Sepasang Pedang Iblis 16
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 16
r-menung kalau saja matanya tidak terta-rik oleh serombongen orang yang datang dari kiri memasuki
hutan itu pula. Seke-tika ia lupa akan kekesalan hatinya ter-ingat Bun Beng tadi dan kini dia
meng-hentikan kudanya, menanti orang-orang dan memandang penuh perhatian.
Rombongan orang berjalan kaki itu jumlahnya ada lima belas orang dan se-telah mereka
datang dekat, Kwi Hong terbelalak keheranan karena muka orang--orang itu berwarna-warni.
Orang-orang Pulau Neraka! Tidak salah lagi. Dia su-dah tahu akan keanehan para penghuni
Pulau Neraka, yaitu warna muka mere-ka yang seperti dicat itu. Sebagian be-sar adalah
orang-orang yang mukanya berwarna kuning tua, dipimpin oleh dua orang yang bermuka
merah muda. Ah, ternyata bukanlah orang-orang tingkat rendah, pikir Kwi Hong yang sudah
me-ngerti bahwa makin muda warna muka seorang Pulau Neraka, makin tinggilah
tingkatnya. Akan tetapi yang membuat dia terbelalak keheranan bukanlah kenya-taan bahwa
rombongan itu adalah orang--orang Pulau Neraka melainkan benda yang mereka bawa dan
kawal. Benda itu adalah sebuah peti mati! Peti mati ber-ukuran kecil, agaknya untuk seorang
ka-nak-kanak tanggung, dipanggul oleh dua orang dan dipayungi segala! Yang lain--lain
mengiringkan dari belakang.
Begitu mendapat kenyataan bahwa mereka adalah orang-orang Pulau Nera-ka, hati Kwi
Hong sudah merasa tidak senang. Dia maklum bahwa Ketua Pulau Neraka adalah Lulu, adik
angkat paman-nya akan tetapi bukankah kakek mayat hidup yang ia temui di tepi pantai itu
mengatakan bahwa Lulu hanyalah seorang ketua boneka saja" Dan dia pernah dicu-lik ke
Pulau Neraka, dan sikap Bibi Lulu terhadap paman amat tidak baik, apala-gi bocah bernama
Keng In putera Bibi Lulu itu! Dia merasa benci dan begitu melihat orang-orang yang
mukanya ber-aneka warna itu, ingin sudah hatinya untuk menentang dan menyerang
mereka. Akan tetapi, melihat peti mati itu, ke-heranannya lebih besar daripada
keti-daksenangannya maka dia lalu berkata nyaring.
"Heiii! Bukankah kalian ini orang-orang Pulau Neraka" Siapakah yang ma-ti dan hendak
kalian bawa ke mana peti mati itu?"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
421 Seorang wanita setengah tua yang bermuka galak dan seorang laki-laki tinggi besar,
keduanya bermuka kuning tua, meloncat maju dan memandang Kwi Hong dengan mata
bersinar marah. Tentu saja mereka marah menyaksikan sikap seorang gadis yang sama
sekali tidak menghormat padahal gadis itu su-dah tahu bahwa dia berhadapan dengan
orang-orang Pulau Neraka. Sikap seperti itu sama dengan memandang rendah dan
menghina. Selain itu, juga mereka sedang melakukan sebuah tugas yang amat pen-ting dan
rahasia, kini tanpa disengaja berjumpa dengan gadis itu, tentu saja mereka menjadi khawatir
dan tidak senang.
Wanita setengah tua bermuka kuning tua itu menjawab, "Bocah sombong, su-dah pasti peti
mati ini bukan untukmu karena engkau akan dikubur tanpa peti mati!"
"Heiii, apa engkau gila" Aku belum mati, siapa bilang mau dikubur?" Kwi Hong membentak
marah. "Setelah bertemu dengan kami, me-ngenal kami dan bersikap sesombong ini, apakah bukan
berarti engkau menjadi calon mayat?"
"Keparat! Engkaulah yang patut mam-pus!" Kwi Hong balas memaki, matanya yang indah
itu melotot. Kedua orang bermuka kuning tua itu segera menerjang maju dan karena me-reka
memandang rendah kepada Kwi Hong, mereka menyerang sembarangan saja. Yang wanita
menampar ke arah pundak Kwi Hong untuk membuat dara itu turun dari kuda, sedangkan
yang pria menampar ke arah kepala kuda yang ka-lau terkena tentu akan pecah!
"Tar! Tar!" Melihat kedua orang itu menyerang, Kwi Hong tidak mengelak maupun
menangkis, melainkan mengele-batkan perut kudanya, mendahului mere-ka dengan
serangan pecut. Biarpun dia tidak biasa mainkan pecut, namun berkat tenaga sin-kangnya
yang hebat, ujung pecut itu dua kali menyambar dan me-ngarah muka mereka yang
berwarna ku-ning tua!
"Plak! Plak! Aiiihhh....!" Dua orang itu cepat menangkis dan hendak men-cengkeram ujung
pecut, akan tetapi da-pat dibayangkan betapa kaget hati mere-ka ketika lengan mereka
terasa nyeri dan pecah kulitnya, mengeluarkan darah begitu bertemu dengan ujung pecut
yang bergerak dengan kekuatan luar biasa itu!
"Dari mana datangnya bocah som-bong berani main gila dengan penghuni Pulau Neraka?"
Orang tinggi besar ber-muka merah muda membentak keras dan bersama temannya yang
bermuka merah muda pula, yang berkepala gundul dan bertubuh tinggi gendut pendek,
segera menerjang maju. Biarpun jarak di anta-ra mereka dengan Kwi Hong masih ada dua
meter lebih, namun mereka telah melancarkan pukulan jarak jauh. Si Ting-gi Besar
menghantam ke arah Kwi Hong sedangkan Si Gendut Pendek menghan-tam ke arah kuda
yang ditungangi ga-dis itu.
"Wuuuuutttt! Siuuut!"
Kwi Hong terkejut. Bukan main hebat-nya angin pukulan kedua orang itu, maha dahsyat dan
mengandung bau amis seper-ti ular berbisa. Maklumlah dia bahwa kedua orang Pulau
Neraka yang sudah agak tinggi tingkatnya melihat warna mukanya itu memiliki pukulan
beracun, maka dia tidak berani berlaku lambat. Sekali enjot, tubuhnya mencelat ke atas,
akan tetapi terdengar kudanya mering-kik kesakitan dan roboh berkelojotan sekarat.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
422 "Berani kau membunuh kudaku?" Kwi Hong membentak, tubuhnya menukik dan meluncur
ke bawah, cambuknya digerak-kan bertubi-tubi ke arah kepala dan tu-buh Si Gundul Pendek
yang sibuk menge-lak sambil bergulingan.
"Tar-tar-tar-tar!" Biarpun Si Gundul Pendek itu mengelak dan bergulingan ke sana-sini,
namun tetap saja beberapa kali dia kena dihajar ujung cambuk sam-pai kepala gundulnya
lecet dan bajunya robek-robek. Namun temannya sudah me-nerjang Kwi Hong dari belakang
dengan pukulan beracun yang dahsyat, membuat gadis itu terpaksa mencelat ke belakang
meninggalkan Si Gundul dan siap meng-hadapi pengeroyokan mereka. Karena dia maklum
bahwa lima belas orang itu amat lihai, maka tangan kanannya berge-rak dan berbareng
dengan bunyi mende-sing nyaring tampaklah sinar kilat berke-lebat membuat lima belas
orang itu ter-kejut dan otomatis melangkah mundur sambil memandang ke arah pedang di
tangan Kwi Hong dengan mata terbelalak.
"Pe.... dang.... Iblis....!" Si Tinggi Be-sar bermuka merah muda berseru kaget.
"Hemmm, kalian mengenal pedangku" Majulah, pedangku sudah haus darah!" Kwi Hong
menantang. "Melihat pedang itu, kita tidak boleh membunuhnya. Tangkap hidup-hidup, per-gunakan
asap berwarna. Cepat, ketua kita telah menanti, jangan sampai dia ma-rah!"
Mendengar ini, jantung Kwi Hong berdebar. Dia tidak takut akan ancaman mereka untuk
menangkapnya hidup-hidup dengan menggunakan asap berwarna yang ia duga tentulah
asap beracun. Akan tetapi mendengar bahwa Ketua mereka telah menanti, dan agaknya
berada di dekat tempat itu, dia menjadi bingung. Kalau sampai adik angkat pamannya tahu
bahwa dia mengamuk, lalu maju sendiri bagaimana" Selain agaknya tak mungkin dia dapat
menangkan Bibi Lulu itu, juga wanita aneh itu telah meno-long dia dan penghuni Pulau Es
ketika diserang pasukan pemerintah. Apalagi kalau dia teringat akan pesan pamannya,
kemarahannya terhadap orang-orang ini menjadi menurun dan ia membanting ka-kinya
sambil berseru, "Sudahlah, aku mau pergi saja!"
Kwi Hong meloncat, akan tetapi dari depan menghadang enam orang anggauta Pulau
Neraka dengan senjata mereka melintang. Kwi Hong marah, Pedang Li-mo-kiam dipercepat
berubah menjadi segulung sinar kilat. Enam orang itu terkejut, menggerakkan senjata
masing-masing melindungi tubuh dan terdengar-lah suare nyaring berulang-ulang disusul
teriakan-teriakan kaget kerena semua senjata enam orang itu patah-patah dan tubuh gadis
itu mencelat ke depan te-rus lari dengan cepat sekali!
Karena takut kalau-kalau rombongan orang Pulau Neraka itu melakuken pe-ngejaran, bukan
takut kepada mereka melainkan takut kalau sampai bertemu dengan Lulu, Kwi Hong berlari
cepat ke selatan di mana terdapat sebuah anak bukit. Ke sanalah dia melarikan diri de-ngan
bibir cemberut karena pertemuan-nya dengan rombongan Pulau Neraka itu membuat dia
kehilangan kudanya. Akan tetapi kepada siapakah dia akan menumpahkan kemarahannya
den kejengkelan-nya" Betapapun juga, dia tidak mungkin dapat nekat mengamuk dan dapat
meng-hadapi Bibi Lulu apabila wanita itu mun-cul. Hal ini tentu akan membuat paman-nya
marah sekali, sungguhpun dia sama sekali tidak akan takut apabila dia harus menghadapi
Bibi Lulu sekalipun. Apalagi kalau dia teringat akan Keng In, ia bah-kan ingin sekali bertemu
dengan pemuda itu dan menantangnya untuk bertanding, tidak hanya mengadu kepandaian,
akan tetapi juga mengadu pedang mereka. Bukankah Pedang Lam-mo-kiam berada di
tangan pemuda brengsek itu" Pedang itu adalah pedang Bun Beng, dan kalau dia dapat
bertemu dengan Keng In ber-dua saja, dia pasti akan merampaskan Pedang Lam-mo-kiam
dan ia berikan ke-pada Bun Beng!
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
423 Ketika ia tiba di anak bukit itu, kembali ia terkejut karena ternyata bah-wa bukit itu
merupakan sebuah tanah pekuburan yang luas sekali! Di sana tam-pak batu-batu bong-pai
(nisan), ada yang masih baru akan tetapi sebagian besar adalah bong-pai yang tua dan
tulisannya sudah hampir tak dapat dibaca, tanda bahwa tanah kuburan itu adalah tempat
yang sudah kuno sekali. Ia teringat akan rombongan orang Pulau Neraka yang membawa
peti. Celaka pikirnya, aku telah salah lari. Mereka itu menuju ke tempat ini untuk mengubur
peti mati itu. Berpikir demikian, Kwi Hong berlari terus, dengan maksud hendak melewati bukit tanah
kuburan itu dan untuk berla-ri terus ke selatan karena dia hendak mencari musuh-musuh
pamannya, musuh-musuh Pulau Es, di kota raja. Tiba-tiba bulu tengkuknya berdiri dan
kedua kaki-nya otomatis berhenti, bahkan kini ke-dua kaki itu agak menggigil! Kwi Hong
takut" Tidak mengherankan kalau dara perkasa ini ketakutan. Siapa orangnya yang tidak
akan menjadi seram dan ta-kut kalau tiba-tiba mendengar suara orang tertawa cekikikan dan
terkekeh-kekeh di tengah tanah kuburan, sedang-kan orangnya tidak tampak. Suara keta-wa
itu pun tidak seperti biasa, lebih pantas kalau iblis atau mayat yang ter-tawa! Kwi Hong
seorang gadis pembera-ni, akan tetapi baru dua kali ini dia be-nar-benar menggigil ketakutan
dan bulu tengkuknya menegang. Pertama adalah ketika ia menemukan sebuah peti di tepi
laut yang ketika dibukanya ternyata berisi mayat hidup! Ke dua adalah seka-rang ini. Tempat
itu demikian sunyi, ti-dak terdengar suara seorang pun manu-sia. Dan tiba-tiba ada suara
ketawa dan agaknya suara ketawa itu terdengar dari mana-mana, mengelilinginya!
Ah, mana ada setan! Gadis ini berpi-kir sambil menekan rasa takutnya. Dahu-lu pun, mayat
hidup itu ternyata adalah seorang kakek yang sakti, bahkan tokoh pertama dari Pulau
Neraka, bukan setan. Sekarang pun pasti bukan setan, apalagi di waktu pagi ini, mana ada
iblis bera-ni muncul melawan cahaya matahari" Tentu seorang yang lihai sehingga suara
ketawanya yang mengandung tenaga khi-kang itu terdengar bergema ke sekeli-lingnya. Kwi
Hong menjadi tabah dan kini dia menahan napas mengerahkan sin-kangnya, menggunakan
tenaga pendengar-annya untuk mencari darimana datang-nya sumber suara ketawa itu.
Benar saja dugaannya. Suara ketawa yang mengurungnya itu adalah gema sua-ra yang
mengandung khi-kang amat kuat, sedangkan sumbernya dari.... sebuah kuburan kuno!
Kembali ia terbelalak dan bulu tengkuk yang sudah rebah kembali itu kini mulai bangkit lagi!
Suara keta-wa dari kuburan kuno" Apalagi kalau bukan suara setan atau mayat hidup"
Hampir saja Kwi Hong meloncat jauh dan melarikan diri secepatnya kalau sa-ja dia tidak
merasa malu. Biarpun tidak ada orang lain yang melihatnya, bagai-mana kalau ternyata yang
tertawa itu manusia dan melihat dia lari tunggang--langgang macam itu betapa akan
mema-lukan sekali! Tidak, daripada menang-gung malu lebih baik menghadapi kenya-taan,
biarpun dia harus berhadapan de-ngan iblis di siang hari sekalipun!
"Heh-heh-heh-heh, hayo.... biar kecil, hati-nya besar, hi-hi-hik!"
Nah, benar manusia, pikir Kwi Hong yang masih bingung karena suara itu benar-benar
keluar dari sebuah kuburan yang sudah ditumbuhi banyak rumput dan tidak tampak ada
manusia di dekat ku-buran itu.
"Krik-krik-krik!"
"Krek-krek-krek!"
Eh, ada suara dua ekor jangkerik! Makin tertarik hati Kwi Hong, apalagi ketika kembali
terdengar orang tak tam-pak itu bicara sendiri.
"Eh, maju, jangan mepet di pinggir, sekali dorong kau akan jatuh! Ha, biar-pun kecil mrica
tua, makin kecil makin tua dan makin pedas! Ha-ha-ha!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
424 Dengan berindap-indap Kwi Hong ma-ju menghampiri dan hampir saja dia ter-tawa
terkekeh-kekeh saking lega dan geli rasa hatinya ketika melihat bahwa yang disangkanya
mayat hidup atau iblis itu kiranya adalah seorang kakek yang sudah tua sekali duduk
seorang diri di atas tanah depan bong-pai tua sambil mengadu jangkerik di atas telapak
tangan kirinya!
Kakek itu sudah amat tua, sukar di-taksir berapa usianya. Rambutnya yang riap-riapan,
kumisnya, jenggotnya, se-mua sudah putih dan tidak terpelihara sehingga kelihatan mawut
tidak karuan. Pakaiannya pun longgar tidak karuan bentuknya, sederhana sekali. Kakinya
memakai alas kaki yang diberi tali-temali melibat-libat kakinya ke atas, lucu dan kacau. Yang
paling menarik hati Kwi Hong adalah bentuk tubuh kakek itu. Amat kecil! Kecil dan pendek,
se-perti tubuh seorang kanak-kanak saja! Biarpun kakek itu duduk mendeprok di atas tanah,
dia berani bertaruh bahwa kakek itu tentu kalah tinggi olehnya. Akan tetapi kakek itu sama
sekali tidak memperhatikan keadaan sekelilingnya, bahkan tidak mempedulikan keadaan
Kwi Hong sama sekali. Perhatiannya tercurah kepada dua ekor jangkerik di atas telapak
tangannya, pandang mata-nya bersinar-sinar, wajahnya berseri dan kedua matanya yang
amat lebar itu ter-belalak.
Kwi Hong melangkah maju perlahan--lahan sampai dekat sekali. Ia melihat bahwa di atas
telapak tangan kiri ka-kek itu terdapat dua ekor jangkerik yang saling berhadapan,
dipermainkan oleh kakek itu dengan sebatang kili-kili rumput sehingga kedua ekor binatang
itu mengerik keras. Yang bunyi keriknya kecil adalah seekor jangkerik coklat yang tubuhnya
kecil, sedangkan yang ke dua adalah seekor jangkerik hitam yang tu-buhnya lebih besar dan
bunyi keriknya pun lebih besar.
Kwi Hong duduk perlahan-lahan di sebelah kiri kakek itu, mendeprok di atas tanah sambil
menonton. Dia pun tertarik sekali. Selama hidupnya belum pernah dia melihat jangkerik
diadu. Ten-tu saja pernah dia melihat jangkerik akan tetapi tidak tahu bahwa jangke-rik dapat
diadu seperti ayam jago saja. Dia menjadi kagum menyaksikan sikap dua ekor jangkerik itu.
Setelah mengerik dan sayapnya menggembung, sungutnya bergerak-gerak, mulutnya
dibuka lebar siap menyerang lawan, binatang-binatang kecil itu kelihatan gagah sekali.
Teruta-ma sekali pasangan kuda-kuda kakinya, kokoh kuat mengagumkan!
"Hayo, Si Kecil Merah, biarpun kecil jangan mau kalah! Serang....!" Kakek itu tiba-tiba
melepaskan kili-kilinya yang dipegang dengan tangan kanan, diangkat-nya kili-kili ke atas
sehingga kini kedua ekor jangkerik itu tidak terhalang kili--kili dan mereka saling terkam! Kwi
Hong memandang dengan mata terbelalak kagum. Baru pertama kali ini dia me-lihat dua
ekor jangkerik itu benar-benar saling terkam, melompat dengan garang dan saling gigit,
kemudian saling dorong, menggunakan kaki belakang yang besar dan kuat itu untuk
mempertahankan diri. Namun, tentu saja jangkerik hitam yang lebih besar itu lebih kuat.
Jangkerik kemerahan atau coklat lebih kecil terdo-rong terus sampai ke pinggir telapak
tangan, kemudian dilontarkan oleh jangkerik hitam sehingga terlempar jatuh ke atas tanah.
Si Hitam mengerik bangga dan berputar-putaran di atas telapak ta-ngan kakek itu seolah-
olah seorang jago-an yang menantang tanding di atas pang-gung luitai (panggung adu silat)!
"Wah, Si Hitam itu hebat!" Kwi Hong berkata lirih memuji.
"Puhh! Hebat apanya?" Kakek itu mendengus dan mendelik kepada Kwi Hong. "Kalau
bukan kau datang menga-getkan Si Kecil Merah takkan kalah!"
Melihat sikap kakek itu marah-marah tidak karuan kepadanya, menyalahkan dia karena
jangkerik kecil itu kalah. Kwi Hong menjadi mendongkol hatinya. "Apa" Aku yang salah"
Wah, kakek sin-ting, memang jangkerik yang kecil be-gitu mana bisa menang?"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
425 "Siapa bilang tidak bisa menang" Kaukira yang kecil itu harus kalah" Phuah, gadis besar
yang sombong!"
"Plak! Plok!"
Hampir saja Kwi Hong menjerit saking marahnya. Dia tidak melihat ka-kek itu
menggerakkan tangan, akan tetapi tahu-tahu pinggulnya yang berdaging menonjol kena
ditampar dua kali oleh kakek itu sampai terasa panas kulitnya dan debu mengepul dari
celananya yang tentu saja kotor karena dia duduk di atas tanah kering. Kwi Hong meloncat
bangun, siap untuk membalas akan teta-pi karena mendapat kenyataan bahwa kakek itu
lihai bukan main, dapat me-nampar belakang tubuhnya tanpa dia melihatnya, Kwi Hong
meraba gagang pedang.
"Prokkk!" Kakek itu meremas ujung batu bong-pai dan Kwi Hong meman-dang dengan mata
terbelalak. Batu yang amat keras itu diremas seperti orang meremas kerupuk saja, hancur
seperti tepung. Dia sendiri, dengan pengerahan sin-kangnya, mungkin dapat mematahkan
ujung batu bongpai itu, akan tetapi me-remasnya hancur, tanpa sedikit pun keli-hatan
mengerahkan tenaga, benar-benar hebat! Maklumlah dia berhadapan de-ngan seorang
kakek yang amat sakti, akan tetapi juga amat sinting perangai-nya!
Tanpa mempedulikan Kwi Hong yang meloncat bangun, kakek yang bersungut--sungut itu
telah menaruh jangkerik hi-tam yang menang ke dalam lubang yang dibuatnya di atas tanah,
kemudian me-nyambar jangkerik hitam kemerahan yang kalah tadi.
"Kau harus menang! Si Kecil harus menang! Jangan biarkan Si Besar som-bong dan
mengira bahwa Si Besar yang kuat!" Dia bersungut-sungut, mengomel marah-marah tidak
karuan. "Kau harus dijantur biar besar hatimu!" Kakek itu mencabut sehelai ram-but yang panjang,
akan tetapi begitu dipandangnya, rambut putih itu dibuang-nya. "Ah, rambut putih tidak baik
untuk menjantur jangkerik, hatinya menjadi tidak berani bertempur. Heh, gadis besar!
Rambutmu banyak, berikan sehelai kepadaku!"
Biarpun Kwi Hong merasa mendong-kol bukan main, namun dia mulai terta-rik untuk
menyaksikan bagaimana cara-nya kakek itu dapat memaksa jangke-rik kecil maju dan
mengalahkan jangke-rik besar. Biarpun bibirnya sendiri tak kalah runcingnya dengan bibir Si
Kakek karena dia pun cemberut, dicabutnya juga sehelai rambut dan ditiupnya ram-but itu ke
arah kakek yang menerima-nya sambil menjepit rambut dengan kedua jari tangan. Diam-
diam Kwi Hong kagum dan kaget. Sudah begitu tua, akan tetapi pandang matanya masih
lu-ar biasa tajamnya, sehingga dapat me-nangkap dengan jepitan jari tangan sehelai ram-but
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang melayang. Kini kakek itu tidak bersungut-sungut lagi, malah wajah-nya berseru penuh
harapan ketika dia menggunakan rambut untuk menjantur jangkerik kecil merah itu pada
selakang kakinya. Kwi Hong memandang dengan heran dan ngeri. Jangkerik itu dijantur
diputar-putar seperti gasing kemudian dibiarkan berputar kembali pada rambut dan
dimanterai oleh kakek aneh. Entah diberi mantera atau diapakan, buktinya- kakek itu
mulutnya berkemak-kemik de-kat dengan tubuh jangkerik yang berputaran. Setelah gerakan
berputar itu terhenti, berhenti pula mulut yang berkemak-kemik, akan tetapi tiba-tiba kakek
itu meludah kecil tiga kali.
"Cuh! Cuh! Cuh!" Ludah-ludah kecil menyerempet ke arah tubuh jangkerik merah.
"Awas kau kalau kalah lagi!" Kakek itu berkata. "Harus kuberi tambahan se-mangat!" Ia lalu
bangkit berdiri, men-jengking dan menaruh jangkerik yang ma-sih tergantung di bawah
rambut itu de-pan pantatnya, "Busssshh!" Kakek itu melepas kentut yang tepat menghembus
ke arah jangkerik merah.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
426 "Ihhh....!" Kwi Hong mendengus dan melangkah mundur menjauhi kakek jorok (kotor) itu
sambil memijit hidung. Ken-tut yang tidak berbunyi biasanya amat jahat baunya! Akan tetapi
karena dia tertarik sekali, ingin melihat apakah "gemblengan" yang diberikan kakek itu pada
jangkerik merah benar-benar man-jur, Kwi Hong tidak pergi dan masih berdiri menonton.
Kembali kakek itu membalikkan tela-pak tangan kiri, dipergunakan sebagai panggung
pertandingan antara kedua ekor jangkerik itu. Jangkerik merah sudah dile-pas dari rambut
yang menjanturnya, di-taruh di atas telapak tangan kiri kakek itu. Jangkerik itu diam saja,
agaknya nanar dan melihat bintang menari-nari! Sepatutnya begitulah setelah mengalami
gemblengan hebat tadi, kalau tidak na-nar oleh janturan tentu mabok oleh bau kentut. Akan
tetapi agaknya hal ini membuat si Jangkerik timbul kemarahan-nya, buktinya ketika kakek itu
memain-kan kili-kili di depan mulutnya, jangkrik ini membuka mulut lebar-lebar dan
menyerang kili-kili, sayapnya berkem-bang dan mengerik sumbang!
"Ha-ha-ha-heh-heh, bagus! Sekarang kau harus menang!" Kakek itu berkata lalu mengambil
jangkerik hitam dan me-naruh di atas telapak tangannya pula. Dengan kili-kilinya, kakek itu
terus mengili jangkerik merah yang makin ga-nas dan bergerak maju menghampiri jangkerik
hitam yang sama sekali tidak dikili, dibiarkan saja oleh kakek itu.
"Wah, kau licik! Kenapa jangkerik hi-tamnya tidak dikili?" Kwi Hong tidak dapat menahan
kemendongkolan hatinya. Dia tahu bahwa karena tubuhnya kecil pendek, kakek itu berpihak
kepada jang-kerik kecil dan berlaku curang.
"Eh, kalau kau berpihak kepada Si Hitam, boleh kaukili dia!" kakek itu membentak marah.
Akan tetapi karena Kwi Hong belum pernah mengadu jangke-rik, gadis ini berjebi dan tidak
menja-wab, hanya memandang saja.
Biarpun tidak diganggu kili-kili, men-dengar lawan mengerik, Si Hitam itu cepat membalik
dan juga mengerik, menan-tang dengan keriknya yang nyaring sehingga mengalahkan bunyi
kerik Si Kecil yang sumbang. Hampir Kwi Hong berso-rak bangga, akan tetapi dia menahan
di-ri, takut kalau-kalau kakek sinting itu marah lagi.
Setelah kedua jangkerik itu berhadap-an dan siap, kakek aneh itu kembali melepaskan kili-
kilinya dari mulut Si Kecil, mencabutnya ke atas sehingga kembali dua ekor jangkerik itu
saling terkam dan saling gigit. Si Kecil itu kini benar-benar lebih nekat cara berkelahi-nya,
dan agaknya gemblengan kakek ta-di ada gunanya pula karena dia lebih berani, tidak
mudah menyerah seperti da-lam pertandingan pertama. Akan tetapi, betapapun nekatnya,
karena memang kalah kuat, dia didorong terus ke ping-gir dan akhirnya terjengkang ke
bawah. Kalah lagi.
Kwi Hong cepat melangkah mundur dan tepat seperti dugaannya, kakek itu marah-marah
lagi. Batu bong-pai kuno itu mengalami nasib sial! Digempur berapa kali sampai pecah-
pecah dan re-muk-remuk, debu beterbangan ke atas.
"Sialan! Pengecut! Penakut! Kau mem-bikin malu saja! Tidak bisa, kau tidak boleh kalah,
harus menang. Harus kata-ku, tahu" Kalau perlu aku akan meng-gemblengmu selama
hidupku sampai kau menang!"
Kembali dia menaruh jangkerik hi-tam di dalam lubang den mulailah ia melakukan
"penggemblengan" ke dua ter-hadap jangkerik kecil merah. Cara menggemblengnya makin
gila, membuat Kwi Hong mendekap mulutnya menahan keta-wa. Benar-benar kakek sinting,
pikirnya, akan tetapi karena Kwi Hong juga mem-punyai dasar watak gembira, binal dan
nakal, dia ingin sekali menyaksikan jang-kerik gemblengan kakek itu benar-benar akan dapat
menang satu kali saja. Ka-lau kalah terus, dia mempunyai alasan untuk mentertawakan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
427 kakek sinting yang tadi sudah berani menggaplok pinggulnya sampai dua kali. Kalau nanti
kakek itu marah, dia akan melawan dengan pe-dangnya.
Kakek itu benar-benar seperti sin-ting saking penasaran melihat jagonya kalah terus. Tepat
seperti dugaan Kwi Hong, karena merasa bahwa dia adalah seorang yang mempunyai
perawakan ti-dak normal, terlalu kecil pendek bagi ukuran pria, maka tentu saja kakek itu
selalu berpihak kepada apa saja yang ukurannya lebih kecil! Demikian pula da-lam adu
jangkerik ini. Dia akan penasar-an terus kalau Si Kecil belum memang, karena dia melihat
seolah-olah Si Kecil itu adalah dia sendiri. Kini dia membe-nam-benamkan Si Kecil Merah itu
ke dalam.... air kencingnya sendiri. Tanpa mempedulikan Kwi Hong kakek itu me-rosotkan
celananya begitu saja sehingga Kwi Hong tersipu-sipu membuang muka, lalu dia melepas air
kencing ke arah jangkerik merah yang ia masukkan ke dalam sebuah lubang besar di atas
ta-nah. Tentu saja payah jangkerik merah kecil itu berenang di lautan kencing, se-dangkan
Kwi Hong yang berdiri dalam jarak sepuluh langkah saja masih men-cium bau sengak
seperti cuka lama, apalagi jangkerik yang kini dibenamkan ke dalam air kencing! Akan tetapi
kakek itu tidak peduli. Setelah mengikatkan kembali celananya dan membenam-benam-kan
jangkerik jagoannya sampai sete-ngah kelenger, barulah ia menghentikan gemblengannya,
membiarkan jagonya si-uman di bawah sinar matahari, kemudi-an mulailah dia mengadu lagi
dua ekor jangkerik itu.
