Pencarian

Sepasang Pedang Iblis 11

Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 11


pedang laki-laki yang
menangkisnya itu ternyata dapat membuat Lam-mo-kiam terpental dan tangannya tergetar,
se-dangkan pukulan tangan kiri bersarung emas Maharya telah mengenai paha ra-jawali itu.
Wan Keng In yang sudah me-meriksa pedangnya dan maklum bahwa secara tidak terduga-
duga dia telah men-dapatkan sebatang di antara Sepasang Pedang Iblis yang dicari-cari
ibunya, ti-dak mau menempuh bahaya menghadapi dua orang di bawah yang ternyata lihai
itu, apalagi kini rajawalinya terluka be-rat, sebelah kakinya buntung dan bercu-curan darah
sedangkan pahanya juga ter-luka oleh hantaman kakek sakti itu. Belum tentu rajawalinya
akan kuat mem-bawanya terbang ke Pulau Neraka, ma-ka ia lalu menyuruh rajawalinya
terbang tinggi dan kembali ke Pulau Neraka.
Maharya menyumpah-nyumpah. "Anak Iblis! Keparat jahanam! Dia membawa lari ularku!"
"Dan Lam-mo-kiam juga dirampas-nya. Semua ini kesalahan pemuda sialan itu! Kita bunuh
saja dia!" Ia melangkah lebar dan mengayun Hok-mo-kiam ke arah leher Bun Beng yang
masih duduk bersi-la mengatur pernapasan. Karena tidak sanggup membela diri lagi, Bun
Beng tetap tidak bergerak, menyerahkan nasibnya kepada Tuhan.
"Jangan!" Tiba-tiba Maharya berteri-ak dan Tan Ki menahan pedangnya, me-noleh dan
memandang gurunya dengan heran.
"Mengapa" Apakah Guru menaruh ka-sihan kepada bedebah ini?"
"Ha-ha-ha, hatiku sakit sekali karena gara-gara dia sarung tanganku robek, ularku lenyap
dan Lam-mo-kiam juga hi-lang. Aku senang bukan main melihat dia mampus, akan tetapi
amat enaklah kalau kau membunuhnya begitu saja. Kita harus membuat dia mati perlahan-
lahan, biar dia menderita sampai empat puluh hari, mati tidak hidup pun bukan, baru benar-
benar mampus, ha-ha-ha!"
Tan-siucai tertawa geli. "Maksudmu bagaimana, Guru?"
"Begini!" Maharya menghampiri Bun Beng dari belakang dan tangan kirinya yang memakai
sarung tangan bergerak, jari-jarinya menusuk. Bun Beng maklum bahwa dirinya diserang,
akan tetapi tu-buhnya lemas, tenaganya habis sehingga melawan pun hanya akan menyiksa
diri, maka dia diam saja menerima hantaman maut.
"Cusss! Cusss!" Dua kali Maharya menggerakkan jari-jarinya yang menotok di belakang
pinggang, kanan kiri tulang punggung. Bun Beng tidak merasakan se-suatu, hanya rasa
pegal di tempat yang ditotok.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
281 "Ha-ha-ha, aku mengacaukan jalan darahnya, menindas hawa pusar dan membalikkan
hawa kundalini, dia akan keracunan, kedua kakinya akan lumpuh, darahnya perlahan-lahan
akan kotor dan menghitam dan dia setiap hari akan menderita hebat, sedikit demi sedikit
nyawanya terancam, sampai empat puluh hari. Dia mati sekerat demi sekerat, ha-ha!"
Tan-siucai juga tertawa-tawa, akan tetapi hatinya tidak puas ketika melihat betapa dua kali
totokan gurunya itu ti-dak membuat Bun Beng kesakitan. "Ter-lalu enak kalau dia tidak diberi
rasa, dan hatiku tidak puas kalau tidak menyiksa-nya tanpa membunuhnya."
Gurunya mengangguk. "Asal jangan kau pergunakan sin-kang agar tidak membunuhnya,
sesukamulah."
"Kalau tidak gara-gara dia, kita tidak kehilangan dan tentu keponakan Pende-kar Siluman
sudah dapat kubekuk. Biar dia tahu rasa!" Tan-siucai mengayun kakinya, tanpa
menggunakan tenaga sin-kang menendang ke arah ulu hati Bun Beng.
"Ngekkk!" Biarpun tidak mengguna-kan sin-kang, namun tendangan yang keras itu
membuat Bun Beng terjungkal dan ia muntahkan darah segar.
"Desss!" Kini pipi kanan Bun Beng yang mukanya rebah miring itu diinjak sepatu. Ketika
injakan yang keras ini membuat Bun Beng menggerakkan kepa-la sehingga bangkit duduk
lagi, Tan-siucai menendang yang kiri.
"Desss!" Tendangan keras sekali ini membuat tubuh Bun Beng terjengkang, kepalanya
pening, bibirnya berlepotan darah segar, mukanya bengkak-bengkak dan membiru.
Tan-siucai tertawa-tawa girang akan tetapi ia masih belum puas. Dengan langkah lebar ia
menghampiri Bun Beng, dua kali kakinya bergerak ke arah kedua lutut Bun Beng,
menendang keras sekali.
"Krak! Krak!"
Tanpa mengeluh Bun Beng terguling pingsan, sambungan kedua lututnya ter-lepas!
"Cukup, kalau terlalu berat dia tidak akan menderita sampai empat puluh hari. Mari kita
pergi. Sayang sekali Sepasang Pedang Iblis terlepas dari tangan kita. Kita kejar bocah
perempuan itu!" Guru dan murid itu sambil tertawa-tawa puas lalu berlari, bayangan mereka
berkelebat dan tempat itu menjadi sunyi sekali. Tubuh Bun Beng menggeletak menelungkup
dalam keadaan pingsan, sedangkan tak jauh dari situ delapan belas buah mayat para
pemuja Sun-go-kong malang-melintang! Menyeramkan sekali keadaan di situ, apalagi ketika
tampak beberapa ekor burung gagak hi-tam beterbangan dan berputaran di atas tempat itu,
agaknya mereka sudah men-cium bau mayat dan darah.
Bun Beng sadar dan membuka mata-nya ketika ia merasa pipinya sakit se-perti ditusuk-
tusuk pedang. Betapa men-dongkol dan marah hatinya ketika ia melihat dua ekor burung
gagak mema-tuki darah dari pipinya. Sekali mengibas dengan tangan, dua ekor burung itu
terpental dan mati seketika. Gerakan ini membuat burung-burung gagak yang lain terbang ke
atas dan Bun Beng bergidik. Burung-burung keparat itu pesta mema-tuki mayat-mayat,
makan daging dan darah dari luka-luka di tubuh mayat-mayat itu. Dengan hati terharu ia
memandang ke sekeliling. Hatinya merasa sengsara sekali menyaksikan delapan be-las
orang itu telah menjadi mayat, dan lebih sakit lagi hatinya karena dia tidak dapat mengubur
jenazah mereka. Kedua kakinya tak dapat ia gerakkan, sambung-an lutut kedua kakinya
terlepas dan nye-ri yang amat hebat menusuk tulang-tulangnya. Ia mengeluh dan bangkit
du-duk. Dengan jari tangannya ia menotok jalan darah di paha untuk melenyapkan rasa
nyeri di lututnya, kemudian sedapat mungkin ia mengurut lutut-lututnya. Ke-mudian ia
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
282 menggerakkan kedua tangannya, mengesot dan setengah merangkak meninggalkan tempat
itu. Dia harus per-gi dari situ, tidak tega ia menyaksikan mayat-mayat itu dimakan burung.
Mere-ka telah mati dalam membelanya. Ia menoleh sebentar dengan air mata membasahi
bulu matanya ia berbisik, "Sahabat-sahabatku sekalian, aku ber-sumpah kalau masih dapat
sembuh dan hidup, aku akan membalas kematian ka-lian kepada Maharya dan Tan Ki."
Kemu-dian ia merangkak terus meninggalkan tempat itu. Akan tetapi seluruh tubuh-nya
terasa sakit, terutama sekali dada dan perutnya. Ia maklum bahwa ia telah terluka hebat dan
jalan darahnya menjadi kacau-balau, membuat setiap buku tulang terasa seperti ditusuki
jarum. Susah payah Bun Beng merangkak. Bagaimana ia dapat menuruni bukit yang terjal itu" Ah,
bagaimana pula nasib Kwi Hong" Mudah-mudahan dia dapat melarikan diri, pikirnya dan ia
menjadi agak lega. Biarpun dia mati, tentu Pen-dekar Super Sakti akan membalaskan sakit
hatinya. Bertambah pula musuh-musuhnya, musuh yang amat sakti. Mu-suh-musuh
pertamanya, Koksu Negara Im-kan Seng-jin dan para pembantunya sudah merupakan lawan
yang berat dan belum dapat ia jumpai, kini muncul pu-la musuh-musuh yang tidak kalah
sakti-nya, yaitu Tan Ki dan gurunya yang pan-dai ilmu sihir! Dan dia maklum bahwa guru dan
murid itu telah membuat dia menjadi seorang cacad dan tinggal me-nunggu maut. Pukulan
beracun itu tak-kan dapat ia obati, apalagi dengan kedua kaki tak dapat dipakai berjalan, apa
da-yanya" Namun dia tidak putus asa, ti-dak mau putus asa. Selagi ia masih hi-dup, dia
akan berusaha menyembuhkan luka-lukanya, berusaha pergi dari tem-pat berbahaya ini!
Malam itu Bun Beng mengalami ma-lam yang paling sengsara. Ia berusaha duduk bersila
bersiulian, namun tetap saja ia tidak dapat mengerahkan tenaga-nya. Begitu ia
mengerahkan sin-kang, perutnya terasa panas seperti dibakar dan seluruh tubuh terasa
gatal-gatal. Ia hanya dapat melatih pernapasan, meng-hirup udara segar, itu pun tidak dapat
ia tarik ke pusar seperti biasa karena hal ini juga menimbulkan rasa nyeri yang sama.
Semalam ia tidak tidur dan kalau ia teringat akan malam penuh bahagia bersama Kwi Hong,
ia tersenyum pahit. Baru kemarin ia mengalami malam yang paling bahagia selama
hidupnya, duduk menghadapi api unggun, menatap wajah gadis itu yang tidur nyenyak dan
mera-sa betapa dunia menjadi amat indah. Ki-ni perubahan itu seperti sorga dan nera-ka. Ia
teringat akan wejangan Siauw Lam Hwesio bahwa memang demikian-lah hidup. Sorga dan
neraka penghidupan muncul dan lenyap saling berganti!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi se-kali setelah terang tanah, Bun Beng me-lanjutkan
usahanya menuruni bukit de-ngan merangkak perlahan-lahan. Betapa ia dapat melakukan
perjalanan cepat kalau ia hanya mengandalkan kedua ta-ngannya untuk menarik tubuhnya
secara mengesot"
Tubuhnya terasa makin panas. Darah yang mengalir ke kepalanya seolah-olah membakar
kepala dan menjelang tengah hari ia tidak kuat lagi. Ia rebah di ba-wah sebatang pohon
dalam keadaan sete-ngah pingsan. Ketika ia meletakkan pipi-nya yang masih membengkak
dan nyeri berdenyut-denyut itu ke atas tanah berumput yang dingin basah, ia merasa betapa
nikmatnya tidur seperti itu. Ingin ia tidak dapat bangun kembali, rebah se-perti itu untuk
selamanya! Sebuah kaki bersepatu membalikkan tubuhnya yangmenelungkup. Ia terlen-tang dan
pandang matanya berkunang. Dalam keadaan setengah pingsan ia meli-hat beberapa orang
berdiri mengeli-linginya dan jantungnya berdebar penuh kemarahan ketika ia mengenal
seorang di antara mereka adalah pemuda Pulau Neraka, si penunggang rajawali!
Bagai-mana pemuda ini bisa muncul kembali"
Pemuda yang datang bersama dua orang anggauta Pulau Neraka bermuka merah tua itu
adalah Wan Keng In. Pe-muda ini tadinya hendak kembali ke Pulau Neraka menunggang
rajawali yang terluka parah. Hatinya girang mendapat-kan Lam-mo-kiam, akan tetapi juga
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
283 ke-cewa karena dia tidak dapat mengalah-kan kakek India dan sasterawan yang menjadi
murid kakek itu. Kecewa karena dia tidak bisa mendapatkan pedang Li-mo-kiam karena
ibunya tentu akan gi-rang sekali kalau dia bisa mendapatkan Sepasang Pedang Iblis itu,
bukan hanya yang jantan, pula, dia pun ingin sekali mendapatkan pedang Si Sasterawan
yang mampu menandingi Lam-mo-kiam.
Dengan hati girang Wan Keng In me-lihat seekor burung rajawalinya terbang di udara. Ia
bersuit nyaring dan ketika rajawali itu terbang dekat, ia lalu pin-dah ke atas punggung
rajawali yang sehat. Ketika ia terbang rendah di pantai, ia melihat sebuah perahu hitam,
perahu Pulau Neraka. Cepat ia turun dan ter-nyata perahu itu adalah perahu yang
ditumpangi dua orang anggauta Pulau Neraka bermuka merah. Biarpun ia agak ke-cewa
mendapat kenyataan bahwa yang berada di perahu hanyalah dua orang anggauta rendahan
yang tidak dapat ba-nyak diandalkan, namun ia girang juga dan cepat mengajak mereka
untuk pergi ke bukit itu. Dia harus menyelidiki bu-kit itu. Siapa tahu pusaka-pusaka yang
yang lain berada di situ.
Demikianlah, ketika di tengah jalan ia melihat Bun Beng yang menggeletak setengah
pingsan, alisnya berkerut. "Ini-lah orangnya yang memegang pedang yang kurampas.
Kepandaiannya lumayan juga. Eh, orang yang terluka parah, aku akan mengobatimu sampai
sembuh, akan tetapi katakanlah, dari mana engkau mendapatkan Siang-mo-kiam" Dan
mana yang sebatang lagi?"
Mendengar pertanyaan ini, Bun Beng menggeleng kepala tanpa menjawab. Biarpun benar-
benar pemuda Pulau Neraka ini akan dapat menyembuhkannya, dia tetap tidak sudi
memberi tahu kepada pemuda yang dibencinya itu tentang se-pasang pedang iblis yang kini
telah dirampasnya sebatang. Lebih baik dia mati daripada memberi tahu bahwa pedang
yang sebuah lagi dipegang Kwi Hong. Kalau pemuda ini naik burung rajawali mengejar dan
mencari Kwi Hong dari atas, gadis itu bisa terancam bahaya!
"Apakah engkau mendapatkannya di bukit ini" Apakah ada pusaka lain lagi" Kitab pelajaran
kuno" Kulihat engkau menderita pukulan beracun yang amat berbahaya!" Wan Keng In
mendesak lagi, akan tetapi Bun Beng menggeleng kepa-la dan memejamkan mata, tidak
menja-wab. Keng In menggerakkan jari tangan-nya menotok pundak Bun Beng dan pemu-da yang
sudah terluka parah ini sama sekali tidak mampu bergerak. "Kalian bawa dia ke perahu dan
bawa ke pulau, tentu Ibu akan mendapat akal untuk mengorek rahasia darinya. Dia lihai,
akan tetapi dia terluka parah dan sudah kuto-tok. Akan tetapi, kalian harus tetap ber-hati-hati
membawanya, jangan sampai gagal. Aku akan menyelidiki keadaan bukit ini dulu, cukup
mencurigakan."
