Pendekar Naga Mas 3
Pendekar Naga Mas Karya Yen To Bagian 3
tubuhmu dengan cairan tersebut, pergilah mencuci diri lebih dulu."
Go Hoa-ti maki setengah mati, cepat-cepat dia melompat turun dan
mengambil handuk basah untuk menyekanya.
Wajah jengah si nona yang bersemu merah membuat Bwe Si-jin semakin
terangsang, dia ikut melompat bangun, katanya: "Adik Ti, kalau kau tak ingin
mengotori barang milik rumah penginapan, bagaimana kalau kita berganti gaya
saja?" Go Hoa-ti semakin malu, jantungnya berdebar makin keras.
Sejak dia persembahkan kegadisannya untuk pemuda ini, kecuali waktu
kedatangan "Ang-sianseng", boleh dibilang mereka berdua memanfaatkan setiap
saat untuk berbuat intim.
Setiap Bwe Si-jin mengusulkan untuk mencoba gaya baru, dapat dipastikan
Go Hoa-ti akan merasakan dirinya "mati" satu kali.
Bahkan setiap "kematian'nya tentu "mengenaskan" sekali.
Oleh sebab itu tidaklah heran kalau dia merasa terkejut bercampur girang
begitu mendengar pasangannya mengusulkan gaya baru.
Rupanya Bwe Si-jin dapat memahami perasaan hati kekasihnya waktu itu,
digenggamnya sepasang tangannya lalu bisiknya: "Adik Ti, kalau liang di depan
sudah ditembusi, kali ini aku mesti menyerang dari arah belakangi"
Sambil berkata pelan-pelan dia balik tubuh perempuan itu dan menekannya
agar membungkuk.
Go Hoa-ti segera paham arah mana miliknya yang akan diserang, setelah
berpikir sejenak, serunya terkesiap: "Jangan bagian yang itu, engkoh Jin, tempat
itu kelewat sempit!"
Sambil berkata, buru-buru dia menggapit sepasang pahanya rapat-rapat.
Bwe Si-jin tersenyum, dikecupnya bibir nona itu sekejap kemudian katanya
sambil tertawa: "Jangan kuatir adik Ti, masa aku akan bertindak kasar hingga
mencederaimu?"
"Engkoh Jin, kau tak boleh membohongi aku!"
"Hahaha... kapan sih aku bohong kepadamu?"
Dengan tangan gemetar pelan-pelan Go Hoa-ti melepaskan tangannya, setelah
itu kembali ia bertanya: "Engkoh Jin, gimana sih caranya main belakang?"
"Hahaha ... adik Ti, letakkan sepasang tanganmu di pinggir ranjang untuk
menopang badanmu, lalu sedikit bungkukkan badanmu agar tubuh bagian
belakangmu menungging ke atas, nanti kau imbangi saja gerakan badanku maju
mundur...."
"Wah, hebat juga jurus seranganmu, tapi... senjatamu kelewat panjang dan
besar...."
"Hahaha... jangan kuatir, ayo kita mulai."
Dengan satu tusukan yang cepat bagai kilat Bwe Si-jin menghujamkan
senjatanya ke bagian belakang tubuh Go Hoa-ti, lantaran sebelumnya sudah ada
pemanasan hingga bagian miliknya cukup berlendir, tanpa mengalami kesulitan
ujung tombaknya sudah menghujam dalam-dalam.
"Aaah ... ternyata tidak sakit" bisik Go Hoa-ti sambil tertawa, "tapi... engkoh
Jin, sepasang telurmu kenapa ikut memukul-mukul" Aku ... aku jadi geli dan
sedikit sakit ... oooh... ooh... aaah... ahhh ... enak... enak...."
Rintihan dan lengkingan Go Hoa-ti membuat napsu birahi Bwe Si-jin semakin
memuncak, dia peluk pinggang orang kencang-kencang sementara tusukannya
dilancarkan bertubi-tubi.
Sejak pertama kali terjun ke dalam dunia persilatan, hampir seratus orang
perempuan yang pernah disetubuhi, tapi di antara semua perempuan yang
pernah ditiduri, Go Hoa-ti adalah perempuan yang paling mampu membetot
sukmanya, demi bersenang-senang dengannya, dia tak segan melanggar
kebiasaan sendiri dengan berdiam diri di satu tempat lebih dari sepuluh hari.
Kecantikan wajah Go Hoa-ti ibarat bidadari yang turun dari kahyangan,
bukan saja ia nampak anggun juga amat berwibawa, tapi begitu naik ke ranjang,
bukan saja berubah jadi wanita jalang, yang bikin hati lelaki tak tahan justru
adalah jeritan, rintihan serta teriakannya yang membetot sukma....
Perempuan semacam inilah yang menjadi dambaan setiap pria, karena
rintihan seorang wanita jalang adalah irama yang paling membangkitkan napsu
birahi lelaki. Dalam waktu singkat dia sudah menggenjotkan tubuhnya berpuluh-puluh
kali, sementara rintihan dan jeritan Go Hoa-ti semakin menjadi-jadi, pinggulnya
bergoyang dan berputar tiada hentinya.
Tak lama kemudian, seputar tempat mereka berdua berdiri sudah dibasahi
oleh lendir yang mengucur keluar dari lubang belakang perempuan itu.
Dengan gerakan yang sangat berhati-hati Bwe Si-jin maju mundurkan
badannya, rupanya dia kuatir senjata milik sendiri menjadi lecet gara-gara
kekerasan waktu menggesek.
Beberapa saat kemudian goyangan Go Hoa-ti semakin melemah dan perlahan,
Bwe Si-jin tahu kekasihnya sudah hampir mencapai puncaknya, maka ia segera
mencomot sepasang payudara perempuan itu dan meremasnya berulang kali.
Sambil meremas payudara perempuan itu, tubuhnya menggenjot makin cepat
dan keras. "Aduh ... engkoh Jin ... ooo ... aah ... aduh ... engkoh Jin... aku... aku tak
tahan lagi... aduuh... aku mau... mau keluar... aaooh... aduh... aduh nikmatnya!"
Bwe Si-jin menggenjot semakin cepat.
Tiba-tiba tubuh Go Hoa-ti gemetar keras lalu kakinya jadi lemas dan tiba-tiba
berjongkok ke bawah, untung Bwe Si-jin sudah siap, dia segera peluk tubuh
kekasihnya dan dibaringkan ke atas ranjang.
Setelah itu dia tubruk kembali ke atas tubuh perempuan itu, menindihnya
dan menggenjotkan kembali senjatanya berulang kali, hanya kali ini dia tusuk
lubang surga orang.
Lima enam puluh kali genjotan kemudian Bwe Si-jin merasa sekujur
badannya mengejang keras, tak tahan lagi dia muntahkan "ludah'nya berulang
kati, kemudian gerakannya makin melambat sebelum akhirnya berhenti sama
sekali. "Ooh engkoh Jin, nikmat sekali aku " bisik Go Hoa-ti sambil menghela napas
panjang. Tak selang berapa saat kemudian ia sudah tertidur pulas.
Dengan penuh rasa sayang Bwe Si-jin mengecup bibirnya sekejap, kemudian
ia bangkit berdiri, duduk di tepi meja sembari termenung.
Apa yang sedang ia pikirkan"
Tak ada yang tahu!
Dalam lamunannya tiba-tiba ia mendengar ada seseorang berseru dengan
suara yang manja: "Aduuh ... indah betul lekukan tubuh perempuan itu, sute,
tak heran kalau kau selalu bersembunyi di sini!"
Mendengar ucapan tersebut, sekujur badan Bwe Si-jin gemetar keras, buruburu
dia melongok keluar jendela.
Tiba-tiba daun jendela yang semula tertutup rapat terbuka dengan sendirinya,
menyusul kemudian muncul wajah seorang gadis yang cantik rupawan.
Gadis itu mempunyai sepasang mata yang indah, bibirnya kecil mungil dan
payudaranya sangat besar, begitu cantik wajahnya membuat setiap lelaki yang
memandang ke arahnya akan merasa napsu birahinya bergolak.
Bwe Si-jin yang sudah terbiasa menikmati wajah cantik seorang wanita, kali
ini nampak terkejut bercampur ngeri, seakan bertemu kalajengking beracun,
dengan wajah berubah hebat dia melompat bangun.
Nona berbaju merah itu melototi sekejap "barang" milik Bwe si-jin yang
tergantung lemas, tapi ukuran yang super gede segera membuat napsu
perempuan itu menggelora, buru-buru bisiknya dengan ilmu Coan-im-jit-pit:
"Sute, cepat kenakan pakaianmu, mari kita cari tempat untuk berbicara."
Melihat jejaknya sudah ketahuan sucinya yang selama ini berusaha untuk
dihindari, Bwe Si-jin sadar bahwa dia butuh banyak waktu dan tenaga untuk
meloloskan diri dari cengkeraman orang, agar urusan itu tidak menyeret adik Tinya,
buru-buru dia kenakan pakaian dan segera mengikuti nona berbaju merah
itu keluar dari kamar losmen.
Tak jauh setelah keluar dari kota, tibalah mereka di sisi sebuah kereta yang
dihela dua ekor kuda, terdengar nona berbaju merah itu berkata. "Sute, mari
kita bicara di dalam saja."
"Suci," seru Bwe Si-jin dengan suara berat, "siaute toh sudah lepaskan posisi
ketua, juga telah mengumumkan kalau lepas dari ikatan perguruan, tolong
lepaskanlah dirimu...."
"Sute, kau kejam benar... sejak pergi tanpa pamit empat tahun berselang,
bukan saja cici dibikin sedih, ketiga sumoay pun menjadi kurus lantaran
memikirkan kau.."
Membayangkan kembali masa lampau yang dialaminya, paras muka Bwe Sijin
yang ganteng segera mengejang keras, serunya lagi: "Suci, harap kau sudi
mengingat hubungan baik kita di masa lalu dan melepaskan siaute....."
"Sute," tukas nona berbaju merah itu dengan suara dalam, "kau tak usah
banyak bicara lagi, kau sendiri toh tahu, tanpa kehadiranmu, sulit bagi kami
untuk membangun kembali kejayaan perguruan seperti masa lampau."
"Hmm, sungguh tak disangka seorang playboy yang selama ini memandang
perempuan bagai sampah, bisa jatuh hati dengan seorang dayang ingusan.
Baiklah, demi masa depan perguruan, terpaksa suci harus bunuh dulu
perempuan ini."
Selesai berkata dia segera mengayunkan telapak tangan kanannya siap
melancarkan sebuah pukulan.
Bwe Si-jin tahu, kakak seperguruannya sudah memegang pucuk kekuasaan
perguruan, di sekelilingnya banyak terdapat jagoan yang berilmu tangguh, bila ia
betul-betul turunkan perintah, dapat dipastikan Go Hoa-ti yang tertidur nyenyak
segera akan terbantai.
Buru-buru teriaknya keras: "Suci, tunggu sebentar!"
Sambil tertawa nona berbaju merah itu menurunkan kembali tangannya.
"Bagaimana sute, sudah paham?" serunya manja.
"Suci," seru Bwe Si-jin sambil menahan perasaan sedih, "siaute bersedia pergi
mengikut kau, tapi kau mesti berjanji akan melepaskan dia."
"Baik."
"Suci, aku harap kau pegang janji."
Selesai bicara dia segera melompat naik ke dalam ruang kereta.
Siapa tahu baru saja dia menyingkap kain tirai kereta, mendadak terlihat
selapis pasir merah telah menyambar ke hadapan wajahnya, buru-buru dia
ayunkan tangannya sembari berteriak: "Sumoay, kau...." belum habis bicara,
tubuhnya sudah roboh terkapar.
Nona berbaju merah itu tertawa terkekeh, buru-buru dia bopong tubuh
pemuda itu dan menyelinap masuk ke dalam ruang kereta.
Seorang lelaki bungkuk segera muncul dari balik hutan, melompat naik ke
atas kereta, mengayunkan pecut dan menjalankan kereta kuda itu meninggalkan
tempat tersebut
Di dalam ruang kereta, tampak seorang gadis berdandan tebal bagai siluman
sedang membelai wajah Bwe Si-jin yang ganteng sambil menghela napas.
"Sute," katanya, "makin lama wajahnya makin tampan saja rasanya,"
"Hmm, bukan cuma tampan, kau belum tahu kalau kemampuannya yang satu
itu jauh lebih hebat* sahut nona berbaju merah itu sambil tertawa.
"Suci, bagaimana kalau kita buktikan kemampuannya itu?"
"Ehm, boleh saja, toh yang kita butuhkan adalah badannya bukan hatinya,
mari kita sekap dia dalam gua Siau-cu-thian-yu-tong dan kita nikmati
kejantanannya."
"Kalau begitu silahkan suci mulai dulu."
Sambil berkata dia mengeluarkan sebutir pil berwarna merah dan dijejalkan
ke mulut Bwe Si-jin, kemudian ia mulai tanggalkan seluruh pakaiannya.
Sementara itu si nona berbaju merah juga telah melucuti seluruh pakaiannya
hingga bugil, lalu membaringkan diri di atas lantai sambil tertawa terkekeh.
Nona berbaju kuning itu melirik sekejap tubuh bagian bawah nona berbaju
merah itu, kemudian tegurnya sambil tertawa: "Suci, hutan bakaumu
tampaknya makin hitam dan tebal, wouw, sungguh merangsang."
Kembali nona berbaju merah itu tertawa.
"Sumoay, selama berapa bulan terakhir aku telah bermain cinta dengan
beberapa orang pendeta asing, bukan saja tenaga murni mereka berhasil
kuhisap, banyak sari perjaka yang telah kuperoleh, coba kau lihat bukankah
milikku bertambah montok dan berkilat?"
"Hahaha... yaa. berapa orang pendeta asing itu memang suka main
perempuan, coba kalau bukan bertemu kita berempat, mungkin orang lain tak
akan sanggup melayani mereka selama berapa menitpun."
"Ya. konon suhu dan susiok mereka jauh lebih jantan dan kuat, sayang
mereka tak pernah menginjakkan kaki di daratan Tionggoan, kalau tidak aku
pingin sekali membuktikan kejantanan mereka."
"Kalau mereka tidak kemari, toh kita bisa ke sana untuk mencari mereka."
"Ya, benar, jika kita sudah kirim bocah ini ke dalam gua, akan kusuruh
berapa orang pendeta asing itu mengajak kita ke sana ... waeh ... coba lihat,
barang miliknya mulai ada reaksi... wouw... tambah besar... waah ... ternyata
barang miliknya memang super besarnya."
Ternyata obat perangsang yang dijejalkan ke mulut Bwe Si-jin sudah mulai
bereaksi, bukan saja "barang"-nya sudah berdiri kaku bagai tombak, bahkan dia
sudah mulai memeluk, meremas dan menggerayangi seluruh tubuh nona
berbaju merah itu.
Semakin lama menonton nona berbaju kuning itu semakin terangsang, buruburu
dia ikut melucuti pakaian sendiri, lalu ujarnya sambil tertawa jalang: "Suci,
tadi kau sudah saksikan dia bermain cinta dengan perempuan lain?"
"Betul, dia berhasil membuat budak itu mati tak bisa hidup tak mampu,
bukan cuma menggeliat saja bahkan merintih sambil berteriak, aku benar-benar
terangsang waktu itu. Aaai, seandainya dia tidak terlalu banyak mengetahui
rahasia perguruan kita, sebetulnya aku pingin berbaikan saja dengan dia,
dengan begitu banyak kesempatanku untuk menikmati barangnya yang gede...."
"Benar, dari sekian banyak lelaki yang meniduri aku. memang rasanya barang
milik dia jauh lebih gede dan keras, mungkin sewaktu meniduriku nanti, dia
paling kuat dan perkasa"
Kereta kuda bergerak cepat dari kota Kim-leng menuju ke selat Sam-shia di
sungai Tiangkang.
Untuk menghindari perhatian orang banyak, selama ini nona berbaju kuning
dan nona berbaju merah itu tak pernah turun dari kereta, sepanjang hari
mereka mengajak Bwe Si-jin bermain cinta dan mengumbar birahi.
Ketika kereta tiba di kaki bukit Wu-san, nona berbaju merah itu
memerintahkan lelaki bungkuk itu untuk menjaga kereta, sementara dia sendiri
bergerak menuju ke atas bukit.
Sementara nona berbaju kuning itu dengan mengempit tubuh Bwe Si-jin yang
sudah tertotok jalan darah Hek-tiam-hiatnya mengikuti dari belakang.
Pada saat itulah dari balik hutan muncul sesosok bayangan manusia, orang
itu tak lain adalah si raja hewan Oh It-siau, dalam sekilas pandang ia segera
mengenali orang yang dikempit nona berbaju kuning itu adalah sahabat
karibnya, Bwe Si-jin.
Tapi dia pun segera mengetahui kalau nona berbaju merah itu tak lain adalah
kakak seperguruan Bwe Si-jin yang bernama Su Kiau-kiau, kenyataan ini
membuat hatinya amat terperanjat
Raja hewan tak ingin bentrok muka secara iangsung dengan rombongan
perempuan itu, sebab dia tahu kepandaian mereka cukup tangguh.
Dia tak tahu Bwe Si-jin hendak dibawa pergi kemana, untuk mengetahui
rahasia tersebut secara diam-diam si raja hewan menguntit terus dari kejauhan.
Selang berapa saat kemudian mendadak dari empat penjuru bergema suara
pekikan aneka binatang yang riuh rendah.
Sadar kalau gelagat tidak menguntungkan nona berbaju merah itu segera
berbisik: "Sumoay, hati-hati!"
Baru berjalan lagi beberapa li, mendadak dari balik semak belukar muncul
dua ekor harimau raksasa yang datang menerkam.
"Binatang!" umpat nona berbaju merah itu gusar.
Dengan melepaskan dua pukulan dahsyat, kedua ekor binatang itu segera
terpental dan tewas dengan perut jebol.
Menyusul kemudian datang serangan yang bertubi-tubi dari aneka macam
binatang buas, dalam keadaan begini terpaksa nona berbaju kuning dan merah
itu melancarkan serangan gencar untuk membela diri.
Su Kiau-kiau tahu pastilah si raja hewan sedang bermain gila dengannya,
dalam marahnya ia segera berteriak lantang: "Hey orang she Oh, kalau punya
nyali ayo keluar, Koh-naynay sudah menunggumu di sini."
Raja hewan sadar bahwa kepandaian silat yang dimilikinya masih bukan
tandingan lawan, agar punya peluang untuk menolong Bwe Si-jin, dia berusaha
keras menahan rasa gusarnya yang membara dan membungkam diri.
Secara beruntun Su Kiau-kiau menghardik lagi beberapa kali, melihat pihak
lawan tak berani tampil, setelah mendengus iapun melanjutkan perjalanannya.
Ketika mereka berdua tiba di sisi air terjun, dilihatnya air yang semula
mengalir turun kini sudah membeku jadi selapis salju tebal, mereka tahu angin
Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
puting berpusing pasti baru saja berhembus di situ hingga udara jadi dingin dan
air menjadi beku.
Setelah masing-masing menelan sebutir pil berwarna merah api, Su Kiau-kiau
berjaga di pintu gua mencegah si raja hewan membuat keonaran, sementara
nona berbaju kuning itu segera menyusup masuk ke dalam gua dengan
kecepatan tinggi.
Tiba di dalam gua, ia menotok bebas jalan darah Hek-tiam-hiat di tubuh Bwe
Si-jin dan melemparkan tubuhnya ke dalam gua kecil, kemudian sambil tertawa
seram ia baru berseru: "Suheng, silahkan kau beristirahat di sini!"
"Sumoay, tempat apakah ini?" tanya Bwe si-jin agak bingung.
"Gua Siau-cut-thian-yu-tong dari perguruan kita."
"Apa, kalian begitu kejam ...."
"Hmm, siapa suruh kau berkhianat?"
"Tapi sumoay...."
"Hey orang she Bwe ... kau telah mengkhianati perguruan, kau tak berhak
memanggil sumoay lagi kepadaku."
"Ni Cheng-bi!" Bwe Si-jin balas mengumpat, "kau perempuan berhati
kalajengking, kejam benar hatimu ... jangan salahkan kalau aku bertindak
kejam kepadamu."
Sembari berkata dia lepaskan satu pukulan.
Ni Cheng-bi mengegos ke samping, lalu dia balas melepaskan satu pukulan.
"Blammm!" Bwe Si-jin segera terbanting ke dinding karang dan jatuh tak
sadarkan diri. Begitulah, semenjak hari itu Bwe Si-jin terkurung di dalam gua kecil itu,
saban hari dia harus mengalami dua kali siksaan karena terjangan angin
berpusing yang membawa hawa dingin, setiap kali merasa lapar, terpaksa dia
harus berusaha menangkap kelelawar untuk mengganjal perutnya.
Raja hewan beberapa kali berusaha masuk ke dalam gua itu untuk menolong
saudara angkatnya, tapi setiap kali menelusuri gua tersebut, belum sampai
berapa kaki, dia selalu mundur teratur karena tak sanggup menahan rasa dingin
yang menusuk tulang.
Dalam keadaan begini, terpaksa dia harus mengurungkan niatnya untuk
menolong Bwe Si-jin, tapi dia tidak berpangku tangan, dia selalu berusaha
mencari anak didik yang bisa dia gunakan untuk melaksanakan pertolongan itu.
Sementara Bwe Si-jin masih melamun sambil membayangkan kisah tragis
yang dialami selama ini, mendadak dari kejauhan terdengar suara gemuruh yang
sangat keras bergema tiba.
Dengan perasaan terkejut Bwe Si-jin membatin: "Aaah, waktu berlalu begitu
cepat, tak nyana sudah tiba saatnya angin puyuh itu menyerang lagi."
Buru-buru dia tempelkan badan di lantai, menghimpun hawa murni
melindungi jantung dan bersiap menghadapi serangan.
Tak selang berapa saat kemudian, angin puyuh disertai suara gelegar yang
memekikkan telinga melanda seluruh ruang gua.
Bwe Si-jin merasa sekujur badannya meski sakit bukan kepalang, namun
jantung dan nadinya berada dalam perlindungan hawa murni sehingga otomatis
penderitaannya tidak terlalu berat, kenyataan ini sangat menggirangkan hatinya.
Dengan susah payah akhirnya terpaan angin puyuh itu berlalu, Bwe Si-jin
seperti orang yang baru menderita sakit parah, merasakan badannya sakit
bercampur linu, dia segera meronta dan berusaha untuk duduk.
Tiba-tiba ia mendengar Cau-ji bertanya dengan penuh rasa kuatir "Paman,
kau baik baik bukan?"
Bwe Si-jin tidak menyangka kalau kondisi Cau-ji tetap prima walaupun baru
saja terserang angin topan, cepat dia menggeleng.
"Tidak, aku tidak apa-apa...."
"Kalau begitu bagus sekali," Cau-ji menghembuskan napas lega, "Paman, ada
baiknya kau beristirahat dulu."
Sembari berkata dia keluarkan sebutir pil Pek-siu-wan dan segera ditelannya.
Terasa ada satu aliran hawa panas muncul dari lambungnya, benar juga, rasa
lapar dan dahaga segera hilang lenyap.
Tak lama kemudian Cau-ji sudah berada dalam posisi tenang.
Ketika mendusin kembali dari semedinya, bocah itu merasakan seluruh
badannya sangat enteng dan bertambah segar, tak tahan pikirnya: 'Aneh benar,
kelihatannya setiap kali habis terbentur badanku dengan dinding karang,
kondisi tubuhku serasa jauh lebih segar dan prima."
Dia mana tahu kalau hawa murni Im-yang-ceng-khi sedang terbentuk di
dalam tubuhnya dan kini semakin berkembang.
la bangkit berdiri, sewaktu menjumpai Bwe Si-jin masih mengatur waktu,
maka dalam menganggurnya dia coba tengok sekeliling ruang gua, tiba-tiba ia
merasa ada bau amis yang dibarengi bayangan hitam bergerak meluncur ke
arahnya, tanpa sadar dia ayunkan tangannya melepaskan sebuah pukulan.
Diiringi suara pekikan aneh di atas dinding karang segera muncul seekor
kelelawar tapi sudah menjadi bangkai dan tubuhnya dalam keadaan hancur
lebur. Cau-ji tertegun, pikirnya: "Sialan, lagi-lagi hewan bermuka jelek ... tempo hari
aku sempat dibuat kaget, sekarang rasakan pembalasanku."
Tentu saja dia tidak tahu, tadi untuk menghindari serangan angin topan
berpusing, kawanan kelelawar itu telah mengungsi keluar gua, tetapi sekarang
setelah keadaan reda, berbondong-bondong kawanan binatang itu terbang balik
ke dalam gua. Kembali selapis bau busuk menerpa ke wajah bocah itu.
Sekali lagi Cau-ji mengayunkan tangannya, lagi-lagi seekor kelelawar
dihantam hingga mampus.
Tak selang berapa saat, serombongan besar bau amis kembali mengerubuti
sekeliling bocah itu, Cau-ji berpekik nyaring, dengan mengeluarkan jurus
pukulan Lak-hap-ciang-hoat dia hajar kawanan kelelawar itu.
Bau anyir darah disertai hancuran bangkai seketika mengotori seluruh ruang
gua itu. Waktu itu Bwe Si-jin sudah selesai bersemedi, dia hanya berdiri di samping
gua sambil menonton bocah itu menunjukkan kebolehannya, diam-diam ia
tertegun bercampur kagum setelah melihat kungfu bocah tersebut, dia tak
mengira dengan usianya yang masih begitu muda ternyata sudah menguasai
pelbagai macam ilmu pukulan.
Mendadak satu ingatan melintas dalam benaknya, dengan perasaan girang
pikirnya: "Bocah ini sangat hebat, kelihatannya kungfu yang dia miliki sudah
lebih dari cukup untuk menghadapi suci serta ketiga sumoayku!"
Dia pun mulai memutar otak, dalam hati ia putuskan untuk membantu
memberi petunjuk kepada bocah itu agar ilmu silatnya bisa maju setingkat lebih
hebat Di dalam anggapannya, apa yang dipelajari Cau-ji kelewat banyak, ilmu silat
gado-gado sangat tak sepadan untuk diunggulkan, sebab setiap perubahan bisa
memunculkan titik kelemahan, dalam pandangan seorang jago sakti, kelemahan
semacam itu bisa menyebabkan kematian.
Entah berapa saat sudah lewat, Cau-ji masih saja memainkan jurus
pukulannya dengan penuh semangat walau gerombolan kelelawar sudah lenyap
semenjak tadi, sedang Bwe Si-jin juga tenggelam di dalam pemikirannya.
Tatkala hawa dingin yang disertai pusaran angin berpusing mulai menyerang
tubuh mereka, kedua orang itu baru tersentak kaget dan sadar kembali.
Bwe Si-jin tak sempat lagi untuk menghindar, buru-buru dia cengkeram
pinggiran gua untuk berpegangan, dengan mengerahkan seluruh tenaga dalam
yang dimilikinya dan pejamkan mata rapat, dia sambut datangnya serangan
angin dingin itu.
Sementara Cau-ji yang masih asyik memainkan ilmu pukulan Yu-liong-patkwa-
ciang tersentak kaget ketika angin puyuh menerjang badannya, dalam kaget
dan terkesiapnya cepat-cepat dia tancapkan kaki ke atas tanah, lalu sambil
mengayunkan tangannya ia lepaskan pukulan untuk menghadang terpaan angin
topan. Ilmu pukulan bocah itu memang tangguh, tapi mana mungkin dia bisa
melawan kekuatan alam yang begitu dahsyat" Tampak badannya gontai ke kiri
kanan diombang-ambingkan amukan angin berpusing.
Masih untung dia bisa memantekkan kakinya di tanah, sambil menggertak
gigi dia hadapi terpaan angin itu dengan sekuat tenaga.
"Blaaammm!" tiba-tiba bergema suara benturan keras, rupanya seluruh
tubuhnya terangkat oleh sapuan angin berpusing itu hingga badannya
menumbuk di atas dinding batu, begitu keras benturan yang terjadi membuat
bocah itu muntah darah dan tidak sadarkan diri.
Untung saja tenaga murni Im-yang-ceng-khi yang dimilikinya sudah mulai
tumbuh sehingga dapat melindungi badannya, kalau tidak, mungkin bocah itu
sudah tewas sejak tadi.
Dengan susah payah akhirnya Bwe Si-jin berhasil juga mempertahankan diri
dari sapuan angin puyuh, ketika serangan telah lenyap dia mulai menengok
sekeliling tempat itu, tapi tak nampak Cau-ji.
Dalam keadaan begini dia tak bisa berbuat lain kecuali buru-buru mengatur
pemapasan dan berusaha memulihkan kembali kekuatan tubuhnya.
Setengah jam kemudian tenaga dalam Bwe Si-jin sudah pulih enam bagian,
maka dia pun menggunakan tangannya untuk menggali sebuah lubang seluas
dua tiga depa agar badannya bisa menerobos keluar.
Setelah mencari beberapa saat akhirnya ia jumpai tubuh Cau-ji menempel di
sisi sebuah tebing, sepasang tangannya menancap di atas dinding sementara
kakinya terkulai lemas, noda darah masih menghiasi ujung bibirnya.
Secepat kilat Bwe Si-jin datang menghampiri, ketika diraba, ia menjumpai
tubuh bocah itu sudah dingin kaku, untung jantungnya masih berdetak, tanpa
terasa dia menghembuskan napas lega.
Buru-buru dia menghimpun tenaga dalam dan menempelkan tangan
kanannya di atas jalan darah Pek-hwe-hiat bocah tersebut, kemudian pelanpelan
membantunya mengatur kekuatan.
Beberapa saat kemudian hawa murni yang disalurkan ke dalam tubuh bocah
itu mendapat sambutan dari hawa murni si bocah, bahkan secara otomatis
kekuatan itu bergerak dan menyebar ke seluruh badan.
Sesaat kemudian terdengar Cau-ji berkeluh lirih, darah hitam menyembur
keluar dari mulutnya.
"Cau-ji, hati-hati" bisik Bwe Si-jin sambil memayang tubuhnya.
"Terima kasih paman" jawab Cau-ji tertawa, sambil berkata dia tarik kembali
tangannya dari atas dinding lalu merebahkan diri.
"Hebat benar bocah ini, ternyata ia sama sekali tidak terluka ..." batin Bwe Sijin
tercengang. Dalam pada itu Cau-ji juga dibuat kebingungan, tanyanya: "Aku masih ingat
dadaku terasa sakit waktu diterjang angin puyuh, lalu aku muntah darah dan
tak sadarkan diri, tapi aneh benar, kenapa aku sama sekali tidak terluka?"
