Pencarian

Pendekar Naga Mas 1

Pendekar Naga Mas Karya Yen To Bagian 1


"PENDEKAR NAGA MAS
Cersil Bacaan Dewasa
Karya : Yen To (Gan To)
Daftar isi: Bab I Sorga cewek di pesanggrahan Hay-thian
Bab II 10 tahun mengembara mencari jejak kekasih hati
Bab III Pertarungan naga sakti versus elang sakti
Bab IV Kisah romantis yang membawa bencana
Bab V Bencana pembawa nikmat
Bab VI Pendidikan seorang ibu
PENDEKAR NAGA MAS
Bab I. Sorga cewek di Pesanggrahan Hay-thian.
Lian-hong-san disebut juga gunung Lian-bong-san, mempunyai ketinggian
empat ratus kaki dari permukaan laut, jauh memandang ke depan terlihat
samudra luas terbentang hingga kaki langit, memandang ke arah barat terlihat
rentetan pegunungan saling sambung.
Bila memandang ke arah timur, terlihat pulau Chin-huang (Chin-huang-to)
berada nun jauh di sana.
Di atas pintu gerbang sebuah gedung yang sangat megah dan indah,
terpampang sebuah papan nama bertuliskan "Hay-thian-itsi" (samudra dan
langit satu pandangan), penulisnya tercatat: Ong Sam-kongcu.
Di balik halaman gedung yang luas, banyak ditumbuhi pohon siong yang lebat
dan kekar, aneka bunga tumbuh mengelilingi sebuah taman dengan jembatan
batu yang indah, di sana tampak juga sebuah kebun menjangan serta tugu
peringatan. Di halaman bagian belakang tampak sebuah kolam mandi yang amat lebar,
kolam itu beralaskan batu hijau yang lebar, air kolam berasal dari sebuah mata
air yang memancarkan air dengan deras, kolam itu cukup dalam tapi terawat
bersih, sebuah ukiran nama terpampang di atas sebuah batu besar Ti-sim (pusat
mandi). Bulan tiga, udara di wilayah Kanglam amat sejuk dan nyaman, rumput
tumbuh amat subur, burung beterbangan sambil menyanyikan lagu yang indah,
tapi suasana di dalam gedung Hay-thian-it-si milik Ong Sam-kongcu masih
nampak bersih bagai sedia kala, hanya tampak asap mengepul dari arah dapur.
Pada saat itulah tampak seorang pemuda berusia dua puluh tahunan
berperawakan tinggi tapi kekar, berwajah tampan, dengan bertelanjang dada dan
mengenakan celana pendek sedang berenang dalam kolam.
Selain pemuda itu, tampak juga dua belas gadis muda belia yang rata-rata
berwajah cantik berkumpul di situ, kawanan gadis itu terbagi dalam tiga
kelompok, kelompok pertama mengenakan kutang berwarna merah, kelompok
kedua memakai kutang berwarna putih dan kelompok ketiga mengenakan
kutang berwarna kuning.
Saat itu mereka sedang bermsin kejar-kejaran dengan pemuda tampan itu di
dalam kolam, suara tertawa cekikikan meramaikan suasana.
Pemuda tampan itu adalah Ong Sam-kongcu (tuan muda ketiga dari keluarga
Ong) Ong it-huan, seorang jago silat termashur dalam dunia persilatan sebagai
"cepat serangannya bagai petir, kuat pukulannya bagai bukit karang,
memandang uang bagai tanah dan menyayangi perempuan bagai bunga".
Sementara kedua belas gadis cantik bertubuh seksi itu tak lain adalah dua
belas tusuk konde emas, pengawal pribadi Ong Sam-kongcu.
Bicara soal Ong Sam-kongcu, dia benar-benar termasuk seorang aneh.
Ditinjau dari ilmu silat yang dimiliki, perawakan. tubuh serta wajahnya yang
menawan, ditambah kekayaan keluarganya yang berlimpah, boleh dibilang dia
merupakan idaman setiap gadis dan pendekar wanita, tapi anehnya dia tak
pernah tertarik dengan gadis mana pun, entah sudah berapa banyak gadis yang
menitikkan air mata kekecewaan.
Sementara kedua belas tusuk konde itu terhitung gadis-gadis berperangai
lembut, hangat dan setia, bukan saja mereka bergabung tanpa imbalan, bahkan
mereka rela melayani semua keperluan Ong Sam-kongcu tanpa berkeluh kesah.
Pada mulanya, Ong Sam-kongcu pernah mengemukakan perasaan hatinya
kepada kedua belas gadis itu, apa mau dikata kedua belas gadis itu tetap
bersikeras untuk melayani keperluannya, kata mereka, asal tiap hari dapat
memandang wajahnya, mesti berkorban pun mereka rela.
Menghadapi desakan ini, terpaksa Ong Sam-kongcu menerimanya sambil
tertawa getir. Karena gagal membujuk mereka mengurungkan niatnya, Ong Sam-kongcu
pun memberi kebebasan seluas-luasnya kepada para gadis itu untuk berbuat
sekehendak mereka, toh resiko ditanggung penumpang.
Kedua belas gadis itu berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda,
namun tujuan kedatangan mereka rata-rata hampir sama.
Mereka sepakat untuk berjuang hingga titik darah penghabisan, batu cadas
yang amat keras pun akhirnya akan berlubang bila tiap hari terkena air, apalagi
perasaan cinta seseorang, toh pepatah bilang: Cinta itu datang bila sering
bertemu. Mereka semua berjanji, bila tuan muda tidak mendahului melakukan reaksi,
siapa pun dilarang memikat atau merangsang majikannya dengan cara yang
licik. Selama dua tahun kedua belas tusuk konde emas selalu memerankan posisi
sebagai seorang "dayang", jika Ong Sam-kongcu tidak memanggil, siapa pun tak
berani mendekat atau mengiringinya.
Perasaan manusia memang tak sekeras baja, siapa bilang napsu dan cinta
bisa dibendung" Apalagi satu-satunya perempuan yang dicintai secara diamdiam
tak pernah memberi tanggapan, dia selalu bertepuk sebelah tangan, lama
kelamaan jalan pikiran Ong Sam-kongcu pun mulai berubah.
la mulai mengajak bicara kedua belas tusuk kondenya, mulai bergurau dan
menggoda. Akhirnya dia putuskan untuk pergi meninggalkan kota Kim-ling, kota penuh
kesedihan itu dan mendirikan pesanggrahan megah Hay-thian-it-si di atas bukit.
Setiap pagi jam 6, ia selalu bertelanjang dada menceburkan diri ke dalam
kolam yang amat dingin itu untuk membenamkan diri, dia ingin menggunakan
hawa dingin yang menusuk tulang untuk mengusir rasa rindunya terhadap
kekasih hati. Orang bilang, jika kau patah hati, makanlah kulit pisang yang dibubuhi abu
gosok. Tapi Ong Sam-kongcu lebih suka memakai "ilmu membeku" untuk
menghadapi perasaan patah hatinya, dia ingin mendinginkan gejolak hawa
panas yang membara dalam dadanya.
Untuk mengimbangi kemauan tuannya, setiap kali Ong Sam-kongcu terjun ke
kolam maka dua belas tusuk konde pun ikut terjun ke kolam menemani, tak
heran kalau tak sampai sepuluh hari, ilmu berenang yang dikuasai kedua belas
orang gadis itu sudah sangat hebat.
Di luar kebiasaan, semalam Ong Sam-kongcu mengundang mereka berdua
belas untuk berenang bersama pagi ini.
Undangan itu membuat mereka terkejut bercampur girang, saking tegangnya,
nyaris semalaman tak bisa tidur. Belum lagi jam menunjukkan pukul 4 fajar,
Mereka sudah tiba di tepi kolam untuk melakukan pemanasan badan.
Begitu tiba di tepi kolam, Ong Sam-kongcu segera mengejek sambil tertawa:
"Hahaha ... mana ada orang melakukan pemanasan dengan mengenakan
pakaian setebal itu!"
Sambil berkata ia lepaskan jubah luarnya dan bertelanjang dada.
Berdebar keras hati kawanan gadis itu setelah melihat kulit tubuhnya yang
putih bersih tapi kekar berotot, tersipu-sipu mereka menundukkan kepala
dengan wajah bersemu merah.
Menghadap datangnya sang fajar Ong Sam-kongcu menarik napas panjang
sambil mengatur hawa murninya, lalu diiringi pekikan nyaring mulai memainkan
ilmu pukulan Pat-kwa naga sakti Yu-liong-pat-kwa-ciang.
Terlihat bayangan manusia berkelewat ringan bagaikan asap, deru angin
pukulan menggelegar bagai guntur, begitu dahsyat ilmu pukulan itu membuat
kedua belas tusuk konde terbelalak kagum.
Tiba-tiba Ong Sam-kongcu berpekik panjang, tubuhnya melambung setinggi
tiga kaki, sambil menekuk tubuh, sepasang tangannya diluruskan ke muka, dan
... "Byruuuur....!" diiringi percikan air, ia terjun ke dalam kolam.
"Ilmu gerakan tubuh yang indah!" puji kedua belas tusuk konde serentak.
Buru-buru mereka melucuti pakaian sendiri dan beruntun menceburkan diri
ke dalam kolam.
Sesudah berenang berapa saat, Ong Sam-kongcu mengusulkan untuk
bermain "perang air", biarpun dua belas tusuk konde tak paham bagaimana
mainnya, namun mereka segera menyanggupi seraya tertawa cekikikan.
"Ayo kita mulai!" teriak Ong Sam-kongcu tiba-tiba, badannya segera menyelam
ke dasar kolam.
Kolam Ti-sim ini mempunyai kedalaman hampir dua kaki, dengan ilmu
berenang yang dimiliki Ong Sam-kongcu ditambah tenaga dalamnya yang amat
sempurna, biarpun berada di dalam air, dia dapat melihat pemandangan di
sekelilingnya dengan jelas.
Tak selang berapa saat kemudian ia dapat melihat dengan jelas paha, pinggul
serta payudara kawanan cewek muda itu.
Apalagi tiga cewek yang mengenakan kutang berwarna putih, lekukan
payudaranya nampak begitu jelas dan nyata, ditambah bentuk teteknya yang
besar tapi kenyal, betul-betul membuat darah di tubuhnya mendidih.
Sejak terjun ke dalam dunia persilatan, walaupun Ong Sam-kongcu sudah
banyak pengalaman bermain cewek, sudah berulang kali mencicipi pelbagai jenis
cewek, yang kurus, yang gemuk, yang muda, yang setengah tua, namun
semuanya itu hanya sebatas iseng saja, apalagi kawanan cewek itu adalah cewek
penghibur dan semuanya tak pandai ilmu silat.
Sebaliknya kedua belas cewek ini berani mendekati Ong Sam-kongcu yang
status sosialnya tinggi dan berilmu silat hebat, tentu saja karena mereka anggap
status serta kemampuan sendiri mampu menandingi pemuda itu.
Oleh sebab itu mereka berdua belas bukan saja termasuk "barang yang pantas
digunakan", bahkan terhitung "barang kelas satu".
Dalam pada itu Ong Sam-kongcu sudah mulai terangsang setelah melihat
paha-paha mulus itu.
Karena pikiran bercabang, dua gadis yang berada di belakangnya segera
menyusul tiba. Sadar akan terkejar, buru-buru tangannya mendayung ke belakang sembari
menjejakkan kakinya, lagi-lagi tubuhnya menyelam ke bawah air.
Kebetulan waktu itu ada seorang gadis berkutang merah sedang muncul di
atas permukaan air untuk berganti napas, Ong Sam-kongcu segera
menghampirinya sambil menggelitik ketiak kirinya.
Tiba-tiba gadis itu merasa geli bercampur kaku, badannya jadi lemas hingga
tak tahan lagi minum satu tegukan air kolam.
Sambil munculkan diri berganti napas, Ong Samkongcu membuat muka setan
kepadanya lalu menyelam lagi ke dalam air.
Gadis itu malu bercampur girang, dengan badan lemas dia paksakan diri
berenang ke tepi kolam, lalu sambil merendam kakinya ke dalam air, ia
menonton Ong Sam-kongcu mempermainkan gadis lain.
Dari balik air kolam yang jernih, terlihat tubuh Ong Sam-kongcu bagaikan
seekor naga berenang kian kemari, menggelitik setiap gadis yang dijumpai,
membuat nona-nona muda itu Kegelian dan tertawa cekikikan.
Mereka berniat mengepung pemuda itu, sayang kepandaian mereka masih
kalah setingkat, tiap kali sudah terkepung tahu-tahu anak muda itu terlepas
lagi. Yang lebih parah lagi, setiap kali menerobos keluar kepungan, seperti tak
disengaja atau mungkin memang disengaja, Ong Sam-kongcu selalu menyentuh
payudara mereka yang montok, sentuhan ini membuat mereka merasa kaku,
gatal dan membangkitkan hawa napsu, tubuh mereka seakan terkena listrik
tegangan tinggi.
Tak heran gerak tubuh mereka semakin melambat, menggunakan kesempatan
itu Ong Sam-kongcu semakin bergairah mempermainkan mereka, kalau bukan
menyentuh, menyenggol atau bahkan seakan menumbuk ... anehnya, hanya
bagian tertentu dari kawanan nona itu yang disentuhnya.
Gelak tertawa, jeritan kaget bergema memenuhi angkasa dan memecahkan
keheningan fajar.
Dua belas tusuk konde menganggap mereka senasib sependeritaan, oleh
sebab itu di antara mereka ada tingkat urutan disesuaikan usia masing-masing,
gadis yang saat itu sedang duduk di tepi kolam adalah tusuk konde nomor
enam, Lan-hoa Losat, iblis wanita bunga anggrek Pek Lan-hoa.
Sebelum bergabung, dia adalah putri tunggal seorang piausu, setelah ayahnya
tewas dalam suatu pengawalan barang, tak lama kemudian ibunya menyusul ke
alam baka lantaran sedih ditinggal mati suaminya.
Atas perantara kakak seperguruan ayahnya, Pek Lan-hoa mengangkat Kiu-ci
Popo menjadi gurunya, setelah berlatih hampir lima tahun lamanya, dengan ilmu
silat yang cukup tangguh dia membuat perhitungan dengan musuh besar
pembunuh ayahnya.
Karena telengas di saat menuntut balas, dia mendapat julukan si iblis wanita
bunga anggrek. Saat itu dia menonton dari tepi kolam hingga suasana dalam kolam terlihat
sangat jelas, tiba-tiba ia temukan di bagian bawah celana Ong Sam-kongcu ada
sesuatu benda yang menonjol keluar, tonjolan benda itu besar sekali hingga
membuat celana pendek yang ketat itu seolah hampir terobek.
Jangan dianggap dia masih seorang gadis perawan, namun pengetahuannya
soal hubungan laki perempuan sangat matang dan jelas, begitu melihat bentuk
"memalukan" dari celana Ong Sam-kongcu, dia segera mengerti kalau anak
muda itu mulai terangsang dan napsu birahinya bangkit, diam-diam ia merasa
kegirangan. Setelah berputar biji matanya, sambil berpikir sejenak mendadak satu ingatan
melintas dalam benaknya.
