Pencarian

Sepasang Pedang Iblis 10

Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 10


naknya itu sebagai anak angkat. Ha-ha-ha,
biarpun hasil perkosa-an, namun Gak Liat amat sayang kepa-da anaknya karena memang
dia tidak pernah punya keturunan. Demikianlah, ketika mendengar berita dia tewas ber-sama
Ibumu, aku lalu menyuruh anak bu-ahku untuk merampasmu, akan tetapi...."
"Anak buahmu keok semua oleh Pen-dekar Siluman! Sudahlah, aku tidak per-lu mendengar
lebih lanjut. Eh, apakah Locianpwe ini Majikan Pulau Neraka?"
Kakek itu mengangguk. "Aku memang Ketua Pulau Neraka.... eh, maksudku, be-kas ketua."
Bun Beng tidak ingin tahu lebih ba-nyak tentang pulau itu, maka ia lalu melorot terus sambil
berkata, "Sudahlah. Aku sudah mengaku namaku, sekarang aku akan turun."
"Wah, mana bisa" Kalau kau turun kemudian kau memutuskan tali layang-layang dari
bawah, bukankah aku yang cia-lat?"
Bun Beng berhenti dan memandang ke atas, alisnya terangkat. "Apakah Lo-cianpwe tidak
percaya kepadaku" Aku bukanlah orang yang curang seperti Lo-cianpwe!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
252 "Heh-heh-heh, siapa tahu" Engkau anak Setan Botak dan dalam hal kelicik-an, kecurangan
dan segala macam sifat busuk ini, di dunia tidak ada yang me-nyamai dia, siapa tahu sifat
liciknya menurun kepadamu. Tunggu, aku pun akan turun!"
Bun Beng tidak peduli dan melanjut-kan usahanya merosot turun melalui tali layang-layang,
akan tetapi tiba-tiba ka-kek itu berteriak.
"Wah, celaka tiga belas! Taufan da-tang....!"
Teriakan itu dikeluarkan dengan su-ara keras dan penuh rasa kaget, membuat Bun Beng
menengok. Dari jauh tam-pak awan hitam datang cepat sekali dan tak lama kemudian,
layang-layang itu meliuk ke kiri dengan kekuatan yang he-bat.
"Lekas kita turun, Locianpwe!"
"Tidak bisa, terlambat! Lekas kau na-ik ke sini kalau mau selamat!"
Bun Beng tidak mau menurut dan hendak merosot terus, akan tetapi tiba-tiba tali layang-
layang itu menegang dan bergetar hebat sehingga hampir sa-ja ia tidak kuat bertahan
memeganginya karena telapak tangannya terasa nyeri bukan main. Maklumlah ia bahwa
kakek itu tidak membohong, maka kini dia mu-lai merayap naik melalui tali layang-layang.
"Cepat pegang tanganku!" Kakek itu berkata, napasnya agak terengah karena dia yang kini
mengulurkan tangan untuk membantu Bun Beng naik, harus mengendalikan layang-layang
yang menjadi liar itu dengan sebelah tangan saja. Bun Beng memegang tangan itu dan dia
ditarik naik. "Berdiri di sini, dan pegang tali-te-mali di atasmu dengan tangan, hati-hati jangan banyak
bergerak dan jangan terla-lu erat. Turut dan contoh saja aku!" Kakek itu tidak dapat bicara
banyak ka-rena kini angin taufan telah mengamuk hebat, membuat layang-layang itu
men-jadi seperti seekor kuda binal dan tidak dapat dikendalikan lagi. Layang-layang itu
kadang-kadang naik makin tinggi, tinggi sekali sampai melengkung seperti akan membalik
dari arah angin, kemudi-an terdorong kembali ke belakang dan talinya menegang, meliuk ke
kiri sampai seperti tak pernah berakhir, kemudian terdorong ke kanan dan ada kalanya
me-nukik ke bawah secara mengerikan kare-na kecepatannya luar biasa. Suara angin
bercuitan menulikan telinga, dan tali layang-layang itu juga mengeluarkan bu-nyi berdering-
dering seperti sehelai tali yang-kim ditabuh, suaranya kadang-ka-dang rendah sesuai
dengan tinggi rendah-nya getaran yang disebabkan oleh tarik-an layang-layang yang
terbawa angin taufan.
Kakek itu memaki-maki Bun Beng. "Sialan! Bodoh seperti kerbau engkau! Begini lho! Tekan
kaki kanan ke depan, cepat. Bantu aku dong! Bagaimana sih" Setan cilik tolol kau! Dengar
baik-baik, jangan sampai layang-layang terus menu-kik, dan jangan sekali-kali menentang
arah angin langsung. Bisa celaka kita! Pindahkan tenaga ke kaki kiri, kaki ka-nan lepas,
tangan kanan menarik tali di atas, cepat! Nah, sekarang kaki kanan yang menekan, tangan
kiri menarik. Hayo, seperti bermain layar, akan tetapi jauh lebih sukar, seratus kali lebih
sukar!" Payah juga Bun Beng mengikuti ge-rakan dan perintah kakek itu. Tenaga yang
dipergunakan untuk melawan kekuatan angin ini merupakan tenaga selu-ruhnya, itu pun
hampir tidak ada arti-nya terhadap kekuatan angin yang maha dahsyat itu. Kini kakek itu
memerintah-kan agar tenaga dirobah-robah, bagaima-na mungkin begitu mudah" Hampir
bebe-rapa detik harus dirobah lagi. Bun Beng merasa seluruh tubuhnya ngilu dan sakit-sakit,
kedua kakinya menggigil dan ke-dua tangannya gemetar, hampir tak kuat memegang tali-
temali layang-layang lebih lama lagi.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
253 "Tolol! Jangan berhenti! Aku sendiri mana kuat mengemudikan layang-layang ini" Kalau
tidak ada engkau di sini, ten-tu aku dapat, akan tetapi ditambah be-ratmu, benar-benar
repot!" Sementara itu, angin bertiup makin keras, kini malah disertai kilat menyam-bar-nyambar,
halilintar bermain-main di atas dan kanan kiri mereka. Cuaca menjadi gelap, bahkan kini
percikan air-air halus yang amat kuat sehingga seperti berubah menjadi laksaan jarum-jarum
ke-cil menerjang mereka.
"Celaka.... celaka....!" Kakek itu ma-kin repot dan jelas bahwa dia ketakutan. Bun Beng yang
biasanya senang mengha-dapi maut, menyaksikan sikap kakek itu ketularan rasa takut.
Memang keadaan amat mengerikan, dibawa oleh layang-layang dan dipermainkan angin
taufan, halilintar dan hujan seperti itu!
"Dengar baik-baik kalau kau tidak ingin mati turut perintahku dan pelajari agar jangan
sampai gagal. Taufan ini berbahaya sekali, untuk turun sekarang tidak mungkin. Satu-
satunya jalan hanya mengemudikan layang-layang ini sebaik mungkin agar tidak sampai
menukik turun atau talinya putus." Kakek itu su-kar sekali bicara dengan jelas karena
kencangnya angin meniup terbang suara-nya. Terpaksa ia lalu merangkul Bun Beng dan
berteriak. "Rangkul aku dan dekatkan telinga-mu pada mulutku!"
Setelah Bun Beng melakukan perintah ini, Kwi-bun Lo-mo lalu membisikkan pe-lajaran
sedikit demi sedikit caranya menggerakkan tenaga pada kaki dan ta-ngan, mengatur bobot,
memindah-mindah-kan tenaga dalam untuk mengimbangi serangan angin yang amat
dahsyat. Bun Beng mendengarkan dengan penuh perha-tian, kemudian sekalian
mempraktekkan pelajaran itu mencontoh gerakan kakek aneh dan membantunya
mengemudikan layang-layang. Dia sama sekali tidak tahu bahwa dalam keadaan berbahaya
itu dia telah menerima pelajaran ilmu ra-hasia yang amat hebat, yaitu Ilmu Hoan-sin-kang
(Memindahkan Tenaga Sakti) yang tidak hanya dapat dipergunakan untuk mengemudikan
layang-layang me-lawan serangan angin taufan yang maha dahsyat, akan tetapi juga
merupakan il-mu yang dapat dipergunakan untuk menghadapi lawan berat yang memiliki sin-
kang amat kuat! Ilmu ini merupakan ilmu tingkat tinggi yang dimiliki Ketua atau Majikan
Pulau Neraka, dan selain Si Ketua sendiri, hanya kakek inilah orang ke dua yang
memilikinya, maka dia berani main-main dengan maut di tempat berbahaya itu, yaitu
bermain dan mengemudikan layang-layang.
Mati-matian kedua orang itu bertem-pur dengan angin taufan, bersama-sama
mengemudikan layang-layang yang mere-ka paksa untuk menuruti kehendak mere-ka,
melawan kehendak angin. Sampai se-tengah hari lamanya angin taufan me-ngamuk dan
selama setengah hari itu merupakan latihan yang amat hebat ba-gi Bun Beng, latihan
terberat yang per-nah ia alami selama hidupnya, akan te-tapi karena keadaan yang
memaksa, demi menolong nyawa, dalam ilmu sepen-dek itu dia telah berhasil memetik inti
dari ilmu ini! Menjelang senja, barulah angin tau-fan itu mereda, hujan pun berhenti. De-ngan pakaian
basah kuyup, kedua orang itu terengah-engah berdiri di atas tali dan berpegang pada tali
layang-layang yang juga basah semua dan luntur gam-barnya. Mereka kehabisan tenaga
dan kini hanya mengandalkan kaki tangan yang sudah gemetar karena penat, tubuh
menggigil kedinginan dan kehabisan tena-ga. Akan tetapi kakek itu menyeringai tersenyum
lebar memandang Bun Beng.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
254 "Engkau hebat, orang muda. Ha-ha-ha, tidak percuma engkau menjadi pute-ra Gak Liat,
heh-heh-heh!"
Melihat betapa kakek itu bicara sebe-narnya, tidak mengolok-olok dan mema-ki-maki lagi,
Bun Beng berkata sungguh-sungguh. "Locianpwe yang hebat dan aku kagum sekali.
Sebetulnya, macam apa-kah mendiang Ayah itu?"
"Gak Liat" Ya begitulah, seorang manusia seperti aku dan engkau ini," jawab kakek itu
seenaknya. "Tapi, banyak orang menyebutnya seorang jahat. Dan Locianpwe sendiri ta-di mengatakan
dia seorang yang licik dan curang."
"Memang dia licik dan curang, no-mor satu di dunia mengenai kelicikan-nya. Akan tetapi
kalau tidak licik, ma-na mungkin dia menjadi datuk kaum se-sat" Tanpa kelicikan, mana
mungkin da-pat menonjol di dunia hitam?" Biarpun kakek itu mulai memuji ayahnya, namun
pujian ini mendatangkan rasa tak puas di hati Bun Beng. Bagaimana hatinya akan senang
dan puas kalau ayahnya dipuji sebagai seorang yang paling licik di dunia, sebagai seorang
to-koh, bahkan datuk kaum sesat"
"Sudahlah, Locianpwe. Terima kasih atas pertolonganmu, aku hendak turun sekarang."
Setelah berkata demikian, Bun Beng merosot turun dan biarpun kedua tela-pak tangannya
menjadi panas karena te-naganya sudah hambir habis, namun ra-sa nyeri itu bukan apa-apa
kalau dibandingkan dengan kesengsaraan selama se-tengah hari tadi dan ia merosot terus.
"He, tunggu! Apa kaukira aku selama-nya akan tinggal di sini" Aku pun mau turun!" Kakek
itu bergegas turun pula dari tali layang-layang yang kini ter-bang dengan anteng dibawa
angin semi-lir halus. Keduanya lalu merosot turun melalui tali layang-layang yang amat tinggi
itu. Demikian tingginya layang-layang itu sehingga Bun Beng melihat pohon-pohon amat
kecil di bawah, seper-ti rumput saja. Ia bergidik. Bukan main kakek bermuka kuning itu,
main-main dengan maut seperti itu. Apa sih senang-nya bermain-main dengan layang-
layang yang begitu tinggi" Memang menegang-kan, seperti seekor burung garuda terbang di
angkasa, akan tetapi bagaimana kalau tali layang-layang putus" Bagaimana kalau
kehabisan angin dan layang-layang itu melayang turun" Benar-benar perma-inan yang
berbahaya dan gila!
"Ha, Bun Beng, aku girang sekali dapat bertemu denganmu. Aku akan da-pat memenuhi
permintaan mendiang Ayahmu. Ikutlah bersamaku dan engkau akan memperoleh
kepandaian hebat, apa-lagi kalau Pangcu kami bersedia mem-bimbingmu. Ketua kami
adalah seorang yang memiliki kepandaian seperti...."
"Iblis!" Bun Beng menyambung. "Ke-tua Pulau Neraka tentu seorang iblis."
"Ha-ha! Engkau seperti Ayahmu. Memang benar kepandaiannya hebat se-perti iblis sendiri."
Bun Beng tidak menjawab dan menca-ri akal bagaimana dia akan dapat mem-bebaskan diri
dari kakek yang melorot turun di atasnya itu. Dia tidak sudi menjadi anggauta Pulau Neraka
seperti dia tidak mau menjadi anggauta Thian-liong-pang. Biar dia dijanji akan diberi
pelajaran ilmu yang tinggi, yang tidak diragukannya lagi, akan tetapi satu-satu-nya yang ia
mau menjadi gurunya hanya-lah Pendekar Siluman! Kalau Pendekar Siluman yang
mengajaknya ke Pulau Es, tentu dia tidak akan menolak, bahkan akan menjadi girang sekali.
Kini dia mencari akal bagaimana dapat melari-kan diri dari kakek itu. Dia mempercepat
gerakan kaki tangannya melorot tu-run, akan tetapi kakek itu tetap berada dekat di atas
kepalanya! Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
255 Tiba-tiba Kwi-bun Lo-mo berteriak sambil menggerak-gerakkan tangan ke bawah. "Heiii....!
Bangkotan busuk, penge-cut laknat, jangan curang kau! Tunggu sampai aku turun dan kita
boleh bertan-ding sampai selaksa jurus!"
Bun Beng cepat memandang ke ba-wah dan ia juga terkejut sekali. Di ba-wah sana, ia
melihat bahwa tali layang-layang itu oleh Si Kakek aneh diikatkan pada sebatang pohon
besar dan ujung ta-li malah dikaitkan kuat-kuat pada sebu-ah batu karang yang kokoh.
Kiranya se-telah kakek itu berhasil menaikkan la-yang-layangnya sampai tinggi sekali, ia
mengikat tali itu di sana kemudian agak-nya kakek itu lalu memanjat ke atas melalui tali
layang-layang untuk kemudi-an bermain-main di atas! Dan kini di dekat pohon itu tampak
seorang kakek bersorban dengan tubuh dibelit-belit ka-in kuning seperti mendiang Kakek
Naya-kavhira pembuat pedang yang dahulu datang menunggang gajah dan juga per-nah
bertanding dengan kakek muka ku-ning ini! Di belakang kakek ini tampak seorang laki-laki
tampan dan yang membuat Bun Beng merasa terkejut adalah ketika melihat betapa kakek
bersorban itu menghampiri tali layang-layang dan agaknya hendak memutus tali itu!
