Pencarian

Pendekar Naga Mas 2

Pendekar Naga Mas Karya Yen To Bagian 2


Ong Sam-kongcu tersenyum, sambil menggandeng tangannya yang gemetar,
mereka berjalan menuju ke hadapan Go Hoa-ti.
Sementara itu air mata jatuh bercucuran membasahi wajah Go Hoa-ti, sambil
memeluk bocah perempuan itu teriaknya berulang kali: "Anak Jin, anak Jin!"
"Ibu!" anak Jin menubruk ke dalam rangkulannya dan menangis tersedu.
Memandang sekejap kawanan bocah yang berdiri tercengang, Ong Samkongcu
segera menjelaskan: "Bocah-bocah, dia adalah bibi Go, yaitu ibu
kandung cici kalian."
"Bibi... bibi...!" serentak para bocah maju meluruk sambil berteriak
kegirangan. Dengan air mata berlinang Go Hoa-ti anggukkan kepalanya berulang kali,
"Kalian semua memang anak yang manis!"
"Anak-anak," Si Ciu-ing ikut menjelaskan sambil tertawa, "selama banyak
tahun, bibi kalian merawat lukanya di daerah Kanglam, walaupun luka itu
belum sembuh tapi kali ini sengaja datang untuk merayakan peh-cun bersama
kita semua, untuk menyampaikan rasa terima kasihnya karena kalian selama
banyak tahun membantu anak Jin, maka masing-masing akan mendapat hadiah
sebuah kain uang yang indah."
"Terima kasih bibi, terima kasih bibi ...." kembali tempik sorak bergema gegap
gempita. "Mari kita kembali ke pesanggrahan T?-wan!" ajak Ong Sam-kongcu kemudian
sambil tertawa.
Ketika melangkah kembali ke dalam pesanggrahan Ti-wan, Go Hoa-ti
menyaksikan segala sesuatunya masih tetap seperti sedia kala, sementara ia
sedang menghela napas, tiba-tiba terdengar anak Jin berseru: "Ibu, setiap hari
aku dan adik Cau pasti datang kemari untuk mengatur pepohonan di sini."
"Enci Ti, jangan dilihat bocah-bocah itu lincah, tanpa undangan atau ijin dari
anak Jin, siapapun tak ada yang berani datang kemari," si Ciu-ing segera
menyela. "Cici, kalian terlalu baik kepadaku!*
"Adik Ti," sela Ong Sam-kongcu, "di antara orang sendiri kau tak usah
merendah, anak Jin memang sangat pintar, justru dialah yang memimpin adikadiknya
selama ini...."
"Ibu, memang benar begitu," tiba-tiba anak Jin menyela, "semua saudara
takut denganku, tapi aku justru takut dengan anak Cau, asal dia mendelik, aku
sudah ketakutan setengah mati."
Ucapan tersebut segera disambut gelak tertawa semua orang.
"Anak Jin," Go Hoa-ti berkata, "di kemudian hari kau harus menuruti
perkataan adik Cau, harus membantunya, agar kalian bersaudara dapat selalu
akrab." "Pasti ibu, adik Cau juga takut padaku, setiap kali aku menangis lantaran
rindu padamu, adik Cau akan kebingungan dibuatnya."
Dengan penuh kasih sayang Go Hoa-ti memeluk putrinya.
"Anak jin," katanya kemudian, "selanjutnya ibu pasti akan meluangkan
banyak waktu untuk menemanimu, tapi kau tak boleh sengaja membuat
murung adik Cau.*
"Aku berjanji ibu, tapi... kau masih akan pergi lagi?"
"Ehmm, menurut tabib, ibu harus berobat satu tahun lagi sebelum sehat
seperti sedia kala, setelah itu kita tak akan berpisah lagi."
"Sungguh?"
"Ehmm, masa orang dewasa membohongi anak kecil" Sekarang tidurlah dulu."
Anak Jin berpaling ke arah Ong Sam-kongcu, tanyanya: "Ayah, bolehkah anak
Jin tidur dengan ibu malam ini?"
"Tentu saja boleh, selama ibu di rumah, kau boleh tidur bersamanya."
"Terima kasih ayah, anak Jin pergi tidur siang," setelah memberi hormat
kepada semua orang, dia pun berlalu dari situ.
Memandang hingga bayangan punggung putrinya lenyap dari pandangan, Go
Hoa-ti baru berkata sambil menghela napas: "Engkoh Huan, cici semua, terima
kasih, kalian telah memelihara dan mendidik anak Jin hingga sehebat sekarang."
"Adik Ti, aku tidak berani berebut jasa," sela Ong Sam-kongcu tertawa,
"semua keberhasilan itu adalah hasil karya adik Ing semuanya, bahkan aku
sudah berencana hendak mendirikan sebuah perkumpulan yang dinamakan
Hay-it-pang."
"Perkumpulan Hay-it-pang?"
"Betul.' Toh anggota keluarga kita sangat banyak, dari ketua sampai peronda
bisa kita tangani semuanya, apalagi bakat bocah-bocah itu sangat menjanjikan,
sudah sepantasnya kalau kita muncul sebagai sebuah kekuatan baru."
"Betul sekali, pemikiran semacam ini memang sesuai dengan kondisi dalam
masyarakat sekarang, kenapa tidak segera dilaksanakan?"
Ong Sam-kongcu tertawa.
"Mungkin lantaran kita sudah terlalu lama hidup mengasingkan diri,
kehidupan bersantai tiap hari membuat orang jadi malas, tak punya semangat
lagi untuk cari nama dan kedudukan, apalagi kekayaan keluarga Ong kan cukup
untuk menghidupi berapa generasi."
"Engkoh Huan, pemikiran semacam itu pas jika situasi dunia aman dan
tenteram," kata Go Hoa-ti serius, "tapi menurut pengamatanku, dunia persilatan
saat ini sedang dilanda gejolak yang mengerikan."
Kaget bercampur tertegun Ong Sam-kongcu dan dua belas tusuk konde emas
sesudah mendengar perkataan itu.
"Engkoh Huan, cici sekalian, semenjak empat tahun berselang, di daratan
Tionggoan telah muncul sebuah organisasi massa yang dinamakan Tay-ka-lok",
artinya gembira untuk semua orang, bukan saja banyak teman persilatan yang
bergabung dengan organisasi itu, rakyat biasa pun banyak yang mendaftarkan
diri." "Tay-ka-lok?" Ong Sam-kongcu tercengang, "dari nama organisasi itu
semestinya organisasi mereka merupakan satu perkumpulan untuk bersenangsenang,
darimana bisa membahayakan masyarakat umum?"
"Aaai! Yang dimaksud Tay-ka-lok sebetulnya tak beda dengan sebutan Paykiu,
kiu-kiu dan sebangsanya, merupakan istilah di dalam perjudian, bukan saja
mereka punya daya tarik yang luar biasa, kehancuran yang timbul akibat
permainan itu beribu kali lipat lebih dahsyat ketimbang permainan judi."
"Wow, permainan yang begitu mengasyikkan?"
"Bila kau berada di daratan Tionggoan, bukan cuma di gedung pertemuan,
bahkan di jalanan atau lorong kecil pun, asal kau mau perhatian pasti akan
mendengar banyak orang sedang meramal nomor berapa yang bakal keluar
nanti. Yang mereka maksud nomor adalah nomor pemenang pacuan kuda yang
keluar sebagai juara pada tanggal lima, lima belas dan dua puluh lima."
"Ooh, rupanya mereka gunakan pacuan kuda sebagai judi buntutan" Jadi
mirip sekali dengan taruhan orang tentang siapa yang bakal terpilih menjadi
Bulim Bengcu?"
"Benar, taruhan siapa yang jadi Bulim Bengcu hanya diselenggarakan berapa
tahun satu kali, sehingga meski kalah taruhan tak bakal mencelakai orang, beda
sekali dengan organisasi Tay-ka-lok, satu bulan diadakan taruhan sebanyak tiga
kali, setiap kali berapa juta orang yang terlibat dalam pertaruhan itu
"Apa" Ada jutaan orang yang ikut taruhan?"
"Betul, menurut data terakhir yang kudengar, sudah ada dua puluh juta orang
yang terjerumus dalam pertaruhan semacam itul"
"Haah" Begitu besar pengaruh Tay-ka-lok?" seru Ong Sam-kongcu terperanjat.
"Betul, sembilan ekor kuda saling berlomba sejauh sepuluh li, pada akhirnya
pasti ada seekor kuda yang mencapai finish duluan, asal orang yang memegang
nomor kuda juara itu maka mereka bisa mendapat uang taruhan yang besar
sekali. "Ambil contoh kota Kim-leng. kau masih ingat dengan perusahaan ekspedisi
Kim-leng piaukiok" Sekarang mereka tidak usaha ekspedisi lagi, di luar kota
mereka membeli tanah seluas puluhan hektar dan mendirikan arena pacuan
kuda plus tempat peristirahatan.
"Setiap tanggal lima, lima belas dan dua puluh lima, di arena pacuan kuda
Kim-leng akan diselenggarakan lomba pacuan kuda, tiap kali diselenggarakan
ada empat lima juta orang yang ikut bertaruh, tiap taruhan bernilai satu tahil
perak. "Setiap kali selesai berlomba, siapapun yang menang, pihak Kim-leng piaukiok
akan mengambil satu persen dulu sebagai uang jasa, coba hitung sendiri, kalau
tiap kali bisa meraup empat lima juta tahil perak, satu persennya berarti empat
lima puluh ribu tahil perak."
"Hmmm, hebat amat sistim itu, tidak sampai tiga bulan bukankah semua
modal mereka sudah balik?" dengus Ong Sam-kongcu.
"Benar, dari sembilan nomor yang tersedia, asal kita pilih satu di antaranya
dan menang maka kau bisa menangkan uang taruhan dari delapan nomor yang
lain, apalagi bila nomornya "kandang" alias tidak tertebak, hadiah bisa luar biasa
besarnya."
"Bagaimana kalau kita beli semua kesembilan nomor itu?" tanya Ong Samkongcu
setelah termenung berpikir sebentar.
"Engkoh Huan, aku pernah coba caramu itu, akhirnya aku keluar uang
sembilan tahil tapi yang dimenangkan cuma dua tahil lebih, rugi besar!"
"Hmm, kalau aku si penyelenggara pacuan kuda, akan kuatur perlombaan itu
agar beberapa kali "kandang", lalu dengan keluar uang satu tahil perak, aku
keluarkan nomor kuda yang paling sedikit pasangannya, bukankah aku bakal
meraih keuntungan yang luar biasa?"
"Aaah betul juga!" teriak Go Hoa-ti kaget, "asal kita gunakan kuda yang
berbeda tiap kali berlomba, lalu nomor kuda pemenang selalu diatur nomor kuda
yang paling sedikit pasangan taruhannya, bukankah tiap kali berlomba, si
bandar akan meraup kemenangan luar biasa?"
"Bagus, kalau begitu biar aku pulang ke kota Kim-leng dan membuka sebuah
pacuan kuda juga, dengan bocah-bocah sebagai jokinya, aku yakin tak sampai
satu tahun kekayaanku sudah membukit!"
"Engkoh Huan, jika ada orang memberi petunjuk secara diam-diam lalu
membuat kekacauan pada saat yang tepat, mungkin masalahnya bisa berubah
jadi serius," Si Ciu-ing mengingatkan.
"Betul sekali!" Ong Sam-kongcu mengangguk serius, "adik Ti, apa selama ini
pihak kerajaan dan sembilan partai besar tidak berusaha mencegah, melarang
atau menghalangi ulah mereka?"
"Pernah sih pernah, konon sudah melibatkan banyak orang, tapi siapa sih
yang tak pingin kaya raya dalam semalaman" Bukan saja semua orang jadi gila
harta, gila bertaruh, ditambah lagi dengan beberapa alasan, bukannya padam
dan surut, permainan tersebut malah semakin merajalela."
Semakin dipikir Ong Sam-kongcu merasa semakin ngeri, katanya kemudian
setelah menghela napas panjang: "Kalau kekuatan kelewat lama bersatu,
akhirnya pasti akan berpisah, bila lama berpisah akhirnya akan bersatu
kembali, selama puluhan tahun terakhir, dunia persilatan selalu aman dan
tenteram, kelihatannya kekacauan segera akan melanda seluruh dunia
"Engkoh Huan, cici sekalian," sela Go Hoa-ti tiba-tiba, "demi masa depan
bocah-bocah serta kemampuan mereka untuk menghadapi perubahan dalam
dunia, apa tidak mulai dipertimbangkan perubahan sistim pendidikan serta
materi pendidikan?"
Ong Sam-kongcu berpikir sejenak, lalu katanya: "Ehmm, memang perlu
rasanya, adik semua, bagaimana pendapat kalian?"
Dua belas tusuk konde serentak manggut-manggut.
Si Ciu-ing berkata pula: "Kecerdasan anak Jin dan anak Cau melebihi
kebanyakan orang, bocah lainnya juga tunduk di bawah pengawasan mereka,
asal diberi arahan, semestinya mereka dapat menerima perubahan itu."
Kemudian setelah berhenti sejenak, ujarnya lagi: "Engkoh Huan, cici, kalian
teruskan pembicaraan, aku ingin mengundurkan diri lebih dulu!"
Bersama sebelas orang tusuk konde lain, mereka bersama-sama
meninggalkan pesanggrahan Ti-wan.
Memandang hingga bayangan punggung orang itu lenyap dari pandangan,
Ong Sam-kongcu baru berkata lagi dengan nada kualir "Apakah belum ada
kabar berita dari saudara Bwe...."
"Aaai, kabar beritanya seakan batu yang tenggelam di tengah samudra, sama
sekali tiada kabar apa-apa."
"Jangan putus asa, adik Ang toh pernah meramalkan nasibmu, konon akhir
tahun depan kau bisa berjumpa ladi dengan saudara Bwe, bukan begitu?"
"Haai ... ramalan hanya sesuatu janji yang semu, tanpa dasar bukti yang pasti
mana aku boleh percaya" Tapi aku memang kagum dengan cici Ang, dia makin
lama semakin memikat hati."
"Adik Ti, kau tak usah mengagumi mereka, apa kau tidak merasa bahwa
dirimu lebih matang dan semakin seksi?"
Berkilat sepasang mata Go Hoa-ti setelah mendengar perkataan itu, serunya
tak tahan: "Engkoh Huan, kau pun berpendapat begitu?"
"Benar adik Ti, aku tidak bohong."
Berkaca sepasang mata Go Hoa-ti karena linangan air mata, gumamnya:
"Engkoh Huan, berilah satu kali kesempatan lagi, bila kali ini aku gagal
menemukan jejaknya, aku akan matikan perasaanku ini."
"Sampai waktunya, aku akan tinggal di pesanggrahan Ti-wan dan selama
hidup melayani kau, aku akan melayani semua kemauanmu demi membalas
budi kebaikanmu terhadap aku serta anak Jin selama ini."
"Adik Ti, aku pasti akan menunggumu!"
"Engkoh Huan......." sambil berseru, ia segera menubruk ke dalam
pelukannya. Sambil memeluk kekasih hatinya, Ong Sam-kongcu merasa pikiran serta
perasaan hatinya bergejolak keras.
