Kisah Pedang Di Sungai Es 18
Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen Bagian 18
k mau kapok, sekali
menggerung, kembali ia mencengkeram lagi, cuma yang
diarah sekarang adalah Hoa In-pik. Ia sangka In-pik juga
sama lihaynya seperti Kok Tiong-lian, maka daya serangannya
itu dikerahkan sepenuh tenaga. Keruan In-pik tidak sanggup
melawan, dalam sekejap saja ia sudah kena dipegang Hu Liciam.
Tiong-lian menjadi kuatir, segera ia menyerang lebih
gencar, memangnya ia mahir Ginkang, baru-baru ini belajar
pula Thian-lo-poh-hoat dari Kang Hay-thian, maka gerak
tubuhnya sangat cepat, apalagi Hu Li-ciam memegang
seorang tawanannya, gerakannya menjadi agak lambat, sama
sekali ia tidak menduga sedemikian cepat serangan Kok Tionglian,
maka tahu-tahu "Kiok-ti-hiat" dibagian lengan kena
ditutuk sekali. Karena tangan kesemutan dan kaku, dengan
sendirinya Hoa In-pik lantas terlepas dari cengkeremannya,
namun begitu pundak sinona yang dicengkeram Hu Li-ciam
itupun terluka hingga berdarah.
Dan ketika Hu Li-ciam baliki tangan kirlnya, "plak", kembali
ia mengadu tangan lagi dengan Kok Tiong-lian. Sekali ini
Tiong-lian merasakan tangan lawan menjadi dingin laksana es.
Sama sekali tidak mirip sebagai badan manusia, ia terkejut
dan cepat mundur dua tindak.
Kiranya Hu Li-ciam pernah mendapat bantuan Beng Sinthong
dan berhasil meyakinkan semacam ilmu "Hian-im-ngoheng-
gi-kang" yang lihay, jika ilmu ini sudah terlatih sampai
tingkatan tertinggi boleh dikata sama hebatnya dengan Siu-loim-
sat-kang. Cuma tadi ia telah kena ditutuk sekali oleh Kok
Tiong-lian, tenaganya sedikit terganggu hingga meski gadis itu
terkejut oleh karena serangannya itu, namun juga tidak
tertuka apa-apa.
Disebelah sana Hoa In-pik sudah membubuhkan obat luka
untuk membikin mampet darah, lalu minum pula sebutir Siauhoan-
tan hingga tenaganya dapat pulih kembali. Habis ini,
segera ia putar pedang menerjang maju pula untuk membantu
Tiong-lian. Ayah In-pik, yaitu Hoa. Thian-hong, adalah tokoh kelas satu
didunia persilatan, sudah tentu ilmu silatnya juga tidak lemah,
cuma sekarang dia mesti bertempur diantara Hu Li-ciam dan
Kok Tiong-lian yang jauh lebih lihay dari dia, makanya kepandaiannya
menjadi kelihatan selisih banyak. Tapi setelah Tionglian
menghadapi musuh dari depan, lalu In-pik membantunya
dari samping, hal ini banyak juga membawa keuntungan bagi
Tiong-lian. Hu Li-ciam sudah dapat mengetahui bahwa kepandaian Inpik
jauh lebih lemah, sebenarnya ia hendak mengincar nona
itu untuk menawannya lagi. Tapi gerakan Tiong-lian teramat
cepat, tak peduli kemana ia memutar, selalu Tiong-lian
mendahului men-cegatnya serta menyambut hampir seluruh
serangannya, karena itu, tidaklah mudah jika ia hendak
menawan In-pik lagi.
Melihat Tiong-lian begitu perkasa dan dengan sepenuh
tenaga melindungi dia dari serangan musuh tangguh itu. mau
tidak mau In-pik merasa kagum dan terima kasih pula.
Pikirnya: "Dia dan Hay-ko memang suatu pasangan yang
sangat setimpal, buat apa aku mesti menyelip diantara
mereka?" karena pikiran demikian, sudah tentu hatinya agak
pilu, tapi pikiran sehatnya menjadi jemih pula seluruhnya,
perasaannya tidak tertekan legi seperti tadi, maka ia dapat
memainkan ilmu pedangnya dengan lebih lancar dan gencar.
Bermula Kok Tiong-Lian merasakan pukulan-pukulan Hu Liciam
itu sangat kuat dan hampir-hampir susah ditahan, tapi
lambat-laun ia merasa tenaga lawan itu mulai berkurang,
dikala mengadu tangan juga tidak merasakan lagi sedingin es
seperti tadi. Kiranya Tiong-lian makan Thian-sim-ciok belum lama
berselang, tenaga yang mendadak bertambah itu belum
leluasa dikerahkan semaunya. Sekarang menghadapi
pertarungan sengit, dengan sendirinya tenaga dalam yang
tersekam itu bekerja dengan sen-dirinya dan makin lancar
cara mengerahkannya. Apalagi dasar Lwekangnya. yaitu "Siauyang-
hian-kang", adalah ciptaan Lu Si-nio yang khusus hendak
digunakan untuk melawan Beng Sin-thong punya "Siu-lo-imsat-
kang". Sedangkan Hian-im-ngo-heng-gi-kang yang
diyakinkan Hu Li-ciam itu adalah sejenis Siu-lo-im-sat-kang,
malahan dasar kekuatan Li-ciam masih jauh dibawah
mendiang Beng Sin-thong dahulu, sebab itulah, dikala Kok
Tiong-lian sudah dapat mengerahkan Siau-yang-hian-kang
sampai puncaknya, maka sedikitpun Hu Li-ciam tidak bisa
menarik keuntungan lagi.
Sementara itu diruangan sidang itu sudah terjadi
pertempuran kacau. Danu Cu-mu telah melukai seorang Houhoat-
tecu dari Kim-eng-kiong dengan Tay-seng-pan-yak-kang
yang lihay dan ketiga orang lainnya terdesak mundur terus.
Tiba-Tiba Bun Ting-bik menerobos keluar diantara orang
banyak, ia papak Cu-mu sambil berseru: "Haha, lakon
semalam rasanya masih belum memuaskan, marilah kita cobacoba
lagi?" Habis berkata, kontan ia mengadang didepan
ketiga Hou-hoat-tecu itu terus menghantam hingga pukulan
Dari Cu mu yang sedang dilontarkan itu disambut olehnya.
Lwekang Bun Ting-bik sudah mencapai tingkatan "Samsiang-
kui-goan", bicara tentang kekuatan sebenarnya hanya
dbawah Po-siang Hoatsu dan masih diatasnya Hu Li-ciam.
Sesudah Cu-mu makan Than-sin-ciok, mestinya
kekuatannya dapat melawan Bun Ting-bik dengan sama
kuatnya, tapi lebih dulu ia sudah bertempur sekian lamanya,
kepandaian ketiga Hou-hoat-tecu itu juga tidak lemah, maka
dengan satu-lawan-empat sekarang, betapapun ia merasa
kewalahan. Sebaliknya serangan Bun Ting-bik semakin gencar
hingga Danu Cu-mu terkurung rapat ditengah.
Melihat Danu Cu-mu terkepung musuh. Peng-choan Thian-li
hendak membantunya, segera ia, timpukan empat butir Pekpok-
sin-tan kearah rombongan Bun Ting-bik itu.
Lwekang Bun Tng-bik sudah niencapai tingkatan "Samsiang-
ki-goan". meski tertimpuk peluru es itu juga seperti tidak
merasakan sesuatu. Sebaliknya ketiga orang Hou-hoat-tecu
lantas menggigil kedinginan.
Diam-Diam Peng thoan Thian-li memikir: "Jika aku
membasmi dulu begundalnya ini hingga tinggal Bun Ting-bik
seorang tentu akan gampang dilawan oleh Danu Cu-mu."
Maka segera la mengayun tangannya lagi, sembilan butir
Peng-pok-sin-tan menghambur lagi, tapi sekali ini tidak
mengarah Bun Ting-bik, sebaliknya menyerang ketiga Houhoat-
tecu, masing-masing tiga biji dan mengarah tiga tempat
atas-tengah-bawah yang berlainan.
Tapi mendadak ada tiga orang Hwesio berhidung besar dan
ber mata cekung menerjang maju. mereka mengangkat tiga
buah mangkok emas keatas, sekali bergerak, tahu-tahu
kesembilan biji P?ng-pok-sin-tan telah jatuh didalam mangkokmangkok
itu dan segera mencair menjadi air.
"Terima kasih atas pemberian Lisicu akan minuman, yang
segar ini," kata ketiga paderi itu dalam gerak-gerik yang sama,
habe itu terus saja mereka minum habis air es didalam
mangkok masing-masing.
Keng-thian terkejut, cepat ia sambitkan tiga biji Thian-sanain-
bong. Tenaganya sangat kuat, maka tertampaklah tiga
jalur sinar mengkilap menyambar kedepan dengan membawa
suara menderu. "Terima kasih atas sedekah Sicu!" seru pula ketiga Hwesio
itu. Berbareng lagi mereka mengangkat mangkok masingmasing
keatas, maka lelatu api lantas bercipratan, ketiga biji
Thlan-ean-sin-bong telah jatuh juga dalam mangkok paderipaderi
itu. Keng-thian menjadi gusar, Yu-liong-pokiam berkelebat, dgn
gerak tipu "Hian-hong-hoa-soa" atau angin puyuh menyambar
di-gurun pasir, segera pedangnya menyabat kesamping
sembari menyendal hingga meski cuma satu jurus. tapi
dengan cepat luar biasa sekaligus dapat mengarah tiga musuh
tangguh. Ketiga Hwesio itu lantas mengangkat tongkat bambu hijau
di-tangan kanan masing-masing dan dengan gerakan serentak
menangkis ke-depan meski Yu-liang-pokiam dapat memotong
besi sebagai memotong kayu, tapi ternyata tidak mampu
menabas putus tongkat bambu mereka itu. Hanya terdengar
suara "tring-tring-tring" tiga kali, pedang pusaka Teng Kengthian
itu malah terpental balik oleh tangkisan mereka.
Kiranya ketiga Hwesio itu adalah tiga jago terkemuka dari
Po-lo-bun (agama Hindu) di India. Kalau bicara mengenai
kepandaian sejati, tiada seorangpun diantara mereka yang
mampu menandingi Teng Keng-thian. Tapi mereka bertiga
justeru telah meyakinkan semacam ilmu yang aneh. t?ga
orang bagaikan seorang perawan masing seakan-akan
bersatu, gerak-gerik masing-masing serupa (ilmu telepati),
untuk mengalahkan mereka secara sendiri-sendiri adalah tidak
mungkin, kecuali kalau mengalahkan mereka seluruh-nya
sekaligus. Meski kepandaian Theng Keng thian sangat tinggi tapi
menghadapi persatuan ketiga lawan, tangguh yang aneh itu.
ia menjadi kehabisan akal. Pedang pusakanya yang tajam itu
tidak mempan menghadapi gabungan tenaga mereka bertiga.
Segera Peng-choan Thian-li memutar pedangnya maju
membantu. Peng-pok-han-kony-kiam yang dia pakai itu
mempunyai. ka-siat yang berbzda, bukan saja ilmu pedangnya
memang hebat, bahkan hawa dingin yang memancar dari
pedang mestika itu cukup untuk melukai orang. Lama
kelamaan, hawa dingin dari pedang itu akan jauh lebih lihgy
daripada Peng-pok-sin-tan yang cuma dapat d"gunakan secara
sepintas lalu saja. Biarpun ketiga paderi itu tidak takut hawa
dingin, tapi lama-lama terpaksa mereka harus mengerahkan
tenaga dalam untuk menjaga diri. Dengan demikian, partai
mereka ini menjadi sama kuatnya untuk sementara.
Dipihak sana demi melihat ada kesempatan, segera Kenggoat
siangjin dan kawanan Bu-su Nepal itu ada maksud
menerjang maju untuk mengeroyok Peng-choan Thian-li. Tapi
Yu Peng sudah lantas mengadangnyai "Bagus, atas perintah
Kongcu, aku justeru hendak menangkap kalian!"
Keng-goat Siangjin menjadi gusar, damperatnya:
"Kurangajar, Kau hanya seorang pesuruh saja dan berani main
gila padaku" Lihat pukulan!" dan kontan ia terus menghantam.
Yu Peng juga mahir menggunakan Peng-pok-sin-tan. Cuma
kekuatannya jauh dibawah Peng-choan Thian-li, maka ada
sebagian besar peluru es itu kena ditangkap Keng-goat Siangjin,
sedang peluru lain yang mengenai kawanan Bu-su Nepal
itu juga tidak terlalu parah, mereka hanya menggigil sedikit
saja. Dalam pada itu Keng-goat Siangjin telah melancarkan
pukulan-pukulan yang lebih gencar. Tapi mendadak "siut-siut"
dua kali, sebatang pedang seKonyong-Konyong menyelenong
tiba menusuk kekanan dan kekiri dengan cepat sekali. Meski
Keng-goat Siangjin sangat gesit ternyata tidak sanggup
menghindarkan diri hingga terkena sekali tusukan itu, untung
tidak terluka parah, melainkan terluka lecet saja.
Kiranya orang yang melukai Keng-goat itu adalah suaminya
Yu Peng sendiri. Tan Thian-ih.
Dahulu Thian-ih pernah makan buah ajaib diistana es,
badannya enteng seperti burung, ilmu pedangnya adalah
kombinasi dari berbagai aliran pula, paling akhir iapun
mencapai kemaju-an pesat dan sudah tergolong tokoh kelas
satu. Disebelah sana lekas-lekas Minhaji juga menerjang maju
untuk mewakilkan Keng-goat menghadapi Thian-ih. Minhaji
adalah jago nomor satu dinegeri Nepal, dengan sendirinya
kepandaiannya selisih tidak jauh dengan Keng-Goat Siangjin
Maka dengan satu-lawan-satu ia dapat menempur Thian-ih
dengan gagah, meski juga terdesak dibawah angin, tapi dalam
waktu singkat juga Thian-ih susah hendak merobohkan dia.
Kawanan Bu-su dari Nepal yang dibawa datang Minhji itu
selain beberapa orang diantaranya sudah dilukai Teng Kengthian
tadi, selebihnya kira-kira masih adalah 30-an orang.
Walaupun para Bu"Su itu bukan jago silat kelas wahid, tapi
mereka dapat bertempur dengan rapat, barisan mereka kukuh
kuat hingga susah d uga untuk ditawan. Dengan sendirinya
pasangan Tan Thian-ih dan Yu Pcng takbisa dibandingkan
dengan pasangan Teng Keng-ihian dan Peng-choan Thiah-ri,
maka sesudah mereka terkepung ditengah kawanan Bu-su itu,
keadaan mereka menjadi terancam bahaya.
"Hai, mengapa kalian main keroyok, kalian kenal malu atau
tidak!" demikian Kang Lam terus berteriak.
Dia pernah mendapat pelajaran beberapa gerakan aneh
dari Kim Si-ih, meski barisan kepungan para Bu-su itu sangat
rapat, tapi entah cara bagaimana, tahu-tahu dengan sekali
berjumpalitan saja Kang Lam sudah dapat melompat ketengah
kalangan. Segera dua orang Bu-su mengayun kaki hendak
menendangnya, kontan Kang Lam memaki: "Kurangajar! Kau
berani menendang bokongku, ha" Ini biar kugebuk
pantatmu dulu!"
Dan benar saja, dengan sekali jumpalitan pula, tahu-tahu ia
sudah memutar sampai d:belakang kedua Bu-su itu dan "plakplak",
bokong kedua Bu-su itu benar-benar kena dihantamnya.
Kang Lain bukan terhitung jago kelas satu, tapi ilmu Tiamhiatnya
adalah kepandaian kelas satu. Maka diwaktu ia
menghantam bebokong kedua Bu-su itu, sekalian ia telah
tutuk "Bu-lu-hiat" dibagian "berutu" kedua Bu-su hingga
robohlah seketika dan menjadi batu penghalang malah bagi
para Bu-su yang lain, bahkan barisan kepungan mereka
menjadi terganggu juga.
Keng-goat Siangjin menjadi gusar, ia sambar badan kedua
Bu-su yang roboh itu. tapi ia tidak mampu membuka Hiat-to
yang ditutuk Kang Lam itu, terpaksa ia melemparkan saja
kedua Bu-su itu keluar kalangan, menyusul kedua tangannya
terus menghantam kearah Kang Lam. Gerakannya
mencengkerain kedua Bu-su, melemparkan terus menghantam
dilakukannya dengan sekaligus secepat kilat, sungguh luar
biasa tangkasnya.
Tapi Kang Lam juga sama cepatnya, malah terdengar siceriwis
ini lagi tertawa: "Hihi, tidak kena! Sekarang menjadi
giliranku untuk menggebuk pantatmu!" dan sekali putar, tahutahu
ia sudah berada dibelakang Keng-goat Siangjin untuk
menghantam bokongnya
Tak terduga antero tubuh Keng-goat Siangjin itu sudah
Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terlatih sedemikian rupa hingga setiap anggota badannya
seperti hidup semua. Maka Kang Lam tidak berhasil menutuk
Hiat-to dibagian berutu itu, sebaliknya ketika Keng-goat
Siangjin sedikit menggoyang kibul, tutukan Kang Lam itu
menjadi seperti mengenai sebuah bola hingga terpental balik.
Kang Lam kenal lihaynya lawan sekarang, ia tidak berani
meng-incar Keng-goat lagi, tapi terus berlari kian kemari
menyelinap diantara kawanan Bu-su itu, asal ada kesempatan,
ia lantas keluarkan ilmu Tiam-hiat lagi hingga ada beberapa
orang kena dirobohkan.
Tapi lingkaran kepungan itu makin lama makin sempit
hingga l"idak lama kemudian sudah tiada tempat luang lagi
bagi Kang Lam bergerak. Karena kepandaian sejati Kang Lam
memang tidak hebat, maka berulang-berulang ia harus
menghadapi serangan lawan yang berbahaya.
Tiba-Tiba garis kepungan musuh itu bobol, seorang kakek
ber-enggot telah menerjang masuk dengan memutar kencang
pedangnya dan para Bu-su Nepal itu tiak sanggup
merintanginya. Tatkala itu Minhaji sedang ayun toyanya
hendak mengemplang keatas kepala Kang Lam, cepat kakek
itu membentak: "Lihat pedang!" dan tahu-tahu orangnya
telah melesat sampai dibelakang Minhaji dengan tusukan
pedangnya. Kiranya sikakek berjenggot adalah Siau Jing-hong, itu tokoh
terkemuka dari Jing-sia-pay. Dia adalah guru Thian-ih yang
pertama, diwaktu kecilnya Kang Lam. ketika menjadi
kacungnya Thian-ih. pernah juga Kang Lam mencuri belajar
ilmu silat Jing-sia pay itu. Sekarang suami-isteri Thian-ih dan
Kang Lam terancam bahaya, sudah tentu Siau Jing-hong tidak
bisa tinggal diam.
Tapi dia tergolong angkatan tua. ia harus menjaga harga
diri dan tidak sudi main sergap dari belakang, maka pada
sebelum menyerang tadi ia lantas mendahului membentak
untuk memperingatkan musuh agar siap menerima
seri.ngannya itu.
Minhaji tahu Siau Jing-hong adalah lawan tangguh, ia tidak
bisa pikirkan Kang Lam lagi, terpaksa putar toyanya untuk
menangkis kebelakang. Tapi dengan gaya ,,Sun-cui-tui-ciu"
(mendorong sampan mengikuti arus), pedang Jing-hong terus
dipotongkan keatas toya musuh.
Gerakan "Sun-cui-tui-ciu" itu sebenarnya adalah suatu jurus
yang sangat umum didalam ilmu pedang, tapi dalam
penggunaan Siau Jing-hong tipu serangan itu menjadi Iihay
luar biasa. Tenaga Miuhaji kalah kuat, maka ketika toyanya
terpotong pedang-ia tidak dapat menarik kembali, terpaksa ia
mesti melepaskan senjatanya. Maka terdengarlah suara "krak"
sekali, biarpun dia keburu menarik tangannya, tidak urung
sebuah jarinya juga ter-papas putus.
Demikianlah dengan ikut sertanya Siau Jing-hong didalam
pertempuran, Thian-ih bersama isterinya dan Kang Lam
menjadi bebas dari ancaman bahaya, bahkan Kang Lam dapat
bergerak dengan leluasa lagi. Dengan demikian maka
pertarungan mereka berempat melawan Keng-goat Siangjin
bersama kawanan Bu-su itu kini menjadi setanding.
Disebelah sana Kok Tiong-lian dan Hoa In-pik berdua juga
mulai unggul melawan Hu Li-ciam, itu Tocu dari To-liong-to.
Suatu ketika, mendadak Kok Tiong-lian menggunakan tipu
"Giok-Ii-tau-soh" (gadis ayu melempar tali), dari samping ia
merangsang maju terus menyerang dengan berani.
Melihat nona itu berani mendekat, Hu Li-ciam diam-diam
bergirang, pikirnya: "Betapapun memang bocah masih hijau,
hanya pikir menyerang, tapi tidak ingat menjaga diri."
sebenarnya ia sudah tiada harapan buat menang, kini ada
kesempatan bagus, terus saja ia melancarkan serangan
mematikan dengan tujuan lekas merobohkan lawan dulu.
Dengan lima jarinya yang tajam sebagai kait itu terus saja
mencengkeram dan tepat sekali Pi-pe-kut, yaitu tulang pundak
Kok Tiong-lian tepat kena dipegangnya.
Pi-pe-kut adalah tempat berbahaya ditubuh manusia, kalau
tulang pundak itu remuk, biar setinggi langit ilmu silatnya juga
percuma, karena orangnya akan menjadi cacat.
Diluar dugaan, Kok Tiong-lian memakai baju pusaka "Pekgiok-
kah" yang tidak mempan senjata. Karena itu kuku jari Hu
Li-ciam menjadi tidak berhasil menembusnya. Sebaliknya
tenaga Siau-yang-hian-kang ditubuh Kok Tiong-lian terus
bekerja hingga Hu Li-ciam tergetar, daya tahan Thian-imciang-
lik yang diandalkan Li-ciam itu tergempur.
Pada saat demikian itulah, secepat kilat pukulan Tiong Lian
telah mengenai "Hun-bua-hiat" dibawah iga Hu Li-ciam.
Kontan Li-ciam menjerit sekali dan orangnya terus mencelat
pergi sebagai bola. Tanpa ampun lagi In-pik lantas memburu
maju dan menambahi sekali tusukan hingga darah memancur
keluar bagaikan sumber air, dengan cepat Hu Li-ciam lantas
melarikan diri dengan menderita luka parah.
Kiranya Kok Tiong-lian menjadi buru-buru ingin membantu
Danu Cu-mu ketika melihat sang kakak terdesak, sebab itulah
ia sengaja memberi lubang serangan untuk memancing Hu Li
Ciam. Setelah mengalahkan Hu Li-ciam, segera Tiong-lian
melayang maju kesana, kontan ia menghantam Bun Ting-bik.
Cepat Ting-bik membaliki tangannya untuk menangkis. "Bluk",
kedua tangan beradu. Betapapun Tiong lian memang kalah
kuat hingga tergentak kesamping dengan sempoyongan.
Melihat ada kesempatan, Hou-hoat-tecu pertama dari Kimeng-
kiong itu terus ayun Kiu-goan-sik-tiang (tongkat timah
bergelang sembilan) untuk megetok "Goan-tiau-hiat" didengkul
Tiong-lian. Ia tahu sigadis adalah puteri raja Masar
yang dahulu, maka masudnya cuma hendak menawannya dan
tongkatnya dipakai mengetok Hiat-to dengan separoh
tenaganya saja.
Siapa sangka kekuatan Tiong-lian meski tidak bisa
menandingi Bun Ting-bik, kalau dibandingkan Hou-hoat-tecu
itu sudah terang jauh lebih unggul. Maka hanya dengan sekali
menyelentik saja, "trang", tongkat lawan telah kena
dipentalkan kesamping, bahkan genggaman Hou-hoat-tecu itu
terasa sakit pedas dan hampir-hampir tidak kuat memegangi
senjatanya sendiri.
Keruan Hou-hoat-tecu pertama itu sangat terkejut, baru
sekarang ia kenal lihaynya Kok Tiong-lian. Lekas-Lekas ia
mengerahkan sepenuh tenaga dan kembali menyerang lagi.
Begitu pula. dua orang Sutenya sekaligus juga ayun tongkat
mereka menyerang dari kanan-kiri untuk membantu.
Dilain pihak, karena Bun Ting-lck terpaksa membagi
separoh tenaganya untuk menangkir pukulan Kok Tiong-lian
tadi, maka kesempatan itu telah digunakan Danu Cu-mu untuk
menghantam. Untung Ting-bik cukup berpengalaman,
sebelumnya ia sudah memperhitungkan kemungkinan itu,
maka waktu ia tangkis serangan Tiong-lian, berbareng ia
menggeser pergi untuk menghindarkan serangan Cu-mu yang
hebat itu. Walaupun begitu, tidak urung ia juga tergentak
mundur beberapa tindak oleh karena samberan tenaga
pukulan pemuda itu. Dengan demikian ia lantas dipisahkan
dari ketiga Hou-hoat-tecu tadi dan terbagi menjadi dua partai,
yaitu Cu-mu melawan Ting-bik dan Tiong-lian melawan ketiga
Hou-hoat-tecu. Dengan semangat menyala-nyala Cu-mu terus membentak
"Orang she Bun, sekarang bolehlah kita coba-coba mengukur
tenaga sesungguhnya!" dan susul menyusul Tay-seng-panyak-
ciang terus dihantamkan bagaikan gelombang ombak
membadai dahsyatnya, hingga Cun Ting-bik hanya mampu
menangkis saja, tapi tidak sanggup balas menyerang.
Cuma Ting-bik sudah sempurna melatih ilmu sakti "Samsiang-
kui-goan", kalau melulu untuk menjaga diri saja masih
jauh daripada cukup kuat. Maka serangan Cu-mu yang
membadai itu juga tidak dapat mencelakainya dengan
gampang. Dalam pada itu ketiga Hou-hoat-tecu yang mengeroyok Kok
Tiong-lian juga lantas mengembut dengan hebat. Tiong-lian
tidak berani ayal, segera iapun lolos pedang, dengan Hian-likiam-
hoat ia lawan tiga batang tongkat musuh.
Pedang yang dipakainya itu adalah Siang-hoa-pokiam yang
pernah dipakai Lu Si-nio (tentang Lu Si-nio, bacalah "Tiga
Dara Pendekar" yang tak lama akan diterbitkan lagi). Meski
kasiatnya tidak selihay Cay-in-pokram yang dipakai Kang Haythtan
itu, tapi tajamnya juga luar biasa. H an-h-kiam-hoat
mengutamakan kecepatan dan kelincahan. Paling akhir ini
Tiong-lian telah meyakinkan pula Thian-lo-poh-hoat, maka
setelah Imu pedang itu dimainkan, gaya permainannya
mendiadi lebih menarik dan kecepatan nya bertambah hebat.
Ketiga Hou-hoat-tecu itu sudah jeri kepada pedang
pusakanar, takut pula kepada gerakan Tiong-lian yeng cepat
laksana terbang itu, maka mereka akhirnya menjadi terdesak,
hanya bisa bertahan saja tanpa bisa menyerang.
Dalam pada itu seluruh ruangan sudah terjadi pertarungan
sengit dan terbagi dalam beberapa kelompok dan seketika
susah juga ditentukan pihak mana yang akan menang atau
kalah. Diantaranya sudah tentu partai dimana Kang Hay-thian
melawan Po-siang Hoat-su adalah paling seru. Tapi kedudukan
Kang Hay-thian juga paling berbahaya pada waktu itu. Orang
lain mungkin belum tahu, tapi Hay-thian sendiri sudah
merasakan keadaan yang tidak menguntungkan itu.
Sebenarnya Lwekang Kang Hay-thian sudah sangat tinggi,
tapi hal itu berkat bekerjanya obat secara serentak, sedangkan
dasar Lwekangnya semula telah sesat dulu karena yang dilatih
adalah Lwekang dari Sia-pay ajaran Thian-mo-kaucu.
Walaupun sekarang tingkat kepandaiannya sudah mencapai
"pembauran antara Cing dan Sia", tapi keadaan toh tetap tidak
seperti Kok Tiong-lian.
Sejak mula Lwekang yang dilatih Tiong-lian adalah aliran
Cing-pay yang murni, maka ienaga yang timbul dari kasiat
Thian-sim-ciok itu dengan cepat dapat terbaur dengan
kekuatan yang sudah ada dalam tuouhnya itu dan dapat
dikerahkan dengan leluasa dan mana suka. Untuk ini Kang
Hay-thian memerlukan waktu tertentu baru bisa mencapainya.
Sebab itulah dalam pertarungan itu makin lama Kok Tiong-lian
makin perkasa, sebaliknya Hay-thian yang melawan Po-siang
menjodi makin lama makin lemah, makin berkurang
tenagatnya. Sedangkan "Liong-siang-kang", ilmu naga dan gajah, yang
dimiliki Po-siang itu adalah ilmu sakti golongan Budha yang
lihay, untuk meyakinkannya perlu gemblengan selama
berpuluh tahun-lamanya. Ketika pukulan-pukulannya susul
menyusul dilontarkan dan tenaga yang dipakai makin tambah
kuat, sesudah lebih 50 jurus, akhirnya Kang Hay-thian
merasakan kewalahan, ia merasa tekanan tenaga
penghalang dari sekitarnya bertambah besar bagaikan
dinding baja yang kukuh hingga Tui-hong-kiam-hoat yang
dimain-kannya itu menjadi kurang lancar.
Namun begitu, diam-diam Po-siang juga mengeluh. Kiranya
Liong siang-kang itu meski sangat lihay, tapi ia belum
melatihnia hingga tingkatan yang paling sempurna, sekarang
iapun mainkan kepandaiannya itu dengan mengorbankan
segenap tenaga dalamnya yang ada. Jadi kalau terlalu lama,
hal ini akan membawa akibat jelek juga bag dia sendiri.
Semula ia mengira dengan Liong-siang-kang yang hebat itu
dalam sepuluh atau belasan jurus saja pasti akan dapat
merobohkan Kang Hay-thian, siapa duga kini sudah lebih 50
jurus dan pemuda itu masih kuat menahannya, bahkan belum
kelihatan akan lantas kalah. Diam-Diam Po-siang menaksir bila
nanti toh pemuda itu dapat dibinasakan, pasti dia sendiri juga
akan jatuh sakit payah dan umurnya akan susut 10 tahun
paling sedikit.
Begitulah, ditengah pertarungan sengit itu, orang yang
paling senang terang adalah Ki Hiau-hong.
Sebagai copet, dia memcunyai suatu kebiasaan aneh, yaitu
suka mencuri milik orang untuk dijadikan barang kenangan,
terutama barang milik orang yang jarang dijumpainya atau
bangsa asing. Barang yang diincarnya itu tidak perlu barang yang
berharga, cukup asal dapat mewakili tanda pengenal sipemilik
barang itu, makin jarang terdapat barang itu makin baik. Dan
sekarang ditengah kalangan pertempuran itu terdapat bangsabangsa
India, Persi. Nepal, Arab dan orang-orang dari benua
barat. Kesempatan bagus ini sungguh susah d:ketemukan
selama hidupnya, sudah tentu ia tidak mau sia-siakan ketika
baik itu. Pelahan-lahan ia mendekati sicopet dari India itu, ia
menjawilnya dan memberi tanda "rogoh saku" dan berkata
dengan bisik-bisik: "Apa kau ingin belajar ilmu tangan panjang"
dari Tiongkok" Kalau mau, mari ikut aku. lihatlah caraku ini!"
Sudah tentu copet India itu tidak paham bahasa Tionghoa,
tapi tahu maksud isyarat yang diberikan Ki Hiau-hong itu,
mula-mula ia me-lengak, tapi segera berseru dalam bahasa
asalnya: "Bagus! Kau suka menerima aku sebagai muridmu?"
Dan belum lenyap suaranya, disana Ki Hiau-hong sudah
menyelinap ketengah-tengah orang banyak untuk memainkan
"tangan-saktinya" menggerayangi saku orang.
Ditengah kalangan pertempuran ada juga jago yang ilmu
silat-nya lebih tinggi dari dia, tapi didalam pertarungan sengit
itu setiap orangnya lagi pikirnya nyawa sendiri, mana ada
yang memperhatikan tentang "awas copet".