"Kau harus bersyukur karena tidak terbawa hembusan angin puyuh, kalau
tidak, mungkin kau sudah tewas."
"Paman, bagaimana caramu lolos dari kurungan?" kembali Cau-ji bertanya
keheranan. "Hahaha ... tenaga dalamku sudah pulih enam tujuh bagian, bukan pekerjaan
yang sulit untuk keluar dari gua ini."
"Bagus sekali, kalau begitu kita bisa keluar dari sini untuk mencari bibi."
"Tak usah terburu-buru, pusaran angin berpusing itu tampaknya sangat
bermanfaat untuk memulihkan tenaga dalamku, aku ingin bertahan berapa
waktu lagi, jika tenaga dalamku sudah pulih baru kita berangkat."
"Baiklah," Cau-ji manggut-manggut "toh Oh- locianpwe telah berjanji akan
pergi ke pesanggrahan Hay-thian-it-si untuk mengabarkan beritaku, sampai
waktunya mereka pun pasti akan tahu juga tentang kabar beritamu."
"Benar, tugas terpenting yang harus dilakukan sekarang adalah memberi
petunjuk kepadamu untuk berlatih kungfu, Cau-ji, kau masih perjaka bukan?"
"Paman, apa artinya perjaka?"
"Artinya ... Cau-ji, kau belum pernah tidur dengan wanita bukan?"
"Pernah, pernah, Cau-ji sering tidur dengan ibu."
"Hahaha... kalau itu mah tak jadi soal, coba kemari, dengarkan baik-baik."
Maka secara ringkas Bwe Si-jin menjelaskan ilmu Kui-goan-sinkang kepada
bocah itu kemudian mewariskan seluruh kepandaiannya kepada Cau-ji.
Dengan kecerdasan dan kehebatan tenaga dalam yang dimiliki bocah itu, tak
sampai setengah jam kemudian ia telah berhasil hapal di luar kepala kokuat dari
Kui-goan-sinkang tersebut.
Sambil tersenyum Bwe Si-jin segera memuji: "Cau-ji, kau memang bocah
berbakat, mulai sekarang tancapkan sepasang tanganmu ke atas dinding karang
lalu atur napas sesuai dengan apa yang kuajarkan, tak sampai satu jam
kemudian aku jamin pasti akan terjadi satu peristiwa aneh."
"Sungguh?"
"Hahaha ... semenjak perguruanku didirikan, gua ini merupakan tempat
terlarang, tapi justru di sini pula tempat yang paling cocok untuk melatih diri."
"Paman, apa maksudmu?"
"Hahaha ... di kemudian hari kau bakal tahu dengan sendirinya, sayang
tenaga goan-yang milik paman sudah rusak, dengan meminjam kekuatan angin
topan berpusing paling banter cuma bisa pulihkan sebagian tenagaku yang
dicuri Su Kiau-kiau. Sudahlah, waktu sangat berharga, cepatlah mulai berlatih
tenaga dalam."
Selesai berkata ia segera menerobos masuk kembali ke dalam gua.
Setelah menderita kerugian besar tadi, Cau-ji tak berani bertindak gegabah,
buru-buru ia duduk bersila menghadap ke dinding, menghimpun hawa
murninya pada telapak tangan lalu menancapkannya ke atas dinding karang.
Tak selang berapa saat kemudian ia sudah berada dalam keadaan tenang.
Satu jam kemudian ketika Bwe Si-jin selesai bersemedi, ia saksikan tubuh
Cau-ji yang berada di luar gua diselimuti selapis cahaya merah, melihat itu dia
sangat kegirangan.
"Sucouya sekalian dari pergurunan Jit-seng-kau," gumamnya, "selama seratus
tahun terakhir belum ada seorang manusia pun berhasil menguasai Kui-goansinkang,
tapi kini, kepandaian tersebut sudah terwujud di tubuh Cau-ji."
"Sucouya sekalian, tecu berani menjamin dengan nyawa, tecu akan berusaha
melindungi Cau-ji agar bisa menduduki posisi ketua, bersamaan juga bisa
mengubah Jit-seng-kau jadi sebuah perguruan kaum lurus."
Berbisik sampai di situ tidak kuasa lagi cucuran air mata terharu berlinang
membasahi pipinya.
Sudah sepuluh tahun lamanya Bwe Si-jin terkurung di tempat itu, meskipun
banyak siksaan dan penderitaan telah dialami, selama ini dia tak pernah
mengucurkan air mata, sungguh tak disangka dalam satu dua hari terakhir
beberapa kali dia mesti melelehkan air mata. Entah berapa lama sudah lewat....
Mendadak dari kejauhan bergema lagi suara tiupan angin berpusing yang
memekakkan telinga, tampaknya waktu datangnya badai telah tiba.
Cau-ji yang masih bersemedi segera mengerahkan seluruh hawa murninya
untuk mempertahankan diri, dengan menahan rasa sakit yang menyayat di
sekujur badannya, dia biarkan angin topan itu berpusing di sekeliling badannya.
Beberapa kali badannya terangkat oleh pusaran angin kencang itu, tapi setiap
kali dia kerahkan tenaga dalamnya, tubuhnya menjadi tenang kembali, tapi
akibatnya terjadi pergolakan yang hebat di dalam rongga dadanya.
Tapi ia tetap mempertahankan diri, sambil menggertak gigi dia berusaha
mempertahankan tubuhnya.
Akhirnya setelah bersusah payah sekitar satu jam, pusaran angin puyuh itu
mulai mereda, gejolak hawa darah dalam rongga dadanya ikut pula jadi tenang,
ia hembuskan napas lalu melanjutkan semedinya.
Setengah jam kemudian ketika Bwe Si-jin selesai bersemedi dan merangkak
keluar dari gua, ia segera saksikan pakaian yang dikenakan Cau-ji telah hancur
berantakan, namun lingkaran cahaya merah di sekeliling badannya bertambah
tebal, kenyataan ini membuat hatinya amat gembira.
Begitulah, sejak hari itu dia tidak bosan-bosannva memberi petunjuk kepada
bocah itu untuk semakin menyempurnakan tenaga dalamnya.
0oo0 Suara mercon bergema memecahkan keheningan, aneka bunga bwe
berkembang dan menyiarkan bau harum semerbak.
Tahun baru telah tiba.
Pesanggrahan Hay-thian-it-si telah dihiasi dengan sepasang lian di muka
pintu gerbang, namun tahun baru kali ini terasa tidak semeriah tahun kemarin.
Ini disebabkan Cau-ji tidak berada di rumah, bahkan kabar berita Go Hoa-ti
pun seolah lenyap ditelan bumi.
Ong Sam-kongcu beserta dua belas tusuk konde emas berkumpul di ruang
tengah, mereka hanya duduk-duduk dengan wajah termenung.
Sementara sekawanan bocah bermain di seputar halaman, walaupun suasana
tetap ramai namun seakan kehilangan kegairahan.
Pada saat itulah Ong tua si penjaga pintu berlarian masuk dengan tergopohgopoh
sembari berteriak kegirangan: "Kongcu, kabar baik, kabar baik, Cau-ji
sudah ada beritanya!"
Teriakan tersebut segera disambut sorak sorai penuh kegembiraan dari semua
Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penghuni rumah.
Tampak Ong tua diiringi raja hewan Oh It-siau berjalan masuk ke dalam
ruangan dengan langkah lebar.
"Sam-pek," teriak Ong Bu-jin dengan rasa kuatir, "benarkah apa yang kau
ucapkan barusan?"
"Tentu saja benar, kalau tidak percaya tanyakan sendiri kepada Oh-yaya."
Sementara itu si raja hewan agak tertegun juga ketika melihat munculnya dua
puluhan bocah berwajah bersih, ia berseru pula: "Benar, aku mempunyai berita
tentang Cau-ji!"
"Oh, rupanya Oh-locianpwe telah datang berkunjung," kata Ong Sam-kongcu
sambil maju menyambut, "silahkan masuk!"
Tak lama setelah si raja hewan mengambil tempat duduk, Pek Lan-hoa
muncul menghidangkan air teh seraya berkata: "Oh-locianpwe, silahkan minum
teh." "Terima kasih, terima kasih, Ong Sam-kongcu, kau benar-benar orang paling
bahagia di dunia ini, bukan saja punya bini yang rata-rata cantik, anak pun
semuanya hebat, terutama Cau-ji, dia betul-betul bocah luar biasa."
"Terima kasih atas pujian locianpwe."
Raja hewan tahu semua orang terburu ingin mengetahui kabar berita Cau-ji,
maka dia pun berkata lebih lanjut "Kongcu, saat ini Cau-ji berada di bukit Wusan
berlatih silat"
Secara ringkas dia pun menceritakan semua kejadian yang telah berlangsung.
"Locianpwe," ujar Ong Sam-kongcu kemudian setelah selesai mendengar
penuturan itu, "kira-kira butuh berapa lama Cau-ji untuk belajar silat dan
keluar dari gua itu?"
"Kira-kira tiga tahun."
Ong Sam-kongcu segera berpaling ke arah kawanan bocah itu dan ujarnya
sambil tertawa: "Anak-anak, dengarkan baik-baik, mulai hari ini kalian mesti
lebih giat berlatih silat, dua setengah tahun kemudian kita beramai-ramai
mendatangi telaga tersebut dan menonton bagaimana hebatnya si naga sakti,
setuju?" Para bocah pun bersorak sorai menyambut tawaran itu dengan penuh
kegembiraan. Sambil tersenyum kembali Ong Sam-kongcu berkata kepada Si Ciu-ing: "Adik
Ing, Oh-locianpwe dengan menempuh badai salju datang menyampaikan kabar
gembira, coba perintahkan dapur untuk menyiapkan hidangan, hari ini aku
ingin mengajak Oh-locianpwe minum sampai mabuk"
"Kongcu tak usah repot-repot."
Bab V. Bencana pembawa nikmat
Waktu berlalu dengan cepat tanpa terasa bulan Tiong-ciu kembali menjelang
tiba. Menggunakan kesempatan tersebut, Bwe Si-jin melatih kembali ilmu silatnya,
bukan saja kepandaiannya bertambah maju, tenaga dalamnya juga mengalami
kesempurnaan. Di bawah bimbingannya, ilmu tenaga dalam Kui-goan-sinkang yang dipelajari
Cau-ji kembali mengalami kemajuan satu tingkat, kini setiap kali dia bersemedi
maka cahaya merah yang semula menyelimuti badannya, kini berubah menjadi
warna kuning. Setiap kali angin topan berpusing datang menyerang, kini Cau-ji tak usah
menancapkan tangannya lagi ke dalam dinding karang, ia cukup menekan
permukaan tanah, badannya sudah terpantek tenang hingga dia dapat
melanjutkan semedinya.
Menurut penjelasan Bwe Si-jin, asal dia bisa duduk bersila tanpa mesti
berusaha menahan diri tiap kali angin topan datang menyerang, itu berarti
tenaga dalam Kui-goan-sinkangnya telah mencapai tingkat kesempurnaan atau
dengan perkataan lain, itulah saat bagi mereka untuk meninggalkan gua.
Setiap ada waktu senggang, Bwe Si-jin juga mewariskan ilmu "Li-gong-sit-u"
(mengambil benda di tengah angkasa) kepada bocah itu, dengan mengandalkan
kepandaian inilah setiap kali Cau-ji menangkap kelelawar untuk mengganjal
perutnya yang lapar.
Pada mulanya bocah ini merasa sangat tidak terbiasa tapi lama kelamaan
terdorong rasa lapar yang berlebihan, dia pun mulai bisa menerima kebiasaan
tersebut. Tengah hari itu, baru saja mereka berdua selesai bersemedi, tiba-tiba
terdengar seseorang berteriak keras dari luar gua: "Cau-ji, aku adalah si raja
hewan ... Cau-ji ..."
Mendengar teriakan itu, Cau-ji segera berseru dengan perasaan kaget
bercampur girang: "Paman, itu suara dari Oh-locianpwe"
Maka dia pun menyahut dengan keras: "Oh-locianpwe, Cau-ji berada di sini."
sambil berkata ia segera berlari keluar gua.
Bwe Si-jin ikut menerobos keluar dari gua sempitnya dan ikut berlarian
menuju keluar gua.
Ketika keluar dari balik air terjun, mereka berdua segera merasakan matanya
silau sekali oleh pantulan sinar matahari, baru saja mereka pejamkan mata,
terdengar si raja hewan berteriak penuh emosi: "Bwe-Lote, Cau-ji, rupanya
kalian benar-benar berada di sini, cepat tangkap benda ini!"
Mereka berdua segera menyambut lemparan itu, ternyata benda itu adalah
pakaian, kini mereka baru sadar jika tubuh mereka dalam keadaan bugil, maka
buru-buru mereka kenakan baju pemberian itu.
Tiba-tiba terdengar Cau-ji berteriak: "Locianpwe, kenapa kau ajak aku
bergurau...?"
Ternyata pakaian yang dikenakan itu sangat pendek lagi ketat, bukan saja
susah dikenakan, setelah dikenakan pun ketatnya sampai susah bernapas.
Raja hewan segera tertawa tergelak.
"Cau-ji, kau jangan gusar, ibumu yang titipkan pakaian itu agar diserahkan
kepadamu, mana aku tahu kalau badanmu bertambah jangkung dan kekar?"
Gelak tertawa pun segera bergema memecahkan keheningan.
Setelah puas berhaha-hihi, kembali si raja hewan berkata: "Lote, Cau-ji, kalian
pasti sudah lama tak makan enak, mumpung hari ini adalah hari Tiong-ciu, mari
kita minum beberapa cawan arak."
Sambil berkata dia keluarkan beberapa macam hidangan ditambah dua poci
arak wangi. Kemudian kepada Cau-ji katanya lebih lanjut: "Anak Cau, usiamu belum
genap tiga belas tahun, kau dilarang minum arak, makanlah yang banyak dan
gunakan air saja sebagai pengganti arak."
"Tidak apa-apa, locianpwe, bisakah kau menceritakan keadaan keluargaku?"
pinta Cau-ji sambil tersenyum.
"Hahaha ... Cau-ji, semua saudaramu memanggil "yaya" kepadaku,
seharusnya kau juga memanggil kakek padaku."
"Baik yaya, Cau-ji menghormati satu cawan air untukmu," sambil berkata dia
buka mulutnya dan menghisap air langsung dari mata air, sekilas panah air
segera menyembur masuk ke dalam mulutnya.
Melihat kesaktian bocah itu, si raja hewan terkejut bercampur gembira,
teriaknya tak tahan: "Cau-ji, tampaknya ilmu silatmu mengalami kemajuan yang
amat pesat." seraya berkata ia melirik sekejap ke arah rekannya.
Bwe Si-jin segera tersenyum, setelah meneguk arak satu tegukan, katanya
sambil tertawa: "Loko, aku telah mewariskan ilmu Kui-goan-sinkang kepadanya"
Tiba-tiba mencorong sinar tajam dari balik mata raja hewan, dengan wajah
berubah hebat hardiknya: "Jadi kau ... kau adalah anggota perkumpulan Jitseng-
kau (tujuh rasul)?" sambil bicara ia melompat bangun dan siap-siap
menghadapi serangan.
"Benar" sahut Bwe Si-jin sambil tertawa getir "siaute memang anggota Jitseng-
kau." Dengan wajah hijau membesi si raja hewan segera membuat satu garis
memanjang di atas tanah, kemudian katanya lagi: "Bwe Si-jin, mulai hari ini kita
putus hubungan, masing-masing tidak saling mengenal lagi."
Gemetar keras tubuh Bwe Si-jin mendengar ucapan tersebut, tiba-tiba ia
mendongakkan kepalanya dan tertawa seram, kemudian tanpa mengucapkan
sepatah kata pun, segera berlalu meninggalkan tempat itu.
Perubahan peristiwa ini berlangsung amat cepat dan singkat, untuk sesaat
Cau-ji jadi gelagapan dan tidak tahu apa yang mesti diperbuat
Raja hewan menghela napas panjang, setelah menenteramkan perasaan
hatinya, ia berkata: "Cau-ji, perkumpulan Jit-seng-kau adalah sebuah organisasi
yang banyak melakukan kejahatan dalam dunia persilatan di masa lalu, untung
sekali Ong-yayamu memimpin perlawanan, dengan usahanya yang luar biasa
perkumpulan tersebut berhasil beliau tumpas."
"Mimpi pun aku tak menyangka kalau Bwe Si-jin ternyata juga merupakan
anggota Jit-seng-kau, tak aneh kalau sucinya Su Kiau-kiau memiliki ilmu silat
yang luar biasa hebatnya. Aai ...! Kelihatannya dunia persilatan kembali akan
dilanda kekacauan."
"Tapi yaya ... Cau-ji rasa paman Bwe tidak seperti orang jahat, bukankah dia
pun dikurung dalam gua" Dia pasti bukan orang jahat," bisik Cau-ji.
"Anak kecil, kau belum punya pengalaman dan tidak tahu betapa keji dan
liciknya orang persilatan, siapa tahu dia memang disekap di situ lantaran
rebutan posisi ketua Jit-seng-kau dengan kakak seperguruannya Su Kiau-kiau?"
"Tapi... paman Bwe baik sekali orangnya, masa dia orang jahat?"
Raja hewan tidak ingin berdebat lebih jauh, dia segera mengalihkan
pembicaraan ke soal lain, katanya: "Cau-ji, setelah bersantap, masuklah kembali
ke gua untuk berlatih ilmu, aku mesti laporkan kejadian ini kepada ayah ibumu
agar mereka tidak sampai dicelakai Bwe Si-jin."
Selesai berkata, ia segera pergi meninggalkan tempat itu.
"Yaya " teriak Cau-ji, tapi ketika dilihatnya kakek itu tidak menggubris,
akhirnya dia pun menghela napas panjang.
la tidak menyangka sebuah pertemuan yang baik akhirnya mesti bubar dalam
suasana tidak menggembirakan.
Apa jadinya bila suatu hari pamannya bertemu dengan yayanya sehingga
terjadi pertarungan" Siapapun yang terluka, baginya tetap mendatangkan
kedukaan yang mendalam.
Berpikir sampai di situ, perasaan hatinya jadi tak tenang, gumamnya: "Aku
harus minta ayah untuk menjadi penengah, aah betul! Apa salahnya kalau
kubereskan dulu masalah ini, kemudian baru balik kemari melanjutkan
latihannya"''
Begitu mengambil keputusan, dia pun berlarian menuju ke bawah bukit
Ketika tiba di punggung bukit, mendadak dari sisi sebelah kanan hutan
terdengar suara orang sedang merintih sambil berteriak keras.
Sebagai seorang bocah berjiwa pendekar, Cau-ji segera menghentikan
langkahnya sambil pasang telinga.
la segera mendengar suara gemericit yang nyaring bergema dari balik hutan,
di antaranya kedengaran juga suara dengusan napas seorang lelaki dan suara
rintihan seorang wanita.
"Aduuh ... koko ... aduh ... senjatamu ... senjatamu begitu ganas seperti
seekor naga sakti... aku ... aku sudah tidak tahan"
"Hehehe ... naga sakti berusia ribuan tahun milik koko akan melakukan
pembunuhan besar-besaran hari ini, kecuali kau merengek minta ampun."
"Aduuuh... aaah"
Cau-ji hingga detik itu hanya merupakan seorang bocah kemarin sore yang
masih berbau kencur, tentu saja dia tidak paham arti dari teriakan laki
perempuan itu, dengan perasaan tertegun pikirnya: "Sungguh aneh, rintihan
perempuan itu macam orang hampir sekarat, kenapa dia masih memanggil
musuhnya koko?"
Dengan penuh rasa ingin tahu dia berjalan mendekat dan mengintip dari balik
semak. Tampak sepasang muda mudi dalam keadaan telanjang bulat sedang
bergumul di atas permukaan rumput, setiap kali lelaki itu menggoyangkan
tubuhnya naik turun, perempuan itu segera menggeliatkan badannya kian
kemari sembari menjerit dan merintih.
Makin dipandang Cau-ji merasa semakin tak tahan, akhirnya dia melompat
keluar dari balik semak belukar sambil bentaknya: "Berhenti!"
Padahal waktu itu sepasang laki perempuan itu sedang mencapai puncak
kenikmatan, bila terlambat sedetik lagi mungkin keduanya sudah mencapai
puncak kepuasan, begitu mendengar hardikan Cau-ji yang nyaring, kontan
kedua orang itu melompat bangun dengan rasa kaget.
Kedua orang itu sebenarnya hanya rakyat dusun di bawah bukit sana, mereka
memang sengaja berjanji untuk bermain cinta di hutan agar perbuatan serong
mereka tidak diketahui pasangannya sendiri.
Bentakan tersebut tentu saja mengejutkan mereka berdua, disangkanya
perbuatan serong mereka telah ketahuan, tanpa membuang waktu lagi lelaki itu
segera kabur terbirit-birit dari situ dalam keadaan bugil.
Sebaliknya perempuan itu baru saja merangkak bangun dari tanah, ketika
melihat orang yang muncul hanya seorang pemuda asing, kontan dia sambar
bajunya seraya mengumpat: "Sialan lu! Lagi enak-enaknya aku menelan
mentimun, kamu datang mengganggu ... huuh, padahal aku sudah hampir
mencapai puncaknya"
Sambil mengomel tiada hentinya perempuan itu segera berlalu dari tempat
tersebut Kini tinggal Cau-ji masih berdiri melongo, dia tidak habis mengerti kenapa
orang malah mengumpatnya, padahal niat dia hanya menolong jiwa perempuan
itu" Sambil menggelengkan kepalanya berulang kali ia lanjutkan kembali
perjalanannya, mendadak satu ingatan melintas lewat, tiba-tiba saja ia teringat
kembali dengan ucapan lelaki tadi tentang "naga sakti berusia seribu tahunnya,
sambil berseru tertahan buru-buru dia berbelok dan mengambil jalan menuju ke
arah telaga. Rupanya secara tiba-tiba ia teringat kembali dengan naga sakti yang berdiam
dalam telaga, ia berniat sekalian membasmi binatang tersebut agar tidak
mencelakai orang.
Berapa li sebelum mencapai tepi telaga, tiba-tiba dari kejauhan ia mendengar
ada suara orang menjerit kaget
Waktu itu jam menunjukkan pukul dua belas malam, langit yang gelap hanya
disinari rembulan yang redup, walau begitu, dengan kesempurnaan tenaga
dalam yang dimiliki Cau-ji, dia dapat menangkap suara jeritan itu dengan sangat
jelas. Tergopoh-gopoh bocah itu mempercepat langkahnya menghampiri asal suara
jeritan itu. Tiba di sisi telaga, ia saksikan ada dua belas orang bocah laki dan bocah
perempuan berkumpul di situ menemani seorang gadis remaja, saat itu mereka
sedang memanggang daging.
Rupanya mereka adalah dua belas orang pelayan dari perkumpulan Jit-sengkau
yang sedang berpesiar menemani tuan putrinya.
Jangan dilihat kedua belas orang bocah laki dan perempuan itu masih berusia
tujuh delapan belas tahunan, bukan saja wajah mereka rata-rata tampan dan
cantik, ilmu silatnya hebat dan hatinya sangat telengas.
Dalam perkumpulan Jit-seng-kau berlaku sebuah peraturan yang tak tertulis,
yakni bila ada salah seorang di antara mereka yang berkhianat, maka bila dia
seorang pria maka pada akhirnya lelaki itu akan mati kehabisan cairan mani
lantaran digilir habis-habisan oleh keenam orang gadis cantik itu.
Sebaliknya jika si penghianat adalah seorang perempuan, dia pasti akan mati
digilir keenam orang pria tampan itu.
Karena kekejaman dan kebuasan mereka itulah di dalam perkumpulan Jitseng-
kau dikenal sepatah kata yang sangat populer yakni "Lebih gampang
menjumpai raja neraka ketimbang bertemu setan cilik".
Kedua belas orang laki wanita ini memang hasil didikan ketua serta kedua
wakil ketua Jit-seng-kau, bukan saja sulit dihadapi, bila kurang berhati-hati bisa
jadi nyawa akan jadi taruhan.
Su Kiau-kiau maupun keempat suci-sumoaynya tentu saja juga tahu akan
kebuasan serta ketelengasan kedua belas orang kepercayaannya, tapi mereka
sama sekali tak menggubris, mereka sengaja mengumpak mereka hingga
semakin berani melakukan hal-hal yang sadis.
Begitulah, pada malam itu mereka bertiga belas sedang bersantai di tepi telaga
sambil memanggang daging dan minum arak, tak selang satu jam kemudian
kawanan muda mudi itu sudah mulai mabuk.
Pada saat itulah tiba-tiba tampak gadis berdandan sebagai tuan putri yang
berbaju merah, berwajah cantik dan berusia tiga empat belas tahunan itu
berseru dengan nyaring: "Jangan minum lagi, kalau dilanjutkan, kita tak bisa
pulang ke istana!"
Ketua para gadis cantik So Giok-ji segera menyahut: "Baik, baik, kita tidak
minum lagi, engkoh Liong, mari kita berkumpul dan adakan permainan
bersama." Sambil berkata dia segera mengerling memberi tanda.
Ketua kaum lelaki Yau Ji-liong segera menanggapi, ia tertawa tergelak:
Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hahaha ... baiklah, tuan putri, mari kita bermain hembusan angin puyuh!"
"Baik."
"Agar permainan tambah asyik, maka setiap orang yang terhembus jatuh, dia
mesti melepaskan satu macam barang yang dikenakan, bagaimana" Setuju?"
Kawanan bocah laki dan perempuan itu segera bersorak sorai menyatakan
setuju. Hanya si tuan putri Su Gi-gi yang kelihatan masih sangsi.
Melihat itu So Giok-ji segera berbisik: "Tuan putri, di sini tak ada orang luar,
apalagi kau selalu paling tenang, bukankah tiap kali bermain tiupan angin
topan, kau selalu menang"''
Su Gi-gi termenung berpikir sebentar, merasa apa yang dikatakan ada
benarnya juga maka dia pun mengangguk tanda setuju.
Kawanan muda mudi itupun mulai mengumpulkan dua belas batu besar yang
ditata menjadi satu lingkaran bulat masing-masing orang duduk di atas batu itu
dan memandang ke arah sucinya sambil tertawa cekikikan.
Tampak Su Kiau-kiau menyapu sekejap kawanan muda mudi itu, tiba-tiba
serunya dengan suara lantang: "Angin besar berhembus!"
"Meniup apa?" serentak muda mudi itu bertanya.
"Meniup bocah lelakil" sahut Su Kiau-kiau sambil bergerak secepat kilat
merebut posisi yang di tempati Yau Ji-liong.
Menurut aturan main, barang siapa ditunjuk kena tiupan maka dia mesti
bergeser ke posisi yang lain, bila gerakan tubuhnya lamban sehingga tidak
berhasil merebut posisi baru maka orang itu dianggap kalah dan dia mesti
melepaskan semacam barang yang dikenakan.
Tampak seorang bocah lelaki yang tidak berhasil merebut posisi mundur
selangkah ke belakang, kemudian sambil tertawa dia lepaskan ikat kepalanya,
setelah itu kembali teriaknya: "Angin besar berhembus!"
"Meniup apa?"
"Meniup orang yang punya rambut!"
Setelah terjadi kegaduhan akhirnya So Giok-ji yang gagal merebut posisi,
sambil tertawa cekikikan dia pun melepaskan jubah luarnya.
Begitu pakaian dilepas, tempik sorak pun segera bergema gegap gempita.
Ternyata begitu dia lepaskan jubah luarnya, terlihatlah tubuh bagian dalamnya
yang sama sekali tidak mengenakan apa-apa alias dia berada dalam keadaan
bugil. Dengan tubuh telanjang bulat So Giok-ji berteriak nyaring: "Angin besar
berhembus!"
"Meniup apa?"
"Meniup orang yang tak punya perasaan."
Semua orang tertawa terbahak-bahak, ternyata tak seorang pun di antara
mereka yang bergeser.
Si tuan putri segera berseru sambil tertawa: "Giok-ji, kali ini taktikmu tidak
jitu...." Sambil tertawa getir So Giok-ji pun melepaskan sepasang sepatunya.
"Angin besar berhembus!"
"Meniup apa?"
"Meniup bocah lelaki!"
Begitulah, permainan pun bergulir tiada hentinya, tatkala rembulan sudah
berada tepat di tengah angkasa, kedua belas orang muda mudi itu boleh dibilang
sudah berada dalam keadaan bugil.
Su Gi-gi sendiri pun ikut tertiup sebagian besar bajunya hingga kini yang
tersisa hanya pakaian dalamnya yang berwarna biru muda.
Melihat lekukan badan si tuan putri yang begitu montok dan indah, keenam
orang pemuda itu bukan saja melototi terus tubuh lawan tanpa berkedip,
bahkan kentara sekali kalau tubuh bagian bawahnya sudah pada bangun berdiri
dengan kakunya.
Melihat itu si tuan putri segera berseru: "Sudah ... sampai di sini saja, kalian
boleh bermain gila!"
Diiringi sorak sorai yang amat nyaring kedua belas orang muda mudi itu
segera mencari pasangan masing-masing dan mulai berbuat intim.
Pada mulanya pihak lelaki yang berada di atas dan si wanita berada di bawah,
tapi sesaat kemudian pihak wanita yang berada di atas dan si lelaki berada di
bawah, bukan saja banyak variasi yang digunakan, tampaknya semua orang
sudah berpengalaman sekali dalam melakukan hubungan kelamin.
Tiba-tiba terdengar So Giok-ji berteriak keras: "Sekarang berganti pasangan!"
Enam pasang muda mudi segera melompat bangun dan berganti pasangan,
kemudian melanjutkan kembali permainannya saling menunggangi lawan
jenisnya. Siapakah Su Gi-gi itu" Ternyata dia adalah anak haram Su Kiau-kiau,
sepuluh tahun berselang Su Kiau-kiau telah menculik Bwe Si-jin dan
mengirimnya ke gua, sepanjang perjalanan secara beberapa hari mereka telah
melakukan hubungan intim yang tak terhitung banyaknya, bocah perempuan itu
tak lain adalah hasil dari hubungan tersebut.
Tatkala mengetahui dirinya hamil, sebenarnya Su Kiau-kiau punya rencana
untuk menggugurkannya, tapi niat itu dicegah ketiga orang sumoaynya, alasan
mereka, di kemudian hari mereka bisa gunakan si bocah sebagai sandera untuk
memaksa Bwe Si-jin berbakti lagi terhadap perguruan Jit-seng-kau.
Itulah sebabnya Su Gi-gi berhasil lolos dari kematian dan tumbuh jadi bocah
remaja. Di bawah bimbingan dan didikan secara langsung dari Su Kiau-kiau
berempat, meskipun Su Gi-gi baru berusia tiga empat belas tahunan namun
ilmu silatnya sudah sangat hebat.
