Pencarian

Rahasia Peti Wasiat 1

Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L Bagian 1


" Rahasia Peti Wasiat
Judul asli Mandarin: You Xia Lu
Inggris: The Tale of a Wandering Swordsman
Saduran: Gan KL
Jilid 1 Musim semi di daerah Kanglam (selatan sungai Yangtze), bumi
raya diliputi pemandangan alam yang memikat.
Tibalah waktunya orang-orang menikmati suasana gembira
ria. Di kota hiruk-pikuk, cahaya lampu gemerlapan dengan
kehidupannya yang beraneka ragamnya. Di desa sunyi sepi,
pepohonan menghijau permai, di mana-mana terlihat gairah
hidup musim semi.
Dalam suasana yang demikian itulah seorang pemuda
penunggang seekor kuda putih mulus gagah sedang
menyusuri lereng gunung yang indah dengan santai.
Usia anak muda ini sekitar 24-25 tahun, memakai ikat kepala
warna biru, berbaju satin merah ringkas dan membawa ransel,
memakai sepatu bersol tipis, sebatang pedang tergantung di
pinggangnya, nyata seorang pemuda yang gagah dan cakap.
Ia membiarkan kudanya berjalan dengan santai sembari
berdendang perlahan membawakan lagu yang memuji
keindahan musim semi.
Tanpa terasa ia sampai di depan sebuah jembatan kecil.
Lebar jembatan kurang-lebih cuma tiga kaki saja, melintang di
atas sebuah sungai yang lebarnya sekira dua tombak lebih.
Maksud pemuda itu hendak melintas jembatan, tapi terpaksa
ia harus menunggu di ujung jembatan. Sebab, di atas
jembatan ada orang.
Anehnya, kebetulan orang di atas jembatan itu juga membawa
seekor kuda putih gagah perkasa, cuma dia tidak menunggang
di atas kuda melainkan berdiri di atas jembatan dengan
memegang tali kendali. Ia lagi berdiri bersandar di langkan
jembatan dan asyik bercengkerama dengan seorang gadis
pencuci pakaian di kolong jembatan.
Orang yang mengalangi jembatan ini juga pemuda berusia
likuran saja, memakai ikat kepala sebangsa kaum pelajar,
berbaju biru berlengan longgar dari bahan yang mahal,
sepatunya bersol tebal, mukanya putih, bibirnya merah dan
gigi rajin, kelihatan terpelajar dan lembut, cuma sayang
sikapnya memperlihatkan gaya binal dan sok aksi.
Agaknya dia tidak tahu ada orang lain hendak melintas
jembatan, ia masih terus bersandar di langkan jembatan
sambil bergurau dengan anak gadis di bawah jembatan,
katanya dengan tertawa, "Apakah nona tidak berdusta" Bila
langsung lurus ke arah depan sana akan sampai di kota Kimtan?"
Terdengar gadis di kolong jembatan menjawab dengan
tertawa, "Memang betul jalan ini menuju ke Kim-tan. Ai, kau
ini bagaimana, masa harus kuulangi lagi baru mau percaya?"
Nada si nona seperti kurang senang, namun wajahnya tidak
mengunjuk sesuatu rasa tidak senang, nyata dia tidak jemu
terhadap pemuda pelajar ini, bahkan boleh dikatakan rada
kesengsem padanya.
Pemuda pelajar itu terbahak, "Haha, maaf! Soalnya aku
khawatir kesasar, maka tanya lebih jelas. Eh, apakah nona
penduduk di sini?"
Gadis itu mengiakan.
"Apa nama tempat ini?" tanya pemuda itu.
"Hoa-keh (sungai bunga)."
"Ah, nama yang indah! .... Eh, mohon tanya siapa nama nona
yang harum?"
"Takkan kuberi tahukan!" jawab si gadis.
"He, sebab apa?"
"Sebab belum kukenal dirimu."
"Aha, betul! Memang sepantasnya kuberi tahukan lebih dulu
namaku. Nah, aku she Pang bernama Bun-hiong, harap nona
suka sering-sering memberi petunjuk."
"Hihi ...." si gadis tertawa.
"Apa yang kau tertawakan?"
"Engkau seperti pelajar linglung."
"Ah, tidak, tidak ... dan sekarang dapat kau katakan namamu
bukan?" "Aku bernama In Goat-kiau."
"Ai, cocok benar dengan orangnya yang cantik. Eh, apakah
setiap hari nona mencuci pakaian di sini?"
"Ehmm," si gadis mengangguk.
"Wah, bagus!" ujar si pemuda. "Orang suka bilang
pemandangan Kanglam indah permai, tampaknya pemeo ini
memang tidak salah. Bukan cuma pemandangannya indah,
bahkan gadisnya juga rata-rata sangat cantik, sungguh tempat
indah melahirkan gadis molek."
Mendengar celoteh mereka yang tak habis-habisnya, si
pemuda berdandan ringkas tadi menjadi tidak sabar
menunggu lagi, mendadak ia menegur, "Hai sahabat itu, harap
suka memberi jalan"!"
Pemuda pelajar yang mengaku bernama Pang Bun-hiong itu
anggap tidak mendengar saja dan masih terus menatap si
gadis di kolong jembatan dengan tersenyum, katanya, "Tolong
beri tahu, apakah di sekitar tempat ini ada tempat baik untuk
pesiar?" "Belasan li di sebelah sana ada sebuah biara Koan-im-ting,
pemandangan di bukit sana sangat bagus," jawab si nona.
"Pernah ke sana?" tanya si pemuda alias Pang Bun-hiong.
"Pernah satu kali," jawab si nona.
"Pergi sendirian?"
"Bersama ibu."
"Ai, tentu kurang leluasa ...."
Tampaknya si pemuda berdandan ringkas itu tidak sabar
menunggu lagi, segera ia berteriak, "Hai, sahabat itu, jika mau
mengobrol kenapa tidak kau bawa dia ke dalam rumah saja?"
Pang Bun-hiong mengayun sebelah tangannya sebagai tanda
minta jangan diganggu, lalu menyambung obrolannya dengan
si gadis, "Apakah engkau masih ingin pesiar ke Koan-im-ting
sana?" "Tentu saja ingin," jawab si nona.
"Jika mau, bagaimana kalau kita pergi bersama?"
Muka si nona menjadi merah dan mengomel, "Cis, bicaramu
melantur, aku tidak mau omong lagi."
Habis ini ia lantas sibuk mencuci pakaian.
Pang Bun-hiong terbahak, "Haha, jangan marah, aku hanya
berguyon saja denganmu. Eh, kau bilang jalan lurus ke depan
sana akan sampai di kota Kim-tan bukan?"
Dengan mendongkol si pemuda berdandan ringkas tadi
menukas, "He, kawan, aku justru akan menuju ke Kim-tan,
jika engkau tidak kenal jalan, boleh ikut bersamaku."
Karena tidak lagi digubris oleh gadis itu, Pang Bun-hiong
menggaruk-garuk kepala dengan kikuk, perlahan ia menegak
dan memberi tangan kepada si nona sambil berseru, "Selamat
tinggal, semoga lain kali bila kulalu lagi di sini akan dapat
berjumpa pula denganmu!"
Habis bicara ia lantas melompat ke atas kudanya, malah
dengan lagak seperti kekasih yang mohon diri kepada
gadisnya ia memberi tangan pula, lalu melarikan kudanya ke
seberang jembatan.
Segera si pemuda berdandan ringkas juga melarikan kudanya
ke atas jembatan, ia coba melongok sekejap ke kolong
jembatan, tertampak si gadis berkulit putih bersih dan cantik
manis. Ia tersenyum dan membatin, "Molek juga nona ini,
pantas si bangor tadi terpikat ...."
Ia terus melarikan kudanya ke seberang jembatan dan
menyusul Pang Bun-hiong yang di depan sehingga keduanya
jalan berjajar, ia menuding ke depan dan pasang omong
dengan dia, "Untuk menuju ke Kian-tan tidak ada jalan lain,
pasti takkan kesasar."
Pang Bun-hiong memelototinya sekejap, sahutnya dengan
mendongkol, "Hm, apakah kau kira aku tidak kenal jalan di
sini?" Lalu dengan suara tertahan ia menyambung, "Supaya kau
tahu, aku justru penduduk yang dilahirkan dan dibesarkan di
kota itu."
Si pemuda berbaju ringkas melenggong, lalu tertawa geli dan
berkata, "Kiranya tadi Anda sengaja meledeknya ...."
Pang Bun-hiong mengangkat pundak tanpa menjawab.
Pemuda berbaju ringkas mengamati kuda orang, lalu berkata
pula, "Kudamu ini boleh juga, cuma sayang warnanya tidak
mulus, ada beberapa biji bulu warna lain."
"Hm, meski tidak mulus, larinya justru jauh lebih cepat
daripada yang mulus," jengek Pang Bun-hiong.
Habis berucap, sekali kaki mengepit kencang perut kuda,
sambil membentak perlahan serentak kudanya mencongklang
cepat ke depan.
Kudanya memang luar biasa, hanya sekejap saja sudah
membedal belasan tombak jauhnya, cepatnya memang sukar
ditandingi. Si pemuda berbaju ringkas merasa tertarik, diam-diam ia
membatin, "Bagus, rupanya kamu sengaja menantang kudaku
si naga putih ini" Baik, boleh kau lihat kehebatan kudaku ini!"
Begitu timbul pikiran demikian, serentak ia pun membentak
sekali dan melarikan kudanya menyusul ke depan dengan
cepat. Benar juga, kudanya juga bukan sembarang kuda, sekali
didesak, seketika keempat kaki bekerja dengan cepat dan
menimbulkan suara detak yang riuh, hanya sejenak saja kuda
Pang Bun-hiong sudah disusulnya dan kedua orang kembali
berjajar lagi. Hal ini agaknya juga di luar dugaan Pang Bun-hiong, tapi juga
lantas menimbulkan hasratnya ingin menang, omelnya di
dalam hati, "Hm, dasar orang lamur, makanya tidak kenal
kudaku si pionir ini. Si pionir adalah satu di antara kelima kuda
termasyhur di dunia, ini, memangnya kudamu macam apa,
berani menantang balapan dengan kudaku?"
Tanpa bicara ia terus ayun cambuknya hingga menerbitkan
suara gemeletar, kembali ia membedal kudanya ke depan
sehingga si pemuda berbaju ringkas tertinggal lagi dua-tiga
tombak jauhnya.
Si pemuda berbaju ringkas tersenyum, segera ia setengah
berdiri dan membedal kudanya terlebih kencang, hanya
sebentar saja sudah disusulnya, bahkan mendahului di depan.
Air muka Pang Bun-hiong berubah, ia juga beraksi di atas
kudanya, berulang ia mendesak kudanya berlari lebih cepat
sehingga akhirnya pemuda berbaju ringkas tersusul juga ....
Begitulah terjadi balapan kuda di tengah jalan raya itu oleh
kedua anak muda yang sama tidak mau mengalah itu, saking
kencangnya lari kuda mereka hingga debu mengepul, sebentar
Pang Bun-hiong di depan, lain saat si pemuda berbaju ringkas
melampauinya lagi, nyata keduanya sama hebatnya.
Hanya, sebentar saja belasan li sudah dilaluinya.
Pada saat itulah dari depan muncul sebuah tandu merah yang
digotong dua orang.
Lebar jalan kurang lebih hanya lima kaki, separuh lebar jalan
sudah dipakai oleh tandu itu, dalam keadaan demikian jelas
sukar bagi kedua penunggang kuda lewat begitu saja secara
berjajar. Celakanya pada waktu itu mereka justru tidak mau saling
mengalah dan tetap melarikan kuda masing-masing dengan
sejajar. Dengan lain perkataan di antara mereka perlu salah
seorang mengalah dulu, kalau tidak tentu mereka akan
menubruk tandu itu.
Akan tetapi Pang Bun-hiong tidak mau mengalah sedikit pun.
Juga si pemuda berbaju ringkas tetap ingin menang. Agaknya
kedua anak muda itu tidak peduli lagi apa yang akan terjadi
dan harus berlomba hingga jelas ketahuan siapa unggul dan
siapa asor. Dalam pada itu kedua ekor kuda masih terus membedal ke
depan secepat terbang. Keruan kedua kuli penggotong tandu
ketakutan setengah mati demi melihat kedua penunggang
kuda itu sama sekali tidak ada tanda akan menghentikan lari
kudanya, cepat mereka berteriak, "Hei, hei! Berhenti, lekas
berhenti! .... Wah, bisa tertubruk!"
Namun jarak kuda dengan tandu saat itu tinggal satu tombak
lebih jauhnya, hendak berhenti pun tidak keburu lagi.
Justru pada detik yang gawat itu sekonyong-konyong terlihat
kedua ekor kuda yang tetap berlari cepat itu mengangkat kaki
depan terus mencongklang ke atas, terdengar deru angin
"wut-wut" dua kali, kedua ekor kuda melayang lewat di atas
tandu dan turun kembali lima-enam kaki di belakang tandu
sana dan, tetap membedal ke depan dengan cepat.
Saking kaget dan takutnya kaki kedua kuli penggotong tandu
terasa lemas, seketika mereka menaruh tandu di atas tanah
dan tidak sanggup melangkah lagi.
Hendaknya maklum, si pemuda berbaju ringkas itu sama
sekali tidak memikirkan keselamatan umum, soalnya dia yakin
mampu mengendalikan kudanya dan melompat lewat tandu
merah itu, maka dia tidak mau mengalah. Tapi ketika
dilihatnya Pang Bun-hiong juga ikut melompati tandu itu
dengan sama cepatnya, mau tak mau ia terkesiap dan
membatin, "Wah, rupanya aku salah lihat. Bocah ini
tampaknya lemah lembut, rupanya juga menguasai
kepandaian yang sengaja tidak diperlihatkan."
Pang Bun-hiong juga tidak menyangka orang menguasai ilmu
menunggang kuda sehebat itu, mau tak mau pun berubah
penilaiannya terhadap si pemuda berbaju ringkas, pikirnya,
"Buset, ternyata boleh juga bocah ini!"
Namun kedua orang tetap tidak mau saling mengalah dan
terus membedalkan kuda masing-masing ke depan, keduanya
sama bertekad akan mengungguli lawan.
Tapi meski sudah dua-tiga li lagi jauhnya, keadaan tetap sama
kuat. Pada saat inilah suatu "ujian" kembali muncul.
Kembali di depan ada sebuah jembatan, luas jembatan juga
tidak besar, hanya cukup untuk dilalui dua ekor kuda berjajar
dengan berjalan perlahan, bila berjajar dengan lari cepat tentu
akan saling tumbuk dan kecebur ke sungai.
Pang Bun-hiong tidak mau mengalah, langsung ia membedal
kudanya ke atas jembatan. Pemuda berbaju ringkas itu pun
ngotot. Maka dalam sekejap itu kedua ekor kuda sama
melompat ke atas jembatan, seketika sukar terhindar lagi
pergesekan dan berdesakan.
Karena keki, Pang Bun-hiong terus mendorong dengan


Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebelah tangannya dengan maksud menceburkan pemuda
berbaju ringkas ke sungai.