Maka dengan bebas Ki Hiau-hong dapat beraksi, ia comot
sini dan sambar sana, raba situ dan gerayang sono, boleh
ditata tidak pernah melesat dan seperti merogor saku sendiri.
Cuma barang milik Po-siang Hoatsu saja yang takdapat
dico-pet Ki Hiau"hong, sebabnya beberapa meter disekeliling
Po-siang itu tertutup rapat oleh tenaga pukulannya dan Hauhong
tidak sanggup menembusnya.
Bukan main senangnya Ki Hiau-hong sedang beraksi. Posiang
Hoatsu dan Hay-thian lagi sama-sama merasa gopoh
dan mengeluh. Tiba-Tiba dari jauh terdengar suara suitan
panjang, suara, suitan laksana berkumandang dari langit.
Semula kedengarannya sangat jauh, tapi dalam sekejap saja
suara itu sudah mendekat hingga anak telinga semua orang
serasa pekak. Po-siang terkesiap juga, pikirnya: "Siapakah gerangan
orang, ini, sedemikian hebat Lwekangnya?"
Dan disebelah sang terlihat Ki Hiau-hong sedang
kegirangan, ia telah berj-ingkrak dan menari sambil berseru:
"Haha, Kim-tayhiap telah datang!"
Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Saking hebatnya suara itu hingga hampir semua orang yang
sedang bertempur itu ikut terpengaruh dan tanpa berjanji
sudah sama berhenti sambil memandang keluar pintu. Maka
tertampaklah dua orang laki-laki setengah umur dengan
dandanan yang sederhana telah melangkah masuk keruangan
yang penuh dengan gemilapnya senjata itu. Dan memang
benar orang yang berjalan didepan itu tak-lain-tak-bukan
adalah Kim Si-ih.
Munculnya Kim Si-iih secara mendadak ini walaupun Posiang
dan Iain-Iain terkesiap juga oleh karena suara suitannya
yang tajam itu, namun mereka masih tetap tinggal
ditempatnya. Sebaliknya Bun Ting-bik pernah musuh Si-ih,
karuan kagetnya bukan buatan, ia pikir: "Muridnya saja aku
tidak mampu menang, dari suara suitannya yang hebat
barusan ini, terang kekuatannya entah berapa kali lebih kuat
daripada muridnya. Sungguh tidak nyana hanya dalam
beberapa tahun saja Lwekangnya sudah maju sepesat ini.
selama hidupku ini terang tiada harapan lagi untuk bisa
menangkan dia."
Berpikir demikian, Bun Ting-bik benar-benar sudah putus
asa ia menghela napas panjang sekali, segera ia pura-pura
menghantam sekali kepada Danu Cu-mu lalu melepaskan diri
dan lari keluar melalui pintu samping. Ia kuatir dicegat Kim Siih,
maka larinya terbirit-birit hingga beberapa Bu-su penjaga
pintu kena diterjang jatuh.
Padahal Kim Si-ih tiada waktu senggang untuk
menggubrisnya Sebaliknya begitu masuk keruangan Kim-engkiong
itu, segera ia berseru dengan tertawa: "Katanya
pertandingan ini hanya untuk mencari perkenalan saja, maka
sebaiknya bila sudah menyentuh lawan boleh lantas berhenti.
Sekarang rasanya para hadirin sudah perlu mengaso dahulu."
Diantara semua orang itu, ketiga paderi Hindu itu tidak
kenal siapakah Kim Si-ih itu. Maka dengan nada dingin mereka
berkata: "Ha, apakah tuan, ini anggap jago nomor satu
didunia ini hingga berani sembarangan ngoceh" Berdasarkan
apa kau berani memberi perinlah kepada kami" Baiklah, jika
tuan bertekad hendak tampil kemuka, biarlah lebih dulu kami
minta sedekah kepadamu. Kami tidak ingin sedekah harta
benda darimu, cukup sukalah memberi sedekah sedikit ilmu
perkenalan saja".
Karena pikiran mereka bertiga sudah bersatu, maka
serentak tiga buah mangkok emas mereka terus ditimpakan
bersama. Dengan tenaga gabungan mereka bertiga, dimana
ketiga mangkok emas itu menyambar lantas terdengar suara
menderu yang keras dengan cahaya emas yang menyilaukan,
mata. Namun Kim Si-ih tenang-tenang saja menghadapi serangan
itu. "Omi-tohud!" ia. bersabda dengan merangkap kedua
tangannya dan berkata: "Harta benda dan kepandaian yang
kalian katakan aku tidak punya semua, maka terpaksa aku
yang harus minta sedekah kepada kalian!"
Ia tunggu sesudah cahaia emas itu sudah menyambar
dekat barulah mendadak tangannia meraup kedepan. Aneh
juga, betapa hebat sambaran cahaya emas itu, tahu-tahu
lantas lenyap dan ditangan Kim Si-ih telah bertambah dengan
tiga mangkok emas.
"Ki-toako, ketiga buah mangkok ini tampaknya laku juga
beberapa duit, aku sekarang tidak membawa oleh-oleh
untukmu, maka biarlah kuberikan padamu sedekah yang
kuperoleh dari pemberian ketiga Taysu itu," demikian kata Siih
kemudian, lalu ia sodorkan tangannia kedepan, tiba-tiba
ketiga mangkok emas itu lantas melayang kearah Ki Hiauhong
dan jatuh ditangan sicopet sakti itu.
"Kim-tayhiap," kata Hiau-hong dengan tertawa, "hadiahmu
ini tidak cocok kupakai, pula aku tidak ingin menjadi Hwesio,
membawa ketiga buah mangkok ini juga terlalu berat, maka
aku hendak menghadiahkannya kepada lain orang lagi, apakah
kau setuju?"
"Sekali aku memberikannya kepadamu, itu berarti sudah
menjadi milikmu, cara bagaimana kau hendak menggunakan
barang-barang itu boleh terserah sesukamu," sahut Si-ih.
Hiau-hong lantas tumpuk ketiga mangkok emas itu terus
disodor kan kepada copet Ind"a yang masih mengintil
dibelakangnya itu dan berkata: "Harini rupanya kau belum
dapat pasaran yang baik, biarlah beberapa kati emas ini
kuberikan padamu untuk sangu."
Sudah tentu copet India itu tidak berani menerima,
pemberian itu, segera ia kembalikan ketiga mangkok emas itu
kepada ketiga jago Hindu. Saking kesima mengalami
kekalahan tadi, sesudah menerima mangkok mereka masingmasing,
ketiga paderi Hindu itupun tidak berani bersuara lagi.
Dalam pada itu. dibawah kungkungan tenaga pukulan Posiang
yang hebat itu, Kang Hay-thian menjadi susah
melepaskan diri Sebaliknya Liong-siang-kang yang dikerahkan
Po-siang itu juga sudah mencapai titik terakhir hingga susah
dihentikan. Tiba-Tiba laki-laki yang datang bersama Kim Si-ih itu
melangkah maju dan berkata: "Po-siang Hoatsu, gurumu
Liong-yap Siangjin ada perintah agar kau lekas pulang
kesana!" Kiranya laki-laki ini adalah Liong Leng-kiau yang dahulu
pernah melawat ke India dan bertemu dengan Liong-yap
Siangjin. Tapi Po-siang seperti tidak mendengar dan melihat
terhadap keadaan disekitarnya rupanya ia bertekad harus
mengalahkan Kang Hay-thian untuk kemudian akan mengukur
tenaga pula dengan Kim Si-ih. Maka begitu Si-ih masuk kesitu,
segera ia kerahkan segenap tenaganya dan saat itu sudah
mencapai saat yang gawat dan menentukan, sedikitpun
perhatiannya tidak boleh terpencar, maka sesungguhnya ia
tidak mendengar apa yang dikatakan Liong Leng-kiau itu.
Saat itu Leng-kiau sudah melangkah masuk kedalam
lingkaran tenaga pukulan Po-siang. Pandangan Po-siang tetap
terpusat kepada Hay-thian, ketika merasa ada orang
mendekati, tanpa melihat lagi segera ia kerahkan Liong-siangkang
lebih hebat hingga Liong Leng-kiau ikut terlibat didalam
pengaruh tenaga pukulannya itu.
Leng-kiau tidak tahu seluk-beluknya, ia sangka Po-sang
memandang enteng padanya. dalam gusarnya segera ia
bermaksud ikut turun tangan. Tapi meski usianya belum
terlalu tua, bicara tentang derajat ia adalah satu angkatan
dengan Teng Hiau-lan. Ji"ka Kang Hay-thian belum
mengundurkan diri, mana boleh ia merendahkan harga diri
untuk mengeroyok Po-siang"
Dengan Lwekangnya yang tinggi, meski Leng-kiau tidak
sampai terluka dan tergencet ditengah tenaga pukulan dua
jago kelas satu itu, tapi dadanya juga terasa sesak dan susah
untuk bernapas. Keruan ia terkejut, pikiraya: "Sebagai murid
utama Liong-yap Sangjin. tidaklah mengherankan jika Po-siang
memiliki Lwe-kang selihay ini. Tapi muridnya Si-ih yang masih
muda belia ini mengapa juga memiliki kekuatan sehebat ini?"
Kini iapun sudah dapat melihat keadaan pertarungan yang
susah dilerai itu. Semula iapun bermaksud memisahkan kedua
orang itu, tapi kini sesudah masuk ditengah lingkaran tenaga
pukulan mereka, barulah ia tahu bahwa kekuatan Po-siang
terang lebih tinggi dari dia, bahkan tenaga Kang Hay-thian
juga tidak dibawahnya. Maka untuk memisahkan pertarungan
kedua jago kelas wahid ini terang tidak mampu.
Rupanya Km Si-ih juga dapat melihat keadaan itu, dengan
tersenyum ia lantas berkata: "Silakan Liong-siansing
menunggu sementara ini, biarlah aku bicara dengan dia."
Habis itu, dengan leluasa dan seenaknya ia melangkah
kepinggir Po-siang dan Kang Hay-thian. Ketika mendadak
lengan bajunya mengebas, terus saja ia potong ketengahtengah
kedua orang itu.
Dengan tenaga yang tak kelihatan yang dikebaskan lengan
bajunya itu, seketika tenaga pukulan kedua orang yang
dahsyat itu seperti dipotong oleh sebatang pedang yang tak
berwujut dan segera terputus.
Melihat Gurunya yang berada disitu, cepat Hay-thian lantas
mengundurkan diri, tapi karena pengaruh tenaga pukulan
lawan yang belum lagi lenyap seluruhnya, tanpa kuasa iapun
terhuyung-huyung sedikit kebelakang.
Sebaliknya "Liong-siang-kang" yang dikerahkan Po-siang itu
sudah mencapai puncaknya hingga susah direm lagi, maka
terdengarlah suara "blang", seluruh tenaga pukulan sakti itu
lantas mengenai tubuh Kim Si-ih yang memisah itu. Tapi Si-ih
seperti tidak merasakan apa-apa, pelahan-lahan ia tepuk
pundak Po-siang dan berkata dengan tertawa: "Po-siang
Hoatsu, rasanya kaupun perlu mengaso dahulu!"
Po-siang tergetar hebat, ia menjadi bingung sendiri.
Kiranya begitu kedua tangan Po-siang mengenai tubuh Kim
Si-ih, seketika menjadi seperti lengket dan takbisa ditarik
kembali. Padahal "Liona-siang-kang" adalah ilmu sakti kalangan
budha, betapa lihaynya ilmu itu, kini telah dikerahkan pula
dengan sepenuh tenaga bagaikan gugur gunung dahsyatnya,
menurut akal, sekalipun tubuh lawan adalah gemblengan dari
baja juga tentu akan lemas terkena pukulannya, tapi aneh bin
ajaib, biarpun tenaga dalamnya telah dikerahkan terusmenerus,
hasilnya tetap nihil, tenaga itu seperti hilir kelaut
tanpa bekas lagi. Bahkan lebih dari itu tangannya menjadi
seperti mendempel besi sem-berani, susah untuk ditarik
kembali, sebaliknya tenaganya mengalir keluar terus dan
disedot lawan. Kiranya Liong-siang-kang yang sakti itu belum terlatih
sampai puncaknya oleh Po-siang, kini kebentur kepada Kim Siih
yang memiliki Lwekang lebih tinggi dari dia, dengan
sendirinya ya tidak mampu melukainya. sebaliknya tenaganya
telah kena disedot oleh Lwekang Kim Si-ih yang Iihay itu.
Cuma pada saat yang sama itu, Po-siang juga merasa ada
suatu arus hawa hangat mengalir masuk kedalam tubuhnya
melalui tangan dan hanya dalam sejap saja sudah mengelilingi
urat nadi disekalian tubuhnya dan akhir-nya mencurah
kepusat. Jadi pada saat tenaga dalamnya tersedot, berbareng
iapun merasa badannya sangat segar. Sebagai seorang ahli,
segera Po-siang paham maksud tujuan Kim Si-ih.
Kiranya disamping memusnakan "Liong-siang-kang" Posiang
itu, berbareng pula Kim Si-ih menggunakan hawa murni
sendiri untuk membantu menyembuhkan luka dalam Po-siang
agar ke-sehatannya tidak terganggu karena punahnya Liongsiang-
kang itu. Memangnya sesudah bertempur melawan Kang Hay-thian
tadi. akibatnya paling sedikit Po-siang akan jatuh sakit keras
dan susut umurnya paling sedikit sepuluh tahun, tapi berkat
bantuan Si-ih sekarang, biarpun Liong-siang-kang jadi punah,
tapi segala akibat yang mungkin merusak tubuhnya dapatlah
terhindar. Dengan tertawa panjang sekali, lalu tangan Si-ih pelahanlahan
meninggalkan pundak Po-siang, katanya: "Po-siang
Hoatsu, sekarang bolehkah kita bicara sedikit?"
Dan baru sekarang juga Po-siang dapat menarik kembali
kedua tangannya. Ia terhindar dari bencana, tapi Liong-siangkang
yang dilatihnya selama berpuluh tahun juga punah.
Sungguh ia tidak tahu harus berterima kasih atau dendam
kepada Kim Si-ih.
Dengan kikuk akhirnya Po-siang menjawab: "Kim Si-ih,
kekuatanku yang kupupuk selama berpuluh tahun ini telah kau
punahkan, sekarang apa yang bisa kubicarakan lagi" Aku
sudah merupakan daging diatas tatakan, terserah kepadamu
cara bagaimana akan kau cacah."
"Hoatsu adalah paderi saleh, tentunya juga cukup bijaksana
untuk memandang sesuatu persoalan," kata Si-ih dengan
tertawa. "Benar aku telah memunahkan Liong-siang-kangmu,
tapi apakah aku bermaksud menghina kau dan menyembelih
kau" Justeru sebaliknya aku hendak membantu kau mencapai
kesempurnaanmu, apakah kau tahu!"
Po-siang tidak berani mengumbar amarahnya, pula
dilihatnya ucapan Si-ih itu agak sungguh-sungguh, mau-tak
mau iapun bertanya: "Maafkan kebodohanku yang tidak
paham maksudmu, harap kau coba memberi penjelasan lebih
jauh." "Liong-siansing, boleh kau yang bicara padanya," kata Si-ih.
Dan sesudah Liong Leng-kiau menyampaikan titah Liongyap
Sangjin yang menghendaki pulangnya Po-siang itu, lalu
Kim Si-ih mengambung pembifiaraannya: "Jika Liong siangkang
belum lagi punah, mungkin kau masih kemaruk kepada
kemewahan dan kedudukanmu dinegeri Masar ini hingga akan
banyak menimbulkan huru-hara lain lagi. Sekarang Liongsiang-
kangmu sudah punah, terpaksa kau mesti insaf dan
pulang kandang sesuai perintah gurumu. Gurumu adalah
paderi saleh nomor satu dijaman ini, kelak bila kau dapat
mencapai ajaran Budha yang paling sempurna, bukankah akan
jauh lebih berguna daripada jabatan sebagai Kok-su apa
segala seperti sekarang ini" Nah, baiklah, nasibmu sekarang
tergantung kepada pikiranmu sendiri, apakah kau sudah
paham?" Po-siang menjadi putus asa, urusan sudah sedemikian rupa,
kecuali mesti pulang kandang dan hidup alim, sesungguhnya
tiada pilihan lain baginya lagi. Terpaksa ia berkata: "Banyak
terima kasih atas petunjuk Kim-tayhiap, selanjutnya Pinceng
tidak ingin berkecimpung didunia ramai lagi."
Tadi waktu datangnya Kim Si-ih, sudah ada sebagian besar
jago-jago yang sedang bertarung itu berhenti, sekarang Posiang
sudah mengaku kalah, pertempuran lain serentak lantas
ikut berakhir juga.
Sesudah menghela napas panjang, Po-siang lantas memberi
tanda kepada keempat Hou-hoat-tecu, katanya: "Kalian juga
ikut pulang bersama aku!"
"Nanti dulu!" tiba-tiba terdengar seorang berseru. Kiranya
adalah Danu Cu-mu. Ia melangkah maju dan bertanya pula:
"Dimana raja jahanam Kayun itu bersembunyi, serahkan dulu
jika kau hendak pergi."
Tapi Po-siang membuka kedua tangannya dan menjawab
dengan tersenyum getir: "Pinceng sekarang mesti pikirkan
keselamatan sendiri, masakah masih bisa melindungi Kayun"
Dia memang tiada pernah datang kesini, darimana aku dapat
menyerahkannya padamu?"
"Apa benar?" Cu-mu menegas dengan ragu-ragu.
"Meski ilmu silatku tak becus, sedikitnya aku harus menjaga
Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nama baik sebagai murid Budha." sahut Po-siang agak aseran.
"Jikalau Siauongya tetap tidak percaya. ya. apa boleh buat,
terserahlah cara bagaimana kau hendak perbuat."
"Jika Hoatsu menyatakan raja lalim itu tidak berada disini,
maka pasti demikian adanya. Muridku, hendaklah kau percaya
kepada Hoatsu," demikian kata Si-ih.
Terpaksa Danu Cu-mu tunduk kepada perintah sang Suhu.
Sekarang iapun agak percaya bahwa Kan-ong yang dicari itu
memang tiada terdapat di Kim-eng-kiong. Diam-Diam ia
menjadi heran: "Seluruh keraton sudah kugeledah semua,
kalau dia tidak sembunyi disini, lalu dimana?"
Dalam pada itu Tiong-lian membisikinya juga: "Mungkin didalam
keraton masih ada sesuatu tempat rahasia lain yang
belum kita ketemukan. Boleh jadi saat ini Toako juga sudah
kembali didalam keraton, lebih baik kita lantas pulang kesana
menggabungkan diri dengan Toako, lalu mengadakan
pemeriksaan yang lebih teliti lagi."
"Benar juga usulmu," sahut Cu-mu. "Tapi urusan disini juga
perlu diatur untuk penyelesaiannya."
Segera ia keluar Kim-eng-kiong dan memberi perintah
kepada komendan tenteranya agar memimpin seribu perajurit
untuk men-jaga Kim-eng-kiong, berbareng senjata segenap
paderi penghuni istana elang emas itu juga dilucuti serta
diawasi gerak-geriknya. Sedang para tamu yang hadir disitu
disilakan untuk meninggalkan tempat.
Dan sesudah Po-siang pergi dengan membawa anak
muridnya, para jagoan dari berbagai negeri yang dia undang
itu juga menggeloyor pergi semua dengan lesu. Hanya
kawanan Bu-su Nepal dan Keng-goat Siangjin itu sekali lagi
telah kena ditawan Peng-choan Thyan-li. Tapi ini adalah
urusan dalam negeri Nepal, dengan sendirinya Danu Cu-mu
tidak dapat ikut campur.
Sesudah suasana ruangan Kim-eng-kiong menjadi sepi, lalu
Peng-choan Thian-li mendekati Kim Si-ih, katanya dengan
tertawa.: "Sang tempo lewat dengan cepat sekali, sampai
sekarang kita sudah berpisah selama belasan tahun. Apakah
kau masih suka mengembara seorang diri seperti dahulu?"
,,Benar, selama belasan tahun ini aku masih tetap seperti
dahulu," sahut Si-ih.
"Dahulu kau adalah Tok-jiu-hong-kay (sipengemis gila
bertangan keji) yang dibenci setiap orang, tapi sekarang kau
adalah Kim-tayhiap yang dikagumi dan dihormati setiap
orang," ujar Thian-ii. "Orang hidup memang susah
menghindarkan kejadian-kejadian yang menyedihkan. tapi
juga tidak boleh berduka untuk selama hidup. Sang waktu
sudah lalu, manusia juga berubah, maka perasaan setiap
orang mestinya juga harus berubah mengikuti ja-man. Kita
adalah sobat lama, harap maafkan ucapanku yang terus
terang ini."
Diwaktu bicara, sinar mata Peng-choan Thian-li selalu
diarahkan kepada Kok Ci-hoa Dan sudah tentu Kim Si-ih
paham maksud" ucapan Thian-li itu.
Perkenalan Kim Si-ih dan Peng-choan Thian-li dimasa muda
mereka jauh lebih dulu daripada perkenalannya dengan Kok
Ci-hoa dan Le Seng-lam. Usia Peng-choan Thian-li lebih muda
sedikit daripada Si-ih, tapi selamanya Thian-li sangat
memperhatikan keadaan Si-ih hingga mirip seorang kakak
terhadap adik-nya. Sebab itulah, meski kedua orang jarang
bertemu, tapi rasa persahabatan itu tetap kekal abadi.
Begitulah sesudah Si-ih mendengar ucapan Thian-li, yang
mengharukan itu, ia menghela napas, katanya: "Dahulu, dikala
sebagai "Tok-jiu-hong-kay" aku dibenci oleh setiap orang,
orang pertama yang menganggap aku sebagai kawan adalah
kau. Ehm. hal ini adalah kejadian belasan tahun yeng lalu.
Sang tempo benar-benar lalu dengan cepat, tapi kau masih
tetap muda sebagai dahulu, seballknya aku sudah mulai
beruban." Ia tidak langsung menjawab ucapan Peng-thyoan Thian-li
tadi, tapi dibalik kata-katanya itu ia hendak menyatakan
bahwa dia sudah tua, perasaannya sebagai orang muda sudah
tiada lagi. Padahal usianya sekarang baru lebih 40 tahun,
sebenarnya masih terhitung laki-laki setengah umur yang
justeru menginjak tarap kemasakan dalam segala hal.
Peng-choan Thian-li ingin merangkap perjodoannya dengan
Kok Ci-hoa, tapi segera ia akan mengadakan perjalanan jauh
ke Nepal, temponya agak sempit, sedangkan urusan
perjodoan itu agak rumit, cara bicaranya juga cuma bisa
samar-samar saja dan tidak berani dikatakan terus terang
dihadapan orang banyak. Tapi demi mendengar jawaban Si-ih
itu, Thian-li menghela napas jugai katanya dengan gegetuni
"Si-ih. rupanya kau masih tetap suka menyiksa dirinya sendiri"
Tapi entah kau sadar atau tidak bahwa kecuali kau menyiksa
dirinya sendiri, secara langsung kau-pun telah menyiksa orang
lain. Sayang aku segera akan berangkat, maka apa yang
kuucapkan ini hendaklah kau pikirkan lebih jauh dan aku tidak
dapat bicara lebih banyak lagi."
Hati Si-ih tergetar, pikirnya: "Ya, Ci-hoa adalah seorang
yang paling memahami perasaanku, segala apa dia
memaklumi diriku. Ai, apa benar aku menyiksa diriku sendiri
dan berbareng juga telah menyiksa dia?"
Kim Si-ih sebenarnya adalah seorang yang mudah bergolak
perasaannya, tapi kini usianya sudah bertambah, guncangan
perasaannya itu tidak gampang kelihatan lagi dilahirnya. Maka
setelah tenangkan diri, lalu ia berkata pula keperscalan lain:
"Apa segera kau akan lantas berangkat" Kita kebetulan dapat
berkumpul disini dengan para sobat, mengapa tidak tinggal
beberapa hari lagi?"
"Aku harus cepat pulang ke Nepal, dinegeriku itu telah
terjadi kerusuhan, mereka sedang menantikan kedatanganku,"
sahut Thian-li.
Segera Kang Lam menyela: "Kim-tayhiap, kau belum tahu
barangkali" Puteranya Teng-tayhiap sekarang telah memimpin
suatu pergerakan hebat di Nepal, apa yang terjadi hampir
sama dengan kejadian disini. Mereka telah menggulingkan raja
lalim yang lama dan kerusuhan dalam negeri belum pulih,
Teng-siauhiap adalah panglima besar dari raja baru. Kini
puteranya itu ada kesulitan, dengan sendirinya kedua orang
tuanya ingin pergi mem-bantunya."
"O, kiranya begitu," kata Si-ih. "Sang waktu benar-benar
lalu sece-pat kilat, dalam sekejap saja puteramu kini sudah
menjadi panglima besar. Berapakah usianya tahun ini?"
"Sembilanbelas," sahut Thian-li.
"Kim-tayhiap," sela Kang Lam lagi, "kau cuma tahu sang
waktu lalu dengan cepat, tapi lupa memikirkan dirimu sendiri.
Sang waktu memang tidak suka tunggu orang, lewat beberapa
tahun lagi mungkin akupun akan membopong cucu."
"Baiklah," ujar Thian-li dengan tertawa, "semoga sekembalinya
kesini nanti aku keburu minum arak perkawinan
puteramu. Kepergianku ini paling lama setahun dan kalau bisa
setengah tahun tentu sudah dapat kembali kesini. Si-ih. kau
suka mengembara kemana-mana, untuk mencari kau tidaklah
mudah, maka sebaiknya kadangkala kau suka berkunjung
ketempat kami. Selama ini kau tidak pernah menyambangi
kami, apa barangkali kau masih marah kepada Keng-thian?"
Dahulu diwaktu Peng-choan Thian-li belum menikah dengan
Teng Keng-thian, diam-diam sebenarnya Kim Si-ih juga
mencintai Thian-li. Dan diantara Keng-thian dan Si-ih juga
pernah saling gebrak, pernah juga Keng-thian memaki Si-ih
sebagai "Tok-jiu-hong-kay" sebab itulah Peng-choan Thian-li
mengucapkan kata-kata tadi.
Tapi Si-ih tertawa, sahutnya: "Kenapa kau berkata
demikian, kejadian dimasa dahulu itu memangnya adalah
salahku." Maka tertawalah Teng Keng-thian dengan terbahak-bahak
dan melangkah maju untuk memegang tangan Kim Si-ih.
"Teng-heng," kata Si-ih dengan tertawa, "diantara sobatsobat
yang kukenal, hanya rejekimu terhitung paling besar.
Dahulu aku pernah iri padamu dan sekarang aku tetap iri
padamu. Cuma saja, kau tidak perlu kuatir lagi, aku takkan
cari perkara dan ajak berkelahi lagi dengan kau."
Keng-thian terkekeh-kekeh, katanya: "Jika sekarang kau
ajak berkelahi padaku, pasti aku akan menyerah saja."
Melihat kedua orang sudah tidak punya ganjelan hati apaapa
lagi, Peng-choan Thian-li sangat senang, katanya: "Si-ih,
sebenarnya kau dapat hidup lebih gembira dan lebih bahagia
daripada kami, maka tidak perlu kau kagum pada
penghidupan orang lain. Baiklah, waktunya sudah larut, kami
mesti berangkat sekarang."
Dan sesudah Keng-thian dan Thian-li serta Thian-ih suamiisteri
menggiring pergi kawanan Busu Nepal dihantar Kang
Lam, Kim Si-ih tetap termangu-mangu ditempatnya. Kemudian
ia mendekati Kiok Ci-hoa dan berkata padanya: "Ci-hoa, aku
ingin tanya padamu, apakah selama ini kau baik-baik dan
senang hidupmu."
Ci-hoa melengak sekejap, tapi lantas menjawab dengan
tertawa: "Pertanyaanmu ini agaknya sudah lama kujawab,
asalkan kau dapat hidup senang, maka akupun akan merasa
senang. Ehm, hari ini juga aku menjadi lebih senang".
"Sebab apa?" tanya Si-ih.
"Apa kau masih ingat ucapanku dahulu bahwa guruku
menaruh harapan sangat besar padamu?" kata Ci-hoa. "Beliau
sudah sejak dulu mengetahui kau akan jadi seorang tokoh
maha besar dan sekarang ilmu silatmu benar-benar sudah
terhitung nomor satu dijagat ini. Untuk ini, bukankah aku
harus merasa sangat senang?"
"Semuanya ini adalah berkat dorongan kalian juga," sahut
Si-ih. "Padahal meski sekarang memang ada juga kemajuankemajuan
pada diriku, tapi untuk disebut sebagai "nomor satu
dijagat ini" sesungguhnya masih selisih sangat jauh".
"Baiklah, asalkan kau dapat selalu mengontrol dirimu dan
tidak pernah merasa puas atas kemajuanmu," kata Ci-hoa. "Siih,
kini menjadi giliranku untuk tanya padamu: Apakah
hidupmu selama ini juga senang?"
Kim Si-ih termenung-menung seperti sedang memikirkan
sesuatu hingga lama sekali tidak menjawab pertanyaan Kok
Ci-hoa itu. Kiranya ucapannya "atas dorongan kalian" tadi. "kalian"
yang dimaksudkannya itu termasuk pula Le Seng-Iam yang
lantas terkenang olehnya.
Saat itu terbayang pula kejadian yang menyayatkan hatinya
dahulu, yaitu pada upacara pernikahan nya dengan Le Senglam
dahulu, pada sebelum ajalnya, ditengah suasana
pengantin yang ternyata sangat memilukan itu Le Seng-lam
telah berkata kepadanya tentang tiga harapannya. Satu
diantara pesan yang ditinggalkan itu ada lah serupa dengan
harapan Kok Ci-hoa. yaitu berharap agar Kim Si-ih berhasil
menjadi seorang sarjana ilmu silat maha besar, supaya nanti
dimanapun dan bilamana juga akan menjadi kebanggaannya.
Dan sekarang bayangan Le Seng-lam itu telah muncul
dalam kenangan Kim Si-ih cuma sayang kini Le Seng-lam
sudah tidak bisa lagi menyaksikan kemajuan yang telah
dicapainya ini.
Sesudah termenung sebentar, kemudian ia berkata: "Cihoa,
sudah tentu harinipun aku merasa sangat gembira."
"Tidak Si ih, kau berdusta" kata Ci hoa dengan pandangan
yang melekat. "Aku tidak mendusta. kau," sahut Si-i-h pasti. "Hari ini aku
benar-benar gembira bagi kebahagiaan orang lain. Dan
tahukah kau apa yang sedang kupikirkan?"
Ketika Ci-hoa memandang kearah yang ditatap Si-ih, ia lihat
Kang Hay-thian sedang berada bersama dengan Kok Tionglian
dan tampaknya lagi berbicara dengan asyiknya.
"Lihatlah, murid kita sekarang sudah dewasa semua," kata
Si-ih pula. "Mereka sekarang serupa seperti bayangan kita
dimasa dahulu. Cuma rasanya mereka pasti jauh lebih
beruntung daripada kita. Coba lihat, bukanlah mereka merasa
sangat gembira?"
Padahal Km Si-ih tidak tahu bahwa Hay-thian dan Kok
Tiong-lian sekarang juga sedang diliputi awan mendung,
keduanya sama-sama tidak merasakan sesuatu gembira apaapa.
"Ya, mereka seharusnya akan jauh merasa lebih gembira
daripada kita," ujar Ci-hoa kemudian. "Kulihat urusan mereka
tidak perlu lagi campur tangan kita. Eh, apakah yang kau
pandang" Kenapakah kau?"
Kiranya saat itu Kim Si-ih lagi terkesima memandang
kedepan sana, karena teguran itu, ia tergetar seperti baru
sadar dari impian buruk, tapi lantas sahutnya: "Ci-hoa,
lihatlah, lihatlah, itulah dia!"