Perkumpulan Jit-seng-kau memang tersohor sebagai perkumpulan kaum
wanita bejat, boleh dibilang kesibukan mereka setiap harinya hanya berbuat
intim atau berbuat cabul sesama anggota, bagi Su Gi-gi kejadian tersebut sudah
sangat terbiasa dan tidak asing baginya.
Meskipun hingga hari itu Su Gi-gi masih bisa mempertahankan
keperawanannya, tak urung perasaan hatinya terpengaruh juga oleh adegan
mesum yang terpampang di depan matanya, diam-diam ia sendiri mulai merasa
terangsang dan sudah timbul pikiran untuk ikut "mencicipinya".
Apalagi dalam kondisi sekarang ini, dimana dua belas orang anak buahnya
sedang melangsungkan hubungan kelamin secara massal di hadapannya,
dimana bukan saja banyak variasi yang diperagakan, bahkan berulang kali
berganti pasangan, adegan ini membuat seluruh badannya jadi panas dan susah
untuk ditahan. Gelora hawa darah yang membara membuat dengus napasnya ikut memburu,
paras mukanya jadi merah padam sementara sepasang matanya mengawasi
terus adegan mesum yang masih berlangsung di hadapannya.
Makin dilihat hatinya makin tersiksa, semakin hatinya tersiksa dia semakin
pingin melihat, apa mau dibilang, ibu dan ketiga bibinya telah berpesan berulang
kali, sebelum nadi Jin-meh dan tok-mehnya tembus, dia tak boleh kehilangan
keperawanannya.
Dalam keadaan terangsang hebat hingga badannya seperti terbakar, hanya
satu cara yang bisa dilakukan Su Gi-gi sekarang yakni menceburkan diri ke
dalam telaga untuk berendam.
Ternyata cara ini sangat mujarab, setelah berendam sejenak dalam air dingin,
kesadarannya pulih kembali, selain napsu hilang, hatipun jadi tenang, maka dia
pun berendam lebih jauh.
Sementara itu tertawa cabul, rintihan jalang masih berlangsung dengan
serunya di tepi telaga, sekalipun kini dia sudah berendam dalam air, bukan
berarti pandangan matanya lolos dari pemandangan merangsang yang
terpampang di depan mata.
Pada saat itulah ... tiba-tiba ia menyaksikan timbulkan arus air berpusing
yang sangat dahsyat muncul dari dasar telaga, kejadian ini segera membuatnya
tertegun. Sementara dia masih termangu, pusaran air berputar makin kencang dan
makin melebar bahkan sudah mulai mendekati permukaan telaga, saat itulah Su
Gi-gi mulai panik dan terkesiap.
Sementara dia sedang menduga bakal munculnya makhluk aneh dari dasar
telaga, tahu-tahu naga sakti berusia ribuan itu sudah muncul di hadapannya
sambil mengeluarkan suara pekikan yang sangat mengerikan.
Biarpun titik kelemahan di tubuh naga sakti itu sudah terluka, namun dia tak
ingin kehilangan kesempatan "menghisap sari rembulan" yang hanya
berlangsung setahun satu kali, hari ini dia muncul kembali untuk mengulangi
kembali hal yang sama.
Tapi begitu muncul di permukaan dan melihat di tepi telaga ternyata terdapat
banyak "mangsa", dalam girangnya makhluk itupun berpekik nyaring.
Su Gi-gi sangat terperanjat, dalam terkejut bercampur ngerinya buru-buru dia
menyelam ke dalam air.
Kemunculan makhluk raksasa itu membuat suasana di tepi telaga jadi kalut,
dalam terkejut dan paniknya masing-masing melompat bangun dari tubuh
pasangannya dan kabur terbirit-birit dari situ.
Apa mau dibilang ternyata ada seorang gadis yang masih tertinggal di situ,
tampaknya rasa takut dan ngeri yang berlebihan membuat badannya bukan saja
gemetar keras, bahkan terjadi kejang-kejang khusus di sekitar lubang surganya.
Akibat kejang yang menyerang, ototnya jadi kaku dan segera "menggigit" kuatkuat
senjata "tombak" pasangannya yang masih menindih di atas tubuhnya.
Bisa dibayangkan apa jadinya saat itu, melihat "tombaknya "tergigit" hingga
tak bisa lepas, tergopoh-gopoh bocah lelaki itu berteriak: "Adik Hoa, jangan
main-main, ayo cepat lepaskan gigitanmul"
Sembari berkata dia cabut keluar tombaknya sekuat tenaga.
Gadis itu semakin panik, tergopoh-gopoh dia rentangkan sepasang pahanya
lebar-lebar agar sang pemuda bisa mencabut keluar senjatanya, sayang makin
panik gadis itu makin kencang "gigitan" liang surganya atas milik pemuda itu.
Pada saat itulah si naga sakti telah menongolkan kepalanya menghampiri
mereka, dengan sekali hisapan, diiringi jeritan ngeri yang menyayat hati,
sepasang muda mudi yang masih menempel jadi "satu tubuh" itu terhisap
masuk ke dalam perut makhluk tersebut.
Rekan-rekan lainnya jadi amat gusar melihat peristiwa tragis itu, sambil
membentak serentak mereka lepaskan pukulan dahsyat ke tubuh naga.
Sayang kulit tubuh naga itu kuat bagaikan baja, bukan saja serangan itu
gagal melukainya, malah sebaliknya justru memancing sifat liarnya.
Sementara itu Su gi-gi sudah muncul kembali di atas permukaan air, melihat
kegarangan naga sakti itu dia segera membentak nyaring sambil melepaskan
sebuah pukulan ke lambung binatang itu.
Merasa kesakitan naga sakti itu berpekik nyaring, tiba-tiba ia membalikkan
badan sambil menyerang gadis itu.
Buru-buru Su gi-gi melepaskan pukulan sambil menyingkir ke samping.
Tentu saja gerak geriknya sewaktu dalam air tidak segesit di atas daratan,
sekalipun tubuh nona itu tidak tertumbuk telak, namun tenaga sambarannya
membuat badannya mencelat hampir beberapa kaki jauhnya.
Muda mudi yang berada di tepi telaga serentak mengambil batu dan
menyambitkan ke lambung naga itu.
Sambitan yang dilancarkan serentak nampaknya membuat naga itu kesakitan,
lagi-lagi dia berbalik menyerang ke tepi telaga.
Tenaga bocah-bocah itu mana mungkin bisa menangkan kekuatan seekor
naga raksasa" Tidak sampai seperminum teh kemudian, tinggal empat orang
bocah yang selamat dari hisapan makhluk itu.
Sambil menjerit kaget keempat bocah perempuan yang masih hidup serentak
melarikan diri dari situ.
Lagi-lagi naga sakti itu pentangkan mulutnya sambil menghisap, seorang
bocah perempuan kembali terhisap ke perut makhluk itu.
Di pihak lain, Su Gi-gi merasakan gejolak hawa darah yang amat dahsyat
dalam rongga dadanya, nyaris dia jatuh pingsan karena sapuan makhluk itu,
sadar kalau usus perutnya terluka, diam-diam ia berenang menuju ke tepian.
Di saat yang sangat kritis itulah mendadak terdengar Cau-ji membentak
gusar: "Binatang, jangan melukai orang!"
Sambil menghardik, ia sambit sebutir batu besar ke bagian kepala naga sakti
itu. Bentakan keras membuat si naga menghentikan tubuhnya, tapi sambitan
batu yang menyusul tiba membuat makhluk itu mengerang kesakitan.
Menggunakan kesempatan itu dua orang gadis yang nyaris dimakan naga itu
terbirit-birit melarikan diri ke tempat kejauhan.
Melihat hasil tangkapannya terlepas, naga sakti itu meraung gusar, kini dia
menerjang ke arah Cau-ji.
Bocah itu membentak gusar, sambil melepaskan sebuah pukulan ke perut
naga itu dia menyingkir ke samping.
Serangan tersebut dilepaskan tanpa menimbulkan suara, tapi akibatnya
sangat luar biasa, tampak naga sakti itu bergulingan di atas air sambil meraung
kesakitan, sekuat tenaga dia pentang mulutnya sembari menghisap.
Cau-ji merasakan betapa kuatnya tenaga hisapan itu, meski bisa menghindar,
dia kuatir binatang itu akan semakin kalap, maka sambil bulatkan tekad ia
biarkan badan sendiri dihisap.
Su Gi-gi serta dua orang gadis yang berada di telaga sangat kaget melihat
kejadian itu, tak tahan mereka menjerit tertahan.
Ketika tubuh Cau-ji yang terhisap mencapai atas kepala naga itu, tiba-tiba ia
meronta sambil melejit ke samping kemudian melepaskan sebuah bacokan
langsung ke mata kanannya yang pernah dipatuk burung sakti.
Sebagaimana diketahui, sudah bertahun-tahun lamanya Cau-ji melatih diri di
dalam gua melawan daya hisap angin berpusing yang maha dahsyat itu, dengan
dasar latihan macam itu, bagaimana mungkin ia bisa takut dengan tenaga
hisapan seekor naga"
Diiringi pekikan keras, bola mata makhluk itu segera terhajar telak hingga
hancur berantakan, percikan darah segar memancar ke empat penjuru.
Tampaknya makhluk itu tidak menyangka kalau lawannya memiliki ilmu silat
begitu dahsyat, sadar bukan tandingan, buru-buru ia melarikan diri dengan
menyelam ke dasar telaga.
Cau-ji mendengus dingin, hardiknya: "Binatang, jangan harap bisa kabur!"
Kembali sebuah pukulan dahsyat dilontarkan.
Setelah mengalami kerugian besar karena serangan Cau-ji, kali ini makhluk
aneh itu bertindak lebih cerdik, buru-buru dia menghindar dari datangnya
ancaman. Su Gi-gi begitu melihat ada peluang untuk menyerang, ditambah lagi ia
dendam karena harus kehilangan nyawa sepuluh orang anak buahnya,
menggunakan kesempatan itu sebuah pukulan kembali dilancarkan menyerang
lambung binatang itu.
Gempuran keras membuat naga sakti itu meraung gusar, lagi-lagi dia
menumbukkan kepalanya ke arah Su Gi-gi.
"Cepat menghindar!" buru-buru Cau-ji berteriak sambil bergerak menghampiri
nona itu. Begitu tiba di sisinya, bocah itu langsung merangkul pinggangnya dan
menariknya menyelam ke dasar telaga.
Selama hidup Su Gi-gi belum pernah disentuh lelaki, dia jadi malu bercampur
gusar telah melihat pinggangnya dirangkul seorang pemuda berdandan aneh.
Seandainya waktu itu bukan lagi menyelam, mungkin dia sudah menghardik
penuh amarah. Tiba-tiba terjadi getaran dahsyat yang muncul dari permukaan telaga, begitu
dahsyat getaran itu membuat napasnya sesak dan nyaris pingsan, gadis itu tahu
getaran tersebut pasti ditimbulkan oleh naga sakti itu.
Sekarang dia baru merasa berterima kasih, untung pemuda itu menariknya ke
dalam air, coba kalau tidak, entah apa yang bakal terjadi.
Setelah menyelam cukup dalam ke dasar telaga, Cau-ji berbelok ke samping
lalu munculkan diri lagi di atas permukaan.
Buru-buru Su Gi-gi meronta dan melepaskan diri dari rangkulan pemuda itu.
"Cepat tahan napas!" tiba-tiba Cau-ji berbisik lagi, rupanya dia tahu kalau si
naga telah menemukan tempat persembunyiannya, segera dia tarik gadis itu
menyelam lagi ke dalam air.
Benar juga, baru saja mereka tiba di dasar telaga, kembali terjadi getaran
dahsyat di atas kepala mereka.
Kini Su Gi-gi benar-benar ketakutan, saking ngerinya dia merasakan
jantungnya berdebar keras.
Setelah berputar satu lingkaran, Cau-ji muncul kembali di atas permukaan
telaga. "Berapa lama kau bisa menahan napas?" terdengar pemuda itu berbisik lagi
sambil menatap wajah nona itu lekat-lekat.
Su Gi-gi merasa sangat tegang, terutama setelah mengamati wajah lawan yang
begitu tampan, sahutnya agak gelagapan: "Mungkin bisa bertahan seperminum
teh." Cau-ji sangat kegirangan, kembali ujarnya: "Kau berani menonton aku bantai
naga itu?"
Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bantai naga" Jadi makhluk aneh itu seekor naga?" berubah hebat paras
muka Su Gi-gi. Begitu mendengar gadis itu menjerit kaget, Cau-ji tahu bakal celaka, buruburu
bentaknya: "Tahan napas!"
Sambil berkata dia menyelam lagi ke dalam telaga.
Waktu itu Su Gi-gi sedang gugup bercampur panik, dia tak sempat menutup
pernapasannya, begitu menyelam, air segera masuk ke dalam mulutnya
membuat dia meronta-ronta.
Dulu, ketika masih berada di pesanggrahan Haythian-it-si, Cau-ji sudah
sering mempunyai pengalaman menghadapi situasi seperti ini, maka sembari
melanjutkan gerakannya menyelam, dia tempelkan tubuh sendiri ke dada si
nona. Bukan hanya begitu, dia pun tempelkan mulutnya ke bibir gadis itu sambil
pelan-pelan menyalurkan hawa murninya.
Sebenarnya Su Gi-gi sudah mengayunkan tangannya untuk melepaskan
pukulan, tapi ketika dirasakan dadanya yang semula sesak kini jauh lebih lega
dan enak, sadarlah dia kalau pemuda itu sedang membantunya mengalirkan
hawa murni, tanpa sadar tangan kanannya segera dirangkulkan ke bahu lawan.
Pada saat itulah getaran dahsyat kembali bergema dari permukaan air, saking
takutnya Su Gi-gi segera peluk tubuh Cau-ji erat-erat.
Pikiran Cau-ji saat itu hanya bagaimana selamatkan orang, meskipun dipeluk
seorang gadis cantik, dia sama sekali tak punya pikiran cabul.
Sekali lagi dia munculkan diri di belakang punggung sang naga sembari
berganti napas.
Dengan tersipu-sipu Su Gi-gi melepaskan diri dari pelukan pemuda itu, wajah
Cau-ji yang tampan membuat perasaan hatinya semakin bergolak, namun diamdiam
dia merasa kagum juga dengan kejujuran pemuda itu.
Tentu saja Su Gi-gi tidak menyangka kalau usia Cau-ji waktu itu baru dua
belas tahun lebih, bagaimana mungkin ia bisa berpikir ke soal yang satu itu"
"Kau tak apa-apa bukan?" bisik Cau-ji segera menghembuskan napas
panjang. "Tidak apa-apa, terima kasih!"
Cau-ji segera merangkul kembali pinggangnya sambil berbisik: "Ayo
berangkat, lihat bagaimana caraku membantai naga itu!"
Dengan wajah bersemu merah karena malu Su Gigi merangkul pinggang
pemuda itu erat-erat, setelah menahan napas dia ikut mengawasi situasi di
sekeliling telaga.
Sambil memeluk gadis itu, pelan-pelan Cau-ji mendekati tubuh makhluk
raksasa tersebut, ketika diamati lebih jelas, betul juga, ia saksikan pada
lambung tengah si naga yang berwarna lingkaran putih tertancap sebilah pisau
belati. Cau-ji segera menuding ke arah pisau belati itu, melihat hal tersebut Su Gi-gi
segera berpikir "Ooh, rupanya dia sudah melukai makhluk itu, tak nyana dengan
usia semuda itu ternyata memiliki ilmu silat yang luar biasa hebatnya."
Tanpa terasa dia manggut-manggut tanda telah melihatnya.
Dengan tangan kanannya Cau-ji menggenggam gagang pisau itu, kemudian
sambil mengerahkan tenaga dalamnya dia tarik pisau itu ke bagian bawah
lambung sang naga dan merobeknya lebar-lebar.
Terluka parah pada bagian tubuh yang mematikan, naga sakti itu meraung
keras, begitu dahsyat pekikan itu membuat dua belah tebing di sisi telaga itu
sampai ikut bergetar keras.
Gelombang ombak segera menggunung, arus menyembur mencapai ketinggian
berapa kaki. Situasi saat itu sangat mengerikan, sebab naga itu bukan saja meronta, dia
pun meraung dan menggeliat dengan hebatnya.
Tiba-tiba Su Gi-gi melihat munculnya sebutir bola api sebesar kepala bayi di
dalam lambung naga itu, hatinya tergerak, pikirnya: "Jangan-jangan bola api itu
adalah Lwe-wan (pil inti) seperti apa yang tercantum dalam catatan buku?"
Berpikir sampai di situ dia pun menepuk tangan Cau-ji sambil menuding ke
arah bola api itu.
Cau-ji manggut-manggut tanda mengerti, dia berenang mendekat sambil
mengayunkan pisau belati, bola api itu segera terputus dan jatuh ke tangan Su
Gi-gi. Begitu kehilangan bola apinya, naga itu meronta semakin dahsyat, tubuhnya
menggeliat semakin menggila dan dihantamkan ke empat penjuru, guguran batu
dan pasir segera berserakan ke dalam telaga.
Cau-ji ikut merasa tegang setelah melihat kejadian itu, buru-buru dia
berenang menuju ke tempat yang lebih dalam.
Baginya selama banyak tahun sudah terbiasa terbentur pada dinding karang,
terhadap runtuhan bebatuan yang terjadi saat ini tidak terlalu merisaukan, tapi
dia justru kuatir jika nona yang berada dalam pelukannya terkena bebatuan itu.
Dalam pada itu Su Gi-gi sudah dibuat ketakutan setengah mati, sambil
memeluk kencang Lwe-wan itu di depan dadanya, dia tempel ketat di sisi tubuh
Cau-ji. Pemuda itu tahu, bertahan dalam posisi semacam ini sangat tidak
menguntungkan, dia harus secepatnya mencari tempat yang lebih baik untuk
menyelamatkan diri.
Tiba-tiba sorot matanya terbentur dengan sebuah gua yang memancarkan
sinar redup di sisi dinding sebelah kanan, dengan perasaan girang ia segera
berenang ke arah situ dan langsung masuk ke dalam gua.
Bentuk gua itu sangat lebar, berdiri di mulut gua Cau-ji melihat dinding gua
itu dipenuh dengan butiran putih sebesar kepalan tangan yang bergelantungan,
ternyata air telaga tak bisa mengalir ke situ.
Dengan perasaan termangu pemuda itu mengawasi terus gelora air telaga di
luar telaga, dia tak habis mengerti kenapa air yang menggelora ternyata tak
mampu mencapai daratan dimana ia berdiri sekarang.
Sementara itu Su Gi-gi sudah melepaskan diri dari pelukan pemuda itu,
melihat pakaiannya basah kuyup sehingga kain bajunya menempel ketat di
badannya, ia jadi malu sekali, saat itu bukan saja semua lekukan badannya
tertera jelas bahkan secara lamat-lamat dapat terlihat puting susunya yang
mulai tumbuh serta bulu hitam di bawah perutnya.
Malu bercampur panik cepat-cepat gadis itu menutupi dada serta bagian
bawah badannya dengan tangan.
Selesai menutupi bagian tubuhnya yang terlihat, ia baru memperhatikan
lawannya, dia makin keheranan ketika melihat pemuda itu hanya mengawasi
butiran putih di dinding gua dengan termangu.
Su Gi-gi memperhatikan sekejap butiran putih itu, dia segera paham benda itu
tentulah mutiara anti air (Pit-sui-cu) seperti apa yang tertera di gua rahasia
perguruannya, maka ujarnya lembut: "Kongcu, kau tak usah keheranan, benda
itu adalah Mutiara kedap air!"
"Oooh, rupanya itulah benda yang disebut mutiara kedap air, ternyata
memang hebat sekali, hanya sebutir mutiara namun bisa menahan gelombang
air hingga tak masuk kemari... Hah?"
Mereka berdua serentak menoleh ke arah telaga, tampak batuan raksasa
mulai berguguran menyumbat mulut gua itu.
"Aduh celaka!" jerit Su Gi-gi kaget, "tampaknya terjadi tanah longsor, waah,
bagaimana cara kita keluar dari sini?"
Cau-ji berpikir sejenak, mendadak serunya: "Lari!" sambil mengempit tubuh si
nona, dia segera lari masuk ke dalam gua itu.
Bagaikan sedang mengempit adik perempuan sendiri, pemuda itu berlari cepat
menuju ke dalam gua yang gelap gulita.
Su Gi-gi merasa malu bercampur girang, hatinya berdebar keras merasakan
gesekan badan yang berlangsung selama pelarian itu.
Lorong gua itu berliku-liku, permukaan tanah pun tinggi rendah tak menentu,
akhirnya sampailah mereka berdua di depan sebuah mulut gua yang tersumbat
oleh sebuah batu raksasa.
Su Gi-gi mencoba untuk mendorong batu raksasa itu, ternyata batuan itu
sama sekali tak bergeming.
Melihat itu Cau-ji menghimpun tenaga dalamnya kemudian sekuat tenaga
mendorong batu itu.
Tampak batuan raksasa itu mulai bergerak.
Cau-ji kegirangan, sambil membentak nyaring sekali lagi dia dorong batu itu
dengan sekuat tenaga.
Siapa tahu batu itu hanya bergerak sebentar kemudian balik lagi pada posisi
semula. Cau-ji menarik napas panjang, sekali lagi dia mengerahkan tenaganya untuk
mendorong, sayang walaupun sudah dicoba berulang kali, batu raksasa itu tetap
tak bergeming. Su Gi-gi segera menarik lengannya sambil berbisik: "Kongcu, tak usah terburu
napsu, mari kita beristirahat sejenak."
Cau-ji mundur selangkah sambil menghembuskan napas, gumamnya: "Aai ...
sungguh tak nyana batu itu berat sekali, Hey, coba lihat, kenapa ada cairan yang
mengalir dari bola api itu?"
Su Gi-gi tahu bola api itu rusak karena cekalannya yang kelewat kuat
"Aduh sayang ...." jeritnya, dengan sangat berhati-hati dia pegang bola itu ke
dalam telapak tangannya.
Cau-ji segera mengendus bau harum yang luar biasa muncul dari bola api itu,
tiba-tiba perutnya mulai menjerit keras.
Tampaknya pertarungan sengitnya melawan naga tadi membuat pemuda itu
mulai merasa kelaparan.
Dalam pada itu Su Gi-gi sedang mengawasi bola api itu dengan perasaan
bimbang, dia tahu benda itu adalah mestika langka yang berusia seribu tahun,
dia tak tahu apakah benda itu harus dibagi setengah untuk pemuda itu ataukah
akan dimakan sendirian.
Menurut catatan dalam buku kuno, khasiat bola api itu akan lenyap setelah
satu jam terkena angin, sekarang mereka jelas terkurung dalam gua dan
mustahil bisa lolos dari situ dalam waktu singkat, itu berarti benda itu harus
dimakan secepatnya.
la tahu, di atas bahunya terletak tanggung jawab berat atas perkembangan
perguruan Jit-seng-kau, sementara pemuda itu tidak jelas asal-usulnya, apakah
dia mesti berbagi hasil dengannya"
Waktu itu meski dia tahu pihak lawan sangat kelaparan, tapi ia sudah
mengambil keputusan bulat untuk tidak menyerahkan bola api itu untuk lawan.
Dengan berlagak terpaksa, dia sodorkan bola api itu ke hadapan Cau-ji sambil
bisiknya: "Kongcu, jika kau lapar sekali, makanlah bola api ini!"
Cau-ji bukan orang bodoh, tentu saja dia pun tahu kalau nona itu keberatan
jika dia yang makan benda tersebut, maka katanya sambil tertawa: "Nona,
barang itu kecil sekali, mending tidak kumakan, aku kuatir kalau dimakan
malah semakin terasa lapar!"
"Kalau begitu siaumoay tidak sungkan-sungkan lagi" kata Su gi-gi sambil
tertawa, habis berkata ia masukkan Lwe-wan dari naga sakti itu ke dalam
mulutnya dan mulai dihisap pelan-pelan.
Cau-ji merasa semakin kelaparan, katanya kemudian sambil tertawa: "Nona,
biar aku berkeliling di sekitar sini, siapa tahu di tempat ini masih ada jalan
keluar lainnya"'
Memang ucapan macam itu yang diharapkan Su Gigi, dia segera mengangguk,
katanya berlagak kuatir "Kau mesti hati-hati...."
Cau-ji mengangguk dan segera berlalu dari situ.
Menanti hingga pemuda itu lenyap dari pandangan mata, Su Gi-gi menghisap
sekali lagi cairan dalam Lwe-wan itu kemudian duduk bersila dan mulai
mengatur pernapasan.
Tak selang berapa saat kemudian ia merasakan sekujur badannya amat segar,
ia tahu pasti berkat khasiat bola api, kembali dia hisap cairan itu satu tegukan.
Tak lama kemudian ia merasakan munculnya aliran panas dari tan-tiamnya
dan secepat kilat menyebar ke seluruh jalan darah pentingnya, ia merasa
badannya makin lama semakin enteng dan makin segar.
Tujuan yang utama bagi orang yang belajar silat adalah tembusnya urat jinmeh
serta tok-meh, Su Gi-gi tahu, kedua nadi penting itu sudah tembus, saking
girangnya air mata bercucuran membasahi pipinya.
Tanpa terasa dua jam sudah lewat, gelombang hawa panas yang semula
menggelora dalam dadanya lambat laun bertambah tenang, kini hawa panas itu
berubah jadi aliran tenaga yang sangat lembut.
Selesai bersemedi, Su Gi-gi mulai berpikir "Kenapa aku tidak sekalian
habiskan bola api ini" Daripada diberikan ke dia, kenapa tidak aku kuasai
sendiri?" Berpikir begitu dia segera mengambil sisa setengah dari Lwe-wan itu dan
mulai dihisap cairannya, kali ini bukan hanya cairannya saja yang dihisap
bahkan kulit luarnya pun ikut dilahap.
"Perduli amat bagaimana akibatnya," demikian ia berpikir, "toh saat ini jinmeh
dan tok-mehku sudah tembus, bila terjadi apa-apa, paling tidak aku masih
bisa mengendalikan diri."
Siapa tahu setelah bersemedi satu putaran, ia merasa tubuhnya makin lama
semakin panas, bukan saja tan-tiamnya seperti dibakar, sekujur badannya
seakan terjerumus dalam lautan api, panasnya bukan kepalang.
Buru-buru dia pejamkan mata sambil pusatkan pikiran, dia berusaha
mengendalikan menyebarnya hawa panas itu ke seluruh badan.
Sayang usahanya tidak membuahkan hasil, bukan saja hawa panas itu sukar
terkendali, bahkan ibarat api yang membakar ladang ilalang, dalam waktu
singkat setiap bagian tubuhnya terasa panas bagai dibakar.
la kuatir mengalami Cou-hue-jip-mo (jalan api menuju neraka), sambil
menggertak gigi dia berusaha keras mengendalikan diri.
Tak selang berapa saat kemudian tampak bibirnya mulai pecah dan terluka,
cucuran darah segar mulai meleleh keluar.
Bukan hanya begitu, bahkan dia mulai membayangkan adegan bercinta yang
dilakukan anak buahnya belum lama berselang.
Semakin dibayangkan dia merasa semakin terangsang, napsu birahinya
bangkit dan berkobar, akhirnya ia tak kuasa menahan diri lagi, kutangnya mulai
dicampakkan bahkan celana tipis yang dikenakan untuk menutupi auratnya
juga mulai dirobek, mulai dicabik dan dibuang jauh-jauh.
Tak lama kemudian ia sudah tampil dalam keadaan bugil, payudaranya
kelihatan sangat montok, bulu hitam menghiasi pangkal pahanya membuat
gadis itu nampak jalang dan merangsang, bahkan napasnya mulai kedengaran
ngos-ngosan. Hawa panas yang membakar seluruh tubuhnya membuat ia menggeliat ke
sana kemari mencari penyaluran.
Pada mulanya dengan menghajar bebatuan di sekitar gua membuat badannya
terasa agak segar, tapi sejenak kemudian ia mulai tersiksa.
Gempuran-gempurannya bukan saja tidak mampu menghilangkan hawa
panas yang merangsang napsu birahinya, bahkan semakin lama dia semakin tak
tahan. Sementara itu Cau-ji dengan menahan rasa lapar balik kembali ke mulut gua,
dia saksikan mutiara anti air masih tetap memancarkan sinar terang di situ.
Tapi mulut gua sudah tersumbat oleh reruntuhan batuan, dia mencoba untuk
mendorong, namun ibarat mendorong bukit karang, bebatuan itu sama sekali
tak bergeming. Dia mencoba berulang kali namun hasilnya tetap nihil, akhirnya sambil duduk
di lantai pikirnya: "Wah, tampaknya dasar telaga telah ditimbuni reruntuhan
bukit karang, ini berarti untuk bisa keluar dari sini, aku harus menyingkirkan
batu besar itu."
Maka dia pun duduk bersemedi sambil mengatur pemapasan, dia harus
menghimpun seluruh kekuatannya untuk menyingkirkan batu besar itu, sebab
kalau tidak, dia bakal mati kelaparan.
Entah berapa saat sudah lewat, pemuda itu baru mendusin dari semedinya
ketika dari kejauhan dia mendengar suara nona itu sedang berteriak-teriak,
semula dia menduga gadis itu telah bertemu dengan musuh tangguh, maka
buru-buru ia selesaikan semedinya dan berlarian menuju ke arah sumber suara
tadi. Dia baru berseru tertahan setelah melihat gadis itu sedang mencak-mencak
macam orang kalap dalam keadaan telanjang bulat.
Waktu itu Su Gi-gi sudah tak mampu menahan napsu birahinya, begitu
melihat munculnya Cau-ji, dia bersorak kegirangan dan langsung menerjang ke
arahnya. Buru-buru Cau-ji mundur selangkah.
Gagal dengan terjangannya yang pertama, Su Gi-gi menerkam sekali lagi
dengan kecepatan tinggi.
Pada waktu itu tenaga dalam yang dimiliki kedua orang itu boleh dibilang
tidak selisih banyak, posisi Cau-ji justru lebih dirugikan karena gerakan
tubuhnya tidak sehebat Su Gi-gi, tidak sampai tiga gebrakan kemudian bahu
kanannya sudah kena dicengkeram.
"Nona, mau apa kau?" teriak Cau-ji setelah merasakan separuh badannya
Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kesemutan dan kaku.
Su Gi-gi sama sekali tidak menjawab, sambil tertawa cekikian dia mulai
melucuti pakaian yang dikenakan pemuda itu sehingga sekejap mata kemudian
Cau-ji sudah berada dalam keadaan telanjang bulat.