"Ha-ha-ha!" Kakek itu tertawa berge-lak dan agaknya Kwi-bun Lo-mo baru ta-hu bahwa
kakek bersorban itu bukanlah kakek India penunggang gajah yang dulu pernah bertempur
dengannya. Tentu sa-ja Bun Beng mengerti bahwa kakek di bawah itu bukan Nayakavhira
karena biarpun hampir sama, kakek di bawah itu lebih tinggi dan kurus, juga kulitnya lebih
hitam. "Setan India! Jangan curang, tunggu aku turun kalau berani!" Kembali Kwi-bun Lo-mo
berteriak sambil melorot ma-kin cepat mengikuti Bun Beng, akan te-tapi jarak antara mereka
dengan tanah masih terlampau tinggi sehingga kalau sekarang tali itu diputus, mereka akan
celaka! "Bun Beng, kau melorot sambil bergantung. Jangan menghalangi aku. Kalau dia berani
memutus tali, akan kuarah-kan jatuhku ke tubuh si keparat itu!" Kwi-bun Lo-mo berseru dan
Bun Beng melanjutkan gerakannya merosot sambil bergantung ke bawah.
"Ha-ha-ha, kalian berdua bermain-main dengan maut. Nah, mampuslah!" Orang India yang
tertawa-tawa itu meloncat dekat dan menggerakkan tangan hendak memutus tali layang-
layang. Bun Beng sudah merasa ngeri, apalagi sete-lah kini mengenal kakek India itu
sebagai kakek sakti yang pernah bertanding me-lawan Pendekar Siluman, pertadingan yang
amat luar biasa di mana kedua orang sakti itu mempergunakan ilmu sihir sehingga yang
bertanding adalah bayang-an atau semangat mereka! Celaka, pikir-nya, andaikata mereka
dapat turun juga, ia merasa ragu-ragu apakah Kwi-bun Lo-mo mampu menandingi kakek
yang memiliki ilmu sihir itu! Dan laki-laki yang berada di belakang kakek bersor-ban itu pun
dia kenal, karena laki-laki itulah yang dahulu pernah menculik Kwi Hong, laki-laki berpakaian
sasterawan yang setengah gila dan yang mencuri pe-dang pusaka buatan Kakek
Nayakavhira! Tiba-tiba berkelebat bayangan yang gesit sekali dibarengi bentakan halus,
"Iblis tua keparat!"
Muncullah seorang dara yang gerakan-nya gesit sekali. Bayangannya didahului sinar dari
pedangnya yang ia pergunakan untuk menerjang kakek bersorban dengan gerakan luar
biasa, pedangnya memben-tuk lingkaran pada ujungnya seolah-olah hendak mengguratkan
lingkaran pada dada kakek bersorban. Menghadapi se-rangan hebat ini, kakek ini berseru
kaget dan cepat meloncat mundur, tidak men-dapat kesempatan untuk memutus tali layang-
layang. Namun dara itu terus menyerangnya dengan gerakan luar bia-sa, pedangnya lenyap
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
256 menjadi sinar bergulung-gulung yang seolah-olah merupa-kan awan atau kabut menggulung
tubuh kakek bersorban!
"Hayo cepat turun!" Kwi-bun Lo-mo berseru. Tanpa diperintah pun Bun Beng sudah
mempercepat gerakannya merosot terun dan bukan main lega hatinya sete-lah kedua
kakinya merasai tanah yang teguh dan kuat. Hampir saja ia terhu-yung karena setelah kini
menginjak ta-nah, tubuhnya masih terasa ringan seolah-olah tak berobah, seperti orang
mabok arak. Akan tetapi semenjak tadi pan-dang matanya tidak terlepas dari dara yang
masih menyerang kakek bersorban. Bukan main hebatnya terjangan gadis itu dan jantung
Bun Beng berdebar tegang. Ketika ia mengenal dara itu. Biar-pun kini telah menjadi seorang
gadis de-wasa yang amat cantik, namun tidak sa-lah iagi, dia itu adalah Giam Kwi Hong,
murid atau juga keponakan Pendekar Siluman! Kakek bersorban itu, yang Bun Beng tahu
amat sakti, sampai terdesak mundur, repot mengelak dari sambaran pedang di tangan Kwi
Hong. "Ha-ha-ha-ha, kiranya engkau bukan tua bangka penunggang gajah!" Kwi-bun Lo-mo
tertawa dan pada saat Maharya, kakek India itu mencelat ke kanan un-tuk menjauhi sinar
pedang Kwi Hong dan berada dekat dengannya, Kwi-bun Lo-mo cepat menghantamnya
dengan kedua lengan didorongkan ke depan. Ter-dengar bunyi bersuit dan angin
menyam-bar ke arah kakek bersorban yang cepat mendorongkan pula kedua tangannya
me-nangkis. "Dessss!" Dua tenaga sin-kang raksa-sa bertemu dan kedua orang kakek itu terpental ke
belakang. "Wah-wah, kau hebat juga....!" Kwi-bun Lo-mo berseru kaget.
"Mundur kalian bertiga....!" Tiba-tiba Maharya membentak, suaranya mengge-ledek penuh
wibawa yang aneh dan ba-gaikan menanti perintah yang tak dapat dibantah lagi karena
segala kemauan ha-ti mereka dikuasai perintah ini, Kwi-bun Lo-mo, Kwi Hong dan Bun Beng
otoma-tis meloncat mundur sampai lima meter!
"Locianpwe, Nona Kwi Hong, awas dia mempunyai ilmu sihir! Jangan me-mandang matanya
dan jangan mende-ngar suaranya!" Bun Beng cepat berteri-ak, kemudian ia mendahului
menerjang laki-laki yang sejak tadi hanya menonton Maharya bertanding dengan Kwi Hong.
Laki-laki ini bukan lain adalah Tan Ki atau Tan-siucai yang tadi bengong me-mandang Kwi
Hong dengan penuh gairah. Dia tadi tidak membantu karena tentu saja ia percaya penuh
akan kesaktian gu-runya. Akan tetapi melihat betapa dua orang yang secara aneh turun dari
tali layang-layang itu bukan orang semba-rangan pula, apalagi kini Bun Beng me-loncat maju
dan menyerangnya dengan gerakan dahsyat, dia terkekeh, meman-dang rendah pemuda itu
dan mengelak sambil balas menyerang.
Bun Beng menjadi heran melihat gerakan lawan yang luar biasa, kedua kaki lawan tidak
meninggalkan tanah, akan tetapi tubuhnya bisa meliuk-liuk dengan lemas, seperti sebatang
pohon cemara pecut tertiup angin. Tubuh atas itu meliuk ke kiri, kemudian membalik sambil
balas menye-rang dengan tangan kanan menghantam perutnya. Ketika ia menangkis dan
menggeser kaki kanan, tahu-tahu tangan kiri lawan sudah mencengkeram kepalanya, hal
yang luar biasa sekali mengi-ngat bahwa tangan kiri lawannya itu berada dalam posisi jauh.
Tangan kiri itu tiba-tiba memanjang, seperti karet yang dapat mulur dan tahu-tahu jari-
jari-nya telah dekat dengan kepalanya.
"Eh....!" Ia berseru dan cepat melon-cat mundur sambil melepas tendangan ke arah lengan
yang sudah ditarik kem-bali oleh Tan-siucai sambil terkekeh-kekeh.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
257 Sementara itu Kwi Hong yang terhe-ran-heran mendengar pemuda tampan itu menyebut


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

namanya, teringat bahwa Maharya memang pandai ilmu sihir, ma-ka otomatis ia pun
mentaati peringatan pemuda itu, tidak mau memandang ma-ta kakek bersorban dan dengan
kekuatan batinnya ia "menulikan" telinga agar jangan mendengar bentakan Si Kakek tu-kang
sihir yang mengandung penuh daya melumpuhkanitu. Ia sudah menerjang maju lagi dengan
tusukan pedangnya, di-susul serangkaian serangan hebat yang membuat Maharya kembali
terdesak. Kwi-bun Lo-mo yang kini sudah da-pat menguasai dirinya kembali setelah tadi terpengaruh
sihir Maharya, merasa kagum kepada Bun Beng yang semuda itu sudah tahu akan ilmu
kakek bersor-ban. Dia pun maklum bahwa ilmu sihir semacam I-hun-to-hoat untuk
mempenga-ruhi pikiran orang mengandalkan kekuat-an pandang mata dan getaran suara
yang mengandung sin-kang kuat sekali, maka apabila dapat mengelakkan pandang ma-ta
dan suara itu tentu sihir itu tidak akan mempunyai daya kekuatan. Maka iapun menutup
pendengaran dan meng-hindarkan pertemuan pandang mata, lalu tertawa mengejek.
"Heh-heh-heh, kau dukun dari Hima-laya yang busuk, tanpa sebab kau hen-dak memutus
tali layang-layangku. Se-karang kau kena kutuk para dewamu, bertemu dengan seorang
pemuda yang cerdik, seorang dara yang lihai sekali, dan aku yang akan mengirim nyawamu
kembali ke puncak Himalaya!"
Sambil mengejek demikian, Kwi-bun Lo-mo maju pula menerjang, membantu Kwi Hong.
Karena tokoh Pulau Neraka ini pun maklum bahwa Maharya bukan-lah seorang lemah,
bukan hanya mengan-dalkan ilmu sihirnya melainkan memiliki ilmu kepandaian hebat pula
dan bertena-ga sin-kang kuat sekali, maka begitu menyerang ia pun mengerahkan tenaga
dan menggunakan jurus khas dari Pulau Neraka, kedua tangannya tiba-tiba berubah menjadi
lunak seperti kapas, namun di balik telapak tangan yang menjadi lu-nak ini tersembunyi
kekuatan dahsyat yang akan merusak sebelah dalam tubuh lawan jika bertemu dengan
tangan lunak ini. Sesuai dengan namanya yaitu Toat-beng-bian-kun (Tangan Lemas
Mencabut Nyawa), ilmu ini adalah ilmu baru yang diterimanya dari Ketua Pulau Neraka.
Karena ilmu pukulan tangan kosong ini telah digabung dengan ilmu khas keturun-an Pulau
Neraka, yaitu hawa dan tena-ga beracun yang membuat warna kulit mereka berubah, maka
tentu saja pukul-an-pukulan tangan yang kelihatannya lemas tak bertenaga dan lunak itu
mengandung bahaya mengerikan dan se-tiap gerakan merupakan maut bagi la-wan!
Maharya yang biasanya memandang rendah setiap lawan, kini terkejut sekali. Biarpun tadi ia
kelihatan terdesak oleh gulungan sinar pedang Kwi Hong yang seperti kilat menyambar-
nyambar, na-mun dia tidak gentar dan menghadapi dengan tangan kosong saja. Akan tetapi,
setelah sekali menangkis dan lengannya tersentuh tangan Kwi-bun Lo-mo yang
mengandunng Ilmu Toat-beng-bian-kun dan membuat lengannya panas dan ga-tal, ia
terkejut bukan main, berteriak keras dan melompat mundur sambil menggerakkan kedua
tangannya ke sebe-lah dalam pakaiannya. Kini ia telah me-megang sepasang senjata yang
amat aneh. Tangan kirinya kini telah memakai sarung tangan yang berkilauan seperti emas,
sedangkan tangan kanannya meme-gang seekor ular putih yang kecil dan panjangnya
hanya dua kaki, akan tetapi ular putih itu masih hidup!
"Ha-ha-ha, dukun hitam, apa engkau mau main sulap mencari uang kecil" Bukan di sini
tempatnya, melainkan di pasar! Aku tidak mempunyai uang kecil sepeser pun, apalagi yang
besar!" Sam-bil tertawa mengejek, Kwi-bun Lo-mo menerjang lagi dengan tangannya yang
beracun, maklum bahwa pertemuan yang satu kali tadi, biarpun tentu saja tidak akan
melukai lawan yang begitu pandai akan tetapi sedikitnya membuat hati la-wan gentar.
Kwi Hong yang tidak banyak bicara sudah menusukkan lagi pedangnya. Kini Maharya tidak
mengelak, melainkan menggerakkan tangan kiri yang bersa-rung tangan emas itu
menangkap pedang. Bukan main kagetnya Kwi Hong karena merasa pedangnyatergetar. Ia
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
258 menarik kembali pedangnya dan pada saat itu Maharya melepas pedang sambil
menggunakan tenaga sin-kang mendorong.
"Aihhh!" Hanya dengan melempar tu-buh ke belakang dan berjungkir balik di udara sampai
lima kali Kwi Hong dapat menghindarkan diri dari tolakan tenaga sin-kang yang dapat
melukai isi dadanya itu! Ia terkejut dan maklum bahwa sela-in sarung tangan yang dipakai
kakek India itu tidak mempan senjata, juga bahwa tenaga kakek itu masih jauh me-lampaui
tenaganya sendiri! Kini Kwi-bun Lo-mo sudah menerjang maju mengguna-kan tangan kanan
memukul dengan ta-ngan lunaknya yang beracun untuk memberi kesempatan gadis
berpedang itu memulihkan kedudukannya. Maharya mengangkat tangan kiri, menangkis
pukulan itu dan tangan kanannya digerak-kan.
"Plakkk!" Kedua tangan bertemu dan Kakek Kwi-bun Lo-mo terkejut karena tangan
bersarung emas itu kiranya sang-gup menerima pukulan Toat-beng-bian-kun, dan kini
secara tiba-tiba ular yang dipegang ekornya itu melayang dan me-nyambar lehernya dengan
mulut terbuka lebar, mendesis dan menggigit! Ia cepat miringkan kepalanya akan tetapi tetap
saja ular itu dapat menggigit pundaknya.
"Mampus kau!" Maharya berseru gi-rang.
"Ha-ha-ha, gigitan cacing itu enak sekali rasanya, menambah vitamin di tu-buhku. Suruh dia
gigit lagi, dukun India! Ha-ha-ha!" Biarpun pundaknya mengelu-arkan sedikit darah, akan
tetapi Kwi-bun Lo-mo masih tertawa-tawa. Di dalam tubuhnya yang berkulit kuning itu telah
mengalir darah yang penuh racun, mana dia takut akan segala gigitan ular bera-cun"
Kakek India itu kaget dan dengan marah ia lalu menyerang kedua orang pengeroyoknya,
bukan hanya ularnya yang terayun-ayun mengancam lawan dengan gigitan beracun, juga
tangan kirinya yang tidak takut menghadapi senjata tajam atau pukulan beracun itu
merupakan ta-ngan maut yang setiap saat menyambar hendak mencabut nyawa lawan.
Tan-siucai yang tadinya memandang rendah Bun Beng, menjadi terkejut bu-kan main ketika
mendapat kenyataan bahwa pemuda itu benar-benar lihai se-kali ilmu silatnya. Tadinya ia
mengang-gap bahwa seorang muda seperti itu akan mudah ia robohkan dengan ilmunya
"tangan panjang," yaitu lengan yang dapat ia ulur. sampai hampir dua kali panjang normal.
Banyak sudah lawan yang roboh oleh ilmunya ini karena tidak menyangka-nyangka bahwa
tangan itu dapat mu-lur seperti karet. Akan tetapi, pemuda itu hanya sebentar saja terkejut,
kemu-dian sudah dapat menjaga diri dan mengirim serangan dengan jurus-jurus yang
dahsyat, yang mendatangkan angin keras dan membuat Tan-siucai bingung. Maklum bahwa
ia berhadapan dengan murid orang pandai, Tan-siucai berteriak keras dan tampaklah sinar
hitam ketika ia mencabut pedangnya, sebatang pedang hitam yang mengeluarkan bau amis
se-perti telur itik membusuk. Dengan pe-dangnya ini ia menerjang dan mengobat-abitkan
pedang, merupakan sinar yang menyambar-nyambar ke arah tubuh Bun Beng.