Buru-buru dia memeriksa sekeliling tempat itu, setelah yakin tak ada orang
yang perhatikan, pelan-pelan Pek Lan-hoa mengendorkan tali kutangnya,
kemudian sekali lagi ia terjun ke air dan berenang mendekati Ong Sam-kongcu.
Melihat Pek Lan-hoa telah terjun kembali ke dalam air, diam-diam Ong Samkongcu
berenang mendekati.
Melihat pemuda itu mendekat, secepat kilat Pek Lan-hoa menjejakkan kakinya
sementara tangan kanannya segera menyambar lengan kanan lawan.
Buru-buru Ong Sam-kongcu mengegos ke samping, setelah lolos dari
cengkeraman nona itu, dia menyusup dari samping dan menggelitik ketiak
kanan gadis itu.
Kaget bercampur gelisah cepat-cepat Pek Lan-hoa menyembur pemuda itu
dengan air. Terkena semburan air yang datang secara tak terduga, otomatis Ong Samkongcu
menarik tali kutang di sisi nona itu, akibatnya kutang yang sudah
kendor talinya itu segera terbetot lepas dari tubuh Pek Lan-hoa.
Tubuh yang putih dengan payudara yang gede, kenyal dan kencang itu segera
muncul di hadapan Ong Sam-kongcu, membuat napas pemuda itu mulai tersengal
karena menahan diri....
Pek Lan-hoa menjerit kaget, tubuhnya jadi lemas dan .... "Glukk ...!" beberapa
teguk air kolam masuk ke dalam mulutnya, membuat nona itu mulai tenggelam
ke dalam kolam.
Jerit kaget dari kawanan gadis lainnya bergema memecah keheningan.
Cepat-cepat Ong Sam-kongcu berenang mendekat, dengan tangan kiri
menjepit perut nona itu, dia berenang naik ke atas permukaan.
Tiba-tiba Pek Lan-hoa merangkul punggungnya dengan kedua belah
tangannya, ia tempelkan tubuhnya rapat-rapat dengan pemuda itu.
Ong Sam-kongcu mengira hal itu merupakan reaksi alami dari seorang yang
tercebur ke dalam air, buru-buru dia balas memeluk tubuhnya erat-erat.
Kini golok sudah dicabut keluar dan sulit disarungkan kembali, Pek Lan-hoa
pura-pura meronta terus ke kiri kanan, padahal secara diam-diam ia mulai
persiapkan sarung golok di balik celananya secara tepat agar golok lawan
nantinya bisa langsung disarungkan ....
Gadis itu segera merasa "benda besar" di balik celana dalam pemuda itu
semakin membengkak hingga tegang besar.
Entah bagaimana ceritanya, tahu-tahu "benda besar" itu sudah meloncat
keluar dari balik celana, Pek Lan-hoa kegirangan, buru-buru dia menggaet
punggung lawan dengan sepasang kakinya, lalu badannya ditekan ke bawah
kuat-kuat. "Aaah ....!" tiba-tiba ia merasa lubang miliknya terasa sakit sekali.
Ong Sam-kongcu bukan orang bodoh kemarin sore, sadar kalau dia sudah
"dikerjai", ditambah lagi dia sendiri memang mempunyai "kebutuhan" ke situ,
maka ia pun berlagak pilon dengan menggerakkan badannya semakin melekat
ke tubuh gadis itu.


Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pek Lan-hoa merasa malu bercampur girang, ia pejamkan sepasang matanya
sambil menikmati, dalam keadaan begini ia tak berani memandang ke arah
rekan lainnya. Dengan tangan kiri memeluk gadis itu, tangan kanan mendayung, pelan-pelan
Ong Sam-kongcu membawa nona itu berenang ke tepi kolam, setelah itu kepada
dua orang gadis yang berada di sisinya, ia berkata sambil tertawa: "Tolong bantu
aku membopong dia!"
Kini kawanan gadis yang lain sudah tahu tentang "siasat busuk" Pek Lan-hoa,
biarpun dalam hati merasa tak puas karena dia telah melanggar "kesepakatan",
namun mereka pun berterima kasih kepadanya karena telah menjadi "pelopor"
untuk yang lain.
Setelah naik ke tepi kolam, kedua orang gadis itu segera mengambil tiga stel
pakaian yang digunakan sebagai alas untuk punggung Pek Lan-hoa, kemudian
dengan menarik kedua lengannya ke atas dan disejajar-kan dipermukaan kolam,
mereka mulai memeganginya kuat-kuat.
Pada kesempatan itu, Ong Sam-kongcu menempelkan sepasang lututnya di
tepi kolam, lalu sambil berpegangan di sisi batu, ia mulai menaik turunkan
badannya ... pertempuran dalam air segera dimulai.
Sepasang kakinya menggaet belakang punggung Ong Sam-kongcu, Pek Lanhoa
pejamkan mata rapat-rapat, wajahnya bersemu merah, biarpun menahan
rasa sakit karena robeknya selaput perawan, ia membiarkan majikannya berbuat
sekehendak hati.
Titik noda darah mulai muncul di atas permukaan air kolam, para nona tahu
Pek Lan-hoa masih perawan dan baru saja kegadisannya direnggut Ong Samkongcu,
diam-diam mereka kagum kepada nona itu karena rela berkorban demi
kebutuhan majikannya.
Menyaksikan hubungan laki perempuan yang berlangsung secara "hidup" di
hadapan mereka, para gadis mulai merasakan hatinya berdebar keras, napasnya
ikut tersengal dan wajahnya bersemu merah seperti orang mabuk, siapa pun
rasanya ingin turut serta dalam pertempuran itu dan ikut mencicipi bagaimana
rasanya "ditiduri" majikan mereka.
Dengan penuh bemapsu Ong Sam-kongcu menggerakkan tubuhnya naik
turun, makin lama gerakannya makin cepat....
Tak selang berapa saat kemudian terdengar ia mendengus tertahan, lalu
gerakan tubuhnya mulai melambat sebelum akhirnya berhenti.
Terdengar anak muda itu menghembuskan napas lega, lalu sambil memeluk
kencang tubuh Pek Lan-hoa, ia tak bergerak lagi.
"Kongcu" nona nomor satu segera menghampiri sambil menegur: "apa perlu
beristirahat sebentar di tepi kolam?"
"Aaah! Betul" teriak Ong Sam-kongcu kaget, "setelah mengeluarkan cairan
mani, aku memang tak boleh berendam terus di air dingin, bisa merusak kondisi
badanku!" Maka sambil tersenyum dia manggut-manggut. Dua orang nona itu segera
menariknya kuat-kuat dan membawanya ke tepi kolam.
Tampak "benda" Ong Sam-kongcu sudah tidak setegang tadi, biarpun begitu,
ukurannya ternyata sungguh mengejutkan!
Dalam pada itu gadis nomor satu telah membantu Ong Sam-kongcu
mengenakan pakaian.
Mengawasi celana dalamnya yang sempat robek karena diterjang "barang"nya
yang membesar, merah padam selebar wajah Ong Sam-kongcu, kuatir digoda
para nona yang lain, selesai berpakaian buru-buru perintahnya: "Cepat bawa
nona nomor enam ke dalam kamarnya"
Para nona pun segera menutupi badan Pek Lan-hoa yang telanjang bulat
dengan pakaian, kemudian menggotongnya balik ke dalam kamar.
Memandang bayangan tubuh kawanan gadis yang menjauh, diam-diam Ong
Sam-kongcu tertawa getir, gumamnya: "Habis sudah riwayatku, gara-gara ulah
Lan-hoa yang mendobrak tradisi, hari-hari berikut aku bakal kerepotan setiap
malam!" Selesai berkata, dia pun segera berlalu dari situ kembali ke dalam kamarnya.
Angin gunung yang dingin berhembus kencang, kegelapan maiam mulai
mencekam seluruh jagat, cahaya lentera mulai berkelip bagai cahaya bintang di
langit. Saat dan suasana seperti ini merupakan waktu yang paling tepat untuk
bersembunyi di balik selimut sambil memeluk "selimut" yang lain.
Tapi suasana dalam gedung Hay-thian-it-si justru amat riuh ramai oleh gelak
tertawa dan suara nyanyian.
Tampak Ong Sam-kongcu didampingi kedua belas tusuk kondenya sedang
berpesta pora sambil minum arak, mendengarkan kisah pengalaman Ong Samkongcu
yang luas dan suara kawanan gadis yang merdu bagai kicauan burung
kenari, suasana dalam ruang utama terasa begitu hangat bagaikan berada di
wilayah Kang-lam.
Tiba-tiba Pek Lan-hoa bangkit berdiri, setelah menjura di hadapan Ong Samkongcu,
ujarnya lembut "Kongcu, saudaraku sekalian, untuk merayakan hari
teramat bahagia hari ini, siaumoay sengaja telah menciptakan sebuah lagu baru,
mohon kongcu sudi memberi petunjuk!"
Baru habis berkata, sepasang pipinya telah berubah semu merah, lalu
kepalanya tertunduk dengan tersipu-sipu.
Ong Sam-kongcu mengerti yang dimaksud gadis itu adalah hubungan badan
yang telah terjadi pagi tadi, tak tahan ia tertawa tergelak: "Hahahaha ... bagus
sekaln Kalau begitu, biar aku nikmati merdunya suaramu."
Di antara berkelebatnya bayangan manusia, enam orang gadis masing-masing
mengambil sejenis alat musik, sementara Si Ciu-ing sebagai kakak paling tua segera
berdiri di tengah ruangan, gerak-geriknya lembut dan indah bagai bidadari.
Sementara lima orang gadis yang lain berdiri berjajar di belakang tubuh
toacinya sembari memandang Ong Sam-kongcu dengan senyum di kulum.
Terdengar Si Ciu-ing dengan suara merdu berkata: "Kongcu, Ciu-ing bersama
beberapa orang adik akan memainkan sebuah lagu "Hun-sou-ciu-mong" (impian
lama pengikat sukma), mohon petunjuk dari anda."
Sembari tersenyum Ong Sam-kongcu manggut-manggut.
Irama musik pun mulai bergema memecahkan keheningan
Lima orang gadis yang berdiri di belakang Si Ciu-ing mulai menggerakkan
tubuhnya yang lemah gemulai membawakan tarian yang indah mengikuti irama
musik.. Dengan suaranya yang merdu, Si Ciu-ing mulai bersenandung:
"Bunga rontok air mengalir, musim semi berlalu tanpa sisa, yang tampak hanya
angin timur yang kejam.
Bunga mekar embun di kuncup, itulah saat yang romantis untuk bermesraan.
Bila masa remaja berlalu, tak pemah akan kembali lagi, lenyap di ujung langit,
hilang tak berbekas.
Walet beterbangan kupu-kupu menari, suasana di musim semi sungguh
menawan hati"
Dengan termangu Ong Sam-kongcu menikmati alunan musik dan senandung
yang merdu merayu itu, tanpa terasa ia mulai bangkit berdiri dan mengawasi
wajah Si Ciu-ing dengan penuh kehangatan dan perasaan cinta yang amat
mesra. Tak kuasa sepasang kakinya mulai bergeser menghampiri nona itu.
Musik masih mengalun sangat merdu, sementara Ong Sam-kongcu sudah
memeluk pinggang Si Ciu-ing yang ramping dan mengikuti alunan musik,
tubuhnya mulai bergeser meninggalkan ruangan.
Tak selang berapa saat kemudian, ia telah membawa Si Ciu-ing masuk ke
dalam kamarnya.
Sambil berjalan, dengan tangannya yang terlatih dan penuh pengalaman, dia
mulai melucuti pakaian yang dikenakan gadis itu satu per satu.
Baju luar, kutang, celana panjang, celana dalam ... satu demi satu berguguran
jatuh ke lantai.
Sedetik kemudian Si Ciu-ing sudah berbaring di atas ranjang dalam keadaan
telanjang bulat.
Ong Sam-kongcu tidak menunggu lebih lama, sambil menikmati tubuh bugil
sang nona yang putih halus, dengan sepasang tetek yang besar tapi kencang itu,
dia mulai melucuti pakaian sendiri satu per satu, tak lama kemudian dia pun
sudah dalam keadaan bugil.
Dengan lidahnya yang basah pemuda itu mulai menjilati seluruh bahu Si Ciuing,
sementara tangan kanannya mulai meraba dan menggerayangi sekujur badan
si nona, meremas sepasang payudaranya, membelai pusarnya, lalu turun ...
turun terus ... mulai membelai hutan bakau yang hitam lebat dan ... sebuah
kolam surga yang mungil tapi teramat indah ....
Si Ciu-ing mulai terangsang, peluh mulai bercucuran membasahi tubuhnya, ia
merasa geli tapi nikmat... sebuah aliran hawa panas mulai muncul dalam
tubuhnya, menimbulkan perasaan yang aneh sekali....
Melihat gadisnya mulai gemetar, Ong Sam-kongcu makin terangsang, dari
bahu, dia mulai menjilati punggung dan tengkuk si nona.
Si Ciu-ing gemetar makin keras.
"Kongcu, aku ... aah!" desisnya lirih.
Ong Sam-kongcu mengerti, walaupun Si Ciu-ing masih perawan, namun
rangsangan yang dia lakukan membuat si nona terangsang dan mulai tak tahan,
ia pun mulai berbaring di sisi tubuhnya seraya memanggil: "Adik Ing!"
"Ehmm ...." dengan wajah jengah dan malu Si Ciu-ing menyahut.
Dengan lembut Ong Sam-kongcu menempelkan tubuhnya di atas badan si
nona, terasa payudaranya yang hangat, lembut tapi penuh kekenyalan mulai
menempel di atas badannya, ia tak tahan dan segera memeluknya erat-erat.
Menyusul kemudian ia mulai menciumi seluruh jidatnya, kelopak matanya,
ujung hidungnya, sepasang bibirnya dan berhenti di telinganya, dimana dia
mulai menjilat, menggigit dan menghisapnya pelan-pelan.
Si Ciu-ing semakin gemetar, tak kuasa badannya mulai menggeliat tiada
hentinya. Dengan sepasang bibirnya, Ong Sam-kongcu menciumi bibirnya yang panas
dengan penuh bemapsu, Si Ciu-ing mendesis, tiba-tiba dia balas merangkul
tubuh Ong Sam-kongcu, memeluk kencang dan balas mencium pemuda itu
dengan penuh bernapsu.
Bibir bertemu bibir, lidah bertemu lidah ....
Ong Sam-kongcu dengan tangan kirinya membelai lembut punggung dan
pinggulnya, ia merasa tubuh nona itu sangat halus, lembut dan penuh daya
rangsang yang memikat.
Belaian itu membuat Si Ciu-ing semakin bemapsu, dia cium pemuda itu
makin buas, menciuminya hingga nyaris tak mampu bernapas, kemudian
setelah melepaskan ciumannya, ia mulai berbaring terengah-engah.
Dengus napas yang memburu membuat sepasang payudaranya yang putih
montok ikut gemetar keras, Ong Sam-kongcu tidak berdiam diri, mengawasi
payudara si nona yang bergetar naik turun, terutama sepasang puting susunya
yang mulai mengeras dan berdiri rhenantang, ia merasa hawa napsunya makin
membara, ia mulai tak sanggup menahan diri lagi....