Setelah mengetahui asal-usul anak Jin yang sebenarnya, semula dia bertekad
akan melupakan perempuan ini, tapi bayangan tubuhnya sudah kelewat dalam
membekas dalam benaknya. Apalagi mengikuti berlalunya sang waktu, perasaan
itu membekas semakin nyata.
Hari ini, ketika ia mendapat tahu kalau ia masih tak berhasil menemukan Bwe
Si-jin, bara api harapan sekali lagi timbul, apalagi ketika tubuh yang lembut dan
harum berada di dalam pelukannya sekarang, dia benar-benar tak sanggup
mengendalikan diri.
Ketika Go Hoa-ti berjumpa dengan Bwe Si-jin tempo hari di kota Lokyang, ia
jatuh hati pada pandangan pertama, tidak sampai tiga bulan berkenalan, dengan
hati ikhlas dia persembahkan keperawanannya kepada pemuda itu.
Sejak itu mereka berdua hampir selalu bersama mengunjungi tempat-tempat
yang terkenal di sekitar kota Lokyang.
Tapi suatu pagi, ketika Go Hoa-ti mendusin dari tidurnya dalam sebuah
rumah penginapan, ia menjumpai Bwe Si-jin telah hilang lenyap tak berbekas,
maka dia pun mulai melacak keberadaannya.
Tapi pada saat itulah dia menjumpai dirinya mulai hamil.
Demi masa depan jabang bayinya maka dia menggunakan pelbagai cara untuk
bisa dinikahi Ong Sam-kongcu, siapa tahu "manusia boleh berusaha, Thian lah
yang punya kuasa", asal-usul anak Jin akhirnya terbongkar juga.
Dalam keadaan demikian, terpaksa sekali lagi dia mengembara di seluruh
pelosok dunia untuk mencari jejak Bwe Si-jin.
Selama sepuluh tahun, dia sudah menjelajahi hampir setiap sudut kota baik
di Kwan-lwe maupun Kwan-gwa, puluhan ribu orang sudah ditanyai, namun
bukan saja tak ada yang pernah bersua dengan Bwe Si-jin, kabar beritanya pun
sama sekali tak ada.
Selama ini, dia pun sudah banyak menghadapi intrik serta akal busuk banyak
orang yang berusaha ikut "mencicipi" kehangatan tubuhnya, masih untung dia
cerdas dan kungfunya hebat, hingga setiap kali berhasil lolos dari cakaran
"serigala perempuan".
Dalam keputus-asaan akhirnya ia balik ke pesanggrahan Hay-thian-it-si,
rencana semula dia ingin menemani anak Jin untuk melewati sisa hidupnya.
Tapi ramalan dari Han Gi-ang kembali membangkitkan pengharapannya.
Meski di mulut dia bilang tak percaya, tapi api pengharapan justru semakin
berkobar. Biarpun harapan itu sangat kecil, ia tetap ingin mencobanya.
Selama sepuluh tahun mengembara, Go Hoa-ti selalu berusaha menahan
kebutuhan biologisnya, tapi sekarang, pelukan yang begitu mesra dan hangat
membuat perempuan ini tak sanggup membendung kebutuhannya lagi, ibarat
bendungan yang jebol, napsu birahi seketika menguasai pikiran dan perasaan
hatinya. Begitu pula dengan Ong Sam-kongcu, perpisahan selama sepuluh tahun
dengan perempuan ini membuat birani yang tertanam selama ini seketika
berkobar, pelukan perempuan itu membuat "anak angkat"nya langsung
menegang keras bagai tombak baja.
"Engkoh Huan, bopong aku ke atas ranjang!" pinta Go Hoa-ti lirih.
Seketika Ong Sam-kongcu merasakan lidahnya kering dan hawa panas
menyelimuti seluruh tubuhnya, ia tak kuasa menahan diri lagi, disambarnya
tubuh perempuan itu lalu setengah berlari masuk ke dalam kamar.


Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Matahari masih bersinar cerah di angkasa menimbulkan udara panas di
sekitar gedung, tapi panasnya matahari tak bisa menangkan panasnya suasana
dalam kamar pesanggrahan Ti-wan.
Ong Sam-kongcu dan Go Hoa-ti sudah dalam posisi sama-sama telanjang,
mereka saling berpeluk, saling bergumul dengan ganasnya.
Pengalaman selama sepuluh tahun menggilir dua belas tusuk konde emasnya
saban malam, membuat pengalaman dan tehnik "ranjang" Ong Sam-kongcu mengalami
kemajuan pesat, apalagi tenaga dalamnya yang semakin sempurna
membuat kemampuannya berbuat intim betul-betul luar biasa dan amat
berpengalaman. Sebaliknya Go Hoa-ti merasa walaupun "anu"nya Ong Sam-kongcu kalah
besar dan kalah keras dibandingkan "anu" milik Bwe Si-jin, tapi "jurus
kembangan" serta variasi yang dimiliki lelaki ini jauh lebih matang dan hebat
sehingga dapat menutupi semua kekurangan tersebut, tak heran kalau
perempuan ini tak sanggup bertahan terlalu lama.
Setelah menggeliat tiada hentinya sesaat, lambat laun perempuan itu
mendekati puncak birahtnya....
Tampak badannya gemetar keras, rintihan dan jeritan bergema tiada hentinya
... tak lama kemudian perempuan itu sudah mencapai puncaknya.
Ong Sam-kongcu semakin terangsang, tiba-tiba ia merasa seluruh badannya
mengejang keras, "ujung tombak'nya terasa gatal sekali, dia tahu sebentar lagi
dirinya pun akan mencapai puncaknya.
Buru-buru dia cabut keluar "tombak'nya kemudian ditembakkan ke atas
pusar perempuan itu.
Cairan putih yang kental dan berbau anyir menyembur keluar mengotori dada
serta pusarnya, sampai lama ... lama kemudian Ong Sam-kongcu baru merebahkan
diri lemas di sisi ranjang.
Go Hoa-ti tahu, lelaki itu kuatir dirinya hamil sehingga mengambil tindakan
tersebut, tak kuasa lagi bisiknya dengan perasaan sedih: "Engkoh Huan, maaf,
aku tak bisa memuaskan dirimu."
Seraya berkata dia ambil sebuah handuk dan mulai membersihkan tubuhnya.
"Adik Ti tak usah sedih," sahut Ong Sam-kongcu tertawa, "selama tahun
tahun terakhir, kami selalu menggunakan cara seperti ini untuk berhubungan
intim, kalau tidak ... wah, berapa banyak tuyul kecil yang bakal hadir lagi di
Hay-thian-it-si ..."
"Engkoh Huan, kalian benar-benar mengagumkan."
"Adik Ti tak usah kagum, asal kau bersedia, setiap saat kami akan
menerimamu untuk bergabung."
0oo0 Malam itu, Ong Sam-kongcu didampingi tiga belas orang wanita berkumpul di
pesanggrahan Ti-wan sambil berbincang-bincang.
Saat itulah terdengar Han Gi-ang berkata: "Engkoh Huan, cici Ti, untuk
menghadapi perubahan yang terjadi dalam dunia persilatan, kami berdua belas
telah melakukan perundingan sore tadi, kesimpulan yang kami buat adalah
membiarkan cici Ti mengajak anak Cau terjun ke dalam dunia persilatan untuk
mencari pengalaman!"
Si Ciu-ing menambahkan: "Dengan membiarkan anak Cau mencari
pengalaman dalam dunia persilatan, selain bisa menambah pengetahuannya,
sekembali dari berkelana, dia pun bisa mengajarkan kepada saudara-saudara
lainnya." "Asal adik Ti tidak merasa keberatan, aku pasti akan setuju," kata Ong Samkongcu
sambil tertawa.
"Bagus sekali," seru Go Hoa-ti, "dengan begitu aku pun tak akan kesepian
sepanjang jalan, cuma ... perubahan cuaca susah diramalkan, biarpun kalian
percaya padaku, aku hanya kuatir bila sampai terjadi sesuatu kejadian di luar
dugaan." "Enci Ti tak perlu kuatir," Han Gi-ang menerangkan, "anak Cau punya rejeki
yang besar dan umur yang panjang, biarpun terjadi sesuatu dan harus
mengalami pelbagai masalah, otomatis semua kesulitan akan berubah jadi
selamat." "Kalau memang begitu akan kuterima tanggung jawab ini."
"Cici Ti," seru Si Ciu-ing kemudian dengan penuh rasa terima kasih, "aku
ucapkan terima kasih terlebih dulu, hanya saja anak Cau kelewat agresif dan
lagi keras kepala, mungkin akan banyak menyulitkan dirimu!
Bab III. Pertarungan naga sakti versus elang sakti.
Telaga Toa-beng-ou di wilayah Chi-lam.
Pemandangan alam di wilayah Chi-lam memang luar biasa indahnya, ada
mata air, ada telaga juga ada bukit, mata air adalah Ya-tok-swan, telaga adalah
Tay-beng-ouw sedang bukit adalah Jian-hud-san
Telaga Tay-beng-ouw terletak di sebelah barat-laut kota Chi-lam, luasnya
belasan li dan menduduki sepertiga dari luas seluruh kota.
Batas telaga berada di timur, utara dan barat kota, bila fajar baru menyingsing
atau senja menjelang tiba, pemandangan alam di sekeliling tempat itu indah menawan.
Dari jembatan Ing-hoa-kiau menuju ke arah barat-laut telaga, tampak
pepohonan yang-liu tumbuh sepanjang pesisir, gelagah tumbuh subur di
permukaan telaga, khususnya di musim panas atau musim gugur, bunga teratai
mekar semerbak membuat pemandangan di sekitar sana tampak semakin indah
menawan. Senja itu, matahari memancarkan sinar kemerah-merahan menyelimuti
angkasa, kabut tipis kelihatan mengambang di atas permukaan air telaga.
Saat itulah, di sebuah rumah makan di tepi telaga, tampak seorang pemuda
berwajah tampan didampingi seorang bocah beralis tebal bermata besar dan bertubuh
kekar sedang duduk di tepi jendela menikmati keindahan alam telaga.
Mereka berdua tak lain adalah Go Hoa-ti dan Ong Bu-cau.
"Anak Cau, bagaimana dengan pemandangan alam di sini?" bisik Go Hoa-ti
dengan suara lirih.
"Sangat indah, kalau bisa berpesiar dengan perahu tentu lebih nikmat," sahut
anak Cau kegirangan.
Ucapan yang diutarakan dengan suara lantang seketika memancing perhatian
banyak orang yang memandang ke arahnya dengan sinar mata keheranan.
Belum sempat Go Hoa-ti berbicara, Ong Bu-cau sudah bangkit berdiri dan
berseru kepada semua yang hadir sambil menjura: "Paman dan empek sekalian,
maaf!" "Bocah cilik, berani berbuat berani tanggung jawab, kau memang hebat," dari
sudut ruangan terdengar seseorang berseru dengan suara keras.
Ketika berpaling, anak Cau melihat orang itu adalah seorang kakek berusia
enam puluh tahunan yang bertubuh kekar, bermata besar dan bermulut lebar.
Melihat pihak lawan memujinya, Cau-ji membalas dengan senyuman simpatik
lalu balik kembali ke tempat duduknya.
Sebaliknya Go Hoa-ti segera berubah wajahnya setelah melihat wajah orang
itu, buru-buru bisiknya: "Cau-ji, mari kita balik dulu ke rumah penginapan, kita
naik perahu besok pagi saja."
Belum sempat kedua orang itu berlalu, tiba-tiba terdengar seseorang berseru:
"Aaah, siau-hui-hiap telah datang!"
"Sungguh" Cepat tanyakan soal lencana Beng-pay?"
Menyusul perkataan itu berduyun-duyun orang berlarian meninggalkan ruang
rumah makan, tak selang berapa saat kemudian di situ tinggal Go Hoa-ti, Cau-ji
serta kakek kekar itu.
Cau-ji sangat heran melihat tingkah polah orang-orang itu, tak kuasa ia pun
bertanya: "Paman, siapa sih siau-hui-hiap yang mereka maksud dan apa pula
lencana Beng-pay?"
Go Hoa-ti segera menuding ke arah seorang bocah berusia enam tujuh
tahunan yang berada di kejauhan sana dan mengenakan baju mewah dengan
cahaya mutiara yang gemerlapan seraya berkata: "Itu dia si pendekar terbang
Siau-hui-hiap!"
"Mana mungkin?" Cau-ji tidak yakin, "kalau ditinjau dari namanya, si
pendekar terbang mestinya bisa bergerak secepat terbang, punya kepintaran dan
keberanian, tidak macam orang tolol begitu."
"Cau-ji, cepat amat kau belajar kata-kata nakal macam begitu," tegur Go Hoati
sambil tertawa.
"Tapi kita kan mesti bilang putih kalau putih dan bilang hitam kalau hitam?"
Go Hoa-ti melirik ke arah kakek kekar itu sekejap, melihat orang itu
mengawasi terus Cau-ji, ia segera tingkatkan kewaspadaannya, bisiknya segera:
"Cau-ji, kau jangan lihat bocah itu macam orang bloon, dia bisa beritahu kepada
orang lain nomor berapa yang baka! keluar dalam pacuan kuda malam nanti!"
"Nomor yang keluar dalam pacuan kuda" Maksud paman nomor yang akan
keluar pada Tay-ka-lok?"
"Benar, nomor ciaji itulah yang disebut beng-pay. Kelihatannya bocah itu
sudah sering memberi ciaji sehingga banyak orang menang lotere, coba lihat
begitu banyak perhiasan yang menghiasi tubuhnya."
"Paman, kenapa siau-hui-hiap bisa memberi ciaji?"
"Soal ini... aku sendiri juga kurang paham."
"Saudara cilik, lohu tahu!" mendadak kakek itu berseru lantang.
Berubah hebat paras muka Go Hoa-ti, buru-buru dia tarik tangan Cau-ji siap
kabur dari situ.
Siapa tahu pada saat itulah terasa angin tajam menderu lewat, tahu-tahu
kakek itu sudah berdiri persis di hadapan mereka berdua.
Melihat usahanya menghindar tidak berhasil, Go Hoa-ti segera menghentikan
langkahnya sambil menegur "Oh-cianpwe, apa maksudmu menghalangi
perjalanan boanpwe?"
"Nona, rupanya kau kenal lohu" Luar biasa, luar biasa, sudah belasan tahun
lohu tak pernah berkelana dalam dunia persilatan, boleh tahu siapa nama
nona?" Kakek itu dari marga Oh bernama It-siau, orang menyebutnya siu-ong atau
raja hewan, bukan saja dia pandai menjinakkan pelbagai binatang, ilmu silatnya
termasuk luar biasa, sepak terjangnya pun antara lurus dan sesat
Anehnya orang ini justru merupakan sahabat karib Bwe Si-jin, Go Hoa-ti
pernah bertemu Oh It-siau satu kali ketika berada di kota Kim-leng dua belas
tahun berselang, tentu saja kakek itu tidak mengenalinya karena ia sedang
menyaru sebagai seorang pria.
Tergerak hati Go Hoa-ti setelah mendengar si raja hewan menanyakan
namanya, baru saja dia hendak memberitahu nama aslinya, mendadak
terdengar Cau-ji menghardik keras: "Kau tak boleh sembarangan menanyakan
nama ibuku!"
Si raja hewan tidak menyangka seorang bocah berani begitu kurangajar
terhadapnya, baru saja dia akan memberi pelajaran, tiba-tiba dilihatnya bocah
itu sangat keren hingga niat tersebut akhirnya diurungkan kembali.