Waktu Ci-hoa menokh kearah yang dimaksudkan, ia lihat
suatu bayangan seorang dengan berambut panjang menjulur
sampai di pundak sedang ikut berjalan pergi bersama orang
banyak diluar Kim-eng-kiong sana. Dilihat dari bayangan orang
itu, tampaknya memang mirip Le Seng-lnm. Pabila
sebelumnya Kok Ci-hoa tidak tahu akan adanya seorang
seperti itu tentu akan disangkanya Le Seng-lam telah hidup
kembali. Padahal Si-ih juga tahu siapakah orang yang dikatakan tadi,
selama beberapa tahun ini dalam kesibukannya mengajar
murid juga selalu terpikir olehnya akan mencari tahu asal-usul
orang itu. Dan meski dia sudah tahu siapakah orang itu, toh
dikala ia terkenang pada Le Seng-lam, perawakan orang itu
bila dilihatnya lantas dianggapnya sebagai Le Seng-lam
sendiri. Orang berambut panjang yang dimaksudkan itu adalah Le
Hok-sing. Mestinya dia tidak rela pergi begitu saja. tapi Thianmo-
kau-cu tidak ingin dipergoki Kim Si-ih, ia berkeras agar Le
Hok-sing harus ikut pergi bersama dia Karena Le Hok-sing
sangat penurut kepada Thian-mo-kaucu, maka terpaksa ia
mengubah pendirian sendiri dan ikut sang Kaucu
meninggalkan Kim-eng-kiong.
Dan sesudah Kim Si-ih tenangkan diri, lalu katanya: "Ci-hoa,
ada sesuatu kandungan hatiku yang harus kumintakan
penjelasan pada orang itu."
Diam-Diam Ci-hoa menjadi gegetun, ternyata Kim Si-ih
selamanya tidak pernah melupakan Le Seng-lam. Maka
dengan suara halus iapun menjawab: "Baiklah, boleh kau
menyusulnya." namun demikian toh suaranya juga terdengar
agak gemetar suatu tanda getaran hatinya.
Tapi mendadak Si-ih berhenti lagi, air mukanya tampak
agak aneh, katanya. "Ci-hoa, apakah kau dapat tinggal lagi
Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
beberapa hari disini" Sesudah kutanya jeles sesuatu urusan
segera aku akan kembali kesini untuk menemui kau."
Ci-hoa ragu-ragu sejenak, sahutnya kemudian: "Asal-usul
Lian-ji sekarang sudah terang, aku tidak tahu apakah dia suka
menjadi puteri raja atau ingin tetap ikut padaku. Tapi aku
tentu akan mendampinginya selama beberapa hari d"sini.
Cuma, aku sendiri jemu kepada kehidupan yang mewah,
pabila Lian-ji lebih suka menjadi Puteri, maka aku sendri tidak
ingin terlalu lama tinggal dikeratonnya."
"Hal ini tidak menjadi soal," kata Si-ih. "Pendek kata, bila
urusanku ini sudah selesai, tak peduli kau berada dimana pasti
aku akan menyusul kesana untuk menemui kau."
Ucapan Kim Si-ih ini membuat Kok Ci-hoa merasa heran
dan curiga. Sebenarnya perasaannya boleh dikata sejiwa
dengan Kim Si-ih, setiap pikiran Kim Si-ih, tanpa dikatakan
juga pasti akan dapat diselaminya. Tapi sekali ini ia telah
dibuat bingung oleh Si-ih. ia tidak tahu kandungan hati apa
yang dimaksudkan Si-ih itu.
Tanpa merasa Si-ih mengulurkan tangannya untuk
menjabat tangan Ci-hoa. Mereka sudah menginjak setengah
umur, maka tidak periu merasa rikuh lagi. Pelahan-lahan Cihoa
genggam tangan Si-ih, katanya: "Baiklah, berangkatlah
kau. Setiap saat bila kau ingin menemui aku, bolehlah kau
datang kepadaku setiap waktu."
Meski lahirnya mereka tidak malu seperti muda-mudi
umumnya, tapi karena jabatan tangan itu, mau-tak-mau hati
masing-masing juga terguncang.
Sementara itu diruangan Kim-eng-kiong itu riuh ramai
dengan orang yang keluar masuk, yaitu bubarnya para tamu
dan datangnya seribu perajurit penjaga istana itu. Meski Si-ih
buru-buru mau mencari Le Hok-sing, tapi ia menjadi tidak
leluasa menggunakan Gin-kang dan berdesak-desakan dengan
orang banyak. Dan belum ada belasan langkah ia memburu keluar, tibatiba
datanglah seorang pengemis tua menegur padanya: "Kimtayhiap,
pengemis tua ingin minta sedikit arak bahagia
padamu, entah kau sudi memberi atau tidak?"
Si-ih kenal pengemis tua itu adalah Tiong Tiang-thong,
ketua Kay-pang sekte utara. Ia hanya pernah berjumpa satudua
kali dengan pengemis tua itu dan cuma kenalan biasa
saja, mengapa Tiong Tiang-thong sekarang dihadapan orang
banyak hendak minta arak segala, keruan Si-ih merasa
bingung dan heran. Pikirnya,: "Urusanku dengan Kok Ci-hoa
mengapa kau perlu ikut campur?"
Maka dengan nada dingin iapun menjawab: "Tiongpangtyu,
kau henlak minta arak, rasanya kau telah salah
alamat, darimana aku bisa memberi arak bahagia segala?"
Tiang-thong terbahak-bahak, katanya: "Jadi kau belum
tahu, Kim-tayhiap?"
"Tahu apa?" tanya Si-ih.
"Hoa-san-ih-un Hoa Thian-hong, apa kau kenal" Dia adalah
sobat baikku." kata sipengemis tua.
"Ilmu pertabiban Hoa-locianpwe maha sakti dan adalah
tabib nomor satu dijaman ini, sudah tentu aku sangat kagum
padanya sejak lama," sahut Si-ih. Tapi dalam hati iapun
membatin: "Hoa Thian-hong adalah sobat-baikmu ada
sangkut-pautnya apa lagi dengan aku?"
Tapi dengan gembira Tiong Tiang-thong lantas bicara terus:
,Kim-tayhiap, tahukah kau bahwa Thian-hong mempunyai
seorang puteri" Nona cilik ini, wah, benar-benar pintar dan
cerdik, seluruh ke pandaian ayahnya boleh d kata telah
dipahaminya semua.".
Si-ih tambah heran, ia tidak tahu apa maksud cerita Tiangthong
itu. Sahutnya dengan tawar saja: "O, ya" Hal ini aku
belum lagi tahu. Cuma angkatan muda sudah seharusnya lebih
unggul daripada yang muda. Aku juga mengharap agar
muridku kelak akan lebih hebat daripadaku."
"Tepat," kata Tiang-thong dengan tertawa. "Pabila muridmu
tidak hebat, tentu juga aku takkan minta arak bahagia
padamu." "O, bicara sekian lamanya baru sekarang aku agak paham,"
kata Si-ih. "Apa barangkali kau hendak menjadi perantara bagi
muridku itu?"
"Benarlah terkaanmu," kata T ang-thcng. ,,Ai. mengapa
Kim-siauhiap juga begitu pemalu, kiranya dia belum pernah
beritahu-kan padamu. Dia dan puterinya Thian-hong itu boleh
dikata sudah suka sama suka. Waktu mereka baru kenal
dahulu, tatkala mana akupun berada d sana. Kalau
dibicarakan, nona cilik itu malah pernah menolong jiwa
muridmu." Lalu iapun menceriterakan secara ringkas kejadian dahulu
dima-na Kang Hay-thian terluka kena racun dan kebetulan
bertemu dengan Hoa Thian-hong dan puterinya.
"Dan kebetulan sekarang kau berada disini, mungkin orang
muda merasa malu untuk bicara terus terang, maka kita kaum
tua ada baiknya lekas menetapkan urusan mereka itu,"
demikian kata Tiang-thong lapi. "Adapun pihak wanita
memang sudah lama Hoa Thian-hong menyetujui perjodohan
ini dan aku dapat menetapkan nya sekarang juga."
Sudah tentu hal ini sangat diluar dugaan Kim Si-ih, ia agak
senang, tapi juga agak kecewa. Diam-Diam ia membatin:
"Sebenarnya aku ingin Hay-ji menjadi pasangan Tiong-lian, tak
tahunya dia sudah mempunyai pilihannya sendiri. Tapi, ai,
kepada siapa dia telah pilih sudah tentu harus terserah
kepadanya sendiri, dalam urusan demikian orang lain tidak
dapat memaksanya."
Maka dengan tersenyum. iapun menjawab: "Jikalau mereka
berdua sudah cocok satu sama lain. sudah tentu akupun suka
menjadi walinya dalam perjodoan ini."
"Bagus," seru Tiang-thong. "He, Pik-titli, lekas kemari
memberi hormat kepada Kim tayhiap" tapi mesk: ia sudah
mengulangi lagi seruannya itu, tetap tidak terdengar suara
jawaban Hoa In-pik.
Sipengemis tua menggaruk-garuk kepala, ia menggerundel
sendiri : "Eh, mengapa anak dara itu telah menghilang" Dasar!
Mungkin dia telah menduga peiribicaraanku dengan Kimtayhiap
ni adalah urusan perjodohannya, karena malu, maka
main sembunyi?"
Tapi pada saat itu juga tiba-tiba terdengar suara ingin
menderu, diudara terdengar suara burung tang menusuk
telinga. Para perajurit diluar sana lagi ramai berteriak-teriak:
"Wah, besar amat elang itu! Haha, malah ada penumpangnya,
seorang nona!"
Segera orang banyak memburu keluar untuk melihat, dan
Kang Hay-thian dan Kok Tiong-lian juga berada diantara orang
banyak itu. Maka tertampaklah seekor elang raksasa sedang
mengitar di puncak menara sana, dialas punggung elang
terdapat seorang nona jelita yang jelas kelihatan kain bajunya
berkibar-kibar tertiup angin.
"Pik, moay. mengapa kau buru-buru lantas pergi?" terak
Hay-thian segera.
Juga Tiong-lian ikut berseru: "Hoa-cici, kembalilah!"
Namun elang rakasasa tu telah melayang semakin tinggi
dan hanya sekejap saja hanya kelihatan satu titik hitam diatas
langit, lalu menghilang dikejauhan sana.
Hay-thian termangu-mangu sambil menengadah kelangit.
Meski benar asmaranya sudah lama terikat atas diri Kok Tionglian,
tapi budi kebaikan dan cinta kasih In-pk sudah tentu
takbisa dilupakan. Lebih-Lebih dalam keadaan demikian ini Inpik
telah pergi tanpa pamit, hal ini membuatnya merasa
sangat pedih. Diam-Diam ia menyesal dirinya sendiri.
"Kedatangan adik Pik adalah untuk diriku, tapi aku telah
mengecewakan maksud baiknya, alamatnya ia takkan dapat
memaafkan aku lagi."
Juga Tiong-lian merasa sangat menyesal In-pik tidak
mendengar perkataan Tiong Tiang-thong dengan Kim Si-ih,
sebalikhla Tiong-lian telah mendengar. Sekejap itu iapun
merasa bimbang, urusan-urusan yang dahulu tidak pernah
terpii r olehnia, sekarang telah timbul semua.
Sebelum ini tak pernah terpikir olehnya tentang
hubungannya dengan Kang Hay-thian. Setiap kali bila ia
berada bersama dengan pemuda itu, maka kedua orang
menjadi sangat gembira. Tapi tidak pernah terpikir olehnya
bahwa inilah yang dinamakan cinta.
Kini mendadak Hoa In-pik meninggalkan mereka dan baru
sekarang ia merasa bahwa dalam pandangan In-pik, dia dan
Hay-thian sudah merupakan suatu pasangan kekasih yang tak
bisa dipasahkan. Ia paham bahwa kepergiannya In-pik itu
adalah karena dia. "Nona Hoa sangat baik kepada Hay-ko,
mestinya mereka adalah satu pasangan yang sangat setimpal.
Jka dia t"dak sangat terluka hatinya tentu tidak pergi secara
mendadak. Harini aku baru berkenalan dengan dia, sungguh
tidak terduga aku lantas melukai pe-rasaarmya. Tiong-pangcu
mengatakan Hay-ko sudah sangat cocok dengan dia, cuma
sayang aku terlambat mengetahui hal ni," berpikir demikian, ia
menjadi pilu juga. Baru sekarang iapun merasa dirinya
ternyata juga mencintai Kang Hay-thian.
Dalam pergaulan selama ini Hay-thian tidak pernah
menyalakan perasaan cinta padanya, apakah dia boleh
menyatahkan pemuda itu" Tidak, tapi sekarang ia cuma
meniesal dirinya sendiri dan merasa susah bagi Hoa In-pik.
Tanpa merasa air matanya bercuryuran dan menetes dibaha
Kang Hay-thian yang berdiri didepannya itu.
Waktu Hay-thian menoleh, namun Tiong-lian sudah
membalik tubuh dan melangkah pergi. Cepat ia menyusulnya,
tapi ia tidak tahu apa yang harus dikatakan kepada nona Itu,
ia merasa pedih seperti disayat-sayat. Dan belum lagi ia
sempat menghentikan Tiong-lian untuk di ajak bicara, dari
samping tiba-tiba seorang telah mena-riknya. Kiranya adalah
Tonq Tiang-thong.
"Kang-siahiap. apa-apaan ini, mengapa mendadak nona Pik
lantas pergi begitu saja?" demikian dengan marah-marah
Tiang-thong menegur.
Dengan lesu Hay-thian hanya geleng-geleng kepala saja
tanpa menjawab.
"Kau tidak tahu" Hra, tentu kau telah berbuat sesuatu
kesalahan hingga dia teiah marah terus tinggal pergi ujar
Targ-rhong. "Apa kesalahan nona Pik, kenapa kau telah
melupakan kebaikan-nya?"
Tapi Hay-thian sendiri lagi sed:h hingga sama sekali tidak
sanggup bicara. Dan baru Tiang-thong hendak menghardik
pula. tiba-tiba seorang telah menariknya dari samping dan
membisikinya: "Tiong-pangcu, ini adalah urusan kaum muda
mereka dan kita tidak perlu ikut marah bagi mereka."
Kiranya orang yang menarik Tiong Tang-thong itu adalah
Kim Si-ih. "Kim-tayhiap. muridmu ini lupa budi kebaikan orang,
apakah kau masih membelanya?" ujar Tiang-thong kemudian.
"Tiong-pangcu," sahut Si-ih sambil mengerut kening, "aku
adalah orang berpengalaman, urusan kaum pria dan wanita
demikian kau tidak paham. Nah, baiklah, jika kau mau
damperat bolehlah kau mendamperat padaku saja. Marilah
aku mengundang kau minum arak."
Memangnya hati Tiang-thong sudah lemas ketika melihat
sikap Kang Hay-thian yang serba susah itu, kemudian ia
menggerutu: "Selama hiduo pengemis tua tidak pernah mainmain
dengan wanita, mungkin aku memang tidak paham
urusan demikian. Tapi setiap orang hendaklah berpegang
kepada perasaan nuraninya. Sudahlah, akupun tidak mau
minum arak segala, aku hendak menyusul keponakan
perempuanku itu saja."
"Ba?klah. Tiong-pangcu, kau tidak mau minum arak
bersama aku, maka akupun akan pergi juga," sahut Si-ih. Lalu
iapun memberi pesan kepada Hay-thian: "Hay-ji. asal kau
dapat bertanggung-jawab kepada" ketenteraman hatimu,
maka terserahlah kepada apa yang akan kau perbuat. Dalam
urusan demikian ini memang susah mendapat pengartian baik
orang lain." habis berkata, dengan Isngkah lebar iapun pergi
meniusul Le Hok-sing.
Sambil menyaksikan kepergian Kim Si-ih itu, diam-diam Kok
Ci-hoa: membayangkan apakah dua angkatan dari guru dan
murid mereka itu akan mempunyai nasib yang sama" Saat itu
ia lihat Kang Hay-thian juga sudah menyusul dan jalan
berendeng dengan Kok Tiong-lian.
Sambil berjalan berendeng, sampai sekian lamanya kedua
muda-mudi itu diam saja. Akhirnya Kok Tiong-lian tak tahan,
ia membuka suara: "Hay-ko, aku tidak ingin kau dimaki orang.
Lebih baik kau pergilah mencari nona Hoa".
"Aku akan mencarinya, tapi bukan sekarang," sahut Haythian.
"Tadi aku sudah sedih, tapi sesudah mendengar pesan
Suhu, kini aku sudah merasa lega dan hatipun tidak perlu
susah." "Apakah kau benar-benar tidak kenal kebaikan orang
seperti kata Tiong-pangcu tadi?" tanya Tiong-lian.
"Aku merasa tidak berbuat kesalahan apa-apa, jika orang
lain tidak dapat memahami aku, ya, apa mau dfkata lagi"
Bukanlah aku tidak merasa susah, tapi aku tidak ingin kaupun
ikut sedih. Pahamkah kau?"
"Ya, paham aku," sahut Tiong-lian sambil menghela napas
pe-lahan. Sementara itu Danu Cu-mu sudah selesai mengatur urusan
Kim-eng-kiong yang telah dikuasai itu dan menyusul tiba.
Demi mengetahui Hoa In-pik sudah terbang pergi, tapi tidak
tahu tentang hubungan Hay-thian dengan nona itu, maka ia
menjadi girang ketika melihat adiknya berjalan bersama
dengan pemuda itu. Tapi ia menjadi terkejut pula ketika
melihat mereka diam-diam saja. bahkan pipi adiknya tampak
ada bekas air mata. Segera ia tanya: "Apakah yang terjadi?"
"Ah, tidak apa-apa," sahut Tiong-lian.
"Mengapa kau menangis?" tanya pula Cu-mu.
"Aku merasa berat ditinggal pergi Hoa-clci yang baru
kukenal itu, makanya aku merasa sedih," kata sinema.
Karena, tidak tahu seluk-beluknya, dengan tertawa Cu-mu
berkata pula: "O, kiraaya demikian: Tadi kukira kal!an telah
bertengkar. Nona Hoa itu datang kemari untuk menghadiri
pertemuan di Kim-eng-kiong, sekarang pertemuan sudah
bubar, dengan sendirinya ia harus pulang. Jika kau terkenang
padanya, kelak kalau urusan disini sudah selesai, masakah kau
tidak bisa pergi menyambangi dia dan mengapa mesti
menangis" Didunia ini mana ada sahabat yang tdak pernah
Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berpisah?"
Hati Tiong-lian tergetar mendengar ucapan terakhir sang
kakak itu, tiba-tiba ia merasa pilu pula, pikirnya: "Ya, memang
benar. Didunia ini biar sahabat yang paling karib juga pada
suatu ketika harus berpisah, kecuali suatu pasang suami-isteri
yang dapat berkumpul untuk selamanya. Aku dan Hay-thian
juga cuma berkumpul untuk sementara saja, pada suatu hari
nanti juga mesti berpisah.
Kiranya Tiong-lian sudah memutuskan akan merangkap
perjodoan Hay-thian dengan In-pik dan akan menganggap
Hay-thian sahabat saja. Namun iapun tidak dapat
menguasainya perasaannya lagi, dikala ia merasa sedih dan
susah dilupakan, barulah ia merasa bahwa cintanya kepada
Kang Hay-thisn ternyata sudah berakar mendalam.
Maka dengan senyuman yang dipaksakan ia menjawab Cumu:
"Koko, dan sekarang ketahuilah bahwa adikmu ini justeru
sebodoh ini."
Ucapannya ini berbareng sengadia diperdengarkan kepada
Kang Hay-thian. Dan pemuda itu cuma diam saja.
"Ya, sudahlah, sekarang kita harus menyelesaikan urusan
penting lebih dulu," kata Cu-mu kemudan. "Kan-ong itu tidak
sembunyi disini, sekarang kita harus cepat memeriksa seluruh
keraton dengan lebih teliti. Dan dimanakah Suhu, Kangsuheng?"
"Suhu ada urusan lain dan telah pergi dulu, biarlah aku ikut
kalian kesana," sahut Hay-thian.
Ketika Cu-mu memimpin sisa pasukannya kembali
dikeraton, sementara itu sudah dekat magrib. Keraton sudah
dikuasai seluruhnya oleh pasukannya, begundal Kan-ong ada,
yang terbunuh, banyak pula yang tertawan dan sebagian juga
menyerah dan selunihnya boleh dikata sudah ditumpas. Tapi
meski sudah dicari seharian masih terap Kan-ong belum
diketemukan. Selagi Cu-mu bertiga merasa masgul, mendadak Kang Haythian
melonjak kaget, aerufiya: "Hei dengarkan! Suara apakah
ini?" Waktu Cu-mu mendengarkan dengan cermat, kemudian
iapun berkata: "Eh, seperti suara suitan orang dan
berkumandang dari bahwa tanah, kedengarannya tercampur
pula suara benturan senjata. Rasanya terjadi didalam jalan
rahasia dibawah tanah, entah terletak dimana tempat itu?"
"Dari suaranya kutaksir terletak tiga li disebelah timur-laut
sana," ujar Hay-thian.
"Kukira pasti Toako yang telah kembali," kata Cu-mu.
"Baiklah, lekas kita mencarinya menurut arah suaranya!"
---ooo0dw0ooo---
Jilid 15 Setiba ditempat suara itu, ternyata disitu-ada sebuah
gunung-gunungan palsu, tapi tiada sesuatu gua.
"Suara Ini timbul dari bawah tanah, dibawah gunungan ini
tentu ada jalan rahasia," ujar Kang Hay-thian.
"Jalan rahasia ini adalah buatan Kan-ong sendiri, didalam
peta yang kupegang ini tidak diketemukan," kata Cu-mu.
Tengah bicara, suara nyaring beradunya senjata dibawah
tanah itu semakin jelas kedengaran.
"Apakah disitu Yap-toako" Kami sudah datang!" seru Kang
Hay-thian dengan ilmu mengirimkan gelombang suara sambil
mendekam diatas tanah.
Sejenak kemudian terdengar dari bawah tanah
berkumandang suara suitan panjang satu kali. Cu-mu terkejut,
katanya: "Memang betul adalah suaranya Toako,
kedengarannya dia seperti ter-luka."
Tapi meski mereka sudah cari ubek-ubekan, tetap jalan
masuk ke-jalan dibawah tanah itu tidak diketemukan.
Tidak lama kemudian, suara benturan senjata tadi sudah
berhenti. Waktu Cu-mu mendekam diatas tanah untu"k
mendengarkan, sayup-sayup terdengar ada suara orang
merintih yang terputus-putus, cuma susah dibedakan suara
siapakah itu. Cepat Cu-mu melompat bangun dan berseru:
"Terpaksa Biar kukerahkan pasukan pengawal untuk menggali
jalan masuknya!"
Namun tiba-tiba lantas terdengar suara keriat-keriut,
ditengah-ditengah gunung-gunungan palsu itu mendadak
terbelah menjadi dua dan memisah ke kanan-kiri, maka
tertampaknya sebuah gua ditempat itu. Tanpa pikir lagi
mereka bertiga terus menerobos kedalara gua itu.
Didalam gua keadaan gelap gulita dan entah betapa
dalamnya. "Segera Cu-mu menyalakan obor, maka kelihatan
ada undak-undakan batu yang menurun kebawah, tapi tetap
tiada nampak seorangpun.
Diam-Diam Cu-mu agak lepa, tapi tetap kuatir juga, katanya
dengan muram: "Boleh jadi Toako telah membukakan pintu
rahasia ini agar kita dapat masiik kesini. Tapi sampai,
sekarang dia masih tidak kelihatan, kukira dia tentu terluka
parah." "Marilah kita cepat mencarinya," ajak Hay-thian.
Be-rama-ramai mereka lantas menuruni undak-undakan
batu itu. Sesudah ratusan tindak, didepan mereka adalah
sebuah pintu besi, dari dalam pintu sana lantas terdengar
beberapa kali orang berbatuk-batuk.
"Tidak hanya satu orang saja yang berada didalam," ujar
Kang Hay-thian. "Tapi suara batuk-batuk itu kedengaran agak
aneh." "Toako, kami sudah datang!" seru Cu-mu sambil
menggembrong pintu besi litu.
Selang sejenak, terdengarlah suara seorang yang serak
telah menjawab: "Masuklah semual"
Pintu besi itu rupanya tidak pakai pesawat rahasia, maka
harus dibuka oleh orang yang berada dsebelah dalam. Cu-mu
bertiga dapat mendengar suara napas Yap Tiong-siau yang
terengah-engah. selang tak lama, akhirnya pintu itu dapat
dibuka juga dengan pelahan-lahan.
Dan begitu pintu besi itu terpentang, seketika pandangan
semua orang menjadi silau. Kiranya didalam situ penuh
tertimbun barang mestika yang gemerlapan menyalankan
mata. Dan diantara cahaya gemerlapannya benda mestika itu
remang-remang ada kabut asap pula dengan bau yang tidak
enak. Benda-Benda mescika itu tidak terlalu mengejutkan mereka,
yang paling aneh adalah keadaan dan orang-orang yang
berada disitu. Kelihatan Yap Tiong-siau memayang seorang
wanita dan mendekati mereka katanya dengan suara parau:
"Kedatangan kalian sangat kebetulan Kan-ong itu sudah mati
disini! Dendam keluarga Kita sudah terbalas Ji-te, urusan
se"lanjutnya adalah bagianmu!"
Cu-mu tiada sempat menyelami apa arti ucapan sang Toako
itu, lebih dulu ia memandang kearah yang ditunjuk itu, maka
terlihatlah Kan-ong atau siraja lalim, Kayun, sudah
menggeletak ditanah, disampingnya ada dua mayat pula, yaitu
kedua pengawal bersaudara yang paling dipercaya Kayun itu.
Kalau Cu-mu lebih dulu memperhatikan keadaan Kayun,
sebaliknya Kang Hay-thian dan Kok TiongYian lebih tertarik
kepada wanita yang dipayang Yap Tiong-siau itu. Kiranya
wanita itu bukan lain adalah Auyang Wan.
Tiong-lian hanya terasa heran saja melihat Auyang Wan
juga berada disitu. Sebaliknya hati Kang Hay-thian lantas
tergetar, ia terkejut dan bergirang pula. Semalam ia
terjerumus kedalam liang perangkap dibawah tanah di suatu
tempat yang lain bersama Auyang Wan dan sama-sama
menderita luka, kemudian Thian-mo-kaucu telah
memisahkannya pula dengan nona itu, waktu itu diketahuinya
juga bahwa Auyang Wan sudah tak sadarkan diri.
Tapi toh tidak dapat menolongnya. Dan sesudah Hay-thian
lolos keluar dari perangkap dan ketemu Hoa In-pik, sebaliknya
Auyang Wan masih tetap ketinggalan dijalan bawah tanah itu
serta tidak diketahui lagi bagaimana nasib selanjutnya. Siapa
tahu sekarang nona itu sudah berada bersama Yap Tiong-siau
didalam gudang harta itu.
Kiranya semalam sesudah Yap Tiong-siau ditinggalkan
sendirian, kembali ia mencari Kang Hay-thian lagi keseluruh
pelosok keraton. Ia cukup kenal tempat-tempat rahasia
didalam keraton dan akhirnya dapat menemukan jalan
dibawah tanah dimana Kang Hay-thian kejeblos itu dan
menemukan Thian-mo-kaucu serta Auyang Wan. Saat mana
tenaga Thian-mo-kaucu belum lagi pulih daa tidak berani
bergebrak dengan Yap Tiong-siau, terpaksa ia menggunakan
granat asap sebagai tameng untuk melarikan diri sehingga
Auyang Wan dapat diselamatkan Yap Tiong-siau.
Keadaan Auyang Wan agak payah, syukur Tiong-siau telah
menolongnya dengan tenaga dalam sendiri dan akhirnya nona
itu dapatlah bergerak. Tatkala mana dikeraton sedang terjadi
pertempuran sengit dan sayup-sayup dapat terdengar dibawah
tanah situ. Tiong-siau kenal ketamakan Kayun, bahwa sebelum
melarikan diri tentu akan mendatangi gudang harta pusaka itu
untuk menggondol sedikit benda-benda mestika yang bernilai.
Karena itu ia lantas mendatangi dulu gudang harta itu dan
sembunyi disitu untuk menantikan kedatangan Kan-ong.
Keadaan Auyang Wan belum sehat benar-benar, terpaksa juga
ikut bersama Tiong-siau dan sembunyi didalam gudang pusaka
itu. Benar saja, akhirnya Kan-ong telah datang. Tapi ada
sesuatu yang diluar dugaan Tiong-siau, yaitu datangnya Kanong
telah membawa serta kedua saudara Loh. kedua
pengawal setia Kayun itu. Kalau jago-jago pengawal lain
mungkin dengan gampang akan dapat dibereskan Yap Tiongsiau.
tapi kedua saudara Loh itu tidak dapat dipandang
enteng, biarpun Tiong-siau belum mengorbankan tenaga
dalamnya untuk menolong Auyang Wan mungkia juga bukan
tandingan mereka berdua.
Setelah terjadi pertarungan sengit, kedua saudara Loh kena
pukulan Tay-seng-pan-yak-kang, sebaliknya Tiong-siau juga
kena pukulan lawan. Dalam keadaan berbahaya, dengan matimatian
Auyang Wan telah membantunya dengan
menghamburkah granat berasap berbisa dengan jarum hingga
kedua saudara Loh terluka parah dan dapatlah Tiong-siau
memperoleh kemenangan ter-akhir. Kedua saudara Loh
terluka parah dan binasa, raja lalim Kayun juga keracunan
asap Yang ditaburkan Auyang Wan itu dan mati sebelum
dibunuh Tiong-siau.
Begitulah maka pertemuan Danu Cu-mu bertiga dengan
Yap Tiong-siau berdua telah sangat menggembirakan mereka.
Cu-mu bergembira karena balas dendamnya sudah terkabul.
Sedangkan. Kang Hay-thian juga bergirang demi melihat
Auyang Wan masih hidup walaupun dalam keadaan agak
payah. Sementara asap berbisa didalam gudang pusaka itu masih
belum buyar semua, segera Cumu berkata: "Toako, marilah
kita bicara diluar saja." segera ia mendekati dan memayang
Yap Tiong-siau,
Kok Tiong-lian lantas memayang Auyang Wan dan berkata
padanya dengan pelahan: "Nona Auyang, tempo dulu kau
telah menolong Hay-thian, sekarang berkat bantuanmu pula
barulah kami dapat membalas sakit hati, sungguh aku tidak
tahu cara bagaimana harus berterima kasih padamu."
Auyang Wan tersenyum ewa, sahutnya: "Lian-moay,
apakah kejadian ini ada harganya untuk dikatakan terima
kasih" Aku sendiripun banyak menerima kebaikan kalian. Maka
yang kuharap asalkan kau tidak dendam pada kesalahanku
yang dulu, hal mana aku sudah merasa lega".
Melihat keramahan Auyang Wan yang berbeda sekali
dengan waktu hendak menusuknya dengan jarum berbisa
dulu, diam-diam Tiong-lian sangat senang, tapi juga agak
heran, sebab, biarpun, sekarang mereka sudah menjadi kawan
dan bukan lawan lagi, tapi hubungan mereka toh belum begitu
rapat mengapa Auyang Wan lantas menyebutnya "Lian-moay"
(adik Lian) dengan nada. yang begitu mesra"
Tidak lama kemudian mereka sudah berada diluar gudang
pusaka itu, setelah Yap Tiong-siau menghirup hawa dalamdalam,
kemudian katanya dengan tertawa sambil memegangi
tangan Auyang Wan: "Lian-moay, selanjutnya kita adalah
orang sekeluarga, maka diantara kalian tidak perlu lagi main
sungkan-sungkan."
Tiong-lian melengak, tapi segera sadar duduknya perkara,
se-runya: "Ha, Toako, jika demikian, jadi nona Auyang adalah.
Enso-ku, bukan?"
Tiong-siau mengangguk, sahutnya: "Benar, nona Auyang
sudah terima lamaranku! Dulu aku banyak berbuat kesalahan
dan nona Auyang juga banyak berbuat salah, tapi aku tahu
kalian tentu sudi memaafkan kami. Ha, Wan-moay, aku tidak
salah toh, bukankah mereka semua akan memanggil Enso
(kakak ipar) padamu."
Kiranya Yap Tiong-siau sangat menyesali kesalahannya
kepada Tacinya Auyang Wan. Sedangkan Auyang Wan juga
sudah-tahu orang yang dicintai benar-benar oleh Kang Haythian
adalah Kok Tiong-lian. Jadi kedua orang senasib
setanggungan, maka waktu Tiong-siau mengajukan lamaran
padanya, dengan serta-merta lantas diterima Auyang Wan.