"Baik, Kong-cu (Tuan Muda)." Dua orang anggauta Pulau Neraka yang ber-muka merah itu
lalu mengangkat tubuh Bun Beng, menggotongnya dan memba-wanya turun dari bukit.
Semetara itu, Wan Keng In lalu mendaki puncak dan mencari-cari. Akan tetapi dia hanya
me-nemukan mayat delapan belas orang ga-gah itu dan biarpun dia telah mencari sampai
sehari penuh, dia tidak menemu-kan apa-apa kecuali sebuah kitab kecil pelajaran Ilmu Silat
Sin-kauw-kun-hoat. Biarpun yang ditemukan sama sekali bu-kan pusaka-pusaka yang
diharapkan na-mun kitab ini ia kantongi dan ia bawa pergi setelah ia bersuit memanggil
bu-rung rajawali yang mengikuti perjalan-nya bersama dua orang anggauwnya da-ri atas.
Sementara itu Bun Beng digotong oleh dua orang Pulau Neraka menuju ke pantai sunyi di
mana mereka menyembunyi-kan perahu mereka, kemudian merebah-kan Bun Beng di dekat
perahu dan me-layarkan ke laut. Bun Beng masih ber-usaha sedapat mungkin untuk
membebas-kan totokan. Dia memberontak di dalam hatinya. Tidak sudi ia dibawa ke Pulau
Neraka! Dengan bujukan halus dari Kwi-bun Lo-mo saja dia masih tidak mau, apalagi
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
284 menjadi tawanan yang luka be-rat seperti sekarang ini, dan dibawa ke sana hanya untuk
dipaksa mengaku ten-tang Sepasang Pedang Iblis! Ia harus da-pat melepaskan diri, karena
kalau sampai ia dibawa ke Pulau Neraka, habis-lah harapannya. Bagaimana ia akan da-pat
keluar dari pulau itu" Daripada hi-dup tersiksa lahir batin di sana, lebih baik mati sekarang
karena berusaha me-lepaskan diri. Memang sukar mencari ja-lan bebas mengingat akan
luka-lukanya, tubuhnya yang lemah dan kakinya yang tak dapat dipergunakan. Akan tetapi
dia tidak memusingkan hal itu, pertama-tama dia harus dapat membebaskan to-tokan itu
lebih dulu. Kedua kakinya memang tak dapat dipergunakan, akan tetapi ia masih mempunyai
kedua tangan!Lautan utara ini sunyi sekali. Hanya ada beberapa buah layar kecil tampak
dari jauh, yaitu layar para nelayan yang untuk mencari nafkah hidupnya berani menempuh
jarak jauh dan menentang an-caman bahaya maut di tengah laut yang kadang-kadang amat
ganas itu. Setelah perahu meninggalkan pantai, barulah Bun Beng berhasil membebaskan
diri dari to-tokan. Dia mengeluh karena setelah kini berada di perahu dan di tengah laut,
an-daikata ia dapat membebaskan diri dari dua orang itu sekalipun, habis apa yang dapat ia
lakukan" Dengan hati-hati Bun Beng merangkak mendekati langkan di pinggir geladak,
menggunakan kesempat-an selagi dua orang itu sibuk dengan ke-mudi danlayar. Ia
menjangkau langkan dan menarik tubuhnya ke atas untuk mengintai keluar. Sunyi di luar,
tidak tampak perahu lain. Akan tetapi di ke-jauhan itu.... ah, ada sebuah perahu kecil di
sana, dengan seorang penumpangnya.
Kalau saja ia dapat menarik perhatian orang itu, tentu orang itu seorang nela-yan biasa
yang akan suka menolongnya. Untung bahwa perahu layar Pulau Nera-ka ini sedang
meluncur menuju ke pe-rahu kecil di kejauhan itu.
"Heeiii.... kau mau ke mana....?" Se-orang bermuka merah yang kumisnya pan-jang
melintang berteriak sambil meloncat dekat. Ia takut kalau-kalau tawanan itu meloncat keluar
perahu. Kalau sampai mereka kehilangan tawanan itu, hidup atau mati tentu kong-cu akan
marah se-kali dan mengingat akan hukumannya, mereka bergidik.
"Kau tidak boleh ke mana-mana, ha-yo kembali ke sini!" Si Muka Merah ber-kumis itu
menggerakkan tangan hendak menangkap Bun Beng.
"Dessss! Augghhhh....!" Pukulan tangan kanan Bun Beng yang dilakukan secara tiba-tiba itu
mengenai kepala Si Kumis Panjang dengan tepat. Biarpun Bun Beng terluka, namun
pukulannya itu cukup ku-at untuk memecahkan kepala anggauta Pulau Neraka tingkat
rendahan itu sehingga tubuhnya terjerembab dalam keadaan tak bernyawa lagi!
"Heiii.... keparat, apa yang kaulaku-kan?" Orang ke dua cepat meloncat ba-ngun tidak peduli
lagi akan kemudi, pe-rahu mulai terombang-ambing. Ia lari mendekati, kaget menyaksikan
temannya telah tewas dan dengan marah ia menca-but golok lalu menyerbu Bun Beng yang
masih duduk bersandar langkan. Melihat serbuan golok ini, Bun Beng maklum bahwa dia
harus bekerja cepat. Ia tidak mempedulikan dada dan perutnya yang menjadi panas dan
nyeri sekali, terpak-sa ia mengerahkan tenaga seadanya dan tubuhnya mencelat ke atas,
tangannya yang kiri memukul pergelangan tangan kanan lawan sehingga goloknya terlepas,
tangan kanannya menampar pelipis.
"Plakk!" Orang itu roboh tanpa me-ngeluh. Bun Beng juga terbanting jatuh di atasgeladak. Ia
melihat betapa pera-hu itu dengan layar berkembang tanpa kemudi, meluncur miring.
Sekilas pandang ia melihat perahu kecil tadi tak jauh dari situ, maka sekali lagi ia
mengerahkan tenaga, kedua tangannya menekan geladak dan tubuhnya mencelat ke atas
keluar dari langkan.
"Jebuuuurrrr....!" Bun Beng terban-ting ke permukaan air laut dengan kepa-la lebih dulu. Bun
Beng gelagapan, ber-usaha untuk berenang, akan tetapi orang yang kedua kakinya sudah
tak dapat di-gerakkan, yang tubuhnya sudah terluka berat macam dia, mana mungkin dapat
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
285 berenang" Dia hanya menggerak-gerakkan kedua lengannya karena pengerahan tena-ga
tadi membuat napasnya terengah dan tubuhnya lemah sekali, tetap saja gerak-an tangannya
kurang kuat dan beberapa kali ia tenggelam sehingga terpaksa mi-num air laut yang asin.
Tiba-tiba Bun Beng merasa rambutnya dijambak ke atas dan tubuhnya tim-bul kembali ke
permukaan air, kini ti-dak tenggelam lagi sehingga ia dapat menggunakan kedua tangan
untuk mengha-pus mukanya yang gelagapan. Kuncir rambutnya terlibat dan dijambak ke
atas, terasa pedas akan tetapi dia tidak marah karena hal ini malah menolongnya, membuat
dia tidak tenggelam. Akan tetapi ketika perlahan-lahan tubuhnya ditarik ke belakang dan ia
menoleh, ma-tanya terbelalak dan ia mendongkol juga karena ternyata yang mengait
rambut-nya adalah ujung pancing yang tangkai-nya dipegang oleh seorang wanita di atas
sebuah perahu kecil! Dia memang dito-long, akan tetapi cara menolong itu be-nar-benar
menghina sekali, seolah-olah dia hanya sebuah benda tak berharga, bahkan dia seperti
menjadi seekor ikan aneh yang terkena pancing!
Betapapun juga, hatinya lega ketika tahu-tahu tubuhnya melayang dan terja-tuh ke dalam
perahu, di atas geladak yang sempit. Ia terengah-engah, meme-jamkan mata, terasa betapa
seluruh tu-buhnya sakit-sakit sehingga mau tak mau Bun Beng mengeluh lirih.
"Hemmm, engkau telah tiga perem-pat mati, rusak luar dalam.... hemmm, sungguh kasihan
orang yang tak tahu di-ri, berani menentang Pulau Neraka. Aahh, kakinya lumpuh pula....
heran, da-lam keadaan begini, bagaimana dia bisa membunuh dua orang Pulau Neraka
bermuka merah?"


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suara itu halus dan merdu sekali se-hingga Bun Beng merasa seolah-olah mimpi. Ia cepat
membuka matanya dan.... segera dipejamkannya kembali. Sudah matikah dia" Beginikah
rasanya mati dan bertemu bidadari" Kalau sudah mati, kenapa tubuhnya masih terasa nye-ri
semua dan kakinya masih tak dapat ia gerakkan" Kalau masih hidup, bagaimana mungkin ia
bertemu bidadari di tengah lautan" Celaka, jangan-jangan dewi pen-jaga lautan. Kalau
manusia biasa, tak mungkin begitu cantik seperti bidadari, begitu halus, suaranyapun tidak
seperti suara manusia, begitu merdu seperti orang bernyanyi, dan mungkinkah seorang
manusia semuda dan secantik jelita itu seorang diri saja di tengah lautan"
"Eh, aku seperti pernah mengenal orang ini, akan tetapi tidak mungkin, mukanya rusak
begini mana bisa dikenal" Aihhhh, dia terkena pukulan beracun yang luar biasa! Aduh
kasihan sekali, siapa sih orang yang malang ini....?"
Mendengar suara halus merdu itu yang menyatakan kasihan kepadanya, tak terasa pula
kedua mata Bun Beng men-jadi panas dan dua butir air mata berti-tik turun. Tanpa membuka
matanya ia berkata, "Mohon pertolongan Pouwsat (Dewi).... hamba masih belum ingin mati
karena masih banyak tugas yang harus hamba laksanakan....! Harap Pouwsat tidak
kepalang menolong hamba....!"
"Aihhhh.... otaknya sudah miring pula. Sungguh kasihan. Agaknya penderitaan yang hebat
ini membuat otaknya menja-di berubah miring. Tidak mengherankan, jarang ada orang di
dunia ini masih dapat hidup setelah mengalami luka-luka pa-rah luar dalam seperti dia ini.
Aihhhh, sungguh sialan. Memancing setengah ha-ri tidak mendapat ikan besar, hanya
be-berapa ekor ikan kecil. Sekali dapat yang besar orang yang tidak waras luar dalam dan
pikirannya, apa yang harus kulakukan dengan dia?"
Bun Beng menghentikan dugaannya yang bukan-bukan. Celaka dua belas, ki-ranya benar
seorang manusia! Disangkanya Kwan Im Pouwsat! Mendengar ucap-an terakhir itu, ia
menghela napas dan berkata,
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
286 "Kalau kau tidak tahu apa yang harus kau lakukan, nah, lemparkan akukemba-li ke laut.
Siapa sih yang minta pertolonganmu tadi?"
"Aihhh.... masih bisa marah" Jelas mi-ring otaknya! Hemmm, mengapa nasibku selalu harus
bertemu dengan orang yang jatuh ke laut" Sungguh aneh jaman seka-rang ini banyak orang
terapung-apung di laut."
Kini Bun Beng membuka matanya dan kebetulan dara itu pun memandangnya. Memang
Bun Beng boleh dimaafkan ka-lau tadi menyangka wanita ini dewi laut atau bidadari karena
memang dia seorang dara yang luar biasa cantiknya. Tubuh-nya tinggi ramping dengan
bentuk tubuh yang hebat, wajahnya begitu jelita se-perti gambar, kulitnya putih halus seper-ti
salju, gerak-geriknya ketika berdiri di geladak begitu lemah gemulai seperti batang pohon liu
tertiup angin, pakaian-nya indah sekali sesuai dengan orangnya, rambutnya yang hitam
panjang dan halus itu digelung tinggi di atas kepalanya, dihias dengan hiasan rambut terbuat
da-ri mutiara. Seorang dara yang.... bukan main.
Akan tetapi, begitu dua pasang mata itu saling pandang, hampir berbareng ke-duanya
berseru, "Nona Milana....!"
"Engkau.... Gak-twako.... aih, pantas aku seperti mengenalmu, kiranya engkau Gak Bun
Beng! Aduh, bagaimana engkau sampai menjadi begini, Gak-twako?"
Bun Beng menarik napas panjang, lalu menggunakan kedua lengannya untuk bangkit
duduk. Ia menyeringai kesakitan dan dengan sikap lemah lembut Milana membantunya
duduk di atas geladak. Se-jenak mereka saling pandang. Milana de-ngan penuh rasa
kasihan. Bun Beng dengan penuh rasa kagum dan juga tidak enak hati karena ia berjumpa
dengan dara yang sejak kecil berwatak halus ini da-lam keadaan seperti itu. Dara itu kini
telah dewasa, bagaikan setangkai bunga sedang mekar semerbak. Bukan main! Seorang
dara tujuh belas tahun yang seper-ti dewi kahyangan! Debar jantung Bun Beng mengatasi
segala rasa nyeri dan pemuda ini cepat mengalihkan pandang matanya, menunduk dan
menghela napas panjang.
"Panjang sekali ceritanya, Nona. Akan tetapi yang jelas.... aku dilukai oleh se-orang kakek
India bernama Maharya dan muridnya, Tan-siucai yang gila...."
"Ohhh" Mereka yang dulu membunuh Kakek Nayakavhira itu" Yang mencuri Pedang Hok-
mo-kiam?" "Benar, Nona Milana, engkau masih ingat itu semua" Ingat akan pengalaman kita bertahun-
tahun yang lalu itu....?"
"Tentu saja aku ingat. Pengalaman hebat kita dengan kakek muka kuning, kemudian
sampai kita berpisah kembali, selamanya tak dapat kulupa. Aihh, Gak-twako, kenapa
mereka melukaimu seper-ti ini" Ini namanya sengaja menyiksa, mengapa kau tidak
dibunuhnya akan tetapi disiksa seperti ini?"
"Gara-gara Sepasang Pedang Iblis...." jawabnya dan kembali ia merintih dan menyeringai
karena dadanya terasa sakit sekali.
"Sepasang Pedang Iblis?" Milana ber-seru kaget sekali.
"Benar dan aauuggghh...." Bun Beng tak dapat bertahan lagi. Pengerahan te-naga tadi
ketika melawan dua orang itu membuat dadanya sakit sekali dan ia ro-boh pingsan!
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
287 Ketika Bun Beng siuman kembali, ia berada di atas kuda, di belakangnya du-duk Milana.
Rasa nyeri menguak ke se-luruh tubuhnya, akan tetapi tidak dapat mengatasi debar
jantungnya ketika ia merasa betapa tubuhnya setengah ditahan dan dipeluk oleh Milana.
Bukan main! Di atas segala rasa nyeri, terasa oleh-nya kehangatan dan kelunakan tubuh
dara itu, membuatnya cepat memejamkan mata kembali dan ingin pingsan terus!
Akan tetapi dara itu agaknya telah dapat mengerti bahwa dia telah siuman. Didorongnya
tubuh Bun Beng ke depan. "Bagaimana, Gak-twako" Apakah kau kuat menunggang kuda
bersamaku" Harap kaupertahankan, engkau harus men-dapat perawatan yang baik.
