Rahasia Mo-kau Kaucu 9
Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung Bagian 9
Kay sendiripun tidak perlu tergesa-
gesa. Topeng ini hanya umpannya saja, dia ingin mengail seekor ikan besar, ikan besar yang bisa mencaplok manusia.
Tiba-tiba sebuah kereta besar bercat hitam berhenti di sebelah depan. Kereta ini datang dari luar kota. Sebetulnya sudah berlari lewat, maka berhentinya terlalu mendadak.
Seorang laki-laki setengah baya dengan pakaian perlente bermuka putih dengan jenggot pendek menongolkan
kepalanya menatap ke atas membaca huruf-huruf itu serta mengawasi topeng dan batu kemala itu. Lekas sekali dia sudah mendorong pintu kereta dan melangkah turun.
Akhirnya ada juga orang yang mau menawar barang-
barang yang akan dijual ini. Tapi Yap Kay masih tetap tenang dan bisa menekan sabar.
Dengan menggendong ke dua tangannya, laki-laki
setengah baya itu maju menghampiri. Sepasang matanya
yang jeli, tajam dan bercahaya terus menatap ke atas
kertas galah, tiba-tiba dia bertanya: "Apakah mau dijual?"
Yap Kay manggut-manggut sambil menuding huruf-huruf
di atas kertas merah itu.
Berkata laki-laki setengah baya tawar: "Lencana ini memang terbuat dari Han-giok, sayang sekali ukirannya
kurang halus."
Yap Kay menambahkan, katanya: "Memang, tukang
ukirnya kurang ahli, kwalitet batu kemala inipun kurang baik."
Laki-laki itu seketika mengunjuk senyum lebar, katanya:
"Kau ini ternyata terlalu jujur di dalam dagang."
"Memang, aku ini orang jujur." ujar Yap Kay.
"Entah berapa harganya?"
"Harganya terlalu tinggi."
"Harga tinggi berapa?"
"Tiada halangannya kau ajukan dulu tawaranmu." kata Yap Kay.
Dari atas ke bawah, laki-laki ini mengamati Yap Kay
beberapa kali, lalu dia berpaling memandang batu kemala di atas joran itu, katanya: "Bagaimana kalau tiga puluh tail?"
Yap Kay tertawa.
Laki-laki itu juga tertawa, katanya: "Tawaranku memang sedikit tinggi, namun seorang Kuncu selalu menepati apa yang diucapkan, akupun tidak akan main gorok soal harga."
"Tiga puluh tail saja?"
Laki-laki itu manggut-manggut, "Ya tepat tiga puluh tail."
"Barang yang mana yang kau pilih?"
"Sudah tentu batu kemala ini."
"Tapi tiga puluh tail hanya cukup untuk beli jorannya saja."
Seketika lenyap senyuman yang menghias muka laki-laki
setengah baya, katanya menarik muka: "Berapa yang kau inginkan?"
"Tiga laksa (puluh ribu) tail."
Hampir berteriak laki-laki setengah baya itu, "Hah, tiga laksa tail?"
"Tepat tiga laksa tail, harga pas tidak boleh kurang."
Dengan melongo kaget laki-laki ini mengawasinya, seperti dia berhadapan dengan orang gila.
Tiba-tiba Yap Kay berkata: "Walau batu kemala ini kurang baik, ukirannya jelek, tapi kalau kau ingin
memilikinya, keluarkan dulu tiga laksa tail perak, sesenpun tidak boleh kurang."
Tanpa mengucap sepatah katapun, laki-laki setengah baya melengos terus tinggal pergi dengan uring-uringan.
Yap Kay tertawa lagi. Orang-orang yang berkerumun
melihat tontonan inipun ikut tertawa riuh.
"Sekeping batu kemala, kok minta tiga laksa tail, memangnya bocah ini sudah gila."
"Harga setinggi itu, memang hanya orang gila yang menjual."
Sementara itu kereta hitam itu sudah melaju ke depan
dan belok di pengkolan jalan sana, tak bisa kelihatan lagi.
Karena tiada tontonan yang bisa dilihat, orang-orang
yang berkerumun itupun mulai bubar.
Tak kira dari jalan belakang sana tiba-tiba berderap pula langkah kaki kuda yang menyeret kereta, tahu-tahu kereta hitam itu sudah putar balik, datangnya malah lebih cepat dari perginya tadi.
Kusir kereta mengayun cambuknya tinggi-tinggi, seraya
membentak-bentak, cepat sekali kereta itu sudah dilarikan datang dan berhenti pula di depan pintu kota.
Laki-laki setengah umur itu mendorong pintu dan
melompat turun pula. Mukanya yang putih tampan kini
menampilkan mimik yang aneh. Dengan langkah lebar dia
menghampiri Yap Kay, katanya: "Tadi kau minta tiga laksa tail perak?"
Yap Kay manggut-manggut.
Tiba-tiba laki-laki tengahan umur merogoh kantong
mengeluarkan setumpuk uang kertas. Setelah dihitung,
genap tiga puluh lembar terus diangsurkan ke depan Yap Kay.
"Nah, ambillah."
Tapi Yap Kay tidak menyambuti, dia malah mengerut
kening, tanyanya: "Apakah ini?"
"Inilah uang kertas, hanya bank Toa-hin di kota raja saja yang bisa mengeluarkan uang kertas ini, jumlahnya tepat tiga laksa tail."
"Apakah berani ditanggung uang ini bisa laku?" tanya Yap Kay pura-pura bodoh.
Berkata laki-laki itu dengan suara berat: "Aku orang she Song, toko Cap-po-cay yang menjual barang-barang antik di sebelah barat kota itu adalah milikku, orang-orang di
daerah sinipun tidak sedikit yang mengenalku."
Cap-po-cay adalah merk yang terkenal sejak puluhan
tahun yang lalu. Song Lopan adalah salah satu hartawan besar yang paling kaya di kota ini. Di antara orang-orang yang berkerumun itu ada yang mengenalnya juga.
Akan tetapi, Song Lopan yang biasanya cerdik dan teliti di dalam berdagang barang-barang antik ini, kenapa sudi merogoh kantong mengeluarkan tiga laksa tail untuk
membayar batu kemala sekecil ini. Memangnya diapun sudah gila"
Tapi Yap Kay tetap tidak mau menerima uang itu,
tanyanya: "Berapa jumlah uangmu ini?"
"Tentunya tiga laksa tail, inilah lembaran ribuan uang kertas, seluruhnya berjumlah 30 lembar, boleh kau
menghitungnya dulu."
"Tak usah dihitung, aku percaya kepadamu."
"Nah, bolehkah aku membawa batu kemala ini?"
"Tidak boleh!"
Song Lopan tertegun, tanyanya dengan suara meninggi:
"Mengapa masih belum boleh?"
"Karena harganya belum cocok."
Muka tampan Song Lopan yang putih berubah menguning,
teriaknya tertahan: "Bukankah tadi kau bilang tiga laksa tail?"
"Itu harga tadi."
"Dan sekarang?"
"Sekarang harganya adalah 30 laksa tail"
"Hah! 30 laksa tail?" Akhirnya Song Lopan berteriak.
Mimik mukanya mirip seekor kucing yang tiba-tiba ekornya diinjak orang.
Orang-orang yang berkerumun di sekelilingnya pun
menunjukkan mimik yang sama.
Yap Kay malah tidak menunjukkan perubahan hatinya.
Tiba-tiba dia berkata: "Batu kemala ini memang kurang baik, tukang ukirnyapun bukan ahli, tapi sekarang ini
siapapun kalau ingin memilikinya, dia harus bayar 30 laksa tail, sesenpun tidak boleh kurang."
Song Lopan membanting kaki kembali dia melengos terus
tinggal pergi, langkahnya tergopoh-gopoh, namun setiba dia di depan kereta langkahnya merandek, mukanya mengunjuk mimik yang aneh seperti tadi. Kelihatannya amat takut.
Apa sih yang dia takuti" Apakah di dalam keretanya itu ada sesuatu yang patut dia takuti" Dan yang paling
mengherankan adalah dengan harga tiga laksa tail saja jelas
sudah membuatnya pergi dengan marah-marah, kenapa
setelah pergi malah putar balik lagi"
Mata Yap Kay bersinar terang, dengan tajam dia menatap ke arah jendela kereta. Sayang sekali keadaan terlalu gelap di dalam kereta. Dari luar yang bercahaya terang oleh sinar matahari, tetapi tetap tidak bisa melihat apa-apa.
Song Lopan sudah siap menarik pintu kereta, tapi entah kenapa, tangan yang sudah dia ulur, tiba-tiba dia tarik kembali. Namun dari dalam kereta seakan-akan ada
seseorang, entah mengucapkan perkataan apa, tiada orang yang mendengar apa yang diucapkan orang di dalam kereta.
Tapi Song Lopan yang mendengar, seketika berobah pula
mimik mukanya, seperti orang yang kena tendang di
mukanya. Siapakah yang berada di dalam kereta" Kenapa dia
menyembunyikan diri di dalam kereta tidak mau keluar" Apa pula yang dia katakan kepada Song Lopan" Kenapa setelah mendengar perkataannya, Song Lopan kelihatan begitu
takut" Berkilat biji mata Yap Kay, seolah-olah dia sudah memperoleh jawaban dari teka-teki yang tak terpecahkan selama ini.
Orang yang ingin membeli batu kemala ini sekarang,
bukan keinginan Song Lopan sendiri, namun kehendak orang yang sembunyi di dalam kereta itu. Karena dia sendiri tidak mau unjuk muka di hadapan orang banyak, maka dia paksa Song Lopan untuk membelinya. Naga-naganya Song Lopan
sudah tunduk dan diancamnya, sehingga terpaksa dia harus membelinya.
Dengan cara atau kekerasan apakah yang digunakan
orang itu untuk menekan dan mengancam Song Lopan"
Kenapa dia begitu getol untuk memperoleh lencana kemala itu"
Kecuali orang-orang Mo Kau, siapa pula yang sudi
mengeluarkan uang setinggi itu untuk membeli batu kemala ini"
Apakah orang ini adalah Hu-hong alias si Puncak Tunggal"
ooo)dw(ooo Sinar surya di musim semi sudah tentu tidak begitu
terik, hembusan angin lalu masih terasa dingin.
Tapi Song Lopan justru gemerobyos keringat.
Sekian lamanya dia berdiri melongo dan menjublek di
depan pintu kereta, kedua tangannya gemetar keras,
mendadak dia menghela napas panjang, kembali dia putar badan.
Mimik mukanya sekarang mirip benar dengan pesakitan
yang dijatuhi hukuman mati dan digusur ke tengah lapangan untuk dipenggal kepalanya.
Melihat orang mendatangi lagi, Yap Kay mendahului
bersuara: "Sekarang kau berani bayar 30 laksa tail?"
Terkepal kedua tinju Song Lopan, ternyata dia manggut-
manggut. Keringat dinginnya berketes-ketes, katanya
kertak gigi: "Baiklah! 30 tail ya 30 tail kubayar!"
Yap Kay hanya tertawa lebar saja.
Song Lopan seperti disengat kala kagetnya, katanya
terbelalak: "Apa yang kau tertawakan?"
"Aku tertawai kau."
"Menertawai aku?"
"Aku sedang tertawa, kenapa tidak sejak tadi kau
membelinya saja?"
"Sekarang......"
"Harganya sekarang sudah tidak sama lagi. Sekarang aku minta 300 laksa tail, tidak boleh kurang sesenpun juga."
Sudah tentu Song Lopan berjingkrak mencak-mencak.
"300 laksa tail"
Taoke besar yang biasanya congkak dan terlalu tinggi
hati, sekarang ini seperti anak kecil layaknya mencak-
mencak. "Kau......kau......memang kau ini perampok! Kau........ tamak benar kau ini."
Yap Kay berkata tawar: "Jikalau kau anggap harganya terlalu tinggi, kau boleh tidak hendak membelinya, aku toh tidak memaksa kau."
Song Lopan melotot gusar, seperti ingin mengerumusnya.
Mulutnya sudah terbuka lebar seperti ingin bicara, namun tahu-tahu napasnya menjadi sesak. Mendadak dia
tersungkur roboh, saking gusar ternyata dia jatuh semaput.
Orang-orang berkerumun itupun sama-sama melotot
kepada Yap Kay, semua orangpun merasa Yap Kay tak
ubahnya seperti perampok yang memeras mangsanya, malah lebih tamak lagi.
Tapi Yap Kay acuh tak acuh, dia tetap tidak perdulikan orang lain. Tiba-tiba dia berkata ke arah kereta hitam itu:
"Tuan ingin benar memiliki barang ini, kenapa tidak kau sendiri yang membelinya?"
Tidak ada reaksi dari dalam kereta.
Yap Kay berkata pula: "Kalau tuan sendiri mau unjuk muka, mungkin tanpa membayar sesenpun aku haturkan batu kemala ini kepadamu."
Dari dalam kereta yang sejak tadi tenang-tenang sepi,
mendadak berkumandang suara tawa dingin setajam golok.
"Apa betul?"
"Aku ini orang jujur," Yap Kay berkata tersenyum,
"selamanya aku tidak membual."
"Bagus!"
Lenyap seruannya mendadak 'Brak...' seperti ledakan
kerasnya, tahu-tahu kereta kuda yang besar itu seperti disambar geledek, pecah dan hancur berantakan.
Kusir kereta sampai terpental sungsang-sumbel. Kedua
kuda kekar yang menarik keretapun berjingkrak berdiri
dengan kedua kaki belakangnya.
Tahu-tahu dari dalam kereta hancur itu muncul seorang
laki-laki. Seorang laki-laki raksasa yang telanjang bagian badan atasnya, hanya mengenakan celana pendek ketat
warna merah. Pinggangnya mengenakan sabuk kuningan
selebar telapak tangan orang biasa. Sepasang matanya yang melotot besar seperti kelintingan menatap tajam penuh
kebencian kepada Yap Kay, tak ubahnya seperti siluman iblis jahat yang baru terlepas dari dalam kerangkeng.
Orang-orang yang berkerumun melihat keramaian
seketika bubar dan kalut, lari lintang-pukang.
Raksasa itu sudah mengepal kedua tinjunya kencang-
kencang, selangkah demi selangkah menghampiri Yap Kay.
Perduli manusia atau kuda, setelah mendadak dibuat
kaget, reaksi pertama yang diperlihatkan adalah sama yaitu lari. Semakin cepat lari semakin baik dan selamat, semakin jauh semakin beruntung.
Tapi ke dua ekor kuda yang berjingkrak-jingkrak itu tak mampu melarikan diri, namun masih terus mencak-mencak
berdiri turun naik, karena raksasa itu menekan pinggir kereta yang sudah hancur, namun kedua kuda itu sudah
tidak mampu melarikan diri.
Walau orang-orang yang ada di sekitarnya menjadi ribut, namun mereka tidak lari sembunyi. Maklumlah, siapa yang tidak ingin melihat akhir dari keramaian ini. Apapun yang terjadi atas diri mereka nanti, tontonan aneh yang belum pernah terjadi selama ratusan tahun ini adalah setimpal untuk disaksikan.
Semua orang celingukan kian-kemari, mengawasi raksasa
yang mampu menekan sebelah tangan ke atas kereta
sehingga kedua kuda tidak bergeming, lalu memandang
kepada Yap Kay pula. Semua hadirin sudah yakin dan
sepakat pendapat, pasti Yap Kay yang akhirnya akan
dirugikan dan dihajar konyol. Mungkin cukup menggunakan sebuah jarinya saja, raksasa ini sudah mampu memites
gepeng batok kepala Yap Kay.
Tapi Yap Kay malah tertawa, sikapnya tenang-tenang saja seperti tidak terjadi apa-apa. Tiba-tiba dia malah bertanya:
"Berapa tinggimu?"
"Sembilan kaki setengah."
Dalam situasi segenting ini, walau pertanyaan ini
kedengaran aneh dan lucu, tapi si raksasa memberi jawaban juga.
"Sembilan kaki setengah, kau memang tidak terhitung pendek." ujar Yap Kay.
Berkata si raksasa dengan sombong sambil angkat dada:
"Mungkin hanya beberapa gelintir saja manusia dalam dunia ini yang lebih tinggi dari aku."
"Alat senjata biasanya mengutamakan satu dim lebih panjang, lebih berguna dan lebih kuat. Jikalau kau ini sebatang tombak, pasti kau adalah tombak sakti."
"Aku bukan tombak." seru si raksasa.
"Masih banyak lagi barang-barang lain, biasanya tinggi rendah dari nilai barang itu juga ditentukan dari panjang pendek bentuknya, umpamanya galah yang lebih panjang,
sudah tentu harganya lebih mahal, oleh karena itu kalau kau ini sebatang galah, tentu kau inipun cukup berharga,"
setelah menghela napas Yap Kay menambahkan, "sayang sekali kaupun bukan galah."
"Aku adalah manusia."
"Justru karena kau ini manusia, maka harus dibuat sayang."
"Kenapa harus dibuat sayang?" tanya si raksasa mendelik.
Tawar suara jawaban Yap Kay: "Hanya manusia saja yang tidak ditentukan dari panjang pendeknya. Orang cebolpun kadang-kadang bisa jadi raja. Seseorang bilamana kaki, tangan dan badannya terlalu subur dan tumbuh keliwat
batas, biasanya otaknya terlalu sederhana, oleh karena itu manusia yang semakin panjang, ada kalanya malah dipandang rendah dan tidak berharga lagi."
Si raksasa menggerung murka, bagai seekor gajah
mengamuk dia menerjang maju. Kelihatannya tidak perlu dia turun tangan kalau Yap Kay keterjang tentu badannya
remuk dan mampus. Umpama sebatang pohon besarpun
takkan kuat ditumbuk raksasa ini.
Sayang sekali Yap Kay bukan pohon. Sudah tentu raksasa ini tidak akan mampu menerjangnya sampai roboh, tiada orang yang bisa sekali tumbuk menerjangnya sampai jatuh.
Akan tetapi di saat raksasa menerjang tiba, Song Lopan yang tadi kelengar semaput di tanah mencelat bangun
segesit tupai dan secepat anak panah melesat maju. Bukan saja gerakannya secepat kilat, cara menyerangnya juga
teramat ganas dan lebih menakutkan.
Sekali lagi sayang, dia tidak berhasil merenggut jiwa Yap Kay. Kalau si raksasa menerjang dari depan, sebaliknya Song Lopan menggempur dari belakang dengan pukulan
mematikan. Hebat memang kepandaian Yap Kay, di saat-saat gawat itu entah bagaimana tahu-tahu badan Yap Kay sudah mencelat naik ke atas joran.
Takkan ada orang menduga bahwa Song Lopan akan turun
tangan, tapi orang lebih tidak menduga lagi bahwa Yap Kay bisa meluputkan diri dari bokongannya. Seperti dihembus
angin lesus saja tahu-tahu badannya terangkat naik ke
pucuk joran, laksana segulung mega terbang, seperti daun melayang jatuh.
Keruan Song Lopan terkejut. Dia yakin benar bahwa
serangan bokongannya tadi pasti dengan telak mengenai
sasarannya. Entah bagaimana tahu-tahu tangannya mengenai tempat kosong. Tapi dia cukup cekatan dan tegas bertindak.
Sebat sekali dengan sikut menutul tanah, berbarengan itu tangan kanannya sudah melolos golok. Sekali sinar golok berkelebat, dia babat putus joran panjang itu.
Sementara si raksasa sudah pentang ke dua tangannya,
siap menunggu di sebelah bawah. Begitu joran putus, orang dipucuk joran pasti akan jatuh terjungkal.
Begitu Yap Kay melayang turun, maka pasti dia terjatuh kecengkeraman tangan si raksasa. Siapapun jikalau terjatuh ke tangan si raksasa, jelas nasibnya tentu amat
mengenaskan. Untuk meremas remuk batok kepala orang,
hakikatnya lebih gampang dari anak-anak meremas kepala boneka tanah liat.
'Krak...' tahu-tahu joran itu putus dua. Orang-orang yang menonton di kejauhan malah sudah menjerit kaget dan
ngeri. Betul juga tampak badan Yap Kay sudah melayang
jatuh ke tengah-tengah kedua tangan si raksasa yang
terbuka lebar. Maka terdengarlah suara 'Blang...', seseorang terbanting jatuh dengan keras, dan terpental terbang dua sosok badan orang. Yang berdentam jatuh adalah si raksasa, sementara Yap Kay dan Song Lopan sama-sama melambung ke atas.
Ternyata begitu badannya melayang turun, lekas Yap Kay gunakan sikut dan sebelah dengkulnya menyodok dengan
telak ke dada si raksasa. Begitu si raksasa terpental roboh, dia meminjam tenaga daya pental sodokannya mencelat
terbang lagi. Tapi ternyata Song Lopan tidak tinggal diam, diapun
jejakkan kakinya ikut melesat mengejar. Sinar golok
bagaikan bianglala membabat ke pinggang Yap Kay.
Tak nyana pinggang Yap Kay bagai ular air, sekali meliuk dan mengegos, tahu-tahu tangan kirinya sudah
mencengkeram pergelangan tangan kanan Song Lopan.
Golok melayang jatuh menancap miring di atas kereta.
Mereka berduapun jatuh ke atas kereta. Bagasi kereta
memang sudah diterjang hancur oleh si raksasa, namun alas dasarnya masih utuh tidak kurang suatu apa, demikian pula tempat duduknya.
Dua orang sama-sama jatuh di atas tempat duduk, kedua
Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kuda yang menarik kereta menjadi kaget, serempak
keduanya meringkik panjang dan angkat langkah membedal pergi.
Kali ini tiada orang yang menarik dan menahan mereka.
Memang tiada orang mampu menahan mereka pula. Kusir
kereta sudah ketakutan dan sembunyi entah di mana. Dua ekor kuda yang ketakutan seketika mencongklang menarik kereta gundul tanpa kusir. Jalan raya penuh sesak, namun ke dua ekor kuda itu seperti kesetanan terus menerjang maju tanpa hiraukan orang-orang yang ada di tengah jalan, terus diterjangnya.
Kecuali orang gila, siapa lagi yang masih mampu
menghadang larinya kuda yang sudah kesetanan.
Di atas kereta Song Lopan menjatuhkan diri terus
menggelinding. Pikirnya hendak mencelat bangun, namun
sebuah tinju sudah menunggu di depan hidungnya. Baru saja dia meronta berduduk, matanya lantas ketumbuk tinju ini, selanjutnya hanya kunang-kunang di kegelapan saja yang dilihatnya. Kali ini dia benar-benar jatuh semaput.
Pelan-pelan Yap Kay menghela napas,. Perduli orang
macam apa sebenarnya Song Lopan ini, jelas dia bukan orang sembarangan. Bisa menyuruhnya rebah tak berkutik saja, juga bukannya kerja gampang.
Ke dua kuda itu masih membedal kencang, tiada maksud
Yap Kay untuk menahannya. Tapi tiba-tiba dia malah
melompat ke tempat duduk kusir, tali kendali dipegangnya seraya menggebah kuda supaya lari lebih cepat lagi.
Dia harus mengejar seseorang.
Waktu itu sudah lewat tengah hari.
Yap Kay masih belum menemukan Putala.
Apakah Putala yang hendak dia kejar"
ooo)dw(ooo Kota kuno sudah tentu mempunyai bentuk jalanan yang
kuno pula. Jalan raya di sini dilandasi oleh papan batu hijau, sempit dan miring.
Di sebelah depan ada sebuah kereta barang ditarik
keledai. Di atas kereta penuh bertumpuk kurungan ayam, di
dalam kurungan penuh ayam pula, agaknya ayam yang baru dibeli dari luar kota.
Yang pegang kendali adalah seorang kakek tua,
sementara yang memberi makanan ayam adalah seorang
nenek tua, kedua orang sudah sama-sama beruban.
Si nenek berjongkok di atas kereta, sedang memberi umpan kepada ayam yang baru dibelinya, pinggangnya sudah bungkuk dan tak bisa tegak lagi, demikian pula si kakek duduk di depan pegang kendali, mengayun cambukpun sudah tidak kuat lagi.
Setiap kota pasti ada penduduk yang makan ayam, malah
setiap hari entah berapa ayam yang menjadi kurban untuk mengenyangkan perut manusia. Kalau penduduk kota banyak yang makan ayam, sudah tentu ada penjual dan pembeli
ayam, kehidupan seperti ini adalah jamak.
Demikian pula kakek dan nenek ini kelihatannya tiada
menunjukkan sesuatu yang luar biasa. Tapi yang dikejar oleh Yap Kay kelihatannya justru mereka.
Melihat kereta mereka di sebelah depan, Yap Kay bedal
keretanya semakin kencang.
Si kakek berpaling ke belakang, sepasang matanya yang
semula guram seperti lamur, tiba-tiba bersinar terang.
Demikian pula si nenek yang kelihatan lemah, tiba-tiba menjinjing sebuah keranjang ayam seraya membentak,
tahu-tahu dia tuang ayam-ayam yang berada di dalam
kurungan. Besar kecil ayam jantan betina seketika beterbangan
seraya berkotek riuh rendah, anjing-anjing liar di sepanjang
jalanpun ikut memburu seraya menggonggong dengan
ramainya. Ayam terbang, anjing berlompatan, jalan raya yang biasanya ramai tenang itu mendadak gempar dan kacau balau.
Kedua kuda yang menarik kereta Yap Kay menjadi kaget
dan meringkik panjang sambil berjingkrak berdiri. Setelah Yap Kay berhasil mengendalikan serta memburu ke depan
pula, kereta keledai di depan itu sudah belok ke jalan lain dan menghilang.
Yap Kay tertawa dingin, mendadak dia jejak kaki,
badannya melambung naik ke atas rumah. Dia bertekat
betapapun kakek tua itu jangan sampai lolos dari
kejarannya. Kenapa dia mengejar kakek dan nenek"
Kenapa pula kedua orang ini melarikan diri"
ooo)dw(ooo Kereta keledai itu masih terus mencongklang dengan
kencang, ayam masih berkotek dengan ributnya, namun
bayangan kedua orang yang ada di atas kereta tahu-tahu sudah lenyap entah kemana.
Waktu itu kereta keledai lari di jalan samping yang
sempit, kereta kuda yang lebih besar pasti tidak akan bisa masuk kemari.
Jalan sempit ini sepi, tidak kelihatan bayangan seorang manusiapun, pintu-pintu rumah sepanjang jalan sempit ini semuanya tertutup rapat, pekarangan rumah-rumah itu
kosong tak kelihatan ada orang.
Lalu kemana dan cara bagaimana kakek dan nenek itu
mendadak bisa lenyap" Mereka sembunyi ke rumah siapa"
Sudah tentu Yap Kay tidak mungkin menggeledah setiap
rumah. Dia tetap mengejar kereta keledai yang masih lari kencang itu.
Setelah tiba di ujung jalan sempit ini, kereta tiba di sebuah tanah miring.
Kereta keledai itu tanpa ada orang yang mengendalikan, tapi keledai yang membawa lari kereta itu ternyata cukup cerdik membawanya lari setengah lingkaran dulu baru
menyusuri tanah miring itu menerjang ke bawah.
Mendadak Yap Kay kembangkan Ginkang-nya, sekali
lompat sejauh empat tombak, di tengah udara badannya
terapung meluncur lempang, sebelum badannya mencapai
kereta, di tengah udara dia bersalto. Sekali meluncur turun dan hinggap tepat di punggung keledai.
Setiba di tanah miring itu, lari keledai menjadi sedikit lambat, tapi Yap Kay duduk seenaknya di punggung keledai yang menarik kereta itu.
Mendadak dia tertawa, katanya: "Sebetulnya aku tidak mengenalmu, sayang sekali waktu kau datang amat
kebetulan sekali."
Dengan siapa dia bicara" Tiada lain di atas kereta,
kecuali ayam dan keledai.
Seorang laki-laki yang normal jelas takkan ajak keledai bicara.
Tapi Yap Kay melanjutkan kata-katanya: "Waktu kalian masuk kota, adalah saat-saat yang paling ribut tadi.
Sebetulnya aku tidak akan bisa melihat kalian."
"Sayang, waktu itu kebetulan aku lompat berdiri di atas joran."
"Tatkala itu, orang-orang yang memasuki pintu kota, bukan hanya kalian berdua saja. Sebetulnya umpama aku
melihat kalian, aku tetap tidak akan menaruh curiga."
"Sayang sekali keadaan kalian waktu itu justru berbeda sekali dengan orang lain."
Sampai di sini Yap Kay mengoceh, baru terdengar
seseorang menghela napas dari bawah kereta keledai.
"Dalam hal apa keadaan kami berbeda dengan orang
lain?" "Masa kau sendiri tidak tahu?" Yap Kay balas bertanya.
"Sedikitpun tidak tahu," orang di bawah kereta berkata,
"kurasa keadaan kita sedikitpun tidak menunjukkan keistimewaan atau keganjilan apa-apa."
"Mungkin! Tapi justru karena keadaan kalian tiada sesuatu yang menonjol dan berbeda dengan yang lain, maka kalian menjadi luar biasa."
Orang di bawah kereta tidak mengerti apa maksud
perkataan Yap Kay. Kecuali Yap Kay sendiri, mungkin orang lainpun takkan mengerti akan maksud perkataannya.
Oleh karena itu Yap Kay segera menambahkan: "Karena keadaan orang lain waktu itu luar biasa."
Waktu semua orang yang menyaksikan perkelahian itu
sama kaget dan terpesona, suasananya tegang, haru dan
bersemangat, umpama orang-orang yang baru datang dan
mau masuk kotapun takkan urung menoleh dengan mata
terbelalak mengawasi Yap Kay dan si raksasa berkelahi, dengan kaget dan takut-takut.
Akan tetapi kedua kakek dan nenek ini sebaliknya seperti tidak melihat apa-apa, acuh tak acuh seolah-olah tiada kejadian apa-apa, malah berpaling mukapun tidak.
Yap Kay berkata: "Kalian melirikpun tidak, karena sebelumnya kalian sudah tahu di tempat itu akan terjadi keonaran, lantaran keonaran itu pula sudah kalian
rencanakan sebelumnya untuk menutupi dan mengelabui
pandangan mata orang sehingga kalian bisa leluasa masuk kota."
Tak terdengar suara apapun dari bawah kereta.
Yap Kay pun tidak bersuara pula. Dengan pegang kendali dia perlambat lari kereta keledai itu.
Entah berapa lamanya kereta itu berjalan lambat-lambat, tiba-tiba orang di bawah itu berkata dengan tertawa dingin:
"Aku memang salah menilaimu, sungguh tak terduga olehku bahwa kau adalah orang demikian."
"Aku orang apa?" tanya Yap Kay.
"Orang yang harus mampus!"
Belum habis perkataan ini, keledai penarik kereta tiba-tiba meringkik kaget dan berjingkrak-jingkrak.
Yap Kay pun ikut melompat.
Di dalam waktu yang sama, dua orang menerobos keluar
dari bawah kereta.