Bun Beng memang tadinya terkejut menyaksikan lengan yang bisa mulur pan-jang. Akan
tetapi kemudian ia menda-pat kenyataan bahwa lawannya itu biar-pun bertenaga kuat dan
memiliki ilmu aneh tidaklah seberat yang ia kira dan tidak memiliki dasar ilmu silat yang
tangguh. Maka ia sudah mendesak dengan jurus-jurus Siauw-lim-pai yang kuat se-hingga
dua kali memukul bahu kanan dan menendang paha kiri lawan. Biarpun pu-kulan dan
tendangan ini meleset dan tu-buh lawan memiliki kekebalan setidak-nya lawannya menjadi
panik sehingga mencabut pedang hitam! Bun Beng tidak menjadi jerih, bahkan ia makin lega
ha-tinya. Gerakan pedang itu lebih didorong rasa marah daripada gerakan ilmu pedang yang
tinggi nilainya, maka bagi-nya, pedang hitam itu tidaklah sebahaya tangan kosong yang
dapat mulur mungkret tadi. Biarpun lengan itu masih dapat mulur, akan tetapi karena
disambung pedang, lebih mudah dapat dilihat arah gerakannya, tidak seperti kalau kosong
dapat mencengkeram, menangkap mendo-rong atau memukul, sukar sekali diduga.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
259 Namun, harus ia akui bahwa lawan-nya mainkan pedang secara aneh dan isti-mewa,
dengan ilmu pedang yang tidak dikenalnya sama sekali. Pedang itu sela-lu datang
menyerangnya dengan tiupan angin, dan bukan hanya pedang yang menyerangnya
melainkan selalu dibarengi dengan pukulan atau tendangan, seolah-olah seluruh daya
serang lawan dikum-pulkan untuk menghantamnya, Bun Beng harus mengandalkan
kelincahan tu-buhnya yang segera pulih kembali begitu ia menghadapi bahaya. Kalau begini
te-rus, bagaimana aku bisa menang, pikir-nya. Serangan lawan ini mengingatkan ia akan
serangan angin taufan ketika ia berada di atas layang-layang bersama Kwi-bun Lo-mo.
Serangan angin taufan! Tiba-tiba ia teringat akan pelajaran kakek Pulau Neraka itu untuk
mengha-dapi serangan angin taufan. Perhatikan dari mana angin menyerang, jangan
me-nentang, ikuti tiupannya akan tetapi ha-rus dapat kau kendalikan sehingga mu-dah untuk
menyimpang. Pindahkan hawa dan tenaga sakti sesuai dengan serangan angin, jangan
biarkan kita terseret akan tetapi berusaha selalu berada di atasnya, menunggang angin.
Demikianlah antara lain inti pelajaran yang ia terima di atas layang-layang sambil mencontoh
ge-rakan kakek Pulau Neraka. Kini, serang-an-serangan lawannya dengan pedang hi-tam itu
seperti angin, mengapa tidak ia coba mengatasinya dengan pelajaran baru di atas layang-
layang" "Wuuuutttt!" Tan-siucai kembali me-nyerang dengan hebat, dengan semangat menyala dan
keyakinan bahwa dia tentu akan dapat membunuh pemuda yang su-dah tak mampu balas
menyerang itu. Pedang hitamnya menusuk dada, tangan kirinya mendorong dengan pukulan
ke arah pusar, dan kaki kanannya sudah si-ap menyusulkan tendangan!
Bun Beng tidak menggunakan cara mengelak seperti tadi. Dengan ilmu ba-ru menundukkan
angin taufan, tubuhnya yang tadinya miring, dengan kaki kanan di depan itu, ia pindahkan
kaki dan te-naga pada kaki kiri, lalu kedua tangannya diangkat ke atas seolah-olah ia
me-megangi tali-temali layang-layang dan tubuhnya meloncat ke atas tinggi sekali sehingga
pukulan dan tusukan lewat di bawah kakinya yang ditekuk ke dada. Tendangan lawan
menyusul, ia terima dengan kedua kakinya, menginjak kaki lawan yang menendang dan
meminjam te-naga ini ia ayun tubuhnya ke atas dan meluncur ke depan melalui atas kepala
lawan, kemudian membalik dan memin-dahkan tenaga lagi ke kaki kiri yang tu-run menginjak
lawan. "Plakk! Augg....!" pundak kanan Tan-siucai terkena injakan kaki Bun Beng, lumpuh rasa
seluruh lengan kanannya dan pedang hitam itu terlepas. Bun Beng cepat turun menyambar
dan pedang hi-tam telah berada di tangannya!
Tan-siucai membalik dan matanya merah saking marahnya memandang Bun Beng yang
kini tersenyum-senyum me-megang pedang hitam! Ia girang sekali karena dengan ilmu
barunya itu ia ber-hasil! Pemuda ini memang cerdik sekali sehingga dia dapat menggunakan
ilmu baru yang bagi orang lain tentu hanya dapat dipergunakan untuk mengendalikan
layang-layang melawan angin taufan itu untuk melawan musuh yang lihai.
Sambil tersenyum, ia lalu menubruk maju dan menyerang Tan-siucai dengan pedang hitam.
Tan-siucai memekik, ta-ngan kirinya bergerak dan sinar putih yang amat terang menyilaukan
mata ber-kelebat menangkis pedang.
"Cringggg!" kini Bun Beng yang ka-get bukan main karena pedang hitam rampasan itu telah
patah menjadi dua!
"Hok-mo-kiam....!" Ia berseru keras dan cepat menjatuhkan diri bergulingan karena pedang
putih yang kini berada di tangan lawan itu, setelah membabat patah pedangnya, sinarnya
masih terus menerjangnya! Ia meloncat bangun dan memandang dengan mata terbelalak.
Tak salah lagi, tentu itulah Hok-mo-kiam, pedang yang dibuat oleh Kakek Nayaka-vhira dan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
260 yang dicuri oleh pemuda sin-ting ini bersama gurunya, Kakek Mahar-ya! Gentar juga hati
Bun Beng menyak-sikan pedang bersinar putih yang me-ngandung penuh wibawa mujijat itu,
dan ia siap siaga berkelahi mati-matian, mengandalkan kelincahannya karena apa artinya
pedang buntung yang toh patah lagi kalau bertemu dengan Hok-mo-kiam" Ia tahu bahwa
Pendekar Siluman dan mendiang Kakek Nayakavhira mem-beri nama Hok-mo-kiam
(Pedang Penak-luk Iblis) pada pedang itu, yang khusus dibuat untuk menundukkan Siang-
mo-kiam (Sepasang Pedang Iblis). Teringatlah ia akan sepasang pedang bersinar kilat yang
ia simpan di dalam guha rahasia di tem-pat tinggal para pemuja Sun-go-kong.
"Kembalikan pedang itu!" Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan Kwi Hong telah
meninggalkan Kakek Maharya, menyerang Tan-siucai dengan pedang di tangannya.
Serangan yang hebat seka-li, dilakukan dengan tubuh masih mela-yang di udara, dengan
kecepatan seperti kilat menyambar didorong oleh tenaga sin-kang yang kuat sekali.
Biarpun otaknya sinting, Tan-siucai mengenal serangan maut, dia lalu meng-geser kaki ke
kiri, menggerakkan pe-dangnya menangkis sambil mendorongkan tangan kirinya untuk
mencegah dara per-kasa itu memukulnya.
"Tranggg!" Tampak bunga api mun-crat dan Tan-siucai memekik kaget, pe-dangnya
terlepas akan tetapi cepat-cepat ia sambar kembali karena gadis itu ti-dak sempat
menyerangnya lagi. Ternya-ta bahwa kini Kwi Hong juga hanya me-megang sebatang
pedang buntung, persis seperti yang dialami Bun Beng. Dengan mata terbelalak, Kwi Hong
memandang pedangnya dan diam-diam ia merasa amat kagum akan keampuhan Hok-mo-
kiam yang dibuat oleh Kakek Nayaka-vhira itu. Pedangnya adalah pemberian pamannya,
sebatang pedang pusaka yang cukup ampuh, namun sekali bertemu de-ngan Hok-mo-kiam
menjadi patah! Pada-hal sudah jelas bahwa dia menang tenaga dan pedang di tangan Tan-
siucai itu sampai terlepas. Ia makin marah dan penasaran, bertekad untuk merampas
kembali pedang yang dahulu dicuri oleh orang itu, tubuhnya menerjang maju de-ngan
pukulan-pukulan kilat yang biar-pun Tan-siucai memegang sebatang pe-dang pusaka, akan
berbahaya sekali bagi sasterawan sinting itu.
"Plakkk!" Pukulan Kwi Hong tertang-kis oleh tangan Maharya yang bersarung tangan.
Kiranya kakek ini sudah melon-cat meninggalkan Kwi-bun Lo-mo untuk melindungi
muridnya, terutama menjaga agar pedang pusaka itu tidak terampas lawan.
"Ho-ho, kau hendak lari ke mana, dukun keparat?" Kwi-bun Lo-mo tertawa dan melompat
pula mengejar. Kini per-tandingan menjadi kacau-balau dan akhir-nya kini Bun Beng dan
Kwi-bun Lo-mo mengeroyok Maharya, sedangkan Kwi Hong masih bertanding melawan
Tan-siucai. Karena maklum bahwa gadis itu berbahaya sekali, Tan-siucai memutar
pedangnya dan berlindung di balik gu-lungan sinar pedang. Benar saja, sinar pedang itu
demikian hebat dan mengan-dung wibawa yang amat kuat sehingga biar Kwi Hong lihai,
gadis ini tidak be-rani sembrono mendesak maju, melain-kan berusaha mencari lowongan
tanpa terancam sinar pedang yang ia tahu amat ampuh.
"Nona yang perkasa! Bun Beng, mun-dur!" Tiba-tiba Kwi-bun Lo-mo berteriak keras dan
terdengarlah ledakan disusul membubungnya asap hitam yang tebal, menggelapkan
keadaan di situ. Ternyata kakek Pulau Neraka ini telah melempar sebuah senjata rahasia
khas Pulau Nera-ka, senjata peledak yang mengeluarkan asap hitam beracun.
Kwi Hong dan Bun Beng melompat mundur, melihat betapa di tempat berdi-rinya dua orang
lawan itu kini tertutup oleh asap hitam. Ketika asap membuyar tertiup angin dan mereka
memandang, ternyata Tan-siucai dan Maharya telah lenyap dari tempat itu, tanpa
meninggalkan bekas.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
261 Kwi-bun Lo-mo mengerutkan alisnya, mengomel. "Sialan! Mereka benar-benar amat lihai
dapat menyelamatkan diri dari asap beracun. Dukun India itu be-nar-benar merupakan lawan
yang lebih tangguh daripada dukun penunggang ga-jah. Hayaa....!"
Kwi Hong melangkah maju dan menu-dingkan telunjuk kirinya ke arah muka kakek itu. "Tua
bangka lancang! Kenapa kau melenyapkan mereka?" Tanpa me-nanti jawaban, dengan
pedang buntungnya ia menyerang Kwi-bun Lo-mo. Serangan-nya hebat sekali dan pedang
buntungnya itu masih amat berbahaya, membabat ke arah perut kakek itu yang tentu akan
tersayat robek kalau sampai terkena.
"Aihhh....!" Kwi-bun Lo-mo meloncat ke belakang dengan mata terbelalak dan balas
menyerang sambil memaki, "Gadis liar, siluman galak!" Kwi Hong miring-kan tubuh dan
membabat ke arah lengan yang memukulnya, akan tetapi kakek itu dapat menarik kembali
lengannya. "Tahan....!" Bun Beng berseru. "Nona Kwi Hong, dia bermaksud membantumu!"
"Membantu apa" Dia.... ah, mukanya berwarna, dia tentu iblis dari Pulau Nera-ka!"
"Hemm, memang aku dari Pulau Ne-raka, habis kau mau apa?" Kakek itu menantang
dengan marah. "Aku mau membasmi orang-orang Pulau Neraka, dan engkau lebih dulu!" Kembali Kwi Hong
menyerang. "Iblis betina tak tahu diri!" Kwi-bun Lo-mo mengelak lagi dan diam-diam ter-kejut karena
biarpun pedangnya sudah buntung, nona ini merupakan lawan yang amat tangguh,
gerakannya cepat, ilmu pedangnya aneh dan tenaga sin-kangnya amat kuat, dapat diduga
dari suara ber-cuitan ketika pedang buntung menyam-bar. Terpaksa dia mencelat lagi ke
ka-nan untuk menghindar.
"Tahan! Locianpwe, dia itu adalah murid Pendekar Siluman, To-cu dari Pu-lau Es!" Bun
Beng berseru. "Apa....?" Muka kakek itu berubah, matanya terbelalak. "Be.... betulkah....?"
"Aku mengenalnya, masa membo-hong?"
Kwi Hong makin marah dan menuding dengan pedang buntungnya. "Kakek sial-an! Apa kau
pura-pura tidak mengenal aku yang pernah kalianculik ke Pulau Neraka?"
Kakek itu menggeleng kepala. "Aku mendengar akan peristiwa itu, akan teta-pi aku sedang
merantau keluar pulau, tidak tahu.... maaf.... aku tidak berani mengganggu murid Pendekar
Siluman tanpa seijin To-cu kami...."
"Tidak peduli, kau harus mampus!" Kwi Hong menyerang lagi. Kwi-bun Lo-mo meloncat jauh
ke belakang, kemudi-an melarikan diri! Kakek ini pernah merasai kelihaian Pendekar
Siluman ketika ia bertanding melawan Nayakavhira, maka kini mendengar bahwa gadis ini
murid pendekar sakti itu, dia menyangka bah-wa tentu Pendekar Siluman berada pula di situ,
pula tanpa seijin To-cu, Majikan-nya, mana dia berani mengganggu mu-rid Majikan Pulau
Es" Kwi Hong hendak mengejar, akan tetapi Bun Beng meloncat menghadang dan berkata,
"Sudahlah, Nona, perlu apa dikejar orang yang tidak mau melawan" Dahulu pun, Pamanmu
tidak mengejar-nya."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
262 Kwi Hong berhenti, karena maklum bahwa dia pun tak dapat menyusul kakek yang lari
seperti terbang cepatnya itu, apalagi kalau ia ingat bahwa kakek itu memiliki senjata rahasia
peledak yang mengandung asap beracun berbahaya.
"Hemm, aku mengenalmu sekarang," katanya sambil memandang wajah pemu-da itu.
"Engkau Gak Bun Beng...."
Bun Beng menjura sambil tersenyum. "Kuharap selama ini Nona dalam keada-an baik dan
kulihat bahwa Nona telah mewarisi ilmu kepandaian hebat dari Pamanmu. Selamat!"
"Engkau mengejek?" Kwi Hong mem-bentak marah.
Bun Beng melongo dan memandang dengan mata terbelalak. Kenapa Nona ini marah-
marah" Dia menggelengkan ke-pala tanpa dapat menjawab.