Agaknya Ibu akan dapat menolongmu...." Gadis itu bicara halus dan penuh iba.
Bun Beng memaksa tubuhnya untuk duduk tegak di atas kuda yang berjalan perlahan.
"Aihhh.... aku menyusahkan eng-kau saja, Nona. Ibumu seorang sakti, akan tetapi aku
merasa sangsi apakah Beliau akan dapat menyembuhkan aku. Menurut kata kakek India itu,
dalam waktu empat puluh hari aku akan mati sekerat demi sekerat. Melihat rasanya tubuhku,
dia agaknya tidak membohong. Darahku te-lah keracunan, tidak ada yang akan da-pat
menyembuhkanku. Aahh, semua salah-ku sendiri, terlalu menurutkan kata ha-ti tanpa
mempertimbangkan dan tanpa menyadari bahwa kepandaianku masih amat rendah. Aku
berani mengacau Thian-liong-pang.... itulah mula-mula se-gala malapetaka yang menimpa
diriku...."
"Apa" Kau mengacau Thian-liong-pang?" Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Milana
mendengar ini. Thian-liong-pang adalah tempat tinggalnya karena ibunya adalah Ketua
Thian-liong-pang. Akan tetapi hal ini harus dipegang rahasia, dan dia tidak dapat
mencerita-kannya kepada siapapun juga. "Mengapa kau memusuhi Thian-liong-pang?"
"Perkumpulan iblis busuk itu! Jahat sekali! Mereka menangkap tokoh-tokoh kang-ouw untuk
dicuri ilmu mereka. Hemm, dan Ketuanya amat ganas, ke-jam, licik dan sakti. Kiranya hanya
Ayahmu, Pendekar Super Sakti To-cu Pulau Es saja yang akan dapat membas-mi Thian-
liong-pang....!"
"Gak-twako, orang tidak perlu men-campuri urusan orang lain kalau belum diketahuinya
betul keadaannya. Apakah engkau sudah mengenal Ketua Thian-liong-pang sehingga dia
kaumaki ganas, kejam, licik dan sakti" Kurasa, orang seperti engkau sekalipun akan dapat
salah sang-ka, maka sebaiknyalah kalau kau tidak mencampuri urusan orang-orang lain,
ter-utama Thian-liong-pang atau Pulau Nera-ka. Mereka amat berpengaruh dan lihai, tidak
ada perkumpulan lain atau seorang gagah pun berani lancang menentang mereka."
Bun Beng mengerutkan alisnya. Me-ngapa puteri Pendekar Super Sakti, yang tentu memiliki
ilmu yang tinggi seperti tadi dia saksikan sendiri ketika menolongnya dengan kail,
mengeluarkan ucap-an begitu jerih terhadap Thian-liong-pang dan Pulau Neraka" Dia
merasa penasar-an melihat sikap Milana seperti ketakutan.
"Nona, kalau engkau takut terhadap Thian-liong-pang dan Pulau Neraka, mengapa kau
menolongku" Lebih baik kalau kautinggalkan aku di sini saja!"
Milana tersenyum sabar mendengar ucapan itu dan melihat betapa Bun Beng bergerak
hendak turun dari kuda yang tentu merupakan hal yang sukar bagi pe-muda itu karena
kakinya lumpuh dan te-naganya habis. "Gak-twako, engkau benar-benar seorang yang amat
tinggi hati! Aku menolongmu dengan hati tulus ikhlas dan kosong tanpa pamrih, hanya
berda-sarkan perasaan iba yang akan kulaku-kan terhadap siapapun juga yang
membutuhkan pertolongan seperti engkau. Me-ngapa harus kudasarkan kepada perasaan
takut atau tidak" Twako, apakah eng-kau menganggap aku seorang pengecut dan penakut
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
288 yang akan membiarkan orang terluka parah seperti engkau begi-tu saja tanpa berusaha
mengobati dan menolongmu?"
Ucapan itu dikeluarkan dengan suara yang halus, sama sekali tidak mengan-dung
kemarahan atau penyesalan sehing-ga diam-diam Bun Beng merasa terkejut dan teringatlah
ia betapa ucapannya ta-di kasar dan menyakitkan hati. Maka ia cepat berkata,
"Maafkan aku, Nona. Bukan sekali-kali aku bermaksud bahwa Nona seorang penakut,
hanya.... aku telah dianggap musuh oleh Thian-liong-pang, bahkan ka-um Pulau Neraka
agaknya juga memu-suhiku. Oleh karena itu, betapa hatiku akan merasa berdosa dan
menyesal ka-lau engkau akan dimusuhi mereka pula karena engkau telah menolongku! Aku
tidak ingin kau terseret dalam bahaya besar. Biarlah aku saja yang menjadi korban
keganasan mereka, jangan sam-pai engkau terancam pula oleh bahaya."
Milana tersenyum. "Jangan khawatir, Twako. Aku dapat menjaga diri, dan aku tidak akan
membiarkan engkau dalam keadaan seperti ini terganggu oleh siapapun juga. Kurasa
engkau belum mengenal betul Thian-liong-pang. Menurut penda-patku, Thian-liong-pang,
kumaksudkan ketuanya, tidaklah begitu jahat seperti yang kau duga. Perbuatannya yang
aneh seperti menculik tokoh-tokoh kang-ouw itu tentu ada latar belakangnya."
"Aku sudah tahu! Dia menculik mereka untuk diberi minum racun sehingga dalam keadaan
mabok dan tidak ingat apa-apa mereka mau saja diadu agar mereka mengeluarkan jurus-
jurus simpanan dan dapat dicuri oleh Ketua itu! Dan engkau keliru kalau menganggap Thian-
liong-pang tidak jahat! Anak buahnya adalah iblis-iblis yang kejam, yang suka membunuh
orang tanpa berkejap mata."
"Kurasa tidak demikian, Twako. Ka-lau anak buah Thian-liong-pang ada yang
menyeleweng, hal itu tentu di luar pengetahuan Sang Ketua, karena tentu yang
menyeleweng akan dihukum. Adapun Ke-tua itu sendiri, andaikata sampai mem-bunuh
orang, tentu ada sebab-sebabnya yang memaksanya. Aku tidak percaya bahwa dia jahat
seperti iblis. Hanya eng-kaulah yang belum mengenalnya betul."
"Heii, kau seperti membelanya!" Bun Beng berkata penasaraan. "Engkau tidak tahu, aku
telah ditahan dan dijebloskan dalam kamar tahanan di bawah tanah. Nyaris aku dibunuhnya
kalau Si Kakek Muka Singa Sai-cu Lo-mo yang mengaku masih paman kakekku itu tidak
membu-juk Ketua Thian-liong-pang!"
"Ahhh, jadi begitukah?" Milana benar-benar terkejut. Baru sekarang dia men-dengar bahwa
pemuda ini adalah cucu keponakan Sai-cu Lo-mo!
"Nona, agaknya engkau mengenal be-tul keadaan Thian-liong-pang!"
"Sedikit banyak aku sudah mende-ngar tentang perkumpulan itu, Twako. Siapakah
orangnya yang tidak mendengar tentang Thian-liong-pang yang terkenal" Sudahlah, engkau
perlu cepat diobati. Aku mempunyai obat penguat badan, pencuci darah dan penyambung
tulang patah. Akan tetapi, racun yang mengan-cam keselamatan nyawamu tak dapat
ku-obati, agaknya Ibu akan dapat menolong-mu, akan tetapi...." Milana menjadi bingung dan
sangsi. Betapa mungkin ibu-nya akan suka menolong pemuda yang sudah memusuhi Thian-
liong-pang ini"
"Akan tetapi apa, Nona?"
"Aku.... aku harus mendapatkan air panas untuk mencuci luka-lukamu, dan obatku harus
kugodok, maka kita mem-butuhkan alat dapur. Di depan ada se-buah dusun, di sana kau
dapat beristira-hat, Twako."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
289 Kuda itu dilarikan cepat dan Bun Beng yang tidak dapat melihat wajah gadis yang duduk di
belakangnya itu tidak me-lihat betapa wajah itu penuh kekhawa-tiran. Juga keadaannya tidak
memung-kinkan dia setajam biasa, penglihatan maupun pendengarannya, sehingga dia tidak
tahu bahwa mereka berdua diba-yangi oleh beberapa orang. Akan tetapi Milana tahu akan
hal ini maka gadis itu menjadi gelisah, apalagi karena dari ge-rakan dan tanda para pengejar
itu dia tahu bahwa mereka adalah orang-orang Thian-liong-pang, anak buah ibunya!
Dalam keadaan setengah sadar kare-na menderita luka hebat itu, Bun Beng diturunkan dari
atas kuda oleh Milana, dibantu oleh seorang petani yang rumah-nya disewa gadis itu, dan
dibaringkan di atas sebuah dipan kayu sederhana da-lam ruangan rumah yang sederhana
pula. Setelah petani itu meninggalkan rumah-nya yang telah dibayar sewanya secara royal
oleh Milana untuk waktu seminggu, Milana sibuk memasak obat, kemudian mencuci muka
Bun Beng dengan air ha-ngat, membersihkan darah dari pipi dan bibir, menaruh obat luka di
tempat yang terobek sepatu Tan-siucai kemudian memberi obat yang telah dimasaknya.
Bun Beng menjadi terharu, bukan oleh pertolongan yang dianggapnya wa-jar karena hal itu
dapat ia harapkan da-ri setiap orang manusia yang masih me-miliki kasih sayang di antara
manusia. Bukan, bukan pertolongan itu yang mengharukan hatinya, melainkan sentuhan-
sentuhan jari tangan yang demikian lem-but, pandang mata yang demikian halus, perhatian
yang demikian penuh dicurahkan kepada dirinya. Kalau wajah itu ti-dak demikian cantik jelita
dan masih amat muda, tentu dia tidak akan yakin bahwa yang merawatnya itu bukan ibunya!
Hanya ibunya sendiri sajalah agak-nya yang akan merawat anaknya seperti itu!
"Nah, biarpun obatku tak mungkin mengusir racun dari tubuhmu, setidak-nya engkau akan
merasa tenang dan ti-dak begitu menderita nyeri lagi, Twako. Dan obat yang kugosokkan
pada lutut-mu itu, dalam waktu sepekan tentu akan memulihkan kembali sambungan kedua
lututmu sehingga engkau akan dapat berjalan lagi."
"Nona Milana.... terima kasih. Engkau....!"
"Husshhh.... tidurlah, Twako. Aku akan masak bubur dan membuatkan minuman teh...."
Gadis itu menjauhi dipan dan mulai sibuk membuat bubur dan membelakangi Bun Beng
karena dia hendak menyembunyikan wajahnya yang penuh kegelisahan. Dia bukan seorang
ahli pe-ngobatan, namun sedikit pengetahuan yang dimilikinya cukup membuat dia tahu
bahwa pemuda itu menderita luka keracunan yang amat hebat. Biarpun dia tahu ibunya
sakti, namun ibunya sendiri pun belum tentu dapat menyembuhkan pemuda itu. Yang
membuat dia gelisah bukan main adalah kenyataan bahwa Bun Beng memusuhi Thian-liong-
pang! Mungkinkah ibunya suka menolongnya"
Bun Beng dapat tidur pulas berkat obat Milana yang agaknya mengan-dung pula obat tidur.
Hari telah mulai gelap dan Milana menyalakan tiga batang lilin di tempat lilin kuno yang
tergantung di sudut ruangan. Beberapa kali dia meli-hat berkelebatnya bayangan orang di
lu-ar rumah dan dia tahu bahwa itu adalah orang-orang Thian-liong-pang, anak buah ibunya.
Bahkan dia mengenal pula siapa yang memimpin rombongan delapan orang Thian-liong-
pang itu, ialah se-pasang kakak beradik kembar yang amat lihai. Dia tahu bahwa dua orang
kembar itu, Su Kak Liong dan Su Kak Houw, adalah dua orang kepercayaan ibunya dan
sudah sering diutus melaku-kan hal-hal berbahaya di luar perkum-pulan yang selalu
dilaksanakan dengan hasil baik. Sejak kecil Milana tidak pernah diberi tahu oleh ibunya akan
urusan Thian-liong-pang, namun karena dia di-gembleng ilmu oleh ibunya sendiri, dia tahu
bahwa kepandaian dua orang kem-bar ini hanya bertingkat sedikit di ba-wah tingkat
pembantu-pembantu ibunya seperti Lui-hong Sin-ciang Chie Kang atau Sai-cu Lo-mo
sendiri! Apalagi Su Kak Houw, setelah lengan kanannya lum-puh dalam sebuah
pertempuran melawan orang pandai, menerima sebuah ilmu pu-kulan yang amat dahsyat
dari ibunya. Ilmu ini didasari latihan khusus pada jari dan telapak tangan kiri dengan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
290 pengerah-an sin-kang dan gerakan khusus pula, membuat tangan kiri Su Kak Houw ini luar
biasa kuatnya, dapat dipakai me-nangkis senjata-senjata logam yang kuat dan tajam,
bahkan tangan itu dapat dipa-kai membacok seperti sebatang golok ta-jam. Karena inilah
maka dia terkenal sebagai Toat-beng-to (Golok Pencabut Nyawa). Sebuah julukan yang lucu
dan aneh karena selamanya tokoh ini tidak pernah menggunakan golok dalam
pertan-dingan, apalagi membunuh orang dengan golok. Dia hanya menggunakan lengan
kirinya, namun lawannya yang terluka atau tewas, roboh dengan luka-luka se-perti dibacok
sebatang golok besar yang tajam!
Biarpun maklum bahwa pondok yang disewanya itu dikurung oleh sedikitnya de-lapan orang
termasuk Si Kembar, Mila-na bersikap tenang-tenang saja. Dia me-rasa yakin bahwa selama
Bun Beng ber-ada bersamanya, tak ada seorang pun anggauta Thian-liong-pang yang akan
be-rani turun tangan! Maka dia pura-pura tidak tahu akan kehadiran mereka, sung-guhpun
dia tahu pula bahwa Si Kembar itu sengaja beberapa kali bergerak di depan jendela supaya
terlihat oleh Mila-na dan supaya ditegur oleh puteri Ketua Thian-liong-pang itu. Namun, dia
tidak mau menegur mereka dan terus melan-jutkan mempersiapkan makan dan minum
sederhana untuk Bun Beng dan dia sen-diri.
Dugaan Milana tepat sekali. Kedua orang kembar she Su itu memimpin enam orang
anggauta Thian-liong-pang tingkat pertengahan, bertugas melakukan penyelidikan dan
pengejaran terhadap Gak Bun Beng yang berhasil lolos dari tempat tahanan di bawah tanah.
Dapat dibayangkan betapa heran dan terkejut hati mereka ketika melihat pemuda itu dalam
keadaan luka berat, naik kuda bersama puteri Ketua mereka! Tentu saja hal ini membuat
mereka bingung dan tidak ber-gerak turun tangan, bahkan menegur saja mereka tidak
berani! Mereka merasa ngeri memikirkan kemungkinan hu-kuman yang akan dijatuhkan
Ketua Thian-liong-pang terhadap mereka kalau mereka mengganggu Milana! Sampai la-ma
mereka memancing agar ditegur lebih dulu oleh Milana sehingga mereka dapat melapor
akan tugas yang mereka terima dari Ketua Thian-liong-pang, akan tetapi sungguh membuat
mereka makin bingung ketika dara itu sama sekali tidak peduli seolah-olah tidak melihat
me-reka. Akhirnya, kedua orang saudara kembar itu mengambil keputusan untuk memasuki
pondok dan langsung menghadap Milana!
