-tiba menggores sebuah lingkaran
membundar, tahu-tahu berputar diantara batang potlot Ki Ping-yan, "Sret"
entah bagaimana pedang ini menukik turun mengiris ke paha Ki Ping-yan
malah. Terang tusukan pedangnya itu bakal berhasil, kenapa berubah ditengah
jalan" Meski hati Coh Liu-hiang bersorak girang, tapi terkejut pula.
Selamanya Setitik Merah takkan menyia-nyiakan kesempatan setiap
lubang, kenapa kali ini berubah begitu bodoh"
Tujuan Ki Ping-yan melulu hanya melukai atau membekuk musuh, tak
pernah terpikir persoalan lain dalam benaknya, sehingga ia sendiri tak
menyadari keanehan perubahan yang dilakukan lawannya, kalau musuh
menggunakan cara sebodoh ini, justru kesempatan paling baik bagi dirinya.
Begitu kedua potlotnya terkembang, dengan jurus Tok-coa-jut-hiat " Ular
racun keluar liang" maka terdengar dua kali suara " Trap, trap," Jiah-kinhiat
dikedua pundak Setitik Merah tertutuk telak, kontan badannya
terjengkang roboh.
Setelah berjuang sekian lama menghabiskan segala kemampuan dan
tenaganya, baru sekarang Ki Ping-yan berhasil merobohkan lawan, saking
senangnya dia terloroh-loroh.
Tapi sepasang biji mata orang yang dingin membeku itu masih menatap
mukanya dengan kaku, sedikitpun tidak kentara rasa penyesalan atau
mengakui kekalahan ini, dari sorot matanya sikapnya malah tetap angkuh
dan jumawa. Ki Ping-yan tertawa, ujarnya : "Ilmu pedangmu memang jarang
bandingannya dikolong langit, tapi jurus tadi kau lancarkan dengan gerakan
yang salah, siapapun bila dia melancarkan jurus serangan seperti itu dia
harus mengaku kalah, kau"." mendadak kata-katanya seperti tersumbat
didalam tenggorokannya, rona mukanyapun berubah seketika.
Tiba-tiba dilihatnya di ujung pedang lawan yang runcing tipis itu,
tertancap seekor kalajengking.
Ditengah gurun pasir dan berhawa panas, Kalajengking begitu besar dan
beracun jahat, siapapun bila sampai tersengat sekali saja mungkin jiwanya
takkan tertolong lagi, jadi tadi Setitik Merah melihat seekor Kalajengking
merambat di pahanya, barulah ditengah jalan dia merubah gerakan
pedangnya, gerakan bodoh permainan Setitik Merah ini ternyata telah
berhasil menolong jiwanya.
Pucat pias lalu merah padam muka Ki Ping-yan, mulutnya terkancing.
Sudah tentu Coh Liu-hiangpun sudah melihat hal ini, tanpa terasa
mencelos pula hatinya. Setitik Merah memang tidak malu sebagai laki-laki
sejati, ksatria yang patut dipuji akan kebesaran jiwa dan keluhuran
hatinya, tapi memangnya Ki Ping-yan tidak begitu" Apakah lantaran
kekalahan yang memalukan ini dia lantas hendak bunuh Setitik Merah
untuk menutup mulutnya"
Ingin Coh Liu-hiang menyaksikan lebih lanjut kejadian seterusnya, apa
yang akan dilakukan oleh Ki Ping-yan, maka diam-diam ia meremas
beberapa batu kerikil, jikalau Ki Ping-yan hendak bertindak keji terhadap
Setitik Merah, diapun takkan berpeluk tangan menonton saja.
Setelah melongo sekian saat, terdengar Ki Ping-yan berkata pelan-pelan:
"Kenapa kau berbuat demikian, memangnya kau tak ingin membunuhku?"
Badan Setitik Merah tak bisa bergerak, namun mulutnya masih bebas
bicara, katanya dingin : "Aku hendak membunuhmu, maka jiwamu takkan
kubiarkan mampus dimulut kalajengking."
Ki Ping-yan menengadah dan terloroh-loroh panjang, serunya: "Bagus!
Bagus! Bagus!" Beruntun dia mengucapkan " Bagus!" tujuh delapan kali,
mendadak ia cungkil pedang lawan terus diraihnya, sekali ayun ia tebaskan
pedang itu ke arah pahanya.
Secara keras kepala dia tak sudi menerima kemurahan ini, secara langsung
dia hendak tebas paha sendiri untuk dikembalikan kepada Setitik Merah.
Begitu besar tekadnya, sehingga sorot mata Setitik Merah yang membeku
dingin itu menyorotkan cahaya aneh, tak tahan mulutpun menjerit kaget:
"Gila kau!"
"Trang!" ditengah jeritannya, segulung angin yang keras menerpa datang
dengan telak memukul jatuh pedang ditangan Ki Ping-yan.
Kembang api muncrat kemana-mana, pedang ditangan Ki Ping-yan terpental
lepas dari cekalannya.
Dengan muka berubah, lekas Ki Ping-yan menyurut mundur delapan kaki,
kedua batang potlotnya yang dia rangkap dalam cekalan pada tangan kiri,
segera dibagi ke kanan kiri pula, mulut segera membentak beringas: "Siapa
itu?" Terdengar seseorang berkata dengan kalem: "Watak dan adat kalian
berdua memang terlalu aseran." Ditengah kumandangnya gelak tawa,
sesosok bayangan orang melambung ke angkasa meluncur datang, sigap
sekali. Sekali raih ia jemput pedang panjang itu sekaligus membuka
totokan jalan darah Setitik Merah. Kontan Ki Ping-yan membanting kaki
serta berseru penuh kegusaran: "Akhirnya kau datang juga!"
Ternyata Setitik Merahpun berseru keras : "Akhirnya kau datang juga!"
