Pencarian

Sepasang Pedang Iblis 8

Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 8


liong-pang...."
Bun Bang menghentikan kata-katanya karena tiba-tiba wanita itu menangis terisak-isak!
"Eh, eh, bagaimana ini...." Salahkah omonganku sehlngga menyinggung perasa-anmu?"
Gadis itu masih menangis lalu men-jatuhkan diri berlutut di depan Bun Beng. Tentu saja
Bun Beng menjadi bingung sekali, hendak mengangkat ba-ngun, merasa tidak pantas
menyentuh tu-buh seorang gadis. "Eh, eh...., Nona. Bangkitlah, jangan begitu....!"
"Mohon maaf atas kesalahanku tadi.... dan mohon pertolongan Taihiap yang berkepandaian
tinggi untuk menyelamatkan Ayahku....."
"Aku bukan seorang taihiap (pendekar besar), Nona. Akan tetapi aku ber-janji akan
menolong. Ayahmu mengapakah" Harap kau suka berdiri agar enak kita bicara."
Gadis itu bangkit berdiri sambil mengusap air matanya.
"Nah, ceritakanlah apa yang terjadi," kata pula Bun Beng. Kini sinar bulan makin terang dan
tampak oleh pemuda ini betapa gadis itu amat manis wajah-nya, wajah manis yang
membayangkan kegagahan yang agak pudar oleh tangis tadi.
"Namaku adalah Ang Siok Bi...."
"Nama yang bagus...." Tiba-tiba Bun Beng melihat sinar mata nona itu me-mandangnya
tajam penuh kecurigaan dan alis yang hitam itu berkerut, maka ter-ingatlah ia betapa tidak
tepatnya ucap-an yang tiba-tiba saja meluncur dari mulutnya itu karena ia kagum
meman-dang wajah yang manis.
"Eh, maksudku.... teruskan ceritamu, Nona Ang...." Sambungnya cepat-cepat dan gugup.
"Ayahku adalah Ang Thian Pa yang lebih dikenal dengan sebutan Ang Lojin, Ketua Bu-tong-
pai...." "Aihh! Kiranya Nona adalah puteri ketua partai besar, maaf kalau aku berlaku kurang
hormat...." Bun Beng memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan depan dada
sambil membungkuk.
Siok Bi, gadis itu biarpun baru ber-usia delapan belas tahun, namun dia su-dah banyak
merantau dan sebagai se-orang pendekar wanita yang muda dan cantik, tentu dia banyak
mengalami gangguan dan banyak mengenal sikap laki-laki. Maka kini alisnya berkerut
ke-tika ia menyaksikan sikap Bun Beng yang agaknya sama sekali tidak mempeduli-kan
ceritanya, melainkan tertarik dan kagum kepadanya! Tadi telah ia saksi-kan kelihaian
pemuda itu dan timbul harapannya untuk minta pertolongannya, akan tetapi kini melihat
sikap Bun Beng, dia mulai ragu-ragu jangan-jangan pemu-da ini adalah seorang jai-hwa-cat
yang bersikap halus dan yang sedang mempermainkannya!
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
198 "Taihiap, harap berterus terang saja. Engkau ini seorang pendekar yang suka mengulur
tangan menolong orang yang sedang tertimpa malapetaka ataukah seorang dari kaum
sesat?" Bun Beng yang tadinya tersenyum de-ngan hati tertarik memperhatikan gerak-gerik dan
terutama sekali gerakan bibir yang membuat wajah itu kelihatan amat manis, menjadi
gelagapan mendengar pertanyaan itu. Dia tentu saja tidak sa-dar akan sikapnya sendiri
karena memang tidak dibuat-buat. Selama bertahun-tahun dia berada di dalam kuil
mempelajari ilmu, tiap hari hanya bergaul dan berte-mu dengan para hwesio. Yang dilihatnya
hanyalah muka para hwesio dengan kepa-la gundul, sama sekali tidak indah da-lam
pandangannya. Kini, sekali keluar mengembara bertemu dengan wajah be-gini manis, hati
siapa tidak akan terpi-kat"
"Ang-siocia, ada apakah" Mengapa engkau kelihatan marah kepadaku?"
"Pandang matamu itulah!" Mau tidak mau Siok Bi membuang muka dan kedua pipinya
menjadi merah. Betapapun gagah wataknya sebagai pendekar wanita, na-mun dia masih
seorang gadis remaja sehingga dia pun tidak terbebas daripa-da sifat wanita yang ingin
dipuji dan di-kagumi, apalagi oleh seorang pemuda setampan dan segagah Bun Beng!
"Pandang mataku" Aihhh.... apakah aku tidak boleh memandang" Kenapakah" Engkau
aneh sekali, Nona. Baiklah aku akan memejamkan mata. Nah, teruskan ceritamu!" Dan Bun
Beng benar-benar memejamkan kedua matanya.