"Hey nona, kau sudah gila?"
Su Gi-gi sama sekali tidak menggubris, kembali ia totok jalan darah kakunya
kemudian menubruk ke dalam pangkuannya.
"Blaaamm!" tubuh Cau-ji roboh tertelentang di atas tanah, sambil mengaduh
kembali pemuda itu berteriak: "Nona, kau ... kau sudah gila?"
Waktu itu dengus napas Su Gi-gi sudah memburu bagai dengus napas
kerbau, begitu menubruk badan Cau-ji dan menindihinya, dia langsung
menggesekkan tubuh bagian bawahnya ke atas "ular berbulu kecil" milik Cau-ji
yang masih mengkeret kecil.
Cau-ji dapat merasakan sekujur badan nona itu panas bagai kobaran api,
dengusan napasnya juga panas sekali, sambil berteriak bocah itu mulai berpikir
apa gerangan yang telah terjadi.
Sepandai-pandainya bocah ini, bagaimanapun dia belum dewasa, pikiran serta
reaksi badannya juga belum tumbuh jadi dewasa dan matang sehingga dia sama
sekali tak tahu apa yang sebetulnya telah terjadi.
Sudah setengah harian Su Gi-gi menggesekkan tubuh bagian bawahnya di
atas "uiar berbulu kecil" milik Cau-ji, tapi lantaran tegang bercampur takut,
tentu saja si "ular berbulu kecil" miliknya sama sekali tak mau "berdiri tegak",
hal ini membuat gadis itu makin tersiksa.
Dalam gelisahnya tiba-tiba dia tangkap ular berbulu kecil itu, lalu sesudah
dipaskan ke lubang surga miliknya, dia tekan kuat-kuat ke bawah.
Sayang si ular berbulu kecil itu kelewat lembek, bagaimanapun dijejalkan, ia
gagal menjejalkannya ke dalam lubang surga miliknya.
Waktu itu Cau-ji sudah dibikin kesakitan setengah mati, dia mendengus
berulang kali, masih untung jejalan itu tidak membuat miliknya lecet.
Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benak Su Gi-gi, ia teringat pernah
melihat seorang anggota perkumpulannya sedang bermain "seruling", waktu
melihat adegan itu untuk pertama kalinya, dia merasa jijik dan mual, tapi ketika
dibayangkan kembali sekarang, tiba-tiba gadis ini merasa miliknya semakin geli
dan gatal.... Tanpa berpikir panjang lagi dia merangkak ke atas tubuh Cau-ji, kemudian
dengan bibirnya yang kecil dia masukkan si ular berbulu kecil ke dalam
mulutnya, kemudian mulai menghisap dan menghisap terus kuat-kuat ....
Cau-ji sama sekali tak mengira kalau si nona akan melakukan tingkah laku
seaneh itu, teriaknya tak tahan: "Hey nona, jangan sembarangan ...."
Su Gi-gi sama sekali tidak menggubris, dia meneruskan hisapannya dengan
penuh bersemangat, tak lama kemudian ia jumpai si ular berbulu kecil sudah
mulai bernyawa dan mulai bisa menganggukkan kepalanya.
Terkejut bercampur girang gadis itu semakin memperkuat hisapannya,
bahkan dimasuk keluarkan di dalam mulutnya dengan lebih cepat.
Cau-ji malu bercampur gelisah, selembar wajahnya mulai berubah jadi merah
padam. Tak lama kemudian si ular berbulu kecil sudah berdiri tegak, bahkan mulai
menggelembung besar.
Su Gi-gi coba mengeluarkan si ular itu dari mulutnya, ia saksikan si ular kecil
kini telah berubah jadi ular besar, bahkan si ular pun sudah pandai
mengeluarkan "kepala'nya dari balik bungkusan kulit, betul bentuknya tidak
sebesar apa yang pernah dilihatnya di masa lalu, paling tidak posisi tegang dan
keras dari si ular berkepala botak itu sudah cukup untuk memenuhi hasratnya.
Kembali dia menunggang di atas tubuh pemuda itu, merentangkan mulut
guanya lebar-lebar dan segera mendudukinya kuat-kuat.
"Aduuh" gadis itu menjerit kesakitan, tapi ia tetap menggertak gigi sambil
menekankan badannya lebih ke bawah, dia ingin si ular besar berkepala botak
itu bisa menghujam lebih dalam di balik gua surganya.
Cau-ji segera merasakan ular berkepala botak miliknya seolah-olah direndam
di dalam "botol air" yang hangat sekali, selain sakit juga panas, tapi rasanya
kencang dan nyaman, barang miliknya seolah-olah terbungkus sangat rapat di
bagian yang hangat itu dan serasa disedot-sedot.
Dalam keadaan begini dia pun tak bisa mengatakan saat itu terasa sakit atau
nikmat" Su Gi-gi sendiri pun baru pertama kali ini bersetubuh, kehilangan selaput
perawan memang membuatnya kesakitan, tapi setelah beristirahat sejenak,
apalagi terdorong oleh gejolak hawa panas dalam tubuhnya, sambil menggertak
gigi dia mulai menggoyang tubuhnya, menggeliat, berputar dan naik turun tiada
hentinya.... Sekali dia bergerak, maka gerakan seterusnya tak bisa dicegah lagi, ditambah
pula semakin dia menggerakkan badan, lubang surga miliknya terasa makin geli,
gatal dan nikmat, maka dia pun menggoyangkan tubuhnya semakin menggila.
Mula-mula dia menggoyangkan badannya dalam posisi berjongkok, ketika
lama kelamaan kakinya mulai linu, dia pun berganti menggunakan lutut untuk
menggerakkan tubuhnya naik turun.
Ketika lututnya mulai sakit, dia pun menindihi badan Cau-ji dan bergoyang
terus.... "Crooot ... crooot ... plaaak ... plaak" suara bebunyian aneh bergema mengikuti
irama tubuhnya yang naik turun, bergoyang, berputar dan menggeliat.
Cau-ji si bocah kemarin sore yang belum pernah menerima pendidikan seks,
boleh dibilang sama sekali tak mengerti apa gerangan yang dilakukan gadis itu,
melihat si nona masih saja menggerakkan tubuhnya naik turun hingga
bermandikan keringat, beberapa kali dia membujuknya agar beristirahat dulu.
Tapi gadis itu tidak menggubris, bukannya beristirahat, goyangan tubuhnya
semakin menggila.
Mula-mula Cau-ji merasa agak tersiksa dengan tingkah laku gadis itu, tapi
lama kelamaan dia pun mulai merasakan nikmatnya permainan aneh ini,
sekarang dia mulai mengimbangi gerakan nona itu.
Entah berapa lama sudah lewat, tiba-tiba terlihat gadis itu gemetaran keras,
lalu diiringi rintihan lirih dan senyum kepuasan ia menghentikan semua gerakan
anehnya. Cau-ji merasakan dari bagian bawah tubuhnya mengalir keluar sejenis cairan
yang pekat, tanpa terasa pikirnya: "Gadis ini aneh betul, orangnya sih cantik,
tapi kenapa sukanya mengencingi orang" Mau kencing ya jangan di atas milik
orang lain!"
Sebetulnya dia mau menegur, tapi melihat gadis itu sedang memicingkan
matanya sambil menikmati, dia pun tak tega, kembali pikirnya: "Hai, mungkin
dia lagi kesetanan, ya sudahlah, paling banter aku mandi sekali lagi, mau
dikencingi ya biar saja dia kencing...."
Maka dia pun pejamkan matanya membiarkan gadis itu kencing semaunya
sendiri. Begitu pejamkan mata bocah itu merasa seluruh badannya segar, lega dan
nikmat sekali, tanpa terasa dia pun tertidur nyenyak.
Sejak berada dalam gua dingin tempo hari, boleh dibilang Cau-ji tak pernah
tidur nyenyak, sebab setiap setengah hari dia mesti bersiaga menghadapi
serangan angin puyuh berpusing.
Hari ini, secara tidak sengaja dia telah bermain cinta dengan Su Gi-gi,
walaupun dia tak tahu kalau cairan pekat yang meleleh keluar itu sesungguhnya
adalah cairan yang keluar dari miliknya karena mencapai puncak kepuasan,
namun dengan terjadinya hubungan badan itu, secara tidak sengaja hawa murni
yang terhisap oleh Su Gi-gi dari bola api naga itu ikut mengalir masuk ke dalam
tubuh Cau-ji, hal mana membuat seluruh hawa murni im-khi milik si nona
terhisap hingga habis.
Tampaknya gadis itu sedang tidur pulas di atas badan Cau-ji sambil tertawa
puas, padahal selembar nyawanya sudah melayang meninggalkan raganya.
Selama hidup Su Kiau-kiau sudah seringkah menghisap hawa yang-khi milik
kaum lelaki, entah berapa banyak nyawa manusia yang hilang di tangannya,
sungguh tak nyana hari ini anak gadisnya justru kehilangan juga nyawanya
karena hawa Im-khi miliknya terhisap oleh lelaki lain.
Mungkinkah ini yang disebut hukum karma"
Begitu tertidur Cau-ji terlelap sampai dua belas jam lamanya, selama satu hari
satu malam ini hawa murni Kui-goan-sinkang di dalam tubuhnya telah DergeraK
dan berputar secara otomatis.
Dengan menghisap sari hawa dingin yang dimiliki Su Gi-gi ditambah kekuatan
yang terbentuk dari Lwe-wan milik naga sakti, tenaga dalam Cau-ji saat ini boleh
dibilang sudah mencapai puncak kesempurnaan.
Ketika membuka matanya kembali, dia merasakan ada sebuah tubuh yang
membujur dingin dan kaku masih menindih di atas badannya, ia terkejut dan
hampir saja menjerit
Tapi ia segera teringat kalau nona itu adalah si gadis yang tadi kencing di
tubuhnya, tapi kenapa dia tertidur begitu nyenyak"
"Hey nona, ayo bangun!" seru Cau-ji kemudian.
Sudah berulang kali dia memanggil tapi gadis itu masih saja tidur nyenyak,
tanpa terasa dia goyangkan bahunya berulang kali sambil memanggil, siapa tahu
si nona tetap tak menggubris.
Cau-ji semakin keheranan, tiba-tiba ia merasa gadis itu bukan saja tubuhnya
sudah dingin kaku bahkan seakan-akan tak bernapas, dalam gugup dan
tegangnya cepat dia periksa pemapasan orang.
Akhirnya sambil menjerit kaget Cau-ii mendorong tubuh gadis itu kuat-kuat,
lalu keluhnya: "Kenapa gadis itu bisa mati di tanganku" Oooh Thian, kenapa aku
... aku jadi seorang pembunuh" Kalau sampai berjumpa keluarganya, bagaimana
caraku bertanggung jawab?"
Kasihan Cau-ji, walaupun dia merdapat banyak pengalaman aneh, tapi
batinnya tersiksa karena dia anggap pembunuh gadis tersebut adalah dirinya.
Bab VI. Pendidikan seorang ibu.
Bukit Wu-san, puncak Sin-li-hong, di tengah hutan pohon siong yang amat
lebat pada lima belas tahun berselang berdiri sebuah bangunan rumah yang
besar, gedung itu adalah pesanggrahan milik si raja penyayat kulit dari propinsi
Sichuan. Suatu hari Su Kiau-kiau muncul di tempat itu, karena merasa gedung itu
sangat cocok untuk dijadikan markas besar perkumpulan Jit-seng-kau, maka
dia gunakan Bi-jin-ki (siasat wanita cantik) untuk menjebak si raja penyayat
kulit, bukan saja ia berhasil menguasai seluruh keluarga besar si raja penyayat
kulit, bahkan bisa menggunakan seluruh harta kekayaannya untuk membangun
perguruannya. Tiga tahun berselang, si raja penyayat kulit satu keluarga besar yang terdiri
dari puluhan orang, tiba-tiba terjangkit penyakit aneh hingga secara beruntun
meninggal dunia, bukan saja Su Kiau-kiau berhasil mewarisi seluruh harta
kekayaan tersebut bahkan menjadi pemilik tunggal tempat itu.
Siang itu, baru saja Su Kiau-kiau berjalan masuk ke ruang utama, tongcu dari
ruang burung hong, si dewi burung hong Un Bun telah datang menghampiri
sembari berseru: "Lapor ketua!"
"Ada apa Un-tongcu," tegur Su Kiau-kiau sambil tersenyum, "kenapa kau
tergopoh-gopoh" Apa semalam kelewat panas sehingga hari ini datang minta
obat kepadaku?"
Merah jengah selebar wajah Un Bun sehabis mendengar ucapan itu, sahutnya:
"Ketua, berkat ilmu sakti ajaranmu, hamba masih sanggup menghadapi orangorang
itu, yang menjadi masalah adalah hingga kini kabar berita tuan putri
beserta kedua belas kim-tonggiok-li masih merupakan tanda tanya besar dan
penuh diliputi misteri."
"Semalam mereka pergi kemana?" tanya Su Kiau-kiau dengan wajah berubah
hebat. "Konon mereka membakar daging di tepi telaga kekasih!"
"Ehmm, selama ini Gi-gi tidak pernah menginap di luar, sudah utus orang
untuk mencari?"
"Sudah, menurut laporan, semalam terjadi bencana alam di telaga kekasih,
bukit karang yang semula berdiri tegak di sisi telaga kini telah berubah jadi
sebuah padang tanah luas, di sekeliling tempat itu sama sekali tak ditemukan
jejak mereka."
"Oooh ... tak aneh kalau semalam terdengar suara gempa dan pekikan aneh,
jangan-jangan ada makhluk asing yang muncul di situ?"
"Kaucu, bagaimana kalau kita libatkan orang-orang dari ruang Cing-liong-tong
dan Pek-hau-tong untuk ikut melakukan pencarian?"
Mendengar putri kesayangannya belum pulang, Su Kiau-kiau segera
mengeluarkan sebuah batu kemala dan diserahkan pada Un Bun sambil
perintahnya: "Gerakkan semua kekuatan yang ada, geledah seluruh bukit Wusan!"
"Baik!"
Mereka mana tahu kalau di saat seluruh kekuatan Jit-seng-kau sedang
menggeledah seluruh bukit Wu-san untuk mencari jejak Su Gi-gi, justru pada
saat yang bersamaan Su Gi-gi sedang "memperkosa" Cau-ji.
0oo0 Di kala Cau-ji sedang duduk termangu-mangu, tiba-tiba ia mendengar ada
suara perempuan sedang memanggil: "Tuan putri, tuan putri ... kau ada di mana
....?" Teriakan itu segera membuatnya sadar dari lamunan.
Kembali terdengar suara seorang berteriak dengan penuh tenaga: "Tuan putri
... tuan putri ... kau ada dimana"
Jelas tenaga dalam yang dimiliki orang itu sangat hebat, sehingga suara yang
bergaung hingga ke telinga Cau-ji pun kedengaran lebih jelas.
Mengikuti sumber datangnya suara panggilan itu Cau-ji menelusuri beberapa
buah lorong, setelah berjalan berapa tikungan akhirnya dari dinding sebelah
kanan ia jumpai ada sebuah celah yang cukup besar, bukan saja aliran udara
muncul dari situ, suara panggilan pun berasal dari sana.
Sementara itu suara panggilan yang bergema tadi sudah kian menjauh,
kembali Cau-ji berpikir "Tuan putri" Jangan-jangan nona tadi adalah tuan putri
dari kerajaan?"
Berpikir sampai di situ, berubah hebat paras mukanya.
Tapi dia segera membantah sendiri jalan pikiran tersebut, kembali pikirnya:
"Tidak mungkin dia adalah tuan putri dari kerajaan, semisalnya benar pun dia
pasti diiringi banyak pengawal. Apalagi tak mungkin seorang tuan putri mau
berbuat semena-mena terhadap orang lain, sampai kencing pun sengaja
dikencingkan ke tubuh orang...."
Dia mencoba menghampiri dinding karang dan menempelkan telinganya di
situ, terdengar seseorang sedang berkata: "Lotoa, hari sudah malam, lebih baik
kita pulang saja!"
"Maknya, siapa tahu tuan putri sedang bersenang-senang dengan cowok lain,
kita yang bawahan jadi susah, nyaris kakiku patah karena kelelahan."
"Sttt. Jangan berisik, ayo kita pulang saja."
Mengetahui kalau hari sudah senja, satu ingatan melintas dalam benak Cauji,
pikirnya: "Tak disangka hari hampir gelap, lebih baik aku tinggalkan gua ini
terlebih dulu kemudian baru mencari kesempatan untuk kabur."
Maka dia pun segera balik ke sisi jenazah Su Gi-gi, setelah menjura tiga kali,
dia pun berbisik: "Nona, maafkan kesalahanku, sejak hari ini aku tak akan
berani menyentuh kaum wanita lagi."
Habis berkata dia menghampiri batu yang besar itu, menghimpun segenap
tenaga dalamnya dan sebuah pukulan dilontarkan ke arah batu tadi.
Apa yang terjadi membuat Cau-ji tertegun.
Dia masih ingat tadi bersama gadis itu mereka sudah mencoba untuk
mendorong batu itu beberapa kali, jangan lagi bergeser, bergeming pun tidak,
kenapa pukulan yang dilontarkan sekarang dapat menghancurkan batu itu
hingga berkeping keping"
Mana dia tahu kalau kesemuanya ini hasil dari kekuatan Im-yang-kang-khi
miliknya" Mendadak terdengar seseorang berseru: "Saudara Sin, aneh sekali, kenapa di
sini bisa muncul segumpal hancuran batu?"
"Kalau begitu pasti ada sesuatu yang tak beres, mari kita periksa."
Mendengar tanya jawab itu Cau-ji jadi kaget, pikirnya: "Jika mereka sampai
masuk kemari dan menemukan jenazah gadis itu, aku pasti akan dituduh
sebagai pembunuhnya...."
Karena tak ingin dibebani urusan yang rumit buru-buru pemuda itu kabur
meninggalkan tempat itu.
Lorong gua itu semakin ke depan semakin bertambah lebar, ternyata mulut
gua tersembunyi di balik semak belukar yang rimbun, diam-diam Cau-ji
menyelinap keluar dari gua tersebut.
Dari kejauhan ia saksikan ada dua sosok bayangan manusia sedang bergerak
mendekati mulut gua itu.
Walaupun hari sudah gelap namun Cau-ji dapat melihat dengan jelas, kedua
orang itu adalah kakek berusia lima puluh tahunan yang berwajah bengis.
Orang pertama bermata segitiga dengan wajah separuh hitam sepatuh putih,
sedang orang kedua berwajah pucat pias bagai mayat yang sudah mati berapa
Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hari, jenggot kuning terurai dari janggutnya.
Mereka berdua mengenakan baju terbuat dari kain belaco putih, sepatunya
terbuat dari tali jerami.
Cau-ji segera merasakan hawa dingin yang menyeramkan memancar keluar
dari tubuh kedua orang itu, diam-diam ia bergidik juga dibuatnya.
Ditinjau dari gerakan tubuh mereka berdua, Cau-ji tahu bila kepandaiannya
hebat dan ia masih bukan tandingannya, maka diam-diam ia menggeser
badannya ke samping dan menyembunyikan diri di balik semak.
Kedua orang itu memang merupakan jagoan paling tangguh dari kalangan
hitam, Hek-pek-bu-siang (si setan gantung hitam dan putih) Sin Sik serta Cho
Huan, sudah tiga tahun lama mereka bergabung dengan perkumpulan Jit-sengpang,
saat ini jabatan mereka adalah pengurus ruang Cing-liong-tong.
Terdengar Sin Sik yang berada di depan berbisik lirih: "Lotoa, kelihatannya di
atas sana ada sebuah gua!"
"Loji, kalau dilihat bekas semak yang terpatah-patah, isi gua tersebut kalau
bukan manusia tentu binatang buas, kau mesti berhati-hati...."
"Hehehe ... lotoa, kenapa nyalimu tambah hari tambah kecil?" sambil berkata
ia meluncur ke depan dan menghampiri mulut gua.
Dalam pada itu Cau-ji sudah mengerahkan tenaga murninya bersiap sedia.
Tidak menunggu lawan berdiri, dengan jurus Tui-sim-ci-huk (mendorong hati
membalik lambung) dia lepaskan sebuah dorongan ke depan.
Waktu itu Sin Sik sedang gembira karena berhasil menemukan mulut gua,
merasakan datangnya serangan, ia segera menghardik: "Lotoa, hati-hati, dalam
gua ada orangnya!"
Sambil membentak dia lancarkan juga sebuah pukulan.
Cho Huan kuatir saudaranya ketimba musibah, buru-buru dia lompat
menghampiri sambil bersiap sedia. "Aduuuh...!"
Dua kali jeritan ngeri bergema memecahkan keheningan, tahu-tahu tubuh Sin
Sik dan Cho huan sudah mencelat keluar dari gua dalam keadaan hancur
berkeping-keping, tubuh mereka terhajar telak pukulan Im-yang-kang-khi yang
dikerahkan hingga mencapai sepuluh bagian.
Mimpi pun Cau-ji tidak menyangka kalau tenaga dalamnya begitu sempurna,
sementara dia masih tertegun, dari kejauhan kembali berkumandang tiba suara
suitan panjang yang memekikkan telinga.
Dalam posisi begini Cau-ji tak bisa membuang waktu lagi, cepat-cepat dia
menyingkirkan semak belukar kemudian melompat turun ke bawah.
Sementara itu suara suitan panjang yang amat nyaring itu sudah semakin
mendekat, dari kejauhan tampak dua sosok bayangan manusia bergerak
mendekat. Baru saja kedua orang itu tertegun karena melihat munculnya seorang
pemuda telanjang secara tiba-tiba, mendadak Cau-ji dengan jurus Heng-kangcay-
to (menyeberang sungai sambil bersalto) sudah melepaskan sebuah pukulan
ke depan. Orang itu beranggapan kepandaian yang dimilikinya sangat hebat, dia segera
mengayunkan pula telapak tangan kanannya sambil membentak: "Manusia tak
tahu diri...."
Belum habis bicara terdengar suara benturan dahsyat bergema di udara,
dengan tubuh hancur lebur orang itu tewas seketika.
Orang yang baru datang segera menyerbu masuk, sebuah pukulan
dilontarkan. Cau-ji menggertak gigi, kembali dia ayunkan tangan menyongsong datangnya
ancaman itu. Jeritan ngeri kembali bergema memecahkan keheningan, orang itu terkapar di
tanah dalam keadaan tewas.
Mendengar dari kejauhan kembali berkumandang suara siulan panjang, buruburu
Cau-ji berputar badan dan kabur dengan mengambil arah yang
berlawanan. Tak lama kemudian di arena pertarungan telah muncul dua orang lelaki
kekar, tapi begitu melihat mayat bergelimpangan, buru-buru mereka
mengeluarkan sumpritan bambu dan ditiup bertubi-tubi.
Tak sampai setengah jam kemudian Su Kiau-kiau beserta segenap kekuatan
partainya tiba di arena kejadian, perempuan iblis itu nyaris pingsan ketika
akhirnya jenazah Su Gi-gi ditemukan tergeletak di dalam gua.
Keesokan harinya dia pun kerahkan empat ratus orang anggota perguruannya
untuk turun gunung dan melacak jejak si pembunuh putrinya itu.
Sementara itu, Cau-ji dengan tergopoh gopoh melarikan diri turun dari bukit
itu, lebih kurang dua jam kemudian ia sudah tiba di kaki bukit Wu-san.
Sambil berpaling memandang bukit Wu-san yang berdiri menjulang di
belakang tubuhnya, Cau-ji menghembuskan napas lega sembari berpikir "Masih
untung tak ada yang hidup, asal di kemudian hari aku tidak mengakui kejadian
ini, siapa yang tahu kalau akulah pelakunya?"
Begitu perasaan hatinya lega, perutnya yang sudah lama kelaparan pun mulai
berbunyi lagi. Sudah dua hari ini Cau-ji belum makan apa-apa, bukan saja waktu itu ia
merasa kelaparan, di bawah hembusan angin malam, ia baru sadar bila dirinya
waktu itu berada dalam keadaan bugil.
Sambil berjalan menelusuri jalan setapak Cau-ji menuju ke tepi sebuah
sungai, dia bermaksud membersihkan badan lebih dulu.
Pada saat itulah tiba-tiba dari kejauhan terdengar seseorang membentak
nyaring: "Perempuan cantik, jangan lari cepat... tunggu aku..."
Tertegun Cau-ji mendengar teriakan itu, buru-buru dia menyelam ke dalam
sungai dan bersembunyi di balik sebuah batu besar.
Kini di hadapannya berdiri seorang gadis muda berbaju hijau yang usianya
sekitar dua puluh tahunan, wajahnya cantik, pinggangnya ramping dan dadanya
montok, persis di hadapan gadis itu berdiri seorang kakek berambut panjang
yang berusia sekitar lima puluh tahunan.
Terdengar gadis itu dengan suara berat sedang menegur: "Yu Yong, kenapa sih
kau menguntit nonamu terus menerus, sebetulnya apa maumu?"
"Hehehe ... lohu jatuh cinta padamu!" jawab kakek itu sambil tertawa seram.
"Yu Yong, bedebah tak tahu malu, seandainya tidak mengingat kau pernah
menolong mendiang ayahku di masa lalu, nona takkan sungkan-sungkan
terhadapmu!"
"Hahahaha ... nona cantik, pujaan hatiku, coba lihatlah suasana di sini, bila
kau bersedia menemani lohu bermain cinta, lohu jamin kau akan merasakan
kenikmatan yang luar biasa...."
"Tutup mulut anjingmu! Sungguh tak kusangka ternyata kau adalah seorang
bandot tua yang tak tahu malu, manusia cabul, manusia bejat, manusia tak
tahu malu macam kau sudah sepatutnya dibasmi dari muka bumi, kalau tidak,
entah berapa banyak gadis baik yang ternoda di tanganmu."
Sembari mengumpat dia segera menerjang maju ke depan, sepasang
tangannya menyerang berbareng, ke atas mengancam sepasang matanya, ke
tengah mengancam ulu hatinya, di antara angin pukulan yang menderu-deru,
gerak serangannya boleh dibilang cepat sekali.
Diam-diam Cau-ji bersorak memuji, sejak salah bunuh Su Gi-gi, Cau-ji sudah
berjanji tak ingin mendekati kaum wanita, sebetulnya dia ingin menggunakan
kesempatan itu menyingkir dari arena.
Tapi begitu melihat gadis itu mulai keteter hebat dia segera urungkan niatnya
untuk berlalu. Terdengar Yu Yong tertawa nyaring, sambil pentangkan tangan kanannya
mengancam urat nadi pada pergelangan tangan si nona, tangan yang lain
membabat ke bawah mengancam lengan kiri gadis itu.
Buru-buru nona berbaju hijau itu memutar badannya sembari berganti jurus
serangan, telapak tangan kirinya dengan jurus Yao-ti-to-tho (di bawah dedaunan
mencuri bua tho) menotok jalan darah Ji-ti-hiat di sikut kanan lawan.
Sementara tangan kanannya merendah ke bawah lalu dengan jurus Pek-hokliang-
ci (bangau putih pentang sayap) berbalik memotong lengan kiri musuh.
Yu Yong tidak menyangka gadis itu bisa berubah jurus begitu cepatnya, nyaris
jalan darahnya tertotok, buru-buru dia lancarkan pukulan berantai, dalam
waktu singkat dia sudah melepaskan delapan jurus serangan.
Nona berbaju hijau itu jadi gelagapan, beruntun dia mundur berapa langkah
dari posisi semula.
Menanti jurus serangan musuh sudah lewat, dia baru mengayunkan kembali
tangan dan kakinya melancarkan serangan balasan dengan sepenuh tenaga.
Menyaksikan kedelapan buah serangannya gagal menundukkan gadis itu,
diam-diam Yu Yong terperanjat juga, ia tak lagi berani gegabah, sambil mainkan
jurus serangan dia hadapi gadis itu dengan tersungguh hati.
Suatu pertempuran sengit pun segera berkobar, untuk sesaat kekuatan
mereka tampak berimbang.
Semenjak meninggalkan pesanggrahan Hay-thian-it-si, Cau-ji belum pernah
menyaksikan pertempuran sehebat itu, kini seluruh perhatiannya sudah
dicurahkan ke tengah arena.
Tampak gadis berbaju hijau itu telah mengeluarkan semua jurus
simpanannya untuk menyerang musuh, baik menusuk, memotong, menotok,
membacok, menyodok, semua serangan dilakukan sangat cepat dan tepat pada
sasaran. Sepasang telapak tangannya menari-nari bagai sepasang kupu-kupu, semakin
bertarung gerak serangannya semakin cepat.
Dalam sekejap mata kembali lima enam puluh gebrakan telah berlalu, namun
menang kalah masih sukar ditentukan.
Kalau si nona berbaju hijau itu unggul dalam ilmu meringankan tubuh serta
kecepatan perubahan jurus serangan, maka Yu Yong lebih unggul dalam ilmu
tenaga dalam, untuk sesaat kedua belah pihak sama-sama bertahan dalam
posisi yang seimbang.
Sambil bertarung diam-diam Yu Yong mulai berpikir "Sungguh tak kusangka
kemampuan budak ini luar biasa hebatnya, bila aku gagal membekuknya hari
ini, jika berita ini sampai tersiar keluar, akan kutaruh dimana wajahku ini?"
Tiba-tiba gerak jurus serangannya berubah, kalau tadi dia menggunakan
cepat melawan cepat maka jurus serangannya saat ini sangat lamban dan berat
tapi setiap pukulan, setiap tendangan, hampir semuanya mengandung tenaga
serangan yang dahsyat
Jurus serangan yang disertai tenaga dalam yang hebat semacam ini tak bisa
dianggap enteng, setiap angin pukulan yang menderu-deru seketika membuat
nona itu mulai terdesak.
Walaupun dalam kelincahan nona berbaju hijau itu jauh lebih unggul, tapi
begitu pertarungan berubah jadi pertarungan tenaga dalam, posisinya segera
terdesak hingga berada di bawah angin, belum lagi sepuluh jurus, peluh sudah
bercucuran membasahi jidatnya.
Cau-ji yang mengikuti jalannya pertarungan itu mulai merasa ikut panik, dia
tahu bila keadaan semacam ini dibiarkan berlangsung lebih jauh, dapat
dipastikan nona itu bakal kalah.
Tiba-tiba nona berbaju hijau itu membentak nyaring, permainan jurusnya
segera berubah, kini dia gunakan taktik keras melawan keras untuk menghadapi
Bentrok Rimba Persilatan 1 Pendekar Satu Jurus Karya Gan K L Cinta Bernoda Darah 5
tubuhmu dengan cairan tersebut, pergilah mencuci diri lebih dulu."