Kedua orang mengucapkan kata-kata yang sama, cuma kalau Ki Ping-yan
mengucapkan kata-kata ini adalah jamak, karena sejak semula dia sudah
menduga cepat atau lambat Coh Liu-hiang pasti akan menyusul datang,
gegetun dan gemas pula lantaran kedatangan Coh Liu-hiang begini
kebetulan. Namun kenapa Setitik Merah juga mengucapkan kata-kata yang sama"
Memangnya dia juga tahu bahwa Coh Liu-hiang sudah berada disekitar
daerah pertempuran" Masakah diapun sudah memperhitungkan bahwa Coh
Liu-hiang pasti akan menyusul tiba"
Disaat Coh Liu-hiang merasa heran, Ki ping-yan sudah berseru tertahan.
Kau kenal orang ini" hampir pada waktu yang sama Setitik Merahpun
berteriak: "Kau kenal orang ini?"
Coh Liu-hiang tertawa, ujarnya: "Kalian berdua aku kenal semuanya, malah
masing-masing adalah sahabat baikku, maka kaupun tak perlu bersedih hati
karena merasa berhutang budi kepadanya, yang terang kelak masih banyak
kesempatan jiwanya bakal digorok oleh orang lain, bolehlah kau berusaha
menolong jiwanya saja." Sudah tentu kata-katanya ini ditujukan pada Ki
Ping-yan. Lama juga Ki Ping-yan berdiam diri memikirkan kata-kata ini, akhirnya
mendengus . "Tapi cara bagaimana pula kau bisa sampai ditempat ini?" Tanya Coh Liuhiang,
kata-kata ini dia tujukan kepada Setitik Merah.
Tak nyana mendengar pertanyaan ini Setitik Merah malah semakin
keheranan, serunya tak mengerti: "Kenapa kemari" Bukankah kau yang
mencari dan mengundangku?"
Balasan pertanyaan ini lebih mengejutkan Coh Liu-hiang dan Ki Ping-yan.
Setelah mengelus hidung berkata Coh Liu-hiang : "Aku yang mencari dan
mengundang kau kemari" Untuk apa aku undang kau kemari?"
"Sudah tentu kau mengundangku untuk membunuh Kui-je-ong itu." sahut
Setitik Merah. Mendengar kata-kata ini, kembali Coh Liu-hiang merasa prihatin dan
urusan semakin ganjil, karena dia merasakan kejadian ini bukan hanya
merupakan salah paham, dibalik persoalan ini tentu ada latar belakang dan
muslihat keji. Segera ia menghampiri sebuah batu cadas lalu duduk, katanya: "Persoalan
ini mempunyai seluk beluk dan liku-liku, marilah silahkan kalian duduk saja,
mari kita bicarakan kejadian ini perlahan-lahan." Dengan tertawa
menunggu reaksi orang ia menambahkan : "Aku tahu kau tidak suka bicara,
biarlah aku yang bertanya padamu."
Muka Setitik Merah yang kaku dingin itu sudah berubah, katanya: "Likaliku"
Menanyai aku?""..memangnya aku?"?""
"Tahan dulu gejolak hatimu, coba kutanya siapa yang mencarimu,
dikatakan bahwa aku mengundangmu untuk membunuh Kui-je-ong itu?"
"Setelah aku berpisah dengan kau hari itu?" Demikian Setitik Merah yang
biasanya tak suka banyak bicara mulai dengan pengalamannya.
"Terasa bahwa Tionggoan sudah tiada arti dan tiada sesuatu yang kubuat
kenangan abadi, memang sejak lama aku sudah dengar betapa luas dan
kebesaran alam yang menyenangkan kehidupan di padang pasir ini, maka
aku berkeputusan menempuh perjalanan keluar dari perbatasan."
Coh Liu-hiang tahu orang ini berhati tinggi dan jumawa, setelah dua kali
dikalahkan dalam adu pedang, tak urung menjadi kecewa dan dingin hati,
maka terpikir olehnya kelana keluar perbatasan untuk mengecap kehidupan
baru. Walau hati berpikir demikian, mulutnya malah berkata : "Kalau
begitu, jadi kau lebih dulu menempuh perjalanan keluar perbatasan ini
daripada aku?"
"Tapi beberapa lama kemudian, ditengah jalan kudapati seseorang yang
selalu memperhatikan gerak-gerik dan jejakku, kemanapun aku pergi dia
selalu menguntit di belakangku.
"Jikalau orang mengincar sesuatu atas dirimu, anggap saja orang pasti
ketiban pulung, mungkin matanya picak, entah orang macam apakah dia?"
Perlu dimaklumi keahlian dan kebolehan Coh Liu-hiang adalah betapapun
persoalan yang dihadapi amat sulit dan berbahaya, dia masih bisa berlaku
tenang, mantap dan wajar. Tapi ia tahu orang lain belum tentu bisa berlaku
seperti dirinya, maka begitu melihat roman muka Setitik Merah semakin
tegang, maka sengaja dia ucapkan kata-katanya tadi supaya rasa tegang
yang merasuki hati Setitik Merah menjadi kendur, menyusul dia lantas
mengajukan pertanyaan yang pertama.
Betul juga tanpa merasa Setitik Merah tertawa geli, katanya: "Orang itu
memang bukan manusia biasa, sedikitpun tidak menunjukkan gejala-gejala
yang luar biasa, seumpama kau pernah melihatnya berulang kali, belum
tentu kau bisa mengingatnya selalu, karena orang macam demikian dimana
dan kapan saja kaupun bisa melihatnya."
Coh Liu-hiang menghela napas, ujarnya: "Semakin biasa raut muka
seseorang, semakin leluasa dia melakukan kejahatan, bila mana aku hendak
mencari pion-pion untuk melaksanakan tipu dayaku, akupun bisa mencari
orang-orang seperti ini."
"Waktu itu sebetulnya aku tidak mau terlibat banyak urusan, tapi dua hari
setelah dia menguntit aku, akhirnya aku tak tahan lagi, baru saja aku
hendak menghadapinya dan tanya apa maksudnya menguntit aku, siapa tahu
dia malah mencariku lebih dulu."
"Oh!"
Dia bertanya kepadaku: "Apakah tuan ini adalah Setitik Merah dari


Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tionggoan?" dalam waktu dekat aku belum bisa menangkap apa maksud
tujuannya, terpaksa hanya manggut-manggut saja, maka dia lantas
memperkenalkan diri sebagai teman baikmu, sengaja memburu kemari
untuk mencari aku."
