Pencarian

Sepasang Pedang Iblis 15

Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 15


bun Lo-mo terengah-
engah, akan tetapi masih tersenyum lebar.
"Wuuuttt!" Senjata bulan sabit di ta-ngan Maharya menyambar dan cepat sekali Bu-tek
Siauw-jin menggulingkan diri mengelak lalu melanjutkan pembicaraannya dengan Kwi-bun
Lo-mo yang sudah menggeletak dengan napas empas-empis.
"Wah, kau licik, mau pergi dulu, membiarkan aku Si Tua Bangka melan-jutkan hukuman di
dunia, ya?"
"Heh-heh, Ji-suheng. Kau.... kau pe-san apa....?"
"Pesan tempat! Kaupesankan untukku satu tempat yang baik, ya?" Kembali Bu-tek Siauw-jin
mengelak dan balas dengan sodokan tangan ke arah perut Maharya yang membuat
Maharya cepat meloncat ke belakang.
"Di dalam neraka, mana ada tempat yang baik" Heh-heh.... akan kupesankan untukmu, Ji-
suheng.... dekat aku...., heh-heh...." Dan terputuslah kata-kata kakek muka kuning yang
jenaka itu, berbareng dengan nyawanya yang melayang.
"Aihhhh.... Sam-sute, jangan lupa lho....!" Pada saat itu, Maharya sudah menerjang lagi,
marah bukan main meli-hat betapa lawannya melayaninya sam-bil omong-omong seenaknya
dengan orang lain yang mau mati!
"Siuuuutttt.... wessss....!" Senjatanya menyambar dan tiba-tiba tubuh pendek itu lenyap dan
ketika ia berdongak, dari atas menyambar sebuah benda hitam yang segera meledak ketika
menyentuh tanah di dekat Maharya! Maharya sudah cepat meloncat, akan tetapi betisnya
masih terkena api yang panas sekali, membuat dia makin marah. Akan tetapi, sambil
tertawa-tawa Bu-tek Siauw-jin sudah menaburi jenazah Kwi-bun Lo-mo dengan obat bubuk
putih, kemudian me-ledakkan senjata rahasia dan.... jenazah itu terbakar, menyala-nyala
tinggi sehingga terciumlah bau sangit yang me-menuhi tempat pertandingan itu.
"Sucouw, mari kita pergi saja!" Pe-muda tampan itu kini sudah berada de-kat suhunya yang
masih dikeroyok dua.
"Aihhhh! Orang baru enak-enak ber-canda, kauganggu saja!" Kakek telanjang itu
mengomel. Akan tetapi pemuda itu yang bukan lain adalah Wan Keng In, pu-tera Majikan
Pulau Neraka yang menja-di muridnya, telah menyambar tangan-nya kemudian mengajak
suhunya melom-pat jauh. Nirahai dan Bhong Ji Kun hen-dak mengejar, akan tetapi tiba-tiba
pemuda itu melemparkan sesuatu ke atas tanah dan.... asap hitam membu-bung tinggi,
membentuk tirai yang ge-lap dan mengeluarkan bau yang memuak-kan, terpaksa Nirahai
dan Bhong Ji Kun mundur lagi.
"Wah-wah, keringat kalian bau seka-li! Aku tidak tahan lagi....!" Tiba-tiba Bu-tek Siauw-jin
berkata dan dia pun meloncat meninggalkan Maharya dan Thian Tok Lama yang sudah
mulai me-ngeroyoknya. Dia ini pun melemparkan benda hitam yang mengeluarkan asap
hi-tam tebal dan sebentar saja menghilang. Di sepanjang jalan ke arah perginya tiga orang
manusia aneh dari Pulau Neraka itu, para perajurit yang mencoba menghalang roboh
terpelanting ke kanan kiri dalam keadaan tidak bernyawa lagi!
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
394 Nirahai tertegun, dan diam-diam dia harus mengakui bahwa tokoh-tokoh Pu-lau Neraka
merupakan lawan berat. Dia kini baru sadar bahwa anak buahnya ma-sih bertanding
melawan para perajurit pemerintah, bahkan kini Thian Tok La-ma, Maharya dan Bhong Ji
Kun sudah mengurungnya dengan sikap mengancam.
"Bhong-koksu, hentikan pertempuran ini!" katanya kepada Bhong Ji Kun.
"Hemm, Thian-liong-pang sudah bera-ni memberontak, akan kami hancurkan!" jawab Bhong
Ji Kun sambil menyerang, diikuti oleh Maharya dan Thian Tok La-ma.
"Bhong Ji Kun, aku mau bicara, ma-ri ikut ke atas!" Tubuh Nirahai mela-yang ke atas
gubuknya. Bhong Ji Kun merasa heran dan meloncat pula mengejar.
"Kalian jangan ikut!" Nirahai mem-bentak ke bawah ketika melihat Mahar-ya dan Thian Tok
Lama hendak meloncat naik pula. "Apakah kalian tidak percaya kepadaku!"
Bhong Ji Kun berkata ke bawah, "Ja-ngan naik, biarkan aku bicara dengan Thian-liong-
pangcu!" Ia lalu mengikuti masuk ke dalam gubuk itu.
Nirahai menghadapi Bhong-koksu, sambil menarik kerudungnya terbuka. "Bhong-koksu lihat
siapa aku!"
Bukan main kagetnya Bhong Ji Kun ketika ia melihat wajah yang cantik je-lita dan agung
berwibawa itu. Cepat ia menjura sambil berkata, "Kiranya Paduka Puteri Nirahai yang
menjadi Ketua Thian-liong-pang."
Nirahai memasangkan kerudungnya kembali. "Jangan beritahukan kepada orang lain.
Tahukah engkau bahwa aku tidak ingin memusuhi pasukan ayahku sendiri" Aku sedang
hendak menguasai dunia kang-ouw agar tidak terjadi lagi pemberontakan! Kau sudah
menyaksikan sendiri kelihaian orang-orang Pulau Ne-raka, dan tanpa kerja sama mana
mungkin kau akan menumpas atau menguasai mereka" Lekas perintahkan pasukanmu
mundur!" Maharya dan Thian Tok Lama yang menanti di bawah, sudah siap untuk me-loncat naik dan
membantu kalau koksu terancam bahaya. Akan tetapi, alangkah heran hati mereka ketika
melihat koksu muncul lagi, lalu berseru dari atas,
"Semua pasukan! Hentikan pertempur-an dan mundur!"
Juga Nirahai muncul dan melengking nyaring. "Wi Siang, hentikan pertempur-an!"
Teriakan-teriakan ini amat nyaring sehingga terdengar oleh semua orang yang bertanding,
dan seketika mereka masing-masing kedua pihak mundur dan menghentikan pertandingan.
Milana yang maklum bahwa ibunya tentu tidak meng-hendaki pertempuran melawan
pasukan Kaisar, kakeknya sendiri, segera memim-pin orang-orangnye mundur dan
mengeli-lingi gubuk. Adapun Bhong Ji Kun lalu melompat turun memerintahkan sisa
panglima untuk menarik semua pasukan dan dia sendiri memandang ke atas, ke-pada
wanita berkerudung, menjura dan berkata,
"Thian-liong-pangcu! Thian-liong-pang bukan musuh kami, bukan pula pembe-rontak, maka
kami mohon diri!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
395 Nirahai mengangkat tangan melam-bai dan pergilah pasukan itu membawa yang terluka
dan meninggalkan yang te-was. Nirahai lalu mengajak anak buahnya pergi pula dari tempat
itu. "Kiang-lopek, ke sinilah, kuobati luka-mu!" kata Nirahai setelah melompat tu-run dan melihat
betapa lengan kiri Kiang Bok Sam, seorang tokoh Thian-liong-pang yang bertubuh tinggi
besar seperti raksa-sa, telah buntung. Raksasa ini dalam pertempuran tadi, menghadapi
pula Wan Keng In dan lengan kirinya kena disam-bar Lam-mo-kiam sehingga buntung.
Namun dia masih terus mengamuk mela-wan pasukan pemerintah!
"Hemm, engkau seorang yang gagah dan setia, Kiang-lopek." Nirahai memuji sambil
menaruh bubuk obat dan memba-lut lengan yang buntung itu. "Jangan khawatir, buntungnya
lengan kirimu tidak akan mengurangi kegagahanmu. Aku sen-diri akan menurunkan ilmu
kepadamu."
Maka pergilah rombongan Thian-liong-pang itu, dan setelah tiba di pusat me-reka, benar
saja Nirahai mengajarkan il-mu silat tinggi yang membuat Kiang Bok Sam menjadi seorang
yang lebih lihai daripada sebelum lengannya bun-tung, bahkan ilmu tongkat dengan satu
tangan yang diajarkan Nirahai membuat dia lebih lihai daripada Sai-cu Lo-mo sendiri!
Mungkin hanya Tang Wi Siang saja yang masih dapat menandinginya, dan tentu saja dia
masih kalah tingkat kalau dibandingkan dengan Milana.
Padang tandus yang gersang itu ki-ni berubah sunyi mengerikan. Di seke-liling pondok yang
tinggi itu berserakan mayat-mayat manusia, dan tanah yang kering itu kini basah, bukan oleh
air, melainkan oleh darah manusia!
Menjelang senja, seorang penunggang kuda menjalankan kudanya perlahan me-masuki
padang tandus itu. Orang ini ada-lah Gak Bun Beng. Dia terpaksa berdiam di dalam hutan
dan bersamadhi, mengobati luka di dalam dadanya akibat pukulan maut terakhir dari Thai Li
Lama. Setelah merasa bahwa bahaya telah lewat dan dadanya tidak begitu sesak lagi, Bun
Beng bangkit. Hari telah menjadi sore dan tiba-tiba dia melihat beberapa ekor kuda tanpa
penunggang berlari ke dalam hutan seperti ketakutan. Cepat ia menyambar kendali seekor
yang terseret, dan dengan ringan dia meloncat ke atas punggung kuda itu. Kuda itu
meringkik dan berjingkrak ketakutan, akan tetapi setelah mendapat kenyataan bahwa yang
menungganginya tidak mengganggunya, dia menjadi jinak, keempat kakinya menggigil dan
tubuhnya lemas.
"Hemm, agaknya terjadi sesuatu yang hebat di tempat pertemuan di bawah sana. Kuda
yang patut dikasihani, engkau tentu telah menyaksikan hal-hal yang menakutkan.
Tenanglah, dan bahwa aku turun ke sana." Dia lalu menunggang kuda itu menuruni lereng
gunung, perlahan-lahan karena kudanya sudah lelah sekali. Beberapa ekor kuda itu adalah
kuda tunggangan para panglima yang roboh tewas dan binatang-binatang itu melarikan diri,
naik ke gunung dengan ketakutan.
Dapat dibayangkan betapa ngeri dan kaget hati Bun Beng ketika kudanya membawanya ke
tempat bekas terjadinya pertandingan itu. Di sana-sini berserakan mayat-mayat manusia
yang berpakaian seperti orang-orang kang-ouw. Itulah mayat-mayat para mata-mata, yaitu
para panglima yang berpakaian sebagai orang kang-ouw, ada yang putus kepalanya, ada
yang mati dalam keadaan tidak terluka sama sekali. Dan banyak lagi orang-orang
berpakaian biasa yang tewas dekat tihang gubuk, akan tetapi lebih banyak lagi mayat-mayat
berpakaian tentara. Tempat itu menjadi tempat pesta burung-burung gagak yang memekik
dan terbang pergi ketika Bun Beng lewat di atas kudanya, akan tetapi mereka turun kembali
setelah Bun Beng lewat, melanjutkan pesta mereka mematuki daging segar dari luka-luka di
tubuh mayat-mayat itu yang masih ada darah segarnya!
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
396 Bung Beng menghentikan kudanya, memandang ke sekeliling dan menarik napas panjang.
Betapa mengerikan akibat perbuatan manusia, pikirnya. Setelah me-mandang mayat-mayat
itu, dia terharu, dan lenyaplah semua rasa benci. Mayat-mayat itu sekarang sama saja, tidak
terpisah-pisah oleh golongan-golongan lagi, kesemuanya mendatangkan rasa iba dan haru
di hatinya. Mayat-mayat manusia yang mati secara sia-sia setelah menja-di mayat pun
masih tersia-sia. Haruskah manusia saling bunuh seperti ini" Kemba-li dia menarik napas
panjang, lalu turun dari atas punggung kuda. Ia memungut sebatang golok besar, kemudian
digali-nya lubang-lubang di tempat itu dan dikuburnya mayat-mayat itu. Lima buah mayat
selubang, tanpa membedakan pa-kaian mereka. Ketika ia melihat setum-puk mayat yang
telah menjadi arang, se-buah mayat yang agaknya terbakar, tan-pa mengetahui bahwa itu
adalah mayat Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek, kakek je-naka dari Pulau Neraka yang pernah
mengajarnya mengendalikan layang-la-yang raksasa sehingga tanpa disengaja menurunkan
ilmu memindahkan tenaga kepadanya, Bun Beng menggeleng-geleng kepala dan tak dapat
mengerti mengapa ada yang mati terbakar! Dia lalu mengu-bur pula arang bekas mayat itu.
Sam-pai jauh malam barulah selesai dia me-nguburkan semua mayat itu, kemudian
menunggangi pula kudanya dan mening-galkan tempat mengerikan itu dengan hati berat
dan perasaan muak terhadap ulah para manusia yang haus darah. Dia mengerti bahwa
mereka yang menjadi korban itu hanyalah manusia-manusia yang diperalat, yang bertempur
karena perintah tanpa ada permusuhan pribadi, tanpa alasan, hanya menurutkan perin-tah
semata. Dan yang memerintahkan tentulah orang-orang yang dibencinya itu, Koksu dan kaki
tangannya dan.... agaknya Ketua Thian-liong-pang juga! Diam-diam dia merasa penasaran
dan kecewa sekali, apalagi kalau dia ter-ingat kepada Milana. Mengapa gadis se-perti itu,
puteri Pendekar Super Sakti, terlahir di tengah-tengah lingkungan yang penuh kekejaman
itu" Dia menghela na-pas dan menepuk-nepuk punggung kudanya.
"Kuda, engkau hanya binatang, akan tetapi pernahkah terjadi di dunia ini binatang
berperang saling bunuh-membu-nuh seperti yang dilakukan manusia, mahluk yang merasa
diri paling suci itu?"
Kuda itu tentu saja tidak bisa men-jawab, akan tetapi tepukan-tepukan pe-nuh perasaan
pada punggungnya membuat dia menggerak-gerakkan ekornya sambil berjalan perlahan
meninggalkan tempat itu.
*** Kwi Hong dan Phoa Ciok Lin yang hidup bersama sisa anak buah Pulau Es di tepi pantai
utara, menanti kedatang-an Pendekar Super Sakti sampai bebera-pa lamanya, namun yang
dinanti-nanti tak kunjung datang. Mereka menjadi pri-hatin sekali dan untung bagi mereka
bahwa pantai yang bertebing tinggi dan di bawahnya terdapat guha itu merupa-kan tempat
persembunyian yang baik. Pula di atas tebing terdapat hutan-hutan yang menjamin mereka
dengan sayur-sayuran dan buah-buahan, juga mereka dapat pergi ke dusun-dusun jauh ke
daratan untuk mendapatkan segala ke-perluan hidup mereka sehari-hari. Untuk keperluan
daging mereka tidak kekurang-an karena selain mereka bisa mencari ikan laut, juga di hutan
terdapat bina-tang-binatang hutan yang dapat mereka buru. Phoa Ciok Lin hanya menyuruh
mereka yang dapat dipercaya untuk na-ik ke daratan mencari kebutuhan mere-ka dengan
pesan keras agar jangan sam-pai ada orang tahu tentang keadaan me-reka dan jangan
sekali-kali menimbulkan keributan.