Ketika dua orang laki-laki yang mu-kanya menyeramkan, rambutnya awut-awutan itu
muncul dari pintu pondok pa-da keesokan harinya, Bun Beng sudah bangun dari tidurnya,
merasa tubuhnya ti-dak begitu tersiksa lagi oleh rasa nyeri, sungguhpun kedua kakinya
masih lumpuh tak dapat digerakkan. Tidur semalam dengan nyenyak memulihkan tenaga di
tubuh bagian atas.
Tampak olehnya Milana sedang me-masak air di sudut pondok. Bun Beng me-narik napas
panjang dan hal ini terde-ngar oleh dara itu yang segera menoleh memandang dan


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tersenyum manis.
"Engkau sudah bangun" Bagaimana tubuhmu?"
Sejenak Bun Beng tak mampu menja-wab, lehernya seperti tercekik. Sejak malam tadi,
Milana kelihatan sibuk te-rus mengurus dan merawat dirinya. Apa-kah tidak tidur semalam"
Dan melihat gadis itu di pagi hari ini, membuat Bun Beng terpesona. Belum pernah dia
meli-hat wajah secantik itu. Bukan main! Me-remehkan segala kecantikan yang pernah
dilihat sebelumnya. Milana memiliki ke-cantikan yang aneh, tidak seperti biasa dan
mengadung sesuatu khas yang takkan terdapat pada wajah selaksa orang gadis cantik
lainnya. "Aihh, kenapa engkau diam saja, Twako?"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
291 Bun Beng menjadi gugup dan kedua pipinya merah sekali. "Maaf.... eh, aku.... aku sedang
memikirkan bahwa sesungguh-nya tidak perlu engkau bersusah payah untuk aku, Nona.
Engkau terlalu baik dan aku merasa tidak layak menerima kebaik-an yang berlebihan ini,
membuat aku berhutang budi dan.... bagaimana aku akan mampu membalasmu?"
Milana tersenyum lebar. "Ya jangan dibalas karena aku tidak menghutang-kan apa-apa!"
Sebelum pemuda itu men-jawab, Milana mendahului dengan sikap dan suara bersungguh-
sungguh, "Gak-twako, mengapa engkau masih saja memperlihatkan sikap sungkan"
Bukan-kah kita berdua telah mengenal sejak kecil dahulu" Kalau seandainya aku yang
tertimpa bencana seperti engkau sekarang ini dan bertemu denganmu, apakah engkau tidak
akan sudi menolongku?"
"Ah, tentu saja!" jawab Bun Beng ce-pat.
"Kalau melihat engkau sungkan-sung-kan seperti ini, agaknya engkau pun ten-tu akan
segan dan sungkan menolongku."
"Demi Tuhan! Tidak, Nona. Aku akan melaksanakan apa saja, kalau perlu me-ngorbankan
nyawa untuk menolongmu!"
Milana tersenyum lagi dan membung-kuk. "Terima kasih, Twako. Nah, kalau begitu kita
sama-sama, bukan" Tidak ada hutang-pihutang budi, yang ada hanya kebetulan saja
engkau yang membutuh-kan pertolongan dan aku yang dapat me-nolongmu dan.... ohhhh!"
Milana cepat membalikkan tubuh memandang kepada dua orang pembantu ibunya yang
mema-suki pondok itu dengan sikap takut-takut. Bun Beng juga bangkit duduk di atas di-pan,
memandang kepada dua orang itu, sikapnya tenang.
"Kalian mau apa?" Milana yang merasa khawatir itu segera membentak. Dia tidak khawatir
kalau orang-orang Thian-liong-pang ini menyerang Bun Beng, tentu tidak akan berani
selama dia menjaga pemuda itu. Akan tetapi dia lebih khawatir kalau munculnya orang-
orang itu akan membuka rahasianya, yaitu bahwa dia adalah puteri Ketua Thian-liong-pang,
bahwa ibunya yang su-dah dikenal Bun Beng sebagai isteri Pendekar Super Sakti itulah
sesungguh-nya Ketua Thian-liong-pang!
Kedua orang itu cepat menjura de-ngan penuh kehormatan kepada Milana kemudian Su
Kak Liong, yang tertua di antara mereka, tentu saja hanya lebih tua beberapa jam daripada
Su Kak Houw, berkata hormat.
"Harap Siocia (nona) sudi memaafkan kami yang lancang. Akan tetapi, karena kami
melaksanakan perintah Pangcu ter-paksa...."
"Cukup! Pergilah, aku tidak mau di-ganggu!" Milana membentak marah dan kedua orang itu
menjadi pucat, saling memandang dengan bingung. Yang lebih bingung lagi adalah Bun
Beng. Kini dia mengenal kedua orang itu yang hadir ketika dia berada di Thian-liong-pang.
Tak salah lagi, mereka adalah dua orang to-koh Thian-liong-pang dan agaknya utus-an dari
Ketua Thian-liong-pang, akan te-tapi mengapa mereka bersikap begitu hormat dan takut-
takut terhadap Milana"
Su Kak Liong mengeluarkan sebuah benda dari saku bajunya, memperlihat-kannya kepada
Milana yang seketika menjadi pucat. Dara itu menutup mulut dengan jari tangan seolah-olah
hendak menahan jeritnya, matanya terbelalak memandang ke arah benda kecil di atas
telapak tangan Su Kak Liong yang ter-nyata adalah sebuah benda besi hitam berbentuk
tengkorak kecil sekali.
"Ohhh.... tidak....!" Milana berseru lirih.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
292 "Siocia maklum apa artinya perintah ini. Kami harus membunuh dan mengha-dapi rintangan
apa pun, karena kegagal-an kami harus kami tebus dengan nyawa. Sekali lagi, harap sudi
memaafkan kelan-cangan kami yang hanya kami lakukan dengan terpaksa sekali, untuk
melaksana-kan perintah Pangcu. Houw-te (Adik Houw), bunuh dia!"
Su Kak Houw sudah siap sejak tadi. Si Lengan Buntung ini pun maklum bah-wa sekali
kakaknya mengeluarkan tanda perintah membunuh dari Ketua mereka, tentu puteri ketua ini
sekalipun tidak akan berani menghalangi tugas mereka. Maka, begitu mendengar perintah
kakaknya sebagai pemegang tanda perintah itu, dia cepat melompat mendekati
pemba-ringan Bun Beng, dilanjutkan dengan ter-jangannya yang dahsyat, sekalipun
meng-gunakan tangan kirinya membacok dengan gerakan dan pengerahan tenaga sakti.
Bacokan tangan miring yang dapat mem-bacok putus baja dan besi, yang membu-at dia
dijuluki Toat-beng-to karena se-olah-olah tangan kirinya berubah menja-di sebuah golok
pusaka yang luar biasa ampuhnya!
Menghadapi serangan yang amat dah-syat ini, Bun Beng kehabisan akal dan biarpun dia
mengambil keputusan untuk melawan dan tidak menyerahkan nyawa-nya begitu saja,
namun ia maklum bah-wa dia terancam bahaya maut. Akan tetapi, angin pukulan yang amat
hebat itu mengingatkan dia akan suara angin ketika dia bersama kakek muka kuning Pulau
Neraka naik layang-layang dan di serang badai. Teringat ia akan pelajaran dari kakek itu
cara menghadapi serang-an badai dan cara menyelamatkan layang-layang berikut dirinya.
"Menghadapi serangan angin yang le-bih kuat, jangan sekali-kali melawannya secara
langsung." demikian kakek muka kuning itu berteriak-teriak memberi pe-tunjuk untuk
mengatasi. "Kosongkan te-nagamu dan turutilah gerak arus angin itu ke arah mana dia
menyambar, kemu-dian belokkan dan buang ke depan. Pas-ti layang-layang ini akan dapat
mengu-asainya."
Teringat akan pelajaran yang berkele-bat di dalam benaknya pada detik nya-wanya
terancam maut itu, Bun Beng cepat membuat gerakan otomatis untuk melaksanakan
pelajaran itu. Dia memba-talkan niatnya hendak menangkis sam-baran tangan kiri tokoh
Thian-liong-pang itu, bahkan ketika tangan itu menyambar, didahului arus angin amat kuat
me-nyambar ke arah lehernya, otomatis tu-buhnya yang duduk itu meliuk ke bela-kang dan
tenaganya sendiri cepat menga-lir ke bagian tubuhnya yang kiri bersa-ma arus tenaga yang
datang itu. Ketika telapak tangan lawan itu sudah dekat dengan lehernya, tiba-tiba Bun Beng
yang merasa betapa lengan di seluruh lengan kirinya sudah bergabung dengan tenaga yang
datang tadi, persis seperti ketika mengemudikan layang-layang, dia cepat membuang tenaga
itu melalui tangan ki-rinya ke depan, membabat turun dari atas ke arah lengan kiri lawan.
"Crakkkk....!" Terdengar jerit menge-rikan. Bun Beng melihat betapa Milana cepat meloncat
ke samping dan tubuh lawannya terhuyung-huyung ke belakang. Dia ngeri sekali
menyaksikan akibat dari gerakannya tadi, dan memandang dengan mata terbelalak ke arah
lengan kiri la-wan itu yang kini telah buntung! Ternya-ta bahwa babatan tangan kirinya tadi
telah dapat membuat lengan lawan itu buntung sebatas pangkalnya! Tanpa disadari, Bun
Beng telah dapat mewarisi dan menggunakan ilmu mujijat dari Pu-lau Neraka, yaitu ilmu
"memindahkan tenaga" yang amat hebat. Adapun korban pertama dari ilmunya itu, yang
terjadi tanpa ia sengaja, adalah Su Kak Houw tokoh Thian-liong-pang, sungguhpun tadi dia
tahu bahwa hal itu dapat terjadi karena adanya bantuan dari Milana. Ke-tika tadi Su Kak
Houw melancarkan serangan, Milana yang maklum akan kehe-batan tangan kiri Su Kak
Houw, cepat menyambar dari belakang dengan sebuah totokan kilat sehingga Su Kak Houw
tadi terhenti. Andaikata tidak demikian, biarpun ilmu baru Bun Beng mujijat, na-mun pemuda
itu tetap saja terancam bahaya terkena pukulan sebelum lengan Su Kak Houw buntung!
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
293 Su Kak Liong terkejut sekali, cepat meloncat ke depan dan menerima tubuh adik kembarnya
yang pingsan, dan dia mengambil pula lengan kiri adiknya. De-ngan muka pucat Su Kak
Liong meman-dang kepada Milana karena dia menduga bahwa tentu puteri Ketuanya itulah
yang membuat lengan adiknya buntung. Dia tidak dapat melihat dan tak akan mau percaya
bahwa pemuda yang sudah lum-puh kedua kakinya itu yang membuntung-kan lengan
adiknya yang lihai.
"Kami hanya melaksanakan tugas pe-rintah Pangcu, akan tetapi Nona berlaku kejam. Kami
tidak berani melawanmu, Nona, akan tetapi kami harus melapor-kan peristiwa ini kepada
Pangcu dan mo-hon pengadilan." Setelah berkata demiki-an, Su Kak Liong memondong
tubuh adik kembarnya keluar dari pondok itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Nona...." Bun Beng berkata, menahan-nahan rasa nyeri
hebat yang menyesak-kan dada.
Milana menoleh kepadanya. "Aihh, Twako. Ilmu mujijat apakah yang kau pergunakan
tadi...." Ehhh.... kau kena-pa....?" Gadis itu meloncat dekat pem-baringan di mana Bun Beng
terengah-engah, kemudian pemuda itu menelung-kupkan mukanya ke pinggir pembaringan
untuk muntahkan darah segar!
"Kau.... kau terluka....!" Milana berseru khawatir, duduk di tepi pembaringan dan menyusuti
darah dari bibir Bun Beng yang terengah-engah itu dengan saputa-ngan.
Bun Beng merasa makin berterima kasih dan tidak enak. "Sudahlah, Nona.... lebih baik
kautinggalkan aku di sini.... pengerahan tenaga tadi memperhebat penyakitku, dan.... kau
akan dimusuhi Thian-liong-pang.... tinggalkan aku, aku tidak mau kalau Nona sampai
tersangkut dan terancam bahaya karena aku, seorang yang sudah tiga perempat mati."
"Tidak! Aku harus membawamu kepada orang yang akan dapat mengobatimu, dapat
mengeluarkan racun dari tubuhmu. Kalau kau berada di bawah perlindunganku, jangankan
orang-orang Thian-liong-pang, biar segala setan iblis di dunia ini akan mengganggu pasti
akan kulawan!"
Biarpun dadanya terasa sesak dan nyeri, Bun Beng terpaksa tersenyum juga mendengar
ucapan yang keluar dari mulut yang mungil dan manis itu. Ia memandang wajah itu melalui
kunang--kunang yang menari di depan matanya.
"Terserah kalau begitu, Nona Milana. Akan tetapi.... aku hanya akan suka mene-rima
budimu dengan hati berat kalau engkau suka berterus terang pula. Orang-orang Thian-liong-
pang tadi bukanlah orang-orang yang berkedudukan rendah, dan ilmu kepandaian mereka
yang ting-gi membuktikan bahwa mereka adalah tokoh-tokoh besar dari Thian-liong-pang.
Akan tetapi, mengapa mereka itu amat menghormati dan takut kepada Nona" Ada
hubungan apakah antara Nona dengan Thian-liong-pang" Harap Nona suka ber-terus terang
agar aku tidak menjadi bi-ngung dan ragu-ragu."
Milana menjadi merah mukanya. Sam-pai lama dia saling berpandangan dengan Bun Beng
dan melihat sinar mata tajam dan membayangkan kemauan yang kokoh kuat itu, tahulah dia
bahwa tiada guna-nya membohong terhadap pemuda ini, juga amat berbahaya kalau tidak
berte-rus terang.
"Gak-twako, sesungguhnya hal ini me-rupakan rahasia besar bagiku. Akan teta-pi, karena
engkau bukanlah orang luar, kumaksudkan bahwa dahulu di waktu kecil engkau telah
mengetahui keadaan kami, dan mengingat akan keadaanmu sekarang, bahwa aku harus
menolongmu dan engkau telah menyaksikan pula tadi sikap para tokoh Thian-liong-pang,
se-baiknya keberitahukan rahasia besar ini, bahwa aku.... aku adalah puteri Ketua Thian-
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
294 liong-pang. Ketua penuh rahasia yang mukanya selalu dikerudungi itu bu-kan lain adalah
Ibuku sendiri."
"Ohhhh....!" Pengakuan ini merupakan pukulan yang amat hebat bagi Bun Beng sehingga ia
terjengkang dan rebah ping-san di atas pembaringannya!
Ketika siuman kembali Bun Beng me-rasa dadanya masih nyeri akan tetapi tidak begitu
sesak lagi dan kedua kaki-nya seolah-olah makin mati. Tubuhnya tergoncang-goncang dan
ketika ia mem-buka mata, kiranya ia telah berada di atas punggung kuda lagi, dan Milana
duduk di belakangnya.
"Ohhhh.... engkau hendak membawaku ke mana, Nona?"
"Gak-twako, kenapa engkau masih selalu bersikap sungkan dan menyebutku Nona seolah-
olah kita bukan sahabat lama" Gak-twako, setelah aku menyebut Twako (Kakak) padamu
mengapa engkau tidak tidak mau menyebutku Adik?"