Coh Liu-hiang tertawa, katanya: "dia lantas mengatakan bahwa aku minta
kau kemari untuk membunuh Kui-je-ong?"
Benar, katanya: "Kui-je-ong mengganas menindas rakyat, sudah lama Coh
Liu-hiang bermaksud melenyapkan dia, tapi dalam waktu dekat ini dia tak
dapat meluangkan waktu, maka dia ingin mohon bantuanmu!"
"Kau lantas percaya begitu saja?"
"Sebetulnya akupun tidak segera percaya akan obrolannya, tapi dia ada
mengucapkan beberapa patah kata-kata yang mau tidak mau aku harus
percaya kepadanya."
"Apa yang dia katakan?"
Sebentar Setitik Merah berpikir, lalu katanya perlahan: "Katanya Si
Maling Sakti pandang tuan sebagai sahabat karibnya, kalau tidak diapun
takkan minta bantuanmu, apalagi seorang laki-laki sejati harus bisa
membedakan antara dendam dan budi, masakah tuan lupa budi kebaikannya
yang tidak membunuh jiwamu?"
Coh Liu-hiang tertawa getir, katanya: "Kau pikir benarkah aku bisa dan
sampai hati mengucapkan kata-kata seperti itu?"
Jilid 20 "Justru aku tahu kau takkan mungkin membeber kejadian macam itu
kepada khalayak ramai, maka aku berpendapat bahwa kata-kata itu
mungkin saja kau yang mengucapkan, kalau tidak darimana orang ini bisa
tahu?" "Benar." kata Coh Liu-hiang dengan hati mendelu. "Dalam kolong langit ini,
cuma beberapa orang saja yang tahu akan kejadian itu, juga tiada orang
tahu tanpa berkelahi, kau dan aku takkan berkenalan dan bersahabat dan
kini sudah jadi kawan baik."
"Sampai akupun tidak tahu," timbrung Ki Ping-yan dingin.
"Apalagi pekerjaanku memang membunuh orang, jikalau dia ingin supaya
aku membunuh orang, sebetulnya bisa saja membayarku dengan uang mas
atau perak, kecuali dia sudah tahu bila aku sudah ganti obyek, tapi?".."
Tapi dalam kolong langit ini cuma beberapa orang saja yang tahu bahwa
kau kini sudah ganti obyek.
"Begitulah!"
Coh Liu-hiang menghela napas, ujarnya: "Jikalau aku menjadi kau, mungkin
akupun akan percaya omongan itu."
Tiba-tiba KiPing -yan menyentak: "Sebetulnya ada berapa orang yang tahu
akan hubungan kalian?"
"Hitung-hitung hanya Lamkiong Ling, Bu Hoa, Yong-ji dan Mutiara Hitam."
"Tapi Lamkiong Ling dan Bu Hoa sudah mati, Yong-ji tak mungkin
melakukan hal ini, maka?"".." kata-katanya terhenti, dengan nanar ia
awasi Coh Liu-hiang.
Coh Liu-hiang menghirup napas panjang, katanya: "Kemudian hanya
Mutiara hitam, ia kah yang menjadi biang keladi di belakang layar yang
kendalikan pemberontakan dinegeri Kui-je?"
Berkata Ki Ping-yan kalem: "Kitakan sudah tahu didalam pemberontakan
negeri Kui-je itu ada orang bangsa Han yang ikut bekerja, tapi betapa
gampang seorang Han untuk dapat melakukan pekerjaan besar ini di negeri
orang, kecuali jika orang Han ini memang sudah memiliki kekuasaan besar
di sana, kalau tidak seumpama dia berhasil baik dengan aksi
pemberontakannya itu, sekali-kali dia takkan bisa bercokol di negeri ini."
Sampai di sini kembali ia berhenti, karena siapakah orang ini, tanpa dia
katakan orang lainpun bisa menduganya.
Hanya putra rajapadang pasir saja yang mampu mengerahkan suatu
pemberontakan besar-besaran seperti ini, hal ini jelas dan dapat
dimengerti, sampaipun Setitik Merahpun sudah bisa menduganya.
Sesaat Coh Liu-hiang merenung, katanya kemudian: "Dimana orang itu
sekarang?"
"Setelah orang itu menemani aku sampai di luar perbatasan lalu berpisah
dengan aku," tutur Setitik Merah lebih lanjut," Katanya hendak berputar
mencari kau, tapi sepanjang jalan aku lantas disambut dan diantar oleh
utusan Kui-je sampai di sini."
"Disini siapa pula yang pernah kau temui?" tanya Coh Liu-hiang.
"Aku bertemu dua orang pembesar tinggi dari Kui-je, agaknya kedudukan
mereka amat tinggi dan berkuasa, sejak Kui-je-ong terusir dari negerinya,
kedua orang inilah yang pegang tampuk pimpinan tertinggi negeri ini."
"Tapi masih ada seorang bangsa Han, bukan?"
"Benar, tapi yang terang orang itu pasti bukan Mutiara hitam."
"Siapa dia" bagaimana bentuk dan tampang mukanya?"
"Orang itu bernama Gi-kiok-han, konon adalah seorang tokoh kenamaan
yang pandai ilmu silat dan satria, malah otaknya cerdik dan banyak akalnya,
di depan pandanganku tidak lebih hanya musang berbulu ayam, sikap dan
polahnya tengik dan menyebalkan."
Coh Liu-hiang menghela napas, ujarnya: "Justru lantaran dia tak suka
orang lain mendekati dirinya, maka sengaja dia bertingkah seperti itu,
supaya orang tidak membongkar kedoknya, maka polah dan tingkahnya yang
menyebalkan itu malah sebagai kedoknya yang utama."
"Benar," timbrung Ki Ping-yan pula, "Jikalau orang lain marah dan tak sudi
melihat tampangnya, sudah tentu orang sukar melihat apakah dirinya
samaran atau tulen."
"Perkemahan mereka semalam sudah pindah ke lain tempat bukan?"