Go Hoa-ti maki setengah mati, cepat-cepat dia melompat turun dan
mengambil handuk basah untuk menyekanya.
Wajah jengah si nona yang bersemu merah membuat Bwe Si-jin semakin
terangsang, dia ikut melompat bangun, katanya: "Adik Ti, kalau kau tak ingin
mengotori barang milik rumah penginapan, bagaimana kalau kita berganti gaya
saja?" Go Hoa-ti semakin malu, jantungnya berdebar makin keras.
Sejak dia persembahkan kegadisannya untuk pemuda ini, kecuali waktu
kedatangan "Ang-sianseng", boleh dibilang mereka berdua memanfaatkan setiap
saat untuk berbuat intim.
Setiap Bwe Si-jin mengusulkan untuk mencoba gaya baru, dapat dipastikan
Go Hoa-ti akan merasakan dirinya "mati" satu kali.
Bahkan setiap "kematian'nya tentu "mengenaskan" sekali.
Oleh sebab itu tidaklah heran kalau dia merasa terkejut bercampur girang
begitu mendengar pasangannya mengusulkan gaya baru.
Rupanya Bwe Si-jin dapat memahami perasaan hati kekasihnya waktu itu,
digenggamnya sepasang tangannya lalu bisiknya: "Adik Ti, kalau liang di depan
sudah ditembusi, kali ini aku mesti menyerang dari arah belakangi"
Sambil berkata pelan-pelan dia balik tubuh perempuan itu dan menekannya
agar membungkuk.
Go Hoa-ti segera paham arah mana miliknya yang akan diserang, setelah
berpikir sejenak, serunya terkesiap: "Jangan bagian yang itu, engkoh Jin, tempat
itu kelewat sempit!"
Sambil berkata, buru-buru dia menggapit sepasang pahanya rapat-rapat.
Bwe Si-jin tersenyum, dikecupnya bibir nona itu sekejap kemudian katanya
sambil tertawa: "Jangan kuatir adik Ti, masa aku akan bertindak kasar hingga
mencederaimu?"
"Engkoh Jin, kau tak boleh membohongi aku!"
"Hahaha... kapan sih aku bohong kepadamu?"
Dengan tangan gemetar pelan-pelan Go Hoa-ti melepaskan tangannya, setelah
itu kembali ia bertanya: "Engkoh Jin, gimana sih caranya main belakang?"
"Hahaha ... adik Ti, letakkan sepasang tanganmu di pinggir ranjang untuk
menopang badanmu, lalu sedikit bungkukkan badanmu agar tubuh bagian
belakangmu menungging ke atas, nanti kau imbangi saja gerakan badanku maju
mundur...."
"Wah, hebat juga jurus seranganmu, tapi... senjatamu kelewat panjang dan
besar...."
"Hahaha... jangan kuatir, ayo kita mulai."
Dengan satu tusukan yang cepat bagai kilat Bwe Si-jin menghujamkan
senjatanya ke bagian belakang tubuh Go Hoa-ti, lantaran sebelumnya sudah ada
pemanasan hingga bagian miliknya cukup berlendir, tanpa mengalami kesulitan
ujung tombaknya sudah menghujam dalam-dalam.
"Aaah ... ternyata tidak sakit" bisik Go Hoa-ti sambil tertawa, "tapi... engkoh
Jin, sepasang telurmu kenapa ikut memukul-mukul" Aku ... aku jadi geli dan
sedikit sakit ... oooh... ooh... aaah... ahhh ... enak... enak...."
Rintihan dan lengkingan Go Hoa-ti membuat napsu birahi Bwe Si-jin semakin
memuncak, dia peluk pinggang orang kencang-kencang sementara tusukannya
dilancarkan bertubi-tubi.
Sejak pertama kali terjun ke dalam dunia persilatan, hampir seratus orang
perempuan yang pernah disetubuhi, tapi di antara semua perempuan yang
pernah ditiduri, Go Hoa-ti adalah perempuan yang paling mampu membetot
sukmanya, demi bersenang-senang dengannya, dia tak segan melanggar
kebiasaan sendiri dengan berdiam diri di satu tempat lebih dari sepuluh hari.
Kecantikan wajah Go Hoa-ti ibarat bidadari yang turun dari kahyangan,
bukan saja ia nampak anggun juga amat berwibawa, tapi begitu naik ke ranjang,
bukan saja berubah jadi wanita jalang, yang bikin hati lelaki tak tahan justru
adalah jeritan, rintihan serta teriakannya yang membetot sukma....
Perempuan semacam inilah yang menjadi dambaan setiap pria, karena
rintihan seorang wanita jalang adalah irama yang paling membangkitkan napsu
birahi lelaki. Dalam waktu singkat dia sudah menggenjotkan tubuhnya berpuluh-puluh
kali, sementara rintihan dan jeritan Go Hoa-ti semakin menjadi-jadi, pinggulnya
bergoyang dan berputar tiada hentinya.
Tak lama kemudian, seputar tempat mereka berdua berdiri sudah dibasahi
oleh lendir yang mengucur keluar dari lubang belakang perempuan itu.
Dengan gerakan yang sangat berhati-hati Bwe Si-jin maju mundurkan
badannya, rupanya dia kuatir senjata milik sendiri menjadi lecet gara-gara
kekerasan waktu menggesek.
Beberapa saat kemudian goyangan Go Hoa-ti semakin melemah dan perlahan,
Bwe Si-jin tahu kekasihnya sudah hampir mencapai puncaknya, maka ia segera
mencomot sepasang payudara perempuan itu dan meremasnya berulang kali.
Sambil meremas payudara perempuan itu, tubuhnya menggenjot makin cepat
dan keras. "Aduh ... engkoh Jin ... ooo ... aah ... aduh ... engkoh Jin... aku... aku tak
tahan lagi... aduuh... aku mau... mau keluar... aaooh... aduh... aduh nikmatnya!"
Bwe Si-jin menggenjot semakin cepat.
Tiba-tiba tubuh Go Hoa-ti gemetar keras lalu kakinya jadi lemas dan tiba-tiba
berjongkok ke bawah, untung Bwe Si-jin sudah siap, dia segera peluk tubuh
kekasihnya dan dibaringkan ke atas ranjang.
Setelah itu dia tubruk kembali ke atas tubuh perempuan itu, menindihnya
dan menggenjotkan kembali senjatanya berulang kali, hanya kali ini dia tusuk
lubang surga orang.
Lima enam puluh kali genjotan kemudian Bwe Si-jin merasa sekujur
badannya mengejang keras, tak tahan lagi dia muntahkan "ludah'nya berulang
kati, kemudian gerakannya makin melambat sebelum akhirnya berhenti sama
sekali. "Ooh engkoh Jin, nikmat sekali aku " bisik Go Hoa-ti sambil menghela napas
panjang. Tak selang berapa saat kemudian ia sudah tertidur pulas.
Dengan penuh rasa sayang Bwe Si-jin mengecup bibirnya sekejap, kemudian
ia bangkit berdiri, duduk di tepi meja sembari termenung.
Apa yang sedang ia pikirkan"
Tak ada yang tahu!
Dalam lamunannya tiba-tiba ia mendengar ada seseorang berseru dengan
suara yang manja: "Aduuh ... indah betul lekukan tubuh perempuan itu, sute,
tak heran kalau kau selalu bersembunyi di sini!"
Mendengar ucapan tersebut, sekujur badan Bwe Si-jin gemetar keras, buruburu
dia melongok keluar jendela.
Tiba-tiba daun jendela yang semula tertutup rapat terbuka dengan sendirinya,
menyusul kemudian muncul wajah seorang gadis yang cantik rupawan.
Gadis itu mempunyai sepasang mata yang indah, bibirnya kecil mungil dan
payudaranya sangat besar, begitu cantik wajahnya membuat setiap lelaki yang
memandang ke arahnya akan merasa napsu birahinya bergolak.
Bwe Si-jin yang sudah terbiasa menikmati wajah cantik seorang wanita, kali
ini nampak terkejut bercampur ngeri, seakan bertemu kalajengking beracun,
dengan wajah berubah hebat dia melompat bangun.
Nona berbaju merah itu melototi sekejap "barang" milik Bwe si-jin yang
tergantung lemas, tapi ukuran yang super gede segera membuat napsu
perempuan itu menggelora, buru-buru bisiknya dengan ilmu Coan-im-jit-pit:
"Sute, cepat kenakan pakaianmu, mari kita cari tempat untuk berbicara."
Melihat jejaknya sudah ketahuan sucinya yang selama ini berusaha untuk
dihindari, Bwe Si-jin sadar bahwa dia butuh banyak waktu dan tenaga untuk
meloloskan diri dari cengkeraman orang, agar urusan itu tidak menyeret adik Tinya,
buru-buru dia kenakan pakaian dan segera mengikuti nona berbaju merah
itu keluar dari kamar losmen.
Tak jauh setelah keluar dari kota, tibalah mereka di sisi sebuah kereta yang
dihela dua ekor kuda, terdengar nona berbaju merah itu berkata. "Sute, mari
kita bicara di dalam saja."
"Suci," seru Bwe Si-jin dengan suara berat, "siaute toh sudah lepaskan posisi
ketua, juga telah mengumumkan kalau lepas dari ikatan perguruan, tolong
lepaskanlah dirimu...."
"Sute, kau kejam benar... sejak pergi tanpa pamit empat tahun berselang,
bukan saja cici dibikin sedih, ketiga sumoay pun menjadi kurus lantaran
memikirkan kau.."
Membayangkan kembali masa lampau yang dialaminya, paras muka Bwe Sijin
yang ganteng segera mengejang keras, serunya lagi: "Suci, harap kau sudi
mengingat hubungan baik kita di masa lalu dan melepaskan siaute....."
"Sute," tukas nona berbaju merah itu dengan suara dalam, "kau tak usah
banyak bicara lagi, kau sendiri toh tahu, tanpa kehadiranmu, sulit bagi kami
untuk membangun kembali kejayaan perguruan seperti masa lampau."
"Hmm, sungguh tak disangka seorang playboy yang selama ini memandang
perempuan bagai sampah, bisa jatuh hati dengan seorang dayang ingusan.
Baiklah, demi masa depan perguruan, terpaksa suci harus bunuh dulu
perempuan ini."
Selesai berkata dia segera mengayunkan telapak tangan kanannya siap
melancarkan sebuah pukulan.
Bwe Si-jin tahu, kakak seperguruannya sudah memegang pucuk kekuasaan
perguruan, di sekelilingnya banyak terdapat jagoan yang berilmu tangguh, bila ia
betul-betul turunkan perintah, dapat dipastikan Go Hoa-ti yang tertidur nyenyak
segera akan terbantai.
Buru-buru teriaknya keras: "Suci, tunggu sebentar!"
Sambil tertawa nona berbaju merah itu menurunkan kembali tangannya.
"Bagaimana sute, sudah paham?" serunya manja.
"Suci," seru Bwe Si-jin sambil menahan perasaan sedih, "siaute bersedia pergi
mengikut kau, tapi kau mesti berjanji akan melepaskan dia."
"Baik."
"Suci, aku harap kau pegang janji."
Selesai bicara dia segera melompat naik ke dalam ruang kereta.
Siapa tahu baru saja dia menyingkap kain tirai kereta, mendadak terlihat
selapis pasir merah telah menyambar ke hadapan wajahnya, buru-buru dia
ayunkan tangannya sembari berteriak: "Sumoay, kau...." belum habis bicara,
tubuhnya sudah roboh terkapar.
Nona berbaju merah itu tertawa terkekeh, buru-buru dia bopong tubuh
pemuda itu dan menyelinap masuk ke dalam ruang kereta.
Seorang lelaki bungkuk segera muncul dari balik hutan, melompat naik ke
atas kereta, mengayunkan pecut dan menjalankan kereta kuda itu meninggalkan
tempat tersebut
Di dalam ruang kereta, tampak seorang gadis berdandan tebal bagai siluman
sedang membelai wajah Bwe Si-jin yang ganteng sambil menghela napas.
"Sute," katanya, "makin lama wajahnya makin tampan saja rasanya,"
"Hmm, bukan cuma tampan, kau belum tahu kalau kemampuannya yang satu
itu jauh lebih hebat* sahut nona berbaju merah itu sambil tertawa.
"Suci, bagaimana kalau kita buktikan kemampuannya itu?"
"Ehm, boleh saja, toh yang kita butuhkan adalah badannya bukan hatinya,
mari kita sekap dia dalam gua Siau-cu-thian-yu-tong dan kita nikmati
kejantanannya."
"Kalau begitu silahkan suci mulai dulu."
Sambil berkata dia mengeluarkan sebutir pil berwarna merah dan dijejalkan
ke mulut Bwe Si-jin, kemudian ia mulai tanggalkan seluruh pakaiannya.
Sementara itu si nona berbaju merah juga telah melucuti seluruh pakaiannya
hingga bugil, lalu membaringkan diri di atas lantai sambil tertawa terkekeh.
Nona berbaju kuning itu melirik sekejap tubuh bagian bawah nona berbaju
merah itu, kemudian tegurnya sambil tertawa: "Suci, hutan bakaumu
tampaknya makin hitam dan tebal, wouw, sungguh merangsang."
Kembali nona berbaju merah itu tertawa.
"Sumoay, selama berapa bulan terakhir aku telah bermain cinta dengan
beberapa orang pendeta asing, bukan saja tenaga murni mereka berhasil
kuhisap, banyak sari perjaka yang telah kuperoleh, coba kau lihat bukankah
milikku bertambah montok dan berkilat?"
"Hahaha... yaa. berapa orang pendeta asing itu memang suka main
perempuan, coba kalau bukan bertemu kita berempat, mungkin orang lain tak
akan sanggup melayani mereka selama berapa menitpun."
"Ya. konon suhu dan susiok mereka jauh lebih jantan dan kuat, sayang
mereka tak pernah menginjakkan kaki di daratan Tionggoan, kalau tidak aku
pingin sekali membuktikan kejantanan mereka."
"Kalau mereka tidak kemari, toh kita bisa ke sana untuk mencari mereka."
"Ya, benar, jika kita sudah kirim bocah ini ke dalam gua, akan kusuruh
berapa orang pendeta asing itu mengajak kita ke sana ... waeh ... coba lihat,
barang miliknya mulai ada reaksi... wouw... tambah besar... waah ... ternyata
barang miliknya memang super besarnya."
Ternyata obat perangsang yang dijejalkan ke mulut Bwe Si-jin sudah mulai
bereaksi, bukan saja "barang"-nya sudah berdiri kaku bagai tombak, bahkan dia
sudah mulai memeluk, meremas dan menggerayangi seluruh tubuh nona
berbaju merah itu.
Semakin lama menonton nona berbaju kuning itu semakin terangsang, buruburu
dia ikut melucuti pakaian sendiri, lalu ujarnya sambil tertawa jalang: "Suci,
tadi kau sudah saksikan dia bermain cinta dengan perempuan lain?"
"Betul, dia berhasil membuat budak itu mati tak bisa hidup tak mampu,
bukan cuma menggeliat saja bahkan merintih sambil berteriak, aku benar-benar
terangsang waktu itu. Aaai, seandainya dia tidak terlalu banyak mengetahui
rahasia perguruan kita, sebetulnya aku pingin berbaikan saja dengan dia,
dengan begitu banyak kesempatanku untuk menikmati barangnya yang gede...."
"Benar, dari sekian banyak lelaki yang meniduri aku. memang rasanya barang
milik dia jauh lebih gede dan keras, mungkin sewaktu meniduriku nanti, dia
paling kuat dan perkasa"
Kereta kuda bergerak cepat dari kota Kim-leng menuju ke selat Sam-shia di
sungai Tiangkang.
Untuk menghindari perhatian orang banyak, selama ini nona berbaju kuning
dan nona berbaju merah itu tak pernah turun dari kereta, sepanjang hari
mereka mengajak Bwe Si-jin bermain cinta dan mengumbar birahi.
Ketika kereta tiba di kaki bukit Wu-san, nona berbaju merah itu
memerintahkan lelaki bungkuk itu untuk menjaga kereta, sementara dia sendiri
bergerak menuju ke atas bukit.
Sementara nona berbaju kuning itu dengan mengempit tubuh Bwe Si-jin yang
sudah tertotok jalan darah Hek-tiam-hiatnya mengikuti dari belakang.
Pada saat itulah dari balik hutan muncul sesosok bayangan manusia, orang
itu tak lain adalah si raja hewan Oh It-siau, dalam sekilas pandang ia segera
mengenali orang yang dikempit nona berbaju kuning itu adalah sahabat
karibnya, Bwe Si-jin.
Tapi dia pun segera mengetahui kalau nona berbaju merah itu tak lain adalah
kakak seperguruan Bwe Si-jin yang bernama Su Kiau-kiau, kenyataan ini
membuat hatinya amat terperanjat
Raja hewan tak ingin bentrok muka secara iangsung dengan rombongan
perempuan itu, sebab dia tahu kepandaian mereka cukup tangguh.
Dia tak tahu Bwe Si-jin hendak dibawa pergi kemana, untuk mengetahui
rahasia tersebut secara diam-diam si raja hewan menguntit terus dari kejauhan.
Selang berapa saat kemudian mendadak dari empat penjuru bergema suara
pekikan aneka binatang yang riuh rendah.
Sadar kalau gelagat tidak menguntungkan nona berbaju merah itu segera
berbisik: "Sumoay, hati-hati!"
Baru berjalan lagi beberapa li, mendadak dari balik semak belukar muncul
dua ekor harimau raksasa yang datang menerkam.
"Binatang!" umpat nona berbaju merah itu gusar.
Dengan melepaskan dua pukulan dahsyat, kedua ekor binatang itu segera
terpental dan tewas dengan perut jebol.
Menyusul kemudian datang serangan yang bertubi-tubi dari aneka macam
binatang buas, dalam keadaan begini terpaksa nona berbaju kuning dan merah
itu melancarkan serangan gencar untuk membela diri.
Su Kiau-kiau tahu pastilah si raja hewan sedang bermain gila dengannya,
dalam marahnya ia segera berteriak lantang: "Hey orang she Oh, kalau punya
nyali ayo keluar, Koh-naynay sudah menunggumu di sini."
Raja hewan sadar bahwa kepandaian silat yang dimilikinya masih bukan
tandingan lawan, agar punya peluang untuk menolong Bwe Si-jin, dia berusaha
keras menahan rasa gusarnya yang membara dan membungkam diri.
Secara beruntun Su Kiau-kiau menghardik lagi beberapa kali, melihat pihak
lawan tak berani tampil, setelah mendengus iapun melanjutkan perjalanannya.
Ketika mereka berdua tiba di sisi air terjun, dilihatnya air yang semula
mengalir turun kini sudah membeku jadi selapis salju tebal, mereka tahu angin
Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
puting berpusing pasti baru saja berhembus di situ hingga udara jadi dingin dan
air menjadi beku.
Setelah masing-masing menelan sebutir pil berwarna merah api, Su Kiau-kiau
berjaga di pintu gua mencegah si raja hewan membuat keonaran, sementara
nona berbaju kuning itu segera menyusup masuk ke dalam gua dengan
kecepatan tinggi.
Tiba di dalam gua, ia menotok bebas jalan darah Hek-tiam-hiat di tubuh Bwe
Si-jin dan melemparkan tubuhnya ke dalam gua kecil, kemudian sambil tertawa
seram ia baru berseru: "Suheng, silahkan kau beristirahat di sini!"
"Sumoay, tempat apakah ini?" tanya Bwe si-jin agak bingung.
"Gua Siau-cut-thian-yu-tong dari perguruan kita."
"Apa, kalian begitu kejam ...."
"Hmm, siapa suruh kau berkhianat?"
"Tapi sumoay...."
"Hey orang she Bwe ... kau telah mengkhianati perguruan, kau tak berhak
memanggil sumoay lagi kepadaku."
"Ni Cheng-bi!" Bwe Si-jin balas mengumpat, "kau perempuan berhati
kalajengking, kejam benar hatimu ... jangan salahkan kalau aku bertindak
kejam kepadamu."
Sembari berkata dia lepaskan satu pukulan.
Ni Cheng-bi mengegos ke samping, lalu dia balas melepaskan satu pukulan.
"Blammm!" Bwe Si-jin segera terbanting ke dinding karang dan jatuh tak
sadarkan diri. Begitulah, semenjak hari itu Bwe Si-jin terkurung di dalam gua kecil itu,
saban hari dia harus mengalami dua kali siksaan karena terjangan angin
berpusing yang membawa hawa dingin, setiap kali merasa lapar, terpaksa dia
harus berusaha menangkap kelelawar untuk mengganjal perutnya.
Raja hewan beberapa kali berusaha masuk ke dalam gua itu untuk menolong
saudara angkatnya, tapi setiap kali menelusuri gua tersebut, belum sampai
berapa kaki, dia selalu mundur teratur karena tak sanggup menahan rasa dingin
yang menusuk tulang.
Dalam keadaan begini, terpaksa dia harus mengurungkan niatnya untuk
menolong Bwe Si-jin, tapi dia tidak berpangku tangan, dia selalu berusaha
mencari anak didik yang bisa dia gunakan untuk melaksanakan pertolongan itu.
Sementara Bwe Si-jin masih melamun sambil membayangkan kisah tragis
yang dialami selama ini, mendadak dari kejauhan terdengar suara gemuruh yang
sangat keras bergema tiba.
Dengan perasaan terkejut Bwe Si-jin membatin: "Aaah, waktu berlalu begitu
cepat, tak nyana sudah tiba saatnya angin puyuh itu menyerang lagi."
Buru-buru dia tempelkan badan di lantai, menghimpun hawa murni
melindungi jantung dan bersiap menghadapi serangan.
Tak selang berapa saat kemudian, angin puyuh disertai suara gelegar yang
memekikkan telinga melanda seluruh ruang gua.
Bwe Si-jin merasa sekujur badannya meski sakit bukan kepalang, namun
jantung dan nadinya berada dalam perlindungan hawa murni sehingga otomatis
penderitaannya tidak terlalu berat, kenyataan ini sangat menggirangkan hatinya.
Dengan susah payah akhirnya terpaan angin puyuh itu berlalu, Bwe Si-jin
seperti orang yang baru menderita sakit parah, merasakan badannya sakit
bercampur linu, dia segera meronta dan berusaha untuk duduk.
Tiba-tiba ia mendengar Cau-ji bertanya dengan penuh rasa kuatir "Paman,
kau baik baik bukan?"
Bwe Si-jin tidak menyangka kalau kondisi Cau-ji tetap prima walaupun baru
saja terserang angin topan, cepat dia menggeleng.
"Tidak, aku tidak apa-apa...."
"Kalau begitu bagus sekali," Cau-ji menghembuskan napas lega, "Paman, ada
baiknya kau beristirahat dulu."
Sembari berkata dia keluarkan sebutir pil Pek-siu-wan dan segera ditelannya.
Terasa ada satu aliran hawa panas muncul dari lambungnya, benar juga, rasa
lapar dan dahaga segera hilang lenyap.
Tak lama kemudian Cau-ji sudah berada dalam posisi tenang.
Ketika mendusin kembali dari semedinya, bocah itu merasakan seluruh
badannya sangat enteng dan bertambah segar, tak tahan pikirnya: 'Aneh benar,
kelihatannya setiap kali habis terbentur badanku dengan dinding karang,
kondisi tubuhku serasa jauh lebih segar dan prima."
Dia mana tahu kalau hawa murni Im-yang-ceng-khi sedang terbentuk di
dalam tubuhnya dan kini semakin berkembang.
la bangkit berdiri, sewaktu menjumpai Bwe Si-jin masih mengatur waktu,
maka dalam menganggurnya dia coba tengok sekeliling ruang gua, tiba-tiba ia
merasa ada bau amis yang dibarengi bayangan hitam bergerak meluncur ke
arahnya, tanpa sadar dia ayunkan tangannya melepaskan sebuah pukulan.
Diiringi suara pekikan aneh di atas dinding karang segera muncul seekor
kelelawar tapi sudah menjadi bangkai dan tubuhnya dalam keadaan hancur
lebur. Cau-ji tertegun, pikirnya: "Sialan, lagi-lagi hewan bermuka jelek ... tempo hari
aku sempat dibuat kaget, sekarang rasakan pembalasanku."
Tentu saja dia tidak tahu, tadi untuk menghindari serangan angin topan
berpusing, kawanan kelelawar itu telah mengungsi keluar gua, tetapi sekarang
setelah keadaan reda, berbondong-bondong kawanan binatang itu terbang balik
ke dalam gua. Kembali selapis bau busuk menerpa ke wajah bocah itu.
Sekali lagi Cau-ji mengayunkan tangannya, lagi-lagi seekor kelelawar
dihantam hingga mampus.
Tak selang berapa saat, serombongan besar bau amis kembali mengerubuti
sekeliling bocah itu, Cau-ji berpekik nyaring, dengan mengeluarkan jurus
pukulan Lak-hap-ciang-hoat dia hajar kawanan kelelawar itu.
Bau anyir darah disertai hancuran bangkai seketika mengotori seluruh ruang
gua itu. Waktu itu Bwe Si-jin sudah selesai bersemedi, dia hanya berdiri di samping
gua sambil menonton bocah itu menunjukkan kebolehannya, diam-diam ia
tertegun bercampur kagum setelah melihat kungfu bocah tersebut, dia tak
mengira dengan usianya yang masih begitu muda ternyata sudah menguasai
pelbagai macam ilmu pukulan.
Mendadak satu ingatan melintas dalam benaknya, dengan perasaan girang
pikirnya: "Bocah ini sangat hebat, kelihatannya kungfu yang dia miliki sudah
lebih dari cukup untuk menghadapi suci serta ketiga sumoayku!"
Dia pun mulai memutar otak, dalam hati ia putuskan untuk membantu
memberi petunjuk kepada bocah itu agar ilmu silatnya bisa maju setingkat lebih
hebat Di dalam anggapannya, apa yang dipelajari Cau-ji kelewat banyak, ilmu silat
gado-gado sangat tak sepadan untuk diunggulkan, sebab setiap perubahan bisa
memunculkan titik kelemahan, dalam pandangan seorang jago sakti, kelemahan
semacam itu bisa menyebabkan kematian.
Entah berapa saat sudah lewat, Cau-ji masih saja memainkan jurus
pukulannya dengan penuh semangat walau gerombolan kelelawar sudah lenyap
semenjak tadi, sedang Bwe Si-jin juga tenggelam di dalam pemikirannya.
Tatkala hawa dingin yang disertai pusaran angin berpusing mulai menyerang
tubuh mereka, kedua orang itu baru tersentak kaget dan sadar kembali.
Bwe Si-jin tak sempat lagi untuk menghindar, buru-buru dia cengkeram
pinggiran gua untuk berpegangan, dengan mengerahkan seluruh tenaga dalam
yang dimilikinya dan pejamkan mata rapat, dia sambut datangnya serangan
angin dingin itu.
Sementara Cau-ji yang masih asyik memainkan ilmu pukulan Yu-liong-patkwa-
ciang tersentak kaget ketika angin puyuh menerjang badannya, dalam kaget
dan terkesiapnya cepat-cepat dia tancapkan kaki ke atas tanah, lalu sambil
mengayunkan tangannya ia lepaskan pukulan untuk menghadang terpaan angin
topan. Ilmu pukulan bocah itu memang tangguh, tapi mana mungkin dia bisa
melawan kekuatan alam yang begitu dahsyat" Tampak badannya gontai ke kiri
kanan diombang-ambingkan amukan angin berpusing.
Masih untung dia bisa memantekkan kakinya di tanah, sambil menggertak
gigi dia hadapi terpaan angin itu dengan sekuat tenaga.
"Blaaammm!" tiba-tiba bergema suara benturan keras, rupanya seluruh
tubuhnya terangkat oleh sapuan angin berpusing itu hingga badannya
menumbuk di atas dinding batu, begitu keras benturan yang terjadi membuat
bocah itu muntah darah dan tidak sadarkan diri.
Untung saja tenaga murni Im-yang-ceng-khi yang dimilikinya sudah mulai
tumbuh sehingga dapat melindungi badannya, kalau tidak, mungkin bocah itu
sudah tewas sejak tadi.
Dengan susah payah akhirnya Bwe Si-jin berhasil juga mempertahankan diri
dari sapuan angin puyuh, ketika serangan telah lenyap dia mulai menengok
sekeliling tempat itu, tapi tak nampak Cau-ji.
Dalam keadaan begini dia tak bisa berbuat lain kecuali buru-buru mengatur
pemapasan dan berusaha memulihkan kembali kekuatan tubuhnya.
Setengah jam kemudian tenaga dalam Bwe Si-jin sudah pulih enam bagian,
maka dia pun menggunakan tangannya untuk menggali sebuah lubang seluas
dua tiga depa agar badannya bisa menerobos keluar.
Setelah mencari beberapa saat akhirnya ia jumpai tubuh Cau-ji menempel di
sisi sebuah tebing, sepasang tangannya menancap di atas dinding sementara
kakinya terkulai lemas, noda darah masih menghiasi ujung bibirnya.
Secepat kilat Bwe Si-jin datang menghampiri, ketika diraba, ia menjumpai
tubuh bocah itu sudah dingin kaku, untung jantungnya masih berdetak, tanpa
terasa dia menghembuskan napas lega.
Buru-buru dia menghimpun tenaga dalam dan menempelkan tangan
kanannya di atas jalan darah Pek-hwe-hiat bocah tersebut, kemudian pelanpelan
membantunya mengatur kekuatan.
Beberapa saat kemudian hawa murni yang disalurkan ke dalam tubuh bocah
itu mendapat sambutan dari hawa murni si bocah, bahkan secara otomatis
kekuatan itu bergerak dan menyebar ke seluruh badan.
Sesaat kemudian terdengar Cau-ji berkeluh lirih, darah hitam menyembur
keluar dari mulutnya.
"Cau-ji, hati-hati" bisik Bwe Si-jin sambil memayang tubuhnya.
"Terima kasih paman" jawab Cau-ji tertawa, sambil berkata dia tarik kembali
tangannya dari atas dinding lalu merebahkan diri.
"Hebat benar bocah ini, ternyata ia sama sekali tidak terluka ..." batin Bwe Sijin
tercengang. Dalam pada itu Cau-ji juga dibuat kebingungan, tanyanya: "Aku masih ingat
dadaku terasa sakit waktu diterjang angin puyuh, lalu aku muntah darah dan
tak sadarkan diri, tapi aneh benar, kenapa aku sama sekali tidak terluka?"
"Kau harus bersyukur karena tidak terbawa hembusan angin puyuh, kalau
tidak, mungkin kau sudah tewas."