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Engkau mengejek, ya" Karena aku tidak mampu merampas kembali pedang itu, karena
pedangku patah, karena aku tidak mampu membunuh kakek Pulau Neraka!" Pandang mata
itu seperti me-ngeluarkan api yang menyerang Bun Beng, dia mundur ketika dara itu
melangkah maju dengan muka merah saking jeng-kel oleh kegagalannya. "Hayo katakan
engkau mengejekku, biar aku mempunyai alasan untuk menyerangmu!"
"Tidak! Tidak....! Wah, siapa menge-jek, Nona" Sama sekali aku tidak mengejek. Bukan
salahmu kalau pedang Nona patah, dan kalau tidak dibantu gu-runya, kakek India itu, tentu
Si Siucai gila sudah mampus olehmu dan pedang-nya terampas."
Mendengar kata-kata ini, agak berku-rang kemarahan Kwi Hong. Ia memban-ting kaki dan
memandang pedangnya yang buntung, lalu membantingnya ke atas tanah sambil
mengomel. "Sialan! Tentu Paman akan marah kepadaku karena pedang ini!"
Melihat wajah cantik jelita yang menjadi merah, mata yang membayangkan penyesalan dan
kedukaan besar, ha-ti Bun Beng tergerak. Teringatlah ia akan sepasang pedang yang
ditinggalkan-nya di guha rahasia di tempat para pe-muja Sun-go-kong, maka serta merta ia
berkata, "Harap Nona jangan berduka, aku mempunyai sepasang pedang pusaka yang hebat,
bahkan yang diperebutkan oleh seluruh tokoh kang-ouw."
"Sepasang pedang yang.... Pedang Iblis?" Kwi Hong memotong, matanya terbelalak,
kedukaannya lenyap seketika.
Bun Beng mengangguk. "Agaknya be-nar Sepasang Pedang Iblis yang kudapat-kan secara
kebetulan sekali. Kini kusim-pan di dalam guha rahasia. Kalau Nona suka, akan kuberikan
sebatang kepada Nona, yang pendek. Pedang itu mengelu-arkan sinar kilat yang mendirikan
bulu roma sehingga aku tidak berani menca-but seluruhnya, agaknya tidak kalah am-puh
oleh pedang yang dicuri Tan-siucai tadi."
"Benarkah itu" Paman juga mencari-cari pedang itu! Benarkah akan kauberikan kepadaku?"
Sikap Kwi Hong berubah sama sekali, agaknya dia tidak ingat la-gi akan kemarahan dan
kedukaan hati-nya, wajahnya berseri dan sepasang ma-tanya mengeluarkan cahaya, amat
indah-nya seperti sepasang bintang pagi dalam pandangan Bun Beng.
"Benar, Nona. Pedang itu sepasang, boleh untukmu sebatang dan untukku sebatang."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
263 Tiba-tiba wajah yang cerah itu kem-bali agak muram oleh berkerutnya sepa-sang alis yang
hitam kecil melengkung itu. "Bun Beng, bagaimana engkau bisa mendapatkan Siang-mo-
kiam" Seluruh dunia kang-ouw mencari dan mempere-butkannya. Bagaimana tiba-tiba kau
bisa mengatakan kepadaku bahwa engkau me-nemukan pedang-pedang itu?" Dalam
per-tanyaan ini terkandung keraguan dan ketidakpercayaan.
"Aku mendapatkannya secara kebetulan saja, Nona. Terjadinya ketika aku terja-tuh ke
dalam pusaran maut di Sungai Huang-ho." Dengan singkat Bun Beng menceritakan semua
pengalamannya, akan tetapi sengaja dia tidak menyebutkan tempat ia menyimpan sepasang
pedang itu, juga tidak tentang kitab Sam-po-cin-keng.
Kwi Hong mendengarkan dengan alis berkerut.
"Jadi ketika kita saling bertemu itu engkau telah menemukan Siang-mo-kiam?"
"Benar, aku tidak sempat bercerita, pula pada waktu itu memang aku hen-dak
merahasiakannya dari siapapun juga."
"Hemm, kalau begitu, mengapa seka-rang mendadak engkau ingin memberi-kan sebatang
kepadaku" Apa sebabnya?" Sambil berkata demikian, Kwi Hong me-mandang dengan sinar
mata tajam pe-nuh selidik. Bun Beng kagum bukan ma-in. Mata itu...., bukan kepalang
indah-nya! Sejenak ia menentang pandang ma-ta itu penuh kagum, akan tetapi sinar mata
itu seperti sepasang pedang iblis sendiri yang menusuk, menembus mata sampai ke
jantung! Terpaksa ia menun-dukkan pandang matanya.
"Mengapa...." Aihh, tak terpikir olehku.... hemm, agaknya karena melihat pe-dangmu patah,
Nona. Karena melihat engkau berduka tadi...."
"Heh, omong kosong! Mengapa menda-dak engkau menaruh perhatian seperti itu
kepadaku" Apa hubungannya keduka-anku denganmu" Engkau merasa kasih-an" Alasan
yang dangkal dan kosong!" Kembali di dalam suaranya terkandung kecurigaan dan
ketidakpercayaan.
Cepat Bun Beng membantah. "Tidak! Tidak hanya itu, Nona. Sesungguhnya.... pertama
karena Nona telah menyelamat-kan nyawaku tadi. Kalau tidak Nona keburu turun tangan,
bukankah aku akan mati terjatuh dari atas kalau tali la-yangan itu diputus oleh kakek tadi"
Un-tuk membalas budi Nona yang telah me-nyelamatkan nyawaku, apa artinya pem-berian
sebatang pedang" Pula, kedua memang aku merasa amat kagum kepa-da Paman Nona,
dan satu-satunya orang di dunia ini yang aku ingin agar pedang yang diperebutkan itu
dimilikinya, ada-lah Paman Nona, Pendekar Super Sakti. Maka, kebetulan sekali aku
bertemu dengan Nona, bahkan Nona telah menolong-ku sehingga ada alasan bagiku untuk
menyerahkan pedang."
Kwi Hong mengangguk-angguk, wajah-nya kembali cerah dan ia mulai percaya kepada Bun
Beng. Pemuda ini girang se-kali menyaksikan perubahan wajah itu, memandang penuh
kagum wajah cantik jelita yang matanya menunduk itu. Tiba-tiba wajah itu diangkat, pandang
mata mereka saling bertaut dan dengan jan-tung berdebar Bun Beng melihat betapa alis
yang bagus itu kembali dikerutkan, lalu terdengar suara gadis itu memben-tak marah.
"Aku tidak percaya kepadamu!"
Mula-mula Bun Beng tertegun, kemu-dian ia menarik napas panjang, wajahnya
membayangkan kekesalan dan kedukaan hati. "Hemm, agaknya Nona curiga kepa-daku?"
"Siapa tahu kalau-kalau engkau ini amat licik dan curang dan sengaja hen-dak menipuku?"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
264 Bun Beng merasa jantungnya perih seperti ditusukpedang. Ia mengangguk dan menjawab,
"Aku mengerti, Nona. Tentu Nona curiga kepadaku mengingat bahwa aku adalah anak
seorang tokoh hitam yang amat licik dan curang" Su-dah banyak aku mendengar makian
itu." "Tidak peduli! Aku tidak mengatakan begitu dan tidak berpikir begitu. Hanya siapa mau
percaya kepada seorang yang telah gulang-gulung bergaul dengan seo-rang iblis Pulau
Neraka" Engkau datang bersama dia, tentu sahabat baiknya, atau siapa tahu engkau sudah
menjadi anggau-ta Pulau Neraka. Mereka adalah iblis-iblis kejam, tentu engkau juga bukan
orang baik-baik. Bagaimana aku dapat percaya?"
Lega hati Bun Beng. Nona ini satu-satunya orang yang tidak menyinggung ayahnya. Alasan
yang diucapkan untuk kecurigaannya memang tepat. Maka ia cepat-cepat menuturkan
pengalamannya semenjak ia ditawan oleh Thian-liong-pang sampai berhasil lolos, dikeroyok
ikan, diterkam rajawali yang kemudian bertempur melawan garuda dan akhirnya terlepas.
"Ketika melayang jatuh itulah aku tersangkut pada tali layang-layang yang dikemudikan oleh
kakek Pulau Neraka itu. Baru pertama itulah aku berkenalan dengan dia dan kami sama-
sama turun setelah terhindar dari angin taufan dan terancam maut oleh kakek India yang
akan memutus tali. Untung Nona muncul dan menyerangnya."
Penuturan Bun Beng yang amat luar biasa seperti terjadi dalam dongeng itu membuat Kwi
Hong melongo. "Wah-wah.... hebat sekali pengalaman-mu!" Ia duduk di atas rumput. "Engkau menjadi
tawanan Thian-liong-pang" Bu-ka main! Dan berhasil lolos" Eh, cerita-kanlah, Bun Beng.
Bagaimana kau bisa lolos dari Thian-liong-pang yang terkenal sekali amat kuat itu" Aku
mende-ngar banyak orang pandai dan sakti di sana, bahkan tidak kalah saktinya oleh orang-
orang Pulau Neraka!"
Melihat wajah itu betul-betul sudah percaya kepadanya, sudah cerah dan bekas-bekas
kecurigaan dan ketidakper-cayaan tidak tampak lagi, Bun Beng duduk pula di atas rumput.
Mereka duduk berhadapan, bercakap-cakap dan merasa seperti telah menjadi sahabat
lama. Dengan terus terang Bun Beng men-ceritakan pengalamannya ketika berusa-ha menolong
Ketua Bu-tong-pai dan me-lihat tokoh-tokoh kang-ouw itu diadu oleh Ketua Thian-liong-pang
untuk dicu-ri jurus simpanan mereka yang terpaksa digunakan dalam pertandingan itu.
Kemu-dian betapa dia diaku sebagai cucu kepo-nakan Si Muka Singa dan akan dijadikan
anggauta. Akan tetapi ia menolak dan akhirnya di jebloskan dalam penjara di bawah tanah.
"Sama sekali aku tidak tahu bahwa dinding itu menembus ke sungai yang besar di mana
banyak terdapat ikan rak-sasa yang hampir saja membunuhku. Ka-lau tahu begitu, agaknya
belum tentu aku berani membobol dinding itu. Heran, sungai apakah itu?"
Kwi Hong yang tertarik sekali berka-ta. "Apakah kau tidak tahu" Kini kita berada di lembah
Sungai Huang-ho, dan sarang Thian-liong-pang berada di kota Cie-bun, di sebelah utara
kota Cin-an. Sudah lama aku mendengar akan perbu-atan Thian-liong-pang menculik orang-
orang kang-ouw. Sayang Paman melarang aku bentrok dengan orang Thian-liong-pang,
kalau tidak aku akan menyerbu ke sana. Hemm.... kalau Paman mendengar bahwa orang-
orang kang-ouw itu diculik untuk dicuri ilmu mereka tentu Paman akan tertarik sekali. Eh,
Bun Beng, di manakah adanya guha rahasia di mana engkau menyembunyikan Siang-mo-
kiam?" Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
265 "Aku tidak tahu namanya, hanya aku tahu jalan ke sana kalau sudah melihat bentuk
gunungnya. Kalau tidak salah, dekat dengan laut karang ketika aku di-bawa terbang burung
rajawali yang ke-mudian bertanding dengan burung garuda yang kunaiki itu, dan aku
terlepas ke bawah, aku jatuh ke dalam laut."
Kwi Hong memutar otaknya. "Hemm, tentu di Laut Utara. Mari kita cari ke sana. Sayang
burung kami telah dibunuh oleh siucai sinting dan gurunya, kalau tidak, tentu dengan mudah
kita bisa mencari sambil menunggang pek-eng."
"Apakah tidak ada garuda putih lagi di Pulau Es" Aku tadi melihat burung garuda putih
menyerang rajawali yang mencengkeramku."
"Benarkah" Tentu burung garuda liar. Kami tidak mempunyai garuda lagi. Aku baru saja
keluar dari Pulau Es, baru mendapat ijin dari Paman setelah ber-ulang-ulang aku minta
supaya diijinkan merantau. Aku ingin ke kota raja menca-ri dan menengok kuburan Ibuku.
Akan tetapi sekarang bertemu denganmu, seba-iknya kita mencari Siang-mo-kiam, baru
akan pergi ke kota raja. Marilah kita berangkat sebelum gelap, Bun Beng."
"Baiklah, Nona."
Mereka bangkit dan Kwi Hong berka-ta mencela. "Jangan sebut Nona, kenapa kau begini
merendah" Menjemukann be-nar!"
"Habis, aku harus menyebut apa?"
"Apa kau tidak tahu namaku" Kalau kau mau bersahabat denganku, jangan merendah
seolah-olah engkau ini orang bawahanku di Pulau Es. Sebut saja na-maku!"
"Baiklah.... Kwi Hong." Hati Bun Beng girang sekali. Dara ini cantik menarik dan membuat
hatinya berdebar aneh, membuat ia ingin selalu berdekatan dan bercakap-cakap dengannya.
Pula, gadis inilah satu-satunya orang yang tidak me-nyebut-nyebut tentang kejahatan
ayah-nya. Dan yang lebih dari semua itu, ga-dis ini adalah murid dan keponakan Pendekar
Super Sakti, orang yang dika-gumi dan dipuja di dalam hati. "Tempat itu dahulu kutemukan
setelah aku terja-tuh ke dalam pusaran maut di Sungai Huang-ho, sebuah gunung yang
aneh dan terletak dekat laut. Tentu tidak jauh dari muara sungai. Sebaiknya kita men-cari
jejak mulai dari pulau di tengah muara sungai dari mana aku terlempar dan jatuh ke dalam
pusaran maut."
"Baik, memang mestinya begitu. Ka-lau tidak dapat menemukan tempat itu melalui darat,
kita harus mengikutije-jakmu dahulu melalui pusaran maut."
Bun Beng terbelalak. "Apa...." Wah, itu berbahaya sekali, Kwi Hong!"
Gadis itu memandangnya dan menggeleng kepala. "Engkau pun tidak mati, bu-kan" Nah,
kalau di waktu masih kecil dahulu saja bisa sampai di tempat itu melalui pusaran maut
dengan selamat, mengapa sekarang tidak?"
"Ah, dahulu lain lagi. Aku terlempar ke sana bukan atas kehendakku, dan aku setengah
pingsan ketika terbawa pusar-an, agaknya memang Tuhan tidak meng-hendaki aku mati di
waktu itu. Kalau sekarang aku harus terjun ke sana, hiiiiiih.... ngeri sekali, aku tidak berani."
Kwi Hong cemberut. "Kalau kau ti-dak berani, aku berani! Pedang Siang-mo-kiam itu terlalu
penting untuk dibi-arkan di tempat itu. Terlalu berharga untuk dicari dengan taruhan nyawa.
Ka-lau bisa kudapatkan dan kuperlihatkan kepada Paman, tentu dia akan girang sekali
karena Paman pernah bilang bah-wa kalau sepasang pedang iblis itu sam-pai muncul di
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
266 dunia dalam tangan orang-orang sesat, sukar untuk ditundukkan dan di dunia pasti akan
kacau balau dan kejahatan merajalela. Nah, kau tahu be-tapa besarnya arti kedua pedang
itu, dan betapa pentingnya untuk didapatkan kembali."
Mereka mulai melakukan perjalanan dan Kwi Hong yang menjadi penunjuk jalan sampai
mereka tiba di tepi Sungai Huang-ho. Akan tetapi malam sudah ti-ba ketika mereka sampai
di tepi sungai.
"Kita bermalam di tepi sungai ini, besok baru kita melanjutkan," kata ga-dis itu.