Bagi Yap Tiong-siau hal mana berarti menebus dosanya
kepada encinya Auyang Wan, berbareng sebagai balas budi
kepada Auyang Wan yang pernah menolong-jiwanya dahulu.
Sebaliknya Auyang Wan menerima lamaran Tiong-siau demi
untuk kebahagiaan Kang Hay-thian dan Kok Tiong-lian, ia
tidak ingin menyelip diantara perjodohan mereka sebagai
penghalang, hal ini sesungguhnya juga atas cintanya kepada
Kang Hay-thian.
Walaupun perjodohan Yap Tiong-siau dan Auyang Wan itu
terdapat banyak unsur-unsur yang ruwet dan terjadinya terasa
sangat mendadak pula, namun sebeaarnya juga ada
persamaan diantara mereka, yaitu mereka sama-sama
bercimpung dikalangan orang "Sia" dan mempunyai watak
yang sama pula. maka mereka boleh dikata cocok sekali satusama-
iain. Pada waktu menerima lamaran Yap Tiong-siau,
pernah juga Auyang Wan membandingkan Kang Hay-thian
dengan Tiong-siau dan akhirnya ia merasa Tiong-siau
sesungguhnya lebih sesuai baginya.
Begitulah maka Danu Cu-mu, Kok Tiong-lian lantas
memberi selamat kepada Tiong-siau dan Auyang Wan, begitu
pula Kang Hay-thian juga ikut member: selamat. Tiba-Tiba
Auyang Wan menjawab sambil mengerling sekejap kearah
Hay-thian: "Dan akupun menantikan arak bahagia dari kau
Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan Lan-moay!"
Sebenamya suaranya agak gemetar, sorot matanya juga
mengandung macam-macam perasa yang ruwet. Tapi karena
dia terluka, suaranya gemetar juga tidak diherankan. Hanya
Kang Hay-thian saja yang paham akan sorot mata dan
perasaan gadis itu. Sekilas Hay-thian juga tergetar hatinya,
dalam lubuk hatinya ia benar-benar sangat berterima kasih
kepada Auyang Wan. Sebaliknya Tcng-Iian menja \di merah
jengah mendengar ucapan Auyang Wan tadi. Pikimya: "Apa
yang pernah dikatakan Hay-ko memang benar, nona Auyang
benar-benar seorang baik."
Lalu Tiong-lian memegang sebelah tangan Auyang Wan
ber-sama Yap Tiong-siau. Tiba-Tiba ia merasa tangan Auyang
Wan itu sangat dingin, denyut nadinya juga sangat lemah, ia
terkejut dan berseru: "He, kenapakah kau, Auyang-cici?"
"Aku?"" aku sangat senang, kau?"" kau sangat baik
padaku, aku hendak?"?" hendak berangkat?"?" sahut
Auyang Wan dengan sangat lirih dan hanya didengar Tiongsiau
dan Tiong-lian saja. Sinar mata Auyang Wan juga buram
dan pelahan-lahan kelopak matanya terkatup.
"Wan-moay. jangan ?"jangan kau tanggalkan aku!" seru
Tiong-siau, tapi mendadak ia muntahkan sekumur darah segar
terus mendahului jatuh pingsan.
Setelah tinggal bersama Hoa Thian-hoag dan In-pik, sedikit
banyak Kang Hay-thian juga sudah belajar ilmu pertabiban.
Cepat ia pegang urat nadi Tiong-siau dan Auyang Wan,
katanya kemudian: "Keadaan Yap-toako tidak berhalangan,
soalnya ia terlalu letih dan mendadak terperandjat pula,
makanya jatuh pingsan, biar kan dia mengaso sebentar, tentu
segera akan siuman kembali. Keadaan luka nona Ayang agak
lebih parah, bahkan keracunan sedikit. Untung aku masih
membawa sebutir Siau-hoan-tan."
Siau-hoan-tan itu semalam mestinya sudah akan
diminumkannya kepada Auyang Wan ketika terkurung dijalan
bawah tanah semalam, tapi karena mereka lantas dipisahkan
oleh Thian-mo-kau-cu hingga maksud Hay-thiaa itu belum
terlaksana. Kini Sau-hoan-tan itu akan digunakannya pula
kepada orang yang sama, hanya lewat semalam saja keadaan
sudah banyak berubah, bahkan pi-kirpnnya sekarang jugi
sudah berbeda sama sekali. Ia pandang sekejap pada Auyang
Wan, lalu ia serahkan Siau-hoan-tan kepada Kok Tiong-lian
dan. katanya dengan pelahan: "Boleh kau pentang mulutnya
dan minumkan obat ini," kemudian ia mengurut dan
memijatnya di tempat-tempat yang perlu.
Diam-Diam Tiong-lian geli. ia tahu sang kekasih itu agak
rikuh ter-hadapnya jika pengobatan itu mesti dilakukannya
sendiri. Sesudah minum Siau-hoan-tan dan diurut pula oleh Kok
Tiong-lian, lambat-laun air muka Auyang Wan bercahaya lagi
dan pelahan-lahan siuman kembali, la menjadi terkejut juga
ketika melihat Tiong-siau juga menggeletak disebelahnya.
"Segera Toako juga akan siuman, kau tidak perlu kuatir,"
kata Tiong-lian.
Sekilas Auyang Wan melihat sorot mata Kang Hay-thian
baru saja mengerling kearahnya. ia kenal bekerjanya Siauhoan-
tan, sesudah siuman segera ia merasakan kasiat obat
itu. maka ia lantas berkata: "Hay-thian, terima kasih atas
pemberian obatmu."
"Kenapa mesti terima Kasih segala," sahut Hay-thian,
"bukankah dahulu kaupun pernah menghantarkan obat
padaku ketika aku dan Gihu tinggal di Cui In ceng?"
"Ha, jadi kau sudah tahu akan perbuatanku itu?" tanya
Auyang Wan. "Sudah tentu tahu," kata Hay-thian dengan tersenyum.
Hati Auyang Wan menjadi terhibur. P"kirnya: "Kiranya dia
sudah lama mengetahui perbuatanku itu. Meski dia sudah
mempunyai, kekasih, tapi toh dia masih ingat padaku. ia.
diantaranya priya dan wanita sebenarnya tidak mesti terikat
menjadi suami-isteri dan tetap akan menjadi sobat yang
sangat baik. Mulai harini barulah aku tahu bahwa tiap orang
mempunyai jodohnya sendiri-sendiri, asal tidak mencari susah
sendiri, akhirnya tentu akan memperoleh kebahagiaan."
berpikir sampai disini. perasaan Auyang Wan seketika terbuka,
rasa kesalnya lantas lenyap seluruhnya.
Tidak lama kemudian, benar juga Yap Tiong-siau telah
siuman kembali. Mestinya ia mempunyai tempat tinggal sendiri
didalam keraton, semalam ada sebagian terbakar, tapi Danu
Cu-mu sudah suruh orang membetulkannya kembali. Segera
Cu-mu menghantar T"ong-siau pulang keistananya, agar bisa
merawatnya dengan baik, Auyang Wan lantas ikut tinggal
diistana situ. Setelah keadaan sudah aman, banyak urusan besar lagi
yang harus diselesaikan. Maka Cu-mu telah berkata kepada
Tiong-siau: "Toako, hendaklah kau mengaso saja, besok pagi
engkau masih perlu berhadapan dengan para pembesar."
Tiong-siau melengak, tanya: "Apa" Kau?"?"" kau
maksudkan?"?"?"
"Negeri tidak boleh tiada pemimpin, engkau adalah putera
sulung ayah baginda, sudah tentu engkau yang harus
menggantikan beliau nak tahta," ujar Cu-mu dengan tertawa.
Kebetulan waktu itu Tiong-lian sedang membawakan
semangkok wedang Jimsom untuk Tiong-siau, maka iapun ikut
berkata dengan tertawa: "Toako, kita telah lama di
permainkan raja jahanam itu hingga sesama saudara
sekandung tidak saling kenal, dahulu aku banyak berlaku
kasar padamu, besok jika kau naik tahta, biarlah aku akan
menyembah paling dulu kepadamu, kemudian aku minta
anugrah pula padamu."
Dalam sekejap itu pikiran Tiong-siau benar-benar maha
kusut, tenggorokaanya seperti tersumbat dan susah membuka
suara. Mestinya iapun pernah mempunyai ambsi akan menjadi
raja. waktu itu ia belum tahu asal-usulnya sendiri dan masih
menjadi pangeran. tepi diam-diam ia sudah bersekongkol
dengan para pembesar yang berkuasa agar kelak dia dapat
merebut tahta ayah bagindanya bila wafat Sekarang secara
resmi ia akan menjadi raja tanpa berebut segala, menurut akal
dia harus gembira karena cita-citanya akan terkabul. Namun
aneh, setelah mendengar ucapan saudara-saudaranya itu,
menjadi malu dan menyesal serta bingung pula. daa air
matanya lantas berlinang . Sudah tentu iapun sangat gembira,
tapi bukan gembira karena akan menjadi raja, melainkan
gembira karena kebalkan saudara-saudaranya itu.
"Toako, kita harus merayakan urusan ini dengan gembira,
mengapa kau malah menangis" tanya T"ong-lian dengan
tertawa. Tiong-siau menyambut wedang Jinsom yang diberikan dan
dihirupnya seteguk, lalu ia mengusap air matanya sendiri dan
menya-hut: "Kalian sudi mengakui seorang Toako sebagai aku.
Saking gembiranya aku menjadi menangis."
"Dahulu kau telah dibodohi Kan-ong, kini Kan-ong sudah
binasa, habis gelap terbitlah terang, urusan yang sudah lalu
itu buat apa diangkat lagi?" demikian Tiong-lian.
"Sudah banyak aku berdosa, untung kalian telah datang
hingga aku dapat menjadi manusia baru lagi," kata Tiong-siau.
"Sekarang aku tidak inginkan apa-apa lagi, sebaliknya kalian
jauh lebih menderita daripadaku, apalagi aku sudah
memalsukan namanya Cu-mu, masakah perlu aku
memalsukan kau naik tahta lagi?"
"Toako, tahta ini memang adalah hakmu, kau cuma
dikembalikan kepada kedudukanmu yang sebenamya dan
bukan memalsukan siapa-siapa," ujar Cu-mu dengan tertawa.
"Bicara tentang menderita, derita sengsara yang kau rasakan
tentu jauh lebih hebat daripada kami."
"Tentang urusan tahta, biarlah kita bicarakan besok saja,"
kata Tiong-siau akhirnya.
"Ia, memang Toako perlu mengaso dengan baik-baik," kata
Cu-mu. "Adapun konsep amanatmu kepada rakyat tentang
kebangkitan negeri kita itu nanti akan kusiapkan, besok tinggal
dibubuhi setempe! saja."
Dan selagi ia hendak undurkan diri, tiba-tiba Tiong-siau
berkata pula: "Dan masih ada sesuatu yang perlu kupesan
padamu, didalam gudang pusaka terdapat sejilid kitab
pelajaran ilmu silat yang disebut "Liong-lik-pit-cong", ada pula
beberapa benda yang dapat digunakan oleh orang yang
mempelajari ilmu silat, tadi aku tidak sempat mencarinya,
besok hendaklah kau mencarinya dengan teliti"
"Urusan kecil ini tidak perlu Toako pikirkan, asal kesehatan
Toako sudah putih, kita masih dapat mencarinya lagi bersamasama,"
ujar Cu-mu. Semalam ini Cu-mu boleh dikata tidak tidur, ia sibuk
menyiap-kan amanat kebangkitan negerinya yang akan
dibacakan oleh sang Toako kepada rakyat. Dan baru saja
subuh tiba, cepat-cepat ia sudah mendatangi kamarnya Tiongsiau
untuk mengundangnya keistana agar penerima
penghormatan para pembesar.
Siapa duga kamarnya Tiong-siau sudah kosong melompong,
Auyang Wan juga ikut menghilang. Didalam kamar hanya
ditinggalkan sepucuk surat oleh Tiong-siau yang ditujukan
kepadanya. Surat itu menyatakan bahwa Tiong-siau malu
untuk tinggal didalam negeri, maka minta sang adik suka
memaafkan serta menggantikannya memikul tugas sebagai
pemimpin rakyat.
Tiong-siau dan Auyang. Wan diam-diam telah pergi melalui
jalan dibawah tanah tanpa diketahui oleh penjaga, dengan
sendirinya susah untuk dicari kembali. Terpaksa Cu-mu
menurut pesan sang Toako dan menerima pengangkatan para
pembesar dan naik tahta sebagai raja baru negeri Masar.
Meski Masar adalah sebuah negeri pegunungan yang kecil,
tapi sesudah mengalami geger kerusuhan, urusan yang perlu
diselesaikan juga sangat banyak sehingga Cu-mu sangat
sibuk, untung ia dibantu oleh beberapa pembesar setia yang
berpengalaman. Sementara itu Kang Lam dan Kok Ct-hoa pindah tinggal
didalam keraton, sedangkan Ki Hiau-hong lebih suka
kehidupan bebas, ia gemar pesiar, maka ia telah ikut sicopet
sakti dari India itu mengembara ketanah Hindu untuk
mengembangkan kepandaiiannya.
"Hong-ek-nio", bekas permaisuri yang bersekongkol dengan
Kayun itu, pada hari kedua sesudah Cu-mu naik tahta wanita
itu lantas menggantung diri. Tapi mengingat wanita itu adalah
bekas permaisuri ayah bagindanya, maka Cu-mu tetap
menguburnya dengan segala kehormatan secara resmi.
Sesudah segala urusan agak lancar, suatu hari, Cu-mu
teringat kepada pesan sang Toako serta apa yang pernah
didengarnya dalam percakapan rahasia antara Hong-ek-nio itu
dengan Thian-mo-kaucu tentang benda mestika dunia
persilatan yag terdapat di dalam gudang pusaka kerajaan.
Waktu itu Hong-ek-nio berjanji hendak memberikan kunci
gudang pusaka pada Thian-mo-kautiu mau membunuh Yap
Tiong-siau. Kini sesudah wanita itu meninggal, kunci yang
dimaksudkan itu entah berada dimana.
Segera Cu-mu mengajak Tiong-lian menuju kegudang
pusaka melalui jalan rahasia yang telah dikenalinya :tu. Tempo
hari waktu mereka keluar dari gudang itu, pintu besi gudang
itu hanya dirapatkan saja tanpa terkunci, maka dengan
gampang dapat mereka buka kembali.
"Kunci gudang ini sudah hilang, sebaiknya Koko minta
tukang kunci membuatkan kunci baru dengan pesawat rahasia
yang baru pula," kata Tiong-lian.
"Selanjutnya gudang ini takkan dipakai lagi, buat apa mesti
susah-susah membuatkan pesawat rahasia segala," sahut Cumu
dengan tertawa.
Tiong-lian melengak. "Gudang ini takkan dipakai lagi" Aku
tidak paham maksudmu," tania Tiong-lizri heran.
"Harta pusaka ini ada sebagian adalah warisan leluhur kita.
ada sebagian pula adalah hasil pengurasan Kan-ong dalam
tahtanya selama belasan tahun ini, pendek kata harta karun
ini berasal milik rakyat," kata TVu-mu.
"O. apa barangkali kau berniat mengembalikannya juga
kepada rakyat?"
"Ya, apa gunanya harta sebanyak ini bagi kita" Masakah
kita takut mati kelaparan" Asal milik rakyat, maka harus
dikembalikan kepada rakyat. Aku rela dikutuk sebagai anak
durhaka, tapi aku sudah bertekad akan mengoreksi perbuatan
leluhur kita!" Cu-mu berhenti sejenak, sinar matanya
berkilatan, lalu menyambung lagi: "Aku akan mengirim orang
yang dapat dipercaya untuk menjual harta pusaka ini kenegeri
Persi. India atau Tiongkok, hasilnya akan kita gunakan sebagai
biaya pembangunan negeri demi kesejahteraan rakyat kita.
Ya, aku akan mengundang pula kaum cerdik pandai dari
negeri-negeri tetangga agar memberi pendidikan kepada
rakyat untuk menaikkan tarap pengetahuan kita, pendek kata
masih banyak urusan yang harus kita kerjakan."
"Wah, engkau benar-benar seorang raja yang bijaksana dan
adalah Engkohku yang baik," seru Tiong-lian dengan gemb"ra.
"Kukira bila Toako yang menjadi raja juga beliau pasti akan
berbuat demikian," kata Cu-mu. "Mulai besok berturut-turut
harta karun ini akan kukeluarkan dan dijual untuk mulai
membangun negara kita, berbareng aku akan mengangkat
beberapa pembesar setia yang jujur dan bijaksana, nanti bila
urusan sudah selesai, segera juga aku akan pergi mencari
Toako". "Harta ini kita memang tidak perlukan, tapi beberapa
mestika yang berguna bagi kaum persilatan seperti apa yang
dikatakan Toako iru akan bermanfaat bagi kita." ujar Tionglian.
"Ya. makanya sekarang aku mau datang kesini," sahut Cumu.
Sementara itu mereka sudah berada didalam gudang
pusaka itu, kata Tiong-lian tiba-tiba: "Eh, Koko. apakah kau
mencium semacam bau wangi yang aneh?"
"Mungkin sisa bau granat berbisa yang diledakan Enso
tempo har! itu." ujar Cu-mu.
"Tapi rasanya bukan," kata Tiong-lian sesudah mengendusendus
pula. Cu-mu agak curiga juga. tapi berkata: "Tempat ini hanya
diketahui oleh Toako sedia."
"Kau lupa kepada Thian-mo-kaucu?" ujar T"ong-iian.
"Thian-mo-kaucu belum memperoleh kunci pintunya, Kayun
dan Hong-ek-nio juga sudah mati, tidak mungkin ia
mengetahui jalan rahasia yang menuju kesini."
"Habis, darimanakah datangnya bau wangi ini?"
Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mungkin disini memang tersimpan wewangan, ketika
Toako "bertempur dengan kedua saudara Loh, mungkin
mereka telah menumpahkan wadah wewangian itu. Tapi tak
perlu kita menerka se-cara ngawur, marilah kita mencari apaapa
yang penting saja."
Mereka tidak tahu benda mestika apa yang mesti dicari,
yang terlihat oleh mereka disitu hanya emas-intan dan batu
permata yang gemilapan belaka, sudah setengah harian toh
tiada menemukan sesuatu benda yang ada sangkut-pautnya
dengan ilmu Silat.
"Jangan-Jangan yang dimaksudkan adalah obat mujarab
sebangsa Thian-sim-ciok apa segala?" ujar Tiong-lian.
"Masakah ada obat mustajab sebanyak itu?" sahut Cu-mu
dengan tertawa. "Malam itu aku mendengar percakapan
mereka dan jelas menyebut beberapa benda mestika."
"Apakah dia mengatakan bentuk benda itu?"
"Diapun tidak tahu," tutur Cu-mu. "Cuma ayah baginda
pernah menyinggung rahasia ini dan dari nada uraian Hongek-
nio itu, agaknya benda itu adalah sebangsa golok dan
pedang mestika."
"Jika cuma berwujut senjata-senjata semacam itu tentu
takkan banyak berguna bagi kita," ujar Tiong-lian.
"Ya, biarpun "Liong-lik-pit-cong" itu juga tiada banyak
manfaat-nya," ujar Cu-mu. "Ilmu silat Suhuku maha sakti dan
pasti jauh lebih tinggi daripada apa yang tertera didalam kitab
pusaka itu."
"Betapapun harus disesalkan juga jika kitab itu tidak kita
ketemukan, mengingat adalah tinggalan ayah baginda," ujar
Tiong-lian. "Boleh jadi ayah sudah menurun kitab itu, lalu aslinya telah
dimusnakan," kata Cu-mu. "Mengenai benda-benda mestika
lain Toako cuma mendengar pembicaraan musuh saja, tapi
barang apa sebenarnya tak diketahuinya, jadi sungguhsungguh
atau palsu tiada orang tahu."
Demikianlah mereka berusaha merendahkan nilai bendabenda
pusaka yang tak diketahui itu, bahkan "Long-lik-pitcong"
itu juga dianggap sepele, padahal dalam hati mereka
merasa sayang juga, sebab mereka sadar benda-benda
mestika itu tentu telah dicuri orang.
"Aku merasa agak aneh," tiba-tiba Tiong-lian berkata pula.
"Apa kau meragukan ada orang pernah masuk kesini?"
tanya Cu-mu. "Bukan soal ini. Kalau ada yang mencuri, maka sudah
terang adalah Thian-mo-kaucu. Tapi yang kupikirkan ada
sesuatu urusan lain."
"Urusan apa lagi?"
"Bahwasanya leluhur kita adalah keluarga raja dan tidak
mengherankan kalau memiliki harta pusaka sebanyak ini. Tapi
mengapa juga memiliki benda mestika orang persilatan
sebanyak ini?"
"Leluhur kita memangnya juga orang persilatan. "Liong-llkpit-
cong" itu adalah pemberian seorang kosen kepada leluhur
kita, bukankah kau sudah pernah dengar cerita tentang ini?"
"Tapi sesudah turun-temurun sekian angkatan, sebenarnya
juga sudah lama bukan orang persilatan lagi," ujar Tiong-lian.
"Ke-uali Liong-lik-pit-cong itu, habis barang-barang seperti
Thian-sym-ciok dan lain-lain yang belum kita ketemukan itu
berasal darimana lagi" Makanya aku tetap merasa keturunan
keluarga kita ini rada-rada penuh rahasia."
"Haha, jadi leluhur kita juga kau curigai?" ujar Cu-mu
dengan tertawa. "Sayang ayah bag"nda sudah bada lagi
hingga urusan leluhur kita susah diketahui. Kukira tidak perlu
pikir yang tidak-tidak, marilah kita pergi saja."
"He, kotak apakah ini?" tiba-tiba Tiong-lian menemukan
sesuatu. Waktu Cu-mu memperhatikan, kiranya adaalh sebuah kotak
berbentuk lonjong dan wama hitam pekat. Ia coba ketok-ketok
dan ternyata menimbulkan suara nyaring, terang buatan dari
besi dan bukan emas yang bernilai. Maka katanya: "Ini hanya
sebuah kotak wadah perhiasan yang biasa saja, apa yang
mengherankan?"
"Jusreru karena kotak biasa, makanya aneh." sahut Tionglian.
"Kalau barang berharga, tentu aku tidak menaruh
perhatian."
Apa yang dikatakan Tiong-lian itu memang beralasan.
ditengah-tengah harta pusaka yang tiada ternilai itu terdapat
sebuah kotak besi yang tak berharga, hal ini benar-benar luar
biasa dan aneh.
"Jangan-Jangan didalam kotak ini tersimpan benda-benda
yang aneh," kata Cu-mu akhirnya sesudah memikir sejenak.
Dan waktu kotak itu dibukanya, ternyata isinya cuma sebuah
sisir, sebuah cermin kecil. Sisir adalah buatan dari kayu dan
cermin buatan dari perunggu, mungkin saking tua cermin itu
sudah guram. Sisir dan cermin serrracam itu adalah milik kaum wanita
umum-nya. sedikitpun tidak mengherankan. Tapi dibawah
barang-barang itu terdapat pula beberapa helai kertas surat
yang sudah menguning.
Waktu Tiong-lian membentang sehelai kertas surat itu. lalu
di-berikannya kepada Cu-mu dan berkata: "Koko. aku tidak
kenal hurufnya, boleh kau membacakannya untukku."
Kiranya surat itu ditulis daalm huruf Masar kertas surat itu
sudah hampir hancur. tulisannya juga samar-samar. Sesudah
diperiksa dengan teliti, aclrrnya Cu-mu berseru pelahan:
"Aneh!".
"Bagaimana bunyinya?" tanya Tiong-lian.
"Seperti surat seorang gadis kepada kekasihnya dan
melukiskan betapa rasa rindunya kepada sang kekasih," kata
Cu-mu. "O!" wajah Tiong-lian menjadi merah. Diam-Diam iapun
heran mengapa leluhurnya telah menyimpan surat cinta orang
lain didalam gudang pusaka kerajaan"
"Tapi bagian terakhir dari surat ini agak menarik," kata Curau
pula. "Gadis itu entah kemana akhirnya, tapi disini telah
dikatakan bahwa untuk selanjutnya dia takkan kembali lagi,
maka sang kekasih diminta jangan memikirkan dia. tapi lebih
baik lapangkan hati dan tekun mengatur negerinya saja"
"Aneh," kata Tonglian. "Jika begitu, bukankah kekasih yang
dimaksudkan itu adalah leluhur kita" Dan sebagai raja. setiap
gadis yang disukainya dapat diboyong kedalam keraton, siapa
lagi yang dapat merintangi kehendaknya" Tapi mengapa
mereka terpaksa mesti berpisah?"
Cu-mu coba membuka pula surat kedua. Surat ini agaknya
ditulis kemudian, keadaannya lebih bersih dan terang daripada
surat pertama. Isinya ternyata sangat sederhana, Cu-mu
menuturkannya kepada Tiong-lian: "Gadis itu telah menikah
kepada seorang lain dan melahirkan seorang putera. Dia minta
bekas kekasihnya itu cinta kepada puteranya itu seperti cinta
kepada dia, semoga dihari kemudian jangan sekali-sekali
bertemu dimedan perang dengan puteranya itu."
"Aneh, mengapa wanita itu membayangkan kemungkinan
bekas kekasihnya akan bertemu dengan puteranya di medan
perang" Dan sesudah anak itu dewasa entah bagaimana
jadinya dengan mereka," ujar Tiong-lian terheran-heran.
"Siapa bisa tahu?" sahut Cu-mu tertawa. "Coba lihat betapa
tua surat ini, paling sedikit adalah tinggalkan ratusan tahun
yang lalu dan "anak" itu mungkin juga sudah lama mati."
"Dan masih ada sehelai lagi, coba baca apa bunyinya" Eh,
seperti sepucuk surat dinas?" kata Tiong-lian.
Surat ketiga itu memang lain daripada kedua surat pertama
tadi. Kertas surat ketiga ini sangat baik, malahan diatasnya
masih jelas tertera tanda setempel besar warna merah.
Sesudah membacanya lagi, lalu Cu-mu bercerita: "Memang
benar terkaanmu, ini bukan surat pribadi, tapi adalah surat
negara dari negeri Kunbran."
"Surat Negara" Wah, tentu jauh lebih penting daripada
surat dinas biasa. Dan mengapa disimpan bersama dengan
surat cinta pribadi?"" tanya Tiong-lian.
"Sebenarnya surat inipun urusan dinas biasa tiada sesuatu
yang istimewa," kata Cu-mu.
"Urusan apakah isi surat itu?"
"Tentang raja Kunbran yang baru naik tahta dan kita
diundang mengirim utusan menghadiri upacara penobatan raja
baru itu."
"Terletak dimanakah negeri Kunbran itu?"
"Kunbran benar-benar adalah negeri tetangga kita. Kalau
negeri kita terletak di selatan kaki gunung Altai, adalah negeri
tetangga itu terletak diutara gunung, jadi diantara kedua
negeri hanya dipisahkan oleh sebuah gunung saja. tapi untuk
bisa sampai di-sana juga diperlukan waktu sepuluh hari
sampai setengah bulan," lalu ia memperhatikan tanggal surat
itu dan berkata pula: "Dan peristiwa ini ternyata sudah terjadi
70 tahun yang lalu."
Begitulah mereka tidak habis paham mengapa surat
undangan beg.tu saja juga mesti disimpan dengan begini rapi.
Lapat-Lapat Tiong-Iian merasa surat-surat itu tentu ada
hubungannya satu sama lain. cuma bagaimana duduk perkara
yang sebenarnya susahlah diketahui
"Sudahlah, toh orang-orang yang bersangkutan sudah tiada
lagi, tidak perlu kita memeras otak memikirkannya," kata Cumu
akhirnya dan menyimpan kotak rias itu. Kemudian mereka
keluar dari gudang pusaka itu. Hasil yang mereka cari tidak
ada. sebaliknya malah tambah soal-soal yang mencurigakan
dan menguatir-kan. Curiga terhadap bunyi surat-surat kuno itu
dan kuatir karena lenyapnya benda-benda mestika yang
hendak mereka cari.
Sesudah kembali ketempat tinggal masing-masing. Tionglian
sangat kesal, ia ingin mencari Kang Hay-thian untuk
menghilangkan rasa masgulnya. Tapi sesudah dipikir, ia ganti
haluan, yang dicari adalah gurunya. Kok Ci-hoa.
Saat itu Ci-hoa bersandarkan Iangkan dan sedang
memandang jauh kesana seperti sedang merenungkan
sesuatu. Ketika Tiong-lian datang dan menyapanya, pelahanlahan
Ci-hoa membelai rambut nona itu dan berkata dengan
suara halus: "Lian-ji, selama beberapa harini tampaknya kau
agak kurus."
"Hanya agak sibuk mengenai pekerjaan, tapi semangatku
cu-kup segar." sahut Tiong-lian. "Suhu, apakah engkau cocok
tinggal didalam keraton sini?"
"Terlalu enak menjadi terasa kikuk malah," sahut Ci-hoa
dengan tertawa. "Maka aku pikir akan mohon diri saja."
"Bukankah Suhu hendak menunggu kembalinya Kimtayhiap?"
kata Tiong-lian. "Tanpa merasa lima hari sudah lalu.
toh Suhu tiada urusan lain, mengapa tidak tinggal beberapa
hari lagi?"
"Justeru ada suatu urusan, tadi Tiong-pangcu telah datang
kesini," kata Ci-hoa.
"O, mengapa pengemis tua itu tidak menemui Koko?"
"Mungkin karena persoalan nona Hoa, maka pengemis tua
itu kurang puas kepada kalian. Ia tidak masuk kesini, hanya
melalui penjaga minta aku menemuinya diluar keraton. Tabiat
pengemis tua itu memang agak aneh, kalian tidak perlu
salahkan dia. Tapi kedatangannya ini bukanlah untuk
persoalan kalian, tapi dia mem bawakan berita tentang Eksupek.
Dia sendiri adalah Pangcu sekte utara dan Ek-supek
kalian adalah Pangcu sekte selatan, untuk urusan
penggabungan kedua sekte mereka itu bulan yang lalu mereka
telah mengadakan perundingan. Ek-suheng belum tahu
jejakku, maka minta Tiong-pangcu mencari kabar tentang
diriku. Kabarnya pemerintah ada usaha yang tidak
menguntungkan Bin-san-pay kita dan Kay-pang, sebab itulah
Pek-suheng dan Loh-suheng yang menjaga rumah itu sagat
kuatir dan minta aku lekas pulang."
"Jika begitu, maka akupun tidak berani menahan Suhu
lag:." kata Tiong-lian. "Suhu?"" Suhu?"?"" ia pandang
sekejap pada sang guru seperti hendak mengatakan apa-apa,
tapi tidak jadi.
"Apakah kau merasa berat berpisah dengan aku?" tanya Cihoa.
"Kebetulan juga, aku memang hendak bicara sesuatu
dengan kau."
"Silakan Suhu memberi petua," ujar Tiong-lian.
"Aku ingin tanya kau lebih dulu, apa kau bersedia
melepaskan hakmu sebagai puteri kerajaan dengan
kehidupannya yang mewah bahagia?" tanya Ci-hoa.
"Aku tidak ingin menjadi puteri segala, tapi ingin ikut
bersama Suhu saja".
Ci-hoa sangat terhibur atas jawaban itu. Katanya: "Akupun
menduga akan jawabanmu ini. Aku sudah menjabat sebagai
Ciang bunjin selama belasan tahun, sudah lama aku ingin
meletakan beban kewajiban ini, sekarang kau sudah dewasa,
sekembalinnya di Bin-san segera aku hendak menurunkan
jabatan Ciangbunjin tni kepadamu."
Tiong-lian terkejut, sahutnya "Tecu?"" Tecu cuma ingin
selalu berada didamping Suhu dan tidak ingin menjadi
Ciangbunjin segala. Tecu masih terlalu muda dan kurang
berpengalaman, mana Tecu sanggup memikul tanggungjawab
seberat itu?"