Anehnya, ketika jangkerik itu digoda kili-kili, dia mengamuk, menggigit asal kena saja, akan
tetapi tidak lagi mau mengerik. Dia betul-betul sudah puyeng sekarang, sudah nekat dan
menyerang ke depan dengan ngawur akan tetapi pantang mundur!
"Bagus, kau kini tidak mengenal ta-kut lagi!"
Kwi Hong lupa akan bau air kencing yang biarpun sudah dihisap tanah masih meninggalkan
bau lumayan, karena dia tertarik maka dia mendekat lagi, bah-kan kini dia duduk di sebelah
kiri kakek itu, menonton penuh perhatian. Dua ekor jangkerik sudah berkelahi lagi di atas
telapak tangan kakek itu. Akan tetapi jangkerik kecil itu mundur terus!
"Kalau sekali ini kalah, kugencet de-ngan batu kepalamu!" Kakek itu mengo-mel dan Kwi
Hong menaruh kasihan ke-pada jangkerik kecil merah itu.
"Kek, tahan pantatnya dengan kili--kili. Dia masih terus melawan, belum kalah, jangan
keburu dia jatuh ke ba-wah!" Kwi Hong yang melihat Si Kecil itu benar-benar nekat, saling
gigit tak dilepaskan lagi, menjadi tegang hatinya dan ingin melihat Si Kecil yang diing-kal-
ingkal (didesak-desak) oleh Si Besar itu dapat menang.
Kakek itu tidak menjawab, akan te-tapi ternyata dia menurut petunjuk Kwi Hong
menggunakan kili-kili untuk menahan pantat jangkerik kecil merah yang terdo-rong terus ke
belakang. Setelah kili-kili itu menahannya, pertandingan menjadi makin seru dan mati-
matian, dan kedua jangkerik saling gigit sampai mulut Si Kecil mengeluarkan air menguning!
Jangkerik hitam yang besar agaknya penasaran, makin dikerahkan tenaga kakinya yang
besar, didorongnya kepala jangkerik kecil yang sudah luka-luka itu sekuatnya sehingga
tubuh jangkerik kecil itu tertekan, terhimpit dan tertekuk ke belakang sehingga akhirnya jatuh
terlen-tang dan si Besar Hitam masih menggi-git dan nongkrong di atasnya. Kakek itu
menjadi pucat wajahnya, matanya terbe-lalak dan perasaannya tertusuk. Akan tetapi tiba-
tiba jangkerik kecil yang ke-hilangan akal itu membuat gerakan membalik sehingga gigitan
terlepas, dan ketika jangkerik hitam besar mengejar, Si Kecil itu menggerakkan kedua kaki
besar ke belakang, menyentik dengan ti-ba-tiba dan gerakannya amat cepat dan kuat.
Akibatnya, tubuh jangkerik hitam besar itu terlempar ke atas dan jatuh. Sial baginya dia jatuh
menimpa batu sehingga kepalanya pecah dan mati di saat itu juga! Lebih aneh lagi, kini
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
428 jangkerik kecil merah yang masih ber-ada di tangan kakek itu mulai mengerik dan bergerak-
gerak ke sana ke mari, seolah-olah menantang lawan!
"Hebat dia....!" Kwi Hong berseru, juga girang sekali. Akan tetapi dia segera menghentikan
kata-katanya dan matanya terbelalak memandang ke belakang ka-kek tua itu. Dari jauh
tampak olehnya rombongan orang Pulau Neraka yang menggotong peti mati, berjalan
menuruni anak tangga batu menuju ke arah mereka!
Kwi Hong merasa khawatir sekali. Dia maklum akan kelihaian orang-orang Pulau Neraka itu.
Akan tetapi dia terhe-ran-heran ketika melihat mereka semua menjatuhkan diri berlutut dan
meletak-kan peti mati itu di depan mereka, terus berlutut tanpa bergerak sedikit pun.
Akan tetapi kakek tua yang kate kecil itu sama sekali tidak mempeduli-kan mereka. Dia
sedang bergembira, girang bukan main. "Heh-heh-ha-ha-ha, kau boleh istirahat dan
sembuhkan luka-lukamu, jagoan cilik!" katanya sambil melepaskan jangkerik itu ke dalam
se-mak-semak. Kemudian dia menari-nari ke-girangan, tertawa-tawa dan bergulingan ke
sana-sini, mendekati bangkai jangkerik hitam, mengejek dan menjulurkan lidah kepada
bangkai kecil itu!
"Heh-heh, kaukira yang besar harus menang" Ha-ha-ha!"
Ketika ia bergulingan itu, tanpa dise-ngaja dia bergulingan ke dekat Kwi Hong. Tentu saja
gadis ini tidak mau tubuhnya terlanggar, maka dia meloncat berdiri. Gerakan gadis ini
disalahartikan oleh Si Kakek sinting, disangkanya gadis itu menentangnya, apalagi dia
melihat bah-wa gadis itu tidak ikut bergembira bersamanya. Marahlah dia dan tiba-tiba ia
menelungkup, menekan tanah dengan kedua tangan dan bagaikan kilat cepat-nya, kedua
kakinya menyepak ke bela-kang persis gaya jangkerik kecil tadi, kedua ujung kaki
menghantam dari ba-wah ke arah tubuh Kwi Hong!
Tentu saja Kwi Hong terkejut sekali. Untuk mengelak sudah tidak keburu lagi maka cepat ia
menangkis. "Desss!" Akibat benturan ini, tubuh Kwi Hong terlempar ke udara, jauh ting-gi dan
"temangsang" di atas dahan-dahan pohon yang tinggi dalam keadaan lemas!
Kakek sinting itu berseru kaget. "Heiii....! Wah, mengapa kau mau saja kusepak?" Secepat
burung terbang, tu-buhnya melayang ke atas tanpa mengin-jak dahan pohon, tangannya
yang berlengan pendek itu menyambar tubuh Kwi Hong dan membawa dara itu meloncat
turun. Sekali ditepuk punggungnya, Kwi Hong dapat bergerak kembali dan ia ter-longong
memandang kakek yang ternyata memiliki ilmu kepandaian luar biasa itu.
Setelah memulihkan kesehatan Kwi Hong, kakek itu melanjutkan bersorak gembira, "Ha-ha-
ha! Hooree! Aku menemukan jurus baru yang hebat! Khusus un-tuk si kecil mengalahkan si
besar, ha-ha-ha!" Tiba-tiba ia melihat rombongan orang Pulau Neraka yang berlutut di si-tu,
lalu suara ketawanya berhenti, dia membentak marah.
"Eiiittt! Siapa suruh kalian berlutut di situ" Hayo pergi semua, jangan gang-gu aku yang
sedang bergembira!"
Kwi Hong kembali terheran-heran. Orang-orang Pulau Neraka yang tidak rendah tingkatnya
itu, mengangguk-ang-guk dan seperti anjing digebah mereka pergi mengundurkan diri,
meninggalkan peti mati dan tampak mereka itu duduk jauh dari tempat itu, seperti
sekumpul-an pelayan menanti perintah majikan. Sedikit pun mereka tidak berani lagi
memandang ke arah kakek sinting!
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
429 "Heh-heh-heh, mereka itu menjemu-kan sekali. Ilmu yang baru ini mana boleh dilihat
mereka" Tentu akan mereka curi kelak. Eh, gadis gede, engkau ikut berjasa dalam
penemuan jurus istimewa ini, maka sudah sepantasnya kalau aku mengajarkan jurus ini
kepadamu."
Kwi Hong menggeleng kepala. "Aku tidak ingin mempelajari jurus yang tidak sopan itu!"
"Wah, lagaknya! jurus tidak sopan, katamu" Hayo jelaskan, apanya yang ti-dak sopan!"
"Aku adalah seorang manusia, seorang gadis pula, bukan seekor jangkerik atau seekor
kuda! Kalau aku mempelajari ju-rus menyepak seperti jangkerik atau kuda itu, bukankah itu
tidak sopan?"
"Uwaaah, sombongnya! Mana ada jurus sopan atau tidak sopan" Hayo jawab, untuk apa
engkau mempelajari jurus--jurus ilmu silat" Bukankah untuk mero-bohkan lawan, untuk
membunuh lawan" Apakah ada cara membunuh yang sopan atau tidak" Kalau dilihat
tujuannya, se-mua jurus yang pernah kaupelajari juga tidak sopan! Hayoh coba kau bantah!"
kakek itu bersikap seperti seorang anak kecil yang cerewet dan mengajak ber-tengkar.
"Sudahlah, aku tak mau banyak bicara dengan tokoh Pulau Neraka!"
"Aihhh! Siapa tokoh Pulau Neraka?"
"Engkau, kakek sinting, apa kaukira aku tidak tahu bahwa engkau tokoh Pulau Neraka?"
"Dari mana kau tahu?"
"Dari mukamu yang tidak berwarna itu, seperti muka mayat!" Kwi Hong ti-dak mau bilang
bahwa dia tahu karena melihat orang-orang Pulau Neraka tadi amat takut dan menghormat
kakek ini karena hal itu menjadi terlalu mudah untuk menduga.
"Ada apa dengan mukaku" Tidak ber-warna" Hemm, kau mau warna apa" Hitam" Nah,
lihatlah!" Kwi Hong ham-pir menjerit ketika melihat betapa mu-ka kakek itu tiba-tiba saja
berubah hitam seperti pantat kuali yang hangus! Hanya tinggal putih matanya dan dua
giginya saja yang kelihatan.
"Apa kau mau yang merah" Dan berbareng dengan ucapannya itu, muka kakek itu menjadi
merah seperti dicat.
"Atau biru" Hijau" Kuning?"
Kini Kwi Hong melongo. Muka itu bisa berubah-ubah seperti yang disebut kakek itu, seolah-
olah ada yang menge-catnya berganti-ganti, dan akhirnya ber-ubah biasa lagi, muka yang
pucat, muka seorang kakek yang berpenyakitan.
"Jelas engkau seorang tokoh besar Pulau Neraka!" Kwi Hong berkata.
"Kalau betul, mengapa" Apa bedanya kalau aku orang Pulau Neraka, atau Pulau Es, atau
pulau kosong, atau dari puncak Gunung Bu-tong-san, atau dari padang pasir! Apa bedanya
kalau aku terlahir sebagai bangsa ini dan bangsa itu" Tetap saja aku seorang manusia
seperti juga engkau! jangan sombong kau, gadis gede...."
"Jangan sebut-sebut aku gede! Apa kaukira engkau ini masih bocah?"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
430 "Eh-eh, yang gede bukan usianya, melainkan tubuhnya. Bukankah engkau gede sekali
kalau dibandingkan dengan tubuhku?"
"Bukan aku yang gede, melainkan engkau kate, terlalu kate, terlalu kecil! Aku biasa saja!
Kau benar-benar men-jengkelkan orang, Kakek sinting. Siapa sih namamu?"
"Heh-heh-heh, kejengkelan bukan da-tang dari luar, melainkan dari dalam ba-tinmu sendiri,
digerakkan oleh pikiran-mu, Nona. Siapa suruh engkau jengkel! Aku memang bukan orang
yang besar, bukan orang ternama, aku hanyalah Bu-tek Siauw-jin (Manusia Rendah Tanpa
Tanding). Aku tidak bicara berlebihan kalau kukatakan bahwa aku adalah da-tuk Pulau
Neraka.... heh-heh-heh... haa" Mengapa kau mencabut pedang" Waduhhh.... pedangmu
itu....! Pedang iblis, seperti yang dipegang murid Suheng!"
Kini Kwi Hong dapat menduga siapa adanya kakek ini. Kiranya sute dari kakek yang seperti
mayat hidup, guru dari Keng In!
"Bagus, ketahuilah, Kakek sinting. Aku adalah Giam Kwi Hong dari Pulau Es! Dan pedang
ini memang benar Li-mo-kiam (Pedang Iblis Betina), sedang-kan Lam-mo-kiam yang
dipegang oleh murid keponakanmu itu adalah barang rampasan, curian yang harus
dikembali-kan kepadaku. Sekarang setelah kita sa-ling bertemu, dua wakil dari kedua pulau
yang bertentangan, kita boleh mengadu nyawa!"
"Mengadu nyawa" Heh-heh-heh, bo-leh! Boleh sekali! Akan tetapi kita ha-rus bertaruh,
tanpa pertaruhan aku ti-dak sudi susah-susah keluarkan keringat!"
Biarpun hatinya mendongkol sekali, Kwi Hong menjadi geli juga. "Bu-tek Siauw-jin, orang
mengadu nyawa mana bisa bertaruh" Yang kalah akan mati, mana bisa memenuhi
pembayaran?"
"Siapa bilang mati" Kalau aku tidak menghendaki mati, mana bisa di antara kita ada yang
mati" Begini, aku akan mainkan jurus baruku yang kaupandang rendah tadi untuk
menghadapi pedang-mu! Kalau pedangmu sampai terlepas, berarti kau kalah den engkau
harus me-nemani aku dikubur hidup-hidup selama seminggu!"
Kwi Hong bergidik. "Gila! Itu sama saja dengan mati!"
"Eiit, siapa bilang sama" Aku sudah berkali-kali dikubur hidup-hidup, sampai sekarang kok
tidak mati" Dikubur hidup--hidup menemaniku berarti mempelajari ilmuku dan menjadi
muridku, mengerti tidak kau, perawan tolol?"
Melihat kakek itu sudah naik pitam lagi, Kwi Hong menahan kegemasan ha-tinya dan
berkata, "Kalau kau yang ka-lah?"
"Kalau aku yang kalah tak usah bica-ra lagi karena aku tentu tidak dapat menjawabmu.
Pedangmu Li-mo-kiam itu bukan sembarangan senjata, jauh lebih tua dan lebih ampuh
daripada aku, kalau aku kalah tentu dia akan minum ha-bis darahku. Nah, kau mulai."
Kwi Hong menjadi serba susah. Biarpun dia tidak sudi menjadi murid seorang tokoh Pulau
Neraka, akan tetapi untuk membunuh kakek sinting ini sebenarnya diapun tidak tega.
Biarpun dari Pulau Neraka, akan tetapi kakek ini hanya sinting den aneh, sama sekali tidak
ke-lihatan jahat, bahkan kegalakannya ter-hadap orang-orang Pulau Neraka tadi, kegalakan
dan kemarahannya terhadap dia, seperti main-main atau pura-pura saja. Selain itu, kakek ini
jelas memiliki kepandaian yang luar biasa, dan dia ber-gidik kalau mengingat akan
kepandaian kakek mayat hidup guru Keng In. Na-mun, demi menjaga nama dan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
431 kehormat-an paman dan gurunya, dia harus me-nang. Apalagi dia memegang Li-mo-kiam
dan hanya dilawan dengan jurus baru yang diperoleh kakek itu dari adu jangkerik tadi.
"Lihat pedang!" bentaknya dan terdengar suara bercuit nyaring dan aneh keti-ka Li-mo-kiam
lenyap berubah menjadi segulung sinar kilat yang mujijat dan mengandung hawa maut.
"Hayaaaa....!" Kakek itu mengelak dan betul saja, dia sudah menjatuhkan diri dan
bergulingan mengelak dari sam-baran pedang.
Kwi Hong yang maklum bahwa dia hanya harus menjaga kedua kaki yang menyepak,
melancarkan serangan bertubi-tubi kepada tubuh kecil yang bergu-lingan itu sehingga
pedangnya menjadi gulungan sinar kilat yang menyambar-nyambar ke bawah. Kakek itu
ternyata memiliki gerakan yang ringan seperti kapas tertiup angin, kadang-kadang da-pat
mencelat ke sana-sini seperti jangke-rik meloncat. Namun sedikitpun kakek itu tidak
mendapatkan kesempatan untuk mempergunakan jurus barunya, yaitu sepakan kuda atau
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jentikan kaki jangkerik! Malah dia repot sekali harus menge-lak terus karena pedang Li-mo-
kiam ada-lah pedang yang amat luar biasa, baru hawanya saja sudah membuat kakek itu
miris hatinya. Tiba-tiba Kakek itu terpeleset jatuh. Kwi Hong cepat mengayun pedang. Tiba-tiba terdengar
suara memberobot dan ternyata kakek itu melepas ken-tut yang besar dan panjang! Kwi
Hong mengerutkan alis, mengernyitkan hidung dan sedetik pedangnya tertunda. Inilah
kesalahannya. Sedetik sudah terlalu la-ma bagi kakek sinting itu untuk mengge-rakkan
kedua kakinya, menyepak seperti yang dilakukannya tadi membuat tu-buh Kwi Hong
terbang. Akan tetapi kini sepakannya mengenai tangan kanan Kwi Hong. Kaki kiri menotok
siku membuat lengan itu lumpuh, kaki kanan menen-dang gagang pedang sehingga pedang
Li--mo-kiam mencelat ke atas mengeluarkan bunyi mengaung.
Ketika Kwi Hong sadar dan kaget bukan main, ternyata kakek itu sudah "terbang" ke atas
menyambar pedangnya, lalu mengembalikan pedang itu sambil tersenyum menyeringai,
"Nah, kau kalah, muridku."
Kwi Hong menerima pedangnya, menyarungkan pedang dan menjawab, "Bu--tek Siauw-jin,
ketahuilah aku adalah murid Pamanku sendiri, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Maka
engkau tentu maklum bahwa aku tidak mungkin dapat menjadi muridmu."
"Apa kaukira aku tidak tahu" Kauang-gap aku ini anak kecil yang tidak tahu apa-apa" Aku
ingin menurunkan ilmu kepadamu, tentang kau menjadi murid atau tidak, peduli amat! Kau
tahu me-ngapa aku ingin menurunkan ilmu-ilmuku kepadamu?"
Kwi Hong makin heran dan kini dia memandang kakek yang sakti itu. "Aku tidak tahu."
"Karena Suhengku Si Mayat Hidup yang bau busuk itu sudah melanggar sumpah!"
"Bagaimana" Aku tidak mengerti."
"Kami bertiga, Suheng Cui-beng Koai--ong, aku dan Sute Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek
yang sudah bersumpah tidak akan menerima murid. Akan tetapi baru--baru ini Suheng
mengambil murid bocah anak ketua boneka Pulau Neraka itu se-bagai murid. Bocah itu
pandai sekali, apalagi kini memegang Lam-mo-kiam, tentu tidak ada yang melawannya.
Kebe-tulan engkau bertemu dengan aku, eng-kau memegang Li-mo-kiam, engkau na-kal
dan cocok dengan aku, dan dasar il-mumu tidak kalah oleh murid Suheng. Nah, kalau aku
menurunkan ilmu kepada-mu, kelak engkaulah yang akan mengha-dapi murid Suheng itu.
Dia sudah melanggar sumpah, biar aku yang mengi-ngatkannya mengalahkan muridnya
oleh muridku!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
432 "Tanpa kauberi pelajaran ilmu pun aku tidak takut menghadapi bocah som-bong itu!"
"Hemm, dia belum tentu sombong, akan tetapi engkau sudah pasti sombong sekali! Engkau
murid Pendekar Siluman, akan tetapi setelah dia menerima ilmu--ilmu dari Suheng, apa
kaukira akan mampu menandinginya" Pedangmu itu tidak ada artinya karena dia pun
mem-punyai pedang yang sama ampuhnya."
"Pedang curian!"
"Curian atau bukan, bagaimana kau akan mampu merampasnya kalau kau tidak mampu
menandingi ilmunya?"
"Siauw-jin.... ehh.... wah, namamu benar-benar aneh, bikin orang tidak enak saja
memanggilnya dengan menyingkat!"
"Heh-heh-heh! Mengapa tidak enak memanggil aku Siauw-jin (Manusia Hina)" Sudah terlalu
halus kalau aku disebut Siauw-jin, ha, ha!"
"Bu-tek Siauw-jin, aku sudah kalah berjanji dan aku harus memenuhi taruh-an kita, aku suka
mempelajari ilmu yang akan kauberikan kepadaku, biarpun untuk itu aku harus dikubur
hidup-hidup. Akan tetapi, bagaimana engkau bisa tahu bahwa aku akan suka
kaupergunakan untuk mengalahkan murid Suhengmu?"
"Kwi Hong, namamu Giam Kwi Hong, bukan" Engkau keponakan Suma Han, engkau puteri
perwira gila she Giam di kota raja, engkau pernah diculik oleh adik angkat Suma Han yang
menjadi ketua boneka di Pulau Neraka. Semua itu aku tahu.... heh-heh, apa yang aku tidak
tahu" Aku tahu bahwa Sepasang Pedang Iblis itu tadinya ditemukan oleh seorang bocah
laki-laki, entah siapa aku tidak kenal. Li-mo-kiam diberikan kepadamu dan Lam-mo-kiam
dirampas oleh murid Suheng maka engkau akan meram-pas kembali pedang itu
memusuhi-nya. Engkau harus menemani aku diku-bur hidup-hidup selama seminggu.
Jangan kau pandang remeh latihan ini. Latihan sin-kang yang luar biasa. Engkau akan
mengenal apa yang disebut Tenaga Inti Bumi! Setelah berlatih samadhi dan sin-kang di
dalam tanah, nanti kuberikan ilmu-ilmuku yang paling istimewa, tiada keduanya di dunia,
termasuk ilmu baru-ku tadi, yang kaukatakan tidak sopan."
"Ilmu tendangan jangkerik?"
"Benar! Siapa tahu, dalam keadaan roboh dan terdesak, terancam malape-taka, engkau
dapat menggunakan jurus itu. Dengan seluruh tubuh tertekan pada bumi, meminjam tenaga
inti bumi, engkau akan dapat mengalahkan lawan yang ja-uh lebih kuat, dalam keadaan tak
ter-duga-duga seperti yang dilakukan jangke-rik kecil tadi. Jurus ini selain dapat
menyelamatkan nyawamu dari ancaman maut, juga dapat merobohkan lawan yang jauh
lebih kuat. Apakah kau masih menganggapnya ilmu tidak sopan?"
Kwi Hong mengangguk. "Aku akan mempelajari semua ilmu yang kauberi-kan."
"Bagus, sekarang kaucarilah sebuah peti mati untukmu. Peti mati besi ini punyaku, dan
terlalu kecil untuk tubuh-mu yang gede."
"Mencari peti mati" Ke mana?"
"Wah, bodohnya. Ratusan peti mati berada di depan hidung, masih tanya harus cari ke
mana" Selamanya tak mempunyai murid, sekali dapat murid, bodohnya bukan main. Di
dalam kuburan--kuburan itu bukankah terisi peti-peti mati?"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
433 Kwi Hong terbelalak ngeri. "Apa" Bongkar peti mati di kuburan" Wah, kan ada isinya!"
"Isinya hanya rangka yang sudah la-puk. Petinya masih baik. Itulah lucunya. Betapapun
kokoh kuat petinya, mayat-nya toh akan membusuk dan rusak. Membuang uang sia-sia
hanya untuk pa-mer saja, akan tetapi menguntungkan untukmu. Petinya yang masih baik
da-pat kaupergunakan!"
Kwi Hong menggeleng-geleng kepala. "Aku tidak bisa, Kek. Tidak mungkin aku sampai hati
membongkar kuburan dan merampas peti dari sebuah kerang-ka manusia!"
"Uuhhh! Sudah bodoh penakut lagi! Apanya yang dipilih?" kakek itu bersuit tiga kali
memanggil anak buahnya. Mun-cullah mereka berbondong-bondong dari tempat mereka
duduk menanti. "Hayo cepat carikan sebuah peti dari kuburan tertua." Bu-tek Siauw-jin meme-rintah.
"Aihhh.... Ji-tocu (Majikan Pulau ke Dua), hamba sekalian telah membawakan sebuah peti
untuk To-cu," kata tokoh Pulau Neraka yang gendut pendek berke-pala gundul. Orang ini
adalah Kong To Tek, seorang tokoh Pulau Neraka yang memiliki ilmu kepandaian cukup
tinggi, bahkan memiliki ilmu mengeluarkan pu-kulan beracun diikuti semburan asap da-ri
mulutnya yang amat berbahaya.
"Cerewet kau! Peti untukku sudah ada, akan tetapi untuk muridku ini be-lum ada! Lihat baik-
baik, dia ini adalah muridku yang akan mengalahkan murid Twa-suheng, tahu" Namanya
Kwi.... eh, lupa lagi. Siapa namamu tadi?"
"Kwi Hong, Giam Kwi Hong," kata gadis itu dengan hati geli menyaksikan tingkah gurunya
yang sinting. "Oya, dia Giam Kwi Hong, murid tunggalku, Hayo cepat, carikan peti mati yang paling baik!"
Kwi Hong memandang dengan hati penuh kengerian betapa orang-orang itu membongkari
kuburan dan akhirnya mendapatkan sebuah peti mati kuno yang benar-benar amat kokoh
kuat dan ukiran-ukirannya masih lengkap. Peti mati itu dibuka, kerangka manusianya
dikeluarkan lalu peti mati kosong itu digotong de-kat Kwi Hong yang memandang dengan
jantung berdebar penuh rasa ngeri. Dia harus tidur di situ" Bekas tempat ma-yat"
"Gali sebuah lubang besar untuk dua peti ini, cepat!" kakek itu kembali memberi perintah
dan belasan orang Pu-lau Neraka itu cepat melakukan perin-tah Bu-tek Siauw-jin. Karena
mereka itu rata-rata lihai dan memiliki tenaga besar, sebentar saja sebuah lubang yang
lebarnya dua meter dan dalamnya juga dua meter telah tergali terbuka menga-nga dan
menantang dalam pandang ma-ta Kwi Hong.
"Lekas kau masuk ke dalam petimu!" Kwi Hong menggelengkan kepalanya. "Eh, apa kau
takut?" Melihat semua mata para penghuni Pulau Neraka itu memandang kepadanya, mendengar
pertanyaan kakek sinting itu Kwi Hong cepat menjawab, "Siapa bi-lang aku takut" Aku hanya
merasa ji-jik, peti mati itu kotor!"
Tentu saja sebetulnya bukan karena kotor dan jijik, melainkan karena takut dan ngeri!
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
434 "Eh, siapa bilang kotor" Orang yang yang sudah mati jauh lebih bersih dari pada orang yang
masih hidup! Hayo ce-pat masuk, atau engkau hendak memban-tah perintah Gurumu dan
tidak meme-menuhi janji?"
Kwi Hong merasa terdesak. Kalau dia tetap menolak, selain berarti dia ti-dak membayar
kekalahan taruhan, dan dianggap takut oleh orang-orang Pulau Neraka, juga kalau kakek itu
menggunakan kekerasan, mana dia mampu mence-gahnya"
"Kalau sudah di dalam peti, bagaima-na engkau bisa melatihku?" Dia menco-ba
menggunakan alasan menolak.
"Bodoh! Biarpun di dalam peti, apa kaukira aku tidak bisa memberi petun-juk" Hayo cepat,
mereka ini sudah me-nanti untuk mengubur kita."
Dengan jantung berdebar penuh ta-kut dan tegang, terpaksa Kwi Hong me-masuki peti mati
itu. Bu-tek Siauw-jin menggunakan tangannya memukul tengah-tengah tutup peti mati yang
tebal. "Brakkk!" papan tebal itu bobol dan ber-lobang ditembus telapak tangannya,
ke-mudian dipasanglah sebatang bambu pan-jang yang sudah dilubangi. "Pejamkan matamu
agar jangan kemasukan debu!" kata kakek itu sambil mengangkat tutup peti mati dan
menutupkannya. Dunia lenyap bagi Kwi Hong. Ketika ia mengintai dari balik bulu matanya, yang tampak
hanya hitam pekat! Ia me-rasa betapa peti mati di mana ia ber-baring terlentang itu bergerak,
kemudian turun ke bawah. Dia sudah diturunkan ke dalam lubang! Memang kakek itu sendiri
yang menurunkannya dan kini ba-tang bambu itu menjadi lubang hawa yang lebih tinggi
daripada lubang tanah itu, dua jengkal lebih tinggi.
Bu-tek Siauw-jin memasuki petinya yang kecil, menutupkan petinya dari da-lam dan peti itu
dapat bergerak sendiri, meloncat ke dalam lubang, persis di samping peti mati Kwi Hong!
Anak bu-ahnya yang sudah tahu akan kewajiban mereka, cepat menguruk lubang itu
de-ngan tanah galian sampai dua buah peti itu tertutup sama sekali dan tempat itu berubah
menjadi segunduk tanah di mana tersembul keluar sebatang bambu kecil yang panjangnya
sejengkal dari gundukan tanah. Itulah bambu yang men-jadi lubang angin atau lubang hawa,
penyambung hidup Kwi Hong! Adapun ka-kek sinting itu sama sekali tidak meng-gunakan
bambu untuk lubang hawa.
Belasan orang Pulau Neraka itu lalu beristirahat agak jauh dari "kuburan" itu, karena kalau
kakek itu sedang berlatih seperti itu, sama sekali tidak bo-leh diganggu dan mereka harus
menjaga kuburan itu agar tidak ada yang berani mengusiknya. Akan tetapi mereka pun tidak
berani menjaga terlalu dekat, ka-rena kakek sinting ini benar-benar aneh dan galak sekali,
dan biarpun berada di dalam peti mati yang sudah dikubur, agaknya masih dapat mendengar
perca-kapan mereka yang di atas! Karena itu, mereka lebih "aman" menjaga di tempat yang
agak jauh, akan tetapi siang ma-lam mereka bergilir menjaga dan mem-perhatikan kuburan
itu. Dapat dibayangkan betapa ngeri dan takutnya hati Kwi Hong. Dia mendengar suara
berdebuknya tanah bergumpal-gum-pal yang jatuh menimpa peti matinya, sampai akhirnya
yang terdengar hanya suara gemuruh tidak jelas lagi. Kemudi-an sunyi, sunyi sekali dan
yang tampak hanyalah hitam pekat di sekelilingnya dan di tengah-tengah, tepat di atasnya,
terdapat sebuah bulatan sinar yang me-nyilaukan mata. Dia tidak tahu benda apa itu, setelah
ia meraba-raba dengan tangannya, barulah ia mengerti bahwa sinar bulat itu adalah sebuah
lubang, lubang dari batang bambu yang tentu sa-ja menembus keluar tanah kuburan dari
mana cahaya matahari masuk bersama hawa. Makin ngeri hati Kwi Hong. Lu-bang bambu
itu merupakan gantungan nyawanya! Kalau lubang itu tertutup.... ihh, dia bergidik dan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
435 mendadak saja na-pasnya terasa sesak sekali, seolah-olah hawa di dalam peti mati telah
habis dan lubang itu telah tertutup!