Bun Beng lalu mengumpulkan kayu kering dan membuat api unggun. Tepi sungai itu sunyi
senyap, akan tetapi me-nyenangkan sekali bagi Bun Beng. Tem-patnya bersih, tanahnya
tertutup rumput hijau seperti permadani, pohon-pohon dan bunga-bunga mendatangkan bau
yang se-dap dan segar, dan bulan hampir bulat muncul tak lama kemudian, membuat tempat
itu menjadi indah, romantis, dan menyenangkan. Tentu saja ia tidak sadar bahwa yang
membuat keadaan menja-di demikian indah adalah hadirnya Kwi Hong karena kalau tidak
ada gadis itu di sana, belum tentu tempat sunyi ini akan tampak seindah malam itu!
Mereka duduk menghadapi api unggun. Enak dan nyaman, hangat. Bun Beng duduk
melamun, merasa betapa selama hidupnya, baru sekarang inilah ia menga-lami
kebahagiaan, merasa betapa senang-nya hidup!
"Eh, Bun Beng, kenapa melamun saja kau?"
Bun Beng terkejut dan sadar dari la-munanpya yang mengangkatnya ke angka-sa. Ia
memandang dan tidak dapat men-jawab karena sepasang mata yang terke-na sinar api
unggun itu kelihatan begitu indah dan tajam berkilau.
"Apa perutmu tidak lapar?" Gadis itu bertanya ketika melihat pemuda itu ha-nya melongo.
Mendengar ini, kontan perut Bun Beng berbunyi, seolah-olah menjawab perta-nyaan itu.
Dengan gugup ia menekan perut dengan tangannya sambil memaki dalam hati kepada
perutnya yang tak ta-hu malu. Memang ia merasa lapar seka-li. Apalagi hawa begitu
nyaman, peman-dangan begitu indah, membuat perut yang kosong terasa sekali.
"Heiii! Bagaimana?" Gadis itu kembali bertanya, menahan geli hatinya kare-na telinganya
yang berpendengaran tajam dapat menangkap perut yang berkokok tadi.
"He" Apa?" Bun Beng bertanya gu-gup, masih merasa malu oleh perutnya.
"Lapar tidak?"
"Lapar sekali, Kwi Hong tapi.... ma-kan apa....?"
"Betapa bodohnya! Ikan berkeliaran di dalam sungai masih bertanya makan apa?"
Bun Beng teringat dan meloncat ba-ngun. "Tepat sekali! Mengapa aku begi-tu bodoh dan
pelupa" Ikan-ikan yang mengeroyokku siang tadi! Aku harus membalas dendam, setidaknya
kutangkap seekor, kupanggang sampai matang dan kita ganyang dagingnya!" Setelah
berka-ta demikian, ia lari ke pinggir sungai dan langsung meloncat ke sungai.
"Byurrrr!" Air muncrat tinggi dan Kwi Hong terbelalak, kemudian tertawa ter-pingkal-pingkal
dan menggeleng-geleng kepala. "Sungguh orang aneh," gumamnya sambil berdiri di pinggir
sungai menonton Bun Beng yang menyelam hendak menangkap ikan begitu saja dengan
ke-dua tangan, lengkap dengan pakaiannya, bahkan sepatunya tidak dicopot!
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
267 Akan tetapi ia kagum ketika tak la-ma kemudian Bun Beng sudah muncul lagi, memondong
seekor ikan yang besar-nya sebantal dan melemparkan ikan itu ke darat! Ikan itu
menggelepar-gelepar di darat dan Bun Beng sudah berenang ke pinggir lalu mendarat pula,
tersenyum lebar, pakaiannya basah kuyup, air mene-tes-netes dari seluruh pakaiannya,
ram-butnya pun basah kuyup dan kuncirnya melibat leher.
"Aihh, ikan besar ini mana bisa kita menghabiskannya" Dan bagaimana pula membersihkan
isi perutnya, kaulah yang melakukannya itu, nanti aku yang me-manggangnya."
"Jangan khawatir, Kwi Hong. Kalau tidak ada pisau, batu karang pun cukup tajam dan
runcing." Dengan gembira Bun Beng lalu mencari batu karang yang keras, menghampiri
ikan. Sekali pukul dengan batu pecahlah kepala ikan itu dan ia segera membelah perut ikan
dengan batu yang tajam, membuang isi perutnya ke sungai dan membersihkan kulit ikan
yang tak bersisik itu dengan gosokan batu karang.
Kwi Hong sudah menyediakan sebuah ranting, menusuk ikan besar itu dari mulut sampai
menembus ekor, kemudian memanggangnya di atas api unggun sam-bil menanti Bun Beng
mencuci tangan-nya ke air sungai. Setelah pemuda itu duduk dekat api, dia mencela.
"Kau ini aneh sekali, mengapa me-nangkap ikan begitu saja dengan mema-kai pakaian
lengkap" Lihat, pakaian dan sepatumu basah kuyup, tentu dingin se-kali. Sebaiknya
kaubuka dan peras pakai-anmu, panggang dekat api biar kering."
Muka Bun Beng tiba-tiba berubah merah. Bagaimana dia bisa menanggal-kan pakaian di
depan gadis itu" "Biar-lah, diperas begini pun bisa, dan kalau aku duduk dekat api, sebentar
juga ke-ring." Ia memeras rambut dan pakaian-nya, melepas sepatunya dan menggeser
duduknya dekat api. Beberapa kali Kwi Hong melirik kepadanya dengan pandang mata
penuh rasa heran. Pemuda ini aneh sekali. Kadang-kadang pendiam dan canggung, akan
tetapi gerak-geriknya amat menarik hatinya.
Bau sedap daging ikan dipanggang menusuk hidung, langsung merangsang se-lera mulut
dan menambah lapar perut. Setelah matang, kedua orang itu lalu menyerbu daging ikan
yang terasa sedap dan gurih sekali. Hanya separuh terma-kan oleh mereka. Terpaksa
sisanya me-reka buang lagi ke sungai.
"Sayang air sungai begitu kotor, ba-gaimana bisa minum?" Kwi Hong berta-nya sambil
mencuci tangannya yang pe-nuh minyak ikan, juga mengusap bibir-nya dengan air sungai,
kemudian meng-gosoknya dengan saputangan.
"Aku akan mencari buah!" Berkata demikian, Bun Beng meloncat dan lari pergi, mencari-cari
pohon yang ada bu-ahnya. Sampai jauh ia meninggalkan te-pi sungai itu dan untung bahwa
bulan bersinar terang sehingga akhirnya sete-lah payah mencari-cari, ia datang lagi
membawa beberapa butir buah yang sudah masak.
Kemudian, keduanya duduk mengha-dapi api unggun yang menjadi makin besar setelah
ditambah daun kering dan kayu oleh Kwi Hong. Hawa yang hangat, perut yang kenyang,
membuat gadis itu merasa mengantuk dan ia menguap di belakang telapak tangannya.
"Ahhh, aku ingin tidur. Kau berjaga-lah dulu, Bun Beng sambil mengeringkan pakaianmu.
Nanti aku giliran menjaga dan kau tidur. Di tempat seperti ini, apalagi baru saja kita bertemu
dengan siucai sinting dan gurunya, tidak boleh kita berdua tidur semua tanpa ada yang
menjaga."

Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baik, kau tidurlah, Kwi Hong. Aku tidak mengantuk dan aku akan menjagamu."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
268 Kwi Hong mundur agak menjauhi api unggun, kemudian merebahkan dirinya, miring
menghadapkan mukanya ke api unggun dan memejamkan kedua mata-nya. Bun Beng kini
berani menatap wa-jah itu sepuas hatinya. Entah mengapa dia sendiri tidak mengerti,
menyaksikan wajah yang kemerahan, dengan rambut yang agak mawut dan sebagian
terurai menutup pipi dan dahi, melihat bulu ma-ta yang menjadi panjang dan tebal
mem-bentuk bayang-bayang di pipi, hidung yang mancung dan cupingnya bergerak sedikit
ketika bernapas dalam-dalam, bibir yang merah dan mengkilap terkena minyak daging ikan,
ia merasa terharu sekali. Ia membandingkan wajah ini de-ngan wajah Ang Siok Bi, puteri
Ketua Bu-tong-pai yang pernah menarik hati-nya. Keduanya sama cantik dan memi-liki daya
tarik masing-masing. Akan te-tapi, melihat Kwi Hong tertidur tak jauh di depannya, ia harus
mengaku bahwa Kwi Hong lebih cantik jelita. Teringat-lah ia betapa dalam keadaan
mengha-dapi maut, hanya tiga wajah orang yang terbayang olehnya. Wajah Kwi Hong,
wajah Siok Bi dan wajah Milana! Akan tetapi, ketika itu ia membayangkan wa-jah Kwi Hong
dan Milana di waktu mere-ka masih kecil. Betapa jauh perbedaan-nya setelah ia bertemu
dengan Kwi Hong sekarang, demikian cantik dan me-narik!
Tiba-tiba Bun Beng mengutuk diri sendiri di dalam batinnya. Mengapa ia membayangkan
wajah wanita-wanita can-tik" Celaka, inikah yang membuat ayah-nya dahulu memperkosa
ibunya" Ia bergi-dik ketika merasa betapa ada hasrat di hatinya untuk memeluk tubuh wanita
yang berbaring di depannya itu, ingin mencium pipi itu, bibir itu! Keparat! Ingin ia
menghantam kepalanya sendiri, menghancurkan kepala yang berisi pikir-an busuk itu.
Apakah ia mewarisi watak ayahnya" Tidak! Ayahnya telah disebut datuk kaum sesat, tentu
merupakan se-orang yang sesat kelakuannya. Buktinya sampai memperkosa ibunya! Dia
tidak akan melakukan hal seperti itu! Biarpun dia tertarik akan wanita-wanita cantik, dia akan
memerangi perasaannya sendiri dan mencegah agar jangan sampai ia melakukan perbuatan
terkutuk! Ia harus memilih seorang di antara mereka, bukan untuk diperkosa, bukan untuk
dipermain-kan, melainkan untuk dijadikan isteri! Kwi Hong ini! Ah, betapa akan bahagia
hatinya kalau ia dapat memperisteri Kwi Hong.
Kwi Hong mengeluh perlahan dan menghela napas panjang, agaknya mimpi. Keluhan lirih
dan helaan napas itu mem-buat dara itu tampak makin menarik sehingga Bun Beng terpaksa
membuang muka, tidak kuat memandang lebih jauh karena jantungnya sudah berdenyut
ke-ras. Memang tidak terlalu dapat disalah-kan kalau Bun Beng diamuk nafsu bera-hi dan cinta.
Usianya sudah cukup dewa-sa, sudah dua puluh dua tahun lebih. Dalam usia sebanyak itu,
tentu saja tim-bul perasaan ini dan masih mengagum-kan bahwa dia dapat menahan diri
kalau diingat bahwa sejak kecil dia tidak per-nah menerima pendidikan tentang susila, tidak
pernah menerima pendidikan ayah bunda sendiri. Untung bahwa ia digem-bleng oleh
hwesio-hwesio Siauw-lim-pai sehingga batinnya cukup kuat, biarpun darahnya, darah
ayahnya yang panas membuat ia condong untuk melakukan perbuatan menyeleweng.
Namun, justeru nama buruk ayahnya membuat ia berke-ras hati untuk menebus semua
kesalahan ayahnya dengan perbuatan baik, bukan menambah kotor nama ayahnya dengan
perbuatan seperti yang pernah dilakukan ayahnya.
Betapa bahagianya kalau ia dapat menjadi suami Kwi Hong, pikirnya lagi setelah hatinya
tenang dan dia berani lagi memandang wajah Kwi Hong. Gadis itu kini telah rebah terlentang
sehingga nampak tonjolan dadanya yang turun naik kalau bernapas lembut. Bibir itu
setengah terbuka, seperti tersenyum me-nantang!
Betapa cantik jelitanya, betapa ga-gah perkasanya. Tadi telah dia saksikan sendiri betapa
lihai gadis ini. Dia sendi-ri meragukan apakah dia akan mampu melawan Kwi Hong. Betapa
tidak gagah perkasa dan lihai kalau diingat bahwa dara ini adalah keponakan dan murid
Pendekar Super Sakti! Tiba-tiba Bun Beng tertegun dan mengerutkan alisnya. Keponakan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
269 Pendekar Siluman! Aihhh, dia telah melamun terlalu jauh. Bagaimana mungkin dia dapat
menjadi suami kepo-nakan Majikan Pulau Es" Mentertawa-kan! Dia, seorang anak yatim-
piatu, bah-kan disebut anak haram, putera mendi-ang datuk kaum sesat yang disebut Setan
Botak, mana mungkin berjodoh dengan keponakan Majikan Pulau Es yang ber-kedudukan
tinggi" "Aihhhh, pikiran yang bukan-bukan," ia menarik napas panjang, berusaha mengusir
keinginan hati yang tak mung-kin terpenuhi itu. Ia memaksa diri un-tuk mengalihkan
keinginan hatinya. Ba-gaimana kalau Milana" Lebih tak masuk di akal! Tanpa disengaja, ia
telah menyaksikan peristiwa hebat yang mungkin menjadi rahasia Pendekar Siluman,
Mila-na adalah puteri Pendekar Siluman itu! Puterinya dari seorang ibu yang amat cantik dan
amat sakti! Lebih tidak mungkin lagi. Baik Kwi Hong, apalagi Milana, tidak mungkin menjadi
jodohnya. Kedudukan mereka terlalu tinggi bagi-nya, seperti merindukan bintang-bintang di
langit saja! Tinggal seorang lagi, Ang Siok Bi! Dia itulah yang tidak begitu tinggi
kedudukannya, akan tetapi hal ini kalau dibandingkan dengan Kwi Hong atau Milana, kalau
dibandingkan dengan dia, bahkan Siok Bi masih terlalu tinggi untuknya. Puteri Ketua Bu-
tong-pai! Aihh, dia mimpi di siang hari! Tidak ada harapan seujung rambut pun!
"Dasar manusia tak tahu diri engkau!" Bun Beng berbisik dan menjambak kun-cirnya,
merasa terpukul dan rendah. Ia merenung memandang api unggun, diam-diam mengeluh
dan menyalahkan ayah bundanya yang telah tiada.
"Sudahlah, aku manusia yang tiada harganya. Akan tetapi akan kubuktikan kepada mereka
semua, kepada dunia kang-ouw bahwa biarpun ayahku seorang manusia sejahat-jahat dan
serendah-rendahnya, aku tidaklah serendah itu. Aku akan membuktikan bahwa aku mampu
melaku-kan hal-hal yang layak dilakukan seorang pendekar besar!"
Pikiran ini sedikitnya menghibur hati-nya yang perih. Terhiburlah dia bahwa kini dia akan
menyerahkan sebuah di antara Siang-mo-kiam kepada murid dan keponakan Majikan Pulau
Es. Sepasang pedang itu diperebutkan oleh orang sedu-nia kang-ouw, bahkan Pendekar
Siluman sendiri mencari-cari tanpa hasil. Kini dia yang berhasil menemukannya dan
menye-rahkan sebuah di antaranya kepada mu-rid dan keponakan Majikan Pulau Es,
bukankah hal ini sudah merupakan jasa yang besar" Dan dia akan melangkah le-bih jauh
lagi. Dia akan melakukan hal-hal yang besar, biarpun saat itu dia belum tahu apa gerangan
hal-hal yang be-sar itu.