Siapa tahu pemuda berbaju ringkas juga berpikir sama,
sebelah tangannya pun menolak ke arah Pang Bun-hiong.
"Plak", tangan kedua orang kebentur.
Tanpa ampun Pang Bun-hiong berikut kudanya terus
menerjang ke luar jembatan sebelah kiri. Sama halnya
pemuda berbaju ringkas itu, ia pun menerjang ke sebelah
kanan. Keadaan mereka itu ibaratnya benturan dua arus yang
mengamuk, lalu terdampar kembali ke dua sisi, keadaan
tampak berbahaya dan mengkhawatirkan.
Namun kedua orang ternyata tidak jatuh ke dalam sungai,
semula kedua orang kelihatan seperti tergetar oleh tenaga
tolakan lawan, namun waktu kuda masing-masing menerjang
ke luar jembatan, ternyata tidak ada yang kecebur ke bawah
melainkan langsung melayang ke seberang sungai.
"Boleh juga kau!" seru si pemuda berbaju ringkas.
Pang Bun-hiong diam saja dan tetap memacu kudanya ke
depan. Dengan sendirinya pemuda berbaju ringkas tidak mau kalah,
ia pun mendesak kudanya berlari terlebih cepat agar dapat
melampaui lawan.
Akan tetapi seterusnya kedua orang masih tetap saling salip
dan tiada seorang pun lebih cepat daripada yang lain.
Tidak lama kemudian kota Kim-tan sudah kelihatan di depan.
Namun kedua orang tetap tidak mau saling mengalah, masih
tetap melarikan kudanya ke dalam kota dengan berjajar,
bahkan tetap berlomba di jalan raya di tengah kota.
Waktu lalu di suatu jalan, mendadak Pang Bun-hiong
menahan kudanya dan berhenti di depan sebuah restoran.
Si pemuda berbaju ringkas tidak menyangka orang akan
berhenti secara mendadak, seketika ia tidak sempat menahan
kudanya sehingga menerjang beberapa tombak jauhnya baru
dapat menghentikan kudanya, waktu ia berputar balik,
dilihatnya dua pelayan menyongsong keluar dari dalam
restoran dan sedang memberi hormat kepada Pang Bun-hiong
dengan munduk-munduk, seperti sambutan terhadap
langganan lama layaknya.
Setelah berpikir sejenak, pemuda berbaju ringkas juga
mendekati restoran itu.
Salah seorang pelayan melihat kuda tunggangannya juga
putih serupa kuda Pang Bun-hiong, dengan tertawa ia tanya,
"Pang-siauya, tuan ini tentu sahabatmu, silakan!"
"Omong kosong," kata Pang Bun-hiong. "Aku tidak membawa
teman." Sembari bicara ia terus menyerahkan kudanya kepada pelayan
dan melangkah ke atas loteng restoran dengan lagak angkuh.
Mendengar pemuda berbaju ringkas ini bukan kawan Pangsiauya,
sikap pelayan yang lain seketika tidak terlalu hormat
lagi, dengan sikap umum ia menyapa, "Tuan ini silakan ke
atas loteng, di sini tersedia arak yang paling enak dan
santapan paling lezat ...."
Merasa dirinya diperlakukan tidak sepadan dengan Pang BunKANG
ZUSI website http://cerita-silat.co.cc/
hiong, tentu saja pemuda itu rada dongkol, tapi ia diam saja,
ia serahkan kudanya kepada pelayan, lalu naik ke atas loteng.
Setiba di atas, dilihatnya Pang Bun-hiong sudah duduk
menyanding sebuah meja besar, di depannya berkerumun tiga
orang pelayan, yang satu sibuk menuangkan teh baginya,
yang kedua mengatur mangkuk dan sumpit, yang ketiga
membawa daftar menu dan menunggu sang tamu memilih
santapan, semuanya berlaku sangat hormat, serupa kaum
dayang meladeni pangeran.
Si pemuda berbaju ringkas memilih sebuah meja di depan,
akan tetapi tidak ada seorang pelayan pun yang meladeninya,
keruan ia tambah keki dan sengaja hendak menyaingi Pang
Bun-hiong, segera ia menggebrak meja dan berteriak. "Hai,
apaan ini, masa di sini tidak ada pelayan?"
"Ya, ya, segera datang!" cepat pelayan yang sibuk
menuangkan teh bagi Pang Bun-hiong itu bersuara, lalu
mendekat dan bertanya dengan tertawa, "Tuan tamu ini mau
pesan apa?"
"Kuminta diberi handuk hangat dulu dan sepoci teh Siociong,"
jengek si pemuda berbaju ringkas.
"Baik, baik, segera disediakan," sahut si pelayan.
Saat itu Pang Bun-hiong lagi memilih menu, sembari
menyeruput teh panas ia berkata, "Buatkan seporsi burung
dara goreng, seporsi Pak-lay-cah, seporsi Ang-sio-hi, seporsi
ayam cah jamur, ditambah seporsi sup tahu campur bibir ikan
dan bawakan lagi setengah kati arak Li-ji-hong."
Kiranya restoran ini terhitung rumah makan nomor satu di
kota Kim-tan ini, meski menu yang dipilih Pang Bun-hiong
tidak tergolong makanan ternama, tapi sudah cukup
terpandang mahal oleh penduduk setempat.
Berulang pelayan mengiakan sambil mencatat menu yang
dikehendaki, lalu bergilir menuju ke depan si pemuda berbaju
ringkas dan bertanya, "Tuan tamu ini mau pesan makanan
apa?" "Kuminta satu porsi burung dara goreng, satu porsi Pak-laycah,
satu porsi Ang-sio-hi, satu porsi ayam cah jamur,
ditambah seporsi sup tahu campur bibir ikan dan bawakan lagi
satu kati arak Li-ji-hong."
Menu yang dipilih ternyata sama dengan pesanan Pang Bunhiong,
bedanya cuma dia minta arak setengah kati lebih
banyak. Seketika si pelayan melenggong, ia tahu tamu ini sedang
mencari perkara kepada Pang-siauya, maka diam-diam ia
merasa geli dari juga senang.
Maklumlah, orang berusaha restoran, tentu tidak beralasan
menolak tamu makan banyak, maka dicatatnya pula setiap
pesanan orang. Selagi pelayan itu hendak meneruskan
pesanan itu ke bagian dapur, tiba-tiba Pang Bun-hiong
memanggilnya, "Hai, pelayan, kemari!"
Sambil mengiakan pelayan itu berlari ke sana dan tanya
dengan memberi hormat, "Pang-siauya ada pesan apa lagi?"
"Tambah lagi satu macam .... Otak kera!" kata Pang Bunhiong
dengan tertawa.
"Baik, Tuan!" sahut si pelayan.
Mendadak si pemuda berbaju ringkas juga memanggilnya,
"Kemari, pelayan!"
Kembali si pelayan mengiakan dan mendekatinya sambil
tanya, "Tuan tamu minta apa lagi?"
"Juga tambah satu macam ... Otak kera!" kata pemuda itu.
Dengan tertawa si pelayan mengiakan dan buru-buru turun ke
bawah. "Hmk!" perlahan Pang Bun-hiong mendengus, ia
mengeluarkan sebuah kipas dan dibentangnya lalu mengipas
perlahan dengan santainya.
Pemuda berbaju ringkas itu tidak punya kipas, ia merasa kalah
aksi, tanpa pikir ia berseru, "Hai, pelayan, kemari!"
Pelayan yang lain segera mendekat dan bertanya apa
kehendak sang tamu.
Pemuda itu mengeluarkan uang perak seberat lima tahil dan
disodorkan kepada si pelayan sambil berteriak, "Pergi ke toko
dan belikan sebuah kipas lempit bertulang gading, sisanya
untukmu!" Si pelayan tidak tahu dia lagi bersaing dengan Pang Bunhiong,
tentu saja ia kegirangan akan mendapat persen cukup
banyak, sambil mengiakan segera ia berlari pergi.
Diam-diam Pang Bun-hiong merasa gusar, dengan suara yang
tak terdengar ia memaki, "Kurang ajar! Berani kau cari
perkara padaku. Baik, sebentar baru kau tahu rasa!"
Tidak lama, si pelayan sudah kembali dengan membawa kipas
lempit bertulang gading yang dikehendaki si pemuda berbaju
ringkas. Maka pemuda itu pun pasang aksi dengan membentang
kipasnya dan mengipas dengan lagak santai.
Selang sebentar lagi, santapan yang mereka pesan pun
dihidangkan. Melihat salah satu porsi makanan itu adalah sebuah otak
mentah, malahan kelihatan berdarah, diam-diam si pemuda
berbaju ringkas terkejut, ia menarik pelayan yang
membawakan makanan itu dan bertanya dengan suara lirih,
"Hei, ini apa?"
"Inilah otak kera yang Tuan pesan tadi," jawab si pelayan.
Kembali pemuda itu tanya dengan suara tertahan, "Betul, aku
memang pesan semacam makanan, tapi sesungguhnya
barang apa ini?"
"Otak kera," tutur si pelayan.
Pemuda itu kelihatan tegang, tanyanya pula, "Masa otak kera
benar-benar?"
"Dengan sendirinya otak kera benar-benar, restoran kami
tidak menjual barang palsu," ujar si pelayan.
Seketika pemuda itu merasa mual dan hampir saja tumpah,
serunya, "Aduh, barang begini masa dapat dimakan?"
"Jika Tuan tamu tidak berani makan, untuk apa dipesan?" ujar
si pelayan. Mendadak teringat oleh pemuda itu betapa pun tidak boleh
kelihatan lemah di depan Pang Bun-hiong, segera nadanya
berubah, katanya sambil berdehem, "Ya, memang. Bukannya
aku tidak berani makan, maksudku barang ini tidak pantas
dimakan secara mentah melainkan mesti dimasak dahulu."
"Tidak, dimakan secara mentah baru terasa enak," tutur si
pelayan. Pemuda itu mulai menyesal tidak seharusnya ikut-ikutan
memilih makanan itu, dengan bekernyit kening ia memberi
tanda, "Bawa pergi, bawa pergi! Aku tidak doyan makanan
ini!" "Hahahaha!" mendadak Pang Bun-hiong bergelak tertawa.
"Buset! Kukira orang gagah macam apa, tak tahunya cuma
seorang ...."
Serentak si pemuda berbaju ringkas menjadi gusar, ia
menggebrak meja dengan keras dan berdiri, bentaknya, "Kau
maki siapa"!"
Pang Bun-hiong sengaja membungkuk tubuh ke arahnya dan
berkata dengan tertawa, "Maaf, aku kan tidak menyebut nama
siapa pun!"
Habis ini ia lantas menuang arak dan makan-minum.
Si pemuda berbaju ringkas mendengus, ia pun duduk dan
menuang secawan arak, mendadak cawan arak yang
dipegangnya dilemparkan ke arah Pang Bun-hiong, ucapnya
dengan tertawa, "Kusuguh satu cawan padamu, kawan!"
Waktu terlempar cawan itu meluncur sangat lambat, serupa
segumpal kapas saja yang melayang terbawa angin.
Tapi bagi orang yang berpengalaman, sekali pandang saja
segera tahu lemparan ini membawa tenaga dalam yang kuat,
jika Pang Bun-hiong tidak menguasai sedikit kepandaian, pada
waktu menangkap cawan arak tentu akan ketahuan
belangnya. Tertampak Pang Bun-hiong tetap duduk diam saja, ia hanya
mengangkat tangan dengan perlahan dan cawan arak yang
melayang tiba itu kena ditangkapnya, seluruh tubuh tidak
bergoyang sama sekali.
"Terima kasih!" ucapnya dengan tersenyum dan sekali
tenggak isi cawan diminum habis.
Lalu ia pun menuang satu cawan arak, perlahan dilemparkan
ke arah lawan dan berkata, "Setelah menerima harus balas
memberi, itulah sopan santun namanya. Silakan minum juga!"
Gerak melayang cawan araknya juga sangat lambat.
Pemuda berbaju ringkas tertawa, ia angkat sumpit, dengan
enteng cawan itu dicapitnya sambil berkata, "Terima kasih!"
Isi cawan itu pun ditenggaknya habis.
Pertandingan ini kembali seri alias sama kuat.
Namun perbuatan mereka yang luar biasa itu telah
mengejutkan para tamu dan pelayan yang melayani mereka.
Si pemuda berbaju ringkas merasa penasaran karena tidak
dapat mengatasi pihak lawan, dengan sumpit ia capit
sepotong daging ayam terus disambitkan, katanya, "Kusuguh
lagi sepotong kulit ayam padamu!"
Sekali ini daging ayam itu menyambar ke depan secepat kilat
sehingga serupa sebilah pisau.
Pang Bun-hiong tidak mengelak, mendadak ia membuka
mulut, daging ayam itu dicaploknya, lalu dimakan dengan
nikmatnya, katanya dengan tertawa, "Ehm, empuk dan gurih,
sungguh lezat!"
Habis mengunyah dan menelan daging ayam lalu ia
menyumpit sepotong otak kera, katanya dengan tertawa,
"Haha, kalau sudah menerima sepantasnya harus balas
memberi, ini, aku pun menyuguh sepotong otak padamu!"
Sekali sumpit bergerak, secepat bintang meluncur sepotong
otak kera itu terus menyambar ke muka si pemuda berbaju
ringkas. Anak muda itu tidak berani makan otak kera, keruan ia
terkejut, cepat telapak tangan menolak ke depan sambil
membentak, "Maaf, tuanmu tidak makan otak kera!"
Karena tenaga tolakan itu, otak kera yang menyambar ke
depan itu lantas hancur di udara beberapa kaki sebelum
mencapai sasarannya.
Nyata itulah Pi-kong-ciang atau pukulan jarak jauh yang lihai.
Bun-hiong menjadi gusar, teriaknya sambil berbangkit, "Kalau
jantan sejati harus kau makan?"
Pemuda baju ringkas mengangkat pundak dan menjawab,
"Sekali seorang jantan bilang tidak makan tetap tidak mau
makan!" Ucapannya seketika menimbulkan gelak tawa orang banyak.
Bun-hiong juga merasa geli, segera ia melangkah ke sana,
katanya dengan tertawa, "Eh, saudara, kubilang
sesungguhnya engkau belum memenuhi syarat untuk main
gila di depan tuanmu!"
"Huh, di depan maharaja sekalipun berani kumain gila," jawab
pemuda baju ringkas.
"Hm, barangkali belum kau kenal nama julukanku," kata Bunhiong.
"Oo" Apa?" tanya si pemuda baju ringkas dengan lagak ingin
tahu. "Te-tau-coa (ular penguasa daerah) ialah julukanku, masa
belum pernah kau dengar?"
"Bagus! Juga aku mempunyai nama julukan," ujar si pemuda
baju ringkas. "Coba katakan, aku ingin tahu!"


Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Julukanku adalah Ko-kang-liong (naga penjaga sungai),
pernah kau dengar namaku?"
"Aha, bagus!" seru Bun-hiong sambil terbahak. "Bolehlah hari
ini ular menempur naga, ingin kulihat apakah Ko-kang-liong
yang lebih hebat atau Te-tau-coa yang lebih kuat?"