Yang paling menderita batinnya ada-lah Kwi Hong. Dara ini sudah tidak be-tah lagi tinggal di
tempat itu, dan ingin sekali dia pergi merantau, akan tetapi selalu Phoa Ciok Lin
mencegahnya dan mengatakan bahwa pamannya tentu akan marah kalau dalam keadaan
seperti itu pamannya datang sedangkan Kwi Hong tidak berada di situ.
Untuk melewatkan waktu dan menghibur diri, Kwi Hong menyibukkan diri dengan mencari
ikan atau berburu bina-tang di dalam hutan-hutan. Pada suatu hari, ketika dia mencari ikan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
397 ke pantai yang agak jauh dari tempat sembunyi mereka, di pantai dangkal, tiba-tiba ia
melihat sebuah benda terapung di laut, terbawa ombak dan minggir. Setelah dekat, tampak
olehnya bahwa benda itu adalah sebuah peti persegi panjang, di-ikat dengan tali. Sebagian
tali terlepas dan terseret peti yang terbawa ombak. Kwi Hong cepat lari menghampiri keti-ka
peti terbawa sampai ke tepi dan diam-diam merasa heran mengapa peti yang kelihatan berat
itu sampai dapat terbawa ombak kecil ke pantai, seolah-olah ada yang menggerakkannya.
Dia menangkap ujung tali yang terlepas, lalu menarik peti ke darat. Memang cukup berat dan
diam-diam ia menduga-duga benda apakah gerangan yang berada di dalam peti. Agaknya
angkutan sebuah perahu yang terguling atau terjatuh ke laut, kemudian oleh ombak
terdorong sampai ke tepi, pikirnya sambil menarik terus peti itu ke atas pasir sehingga
ombak air laut tidak dapat mencapainya.
Dengan hati berdebar, dia membuka tali yang mengikat peti itu, kemudian dibukanya
penutup itu. Dengan pengerah-an tenaga, dapat dia memaksa penutup yang tertutup rapat
itu. "Braaaakkkk....!" Tutup peti terbuka dan Kwi Hong cepat menjenguk peti dengan hati yang
tidak sabar lagi.
"Haiiiihhhh....!" Dara itu menjerit dan hampir dia pingsan saking kagetnya, oto-matis kedua
tangannya meraba sepasang pipinya yang menjadi pucat, matanya ter-belalak memandang
ke dalam peti. Biar-pun Kwi Hong seorang dara perkasa yang tidak takut menghadapi setan
sekalipun, namun sekali ini dia benar-benar terke-jut dan ngeri karena tidak menyangka-
nyangka bahwa peti itu terisi sebuah.... mayat! Hati siapa takkan terkejut mem-buka peti
yang dikira berisi barang ber-harga, ternyata terisi mayat seorang ka-kek tua yang
pakaiannya masih baru akan tetapi potongannya tidak karuan itu"
"Iihhh.... hiiihhhh....!" Kwi Hong men-jerit lagi dan matanya terbelalak makin lebar, kemudian
dia menggosok-gosok kedua mata dengan tangan seolah-olah tidak percaya akan pandang
matanya sendiri.
Mayat itu dapat bergerak! Mula-mula pelupuk mata yang tadinya terpejam itu bergerak-
gerak, lalu mata itu terbuka, kemudian mulut yang tak bergigi itu menyeringai dan tertawa.
"Heh-heh-heh-heh-heh!" Kakek yang kurus kering itu melompat keluar dari dalam petinya!
Setelah kini merasa yakin bahwa yang dihadapinya adalah mahluk hidup, bukan mayat
yang hidup kembali, hati Kwi Hong menjadi tenang dan keberanian-nya timbul kembali. Ia
segera meman-dang penuh perhatian dan mendapat ke-nyataan bahwa biarpun
kelihatannya seperti mayat, namun sesungguhnya yang berdiri di depannya, bertubuh tinggi
ku-rus kering ini adalah seorang kakek yang sangat tua, begitu tuanya sampai tidak
berdaging lagi, mukanya pucat tak berdarah seperti mayat dan matanya mengerikan karena
batas antara manik mata hitam dan putihnya sudah kabur membuat mata itu seperti
berwarna pu-tih semua.Kakek tua renta yang seperti mayat hidup ini bukan lain adalah Cui-
beng Koai-ong, tokoh utama dan pertama dari Pulau Neraka yang selama ini
menyem-bunyikan diri saja! Barulah sesudah tan-pa disengaja dia bertemu dengan Wan
Keng In dalam persembunyiannya di Pu-lau Neraka dan dia mengambil pemuda itu sebagai
muridnya, kakek ini mulai mau berkenalan lagi dengan dunia ra-mai, bahkan dengan dunia
kang-ouw. Akan tetapi karena sudah puluhan tahun dia mengasingkan diri, mempelajari ilmu yang
aneh-aneh, melakukan tapa dan pantangan yang tidak lumrah, bahkan tempat pertapaan
yang paling digemari-nya adalah di dalam peti-peti mati be-kas mayat yang sudah tua sekali
sehing-ga dia seolah-olah dalam puluhan tahun ini tidur bersama kerangka-kerangka
ma-nusia, maka sekali keluar di dunia ramai dia membuat geger dengan kelaku-annya yang
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
398 tidak lumrah manusia! Dia ternyata amat sayang kepada Wan Keng In sehingga hanya
pemuda yang menjadi muridnya itu saja yang dapat mengua-sainya dengan bujukan-
bujukan bahkan kadang-kadang dengan teguran-teguran seperti kalau orang menghadapi
anak kecil. Ketika mendengar dari muridnya akan pertemuan orang-orang pandai dari dunia
persilatan yang diadakan oleh Thian-liong-pang, kakek ini menyatakan ingin menghadirinya.
Keng In sudah melarang gurunya karena maklum bahwa gurunya tentu akan membikin
kacau, sedangkan dia sendiri masih prihatin me-mikirkan Pulau Neraka yang
dibumiha-nguskan oleh pasukan-pasukan pemerin-tah. Akan tetapi kakek itu nekat dan
muncul secara tak terduga-duga karena sebelumnya dia sudah bersembunyi di da-lam peti
mati di bawah tanah dan begitu dia muncul, benar saja menimbul-kan geger! Anehnya,
kakek ini seperti memiliki getaran yang ajaib sehingga secara luar biasa muncul pula dua
orang sutenya di tempat pertemuan orang kang-ouw itu yang mengakibatkan tewas-nya Kwi-
bun Lo-mo Ngo Bouw Ek. Keng In membawa pergi gurunya dan setengah memaksa
gurunya untuk mengenakan pakaian yang telah dibelinya. Kakek itu menurut, tetapi
beberapa hari kemudian ia lenyap kembali tanpa pamit!
Demikianlah, secara tak terduga-duga, kakek ajaib itu berada dalam peti yang didaratkan
Kwi Hong. Kiranya kakek ini timbul rindunya untuk mengunjungi Pulau Neraka, agaknya dia
lupa akan penutur-an muridnya bahwa Pulau Neraka telah dibumihanguskan oleh pasukan
pemerin-tah. Akan tetapi, sebelum tiba di Pulau Neraka kakek itu ketiduran di dalam pe-tinya
sehingga peti yang merupakan pe-rahu, dan tempat tidur itu, terbawa om-bak sampai


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

minggir dan secara kebetul-an saja dia bertemu dengan Kwi Hong.
"Heh-heh-ha-ha-ha,bocah kurang ajar! Orang sedang enak-enak tidur diganggu! Kau
agaknya minta dihajar!" Cui--beng Koai-ong yang sudah berdiri di de-pan Kwi Hong menegur
dan biarpun dari kerongkongannya terdengar suara kekeh seperti orang tertawa, akan tetapi
mu-lutnya yang tak bergigi lagi itu cembe-rut, dan kedua kakinya bergantian diban-ting-
banting ke atas pasir seperti se-orang anak kecil kalau marah dan kecewa.
Kwi Hong adalah seorang dara yang berhati keras, akan tetapi menyaksikan keadaan kakek
yang seperti anak-anak ini, yang amat aneh dan yang dapat ia duga tentu bukan orang
sembarangan, segera menjura dengan sikap hormat dan berkata,
"Mohon maaf sebanyaknya, Locian-pwe. Karena tidak tahu maka saya bera-ni
mengganggu, tidak mengira bahwa Locianpwe yang berada dalam peti itu...."
"Hayo berlutut dan mengaku kakek-mu sebagai Sucouw (Kakek Guru Besar), baru aku mau
mengampunimu!" Dahulu ketika pertama kali berjumpa dengan Wan Keng In, kakek itu juga
berkata demikian dan Keng In menuruti kemauannya, maka pemuda itu lalu diambil murid
dan diajari ilmu-ilmu yang amat luar biasa. Akan tetapi Kwi Hong adalah seorang gadis yang
keras hati. Sebagai keponakan dan juga murid Pendekar Siluman yang terkenal tentu saja
dia tidak sudi mengaku kakek itu seba-gai sucouw, karena hal itu sama saja mengakui kakek
ini sebagai kakek guru dari pamannya! Kalau dia melakukan ini, berarti sebuah penghinaan
telah dilontar-kan kepada nama besar Pendekar Super Sakti.
"Locianpwe," jawabnya dengan suara dingin, "saya telah melakukan kesalahan yang tidak
saya sengaja dan untuk itu telah mohon maaf kepadamu. Harap Lo-cianpwe tidak menuntut
yang terlalu be-rat. Locianpwe bukan sucouw saya, ti-dak mugkin saya mau mengakui
Locian-pwe sebagai Sucouw. Sudahlah, saya mempunyai banyak pekerjaan!" Setelah
berkata demikian, Kwi Hong membalik-kan tubuhnya dan melangkah pergi meninggalkan
kakek yang menimbulkan ra-sa ngeri di hatinya itu.
"Heeiiiihh! Berhenti! Jangan harap kau bisa pergi sebelum berlutut dan mengakui aku
sebagai Sucouw!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
399 Kwi Hong terkejut bukan main. Dia sedang melangkah cepat, akan tetapi baru lima enam
langkah, setelah mening-galkan kakek itu kurang lebih empat meter jauhnya, tiba-tiba
tubuhnya ter-henti dan kakinya tak dapat digerakkan ke depan, seolah-olah ada tenaga
mujijat menahannya dari depan, atau lebih tepat lagi, tenaga mujijat itu menyedot dan
menahannya dari belakang!
Dia menjadi penasaran, dikerahkannya sin-kangnya dan dia memaksa diri me-langkah ke
depan. Kakinya dapat dige-rakkan, namun langkahnya tetap di tem-pat, sama sekali tidak
dapat maju se-jengkal pun!
"Heh-heh-heh, anak nakal! Mana bisa kau pergi begitu saja sebelum memehuhi
permintaanku" Hayo kembali ke sini!"
Makin kagetlah Kwi Hong ketika tu-buhnya tertarik ke belakang oleh tenaga yang amat
dahsyat, yang membuat dia ketika bertahan, hampir terjengkang. Cepat ia membalikkan
tubuhnya dan melihat betapa kakek itu hanya melambaikan tangan kiri, dari mana
menyambar tenaga yang dahsyat, yang menariknya, maklumlah dia bahwa dia berhadapan
dengan orang yang memillki ilmu kepan-daian luar biasa dan yang tidak berniat baik
terhadap dirinya. Dia merasa me-nyesal sekali mengapa dia meninggalkan Li-mo-kiam,
karena untuk menghadapi lawan yang begini pandai, dia harus melawan dengan mati-
matian, dan kalau pedang pusaka itu berada di tangannya, tentu dia akan dapat melawan
lebih ba-ik. Betapapun juga, melihat betapa ka-kek itu menyeringai mengerikan dan
tu-buhnya seperti terbetot ke depan, Kwi Hong membentak marah,
"Kiranya engkau iblis yang jahat!" Dia lalu meloncat ke depan dan memu-kul dengan tenaga
Swat-im Sin-ciang, yaitu tenaga inti es yang merupakan pukulan paling ampuh dari gadis
perkasa ini. "Cieeettt.... bukkk....!" Tubuh kakek itu terpental bergulingan dan dia bang-kit lagi sambil
menggigil. "Ihhh, dingin....! Eh, apakah kau dari Pulau Es?" tanyanya.
Kwi Hong terbelalak. Pukulannya yang mengenai dada tadi hebat sekali, dia telah
mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya. Namun kakek itu hanya terpental, dan cepat
dapat bangkit lagi sambil sedikit menggigil kedinginan, bahkan dari suaranya dapat ia
ketahui bah-wa kakek itu sama sekali tidak terluka! Mendengar pertanyaan itu, Kwi Hong
menjawab cepat untuk membikin kakek yang lihai luar biasa itu menjadi takut.
"Benar! Aku adalah keponakan dan murid dari Pendekar Super Sakti, Maji-kan Pulau Es.
Harap Locianpwe jangan mengganggu aku dan suka pergi, agar jangan membikin marah
Pamanku!" Kakek itu tertawa lebar dan Kwi Hong merasa makin ngeri. Kakek itu tertawa seperti mayat
tertawa. Hanya mulutnya saja yang terbuka dan menye-ringai dan dari kerongkongannya
keluar suara terkekeh, akan tetapi biji mata-nya yang putih, wajahnya, sama sekali tidak ikut
tertawa! "Heh-heh-hah-hah-hah! Jadi engkau murid Pendekar Siluman" Kebetulan sekali. Sudah
lama aku rindu untuk me-ngadu ilmu dengan Pendekar Siluman, sekarang bertemu dengan
muridnya, da-pat kuukur sampai di mana kehebatannya!" setelah berkata demikian, kakek itu
menyerang! Serangannya amat luar biasa, tubuh-nya mengkerut pendek, kemudian tiba-tiba mencelat
ke arah Kwi Hong, kaki tangannya bergerak kacau akan tetapi tahu-tahu kedua tangan yang
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
400 jari-jarinya kurus seperti kerangka itu mengirim li-ma kali totokan secara bertubi-tubi.
Gerakan ini mengingatkan Kwi Hong akan gerakan binatang kuda laut yang meloncat, atau
semacam ulat yang ka-lau hendak meloncat selalu menekuk dan mengerutkan tubuhnya,
baru tiba-tiba mencelat ke depan. Cepat ia meng-gerakkan tubuhnya mengelak, lima kali
berturut-turut akan tetapi yang terakhir betapapun cepat gerakannya, tetap saja pundaknya
tertotok dan tubuhnya men-jadi iemas lumpuh.
"Heh-heh-heh! Tidak seberapa!" Ka-kek yang mengerikan itu terkekeh, ta-ngannya
bergerak lagi ke arah pundak dan totokannya buyar. Lalu Kwi Hong meloncat bangun lagi!