"Dahulu waktu aku diangkat menjadi Ciangbunjin usiaku
juga tidak lebih tua dari
Pendekar Riang 11 Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Dendam Iblis Seribu Wajah 22
k mau kapok, sekali
menggerung, kembali ia mencengkeram lagi, cuma yang
diarah sekarang adalah Hoa In-pik. Ia sangka In-pik juga
sama lihaynya seperti Kok Tiong-lian, maka daya serangannya
itu dikerahkan sepenuh tenaga. Keruan In-pik tidak sanggup
melawan, dalam sekejap saja ia sudah kena dipegang Hu Liciam.
Tiong-lian menjadi kuatir, segera ia menyerang lebih
gencar, memangnya ia mahir Ginkang, baru-baru ini belajar
pula Thian-lo-poh-hoat dari Kang Hay-thian, maka gerak
tubuhnya sangat cepat, apalagi Hu Li-ciam memegang
seorang tawanannya, gerakannya menjadi agak lambat, sama
sekali ia tidak menduga sedemikian cepat serangan Kok Tionglian,
maka tahu-tahu "Kiok-ti-hiat" dibagian lengan kena
ditutuk sekali. Karena tangan kesemutan dan kaku, dengan
sendirinya Hoa In-pik lantas terlepas dari cengkeremannya,
namun begitu pundak sinona yang dicengkeram Hu Li-ciam
itupun terluka hingga berdarah.
Dan ketika Hu Li-ciam baliki tangan kirlnya, "plak", kembali
ia mengadu tangan lagi dengan Kok Tiong-lian. Sekali ini
Tiong-lian merasakan tangan lawan menjadi dingin laksana es.
Sama sekali tidak mirip sebagai badan manusia, ia terkejut
dan cepat mundur dua tindak.
Kiranya Hu Li-ciam pernah mendapat bantuan Beng Sinthong
dan berhasil meyakinkan semacam ilmu "Hian-im-ngoheng-
gi-kang" yang lihay, jika ilmu ini sudah terlatih sampai
tingkatan tertinggi boleh dikata sama hebatnya dengan Siu-loim-
sat-kang. Cuma tadi ia telah kena ditutuk sekali oleh Kok
Tiong-lian, tenaganya sedikit terganggu hingga meski gadis itu
terkejut oleh karena serangannya itu, namun juga tidak
tertuka apa-apa.
Disebelah sana Hoa In-pik sudah membubuhkan obat luka
untuk membikin mampet darah, lalu minum pula sebutir Siauhoan-
tan hingga tenaganya dapat pulih kembali. Habis ini,
segera ia putar pedang menerjang maju pula untuk membantu
Tiong-lian. Ayah In-pik, yaitu Hoa. Thian-hong, adalah tokoh kelas satu
didunia persilatan, sudah tentu ilmu silatnya juga tidak lemah,
cuma sekarang dia mesti bertempur diantara Hu Li-ciam dan
Kok Tiong-lian yang jauh lebih lihay dari dia, makanya kepandaiannya
menjadi kelihatan selisih banyak. Tapi setelah Tionglian
menghadapi musuh dari depan, lalu In-pik membantunya
dari samping, hal ini banyak juga membawa keuntungan bagi
Tiong-lian. Hu Li-ciam sudah dapat mengetahui bahwa kepandaian Inpik
jauh lebih lemah, sebenarnya ia hendak mengincar nona
itu untuk menawannya lagi. Tapi gerakan Tiong-lian teramat
cepat, tak peduli kemana ia memutar, selalu Tiong-lian
mendahului men-cegatnya serta menyambut hampir seluruh
serangannya, karena itu, tidaklah mudah jika ia hendak
menawan In-pik lagi.
Melihat Tiong-lian begitu perkasa dan dengan sepenuh
tenaga melindungi dia dari serangan musuh tangguh itu. mau
tidak mau In-pik merasa kagum dan terima kasih pula.
Pikirnya: "Dia dan Hay-ko memang suatu pasangan yang
sangat setimpal, buat apa aku mesti menyelip diantara
mereka?" karena pikiran demikian, sudah tentu hatinya agak
pilu, tapi pikiran sehatnya menjadi jemih pula seluruhnya,
perasaannya tidak tertekan legi seperti tadi, maka ia dapat
memainkan ilmu pedangnya dengan lebih lancar dan gencar.
Bermula Kok Tiong-Lian merasakan pukulan-pukulan Hu Liciam
itu sangat kuat dan hampir-hampir susah ditahan, tapi
lambat-laun ia merasa tenaga lawan itu mulai berkurang,
dikala mengadu tangan juga tidak merasakan lagi sedingin es
seperti tadi. Kiranya Tiong-lian makan Thian-sim-ciok belum lama
berselang, tenaga yang mendadak bertambah itu belum
leluasa dikerahkan semaunya. Sekarang menghadapi
pertarungan sengit, dengan sendirinya tenaga dalam yang
tersekam itu bekerja dengan sen-dirinya dan makin lancar
cara mengerahkannya. Apalagi dasar Lwekangnya. yaitu "Siauyang-
hian-kang", adalah ciptaan Lu Si-nio yang khusus hendak
digunakan untuk melawan Beng Sin-thong punya "Siu-lo-imsat-
kang". Sedangkan Hian-im-ngo-heng-gi-kang yang
diyakinkan Hu Li-ciam itu adalah sejenis Siu-lo-im-sat-kang,
malahan dasar kekuatan Li-ciam masih jauh dibawah
mendiang Beng Sin-thong dahulu, sebab itulah, dikala Kok
Tiong-lian sudah dapat mengerahkan Siau-yang-hian-kang
sampai puncaknya, maka sedikitpun Hu Li-ciam tidak bisa
menarik keuntungan lagi.
Sementara itu diruangan sidang itu sudah terjadi
pertempuran kacau. Danu Cu-mu telah melukai seorang Houhoat-
tecu dari Kim-eng-kiong dengan Tay-seng-pan-yak-kang
yang lihay dan ketiga orang lainnya terdesak mundur terus.
Tiba-Tiba Bun Ting-bik menerobos keluar diantara orang
banyak, ia papak Cu-mu sambil berseru: "Haha, lakon
semalam rasanya masih belum memuaskan, marilah kita cobacoba
lagi?" Habis berkata, kontan ia mengadang didepan
ketiga Hou-hoat-tecu itu terus menghantam hingga pukulan
Dari Cu mu yang sedang dilontarkan itu disambut olehnya.
Lwekang Bun Ting-bik sudah mencapai tingkatan "Samsiang-
kui-goan", bicara tentang kekuatan sebenarnya hanya
dbawah Po-siang Hoatsu dan masih diatasnya Hu Li-ciam.
Sesudah Cu-mu makan Than-sin-ciok, mestinya
kekuatannya dapat melawan Bun Ting-bik dengan sama
kuatnya, tapi lebih dulu ia sudah bertempur sekian lamanya,
kepandaian ketiga Hou-hoat-tecu itu juga tidak lemah, maka
dengan satu-lawan-empat sekarang, betapapun ia merasa
kewalahan. Sebaliknya serangan Bun Ting-bik semakin gencar
hingga Danu Cu-mu terkurung rapat ditengah.
Melihat Danu Cu-mu terkepung musuh. Peng-choan Thian-li
hendak membantunya, segera ia, timpukan empat butir Pekpok-
sin-tan kearah rombongan Bun Ting-bik itu.
Lwekang Bun Tng-bik sudah niencapai tingkatan "Samsiang-
ki-goan". meski tertimpuk peluru es itu juga seperti tidak
merasakan sesuatu. Sebaliknya ketiga orang Hou-hoat-tecu
lantas menggigil kedinginan.
Diam-Diam Peng thoan Thian-li memikir: "Jika aku
membasmi dulu begundalnya ini hingga tinggal Bun Ting-bik
seorang tentu akan gampang dilawan oleh Danu Cu-mu."
Maka segera la mengayun tangannya lagi, sembilan butir
Peng-pok-sin-tan menghambur lagi, tapi sekali ini tidak
mengarah Bun Ting-bik, sebaliknya menyerang ketiga Houhoat-
tecu, masing-masing tiga biji dan mengarah tiga tempat
atas-tengah-bawah yang berlainan.
Tapi mendadak ada tiga orang Hwesio berhidung besar dan
ber mata cekung menerjang maju. mereka mengangkat tiga
buah mangkok emas keatas, sekali bergerak, tahu-tahu
kesembilan biji P?ng-pok-sin-tan telah jatuh didalam mangkokmangkok
itu dan segera mencair menjadi air.
"Terima kasih atas pemberian Lisicu akan minuman, yang
segar ini," kata ketiga paderi itu dalam gerak-gerik yang sama,
habe itu terus saja mereka minum habis air es didalam
mangkok masing-masing.
Keng-thian terkejut, cepat ia sambitkan tiga biji Thian-sanain-
bong. Tenaganya sangat kuat, maka tertampaklah tiga
jalur sinar mengkilap menyambar kedepan dengan membawa
suara menderu. "Terima kasih atas sedekah Sicu!" seru pula ketiga Hwesio
itu. Berbareng lagi mereka mengangkat mangkok masingmasing
keatas, maka lelatu api lantas bercipratan, ketiga biji
Thlan-ean-sin-bong telah jatuh juga dalam mangkok paderipaderi
itu. Keng-thian menjadi gusar, Yu-liong-pokiam berkelebat, dgn
gerak tipu "Hian-hong-hoa-soa" atau angin puyuh menyambar
di-gurun pasir, segera pedangnya menyabat kesamping
sembari menyendal hingga meski cuma satu jurus. tapi
dengan cepat luar biasa sekaligus dapat mengarah tiga musuh
tangguh. Ketiga Hwesio itu lantas mengangkat tongkat bambu hijau
di-tangan kanan masing-masing dan dengan gerakan serentak
menangkis ke-depan meski Yu-liang-pokiam dapat memotong
besi sebagai memotong kayu, tapi ternyata tidak mampu
menabas putus tongkat bambu mereka itu. Hanya terdengar
suara "tring-tring-tring" tiga kali, pedang pusaka Teng Kengthian
itu malah terpental balik oleh tangkisan mereka.
Kiranya ketiga Hwesio itu adalah tiga jago terkemuka dari
Po-lo-bun (agama Hindu) di India. Kalau bicara mengenai
kepandaian sejati, tiada seorangpun diantara mereka yang
mampu menandingi Teng Keng-thian. Tapi mereka bertiga
justeru telah meyakinkan semacam ilmu yang aneh. t?ga
orang bagaikan seorang perawan masing seakan-akan
bersatu, gerak-gerik masing-masing serupa (ilmu telepati),
untuk mengalahkan mereka secara sendiri-sendiri adalah tidak
mungkin, kecuali kalau mengalahkan mereka seluruh-nya
sekaligus. Meski kepandaian Theng Keng thian sangat tinggi tapi
menghadapi persatuan ketiga lawan, tangguh yang aneh itu.
ia menjadi kehabisan akal. Pedang pusakanya yang tajam itu
tidak mempan menghadapi gabungan tenaga mereka bertiga.
Segera Peng-choan Thian-li memutar pedangnya maju
membantu. Peng-pok-han-kony-kiam yang dia pakai itu
mempunyai. ka-siat yang berbzda, bukan saja ilmu pedangnya
memang hebat, bahkan hawa dingin yang memancar dari
pedang mestika itu cukup untuk melukai orang. Lama
kelamaan, hawa dingin dari pedang itu akan jauh lebih lihgy
daripada Peng-pok-sin-tan yang cuma dapat d"gunakan secara
sepintas lalu saja. Biarpun ketiga paderi itu tidak takut hawa
dingin, tapi lama-lama terpaksa mereka harus mengerahkan
tenaga dalam untuk menjaga diri. Dengan demikian, partai
mereka ini menjadi sama kuatnya untuk sementara.
Dipihak sana demi melihat ada kesempatan, segera Kenggoat
siangjin dan kawanan Bu-su Nepal itu ada maksud
menerjang maju untuk mengeroyok Peng-choan Thian-li. Tapi
Yu Peng sudah lantas mengadangnyai "Bagus, atas perintah
Kongcu, aku justeru hendak menangkap kalian!"
Keng-goat Siangjin menjadi gusar, damperatnya:
"Kurangajar, Kau hanya seorang pesuruh saja dan berani main
gila padaku" Lihat pukulan!" dan kontan ia terus menghantam.
Yu Peng juga mahir menggunakan Peng-pok-sin-tan. Cuma
kekuatannya jauh dibawah Peng-choan Thian-li, maka ada
sebagian besar peluru es itu kena ditangkap Keng-goat Siangjin,
sedang peluru lain yang mengenai kawanan Bu-su Nepal
itu juga tidak terlalu parah, mereka hanya menggigil sedikit
saja. Dalam pada itu Keng-goat Siangjin telah melancarkan
pukulan-pukulan yang lebih gencar. Tapi mendadak "siut-siut"
dua kali, sebatang pedang seKonyong-Konyong menyelenong
tiba menusuk kekanan dan kekiri dengan cepat sekali. Meski
Keng-goat Siangjin sangat gesit ternyata tidak sanggup
menghindarkan diri hingga terkena sekali tusukan itu, untung
tidak terluka parah, melainkan terluka lecet saja.
Kiranya orang yang melukai Keng-goat itu adalah suaminya
Yu Peng sendiri. Tan Thian-ih.
Dahulu Thian-ih pernah makan buah ajaib diistana es,
badannya enteng seperti burung, ilmu pedangnya adalah
kombinasi dari berbagai aliran pula, paling akhir iapun
mencapai kemaju-an pesat dan sudah tergolong tokoh kelas
satu. Disebelah sana lekas-lekas Minhaji juga menerjang maju
untuk mewakilkan Keng-goat menghadapi Thian-ih. Minhaji
adalah jago nomor satu dinegeri Nepal, dengan sendirinya
kepandaiannya selisih tidak jauh dengan Keng-Goat Siangjin
Maka dengan satu-lawan-satu ia dapat menempur Thian-ih
dengan gagah, meski juga terdesak dibawah angin, tapi dalam
waktu singkat juga Thian-ih susah hendak merobohkan dia.
Kawanan Bu-su dari Nepal yang dibawa datang Minhji itu
selain beberapa orang diantaranya sudah dilukai Teng Kengthian
tadi, selebihnya kira-kira masih adalah 30-an orang.
Walaupun para Bu"Su itu bukan jago silat kelas wahid, tapi
mereka dapat bertempur dengan rapat, barisan mereka kukuh
kuat hingga susah d uga untuk ditawan. Dengan sendirinya
pasangan Tan Thian-ih dan Yu Pcng takbisa dibandingkan
dengan pasangan Teng Keng-ihian dan Peng-choan Thiah-ri,
maka sesudah mereka terkepung ditengah kawanan Bu-su itu,
keadaan mereka menjadi terancam bahaya.
"Hai, mengapa kalian main keroyok, kalian kenal malu atau
tidak!" demikian Kang Lam terus berteriak.
Dia pernah mendapat pelajaran beberapa gerakan aneh
dari Kim Si-ih, meski barisan kepungan para Bu-su itu sangat
rapat, tapi entah cara bagaimana, tahu-tahu dengan sekali
berjumpalitan saja Kang Lam sudah dapat melompat ketengah
kalangan. Segera dua orang Bu-su mengayun kaki hendak
menendangnya, kontan Kang Lam memaki: "Kurangajar! Kau
berani menendang bokongku, ha" Ini biar kugebuk
pantatmu dulu!"
Dan benar saja, dengan sekali jumpalitan pula, tahu-tahu ia
sudah memutar sampai d:belakang kedua Bu-su itu dan "plakplak",
bokong kedua Bu-su itu benar-benar kena dihantamnya.
Kang Lain bukan terhitung jago kelas satu, tapi ilmu Tiamhiatnya
adalah kepandaian kelas satu. Maka diwaktu ia
menghantam bebokong kedua Bu-su itu, sekalian ia telah
tutuk "Bu-lu-hiat" dibagian "berutu" kedua Bu-su hingga
robohlah seketika dan menjadi batu penghalang malah bagi
para Bu-su yang lain, bahkan barisan kepungan mereka
menjadi terganggu juga.
Keng-goat Siangjin menjadi gusar, ia sambar badan kedua
Bu-su yang roboh itu. tapi ia tidak mampu membuka Hiat-to
yang ditutuk Kang Lam itu, terpaksa ia melemparkan saja
kedua Bu-su itu keluar kalangan, menyusul kedua tangannya
terus menghantam kearah Kang Lam. Gerakannya
mencengkerain kedua Bu-su, melemparkan terus menghantam
dilakukannya dengan sekaligus secepat kilat, sungguh luar
biasa tangkasnya.
Tapi Kang Lam juga sama cepatnya, malah terdengar siceriwis
ini lagi tertawa: "Hihi, tidak kena! Sekarang menjadi
giliranku untuk menggebuk pantatmu!" dan sekali putar, tahutahu
ia sudah berada dibelakang Keng-goat Siangjin untuk
menghantam bokongnya
Tak terduga antero tubuh Keng-goat Siangjin itu sudah
Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terlatih sedemikian rupa hingga setiap anggota badannya
seperti hidup semua. Maka Kang Lam tidak berhasil menutuk
Hiat-to dibagian berutu itu, sebaliknya ketika Keng-goat
Siangjin sedikit menggoyang kibul, tutukan Kang Lam itu
menjadi seperti mengenai sebuah bola hingga terpental balik.
Kang Lam kenal lihaynya lawan sekarang, ia tidak berani
meng-incar Keng-goat lagi, tapi terus berlari kian kemari
menyelinap diantara kawanan Bu-su itu, asal ada kesempatan,
ia lantas keluarkan ilmu Tiam-hiat lagi hingga ada beberapa
orang kena dirobohkan.
Tapi lingkaran kepungan itu makin lama makin sempit
hingga l"idak lama kemudian sudah tiada tempat luang lagi
bagi Kang Lam bergerak. Karena kepandaian sejati Kang Lam
memang tidak hebat, maka berulang-berulang ia harus
menghadapi serangan lawan yang berbahaya.
Tiba-Tiba garis kepungan musuh itu bobol, seorang kakek
ber-enggot telah menerjang masuk dengan memutar kencang
pedangnya dan para Bu-su Nepal itu tiak sanggup
merintanginya. Tatkala itu Minhaji sedang ayun toyanya
hendak mengemplang keatas kepala Kang Lam, cepat kakek
itu membentak: "Lihat pedang!" dan tahu-tahu orangnya
telah melesat sampai dibelakang Minhaji dengan tusukan
pedangnya. Kiranya sikakek berjenggot adalah Siau Jing-hong, itu tokoh
terkemuka dari Jing-sia-pay. Dia adalah guru Thian-ih yang
pertama, diwaktu kecilnya Kang Lam. ketika menjadi
kacungnya Thian-ih. pernah juga Kang Lam mencuri belajar
ilmu silat Jing-sia pay itu. Sekarang suami-isteri Thian-ih dan
Kang Lam terancam bahaya, sudah tentu Siau Jing-hong tidak
bisa tinggal diam.
Tapi dia tergolong angkatan tua. ia harus menjaga harga
diri dan tidak sudi main sergap dari belakang, maka pada
sebelum menyerang tadi ia lantas mendahului membentak
untuk memperingatkan musuh agar siap menerima
seri.ngannya itu.
Minhaji tahu Siau Jing-hong adalah lawan tangguh, ia tidak
bisa pikirkan Kang Lam lagi, terpaksa putar toyanya untuk
menangkis kebelakang. Tapi dengan gaya ,,Sun-cui-tui-ciu"
(mendorong sampan mengikuti arus), pedang Jing-hong terus
dipotongkan keatas toya musuh.
Gerakan "Sun-cui-tui-ciu" itu sebenarnya adalah suatu jurus
yang sangat umum didalam ilmu pedang, tapi dalam
penggunaan Siau Jing-hong tipu serangan itu menjadi Iihay
luar biasa. Tenaga Miuhaji kalah kuat, maka ketika toyanya
terpotong pedang-ia tidak dapat menarik kembali, terpaksa ia
mesti melepaskan senjatanya. Maka terdengarlah suara "krak"
sekali, biarpun dia keburu menarik tangannya, tidak urung
sebuah jarinya juga ter-papas putus.
Demikianlah dengan ikut sertanya Siau Jing-hong didalam
pertempuran, Thian-ih bersama isterinya dan Kang Lam
menjadi bebas dari ancaman bahaya, bahkan Kang Lam dapat
bergerak dengan leluasa lagi. Dengan demikian maka
pertarungan mereka berempat melawan Keng-goat Siangjin
bersama kawanan Bu-su itu kini menjadi setanding.
Disebelah sana Kok Tiong-lian dan Hoa In-pik berdua juga
mulai unggul melawan Hu Li-ciam, itu Tocu dari To-liong-to.
Suatu ketika, mendadak Kok Tiong-lian menggunakan tipu
"Giok-Ii-tau-soh" (gadis ayu melempar tali), dari samping ia
merangsang maju terus menyerang dengan berani.
Melihat nona itu berani mendekat, Hu Li-ciam diam-diam
bergirang, pikirnya: "Betapapun memang bocah masih hijau,
hanya pikir menyerang, tapi tidak ingat menjaga diri."
sebenarnya ia sudah tiada harapan buat menang, kini ada
kesempatan bagus, terus saja ia melancarkan serangan
mematikan dengan tujuan lekas merobohkan lawan dulu.
Dengan lima jarinya yang tajam sebagai kait itu terus saja
mencengkeram dan tepat sekali Pi-pe-kut, yaitu tulang pundak
Kok Tiong-lian tepat kena dipegangnya.
Pi-pe-kut adalah tempat berbahaya ditubuh manusia, kalau
tulang pundak itu remuk, biar setinggi langit ilmu silatnya juga
percuma, karena orangnya akan menjadi cacat.
Diluar dugaan, Kok Tiong-lian memakai baju pusaka "Pekgiok-
kah" yang tidak mempan senjata. Karena itu kuku jari Hu
Li-ciam menjadi tidak berhasil menembusnya. Sebaliknya
tenaga Siau-yang-hian-kang ditubuh Kok Tiong-lian terus
bekerja hingga Hu Li-ciam tergetar, daya tahan Thian-imciang-
lik yang diandalkan Li-ciam itu tergempur.
Pada saat demikian itulah, secepat kilat pukulan Tiong Lian
telah mengenai "Hun-bua-hiat" dibawah iga Hu Li-ciam.
Kontan Li-ciam menjerit sekali dan orangnya terus mencelat
pergi sebagai bola. Tanpa ampun lagi In-pik lantas memburu
maju dan menambahi sekali tusukan hingga darah memancur
keluar bagaikan sumber air, dengan cepat Hu Li-ciam lantas
melarikan diri dengan menderita luka parah.
Kiranya Kok Tiong-lian menjadi buru-buru ingin membantu
Danu Cu-mu ketika melihat sang kakak terdesak, sebab itulah
ia sengaja memberi lubang serangan untuk memancing Hu Li
Ciam. Setelah mengalahkan Hu Li-ciam, segera Tiong-lian
melayang maju kesana, kontan ia menghantam Bun Ting-bik.
Cepat Ting-bik membaliki tangannya untuk menangkis. "Bluk",
kedua tangan beradu. Betapapun Tiong lian memang kalah
kuat hingga tergentak kesamping dengan sempoyongan.
Melihat ada kesempatan, Hou-hoat-tecu pertama dari Kimeng-
kiong itu terus ayun Kiu-goan-sik-tiang (tongkat timah
bergelang sembilan) untuk megetok "Goan-tiau-hiat" didengkul
Tiong-lian. Ia tahu sigadis adalah puteri raja Masar
yang dahulu, maka masudnya cuma hendak menawannya dan
tongkatnya dipakai mengetok Hiat-to dengan separoh
tenaganya saja.
Siapa sangka kekuatan Tiong-lian meski tidak bisa
menandingi Bun Ting-bik, kalau dibandingkan Hou-hoat-tecu
itu sudah terang jauh lebih unggul. Maka hanya dengan sekali
menyelentik saja, "trang", tongkat lawan telah kena
dipentalkan kesamping, bahkan genggaman Hou-hoat-tecu itu
terasa sakit pedas dan hampir-hampir tidak kuat memegangi
senjatanya sendiri.
Keruan Hou-hoat-tecu pertama itu sangat terkejut, baru
sekarang ia kenal lihaynya Kok Tiong-lian. Lekas-Lekas ia
mengerahkan sepenuh tenaga dan kembali menyerang lagi.
Begitu pula. dua orang Sutenya sekaligus juga ayun tongkat
mereka menyerang dari kanan-kiri untuk membantu.
Dilain pihak, karena Bun Ting-lck terpaksa membagi
separoh tenaganya untuk menangkir pukulan Kok Tiong-lian
tadi, maka kesempatan itu telah digunakan Danu Cu-mu untuk
menghantam. Untung Ting-bik cukup berpengalaman,
sebelumnya ia sudah memperhitungkan kemungkinan itu,
maka waktu ia tangkis serangan Tiong-lian, berbareng ia
menggeser pergi untuk menghindarkan serangan Cu-mu yang
hebat itu. Walaupun begitu, tidak urung ia juga tergentak
mundur beberapa tindak oleh karena samberan tenaga
pukulan pemuda itu. Dengan demikian ia lantas dipisahkan
dari ketiga Hou-hoat-tecu tadi dan terbagi menjadi dua partai,
yaitu Cu-mu melawan Ting-bik dan Tiong-lian melawan ketiga
Hou-hoat-tecu. Dengan semangat menyala-nyala Cu-mu terus membentak
"Orang she Bun, sekarang bolehlah kita coba-coba mengukur
tenaga sesungguhnya!" dan susul menyusul Tay-seng-panyak-
ciang terus dihantamkan bagaikan gelombang ombak
membadai dahsyatnya, hingga Cun Ting-bik hanya mampu
menangkis saja, tapi tidak sanggup balas menyerang.
Cuma Ting-bik sudah sempurna melatih ilmu sakti "Samsiang-
kui-goan", kalau melulu untuk menjaga diri saja masih
jauh daripada cukup kuat. Maka serangan Cu-mu yang
membadai itu juga tidak dapat mencelakainya dengan
gampang. Dalam pada itu ketiga Hou-hoat-tecu yang mengeroyok Kok
Tiong-lian juga lantas mengembut dengan hebat. Tiong-lian
tidak berani ayal, segera iapun lolos pedang, dengan Hian-likiam-
hoat ia lawan tiga batang tongkat musuh.
Pedang yang dipakainya itu adalah Siang-hoa-pokiam yang
pernah dipakai Lu Si-nio (tentang Lu Si-nio, bacalah "Tiga
Dara Pendekar" yang tak lama akan diterbitkan lagi). Meski
kasiatnya tidak selihay Cay-in-pokram yang dipakai Kang Haythtan
itu, tapi tajamnya juga luar biasa. H an-h-kiam-hoat
mengutamakan kecepatan dan kelincahan. Paling akhir ini
Tiong-lian telah meyakinkan pula Thian-lo-poh-hoat, maka
setelah Imu pedang itu dimainkan, gaya permainannya
mendiadi lebih menarik dan kecepatan nya bertambah hebat.
Ketiga Hou-hoat-tecu itu sudah jeri kepada pedang
pusakanar, takut pula kepada gerakan Tiong-lian yeng cepat
laksana terbang itu, maka mereka akhirnya menjadi terdesak,
hanya bisa bertahan saja tanpa bisa menyerang.
Dalam pada itu seluruh ruangan sudah terjadi pertarungan
sengit dan terbagi dalam beberapa kelompok dan seketika
susah juga ditentukan pihak mana yang akan menang atau
kalah. Diantaranya sudah tentu partai dimana Kang Hay-thian
melawan Po-siang Hoat-su adalah paling seru. Tapi kedudukan
Kang Hay-thian juga paling berbahaya pada waktu itu. Orang
lain mungkin belum tahu, tapi Hay-thian sendiri sudah
merasakan keadaan yang tidak menguntungkan itu.
Sebenarnya Lwekang Kang Hay-thian sudah sangat tinggi,
tapi hal itu berkat bekerjanya obat secara serentak, sedangkan
dasar Lwekangnya semula telah sesat dulu karena yang dilatih
adalah Lwekang dari Sia-pay ajaran Thian-mo-kaucu.
Walaupun sekarang tingkat kepandaiannya sudah mencapai
"pembauran antara Cing dan Sia", tapi keadaan toh tetap tidak
seperti Kok Tiong-lian.
Sejak mula Lwekang yang dilatih Tiong-lian adalah aliran
Cing-pay yang murni, maka ienaga yang timbul dari kasiat
Thian-sim-ciok itu dengan cepat dapat terbaur dengan
kekuatan yang sudah ada dalam tuouhnya itu dan dapat
dikerahkan dengan leluasa dan mana suka. Untuk ini Kang
Hay-thian memerlukan waktu tertentu baru bisa mencapainya.
Sebab itulah dalam pertarungan itu makin lama Kok Tiong-lian
makin perkasa, sebaliknya Hay-thian yang melawan Po-siang
menjodi makin lama makin lemah, makin berkurang
tenagatnya. Sedangkan "Liong-siang-kang", ilmu naga dan gajah, yang
dimiliki Po-siang itu adalah ilmu sakti golongan Budha yang
lihay, untuk meyakinkannya perlu gemblengan selama
berpuluh tahun-lamanya. Ketika pukulan-pukulannya susul
menyusul dilontarkan dan tenaga yang dipakai makin tambah
kuat, sesudah lebih 50 jurus, akhirnya Kang Hay-thian
merasakan kewalahan, ia merasa tekanan tenaga
penghalang dari sekitarnya bertambah besar bagaikan
dinding baja yang kukuh hingga Tui-hong-kiam-hoat yang
dimain-kannya itu menjadi kurang lancar.
Namun begitu, diam-diam Po-siang juga mengeluh. Kiranya
Liong siang-kang itu meski sangat lihay, tapi ia belum
melatihnia hingga tingkatan yang paling sempurna, sekarang
iapun mainkan kepandaiannya itu dengan mengorbankan
segenap tenaga dalamnya yang ada. Jadi kalau terlalu lama,
hal ini akan membawa akibat jelek juga bag dia sendiri.
Semula ia mengira dengan Liong-siang-kang yang hebat itu
dalam sepuluh atau belasan jurus saja pasti akan dapat
merobohkan Kang Hay-thian, siapa duga kini sudah lebih 50
jurus dan pemuda itu masih kuat menahannya, bahkan belum
kelihatan akan lantas kalah. Diam-Diam Po-siang menaksir bila
nanti toh pemuda itu dapat dibinasakan, pasti dia sendiri juga
akan jatuh sakit payah dan umurnya akan susut 10 tahun
paling sedikit.
Begitulah, ditengah pertarungan sengit itu, orang yang
paling senang terang adalah Ki Hiau-hong.
Sebagai copet, dia memcunyai suatu kebiasaan aneh, yaitu
suka mencuri milik orang untuk dijadikan barang kenangan,
terutama barang milik orang yang jarang dijumpainya atau
bangsa asing. Barang yang diincarnya itu tidak perlu barang yang
berharga, cukup asal dapat mewakili tanda pengenal sipemilik
barang itu, makin jarang terdapat barang itu makin baik. Dan
sekarang ditengah kalangan pertempuran itu terdapat bangsabangsa
India, Persi. Nepal, Arab dan orang-orang dari benua
barat. Kesempatan bagus ini sungguh susah d:ketemukan
selama hidupnya, sudah tentu ia tidak mau sia-siakan ketika
baik itu. Pelahan-lahan ia mendekati sicopet dari India itu, ia
menjawilnya dan memberi tanda "rogoh saku" dan berkata
dengan bisik-bisik: "Apa kau ingin belajar ilmu tangan panjang"
dari Tiongkok" Kalau mau, mari ikut aku. lihatlah caraku ini!"
Sudah tentu copet India itu tidak paham bahasa Tionghoa,
tapi tahu maksud isyarat yang diberikan Ki Hiau-hong itu,
mula-mula ia me-lengak, tapi segera berseru dalam bahasa
asalnya: "Bagus! Kau suka menerima aku sebagai muridmu?"
Dan belum lenyap suaranya, disana Ki Hiau-hong sudah
menyelinap ketengah-tengah orang banyak untuk memainkan
"tangan-saktinya" menggerayangi saku orang.
Ditengah kalangan pertempuran ada juga jago yang ilmu
silat-nya lebih tinggi dari dia, tapi didalam pertarungan sengit
itu setiap orangnya lagi pikirnya nyawa sendiri, mana ada
yang memperhatikan tentang "awas copet".