"Ketika ayahku dan aku melakukan perjalanan menuju ke Siang-tan, sampai di dalam hutan
di luar kota ini kami berhenti dan beristirahat, yaitu pagi ha-ri tadi." Gadis itu berhenti
bercerita. Bun Beng yang masih memejamkan ma-tanya itu menanti sebentar, lalu sebagai
komentar dia hanya bisa mengeluarkan suara,
"Hemmm....!" Lalu menanti lagi, akan tetapi lanjutan ceritanya tak kunjung datang.
"Mengapa diam?"
"Agaknya Taihiap tidak menaruh per-hatian, perlu apa kulanjutkan" Kalau Taihiap tidak sudi
menolong, aku.... aku pun tidak mau memaksa." Suara itu ter-dengar menjauh dan ketika
Bun Beng membuka matanya, nona itu sudah ber-lari pergi!
Sekali menggerakkan tubuhnya, Bun Beng sudah menyusul dan menghadang di depan Siok
Bi. "Eh-eh, bagaimana ini" Kau aneh sekali, Nona! Aku cukup memperhatikan ceritamu dan
ingin menolong Ayahmu."
Diam-diam Siok Bi terkejut dan ka-gum. Dia hanya melihat bayangan berke-lebat dan tahu-
tahu pemuda itu sudah berada di depannya! Akan tetapi ia cemberut dan berkata,
"Aku bicara kepada orang yang meme-jamkan mata seolah-olah tidak peduli, mana.... enak
hatiku?" Tiba-tiba Bun Beng tertawa saking geli hatinya. Memang pemuda ini memi-liki watak
periang. Ia menggaruk-garuk belakang telinganya dan berkata, "Wah, benar-benar aku tidak
mengerti, Nona! Kalau aku memperhatikan ceritamu de-ngan membuka mata, pandang
mataku mengganggumu. Kalau aku memejamkan mata, kauanggap aku tidak peduli, ha-bis
bagaimana" Harap kau lanjutkan. Percayalah, aku tidak mempunyai niat hati yang tidak baik
terhadapmu! Ayah-mu dan engkau pagi tadi beristirahat dalam hutan di luar kota ini. Lalu,
apa yang terjadi selanjutnya?"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
199 Kini sinar bulan sepenuhnya menimpa wajah Bun Beng sehingga Siok Bi dapat memandang
jelas. Wajah yang tampan dan mulutnya seperti selalu tersenyum. Pada saat itu, Bun Beng
bicara sungguh-sungguh, akan tetapi matanya bersinar-sinar gembira dan bibirnya seperti
orang tersenyum. Kini mengertilah Siok Bi bahwa memang pemuda ini memiliki ma-ta dan
bibir yang seolah-olah selalu gembira dan tersenyum, sehingga tadi ia mengira bahwa mata
pemuda itu "na-kal" dan bibirnya tersenyum kurang ajar. Maka hatinya pun lega dan ia
melanjut-kan. "Selagi kami beristirahat dan makan di bawah pohon, datang rombongan Thian-liong-pang.
Ketika mereka mengenal ayah sebagai Ketua Bu-tong-pai, me-reka lalu memaksa Ayah ikut
dengan mereka untuk menghadap Ketua Thian-liong-pang!"
"Hemm, sungguh kurang ajar!" Bun Beng membentak dan gadis itu menda-pat kenyataan
betapa dalam keadaan marah pun pemuda itu seperti orang ter-senyum. "Tentu engkau dan
Ayahmu menghajar mereka!"
"Itulah yang menyusahkan hatiku, Taihiap. Mereka lihai sekali. Ayah dike-royok dan
dirobohkan, lalu ditangkap dan dimasukkan ke kerangkeng."
"Apa" Dikerangkeng dan kau diam saja?"
Kalau belum mulai mengenal cara bicara Bun Beng seperti orang main-main, tentu gadis itu
sudah marah lagi. "Tentu saja aku melawan mati-matian, akan tetapi mereka amat lihai. Aku
ro-boh tertotok, tak mampu berkutik. Setelah mereka pergi lama sekali, baru aku dapat
bergerak. Mengejar sampai sore namun tak berhasil dan akhirnya aku sampai di sini dengan
maksud besok akan melanjutkan perjalanan, mengumpulkan semua anggota Bu-tong-pai
untuk me-nyerbu ke Thian-liong-pang membebas-kan Ayah. Akan tetapi.... ah, akan ma-kan
waktu lama, mungkin terlambat.... dan aku sangsi apakah aku dapat mela-wan Thian-liong-
pang yang amat kuat itu?"
"Ke mana Ayahmu dibawa lari" Ke jurusan mana?"
"Di luar kota ini di sebelah utara terdapat hutan, dan mereka membawa Ayah terus ke
utara...."
"Aku akan mengejar mereka!" Bun Beng berkelebat dan pergi dari depan gadis itu.
Siok Bi bingung dan terkejut, mengira bahwa pemuda itu pandai menghilang. Ia berteriak,
"Tunggu, Taihiap! Aku be-lum tahu namamu dan aku ikut....!"