"Kakek sinting....!" Dia memaki ge-mas. "Kalau engkau menipuku dan aku sampai mati di
sini, aku akan menjadi setan dan belum puas hatiku kalau se-tanku belum mencekik lehermu
sampai putus!"
Tiba-tiba terdengar suara, jelas akan tetapi terdengar seperti amat jauh, sua-ra dari balik
kubur! "Uwaaahhh, ganas sekali engkau! Belum menjadi setan sudah demikian ganas,
apalagi kalau benar-benar menjadi setan! Kwi Hong, eng-kau muridku, aku Gurumu, mana
mungkin Guru mencelakakan murid" Kau lihat, ada tabung bambu untuk hawa se-gar.
Bernapaslah dalam-dalam, pejamkan matamu, dan dengarkan baik-baik, kita mulai berlatih
pernapasan, samadhi dan menghimpun sin-kang dari hawa inti sari bumi...."
Dengan penuh perhatian Kwi Hong mendengarkan suara kakek itu yang ter-dengar jelas
sekali, mendengarkan cara-cara berlatih pernapasan yangg istime-wa, kemudian
mencobanya dalam prak-tek dengan petunjuk-petunjuk suara kakek itu. Dia bukan saja
dilatih pernapasan yang amat aneh, juga dilatih untuk ber-napas di dalam ruang tertutup di
bawah tanah! "Jangan memandang ringan latihan ini, muridku. Tahukah mengapa kami to-koh-tokoh dan
datuk-datuk Pulau Neraka melakukan latihan ini" Terciptanya dari keadaan yang memaksa
kami. Bayangkan saja keadaan Pulau Neraka pada ratusan tahun yang lalu, sebelum semua
kesukar-an dapat ditaklukkan seperti sekarang ini. Hidup di permukaan pulau merupa-kan
hal yang mustahil apalagi kalau ular-ular dan semua binatang berbisa mengamuk, rawa-
rawa mengeluarkan ha-wa beracun dan terbawa angin menyapu seluruh permukaan pulau!
Terpaksa ne-nek moyang kami mencari tempat persembunyian di dalam tanah! Namun
ma-sih saja diancam bahaya oleh ular-ular dan kelabang-kelabang berbisa. Jalan sa-tu-
satunya untuk menyelamatkan diri ha-nyalah mengubur diri hidup-hidup dan terciptalah cara
berlatih seperti ini! Me-ngapa dilakukan dalam sebuah peti ma-ti" Karena dari sebuah peti
kunolah di-temukan ilmu-ilmu rahasia yang kami miliki. Ketika seorang ii antara nenek
moyang kami bersembunyi di dalam ta-nah dengan mengubur diri hidup-hidup, melindungi
tubuhnya dalam sebuah peti mati kuno yang ditemukan di dalam ta-nah ketika dia menggali
lubang, dia me-nemukan ukiran-ukiran dan coretan-co-retan di dalam peti mati itu yang
ternya-ta adalah ilmu-ilmu rahasia yang agak-nya ditinggalkan oleh nenek moyang Bu Kek
Siansu yang kebetulan mati dikubur di Pulau Neraka! Nah, setelah kau tahu akan riwayat
singkatnya, belajarlah baik-baik karena sesungguhnya, biarpun sifat-nya berbeda, namun
pada dasarnya ilmu-ilmu Pulau Neraka adalah satu sumber dengan ilmu-ilmu Pulau Es."
Dengan tekun dan kini sama sekall tidak berani memandang rendah kepada kakek sinting
itu, Kwi Hong diam-diam memusatkan perhatiannya dan mentaati semua petunjuk kakek itu,
berlatih de-ngan penuh ketekunan dan penuh kete-katan, tidak merasa ngeri atau takut la-gi
karena dia sudah menyerahkan mati hidupnya di tangan kakek yang menjadi gurunya itu.
Sebetulnya apakah yang terjadi de-ngan orang-orang Pulau Neraka" Menga-pa mereka
berada di situ dan bagaima-na pula dengan Lulu yang menjadi Ke-tua Pulau Neraka"
Seperti telah diceri-takan di bagian depan, pasukan pemerin-tah menyerbu Pulau Neraka
dan melihat bahwa Pulau Neraka itu sudah kosong, pasukan pemerintah yang amat besar
jumlahnya itu lalu membakar pulau itu.
Para penghuni Pulau Neraka telah lebih dahulu disingkirkan oleh Lulu, diajak mengungsi
meninggalkan pulau dan karena Lulu maklum bahwa pulau-pulau di sekitar tempat itu tidak
aman bagi anak buahnya, maka dia memimpin rom-bongan perahu yang dipakai mengungsi
itu ke pantai di sebelah barat pulau. Puteranya, Wan Keng In, pada waktu ter-jadi
penyerbuan itu, tidak berada di pu-lau karena memang puteranya itu pergi bersama gurunya
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
436 yang belum pernah di-jumpai Lulu. Ketika perahu-perahu yang ditumpangi oleh hampir
seratus lima pu-luh orang penghuni Pulau Neraka itu ti-ba di pantai, ternyata Wan Keng In
te-lah berada di tepi pantai, berdiri tegak dan bertolak pinggang dengan sikap angkuhnya.
"Ibu, kulihat dari jauh asap menge-pul di pulau kita dan sekarang ini Ibu hendak membawa
anak buah kita ke ma-na" Apa yang telah terjadi?"
"Pulau kita diserbu pasukan pemerin-tah. Untung aku telah menduganya ter-lebih dahulu
dan membawa anak buah me-larikan diri," jawab Lulu.
"Ahh, mengapa melarikan diri" Me-ngapa Ibu tidak memimpin anak buah melawan"
Sungguh memalukan sekali, la-ri terbirit-birit seperti serombongan pe-ngecut. Bukankah
Pulau Neraka sebagai sarangnya orang-orang berilmu tinggi?"
Lulu memandang puteranya dengan marah. "Enak saja mencela! Engkau sen-diri mengapa
tidak datang melihat pu-lau kita terancam" Bagaimana kita mampu melawan pasukan
pemerintah yang jumlahnya seribu orang lebih" Dan pasu-kan itu dipimpin oleh orang-orang
beril-mu tinggi seperti Koksu Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, pendeta India Maharya, kedua
orang pendeta Lama dari Tibet, Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, dan masih banyak lagi
panglima yang lihai."
"Ibu adalah Ketua Pulau Neraka, ma-sa takut menghadapi mereka?" Keng In membantah.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa dari tepi pantai. "Ha-ha-ha, Ketua bone-ka seperti Ibumu
mana mungkin mampu menandingi mereka, muridku" Engkaulah yang dapat menandingi
Koksu itu dan kaki tangannya!"
Lulu cepat membalikkan tubuhnya dan melihat seorang kakek tua setengah telanjang
berjalan terbungkuk-bungkuk dari dalam air laut! Mula-mula yang tampak hanya tubuh atas
sepinggang, makin lama air makin dangkal dan ma-kin tampaklah tubuhnya, akhirnya dia
berjalan dengan tubuh tertutup cawat dan kaki telanjang, berjalan terbungkuk-bungkuk di
atas pasir menghampiri me-reka sambil tertawa-tawa. Melihat ka-kek ini, serta-merta semua
orang Pulau Neraka mengeluarkan seruan kaget dan ketakutan, lalu mereka menjatuhkan
diri berlutut dan menelungkup, tidak berani mengangkat muka apalagi memandang! Melihat
ini, Lulu dapat menduga bahwa tentu orang inilah yang dimaksudkan oleh puteranya, yaitu
orang pertama dari Pulau Neraka yang berjuluk Cui-beng Koai-ong.
"Orang tua, agaknya engkau yang berjuluk Cui-beng Koai-ong. Kalau engkau menganggap
aku Ketua Boneka, mengapa selama itu engkau diam saja" Karena engkau takut terhadap
Pende-kar Super Sakti, maka engkau hendak menggunakan aku sebagai umpan" Kakek
yang sombong dan pengecut, hendak ku-lihat sampai di mana kelihaianmu maka kau berani
mengambil anakku sebagai murid tanpa minta ijin kepada aku yang menjadi Ibunya!"
"Ibu, jangan....!" Wan Keng In berse-ru kaget ketika melihat ibunya mener-jang maju dan
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyerang kakek aneh itu dengan sebuah pukulan yang amat dahsyat. Memang Lulu sudah
marah se-kali, maka begitu dia menyerang, dia te-lah menggunakan jurus simpanan dan
mengerahkan tenaga Swat-im Sin-ciang di tangan kiri dan tenaga Hwi-yang Sin-ciang di
tangan kanan. Dua tenaga inti yang berlawanan ini, yang kiri di-ngin yang kanan panas,
adalah tenaga inti mujijat yang dahulu dia latih ber-sama kakak angkatnya di Pulau Es.
"Desss! Dessss!"
Hebat bukan main benturan pukulan kedua tangan wanita sakti itu, akan te-tapi kakek
setengah telanjang yang menangkis kedua pukulan itu dengan do-rongan tangan, hanya
terdorong mundur tiga langkah saja sambil terkekeh-kekeh mengejek! Hal ini membuat Lulu
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
437 menja-di makin penasaran dan sambil mengelu-arkan suara melengking dia sudah
me-nerjang lagi dengan pengerahan tenaga yang lebih hebat.
"Ibu, jangan! Kau takkan menang!" Keng In kembali mencegah, akan tetapi ibunya tidak
mempedulikan seruannya, dan pemuda ini pun tidak dapat berbuat sesuatu karena ibunya
sudah melancarkan se-rangannya dengan amat cepat dan dah-syat kepada Cui-beng Koai-
ong yang nemandang dengan mulut menyeringai. "Heh-heh, Ibumu sudah bosan hidup,
muridku. Kalau dia ingin mati, jangan dilerang, jangan dihalangi, biarlah!" Ka-kek itu berkata
dan ejekan ini tentu saja membuat Lulu menjadi makin pena-saran dan marah.
"Plak! Plek!" Kedua telapak tangan Lulu kini bertemu dengan kedua telapak tangan kakek
itu, melekat dan terjadi-lah kini adu tenaga sakti yang amat dahsyat antara kedua orang ini.
Dari dua pasang telapak tangan yang saling melekat itu, keluarlah asap seolah-olah empat
buah tangan itu sedang terbakar!
"Suhu, harap jangan bunuh Ibu...." Wan Keng In berkata memohon gurunya karena dia
maklum bahwa ibunya tentu akan celaka kalau melanjutkan perlawan-annya terhadap kakek
yang amat sakti itu.
Akan tetapi, kedua orang sakti yang sedang mengadu tenaga itu, mana sudi mendengarkan
kata-kata Keng In yang kebingungan" Lulu sudah marah sekali, merasa terhina dan dia
mengerahkan se-luruh sin-kangnya untuk menyerang ka-kek itu, sedangkan Cui-beng Koai-
ong yang wataknya sudah terlalu aneh, tidak lumrah manusia lagi itu, terkekeh-kekeh
senang karena maklum bahwa wanita itu tentu akan tewas di tangannya.
Sementara itu, para anggauta Pulau Neraka yang menyaksikan pertandingan hebat itu,
memandang dengan mata ter-belalak. Mereka itu suka dan tunduk ke-pada Lulu yang
selama ini menjadi ketua mereka, akan tetapi mereka pun amat takut kepada Cui-beng Koai-
ong. Yang paling bingung adalah Wan Keng In. Pemuda ini menjadi pucat wajahnya. Untuk
menghentikan pertandingan adu nyawa itu, dia merasa tidak sanggup dan tidak berani, akan
tetapi kalau ti-dak dihentikan, tentu ibunya akan tewas! Ingin dia menangis saking
bingungnya, dan dia hanya dapat membujuk dan mo-hon kepada gurunya dan ibunya
menghen-tikan pertandingan itu.
Kini Lulu maklum bahwa sesungguh-nya, puteranya tidak sombong kalau me-ngatakan
bahwa ilmu kepandaian kakek itu hebat bukan main. Setelah kedua tangannya melekat pada
kedua tangan kakek itu, dia merasa betapa seluruh te-naga sin-kangnya tersedot dan tidak
ber-daya, bahkan kini kedua telapak tangan-nya terasa panas seperti terbakar, tanpa dia
mampu menariknya atau melepaskan-nya dari telapak tangan lawan. Rasa nyeri yang hebat
mulai terasa oleh ta-ngannya, namun Lulu mengerahkan selu-ruh daya tahannya dan tidak
mau memperlihatkan rasa nyeri, tidak mau menye-rah kalah dan mengambil keputusan
un-tuk melawan sampai mati! Asap yang mengepul dari kedua tangannya kini bu-kan hanya
uap dari hawa sin-kang, me-lainkan asap dari telapak tangannya yang mulai terbakar dan
terciumlah bau yang hangus dan sangit!
"Suhu, harap maafkan Ibuku....!" Wan Keng In berseru dan berlutut di depan kaki gurunya.
Akan tetapi sekali meng-gerakkan kaki kiri, tubuh Keng In ter-lempar dan gurunya berkata,
"Jangan ikut campur! Kalau wanita ini bosan hidup, dia akan mati di ta-nganku, ha-ha-ha!"
Lulu merasa betapa kedua tangannya panas sekali dan tenaga sin-kangnya ma-kin lama
makin menjadi lemah, tubuh-nya mulai gemetar dan dia maklum bah-wa dia tidak akan dapat
bertahan lama lagi. Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara orang tertawa.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
438 "Ha-ha-ha, Twa-suheng sungguh keter-laluan! Orang sudah berjasa, mengganti-kan kita
memimpin anak buah kita, tidak diberi hadiah malah hendak dibunuh. Dia seorang wanita
lagi, apakah tidak memalukan?"
Tahu-tahu muncullah segrang kakek yang pendek sekali, yang matanya lebar dan begitu dia
berada di situ, kakek ini dari belakang menepuk punggung Lulu dan melanjutkan kata-
katanya, "Engkau tidak lekas pergi dari sini mau menanti apa lagi?"
Begitu punggungnya ditepuk, Lulu merasa ada tenaga yang amat hebat menyerbu dari
punggungnya, melalui kedua lengannya sehingga lenyaplah tenaga menyedot dari Cui-beng
Koai-ong dan begitu dia menarik kedua tangannya, tubuhnya terjengkang ke belakang
seper-ti didorong. Lulu cepat berjungkir balik, memandang kedua telapak tangannya yang
sudah menjadi hitam terbakar, ma-tanya kini memandang ke kiri, ke arah kakek pendek yang
telah menolongnya.
"Apakah engkau yang bernama Bu--tek Siauw-jin?" tanyanya secara lang-sung, sedikitpun
tidak menaruh hormat karena biarpun kakek ini sudah menyelamatkan nyawanya, namun
tetap saja dia adalah tokoh Pulau Neraka yang te-lah mempermainkannya, membiarkan dia
menjadi Ratu Boneka!
"Ha-ha-ha, selamat bertemu, Toanio! Aku memang seorang yang tidak terhor-mat, seorang
siauw-jin sehingga tidak berharga untuk bertemu dengan Toanio. Sebelum saat ini,
Suhengku paling suka membunuh orang, harap Toanio suka me-maafkannya."
Muka Lulu menjadi merah sekali. Ber-hadapan dengan kedua orang kakek yang demikian
aneh sikap dan wataknya, dia merasa seperti menjadi seorang anak kecil yang tidak berdaya
sama sekali. "Keng In, hayo kita pergi!" bentaknya kepada puteranya yang kini berdiri
sam-bil menundukkan mukanya.
"Maaf, Ibu. Aku tidak bisa pergi me-ninggalkan Suhu. Aku masih mempelajari ilmu dan....
menurut Suhu...., aku ditun-juk untuk memimpin anak buah Pulau Neraka."
"Wan, Keng In! Engkau anakku! Eng-kau harus taat kepadaku. Hayo kita pergi
meninggalkan setan-setan ini!" Lulu membentak lagi.
"Aku tidak mau pergi, Ibu." Keng In membantah.
"Kau...., lebih berat kepada mereka ini daripada kepada Ibumu?"
"Maaf, Ibu. Kita sudah banyak men-derita, sudah banyak terhina. Kini aku memperoleh
kesempatan menerima ilmu yang tinggi dari Suhu agar kelak dapat kupergunakan untuk
membalas orang-orang yang telah membuat Ibu menderi-ta. Bagaimana Ibu akan dapat
menghadapi kekuatan Pulau Es kalau aku tidak memperdalam ilmuku?"
"Ha-ha-ha! Ibumu tidak memusuhi Pu-lau Es, muridku. Biarpun dia telah men-derita karena
Pendekar Siluman, ternya-ta dia masih belum dapat melupakan pria yang dicintanya itu.
Bahkan dia baru-baru ini membantu Pulau Es ketika diserbu pasukan. Ha-ha-ha, mana kau
ta-hu akan isi hati wanita, biarpun wanita itu Ibumu sendiri?" Cui-beng Koai-ong berkata.
"Hayaaaa! Twa-suheng, urusan orang lain perlu apa kita mencampurinya" Su-heng sendiri
sudah bersumpah tidak akan mengambil murid, kini tahu-tahu Suheng telah mempunyai
seorang murid. Apa artinya ini?" Bu-tek Siauw-jin men-cela suhengnya yang tertawa-tawa
tadi. Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
439 "Siauw-jin! Engkau mau apa mencela-ku" Aku mengambil murid atau tidak, kau ada hak
apa mencampurinya" Kalau suka boleh lihat kalau tidak suka boleh minggat!"
"Bagus! Kalau Twa-suheng melanggar sumpah, aku pun tidak takut melanggar-nya! Kita
sama-sama lihat saja, murid siapa kelak yang lebih hebat! Toanio, puteramu telah menjadi
murid Cui-beng Koai-ong, biar kaularang juga akan per-cuma saja. Lebih baik kau pergi
meninggalkan kami, karena kalau sekali lagi Twa-suhengku yang manis ini turun ta-ngan
terhadapmu, biarpun aku sendiri akan sukar untuk menyelamatkan nyawa-mu."
"Dia benar.... dia benar...., pergilah!" Cui-beng Koai-ong mengomel.
Diam-diam Lulu bergidik. Puteranya telah menjadi murid seorang manusia iblis seperti itu,
yang selain amat sakti juga amat aneh wataknya. Dipandangnya sepintas lalu kedua orang
kakek itu se-berti orang-orang yang gila. Akan tetapi dia pun maklum bahwa kepandaiannya
masih jauh untuk dapat menandingi me-reka, maka setelah sekali lagi meman-dang ke arah
puteranya yang tetap me-nundukkan muka, Lulu segera meloncat dan lari pergi
meninggalkan tempat itu. Hanya satu tujuan hidupnya sekarang, yaitu mencari Suma Han
dan mohon per-tolongan kgkak angkatnya juga satu-satu-nya pria yang dicintanya itu, untuk
turun tangan menyelamatkan puteranya dari cengkeraman iblis-iblis itu!
Demikianlah, setelah Lulu meninggalkan orang-orang Pulau Neraka yang te-lah kehilangan
pulau itu, para anak bu-ah Pulau Neraka menganggap Keng In sebagai Ketua mereka,
menggantikan kedudukan ibunya, sedangkan dua orang kakek itu tetap saja menjadi tokoh-
tokoh yang ditakuti dan ditaati, tidak hanya oleh semua orang Pulau Neraka, juga oleh
Ketuanya! Bu-tek Siauw-jin, kakek pendek yang biarpun terhitung sute dari Cui-beng Koai-
ong namun memiliki ilmu kepandaian yang sama tingkatnya dan diam-diam dikagumi dan
disegani oleh suhengnya itu, lalu pergi sambil menyu-ruh lima belas orang anak buah
memba-wa sebuah peti mati kosong untuk berla-tih di tempat yang akan dipilihnya sen-diri.
Secara kebetulan sekali, di tengah jalan kakek ini bertemu dengan Kwi Hong yang
dianggapnya berjodoh untuk muridnya, apalagi setelah kakek pendek ini tahu bahwa gadis
itu adalah keponak-an dan juga murid Pendekar Super Sakti.
Karena kalahdalam pertarungan, ju-ga karena dia sendiri memang ingin memperoleh ilmu-
ilmu yang lebih tinggi, Kwi Hong menjadi miurid Bu-tek Siauw-jin, berlatih secara
menyeramkan, yaitu di dalam peti mati berdekatan dengan peti mati gurunya yang baru,
menerima gemblengan-gemblengan ilmu mengatur napas, samadhi dan mengumpulkan sin-
kang secara luar biasa, mengambil inti sari daya sakti bumi! Dia melatih diri dengan tekun,
dengan tekad membulat mempertaruhkan nyawa!
Ilmu samadhi dan menghimpun hawa daya sakti bumi yang dilatih oleh Bu-tek Siauw-jin dan
kini dia ajarkan kepa-da Kwi Hong adalah sebuah ilmu yang mujijat. Sesungguhnya latihan
inilah yang mendatangkan kekuatan sin-kang yang tidak lumrah dalam diri Cui-beng Koai-
ong dan Bu-tek Siauw-jin, dua orang to-koh Pulau Neraka yang selalu menyem-bunyikan diri
itu. Ilmu mujijat ini disertai dengan ilmu silat Inti Bumi yang amat dahsyat pula, yang
diciptakan oleh seorang tokoh Pulau Es yang karena kesalahan dibuang di Pulau Neraka.
Orang sakti ini menjadi sakit hati dan putus harapan maka dia "membunuh diri" de-ngan
jalan mengubur dirinya hidup-hidup di dalam sebuah peti mati di Pulau Ne-raka. Akan tetapi,
rasa penasaran dan dendam di hatinya membuat dia sebe-lum mati, menciptakan ilmu
mujijat ini dan dicoret-coretnya ilmu ciptaannya di ambang kematian itu di sebelah dalam peti
matinya! Kebetulan sekali seorang kakek pimpinan Pulau Neraka yang me-nyembunyikan
diri untuk membebaskan diri dari ancaman binatang-binatang ber-bisa dan hawa berbisa di
Pulau Neraka, mendapatkan peti mati di dalam tanah itu dan membaca tulisan dan ukiran di
dalam peti, maka berhasillah dia menguasai ilmu itu yang kemudian diwariskan kepada anak
cucunya sehingga yang ter-akhir menjadi ilmu Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin!
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
440 Hanya kedua orang inilah yang memiliki ilmu ini, bahkan mendiang sute mereka Kwi-bun Lo-
mo Ngo Bouw Ek sendiri tidak memiliki il-mu ini.
Tidak sembarang orang dapat mengu-asai ilmu silat dan menghimpun tenaga sakti Inti Bumi
itu karena caranya ber-latih amat menyeramkan dan memperta-ruhkan nyawa. Wan Keng In
sendiri yang banyak menerima pelajaran ilmu silat tinggi dari Cui-beng Koai-ong, masih
belum berani melatih diri dengan ilmu mujijat itu. Kwi Hong yang berwatak berani mati dan
nekat secara kebetulan sekali kini menjadi orang ke tiga di du-nia ini yang melatih diri
dengan Ilmu Inti Bumi!
Para anak buah Pulau Neraka yang menjaga di tanah kuburan itu, tidak be-rani
mengganggu, bahkan mendekat saja mereka tidak berani. Mereka sudah me-ngenal dua
orang datuk Pulau Neraka yang amat mereka takuti itu, karena bagi dua orang datuk itu,
apalagi Cui-beng Koai-ong, membunuh manusia seperti membunuh nyamuk saja, dan watak
me-reka sukar sekali diikuti. Mereka mak-lum bahwa sebelum kakek pendek itu keluar dari
dalam tanah, mereka harus menjaga dengan mati-matian agar jangan sampai kuburan itu
diganggu orang. Ka-lau kakek dan muridnya yang baru itu sudah keluar dari dalam tanah,
barulah mereka bebas dari tugas berat ini, ke-cuali tentu saja kalau ada perintah ba-ru dari
kakek pendek yang aneh itu.
Pada malam hari ke tiga, orang-orang Pulau Neraka itu menjadi terke-jut ketika melihat
munculnya serombong-an orang yang mereka kenal sebagai orang-orang Thian-liong-pang!
Rombongan itu terdiri dari delapan belas orang di-pimpin oleh seorang dara remaja yang
cantik jelita dan yang mereka kenal se-bagai puteri Ketua Thian-liong-pang, dan seorang
laki-laki tinggi besar yang lengan kirinya buntung dan berwajah menyeramkan. Laki-laki
berlengan satu ini wajahnya muram dan sinar matanya berkilat, orangnya pendiam akan
tetapi sikap semua anggauta rombongan amat hormat kepadanya, bahkan puteri Ketua
Thian-liong-pang sendiri kelihatan bersi-kap manis kepadanya. Orang ini adalah seorang
tokoh baru yang telah berjasa mengorbankan tangannya untuk Thian-liong-pang sehingga
Ketua perkumpulan itu menaruh penghargaan kepadanya dan menurunkan ilmu yang
dahsyat kepada-nya, yang membuat dia bahkan lebih lihai daripada sebelum lengan kirinya
buntung! Dia adalah Kiang Bok Sam yang lengan kirinya buntung oleh Pedang Lam-mo-kiam
di tangan Wan Keng In dan kini telah menjadi seorang lihai sekali dengan lengan kanannya.
Nirahai telah menurunkan Ilmu Sin-to-ciang (Telapak Tangan Golok Sakti) kepadanya
sehingga lengannya itu lebih lihai daripada lengan kiri mendiang Su Kak Houw yang
berju-luk Toat-beng-to itu. Dengan ilmu-ilmunya yang baru dia terima dari Ketuanya sebagai
pembalas jasanya mengorbankan lengan kiri, kini dia menjadi orang ke dua sesudah Tang
Wi Siang di Thian-liong-pang. Bahkan dibandingkan Sai-cu Lo-mo, dia masih lebih
berbahaya kare-na sambaran tangan kanannya atau per-mainan tongkat kuningan dengan
tangan tunggalnya selalu mendatangkan maut bagi setiap orang lawannya.
Orang-orang Pulau Neraka yang se-dang bertugas menjaga "kuburan" Bu-tek Siau-jin dan
muridnya yang sedang ber-latih di bawah tanah, tidak berani men-cari perkara dengan
orang-orang Thian-liong-pang yang mereka tahu merupakan lawan yang amat lihai.
Rombongan Pu-lau Neraka ini dipimpin oleh Kong To Tek dan Chi Song, dua orang tokoh
Pulau Neraka yang bermuka merah mu-da yang pernah diutus oleh Ketua mereka
mengunjungi Thian-liong-pang untuk menguji kepandaian para pimpinan Thian-liong-pang
dan secara mudah dirobohkan oleh "ketua" Thian-liong-pang yang di luar tahu mereka pada
waktu itu dipalsukan Gak Bun Beng. Maka kini melihat munculnya tokoh-tokoh Thian-liong-
pang yang dipimpin oleh puteri Ketua Thian-liong-pang sendiri, mereka memberi isya-rat
dengan kedipan mata kepada para anak buahnya agar tetap berdiam di tempat
persembunyian mereka dan tidak mengganggu orang-orang Thian-liong-pang yang kini
berkumpul dan beristira-hat di sebuah bangunan kuburan kuno tidak jauh dari tempat
persembunyian orang-orang Pulau Neraka.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
441 Tadinya rombongan Pulau Neraka mengira bahwa rombongan Thian-liong-pang itu hanya
lewat dan kebetulan ber-istirahat saja di tanah kuburan itu, akan tetapi ternyata bahwa
sampai malam ti-ba, mereka tidak pergi dari situ, bahkan membuat api unggun dan berjaga
sambil bercakap-cakap, seolah-olah mereka itu dalam keadaan siap menghadapi musuh!
Melihat sikap orang-orang Thian-liong-pang itu, gelisah hati rombongan Pulau Neraka.
Mereka ingin sekali meli-hat datuk mereka menghabiskan atau menghentikan latihannya
agar mereka bebas tugas dan mereka dapat memilih dua kemungkinan, yaitu menggempur
orang-orang Thian-liong-pang atau me-ninggalkan tempat itu. Sekarang mereka merasa
serba salah. Mereka tidak tahu apa yang akan dilakukan orang-orang Thian-liong-pang itu,
dan tidak tahu apa-kah musuh-musuh lama itu sudah tahu akan kehadiran rombongan Pulau
Neraka atau belum. Dalam keadaan bersembu-nyi dan tidak menentu ini mereka mera-sa
tidak enak hati sekali.
Pada keesokan harinya, setelah mata-hari mulai tampak berseri mengusir em-bun pagi
yang menyelimuti hutan dan sebidang tanah kuburan di anak bukit itu, tampaklah tujuh orang
hwesio tua dengan langkah tenang dan wajah serius memasuki tanah kuburan dan langsung
berhadapan dengan rombongan Thian-liong-pang.
"Bigus sekali, kiranya Thian-liong-pang sudah siap menanti di tempat ini! Ternyata Thian-
liong-pang masih merupa-kan seburh perkumpulan besar yang su-ka memegang janjinya!"
Seorang di anta-ra para hwesio tua itu, yang bertubuh kurus bermuka tengkorak dan
berjenggot hitam, tangan kiri memegang tasbih, ta-ngan kanan memegang hud-tim (kebutan)
berkata sambil berkata tenang.
"Thian-liong-pang selamanya meme-gang janji dan ssjak dahulu adalah per-kumpulan besar
yang tiada bandingnya!" Milana berkata nyaring sambil manyapu tujuh orang hwesio itu
dengan sinar matanya yang lembut. "Memenuhi perminta-an para sahabat di dunia kang-
ouw un-tuk mengadakan pertemuan, kami meng-gunakan tempat yang sunyi ini agar di
antara kita dapat bicara dan bergerak tanpa mengacaukun manusia lain karena di sini yang
tinggal hanyalah orang-orang mati. Nah, setelah kami yang mewakili Ketua Thian-liong-pang
berada di sini dan Cu-wi Losuhu sudah dutang, apa-kah kehendak Cu-wi mengajukan
tantangan kepada pihak kami untuk mengada-kan pertemuan?"
Seorang hwesio berjenggot putih yang berwajah lembut melangkah maju, memandang
kepada Milana dan teman-temannya, lalu berkata, "Omitohud...., seorang dara remaja yang
lembut me-nyambut kami sebagai wakil Thian-liong-pang! Nona, di manakah Ketua Thian-
liong-pang sendiri" Mengapa mewakilkan urusan besar kepada seorang gadis mu-da seperti
Nona?" Milana cepat menjura dengan hor-mat, hatinya tidak enak menghadapi si-kap hwesio yang
agung dan penuh wibawa, juga amat halus itu. Seringkali dia terpaksa merasa canggung
dan tertekan batinnya dalam memenuhi tugas dalam Thian-liong-pang atas perintah ibunya.