Melihat lawannya tidak menjawab, Cau-ji mengira kakek itu sudah keder,
kembali bentaknya: "Minggirt"
"Bocah kecil, kau memang kelewat tak tahu sopan santuni" umpat si raja
hewan marah. 'Kau sendiri yang tidak sopan duluan, itu namanya pembalasan!" jawab Cau-ji
tak mau kalah. Si raja hewan tertawa tergelak, suaranya nyaring bagai geledek.
Buru-buru Go Hoa-ti melindungi diri dengan hawa murninya, sementara
sepasang tangannya dipakai untuk menutupi telinga Cau-ji, setelah itu
diawasinya gerak gerik kakek itu penuh waspada.
Tampaknya gelak tertawa yang amat nyaring itu membuat si bocah yang
disebut siau-hui-hiap terperanjat, sambil menjerit kaget bocah itu lari terbiritbirit
sambil menangis keras.
Padahal waktu itu para pecandu Tay-ka-lok sedang menunggu Siau-hui-hiap
memberikan ciajinya, melihat bocah itu kabur sambil menangis gara-gara gelak
tertawa si raja hewan, serentak mereka jadi marah, dua puluhan orang serentak
datang mendekat dengan penuh amarah.
Melihat kawanan orang itu akan mencari gara-gara dengan si raja hewan, Go
Hoa-ti kegirangan, dia berusaha menggunakan kesempatan itu untuk melarikan
diri, sayang belum sempat ia melakukan satu tindakan, segulung angin tajam
telah menyerang tiba.
Baru saja hendak menghindar, tapi lantaran sepasang tangannya harus
menutupi telinga Cau-ji, akibatnya gerak-gerik tubuhnya kurang lincah, sedikit
terlambat tahu-tahu jalan darah kakunya sudah tertotok.
"Anak Cau, cepat kabur" teriaknya.
Raja hewan menghentikan gelak tertawanya, ia melangkah maju lalu berusaha
menangkap Cau-ji.
"Lihat serangan!" hardik Cau-ji lantang.
Dengan jurus yu-liong-tam-jiau (naga sakti pentang cakar) dia cengkeram
lambung lawan. Mimpipun raja hewan tak mengira kalau bocah itu mengerti silat bahkan
serangannya secepat sambaran petir, tak ampun lambungnya kena serangan
dengan telak, coba kalau tenaga dalamnya tidak sempurna, mungkin lambung
itu sudah robek dan isi perutnya berentakan.
Biar begitu, lamat-lamat bekas cengkeraman itu terasa sakit bagaikan disayat
dengan pisau. Berhasil dengan serangan pertama tapi gagal melukai musuhnya, kembali
Cau-ji membentak nyaring, kali ini dia bacok dengan telapak tangan kirinya.
Setelah merasakan serangan pertama musuhnya, tentu saja raja hewan tidak
membiarkan lawan menyerang untuk kedua kalinya, dengan satu gerakan cepat
dia cengkeram urat nadi pergelangan tangan kiri Cau-ji, kemudian menotok
jalan darah kaku dan bisunya.
Dalam pada itu, dua puluhan orang sudah menyerbu masuk ke dalam rumah
makan, melihat si raja hewan menculik Cau-ji, serentak mereka membentak
nyaring. "Bajingan tengik, berani amat menculik orang, cepat lepaskan!"
Ada lima orang langsung menerjang ke depan.
Raja hewan mendengus dingin, sembari melanjutkan langkahnya tiba-tiba ia
sentil tangan kanannya berulang kali.
"Aduuuh ...." di tengah jerit kesakitan, dua puluhan orang itu roboh terkapar
di tanah. Dengan penuh rasa bangga raja hewan tertawa nyaring, sekali berkelebat dia
sudah berada jauh di depan sana.
Sebenarnya Go Hoa-ti ingin melaporkan nama sendiri, tapi melihat lawan
sudah pergi jauh, sementara dia sendiripun tertotok, dia kuatir menggunakan
kesempatan itu ada orang akan memperkosanya. maka dia urungkan niatnya.
Dengan menghimpun segenap kekuatan yang dimiliki ia berusaha melepaskan
diri dari pengaruh totokan.
Tak sampai setengah jam kemudian, akhirnya jalan darah kaku di tubuhnya
berhasil dibebaskan.
Sayang malam hari sudah menjelang tiba, kegelapan malam yang mencekam
membuat ia tak nampak sesosok bayangan manusia pun, dalam keadaan begini
terpaksa ia mengejar ke arah dimana raja hewan pergi.
Dalam pada itu si raja hewan dengan mengempit tubuh Cau-ji sudah berada
tak jauh dari kota, begitu tiba di tempat yang sepi, ia segera berpekik nyaring,
suara pekikan itu aneh sekali.
Menyusul suara pekikan aneh itu, dari kejauhan segera bergema dua kali
suara pekikan yang tak kalah anehnya, begitu aneh dan kerasnya suara pekikan
itu membuat Cau-ji merasa hatinya berdebar keras, coba kalau jalan darah
kakunya tidak tertotok, mungkin dia sudah mendongakkan kepala untuk
mengawasi makhluk aneh apakah itu.
Tak lama kemudian terasa ada segulung angin tajam menyambar lewat, Cau-ji
segera menemukan di atas permukaan tanah telah berdiri seekor burung elang
yang aneh sekali bentuknya.
Elang aneh itu paling tidak mempunyai tinggi badan dua-tiga kaki, seluruh
badannya berwarna coklat tua dengan bulu sayap yang berkilauan, jenggernya
merah menyala dan sepasang matanya terang bercahaya.
Dalam posisi tertotok, sebetulnya Cau-ji hanya bisa melihat sepasang kaki
serta perutnya, tapi lantaran burung itu sedang menjulurkan kepalanya
menghampiri si raja hewan, maka ia dapat melihat jelas bentuk unggas tersebut.
Rasa keheranan, ingin tahu bercampur takut bercampur aduk di dalam
benaknya. Melihat itu, si raja hewan tertawa terbahak-bahak, serunya: "Hahaha...
monyet kecil, anggap saja kau memang beruntung, masih kecil sudah bisa
merasakan terbang di angkasa ..."
Sambil berkata, ia jepit tubuh Cau-ji lalu menunggang di punggung burung
aneh itu. "Terbang!" diiringi bentakan nyaring, burung aneh itu pentangkan sayap dan
mulai terbang ke angkasa.
Setelah berada di udara, si raja hewan baru meletakkan tubuh Cau-ji di
sampingnya sekalian menotok bebas jalan darahnya.
Cau-ji merasa angin tajam menerpa di atas wajahnya, begitu kencang
hembusan angin membuat sepasang matanya sulit dipentang lebar, terpaksa ia


Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pejamkan matanya rapat-rapat
Tak lama kemudian burung aneh itu terbang dengan tenang dan stabilnya di
angkasa, sementara Cau-ji pun tak kuasa menahan rasa kantuknya, ia segera
tertidur pulas.
Ketika mendusin kembali, ia jumpai tubuhnya sudah berbaring dalam sebuah
ruang batu, baru saja ia goyangkan badan, terdengar suara desisan aneh
bergema dari sisi badannya.
Selama ini Cau-ji selalu berdiam dalam pesanggrahan Hay-thian-it-si, tentu
saja ia belum pernah melihat bentuk ular, ketika merasa ada benda sedang
bergerak di bawah bantalnya, buru-buru dia melompat bangun sambil
menengok. "Aaah!" apa yang terlihat membuat ia menjerit kaget
Tampak sesosok makhluk yang besarnya seperti gentong air berwarna putih
bercampur hitam sedang menggeliat di tengah ruangan, ia tak bisa membedakan
mana kepalanya dan mana ekornya karena belum pernah melihat makhluk
semacam itu sehingga bocah ini tak bisa mengatakan binatang apakah itu.
Dengan mata melotot besar penuh keheranan Cau-ji mengawasi makhluk itu
tanpa berkedip.
Tiba-tiba terdengar suara gelak tertawa bergema memecahkan keheningan,
tampak si raja hewan muncul sambil membawa secawan arak dan menginjak di
atas punggung ular sanca itu.
Melihat mimik muka Cau-ji, serunya sambil tertawa: "Tampaknya kau
memang bocah bernyali!"
Maka dia pun segera berpekik aneh.
Cau-ji melihat makhluk itu menggeliat tiada hentinya, tak lama kemudian
tampak sebuah kepala berbentuk segitiga dengan sepasang mata yang besar
mencorong muncul di hadapannya, yang aneh, dari mulut makhluk itu menjulur
keluar lidah yang bercabang.
Cau-ji segera teringat dengan pelajaran yang pernah diterima dari ibunya
dulu, konon begitulah bentuk muka makhluk yang disebut "ular", tak kuasa
jantungnya berdebar keras.
Kembali si raja hewan tertawa tergelak. "Hahaha ... munyuk, jangan takut,
anak Cing sudah puluhan tahun menjaga gua ini, asal kau tidak mengusiknya,
dia pun tak akan mengganggu dirimu!"
Sementara ia berbicara, ular itu sudah merayap keluar dari dalam gua.
Melihat kakek itu begitu santai membicarakan soal ular tanpa perdulikan
masalah yang lain, timbul perasaan antipati dalam hati Cau-ji, apalagi bila
teringat bagaimana orang itu telah menotok jalan darah bibinya, tak kuasa hawa
amarah membara dalam dadanya.
"Hey, jangan seenaknya memanggil munyuk kepadaku," teriaknya lantang,
"jika kau berani memanggil sekali lagi, jangan salahkan kalau aku pun akan memanggil
kau sebagai setan tua ular busuk. Hey setan tua ular busuk, kenapa
kau menculik aku?"
Raja hewan tidak menyangka kalau monyet kecil yang masih bau susu ibu
berani bersikap kurangajar kepadanya, ia mendengus dingin.
"Kalau lohu lagi suka begitu, mau apa kamu?" Cau-ji tak mau kalah, dia balas
mendengus. "Siauya tidak suka hati!"
"Ooh, sangat menarik, sangat menarik, monyet kecil, lohu dari marga Oh
bernama It-siau, orang memanggilku raja hewan. Siapa namamu?"
"Raja hewan" Hehehe ... kau memang mirip hewan," Cau-ji balas mengejek,
"berarti kau memang mirip harimau, si raja hutan. Jangan kau kira lantaran
bermarga Oh lantas mengaku sebagai raja hewan"
Dalam hati kecilnya raja hewan merasa amat mendongkol, tapi dia coba
menahan diri, kembali ujarnya sambil tertawa: "Monyet kecil, kau memang
punya mata tak berbiji, kalau aku bukan raja dari segala hewan, masa Cing-ji si
ular sanca itu bisa menurut perintahku?"
"Itu mah gampang sekali, asal kau sering memberi makan ke binatang itu,
otomatis dia akan menuruti perintahmu."
"Kurangajar, kalau aku tak hebat, memangnya kau bisa paksa burung aneh
yang kemarin itu membawamu terbang ke angkasa?"
"Hmmm, lebih baik jangan mengibul, bukankah teorinya juga sama?"
"Hmm, kau memang menjengkelkan sekali, ayo jalan, lohu akan buktikan
kepadamu."
Seraya berkata ia comot tangan Cau-ji dan menyeretnya keluar.
Sementara itu, Cau-ji berani bicara dengan nada mengejek karena sejak awal
dia sudah membuat persiapan, maka begitu tangannya dicomot, ia segera
menjejakkan badannya mengegos ke samping sambil melayangkan sebuah
tendangan kilat ke tubuh lawan.
Raja hewan mendengus, menyambut datangnya tendangan itu, otomatis dia
ayunkan tangannya melepaskan sebuah bacokan.
Cau-jl sama sekali tak gentar, dia ayunkan sepasang tangannya menyongsong
datangnya serangan itu.
Setelah melepaskan pukulan tadi, sesungguhnya si raja hewan sudah merasa
amat menyesal, ia semakin terkejut melihat bocah itu berani menyambut
kedatangan serangannya, buru-buru teriaknya: "Cepat mundurl"
"Blaaamm!" benturan nyaring bergema di udara, Cau-ji mendengus tertahan,
badannya langsung terlontar keluar dari dalam gua.
Si raja hewan terkesiap, sambil berpekik nyaring buru-buru dia melesat keluar
dari gua. Dalam pada itu Cau-ji merasakan sepasang tangannya seperti mau patah,
disusul kemudian dadanya sakit sekali, tak kuasa dia muntah darah segar.
Pada mulanya dia mengira tempat di luar gua adalah tanah datar, jika
badannya sampai terpental maka dia akan gunakan kesempatan itu untuk
melarikan diri.
Siapa tahu begitu buka mata, ia segera menjerit kaget, nyaris bocah itu jatuh
semaput saking terkejutnya, ternyata di luar gua adalah sebuah jurang yang
dalamnya puluhan kaki.
la merasa badannya meluncur ke bawah dengan kecepatan luar biasa, bila
terbentur permukaan tanah, niscaya badannya bakal hancur berantakan.
Di saat yang kritis itulah tiba-tiba ia merasa bajunya mengencang, tahu-tahu
burung aneh itu dengan menggunakan paruhnya telah menggigit ujung bajunya
kuat-kuat .... "Turun!" hardik si raja hewan. Burung aneh itu sangat menurut, tak berapa
saat kemudian ia sudah letakkan tubuh Cau-ji di atas tanah.
"Hei, monyet kecil, kau tidak apa-apa bukan?" tegur raja hewan dengan penuh
rasa kuatir. "Setan tua ular busuk, kau tak usah berlagak sok perhatian," umpat Cau-ji
muak, selesai berkata kembali dia berusaha minggat dari situ.
Melihat bocah itu menuju ke arah telaga yang dalam, dengan penuh rasa
kuatir raja hewan berteriak: "Hei monyet kecil, jangan ke situ!"
Bukannya berhenti, Cau-ji malah mempercepat larinya.
"Berhenti!" kembali si raja hewan menghardik seraya menerkam ke depan.
Merasa datangnya terkaman itu, buru-buru Cau-ji menggunakan jurus Toubo-
siang-wi" (lepas jubah menyingkir ke samping) dia menggelinding ke muka
dan berhasil lolos dari cengkeraman lawan.
Sayang ia tak sadar, begitu ia menggelinding, tubuhnya langsung
menggelinding ke arah tengah telaga.
"Monyet kecil, jangan ke situ!" kembali si raja hewan berteriak.
Cau-ji memang bocah bengal yang tak tahu diri, bukannya menurut, dia
malah menceburkan diri ke dalam telaga.
Tingkah laku yang dilakukan bocah itu membuat raja hewan mencak-mencak,
bukan gusar sebaliknya justru panik dan ketakutan.
Sesaat kemudian, ketika melihat bocah itu sudah munculkan diri dari
permukaan telaga, kembali teriaknya lantang: "Hei monyet kecil, dalam telaga itu
ada naga raksasa, cepat naik ke daratan!"
"Setan tua, kau tak usah berbohong, naga itu binatang langka yang sudah
lama punah, kau kira aku masih kecil lantas gampang dibohongi?"
Seraya berkata kembali ia berenang di atas permukaan telaga dengan gaya
yang lincah. Melihat kemampuan berenang yang begitu hebat dari si bocah, si raja hewan
merasa semakin sayang, kembali teriaknya: "Monyet kecil, apa yang mesti lohu
lakukan hingga kau mau percaya?"