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Bun Beng dari bawah karena pemuda ini memasuki
kamar mengambil bungkusan pakaian dan bekalnya. "Jangan ikut, kau- tunggu saja di sini,
Nona. Namaku Gak Bun Beng!"
Mendengar suara dari dalam kamar di sebelah kamarnya, Siok Bi meloncat ke bawah dan
memasuki kamar Bun Beng, akan tetapi pemuda itu sudah tidak ada dan ketika ia melompat
lagi ke atas genteng, dia tidak melihat bayangan pe-muda itu! Ia menarik napas panjang.
"Hebat dia....!" Kemudian ia pun mengam-bil pakaian dari kamarnya dan malam itu juga ia
meninggalkan penginapan un-tuk mengejar ke utara. Benar juga pe-muda itu, pikirnya. Kalau
aku ikut, ten-tu perjalanannya tidak dapat dilakukan secepat kalau pemuda itu mengejar
sendiri. Hatinya menjadi besar dan ia mem-bayangkan wajah tampan yang selalu tersenyum
bibirnya dan berseri wajah dan matanya itu. Kekhawatirannya ten-tang diri ayahnya agak
berkurang kare-na ia percaya bahwa pemuda itu amat lihai dan tentu akan dapat menolong
ayahnya. Gak Bun Beng! Dia mengingat-ingat, akan tetapi tidak pernah merasa mendengar
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
200 nama ini di dunia kang-ouw.- Benar kata ayahnya bahwa sekarang ba-nyak bermunculan
orang-orang aneh yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa, tentu termasuk pemuda itu.
Bun Beng merasa penasaran dan marah sekali. Kiranya benar seperti be-rita yang
didengarnya. Thian-liong-pang mengacau dunia kang-ouw, secara kurang ajar berani
menculik seorang Ketua Bu-tong-pai di siang hari. Benar-benar ke-terlaluan, seolah-olah di
dunia ini sudah tidak ada hukum dan seolah-olah hanya Thian-liong-pang yang paling kuat.
Dia harus menentangnya dan menolong Ke-tua Bu-tong-pai, ayah dari gadis yang amat
manis wajahnya itu.
Dengan kepandaiannya yang tinggi, Bun Beng melakukan pengejaran. Dia mempergunakan
ilmu lari cepat Cio-siang-hui yang dipelajarinya dari Ceng Jin Hosiang sehingga tubuhnya
seperti terbang di atas rumput seolah-olah ti-dak menginjak tanah dan tubuhnya lenyap,
yang tampak hanya berkelebatnya bayangannya yang meluncur cepat menuju ke utara!
Akan tetapi karena ia ketinggalan waktu selama sehari, pada keesokan ha-rinya menjelang
senja, barulah ia dapat menyusul rombongan orang Thian-liong-pang yang menawan Ketua
Bu-tong-pai. Dari jauh ia sudah melihat serombongan orang, sebanyak empat orang
mendorong sebuah kereta kecil berbentuk kerang-keng di mana yang tampak hanya
sebu-ah kepala yang bertudung lebar dan kedua tangan yang terbelenggu. Hanya ke-pala
dan kedua tangan yang tampak ke-luar dari dalam kerangkeng yang terbu-at daripada papan
tebal dan beroda dua.
Bun Beng mempercepat larinya, se-bentar saja dia telah melewati rombong-an empat orang
itu, membalikkan tubuh dan menghadang, berdiri dengan tegak dan bertolak pinggang.
Melihat sikap pemuda yang datang dengan cepat sekali itu, rombongan itu berhenti dan
empat orang itu memandang kepadanya dengan penuh perhatian. Juga orang tua bermu-ka
gagah yang berada dalam kerangkeng memandang kepada Bun Beng.
Ketika Bun Beng memperhatikan empat orang itu diam-diam terkejut. Me-mang benarlah
berita yang ia dengar. Orang-orang Thian-liong-pang amat aneh dan sikapnya
menyeramkan. Empat orang ini saja sudah menunjukkan bphwa mere-ka tentulah orang-
orang yang berilmu tinggi, dan sikap mereka itu rata-rata angkuh. Seorang di antara mereka
ada-lah seorang kakek yang mukanya pucat seolah-olah tidak berdarah, seperti muka mayat
yang amat kurus sehingga muka-nya itu mirip tengkorak, namun sepa-sang mata yang sipit
itu mengeluarkan sinar tajam, dan di punggungnya tampak tergantung sebatang pedang.
Orang ke dua masih muda, paling banyak tiga puluh lima tahun usianya, tampan dan gagah,
rambutnya terurai di atas kedua pundak dan punggungnya, kepalanya diikat sehe-lai tali
yang mengkilap seperti sutera, alisnya selalu berkerut dan sinar mata-nya membayangkan
keangkuhan dan kekejaman, juga di punggungnya tampak terselip sebatang pedang.
Biarpun kedua orang ini tidak banyak bergerak, namun dapat diduga bahwa tentu ilmunya
tinggi, dan membuat hati mereka tinggi pula.