Ngeri hati dara ini, karena maklum bahwa kakek itu sengaja mempermainkannya, setelah
ber-hasil menotoknya lalu membebaskan to-tokan itu agar dia dapat melawan lagi. Perasaan
ngeri ini sama sekali bukan berarti dia takut, malah sebaliknya. Dia menjadi penasaran dan
biarpun maklum bahwa kakek itu sakti sekali, namun dia mengambil keputusan untuk
melawan mati-matian. Maka ia cepat membalas dengan serangan cepat, mengunakan i1-mu
silat yang ia pelajari dara paman-nya, semacam ilmu silat yang memiliki dasar ilmu Soan-
hong-lui-kun. Akan teta-pi tentu saja tidak seperti Soan-hong-lui-kun yang aseli karena ilmu
mujijat itu hanya dapat dilatih secara sempurna oleh seorang yang kakinya tinggal sebu-ah.
Pendekar Super Sakti telah mencip-ta sebuah ilmu silat yang dasarnya mema-kai ilmu itu,
akan tetapi gerakan kakinya tentu saja disesuaikan dengan orang yang berkaki dua. Namun
ilmu ini cukup hebat, tubuh Kwi Hong mencelat ke sa-na ke mari dan pukulan kedua
tangan-nya menggunakan Hwi-yang Sin-ciang yang panas, sedangkan kadang-kadang
dirobah dengan Swat-im Sin-ciang yang dingin.
"Hebat.... hebat.... eh, ilmu apa ini?" Kakek itu terkekeh-kekeh, mengelak ke sana ke mari
dan kadang-kadang membe-ri komentar ketika menangkis pukulan-pukulan itu, "Eh,
panas.... Hwi-yang Sin-ciang, ya" Aduhhh, dinginnya, inilah Swat-im Sin-ciang! Ha-ha, akan
tetapi bukan apa-apa bagiku!"
"Plak! Plak!" Ketika Kwi Hong memu-kul dengan kedua tangannya berturut-turut selagi
tubuhnya mencelat ke atas, menukik dan mengirim pukulan Yang-kang dan Im-kang dengan
kedua tangan mengarah ubun-ubun kepala kakek itu, Cui-beng Koai-ong menerima pukulan
itu dengan kedua telapak tangannya dan.... Kwi Hong merasa betapa kedua telapak
tangannya melekat kepada kedua tangan kakek itu, tak dapat terle-pas lagi seperti tersedot
oleh hawa yang mujijat. Tubuhnya masih berada di uda-ra, kedua kaki ke atas dan kedua
ta-ngannya tersangga oleh kedua tangan Si Kakek sehingga kelihatannya dua orang itu
sedang main akrobat!
"Heh-heh-heh!" Kakek itu tertawa dan sekali dia dorongkan kedua tangan-nya, tubuh Kwi
Hong terlempar jauh ke atas dan ke belakang. Untung bahwa da-ra ini memiliki gin-kang
yang sudah cu-kup tinggi sehingga dia dapat berjungkir balik dan jatuh ke atas tanah dengan
kedua kaki yang ditekuk lututnya terle-bih dulu, tidak sampai terbanting. Kwi Hong melongo
dan dia maklum bahwa kalau dilanjutkan, dia akan celaka. Le-bih baik lari mengambil
pedang Li-mo-kiam lebih dulu, atau minta bantuan bibinya, Phoa Ciok Lin. Kalau dia
meng-gunakan pedang itu dan dibantu bibinya, tentu akan dapat merobohkan kakek sakti ini.
Maka dia lalu membalikkan tubuhnya dan lari!
"Eiiiiiittt! Baru enak-enaknya bertanding mau pergi ke mana?"
Kembali Kwi Hong terkejut karena seperti tadi, tubuhnya tidak dapat maju biarpun kedua
kakinya tetap bergerak lari. Dia hanya lari di tempat, padahal jarak antara dia dan kakek itu
ada tu-juh meter jauhnya! Bulu tengkuknya ber-diri, ini tidak lumrah, pikirnya. Bukan
kepandaian manusia!
Tiba-tiba terdengar pekik burung di udara. Kwi Hong menengok dan diam-diam mengeluh.
Celaka, burung rajawali dari Pulau Neraka. Kalau bocah bengal dari Pulau Neraka yang
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
401 datang, dia le-bih celaka lagi! Dikerahkannya tenaga sin-kangnya, namun tetap saja
tubuhnya tak dapat maju dan kakek itu terkekeh-kekeh girang mempermainkan dara itu.
Burung rajawali menyambar turun dan tiba-tiba dari atas punggungnya meloncat turun
seorang laki-laki berka-ki buntung sebelah. Pendekar Super Sak-ti Suma Han! Begitu
meloncat turun, Suma Han menggerakkan tangan kanan-nya didorongkan ke depan di
antara ke-ponakannya dan kakek itu. Serangkum tenaga dahsyat menyambar, dan
"terpu-tuslah" tenaga kakek yang menyedot tubuh Kwi Hong. Akibatnya, Kwi Hong yang
mengerahkan tenaga lari ke depan itu, terdorong ke depan dan nyaris hi-dungnya yang kecil
mancung itu men-cium tanah kalau saja dia tidak cepat menekuk leher dan membiarkan
bahunya yang terbanting, lalu bergulingan dan hanya pakaiannya saja yang kotor, akan
tetapi kulit tubuhnya tidak sampai ter-luka. Ia meloncat bangun dan betapa girangnya ketika
ia melihat pamannya telah berada di situ. Dengan heran Kwi Hong menoleh ke arah burung
rajawali yang kini bertengger di batu karang dan kelihatan tenang-tenang saja.
Pamannya-lah yang datang menunggang rajawali. Sungguh aneh!
Suma Han berdiri dengan kaki tung-galnya, bersandar tongkat dan meman-dang kakek
kurus itu dengan sinar mata tajam dan dia berkerut. Kakek itu pun memandang dan agaknya
dia lupa akan kebiasaannya terkekeh, karena kini dia melongo dan meneliti Suma Han dari
kakinya yang tinggal sebetah sampai ke rambut kepalanya yang putih berkilau seperti
benang-benang perak itu.
"Kau.... kau.... Pendekar Siluman, To-cu dari Pulau Es....?" Kakek itu berta-nya, suaranya
agak gemetar! Suma Han mengangguk, masih tidak menjawab dan sedang meneliti ka-kek di depannya.
Dia tidak mengenal ka-kek itu, akan tetapi yang membuat dia heran adalah muka yang pucat
tak berda-rah, dan sukar sekali menaksir usia ka-kek ini, tentu lebih dari seratus tahun! Juga
kulit pembungkus tulang tanpa da-ging itu kelihatan kebiruan, dan dia maklum bahwa orang
ini memiliki kekebalan yang tidak lumrah dimiliki manu-sia, maka dia bersikap hati-hati.
Betapa herannya ketika dia menjawab dengan anggukan kepala, tiba-tiba kakek itu
menjatuhkan diri berlutut!
"Sebelumnya hamba, Cui-beng Koai-ong mohon maaf sebanyaknya kepada To-cu Pulau Es
bahwa hamba seorang buangan berani bersikap kasar terhadap pemilik Pulau Es!"
Suma Han mengerutkan alisnya yang masih hitam, berbeda dengan rambut ke-palanya,
kemudian terdengar dia berta-nya dengan suara halus dan hormat,
"Locianpwe siapakah" Dan mengapa minta maaf kepadaku?"
Tiba-tiba kakek itu bangkit berdiri, tertawa dan berkata, "Aku sudah meme-nuhi sumpah dan
kewajiban, sebagai orang buangan dari Pulau Neraka sudah minta maaf. Sekarang, karena
kita ber-temu bukan di Pulau Es, tingkat kita menjadi sama-sama orang pelarian, ha-ha-ha!"
"Locianpwe dari Pulau Neraka?" Su-ma Han teringat akan Lulu dan kembali diam-diam dia
merasa heran sekali. "Masih ada hubungan apakah dengan Ketua Pulau Neraka?"
"Ketua Pulau Neraka" Wanita itu" Heh-heh, dia hanya Ketua palsu, Ketua boneka, ha-ha-
ha! Kamilah yang sebetul-nya menjadi pimpinan Pulau Neraka! Kami berdua, aku Cui-beng
Koai-ong dan Suteku Bu-tek Siauw-jin Si Gila Otak Miring itu! Wanita itu bisa apa" Kalau aku
menghendaki, mana bisa dia menjadi Ketua Pulau Neraka?"
Suma Han makin terheran-heran dan diam-diam mengkhawatirkan keadaan Lulu. "Mengapa
Locianpwe membiarkan dia menjadi Ketua?"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
402 "Engkau tertarik sekali kepadanya, bukan" Heh-heh, Pendekar Siluman, ka-rena dia itu adik
angkatmu, karena dia mendendam kepadamu, maka kami biar-kan saja! Kami senenek
moyang kami telah disumpah untuk menjadi orang bu-angan dari Pulau Es, tidak
diperbolehkan menginjakkan kaki ke Pulau Es! Betapa pun inginku menandingi yang menjadi
Ketua Pulau Es, kalau aku tidak boleh datang ke sana, bagaimana mungkin" Maka
kubiarkan wanita Adik Angkatmu itu menjadi Ketua, karena dialah meru-pakan umpan agar
aku dapat berhadapan denganmu di luar Pulau Es. Sayang, ke-tika kau berani datang ke
Pulau Neraka, aku dan Suteku sedang pergi merantau. Akan tetapi, sekarang Pulau Es telah
menjadi abu, juga Pulau Neraka, kita sama-sama tidak berpulau, sama-sama menjadi
pelarian dan kebetulan kita saling jumpa di sini. Pendekar Siluman, hayo kita mengadu ilmu
di sini! Biarlah dendam Pulau Neraka yang sudah ratus-an tahun itu kita selesaikan di sini,
kau sebagai To-cu Pulau Es harus membayar-nya!"
"Nanti dulu, Locianpwe! Setelah Pu-lau Neraka dibumihanguskan oleh pasu-kan
pemerintah, lalu bagaimana dengan kedudukan Ketua Pulau Neraka?" Suma Han masih
khawatir akan nasib Lulu yang dicintanya.
"Dia" Heh-heh, biarlah menjadi Ketua orang-orang pelarian itu. Tadinya akan kubunuh dia,
akan tetapi mengingat bah-wa puteranya menjadi muridku, maka.... eh, sudahlah, banyak
ngobrol. Hayo kau-kalahkan aku!" Berkata demikian, kakek itu sudah menerjang maju
dengan gerak-an aneh namun ganas dan dahsyat seka-li ke depan, Suma Han mencelat ke
atas menghindar dan batu karang pecah berhamburan terkena hantaman kakek itu debu
mengepul menandakan betapa he-batnya pukulan tadi.
"Kwi Hong, pergilah, tempat ini ber-bahaya untukmu!" Suma Han berkata ketika melihat
keponakan dan muridnya itu tampak maju untuk membantunya. Mendengar kata-kata yang
nyaring ini, Kwi Hong menghentikan niatnya dan matanya terbelalak menyaksikan
paman-nya yang sudah bertanding dengan kakek itu. Matanya menjadi silau dan pandang
matanya kabur menyaksikan gerakan pamannya yang telah mainkan Soan-hong-lui-kun
untuk menghadapi lawan yang amat tangguh itu. Dia harus membantu, akan tetapi benar
kata pamannya, dia membantu hanya akan mengantar nya-wa saja, dan sama sekali tidak
akan menguntungkan pamannya. Li-mo-kiam, sebuah di antara Sepasang Pedang Iblis itu!
Teringat ini, Kwi Hong lalu mening-galkan tempat itu, berlari cepat sekali. Melihat ini, Suma
Han menjadi agak le-ga hatinya. Lawannya ini berbahaya se-kali, biarlah andaikata dia
sendiri yang menjadi korban. Namun, dia kecewa ju-ga melihat betapa keponakannya itu lari
seperti orang ketakutan setengah mati dan tidak mengira bahwa keponakannya ternyata
bernyali demikian kecil.
"Desss!" Dua telapak tangan saling bertemu bagaikan dua sinar kilat ber-tumbukan ketika
Suma Han menangkis pukulan maut kakek itu. Akibatnya, ke-duanya terdorong mundur
sampai lima langkah.
"Heh-heh-heh, kau boleh juga! Akan tetapi masih jauh kalau dibandingkan de-ngan
kesaktian Bu Kek Siansu. Aku ma-sih sanggup menandingimu, ha-ha!" Ka-kek itu tertawa
dan siap menerjang la-gi.
"Locianpwe, dengarlah dulu. Aku Su-ma Han biarpun tinggal di Pulau Es dan menjadi
pemimpin di sana, namun belum pernah aku memusuhi Pulau Neraka. Aku bukanlah
keturunan raja yang dahulu berkuasa di Pulau Es, dan aku tidak pernah membuang orang ke
Pulau Nera-ka. Bukan sekali-kali karena aku takut menghadapimu, Cui-beng Koai-ong, akan
tetapi perlu apa kita bertanding mati-ma-tian sedangkan kita mengalami nasib yang sama"
Pulau kita dibakar pasukan pemerintah tanpa dosa, apakah kita ha-rus saling gempur
sendiri?" Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
403 "Cukup banyak bicara! Dendam Pu-lau Neraka yang turun-temurun harus di-lunasi sekarang
juga!" Kakek itu memben-tak dan tiba-tiba tubuhnya meluncur ke depan seperti terbang, atau
seperti seba-tang tombak dilontarkan menuju ke tu-buh Suma Han. Pendekar ini terkejut dan
kagum, cepat kaki tunggalnya men-jejak tanah dan tubuhnya sudah mence-lat ke atas
mengelak. Kakek itu mena-han luncurannya, akan tetapi kedua tangannya ketika meluncur
tadi sudah mengirim pukulan derhsyat yang tidak da-pat ditariknya kembali, dan terus hawa
pukulan itu menghantam jauh ke depan.
"Brakkkk!" Batu karang di mana bu-rung rajawali bertengger itu hancur. Bu-rung itu terbang
dan memekik ketakut-an, kemudian hinggap di atas batu ka-rang yang lebih tinggi lagi,
matanya jelalatan memandang ke bawah dengan ketakutan.
"Bukan main." Suma Han diam-diam memuji, "Kakek ini memiliki kepandaian yang amat
tinggi." Ketika dia turun, kembali kakek itu menyerang, akan tetapi secepat burung terbang, Ilmu
Soan-hong-lui-kun membu-at tubuh Suma Han terus mencelat ke sana ke mari, seolah-olah
seekor kum-bang yang beterbangan di atas setangkai bunga, berkelebatan mengelak dan
dari atas membalas dengan pukulan-pukulan yang tidak kalah ampuh dan dahsyatnya
sehingga berkali-kali kakek itu mengelu-arkan seruan memuji.