"Hahaha ... itu mah urusanmu, tak ada sangkut pautnya dengan aku!"
Melihat bocah itu keras kepala dan tak menurut, lama kelamaan si raja hewan
jadi jengkel sendiri, tiba-tiba ia berpekik nyaring.
Burung elang aneh itu segera pentang sayapnya terbang ke udara kemudian
langsung menerkam ke tubuh Cau-ji yang berada di permukaan telaga.
Begitu mendengar raja hewan berpekik nyaring,
Cau-ji sudah membuat persiapan yang matang, maka sewaktu burung elang
itu menukik ke arahnya, buru-buru dia menyelam ke dalam telaga.
Selang beberapa saat kemudian, ia sudah muncul kembali di permukaan
telaga tapi sudah sepuluh kaki jauhnya dari posisi semula.
Burung elang itu kembali berpekik sambil menyambar ke arahnya.
Begitulah, terjadi kejar mengejar antara bocah itu dengan burung elang di
seputar telaga.
"Monyet kecil?" teriak si Raja hewan kemudian, "kalau tidak menyerah, akan
kubuat kau mati kelelahan!"
Setelah terhajar oleh pukulan kakek itu, sesungguhnya Cau-ji sudah
menderita luka dalam, apalagi sekarang dia mesti berenang berulang kali,
dadanya kontan terasa sakit sekali, hal ini membuat hatinya sangat terkejut
"Jangan mimpi setan tua..." jeritnya kemudian.
Mendengar umpatan tersebut, si raja hewan semakin gusar, dia melompat
bangun lalu berpekik beberapa kali dengan suara yang aneh.
Tak selang berapa saat kemudian, terasa bumi bergoncang bagai dilanda
gempa dahsyat, dari balik hutan bermunculan aneka ragam binatang buas, ada
singa, harimau, monyet, gajah, beruang, macan tutul dan lain lainnya.
Sementara di tengah udara kembali muncul empat ekor burung elang raksasa.
Biarpun bentuk keempat ekor burung elang ini tidak sebesar dan seganas
burung aneh tadi, namun tampilannya cukup menggetarkan sukma.
Di bawah perintah si raja hewan, ratusan ekor binatang buas itu mulai
mengepung sekeliling telaga, bahkan mulai mengeluarkan suara pekikan yang
menyeramkan ke arah Cau-ji yang berada di tengah telaga.
Keempat ekor burung elang pun menyebar ke empat penjuru dan menyerang
dari tengah udara.
Betapapun besarnya nyali Cau-ji, mengkerut juga nyalinya sesudah
menyaksikan situasi semacam ini, dalam ngeri bercampur takutnya, terpaksa ia
berenang kembali ke tengah telaga.
Dia mencoba menyelam sejauh sepuluh kaki lebih, tiba-tiba terasa pusaran air
yang kuat muncul dari dasar telaga, dalam kagetnya tergopoh-gopoh dia muncul
kembali ke atas permukaan.
Golakan dan pusaran air dari dasar telaga makin lama semakin besar dan
dahsyat, bukan saja Cau-ji tak sanggup menerima tenaga tekanan yang begitu
dahsyat, bahkan kecepatan berenangnya pun makin lama semakin melambat
Sambil menggertak gigi sekuat tenaga dia berenang terus ke atas permukaan
telaga. Begitu melihat timbulnya pusaran air yang besar dan kuat di tengah telaga, si
raja hewan segera tahu kalau ular raksasa penghuni telaga telah muncul, buruburu
dia berpekik nyaring lagi, burung aneh beserta ke empat ekor elang raksasa
itu serentak terbang balik ke tengah telaga.
Baru saja Cau-ji muncul di atas permukaan, seekor burung elang raksasa
segera menyambar bajunya dan membawanya terbang ke udara.
Raja hewan berpekik sekali lagi, burung aneh itu berputar balik menyambar
tubuh Cau-ji dan membawanya terbang ke tengah angkasa.
Pada saat itulah dari dasar telaga memancar keluar segulung panah air yang
luar biasa dahsyatnya, semburan itu mencapai ketinggian belasan kaki, disusul
kemudian munculnya kepala seekor makhluk aneh seperti naga yang amat
menyeramkan. Tampak naga raksasa itu pentangkan cakar tajamnya ke arah kawanan
binatang buas yang sedang melarikan diri ke empat penjuru, seketika belasan
ekor binatang buas itu terhisap masuk ke dalam mulut makhluk aneh itu dan
lenyap tak berbekas.
Dalam pada itu Cau-ji sudah balik kembali ke gua tempat kediaman si raja
hewan, dengan perasaan ingin tahu ia mengintip semua adegan menyeramkan
itu, ia saksikan makhluk aneh itu sehabis menghisap kawanan binatang buas,
segera membuat satu pusaran air yang dahsyat lagi di tengah telaga, kemudian
baru menyelam kembali ke dasar.
Akhirnya suasana di permukaan telaga menjadi hening kembali.
Cau-ji menghembuskan napas lega, baru saja dia hendak merangkak bangun,
tiba-tiba ia mendengus tertahan dan roboh kembali.
Rupanya rasa tegang sewaktu menyaksikan betapa garangnya naga sakti itu
menelan kawanan binatang buas membuat Cau-ji lupa akan kondisi badan
sendiri, tapi begitu semuanya telah usai dan semangatnya mengendor kembali,
ia mulai merasakan sekujur badannya jadi linu sekali.
Melihat itu sambil tertawa tergelak si raja hewan berseru: "Hei monyet
tidurlah!"
Sambil berkata, ia totok jalan darah hek-tiam-hiat nya.
Si raja hewan membaringkan tubuh Cau-ji di atas ranjang batu, setelah
meraba sekujur badannya sambil periksa bentuk tulangnya, ia tertawa tergelak
seraya berseru. "Bakat alam, benar-benar bakat alam!"
la berjalan keluar dari gua, belum lagi kakinya menempel tanah, kembali
pekikan panjang bergema memecahkan keheningan.
Tak lama kemudian dari tebing karang sebelah kanan gua muncul seekor ular
sanca yang amat besar.
Dengan wajah serius Raja hewan berkata: "Cing-ji, demi tujuan kita
melenyapkan Su Kiau-kiau, terpaksa aku harus mengorbankan dirimu!"
Sambil berkata ia keluarkan sebutir mutiara kuning dari sakunya lalu
disambitkan ke atas kepala ular raksasa itu.
Begitu melihat mutiara kuning itu, si ular tampak ketakutan setengah mati,
belum sempat menghindar, mutiara itu sudah menghantam persis di kepalanya
membuat ular itu roboh tak berkutik.
Setelah mengejang keras beberapa saat, raja hewan menjejalkan mutiara
kuning itu ke dalam mulut sang ular, lalu dengan menggunakan sebilah pisau
belati dia belah perut ular dan mengeluarkan sebuah empedu sebesar kepalan
tangan. Sekali lagi raja hewan berpekik nyaring, tiba-tiba burung aneh itu muncul dari
balik lembah dan menukik turun. Kembali si raja hewan berpekik beberapa kali,
sementara jari tangannya menuding ke arah ular sanca.
Dengan kukunya yang tajam, burung elang aneh itu mencengkeram tubuh
ular sebesar gentong air itu, lalu sambil pentang sayap terbang menuju ke
tengah telaga. "Blaaamm ...!" diiringi percikan air yang memancar keempat penjuru, burung
aneh itu membuang bangkai ular raksasa itu ke tengah telaga.
Sekali lagi si raja hewan berpekik nyaring, burung aneh itu segera terbang
kembali ke sisinya.
Raja hewan menarik napas panjang, ia melompat naik ke punggung burung
aneh itu dan memerintahkan sang burung untuk terbang masuk ke dalam gua.
Sewaktu tiba di sisi Cau-ji, ia bangunkan bocah itu, membuka mulutnya dan
pelan-pelan meloloh cairan empedu ular sanca raksasa itu ke dalam mulutnya.
Selesai meloloh cairan empedu, kembali raja hewan merogoh keluar sebutir pil
yang terbungkus dalam lilin sebesar buah pear, membuka kulit lilin dan
mengorek keluar sebutir pil yang menyiarkan bau harum semerbak.
"Bocah monyet," gumam raja hewan, "besar benar rejekimu, pil sakti Tayhuan-
wan yang tinggal sisa sebutir akhirnya kau yang telan!"
Seraya berkata, ia jejalkan pil itu ke dalam mulutnya.
Dalam pada itu dari luar gua bergema suara gelegar yang sangat memekikkan
telinga, dia tahu naga sakti yang hidup di dasar telaga itu pasti sudah terpancing
oleh bau anyir darah dari bangkai ular raksasa sehingga melakukan gerakan
yang dahsyat. Buru-buru dia membaringkan Cau-ji ke atas lantai, kemudian melompat ke
mulut gua dan menengok keluar.
Terlihat naga sakti itu sudah mulai melahap bangkai ular sanca sebesar
gentong air itu, wajahnya nampak menyeramkan sekali.
Melihat itu, pelan-pelan si raja hewan keluar dari gua dan menyelinap turun
ke bawah. Waktu itu, seluruh perhatian naga sakti tersebut sedang tertuju untuk
menelan bangkai ular sanca, sehingga dia tak merasa kalau raja hewan telah
menyusup hingga tiba di tepi telaga.
Pelan-pelan raja hewan mencabut keluar pisau belatinya, kemudian
menunggu kesempatan untuk turun tangan.
Sembari membolak-balikkan badannya, naga sakti itu menelan bangkai ular


Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sanca itu pelan-pelan, tampaknya hewan itu gembira sekali, ketika sebagian
bangkai sudah masuk ke dalam perutnya, perut naga itu nampak
menggelembung besar sekali.
Tak selang berapa saat kemudian, seluruh tubuhnya sudah tampil di atas
permukaan telaga.
"Sungguh menyeramkan bentuknya," pikir raja hewan dengan perasaan
terkejut, "kalau hewan ini dibiarkan hidup terus, berapa tahun lagi tubuhnya
pasti akan berkembang tambah besar, entah berapa banyak orang yang akan
jadi korbannya, ehmm, hari ini aku harus membasminya!"
Sejak dua belas tahun berselang, raja hewan sudah senang sekali menjelajah
daerah yang masih perawan, sejak menemukan lembah ini, secara tak sengaja ia
menemukan sebuah gejala yang sangat mengerikan.
Setiap tengah malam tiba, dari dasar telaga selalu muncul pusaran arus yang
besar dan kuat, disusul kemudian munculnya seekor naga yang berwajah
mengerikan. Tiap kali naga seram itu membuka mulutnya, sebuah bola api yang
memancarkan cahaya api selalu muncul dan mengembang di tengah udara,
seakan-akan sedang menghisap inti rembulan.
Keadaan seperti ini biasanya akan berlangsung selama satu dua jam, sebelum
akhirnya bola api itu ditelan kembali dan sang naga menyelam ke dasar telaga.
Dalam terkejut bercampur ngeri, raja hewan bersumpah akan membasmi
makhluk itu agar tidak sampai mencelakai banyak orang.
Sayang dia hanya seorang diri, kemampuannya sangat terbatas, ditambah lagi
dia tak pandai ilmu berenang, dalam keadaan begini terpaksa ia balik kembali ke
dunia persilatan, ia punya rencana akan mencari seorang pemuda yang berbakat
agar bisa dididik untuk menjadi pembantunya.
Ketika akhirnya ia menemukan Cau-ji dan melihat bocah itu memiliki bakat
alam, tanpa ragu lagi dia culik bocah itu dan dibawa pulang.
Mula-mula raja hewan bermaksud melatih Cau-ji dengan ilmu berenang, agar
di kemudian hari ia punya kemampuan untuk bertarung di dalam air, siapa
sangka ternyata Cau-ji sangat mahir dalam ilmu berenang.
Maka dia pun putuskan untuk menggunakan empedu ular sanca ditambah
khasiat pil Tay-huan-wan untuk memupuk dahulu dasar kekuatan tubuh si
bocah, agar di kemudian hari bocah itu memiliki kekuatan yang dahsyat untuk
membunuh naga sakti itu.
Waktu itu matahari senja telah bersembunyi di balik bukit, suasana di dalam
lembah diliputi kegelapan yang luar biasa.
Tanpa berkedip raja hewan mengawasi terus gerak gerik naga tersebut, tibatiba
ia saksikan tubuh sang naga yang berwarna hijau tua dengan lingkaran
cahaya putih di sekelilingnya mulai muncul dari permukaan air, diam-diam ia
merasa sangat kegirangan.
Rupanya tubuh bagian itulah merupakan titik kelemahan dari naga sakti
tersebut, justru karena selama ini sangat sulit untuk memancing si naga agar
memperlihatkan bagian tubuhnya yang paling lemah, maka selama ini sama
sekali tak ada kesempatan untuk membasminya.
Sambil menahan rasa girang yang luar biasa, si raja hewan mengawasi terus
lingkaran putih di tubuh naga yang makin lama membengkak semakin besar
lantaran melalap bangkai ular sanca, pisau belatinya segera digenggam semakin
kencang. Mendadak ia membentak keras, pergelangan tangan kanannya segera
diayunkan ke muka ... "Sreeet!" diiringi kilatan cahaya tajam yang menyilaukan
mata, pisau belati itu langsung menghajar tepat di sasaran.
Terluka oleh serangan maut itu, rupanya si naga sakti kesakitan setengah
mati, tubuhnya bergulingan di atas permukaan hingga menimbulkan gelombang
arus yang luar biasa kerasnya, sementara bangkai ular sanca masih ada lima
enam kaki panjangnya yang belum sempat tertelan segera diobat-abitkan
keempat penjuru.
Secara beruntun raja hewan melepaskan dua bilah pisau belati lagi, sayang
waktu itu si naga sudah menyelam kembali ke dasar telaga.
"Criiing, criiinggl* dua dentingan nyaring diiringi percikan bunga api menyebar
ke udara, kedua belah pisau belati itu menghajar telak di atas sisik tubuhnya
yang tebal dan mencelat ke arah lain.
Agaknya naga sakti itu sudah menemukan tempat persembunyian si raja
hewan, mendadak dia goyangkan kepalanya ke belakang, ekor bangkai ular
sanca yang belum tertelan itu secepat petir langsung menyambar tiba.
Dalam waktu singkat raja hewan merasa datangnya tenaga himpitan sebesar
tindihan gunung Thay-san yang menghantam tiba, terkejut bercampur seram
buru-buru kakek itu melompat ke belakang untuk meloloskan diri.
Walaupun ia berhasil menghindari sapuan maut itu, tak urung tubuhnya
mundur juga beberapa langkah dengan sempoyongan karena terhajar sisa
tenaga sapuan binatang itu.
Gagal dengan serangannya yang pertama, naga sakti itu tampak tidak puas,
lagi-lagi dia goyangkan kepalanya melakukan sebuah sapuan lagi.
Mimpi pun si raja hewan tidak menyangka kalau binatang tersebut masih
memiliki tenaga serangan yang begitu dahsyat kendati tubuhnya sudah terluka
parah, buru-buru dia berkelit lagi ke belakang.