Yang satu ke timur dan yang lain lari ke barat.
Gerak-gerik kedua orang sama cepat dan tangkas, jelas
kedua orang ini adalah si kakek dan si nenek yang tadi terbungkuk-bungkuk lemah seperti tak kuat berdiri.
(Bersambung ke Jilid-18)
Jilid-18 Yang dikejar Yap Kay adalah si kakek.
Ginkang kakek ini teramat tinggi, sampaipun Yap Kay,
sebetulnya belum tentu bisa mengejarnya.
Tapi gerak-gerik orang kelihatan sedikit kurang leluasa.
Mungkinkah karena sebelumnya sudah mengendap luka-
luka yang amat parah".
Apakah si kakek ini adalah penyamaran Hu-hong alias
Puncak Tunggal yang terluka oleh Payung Sengkala Kek Pin"
Kali ini Yap Kay tidak menggunakan pisaunya. Bila tidak saking terpaksa dia tidak akan mau menggunakan pisaunya karena pisaunya tidak khusus untuk membunuh.
Namun Yap Kay sendiripun tidak kalah cepat dan
tajamnya dari pisaunya itu. Pisau terbang.
Berurutan tiga kali lompatan turun naik berjarak, dia
sudah berhasil mengejar kakek tua itu. Sekali jejak kaki dan badan meluncur tinggi ke depan, terus bersalto sekali, waktu turun lagi dia sudah menghadang di depan si kakek.
Si kakek masih ingin menerjang ke jurusan lain, namun
entah kenapa badannya tiba-tiba seperti mengejang dan
bergemetaran, seakan-akan ada seutas cambuk yang tidak kelihatan melecut ke pundaknya dengan keras sekali.
Roman mukanya sudah dipoles dengan samaran bentuk
lain, sudah tentu tidak kelihatan bagaimana mimik
perasaannya saat itu. Tapi sorot matanya penuh diliputi derita dan kesakitan, amarah serta kebencian, laksana
tajam golok matanya menatap Yap Kay.
Ternyata kali ini Yap Kay tidak tertawa, diapun prihatin.
Mungkin dia ingin tertawa, namun tak bisa keluar tawanya.
Karena dia sudah kenal siapa orang yang menyamar jadi
kaek tua ini. "Jikalau kau belum terluka, aku terang takkan bisa menyandakmu," kata Yap Kay menghela napas, "memang kenyataan Ginkang-mu tiada bandingannya di seluruh dunia."
Terkepal kencang tinju si kakek, tanyanya: "Kau sudah mengenaliku?"
Yap Kay manggut-manggut, katanya muram: "Jangan lupa, sebetulnya kita kan kawan baik, teman kental."
Kakek tua menyeringai dingin, ejeknya: "Aku tidak punya teman seperti tampangmu."
Dia masih ingin mengepal tinjunya kencang-kencang,
membusungkan dada, sayang sekali badannya sudah
mengkeret dan lunglai saking menahan kesakitan. Sampai sorot matanya yang tajam tadipun mulai pudar. Umpama
kedua matanya itu memang seperti sebatang pisau, namun pisau yang sudah karatan.
"Luka-lukamu amat berat," kata Yap Kay.
Kakek itu kertak gigi, tidak bersuara.
Yap Kay menghela napas, katanya pula: "Setelah terluka parah, seharusnya tidak perlu kau merendam diri di dalam air panas."
Memang benar, dia sudah mengenali siapa kakek tua ini
sebenarnya. Kecuali Hwi-hou si Rase Terbang Nyo Thian, siapa pula yang memiliki Ginkang sehebat itu dan betul-betul membuat Yap Kay takluk"
Seseorang hendak menyembunyikan luka-luka di
badannya sendiri, ada tempat mana lagi yang lebih baik daripada berendam di dalam air panas"
Yap Kay berkata pula: "Tapi orang-orang Kang-ouw, siapapun takkan terhindar dari luka-luka, dan luka-luka itu bukannya sesuatu hal yang harus dibuat malu dan takut
diketahui orang lain. Kenapa kau mengelabui aku?"
"Karena.............." Nyo Thian tidak kuasa meneruskan kata-katanya.
Apakah karena dia tidak mampu memberi penjelasan"
Hakikatnya mulutnya tak kuasa membeber kedok aslinya
sendiri" "Kau mengelabui aku karena kau tentu mengira aku sudah tahu bila Hu-hong sudah terluka dan kau harus mengelabui aku lantaran kau adalah Putala Thian-ong alias Hu-hong si Puncak Tunggal dari Mo Kau."
Badan Nyo Thian mulai gemetar, namun sepatah katapun
tak kuasa dia katakan.
Apakah karena dia tahu hal yang dituduhkan atas dirinya tak mungkin di sangkal lagi"
Yap Kay menghela napas panjang, ujarnya: "Kepintaranmu selalu kukagumi. Oleh karena itu sungguh aku tidak habis mengerti, orang sepintar kau, kenapa justru sudi masuk anggota Mo Kau?"
Nyo Thian akhirnya mengeluarkan suara. Gelak tawa yang aneh dan tak bisa dilukiskan dengan rangkaian kata-kata.
Kekeh tawanya semakin keras, suaranya berkumandang
dan bergema di udara, anehnya badannya malah semakin
menyurut kecil, mengkeret menjadi kecil.
Di dalam waktu sekejap itu, seolah-olah dia sudah
berubah menjadi seorang kakek tua yang sebenarnya.
Begitu gelak tawa itu terputus dan berhenti, maka
badannyapun tersungkur roboh.
ooo)dw(ooo Sinar surya tetap cemerlang, namun Yap Kay sudah tidak merasakan kehangatan sinar surya lagi.
Sudah tentu Nyo Thian lebih tidak merasakan lagi. Dia
mati dengan gelak tawanya.
Seseorang bila menjelang ajal masih bisa tertawa,
sungguh bukan suatu hal yang gampang dilakukan. Akan
tetapi sebetulnya dia tiada alasan untuk tertawa.
Bila rahasia seseorang terbongkar dan ditelanjangi
secara terbuka, perduli dia masih hidup atau mau mati, jelas tidak akan bisa tertawa.
Lalu kenapa dia tertawa" Kenapa bisa tertawa"
Jari-jari Yap Kay terasa dingin, jidatnya basah oleh
keringat, keringat dingin. Terasakan olehnya di sela-sela gelak tawa Nyo Thian tadi, seolah-olah mengandung nada mengejek dan menghina yang aneh. Tapi dia tidak bisa
menyelaminya, apa maksud gelak tawanya"
Perduli apa maksudnya, sekarang sudah tiada makna dan
sudah tak berarti lagi, setelah orang mati, segala hak miliknyapun ikut lenyap, ikut kematiannya. Dan hanya satu hal saja yang dapat di bawa oleh orang mati, yaitu rahasia.
Apakah Nyo Thian pun membawa rahasia"
Orang mati kadang-kadang juga bisa bicara, cuma cara
bicaranya saja yang berlainan.
Apakah diapun bisa mengutarakan rahasianya ini"
Orang hidup bicara dengan mulut, lalu dengan apa orang mati harus bicara"
Menggunakan luka-lukanya.
Luka-luka itu sudah membusuk, yang mengalir keluar dari luka-lukanya adalah darah yang berbau dan berwarna hitam, namun luka-lukanya ini tidak besar.
Jikalau Yap Kay tidak menyaksikan sendiri, sungguh
takkan pernah dia mau percaya, luka-luka sebesar lubang jarum ini, ternyata bisa dan mampu merenggut jiwa si Rase Terbang Nyo Thian.
Angin menghembus dingin setajam pisau, namun suasana
sepi lengang. Pisau piranti membunuh bukankah juga tidak pernah
mengeluarkan suara"
Tapi suara yang didengar Yap Kay adalah langkah kaki
yang berlari-lari mendatangi tergopoh-gopoh. Dia tidak berpaling, karena dia tahu siapa yang tengah mendatangi.
Yang mendatangi adalah si nenek yang lari ke jurusan lain tadi.
Pakaian yang dipakainya sekarang sudah tentu bukan baju lengan panjang dan gaun ketat warna hitam itu. Roman
mukanya yang putih halus berbentuk bulat telur itu,
sekarang sudah berganti corak lain. Hanya sepasang
matanya saja yang tetap tidak berubah, sepasang mata nan sipit dinaungi alis lentik. Bila tertawa laksana gantolan yang mampu menggantol hati laki-laki.
Nyo Thian berada di depannya, di bawah kakinya, namun
melirikpun dia tidak kepadanya. Dia menatap kepada Yap Kay, seolah-olah dengan tatapan mata tua ini hendak
menggantol sukma Yap Kay.
Yap Kay menyingkap lengan baju sang korban lalu berdiri.
Lama sekali baru dia bersuara: "Dia sudah mati!"
"Aku dapat melihatnya."
"Apakah dia laki-lakimu?"
"Waktu dia masih hidup."
"Laki-lakimu sudah mati, perduli perempuan macam
apapun, sedikit banyak pasti sedih hati." Yap Kay kini balas menatapnya. "Tapi kulihat kau sedikit sedihpun tidak."
"Memang aku ini seorang janda. Dia bukan laki-lakiku yang pertama, bukan hanya dia seorang saja orang mati yang pernah kulihat." demikian ujar janda Ong, "peduli kejadian
apa, asal sudah biasa, maka hatipun takkan merasa duka lagi."
Walau dia menghela napas, namun siapapun yang
mendengar akan tahu di dalam helaan napasnya itu
sedikitpun tidak menandakan perasaan dukanya.
Yap Kay tidak bisa bicara apa-apa pula. Sedikitnya apa yang diucapkan memang benar, dan kata-kata yang benar itu biasanya sulit orang untuk mendebatnya.
Tiba-tiba janda Ong balik bertanya: "Kaukah yang
membunuhnya?"
"Tentunya kau sudah tahu bahwa dia sudah terluka."
"Tapi barusan dia masih segar bugar, kenapa sekarang tahu-tahu sudah mati?"
"Karena luka-lukanya tidak berat, namun racun yang mengendap di badannya terasa amat parah."
"Oh..", Janda Ong bersuara dalam mulut.
"Walau dia gunakan obat-obatan menekan dan kendalikan kadar racun itu sehingga tidak melebar, tapi karena dia lari tadi, dia harus gunakan tenaga, maka kadar racunnya lantas bekerja dan kumat."
Tiba-tiba janda Ong tertawa dingin, katanya: "Tahukah kau siapa dia sebenarnya?"
Sudah tentu Yap Kay tahu.
"Tahukah kau bukan saja si Rase Terbang Nyo Thian memiliki Ginkang tinggi, malah diapun memiliki kepandaian serba bisa."
"Mengobati luka-luka memunahkan racun adalah salah satu keahliannya."
"Tapi sekarang kau justru mengatakan dia mati
keracunan?"
"Dalam dunia ini masih ada semacam racun yang tak mungkin dia punahkan, maka kemungkinan saja dia mati
keracunan."
"Jadi bukan kau yang membunuhnya?"
"Selamanya aku tidak membunuh temanku sendiri."
"Apa benar dia temanmu?"
Yap Kay menghela napas, katanya muram: "Asal dia sehari pernah menjadi temanku, selamanya adalah temanku."
Berputar mata janda Ong, tiba-tiba dia merubah sikap,
Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
katanya tertawa genit: "Akupun pernah dengar bahwa kau adalah temannya."
"Memang dia temanku." ujar Yap Kay.
"Tapi akupun ada pernah dengar orang bilang sepatah kata."
"Perkataan apa?"
"Istri teman tak boleh dipermainkan untuk main-main setelah teman mati." Tawanya genit dan matanyapun jeli, bercahaya laksana rembulan. Katanya pula: "Kalau tidak salah, kaupun pernah mengatakan perkataan ini."
Yap Kay tertawa getir.
"Sekarang dia sudah meninggal, dan aku masih hidup segar bugar, kau....... " Janda Ong tidak melanjutkan perkataannya.
Yap Kay tahu apa maksud perkataannya. Asal laki-laki
tentu mengerti apa yang dimaksud.
Lama dia mengawasinya, tiba-tiba berkata: "Pernahkah kau melihat Han Tin?"
Sudah tentu janda Ong pernah melihatnya, katanya
dengan tertawa: "Bocah itu sebetulnya juga ada naksir kepadaku, sayang begitu melihat dia, aku lantas muak."
"Kenapa?"
"Karena hidungnya."
Yap Kay tertawa geli.
"Kelihatannya hidungnya itu mirip benar dengan terong yang busuk." kata janda Ong.
Yap Kay tersenyum, tanyanya: "Tahukah kau kenapa
hidungnya itu berubah begitu jelek?"
"Apakah dipukul orang?"
"Betul!"
"Kau tahu siapa yang memukulnya?"
"Bukan saja tahu, malah aku tahu jauh lebih jelas dari orang lain."
Janda Ong sudah mengerti, katanya tersenyum manis:
"Tentu kaulah yang memukulnya sampai pesek, benar tidak?"
"Benar!," ujar Yap Kay, "oleh karena itu, lebih baik kau lekas menyingkir, bawa jenazah laki-lakimu ini, kebumikan secara baik-baik."
Janda Ong merasa amat di luar dugaan, katanya: "Kau mengusirku" Kenapa?"
"Karena tanganku sedang gatal, kalau kau tidak lekas menyingkir, aku berani tanggung, cepat sekali hidungmu akan bisa ku rubah menjadi penyok seperti hidungnya Han Tin itu."
Seperti dikemplang muka janda Ong. Sesaat dia
kemekmek melongo, tanpa bicara lagi. Agaknya dia cukup tahu diri, tersipu-sipu dia angkat badan Nyo Thian terus menyingkir.
Setelah orang memasukkan jenazah Nyo Thian ke dalam
kereta dan mencongklangnya pergi, baru Yap Kay putar balik ke arah datangnya semula.
Langkahnya amat lambat. Di kala otaknya berpikir,
biasanya dia berjalan pelan-pelan.
Keluar dari gang sempit itu, akhirnya dia tiba di jalan besar, di depan masih berkerumun banyak orang,
mengerumuni sebuah kereta bobrok.
Song Lopan sudah mati di atas kereta, badannya hanya
dilubangi oleh luka-luka sebesar jarum. Luka-lukanya tepat di tengah-tengah kedua alisnya.
Yap Kay mendesak ke tengah kerumunan orang, sebentar
saja dia memeriksa, lalu mendesak keluar pula. Ternyata sedikitpun tidak terunjuk rasa kejut di mukanya, seakan-akan kejadia ini memang sudah berada dalam dugaannya.
Akhirnya dia melangkah balik ke Wan-ping-bun.
Raksasa itupun sudah mati, sama-sama hanya terluka
kecil sebesar jarum di tengah-tengah jidatnya. Luka-luka hanya sebesar jarum, namun si raksasa laksana menara ini mampu dibikinnya tak berkutik dan melayang jiwanya.
Orang-orang yang berkerumun menyaksikan kematian si
raksasa ini lebih banyak.
Baru saja Yap Kay hendak menyingkir diam-diam,
mendadak seseorang merenggut bajunya, katanya
menyeringai dingin: "Kau tidak lolos lagi."
ooo)dw(ooo Seseorang perduli pernah tidak melakukan perbuatan
tercela atau melanggar hukum, kalau mendadak dia
direnggut bajunya oleh seorang petugas hukum, seorang
opas, siapapun pasti akan terkejut.
Orang yang merenggut baju Yap Kay ini adalah seorang
opas yang memegang pentung pendek dengan topi beledru
yang diberi kuncir merah.
Dari samping ada orang yang berteriak: "Yang berkelahi dengan Song Lopan tadi memang dia........."
"Aku sudah tahu memang dia........."
Opas itu ganti memegang pergelangan tangan Yap Kay,
cara pegangnya menggunakan Siau-kim-na-jiu-hoat.
Kata opas tertawa dingin: "Kau menamatkan dua jiwa manusia, masih berani muncul lagi, tidak kecil ya nyalimu!"
Sudah tentu kalau mau Yap Kay gampang saja
membebaskan diri dari pegangan tangan orang. Menghadapi
ilmu Siau-kim-na-jiu-hoat yang ada 72 jalan itu, sedikitnya dia punya 144 macam cara untuk memecahkannya. Tapi dia tidak berbuat demikian. Dia mandah saja tangannya
dipegang. Bukan dia takut menghadapi opas ini, namun dia patuh dan menghormati petugas hukum ini.
Peduli opas ini manusia macam apa, dia tetap sama patuh dan menghormatinya, karena yang dia hormati bukan pribadi opas, namun adalah undang-undang hukum yang diwakili oleh si opas untuk ditegakkan pada jalan yang lurus dan benar.
Malah membela diri atau mungkir serta mendebatpun tidak.
Peristiwa serumit ini memang si opas takkan bisa
memberi pengertian. Tak mungkin orang paham meski kau
menjelaskan sampai ludahmu kering. Hakekatnya Yap Kay
memang tidak bisa memberi sangkalan atau penjelasan. Di tempat seramai inipun bukan letaknya untuk dia bicara.
Lekas sekali opas itu sudah mengurusnya naik ke sebuah kereta, bentaknya beringas: "Jiwa manusia menyangkut firman Thian, undang-undang kerajaan harus ditegakkan, umpama kau punya nyali setinggi langit, akupun tak usah kuatir kau takkan mengaku."
Yap Kay menurut saja digusur naik kereta. Setelah
kereta bergerak meluncur ke depan, tak tahan baru dia
bertanya: "Sebetulnya apa keinginanmu atas diriku?"
"Peduli apa, ku sekap kau lebih dulu."
"Lalu bagaimana?"
"Lalu kugunakan ayam muda membikin kaldu dicampur kolesom yang paling baik mutunya. Kubikinkan empat lima
macam hidangan untuk teman arak Cu-yap-ceng yang
kupanasi. Silahkan kau makan sekenyangmu."
Seketika bersinar kedua biji mata si opas, sorot mata
yang senang dan geli, suaranyapun berubah lembut dan halus laksana hembusan angin sepoi-sepoi di musim semi.
Yap Kay menghela napas, katanya getir: "Sekarang
terhitung aku sudah mengerti, kiranya kau hendak
melolohku sampai mati."
ooo)dw(ooo Tim ayam yang disedu dengan kolesom masih
mengepulkan uap hangat. Enam masakan mengiring makan
adalah sepiring daging kepala babi goreng, sepiring saos udang, sepiring ayam Pauhi, sepiring rebung goreng masak Haysom, semangkok sop telur burung dan sepiring sosis babi dicampur tiram goreng. Di samping itu ada pula sebungkus kacang kulit. Cu-yap-ceng ternyata sudah dihangatkan pula.
Bagi orang-orang daerah utara minum arak memang ada
seninya. Bukan saja arak kuning harus diseduh baru
diminum, demikian pula Cu-yap-ceng yang disuguhkan inipun menirukan cara yang berseni itu.
Tiga cangkir arak masuk perut, seketika pertempuran
sengit di malam hari, luka-luka kecil yang mengeluarkan darah kental hitam, seakan-akan sudah terlupakan sama
sekali oleh Yap Kay.
Siangkwan Siau-sian mengawasinya sambil bertopang
dagu di seberang meja, katanya tertawa lebar: "Untuk meloloh kau sampai mati, agaknya bukan soal gampang."
Yap Kay tidak bersuara, mulutnya tidak sempat
menjawab. "Walau cepat sekali kau melalap hidangan ini, namun arak sedikit yang kau minum."
Dengan ujung matanya Yap Kay melirik orang, katanya:
"Sebetulnya kau hendak melolohku mati dengan arak ini atau ingin aku menghabiskan hidanganmu sampai perutku
pecah?" "Sebetulnya aku ingin membuatmu kaget sampai mati,"
kata Siangkwan Siau-sian, "jelas kau tahu bahwa orang-orang di sekitar kejadian itu sama tahu bahwa barusan kau bertengkar dan berkelahi dengan Song Lopan dan si
raksasa, ternyata kau masih berani putar kayun di tempat itu. Kiranya nyalimu memang keliwat besar."
"Kau kuatir aku dikenali orang dan ditangkap serta diserahkan kepada opas?"
"Bagaimana juga daripada terlibat banyak urusan lebih baik kau menghindarinya, kenapa harus mencari kesulitan?"
"Oleh karena itu kau lantas menyibukkan diri menyamar jadi opas pura-pura membekukku?"
"Sebetulnya aku sendiripun rada takut."
"Apa yang kau takutkan?"
"Aku takut bila kesamplok dengan opas yang sungguhan."
Yap Kay menghela napas, katanya: "Tak kukira, ada juga sesuatu dalam dunia ini yang masih ditakuti Siangkwan
Pangcu." "Memangnya kau kira hanya satu hal itu belaka yang selalu kutakuti?" ujar Siangkwan Siau-sian menghela napas.
"Apa lagi yang kau takuti?"
"Yang jelas akupun takut kepada Yap Pangcu."
"Yap Pangcu?"
"Siapakah Yap Pangcu dari Hoa-seng-pang, masakah kau sudah melupakannya?"
Yap Kay tertawa besar, segera dia angkat cangkirnya
terus tenggak secangkir penuh. Tiba-tiba dia bertanya:
"Menurut pendapatmu, Hoa-seng (kacang) lebih baik atau Kim-ci (uang emas) lebih baik?"
"Aku tidak tahu," sahut Siangkwan Siau-sian, "yang jelas uang seketip cukup untuk membeli banyak kacang."
"Tapi sifat kacang itu sendiri sedikitnya ada yang lebih baik dari uang emas."
"Dalam hal apa kacang lebih baik dari uang emas?"
"Kacang boleh dimakan."
Yap Kay menguliti sebutir kacang, terus dilempar ke atas dan dicaplok mulutnya waktu melayang jatuh. Pelan-pelan dikunyahnya, lalu meneguk araknya pula. Katanya: "Jikalau kau bisa mengiring arak dengan uang emasmu, baru aku
betul-betul tunduk dan mengakui kau memang hebat."
"Apa yang kau katakan selalu rasanya memang masuk di akal."
"Sudah tentu, memangnya harus disangsikan?"
"Sayang kau melupakan satu hal," ujar Siangkwan Siau-sian, "tanpa uang, tiada arak, tak bisa makan kacang."
Sekilas Yap Kay berpikir, akhirnya dia mengakui: "Apa yang kau katakan kedengarannya juga bukannya tidak
beralasan."
"Sudah tentu," ujar Siangkwan Siau-sian senang.
"Tapi kaupun melupakan satu hal." ujar Yap Kay, "belum cukup kalau punya uang saja, uang emas itu sendiri belum tentu bisa membikin hidup manusia gembira."
Tanpa pikir Siangkwan Siau-sian lantas mengakui: "Oleh karena itu selama ini aku sedang berusaha mencarinya."
"Mencari apa?"
Siangkwan Siau-sian menatapnya, matanya nan indah
selembut alunan air, katanya: "Mencari sesuatu yang benar-benar bisa membuat hatiku gembira."
Dingin suara Yap Kay: "Kecuali uang emas, apa pula yang ada dalam dunia ini bisa membuatmu gembira?"
"Hanya satu saja."
"Apakah itu?"
"Kacang!"
Yap Kay terloroh-loroh. Kembali dia membuka sebutir
kacang, serta berkata tertawa: "Kau kembali melupakan satu hal, bahwa uang emas dan kacang hakikatnya bukan
pasangan yang setimpal."
"Bukankah paku dan palu juga bukannya pasangan
setimpal?"
Yap Kay mengakui dan sepandangan.
"Tapi bilamana mereka berada bersama, semuanya sama-sama senang."
"Sama-sama senang?"
Siangkwan Siau-sian manggut-manggut.
"Karena tanpa palu, paku itu tidak akan berguna, tiada paku, palu itu sendiripun tidak bisa menunjukkan
manfaatnya." dengan tersenyum dia menambahkan: "Jikalau seorang tidak bisa mengembangkan bakat dan manfaat
dirinya bagi orang banyak, itu berarti barang rongsokan yang tak berguna lagi. Bukankah barang buangan takkan bisa senang?"
Yap Kay setuju dan dapat menerima perumpamaan ini.
"Oleh karena itu mereka hanya bersatu padu baru bisa sama-sama senang."
Sorot matanya memandang tajam, meneliti mimik muka
Yap Kay. Yap Kay malah melengos menghindari tatapan orang. Dia
menyingkir dari kenyataan"
Siangkwan Siau-sian meneruskan: "Aku tahu dalam
hatimu pasti juga sudah mengerti, bahwa apa yang ku
utarakan seratus persen memang beralasan."
Yap Kay tidak bisa menyangkal.
"Sekarang Tolka, Putala dan Panjapana sudah mati, tiga di antara Su-toa-thian-ong sudah mati. Walaupun
rongsokan-rongsokan itu belum seluruhnya dihancurkan,
tetap takkan berguna lagi."
Kerlingan matanya selembut alunan ombak, kembali
berubah setajam paku yang menancap di ulu hati orang. Tapi dia bukannya paku, dia hanyalah sebuah palu.
"Kalau Mo Kau sudah runtuh, di seluruh jagat raya ini, aliran atau golongan mana yang bisa berdiri menandingi kebesaran kita?"
"Kita?" seru Yap Kay melengak.
"Ya, kita!" ujar Siangkwan Siau-sian. Diapun tidak tertawa.
"Sekarang Kim-ci ditambah Hoa-seng, yang dilambangkan di dalam simbol persatuan ini bukan hanya kesenangannya saja."
Yap Kay tengah mengunyah kacang. Kacang biasanya
dikunyah orang, sebaliknya kalau paku selalu di palu. Akan tetapi bilamana tiada manusia mengunyah, tetap kacang itu akan membusuk juga, kalau tiada orang yang memalu, paku itu sendiripun akhirnya bisa karatan.
Lalu apakah nilai kehidupan itu" Bukankah kacang
memang harus dikunyah oleh orang" Demikian pula bukankah paku pasti harus di palu bila dimanfaatkan manusia" Lalu kehidupan atau manfaat mereka baru bisa berguna secara nyata.
Agaknya hati Yap Kay sudah tergerak dan mulai terbujuk.
Halus lembut suara Siangkwan Siau-sian: "Aku tahu di dalam benakmu pasi beranggapan bahwa aku menginginkan
kau menjadi paku."
"Memangnya kau tidak berpikir demikian?" tanya Yap Kay.
"Kau tentu bisa melihatnya, bahwa aku bukan sebuah palu yang menakutkan." kata Siangkwan Siau-sian seraya mengulur tangan mengenggam tangan Yap Kay.
Tangannya halus lembut laksana sutra.
Yap Kay menghela napas, katanya: "Kau memang bukan, sayang sekali........."
"Sayang sekali, di antara kacang dan uang emas itu, masih ada sebuah kelintingan?"
Yap Kay hanya menyengir kecut.
"Ting Hun-pin memang seorang gadis yang baik sekali, jikalau aku ini laki-laki, akupun akan mencintainya."
"Tapi kau bukan laki-laki."
"Sedikitnya aku tidak membenci dia."
"Apa benar?"
Siangkwan Siau-sian tertawa-tawa, katanya tawar:
"Jikalau aku membenci dia, kenapa aku membawa kau untuk menemui dia?"
"Lalu kenapa?" tanya Yap Kay menatap muka orang.
"Karena aku sekarang sudah mengerti, laki-laki seperti dirimu, bukan hanya seorang perempuan saja yang boleh
memilikinya, kau tidak bisa di monopoli seorang perempuan, aku sendiri sudah tiada pengharapan seperti itu."
Tatapannya lebih manis, aleman, katanya pula merdu:
"Uang emas bisa digembleng jadi sebuah kelinting, kelinting
itupun bisa dipukul gepeng menjadi besi, lalu kenapa aku tidak bisa berubah menjadi satu orang sama dia?"
Yap Kay tetap menyingkir dari tatapan mata orang.
"Umpama kata, kau dapat memandangku sama dia menjadi satu orang, kita pasti bisa memperoleh kesenangan, kalau tidak.....?"
"Kalau tidak bagaimana?" tanya Yap Kay tak tertahan.
"Kalau tidak Kim-ci (Uang emas), Hoa-seng (Kacang) dan Ling-tang (Kelinting) bukan mustahil akhirnya akan sama-sama menderita dan hidup merana sepanjang umurnya."
Akhirnya Yap Kay berpaling mengawasinya.
ooo)dw(ooo Hari sudah mendekati magrib.
Matahari sudah sampai di garis cakrawala, pelan-pelan
tapi pasti, sinarnya sudah tidak lagi dapat menembus tabir gelapnya malam yang turun pelahan-lahan, tetapi pasti akan menelan bumi. Dan sinar surya terakhir kali masih menyinari daun jendela itu, memancarkan cahaya kuning nan guram
mirip sinar lampu yang terpasang di dalam rumah, hangat laksana di musim semi.
Kerlingan mata Siangkwan Siau-sian justru lebih hangat dan cemerlang dari cahaya surya terakhir menjelang senja ini. Mungkin musim semi adalah dia yang membawanya dtang.
Seorang perempuan yang bisa membawa datangnya musim
semi, bukankah merupakan impian bagi setiap laki-laki yang merindukannya"
Siangkwan Siau-sian menggigit bibir, katanya:
"Gelagatnya belum pernah kau memandangku seperti kali ini."
"Aku....."
"Kau jarang mengawasi aku, maka kau belum jelas
mengetahui hakikatnya perempuan macam apa aku ini, dan justru karena kau belum tahu perempuan macam apa
sebetulnya aku ini, maka kau jarang mau melihati diriku."
Yap Kay mengakui kebenaran ini.
Kerlingan lembut mata Siangkwan Siau-sian kelihatan
muram dan syahdu, katanya: "Aku tahu kau pasti
beranggapan bahwa aku ini perempuan yang paling
sembarangan, punya dan sering bergaul dengan banyak laki-laki, yang benar.....yang benar, kelak kau akan tahu
sendiri....."
"Tahu apa?", tanya Yap Kay
Tertunduk kepala Siangkwan Siau-sian, katanya lirih:
"Kelak kau akan tahu, kau bukan saja adalah laki-lakiku yang pertama, juga laki-lakiku yang terakhir."
Ini jelas bukan membual, seorang perempuan yang pintar, jelas tidak akan sudi membual karena bualannya itu
sembarangan waktu mungkin saja terbongkar. Hal ini
sekaligus membuktikan bahwa dia memang betul-betul
seorang gadis yang cerdik.
Hati Yap Kay yang kukuh keras itu seakan-akan sudah
luluh, tanpa sadar dia menggenggam kencang tangannya,
katanya halus: "Tak perlu menunggu sampai kelam, sekarang juga aku sudah percaya."
Bercahaya mata Siangkwan Siau-sian, segera dia
berjingkrak berdiri serunya: "Hayolah, kita cari
kelintingan."
"Dia..."
"Bahwa dia tahu menyembunyikan diri ke sini, pastilah kesadarannya belum lenyap seluruhnya, asal kita merawat dan mengasuhnya dengan baik dan hati-hati, dia pasti akan lekas sembuh."