Dengan bibirnya yang hangat dia mulai menghisap puting susu sebelah kanan
yang mengeras, sementara tangan kirinya mulai membelai, meraba ... dan
meremas payudara kirinya yang menantang....
Seperti tersambar kilatan halilintar Si Ciu-ing gemetar keras, hisapan pada
puting susunya membuat ia merasa geli ... geli tapi amat merangsang, begitu terangsangnya
hingga ia mulai berkunang-kunang, dengus napasnya makin
cepat... semakin terengah.
Yang lebih menyiksa lagi, ternyata Ong Sam-kongcu bukan cuma menghisap,
dia mulai menggigit puting susunya yang sedikit lebih besar dari kacang itu
dengan bernapsu, biarpun gigitan itu ringan dan merangsang, tapi si nona
merasa amat geli, gatal dan aneh sekali....
Tiba-tiba Si Ciu-ing merasa seperti ingin "kencing", tak tahan ia mulai bersin
berulang kali. Menyaksikan hal itu, dengan tangan kirinya Ong Sam-kongcu segera meraba
"lubang surga" di antara sepasang paha si nona, dengan cepat dia dapati
semacam cairan basah yang licin tapi lengket telah membasahi sekeliling tempat
itu, tak tahan pikirnya: "Tak salah orang berkata, semakin montok seorang nona,
semakin gampang ia mencapai "puncak"nya!"
Maka dia pun mulai menghisap dan menggigit pelan puting susu yang kiri.
Dengan wajah tersipu dan suara gemetar Si Ciu-ing mulai mendesis: "Aaah
kongcu ... jangan ... jangan begitu ... aku ... aku mulai tak tahan ... aah ... aahh
...!" Ong Sam-kongcu tertawa pelan, dia mulai berjongkok di atas badan si nona,
merentang lebar sepasang kakinya lalu "tombak panjang" miliknya mulai
ditempelkan di atas "sarung senjata" lawan dan pelan-pelan dihujamkan ke
bawah dengan penuh kelembutan.
Si Ciu-ing merasa amat sakit, terutama ketika "tombak" lawan mulai
mengoyak jaring tipis miliknya ... sambil mengertak gigi ia menahan diri, biar
sakit dia tak bergeming, dia biarkan majikannya menjebol "jaring" pertahanan
miliknya.... Ong Sam-kongcu merasakan Kenikmatan yang luar biasa muncul dari ujung
"tombak"nya langsung menyebar ke sekujur badan, ini membuat dia semakin
bernapsu untuk menghisap, menjilat dan menggigit sepasang puting susu nona
itu. Si Ciu-ing mencengkeram ujung bantalnya kuat-kuat menahan rasa sakit dan
pedih yang amat sangat, terutama ketika ujung "tombak" lawan mulai
menembusi "jaring" pertahanannya, dia hadapi "serangan" lawan dengan penuh
ketegangan.... Menurut yang dia ketahui, robeknya selaput perawan seorang gadis adalah
saat yang paling sakit dan menderita, bahkan ada sementara orang tak mampu
turun dari ranjang selama tiga hari sebelum rasa sakit itu dapat di atasi, karena
itu dia tingkatkan kewaspadaan untuk menghadapi serangan itu.
Untung sekali Ong Sam-kongcu bukan termasuk kekasih yang kelewat
terburu napsu, dia selalu memperhitungkan penderitaan lawan, pemuda itupun
bukan termasuk lelaki golongan "kereta cepat" yang ingin terburu-buru sampai
di tempat tujuan.
Kenyataan ini membuat Si Ciu-ing diam-diam menghembuskan napas lega,
tak lama kemudian rasa geli, gatal dan kesemutan sekali lagi menyelimuti
sekujur badannya.
Tak kuasa lagi dia mulai menggeliat, mulai bergerak, mulai mengimbangi
gerak tubuh lawan ... ia mulai mendengus, mendesis dan merintih ....
Tangan yang semula dipakai untuk mencengkeram Ujung bantal, kini
digunakan untuk memeluk punggung Ong Sam-kongcu.
Entah berapa lama sudah lewat... akhirnya ... ujung tombak telah mencapai
dasarnya! Sepasang tangannya yang semula dipakai untuk memeluk punggung
Ong Sam-kongcu, kini mulai bergeser turun, bergeser ke atas pinggulnya bahkan
secara pelan-pelan rnulai membantu gerakan pinggul pemuda itu agar bisa
menghujam lebih ke bawah ... menghujam lebih dalam ....
Dengan gerakan "mengikuti arus mendorong sampan" Ong Sam-kongcu
membiarkan tombaknya menusuk "lubang surga" gadis itu dalam-dalam.
Semakin ditusuk, ujung tombak yang menembusi "lubang surga" lawan
menghujam makin dalam sehingga akhirnya hampir seluruh badan "tombak"
terbenam dalam tubuh lawan....
Dalam posisi seperti ini, Ong Sam-kongcu tak mau membuat gadis pujaannya
mengerang kesakitan, dia berusaha agar nona itu bebas dari penderitaan.
Sekali lagi dia cium bibir nona Si dengan penuh kemesraan, menjilat,
mencium dan menghisap ujung lidahnya.
Si Ciu-ing balas mencium pemuda itu dengan penuh napsu.
Biarpun gerakannya masih kaku dan terasa asing, namun penuh
mengandung kehangatan cinta dan napsu yang membara.
Pelan-pelan Ong Sam-kongcu masukkan ujung lidahnya ke dalam bibir gadis
itu, menyongsong ujung lidahnya yang lembut, halus dan hangat, lalu
menghisapnya pelan.
Selama hidup belum pernah Si Ciu-ing mengalami kejadian seperti ini, apalagi
dalam hubungan antara laki dan perempuan, hakekatnya dia hanya seekor ayam
yang tercebur dalam sumur, sarna sekali tak punya pengetahuan apalagi
pengalaman, mendengar pun belum pernah.
Tahu kalau gadis itu tak punya pengalaman, Ong Sam-kongcu mulai memberi
petunjuk dan kursus kilat, tak sampai seperminum teh kemudian Si Ciu-ing
yang pintar segera dapat menguasai tehnik itu dan mempraktekkan dengan
sempurna. Sepasang ujung lidah pun sebentar masuk sebentar keluar, dalam bibir
masing-masing saling menggaet saling menghisap dan saling menggigit....
Menggunakan kesempatan itu diam-diam Ong Sam-kongcu mulai menaik
turunkan tubuhnya beberapa kali, dia segera dapat merasa kalau "jalanan mulai
becek dan basah" bahkan "lorong jalan" itu sudah semakin longgar ketimbang
tadi, maka dia pun rnulai beraksi dengan menggoyangkan tubuhnya, bukan
cuma naik turun, bahkan mulai memutar sambil menekan.
"Aaah ... kongcu ... aaah...." desis merdu bergema memecah keheningan: "aaah


Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

... kongcu ... nikmat"
Dalam waktu singkat kedua orang itu sudah lupa diri, mereka tenggelam
dalam deru napsu yang makin meningkat, gerak tubuh mereka kian lama kian
bertambah cepat.
Kalau semula Si Ciu-ing belum berani melakukan gerak balasan, kini dia
mulai aktif berperan, pinggulnya ikut bergoyang sambil berputar mengimbangi
gerakan tubuh lawan....
Begitu asyiknya mereka "bertempur" hingga siapa pun tak tahu sejak kapan
irama lagu di luar gedung sudah berhenti berbunyi.
Beruntun tiga hari tiga malam Ong Sam-kongcu tak pernah bergeming
selangkah pun dari dalam kamar tidur Si Ciu-ing.
Malam itu untuk kesekian kalinya mereka bertempur sengit, setengah jam
kemudian mereka berdua sama-sama "terluka dan mengucurkan darah" hingga
mesti tergeletak lemas di ranjang.
Saat itulah terdengar Si Ciu-ing berbisik lirih: "Kongcu, aku ... aku benarbenar
merasa nikmat!"
Ong Sam-kongcu menciumnya penuh rasa sayang, kemudian ujarnya serius:
"Adik Ing, aku ... aku ingin meminangmu!"
Tertegun Si Ciu-ing sehabis mendengar berita gembira yang sama sekali tak
terduga itu, dengan senyum di kulum dan nada gemetar tegasnya: "Kongcu, kau
... kau serius?"
"Tentu saja serius adik Ing, kau bukan cuma cerdik, kehangatan tubuhmu
dapat memuaskan napsuku, mendatangkan kegembiraan yang luar biasa! Kau
... kau bersedia aku kawini?"
Sambil mengucurkan air mata kegirangan Si Ciu-ing mengawasi pemuda itu
tanpa bicara, dia seperti ragu untuk menjawab.
"Adik Ing!" kembali Ong Sam-kongcu bertanya sembari menjilati butiran air
mata yang membasahi kelopak matanya: "cepatlah jawab, paling tidak kau mesti
anggukkan kepala."
"Kongcu," kata Si Ciu-ing dengan nada gemetar, "tentu saja aku seratus satu
persen setuju dan menerima pinanganmu, tapi bagaimana dengan kesebelas
saudara lainnya" Mereka semua mencintaimu, apa yang harus kau lakukan
terhadap mereka?"
"Waah, kalau soal ini.."
"Kongcu, aku boleh mengajukan usul?"
"Katakan saja adik Ing."
"Kongcu, bagaimana kalau sekaligus kau kawini semua gadis itu?"
"Tapi... apa tidak kelewatan?"
"Kongcu, dengan latar belakang keluargamu serta harta kekayaan yang kau
miliki, tak mungkin ada orang berani menentang, lagipula dari dua belas tusuk
konde emas, kecuali Jit-moay (adik ketujuh) dan Pat-moay (adik kedelapan),
hampir semuanya adalah gadis bebas."
"Soal ini... kita bicarakan nanti saja!"
Si Ciu-ing tahu majikannya pasti punya pemikiran lain, maka dia pun tak
banyak bicara lagi dan mulai membantu pemuda itu untuk membersihkan
"tombaknya yang penuh berlepotan darah.
Hari kedua, baru saja tengah hari menjelang tiba, Ong Sam-kongcu
didampingi dua belas tusuk konde emas sedang melukis di depan gununggunungan,
tiba-tiba Ong tua, congkoan dari perkampungan muncul dan
memberi laporan: "Kongcu, di luar kedatangan seorang tamu yang mengaku dari
marga Go ingin berjumpa dengan kongcu!"
"Dari marga Go" Apa tidak membawa kartu nama?" gumam Ong Sam-kongcu
sambil berhenti melukis.
"Tidak, katanya dia adalah sahabat karib kongcu ketika masih di kota Kimleng."
"Aneh!"
Sambil bangkit berdiri Ong Sam-kongcu mengikuti Ong tua menuju ke pintu
gerbang, ia jumpai seorang pemuda berjubah biru yang mengenakan topi dan
mantel kulit sedang berdiri membelakangi pintu sembari menikmati
pemandangan alam di sekeliling tempat itu.
"Go-kongcu!" orang tua Ong segera menyapa sembari menjura, "kongcu kami
telah datang!"
"Terima kasih!" sahut pemuda Go sembari pelan-pelan membalikkan badan.
Begitu mendengar kata "terima kasih", tiba-tiba saja tubuh Ong Sam-kongcu
gemetar keras, apalagi setelah melihat jelas paras muka orang itu, tak kuasa ia
menjerit tertahan: "Aah, rupanya kau!"
"Betul, memang aku, Go Hoa-ti, bersedia menerimaku?" ujar pemuda itu
sambil tersenyum.
"Tentu saja, tentu saja jawab Ong sam-kongcu agak gugup.
"Blaaam!" saking gugupnya sikut Ong Sam-kongcu menghantam pintu kuatkuat
hingga menimbulkan suara keras, tak kuasa lagi merah padam wajahnya.
Waktu itu, dua belas tusuk konde emas masih berdiri di muka gununggunungan,
tapi perhatian mereka sesungguhnya tertuju keluar pintu,
mendengar suara benturan yang nyaring, serentak mereka memburu tiba, para
gadis mengira majikannya terkena bokongan.
"Kongcu, apa yang terjadi?" tanya Si Ciu-ing penuh rasa kuatir.
"Aaah, tidak apa-apa ..,!" buru-buru Ong Sam-kongcu menyahut agak panik,
"mari kuperkenalkan kalian semua, mereka adalah.."
Belum selesai pemuda itu bicara, Go Hoa-ti telah menukas duluan sambil
tertawa: "Kongcu, tak heran kau tega meninggalkan semua hasil karyamu di kota
Kim-leng, rupanya dalam rumah kau banyak menyembunyikan cewek jelita"
Ong Sam-kongcu tersipu-sipu hingga untuk sesaat tak mampu mengucapkan
sepatah kata pun.
Dalam pada itu Si Ciu-ing telah mengamati wajah Go Hoa-ti beberapa saat,
dari logat bicaranya dia tahu lawan adalah seorang nona yang sedang menyaru,
maka ia pun menegur "Kongcu, tolong tanya apa kau kenal dengan Kim-leng-lihiap
(pendekar wanita dari kota Kim-leng)?"
"Si-lihiap, tak malu kau mendapat julukan Li-cukat (Cukat/Khong Beng
wanita), betul, siaumoay adalah Go Hoa-til"
Seraya berkata, ia lepaskan topi kulit penutup kepalanya.
Rambutnya yang hitam panjang mengkilap segera terurai di atas bahunya.
Semua orang merasa pandangan matanya jadi silau, diam-diam mereka
menaruh rasa kagum akan kecantikan wajahnya yang luar biasa.
Terutama Ong Sam-kongcu, dia sampai tertegun menyaksikan kecantikan
wajah gadis itu.
Tiba-tiba Si Ciu-ing berbisik: "Kongcu, di luar angin sangat deras, lebih baik
undang masuk lebih dulu nona Go ke ruang tengahi"
"Aaah, betul" kata Ong Sam-kongcu agak gugup, "nona Go, silahkan masuk!"
"Terima kasih!" sambil tersenyum Go Hoa-ti berjalan masuk ke dalam
ruangan. Kemudian setelah memperhatikan sekelilingnya, katanya lagi dengan suara
merdu: "Kau memang pantas menyandang julukan sebagai "To-cing Kongcu"
tuan muda romantis yang menggetarkan sungai telaga, tak nyana di tengah
bukit yang terpencil pun bisa membangun sebuah gedung semegah ini."
Sejak tahu yang hadir adalah gadis yang diidamkan dan dicintai selama
banyak tahun, tingkah laku Ong Sam-kongcu berubah jadi gugup dan tak
tenang, tapi setelah berbincang sesaat, kondisinya lambat laun berubah tenang
kembali. Mendengar ucapan tersebut ia segera tertawa lantang: "Hahaha ... nona
kelewat memuji, silahkan duduk!"
Sementara itu Pek Lan-hoa sudah menyuguhkan air teh sambil menyapa:
"Silahkan minum!"
"Terima kasih nona Pek!" , "Apa" Kalian sudah saling mengenal?" tegur Ong
Sam-kongcu tercengang.