Biarpun ia tahu bahwa ibunya bukan orang jahat, dan Thian-liong-pang adalah perkumpulan
orang-orang gagah, namun kadang-kadang sikap keras hendak me-nang sendiri dari
perkumpulan yang di-pimpin ibunya, membuat gadis yang me-miliki dasar watak halus itu
merasa canggung dan tidak enak.
"Harap Lo-suhu suka memaafkan, Thian-liong-pangcu tidak dapat semba-rangan hadir
dalam setiap pertemuan, apalagi kami lihat bahwa Ketua Siauw-lim-pai sendiri pun tidak
datang memim-pin rombongan Siauw-lim-pai. Oleh ka-rena itu, Ketua kami mewakilkan
kepa-da kami yang bertanggung jawab penuh akan segala keputusan dalam pertemuan
yang diadakan di tempat ini."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
442
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hwesio itu mengangguk-angguk, na-mun pada wajahnya yang halus itu ma-sih terbayang
ketidakpuasan hatinya. Siauw-lim-pai adalah sebuah perkumpul-an atau partai persilatan
yang besar dan terkenal sekali, sekarang rombongan Siauw-lim-pai yang terdiri dari tokoh-
tokoh bukan tingkat rendah, hanya di-sambut oleh seorang gadis muda Thian-liong-pang!
"Omitohud, Nona yang muda pandai bicara. Bolehkan pinceng mengetahui, kedudukan apa
yang Nona miliki di Thian-liong-pang?"
"Nona kami adalah puteri Pangcu, kalian ini hwesio-hwesio tua terlalu ba-nyak bicara! Nona
kami wakil Pangcu dalam pertanggungan jawab, akan tetapi aku Kiang Bok Sam juga berhak
mewa-kili Pangcu menghadapi orang-orang yang banyak cerewet!" Tiba-tiba Si Le-ngan
Buntung itu sudah meloncat maju dan tangan tunggalnya sudah melintang-kan toyanya di
depan dada, sepasang matanya mendelik dan sikapnya mena-kutkan.
Para hwesio kelihatan tercengang dan hwesio tua itu cepat berkata, "Omi-tohud...., maafkan
pinceng yang tidak ta-hu bahwa Nona adalah puteri Thian--liong-pangcu sendiri! Kalau
begitu, kami merasa terhormat sekali. Pinceng ada-lah Ceng Sim Hwesio, murid kepala da-ri
Suhu yang menjadi Ketua Siauw-lim-pai."
"Harap Lo-suhu suka menceritakan apa yang dikehendaki oleh Siauw-lim-pai maka
menuntut agar diadakan perte-muan dengan pihak kami." Milana cepat bertanya mendahului
Bok Sam yang ia tahu amat keras wataknya dan biarpun jarang bicara, sekali mengeluarkan
sua-ra, dapat mengejutkan dan menyinggung perasaan hati orang!
"Sudah bertahun-tahun Siauw-lim-pai mendengar akan sepak terjang Thian--liong-pang
yang menyinggung perasaan dunia kang-ouw, menculik tokoh-tokoh kang-ouw, merampas
kitab pelajaran dan pusaka partai-partai lain...."
"Akan tetapi kami selalu menjaga agar tidak mengganggu Siauw-lim-pai yang kami pandang
sebagai perkumpulan sahabat!" Milana cepat membantah. "Sedangkan mengenai urusan
dengan to-kbh-tokoh dan perkumpulan lain, mengenai peminjaman kitab atau pusaka, kami
rasa tidak ada sangkut pautnya dengan pihak Siauw-lim-pai seperti juga kami tidak pernah
mencampuri urusan dalam Siauw-lim-pai sendiri."
Ceng Sim Hwesio, murid kepala Ke-tua Siauw-lim-pai, Ceng Jin Hosiang, menarik napas
panjang dan melanjutkan kata-katanya yang dipotong oleh nona muda itu, "Tepat sekali
ucapan Noda dan kenyataannya pun kami pihak Siauw-lim-pai tidak pernah mencampuri
urusan itu, bukan" Akan tetapi semenjak perte-muan yang menghebohkan di Pegunungan
Ciung-lai-san, terjadilah hal-hal yang dilakukan oleh Thian-liong-pang dan se-kali ini karena
menyangkut persoalan negara dan rakyat, terpaksa kami harus mencampurinya!"
"Harap Lo-suhu suka memberi penje-lasan!" Milana berkata halus akan teta-pi nyaring
karena dia merasa tersinggung juga mendengar bahwa perkumpulan ibu-nya dicela orang
lain. "Terus terang saja pinceng katakan bahwa Siauw-lim-pai telah mendengar akan sepak
terjang Thian-liong-pang yang merendahkan dirinya menjadi kaki ta-ngan Pemerintah
Mancu! Dengan meng-hambakan diri kepada pemerintah penja-jah untuk menindas bangsa
sendiri, hal ini sungguh bertentangan dengan kega-gahan dan berarti salah menggunakan
perkumpulan Thian-liong-pang untuk menjadi penjilat dan pengkhianat."
Si Lengan Buntung mencelat maju, akan tetapi Milana membentak nyaring.
"Kiang-lopek, mundur dan jangan tu-run tangan sebelum ada perintah!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
443 Si Lengan Buntung mendelik kepada para hwesio itu, akan tetapi tanpa mem-bantah ia
melangkah mundur, sedangkan para anggauta Thian-liong-pang lainnya sudah marah dan
bersiap turun tangan begitu ada perintah.
"Lo-suhu, kata-kata Lo-suhu agaknya terdorong oleh nafsu amarah dan Lo-suhu belum
menyelidiki terlebih dahulu sebe-lum mengeluarkan tuduhan-tuduhan yang kurang baik
terhadap perkumpulan kami. Kami tidak akan mengingkari kenyataan bahwa kami
membantu pemerintah da-lam menghadapi para pemberontak. Bu-kankah hal itu berarti
bahwa Thian-liong-pang membersihkan kaum pemberontak yang akan mengacaukan
keadaan dan yang hanya akan memancing timbul-nya perang yang menyengsarakan
penghi-dupan rakyat jelata" Ataukah.... mungkin -Siauw-lim-pai bahkan memihak
pem-berontak yang jelas terdiri dari orang-orang yang mengejar kedudukan, peram-pok-
perampok yang berkedok pejuang?"
Muka para hwesio berubah merah dan pandang mata mereka mengandung kemarahan.
Namun suara hwesio tua itu masih halus ketika dia berkata, "Perju-angan melawan penjajah,
di manapun juga di dunia ini, adalah perjuangan ka-um patriot pembela bangsa dan tidak
boleh dikotori dengan tuduhan keji me-makai dalih apapun juga. Kami tidak bersekutu
dengan kaum patriot dan pe-juang yang kalian anggap sebagai pembe-rontak, akan tetapi
kami pun tidak sudi untuk menjadi kaki tangan pemerintah mencelakakan bangsa sendiri
yang berju-ang menurut keyakinan dan kebenaran mereka sendiri. Kami hanya minta
kepa-da Thian-liong-pang, mengingat bahwa Thian-liong-pang adalah parkumpulan orsng
gagah, untuk mundur dan jangan mambunuhi rakyat dan bangsa sendiri."
Tentu saja hati Milana manjadi panas mendengar ucapan itu, betapapun juga baik kata-kata
itu diatur dan dikeluarkan dengan halus. Dia tidak dapat menyelami kebenaran kata-kata itu,
tidak dapat merasakan alasan yang dikemukakan oleh Ceng Sim Hwesio. Bagaimana ia
dapat merasakan kebenaran itu kalau dia sama sekali tidak merasa bahwa pemerintah yang
sekarang adalah pemerin-tah penjajah" Dia sendiri adalah cucu Kaisar! Di dalam
pandangannya, bangsa Mancu adalah bangsa yang berhak dan patut memimpin seluruh
Tiongkok karena telah menunjukkan kebesaran dan kele-bihannya! Mana bisa disamakan
atau dibandingkan dengan bangsa pemberontak yang hanya terdiri dari perampok kasar itu"
Dia percaya sepenuhnya bahwa pe-merintah Kerajaan Ceng-tiauw memba-wa rakyat
kepada kemakmuran dan ke-majuan, sedangkan para pemberontak itu hanya akan mencari
kesempatan menggendutkan perut sendiri dengan membawa nama rakyat dan perjuangan
untuk menghalalkan kejahatan mereka!
"Ceng Sim Hwesio, sebagai wakil Siauw-lim-pai engkau minta kepada Thian-liong-pang
untuk mundur dan tidak bo-lah membantu pemerintah membersihkan para pemberontak,
dan sebagai wakil Thian-liong-pang saya menjawab bahwa Siauw-lim-pai tidak boleh
mencampuri urusan kami sendiri. Kami menolak per-mintaannmu itu, dan kami akan tetap
melanjutkan tugas kami membersihkan kaum pemberontak, bukan semata-mata untuk
membantu pemerintah, melainkan terutama sekali untuk menjauhkan rak-yat daripada
kekacauan dan peperangan baru yang ditimbulkan oleh kaum pembe-rontak!"
"Kalau begitu, Thian-liong-pang me-nentang kepada Siauw-lim-pai!" Hwesio bermuka
tengkorak yang memegang kebutan dan tasbeh berkata. Sikapnya tidaklah sehalus Ceng
Sim Hwesio dan mata di dalam tengkorak itu mengeluar-kan sinar berkilat.
"Habis, engkau mau apa?" Si Lengan Satu sudah membentak lagi, toya di ta-ngan
kanannya diputar-putar sehingga terdengar suara angin bersuitan.
"Terserah akan pendapat Siauw-lim-pai terhadap sikap kami, akan tetapi Thian-liong-pang
tidak akan tunduk terhadap siapapun juga dalam menentukan sikap akan urusan kami
dengan pemerintah!" Milana berkata.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
444 "Omitohud! Sejak dahulu Thian-liong-pang memang ganas dan tinggi hati. Agaknya karena
semua tokohnya memi-liki ilmu kepandaian tinggi!" kata Ceng Sim Hwesio yang mulai panas
hatinya. "Ilmu kepandaian curian semua!" Kembali hwesio muka tengkorak berkata mengejek.
"Cu-wi Lo-suhu dari Siauw-lim-pai! Bukan kami yang mengundang kalian, melainkan Siauw-
lim-pai yang menuntut pertemuan ini. Akan tetapi ternyata Siauw-lim-pai memperlihatkan
sikap ti-dak bersahabat. Karena itu, karena ka-mi yang menyediakan tempat ini, berar-ti kami
menjadi pihak pemilik tempat dan kalian adalah tamu. Sekarang kami persilakan kalian pergi
dari sini, pertemuan telah selesai!" Milana berkata marah.
"Omitohud, benar-benar Thian-liong-pang tidak memandang sebelah mata kepada Siauw-
lim-pai!" Ceng Sim Hwe-sio berkata. "Setelah kedua belah pihak bertemu, bicara tanpa ada
hasilnya, tidak boleh kita menyia-nyiakan kesem-patan ini untuk saling menguji sampai di
mana ketinggian ilmu kepandaian ma-sing-masing. Biarpun kami hanya bertujuh dan jumlah
kalian dua kali lebih ba-nyak, kami tidak akan mundur dan kami tantang Thian-liong-pang
mengadakan pertandingan menguji ilmu kepandaian sebagai penutup pertemuan ini!"
"Bagus! Siapa takut kepada tujuh ekor kerbau gundul?" Bok Sam meloncat sambil memutar
toyanya. "Trang-trangg....!" Bunga api berpijar ketika toya itu bertemu dengan tombak pendek yang
berada di tangan seorang hwesio yang menangkis toya itu. Hwesio tua bertubuh tinggi besar
itu terhuyung mundur dengan wajah pucat karena merasa betapa dari toya itu keluar tenaga
dahsyat yang membuat kedua lengannya tergetar dan kuda-kudanya tergempur!
"Kiang-lopek! Harap mundur dulu! Aku tidak perkenankan tokoh-tokoh Thian-liong-pang
yang gagah perkasa melakukan pengeroyokan! Mereka hanya bertujuh, aku membutuhkan
enam orang pembantu saja untuk menghadapi mereka!" Milana lalu menyebutkan nama
enam orang pembantu yang dipilihnya, terma-suk Si Lengan Buntung, kemudian bersa-ma
enam orang pembantunya ia mengha-dapi para hwesio Siauw-lim-pai sambil melintangkan
pedang di depan dada dan berkata,
"Ceng Sim Hwesio, apa yang kalian kehendaki sekarang?"
"Omitohud! Kiranya Thian-liong-pang masih menjaga nama baik dan memiliki kegagahan!
Kouwnio (Nona) yang perka-sa, biarlah pertemuan ini kita akhiri de-ngan menguji
kepandaian masing-masing sehingga akan lengkaplah pelaporan ka-mi kepada Ketua kami."
"Bagus sekali. Majulah, jumlah kita sekarang sama!" Kemudian dia menoleh kepada para
pembantunya, "Kalian ingat baik-baik, pertandingan ini hanya seke-dar menguji ilmu. Aku
tidak perkenan-kan kalian turun tangan membunuh. Cukup kalau sudah mengalahkan orang-
orang tua yang keras kepala ini!"
"Orang-orang Thian-liong-pang yang sombong! Sambutlah serangan kami!" Ceng Sim
Hwesio membentak, memberi isyarat kepada rombongannya dan tujuh orang hwesio itu
sudah menerjang maju. Yang mempelopori adalah hwesio tua ini. Senjatanya hanya kedua
lengan baju-nya yang lebar, namun sepasang senjata ini amatlah dahsyatnya, tidak kalah
oleh senjata-senjata lain karena begitu kedua tangannya bergerak, ujung lengan baju yang
panjang itu merupakan senjata yang menyambar kuat sekali, panjangnya lebih dari satu kaki
di depan tangannya.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
445 "Wuuuut.... wuuuutttt!" Kedua lengan bajunya itu menerjang ke arah Milana. Ketika dara ini
dengan gerakan yang gesit sekali mengelak dengan sebuah loncatan ke belakang kemudian
memba-lik, tahu-tahu dia melihat bahwa pemim-pin rombongan, hwesio itu telah diha-dapi
oleh Bok Sam dengan putaran toyanya sehingga Ceng Sim Hwesio cepat memutar kedua
ujung lengan bajunya dan terjadilah pertandingan seru di an-tara mereka. Milana tersenyum,
mak-lum bahwa pembantunya yang paling lihai ini tentu saja turun tangan menan-dingi
hwesio yang dianggapnya paling ampuh dan lihai di antara rombongan lawan sehingga nona
muda puteri Ketuanya itu tidak akan bekerja terlalu keras!
Terpaksa Milana melayani seorang hwesio lain, yang bertubuh tinggi besar dan yang
bersenjata sepasang tombak pendek, yaitu hwesio yang tadi menang-kis toya Si Lengan
Buntung. Namun la-wan ini terlalu lemah baginya dan da-lam belasan jurus saja Milana
sudah mendesak sepasang tombak pendek itu sehingga lawannya hanya dapat menge-lak
dan sibuk menangkis dengan sepa-sang senjatanya seolah-olah di tangan Milanabukan
terdapat sepasang pedang melainkan banyak sekali yang membuat hwesio itu kewalahan.
Sementara itu, lima orang hwesio la-innya sudah pula bertanding melawan li-ma orang
pembantu Milana dan terjadi-lah pertandingan yang seru di tanah ku-buran. Melihat bahwa
ternyata anggauta Thian-liong-pang yang berada di situ sa-ma sekali tidak ada sangkut-
pautnya dengan mereka, rombongan Pulau Neraka kini menjadi lega hatinya dan menonton
pertandingan sambil bersembunyi. Mereka diam-diam merasa kagum sekali kepada puteri
Ketua Thian-liong-pang dan Si Lengan Buntung yang ternyata hebat bukan main.
Pertandingan antara Bok Sam yang buntung lengan kirinya melawan Ceng Sim Hwesio
merupakan pertandingan yang paling seru dan seimbang, diban-dingkan dengan
pertandingan lain di an-tara kedua rombongan itu. Biarpun le-ngannya hanya sebuah,
namun toya yang diputar di tangan kanan itu benar-benar dahsyat sekali gerakannya
sehingga Ceng Sim Hwesio yang amat lihai itu pun ti-dak mampu mendesaknya dengan
kedua ujung lengan bajunya, bahkan hwesio tua itu kelihatan terkejut sekali dan bersi-lat
dengan amat hati-hati. Hwesio-hwesio Siauw-lim-pai terkenal memiliki ilmu silat yang tinggi,
dengan dasar yang ko-koh kuat dan boleh dikata di antara se-mua ilmu silat yang
sesungguhnya ber-sumber satu itu, ilmu silat Siauw-lim-pai adalah ilmu silat yang masih
dekat dengan sumbernya, masih murni dibandingkan dengan cabang-cabang persilatan lain.
Hal ini adalah karena para pengem-bang ilmu silat Siauw-lim-pai terdiri da-ri hwesio-hwesio
yang berwatak bersih, jujur dan tekun serta setia kepada pela-jaran guru-guru mereka.
Berbeda dengan cabang persilatan lain yang mengalami perubahan karena tokoh-tokohnya
terdiri dari orang-orang kang-ouw atau petu-alang yang banyak merantau sehingga di sana
sini mereka menemukan cara-cara baru yang mereka masukkan da-lam ilmu silat mereka
sehingga makin lama, biarpun ilmu mereka banyak yang menjadi aneh dan bermacam-
macam co-raknya, juga tidak kalah lihainya, na-mun makin menjauh dari dasar atau
sumbernya. Karena inilah, maka ilmu si-lat Siauw-lim-pai menjadi ilmu silat yang tertua dan
yang paling aseli, tidak berubah semenjak ratusan tahun yang lalu.
Ceng Sim Hwesio adalah murid kepa-la dari Ketua Siauw-lim-pai pada waktu itu. Tentu saja
dia telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, dan memiliki tenaga sin-kang yang amat
kuat. Sebetul-nya, dibandingkan dengan Bok Sam, baik mengenai kematangan latihan
maupun tingkat kepandaian, hwesio ini tidak kalah bahkan lebih unggul dan lebih ma-tang,
juga tenaga saktinya tidak kalah kuat. Akan tetapi, lawannya itu telah memperoleh
gemblengan khusus dari Ke-tua Thian-liong-pang, dan ilmu yang di-milikinya adalah ilmu
golongan hitam yang mempunyai banyak gerakan-gerak-an mengandung tipu daya yang
aneh-aneh dan tidak dikenal oleh seorang pendeta yang mengutamakan kejujuran seperti
Ceng Sim Hwesio.
Ketika dengan gerakan yang kuat se-pasang lengan baju hwesio itu menyam-bar ke arah
toya yang menyerang, melibat kedua ujung toya itu dengan sepa-sang lengan bajunya untuk
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
446 merampas senjata lawan, secara tak terduga dan tiba-tiba, Si Lengan Satu itu melepas-kan
toyanya dan menggunakan kesematan selagi lawan tidak bebas karena kedua lengan
dipakai untuk berusaha merampas toya, tangan kanan yang mempu-nyai ilmu dahsyat
"telapak tangan go-lok" itu telah membabat ke arah pundak Ceng Sim Hwesio!
Hwesio tua itu terkejut sekali. Dari sambaran hawa pukulan tangan kanan itu dia dapat
menduga bahwa lawannya memiliki pukulan ampuh yang berbahaya se-kali. Untuk
menangkis, tidak keburu lagi karena kedua tangannya tidak bebas, se-pasang ujung lengan
bajunya sudah meli-bat toya, maka jalan satu-satunya bagi-nya hanyalah miringkan tubuh
dan mene-rima hantaman tangan miring itu dengan pangkal bahunya yang berdaging sambil
mengerahkan sin-kangnya.
"Desss!"
Hebat bukan main pukulan tangan mi-ring dari Bok Sam ini. Dia telah mene-rima latihan
khusus dari Ketua Thian-liong-pang dan kekuatan tangan tunggal-nya itu amat dahsyat.
Bukan seperti ta-ngan yang mengandung tenaga sin-kang biasa yang dapat memecahkan
batu karang, akan tetapi tangan kanan Bok Sam ini dapat dipergunakan seperti sebatang
golok yang tajam, dapat mematahkan senjata lawan dan dapat dipakai memba-cok putus
leher manusia! Ketika tangan yang dihantamkan miring itu bertemu dengan pangkal lengan
Ceng Sim Hwesio yang mengandung tenaga sin-kang amat kuat sehingga menjadi kebal,
tubuh hwe-sio itu tergetar hebat dan biarpun dia tidak terluka karena "bacokan" tangan itu
dilawan oleh sin-kangnya, namun dia roboh terpelanting, libatan kedua ujung lengan bajunya
pada toya terlepas dan toya itu telah dirampas kembali oleh Bok Sam yang menggunakan
toya untuk menodong dada hwesio yang sudah rebah terlentang.
"Pinceng sudah kalah, perlu apa me-nodong dan mengancam" Kalau mau bu-nuh,
lakukanlah, pinceng tidak takut mati!" kata Ceng Sim Hwesio yang me-rasa terhina dengan
penodongan toya di atas dadanya itu.
Milana yang sudah merobohkan lawan-nya dan sedang meloncat ke atas sebuah kuburan
untuk menyerang hwesio muka tengkorak yang ternyata telah merobohkan dua orang
pembantunya berturut-turut cepat berseru,
"Kiang-lopek! Jangan lancang membunuh!"
Bok Sam tentu saja tidak berani melanggar larangan puteri ketuanya. Dia menodong hanya
untuk membuktikan keunggulannya saja, maka kini ujung to-yanya bergerak cepat menotok
jalan da-rah di pundak Ceng Sim Hwesio, mem-buat hwesio itu mengeluh dan tak dapat
bergerak lagi. Sementara itu, hwesio muka tengko-rak yang memegang kebutan dan tasbih, ternyata
dengan gerakan kebutannya telah berhasil merobohkan pula seorang anggauta Thian-liong-
pang yang tadi me-nerjangnya dengan sebatang pedang, ge-rakan hwesio ini hebat sekali,
dan be-gitu memandang, tahulah Bok Sam bah-wa hwesio kurus itu ternyata jauh lebih lihai
daripada Ceng Sim Hwesio! Hwesio kurus itu telah merobohkan tiga orang temannya dan
seorang lagi telah roboh oleh hwesio lain. Kini di pihak Thian-liong-pang hanya tinggal dia,
puteri Ketuanya, dan seorang pembantu lagi, yai-tu Su Kak Liong yang masih bertanding
seru melawan seorang hwesio pendek bersenjata toya. Biarpun dia lihai, Su Kak Liong
terdesak juga oleh dua orang pengeroyoknya. Milana sudah menerjang hwesio kurus yang
bersenjata hud-tim dan tasbih, dikeroyok oleh hwesio itu dan seorang hwesio lain yang
bersenjata pedang. Karena percaya akan kelihaian Milana, Bok Sam membiarkan Milana
menghadapi dua orang pengeroyoknya dan dia sendiri cepat meloncat ke de-pan membantu
Su Kak Liong. Begitu Si Lengan Buntung ini maju, keadaan beru-bah sama sekali. Hwesio
pendek yang bersenjata toya sama sekali bukan tan-dingan Si Lengan Buntung, biarpun
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
447 senjata mereka serupa dan hwesio itu mengguna-kan kedua tangannya untuk mainkan
senjatanya. Dalam belasan jurus saja, hwesio pendek itu tak kuat bertahan iagi, toyanya
patah menjadi dua dan dia ro-boh dengan sambungan lutut terlepas karena hantaman toya
lawan. Juga hwesio muda yang bersenjata golok sudah roboh oleh Su Kak Liong, terluka
pun-daknya. Bok Sam cepat meloncat dan mem-bantu Milana yang masih dikeroyok dua. Ternyata
hwesio kurus bermuka tengko-rak itu benar-benar lihai sekali. Per-mainan kombinasi
sepasang senjatanya yang aneh memiliki gerakan-gerakan aneh dan tenaga sin-kang yang
terkandung dalam gerakan senjata-senjatanya amat kuat. Kebutan di tangan kanan itu
kadang-kadang lemas dan dipergunakan untuk membelit pedang untuk merampas-nya, akan
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tetapi kadang-kadang dapat menjadi keras dan kaku bulu-bulunya sehingga dapat
dipergunakan untuk meno-tok jalan darah. Sedangkan tasbihnya menyelingi gerakan
kebutan dengan sam-baran-sambaran ke arah kepala lawan. Milana terkejut dan tertarik
sekali. Dia sudah mengenal dasar ilmu silat Siauw-lim-pai maka dia menjadi heran sekali
ketika melihat bahwa dasar ilmu silat hwesio kurus ini jauh berbeda dengan Siauw-lim-pai,
bahkan mendekati ilmu silat dari barat!
Setelah kini Bok Sam maju memban-tunya dan menghadapi hwesio yang ber-senjata
pedang, Milana mendapat kesem-patan untuk menghadapi hwesio muka tengkorak itu satu
lawan satu dan de-ngan mengerahkan gin-kangnya yang luar biasa, Milana dapat
memancing hwesio itu mengeluarkan semua jurus-jurusnya yang sama sekali bukan ilmu
silat Siauw-lim-pai.
Tiba-tiba untuk kesekian kalinya, tas-bih menyambar dari udara, mengeluarkan bunyi
bersuitan. Tasbih itu telah dilepas oleh tangan kiri hwesio kurus, dan melayang-layang
seperti seekor burung me-nyambar ke arah kepala Milana. Dara ini tidak menjadi gugup.
Tadi pun dia pernah diserang seperti itu dan ketika ia mengelak, tasbih itu dapat kembali ke
tangan lawan! Kini dia sengaja meng-gunakan pedangnya menangkis dengan hantaman
miring dari samping ke arah tasbih sambil membagi perhatian ke depan karena selagi tasbih
itu melayang turun, hud-tim di tangan kanan lawannya juga tidak tinggal diam, bahkan
mengi-rim penyerangan cepat sekali.
"Cringgg!"
Milana terkejut karena tangkisan itu membuat tangannya tergetar dan ternya-ta bahwa
tasbih itu tidak tertolak oleh tangkisannya, melainkan terus melibat pedangnya. Kiranya
tasbih itu dilempar dengan gerakan berputar sehingga ketika ditangkis terus melibat!
Padahal pada saat itu kebutan di tangan kanan hwesio itu telah meluncur datang, ujung
kebut-an bergerak cepat sekali seolah-olah ber-ubah menjadi banyak dan mengirim to-tokan
Secara bertubi-tubi ke arah jalan-jalan darah di bagian depan tubuh Milana dan pinggang ke
atas. "Wuuuuttt.... singgg!" Milana menggu-nakan gin-kangnya, tubuhnya mencelat ke atas,
pedang dikelebatkan dengan pengerahan sin-kang sehingga tasbih yang melilit pedangnya
itu terlepas menyam-bar ke depan, menangkis ke arah kebut-an.
"Wuuuut!" Dengan lihainya hwesio kurus itu menggerakkan kebutan menangkap tasbihnya,
dan sudah siap untuk me-nerjang lagi sambil diam-diam memuji ketangkasan dara itu.
"Tahan!" Tiba-tiba Milana membentak sambil melintangkan pedangnya di depan dada.
"Siapa engkau" Aku yakin bahwa engkau bukanlah seorang hwesio tokoh Siauw-lim-pai!"
Hwesio itu tersenyum mengejek, ke-mudian memandang kepada enam orang hwesio yang
semua telah roboh terluka. Hwesio berpedang yang tadinya memban-tu dia mengeroyok
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
448 Milana, telah roboh pula di tangan Bok Sam yang kini sudah berdiri dengan memegang toya
tegak lurus di depannya, siap untuk menerjang-nya. Enam orang temannya sudah kalah
semua, tinggal dia seorang, sedangkan di pihak Thian-liong-pang masih ada ti-ga orang
termasuk nona muda yang amat lihai dan Si Lengan Buntung yang juga lihai sekali itu.
"Pinceng Mo Kong Hosiang memang bukan seorang tokoh Siauw-lim-pai, akan tetapi
pinceng adalah sahabat baik Ketua Siauw-lim-pai. Pinceng datang dari barat dan mendengar
akan sepak terjang Thian-liong-pang yang telah merendahkan diri menjadi kaki tangan
pemerintah pen-jajah, pinceng dan para sahabat ini...."
"Aihh, kiranya engkau seorang pembe-rontak dari Tibet, bukan?" Milana memo-tong, dan
hwesio itu kelihatan terkejut.
"Bagaimana Nona dapat menyangka demikian?"
"Aku mengenal gaya bahasamu dan dasar gerak silatmu. Tibet sudah takluk, akan tetapi
banyak tokohnya diam-diam masih ingin memberontak. Tentu engkau adalah seorang di
antara mereka yang ingin memberontak, maka kini engkau menghasut para Lo-suhu dari
Siauw-lim-pai untuk menentang kami. Hemm, Mo Kong Hosiang, karena engkau bukan
orang Siauw-lim-pai, maka urusan anta-ra engkau dan kami lain lagi. Engkau seorang
pemberontak dan sudah menjadi tugas kami untuk membasmi pemberon-tak."
"Ha-ha-ha, perempuan sombong! Kaukira pinceng takut....?" Baru sampai di sini ucapannya,
terdengar suara gerengan keras dan Bok Sam telah menerjang maju dengan dahsyat,
menggerakkan to-yanya menusuk ke arah dada hwesio kurus itu.
Mo Kong Hosiang cepat mengelak sambil menggerakkan hud-tim di tangan-nya yang
menyambar dari samping ke arah lambung Si Lengan Buntung. Se-rangan berbahaya ini
dapat dielakkan oleh Bhok Sam dan segera terjadi pertandingan hebat antara kedua orang
itu. Sekali ini, pertandingan terjadi lebih he-bat daripada tadi karena kalau tadi ma-sing-
masing pihak masih menjaga agar jangan sampai menjatuhkan pukulan maut kepada pihak
lawan, kini kedua orang ini bertanding dengan niat membunuh!