"Aihhh, mana aku berani, Nona Mila-na" Engkau adalah puteri Pendekar Su-per Sakti,
Pendekar Siluman Majikan Pu-lau Es yang amat terhormat, sakti dari mulia. Engkau juga
puteri Ketua Thian-liong-pang yang terkenal di seluruh du-nia! Aihhhh.... Nona, sungguh aku
terke-jut setengah mati mendengar bahwa Ke-tua Thian-liong-pang adalah Ibumu.
Seka-rang.... ah, makin keras permintaanku agar engkau tidak menolongku, Nona."
"Hemm, kenapa" Karena engkau di-musuhi Thian-liong-pang" Tidak peduli! Aku tetap akan
melindungimu dan men-carikan orang pandai yang akan dapat menyembuhkanmu." Suara
dara itu tetap halus namun menyembunyikan tekad yang amat besar, kemauan yang tak
mungkin dibelokkan oleh apapun juga.
"Tapi Thian-liong-pang....?"
"Peduli amat! Kalau mereka datang hendak memaksakan kehendak mereka membunuhmu,
akan kuhadapi mereka se-mua!"
"Akan tetapi, Nona. Tak mungkin demikian! Apakah engkau akan melawan Ibumu sendiri"
Para tokoh Thian-liong-pang itu hanya melaksanakan tugas perin-tah Ibumu!"
"Tidak peduli!"
Ingin Bun Beng memandang wajah ga-dis itu, akan tetapi karena Milana du-duk di
belakangnya, tentu saja tidak mungkin ia menoleh ke belakang karena hal itu akan terlalu
tidak sopan dan muka mereka tentu akan saling berde-katan. Jantungnya berdebar tidak
karuan ketika mendengar jawaban itu, maka un-tuk melepaskan keraguan hatinya yang
berdebar tidak karuan itu, dia membera-nikan diri berkata,
"Nona Milana, engkau berkeras meno-longku dan menghadapi Ibumu sendiri" Ah, mengapa
begini" Engkau membuat aku merasa tidak enak sekali! Ibumu tentu akan marah sekali
kepadamu, Nona."
"Biarlah, aku tidak takut."
Hening sejenak, hanya suara derap kaki kuda yang mereka tunggangi itu terdengar
memecah kesunyian hutan yang mereka lalui, namun bagi Bun Beng, de-tak jantungnya
sendiri lebih keras dari-pada derap kaki kuda.
"Nona Milana...."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
295 "Ah, telingaku menjadi sakit mende-ngar sebutanmu nona berkali-kali itu, Twako. Sebut saja
namaku, tanpa nona."
"Maaf, aku tidak berani. Nona Mila-na, kita bersama lahir sebagai manusia yang sejak kecil
digembleng ilmu keke-rasan dan kita mengutamakan kejujuran dan kegagahan. Kini kita
berdua mengha-dapi hal yang amat rumit, yang bahwa engkau sebagai puteri Ketua Thian-
liong-pang bertekad melindungi aku dari ke-inginan Ibumu sendiri yang mengutus orang-
orangnya untuk membunuhku. Ku-harap kau suka menjawab dengan terus terang dan jujur,
Nona. Mengapa engkau bersikap seperti ini?"
Hening pula sejenak, kemudian terde-ngar Milana balas bertanya,
"Apa maksudmu, Twako" Aku tidak mengerti."
"Nona, mengapa engkau lebih membe-ratkan aku daripada Ibumu" Jelas bahwa aku
bersalah besar terhadap Ibumu se-hingga kini Ibumu mengutus orang-orang-nya untuk
membunuhku. Akan tetapi mengapa engkau melindungiku mati-matian dan tidak enggan
melawan Ibumu sendi-ri" Mengapa engkau lebih memberatkan aku daripada Ibumu?"
Kini suasana menjadi hening, agak lama karena Milana memandang ke atas dengan alis
berkerut, agaknya sukar ba-ginya menemukan jawaban untuk perta-nyaan Bun Beng itu.
Berkali-kali ia menghela napas panjang, kemudian terde-ngar ia menjawab,
"Sukar sekali menjawab pertanyaan-mu, Twako. Akan tetapi setelah kupikir-pikir, agaknya
aku sadar akan kekejam-an Thian-liong-pang, sadar akan kese-satan Ibu dan kesalahannya
terhadap engkau yang tak berdosa. Karena kesadaran itu maka aku berusaha menentang
dan kebetulan bertemu denganmu yang terancam oleh Thian-liong-pang. Nah, puaskah kau
dengan jawabanku, Twako?"
Bun Beng menggeleng kepala. "Aku ti-dak puas, Nona, karena jawaban itu ter-lalu dicari-
cari, dan bukan itu sebabnya. Mengapa untuk menjadi sadar engkau ha-rus menunggu
sampai berjumpa dengan-ku" Pula, untuk menyadarkan seorang ibu, tentu cukup dengan
menegur dan mengingatkan. Masa sampai menentang-nya dan membela orang lain. Maaf,
No-na. Coba engkau bayangkan andaikata bukan aku yang kaujumpai, melainkan orang lain
yang sama sekali tidak kau-kenal, apakah engkau juga akan membe-lanya dari Ibumu dan
Thian-liong-pang" Begitu banyak orang pandai, diculik oleh Thian-liong-pang untuk dicuri
ilmunya, mengapa engkau mendiamkannya saja dan tidak ada seorang pun yang kaubela"
Mengapa justru aku yang kaubela sehing-ga kau siap menghadapi pertentangan dengan
perkumpulan Ibumu" Harap kau suka menjelaskan, dan mengaku secara jujur, apa
sebabnya, Nona?"
Kini lebih lama lagi keadaan menjadi sunyi. Bun Beng mendengarkan dan menanti dengan
jantung berdebar tegang. Akan tetapi sunyi saja di belakangnya. Akhirnya terdengar Milana
tertawa halus suara tertawa yang jelas sekali bagi Bun Beng adalah suara untuk menutupi
kegugupannya. "Hi-hik, engkau ini aneh-aneh saja, Gak-twako. Aku sampai men-jadi
bingung. Sudahlah, aku tak dapat menjawab karena aku sendiri tidak me-ngerti, mengapa
aku tiba-tiba ingin membelamu mati-matian. Karena engkau bertanya dengan demikian
mendesak, agaknya engkau yang tahu akan sebab-nya, Twako. Maka tolonglah engkau
yang menjawabkan untukku."
"Nona Milana, tidaklah mengherankan kalau engkau sendiri tidak tahu, karena memang hal
ini amat sulit dimengerti, hanya terasa oleh hati. Engkau bertemu denganku, lalu timbul
hasrat untuk me-nolongku, melindungiku mati-matian bah-kan rela bertentangan dengan Ibu
sen-diri. Hal ini tidak lain adalah karena cinta!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
296 "Heiiiii.... aduuuhhh....!"
Tubuh Bun Beng terbanting dari atas punggung kuda karena dalam keadaan kaget
setengah mati mendengar ucapan pemuda itu, Milana mengeluarkan suara melengking
nyaring yang membuat kuda-nya meringkik dan mengangkat kaki de-pan ke atas dan
tergulinglah tubuh Bun Beng yang kedua kakinya lumpuh itu!
"Ohhh, Twako.... kau tidak apa-apa?" Milana cepat meloncat turun dan berlu-tut di dekat
Bun Beng yang sudah rebah terlentang.


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pemuda itu menggeleng kepala dan berusaha tersenyum, lalu ia bangkit du-duk dengan
menekankan kedua tangan pada tanah. Mereka saling berpandang-an. "Aku mohon maaf
sebesarnya atas ucapanku tadi, Nona. Bukan niatku untuk menghinamu, aku hanya bicara
menurut-kan suara hati. Maafkanlah aku yang lan-cang mulut."
"Engkau orang aneh!" Milana menyam-bar kedua lengan Bun Beng dan memba-wanya
melompat ke atas kuda lagi. "Aku yang membikin kau terjatuh dari kuda, malah engkau yang
minta maaf."
"Tentu saja, karena aku jatuh oleh ka-getnya kuda, kuda kaget oleh lengkingan-mu, dan
engkau melengking oleh ucapan-ku. Jadi biang keladinya adalah aku sen-diri, maka aku
yang bersalah dan aku yang minta maaf."
"Kata-katamu tadi tidak perlu dimin-takan maaf. Akan tetapi, aku menjadi makin heran. Aku
tidak tahu apa-apa tentang cinta. Cinta yang bagaimana yang kaumaksudkan" Yang ada
dalam ha-tiku hanyalah perasaan ingin menolong-mu. Apakah itu cinta yang mendorong-nya
ataukah perasaan lain, aku tidak ta-hu. Aku melihatmu, teringat akan masa lalu, dan aku
kasihan kepadamu, maka aku ingin menolongmu, Twako. Kalau orang-orang Thian-liong-
pang tadi kula-wan, karena timbul penasaran dan kema-rahan di hatiku, mengapa engkau
yang sudah terluka dan dalam keadaan teran-cam maut ini masih mereka ganggu. Apakah
ini semua sebab cinta" Aku tidak tahu dan tak dapat menjawab. Agaknya engkau adalah
seorang ahli ten-tang cinta, Twako, maka tolonglah beri penjelasan dan kuliah tentang cinta."
Seketika merah kedua pipi Bun Beng dan ia menyeringai, tersenyum masam yang untung
tidak tampak oleh dara yang duduk di belakangnya. "Wah, aku sendiri tidak tahu tentang itu,
Nona, aku sendiri pun belum mengenal cinta...."
"Ah, kau bohong, Twako!"
"Sungguh mati!"
"Usiamu tentu telah banyak, setidak-nya beberapa tahun lebih tua daripada aku yang baru
tujuh belas tahun."
"Aku enam tahun lebih tua, Nona. Akan tetapi, aku.... aku belum pernah.... eh, maksudku
mengalami cinta, dan.... eh, apa yang kita bicarakan ini" Sama-sama tidak tahu tentang
cinta, akan te-tapi sudah berani bicara. Mana bisa?" Bun Beng tertawa dan Milana juga
ter-tawa. Tiba-tiba Bun Beng merasa beta-pa gembira hatinya. Aneh sekali! Dia tahu bahwa
dirinya terancam maut, se-dikit sekali harapan dapat tertolong. Mengapa dia tidak merasa
takut, tidak merasa khawatir dan tidak merasa ber-duka, bahkan hatinya penuh rasa
gembira" Kedua kakinya masih lumpuh, dada-nya masih nyeri, akan tetapi rasa gembi-ra
mengalahkan semua ini.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
297 "Kau benar, Twako. Sekarang lebih baik kau ceritakan semua pengalamanmu mengapa
engkau sampai terluka hebat seperti ini, dan dari mana engkau datang, bagaimana pula
engkau menjadi tawanan orang-orang Pulau Neraka di perahu itu."
"Hemm, semua itu gara-gara Sepa-sang Pedang Iblis...."
"Ehhhh" Sepasang Pedang Iblis" Di mana kedua pedang pusaka itu?"
Bun Beng menarik napas panjang. Agaknya dara jelita ini pun terkena pu-la wabah "demam
Sepasang Pedang Iblis" yang diderita semua orang kang-ouw sehingga terjadi perebutan
sejak dahulu. "Sayang pedang-pedang itu tidak berada di tanganku lagi, sungguhpun akulah
yang menemukannya. Kalau tidak terampas orang tentu yang sebuah akan kuberikan
kepadamu, Nona."
"Ahhh, suaramu itu! Apa kaukira aku terlalu ingin memperoleh pedang yang namanya saja
begitu mengerikan" Tidak, Twako. Aku hanya ingin mengatakan bahwa kalau Sepasang
Pedang Iblis itu berada di tanganmu, sudah dapat ditentukan nyawamu akan tertolong!"
"Eh, kenapa begitu?"
"Ibu tentu akan girang sekali meneri-ma sepasang pedang itu, dan akan berte-rima kasih
kepadamu. Ibu tentu akan su-ka mengampunimu bahkan akan mengo-batimu sampai
sembuh. Betapapun juga kalau dapat mengatakan di mana adanya pedang-pedang itu saja,
Ibu tentu sudah menjadi girang sekali. Ceritakanlah, Twako bagaimana pedang itu terampas
orang dan bagaimana pula engkau ter-luka hebat?"
"Yang melukai aku adalah seorang sakti yang berilmu tinggi dari negeri barat, namanya
Maharya dengan murid-nya...."
"Aihhhh....! Tan-siucai dan gurunya yang dahulu mencuri pedang Hok-mo-kiam buatan
Kakek Nayakavhira dan yang membunuh burung-burung garuda dari Pulau Es itu?"
Bun Beng mengangguk. "Ya, mengenai sepasang pedang itu, yang betina ku-berikan
kepada Nona Giam Kwi Hong dan...."
"Aihhhh! Enci Kwi Hong?" Milana berseru girang mendengar nama ini, akan tetapi suaranya
tiba-tiba berubah lirih ketika melanjutkan, "Kau.... berikan pedang itu kepadanya?"
Bun Beng tidak mendengar perbedaan suara ini dan ia mengangguk. "Pedang betina
kuberikan kepadanya, dan pedang jantan yang kubawa telah terampas...."
"Oleh Tan Ki dan Maharya?"
"Bukan, oleh pemuda iblis dari Pulau Neraka."
"Ohhh....!" Kaget bukan main hati Milana mendengar ini. Ibunya tentu akan marah sekali
mendengar bahwa Sepasang Pedang Iblis yang amat diinginkan itu ternyata telah terjatuh ke
tangan Pulau Es dan Pulau Neraka! "Bagaimana bisa demikian?"
Bun Beng lalu menceritakan penga-lamannya semenjak bersama Kwi Hong dia mengambil
sepasang pedang itu dari tempat ia menyembunyikannya, kemudian betapa mereka bertemu
dengan Tan Ki dan Maharya, kemudian muncul pemu-da lihai dari Pulau Neraka yang
berhasil merampas Lam-mo-kiam dari tangannya. Milana mendengarkan dengan hati
terta-rik bercampur kecewa.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
298 "Untung bahwa aku telah memberikan Li-mo-kiam kepada Nona Kwi Hong se-hingga dapat
dibawanya lari. Sayang bah-wa Lam-mo-kiam terampas oleh pemuda iblis itu, kalau tidak,
aku tentu dengan girang akan memberikan Lam-mo-kiam kepadamu, Nona Milana."
Ucapan yang menutup penuturannya ini membuat Bun Beng terbayang akan wajah Kwi
Hong dan teringatlah ia akan perjalanannya berdua dengan nona itu. Diam-diam ia
membandingkan Kwi Hong segan Milana. Kwi Hong juga tidak mau disebut nona, bahkan
marah-marah se-hingga terpaksa dia menyebut murid Pendekar Super Sakti itu dengan
nama-nya saja. Akan tetapi sikap dan sifat Milana lain. Dara ini amat halus tutur sapa dan
gerak-geriknya sehingga dia merasa sungkan untuk menyebut namanya begitu saja. Dara ini
dengan sikap-nya yang halus lemah lembut, memiliki wibawa yang agung dan membuat dia
tak berani untuk bersikap tidak hormat!
"Gak-twako, engkau tentu tahu bah-wa Sepasang Pedang Iblis itu menjadi rebutan seluruh
dunia kang-ouw. Setelah secara kebetulan kau mendapatkan pusa-ka-pusaka itu, mengapa
dengan mudah saja kauberikan sebuah kepada Enci Kwi Hong?"