Baru habis bicara, mendadak sebelah kakinya menendang.
Si pemuda baju ringkas cuma berjaga-jaga kalau lawan
memukul dan tidak mengira akan ditendang, seketika ia tidak
sempat mengelak, kontan perutnya tertendang dengan telak,
ia menjerit kesakitan dan roboh terjungkal.
Meja juga terguling tertumbuk pada waktu dia roboh
terjengkang, dengan sendirinya semua hidangan di atas meja
juga tumpah dan menerbitkan suara gemuruh.
Melihat lawan memegang perut sambil menjerit kesakitan,
Pang Bun-hiong tidak menyerang lebih lanjut, ia tertawa
senang dan berkata, "Nah, kubilang naga takkan mampu
makan ular, sekarang kau percaya tidak?"
Pemuda berbaju ringkas itu merangkak bangun, pada saat
tubuhnya hampir menegak mendadak ia menjotos.
Pang Bun-hiong tidak menyangka orang masih bertenaga
untuk memukulnya, hendak berkelit pun tidak keburu lagi,
kontan perutnya juga kena digenjot dengan keras, belum
menjerit tahu-tahu ia pun jatuh terjengkang.
"Haha, bagaimana" Kubilang naga tetap lebih kuat daripada
ular, sekarang tentu kau percaya bukan?" seru si pemuda baju
ringkas dengan tertawa.
Sambil meringis kesakitan Pang Bun-hiong merangkak
bangun, katanya, "Baik, tampaknya Kungfumu boleh juga,
namun urusan belumlah selesai!"
Mendadak ia mendekam ke lantai, kaki terus menyapu lawan.
Namun pemuda baju ringkas sempat melompat minggir,
menyusul kedua kepalan balas menghantam kedua pelipis
musuh. Sekali ini Bun-hiong tidak dapat dikerjai lagi, secepat kitiran ia
berputar, kedua tangan beradu, kontan si pemuda baju
ringkas terpental mencelat, Pang Bun-hiong juga tergetar
jatuh terjungkal.
"Wah, celaka!" teriak kuasa restoran yang baru naik ke atas
loteng ketika mendengar suara keributan. "Sudah, sudahlah,
bisa rusak semua!"
Namun kedua orang sudah kadung naik pitam, kembali
mereka saling labrak lagi. Dalam sekejap itu belasan meja
kursi di atas loteng sama terjungkir balik, mangkuk piring
beterbangan dan hancur.
"Wah, celaka, tamat, habis seluruhnya!" kuasa restoran
berkeluh pula dengan muka pucat. "Cara bagaimana
perhitungan ini?"
Rupanya kedua anak muda itu sudah sama kalapnya, siapa
pun tidak mau berhenti dulu, pukulan dan tendangan masih
terus berlangsung dengan seru.
Tampaknya ratusan jurus sudah berlalu dan keduanya tetap
setali tiga uang alias sama kuat, tiada seorang pun lebih
unggul. Pada saat itulah terdengar tangga berdetak, naiklah seorang
tua yang berdandan sebagai Pothau (serupa polisi zaman
kini). Melihat ada orang berkelahi, Pothau tua itu membentak,
"Berhenti!"
Suaranya keras menggelegar sehingga genting rumah serasa
terguncang. Segera Pang Bun-hiong menghentikan serangannya dan
melompat mundur, katanya dengan tertawa, "Syukurlah Ciupothau
datang, coba bocah ini akan lari ke mana?"
Pemuda berbaju ringkas juga berhenti perang tanding dan
berucap, "Harus dua mata uang baru menerbitkan bunyi,
kalau masuk penjara biarlah kita lakoni bersama."
"Pang-siauya, apa-apaan ini?" tanya Ciu-pothau dengan
menarik muka. "Ah, tidak apa-apa, lagi iseng, maka main-main dengan
sahabat ini," jawab Bun-hiong dengan tertawa.
"Main-main?" omel Ciu-pothau. "Coba restoran orang telah
kau bikin porak-poranda semacam ini, masa ini cuma mainmain?"
"Jangan khawatir, semua perhitungkan atas rekeningku saja,"
ujar Bun-hiong.
Si pemuda baju ringkas menjengek, "Hm, memangnya kau
kira hanya kamu saja yang punya uang" Biar kukatakan, aku
juga sanggup memberi ganti rugi!"
Sembari bicara ia terus mengeluarkan sepotong uang perak
dan dilemparkan kepada kuasa restoran sambil berseru, "Ini,
ambil! Tentu cukup untuk ganti rugi semua kerusakan ini."
Cepat si kuasa restoran mengambil uang perak itu dan
mengucapkan terima kasih.
Tapi Pang Bun-hiong merasa kehilangan muka, teriaknya
dengan gusar, "Kurang ajar! Kan sudah kukatakan aku yang
akan memberi ganti rugi, sekali kubilang begitu tetap aku
yang akan memberi ganti rugi, kau berani berebut membayar
denganku?"
"Memangnya mau apa" Jika tidak terima, mari kita berhantam
lagi, cuma harus cari suatu tempat lain saja," ujar si pemuda
baju ringkas dengan tertawa.
"Baik, boleh kita bertarung lagi, barang siapa menang, dia
yang wajib membayar ganti rugi," kata Bun-hiong.
"Dan di mana tempatnya?"
Bun-hiong berpikir sejenak, lalu berkata dengan tertawa,
"Haha, kita memang perlu mencari suatu tempat sepi yang tak
terganggu. Begini saja, menjelang tengah malam nanti kita
bertemu di ...."
Lalu ia mendekat dua langkah ke samping lawannya dan
mengucapkan nama tempat yang dimaksud dengan suara lirih,
lalu menegas dengan suara keras, "Nah, bagaimana" Setuju?"
"Baik, kupasti datang tepat pada waktunya," jawab si pemuda
baju ringkas. Bun-hiong lantas berkata kepada kuasa restoran, "Kembalikan
uang perak itu kepadanya."
"Tidak perlu," ujar pemuda baju ringkas. "Jika aku kalah baru
kudatang mengambilnya kembali."
Habis ini ia memberi hormat kepada Ciu-pothau dan berkata,
"Maaf, sekarang aku boleh pergi bukan?"
Ciu-pothau memandang Pang Bun-hiong sekejap, dilihatnya
pemuda itu mengangguk, maka ia lantas memberi tanda dan
berkata, "Baik, boleh pergi!"
Dengan tersenyum pemuda baju ringkas lantas meninggalkan
restoran itu. Lalu Ciu-pothau berkata kepada Pang Bun-hiong, "Pangsiauya,
engkau ini kok selalu mencari gara-gara saja" Lain kali
jika mau berkelahi hendaknya pergi ke luar kota saja."
Bun-hiong mengebas bajunya yang kotor sambil menjawab
dengan tertawa, "Baik, malam nanti kami memang akan
berkelahi di luar kota."
"Di luar kota mana?" tanya Ciu-pothau.
"Maaf, tak dapat kuberi tahu," kata Bun-hiong sambil
memicingkan sebelah mata, lalu tinggal pergi.
***** Ketika malam tiba, cahaya lampu gemerlapan di sana-sini.
Tempat yang paling ramai pada waktu malam di kota Kim-tan
adalah sebuah gang yang disebut "Gang Bunga" di dekat
gerbang utara. Sebab jalan ini memang sesuai dengan
namanya, tempat hiburan, tegasnya tempat "lampu merah".
Di antaranya yang paling terkenal adalah sebuah rumah
hiburan yang bernama "Lau-jun-ih" atau Paviliun Semi Abadi.
Malam ini si pemuda berbaju ringkas itu sudah berganti baju
preman, dengan menggoyang kipas lempit dikunjunginya
tempat pelesir itu.
Setiba di depan Lau-jun-ih, ia merandek dan melongak-longok,
segera seorang calo menyongsongnya dengan cengar-cengir
dan menyapa, "Kongcu ini silakan duduk di dalam, apa ingin
cari nona jelita?"
Anak muda itu mengangguk dan melangkah ke dalam.
Calo itu membawanya ke ruangan tamu dan duduk serta
disuguh secangkir teh harum, lalu bertanya dengan tertawa,
"Kongcu she apa?"
"Liong," jawab pemuda itu.
"Oh, kiranya Liong-kongcu," ujar si calo. "Numpang tanya,
apakah Liong-kongcu sudah ada kenalan di sini?"
"Tidak ada," jawab pemuda she Liong itu, "cuma berani
kukatakan di Lau-jun-ih kalian ini ada seorang nona bernama
Giok-nio, entah dia ada atau tidak?"
"Oo, Liong-kongcu mau panggil nona Giok-nio?" calo itu
menegas dengan melengak.
"Ya," pemuda she Liong mengangguk.
Si calo memperlihatkan rasa menyesal, katanya, "Ai, sungguh
tidak kebetulan. Selama beberapa hari ini nona Giok-nio tidak
di tempat, bagaimana kalau Liong-kongcu panggil nona yang
lain?" "Apa betul tidak ada?" pemuda she Liong menegas.
"Sungguh tidak ada, masa hamba berani berdusta," ujar si
calo. "Cuma, hihi, hendaknya Kongcu jangan kecewa,
bagaimana kalau hamba memanggilkan nona lain yang lebih
cantik daripada Giok-nio, tanggung Kongcu pasti puas."
"Dia pergi ke mana?" tanya pemuda she Liong.
"Hamba sendiri tidak jelas."
Pemuda itu berpikir sejenak, tiba-tiba ia tertawa dan berkata,
"Baiklah, boleh coba panggilkan satu."
Dengan gembira si calo mengiakan, segera masuk ke dalam,
tidak lama kemudian keluar lagi dengan membawa seorang
nona, katanya dengan tertawa, "Coba Kongcu lihat, cantik
bukan?" Nona ini berusia antara 20-an, bertubuh ramping, raut muka
potongan daun sirih dan cukup menarik, ditambah lagi alis
lentik dan mata jeli, mulut mungil, tampaknya memang
memikat. Si nona berdiri di tepi pintu, lengan baju setengah menutupi
mukanya dengan lagak malu-malu kucing.
Pemuda she Liong mengangguk, agaknya merasa puas,
sapanya dengan tertawa, "Nona ini bernama siapa?"
"Dia bernama Jiu Yan, belum lama baru datang sehingga tidak
begitu pintar meladeni tamu, hendaknya Kongcuya maklum,"
ujar si calo dengar tertawa. Lalu ia berkata kepada si nona,
"Nah, nona Jiu Yan, lekas mengundang Kongcuya ini ke
dalam." Jiu Yan memandang pemuda she Liong dengan lirikan
memikat, dengan likat ia membalik tubuh dan menyingkap
tabir. Pemuda itu tahu maksudnya, dengan tersenyum ia ikut masuk
ke dalam. Jiu Yan membawanya ke sebuah kamar yang terpajang cukup
indah, lebih dulu ia memberi hormat dan berkata dengan
suara renyah, "Silakan duduk, Liong-kongcu."
"Maaf jika aku mengganggu," ucap pemuda she Liong.
"Ah, janganlah Kongcu merasa sungkan," ujar Jiu Yan dengan
tertawa manis. Pemuda itu lantas duduk di depan sebuah meja kecil yang
indah, katanya pula, "Nona secantik bidadari, sungguh sangat
beruntung dapat berkenalan denganmu."
Jiu Yan menuang secangkir teh dan ditaruh di depan pemuda
itu, lalu duduk di sampingnya, katanya dengan malu-malu,
"Perempuan biasa seperti diri hamba ternyata beruntung
ditaksir oleh Kongcu, sungguh hamba sangat berterima kasih,
mohon Kongcu suka banyak memberi petunjuk."
Melihat si nona dapat bicara dengan sopan, timbul kesan baik
si pemuda she Liong, ia pegang tangannya yang putih dan
berkata, "Ehm, pandai benar caramu bicara."
Jiu Yan tertawa manis, "Terima kasih atas pujian Kongcu.
Padahal di Lau-jun-ih kami ini, hamba terhitung paling bodoh."
"Berapa usiamu tahun ini?"
"Dua puluh," jawab Jiu Yan sambil menunduk malu.
"Berasal dari mana?"
"Di sini."
"Haha," si pemuda tertawa. "Di luar dugaan juga jawaban ini
...." "Oo?" Jiu Yan ingin tahu lebih lanjut.
"Banyak juga nona yang pernah kulihat, setiap kutanya asal
usul mereka, selalu mereka menceritakan kisah hidupnya yang
memilukan."
"Buat apa begitu?" ujar Jiu Yan tersenyum. "Selama ini tidak
pernah kuceritakan kisah hidupku, sebab meski kuceritakan
juga tidak ada gunanya."
"Memang betul," kata si pemuda.
"Apakah Kongcu perlu memanggil daharan?"
"Baik," pemuda itu mengangguk.
Segera Jiu Yan keluar dan memberi pesan agar menyiapkan
arak dan santapan, lalu kembali ke kamar, tanyanya dengan
tertawa, "Kalau boleh mohon tanya nama Kongcu yang
terhormat."
"It-hiong," jawab si anak muda.
"Di mana kediaman Kongcu?"
"Tidak punya kediaman pasti, berkelana kian kemari," jawab si
pemuda alias Liong It-hiong.
"Tampaknya watak Kongcu sangat jujur dan suka terus
terang." "Masa"!"
"Kebanyakan orang lelaki yang datang ke sini, jelas mereka
datang untuk mencari kesenangan, tapi mereka berlagak
mengunjuk rasa simpatik atas nasib kami, hanya engkau yang
tidak bersikap demikian."
Liong It-hiong tertawa. "Di dunia ini sangat banyak orang
yang bernasib malang, jika setiap orang harus solider kan
runyam, cuma ...."
"Cuma apa?" tanya Jiu Yan.
"Caraku bersimpati kepada orang perempuan semacam kalian
hanya dengan semacam barang."
"Oo, barang apa?"
"Uang!"
Jiu Yan tertawa mengikik, "Lelaki yang datang ke sini masakan
berani tidak memberi uang."
"Namun yang kuberikan jauh lebih banyak daripada lelaki
lain." Jiu Yan memperlihatkan rasa tidak percaya, "Apa betul?"
Liong It-hiong menyeruput tehnya, lalu berkata, "Ingin
kutanya padamu, bukankah kau kenal seorang pemuda


Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bernama Pang Bun-hiong?"
"Tentu saja kukenal," jawab Jiu Yap. "Dia adalah pemuda
tukang foya-foya terkenal di kota ini, tidak ada seorang nona
penghuni Gang Bunga ini yang tidak kenal dia."
"Bila datang, setiap kali dia membayar berapa kepada kalian?"
tanya It-hiong.
"Tidak tentu," tutur Jiu Yan. "Kalau lagi senang, terkadang
sekali memberi 50 tahil perak."
"Sekarang kuberi seratus tahil perak padamu," kata Liong Ithiong
sambil mengeluarkan sepotong uang emas dan
diberikan kepada si nona, katanya pula dengan tertawa,
"Emas ini kalau dinilai persis seratus tahil perak."
Mata Jiu Yan terbelalak, katanya dengan sangsi, "Hei, Kongcu
... apakah engkau bergurau?"