Bun Beng menambahkan kayu kering sehingga api unggun membesar. Pakaian-nya sudah
kering dan ia merasa tubuh-nya hangat. Malam telah amat larut, akan tetapi dia tidak mau
membangunkan Kwi Hong. Biarlah dia yang berjaga sam-pai pagi. Tidak tega dia
mengganggu ga-dis itu yang tidur dengan nyenyaknya. Ia bersandar pada batang pohon,
kadang-kadang menambah kayu pada api unggun, menjaga agar api itu tidak padam.
Pada keesokan harinya ketika terdengar kokok ayam hutan dan kegelapan malam mulai
terusir oleh sinar matahari pagi yang kemerahan, Kwi Hong bangun dari tidurnya. Ia
mengusap kedua mata-nya dan begitu membuka mata melihat bahwa malam telah berganti
pagi, meli-hat pula Bun Beng masih duduk bersan-dar pohon dekat api unggun, ia melon-cat
bangun dan membentak.
"Bun Beng, kau terlalu sekali!"
Bun Beng tersenyum, dia tidak mera-sa aneh lagi menyaksikan sikap gadis yang begitu
mudah berubah seperti angin ini, tiba-tiba saja marah, kemudian marahnya berganti sikap
ramah. Benar-benar seorang gadis yang penuh sema-ngat berapi-api, "Maaf, Kwi Hong,
apakah salahku?"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
270 "Masih bertanya apa salahnya lagi! Enak-enak duduk semalam suntuk, mem-biarkan orang
tertidur sampai pagi. Mengapa tidak kaubangunkan aku agar aku berganti melakukan
penjagaan?"
"Aah, tidak mengapa, Kwi Hong. Aku tidak mengantuk dan kau.... tidurmu enak benar, tidak
tega aku membangunkanmu."
Gadis itu memandang aneh. "Menga-pa kau menyiksa diri untukku" Kau ti-dak tidur sama
sekali?" Ucapan "karena aku cinta padamu" sudah berada di ujung lidah Bun Beng, na-mun cepat
ditelannya kembali. "Aku du-duk beristirahat sama dengan tidur. Urusan kecil ini masa mesti
dibesar-besarkan?"
"Biarpun urusan kecil, akan tetapi aku tidak mau dikatakan tidak adil. La-in kali aku tidak
mau begini, engkau harus tidur lebih dulu. Kau membikin aku merasa tidak enak saja!"
Dengan uring-uringan Kwi Hong lalu pergi men-cari sumber air untuk mencuci muka. Setelah
ia kembali, ia melihat Bun Beng sudah mencuci muka di air Sungai Huang-ho.
"Mari kita melanjutkan perjalanan," kata Kwi Hong dan berangkatlah mere-ka menuju ke
jurusan timur, ke arah muara Sungai Huang-ho. Tak lama kemu-dian Bun Beng mengenal
daerah di ma-na dahulu dia dan suhunya, mendiang Siauw Lam Hwesio, berperahu menuju
ke muara sungai. Peristiwa beberapa ta-hun yang lalu seperti terjadi kemarin saja dan
teringat akan nasib gurunya, mukanya menjadi berduka dan ia menarik napas panjang.
"Mengapa kau berduka?" Tiba-tiba Kwi Hong bertanya tidak galak lagi se-perti tadi,
melainkan halus dan menaruh khawatir.
"Aku teringat kepada mendiang Guru-ku, Siauw Lam Hwesio. Dia tewas seca-ra
menyedihkan sekali." Dia lalu mence-ritakan tentang kematian gurunya di tangan koksu
negara dan kaki tangannya. Kemudian menutup ceritanya, "Aku ha-rus membalas kematian
Suhu. Kelak aku harus mencari Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dan tiga orang pembantunya
yang ikut membunuh Suhu, Thian Tok Lama, Thai Li Lama dan Bhe Ti Kong!"
Kwi Hong mendengarkan penuh perha-tian, kemudian menghela napas panjang. "Wah,
musuh-musuhmu bukanlah orang sembarangan. Kedua orang pendeta La-ma itu menurut
Paman memiliki ilmu kepandaian tinggi apalagi Im-kan Seng-jin! Lawan-lawan yang amat
berat dan sakti."
"Aku tidak takut dan aku harus men-cari mereka."
"Aku pun tidak takut, hanya bilang bahwa mereka lihai. Kelak aku akan membantumu, Bun
Beng." Bun Beng menoleh dan mereka ber-pandangan. Melihat sinar mata penuh ra-sa syukur dan
berterima kasih dari pe-muda itu, Si Dara membuang muka de-ngan perasaan jengah.
"Biarpun mereka bukan musuhmu, aku pun akan menen-tang mereka dan Thian-liong-pang,
dan Pulau Neraka!" katanya menambahkan, seolah-olah hendak mengalihkan perhati-an
Bun Beng bahwa dia menentang mereka bukan semata-mata untuk memban-tu Si Pemuda.
Mereka berjalan terus, berjalan ce-pat karena mereka kini mempergunakan ilmu lari cepat
setelah Bun Beng menga-takan bahwa pulau di muara sungai itu tidak jauh lagi.
"Nah, itu dia pulaunya, dan di sana-lah pusaran maut itu!" Bun Beng berteriak menuding dan
mereka berlari cepat menghampiri pantai dari mana tampak pulau kecil di tengah muara
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
271 yang dahu-lu menjadi medan pertempuran. Dari pantai itu tampak pula pusaran air dan Bun
Beng masih bergidik ngeri melihat air berputar-putar itu, teringat akan pengalamannya
beberapa tahun yang lalu.
"Lihat, Kwi Hong. Ketika terjadi per-tandingan di pulau itu, aku terlempar dari atas tebing itu,
tepat jatuh di pu-saran maut."
Kwi Hong mengerutkan alisnya. "Hemmm...., dan setelah kau keluar dari lorong air kau
mendarat di lambung gu-nung katamu dahulu" Gunung yang de-kat dengan muara ini hanya
sebelah sa-na itu. Kita harus menyeberang!"
Tempat itu sunyi sekali, akan tetapi dari jauh tampak layar-layar perahu ne-layan pencari
ikan. Bun Beng yang lebih senang kalau mencari pedang-pedang itu tidak melalui pusaran
air, cepat berlari ke bawah dan akhirnya dapat memanggil seorang tukang perahu. Dengan
biaya ri-ngan mereka dapat diseberangkan oleh nelayan itu dan melanjutkan perjalanan
mendaki gunung karang yang sukar dila-lui. Namun berkat kepandaian mereka, mereka
dapat juga mendaki dan setelah tiba di sebuah puncak batu karang yang tinggi, Bun Beng
meloncat naik dan me-mandang ke sekeliling, mencari-cari. Akhirnya ia berseru giiang. "Nah,
di sa-na itu agaknya, di seberang jurang lebar itu. Benar, tak salah lagi, itu yang tampak
seperti gerombolan tentulah hutan-hutan di mana mereka mencari akar dan daun obat! Dari
sanalah aku diter-bangkan rajawali. Nah, sungai berada di sana dan gunung yang
puncaknya tinggi itulah tempat aku melayang.... ahhh, ti-dak salah lagi. Mari kita ke sana!"
Akan tetapi, kegirangan Bun Beng yang mengenal tempat itu harus ditebus mahal sekali
untuk menjadi kenyataan. Perjalanan amat sukar. Kadang-kadang mereka harus menuruni
jurang yang amat dalam, melalui perjalanan yang curam dan kadang-kadang mereka harus
menda-ki batu karang yang runcing tajam mengakibatkan luka-luka pada telapak tangan.
Sepatu mereka juga pecah-pecah. Malam itu terpaksa mereka harus berma-lam di antara
batu-batu karang gundul dan terpaksa melalui malam dingin seka-1i tanpa api unggun
karena di daerah di mana mereka bermalam itu tidak terda-pat sepotong pun kayu. Juga
perut mere-ka lapar bukan main, namun semangat mereka tetap tinggi. Kini Kwi Hong
me-maksa Bun Beng supaya tidur lebih dulu, akan tetapi betapa mendongkol dan me-nyesal
hati Bun Beng ketika dia terbangun, ternyata hari telah menjadi pagi dan dara itu "membalas
dendam" tidak mau membangunkannya dan berjaga se-malam suntuk. Ia mendongkol dan
juga terharu sekali. Mereka baru saja melaku-kan perjalanan yang melelahkan namun gadis
itu bersikeras berjaga semalam suntuk.
"Aihh, Kwi Hong. Mengapa kau begi-ni sungkan, sedangkan kita telah menja-di sahabat dan
mengalami kesukaran bersama?"
"Tidak akan puas hatiku kalau belum membalas. Aku paling tidak suka kalau merasa diri
tidak adil. Setelah memba-las, tentu saja hatiku lega dan lain kali kau harus tidak bersikap
mengalah dan sungkan pula seperti yang kaulakukan malam kemarin."
Mereka melanjutkan perjalanan. Ma-kin dekat tempat itu, makin yakinlah hati Bun Beng
bahwa dia tidak keliru. Lewat tengah hari, kedua orang muda ini mendaki tebing tinggi
menuju ke da-ratan di atas di mana dahulu para pemu-ja Sun-go-kong menyerahkan
keranjang-keranjang obat kepada burung-burung ra-jawali dari Pulau Neraka! Baru saja
mereka meloncat ke puncak yang datar itu, tiba-tiba menyambar banyak senjata rahasia
yang ternyata adalah batu-batu karang kecil dari depan. Dengan mudah keduanya mengelak
dan Bun Beng berte-riak.
"Harap Cu-wi tidak menyerang! Aku Gak Bun Beng!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
272 Dari balik semak-semak bermunculan delapan belas orang. Ketika mereka me-lihat Bun
Beng, orang-orang itu berteri-ak sambil lari menghampiri dan semua menjatuhkan diri
berlutut di depan kaki pemuda itu. "Ah, kiranya Gak-inkong yang datang! Kami bersyukur
sekali, In-kong. Kami melihat betapa In-kong diterbangkan burung rajawali dan mengira Gak-
inkong sudah tewas....!"
Bun Beng tersenyum lebar. "Memang nyaris aku tewas, syukur Tuhan belum menghendaki
demikian. Apakah Cu-wi baik-baik saja?"
"Terima kasih, In-kong. Semenjak pe-ristiwa dahulu itu, kami tidak lagi mengalami
gangguan, agaknya Dewa Sun-go-kong melindungi kami."
Mendengar ini, Bun Beng melirik ke-pada Kwi Hong dan gadis ini yang su-dah mendengar
tentang para pemuja Si-luman Kera itu tersenyum. Gadis ini sebagai murid Pendekar Super
Sakti, berhati polos dan jujur, maka tanpa ragu-ragu lagi ia berkata,
"Sun-go-kong hanyalah tokoh dalam dongeng See-yu, mengapa kalian me-nyembah dan
memujanya" Betapa bodoh-nya kalian ini orang-orang tua memuja tokoh dongeng kanak-
kanak!" Delapan belas orang yang kini sudah bangkit berdiri memandang kepada Kwi Hong dengan
alis berkerut tanda tidak senang hati. "Hemm, Nona yang masih muda...., kalau saja engkau
tidak datang bersama Gak-inkong dan menjadi sahabat-nya, tentu kami tidak membiarkan
kau berkata selancang itu. Semua dewa yang dipuja memang hanyalah tokoh dongeng.
Yang penting bukanlah tokoh dongeng-nya, melainkan hati si pemujanya! Gak-inkong,
apakah Nona ini sahabatmu" Ka-lau bukan, dia tidak kami perkenankan berada di sini!"
Bun Beng diam-diam merasa menye-sal mengapa Kwi Hong berlancang mu-lut, namun dia
pun tidak dapat menyalahkan dara itu yang memang suka bica-ra terang-terangan
menurutkan kata ha-tinya. "Dia sahabat baikku, harap Cu-wi suka memaafkannya."
Wajah delapan belas orang itu menja-di cerah kembali dan mereka sudah me-maafkan Kwi
Hong. Bahkan seorang di antara mereka, yang termuda, maju dan berkata sambil tertawa,
"Sahabat baik Gak-inkong" Ha-ha cocok sekali. Cantik jelita dan patut menjadi sisihan In-
kong yang tampan...."
"Plak! Aduh!" Orang itu terguling dan meraba pipinya yang sudah menjadi bengkak oleh
tamparan Kwi Hong. Ge-rakan tangan dara itu cepat bukan ma-in sehingga orang yang
ditamparnya hampir tidak tahu bahwa dia ditampar, disangkanya ada halilintar menyambar
pipinya! Teman-temannya menjadi ma-rah dan mereka sudah mengepal tinju, siap
mengeroyok Kwi Hong sungguhpun diam-diam mereka terheran-heran. Mere-ka telah
mempelajari Ilmu Sin-kauw-kun-hoat yang diberikan oleh Dewa Sun-go-kong kepada
mereka, dan ilmu silat ini mengutamakan kegesitan sehingga mere-ka semua adalah ahli-
ahli mengelak pu-kulan. Mengapa teman mereka tadi begi-tu mudah kena ditampar oleh
dara ini" "Tahan, Cu-wi sekalian! Nona ini ada-lah murid Pendekar Super Sakti, To-cu Pulau Es,
harap Cu-wi tidak menimbul-kan pertentangan!"
"Murid Pendekar Siluman....?" Terdengar seruan-seruan mereka dan semua orang
memandang dengan mata terbela-lak. Sebagai pejuang, tentu saja mereka sudah
mendengar nama Pendekar Silu-man yang dulu pernah menggegerkan musuh di Se-cuan
dan orang tertua dari mereka segera mengangkat tangan mem-beri hormat kepada Kwi
Hong sambil berkata,
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
273 "Mohon maaf, karena tidak menge-nal kami bersikap kurang hormat kepada Lihiap."
Kemudian ia menghadapi Bun Beng dan bertanya, "Setelah bertahun-tahun In-kong
meninggalkan kami, seka-rang In-kong datang dengan tiba-tiba, apakah yang dapat kami
lakukan untuk membantu In-kong dan Lihiap ini?"
Bun Beng tersenyum. "Terima kasih atas kebaikan Cu-wi sekalian. Aku da-tang hanya untuk
menengok dan teruta-ma sekali untuk mengambil sesuatu yang dahulu kusimpan di tempat
ini. Harap Cu-wi tidak repot dan aku bersama No-na ini akan mencari dan mengambil
sen-diri benda yang kusimpan itu."
Orang-orang itu saling pandang. Mereka tidak tahu benda apakah yang di-simpan oleh Bun
Beng di situ, akan te-tapi orang tertua dari mereka menjawab, "Silakan In-kong."
"Mari, Kwi Hong!" kata Bun Beng dengan sikap gembira. Nona itu pun me-rasa gembira dan


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hatinya tegang, me-lompat dan mengikuti Bun Beng mening-galkan tebing itu, berlari-lari ke
arah gunung di mana terdapat guha-guha ba-tu yang sebagian besar tertutup alang-alang
tinggi dan lebat.