Milana sudah mengukur tingkat ke-pandaian hwesio kurus itu, maka kini ia mengerutkan alis
menyaksikan kelancang-an Bok Sam yang terlalu berani turun tangan. Dia maklum bahwa
pembantu ibunya itu m
Pendekar Cacad 9 Pendekar Satu Jurus Karya Gan K L Petualang Asmara 10
r-menung kalau saja matanya tidak terta-rik oleh serombongen orang yang datang dari kiri memasuki
hutan itu pula. Seke-tika ia lupa akan kekesalan hatinya ter-ingat Bun Beng tadi dan kini dia
meng-hentikan kudanya, menanti orang-orang dan memandang penuh perhatian.
Rombongan orang berjalan kaki itu jumlahnya ada lima belas orang dan se-telah mereka
datang dekat, Kwi Hong terbelalak keheranan karena muka orang--orang itu berwarna-warni.
Orang-orang Pulau Neraka! Tidak salah lagi. Dia su-dah tahu akan keanehan para penghuni
Pulau Neraka, yaitu warna muka mere-ka yang seperti dicat itu. Sebagian be-sar adalah
orang-orang yang mukanya berwarna kuning tua, dipimpin oleh dua orang yang bermuka
merah muda. Ah, ternyata bukanlah orang-orang tingkat rendah, pikir Kwi Hong yang sudah
me-ngerti bahwa makin muda warna muka seorang Pulau Neraka, makin tinggilah
tingkatnya. Akan tetapi yang membuat dia terbelalak keheranan bukanlah kenya-taan bahwa
rombongan itu adalah orang--orang Pulau Neraka melainkan benda yang mereka bawa dan
kawal. Benda itu adalah sebuah peti mati! Peti mati ber-ukuran kecil, agaknya untuk seorang
ka-nak-kanak tanggung, dipanggul oleh dua orang dan dipayungi segala! Yang lain--lain
mengiringkan dari belakang.
Begitu mendapat kenyataan bahwa mereka adalah orang-orang Pulau Nera-ka, hati Kwi
Hong sudah merasa tidak senang. Dia maklum bahwa Ketua Pulau Neraka adalah Lulu, adik
angkat paman-nya akan tetapi bukankah kakek mayat hidup yang ia temui di tepi pantai itu
mengatakan bahwa Lulu hanyalah seorang ketua boneka saja" Dan dia pernah dicu-lik ke
Pulau Neraka, dan sikap Bibi Lulu terhadap paman amat tidak baik, apala-gi bocah bernama
Keng In putera Bibi Lulu itu! Dia merasa benci dan begitu melihat orang-orang yang
mukanya ber-aneka warna itu, ingin sudah hatinya untuk menentang dan menyerang
mereka. Akan tetapi, melihat peti mati itu, ke-heranannya lebih besar daripada
keti-daksenangannya maka dia lalu berkata nyaring.
"Heiii! Bukankah kalian ini orang-orang Pulau Neraka" Siapakah yang ma-ti dan hendak
kalian bawa ke mana peti mati itu?"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
421 Seorang wanita setengah tua yang bermuka galak dan seorang laki-laki tinggi besar,
keduanya bermuka kuning tua, meloncat maju dan memandang Kwi Hong dengan mata
bersinar marah. Tentu saja mereka marah menyaksikan sikap seorang gadis yang sama
sekali tidak menghormat padahal gadis itu su-dah tahu bahwa dia berhadapan dengan
orang-orang Pulau Neraka. Sikap seperti itu sama dengan memandang rendah dan
menghina. Selain itu, juga mereka sedang melakukan sebuah tugas yang amat pen-ting dan
rahasia, kini tanpa disengaja berjumpa dengan gadis itu, tentu saja mereka menjadi khawatir
dan tidak senang.
Wanita setengah tua bermuka kuning tua itu menjawab, "Bocah sombong, su-dah pasti peti
mati ini bukan untukmu karena engkau akan dikubur tanpa peti mati!"
"Heiii, apa engkau gila" Aku belum mati, siapa bilang mau dikubur?" Kwi Hong membentak
marah. "Setelah bertemu dengan kami, me-ngenal kami dan bersikap sesombong ini, apakah bukan
berarti engkau menjadi calon mayat?"
"Keparat! Engkaulah yang patut mam-pus!" Kwi Hong balas memaki, matanya yang indah
itu melotot. Kedua orang bermuka kuning tua itu segera menerjang maju dan karena me-reka
memandang rendah kepada Kwi Hong, mereka menyerang sembarangan saja. Yang wanita
menampar ke arah pundak Kwi Hong untuk membuat dara itu turun dari kuda, sedangkan
yang pria menampar ke arah kepala kuda yang ka-lau terkena tentu akan pecah!
"Tar! Tar!" Melihat kedua orang itu menyerang, Kwi Hong tidak mengelak maupun
menangkis, melainkan mengele-batkan perut kudanya, mendahului mere-ka dengan
serangan pecut. Biarpun dia tidak biasa mainkan pecut, namun berkat tenaga sin-kangnya
yang hebat, ujung pecut itu dua kali menyambar dan me-ngarah muka mereka yang
berwarna ku-ning tua!
"Plak! Plak! Aiiihhh....!" Dua orang itu cepat menangkis dan hendak men-cengkeram ujung
pecut, akan tetapi da-pat dibayangkan betapa kaget hati mere-ka ketika lengan mereka
terasa nyeri dan pecah kulitnya, mengeluarkan darah begitu bertemu dengan ujung pecut
yang bergerak dengan kekuatan luar biasa itu!
"Dari mana datangnya bocah som-bong berani main gila dengan penghuni Pulau Neraka?"
Orang tinggi besar ber-muka merah muda membentak keras dan bersama temannya yang
bermuka merah muda pula, yang berkepala gundul dan bertubuh tinggi gendut pendek,
segera menerjang maju. Biarpun jarak di anta-ra mereka dengan Kwi Hong masih ada dua
meter lebih, namun mereka telah melancarkan pukulan jarak jauh. Si Ting-gi Besar
menghantam ke arah Kwi Hong sedangkan Si Gendut Pendek menghan-tam ke arah kuda
yang ditungangi ga-dis itu.
"Wuuuuutttt! Siuuut!"
Kwi Hong terkejut. Bukan main hebat-nya angin pukulan kedua orang itu, maha dahsyat dan
mengandung bau amis seper-ti ular berbisa. Maklumlah dia bahwa kedua orang Pulau
Neraka yang sudah agak tinggi tingkatnya melihat warna mukanya itu memiliki pukulan
beracun, maka dia tidak berani berlaku lambat. Sekali enjot, tubuhnya mencelat ke atas,
akan tetapi terdengar kudanya mering-kik kesakitan dan roboh berkelojotan sekarat.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
422 "Berani kau membunuh kudaku?" Kwi Hong membentak, tubuhnya menukik dan meluncur
ke bawah, cambuknya digerak-kan bertubi-tubi ke arah kepala dan tu-buh Si Gundul Pendek
yang sibuk menge-lak sambil bergulingan.
"Tar-tar-tar-tar!" Biarpun Si Gundul Pendek itu mengelak dan bergulingan ke sana-sini,
namun tetap saja beberapa kali dia kena dihajar ujung cambuk sam-pai kepala gundulnya
lecet dan bajunya robek-robek. Namun temannya sudah me-nerjang Kwi Hong dari belakang
dengan pukulan beracun yang dahsyat, membuat gadis itu terpaksa mencelat ke belakang
meninggalkan Si Gundul dan siap meng-hadapi pengeroyokan mereka. Karena dia maklum
bahwa lima belas orang itu amat lihai, maka tangan kanannya berge-rak dan berbareng
dengan bunyi mende-sing nyaring tampaklah sinar kilat berke-lebat membuat lima belas
orang itu ter-kejut dan otomatis melangkah mundur sambil memandang ke arah pedang di
tangan Kwi Hong dengan mata terbelalak.
"Pe.... dang.... Iblis....!" Si Tinggi Be-sar bermuka merah muda berseru kaget.
"Hemmm, kalian mengenal pedangku" Majulah, pedangku sudah haus darah!" Kwi Hong
menantang. "Melihat pedang itu, kita tidak boleh membunuhnya. Tangkap hidup-hidup, per-gunakan
asap berwarna. Cepat, ketua kita telah menanti, jangan sampai dia ma-rah!"
Mendengar ini, jantung Kwi Hong berdebar. Dia tidak takut akan ancaman mereka untuk
menangkapnya hidup-hidup dengan menggunakan asap berwarna yang ia duga tentulah
asap beracun. Akan tetapi mendengar bahwa Ketua mereka telah menanti, dan agaknya
berada di dekat tempat itu, dia menjadi bingung. Kalau sampai adik angkat pamannya tahu
bahwa dia mengamuk, lalu maju sendiri bagaimana" Selain agaknya tak mungkin dia dapat
menangkan Bibi Lulu itu, juga wanita aneh itu telah meno-long dia dan penghuni Pulau Es
ketika diserang pasukan pemerintah. Apalagi kalau dia teringat akan pesan pamannya,
kemarahannya terhadap orang-orang ini menjadi menurun dan ia membanting ka-kinya
sambil berseru, "Sudahlah, aku mau pergi saja!"
Kwi Hong meloncat, akan tetapi dari depan menghadang enam orang anggauta Pulau
Neraka dengan senjata mereka melintang. Kwi Hong marah, Pedang Li-mo-kiam dipercepat
berubah menjadi segulung sinar kilat. Enam orang itu terkejut, menggerakkan senjata
masing-masing melindungi tubuh dan terdengar-lah suare nyaring berulang-ulang disusul
teriakan-teriakan kaget kerena semua senjata enam orang itu patah-patah dan tubuh gadis
itu mencelat ke depan te-rus lari dengan cepat sekali!
Karena takut kalau-kalau rombongan orang Pulau Neraka itu melakuken pe-ngejaran, bukan
takut kepada mereka melainkan takut kalau sampai bertemu dengan Lulu, Kwi Hong berlari
cepat ke selatan di mana terdapat sebuah anak bukit. Ke sanalah dia melarikan diri de-ngan
bibir cemberut karena pertemuan-nya dengan rombongan Pulau Neraka itu membuat dia
kehilangan kudanya. Akan tetapi kepada siapakah dia akan menumpahkan kemarahannya
den kejengkelan-nya" Betapapun juga, dia tidak mungkin dapat nekat mengamuk dan dapat
meng-hadapi Bibi Lulu apabila wanita itu mun-cul. Hal ini tentu akan membuat paman-nya
marah sekali, sungguhpun dia sama sekali tidak akan takut apabila dia harus menghadapi
Bibi Lulu sekalipun. Apalagi kalau dia teringat akan Keng In, ia bah-kan ingin sekali bertemu
dengan pemuda itu dan menantangnya untuk bertanding, tidak hanya mengadu kepandaian,
akan tetapi juga mengadu pedang mereka. Bukankah Pedang Lam-mo-kiam berada di
tangan pemuda brengsek itu" Pedang itu adalah pedang Bun Beng, dan kalau dia dapat
bertemu dengan Keng In ber-dua saja, dia pasti akan merampaskan Pedang Lam-mo-kiam
dan ia berikan ke-pada Bun Beng!
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
423 Ketika ia tiba di anak bukit itu, kembali ia terkejut karena ternyata bah-wa bukit itu
merupakan sebuah tanah pekuburan yang luas sekali! Di sana tam-pak batu-batu bong-pai
(nisan), ada yang masih baru akan tetapi sebagian besar adalah bong-pai yang tua dan
tulisannya sudah hampir tak dapat dibaca, tanda bahwa tanah kuburan itu adalah tempat
yang sudah kuno sekali. Ia teringat akan rombongan orang Pulau Neraka yang membawa
peti. Celaka pikirnya, aku telah salah lari. Mereka itu menuju ke tempat ini untuk mengubur
peti mati itu. Berpikir demikian, Kwi Hong berlari terus, dengan maksud hendak melewati bukit tanah
kuburan itu dan untuk berla-ri terus ke selatan karena dia hendak mencari musuh-musuh
pamannya, musuh-musuh Pulau Es, di kota raja. Tiba-tiba bulu tengkuknya berdiri dan
kedua kaki-nya otomatis berhenti, bahkan kini ke-dua kaki itu agak menggigil! Kwi Hong
takut" Tidak mengherankan kalau dara perkasa ini ketakutan. Siapa orangnya yang tidak
akan menjadi seram dan ta-kut kalau tiba-tiba mendengar suara orang tertawa cekikikan dan
terkekeh-kekeh di tengah tanah kuburan, sedang-kan orangnya tidak tampak. Suara keta-wa
itu pun tidak seperti biasa, lebih pantas kalau iblis atau mayat yang ter-tawa! Kwi Hong
seorang gadis pembera-ni, akan tetapi baru dua kali ini dia be-nar-benar menggigil ketakutan
dan bulu tengkuknya menegang. Pertama adalah ketika ia menemukan sebuah peti di tepi
laut yang ketika dibukanya ternyata berisi mayat hidup! Ke dua adalah seka-rang ini. Tempat
itu demikian sunyi, ti-dak terdengar suara seorang pun manu-sia. Dan tiba-tiba ada suara
ketawa dan agaknya suara ketawa itu terdengar dari mana-mana, mengelilinginya!
Ah, mana ada setan! Gadis ini berpi-kir sambil menekan rasa takutnya. Dahu-lu pun, mayat
hidup itu ternyata adalah seorang kakek yang sakti, bahkan tokoh pertama dari Pulau
Neraka, bukan setan. Sekarang pun pasti bukan setan, apalagi di waktu pagi ini, mana ada
iblis bera-ni muncul melawan cahaya matahari" Tentu seorang yang lihai sehingga suara
ketawanya yang mengandung tenaga khi-kang itu terdengar bergema ke sekeli-lingnya. Kwi
Hong menjadi tabah dan kini dia menahan napas mengerahkan sin-kangnya, menggunakan
tenaga pendengar-annya untuk mencari darimana datang-nya sumber suara ketawa itu.
Benar saja dugaannya. Suara ketawa yang mengurungnya itu adalah gema sua-ra yang
mengandung khi-kang amat kuat, sedangkan sumbernya dari.... sebuah kuburan kuno!
Kembali ia terbelalak dan bulu tengkuk yang sudah rebah kembali itu kini mulai bangkit lagi!
Suara keta-wa dari kuburan kuno" Apalagi kalau bukan suara setan atau mayat hidup"
Hampir saja Kwi Hong meloncat jauh dan melarikan diri secepatnya kalau sa-ja dia tidak
merasa malu. Biarpun tidak ada orang lain yang melihatnya, bagai-mana kalau ternyata yang
tertawa itu manusia dan melihat dia lari tunggang--langgang macam itu betapa akan
mema-lukan sekali! Tidak, daripada menang-gung malu lebih baik menghadapi kenya-taan,
biarpun dia harus berhadapan de-ngan iblis di siang hari sekalipun!
"Heh-heh-heh-heh, hayo.... biar kecil, hati-nya besar, hi-hi-hik!"
Nah, benar manusia, pikir Kwi Hong yang masih bingung karena suara itu benar-benar
keluar dari sebuah kuburan yang sudah ditumbuhi banyak rumput dan tidak tampak ada
manusia di dekat ku-buran itu.
"Krik-krik-krik!"
"Krek-krek-krek!"
Eh, ada suara dua ekor jangkerik! Makin tertarik hati Kwi Hong, apalagi ketika kembali
terdengar orang tak tam-pak itu bicara sendiri.
"Eh, maju, jangan mepet di pinggir, sekali dorong kau akan jatuh! Ha, biar-pun kecil mrica
tua, makin kecil makin tua dan makin pedas! Ha-ha-ha!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
424 Dengan berindap-indap Kwi Hong ma-ju menghampiri dan hampir saja dia ter-tawa
terkekeh-kekeh saking lega dan geli rasa hatinya ketika melihat bahwa yang disangkanya
mayat hidup atau iblis itu kiranya adalah seorang kakek yang sudah tua sekali duduk
seorang diri di atas tanah depan bong-pai tua sambil mengadu jangkerik di atas telapak
tangan kirinya!
Kakek itu sudah amat tua, sukar di-taksir berapa usianya. Rambutnya yang riap-riapan,
kumisnya, jenggotnya, se-mua sudah putih dan tidak terpelihara sehingga kelihatan mawut
tidak karuan. Pakaiannya pun longgar tidak karuan bentuknya, sederhana sekali. Kakinya
memakai alas kaki yang diberi tali-temali melibat-libat kakinya ke atas, lucu dan kacau. Yang
paling menarik hati Kwi Hong adalah bentuk tubuh kakek itu. Amat kecil! Kecil dan pendek,
se-perti tubuh seorang kanak-kanak saja! Biarpun kakek itu duduk mendeprok di atas tanah,
dia berani bertaruh bahwa kakek itu tentu kalah tinggi olehnya. Akan tetapi kakek itu sama
sekali tidak memperhatikan keadaan sekelilingnya, bahkan tidak mempedulikan keadaan
Kwi Hong sama sekali. Perhatiannya tercurah kepada dua ekor jangkerik di atas telapak
tangannya, pandang mata-nya bersinar-sinar, wajahnya berseri dan kedua matanya yang
amat lebar itu ter-belalak.
Kwi Hong melangkah maju perlahan--lahan sampai dekat sekali. Ia melihat bahwa di atas
telapak tangan kiri ka-kek itu terdapat dua ekor jangkerik yang saling berhadapan,
dipermainkan oleh kakek itu dengan sebatang kili-kili rumput sehingga kedua ekor binatang
itu mengerik keras. Yang bunyi keriknya kecil adalah seekor jangkerik coklat yang tubuhnya
kecil, sedangkan yang ke dua adalah seekor jangkerik hitam yang tu-buhnya lebih besar dan
bunyi keriknya pun lebih besar.
Kwi Hong duduk perlahan-lahan di sebelah kiri kakek itu, mendeprok di atas tanah sambil
menonton. Dia pun tertarik sekali. Selama hidupnya belum pernah dia melihat jangkerik
diadu. Ten-tu saja pernah dia melihat jangkerik akan tetapi tidak tahu bahwa jangke-rik dapat
diadu seperti ayam jago saja. Dia menjadi kagum menyaksikan sikap dua ekor jangkerik itu.
Setelah mengerik dan sayapnya menggembung, sungutnya bergerak-gerak, mulutnya
dibuka lebar siap menyerang lawan, binatang-binatang kecil itu kelihatan gagah sekali.
Teruta-ma sekali pasangan kuda-kuda kakinya, kokoh kuat mengagumkan!
"Hayo, Si Kecil Merah, biarpun kecil jangan mau kalah! Serang....!" Kakek itu tiba-tiba
melepaskan kili-kilinya yang dipegang dengan tangan kanan, diangkat-nya kili-kili ke atas
sehingga kini kedua ekor jangkerik itu tidak terhalang kili--kili dan mereka saling terkam! Kwi
Hong memandang dengan mata terbelalak kagum. Baru pertama kali ini dia me-lihat dua
ekor jangkerik itu benar-benar saling terkam, melompat dengan garang dan saling gigit,
kemudian saling dorong, menggunakan kaki belakang yang besar dan kuat itu untuk
mempertahankan diri. Namun, tentu saja jangkerik hitam yang lebih besar itu lebih kuat.
Jangkerik kemerahan atau coklat lebih kecil terdo-rong terus sampai ke pinggir telapak
tangan, kemudian dilontarkan oleh jangkerik hitam sehingga terlempar jatuh ke atas tanah.
Si Hitam mengerik bangga dan berputar-putaran di atas telapak ta-ngan kakek itu seolah-
olah seorang jago-an yang menantang tanding di atas pang-gung luitai (panggung adu silat)!
"Wah, Si Hitam itu hebat!" Kwi Hong berkata lirih memuji.
"Puhh! Hebat apanya?" Kakek itu mendengus dan mendelik kepada Kwi Hong. "Kalau
bukan kau datang menga-getkan Si Kecil Merah takkan kalah!"
Melihat sikap kakek itu marah-marah tidak karuan kepadanya, menyalahkan dia karena
jangkerik kecil itu kalah. Kwi Hong menjadi mendongkol hatinya. "Apa" Aku yang salah"
Wah, kakek sin-ting, memang jangkerik yang kecil be-gitu mana bisa menang?"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
425 "Siapa bilang tidak bisa menang" Kaukira yang kecil itu harus kalah" Phuah, gadis besar
yang sombong!"
"Plak! Plok!"
Hampir saja Kwi Hong menjerit saking marahnya. Dia tidak melihat ka-kek itu
menggerakkan tangan, akan tetapi tahu-tahu pinggulnya yang berdaging menonjol kena
ditampar dua kali oleh kakek itu sampai terasa panas kulitnya dan debu mengepul dari
celananya yang tentu saja kotor karena dia duduk di atas tanah kering. Kwi Hong meloncat
bangun, siap untuk membalas akan teta-pi karena mendapat kenyataan bahwa kakek itu
lihai bukan main, dapat me-nampar belakang tubuhnya tanpa dia melihatnya, Kwi Hong
meraba gagang pedang.
"Prokkk!" Kakek itu meremas ujung batu bong-pai dan Kwi Hong meman-dang dengan mata
terbelalak. Batu yang amat keras itu diremas seperti orang meremas kerupuk saja, hancur
seperti tepung. Dia sendiri, dengan pengerahan sin-kangnya, mungkin dapat mematahkan
ujung batu bongpai itu, akan tetapi me-remasnya hancur, tanpa sedikit pun keli-hatan
mengerahkan tenaga, benar-benar hebat! Maklumlah dia berhadapan de-ngan seorang
kakek yang amat sakti, akan tetapi juga amat sinting perangai-nya!
Tanpa mempedulikan Kwi Hong yang meloncat bangun, kakek yang bersungut--sungut itu
telah menaruh jangkerik hi-tam yang menang ke dalam lubang yang dibuatnya di atas tanah,
kemudian me-nyambar jangkerik hitam kemerahan yang kalah tadi.
"Kau harus menang! Si Kecil harus menang! Jangan biarkan Si Besar som-bong dan
mengira bahwa Si Besar yang kuat!" Dia bersungut-sungut, mengomel marah-marah tidak
karuan. "Kau harus dijantur biar besar hatimu!" Kakek itu mencabut sehelai ram-but yang panjang,
akan tetapi begitu dipandangnya, rambut putih itu dibuang-nya. "Ah, rambut putih tidak baik
untuk menjantur jangkerik, hatinya menjadi tidak berani bertempur. Heh, gadis besar!
Rambutmu banyak, berikan sehelai kepadaku!"
Biarpun Kwi Hong merasa mendong-kol bukan main, namun dia mulai terta-rik untuk
menyaksikan bagaimana cara-nya kakek itu dapat memaksa jangke-rik kecil maju dan
mengalahkan jangke-rik besar. Biarpun bibirnya sendiri tak kalah runcingnya dengan bibir Si
Kakek karena dia pun cemberut, dicabutnya juga sehelai rambut dan ditiupnya ram-but itu ke
arah kakek yang menerima-nya sambil menjepit rambut dengan kedua jari tangan. Diam-
diam Kwi Hong kagum dan kaget. Sudah begitu tua, akan tetapi pandang matanya masih
lu-ar biasa tajamnya, sehingga dapat me-nangkap dengan jepitan jari tangan sehelai ram-but
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang melayang. Kini kakek itu tidak bersungut-sungut lagi, malah wajah-nya berseru penuh
harapan ketika dia menggunakan rambut untuk menjantur jangkerik kecil merah itu pada
selakang kakinya. Kwi Hong memandang dengan heran dan ngeri. Jangkerik itu dijantur
diputar-putar seperti gasing kemudian dibiarkan berputar kembali pada rambut dan
dimanterai oleh kakek aneh. Entah diberi mantera atau diapakan, buktinya- kakek itu
mulutnya berkemak-kemik de-kat dengan tubuh jangkerik yang berputaran. Setelah gerakan
berputar itu terhenti, berhenti pula mulut yang berkemak-kemik, akan tetapi tiba-tiba kakek
itu meludah kecil tiga kali.
"Cuh! Cuh! Cuh!" Ludah-ludah kecil menyerempet ke arah tubuh jangkerik merah.
"Awas kau kalau kalah lagi!" Kakek itu berkata. "Harus kuberi tambahan se-mangat!" Ia lalu
bangkit berdiri, men-jengking dan menaruh jangkerik yang ma-sih tergantung di bawah
rambut itu de-pan pantatnya, "Busssshh!" Kakek itu melepas kentut yang tepat menghembus
ke arah jangkerik merah.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
426 "Ihhh....!" Kwi Hong mendengus dan melangkah mundur menjauhi kakek jorok (kotor) itu
sambil memijit hidung. Ken-tut yang tidak berbunyi biasanya amat jahat baunya! Akan tetapi
karena dia tertarik sekali, ingin melihat apakah "gemblengan" yang diberikan kakek itu pada
jangkerik merah benar-benar man-jur, Kwi Hong tidak pergi dan masih berdiri menonton.
Kembali kakek itu membalikkan tela-pak tangan kiri, dipergunakan sebagai panggung
pertandingan antara kedua ekor jangkerik itu. Jangkerik merah sudah dile-pas dari rambut
yang menjanturnya, di-taruh di atas telapak tangan kiri kakek itu. Jangkerik itu diam saja,
agaknya nanar dan melihat bintang menari-nari! Sepatutnya begitulah setelah mengalami
gemblengan hebat tadi, kalau tidak na-nar oleh janturan tentu mabok oleh bau kentut. Akan
tetapi agaknya hal ini membuat si Jangkerik timbul kemarahan-nya, buktinya ketika kakek itu
memain-kan kili-kili di depan mulutnya, jangkrik ini membuka mulut lebar-lebar dan
menyerang kili-kili, sayapnya berkem-bang dan mengerik sumbang!
"Ha-ha-ha-heh-heh, bagus! Sekarang kau harus menang!" Kakek itu berkata lalu mengambil
jangkerik hitam dan me-naruh di atas telapak tangannya pula. Dengan kili-kilinya, kakek itu
terus mengili jangkerik merah yang makin ga-nas dan bergerak maju menghampiri jangkerik
hitam yang sama sekali tidak dikili, dibiarkan saja oleh kakek itu.
"Wah, kau licik! Kenapa jangkerik hi-tamnya tidak dikili?" Kwi Hong tidak dapat menahan
kemendongkolan hatinya. Dia tahu bahwa karena tubuhnya kecil pendek, kakek itu berpihak
kepada jang-kerik kecil dan berlaku curang.
"Eh, kalau kau berpihak kepada Si Hitam, boleh kaukili dia!" kakek itu membentak marah.
Akan tetapi karena Kwi Hong belum pernah mengadu jangke-rik, gadis ini berjebi dan tidak
menja-wab, hanya memandang saja.
Biarpun tidak diganggu kili-kili, men-dengar lawan mengerik, Si Hitam itu cepat membalik
dan juga mengerik, menan-tang dengan keriknya yang nyaring sehingga mengalahkan bunyi
kerik Si Kecil yang sumbang. Hampir Kwi Hong berso-rak bangga, akan tetapi dia menahan
di-ri, takut kalau-kalau kakek sinting itu marah lagi.
Setelah kedua jangkerik itu berhadap-an dan siap, kakek aneh itu kembali melepaskan kili-
kilinya dari mulut Si Kecil, mencabutnya ke atas sehingga kembali dua ekor jangkerik itu
saling terkam dan saling gigit. Si Kecil itu kini benar-benar lebih nekat cara berkelahi-nya,
dan agaknya gemblengan kakek ta-di ada gunanya pula karena dia lebih berani, tidak
mudah menyerah seperti da-lam pertandingan pertama. Akan tetapi, betapapun nekatnya,
karena memang kalah kuat, dia didorong terus ke ping-gir dan akhirnya terjengkang ke
bawah. Kalah lagi.
Kwi Hong cepat melangkah mundur dan tepat seperti dugaannya, kakek itu marah-marah
lagi. Batu bong-pai kuno itu mengalami nasib sial! Digempur berapa kali sampai pecah-
pecah dan re-muk-remuk, debu beterbangan ke atas.
"Sialan! Pengecut! Penakut! Kau mem-bikin malu saja! Tidak bisa, kau tidak boleh kalah,
harus menang. Harus kata-ku, tahu" Kalau perlu aku akan meng-gemblengmu selama
hidupku sampai kau menang!"
Kembali dia menaruh jangkerik hi-tam di dalam lubang den mulailah ia melakukan
"penggemblengan" ke dua ter-hadap jangkerik kecil merah. Cara menggemblengnya makin
gila, membuat Kwi Hong mendekap mulutnya menahan keta-wa. Benar-benar kakek sinting,
pikirnya, akan tetapi karena Kwi Hong juga mem-punyai dasar watak gembira, binal dan
nakal, dia ingin sekali menyaksikan jang-kerik gemblengan kakek itu benar-benar akan dapat
menang satu kali saja. Ka-lau kalah terus, dia mempunyai alasan untuk mentertawakan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
427 kakek sinting yang tadi sudah berani menggaplok pinggulnya sampai dua kali. Kalau nanti
kakek itu marah, dia akan melawan dengan pe-dangnya.
Kakek itu benar-benar seperti sin-ting saking penasaran melihat jagonya kalah terus. Tepat
seperti dugaan Kwi Hong, karena merasa bahwa dia adalah seorang yang mempunyai
perawakan ti-dak normal, terlalu kecil pendek bagi ukuran pria, maka tentu saja kakek itu
selalu berpihak kepada apa saja yang ukurannya lebih kecil! Demikian pula da-lam adu
jangkerik ini. Dia akan penasar-an terus kalau Si Kecil belum memang, karena dia melihat
seolah-olah Si Kecil itu adalah dia sendiri. Kini dia membe-nam-benamkan Si Kecil Merah itu
ke dalam.... air kencingnya sendiri. Tanpa mempedulikan Kwi Hong kakek itu me-rosotkan
celananya begitu saja sehingga Kwi Hong tersipu-sipu membuang muka, lalu dia melepas air
kencing ke arah jangkerik merah yang ia masukkan ke dalam sebuah lubang besar di atas
ta-nah. Tentu saja payah jangkerik merah kecil itu berenang di lautan kencing, se-dangkan
Kwi Hong yang berdiri dalam jarak sepuluh langkah saja masih men-cium bau sengak
seperti cuka lama, apalagi jangkerik yang kini dibenamkan ke dalam air kencing! Akan tetapi
kakek itu tidak peduli. Setelah mengikatkan kembali celananya dan membenam-benam-kan
jangkerik jagoannya sampai sete-ngah kelenger, barulah ia menghentikan gemblengannya,
membiarkan jagonya si-uman di bawah sinar matahari, kemudi-an mulailah dia mengadu lagi
dua ekor jangkerik itu.