"Kongcu," sahut Go Hoa-ti, "biarpun siaumoay jarang berkelana di dunia
persilatan, tetapi masih cukup mengerti siapa nama dari kedua belas orang cici
itu!" "Nona kelewat memuji!" serentak para gadis menyahut.
Melihat hanya dia dan Ong Sam-kongcu yang duduk di bangku, sementara
dua belas gadis itu hanya berdiri, tak tahan Go Hoa-ti bertanya: "Cici semua,
kalian tidak ikut duduk?"
"Terima kasih nona," sahut Si Ciu-ing sambil tersenyum: "kami sudah terbiasa
berdiri!" "Tapi...."
Tidak menunggu gadis itu bicara lagi, Ong Sam-kongcu sudah menukas,
katanya kepada para nona sambil tertawa: "Kehadiran nona Go merupakan satu
kejadian langka, tolong perintahkan dapur untuk menyiapkan berapa macam
hidangan khas daerah Kanglam"
"Baik" sahut Si Ciu-ing, habis berkata mereka berdua belas serentak
meninggalkan ruangan.
Sepeninggal kawanan gadis itu, Go Hoa-ti baru berkata sambil tertawa:
"Kongcu, tampaknya mereka sangat penurut?"
"Hahaha ... mereka tak segan meninggalkan kehidupan mewah hanya ingin
kemari untuk menemani aku, sudah banyak masalahku yang mereka
selesaikan!"
"Kongcu, kau memang pandai menikmati hidup!"
Ong Sam-kongcu menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Bagai minum air, kita harus bisa membedakan mana air dingin mana air
panas, rasanya tak perlu disinggung lagi! Nona, ada urusan apa tiba-tiba kau
muncul di sini hari ini?"
"Kongcu, aku pun pingin tinggal di sini menemanimu, kau bersedia
menerimaku?"
"Apa?" Kau Ong Sam-kongcu berseru kaget, belum selesai berkata ia sudah
melompat bangun.
Aah! Apa yang telah terjadi" Selama ini si nona selalu bersikap acuh terhadap
Ong Sam-kongcu, bahkan tak pernah menanggapi luapan perasaan cintanya,
mengapa tiba-tiba ia berubah sikap" Atau... atau mungkin ia sedang bermimpi"
"Kongcu, kau tak sudi menerimaku?" kembali Go Hoa-ti bertanya sambil
bangkit berdiri.
"Ooh ... tidak, tidak ... aku senang sekali, amat senang, silahkan duduk!"
Dengan senyuman puas Go Hoa-ti duduk kembali, melihat Ong Sam-kongcu
masih berdiri mematung sambil memandang ke arahnya tanpa berkedip, tak
kuasa tegurnya lagi sambil tertawa: "Kongcu, silahkan duduk!"
"Baik... baik... aku duduk, aku duduk!"
Ong Sam-kongcu yang biasa perkasa, kali ini hanya berdiri termangu macam
orang bodoh, semua kecerdasannya seolah hilang lenyap, rasa kaget serta
luapan gembira yang luar biasa membuat dia tak sanggup mengendalikan diri.
Diam-diam Go Hoa-ti merasa sangat bangga, tapi di luaran katanya manja:
"Kongcu, kehadiranku tak akan merusak hubunganmu dengan para gadis lain
bukan?" "Ooh ... tidak, tidak ... pasti tidak, bagaimana kalau kuantar untuk melihatlihat
kamar tidurmu?"
"Baiklah, memang itu yang kuharap!"
Keluar dari ruangan, mereka berdua menyeberangi kebun bunga, kolam Tisim
dan tibalah di sebuah pesanggrahan tunggal di belakang kebun.
Membaca tulisan "Ti-wan" (kebun Go Hoa-ti) yang terpampang di atas pintu
berbentuk bulat itu, tiba-tiba Go Hoa-ti merasa badannya gemetar keras, setelah
menghela napas katanya: "Kongcu, ternyata kau tak pernah melupakan aku!"
Ong Sam-kongcu tersenyum, katanya: "Mari kita tengok suasana dalam
pesanggrahan nona!"
Setelah melewati pintu berbentuk bulat, tiba-tiba Go Hoa-ti merasa seolah dia
sudah balik ke kota kelahirannya, Kim-leng!
Baik bentuk kebun bunga maupun bentuk ruang tamu, kamar tidur serta
kamar baca, hampir semuanya persis seperti keadaan rumahnya, bahkan
termasuk perabot serta hiasan dinding pun tak ada bedanya, tak kuasa lagi
sepasang matanya berkaca-kaca.
Tiba-tiba ia menubruk ke dalam pelukan pemuda itu sambil terisak: "Kongcu,
aku sudah kelewat banyak berhutang kepadamu!"
Melihat pujaan hatinya tiba-tiba menubruk ke dalam pelukannya, Ong Samkongcu
merasa hatinya berdebar keras, tubuhnya menggigil kencang.
Cepat dia menarik napas panjang, setelah berhasil mengendalikan emosi,
katanya lembut: "Nona, udara dan kelembaban tempat ini jauh berbeda
ketimbang kota Kim-leng, karena itu banyak jenis bunga yang tak bisa tumbuh
di kebun bunga ini, aku akan undang orang untuk melengkapinya"
"Ti ... tidak usah! Siaumoay merasa tak sanggup menerima semua
kebaikanmu...."
Bicara sampai di situ, air matanya bagai air bah jatuh bercucuran.
Tak selang berapa saat kemudian pakaian di bagian dada Ong Sam-kongcu
sudah basah oleh air mata.
Tapi Ong Sam-kongcu seperti tidak merasa, rasa gembira yang luar biasa
membuat dia melupakan segala-galanya ....
0oo0 Sebulan kemudian, suasana di gedung "Hay-thian-it-si" tampak sangat
meraih, seluruh gedung dihiasi lentera merah, suasana gembira menyelimuti
seluruh bangunan.
Akhirnya Ong Sam-kongcu berhasil menyunting seorang gadis sebagai istri
sahnya, dia menikah dengan Go Hoa-ti!
Sebetulnya Ong Sam-kongcu ingin mengundang segenap sahabat dan rekan
baiknya untuk merayakan pesta pernikahan itu, namun usul itu ditampik Go
Hoa-ti, maka dari itu tamu yang hadir dalam pesta tersebut, hanya dua belas
orang tusuk konde emas yang mendelu di dalam hati serta dua puluhan orang
tamu undangan. Setelah pesta berlangsung setengah harian, tiba waktunya para tamu
mengiringi sang pengantin masuk ke kamar, selesai mengucapkan selamat,
semua tamu pun berpamitan.
Begitu juga dengan dua belas tusuk konde emas, diiringi wajah yang kaku dan
lesu, mereka balik ke dalam kamar masing-masing, di situlah mereka baru
berani menyeka air mata yang telah berlinang sejak tadi.
Di antara mereka, Si Ciu-ing yang merasa paling sedih bercampur bimbang,
karena ia temukan "Ang-sianseng atau tuan merah" yang tiap bulan datang
berkunjung secara rutin, tiba-tiba menyatakan mogok bekerja!
Dia telah hamil!
Tapi kongcu mereka telah kawin secara resmi dengan nona Go.
Apa yang akan terjadi dengan dirinya"
Haruskah janin dalam kandungannya dipertahankan, atau lebih baik dipaksa
keluar" Tentu saja harus dipertahankan!
Tapi dirinya masih berstatus seorang gadis perawan, seorang gadis bangsawan
yang belum bersuami, apa jadinya bila si jabang bayi telah lahir nanti" Apakah
nona Go bersedia menerimanya"
Makin dipikir perasaan hatinya makin pedih, akhirnya pecahlah isak
tangisnya yang memilukan hati.
Sementara itu Ong Sam-kongcu sedang memeluk Go Hoa-ti di dalam kamar
pengantin, sambil minum arak, mereka saling merayu dan saling berangkulan.
Tak lama kemudian kedua orang itu sudah dalam keadaan mabuk oleh air
kata-kata. Dalam keadaan begini, sepasang pengantin itu mulai saling berpelukan dalam
keadaan bugil, tanpa mengalami hambatan apa pun "tombak" Ong Sam-kongcu
langsung bersarang di dalam "liang naga".
Tapi begitu "tombak" dihujamkan, ia jumpai "jalan lorong" sangat lebar, selain
tak ada hambatan, lalu lintas dapat berlalu sangat lancar, dengan gagah berani
dia melangkah lebih ke dalam.
Sayang keadaannya saat itu setengah sadar oleh pengaruh alkohol, sehingga
gejala yang "luar biasa" itu sama sekali tidak disadari.
Kalau bicara menurut aturan, bila nona itu benar-benar masih perawan, "liang
naga'nya pasti sempit, banyak alat jebakan dan sukar dilalui, setiap langkah dan
gerakannya harus dilakukan berhati-hati dan amat lambat, sebab kalau dilalui
secara kasar, "banjir darah" bakal terjadi....
Tapi kenyataannya sekarang, bukan saja "semua jebakan" telah terbuka,
"lorong rahasia" pun sangat lebar dan gampang dilalui, jangan-jangan ....
Sementara itu, Go Hoa-ti mengimbangi gerakan pasangannya dengan penuh
bemapsu, walaupun goyangan pinggulnya menggila, napasnya terengah-engah,
namun secara diam-diam ia letakkan sepasang tangannya di bagian bawah
perut, seakan tak disengaja saja, dia selalu menghindari tekanan tubuh Ong
Sam-kongcu yang kelewat keras di atas perutnya.
Ong Sam-kongcu mengira gadis itu kesakitan, bukan saja tidak menaruh
curiga malah sebaliknya dia peringan tenaga "genjotan"nya dan tidak
membiarkan "pasukannya" menyerbu kelewat dalam ke "liang naga", dia takut
kekasih hatinya tidak suka hati
Melihat kejadian ini diam-diam Go Hoa-ti menghembuskan napas lega,
menggunakan kesempatan ketika pemuda itu tidak memperhatikan, ia segera


Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merobek ujung jari tangan sendiri hingga berdarah, lalu diam-diam meneteskan
darah itu di atas kain putih yang berada di bawah "lubang rahasia"nya.
Berapa genjotan kemudian, lagi-lagi dia masukkan ujung jarinya yang
berdarah ke dalam lubang rahasia sendiri, mengikuti gerakan tubuh Ong Samkongcu
yang masih bergoyang tiada hentinya, ia nodai cairan mereka berdua
yang telah berbaur itu dengan tetesan darahnya.
Setelah berjuang berapa saat, akhirnya Ong Sam-kongcu mulai mengerang
keras sambil menyerahkan "cairan kental"nya ke dalam liang musuh.
Menggunakan kesempatan itu Go Hoa-ti mendorong tubuhnya dari atas badan
sendiri, lalu sambil miringkan badan ke arah lain, cepat ia hentikan pendarahan
ujung jari sendiri.
Ketika Ong Sam-kongcu melihat di atas kain putih ternoda oleh "cairan kental"
miliknya yang bercampur dengan noda darah, diam-diam ia merasa kegirangan,
pikirnya: "Aaah, akhirnya aku berhasil menikmati keperawanan adik Ti!"
Sampai mati pun dia tak menyangka kalau Go Hoa-ti secara diam-diam telah
mengerjai dirinya.
Keesokan malamnya ketika Ong Sam-kongcu kembali minta "jatah", setelah
agak sangsi sejenak akhirnya dengan senyuman yang dipaksakan Go Hoa-ti
melepaskan seluruh pakaian sendiri hingga bugil.
Ketika "tombak" mulai menghujam ke dalam "liang"-nya, meskipun Go Hoa-ti
ikut menikmati dengan bernapsu, namun keningnya tampak berkerut, seakan
sedang menahan sakit.
Melihat itu buru-buru Ong Sam-kongcu menegur: "Adik Ti, bagian mana vang
sakit?" "Semalam kau ... kau kelewat bernapsu, aku ... milikku agak pedih dan
berdarah ... sampai sekarang, bagianku yang "di situ" masih terasa sakit...."
"Aaah!" buru-buru Ong Sam-kongcu mencabut kembali tombaknya sambil
melompat bangun: "maaf adik Ti, aku kelewat ceroboh!"
"Tidak apa-apa kakak Huan, aku ... aku minta maaf
Diiringi senyum penuh rasa sayang Ong Sam-kongcu segera membersihkan
"tombak" sendiri kemudian berpakaian.
Sejak hari itu, Go Hoa-ti selalu menggantung tanda "tidak berperang" setiap
kali Ong Sam-kongcu datang mengambil "jatah".
Tapi Ong Sam-kongcu sendiri tidak memasukkan ke dalam hati, karena tiap
hari istrinya selalu menemaninya main catur, melukis, membuat pantun dan
melayani semua kebutuhannya dengan senyuman yang menggairahkan.
Dia tidak pergi berenang pagi!
Dia pun tidak lagi berlatih silat!
Tiap hari kerjanya hanya mendekap istrinya di dalam kebun Ti-wan.
Waktu berlalu amat cepat, dalam sekejap mata tiga bulan telah berlalu.
Hari ini ketika Ong Sam-kongcu sedang duduk bersantai bersama Go Hoa-ti,
tiba-tiba terdengar ia mendengus tertahan sembari memegangi perutnya dengan
kening berkerut, buru-buru dia menegur: "Adik Ti, kenapa kau?"
Dengan wajah merah jengah Go Hoa-ti mengerlingnya sekejap, lalu sahutnya:
"Apalagi, semua gara-gara kau!"
Melengak Ong Sam-kongcu setelah mendengar perkataan itu.
Tapi sewaktu sinar matanya tertuju di atas pefuinya yang mulai menonjol
besar, tergerak perasaan hatinya, terkejut bercampur girang serunya tertahan:
"Jadi kau ... kau sudah hamil?"
Tersipu-sipu Go Hoa-ti mengangguk.
"Horee pekik Ong Sam-kongcu kegirangan, ia segera memeluk pinggangnya
sembari teriaknya keras: "Hahaha... aku bakal jadi ayah, aku bakal jadi ayah!"
"Koko Huan, hati-hati, jangan membuat janin tergerak!" bisik Go Hoa-ti
memperingatkan.
Mendengar itu Ong Sam-kongcu segera menghentikan goyangannya, dengan
amat lembut dia bopong perempuan itu ke atas ranjang, lalu setelah membaringkan
tubuhnya, menyelimuti badannya dengan sangat hati-hati.
Setelah itu sembari menghembuskan napas panjang, katanya: "Adik Ti, mulai
sekarang kau mesti banyak makan, istirahat, kurangi kelelahan, kalau butuh
apa, perintahkan saja kepada bawahan* untuk melakukan."
"Omong kosong, memangnya kau suruh aku jadi seekor babi betina yang
gemuk?" "Hahaha ... jika kau babi betina, berarti aku babi jantannya, paling bagus lagi
kalau kita bisa memiliki dua belas ekor anak babi!"
"Aaah, siapa sudi.."
"Hahaha ... istirahatlah dulu! Akan kusuruh orang menyiapkan makanan
kecil" Selesai bicara dia segera berlari keluar ke halaman depan.
la sampaikan berita gembira itu kepada dua belas tusuk konde emas.