Terunjuk rasa terima kasih pada pandangan mata Yap
Kay, kelihatannya selama ini dia memang belum menyelami jiwa gadis ini sesungguhnya.
"Tadi, waktu aku keluar, dia sudah tidur lagi, aku suruh Han Tin menunggu dan melindunginya."
"Si gurdi itu?"
"Asal kau bisa menggunakannya, gurdipun banyak
manfaatnya."
"Kau sudah bisa mempercayai dia?"
"Dia bukan laki-laki baik, tapi aku sudah yakin, dia pasti tidak akan berani berbuat sesuatu yang mendurhakai
diriku." Tempat di mana mereka minum arak, sudah tentu berada
di Leng-hiang-wan juga, maka cepat sekali merekapun bisa sampai ke tempat Ting Hun-pin.
Melewati pintu di pojok tembok sana, mereka memasuki
Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pekarangan di mana Ting Hun-pin menempati sebuah kamar.
Senjapun menjelang.
Suasana dalam pekarangan tenteram, tenang dan damai.
Pintu hanya dirapatkan saja, lampu belum di sulut di dalam kamar.
Melewati pekarangan kecil yang lengang itu, mereka tiba di depan pintu. Baru sekarang Siangkwan Siau-sian
melepaskan tangan Yap Kay.
Bukan saja dia lembut, diapun prihatin dan telaten
meladeni. Lelaki selalu haru dan bisa tunduk karena
perempuan yang telaten meladeni.
"Dia tentu masih tidur nyenyak."
"Bisa tidur adalah keberuntungannya."
Siangkwan Siau-sian tersenyum. Pelan-pelan dia
mendorong daun pintu, Yap Kay ikut masuk di belakangnya, namun belum lagi kakinya melangkah ke kamar, tiba-tiba terasa olehnya badan Siangkwan Siau-sian berhenti dan
kaku mengejang.
ooo)dw(ooo Di dalam rumahpun sunyi lengang, tenang dan tenteram,
kehangatan sinar surya masih terasakan di pojokan rumah sana, namun orang yang sebetulnya ada di rumah sudah
tidak kelihatan lagi.
Ting Hun-pin hilang, demikian pula Han Tin lenyap.
Dengan terbelalak kaget Siangkwan Siau-sian mendelong
mengawasi ranjang yang kosong. Saking gugup air matapun sudah bercucuran membasahi pipinya.
Yap Kay malah lebih tenang dan tabah, dengan kalem dia menyulut lampu, lalu bertanya: "Kau menyuruh Han Tin menjaga di sini?"
Siangkwan Siau-sian manggut-manggut.
"Mungkinkah dia meninggalkan tempat ini?"
"Tidak mungkin! Aku berpesan wanti-wanti kepadanya, tanpa perintahku, dia tidak akan berani meninggalkan ini barang satu langkahpun."
"Kau yakin benar?"
"Dia tidak akan berani menentang kehendakku. Dia masih ingin hidup."
"Tapi kenyataan sekarang dia tidak berada di sini."
Pucat muka Siangkwan Siau-sian, ujarnya: "Kukira pasti ada sebabnya, pasti ada........."
"Menurut pendapatmu, karena apa dia pergi dari sini?"
Siangkwan Siau-sian tidak menjawab, dia tidak bisa
memberi jawaban.
"Bukan saja dia pergi, malah diapun menggondol Ting Hun-pin, dia.............."
"Ting Hun-pin pasti bukan dia yang membawa pergi."
tukas Siangkwan Siau-sian.
"Kau berani memastikan?"
Siangkwan Siau-sian manggut-manggut.
Dia memang bukan orang yang berani berkeputusan
secara serampangan, analisa dan putusannya biasanya amat tepat.
"Pukulan batin dan rasa kagetnya terlalu berat, oleh karena itu hatinya selalu diliputi ketegangan, sekali-kali tidak boleh mengalami sedikit pukulan lahir batin lagi."
"Menurut pendapatmu, apa pula yang terjadi si ini, sehingga dia kaget, maka mendadak dia melarikan diri."
"Tentunya begitulah kejadiannya."
"Kalau dia melarikan diri, sudah tentu Han Tin harus mengejarnya."
"Oleh karena itu mereka berdua tidak berada di sini pula."
"Di kala dia pergi mengejar, kenapa tidak meninggalkan sesuatu tanda, supoaya kita bisa ikut mengejar menurut petunjuknya."
"Pasti mengejar secara mendadak dan tergopoh-gopoh, di dalam waktu sesingkat itu tidak sempat lagi untuk
meninggalkan sesuatu petunjuk."
Yap Kay hanya menghela napas saja, tidak bertanya lebih lanjut. Biasanya memang dia bukan orang yang selalu panik dan kebingungan sendiri setiap menghadapi persoalan,
selamanya dia tetap tenang dan tabah menghadapi peristiwa segenting apapun. Semakin besar tekanan dan peristiwa
yang dia hadapi, semakin tabah dan mantap hatinya.
Kata Siangkwan Siau-sian menggigit bibir: "Kalau dia pergi mengejar, perduli kucandak atau tidak, akhirnya pasti akan kembali memberi kabar."
"Ya!", kata Yap Kay.
"Sekarang umpama kita mau keluar mencarinya, juga tidak tahu kemana harus menemukan dia." demikian dia mengoceh sendirian "Oleh karena itu sementara kita hanya bisa menunggu saja di sini, menanti kabar."
Yap Kay tetap tenang-tenang seraya bersuara dalam
mulut. Siangkwan Siau-sian mengawasinya, akhirnya dia sendiri tidak sabar lagi, tanyanya: "Kelihatannya kau sendiri malah tidak gugup?"
"Buat apa gugup, apa gunanya gugup?"
"Tidak ada gunanya?"
"Kalau tiada gunanya, kenapa aku harus gugup."
Kedengaran jawaban Yap Kay acuh tak acuh dan wajar,
namun air mukanyapun sudah tidak seperti biasanya. Pelan-pelan dia duduk di pinggir ranjang setelah ada tempat buat duduk. Kenapa dia tidak merebahkan diri" Dan akhirnya
memang dia merebahkan diri di atas ranjang.
Sebaliknya saking gelisah dan gugup Siangkwan Siau-sian tidak betah lagi duduk di kursinya, katanya mengerut alis:
"Tempat ini terlalu dingin, lebih baik kita........."
Belum habis dia bicara, tiba-tiba Yap Kay berjingkrak
bangun, seolah-olah dia terbacok golok saking kagetnya.
Kebetulan dia menghadap ke arah lampu, tampak mimik
mukanya seperti diiris pisau.
Selamanya belum pernah Siangkwan Siau-sian melihat
mimik orang yang begitu kaget dan ketakutan. Sesaat dia melongo dengan jantung berdebar-debar, tanyanya
memberanikan diri: "Ada apa?"
Yap Kay tidak bersuara, seakan-akan tenggorokannya
sudah mengejang kaku sampai mulutnya tak kuasa
terpentang lagi, sehingga suaranyapun tak bisa keluar.
Lekas Siangkwan Siau-sian maju menghampiri. Begitu dia tiba di depan ranjang, wajahnya nan cantik jelita seketika berubah hebat. Berbareng hidungnya mencium sesuatu bau yang aneh, bau yang memualkan dan bisa bikin orang
muntah-muntah. Bau anyirnya darah.
Mereka tiada yang terluka dan mengeluarkan darah, lalu darimana datangnya bau amis ini"
Cari punya cari akhirnya ketemu, bau amis itu keluar dari bawah ranjang.
Darimana datangnya bau amis itu, kok bisa berada di
bawah ranjang" Memangnya di bawah ranjang ada orang
mati" Lalu siapakah yang mati di bawah ranjang?"
Ranjang dipan itu tidak terlalu besar, sekali angkat
dengan gampang segera tersingkap. Beberapa pertanyaan
itu lekas sekali sudah terjawab. Namun Yap Kay tidak
mengulurkan tangan, lengannya kaku, jari-jarinya
mengejang, sungguh dia tiada keberanian untuk mengangkat ranjang ini.
Jikalau benar ada mayat di bawah ranjang, maka yang
mati pasti adalah Ting Hun-pin.
Sementara itu Siangkwan Siau-sian sudah ulurkan tangan.
Memang benar di bawah ranjang ada sesosok mayat.
Belum lama dia mati karena darah masih mengalir dan belum kering.
Ternyata yang mati bukan Ting Hun-pin, namun Han Tin.
ooo)dw(ooo Yap Kay melongo, Siangkwan Siau-sian terkejut dan
menjublek. Bagaimana mungkin yang mati malah Han Tin"
Yap Kay tidak mengira, Siangkwan Siau-sian tidak habis mengerti.
Bahwa kenyataan Han Tin sudah mati di sini, lalu dimana Ting Hun-pin"
Pelan-pelan Siangkwan Siau-sian menurunkan ranjang,
pelan-pelan putar badan melangkah lambat-lambat ke
jendela serta mendorongnya membuka.
Di luar jendela tabir malam hitam pekat, tanpa belas
kasihan dia sudah menelan bumi bulat-bulat.
Menghadapi tabir malam yang tidak kenal kasihan ini,
lama Siangkwan Siau-sian menepekur. Setelah menghirup
napas segar, baru dia bersuara pula: "Ternyata dia membunuh Han Tin lebih dulu, baru melarikan diri."
"Kau kira diakah yang membunuh Han Tin?"
"Kau kira bukan dia yang membunuhnya?"
"Pasti bukan!"
"Kau bisa membuktikannya?"
"Ilmu silat banyak ragamnya, yang paling menakutkan dan paling manjur justru hanya satu."
"Satu yang mana?"
"Hanya ilmu silat piranti membunuh baru betul-betul kepandaian silat yang paling manjur."
Siangkwan Siau-sian manggut-manggut, dia dapat
menerima pendapat ini. Diapun tahu banyak orang memiliki sifat tinggi hati, namun dia tidak bisa membunuh dan takut berani membunuh orang.
"Di dalam ilmu kepandaian untuk membunuh orang, jelas sekali Ting Hun-pin terpaut jauh dibanding Han Tin, dia bukan tandingan Han Tin."
"Oleh karena itu kau berani memastikan bahwa kematian Han Tin bukan karena Ting Hun-pin yang membunuhnya."
"Ya, pasti bukan!"
"Tapi sekarang Ting Hun-pin sudah pergi, Han Tin
kenyataan sudah mati di sini."
Inilah kenyataan, siapapun takkan bisa mendebat dan
menumbangkan kenyataan.
"Jikalau bukan Ting Hun-pin yang membunuhnya" Lalu siapakah yang membunuhnya?"
Memang tidak banyak tokoh-tokoh silat yang mampu
membunuh Han Tin, apalagi kecuali Ting Hun-pin, tiada
orang lain di dalam rumah ini.
"Jikalau dia tidak mati, pasti tidak akan membiarkan Ting Hun-pin pergi, memangnya ada orang membunuhnya lebih
dahulu baru menggondol pergi Ting Hun-pin?", Siangkwan Siau-sian mengutarakan pikirannya.
Siapa yang mampu menjawab pertanyaan ini"
Yap Kay bergerak ke arah jendela yang lain, diapun
mendorong daun jendela. Lain jendelanya, namun tabir
malam di luar jendela sama-sama gelap pekat, sama-sama dingin dan sama-sama tidak kenal kasihan.
Lama dia berdiri menjublek tanpa bergeming sedikitpun, sorot matanya segelap tabir malam yang menelan bumi di luar jendela.
Siangkwan Siau-sian tertunduk dan termangu-mangu,
akhirnya dia menghela napas, katanya: "Tadi seharusnya tidak pantas kuajukan pertanyaanku."
Yap Kay diam saja.
"Satu hal yang paling penting sekarang adalah selekasnya berusaha menemukan Ting Hun-pin, dia.........."
"Tidak perlu mencarinya," tiba-tiba Yap Kay menukas kata-katanya.
Siangkwan Siau-sian melengak keheranan, selamanya tak
pernah terpikir olehnya bahwa Yap Kay bakal mengeluarkan perkataan ini. Tak tahan dia berpaling serta mengawasinya dengan kaget.
"Maksudmu, kita tidak perlu mencarinya?"
"Ya, tidak perlu."
"Kenapa tidak mencarinya?"
"Kalau sudah ada orang yang tahu di mana dia sekarang berada, kenapa susah-susah mencarinya?"
"Siapa yang tahu dimana sekarang dia berada?"
"Kau!"
Siangkwan Siau-sian semakin kaget, serunya: "Maksudmu, bahwa aku tahu di mana dia berada?"
"Sudah kukatakan dengan jelas, kau sendiripun
mendengar dengan terang."
Terbeliak mata Siangkwan Siau-sian mengawasi Yap Kay,
tidak bergerak, tidak bersuara, seperti terlongong.
Yap Kay berkata: "Tiga dari Su-toa-thian-ong Mo Kau memang sudah mati, namun Hu-hong si Puncak Tunggal
sendiri belum mati."
"Nyo Thian belum mati maksudmu?"
"Nyo Thian bukan Hu-hong, juga bukan Lu Di."
"Apakah Nyo Thian tidak terluka?"
"Dia memang terluka, cukup parah malah, tapi orang yang terluka belum tentu pasti Hu-hong."
Memang, bola itu bundar, tapi belum tentu setiap benda bundar pasti bola.
"Jikalau dia bukan Hu-hong karena tidak berani
memberitahu kepadamu kalau dia terluka, kenapa dia
mengelabui kau?"
"Karena diapun menyangka aku adalah budakmu, dikiranya aku sudah masuk Kim-ci-pang."
Siangkwan Siau-sian tiba-tiba menghela napas, ujarnya:
"Apa yang kau katakan, sepatah katapun aku tidak
mengerti."
"Kau harus mengerti, dan hanya kau saja yang mengerti."
"Kenapa?"
"Karena orang yang turun tangan melukai dia adalah kau."
"Jikalau aku tidak memahami dirimu, pasti mengira kau sedang mabuk."
"Selamanya belum pernah aku berpikiran sejernih dan sesadar sekarang."
"Nyo Thian sebetulnya adalah pembantuku, kenapa aku turun tangan melukai dia?"
"Karena dia hendak membunuhmu lebih dulu."
Siangkwan Siau-sian tertawa, tawanya mirip sekali
dengan senyuman Yap Kay dikala dia kehabisan akal bersikap apa boleh buat.
Namun kali ini justru Yap Kay tidak tertawa. Sikap dan mukanya kini selamanya tak pernah seserius seperti
sekarang ini. Dengan muka sungguh-sungguh, dia berkata:
"Sudah lama dia punya niat hendak membunuhmu, namun tiada kesempatan, terpaksa dia mencoba membunuhmu
dengan menyerempet bahaya."
"Membunuh secara gelap?"
Yap Kay manggut-manggut, katanya: "Mungkin dia menilai rendah ilmu silatmu, mungkin secara tidak sengaja dia
menemukan dirimu terluka, maka dia berkeputusan
menggunakan kesempatan ini untuk mencoba menyerempet
bahaya." Siangkwan Siau-sian diam saja, dia sedang pasang kuping.
Dia tidak mendebat, seakan-akan dia anggap persoalan ini tidak perlu dia debat meski secara langsung menyangkut dirinya.
"Di kala dia berkeputusan turun tangan, tentunya terjadi pada malam tanggal satu yaitu malam tahun baru."
Siangkwan Siau-sian tertawa, katanya: "Jikalau hendak membunuh seseorang secara diam-diam, malam tahun baru
memang waktu yang tepat dan paling baik."
"Waktu dia pergi membunuh, sudah tentu mengenakan kedok muka."
"Sudah tentu!" ujar Siangkwan Siau-sian.
Memang siapapun yang hendak jadi pembunuh secara
diam-diam, pasti menutupi mukanya dengan secarik kain
atau sapu tangan. Memangnya siapa yang sudi kebongkar
kedok aslinya"
"Semula dia kira rencananya sudah matang, maka
keyakinannya terlalu besar. Tak tahunya kepandaian ilmu silatmu jauh lebih tinggi dari apa yang dia bayangkan, oleh karena itu bukan saja dia tidak berhasil, malah dia kena kau lukai."
"Untuk membunuh aku, memang bukan suatu hal yang
gampang." "Tapi, kaupun agak menilai rendah dia."
"Apanya yang kunilai rendah?"
"Ginkangnya teramat tinggi, walau tidak tercapai
keinginannya membunuhmu, dia tetap masih bisa melarikan diri."
"Hendak menangkap seekor rase yang bisa terbang,
sudah tentu bukan kerja yang mudah."
"Kau kira dia sudah tersambit jarummu yang beracun, umpama bisa melarikan diri, pasti takkan bisa lari jauh.
Siapa tahu dia ada memiliki obat mujarab yang khusus untuk mengobati macam-macam racun, ternyata obatnya itu
sementara dapat mempertahankan jiwanya."
"Tapi asal aku bisa mencari tahu siapa-siapa yang terluka, aku akan segera tahu siapakah pembunuh gelap itu."
"Oleh karena itulah dia mengelabui aku, tidak berani memperlihatkan luka-lukanya kepadaku."
"Pasti dia menyangka akulah yang mengutusmu untuk menyelidiki siapakah pembunuh itu."
"Sudah tentu dia tidak pernah menyangka bahwa kau sudah tahu bahwa pembunuhnya adalah dia."
"Darimana aku tahu?"
"Dia kira janda Ong itu sudah tunduk lahir batin dan patuh kepadanya, dia kira janda Ong bisa menyimpan
rahasianya, tak nyana......"
"Tak nyana janda Ong justru memberitahu rahasia ini kepadaku."
"Betapapun cerdik pandainya laki-laki, bukan mustahil bila akhirnya dia jatuh karena dijual dan dikhianati oleh perempuan."
"Mungkin lantaran kaum laki-laki umumnya selalu
menyangka perempuan adalah kaum lemah, perempuan
semuanya bodoh."
Yap Kay manggut dan sependapat.
"Kalau aku sudah tahu bahwa dia itulah pembunuhnya, kenapa tidak kubunuh dia?"
"Karena untuk membunuh orang yang kau incar, biasanya kau suka meminjam tangan orang lain."
"Bisa meminjam senjata orang lain untuk membunuh
seseorang yang diincarnya, memang suatu hal yang
menggembirakan."
"Kalau kau gembira, sebaliknya aku tidak senang."
"Kenapa?"
"Karena kali ini yang ingin kau pinjam adalah pisauku."
"Aku ingin meminjam pisaumu untuk membunuh Nyo
Thian?" "Hu-hong terluka, aku sedang mencari Hu-hong,
kebetulan Nyo Thian pun terluka, malah dia tidak berani memberitahu tentang luka-lukanya itu kepadaku, soal lain tak ubahnya seperti satu tambah satu ditambah lagi satu, sudah tentu menjadi tiga."
"Oleh karena itu aku berpendapat bilamana kau bisa menemukan Nyo Thian, pasti bisa mengira bahwa dia itulah Hu-hong."
"Semula aku sendiripun hampir menyangka bahwa dia itulah Hu-hong."
"Penjelasanmu yang panjang lebar ini kedengarannya masuk di akal, sayang kau melupakan satu hal."
"Satu hal apa?"
"Untuk membunuh orang pasti ada sebab musababnya.
Untuk membunuhku, sudah tentu harus mempunyai alasan
yang baik, karena siapapun harus tahu bahwa apa yang harus dia kerjakan bukanlah suatu kerja yang mudah."
Yap Kay membenarkan.
Memang bukan soal gampang untuk membunuh Siangkwan
Siau-sian. "Nyo Thian cukup tahu akan keadaan diriku, terhadapnya akupun cukup baik, kenapa dia berani menyerempet bahaya hendak membunuhku?"
"Akupun cukup mengenal watak dan karakternya, dia memiliki ambisi yang terlalu besar, karena ambisinya itulah maka dia mau masuk ke Kim-ci-pang."
Untuk pendapat Yap Kay ini, Siangkwan Siau-sian dapat
menerimanya. "Semakin mendalam dan tinggi kedudukannya, semakin jelas mengetahui betapa besar kekuatan Kim-ci-pang, maka semakin besar pula ambisinya."
"Sayang sekali sehari aku masih hidup, untuk selamanya ambisinya itu tidak akan terlaksana."
"Oleh karena itu, betapapun besar bahaya yang harus dia hadapi, akhirnya dia nekad untuk membunuh juga."
Ambisi memang tak ubahnya seperti air bah, begitu
Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melanda, pasti takkan ada orang yang mampu
mengendalikannya, sampaipun diri sendiri, takkan bisa
menekan keinginan hati sendiri.
(Bersambung ke Jilid-19)
Jilid-19 TAMAT Oleh karena itu bukan saja ambisi ini bisa menghancurkan orang lain, sekaligus ambisi itupun bisa menghancurkan diri sendiri.
Malah sering terjadi sebelum kau bisa menghancurkan
orang lain, kau sendiri sudah hancur lebur.
Akan tetapi bila seseorang sedikitpun tidak mempunyai
ambisi, bukankah hidupnya akan tawar, tiada artinya lagi"
Bukankah ini merupakan salah satu tragedi yang
mengenaskan pada kehidupan manusia"
Siangkwan Siau-sian menghela napas, katanya: "Sekarang analisamu seakan-akan sudah mendekati kesempurnaannya."
"Tapi belum sempurna seluruhnya."
"O, jadi kau sendiripun tahu?"
"Apa yang ku tahu, mungkin jauh lebih banyak dari apa yang kau duga."
"Sampai sejauh mana kau sudah mengetahuinya?"
"Sekarang analisaku masih terdapat beberapa
kekurangan."
"Coba kau katakan."
"Sejak lama Nyo Thian ragu-ragu untuk turun tangan membunuhmu, kenapa mendadak dia mempunyai
keberanian?"
"Itulah yang pertama."
"Yang kutunggu sebetulnya adalah Hu-hong si Puncak Tunggal, kenapa kebetulan diapun masuk ke kota pada waktu yang sama?"
"Itulah yang ke dua."
"Jikalau Nyo Thian bukan Hu-hong" Lalu siapakah Hu-hong sebenarnya?"
"Inilah yang ke tiga."
"Jikalau Hu-hong tidak berjanji lebih dulu dengan Tolka untuk bertemu di Wan-ping-bun, darimana mungkin surat
berdarah itu bisa berada di badan Tolka?"
"Itulah yang ke empat."
"Bak Kiu-sing sebenarnya adalah seorang pengasingan, kenapa begitu tiba di Tiang-an lantas bisa menemukan jejak Tolka?"
"Inilah yang ke lima."
"Kalau Bak Kiu-sing setiap hari biasa makan Ngo-tok, bagaimana mungkin segampang itu mati keracunan?"
"Inilah yang ke enam."
"Goh-cu sebenarnya orang di luar kalangan dalam
persoalan ini, kenapa mendadak diapun menjadi korban
secara konyol?"
"Sekarang analisamu agaknya terdapat tujuh
kekurangan."
"Ya, hanya tujuh kekurangan saja."
"Analisa siapapun andaikata dia seorang kritikus, bila terdapat tujuh titik kekurangan, maka analisanya itu
hakikatnya tidak boleh diterima."
"Tapi lain lagi dengan analisaku, analisaku justru bisa diterima secara logis."
"Apanya yang logis?"
"Karena aku bisa menjelaskan satu persatu ke tujuh kekuranganku itu."
"Nah, sekarang coba kau jelaskan satu persatu."
"Kalau kekurangannya ada tujuh titik persoalan, namun jawabannya justru hanya ada satu, cukup asal kuterangkan dengan dua buah kalimat saja."
"Aku sedang mendengarkan."
"Hu-hong adalah kau, demikian pula Bak Kiu-sing adalah duplikatmu."
Siangkwan Siau-sian tertawa lebar.
Jikalau kau menyukai seseorang, dan sering menemuinya, ciri-ciri kekurangannya pasti akan menular kepadamu.
Naga-naganya Siangkwan Siau-sian sudah ketularan akan
kebiasaan Yap Kay, di kala dia kepepet dan tak bisa berbuat apa-apa, maka setiap menghadapi persoalan yang rumit dan bahaya yang mengancam, diapun bisa tertawa, cuma tawanya sudah tentu lebih manis dibanding Yap Kay.
Berkata Yap Kay lebih lanjut: "Justru kau ini adalah Hu-hong, maka Nyo Thian berani turun tangan, karena
belakangan dia tahu bila kau sudah terluka."
"Inilah penjelasan pertama, kedengarannya memang
masuk akal."
"Dan karena kau adalah Hu-hong, maka kau jadikan Nyo Thian sebagai kambing hitammu."
"Inipun bisa diterima dengan pikiran sehat."
"Hanya kau yang tahu bahwa Lu Di adalah Tolka, dan hanya kau saja yang bisa mengundangnya bertemu di Cu-lim-si."
"Oleh karena itu, Bak Kiu-sing pun adalah aku?"
"Sengaja kau tempatkan sembilan bintang di mukamu, sejak mula tidak mau menurunkan topi rumputmu, karena
betapapun lihay tata riasmu, kau tetap kuatir kukenali."
"Akan tetapi kenapa aku harus menyaru menjadi Bak Kiu-sing?"
"Karena kau ingin membunuh Tolka."
"Aku ingin membunuhnya" Kenapa mengundangmu juga ke sana?"
"Karena kau ingin supaya aku melihat dengan mata
kepalaku sendiri akan kematian Tolka yang mati di tangan Bak Kiu-sing." sampai di sini Yap Kay merandek menelan ludah, lanjutnya: "Kemungkinan sekali Tolka memang sudah tahu bahwa yang menyaru menjadi Bak Kiu-sing adalah kau.
Oleh karena itu jurus serangan yang mematikan terakhir itu tidak dia lancarkan sesungguh hati, tak nyana kau justru memanfaatkan kesempatan ini untuk membunuhnya."
Siangkwan Siau-sian diam, dia pasang kuping
mendengarkan. "Yang benar, kalian memang sengaja bermain sandiwara untuk ku tonton, sebelumnya Tolka sudah berintrik dengan kau untuk memerankan lakonnya itu, sampaipun dialog kalian waktu itupun sebelumnya sudah dirangkai sedemikian rupa olehmu sebagai sutradaranya."
"Kenapa dia harus ikut memerankan lakon dalam
sandiwara ini?"
"Karena tujuan dari permainan sandiwara ini adalah untuk membunuhku, oleh karena itu sengaja dia wanti-wanti janji kepadaku, melarang aku turun tangan dengan pisau
terbangku, supaya kau mempunyai kesempatan
membunuhku."
"Tapi aku tidak membunuhmu."
"Kau tidak membunuhku, karena benar-benar yang harus dibunuh bukan aku, tapi adalah Tolka, sampai matipun dia tidak pernah sangka bahwa akhir dari permainan sandiwara itu berubah seratus delapan puluh derajat, lebih celaka lagi karena dia sendiri yang menjadi korban malah."
Membayangkan mimik muka Tolka yang kelihatan kaget,
heran, menderita serta mendelik penasaran itu, tak urung Yap Kay menghela napas, katanya: "Kematiannya sungguh penasaran."
"Kau kasihan kepadanya?"
"Aku hanya kasihan akan kematiannya."
"Setiap orang akhirnya kan harus mati, matinyapun penasaran, lantaran dia memang seorang yang bodoh."
"Dia bodoh?"
"Bodoh banyak ragamnya, congkak dan sombong,
bukankah merupakan salah satu penyebabnya?"
Yap Kay tak kuasa mendebat.
Congkak dan sombong merupakan suatu kebodohan, malah
kemungkinan merupakan salah satu penyebab yang paling
berat akibatnya.
"Tapi aku tidak bodoh, sekarang aku akhirnya mengerti juga akan maksudmu."
"Memang kau harus mengerti."
"Maksudmu bahwa setelah aku menyaru jadi Bak Kiu-sing lalu menemui Tolka dan mengundangnya untuk bertemu di
Cu-lim-si serta membuat rencana untuk membunuhmu,
belakangan malah dia sendiri yang menjadi korban."
"Kedengarannya memang terlalu mustahil, namun rencana itu amat berhasil."
"Mungkin lantaran terlalu luar biasa, maka hasilnyapun memuaskan sekali."
"Surat berdarah sudah tentu juga merupakan salah satu dari rencana itu."
"Bagaimana bisa?"
"Sudah tentu Nyo Thian sendiri sudah tahu cepat atau lambat rahasia dirinya pasti bisa diketahui orang, maka dia berkeputusan untuk melarikan diri."
"kekuatan Kim-ci-pang dengan kaki tangannya tersebar di seluruh pelosok dunia, kemana dia bisa melarikan diri?"
"Dia sudah pernah mengalami sekali pelajaran, maka langkah geraknya kali ini sudah tentu harus amat hati-hati, oleh karena itu setelah pilih pergi datang, akhirnya dia memilih suatu tepat yang terang tidak pernah kau duga."
"Tempat apa?"
"Kota Tiang-an."
"Di sini adalah kota Tiang-an."
"Dia sudah memperhitungkan dengan tepat bahwa kau pasti mengira dia sudah lari ke tempat jauh, oleh karena itu dia justru mencari tempat yang paling dekat."
Siangkwan Siau-sian manggut-manggut bahwa pilihan
tempat untuk menyembunyikan diri ini memang tepat.
Yap Kay berkata: "Sayang sekali dia tuturkan rencananya ini kepada janda Ong."
"Tidak mungkin dia tidak memberi tahu kepada janda Ong. Seorang yang telah terluka parah ingin melarikan diri, dia harus dan memerlukan bantuan orang lain."
"Dia memberitahu kepada janda Ong, secara tidak
langsung berarti memberitahu kepadamu."
"Setelah aku tahu rencananya untuk melarikan diri, lalu aku memalsu surat berdarah itu."
"Kaupun sudah perhitungkan dengan tepat, begitu aku membaca surat berdarah itu, pasti akan menunggu di Wanping-bun."
"Lalu bagaimana surat berdarah itu bisa berada di badan Lu Di?"
"Surat berdarah memangnya tidak berada di tangan Lu Di, Goh-cu lah yang sengaja mengantarnya."
"Jadi Goh-cu juga ikut sekongkol di dalam peristiwa ini?"
"Oleh karena itu pula maka kau membunuh dia untuk menutup mulutnya. Semua orang yang tersangkut paut
dengan peristiwa ini semuanya kau bunuh supaya tidak
membocorkan rahasia ini."
"Bagaimana dengan Song Lopan dan si raksasa itu?"
"Mereka adalah teman baik Nyo Thian, melihat aku ada di Wan-ping-bun, sengaja merekapun bermain sandiwara,
maksudnya untuk melindungi Nyo Thian masuk kota.
Bagaimana Nyo Thian bisa terluka, sudah tentu merekapun tahu jelas."
"Sudah tentu kau tidak boleh tahu akan rahasia ini, maka akupun membunuh mereka untuk menutup mulutnya."
"Aku sudah menduga kau akan bertindak demikian, maka sedikitpun aku tidak jadi heran akan kematian mereka."