Anehnya, ketika jangkerik itu digoda kili-kili, dia mengamuk, menggigit asal kena saja, akan
tetapi tidak lagi mau mengerik. Dia betul-betul sudah puyeng sekarang, sudah nekat dan
menyerang ke depan dengan ngawur akan tetapi pantang mundur!
"Bagus, kau kini tidak mengenal ta-kut lagi!"
Kwi Hong lupa akan bau air kencing yang biarpun sudah dihisap tanah masih meninggalkan
bau lumayan, karena dia tertarik maka dia mendekat lagi, bah-kan kini dia duduk di sebelah
kiri kakek itu, menonton penuh perhatian. Dua ekor jangkerik sudah berkelahi lagi di atas
telapak tangan kakek itu. Akan tetapi jangkerik kecil itu mundur terus!
"Kalau sekali ini kalah, kugencet de-ngan batu kepalamu!" Kakek itu mengo-mel dan Kwi
Hong menaruh kasihan ke-pada jangkerik kecil merah itu.
"Kek, tahan pantatnya dengan kili--kili. Dia masih terus melawan, belum kalah, jangan
keburu dia jatuh ke ba-wah!" Kwi Hong yang melihat Si Kecil itu benar-benar nekat, saling
gigit tak dilepaskan lagi, menjadi tegang hatinya dan ingin melihat Si Kecil yang diing-kal-
ingkal (didesak-desak) oleh Si Besar itu dapat menang.
Kakek itu tidak menjawab, akan te-tapi ternyata dia menurut petunjuk Kwi Hong
menggunakan kili-kili untuk menahan pantat jangkerik kecil merah yang terdo-rong terus ke
belakang. Setelah kili-kili itu menahannya, pertandingan menjadi makin seru dan mati-
matian, dan kedua jangkerik saling gigit sampai mulut Si Kecil mengeluarkan air menguning!
Jangkerik hitam yang besar agaknya penasaran, makin dikerahkan tenaga kakinya yang
besar, didorongnya kepala jangkerik kecil yang sudah luka-luka itu sekuatnya sehingga
tubuh jangkerik kecil itu tertekan, terhimpit dan tertekuk ke belakang sehingga akhirnya jatuh
terlen-tang dan si Besar Hitam masih menggi-git dan nongkrong di atasnya. Kakek itu
menjadi pucat wajahnya, matanya terbe-lalak dan perasaannya tertusuk. Akan tetapi tiba-
tiba jangkerik kecil yang ke-hilangan akal itu membuat gerakan membalik sehingga gigitan
terlepas, dan ketika jangkerik hitam besar mengejar, Si Kecil itu menggerakkan kedua kaki
besar ke belakang, menyentik dengan ti-ba-tiba dan gerakannya amat cepat dan kuat.
Akibatnya, tubuh jangkerik hitam besar itu terlempar ke atas dan jatuh. Sial baginya dia jatuh
menimpa batu sehingga kepalanya pecah dan mati di saat itu juga! Lebih aneh lagi, kini
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
428 jangkerik kecil merah yang masih ber-ada di tangan kakek itu mulai mengerik dan bergerak-
gerak ke sana ke mari, seolah-olah menantang lawan!
"Hebat dia....!" Kwi Hong berseru, juga girang sekali. Akan tetapi dia segera menghentikan
kata-katanya dan matanya terbelalak memandang ke belakang ka-kek tua itu. Dari jauh
tampak olehnya rombongan orang Pulau Neraka yang menggotong peti mati, berjalan
menuruni anak tangga batu menuju ke arah mereka!
Kwi Hong merasa khawatir sekali. Dia maklum akan kelihaian orang-orang Pulau Neraka itu.
Akan tetapi dia terhe-ran-heran ketika melihat mereka semua menjatuhkan diri berlutut dan
meletak-kan peti mati itu di depan mereka, terus berlutut tanpa bergerak sedikit pun.
Akan tetapi kakek tua yang kate kecil itu sama sekali tidak mempeduli-kan mereka. Dia
sedang bergembira, girang bukan main. "Heh-heh-ha-ha-ha, kau boleh istirahat dan
sembuhkan luka-lukamu, jagoan cilik!" katanya sambil melepaskan jangkerik itu ke dalam
se-mak-semak. Kemudian dia menari-nari ke-girangan, tertawa-tawa dan bergulingan ke
sana-sini, mendekati bangkai jangkerik hitam, mengejek dan menjulurkan lidah kepada
bangkai kecil itu!
"Heh-heh, kaukira yang besar harus menang" Ha-ha-ha!"
Ketika ia bergulingan itu, tanpa dise-ngaja dia bergulingan ke dekat Kwi Hong. Tentu saja
gadis ini tidak mau tubuhnya terlanggar, maka dia meloncat berdiri. Gerakan gadis ini
disalahartikan oleh Si Kakek sinting, disangkanya gadis itu menentangnya, apalagi dia
melihat bah-wa gadis itu tidak ikut bergembira bersamanya. Marahlah dia dan tiba-tiba ia
menelungkup, menekan tanah dengan kedua tangan dan bagaikan kilat cepat-nya, kedua
kakinya menyepak ke bela-kang persis gaya jangkerik kecil tadi, kedua ujung kaki
menghantam dari ba-wah ke arah tubuh Kwi Hong!
Tentu saja Kwi Hong terkejut sekali. Untuk mengelak sudah tidak keburu lagi maka cepat ia
menangkis. "Desss!" Akibat benturan ini, tubuh Kwi Hong terlempar ke udara, jauh ting-gi dan
"temangsang" di atas dahan-dahan pohon yang tinggi dalam keadaan lemas!
Kakek sinting itu berseru kaget. "Heiii....! Wah, mengapa kau mau saja kusepak?" Secepat
burung terbang, tu-buhnya melayang ke atas tanpa mengin-jak dahan pohon, tangannya
yang berlengan pendek itu menyambar tubuh Kwi Hong dan membawa dara itu meloncat
turun. Sekali ditepuk punggungnya, Kwi Hong dapat bergerak kembali dan ia ter-longong
memandang kakek yang ternyata memiliki ilmu kepandaian luar biasa itu.
Setelah memulihkan kesehatan Kwi Hong, kakek itu melanjutkan bersorak gembira, "Ha-ha-
ha! Hooree! Aku menemukan jurus baru yang hebat! Khusus un-tuk si kecil mengalahkan si
besar, ha-ha-ha!" Tiba-tiba ia melihat rombongan orang Pulau Neraka yang berlutut di si-tu,
lalu suara ketawanya berhenti, dia membentak marah.
"Eiiittt! Siapa suruh kalian berlutut di situ" Hayo pergi semua, jangan gang-gu aku yang
sedang bergembira!"
Kwi Hong kembali terheran-heran. Orang-orang Pulau Neraka yang tidak rendah tingkatnya
itu, mengangguk-ang-guk dan seperti anjing digebah mereka pergi mengundurkan diri,
meninggalkan peti mati dan tampak mereka itu duduk jauh dari tempat itu, seperti
sekumpul-an pelayan menanti perintah majikan. Sedikit pun mereka tidak berani lagi
memandang ke arah kakek sinting!
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
429 "Heh-heh-heh, mereka itu menjemu-kan sekali. Ilmu yang baru ini mana boleh dilihat
mereka" Tentu akan mereka curi kelak. Eh, gadis gede, engkau ikut berjasa dalam
penemuan jurus istimewa ini, maka sudah sepantasnya kalau aku mengajarkan jurus ini
kepadamu."
Kwi Hong menggeleng kepala. "Aku tidak ingin mempelajari jurus yang tidak sopan itu!"
"Wah, lagaknya! jurus tidak sopan, katamu" Hayo jelaskan, apanya yang ti-dak sopan!"
"Aku adalah seorang manusia, seorang gadis pula, bukan seekor jangkerik atau seekor
kuda! Kalau aku mempelajari ju-rus menyepak seperti jangkerik atau kuda itu, bukankah itu
tidak sopan?"
"Uwaaah, sombongnya! Mana ada jurus sopan atau tidak sopan" Hayo jawab, untuk apa
engkau mempelajari jurus--jurus ilmu silat" Bukankah untuk mero-bohkan lawan, untuk
membunuh lawan" Apakah ada cara membunuh yang sopan atau tidak" Kalau dilihat
tujuannya, se-mua jurus yang pernah kaupelajari juga tidak sopan! Hayoh coba kau bantah!"
kakek itu bersikap seperti seorang anak kecil yang cerewet dan mengajak ber-tengkar.
"Sudahlah, aku tak mau banyak bicara dengan tokoh Pulau Neraka!"
"Aihhh! Siapa tokoh Pulau Neraka?"
"Engkau, kakek sinting, apa kaukira aku tidak tahu bahwa engkau tokoh Pulau Neraka?"
"Dari mana kau tahu?"
"Dari mukamu yang tidak berwarna itu, seperti muka mayat!" Kwi Hong ti-dak mau bilang
bahwa dia tahu karena melihat orang-orang Pulau Neraka tadi amat takut dan menghormat
kakek ini karena hal itu menjadi terlalu mudah untuk menduga.
"Ada apa dengan mukaku" Tidak ber-warna" Hemm, kau mau warna apa" Hitam" Nah,
lihatlah!" Kwi Hong ham-pir menjerit ketika melihat betapa mu-ka kakek itu tiba-tiba saja
berubah hitam seperti pantat kuali yang hangus! Hanya tinggal putih matanya dan dua
giginya saja yang kelihatan.
"Apa kau mau yang merah" Dan berbareng dengan ucapannya itu, muka kakek itu menjadi
merah seperti dicat.
"Atau biru" Hijau" Kuning?"
Kini Kwi Hong melongo. Muka itu bisa berubah-ubah seperti yang disebut kakek itu, seolah-
olah ada yang menge-catnya berganti-ganti, dan akhirnya ber-ubah biasa lagi, muka yang
pucat, muka seorang kakek yang berpenyakitan.
"Jelas engkau seorang tokoh besar Pulau Neraka!" Kwi Hong berkata.
"Kalau betul, mengapa" Apa bedanya kalau aku orang Pulau Neraka, atau Pulau Es, atau
pulau kosong, atau dari puncak Gunung Bu-tong-san, atau dari padang pasir! Apa bedanya
kalau aku terlahir sebagai bangsa ini dan bangsa itu" Tetap saja aku seorang manusia
seperti juga engkau! jangan sombong kau, gadis gede...."
"Jangan sebut-sebut aku gede! Apa kaukira engkau ini masih bocah?"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
430 "Eh-eh, yang gede bukan usianya, melainkan tubuhnya. Bukankah engkau gede sekali
kalau dibandingkan dengan tubuhku?"
"Bukan aku yang gede, melainkan engkau kate, terlalu kate, terlalu kecil! Aku biasa saja!
Kau benar-benar men-jengkelkan orang, Kakek sinting. Siapa sih namamu?"
"Heh-heh-heh, kejengkelan bukan da-tang dari luar, melainkan dari dalam ba-tinmu sendiri,
digerakkan oleh pikiran-mu, Nona. Siapa suruh engkau jengkel! Aku memang bukan orang
yang besar, bukan orang ternama, aku hanyalah Bu-tek Siauw-jin (Manusia Rendah Tanpa
Tanding). Aku tidak bicara berlebihan kalau kukatakan bahwa aku adalah da-tuk Pulau
Neraka.... heh-heh-heh... haa" Mengapa kau mencabut pedang" Waduhhh.... pedangmu
itu....! Pedang iblis, seperti yang dipegang murid Suheng!"
Kini Kwi Hong dapat menduga siapa adanya kakek ini. Kiranya sute dari kakek yang seperti
mayat hidup, guru dari Keng In!
"Bagus, ketahuilah, Kakek sinting. Aku adalah Giam Kwi Hong dari Pulau Es! Dan pedang
ini memang benar Li-mo-kiam (Pedang Iblis Betina), sedang-kan Lam-mo-kiam yang
dipegang oleh murid keponakanmu itu adalah barang rampasan, curian yang harus
dikembali-kan kepadaku. Sekarang setelah kita sa-ling bertemu, dua wakil dari kedua pulau
yang bertentangan, kita boleh mengadu nyawa!"
"Mengadu nyawa" Heh-heh-heh, bo-leh! Boleh sekali! Akan tetapi kita ha-rus bertaruh,
tanpa pertaruhan aku ti-dak sudi susah-susah keluarkan keringat!"
Biarpun hatinya mendongkol sekali, Kwi Hong menjadi geli juga. "Bu-tek Siauw-jin, orang
mengadu nyawa mana bisa bertaruh" Yang kalah akan mati, mana bisa memenuhi
pembayaran?"
"Siapa bilang mati" Kalau aku tidak menghendaki mati, mana bisa di antara kita ada yang
mati" Begini, aku akan mainkan jurus baruku yang kaupandang rendah tadi untuk
menghadapi pedang-mu! Kalau pedangmu sampai terlepas, berarti kau kalah den engkau
harus me-nemani aku dikubur hidup-hidup selama seminggu!"
Kwi Hong bergidik. "Gila! Itu sama saja dengan mati!"
"Eiit, siapa bilang sama" Aku sudah berkali-kali dikubur hidup-hidup, sampai sekarang kok
tidak mati" Dikubur hidup--hidup menemaniku berarti mempelajari ilmuku dan menjadi
muridku, mengerti tidak kau, perawan tolol?"
Melihat kakek itu sudah naik pitam lagi, Kwi Hong menahan kegemasan ha-tinya dan
berkata, "Kalau kau yang ka-lah?"
"Kalau aku yang kalah tak usah bica-ra lagi karena aku tentu tidak dapat menjawabmu.
Pedangmu Li-mo-kiam itu bukan sembarangan senjata, jauh lebih tua dan lebih ampuh
daripada aku, kalau aku kalah tentu dia akan minum ha-bis darahku. Nah, kau mulai."
Kwi Hong menjadi serba susah. Biarpun dia tidak sudi menjadi murid seorang tokoh Pulau
Neraka, akan tetapi untuk membunuh kakek sinting ini sebenarnya diapun tidak tega.
Biarpun dari Pulau Neraka, akan tetapi kakek ini hanya sinting den aneh, sama sekali tidak
ke-lihatan jahat, bahkan kegalakannya ter-hadap orang-orang Pulau Neraka tadi, kegalakan
dan kemarahannya terhadap dia, seperti main-main atau pura-pura saja. Selain itu, kakek ini
jelas memiliki kepandaian yang luar biasa, dan dia ber-gidik kalau mengingat akan
kepandaian kakek mayat hidup guru Keng In. Na-mun, demi menjaga nama dan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
431 kehormat-an paman dan gurunya, dia harus me-nang. Apalagi dia memegang Li-mo-kiam
dan hanya dilawan dengan jurus baru yang diperoleh kakek itu dari adu jangkerik tadi.
"Lihat pedang!" bentaknya dan terdengar suara bercuit nyaring dan aneh keti-ka Li-mo-kiam
lenyap berubah menjadi segulung sinar kilat yang mujijat dan mengandung hawa maut.
"Hayaaaa....!" Kakek itu mengelak dan betul saja, dia sudah menjatuhkan diri dan
bergulingan mengelak dari sam-baran pedang.
Kwi Hong yang maklum bahwa dia hanya harus menjaga kedua kaki yang menyepak,
melancarkan serangan bertubi-tubi kepada tubuh kecil yang bergu-lingan itu sehingga
pedangnya menjadi gulungan sinar kilat yang menyambar-nyambar ke bawah. Kakek itu
ternyata memiliki gerakan yang ringan seperti kapas tertiup angin, kadang-kadang da-pat
mencelat ke sana-sini seperti jangke-rik meloncat. Namun sedikitpun kakek itu tidak
mendapatkan kesempatan untuk mempergunakan jurus barunya, yaitu sepakan kuda atau
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jentikan kaki jangkerik! Malah dia repot sekali harus menge-lak terus karena pedang Li-mo-
kiam ada-lah pedang yang amat luar biasa, baru hawanya saja sudah membuat kakek itu
miris hatinya. Tiba-tiba Kakek itu terpeleset jatuh. Kwi Hong cepat mengayun pedang. Tiba-tiba terdengar
suara memberobot dan ternyata kakek itu melepas ken-tut yang besar dan panjang! Kwi
Hong mengerutkan alis, mengernyitkan hidung dan sedetik pedangnya tertunda. Inilah
kesalahannya. Sedetik sudah terlalu la-ma bagi kakek sinting itu untuk mengge-rakkan
kedua kakinya, menyepak seperti yang dilakukannya tadi membuat tu-buh Kwi Hong
terbang. Akan tetapi kini sepakannya mengenai tangan kanan Kwi Hong. Kaki kiri menotok
siku membuat lengan itu lumpuh, kaki kanan menen-dang gagang pedang sehingga pedang
Li--mo-kiam mencelat ke atas mengeluarkan bunyi mengaung.
Ketika Kwi Hong sadar dan kaget bukan main, ternyata kakek itu sudah "terbang" ke atas
menyambar pedangnya, lalu mengembalikan pedang itu sambil tersenyum menyeringai,
"Nah, kau kalah, muridku."
Kwi Hong menerima pedangnya, menyarungkan pedang dan menjawab, "Bu--tek Siauw-jin,
ketahuilah aku adalah murid Pamanku sendiri, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Maka
engkau tentu maklum bahwa aku tidak mungkin dapat menjadi muridmu."
"Apa kaukira aku tidak tahu" Kauang-gap aku ini anak kecil yang tidak tahu apa-apa" Aku
ingin menurunkan ilmu kepadamu, tentang kau menjadi murid atau tidak, peduli amat! Kau
tahu me-ngapa aku ingin menurunkan ilmu-ilmuku kepadamu?"
Kwi Hong makin heran dan kini dia memandang kakek yang sakti itu. "Aku tidak tahu."
"Karena Suhengku Si Mayat Hidup yang bau busuk itu sudah melanggar sumpah!"
"Bagaimana" Aku tidak mengerti."
"Kami bertiga, Suheng Cui-beng Koai--ong, aku dan Sute Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek
yang sudah bersumpah tidak akan menerima murid. Akan tetapi baru--baru ini Suheng
mengambil murid bocah anak ketua boneka Pulau Neraka itu se-bagai murid. Bocah itu
pandai sekali, apalagi kini memegang Lam-mo-kiam, tentu tidak ada yang melawannya.
Kebe-tulan engkau bertemu dengan aku, eng-kau memegang Li-mo-kiam, engkau na-kal
dan cocok dengan aku, dan dasar il-mumu tidak kalah oleh murid Suheng. Nah, kalau aku
menurunkan ilmu kepada-mu, kelak engkaulah yang akan mengha-dapi murid Suheng itu.
Dia sudah melanggar sumpah, biar aku yang mengi-ngatkannya mengalahkan muridnya
oleh muridku!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
432 "Tanpa kauberi pelajaran ilmu pun aku tidak takut menghadapi bocah som-bong itu!"
"Hemm, dia belum tentu sombong, akan tetapi engkau sudah pasti sombong sekali! Engkau
murid Pendekar Siluman, akan tetapi setelah dia menerima ilmu--ilmu dari Suheng, apa
kaukira akan mampu menandinginya" Pedangmu itu tidak ada artinya karena dia pun
mem-punyai pedang yang sama ampuhnya."
"Pedang curian!"
"Curian atau bukan, bagaimana kau akan mampu merampasnya kalau kau tidak mampu
menandingi ilmunya?"
"Siauw-jin.... ehh.... wah, namamu benar-benar aneh, bikin orang tidak enak saja
memanggilnya dengan menyingkat!"
"Heh-heh-heh! Mengapa tidak enak memanggil aku Siauw-jin (Manusia Hina)" Sudah terlalu
halus kalau aku disebut Siauw-jin, ha, ha!"
"Bu-tek Siauw-jin, aku sudah kalah berjanji dan aku harus memenuhi taruh-an kita, aku suka
mempelajari ilmu yang akan kauberikan kepadaku, biarpun untuk itu aku harus dikubur
hidup-hidup. Akan tetapi, bagaimana engkau bisa tahu bahwa aku akan suka
kaupergunakan untuk mengalahkan murid Suhengmu?"
"Kwi Hong, namamu Giam Kwi Hong, bukan" Engkau keponakan Suma Han, engkau puteri
perwira gila she Giam di kota raja, engkau pernah diculik oleh adik angkat Suma Han yang
menjadi ketua boneka di Pulau Neraka. Semua itu aku tahu.... heh-heh, apa yang aku tidak
tahu" Aku tahu bahwa Sepasang Pedang Iblis itu tadinya ditemukan oleh seorang bocah
laki-laki, entah siapa aku tidak kenal. Li-mo-kiam diberikan kepadamu dan Lam-mo-kiam
dirampas oleh murid Suheng maka engkau akan meram-pas kembali pedang itu
memusuhi-nya. Engkau harus menemani aku diku-bur hidup-hidup selama seminggu.
Jangan kau pandang remeh latihan ini. Latihan sin-kang yang luar biasa. Engkau akan
mengenal apa yang disebut Tenaga Inti Bumi! Setelah berlatih samadhi dan sin-kang di
dalam tanah, nanti kuberikan ilmu-ilmuku yang paling istimewa, tiada keduanya di dunia,
termasuk ilmu baru-ku tadi, yang kaukatakan tidak sopan."
"Ilmu tendangan jangkerik?"
"Benar! Siapa tahu, dalam keadaan roboh dan terdesak, terancam malape-taka, engkau
dapat menggunakan jurus itu. Dengan seluruh tubuh tertekan pada bumi, meminjam tenaga
inti bumi, engkau akan dapat mengalahkan lawan yang ja-uh lebih kuat, dalam keadaan tak
ter-duga-duga seperti yang dilakukan jangke-rik kecil tadi. Jurus ini selain dapat
menyelamatkan nyawamu dari ancaman maut, juga dapat merobohkan lawan yang jauh
lebih kuat. Apakah kau masih menganggapnya ilmu tidak sopan?"
Kwi Hong mengangguk. "Aku akan mempelajari semua ilmu yang kauberi-kan."
"Bagus, sekarang kaucarilah sebuah peti mati untukmu. Peti mati besi ini punyaku, dan
terlalu kecil untuk tubuh-mu yang gede."
"Mencari peti mati" Ke mana?"
"Wah, bodohnya. Ratusan peti mati berada di depan hidung, masih tanya harus cari ke
mana" Selamanya tak mempunyai murid, sekali dapat murid, bodohnya bukan main. Di
dalam kuburan--kuburan itu bukankah terisi peti-peti mati?"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
433 Kwi Hong terbelalak ngeri. "Apa" Bongkar peti mati di kuburan" Wah, kan ada isinya!"
"Isinya hanya rangka yang sudah la-puk. Petinya masih baik. Itulah lucunya. Betapapun
kokoh kuat petinya, mayat-nya toh akan membusuk dan rusak. Membuang uang sia-sia
hanya untuk pa-mer saja, akan tetapi menguntungkan untukmu. Petinya yang masih baik
da-pat kaupergunakan!"
Kwi Hong menggeleng-geleng kepala. "Aku tidak bisa, Kek. Tidak mungkin aku sampai hati
membongkar kuburan dan merampas peti dari sebuah kerang-ka manusia!"
"Uuhhh! Sudah bodoh penakut lagi! Apanya yang dipilih?" kakek itu bersuit tiga kali
memanggil anak buahnya. Mun-cullah mereka berbondong-bondong dari tempat mereka
duduk menanti. "Hayo cepat carikan sebuah peti dari kuburan tertua." Bu-tek Siauw-jin meme-rintah.
"Aihhh.... Ji-tocu (Majikan Pulau ke Dua), hamba sekalian telah membawakan sebuah peti
untuk To-cu," kata tokoh Pulau Neraka yang gendut pendek berke-pala gundul. Orang ini
adalah Kong To Tek, seorang tokoh Pulau Neraka yang memiliki ilmu kepandaian cukup
tinggi, bahkan memiliki ilmu mengeluarkan pu-kulan beracun diikuti semburan asap da-ri
mulutnya yang amat berbahaya.
"Cerewet kau! Peti untukku sudah ada, akan tetapi untuk muridku ini be-lum ada! Lihat baik-
baik, dia ini adalah muridku yang akan mengalahkan murid Twa-suheng, tahu" Namanya
Kwi.... eh, lupa lagi. Siapa namamu tadi?"
"Kwi Hong, Giam Kwi Hong," kata gadis itu dengan hati geli menyaksikan tingkah gurunya
yang sinting. "Oya, dia Giam Kwi Hong, murid tunggalku, Hayo cepat, carikan peti mati yang paling baik!"
Kwi Hong memandang dengan hati penuh kengerian betapa orang-orang itu membongkari
kuburan dan akhirnya mendapatkan sebuah peti mati kuno yang benar-benar amat kokoh
kuat dan ukiran-ukirannya masih lengkap. Peti mati itu dibuka, kerangka manusianya
dikeluarkan lalu peti mati kosong itu digotong de-kat Kwi Hong yang memandang dengan
jantung berdebar penuh rasa ngeri. Dia harus tidur di situ" Bekas tempat ma-yat"
"Gali sebuah lubang besar untuk dua peti ini, cepat!" kakek itu kembali memberi perintah
dan belasan orang Pu-lau Neraka itu cepat melakukan perin-tah Bu-tek Siauw-jin. Karena
mereka itu rata-rata lihai dan memiliki tenaga besar, sebentar saja sebuah lubang yang
lebarnya dua meter dan dalamnya juga dua meter telah tergali terbuka menga-nga dan
menantang dalam pandang ma-ta Kwi Hong.
"Lekas kau masuk ke dalam petimu!" Kwi Hong menggelengkan kepalanya. "Eh, apa kau
takut?" Melihat semua mata para penghuni Pulau Neraka itu memandang kepadanya, mendengar
pertanyaan kakek sinting itu Kwi Hong cepat menjawab, "Siapa bi-lang aku takut" Aku hanya
merasa ji-jik, peti mati itu kotor!"
Tentu saja sebetulnya bukan karena kotor dan jijik, melainkan karena takut dan ngeri!
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
434 "Eh, siapa bilang kotor" Orang yang yang sudah mati jauh lebih bersih dari pada orang yang
masih hidup! Hayo ce-pat masuk, atau engkau hendak memban-tah perintah Gurumu dan
tidak meme-menuhi janji?"
Kwi Hong merasa terdesak. Kalau dia tetap menolak, selain berarti dia ti-dak membayar
kekalahan taruhan, dan dianggap takut oleh orang-orang Pulau Neraka, juga kalau kakek itu
menggunakan kekerasan, mana dia mampu mence-gahnya"
"Kalau sudah di dalam peti, bagaima-na engkau bisa melatihku?" Dia menco-ba
menggunakan alasan menolak.
"Bodoh! Biarpun di dalam peti, apa kaukira aku tidak bisa memberi petun-juk" Hayo cepat,
mereka ini sudah me-nanti untuk mengubur kita."
Dengan jantung berdebar penuh ta-kut dan tegang, terpaksa Kwi Hong me-masuki peti mati
itu. Bu-tek Siauw-jin menggunakan tangannya memukul tengah-tengah tutup peti mati yang
tebal. "Brakkk!" papan tebal itu bobol dan ber-lobang ditembus telapak tangannya,
ke-mudian dipasanglah sebatang bambu pan-jang yang sudah dilubangi. "Pejamkan matamu
agar jangan kemasukan debu!" kata kakek itu sambil mengangkat tutup peti mati dan
menutupkannya. Dunia lenyap bagi Kwi Hong. Ketika ia mengintai dari balik bulu matanya, yang tampak
hanya hitam pekat! Ia me-rasa betapa peti mati di mana ia ber-baring terlentang itu bergerak,
kemudian turun ke bawah. Dia sudah diturunkan ke dalam lubang! Memang kakek itu sendiri
yang menurunkannya dan kini ba-tang bambu itu menjadi lubang hawa yang lebih tinggi
daripada lubang tanah itu, dua jengkal lebih tinggi.
Bu-tek Siauw-jin memasuki petinya yang kecil, menutupkan petinya dari da-lam dan peti itu
dapat bergerak sendiri, meloncat ke dalam lubang, persis di samping peti mati Kwi Hong!
Anak bu-ahnya yang sudah tahu akan kewajiban mereka, cepat menguruk lubang itu
de-ngan tanah galian sampai dua buah peti itu tertutup sama sekali dan tempat itu berubah
menjadi segunduk tanah di mana tersembul keluar sebatang bambu kecil yang panjangnya
sejengkal dari gundukan tanah. Itulah bambu yang men-jadi lubang angin atau lubang hawa,
penyambung hidup Kwi Hong! Adapun ka-kek sinting itu sama sekali tidak meng-gunakan
bambu untuk lubang hawa.
Belasan orang Pulau Neraka itu lalu beristirahat agak jauh dari "kuburan" itu, karena kalau
kakek itu sedang berlatih seperti itu, sama sekali tidak bo-leh diganggu dan mereka harus
menjaga kuburan itu agar tidak ada yang berani mengusiknya. Akan tetapi mereka pun tidak
berani menjaga terlalu dekat, ka-rena kakek sinting ini benar-benar aneh dan galak sekali,
dan biarpun berada di dalam peti mati yang sudah dikubur, agaknya masih dapat mendengar
perca-kapan mereka yang di atas! Karena itu, mereka lebih "aman" menjaga di tempat yang
agak jauh, akan tetapi siang ma-lam mereka bergilir menjaga dan mem-perhatikan kuburan
itu. Dapat dibayangkan betapa ngeri dan takutnya hati Kwi Hong. Dia mendengar suara
berdebuknya tanah bergumpal-gum-pal yang jatuh menimpa peti matinya, sampai akhirnya
yang terdengar hanya suara gemuruh tidak jelas lagi. Kemudi-an sunyi, sunyi sekali dan
yang tampak hanyalah hitam pekat di sekelilingnya dan di tengah-tengah, tepat di atasnya,
terdapat sebuah bulatan sinar yang me-nyilaukan mata. Dia tidak tahu benda apa itu, setelah
ia meraba-raba dengan tangannya, barulah ia mengerti bahwa sinar bulat itu adalah sebuah
lubang, lubang dari batang bambu yang tentu sa-ja menembus keluar tanah kuburan dari
mana cahaya matahari masuk bersama hawa. Makin ngeri hati Kwi Hong. Lu-bang bambu
itu merupakan gantungan nyawanya! Kalau lubang itu tertutup.... ihh, dia bergidik dan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
435 mendadak saja na-pasnya terasa sesak sekali, seolah-olah hawa di dalam peti mati telah
habis dan lubang itu telah tertutup!