Siapa sangka ketika tiba di halaman depan, di tempat itu tak nampak sesosok
bayangan manusia pun, beruntun dia masuk ke dalam tiga buah kamar tidur,
tapi semuanya tak berpenghuni.
Sementara sedang kesal, tiba-tiba ia mendengar suara Si Ciu-ing sedang
muntah di dalam kamarnya.
Menyusul kemudian terdengar Pek Lan-hoa berkata dengan nada kuatir:
"Toaci, coba makan sebutir kiam-bwe, mungkin rasa mualmu agak berkurang!"
Ketika Ong Sam-kongcu masuk ke dalam ruangan, ia saksikan dua belas
tusuk konde emas sedang berdiri berjajar di depan pembaringan Si Ciu-ing,
sementara Pek Lan-hoa duduk di sisinya, sembari memeluk tubuh perempuan
itu, dia sedang mengurut dadanya.
Melihat paras muka Si Ciu-ing pucat pias, buru-buru ia menegur dengan agak
panik: "Adik Ing, kenapa kau?"
Sejak tahu dirinya hamil, Si Ciu-ing sudah merasa amat malu, apalagi secara
beruntun berapa bulan tak pernah nampak bayangan tubuh Ong Sam-kongcu
datang mengunjunginya, rasa kecewa, panik dan gelisah yang luar biasa
membuat ia jatuh sakit.
Beberapa kali rekan-rekannya ingin melaporkan kejadian ini kepada Ong Samkongcu,
tapi setiap kali selalu dicegahnya.
Tak heran kalau hatinya menjadi sedih bercampur girang setelah mendengar
pertanyaan majikannya kali ini yang penuh perhatian, tak kuasa lagi air mata
jatuh bercucuran, tak sepatah kata pun sanggup diucapkan.
Melihat hal ini Ong Sam-kongcu semakin menaruh rasa iba bercampur
sayang, duduk di sampingnya sembari memeluk badannya, kembali dia
bertanya: "Adik Ing, kenapa wajahmu pucat dan kondisi badanmu amat lemah?"
"Kongcu ...." bisik Si Ciu-ing lirih, dia tak mampu melanjutkan perkataannya.
"Kongcu!" Pek Lan-hoa segera berbisik, "toaci sudah hamil!"
"Sungguh?" seru Ong Sam-kongcu dengan badan bergetar, "adik Ing, kau
sungguh hamil?"
Dengan wajah tersipu Si Ciu-ing mengangguk, tak sepatah kata pun
diucapkan. "Aaah, aku sangat gembira! Aku sangat gembira!" teriak Ong Sam-kongcu
kegirangan, "ini namanya dua kegembiraan datang berbareng, adik Ing, kenapa
tidak kau kabarkan sejak awal" Aku benar-benar telah menyiksamu!"
Cukup! Dengan adanya perkataan dari Ong Sam-kongcu itu, Si Ciu-ing merasa
hatinya lega sekali.
Rasa risau, sedih, murung, panik dan tak tenang yang dideritanya selama
berapa hari belakangan, seketika hilang lenyap tak berbekas, tanyanya dengan
suara lembut: "Kongcu, ada urusan apa kau muncul kemari secara tiba-tiba?"
Setelah memandang dua belas tusuk konde sekejap, kata Ong Sam-kongcu
penuh kegembiraan: "Adik Ti juga telah hamil!"
Sekali lagi kawanan gadis itu mengucapkan selamat kepada Ong Sam-kongcu,
walau kali ini ucapan selamat diutarakan dengan perasaan sedikit mengganjal.
Sesudah mengucapkan terima kasihnya, kembali Ong Sam-kongcu berkata:
"Adik Ing, selanjutnya kau harus banyak istirahat, banyak makan makanan
bergizi, jangan sampai bayi dalam kandunganmu jadi kurus."
"Terima kasih atas perhatian kongcu."
Kepada sebelas orang nona lainnya kembali Ong Sam-kongcu berpesan: "Nona
semua, kondisi badan adik Ing kurang sehat, selanjutnya aku mohon bantuan
kalian untuk merawat dirinya"
"Kongcu tak usah kuatir!"
0oo0 Bunga bwe mulai mekar di musim dingin, semenjak pesanggrahan "Hay-thianit-
si" diramaikan suara tangisan bayi, suasana di tempat itu nampak bertambah
riang dan hidup.
Go Hoa-ti melahirkan seorang bayi perempuan yang berwajah cantik dan
bertubuh halus.
Sebulan setengah kemudian, Si Ciu-ing melahirkan juga seorang bayi lelaki
yang gemuk dan sehat.
Dua belas tusuk konde emas sangat gembira.
Sedikit banyak dalam hati kecil mereka semua selalu menaruh perasaan
cemburu yang amat sangat terhadap Go Hoa-ti, tapi dengan kelahiran seorang
bayi lelaki oleh toaci mereka, tanpa terasa mereka semua dapat menghembuskan
napas lega, sebab paling tidak toaci mereka telah membuktikan dapat
mengungguli Go Hoa-ti.
Oleh karena bayi perempuan Go Hoa-ti diberi nama Bu-jin, maka bayi lelaki Si
Ciu-ing diberi nama Bu-ciau. Ong Bu-ciau!
Sejak pagi hingga malam gedung pesanggrahan hampir selalu diramaikan
teriakan nyaring Ong Bu-ciau.
Dua belas tusuk konde emas saling berebut merawat Ong bu-ciau, asal dia
menangis maka sebelas tusuk konde berebut menggantikan popok bayinya yang
basah oleh air kencing.
Seandainya mereka semua bisa "menyusui", mungkin Si Ciu-ing tak akan
mendapat kesempatan untuk bertemu dengan putranya.
Ong Sam-kongcu sebagai seorang bapak, tentu saja gembira sekali
menyaksikan hal ini.
Orang bilang: "ibu terhormat karena sang putra", begitu juga dengan posisi Si
Ciu-ing, gara-gara Ong Bu-ciau, posisinya dalam pandangan Ong Sam-kongcu
pun ikut terkatrol.
Ong Sam-kongcu tidak lagi sepanjang hari mengendon dalam kebun Ti-wan,
saban hari, paling tidak selama tiga hingga empat jam dia selalu meluangkan
waktunya berada di halaman muka.
Tanpa terasa setengah tahun sudah lewat.
Dua orang bocah itu betul-betul menikmati perawatan yang prima di dalam
gedung, sehingga bukan saja kondisi badannya jauh lebih sehat ketimbang bayi
kebanyakan, mereka pun jauh lebih lincah dan cekatan.
Biarpun Ong Bu-ciau dilahirkan sebulan setengah lebih lambat ketimbang
Ong Bu-jin, namun perawakan tubuhnya jauh lebih sehat dan lebih lincah
ketimbang encinya, melihat hal ini diam-diam dua belas tusuk konde merasa
kegirangan karena tak sia-sia pengorbanan mereka selama ini.
Malam itu rembulan tampak amat cerah menyinari angkasa, Ong Sam-kongcu
dengan mengenakan mantel kulitnya sedang berjalan di dalam kebun sambil menikmati
keindahan malam.
la memang patut merasa gembira. Istri tercinta, gundik tersayang, putra putri
yang sehat, semuanya membuat kehidupannya terasa lebih bahagia dan nikmat.
Tiba-tiba dari kejauhan sana, di atas jembatan kecil, ia mendengar ada suara
wanita sedang berbisik-bisik, dengan perasaan keheranan Ong Sam-kongcu
segera membatin: "Aneh! Sudah begini malam kenapa adik kelima dan adik
keenam masih berada di situ" Apa yang sedang mereka bicarakan?"
Terdorong rasa ingin tahu, diam-diam ia menyelinap di balik semak belukar
dan mencuri dengar isi pembicaraan mereka.
Terdengar Pek Lan-hoa sedang berkata dengan suara lirih: "Ngo-ci (enci
kelima), ternyata kau pun merasa kalau wajah Bu-jin sama sekali tak mirip
dengan kongcu kita" Padahal sudah lama aku menyimpan perasaan itu, hanya
tak berani kuutarakan."
"Lak-moay (adik keenam), ada satu hal lagi apa kau perhatikan juga" Padahal
toaci berhubungan intim lebih duluan dengan kongcu, tapi anehnya kenapa
justru nona Go yang melahirkan oroknya lebih duluan?"
"Aaah, kenapa aku tidak perhatikan persoalan ini" Coba kuhitung .... ehmm!
Betul, paling tidak toaci satu bulan setengah lebih cepat ketimbang nona Go
pertama kali berhubungan intim dengan kongcu, tapi nona Go justru melahirkan
satu bulan setengah lebih awal ketimbang toaci, aneh, kenapa bisa selisih waktu
begitu jauh?"
"Yaa, betul! Bila dihitung secara keseluruhan, berarti paling tidak ada selisih
waktu dua setengah bulan!"
"Ngo-ci, apa mungkin ada udang di balik batu?"
"Huss, jangan sembarangan omong! Kongcu adalah orang yang mengawininya,
dia pasti jauh lebih tahu ketimbang kita, bila dia pun tidak bilang apa-apa,
berarti semuanya tak ada masalah, siapa tahu dia memang melahirkan
prematur?"
"Tidak mungkin! Ngo-ci, sewaktu nona Go melahirkan, kebetulan aku pun
hadir di situ, bila dilihat dari kulit wajah Bu-jin yang menghitam, jelas usia si
jabang bayi sudah lebih dari cukup!"
"Haah, sungguh?"
"Benar, ketika nenek masih hidup, beliau paling suka membantu orang
melahirkan, setiap kali selesai membantu kelahiran, beliau selalu menceritakan
pengalamannya dengan penuh kegembiraan, oleh sebab itu pengetahuanku
tentang hal tersebut sudah lebih dari cukup."
"Lantas ... jika ... jika kongcu mengetahui rahasia ini, apa mungkin...."
"Ngo-ci, asal kita tidak menyinggung persoalan ini, aku percaya kongcu juga
tak bakalan tahu."
"Aaai ... padahal cinta kongcu terhadap nona Go amat mendalam, sungguh
tak disangka yang diperoleh justru akhir semacam ini."
"Sudahlah, malam sudah semakin kelam, ayo kita balik ke kamar dan
beristirahat!"
Dalam pada itu Ong Sam-kongcu masih berjongkok di balik semak belukar
dengan perasaan tertegun.
Semua pembicaraan kedua orang nona itu terasa selalu mengiang di sisi
telinganya. Mungkinkah semua yang dibicarakan itu benar"
Selama ini aku selalu mencintainya setulus hati, kenapa ia membalas
demikian terhadapku"
Tidak ... tidak mungkin! Pasti tidak mungkin!
Tapi wajah Jin-ji yang berbeda serta saat kelahiran adik Ti yang lebih awal ...
dua kejadian itu merupakan kenyataan dan sudah terpampang di hadapan
matanya, apakah aku harus menipu diri sendiri" Haruskah aku menghibur diri
sendiri dengan mengatakan bahwa semuanya hanya rekayasa belaka"
Dengan penuh penderitaan dia bungkukkan badannya, ia sembunyikan raut
wajah sendiri di balik telapak tangan.
Angin malam berhembus amat kencang, hawa dingin yang merasuk dalam
tulang bagaikan pecut yang tiada hentinya melecuti perasaan hati Ong Samkongcu
yang lemah, dia merasa hatinya mulai berdarah, perasaannya tercabikcabik....
Akhirnya dengan perasaan lemas ia menjatuhkan diri berbaring di atas
permukaan tanah yang dingin.
0oo0 Keesokan harinya sekitar pukul lima pagi, ketika bawahan mulai
membersihkan halaman, tiba-tiba mereka menjumpai majikan muda mereka
tergeletak di tanah, disangkanya Ong Sam-kongcu teian dicelakai orang, suasana
pun jadi gempar.
Go Hoa-ti, Si Ciu-ing beserta sebelas tusuk konde tergopoh-gopoh berlari ke
tempat kejadian.
Sambil membopong tubuh Ong Sam-kongcu yang tidak sadarkan diri, Go Hoati
memanggil tiada hentinya: "Engkoh Huan, engkoh Huan ..."
Apa lacur Ong Sam-kongcu merasa pukulan batin yang diterimanya teramat
berat, ditambah lagi sudah semalaman semaput di tengah hujan salju yang
teramat dingin, mana mungkin ia bisa mendengar panggilan gadis-gadisnya.
Baru saja Go Hoa-ti akan mengerahkan hawa murninya untuk menolong, tibatiba
terdengar Si ciu-ing berkata: "Nyonya, aku mengerti sedikit ilmu pertabiban,
bagaimana kalau kita antar dulu kongcu ke dalam kamarnya?"
Agak tertegun Go Hoa-ti setelah mendengar panggilan yang begitu sopan dari
Si Ciu-ing, selanya: "Enci Ing, kita sudah sekeluarga, kenapa kau masih panggil
aku nyonya?"
"Nyonya, lebih baik kita menolong kongcu lebih dahulu!" tukas Si Ciu-ing
sambil tertawa getir.
Habis berkata dia balik ke kamar sendiri mengambil kotak obat, kemudian
balik lagi ke kamar Ong Sam-kongcu.
Waktu itu Ong Sam-kongcu sudah dibaringkan di atas ranjang, sementara
kawanan gadis yang lain menanti dalam kamar dengan gelisah. Si Ciu-ing
dengan menggunakan jari tengah dan telunjuk menekan nadi di pergelangan
kanan Ong Sam-kongcu lalu sambil memejamkan mata memeriksanya dengan


Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seksama. Tak selang berapa saat kemudian, ia baru membuka kembali matanya dan
berkata sambil menghembuskan napas lega- "Untung kongcu hanya sedikit
terserang hawa dingin, asal minum obat dan beristirahat sejenak, keadaan akan
membaik dengan sendirinya."
Seraya berkata dia ambil sebuah botol porselen putih, menuang keluar dua
butir pil dan dijejalkan ke mulut Ong Sam-kongcu.
Setelah itu katanya lagi dengan suara lirih: "Nyonya, pergilah beristirahat,
serahkan ini kepada kami untuk berganti menjaganya!"
Go Hoa-ti berpikir sejenak, akhirnya dia mengangguk: "Baiklah, kalau begitu
merepotkan kalian semua!"
Selesai berkata, dia melirik Ong Sam-kongcu sekejap lalu pergi dari situ tanpa
bicara. Memandang hingga bayangan tubuhnya lenyap dari pandangan, Pek Lan-hoa
baru mendengus seraya mengomel: "Benar-benar tak tahu budi, bagaimanapun,
tinggallah sedikit lebih lama sebelum pergi, percuma kongcu begitu menyayangi
dirinya!" "Lak-moay!" buru-buru Si Ciu-ing menyela: "hujin tak mengerti ilmu
pengobatan, lagi pula mesti merawat Jin-ji, tentu saja kurang leluasa baginya
untuk merawat kongcu, toh kita banyak orang, biar kita saja yang bergilir
menjaga!" "Hmm! Kongcu sudah minum obat, asal keluar keringat, dia pasti akan
mendusin, biarpun tak mengerti ilmu silat, rasanya tak sulit untuk merawatnya.