Kini Setitik Merah dan Ki Ping-yan menjawab bersama: "Benar!"
"Mereka pindah kemana?" tanya Coh Liu-hiang.
"Konon tidak jauh dari sini, ada sebuah penginapan ditengah padang pasir,
disanalah hotel gelap yang didirikan oleh begal besar di gurun pasir, Panthian-
hong, agaknya mereka ada sekongkol dengan Pan-thian-hong ini, kini
mereka menuju kesana."
Coh Liu-hiang merenung sebentar, katanya: "Dalam dua tiga hari ini,
kukira mereka takkan meninggalkan tempat itu, ya bukan?"
"Benar, sekarang kita bisa luruk kesana dan gorok leher mereka," kata
Setitik Merah. "Bunuh mereka sih gampang," sela Ki Ping-yan, "Tapi jikalau ketiga orang
itu bukan pentolannya, bunuh mereka bukankah malah membabat rumput
mengejutkan ular."
"Apalagi mereka jelas sudah tahu, begitu kau bertemu dengan aku maka
urusan bakal dibuat terang, tapi mereka masih melegakan hati meluruk
kemari. Itulah karena mereka mempunyai pegangan dan latar belakang
yang cukup membuat kita gentar."
"Maksudmu mereka punya pegangan sesuatu untuk mengancam atau
menggertak kita!"
"Benar, karena aku masih ada tiga teman yang kini terjatuh ke tangan
mereka," kata Coh Liu-hiang tertawa getir, lalu menyambung:
"Kedatanganku kali ini adalah untuk mencari ketiga temanku itu, tak nyana
secara serampangan di sini aku mendapat berita tentang jejak mereka,
tapi lebih baik kalau aku tak tahu akan hal ini, setelah tahu gerak-gerikku
mau tak mau harus hati-hati."
Ki Ping-yan berkata dingin: "Bukan mustahil orang itu mengundang saudara
ini kemari tujuannya untuk memberi tahu kepadamu secara tidak langsung
mengenai persoalan ini, sekaligus memberi peringatan kepada kau, dengan
sendirinya mau tak mau harus bertindak ragu-ragu dan kuatir itu, berarti
mereka lebih leluasa dan berani bertindak."
Kata Coh Liu-hiang: "Kalau mereka hendak memperingati aku, kenapa tidak
suruh Yong-ji menulis surat kepadaku, kenapa harus memeras keringat dan
menguras tenaga yang tiada gunanya ini?"
Lama Ki Ping-yan termenung, sahutnya: "Omonganmu memang tidak salah,
sungguh akupun tidak mengerti, kenapa mereka harus berbuat demikian,
mereka toh sudah tahu bila kalian berdua beradu muka, bualannya tentu
terbongkar, bukankah sia-sia belaka usaha mereka."
Mungkin karena mereka tidak menduga aku bakal melindungi Kui-je-ong,
dua tiga hari yang lalu kita sendiripun takkan pernah berpikir hendak
melindungi Kui-je-ong bukan?" Coh Liu-hiang utarakan pikirannya.
Ki Ping-yan berpikir-pikir, mulutnya tak bersuara lagi.
Berkata Coh Liu-hiang lebih lanjut: "Pepatah ada bilang, naga sakti takkan
ungkulan melawan ular setempat. Jikalau musuh mendapatkan keuntungan
mengenai cuaca, keadaan bumi dan berbagai syarat yang lebih baik, tapi
kitapun memiliki keunggulan yang tak mereka dapatkan, yaitu".."
Tak tahan Ki ping-yan menukas: "Yaitu mereka tidak kenal siapa kita,
sebaliknya kita tahu betul seluk beluk mereka."
"Tepat" ujar Coh Liu-hiang: "Justru mereka tidak tahu siapa kita, maka
mereka salah sangka. Kini kita bisa menggunakan titik kelemahan mereka
ini, jikalau harus menunggu kedatangan Mutiara hitam tentu sudah
terlambat!"
"Jadi maksudmu sebelum Mutiara hitam tiba, kita pergi ke penginapan
ditengahpadang pasir itu untuk menyelidiki dan mencari berita?"
"Ya, begitulah maksudku."
Berkilauan biji mata Setitik Merah, katanya: "Sekarang juga berangkat?"
"Tempo berjalan amat cepat, kalau mau berangkat tentunya lebih cepat
lebih baik, cuma"."
Coh Liu-hiang geleng-geleng sambil menghela napas, katanya lebih lanjut:
"Kini bukan saja kita harus menghadapi mereka, kitapun harus melawan
Ciok-kwan-im, berarti kita menghadapi musuh dari dua muka, jikalau
sedikit lalai, kita bisa tergencet dari dua sasaran, jikalau sampai terjebak
dan kalah tentu konyol."
Sebagai sahabat lamanya, jalan pikiran Ki Ping-yan juga sama, mendengar
kata-katanya ini ia manggut-manggut, Setitik Merah sebaliknya
mengajukan pertanyaan: "Maksudmu".."
Walau mereka tidak kenal siapa kami, tapi mendadak dua orang asing tibatiba
berkunjung ke tempat pangkalan mereka, mau tak mau harus lebih
hati-hati, bukan mustahil kita bakal dihadapi sebagai kambing gemuk, tapi
jikalau kedua orang itu adalah"."
Tak sabar Setitik Merah menukas pula: "Jikalau kedua orang itu adalah
temanku, masakah mereka berani turun tangan?"
"Tapi sepak terjang Setitik Merah dari Tionggoan selama ini tetap
sendiri, hal ini diketahui siapapun, memangnya ditengah gurun pasir yang
tak pernah dihuni orang mendadak bersua dengan kedua sahabat baiknya?"
Lama Setitik Merah berpikir, katanya: "Seumpama dimanapun tempat
keramaian yang penuh sesak, akupun takkan bisa kebetulan bersua dengan
setengah temanku, "tawar dan dingin ucapannya, seolah-olah ia hendak
melimpahkan kesunyian sanubarinya.