"Kakek sinting....!" Dia memaki ge-mas. "Kalau engkau menipuku dan aku sampai mati di
sini, aku akan menjadi setan dan belum puas hatiku kalau se-tanku belum mencekik lehermu
sampai putus!"
Tiba-tiba terdengar suara, jelas akan tetapi terdengar seperti amat jauh, sua-ra dari balik
kubur! "Uwaaahhh, ganas sekali engkau! Belum menjadi setan sudah demikian ganas,
apalagi kalau benar-benar menjadi setan! Kwi Hong, eng-kau muridku, aku Gurumu, mana
mungkin Guru mencelakakan murid" Kau lihat, ada tabung bambu untuk hawa se-gar.
Bernapaslah dalam-dalam, pejamkan matamu, dan dengarkan baik-baik, kita mulai berlatih
pernapasan, samadhi dan menghimpun sin-kang dari hawa inti sari bumi...."
Dengan penuh perhatian Kwi Hong mendengarkan suara kakek itu yang ter-dengar jelas
sekali, mendengarkan cara-cara berlatih pernapasan yangg istime-wa, kemudian
mencobanya dalam prak-tek dengan petunjuk-petunjuk suara kakek itu. Dia bukan saja
dilatih pernapasan yang amat aneh, juga dilatih untuk ber-napas di dalam ruang tertutup di
bawah tanah! "Jangan memandang ringan latihan ini, muridku. Tahukah mengapa kami to-koh-tokoh dan
datuk-datuk Pulau Neraka melakukan latihan ini" Terciptanya dari keadaan yang memaksa
kami. Bayangkan saja keadaan Pulau Neraka pada ratusan tahun yang lalu, sebelum semua
kesukar-an dapat ditaklukkan seperti sekarang ini. Hidup di permukaan pulau merupa-kan
hal yang mustahil apalagi kalau ular-ular dan semua binatang berbisa mengamuk, rawa-
rawa mengeluarkan ha-wa beracun dan terbawa angin menyapu seluruh permukaan pulau!
Terpaksa ne-nek moyang kami mencari tempat persembunyian di dalam tanah! Namun
ma-sih saja diancam bahaya oleh ular-ular dan kelabang-kelabang berbisa. Jalan sa-tu-
satunya untuk menyelamatkan diri ha-nyalah mengubur diri hidup-hidup dan terciptalah cara
berlatih seperti ini! Me-ngapa dilakukan dalam sebuah peti ma-ti" Karena dari sebuah peti
kunolah di-temukan ilmu-ilmu rahasia yang kami miliki. Ketika seorang ii antara nenek
moyang kami bersembunyi di dalam ta-nah dengan mengubur diri hidup-hidup, melindungi
tubuhnya dalam sebuah peti mati kuno yang ditemukan di dalam ta-nah ketika dia menggali
lubang, dia me-nemukan ukiran-ukiran dan coretan-co-retan di dalam peti mati itu yang
ternya-ta adalah ilmu-ilmu rahasia yang agak-nya ditinggalkan oleh nenek moyang Bu Kek
Siansu yang kebetulan mati dikubur di Pulau Neraka! Nah, setelah kau tahu akan riwayat
singkatnya, belajarlah baik-baik karena sesungguhnya, biarpun sifat-nya berbeda, namun
pada dasarnya ilmu-ilmu Pulau Neraka adalah satu sumber dengan ilmu-ilmu Pulau Es."
Dengan tekun dan kini sama sekall tidak berani memandang rendah kepada kakek sinting
itu, Kwi Hong diam-diam memusatkan perhatiannya dan mentaati semua petunjuk kakek itu,
berlatih de-ngan penuh ketekunan dan penuh kete-katan, tidak merasa ngeri atau takut la-gi
karena dia sudah menyerahkan mati hidupnya di tangan kakek yang menjadi gurunya itu.
Sebetulnya apakah yang terjadi de-ngan orang-orang Pulau Neraka" Menga-pa mereka
berada di situ dan bagaima-na pula dengan Lulu yang menjadi Ke-tua Pulau Neraka"
Seperti telah diceri-takan di bagian depan, pasukan pemerin-tah menyerbu Pulau Neraka
dan melihat bahwa Pulau Neraka itu sudah kosong, pasukan pemerintah yang amat besar
jumlahnya itu lalu membakar pulau itu.
Para penghuni Pulau Neraka telah lebih dahulu disingkirkan oleh Lulu, diajak mengungsi
meninggalkan pulau dan karena Lulu maklum bahwa pulau-pulau di sekitar tempat itu tidak
aman bagi anak buahnya, maka dia memimpin rom-bongan perahu yang dipakai mengungsi
itu ke pantai di sebelah barat pulau. Puteranya, Wan Keng In, pada waktu ter-jadi
penyerbuan itu, tidak berada di pu-lau karena memang puteranya itu pergi bersama gurunya
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
436 yang belum pernah di-jumpai Lulu. Ketika perahu-perahu yang ditumpangi oleh hampir
seratus lima pu-luh orang penghuni Pulau Neraka itu ti-ba di pantai, ternyata Wan Keng In
te-lah berada di tepi pantai, berdiri tegak dan bertolak pinggang dengan sikap angkuhnya.
"Ibu, kulihat dari jauh asap menge-pul di pulau kita dan sekarang ini Ibu hendak membawa
anak buah kita ke ma-na" Apa yang telah terjadi?"
"Pulau kita diserbu pasukan pemerin-tah. Untung aku telah menduganya ter-lebih dahulu
dan membawa anak buah me-larikan diri," jawab Lulu.
"Ahh, mengapa melarikan diri" Me-ngapa Ibu tidak memimpin anak buah melawan"
Sungguh memalukan sekali, la-ri terbirit-birit seperti serombongan pe-ngecut. Bukankah
Pulau Neraka sebagai sarangnya orang-orang berilmu tinggi?"
Lulu memandang puteranya dengan marah. "Enak saja mencela! Engkau sen-diri mengapa
tidak datang melihat pu-lau kita terancam" Bagaimana kita mampu melawan pasukan
pemerintah yang jumlahnya seribu orang lebih" Dan pasu-kan itu dipimpin oleh orang-orang
beril-mu tinggi seperti Koksu Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, pendeta India Maharya, kedua
orang pendeta Lama dari Tibet, Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, dan masih banyak lagi
panglima yang lihai."
"Ibu adalah Ketua Pulau Neraka, ma-sa takut menghadapi mereka?" Keng In membantah.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa dari tepi pantai. "Ha-ha-ha, Ketua bone-ka seperti Ibumu
mana mungkin mampu menandingi mereka, muridku" Engkaulah yang dapat menandingi
Koksu itu dan kaki tangannya!"
Lulu cepat membalikkan tubuhnya dan melihat seorang kakek tua setengah telanjang
berjalan terbungkuk-bungkuk dari dalam air laut! Mula-mula yang tampak hanya tubuh atas
sepinggang, makin lama air makin dangkal dan ma-kin tampaklah tubuhnya, akhirnya dia
berjalan dengan tubuh tertutup cawat dan kaki telanjang, berjalan terbungkuk-bungkuk di
atas pasir menghampiri me-reka sambil tertawa-tawa. Melihat ka-kek ini, serta-merta semua
orang Pulau Neraka mengeluarkan seruan kaget dan ketakutan, lalu mereka menjatuhkan
diri berlutut dan menelungkup, tidak berani mengangkat muka apalagi memandang! Melihat
ini, Lulu dapat menduga bahwa tentu orang inilah yang dimaksudkan oleh puteranya, yaitu
orang pertama dari Pulau Neraka yang berjuluk Cui-beng Koai-ong.
"Orang tua, agaknya engkau yang berjuluk Cui-beng Koai-ong. Kalau engkau menganggap
aku Ketua Boneka, mengapa selama itu engkau diam saja" Karena engkau takut terhadap
Pende-kar Super Sakti, maka engkau hendak menggunakan aku sebagai umpan" Kakek
yang sombong dan pengecut, hendak ku-lihat sampai di mana kelihaianmu maka kau berani
mengambil anakku sebagai murid tanpa minta ijin kepada aku yang menjadi Ibunya!"
"Ibu, jangan....!" Wan Keng In berse-ru kaget ketika melihat ibunya mener-jang maju dan
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyerang kakek aneh itu dengan sebuah pukulan yang amat dahsyat. Memang Lulu sudah
marah se-kali, maka begitu dia menyerang, dia te-lah menggunakan jurus simpanan dan
mengerahkan tenaga Swat-im Sin-ciang di tangan kiri dan tenaga Hwi-yang Sin-ciang di
tangan kanan. Dua tenaga inti yang berlawanan ini, yang kiri di-ngin yang kanan panas,
adalah tenaga inti mujijat yang dahulu dia latih ber-sama kakak angkatnya di Pulau Es.
"Desss! Dessss!"
Hebat bukan main benturan pukulan kedua tangan wanita sakti itu, akan te-tapi kakek
setengah telanjang yang menangkis kedua pukulan itu dengan do-rongan tangan, hanya
terdorong mundur tiga langkah saja sambil terkekeh-kekeh mengejek! Hal ini membuat Lulu
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
437 menja-di makin penasaran dan sambil mengelu-arkan suara melengking dia sudah
me-nerjang lagi dengan pengerahan tenaga yang lebih hebat.
"Ibu, jangan! Kau takkan menang!" Keng In kembali mencegah, akan tetapi ibunya tidak
mempedulikan seruannya, dan pemuda ini pun tidak dapat berbuat sesuatu karena ibunya
sudah melancarkan se-rangannya dengan amat cepat dan dah-syat kepada Cui-beng Koai-
ong yang nemandang dengan mulut menyeringai. "Heh-heh, Ibumu sudah bosan hidup,
muridku. Kalau dia ingin mati, jangan dilerang, jangan dihalangi, biarlah!" Ka-kek itu berkata
dan ejekan ini tentu saja membuat Lulu menjadi makin pena-saran dan marah.
"Plak! Plek!" Kedua telapak tangan Lulu kini bertemu dengan kedua telapak tangan kakek
itu, melekat dan terjadi-lah kini adu tenaga sakti yang amat dahsyat antara kedua orang ini.
Dari dua pasang telapak tangan yang saling melekat itu, keluarlah asap seolah-olah empat
buah tangan itu sedang terbakar!
"Suhu, harap jangan bunuh Ibu...." Wan Keng In berkata memohon gurunya karena dia
maklum bahwa ibunya tentu akan celaka kalau melanjutkan perlawan-annya terhadap kakek
yang amat sakti itu.
Akan tetapi, kedua orang sakti yang sedang mengadu tenaga itu, mana sudi mendengarkan
kata-kata Keng In yang kebingungan" Lulu sudah marah sekali, merasa terhina dan dia
mengerahkan se-luruh sin-kangnya untuk menyerang ka-kek itu, sedangkan Cui-beng Koai-
ong yang wataknya sudah terlalu aneh, tidak lumrah manusia lagi itu, terkekeh-kekeh
senang karena maklum bahwa wanita itu tentu akan tewas di tangannya.
Sementara itu, para anggauta Pulau Neraka yang menyaksikan pertandingan hebat itu,
memandang dengan mata ter-belalak. Mereka itu suka dan tunduk ke-pada Lulu yang
selama ini menjadi ketua mereka, akan tetapi mereka pun amat takut kepada Cui-beng Koai-
ong. Yang paling bingung adalah Wan Keng In. Pemuda ini menjadi pucat wajahnya. Untuk
menghentikan pertandingan adu nyawa itu, dia merasa tidak sanggup dan tidak berani, akan
tetapi kalau ti-dak dihentikan, tentu ibunya akan tewas! Ingin dia menangis saking
bingungnya, dan dia hanya dapat membujuk dan mo-hon kepada gurunya dan ibunya
menghen-tikan pertandingan itu.
Kini Lulu maklum bahwa sesungguh-nya, puteranya tidak sombong kalau me-ngatakan
bahwa ilmu kepandaian kakek itu hebat bukan main. Setelah kedua tangannya melekat pada
kedua tangan kakek itu, dia merasa betapa seluruh te-naga sin-kangnya tersedot dan tidak
ber-daya, bahkan kini kedua telapak tangan-nya terasa panas seperti terbakar, tanpa dia
mampu menariknya atau melepaskan-nya dari telapak tangan lawan. Rasa nyeri yang hebat
mulai terasa oleh ta-ngannya, namun Lulu mengerahkan selu-ruh daya tahannya dan tidak
mau memperlihatkan rasa nyeri, tidak mau menye-rah kalah dan mengambil keputusan
un-tuk melawan sampai mati! Asap yang mengepul dari kedua tangannya kini bu-kan hanya
uap dari hawa sin-kang, me-lainkan asap dari telapak tangannya yang mulai terbakar dan
terciumlah bau yang hangus dan sangit!
"Suhu, harap maafkan Ibuku....!" Wan Keng In berseru dan berlutut di depan kaki gurunya.
Akan tetapi sekali meng-gerakkan kaki kiri, tubuh Keng In ter-lempar dan gurunya berkata,
"Jangan ikut campur! Kalau wanita ini bosan hidup, dia akan mati di ta-nganku, ha-ha-ha!"
Lulu merasa betapa kedua tangannya panas sekali dan tenaga sin-kangnya ma-kin lama
makin menjadi lemah, tubuh-nya mulai gemetar dan dia maklum bah-wa dia tidak akan dapat
bertahan lama lagi. Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara orang tertawa.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
438 "Ha-ha-ha, Twa-suheng sungguh keter-laluan! Orang sudah berjasa, mengganti-kan kita
memimpin anak buah kita, tidak diberi hadiah malah hendak dibunuh. Dia seorang wanita
lagi, apakah tidak memalukan?"
Tahu-tahu muncullah segrang kakek yang pendek sekali, yang matanya lebar dan begitu dia
berada di situ, kakek ini dari belakang menepuk punggung Lulu dan melanjutkan kata-
katanya, "Engkau tidak lekas pergi dari sini mau menanti apa lagi?"
Begitu punggungnya ditepuk, Lulu merasa ada tenaga yang amat hebat menyerbu dari
punggungnya, melalui kedua lengannya sehingga lenyaplah tenaga menyedot dari Cui-beng
Koai-ong dan begitu dia menarik kedua tangannya, tubuhnya terjengkang ke belakang
seper-ti didorong. Lulu cepat berjungkir balik, memandang kedua telapak tangannya yang
sudah menjadi hitam terbakar, ma-tanya kini memandang ke kiri, ke arah kakek pendek yang
telah menolongnya.
"Apakah engkau yang bernama Bu--tek Siauw-jin?" tanyanya secara lang-sung, sedikitpun
tidak menaruh hormat karena biarpun kakek ini sudah menyelamatkan nyawanya, namun
tetap saja dia adalah tokoh Pulau Neraka yang te-lah mempermainkannya, membiarkan dia
menjadi Ratu Boneka!
"Ha-ha-ha, selamat bertemu, Toanio! Aku memang seorang yang tidak terhor-mat, seorang
siauw-jin sehingga tidak berharga untuk bertemu dengan Toanio. Sebelum saat ini,
Suhengku paling suka membunuh orang, harap Toanio suka me-maafkannya."
Muka Lulu menjadi merah sekali. Ber-hadapan dengan kedua orang kakek yang demikian
aneh sikap dan wataknya, dia merasa seperti menjadi seorang anak kecil yang tidak berdaya
sama sekali. "Keng In, hayo kita pergi!" bentaknya kepada puteranya yang kini berdiri
sam-bil menundukkan mukanya.
"Maaf, Ibu. Aku tidak bisa pergi me-ninggalkan Suhu. Aku masih mempelajari ilmu dan....
menurut Suhu...., aku ditun-juk untuk memimpin anak buah Pulau Neraka."
"Wan, Keng In! Engkau anakku! Eng-kau harus taat kepadaku. Hayo kita pergi
meninggalkan setan-setan ini!" Lulu membentak lagi.
"Aku tidak mau pergi, Ibu." Keng In membantah.
"Kau...., lebih berat kepada mereka ini daripada kepada Ibumu?"
"Maaf, Ibu. Kita sudah banyak men-derita, sudah banyak terhina. Kini aku memperoleh
kesempatan menerima ilmu yang tinggi dari Suhu agar kelak dapat kupergunakan untuk
membalas orang-orang yang telah membuat Ibu menderi-ta. Bagaimana Ibu akan dapat
menghadapi kekuatan Pulau Es kalau aku tidak memperdalam ilmuku?"
"Ha-ha-ha! Ibumu tidak memusuhi Pu-lau Es, muridku. Biarpun dia telah men-derita karena
Pendekar Siluman, ternya-ta dia masih belum dapat melupakan pria yang dicintanya itu.
Bahkan dia baru-baru ini membantu Pulau Es ketika diserbu pasukan. Ha-ha-ha, mana kau
ta-hu akan isi hati wanita, biarpun wanita itu Ibumu sendiri?" Cui-beng Koai-ong berkata.
"Hayaaaa! Twa-suheng, urusan orang lain perlu apa kita mencampurinya" Su-heng sendiri
sudah bersumpah tidak akan mengambil murid, kini tahu-tahu Suheng telah mempunyai
seorang murid. Apa artinya ini?" Bu-tek Siauw-jin men-cela suhengnya yang tertawa-tawa
tadi. Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
439 "Siauw-jin! Engkau mau apa mencela-ku" Aku mengambil murid atau tidak, kau ada hak
apa mencampurinya" Kalau suka boleh lihat kalau tidak suka boleh minggat!"
"Bagus! Kalau Twa-suheng melanggar sumpah, aku pun tidak takut melanggar-nya! Kita
sama-sama lihat saja, murid siapa kelak yang lebih hebat! Toanio, puteramu telah menjadi
murid Cui-beng Koai-ong, biar kaularang juga akan per-cuma saja. Lebih baik kau pergi
meninggalkan kami, karena kalau sekali lagi Twa-suhengku yang manis ini turun ta-ngan
terhadapmu, biarpun aku sendiri akan sukar untuk menyelamatkan nyawa-mu."
"Dia benar.... dia benar...., pergilah!" Cui-beng Koai-ong mengomel.
Diam-diam Lulu bergidik. Puteranya telah menjadi murid seorang manusia iblis seperti itu,
yang selain amat sakti juga amat aneh wataknya. Dipandangnya sepintas lalu kedua orang
kakek itu se-berti orang-orang yang gila. Akan tetapi dia pun maklum bahwa kepandaiannya
masih jauh untuk dapat menandingi me-reka, maka setelah sekali lagi meman-dang ke arah
puteranya yang tetap me-nundukkan muka, Lulu segera meloncat dan lari pergi
meninggalkan tempat itu. Hanya satu tujuan hidupnya sekarang, yaitu mencari Suma Han
dan mohon per-tolongan kgkak angkatnya juga satu-satu-nya pria yang dicintanya itu, untuk
turun tangan menyelamatkan puteranya dari cengkeraman iblis-iblis itu!
Demikianlah, setelah Lulu meninggalkan orang-orang Pulau Neraka yang te-lah kehilangan
pulau itu, para anak bu-ah Pulau Neraka menganggap Keng In sebagai Ketua mereka,
menggantikan kedudukan ibunya, sedangkan dua orang kakek itu tetap saja menjadi tokoh-
tokoh yang ditakuti dan ditaati, tidak hanya oleh semua orang Pulau Neraka, juga oleh
Ketuanya! Bu-tek Siauw-jin, kakek pendek yang biarpun terhitung sute dari Cui-beng Koai-
ong namun memiliki ilmu kepandaian yang sama tingkatnya dan diam-diam dikagumi dan
disegani oleh suhengnya itu, lalu pergi sambil menyu-ruh lima belas orang anak buah
memba-wa sebuah peti mati kosong untuk berla-tih di tempat yang akan dipilihnya sen-diri.
Secara kebetulan sekali, di tengah jalan kakek ini bertemu dengan Kwi Hong yang
dianggapnya berjodoh untuk muridnya, apalagi setelah kakek pendek ini tahu bahwa gadis
itu adalah keponak-an dan juga murid Pendekar Super Sakti.
Karena kalahdalam pertarungan, ju-ga karena dia sendiri memang ingin memperoleh ilmu-
ilmu yang lebih tinggi, Kwi Hong menjadi miurid Bu-tek Siauw-jin, berlatih secara
menyeramkan, yaitu di dalam peti mati berdekatan dengan peti mati gurunya yang baru,
menerima gemblengan-gemblengan ilmu mengatur napas, samadhi dan mengumpulkan sin-
kang secara luar biasa, mengambil inti sari daya sakti bumi! Dia melatih diri dengan tekun,
dengan tekad membulat mempertaruhkan nyawa!
Ilmu samadhi dan menghimpun hawa daya sakti bumi yang dilatih oleh Bu-tek Siauw-jin dan
kini dia ajarkan kepa-da Kwi Hong adalah sebuah ilmu yang mujijat. Sesungguhnya latihan
inilah yang mendatangkan kekuatan sin-kang yang tidak lumrah dalam diri Cui-beng Koai-
ong dan Bu-tek Siauw-jin, dua orang to-koh Pulau Neraka yang selalu menyem-bunyikan diri
itu. Ilmu mujijat ini disertai dengan ilmu silat Inti Bumi yang amat dahsyat pula, yang
diciptakan oleh seorang tokoh Pulau Es yang karena kesalahan dibuang di Pulau Neraka.
Orang sakti ini menjadi sakit hati dan putus harapan maka dia "membunuh diri" de-ngan
jalan mengubur dirinya hidup-hidup di dalam sebuah peti mati di Pulau Ne-raka. Akan tetapi,
rasa penasaran dan dendam di hatinya membuat dia sebe-lum mati, menciptakan ilmu
mujijat ini dan dicoret-coretnya ilmu ciptaannya di ambang kematian itu di sebelah dalam peti
matinya! Kebetulan sekali seorang kakek pimpinan Pulau Neraka yang me-nyembunyikan
diri untuk membebaskan diri dari ancaman binatang-binatang ber-bisa dan hawa berbisa di
Pulau Neraka, mendapatkan peti mati di dalam tanah itu dan membaca tulisan dan ukiran di
dalam peti, maka berhasillah dia menguasai ilmu itu yang kemudian diwariskan kepada anak
cucunya sehingga yang ter-akhir menjadi ilmu Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin!
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
440 Hanya kedua orang inilah yang memiliki ilmu ini, bahkan mendiang sute mereka Kwi-bun Lo-
mo Ngo Bouw Ek sendiri tidak memiliki il-mu ini.
Tidak sembarang orang dapat mengu-asai ilmu silat dan menghimpun tenaga sakti Inti Bumi
itu karena caranya ber-latih amat menyeramkan dan memperta-ruhkan nyawa. Wan Keng In
sendiri yang banyak menerima pelajaran ilmu silat tinggi dari Cui-beng Koai-ong, masih
belum berani melatih diri dengan ilmu mujijat itu. Kwi Hong yang berwatak berani mati dan
nekat secara kebetulan sekali kini menjadi orang ke tiga di du-nia ini yang melatih diri
dengan Ilmu Inti Bumi!
Para anak buah Pulau Neraka yang menjaga di tanah kuburan itu, tidak be-rani
mengganggu, bahkan mendekat saja mereka tidak berani. Mereka sudah me-ngenal dua
orang datuk Pulau Neraka yang amat mereka takuti itu, karena bagi dua orang datuk itu,
apalagi Cui-beng Koai-ong, membunuh manusia seperti membunuh nyamuk saja, dan watak
me-reka sukar sekali diikuti. Mereka mak-lum bahwa sebelum kakek pendek itu keluar dari
dalam tanah, mereka harus menjaga dengan mati-matian agar jangan sampai kuburan itu
diganggu orang. Ka-lau kakek dan muridnya yang baru itu sudah keluar dari dalam tanah,
barulah mereka bebas dari tugas berat ini, ke-cuali tentu saja kalau ada perintah ba-ru dari
kakek pendek yang aneh itu.
Pada malam hari ke tiga, orang-orang Pulau Neraka itu menjadi terke-jut ketika melihat
munculnya serombong-an orang yang mereka kenal sebagai orang-orang Thian-liong-pang!
Rombongan itu terdiri dari delapan belas orang di-pimpin oleh seorang dara remaja yang
cantik jelita dan yang mereka kenal se-bagai puteri Ketua Thian-liong-pang, dan seorang
laki-laki tinggi besar yang lengan kirinya buntung dan berwajah menyeramkan. Laki-laki
berlengan satu ini wajahnya muram dan sinar matanya berkilat, orangnya pendiam akan
tetapi sikap semua anggauta rombongan amat hormat kepadanya, bahkan puteri Ketua
Thian-liong-pang sendiri kelihatan bersi-kap manis kepadanya. Orang ini adalah seorang
tokoh baru yang telah berjasa mengorbankan tangannya untuk Thian-liong-pang sehingga
Ketua perkumpulan itu menaruh penghargaan kepadanya dan menurunkan ilmu yang
dahsyat kepada-nya, yang membuat dia bahkan lebih lihai daripada sebelum lengan kirinya
buntung! Dia adalah Kiang Bok Sam yang lengan kirinya buntung oleh Pedang Lam-mo-kiam
di tangan Wan Keng In dan kini telah menjadi seorang lihai sekali dengan lengan kanannya.
Nirahai telah menurunkan Ilmu Sin-to-ciang (Telapak Tangan Golok Sakti) kepadanya
sehingga lengannya itu lebih lihai daripada lengan kiri mendiang Su Kak Houw yang
berju-luk Toat-beng-to itu. Dengan ilmu-ilmunya yang baru dia terima dari Ketuanya sebagai
pembalas jasanya mengorbankan lengan kiri, kini dia menjadi orang ke dua sesudah Tang
Wi Siang di Thian-liong-pang. Bahkan dibandingkan Sai-cu Lo-mo, dia masih lebih
berbahaya kare-na sambaran tangan kanannya atau per-mainan tongkat kuningan dengan
tangan tunggalnya selalu mendatangkan maut bagi setiap orang lawannya.
Orang-orang Pulau Neraka yang se-dang bertugas menjaga "kuburan" Bu-tek Siau-jin dan
muridnya yang sedang ber-latih di bawah tanah, tidak berani men-cari perkara dengan
orang-orang Thian-liong-pang yang mereka tahu merupakan lawan yang amat lihai.
Rombongan Pu-lau Neraka ini dipimpin oleh Kong To Tek dan Chi Song, dua orang tokoh
Pulau Neraka yang bermuka merah mu-da yang pernah diutus oleh Ketua mereka
mengunjungi Thian-liong-pang untuk menguji kepandaian para pimpinan Thian-liong-pang
dan secara mudah dirobohkan oleh "ketua" Thian-liong-pang yang di luar tahu mereka pada
waktu itu dipalsukan Gak Bun Beng. Maka kini melihat munculnya tokoh-tokoh Thian-liong-
pang yang dipimpin oleh puteri Ketua Thian-liong-pang sendiri, mereka memberi isya-rat
dengan kedipan mata kepada para anak buahnya agar tetap berdiam di tempat
persembunyian mereka dan tidak mengganggu orang-orang Thian-liong-pang yang kini
berkumpul dan beristira-hat di sebuah bangunan kuburan kuno tidak jauh dari tempat
persembunyian orang-orang Pulau Neraka.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
441 Tadinya rombongan Pulau Neraka mengira bahwa rombongan Thian-liong-pang itu hanya
lewat dan kebetulan ber-istirahat saja di tanah kuburan itu, akan tetapi ternyata bahwa
sampai malam ti-ba, mereka tidak pergi dari situ, bahkan membuat api unggun dan berjaga
sambil bercakap-cakap, seolah-olah mereka itu dalam keadaan siap menghadapi musuh!
Melihat sikap orang-orang Thian-liong-pang itu, gelisah hati rombongan Pulau Neraka.
Mereka ingin sekali meli-hat datuk mereka menghabiskan atau menghentikan latihannya
agar mereka bebas tugas dan mereka dapat memilih dua kemungkinan, yaitu menggempur
orang-orang Thian-liong-pang atau me-ninggalkan tempat itu. Sekarang mereka merasa
serba salah. Mereka tidak tahu apa yang akan dilakukan orang-orang Thian-liong-pang itu,
dan tidak tahu apa-kah musuh-musuh lama itu sudah tahu akan kehadiran rombongan Pulau
Neraka atau belum. Dalam keadaan bersembu-nyi dan tidak menentu ini mereka mera-sa
tidak enak hati sekali.
Pada keesokan harinya, setelah mata-hari mulai tampak berseri mengusir em-bun pagi
yang menyelimuti hutan dan sebidang tanah kuburan di anak bukit itu, tampaklah tujuh orang
hwesio tua dengan langkah tenang dan wajah serius memasuki tanah kuburan dan langsung
berhadapan dengan rombongan Thian-liong-pang.
"Bigus sekali, kiranya Thian-liong-pang sudah siap menanti di tempat ini! Ternyata Thian-
liong-pang masih merupa-kan seburh perkumpulan besar yang su-ka memegang janjinya!"
Seorang di anta-ra para hwesio tua itu, yang bertubuh kurus bermuka tengkorak dan
berjenggot hitam, tangan kiri memegang tasbih, ta-ngan kanan memegang hud-tim (kebutan)
berkata sambil berkata tenang.
"Thian-liong-pang selamanya meme-gang janji dan ssjak dahulu adalah per-kumpulan besar
yang tiada bandingnya!" Milana berkata nyaring sambil manyapu tujuh orang hwesio itu
dengan sinar matanya yang lembut. "Memenuhi perminta-an para sahabat di dunia kang-
ouw un-tuk mengadakan pertemuan, kami meng-gunakan tempat yang sunyi ini agar di
antara kita dapat bicara dan bergerak tanpa mengacaukun manusia lain karena di sini yang
tinggal hanyalah orang-orang mati. Nah, setelah kami yang mewakili Ketua Thian-liong-pang
berada di sini dan Cu-wi Losuhu sudah dutang, apa-kah kehendak Cu-wi mengajukan
tantangan kepada pihak kami untuk mengada-kan pertemuan?"
Seorang hwesio berjenggot putih yang berwajah lembut melangkah maju, memandang
kepada Milana dan teman-temannya, lalu berkata, "Omitohud...., seorang dara remaja yang
lembut me-nyambut kami sebagai wakil Thian-liong-pang! Nona, di manakah Ketua Thian-
liong-pang sendiri" Mengapa mewakilkan urusan besar kepada seorang gadis mu-da seperti
Nona?" Milana cepat menjura dengan hor-mat, hatinya tidak enak menghadapi si-kap hwesio yang
agung dan penuh wibawa, juga amat halus itu. Seringkali dia terpaksa merasa canggung
dan tertekan batinnya dalam memenuhi tugas dalam Thian-liong-pang atas perintah ibunya.