Maka dengan bebas Ki Hiau-hong dapat beraksi, ia comot
sini dan sambar sana, raba situ dan gerayang sono, boleh
ditata tidak pernah melesat dan seperti merogor saku sendiri.
Cuma barang milik Po-siang Hoatsu saja yang takdapat
dico-pet Ki Hiau"hong, sebabnya beberapa meter disekeliling
Po-siang itu tertutup rapat oleh tenaga pukulannya dan Hauhong
tidak sanggup menembusnya.
Bukan main senangnya Ki Hiau-hong sedang beraksi. Posiang
Hoatsu dan Hay-thian lagi sama-sama merasa gopoh
dan mengeluh. Tiba-Tiba dari jauh terdengar suara suitan
panjang, suara, suitan laksana berkumandang dari langit.
Semula kedengarannya sangat jauh, tapi dalam sekejap saja
suara itu sudah mendekat hingga anak telinga semua orang
serasa pekak. Po-siang terkesiap juga, pikirnya: "Siapakah gerangan
orang, ini, sedemikian hebat Lwekangnya?"
Dan disebelah sang terlihat Ki Hiau-hong sedang
kegirangan, ia telah berj-ingkrak dan menari sambil berseru:
"Haha, Kim-tayhiap telah datang!"
Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Saking hebatnya suara itu hingga hampir semua orang yang
sedang bertempur itu ikut terpengaruh dan tanpa berjanji
sudah sama berhenti sambil memandang keluar pintu. Maka
tertampaklah dua orang laki-laki setengah umur dengan
dandanan yang sederhana telah melangkah masuk keruangan
yang penuh dengan gemilapnya senjata itu. Dan memang
benar orang yang berjalan didepan itu tak-lain-tak-bukan
adalah Kim Si-ih.
Munculnya Kim Si-iih secara mendadak ini walaupun Posiang
dan Iain-Iain terkesiap juga oleh karena suara suitannya
yang tajam itu, namun mereka masih tetap tinggal
ditempatnya. Sebaliknya Bun Ting-bik pernah musuh Si-ih,
karuan kagetnya bukan buatan, ia pikir: "Muridnya saja aku
tidak mampu menang, dari suara suitannya yang hebat
barusan ini, terang kekuatannya entah berapa kali lebih kuat
daripada muridnya. Sungguh tidak nyana hanya dalam
beberapa tahun saja Lwekangnya sudah maju sepesat ini.
selama hidupku ini terang tiada harapan lagi untuk bisa
menangkan dia."
Berpikir demikian, Bun Ting-bik benar-benar sudah putus
asa ia menghela napas panjang sekali, segera ia pura-pura
menghantam sekali kepada Danu Cu-mu lalu melepaskan diri
dan lari keluar melalui pintu samping. Ia kuatir dicegat Kim Siih,
maka larinya terbirit-birit hingga beberapa Bu-su penjaga
pintu kena diterjang jatuh.
Padahal Kim Si-ih tiada waktu senggang untuk
menggubrisnya Sebaliknya begitu masuk keruangan Kim-engkiong
itu, segera ia berseru dengan tertawa: "Katanya
pertandingan ini hanya untuk mencari perkenalan saja, maka
sebaiknya bila sudah menyentuh lawan boleh lantas berhenti.
Sekarang rasanya para hadirin sudah perlu mengaso dahulu."
Diantara semua orang itu, ketiga paderi Hindu itu tidak
kenal siapakah Kim Si-ih itu. Maka dengan nada dingin mereka
berkata: "Ha, apakah tuan, ini anggap jago nomor satu
didunia ini hingga berani sembarangan ngoceh" Berdasarkan
apa kau berani memberi perinlah kepada kami" Baiklah, jika
tuan bertekad hendak tampil kemuka, biarlah lebih dulu kami
minta sedekah kepadamu. Kami tidak ingin sedekah harta
benda darimu, cukup sukalah memberi sedekah sedikit ilmu
perkenalan saja".
Karena pikiran mereka bertiga sudah bersatu, maka
serentak tiga buah mangkok emas mereka terus ditimpakan
bersama. Dengan tenaga gabungan mereka bertiga, dimana
ketiga mangkok emas itu menyambar lantas terdengar suara
menderu yang keras dengan cahaya emas yang menyilaukan,
mata. Namun Kim Si-ih tenang-tenang saja menghadapi serangan
itu. "Omi-tohud!" ia. bersabda dengan merangkap kedua
tangannya dan berkata: "Harta benda dan kepandaian yang
kalian katakan aku tidak punya semua, maka terpaksa aku
yang harus minta sedekah kepada kalian!"
Ia tunggu sesudah cahaia emas itu sudah menyambar
dekat barulah mendadak tangannia meraup kedepan. Aneh
juga, betapa hebat sambaran cahaya emas itu, tahu-tahu
lantas lenyap dan ditangan Kim Si-ih telah bertambah dengan
tiga mangkok emas.
"Ki-toako, ketiga buah mangkok ini tampaknya laku juga
beberapa duit, aku sekarang tidak membawa oleh-oleh
untukmu, maka biarlah kuberikan padamu sedekah yang
kuperoleh dari pemberian ketiga Taysu itu," demikian kata Siih
kemudian, lalu ia sodorkan tangannia kedepan, tiba-tiba
ketiga mangkok emas itu lantas melayang kearah Ki Hiauhong
dan jatuh ditangan sicopet sakti itu.
"Kim-tayhiap," kata Hiau-hong dengan tertawa, "hadiahmu
ini tidak cocok kupakai, pula aku tidak ingin menjadi Hwesio,
membawa ketiga buah mangkok ini juga terlalu berat, maka
aku hendak menghadiahkannya kepada lain orang lagi, apakah
kau setuju?"
"Sekali aku memberikannya kepadamu, itu berarti sudah
menjadi milikmu, cara bagaimana kau hendak menggunakan
barang-barang itu boleh terserah sesukamu," sahut Si-ih.
Hiau-hong lantas tumpuk ketiga mangkok emas itu terus
disodor kan kepada copet Ind"a yang masih mengintil
dibelakangnya itu dan berkata: "Harini rupanya kau belum
dapat pasaran yang baik, biarlah beberapa kati emas ini
kuberikan padamu untuk sangu."
Sudah tentu copet India itu tidak berani menerima,
pemberian itu, segera ia kembalikan ketiga mangkok emas itu
kepada ketiga jago Hindu. Saking kesima mengalami
kekalahan tadi, sesudah menerima mangkok mereka masingmasing,
ketiga paderi Hindu itupun tidak berani bersuara lagi.
Dalam pada itu. dibawah kungkungan tenaga pukulan Posiang
yang hebat itu, Kang Hay-thian menjadi susah
melepaskan diri Sebaliknya Liong-siang-kang yang dikerahkan
Po-siang itu juga sudah mencapai titik terakhir hingga susah
dihentikan. Tiba-Tiba laki-laki yang datang bersama Kim Si-ih itu
melangkah maju dan berkata: "Po-siang Hoatsu, gurumu
Liong-yap Siangjin ada perintah agar kau lekas pulang
kesana!" Kiranya laki-laki ini adalah Liong Leng-kiau yang dahulu
pernah melawat ke India dan bertemu dengan Liong-yap
Siangjin. Tapi Po-siang seperti tidak mendengar dan melihat
terhadap keadaan disekitarnya rupanya ia bertekad harus
mengalahkan Kang Hay-thian untuk kemudian akan mengukur
tenaga pula dengan Kim Si-ih. Maka begitu Si-ih masuk kesitu,
segera ia kerahkan segenap tenaganya dan saat itu sudah
mencapai saat yang gawat dan menentukan, sedikitpun
perhatiannya tidak boleh terpencar, maka sesungguhnya ia
tidak mendengar apa yang dikatakan Liong Leng-kiau itu.
Saat itu Leng-kiau sudah melangkah masuk kedalam
lingkaran tenaga pukulan Po-siang. Pandangan Po-siang tetap
terpusat kepada Hay-thian, ketika merasa ada orang
mendekati, tanpa melihat lagi segera ia kerahkan Liong-siangkang
lebih hebat hingga Liong Leng-kiau ikut terlibat didalam
pengaruh tenaga pukulannya itu.
Leng-kiau tidak tahu seluk-beluknya, ia sangka Po-sang
memandang enteng padanya. dalam gusarnya segera ia
bermaksud ikut turun tangan. Tapi meski usianya belum
terlalu tua, bicara tentang derajat ia adalah satu angkatan
dengan Teng Hiau-lan. Ji"ka Kang Hay-thian belum
mengundurkan diri, mana boleh ia merendahkan harga diri
untuk mengeroyok Po-siang"
Dengan Lwekangnya yang tinggi, meski Leng-kiau tidak
sampai terluka dan tergencet ditengah tenaga pukulan dua
jago kelas satu itu, tapi dadanya juga terasa sesak dan susah
untuk bernapas. Keruan ia terkejut, pikiraya: "Sebagai murid
utama Liong-yap Sangjin. tidaklah mengherankan jika Po-siang
memiliki Lwe-kang selihay ini. Tapi muridnya Si-ih yang masih
muda belia ini mengapa juga memiliki kekuatan sehebat ini?"
Kini iapun sudah dapat melihat keadaan pertarungan yang
susah dilerai itu. Semula iapun bermaksud memisahkan kedua
orang itu, tapi kini sesudah masuk ditengah lingkaran tenaga
pukulan mereka, barulah ia tahu bahwa kekuatan Po-siang
terang lebih tinggi dari dia, bahkan tenaga Kang Hay-thian
juga tidak dibawahnya. Maka untuk memisahkan pertarungan
kedua jago kelas wahid ini terang tidak mampu.
Rupanya Km Si-ih juga dapat melihat keadaan itu, dengan
tersenyum ia lantas berkata: "Silakan Liong-siansing
menunggu sementara ini, biarlah aku bicara dengan dia."
Habis itu, dengan leluasa dan seenaknya ia melangkah
kepinggir Po-siang dan Kang Hay-thian. Ketika mendadak
lengan bajunya mengebas, terus saja ia potong ketengahtengah
kedua orang itu.
Dengan tenaga yang tak kelihatan yang dikebaskan lengan
bajunya itu, seketika tenaga pukulan kedua orang yang
dahsyat itu seperti dipotong oleh sebatang pedang yang tak
berwujut dan segera terputus.
Melihat Gurunya yang berada disitu, cepat Hay-thian lantas
mengundurkan diri, tapi karena pengaruh tenaga pukulan
lawan yang belum lagi lenyap seluruhnya, tanpa kuasa iapun
terhuyung-huyung sedikit kebelakang.
Sebaliknya "Liong-siang-kang" yang dikerahkan Po-siang itu
sudah mencapai puncaknya hingga susah direm lagi, maka
terdengarlah suara "blang", seluruh tenaga pukulan sakti itu
lantas mengenai tubuh Kim Si-ih yang memisah itu. Tapi Si-ih
seperti tidak merasakan apa-apa, pelahan-lahan ia tepuk
pundak Po-siang dan berkata dengan tertawa: "Po-siang
Hoatsu, rasanya kaupun perlu mengaso dahulu!"
Po-siang tergetar hebat, ia menjadi bingung sendiri.
Kiranya begitu kedua tangan Po-siang mengenai tubuh Kim
Si-ih, seketika menjadi seperti lengket dan takbisa ditarik
kembali. Padahal "Liona-siang-kang" adalah ilmu sakti kalangan
budha, betapa lihaynya ilmu itu, kini telah dikerahkan pula
dengan sepenuh tenaga bagaikan gugur gunung dahsyatnya,
menurut akal, sekalipun tubuh lawan adalah gemblengan dari
baja juga tentu akan lemas terkena pukulannya, tapi aneh bin
ajaib, biarpun tenaga dalamnya telah dikerahkan terusmenerus,
hasilnya tetap nihil, tenaga itu seperti hilir kelaut
tanpa bekas lagi. Bahkan lebih dari itu tangannya menjadi
seperti mendempel besi sem-berani, susah untuk ditarik
kembali, sebaliknya tenaganya mengalir keluar terus dan
disedot lawan. Kiranya Liong-siang-kang yang sakti itu belum terlatih
sampai puncaknya oleh Po-siang, kini kebentur kepada Kim Siih
yang memiliki Lwekang lebih tinggi dari dia, dengan
sendirinya ya tidak mampu melukainya. sebaliknya tenaganya
telah kena disedot oleh Lwekang Kim Si-ih yang Iihay itu.
Cuma pada saat yang sama itu, Po-siang juga merasa ada
suatu arus hawa hangat mengalir masuk kedalam tubuhnya
melalui tangan dan hanya dalam sejap saja sudah mengelilingi
urat nadi disekalian tubuhnya dan akhir-nya mencurah
kepusat. Jadi pada saat tenaga dalamnya tersedot, berbareng
iapun merasa badannya sangat segar. Sebagai seorang ahli,
segera Po-siang paham maksud tujuan Kim Si-ih.
Kiranya disamping memusnakan "Liong-siang-kang" Posiang
itu, berbareng pula Kim Si-ih menggunakan hawa murni
sendiri untuk membantu menyembuhkan luka dalam Po-siang
agar ke-sehatannya tidak terganggu karena punahnya Liongsiang-
kang itu. Memangnya sesudah bertempur melawan Kang Hay-thian
tadi. akibatnya paling sedikit Po-siang akan jatuh sakit keras
dan susut umurnya paling sedikit sepuluh tahun, tapi berkat
bantuan Si-ih sekarang, biarpun Liong-siang-kang jadi punah,
tapi segala akibat yang mungkin merusak tubuhnya dapatlah
terhindar. Dengan tertawa panjang sekali, lalu tangan Si-ih pelahanlahan
meninggalkan pundak Po-siang, katanya: "Po-siang
Hoatsu, sekarang bolehkah kita bicara sedikit?"
Dan baru sekarang juga Po-siang dapat menarik kembali
kedua tangannya. Ia terhindar dari bencana, tapi Liong-siangkang
yang dilatihnya selama berpuluh tahun juga punah.
Sungguh ia tidak tahu harus berterima kasih atau dendam
kepada Kim Si-ih.
Dengan kikuk akhirnya Po-siang menjawab: "Kim Si-ih,
kekuatanku yang kupupuk selama berpuluh tahun ini telah kau
punahkan, sekarang apa yang bisa kubicarakan lagi" Aku
sudah merupakan daging diatas tatakan, terserah kepadamu
cara bagaimana akan kau cacah."
"Hoatsu adalah paderi saleh, tentunya juga cukup bijaksana
untuk memandang sesuatu persoalan," kata Si-ih dengan
tertawa. "Benar aku telah memunahkan Liong-siang-kangmu,
tapi apakah aku bermaksud menghina kau dan menyembelih
kau" Justeru sebaliknya aku hendak membantu kau mencapai
kesempurnaanmu, apakah kau tahu!"
Po-siang tidak berani mengumbar amarahnya, pula
dilihatnya ucapan Si-ih itu agak sungguh-sungguh, mau-tak
mau iapun bertanya: "Maafkan kebodohanku yang tidak
paham maksudmu, harap kau coba memberi penjelasan lebih
jauh." "Liong-siansing, boleh kau yang bicara padanya," kata Si-ih.
Dan sesudah Liong Leng-kiau menyampaikan titah Liongyap
Sangjin yang menghendaki pulangnya Po-siang itu, lalu
Kim Si-ih mengambung pembifiaraannya: "Jika Liong siangkang
belum lagi punah, mungkin kau masih kemaruk kepada
kemewahan dan kedudukanmu dinegeri Masar ini hingga akan
banyak menimbulkan huru-hara lain lagi. Sekarang Liongsiang-
kangmu sudah punah, terpaksa kau mesti insaf dan
pulang kandang sesuai perintah gurumu. Gurumu adalah
paderi saleh nomor satu dijaman ini, kelak bila kau dapat
mencapai ajaran Budha yang paling sempurna, bukankah akan
jauh lebih berguna daripada jabatan sebagai Kok-su apa
segala seperti sekarang ini" Nah, baiklah, nasibmu sekarang
tergantung kepada pikiranmu sendiri, apakah kau sudah
paham?" Po-siang menjadi putus asa, urusan sudah sedemikian rupa,
kecuali mesti pulang kandang dan hidup alim, sesungguhnya
tiada pilihan lain baginya lagi. Terpaksa ia berkata: "Banyak
terima kasih atas petunjuk Kim-tayhiap, selanjutnya Pinceng
tidak ingin berkecimpung didunia ramai lagi."
Tadi waktu datangnya Kim Si-ih, sudah ada sebagian besar
jago-jago yang sedang bertarung itu berhenti, sekarang Posiang
sudah mengaku kalah, pertempuran lain serentak lantas
ikut berakhir juga.
Sesudah menghela napas panjang, Po-siang lantas memberi
tanda kepada keempat Hou-hoat-tecu, katanya: "Kalian juga
ikut pulang bersama aku!"
"Nanti dulu!" tiba-tiba terdengar seorang berseru. Kiranya
adalah Danu Cu-mu. Ia melangkah maju dan bertanya pula:
"Dimana raja jahanam Kayun itu bersembunyi, serahkan dulu
jika kau hendak pergi."
Tapi Po-siang membuka kedua tangannya dan menjawab
dengan tersenyum getir: "Pinceng sekarang mesti pikirkan
keselamatan sendiri, masakah masih bisa melindungi Kayun"
Dia memang tiada pernah datang kesini, darimana aku dapat
menyerahkannya padamu?"
"Apa benar?" Cu-mu menegas dengan ragu-ragu.
"Meski ilmu silatku tak becus, sedikitnya aku harus menjaga
Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nama baik sebagai murid Budha." sahut Po-siang agak aseran.
"Jikalau Siauongya tetap tidak percaya. ya. apa boleh buat,
terserahlah cara bagaimana kau hendak perbuat."
"Jika Hoatsu menyatakan raja lalim itu tidak berada disini,
maka pasti demikian adanya. Muridku, hendaklah kau percaya
kepada Hoatsu," demikian kata Si-ih.
Terpaksa Danu Cu-mu tunduk kepada perintah sang Suhu.
Sekarang iapun agak percaya bahwa Kan-ong yang dicari itu
memang tiada terdapat di Kim-eng-kiong. Diam-Diam ia
menjadi heran: "Seluruh keraton sudah kugeledah semua,
kalau dia tidak sembunyi disini, lalu dimana?"
Dalam pada itu Tiong-lian membisikinya juga: "Mungkin didalam
keraton masih ada sesuatu tempat rahasia lain yang
belum kita ketemukan. Boleh jadi saat ini Toako juga sudah
kembali didalam keraton, lebih baik kita lantas pulang kesana
menggabungkan diri dengan Toako, lalu mengadakan
pemeriksaan yang lebih teliti lagi."
"Benar juga usulmu," sahut Cu-mu. "Tapi urusan disini juga
perlu diatur untuk penyelesaiannya."
Segera ia keluar Kim-eng-kiong dan memberi perintah
kepada komendan tenteranya agar memimpin seribu perajurit
untuk men-jaga Kim-eng-kiong, berbareng senjata segenap
paderi penghuni istana elang emas itu juga dilucuti serta
diawasi gerak-geriknya. Sedang para tamu yang hadir disitu
disilakan untuk meninggalkan tempat.
Dan sesudah Po-siang pergi dengan membawa anak
muridnya, para jagoan dari berbagai negeri yang dia undang
itu juga menggeloyor pergi semua dengan lesu. Hanya
kawanan Bu-su Nepal dan Keng-goat Siangjin itu sekali lagi
telah kena ditawan Peng-choan Thyan-li. Tapi ini adalah
urusan dalam negeri Nepal, dengan sendirinya Danu Cu-mu
tidak dapat ikut campur.
Sesudah suasana ruangan Kim-eng-kiong menjadi sepi, lalu
Peng-choan Thian-li mendekati Kim Si-ih, katanya dengan
tertawa.: "Sang tempo lewat dengan cepat sekali, sampai
sekarang kita sudah berpisah selama belasan tahun. Apakah
kau masih suka mengembara seorang diri seperti dahulu?"
,,Benar, selama belasan tahun ini aku masih tetap seperti
dahulu," sahut Si-ih.
"Dahulu kau adalah Tok-jiu-hong-kay (sipengemis gila
bertangan keji) yang dibenci setiap orang, tapi sekarang kau
adalah Kim-tayhiap yang dikagumi dan dihormati setiap
orang," ujar Thian-ii. "Orang hidup memang susah
menghindarkan kejadian-kejadian yang menyedihkan. tapi
juga tidak boleh berduka untuk selama hidup. Sang waktu
sudah lalu, manusia juga berubah, maka perasaan setiap
orang mestinya juga harus berubah mengikuti ja-man. Kita
adalah sobat lama, harap maafkan ucapanku yang terus
terang ini."
Diwaktu bicara, sinar mata Peng-choan Thian-li selalu
diarahkan kepada Kok Ci-hoa Dan sudah tentu Kim Si-ih
paham maksud" ucapan Thian-li itu.
Perkenalan Kim Si-ih dan Peng-choan Thian-li dimasa muda
mereka jauh lebih dulu daripada perkenalannya dengan Kok
Ci-hoa dan Le Seng-lam. Usia Peng-choan Thian-li lebih muda
sedikit daripada Si-ih, tapi selamanya Thian-li sangat
memperhatikan keadaan Si-ih hingga mirip seorang kakak
terhadap adik-nya. Sebab itulah, meski kedua orang jarang
bertemu, tapi rasa persahabatan itu tetap kekal abadi.
Begitulah sesudah Si-ih mendengar ucapan Thian-li, yang
mengharukan itu, ia menghela napas, katanya: "Dahulu, dikala
sebagai "Tok-jiu-hong-kay" aku dibenci oleh setiap orang,
orang pertama yang menganggap aku sebagai kawan adalah
kau. Ehm. hal ini adalah kejadian belasan tahun yeng lalu.
Sang tempo benar-benar lalu dengan cepat, tapi kau masih
tetap muda sebagai dahulu, seballknya aku sudah mulai
beruban." Ia tidak langsung menjawab ucapan Peng-thyoan Thian-li
tadi, tapi dibalik kata-katanya itu ia hendak menyatakan
bahwa dia sudah tua, perasaannya sebagai orang muda sudah
tiada lagi. Padahal usianya sekarang baru lebih 40 tahun,
sebenarnya masih terhitung laki-laki setengah umur yang
justeru menginjak tarap kemasakan dalam segala hal.
Peng-choan Thian-li ingin merangkap perjodoannya dengan
Kok Ci-hoa, tapi segera ia akan mengadakan perjalanan jauh
ke Nepal, temponya agak sempit, sedangkan urusan
perjodoan itu agak rumit, cara bicaranya juga cuma bisa
samar-samar saja dan tidak berani dikatakan terus terang
dihadapan orang banyak. Tapi demi mendengar jawaban Si-ih
itu, Thian-li menghela napas jugai katanya dengan gegetuni
"Si-ih. rupanya kau masih tetap suka menyiksa dirinya sendiri"
Tapi entah kau sadar atau tidak bahwa kecuali kau menyiksa
dirinya sendiri, secara langsung kau-pun telah menyiksa orang
lain. Sayang aku segera akan berangkat, maka apa yang
kuucapkan ini hendaklah kau pikirkan lebih jauh dan aku tidak
dapat bicara lebih banyak lagi."
Hati Si-ih tergetar, pikirnya: "Ya, Ci-hoa adalah seorang
yang paling memahami perasaanku, segala apa dia
memaklumi diriku. Ai, apa benar aku menyiksa diriku sendiri
dan berbareng juga telah menyiksa dia?"
Kim Si-ih sebenarnya adalah seorang yang mudah bergolak
perasaannya, tapi kini usianya sudah bertambah, guncangan
perasaannya itu tidak gampang kelihatan lagi dilahirnya. Maka
setelah tenangkan diri, lalu ia berkata pula keperscalan lain:
"Apa segera kau akan lantas berangkat" Kita kebetulan dapat
berkumpul disini dengan para sobat, mengapa tidak tinggal
beberapa hari lagi?"
"Aku harus cepat pulang ke Nepal, dinegeriku itu telah
terjadi kerusuhan, mereka sedang menantikan kedatanganku,"
sahut Thian-li.
Segera Kang Lam menyela: "Kim-tayhiap, kau belum tahu
barangkali" Puteranya Teng-tayhiap sekarang telah memimpin
suatu pergerakan hebat di Nepal, apa yang terjadi hampir
sama dengan kejadian disini. Mereka telah menggulingkan raja
lalim yang lama dan kerusuhan dalam negeri belum pulih,
Teng-siauhiap adalah panglima besar dari raja baru. Kini
puteranya itu ada kesulitan, dengan sendirinya kedua orang
tuanya ingin pergi mem-bantunya."
"O, kiranya begitu," kata Si-ih. "Sang waktu benar-benar
lalu sece-pat kilat, dalam sekejap saja puteramu kini sudah
menjadi panglima besar. Berapakah usianya tahun ini?"
"Sembilanbelas," sahut Thian-li.
"Kim-tayhiap," sela Kang Lam lagi, "kau cuma tahu sang
waktu lalu dengan cepat, tapi lupa memikirkan dirimu sendiri.
Sang waktu memang tidak suka tunggu orang, lewat beberapa
tahun lagi mungkin akupun akan membopong cucu."
"Baiklah," ujar Thian-li dengan tertawa, "semoga sekembalinya
kesini nanti aku keburu minum arak perkawinan
puteramu. Kepergianku ini paling lama setahun dan kalau bisa
setengah tahun tentu sudah dapat kembali kesini. Si-ih. kau
suka mengembara kemana-mana, untuk mencari kau tidaklah
mudah, maka sebaiknya kadangkala kau suka berkunjung
ketempat kami. Selama ini kau tidak pernah menyambangi
kami, apa barangkali kau masih marah kepada Keng-thian?"
Dahulu diwaktu Peng-choan Thian-li belum menikah dengan
Teng Keng-thian, diam-diam sebenarnya Kim Si-ih juga
mencintai Thian-li. Dan diantara Keng-thian dan Si-ih juga
pernah saling gebrak, pernah juga Keng-thian memaki Si-ih
sebagai "Tok-jiu-hong-kay" sebab itulah Peng-choan Thian-li
mengucapkan kata-kata tadi.
Tapi Si-ih tertawa, sahutnya: "Kenapa kau berkata
demikian, kejadian dimasa dahulu itu memangnya adalah
salahku." Maka tertawalah Teng Keng-thian dengan terbahak-bahak
dan melangkah maju untuk memegang tangan Kim Si-ih.
"Teng-heng," kata Si-ih dengan tertawa, "diantara sobatsobat
yang kukenal, hanya rejekimu terhitung paling besar.
Dahulu aku pernah iri padamu dan sekarang aku tetap iri
padamu. Cuma saja, kau tidak perlu kuatir lagi, aku takkan
cari perkara dan ajak berkelahi lagi dengan kau."
Keng-thian terkekeh-kekeh, katanya: "Jika sekarang kau
ajak berkelahi padaku, pasti aku akan menyerah saja."
Melihat kedua orang sudah tidak punya ganjelan hati apaapa
lagi, Peng-choan Thian-li sangat senang, katanya: "Si-ih,
sebenarnya kau dapat hidup lebih gembira dan lebih bahagia
daripada kami, maka tidak perlu kau kagum pada
penghidupan orang lain. Baiklah, waktunya sudah larut, kami
mesti berangkat sekarang."
Dan sesudah Keng-thian dan Thian-li serta Thian-ih suamiisteri
menggiring pergi kawanan Busu Nepal dihantar Kang
Lam, Kim Si-ih tetap termangu-mangu ditempatnya. Kemudian
ia mendekati Kiok Ci-hoa dan berkata padanya: "Ci-hoa, aku
ingin tanya padamu, apakah selama ini kau baik-baik dan
senang hidupmu."
Ci-hoa melengak sekejap, tapi lantas menjawab dengan
tertawa: "Pertanyaanmu ini agaknya sudah lama kujawab,
asalkan kau dapat hidup senang, maka akupun akan merasa
senang. Ehm, hari ini juga aku menjadi lebih senang".
"Sebab apa?" tanya Si-ih.
"Apa kau masih ingat ucapanku dahulu bahwa guruku
menaruh harapan sangat besar padamu?" kata Ci-hoa. "Beliau
sudah sejak dulu mengetahui kau akan jadi seorang tokoh
maha besar dan sekarang ilmu silatmu benar-benar sudah
terhitung nomor satu dijagat ini. Untuk ini, bukankah aku
harus merasa sangat senang?"
"Semuanya ini adalah berkat dorongan kalian juga," sahut
Si-ih. "Padahal meski sekarang memang ada juga kemajuankemajuan
pada diriku, tapi untuk disebut sebagai "nomor satu
dijagat ini" sesungguhnya masih selisih sangat jauh".
"Baiklah, asalkan kau dapat selalu mengontrol dirimu dan
tidak pernah merasa puas atas kemajuanmu," kata Ci-hoa. "Siih,
kini menjadi giliranku untuk tanya padamu: Apakah
hidupmu selama ini juga senang?"
Kim Si-ih termenung-menung seperti sedang memikirkan
sesuatu hingga lama sekali tidak menjawab pertanyaan Kok
Ci-hoa itu. Kiranya ucapannya "atas dorongan kalian" tadi. "kalian"
yang dimaksudkannya itu termasuk pula Le Seng-Iam yang
lantas terkenang olehnya.
Saat itu terbayang pula kejadian yang menyayatkan hatinya
dahulu, yaitu pada upacara pernikahan nya dengan Le Senglam
dahulu, pada sebelum ajalnya, ditengah suasana
pengantin yang ternyata sangat memilukan itu Le Seng-lam
telah berkata kepadanya tentang tiga harapannya. Satu
diantara pesan yang ditinggalkan itu ada lah serupa dengan
harapan Kok Ci-hoa. yaitu berharap agar Kim Si-ih berhasil
menjadi seorang sarjana ilmu silat maha besar, supaya nanti
dimanapun dan bilamana juga akan menjadi kebanggaannya.
Dan sekarang bayangan Le Seng-lam itu telah muncul
dalam kenangan Kim Si-ih cuma sayang kini Le Seng-lam
sudah tidak bisa lagi menyaksikan kemajuan yang telah
dicapainya ini.
Sesudah termenung sebentar, kemudian ia berkata: "Cihoa,
sudah tentu harinipun aku merasa sangat gembira."
"Tidak Si ih, kau berdusta" kata Ci hoa dengan pandangan
yang melekat. "Aku tidak mendusta. kau," sahut Si-i-h pasti. "Hari ini aku
benar-benar gembira bagi kebahagiaan orang lain. Dan
tahukah kau apa yang sedang kupikirkan?"
Ketika Ci-hoa memandang kearah yang ditatap Si-ih, ia lihat
Kang Hay-thian sedang berada bersama dengan Kok Tionglian
dan tampaknya lagi berbicara dengan asyiknya.
"Lihatlah, murid kita sekarang sudah dewasa semua," kata
Si-ih pula. "Mereka sekarang serupa seperti bayangan kita
dimasa dahulu. Cuma rasanya mereka pasti jauh lebih
beruntung daripada kita. Coba lihat, bukanlah mereka merasa
sangat gembira?"
Padahal Km Si-ih tidak tahu bahwa Hay-thian dan Kok
Tiong-lian sekarang juga sedang diliputi awan mendung,
keduanya sama-sama tidak merasakan sesuatu gembira apaapa.
"Ya, mereka seharusnya akan jauh merasa lebih gembira
daripada kita," ujar Ci-hoa kemudian. "Kulihat urusan mereka
tidak perlu lagi campur tangan kita. Eh, apakah yang kau
pandang" Kenapakah kau?"
Kiranya saat itu Kim Si-ih lagi terkesima memandang
kedepan sana, karena teguran itu, ia tergetar seperti baru
sadar dari impian buruk, tapi lantas sahutnya: "Ci-hoa,
lihatlah, lihatlah, itulah dia!"