"Tidak," jawab It-hiong.
Jiu Yan mengamati uang emas yang dipegangnya, terasa kejut
dan girang, ucapnya, "Kongcu tentu kaya raya bukan?"
"Tidak aku sangat miskin, saking rudinnya terkadang aku tidak
makan, namun bila pegang uang lantas kuhamburkan."
"Cara ini tidak betul," ujar Jiu Yan.
"Betul atau tidak sukar dikatakan, selama ini tidak pernah
kupikirkan soal ini .... Ah, biarlah kita ganti pokok bicara.
Konon di Lau-jun-ih kalian ini ada seorang nona bernama
Giok-nio?"
"Betul, dia sangat laris," jawab Jiu Yan.
"Sekarang dia ada atau tidak?"
"Tidak ada, sudah pergi."
"Pergi ke mana?"
"Kabarnya pindah ke Kim-leng (kota Nanking sekarang)."
"Tapi si calo tadi bilang Giok-nio selama beberapa hari ini tidak
masuk, dia tidak bilang pindah ke Kim-leng segala."
"Wajar jika dia bilang begitu, kalau dia katakan terus terang
Giok-nio tidak berada di sini lagi, kan para tamu bisa angkat
kaki semua," ujar Jiu Yan, lalu ia tanya dengan tertawa,
"Kongcu juga kenal Giok-nio."
"Tidak," jawab Liong It-hiong.
"Dan Kongcu ingin mencari dia?"
"Sebenarnya memang berniat demikian, sebab sering
kudengar pujian orang akan kecantikan dan kepandaiannya,
maka ingin belajar kenal."
"Sudah delapan atau sembilan hari dia pergi," tutur Jiu Yan.
"Sebab apa dia pergi dari sini?"
"Entah, mungkin dia pikir di Kim-leng akan mendapatkan uang
lebih banyak."
"Di mana dia tinggal di Kim-leng?"
"Kalau tidak salah dia bilang Boan-jun-wan."
Selagi It-hiong hendak tanya lebih lanjut, dilihatnya pelayan
membawakan arak dan hidangan, sesudah pelayan pergi
barulah It-hiong tanya pula, "Sesungguhnya siapa nama
aslinya?" Sambil menuangkan arak Jiu Yan menjawab, "Tidak begitu
jelas, meski cukup lama kami berkumpul, namun tidak pernah
saling tanya nama asli masing-masing."
Lalu dia menyodorkan arak yang dituangnya kepada anak
muda itu, "Silakan minum Kongcu. Jika malam ini engkau
penujui hamba, hendaknya jangan kau singgung-singgung
Giok-nio lagi."
It-hiong tertawa dan menenggak habis isi cawan itu, katanya,
"Ya, betul, aku memang kurang sopan, masakah
membicarakan seorang nona lain di depan nona."
"Jika kau sebut dia lagi aku akan marah lho!"
"Baik, takkan kusebut dia pula," kata It-hiong, dia mulai
makan-minum di bawah ladenan Jiu Yan yang mesra itu.
Melihat anak, muda itu menenggak setiap cawan arak yang
dituangkan, Jiu Yan rada khawatir, tanyanya, "Bagaimana
takaran minummu?"
"Lumayan," jawab It-hiong.
"Jangan mabuk lho."
"Tidak, malam ini aku ada urusan, tidak boleh mabuk."
Jiu Yan salah tampa akan ucapan anak muda itu, mukanya
menjadi merah, ucapnya dengan tertawa malu, "Aku paling
takut pada orang mabuk, jika kau pun mabuk, tentu takkan
kuladenimu."
It-hiong terus merangkulnya dan dicium, katanya dengan
tertawa, "Jangan khawatir, aku takkan mabuk."
Sembari bicara sambil meraba sini-sana ia tanya, "Eh, beri
tahukan padaku, bagaimana pribadi bocah Pang Bun-hiong
itu?" "Oo, engkau tidak kenal dia?"
"Ya, aku cuma tahu dia kaya dan berpengaruh, juga memiliki
Kungfu yang tidak lemah."
"Konon ayahnya pernah menjadi pembesar tinggi di kota raja,
sekarang sudah pensiun dan merupakan hartawan terkemuka
di kota ini, jadi dia memang kaya dan berpengaruh."
"Kungfunya belajar dari siapa?"
"Hal ini tidak kuketahui."
"Bagaimana pribadinya?"
"Sangat royal."
"Perilakunya?"
"Sangat romantis, cuma tidak serupa kaum pangeran dan
putra bangsawan yang suka berbuat sewenang-wenang."
"Apakah dia sangat suka main menang-menangan dan
menganiaya orang dan sebagainya?"
"Tidak pernah terdengar."
"Kau bilang dia sangat romantis, coba katakan bagaimana
romantisnya?"
"Konon setiap perempuan cantik tentu diubernya dan takkan
berhenti sebelum terkabul keinginannya."
"Aku juga sangat romantis, kau percaya tidak?"
"Kenapa tidak percaya," jawab Jiu Yan sambil mencolek pipi
anak muda itu dengan tertawa. "Melihat bentukmu setiap
orang tahu pasti perayu."
It-hiong terbahak terus memondongnya menuju ke tempat
tidur .... Setengah jam kemudian baru Liong It-hiong meninggalkan
rumah hiburan itu dengan badan segar dan wajah berseri,
sambil menggoyang kipas dia menuju ke luar kota.
Kira-kira dua-tiga li di luar kota, ia memandang rembulan yang
menghias di tengah cakrawala, gumamnya, "Sudah dekat
tengah malam, aku harus cepat menuju ke sana."
Serentak ia berlari cepat ke depan, hanya sebentar saja ia
sudah sampai di kaki gunung yang sunyi dan jauh dari rumah
penduduk. Ia berhenti di situ dan memandang sekelilingnya, lalu
menanjak ke atas mengikuti sebuah jalan setapak.
Setiba di pinggang gunung, tiba-tiba ia merasakan keadaan
tidak enak, ia berhenti, dengan sinar mata mencorong ia
memandang ke hutan sebelah kanan sambil menegur, "Pang
Bun-hiong, apakah kau?"
Namun tiada jawaban apa pun dari dalam hutan.
"Hmk," jengek It-hiong. "Orang gagah macam apa main
sembunyi-sembunyi" Ayo menggelinding keluar!"
"Oouhh ...." terdengar suara rintihan lemah berkumandang
dari sana. It-hiong terkesiap, "Siapa itu?"
Tetap tidak ada jawaban.
Kening It-hiong bekernyit, jengeknya pula, "Keparat, kudatang
untuk duel denganmu, jika sengaja kau main gila, terhitung
orang gagah macam apa?"
"Auuhh ...." kembali berkumandang pula keluhan lemah itu.
Hati It-hiong mulai curiga, ia berpikir sejenak, lalu
memutuskan akan menyelidiki keadaan sebenarnya di dalam
hutan, diam-diam ia siap siaga untuk menghadapi segala
kemungkinan, lalu beranjak ke dalam hutan.
Baru belasan langkah masuk ke dalam hutan, sekilas pandang,
seketika berubah air mukanya.
Dilihatnya satu orang, seorang yang sudah kempas-kempis
tinggal ajalnya.
Usia orang ini antara 40-an, dahi lebar mata besar, alis tebal
seperti sikat, mukanya kereng, dia memakai baju ringkas
warna hitam dengan deretan kancing di depan, memakai
sepatu sol tipis, saat itu sedang bersandar di batang pohon
dengan ujung mulut mengucurkan darah, tampaknya terluka
sangat parah. Di sampingnya tertaruh sebuah peti berwarna hitam,
bentuknya serupa peti wasiat yang biasanya digunakan orang
untuk menyimpan barang berharga, pada pegangan peti itu
terikat seutas rantai besi.
Menghadapi orang terluka parah, cepat It-hiong mendekatinva
dan bertanya, "Eh, saudara ini kenapa?"
Mata orang itu setengah terpejam dan buram, ia membuka
mulutnya yang berdarah dan mengeluarkan suara terputusputus,
"Sia ... siapa engkau?"
"Aku Liong It-hiong."
"O, Tayhiap ...." semangat orang itu tampak terbangkit.
It-hiong mengangguk.
Tangan kanan orang itu sedikit terangkat, maksudnya seperti
minta It-hiong mengangkatnya bangun, katanya lemah, "To ...
tolong ...."
It-hiong berjongkok untuk memapahnya sambil bertanya,
"Saudara ini siapa, kenapa sampai terluka?"
Orang itu tidak menjawab, ia pegang tangan kiri It-hiong, lalu
diambilnya rantai besi terus diikat pada pergelangan tangan,
katanya dengan lemah, "Harap ... harap sam ... sampaikan
barang ini ke ... kepada Cap-pek-pan-nia ...."
Berucap sampai di sini, mendadak kepalanya terkulai miring ke
samping, lalu tidak bergerak lagi, nyata dia sudah mati.
Keruan It-hiong terkejut, serunya, "Hei, hei! Kau bilang apa"
Kau bilang sampaikan barang ini kepada siapa!"
Namun biarpun dia berteriak-teriak dan menggoyang-goyang
tubuhnya, lelaki setengah baya itu sudah terkulai dan tidak
bernapas lagi. Dengan tercengang ia pandang tubuh yang sudah tak
bernyawa itu hingga sekian lamanya, akhirnya bergumam
sambil menggeleng kepala, "Buset, sesungguhnya bagaimana
jadinya ini?"
Waktu ia periksa rantai yang mengikat pada pergelangan
tangannya, seketika hati tenggelam, serunya, "Wah, celaka!
Ini kan berarti membikin susah orang?"
Kiranya pada ujung rantai itu terpasang sebuah borgol baja
dan sekarang borgol itu membelenggu erat pergelangan
tangannya. Ini berarti kalau belenggu itu tidak dapat dibuka
maka peti hitam itu pun akan senantiasa berdampingan
dengan dia dan tak terpisahkan.
Ia coba membetot, terasa belenggu itu semakin kencang,
tentu saja ia cemas, ia coba mengangkat peti hitam itu,
diamati dan diperiksa, bobot peti terasa agak berat, ternyata
terbuat dari baja.
"O, Thian, barang apakah ini"!" keluhnya pula.
Ia tidak menaruh minat terhadap isi peti hitam itu, yang
dirasakan gawat adalah belenggu yang mengikat pergelangan
tangannya sebab sebentar dia harus bertempur dengan Pang
Bun-hiong di atas gunung, kalau belenggu ini tidak lekas
disingkirkan akan berarti dia bertempur dengan membawa
sebuah beban, dengan begini jelas dia pasti akan kalah.
Tapi apa daya"
Ia pandang mayat lelaki setengah umur itu, tiba-tiba teringat
olehnya mungkin kunci borgol berada pada bajunya, cepat ia
menggerayangi tubuh mayat itu.
Akan tetapi meski sekujur badan mayat itu sudah digagapi,
hanya dapat dikeluarkan belasan tahil perak saja, selain itu
tidak ada sesuatu benda lagi.
Ia kecewa dan juga gelisah, tanpa terasa ia menggerutu
terhadap mayat itu, "Hm, engkau sungguh terlalu. Jika kau
minta kusampaikan peti ini kepada seorang, cukup asalkan
kuterima permintaanmu dan tentu akan kulaksanakan, kenapa
kau belenggu peti ini di tanganku?" Ini kan sama dengan
membikin susah padaku."
Segera terpikir juga olehnya untuk menggunakan pedang. Ia
lolos pedang yang tergantung di pinggang, tapi ia cuma
menggeleng kepala saja sambil memandang pedangnya,
sebab disadarinya pedang sendiri bukan pedang pusaka yang
dapat memotong besi seperti merajang sayur, tidak mungkin
dapat memotong rantai atau belenggu baja itu.
Ia menghela napas, pedang berbalik digunakannya untuk
menggali tanah.
Tidak lama kemudian sebuah liang sedalam tiga-empat kaki
telah digalinya, diseretnya mayat lelaki setengah umur itu ke
dalam liang, lalu diuruk lagi dengan tanah, kemudian ia
membersihkan pedangnya dan disimpan kembali ke dalam
sarungnya, habis ini barulah ia naik ke atas gunung.
Ia gulung rantai besi itu pada pergelangan tangan, peti hitam
itu dikepitnya terus berlari cepat ke atas. Tidak lama
sampailah dia di puncak gunung yang tandus.
Waktu ia pandang posisi rembulan di langit, diduganya sudah
lewat tengah malam.
Ia coba celingukan sekitarnya, lalu berseru, "Hai, bocah she
Pang, engkau sudah datang belum?"
Segera dari balik batu besar beberapa kaki di depan sana
menongol sebuah kepala manusia. Siapa lagi dia kalau bukan
Pang Bun-hiong.
Dia tetap berdandan seperti siangnya, masih membawa kipas
lempit, perlahan ia muncul dari belakang batu padas, katanya
dengan tertawa, "Kusangka engkau tidak berani datang."
"Maaf, karena mengalami suatu kejadian aneh sehingga
perjalananku terganggu, maka datang terlambat," kata Ithiong.
"Kejadian aneh apa?" tanya Bun-hiong.
It-hiong mengendurkan tangan kirinya sehingga peti hitam
yang dikepitnya merosot ke bawah, ucapnya sambil
menyengir, "Kejadian aneh inilah."
"Barang apa itu?" tanya Bun-hiong dengan heran dan kejut.
"Siapa tahu"!" ujar It-hiong. "Baru saja kusampai di pinggang
gunung, mendadak kudengar suara orang di dalam hutan,
semula kusangka dirimu, tapi setelah kuperiksa, kiranya
seorang lelaki setengah baya yang terluka parah ...."
Begitulah ia lantas menceritakan apa yang terjadi.
Bun-hiong merasa tertarik, ia coba mendekat dan memegang
peti hitam itu dan diamat-amati, lalu bertanya, "Apakah dia
tidak menerangkan apa isi peti ini."
"Tidak," jawab It-hiong.


Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia minta kau serahkan barang ini kepada siapa?" tanya Bunhiong
pula. "Aku tidak jelas mendengarnya, rasanya terdiri dari empat
kata, dua kata bagian depan kalau tidak salah 'Cap-pek'
(delapan belas) apa, dua kata yang belakang aku tidak jelas."
"Belenggu itu tidak dapat dibuka?"
It-hiong mengiakan.
"Wah, lantas bagaimana?" kata Bun-hiong.
"Aku pun tidak tahu bagaimana baiknya," ujar It-hiong dengan
kesal. "Apakah engkau dapat menolong menghilangkan benda
sialan ini."
"Wah, untuk membuka belenggu ini mungkin tidak mudah ...."
"Potong dulu rantainya, adakah engkau membawa senjata
tajam?" "Tidak," jawab Bun-hiong menggeleng.
"Ai, bisa celaka," ujar It-hiong dengan lesu. "Jika barang sialan
ini tidak dapat dibuang, bila makan, tidur, berak dan kencing
harus selalu membawanya serta, kan repot."
"Jangan khawatir, mungkin pandai besi dapat membuangnya,"
ujar Bun-hiong tertawa.
"Ya, betul, pandai besi pasti dapat membuang barang ini,"
seru It-hiong girang. "Apakah ada bengkel di dalam kota?"