"Bukkk!" Sebuah tamparan tangan kiri Suma Han mengenai pundak kakek itu, namun dia
hanya tergetar saja dan ter-huyung, sama sekali tidak terluka, pada-hal tamparan Pendekar
Super Sakti itu cukup kuat untuk menumbangkan seba-tang pohon yang besarnya setubuh
manusia! Suma Han makin kagum. Dalam hal kecepatan, jelas dia menang karena de-ngan Ilmunya
Soan-hong-lui-kun, kiranya tidak akan ada yang dapat menandingi-nya dalam hal kecepatan,
juga dalam hal tenaga sin-kang, keadaan mereka berimbang dan hal ini dapat diketahuinya
keti-ka mereka tadi mengadu tenaga dan sa-ling terpental ke belakang. Akan tetapi kakek ini
memiliki kekebalan tubuh yang hebat, dalam hal inilah dia kalah. Kalau dia yang terkena
pukulan oleh tangan sakti kakek itu, tentu dia takkan dapat bertahan seperti yang dibuktikan
oleh kakek itu. Maka dia berlaku hati-hati sekali dan kini dia tidak hanya menye-rang dengan
tangan, melainkan totokan-totokan dengan ujung tongkatnya.
Setelah pertandingan yang luar biasa itu berlangsung seratus jurus lebih, dalam sebuah


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serangan kilat dari atas, ujung tongkat Suma Han berhasil menotok ke-pala kakek itu.
Tadinya dia maksudkan menotok tengkuk, akan tetapi gerakan mengelak kakek itu membuat
tongkat-nya mengenai kepala dan diam-diam Su-ma Han menyesal karena sesungguhnya
dia tidak bermaksud membunuh kakek yang sama sekali bukan musuhnya ini.
"Trakkk!"
Rasa menyesal terganti kekaguman dan keheranan ketika kakek itu yang jelas tertusuk
tongkat kepalanya, hanya menjadi miring saja tubuhnya, akan teta-pi sama sekali tidak
terluka! Bukan ma-in! Kalau kekebalannya itu sudah menja-lar sampai ke kepala, tidak tahu
lagi Suma Han bagaimana dia harus menga-lahkan kakek ini. Satu-satunya jalan ba-ginya
hanyalah mengerahkan serangan-serangannya pada kedua mata kakek itu. Dan dugaannya
benar karena kakek itu sama sekali tidak mau terserang mata-nya yang selalu terlindung
oleh kedua tangannya sehingga setiap serangan pu-kulan maupun tusukan tongkat ke arah
mata selalu dapat ditangkis dengan le-ngan tangannya yang biarpun hanya tu-lang
terbungkus kulit, namun amat kuat dan kebal itu.
Diam-diam Suma Han menghela na-pas dan merasa repot sekali. Betapa mungkin dia akan
dapat menang" Tu-buh lawan tak dapat dia lukai, sedang-kan dia selalu harus mengelak
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
404 dan menangkis karena sekali saja dia terkena pukulan-pukulan yang amat dahsyat itu,
sedikitnya dia tentu akan menderita luka di dalam tubuh. Dan berapa lama dia akan dapat
bertahan kalau begini"
Di lain pihak, Cui-beng Koai-ong ju-ga merasa kagum bukan main. Ilmu silat yang
dimainkan oleh Pendekar Siluman itu benar-benar tak dikenalnya dan amat cepatnya,
mengingatkan ia akan dongeng tentang Kauw Cee Thian atau Sun-go-kong, tokoh siluman
atau raja kera yang terdapat dalam dongeng See-yu-ki yang dapat mencelat-celat dari bukit
ke bu-kit dengan kecepatan laksana kilat. Dia memutar otaknya karena kecepatan di udara
yang digerakkan tubuh lawannya itu tidak memungkinkan dia untuk me-nyerang dengan
tepat. Tiba-tiba Suma Han meloncat jauh ke belakang dan duduk bersila dengan sebelah kakinya,
kedua lengannya berse-dekap dan tongkatnya dikempit. Tiba-tiba dari ubun-ubun kepala
Pendekar Siluman itu keluar bayangan Suma Han yang memegang tongkat dan bergerak-
gerak hendak melawan kakek itu. Seje-nak kakek itu melongo, kemudian terke-keh-kekeh
dan tanpa mempedulikan bayangan itu, dia menubruk tubuh Suma Han yang masih bersila.
"Aihhhh!" Suma Han mencelat ketika mengelak. Celaka, agaknya kakek ini juga kebal
terhadap kekuatan mujijat! Dia mencoba lagi, mengerahkan pandang matanya dan
membentak, "Cui-beng Koai-ong, robohlah!" De-ngan tongkatnya ia menuding dan baik dalam sinar
mata, maupun dalam suara dan gerakan tangannya itu terkandung hawa mujijat yang amat
berpengaruh. "Heh-heh, nanti dulu. Aku belum ka-lah mana mau roboh?" jawab kakek itu dan menyerang
terus. Suma Han benar-benar kewalahan. Jelas bahwa tenaga mujijat dalam diri-nya, tidak
mempan melawan kakek yang sudah puluhan tahun sering kali bertapa di antara mayat-
mayat dan kerangka-kerangka manusia itu, sehingga dia te-lah memiliki kekebalan terhadap
segala pengaruh batin dan ilmu sihir.
Pertandingan dilanjutkan dengan mati-matian. Kedua pihak mengeluarkan ilmu-ilmunya
yang tinggi sehingga debu dan pasir mengebul berhamburan, batu-batu karang yang
berdekatan pecah berantak-an dan pohon-pohon di sekitar tempat itu tumbang,
mengeluarkan suara keras. Kalau dilihat dari jauh, pantasnya ada dua ekor gajah yang
mengamuk dan sa-ling serang itu, bukan seorang kakek yang seperti mayat hidup dan
seorang yang sebelah kakinya buntung.
"Heh-heh, aku tahu bagaimana harus menghadapi ilmumu yang aneh!" Tiba-tiba kakek itu
berkata dan.... dia melem-par tubuh ke belakang, kakinya mencelat ke depan dan
menendang bergantian ke arah muka dan pusar Suma Han. Pende-kar ini terkejut sekali,
merendahkan tubuh mengelak tendangan ke mukanya dan menangkis dengan tangan
kirinya ke arah kaki yang menendang pusar.
"Desss!" Tubuh kakek itu terpelan-ting dan dia bergulingan sambil menye-ringai, akan tetapi
ia segera bergulingan dan rebah terlentang! Suma Han menja-di girang karena maklum
bahwa dia me-nemukan titik kelemahan kakek aneh itu, yaitu pada telapak kakinya.
Buktinya, kalau bagian tubuh lain amat kebal, te-lapak kaki itu ketika bertemu dengan
tangannya, Si Kakek merasa nyeri. Hal ini membuktikan bahwa telapak kakek itu tidaklah
sekuat bagian tubuh yang lain. Dia sudah mencelat ke atas dan melihat kakek itu rebah
terlentang, dia segera meluncur turun dan menyerang dari atas. Akan tetapi, tiba-tiba kakek
itu menggerakkan kedua tangannya men-dorong ke atas.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
405 "Wusss.... bukkk!" Tubuh Suma Han terlempar dan terpelanting, jatuh ke atas tanah, akan
tetapi dia dapat cepat meloncat lagi. Dia kaget bukan main akan ilmu kakek yang aneh ini.
Kiranya dengan tubuh terlentang itu, pukulan Si Kakek menjadi berlipat ganda kuatnya,
seolah-olah kakek itu telah memperguna-kan daya tahan bumi!
Dan kakek itu tertawa, tetap terlen-tang. "Nah, pergunakan ilmumu Sun-go-kong
berloncatan itu sekarang!"
Suma Han maklum bahwa kakek yang seperti iblis itu ternyata cerdik se-kali. Kelihaian
Soan-hong-lui-kun adalah mengandalkan kecepatan gerak kaki tunggal yang memantul
menurut keseim-bangan tubuh yang berkaki satu, dan dengan kecepatan itu
membingungkan lawan dan dapat mengirim serangan tiba-tiba dari samping, depan atau
belakang lawan. Kini kakek itu hanya rebah ter-lentang, tentu saja tubuh bagian bela-kang
terlindung tanah, juga sukar menye-rang dari kanan kiri. Satu-satunya tem-pat untuk
diserang hanyalah depan dan yang depan ini terlindung oleh kedua tangan kakek yang
mempunyai kekuatan lipat ganda setelah rebah terlentang itu. Benar-benar sukar
mengalahkan kakek ini. Namun Suma Han yang juga mera-sa penasaran, masih terus
menyerang dengan tongkat dan tangan kirinya yang kesemuanya dapat ditangkis oleh kakek
itu sambil "tiduran" seenaknya! Kalau Suma Han berhenti menyerang dan tu-run berdiri ke
atas tanah, tiba-tiba saja tubuh yang terlentang itu meluncur dan menyerangnya dengan
dahsyat, ba-gaikan tombak besar dilontarkan kepada-nya! Dan kalau dia menggunakan
Soan-hong-lui-kun, kembali kakek itu rebah terlentang!
Dua ratus jurus lewat dan pertan-dingan antara dua manusia sakti dan aneh itu masih
berlangsung seru, belum ada yang kalah atau menang, bahkan belum ada yang terdesak.
Baru sekali ini selama hidupnya Suma Han bertemu dengan lawan yang begini lihai, yang
kesaktiannya mengatasi semua lawan sak-ti yang pernah dilawannya.
"Heh-heh-heh, kau memang hebat, Pendekar Siluman. Akan tetapi coba se-karang kau
terima ini!" Kakek yang masih terlentang itu tiba-tiba mengeluar-kan pekik dahsyat yang
mendirikan bulu roma, tidak seperti manusia lagi dan tu-buhnya sudah mencelat dan
menubruk ke arah Suma Han dengan kedua tangan terpentang. Dari kedua tangan itu
me-nyambar hawa yang berputar-putar seperti angin puyuh dan Suma Han mak-lum bahwa
kalau dia mengelak, ada ba-hayanya dia terkena sambaran angin pukulan itu. Jalan satu-
satunya yang pa-ling aman adalah menyambut pukulan itu, mengadu sin-kang, keras lawan
ke-ras. Apalagi dia memang sudah bosan untuk terus bermain kucing-kucingan dengan
kakek ini, maka jalan satu-satu-nya untuk menentukan kemenangan ha-nyalah mengadu
tenaga sin-kang yang ia percaya tidak akan kalah mengingat bahwa dia telah berlatih
sampai matang di Pulau Es.
Suma Han menancapkan tongkatnya di atas tanah lalu menggunakan kedua tangannya
menerima dorongan kakek itu.
"Jieeetttt!" Dua pasang tangan berte-mu, melekat dan keduanya kini berdiri membungkuk,
saling mengerahkan sin-kang yang mengalir penuh melalui kedua pasang tangan mereka.
Pertandingan ma-ti-matian terjadi karena kini tidak ada lagi istilah mengelak. Yang ada
hanya saling menekan dan mendorong, dan sia-pa kalah kuat tentu akan binasa!
Kedua orang itu kalau dilihat sungguh tidak seperti orang sedang mengadu nya-wa, lebih
mirip dua orang kanak-kanak yang sedang bermain-main. Keduanya berdiri tanpa bergerak,
tampaknya tidak mengerahkan tenaga sama sekali. Akan tetapi kalau orang melihat kedua
kaki Si Kakek dan kaki tunggal Pendekar Su-per Sakti, orang akan terkejut melihat kaki
mereka itu amblas ke dalam tanah sampai selutut! Lebih dari setengah jam mereka
mengadu sin-kang ini. Dari ubun-ubun kepala Suma Han keluar uap putih, sedangkan dari
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
406 kepala botak kakek itu mengepul uap kehitaman. Muka kedua orang sakti itu penuh keringat
yang be-sar-besar dan mata mereka saling pan-dang tanpa berkedip.
Pada saat itu tampak bayangan ber-kelebat dan Kwi Hong telah datang de-ngan pedang di
tangan kanan, pedang yang mengeluarkan sinar kilat. Li-mo-kiam sebatang dari Sepasang
Pedang Iblis! Tanpa banyak cakap lagi, Kwi Hong yang melihat betapa pamannya mengadu
sin-kang dan berada dalam keadaan yang amat berbahaya, lalu menerjang maju dan
menggerakkan pedangnya menusuk ke arah mata kakek itu.
Cui-beng Koai-ong terkejut sekali. Melihat sinar pedang yang seperti kilat yang
mendatangkan hawa yang mujijat itu, tahulah dia bahwa pedang itu meru-pakan pusaka
yang amat ampuh. Dia mengeluarkan pekik mengerikan, dari mulutnya menyembur darah
merah ke arah muka Suma Han. Pendekar sakti ini kaget, cepat dia pun mengerahkan
tenaganya sekuatnya mendorong, mem-barengi gerakan kakek itu yang juga mendorong
dan keduanya terpental ke belakang, sedangkan pedangnya tidak mengenai sasaran.
Melihat pamannya ter-pental dan terhuyung, juga kakek itu terhuyung, Kwi Hong cepat
menerjang lagi, yang diarah adalah sepasang mata kakek itu. Sekali ini, Cui-beng Koai-ong
tidak berani menangkis, hanya cepat me-ngelak dan tangannya meluncur ke de-pan, hendak
merampas pedang sedang-kan tangan kanannya mencengkeram ke-pala Kwi Hong.
Dara itu terkejut sekali, menarik kembali pedangnya karena khawatir terampas sembil
melempar tubuh ke be-lakang, namun tetap saja pundaknya tersentuh jari tangan kakek itu
dan ia ter-pelanting, merasa betapa seluruh pundak kirinya seperti lumpuh!
"Heh-heh-heh, pedang setan, seperti milik muridku. Serahkan padaku!"
Kakek ini menubruk lagi dan Kwi Hong segera terdesak hebat memutar pedang melindungi
tubuhnya. Untung ia melakukan hal ini karena kalau hanya mengelak, tentu dia akan celaka.
Kece-patannya masih kalah jauh, tidak dapat mengelak hawa sin-kang kakek yang lu-ar
biasa itu. Akan tetapi begitu ia me-mutar pedang, membuat pedang itu membentuk gulungan
sinar yang merupa-kan perisai bagi tubuhnya, kakek itu ti-dak berani menyerangnya.
Suma Han sudah bangkit berdiri, akan tetapi betapa kagetnya ketika ia merasa hawa panas
menyerang dada, terus turun ke pusar. Cepat ia menahan napas dan tahulah dia bahwa adu
tena-ga tadi telah membuat dia terluka sebelah dalam tubuhnya! Dia tidak tahu bah-wa
kakek itu pun terluka di sebelah dalam, dan karena Si Kakek nekat menyerang Kwi Hong
maka tidak tampak bah-wa kakek itu pun terluka.
Karena khawatir akan keselamatan keponakannya yang kini dia tahu bukan melarikan diri
karena takut, melainkan mengambil pedang Li-mo-kiam, maka Suma Han berkata, "Kwi
Hong, serang kakinya! Telapak kakinya!"
Biarpun seruan ini merupakan pesan aneh yang membingungkan Kwi Hong, akan tetapi
tanpa ragu-ragu ia menurut petunjuk pamannya dan kini dari gulung-an sinar pedang itu
meluncur sinar kilat yang membabat ke arah telapak kedua kaki Cui-beng Koai-ong! Kakek
ini ka-get, sama sekali tidak mengira bahwa rahasianya telah diketahui Suma Han, maka
tentu saja dia tidak mau membiar-kan bagian tubuhnya yang tidak begitu kebal itu tertusuk
atau terbabat pedang. Melihat sinar pedang itu, terpaksa ia mengibaskan tangannya
menangkis. "Crakkk!" Tangkisan itu membuat Kwi Hong terlempar, akan tetapi jari kelingking tangan kiri
kakek itu pun ter-babat putus oleh Li-mo-kiam! Anehnya, tidak ada darah keluar dari luka itu!