Waktu Ci-hoa menokh kearah yang dimaksudkan, ia lihat
suatu bayangan seorang dengan berambut panjang menjulur
sampai di pundak sedang ikut berjalan pergi bersama orang
banyak diluar Kim-eng-kiong sana. Dilihat dari bayangan orang
itu, tampaknya memang mirip Le Seng-lnm. Pabila
sebelumnya Kok Ci-hoa tidak tahu akan adanya seorang
seperti itu tentu akan disangkanya Le Seng-lam telah hidup
kembali. Padahal Si-ih juga tahu siapakah orang yang dikatakan tadi,
selama beberapa tahun ini dalam kesibukannya mengajar
murid juga selalu terpikir olehnya akan mencari tahu asal-usul
orang itu. Dan meski dia sudah tahu siapakah orang itu, toh
dikala ia terkenang pada Le Seng-lam, perawakan orang itu
bila dilihatnya lantas dianggapnya sebagai Le Seng-lam
sendiri. Orang berambut panjang yang dimaksudkan itu adalah Le
Hok-sing. Mestinya dia tidak rela pergi begitu saja. tapi Thianmo-
kau-cu tidak ingin dipergoki Kim Si-ih, ia berkeras agar Le
Hok-sing harus ikut pergi bersama dia Karena Le Hok-sing
sangat penurut kepada Thian-mo-kaucu, maka terpaksa ia
mengubah pendirian sendiri dan ikut sang Kaucu
meninggalkan Kim-eng-kiong.
Dan sesudah Kim Si-ih tenangkan diri, lalu katanya: "Ci-hoa,
ada sesuatu kandungan hatiku yang harus kumintakan
penjelasan pada orang itu."
Diam-Diam Ci-hoa menjadi gegetun, ternyata Kim Si-ih
selamanya tidak pernah melupakan Le Seng-lam. Maka
dengan suara halus iapun menjawab: "Baiklah, boleh kau
menyusulnya." namun demikian toh suaranya juga terdengar
agak gemetar suatu tanda getaran hatinya.
Tapi mendadak Si-ih berhenti lagi, air mukanya tampak
agak aneh, katanya. "Ci-hoa, apakah kau dapat tinggal lagi
Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
beberapa hari disini" Sesudah kutanya jeles sesuatu urusan
segera aku akan kembali kesini untuk menemui kau."
Ci-hoa ragu-ragu sejenak, sahutnya kemudian: "Asal-usul
Lian-ji sekarang sudah terang, aku tidak tahu apakah dia suka
menjadi puteri raja atau ingin tetap ikut padaku. Tapi aku
tentu akan mendampinginya selama beberapa hari d"sini.
Cuma, aku sendiri jemu kepada kehidupan yang mewah,
pabila Lian-ji lebih suka menjadi Puteri, maka aku sendri tidak
ingin terlalu lama tinggal dikeratonnya."
"Hal ini tidak menjadi soal," kata Si-ih. "Pendek kata, bila
urusanku ini sudah selesai, tak peduli kau berada dimana pasti
aku akan menyusul kesana untuk menemui kau."
Ucapan Kim Si-ih ini membuat Kok Ci-hoa merasa heran
dan curiga. Sebenarnya perasaannya boleh dikata sejiwa
dengan Kim Si-ih, setiap pikiran Kim Si-ih, tanpa dikatakan
juga pasti akan dapat diselaminya. Tapi sekali ini ia telah
dibuat bingung oleh Si-ih. ia tidak tahu kandungan hati apa
yang dimaksudkan Si-ih itu.
Tanpa merasa Si-ih mengulurkan tangannya untuk
menjabat tangan Ci-hoa. Mereka sudah menginjak setengah
umur, maka tidak periu merasa rikuh lagi. Pelahan-lahan Cihoa
genggam tangan Si-ih, katanya: "Baiklah, berangkatlah
kau. Setiap saat bila kau ingin menemui aku, bolehlah kau
datang kepadaku setiap waktu."
Meski lahirnya mereka tidak malu seperti muda-mudi
umumnya, tapi karena jabatan tangan itu, mau-tak-mau hati
masing-masing juga terguncang.
Sementara itu diruangan Kim-eng-kiong itu riuh ramai
dengan orang yang keluar masuk, yaitu bubarnya para tamu
dan datangnya seribu perajurit penjaga istana itu. Meski Si-ih
buru-buru mau mencari Le Hok-sing, tapi ia menjadi tidak
leluasa menggunakan Gin-kang dan berdesak-desakan dengan
orang banyak. Dan belum ada belasan langkah ia memburu keluar, tibatiba
datanglah seorang pengemis tua menegur padanya: "Kimtayhiap,
pengemis tua ingin minta sedikit arak bahagia
padamu, entah kau sudi memberi atau tidak?"
Si-ih kenal pengemis tua itu adalah Tiong Tiang-thong,
ketua Kay-pang sekte utara. Ia hanya pernah berjumpa satudua
kali dengan pengemis tua itu dan cuma kenalan biasa
saja, mengapa Tiong Tiang-thong sekarang dihadapan orang
banyak hendak minta arak segala, keruan Si-ih merasa
bingung dan heran. Pikirnya,: "Urusanku dengan Kok Ci-hoa
mengapa kau perlu ikut campur?"
Maka dengan nada dingin iapun menjawab: "Tiongpangtyu,
kau henlak minta arak, rasanya kau telah salah
alamat, darimana aku bisa memberi arak bahagia segala?"
Tiang-thong terbahak-bahak, katanya: "Jadi kau belum
tahu, Kim-tayhiap?"
"Tahu apa?" tanya Si-ih.
"Hoa-san-ih-un Hoa Thian-hong, apa kau kenal" Dia adalah
sobat baikku." kata sipengemis tua.
"Ilmu pertabiban Hoa-locianpwe maha sakti dan adalah
tabib nomor satu dijaman ini, sudah tentu aku sangat kagum
padanya sejak lama," sahut Si-ih. Tapi dalam hati iapun
membatin: "Hoa Thian-hong adalah sobat-baikmu ada
sangkut-pautnya apa lagi dengan aku?"
Tapi dengan gembira Tiong Tiang-thong lantas bicara terus:
,Kim-tayhiap, tahukah kau bahwa Thian-hong mempunyai
seorang puteri" Nona cilik ini, wah, benar-benar pintar dan
cerdik, seluruh ke pandaian ayahnya boleh d kata telah
dipahaminya semua.".
Si-ih tambah heran, ia tidak tahu apa maksud cerita Tiangthong
itu. Sahutnya dengan tawar saja: "O, ya" Hal ini aku
belum lagi tahu. Cuma angkatan muda sudah seharusnya lebih
unggul daripada yang muda. Aku juga mengharap agar
muridku kelak akan lebih hebat daripadaku."
"Tepat," kata Tiang-thong dengan tertawa. "Pabila muridmu
tidak hebat, tentu juga aku takkan minta arak bahagia
padamu." "O, bicara sekian lamanya baru sekarang aku agak paham,"
kata Si-ih. "Apa barangkali kau hendak menjadi perantara bagi
muridku itu?"
"Benarlah terkaanmu," kata T ang-thcng. ,,Ai. mengapa
Kim-siauhiap juga begitu pemalu, kiranya dia belum pernah
beritahu-kan padamu. Dia dan puterinya Thian-hong itu boleh
dikata sudah suka sama suka. Waktu mereka baru kenal
dahulu, tatkala mana akupun berada d sana. Kalau
dibicarakan, nona cilik itu malah pernah menolong jiwa
muridmu." Lalu iapun menceriterakan secara ringkas kejadian dahulu
dima-na Kang Hay-thian terluka kena racun dan kebetulan
bertemu dengan Hoa Thian-hong dan puterinya.
"Dan kebetulan sekarang kau berada disini, mungkin orang
muda merasa malu untuk bicara terus terang, maka kita kaum
tua ada baiknya lekas menetapkan urusan mereka itu,"
demikian kata Tiang-thong lapi. "Adapun pihak wanita
memang sudah lama Hoa Thian-hong menyetujui perjodohan
ini dan aku dapat menetapkan nya sekarang juga."
Sudah tentu hal ini sangat diluar dugaan Kim Si-ih, ia agak
senang, tapi juga agak kecewa. Diam-Diam ia membatin:
"Sebenarnya aku ingin Hay-ji menjadi pasangan Tiong-lian, tak
tahunya dia sudah mempunyai pilihannya sendiri. Tapi, ai,
kepada siapa dia telah pilih sudah tentu harus terserah
kepadanya sendiri, dalam urusan demikian orang lain tidak
dapat memaksanya."
Maka dengan tersenyum. iapun menjawab: "Jikalau mereka
berdua sudah cocok satu sama lain. sudah tentu akupun suka
menjadi walinya dalam perjodoan ini."
"Bagus," seru Tiang-thong. "He, Pik-titli, lekas kemari
memberi hormat kepada Kim tayhiap" tapi mesk: ia sudah
mengulangi lagi seruannya itu, tetap tidak terdengar suara
jawaban Hoa In-pik.
Sipengemis tua menggaruk-garuk kepala, ia menggerundel
sendiri : "Eh, mengapa anak dara itu telah menghilang" Dasar!
Mungkin dia telah menduga peiribicaraanku dengan Kimtayhiap
ni adalah urusan perjodohannya, karena malu, maka
main sembunyi?"
Tapi pada saat itu juga tiba-tiba terdengar suara ingin
menderu, diudara terdengar suara burung tang menusuk
telinga. Para perajurit diluar sana lagi ramai berteriak-teriak:
"Wah, besar amat elang itu! Haha, malah ada penumpangnya,
seorang nona!"
Segera orang banyak memburu keluar untuk melihat, dan
Kang Hay-thian dan Kok Tiong-lian juga berada diantara orang
banyak itu. Maka tertampaklah seekor elang raksasa sedang
mengitar di puncak menara sana, dialas punggung elang
terdapat seorang nona jelita yang jelas kelihatan kain bajunya
berkibar-kibar tertiup angin.
"Pik, moay. mengapa kau buru-buru lantas pergi?" terak
Hay-thian segera.
Juga Tiong-lian ikut berseru: "Hoa-cici, kembalilah!"
Namun elang rakasasa tu telah melayang semakin tinggi
dan hanya sekejap saja hanya kelihatan satu titik hitam diatas
langit, lalu menghilang dikejauhan sana.
Hay-thian termangu-mangu sambil menengadah kelangit.
Meski benar asmaranya sudah lama terikat atas diri Kok Tionglian,
tapi budi kebaikan dan cinta kasih In-pk sudah tentu
takbisa dilupakan. Lebih-Lebih dalam keadaan demikian ini Inpik
telah pergi tanpa pamit, hal ini membuatnya merasa
sangat pedih. Diam-Diam ia menyesal dirinya sendiri.
"Kedatangan adik Pik adalah untuk diriku, tapi aku telah
mengecewakan maksud baiknya, alamatnya ia takkan dapat
memaafkan aku lagi."
Juga Tiong-lian merasa sangat menyesal In-pik tidak
mendengar perkataan Tiong Tiang-thong dengan Kim Si-ih,
sebalikhla Tiong-lian telah mendengar. Sekejap itu iapun
merasa bimbang, urusan-urusan yang dahulu tidak pernah
terpii r olehnia, sekarang telah timbul semua.
Sebelum ini tak pernah terpikir olehnya tentang
hubungannya dengan Kang Hay-thian. Setiap kali bila ia
berada bersama dengan pemuda itu, maka kedua orang
menjadi sangat gembira. Tapi tidak pernah terpikir olehnya
bahwa inilah yang dinamakan cinta.
Kini mendadak Hoa In-pik meninggalkan mereka dan baru
sekarang ia merasa bahwa dalam pandangan In-pik, dia dan
Hay-thian sudah merupakan suatu pasangan kekasih yang tak
bisa dipasahkan. Ia paham bahwa kepergiannya In-pik itu
adalah karena dia. "Nona Hoa sangat baik kepada Hay-ko,
mestinya mereka adalah satu pasangan yang sangat setimpal.
Jka dia t"dak sangat terluka hatinya tentu tidak pergi secara
mendadak. Harini aku baru berkenalan dengan dia, sungguh
tidak terduga aku lantas melukai pe-rasaarmya. Tiong-pangcu
mengatakan Hay-ko sudah sangat cocok dengan dia, cuma
sayang aku terlambat mengetahui hal ni," berpikir demikian, ia
menjadi pilu juga. Baru sekarang iapun merasa dirinya
ternyata juga mencintai Kang Hay-thian.
Dalam pergaulan selama ini Hay-thian tidak pernah
menyalakan perasaan cinta padanya, apakah dia boleh
menyatahkan pemuda itu" Tidak, tapi sekarang ia cuma
meniesal dirinya sendiri dan merasa susah bagi Hoa In-pik.
Tanpa merasa air matanya bercuryuran dan menetes dibaha
Kang Hay-thian yang berdiri didepannya itu.
Waktu Hay-thian menoleh, namun Tiong-lian sudah
membalik tubuh dan melangkah pergi. Cepat ia menyusulnya,
tapi ia tidak tahu apa yang harus dikatakan kepada nona Itu,
ia merasa pedih seperti disayat-sayat. Dan belum lagi ia
sempat menghentikan Tiong-lian untuk di ajak bicara, dari
samping tiba-tiba seorang telah mena-riknya. Kiranya adalah
Tonq Tiang-thong.
"Kang-siahiap. apa-apaan ini, mengapa mendadak nona Pik
lantas pergi begitu saja?" demikian dengan marah-marah
Tiang-thong menegur.
Dengan lesu Hay-thian hanya geleng-geleng kepala saja
tanpa menjawab.
"Kau tidak tahu" Hra, tentu kau telah berbuat sesuatu
kesalahan hingga dia teiah marah terus tinggal pergi ujar
Targ-rhong. "Apa kesalahan nona Pik, kenapa kau telah
melupakan kebaikan-nya?"
Tapi Hay-thian sendiri lagi sed:h hingga sama sekali tidak
sanggup bicara. Dan baru Tiang-thong hendak menghardik
pula. tiba-tiba seorang telah menariknya dari samping dan
membisikinya: "Tiong-pangcu, ini adalah urusan kaum muda
mereka dan kita tidak perlu ikut marah bagi mereka."
Kiranya orang yang menarik Tiong Tang-thong itu adalah
Kim Si-ih. "Kim-tayhiap. muridmu ini lupa budi kebaikan orang,
apakah kau masih membelanya?" ujar Tiang-thong kemudian.
"Tiong-pangcu," sahut Si-ih sambil mengerut kening, "aku
adalah orang berpengalaman, urusan kaum pria dan wanita
demikian kau tidak paham. Nah, baiklah, jika kau mau
damperat bolehlah kau mendamperat padaku saja. Marilah
aku mengundang kau minum arak."
Memangnya hati Tiang-thong sudah lemas ketika melihat
sikap Kang Hay-thian yang serba susah itu, kemudian ia
menggerutu: "Selama hiduo pengemis tua tidak pernah mainmain
dengan wanita, mungkin aku memang tidak paham
urusan demikian. Tapi setiap orang hendaklah berpegang
kepada perasaan nuraninya. Sudahlah, akupun tidak mau
minum arak segala, aku hendak menyusul keponakan
perempuanku itu saja."
"Ba?klah. Tiong-pangcu, kau tidak mau minum arak
bersama aku, maka akupun akan pergi juga," sahut Si-ih. Lalu
iapun memberi pesan kepada Hay-thian: "Hay-ji. asal kau
dapat bertanggung-jawab kepada" ketenteraman hatimu,
maka terserahlah kepada apa yang akan kau perbuat. Dalam
urusan demikian ini memang susah mendapat pengartian baik
orang lain." habis berkata, dengan Isngkah lebar iapun pergi
meniusul Le Hok-sing.
Sambil menyaksikan kepergian Kim Si-ih itu, diam-diam Kok
Ci-hoa: membayangkan apakah dua angkatan dari guru dan
murid mereka itu akan mempunyai nasib yang sama" Saat itu
ia lihat Kang Hay-thian juga sudah menyusul dan jalan
berendeng dengan Kok Tiong-lian.
Sambil berjalan berendeng, sampai sekian lamanya kedua
muda-mudi itu diam saja. Akhirnya Kok Tiong-lian tak tahan,
ia membuka suara: "Hay-ko, aku tidak ingin kau dimaki orang.
Lebih baik kau pergilah mencari nona Hoa".
"Aku akan mencarinya, tapi bukan sekarang," sahut Haythian.
"Tadi aku sudah sedih, tapi sesudah mendengar pesan
Suhu, kini aku sudah merasa lega dan hatipun tidak perlu
susah." "Apakah kau benar-benar tidak kenal kebaikan orang
seperti kata Tiong-pangcu tadi?" tanya Tiong-lian.
"Aku merasa tidak berbuat kesalahan apa-apa, jika orang
lain tidak dapat memahami aku, ya, apa mau dfkata lagi"
Bukanlah aku tidak merasa susah, tapi aku tidak ingin kaupun
ikut sedih. Pahamkah kau?"
"Ya, paham aku," sahut Tiong-lian sambil menghela napas
pe-lahan. Sementara itu Danu Cu-mu sudah selesai mengatur urusan
Kim-eng-kiong yang telah dikuasai itu dan menyusul tiba.
Demi mengetahui Hoa In-pik sudah terbang pergi, tapi tidak
tahu tentang hubungan Hay-thian dengan nona itu, maka ia
menjadi girang ketika melihat adiknya berjalan bersama
dengan pemuda itu. Tapi ia menjadi terkejut pula ketika
melihat mereka diam-diam saja. bahkan pipi adiknya tampak
ada bekas air mata. Segera ia tanya: "Apakah yang terjadi?"
"Ah, tidak apa-apa," sahut Tiong-lian.
"Mengapa kau menangis?" tanya pula Cu-mu.
"Aku merasa berat ditinggal pergi Hoa-clci yang baru
kukenal itu, makanya aku merasa sedih," kata sinema.
Karena, tidak tahu seluk-beluknya, dengan tertawa Cu-mu
berkata pula: "O, kiraaya demikian: Tadi kukira kal!an telah
bertengkar. Nona Hoa itu datang kemari untuk menghadiri
pertemuan di Kim-eng-kiong, sekarang pertemuan sudah
bubar, dengan sendirinya ia harus pulang. Jika kau terkenang
padanya, kelak kalau urusan disini sudah selesai, masakah kau
tidak bisa pergi menyambangi dia dan mengapa mesti
menangis" Didunia ini mana ada sahabat yang tdak pernah
Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berpisah?"
Hati Tiong-lian tergetar mendengar ucapan terakhir sang
kakak itu, tiba-tiba ia merasa pilu pula, pikirnya: "Ya, memang
benar. Didunia ini biar sahabat yang paling karib juga pada
suatu ketika harus berpisah, kecuali suatu pasang suami-isteri
yang dapat berkumpul untuk selamanya. Aku dan Hay-thian
juga cuma berkumpul untuk sementara saja, pada suatu hari
nanti juga mesti berpisah.
Kiranya Tiong-lian sudah memutuskan akan merangkap
perjodoan Hay-thian dengan In-pik dan akan menganggap
Hay-thian sahabat saja. Namun iapun tidak dapat
menguasainya perasaannya lagi, dikala ia merasa sedih dan
susah dilupakan, barulah ia merasa bahwa cintanya kepada
Kang Hay-thisn ternyata sudah berakar mendalam.
Maka dengan senyuman yang dipaksakan ia menjawab Cumu:
"Koko, dan sekarang ketahuilah bahwa adikmu ini justeru
sebodoh ini."
Ucapannya ini berbareng sengadia diperdengarkan kepada
Kang Hay-thian. Dan pemuda itu cuma diam saja.
"Ya, sudahlah, sekarang kita harus menyelesaikan urusan
penting lebih dulu," kata Cu-mu kemudan. "Kan-ong itu tidak
sembunyi disini, sekarang kita harus cepat memeriksa seluruh
keraton dengan lebih teliti. Dan dimanakah Suhu, Kangsuheng?"
"Suhu ada urusan lain dan telah pergi dulu, biarlah aku ikut
kalian kesana," sahut Hay-thian.
Ketika Cu-mu memimpin sisa pasukannya kembali
dikeraton, sementara itu sudah dekat magrib. Keraton sudah
dikuasai seluruhnya oleh pasukannya, begundal Kan-ong ada,
yang terbunuh, banyak pula yang tertawan dan sebagian juga
menyerah dan selunihnya boleh dikata sudah ditumpas. Tapi
meski sudah dicari seharian masih terap Kan-ong belum
diketemukan. Selagi Cu-mu bertiga merasa masgul, mendadak Kang Haythian
melonjak kaget, aerufiya: "Hei dengarkan! Suara apakah
ini?" Waktu Cu-mu mendengarkan dengan cermat, kemudian
iapun berkata: "Eh, seperti suara suitan orang dan
berkumandang dari bahwa tanah, kedengarannya tercampur
pula suara benturan senjata. Rasanya terjadi didalam jalan
rahasia dibawah tanah, entah terletak dimana tempat itu?"
"Dari suaranya kutaksir terletak tiga li disebelah timur-laut
sana," ujar Hay-thian.
"Kukira pasti Toako yang telah kembali," kata Cu-mu.
"Baiklah, lekas kita mencarinya menurut arah suaranya!"
---ooo0dw0ooo---
Jilid 15 Setiba ditempat suara itu, ternyata disitu-ada sebuah
gunung-gunungan palsu, tapi tiada sesuatu gua.
"Suara Ini timbul dari bawah tanah, dibawah gunungan ini
tentu ada jalan rahasia," ujar Kang Hay-thian.
"Jalan rahasia ini adalah buatan Kan-ong sendiri, didalam
peta yang kupegang ini tidak diketemukan," kata Cu-mu.
Tengah bicara, suara nyaring beradunya senjata dibawah
tanah itu semakin jelas kedengaran.
"Apakah disitu Yap-toako" Kami sudah datang!" seru Kang
Hay-thian dengan ilmu mengirimkan gelombang suara sambil
mendekam diatas tanah.
Sejenak kemudian terdengar dari bawah tanah
berkumandang suara suitan panjang satu kali. Cu-mu terkejut,
katanya: "Memang betul adalah suaranya Toako,
kedengarannya dia seperti ter-luka."
Tapi meski mereka sudah cari ubek-ubekan, tetap jalan
masuk ke-jalan dibawah tanah itu tidak diketemukan.
Tidak lama kemudian, suara benturan senjata tadi sudah
berhenti. Waktu Cu-mu mendekam diatas tanah untu"k
mendengarkan, sayup-sayup terdengar ada suara orang
merintih yang terputus-putus, cuma susah dibedakan suara
siapakah itu. Cepat Cu-mu melompat bangun dan berseru:
"Terpaksa Biar kukerahkan pasukan pengawal untuk menggali
jalan masuknya!"
Namun tiba-tiba lantas terdengar suara keriat-keriut,
ditengah-ditengah gunung-gunungan palsu itu mendadak
terbelah menjadi dua dan memisah ke kanan-kiri, maka
tertampaknya sebuah gua ditempat itu. Tanpa pikir lagi
mereka bertiga terus menerobos kedalara gua itu.
Didalam gua keadaan gelap gulita dan entah betapa
dalamnya. "Segera Cu-mu menyalakan obor, maka kelihatan
ada undak-undakan batu yang menurun kebawah, tapi tetap
tiada nampak seorangpun.
Diam-Diam Cu-mu agak lepa, tapi tetap kuatir juga, katanya
dengan muram: "Boleh jadi Toako telah membukakan pintu
rahasia ini agar kita dapat masiik kesini. Tapi sampai,
sekarang dia masih tidak kelihatan, kukira dia tentu terluka
parah." "Marilah kita cepat mencarinya," ajak Hay-thian.
Be-rama-ramai mereka lantas menuruni undak-undakan
batu itu. Sesudah ratusan tindak, didepan mereka adalah
sebuah pintu besi, dari dalam pintu sana lantas terdengar
beberapa kali orang berbatuk-batuk.
"Tidak hanya satu orang saja yang berada didalam," ujar
Kang Hay-thian. "Tapi suara batuk-batuk itu kedengaran agak
aneh." "Toako, kami sudah datang!" seru Cu-mu sambil
menggembrong pintu besi litu.
Selang sejenak, terdengarlah suara seorang yang serak
telah menjawab: "Masuklah semual"
Pintu besi itu rupanya tidak pakai pesawat rahasia, maka
harus dibuka oleh orang yang berada dsebelah dalam. Cu-mu
bertiga dapat mendengar suara napas Yap Tiong-siau yang
terengah-engah. selang tak lama, akhirnya pintu itu dapat
dibuka juga dengan pelahan-lahan.
Dan begitu pintu besi itu terpentang, seketika pandangan
semua orang menjadi silau. Kiranya didalam situ penuh
tertimbun barang mestika yang gemerlapan menyalankan
mata. Dan diantara cahaya gemerlapannya benda mestika itu
remang-remang ada kabut asap pula dengan bau yang tidak
enak. Benda-Benda mescika itu tidak terlalu mengejutkan mereka,
yang paling aneh adalah keadaan dan orang-orang yang
berada disitu. Kelihatan Yap Tiong-siau memayang seorang
wanita dan mendekati mereka katanya dengan suara parau:
"Kedatangan kalian sangat kebetulan Kan-ong itu sudah mati
disini! Dendam keluarga Kita sudah terbalas Ji-te, urusan
se"lanjutnya adalah bagianmu!"
Cu-mu tiada sempat menyelami apa arti ucapan sang Toako
itu, lebih dulu ia memandang kearah yang ditunjuk itu, maka
terlihatlah Kan-ong atau siraja lalim, Kayun, sudah
menggeletak ditanah, disampingnya ada dua mayat pula, yaitu
kedua pengawal bersaudara yang paling dipercaya Kayun itu.
Kalau Cu-mu lebih dulu memperhatikan keadaan Kayun,
sebaliknya Kang Hay-thian dan Kok TiongYian lebih tertarik
kepada wanita yang dipayang Yap Tiong-siau itu. Kiranya
wanita itu bukan lain adalah Auyang Wan.
Tiong-lian hanya terasa heran saja melihat Auyang Wan
juga berada disitu. Sebaliknya hati Kang Hay-thian lantas
tergetar, ia terkejut dan bergirang pula. Semalam ia
terjerumus kedalam liang perangkap dibawah tanah di suatu
tempat yang lain bersama Auyang Wan dan sama-sama
menderita luka, kemudian Thian-mo-kaucu telah
memisahkannya pula dengan nona itu, waktu itu diketahuinya
juga bahwa Auyang Wan sudah tak sadarkan diri.
Tapi toh tidak dapat menolongnya. Dan sesudah Hay-thian
lolos keluar dari perangkap dan ketemu Hoa In-pik, sebaliknya
Auyang Wan masih tetap ketinggalan dijalan bawah tanah itu
serta tidak diketahui lagi bagaimana nasib selanjutnya. Siapa
tahu sekarang nona itu sudah berada bersama Yap Tiong-siau
didalam gudang harta itu.
Kiranya semalam sesudah Yap Tiong-siau ditinggalkan
sendirian, kembali ia mencari Kang Hay-thian lagi keseluruh
pelosok keraton. Ia cukup kenal tempat-tempat rahasia
didalam keraton dan akhirnya dapat menemukan jalan
dibawah tanah dimana Kang Hay-thian kejeblos itu dan
menemukan Thian-mo-kaucu serta Auyang Wan. Saat mana
tenaga Thian-mo-kaucu belum lagi pulih daa tidak berani
bergebrak dengan Yap Tiong-siau, terpaksa ia menggunakan
granat asap sebagai tameng untuk melarikan diri sehingga
Auyang Wan dapat diselamatkan Yap Tiong-siau.
Keadaan Auyang Wan agak payah, syukur Tiong-siau telah
menolongnya dengan tenaga dalam sendiri dan akhirnya nona
itu dapatlah bergerak. Tatkala mana dikeraton sedang terjadi
pertempuran sengit dan sayup-sayup dapat terdengar dibawah
tanah situ. Tiong-siau kenal ketamakan Kayun, bahwa sebelum
melarikan diri tentu akan mendatangi gudang harta pusaka itu
untuk menggondol sedikit benda-benda mestika yang bernilai.
Karena itu ia lantas mendatangi dulu gudang harta itu dan
sembunyi disitu untuk menantikan kedatangan Kan-ong.
Keadaan Auyang Wan belum sehat benar-benar, terpaksa juga
ikut bersama Tiong-siau dan sembunyi didalam gudang pusaka
itu. Benar saja, akhirnya Kan-ong telah datang. Tapi ada
sesuatu yang diluar dugaan Tiong-siau, yaitu datangnya Kanong
telah membawa serta kedua saudara Loh. kedua
pengawal setia Kayun itu. Kalau jago-jago pengawal lain
mungkin dengan gampang akan dapat dibereskan Yap Tiongsiau.
tapi kedua saudara Loh itu tidak dapat dipandang
enteng, biarpun Tiong-siau belum mengorbankan tenaga
dalamnya untuk menolong Auyang Wan mungkia juga bukan
tandingan mereka berdua.
Setelah terjadi pertarungan sengit, kedua saudara Loh kena
pukulan Tay-seng-pan-yak-kang, sebaliknya Tiong-siau juga
kena pukulan lawan. Dalam keadaan berbahaya, dengan matimatian
Auyang Wan telah membantunya dengan
menghamburkah granat berasap berbisa dengan jarum hingga
kedua saudara Loh terluka parah dan dapatlah Tiong-siau
memperoleh kemenangan ter-akhir. Kedua saudara Loh
terluka parah dan binasa, raja lalim Kayun juga keracunan
asap Yang ditaburkan Auyang Wan itu dan mati sebelum
dibunuh Tiong-siau.
Begitulah maka pertemuan Danu Cu-mu bertiga dengan
Yap Tiong-siau berdua telah sangat menggembirakan mereka.
Cu-mu bergembira karena balas dendamnya sudah terkabul.
Sedangkan. Kang Hay-thian juga bergirang demi melihat
Auyang Wan masih hidup walaupun dalam keadaan agak
payah. Sementara asap berbisa didalam gudang pusaka itu masih
belum buyar semua, segera Cumu berkata: "Toako, marilah
kita bicara diluar saja." segera ia mendekati dan memayang
Yap Tiong-siau,
Kok Tiong-lian lantas memayang Auyang Wan dan berkata
padanya dengan pelahan: "Nona Auyang, tempo dulu kau
telah menolong Hay-thian, sekarang berkat bantuanmu pula
barulah kami dapat membalas sakit hati, sungguh aku tidak
tahu cara bagaimana harus berterima kasih padamu."
Auyang Wan tersenyum ewa, sahutnya: "Lian-moay,
apakah kejadian ini ada harganya untuk dikatakan terima
kasih" Aku sendiripun banyak menerima kebaikan kalian. Maka
yang kuharap asalkan kau tidak dendam pada kesalahanku
yang dulu, hal mana aku sudah merasa lega".
Melihat keramahan Auyang Wan yang berbeda sekali
dengan waktu hendak menusuknya dengan jarum berbisa
dulu, diam-diam Tiong-lian sangat senang, tapi juga agak
heran, sebab, biarpun, sekarang mereka sudah menjadi kawan
dan bukan lawan lagi, tapi hubungan mereka toh belum begitu
rapat mengapa Auyang Wan lantas menyebutnya "Lian-moay"
(adik Lian) dengan nada. yang begitu mesra"
Tidak lama kemudian mereka sudah berada diluar gudang
pusaka itu, setelah Yap Tiong-siau menghirup hawa dalamdalam,
kemudian katanya dengan tertawa sambil memegangi
tangan Auyang Wan: "Lian-moay, selanjutnya kita adalah
orang sekeluarga, maka diantara kalian tidak perlu lagi main
sungkan-sungkan."
Tiong-lian melengak, tapi segera sadar duduknya perkara,
se-runya: "Ha, Toako, jika demikian, jadi nona Auyang adalah.
Enso-ku, bukan?"
Tiong-siau mengangguk, sahutnya: "Benar, nona Auyang
sudah terima lamaranku! Dulu aku banyak berbuat kesalahan
dan nona Auyang juga banyak berbuat salah, tapi aku tahu
kalian tentu sudi memaafkan kami. Ha, Wan-moay, aku tidak
salah toh, bukankah mereka semua akan memanggil Enso
(kakak ipar) padamu."
Kiranya Yap Tiong-siau sangat menyesali kesalahannya
kepada Tacinya Auyang Wan. Sedangkan Auyang Wan juga
sudah-tahu orang yang dicintai benar-benar oleh Kang Haythian
adalah Kok Tiong-lian. Jadi kedua orang senasib
setanggungan, maka waktu Tiong-siau mengajukan lamaran
padanya, dengan serta-merta lantas diterima Auyang Wan.