"Kalau demikian tidak sedikit orang yang telah kubunuh."
"Memang tidak sedikit!"
"Malahan mungkin aku bisa membunuh diriku sendiri."
ujar Siangkwan Siau-sian menghela napas, "jikalau aku adalah Bak Kiu-sing, bukankah aku sudah membunuhku
sendiri?" "Bak Kiu-sing yang mati bukan dirimu."
"Hah, bukan aku?"
"Kau tahu tentunya aku takkan ada selera menemani kau makan hidangan semacam itu, maka sebelumnya kau sudah
mempersiapkan orang lain untuk kau jadikan kambing hitam.
Begitu aku pergi, kau lantas membunuhnya dengan racun."
"Karena begitu Bak Kiu-sing mati, peristiwa ini takkan terbongkar oleh siapapun yang bisa jadi saksi."
"Memang, rencana itu teramat teliti dan baik sekali."
"Juga merupakan suatu cerita yang menarik."
"Akupun mengharap ini hanya sebuah cerita saja."
Siangkwan Siau-sian seperti kaget, serunya: "Apakah ini bukan cerita?"
"Kejadian yang kebetulan di dalam peristiwa ini terlalu banyak, dan hanya kejadian yang sesungguhnya saja baru bisa terjadi 'kebetulan' seperti itu."
"Apakah kejadian yang sesungguhnya jauh lebih aneh dan ceritanya menakjubkan?"
"Biasanya memang demikian."
"Mendengar ceritamu, aku sendiri sampai percaya bahwa kejadian itu memang peristiwa sesungguhnya." Tawa Siangkwan Siau-sian masih manis dan murni, bukan tawa
palsu yang dibuat-buat, "tapi kalau rencanaku itu sempurna dan terperinci ketat sekali, cara bagaimana dapat kau
ketahui?" "Betapapun sempurna sesuatu, pasti ada lubang
kelemahannya."
"Demikian pula rencana itu?"
"Tujuh kekurangan yang terdapat di dalam analisaku itu, justru merupakan kelemahan pula di dalam rencanamu itu."
"O," Siangkwan Siau-sian manggut-manggut.
"Karena jikalau kau bukan Hu-hong si Puncak Tunggal, jelas tidak akan terjadi semua kebetulan itu."
"Sekarang kau yakin semua itu pasti benar?"
"Setelah aku memeriksa semua luka-luka mereka, baru aku berani memastikan seluruhnya."
"Mereka" Siapa yang kau maksud dengan mereka?"
"Nyo Thian, Song Lopan, si raksasa dan Goh-cu.
Sebenarnya mereka adalah orang-orang yang tiada sangkut pautnya satu sama lain, sebetulnya tidak mungkin mereka mati di tangan seorang dalam keadaan yang sama, luka-luka yang mematikan di badan mereka satu sama lain tidak
berbeda." "Ya, sungguh kebetulan sekali."
"Kebetulan itu juga merupakan lubang kelemahan."
"Oleh karena itu, bukan saja aku ini Kim-ci-pang Pangcu, aku pula salah satu dari Su-toa-thian-ong dari Mo Kau."
"Kau adalah Hu-hong?"
"Jangan lupa Mo Kau dan Kim-ci-pang merupakan musuh yang tidak mau hidup berdampingan."
"Aku tidak melupakannya."
"Kalau demikian mana mungkin Kim-ci-pang Pangcu sudi menjadi anggota Mo Kau?"
"Karena Kim-ci-pang Pangcu ini seorang pandai, maka dia tahu menghancurkan dan memberantas habis musuh, secara kekerasan dengan kekuatan bukanlah suatu cara yang baik."
"Lalu cara apa yang boleh dikata paling baik?"
"Menundukkan nya serta merangkulnya dan memperalat dia. Gunakan kekuatan musuh menjadi alat kepentingan diri sendiri."
"Cara ini memang baik sekali."
"Akan tetapi struktur pengurusan Mo Kau yang besar lingkupnya terlalu rahasia, kekuatannya terlalu besar dan luas, sudah berakar lagi. Untuk menundukkan dan
merangkulnya hanya ada satu cara."
"Cara apa?"
"Menjadi Mo Kau Kaucu."
"Untuk menjadi Mo Kau Kaucu, maka harus menjadi
anggota Mo Kau lebih dulu."
"Oleh karena itu maka kau sudah menjadi orang Mo Kau."
"Sejak Kaucu tua dari Mo Kau meninggal, kekuasaan di dalam Mo Kau lantas tersebar berada di tangan Su-toa-thian-ong yang saling membagi rata, siapapun tiada yang sudi memilih Kaucu baru, karena itu berarti menyerahkan kembali kekuasaan yang berada di tangannya sendiri."
"Tapi jikalau tiga di antara Su-toa-thian-ong itu sudah mati?"
"Kalau demikian sisa satu yang ketinggalan hidup.
Umpama tidak mau jadi Kaucu pun tak mungkin lagi."
"Sayang sekali orang-orang seperti Tolka itu sebetulnya mereka tidak seharusnya mati begitu cepat."
"Sudah tentu."
"Sudah tentu kau sendiri tidak mungkin turun tangan menghadapi mereka secara terang-terangan."
"Di dalam setiap melaksanakan pekerjaan, biasanya aku tidak suka menyerempet bahaya."
"Kemungkinan sekali sampai mereka mati, masih belum tahu bahwa Pangcu dari Kim-ci-pang adalah kau."
"Mimpipun mereka tidak pernah menduga."
"Oleh karena itu hanya dengan satu cara saja kau dapat membunuh mereka."
"Coba kau katakan pakai cara apa yang paling baik?"
"Meminjam senjata orang lain."
"Betul!", seru Siangkwan Siau-sian tepuk tangan, "untuk membunuh orang-orang seperti mereka harus tangan orang lain, malah harus pinjam pisau orang yang luar biasa."
"Tapi kau juga tahu, walau pisauku cepat, namun jarang membunuh orang."
"Oleh karena itu aku terpaksa memeras keringat
mengatur tipu daya menggunakan akal yang putar-putar."
"Tentunya mimpipun kau sendiri tidak pernah menyangka, akhirnya ada seseorang yang berhasil membongkar rahasia dan menelanjangi kedokmu."
"Aku.......terhadapmu aku benar-benar suci atau palsu"
Memangnya sedikitpun kau tidak bisa merasakannya?"
Sorot matanya yang jeli bening kembali menampilkan
perasaan sedih pilu dan rawan.
Sebetulnya tulen atau palsukah perasaannya"
Kembali Yap Kay melengos, menghindari bentrokan
tatapan mata. Perduli tulen atau palsu, sekarang sudah tidak penting lagi.
Akhirnya Yap Kay pun menghela napas panjang, katanya:
"Waktu aku datang, sebetulnya aku masih belum ingin menelanjangi kedokmu."
"Kenapa?"
"Karena......."
"Apakah karena kau kurang tega?"
Yap Kay menyengir tawa.
Dia tidak bisa menyangkal. Bukannya dia tidak tahu dan tidak bisa merasakan cinta orang terhadap dirinya.
"Bukan saja kau tidak tega, kaupun tidak berani." ujar Siangkwan Siau-sian.
"Tidak berani" Kenapa?"
"Karena sedikitpun kau tidak punya bukti-bukti yang nyata, hanya mengandalkan analisa dan rekaan saja belum bisa menjatuhkan hukuman dosa kepada seseorang."
Yap Kay tidak bisa menyangkal.
"Tapi begitu Ting Hun-pin mengalami sesuatu, kau lantas panik dan nekad." sorot matanya yang sedih kini berubah
jadi jelas, "sebetulnya apakah yang pernah dia lakukan untukmu sehingga kau sudi rela bersikap setia terhadapnya begitu rupa" Dalam hal apa pula aku bukan bandingannya?"
Yap Kay tidak memberi tanggapan.
Siangkwan Siau-sian menyeringai sinis, katanya mencibir bibir: "Di mana-mana dia menimbulkan keonaran, membuat banyak kesulitan, malah menusuk pisau ke dadamu sehingga kau hampir mati, di waktu tak bersama kau, seharipun dia tidak sabar menunggu, terus tergesa-gesa ingin kawin
dengan orang lain, belum cukup sekali, dalam satu malam sudi merelakan diri kawin dengan dua orang laki-laki,
perempuan seperti ini di dalam hal apa kebaikannya
sehingga kau patut dan sudi berkorban demi dirinya?"
"Aku sendiripun tidak habis pikir."
"Lalu kau........"
"Aku hanya tahu," tukas Yap Kay, "umpama dia hendak membunuhku pula sepuluh kali, lalu menikah sekaligus
dengan 10 laki-laki, aku akan tetap bersikap demikian
terhadapnya."
"Kenapa?"
"Karena aku tahu, terhadapku cintanya suci dan murni.
Aku percaya kepadanya."
Siangkwan Siau-sian sudah berjingkrak berdiri, namun
pelan-pelan dia duduk pula. Waktu dia duduk tidak lagi sebagai perempuan yang terlalu hanyut oleh emosinya yang lemah. Waktu dia berdiri perasaannya seolah-olah sudah remuk redam, namun begitu dia terduduk kembali, dia sudah
berubah sedingin puncak gunung es, tajam dan runcing,
laksana sebatang golok dari Pangcu Kim-ci-pang.
Mungkin perempuan itu memang sering berubah, hanya
perubahan yang terjadi pada gadis yang satu ini mungkin jauh lebih cepat dari orang lain, atau mungkin pula dia tidak berubah, yang berubah hanyalah kedok samarannya belaka.
"Sekarang masih ada omongan apa lagi yang ingin kau katakan?", kata Yap Kay.
"Tiada lagi!"
"Tapi aku masih ada satu hal yang belum ku mengerti."
"Boleh kau tanyakan."
"Memang sedikit buktipun aku tidak punya, semua hal yang ku tuduhkan tadi sebenarnya boleh saja kau sangkal atau tolak."
"Akupun tidak perlu menyangkal."
"Kenapa?"
"Karena bukan saja aku ini Pangcu dari Kim-ci-pang, aku pula Mo Kau Kaucu. Bukan saja aku sudah menguasai dan
menggenggam dua pang dan aliran agama yang terbesar di seluruh jagat ini, akupun menggenggam jiwa Ting Hun-pin.
Perduli aku mengakui atau menyangkal, kau tetap harus
tunduk kepada setiap perintahku."
Yap Kay benar-benar terlongong. Dia mendadak sadar
bahwa dirinya memang tidak punya akal sehat dan cara
apapun untuk melawan atau menghadapi gadis jelita yang satu ini, sedikitpun tidak mampu berbuat apa-apa.
Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Masih ada omongan apa pula yang ingin kau katakan?", Siangkwan Siau-sian balas bertanya.
Memang Yap Kay sudah tidak habis pikir dan tiada
omongan yang perlu dibicarakan lagi.
"Ting Hun-pin sekarang masih hidup, kau pingin dia tetap hidup?"
"Sudah tentu pingin."
"Kalau begitu apa yang kukatakan kau harus mematuhi dan menurut, setiap patah kataku harus kau perhatikan
dengan baik."
Tapi Yap Kay tak perlu mendengar dan tidak usah
memperhatikan, karena mendadak dia sudah mendengar
suara orang lain.
"Apa yang dia katakan, sepatah katapun tak usah kau dengar, karena dia sebenarnya sedang mengentut!"
Suara ini keluar dari bawah ranjang. Jelas di bawah
ranjang tadi hanya ada satu mayat orang.
Orang mati masakah bisa bicara"
Siangkwan Siau-sian adalah gadis yang teramat cerdik
pandai, demikian pula Yap Kay, namun merekapun tidak tahu menahu apa sebenarnya yang sedang terjadi.
Bilamana sesuatu hal tidak sampai mereka ketahui,
memangnya orang mana yang bisa memecahkan teka-teki
ini" Jelas hanya ada satu mayat di bawah ranjang, hal ini
sudah mereka buktikan waktu mereka mengangkat ranjang
itu memeriksanya, kini ranjang ini kembali terangkat naik
dan dipindah ke samping, tapi bukan Siangkwan Siau-sian atau Yap Kay yang mengangkat. Ranjang itu diangkat dan dipindah oleh seseorang dari bawah.
Seketika hati Siangkwan Siau-sian tersirap, jantungnya seketika dingin seperti tenggelam dalam air.
Orang yang barusan bicara jelas adalah suaranya Ting
Hun-pin. Dia kena betul suara Ting Hun-pin. Tapi bagaimana mungkin Ting Hun-pin bisa muncul dari bawah ranjang" Han Tin yang sudah mati dan mayatnya sudah dingin, kenapa kok tiba-tiba berubah menjadi Ting Hun-pin yang hidup segar"
Siangkwan Siau-sian geleng-geleng kepala, otaknya
serasa tumpul, namun tetap dia tidak bisa memberi jawaban.
Yap Kay juga tidak mengerti.
Jikalau mereka berdua tidak bisa memecahkan teka-teki
suatu persoalan, memangnya siapa orang di dunia ini yang bisa menyimpulkan jawabannya.
Hanya ada satu orang saja, yaitu Ting Hun-pin sendiri.
Hakekatnya Ting Hun-pin tidak gila benar-benar. Orang
yang pandai bersandiwara dan pura-pura menjadi gila, pikun atau linglung bukan hanya Siangkwan Siau-sian saja, kini Ting Hun-pin membuktikan bahwa diapun bisa.
"Apa yang kau bisa, akupun bisa," kata Ting Hun-pin setelah keluar dari bawah ranjang.
Mengawasi Siangkwan Siau-sian, sorot matanya menyala
terang bergairah.
"Kau bisa menipu orang, akupun bisa. Kau pandai
membunuh orang, akupun tidak kalah pintarnya."
"Kau suruh Han Tin kemari untuk membunuhku, lalu
berdaya supaya Siau Yap menyangka aku mati karena gila."
"Kau pasti tidak menduga bahwa aku yang membunuh
dia." "Kau bisa menaruh obat bius di dalam bubur ayamku, akupun bisa menaruh racun di dalam arak yang dia minum."
"Sudah tentu dia tidak akan berjaga-jaga dan waspada terhadap perempuan yang sudah gila, seperti juga kita
waktu menghadapi dulu tanpa pernah berpikir untuk hatihati dan mengawasimu."
"Jadi cara ini aku mempelajari dari kau."
"Han Tin yang asli kini masih rebah di bawah kolong ranjangku, kali ini tak perlu diragukan akan kematiannya."
"Di waktu aku menyembunyikan mayatnya ke bawah
ranjang, baru aku temukan pintu rahasia dari lubang kamar di bawah tanah, kamar bawah tanah untuk menyimpan arak."
"Ternyata seluruh simpanan arak di Leng-hiang-wan ada disimpan di dalam kamar bawah tanah ini, oleh karena itu, hari itu kami mencari sebotol arakpun tidak bisa
mendapatkannya."
"Aku tahu kalian pasti akan kembali, maka aku lantas sembunyi di kamar bawah tanah, namun mayat Han Tin ku
letakkan di luar."
"Sudah kuperhitungkan dengan tepat begitu kau melihat mayat Han Tin pasti amat terkejut, pasti tidak akan
memperhatikan bahwa di sebelahnya ada pintu rahasia yang menembus ke kamar di bawah tanah. Aku masih ingin
mendengar apa yang kalian percakapkan di sebelah atas, ingin aku melihat apakah dia betul-betul dapat kau tipu dan memincutnya pergi."
Mengawasi Yap Kay, biji matanya penuh diliputi rasa
bahagia dan kemenangan yang cemerlang, katanya lembut:
"Sebetulnya akupun sudah tahu, kali ini kau pasti tidak akan kena ditipunya lagi, ternyata kau tidak membikin aku
kecewa." Kata-katanya sederhana.
Betapapun berbelitnya suatu persoalan, setelah
dijelaskan dan tertembus segala rintangan, kau pasti akan mendapatkan persoalan itu hakikatnya tidak serumit dan sesukar yang kau pikirkan sebelumnya.
Memang banyak persoalan dalam dunia ini terjadi seperti itu.
Siangkwan Siau-sian terus mendengarkan tanpa memberi
komentar, mukanya yang pucat pasi sedikitpun tidak
menunjukkan perasaan hatinya.
Setelah Ting Hun-pin mengoceh panjang lebar, baru
pelan-pelan dia angkat kedua tangannya, diletakkan di atas meja.
Tangan putih yang semula berjari-jari runcing halus
lembut itu, kini tiba-tiba berubah sekeras logam. Lampu berada di atas meja di depannya.
Tampak kedua tangannya itu mengkilap mengkilau
ditingkah sinar lampu. Bukan tangannya bercahaya, namun sebuah tangan yang putih bening laksana es batu berkaca yang keras tajam terbuat dari logam.
Malam hari itu, waktu berada di belakang tembok rendah di hotel Hong-ping, yang terlihat oleh Ting Hun-pin adalah tangan ini.
Yang pernah dilihat oleh Cui Giok-tin yang sembunyi di belakang tembokpun adalah kedua tangan ini.
"Inilah Kim-kong-put-hoay Toa-siu-sin-jiu yang
didongengkan orang secara luas."
Yap Kay manggut-manggut.
"Semula aku mempersiapkan diri untuk menghadapi Lu Di dan Kwe Ting."
"Aku bisa menebaknya."
"Sayang mereka bikin aku kecewa."
Bahwasanya kedua orang ini tidak memberi kesempatan
kepadanya untuk menjajal dengan senjatanya ini yang
ampuh. Terbuka lebar dan teracung kedua telapak tangannya itu.
Tampak di telapak tangannya ada beberapa batang jarum
hitam legam yang lebih kecil dari jarum jahit biasa.
"Inilah Toa-siu-hun-ciam yang bisa naik ke langit menembus bumi."
Yap Kay manggut-manggut pula dengan melongo.
"Nyo Thian dan empat orang lainnya semua mampus oleh jarum ini."
"Aku sudah memeriksanya."
"Bwe-hoa-ciam milik Bwe-hoa-to dulu sudah cukup
menggetarkan nyali setiap insan persilatan."
"Aku pernah mendengarnya."
"Tapi aku berani tanggung, jarumku yang ini pasti jauh lebih lihay, hebat dan menakutkan dari Bwe-hoa-ciam itu."
Yap Kay menghela napas, ujarnya: "Jarum yang kau latih dan kau persiapkan ini tentunya khusus akan kau gunakan di waktu menghadapi aku."
Siangkwan Siau-sian mengakui.
"Mana pisaumu?" tanyanya dengan menatap Yap Kay.
"Ada di sini," sahut Yap Kay.
"Di mana?"
Yap Kay tidak menjawab.
Di langit dan di bumi tiada seorangpun yang tahu di mana pisau terbangnya di simpan, juga tiada orang pernah tahu cara bagaimana dia menyambitkan pisaunya itu.
Sebelum ditimpukkan, siapapun tiada yang pernah
membayangkan betapa cepat dan besar kekuatannya.
Khalayak ramai hanya tahu satu hal, pisau itu pasti berada di mana dia harus berada.
Siangkwan Siau-sian berkata pelan-pelan: "Aku tahu di manapun pisaumu bisa berada dan tiada sesuatu yang tidak mungkin dicapai olehnya."
Untuk ini Yap Kay tidak perlu merendahkan diri. Hal itu memang kenyataan, karena meski pisau itu miliknya, walau berada di badannya, namun kehebatan, kemurnian serta
kebesaran dari pisau itu tergantung dan berada pada diri orang lain.
Seseorang yang digdaya, perkasa dan sakti mandraguna.
Entah di langit atau di bumi, jelas takkan ada orang lain yang bisa menempati kedudukannya ini sama tinggi dan jaya.
Apalagi jikalau tidak bisa menyelami dan memahami
kebesaran kekuatan dan semangatnya, jelas takkan mungkin bisa cukup diri untuk melepaskan pisau sakti yang bisa mengejutkan dan menggetarkan bumi.
Pisau Terbang Li kecil.
ooo)dw(ooo Pisau terbang itu belum dikeluarkan, namun semangat
kebesaran pisau itu sudah terasa.
Ini bukan hawa membunuh, namun jauh lebih menakutkan
dan menciutkan nyali orang daripada hawa yang
menggetarkan sanubarinya setiap insan persilatan.
Pelan-pelan tapi pasti kelopak mata Siangkwan Siau-sian mulai mengkeret memicing, katanya: "Pisaumu dapat berada di manapun dan bisa mencapai ke sasaran mana juga,
demikian pula jarumku."
"Jarummu bagaimana?"
"Selamanya kaupun takkan bisa membayangkan darimana arah datangnya jarumku, terutama tidak bisa kau jajaki cara bagaimana jarum-jarumku itu dilepaskan."
"Aku tidak akan berpikir dan tidak perlu kupikir."
Siangkwan Siau-sian tertawa dingin, jengeknya: "Jikalau kau beranggapan kau bisa menyetop aku turun tangan, kau salah besar!"
Yap Kay diam saja, entah termakan oleh provokasi"
"Jarumku laksana pasir di sungai yang tak terhitung banyaknya, sebaliknya jumlah pisaumu terbatas."
"Aku hanya sebatang saja sudah cukup."
Ujung mata Siangkwan Siau-sian berkerut-kerut. Lama
sekali akhirnya dia menghela napas: "Mungkin inilah dinamakan nasib."
"Nasib?"
"Mungkin hidupku sudah ditakdirkan cepat atau lambat harus berduel melawanmu."
Bola matanya menyorotkan kedukaan yang sangat.
"Seperti juga Siangkwan Pangcu yang dahulu, sudah ditakdirkan untuk berduel melawan Siau-li Tham-hoa Li Sin-hoan".
Tak urung Yap Kay menghela napas juga, katanya:
"Siangkwan Pangcu dahulu memang tidak malu diagungkan sebagai gembong persilatan yang tiada taranya. Dia cukup kuat dan mampu bersimaha-rajalela di seantero dunia ini, sayang sekali sekarang............."
Siangkwan Siau-sian tidak biarkan orang bicara lebih
lanjut. "Walau Siangkwan Pangcu yang dahulu sudah tiada,
namun Siangkwan Pangcu generasi muda masih digdaya."
"Pisau terbangku masih ada."
"Duel kedua tokoh besar pada waktu itu, walau cukup menggetarkan bumi mengejutkan langit, setanpun kaget
ketakutan dan menangis, namun tiada seorangpun yang
menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri."
Tak tahan Ting Hun-pin menyeletuk: "Duel kalian hari ini pasti ada orang lain yang menyaksikan."
"Takkan ada!" sentak Siangkwan Siau-sian.
"Ada saja!" sahut Ting Hun-pin ketus.
Tiba-tiba Siangkwan Siau-sian berpaling menatapnya,
katanya dingin: "Kau ingin menyaksikan?"
"Aku pasti bisa menyaksikan"
"Kalau begitu kau hanya akan menunggu Yap Kay mampus di depanmu."
Ting Hun-pin membalas dengan seringai hina dan
merendahkan. "Jikalau kau berada di sini, begitu jarumku kusambitkan, sasaran pertama yang ku arah adalah kau. Jikalau dia harus memencarkan perhatiannya demi keselamatanmu, maka
diapun pasti mampus."
Ting Hun-pin tertegun, mulutnya melongo, matanya
terbeliak. Siangkwan Siau-sian tidak berkata sepatah katapun lagi, diapun tidak meliriknya lagi, namun Ting Hun-pin dipaksa untuk beranjak keluar.
Waktu kaki Ting Hun-pin melangkah keluar, sekujur
badannya dingin dan basah oleh keringat dingin yang
gemerobyos. ooo)dw(ooo Pintu tertutup dan dipalang serta terkunci dari dalam.
Segala sesuatu yang tercakup di dalam kehidupan manusia
seluruhnya terkunci di dalam pintu. Hanya kematian yang masih tersisa di dalam pintu.
Tapi siapakah yang akan mati"
Ting Hun-pin sudah terbungkuk-bungkuk, rasanya ingin
muntah dan tak tertahankan lagi. Kembali rasa apa boleh buat menjalari sanubarinya dan perasaan yang menjalari sanubarinya inilah yang dahulu pernah menyebabkan dia
hampir gila. Tapi menjadi gilapun tiada gunanya.
Duel kedua tokoh besar pada masa silam dia tidak
menyaksikan, namun dia dengar dari cerita orang yang dapat dipercaya.
Sampai Siau-li Tham-hoa Li Sin-hoan sendiri mengakui,
Siangkwan Kim-hong memang memiliki banyak kesempatan
menamatkan jiwanya, malah dirinya dipojokkan sedemikian rupa sampai tak mampu balas menyerang lagi. Tapi
Siangkwan Kim-hong memang sengaja menyia-nyiakan semua kesempatan baik itu, karena sudah lama dalam sanubarinya ingin bertaruh dengan jiwanya sendiri melawan
keyakinannya akan kepandaian silatnya sendiri yang tinggi tiada taranya, apakah dia mampu meluputkan diri atau
menghindarkan sambitan atau serangan pisau terbang Li
Sin-hoan yang sudah disohorkan tak pernah meleset setiap kali mengincar sasarannya.
Sudah tentu untuk kali ini Siangkwan Siau-sian tidak
akan sudi melakukan kesalahan yang sama seperti ayahnya dulu.
ooo)dw(ooo Perut Ting Hun-pin seperti dipelintir dan air asam sudah bergolak di tenggorokkannya.
Mungkin Yap Kay tengah berada di balik pintu ini sedang mengalami siksaan batin di dalam menghadapi elmaut yang bakal merenggut jiwanya, dan dia dipaksa untuk
menunggunya di luar pintu.Tak ubahnya seperti Sun Siau-hong dan Ah Hwi waktu menunggu Li Sin-hoan dulu. Tapi
mereka masih dua orang, berteman di luar kamar rahasia Siangkwan Kim-hong yang pintunya terbuat dari papan besar baja. Diterjang dan ditumbukpun tidak akan bobol.
Lain halnya keadaan yang dia hadapi sekarang, di
depannya ini kalau mau sembarang waktu dia mampu
menendangnya roboh, namun dia justru tidak berani
berbuat demikian. Sekali-kali dia tidak berani bergerak secara gegabah sehingga memencarkan perhatian dan
mengganggu konsentrasi Yap Kay.
Sungguh besar harapannya pintu di depannya inipun
terbuat juga dari papan baja yang sudah kokoh kuat. Hal itu sedikit banyak akan mengurangi tekanan hatinya yang harus ditekan dan ditahan oleh kesadaran dan derita.
Orang yang tidak pernah mengalaminya sendiri, pasti
tidak akan bisa membayangkan betapa menakutkannya
derita dan tekanan batin yang berat ini. Sungguh ingin sekali bila bisa dia memaku ke dua kakinya di atas tanah supaya tidak bisa bergerak.
ooo)dw(ooo Malam semakin larut.
Ting Hun-pin masih menunggu terus, karena menunggu ini sekujur badannya sudah luluh sama sekali dan yang harus dibuat sedih adalah dia sendiri tidak tahu sebetulnya apa yang sedang dia nantikan" Mungkin hanya kematian Yap Kay saja yang sedang dia tunggu.
Teringat betapa cerdik pandai dan tinggi ilmu silat
Siangkwan Siau-sian, sungguh dia tidak tahu betapa persen keyakinan Yap Kay bisa mengalahkan musuh dan bertahan
hidup serta keluar dengan selamat dan segar bugar.
Oleh karena itu di kala daun pintu itu tampak terbuka
perlahan-lahan, detik-detik yang dia nanti-nantikan itu seakan-akan menyetop denyut jantungnya sama sekali.
Sampai matanya melihat Yap Kay pula, baru jantungnya
berdetak secara normal kembali seperti kereta api selesai memburu waktu.
Kelihatannya Yap Kay amat lelah, namun lebih penting
bahwa dia masih hidup.
Hidup dan selamat tak kurang suatu apa. Itulah yang
terpenting bagi Ting Hun-pin.
Menyongsong kedatangan orang, Ting Hun-pin mematung
di tempatnya, tak tertahan air mata pelan-pelan meleleh membasahi mukanya, tentunya air mata kegirangan yang
keliwat batas. Saking kegirangan dan terlalu berduka sama-sama
mendatangkan air mata, kecuali menangis, orangpun tak bisa mengeluarkan suara karena tenggorokan tersumbat oleh
rasa haru, segala persoalan sudah tidak diperdulikan lagi, sampaipun untuk bergerak kadang-kadang sulit.
Lama sekali baru Ting Hun-pin kuasa bertanya dengan
lirih. "Di manakah Siangkwan Siau-sian?"
Jawaban Yap Kay hanya tiga huruf: "Dia sudah kalah."
Dia sudah kalah" Betapa gampangnya jawaban tiga huruf
ini. Penentuan kalah menang memang hanya terjadi dalam
kilasan waktu belaka.
Tapi siapakah yang bisa membayangkan di dalam waktu
sekilas itu betapa tegang dan tertusuk perasaan orang"
Betapa besar dan mendalamnya akibat dari penentuan
waktu yang sekilas itu bagi dunia persilatan. Sekejap mata atau sepercikan api.
Sebatang pisau.
Sekilas dari samberan cahaya pisau, betapa pula besar
akibatnya. Begitu mengejutkan dan amat gagah perkasa.
Boleh dikata tidak usah melihat dengan matamu sendiri, cukup asal kau bisa membayangkan, maka jantungmu takkan terasa akan berhenti berdenyut.
Akan tetapi Ting Hun-pin tidak berpikir demikian. Segala persoalan sudah tidak penting bagi dia, yang penting
sekarang ini bahwa Yap Kay masih hidup.
Asal Yap Kay masih hidup, maka hatinya sudah cukup
daripada puas yang paling puas.
ooo)dw(ooo Di belakang pintu terdengar isak tangis sesenggukan.
Orang mati jelas takkan bisa menangis.
Apakah Siangkwan Siau-sian belum mati"
Pisau Yap Kay memang bukan senjata pembunuh. Dia beri
kesempatan orang bertahan hidup.
Apakah lantaran dia sudah tahu bahwa selanjutnya dia
sudah tidak lagi sama seperti Siangkwan Siau-sian yang satu dulu itu"
Pengampunan itu jauh lebih suci dan agung daripada
dendam kesumat.
Hutang darah bayar darah, hutang jiwa bayar jiwa.
Pameo ini sudah tidak berlaku bagi Yap Kay, karena dia menggunakan Siau-li si Pisau Terbang. Kekuatan pisau
Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seperti ini adalah cinta kasih, bukan kebencian.
Ting Hun-pin tidak mengajukan pertanyaan, karena di
dalam sanubarinya hanya ada cinta kasih, tiada kebencian.
Dia sedang mengawasi bola mata Yap Kay.
Kehidupan begini indah.
Cinta itu adalah sedemikian elok, begitu harmonis.