"Paman, bagaimana caramu lolos dari kurungan?" kembali Cau-ji bertanya
keheranan. "Hahaha ... tenaga dalamku sudah pulih enam tujuh bagian, bukan pekerjaan
yang sulit untuk keluar dari gua ini."
"Bagus sekali, kalau begitu kita bisa keluar dari sini untuk mencari bibi."
"Tak usah terburu-buru, pusaran angin berpusing itu tampaknya sangat
bermanfaat untuk memulihkan tenaga dalamku, aku ingin bertahan berapa
waktu lagi, jika tenaga dalamku sudah pulih baru kita berangkat."
"Baiklah," Cau-ji manggut-manggut "toh Oh- locianpwe telah berjanji akan
pergi ke pesanggrahan Hay-thian-it-si untuk mengabarkan beritaku, sampai
waktunya mereka pun pasti akan tahu juga tentang kabar beritamu."
"Benar, tugas terpenting yang harus dilakukan sekarang adalah memberi
petunjuk kepadamu untuk berlatih kungfu, Cau-ji, kau masih perjaka bukan?"
"Paman, apa artinya perjaka?"
"Artinya ... Cau-ji, kau belum pernah tidur dengan wanita bukan?"
"Pernah, pernah, Cau-ji sering tidur dengan ibu."
"Hahaha... kalau itu mah tak jadi soal, coba kemari, dengarkan baik-baik."
Maka secara ringkas Bwe Si-jin menjelaskan ilmu Kui-goan-sinkang kepada
bocah itu kemudian mewariskan seluruh kepandaiannya kepada Cau-ji.
Dengan kecerdasan dan kehebatan tenaga dalam yang dimiliki bocah itu, tak
sampai setengah jam kemudian ia telah berhasil hapal di luar kepala kokuat dari
Kui-goan-sinkang tersebut.
Sambil tersenyum Bwe Si-jin segera memuji: "Cau-ji, kau memang bocah
berbakat, mulai sekarang tancapkan sepasang tanganmu ke atas dinding karang
lalu atur napas sesuai dengan apa yang kuajarkan, tak sampai satu jam
kemudian aku jamin pasti akan terjadi satu peristiwa aneh."
"Sungguh?"
"Hahaha ... semenjak perguruanku didirikan, gua ini merupakan tempat
terlarang, tapi justru di sini pula tempat yang paling cocok untuk melatih diri."
"Paman, apa maksudmu?"
"Hahaha ... di kemudian hari kau bakal tahu dengan sendirinya, sayang
tenaga goan-yang milik paman sudah rusak, dengan meminjam kekuatan angin
topan berpusing paling banter cuma bisa pulihkan sebagian tenagaku yang
dicuri Su Kiau-kiau. Sudahlah, waktu sangat berharga, cepatlah mulai berlatih
tenaga dalam."
Selesai berkata ia segera menerobos masuk kembali ke dalam gua.
Setelah menderita kerugian besar tadi, Cau-ji tak berani bertindak gegabah,
buru-buru ia duduk bersila menghadap ke dinding, menghimpun hawa
murninya pada telapak tangan lalu menancapkannya ke atas dinding karang.
Tak selang berapa saat kemudian ia sudah berada dalam keadaan tenang.
Satu jam kemudian ketika Bwe Si-jin selesai bersemedi, ia saksikan tubuh
Cau-ji yang berada di luar gua diselimuti selapis cahaya merah, melihat itu dia
sangat kegirangan.
"Sucouya sekalian dari pergurunan Jit-seng-kau," gumamnya, "selama seratus
tahun terakhir belum ada seorang manusia pun berhasil menguasai Kui-goansinkang,
tapi kini, kepandaian tersebut sudah terwujud di tubuh Cau-ji."
"Sucouya sekalian, tecu berani menjamin dengan nyawa, tecu akan berusaha
melindungi Cau-ji agar bisa menduduki posisi ketua, bersamaan juga bisa
mengubah Jit-seng-kau jadi sebuah perguruan kaum lurus."
Berbisik sampai di situ tidak kuasa lagi cucuran air mata terharu berlinang
membasahi pipinya.
Sudah sepuluh tahun lamanya Bwe Si-jin terkurung di tempat itu, meskipun
banyak siksaan dan penderitaan telah dialami, selama ini dia tak pernah
mengucurkan air mata, sungguh tak disangka dalam satu dua hari terakhir
beberapa kali dia mesti melelehkan air mata. Entah berapa lama sudah lewat....
Mendadak dari kejauhan bergema lagi suara tiupan angin berpusing yang
memekakkan telinga, tampaknya waktu datangnya badai telah tiba.
Cau-ji yang masih bersemedi segera mengerahkan seluruh hawa murninya
untuk mempertahankan diri, dengan menahan rasa sakit yang menyayat di
sekujur badannya, dia biarkan angin topan itu berpusing di sekeliling badannya.
Beberapa kali badannya terangkat oleh pusaran angin kencang itu, tapi setiap
kali dia kerahkan tenaga dalamnya, tubuhnya menjadi tenang kembali, tapi
akibatnya terjadi pergolakan yang hebat di dalam rongga dadanya.
Tapi ia tetap mempertahankan diri, sambil menggertak gigi dia berusaha
mempertahankan tubuhnya.
Akhirnya setelah bersusah payah sekitar satu jam, pusaran angin puyuh itu
mulai mereda, gejolak hawa darah dalam rongga dadanya ikut pula jadi tenang,
ia hembuskan napas lalu melanjutkan semedinya.
Setengah jam kemudian ketika Bwe Si-jin selesai bersemedi dan merangkak
keluar dari gua, ia segera saksikan pakaian yang dikenakan Cau-ji telah hancur
berantakan, namun lingkaran cahaya merah di sekeliling badannya bertambah
tebal, kenyataan ini membuat hatinya amat gembira.
Begitulah, sejak hari itu dia tidak bosan-bosannva memberi petunjuk kepada
bocah itu untuk semakin menyempurnakan tenaga dalamnya.
0oo0 Suara mercon bergema memecahkan keheningan, aneka bunga bwe
berkembang dan menyiarkan bau harum semerbak.
Tahun baru telah tiba.
Pesanggrahan Hay-thian-it-si telah dihiasi dengan sepasang lian di muka
pintu gerbang, namun tahun baru kali ini terasa tidak semeriah tahun kemarin.
Ini disebabkan Cau-ji tidak berada di rumah, bahkan kabar berita Go Hoa-ti
pun seolah lenyap ditelan bumi.
Ong Sam-kongcu beserta dua belas tusuk konde emas berkumpul di ruang
tengah, mereka hanya duduk-duduk dengan wajah termenung.
Sementara sekawanan bocah bermain di seputar halaman, walaupun suasana
tetap ramai namun seakan kehilangan kegairahan.
Pada saat itulah Ong tua si penjaga pintu berlarian masuk dengan tergopohgopoh
sembari berteriak kegirangan: "Kongcu, kabar baik, kabar baik, Cau-ji
sudah ada beritanya!"
Teriakan tersebut segera disambut sorak sorai penuh kegembiraan dari semua
Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penghuni rumah.
Tampak Ong tua diiringi raja hewan Oh It-siau berjalan masuk ke dalam
ruangan dengan langkah lebar.
"Sam-pek," teriak Ong Bu-jin dengan rasa kuatir, "benarkah apa yang kau
ucapkan barusan?"
"Tentu saja benar, kalau tidak percaya tanyakan sendiri kepada Oh-yaya."
Sementara itu si raja hewan agak tertegun juga ketika melihat munculnya dua
puluhan bocah berwajah bersih, ia berseru pula: "Benar, aku mempunyai berita
tentang Cau-ji!"
"Oh, rupanya Oh-locianpwe telah datang berkunjung," kata Ong Sam-kongcu
sambil maju menyambut, "silahkan masuk!"
Tak lama setelah si raja hewan mengambil tempat duduk, Pek Lan-hoa
muncul menghidangkan air teh seraya berkata: "Oh-locianpwe, silahkan minum
teh." "Terima kasih, terima kasih, Ong Sam-kongcu, kau benar-benar orang paling
bahagia di dunia ini, bukan saja punya bini yang rata-rata cantik, anak pun
semuanya hebat, terutama Cau-ji, dia betul-betul bocah luar biasa."
"Terima kasih atas pujian locianpwe."
Raja hewan tahu semua orang terburu ingin mengetahui kabar berita Cau-ji,
maka dia pun berkata lebih lanjut "Kongcu, saat ini Cau-ji berada di bukit Wusan
berlatih silat"
Secara ringkas dia pun menceritakan semua kejadian yang telah berlangsung.
"Locianpwe," ujar Ong Sam-kongcu kemudian setelah selesai mendengar
penuturan itu, "kira-kira butuh berapa lama Cau-ji untuk belajar silat dan
keluar dari gua itu?"
"Kira-kira tiga tahun."
Ong Sam-kongcu segera berpaling ke arah kawanan bocah itu dan ujarnya
sambil tertawa: "Anak-anak, dengarkan baik-baik, mulai hari ini kalian mesti
lebih giat berlatih silat, dua setengah tahun kemudian kita beramai-ramai
mendatangi telaga tersebut dan menonton bagaimana hebatnya si naga sakti,
setuju?" Para bocah pun bersorak sorai menyambut tawaran itu dengan penuh
kegembiraan. Sambil tersenyum kembali Ong Sam-kongcu berkata kepada Si Ciu-ing: "Adik
Ing, Oh-locianpwe dengan menempuh badai salju datang menyampaikan kabar
gembira, coba perintahkan dapur untuk menyiapkan hidangan, hari ini aku
ingin mengajak Oh-locianpwe minum sampai mabuk"
"Kongcu tak usah repot-repot."
Bab V. Bencana pembawa nikmat
Waktu berlalu dengan cepat tanpa terasa bulan Tiong-ciu kembali menjelang
tiba. Menggunakan kesempatan tersebut, Bwe Si-jin melatih kembali ilmu silatnya,
bukan saja kepandaiannya bertambah maju, tenaga dalamnya juga mengalami
kesempurnaan. Di bawah bimbingannya, ilmu tenaga dalam Kui-goan-sinkang yang dipelajari
Cau-ji kembali mengalami kemajuan satu tingkat, kini setiap kali dia bersemedi
maka cahaya merah yang semula menyelimuti badannya, kini berubah menjadi
warna kuning. Setiap kali angin topan berpusing datang menyerang, kini Cau-ji tak usah
menancapkan tangannya lagi ke dalam dinding karang, ia cukup menekan
permukaan tanah, badannya sudah terpantek tenang hingga dia dapat
melanjutkan semedinya.
Menurut penjelasan Bwe Si-jin, asal dia bisa duduk bersila tanpa mesti
berusaha menahan diri tiap kali angin topan datang menyerang, itu berarti
tenaga dalam Kui-goan-sinkangnya telah mencapai tingkat kesempurnaan atau
dengan perkataan lain, itulah saat bagi mereka untuk meninggalkan gua.
Setiap ada waktu senggang, Bwe Si-jin juga mewariskan ilmu "Li-gong-sit-u"
(mengambil benda di tengah angkasa) kepada bocah itu, dengan mengandalkan
kepandaian inilah setiap kali Cau-ji menangkap kelelawar untuk mengganjal
perutnya yang lapar.
Pada mulanya bocah ini merasa sangat tidak terbiasa tapi lama kelamaan
terdorong rasa lapar yang berlebihan, dia pun mulai bisa menerima kebiasaan
tersebut. Tengah hari itu, baru saja mereka berdua selesai bersemedi, tiba-tiba
terdengar seseorang berteriak keras dari luar gua: "Cau-ji, aku adalah si raja
hewan ... Cau-ji ..."
Mendengar teriakan itu, Cau-ji segera berseru dengan perasaan kaget
bercampur girang: "Paman, itu suara dari Oh-locianpwe"
Maka dia pun menyahut dengan keras: "Oh-locianpwe, Cau-ji berada di sini."
sambil berkata ia segera berlari keluar gua.
Bwe Si-jin ikut menerobos keluar dari gua sempitnya dan ikut berlarian
menuju keluar gua.
Ketika keluar dari balik air terjun, mereka berdua segera merasakan matanya
silau sekali oleh pantulan sinar matahari, baru saja mereka pejamkan mata,
terdengar si raja hewan berteriak penuh emosi: "Bwe-Lote, Cau-ji, rupanya
kalian benar-benar berada di sini, cepat tangkap benda ini!"
Mereka berdua segera menyambut lemparan itu, ternyata benda itu adalah
pakaian, kini mereka baru sadar jika tubuh mereka dalam keadaan bugil, maka
buru-buru mereka kenakan baju pemberian itu.
Tiba-tiba terdengar Cau-ji berteriak: "Locianpwe, kenapa kau ajak aku
bergurau...?"
Ternyata pakaian yang dikenakan itu sangat pendek lagi ketat, bukan saja
susah dikenakan, setelah dikenakan pun ketatnya sampai susah bernapas.
Raja hewan segera tertawa tergelak.
"Cau-ji, kau jangan gusar, ibumu yang titipkan pakaian itu agar diserahkan
kepadamu, mana aku tahu kalau badanmu bertambah jangkung dan kekar?"
Gelak tertawa pun segera bergema memecahkan keheningan.
Setelah puas berhaha-hihi, kembali si raja hewan berkata: "Lote, Cau-ji, kalian
pasti sudah lama tak makan enak, mumpung hari ini adalah hari Tiong-ciu, mari
kita minum beberapa cawan arak."
Sambil berkata dia keluarkan beberapa macam hidangan ditambah dua poci
arak wangi. Kemudian kepada Cau-ji katanya lebih lanjut: "Anak Cau, usiamu belum
genap tiga belas tahun, kau dilarang minum arak, makanlah yang banyak dan
gunakan air saja sebagai pengganti arak."
"Tidak apa-apa, locianpwe, bisakah kau menceritakan keadaan keluargaku?"
pinta Cau-ji sambil tersenyum.
"Hahaha ... Cau-ji, semua saudaramu memanggil "yaya" kepadaku,
seharusnya kau juga memanggil kakek padaku."
"Baik yaya, Cau-ji menghormati satu cawan air untukmu," sambil berkata dia
buka mulutnya dan menghisap air langsung dari mata air, sekilas panah air
segera menyembur masuk ke dalam mulutnya.
Melihat kesaktian bocah itu, si raja hewan terkejut bercampur gembira,
teriaknya tak tahan: "Cau-ji, tampaknya ilmu silatmu mengalami kemajuan yang
amat pesat." seraya berkata ia melirik sekejap ke arah rekannya.
Bwe Si-jin segera tersenyum, setelah meneguk arak satu tegukan, katanya
sambil tertawa: "Loko, aku telah mewariskan ilmu Kui-goan-sinkang kepadanya"
Tiba-tiba mencorong sinar tajam dari balik mata raja hewan, dengan wajah
berubah hebat hardiknya: "Jadi kau ... kau adalah anggota perkumpulan Jitseng-
kau (tujuh rasul)?" sambil bicara ia melompat bangun dan siap-siap
menghadapi serangan.
"Benar" sahut Bwe Si-jin sambil tertawa getir "siaute memang anggota Jitseng-
kau." Dengan wajah hijau membesi si raja hewan segera membuat satu garis
memanjang di atas tanah, kemudian katanya lagi: "Bwe Si-jin, mulai hari ini kita
putus hubungan, masing-masing tidak saling mengenal lagi."
Gemetar keras tubuh Bwe Si-jin mendengar ucapan tersebut, tiba-tiba ia
mendongakkan kepalanya dan tertawa seram, kemudian tanpa mengucapkan
sepatah kata pun, segera berlalu meninggalkan tempat itu.
Perubahan peristiwa ini berlangsung amat cepat dan singkat, untuk sesaat
Cau-ji jadi gelagapan dan tidak tahu apa yang mesti diperbuat
Raja hewan menghela napas panjang, setelah menenteramkan perasaan
hatinya, ia berkata: "Cau-ji, perkumpulan Jit-seng-kau adalah sebuah organisasi
yang banyak melakukan kejahatan dalam dunia persilatan di masa lalu, untung
sekali Ong-yayamu memimpin perlawanan, dengan usahanya yang luar biasa
perkumpulan tersebut berhasil beliau tumpas."
"Mimpi pun aku tak menyangka kalau Bwe Si-jin ternyata juga merupakan
anggota Jit-seng-kau, tak aneh kalau sucinya Su Kiau-kiau memiliki ilmu silat
yang luar biasa hebatnya. Aai ...! Kelihatannya dunia persilatan kembali akan
dilanda kekacauan."
"Tapi yaya ... Cau-ji rasa paman Bwe tidak seperti orang jahat, bukankah dia
pun dikurung dalam gua" Dia pasti bukan orang jahat," bisik Cau-ji.
"Anak kecil, kau belum punya pengalaman dan tidak tahu betapa keji dan
liciknya orang persilatan, siapa tahu dia memang disekap di situ lantaran
rebutan posisi ketua Jit-seng-kau dengan kakak seperguruannya Su Kiau-kiau?"
"Tapi... paman Bwe baik sekali orangnya, masa dia orang jahat?"
Raja hewan tidak ingin berdebat lebih jauh, dia segera mengalihkan
pembicaraan ke soal lain, katanya: "Cau-ji, setelah bersantap, masuklah kembali
ke gua untuk berlatih ilmu, aku mesti laporkan kejadian ini kepada ayah ibumu
agar mereka tidak sampai dicelakai Bwe Si-jin."
Selesai berkata, ia segera pergi meninggalkan tempat itu.
"Yaya " teriak Cau-ji, tapi ketika dilihatnya kakek itu tidak menggubris,
akhirnya dia pun menghela napas panjang.
la tidak menyangka sebuah pertemuan yang baik akhirnya mesti bubar dalam
suasana tidak menggembirakan.
Apa jadinya bila suatu hari pamannya bertemu dengan yayanya sehingga
terjadi pertarungan" Siapapun yang terluka, baginya tetap mendatangkan
kedukaan yang mendalam.
Berpikir sampai di situ, perasaan hatinya jadi tak tenang, gumamnya: "Aku
harus minta ayah untuk menjadi penengah, aah betul! Apa salahnya kalau
kubereskan dulu masalah ini, kemudian baru balik kemari melanjutkan
latihannya"''
Begitu mengambil keputusan, dia pun berlarian menuju ke bawah bukit
Ketika tiba di punggung bukit, mendadak dari sisi sebelah kanan hutan
terdengar suara orang sedang merintih sambil berteriak keras.
Sebagai seorang bocah berjiwa pendekar, Cau-ji segera menghentikan
langkahnya sambil pasang telinga.
la segera mendengar suara gemericit yang nyaring bergema dari balik hutan,
di antaranya kedengaran juga suara dengusan napas seorang lelaki dan suara
rintihan seorang wanita.
"Aduuh ... koko ... aduh ... senjatamu ... senjatamu begitu ganas seperti
seekor naga sakti... aku ... aku sudah tidak tahan"
"Hehehe ... naga sakti berusia ribuan tahun milik koko akan melakukan
pembunuhan besar-besaran hari ini, kecuali kau merengek minta ampun."
"Aduuuh... aaah"
Cau-ji hingga detik itu hanya merupakan seorang bocah kemarin sore yang
masih berbau kencur, tentu saja dia tidak paham arti dari teriakan laki
perempuan itu, dengan perasaan tertegun pikirnya: "Sungguh aneh, rintihan
perempuan itu macam orang hampir sekarat, kenapa dia masih memanggil
musuhnya koko?"
Dengan penuh rasa ingin tahu dia berjalan mendekat dan mengintip dari balik
semak. Tampak sepasang muda mudi dalam keadaan telanjang bulat sedang
bergumul di atas permukaan rumput, setiap kali lelaki itu menggoyangkan
tubuhnya naik turun, perempuan itu segera menggeliatkan badannya kian
kemari sembari menjerit dan merintih.
Makin dipandang Cau-ji merasa semakin tak tahan, akhirnya dia melompat
keluar dari balik semak belukar sambil bentaknya: "Berhenti!"
Padahal waktu itu sepasang laki perempuan itu sedang mencapai puncak
kenikmatan, bila terlambat sedetik lagi mungkin keduanya sudah mencapai
puncak kepuasan, begitu mendengar hardikan Cau-ji yang nyaring, kontan
kedua orang itu melompat bangun dengan rasa kaget.
Kedua orang itu sebenarnya hanya rakyat dusun di bawah bukit sana, mereka
memang sengaja berjanji untuk bermain cinta di hutan agar perbuatan serong
mereka tidak diketahui pasangannya sendiri.
Bentakan tersebut tentu saja mengejutkan mereka berdua, disangkanya
perbuatan serong mereka telah ketahuan, tanpa membuang waktu lagi lelaki itu
segera kabur terbirit-birit dari situ dalam keadaan bugil.
Sebaliknya perempuan itu baru saja merangkak bangun dari tanah, ketika
melihat orang yang muncul hanya seorang pemuda asing, kontan dia sambar
bajunya seraya mengumpat: "Sialan lu! Lagi enak-enaknya aku menelan
mentimun, kamu datang mengganggu ... huuh, padahal aku sudah hampir
mencapai puncaknya"
Sambil mengomel tiada hentinya perempuan itu segera berlalu dari tempat
tersebut Kini tinggal Cau-ji masih berdiri melongo, dia tidak habis mengerti kenapa
orang malah mengumpatnya, padahal niat dia hanya menolong jiwa perempuan
itu" Sambil menggelengkan kepalanya berulang kali ia lanjutkan kembali
perjalanannya, mendadak satu ingatan melintas lewat, tiba-tiba saja ia teringat
kembali dengan ucapan lelaki tadi tentang "naga sakti berusia seribu tahunnya,
sambil berseru tertahan buru-buru dia berbelok dan mengambil jalan menuju ke
arah telaga. Rupanya secara tiba-tiba ia teringat kembali dengan naga sakti yang berdiam
dalam telaga, ia berniat sekalian membasmi binatang tersebut agar tidak
mencelakai orang.
Berapa li sebelum mencapai tepi telaga, tiba-tiba dari kejauhan ia mendengar
ada suara orang menjerit kaget
Waktu itu jam menunjukkan pukul dua belas malam, langit yang gelap hanya
disinari rembulan yang redup, walau begitu, dengan kesempurnaan tenaga
dalam yang dimiliki Cau-ji, dia dapat menangkap suara jeritan itu dengan sangat
jelas. Tergopoh-gopoh bocah itu mempercepat langkahnya menghampiri asal suara
jeritan itu. Tiba di sisi telaga, ia saksikan ada dua belas orang bocah laki dan bocah
perempuan berkumpul di situ menemani seorang gadis remaja, saat itu mereka
sedang memanggang daging.
Rupanya mereka adalah dua belas orang pelayan dari perkumpulan Jit-sengkau
yang sedang berpesiar menemani tuan putrinya.
Jangan dilihat kedua belas orang bocah laki dan perempuan itu masih berusia
tujuh delapan belas tahunan, bukan saja wajah mereka rata-rata tampan dan
cantik, ilmu silatnya hebat dan hatinya sangat telengas.
Dalam perkumpulan Jit-seng-kau berlaku sebuah peraturan yang tak tertulis,
yakni bila ada salah seorang di antara mereka yang berkhianat, maka bila dia
seorang pria maka pada akhirnya lelaki itu akan mati kehabisan cairan mani
lantaran digilir habis-habisan oleh keenam orang gadis cantik itu.
Sebaliknya jika si penghianat adalah seorang perempuan, dia pasti akan mati
digilir keenam orang pria tampan itu.
Karena kekejaman dan kebuasan mereka itulah di dalam perkumpulan Jitseng-
kau dikenal sepatah kata yang sangat populer yakni "Lebih gampang
menjumpai raja neraka ketimbang bertemu setan cilik".
Kedua belas orang laki wanita ini memang hasil didikan ketua serta kedua
wakil ketua Jit-seng-kau, bukan saja sulit dihadapi, bila kurang berhati-hati bisa
jadi nyawa akan jadi taruhan.
Su Kiau-kiau maupun keempat suci-sumoaynya tentu saja juga tahu akan
kebuasan serta ketelengasan kedua belas orang kepercayaannya, tapi mereka
sama sekali tak menggubris, mereka sengaja mengumpak mereka hingga
semakin berani melakukan hal-hal yang sadis.
Begitulah, pada malam itu mereka bertiga belas sedang bersantai di tepi telaga
sambil memanggang daging dan minum arak, tak selang satu jam kemudian
kawanan muda mudi itu sudah mulai mabuk.
Pada saat itulah tiba-tiba tampak gadis berdandan sebagai tuan putri yang
berbaju merah, berwajah cantik dan berusia tiga empat belas tahunan itu
berseru dengan nyaring: "Jangan minum lagi, kalau dilanjutkan, kita tak bisa
pulang ke istana!"
Ketua para gadis cantik So Giok-ji segera menyahut: "Baik, baik, kita tidak
minum lagi, engkoh Liong, mari kita berkumpul dan adakan permainan
bersama." Sambil berkata dia segera mengerling memberi tanda.
Ketua kaum lelaki Yau Ji-liong segera menanggapi, ia tertawa tergelak:
Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hahaha ... baiklah, tuan putri, mari kita bermain hembusan angin puyuh!"
"Baik."
"Agar permainan tambah asyik, maka setiap orang yang terhembus jatuh, dia
mesti melepaskan satu macam barang yang dikenakan, bagaimana" Setuju?"
Kawanan bocah laki dan perempuan itu segera bersorak sorai menyatakan
setuju. Hanya si tuan putri Su Gi-gi yang kelihatan masih sangsi.
Melihat itu So Giok-ji segera berbisik: "Tuan putri, di sini tak ada orang luar,
apalagi kau selalu paling tenang, bukankah tiap kali bermain tiupan angin
topan, kau selalu menang"''
Su Gi-gi termenung berpikir sebentar, merasa apa yang dikatakan ada
benarnya juga maka dia pun mengangguk tanda setuju.
Kawanan muda mudi itupun mulai mengumpulkan dua belas batu besar yang
ditata menjadi satu lingkaran bulat masing-masing orang duduk di atas batu itu
dan memandang ke arah sucinya sambil tertawa cekikikan.
Tampak Su Kiau-kiau menyapu sekejap kawanan muda mudi itu, tiba-tiba
serunya dengan suara lantang: "Angin besar berhembus!"
"Meniup apa?" serentak muda mudi itu bertanya.
"Meniup bocah lelakil" sahut Su Kiau-kiau sambil bergerak secepat kilat
merebut posisi yang di tempati Yau Ji-liong.
Menurut aturan main, barang siapa ditunjuk kena tiupan maka dia mesti
bergeser ke posisi yang lain, bila gerakan tubuhnya lamban sehingga tidak
berhasil merebut posisi baru maka orang itu dianggap kalah dan dia mesti
melepaskan semacam barang yang dikenakan.
Tampak seorang bocah lelaki yang tidak berhasil merebut posisi mundur
selangkah ke belakang, kemudian sambil tertawa dia lepaskan ikat kepalanya,
setelah itu kembali teriaknya: "Angin besar berhembus!"
"Meniup apa?"
"Meniup orang yang punya rambut!"
Setelah terjadi kegaduhan akhirnya So Giok-ji yang gagal merebut posisi,
sambil tertawa cekikikan dia pun melepaskan jubah luarnya.
Begitu pakaian dilepas, tempik sorak pun segera bergema gegap gempita.
Ternyata begitu dia lepaskan jubah luarnya, terlihatlah tubuh bagian dalamnya
yang sama sekali tidak mengenakan apa-apa alias dia berada dalam keadaan
bugil. Dengan tubuh telanjang bulat So Giok-ji berteriak nyaring: "Angin besar
berhembus!"
"Meniup apa?"
"Meniup orang yang tak punya perasaan."
Semua orang tertawa terbahak-bahak, ternyata tak seorang pun di antara
mereka yang bergeser.
Si tuan putri segera berseru sambil tertawa: "Giok-ji, kali ini taktikmu tidak
jitu...." Sambil tertawa getir So Giok-ji pun melepaskan sepasang sepatunya.
"Angin besar berhembus!"
"Meniup apa?"
"Meniup bocah lelaki!"
Begitulah, permainan pun bergulir tiada hentinya, tatkala rembulan sudah
berada tepat di tengah angkasa, kedua belas orang muda mudi itu boleh dibilang
sudah berada dalam keadaan bugil.
Su Gi-gi sendiri pun ikut tertiup sebagian besar bajunya hingga kini yang
tersisa hanya pakaian dalamnya yang berwarna biru muda.
Melihat lekukan badan si tuan putri yang begitu montok dan indah, keenam
orang pemuda itu bukan saja melototi terus tubuh lawan tanpa berkedip,
bahkan kentara sekali kalau tubuh bagian bawahnya sudah pada bangun berdiri
dengan kakunya.
Melihat itu si tuan putri segera berseru: "Sudah ... sampai di sini saja, kalian
boleh bermain gila!"
Diiringi sorak sorai yang amat nyaring kedua belas orang muda mudi itu
segera mencari pasangan masing-masing dan mulai berbuat intim.
Pada mulanya pihak lelaki yang berada di atas dan si wanita berada di bawah,
tapi sesaat kemudian pihak wanita yang berada di atas dan si lelaki berada di
bawah, bukan saja banyak variasi yang digunakan, tampaknya semua orang
sudah berpengalaman sekali dalam melakukan hubungan kelamin.
Tiba-tiba terdengar So Giok-ji berteriak keras: "Sekarang berganti pasangan!"
Enam pasang muda mudi segera melompat bangun dan berganti pasangan,
kemudian melanjutkan kembali permainannya saling menunggangi lawan
jenisnya. Siapakah Su Gi-gi itu" Ternyata dia adalah anak haram Su Kiau-kiau,
sepuluh tahun berselang Su Kiau-kiau telah menculik Bwe Si-jin dan
mengirimnya ke gua, sepanjang perjalanan secara beberapa hari mereka telah
melakukan hubungan intim yang tak terhitung banyaknya, bocah perempuan itu
tak lain adalah hasil dari hubungan tersebut.
Tatkala mengetahui dirinya hamil, sebenarnya Su Kiau-kiau punya rencana
untuk menggugurkannya, tapi niat itu dicegah ketiga orang sumoaynya, alasan
mereka, di kemudian hari mereka bisa gunakan si bocah sebagai sandera untuk
memaksa Bwe Si-jin berbakti lagi terhadap perguruan Jit-seng-kau.
Itulah sebabnya Su Gi-gi berhasil lolos dari kematian dan tumbuh jadi bocah
remaja. Di bawah bimbingan dan didikan secara langsung dari Su Kiau-kiau
berempat, meskipun Su Gi-gi baru berusia tiga empat belas tahunan namun
ilmu silatnya sudah sangat hebat.