Naga sakti yang sudah bangkit amarahnya menyerang semakin membabi
buta, tanpa perdulikan luka parah yang diderita serta ganjalan bangkai ular
yang masih belum sempat tertelan semua, dia melancarkan sapuan maut
berulang kali. Gelombang arus yang maha dahsyat segera menggelora di permukaan telaga,
keadaannya mengerikan sekali.
Si raja hewan segera menjumpai permukaan tanah yang semula kering, saat
ini sudah tiga puluh persen terendam air, keadaan tersebut bukan saja
menambah dahsyatnya kekuatan daya serangan dari si naga, bahkan membuat
gerak gerik sendiri semakin tak leluasa
Setengah jam kemudian, permukaan air sudah naik setinggi lutut, si raja
hewan yang tak pandai ilmu berenang mulai panik dan ketakutan.
Sekalipun sapuan maut yang dilancarkan naga sakti itu berhasil dihindari
semua, tapi pukulan gelombang air yang menghajar tubuhnya membuat sekujur
badannya kesakitan, gerak geriknya semakin lamban, terhambat dan tidak
leluasa. Sementara situasi bertambah kritis, mendadak terdengar suara pekikan aneh
berkumandang dari balik lembah.
Raja hewan kegirangan, buru-buru dia bersiul mengeluarkan suara pekikan
yang nyaring. Tiba-tiba burung aneh raksasa itu muncul dari balik lembah, kemudian
sambil berpekik keras, ia menukik ke bawah dan menyambar kepala naga sakti
itu. Si naga segera mengegos ke samping, bukan saja lolos dari gigitan si burung,
malahan dengan menggunakan ekor bangkai ular sanca, ia balas melancarkan
serangan. Pertempuran sengit antara burung elang raksasa melawan naga sakti pun
segera berlangsung dengan hebatnya.
Waktu itu kondisi badan si raja hewan sudah kelelahan, bukan saja rasa
kaget dan ngerinya belum hilang, hawa murninya juga terkuras banyak, buruburu
dia menelusuri dinding tebing dan kabur masuk ke dalam gua.
Lebih kurang setengah jam kemudian, dengan susah payah akhirnya dia
berhasil merangkak balik ke dalam gua, sambil menghembus napas panjang, ia
segera merebahkan diri ke lantai.
Tiba-tiba terdengar pekikan aneh bergema lagi dari arena pertarungan.
"Aduh celaka!" pekik si raja hewan, tergesa-gesa dia merangkak keluar dari
gua untuk memeriksa keadaan, tampak sayap kanan burung elang raksasanya
telah patah, saat itu burung itu sedang terhempas ke sisi dinding tebing.
Melihat musuhnya terluka, naga sakti itu segera menyusul tiba, kembali dia
menyerang dengan menggunakan bangkai ular sanca.
Burung elang raksasa itu nyata memang burung sakti, tiba-tiba ia kebaskan
sayap kirinya sementara kakinya menjejak di atas permukaan air.
Begitu tiba di samping kepala naga itu, tiba-tiba ia mematuk mata kiri
musuhnya. Pekikan keras kembali bergema di udara, mata kiri naga sakti itu terpatok
telak, dalam sakitnya naga itu menggelengkan kepalanya menyambar ke tubuh
lawan, burung raksasa itu segera terhajar telak.
"Byuuurrr...!" tak ampun burung raksasa itu tenggelam ke dalam telaga,
setelah meronta beberapa kali akhirnya tubuhnya berdiam kaku.
"Hui-ji!" pekik raja hewan amat sedih, tubuhnya gemetar keras saking
tergoncangnya perasaan hatinya.
Burung raksasa itu berhasil ia jinakkan pada dua puluh tahun berselang di
tengah gurun pasir, selama ini binatang itu selalu menyertainya berkelana dan
mengembara ke seluruh penjuru dunia, hubungan batin antara mereka berdua
boleh dibilang sangat mendalam.
Sungguh tak nyana gara-gara ingin menyelamatkan jiwanya, burung tersebut
harus mengorbankan jiwanya.
Dalam pada itu si naga sakti itu sudah menyelam balik ke dasar telaga dengan
kecepatan luar biasa, rupanya ia kuatir akan bertemu lagi dengan musuh
tangguh, suasana di telaga itupun pelan-pelan pulih kembali dalam keheningan.
Dengan perasaan berat sekali lagi si raja hewan mengamati bangkai burung
raksasa itu, kemudian dengan sempoyongan ia balik ke dalam ruangan, selesai
minum obat, dia pun mulai bersemedi mengatur pemapasan.
Lebih kurang dua jam kemudian, ketika ia membuka matanya kembali,
tampak Cau-ji entah sejak kapan sudah mendusin, saat itu sedang mengawasi
ke arahnya dengan pandangan keheranan. Tak tahan ia segera tersenyum. Cauji
balas senyuman itu dengan senyuman penuh persahabatan, kemudian
tegurnya. "Hei setan ular tua, kenapa keadaanmu begitu mengenaskan" Kenapa
burung aneh itu bisa mati?"
Raja hewan tidak mengira kalau cairan empedu ular sanca ditambah pil Tayhuan-
wan yang dicekokkan ke tubuh Cau-ji bisa mendatangkan reaksi begitu
luar biasa, sehingga totokan jalan darah pada hek-tiam-hiatnya bisa dibebaskan
sendiri, tak tahan ia tertawa tergelak.
"Aneh benar orang ini," pikir Cau-ji di dalam hati, "lagi sedih kok malahan
tertawa, jangan-jangan dia sudah gila lantaran kelewat sedih?"
Belum habis ingatan itu melintas lewat, terdengar si raja hewan kembali
sudah menegur: "Hey monyet, sekarang sudah jam berapa?"
"Kalau dilihat keadaan langit, semestinya menjelang fajar, mungkin sekarang
sudah jam 4 pagi!"
"Hahaha ... cepat amat waktu berlalu, padahal ketika bertarung melawan naga
tadi waktu masih tengah malam...."
"Apa" Kau berani berkelahi dengan makhluk ganas itu?"
"Hahaha ... apanya yang menakutkan" Hanya mengandalkan sebilah pisau
belati, lohu telah bertarung habis-habisan melawan binatang itu, coba aku bisa
berenang, sudah sedari tadi aku habisi nyawanya!"
"Tapi makhluk itu kan berdiam diri di dasar telaga, kenapa kau pingin
membunuhnya?"
"Monyet cilik, hingga kini si naga sakti itu belum mencapai puncak
kedewasaan, kalau dibiarkan hidup berapa tahun lagi, dia pasti akan
mendatangkan banyak kerugian bagi umat manusia, paling tidak bisa
menimbulkan banjir bandang!"
"Betul juga ucapanmu setan ular tua, kemarin aku sempat melihat betapa
dahsyatnya gelombang air yang ditimbulkan sewaktu binatang itu muncul. O ya
... apa yang terjadi dengan burung raksasamu" Kenapa bisa mati?"
"Burung itu mati gara-gara menolongku sewaktu nyawaku terancam, setelah
bertempur satu jam lebih, walaupun Hui-ji berhasil mematuk mata lawannya
sampai buta, sayang dia sendiripun tewasl"
Bergolak darah panas dalam tubuh Cau-ji. sambil menggertak gigi serunya:
"Makhluk itu benar-benar bedebah, kalau ada kesempatan, aku bersumpah
akan membasminya."
Diam-diam raja Hewan merasa kagum sekali dengan semangat jantan bocah
itu, katanya sambil tertawa: "Hey monyet cilik, lambung makhluk aneh itu sudah
termakan sebuah tusukanku, sampai waktunya, asal kau cabut keluar pisau
belati itu maka dia pasti akan segera mampus!"
Mendengar ucapan tersebut Cau-ji kegirangan, ia segera melompat bangun
dan siap keluar dari dalam gua.
"Hey, mau apa kamu?" si raja hewan segera menegur.
"Terjun ke telaga dan membunuh makhluk aneh itul"
"Tidak bocah, sekarang arus bawah telaga sangat deras dan kacau,.
Sementara kekuatanmu belum mencapai pada puncaknya, kepergianmu bisa
mendatangkan celaka buat diri sendiri."
"Tapi... jika makhluk itu sanggup menghilangkan pisau belati yang menancap
di lambungnya, bukankah keenakan baginya?"
"Hahaha ... belati itu menghujam tepat di titik kelemahannya, lohu jamin
mulai sekarang dia tak berani sembarangan bergerak lagi, hanya saja, bila belati
itu mulai berkarat dan akhirnya patah, maka saat itulah dia bakal munculkan
diri kembali."
"Butuh waktu berapa lama pisau belati itu menjadi berkarat dan akhirnya
patah?" "Hahaha ... tak usah panik, paling tidak butuh waktu selama sepuluh
tahunan!" "Hmm, sekarang aku baru berusia sebelas tahun, sepuluh tahun kemudian
aku pasti telah berhasil memiliki kungfu yang hebat, sampai waktunya aku pasti
akan membasmi makhluk itu dari muka bumi."
"Punya semangat!" puji si raja hewan nyaring, "hahaha ... jangan kuatir, lohu
jamin dalam lima tahun mendatang kau pasti sudah mampu terjun ke dalam
telaga dan membantai binatang itu"
"Sungguh?"
"Hahaha ... lohu tak pernah bohong, ayo kita turun dan mengubur bangkai
Hui-ji!" Cau-ji ikut berjalan keluar gua, tapi ketika melihat selisih jarak antara
permukaan telaga dan permukaan gua mencapai puluhan kaki tingginya, dia
jadi sangsi. "Hey monyet, kenapa berhenti?" raja hewan segera menegur.
"Aku ... jaraknya begitu tinggi, jika melompat turun, bukankah badanku bakal
hancur berkeping?"
"Hahaha ... monyet cilik, coba periksa sekarang sudah jam berapa?"
Cau-ji mendongakkan kepalanya memeriksa letak bintang di langit, kemudian
sahutnya: "Sekitar jam empat pagi."
"Hahaha ... jam empat pagi mestinya merupakan saat yang paling gelap,
kenapa kau bisa melihat bangkai Hui-ji dengan sangat jelas?"
"Aaah benar, kenapa aku tidak perhatikan hal ini" Tapi... sebenarnya apa
yang telah terjadi?"
"Hahaha ... kau masih ingat dengan ranjang batu yang kau gunakan untuk
tidur" Sebetulnya ranjang itu merupakan sebuah benda mestika dari dunia
persilatan, bukan saja dapat menyembuhkan pelbagai luka, juga bisa menambah
tenaga dalam seseorang."
"Oooh, rupanya ranjang itu barang mestika, aku masih mengira ibu
membohongi aku."
Raja hewan tahu kalau bocah ini rasa ingin tahunya sangat besar, maka dia
sengaja mengarang sebuah cerita tentang ranjang batu untuk membohonginya,
tentu saja dia tak tahu kalau dalam kenyataannya, bocah itu memang benarbenar
memiliki sebuah ranjang batu di rumahnya.
Maka sambil tertawa kembali ujarnya: "Hey monyet cilik, sudah melihat
dengan jelas?"
Sambil berkata ia segera melompat turun ke bawah tebing.
Cau-ji tidak menyangka orang itu langsung berangkat begitu selesai bicara,
buru-buru dia melongok ke bawah.
Tampak tubuh si raja hewan meluncur turun dengan cepatnya, tapi setiap
berapa kaki dia selalu melepaskan sebuah pukulan ke dinding untuk
menghambat gerak laju tubuhnya yang meluncur, setelah melepaskan pukulan
yang kesekian kalinya, kekuatan tubuhnya yang meluncur ke bawah semakin
perlahan dan lambat.
Menjelang tiba di permukaan tanah, sekali lagi dia lepaskan sebuah pukulan
ke atas tanah, begitu serangan dilepas, tubuhnya melayang turun semakin
lambat sehingga dia bisa hinggap di bawah dengan santainya.
Cau-ji merasa sangat kagum dengan kemampuan kakek itu, sementara dia
masih melamun, tiba-tiba terdengar si raja hewan membentak nyaring: "Hey
monyet cilik, ayo cepat turun!"
Memandang bayangan tubuhnya yang kelihatan kecil di dasar tebing itu, tibatiba
Cau-ji merasa hawa dingin merasuk ke dalam tubuhnya, tanpa sadar ia
tarik mundur badannya.
"Kenapa monyet" Kau ketakutan?" ejek si raja hewan.
Dirangsang dengan ucapan yang bernada ejekan itu, Cau-ji merasa hawa


Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

panas membara di rongga dadanya, sambil menggertak gigi ia segera melompat
ke bawah. Terdengar desiran angin tajam menderu di sisi telinganya, begitu tajam
suaranya membuat ia merasa kendang telinganya amat sakit
"Hey monyet, cepat lancarkan pukulan ke dinding tebing!" kembali si raja
hewan berteriak.
"Aaah, betul" batin Cau-ji, "bagaimana sih aku ini" Kenapa lupa memukul ke
dinding?" Dalam gugupnya buru-buru dia hajar tebing karang itu kuat-kuat
"Blaaammm!" diiringi suara benturan dahsyat, tebing karang yang kuat lagi
keras itu segera terhajar hingga muncul sebuah liang yang amat dalam, percikan
batu dan pasir memancar hingga kejauhan berapa kaki.
Cau-ji sama sekali tidak menyangka kalau dia memiliki kemampuan
sedahsyat itu, untuk berapa saat bocah itu jadi tertegun.
Selama ini dia hanya tahu kalau kekuatan tenaga pukulannya hanya mampu
menghancurkan sebutir batu kecil, tapi mengapa secara tiba-tiba kekuatan
badannya bisa bertambah beratus kali lipat lebih dahsyat.
Sementara dia masih termenung, tubuhnya telah meluncur ke bawah dengan
kecepatan tinggi.
"Hey monyet, kau bosan hidup" Cepat lancarkan pukulan lagi!"
Dalam kagetnya sekali lagi Cau-ji melepaskan pukulan, tapi ia segera
menjumpai badannya berada di sebuah tebing sempit yang dijepit dua tebing
tinggi, untuk sesaat ia jadi bingung harus melepaskan pukulan ke arah tebing
yang mana. "Hey monyet, cepat lompat ke air!"
Ketika menengok ke bawah, Cau-ji menjumpai tubuhnya sedang meluncur ke
atas permukaan telaga, dalam kagetnya ia berjumpalitan beberapa kali di udara
kemudian mendayung ke samping dan melontarkan badannya ke arah
permukaan air. "Bruuurr ...!" diiringi percikan air, Cau-ji tercebur ke dalam telaga, buru-buru
dia berenang naik ke atas permukaan.
Menanti hingga bocah itu sudah menongolkan kepalanya dari permukaan air,
raja hewan baru bisa menghembuskan napas lega sambil tertawa terbahakbahak.
Menggunakan kesempatan itu Cau-ji berenang menuju ke sisi bangkai burung
elang raksasa, kemudian sambil memegangi bangkai tersebut, ia berenang balik
ke tepi telaga.
Raja hewan segera membuat sebuah liang besar untuk mengubur bangkai
burung kesayangannya, ketika semuanya telah selesai, ia baru berkata: "Hey
monyet, kau membuat aku jantungan, untung tidak mampus gara-gara
menguatirkan keselamatanmu."
"Aku sendin juga kurang tahu kalau kekuatanku mendadak bisa bertambah
hebat...." sahut Cau-ji dengan wajah bersemu merah.