Jikalau seseorang tidak bisa melupakan dendam sakit
hati, bukankah dia itu manusia bodoh"
- TAMAT Pendekar Panji Sakti 19 Pertarungan Dikota Chang An Seri 2 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Kisah Sepasang Rajawali 7
Kay sendiripun tidak perlu tergesa-
gesa. Topeng ini hanya umpannya saja, dia ingin mengail seekor ikan besar, ikan besar yang bisa mencaplok manusia.
Tiba-tiba sebuah kereta besar bercat hitam berhenti di sebelah depan. Kereta ini datang dari luar kota. Sebetulnya sudah berlari lewat, maka berhentinya terlalu mendadak.
Seorang laki-laki setengah baya dengan pakaian perlente bermuka putih dengan jenggot pendek menongolkan
kepalanya menatap ke atas membaca huruf-huruf itu serta mengawasi topeng dan batu kemala itu. Lekas sekali dia sudah mendorong pintu kereta dan melangkah turun.
Akhirnya ada juga orang yang mau menawar barang-
barang yang akan dijual ini. Tapi Yap Kay masih tetap tenang dan bisa menekan sabar.
Dengan menggendong ke dua tangannya, laki-laki
setengah baya itu maju menghampiri. Sepasang matanya
yang jeli, tajam dan bercahaya terus menatap ke atas
kertas galah, tiba-tiba dia bertanya: "Apakah mau dijual?"
Yap Kay manggut-manggut sambil menuding huruf-huruf
di atas kertas merah itu.
Berkata laki-laki setengah baya tawar: "Lencana ini memang terbuat dari Han-giok, sayang sekali ukirannya
kurang halus."
Yap Kay menambahkan, katanya: "Memang, tukang
ukirnya kurang ahli, kwalitet batu kemala inipun kurang baik."
Laki-laki itu seketika mengunjuk senyum lebar, katanya:
"Kau ini ternyata terlalu jujur di dalam dagang."
"Memang, aku ini orang jujur." ujar Yap Kay.
"Entah berapa harganya?"
"Harganya terlalu tinggi."
"Harga tinggi berapa?"
"Tiada halangannya kau ajukan dulu tawaranmu." kata Yap Kay.
Dari atas ke bawah, laki-laki ini mengamati Yap Kay
beberapa kali, lalu dia berpaling memandang batu kemala di atas joran itu, katanya: "Bagaimana kalau tiga puluh tail?"
Yap Kay tertawa.
Laki-laki itu juga tertawa, katanya: "Tawaranku memang sedikit tinggi, namun seorang Kuncu selalu menepati apa yang diucapkan, akupun tidak akan main gorok soal harga."
"Tiga puluh tail saja?"
Laki-laki itu manggut-manggut, "Ya tepat tiga puluh tail."
"Barang yang mana yang kau pilih?"
"Sudah tentu batu kemala ini."
"Tapi tiga puluh tail hanya cukup untuk beli jorannya saja."
Seketika lenyap senyuman yang menghias muka laki-laki
setengah baya, katanya menarik muka: "Berapa yang kau inginkan?"
"Tiga laksa (puluh ribu) tail."
Hampir berteriak laki-laki setengah baya itu, "Hah, tiga laksa tail?"
"Tepat tiga laksa tail, harga pas tidak boleh kurang."
Dengan melongo kaget laki-laki ini mengawasinya, seperti dia berhadapan dengan orang gila.
Tiba-tiba Yap Kay berkata: "Walau batu kemala ini kurang baik, ukirannya jelek, tapi kalau kau ingin
memilikinya, keluarkan dulu tiga laksa tail perak, sesenpun tidak boleh kurang."
Tanpa mengucap sepatah katapun, laki-laki setengah baya melengos terus tinggal pergi dengan uring-uringan.
Yap Kay tertawa lagi. Orang-orang yang berkerumun
melihat tontonan inipun ikut tertawa riuh.
"Sekeping batu kemala, kok minta tiga laksa tail, memangnya bocah ini sudah gila."
"Harga setinggi itu, memang hanya orang gila yang menjual."
Sementara itu kereta hitam itu sudah melaju ke depan
dan belok di pengkolan jalan sana, tak bisa kelihatan lagi.
Karena tiada tontonan yang bisa dilihat, orang-orang
yang berkerumun itupun mulai bubar.
Tak kira dari jalan belakang sana tiba-tiba berderap pula langkah kaki kuda yang menyeret kereta, tahu-tahu kereta hitam itu sudah putar balik, datangnya malah lebih cepat dari perginya tadi.
Kusir kereta mengayun cambuknya tinggi-tinggi, seraya
membentak-bentak, cepat sekali kereta itu sudah dilarikan datang dan berhenti pula di depan pintu kota.
Laki-laki setengah umur itu mendorong pintu dan
melompat turun pula. Mukanya yang putih tampan kini
menampilkan mimik yang aneh. Dengan langkah lebar dia
menghampiri Yap Kay, katanya: "Tadi kau minta tiga laksa tail perak?"
Yap Kay manggut-manggut.
Tiba-tiba laki-laki tengahan umur merogoh kantong
mengeluarkan setumpuk uang kertas. Setelah dihitung,
genap tiga puluh lembar terus diangsurkan ke depan Yap Kay.
"Nah, ambillah."
Tapi Yap Kay tidak menyambuti, dia malah mengerut
kening, tanyanya: "Apakah ini?"
"Inilah uang kertas, hanya bank Toa-hin di kota raja saja yang bisa mengeluarkan uang kertas ini, jumlahnya tepat tiga laksa tail."
"Apakah berani ditanggung uang ini bisa laku?" tanya Yap Kay pura-pura bodoh.
Berkata laki-laki itu dengan suara berat: "Aku orang she Song, toko Cap-po-cay yang menjual barang-barang antik di sebelah barat kota itu adalah milikku, orang-orang di
daerah sinipun tidak sedikit yang mengenalku."
Cap-po-cay adalah merk yang terkenal sejak puluhan
tahun yang lalu. Song Lopan adalah salah satu hartawan besar yang paling kaya di kota ini. Di antara orang-orang yang berkerumun itu ada yang mengenalnya juga.
Akan tetapi, Song Lopan yang biasanya cerdik dan teliti di dalam berdagang barang-barang antik ini, kenapa sudi merogoh kantong mengeluarkan tiga laksa tail untuk
membayar batu kemala sekecil ini. Memangnya diapun sudah gila"
Tapi Yap Kay tetap tidak mau menerima uang itu,
tanyanya: "Berapa jumlah uangmu ini?"
"Tentunya tiga laksa tail, inilah lembaran ribuan uang kertas, seluruhnya berjumlah 30 lembar, boleh kau
menghitungnya dulu."
"Tak usah dihitung, aku percaya kepadamu."
"Nah, bolehkah aku membawa batu kemala ini?"
"Tidak boleh!"
Song Lopan tertegun, tanyanya dengan suara meninggi:
"Mengapa masih belum boleh?"
"Karena harganya belum cocok."
Muka tampan Song Lopan yang putih berubah menguning,
teriaknya tertahan: "Bukankah tadi kau bilang tiga laksa tail?"
"Itu harga tadi."
"Dan sekarang?"
"Sekarang harganya adalah 30 laksa tail"
"Hah! 30 laksa tail?" Akhirnya Song Lopan berteriak.
Mimik mukanya mirip seekor kucing yang tiba-tiba ekornya diinjak orang.
Orang-orang yang berkerumun di sekelilingnya pun
menunjukkan mimik yang sama.
Yap Kay malah tidak menunjukkan perubahan hatinya.
Tiba-tiba dia berkata: "Batu kemala ini memang kurang baik, tukang ukirnyapun bukan ahli, tapi sekarang ini
siapapun kalau ingin memilikinya, dia harus bayar 30 laksa tail, sesenpun tidak boleh kurang."
Song Lopan membanting kaki kembali dia melengos terus
tinggal pergi, langkahnya tergopoh-gopoh, namun setiba dia di depan kereta langkahnya merandek, mukanya mengunjuk mimik yang aneh seperti tadi. Kelihatannya amat takut.
Apa sih yang dia takuti" Apakah di dalam keretanya itu ada sesuatu yang patut dia takuti" Dan yang paling
mengherankan adalah dengan harga tiga laksa tail saja jelas
sudah membuatnya pergi dengan marah-marah, kenapa
setelah pergi malah putar balik lagi"
Mata Yap Kay bersinar terang, dengan tajam dia menatap ke arah jendela kereta. Sayang sekali keadaan terlalu gelap di dalam kereta. Dari luar yang bercahaya terang oleh sinar matahari, tetapi tetap tidak bisa melihat apa-apa.
Song Lopan sudah siap menarik pintu kereta, tapi entah kenapa, tangan yang sudah dia ulur, tiba-tiba dia tarik kembali. Namun dari dalam kereta seakan-akan ada
seseorang, entah mengucapkan perkataan apa, tiada orang yang mendengar apa yang diucapkan orang di dalam kereta.
Tapi Song Lopan yang mendengar, seketika berobah pula
mimik mukanya, seperti orang yang kena tendang di
mukanya. Siapakah yang berada di dalam kereta" Kenapa dia
menyembunyikan diri di dalam kereta tidak mau keluar" Apa pula yang dia katakan kepada Song Lopan" Kenapa setelah mendengar perkataannya, Song Lopan kelihatan begitu
takut" Berkilat biji mata Yap Kay, seolah-olah dia sudah memperoleh jawaban dari teka-teki yang tak terpecahkan selama ini.
Orang yang ingin membeli batu kemala ini sekarang,
bukan keinginan Song Lopan sendiri, namun kehendak orang yang sembunyi di dalam kereta itu. Karena dia sendiri tidak mau unjuk muka di hadapan orang banyak, maka dia paksa Song Lopan untuk membelinya. Naga-naganya Song Lopan
sudah tunduk dan diancamnya, sehingga terpaksa dia harus membelinya.
Dengan cara atau kekerasan apakah yang digunakan
orang itu untuk menekan dan mengancam Song Lopan"
Kenapa dia begitu getol untuk memperoleh lencana kemala itu"
Kecuali orang-orang Mo Kau, siapa pula yang sudi
mengeluarkan uang setinggi itu untuk membeli batu kemala ini"
Apakah orang ini adalah Hu-hong alias si Puncak Tunggal"
ooo)dw(ooo Sinar surya di musim semi sudah tentu tidak begitu
terik, hembusan angin lalu masih terasa dingin.
Tapi Song Lopan justru gemerobyos keringat.
Sekian lamanya dia berdiri melongo dan menjublek di
depan pintu kereta, kedua tangannya gemetar keras,
mendadak dia menghela napas panjang, kembali dia putar badan.
Mimik mukanya sekarang mirip benar dengan pesakitan
yang dijatuhi hukuman mati dan digusur ke tengah lapangan untuk dipenggal kepalanya.
Melihat orang mendatangi lagi, Yap Kay mendahului
bersuara: "Sekarang kau berani bayar 30 laksa tail?"
Terkepal kedua tinju Song Lopan, ternyata dia manggut-
manggut. Keringat dinginnya berketes-ketes, katanya
kertak gigi: "Baiklah! 30 tail ya 30 tail kubayar!"
Yap Kay hanya tertawa lebar saja.
Song Lopan seperti disengat kala kagetnya, katanya
terbelalak: "Apa yang kau tertawakan?"
"Aku tertawai kau."
"Menertawai aku?"
"Aku sedang tertawa, kenapa tidak sejak tadi kau
membelinya saja?"
"Sekarang......"
"Harganya sekarang sudah tidak sama lagi. Sekarang aku minta 300 laksa tail, tidak boleh kurang sesenpun juga."
Sudah tentu Song Lopan berjingkrak mencak-mencak.
"300 laksa tail"
Taoke besar yang biasanya congkak dan terlalu tinggi
hati, sekarang ini seperti anak kecil layaknya mencak-
mencak. "Kau......kau......memang kau ini perampok! Kau........ tamak benar kau ini."
Yap Kay berkata tawar: "Jikalau kau anggap harganya terlalu tinggi, kau boleh tidak hendak membelinya, aku toh tidak memaksa kau."
Song Lopan melotot gusar, seperti ingin mengerumusnya.
Mulutnya sudah terbuka lebar seperti ingin bicara, namun tahu-tahu napasnya menjadi sesak. Mendadak dia
tersungkur roboh, saking gusar ternyata dia jatuh semaput.
Orang-orang berkerumun itupun sama-sama melotot
kepada Yap Kay, semua orangpun merasa Yap Kay tak
ubahnya seperti perampok yang memeras mangsanya, malah lebih tamak lagi.
Tapi Yap Kay acuh tak acuh, dia tetap tidak perdulikan orang lain. Tiba-tiba dia berkata ke arah kereta hitam itu:
"Tuan ingin benar memiliki barang ini, kenapa tidak kau sendiri yang membelinya?"
Tidak ada reaksi dari dalam kereta.
Yap Kay berkata pula: "Kalau tuan sendiri mau unjuk muka, mungkin tanpa membayar sesenpun aku haturkan batu kemala ini kepadamu."
Dari dalam kereta yang sejak tadi tenang-tenang sepi,
mendadak berkumandang suara tawa dingin setajam golok.
"Apa betul?"
"Aku ini orang jujur," Yap Kay berkata tersenyum,
"selamanya aku tidak membual."
"Bagus!"
Lenyap seruannya mendadak 'Brak...' seperti ledakan
kerasnya, tahu-tahu kereta kuda yang besar itu seperti disambar geledek, pecah dan hancur berantakan.
Kusir kereta sampai terpental sungsang-sumbel. Kedua
kuda kekar yang menarik keretapun berjingkrak berdiri
dengan kedua kaki belakangnya.
Tahu-tahu dari dalam kereta hancur itu muncul seorang
laki-laki. Seorang laki-laki raksasa yang telanjang bagian badan atasnya, hanya mengenakan celana pendek ketat
warna merah. Pinggangnya mengenakan sabuk kuningan
selebar telapak tangan orang biasa. Sepasang matanya yang melotot besar seperti kelintingan menatap tajam penuh
kebencian kepada Yap Kay, tak ubahnya seperti siluman iblis jahat yang baru terlepas dari dalam kerangkeng.
Orang-orang yang berkerumun melihat keramaian
seketika bubar dan kalut, lari lintang-pukang.
Raksasa itu sudah mengepal kedua tinjunya kencang-
kencang, selangkah demi selangkah menghampiri Yap Kay.
Perduli manusia atau kuda, setelah mendadak dibuat
kaget, reaksi pertama yang diperlihatkan adalah sama yaitu lari. Semakin cepat lari semakin baik dan selamat, semakin jauh semakin beruntung.
Tapi ke dua ekor kuda yang berjingkrak-jingkrak itu tak mampu melarikan diri, namun masih terus mencak-mencak
berdiri turun naik, karena raksasa itu menekan pinggir kereta yang sudah hancur, namun kedua kuda itu sudah
tidak mampu melarikan diri.
Walau orang-orang yang ada di sekitarnya menjadi ribut, namun mereka tidak lari sembunyi. Maklumlah, siapa yang tidak ingin melihat akhir dari keramaian ini. Apapun yang terjadi atas diri mereka nanti, tontonan aneh yang belum pernah terjadi selama ratusan tahun ini adalah setimpal untuk disaksikan.
Semua orang celingukan kian-kemari, mengawasi raksasa
yang mampu menekan sebelah tangan ke atas kereta
sehingga kedua kuda tidak bergeming, lalu memandang
kepada Yap Kay pula. Semua hadirin sudah yakin dan
sepakat pendapat, pasti Yap Kay yang akhirnya akan
dirugikan dan dihajar konyol. Mungkin cukup menggunakan sebuah jarinya saja, raksasa ini sudah mampu memites
gepeng batok kepala Yap Kay.
Tapi Yap Kay malah tertawa, sikapnya tenang-tenang saja seperti tidak terjadi apa-apa. Tiba-tiba dia malah bertanya:
"Berapa tinggimu?"
"Sembilan kaki setengah."
Dalam situasi segenting ini, walau pertanyaan ini
kedengaran aneh dan lucu, tapi si raksasa memberi jawaban juga.
"Sembilan kaki setengah, kau memang tidak terhitung pendek." ujar Yap Kay.
Berkata si raksasa dengan sombong sambil angkat dada:
"Mungkin hanya beberapa gelintir saja manusia dalam dunia ini yang lebih tinggi dari aku."
"Alat senjata biasanya mengutamakan satu dim lebih panjang, lebih berguna dan lebih kuat. Jikalau kau ini sebatang tombak, pasti kau adalah tombak sakti."
"Aku bukan tombak." seru si raksasa.
"Masih banyak lagi barang-barang lain, biasanya tinggi rendah dari nilai barang itu juga ditentukan dari panjang pendek bentuknya, umpamanya galah yang lebih panjang,
sudah tentu harganya lebih mahal, oleh karena itu kalau kau ini sebatang galah, tentu kau inipun cukup berharga,"
setelah menghela napas Yap Kay menambahkan, "sayang sekali kaupun bukan galah."
"Aku adalah manusia."
"Justru karena kau ini manusia, maka harus dibuat sayang."
"Kenapa harus dibuat sayang?" tanya si raksasa mendelik.
Tawar suara jawaban Yap Kay: "Hanya manusia saja yang tidak ditentukan dari panjang pendeknya. Orang cebolpun kadang-kadang bisa jadi raja. Seseorang bilamana kaki, tangan dan badannya terlalu subur dan tumbuh keliwat
batas, biasanya otaknya terlalu sederhana, oleh karena itu manusia yang semakin panjang, ada kalanya malah dipandang rendah dan tidak berharga lagi."
Si raksasa menggerung murka, bagai seekor gajah
mengamuk dia menerjang maju. Kelihatannya tidak perlu dia turun tangan kalau Yap Kay keterjang tentu badannya
remuk dan mampus. Umpama sebatang pohon besarpun
takkan kuat ditumbuk raksasa ini.
Sayang sekali Yap Kay bukan pohon. Sudah tentu raksasa ini tidak akan mampu menerjangnya sampai roboh, tiada orang yang bisa sekali tumbuk menerjangnya sampai jatuh.
Akan tetapi di saat raksasa menerjang tiba, Song Lopan yang tadi kelengar semaput di tanah mencelat bangun
segesit tupai dan secepat anak panah melesat maju. Bukan saja gerakannya secepat kilat, cara menyerangnya juga
teramat ganas dan lebih menakutkan.
Sekali lagi sayang, dia tidak berhasil merenggut jiwa Yap Kay. Kalau si raksasa menerjang dari depan, sebaliknya Song Lopan menggempur dari belakang dengan pukulan
mematikan. Hebat memang kepandaian Yap Kay, di saat-saat gawat itu entah bagaimana tahu-tahu badan Yap Kay sudah mencelat naik ke atas joran.
Takkan ada orang menduga bahwa Song Lopan akan turun
tangan, tapi orang lebih tidak menduga lagi bahwa Yap Kay bisa meluputkan diri dari bokongannya. Seperti dihembus
angin lesus saja tahu-tahu badannya terangkat naik ke
pucuk joran, laksana segulung mega terbang, seperti daun melayang jatuh.
Keruan Song Lopan terkejut. Dia yakin benar bahwa
serangan bokongannya tadi pasti dengan telak mengenai
sasarannya. Entah bagaimana tahu-tahu tangannya mengenai tempat kosong. Tapi dia cukup cekatan dan tegas bertindak.
Sebat sekali dengan sikut menutul tanah, berbarengan itu tangan kanannya sudah melolos golok. Sekali sinar golok berkelebat, dia babat putus joran panjang itu.
Sementara si raksasa sudah pentang ke dua tangannya,
siap menunggu di sebelah bawah. Begitu joran putus, orang dipucuk joran pasti akan jatuh terjungkal.
Begitu Yap Kay melayang turun, maka pasti dia terjatuh kecengkeraman tangan si raksasa. Siapapun jikalau terjatuh ke tangan si raksasa, jelas nasibnya tentu amat
mengenaskan. Untuk meremas remuk batok kepala orang,
hakikatnya lebih gampang dari anak-anak meremas kepala boneka tanah liat.
'Krak...' tahu-tahu joran itu putus dua. Orang-orang yang menonton di kejauhan malah sudah menjerit kaget dan
ngeri. Betul juga tampak badan Yap Kay sudah melayang
jatuh ke tengah-tengah kedua tangan si raksasa yang
terbuka lebar. Maka terdengarlah suara 'Blang...', seseorang terbanting jatuh dengan keras, dan terpental terbang dua sosok badan orang. Yang berdentam jatuh adalah si raksasa, sementara Yap Kay dan Song Lopan sama-sama melambung ke atas.
Ternyata begitu badannya melayang turun, lekas Yap Kay gunakan sikut dan sebelah dengkulnya menyodok dengan
telak ke dada si raksasa. Begitu si raksasa terpental roboh, dia meminjam tenaga daya pental sodokannya mencelat
terbang lagi. Tapi ternyata Song Lopan tidak tinggal diam, diapun
jejakkan kakinya ikut melesat mengejar. Sinar golok
bagaikan bianglala membabat ke pinggang Yap Kay.
Tak nyana pinggang Yap Kay bagai ular air, sekali meliuk dan mengegos, tahu-tahu tangan kirinya sudah
mencengkeram pergelangan tangan kanan Song Lopan.
Golok melayang jatuh menancap miring di atas kereta.
Mereka berduapun jatuh ke atas kereta. Bagasi kereta
memang sudah diterjang hancur oleh si raksasa, namun alas dasarnya masih utuh tidak kurang suatu apa, demikian pula tempat duduknya.
Dua orang sama-sama jatuh di atas tempat duduk, kedua
Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kuda yang menarik kereta menjadi kaget, serempak
keduanya meringkik panjang dan angkat langkah membedal pergi.
Kali ini tiada orang yang menarik dan menahan mereka.
Memang tiada orang mampu menahan mereka pula. Kusir
kereta sudah ketakutan dan sembunyi entah di mana. Dua ekor kuda yang ketakutan seketika mencongklang menarik kereta gundul tanpa kusir. Jalan raya penuh sesak, namun ke dua ekor kuda itu seperti kesetanan terus menerjang maju tanpa hiraukan orang-orang yang ada di tengah jalan, terus diterjangnya.
Kecuali orang gila, siapa lagi yang masih mampu
menghadang larinya kuda yang sudah kesetanan.
Di atas kereta Song Lopan menjatuhkan diri terus
menggelinding. Pikirnya hendak mencelat bangun, namun
sebuah tinju sudah menunggu di depan hidungnya. Baru saja dia meronta berduduk, matanya lantas ketumbuk tinju ini, selanjutnya hanya kunang-kunang di kegelapan saja yang dilihatnya. Kali ini dia benar-benar jatuh semaput.
Pelan-pelan Yap Kay menghela napas,. Perduli orang
macam apa sebenarnya Song Lopan ini, jelas dia bukan orang sembarangan. Bisa menyuruhnya rebah tak berkutik saja, juga bukannya kerja gampang.
Ke dua kuda itu masih membedal kencang, tiada maksud
Yap Kay untuk menahannya. Tapi tiba-tiba dia malah
melompat ke tempat duduk kusir, tali kendali dipegangnya seraya menggebah kuda supaya lari lebih cepat lagi.
Dia harus mengejar seseorang.
Waktu itu sudah lewat tengah hari.
Yap Kay masih belum menemukan Putala.
Apakah Putala yang hendak dia kejar"
ooo)dw(ooo Kota kuno sudah tentu mempunyai bentuk jalanan yang
kuno pula. Jalan raya di sini dilandasi oleh papan batu hijau, sempit dan miring.
Di sebelah depan ada sebuah kereta barang ditarik
keledai. Di atas kereta penuh bertumpuk kurungan ayam, di
dalam kurungan penuh ayam pula, agaknya ayam yang baru dibeli dari luar kota.
Yang pegang kendali adalah seorang kakek tua,
sementara yang memberi makanan ayam adalah seorang
nenek tua, kedua orang sudah sama-sama beruban.
Si nenek berjongkok di atas kereta, sedang memberi umpan kepada ayam yang baru dibelinya, pinggangnya sudah bungkuk dan tak bisa tegak lagi, demikian pula si kakek duduk di depan pegang kendali, mengayun cambukpun sudah tidak kuat lagi.
Setiap kota pasti ada penduduk yang makan ayam, malah
setiap hari entah berapa ayam yang menjadi kurban untuk mengenyangkan perut manusia. Kalau penduduk kota banyak yang makan ayam, sudah tentu ada penjual dan pembeli
ayam, kehidupan seperti ini adalah jamak.
Demikian pula kakek dan nenek ini kelihatannya tiada
menunjukkan sesuatu yang luar biasa. Tapi yang dikejar oleh Yap Kay kelihatannya justru mereka.
Melihat kereta mereka di sebelah depan, Yap Kay bedal
keretanya semakin kencang.
Si kakek berpaling ke belakang, sepasang matanya yang
semula guram seperti lamur, tiba-tiba bersinar terang.
Demikian pula si nenek yang kelihatan lemah, tiba-tiba menjinjing sebuah keranjang ayam seraya membentak,
tahu-tahu dia tuang ayam-ayam yang berada di dalam
kurungan. Besar kecil ayam jantan betina seketika beterbangan
seraya berkotek riuh rendah, anjing-anjing liar di sepanjang
jalanpun ikut memburu seraya menggonggong dengan
ramainya. Ayam terbang, anjing berlompatan, jalan raya yang biasanya ramai tenang itu mendadak gempar dan kacau balau.
Kedua kuda yang menarik kereta Yap Kay menjadi kaget
dan meringkik panjang sambil berjingkrak berdiri. Setelah Yap Kay berhasil mengendalikan serta memburu ke depan
pula, kereta keledai di depan itu sudah belok ke jalan lain dan menghilang.
Yap Kay tertawa dingin, mendadak dia jejak kaki,
badannya melambung naik ke atas rumah. Dia bertekat
betapapun kakek tua itu jangan sampai lolos dari
kejarannya. Kenapa dia mengejar kakek dan nenek"
Kenapa pula kedua orang ini melarikan diri"
ooo)dw(ooo Kereta keledai itu masih terus mencongklang dengan
kencang, ayam masih berkotek dengan ributnya, namun
bayangan kedua orang yang ada di atas kereta tahu-tahu sudah lenyap entah kemana.
Waktu itu kereta keledai lari di jalan samping yang
sempit, kereta kuda yang lebih besar pasti tidak akan bisa masuk kemari.
Jalan sempit ini sepi, tidak kelihatan bayangan seorang manusiapun, pintu-pintu rumah sepanjang jalan sempit ini semuanya tertutup rapat, pekarangan rumah-rumah itu
kosong tak kelihatan ada orang.
Lalu kemana dan cara bagaimana kakek dan nenek itu
mendadak bisa lenyap" Mereka sembunyi ke rumah siapa"
Sudah tentu Yap Kay tidak mungkin menggeledah setiap
rumah. Dia tetap mengejar kereta keledai yang masih lari kencang itu.
Setelah tiba di ujung jalan sempit ini, kereta tiba di sebuah tanah miring.
Kereta keledai itu tanpa ada orang yang mengendalikan, tapi keledai yang membawa lari kereta itu ternyata cukup cerdik membawanya lari setengah lingkaran dulu baru
menyusuri tanah miring itu menerjang ke bawah.
Mendadak Yap Kay kembangkan Ginkang-nya, sekali
lompat sejauh empat tombak, di tengah udara badannya
terapung meluncur lempang, sebelum badannya mencapai
kereta, di tengah udara dia bersalto. Sekali meluncur turun dan hinggap tepat di punggung keledai.
Setiba di tanah miring itu, lari keledai menjadi sedikit lambat, tapi Yap Kay duduk seenaknya di punggung keledai yang menarik kereta itu.
Mendadak dia tertawa, katanya: "Sebetulnya aku tidak mengenalmu, sayang sekali waktu kau datang amat
kebetulan sekali."
Dengan siapa dia bicara" Tiada lain di atas kereta,
kecuali ayam dan keledai.
Seorang laki-laki yang normal jelas takkan ajak keledai bicara.
Tapi Yap Kay melanjutkan kata-katanya: "Waktu kalian masuk kota, adalah saat-saat yang paling ribut tadi.
Sebetulnya aku tidak akan bisa melihat kalian."
"Sayang, waktu itu kebetulan aku lompat berdiri di atas joran."
"Tatkala itu, orang-orang yang memasuki pintu kota, bukan hanya kalian berdua saja. Sebetulnya umpama aku
melihat kalian, aku tetap tidak akan menaruh curiga."
"Sayang sekali keadaan kalian waktu itu justru berbeda sekali dengan orang lain."
Sampai di sini Yap Kay mengoceh, baru terdengar
seseorang menghela napas dari bawah kereta keledai.
"Dalam hal apa keadaan kami berbeda dengan orang
lain?" "Masa kau sendiri tidak tahu?" Yap Kay balas bertanya.
"Sedikitpun tidak tahu," orang di bawah kereta berkata,
"kurasa keadaan kita sedikitpun tidak menunjukkan keistimewaan atau keganjilan apa-apa."
"Mungkin! Tapi justru karena keadaan kalian tiada sesuatu yang menonjol dan berbeda dengan yang lain, maka kalian menjadi luar biasa."
Orang di bawah kereta tidak mengerti apa maksud
perkataan Yap Kay. Kecuali Yap Kay sendiri, mungkin orang lainpun takkan mengerti akan maksud perkataannya.
Oleh karena itu Yap Kay segera menambahkan: "Karena keadaan orang lain waktu itu luar biasa."
Waktu semua orang yang menyaksikan perkelahian itu
sama kaget dan terpesona, suasananya tegang, haru dan
bersemangat, umpama orang-orang yang baru datang dan
mau masuk kotapun takkan urung menoleh dengan mata
terbelalak mengawasi Yap Kay dan si raksasa berkelahi, dengan kaget dan takut-takut.
Akan tetapi kedua kakek dan nenek ini sebaliknya seperti tidak melihat apa-apa, acuh tak acuh seolah-olah tiada kejadian apa-apa, malah berpaling mukapun tidak.
Yap Kay berkata: "Kalian melirikpun tidak, karena sebelumnya kalian sudah tahu di tempat itu akan terjadi keonaran, lantaran keonaran itu pula sudah kalian
rencanakan sebelumnya untuk menutupi dan mengelabui
pandangan mata orang sehingga kalian bisa leluasa masuk kota."
Tak terdengar suara apapun dari bawah kereta.
Yap Kay pun tidak bersuara pula. Dengan pegang kendali dia perlambat lari kereta keledai itu.
Entah berapa lamanya kereta itu berjalan lambat-lambat, tiba-tiba orang di bawah itu berkata dengan tertawa dingin:
"Aku memang salah menilaimu, sungguh tak terduga olehku bahwa kau adalah orang demikian."
"Aku orang apa?" tanya Yap Kay.
"Orang yang harus mampus!"
Belum habis perkataan ini, keledai penarik kereta tiba-tiba meringkik kaget dan berjingkrak-jingkrak.
Yap Kay pun ikut melompat.
Di dalam waktu yang sama, dua orang menerobos keluar
dari bawah kereta.
Yang satu ke timur dan yang lain lari ke barat.