"Ada, cuma sekarang sudah jauh malam, bengkel besi tentu
sudah tutup pintu, harus tunggu sampai besok."
"Baik, boleh bereskan besok saja. Sekarang marilah kita
mulai." "Tidak, takkan kutarung denganmu lagi," ucap Bun-hiong
sambil menggeleng.
"Sebab apa?" tanya It-hiong heran.
"Pada tanganmu, diganduli barang itu, tentu tidak leluasa,
kalau berkelahi engkau pasti kalah, aku tidak mau menarik
keuntungan demikian darimu."
"Tidak menjadi soal, dapat kugunakan barang ini sebagai
bandulan untuk menghajarmu."
"Ah, jangan membual," kata Bun-hiong dengan tertawa.
"Tanpa barang itu mungkin dapat kau tandingi diriku, dengan
beban barang itu, jelas engkau bukan tandinganku. Andaikan
aku menang juga tak terpuji."
"Jika begitu, biarlah setelah besok kubuang barang ini baru
kita menentukan kalah menang lagi."
"Baik!" kata Bun-hiong.
"Ai, entah apa dosaku sehingga tertimpa urusan sebal ini ...."
"Mungkin lantaran semalam kau main perempuan sehingga
sial." "Dari mana kau tahu aku main perempuan?" tanya It-hiong
melengak. Bun-hiong angkat pundak. "Aku kan Te-tau-coa, ular
penguasa tempat ini, dengan sendirinya segala urusan
kutahu." "Hah, jadi selalu kau buntuti aku?" tanya It-hiong dengan
mendongkol. "Tidak, cukup kukirim seorang anak buahku untuk mencari
keterangan di Lau-jun-ih."
"Huh, rendah!" jengek It-hiong.
Bun-hiong tidak marah, katanya dengan tertawa, "Apakah
engkau memang betul Liong It-hiong yang berjuluk Liong-hiap
(pendekar naga)?"
"Tanggung tulen, kalau palsu uang kembali," jawab It-hiong.
"Maaf, sudah lama kudengar namamu yang termasyhur."
"Ah, tidak perlu mengumpak."
"Rasanya ada jodoh juga pertemuan kita antara naga dan
harimau, bagaimana kalau kita rayakan dengan minum arak?"
"Boleh, cuma apa artinya kau bilang pertemuan antara naga
dan harimau?"
"Sebab ada orang menyebut diriku sebagai Hou-hiap
(pendekar harimau)."
"O, kiranya kau inilah Hou-hiap yang terkenal di daerah utara
dan selatan sungai besar itu. Tapi mengapa engkau mengaku
sebagai Te-tau-coa?"
"Hahaha, aku kan penduduk Kim-tan, bagimu bukankah aku
memang Te-tau-coa yang menguasai tempat ini?"
"Sudah sering kudengar orang bercerita macam-macam
tentang Pendekar Harimau, tak tersangka engkau inilah Houhiap."
"Kita ini seorang naga dan yang lain harimau, malahan nama
kita sama-sana pakai Hiong (jantan), sekali ini kita harus
saling mengukur tenaga untuk menentukan siapa yang benar
jantan." "Baik, kalau besok dapat kulepaskan barang sial ini, malamnya
kita tetap bertemu lagi di sini."
"Sekarang marilah kita turun gunung saja," tata Bun-hiong.
Maka kedua orang lantas kembali ke kota dengan damai
serupa sahabat karib saja.
"Kau tinggal di hotel?" tanya Bun-hiong.
It-hiong mengiakan.
"Kudamu itu boleh juga, jangan-jangan Pek-sin-liong (si naga
putih sakti) yang termasuk satu di antara lima kuda terkenal di
dunia itu?"
"Betul, sekarang aku juga tahu nama kudamu itu, dia juga
salah satu di antara kelima ekor kuda ternama, yaitu Sianhong-
ki (kuda pionir) bukan?"
"Sompret, tampaknya dalam segala hal engkau selalu hendak
menyaingiku," omel It-hiong.
"Siapa bilang, yang tepat adalah engkau yang menyaingiku,
sebab si pionir sudah lebih tiga tahun kumiliki," kata Bunhiong
dengan tertawa.
"Aku lebih tua daripadamu, jelas engkau yang meniru diriku."
"Sudahlah, tak perlu banyak omong. Sekarang ingin kutanya
padamu, untuk keperluan apa kau cari Giok-nio?"
"Hanya ingin melihat kecantikannya saja."
"Hm, jauh-jauh kau datang ke Kim-tan hanya ingin main-main
dengan dia?"
"Betul," It-hiong mengangguk.
"Jangan omong kosong," jengek Bun-hiong. "Meski Giok-nio
rada terkenal di kota ini toh belum terhitung perempuan
hiburan yang mengguncangkan satu daerah, pasti ada maksud
tujuanmu yang lain kau cari dia."
"Katakan betul, lantas, ada sangkut paut apa denganmu?"
kata It-hiong. "Tentunya bukan lantaran dia telah menipu duitmu bukan?"
"Jika ada seorang nona menipu duitku pasti takkan kuusut
lebih lanjut, sebab bukan urusan yang aneh bila perempuan
hiburan suka pada duit."
"Kalau bukan, habis urusan apa?"
"Ada orang minta kucari dia."
"Siapa?" desak Bun-hiong.
"Ai, kenapa kau tanya terus-menerus, janganlah kau ikut
campur urusan orang lain."
Bun-hiong mengangkat pundak dengan tertawa, "Penyakitku
yang sukar diobati justru paling suka ikut campur tetek
bengek." "Tapi jika kau ikut campur urusanku, tentu kau bisa susah."
"Masa?"
"Habis kalau naga dan harimau bertarung, naga kan lebih kuat
daripada harimau, maka kau perlu hati-hati sedikit."
"Huh, itu kan anggapanmu, boleh kita lihat saja nanti."
Bicara sampai di sini, mendadak kedua orang berhenti
melangkah. Liong It-hiong menyapu pandang sekejap ke kanan-kiri hutan,
lalu menegur, "Siapa itu yang bersembunyi di dalam hutan?"
Baru habis berucap lantas terlihat tetumbuhan di dalam hutan
bergerak, dari kanan-kiri hutan muncul dua orang.
Satu di antara kedua orang ini berusia 50-an, bertubuh tinggi
besar melebihi orang biasa, mukanya kuning, kening lebar dan
tulang pipi menonjol, mata lebar dan hidung besar,
jenggotnya pendek kasar serupa kawat, ikat kepala melingkar,
berbaju hijau ringkas dan bersenjata toya tiga ruas.
Seorang lagi berusia lebih muda, kira-kira baru 35-36 tahun,
mukanya juga buas, juga memakai baju hijau ringkas, cuma
bersenjata golok.
Melihat tampang mereka, jelas keduanya bukan manusia baikbaik.
Terkesiap juga hati Liong It-hiong melihat kedua orang itu,
segera ia tanya Pang Bun-hiong, "Te-tau-coa, apakah mereka
anak buahmu?"
"Bukan," jawab Bun-hiong sambil menggeleng. "Selamanya
aku tidak piara tukang pukul."
Segera It-hiong memberi salam kepada kedua orang dan
menegur, "Eh, kedua sahabat ini bernama siapa" Ada urusan
apa kalian merintangi jalan kami?"
Si kakek yang bertubuh tegap itu mungkin memang berwatak
sombong atau memang tidak kenal sopan santun, ia tidak
menjawab, sebaliknya menuding peti hitam yang bergantung
di pergelangan tangan kiri It-hiong itu dan bertanya, "Eh,
bocah berengsek, dari mana kau dapatkan barang itu?"
Liong It-hiong adalah anak muda kosen yang sudah lama
berkecimpung di dunia Kangouw, begitu mendengar ucapan
orang segera diketahuinya orang berniat jahat, juga disadari
pihak lawan pasti ada sangkut paut dengan peti hitam ini. Tapi
dia tidak gentar, sebaliknya merasa senang, sambil
mengangkat peti hitam itu ia menjawab dengan terbahak,
"Haha, apakah kau maksudkan barang ini" Wah, cukup
panjang untuk diceritakan, apakah orang tua terburu-buru
ingin tahu?"
Mendadak kakek itu mendelik dan membentak, "Ya, lekas
katakan!" "Eh, sabar, jangan terburu nafsu," ujar It-hiong dengan
tertawa. "Hendaknya kau jawab dulu pertanyaanku baru nanti
kuberi tahukan."
Orang itu menyeringai, "Tidak ada sesuatu yang dapat
kujawab." "Apa ini berarti orang tua dilahirkan batu" Atau dibesarkan
oleh biang anjing" Masa nama saja tidak punya?" kata Ithiong.
Tentu saja kakek itu gusar, mendadak ia mendesak maju, toya
tiga ruas dipuntir-puntir, bentaknya, "Keparat, barangkali
kamu sudah bosan hidup"!"
It-hiong mengangguk, "Betul, selama ini aku memang sudah
bosan hidup, cuma tiada seorang pun yang mampu mencabut
nyawaku." Kakek tegap itu seperti tidak tahan lagi, wajahnya beringas
dan segera bergaya hendak melabrak lawan.
Tampaknya lelaki bergolok itu lebih tahu urusan, tiba-tiba ia
buka suara, "Nanti dulu, Lui-heng!"
Seketika si kakek menahan gerakan menerjangnya, teriaknya
dengan gusar, "Bocah ini tidak kenal mati-hidup, binasakan
dia saja kan beres!"
Lelaki bergolok memberi tanda "jangan", lalu ia memberi
hormat kepada Liong It-hiong dan berkata, "Sahabat ini, coba
katakan apa yang ingin kau ketahui?"
"Nama kalian," jawab It-hiong dengan tertawa.
Lelaki bergolok tertawa ramah, jawabnya, "Maaf, lantaran
alasan tertentu, terpaksa tak dapat kami beri tahukan nama
dan she kami."
"Jika begitu, kalian mau bicara apa?" kata It-hiong pula.
Lelaki bergolok menuding peti hitam yang di pergelangan
tangannya dan menjawab, "Peti itu kepunyaan kami, harap
dikembalikan kepada kami!"
It-hiong mengguncang-guncang peti hitam itu, lalu bertanya
dengan tertawa, "Kau tahu semula barang ini berada di
tangan siapa?"
"Tahu," si lelaki bergolok mengangguk.
"Dia bernama siapa?" tanya It-hiong pula.
Ebook oleh : Dewi KZ
Scan book oleh : BBSC
Jilid 2 "Dia bernama Si Hin, semula tinggal bersama kami," tutur
lelaki bergolok. "Kemarin tiba-tiba timbul maksud jahatnya,
peti ini digondol lari, akhirnya dapat kami susul dia, cuma
sayang, sesudah kami melukai dia, sempat juga dia
meloloskan diri."
"Apa isi peti ini?" tanya It-hiong.
"Maaf, untuk ini tidak dapat kuberi tahukan," jawab lelaki
bergolok. "Sekarang mohon engkau suka mengembalikan peti
itu kepada kami."
"Boleh, tapi adakah kau pegang kunci borgolnya?"
"Ada," lelaki bergolok mengangguk.
Dia memindahkan golok ke tangan kiri, lalu tangan kanan
merogoh saku untuk mengambil anak kunci sambil melangkah
maju, katanya, "Harap ulurkan tanganmu, akan kubukakan
borgolnya."
It-hiong menjulurkan tangan kirinya, ucapnya dengan tertawa,
"Sungguh beruntung bertemu dengan kalian berdua, kalau
tidak barang ini sungguh sangat merepotkan."
Melihat tangan orang sudah terjulur, lelaki bergolok juga
lantas menjulurkan tangan kanan dengan lagak hendak
membukakan kunci borgolnya. Siapa tahu mendadak golok
pada tangan kirinya terus menebas ke tangan kiri Liong Ithiong
dan tepat mengenai sasarannya.
Akan tetapi tangan kiri Liong It-hiong ternyata tidak tertebas
buntung, sebaliknya tetap utuh tanpa kurang sesuatu, lecet
saja tidak. Sungguh mimpi pun orang bergolok itu tidak menyangka Liong
It-hiong menguasai Kungfu kekebalan senjata, seketika ia
terperanjat dan cepat melompat mundur.
Namun It-hiong tidak tinggal diam, sambil bergelak tertawa
sebelah kakinya terus mendepak dan tepat mengenai perut
orang. "Blang", kontan orang itu terpental jauh.
Melihat tipu kawannya tidak berhasil, si kakek tegap lantas
membentak dan menerjang maju juga, toya tiga ruas terus
berputar dan menyabet kedua kaki Liong It-hiong.
"Haha, boleh juga kita main-main beberapa jurus!" seru Bunhiong
dengan tertawa.
Segera ia memapak orang tua itu, kipas lempit menukik ke
bawah dan "brak", sabetan toya si kakek ditangkisnya.
Seketika si kakek tergetar sempoyongan ke samping. Bunhiong
tidak memberi kelonggaran lagi, sambil tertawa panjang
ia terus menubruk maju dan menjojoh pula dengan kipasnya.
Sekarang si kakek baru menyadari telah ketemu lawan
tangguh, ia tidak berani sembrono lagi, segera ia putar toya
tiga ruas dengan kencang dan menempur Pang Bun-hiong
dengan sengit. Meski si lelaki bergolok terdepak perutnya oleh Liong It-hiong,


Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tapi perutnya tidak sampai pecah, sesudah jatuh terjungkal,
segera ia melompat bangun dan menerjang maju lagi dengan
goloknya. Mestinya It-hiong dapat melolos pedang untuk menandingi
golok lawan, namun dia juga anak muda yang tinggi hati,
menghadapi lawan empuk tidak mau dia menggunakan
pedang, segera ia layani golok lawan dengan tetap bertangan
kosong. Agaknya lelaki bergolok itu juga cukup luas pengetahuannya,
setelah tahu Liong It-hiong menguasai Kungfu kekebalan
senjata, maka selanjutnya dia tidak menyerang lagi dengan
membacok atau menebas melainkan dengan gerakan
mengiris, sebab ia tahu orang yang menguasai Kungfu
kekebalan sebangsa Kim-ciong-toh atau Thi-po-sam umumnya
tidak takut dibacok melainkan khawatir diiris atau disayat.
Begitulah dia terus menggunakan cara istimewa itu dan main
sayat melulu terhadap Liong It-hiong.
Merasa kelemahan sendiri diketahui lawan, It-hiong juga tidak
berani gegabah lagi, sembari menghindari setiap serangan,
lebih sering lagi sekarang dia menggunakan peti hitam untuk
menimpuk musuh.
Bobot peti hitam itu antara sepuluh kati, ditambah lagi rantai
sepanjang dua-tiga kaki, bila diputar menjadi serupa
banderingan dan sangat lihai.
Lelaki bergolok itu telah mengeluarkan segenap
kepandaiannya dan tetap tidak mampu mengganggu seujung
rambut lawan, ia mulai jeri, berbareng juga merasa terkejut
dan heran, ia coba tanya, "Hei, sesungguhnya kalian berasal
dari garis mana" Coba beri tahukan!"