Bun Beng termenung mendengar per-tanyaan ini dan diam-diam mukanya berubah tanpa
dapat dilihat Milana yang duduk di belakangnya. Sejenak Bun Beng tak dapat menjawab,
mengerutkan ke-ning berpikir, kemudian baru ia menja-wab setelah berpikir lama, "Kurasa
tidak aneh, Nona. Untuk apakah aku memiliki dua batang pedang" Tidak ada buruknya
kalau aku menyerahkan sebatang kepada Nona Kwi Hong, dan mengapa kepada dia
kuserahkan Li-mo-kiam" Pertama, karena kebetulan menemaniku mengambil Sepasang
Pedang Iblis. Ke dua, karena dia adalah murid Pendekar Super Sakti yang amat kukagumi
dan muliakan. Itu-lah sebabnya."
Hening sejenak sebelum Milana berta-nya lagi. "Gak-twako, apakah engkau mencintai Enci
Kwi Hong?"
"Hahh....?" Pertanyaan yang keluar dengan suara halus seperti berbisik itu benar-benar tak
disangka-sangka, terlalu tiba-tiba datangnya membuat Bun Beng gelagapan seolah-olah dia
dibenamkan ke dalam air. "Apa.... apa maksudmu, No-na....?"
"Twako, semenjak masih kecil dahulu, sudah tampak betapa engkau dan Enci Kwi Hong
cocok dan akrab sekali. Kini Pedang Li-mo-kiam adalah sebatang di antara Sepasang
Pedang Iblis yang di-perebutkan seluruh orang kang-ouw. To-koh-tokoh besar di dunia kang-
ouw akan rela mempertaruhkan nyawanya untuk men-dapatkan sebatang di antaranya.
Akan te-tapi engkau dengan mudah saja menyerahkannya kepada Enci Kwi Hong. Kalau
engkau mencinta Enci Kwi Hong, hal itu tidaklah aneh lagi. Aku hanya ingin tahu apakah
engkau mencinta Enci Kwi Hong?"
"Ahhhh, Nona Milana! Engkau membu-at aku malu saja. Orang macam aku ini mana ada
hak untuk mencinta seorang seperti dia" Dia adalah murid Pendekar Super Sakti, bahkan
dia adalah keponak-an Beliau! Mana mungkin dan mana pan-tas aku jatuh cinta kepadaya"
Tidak, Nona, harap tidak menyangka yang bukan-bukan. Aku menyerahkan Li-mo-kiam
kepadanya hanya karena mengingat kepa-da gurunya dan pamannya, Pendekar Siluman
atau Pendekar Super Sakti, Maji-kan Pulu Es yang kuhormati."
Tanpa terlihat oleh Bun Beng, pan-dang mata Milana termenung ketika ia mendengar
jawaban itu. Sampai lama dia termenung sambil menjalankan kuda-nya menuruni lembah
gunung, memasuki hutan ke dua yang besar dan agak ge-lap. Hatinya tenang saja karena
dia mengenal hutan ini, tahu bahwa dia su-dah memasuki wilayah di luar kekuasaan Thian-
liong-pang dan ia tahu benar bah-wa ibunya melarang anak buahnya mela-kukan sesuatu di
luar wilayah kekuasaan-nya untuk menjaga nama Thian-liongpang, kecuali utusan-utusan
khusus yang ditugaskan untuk suatu keperluan. Dia bermaksud pergi ke kota Siang-bun di
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
299 sebelah selatan hutan besar itu, di sana ia mendengar tinggal seorang tabib yang pandai.
Siapa tahu barangkali tabib itu akan dapat menolong Bun Beng.
"Engkau merasa terlalu rendah untuk mencinta Enci Kwi Hong, Twako?"
Kembali pertanyaan yang tiba-tiba datangnya dan tidak tersangka-sangka, sehingga Bun
Beng menjadi terkejut dan menjawab gagap, "Ya.... ya.... begitulah."
"Misalnya.... terhadap diriku, bagaima-na" Apakah engkau juga merasa terlalu rendah untuk
jatuh cinta kepadaku" Ini hanya umpamanya saja, Twako."
Bun Beng terbelalak, jantungnya berde-bar keras. Betapa jujur dan polos hati dara ini!
Mukanya menjadi panas seperti dibakar rasanya. "Ahhh.... mana aku berani, Nona" Lebih-
lebih terhadapmu! Engkau adalah puteri Pendekar Super Sakti, puteri Ketua Thian-liong-
pang! Sedangkan aku...., aku hanya anak yang tidak syah dari seorang tokoh hitam, datuk
kaum sesat!"
Milana merasa terharu. "Aihh, engkau terlalu merendahkan diri, Gak-twako. Bagiku, aku
tidak menilai seseorang kare-na keturunannya, karena wajahnya mau-pun karena
kepandaian atau kedudukan-nya. Cinta adalah urusan hati, bukan urus-an mata, urusan
batin, bukan urusan lahir."
Jantung Bun Beng makin berdebar. Kata-kata yang amat aneh terdengar olehnya, kata-kata
yang sukar sekali un-tuk diselami dan dikenal bagaimana isi hati orang yang
mengucapkannya. Dia menjadi ragu-ragu dan penasaran, maka dia memberanikan hatinya
bertanya. "Maaf, Nona Milana. Sekali lagi aku bermulut lancang mengajukan pertanya-an ini. Apakah
Nona mencintaku?"
Bun Beng dapat merasakan dengan punggungnya yang bersentuhan dengan tu-buh dara
itu betapa Milana agak geme-tar mendengar pertanyaan itu, akan te-tapi jawaban yang
keluar dengan halus itu tetap tenang. "Aku tidak tahu, Twa-ko. Bagaimana aku tahu kalau
aku sendiri tidak mengerti apa artinya cinta itu sendiri" Aku merasa suka kepadamu, dan
merasa kasihan kepadamu. Hanya itulah yang terasa di hatiku, yang membuat aku
mengambil keputusan bulat untuk mem-bela dan menolongmu. Aku tidak tahu apakah suka
dan kasihan itu sama dengan cinta. Bagaimana pendapatmu, Twako" Tahukah engkau apa
sebetulnya cinta?"
Bun Beng tidak dapat menjawab. Ku-da itu berjalan terus, perlahan-lahan dan keduanya
diam, seolah-olah tenggelam dalam lamunan tentang cinta. Bun Beng memandang ke depan
ke arah pohon-po-hon seolah-olah ingin mencari jawaban tentang arti cinta di antara daun-
daun pohon, di antara sinar matahari dan ba-yangan benda-benda yang bersinar oleh
cahaya matahari. Dahulu ketika ia me-ngenangkan wajah tiga orang wanita, wa-jah Kwi
Hong, wajah Ang Siok Bi pute-ri Ketua Bu-tong-pai, wajah Milana, ia pernah merenungkan
tentang cinta. Kemudian, ketika ia masih kecil, pertemu-an antara Pendekar Super Sakti dan
iste-rinya, Nirahai yang ternyata adalah ibu kandung Milana, juga membuatnya ter-menung
dan mulailah ia berpikir tentang cinta. Cinta antara pria dan wanita, apa itu"
"Cinta adalah penyakit!" Tiba-tiba saja ucapan ini keluar dari mulutnya, ti-dak hanya
mengejutkan hati Milana, ju-ga mengagetkan Bun Beng sendiri kare-na kata-katanya sendiri
itu seperti ter-lompat keluar tanpa disadarinya.
"Apa" Cinta adalah penyakit?" Mila-na berseru keras.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
300 Karena sudah terlanjur, Bun Beng melanjutkan, mengikuti suara hatinya yang timbul di saat
itu. "Cinta adalah sumber penyakit yang menciptakan pe-nyakit-penyakit baru. Cinta yang
dike-nal pria dan wanita, sebenarnya tidak patut disebut cinta, bahkan mungkin bu-kan cinta
yang sesungguhnya! Seorang wanita dan seorang pria saling berjumpa, saling mengagumi
keelokan masing-masing, saling tertarik. Kemudian timbul hasrat ingin saling memiliki. Itulah
cinta! Bukankah keinginan itu hanya nafsu be-laka" Nafsu mendapatkan sesuatu demi
kesenangan dan kepuasan diri sendiri" Karena itu menjadi sumber penyakit. Kalau
keinginan tidak terkabul, juga tim-bul penyakit-penyakit baru seperti cem-buru, kecewa dan
lain-lain. Ketidakco-cokan pikiran dan watak mendatangkan pertengkaran dan ke mana
larinya cinta" Ketidakpuasan dalam hubungan satu sama lain menimbulkan kekecewaan, ke
mana larinya cinta" Cemburu yang me-nimbulkan kebencian, ke mana larinya cinta" Cinta
yang dikenal sekarang, ter-utama oleh kaum pria, hanyalah nafsu dan si wanita hanyalah
dijadikan alat penyenang hati dan badannya. Kalau ke-nyataan sebaliknya, terbanglah
cinta-nya."
Milana membelalakkan mata, bergi-dik ngeri. "Aihhh, kau terlalu kejam, Twako! Kurasa tidak
demikian buruk se-perti yang kausangka, atau karena kau belum merngenal, kau lalu
mengawur sa-ja tentang cinta. Cinta itu murni, halus, indah bagi wanita. Cinta itu bukan
naf-su semata, lebih halus, lebih mendalam, mengenai perasaan hati. Wanita ingin dicinta,
ingin dihargai, ingin dikagumi, ingin dimanja. Untuk itu, dia rela berkorban apa pun, rela
menyerahkan badan dan nyawa untuk laki-laki yang mencintanya."
"Hemm, di mana ada keinginan, tim-bullah kekecewaan. Keretakan pun terja-dilah seperti
Ibu dan Ayahmu, eh, ma-af....!" Bun Beng terkejut dan tiba-tiba saja terbukalah matanya
mengenai kere-takan hubungan antara Pendekar Super Sakti dan isterinya, Nirahai.
"Kau keliru. Kekecewaan pun akan diterima oleh wanita yang mencinta dan dicinta. Suka
sama dinikmati, duka sa-ma dipikul. Itulah cinta...."
Bun Beng menarik napas panjang. "Ahhh, memang ada perbedaan pendapat tentang cinta
antara pria dan wanita, akan tetapi justeru perbedaan pendapat itulah yang menciptakan
seninya, seni untuk menyesuaikan diri. Setiap perju-angan menghadapi kenyataan pahit dan
usaha untuk mengatasinya, itulah seni hidup. Wanita lebih menggunakan perasa-annya
yang halus, karena itu cintanya lebih murni, tidak seperti pria yang meng-gunakan pikirannya
sehingga timbullah dorongan-dorongan nafsu jasmani yang kadang-kadang berlebihan
sehingga memancing datangnya pertentangan dan persoalan...."
"Sssstt.... ada orang...." Tiba-tiba Mi-lana berbisik dan ketika Bun Beng mengangkat muka,
ternyata muncul lima orang Thian-liong-pang yang sikapnya keren dan menyeramkan.
Milana menahan kudanya dan mengha-dapi lima orang itu dengan pandang ma-ta penuh
wibawa. Ia menggunakan lengan kiri dilingkarkan di pinggang Bun Beng, karena maklum
bahwa sekali terguncang hebat, pemuda yang masih setengah lum-puh dari pinggang ke
bawah itu akan dapat terpelanting dari atas punggung kuda. Tangan kanan memegang
kendali kuda dan ia berkata nyaring,
"Kalian berlima menghadang perjalan-anku, ada maksud apakah?"
Seorang di antara mereka segera mengangkat kedua tangan memberi hor-mat sambil
menjawab, "Harap Siocia suka memaafkan kami dan suka memak-lumi kedudukan dan
keadaan kami seba-gai petugas dan utusan Pangcu. Kami diperintahkan untuk menangkap
atau membunuh pemuda yang bernama Gak Bun Beng ini, dan kami sangat mengha-rapkan
agar Siocia suka menyerahkan kepada kami, mengingat bahwa kami adalah utusan-utusan
Pangcu yang ber-kuasa penuh."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
301 "Tidak. Aku juga bertugas sebagai manusia sudah mengambil keputusan me-lidungi Gak
Bun Beng. Aku tidak mau menyerahkannya, dan tidak akan membo-lehkan kalian
menangkap atau membu-nuhnya. Habis, kalian mau apa?"
"Srat-srat-sing-sing!" Tampak sinar kilat ketika lima orang itu mencabut golok masing-
masing. "Maaf, Siocia. Tidak melaksanakan perintah Pangcu berarti nyawa kami me-layarrg secara
sia-sia. Kalau memaksa sehingga bertentangan dengan Siocia, andaikata kami tewas
sekalipun, kami tewas dalam menjalankan tugas sebagai anggauta Thian-liong-pang yang
setia. Tentu kami memilih mati sebagai ang-gauta setia daripada anggauta yang mur-tad
tidak menurut perintah Ketua."
"Hemm, jadi kalian hendak melawan-ku?" Milana membentak.
"Bukan melawan Siocia, hanya menja-lankan tugas kami."
"Nona Milana, tinggalkan aku, harap jangan engkau turun tangan melawan orang-orangmu
sendiri," kata Bun Beng.
"Tidak! Aku akan melindugimu dengan taruhah apapun juga."
"Kalau begitu, biarlah aku mengha-dapi mereka, kaularikan saja kuda ini!" bisik Bun Beng.
Lima orang itu sudah berpencar me-ngurung kuda mereka dengan golok di tangan. Tiba-
tiba seorang di antara me-reka yang berada di sebelah kiri, menggerakkan goloknya
membacok ke arah tu-buh Bun Beng. Pemuda ini yang menggan-tungkan tubuh di lengan
Milana yang menahan pinggang, cepat mengikuti ge-rakan golok, menggunakan ilmu
barunya, yaitu ilmu memindahkan tenaga, menggerakkan tubuh kemudian tangan kirinya
bergerak membuang ke depan cepat me-ngenai punggung golok itu.
"Krekkk!" Golok itu patah menjadi dua, bahkan tangan yang memegang ga-gangnya
menjadi kaku sehingga sisa go-lok itu terlepas pula. Orangnya melon-cat mundur sambit
menjerit kaget. Orang ke dua menerjang, disusul orang ke tiga, ke empat dan ke lima.
Gerakan mereka hebat, akan tetapi karena mereka itu tentu saja masih menjaga agar
senjata mereka jangan sampai mengenai tubuh pu-teri Ketua mereka, maka gerakan
mere-ka kaku dan tidak leluasa. Di lain pihak, Bun Beng yang melihat baik ilmunya yang
baru itu, cepat menggunakan terus ilmu itu, tubuhnya mengikuti gerakan serangan golok dari
atas, dari samping kanan atau kiri, kedua tangannya mem-babat dan memindahkan tenaga
ayunan golok lawan untuk menyerang lawan itu sendiri.


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terdengar jerit-jerit kesakitan dan berturut-turut empat orang itu pun ter-huyung, ada yang
patah tulang lengan-nya. Ketika mereka meloncat bangun, kuda itu telah dikaburkan cepat-
cepat oleh Milana! Mereka hanya berdiri be-ngong, terheran-heran karena mereka tidak tahu
mengapa senjata mereka patah-patah dan tulang lengan mereka ada yang patah. Belum
pernah mereka menyaksikan ilmu seperti yang dimain-kan pemuda yang hanya dapat
menggerak-kan tubuh bagian atas itu!