Gerak-gerik kedua orang sama cepat dan tangkas, jelas
kedua orang ini adalah si kakek dan si nenek yang tadi terbungkuk-bungkuk lemah seperti tak kuat berdiri.
(Bersambung ke Jilid-18)
Jilid-18 Yang dikejar Yap Kay adalah si kakek.
Ginkang kakek ini teramat tinggi, sampaipun Yap Kay,
sebetulnya belum tentu bisa mengejarnya.
Tapi gerak-gerik orang kelihatan sedikit kurang leluasa.
Mungkinkah karena sebelumnya sudah mengendap luka-
luka yang amat parah".
Apakah si kakek ini adalah penyamaran Hu-hong alias
Puncak Tunggal yang terluka oleh Payung Sengkala Kek Pin"
Kali ini Yap Kay tidak menggunakan pisaunya. Bila tidak saking terpaksa dia tidak akan mau menggunakan pisaunya karena pisaunya tidak khusus untuk membunuh.
Namun Yap Kay sendiripun tidak kalah cepat dan
tajamnya dari pisaunya itu. Pisau terbang.
Berurutan tiga kali lompatan turun naik berjarak, dia
sudah berhasil mengejar kakek tua itu. Sekali jejak kaki dan badan meluncur tinggi ke depan, terus bersalto sekali, waktu turun lagi dia sudah menghadang di depan si kakek.
Si kakek masih ingin menerjang ke jurusan lain, namun
entah kenapa badannya tiba-tiba seperti mengejang dan
bergemetaran, seakan-akan ada seutas cambuk yang tidak kelihatan melecut ke pundaknya dengan keras sekali.
Roman mukanya sudah dipoles dengan samaran bentuk
lain, sudah tentu tidak kelihatan bagaimana mimik
perasaannya saat itu. Tapi sorot matanya penuh diliputi derita dan kesakitan, amarah serta kebencian, laksana
tajam golok matanya menatap Yap Kay.
Ternyata kali ini Yap Kay tidak tertawa, diapun prihatin.
Mungkin dia ingin tertawa, namun tak bisa keluar tawanya.
Karena dia sudah kenal siapa orang yang menyamar jadi
kaek tua ini. "Jikalau kau belum terluka, aku terang takkan bisa menyandakmu," kata Yap Kay menghela napas, "memang kenyataan Ginkang-mu tiada bandingannya di seluruh dunia."
Terkepal kencang tinju si kakek, tanyanya: "Kau sudah mengenaliku?"
Yap Kay manggut-manggut, katanya muram: "Jangan lupa, sebetulnya kita kan kawan baik, teman kental."
Kakek tua menyeringai dingin, ejeknya: "Aku tidak punya teman seperti tampangmu."
Dia masih ingin mengepal tinjunya kencang-kencang,
membusungkan dada, sayang sekali badannya sudah
mengkeret dan lunglai saking menahan kesakitan. Sampai sorot matanya yang tajam tadipun mulai pudar. Umpama
kedua matanya itu memang seperti sebatang pisau, namun pisau yang sudah karatan.
"Luka-lukamu amat berat," kata Yap Kay.
Kakek itu kertak gigi, tidak bersuara.
Yap Kay menghela napas, katanya pula: "Setelah terluka parah, seharusnya tidak perlu kau merendam diri di dalam air panas."
Memang benar, dia sudah mengenali siapa kakek tua ini
sebenarnya. Kecuali Hwi-hou si Rase Terbang Nyo Thian, siapa pula yang memiliki Ginkang sehebat itu dan betul-betul membuat Yap Kay takluk"
Seseorang hendak menyembunyikan luka-luka di
badannya sendiri, ada tempat mana lagi yang lebih baik daripada berendam di dalam air panas"
Yap Kay berkata pula: "Tapi orang-orang Kang-ouw, siapapun takkan terhindar dari luka-luka, dan luka-luka itu bukannya sesuatu hal yang harus dibuat malu dan takut
diketahui orang lain. Kenapa kau mengelabui aku?"
"Karena.............." Nyo Thian tidak kuasa meneruskan kata-katanya.
Apakah karena dia tidak mampu memberi penjelasan"
Hakikatnya mulutnya tak kuasa membeber kedok aslinya
sendiri" "Kau mengelabui aku karena kau tentu mengira aku sudah tahu bila Hu-hong sudah terluka dan kau harus mengelabui aku lantaran kau adalah Putala Thian-ong alias Hu-hong si Puncak Tunggal dari Mo Kau."
Badan Nyo Thian mulai gemetar, namun sepatah katapun
tak kuasa dia katakan.
Apakah karena dia tahu hal yang dituduhkan atas dirinya tak mungkin di sangkal lagi"
Yap Kay menghela napas panjang, ujarnya: "Kepintaranmu selalu kukagumi. Oleh karena itu sungguh aku tidak habis mengerti, orang sepintar kau, kenapa justru sudi masuk anggota Mo Kau?"
Nyo Thian akhirnya mengeluarkan suara. Gelak tawa yang aneh dan tak bisa dilukiskan dengan rangkaian kata-kata.
Kekeh tawanya semakin keras, suaranya berkumandang
dan bergema di udara, anehnya badannya malah semakin
menyurut kecil, mengkeret menjadi kecil.
Di dalam waktu sekejap itu, seolah-olah dia sudah
berubah menjadi seorang kakek tua yang sebenarnya.
Begitu gelak tawa itu terputus dan berhenti, maka
badannyapun tersungkur roboh.
ooo)dw(ooo Sinar surya tetap cemerlang, namun Yap Kay sudah tidak merasakan kehangatan sinar surya lagi.
Sudah tentu Nyo Thian lebih tidak merasakan lagi. Dia
mati dengan gelak tawanya.
Seseorang bila menjelang ajal masih bisa tertawa,
sungguh bukan suatu hal yang gampang dilakukan. Akan
tetapi sebetulnya dia tiada alasan untuk tertawa.
Bila rahasia seseorang terbongkar dan ditelanjangi
secara terbuka, perduli dia masih hidup atau mau mati, jelas tidak akan bisa tertawa.
Lalu kenapa dia tertawa" Kenapa bisa tertawa"
Jari-jari Yap Kay terasa dingin, jidatnya basah oleh
keringat, keringat dingin. Terasakan olehnya di sela-sela gelak tawa Nyo Thian tadi, seolah-olah mengandung nada mengejek dan menghina yang aneh. Tapi dia tidak bisa
menyelaminya, apa maksud gelak tawanya"
Perduli apa maksudnya, sekarang sudah tiada makna dan
sudah tak berarti lagi, setelah orang mati, segala hak miliknyapun ikut lenyap, ikut kematiannya. Dan hanya satu hal saja yang dapat di bawa oleh orang mati, yaitu rahasia.
Apakah Nyo Thian pun membawa rahasia"
Orang mati kadang-kadang juga bisa bicara, cuma cara
bicaranya saja yang berlainan.
Apakah diapun bisa mengutarakan rahasianya ini"
Orang hidup bicara dengan mulut, lalu dengan apa orang mati harus bicara"
Menggunakan luka-lukanya.
Luka-luka itu sudah membusuk, yang mengalir keluar dari luka-lukanya adalah darah yang berbau dan berwarna hitam, namun luka-lukanya ini tidak besar.
Jikalau Yap Kay tidak menyaksikan sendiri, sungguh
takkan pernah dia mau percaya, luka-luka sebesar lubang jarum ini, ternyata bisa dan mampu merenggut jiwa si Rase Terbang Nyo Thian.
Angin menghembus dingin setajam pisau, namun suasana
sepi lengang. Pisau piranti membunuh bukankah juga tidak pernah
mengeluarkan suara"
Tapi suara yang didengar Yap Kay adalah langkah kaki
yang berlari-lari mendatangi tergopoh-gopoh. Dia tidak berpaling, karena dia tahu siapa yang tengah mendatangi.
Yang mendatangi adalah si nenek yang lari ke jurusan lain tadi.
Pakaian yang dipakainya sekarang sudah tentu bukan baju lengan panjang dan gaun ketat warna hitam itu. Roman
mukanya yang putih halus berbentuk bulat telur itu,
sekarang sudah berganti corak lain. Hanya sepasang
matanya saja yang tetap tidak berubah, sepasang mata nan sipit dinaungi alis lentik. Bila tertawa laksana gantolan yang mampu menggantol hati laki-laki.
Nyo Thian berada di depannya, di bawah kakinya, namun
melirikpun dia tidak kepadanya. Dia menatap kepada Yap Kay, seolah-olah dengan tatapan mata tua ini hendak
menggantol sukma Yap Kay.
Yap Kay menyingkap lengan baju sang korban lalu berdiri.
Lama sekali baru dia bersuara: "Dia sudah mati!"
"Aku dapat melihatnya."
"Apakah dia laki-lakimu?"
"Waktu dia masih hidup."
"Laki-lakimu sudah mati, perduli perempuan macam
apapun, sedikit banyak pasti sedih hati." Yap Kay kini balas menatapnya. "Tapi kulihat kau sedikit sedihpun tidak."
"Memang aku ini seorang janda. Dia bukan laki-lakiku yang pertama, bukan hanya dia seorang saja orang mati yang pernah kulihat." demikian ujar janda Ong, "peduli kejadian
apa, asal sudah biasa, maka hatipun takkan merasa duka lagi."
Walau dia menghela napas, namun siapapun yang
mendengar akan tahu di dalam helaan napasnya itu
sedikitpun tidak menandakan perasaan dukanya.
Yap Kay tidak bisa bicara apa-apa pula. Sedikitnya apa yang diucapkan memang benar, dan kata-kata yang benar itu biasanya sulit orang untuk mendebatnya.
Tiba-tiba janda Ong balik bertanya: "Kaukah yang
membunuhnya?"
"Tentunya kau sudah tahu bahwa dia sudah terluka."
"Tapi barusan dia masih segar bugar, kenapa sekarang tahu-tahu sudah mati?"
"Karena luka-lukanya tidak berat, namun racun yang mengendap di badannya terasa amat parah."
"Oh..", Janda Ong bersuara dalam mulut.
"Walau dia gunakan obat-obatan menekan dan kendalikan kadar racun itu sehingga tidak melebar, tapi karena dia lari tadi, dia harus gunakan tenaga, maka kadar racunnya lantas bekerja dan kumat."
Tiba-tiba janda Ong tertawa dingin, katanya: "Tahukah kau siapa dia sebenarnya?"
Sudah tentu Yap Kay tahu.
"Tahukah kau bukan saja si Rase Terbang Nyo Thian memiliki Ginkang tinggi, malah diapun memiliki kepandaian serba bisa."
"Mengobati luka-luka memunahkan racun adalah salah satu keahliannya."
"Tapi sekarang kau justru mengatakan dia mati
keracunan?"
"Dalam dunia ini masih ada semacam racun yang tak mungkin dia punahkan, maka kemungkinan saja dia mati
keracunan."
"Jadi bukan kau yang membunuhnya?"
"Selamanya aku tidak membunuh temanku sendiri."
"Apa benar dia temanmu?"
Yap Kay menghela napas, katanya muram: "Asal dia sehari pernah menjadi temanku, selamanya adalah temanku."
Berputar mata janda Ong, tiba-tiba dia merubah sikap,
Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
katanya tertawa genit: "Akupun pernah dengar bahwa kau adalah temannya."
"Memang dia temanku." ujar Yap Kay.
"Tapi akupun ada pernah dengar orang bilang sepatah kata."
"Perkataan apa?"
"Istri teman tak boleh dipermainkan untuk main-main setelah teman mati." Tawanya genit dan matanyapun jeli, bercahaya laksana rembulan. Katanya pula: "Kalau tidak salah, kaupun pernah mengatakan perkataan ini."
Yap Kay tertawa getir.
"Sekarang dia sudah meninggal, dan aku masih hidup segar bugar, kau....... " Janda Ong tidak melanjutkan perkataannya.
Yap Kay tahu apa maksud perkataannya. Asal laki-laki
tentu mengerti apa yang dimaksud.
Lama dia mengawasinya, tiba-tiba berkata: "Pernahkah kau melihat Han Tin?"
Sudah tentu janda Ong pernah melihatnya, katanya
dengan tertawa: "Bocah itu sebetulnya juga ada naksir kepadaku, sayang begitu melihat dia, aku lantas muak."
"Kenapa?"
"Karena hidungnya."
Yap Kay tertawa geli.
"Kelihatannya hidungnya itu mirip benar dengan terong yang busuk." kata janda Ong.
Yap Kay tersenyum, tanyanya: "Tahukah kau kenapa
hidungnya itu berubah begitu jelek?"
"Apakah dipukul orang?"
"Betul!"
"Kau tahu siapa yang memukulnya?"
"Bukan saja tahu, malah aku tahu jauh lebih jelas dari orang lain."
Janda Ong sudah mengerti, katanya tersenyum manis:
"Tentu kaulah yang memukulnya sampai pesek, benar tidak?"
"Benar!," ujar Yap Kay, "oleh karena itu, lebih baik kau lekas menyingkir, bawa jenazah laki-lakimu ini, kebumikan secara baik-baik."
Janda Ong merasa amat di luar dugaan, katanya: "Kau mengusirku" Kenapa?"
"Karena tanganku sedang gatal, kalau kau tidak lekas menyingkir, aku berani tanggung, cepat sekali hidungmu akan bisa ku rubah menjadi penyok seperti hidungnya Han Tin itu."
Seperti dikemplang muka janda Ong. Sesaat dia
kemekmek melongo, tanpa bicara lagi. Agaknya dia cukup tahu diri, tersipu-sipu dia angkat badan Nyo Thian terus menyingkir.
Setelah orang memasukkan jenazah Nyo Thian ke dalam
kereta dan mencongklangnya pergi, baru Yap Kay putar balik ke arah datangnya semula.
Langkahnya amat lambat. Di kala otaknya berpikir,
biasanya dia berjalan pelan-pelan.
Keluar dari gang sempit itu, akhirnya dia tiba di jalan besar, di depan masih berkerumun banyak orang,
mengerumuni sebuah kereta bobrok.
Song Lopan sudah mati di atas kereta, badannya hanya
dilubangi oleh luka-luka sebesar jarum. Luka-lukanya tepat di tengah-tengah kedua alisnya.
Yap Kay mendesak ke tengah kerumunan orang, sebentar
saja dia memeriksa, lalu mendesak keluar pula. Ternyata sedikitpun tidak terunjuk rasa kejut di mukanya, seakan-akan kejadia ini memang sudah berada dalam dugaannya.
Akhirnya dia melangkah balik ke Wan-ping-bun.
Raksasa itupun sudah mati, sama-sama hanya terluka
kecil sebesar jarum di tengah-tengah jidatnya. Luka-luka hanya sebesar jarum, namun si raksasa laksana menara ini mampu dibikinnya tak berkutik dan melayang jiwanya.
Orang-orang yang berkerumun menyaksikan kematian si
raksasa ini lebih banyak.
Baru saja Yap Kay hendak menyingkir diam-diam,
mendadak seseorang merenggut bajunya, katanya
menyeringai dingin: "Kau tidak lolos lagi."
ooo)dw(ooo Seseorang perduli pernah tidak melakukan perbuatan
tercela atau melanggar hukum, kalau mendadak dia
direnggut bajunya oleh seorang petugas hukum, seorang
opas, siapapun pasti akan terkejut.
Orang yang merenggut baju Yap Kay ini adalah seorang
opas yang memegang pentung pendek dengan topi beledru
yang diberi kuncir merah.
Dari samping ada orang yang berteriak: "Yang berkelahi dengan Song Lopan tadi memang dia........."
"Aku sudah tahu memang dia........."
Opas itu ganti memegang pergelangan tangan Yap Kay,
cara pegangnya menggunakan Siau-kim-na-jiu-hoat.
Kata opas tertawa dingin: "Kau menamatkan dua jiwa manusia, masih berani muncul lagi, tidak kecil ya nyalimu!"
Sudah tentu kalau mau Yap Kay gampang saja
membebaskan diri dari pegangan tangan orang. Menghadapi
ilmu Siau-kim-na-jiu-hoat yang ada 72 jalan itu, sedikitnya dia punya 144 macam cara untuk memecahkannya. Tapi dia tidak berbuat demikian. Dia mandah saja tangannya
dipegang. Bukan dia takut menghadapi opas ini, namun dia patuh dan menghormati petugas hukum ini.
Peduli opas ini manusia macam apa, dia tetap sama patuh dan menghormatinya, karena yang dia hormati bukan pribadi opas, namun adalah undang-undang hukum yang diwakili oleh si opas untuk ditegakkan pada jalan yang lurus dan benar.
Malah membela diri atau mungkir serta mendebatpun tidak.
Peristiwa serumit ini memang si opas takkan bisa
memberi pengertian. Tak mungkin orang paham meski kau
menjelaskan sampai ludahmu kering. Hakekatnya Yap Kay
memang tidak bisa memberi sangkalan atau penjelasan. Di tempat seramai inipun bukan letaknya untuk dia bicara.
Lekas sekali opas itu sudah mengurusnya naik ke sebuah kereta, bentaknya beringas: "Jiwa manusia menyangkut firman Thian, undang-undang kerajaan harus ditegakkan, umpama kau punya nyali setinggi langit, akupun tak usah kuatir kau takkan mengaku."
Yap Kay menurut saja digusur naik kereta. Setelah
kereta bergerak meluncur ke depan, tak tahan baru dia
bertanya: "Sebetulnya apa keinginanmu atas diriku?"
"Peduli apa, ku sekap kau lebih dulu."
"Lalu bagaimana?"
"Lalu kugunakan ayam muda membikin kaldu dicampur kolesom yang paling baik mutunya. Kubikinkan empat lima
macam hidangan untuk teman arak Cu-yap-ceng yang
kupanasi. Silahkan kau makan sekenyangmu."
Seketika bersinar kedua biji mata si opas, sorot mata
yang senang dan geli, suaranyapun berubah lembut dan halus laksana hembusan angin sepoi-sepoi di musim semi.
Yap Kay menghela napas, katanya getir: "Sekarang
terhitung aku sudah mengerti, kiranya kau hendak
melolohku sampai mati."
ooo)dw(ooo Tim ayam yang disedu dengan kolesom masih
mengepulkan uap hangat. Enam masakan mengiring makan
adalah sepiring daging kepala babi goreng, sepiring saos udang, sepiring ayam Pauhi, sepiring rebung goreng masak Haysom, semangkok sop telur burung dan sepiring sosis babi dicampur tiram goreng. Di samping itu ada pula sebungkus kacang kulit. Cu-yap-ceng ternyata sudah dihangatkan pula.
Bagi orang-orang daerah utara minum arak memang ada
seninya. Bukan saja arak kuning harus diseduh baru
diminum, demikian pula Cu-yap-ceng yang disuguhkan inipun menirukan cara yang berseni itu.
Tiga cangkir arak masuk perut, seketika pertempuran
sengit di malam hari, luka-luka kecil yang mengeluarkan darah kental hitam, seakan-akan sudah terlupakan sama
sekali oleh Yap Kay.
Siangkwan Siau-sian mengawasinya sambil bertopang
dagu di seberang meja, katanya tertawa lebar: "Untuk meloloh kau sampai mati, agaknya bukan soal gampang."
Yap Kay tidak bersuara, mulutnya tidak sempat
menjawab. "Walau cepat sekali kau melalap hidangan ini, namun arak sedikit yang kau minum."
Dengan ujung matanya Yap Kay melirik orang, katanya:
"Sebetulnya kau hendak melolohku mati dengan arak ini atau ingin aku menghabiskan hidanganmu sampai perutku
pecah?" "Sebetulnya aku ingin membuatmu kaget sampai mati,"
kata Siangkwan Siau-sian, "jelas kau tahu bahwa orang-orang di sekitar kejadian itu sama tahu bahwa barusan kau bertengkar dan berkelahi dengan Song Lopan dan si
raksasa, ternyata kau masih berani putar kayun di tempat itu. Kiranya nyalimu memang keliwat besar."
"Kau kuatir aku dikenali orang dan ditangkap serta diserahkan kepada opas?"
"Bagaimana juga daripada terlibat banyak urusan lebih baik kau menghindarinya, kenapa harus mencari kesulitan?"
"Oleh karena itu kau lantas menyibukkan diri menyamar jadi opas pura-pura membekukku?"
"Sebetulnya aku sendiripun rada takut."
"Apa yang kau takutkan?"
"Aku takut bila kesamplok dengan opas yang sungguhan."
Yap Kay menghela napas, katanya: "Tak kukira, ada juga sesuatu dalam dunia ini yang masih ditakuti Siangkwan
Pangcu." "Memangnya kau kira hanya satu hal itu belaka yang selalu kutakuti?" ujar Siangkwan Siau-sian menghela napas.
"Apa lagi yang kau takuti?"
"Yang jelas akupun takut kepada Yap Pangcu."
"Yap Pangcu?"
"Siapakah Yap Pangcu dari Hoa-seng-pang, masakah kau sudah melupakannya?"
Yap Kay tertawa besar, segera dia angkat cangkirnya
terus tenggak secangkir penuh. Tiba-tiba dia bertanya:
"Menurut pendapatmu, Hoa-seng (kacang) lebih baik atau Kim-ci (uang emas) lebih baik?"
"Aku tidak tahu," sahut Siangkwan Siau-sian, "yang jelas uang seketip cukup untuk membeli banyak kacang."
"Tapi sifat kacang itu sendiri sedikitnya ada yang lebih baik dari uang emas."
"Dalam hal apa kacang lebih baik dari uang emas?"
"Kacang boleh dimakan."
Yap Kay menguliti sebutir kacang, terus dilempar ke atas dan dicaplok mulutnya waktu melayang jatuh. Pelan-pelan dikunyahnya, lalu meneguk araknya pula. Katanya: "Jikalau kau bisa mengiring arak dengan uang emasmu, baru aku
betul-betul tunduk dan mengakui kau memang hebat."
"Apa yang kau katakan selalu rasanya memang masuk di akal."
"Sudah tentu, memangnya harus disangsikan?"
"Sayang kau melupakan satu hal," ujar Siangkwan Siau-sian, "tanpa uang, tiada arak, tak bisa makan kacang."
Sekilas Yap Kay berpikir, akhirnya dia mengakui: "Apa yang kau katakan kedengarannya juga bukannya tidak
beralasan."
"Sudah tentu," ujar Siangkwan Siau-sian senang.
"Tapi kaupun melupakan satu hal." ujar Yap Kay, "belum cukup kalau punya uang saja, uang emas itu sendiri belum tentu bisa membikin hidup manusia gembira."
Tanpa pikir Siangkwan Siau-sian lantas mengakui: "Oleh karena itu selama ini aku sedang berusaha mencarinya."
"Mencari apa?"
Siangkwan Siau-sian menatapnya, matanya nan indah
selembut alunan air, katanya: "Mencari sesuatu yang benar-benar bisa membuat hatiku gembira."
Dingin suara Yap Kay: "Kecuali uang emas, apa pula yang ada dalam dunia ini bisa membuatmu gembira?"
"Hanya satu saja."
"Apakah itu?"
"Kacang!"
Yap Kay terloroh-loroh. Kembali dia membuka sebutir
kacang, serta berkata tertawa: "Kau kembali melupakan satu hal, bahwa uang emas dan kacang hakikatnya bukan
pasangan yang setimpal."
"Bukankah paku dan palu juga bukannya pasangan
setimpal?"
Yap Kay mengakui dan sepandangan.
"Tapi bilamana mereka berada bersama, semuanya sama-sama senang."
"Sama-sama senang?"
Siangkwan Siau-sian manggut-manggut.
"Karena tanpa palu, paku itu tidak akan berguna, tiada paku, palu itu sendiripun tidak bisa menunjukkan
manfaatnya." dengan tersenyum dia menambahkan: "Jikalau seorang tidak bisa mengembangkan bakat dan manfaat
dirinya bagi orang banyak, itu berarti barang rongsokan yang tak berguna lagi. Bukankah barang buangan takkan bisa senang?"
Yap Kay setuju dan dapat menerima perumpamaan ini.
"Oleh karena itu mereka hanya bersatu padu baru bisa sama-sama senang."
Sorot matanya memandang tajam, meneliti mimik muka
Yap Kay. Yap Kay malah melengos menghindari tatapan orang. Dia
menyingkir dari kenyataan"
Siangkwan Siau-sian meneruskan: "Aku tahu dalam
hatimu pasti juga sudah mengerti, bahwa apa yang ku
utarakan seratus persen memang beralasan."
Yap Kay tidak bisa menyangkal.
"Sekarang Tolka, Putala dan Panjapana sudah mati, tiga di antara Su-toa-thian-ong sudah mati. Walaupun
rongsokan-rongsokan itu belum seluruhnya dihancurkan,
tetap takkan berguna lagi."
Kerlingan matanya selembut alunan ombak, kembali
berubah setajam paku yang menancap di ulu hati orang. Tapi dia bukannya paku, dia hanyalah sebuah palu.
"Kalau Mo Kau sudah runtuh, di seluruh jagat raya ini, aliran atau golongan mana yang bisa berdiri menandingi kebesaran kita?"
"Kita?" seru Yap Kay melengak.
"Ya, kita!" ujar Siangkwan Siau-sian. Diapun tidak tertawa.
"Sekarang Kim-ci ditambah Hoa-seng, yang dilambangkan di dalam simbol persatuan ini bukan hanya kesenangannya saja."
Yap Kay tengah mengunyah kacang. Kacang biasanya
dikunyah orang, sebaliknya kalau paku selalu di palu. Akan tetapi bilamana tiada manusia mengunyah, tetap kacang itu akan membusuk juga, kalau tiada orang yang memalu, paku itu sendiripun akhirnya bisa karatan.
Lalu apakah nilai kehidupan itu" Bukankah kacang
memang harus dikunyah oleh orang" Demikian pula bukankah paku pasti harus di palu bila dimanfaatkan manusia" Lalu kehidupan atau manfaat mereka baru bisa berguna secara nyata.
Agaknya hati Yap Kay sudah tergerak dan mulai terbujuk.
Halus lembut suara Siangkwan Siau-sian: "Aku tahu di dalam benakmu pasi beranggapan bahwa aku menginginkan
kau menjadi paku."
"Memangnya kau tidak berpikir demikian?" tanya Yap Kay.
"Kau tentu bisa melihatnya, bahwa aku bukan sebuah palu yang menakutkan." kata Siangkwan Siau-sian seraya mengulur tangan mengenggam tangan Yap Kay.
Tangannya halus lembut laksana sutra.
Yap Kay menghela napas, katanya: "Kau memang bukan, sayang sekali........."
"Sayang sekali, di antara kacang dan uang emas itu, masih ada sebuah kelintingan?"
Yap Kay hanya menyengir kecut.
"Ting Hun-pin memang seorang gadis yang baik sekali, jikalau aku ini laki-laki, akupun akan mencintainya."
"Tapi kau bukan laki-laki."
"Sedikitnya aku tidak membenci dia."
"Apa benar?"
Siangkwan Siau-sian tertawa-tawa, katanya tawar:
"Jikalau aku membenci dia, kenapa aku membawa kau untuk menemui dia?"
"Lalu kenapa?" tanya Yap Kay menatap muka orang.
"Karena aku sekarang sudah mengerti, laki-laki seperti dirimu, bukan hanya seorang perempuan saja yang boleh
memilikinya, kau tidak bisa di monopoli seorang perempuan, aku sendiri sudah tiada pengharapan seperti itu."
Tatapannya lebih manis, aleman, katanya pula merdu:
"Uang emas bisa digembleng jadi sebuah kelinting, kelinting
itupun bisa dipukul gepeng menjadi besi, lalu kenapa aku tidak bisa berubah menjadi satu orang sama dia?"
Yap Kay tetap menyingkir dari tatapan mata orang.
"Umpama kata, kau dapat memandangku sama dia menjadi satu orang, kita pasti bisa memperoleh kesenangan, kalau tidak.....?"
"Kalau tidak bagaimana?" tanya Yap Kay tak tertahan.
"Kalau tidak Kim-ci (Uang emas), Hoa-seng (Kacang) dan Ling-tang (Kelinting) bukan mustahil akhirnya akan sama-sama menderita dan hidup merana sepanjang umurnya."
Akhirnya Yap Kay berpaling mengawasinya.
ooo)dw(ooo Hari sudah mendekati magrib.
Matahari sudah sampai di garis cakrawala, pelan-pelan
tapi pasti, sinarnya sudah tidak lagi dapat menembus tabir gelapnya malam yang turun pelahan-lahan, tetapi pasti akan menelan bumi. Dan sinar surya terakhir kali masih menyinari daun jendela itu, memancarkan cahaya kuning nan guram
mirip sinar lampu yang terpasang di dalam rumah, hangat laksana di musim semi.
Kerlingan mata Siangkwan Siau-sian justru lebih hangat dan cemerlang dari cahaya surya terakhir menjelang senja ini. Mungkin musim semi adalah dia yang membawanya dtang.
Seorang perempuan yang bisa membawa datangnya musim
semi, bukankah merupakan impian bagi setiap laki-laki yang merindukannya"
Siangkwan Siau-sian menggigit bibir, katanya:
"Gelagatnya belum pernah kau memandangku seperti kali ini."
"Aku....."
"Kau jarang mengawasi aku, maka kau belum jelas
mengetahui hakikatnya perempuan macam apa aku ini, dan justru karena kau belum tahu perempuan macam apa
sebetulnya aku ini, maka kau jarang mau melihati diriku."
Yap Kay mengakui kebenaran ini.
Kerlingan lembut mata Siangkwan Siau-sian kelihatan
muram dan syahdu, katanya: "Aku tahu kau pasti
beranggapan bahwa aku ini perempuan yang paling
sembarangan, punya dan sering bergaul dengan banyak laki-laki, yang benar.....yang benar, kelak kau akan tahu
sendiri....."
"Tahu apa?", tanya Yap Kay
Tertunduk kepala Siangkwan Siau-sian, katanya lirih:
"Kelak kau akan tahu, kau bukan saja adalah laki-lakiku yang pertama, juga laki-lakiku yang terakhir."
Ini jelas bukan membual, seorang perempuan yang pintar, jelas tidak akan sudi membual karena bualannya itu
sembarangan waktu mungkin saja terbongkar. Hal ini
sekaligus membuktikan bahwa dia memang betul-betul
seorang gadis yang cerdik.
Hati Yap Kay yang kukuh keras itu seakan-akan sudah
luluh, tanpa sadar dia menggenggam kencang tangannya,
katanya halus: "Tak perlu menunggu sampai kelam, sekarang juga aku sudah percaya."
Bercahaya mata Siangkwan Siau-sian, segera dia
berjingkrak berdiri serunya: "Hayolah, kita cari
kelintingan."
"Dia..."
"Bahwa dia tahu menyembunyikan diri ke sini, pastilah kesadarannya belum lenyap seluruhnya, asal kita merawat dan mengasuhnya dengan baik dan hati-hati, dia pasti akan lekas sembuh."