Bagi Yap Tiong-siau hal mana berarti menebus dosanya
kepada encinya Auyang Wan, berbareng sebagai balas budi
kepada Auyang Wan yang pernah menolong-jiwanya dahulu.
Sebaliknya Auyang Wan menerima lamaran Tiong-siau demi
untuk kebahagiaan Kang Hay-thian dan Kok Tiong-lian, ia
tidak ingin menyelip diantara perjodohan mereka sebagai
penghalang, hal ini sesungguhnya juga atas cintanya kepada
Kang Hay-thian.
Walaupun perjodohan Yap Tiong-siau dan Auyang Wan itu
terdapat banyak unsur-unsur yang ruwet dan terjadinya terasa
sangat mendadak pula, namun sebeaarnya juga ada
persamaan diantara mereka, yaitu mereka sama-sama
bercimpung dikalangan orang "Sia" dan mempunyai watak
yang sama pula. maka mereka boleh dikata cocok sekali satusama-
iain. Pada waktu menerima lamaran Yap Tiong-siau,
pernah juga Auyang Wan membandingkan Kang Hay-thian
dengan Tiong-siau dan akhirnya ia merasa Tiong-siau
sesungguhnya lebih sesuai baginya.
Begitulah maka Danu Cu-mu, Kok Tiong-lian lantas
memberi selamat kepada Tiong-siau dan Auyang Wan, begitu
pula Kang Hay-thian juga ikut member: selamat. Tiba-Tiba
Auyang Wan menjawab sambil mengerling sekejap kearah
Hay-thian: "Dan akupun menantikan arak bahagia dari kau
Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan Lan-moay!"
Sebenamya suaranya agak gemetar, sorot matanya juga
mengandung macam-macam perasa yang ruwet. Tapi karena
dia terluka, suaranya gemetar juga tidak diherankan. Hanya
Kang Hay-thian saja yang paham akan sorot mata dan
perasaan gadis itu. Sekilas Hay-thian juga tergetar hatinya,
dalam lubuk hatinya ia benar-benar sangat berterima kasih
kepada Auyang Wan. Sebaliknya Tcng-Iian menja \di merah
jengah mendengar ucapan Auyang Wan tadi. Pikimya: "Apa
yang pernah dikatakan Hay-ko memang benar, nona Auyang
benar-benar seorang baik."
Lalu Tiong-lian memegang sebelah tangan Auyang Wan
ber-sama Yap Tiong-siau. Tiba-Tiba ia merasa tangan Auyang
Wan itu sangat dingin, denyut nadinya juga sangat lemah, ia
terkejut dan berseru: "He, kenapakah kau, Auyang-cici?"
"Aku?"" aku sangat senang, kau?"" kau sangat baik
padaku, aku hendak?"?" hendak berangkat?"?" sahut
Auyang Wan dengan sangat lirih dan hanya didengar Tiongsiau
dan Tiong-lian saja. Sinar mata Auyang Wan juga buram
dan pelahan-lahan kelopak matanya terkatup.
"Wan-moay. jangan ?"jangan kau tanggalkan aku!" seru
Tiong-siau, tapi mendadak ia muntahkan sekumur darah segar
terus mendahului jatuh pingsan.
Setelah tinggal bersama Hoa Thian-hoag dan In-pik, sedikit
banyak Kang Hay-thian juga sudah belajar ilmu pertabiban.
Cepat ia pegang urat nadi Tiong-siau dan Auyang Wan,
katanya kemudian: "Keadaan Yap-toako tidak berhalangan,
soalnya ia terlalu letih dan mendadak terperandjat pula,
makanya jatuh pingsan, biar kan dia mengaso sebentar, tentu
segera akan siuman kembali. Keadaan luka nona Ayang agak
lebih parah, bahkan keracunan sedikit. Untung aku masih
membawa sebutir Siau-hoan-tan."
Siau-hoan-tan itu semalam mestinya sudah akan
diminumkannya kepada Auyang Wan ketika terkurung dijalan
bawah tanah semalam, tapi karena mereka lantas dipisahkan
oleh Thian-mo-kau-cu hingga maksud Hay-thiaa itu belum
terlaksana. Kini Sau-hoan-tan itu akan digunakannya pula
kepada orang yang sama, hanya lewat semalam saja keadaan
sudah banyak berubah, bahkan pi-kirpnnya sekarang jugi
sudah berbeda sama sekali. Ia pandang sekejap pada Auyang
Wan, lalu ia serahkan Siau-hoan-tan kepada Kok Tiong-lian
dan. katanya dengan pelahan: "Boleh kau pentang mulutnya
dan minumkan obat ini," kemudian ia mengurut dan
memijatnya di tempat-tempat yang perlu.
Diam-Diam Tiong-lian geli. ia tahu sang kekasih itu agak
rikuh ter-hadapnya jika pengobatan itu mesti dilakukannya
sendiri. Sesudah minum Siau-hoan-tan dan diurut pula oleh Kok
Tiong-lian, lambat-laun air muka Auyang Wan bercahaya lagi
dan pelahan-lahan siuman kembali, la menjadi terkejut juga
ketika melihat Tiong-siau juga menggeletak disebelahnya.
"Segera Toako juga akan siuman, kau tidak perlu kuatir,"
kata Tiong-lian.
Sekilas Auyang Wan melihat sorot mata Kang Hay-thian
baru saja mengerling kearahnya. ia kenal bekerjanya Siauhoan-
tan, sesudah siuman segera ia merasakan kasiat obat
itu. maka ia lantas berkata: "Hay-thian, terima kasih atas
pemberian obatmu."
"Kenapa mesti terima Kasih segala," sahut Hay-thian,
"bukankah dahulu kaupun pernah menghantarkan obat
padaku ketika aku dan Gihu tinggal di Cui In ceng?"
"Ha, jadi kau sudah tahu akan perbuatanku itu?" tanya
Auyang Wan. "Sudah tentu tahu," kata Hay-thian dengan tersenyum.
Hati Auyang Wan menjadi terhibur. P"kirnya: "Kiranya dia
sudah lama mengetahui perbuatanku itu. Meski dia sudah
mempunyai, kekasih, tapi toh dia masih ingat padaku. ia.
diantaranya priya dan wanita sebenarnya tidak mesti terikat
menjadi suami-isteri dan tetap akan menjadi sobat yang
sangat baik. Mulai harini barulah aku tahu bahwa tiap orang
mempunyai jodohnya sendiri-sendiri, asal tidak mencari susah
sendiri, akhirnya tentu akan memperoleh kebahagiaan."
berpikir sampai disini. perasaan Auyang Wan seketika terbuka,
rasa kesalnya lantas lenyap seluruhnya.
Tidak lama kemudian, benar juga Yap Tiong-siau telah
siuman kembali. Mestinya ia mempunyai tempat tinggal sendiri
didalam keraton, semalam ada sebagian terbakar, tapi Danu
Cu-mu sudah suruh orang membetulkannya kembali. Segera
Cu-mu menghantar T"ong-siau pulang keistananya, agar bisa
merawatnya dengan baik, Auyang Wan lantas ikut tinggal
diistana situ. Setelah keadaan sudah aman, banyak urusan besar lagi
yang harus diselesaikan. Maka Cu-mu telah berkata kepada
Tiong-siau: "Toako, hendaklah kau mengaso saja, besok pagi
engkau masih perlu berhadapan dengan para pembesar."
Tiong-siau melengak, tanya: "Apa" Kau?"?"" kau
maksudkan?"?"?"
"Negeri tidak boleh tiada pemimpin, engkau adalah putera
sulung ayah baginda, sudah tentu engkau yang harus
menggantikan beliau nak tahta," ujar Cu-mu dengan tertawa.
Kebetulan waktu itu Tiong-lian sedang membawakan
semangkok wedang Jimsom untuk Tiong-siau, maka iapun ikut
berkata dengan tertawa: "Toako, kita telah lama di
permainkan raja jahanam itu hingga sesama saudara
sekandung tidak saling kenal, dahulu aku banyak berlaku
kasar padamu, besok jika kau naik tahta, biarlah aku akan
menyembah paling dulu kepadamu, kemudian aku minta
anugrah pula padamu."
Dalam sekejap itu pikiran Tiong-siau benar-benar maha
kusut, tenggorokaanya seperti tersumbat dan susah membuka
suara. Mestinya iapun pernah mempunyai ambsi akan menjadi
raja. waktu itu ia belum tahu asal-usulnya sendiri dan masih
menjadi pangeran. tepi diam-diam ia sudah bersekongkol
dengan para pembesar yang berkuasa agar kelak dia dapat
merebut tahta ayah bagindanya bila wafat Sekarang secara
resmi ia akan menjadi raja tanpa berebut segala, menurut akal
dia harus gembira karena cita-citanya akan terkabul. Namun
aneh, setelah mendengar ucapan saudara-saudaranya itu,
menjadi malu dan menyesal serta bingung pula. daa air
matanya lantas berlinang . Sudah tentu iapun sangat gembira,
tapi bukan gembira karena akan menjadi raja, melainkan
gembira karena kebalkan saudara-saudaranya itu.
"Toako, kita harus merayakan urusan ini dengan gembira,
mengapa kau malah menangis" tanya T"ong-lian dengan
tertawa. Tiong-siau menyambut wedang Jinsom yang diberikan dan
dihirupnya seteguk, lalu ia mengusap air matanya sendiri dan
menya-hut: "Kalian sudi mengakui seorang Toako sebagai aku.
Saking gembiranya aku menjadi menangis."
"Dahulu kau telah dibodohi Kan-ong, kini Kan-ong sudah
binasa, habis gelap terbitlah terang, urusan yang sudah lalu
itu buat apa diangkat lagi?" demikian Tiong-lian.
"Sudah banyak aku berdosa, untung kalian telah datang
hingga aku dapat menjadi manusia baru lagi," kata Tiong-siau.
"Sekarang aku tidak inginkan apa-apa lagi, sebaliknya kalian
jauh lebih menderita daripadaku, apalagi aku sudah
memalsukan namanya Cu-mu, masakah perlu aku
memalsukan kau naik tahta lagi?"
"Toako, tahta ini memang adalah hakmu, kau cuma
dikembalikan kepada kedudukanmu yang sebenamya dan
bukan memalsukan siapa-siapa," ujar Cu-mu dengan tertawa.
"Bicara tentang menderita, derita sengsara yang kau rasakan
tentu jauh lebih hebat daripada kami."
"Tentang urusan tahta, biarlah kita bicarakan besok saja,"
kata Tiong-siau akhirnya.
"Ia, memang Toako perlu mengaso dengan baik-baik," kata
Cu-mu. "Adapun konsep amanatmu kepada rakyat tentang
kebangkitan negeri kita itu nanti akan kusiapkan, besok tinggal
dibubuhi setempe! saja."
Dan selagi ia hendak undurkan diri, tiba-tiba Tiong-siau
berkata pula: "Dan masih ada sesuatu yang perlu kupesan
padamu, didalam gudang pusaka terdapat sejilid kitab
pelajaran ilmu silat yang disebut "Liong-lik-pit-cong", ada pula
beberapa benda yang dapat digunakan oleh orang yang
mempelajari ilmu silat, tadi aku tidak sempat mencarinya,
besok hendaklah kau mencarinya dengan teliti"
"Urusan kecil ini tidak perlu Toako pikirkan, asal kesehatan
Toako sudah putih, kita masih dapat mencarinya lagi bersamasama,"
ujar Cu-mu. Semalam ini Cu-mu boleh dikata tidak tidur, ia sibuk
menyiap-kan amanat kebangkitan negerinya yang akan
dibacakan oleh sang Toako kepada rakyat. Dan baru saja
subuh tiba, cepat-cepat ia sudah mendatangi kamarnya Tiongsiau
untuk mengundangnya keistana agar penerima
penghormatan para pembesar.
Siapa duga kamarnya Tiong-siau sudah kosong melompong,
Auyang Wan juga ikut menghilang. Didalam kamar hanya
ditinggalkan sepucuk surat oleh Tiong-siau yang ditujukan
kepadanya. Surat itu menyatakan bahwa Tiong-siau malu
untuk tinggal didalam negeri, maka minta sang adik suka
memaafkan serta menggantikannya memikul tugas sebagai
pemimpin rakyat.
Tiong-siau dan Auyang. Wan diam-diam telah pergi melalui
jalan dibawah tanah tanpa diketahui oleh penjaga, dengan
sendirinya susah untuk dicari kembali. Terpaksa Cu-mu
menurut pesan sang Toako dan menerima pengangkatan para
pembesar dan naik tahta sebagai raja baru negeri Masar.
Meski Masar adalah sebuah negeri pegunungan yang kecil,
tapi sesudah mengalami geger kerusuhan, urusan yang perlu
diselesaikan juga sangat banyak sehingga Cu-mu sangat
sibuk, untung ia dibantu oleh beberapa pembesar setia yang
berpengalaman. Sementara itu Kang Lam dan Kok Ct-hoa pindah tinggal
didalam keraton, sedangkan Ki Hiau-hong lebih suka
kehidupan bebas, ia gemar pesiar, maka ia telah ikut sicopet
sakti dari India itu mengembara ketanah Hindu untuk
mengembangkan kepandaiiannya.
"Hong-ek-nio", bekas permaisuri yang bersekongkol dengan
Kayun itu, pada hari kedua sesudah Cu-mu naik tahta wanita
itu lantas menggantung diri. Tapi mengingat wanita itu adalah
bekas permaisuri ayah bagindanya, maka Cu-mu tetap
menguburnya dengan segala kehormatan secara resmi.
Sesudah segala urusan agak lancar, suatu hari, Cu-mu
teringat kepada pesan sang Toako serta apa yang pernah
didengarnya dalam percakapan rahasia antara Hong-ek-nio itu
dengan Thian-mo-kaucu tentang benda mestika dunia
persilatan yag terdapat di dalam gudang pusaka kerajaan.
Waktu itu Hong-ek-nio berjanji hendak memberikan kunci
gudang pusaka pada Thian-mo-kautiu mau membunuh Yap
Tiong-siau. Kini sesudah wanita itu meninggal, kunci yang
dimaksudkan itu entah berada dimana.
Segera Cu-mu mengajak Tiong-lian menuju kegudang
pusaka melalui jalan rahasia yang telah dikenalinya :tu. Tempo
hari waktu mereka keluar dari gudang itu, pintu besi gudang
itu hanya dirapatkan saja tanpa terkunci, maka dengan
gampang dapat mereka buka kembali.
"Kunci gudang ini sudah hilang, sebaiknya Koko minta
tukang kunci membuatkan kunci baru dengan pesawat rahasia
yang baru pula," kata Tiong-lian.
"Selanjutnya gudang ini takkan dipakai lagi, buat apa mesti
susah-susah membuatkan pesawat rahasia segala," sahut Cumu
dengan tertawa.
Tiong-lian melengak. "Gudang ini takkan dipakai lagi" Aku
tidak paham maksudmu," tania Tiong-lizri heran.
"Harta pusaka ini ada sebagian adalah warisan leluhur kita.
ada sebagian pula adalah hasil pengurasan Kan-ong dalam
tahtanya selama belasan tahun ini, pendek kata harta karun
ini berasal milik rakyat," kata TVu-mu.
"O. apa barangkali kau berniat mengembalikannya juga
kepada rakyat?"
"Ya, apa gunanya harta sebanyak ini bagi kita" Masakah
kita takut mati kelaparan" Asal milik rakyat, maka harus
dikembalikan kepada rakyat. Aku rela dikutuk sebagai anak
durhaka, tapi aku sudah bertekad akan mengoreksi perbuatan
leluhur kita!" Cu-mu berhenti sejenak, sinar matanya
berkilatan, lalu menyambung lagi: "Aku akan mengirim orang
yang dapat dipercaya untuk menjual harta pusaka ini kenegeri
Persi. India atau Tiongkok, hasilnya akan kita gunakan sebagai
biaya pembangunan negeri demi kesejahteraan rakyat kita.
Ya, aku akan mengundang pula kaum cerdik pandai dari
negeri-negeri tetangga agar memberi pendidikan kepada
rakyat untuk menaikkan tarap pengetahuan kita, pendek kata
masih banyak urusan yang harus kita kerjakan."
"Wah, engkau benar-benar seorang raja yang bijaksana dan
adalah Engkohku yang baik," seru Tiong-lian dengan gemb"ra.
"Kukira bila Toako yang menjadi raja juga beliau pasti akan
berbuat demikian," kata Cu-mu. "Mulai besok berturut-turut
harta karun ini akan kukeluarkan dan dijual untuk mulai
membangun negara kita, berbareng aku akan mengangkat
beberapa pembesar setia yang jujur dan bijaksana, nanti bila
urusan sudah selesai, segera juga aku akan pergi mencari
Toako". "Harta ini kita memang tidak perlukan, tapi beberapa
mestika yang berguna bagi kaum persilatan seperti apa yang
dikatakan Toako iru akan bermanfaat bagi kita." ujar Tionglian.
"Ya. makanya sekarang aku mau datang kesini," sahut Cumu.
Sementara itu mereka sudah berada didalam gudang
pusaka itu, kata Tiong-lian tiba-tiba: "Eh, Koko. apakah kau
mencium semacam bau wangi yang aneh?"
"Mungkin sisa bau granat berbisa yang diledakan Enso
tempo har! itu." ujar Cu-mu.
"Tapi rasanya bukan," kata Tiong-lian sesudah mengendusendus
pula. Cu-mu agak curiga juga. tapi berkata: "Tempat ini hanya
diketahui oleh Toako sedia."
"Kau lupa kepada Thian-mo-kaucu?" ujar T"ong-iian.
"Thian-mo-kaucu belum memperoleh kunci pintunya, Kayun
dan Hong-ek-nio juga sudah mati, tidak mungkin ia
mengetahui jalan rahasia yang menuju kesini."
"Habis, darimanakah datangnya bau wangi ini?"
Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mungkin disini memang tersimpan wewangan, ketika
Toako "bertempur dengan kedua saudara Loh, mungkin
mereka telah menumpahkan wadah wewangian itu. Tapi tak
perlu kita menerka se-cara ngawur, marilah kita mencari apaapa
yang penting saja."
Mereka tidak tahu benda mestika apa yang mesti dicari,
yang terlihat oleh mereka disitu hanya emas-intan dan batu
permata yang gemilapan belaka, sudah setengah harian toh
tiada menemukan sesuatu benda yang ada sangkut-pautnya
dengan ilmu Silat.
"Jangan-Jangan yang dimaksudkan adalah obat mujarab
sebangsa Thian-sim-ciok apa segala?" ujar Tiong-lian.
"Masakah ada obat mustajab sebanyak itu?" sahut Cu-mu
dengan tertawa. "Malam itu aku mendengar percakapan
mereka dan jelas menyebut beberapa benda mestika."
"Apakah dia mengatakan bentuk benda itu?"
"Diapun tidak tahu," tutur Cu-mu. "Cuma ayah baginda
pernah menyinggung rahasia ini dan dari nada uraian Hongek-
nio itu, agaknya benda itu adalah sebangsa golok dan
pedang mestika."
"Jika cuma berwujut senjata-senjata semacam itu tentu
takkan banyak berguna bagi kita," ujar Tiong-lian.
"Ya, biarpun "Liong-lik-pit-cong" itu juga tiada banyak
manfaat-nya," ujar Cu-mu. "Ilmu silat Suhuku maha sakti dan
pasti jauh lebih tinggi daripada apa yang tertera didalam kitab
pusaka itu."
"Betapapun harus disesalkan juga jika kitab itu tidak kita
ketemukan, mengingat adalah tinggalan ayah baginda," ujar
Tiong-lian. "Boleh jadi ayah sudah menurun kitab itu, lalu aslinya telah
dimusnakan," kata Cu-mu. "Mengenai benda-benda mestika
lain Toako cuma mendengar pembicaraan musuh saja, tapi
barang apa sebenarnya tak diketahuinya, jadi sungguhsungguh
atau palsu tiada orang tahu."
Demikianlah mereka berusaha merendahkan nilai bendabenda
pusaka yang tak diketahui itu, bahkan "Long-lik-pitcong"
itu juga dianggap sepele, padahal dalam hati mereka
merasa sayang juga, sebab mereka sadar benda-benda
mestika itu tentu telah dicuri orang.
"Aku merasa agak aneh," tiba-tiba Tiong-lian berkata pula.
"Apa kau meragukan ada orang pernah masuk kesini?"
tanya Cu-mu. "Bukan soal ini. Kalau ada yang mencuri, maka sudah
terang adalah Thian-mo-kaucu. Tapi yang kupikirkan ada
sesuatu urusan lain."
"Urusan apa lagi?"
"Bahwasanya leluhur kita adalah keluarga raja dan tidak
mengherankan kalau memiliki harta pusaka sebanyak ini. Tapi
mengapa juga memiliki benda mestika orang persilatan
sebanyak ini?"
"Leluhur kita memangnya juga orang persilatan. "Liong-llkpit-
cong" itu adalah pemberian seorang kosen kepada leluhur
kita, bukankah kau sudah pernah dengar cerita tentang ini?"
"Tapi sesudah turun-temurun sekian angkatan, sebenarnya
juga sudah lama bukan orang persilatan lagi," ujar Tiong-lian.
"Ke-uali Liong-lik-pit-cong itu, habis barang-barang seperti
Thian-sym-ciok dan lain-lain yang belum kita ketemukan itu
berasal darimana lagi" Makanya aku tetap merasa keturunan
keluarga kita ini rada-rada penuh rahasia."
"Haha, jadi leluhur kita juga kau curigai?" ujar Cu-mu
dengan tertawa. "Sayang ayah bag"nda sudah bada lagi
hingga urusan leluhur kita susah diketahui. Kukira tidak perlu
pikir yang tidak-tidak, marilah kita pergi saja."
"He, kotak apakah ini?" tiba-tiba Tiong-lian menemukan
sesuatu. Waktu Cu-mu memperhatikan, kiranya adaalh sebuah kotak
berbentuk lonjong dan wama hitam pekat. Ia coba ketok-ketok
dan ternyata menimbulkan suara nyaring, terang buatan dari
besi dan bukan emas yang bernilai. Maka katanya: "Ini hanya
sebuah kotak wadah perhiasan yang biasa saja, apa yang
mengherankan?"
"Jusreru karena kotak biasa, makanya aneh." sahut Tionglian.
"Kalau barang berharga, tentu aku tidak menaruh
perhatian."
Apa yang dikatakan Tiong-lian itu memang beralasan.
ditengah-tengah harta pusaka yang tiada ternilai itu terdapat
sebuah kotak besi yang tak berharga, hal ini benar-benar luar
biasa dan aneh.
"Jangan-Jangan didalam kotak ini tersimpan benda-benda
yang aneh," kata Cu-mu akhirnya sesudah memikir sejenak.
Dan waktu kotak itu dibukanya, ternyata isinya cuma sebuah
sisir, sebuah cermin kecil. Sisir adalah buatan dari kayu dan
cermin buatan dari perunggu, mungkin saking tua cermin itu
sudah guram. Sisir dan cermin serrracam itu adalah milik kaum wanita
umum-nya. sedikitpun tidak mengherankan. Tapi dibawah
barang-barang itu terdapat pula beberapa helai kertas surat
yang sudah menguning.
Waktu Tiong-lian membentang sehelai kertas surat itu. lalu
di-berikannya kepada Cu-mu dan berkata: "Koko. aku tidak
kenal hurufnya, boleh kau membacakannya untukku."
Kiranya surat itu ditulis daalm huruf Masar kertas surat itu
sudah hampir hancur. tulisannya juga samar-samar. Sesudah
diperiksa dengan teliti, aclrrnya Cu-mu berseru pelahan:
"Aneh!".
"Bagaimana bunyinya?" tanya Tiong-lian.
"Seperti surat seorang gadis kepada kekasihnya dan
melukiskan betapa rasa rindunya kepada sang kekasih," kata
Cu-mu. "O!" wajah Tiong-lian menjadi merah. Diam-Diam iapun
heran mengapa leluhurnya telah menyimpan surat cinta orang
lain didalam gudang pusaka kerajaan"
"Tapi bagian terakhir dari surat ini agak menarik," kata Curau
pula. "Gadis itu entah kemana akhirnya, tapi disini telah
dikatakan bahwa untuk selanjutnya dia takkan kembali lagi,
maka sang kekasih diminta jangan memikirkan dia. tapi lebih
baik lapangkan hati dan tekun mengatur negerinya saja"
"Aneh," kata Tonglian. "Jika begitu, bukankah kekasih yang
dimaksudkan itu adalah leluhur kita" Dan sebagai raja. setiap
gadis yang disukainya dapat diboyong kedalam keraton, siapa
lagi yang dapat merintangi kehendaknya" Tapi mengapa
mereka terpaksa mesti berpisah?"
Cu-mu coba membuka pula surat kedua. Surat ini agaknya
ditulis kemudian, keadaannya lebih bersih dan terang daripada
surat pertama. Isinya ternyata sangat sederhana, Cu-mu
menuturkannya kepada Tiong-lian: "Gadis itu telah menikah
kepada seorang lain dan melahirkan seorang putera. Dia minta
bekas kekasihnya itu cinta kepada puteranya itu seperti cinta
kepada dia, semoga dihari kemudian jangan sekali-sekali
bertemu dimedan perang dengan puteranya itu."
"Aneh, mengapa wanita itu membayangkan kemungkinan
bekas kekasihnya akan bertemu dengan puteranya di medan
perang" Dan sesudah anak itu dewasa entah bagaimana
jadinya dengan mereka," ujar Tiong-lian terheran-heran.
"Siapa bisa tahu?" sahut Cu-mu tertawa. "Coba lihat betapa
tua surat ini, paling sedikit adalah tinggalkan ratusan tahun
yang lalu dan "anak" itu mungkin juga sudah lama mati."
"Dan masih ada sehelai lagi, coba baca apa bunyinya" Eh,
seperti sepucuk surat dinas?" kata Tiong-lian.
Surat ketiga itu memang lain daripada kedua surat pertama
tadi. Kertas surat ketiga ini sangat baik, malahan diatasnya
masih jelas tertera tanda setempel besar warna merah.
Sesudah membacanya lagi, lalu Cu-mu bercerita: "Memang
benar terkaanmu, ini bukan surat pribadi, tapi adalah surat
negara dari negeri Kunbran."
"Surat Negara" Wah, tentu jauh lebih penting daripada
surat dinas biasa. Dan mengapa disimpan bersama dengan
surat cinta pribadi?"" tanya Tiong-lian.
"Sebenarnya surat inipun urusan dinas biasa tiada sesuatu
yang istimewa," kata Cu-mu.
"Urusan apakah isi surat itu?"
"Tentang raja Kunbran yang baru naik tahta dan kita
diundang mengirim utusan menghadiri upacara penobatan raja
baru itu."
"Terletak dimanakah negeri Kunbran itu?"
"Kunbran benar-benar adalah negeri tetangga kita. Kalau
negeri kita terletak di selatan kaki gunung Altai, adalah negeri
tetangga itu terletak diutara gunung, jadi diantara kedua
negeri hanya dipisahkan oleh sebuah gunung saja. tapi untuk
bisa sampai di-sana juga diperlukan waktu sepuluh hari
sampai setengah bulan," lalu ia memperhatikan tanggal surat
itu dan berkata pula: "Dan peristiwa ini ternyata sudah terjadi
70 tahun yang lalu."
Begitulah mereka tidak habis paham mengapa surat
undangan beg.tu saja juga mesti disimpan dengan begini rapi.
Lapat-Lapat Tiong-Iian merasa surat-surat itu tentu ada
hubungannya satu sama lain. cuma bagaimana duduk perkara
yang sebenarnya susahlah diketahui
"Sudahlah, toh orang-orang yang bersangkutan sudah tiada
lagi, tidak perlu kita memeras otak memikirkannya," kata Cumu
akhirnya dan menyimpan kotak rias itu. Kemudian mereka
keluar dari gudang pusaka itu. Hasil yang mereka cari tidak
ada. sebaliknya malah tambah soal-soal yang mencurigakan
dan menguatir-kan. Curiga terhadap bunyi surat-surat kuno itu
dan kuatir karena lenyapnya benda-benda mestika yang
hendak mereka cari.
Sesudah kembali ketempat tinggal masing-masing. Tionglian
sangat kesal, ia ingin mencari Kang Hay-thian untuk
menghilangkan rasa masgulnya. Tapi sesudah dipikir, ia ganti
haluan, yang dicari adalah gurunya. Kok Ci-hoa.
Saat itu Ci-hoa bersandarkan Iangkan dan sedang
memandang jauh kesana seperti sedang merenungkan
sesuatu. Ketika Tiong-lian datang dan menyapanya, pelahanlahan
Ci-hoa membelai rambut nona itu dan berkata dengan
suara halus: "Lian-ji, selama beberapa harini tampaknya kau
agak kurus."
"Hanya agak sibuk mengenai pekerjaan, tapi semangatku
cu-kup segar." sahut Tiong-lian. "Suhu, apakah engkau cocok
tinggal didalam keraton sini?"
"Terlalu enak menjadi terasa kikuk malah," sahut Ci-hoa
dengan tertawa. "Maka aku pikir akan mohon diri saja."
"Bukankah Suhu hendak menunggu kembalinya Kimtayhiap?"
kata Tiong-lian. "Tanpa merasa lima hari sudah lalu.
toh Suhu tiada urusan lain, mengapa tidak tinggal beberapa
hari lagi?"
"Justeru ada suatu urusan, tadi Tiong-pangcu telah datang
kesini," kata Ci-hoa.
"O, mengapa pengemis tua itu tidak menemui Koko?"
"Mungkin karena persoalan nona Hoa, maka pengemis tua
itu kurang puas kepada kalian. Ia tidak masuk kesini, hanya
melalui penjaga minta aku menemuinya diluar keraton. Tabiat
pengemis tua itu memang agak aneh, kalian tidak perlu
salahkan dia. Tapi kedatangannya ini bukanlah untuk
persoalan kalian, tapi dia mem bawakan berita tentang Eksupek.
Dia sendiri adalah Pangcu sekte utara dan Ek-supek
kalian adalah Pangcu sekte selatan, untuk urusan
penggabungan kedua sekte mereka itu bulan yang lalu mereka
telah mengadakan perundingan. Ek-suheng belum tahu
jejakku, maka minta Tiong-pangcu mencari kabar tentang
diriku. Kabarnya pemerintah ada usaha yang tidak
menguntungkan Bin-san-pay kita dan Kay-pang, sebab itulah
Pek-suheng dan Loh-suheng yang menjaga rumah itu sagat
kuatir dan minta aku lekas pulang."
"Jika begitu, maka akupun tidak berani menahan Suhu
lag:." kata Tiong-lian. "Suhu?"" Suhu?"?"" ia pandang
sekejap pada sang guru seperti hendak mengatakan apa-apa,
tapi tidak jadi.
"Apakah kau merasa berat berpisah dengan aku?" tanya Cihoa.
"Kebetulan juga, aku memang hendak bicara sesuatu
dengan kau."
"Silakan Suhu memberi petua," ujar Tiong-lian.
"Aku ingin tanya kau lebih dulu, apa kau bersedia
melepaskan hakmu sebagai puteri kerajaan dengan
kehidupannya yang mewah bahagia?" tanya Ci-hoa.
"Aku tidak ingin menjadi puteri segala, tapi ingin ikut
bersama Suhu saja".
Ci-hoa sangat terhibur atas jawaban itu. Katanya: "Akupun
menduga akan jawabanmu ini. Aku sudah menjabat sebagai
Ciang bunjin selama belasan tahun, sudah lama aku ingin
meletakan beban kewajiban ini, sekarang kau sudah dewasa,
sekembalinnya di Bin-san segera aku hendak menurunkan
jabatan Ciangbunjin tni kepadamu."
Tiong-lian terkejut, sahutnya "Tecu?"" Tecu cuma ingin
selalu berada didamping Suhu dan tidak ingin menjadi
Ciangbunjin segala. Tecu masih terlalu muda dan kurang
berpengalaman, mana Tecu sanggup memikul tanggungjawab
seberat itu?"
"Dahulu waktu aku diangkat menjadi Ciangbunjin usiaku
juga tidak lebih tua dari
Pendekar Riang 11 Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Dendam Iblis Seribu Wajah 22