"Hahaha ... bukankah lohu sudah bilang, kesemuanya ini berkat jasa dari
ranjang batu?"
"Tapi ... kenapa kau sendiri tidak bisa memukul tebing karang itu hingga
hancur seperti pukulanku?"
"Tentu saja berbeda, aku memukul dinding batu karang hanya bertujuan
menghambat laju kecepatan daya luncur tubuhku, seperti orang lagi makan
bubur, tenaganya pasti berbeda ketika makan nasi, dan lagi aku toh tak pandai
berenang, coba kalau aku yang tercebur ... mungkin sudah mati tenggelam
sedari tadi...."
Merah padam selembar wajah Cau-ji, dia melengak dan untuk sesaat tak tahu
bagaimana harus menjawab.
"Hahaha ... padahal kau tak bisa disalahkan," kembali raja hewan berkata,
"bagaimanapun juga kau tak lebih hanya seorang bocah berusia sepuluh tahun.
Makanya lain kali kau mesti belajar bagaimana mengendalikan tenaga pukulan,
mengerti?"
"Mengerti, akan kuingat terus!"
"Hey monyet," tiba-tiba si raja hewan berkata lagi sambil tertawa, "coba lihat,
bukankah naga sakti itu tak berani keluar lagi?"
"Ya, benar, tampaknya binatang itu terluka parah. Ah betul, bukankah kau
akan mengajari aku bagaimana cara menuruni dasar telaga dengan arus yang
deras itu untuk membunuh naga tersebut?"
"Tidak usah terburu napsu, ayo duduk, kita bicara dulu."
"Baik, aku akan bicara duluan, tapi nanti kau mesti cerita juga siapa dirimu
yang sebenarnya."
"Hahaha ... bukankah lohu sudah memperkenalkan diri?"
Tidak bisa, kau hanya menyebut nama serta julukanmu, paling tidak kau
mesti jelaskan kenapa menangkap aku dan membawanya kemari, kau harus
jelaskan alasannya agar aku tak jadi orang yang kebingungan."
"Baik, baik, sekarang kau bicara dulu."
Maka secara ringkas Cau-ji menceritakan asal-usulnya serta bagaimana dia
mengikuti bibinya Go Hoa-ti berkelana dalam dunia persilatan untuk mencari
pengalaman. Dia memberi penjelasan secara terperinci, tanpa terasa ketika selesai bicara,
fajar telah menyingsing.
"Oooh ... rupanya kau adalah keturunan dari Ong Kim-seng, Ong-locianpwe,"
gumam si raja hewan kemudian.
Begitu tahu kalau kakek tersebut kenal dengan kakeknya, Cau-ji jadi
kegirangan setengah mati, serunya tak tahan: "Silu ... ooh, locianpwe, ternyata
kau kenal dengan Ong-yayaku?"
"Hahahaha ... Ong-locianpwe sangat termashur dalam dunia persilatan, baik
ilmu silatnya maupun watak dan sepak terjangnya, mana berani lohu
melupakan kebaikan budinya" Aah benar, tadi kau menyinggung soal bibimu Go
Hoa-ti, apakah dia memiliki julukan sebagai Kim-leng kim-hiap, Pendekar emas
dari kota Kim-leng?"
"Soal ini... Cau-ji kurang jelas."
"Aaah masa iya" Bukankah bibimu sengaja mengajakmu berkelana untuk
mencari pengalaman, masa ... Aduh, jangan-jangan dia adalah perempuan yang
kutotok jalan darahnya kemarin?"
"Benar Mungkin tidak dia ditangkap orang jahat?"
"Soal ini... aaah, semuanya kesalahan lohu kenapa kelewat berangasan dan
gegabah." "Locianpwe, bagaimana kalau kita pergi mencarinya sekarang?"
"Cau-ji, kau anggap tempat ini berada di luar kota Chi-lam" Terus terang, kita
berada di gunung Wu-san, gunung Wu-san itu terletak di selat Sam-shia di
sungai Tiangkang, paling tidak selirih jarak ribuan li dari kota Chi-lam."
"Aaah, mana mungkin" Masa dalam semalaman kita bisa berada di tempat
yang begitu jauh?"
"Hahaha ... Hui-ji adalah seekor burung sakti, apa anehnya dalam semalaman
terbang sejauh ribuan li?"
"Waah, sekarang Hui-ji sudah mati, berarti kita tak mungkin bisa balik ke
sana secepatnya?"
"Yaa, kita hanya bisa berharap dia tidak menjumpai peristiwa yang jelek."
"Locianpwe," tiba-tiba Cau-ji berseru sambil melotot, "sekali lagi ingin
kukatakan, bila bibiku sampai terkena musibah, maka kau harus bertanggung
jawab." "Baik, aku akan bertanggung jawab," sahut raja hewan cepat
Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya: "Cau-ji, lohu akan mengajak
kau menuju ke sebuah tempat berlatih silat sementara kau berlatih untuk
menguasai ilmu yang tinggi, lohu akan berkunjung ke rumahmu."
"Bagus sekali, tolong sampaikan kepada orang rumah, katakan jika aku
berhasil membunuh binatang tersebut, aku pasti akan pulang ke rumah."
"Hahahaha ... pasti akan kusampaikan, ayo kita segera berangkat!"
Selesai bicara, dia segera bergerak menuju ke arah hutan.
Melihat itu buru-buru Cau-ji mempercepat langkahnya mengintil di belakang
kakek itu. Siapa tahu begitu dia kerahkan tenaganya, gerakan tubuhnya jadi cepat
sekali, malahan berhasil melampaui si raja hewan yang telah berangkat duluan,
sekali lagi dia tertegun dibuatnya.
"Jangan kaget berkat ranjang batu!" bisik raja hewan sambil tertawa.
Cau-ji manggut-manggut, dia mengira keberhasilannya benar-benar berkat
khasiat ranjang batu, maka dia pun mengatur napas dan berusaha mengintil di
belakang raja hewan dengan satu jarak tertentu.
Sesudah melewati sebuah celah bukit yang sangat landai, lambat laun
permukaan tanah makin tinggi dan semakin curam.
Sesaat kemudian tibalah mereka di depan sebuah tebing bukit yang sangat
tinggi. Tebing itu dipenuhi pohon siong serta beberapa air terjun yang sangat tinggi,
selain indah pemandangan alamnya, udara pun terasa amat segar.
Raja hewan berhenti di tepi kolam, diteguknya air jernih itu satu tegukan, lalu
ujarnya sambil tertawa: "Cau-ji, minumlah satu tegukan, airnya segar dan manis"
Setelah melalui perjalanan sekian waktu, sebenarnya Cau-ji mulai merasa
kehausan, maka tanpa banyak buang waktu dia segera meneguk air itu berapa
tegukan, benar juga, air itu terasa segar dan manis.
Dalam pada itu si raja hewan sedang mengamati air terjun di hadapannya
dengan termangu.
Melihat keadaan kakek itu, dengan keheranan Cau-ji segera menegur
"Locianpwe, apa yang sedang kau pikirkan?"
Seperti baru sadar akan sikapnya, buru-buru si raja hewan berkata sambil
tertawa: "Cau-ji, di belakang air terjun itu terdapat sebuah gua, gua itulah
tempat yang cocok bagimu untuk belajar ilmu, kau takut dingin tidak?"
"Takut" Sewaktu masih berada di pesanggrahan Hay-thian-it-si, biar di musim
dingin yang membeku pun saban hari Cau-ji tetap pergi berenang."
"Bagus, jadi kau tidak takut menderita?"
"Cau-ji bertekad ingin belajar ilmu kungfu yang hebat biar mesti lebih
menderita pun aku tidak takut!"
"Bagus sekali, bawalah serta dua botol obat ini, bila kau merasa lapar atau
kedinginan, makanlah satu butir!"
Sambil berkata ia keluarkan dua buah botol obat dan diserahkan ke tangan
Cau-ji. Cau-ji segera menerima botol obat itu dan dimasukkan ke dalam saku,
kemudian ujarnya: "Locianpwe, setelah berada dalam gua, apa yang mesti Cau-ji
latih" Apakah kau akan menyerahkan kitab pusaka ilmu silat kepadaku?"
"Hahaha ... kau boleh berlatih apa saja yang ingin kau latih."
"Aaah, mana ada cara berlatih ilmu silat macam begini?"
"Hahaha ... sesudah berada dalam gua, kau akan tahu dengan sendirinya, jika
suatu ketika kau merasa sudah tak ada yang bisa dilatih, keluarlah dari gua
tersebut. Mengerti" Nah, sekarang bersiaplah untuk masuk ke dalam gua."
"Locianpwe, jadi kau belum pernah masuk ke dalam gua itu?" tanya Cau-ji
keheranan. "Belum pernah! Aku hanya pernah sampai di mulut gua, tapi begitu terkena
hembusan angin kuat serta aliran hawa dingin yang muncul dari balik gua, aku
segera lari ketakutan."
"Kau ... kau bukan lagi bergurau dengan Cau-ji bukan" Dengan ilmu silatmu
yang begitu hebatpun tak berani masuk, apalagi aku?"
"Hahaha ... anak muda, tubuhmu ibarat segumpal api, sementara aku si tua
bangka ibarat api yang hampir padam, jangan kuatir, tak nanti lohu
mencelakaimu."
"Locianpwe, biarpun kau belum pernah bercerita tentang dirimu, tapi Cau-ji
percaya kau bukan orang jahat, selamat tinggal!"
Begitu selesai berkata, ia segera melompat ke atas batu cadas yang amat besar
itu. Sementara si raja hewan mengawasi terus hingga bayangan tubuh bocah itu
lenyap dari pandangan, kemudian ia bersila dan mulai mengatur pernapasan.
Tampaknya dia pingin membuktikan apakah Cau-ji akan mengundurkan diri
dari tantangan itu atau tidak.
Sementara itu Cau-ji sudah tiba di belakang air terjun itu, sekarang dia baru
dapat melihat dengan jelas bahwa tebing tersebut punya lekukan yang cukup
dalam di bagian punggungnya, sementara puncak tebing menjorok keluar maka
bagian bawahnya justru menjorok jauh ke dalam.
Pelan-pelan ia berjalan menuju ke dasar tebing, suasana di situ kelihatan
sangat redup karena minimnya cahaya, rotan dan duri tumbuh melingkari batu
cadas, lumut hijau terhampar bagaikan sebuah karpet raksasa, begitu licinnya
tempat itu, orang bisa tergelincir jika berjalan kurang hati-hati.
Cau-ji berjalan menuju ke sisi tebing, dengan berpegangan pada rotan yang
tumbuh di sekelilingnya ia mulai menelusuri tempat itu.
Tiba-tiba dari sisi sebelah kiri ditemukan sebuah celah retakan tebing, dari
balik celah itu memancar keluar sinar terang, maka Cau-ji pun segera mengikuti
arah datangnya cahaya itu dan masuk ke dalam celah.
Ternyata celah gua itu lebarnya tak sampai empat lima depa dengan
kedalaman dua kaki, terlihat setitik cahaya terang memancar keluar dari balik
celah itu. Cau-ji pun meneruskan rambatannya menuruni celah tadi. baru tiba di dasar
celah, tiba-tiba kaki kanannya menginjak tempat kosong, nyaris dia tergelincir
ke bawah. Ketika bocah itu dapat menguasai diri dan melongok ke bawah, terlihatlah
sebuah mulut gua yang gelap gulita muncul dari sisi kanannya.
Gua itu tidak diketahui seberapa dalamnya, tapi dipandang dari kejauhan
secara lamat-lamat ia dapat menangkap segumpal cahaya berbentuk bulat
muncul dari balik kegelapan gua itu.
Terdorong oleh rasa ingin tahunya yang besar, Cau-ji menerobos masuk ke
dalam gua itu melalui celah yang sempit, ketika kakinya menginjak di dasar gua,
segera bergema suara gemersik hingga ke seluruh gua.
Semakin menerobos masuk ke balik celah sempit itu, kedengaran suara
gemericik air yang makin lama semakin bertambah jelas.
Cau-ji mulai merasa kesulitan untuk melanjutkan rambatannya memasuki
celah tersebut, sementara suasana dalam lorong pun makin lama makin
bertambah gelap, permukaan jalan yang tak merata semakin memperberat
medan yang harus dilalui, bila kurang hati-hati berjalan, bisa jadi bocah itu
akan terjungkal balik.
Mendadak bergema suara gemerisik yang sangat keras dari balik gua, disusul
kemudian terdengar suara cicitan yang aneh, bau amis yang amat menyesakkan
napas tiba-tiba menyembur datang dari arah depan.
Cau-ji terkejut sekali, dia tak tahu makhluk aneh apa yang datang menyerang,
untuk menjaga diri, buru-buru dia lontarkan sebuah pukulan dengan tangan
kanannya. "Ciit ...ciit ...ciit" diiringi suara mendekat yang ramai, rupanya ada satu
rombongan kelelawar yang terbang melintas lantaran merasa terusik.
Setelah tahu jika cuma rombongan kelelawar, Cau-ji menghembuskan napas
lega, tak urung kejadian tadi meningkatkan kewaspadaannya, siapa tahu di
belakang rombongan kelelawar masih akan muncul makhluk lainnya yang lebih
menyeramkan"
Semakin berjalan ke dalam, semakin banyak rombongan kelelawar yang
bersampokan dengan tubuhnya, lama kelamaan jengkel juga hati Cau-ji,
pikirnya: "Tempat apaan ini" Bukan saja permukaan jalan tidak rata, bahkan
hawanya dingin dan kelelawarnya begitu banyak"
Pada saat itulah secara lamat-lamat ia mendengar suara guntur yang bergema
dari balik gua, mula pertama suara itu rendah dan dalam, tapi lama kelamaan
suaranya makin nyaring dan keras, malah disertai juga hembusan angin yang
kencang. Semakin nyaring suara guruh itu bergema, makin bergetar suasana di tempat
tersebut, bahkan dinding karang pun seakan ikut bergoyang.
Tak terlukiskan rasa kaget Cau-ji menghadapi situasi seperti ini, untuk sesaat
dia tak tahu apa yang mesti diperbuat, ia merasa deruan angin yang berhembus
makin lama semakin bertambah besar, malahan disertai pula dengan hawa
dingin yang merasuk tulang.
Dalam posisi seperti ini, secepat kilat Cau-ji tempelkan badannya di atas
dinding tebing, dia berusaha menempel sangat rapat agar tak tersapu hembusan
angin tajam itu.
Siapa tahu hembusan angin dingin yang semula menerjang langsung dari
muka, tiba-tiba berubah arah, diiringi suara menggelagar yang memekikkan
telinga, angin dingin itu mulai berputar dan makin kencang putarannya sehingga
akhirnya berubah jadi hembusan angin puting.
Pusaran angin berputar itu bukan saja mengangkat permukaan air di dalam
gua, bahkan disertai juga dengan pusaran pasir, debu serta batu kerikil yang
berputar di seluruh rongga gua.
Buru-buru Cau-ji berpegangan di atas dinding gua, sayang dinding karang
sangat licin, lama kelamaan ia tak sanggup menahan diri dari gulungan angin
itu dan akhirnya ia merasa badannya seakan-akan tergulung dalam pusaran


Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

angin berpusing itu.