Akan tetapi dua orang yang lain benar-benar menimbulkan ngeri kepada Bun Beng. Sukar
membedakan kedua orang itu karena baik pakaian, bentuk tubuh dan muka mereka kembar!
Dan kedua-nya pun memegang sepasang senjata ge-lang yang dipasangi lima duri
meruncing dan mengkilap. Berbeda dengan sikap kedua orang yang pendiam dan angkuh
itu, dua orang kembar yang tinggi besar ini sikapnya kasar, seperti binatang bu-as dan
merekalah yang langsung melon-cat maju menghadapi Bun Beng. Seorang di antara mereka
membentak, "Bocah sinting, siapa kau berani ber-sikap kurang ajar?"
"Minggir kau sebelum kupatahkan ke-dua kakimu!" Orang ke dua membentak pula.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
201 Bun Beng memperlebar senyumnya dan tetap bertolak pinggang. Sambil me-lirik ke arah
kerangkeng, dia bertanya, "Apakah kalian ini penculik-penculik dari Thian-liong-pang" Dan
apakah Locianpwe yang tertawan itu Ang Lojin Ketua Bu-tong-pai?"
"Benar orang muda. Aku adalah Ang Lojin. Hati-hatilah, jangan mencampuri urusan ini.
Lebih baik pergilah karena aku sudah merasar kalah dan ingin menghadap Ketua Thian-
liong-pang!" Kakek di kerangkeng itu berkata.
"Bocah tak tahu diri! Ketahuilah bah-wa kami benar dari Thian-liong-pang. Nah, setelah
mendengar nama perkum-pulan kami, engkau tidak lekas mengge-linding pergi?"
Bun Beng dengan sikap tenang meng-gerakkan pundaknya, memandang kepada kedua
orang kakek kembar yang muka-nya bengis mengerikan itu sambil berka-ta, "Sebenarnya
aku mau pergi, akan tetapi sayang, empat orang sahabatku yang berada di sini tidak
membolehkan aku pergi sebelum kalian membebaskan Ang Lojin!"
Mendengar ini, empat orang Thian-liong-pang itu cepat memandang ke se-keliling mereka.
Mereka terkejut sekali mendengar bahwa pemuda kurang ajar ini mempunyai empat orang
sahabat. Kalau empat orang itu hadir di sekitar mereka tanpa mereka ketahui, dapat
dibayangkan betapa lihai empat orang itu. Apalagi setelah mereka memandang ke sekeliling
tidak dapat melihat gerak-gerik orang di situ, mereka menjadi ma-kin hati-hati karena hal itu
hanya me-nandakan bahwa empat orang sahabat pemuda ini benar-benar lihai.
"Orang muda, lekas suruh empat orang sahabatmu keluar agar kami dapat bica-ra dengan
mereka!" Seorang di antara kakek kembar berkata, sedangkan tokoh Thian-liong-pang muda
sudah menggeser kaki mendekati kerangkeng sedangkan kakek bermuka tengkorak, sekali
meng-gerakkan kaki tubuhnya sudah melayang ke atas tempat yang agak tinggi, di atas
batu-batu. Agaknya seorang muda menja-ga kerangkeng itu dan si kakek bermuka
tengkorak menjadi penjaga di tempat tinggi. Sikap mereka yang tenang dan muka yang
angkuh itu menimbulkan dugaan di hati Bun Beng bahwa tingkat mereka berdua itulah yang
sesungguhnya tinggi, lebih tinggi daripada tingkat se-pasang kakek kembar yang
menghadapi-nya. Hal ini pun menjadi tanda bahwa mereka memandang rendah kepadanya
sehingga untuk menghadapinya cukup oleh kedua kakek kembar yang rendah ting-katnya!
Bun Beng tertawa dan berkata, "Mau berkenalan dengan empat orang sahabat-ku" Awas,
mereka lihai sekali, kalau ka-lian berkenalan dengan mereka, tentu kalian akan mereka
robohkan dengan mu-dah!"
"Tak perla banyak menggertak!" Ben-tak kakek kembar ke dua, akan tetapi tidak urung dia
dan saudara kembarnya diam-diam melirik ke kanan kiri dengan sikap agak gentar. "Lekas
suruh mereka keluar!"
"Mereka sudah berada di sini, di de-panmu, apakah kalian buta?"
Kini kedua kakek kembar itu terbela-lak, dan benar-benar menjadi jerih. Ka-lau ada empat
orang berada di depan mereka tanpa mereka dapat melihatnya, hal itu hanya berarti bahwa
empat orang itu bukanlah manusia, melainkan iblis-iblis. Teringatlah mereka akan
orang-orang Pulau Neraka, musuh utama mere-ka yang mereka takuti, akan tetapi pe-muda
ini kulit mukanya biasa saja, ten-tu bukan anggauta Pulau Neraka. Ah, tentu hanya gertakan
saja, akal bulus, akal kanak-kanak untuk menakut-nakuti mereka!
"Bocah, jangan main-main engkau!" Se-orang di antara mereka membentak.