Si Kakek menjadi marah sekali, lalu menerjang maju dengan ganas. Melihat ini, Suma Han
cepat meloncat pula ke depan.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
407 "Bresss!" Dua orang itu saling pukul dan mereka terlempar lagi ke belakang. Suma Han
merasa betapa kepalanya pening dan pandang matanya berkunang, akan tetapi kakek itu
masih dapat bang-kit dengan cepat. Kwi Hong melihat bahwa pamannya tetap duduk di atas
tanah, akan tetapi kakek itu pun berdi-rinya bergoyang-goyang tidak tegak lagi. Melihat ini,
dan karena hatinya besar menyaksikan betapa pedangnya dapat membuntungi kelingking
lawan, ia me-nerjang lagi, menggerakkan pedangnya, dibacokkan ke arah kepala. Kini dia
me-rasa yakin bahwa pedangnya akan dapat menembus kekebalan kakek luar biasa itu.
"Trangggg.... aihhhh!" Kwi Hong men-jerit kaget ketika pedangnya tertolak ke belakang dan
ketika ia memandang, ternyata yang menangkis pedangnya adalah yang memegang pedang
persis pedang-nya sendiri, hanya agak lebih panjang! Ternyata pedang pemuda itu sanggup
menandingi pedangnya dan ia teringat kini wajah yang tampan itu, dan ingat pula akan cerita
Bun Beng, bahwa pe-dang Lam-mo-kiam terampas oleh pute-ra Pulau Neraka.
"Kau...." Keparat....!" Dia membentak.
Akan tetapi pemuda itu sudah menyambar tubuh Cui-beng Koai-ong dengan lengan kirinya,
kemudian setelah me-mandang dengan mata mendelik penuh kebencian kepada Suma Han,
lalu melon-cat dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, meninggalkan pantai itu.
"Tunggu, jahanam....!" Kwi Hong membentak dan hendak mengejar.
"Kwi Hong, jangan kejar....!" Suma Han berseru. Dara itu berhenti, mene-ngok dan
terkejutlah dia ketika melihat pamannya muntahkan darah segar dari mulutnya.
"Aihhh, Paman....!" Ia meloncat meng-hampiri.
Akan tetapi Suma Han mengangkat tangan mencegah gadis itu menyentuh-nya. "Tidak apa-
apa, Cui-beng Koai-ong luar biasa saktinya, dan pemuda tadi gerakannyapun hebat. Kalau
kau menge-jar, bisa berbahaya.... coba ambilkan tongkatku...."
Kwi Hong mencabut tongkat paman-nya dan menyerahkan kepadanya. "Mari kita menemui
bibimu Phoa Ciok Lin...." katanya menuding dan dari utara tam-pak Phoa Ciok Lin datang
berlari-lari, diikuti oleh beberapa orang tokoh Pulau Es yang membawa senjata. Mereka
su-dah mendengar dari Kwi Hong akan munculnya kakek sakti dan hendak mem-bantu. Alis
Ciok Lin berkerut penuh ke-khawatiran ketika ia melihat Suma Han terluka, namun Suma
Han tetap tenang, lalu bersuit memanggil burung rajawali yang segera terbang turun.
"Rajawali Pulau Neraka...." katanya tersenyum duka. "Beterbangan bingung kehilangan
tempat, dapat kutundukkan.... kau pelihara baik-baik Kwi Hong. Mari kita ke tempat kalian....
aku perlu mengaso...."
Dengan perawatan penuh perhatian dan teliti oleh Phoa Ciok Lin, Suma Han mengobati
sendiri lukanya di dalam dada dengan jalan mengatur napas dan bersamadhi. Dia seringkali
tampak ter-menung memikirkan perkembangan hidup-nya yang makin diselimuti kesukaran
dan kegagalan. Hatinya masih tertindih oleh duka kalau dia teringat akan Nirahai dan Lulu,
dan kini Pulau Es dihancurkan pula oleh pasukan pemerintah. Di dalam perjalanannya, dia
mendengar akan hal itu. Ketika ia cepat menuju ke Pulau Es, dilihatnya pulau itu telah
hancur dan terbakar. Dapat dibayangkan betapa duka hatinya ketika ia melihat mayat-mayat
anak buahnya yang telah mulai rusak. Dengan keharuan yang ditekannya, Suma Han
mengubur semua mayat itu seorang diri saja, kemudian meninggalkan pulau itu dan cepat
menuju ke Pulau Neraka karena dia pun mendengar bahwa pulau ini pun menjadi sasaran
penyerbuan pasu-kan pemerintah pula. Juga di pulau ini dia melihat kehancuran, hanya tidak
ada sebuah pun mayat di situ. Di pulau inilah ia bertemu dengan rajawali yang da-pat ia
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
408 tundukkan ketika rajawali yang kebingungan itu menyerangnya. Kemudi-an dia menunggang
rajawali, dengan ni-at untuk mencari Maharya, merampas Hok-mo-kiam dan menghukum
orang-orang yang telah menghancurkan kedua pulau, yang ia tahu dipimpin oleh Koksu
Bhong Ji Kun. Akan tetapi, dia tidak berhasil menemui mereka karena mere-ka itu pergi ke
Cui-lai-san, di mana di-adakan pertemuan antara orang-orang kang-ouw atas undangan
Thian-liong-pang.
Suma Han menyusul ke sana dan menyaksikan pertandingan-pertandingan dari udara. Dia
tidak akan mau mencam-puri, karena dia maklum bahwa pasukan pemerintah pasti tidak
akan mudah di-lawannya dan dia harus menanti kesem-patan yang lebih baik untuk
menghadapi Bhong Ji Kun dan pembantu-pembantu-nya, tanpa ribuan orang pasukan yang
menjaganya. Maka terbanglah rajawali itu ke utara, di mana dia tahu tentu bersembunyi sisa
anak buahnya di pantai utara yang telah ia beritahukan Phoa Ciok Lin sebagai tempat
mengungsi kalau terjadi sesuatu di Pulau Es. Memang jauh sebelum peristiwa menyedih-kan
di Pulau Es, Suma Han telah ber-siap-siap mencari tempat di mana anak buahnya dapat
pergi mengungsi karena dia maklum bahwa yang sudah jelas, Lulu dengan anak buah Pulau
Neraka bermaksud menyerbu Pulau Es, juga Thian-liong-pang yang makin besar
ke-kuasaan dan kekuatannya itu memperlihatkan sikap memusuhi Pulau Es.
Demikianlah, secara kebetulan dia melihat keponakan atau muridnya teran-cam oleh kakek
yang amat lihai sehing-ga akhirnya dia sendiri terluka. Kurang lebih sebulan kemudian,
sembuhlah luka-nya, akan tetapi kembali Suma Han ha-rus mengalami tekanan batin ketika
mendengar bahwa Kwi Hong telah me-ninggalkan tempat itu tanpa pamit, ti-dak tahu ke
mana perginya dan tak seorangpun mengetahui apa kehendak dara yang kadang-kadang
memiliki watak keras dan aneh itu. Mendengar laporan itu, Suma Han menghela napas
panjang. "Biarlah, dia sudah dewasa dan sudah mampu menjaga diri sendiri. Hanya aku khawatir,
dengan pedang itu di tangan-nya, akan terjadi banyak bencana. Mu-dah-mudahan saja tidak
demikianlah."
"Taihiap, mengapa kau tidak minta saja pedang itu" Sepasang Pedang Iblis adalah pedang
yang mengandung hawa jahat. Memang benar bahwa Hong-ji me-miliki dasar yang baik dan
kuat, akan tetapi dia masih begitu muda dan pe-dang itu benar-benar mengandung hawa
yang mengerikan."
"Hemmm, betapa mungkin kuminta" Pedang itu adalah pemberian Gak Bun Beng, aku tidak
berhak memintanya. Segala apa biarlah kuserahkan ke tangan Tuhan, dan aku sendiri akan
mencari Hok-mo-kiam, karena hanya dengan Hok-mo-kiam sajalah Sepasang Pedang Iblis
dapat ditundukkan. Yang berada di ta-ngan Kwi Hong kiranya tak perlu dikhawatirkan, akan
tetapi yang berada di dangan anak itu...." Dia mengerutkan alisnya dan terbayanglah wajah
pemuda tampan murid Cui-beng Koai-ong yang memandangnya dengan sinar mata penuh
kebencian. Pemuda itu gerakannya lihai sekali dan Lam-mo-kiam berada di tangannya!
"Anak yang mana, Taihiap" Apakah Lam-mo-kiam telah diketahui berada di tangan siapa?"
Suma Han mengangguk "Di tangan putera dari Ketua Pulau Neraka...."
"Aihhhh....!" Ciok Lin menjerit dan saking kasihan kepada Suma Han, dia sampai lupa diri
dan menyentuh lengan pendekar itu. Setelah dia sadar akan hal ini, cepat-cepat dia menarik


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali tangannya dan menarik napas panjang. "Putera.... Lulu....?"
Suma Han tidak heran akan hal ini. Phoa Ciok Lin dapat dikatakan bukan orang lain, seperti
bibi sendiri dari Kwi Hong dan yang mendidik sejak kecil ada-lah wanita inilah. Tentu Kwi
Hong telah menceritakan semua pengalamannya ke-tika terculik di Pulau Neraka.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
409 "Lalu.... bagaimana baiknya, Taihiap?"
"Aku harus mendapatkan Hok-mo-kiam, aku harus menghajar mereka yang menghancurkan
Pulau Es dan Pulau Ne-raka. Aku harus mencari Lulu dan Nira-hai.... dan aku akan
mengumpulkan Sepa-sang Pedang Iblis untuk kuhancurkan agar kelak jangan menimbulkan
banyak keributan lagi di dunia ini," kata Suma Han dengan suara tegas.
Ciok Lin menghela napas panjang lagi. "Mudah-mudahan kau berhasil, Tai-hiap. Terutama
sekali.... eh, menemukan kembali Lulu dan Nirahai dan berhasil berkumpul lagi dengan
mereka...." Terde-ngar suara wanita itu yang mengandung isak tertahan. Kini Suma Han
yang menggerakkan tangan memegang lengan-nya.
"Ciok Lin, aku tahu semua perasaan yang terkandung di dalam hatimu, dan aku merasa
betapa engkau telah melimpahkan banyak budi terhadap diriku. Akan tetapi, engkau pun
tentu tahu pu-la akan keadaan hatiku, Ciok Lin. Andai-kata tidak ada kedua orang wanita itu
di dunia ini, aku tentu akan berbahagia sekali hidup bersamamu. Akan tetapi, mereka...."
Phoa Ciok Lin mengejap-ngejapkan kedua matanya sehtngga dua titik air mata yang
bergantung di bulu matanya jatuh ke bawah kemudian dia memaksa diri tersenyum dan
memaksa wajahnya berseri ketika berkata.
"Taihiap, saya mengerti bahwa hidup-mu hanya untuk Lulu dan Nirahai.... dan saya
bukanlah seorang yang hanya mengejar kesenangan sendiri, Taihiap, Saya akan merasa
berbahagia sekali melihat engkau dapat berkumpul dan hidup baha-gia bsrsama mereka."
Suma Han menggenggam jari-jari tangan wanita itu dan memandang penuh rasa syukur
dan berterima kasih. "Eng-kau seorang wanita yang amat mulia, Ciok Lin," katanya dan kata-
kata ini memang keluar setulusnya dari dalam hati. Dia maklum bahwa cinta kasih se-perti
yang terdapat di hati Ciok Lin terhadap dirinya itulah yang mcrupakan cinta kasih murni, cinta
yang bebas dari rasa sayang diri, bersih dari rasa ingin memiliki dan ingin senang untuk diri
sendiri, melainkan seratus prosen ditujukan untuk melihat orang yang dicinta ber-bahagia.
Phoa Ciok Lin makin berseri wajah-nya. Dia maklum bahwa biarpun semen-jak tinggal di
Pulau Es, hatinya telah jatuh cinta kepada pendekar sakti kaki buntung sebelah yang tiada
keduanya di dunia ini, namun dia mengenal pula sia-pa orang yang dicintainya. Dia tahu
bah-wa tak mungkin dia dapat mengharap-kan cinta kasih Suma Han terhadap diri-nya. Oleh
karena itu, dia sudah merasa cukup bahagia kalau dapat bersahabat dengan pendekar ini,
apalagi dianggap sebagai seorang sahabat yang baik! Me-lihat betapa pelimpahan cintanya
mem-buat pendekar itu makin merasa berdo-sa dan berduka, dia cepat mengalihkan
percakapan dengan pertanyaan yang serius.
"Taihiap, kalau engkau pergi menca-ri Hok-mo-kiam dan memberi hajaran kepada orang-
orang jahat yang telah menghancurkan Pulau Es dan Pulau Neraka, habis bagaimanakah
dengan anak buah kita" Agaknya pada waktu seka-rang, tidak mungkin lagi bagi kita untuk
kembali ke Pulau Es, dan untuk membi-arkan mereka tinggal di tempat ini seba-gai buronan
yang bersembunyi, amat menyengsarakan mereka pula. Apakah yang harus saya lakukan,
Taihiap?" "Engkau benar, Ciok Lin. Memang te-lah lama aku memikirkan hal ini, jauh sebelum pulau
kita diserbu pasukan pemerintah. Engkau pun tahu bahwa dahu-lu aku tidak bermaksud
mendirikan se-buah perkumpulan atau kerajaan kecil di Pulau Es, hanya karena kasihan
melihat anak murid In-kok-san dan para be-kas pejuang yang tertawan oleh tokoh-tokoh
Pulau Neraka, maka pulau kita menjadi sebuah pulau yang banyak peng-huninya dan aku
dianggap sebagai Ma-jikan atau Ketua Pulau Es. Karena pulau kita terkenal, maka timbullah
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
410 penen-tang-penentangnya dan hal itu sungguh tidak kuinginkan. Oleh karena itu, sete-lah
kini pulau kita dihancurkan pasukan pemerintah dan kalian tidak mempunyai tempat tinggal
lagi, aku membubarkan anak buahku yang pernah tinggal di Pu-lau Es. Kau keluarkan
semua pusaka dan harta yang dapat kaularikan dari pulau, bagi-bagilah harta itu kepada
me-reka agar mereka dapat menggunakan-nya sebagai modal dan hidup di dunia ramai,
membentuk keluarga yang baha-gia. Semua itu kuserahkan kepadamu untuk mengatur
seadil-adilnya sampai lancar dan beres, Ciok Lin."
"Ohhh, saya girang sekali mendengar keputusan ini, Taihiap, karena memang itulah jalan
terbaik. Akan tetapi, me-ngerjakan perintah Taihiap itu dapat sa-ya selesaikan sebentar saja,
harap Tai-hiap suka menyaksikannya dan mening-galkan kata-kata perpisahan untuk
mere-ka. Kemudian, harap Taihiap suka memperkenankan saya untuk.... pergi bersama
Taihiap, membantu Taihiap menghadapi para musuh dan menemukan kembali kedua orang
yang Taihiap rindukan. Saya bersumpah tidak akan mengganggu, saya.... saya rela untuk
menjadi pelayan Taihiap dan mereka yang Taihiap cinta, selama-lamanya...."