Tak selang berapa saat kemudian seluruh badannya sudah terangkat dan
tertelan di balik pusaran angin berpusing yang maha dahsyat itu, tubuhnya yang
berulang kali membentur di dinding karang, bukan saja membuat tubuhnya
terluka, pakaian yang dikenakan pun mulai tercabik-cabik.
Keadaannya saat itu tak ubahnya seperti pakaian dalam mesin cuci, semakin
berputar makin bertambah cepat, nyaris ia tak bisa bernapas.
Masih untung Cau-ji bukan anak bodoh, sadar kalau kondisinya gawat, cepat
dia menarik napas panjang dan melindungi jantungnya dengan hawa murni,
coba tidak bertindak begitu, mungkin dia sudah pingsan sejak tadi.
Rupanya pusaran angin berpusing itu merupakan hembusan angin puyuh
yang sangat alami, angin macam begini hampir setiap hari dua kali melanda di
dalam gua. Biasanya bila angin puyuh mulai berputar maka satu jam kemudian pengaruh
angin itu akan lenyap dengan sendirinya.
Jika orang biasa yang tersapu angin berpusing ini, dapat dipastikan orang itu
akan segera mati tercincang.
Masih untung Cau-ji masih perjaka, selain itu baru saja menelan empedu ular
sanca dan menelan pil Tay-huan-wan yang mujarab dari Siau-lim-si, tak heran
jika tubuhnya sama sekali tidak terluka.
Begitulah, Cau-ji yang tertelan gulungan angin puyuh segera merasakan isi
perutnya seakan dikocok keras, ia merasa tubuhnya bergetar keras, diiringi
jeritan keras pingsannya anak itu.
Entah berapa lama sudah lewat ... ketika sadar kembali dari pingsannya, Cauji
merasakan seluruh kulit tubuhnya sakit, tapi ketika ia coba menggerakkan
badannya, ternyata tulang belulangnya tetap utuh, malah rasanya segar sekali.
Dalam girangnya ia segera melompat bangun.
"Blaaam ...I" tiba-tiba kepalanya membentur langit-langit gua.
Benturan itu sangat keras dan kuat, membuat Cau-ji menjerit kesakitan,
sambil meraba kepala sendiri, serunya: "Waah... untung kepalaku tidak keluar
darah." Ketika dia mencoba untuk mengawasi langit-langit gua, dijumpainya bekas
benturan itu sudah muncul sebuah liang dalam bekas kepalanya.
"Heran, apa yang telah terjadi?" kembali dia berpikir, "memangnya aku sudah
berubah jadi si hwesio kepala baja?"
Sementara dia masih termenung, tiba-tiba telinganya mendengar suara orang
merintih, ketika diamati lebih seksama, ia mendengar suara itu seperti sedang
memanggilnya: "Sau... saudara... ci... cilik.."
Cau-ji tersentak kaget dalam keadaan begini, berdiri juga bulu kuduknya, dia
mengira ada setan gentayangan yang sedang memanggil namanya.
"Sau... saudara... ci... cilik...."
"Kau... siapa kau..." Ma... manusia atau setan?"
"Aku... aku manusia...."
Cau-ji menghembuskan napas lega, pelan-pelan dia mulai memeriksa keadaan
sekelilingnya sembari mencari sumber datangnya suara panggilan itu.
"Hey, kau berada dimana?"
"Di... di sini ..."
Sekali lagi Cau-ji mencari dengan teliti, akhirnya ia jumpai adanya sebuah
celah bulat selebar dua depa yang berada di atas dinding sebelah kiri, dengan
rasa gembira ia dekati lubang itu dan melongok ke dalam.
"Haha... setan!" jeritnya kemudian.
Ternyata di balik lubang itu tidak nampak apa-apa, yang terlihat cuma sebuah
raut muka yang ditutupi rambut kusut
Setelah mendengar jeritan kaget dari Cau-ji, orang yang berada dalam gua itu
buru-buru membenahi rambutnya sehingga Cau-ji dapat melihat sebuah raut
muka yang dekil.
Biarpun rambutnya kusut lagi kotor, orang itu mempunyai panca indera yang
sempurna dan jelas, terutama model hidung dan bibirnya, membuat siapapun
yang melihat segera timbul perasaan simpatik.
"Siapa kau?" kembali Cau-ji menegur.
Tampaknya orang itupun baru saja tersiksa oleh pusaran angin berpusing
yang dingin lagi kuat itu, kini dia sedang mengatur napas untuk mengembalikan
kondisinya, setelah agak pulih orang itu baru tertawa seram.
Suara tertawanya sangat mengerikan, di balik seram terselip perasaan sedih,
pedih, marah dan rasa dendam yang luar biasa.
Jangan dilihat usia Cau-ji masih sangat muda, namun dia pun dapat
menangkap perasaan sedih dan pedih yang luar biasa di balik tertawa orang itu,
ia tahu orang tersebut tentu sudah menderita luka dalam yang amat parah.
Diam-diam ia periksa sakunya, lalu pikirnya dengan perasaan girang: "Aaah,
untung kedua botol obat pemberian raja hewan masih utuh!"
Maka diambilnya sebuah botol obat itu lalu tanpa banyak bicara dilontarkan
ke arah orang tersebut.
Baru saja orang itu selesai tertawa ketika tiba-tiba melihat ada sebuah botol
kecil dilontarkan ke arahnya, buru-buru dia sambar botol tersebut, dibuka
penutupnya dan dibau isinya, setelah itu serunya: "Aaah, pil ini adalah pil
seratus hewan Pek-siu-wan milik Oh Lo-koko, kau kenal dengan si raja hewan?"
"Benar," ia mengangguk, "dia memanggilku Cau-ji!"
"Ya, kalau toh kita adalah orang sendiri, biarlah kuterima pemberianmu ini,"
gumam orang tersebut kemudian, "tampaknya Thian maha agung, beliau telah
meluluskan permohonanku."
Sekaligus dia telan tiga butir Pak-siu-wan. kemudian baru menyodorkan
kembali botol obat itu ke tangan Cau-ji.
"Aku masih punya sebotol lagi, simpanlah botol itu untukmu" seru Cau-ji
sambil menunjukkan botol obat kedua.
Setelah menelan pil Pek-siu-wan, orang itu merasa semangatnya menjadi
segar kembali, dia segera tertawa tergelak.
"Terima kasih banyak saudara cilik, dua jam lagi pusaran angin berpusing
kembali akan menyerang, sambil menunggu mari kita berbincang-bincang."
"Apa?" teriak Cau-ji kaget setelah mendengar perkataan itu, "angin berpusing
itu bakal menyerang lagi?"
"Benar, tiap tengah malam dan tengah hari angin berpusing itu akan
menyerang selama satu jam lebih, saudara cilik, gunakan kesempatan ini untuk
mengatur pernapasan!"
Selesai bicara, ia segera pejamkan mata, duduk bersila dan mulai mengatur
pernapasan. Mimpi pun Cau-ji tidak menyangka kalau angin puyuh berpusing itu bakal
menyerang setiap hari dua kati, membayangkan betapa tersiksanya dia sewaktu
menerima gempuran tadi, diam-diam hatinya bergidik.
Dia mencoba memeriksa keadaan sekililing gua, tapi mana jalan masuk dan
mana jalan keluar sudah tak nampak jelas, dia coba termenung sebentar, lalu
setelah memastikan arah yang dituju, dia pun mulai berjalan kembali.
Bocah itu sama sekali tak tahu kalau perawakan tubuhnya saat ini sudah
membesar berapa kali lipat akibat pengaruh obat empedu ular serta Tay-huanwan
yang diminumnya, ditambah dengan pusingan angin puyuh tadi.
Dengan susah payah akhirnya sampai juga Cau-ji di mulut gua yang sempit
lagi kecil itu, tapi ketika ia mencoba untuk menerobos masuk, hatinya langsung
tertegun, ia temukan badannya sudah menjadi bongsor sehingga tidak muat lagi
untuk masuk ke dalam celah sempit itu.
Bab IV. Kisah romantis yang membawa bencana.
Cau-ji menjadi panik bercampur gelisah setelah menjumpai tubuhnya tak
mampu lagi menerobos masuk melalui celah gua, baru saja dia akan
mengayunkan telapak tangannya untuk melancarkan serangan, tiba-tiba dari
kejauhan ia mendengar tibanya suara gemuruh yang sangat memekikkan
telinga. Dia tahu serangan angin berpusing segera akan tiba, tergopoh-gopoh dia lari
balik ke dalam gua.
Dia harus mencari sebuah posisi sudut tertutup untuk menghindarkan diri
dari terpaan langsung angin puyuh itu.
Sayang dinding karang itu sudah menjadi rata dan bersih karena guratan
angin berpusing yang telah berlangsung ratusan tahun lamanya, boleh dibilang
sama sekati tak ada tempat untuk bersembunyi.
Sewaktu melalui mulut gua, ia sempat melongok sekejap ke dalam, terlihat
orang itu sudah bersila dengan wajah yang jauh lebih segar, terbukti khasiat
dari tiga butir pil Pek-siu-wan sudah mulai bekerja.
Sadar kalau tiada tempat untuk berteduh, Cau-ji pun putuskan untuk
menerima tantangan ini secara nyata, dia sadar, kalau dalam posisi yang tidak
siap seperti tadi pun tak sampai mencabut nyawanya, itu berarti dalam keadaan
siap ia pasti bisa lolos dari ancaman tersebut.
"Maknya, paling banter juga lecet-lecet!" umpatnya tanpa sadar.
Tapi begitu kata "maknya" meluncur dari mulutnya, ia segera melompat kaget.
Sejak kecil ia memperoleh pendidikan yang ketat di rumah, umpatan
"maknya" boleh dibilang baru pertama kali ini meluncur dari mulutnya, untung
tidak di rumah, kalau tidak, hukuman berat pasti akan menimpa dirinya.
Buru-buru ia duduk dengan menempelkan punggungnya di atas dinding
tebing, setelah itu napas mulai diatur dan hawa murni disalurkan ke seluruh
tubuh. Begitu tarik napas, ia segera menjumpai munculnya segulung hawa murni
yang luar biasa dahsyatnya bagai gelombang samudra muncul dari Tan-tian dan
menyebar ke seluruh badan, belum lagi pikiran bergerak, hawa murni telah
menyelimuti seluruh tubuh.
Kenyataan ini membuat Cau-ji terkejut bercampur girang, buru-buru dia atur
pemapasan dan mulai mengendalikan hawa murninya.
Setengah jam kemudian, ketika sadar kembali dari semedinya, ia merasakan
sekujur badannya enteng dan segar, tak kuasa lagi ia buka mulut ingin berpekik
nyaring. Sebelum bersuara, tiba-tiba ia dengar suara gemuruh yang sangat mengerikan
telah bergema dari kejauhan, dengan perasaan terkejut buru-buru ia
membaringkan diri bersiap menerima siksaan.
Deruan angin semakin kencang, udara dingin yang merasuk tulang sumsum
makin lama bergerak makin dekat.
Disusul kemudian pusaran angin puting yang berputar kencang menderuderu
di seluruh ruangan, sekali lagi tubuh Cau-ji terombang-ambing kian kemari
membentur dinding karang.
Waktu itu, si manusia misterius yang berada di balik gua tampak mulai
gemetar lagi seluruh badannya, sekalipun dia telah menelan tiga butir pil Peksiu-
wan, namun goncangan yang maha dahsyat tetap menyiksa badannya.
Tak seberapa lama kemudian, seluruh gua kecil itu sudah mulai berputar
keras, tampak orang itu mulai bergulingan ke sana kemari, tapi sambil
menggertak gigi ia tetap mempertahankan diri.
Putaran angin berpusing menderu makin kencang, udara terasa semakin
dingin, ia mulai merasakan peredaran darahnya membeku, ia sadar sebentar lagi
dirinya bakal pingsan.
Untunglah di saat yang amat kritis, deruan angin berpusing bergerak semakin
melemah dan perlahan sebelum akhirnya berhenti, udara dingin yang menusuk
tulang pun semakin mereda sebelum akhirnya lenyap.
Orang misterius itu tahu, ia bisa bertahan tak lain lantaran khasiat tiga butir
pil Pek-siu-wan pemberian saudaranya, terdorong rasa terharu yang amat sangat
tak kuasa lagi air mata jatuh bercucuran.
Dia sama sekali tak mengira Oh-lokonya belum melupakan dirinya walau
sudah berpisah sepuluh tahun, bahkan berusaha mengirim orang untuk
mengantar pil Pek-siu-wan.
Terbayang sampai ke situ, ia segera teringat kembali si bocah yang
dijumpainya tadi, buru-buru dia merangkak bangun seraya berseru: "Saudara ...
saudara cilik.."
"Paman, kau tidak apa-apa bukan?" terdengar dari balik gua bergema suara
nyaring. "Aaah... syukurlah kau ... kalau tidak apa-apa ...."
Tadi, walaupun Cau-ji harus berhadapan langsung dengan terpaan angin
puting, namun lantaran ia sudah membuat persiapan, maka walaupun pakaian
compang-camping namun tubuhnya tidak lagi tersiksa seperti semula.
Dia merasa hawa murni yang mengalir dalam tubuhnya seakan-akan
membuat kulit badannya lebih tebal, bukan saja tidak terasa sakit, dia pun tidak
merasa kedinginan.
Karena serangan angin puting sudah lewat, bocah itu segera menghampiri
kembali mulut gua.
Tampak orang itu menghembuskan napas lega, kemudian dengan rasa ingin
tahu tanyanya: "Saudara cilik, kenapa kau tidak takut dingin dan tidak sakit?"
Cau-ji sendiri juga tak mengerti mengapa hal ini bisa terjadi, jawabnya seraya
menggeleng: "Paman, aku sendiripun tak jelas!"
Orang itu mengira Cau-ji adalah murid si raja hewan yang sengaja
mengutusnya untuk menolong dia, maka kembali tanyanya: "Saudara cilik, kau
mengerti ilmu tiam-hiat" Kau bisa membebaskan pengaruh totokan?"
"Bisa!"
"Bagus sekali" teriak orang itu kegirangan, "kalau begitu aku tak usah
menderita lagi."
Setelah berpikir sejenak, kembali ujarnya: "Saudara cilik, jalan darah Ki-hayhiatku
tertotok sehingga aku hanya bisa mengerahkan tiga bagian hawa
murniku untuk melawan hawa dingin, bisakah kau membantuku untuk
membebaskan diri dari pengaruh totokan?"
"Tapi paman ... mampukah aku?" tanya Cau-ji agak sangsi.
"Hahaha ... saudara cilik, kau tidak usah sungkan, bukan sembarangan orang
sanggup menghadapi siksaan angin puyuh berpusing, coba kemari, biar
kuperiksa seberapa dalam tenaga murni yang kau miliki."
Seraya berkata dia membuat satu lukisan lingkaran kecil di sudut kanan
sebelah bawah gua itu.
"Saudara cilik," kembali ujarnya sambil tertawa, "sekarang himpun seluruh
tenaga dalammu, coba kau hantam lingkaran kecil itu."
Kini Cau-ji dapat melihat dengan jelas perawakan tubuh orang itu, meski
pakaiannya compang camping hingga separuh badan bagian atasnya telanjang,
namun kulit badannya sangat putih lagi jangkung, sebuah komposisi perawakan
yang ideal. Ketika ditunggunya sampai beberapa saat belum juga nampak CaiHi turun
tangan, orang itu segera menegur lagi: "Ada apa saudara cilik" Ada kesulitan?"