It-hiong tertawa, serunya, "Tuanmu jalan tidak ganti nama
dan duduk tidak tukar she, aku inilah Liong It-hiong yang
berjuluk Liong-hiap!"
"Wah, celaka!" teriak si lelaki bergolok mendadak sambil
melompat mundur dan berseru dengan kata sandi dunia
Kangouw kepada kawannya. "Lui-heng, ayolah lari, lawan
tidak boleh dibuat main-main!"
Habis itu secepat terbang ia lari masuk ke hutan serupa
seekor tikus yang beruntung lolos dari terkaman kucing.
Kakek tegap itu juga kewalahan menghadapi Pang Bun-hiong,
selagi kejut dan heran, tiba-tiba didengarnya lawan yang
bergebrak dengan temannya itu adalah Liong-hiap Liong ItKANG
ZUSI website http://cerita-silat.co.cc/
hiong yang termasyhur, seketika runtuh semangat tempurnya,
cepat ia berlagak menyabet untuk mendesak mundur Pang
Bun-hiong, lalu ia melompat mundur dan kabur pula ke dalam
hutan. Bun-hiong tidak mengejarnya, It-hiong juga berdiri tanpa
bergerak, meski keduanya sama-sama memiliki kepandaian
tinggi, tapi sebelum tahu jelas seluk-beluk musuh tidak nanti
mereka mau menyerempet bahaya dan sembarangan
mengejar. "Kenapa engkau tidak mengejarnya?" tanya It-hiong.
"Guruku mengajarkan kepadaku agar "penjahat yang sudah
lari jangan dikejar, kalau ketemu hutan jangan dimasuki". Jika
mau kejar boleh kau kejar sendiri."
It-hiong garuk-garuk kepala sambil menggerutu, "Sungguh
tolol aku ini, kalau tidak kuberi tahukan namaku tentu tidak
menjadi soal. Mereka tidak tahu siapa aku baru berani
bertempur denganku dan dengan begitu pula baru ada
kesempatan bagiku untuk menangkap mereka."
"Jangan khawatir, cepat atau lambat mereka akan datang
lagi," ujar Bun-hiong.
"Kau kira mereka siapa?" tanya It-hiong.
Bun-hiong menggeleng, "Entah, aku cuma tahu satu hal, yaitu
tadi mereka berdusta. Orang yang menyerahkan peti hitam
kepadamu itu pasti bukan kawan mereka."
"Ya, orang sialan itu justru dilukai oleh mereka, tentu tidak
salah lagi," kata It-hiong.
"Betul, sebab mereka hendak merampas petinya," tukas BunKANG
ZUSI website http://cerita-silat.co.cc/
hiong. It-hiong menunduk mengamati peti hitam itu, katanya, "Di
dalam peti pasti berisi benda mestika yang tak terkira nilainya.
"Apakah perlu kita membukanya?"
"Sudah kucoba, tak bisa buka."
"Boleh kucoba juga," kata Bun-hiong sambil memegang peti
itu dan diperiksa dengan teliti, dilihatnya peti itu berwarna
hitam mulus, terbuat dari baja murni, di tengah peti ada dua
garis celah-celah yang merapat dengan sangat erat, namun
tidak ada sesuatu lubang untuk membukanya.
Ia coba menarik dan membentangnya, namun tidak mau
terbuka, ia menggeleng kepala dan berkecek menyatakan rasa
heran, "Peti ini memang sangat istimewa."
"Ya, selama ini aku pun tidak pernah melihat peti semacam
ini," kata It-hiong.
"Aku juga tidak pernah melihat peti begini," tukas Bun-hiong.
"Tapi peti ini harus dapat dibuka, soalnya kita tidak tahu cara
membukanya," ujar It-hiong.
Bun-hiong menuding celah-celah di pinggang peti itu dan
berkata, "Umumnya sebuah peti hanya ada sebuah celah, tapi
peti ini ada dua garis celah, mungkin di sinilah letak pesawat
rahasianya."
Sembari bicara ia coba menggunakan jarinya untuk menolak
bagian di dalam celah peti, dirasakan bagian di tengahnya
ternyata dapat bergerak, serunya kegirangan, "Hah, lihat,
memang terletak pada kedua garis celah ini rahasianya."
"Coba geser lagi lebih keras," kata It-hiong sepat.
Bun-hiong menekan dan mendorong pula, tapi meski dicoba
lagi beberapa kali tetap peti itu sukar terbuka. Ia menggeleng
kepala dengan lesu, katanya, "Aku berani tertaruh denganmu,
barang ini pasti bukan buatan Tiongkok."
It-hiong tidak menanggapinya, ia sampirkan rantai peti di
pundak dan berkata, "Ayo berangkat, pulang dulu ke kota dan
urusan belakang!"
Kedua orang lantas turun gunung.
"Ke mana kita akan minum arak?" tanya Bun-hiong.
"Sampai di kota nanti kebanyakan ramah makan tentu sudah
tutup pintu, boleh ke hotelku saja."
Bun-hiong mengiakan.
"Melihat bentukku ini mustahil kalau orang tidak menyangka
aku ini perantaian yang baru lolos dari bui," ujar It-hiong.
"Ya, sangat mungkin."
"Sialan, sungguh celaka!"
"Jangan khawatir, kebanyakan Pothau di kota Kim-tan sudah
kukenal, asal engkau selalu berada bersamaku pasti takkan
terjadi perkara."
"O ya, mereka pasti memegang macam-macam anak kunci
borgol, bagaimana kalau kau pinjam beberapa anak kunci
pada mereka."
"Baiklah, setiba di kota segera akan kucari Ciu-pothau ...."
Begitulah sambil bicara sembari berjalan. Tidak lama
kemudian mereka sudah sampai di Kah-pin-khek-can, hotel
tempat It-hiong menginap.
Bun-hiong berhenti di depan hotel dan berkata kepada Ithiong,
"Boleh kau suruh pelayan menyiapkan arak dan
santapan, kupergi mencari Ciu-pothau dan segera pulang
kembali." Habis bicara ia terus pergi.
Tidak lama pelayan sudah menyiapkan semeja makanan dan
arak di dalam kamar Liong It-hiong, sejenak kemudian Pang
Bun-hiong juga sudah kembali.
Setelah mengenyahkan pelayan, Bun-hiong menutup pintu
kamar dan mengeluarkan serenceng anak kunci, katanya
dengan tertawa, "Lihat, inilah pinjamanku kepada Ciu-pothau,
seluruhnya ada belasan buah, bila tetap tak bisa membukanya
maka habislah akal."
It-hiong duduk di depan meja dan menaruh pergelangan
tangan di ujung meja, katanya, "Lekas dicoba!"
Bun-hiong memilih sebuah anak kunci yang sekiranya cocok
dan dimasukkan ke lubang kunci borgol yang membelenggu
tangan It-hiong itu, diputarnya ke kanan dan kiri beberapa
kali, namun tidak berhasil, ia menggoyang kepala dan berkata,
"Yang ini tidak cocok ...."
Ia ganti anak kunci yang lain, hasilnya tetap nihil. Ganti lagi
anak kunci ketiga, keempat, kelima dan akhirnya belasan anak
kunci sudah dicoba semua, namun borgol di tangan It-hiong
tetap tak terbuka.
Kembali It-hiong uring-uringan, omelnya, "Keparat, kalau saja
orang she Si itu tidak mati, tentu akan kuhajar dia hingga
sekarat!" Bun-hiong menyimpan anak kunci, katanya dengan tertawa,
"Sudahlah, jangan marah kali, apa pun juga tunggu sampai
besok saja, tentu pandai besi dapat membuka borgolmu itu.
Sekarang marilah kita minum arak."
Ia duduk di depan It-hiong dan menuangkan dua cawan arak,
secawan disodorkan kepada It-hiong, katanya, "Mari habiskan
secawan!" It-hiong angkat cawan dan minum habis bersama dia, katanya
dengan tertawa, "Kau sangat mencocoki seleraku, namun aku
tetap akan berkelahi denganmu."
"Umpama kau tidak mau berhantam lagi juga takkan
kuterima," jawab Bun-hiong tertawa.
"Bicara sejujurnya, sudah sekian tahun aku berkecimpung di
dunia Kangouw, namun baru pertama kali ini kutemui jago
kelas tinggi serupa dirimu."
"Aku juga begitu. Maka kita harus menentukan kalah dan
menang .... Mari, minum secawan lagi!"
Begitulah keduanya lantas makan-minum dan mengobrol ke
timur dan barat, makin bicara makin cocok satu sama lain dan
arak yang mereka minum pun tambah banyak.
Tanpa terasa sudah lewat tengah malam.
Bun-hiong berdiri dan berkata, "Aku mau pulang."
"Engkau punya istri?"
"Tidak ada."
"Jika tidak punya istri, untuk apa pulang sedini ini?"
"Sekarang sudah jauh lewat tengah malam, masa kau bilang
dini?" "Boleh kita minta tambah arak lagi, sekalian minum sampai
pagi, habis itu bersama pergi mencari pandai besi."
"Tidak," jawab Bun-hiong, "Habis minum arak aku lantas
mengantuk, sekarang kan waktunya orang tidur."
Sampai di sini ia memberi tanda, lalu membuka pintu dan
melangkah pergi.
Terpaksa It-hiong memanggil pelayan agar menyingkirkan
mangkuk piring, lalu membuka baju dan bermaksud tidur.
Namun ketika lepas baju baru diketahuinya baju tak dapat
ditanggalkan. Sebab kalau dia mau membuka baju luar, lengan kiri harus
dapat lolos dari rantai dan peti hitam itu, padahal ukuran peti
itu lebih besar daripada lengan bajunya sehingga sukar lolos.
Jika benar ingin membuka baju hanya ada satu jalan, yaitu
memotong seluruh lengan baju kiri.
Saking gemasnya ia mengentak kaki dan mencaci maki lagi
pada orang mati yang mengaku bernama Si Hin itu. Dengan
mendongkol ia pakai lagi baju luarnya, lalu merebahkan diri di
tempat tidur. Lantaran banyak minum arak, maka tidak lama setelah
berbaring ia lantas mendengkur.
Kira-kira setengah jam setelah dia tidur, kertas perapat daun
jendela kamarnya tiba-tiba dibasahi orang setitik, lalu dari
lubang yang dibasahi itu tersembul semacam benda yang
ujungnya lancip serupa paruh bangau, kemudian ada asap
tertiup dari paruh bangau itu, asap perlahan buyar dan
akhirnya memenuhi seluruh kamar.
Itulah Bi-hun-hio atau dupa bius.
Namun Liong It-hiong tidak merasakan apa-apa, suara
mengoroknya tambah rata dan keras.
"Krek", terdengar bunyi perlahan, sebilah pisau menubles
celah daun jendela dan membuka palang jendela, menyusul
daun jendela lantas terbuka.
Asap yang memenuhi kamar perlahan buyar keluar kamar,
sejenak kemudian sebuah kepala manusia menongol di depan
jendela. Nyata orang ini adalah lelaki bergolok yang semalam
bermaksud merampas peti hitam di atas gunung itu.
Ia mengintip dulu ke dalam kamar, lalu berpaling dan
memberi isyarat tangan, kemudian dengan tangan menahan
kosen jendela ia melompat ke dalam kamar.
Agaknya kawannya yaitu si kakek tegap, juga ikut datang,
isyaratnya itu jelas memberi tanda agar si kakek berjaga di
luar. Sesudah berada di dalam kamar, dengan berjinjit-jinjit ia
mendekati tempat tidur, diperiksanya keadaan Liong It-hiong,
melihat anak muda itu tertidur lelap, ia yakin dupa biusnya
sudah bekerja dengan baik, seketika ia merasa tabah, ucapnya
dengan tertawa. "Setan alas, sekali ini coba saja apakah kau
punya kepandaian!"
Sembari berkata ia tarik pergelangan tangan kiri It-hiong ke
tepi pembaringan, segera ia angkat goloknya dan membacok
dengan keras. Siapa tahu bacokannya tetap tidak dapat mengutungi tangan
Liong It-hiong, serupa membacok pada sepotong kulit kering
saja. Keruan lelaki bergolak itu terkejut, cepat ia melompat mundur.
Pada saat itulah Liong It-hiong lantas melompat bangun,
ucapnya dengan tertawa, "Jangan lari, rasakan dulu
banderinganku!"
Berbareng tangan kiri bergerak, peti hitam terus menyambar
ke depan. Dia memang sudah siap menyerang sejak tadi, maka peti itu
menyambar dengan sangat cepat, baru saja orang itu
melompat mundur sudah tersusul oleh peti hitam, terdengar
suara "bluk" yang keras, dengan tepat dadanya tertimpa peti.
Tanpa mengeluarkan suara lelaki bergolok terus roboh
terjungkal. Sementara itu si kakek yang berjaga di luar juga mengetahui
kawannya tertimpa bahaya, selagi dia hendak menerjang ke
dalam kamar untuk menolongnya, tiba-tiba didengarnya di
atas kamar di belakangnya ada orang menegur dengan
tertawa, "He, kawan, jangan kau ganggu tidur orang, lebih
baik cari lagi diriku saja!"


Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yang bicara ini ternyata Pang Bun-hiong adanya.
Dengan tertawa ia duduk bersila di emper rumah, seperti
sudah menunggu sekian lamanya di situ.
Keruan pucat air muka si kakek, mana dia berani lagi
menerjang ke dalam kamar, tanpa permisi ia terus lari malah
ke tempat gelap sana.
"Haha, mau lari"!" seru Bun-hiong dengan tergelak.
Sekali kedua tangan membentang, serupa elang menyambar
anak ayam, ia terus terjun ke bawah.
Namun kakek itu pun cukup licin, dengan dua-tiga kali
lompatan ia dapat mencapai kaki tembok, lalu menerobos
keluar hotel. Selagi Bun-hiong hendak mengejar lebih jauh, terdengar Liong
It-hiong berseru kepadanya sambil melongok keluar jendela,
"Sudah dapat kubekuk satu, tak perlu mengejar lagi."
Dengan tertawa Bun-hiong memutar balik dan melompat ke
dalam kamar melalui jendela, ia pandang lelaki bergolok itu
dan bertanya, "Kau lukai dia?"
"Ya, kuhantam dadanya dengan peti hitam berantai ini,
mungkin terlampau keras sehingga membuatnya kelengar,"
tutur It-hiong.
"Kalau tahu engkau sudah siap sedia, tentu aku sudah pulang
tidur," ujar Bun-hiong.
"Dari mana kau tahu akan kedatangan mereka?" tanya Ithiong.
"Dan dari mana kau tahu mereka akan datang?" tanya Bunhiong.
It-hiong mengangkat pundak tanpa menjawab, ia mendekati
lelaki bergolok yang tak bergerak itu dan berjongkok di
sampingnya, katanya, "Mari kita bikin siuman dulu keparat ini
.... Eh, bagaimana, jadinya ini"!."
Mendadak ia berseru kaget, sebab diketahuinya muka orang
itu pucat lesi, tampaknya sudah mati.
Bun-hiong coba memeriksa napasnya, ternyata betul sudah
tak bernapas lagi. Dirabanya lagi bagian dada, baru
diketahuinya di antara 12 tulang dada kanan sudah patah
enam, tulang patah menusuk jantung atau paru-paru, tentu
saja binasa sejak tadi.