Sekilas Ki Ping-yan melirik padanya, katanya tiba-tiba: "Semakin sedikit
punya teman semakin baik, seumpama tiada punya teman juga tak perlu
dibuat sedih!"
Setitik Merah balas melirik kepadanya, sorot matanya menampilkan
senyuman hatinya.
Berkata Coh Liu-hiang sambil bertepuk tangan: "Tapi kalian sama-sama
punya watak yang aneh, cepat atau lambat harus mengikat persahabatan,
laripun takkan berpisah lagi, "ia pegang pundak kedua orang serta
menambahkan dengan suara prihatin: "Kini kami tidak bisa kesana secara
terang-terangan, juga tak mungkin menyamar sebagai teman karib, cara
yang paling sempurna hanya".." suaranya semakin lirih dan akhirnya tak
terdengar. Lohor! Seluas mayapada tersorot di bawah pancaran sinar matahari yang
terik. Di bawah terik matahari yang membakar kulit ini, tampak
serombongan unta sedang berjalan pelan-pelan.
Unta yang biasanya dijuluki kapal pasir ini, kinipun sudah keletihan dan
hampir tak kuasa berjalan lagi, orang-orang yang bercokol di punggung
unta lebih-lebih mengenaskan lagi, mereka sudah kempas kempis menunggu
saatnya untuk mangkat menghadap raja akhirat.
Tampak bibir orang-orang ini sudah sama pecah, biji matanya diliputi
genangan darah, badannya seperti sudah kejang dan pikiranpun sudah
setengah sadar, dalam benak mereka hanya terpikir satu huruf saja
"Air?"air?"?"air?".."
Tiba-tiba tampak dikejauhan perpaduan langit dan pasir di depansana ,
asap api mengepul ke angkasa, roman muka orang-orang ini seketika
mengunjuk rasa kegirangan yang luar biasa. Tempat dimana ada asap api,
tentu terdapat air pula" Dengan bersorak kegirangan, orang-orang itu
sudah siap berlomba-lomba mati-matian memburu kesana.
Tak nyana seorang kakek tua sepertinya pemimpin rombongan mereka
tiba-tiba berteriak-teriak: "Jangan! jangan kesana, tempat itu tak boleh
didatangi manusia." Meski suaranya rendah serak tapi syukur masih punya
kewibawaan yang cukup menundukkan orang-orang itu. Serempak setiap
orang menghentikan langkahnya, dengan pandangan meminta belas kasihan
dan cemas-cemas harap mereka berpaling muka kepada si kakek tua.
Kulit muka si kakek yang sudah kerut kemerut diliputi bayangan
ketakutan, katanya sember: "Tahukah kalian tempat apakah itu?"
Semua sama geleng-geleng kepala. Kata salah seorang: "Persetan tempat
apa itu, asal disana ada air?"".."
"Agaknya air mempunyai pengaruh yang amat besar bagi mereka, seketika
terbangkit semangat mereka, tenggorokan mereka seperti mengeluarkan
suara kerak kerok, tiba-tiba terdengar jerit dan lengking seram seperti
binatang buas yang meregang jiwa: "Air?"air?".air"."
Dengan ujung lidahnya si kakek menjilat bibirnya, tapi lama sekali lidahnya
menjilat-jilat bibirnya tetap kering dan pecah serasa perih. Lantaran
lidahnya sendiripun sudah kering sekali dan hampir pecah pula. Katanya
menghela napas: "Air"..air, memang ada air ditempat itu, tapi ada pula
golok baja senjata pembunuh manusia, sekarang kalian masih punya
kesempatan untuk hidup, bila tiba di sana jiwa kalian bakal segera
melayang dengan mengenaskan."
Semua orang saling pandang, tanya mereka: "Ke".kenapa?"
"Karena tempat itu adalah sarang Pan-thian-hong." Mendengar " Panthian-
hong" disebut oleh si kakek tua kontan ada dua orang terperosok
jatuh dari atas unta, begitu terjungkal di atas pasir mereka tak kuasa
bergerak pula. Sekonyong-konyong seorang menjerit serak dengan nekad: "Aku tidak
perduli, aku tetap akan kesana, lebih baik aku dibunuh daripada menderita
dan mampus pelan-pelan dengan siksaan semacam ini." Sekuat sisa
tenaganya ia gebrak unta tunggangannya mencongklang lari ke arah sana,
muka semua orang seketika mengunjuk rasa ketakutan dan membayangkan
adegan seram yang bakal menimpa semua yang takkan kembali lagi.
Ditengah deburan angin berpasir, tiba-tiba muncul bayangan tiga sosok
orang, seorang bertubuh kurus tinggi, berbaju hitam, bermuka kaku
seperti patung kayu, tangannya menyeret dua utas tali panjang seperti
menarik anjing dia seret dua orang lainnya, kedua orang yang terbelenggu
tali adalah seorang laki-laki kurus lancip, namun mukanya yang jelek ini
membuat setiap orang yang melihatnya merasa mual.
Seorang tawanan yang lainpun tidak lebih bagus, karena dia seorang
bungkuk, tangan kedua orang ini sama terbelenggu kencang, langkahnya
sempoyongan jatuh bangun terseret di belakangnya.
Sikap laki-laki baju hitam ini amat angkuh dan membusungkan dada,
langkahnya enteng, padang pasir yang terserang hujan badai berpasir ini
dipandang sebagai tanah datar berumput layaknya.
Pelancong atau para pedagang yang sudah putus asa kehabisan air itu
seketika sama-sama melongo melihat ketiga orang ini, entah siapa diantara
mereka, tiba-tiba berteriak keras: "Pan-thian-hong?""..Pan-thian-hong"."
Siapa pula orang yang berkuasa ditengah padang pasir yang menyeret
manusia bagai binatang kalau bukan Pan-thian-hong dan anak buahnya,
saking ketakutan sekejap mata saja orang-orang ini sudah lari terbiritbirit
tak diketahui pula bayangannya.
Si bongkok itu malah menghela napas, katanya tertawa getir: "Tak nyana
orang-orang itu begitu ketakutan terhadap Pan-thian-hong, lebih baik mati
kering dan kehausan daripada pergi ke tempat itu!"