Terunjuk rasa terima kasih pada pandangan mata Yap
Kay, kelihatannya selama ini dia memang belum menyelami jiwa gadis ini sesungguhnya.
"Tadi, waktu aku keluar, dia sudah tidur lagi, aku suruh Han Tin menunggu dan melindunginya."
"Si gurdi itu?"
"Asal kau bisa menggunakannya, gurdipun banyak
manfaatnya."
"Kau sudah bisa mempercayai dia?"
"Dia bukan laki-laki baik, tapi aku sudah yakin, dia pasti tidak akan berani berbuat sesuatu yang mendurhakai
diriku." Tempat di mana mereka minum arak, sudah tentu berada
di Leng-hiang-wan juga, maka cepat sekali merekapun bisa sampai ke tempat Ting Hun-pin.
Melewati pintu di pojok tembok sana, mereka memasuki
Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pekarangan di mana Ting Hun-pin menempati sebuah kamar.
Senjapun menjelang.
Suasana dalam pekarangan tenteram, tenang dan damai.
Pintu hanya dirapatkan saja, lampu belum di sulut di dalam kamar.
Melewati pekarangan kecil yang lengang itu, mereka tiba di depan pintu. Baru sekarang Siangkwan Siau-sian
melepaskan tangan Yap Kay.
Bukan saja dia lembut, diapun prihatin dan telaten
meladeni. Lelaki selalu haru dan bisa tunduk karena
perempuan yang telaten meladeni.
"Dia tentu masih tidur nyenyak."
"Bisa tidur adalah keberuntungannya."
Siangkwan Siau-sian tersenyum. Pelan-pelan dia
mendorong daun pintu, Yap Kay ikut masuk di belakangnya, namun belum lagi kakinya melangkah ke kamar, tiba-tiba terasa olehnya badan Siangkwan Siau-sian berhenti dan
kaku mengejang.
ooo)dw(ooo Di dalam rumahpun sunyi lengang, tenang dan tenteram,
kehangatan sinar surya masih terasakan di pojokan rumah sana, namun orang yang sebetulnya ada di rumah sudah
tidak kelihatan lagi.
Ting Hun-pin hilang, demikian pula Han Tin lenyap.
Dengan terbelalak kaget Siangkwan Siau-sian mendelong
mengawasi ranjang yang kosong. Saking gugup air matapun sudah bercucuran membasahi pipinya.
Yap Kay malah lebih tenang dan tabah, dengan kalem dia menyulut lampu, lalu bertanya: "Kau menyuruh Han Tin menjaga di sini?"
Siangkwan Siau-sian manggut-manggut.
"Mungkinkah dia meninggalkan tempat ini?"
"Tidak mungkin! Aku berpesan wanti-wanti kepadanya, tanpa perintahku, dia tidak akan berani meninggalkan ini barang satu langkahpun."
"Kau yakin benar?"
"Dia tidak akan berani menentang kehendakku. Dia masih ingin hidup."
"Tapi kenyataan sekarang dia tidak berada di sini."
Pucat muka Siangkwan Siau-sian, ujarnya: "Kukira pasti ada sebabnya, pasti ada........."
"Menurut pendapatmu, karena apa dia pergi dari sini?"
Siangkwan Siau-sian tidak menjawab, dia tidak bisa
memberi jawaban.
"Bukan saja dia pergi, malah diapun menggondol Ting Hun-pin, dia.............."
"Ting Hun-pin pasti bukan dia yang membawa pergi."
tukas Siangkwan Siau-sian.
"Kau berani memastikan?"
Siangkwan Siau-sian manggut-manggut.
Dia memang bukan orang yang berani berkeputusan
secara serampangan, analisa dan putusannya biasanya amat tepat.
"Pukulan batin dan rasa kagetnya terlalu berat, oleh karena itu hatinya selalu diliputi ketegangan, sekali-kali tidak boleh mengalami sedikit pukulan lahir batin lagi."
"Menurut pendapatmu, apa pula yang terjadi si ini, sehingga dia kaget, maka mendadak dia melarikan diri."
"Tentunya begitulah kejadiannya."
"Kalau dia melarikan diri, sudah tentu Han Tin harus mengejarnya."
"Oleh karena itu mereka berdua tidak berada di sini pula."
"Di kala dia pergi mengejar, kenapa tidak meninggalkan sesuatu tanda, supoaya kita bisa ikut mengejar menurut petunjuknya."
"Pasti mengejar secara mendadak dan tergopoh-gopoh, di dalam waktu sesingkat itu tidak sempat lagi untuk
meninggalkan sesuatu petunjuk."
Yap Kay hanya menghela napas saja, tidak bertanya lebih lanjut. Biasanya memang dia bukan orang yang selalu panik dan kebingungan sendiri setiap menghadapi persoalan,
selamanya dia tetap tenang dan tabah menghadapi peristiwa segenting apapun. Semakin besar tekanan dan peristiwa
yang dia hadapi, semakin tabah dan mantap hatinya.
Kata Siangkwan Siau-sian menggigit bibir: "Kalau dia pergi mengejar, perduli kucandak atau tidak, akhirnya pasti akan kembali memberi kabar."
"Ya!", kata Yap Kay.
"Sekarang umpama kita mau keluar mencarinya, juga tidak tahu kemana harus menemukan dia." demikian dia mengoceh sendirian "Oleh karena itu sementara kita hanya bisa menunggu saja di sini, menanti kabar."
Yap Kay tetap tenang-tenang seraya bersuara dalam
mulut. Siangkwan Siau-sian mengawasinya, akhirnya dia sendiri tidak sabar lagi, tanyanya: "Kelihatannya kau sendiri malah tidak gugup?"
"Buat apa gugup, apa gunanya gugup?"
"Tidak ada gunanya?"
"Kalau tiada gunanya, kenapa aku harus gugup."
Kedengaran jawaban Yap Kay acuh tak acuh dan wajar,
namun air mukanyapun sudah tidak seperti biasanya. Pelan-pelan dia duduk di pinggir ranjang setelah ada tempat buat duduk. Kenapa dia tidak merebahkan diri" Dan akhirnya
memang dia merebahkan diri di atas ranjang.
Sebaliknya saking gelisah dan gugup Siangkwan Siau-sian tidak betah lagi duduk di kursinya, katanya mengerut alis:
"Tempat ini terlalu dingin, lebih baik kita........."
Belum habis dia bicara, tiba-tiba Yap Kay berjingkrak
bangun, seolah-olah dia terbacok golok saking kagetnya.
Kebetulan dia menghadap ke arah lampu, tampak mimik
mukanya seperti diiris pisau.
Selamanya belum pernah Siangkwan Siau-sian melihat
mimik orang yang begitu kaget dan ketakutan. Sesaat dia melongo dengan jantung berdebar-debar, tanyanya
memberanikan diri: "Ada apa?"
Yap Kay tidak bersuara, seakan-akan tenggorokannya
sudah mengejang kaku sampai mulutnya tak kuasa
terpentang lagi, sehingga suaranyapun tak bisa keluar.
Lekas Siangkwan Siau-sian maju menghampiri. Begitu dia tiba di depan ranjang, wajahnya nan cantik jelita seketika berubah hebat. Berbareng hidungnya mencium sesuatu bau yang aneh, bau yang memualkan dan bisa bikin orang
muntah-muntah. Bau anyirnya darah.
Mereka tiada yang terluka dan mengeluarkan darah, lalu darimana datangnya bau amis ini"
Cari punya cari akhirnya ketemu, bau amis itu keluar dari bawah ranjang.
Darimana datangnya bau amis itu, kok bisa berada di
bawah ranjang" Memangnya di bawah ranjang ada orang
mati" Lalu siapakah yang mati di bawah ranjang?"
Ranjang dipan itu tidak terlalu besar, sekali angkat
dengan gampang segera tersingkap. Beberapa pertanyaan
itu lekas sekali sudah terjawab. Namun Yap Kay tidak
mengulurkan tangan, lengannya kaku, jari-jarinya
mengejang, sungguh dia tiada keberanian untuk mengangkat ranjang ini.
Jikalau benar ada mayat di bawah ranjang, maka yang
mati pasti adalah Ting Hun-pin.
Sementara itu Siangkwan Siau-sian sudah ulurkan tangan.
Memang benar di bawah ranjang ada sesosok mayat.
Belum lama dia mati karena darah masih mengalir dan belum kering.
Ternyata yang mati bukan Ting Hun-pin, namun Han Tin.
ooo)dw(ooo Yap Kay melongo, Siangkwan Siau-sian terkejut dan
menjublek. Bagaimana mungkin yang mati malah Han Tin"
Yap Kay tidak mengira, Siangkwan Siau-sian tidak habis mengerti.
Bahwa kenyataan Han Tin sudah mati di sini, lalu dimana Ting Hun-pin"
Pelan-pelan Siangkwan Siau-sian menurunkan ranjang,
pelan-pelan putar badan melangkah lambat-lambat ke
jendela serta mendorongnya membuka.
Di luar jendela tabir malam hitam pekat, tanpa belas
kasihan dia sudah menelan bumi bulat-bulat.
Menghadapi tabir malam yang tidak kenal kasihan ini,
lama Siangkwan Siau-sian menepekur. Setelah menghirup
napas segar, baru dia bersuara pula: "Ternyata dia membunuh Han Tin lebih dulu, baru melarikan diri."
"Kau kira diakah yang membunuh Han Tin?"
"Kau kira bukan dia yang membunuhnya?"
"Pasti bukan!"
"Kau bisa membuktikannya?"
"Ilmu silat banyak ragamnya, yang paling menakutkan dan paling manjur justru hanya satu."
"Satu yang mana?"
"Hanya ilmu silat piranti membunuh baru betul-betul kepandaian silat yang paling manjur."
Siangkwan Siau-sian manggut-manggut, dia dapat
menerima pendapat ini. Diapun tahu banyak orang memiliki sifat tinggi hati, namun dia tidak bisa membunuh dan takut berani membunuh orang.
"Di dalam ilmu kepandaian untuk membunuh orang, jelas sekali Ting Hun-pin terpaut jauh dibanding Han Tin, dia bukan tandingan Han Tin."
"Oleh karena itu kau berani memastikan bahwa kematian Han Tin bukan karena Ting Hun-pin yang membunuhnya."
"Ya, pasti bukan!"
"Tapi sekarang Ting Hun-pin sudah pergi, Han Tin
kenyataan sudah mati di sini."
Inilah kenyataan, siapapun takkan bisa mendebat dan
menumbangkan kenyataan.
"Jikalau bukan Ting Hun-pin yang membunuhnya" Lalu siapakah yang membunuhnya?"
Memang tidak banyak tokoh-tokoh silat yang mampu
membunuh Han Tin, apalagi kecuali Ting Hun-pin, tiada
orang lain di dalam rumah ini.
"Jikalau dia tidak mati, pasti tidak akan membiarkan Ting Hun-pin pergi, memangnya ada orang membunuhnya lebih
dahulu baru menggondol pergi Ting Hun-pin?", Siangkwan Siau-sian mengutarakan pikirannya.
Siapa yang mampu menjawab pertanyaan ini"
Yap Kay bergerak ke arah jendela yang lain, diapun
mendorong daun jendela. Lain jendelanya, namun tabir
malam di luar jendela sama-sama gelap pekat, sama-sama dingin dan sama-sama tidak kenal kasihan.
Lama dia berdiri menjublek tanpa bergeming sedikitpun, sorot matanya segelap tabir malam yang menelan bumi di luar jendela.
Siangkwan Siau-sian tertunduk dan termangu-mangu,
akhirnya dia menghela napas, katanya: "Tadi seharusnya tidak pantas kuajukan pertanyaanku."
Yap Kay diam saja.
"Satu hal yang paling penting sekarang adalah selekasnya berusaha menemukan Ting Hun-pin, dia.........."
"Tidak perlu mencarinya," tiba-tiba Yap Kay menukas kata-katanya.
Siangkwan Siau-sian melengak keheranan, selamanya tak
pernah terpikir olehnya bahwa Yap Kay bakal mengeluarkan perkataan ini. Tak tahan dia berpaling serta mengawasinya dengan kaget.
"Maksudmu, kita tidak perlu mencarinya?"
"Ya, tidak perlu."
"Kenapa tidak mencarinya?"
"Kalau sudah ada orang yang tahu di mana dia sekarang berada, kenapa susah-susah mencarinya?"
"Siapa yang tahu dimana sekarang dia berada?"
"Kau!"
Siangkwan Siau-sian semakin kaget, serunya: "Maksudmu, bahwa aku tahu di mana dia berada?"
"Sudah kukatakan dengan jelas, kau sendiripun
mendengar dengan terang."
Terbeliak mata Siangkwan Siau-sian mengawasi Yap Kay,
tidak bergerak, tidak bersuara, seperti terlongong.
Yap Kay berkata: "Tiga dari Su-toa-thian-ong Mo Kau memang sudah mati, namun Hu-hong si Puncak Tunggal
sendiri belum mati."
"Nyo Thian belum mati maksudmu?"
"Nyo Thian bukan Hu-hong, juga bukan Lu Di."
"Apakah Nyo Thian tidak terluka?"
"Dia memang terluka, cukup parah malah, tapi orang yang terluka belum tentu pasti Hu-hong."
Memang, bola itu bundar, tapi belum tentu setiap benda bundar pasti bola.
"Jikalau dia bukan Hu-hong karena tidak berani
memberitahu kepadamu kalau dia terluka, kenapa dia
mengelabui kau?"
"Karena diapun menyangka aku adalah budakmu, dikiranya aku sudah masuk Kim-ci-pang."
Siangkwan Siau-sian tiba-tiba menghela napas, ujarnya:
"Apa yang kau katakan, sepatah katapun aku tidak
mengerti."
"Kau harus mengerti, dan hanya kau saja yang mengerti."
"Kenapa?"
"Karena orang yang turun tangan melukai dia adalah kau."
"Jikalau aku tidak memahami dirimu, pasti mengira kau sedang mabuk."
"Selamanya belum pernah aku berpikiran sejernih dan sesadar sekarang."
"Nyo Thian sebetulnya adalah pembantuku, kenapa aku turun tangan melukai dia?"
"Karena dia hendak membunuhmu lebih dulu."
Siangkwan Siau-sian tertawa, tawanya mirip sekali
dengan senyuman Yap Kay dikala dia kehabisan akal bersikap apa boleh buat.
Namun kali ini justru Yap Kay tidak tertawa. Sikap dan mukanya kini selamanya tak pernah seserius seperti
sekarang ini. Dengan muka sungguh-sungguh, dia berkata:
"Sudah lama dia punya niat hendak membunuhmu, namun tiada kesempatan, terpaksa dia mencoba membunuhmu
dengan menyerempet bahaya."
"Membunuh secara gelap?"
Yap Kay manggut-manggut, katanya: "Mungkin dia menilai rendah ilmu silatmu, mungkin secara tidak sengaja dia
menemukan dirimu terluka, maka dia berkeputusan
menggunakan kesempatan ini untuk mencoba menyerempet
bahaya." Siangkwan Siau-sian diam saja, dia sedang pasang kuping.
Dia tidak mendebat, seakan-akan dia anggap persoalan ini tidak perlu dia debat meski secara langsung menyangkut dirinya.
"Di kala dia berkeputusan turun tangan, tentunya terjadi pada malam tanggal satu yaitu malam tahun baru."
Siangkwan Siau-sian tertawa, katanya: "Jikalau hendak membunuh seseorang secara diam-diam, malam tahun baru
memang waktu yang tepat dan paling baik."
"Waktu dia pergi membunuh, sudah tentu mengenakan kedok muka."
"Sudah tentu!" ujar Siangkwan Siau-sian.
Memang siapapun yang hendak jadi pembunuh secara
diam-diam, pasti menutupi mukanya dengan secarik kain
atau sapu tangan. Memangnya siapa yang sudi kebongkar
kedok aslinya"
"Semula dia kira rencananya sudah matang, maka
keyakinannya terlalu besar. Tak tahunya kepandaian ilmu silatmu jauh lebih tinggi dari apa yang dia bayangkan, oleh karena itu bukan saja dia tidak berhasil, malah dia kena kau lukai."
"Untuk membunuh aku, memang bukan suatu hal yang
gampang." "Tapi, kaupun agak menilai rendah dia."
"Apanya yang kunilai rendah?"
"Ginkangnya teramat tinggi, walau tidak tercapai
keinginannya membunuhmu, dia tetap masih bisa melarikan diri."
"Hendak menangkap seekor rase yang bisa terbang,
sudah tentu bukan kerja yang mudah."
"Kau kira dia sudah tersambit jarummu yang beracun, umpama bisa melarikan diri, pasti takkan bisa lari jauh.
Siapa tahu dia ada memiliki obat mujarab yang khusus untuk mengobati macam-macam racun, ternyata obatnya itu
sementara dapat mempertahankan jiwanya."
"Tapi asal aku bisa mencari tahu siapa-siapa yang terluka, aku akan segera tahu siapakah pembunuh gelap itu."
"Oleh karena itulah dia mengelabui aku, tidak berani memperlihatkan luka-lukanya kepadaku."
"Pasti dia menyangka akulah yang mengutusmu untuk menyelidiki siapakah pembunuh itu."
"Sudah tentu dia tidak pernah menyangka bahwa kau sudah tahu bahwa pembunuhnya adalah dia."
"Darimana aku tahu?"
"Dia kira janda Ong itu sudah tunduk lahir batin dan patuh kepadanya, dia kira janda Ong bisa menyimpan
rahasianya, tak nyana......"
"Tak nyana janda Ong justru memberitahu rahasia ini kepadaku."
"Betapapun cerdik pandainya laki-laki, bukan mustahil bila akhirnya dia jatuh karena dijual dan dikhianati oleh perempuan."
"Mungkin lantaran kaum laki-laki umumnya selalu
menyangka perempuan adalah kaum lemah, perempuan
semuanya bodoh."
Yap Kay manggut dan sependapat.
"Kalau aku sudah tahu bahwa dia itulah pembunuhnya, kenapa tidak kubunuh dia?"
"Karena untuk membunuh orang yang kau incar, biasanya kau suka meminjam tangan orang lain."
"Bisa meminjam senjata orang lain untuk membunuh
seseorang yang diincarnya, memang suatu hal yang
menggembirakan."
"Kalau kau gembira, sebaliknya aku tidak senang."
"Kenapa?"
"Karena kali ini yang ingin kau pinjam adalah pisauku."
"Aku ingin meminjam pisaumu untuk membunuh Nyo
Thian?" "Hu-hong terluka, aku sedang mencari Hu-hong,
kebetulan Nyo Thian pun terluka, malah dia tidak berani memberitahu tentang luka-lukanya itu kepadaku, soal lain tak ubahnya seperti satu tambah satu ditambah lagi satu, sudah tentu menjadi tiga."
"Oleh karena itu aku berpendapat bilamana kau bisa menemukan Nyo Thian, pasti bisa mengira bahwa dia itulah Hu-hong."
"Semula aku sendiripun hampir menyangka bahwa dia itulah Hu-hong."
"Penjelasanmu yang panjang lebar ini kedengarannya masuk di akal, sayang kau melupakan satu hal."
"Satu hal apa?"
"Untuk membunuh orang pasti ada sebab musababnya.
Untuk membunuhku, sudah tentu harus mempunyai alasan
yang baik, karena siapapun harus tahu bahwa apa yang harus dia kerjakan bukanlah suatu kerja yang mudah."
Yap Kay membenarkan.
Memang bukan soal gampang untuk membunuh Siangkwan
Siau-sian. "Nyo Thian cukup tahu akan keadaan diriku, terhadapnya akupun cukup baik, kenapa dia berani menyerempet bahaya hendak membunuhku?"
"Akupun cukup mengenal watak dan karakternya, dia memiliki ambisi yang terlalu besar, karena ambisinya itulah maka dia mau masuk ke Kim-ci-pang."
Untuk pendapat Yap Kay ini, Siangkwan Siau-sian dapat
menerimanya. "Semakin mendalam dan tinggi kedudukannya, semakin jelas mengetahui betapa besar kekuatan Kim-ci-pang, maka semakin besar pula ambisinya."
"Sayang sekali sehari aku masih hidup, untuk selamanya ambisinya itu tidak akan terlaksana."
"Oleh karena itu, betapapun besar bahaya yang harus dia hadapi, akhirnya dia nekad untuk membunuh juga."
Ambisi memang tak ubahnya seperti air bah, begitu
Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melanda, pasti takkan ada orang yang mampu
mengendalikannya, sampaipun diri sendiri, takkan bisa
menekan keinginan hati sendiri.
(Bersambung ke Jilid-19)
Jilid-19 TAMAT Oleh karena itu bukan saja ambisi ini bisa menghancurkan orang lain, sekaligus ambisi itupun bisa menghancurkan diri sendiri.
Malah sering terjadi sebelum kau bisa menghancurkan
orang lain, kau sendiri sudah hancur lebur.
Akan tetapi bila seseorang sedikitpun tidak mempunyai
ambisi, bukankah hidupnya akan tawar, tiada artinya lagi"
Bukankah ini merupakan salah satu tragedi yang
mengenaskan pada kehidupan manusia"
Siangkwan Siau-sian menghela napas, katanya: "Sekarang analisamu seakan-akan sudah mendekati kesempurnaannya."
"Tapi belum sempurna seluruhnya."
"O, jadi kau sendiripun tahu?"
"Apa yang ku tahu, mungkin jauh lebih banyak dari apa yang kau duga."
"Sampai sejauh mana kau sudah mengetahuinya?"
"Sekarang analisaku masih terdapat beberapa
kekurangan."
"Coba kau katakan."
"Sejak lama Nyo Thian ragu-ragu untuk turun tangan membunuhmu, kenapa mendadak dia mempunyai
keberanian?"
"Itulah yang pertama."
"Yang kutunggu sebetulnya adalah Hu-hong si Puncak Tunggal, kenapa kebetulan diapun masuk ke kota pada waktu yang sama?"
"Itulah yang ke dua."
"Jikalau Nyo Thian bukan Hu-hong" Lalu siapakah Hu-hong sebenarnya?"
"Inilah yang ke tiga."
"Jikalau Hu-hong tidak berjanji lebih dulu dengan Tolka untuk bertemu di Wan-ping-bun, darimana mungkin surat
berdarah itu bisa berada di badan Tolka?"
"Itulah yang ke empat."
"Bak Kiu-sing sebenarnya adalah seorang pengasingan, kenapa begitu tiba di Tiang-an lantas bisa menemukan jejak Tolka?"
"Inilah yang ke lima."
"Kalau Bak Kiu-sing setiap hari biasa makan Ngo-tok, bagaimana mungkin segampang itu mati keracunan?"
"Inilah yang ke enam."
"Goh-cu sebenarnya orang di luar kalangan dalam
persoalan ini, kenapa mendadak diapun menjadi korban
secara konyol?"
"Sekarang analisamu agaknya terdapat tujuh
kekurangan."
"Ya, hanya tujuh kekurangan saja."
"Analisa siapapun andaikata dia seorang kritikus, bila terdapat tujuh titik kekurangan, maka analisanya itu
hakikatnya tidak boleh diterima."
"Tapi lain lagi dengan analisaku, analisaku justru bisa diterima secara logis."
"Apanya yang logis?"
"Karena aku bisa menjelaskan satu persatu ke tujuh kekuranganku itu."
"Nah, sekarang coba kau jelaskan satu persatu."
"Kalau kekurangannya ada tujuh titik persoalan, namun jawabannya justru hanya ada satu, cukup asal kuterangkan dengan dua buah kalimat saja."
"Aku sedang mendengarkan."
"Hu-hong adalah kau, demikian pula Bak Kiu-sing adalah duplikatmu."
Siangkwan Siau-sian tertawa lebar.
Jikalau kau menyukai seseorang, dan sering menemuinya, ciri-ciri kekurangannya pasti akan menular kepadamu.
Naga-naganya Siangkwan Siau-sian sudah ketularan akan
kebiasaan Yap Kay, di kala dia kepepet dan tak bisa berbuat apa-apa, maka setiap menghadapi persoalan yang rumit dan bahaya yang mengancam, diapun bisa tertawa, cuma tawanya sudah tentu lebih manis dibanding Yap Kay.
Berkata Yap Kay lebih lanjut: "Justru kau ini adalah Hu-hong, maka Nyo Thian berani turun tangan, karena
belakangan dia tahu bila kau sudah terluka."
"Inilah penjelasan pertama, kedengarannya memang
masuk akal."
"Dan karena kau adalah Hu-hong, maka kau jadikan Nyo Thian sebagai kambing hitammu."
"Inipun bisa diterima dengan pikiran sehat."
"Hanya kau yang tahu bahwa Lu Di adalah Tolka, dan hanya kau saja yang bisa mengundangnya bertemu di Cu-lim-si."
"Oleh karena itu, Bak Kiu-sing pun adalah aku?"
"Sengaja kau tempatkan sembilan bintang di mukamu, sejak mula tidak mau menurunkan topi rumputmu, karena
betapapun lihay tata riasmu, kau tetap kuatir kukenali."
"Akan tetapi kenapa aku harus menyaru menjadi Bak Kiu-sing?"
"Karena kau ingin membunuh Tolka."
"Aku ingin membunuhnya" Kenapa mengundangmu juga ke sana?"
"Karena kau ingin supaya aku melihat dengan mata
kepalaku sendiri akan kematian Tolka yang mati di tangan Bak Kiu-sing." sampai di sini Yap Kay merandek menelan ludah, lanjutnya: "Kemungkinan sekali Tolka memang sudah tahu bahwa yang menyaru menjadi Bak Kiu-sing adalah kau.
Oleh karena itu jurus serangan yang mematikan terakhir itu tidak dia lancarkan sesungguh hati, tak nyana kau justru memanfaatkan kesempatan ini untuk membunuhnya."
Siangkwan Siau-sian diam, dia pasang kuping
mendengarkan. "Yang benar, kalian memang sengaja bermain sandiwara untuk ku tonton, sebelumnya Tolka sudah berintrik dengan kau untuk memerankan lakonnya itu, sampaipun dialog kalian waktu itupun sebelumnya sudah dirangkai sedemikian rupa olehmu sebagai sutradaranya."
"Kenapa dia harus ikut memerankan lakon dalam
sandiwara ini?"
"Karena tujuan dari permainan sandiwara ini adalah untuk membunuhku, oleh karena itu sengaja dia wanti-wanti janji kepadaku, melarang aku turun tangan dengan pisau
terbangku, supaya kau mempunyai kesempatan
membunuhku."
"Tapi aku tidak membunuhmu."
"Kau tidak membunuhku, karena benar-benar yang harus dibunuh bukan aku, tapi adalah Tolka, sampai matipun dia tidak pernah sangka bahwa akhir dari permainan sandiwara itu berubah seratus delapan puluh derajat, lebih celaka lagi karena dia sendiri yang menjadi korban malah."
Membayangkan mimik muka Tolka yang kelihatan kaget,
heran, menderita serta mendelik penasaran itu, tak urung Yap Kay menghela napas, katanya: "Kematiannya sungguh penasaran."
"Kau kasihan kepadanya?"
"Aku hanya kasihan akan kematiannya."
"Setiap orang akhirnya kan harus mati, matinyapun penasaran, lantaran dia memang seorang yang bodoh."
"Dia bodoh?"
"Bodoh banyak ragamnya, congkak dan sombong,
bukankah merupakan salah satu penyebabnya?"
Yap Kay tak kuasa mendebat.
Congkak dan sombong merupakan suatu kebodohan, malah
kemungkinan merupakan salah satu penyebab yang paling
berat akibatnya.
"Tapi aku tidak bodoh, sekarang aku akhirnya mengerti juga akan maksudmu."
"Memang kau harus mengerti."
"Maksudmu bahwa setelah aku menyaru jadi Bak Kiu-sing lalu menemui Tolka dan mengundangnya untuk bertemu di
Cu-lim-si serta membuat rencana untuk membunuhmu,
belakangan malah dia sendiri yang menjadi korban."
"Kedengarannya memang terlalu mustahil, namun rencana itu amat berhasil."
"Mungkin lantaran terlalu luar biasa, maka hasilnyapun memuaskan sekali."
"Surat berdarah sudah tentu juga merupakan salah satu dari rencana itu."
"Bagaimana bisa?"
"Sudah tentu Nyo Thian sendiri sudah tahu cepat atau lambat rahasia dirinya pasti bisa diketahui orang, maka dia berkeputusan untuk melarikan diri."
"kekuatan Kim-ci-pang dengan kaki tangannya tersebar di seluruh pelosok dunia, kemana dia bisa melarikan diri?"
"Dia sudah pernah mengalami sekali pelajaran, maka langkah geraknya kali ini sudah tentu harus amat hati-hati, oleh karena itu setelah pilih pergi datang, akhirnya dia memilih suatu tepat yang terang tidak pernah kau duga."
"Tempat apa?"
"Kota Tiang-an."
"Di sini adalah kota Tiang-an."
"Dia sudah memperhitungkan dengan tepat bahwa kau pasti mengira dia sudah lari ke tempat jauh, oleh karena itu dia justru mencari tempat yang paling dekat."
Siangkwan Siau-sian manggut-manggut bahwa pilihan
tempat untuk menyembunyikan diri ini memang tepat.
Yap Kay berkata: "Sayang sekali dia tuturkan rencananya ini kepada janda Ong."
"Tidak mungkin dia tidak memberi tahu kepada janda Ong. Seorang yang telah terluka parah ingin melarikan diri, dia harus dan memerlukan bantuan orang lain."
"Dia memberitahu kepada janda Ong, secara tidak
langsung berarti memberitahu kepadamu."
"Setelah aku tahu rencananya untuk melarikan diri, lalu aku memalsu surat berdarah itu."
"Kaupun sudah perhitungkan dengan tepat, begitu aku membaca surat berdarah itu, pasti akan menunggu di Wanping-bun."
"Lalu bagaimana surat berdarah itu bisa berada di badan Lu Di?"
"Surat berdarah memangnya tidak berada di tangan Lu Di, Goh-cu lah yang sengaja mengantarnya."
"Jadi Goh-cu juga ikut sekongkol di dalam peristiwa ini?"
"Oleh karena itu pula maka kau membunuh dia untuk menutup mulutnya. Semua orang yang tersangkut paut
dengan peristiwa ini semuanya kau bunuh supaya tidak
membocorkan rahasia ini."
"Bagaimana dengan Song Lopan dan si raksasa itu?"
"Mereka adalah teman baik Nyo Thian, melihat aku ada di Wan-ping-bun, sengaja merekapun bermain sandiwara,
maksudnya untuk melindungi Nyo Thian masuk kota.
Bagaimana Nyo Thian bisa terluka, sudah tentu merekapun tahu jelas."
"Sudah tentu kau tidak boleh tahu akan rahasia ini, maka akupun membunuh mereka untuk menutup mulutnya."
"Aku sudah menduga kau akan bertindak demikian, maka sedikitpun aku tidak jadi heran akan kematian mereka."