"Gak-twako, hebat bukan main ilmu pukulanmu tadi! Dalam keadaan lumpuh engkau masih
mampu mengalahkan lima orang tokoh Thian-liong-pang yang sudah tinggi tingkatnya. Kalau
engkau tidak lumpuh, aku sendiri agaknya tidak akan kuat melawanmu!"
Bun Beng menarik napas panjang. "Ahhh, engkau terlalu memuji, Nona. Lihat di depan itu,
sekarang kita berte-mu lawan tangguh."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
302 Dara itu memandang dan ketika me-lihat seorang kakek tua yang bermuka bengis dan
muka itu berwarna merah muda seperti dicat, terkejut dan berka-ta, "Wah, bukankah warna
mukanya itu menunjukkan bahwa dia seorang dari Pulau Neraka?"
"Tidak salah lagi, dia seorang dari Pulau Neraka. Nona, lebih baik kauting-galkan aku, biar
aku hadapi sendiri orang-orang yang hendak menyerangku. Aku hanya menyeret engkau ke
dalam pertentangan-pertentangan yang amat berbahaya, tidak hanya dengan kaum Thian-
liong-pang yang dipimpin oleh Ibumu sendiri bahkan dengan Pulau Neraka."
"Sudah! Jangan ulangi lagi perminta-an seperti itu, Twako. Apa kaukira aku takut
menghadapi Pulau Neraka" Kau-lihat saja!" Sambil berkata demikian, Milana mempercepat
larinya kuda meng-hampiri kakek yang berdiri tegak itu.
"Berhenti!" Kakek itu membentak dengan pengerahan suara khi-kang sehing-ga terdengar
suaranya melengking dan membuat pohon-pohon seperti tergetar dan tiba-tiba kuda itu
meringkik dan me-nunduk, keempat kakinya gemetar, mata-nya liar ketakutan.
"Orang tua, apa kehendakmu menghen-tikan perjalananku?" Milana bertanya, sedikit pun
tidak merasa takut.
Kakek itu memandang agak heran melihat betapa dara muda itu sama se-kali tidak
terpengaruh oleh bentakannya tadi, bahkan sedikit pun tidak kelihatan gentar. Ia
menudingkan tongkat hitam-nya ke arah Bun Beng dan berkata, "No-na muda, aku
menghendaki bocah itu! Ketahuilah bahwa Kongcu dari Pulau Neraka memerintahkan aku
menangkap bocah ini, dan sebaiknya engkau tidak menentang kehendak Tuan Muda dari
Pulau Neraka."
"Aku tidak peduli apakah engkau di-suruh setan muda ataukah setan tua da-ri Pulau
Neraka, dan aku tidak menen-tang siapa-siapa. Pemuda ini adalah se-orang sahabatku, dan
siapa pun tidak bo-leh mengganggunya. Pergilah dan jangan ganggu kami!"
Sinar mata kakek itu berapi-api, tan-da bahwa dia marah sekali. Tokoh-tokoh besar di dunia
kang-ouw yang berilmu tinggi saja tidak berani memandang ren-dah Pulau Neraka, akan
tetapi nona mu-da ini berani mengeluarkan kata-kata merendahkan dan menghina. Melihat
si-kap ini, cepat Bun Beng yang bermak-sud menyelamatkan Milana berkata,
"Locianpwe dari Pulau Neraka agak-nya tidak tahu siapa Nona ini. Dia ada-lah puteri dari
Thian-liong-pangcu."
Sinar mata marah itu lenyap, tergan-ti oleh keheranan dan kekagetan. "Aahhhh" Puteri
Pangcu dari Thian-liong-pang?"
Milana tersenyum. "Kalau benar, mengapa" Thian-liong-pang tidak pernah takut terhadap
Pulau Neraka. Sahabatku yang sakit parah ini berada dalam perlindunganku, kalau kau
hendak memaksa dan merampasnya, engkau harus dapat mengalahkan aku lebih dulu!"
Kakek bermuka merah muda itu men-jadi bimbang. Biarpun dia tidak pernah takut terhadap
lawan yang bagaimana-pun, akan tetapi mendengar nama puteri Ketua Thian-liong-pang dia
gentar juga. Kalau sampai ia salah tangan melukai puteri Ketua Thian-liong-pang, hal itu
bukanlah persoalan kecil dan bukan ma-in-main! Bahkan dia tentu akan mendapat teguran
hebat atau hukuman dari Majikan Pulau Neraka yang sudah me-mesan agar para anak
buahnya, di luar perintahnya, jangan sampai menimbulkan bentrokan dengan orang-orang
Thian-liong-pang dan Pulau Es. Dan sekarang, dia melakukan perintah untuk menangkap
Gak Bun Beng, ternyata pemuda itu dilindungi oleh puteri Ketua Thian-liong-pang sendiri.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
303 Andaikata bukan puteri Ke-tua Thian-liong-pang, melainkan seorang tokoh biasa saja dari
Thian-liong-pang, persolannya tentu tidak akan seberat dan segawat ini.
"Maaf, Nona," akhirnya dia menjura, "Karena tidak tahu, aku bersikap kurang hormat. Aku
tidak sekali-kali ingin ber-tentangan dengan Nona, akan tetapi orang muda ini amat
dibutuhkan oleh Kongcu kami, oleh karena itu kuharap Nona suka menyerahkannya
kepadaku. Kalau Kongcu mendengar laporanku akan kebaikan hati Nona, tentu Kongcu dan
Majikan kami akan mennghaturkan teri-ma kasih kepadamu."
"Aku tidak butuh terima kasih Kongcumu yang jahat! Minggirlah!" Milana menyendal kendali
kudanya dan Bun Beng sudah siap untuk menghadapi, apabila to-koh Pulau Neraka itu
menyerangnya. Kakek itu tertawa bergelak, tiba-tiba tongkat hitamnya berkelebat, dipu-kulkan ke arah
kepala Bun Beng. Pemu-da ini cepat mengikuti gerakan itu dan siap mempergunakan ilmu
memindahkan tenaga, akan tetapi tiba-tiba tongkat hitam itu tidak dilanjutkan
menyerang-nya, sebaliknya menghantam ke bawah.
"Prokkk!" Kepala kuda itu pecah dan Milana cepat meloncat sambil mengempit pinggang
Bun Beng. Muka dara itu menjadi merah, matanya bersi-nar-sinar penuh kemarahan,
tangannya bergerak dan sinar merah menyambar dibarengi bau harum menyengat hidung.
Itulah belasan batang jarum Siang-tok-ciam (Jarum Racun Harum) yang amat berbahaya.
Sekaligus menyambar ke arah tujuh belas pusat jalan darah di tubuh kakek itu.
Kakek muka merah muda itu terke-jut sekali, cepat meloncat tinggi ke atas dan memutar
tongkat, mengebutkan le-ngan baju kiri. Dengan gerakan ini barulah ia dapat terbebas
daripada maut, akan tetapi ketika tubuhnya melayang turun, kembali tampak sinar-sinar
me-rah menyambar dari tangan Milana.
"Ayaaa....!" Kakek itu berjungkir ba-lik, memutar tongkatnya, namun tetap saja sebatang
jarum menancap di ram-butnya dan hampir saja menggores kulit kepala. Mukanya menjadi
pucat sekali. Nyaris nyawanya melayang, hanya se-ujung rambut selisihnya! Ia
mengeluar-kan pekik melengking dan muncullah dua orang lain, seorang kakek dan seorang
nenek yang keduanya bermuka merah muda pula. Kiranya kakek itu memang-gil bala
bantuan karena menghadapi pu-teri Ketua Thian-liong-pang yang amat lihai itu.
Melihat ini, Milana cepat meloncat sambil menggendong tubuh Bun Beng di belakangnya. Ia
berlari cepat sekali se-perti terbang dan Bun Beng merasa amat tidak enak. Dia tahu bahwa
Milana amat lihai, agaknya tidak akan kalah kalau hanya menghadapi tiga orang Pulau
Neraka tadi. Akan tetapi karena dara itu merasa tidak leluasa menghadapi lawan sambil
melindunginya yang sudah lumpuh, maka gadis ini cepat membawa-nya melarikan diri. Yang
paling membu-at dia tidak enak, jengah dan terharu adalah betapa dara ini memaksanya
un-tuk digendong di belakang punggung!
Cepat sekali Milana melarikan diri, akan tetapi tiga orang Pulau Neraka itu mengejar terus.
Biarpun mereka merasa segan untuk memusuhi puteri Ketua Thian-liong-pang, namun
mereka berte-kad untuk menangkap Bun Beng, pemuda yang tahu akan Sepasang Pedang
Iblis yang hanya dapat dirampas sebatang oleh Kongcu mereka, dan pemuda ini malah telah
membunuh dua orang Pulau Neraka. Mereka mengejar terus dengan cepat dan untung bagi
mereka bahwa puteri Ketua Thian-liong-pang itu terhalang gerakannya karena
menggendong tu-buh Bun Beng. Andaikata tidak demikian, tiga orang itu maklum bahwa
tidak mungkin mereka dapat mengejar dara yang memiliki sin-kang sedemikian he-batnya
itu. Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
304 "Nona, di depan itu kumelihat mena-ra tinggi, tentu sebuah kuil. Larilah ke sana. Kalau tidak
terhalang olehku, ten-tu Nona akan mampu menghadapi mere-ka," kata Bun Beng yang
tidak berani lagi menyatakan isi hatinya, yaitu bah-wa Si Nona jangan melindunginya terus
sehingga dia sendiri terancam bahaya.
"Aku sedang menuju ke sana," jawab Milana "Lari mereka cepat sekali!"
Menara dari kuil tua itu sudah tam-pak akan tetapi jaraknya masih cukup jauh dan tiga
orang pengejar itu makin dekat, berlari seperti terbang di sebe-lah belakangnya.
Ketika Milana sudah tiba di dekat kuil tua yang ada menara tingginya itu, tiga orang Pulau
Neraka sudah dekat sekali, bahkan seorang di antara mereka berseru.
"Nona, lepaskan pemuda itu!" Dia sudah menggerakkan tangannya dan se-batang tali
panjang seperti ular hidup menyambar dari belakang ke arah Milana, ujungnya menotok
jalan darah. Bun Beng cepat menangkis dengan tangan ke-tika melihat tali seperti cambuk
itu, akan tetapi begitu ditangkis, ujung tali itu bergerak membelit lehernya!
"Haiiiittt!" Milana sudah menghenti-kan kakinya, memutar tubuh dan tangan-nya cepat
menangkap tali yang membe-lit leher Bun Beng, dengan mengerahkan tenaga sin-kang dia
membetot dengan renggutan tiba-tiba.
"Brettt!" Tali itu putus dan tubuh ka-kek Pulau Neraka terhuyung ke depan. Milana tidak
mempedulikan lagi, cepat membalik dan hendak lari, sedangkan ti-ga orang itu sudah
meloncat dekat, sen-jata mereka bergerak-gerak. Kakek yang terhuyung itu memutar sisa
tali di ta-ngannya sebagai senjata, kakek ke dua menggerakkan sebatang pedang,
sedang-kan kakek pertama menggerakkan tong-kathya.
"Cuat-cuat-cuattt!" Tampak tiga benda bersinar terang menyambar dari atas menara dan
tiga batang hui-to (go-lok terbang) menancap tepat di depan kaki tiga orang kakek Pulau
Neraka itu, hanya sejengkal selisihnya dari kaki me-reka. Mereka tiba-tiba berhenti
berge-rak, memandang gagang golok kecil yang bergoyang-goyang itu dengan mata
ter-belalak dan muka pucat.
Milana yang menoleh dan melihat ini, menjadi kaget akan tetapi juga girang sekali. "Ibuku di
sana....!" Ia berseru, ke-mudian mendaki sebuah tangga yang me-nuju ke atas menara.
Menara itu tinggi sekali, akan tetapi puncaknya sudah rusak, tak terpelihara, hanya tinggal
tembok-nya saja, agaknya atapnya sudah roboh. Ketika Bun Beng mendengar ini,
jantung-nya berdebar tegang. Dia menoleh ke bawah dan melihat betapa tiga orang kakek
Pulau Neraka itu sudah lari dari tempat itu tanpa berani menoleh lagi. Tentu mereka
mengenal senjata rahasia itu! Ia tahu bahwa yang turun tangan mengancam mereka adalah
Ketua Thian-liong-pang. Memang hebat sekali golok-golok terbang tadi, agaknya sengaja
dilepas un-tuk mengusir mereka sehingga menancap di depan mereka dalam jarak
sejengkal. Kalau dikehendaki, tentu tiga batang hui-to itu sudah mengenai tubuh mereka dan
merenggut nyawa mereka. Bun Beng teringat akan hui-to-hui-to yang dile-pas oleh Ketua
Thian-liong-pang ketika diadakan pertemuan antara tokoh-tokoh besar dahulu di pulau
Sungai Huang-ho. Hui-to yang berbentuk golok kecil atau pisau belati itu oleh Si Ketua yang
berkerudung dipergunakan untuk menye-rang Pendekar Super Sakti. Dia bergidik setelah
kini teringat bahwa wanita ber-kerudung itu bukan lain adalah ibu Mi-lana yang cantik jelita
itu, isteri sendiri dari Pendekar Super Sakti! Diam-diam ia merasa heran sekali dan menaruh
ka-sihan kepada Pendekar Siluman yang dipujanya. Mengapa hidupnya demikian penuh
duka sehingga dimusuhi oleh iste-ri sendiri. Ia membayangkan pertemuan pendekar sakti itu
dengan isterinya, mengenang kembali percekcokan mereka dan diam-diam ia menimbang-
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
305 nimbang, menyesuaikan ucapan Milana tadi ten-tang cinta. Sungguh aneh sekali hati wanita,
terutama hati ibu Milana ini.
Dan betapa anehnya sikap Pendekar Siluman yang jelas mencinta isterinya. Mengapa
mereka saling berpisah" Menga-pa si isteri yang tercinta itu seolah-oleh hendak memusuhi
suami yang ter-cinta" Sungguh membuat dia bingung dan juga penasaran sekali. Seorang
pria seperti Pendekar Super Sakti, kurang apakah sebagai suami" Berilmu tinggi, gagah dan
tampan, berwatak mulia, me-miliki kebaikan yang cukup berlebihan untuk menutupi
cacadnya, yaitu kakinya yang buntung. Seorang suami seperti dia itu, mengapa tidak cukup
membahagiakan hati seorang isteri" Tentu si isteri yang tidak benar! Tentu ibu Milana ini
yang tidak benar. Dia menjadi penasaran dan kalau tadinya dia merasa gentar bertemu
dengan Ketua Thian-liong-pang, kini dia malah ingin berjumpa, ingin membela Pendekar
Super Sakti yang ia anggap diperlakukan sewenang-wenang oleh ibu Milana!
Dengan cepat namun hati-hati kare-na menggendong Bun Beng, Milana me-manjat tangga
itu dan setelah tiba di atas, tampaklah oleh Milana dan Bun Beng sesosok tubuh yang duduk
bersila seperti sebuah arca di atas lantai mena-ra. Tubuh ramping dengan kepala
berke-rudung, Ketua Thian-liong-pang!
"Ibu....!" Milana menurunkan Bun Beng dari gendongan dan berlutut di depan ibu-nya.