Si burik menanggapi: "kalau begitu, tempat itu tentu amat berbahaya,"
suara orang ini ternyata mirip benar dengan suara Ki Ping-yan.
Ternyata untuk menyelidiki keadaan pihak musuh, supaya tidak dicurigai,
terpaksa Coh Liu-hiang dan Ki Ping-yan menyamar menjadi tawanan Setitik
Merah, cuma seutas tambang masakah bisa membelenggu mereka,
seumpama samaran mereka ketahuan musuh, mereka tetap bisa


Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membebaskan diri dengan leluasa, bukankah cara ini jauh lebih baik
daripada menyaru sebagai teman Setitik Merah.
Sesaat kemudian berkata pula Coh Liu-hiang: "Aku masih membawa
setengah kantong air, lekaslah kau berikan kepada mereka."
Memang hebat orang ini, menyaru jadi naga seperti naga, menyamar jadi
harimau persis harimau, bersolek jadi seorang bungkuk sungguh tindak
tanduknya mirip benar, kalau tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri,
mimpipun Setitik Merah tak mau percaya, sungguh sukar dibayangkan si
Maling kampium yang bermuka ganteng dan romantis ini dalam jangka
setengah jam bisa berubah sedemikian rupa.
Ki Ping-yan malah tersenyum, katanya: "Ada kakek tua itu sebagai
penunjuk jalan, orang-orang itu pasti takkan mati kehausan."
"Kau kenal kakek tua itu?" tanya Coh Liu-hiang.
"Orang ini boleh terhitung serigala padang pasir, kepandaian lain sih tak
punya, tapi entah sudah berapa lama dan berapa kali dia bolak balik di
gurun pasir, hidup seolah-olah bisa mencium dimana ada bahaya dan dimana
bisa selamat, bila kaum pelancong atau pedagang bisa mengundang dia
sebagai penunjuk jalan, seumpama mendapat cahaya dibadan sendiri."
Tertawa geli, ia melanjutkan: "Sepuluh tahun yang lalu aku pernah bertemu
dengan orang ini, waktu itu tabungannya cukup untuk hidup anak cucunya
sampai beberapa turunan dengan senang, kukira sejak lama dia sudah cuci
tangan hidup dirumah mengenyam hari tua, siapa tahu sampai sekarang dia
masih melakukan pekerjaan itu, agaknya dia masih anggap pekerjaan ini
masih tetap segar dan menarik hatinya."
Coh Liu-hiang tertawa, katanya: "Seumpama kuda jempolan yang bisa lari
ribuan li, mana mau dia tunduk ditengah jalan, orang macam demikian bila
kau ingin dia hidup senang di rumahnya, malah terasa badan letih dan
perasaan seperti disiksa."
Dua li sebelah depan, tiba-tiba kelihatan sebuah bukit batu yang
menjulang tinggi ke angkasa, memang tidak setinggi gunung umumnya, tapi
ditengah padang pasir yang serba kering tak berujung pangkal ini
kelihatannya amat menyolok mata.
Bentuk batu-batu aneh di atas gunung laksana gigi serigala atau taring
harimau, tandus menguning tak kelihatan rumput tumbuh di sini.
Selintas pandang, jelas keadaan di sana terlalu bahaya, penginapan padang
pasir yang didirikan Pan-thian-hong memang dibangun membelakangi bukit
batu ini. Meski bukit batu ini bisa melindungi dari pusaran angin pasir, tapi
bangunan penginapan juga tetap dibangun dengan kokoh kuat, dinding di
sekelilingnya disanggah pilar besar dari dahan pohon besar yang cukup
dipeluk dua orang, sepertiga dari batang pohon itu terpendam didalam
tanah, dindingnya terbuat dari batu gunung, maka dapatlah dibayangkan
kekuatannya takkan kalah dari dinding baja, jikalau ada orang terkurung
didalamnya untuk lolos keluar laksana mendaki langit sukarnya.
Memang tidak kecil bangunan rumah ini, tapi pintu dan jendelanya kecil
dan sempit, kain gordyn yang dipasang diambang pintu kelihatan mengkilat
laksana berminyak, seperti lebih berat dari lempengan besi bobotnya.
Tak ada nama atau papan pengenal, cuma di atas dinding yang menghadap
keluar ditulis huruf dengan tinta hitam berbunyi: "air jernih di padang
pasir, ranjang kering, api unggun hangat."
Bagi para pelancong ditengah padang pasir, ke delapan huruf-huruf ini
sungguh sepuluh kali lipat lebih menarik dari kata-kata manis lainnya yang
sering dicantumkan di hotel-hotel atau restoran manapun untuk menarik
para pengunjung.
Dibalik kain gordyn tebal ini adalah sebuah ruangan yang sedang, empat
lima meja tersebar diberbagai pojokan dan ditengah dengan dua puluhan
kursi. Terlihat dimeja pojokan sana, tujuh delapan laki-laki besar sedang
merubung meja dan main kartu, dimeja kasir sebelah kiri duduk seorang
tua kecil bermuka tepos, berjenggot kambing, bentuk mukanya segi tiga,
dua biji matanya seperti mata tikus merem melek seperti sedang ngantuk,
mulutnya mengulum pipa cangklong, apinya sudah lama padam, suara gaduh
dari orang-orang yang sedang berjudi serasa hampir merontokkan atap
rumah, namun dia tetap duduk tenang seperti tak mendengar sama sekali.
Tiba-tiba terdengar derap kaki unta berlari mendatangi, tak lama
kemudian seseorang menerjang masuk dengan teriakan serak:
"Air?"air?"." Ciangkui atau kasir pemilik rumah makan ini masih tetap
duduk ngantuk diam saja, laki-laki yang berjudi itupun tiada yang
berpaling, dengan langkah sempoyongan orang ini memburu ke meja kasir
dan serunya dengan sember: "Ciang?"Ciangkui apa kau menjual air, aku
punya uang perak."
Mata si Ciangkui masih terpejam, tapi mulutnya sudah tertawa lebar,
katanya: "Kalau punya perak memangnya kuatir kami tidak mau menjual
air" Bagi pedagang seperti kita setiap pengunjung berarti keuntungan,
masakah kami bisa menolak?"