"Ciok Lin, harap jangan bicara seper-ti itu! Urusan yang kuhadapi tidaklah ringan. Bhong-
koksu dan teman-teman-nya bukanlah orang-orang yang mudah dilawan, apalagi kini
muncul orang-orang sakti seperti tokoh-tokoh Pulau Neraka yang selama ini
menyembunyi-kan diri. Selain itu, aku tidak berhak merusak hidupmu, Ciok Lin. Engkau
be-lumlah sangat tua, engkau pandai, mulia hatimu dan cantik wajahmu. Engkau ma-sih
belum terlambat untuk membangun sebuah rumah tangga, membentuk sebu-ah keluargamu
sendiri untuk menjamin masa hidupmu kelak. Aku tidak akan tega hati kalau menyaksikan
bekas anak buah yang terpaksa harus kububarkan, biarlah aku pergi lebih dulu sekarang
ju-ga. Maafkan aku, Ciok Lin, bahwa aku tidak dapat memenuhi permintaanmu yang
penghabisan ini. Mudah-mudahan kelak kita dapat saling bertemu kembali dalam keadaan
yang lebih menyenang-kan." Tanpa membuang waktu lagi dan tidak memberi kesempatan
kepada wanita itu untuk membantah, Suma Han me-nekankan tongkatnya di atas tanah dan
di lain saat tubuhnya sudah berkelebat lenyap dan tak lama kemudian tampak seekor burung
rajawali terbang tinggi di angkasa, membawa tubuh bekas Majikan Pulau Es yang duduk
anteng di atas punggung rajawali itu.
Phoa Ciok Lin kini tidak dapat me-nahan lagi air matanya yang turun ber-cucuran ketika ia
menjatuhkan dirinya berlutut di atas tanah, menutupi muka dengan kedua tangan sedangkan
mulut-nya mengeluarkan rintihan yang langsung keluar dari lubuk hatinya. "Duhai, Suma
Han.... betapa aku dapat menikah dengan orang lain" Apa artinya hidup bagiku kalau harus
berpisah dari sampingmu?"
Beberapa hari kemudian, pantai laut yang tadinya menjadi tempat persembu-nyian para
penghuni Pulau Es itu menja-di sunyi. Bekas anak buah Pulau Es telah pergi mencari jalan
hidup masing-masing dan orang terakhir yang mening-galkan tempat itu adalah Phoa Ciok
Lin, seorang wanita yang usianya sudah empat puluh tahun, akan tetapi masih cantik,
berpakaian sederhana, bersikap pendiam namun sinar matanya mengan-dung kedukaan di
samping sinar mata tajam berwibawa. Seorang wanita ber-ilmu tinggi, bekas wakil Pulau Es
yang ditakuti orang-orang kang-ouw!
Ke mana perginya Kwi Hong" Dara itu pergi tanpa pamit. Memang telah la-ma sekali dia
terdorong oleh hasrat un-tuk pergi meninggalkan pantai laut, per-gi merantau. Jauh
bersembunyi di sudut lubuk hatinya, dia menyimpan rahasia yang mendorongnya ingin sekali
pergi merantau itu, yaitu keinginan untuk mencari Bun Beng! Semenjak dia dito-long oleh
pemuda itu dari ancaman bahaya mengerikan ketika dia ditawan di kapal Koksu, melihat
betapa pemuda itu membela Pulau Es secara mati-matian, hatinya makin tertarik kepada
pemuda itu. Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
411 Setelah pamannya kembali, hilanglah rintangan yang menghalanginya pergi meninggalkan
tempat itu. Tadinya dia menekan-nekan hasratnya, mengingat bahwa ia harus mambantu
Ciok Lin mon-jaga para anak buah Pulau Es yang mangungai di situ, menanti sampai
pa-mannya datang. Kini pamannya telah muncul, dan biarpun pamannya kelihatan lelah dan
terluka sehabis bertanding me-lawan kakek yang seperti mayat hidup itu, numun dia percaya
bahwa pamannya yang sakit akan dapat sembuh kembali dan dengan adanya pamannya di
situ, tanaga bantuannya tidak dibutuhkan lagi.
Dengan sebuntal pakaian dan pedang Li-mo-kiam di punggung, Kwi Hong meninggalkan
pantai, melakukan perjalanan ce-pat barlari-larian menuju ke selatan, melalui sepanjang
pantai laut. Dia mera-sa gembira, merasa bebas seperti seekor burung di angkasa. Dia akan
memperlihatkan kepada dunia kang-ouw bahwa dia, murid dan keponakan Pendekar Su-per
Sakti, penghuni Pulau Es, adalah seorang dara perkasa yang akan memba-las terhadap
mereka yang telah berani menghancurkan Pulau Es! Dia akan mem-perlihatkan kepada Gak
Bun Beng bahwa tidak percuma pemuda itu memberi pe-dang Pusaka Li-mo-kiam
kepadanya ka-rena dengan pedang itu, dia akan menggerakkan dunia kang-ouw, akan
membas-mi penjahat-penjahat, akan melakukan hal-hal yang lebih hebat daripada yang
telah dilakukan oleh guru dan paman-nya, Pendekar Siluman!
Langkahnya cepat sesuai dengan ha-tinya yang ringan. Seorang dara cantik jelita, yang
usianya sudah cukup dewa-sa, sudah dua puluh tahun lebih, namun senyum dan sinar
matanya masih kekanak-kanakan seperti seorang dara remaja belasan tahun! Wajahnya
bulat dikelilingi rambutnya yang hitam subur dan gemuk, rambut yang dibagi dua di belakang
ke-pala, dijadikan dua buah kuncir yang be-sar dan dibiarkan bermain-main di punggung dan
pundaknya kalau dia berjalan. Anak rambut halus berjuntai di atas da-hi dan di depan kedua
telinganya, me-lingkar indah seperti dilukis. Sepasang matanya yang agak lebar bersinar-
sinar penuh gairah hidup, agak panas sesuai dengan wataknya, penuh keberanian bah-kan
ada sinar memandang rendah kepa-da segala apa yang dihadapinya. Hidung-nya mancung
dan mulutnya dijaga sepa-sang bibir yang merah segar, bibir yang mudah sekali berubah-
ubah, kalau terse-nyum amat cerah seperti sinar matahari, kalau cemberut amat
menyeramkan se-perti awan gelap mengandung kilat. Pakaiannya terbuat daripada sutera
berwar-na yang halus mahal, akan tetapi ben-tuknya sederhana. Betapapun juga, sega-la
macam pakaian yang menempel di tu-buh itu takkan mungkin mampu menyem-bunyikan
bentuk tubuh dara yang sudah padat dan masak, dengan lekuk lengkung tubuh yang ketat,
seolah-olah hendak memberontak dari kungkungan pakaian yang mengurungnya. Ketika dia
berjalan mengayun langkah menggerakkan kedua lengan, jalan seenaknya tanpa dibuat-
buat, seolah-olah seluruh lengkung tubuhnya menari-nari dengan penuh keserasian,
mengandung daya tarik luar biasa terutama terhadap pandangan mata kaum pria!
Setelah melakukan perjalanan belasan hari lamanya dan mulai memasuki Propinsi Liau-
neng, mulailah Kwi Hong melewati dusun-dusun besar bahkan kota-kota yang ramai.
Tujuannya pertama-tama hanya satu, yaitu ke kota raja. Di sanalah tempat yang harus dia
selidiki, yang menjadi pusat daripada musuh-musuh yang harus dicarinya. Bukankah
penyerbuan oleh pasukan pemerintah yang menghancurkan Pulau Es itu datang dari kota
raja dan dipimpin oleh Koksu ne-gara yang tentu berdiam di kota raja" Sebelum Bun Beng
meninggalkan pantai di mana anak buah Pulau Es mengungsi, pemuda itu sudah
menceritakan dengan jelas siapa-siapa orangnya yang memban-tu Koksu menghancurkan
Pulau Es. Mere-ka adalah kedua orang Lama yang menu-rut pamannya amat lihai dan
adalah mu-suh-musuh lama pamannya, yaitu Thian Tok Lama dan Thai Li Lama dan
ditam-bah lagi dua orang guru murid yang menjadi musuh lama mereka pula, yaitu Tan Ki
atau Tan-siucai yang berotak miring dan gurunya, Maharya! Dia harus mencari mereka itu
semua, bukan hanya untuk membalas kehancuran Pulau Es, akan tetapi juga untuk
berusaha meram-pas kembali Hok-mo-kiam dari tangan Si Sasterawan Gila, Tan-siucai. Dia
mak-lum bahwa semua lawannya itu adalah orang-orang yang amat lihai, akan teta-pi dia
tidak takut! Dengan Li-mo-kiam di tangannya, dia tidak takut melawan siapapun juga.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
412 Bahkan kakek Si Mayat Hidup yang demikian sakti pun, iblis Pulau Neraka itu, dia mampu
melawan dan mendesaknya! Apalagi yang lain-lain itu! Siapa lagi musuh-musuhnya"
Demi-kian Kwi Hong mengingat-ingat sambil melanjutkan perjalanannya. O, ya! Thian-liong-
pang yang dikabarkan memusuhi Pulau Es! Akan dia kacau Thian-liong-pang yang menurut
kabar adalah perkum-pulan yang jahat itu! Dan Pulau Neraka yang pernah menculiknya
adalah adik angkat pamannya sendiri, dan dia sudah dilarang pamannya untuk memusuhi....
eh, siapa namanya" Oh, dia ingat sekarang. Bibi Lulu! Hemmm, dia tidak akan me-musuhi
Bibi Lulu, akan tetapi bocah kurang ajar itu!
Kwi Hong menggigit bibirnya dengan gemas kalau teringat kepada Wan Keng In! Bocah itu
tentu putera Bibi Lulu, pi-kirnya. Kurang ajar dan jahat sekali! Dahulu ketika masih kecil saja
sudah na-kal luar biasa. Apalagi sekarang! Dan ketika menolong Kakek Mayat Hidup,
pedang Lam-mo-kiam berada di tangan-nya! Dia harus mengalahkan bocah itu dan
merampas Lam-mo-kiam karena se-betulnya Bun Beng yang berhak atas pedang itu!
Hari telah senja ketika Kwi Hong yang berjalan sambil melamun itu me-masuki dusun Kang-
san yang cukup besar. Perutnya terasa lapar maka dia lalu ma-suk ke sebuah restoran di
pinggir jalan. Ketika para tamu melihat dia masuk ke restoran itu, banyak mata memandang-nya dengan
terbelalak. Kwi Hong tidak merasa aneh lagi melihat mata laki-laki memandangnya terbelalak
penuh kagum. Hal ini sudah terlalu sering dia alami semenjak dia berusia lima belas tahun
dan melakukan perantauannya keluar Pulau Es. Mula-mula memang dia marah-marah dan
seringkali dia menghajar pe-milik mata yang memandangya secara kurang ajar, seperti mata
kucing meli-hat daging itu, akan tetapi lama-lama dia terbiasa dan kini dia tidak
mengacuhkan lagi ketika semua laki-laki yang sedang makan di restoran itu menyam-but
kehadirannya dengan mata terbela-lak. Bahkan hal ini seperti biasa, mempertebal keyakinan
di hati Kwi Hong bahwa dia adalah seorang dara yang can-tik menarik. Teringat akan ini,
makin girang hatinya karena terbayang oleh-nya betapa di antara sekian banyaknya mata
laki-laki yang bengong mengagumi-nya terdapat sepasang mata Bun Beng! Sayang hanya
bayangan, pikirnya, namun dia penuh harapan sekali waktu akan melihat mata Bun Beng
melotot seperti mata mereka ini ketika memandangnya.
"He, Bung Pelayan! Ke sinilah!" Dia menggerakkan jari memanggil pelayan yang juga berdiri
di sudut melongo memandangnya.
Ketika ia mengangkat muka, Kwi Hong mengerutkan alisnya. Aih, pandang mata mereka itu
tidak hanya kagum seperti biasa, akan tetapi mengandung sinar ketakutan! Hemmm, apakah
dia menakutkan" Kurang ajar! Dia disangka apa sih" Tak puas hati Kwi Hong dan setelah
pelayan datang dekat, dia mem-bentak,
"Heii, mengapa semua orang meman-dangku seperti anjing-anjing takut di-gebuk?"
Seketika mereka yang memandang itu membuang muka dan melempar pan-dang mata ke
bawah, bahkan ada yang bergegas meninggalkan warung.
"Maaf.... maaf.... Lihiap. Kami.... eh, kami tidak apa-apa, hanya kagum meli-hat kegagahan
Lihiap...."
"Hushhh! Bohong kamu!" Kwi Hong menggunakan jari tangannya yang halus dan kecil
memucuk rebung (meruncing) itu mencengkeram ujung meja. "Kressss!" Ujung meja kayu itu
patah dan sekali diremas, kayu di dalam genggaman itu hancur menjadi tepung! "Hayo terus
te-rang bicara kalau hidungmu tidak lebih keras daripada kayu ini!" Kwi Hong men-desis lirih,
akan tetapi penuh ancaman.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
413 Otomatis tangan kiri Si Pelayan me-raba hidungnya, matanya melotot me-mandang tangan
dara itu, bergidik ngeri membayangkan betapa hidungnya akan re-muk kalau kena
dicengkeram seperti itu, lalu menelan ludah, demikian sukar menelan ludah sampai kepala
dan leher-nya bergerak. Beberapa kali bibirnya bergerak tanpa dapat mengeluarkan sua-ra,
akhirnya dapat juga dia bicara,
"Maafkan saya, Lihiap. Sebetulnya kalau saya katakan tadi bahwa kami semua kagum
melihat Lihlap, karena selama ini, beberapa hari yang lalu se-ring kali muncul gadis-gadis
cantik yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa. En-tah betapa banyak orang yang tewas di
tangan gadis cantik itu, dan di dusun ini selama beberapa hari terjadi pertan-dingan-
pertandingan yang menggegerkan penduduk, terjadi di waktu malam. Oleh karena itu, begitu
melihat Lihlap, kami menyangka bahwa Lihiap tentulah se-orang di antara mereka dan kami
kagum sekali."
Kwi Hong sudah menjadi sabar kem-bali. "Hemm, buka mata lebar-lebar se-belum
menyamakan aku dengan orang-orang lain tukang bunuh! Hayo cepat sediakan bakmi
godok istimewa!"
"Istimewa" Maksud Lihiap....?"
"Bodoh! Bakmi istimewa berarti pa-kai telur. Hayo cepat! Dan arak manis yang istimewa!"
"Eh, araknya pakai telur?" Pelayan itu melongo.
"Tolol kamu! Yang istimewa rasanya, bukan pakai telur. Cepat! Bodoh benar pelayan di
sini." Kwi Hong menurunkan buntalan dan pedangnya di atas meja, hatinya tidak marah lagi
akan tetapi masih mendongkol melihat sikap pelayan yang dianggapnya bodoh itu, apalagi
ada beberapa orang tamu yang ia tahu tertawa-tawa geli biarpun mereka me-nyembunyikan
tawa mereka dengan menutupi muka atau memutar tubuh mem-belakanginya.
Tak lama kemudian, pelayan itu datang membawa bakmi dan arak yang dipesan Kwi Hong
dan pada saat itu ter-dengar derap kaki kuda lewat di depan restoran. Suara derap kaki kuda
itu ber-henti tidak jauh dari restoran. Melihat cara para penunggang kuda yang duduk tegak
di atas punggung kuda, rata-rata memiliki sikap gagah dan pimpinan me-reka adalah
seorang wanita muda yang cantik dan gagah, Kwi Hong tertarik sekali.