"Inilah mereka!" Bun Beng melonjor-kan kaki tangannya bergantian ke depan.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
202 Muka kedua kakek kembar itu menja-di merah, mata mereka melotot dan karena kepala
mereka botak, Bun Beng teringat akan kera-kera baboon yang pernah menjadi kawan-
kawannya. Muka kedua orang kakek kembar ini mirip kera-kera itu!
Akan tetapi sebagai anggauta-anggau-ta Thian-liong-pang yang banyak penga-laman,
menyaksikan sikap pemuda yang berani mempermainkan mereka dan yang amat tenang itu,
dua orang kakek kembar tidak mau sembrono. Seorang di antara mereka melangkah maju
dan me-negur. "Orang muda, engkau siapakah berani mati mempermainkan kami dari Thian-liong-pang"
Apa yang kauperbuat ini hanya dapat dicuci dengan darahmu dan ditebus dengan nyawamu.
Maka sebelum mampus, mengakulah siapa engkau!"
Bun Beng menggelengkan kepala. "Terlalu enak untuk kalian! Sudah terang kalian yang
akan kalah, dan andaikata aku sampai mati pun, biarlah namaku menjadi rahasia dan setan
penasaran, rohku akan mengejar-ngejar Thian-liong-pang!"
"Keparat!" Kakek yang berada di de-pannya sudah menerjang dengan senjata-nya yang
aneh dan kiranya senjata ge-lang berduri itu digenggam dengan duri-durinya di depan,
digerakkan secara ce-pat dan kuat sekali menghantam ke arah muka Bun Beng yang masih
bertolak pinggang.
"Heeitt! Memang orang-orang Thian-liong-pang berhati kejam," kata Bun Beng, dengan
mudah ia mengelak ke kanan dan biarpun matanya melirik ke arah orang di depannya
sambil tersenyum mengejek, namun telinganya dicurahkan untuk mengikuti gerakan kakek
ke dua yang telah melompat ke belakangnya.
Ketua Bu-tong-pai yang sudah mera-sai kelihaian orang-orang itu, menjadi gelisah sekali. Ia
berterima kasih dan kagum akan munculnya pemuda tak ter-kenal yang jelas hendak
menolongnya itu, akan tetapi ia merasa yakin bahwa pemuda itu tentu akan celaka. Pemuda
itu akan mengorbankan nyawa dengan sia-sia saja dan hal inilah yang menggeli-sahkan
hatinya, sama sekali bukan dia tidak mempunyai harapan tertolong. Su-dah banyak tokoh
kang-ouw yang ditawan secara paksa oleh orang-orang Thian-liong-pang untuk dihadapkan
Ketua me-reka. Belum pernah ada tokoh yang dibu-nuh, maka dia tidak merasa khawatir
akan keselamatan dirinya sungguhpun ada hal yang lebih hebat lagi dalam pe-ristiwa ini,
lebih hebat dan penting dari-pada keselamatan dirinya, yaitu kesela-matan nama besar Bu-
tong-pai yang terancam dan dihina! Kini pemuda yang hendak menolong dirinya itu terlalu
sem-brono dan berani mati mempermainkan orang-orang Thian-liong-pang, maka dia tidak
akan merasa heran kalau nanti me-lihat pemuda itu roboh dan tewas di de-pan matanya.


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Orang muda, awas senjata itu bera-cun dan berbahaya! Larilah!" teriaknya ketika melihat
betapa pemuda itu dise-rang dari depan dan belakang dengan dahsyat.
"Jangan khawatir, Locianpwe. Dua ekor kera ini hanya pandai menakut-na-kuti anak kecil
saja!" Jawab Bun Beng sambil menggunakan gin-kangnya untuk melesat ke sana ke mari
mengelak sam-bil tersenyum. Dia sudah melihat bahwa biarpun ilmu silat kedua kakek itu
aneh sekali, gerakannya cepat dan bertenaga, namun tidak terlalu cepat dan kuat bagi-nya
dan dia yakin akan dapat mengatasi mereka dengan mudah walaupun dia ber-tangan
kosong. Ketua Bu-tong-pai menjadi bengong. Sungguh kagum dia karena pemuda itu benar-benar
bukan hanya pandai mem-permainkan orang, melainkan juga memi-liki gerakan yang amat
kuat dan cepat, dua kakinya dapat melangkah dengan ba-ik sekali sehingga semua
serangan kedua orang itu selalu mengenai angin kosong.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
203 "Wuuuttt! Wah, galak amat!" Bun Beng miringkan kepala untuk menghin-darkan hantaman
gelang berduri dari belakang, berbareng ia mengirim ten-dangan ke depan mengarah
sambungan lutut lawan di depan jari tangannya menyentil senjata yang melayang di depan
hidungnya, menggunakan jari telunjuk menyentil ke arah sebuah di antara lima dari duri-duri
gelang sam-bil mengerahkan sin-kang sekuatnya.