"Locianpwe...." Bun Beng juga mem-beri hormat dengan duduk karena dia tidak dapat
berlutut. "Milana! Apa yang kaulakukan ini?" suara merdu halus yang keluar dari ba-lik kerudung itu
penuh teguran. "Kau berani menentang Thian-liong-pang dan melawan anak buah kita
sendiri?" "Ibu.... aku.... tidak mungkin membiar-kan Gak-twako yang terluka hebat ini diganggu. Harap
Ibu suka mengampunkan-nya. Dia luka parah, lumpuh, keracunan dan kalau Ibu tidak
menolongnya, dia akan mati...."
"Biar saja mati anak setan ini! Ka-lau dia tidak mati keracunan, aku sendi-ri akan turun
tangan membunuhnya!"
"Ibu, kasihanilah dia, ampunkanlah...." Milana berkata penuh permohonan.
"Kau malah berani menyebut Ibu ke-padaku di depan anak setan ini, Milana, apakah kau
hendak membuka rahasia...."
"Locianpwe, harap jangan menyalah-kan Nona Milana. Dia tidak membuka rahasia
Locianpwe, akan tetapi melihat sikap orang-orang Thian-liong-pang kepa-danya, saya sudah
dapat menduga bahwa dia puteri Locianpwe. Sungguh tidak saya sangka bahwa Ketua
Thian-liong-pang adalah Locianpwe, isteri Pendekar Su-per...."
"Wuuutttt....!" Tangan wanita berkeru-dung itu bergerak dan angin pukulan yang amat hebat
menyambar tubuh Bun Beng.
"Ibu....!" Milana menjerit dan Bun Beng sudah menggulingkan tubuhnya, bergulingan
sehingga terhindar dari baha-ya maut.
"Anak setan, kaukira aku tak dapat membunuhmu" Untuk kekacauan yang kaubuat di
Thian-liong-pang, mungkin aku dapat mengempunimu. Akan tetapi engkau telah mengetahui
rahasiaku, mengenal siapa Ketua Thian-liong-pang dan untuk hal itu engkau harus mati!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
306 Tiba-tiba tubuh yang duduk bersila itu meloncat ke atas, dalam keadaan masih duduk
bersila, meluncur ke arah Bun Beng dan lengan baju yang lebar panjang itu menyambar ke
arah kepala Bun Beng. Pemuda ini terkejut sekali, kembali melempar diri ke belakang dan
sambil bergulingan, tiga kali lengannya menangkis.
"Plak-plak-plak...." Ia berhasil me-nangkis, namun lengan sampai ke pun-daknya terasa
nyeri dan hampir lumpuh.
"Ibu.... jangan....!" Milana meloncat dan menghadang, akan tetapi sebuah dorongan
membuat dara itu terlempar.
Rasa penasaran yang berkumpul di dalam dada Bun Beng seperti akan me-ledak. Dia
sudah siap, duduk dan me-mandang tajam, siap melawan sampai mati, namun dia tidak
akan puas sebe-lum mengeluarkan isi hatinya.
"Locianpwe! Locianpwe adalah isteri Pendekar Super Sakti yang amat saya muliakan. Dia
seorang pendekar sakti yang hebat, yang tiada keduanya di dunia ini, akan tetapi mengapa
Locian-pwe sebagai isterinya malah membangun perkumpulan yang keji, menculik dan
mencuri kepandaian orang lain" Semua itu masih belum hebat, akan tetapi Lo-cianpwe
menjauhkan diri daripadanya, membuat hatinya sengsara. Bukankah kewajiban seorang
isteri harus ikut ber-sama suaminya ke mana pun dia pergi" Di mana cinta kasih seorang
isteri terhadap suaminya yang demikian mulus seperti Pendekar Super Sakti?"
"Anak setan, lancang mulut, keparat!" Wanita berkerudung itu membentak.
"Locianpwe boleh membunuh saya. Saya tidak takut, apalagi saya telah terluka dan
keracunan, tiada harapan hidup lagi. Akan tetapi saya tidak menyesal untuk mati, hanya
menyesal sekali melihat Locianpwe selain membikin sengsara hati pendekar sakti yang saya
muliakan, juga merusak penghidupan puteri Locian-pwe sendiri! Mengapa Locianpwe tidak
membubarkan saja perkumpulan Thian-liong-pang yang keji itu dan mengajak Nona Milana
menyusul ayahnya di Pulau Es, hidup bahagia dan damai di sana?"
"Gak Bun Beng, engkau anak datuk kaum sesat, mulutmu melebihi kejahat-an Ayahmu!"
Wanita itu marah sekali, ucapannya seperti menjerit dan tubuh-nya sudah mencelat lagi ke
atas. "Saya memang anak yang hina dan rendah, akan tetapi tidak membikin sa-kit hati orang
lain, apalagi merusak hi-dup suami dan anak seperti yang Lo-cianpwe lakukan!"
Tiba-tiba tubuh yang sudah mencelat ke atas itu turun lagi, duduk bersila dan dari balik
kerudung itu terdengar suara menggetar, "Bocah setan! Kau tahu apa" Sebelum engkau
mampus, buka dulu telingamu, dengarkan baik-baik! Pende-kar Siluman yang kaupuja-puja
itu, apakah dia seorang suami yang baik" Puhhhhh! Engkau tidak tahu urusannya sudah
berani mencela aku memuji dia! Engkau tahu apa" Setelah menjadi suamiku, dia tidak mau
mengikutiku, dia memisahkan diri. Bahkan dia tidak tahu ketika anaknya dilahirkan, dia tidak
pe-duli, tidak mau mencari kami, tidak mempedulikan kami! Apakah aku harus menyembah-
nyembah dan mengemis per-hatiannya" Hemm, kaukira aku selemah itu" Tidak, aku akan
menandinginya, aku akan membentuk perkumpulan yang lebih kuat daripada Pulau Es!
Akan kuserbu Pulau Es dan kukalahkan dia da-lam pertandingan! Akan tetapi kau.... kau
anak Si Datuk Sesat Gak Liat Si Setan Botak, engkau telah mengetahui rahasiaku, dan
engkau harus mampus!"
"Ibu! Jangan...., jangan....!" Tiba-tiba Milana menubruk dan melindungi tubuh Bun Beng.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
307 Nirahai, Ketua Thian-liong-pang yang berkerudung itu, memandang kaget dan heran,
kemudian penuh kemarahan dan kekhawatiran membentak dari balik kerudungnya. "Milana!
Apa ini" Gak Bun Beng, berani engkau membuat anakku jatuh cinta?"
"Ibu....!"
"Locianpwe, engkau terlalu keji menu-duh anakmu! Orang macam aku ini, ke-turunan
seorang penjahat, mana berani kurang ajar mencinta puteri Pendekar Super Sakti" Nona
Milana menolongku hanya karena kasihan, karena dia memi-liki watak halus penuh budi
luhur seperti ayahnya."
"Ibu, harap jangan bunuh dia.... ah, Gak-twako, kau bersumpahlah bahwa kau takkan


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuka rahasia Ibu.... ber-sumpahlah, Twako...."
Bun Beng menarik napas panjang. "Nona, aku tidak takut mati, aku toh akan mati juga, perlu
apa aku bersum-pah hanya agar tidak dibunuh oleh Ibu-mu" Akan tetapi mengingat
kebaikan-kebaikanmu, biarlah aku bersumpah. Se-lama hidupku, aku Gak Bun Beng tidak
akan membuka rahasia bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah isteri Pendekar Super Sakti,
bahwa engkau adalah puteri mereka."
"Ibu, dia sudah bersumpah, ampunkan-lah dia, Ibu."
Melihat sikap puterimu ini, makin gelisah hati Nirahai. Dia melihat tanda-tanda tunas cinta
kasih. Puterinya men-cinta anak Gak Liat" Betapa rendah-nya! Dia tahu betapa
berbahayanya cin-ta kasih kalau sudah menguasai hati wa-nita. Maka jalan terbaik hanyalah
membu-nuh Bun Beng sebelum terlambat, sebe-lum cinta kasih yang baru bertunas itu
tumbuh dan berakar kuat.
"Minggir kau....!" Dia menggerakkan tangan dan Milana kembali terlempar ke samping.
Ketua Thian-liong-pang ini la-lu menerjang dengan tamparan yang amat kuat ke arah kepala
Bun Beng, sekali ini tidak lagi menggunakan ujung lengan baju karena pemuda itu terlalu
kuat dan pandai untuk diserang begitu saja, melainkan menggunakan ta-ngannya yang
ampuh. "Wuuuutttt!"
Bun Beng memang tidak takut mati, namun dia pantang menyerah begitu sa-ja
menyerahkan nyawa tanpa melawan. Hal itu bukanlah watak seorang gagah! Dia teringat
akan ilmunya yang baru, yang telah dua kali menolongnya dari bahaya maut. Melihat
datangnya tangan yang menyambar ke arah kepalanya de-ngan didahului angin pukulan luar
biasa dahsyatnya, dia cepat mengikuti arus ge-rakan tangan lawan, menggerakkan tu-buh
miring ke kanan, kemudian tangan-nya sendiri yang dipenuhi aliran tenaga-nya sendiri
ditambah tenaga lawan, da-ri samping menangkis dengan pukulan dahsyat.
"Dessss....!"
"Aihhhh, pukulan apa ini....!" Nirahai mencelat ke samping, menyentuh tangan kirinya yang
tertangkis secara hebatnya tadi dan memandang Bun Beng dari ba-lik kerudungnya. "Bukan
main, kalau aku tidak ingin membunuhmu sekarang, ingin aku mempelajari gerakanmu yang
muji-jat tadi. Sekarang terimalah kematian-mu!" Dia menerjang lagi, kini kedua ta-ngannya
bergerak dari dua arah berla-wanan sehingga tidak mungkin lagi bagi Bun Beng untuk
menggunakan ilmunya memindahkan tenaga. Apalagi, ilmu itu pun tadi telah dipergunakan
dan tidak membawa hasil, lengan Ketua Thian-liong-pang itu tidak terluka sedikit pun. Maka
jalan satu-satunya hanyalah meng-gulingkan tubuhnya. Karena maklum bah-wa serangan
Ketua Thian-liong-pang itu hebat bukan main, maka Bun Beng mengerahkan seluruh sin-
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
308 kang di tubuh-nya untuk menggulingkan tubuhnya. Tiga kali pukulan ketua yang amat lihai
itu luput dan Bun Beng yang merasa pundak-nya terlanggar angin pukulan yang amat kuat,
mempercepat gerakannya berguling-an. Tiba-tiba tubuhnya meluncur ke bawah, ternyata dia
telah bergulingan ke pinggir menara dan terlempar ke ba-wah dari tempat yang amat tinggi
itu. Masih didengarnya jerit Milana dan se-lanjutnya ia hanya menyerahkan nasib di tangan
Tuhan, maklum bahwa dalam keadaan tubuh bawah lumpuh itu dia tentu akan terbanting
remuk di bawah sana! Bun Beng sudah memejamkan ma-ta, menanti datangnya maut.
Akan tetapi, ia mendarat dengan em-puk, bukan terbanting ke atas tanah ber-batu,
melainkan tubuhnya tergantung dan ada sebuah tangan mencengkeram ba-ju di
punggungnya. Ketika ia membuka mata memandang, kiranya ia disambut oleh seorang laki-
laki yang tampan, dicengkeram baju di punggungnya, seorang laki-laki yang rambutnya
panjang riap-riapan, rambut putih seperti benang perak, namun wajah itu tampan
berwiba-wa, tenang dan tidak kelihatan tua. Wa-jah.... Pendekar Super Sakti yang
meman-dangnya dengan senyum yang menyejukkan hati, dengan mata yang diliputi
pen-deritaan batin yang mengharukan hati Bun Beng. Pendekar Super Sakti atau Pendekar
Siluman, Suma Han, Majikan Pulau Es itu berdiri dengan tongkat di tangan kiri, agaknya
menerima tubuh Bun Beng tadi amat ringan baginya, dan di sebelahnya berdiri Kwi Hong
yang cantik jelita!
"Taihiap....! Ah, Taihiap telah meno-long nyawaku....!" Bun Beng berkata, ter-haru, girang
akan tetapi juga penuh hati khawatir mengingat betapa Ketua Thian-liong-pang, yang ia tahu
adalah isteri pendekar sakti ini, berada di atas me-nara.
"Bun Beng, mengapa engkau jatuh da-ri atas sana" Dan.... ahhh, kau terluka hebat...."
Suma Han telah menurunkan Bun Beng yang duduk di atas tanah. "Engkau terkena pukulan
beracun yang hebat se-kali. Siapakah yang melukaimu" Apakah masih berada di atas
sana?" Bun Beng ragu-ragu untuk menjawab, tidak ingin melihat pendekar ini berjumpa dengan
Ketua Thian-liong-pang dan Milana. Ten-tu akan hebat akibatnya, dia pikir, ma-ka dia
menjadi bingung ketika mendengar pertanyaan itu. Tiba-tiba Kwi Hong mengayun tubuhnya
meloncat ke atas tangga, kemudian mendaki tangga itu dengan cepat seperti berlarian ke
atas. "Kwi Hong, jangan lancang!" Suma Han berseru dan tiba-tiba tubuhnya su-dah melayang
naik mendahului Kwi Hong yang mendaki tangga itu, me-layang ke atas menara! Bun Beng
ka-gum bukan main menyaksikan ini, ma-tanya sampai berkunang melihat tubuh pendekar
sakti itu mencelat ke atas, lalu berjungkir balik di udara dan melayang lebih tinggi sampai
tiba di atas menara dan lenyap. Jantungnya berde-bar tidak karuan. Apa akan terjadi ka-lau
suami isteri itu berjumpa di sana, dan Pendekar Super Sakti mendapat ke-nyataan bahwa
Ketua Thian-liong-pang adalah isterinya"
Ia melihat Kwi Hong juga sudah sampai di atas. Tak lama kemudian tam-pak Kwi Hong
turun lagi, lalu gadis ini meloncat ke dekat Bun Beng sambil ber-kata, "Di atas tidak ada
orang sama sekali. Bagaimana kau tadi sampai jatuh?"
Sebelum Bun Beng menjawab, Suma Han sudah melayang turun lagi. "Buka bajumu, biar
kuperiksa dulu sebelum kau bercerita," katanya dengan suara halus.
Bun Beng membuka baju atasnya dan sambil menekuk lutut kakinya yang ting-gal sebuah,
Suma Han memeriksa keada-an Bun Beng. Alisnya berkerut dan dia berkata,
"Keji sekali! Siapa yang melukaimu seperti ini?"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
309 Bun Beng lalu menceritakan penga-lamannya semenjak ia bertemu dengan Tan Ki dan
Maharya sehingga ia dilukai oleh Maharya.
"Ah, mengapa engkau menyuruh dan memaksa aku pergi?" Kwi Hong mence-la dan
membanting kakinya. "Kalau aku tidak pergi, tentu engkau tidak akan ter-luka seperti ini!"
"Kwi Hong, omongan apa itu" Bun Beng telah menyelamatkanmu, kalau tidak pergi
mungkin engkau akan mende-rita lebih hebat lagi! Bun Beng, lanjutkan ceritamu."
Bun Beng melanjutkan ceritanya, be-tapa pedang Lam-mo-kiam terampas o
Rahasia Ciok Kwan Im 3 Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl Pendekar Bayangan Setan 1
^