"Siapakah mereka itu?" tanyanya kepa-da pelayan yang sedang menaruh pesanan-nya ke
atas meja dengan sikap hormat.
"Ah, sekarang saya yakin bahwa No-na bukanlah seorang di antara mereka. Mereka itulah
rombongan yang saya ce-ritakan tadi. Semenjak mereka datang ke dusun ini, setiap malam
terjadi per-tandingan dan pada keesokan harinya tampak macam-macam orang
bergelimpangan."
"Mayat-mayat siapa?"
"Orang-orang yang terkenal memiliki kepandaian tinggi di sekitar dusun ini."
"Apakah rombongan itu orang jahat?"
"Sukar dikatakan, Nona. Mereka, kecuali dara cantik yang kadang-kadang memimpin
mereka selalu membayar makanan yang mereka beli di sini atau di lain tempat. Akan tetapi,
kalau ada yang berani menantang, tentu dia akan celaka karena mereka itu memiliki
kepandaian seperti iblis!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
414 "Hemmm...." Kwi Hong mulai me-nyumpit bakminya, akan tetapi sebelum memasukkannya
ke mulutnya yang kecil dia bertanya lagi, "Rombongan orang apa-kah itu! Dan apa
namanya?"

Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saya tidak tahu jelas, Nona, hanya mendengar kabar angin bahwa mereka adalah orang-
orang Thian-liong-pang yang...."
"Hem, Thian-liong-pang?" Sesumpit bakmi yang sudah menyentuh bibir itu terhenti dan Kwi
Hong menoleh kepada Si Pelayan. "Kudengar tadi kuda mereka berhenti tak jauh dari sini,
mereka ke mana?"
"Mereka bermalam di dalam rumah penginapan satu-satunya yang berada dekat dari sini,
hanya terpisah tujuh ru-mah. Semua tamu, beberapa hari yang lalu, terpaksa harus
meninggalkan pengi-napan karena semua kamar dibutuhkan mereka yang jumlahnya ada
belasan orang. Hemm, hati para penduduk men-jadi gelisah terus selama mereka berada di
sini, Nona. Sungguhpun kami tidak pernah diganggunya, akan tetapi semen-jak mereka
datang, suasana menjadi pe-nuh ketegangan dan hati siapa tidak akan menjadi ngeri kalau
melihat hampir seti-ap malam terjadi pembunuhan" Sudahlah, harap maafkan, Nona, saya
tidak berani bicara lagi tentang mereka." Pelayan itu pergi dan Kwi Hong menjadi panas
hatinya. Hemm, orang-orang Thian-liong-pang yang mengacau dusun ini" Harus dia selidiki!
Malam hari itu Kwi Hong menyem-bunyikan pedang pusakanya di bawah punggung bajunya
dan setelah keadaan menjadi sunyi, dia menggunakan kepandai-annya meloncat ke atas
genteng rumah-rumah orang. Dari atas itu dia terus oerloncatan, mengerahkan gin-kangnya
sehingga kedua kakinya tidak menimbul-kan suara gaduh, terus berlompatan menuju ke
rumah penginapan di mana bermalam orang-orang Thian-liong-pang yang akan dia selidiki.
Dia mendapat kenyataan betapa dusun itu, tepat seperti yang diceritakan Si Pelayan
restoran, diliputi suasana gelisah sehingga sore-sore penduduk sudah menutup pintu, hanya
mereka yang terpaksa keluar rumah. Jalan-jalan raya yang diterangi nyala lampu-lampu
depan rumah, kelihatan sunyi sekali.
Tiba-tiba Kwi Hong menyelinap di belakang sebuah wuwungan, bersembunyi dalam bagian
gelap ketika pandang ma-tanya yang tajam melihat berkelebatnya bayangan tiga orang dari
sebelah kanan. Ketiga orang itu juga berlari di atas genteng mempergunakan gin-kang yang
cukup lumayan. Ketika mereka lewat de-kat, Kwi Hong dapat memandang wajah mereka di
bawah sinar bintang-bintang ditambah sinar api lampu penerangan yang menyorot keluar
dari celah-celah genteng dan rumah orang. Mereka ada-lah tiga orang laki-laki setengah tua,
yang dua orang berpakaian seperti pera-nakan Mongol dan seorang suku bangsa Han yang
berpakaian seorang pelajar. Melihat dua orang berpakaian Mongol itu tidaklah
mengherankan karena di dusun itu yang termasuk Propinsi Liu-neng, daerah utara, banyak
terdapat orang-orang bersuku bangsa Mancu, Mongol dan lain suku bangsa utara lagi. Akan
te-tapi yang membuat Kwi Hong curiga adalah sikap mereka. Mereka tentu bu-kan orang
biasa, karena mereka menggu-nakan jalan di atas genteng seperti dia. Tentu mempunyai
maksud tertentu. Maka diam-diam dia membayangi mereka dari jauh. Tidaklah sukar bagi
Kwi Hong un-tuk melakukan hal ini karena tingkat gin-kang mereka itu masih jauh di
bawahnya sehingga dia dapat membayangi me-reka tanpa mereka ketahui.
Jantungnya berdebar tegang ketika ia mendapat kenyataan bahwa tiga orang itu menuju ke
rumah penginapan di ma-na orang-orang Thian-liong-pang berada dan menjadi tempat yang
akan diselidiki-nya. Apakah tiga orang itu anggauta rombongan mereka"
Pertanyaan ini terjawab ketika mereka tiba di atas rumah penginapan, seorang di antara
mereka, yang berpakaian sas-terawan atau pelajar, berseru nyaring,
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
415 "Manusia-manusia penjilat rendah! Orang-orang Thian-liong-pang pengkhia-nat bangsa!
Keluarlah kalian! Kami ber-tiga, Sepasang Biruang Utara dan aku Tiat-siang-pit Bhe Lok,
datang untuk membalas kematian kawan-kawan seper-juangan kami!"
Kwi Hong cepat bersembunyi, mendekam di balik sebuah wuwungan tak jauh dari situ dan
memandang ke depan pe-nuh perhatian. Kiranya tiga orang itu datang untuk memusuhi
Thian-liong-pang dan diam-diam dia heran mendengarkan mereka menyebut Thian-liong-
pang se-bagai pengkhianat bangsa dan penjilat! Siapakah tiga orang ini dan mengapa pu-la
Thian-liong-pang mereka sebut peng-khianat bangsa" Sepanjang pendengaran-nya Thian-
liong-pang adalah sebuah per-kumpulan yang besar dan amat kuat, bahkan di dunia kang-
ouw hanya ada tiga buah perkumpulan atau nama yang terkenal, yaitu Pulau Es, Pulau
Neraka dan Thian-liong-pang. Belum pernah dia mendengar bahwa Thian-liong-pang adalah
pengkhianat bangsa. Karena dia tidak tahu duduknya perkara, maka dia mengambil
keputusan untuk mendengarkan dan me-nonton saja tanpa mencampuri urusan mereka.
Kalau terbukti bahwa Thian-liong-pang melakukan perbuatan jahat dan mengacau
penduduk, barulah dia akan turun tangan membasmi mereka!
Tiba-tiba suara yang halus nyaring memecah kesunyian menyambut ucapan orang
berpakaian sasterawan yang ber-nama Bhe Lok, berjuluk Tiat-siang-pit (Sepasang Pensil
Besi) itu, "Heeiii, kali-an orang-orang tak tahu malu! Kalian adalah pemberontak hina yang
mengguna-kan sebutan perjuangan dan pahlawan untuk mengelabuhi mata rakyat, siapa
tidak tahu bahwa kalian hanyalah orang-orang yang mencari kedudukan dan ke-sempatan
untuk merampok" Kalau sudah bosan hidup, turunlah!"
"Ha-ha-ha! Orang lain boleh jadi ta-kut berhadapan dengan Thian-liong-pang perkumpulan
hina tukang culik dan tukang curi ilmu orang! Akan tetapi kami Sepasang Biruang dari Utara
tidak takut kepada siapapun juga!" Seorang di an-tara kedua orang peranakan Mongol ta-di
tertawa bergelak, perutnya yang gen-dut berguncang.
"Kalian hanyalah dua orang pelarian dari pasukan Mongol yang sudah kalah, sekarang
masih berani banyak lagak" Turunlah kalau memang berani!" kemba-li suara halus tadi
menantang. Tiga orang itu mencabut senjata ma-sing-masing. Tiat-siang-pit Bhe Lok men-cabut
sepasang senjata yang berbentuk pensil bulu yang seluruhnya terbuat dari-pada besi,
sedangkan kedua orang Mo-ngol itu mencabut sepasang tombak pendek masing-masing,
kemudian ketiganys melayang turun ke pekarangan be-lakang rumah penginapan yang
diterangi oleh lampu-lampu gantung di tiga sudut. Gerakan mereka ringan dan cepat,
se-perti tiga ekor burung yang terbang melayang turun dan begitu tiba di atas tanah,
ketiganya sudah menggerakkan senjata masing-masing, diputar melindungi tubuh kalau-
kalau ada serangan senjata lawan. Aksn tetapi ternyata ti-dak ada senjata rahasia yang
menyam-bar ke arah mereka, bahkan dengan si-kap tenang sekali muncullah tiga orang
kakek yang rambutnya panjang riap-riap-an dan bertangan kosong, keluar dari balik pintu
dan menyambut mereka de-ngan senyum mengejek.
Kwi Hong cepat menyelinap dekat dan mendekam di atas wuwungan, sam-bil bersembunyi
mengintip ke bawah. Dia masih tetap tidak mengerti menga-pa Thian-liong-pang
bermusuhan dengan orang-orang itu. Dari percakapan mereka agaknya mereka itu tidaklah
bermusuh-an pribadi, melainkan karena urusan pe-merintah dan agaknya jelas bahwa
Thian-liong-pang berada di pihak yang memban-tu pemerintah sedangkan dua orang
Mo-ngol dan sasterawan itu adalah penen-tang-penentang pemerintah. Akan tetapi Kwi
Hong tidak tahu persoalannya dan memang sejak kecil pamannya selalu ber-pesan agar dia
tidak mencampuri urusan pemerintah.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
416 "Urusan yang menyangkut pemerintah adalah urusan yang ruwet," demikian antara lain
pamannya berpesan, "ka-rena itu jangan sekali-kali engkau melibat-kan diri dengan urusan
pemerintah. Ba-nyak terjadi pertentangan dan permusuh-an karena pro atau anti suatu
pemerin-tahan yang hanya terseret oleh rasa per-tentangan golongan ataupun terdorong
oleh ambisi pribadi untuk mencari kedu-dukan saja. Di dalam perebutan keduduk-an itu
terdapat lika-liku yang amat ruwet."
Tidaklah mengherankan kalau Pende-kar Super Sakti memesan muridnya atau
keponakannya ini agar jangan melibatkan diri dengan urusan negara karena perta-ma-tama,
Kwi Hong sendiri adalah pute-ri seorang pembesar Mancu. Apalagi ka-jau diingat isterinya
sendiri, Nirahai, adalah puteri Kaisar! Bahkan adik ang-katnya, wanita yang dicintanya
sampai saat itu, Lulu juga seorang wanita Man-cu. Bagaimana dia dapat menentang
pemerintah Mancu"
Kwi Hong mengintai dengan hati tegang ketika melihat betapa tiga orang pendatang itu kini
telah menyerang tiga orang kakek Thian-liong-pang yang bertangan kosong. Gerakan
Sepasang Biruang dari Utara itu amat ganas dan kuat. Sepasang tombak pendek di tangan
mereka mengeluarkan angin mendesing dan setiap serangan mereka dahsyat sekali.
Adapun permainan sepasang pit di tangan sasterawan itu halus gerakannya namun juga
amat cepat dan berbahaya, jelas dapat dikenal dasar ilmu silat Hoa-san-pai yang dimainkan
oleh sasterawan setengah tua itu.
Namun diam-diam Kwi Hong terkejut juga melihat gerakan tiga orang kakek rambut panjang
dari Thian-liong-pang. Mereka itu hebat sekali! Biarpun mereka bertangan kosong, namun
gerakan mereka demikian cepat dan ringan sehingga semua gerakan lawan dapat mereka
elakkan dengan mudah, bahkan mereka membalas serangan lawan dengan totokan Coat-
meh-hoat dari Partai Bu-tong-pai yang amat lihai dan berbahaya! Baru berlangsung tiga
puluh jurus saja Kwi Hong sudah dapat melihat jelas bahwa tiga orang penyerbu itu sama
sekali bukanlah tandingan tiga orang kekek Thian-liong-pang yang lihai itu. Baru tiga orang
saja sudah sedemikian hebat, apa-lagi kalau belasan orang Thian-liong-pang keluar semua!
Dan pemimpin mere-ka tentu lihai bukan main!
Kwi Hong tidak tahu siapa yang be-nar dan siapa salah dalam pertentangan di bawah itu
dan tadinya diapun tidak mau peduli, tidak tahu harus membantu yang mana. Akan tetapi
ketika melihat kenyataan bahwa tiga orang penyerbu itu sama saja dengan mengantar
nyawa secara sia-sia, dia menjadi penasaran juga, apalagi mengingat akan penuturan
pelayan restoran bahwa pihak Thian-liong-pang telah membunuh banyak orang. Tangan
kanannya meraba gen-teng, memecah tiga potong yang digeng-gamnya dan dia berseru ke
bawah, "Sia-sia membuang nyawa dengan ne-kat bukanlah perbuatan gagah, melain-kan perbuatan
goblok! Selagi masih ada kesempatan, menyelamatkan diri tidak mau pergi, lebih tolol lagi!"
Tiba-tiba tiga sinar hitam kecil me-nyambar ke arah tiga orang kakek Thian-liong-pang yang
sudah mendesak lawan. Mereka terkejut dan berusaha mengelak, akan tetapi hanya
seorang sa-ja yang berhasil meloncat ke belakang, bergulingan sampai jauh lalu meloncat
bangun lagi, sedangkan dua orang kakek lainnya sudah roboh karena tertotok sambitan
potongan genteng kecil itu. Mendengar suara itu dan melihat betapa tiga orang lawan
mereka yang lihai di-serang secara gelap, tiga orang penyer-bu itu cepat melompat ke atas
genteng di depan sambil berseru,
"Terima kasih atas pertolongan Li-hiap!" Mereka maklum bahwa ucapan itu memang tepat
dan kalau sampai semua orang Thian-liong-pang turun ta-ngan, tentu mereka akan tewas
secara sia-sia. Maka begitu sampai di atas gen-teng, ketiganya lalu pergi lari secepat-nya
menghilang di dalam kegelapan malam.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
417 "Manusia sombong yang lancang ta-ngan!" Tiba-tiba terdengar bentakan nya-ring dan halus
dan pintu-pintu di rumah penginapan itu terbuka disusul muncul-nya banyak orang yang
dipimpin oleh se-orang dara yang cantik jelita. Keadaan menjadi lebih terang karena di
antara mereka ada yang membawa lampu.