"Cringgg!" Dan kakek itu memekik kaget. Ternyata duri yang disentil jari itu telah patah dan
telapak tangannya terasa panas dan perih sekali. Hampir saja ia melepaskan sebuah
gelangnya dan ia melompat ke belakang. Juga ka-kek di depan Bun Beng yang diserang
tendangan tadi cepat melompat ke bela-kang. Mereka menjadi marah dan penasaran. Kakek
yang di belakangnya lalu mengeluarkan gerengan marah, tangan kirinya bergerak dan
gelang berduri yang kehilangan sebuah durinya itu tiba-tiba meluncur ke arah Bun Beng,
berputaran dan mengeluarkan suara bercuitan.
"Bagus....!" Bun Beng diam-diam ka-gum juga. Kiranya, senjata ini bukan ha-nya
dipergunakan untuk menyerang de-ngan dipegangi, melainkan juga dapat menjadi senjata
rahasia yang dilontarkan. Dia mengelak dan lebih kagum lagi ha-tinya melihat betapa gelang
yang ber-putaran menyambar kepalanya itu sete-lah luput dari sasarannya, kini dapat
membalik dan kembali ke tangan pemi-liknya!
Dia cepat membalik dan pada saat kakek itu menerima kembali senjatanya, Bun Beng
sudah memukul dengan tela-pak tangannya, pukulan jarak jauh dengan pengerahan sin-
kangnya. "Wuuuttt!" Angin pukulan yang kuat membuat kakek itu terhuyung-huyung mundur. Akan
tetapi kakek ke dua yang kini berada di belakang Bun Beng sudah melontarkan gelang
kanan ke arah pung-gung pemuda itu.
"Awasss....!" Ketua Bu-tong-pai berte-riak kaget. Namun tanpa memutar tu-buhnya, Bun
Beng mengulur tangan dan berhasil menangkap senjata itu, seolah-olah di belakang
tubuhnya terdapat mata ke tiga!
"Senjata yang buruk!" Bun Beng kini memutar senjata itu dengan gerakan yang mahir
seolah-olah sejak kecil dia memang sudah biasa menggunakan senja-ta itu! Tentu saja
bukan demikian kenya-taannya. Hanya karena dia telah digem-bleng oleh Ketua Siauw-lim-
pai dan te-lah mempelajari delapan belas macam senjata, dan pernah pula diajar cara
mempergunakan senjata gelang yang jarang dipakai di dunia kang-ouw, maka dia tidak
asing dengan senjata ini, pula karena memang bakat yang dimiliki pemuda itu luar biasa
sekali. "Trang-cring-tranggg....!" Tiga kali ge-lang berduri di tangan kedua orang ka-kek itu bertemu
dan gelang kiri kakek yang di belakangnya patah menjadi tiga bertemu dengan gelang di
tangan Bun Beng.
"Heh-heh-heh, sekarang kita masing-masing mempunyai sebuah gelang, jadi adil namanya,
seorang satu! Masih mau dilanjutkan?" Dia menantang dan mengejek.
"Tahan dulu!" Tiba-tiba kakek tua yang bermuka tengkorak melayang da-tang dan
gerakannya membuat Bun Beng bersikap hati-hati karena melihat cara meloncatnya saja
tingkat kepandaian kakek muka tengkorak ini sama sekali tidak boleh dibandingkan dengan
sepasang kakek kembar yang kasar.
Akan tetapi dasar watak Bun Beng suka main-main, dia menyambut kakek itu dengan
tertawa, "Apakah engkau mau mengeroyok pula" Marilah, biar lebih ramai!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
204 Kakek muka tengkorak itu tidak ma-rah, hanya tetap tenang dan dingin keti-ka berkata,
"Thian-liong-pang tidak per-nah memusuhi Siauw-lim-pai, apakah kini Siauw-lim-pai
mendahului langkah mengu-mumkan perang terhadap Thian-liong-pang?"
Mendengar ini Bun Beng terkejut. Ah, kiranya kakek ini demikian tajam pan-dang matanya
sehingga mengenal bahwa dia adalah murid Siauw-lim-pai. Juga ka-kek Ketua Bu-tong-pai
terkejut dan ce-pat berkata,
"Orang muda yang gagah. Kalau eng-kau seorang murid Siuw-lim-pai, harap menyingkir.
Aku tidak mau membawa-bawa Siauw-lim-pai terlibat dalam urus-an ini."
Bun Beng merasa penasaran. Dia sen-diri sudah dipesan oleh gurunya agar ja-ngan
melibatkan Siauw-lim-pai dengan permusuhan. Akan tetapi haruskah ia mundur dan
membiarkan Kakek Bu-tong-pai itu tertawan dan yang terutama se-kali, haruskah dia
mengecewakan Siok Bi yang berwajah manis itu" Memba-yangkan betapa sinar mata yang
indah itu menjadi kecewa, murung dan bahkan mungkin menangis lagi, dia tidak tahan dan
tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, siapa membawa-bawa Siauw-lim-pai" Ilmu silat di dunia ini
tidak terhitung banyaknya, akan tetapi sumbernya hanya satu, yaitu mendasar segala
gerakan pada pembe-laan diri dan penyerangan. Kalau ada gerakan yang mirip dengan ilmu
silat Siauw-lim-pai, apa anehnya?"