"Hm, masakah cuma kau sambit dengan agak keras saja?"
jengek Bun-hiong dengan mendongkol.
It-hiong merasa menyesal, ucapnya sambil menggaruk kepala
yang tidak gatal, "Sialan, kukira seranganku sudah pakai kirakira,
siapa tahu telah membinasakan dia."
"Tampaknya cara kerjamu lebih banyak runyam daripada
suksesnya," omel Bun-hiong.
"Betul, terkadang aku memang agak linglung, tanpa sadar
lantas menerbitkan onar ...."
"Dan cara bagaimana membereskan dia sekarang?"
"Bagaimana menurut pendapatmu?"
"Ini kan urusanmu, aku tidak mau ikut campur."
"Kau kira aku harus melaporkan diri telah membunuh orang?"
"Jika kau mau melapor diri, aku ada cara yang lebih baik
bagimu." "Coba katakan."
"Kau mau menurut petunjukku?"
"Baik, katakan saja."
"Sekarang naik ke tempat tidur," kata Bun-hiong sambil
menunjuk ranjang.
"Untuk apa?" It-hiong melengak.
"Sesudah di tempat tidur baru kuberi tahukan."
Dengan ragu It-hiong berdiri dan menuju ke tempat tidur, ia
duduk di tepi ranjang dan bertanya, "Baiklah, sekarang boleh
kau katakan."
"Rebah!" kata Bun-hiong.
Kembali It-hiong melenggong. "Ai, kau main gila apa?"
"Setelah berbaring segera kau tahu."
Terpaksa It-hiong menurut berbaring, katanya dengan
mendongkol, "Dan apakah perlu memejamkan mata?"
"Tentu saja, kalau sudah berbaring harus memejamkan mata,
kalau tidak mana dapat tidur"!"
"Baik, segera kupejamkan mata. Tapi hendak kuperingatkan,
jika ada maksudmu mempermainkan diriku, awas kaki
anjingmu!"
Habis berucap ia benar-benar memejamkan mata.
Dan baru saja mata terpejam, segera terdengar suara "serr"
yang perlahan. menyusul bergema suara Bun-hiong di luar
jendela, "Tidurlah yang nyenyak, esok pagi akan kudatang
lagi." Waktu It-hiong membuka mata, dilihatnya mayat si lelaki
bergolok tadi sudah hilang, ia tersenyum dan bergumam,
"Sontoloyo, bocah ini memang benar lagi mempermainkan
aku." Dia tidak bangkit lagi, tapi, terus tidur.
Paginya dia terjaga bangun oleh suara gedoran pintu. Cepat ia
membuka pintu kamar, kiranya si pelayan.
"Ada apa" Kau khawatir aku tidak bayar?" omelnya dengan
mendongkol. "O, maaf," kata pelayan. "Hamba cuma ingin tahu, kabarnya
di kamar Tuan semalam seperti terjadi sesuatu."
"Betul, semalam ada maling, tapi sudah kuhajar lari," sahut Ithiong.
"Maling?" pelayan terkejut.
"Ya, malahan bukan sembarang maling, mereka berani masuk
dengan mencungkil jendela."
"Adakah kehilangan?" cepat si pelayan menegas.
"Syukur tidak."
"Mendingan tidak," pelayan merasa lega. "Keparat, ternyata
ada maling berani mengganggu hotel ini, kalau tertangkap
pasti kuhajar sampai setengah mati."
Lalu ia memberi hormat dan minta maaf pula karena telah
mengganggu tidur Liong It-hiong, anak muda itu diharap tidur
lagi. "Sesudah bangun tak dapat tidur lagi, sediakan saja air cuci
muka, lalu siapkan sarapan pagi," kata It-hiong. "Sediakan
untuk dua orang, sebentar akan datang seorang temanku."
Pelayan mengiakan dan berlari pergi.
Selesai dia cuci muka, pelayan datang kembali membawakan
sarapan pagi, dan Pang Bun-hiong juga segera muncul.
It-hiong tidak tanya cara bagaimana orang membereskan
mayat itu. ia hanya mengajaknya, "Mari sarapan dulu!"
Tanpa sungkan Bun-hiong mengambil tempat duduk, katanya,
"Sudah kubicarakan dengan pandai besi, ia bilang dapat
memotong belenggumu."
Sembari makan It-hiong berkata, "Semalam telah kupikirkan
dengan masak dan telah membuat suatu keputusan penting
...." "Memutuskan takkan bertanding lagi denganku?" tanya Bunhiong.
"Bukan urusan itu, tapi mengenai peti ini sudah kuputuskan
takkan membuangnya dari tanganku," tutur It-hiong sambil
mengangkat peti itu.
Bun-hiong melengak, "Sebab apa?"
"Sebab kalau dibuka dari belenggu ini, tentu akan gampang
hilang," ujar It-hiong. "Kupikir justru lantaran khawatir peti ini
akan kuhilangkan, maka orang she Si itu memborgolnya di
tanganku."
"Aha, engkau tidak bergurau bukan?" Bun-hiong menegas
dengan bingung.
"Tentu saja tidak," jawab It-hiong dengan serius. "Dia
menyerahkan barang ini kepadaku sebelum ajalnya, kupikir
tidak boleh kubikin kecewa harapannya."
"Akan tetapi barang ini telah mendatangkan malapetaka
bagimu, engkau tidak takut?"
"Ah, terlampau gawat bicaramu," ujar It-hiong. "Dengan
membawa barang ini mungkin rada berbahaya bagimu, tapi
kalau bilang jiwaku juga terancam, kukira tidak demikian
halnya." "Tapi untuk apa kau bawa barang ini?"
"Dengan membawa barang ini kan juga ada baiknya."
"Kebaikan apa?"
"Barang siapa ingin merampas peti ini, maka dia harus
merampas diriku sekalian," habis berucap It-hiong terbahakbahak
senang. Bun-hiong ikut tertawa, "Hm, engkau memang rada-rada
sinting." "Begitukah?" It-hiong angkat pundak.
"Tapi kupikir lebih tepat jika kukatakan engkau lagi bergurau
dengan dirimu sendiri," kata Bun-hiong.
"Bergurau dengan dirinya sendiri kan bukan dosa toh?"
"Apakah selama hidupmu akan kau bawa barang ini?"
"Tidak, akan kuserahkan barang ini sesuai pesan orang she Si
itu kepada Cap-pek ...."
"Cap-pek apa?" Bun-hiong menegas.
Kembali It-hiong angkat pundak, "Entah, aku lupa. Tapi pada
suatu hari tentu dapat kutemukan dia."
"Engkau tidak mencari nona Giok-nio lagi?"
"Urusan ini tidak terlalu penting, boleh kulakukan perlahan
nanti." "Menjual nyawa bagi seorang yang tidak kau kenal, kan tidak
berharga?"
It-hiong tidak menanggapi, katanya dengan tertawa, "Eh,
akan kuuji dirimu. Jika aku bilang Cap-pek, apa yang kau
pikirkan lanjutannya?"
"Cap-pek-can-te-gik (delapan belas tingkat neraka)!" kata
Bun-hiong. "Bukan, tidak mungkin orang she Si itu minta kuserahkan
barang ini ke neraka," ujar It-hiong sambil menggeleng. "Coba
pikir lagi yang lain."
"Cap-pek-lo-han (delapan belas Buddha)?" kata Bun-hiong
pula. It-hiong berpikir sejenak, lalu menggeleng pula, "Bukan, coba
yang lain."
"Atau delapan belas jenis ilmu silat maksudnya?"
"Juga bukan, pikir lagi!"
"Atau ... atau gundik kedelapan belas maksudnya?"
"Buset, masa sampai gundik apa segala?"
Bun-hiong menyengir, "Baiklah, sekarang tinggal satu yang
terakhir, jika tetap bukan, maka aku pun angkat tangan."
"Coba katakan."
"Mungkin maksudnya si gadis berumur Cap-pek!"
"Aha betul!" seru It-hiong tertawa.
Bun-hiong berbalik melenggong, "Betul"!"
"Sering kuingin mencari seorang nona berumur 18, untuk
diajak berkencan, sayang nasibku kurang mujur, yang kutemui
selalu gadis berumur likuran."
"Kutahu di mana ada nona jelita berumur 18, bagaimana kalau
kubawamu ke sana?"
It-hiong tidak menjawab, ia ke pintu dan berteriak, "Pelayan!"
Seorang pelayan mendekat dengan berlari-lari anjing,
tanyanya, "Tuan tamu mau pesan apa?"
"Ingin kutanya padamu, adakah suatu tempat di sekitar sini
bernama Cap-pek apa ...."
Pelayan berpikir sejenak, lalu menggeleng dan menjawab,
"Tidak ada, di sekitar sini tidak ada tempat demikian."
"Habis di mana ada?" tanya It-hiong.
"Tempat yang memakai nama Cap-pek hamba tahu ada
beberapa buah ...."
"Coba sebutkan!"
"Inlam-cap-pek-ceh umpamanya (delapan belas sarang bandit
di Inlam)."
"Lalu?"
"Hong-kang-cap-pek-lan" (pesisir delapan belas di sungai
Hong)." "Mana lagi?"
"Ada lagi di ... di Hopak, yaitu Cap-pek-pan-san (gunung
melingkar delapan belas)."
"Aha, itu dia!" teriak It-hiong sambil melonjak girang.
"Memang betul Cap-pek-pan-san, memang itulah maksudnya."
Saking senangnya ia memberi persen setahil perak kepada
pelayan dan menyuruhnya pergi, lalu berkata kepada Bunhiong
dengan tertawa, "Coba lihat, betapa pun pelayan itu
memang berpengetahuan luas, sekali tebak saja lantas kena!"
"Apa tidak salah Cap-pek-pan-san?" Bun-hiong menegas.
"Tidak salah lagi, sekali dia omong segera kuingat, memang
betul orang she Si itu bilang Cap-pek-pan-san!"
"Tempat itu terletak di Hopak, cukup jauh!"
"Tidak menjadi soal, aku mempunyai si naga putih sakti."
"Keparat she Si itu menyuruhmu menyampaikan peti ini
kepada Cap-pek-pan-san?"
"Dengan sendirinya bukan menyerahkan kepada gunungnya
melainkan kepada seorang yang tinggal di sana."
"Orang yang tinggal di Cap-pek-pan-san kan sangat banyak,
harus kau serahkan kepada siapa?"
"Nanti pasti dapat kuselidiki."
"Jadi benar kau mau ke sana?"
It-hiong mengangguk, "Tentu saja betul. Orang she Si itu
sudah memercayai diriku, betapa pun harus kulaksanakan
cita-citanya."
"Kupikir peti ini pasti berisi benda mestika yang jarang ada."
"Betul," kata It-hiong.
"Dan orang yang ingin merampasnya pasti juga tidak sedikit."
"Tepat," seru It-hiong.
"Maka engkau akan dirundung kesulitan yang tak habishabisnya."
"Betul."
"Tapi jangan kau harap akan perlindunganku, setiap musim
semi aku tidak mau meninggalkan daerah Kanglam."
It-hiong melotot, "Cis, siapa yang minta perlindunganmu"
Memangnya orang semacam diriku juga perlu dilindungi?"
Bun-hiong tersenyum, "Kutahu engkau sangat cerdik dan
pintar, cuma urusan ini mungkin sukar dihadapi sendirian
olehmu." "Jangan khawatir bagiku, aku takkan mati," kata It-hiong.
"Kapan engkau akan berangkat?"
"Sebentar lagi, sehabis sarapan."
"Dan kapan kita akan melangsungkan duel?"
"Setelah kubereskan urusan ini segera kukembali ke sini untuk
mencarimu."
Dengan tersenyum Bun-hiong berbangkit, katanya, "Baiklah,
jika begitu aku mohon diri saja."
"Baik, kira-kira pertengahan musim panas nanti aku akan
kembali lagi ke sini, dalam waktu dua-tiga bulan ini sebaiknya
kau giat berlatih Kungfumu agar tidak mudah kukalahkan."
Bun-hiong tidak menanggapi lagi, ia memberi salam dan
tinggal pergi.

Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

It-hiong merampungkan sarapannya hingga kenyang, lalu
berbenah seperlunya, pelayan dipanggilnya untuk
membereskan rekening hotel. Kemudian berangkatlah dia
menuju ke pintu utara kota dengan menunggang kudanya.
Agar orang tidak melihat borgol pada pergelangan tangannya,
ia menggulung rantainya, lalu sengaja sampirkan sepotong
baju pada bahu kiri untuk menutupi peti hitam.
Sekeluarnya pintu kota segera ia membedal kudanya dengan
cepat. Ia tahu kakek tegap itu pasti tidak tinggal diam dan akan
menguntitnya secara diam-diam dan bila ada kesempatan
tentu akan merampas peti lagi. Sebab itulah ia sengaja
melarikan kudanya dengan cepat, sedapatnya berusaha
melepaskan diri dari penguntitan si kakek.
Kudanya si naga putih sakti adalah satu di antara kelima kuda
ternama di dunia ini, sehari mampu berlari delapan ratus li
jauhnya, sekarang kuda itu dilarikan sepenuh tenaga, tentu
saja secepat terbang dan sukar disusul.
Waktu tengah hari dia sampai di Tinkang, ia makan siang
sekadarnya, lalu menumpang kapal tambangan menyeberang
ke utara. Sepanjang jalan ia selalu berpaling dan menoleh, namun tidak
melihat dibuntuti orang, maka ia tidak membedal kudanya lagi
melainkan dilarikan dengan kecepatan umum saja.
Di bawah suara berdetak kaki kuda, perlahan sang surya
sudah hampir terbenam di ufuk barat, senja sudah tiba.
Namun sejauh mata memandang hanya hutan belukar belaka,
sama sekali tidak tertampak rumah penduduk, apalagi kota.
It-hiong tahu besar kemungkinan malam ini harus dilalui di
bawah alam terbuka. Namun hal ini tidak menjadi soal
baginya. Terkadang dia malah suka bermalam di alam
terbuka, sebab bermalam di alam terbuka juga ada semacam
kebaikan, yakni dapat menikmati ketenangan dan bebas dari
gangguan apa pun, ketenangan yang tidak mungkin terdapat
bila dia bermalam di hotel.
Ia meneruskan perjalanan ke depan. Tidak lama kemudian
malam pun tiba.
Bulan sabit sudah menghias di langit, serupa alis lentik
melintang di ujung langit yang biru lembayung, tampaknya
begitu terang dan bersih namun tetap sukar menghalau
kegelapan di permukaan bumi ....
Beberapa puluh li sudah dilalui lagi, tiba-tiba di kaki gunung di
depan sana muncul setitik cahaya. Itulah cahaya lampu.
Setelah sekian lama akhirnya ditemui rumah penduduk.
Tapi hal ini tidak menimbulkan pikiran It-hiong untuk minta
memondok di rumah penduduk itu, sebelum ini dia juga sering
kemalaman di tengah perjalanan, tapi kecuali kehujanan
biasanya dia tidak suka mohon memondok di rumah orang,
soalnya dia tidak biasa tidur di rumah orang yang tidak
dikenalnya. Lantaran itulah setitik cahaya lampu di kaki gunung sana
dianggapnya seperti tidak dilihatnya, ia melanjutkan
perjalanan ke depan mengikuti jalan itu.