"Kalau demikian tidak sedikit orang yang telah kubunuh."
"Memang tidak sedikit!"
"Malahan mungkin aku bisa membunuh diriku sendiri."
ujar Siangkwan Siau-sian menghela napas, "jikalau aku adalah Bak Kiu-sing, bukankah aku sudah membunuhku
sendiri?" "Bak Kiu-sing yang mati bukan dirimu."
"Hah, bukan aku?"
"Kau tahu tentunya aku takkan ada selera menemani kau makan hidangan semacam itu, maka sebelumnya kau sudah
mempersiapkan orang lain untuk kau jadikan kambing hitam.
Begitu aku pergi, kau lantas membunuhnya dengan racun."
"Karena begitu Bak Kiu-sing mati, peristiwa ini takkan terbongkar oleh siapapun yang bisa jadi saksi."
"Memang, rencana itu teramat teliti dan baik sekali."
"Juga merupakan suatu cerita yang menarik."
"Akupun mengharap ini hanya sebuah cerita saja."
Siangkwan Siau-sian seperti kaget, serunya: "Apakah ini bukan cerita?"
"Kejadian yang kebetulan di dalam peristiwa ini terlalu banyak, dan hanya kejadian yang sesungguhnya saja baru bisa terjadi 'kebetulan' seperti itu."
"Apakah kejadian yang sesungguhnya jauh lebih aneh dan ceritanya menakjubkan?"
"Biasanya memang demikian."
"Mendengar ceritamu, aku sendiri sampai percaya bahwa kejadian itu memang peristiwa sesungguhnya." Tawa Siangkwan Siau-sian masih manis dan murni, bukan tawa
palsu yang dibuat-buat, "tapi kalau rencanaku itu sempurna dan terperinci ketat sekali, cara bagaimana dapat kau
ketahui?" "Betapapun sempurna sesuatu, pasti ada lubang
kelemahannya."
"Demikian pula rencana itu?"
"Tujuh kekurangan yang terdapat di dalam analisaku itu, justru merupakan kelemahan pula di dalam rencanamu itu."
"O," Siangkwan Siau-sian manggut-manggut.
"Karena jikalau kau bukan Hu-hong si Puncak Tunggal, jelas tidak akan terjadi semua kebetulan itu."
"Sekarang kau yakin semua itu pasti benar?"
"Setelah aku memeriksa semua luka-luka mereka, baru aku berani memastikan seluruhnya."
"Mereka" Siapa yang kau maksud dengan mereka?"
"Nyo Thian, Song Lopan, si raksasa dan Goh-cu.
Sebenarnya mereka adalah orang-orang yang tiada sangkut pautnya satu sama lain, sebetulnya tidak mungkin mereka mati di tangan seorang dalam keadaan yang sama, luka-luka yang mematikan di badan mereka satu sama lain tidak
berbeda." "Ya, sungguh kebetulan sekali."
"Kebetulan itu juga merupakan lubang kelemahan."
"Oleh karena itu, bukan saja aku ini Kim-ci-pang Pangcu, aku pula salah satu dari Su-toa-thian-ong dari Mo Kau."
"Kau adalah Hu-hong?"
"Jangan lupa Mo Kau dan Kim-ci-pang merupakan musuh yang tidak mau hidup berdampingan."
"Aku tidak melupakannya."
"Kalau demikian mana mungkin Kim-ci-pang Pangcu sudi menjadi anggota Mo Kau?"
"Karena Kim-ci-pang Pangcu ini seorang pandai, maka dia tahu menghancurkan dan memberantas habis musuh, secara kekerasan dengan kekuatan bukanlah suatu cara yang baik."
"Lalu cara apa yang boleh dikata paling baik?"
"Menundukkan nya serta merangkulnya dan memperalat dia. Gunakan kekuatan musuh menjadi alat kepentingan diri sendiri."
"Cara ini memang baik sekali."
"Akan tetapi struktur pengurusan Mo Kau yang besar lingkupnya terlalu rahasia, kekuatannya terlalu besar dan luas, sudah berakar lagi. Untuk menundukkan dan
merangkulnya hanya ada satu cara."
"Cara apa?"
"Menjadi Mo Kau Kaucu."
"Untuk menjadi Mo Kau Kaucu, maka harus menjadi
anggota Mo Kau lebih dulu."
"Oleh karena itu maka kau sudah menjadi orang Mo Kau."
"Sejak Kaucu tua dari Mo Kau meninggal, kekuasaan di dalam Mo Kau lantas tersebar berada di tangan Su-toa-thian-ong yang saling membagi rata, siapapun tiada yang sudi memilih Kaucu baru, karena itu berarti menyerahkan kembali kekuasaan yang berada di tangannya sendiri."
"Tapi jikalau tiga di antara Su-toa-thian-ong itu sudah mati?"
"Kalau demikian sisa satu yang ketinggalan hidup.
Umpama tidak mau jadi Kaucu pun tak mungkin lagi."
"Sayang sekali orang-orang seperti Tolka itu sebetulnya mereka tidak seharusnya mati begitu cepat."
"Sudah tentu."
"Sudah tentu kau sendiri tidak mungkin turun tangan menghadapi mereka secara terang-terangan."
"Di dalam setiap melaksanakan pekerjaan, biasanya aku tidak suka menyerempet bahaya."
"Kemungkinan sekali sampai mereka mati, masih belum tahu bahwa Pangcu dari Kim-ci-pang adalah kau."
"Mimpipun mereka tidak pernah menduga."
"Oleh karena itu hanya dengan satu cara saja kau dapat membunuh mereka."
"Coba kau katakan pakai cara apa yang paling baik?"
"Meminjam senjata orang lain."
"Betul!", seru Siangkwan Siau-sian tepuk tangan, "untuk membunuh orang-orang seperti mereka harus tangan orang lain, malah harus pinjam pisau orang yang luar biasa."
"Tapi kau juga tahu, walau pisauku cepat, namun jarang membunuh orang."
"Oleh karena itu aku terpaksa memeras keringat
mengatur tipu daya menggunakan akal yang putar-putar."
"Tentunya mimpipun kau sendiri tidak pernah menyangka, akhirnya ada seseorang yang berhasil membongkar rahasia dan menelanjangi kedokmu."
"Aku.......terhadapmu aku benar-benar suci atau palsu"
Memangnya sedikitpun kau tidak bisa merasakannya?"
Sorot matanya yang jeli bening kembali menampilkan
perasaan sedih pilu dan rawan.
Sebetulnya tulen atau palsukah perasaannya"
Kembali Yap Kay melengos, menghindari bentrokan
tatapan mata. Perduli tulen atau palsu, sekarang sudah tidak penting lagi.
Akhirnya Yap Kay pun menghela napas panjang, katanya:
"Waktu aku datang, sebetulnya aku masih belum ingin menelanjangi kedokmu."
"Kenapa?"
"Karena......."
"Apakah karena kau kurang tega?"
Yap Kay menyengir tawa.
Dia tidak bisa menyangkal. Bukannya dia tidak tahu dan tidak bisa merasakan cinta orang terhadap dirinya.
"Bukan saja kau tidak tega, kaupun tidak berani." ujar Siangkwan Siau-sian.
"Tidak berani" Kenapa?"
"Karena sedikitpun kau tidak punya bukti-bukti yang nyata, hanya mengandalkan analisa dan rekaan saja belum bisa menjatuhkan hukuman dosa kepada seseorang."
Yap Kay tidak bisa menyangkal.
"Tapi begitu Ting Hun-pin mengalami sesuatu, kau lantas panik dan nekad." sorot matanya yang sedih kini berubah
jadi jelas, "sebetulnya apakah yang pernah dia lakukan untukmu sehingga kau sudi rela bersikap setia terhadapnya begitu rupa" Dalam hal apa pula aku bukan bandingannya?"
Yap Kay tidak memberi tanggapan.
Siangkwan Siau-sian menyeringai sinis, katanya mencibir bibir: "Di mana-mana dia menimbulkan keonaran, membuat banyak kesulitan, malah menusuk pisau ke dadamu sehingga kau hampir mati, di waktu tak bersama kau, seharipun dia tidak sabar menunggu, terus tergesa-gesa ingin kawin
dengan orang lain, belum cukup sekali, dalam satu malam sudi merelakan diri kawin dengan dua orang laki-laki,
perempuan seperti ini di dalam hal apa kebaikannya
sehingga kau patut dan sudi berkorban demi dirinya?"
"Aku sendiripun tidak habis pikir."
"Lalu kau........"
"Aku hanya tahu," tukas Yap Kay, "umpama dia hendak membunuhku pula sepuluh kali, lalu menikah sekaligus
dengan 10 laki-laki, aku akan tetap bersikap demikian
terhadapnya."
"Kenapa?"
"Karena aku tahu, terhadapku cintanya suci dan murni.
Aku percaya kepadanya."
Siangkwan Siau-sian sudah berjingkrak berdiri, namun
pelan-pelan dia duduk pula. Waktu dia duduk tidak lagi sebagai perempuan yang terlalu hanyut oleh emosinya yang lemah. Waktu dia berdiri perasaannya seolah-olah sudah remuk redam, namun begitu dia terduduk kembali, dia sudah
berubah sedingin puncak gunung es, tajam dan runcing,
laksana sebatang golok dari Pangcu Kim-ci-pang.
Mungkin perempuan itu memang sering berubah, hanya
perubahan yang terjadi pada gadis yang satu ini mungkin jauh lebih cepat dari orang lain, atau mungkin pula dia tidak berubah, yang berubah hanyalah kedok samarannya belaka.
"Sekarang masih ada omongan apa lagi yang ingin kau katakan?", kata Yap Kay.
"Tiada lagi!"
"Tapi aku masih ada satu hal yang belum ku mengerti."
"Boleh kau tanyakan."
"Memang sedikit buktipun aku tidak punya, semua hal yang ku tuduhkan tadi sebenarnya boleh saja kau sangkal atau tolak."
"Akupun tidak perlu menyangkal."
"Kenapa?"
"Karena bukan saja aku ini Pangcu dari Kim-ci-pang, aku pula Mo Kau Kaucu. Bukan saja aku sudah menguasai dan
menggenggam dua pang dan aliran agama yang terbesar di seluruh jagat ini, akupun menggenggam jiwa Ting Hun-pin.
Perduli aku mengakui atau menyangkal, kau tetap harus
tunduk kepada setiap perintahku."
Yap Kay benar-benar terlongong. Dia mendadak sadar
bahwa dirinya memang tidak punya akal sehat dan cara
apapun untuk melawan atau menghadapi gadis jelita yang satu ini, sedikitpun tidak mampu berbuat apa-apa.
Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Masih ada omongan apa pula yang ingin kau katakan?", Siangkwan Siau-sian balas bertanya.
Memang Yap Kay sudah tidak habis pikir dan tiada
omongan yang perlu dibicarakan lagi.
"Ting Hun-pin sekarang masih hidup, kau pingin dia tetap hidup?"
"Sudah tentu pingin."
"Kalau begitu apa yang kukatakan kau harus mematuhi dan menurut, setiap patah kataku harus kau perhatikan
dengan baik."
Tapi Yap Kay tak perlu mendengar dan tidak usah
memperhatikan, karena mendadak dia sudah mendengar
suara orang lain.
"Apa yang dia katakan, sepatah katapun tak usah kau dengar, karena dia sebenarnya sedang mengentut!"
Suara ini keluar dari bawah ranjang. Jelas di bawah
ranjang tadi hanya ada satu mayat orang.
Orang mati masakah bisa bicara"
Siangkwan Siau-sian adalah gadis yang teramat cerdik
pandai, demikian pula Yap Kay, namun merekapun tidak tahu menahu apa sebenarnya yang sedang terjadi.
Bilamana sesuatu hal tidak sampai mereka ketahui,
memangnya orang mana yang bisa memecahkan teka-teki
ini" Jelas hanya ada satu mayat di bawah ranjang, hal ini
sudah mereka buktikan waktu mereka mengangkat ranjang
itu memeriksanya, kini ranjang ini kembali terangkat naik
dan dipindah ke samping, tapi bukan Siangkwan Siau-sian atau Yap Kay yang mengangkat. Ranjang itu diangkat dan dipindah oleh seseorang dari bawah.
Seketika hati Siangkwan Siau-sian tersirap, jantungnya seketika dingin seperti tenggelam dalam air.
Orang yang barusan bicara jelas adalah suaranya Ting
Hun-pin. Dia kena betul suara Ting Hun-pin. Tapi bagaimana mungkin Ting Hun-pin bisa muncul dari bawah ranjang" Han Tin yang sudah mati dan mayatnya sudah dingin, kenapa kok tiba-tiba berubah menjadi Ting Hun-pin yang hidup segar"
Siangkwan Siau-sian geleng-geleng kepala, otaknya
serasa tumpul, namun tetap dia tidak bisa memberi jawaban.
Yap Kay juga tidak mengerti.
Jikalau mereka berdua tidak bisa memecahkan teka-teki
suatu persoalan, memangnya siapa orang di dunia ini yang bisa menyimpulkan jawabannya.
Hanya ada satu orang saja, yaitu Ting Hun-pin sendiri.
Hakekatnya Ting Hun-pin tidak gila benar-benar. Orang
yang pandai bersandiwara dan pura-pura menjadi gila, pikun atau linglung bukan hanya Siangkwan Siau-sian saja, kini Ting Hun-pin membuktikan bahwa diapun bisa.
"Apa yang kau bisa, akupun bisa," kata Ting Hun-pin setelah keluar dari bawah ranjang.
Mengawasi Siangkwan Siau-sian, sorot matanya menyala
terang bergairah.
"Kau bisa menipu orang, akupun bisa. Kau pandai
membunuh orang, akupun tidak kalah pintarnya."
"Kau suruh Han Tin kemari untuk membunuhku, lalu
berdaya supaya Siau Yap menyangka aku mati karena gila."
"Kau pasti tidak menduga bahwa aku yang membunuh
dia." "Kau bisa menaruh obat bius di dalam bubur ayamku, akupun bisa menaruh racun di dalam arak yang dia minum."
"Sudah tentu dia tidak akan berjaga-jaga dan waspada terhadap perempuan yang sudah gila, seperti juga kita
waktu menghadapi dulu tanpa pernah berpikir untuk hatihati dan mengawasimu."
"Jadi cara ini aku mempelajari dari kau."
"Han Tin yang asli kini masih rebah di bawah kolong ranjangku, kali ini tak perlu diragukan akan kematiannya."
"Di waktu aku menyembunyikan mayatnya ke bawah
ranjang, baru aku temukan pintu rahasia dari lubang kamar di bawah tanah, kamar bawah tanah untuk menyimpan arak."
"Ternyata seluruh simpanan arak di Leng-hiang-wan ada disimpan di dalam kamar bawah tanah ini, oleh karena itu, hari itu kami mencari sebotol arakpun tidak bisa
mendapatkannya."
"Aku tahu kalian pasti akan kembali, maka aku lantas sembunyi di kamar bawah tanah, namun mayat Han Tin ku
letakkan di luar."
"Sudah kuperhitungkan dengan tepat begitu kau melihat mayat Han Tin pasti amat terkejut, pasti tidak akan
memperhatikan bahwa di sebelahnya ada pintu rahasia yang menembus ke kamar di bawah tanah. Aku masih ingin
mendengar apa yang kalian percakapkan di sebelah atas, ingin aku melihat apakah dia betul-betul dapat kau tipu dan memincutnya pergi."
Mengawasi Yap Kay, biji matanya penuh diliputi rasa
bahagia dan kemenangan yang cemerlang, katanya lembut:
"Sebetulnya akupun sudah tahu, kali ini kau pasti tidak akan kena ditipunya lagi, ternyata kau tidak membikin aku
kecewa." Kata-katanya sederhana.
Betapapun berbelitnya suatu persoalan, setelah
dijelaskan dan tertembus segala rintangan, kau pasti akan mendapatkan persoalan itu hakikatnya tidak serumit dan sesukar yang kau pikirkan sebelumnya.
Memang banyak persoalan dalam dunia ini terjadi seperti itu.
Siangkwan Siau-sian terus mendengarkan tanpa memberi
komentar, mukanya yang pucat pasi sedikitpun tidak
menunjukkan perasaan hatinya.
Setelah Ting Hun-pin mengoceh panjang lebar, baru
pelan-pelan dia angkat kedua tangannya, diletakkan di atas meja.
Tangan putih yang semula berjari-jari runcing halus
lembut itu, kini tiba-tiba berubah sekeras logam. Lampu berada di atas meja di depannya.
Tampak kedua tangannya itu mengkilap mengkilau
ditingkah sinar lampu. Bukan tangannya bercahaya, namun sebuah tangan yang putih bening laksana es batu berkaca yang keras tajam terbuat dari logam.
Malam hari itu, waktu berada di belakang tembok rendah di hotel Hong-ping, yang terlihat oleh Ting Hun-pin adalah tangan ini.
Yang pernah dilihat oleh Cui Giok-tin yang sembunyi di belakang tembokpun adalah kedua tangan ini.
"Inilah Kim-kong-put-hoay Toa-siu-sin-jiu yang
didongengkan orang secara luas."
Yap Kay manggut-manggut.
"Semula aku mempersiapkan diri untuk menghadapi Lu Di dan Kwe Ting."
"Aku bisa menebaknya."
"Sayang mereka bikin aku kecewa."
Bahwasanya kedua orang ini tidak memberi kesempatan
kepadanya untuk menjajal dengan senjatanya ini yang
ampuh. Terbuka lebar dan teracung kedua telapak tangannya itu.
Tampak di telapak tangannya ada beberapa batang jarum
hitam legam yang lebih kecil dari jarum jahit biasa.
"Inilah Toa-siu-hun-ciam yang bisa naik ke langit menembus bumi."
Yap Kay manggut-manggut pula dengan melongo.
"Nyo Thian dan empat orang lainnya semua mampus oleh jarum ini."
"Aku sudah memeriksanya."
"Bwe-hoa-ciam milik Bwe-hoa-to dulu sudah cukup
menggetarkan nyali setiap insan persilatan."
"Aku pernah mendengarnya."
"Tapi aku berani tanggung, jarumku yang ini pasti jauh lebih lihay, hebat dan menakutkan dari Bwe-hoa-ciam itu."
Yap Kay menghela napas, ujarnya: "Jarum yang kau latih dan kau persiapkan ini tentunya khusus akan kau gunakan di waktu menghadapi aku."
Siangkwan Siau-sian mengakui.
"Mana pisaumu?" tanyanya dengan menatap Yap Kay.
"Ada di sini," sahut Yap Kay.
"Di mana?"
Yap Kay tidak menjawab.
Di langit dan di bumi tiada seorangpun yang tahu di mana pisau terbangnya di simpan, juga tiada orang pernah tahu cara bagaimana dia menyambitkan pisaunya itu.
Sebelum ditimpukkan, siapapun tiada yang pernah
membayangkan betapa cepat dan besar kekuatannya.
Khalayak ramai hanya tahu satu hal, pisau itu pasti berada di mana dia harus berada.
Siangkwan Siau-sian berkata pelan-pelan: "Aku tahu di manapun pisaumu bisa berada dan tiada sesuatu yang tidak mungkin dicapai olehnya."
Untuk ini Yap Kay tidak perlu merendahkan diri. Hal itu memang kenyataan, karena meski pisau itu miliknya, walau berada di badannya, namun kehebatan, kemurnian serta
kebesaran dari pisau itu tergantung dan berada pada diri orang lain.
Seseorang yang digdaya, perkasa dan sakti mandraguna.
Entah di langit atau di bumi, jelas takkan ada orang lain yang bisa menempati kedudukannya ini sama tinggi dan jaya.
Apalagi jikalau tidak bisa menyelami dan memahami
kebesaran kekuatan dan semangatnya, jelas takkan mungkin bisa cukup diri untuk melepaskan pisau sakti yang bisa mengejutkan dan menggetarkan bumi.
Pisau Terbang Li kecil.
ooo)dw(ooo Pisau terbang itu belum dikeluarkan, namun semangat
kebesaran pisau itu sudah terasa.
Ini bukan hawa membunuh, namun jauh lebih menakutkan
dan menciutkan nyali orang daripada hawa yang
menggetarkan sanubarinya setiap insan persilatan.
Pelan-pelan tapi pasti kelopak mata Siangkwan Siau-sian mulai mengkeret memicing, katanya: "Pisaumu dapat berada di manapun dan bisa mencapai ke sasaran mana juga,
demikian pula jarumku."
"Jarummu bagaimana?"
"Selamanya kaupun takkan bisa membayangkan darimana arah datangnya jarumku, terutama tidak bisa kau jajaki cara bagaimana jarum-jarumku itu dilepaskan."
"Aku tidak akan berpikir dan tidak perlu kupikir."
Siangkwan Siau-sian tertawa dingin, jengeknya: "Jikalau kau beranggapan kau bisa menyetop aku turun tangan, kau salah besar!"
Yap Kay diam saja, entah termakan oleh provokasi"
"Jarumku laksana pasir di sungai yang tak terhitung banyaknya, sebaliknya jumlah pisaumu terbatas."
"Aku hanya sebatang saja sudah cukup."
Ujung mata Siangkwan Siau-sian berkerut-kerut. Lama
sekali akhirnya dia menghela napas: "Mungkin inilah dinamakan nasib."
"Nasib?"
"Mungkin hidupku sudah ditakdirkan cepat atau lambat harus berduel melawanmu."
Bola matanya menyorotkan kedukaan yang sangat.
"Seperti juga Siangkwan Pangcu yang dahulu, sudah ditakdirkan untuk berduel melawan Siau-li Tham-hoa Li Sin-hoan".
Tak urung Yap Kay menghela napas juga, katanya:
"Siangkwan Pangcu dahulu memang tidak malu diagungkan sebagai gembong persilatan yang tiada taranya. Dia cukup kuat dan mampu bersimaha-rajalela di seantero dunia ini, sayang sekali sekarang............."
Siangkwan Siau-sian tidak biarkan orang bicara lebih
lanjut. "Walau Siangkwan Pangcu yang dahulu sudah tiada,
namun Siangkwan Pangcu generasi muda masih digdaya."
"Pisau terbangku masih ada."
"Duel kedua tokoh besar pada waktu itu, walau cukup menggetarkan bumi mengejutkan langit, setanpun kaget
ketakutan dan menangis, namun tiada seorangpun yang
menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri."
Tak tahan Ting Hun-pin menyeletuk: "Duel kalian hari ini pasti ada orang lain yang menyaksikan."
"Takkan ada!" sentak Siangkwan Siau-sian.
"Ada saja!" sahut Ting Hun-pin ketus.
Tiba-tiba Siangkwan Siau-sian berpaling menatapnya,
katanya dingin: "Kau ingin menyaksikan?"
"Aku pasti bisa menyaksikan"
"Kalau begitu kau hanya akan menunggu Yap Kay mampus di depanmu."
Ting Hun-pin membalas dengan seringai hina dan
merendahkan. "Jikalau kau berada di sini, begitu jarumku kusambitkan, sasaran pertama yang ku arah adalah kau. Jikalau dia harus memencarkan perhatiannya demi keselamatanmu, maka
diapun pasti mampus."
Ting Hun-pin tertegun, mulutnya melongo, matanya
terbeliak. Siangkwan Siau-sian tidak berkata sepatah katapun lagi, diapun tidak meliriknya lagi, namun Ting Hun-pin dipaksa untuk beranjak keluar.
Waktu kaki Ting Hun-pin melangkah keluar, sekujur
badannya dingin dan basah oleh keringat dingin yang
gemerobyos. ooo)dw(ooo Pintu tertutup dan dipalang serta terkunci dari dalam.
Segala sesuatu yang tercakup di dalam kehidupan manusia
seluruhnya terkunci di dalam pintu. Hanya kematian yang masih tersisa di dalam pintu.
Tapi siapakah yang akan mati"
Ting Hun-pin sudah terbungkuk-bungkuk, rasanya ingin
muntah dan tak tertahankan lagi. Kembali rasa apa boleh buat menjalari sanubarinya dan perasaan yang menjalari sanubarinya inilah yang dahulu pernah menyebabkan dia
hampir gila. Tapi menjadi gilapun tiada gunanya.
Duel kedua tokoh besar pada masa silam dia tidak
menyaksikan, namun dia dengar dari cerita orang yang dapat dipercaya.
Sampai Siau-li Tham-hoa Li Sin-hoan sendiri mengakui,
Siangkwan Kim-hong memang memiliki banyak kesempatan
menamatkan jiwanya, malah dirinya dipojokkan sedemikian rupa sampai tak mampu balas menyerang lagi. Tapi
Siangkwan Kim-hong memang sengaja menyia-nyiakan semua kesempatan baik itu, karena sudah lama dalam sanubarinya ingin bertaruh dengan jiwanya sendiri melawan
keyakinannya akan kepandaian silatnya sendiri yang tinggi tiada taranya, apakah dia mampu meluputkan diri atau
menghindarkan sambitan atau serangan pisau terbang Li
Sin-hoan yang sudah disohorkan tak pernah meleset setiap kali mengincar sasarannya.
Sudah tentu untuk kali ini Siangkwan Siau-sian tidak
akan sudi melakukan kesalahan yang sama seperti ayahnya dulu.
ooo)dw(ooo Perut Ting Hun-pin seperti dipelintir dan air asam sudah bergolak di tenggorokkannya.
Mungkin Yap Kay tengah berada di balik pintu ini sedang mengalami siksaan batin di dalam menghadapi elmaut yang bakal merenggut jiwanya, dan dia dipaksa untuk
menunggunya di luar pintu.Tak ubahnya seperti Sun Siau-hong dan Ah Hwi waktu menunggu Li Sin-hoan dulu. Tapi
mereka masih dua orang, berteman di luar kamar rahasia Siangkwan Kim-hong yang pintunya terbuat dari papan besar baja. Diterjang dan ditumbukpun tidak akan bobol.
Lain halnya keadaan yang dia hadapi sekarang, di
depannya ini kalau mau sembarang waktu dia mampu
menendangnya roboh, namun dia justru tidak berani
berbuat demikian. Sekali-kali dia tidak berani bergerak secara gegabah sehingga memencarkan perhatian dan
mengganggu konsentrasi Yap Kay.
Sungguh besar harapannya pintu di depannya inipun
terbuat juga dari papan baja yang sudah kokoh kuat. Hal itu sedikit banyak akan mengurangi tekanan hatinya yang harus ditekan dan ditahan oleh kesadaran dan derita.
Orang yang tidak pernah mengalaminya sendiri, pasti
tidak akan bisa membayangkan betapa menakutkannya
derita dan tekanan batin yang berat ini. Sungguh ingin sekali bila bisa dia memaku ke dua kakinya di atas tanah supaya tidak bisa bergerak.
ooo)dw(ooo Malam semakin larut.
Ting Hun-pin masih menunggu terus, karena menunggu ini sekujur badannya sudah luluh sama sekali dan yang harus dibuat sedih adalah dia sendiri tidak tahu sebetulnya apa yang sedang dia nantikan" Mungkin hanya kematian Yap Kay saja yang sedang dia tunggu.
Teringat betapa cerdik pandai dan tinggi ilmu silat
Siangkwan Siau-sian, sungguh dia tidak tahu betapa persen keyakinan Yap Kay bisa mengalahkan musuh dan bertahan
hidup serta keluar dengan selamat dan segar bugar.
Oleh karena itu di kala daun pintu itu tampak terbuka
perlahan-lahan, detik-detik yang dia nanti-nantikan itu seakan-akan menyetop denyut jantungnya sama sekali.
Sampai matanya melihat Yap Kay pula, baru jantungnya
berdetak secara normal kembali seperti kereta api selesai memburu waktu.
Kelihatannya Yap Kay amat lelah, namun lebih penting
bahwa dia masih hidup.
Hidup dan selamat tak kurang suatu apa. Itulah yang
terpenting bagi Ting Hun-pin.
Menyongsong kedatangan orang, Ting Hun-pin mematung
di tempatnya, tak tertahan air mata pelan-pelan meleleh membasahi mukanya, tentunya air mata kegirangan yang
keliwat batas. Saking kegirangan dan terlalu berduka sama-sama
mendatangkan air mata, kecuali menangis, orangpun tak bisa mengeluarkan suara karena tenggorokan tersumbat oleh
rasa haru, segala persoalan sudah tidak diperdulikan lagi, sampaipun untuk bergerak kadang-kadang sulit.
Lama sekali baru Ting Hun-pin kuasa bertanya dengan
lirih. "Di manakah Siangkwan Siau-sian?"
Jawaban Yap Kay hanya tiga huruf: "Dia sudah kalah."
Dia sudah kalah" Betapa gampangnya jawaban tiga huruf
ini. Penentuan kalah menang memang hanya terjadi dalam
kilasan waktu belaka.
Tapi siapakah yang bisa membayangkan di dalam waktu
sekilas itu betapa tegang dan tertusuk perasaan orang"
Betapa besar dan mendalamnya akibat dari penentuan
waktu yang sekilas itu bagi dunia persilatan. Sekejap mata atau sepercikan api.
Sebatang pisau.
Sekilas dari samberan cahaya pisau, betapa pula besar
akibatnya. Begitu mengejutkan dan amat gagah perkasa.
Boleh dikata tidak usah melihat dengan matamu sendiri, cukup asal kau bisa membayangkan, maka jantungmu takkan terasa akan berhenti berdenyut.
Akan tetapi Ting Hun-pin tidak berpikir demikian. Segala persoalan sudah tidak penting bagi dia, yang penting
sekarang ini bahwa Yap Kay masih hidup.
Asal Yap Kay masih hidup, maka hatinya sudah cukup
daripada puas yang paling puas.
ooo)dw(ooo Di belakang pintu terdengar isak tangis sesenggukan.
Orang mati jelas takkan bisa menangis.
Apakah Siangkwan Siau-sian belum mati"
Pisau Yap Kay memang bukan senjata pembunuh. Dia beri
kesempatan orang bertahan hidup.
Apakah lantaran dia sudah tahu bahwa selanjutnya dia
sudah tidak lagi sama seperti Siangkwan Siau-sian yang satu dulu itu"
Pengampunan itu jauh lebih suci dan agung daripada
dendam kesumat.
Hutang darah bayar darah, hutang jiwa bayar jiwa.
Pameo ini sudah tidak berlaku bagi Yap Kay, karena dia menggunakan Siau-li si Pisau Terbang. Kekuatan pisau
Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seperti ini adalah cinta kasih, bukan kebencian.
Ting Hun-pin tidak mengajukan pertanyaan, karena di
dalam sanubarinya hanya ada cinta kasih, tiada kebencian.
Dia sedang mengawasi bola mata Yap Kay.
Kehidupan begini indah.
Cinta itu adalah sedemikian elok, begitu harmonis.
Jikalau seseorang tidak bisa melupakan dendam sakit
hati, bukankah dia itu manusia bodoh"
- TAMAT Pendekar Panji Sakti 19 Pertarungan Dikota Chang An Seri 2 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Kisah Sepasang Rajawali 7