Akan tetapi kakek bermuka tengko-rak itu tidak puas. "Orang muda, apa-kah engkau
hendak menyangkal bahwa engkau adalah murid Siauw-lim-pai?"
"Aku tidak menyangkal apa-apa."
"Kalau begitu mengakulah, engkau murid partai mana?"
"Aku pun tidak mengaku apa-apa. Guruku banyak sekali, tak terhitung ba-nyaknya sehingga
aku lupa satu-satunya. Akan tetapi lihat, apakah ini ilmu silat Siauw-lim-pai?" Setelah berkata
demiki-an, Bun Beng menggerakkan gelang ber-duri di tangannya, sekali memutar lengan
dia telah menyerang dua orang kakek kembar sekaligus.
"Trang-cring....!" Dua kakek kembar itu menangkis kaget dan.... kedua senjata mereka
patah-patah. "Ah.... ini adalah jurus ilmu silat ka-mi....!" Kakek kembar berseru dan cepat menerjang
marah dengan gelang mereka yang tinggal sepotong di tangan.
Bun Beng tersenyum dan menghadapi mereka dengan gerakan-gerakan aneh se-perti yang
dilakukan dua orang kakek itu. Benarkah bahwa Bun Beng pernah mempelajari ilmu silat
gelang berduri dua orang kakek kembar itu" Tentu sa-ja tidak. Melihat pun baru sekali itu.
Akan tetapi Bun Beng memiliki daya ingatan yang kuat sekali sehingga sekali melihat dia
sudah mengerti dan dapat mengingat serta menirunya! Dia tadi ke-tika menghadapi
pengeroyokan kedua orang kakek yang tingkatnya masih jauh lebih rendah darinya,
mendapat banyak kesempatan untuk memperhatikan gerak-an mereka sehingga kini ia
dapat meni-runya dengan baik, sungguhpun tentu saja hanya kelihatannya saja sama,
pada-hal dasar yang menjadi landasan jurus-jurus itu lain sama sekali!
Kalau dua orang kakek kembar men-jadi terkejut dan marah karena pemuda itu selain
merampas senjata mereka, ju-ga memukul mereka dengan ilmu mere-ka sendiri, adalah
kakek muka tengkorak menjadi heran sekali. Kalau murid Siauw-lim-pai, yang rata-rata
angkuh dan mengandalkan ilmu sendiri, tidak mungkin mau melakukan jurus-jurus ilmu silat
dua orang kakek kembar itu. Dia pun menda-pat kenyataan bahwa kakek kembar bu-kan
lawan pemuda ini, maka dia lalu memberi tanda dengan mata kepada kawan-kawannya.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
205 Tiba-tiba terdengar suara bercuitan dan tubuh tokoh Thian-liong-pang muda itu sudah
menyambar, didahului sinar hi-jau pedangnya, bagaikan bintang jatuh, sinar ini menyerbu ke
arah Bun Beng. "Bagus!" Bun Beng memuji, benar-be-nar memuji karena gerakan orang yang tampan itu
tangkas sekali. Namun dengan mudah ia dapat mengelak. Kakek muka tengkorak juga
menggerakkan pedangnya yang bersinar kuning sehingga dalam se-kejap mata Bun Beng
sudah harus melesat ke sana-sini menghindarkan dirinya ditem-bus dua sinar pedang yang
amat dahsyat. Dia masih sempat memperhatikan dengan hati cemas ketika melihat bahwa
kakek kembar sudah meninggalkannya dan mendorong pergi kerangkeng di mana Ketua Bu-
tong-pai tertawan.
"Berhenti!" Bun Beng berteriak dan gelang berduri di tangannya meluncur cepat, berputaran
mengeluarkan suara berdesing menyambar ke arah kerangkeng.
"Krakkkk!" Roda itu patah sehingga kerangkeng tak dapat didorong lagi. Akan tetapi, dua
orang kakek kembar itu tidak kehilangan akal, mereka lalu mengangkat kerangkeng,
menggotongnya dan berlari pergi secepatnya. Bun Beng tak dapat mengejar karena dia
didesak oleh dua sinar pedang yang amat cepat dan berbahaya sehingga dia harus
mencurahkan perhatiannya untuk melawan dua orang pengeroyok baru yang lihai ini.
Dua orang itu menjadi heran dan kagum bukan main. Mereka telah menge-rahkan
kepandaiannya, dengan pedangnya mengeroyok pemuda yang bertangan ko-song ini,
namun tetap saja pemuda itu tidak dapat didesak karena selalu dapat mengelak cepat,
bahkan balas menyerang mereka dengan pukulan-pukulan ampuh. Mereka makin
memperketat pengepungan dan mempercepat serangan dengan niat agar pemuda itu
mengeluarkan ilmu silat Siauw-lim-pai. Namun Bun Beng ti-dak mau dipancing dan tiba-tiba
ia ber-seru keras, tubuhnya berkelebatan di antara sinar-sinar itu dan ia menyerang dengan
ilmu silat yang ganasnya seperti ilmu setan! Dua orang itu terdesak mun-dur dan makin
terheran. Pemuda ini me-miliki ilmu silat yang aneh, pikir mere-ka. Biarpun agak "berbau"
dasar ilmu si-lat Siauw-lim-pai, namun jelas bukan ilmu silat Siauw-lim-pai karena melihat
keganasannya lebih mirip ilmu silat go-longan sesat! Tentu dia seorang tokoh yang amat
lihai dan tinggi kedudukannya, pikir mereka.