Sementara si budak Jin kan dirawat bibi Ong, kapan sih dia pernah ikut
campur" Hmm! Aku rasa dia memang tak berminat ke situ, toaci, kau ...."
Hi Ku-lan (enci nomor lima) tahu Pek Lan-hoa akan menyinggung lagi urusan
semalam, cepat-cepat dia memotong: "Lak-moay, kau tak boleh mengkritik hujin
di belakangnya"
Pek Lan-hoa segera mengerti, ia membungkam dan menundukkan kepalanya.
Si Ciu-ing kuatir dua orang itu salah tingkah, buru-buru dia bertanya: "Adik
sekalian, dengan ilmu silat serta kebiasaan hidup kongcu, kenapa dia bisa
mendadak jatuh pingsan di halaman luar?"
Hi Kui-lan dan Pek Lan-hoa mengerti pasti secara tak sengaja kongcu telah
mendengar pembicaraan mereka berdua semalam hingga jatuh pingsan karena
tak kuat menahan pukulan batin, walau begitu, mana berani mereka berdua
mengakuinya secara terus terang"
Melihat para gadis tak ada yang menjawab, kembali Si Ciu-ing melanjutkan:
"Aku masih ingat sewaktu kemarin sore bermain dengan Cau-ji, dia nampak
sangat gembira, tapi barusan, aku merasa denyut nadinya sangat cepat dan
memburu, seakan-akan ada sebuah masalah besar yang mengganjal perasaan
hatinya." Pek Lan-hoa memandang Ngo-cinya sekejap, lalu katanya: "Toaci, mungkin
belakangan kongcu menjumpai kejadian yang tidak menyenangkan, tapi dia
enggan memberitahu kepada kita?"
"Aku rasa ... tidak mungkin, malah berapa hari berselang kongcu sempat
punya usul akan menyelenggarakan upacara perkawinan resmi denganku, tapi
kutolak tawaran itu."
"Aaai ... kongcu memang pemuda romantis yang banyak main cinta," keluh
Pek Lan-hoa sambil menghela napas, "aku takut setelah dewasa nanti Cau-ji
meniru perangainya itu .... Oyaa, toaci, kau pandai ilmu pengobatan, boleh aku
bertanya tentang satu hal?"
"Katakan saja!"
"Orang bilang antara ayah dan anak pasti mempunyai hubungan darah yang
amat dalam, seandainya kita ambil berapa tetes darah Cau-ji dan darah kongcu
lalu dicampurkan, mungkin tidak kedua darah itu akan menyatu jadi satu?"
Hi Kui-lan tahu adik keenamnya ingin membuktikan lebih jauh apakah Jin-ji
si bocah perempuan itu anak kandung kongcu mereka atau bukan, tapi kuatir
cicinya menaruh curiga, buru-buru selanya sambil tertawa: "Lak-moay, kau
pingin lihat apakah di kemudian hari anak Cau adalah seorang lelaki yang suka
main perempuan atau bukan?"
"Betul!"
"Sejak dulu, pemeriksaan cairan darah hanya bisa dipakai untuk
membuktikan apakah seseorang punya hubungan darah atau tidak, mana
mungkin bisa membuktikan tabiat seseorang?" kata Si Ciu-ing sambil tertawa,
"sebab baik buruknya watak seseorang sangat dipengaruhi faktor lingkungan
serta pergaulan."
"Cici, bagaimana caranya untuk membuktikan pertalian darah seseorang?"
desak Hi Kui-lan dengan rasa ingin tahu.
"Sederhana sekali, kita ambil darah dari dua orang dan dimasukkan ke dalam
cawan porselen, kemudian dikocok sebentar, bila darah itu segera berbaur dan
lagi memancarkan warna yang sama, berarti kedua orang itu mempunyai tali
hubungan yang sangat dekat."
"Ooh, rupanya begitu, adik keenam, lebih baik kau bersabarlah menunggu
enam-tujuh belas tahun lagi, saat itu kita baru bisa membuktikan anak Cau
seorang hidung belang atau bukan."
Han Gi-ang, si adik nomor buntut yang selama ini hanya membungkam, tibatiba
ikut bicara sambil tertawa: "Cici kelima, cici keenam, kalian tak usah
menunggu kelewat lama, secara diam-diam aku telah meramalkan nasib anak
Cau!" "Aaah betul," seru Pek Lan-hoa tertawa, "aku sampai kelupaan kalau adik kita
dijuluki orang "Poan-sian" setengah dewa, adik Ang, cepat ceritakan!"
Han Gi-ang tertawa.
"Cici semua, sebelum bicara, siaumoay ingin menyatakan satu hal lebih dulu,
apa yang kuucapkan hari ini hanya menjadi behan pertimbangan saja."
"Sudahlah adik, jangan hilangkan selera orang, cepat cerita," tukas Pek Lanhoa.
Setelah tarik napas panjang, dengan wajah serius Han Gi-ang berkata: "Berkat
perlindungan dan karma baik nenek moyangnya, di kemudian hari bukan saja
anak Cau akan termashur, dalam hal percintaan pun akan jauh lebih bahagia
ketimbang kongcu, tetapi dia mesti pergi jauh meninggalkan desa kelahiran bila
ingin meraih sukses besar."
Terkejut bercampur girang menyelimuti perasaan bi Ciu-ing, tapi dia pun
merasa berat hati bila harus berpisah dengan putra kesayangannya.
Bab II. 10 tahun mengembara, mencari jejak kekasih hati.
Pek Lan-hoa termenung sambil berpikir sejenak, kemudian kembali tanyanya:
"Adik, menurut penglihatanmu, bagaimana penghidupan rumah tangga kongcu
kita di kemudian hari?"
Han Gi-ang melirik Ong Sam-kongcu sekejap, kemudian katanya sambil geleng
kepala: "Maaf Lak-ci, rahasia langit tak boleh bocor, maaf bila siaumoay tak
berani buka rahasia ini!"
"Hai, kita adalah sama-sama saudara, kenapa sih kau mesti sok rahasia
begitu?" "Kalau begitu biar kubuka sedikit rahasia ini, sebelum akhir tahun, bintang
Ang-loan (bintang kegembira-an)-mu kelihatan bersinar, jangan lupa suguh
beberapa cawan arak kegiranganmu untuk siaumoay! Hahaha
Akhir tahun ini" Ooh, bukankah tinggal dua bulan lagi"
Tapi... apa mungkin"
Dengan hati berdebar Pek Lan-hoa segera berseru: coba makan tahu cici, kini cici sudah jadi milik kongcu sementara kongcu ...."
"Maksudku Lak-ci akan menikah dengan kongcu!" tukas Han gi-ang sambil
tertawa. "Kau ...." Pek Lan-hoa jengah bercampur girang, tak tahan ia menundukkan
kepalanya "Lak-moay!" Si Ciu-ing ikut bicara, "ramalan adik buncit kita ini selalu tepat,
dulu dia pernah memberitahu kepadaku bakal jadi seorang ibu, waktu itu aku
pun sama sekali tak percaya."
"Toaci, kau jangan bayangkan aku kelewat sakti, hanya kebetulan ramalanku
cocok," kata Han Gi-ang merendah.
Mendadak terdengar Ong Bu-ciau menjerit keras, bagai menerima "tanda
bahaya" serentak kawanan perempuan itu berebut lari menuju ke asal suara itu.
Sepeninggal kawanan perempuan itu, terlihat Ong Sam-kongcu pelan-pelan
membuka matanya, dua titik air mata tak terasa meleleh membasahi ujung
matanya, membasahi bantal dan seprei.
Ya, siapa percaya Ong Sam-kongcu yang selalu diliputi gelak tertawa, kini
justru melelehkan air mata"
Ketika pil pemberian Si Ciu-ing tertelan ke dalam perutnya tadi, dengan hawa
murninya yang sempurna tidak selang berapa saat kemudian ia sudah sadar
dari pingsannya.
Kebetulan waktu itu ia mendengar Si Ciu-ing sedang berbicara dengan Pek
Lan-hoa masalah dirinya dengan Go Hoa-ti, maka dia pun pura-pura pingsan
untuk mencuri dengar pembicaraan mereka.
Kini, setelah para gadis berlalu, dia mulai tak kuasa menahan rasa sedihnya
hingga air mata pun jatuh bercucuran.
Pelan-pelan ia duduk bersila di pembaringan, sepintas orang mengira dia
sedang bersemedi mengatur napas, padahal pikiran dan perasaannya sedang
gejolak keras, sampai lama sekali perasaan itu belum juga mau tenang.
Dalam pada itu dua belas tusuk konde emas pun tidak mengurusi Ong Samkongcu,
karena sewaktu mereka balik ke situ dilihatnya pemuda itu sedang
mengatur pernapasan.
0oo0 Tengah hari, setelah sadar dari semedinya, Ong Sam-kongcu memerintah bibi
Ong dan Si ciu-ing untuk membawa kedua orang bayinya yang masih tertidur
pulas masuk ke dalam kamarnya, lalu ditatapnya kedua orang bocah itu
bergantian. Sesaat kemudian terdengar ia berkata dengan suara dalam: "Sungguh
menyenangkan! Adik Ing, bibi Ong, biarkan mereka berada di sini sejenak lagi!"
Si Ciu-ing berdua mengangguk sambil tersenyum dan segera mengundurkan
diri. Mengawasi dua orang bayi di hadapannya, Ong Sam-kongcu merasa semakin
dipandang semakin merasa ada yang tak beres, ia merasa walaupun kedua
orang bocah itu sama bagusnya namun bentuk wajah mereka justru memiliki
ciri yang sama sekali berbeda.
Ketika ia perhatikan Ong Bu-ciau, makin dipandang ia merasa semakin wajah
bocah itu semakin mirip dirinya.
Sebaliknya ketika perhatikan Cng Bu-jin, makin dipandang ia merasa semakin
ada yang tak beres.
Akhirnya dia siapkan tiga cawan kecil di atas meja, mula-mula dia robek
sendiri jari tengah tangan kirinya dan meneteskan darah itu ke dalam cawan.
Kemudian ia robek kaki kiri kedua orang bocah itu dan masing-masing
diambilnya beberapa tetes darah.
Dengan perasaan tegang ia mulai campurkan darah dari kedua orang bocah
itu masing-masing dengan darah sendiri yang telah dipersiapkan.
Apa yang kemudian terlihat membuat badannya gemetar keras.
Tetesan daran yang berasal dari Ong Bu-ciau bukan saja segera menyatu
dengan darahnya, bahkan warna pun persis sama.
Sebaliknya darah dari Ong Bu-jin kelihatan agak mengambang di atas
permukaan, bahkan warna darahnya nampak jauh lebih tua dan gelap.
Jika Ong Sam-kongcu tidak periksa dengan seksama, sulit rasanya untuk
menemukan perbedaan itu, dia tak puas dengan hasil tes pertama, dirobeknya
lagi kaki kanan Ong Bu-jin dan sekali lagi melakukan percobaan kedua.
Tapi hasil yang muncul kemudian membuat pemuda tersebut mendengus
tertahan, dengan tubuh lemas dan bertenaga ia jatuhkan diri terduduk di sisi
pembaringan. Tampaknya Ong Bu-jin yang sedang tertidur nyenyak seperti tahu kalau
rahasia asal-usulnya telah terbongkar, tiba-tiba saja ia terbangun dan menangis
keras. Tangisan itu menyebabkan Ong Bu-ciau ikut terbangun dan menangis juga
dengan kerasnya.
Tergopoh-gopoh Ong Sam-kongcu menyambar cawan berisi darah dan masuk
ke kamar mandi.
Ketika ia balik kembali ke depan pembaringan, tampak Pek Lan-hoa dan Si
Ciu-ing masing-masing telah membopong seorang bayi dan menenangkan
mereka. "Hantar mereka balik ke kamarnya!" perintah Ong Sam-kongcu kemudian
dengan suara berat.
Semenjak hari itu Ong Sam-kongcu menolak untuk keluar dari kamar
tidurnya, sepanjang hari dia menyibukkan diri membaca, melukis atau membuat
pantun. Pek Lan-hoa adalah gadis yang teliti, ketika membawa balik Ong Bu-ciau ke
kamarnya hari itu, ia segera menemukan adanya bekas sayatan kecil di kaki
kanan bocah itu, ia segera mengerti apa yang telah terjadi.
Rahasia tersebut tidak diberitahukan kepada siapa pun. tapi tiap pagi secara
rutin dia selalu membopong Ong Bu-ciau ke dalam kamar Ong Sam-kongcu dan
menjenguknya sebentar.
Anehnya, tiap kali bocah itu diajak masuk ke dalam kamar Ong Sam-kongcu,
dia selalu menjejakkan kakinya dengan aktif, seakan sangat senang berada di
situ, biar popoknya basah oleh air kencing atau perutnya lapar, bocah itu tak
pernah rewel. Berapa hari permulaan, Ong Sam-kongcu belum bisa menguasai gejolak
perasaan hatinya, dia hanya membaca terus atau kadang kala melukis.
Satu minggu kemudian, dia hanya membaca setengah jam, sisa waktunya
digunakan untuk bermain dengan Cau-ji.
Lewat seminggu kemudian ia sudah curahkan segenap perhatiannya untuk
bermain dengan putranya.
Tanpa terasa satu bulan kembali sudah lewat.
Selama ini Go Hoa-ti dan Ong Bu-jin tak pernah meninggalkan pesanggrahan
Ti-wan, sementara sebelas tusuk konde memang berniat menjodohkan Pek Lanhoa
dengan majikannya, maka hanya dia seorang yang diberi tugas untuk
menemani Cau-ji menjumpai bapaknya.
Malam itu udara amat dingin, angin bercampur bunga salju berhembus
kencang di luar, suasana pesanggrahan Hay-thian-it-si amat hening, semua
penghuninya telah terlelap tidur, hanya kamar Ong Sam-kongcu yang nampak
masih memancarkan sinar lentera.
Pada saat itulah tiba-tiba dari luar pintu kamar terdengar suara gemerisik
yang mencurigakan, Ong Sam-kongcu yang masih membaca buku segera
merasakan itu, hardiknya: "Siapa di situ" Pintu tidak terkunci!"
Daun pintu dibuka orang, Go Hoa-ti muncul di hadapannya.
Agaknya Ong Sam-kongcu tahu siapa yang telah muncul, tanpa
mendongakkan kepalanya ia berkata: "Silahkan duduki"
Diam-diam Go Hoa-ti menggigit bibir, setelah duduk di depan meja baca,
ujarnya dengan lembut: "Engkoh Huan, rupanya kau tahu kalau aku bakal
datang kemari?"
"Betul!" sahut Ong Sam-kongcu sambil menutup bukunya dan memandang
perempuan itu sekejap, "selama ini aku memang selalu menunggumu."
"Jadi kau sudah tahu semuanya?"
"Tidak, aku hanya tahu sebagian, siapa bapak Jin-ji yang sebenarnya?"
Go Hoa-ti gemetar keras, setelah ragu sesaat, sahutnya lirih: "Bwe Si-jin!"
Berkilat sepasang mata Ong Sam-kongcu.