Perkumpulan Jit-seng-kau memang tersohor sebagai perkumpulan kaum
wanita bejat, boleh dibilang kesibukan mereka setiap harinya hanya berbuat
intim atau berbuat cabul sesama anggota, bagi Su Gi-gi kejadian tersebut sudah
sangat terbiasa dan tidak asing baginya.
Meskipun hingga hari itu Su Gi-gi masih bisa mempertahankan
keperawanannya, tak urung perasaan hatinya terpengaruh juga oleh adegan
mesum yang terpampang di depan matanya, diam-diam ia sendiri mulai merasa
terangsang dan sudah timbul pikiran untuk ikut "mencicipinya".
Apalagi dalam kondisi sekarang ini, dimana dua belas orang anak buahnya
sedang melangsungkan hubungan kelamin secara massal di hadapannya,
dimana bukan saja banyak variasi yang diperagakan, bahkan berulang kali
berganti pasangan, adegan ini membuat seluruh badannya jadi panas dan susah
untuk ditahan. Gelora hawa darah yang membara membuat dengus napasnya ikut memburu,
paras mukanya jadi merah padam sementara sepasang matanya mengawasi
terus adegan mesum yang masih berlangsung di hadapannya.
Makin dilihat hatinya makin tersiksa, semakin hatinya tersiksa dia semakin
pingin melihat, apa mau dibilang, ibu dan ketiga bibinya telah berpesan berulang
kali, sebelum nadi Jin-meh dan tok-mehnya tembus, dia tak boleh kehilangan
keperawanannya.
Dalam keadaan terangsang hebat hingga badannya seperti terbakar, hanya
satu cara yang bisa dilakukan Su Gi-gi sekarang yakni menceburkan diri ke
dalam telaga untuk berendam.
Ternyata cara ini sangat mujarab, setelah berendam sejenak dalam air dingin,
kesadarannya pulih kembali, selain napsu hilang, hatipun jadi tenang, maka dia
pun berendam lebih jauh.
Sementara itu tertawa cabul, rintihan jalang masih berlangsung dengan
serunya di tepi telaga, sekalipun kini dia sudah berendam dalam air, bukan
berarti pandangan matanya lolos dari pemandangan merangsang yang
terpampang di depan mata.
Pada saat itulah ... tiba-tiba ia menyaksikan timbulkan arus air berpusing
yang sangat dahsyat muncul dari dasar telaga, kejadian ini segera membuatnya
tertegun. Sementara dia masih termangu, pusaran air berputar makin kencang dan
makin melebar bahkan sudah mulai mendekati permukaan telaga, saat itulah Su
Gi-gi mulai panik dan terkesiap.
Sementara dia sedang menduga bakal munculnya makhluk aneh dari dasar
telaga, tahu-tahu naga sakti berusia ribuan itu sudah muncul di hadapannya
sambil mengeluarkan suara pekikan yang sangat mengerikan.
Biarpun titik kelemahan di tubuh naga sakti itu sudah terluka, namun dia tak
ingin kehilangan kesempatan "menghisap sari rembulan" yang hanya
berlangsung setahun satu kali, hari ini dia muncul kembali untuk mengulangi
kembali hal yang sama.
Tapi begitu muncul di permukaan dan melihat di tepi telaga ternyata terdapat
banyak "mangsa", dalam girangnya makhluk itupun berpekik nyaring.
Su Gi-gi sangat terperanjat, dalam terkejut bercampur ngerinya buru-buru dia
menyelam ke dalam air.
Kemunculan makhluk raksasa itu membuat suasana di tepi telaga jadi kalut,
dalam terkejut dan paniknya masing-masing melompat bangun dari tubuh
pasangannya dan kabur terbirit-birit dari situ.
Apa mau dibilang ternyata ada seorang gadis yang masih tertinggal di situ,
tampaknya rasa takut dan ngeri yang berlebihan membuat badannya bukan saja
gemetar keras, bahkan terjadi kejang-kejang khusus di sekitar lubang surganya.
Akibat kejang yang menyerang, ototnya jadi kaku dan segera "menggigit" kuatkuat
senjata "tombak" pasangannya yang masih menindih di atas tubuhnya.
Bisa dibayangkan apa jadinya saat itu, melihat "tombaknya "tergigit" hingga
tak bisa lepas, tergopoh-gopoh bocah lelaki itu berteriak: "Adik Hoa, jangan
main-main, ayo cepat lepaskan gigitanmul"
Sembari berkata dia cabut keluar tombaknya sekuat tenaga.
Gadis itu semakin panik, tergopoh-gopoh dia rentangkan sepasang pahanya
lebar-lebar agar sang pemuda bisa mencabut keluar senjatanya, sayang makin
panik gadis itu makin kencang "gigitan" liang surganya atas milik pemuda itu.
Pada saat itulah si naga sakti telah menongolkan kepalanya menghampiri
mereka, dengan sekali hisapan, diiringi jeritan ngeri yang menyayat hati,
sepasang muda mudi yang masih menempel jadi "satu tubuh" itu terhisap
masuk ke dalam perut makhluk tersebut.
Rekan-rekan lainnya jadi amat gusar melihat peristiwa tragis itu, sambil
membentak serentak mereka lepaskan pukulan dahsyat ke tubuh naga.
Sayang kulit tubuh naga itu kuat bagaikan baja, bukan saja serangan itu
gagal melukainya, malah sebaliknya justru memancing sifat liarnya.
Sementara itu Su gi-gi sudah muncul kembali di atas permukaan air, melihat
kegarangan naga sakti itu dia segera membentak nyaring sambil melepaskan
sebuah pukulan ke lambung binatang itu.
Merasa kesakitan naga sakti itu berpekik nyaring, tiba-tiba ia membalikkan
badan sambil menyerang gadis itu.
Buru-buru Su gi-gi melepaskan pukulan sambil menyingkir ke samping.
Tentu saja gerak geriknya sewaktu dalam air tidak segesit di atas daratan,
sekalipun tubuh nona itu tidak tertumbuk telak, namun tenaga sambarannya
membuat badannya mencelat hampir beberapa kaki jauhnya.
Muda mudi yang berada di tepi telaga serentak mengambil batu dan
menyambitkan ke lambung naga itu.
Sambitan yang dilancarkan serentak nampaknya membuat naga itu kesakitan,
lagi-lagi dia berbalik menyerang ke tepi telaga.
Tenaga bocah-bocah itu mana mungkin bisa menangkan kekuatan seekor
naga raksasa" Tidak sampai seperminum teh kemudian, tinggal empat orang
bocah yang selamat dari hisapan makhluk itu.
Sambil menjerit kaget keempat bocah perempuan yang masih hidup serentak
melarikan diri dari situ.
Lagi-lagi naga sakti itu pentangkan mulutnya sambil menghisap, seorang
bocah perempuan kembali terhisap ke perut makhluk itu.
Di pihak lain, Su Gi-gi merasakan gejolak hawa darah yang amat dahsyat
dalam rongga dadanya, nyaris dia jatuh pingsan karena sapuan makhluk itu,
sadar kalau usus perutnya terluka, diam-diam ia berenang menuju ke tepian.
Di saat yang sangat kritis itulah mendadak terdengar Cau-ji membentak
gusar: "Binatang, jangan melukai orang!"
Sambil menghardik, ia sambit sebutir batu besar ke bagian kepala naga sakti
itu. Bentakan keras membuat si naga menghentikan tubuhnya, tapi sambitan
batu yang menyusul tiba membuat makhluk itu mengerang kesakitan.
Menggunakan kesempatan itu dua orang gadis yang nyaris dimakan naga itu
terbirit-birit melarikan diri ke tempat kejauhan.
Melihat hasil tangkapannya terlepas, naga sakti itu meraung gusar, kini dia
menerjang ke arah Cau-ji.
Bocah itu membentak gusar, sambil melepaskan sebuah pukulan ke perut
naga itu dia menyingkir ke samping.
Serangan tersebut dilepaskan tanpa menimbulkan suara, tapi akibatnya
sangat luar biasa, tampak naga sakti itu bergulingan di atas air sambil meraung
kesakitan, sekuat tenaga dia pentang mulutnya sembari menghisap.
Cau-ji merasakan betapa kuatnya tenaga hisapan itu, meski bisa menghindar,
dia kuatir binatang itu akan semakin kalap, maka sambil bulatkan tekad ia
biarkan badan sendiri dihisap.
Su Gi-gi serta dua orang gadis yang berada di telaga sangat kaget melihat
kejadian itu, tak tahan mereka menjerit tertahan.
Ketika tubuh Cau-ji yang terhisap mencapai atas kepala naga itu, tiba-tiba ia
meronta sambil melejit ke samping kemudian melepaskan sebuah bacokan
langsung ke mata kanannya yang pernah dipatuk burung sakti.
Sebagaimana diketahui, sudah bertahun-tahun lamanya Cau-ji melatih diri di
dalam gua melawan daya hisap angin berpusing yang maha dahsyat itu, dengan
dasar latihan macam itu, bagaimana mungkin ia bisa takut dengan tenaga
hisapan seekor naga"
Diiringi pekikan keras, bola mata makhluk itu segera terhajar telak hingga
hancur berantakan, percikan darah segar memancar ke empat penjuru.
Tampaknya makhluk itu tidak menyangka kalau lawannya memiliki ilmu silat
begitu dahsyat, sadar bukan tandingan, buru-buru ia melarikan diri dengan
menyelam ke dasar telaga.
Cau-ji mendengus dingin, hardiknya: "Binatang, jangan harap bisa kabur!"
Kembali sebuah pukulan dahsyat dilontarkan.
Setelah mengalami kerugian besar karena serangan Cau-ji, kali ini makhluk
aneh itu bertindak lebih cerdik, buru-buru dia menghindar dari datangnya
ancaman. Su Gi-gi begitu melihat ada peluang untuk menyerang, ditambah lagi ia
dendam karena harus kehilangan nyawa sepuluh orang anak buahnya,
menggunakan kesempatan itu sebuah pukulan kembali dilancarkan menyerang
lambung binatang itu.
Gempuran keras membuat naga sakti itu meraung gusar, lagi-lagi dia
menumbukkan kepalanya ke arah Su Gi-gi.
"Cepat menghindar!" buru-buru Cau-ji berteriak sambil bergerak menghampiri
nona itu. Begitu tiba di sisinya, bocah itu langsung merangkul pinggangnya dan
menariknya menyelam ke dasar telaga.
Selama hidup Su Gi-gi belum pernah disentuh lelaki, dia jadi malu bercampur
gusar telah melihat pinggangnya dirangkul seorang pemuda berdandan aneh.
Seandainya waktu itu bukan lagi menyelam, mungkin dia sudah menghardik
penuh amarah. Tiba-tiba terjadi getaran dahsyat yang muncul dari permukaan telaga, begitu
dahsyat getaran itu membuat napasnya sesak dan nyaris pingsan, gadis itu tahu
getaran tersebut pasti ditimbulkan oleh naga sakti itu.
Sekarang dia baru merasa berterima kasih, untung pemuda itu menariknya ke
dalam air, coba kalau tidak, entah apa yang bakal terjadi.
Setelah menyelam cukup dalam ke dasar telaga, Cau-ji berbelok ke samping
lalu munculkan diri lagi di atas permukaan.
Buru-buru Su Gi-gi meronta dan melepaskan diri dari rangkulan pemuda itu.
"Cepat tahan napas!" tiba-tiba Cau-ji berbisik lagi, rupanya dia tahu kalau si
naga telah menemukan tempat persembunyiannya, segera dia tarik gadis itu
menyelam lagi ke dalam air.
Benar juga, baru saja mereka tiba di dasar telaga, kembali terjadi getaran
dahsyat di atas kepala mereka.
Kini Su Gi-gi benar-benar ketakutan, saking ngerinya dia merasakan
jantungnya berdebar keras.
Setelah berputar satu lingkaran, Cau-ji muncul kembali di atas permukaan
telaga. "Berapa lama kau bisa menahan napas?" terdengar pemuda itu berbisik lagi
sambil menatap wajah nona itu lekat-lekat.
Su Gi-gi merasa sangat tegang, terutama setelah mengamati wajah lawan yang
begitu tampan, sahutnya agak gelagapan: "Mungkin bisa bertahan seperminum
teh." Cau-ji sangat kegirangan, kembali ujarnya: "Kau berani menonton aku bantai
naga itu?"
Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bantai naga" Jadi makhluk aneh itu seekor naga?" berubah hebat paras
muka Su Gi-gi. Begitu mendengar gadis itu menjerit kaget, Cau-ji tahu bakal celaka, buruburu
bentaknya: "Tahan napas!"
Sambil berkata dia menyelam lagi ke dalam telaga.
Waktu itu Su Gi-gi sedang gugup bercampur panik, dia tak sempat menutup
pernapasannya, begitu menyelam, air segera masuk ke dalam mulutnya
membuat dia meronta-ronta.
Dulu, ketika masih berada di pesanggrahan Haythian-it-si, Cau-ji sudah
sering mempunyai pengalaman menghadapi situasi seperti ini, maka sembari
melanjutkan gerakannya menyelam, dia tempelkan tubuh sendiri ke dada si
nona. Bukan hanya begitu, dia pun tempelkan mulutnya ke bibir gadis itu sambil
pelan-pelan menyalurkan hawa murninya.
Sebenarnya Su Gi-gi sudah mengayunkan tangannya untuk melepaskan
pukulan, tapi ketika dirasakan dadanya yang semula sesak kini jauh lebih lega
dan enak, sadarlah dia kalau pemuda itu sedang membantunya mengalirkan
hawa murni, tanpa sadar tangan kanannya segera dirangkulkan ke bahu lawan.
Pada saat itulah getaran dahsyat kembali bergema dari permukaan air, saking
takutnya Su Gi-gi segera peluk tubuh Cau-ji erat-erat.
Pikiran Cau-ji saat itu hanya bagaimana selamatkan orang, meskipun dipeluk
seorang gadis cantik, dia sama sekali tak punya pikiran cabul.
Sekali lagi dia munculkan diri di belakang punggung sang naga sembari
berganti napas.
Dengan tersipu-sipu Su Gi-gi melepaskan diri dari pelukan pemuda itu, wajah
Cau-ji yang tampan membuat perasaan hatinya semakin bergolak, namun diamdiam
dia merasa kagum juga dengan kejujuran pemuda itu.
Tentu saja Su Gi-gi tidak menyangka kalau usia Cau-ji waktu itu baru dua
belas tahun lebih, bagaimana mungkin ia bisa berpikir ke soal yang satu itu"
"Kau tak apa-apa bukan?" bisik Cau-ji segera menghembuskan napas
panjang. "Tidak apa-apa, terima kasih!"
Cau-ji segera merangkul kembali pinggangnya sambil berbisik: "Ayo
berangkat, lihat bagaimana caraku membantai naga itu!"
Dengan wajah bersemu merah karena malu Su Gigi merangkul pinggang
pemuda itu erat-erat, setelah menahan napas dia ikut mengawasi situasi di
sekeliling telaga.
Sambil memeluk gadis itu, pelan-pelan Cau-ji mendekati tubuh makhluk
raksasa tersebut, ketika diamati lebih jelas, betul juga, ia saksikan pada
lambung tengah si naga yang berwarna lingkaran putih tertancap sebilah pisau
belati. Cau-ji segera menuding ke arah pisau belati itu, melihat hal tersebut Su Gi-gi
segera berpikir "Ooh, rupanya dia sudah melukai makhluk itu, tak nyana dengan
usia semuda itu ternyata memiliki ilmu silat yang luar biasa hebatnya."
Tanpa terasa dia manggut-manggut tanda telah melihatnya.
Dengan tangan kanannya Cau-ji menggenggam gagang pisau itu, kemudian
sambil mengerahkan tenaga dalamnya dia tarik pisau itu ke bagian bawah
lambung sang naga dan merobeknya lebar-lebar.
Terluka parah pada bagian tubuh yang mematikan, naga sakti itu meraung
keras, begitu dahsyat pekikan itu membuat dua belah tebing di sisi telaga itu
sampai ikut bergetar keras.
Gelombang ombak segera menggunung, arus menyembur mencapai ketinggian
berapa kaki. Situasi saat itu sangat mengerikan, sebab naga itu bukan saja meronta, dia
pun meraung dan menggeliat dengan hebatnya.
Tiba-tiba Su Gi-gi melihat munculnya sebutir bola api sebesar kepala bayi di
dalam lambung naga itu, hatinya tergerak, pikirnya: "Jangan-jangan bola api itu
adalah Lwe-wan (pil inti) seperti apa yang tercantum dalam catatan buku?"
Berpikir sampai di situ dia pun menepuk tangan Cau-ji sambil menuding ke
arah bola api itu.
Cau-ji manggut-manggut tanda mengerti, dia berenang mendekat sambil
mengayunkan pisau belati, bola api itu segera terputus dan jatuh ke tangan Su
Gi-gi. Begitu kehilangan bola apinya, naga itu meronta semakin dahsyat, tubuhnya
menggeliat semakin menggila dan dihantamkan ke empat penjuru, guguran batu
dan pasir segera berserakan ke dalam telaga.
Cau-ji ikut merasa tegang setelah melihat kejadian itu, buru-buru dia
berenang menuju ke tempat yang lebih dalam.
Baginya selama banyak tahun sudah terbiasa terbentur pada dinding karang,
terhadap runtuhan bebatuan yang terjadi saat ini tidak terlalu merisaukan, tapi
dia justru kuatir jika nona yang berada dalam pelukannya terkena bebatuan itu.
Dalam pada itu Su Gi-gi sudah dibuat ketakutan setengah mati, sambil
memeluk kencang Lwe-wan itu di depan dadanya, dia tempel ketat di sisi tubuh
Cau-ji. Pemuda itu tahu, bertahan dalam posisi semacam ini sangat tidak
menguntungkan, dia harus secepatnya mencari tempat yang lebih baik untuk
menyelamatkan diri.
Tiba-tiba sorot matanya terbentur dengan sebuah gua yang memancarkan
sinar redup di sisi dinding sebelah kanan, dengan perasaan girang ia segera
berenang ke arah situ dan langsung masuk ke dalam gua.
Bentuk gua itu sangat lebar, berdiri di mulut gua Cau-ji melihat dinding gua
itu dipenuh dengan butiran putih sebesar kepalan tangan yang bergelantungan,
ternyata air telaga tak bisa mengalir ke situ.
Dengan perasaan termangu pemuda itu mengawasi terus gelora air telaga di
luar telaga, dia tak habis mengerti kenapa air yang menggelora ternyata tak
mampu mencapai daratan dimana ia berdiri sekarang.
Sementara itu Su Gi-gi sudah melepaskan diri dari pelukan pemuda itu,
melihat pakaiannya basah kuyup sehingga kain bajunya menempel ketat di
badannya, ia jadi malu sekali, saat itu bukan saja semua lekukan badannya
tertera jelas bahkan secara lamat-lamat dapat terlihat puting susunya yang
mulai tumbuh serta bulu hitam di bawah perutnya.
Malu bercampur panik cepat-cepat gadis itu menutupi dada serta bagian
bawah badannya dengan tangan.
Selesai menutupi bagian tubuhnya yang terlihat, ia baru memperhatikan
lawannya, dia makin keheranan ketika melihat pemuda itu hanya mengawasi
butiran putih di dinding gua dengan termangu.
Su Gi-gi memperhatikan sekejap butiran putih itu, dia segera paham benda itu
tentulah mutiara anti air (Pit-sui-cu) seperti apa yang tertera di gua rahasia
perguruannya, maka ujarnya lembut: "Kongcu, kau tak usah keheranan, benda
itu adalah Mutiara kedap air!"
"Oooh, rupanya itulah benda yang disebut mutiara kedap air, ternyata
memang hebat sekali, hanya sebutir mutiara namun bisa menahan gelombang
air hingga tak masuk kemari... Hah?"
Mereka berdua serentak menoleh ke arah telaga, tampak batuan raksasa
mulai berguguran menyumbat mulut gua itu.
"Aduh celaka!" jerit Su Gi-gi kaget, "tampaknya terjadi tanah longsor, waah,
bagaimana cara kita keluar dari sini?"
Cau-ji berpikir sejenak, mendadak serunya: "Lari!" sambil mengempit tubuh si
nona, dia segera lari masuk ke dalam gua itu.
Bagaikan sedang mengempit adik perempuan sendiri, pemuda itu berlari cepat
menuju ke dalam gua yang gelap gulita.
Su Gi-gi merasa malu bercampur girang, hatinya berdebar keras merasakan
gesekan badan yang berlangsung selama pelarian itu.
Lorong gua itu berliku-liku, permukaan tanah pun tinggi rendah tak menentu,
akhirnya sampailah mereka berdua di depan sebuah mulut gua yang tersumbat
oleh sebuah batu raksasa.
Su Gi-gi mencoba untuk mendorong batu raksasa itu, ternyata batuan itu
sama sekali tak bergeming.
Melihat itu Cau-ji menghimpun tenaga dalamnya kemudian sekuat tenaga
mendorong batu itu.
Tampak batuan raksasa itu mulai bergerak.
Cau-ji kegirangan, sambil membentak nyaring sekali lagi dia dorong batu itu
dengan sekuat tenaga.
Siapa tahu batu itu hanya bergerak sebentar kemudian balik lagi pada posisi
semula. Cau-ji menarik napas panjang, sekali lagi dia mengerahkan tenaganya untuk
mendorong, sayang walaupun sudah dicoba berulang kali, batu raksasa itu tetap
tak bergeming. Su Gi-gi segera menarik lengannya sambil berbisik: "Kongcu, tak usah terburu
napsu, mari kita beristirahat sejenak."
Cau-ji mundur selangkah sambil menghembuskan napas, gumamnya: "Aai ...
sungguh tak nyana batu itu berat sekali, Hey, coba lihat, kenapa ada cairan yang
mengalir dari bola api itu?"
Su Gi-gi tahu bola api itu rusak karena cekalannya yang kelewat kuat
"Aduh sayang ...." jeritnya, dengan sangat berhati-hati dia pegang bola itu ke
dalam telapak tangannya.
Cau-ji segera mengendus bau harum yang luar biasa muncul dari bola api itu,
tiba-tiba perutnya mulai menjerit keras.
Tampaknya pertarungan sengitnya melawan naga tadi membuat pemuda itu
mulai merasa kelaparan.
Dalam pada itu Su Gi-gi sedang mengawasi bola api itu dengan perasaan
bimbang, dia tahu benda itu adalah mestika langka yang berusia seribu tahun,
dia tak tahu apakah benda itu harus dibagi setengah untuk pemuda itu ataukah
akan dimakan sendirian.
Menurut catatan dalam buku kuno, khasiat bola api itu akan lenyap setelah
satu jam terkena angin, sekarang mereka jelas terkurung dalam gua dan
mustahil bisa lolos dari situ dalam waktu singkat, itu berarti benda itu harus
dimakan secepatnya.
la tahu, di atas bahunya terletak tanggung jawab berat atas perkembangan
perguruan Jit-seng-kau, sementara pemuda itu tidak jelas asal-usulnya, apakah
dia mesti berbagi hasil dengannya"
Waktu itu meski dia tahu pihak lawan sangat kelaparan, tapi ia sudah
mengambil keputusan bulat untuk tidak menyerahkan bola api itu untuk lawan.
Dengan berlagak terpaksa, dia sodorkan bola api itu ke hadapan Cau-ji sambil
bisiknya: "Kongcu, jika kau lapar sekali, makanlah bola api ini!"
Cau-ji bukan orang bodoh, tentu saja dia pun tahu kalau nona itu keberatan
jika dia yang makan benda tersebut, maka katanya sambil tertawa: "Nona,
barang itu kecil sekali, mending tidak kumakan, aku kuatir kalau dimakan
malah semakin terasa lapar!"
"Kalau begitu siaumoay tidak sungkan-sungkan lagi" kata Su gi-gi sambil
tertawa, habis berkata ia masukkan Lwe-wan dari naga sakti itu ke dalam
mulutnya dan mulai dihisap pelan-pelan.
Cau-ji merasa semakin kelaparan, katanya kemudian sambil tertawa: "Nona,
biar aku berkeliling di sekitar sini, siapa tahu di tempat ini masih ada jalan
keluar lainnya"'
Memang ucapan macam itu yang diharapkan Su Gigi, dia segera mengangguk,
katanya berlagak kuatir "Kau mesti hati-hati...."
Cau-ji mengangguk dan segera berlalu dari situ.
Menanti hingga pemuda itu lenyap dari pandangan mata, Su Gi-gi menghisap
sekali lagi cairan dalam Lwe-wan itu kemudian duduk bersila dan mulai
mengatur pernapasan.
Tak selang berapa saat kemudian ia merasakan sekujur badannya amat segar,
ia tahu pasti berkat khasiat bola api, kembali dia hisap cairan itu satu tegukan.
Tak lama kemudian ia merasakan munculnya aliran panas dari tan-tiamnya
dan secepat kilat menyebar ke seluruh jalan darah pentingnya, ia merasa
badannya makin lama semakin enteng dan makin segar.
Tujuan yang utama bagi orang yang belajar silat adalah tembusnya urat jinmeh
serta tok-meh, Su Gi-gi tahu, kedua nadi penting itu sudah tembus, saking
girangnya air mata bercucuran membasahi pipinya.
Tanpa terasa dua jam sudah lewat, gelombang hawa panas yang semula
menggelora dalam dadanya lambat laun bertambah tenang, kini hawa panas itu
berubah jadi aliran tenaga yang sangat lembut.
Selesai bersemedi, Su Gi-gi mulai berpikir "Kenapa aku tidak sekalian
habiskan bola api ini" Daripada diberikan ke dia, kenapa tidak aku kuasai
sendiri?" Berpikir begitu dia segera mengambil sisa setengah dari Lwe-wan itu dan
mulai dihisap cairannya, kali ini bukan hanya cairannya saja yang dihisap
bahkan kulit luarnya pun ikut dilahap.
"Perduli amat bagaimana akibatnya," demikian ia berpikir, "toh saat ini jinmeh
dan tok-mehku sudah tembus, bila terjadi apa-apa, paling tidak aku masih
bisa mengendalikan diri."
Siapa tahu setelah bersemedi satu putaran, ia merasa tubuhnya makin lama
semakin panas, bukan saja tan-tiamnya seperti dibakar, sekujur badannya
seakan terjerumus dalam lautan api, panasnya bukan kepalang.
Buru-buru dia pejamkan mata sambil pusatkan pikiran, dia berusaha
mengendalikan menyebarnya hawa panas itu ke seluruh badan.
Sayang usahanya tidak membuahkan hasil, bukan saja hawa panas itu sukar
terkendali, bahkan ibarat api yang membakar ladang ilalang, dalam waktu
singkat setiap bagian tubuhnya terasa panas bagai dibakar.
la kuatir mengalami Cou-hue-jip-mo (jalan api menuju neraka), sambil
menggertak gigi dia berusaha keras mengendalikan diri.
Tak selang berapa saat kemudian tampak bibirnya mulai pecah dan terluka,
cucuran darah segar mulai meleleh keluar.
Bukan hanya begitu, bahkan dia mulai membayangkan adegan bercinta yang
dilakukan anak buahnya belum lama berselang.
Semakin dibayangkan dia merasa semakin terangsang, napsu birahinya
bangkit dan berkobar, akhirnya ia tak kuasa menahan diri lagi, kutangnya mulai
dicampakkan bahkan celana tipis yang dikenakan untuk menutupi auratnya
juga mulai dirobek, mulai dicabik dan dibuang jauh-jauh.
Tak lama kemudian ia sudah tampil dalam keadaan bugil, payudaranya
kelihatan sangat montok, bulu hitam menghiasi pangkal pahanya membuat
gadis itu nampak jalang dan merangsang, bahkan napasnya mulai kedengaran
ngos-ngosan. Hawa panas yang membakar seluruh tubuhnya membuat ia menggeliat ke
sana kemari mencari penyaluran.
Pada mulanya dengan menghajar bebatuan di sekitar gua membuat badannya
terasa agak segar, tapi sejenak kemudian ia mulai tersiksa.
Gempuran-gempurannya bukan saja tidak mampu menghilangkan hawa
panas yang merangsang napsu birahinya, bahkan semakin lama dia semakin tak
tahan. Sementara itu Cau-ji dengan menahan rasa lapar balik kembali ke mulut gua,
dia saksikan mutiara anti air masih tetap memancarkan sinar terang di situ.
Tapi mulut gua sudah tersumbat oleh reruntuhan batuan, dia mencoba untuk
mendorong, namun ibarat mendorong bukit karang, bebatuan itu sama sekali
tak bergeming. Dia mencoba berulang kali namun hasilnya tetap nihil, akhirnya sambil duduk
di lantai pikirnya: "Wah, tampaknya dasar telaga telah ditimbuni reruntuhan
bukit karang, ini berarti untuk bisa keluar dari sini, aku harus menyingkirkan
batu besar itu."
Maka dia pun duduk bersemedi sambil mengatur pemapasan, dia harus
menghimpun seluruh kekuatannya untuk menyingkirkan batu besar itu, sebab
kalau tidak, dia bakal mati kelaparan.
Entah berapa saat sudah lewat, pemuda itu baru mendusin dari semedinya
ketika dari kejauhan dia mendengar suara nona itu sedang berteriak-teriak,
semula dia menduga gadis itu telah bertemu dengan musuh tangguh, maka
buru-buru ia selesaikan semedinya dan berlarian menuju ke arah sumber suara
tadi. Dia baru berseru tertahan setelah melihat gadis itu sedang mencak-mencak
macam orang kalap dalam keadaan telanjang bulat.
Waktu itu Su Gi-gi sudah tak mampu menahan napsu birahinya, begitu
melihat munculnya Cau-ji, dia bersorak kegirangan dan langsung menerjang ke
arahnya. Buru-buru Cau-ji mundur selangkah.
Gagal dengan terjangannya yang pertama, Su Gi-gi menerkam sekali lagi
dengan kecepatan tinggi.
Pada waktu itu tenaga dalam yang dimiliki kedua orang itu boleh dibilang
tidak selisih banyak, posisi Cau-ji justru lebih dirugikan karena gerakan
tubuhnya tidak sehebat Su Gi-gi, tidak sampai tiga gebrakan kemudian bahu
kanannya sudah kena dicengkeram.
"Nona, mau apa kau?" teriak Cau-ji setelah merasakan separuh badannya
Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kesemutan dan kaku.
Su Gi-gi sama sekali tidak menjawab, sambil tertawa cekikian dia mulai
melucuti pakaian yang dikenakan pemuda itu sehingga sekejap mata kemudian
Cau-ji sudah berada dalam keadaan telanjang bulat.