Dengan hati berdebar Bun Beng mengajak gadis itu pergi ke daerah gu-ha ini yang jauh
juga dari tebing sehing-ga sekumpulan orang pemuja Sun-go-kong itu tidak tampak lagi,
kemudian dengan mudah ia mencari guha kecil yang ia tutup dengan tumpukan sehingga
sama sekali tidak kelihatan dari luar. Tanpa berkata sesuatu ia membongkar batu-batu itu,
dibantu oleh Kwi Hong yang juga menjadi tegang hatinya. Siapa yang tidak berdebar hatinya
kalau mengi-ngat bahwa Sepasang Pedang Iblis itu berada di belakang tumpukan batu"
Sepasang Pedang Iblis yang diperebutkan orang sedunia kang-ouw, bahkan yang di-cari-
cari tanpa hasil oleh pamannya!
Setelah tumpukan batu yang menu-tupi guha itu terbongkar semua, Bun Beng berseru
girang melihat bungkusan kain yang kuning dan kotor. Ia menge-nal itu, sehelai baju yang
dipakai mem-bungkus sepasang pedang. Baju itu sudah rusak dan kotor sekali, akan tetapi
dengan penuh gairah Bun Beng menariknya dan dengan kedua tangan gemetar ia membuka
bungkusan kain butut. Ternya-ta sepasang pedang itu masih utuh, seba-tang agak pendek,
sebatang lagi lebih panjang, akan tetapi bentuk gagang dan sarung pedangnya serupa. Ia
menyerah-kan yang pendek kepada Kwi Hong tan-pa bicara.
Bersama-sama mereka meneliti pedang itu dan membaca huruf-huruf kecil yang terukir di
dekat gagang. "Yang pendek ini adalah Li-mo-kiam (Pedang Iblis Betina)...." kata Kwi Hong setelah
membaca huruf-huruf di pedang-nya.
"Dan ini adalah Lam-mo-kiam (Pedang Iblis Jantan)...." kata Bun Beng.
"Tepat seperti yang diceritakan Pa-man, ini adalah sepasang...."
"Sepasang Pedang Iblis! Ha-ha-ha, harus diberikan kepadaku!"
Bun Beng dan Kwi Hong terkejut bukan main mendengar suara di belakang mereka itu.
Mereka cepat membalikkan tubuh dan ternyata yang tertawa dan bi-cara tadi adalah kakek
India bersorban bersama muridnya Si Siucai Sinting! Bun Beng maklum bahwa mereka
menghadapi bahaya besar dan dalam beberapa detik saja otaknya bekerja cepat, lalu ia
ber-bisik kepada Kwi Hong. "Kau bawa se-mua pedang ini, serahkan Pamanmu, bi-ar aku
menahan...."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
274 "Tidak...." Kwi Hong berbisik pula dan menolak pedang panjang yang diang-surkan
kepadanya, "kita pergunakan pe-dang ini untuk melawan bersama. Pula, kalau kita masing-
masing memegang sa-tu, pedang itu berpencar dan kalau terampas orang tidak keduanya."
"Ha-ha-ha-ha! Orang-orang muda, su-dah lama aku mencari Sepasang Pedang Iblis, dan
melihat gerak-gerikmu kema-rin, aku sudah curiga maka diam-diam kami membayangi
kalian. Siapa kira, benar saja kalian telah menemukan Sepa-sang Pedang Iblis, ha-ha-ha-
ha!" "Maharya!" Tiba-tiba Kwi Hong mem-bentak marah. "Seorang tua bangka ma-cam engkau
ini apakah tidak tahu pera-turan dunia kang-ouw" Dalam berlomba mencari pusaka, siapa
yang mendapat-kannya berarti sudah berjodoh! Kami su-dah mendapatkannya dan pusaka
ini adalah milik kami!"
"Ha-ha-ha, bocah perempuan sungguh tajam matamu, dapat mengenal aku! Akan tetapi
engkau tidak tahu riwayat Sepasang Pedang Iblis. Sepasang pedang itu adalah hak milikku.
Karena itu, su-dah semestinya kalian berikan kepada Maharya!" kakek India yang kini sudah
pandai bicara bahasa daerah itu berkata dengan lidah kaku.
"Sombong dan pembohong besar eng-kau! Sepasang Pedang Iblis ini adalah milik pribadi
Pendekar Wanita Sakti Mutiara Hitam yang menjadi pujaan Pa-manku, To-cu dari Pulau Es.
Kemudian pusaka-pusaka ini diwariskan kepada ke-dua muridnya, kemudian ditemukan oleh
Paman dan dikubur bersama jenazah ke-dua murid Mutiara Hitam. Setelah itu lenyap dan
akhirnya kami yang menemu-kannya kembali. Bagaimana kau berani bilang menjadi
milikmu" Tak tahu malu!"
Sasterawan sinting itu meloncat ke depan. "Ah, dia ini keponakan Suma Han si jahanam
keparat" Guru, kita tangkap dia dan siksa sampai mati, biar terasa oleh Suma Han siluman
keparat itu!"
Kwi Hong mendelik saking marahnya dan telunjuk kirinya menuding ke arah sasterawan itu.
"Engkau Tan Ki orang gila! Paman sudah menceritakan kepada-ku tentang engkau!
Tunanganmu, Lu Soan Li tewas dalam perjuangan sebagai se-orang wanita pendekar yang
gagah per-kasa, akan tetapi engkau ini manusia gila telah menyalahkan Paman, bahkan
menjadi murid kakek iblis ini membunuh Kakek Nayakavhira dan mencuri pedang Hok-mo-
kiam. Sekarang harus kaukemba-likan pedang pusaka itu atau kau akan mampus di
tanganku!"
"Ha-ha-ha! Bocah ini sombong sekali! Eh, bocah yang manis dan galak, engkau tidak tahu.
Biarpun Sepasang Pedang Iblis itu dibuat atas perintah Mutiara Hitam, akan tetapi
pembuatnya adalah Kakekku Mahendra, maka akulah yang berhak memilikinya. Lebih baik
kalian berikan sepasang pedang itu dan aku akan dapat membujuk muridku untuk
membebaskan kalian berdua."
"Singggg!"
"Sratttt!"
Tampak dua sinar berkilat ketika Bun Beng dan Kwi Hong mencabut pe-dang masig-
masing. Sinar ini amat terang sehingga mengejutkan Bun Beng dan Kwi Hong sendiri.
Maharya terbelalak kagum dan tertawa lebar saking girangnya. "Sa-dhu! Sepasang Pedang
Iblis yang mulia!" Ia berkata, kemudian menoleh kepada mu-ridnya, "Pergunakan Hok-mo-
kiam, mari kita rampas sepasang pedang ini!" Ia sendiri sudah memakai sarung tangan
emas dan mengeluarkan senjata hidup-nya, yaitu ular putih yang berbahaya.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
275 "Kwi Hong, kauhadapi Siucai gila itu dan coba rampas pedangnya, biar aku menghalau
kakek iblis ini!" kata Bun Beng dan tanpa menanti jawaban ia sudah menerjang maju,
menyerang Maharya dengan Lam-mo-kiam yang mengeluarkan sinar seperti kilat
me-nyambar. Maharya terkejut dan cepat meloncat ke belakang tidak berani sem-barangan
menangkis karena ia maklum bahwa pedang buatan kakeknya itu be-nar-benar merupakan
sebatang pedang yang amat ampuh. Bun Beng tidak memberi hati, meloncat ke depan dan
mela-kukan serangan bertubi-tubi. Dia harus dapat menahan kakek ini untuk memberi
kesempatan kepada Kwi Hong mengha-dapi Tan-siucai yang lebih lemah diban-dingkan
dengan gurunya yang sakti ini.
Sementara itu, Tan-siucai sudah men-cabut Hok-mo-kiam dan tampak sinar kilat yang lebih
terang daripada sinar Sepasang Pedang Iblis, akan tetapi tidak mendatangkan wibawa yang
mendirikan bulu roma seperti sepasang pedang itu yang telah menghisap darah entah
bera-pa ribu manusia. Kwi Hong cepat me-nerjang maju dengan Li-mo-kiam di ta-ngan,
melakukan tusukan dan girang se-kali ketika merasa betapa pedang itu seolah-olah
menambah tenaga pada ta-ngannya, begitu ringan dan seperti te-lah mendahului jurus yang
ia mainkan untuk menyerang, seperti mempunyai nyawa dan terbang sendiri menuju ke arah
lawan! Benar-benar sebatang pedang yang amat luar biasa!
"Cringggg....!" Bunga api berpijar me-nyilaukan mata ketika Li-mo-kiam bertemu dengan
Hok-mo-kiam dan Kwi Hong terkejut karena merasa betapa pedang-nya tergetar, seolah-
olah menggigil dan takut setelah bertemu dengan pedang la-wan. Padahal dia merasa
bahwa dia ma-sih menang tenaga menghadapi Tan-siu-cai. Maka ia menjadi waspada dan
teri-ngat bahwa pamannya dan mendiang Ka-kek Nayakavhira memang sengaja
men-ciptakan Hok-mo-kiam untuk mengha-dapi dan melawan Sepasang Pedang Iblis! Di lain
pihak, Tan-siucai terkejut sekali. Pedangnya hampir terlepas dari ta-ngannya ketika beradu
dengan pedang la-wan, lengannya tergetar dan ia maklum bahwa ia harus berhati-hati sekali
meng-hadapi keponakan Pendekar Siluman yang memiliki sin-kang amat kuat itu.
Setelah kini bertanding satu lawan satu dengan Kakek Maharya, Bun Beng harus mengaku
dalam hati bahwa ting-kat kepandaiannya masih belum cukup untuk menandingi lawan yang
sakti ini. Pantas saja kakek ini dahulu berani meng-hadapi Pendekar Siluman, kiranya
memang memiliki gerakan aneh dan setiap gerakan tangannya mengandung hawa yang
panas dan di balik hawa panas ini masih ada pengaruh mujijat yang membuat bu-lu tengkuk
meremang seperti bukan ma-nusia yang ia lawan, melainkan iblis sen-diri. Bau harum aneh
memuakkan yang keluar dari tubuh kakek tinggi kurus itu benar-benar membuat pikiran
menjadi kacau. Untung bahwa sekali ini Bun Beng bersenjatakan Lam-mo-kiam yang juga
memiliki wibawa amat mujijat seolah-olah dalam pedang itu ada penghuninya sehingga
pengaruh pedang iblis ini sedikit banyak dapat mengimbangi pengaruh ka-kek India. Kalau
dia tidak memegang senjata ampuh ini, agaknya dia tidak akan mampu melawan sampai
lama menghadapi kakek yang selain mahir il-mu silat aneh juga mahir ilmu sihir itu. Bun
Beng mainkan jurus-jurus ilmu pedang Siauw-lim-pai, mengerahkan se-luruh tenaga dan
mainkan jurus-jurus pilihan yang jarang tandingnya, namun ka-kek itu selalu dapat mengelak
dan me-nangkis dari samping dengan tangan kiri yang bersarung emas, sedangkan ular
putih yang berbahaya itu menyambar-nyambar hendak menggigit, bahkan me-nyemburkan
uap putih dengan suara men-desis-desis. Karena maklum bahwa sem-buran uap putih itu
berbisa, Bun Beng kadang-kadang menahan napas dan mendorong dengan tangan kiri
mengguna-kan hawa sin-kang untuk mengusir uap putih. Pertandingan berlangsung makin
seru dan mati-matian. Bun Beng melihat mulut kakek itu berkemak-kemik, kemu-dian
terdengar suara kakek itu tertawa bergelak. Ia terkejut bukan main, mera-sa betapa suara
ketawa itu seolah-olah terdengar dari belakang punggungnya dan mendatangkan rasa dingin
seperti es memasuki tulang punggung. Ia mengerah-kan sin-kang untuk menahan perasaan
itu, dan ketika ia memecah tenaganya, kakek itu mendesak dengan serangan kedua
tangannya. Ia menjadi sibuk dan tiba-tiba ketika kakek itu kembali terta-wa, ia terdorong oleh
rasa yang amat kuat untuk ikut tertawa! Bun Beng yang cerdik masih ingat bahwa kakek ini
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
276 mempergunakan sihir, maka ia melawan sekuat tenaga namun tetap saja mulut-nya
tersenyum! Mendadak sekali, suara ketawa kakek itu berubah menjadi tangis dan Bun Beng merasa
jantungnya seperti disayat-sayat, perasaan terharu meliputi seluruh hatinya dan betapapun
ia bertahan kuat-kuat, dua titik air mata jatuh ke atas pipinya. Ia makin kaget dan diam-diam
berseru "celaka!" Maklum dia bahwa dia tidak akan menang menghadapi kakek ini dan
biarpun dengan pedang Lam-mo-kiam ia akan dapat mempertahankan di-ri sampai lama,
namun akhirnya ia akan kalah juga. Ia amat khawatir, bukan mengkhawatirkan dirinya
melainkan mengkhawatirkan diri Kwi Hong.
"Kwi Hong....!" Ia berteriak, terengah-engah dan cepat membabat ke arah ular yang sudah
mengancam leher. Ular itu ditarik kembali dan kini tangan yang bersarung emas itu
mencengkeram ke arah pusarnya.
"Cringgg!" Pedangnya menangkis dan kakek Maharya berteriak kaget karena tangannya
yang terlindung sarung tangan itu terasa panas.
"Kwi Hong, larilah cepat! Beri tahu Pamanmu....!" Bun Beng berteriak dan memutar
pedangnya melindungi tubuh se-cepatnya. Ia mengerahkan kekuatan ba-tinnya untuk
menulikan telinga terhadap suara yang keluar dari mulut Maharya, akan tetapi tidak mungkin
ia menutup matanya sehingga kadang-kadang sinar matanya bersilang dengan sinar mata
Ma-harya yang seolah-olah mengeluarkan api bernyala-nyala!
Kwi Hong mendengar teriakan Bun Beng, akan tetapi dia sama sekali tidak mau peduli.
Mana mugkin dia melarikan diri" Dia sedang mendesak Tan-siucai yang biarpun memegang
Hok-mo-kiam, namun tingkat ilmu silatnya masih kalah jauh olehnya. Kalau Sasterawan
sinting itu tidak memegang Hok-mo-kiam, tentu sudah sejak tadi mampus di ujung Li-mo-
kiam. Apalagi ketika gadis ini me-ngerling dengan sudut matanya dan me-lihat betapa Bun
Beng terdesak hebat oleh Maharya, dia makin tidak mau me-larikan diri. Dia harus
merobohkan Tan-siucai agar dapat membantu Bun Beng mengeroyok kakek yang sakti itu.
Dia harus merampas Hok-mo-kiam dan hal ini amat penting, tidak kalah pentingnya dengan
mempertahankan Sepasang Pedang Iblis, bahkan lebih penting daripada kese-lamatan Bun
Beng yang terancam oleh kakek iblis yang sakti. Maka ia terus mendesak Tan-siucai yang
kini memutar pedang Hok-mo-kiam sehingga berubah menjadi gulungan sinar kilat yang
menyelimuti tubuhnya, membuat Kwi Hong agak sukar untuk menembusnya.
Tiba-tiba Tan-siucai tertawa aneh dan terdengar suaranya, "Ha-ha-hi-hi, Nona manis,
engkau melawan siapa" Aku su-dah lenyap, bayanganku tidak tampak olehmu, siapa yang
kaulawan" Apakah kau gila?"