"Oooh, rupanya dia! Hai ... kenapa dia tinggalkan kalian ibu dan anak hingga
telantar di luaran?"
"Dia tak tahu kalau aku sudah hamil!" kata Go Hoa-ti agak tersipu.
"Hmm, kalau begitu biar kuutus orang untuk mencarinya!"
"Jangan, biar aku sendiri yang pergi mencarinya!"
"Bagaimana dengan Jin-ji?" tanya Ong Sam-kongcu setelah termenung berapa
saat. "Kau bersedia mewakili aku untuk merawatnya?" tanya Go Hoa-ti lirih.
"Baik! Sebelum dia kembali ke marganya, ia masih tetap menjadi putri sulung
keluarga Ong...."
"Engkoh Huan, kau sungguh baik dan berjiwa besar, aku... aku merasa
bersalah kepadamu!"
"Hai, jodoh, semuanya adalah jodoh, aku tak bisa salahkan siapa pun, aku
hanya berharap kau bisa temukan saudara Bwe secepatnya hingga keluarga
kalian bisa bersatu kembali, pintu gerbang Hay-thian-it-si selalu terbuka untuk
keluarga kalian!"
Go Hoa-ti merasa sangat terharu, dengan air mata bercucuran katanya:
"Engkoh Huan, aku berjanji bila dititiskan kembali besok, aku bersedia menjadi
budakmu untuk membalas semua budi kebaikan ini."
Ong Sam-kongcu menggenggam tangannya erat-erat, sambil berusaha
menahan rasa sakit di hatinya, ia bertanya dengan suara tenang: "Adik Ti, kau
rencana akan berangkat kapan?"
"Besok pagi."


Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baiklah, sampai waktunya aku akan menghantarmu, sekarang pergilah
beristirahat."
"Terima kasih kakak Huan!" dengan suara parau dan air mata bercucuran Go
Hoa-ti berlalu dari situ.
Tinggal Ong Sam-kongcu duduk termangu seorang diri, sampai lama
kemudian ia baru bergumam: "Bwe Si-jin ... tak aneh jika dia namakan anaknya
Bu-jin!" 0oo0 Keesokan harinya, ketika dua belas tusuk konde sedang bersantap, Ong Samkongcu
setelah menghantar kepergian Go Hoa-ti, muncul di ruang makan, begitu
masuk dia segera menegur sambil tertawa: "Ada bagian untukku?"
"Ada, ada! Silahkan duduk kongcu!" serentak para gadis berseru sambil
bangkit berdiri.
Setelah duduk Ong Sam-kongcu baru bertanya: "Mana anak Cau?"
"Sehabis mandi dan minum susu, dia tertidur lagi," sahut Si Ciu-ing cepat.
"Hahaha ... dasar bocah cilik, bisanya makan dan tidur melulu, kalian yang
dibikin kerepotan ...."
"Tidak berani," sahut para gadis serentak.
Sambil tertawa Pek Lan-hoa berkata pula: "Anak Cau memang
menggemaskan, apalagi sepasang matanya yang bulat dan bening, persis seperti
sepasang Mata kongcu."
Ong Sam-kongcu tertawa tergelak saking gembiranya.
Sambil bersantap mereka pun berbincang-bincang, masalahnya hanya seputar
kelincahan anak Cau.
Tiba-tiba terdengar Ong Sam-kongcu berkata dengan wajah serius: "Adik
semuanya, ada satu urusan ingin kurundingkan dengan kalian semua."
Perasaan tegang mulai mencekam para gadis, sambil berusaha menenangkan
diri kata Si Ciu-ing: "Kongcu, katakan saja."
Setelah memandang sekejap para gadis, ujar Ong Sam-kongcu dengan wajah
bersungguh-sungguh: "Adik semuanya, lewat dua, tiga bulan lagi anak Cau akan
genap berusia satu tahun, aku harus mengangkatnya secara resmi menjadi
putra mahkota kerajaan keluarga Ong."
"Oleh sebab itu pada tanggal lima belas bulan ini aku ingin menyelenggarakan
satu pesta perkawinan, tentu saja pengantin lelakinya adalah aku, sedang
pengantin wanitanya adalah adik sekalian yang hadir di sini, apakah adik-adik
bersedia mengabulkan permintaanku ini?"
Pengorbanan memang selalu akan membuahkan hasil, setelah ditunggutunggu
sekian lama, apa yang diharapkan akhirnya terwujud juga.
Dengan air mata berlinang karena kegirangan, serentak kedua belas tusuk
konde itu manggut-manggut.
Ong Sam-kongcu kegirangan setengah mati.
Urusannya dengan Go Hoa-ti sudah ada penyelesaian yang pasti, mau tak
mau dia pun mesti padamkan perasaan cinta bertepuk tangan sebelah ini, dia
berjanji sejak hari itu semua perasaan cintanya hanya akan tercurahkan kepada
anak Cau serta dua belas tusuk konde emas.
Seminggu kemudian para ciangbunjin dari sembilan partai besar serta para
jago dari golongan putih yang menerima surat undangan berbondong-bondong
datang memberi selamat, suasana di gedung Hay-thian-it-si pun jadi amat ramai
dan meriah. Surat undangan disebar oleh para piausu aari perusahaan ekspedisi Tiangshia
piaukiok yang tersohor, tak heran kalau dalam satu hari saja semua
undangan telah tersebar.
Nenek moyang Ong Sam-kongcu, Kim-sin-ci adalah ketua dari kawanan jago
persilatan, tempo hari di bawah pimpinan beliau lah perkumpulan Jit-sin-kau
yang menghebohkan daratan Tionggoan berhasil ditumpas, karena jasanya,
beliau diangkat menjadi Bu-lim bengcu.
Ong Sam-kongcu sendiri, sejak terjun ke dalam dunia persilatan sudah
bertindak adil dan setia kawan, dia selalu menjunjung tinggi kebenaran, biar
romantis tapi tidak bejat moralnya, tak heran kalau semua orang menaruh
kesan batin terhadapnya.
Apalagi sejak kedua orang tuanya mengikuti kakek dan neneknya, Ong Kimsin,
naik ke gunung Kun-lun untuk hidup mengasingkan diri, para rekan dunia
persilatan yang merasa amat berhutang budi, semakin menaruh perasaan
hormat terhadap Ong Sam-kongcu.
Kini, setelah mendapat surat undangan perkawinan yang dikirim Ong Samkongcu,
tak heran kalau para jago segera melakukan perjalanan untuk datang
mengucapkan selamat
Begitulah setelah upacara perkawinan dilangsungkan dan para tamu
menikmati hidangan yang disajikan, lambat laun suasana di Hay-thian-it-si
menjadi tenang kembali.
Ketika semua tamu sudah berpamitan, senja itu Ong Sam-kongcu bersama
kedua belas orang istrinya duduk bersama di ruang tengah sambil bersantai.
Sambil mengangkat cawannya kata Ong Sam-kongcu: "Istriku sekalian, berapa
hari belakangan kalian pasti sudah amat lelah, biarlah kugunakan secawan arak
ini sebagai ungkapan rasa terima kasihku kepada kalian semua."
Habis berkata, dia teguk habis isi cawannya. Selesai para gadis meneguk juga
isi cawan masing-masing, kata Si Ciu-ing: "Engkoh Huan, tak disangka ada
begitu banyak jago kenamaan yang bersedia datang untuk mengucapkan
selamat, kami semua ikut merasa berbangga hati
"Betul!" Ong Sam-kongcu membenarkan, "yang lebih tak disangka adalah
kehadiran para cianbunjin dari sembilan partai besar, menurut apa yang
kuketahui, dari dulu hingga sekarang,.baru kali ini mereka hadir secara
bersamaan."
"Engkoh Huan, berarti kami ikut berbangga karena nama besarmu," ujar Pek
Lan-hoa sambil tertawa.
"Hahaha ... adik Hoa, kita sekarang adalah sekeluarga, rasanya kau tak usah
sungkan-sungkan lagi."
"Baik!"
Makan bersama kali ini dilalui penuh keriangan dan suasana gembira, boleh
dibilang jauh lebih meriah ketimbang waktu "pernikahan" tempo hari.
Selesai bersantap, tiba-tiba Si Ciu-ing berkata sambil tertawa: "Engkoh Huan,
atas usul berapa orang saudara, kini aku sudah siapkan dua belas gulungan
kertas undian, harap kau mengambil sebuah, karena nama yang tercantum
dalam undian itulah yang akan menemani kongcu malam ini!"
Sembari berkata dia ambil keluar dua belas buah gulungan kertas kecil dan
diletakkan di atas telapak tangannya.
"Lebih baik urut usia saja, adik Ing, seharusnya kau yang menemani aku
malam ini," ucap Ong Sam-kongcu sambil tertawa.
"Tidak boleh," dengan wajah merah jengah Si Ciu-ing menggeleng, "lebih adil
kalau memakai undian!"
Sementara itu kesebelas orang nona lainnya hanya berdiri sambil tersenyum,
tampaknya masing-masing sudah punya keyakinan akan sesuatu.
Melihat itu Ong Sam-kongcu segera mengerti apa yang terjadi, ia segera
mengambil sebuah undian dan sahutnya sambil tertawa: "Baiklah, aku
menurut!" Walau kertas undian sudah diambil, tapi dia sengaja tidak membukanya
secara langsung.
"Engkoh Huan, cepat dibuka!" seru Si Ciu-ing cepat.
"Tak perlu terburu napsu, siapa pun yang terpilih toh dia tak bisa
menghindar, sisanya yang sebelas gulungan undian itu biar aku saja yang
simpan, bisa digunakan lagi lain kali."
Habis berkata dia ambil semua undian dan dimasukkan ke dalam saku.
"Engkoh Huan, sekarang kau boleh membuka kertas undian itu bukan?" pinta
Si Ciu-ing sambil tertawa.
Ong Sam-kongcu tertawa tergelak. "Adik Ing, buka saja sendiri!" katanya.
Begitu undian dibuka. Si Ciu-ing segera berseru tertahan, dia tak mampu
berkata-kata lagi.
Biarpun tahu apa yang terjadi, Ong Sam-kongcu berlagak pilon, sengaja
tanyanya: "Adik Ing, nama siapa yang muncul?"
"Engkoh Huan, namaku! Tapi ... boleh tidak kalau diganti orang lain?"
"Tidak bisa, tidak bisa," seru Ong Sam-kongcu berlagak serius, "masa undian
juga dianggap permainan" Bukan begitu adik-adik sekalian?"
"Setuju!" seru kesebelas nona serentak.
"Hahaha ... mari kita keringkan cawan ini, kemudian masing-masina kembali
ke kamar." kata Ong Sam-kongcu kemudian sambil tertawa tergelak.
Maka kedua orang itupun digiring menuju ke kamar pengantin.
Berdiri di dalam kamar pengantin sambil mengawasi sepasang lilin merah
yang berukirkan naga dan burung hong, Si Ciu-ing merasa jantungnya berdebar
keras. Setelah mengunci pintu kamar, Ong Sam-kongcu pun berkata: "Adik Ing, aku
rasa kau paling pantas jadi pemimpin kawanan burung hong, karena
kepemimpinanmu bisa diterima semua pihak..."
Sambil berkata dia mulai melepaskan pakaiannya satu per satu.
Kenangan manis pun berlangsung kembali, bunyi gemericit disertai dengus
napas memburu mulai meng-hiasai seluruh ruangan.
Semenjak kehadiran Go Hoa-ti di pesanggrahan Hay-thian-it-si, mereka
berdua belum pernah berkumpul, apalagi melakukan hubungan intim, tak heran
kalau hubungan kelamin yang berlangsung saat ini berjalan lebih panas, lebih
menggila dan menghebohkan ....
Goyangan pinggul Si Ciu-ing yang menggeliat kian kemari mengimbangi
genjotan "benda" Ong Sam-kongcu yang naik turun bagai orang sedang "push
up", ibarat geliat seekor ular berbisa.
Ong Sam-kongcu benar-benar terjerumus dalam rangsangan napsu yang
membara, dia gunakan seluruh kepandaian "ranjang'nya yang paling hebat
untuk mengimbangi goyangan perempuan itu.
Dengusan napas, rintihan yang membetot sukma bergema silih berganti....
"Aaah ... ahh ... koko ... aaah ... lebih cepat... masukkan lebih dalam ... aaah
... koko... aku tak tahan"
"Adik Ing ... aduh ... kau hebat sekali... goyangan-mu membuat aku... aku
bagai dalam surga ...."
Akhirnya Si Ciu-ing mendengar keluhan "engkoh Huan"nya disertai hembusan
napas panjang, mereka berdua pun tak lagi menggerakkan tubuhnya, meski
tergeletak lemas namun tubuh bugil mereka berdua yang putih bagai salju
masih saling mendekap dan menempel dengan eratnya.
"Engkoh Huan, kau... kau memang hebat!"
"Adik Ing, goyangan pinggulmu nyaris membetot sukmaku!"
Selang berapa saat kemudian, mereka berdua baru bangun dengan arasarasan
dan membersihkan badan.
Ketika mereka berdua sudah balik kembali di balik selimut, Si Ciu-ing baru
berkata sambil tertawa: "Engkoh Huan, mulai besok kau mesti lebih banyak
makanan bergizi, karena sudah berapa tahun mereka menunggumu, kau mesti
tunjukkan keperkasaanmu di hadapan mereka!"
"Adik Ing!" bisik Ong Sam-kongcu setelah mengecup bibirnya: "menurut
pendapatmu, besok siapa yang mesti menemani aku tidur?"
"Tentu saja adik kedua, kan menurut urutan!"
"Aku setuju, tapi kalau mereka usul untuk mengambil undian lagi lantas
bagaimana?"
"Kalau begitu ... biar kupilih dulu kertas undian yang mencantumkan nama
adik kedua, asal ada kode rahasianya dan kau mengambil yang berkode,
bukankah ... hahaha
Dalam hati kecilnya, Ong Sam-kongcu tertawa geli, tapi di luar ia menyatakan
persetujuannya: "Baiklah, kalau begitu kita tentukan demikian!"
Melihat pemuda itu sudah setuju maka Si Ciu-ing pun bangkit berdiri dan
mengambil keluar kesebelas kertas undian lainnya dari dalam saku baju Ong
Sam-kongcu. Tapi begitu dia buka kertas undian itu, kontan teriaknya keras keras: "Waaah.
Ini mah kehangatan!"
Melihat dugaan sendiri tak keliru, Ong Sam-kongcu ikut tertawa terbahakbahak.
"Engkoh Huan, ternyata kau ...."
"Tidak ... tidak ... ooh hujin, jangan salahkan aku, ketika kau mengambil
undian tadi dan melihat mimik muka mereka bersebelas, aku sudah tahu,
mereka pasti sedang mengerjai kamu!"
"Aku tahu, pasti adik Lan-hoa yang punya usul, besok aku mesti bikin
perhitungan dengannya."
"Sudahlah, mereka toh berniat baik kepadamu ...."
"Tidak, Engkoh Huan, kau mesti balaskan dendam..."
"Baik, baik, sekarang juga aku akan membuat perhitungan," sembari berkata
dia merangkak bangun.