Tidak lama kemudian sampailah di kaki gunung. Mendadak ia
menahan kudanya dan memandangi hutan cemara yang lebat
di lereng gunung, gumamnya perlahan, "Ehm, sungguh indah
pemandangan tempat ini!"
Memang betul, kaki gunung dengan lerengnya yang lebat
terasa tenang dan keramat. Dilihatnya pula cahaya lampu
yang menembus dari balik hutan, maka ia dapat
memastikannya bukan rumah penduduk biasa melainkan
sebangsa rumah berhala, biara atau kelenteng.
Maka ia memutuskan akan melihat ke dalam hutan sana, jika
biara atau kelenteng ia mau minta bermalam di situ.
Ia melompat turun dan menuntut kudanya ke dalam hutan,
dilihatnya sebuah jalan kecil berbatu, ia menyusuri jalan itu,
kira-kira seratus langkah jauhnya, benar juga terlihat sebuah
kelenteng. Dilihatnya bangunan kelenteng ini cukup megah, bangunan
induknya terdiri dari tiga deret, di pintu gerbang melintang
sebuah pigura dengan tiga huruf besar, cuma lantaran sudah
terlalu tua sehingga apa tulisan itu tidak terbaca lagi.
Ia mengamat-amati keadaan sekitarnya, lalu menambat
kudanya di dahan pohon dan mendekati kelenteng itu.
Setiba di depan undak-undakan baru dapat terlihat jelas
tulisan pada pigura itu, kiranya "Sian-li-bio" adanya, yaitu
kelenteng dewi kahyangan.
Seketika tersembul senyuman It-hiong, pikirnya, "Bagus
sekali, mohon bermalam pada dewi kahyangan tentu rasanya
lain daripada yang lain."
Segera ia mendekati undak-undakan dan masuk ke halaman
kelenteng. Ruangan pendopo kelenteng tampak sangat luas, yang dipuja
ternyata benar sebuah patung Sian-li atau dewi. Di atas meja
sembahyang ada dua lentera gelas. Lantai tersapu resik,
melihat keadaannya jelas kelenteng ini terawat dengan baik.
Ia mendekati meja sembahyang dan coba mengamat-amati
patung dewi itu, ia merasa kecantikan patung yang keramat
itu tidak lebih menggiurkan daripada kecantikan perempuan
biasa yang genit, maka ia tidak tertarik, ia coba berdehem
perlahan, lalu berseru, "Sepada! Permisi!"
Terdengar suara seorang tua mengiakan dan muncul.
Usia kakek ini antara 63-64 tahun, muka bersih dan agak
kurus, di bawah dagu terpiara secomot janggut serupa
janggut bandot, berbaju warna kelabu, tampaknya seorang
tua yang ramah.
It-hiong memberi salam kepadanya dan bertanya; "Apakah
Lotiang (bapak) ini penghuni kelenteng ini?"
"Betul," jawab si kakek sambil membalas hormat. "Apakah
Kongcu bermaksud sembahyang?"
"Sesungguhnya aku kemalaman dalam perjalanan dan
bermaksud memondok semalam di sini, entah boleh tidak?"
"Baik, cuma Kongcu harus permisi dulu kepada Sian-li, beliau
adalah tuan rumah di sini," kata si kakek dengan kocak.
"Lotiang she apa?" tanya It-hiong.
"She Ing," jawab si kakek sambil menyulut tiga batang hio
atau lidi dupa dan diberikan kepada anak muda itu, tanyanya
dengan tertawa, "Kongcu sendiri she apa dan bernama siapa?"
"Aku she Liong bernama It-hiong," jawab It-hiong sambil
menerima dupa itu. "Sekarang harus kukatakan apa kepada
Sian-li" "Katakan saja engkau kemalaman dalam perjalanan dan
mohon diperkenankan memondok semalam di kelenteng ini,
selain itu kau pun boleh menyatakan sesuatu nazar."
"Nazar apa?" tanya It-hiong.
"Nazar apa saja sesuai kehendakmu, boleh kau mohon kepada
Sian-li," ujar si kakek dengan tertawa. "Apa Kongcu sudah
berkeluarga?"
"Belum," jawab It-hiong.
"Jika begitu boleh engkau memohon semoga Sian-li
memberkati engkau seorang istri yang cantik dan bijaksana,"
kata si kakek. "Sian-li kami sangat keramat, setiap
permohonan pasti terkabul."
"Haha, usul bagus, biar kumohon seperti ajaranmu," seru Ithiong
tertawa. Lalu ia menghadap patung Sian-li dan hendak
sembahyang. "Eh, lepaskan dulu barang bawaanmu, di sini tak ada orang
jahat yang akan merampas barangmu, jangan kau pegang
begitu." "Ya, betul juga," ujar It-hiong, lalu ia menaruh ransel dan baju
luar yang menutupi peti hitam itu di lantai.
Ia mulai sembahyang dan berdoa, "Sian-li yang mulia, hamba
Liong It-hiong kemalaman dalam perjalanan, terpaksa mohon
memondok semalam di sini, bila ada tindakanku yang kasar
mohon diampuni. Selain itu, konon setiap permohonan kepada
Sian-li tentu dikabulkan, sebab itulah hamba mohon diberkahi
selekasnya mendapatkan seorang istri yang cakap dan
bijaksana, untuk itu sebelumnya hamba mengucapkan
banyak-banyak terima kasih."
Habis sembahyang ia tancapkan lidi dupa di dalam Hiolo (pot
lidi dupa). Melihat pergelangan tangan kiri anak muda itu terdapat rantai
dengan sebuah kotak, kakek itu melongo heran, tanyanya,
"Eh, barang apakah pada tanganmu itu!"
It-hiong memutar pergelangan tangan sehingga kotak hitam
terjulur ke bawah, katanya dengan tertawa, "Sebuah mestika,
menarik bukan!"
Melihat barang itu terbelenggu di pergelangan tangannya, si
kakek tambah heran, tanyanya pula, "Hei, mengapa diborgol
cara begitu!"
"Dengan begini supaya tidak dapat dicuri orang," tutur Ithiong.
"Memangnya apa isi kotak itu?" tanya si kakek dengan geli.
"Maaf, tak dapat kukatakan."
"Meski tak dapat hilang karena dibelenggu pada tanganmu,
tapi kan tidak sedap dipandang?" ujar si kakek.
"Memang betul tidak sedap dipandang, makanya kututupi
dengan baju tadi," kata It-hiong sambil berjongkok mengambil
ransel dan baju luar tadi serta disampirkan lagi di pundak.
"Kongcu hendak menuju ke mana?" tanya si kakek.
"Cap-pek-pan-san," jawab It-hiong.
"Apa sangat jauh?"
"Ya."
"Sudah makan malam belum?"
"Belum, namun siang tadi aku sudah makan dua kali lipat
termasuk makan malam, maka tidak terasa lapar," jawab Ithiong
dengan tertawa.
"Di sini tersedia mi, bila Kongcu mau boleh kubuatkan
semangkuk."
"Tidak, Lotiang jangan repot, sungguh aku tidak lapar. Terima
kasih," lalu ia menuding ke luar kelenteng dan menyambung,
"Kudaku tertambat di bawah pohon sana, tidak menjadi soal
bukan?" "Rasanya tidak apa-apa, cuma tak berani kujamin pasti takkan
dibawa lari orang yang kebetulan lewat. hendaknya Kongcu
sendiri hati-hati sedikit."
"Kudaku itu cukup cerdik, bila didekati orang yang
mencurigakan segera akan meringkik," tutur It-hiong dengan
tertawa. "Wah, tentu seekor kuda mestika," ujar si kakek.
"Ya, di antara sejenisnya kudaku memang cukup ternama ...."
ia memandang ke kanan dan ke kiri sekejap, lalu menuding
pojok ruangan dan berkata, "Boleh kutidur saja di situ."
"O, tidak, di belakang masih ada kamar kosong, silakan
Kongcu ...."
Belum lanjut ucapannya, tiba-tiba terdengar di luar kelenteng
ada teriakan orang, "Tolong ... tolong ...."
Dari suaranya dapat diketahui seorang perempuan muda.
Tanpa pikir It-hiong berlari keluar, sekilas tertampak dari
dalam hutan di depan sana berlari keluar seorang gadis, di
belakangnya mengejar seorang lelaki berkepala kecil dan
bermata tikus. Waktu lari keluar hutan, jarak lelaki itu tinggal beberapa
langkah saja di belakang si gadis, saat itu dia lagi menjulurkan
tangan hendak mencengkeram punggung si gadis. Kelihatan
dia menyeringai seram, serupa seekor serigala lapar hendak
menerkam ayam. Cepat Liong It-hiong melompat ke halaman di depan
kelenteng sambil membentak, "Hai, berhenti! Kau mau apa"!"
Melihat ada orang keluar dari kelenteng, lelaki bermuka tikus
itu kaget dan tidak berani menguber lagi, cepat ia putar
haluan dan lari masuk lagi ke dalam hutan.
Gadis itu terus berlari ke depan Liong It-hiong, lalu duduk
lemas di situ sambil menangis.
Usianya antara 17-18 tahun, meski pakaiannya tidak begitu
baik, namun wajahnya sangat cantik.
Cepat It-hiong menghiburnya, "Jangan menangis, nona, orang
itu sudah kabur. Sesungguhnya apa yang terjadi?"
"Dia ... dia ...." gadis itu menangis sedih sehingga tidak lancar
bicaranya. "Dia siapa dan apamu?" tanya It-hiong.
"Aku tidak kenal dia, se ... sepanjang jalan dia mengintil di
belakangku, tadi dia ... dia hendak menggangguku."
"Ah, kiranya seorang pencoleng saja," kata It-hiong. "Jangan
khawatir, toh nona belum sampai terganggu. Marilah, silakan
mengaso di dalam kelenteng saja."
Si gadis mengusap air mata, katanya sambil merangkak
bangun, "Aku kehilangan ranselku."
"Kehilangan?" It-hiong menegas.
"Kusangka dia hendak merampas barangku, maka kubuang
ranselku, siapa tahu bukan itu yang diinginkannya ...."
"Kau buang di mana?"
"Di tengah jalan."
"Jauh tidak dari sini?"
"Aku ... aku tidak tahu jelas."
"Berisi barang apa ranselmu?"
"Ada belasan tahil perak dan beberapa potong pakaian, itulah
seluruh milikku."
"Jangan khawatir, nanti kubereskan, lekas masuk saja ke
dalam." Si nona coba mengamat-amati dia, tertampil rasa curiganya,
"Siapa engkau?"
"Orang lalu dan memondok di sini."
"Apa ... apa dapat kupercayaimu?" kata si gadis sangsi.
It-hiong menuding si kakek yang berada di belakangnya dan
berucap, "Umpama engkau tidak percaya padaku kan dapat
memercayai bapak ini, dia pengurus kelenteng ini."
Keterangan ini membuat gadis itu tidak ragu lagi, segera ia
melangkah ke dalam kelenteng.
Si kakek mengambilkan sebuah bangku dan menyuruh si nona
duduk, lalu bertanya, "Sesungguhnya apa yang terjadi tadi?"
Dengan wajah yang masih menampilkan rasa takut si nona
bertutur, "Tadi di tengah jalan kulihat dibuntuti orang itu, aku
ketakutan dan cepat berlari ke sini, melihat aku lari segera ia
pun mengejar."
"Mengapa nona menempuh perjalanan malam sendirian?"
tanya pula si kakek.
Mata si nona menjadi merah dan menangis sedih lagi.
"Jangan menangis," bujuk si kakek. "Ada urusan apa, coba
ceritakan kepada kami, mungkin kami dapat membantumu."
"Aku ... aku bernasib malang ...." tutur si nona dengan


Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menangis. "Siapa namamu?" tanya si kakek.
"Ni Beng-ay."
"Penduduk mana?"
"Tan-yang."
"Mengapa penduduk daerah Kanglam lari ke daerah utara
sungai sini?"
Kembali si nona menangis sedih.
"Ah, tentu karena berbuat sesuatu, maka diusir orang tua,"
kata It-hiong dengan tertawa.
"Omong kosong, bukan begitu halnya," ujar si nona yang
mengaku bernama Ni Beng-ay itu.
"Habis bagaimana urusannya?" tanya It-hiong.
"Ayahku sudah lama meninggal," tutur Beng-ay dengan
menangis, "ibu kawin lagi, ayah tiriku itu ...."
"Ayah tirimu jahat?" tukar It-hiong.
"Bahkan sangat busuk," kata Beng-ay. "Dia tidak bekerja,
sepanjang hari hanya berjudi dan minum arak, kalau tidak
punya duit lantas memeras ibuku ...."
"Ibumu punya duit?" sela It-hiong.
"Tidak, terpaksa ibu bekerja, mencuci dan mengasuh anak,
menjadi babu orang, upah yang didapat ibu dibuat foya-foya
ayah tiriku. Karena terlampau kerja keras, tahun lalu ibu jatuh
sakit dan meninggal ...."
Bertutur sampai di sini kembali ia menangis sedih lagi.
Cepat It-hiong membujuk, "Jangan menangis, jangan
menangis! Lalu bagaimana?"
"Setelah ibu meninggal, aku lantas dipaksa mencarikan duit
baginya," tutur Beng-ay pula. "Aku cuma dapat mencuci
pakaian dan tidak sanggup mengasuh anak, maka tidak
banyak duit yang kuperoleh ...."
"Tentu saja, engkau masih gadis, mana dapat menyusui anak
orang," kata It-hiong. "Kemudian bagaimana?"
"Setengah bulan yang lalu, tetangga kami Liok-toama
mengisiki aku, katanya ayah tiriku bermaksud menjual diriku
kepada rumah pelacuran, maka aku dianjurkan lekas minggat.
Sebab itulah pada waktu dia keluar rumah aku lantas
melarikan diri."
"O, kasihan," ucap si kakek. "Dan sekarang kau hendak ke
mana?" "Menurut cerita ibu, ada seorang kakak ibu tinggal di kota
Wanpeng daerah Hopak, maka ingin kumenumpang di tempat
paman itu."
"Sungguh kebetulan, aku juga akan menuju ke Hopak," kata
It-hiong. "Jika begitu besok bolehlah nona berangkat
bersamaku saja."
"Apa betul?" terbeliak sinar mata Ni Beng-ay.
"Betul," ucap It-hiong dengan pasti.
Rupanya si kakek meragukan maksud It-hiong itu, bukan
mustahil anak muda itu akan menculik si nona, keningnya
bekernyit, katanya, "Tadi kudengar kau bilang hendak ke Cappek-
pan-san segala, mengapa sekarang berubah menjadi kota
Wanpeng di Hopak?"
"Cap-pek-pan-san itu terletak di dekat Wanpeng," ujar Ithiong
dengan tertawa.
"Betul?" si kakek menegas.
"Di depan Sian-l
Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 14 Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Kisah Sepasang Rajawali 14
^