Kwi Hong terkejut bukan main kare-na benar-benar bayangan lawannya itu le-nyap dan
tidak tampak olehnya. Yang tampak hanya gulungan sinar pedang Hok-mo-kiam yang terang
seperti caha-ya sinar matahari. Hampir saja sinar pedang mengenai lehernya kalau ia tidak
cepat-cepat menjatuhkan diri karena dalam keadaan kaget dan bingung men-cari musuhnya
tadi ia bersikap lengah. Terdengar suara tertawa Tan-siucai dan sukar bagi Kwi Hong untuk
menentukan dari mana datangnya suara tertawa ini karena bayangan orangnya tidak
kelihat-an. Ia teringat bahwa sebagai murid ka-kek sakti ahli sihir itu Tan-siucai pan-dai pula
main sihir, maka ia mengerah-kan sin-kang sekuatnya, sin-kang yang di-latihnya di Pulau Es
sehingga ia dapat menggabungkan hawa Im dan Yang di tu-buh, menguatkan hatinya dan
kini tam-paklah olehnya bahwa Tan-siucai masih berada di tempatnya yang tadi, memutar
pedang dan mendesaknya.
"Cring-trang-trang.... aihhh....!" Tan-siucai terkejut dan untung ia masih da-pat menangkis
sambil terhuyung ke bela-kang. Ia maklum bahwa gadis itu dapat melihatnya, maka ia
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
277 mengerahkan seluruh ilmu sihirnya sehingga kini bayangannya kadang-kadang lenyap,
kadang-kadang tampak oleh Kwi Hong. Hal ini membu-at Kwi Hong terdesak hebat dan
timbul rasa gentar di hatinya. Yang dilawannya memiliki ilmu setan, bagaimana ia da-pat
melawan orang yang pandai menghi-lang" Sedikit saja ia mengurangi penge-rahan sin-
kangnya, bayangan lawan lenyap. Terpaksa ia membagi tenaganya, sebagian untuk
melawan pengaruh sihir sehingga kadang-kadang ia dapat melihat bayangan lawan, kadang-
kadang tidak. "Kwi Hong, larilah cepat.... laporkan Pamanmu....!" Kembali ia mendengar te-riakan Bun
Beng. "Ha-ha-ha, heh-heh, benar sekali. Kalau kau sudah mati nanti, terbangkan rohmu kepada Si
Keparat Suma Han, suruh dia ke sini menerima kematian, ha-ha!"
"Iblis busuk!" Kwi Hong menyerang cepat sekali ketika ia dapat melihat bayangan Tan Ki
yang tertawa-tawa. Siucai itu cepat menangkis, akan tetapi Kwi Hong hanya melakukan
serangan tusukan sebagai pancingan saja, karena cepat sekali kakinya menendang.
"Desss! Aduhhh.... keparat!" Tan-siucai terkena tendangan di samping pinggulnya dan
terlempar ke belakang. Kwi Hong cepat mengejar, akan tetapi kare-na tendangan itu tidak
tepat kenanya dan hanya melemparkan tubuh Tan-siucai dan mengagetkan saja, maka Tan-
siucai sudah dapat memutar pedang melindungi tubuhnya sambil meloncat bangun.
"Siapa yang kau serang" Aku lenyap sama sekali dari penglihatanmu!" Ucap-an ini berulang
kali diucapkan Tan-siucai dengan suara menggetar dan kembali Kwi Hong kadang-kadang
kehilangan ba-yangan lawan, membuat ia terdesak lagi.
"Kwi Hong.... larilah.... lekas....!" Bun Beng yang sudah pening oleh pengaruh sihir Maharya,
berteriak sekuat tenaga. Ia mengandalkan ilmu pedang Siauw-lim-pai, mainkan bagian yang
bertahan se-hingga tubuhnya terlindung gulungan si-nar pedang kilat. Dia dapat menahan
serangan ular dan tangan bersarung emas, akan tetapi tekanan kekuatan mu-jijat dari sihir
Maharya benar-benar membuat dia pening dan hanya dengan kebulatan tekadnya dan
kemauannya saja untuk mempertahankan diri, pedang Lam-mo-kiam dan terutama
melindungi Kwi Hong maka ia masih dapat berta-han.
Tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk dan delapan belas orang pemuja Sun-go-kong yang
mendengar pertempuran dan teriakan-teriakan Bun Beng kini telah berada di situ. Tanpa
diminta dan tanpa komando, delapan belas orang ini sudah menerjang maju membantu Bun
Beng dan Kwi Hong!
Akan tetapi, begitu sebagian besar mereka mengeroyok Maharya, kakek itu mengeluarkan
gerengan keras yang meng-getarkan seluruh urat syaraf, dan terdengarlah teriakan-teriakan
mengerikan dan lima orang sudah roboh susul-menyusul terkena hantaman tangan kiri
bersarung emas sehingga pecah kepalanya dan se-bagian terkena gigitan ular putih di
ta-ngan kanan kakek itu! Mereka yang mengeroyok Tan-siucai juga mengalami hal yang
menyedihkan. Mereka menyer-bu, tidak tahu akan keampuhan sinar pedang Hok-mo-kiam
sehingga begitu kena disambar sinar ini, tiga orang ro-boh dan tewas seketika! Delapan
belas orang maju dan dalam sekejap mata sa-ja delapan orang dari mereka tewas! Sisanya,
yang sepuluh orang, menjadi ka-get, berduka dan marah bukan main menyaksikan teman-
teman mereka tewas sedemikian mudahnya, maka dengan ne-kat mereka maju untuk
membalas den-dam atau untuk tewas sekalian.
"Cu-wi, mundur....!" Bun Beng mence-gah, akan tetapi sia-sia, mereka malah makin nekat.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
278 "Ha-ha-ha, kalian yang sudah keha-bisa tenaga dan setengah lumpuh, mau melawanku?"
Maharya berteriak.
"Jangan dengarkan!" Bun Beng yang melihat kakek itu membuka mulut lebar
memperingatkan, namun terlambat. Sepu-luh orang itu tiba-tiba merasa kedua kaki mereka
lemas tak bertenaga dan pa-da saat itu, menyambarlah sinar-sinar hitam dari tangan Tan-
siucai dan Mahar-ya. Itulah jarum-jarum hitam beracun dan tentu saja sepuluh orang yang
sudah terpengaruh sihir itu tidak mampu mengelak lagi. Mereka mengeluh dan roboh
dengan muka berubah menghitam dan nyawa melayang menyusul delapan orang teman
mereka. Dalam sekejap mata sa-ja, seluruh pemuja Sun-go-kong, bekas pejuang yang gigih
tewas di tangan Ma-harya dan Tan-siucai dengan amat mudah dan secara sia-sia!
"Kakek iblis yang kejam!" Bun Beng berteriak marah, dan tiba-tiba permain-an pedangnya
berubah, ia telah mainkan ilmu rahasia yang dipelajarinya dari Kitab Sam-po-cin-keng, dan
ternyata aki-batnya hebat sekali. Maharya berteriak kaget, berusaha menangkis dengan
tangan kirinya karena lingkaran-lingkaran aneh yang dibuat oleh sinar pedang Bun Beng
membuat dia menjadi bingung.
"Brettt....! Ihhh!" Kakek Maharya mencelat mundur, wajahnya sebentar pucat sebentar
merah, kemarahannya memuncak ketika ia melihat betapa sarung tangannya terobek sedikit
dan tela-pak tangannya berdarah!
"Lihat api....!" Kakek itu membentak.
Karena girang melihat hasil serangannya, Bun Beng menjadi lengah sehingga ia mendengar
suara ini, melihat pula be-tapa kakek itu menggerakkan tangan kiri sambil mendorong ke
arahnya dan.... ia melihat pula api berkobar meluncur ke arah tubuhnya. Bun Beng terkejut


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan cepat mengelak, akan tetapi bola api itu terus mengejarnya dari atas, Bun Beng cepat
memutar pedangnya dan pada sa-at ia sibuk melawan bola api yang se-perti hidup itu, tiba-
tiba tangan bersa-rung emas telah menghantam punggung-nya dengan sebuah tamparan
keras. "Plakkk!" Bun Beng berseru kaget dan tubuhnya terguling-guling, napasnya seperti
tersumbat. Sadarlah dia bahwa kembali dia menjadi korban sihir, dan bo-la api itu sebetulnya
tidak ada maka dia sampai kena dipukul. Dengan marah ia melompat bangun dan jurus
pertahan-an dari Sam-po-cin-keng telah menutup tubuhnya sehingga Maharya tidak dapat
menyusulkan serangan maut kepada la-wan yang telah terluka itu.
"Kwi Hong.... lari....!" teriakan Bun Beng sekali ini terdengar lirih karena dadanya sesak dan
napasnya terengah. Kwi Hong terkejut sekali, menoleh dan melihat betapa pemuda itu makin
terde-sak hebat. Ia marah bukan main karena belum juga mampu mengalahkan Tan-siucai.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa nya-ring dari atas disusul menyambarnya bayangan hitam
yang besar. Bunyi kele-pak sayap bercampur dengan pekik me-lengking dan tertawa nyaring
memenuhi udara ketika bayangan hitam itu me-nyambar ke arah Bun Beng dan Maharya
yang sedang bertempur. Sinar putih pan-jang dua buah, seperti dua ekor ular putih yang
amat panjang, menyambar ke arah tangan Bun Beng sedangkan paruh besar burung
rajawali menyambar ke arah tangan Maharya yang memegang ular putih.
Bun Beng berteriak kaget ketika tiba-tiba tangan kanannya menjadi lemas ter-kena totokan
sinar putih dan selagi dia belum sempat mengembalikan tenaga un-tuk memegang gagang
pedang erat-erat, Pedang Lam-mo-kiam telah terlibat tali putih dan terlepas dari tangannya.
Ju-ga Maharya berseru keras ketika tiba-tiba ia diserang oleh pukulan sayap dan selagi ia
mengelak, ular putih telah ter-lempar dari tangannya. Dua orang yang sedang bertanding ini
melompat mundur, memandang ke atas dan tampaklah oleh mereka seorang pemuda
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
279 tampan menung-gang seekor rajawali raksasa sedang ter-tawa-tawa memegangi pedang
Lam-mo-kiam di tangan kanan dan ular putih yang dirampas rajawali di tangan kiri!
"Iblis cilik dari Pulau Neraka!" Bun Beng memaki. "Kembalikan pedangku!"
Pemuda di atas punggung rajawali itu hanya tertawa mengejek dan pada saat itu, segumpal
asap hitam yang dilepas oleh Maharya secara diam-diam menye-rang muka Bun Beng.
Pemuda ini gelagap-an, menyedot asap hitam dan seketika kepalanya pening, pandang
matanya ge-lap dan ia terhuyung-huyung.
"Desss!" Kembali punggungnya dihan-tam tangan kiri Maharya dan ia roboh terguling.
Namun ia masih sempat berte-riak, "Kwi Hong, lari....!" Kemudian ia merangkak bangun
duduk bersila meme-jamkan mata dan berusaha mengusir pe-ngaruh asap beracun yang
membuatnya pening dan lemas, apalagi punggungnya yang telah dua kali dihantam oleh
tangan kiri Maharya yang lihai membuat napas-nya sesak.
Maharya yang tadinya menyangka bahwa pemuda di punggung rajawali yang datang itu
mungkin akan mengeroyok-nya, telah merobohkan Bun Beng lebih dulu, kemudian kini ia
mengacungkan tangannya ke atas. "Bocah setan, tak peduli engkau dari Pulau Neraka,
turunlah sebelum engkau dan rajawalimu mampus di tangan Pendeta Sakti Maharya!"
Pemuda itu bukan lain adalah Wan Keng In, putera To-cu Pulau Neraka. Ia tertawa dan
memainkan ular putih di tangan kirinya. "Heh-heh, setan tua. Ular putihmu ini baik sekali,
tentu kdu dapat-kan di Himalaya, bukan?"
Diam-diam Maharya terkejut juga. Ular putihnya itu adalah seekor binatang yang racunnya
ampuh sekali. Jarang ada orang sakti yang akan mampu menahan racun binatang itu dan
sudah bertahun-tahun ia memelihara dan melatihnya se-hingga ular itu akan menjadi ganas
kalau dipegang orang lain. Mengapa kini di tangan pemuda itu, ularnya menjadi ji-nak
sekali" Namun tidak peduli anak se-tan dari mana pemuda itu, dia harus merampas kembali
Pedang Lam-mo-kiam dan ular putih. Ia menggerakkan tangan-nya dan sinar hitam
menyambar ke arah burung rajawali yang terbang rendah.
Pemuda itu memutar pedang Lam-mo-kiam dan burung rajawali mengibas-kan sayapnya,
namun tetap saja ada sebatang jarum mengenai kaki burung itu sehingga burung itu
memekik keras dan terhuyung.
"Crakk!" Pedang Lam-mo-kiam berge-rak dan kaki burung yang terkena jarum hitam itu
telah dibuntungi penunggang-nya!
"Setan tua itu membikin kakimu pu-tus, hek-tiauw (rajawali hitam), hayo ki-ta bunuh dia!"
Pemuda itu berseru dan rajawali itu sudah menyambar turun de-ngan penuh kemarahan.
Disambar oleh cakar dan paruh, dihantam oleh sayap yang besar ditambah lagi serangan
pe-dang Lam-mo-kiam dan ular putihnya sendiri benar-benar Maharya menjadi ka-get bukan
main. Ia menggulingkan tubuh-nya ke atas tanah dan hanya dengan ja-lan bergulingan ini ia
terbebas dari baha-ya maut.
Sementara itu, ketika Kwi Hong me-lihat penunggang burung rajawali, muka-nya berubah
dan ia merasa gelisah seka-li. Tentu saja dia mengenal Wan Keng In dan maklum bahwa
pemuda Pulau Ne-raka itu merupakan musuh besar, sehing-ga tentu akan menambah
lawannya. Sa-at itu ia melihat Bun Beng terguling dan mendengar pesan terakhir pemuda
itu. Tidak baik melawan terus, pikirnya. Me-lawan berarti akan kalah dan pedang Li-mo-kiam
akan terampas pula. Apa arti-nya melawan kalau tidak akan dapat menolong Bun Beng dan
merampas kembali Pedang Lam-mo-kiam dan Pedang Hok-mo-kiam" Lebih baik seperti
yang diminta Bun Beng, melarikan diri selagi ada ke-sempatan, kemudian melapor kepada
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
280 pamannya karena kalau bukan pamannya sendiri yang turun tangan, bagaimana mungkin
pedang-pedang itu dapat diram-pas kembali" Alisnya berkerut dan hati-nya terasa sakit
sekali ketika mengerling ke arah Bun Beng yang terpaksa ha-rus ia tinggalkan. Ia berseru
keras, pe-dangnya menyerang ganas sehingga Tan-siucai kaget dan meloncat mundur.
Ke-tika ia memandang ke depan, gadis la-wannya itu telah meloncat-loncat jauh dan
melarikan diri, akan tetapi tiba-tiba ia mendengar gurunya berteriak,
"Tan Ki.... bantu aku....!"
Ia menengok dan terkejut sekali me-lihat pemuda yang menunggang burung rajawali itu
sambil terkekeh-kekeh me-nyerang gurunya dari atas, menyambari gurunya seperti seekor
burung memper-mainkan tikus! Ia menjadi marah dan ma-ju menyerang dengan pedangnya
ketika pemuda di atas punggung rajawali itu kembali turun menyambar.
"Tranggg....! Bukk!" Pemuda di atas punggung rajawali itu berseru kaget dan rajawalinya
memekik kesakitan dan terbang tinggi. Pemuda itu kaget karena
Duri Bunga Ju 8 Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Golok Halilintar 7
^