"Ohh tidak, tidak, biar kucoba."
Sembari berkata dia segera menghimpun hawa murninya ke dalam telapak
tangan kanan, lalu sebuah pukulan dilontarkan ke arah lingkaran kecil itu.
Tak ada hembusan angin, tak ada pekikan tajam, pukulan tersebut sama
sekali tidak menimbulkan pertanda apapun.
"Blammmm!" tahu-tahu lingkaran kecil itu sudah terhajar telak hingga
muncul sebuah liang yang besar sekali, gua sempit yang semula gelap gulita kini
bertaburkan cahaya tajam yang berkilauan.
"Aaah, ternyata memang barang mestika!" terdengar orang itu bersorak
gembira. Sembari bicara dia maju dua langkah, membungkukkan badan dan
mencabut keluar sebilah pisau belati kecil yang cuma nampak gagangnya.
Pisau belati itu kecil sekali, tapi begitu dicabut keluar dari sarungnya, Cau-ji
segera merasa matanya jadi silau, ternyata bentuk senjata itu hanya sepanjang
jari tengah, pada hakekatnya lebih mirip dengan sebuah senjata piau pendek.
Ketika orang itu menyarungkan kembali belatinya, suasana di dalam gua
kembali tercekam dalam kegelapan yang pekat.
Terdengar orang itu menghela napas panjang, lalu berkata: "Saudara cilik,
benda ini bernama pisau belati Liat-jit-pi, peninggalan zaman Cun-ciu-can-kok."
"Konon, setiap kali benda mestika ini muncul dalam dunia persilatan maka
akan terjadi kekacauan besar di dunia ini, selama berapa tahun terakhir aku
selalu beranggapan bahwa di sini terdapat benda mestika, tak disangka benda
mestika tersebut ternyata adalah benda pembawa bencana."
"Paman, darimana kau bisa tahu kalau di sini terdapat benda mestika?" tanya
Cau-ji keheranan.
"Setiap bulan purnama, di sini pasti kedengaran suara pekikan naga, bahkan
akan muncul hawa dingin yang menusuk tulang, oleh sebab itulah aku menduga
di sini pasti ada barang mestikanya."
"Paman, dengan kekuatan yang kumiliki mampukah membebaskan totokan
jalan darahmu?"
"Oooh, bisa, bisa, lebih dari cukup! Malah aku justru kuatir tenagamu kelewat
besar sehingga aku tak mampu menahan diri. Mari, gunakan separuh saja dari
tenagamu dan coba sekali lagi."
"Baik."
"Blaaammm!" kembali muncul percikan batu cadas dari permukaan gua
sebelah kanan. Walaupun di dalam kegelapan orang itu tak sanggup melihat sesuatu, tapi ia
bisa menilai kekuatan lawan dari suara pukulannya, terdengar ia bersorak kegirangan:


Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saudara cilik, coba kurangi satu bagian lagi!"
"Blammm!" kembali sisi kiri tanah berbatu itu muncul sebuah liang besar
"Saudara ciiik," kata orang itu kemudian sambil tertawa, "coba gunakan
pukulan dengan kekuatan segitu untuk menepuk jalan darah ki-hay-hiatku."
Sambil berkata ia segera bersiap sedia menerima pukulan.
Cau-ji tidak langsung turun tangan, kembali ujarnya agak sangsi: "Paman,
menurut ayahku, jalan darah ki-hay-hiat adalah jalan darah kematian yang tak
boleh sembarangan dihantam, katanya bila tempat itu dipukul maka akibatnya
yang paling enteng akan kehilangan tenaga dalam dan kalau parah bisa mati."
"Hahaha ... jalan darah ki-hay-hiatku sudah ditotok orang sehingga sebagian
besar tenaga murniku lenyap, sudah sepuluh tahun aku hidup tersiksa di sini,
marilah saudara cilik, dicoba saja!"
"Baik, kalau sampai terjadi apa-apa, kau tak boleh salahkan aku."
"Hahaha ... aku Bwe Si-jin belum pernah menyesali perbuatanku, silahkan
turun tangan."
Sudah sepuluh tahun ia menderita siksaan, selama ini yang ditunggu justru
kesempatan macam begini, asal tenaga dalamnya dapat pulih, bukan saja ia
dapat membalas dendam, yang penting ia bisa mencari jejak kekasihnya Go Hoati.
Cau-ji masih nampak ragu, tapi desakan yang berulang kali dari orang
tersebut memaksa bocah itu harus bertindak.
Setelah konsentrasi sejenak sambil menghimpun tenaga, ia segera lancarkan
sebuah pukulan ke atas jalan darah Ki-hay-hiat di tubuh orang itu.
Diiringi dengusan tertahan, tubuh orang itu segera terpental ke belakang
hingga menumbuk dinding karang.
"Paman, bagaimana keadaanmu?" seru Cau-ji kemudian dengan perasaan
tegang. Setelah menyeka darah hitam yang meleleh keluar dari mulutnya, orang itu
segera duduk bersila untuk mengatur napas.
Kurang lebih satu jam kemudian, orang itu baru menghembuskan napas
panjang sambil membuka matanya mengawasi Cau-ji.
Bocah itu segera merasakan datangnya dua sinar tajam bagaikan aliran listrik
yang menembusi jantungnya, dengan hati berdebar pikirnya: "Tajam amat
pandangan mata orang ini, rasanya dia tak berada di bawah kemampuan ayah."
Sementara orang itupun merasa girang sekali setelah melihat raut wajah si
bocah yang tampan dan gagah, tak kuasa ia mendongakkan kepalanya dan
tertawa terbahak-bahak.
Cau-ji segera merasakan datangnya tenaga tekanan yang sangat kuat
memancar keluar dari balik suara tertawa itu, begitu kuatnya tenaga tersebut
membuat jantungnya berdetak keras dan badannya sakit
Buru-buru dia kerahkan tenaga dalamnya untuk melindungi jantung serta
nadi sendiri, lalu secara diam-diam menutup jalan darah di sepasang telinganya.
Setelah tertawa sesaat dengan nyaring, orang itu baru menghentikan gelak
tertawanya, diam-diam ia kaget juga melihat si bocah di hadapannya sama sekali
tak terpengaruh oleh serangan tenaga dalamnya.
Sekarang ia baru yakin bahwa bocah itu memiliki tenaga dalam yang
sempurna, maka pujinya tanpa terasa: "Saudara cilik, tenaga dalammu sungguh
mengagumkan."
"Paman, kau lebih hebat lagi, mungkin ayahku juga masih kalah
dibandingkan kau."
"Aaah betul, saudara cilik, aku belum tahu siapa namamu?"
"Aku dari marga Ong bernama Bu-cau?"
"Hahaha ... namamu sesuai dengan orangnya, hebat, hebat! Boleh tahu siapa
orang tuamu?"
"Ayahku Ong It-huan, ibuku Si Ciu-ing!"
"Ooh, rupanya keturunan dari Ong Sam-kongcu dan Cukat wanita, tak heran
kalau kemampuan saudara cilik sangat hebat Oya, sudah sepuluh tahun aku
tak pernah bersua dengan orang tuamu, mereka baik-baik semua?"
"Terima kasih atas perhatian paman, mereka baik-baik semua. Paman, aku
boleh tahu siapa namamu?"
"Aku dari marga Bwe, bernama Si-jin!"
"Bwe Si-jin" Rasanya seperti pernah mendengar nama ini?" gumam Cau-ji
berulang kali. Diam-diam Bwe Si-jin merasa bangga juga setelah mendengar perkataan itu,
dia mengira orang masih kagum dengan nama besarnya meski sudah sepuluh
tanun ia terkurung di situ, buktinya seorang anak kecil pun pernah mendengar
nama besarnya. Tentu saja dia tak mengira kalau Cau-ji justru keluar rumah bersama Go Hoati
yang sedang mengembara mencari jejaknya, justru karena ia sering mendengar
bibinya menyebut nama itu, tanpa terasa dia pun ikut mengetahuinya.
Sambil tertawa Bwe Si-jin berkata lagi: "Cau-ji, bagaimana ceritanya hingga
kau bisa berkenalan dengan si raja hewan Oh It-siau" Semula aku masih
menyangka kau adalah cucu muridnya."
"Paman, aku bertemu dengan Oh-locianpwe hanya secara kebetulan saja,
waktu itu Cau-ji sedang berpesiar di telaga Tay-beng-ou bersama bibi. Aaah
betul, Cau-ji sering mendengar bibi menanyakan kabar beritamu."
Gemetar keras sekujur badan Bwe Si-jin setelah mendengar perkataan itu,
buru-buru dia mendekati mulut gua dan sambil menggenggam tangan bocah itu
tanyanya: "Cau-ji, siapa bibimu?"
Cau-ji merasa tangannya sakit sekali lantaran dicengkeram kuat-kuat.
tergopoh dia kerahkan hawa murninya untuk melepaskan diri dari cekalan
lawan, kemudian baru sahutnya: "Dia bernama Go Hoa-ti"
Begitu mendengar nama tersebut, cucuran air mata segera jatuh berlinang
membasahi pipi Bwe Si-jin, gumamnya: "Adik Ti ... oh ... adik Ti, aku telah
menyiksamu ...."
"Paman, kenapa sih bibi selalu mencarimu?" mendadak Cau-ji bertanya
keheranan. Sebenarnya Bwe Si-jin ingin berterus terang, tiba-tiba hatinya tergerak,
sahutnya kemudian: "Cau-ji, bibimu adalah piaumoayku (adik misan), tentu dia
tak tahu kalau aku berada di sini."
"Ya benar, saban berjumpa orang, bibi seialu menanyakan jejakmu."
Bwe Si-jin merasa hatinya amat sakit, buru-buru katanya: "Cau-ji, pergilah
beristirahat, tengah hari nanti kita harus bersiap sedia lagi untuk menghadapi
gempuran angin berpusing."
Habis bicara ia segera membalikkan badan dan duduk bersila.
Biarpun masih banyak persoalan yang ingin ditanyakan. Tapi Cau-ji tak ingin
membantah perintah orang, dia pun ikut duduk bersila sembari membayangkan
kembali semua kejadian yang menimpa dirinya selama ini.
Di pihak lain, mana mungkin Bwe Si-jin dapat menenangkan hatinya" Ia
menjerit berulang kali di dalam hati kecilnya: "Adik Ti ... oooh, Adik Ti, aku
bersalah kepadamu, tapi... tahukah kau betapa menderitanya aku tersiksa di
sini?" Sambil berpikir, air mata jatuh bercucuran membasahi wajahnya.
Tanpa terasa kenangan pahit yang dialaminya selama ini terbayang kembali di
depan mata, dia terbayang kembali bagaimana nasibnya ketika jatuh ke tangan
suci (kakak seperguruan) Kiau-kiau....
0oo0 Rumah penginapan kekasih, kota Kim-leng.
Malam itu, di paviliun belakang yang diborong Bwe Si-jin, ia bersama Go Hoati
sedang menikmati kemesraan yang luar biasa setelah berpacaran sekian lama,
pakaian yang mereka kenakan satu per satu telah ditanggalkan ....
Dengan wajah yang merah karena jengah Go Hoa-ti berbisik: "Engkoh Jin, kau
tak boleh tergesa-gesa... bagaimanapun baru pertama kali ini aku merasakan
baunya lelaki...."
Sambil meremas sepasang payudara kekasihnya yang montok, kencang dan
berdiri tegang, Bwe Si-jin tertawa, sahutnya: "Jangan kuatir... entar kau
mencicipi dulu, kujamin lama kelamaan kau pasti akan ketagihan.."
"Aku tidak percaya ..." sahut Go Hoa-ti sambil tertawa, ia bangkit berdiri
kemudian berjongkok persis di atas tubuh pemuda itu.
Dengan tangannya yang gemetar keras dia pegang "tombak" Bwe Si-jin yang
telah berdiri kaku kemudian dengan tangan sebelah merenggangkan lubang
"surga" sendiri, tangan lain yang memegang "tombak" langsung mengarahkan
senjata itu secara tepat.
Ketika posisinya sudah pas benar, pelan-pelan ia baru mendudukinya....
"Jangan tergesa-gesa adik Ti," bisik Bwe Si-jin sambil memeluk pinggangnya,
"Ya ... benar... benar ... nah pelan-pelan duduk ke bawah ... jangan terburuburu,
entar mestikamu akan lecet!"
Perlahan tapi pasti Go Hoa-ti melahap benda itu ke dalam liang surganya, ia
merasa benda keras tersebut seakan telah menyentuh ujung perutnya, membuat
seluruh badannya jadi lemas tak bertenaga.
Itulah sebabnya ketika ia berbuat intim dengan Ong Sam-kongcu di kediaman
Hay-thian-it-si tempo hari, perempuan itu merasa sedikit kecewa.
Tentu saja dia kecewa karena milik Bwe Si-jin yang besar, kaku dan tegang
bagai batu karang benar-benar mendatangkan perasaan yang mantap,
sementara milik Ong Sam-kongcu jauh lebih kecil dan kurang mantap rasanya.
Sambil memeluk kencang tubuh Go Hoa-ti yang menindih di atas tubuhnya,
pelan-pelan Bwe Si-jin bangun dan duduk, kemudian dengan mulutnya yang
rakus dia mulai menghisap dan menggigit puting susu perempuan itu.
"Aduh geli... engkoh Jin, jangan begitu ... aku kegelian.." rintih Go Hoa-ti
penuh kejalangan.
Bwe Si-jin mengerti apa yang diinginkan seorang wanita, dia tahu bila seorang
perempuan mengatakan "jangan" itu artinya dia "mau!" dan "teruskan!" maka
hisapannya semakin keras, gigitannya makin menggila....
Tak selang berapa saat kemudian Go Hoa-ti merasa sekujur tubuhnya kaku,
geli dan linu, tak tahan lagi dia mulai menggeliat, mulai menggesek, mulai
bergoyang dan mulai menaik turunkan badannya....
Keadaannya saat ini tak ubahnya seperti orang yang merasa gatal di
punggungnya, karena tak bisa digaruk dengan tangan, terpaksa punggungnya
digesekkan di atas dinding untuk mengurangi rasa gatal tersebut.
Melihat gadis itu mulai terangsang dan mulai menggeliat, buru-buru Bwe Sijin
membaringkan kembali tubuhnya, kali ini sepasang tangannya mulai meraba,
meremas dan memelintir puting susu nona itu.
Diserang dari atas dan bawah, Go Hoa-ti semakin terangsang, gesekan,
goyangan dan geliat tubuhnya makin keras dan kencang, ia merasa semakin
keras gesekan badannya, bagian "bawah" tubuhnya terasa makin geli tapi
semakin nikmat....
Tak sampai seperempat jam kemudian, gadis itu sudah tersengal-sengal
sambil bermandi peluh.
"Berisitrahatlah dulu adik Ti!" bisik Bwe Si-jin sambil tertawa.
Go Hoa-ti tersenyum dan bangkit berdiri.
Bwe Si-jin melihat dari lubang surga perempuan itu meleleh keluar segumpal
cairan lendir yang meleleh turun melalui paha putihnya, cepat dia mengambil
handuk dan menyekanya kemudian baru berkata: "Adik Ti, jangan mengotori
Amanat Marga 5 Pendekar Sejagat Seri Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Pendekar Setia 3
^