Biarpun ia tahu bahwa ibunya bukan orang jahat, dan Thian-liong-pang adalah perkumpulan
orang-orang gagah, namun kadang-kadang sikap keras hendak me-nang sendiri dari
perkumpulan yang di-pimpin ibunya, membuat gadis yang me-miliki dasar watak halus itu
merasa canggung dan tidak enak.
"Harap Lo-suhu suka memaafkan, Thian-liong-pangcu tidak dapat semba-rangan hadir
dalam setiap pertemuan, apalagi kami lihat bahwa Ketua Siauw-lim-pai sendiri pun tidak
datang memim-pin rombongan Siauw-lim-pai. Oleh ka-rena itu, Ketua kami mewakilkan
kepa-da kami yang bertanggung jawab penuh akan segala keputusan dalam pertemuan
yang diadakan di tempat ini."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
442
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hwesio itu mengangguk-angguk, na-mun pada wajahnya yang halus itu ma-sih terbayang
ketidakpuasan hatinya. Siauw-lim-pai adalah sebuah perkumpul-an atau partai persilatan
yang besar dan terkenal sekali, sekarang rombongan Siauw-lim-pai yang terdiri dari tokoh-
tokoh bukan tingkat rendah, hanya di-sambut oleh seorang gadis muda Thian-liong-pang!
"Omitohud, Nona yang muda pandai bicara. Bolehkan pinceng mengetahui, kedudukan apa
yang Nona miliki di Thian-liong-pang?"
"Nona kami adalah puteri Pangcu, kalian ini hwesio-hwesio tua terlalu ba-nyak bicara! Nona
kami wakil Pangcu dalam pertanggungan jawab, akan tetapi aku Kiang Bok Sam juga berhak
mewa-kili Pangcu menghadapi orang-orang yang banyak cerewet!" Tiba-tiba Si Le-ngan
Buntung itu sudah meloncat maju dan tangan tunggalnya sudah melintang-kan toyanya di
depan dada, sepasang matanya mendelik dan sikapnya mena-kutkan.
Para hwesio kelihatan tercengang dan hwesio tua itu cepat berkata, "Omi-tohud...., maafkan
pinceng yang tidak ta-hu bahwa Nona adalah puteri Thian--liong-pangcu sendiri! Kalau
begitu, kami merasa terhormat sekali. Pinceng ada-lah Ceng Sim Hwesio, murid kepala da-ri
Suhu yang menjadi Ketua Siauw-lim-pai."
"Harap Lo-suhu suka menceritakan apa yang dikehendaki oleh Siauw-lim-pai maka
menuntut agar diadakan perte-muan dengan pihak kami." Milana cepat bertanya mendahului
Bok Sam yang ia tahu amat keras wataknya dan biarpun jarang bicara, sekali mengeluarkan
sua-ra, dapat mengejutkan dan menyinggung perasaan hati orang!
"Sudah bertahun-tahun Siauw-lim-pai mendengar akan sepak terjang Thian--liong-pang
yang menyinggung perasaan dunia kang-ouw, menculik tokoh-tokoh kang-ouw, merampas
kitab pelajaran dan pusaka partai-partai lain...."
"Akan tetapi kami selalu menjaga agar tidak mengganggu Siauw-lim-pai yang kami pandang
sebagai perkumpulan sahabat!" Milana cepat membantah. "Sedangkan mengenai urusan
dengan to-kbh-tokoh dan perkumpulan lain, mengenai peminjaman kitab atau pusaka, kami
rasa tidak ada sangkut pautnya dengan pihak Siauw-lim-pai seperti juga kami tidak pernah
mencampuri urusan dalam Siauw-lim-pai sendiri."
Ceng Sim Hwesio, murid kepala Ke-tua Siauw-lim-pai, Ceng Jin Hosiang, menarik napas
panjang dan melanjutkan kata-katanya yang dipotong oleh nona muda itu, "Tepat sekali
ucapan Noda dan kenyataannya pun kami pihak Siauw-lim-pai tidak pernah mencampuri
urusan itu, bukan" Akan tetapi semenjak perte-muan yang menghebohkan di Pegunungan
Ciung-lai-san, terjadilah hal-hal yang dilakukan oleh Thian-liong-pang dan se-kali ini karena
menyangkut persoalan negara dan rakyat, terpaksa kami harus mencampurinya!"
"Harap Lo-suhu suka memberi penje-lasan!" Milana berkata halus akan teta-pi nyaring
karena dia merasa tersinggung juga mendengar bahwa perkumpulan ibu-nya dicela orang
lain. "Terus terang saja pinceng katakan bahwa Siauw-lim-pai telah mendengar akan sepak
terjang Thian-liong-pang yang merendahkan dirinya menjadi kaki ta-ngan Pemerintah
Mancu! Dengan meng-hambakan diri kepada pemerintah penja-jah untuk menindas bangsa
sendiri, hal ini sungguh bertentangan dengan kega-gahan dan berarti salah menggunakan
perkumpulan Thian-liong-pang untuk menjadi penjilat dan pengkhianat."
Si Lengan Buntung mencelat maju, akan tetapi Milana membentak nyaring.
"Kiang-lopek, mundur dan jangan tu-run tangan sebelum ada perintah!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
443 Si Lengan Buntung mendelik kepada para hwesio itu, akan tetapi tanpa mem-bantah ia
melangkah mundur, sedangkan para anggauta Thian-liong-pang lainnya sudah marah dan
bersiap turun tangan begitu ada perintah.
"Lo-suhu, kata-kata Lo-suhu agaknya terdorong oleh nafsu amarah dan Lo-suhu belum
menyelidiki terlebih dahulu sebe-lum mengeluarkan tuduhan-tuduhan yang kurang baik
terhadap perkumpulan kami. Kami tidak akan mengingkari kenyataan bahwa kami
membantu pemerintah da-lam menghadapi para pemberontak. Bu-kankah hal itu berarti
bahwa Thian-liong-pang membersihkan kaum pemberontak yang akan mengacaukan
keadaan dan yang hanya akan memancing timbul-nya perang yang menyengsarakan
penghi-dupan rakyat jelata" Ataukah.... mungkin -Siauw-lim-pai bahkan memihak
pem-berontak yang jelas terdiri dari orang-orang yang mengejar kedudukan, peram-pok-
perampok yang berkedok pejuang?"
Muka para hwesio berubah merah dan pandang mata mereka mengandung kemarahan.
Namun suara hwesio tua itu masih halus ketika dia berkata, "Perju-angan melawan penjajah,
di manapun juga di dunia ini, adalah perjuangan ka-um patriot pembela bangsa dan tidak
boleh dikotori dengan tuduhan keji me-makai dalih apapun juga. Kami tidak bersekutu
dengan kaum patriot dan pe-juang yang kalian anggap sebagai pembe-rontak, akan tetapi
kami pun tidak sudi untuk menjadi kaki tangan pemerintah mencelakakan bangsa sendiri
yang berju-ang menurut keyakinan dan kebenaran mereka sendiri. Kami hanya minta
kepa-da Thian-liong-pang, mengingat bahwa Thian-liong-pang adalah parkumpulan orsng
gagah, untuk mundur dan jangan mambunuhi rakyat dan bangsa sendiri."
Tentu saja hati Milana manjadi panas mendengar ucapan itu, betapapun juga baik kata-kata
itu diatur dan dikeluarkan dengan halus. Dia tidak dapat menyelami kebenaran kata-kata itu,
tidak dapat merasakan alasan yang dikemukakan oleh Ceng Sim Hwesio. Bagaimana ia
dapat merasakan kebenaran itu kalau dia sama sekali tidak merasa bahwa pemerintah yang
sekarang adalah pemerin-tah penjajah" Dia sendiri adalah cucu Kaisar! Di dalam
pandangannya, bangsa Mancu adalah bangsa yang berhak dan patut memimpin seluruh
Tiongkok karena telah menunjukkan kebesaran dan kele-bihannya! Mana bisa disamakan
atau dibandingkan dengan bangsa pemberontak yang hanya terdiri dari perampok kasar itu"
Dia percaya sepenuhnya bahwa pe-merintah Kerajaan Ceng-tiauw memba-wa rakyat
kepada kemakmuran dan ke-majuan, sedangkan para pemberontak itu hanya akan mencari
kesempatan menggendutkan perut sendiri dengan membawa nama rakyat dan perjuangan
untuk menghalalkan kejahatan mereka!
"Ceng Sim Hwesio, sebagai wakil Siauw-lim-pai engkau minta kepada Thian-liong-pang
untuk mundur dan tidak bo-lah membantu pemerintah membersihkan para pemberontak,
dan sebagai wakil Thian-liong-pang saya menjawab bahwa Siauw-lim-pai tidak boleh
mencampuri urusan kami sendiri. Kami menolak per-mintaannmu itu, dan kami akan tetap
melanjutkan tugas kami membersihkan kaum pemberontak, bukan semata-mata untuk
membantu pemerintah, melainkan terutama sekali untuk menjauhkan rak-yat daripada
kekacauan dan peperangan baru yang ditimbulkan oleh kaum pembe-rontak!"
"Kalau begitu, Thian-liong-pang me-nentang kepada Siauw-lim-pai!" Hwesio bermuka
tengkorak yang memegang kebutan dan tasbeh berkata. Sikapnya tidaklah sehalus Ceng
Sim Hwesio dan mata di dalam tengkorak itu mengeluar-kan sinar berkilat.
"Habis, engkau mau apa?" Si Lengan Satu sudah membentak lagi, toya di ta-ngan
kanannya diputar-putar sehingga terdengar suara angin bersuitan.
"Terserah akan pendapat Siauw-lim-pai terhadap sikap kami, akan tetapi Thian-liong-pang
tidak akan tunduk terhadap siapapun juga dalam menentukan sikap akan urusan kami
dengan pemerintah!" Milana berkata.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
444 "Omitohud! Sejak dahulu Thian-liong-pang memang ganas dan tinggi hati. Agaknya karena
semua tokohnya memi-liki ilmu kepandaian tinggi!" kata Ceng Sim Hwesio yang mulai panas
hatinya. "Ilmu kepandaian curian semua!" Kembali hwesio muka tengkorak berkata mengejek.
"Cu-wi Lo-suhu dari Siauw-lim-pai! Bukan kami yang mengundang kalian, melainkan Siauw-
lim-pai yang menuntut pertemuan ini. Akan tetapi ternyata Siauw-lim-pai memperlihatkan
sikap ti-dak bersahabat. Karena itu, karena ka-mi yang menyediakan tempat ini, berar-ti kami
menjadi pihak pemilik tempat dan kalian adalah tamu. Sekarang kami persilakan kalian pergi
dari sini, pertemuan telah selesai!" Milana berkata marah.
"Omitohud, benar-benar Thian-liong-pang tidak memandang sebelah mata kepada Siauw-
lim-pai!" Ceng Sim Hwe-sio berkata. "Setelah kedua belah pihak bertemu, bicara tanpa ada
hasilnya, tidak boleh kita menyia-nyiakan kesem-patan ini untuk saling menguji sampai di
mana ketinggian ilmu kepandaian ma-sing-masing. Biarpun kami hanya bertujuh dan jumlah
kalian dua kali lebih ba-nyak, kami tidak akan mundur dan kami tantang Thian-liong-pang
mengadakan pertandingan menguji ilmu kepandaian sebagai penutup pertemuan ini!"
"Bagus! Siapa takut kepada tujuh ekor kerbau gundul?" Bok Sam meloncat sambil memutar
toyanya. "Trang-trangg....!" Bunga api berpijar ketika toya itu bertemu dengan tombak pendek yang
berada di tangan seorang hwesio yang menangkis toya itu. Hwesio tua bertubuh tinggi besar
itu terhuyung mundur dengan wajah pucat karena merasa betapa dari toya itu keluar tenaga
dahsyat yang membuat kedua lengannya tergetar dan kuda-kudanya tergempur!
"Kiang-lopek! Harap mundur dulu! Aku tidak perkenankan tokoh-tokoh Thian-liong-pang
yang gagah perkasa melakukan pengeroyokan! Mereka hanya bertujuh, aku membutuhkan
enam orang pembantu saja untuk menghadapi mereka!" Milana lalu menyebutkan nama
enam orang pembantu yang dipilihnya, terma-suk Si Lengan Buntung, kemudian bersa-ma
enam orang pembantunya ia mengha-dapi para hwesio Siauw-lim-pai sambil melintangkan
pedang di depan dada dan berkata,
"Ceng Sim Hwesio, apa yang kalian kehendaki sekarang?"
"Omitohud! Kiranya Thian-liong-pang masih menjaga nama baik dan memiliki kegagahan!
Kouwnio (Nona) yang perka-sa, biarlah pertemuan ini kita akhiri de-ngan menguji
kepandaian masing-masing sehingga akan lengkaplah pelaporan ka-mi kepada Ketua kami."
"Bagus sekali. Majulah, jumlah kita sekarang sama!" Kemudian dia menoleh kepada para
pembantunya, "Kalian ingat baik-baik, pertandingan ini hanya seke-dar menguji ilmu. Aku
tidak perkenan-kan kalian turun tangan membunuh. Cukup kalau sudah mengalahkan orang-
orang tua yang keras kepala ini!"
"Orang-orang Thian-liong-pang yang sombong! Sambutlah serangan kami!" Ceng Sim
Hwesio membentak, memberi isyarat kepada rombongannya dan tujuh orang hwesio itu
sudah menerjang maju. Yang mempelopori adalah hwesio tua ini. Senjatanya hanya kedua
lengan baju-nya yang lebar, namun sepasang senjata ini amatlah dahsyatnya, tidak kalah
oleh senjata-senjata lain karena begitu kedua tangannya bergerak, ujung lengan baju yang
panjang itu merupakan senjata yang menyambar kuat sekali, panjangnya lebih dari satu kaki
di depan tangannya.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
445 "Wuuuut.... wuuuutttt!" Kedua lengan bajunya itu menerjang ke arah Milana. Ketika dara ini
dengan gerakan yang gesit sekali mengelak dengan sebuah loncatan ke belakang kemudian
memba-lik, tahu-tahu dia melihat bahwa pemim-pin rombongan, hwesio itu telah diha-dapi
oleh Bok Sam dengan putaran toyanya sehingga Ceng Sim Hwesio cepat memutar kedua
ujung lengan bajunya dan terjadilah pertandingan seru di an-tara mereka. Milana tersenyum,
mak-lum bahwa pembantunya yang paling lihai ini tentu saja turun tangan menan-dingi
hwesio yang dianggapnya paling ampuh dan lihai di antara rombongan lawan sehingga nona
muda puteri Ketuanya itu tidak akan bekerja terlalu keras!
Terpaksa Milana melayani seorang hwesio lain, yang bertubuh tinggi besar dan yang
bersenjata sepasang tombak pendek, yaitu hwesio yang tadi menang-kis toya Si Lengan
Buntung. Namun la-wan ini terlalu lemah baginya dan da-lam belasan jurus saja Milana
sudah mendesak sepasang tombak pendek itu sehingga lawannya hanya dapat menge-lak
dan sibuk menangkis dengan sepa-sang senjatanya seolah-olah di tangan Milanabukan
terdapat sepasang pedang melainkan banyak sekali yang membuat hwesio itu kewalahan.
Sementara itu, lima orang hwesio la-innya sudah pula bertanding melawan li-ma orang
pembantu Milana dan terjadi-lah pertandingan yang seru di tanah ku-buran. Melihat bahwa
ternyata anggauta Thian-liong-pang yang berada di situ sa-ma sekali tidak ada sangkut-
pautnya dengan mereka, rombongan Pulau Neraka kini menjadi lega hatinya dan menonton
pertandingan sambil bersembunyi. Mereka diam-diam merasa kagum sekali kepada puteri
Ketua Thian-liong-pang dan Si Lengan Buntung yang ternyata hebat bukan main.
Pertandingan antara Bok Sam yang buntung lengan kirinya melawan Ceng Sim Hwesio
merupakan pertandingan yang paling seru dan seimbang, diban-dingkan dengan
pertandingan lain di an-tara kedua rombongan itu. Biarpun le-ngannya hanya sebuah,
namun toya yang diputar di tangan kanan itu benar-benar dahsyat sekali gerakannya
sehingga Ceng Sim Hwesio yang amat lihai itu pun ti-dak mampu mendesaknya dengan
kedua ujung lengan bajunya, bahkan hwesio tua itu kelihatan terkejut sekali dan bersi-lat
dengan amat hati-hati. Hwesio-hwesio Siauw-lim-pai terkenal memiliki ilmu silat yang tinggi,
dengan dasar yang ko-koh kuat dan boleh dikata di antara se-mua ilmu silat yang
sesungguhnya ber-sumber satu itu, ilmu silat Siauw-lim-pai adalah ilmu silat yang masih
dekat dengan sumbernya, masih murni dibandingkan dengan cabang-cabang persilatan lain.
Hal ini adalah karena para pengem-bang ilmu silat Siauw-lim-pai terdiri da-ri hwesio-hwesio
yang berwatak bersih, jujur dan tekun serta setia kepada pela-jaran guru-guru mereka.
Berbeda dengan cabang persilatan lain yang mengalami perubahan karena tokoh-tokohnya
terdiri dari orang-orang kang-ouw atau petu-alang yang banyak merantau sehingga di sana
sini mereka menemukan cara-cara baru yang mereka masukkan da-lam ilmu silat mereka
sehingga makin lama, biarpun ilmu mereka banyak yang menjadi aneh dan bermacam-
macam co-raknya, juga tidak kalah lihainya, na-mun makin menjauh dari dasar atau
sumbernya. Karena inilah, maka ilmu si-lat Siauw-lim-pai menjadi ilmu silat yang tertua dan
yang paling aseli, tidak berubah semenjak ratusan tahun yang lalu.
Ceng Sim Hwesio adalah murid kepa-la dari Ketua Siauw-lim-pai pada waktu itu. Tentu saja
dia telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, dan memiliki tenaga sin-kang yang amat
kuat. Sebetul-nya, dibandingkan dengan Bok Sam, baik mengenai kematangan latihan
maupun tingkat kepandaian, hwesio ini tidak kalah bahkan lebih unggul dan lebih ma-tang,
juga tenaga saktinya tidak kalah kuat. Akan tetapi, lawannya itu telah memperoleh
gemblengan khusus dari Ke-tua Thian-liong-pang, dan ilmu yang di-milikinya adalah ilmu
golongan hitam yang mempunyai banyak gerakan-gerak-an mengandung tipu daya yang
aneh-aneh dan tidak dikenal oleh seorang pendeta yang mengutamakan kejujuran seperti
Ceng Sim Hwesio.
Ketika dengan gerakan yang kuat se-pasang lengan baju hwesio itu menyam-bar ke arah
toya yang menyerang, melibat kedua ujung toya itu dengan sepa-sang lengan bajunya untuk
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
446 merampas senjata lawan, secara tak terduga dan tiba-tiba, Si Lengan Satu itu melepas-kan
toyanya dan menggunakan kesematan selagi lawan tidak bebas karena kedua lengan
dipakai untuk berusaha merampas toya, tangan kanan yang mempu-nyai ilmu dahsyat
"telapak tangan go-lok" itu telah membabat ke arah pundak Ceng Sim Hwesio!
Hwesio tua itu terkejut sekali. Dari sambaran hawa pukulan tangan kanan itu dia dapat
menduga bahwa lawannya memiliki pukulan ampuh yang berbahaya se-kali. Untuk
menangkis, tidak keburu lagi karena kedua tangannya tidak bebas, se-pasang ujung lengan
bajunya sudah meli-bat toya, maka jalan satu-satunya bagi-nya hanyalah miringkan tubuh
dan mene-rima hantaman tangan miring itu dengan pangkal bahunya yang berdaging sambil
mengerahkan sin-kangnya.
"Desss!"
Hebat bukan main pukulan tangan mi-ring dari Bok Sam ini. Dia telah mene-rima latihan
khusus dari Ketua Thian-liong-pang dan kekuatan tangan tunggal-nya itu amat dahsyat.
Bukan seperti ta-ngan yang mengandung tenaga sin-kang biasa yang dapat memecahkan
batu karang, akan tetapi tangan kanan Bok Sam ini dapat dipergunakan seperti sebatang
golok yang tajam, dapat mematahkan senjata lawan dan dapat dipakai memba-cok putus
leher manusia! Ketika tangan yang dihantamkan miring itu bertemu dengan pangkal lengan
Ceng Sim Hwesio yang mengandung tenaga sin-kang amat kuat sehingga menjadi kebal,
tubuh hwe-sio itu tergetar hebat dan biarpun dia tidak terluka karena "bacokan" tangan itu
dilawan oleh sin-kangnya, namun dia roboh terpelanting, libatan kedua ujung lengan bajunya
pada toya terlepas dan toya itu telah dirampas kembali oleh Bok Sam yang menggunakan
toya untuk menodong dada hwesio yang sudah rebah terlentang.
"Pinceng sudah kalah, perlu apa me-nodong dan mengancam" Kalau mau bu-nuh,
lakukanlah, pinceng tidak takut mati!" kata Ceng Sim Hwesio yang me-rasa terhina dengan
penodongan toya di atas dadanya itu.
Milana yang sudah merobohkan lawan-nya dan sedang meloncat ke atas sebuah kuburan
untuk menyerang hwesio muka tengkorak yang ternyata telah merobohkan dua orang
pembantunya berturut-turut cepat berseru,
"Kiang-lopek! Jangan lancang membunuh!"
Bok Sam tentu saja tidak berani melanggar larangan puteri ketuanya. Dia menodong hanya
untuk membuktikan keunggulannya saja, maka kini ujung to-yanya bergerak cepat menotok
jalan da-rah di pundak Ceng Sim Hwesio, mem-buat hwesio itu mengeluh dan tak dapat
bergerak lagi. Sementara itu, hwesio muka tengko-rak yang memegang kebutan dan tasbih, ternyata
dengan gerakan kebutannya telah berhasil merobohkan pula seorang anggauta Thian-liong-
pang yang tadi me-nerjangnya dengan sebatang pedang, ge-rakan hwesio ini hebat sekali,
dan be-gitu memandang, tahulah Bok Sam bah-wa hwesio kurus itu ternyata jauh lebih lihai
daripada Ceng Sim Hwesio! Hwesio kurus itu telah merobohkan tiga orang temannya dan
seorang lagi telah roboh oleh hwesio lain. Kini di pihak Thian-liong-pang hanya tinggal dia,
puteri Ketuanya, dan seorang pembantu lagi, yai-tu Su Kak Liong yang masih bertanding
seru melawan seorang hwesio pendek bersenjata toya. Biarpun dia lihai, Su Kak Liong
terdesak juga oleh dua orang pengeroyoknya. Milana sudah menerjang hwesio kurus yang
bersenjata hud-tim dan tasbih, dikeroyok oleh hwesio itu dan seorang hwesio lain yang
bersenjata pedang. Karena percaya akan kelihaian Milana, Bok Sam membiarkan Milana
menghadapi dua orang pengeroyoknya dan dia sendiri cepat meloncat ke de-pan membantu
Su Kak Liong. Begitu Si Lengan Buntung ini maju, keadaan beru-bah sama sekali. Hwesio
pendek yang bersenjata toya sama sekali bukan tan-dingan Si Lengan Buntung, biarpun
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
447 senjata mereka serupa dan hwesio itu mengguna-kan kedua tangannya untuk mainkan
senjatanya. Dalam belasan jurus saja, hwesio pendek itu tak kuat bertahan iagi, toyanya
patah menjadi dua dan dia ro-boh dengan sambungan lutut terlepas karena hantaman toya
lawan. Juga hwesio muda yang bersenjata golok sudah roboh oleh Su Kak Liong, terluka
pun-daknya. Bok Sam cepat meloncat dan mem-bantu Milana yang masih dikeroyok dua. Ternyata
hwesio kurus bermuka tengko-rak itu benar-benar lihai sekali. Per-mainan kombinasi
sepasang senjatanya yang aneh memiliki gerakan-gerakan aneh dan tenaga sin-kang yang
terkandung dalam gerakan senjata-senjatanya amat kuat. Kebutan di tangan kanan itu
kadang-kadang lemas dan dipergunakan untuk membelit pedang untuk merampas-nya, akan
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tetapi kadang-kadang dapat menjadi keras dan kaku bulu-bulunya sehingga dapat
dipergunakan untuk meno-tok jalan darah. Sedangkan tasbihnya menyelingi gerakan
kebutan dengan sam-baran-sambaran ke arah kepala lawan. Milana terkejut dan tertarik
sekali. Dia sudah mengenal dasar ilmu silat Siauw-lim-pai maka dia menjadi heran sekali
ketika melihat bahwa dasar ilmu silat hwesio kurus ini jauh berbeda dengan Siauw-lim-pai,
bahkan mendekati ilmu silat dari barat!
Setelah kini Bok Sam maju memban-tunya dan menghadapi hwesio yang ber-senjata
pedang, Milana mendapat kesem-patan untuk menghadapi hwesio muka tengkorak itu satu
lawan satu dan de-ngan mengerahkan gin-kangnya yang luar biasa, Milana dapat
memancing hwesio itu mengeluarkan semua jurus-jurusnya yang sama sekali bukan ilmu
silat Siauw-lim-pai.
Tiba-tiba untuk kesekian kalinya, tas-bih menyambar dari udara, mengeluarkan bunyi
bersuitan. Tasbih itu telah dilepas oleh tangan kiri hwesio kurus, dan melayang-layang
seperti seekor burung me-nyambar ke arah kepala Milana. Dara ini tidak menjadi gugup.
Tadi pun dia pernah diserang seperti itu dan ketika ia mengelak, tasbih itu dapat kembali ke
tangan lawan! Kini dia sengaja meng-gunakan pedangnya menangkis dengan hantaman
miring dari samping ke arah tasbih sambil membagi perhatian ke depan karena selagi tasbih
itu melayang turun, hud-tim di tangan kanan lawannya juga tidak tinggal diam, bahkan
mengi-rim penyerangan cepat sekali.
"Cringgg!"
Milana terkejut karena tangkisan itu membuat tangannya tergetar dan ternya-ta bahwa
tasbih itu tidak tertolak oleh tangkisannya, melainkan terus melibat pedangnya. Kiranya
tasbih itu dilempar dengan gerakan berputar sehingga ketika ditangkis terus melibat!
Padahal pada saat itu kebutan di tangan kanan hwesio itu telah meluncur datang, ujung
kebut-an bergerak cepat sekali seolah-olah ber-ubah menjadi banyak dan mengirim to-tokan
Secara bertubi-tubi ke arah jalan-jalan darah di bagian depan tubuh Milana dan pinggang ke
atas. "Wuuuuttt.... singgg!" Milana menggu-nakan gin-kangnya, tubuhnya mencelat ke atas,
pedang dikelebatkan dengan pengerahan sin-kang sehingga tasbih yang melilit pedangnya
itu terlepas menyam-bar ke depan, menangkis ke arah kebut-an.
"Wuuuut!" Dengan lihainya hwesio kurus itu menggerakkan kebutan menangkap tasbihnya,
dan sudah siap untuk me-nerjang lagi sambil diam-diam memuji ketangkasan dara itu.
"Tahan!" Tiba-tiba Milana membentak sambil melintangkan pedangnya di depan dada.
"Siapa engkau" Aku yakin bahwa engkau bukanlah seorang hwesio tokoh Siauw-lim-pai!"
Hwesio itu tersenyum mengejek, ke-mudian memandang kepada enam orang hwesio yang
semua telah roboh terluka. Hwesio berpedang yang tadinya memban-tu dia mengeroyok
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
448 Milana, telah roboh pula di tangan Bok Sam yang kini sudah berdiri dengan memegang toya
tegak lurus di depannya, siap untuk menerjang-nya. Enam orang temannya sudah kalah
semua, tinggal dia seorang, sedangkan di pihak Thian-liong-pang masih ada ti-ga orang
termasuk nona muda yang amat lihai dan Si Lengan Buntung yang juga lihai sekali itu.
"Pinceng Mo Kong Hosiang memang bukan seorang tokoh Siauw-lim-pai, akan tetapi
pinceng adalah sahabat baik Ketua Siauw-lim-pai. Pinceng datang dari barat dan mendengar
akan sepak terjang Thian-liong-pang yang telah merendahkan diri menjadi kaki tangan
pemerintah pen-jajah, pinceng dan para sahabat ini...."
"Aihh, kiranya engkau seorang pembe-rontak dari Tibet, bukan?" Milana memo-tong, dan
hwesio itu kelihatan terkejut.
"Bagaimana Nona dapat menyangka demikian?"
"Aku mengenal gaya bahasamu dan dasar gerak silatmu. Tibet sudah takluk, akan tetapi
banyak tokohnya diam-diam masih ingin memberontak. Tentu engkau adalah seorang di
antara mereka yang ingin memberontak, maka kini engkau menghasut para Lo-suhu dari
Siauw-lim-pai untuk menentang kami. Hemm, Mo Kong Hosiang, karena engkau bukan
orang Siauw-lim-pai, maka urusan anta-ra engkau dan kami lain lagi. Engkau seorang
pemberontak dan sudah menjadi tugas kami untuk membasmi pemberon-tak."
"Ha-ha-ha, perempuan sombong! Kaukira pinceng takut....?" Baru sampai di sini ucapannya,
terdengar suara gerengan keras dan Bok Sam telah menerjang maju dengan dahsyat,
menggerakkan to-yanya menusuk ke arah dada hwesio kurus itu.
Mo Kong Hosiang cepat mengelak sambil menggerakkan hud-tim di tangan-nya yang
menyambar dari samping ke arah lambung Si Lengan Buntung. Se-rangan berbahaya ini
dapat dielakkan oleh Bhok Sam dan segera terjadi pertandingan hebat antara kedua orang
itu. Sekali ini, pertandingan terjadi lebih he-bat daripada tadi karena kalau tadi ma-sing-
masing pihak masih menjaga agar jangan sampai menjatuhkan pukulan maut kepada pihak
lawan, kini kedua orang ini bertanding dengan niat membunuh!
Milana sudah mengukur tingkat ke-pandaian hwesio kurus itu, maka kini ia mengerutkan alis
menyaksikan kelancang-an Bok Sam yang terlalu berani turun tangan. Dia maklum bahwa
pembantu ibunya itu m
Pendekar Cacad 9 Pendekar Satu Jurus Karya Gan K L Petualang Asmara 10