"Besok saja engkoh Huan, mari kita tidur dulu!" Si Ciu-ing segera memeluknya
sambil memberi ciuman mesra ke atas bibirnya.
0oo0 Waktu berlalu sangat cepat, tanpa terasa sepuluh tahun sudah lewat.
Pesanggrahan Hay-thian-it-si yang biasanya hening dan tenang, kini sudah
berubah jadi ramai sekali.
Hari peh-cun telah tiba, bau harum bakcang terendus sampai dimana-mana.
Tengah hari itu, suasana di tepi kolam Ti-sim amat ramai dengan gelak
tertawa, percikan air menyebar ke empat penjuru.
Ong Sam-kongcu dan dua belas tusuk konde emas duduk mengeliling kolam
sambil menyaksikan dua puluh lima orang bocah sedang bermain perangperangan
di dalam kolam, melihat wajah riang bocah-bocah itu, mereka semua
merasa ikut gembira.
Berkat jerih payah Ong Sam-kongcu selama sepuluh tahun terakhir yang
sangat rajin "mencangkul sawah" dan "menebar benih", belum genap dua tahun
pernikahan dengan sebelas orang tusuk konde emas, mereka telah melahirkan
sebelas orang bocah untuknya.
Yang menjadi juara pertama adalah Si Ciu-ing, setahun setelah
perkawinannya dia telah melahirkan seorang bocah yang gemuk, hingga
pesanggrahan Hay-thian-it-si secara tiba-tiba mendapat tambahan tiga belas
orang bocah lelaki dan dua belas orang bocah perempuan (termasuk Ong Bu-jin).
Kaum pria dikomandani oleh Ong Bu-ciau.
Sementara kelompok wanita dipimpin oleh Ong Bu-jin.
Jangan dilihat kedua orang itu baru berusia sebelas tahunan, bukan saja
wajah mereka tampan dan cantik, mereka pun sangat pandai memimpin saudara
saudaranya hingga orang tua tak perlu kuatir.
Sejak masih sangat kecil, kawanan bocah itu sudah dilatih dasar ilmu silat,
pihak lelaki dilatih secara, langsung oleh Ong Sam-kongcu, sementara kelompok
wanita dididik oleh kaum ibu, tak heran kalau gerak-gerik mereka amat lincah
dan cekatan. Apalagi Ong Bu-ciau, bukan saja dia berbakat alam, kecerdasannya
mengungguli saudaranya yang lain, tak aneh jika dia berhasil menguasai tiga
belas macam ilmu kungfu, meski belum mencapai tingkat kesempurnaan,
namun kehebatannya sungguh mengejutkan hati.
Tak heran jika dia menjadi putra mahkota yang paling disegani saudara
lainnya. Ilmu silat yang dilatih Ong Bu-jin berasal dari didikan dua belas tusuk konde
emas. Setelah mengikuti Ong Sam-kongcu selama banyak tahun, pikiran serta cara
berpandangan dua belas tusuk konde sama sekali telah berubah, sikap mereka
terhadap Ong Bu-jin pun tidak pilih kasih riennan tekun mereka mendidiknya
secara benar. Bakat yang dimiliki Ong Bu-jin termasuk sangat bagus, sejak berlatih ilmu
silat, bukan saja dia berhasil mempelajari dua belas macam ilmu silat dari dua
belas tusuk konde emas, dia pun secara khusus mempelajari ilmu meramal
nasib dari Han Gi-ang.
Sayangnya, kepergian Go Hoa-ti sejak sepuluh tahun berselang dan hingga
kini bukan saja tak pernah kembali, bahkan kabar berita pun sama sekali tak
ada, hal ini membuat watak Ong Bu-jin jauh lebih matang dibandingkan
usianya, dia nampak lebih pendiam dan sering murung.
Sejak tahu urusan, entah sudah berapa kali dia menanyakan masalah
tersebut kepada dua belas tusuk konde emas, tapi jawaban yang diperoleh selalu
sama. "Sejak melahirkan dia, Go Hoa-ti yang terluka parah berangkat ke wilayah
Kanglam untuk mengobati penyakitnya."
Biarpun dua belas tusuk konde emas memandang bocah itu seperti putri
sendiri, sementara Ong Sam-kongcu juga amat menyayanginya, namun Ong Bujin
tetap merasa ada ganjalan dalam hatinya.
Mengikuti bertambah dewasanya dia, rasa rindunya dengan ibu kandungnya
justru bertambah kuat.
Tentu saja perasaan itu tak pernah diungkap di hadapan orang banyak,
karena dia tak tega ayah dan bibinya jadi sedih karena menguatirkan dirinya.


Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di tengah pertempuran air yang berlangsung antara kelompok laki dan
kelompok wanita, tiba-tiba dari luar pintu gerbang Hay-thian-it-si muncul
seseorang berbaju ungu, dia tak lain adalah Go Hoa-ti yang sudah lenyap
sepuluh tahun berselang.
Ong tua, congkoan pesanggrahan sangat kegirangan, baru saja dia akan
berteriak memanggil, perempuan itu segera memberi tanda agar dia tidak
berisik. "Ong tua!" sapanya lembut, "kondisi badanmu kelihatan sangat prima!"
"Semua berkat doa restu nyonya sahut kakek Ong sambil tertawa, "nyonya,
selama banyak tahun kau pergi kemana saja" Semua orang rindu kepadamu:"
Go Hoa-ti tahu Ong Sam-kongcu tak pernah mengungkapkan kejadian
sesungguhnya kepada bawahan, maka katanya pelan: "Aah benar, aku pulang
dusun sekalian mengatur rumah lamaku di kota Kim-leng."
"Ooh, rupanya begitu, nyonya, kongcu dan semua nyonya serta siauya serta
siocia sedang berada di kolam Ti-sim, silahkan anda langsung menyusul ke
sana." "Terima kasih Ong tua"
Go Hoa-ti tak ingin mengejutkan banyak orang maka dia langsung menuju ke
kolam Ti-sim. Dari kejauhan dia sudah mendengar teriakan ramai dari sekawanan bocah,
tanpa terasa jantungnya berdebar keras.
Diam-diam dia melompat naik ke atas pohon siong lebih kurang lima kaki dari
kolam, dari situ dia mengamati sekeliling kolam dengan seksama.
Tentu saja sorot matanya yang pertama adalah menemukan sosok Bu-jin
pujaan hatinya.
Tak selang berapa saat ia telah menemukan putrinya yang sedang memimpin
pasukan wanita, tak kuasa lagi butiran air mata jatuh bercucuran membasahi
pipinya. "Terima kasih engkoh Huan, ternyata kau merawat Jin-ji seperti merawat putri
kandung sendiri."
Semakin dipandang, hatinya semakin sedih, air mata pun bercucuran
semakin deras. Dia tidak menyangka ilmu silat yang dimiliki Jin-ji begitu sempurna, bahkan
kalau ditinjau dari keanekaragaman aliran silat yang dikuasai, jelas semua
kemampuan itu hasil didikan dari dua belas orang tusuk konde emas.
Ketika sinar matanya berhenti di wajah Cau-ji, hatinya kontan bergetar,
pujinya: "Ganteng amat bocah ini, dia tentu anak Cau!"
Tubuh yang kekar dengan wajah yang bersih, hidung yang mancung, apalagi
sepasang matanya yang bulat dan hitam, tampak sinar wibawa memancar keluar
dari balik matanya yang jernih.
Seandainya Ong Sam-kongcu memiliki mata dan wibawa yang dimiliki anak
Cau, mana mungkin Go Hoa-ti bisa terjauh ke dalam pelukan Bwe Si-jin hingga
dia mesti berkelana hampir sepuluh tahun lamanya"
Diam-diam ia coba mengamati Jin-ji sekali lagi, kemudian dengan perasaan
bangga pikirnya: "Bocah ini bakal cantik sekali setelah dewasa nanti, aah ...
wajah Jin-ji serasa perpaduan wajah kakak Jin dan aku
Melihat kedua orang bocah bergaul sangat akrab, kembali dia berpikir "Aai...
selama hidup aku sudah banyak berhutang kepada engkoh Huan, semoga Jin-ji
bisa mewakiliku untuk membalas budi ini."
Apakah dia sudah mengambil keputusan untuk menjodohkan Jin-ji dengan
anak Cau" Membayangkan sampai di situ, tanpa terasa ia tersenyum sendiri.
Tiba-tiba terdengar seseorang berseru dari arah kolam: "Tenang, tenang,
diumumkan, hasil perlombaan hari ini dimenangkan pihak perempuan!"
Kawanan bocah perempuan di sisi kolam segera bersorak-sorai penuh
kegembiraan. Begitulah, diiringi suara teriakan yang amat ramai, kawanan bocah itu
membubarkan diri menuju ke kamar masing-masing.
Jin-ji sambil bergandengan tangan dengan anak Cau juga ikut berlalu dari
situ. Ong Sam-kongcu saling berpandangan sekejap dengan dua belas tusuk konde
sambil tertawa, baru saja akan balik ke ruang tamu, tiba-tiba terlihat bibi Ong
muncul sambil melongok ke sana kemari.
Melihat itu Si Ciu-ing segera menegur "Bibi Ong, kau sedang mencari siapa?"
"Kongcu, aku sedang mencari nyonya, apa kalian tidak melihat nyonya?"
sahut bibi Ong cepat.
"Bibi Ong, kau mencari nyonya yang mana" Kami semua berada di sini?"
"Nyonya kedua, sewaktu aku mengantar nasi untuk suamiku tadi, dia
mengatakan kalau nyonya besar telah datang, kenapa tidak kelihatan
orangnya?"
"Sungguh?" serentak semua orang berseru dengan perasaan kaget bercampur
girang. "Benar, malah suamiku minta nyonya besar langsung mencari kalian di sini"
Pada saat itulah tampak sesosok bayangan manusia meluncur turun dari atas
pohon, dengan gerakan Yau-cu-huan-sin (burung belibis membalik badan) tahutahu
Go Hoa-ti sudah melayang turun persis di hadapan mereka.
"Engkoh Huan, cici sekalian, siaumoay telah kembali!" katanya seraya
menjura. Serentak kawanan wanita itu maju mendekat, dengan air mata berlinang ujar
Si Ciu-ing: "Enci Ti, kami semua merindukan kau!"
"Cici sekalian, terima kasih banyak kalian telah merawat dan mendidik anak
Jin!" ujar Go Hoa-ti dengan air mata bercucuran.
Isak tangis pun menghiasi pertemuan yang sangat mengharukan itu, tidak
terkecuali bibi Ong yang berdiri di samping.
Melihat itu Ong Sam-kongcu segera menegur sambil tertawa: "Pertemuan ini
semestinya disambut dengan gembira, kenapa kalian malah menangis" Cepat
seka air mata kalian, jangan biarkan gerombolan tuyul kecil menertawakan
kalian." Buru-buru Si Ciu-ing menyeka air matanya kemudian ujarnya sambil tertawa:
"Cici Ti, kau sudah bertemu anak Jin" Dia hebat sekali!"
"Semuanya ini berkat jasa kalian semua," bisik Go Hoa-ti dengan air mata
semakin deras. Tiba-tiba Han Gi-ang berkata setelah menarik napas panjang: "Enci Ti,
dipandang dari wajahmu yang membawa sinar kegembiraan, tampaknya Thian
tak akan menyia-nyiakan harapanmu, apa yang kau harapkan selama ini bakal
tercapai."
"Enci Ang, apa maksudmu?" Go Hoa-ti tercengang.
"Aah, tepat sekali! Memang cocok sekali," tiba-tiba Ong Sam-kongcu ikut
berseru sambil tertawa, "adik Ti, sebulan berselang adik Ang pernah bilang, ada
orang lama yang bakal pulang kampung di hari Peh Cun, tak disangka kau
benar-benar telah pulang di hari Toan-yang ini!"
Tergerak hati Go Hoa-ti, dia segera menarik tangannya seraya bertanya: "Enci
Ang, kau mengetahui rahasiaku?"
Sambil tersenyum Han Gi-ang menggeleng.
"Tidak, siaumoay tidak tahu, tapi siaumoay tahu paling lambat akhir tahun
depan, apa yang kau harapkan bisa terkabul!"
"Sungguh?"
Han Gi-ang tidak menjawab, dia hanya tersenyum. "Adik Ti, tak bakal
meleset," Ong Sam-kongcu segera menyela, "ayo, jangan biarkan anak-anak
menunggu terlalu lama."
Ketika masuk ke dalam ruang makan, ia jumpai bocah laki dan perempuan itu
masing-masing duduk mengelilingi dua meja bulat, walaupun melihat orang
dewasa masuk ke ruangan, ternyata tak ada satu pun yang bicara ataupun
melongok ke sana kemari.
Kedisiplinan kawanan bocah itu mau tak mau membuat Go Hoa-ti merasa
amat kagum. Oia melirik anak Jin sekejap, lalu tanpa mengucapkan sepatah kata pun
mengambil tempat duduk.
Ketika Ong Sam-kongcu menganggukkan kepala, anak Cau baru berseru
lantang: "Bersantap dimulai!"
Para bocah pun mulai menggunakan sumpit masing-masing untuk mengambil
bakcang yang tersedia.
Saat itulah Ong Sam-kongcu dengan ilmu coan-im-jit-pit berbisik kepada Go
Hoa-ti: "Adik Ti, mohon kau sudi menahan diri sejenak lagi." Sembari berkata ia
sodorkan sebuah bak-cang kepadanya.
Dengan penuh rasa terima kasih Go Hoa-ti menerimanya dan mengangguk
berulang kali. Tampaknya pertandingan yang diadakan hari ini telah menguras banyak
tenaga bocah-bocah itu, tak heran kalau napsu makan mereka sangat besar, tak
selang berapa saat kemudian bakcang sebaskom telah habis dianglap.
Dua belas tusuk konde emas saling berpandangan sambil tertawa, setelah
memberi tanda kepada Go Hoa-ti, masing-masing membawa dua buah bak-cang
dan diberikan kepada putra kesayangannya.
Ketika anak Jin melihat orang yang menghampirinya adalah Goa Hoa-ti yang
tak dikenalnya, sekilas perasaan kagum terlintas dalam benaknya, setelah
menerima pemberian bak-cang itu, untuk sesaat dia malah berdiri tertegun dan
tak tahu apa yang harus diperbuat.
Go Hoa-ti berusaha keras menahan kucuran air matanya serta dorongan
keinginan yang kuat untuk memeluk bocah itu, sambil tersenyum dia hanya
mengangguk dan balik kembali ke tempat duduknya.
Hingga kawanan bocah itu pada bubaran, ia baru tersadar kembali dari
lamunannya. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar Ong Sam-kongcu berseru: "Anak Jin,
jangan pergi dulu, coba kemari!"
Jin-ji meletakkan bak-cangnya ke meja dan berjalan ke depan Ong Samkongcu
sambil bertanya: "Ada apa ayah?"
"Anak Jin, ayah hendak menyampaikan sebuah kabar baik, ibumu sudah
kembali!" "Sungguh ayah?" berkilat sepasang mata anak Jin.
Suling Emas Dan Naga Siluman 8 Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Romantika Sebilah Pedang 2
^