Orang itu kegirangan, serunya: "Ya?"baik?"" mulutnya sudah kekeringan,
saking girang mulutpun bicara tak terang, sebelah tangannya repot
merogoh kantong mengeluarkan uang perak, "Klotak" ia lempar uang
peraknya di atas meja di depan kasir yang bernilai dua puluh tail.
Baru sekarang Ciangkui menggerakkan kelopak matanya, tapi matanya
membuka sedikit saja lalu terpejam lagi.
Orang itu kaget, serunya: "Tidak?"tidak cukup?"
Ciangkui menghela napas, pelan ia geleng kepala.
Sambil kertak gigi orang itu kembali keluarkan dua puluh tail perak.
Ciangkui menghela napas pula, tetap geleng-geleng.
Sudah melotot biji mata orang itu serasa hendak menyemburkan api, tapi
sekilas matanya melirik ke arah gerombolan laki-laki yang sedang berjudi
itu, sikapnya kembali lemas, terpaksa ia tekan perasaannya dan merogoh
kantong pula. Sambil merogoh kantong tangan sebelah menyeka keringat,
Ciangkui masih tetap menghela napas panjang pendek, keruan kejut bukan
kepalang orang ini, serunya: "Se?".seratus enam puluh tail perak"..masih
tidak cukup?"
Ciangkui menyengir tawa, ujarnya: "Kalau tuan hendak membeli air seratus
enam puluh tail, sudah tentu boleh juga."
Girang orang itu, "baik, secukupnya ini saja."
Ciangkui batuk-batuk sekali, lalu berseru: "Lo-ban berikan kepada tuan ini
air seharga seratus enam puluh tail perak."
Lo-ban yang dipanggil ini sedang jadi bandar, perak di depannya sudah
bertumpuk, "Plak" ia banting kartunya di atas meja, ternyata jeblok
(sepuluh). Bagi bandar pegang kartu jeblok, dapatlah dibayangkan akibatnya, saking
murka ia raih kedua lembar kartu itu terus dijejalkan ke dalam mulut dan
dikunyah hancur, sambil kecap-kecap, mulutnya mengumpat caci: "Kau cucu
kura-kura ini, kunyuk, kelinci modar, sundel, siapa suruh kau kemari, bikin
tuan besarmu kalah main dan kehabisan uang, kalau sebentar tidak
kugecek remuk perutmu, sungguh penasaran hatiku."
Entah memaki kartu atau memaki orang dan entah ditujukan kepada siapa,
namun bagi orang yang merasa kena makian ini diam-diam saja, sesaat
kemudian pelan-pelan toh terpaksa dia membawa sebuah ceret.
Ceret yang cukup besar dan terlalu berat, keruan orang itu kegirangan,
serunya: "Terima kasih?".terima kasih," sekali raih dia rebut ceret itu
dan terus menuang kemulut yang terbuka lebar, betul juga setetes air
dingin menetes ke lidahnya dan airpun tiada lagi. Tidak kecil ceret ini, tapi
isinya cuma setetes air. Keruan bergetar badan orang ini, katanya
gemetar: "Ce".ceret ini tak berisi air."
Lo-ban mendelikkan matanya, katanya bengis: "Siapa bilang tak ada air,
bukankah yang barusan kau tenggak itu air" Kita orang berdagang mencari
uang halal, buat apa harus main nakal, memangnya kau sendiri yang sudah
bosan hidup."
Sungguh kaget dan gusar pula orang ini, teriaknya serak: "Tapi airnya
cuma setetes."
Sahut Lo-ban: "Uangmu cuma seratus enam puluh tail perak, memang cuma
bisa membeli setetes air, berapa yang kau inginkan?"
Tak tahan lagi orang itu berjingkrak sambil berteriak-teriak: "Setetes air
berharga seratus enam puluh tail perak, terhitung orang dagang macam
apa kalian ini?"
"Sudah tentu berdagang secara halal, cuma hitung dagang cara kita
selama tiga tahun ini jika kau merasa terlalu mahal siapa suruh kau
kemari?" mendadak ia rebut ceret itu lalu tertawa menyeringai: "Bukan
mustahil dalam ceret ini masih ada air, nanti kuberikan kepada kau," mulut
bicara sementara jari-jari tangannya yang gede-gede itu menggencet dan
meremas. Ceret yang terbuat dari tembaga itu seketika teremas dan tergencet
menjadi bundar seperti bolang-baling, orang itu hanya mengawasi dengan
mulut melongo mana berani bercuit lagi.
Di sebelah sana, Ciangkui malah terkekeh-kekeh, katanya: "Tuan ini kalau
merasa airnya terlalu sedikit boleh kau tambah uang beli lagi?"
Tergagap mulut orang itu: "Aku"..aku sudah tak punya uang lagi."
"Tak punya uang perak, barang lainpun boleh kau tukar dengan air," ujar si
Ciangkui. Orang itu kertak gigi, putar tubuh terus lari keluar, tak nyana belum lagi
kakinya melangkah ke pintu, tahu-tahu badannya tergantung naik dijinjing
seseorang, sebelah tangan orang itu merogoh ke dalam kantong bajunya.
Tangan yang ditarik keluar ini menggenggam sebuah dompet domba yang
berisi penuh dan sesak.
Terdengar suara Lo-ban tertawa nyaring: "Tak nyana keparat ini masih
punya simpanan begini banyak."
Orang itu ketakutan, serunya gemetar: "Aku?""aku tak mau beli lagi."
Mendelik mata Lo-ban, dampratnya gusar: "Untuk apa kau kemari kalau
tidak mau beli air" Memangnya boleh sembarangan kau keluar masuk
ditempat kita ini?"
Sesaat lamanya orang itu terlongong, lalu katanya dengan air mata
bercucuran: "Kalau demikian, baiklah lekas kau keluarkan airnya!"