"Hey nona, kau sudah gila?"
Su Gi-gi sama sekali tidak menggubris, kembali ia totok jalan darah kakunya
kemudian menubruk ke dalam pangkuannya.
"Blaaamm!" tubuh Cau-ji roboh tertelentang di atas tanah, sambil mengaduh
kembali pemuda itu berteriak: "Nona, kau ... kau sudah gila?"
Waktu itu dengus napas Su Gi-gi sudah memburu bagai dengus napas
kerbau, begitu menubruk badan Cau-ji dan menindihinya, dia langsung
menggesekkan tubuh bagian bawahnya ke atas "ular berbulu kecil" milik Cau-ji
yang masih mengkeret kecil.
Cau-ji dapat merasakan sekujur badan nona itu panas bagai kobaran api,
dengusan napasnya juga panas sekali, sambil berteriak bocah itu mulai berpikir
apa gerangan yang telah terjadi.
Sepandai-pandainya bocah ini, bagaimanapun dia belum dewasa, pikiran serta
reaksi badannya juga belum tumbuh jadi dewasa dan matang sehingga dia sama
sekali tak tahu apa yang sebetulnya telah terjadi.
Sudah setengah harian Su Gi-gi menggesekkan tubuh bagian bawahnya di
atas "uiar berbulu kecil" milik Cau-ji, tapi lantaran tegang bercampur takut,
tentu saja si "ular berbulu kecil" miliknya sama sekali tak mau "berdiri tegak",
hal ini membuat gadis itu makin tersiksa.
Dalam gelisahnya tiba-tiba dia tangkap ular berbulu kecil itu, lalu sesudah
dipaskan ke lubang surga miliknya, dia tekan kuat-kuat ke bawah.
Sayang si ular berbulu kecil itu kelewat lembek, bagaimanapun dijejalkan, ia
gagal menjejalkannya ke dalam lubang surga miliknya.
Waktu itu Cau-ji sudah dibikin kesakitan setengah mati, dia mendengus
berulang kali, masih untung jejalan itu tidak membuat miliknya lecet.
Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benak Su Gi-gi, ia teringat pernah
melihat seorang anggota perkumpulannya sedang bermain "seruling", waktu
melihat adegan itu untuk pertama kalinya, dia merasa jijik dan mual, tapi ketika
dibayangkan kembali sekarang, tiba-tiba gadis ini merasa miliknya semakin geli
dan gatal.... Tanpa berpikir panjang lagi dia merangkak ke atas tubuh Cau-ji, kemudian
dengan bibirnya yang kecil dia masukkan si ular berbulu kecil ke dalam
mulutnya, kemudian mulai menghisap dan menghisap terus kuat-kuat ....
Cau-ji sama sekali tak mengira kalau si nona akan melakukan tingkah laku
seaneh itu, teriaknya tak tahan: "Hey nona, jangan sembarangan ...."
Su Gi-gi sama sekali tidak menggubris, dia meneruskan hisapannya dengan
penuh bersemangat, tak lama kemudian ia jumpai si ular berbulu kecil sudah
mulai bernyawa dan mulai bisa menganggukkan kepalanya.
Terkejut bercampur girang gadis itu semakin memperkuat hisapannya,
bahkan dimasuk keluarkan di dalam mulutnya dengan lebih cepat.
Cau-ji malu bercampur gelisah, selembar wajahnya mulai berubah jadi merah
padam. Tak lama kemudian si ular berbulu kecil sudah berdiri tegak, bahkan mulai
menggelembung besar.
Su Gi-gi coba mengeluarkan si ular itu dari mulutnya, ia saksikan si ular kecil
kini telah berubah jadi ular besar, bahkan si ular pun sudah pandai
mengeluarkan "kepala'nya dari balik bungkusan kulit, betul bentuknya tidak
sebesar apa yang pernah dilihatnya di masa lalu, paling tidak posisi tegang dan
keras dari si ular berkepala botak itu sudah cukup untuk memenuhi hasratnya.
Kembali dia menunggang di atas tubuh pemuda itu, merentangkan mulut
guanya lebar-lebar dan segera mendudukinya kuat-kuat.
"Aduuh" gadis itu menjerit kesakitan, tapi ia tetap menggertak gigi sambil
menekankan badannya lebih ke bawah, dia ingin si ular besar berkepala botak
itu bisa menghujam lebih dalam di balik gua surganya.
Cau-ji segera merasakan ular berkepala botak miliknya seolah-olah direndam
di dalam "botol air" yang hangat sekali, selain sakit juga panas, tapi rasanya
kencang dan nyaman, barang miliknya seolah-olah terbungkus sangat rapat di
bagian yang hangat itu dan serasa disedot-sedot.
Dalam keadaan begini dia pun tak bisa mengatakan saat itu terasa sakit atau
nikmat" Su Gi-gi sendiri pun baru pertama kali ini bersetubuh, kehilangan selaput
perawan memang membuatnya kesakitan, tapi setelah beristirahat sejenak,
apalagi terdorong oleh gejolak hawa panas dalam tubuhnya, sambil menggertak
gigi dia mulai menggoyang tubuhnya, menggeliat, berputar dan naik turun tiada
hentinya.... Sekali dia bergerak, maka gerakan seterusnya tak bisa dicegah lagi, ditambah
pula semakin dia menggerakkan badan, lubang surga miliknya terasa makin geli,
gatal dan nikmat, maka dia pun menggoyangkan tubuhnya semakin menggila.
Mula-mula dia menggoyangkan badannya dalam posisi berjongkok, ketika
lama kelamaan kakinya mulai linu, dia pun berganti menggunakan lutut untuk
menggerakkan tubuhnya naik turun.
Ketika lututnya mulai sakit, dia pun menindihi badan Cau-ji dan bergoyang
terus.... "Crooot ... crooot ... plaaak ... plaak" suara bebunyian aneh bergema mengikuti
irama tubuhnya yang naik turun, bergoyang, berputar dan menggeliat.
Cau-ji si bocah kemarin sore yang belum pernah menerima pendidikan seks,
boleh dibilang sama sekali tak mengerti apa gerangan yang dilakukan gadis itu,
melihat si nona masih saja menggerakkan tubuhnya naik turun hingga
bermandikan keringat, beberapa kali dia membujuknya agar beristirahat dulu.
Tapi gadis itu tidak menggubris, bukannya beristirahat, goyangan tubuhnya
semakin menggila.
Mula-mula Cau-ji merasa agak tersiksa dengan tingkah laku gadis itu, tapi
lama kelamaan dia pun mulai merasakan nikmatnya permainan aneh ini,
sekarang dia mulai mengimbangi gerakan nona itu.
Entah berapa lama sudah lewat, tiba-tiba terlihat gadis itu gemetaran keras,
lalu diiringi rintihan lirih dan senyum kepuasan ia menghentikan semua gerakan
anehnya. Cau-ji merasakan dari bagian bawah tubuhnya mengalir keluar sejenis cairan
yang pekat, tanpa terasa pikirnya: "Gadis ini aneh betul, orangnya sih cantik,
tapi kenapa sukanya mengencingi orang" Mau kencing ya jangan di atas milik
orang lain!"
Sebetulnya dia mau menegur, tapi melihat gadis itu sedang memicingkan
matanya sambil menikmati, dia pun tak tega, kembali pikirnya: "Hai, mungkin
dia lagi kesetanan, ya sudahlah, paling banter aku mandi sekali lagi, mau
dikencingi ya biar saja dia kencing...."
Maka dia pun pejamkan matanya membiarkan gadis itu kencing semaunya
sendiri. Begitu pejamkan mata bocah itu merasa seluruh badannya segar, lega dan
nikmat sekali, tanpa terasa dia pun tertidur nyenyak.
Sejak berada dalam gua dingin tempo hari, boleh dibilang Cau-ji tak pernah
tidur nyenyak, sebab setiap setengah hari dia mesti bersiaga menghadapi
serangan angin puyuh berpusing.
Hari ini, secara tidak sengaja dia telah bermain cinta dengan Su Gi-gi,
walaupun dia tak tahu kalau cairan pekat yang meleleh keluar itu sesungguhnya
adalah cairan yang keluar dari miliknya karena mencapai puncak kepuasan,
namun dengan terjadinya hubungan badan itu, secara tidak sengaja hawa murni
yang terhisap oleh Su Gi-gi dari bola api naga itu ikut mengalir masuk ke dalam
tubuh Cau-ji, hal mana membuat seluruh hawa murni im-khi milik si nona
terhisap hingga habis.
Tampaknya gadis itu sedang tidur pulas di atas badan Cau-ji sambil tertawa
puas, padahal selembar nyawanya sudah melayang meninggalkan raganya.
Selama hidup Su Kiau-kiau sudah seringkah menghisap hawa yang-khi milik
kaum lelaki, entah berapa banyak nyawa manusia yang hilang di tangannya,
sungguh tak nyana hari ini anak gadisnya justru kehilangan juga nyawanya
karena hawa Im-khi miliknya terhisap oleh lelaki lain.
Mungkinkah ini yang disebut hukum karma"
Begitu tertidur Cau-ji terlelap sampai dua belas jam lamanya, selama satu hari
satu malam ini hawa murni Kui-goan-sinkang di dalam tubuhnya telah DergeraK
dan berputar secara otomatis.
Dengan menghisap sari hawa dingin yang dimiliki Su Gi-gi ditambah kekuatan
yang terbentuk dari Lwe-wan milik naga sakti, tenaga dalam Cau-ji saat ini boleh
dibilang sudah mencapai puncak kesempurnaan.
Ketika membuka matanya kembali, dia merasakan ada sebuah tubuh yang
membujur dingin dan kaku masih menindih di atas badannya, ia terkejut dan
hampir saja menjerit
Tapi ia segera teringat kalau nona itu adalah si gadis yang tadi kencing di
tubuhnya, tapi kenapa dia tertidur begitu nyenyak"
"Hey nona, ayo bangun!" seru Cau-ji kemudian.
Sudah berulang kali dia memanggil tapi gadis itu masih saja tidur nyenyak,
tanpa terasa dia goyangkan bahunya berulang kali sambil memanggil, siapa tahu
si nona tetap tak menggubris.
Cau-ji semakin keheranan, tiba-tiba ia merasa gadis itu bukan saja tubuhnya
sudah dingin kaku bahkan seakan-akan tak bernapas, dalam gugup dan
tegangnya cepat dia periksa pemapasan orang.
Akhirnya sambil menjerit kaget Cau-ii mendorong tubuh gadis itu kuat-kuat,
lalu keluhnya: "Kenapa gadis itu bisa mati di tanganku" Oooh Thian, kenapa aku
... aku jadi seorang pembunuh" Kalau sampai berjumpa keluarganya, bagaimana
caraku bertanggung jawab?"
Kasihan Cau-ji, walaupun dia merdapat banyak pengalaman aneh, tapi
batinnya tersiksa karena dia anggap pembunuh gadis tersebut adalah dirinya.
Bab VI. Pendidikan seorang ibu.
Bukit Wu-san, puncak Sin-li-hong, di tengah hutan pohon siong yang amat
lebat pada lima belas tahun berselang berdiri sebuah bangunan rumah yang
besar, gedung itu adalah pesanggrahan milik si raja penyayat kulit dari propinsi
Sichuan. Suatu hari Su Kiau-kiau muncul di tempat itu, karena merasa gedung itu
sangat cocok untuk dijadikan markas besar perkumpulan Jit-seng-kau, maka
dia gunakan Bi-jin-ki (siasat wanita cantik) untuk menjebak si raja penyayat
kulit, bukan saja ia berhasil menguasai seluruh keluarga besar si raja penyayat
kulit, bahkan bisa menggunakan seluruh harta kekayaannya untuk membangun
perguruannya. Tiga tahun berselang, si raja penyayat kulit satu keluarga besar yang terdiri
dari puluhan orang, tiba-tiba terjangkit penyakit aneh hingga secara beruntun
meninggal dunia, bukan saja Su Kiau-kiau berhasil mewarisi seluruh harta
kekayaan tersebut bahkan menjadi pemilik tunggal tempat itu.
Siang itu, baru saja Su Kiau-kiau berjalan masuk ke ruang utama, tongcu dari
ruang burung hong, si dewi burung hong Un Bun telah datang menghampiri
sembari berseru: "Lapor ketua!"
"Ada apa Un-tongcu," tegur Su Kiau-kiau sambil tersenyum, "kenapa kau
tergopoh-gopoh" Apa semalam kelewat panas sehingga hari ini datang minta
obat kepadaku?"
Merah jengah selebar wajah Un Bun sehabis mendengar ucapan itu, sahutnya:
"Ketua, berkat ilmu sakti ajaranmu, hamba masih sanggup menghadapi orangorang
itu, yang menjadi masalah adalah hingga kini kabar berita tuan putri
beserta kedua belas kim-tonggiok-li masih merupakan tanda tanya besar dan
penuh diliputi misteri."
"Semalam mereka pergi kemana?" tanya Su Kiau-kiau dengan wajah berubah
hebat. "Konon mereka membakar daging di tepi telaga kekasih!"
"Ehmm, selama ini Gi-gi tidak pernah menginap di luar, sudah utus orang
untuk mencari?"
"Sudah, menurut laporan, semalam terjadi bencana alam di telaga kekasih,
bukit karang yang semula berdiri tegak di sisi telaga kini telah berubah jadi
sebuah padang tanah luas, di sekeliling tempat itu sama sekali tak ditemukan
jejak mereka."
"Oooh ... tak aneh kalau semalam terdengar suara gempa dan pekikan aneh,
jangan-jangan ada makhluk asing yang muncul di situ?"
"Kaucu, bagaimana kalau kita libatkan orang-orang dari ruang Cing-liong-tong
dan Pek-hau-tong untuk ikut melakukan pencarian?"
Mendengar putri kesayangannya belum pulang, Su Kiau-kiau segera
mengeluarkan sebuah batu kemala dan diserahkan pada Un Bun sambil
perintahnya: "Gerakkan semua kekuatan yang ada, geledah seluruh bukit Wusan!"
"Baik!"
Mereka mana tahu kalau di saat seluruh kekuatan Jit-seng-kau sedang
menggeledah seluruh bukit Wu-san untuk mencari jejak Su Gi-gi, justru pada
saat yang bersamaan Su Gi-gi sedang "memperkosa" Cau-ji.
0oo0 Di kala Cau-ji sedang duduk termangu-mangu, tiba-tiba ia mendengar ada
suara perempuan sedang memanggil: "Tuan putri, tuan putri ... kau ada di mana
....?" Teriakan itu segera membuatnya sadar dari lamunan.
Kembali terdengar suara seorang berteriak dengan penuh tenaga: "Tuan putri
... tuan putri ... kau ada dimana"
Jelas tenaga dalam yang dimiliki orang itu sangat hebat, sehingga suara yang
bergaung hingga ke telinga Cau-ji pun kedengaran lebih jelas.
Mengikuti sumber datangnya suara panggilan itu Cau-ji menelusuri beberapa
buah lorong, setelah berjalan berapa tikungan akhirnya dari dinding sebelah
kanan ia jumpai ada sebuah celah yang cukup besar, bukan saja aliran udara
muncul dari situ, suara panggilan pun berasal dari sana.
Sementara itu suara panggilan yang bergema tadi sudah kian menjauh,
kembali Cau-ji berpikir "Tuan putri" Jangan-jangan nona tadi adalah tuan putri
dari kerajaan?"
Berpikir sampai di situ, berubah hebat paras mukanya.
Tapi dia segera membantah sendiri jalan pikiran tersebut, kembali pikirnya:
"Tidak mungkin dia adalah tuan putri dari kerajaan, semisalnya benar pun dia
pasti diiringi banyak pengawal. Apalagi tak mungkin seorang tuan putri mau
berbuat semena-mena terhadap orang lain, sampai kencing pun sengaja
dikencingkan ke tubuh orang...."
Dia mencoba menghampiri dinding karang dan menempelkan telinganya di
situ, terdengar seseorang sedang berkata: "Lotoa, hari sudah malam, lebih baik
kita pulang saja!"
"Maknya, siapa tahu tuan putri sedang bersenang-senang dengan cowok lain,
kita yang bawahan jadi susah, nyaris kakiku patah karena kelelahan."
"Sttt. Jangan berisik, ayo kita pulang saja."
Mengetahui kalau hari sudah senja, satu ingatan melintas dalam benak Cauji,
pikirnya: "Tak disangka hari hampir gelap, lebih baik aku tinggalkan gua ini
terlebih dulu kemudian baru mencari kesempatan untuk kabur."
Maka dia pun segera balik ke sisi jenazah Su Gi-gi, setelah menjura tiga kali,
dia pun berbisik: "Nona, maafkan kesalahanku, sejak hari ini aku tak akan
berani menyentuh kaum wanita lagi."
Habis berkata dia menghampiri batu yang besar itu, menghimpun segenap
tenaga dalamnya dan sebuah pukulan dilontarkan ke arah batu tadi.
Apa yang terjadi membuat Cau-ji tertegun.
Dia masih ingat tadi bersama gadis itu mereka sudah mencoba untuk
mendorong batu itu beberapa kali, jangan lagi bergeser, bergeming pun tidak,
kenapa pukulan yang dilontarkan sekarang dapat menghancurkan batu itu
hingga berkeping keping"
Mana dia tahu kalau kesemuanya ini hasil dari kekuatan Im-yang-kang-khi
miliknya" Mendadak terdengar seseorang berseru: "Saudara Sin, aneh sekali, kenapa di
sini bisa muncul segumpal hancuran batu?"
"Kalau begitu pasti ada sesuatu yang tak beres, mari kita periksa."
Mendengar tanya jawab itu Cau-ji jadi kaget, pikirnya: "Jika mereka sampai
masuk kemari dan menemukan jenazah gadis itu, aku pasti akan dituduh
sebagai pembunuhnya...."
Karena tak ingin dibebani urusan yang rumit buru-buru pemuda itu kabur
meninggalkan tempat itu.
Lorong gua itu semakin ke depan semakin bertambah lebar, ternyata mulut
gua tersembunyi di balik semak belukar yang rimbun, diam-diam Cau-ji
menyelinap keluar dari gua tersebut.
Dari kejauhan ia saksikan ada dua sosok bayangan manusia sedang bergerak
mendekati mulut gua itu.
Walaupun hari sudah gelap namun Cau-ji dapat melihat dengan jelas, kedua
orang itu adalah kakek berusia lima puluh tahunan yang berwajah bengis.
Orang pertama bermata segitiga dengan wajah separuh hitam sepatuh putih,
sedang orang kedua berwajah pucat pias bagai mayat yang sudah mati berapa
Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hari, jenggot kuning terurai dari janggutnya.
Mereka berdua mengenakan baju terbuat dari kain belaco putih, sepatunya
terbuat dari tali jerami.
Cau-ji segera merasakan hawa dingin yang menyeramkan memancar keluar
dari tubuh kedua orang itu, diam-diam ia bergidik juga dibuatnya.
Ditinjau dari gerakan tubuh mereka berdua, Cau-ji tahu bila kepandaiannya
hebat dan ia masih bukan tandingannya, maka diam-diam ia menggeser
badannya ke samping dan menyembunyikan diri di balik semak.
Kedua orang itu memang merupakan jagoan paling tangguh dari kalangan
hitam, Hek-pek-bu-siang (si setan gantung hitam dan putih) Sin Sik serta Cho
Huan, sudah tiga tahun lama mereka bergabung dengan perkumpulan Jit-sengpang,
saat ini jabatan mereka adalah pengurus ruang Cing-liong-tong.
Terdengar Sin Sik yang berada di depan berbisik lirih: "Lotoa, kelihatannya di
atas sana ada sebuah gua!"
"Loji, kalau dilihat bekas semak yang terpatah-patah, isi gua tersebut kalau
bukan manusia tentu binatang buas, kau mesti berhati-hati...."
"Hehehe ... lotoa, kenapa nyalimu tambah hari tambah kecil?" sambil berkata
ia meluncur ke depan dan menghampiri mulut gua.
Dalam pada itu Cau-ji sudah mengerahkan tenaga murninya bersiap sedia.
Tidak menunggu lawan berdiri, dengan jurus Tui-sim-ci-huk (mendorong hati
membalik lambung) dia lepaskan sebuah dorongan ke depan.
Waktu itu Sin Sik sedang gembira karena berhasil menemukan mulut gua,
merasakan datangnya serangan, ia segera menghardik: "Lotoa, hati-hati, dalam
gua ada orangnya!"
Sambil membentak dia lancarkan juga sebuah pukulan.
Cho Huan kuatir saudaranya ketimba musibah, buru-buru dia lompat
menghampiri sambil bersiap sedia. "Aduuuh...!"
Dua kali jeritan ngeri bergema memecahkan keheningan, tahu-tahu tubuh Sin
Sik dan Cho huan sudah mencelat keluar dari gua dalam keadaan hancur
berkeping-keping, tubuh mereka terhajar telak pukulan Im-yang-kang-khi yang
dikerahkan hingga mencapai sepuluh bagian.
Mimpi pun Cau-ji tidak menyangka kalau tenaga dalamnya begitu sempurna,
sementara dia masih tertegun, dari kejauhan kembali berkumandang tiba suara
suitan panjang yang memekikkan telinga.
Dalam posisi begini Cau-ji tak bisa membuang waktu lagi, cepat-cepat dia
menyingkirkan semak belukar kemudian melompat turun ke bawah.
Sementara itu suara suitan panjang yang amat nyaring itu sudah semakin
mendekat, dari kejauhan tampak dua sosok bayangan manusia bergerak
mendekat. Baru saja kedua orang itu tertegun karena melihat munculnya seorang
pemuda telanjang secara tiba-tiba, mendadak Cau-ji dengan jurus Heng-kangcay-
to (menyeberang sungai sambil bersalto) sudah melepaskan sebuah pukulan
ke depan. Orang itu beranggapan kepandaian yang dimilikinya sangat hebat, dia segera
mengayunkan pula telapak tangan kanannya sambil membentak: "Manusia tak
tahu diri...."
Belum habis bicara terdengar suara benturan dahsyat bergema di udara,
dengan tubuh hancur lebur orang itu tewas seketika.
Orang yang baru datang segera menyerbu masuk, sebuah pukulan
dilontarkan. Cau-ji menggertak gigi, kembali dia ayunkan tangan menyongsong datangnya
ancaman itu. Jeritan ngeri kembali bergema memecahkan keheningan, orang itu terkapar di
tanah dalam keadaan tewas.
Mendengar dari kejauhan kembali berkumandang suara siulan panjang, buruburu
Cau-ji berputar badan dan kabur dengan mengambil arah yang
berlawanan. Tak lama kemudian di arena pertarungan telah muncul dua orang lelaki
kekar, tapi begitu melihat mayat bergelimpangan, buru-buru mereka
mengeluarkan sumpritan bambu dan ditiup bertubi-tubi.
Tak sampai setengah jam kemudian Su Kiau-kiau beserta segenap kekuatan
partainya tiba di arena kejadian, perempuan iblis itu nyaris pingsan ketika
akhirnya jenazah Su Gi-gi ditemukan tergeletak di dalam gua.
Keesokan harinya dia pun kerahkan empat ratus orang anggota perguruannya
untuk turun gunung dan melacak jejak si pembunuh putrinya itu.
Sementara itu, Cau-ji dengan tergopoh gopoh melarikan diri turun dari bukit
itu, lebih kurang dua jam kemudian ia sudah tiba di kaki bukit Wu-san.
Sambil berpaling memandang bukit Wu-san yang berdiri menjulang di
belakang tubuhnya, Cau-ji menghembuskan napas lega sembari berpikir "Masih
untung tak ada yang hidup, asal di kemudian hari aku tidak mengakui kejadian
ini, siapa yang tahu kalau akulah pelakunya?"
Begitu perasaan hatinya lega, perutnya yang sudah lama kelaparan pun mulai
berbunyi lagi. Sudah dua hari ini Cau-ji belum makan apa-apa, bukan saja waktu itu ia
merasa kelaparan, di bawah hembusan angin malam, ia baru sadar bila dirinya
waktu itu berada dalam keadaan bugil.
Sambil berjalan menelusuri jalan setapak Cau-ji menuju ke tepi sebuah
sungai, dia bermaksud membersihkan badan lebih dulu.
Pada saat itulah tiba-tiba dari kejauhan terdengar seseorang membentak
nyaring: "Perempuan cantik, jangan lari cepat... tunggu aku..."
Tertegun Cau-ji mendengar teriakan itu, buru-buru dia menyelam ke dalam
sungai dan bersembunyi di balik sebuah batu besar.
Kini di hadapannya berdiri seorang gadis muda berbaju hijau yang usianya
sekitar dua puluh tahunan, wajahnya cantik, pinggangnya ramping dan dadanya
montok, persis di hadapan gadis itu berdiri seorang kakek berambut panjang
yang berusia sekitar lima puluh tahunan.
Terdengar gadis itu dengan suara berat sedang menegur: "Yu Yong, kenapa sih
kau menguntit nonamu terus menerus, sebetulnya apa maumu?"
"Hehehe ... lohu jatuh cinta padamu!" jawab kakek itu sambil tertawa seram.
"Yu Yong, bedebah tak tahu malu, seandainya tidak mengingat kau pernah
menolong mendiang ayahku di masa lalu, nona takkan sungkan-sungkan
terhadapmu!"
"Hahahaha ... nona cantik, pujaan hatiku, coba lihatlah suasana di sini, bila
kau bersedia menemani lohu bermain cinta, lohu jamin kau akan merasakan
kenikmatan yang luar biasa...."
"Tutup mulut anjingmu! Sungguh tak kusangka ternyata kau adalah seorang
bandot tua yang tak tahu malu, manusia cabul, manusia bejat, manusia tak
tahu malu macam kau sudah sepatutnya dibasmi dari muka bumi, kalau tidak,
entah berapa banyak gadis baik yang ternoda di tanganmu."
Sembari mengumpat dia segera menerjang maju ke depan, sepasang
tangannya menyerang berbareng, ke atas mengancam sepasang matanya, ke
tengah mengancam ulu hatinya, di antara angin pukulan yang menderu-deru,
gerak serangannya boleh dibilang cepat sekali.
Diam-diam Cau-ji bersorak memuji, sejak salah bunuh Su Gi-gi, Cau-ji sudah
berjanji tak ingin mendekati kaum wanita, sebetulnya dia ingin menggunakan
kesempatan itu menyingkir dari arena.
Tapi begitu melihat gadis itu mulai keteter hebat dia segera urungkan niatnya
untuk berlalu. Terdengar Yu Yong tertawa nyaring, sambil pentangkan tangan kanannya
mengancam urat nadi pada pergelangan tangan si nona, tangan yang lain
membabat ke bawah mengancam lengan kiri gadis itu.
Buru-buru nona berbaju hijau itu memutar badannya sembari berganti jurus
serangan, telapak tangan kirinya dengan jurus Yao-ti-to-tho (di bawah dedaunan
mencuri bua tho) menotok jalan darah Ji-ti-hiat di sikut kanan lawan.
Sementara tangan kanannya merendah ke bawah lalu dengan jurus Pek-hokliang-
ci (bangau putih pentang sayap) berbalik memotong lengan kiri musuh.
Yu Yong tidak menyangka gadis itu bisa berubah jurus begitu cepatnya, nyaris
jalan darahnya tertotok, buru-buru dia lancarkan pukulan berantai, dalam
waktu singkat dia sudah melepaskan delapan jurus serangan.
Nona berbaju hijau itu jadi gelagapan, beruntun dia mundur berapa langkah
dari posisi semula.
Menanti jurus serangan musuh sudah lewat, dia baru mengayunkan kembali
tangan dan kakinya melancarkan serangan balasan dengan sepenuh tenaga.
Menyaksikan kedelapan buah serangannya gagal menundukkan gadis itu,
diam-diam Yu Yong terperanjat juga, ia tak lagi berani gegabah, sambil mainkan
jurus serangan dia hadapi gadis itu dengan tersungguh hati.
Suatu pertempuran sengit pun segera berkobar, untuk sesaat kekuatan
mereka tampak berimbang.
Semenjak meninggalkan pesanggrahan Hay-thian-it-si, Cau-ji belum pernah
menyaksikan pertempuran sehebat itu, kini seluruh perhatiannya sudah
dicurahkan ke tengah arena.
Tampak gadis berbaju hijau itu telah mengeluarkan semua jurus
simpanannya untuk menyerang musuh, baik menusuk, memotong, menotok,
membacok, menyodok, semua serangan dilakukan sangat cepat dan tepat pada
sasaran. Sepasang telapak tangannya menari-nari bagai sepasang kupu-kupu, semakin
bertarung gerak serangannya semakin cepat.
Dalam sekejap mata kembali lima enam puluh gebrakan telah berlalu, namun
menang kalah masih sukar ditentukan.
Kalau si nona berbaju hijau itu unggul dalam ilmu meringankan tubuh serta
kecepatan perubahan jurus serangan, maka Yu Yong lebih unggul dalam ilmu
tenaga dalam, untuk sesaat kedua belah pihak sama-sama bertahan dalam
posisi yang seimbang.
Sambil bertarung diam-diam Yu Yong mulai berpikir "Sungguh tak kusangka
kemampuan budak ini luar biasa hebatnya, bila aku gagal membekuknya hari
ini, jika berita ini sampai tersiar keluar, akan kutaruh dimana wajahku ini?"
Tiba-tiba gerak jurus serangannya berubah, kalau tadi dia menggunakan
cepat melawan cepat maka jurus serangannya saat ini sangat lamban dan berat
tapi setiap pukulan, setiap tendangan, hampir semuanya mengandung tenaga
serangan yang dahsyat
Jurus serangan yang disertai tenaga dalam yang hebat semacam ini tak bisa
dianggap enteng, setiap angin pukulan yang menderu-deru seketika membuat
nona itu mulai terdesak.
Walaupun dalam kelincahan nona berbaju hijau itu jauh lebih unggul, tapi
begitu pertarungan berubah jadi pertarungan tenaga dalam, posisinya segera
terdesak hingga berada di bawah angin, belum lagi sepuluh jurus, peluh sudah
bercucuran membasahi jidatnya.
Cau-ji yang mengikuti jalannya pertarungan itu mulai merasa ikut panik, dia
tahu bila keadaan semacam ini dibiarkan berlangsung lebih jauh, dapat
dipastikan nona itu bakal kalah.
Tiba-tiba nona berbaju hijau itu membentak nyaring, permainan jurusnya
segera berubah, kini dia gunakan taktik keras melawan keras untuk menghadapi
Bentrok Rimba Persilatan 1 Pendekar Satu Jurus Karya Gan K L Cinta Bernoda Darah 5