Kwi Hong adalah seorang gadis yang berwatak keras dan tidak mengenal ta-kut. Di dasar
hatinya dia sudah mempu-nyai rasa tidak senang kepada Thian-liong-pang yang menurut
penuturan para pamannya di Pulau Es, merupakan per-kumpulan besar yang bersikap
memusuhi Pulau Es, kini, melihat munculnya dara yang amat cantik dan yang memakinya,
dia menjadi marah dan balas memaki,
"Kaliankah orang-orang Thian-liong-pang yang sombong" Kabarnya Thian-liong-pang
adalah perkumpulan besar yang memiliki banyak orang pandai, ki-ranya tiga orang kalian
tadi sama sekali tidak ada gunanya!"
"Bocah sombong!" Dua orang kakek meloncat ke atas dan gerakan mereka yang amat
ringan itu menandakan bahwa mereka berdua memiliki tingkat kepan-daian yang lebih tinggi
daripada tingkat tiga orang yang tadi melawan tiga pe-nyerbu dan yang dipukul mundur oleh
potongan genteng yang disambitkan Kwi Hong. Dengan gerakan jungkir balik, ke-duanya
sudah menerjang ke arah tubuh Kwi Hong dari dua jurusan, melakukan serangan yang amat
dahsyat dan biarpun mereka menyerang dengan kedua tangan kosong, namun pukulan
mereka menda-tangkan angin keras dan merupakan pukulan yang mengandung tenaga sin-
kang kuat! Namun Kwi Hong adalah seorang dara yang semenjak kecilnya berlatih sin-kang di Pulau
Es, di bawah pengawasan pamannya sendiri, tentu saja dia memiliki sin-kang yang jarang
tandingannya. Melihat datangnya pukulan dari belakang dan depan itu, cepat ia merobah
kedudukan kakinya, tubuhnya dimiringkan sehingga kini pukulan itu tidak datang dari
belakang, melainkan dari kanan kiri. Tanpa menggeser kakinya, dia mengembangkan kedua
lengan, memapaki pukulan itu dengan dorongan telapak tangannya sambil membentak.
"Pergilah kalian!"
Dua orang kakek itu yang tentu saja memandang rendah, melihat betapa gadis itu
menangkis pukulan mereka dengan telapak tangan terbuka, mereka melanjutkan pukulan
dengan pengerahan sin-kang agar gadis yang berani menghina Thian-liong-pang ini dapat
dirobohkan sekali serang.
"Desss! Desss!" Kedua pukulan mere-ka bertemu dengan telapak tangan yang halus lunak,
akan tetapi betapa kaget ha-ti mereka ketika tenaga sin-kang mereka hanyut dan lenyap,
sedangkan dari te-lapak tangan yang halus lunak itu kelu-ar hawa dingin yang demikian
hebat dan cepatnya menyerang mereka melalui le-ngan mereka sehingga mereka merasa
lengan itu lumpuh dan hawa yang dingin lu-ar biasa membuat mereka menggigil, te-rus
hawa dingin itu merayap menuju ke dada. Mereka berusaha mempertahankan diri, namun
dorongan hawa dingin yang lu-ar biasa itu membuat tubuh mereka ter-pelanting dan
terguling ke bawah. Mereka berteriak kaget, berusaha mengerahkan gin-kang, akan tetapi
karena rasa dingin tadi membuat tubuh mereka seperti ka-ku, mereka masih terbanting ke
atas tanah sehingga seorang di antara mere-ka pingsan dan yang seorang lagi bangun
duduk merintih-rintih sambil memegangi pinggulnya yang terbanting keras!
Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring dan tampaklah sinar hitam me-luncur ke atas
dengan cepat sekali. Si-nar itu ternyata adalah sehelai tali yang meluncur keras seperti
seekor ular pan-jang yang hidup, ujungnya bergerak-ge-rak dan menotok ke arah kedua
mata Kwi Hong! Karena cuaca di atas tidak-lah begitu terang, Kwi Hong tak dapat melihat
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
418 ujung tali hitam dan hanya me-nangkap suara dan anginnya, maka dia terkejut bukan main,
cepat ia menggerak-kan kedua tangannya ke depan muka, selain untuk menjaga mata juga
untuk menangkap benda panjang yang menyam-barnya itu.
Kiranya dara jelita yang memegangi tali hitam dari bawah itu lihai bukan main. Dialah yang
mengeluarkan suara melengking tadi dan menggunakan tali hitam untuk menyerang Kwi
Hong yang berada di atas genteng. Begitu melihat gadis perkasa di atas itu hendak
me-nangkap ujung senjatanya yang aneh, dara ini cepat menggerakkan pergelangan
tangannya dan tiba-tiba ujung tali di atas itu tidak jadi melanjutkan se-rangan ke arah mata,
melainkan melun-cur ke bawah dan tahu-tahu telah membelit kaki kiri Kwi Hong dan dara itu
mengerahkan tenaga, menarik tali seca-ra tiba-tiba ke bawah!
"Aihhh!" Kwi Hong terkejut bukan main. Tali itu demikian lemas sehingga ia tidak merasa
ketika kakinya dibelit, tahu-tahu hanya merasa betapa kakinya ditarik dengan kuat sekali dari
atas wu-wungan genteng! Karena tarikan itu tiba--tiba dan juga tenaga tarikan berdasarkan
sin-kang sedangkan tali itu pun amat kuatnya, Kwi Hong tak dapat memperta-hankan
kakinya lagi yang terpeleset dan tubuhnya terpelanting, jatuh ke bawah!
"Haiiiitttt!" Dengan kekuatan yang luar biasa ditambah kegesitannya, Kwi Hong telah dapat
menggerakkan tubuh, tangannya menyambar wuwungan sehing-ga tubuhnya tertahan dan
kini terjadilah tarik-menarik! Dara di sebelah bawah meggunakan kedua tangan yang
meme-gang tali untuk menarik, sedangkan Kwi Hong dengan berpegang pada wuwung-an
genteng, mempertahankan kakinya yang terbelit tali dan ditarik ke bawah. Dia maklum
bahwa kalau sampai dia jatuh ke bawah, tentu dia akan disam-but oleh pengeroyokan orang-
orang Thian-liong-pang. Dia tidak takut dikeroyok, akan tetapi dalam keadaan kakinya
terbelit tali dan jatuh ke bawah, tentu saja keadaannya amat berbahaya. Maka dia
mempertahankan diri mati-matian sambil mengerahkan tenaga pada tangan yang berpegang
pada wuwungan. Tarik-menarik terjadi. Betapapun ju-ga, Kwi Hong tentu saja kalah posisi, dan tiba-tiba
wuwungan genteng itu ti-dak kuat bertahan lagi. Terdengar suara keras dan wuwungan itu
ambrol, gen-teng-gentengnya runtuh ke bawah disu-sul tubuh Kwi Hong yang melayang
tu-run pula. Akan tetapi untung bagi Kwi Hong karena runtuhnya wuwungan itu membuat
orang-orang Thian-liong-pang yang berada di bawah menjadi kaget dan takut tertimpa maka
mereka melon-cat dan menyingkir. Dengan berjungkir balik, Kwi Hong berhasil membuka
lipatan ujung tali pada kakinya dan ketika ia melayang turun dan disambut oleh orang Thian-
liong-pang yang memukulnya, ia cepat menangkis.
"Plak! Plak!"
Kembali Kwi Hong terkejut. Tangkis-annya membuat kedua orang itu terpen-tal, akan tetapi
kedua tangannya juga tergetar hebat, tanda bahwa dua orang yang menyerangnya itu
memiliki sin-kang yang amat kuat.
"Tar-tar-tar-tar!"
Ujung tali panjang itu meledak-ledak di atas kepalanya dan secara berturut-turut, ketika ia
mengelak ke sana-sini, ujung tali itu telah menotok ke arah ubun-ubun, kedua pelipis, jalan
darah di tengkuk dan tenggorokan! Tempat-tem-pat berbahaya yang ditotok, dan semua
merupakan serangan maut berbahaya! Kwi Hong terbelalak dan secepat kilat dia meloncat
ke atas, berjungkir balik dan mengelak serta menangkis totokan ujung tali secara bertubi-tubi
itu. Sementa-ra itu, para anggauta Thian-liong-pang sudah siap dan mencabut senjata
masing--masing. Juga tampak belasan orang yang berpakaian pasukan pemerintah muncul
dari pintu samping. Celaka, pikir Kwi Hong. Kiranya Thian-liong-pang benar--benar bekerja
sama dengan pemerintah dan biarpun dia tidak takut dikeroyok, akan tetapi kalau sampai dia
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
419 bentrok dengan pasukan pemerintah dan dicap pemberontak, bukankah berarti dia akan
menyeret nama baik kehormatan paman-nya" Dia melepaskan lagi gagang Li-mo--kiam
yang sudah dirabanya dan sekali meloncat, tubuhnya sudah melayang ke atas.
Empat orang anggauta Thian-liong-pang berseru dan melompat pula. Akan tetapi, tubuh Kwi
Hong yang masih di atas itu, dapat membuat gerakan salto, membalik dan kedua kakinya
menendang roboh dua orang pengejar terdekat yang juga masih berada di udara! Semua
orang melongo dan kagum. Gerakan itu tiada ubahnya gerakan seekor burung garuda yang
dapat menyerang! Dan me-mang sesungguhnya Kwi Hong mendapatkan gerakan ini karena
meniru gerakan garuda tunggangannya di Pulau Es dahu-lu! Kini semua orang hanya berdiri


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

me-longo memandang bayangan Kwi Hong yang mencelat dan lenyap ditelan kege-lapan
malam. Milana, dara jelita yang mengunakan tali panjang tadi, menjadi penasaran se-kali. Apalagi
ketika tiba-tiba telinganya mendengar suara ringkik disusul derap ka-ki kuda di sebelah
belakang rumah pe-nginapan, mukanya menjadi merah.
"Si keparat itu mencuri kuda kita! Hayo kejar!"
Anak buah Thian-liong-pang cepat ber-lari-larian dan di dalam malam gelap itu mulailah
mereka melakukan pengejaran. Dan memang benar sekali dugaan Mila-na, Kwi Hong telah
meloncat ke bela-kang penginapan dan melihat banyak ku-da di kandang, timbul
kenakalannya. Dia mencuri seekor kuda terbaik dan melari-kan diri naik kuda curian itu!
Gadis yang nakal itu tidak ingat bahwa dengan me-larikan diri berkuda, maka dia memberi
kesempatan kepada orang-orang Thian-liong-pang untuk mengejarnya, karena selain kuda
mengeluarkan bunyi derap kaki yang cukup keras, juga di waktu terang tanah, para
pengejarnya dapat mencari jejak kaki kudanya.
Milana merasa penasaran sekali. Gadis cantik yang sombong itu benar-benar telah
menghina dan mempermainkan Thian-liong-pang! Harus dia akui bahwa gadis itu memiliki
kepandaian tinggi, akan tetapi belum tentu dia kalah ka-lau diberi kesempatan untuk
bertanding secara benar-benar. Tentu saja Milana sama sekali tidak pernah mengira bahwa
gadis cantik itu adalah murid Pendekar Siluman, tidak pernah mengira bahwa dia tadi
bertanding melawan Giam Kwi Hong yang pernah dijumpainya sepuluh tahun yang lalu!
Karena mengira bahwa gadis tadi adalah seorang tokoh kang--ouw yang tentu memusuhi
Thian-liong-pang, Milana menjadi penasaran dan belum puas hatinya kalau dia belum dapat
menguji kepandaian gadis cantik tadi. Maka dia memimpin anak buahnya mela-kukan
pengejaran dengan berkuda pula.
Kwi Hong tidak kalah penasaran di-bandingkan dengan Milana. Sambil mema-cu kudanya
keluar dari dusun menuju ke selatan, tiada hentinya Kwi Hong mengo-mel seorang diri
panjang pendek. Sung-guh menggemaskan hati! Mengapa ham-pir saja dia celaka di tangan
seorang da-ra remaja" Menurut penglihatannya, biar-pun tidak begitu jelas, hanya melihat
da-ri atas dan wajah gadis di bawah itu hanya ditimpa sedikit cahaya lampu, namun dia tahu
bahwa dara yang can-tik jelita itu usianya tentu jauh lebih muda daripada dia. Seorang dara
rema-ja belasan tahun! Dan dia hampir celaka di tangannya! Demikian rendahkan
kepan-daiannya" Bukankah dia murid bahkan keponakan Pendekar Super Sakti, jagoan
nomor satu di dunia yang tiada banding-annya" Pamannya sudah terkenal di seluruh jagat
karena kesaktiannya, menga-pa dia sebagai keponakan dan murid yang telah digembleng
sejak kecil, melawan seorang bocah dari Thian-liong-pang saja hampir keok" Hemm, kalau
saja tidak muncul pasukan pemerintah, tentu dia akan mengajak dara remaja dan semua
anak buahnya berduel sampai mereka dapat membuka mata dan melihat siapa dia!
Pedangnya tentu akan membasmi mereka semua! Kwi Hong merasa pena-saran sekali.
Akan tetapi, diam-diam dia merasa ragu apakah dia benar-benar akan menang melawan
gadis kecil ber-sama belasan orang pembantunya yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
420 "Hemm, kalau dikeroyok, tentu saja berat!" Kwi Hong berjebi. "Kalau main keroyokan,
mereka pengecut! Kalau ma-ju satu demi satu, aku dan pedangku sanggup mengalahkan
mereka semua!"
Kwi Hong melarikan kudanya sampai pagi, tak pernah berhenti. Dia melakukan perjalanan
dalam cuaca remang-remang, hanya diterangi bintang-bintang di langit dan menjelang pagi
barulah muncul bulan sepotong. Setelah mata-hari mulai muncul dari balik daun-daun pohon
di hutan sebelah depan, Kwi Hong baru merasa aman karena tidak terde-ngar sejak lewat
tengah malam tadi su-ara derap kaki kuda yang mengejarnya.
Dia memasuki hutan sambil menjalan-kan kudanya perlahan-lahan. Biarpun dia tidak tidur
semalam suntuk, namun tu-buhnya terasa segar tertimpa sinar ma-tahari pagi dan
memasuki hutan yang yang kelihatan segar kehijauan itu. Kicau burung dan kokok ayam
hutan menyam-but munculnya matahari. Pohon-pohon dengan daun kehijauan dihias embun
mengintan berkilauan di ujungnya. Rum-put-rumput hijau segar membasah dan kadang-
kadang tampak berkelebatnya se-ekor kelinci atau kijang yang melarikan diri bersembunyi di
dalam semak-semak.
Kwi Hong tersenyum gembira. Beta-pa indahnya pemandangan di dalam hu-tan di waktu
pagi, setelah berbulan--bulan dia harus hidup di tepi laut yang kering dan tandus. Betapa
senangnya hidup bebas seperti itu, seperti burung--burung yang berkicauan dan saling
berkejaran. Tiba-tiba alisnya berkerut keti-ka ia melihat seekor burung jantan me-ngejar-
ngejar seekor burung betina, bercanda, berkejaran, bercuit-cuit amat gembira. Teringatlah ia
kepada Bun Beng dan wajahnya yang berseri gem-bira tadi menjadi muram. Ia menghela
na-pas panjang. Kwi Hong tentu akan menjadi murung hatinya, berlarut-larut te
Hati Budha Tangan Berbisa 10 Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung Duel 2 Jago Pedang 3
^