Lo-ban terbahak-bahak, serunya: "Kantongmu sekarang sudah kosong
melompong, mana tuan besarmu sudi kasih air padamu. Mengelindinglah
keluar dan minum air kencing sana," berbareng kedua tangan terayun ia
lempar badan orang ke arah luar pintu, "Brak" badan seberat puluhan kati
itu melayang keluar menerjang kain gordyn tebal itu dan terlempar keluar
pintu. Lo-ban bertepuk tangan, sambil tertawa besar, serunya: "Kesurga ada
jalan kau tak mau kesana, akhirat tiada pintu kau malah kemari,
memangnya matamu picak?"
Belum habis kata-katanya, kembali terdengar " brak" kain gordyn
keterjang sesuatu, tahu-tahu orang yang dilempar keluar tadi melayang
masuk pula dan "Blang" tepat jatuh di atas meja.
Keruan Lo-ban kaget dibuatnya, seketika ia tersurut mundur tiga langkah,
serunya: "Hei! Tak nyana tuan ini seorang ahli yang menyembunyikan diri,
pandai main silat agaknya."
Ciangkui menjengek dingin, jengeknya: "Jangan katakan orang lain picak,
justru kau sendiri yang buta melek, orang yang pandai masih berada di
luar!" Waktu Lo-ban menegasi dilihatnya orang itu duduk mematung dengan
mata mendelong di atas meja, saking ketakutannya mata terkesima dan
mulut tak kuasa berteriak, baru sekarang Lo-ban sadar orang ini dilempar
balik oleh seseorang di luar pintu. Cuma kalau orang di luar dapat
menyanggah serta melemparkannya balik, jatuh duduk tanpa kurang suatu
apa di atas meja, kehebatan ini sungguh amat mengejutkan. Sekian lama
Lo-ban tertegun, kembali ia menyurut mundur dua langkah kemudian lalu
menggembor sekerasnya: "Bocah keparat di luar lekas masuk?"?"
Belum sampai ia keluarkan kata-kata "antar kematian", tiba-tiba suaranya
tersendat didalam tenggorokan, karena dari luar menerobos seseorang,
cuma sekali mata orang itu melotot padanya, seketika ia rasakan bulu
kuduknya mengkirik dan dingin sekujur badannya, mulutpun tak berani
sesumbar lagi. Kalau di luar masih amat panas dan terik, sebaliknya suasana didalam
rumah seketika dingin mencekam perasaan. Di bawah cahaya remangremang
tampak raut wajah orang itu pucat lesi, sedikitpun tidak
menunjukkan perasaan hatinya, seolah-olah peristiwa besar apapun takkan
bisa meluluhkan hatinya.
Sepasang mata itu justru teramat tajam dan menakutkan, dingin dan kaku
menggiriskan pula, sejak orang ini melangkah masuk hawa dalam rumah
seakan-akan membeku secara mendadak, orang-orang yang sedang judi dan
berkaok-kaok seketika sirap, biji mata Ciangkuipun terpentang lebar,
semua hadirin sama merasa badannya dilingkupi hawa dingin, namun mereka
sendiri tak habis mengerti, kenapa hati sendiri kebat-kebit, apasih yang
ditakuti" Tampak orang ini melangkah lebar masuk ke dalam rumah, bahwasanya
seperti tidak melihat kehadiran orang lain didalam rumah ini, tangannya
menggandeng dua utas tali, sekali tarik dari luar tersungkur masuk dua
sosok tubuh manusia, seorang bungkuk dan seorang kurus burikan, begitu
tersungkur jatuh sesaat tak mampu berdiri, dengan napas ngos-ngosan.
Lo-ban menghirup napas panjang, sapanya lebih dulu membuka kesunyian:
"Sa"..sahabat kemari mau apa?" meski membesarkan hati, tapi entah
kenapa suaranya serasa gemetar dan sumbang.
Laki-laki baju hitam itu menyahut: "Disini tempat apa?"
Lo-ban melengak, sahutnya: "Kita"..kita membuka penginapan."
Laki-laki baju hitam sudah duduk di sebuah kursi, "Brak" ia gebrak meja,
katanya: "Kalau penginapan, kenapa tidak lekas siapkan minuman?"
Mengerling biji mata Lo-ban, tampak tujuh delapan laki-laki teman judinya
sama mengawasi dirinya, dalam hati ia berpikir: "Aku takut apa" Kau bocah
ini seorang diri, apa sih yang perlu ditakuti?" karena pikirannya ini,
nyalinya tambah besar, jengeknya dingin: "Peraturan di sini selamanya
mengutamakan bayar dimuka, mau minum kau harus keluarkan dulu
uangmu." Tak nyana laki-laki baju hitam menyeringai dingin: "Tidak punya uang."
Lo-ban melengak pula, ingin sebetulnya dia keluarkan kata-kata kasar,
tiba-tiba dilihatnya sepasang mata laki-laki itu sedang melotot kepadanya,
seketika seperti membeku darahnya, sepatah katapun tak kuasa dikatakan
lagi. Di sana Ciangkui tiba-tiba batuk pelan-pelan, katanya tertawa: "Kalau tuan
tamu ini mau minum, kenapa tidak lekas kau suguhkan air teh."
Lo-ban yang galak itu ternyata menurut saja dengan tertunduk ia menuang
air teh dan disuguhkan.
Laki-laki yang dilempar ke atas meja kembali melongo heran dan tak
mengerti, secara diam-diam hatinyapun sedang bersorak kegirangan:
"Kiranya kawanan perampok ini masih tahu takut kepada orang yang lebih
galak." Cepat sekali air teh disuguhkan, tanpa sungkan laki-laki baju hitam segera
angkat cangkir terus ditenggak habis, tapi air teh yang masuk kedalam
mulutnya tiba-tiba ia semprotkan ke muka Lo-ban, dampratnya gusar: "Air
teh seperti ini mana bisa diminum, ganti secangkir air lagi."
Badan Lo-ban setinggi tujuh kaki dan kekar itu ternyata terjengkang
jatuh karena semprotan air teh dimukanya, terasa selebar mukanya sakit
pedas, tak tahan ia berjingkrak ba
Pendekar Panji Sakti 15 Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Pukulan Naga Sakti 6
^