Memang Bun Beng telah memperguna-kan jurus-jurus ilmu silat dari Sam-po-cin-keng yang
bernama Kong-jiu-jib-tin (Dengan Tangan Kosong Menyerbu Baris-an) sehingga kedua
orang itu tentu saja tidak mengenal ilmu ciptaan pendiri Beng-kauw ini! Dua orang itu
memberi isyarat lalu Si Kakek berkata. "Kami tidak ingin bermusuhan dengan Siauw-lim-pai!"
Setelah berkata demiki-an, mereka melesat jauh dan lari pergi.
Bun Beng penasaran. Dia tidak ber-nafsu untuk mengalahkan dua orang itu, apalagi
membunuhnya, akan tetapi dia harus menolong Ketua Bu-tong-pai. Ma-ka dia pun lalu
melompat dan mengejar, akan tetapi sengaja tidak menyusul me-reka, hanya membayangi
dari jauh. Agaknya kedua orang itu juga sengaja memancing Bun Beng karena mereka itu
berlari tidak secepat yang mereka dapat lakukan. Hal ini pertama untuk memberi
kesempatan kepada kakek kembar untuk lebih dulu sampai ke sarang mereka, ke dua
kalinya karena memancing pemuda lihai itu yang tentu akan menarik perha-tian Ketua
mereka! Bun Beng bukan seorang bodoh. Dia cerdik sekali dan dapat memperhitung-kan keadaan,
maka dia pun dapat men-duga bahwa tentu dua orang itu sengaja memancingnya. Namun
dia tidak takut. Malah kebetulan, pikirnya. Aku tidak perlu susah payah mencari sarang
mere-ka. Akan kutemui Ketua mereka, kupaksa agar membebaskan Ang Lojin dan lain-lain
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
206 tawanan, dan kalau ada, dan memaksanya berjanji agar menghentikan perbuatan-perbuatan
menculik orang-orang penting itu!
Sebetulnya apakah yang terjadi de-ngan Thian-liong-pang sehingga kini per-kumpulan
besar itu melakukan perbuatan aneh itu, menculiki tokoh-tokoh kang-ouw dan ketua partai
persilatan" Sesungguhnya, tidaklah terjadi perubahan di Thian-liong-pang. Ketuanya masih
tetap Si Wa-nita berkerudung yang makin lama makin hebat ilmu kepandaiannya itu. Seperti
kita ketahui, wanita berkerudung yang aneh dan penuh rahasia ini, yang mukanya tidak
pernah kelihatan oleh siapa pun juga, bahkan para pembantunya yang bertingkat paling
tinggi pun tidak ada yang pernah melihatnya, bukan lain ada-lah Nirahai, puteri Kaisar Kang
Hsi sen-diri yang terlahir dari selir berdarah Khitan campuran Mongol!
Ketika ia dijodohkan oleh kedua orang nenek sakti yang menjadi gurunya dan bibi gurunya,
yaitu Nenek Maya dan Khu Siauw Bwee, menjadi isteri Suma Han, hatinya girang bukan
main. Diam-diam ia telah jatuh cinta kepada Pende-kar Super Sakti yang berkaki tunggal itu.
Namun betapa kecewanya ketika ia mendapat kenyataan bahwa suami yang dicintainya itu
tidak menyetujui cita-citanya pergi ke Mongol sehingga mere-ka berpisah dengan hati hancur
(baca ceritaPendekar Super Sakti). Dengan rasa hati berat karena sesungguhnya wa-nita
ini amat mencinta suaminya, Nirahai berangkat ke Mongol. Terlambat ia mengetahui bahwa
ia telah mengandung! Ingin ia kembali ke selatan mencari sua-minya untuk memberi tahu hal
ini, na-mun keangkuhannya sebagai bekas puteri kaisar mencegahnya. Dia amat mencinta
Suma Han, bahkan telah berkorban de-ngan kehilangan haknya sebagai puteri kaisar. Dia
telah kecewa karena setelah berjuang untuk kerajaan ayahnya, akhir-nya dia menjadi
seorang buruan! Pukul-an batin ke dua yang lebih kecewa lagi bahwa suami yang dibelanya
itu ternya-ta tidak ikut bersama dia! Namun masih timbul harapan di hatinya bahwa cinta
kasih dalam hati Suma Han akan mem-buat suaminya itu kelak menyusulnya ke Mongol.
Namun harapannya ini buyar. Sampai dia melahirkan anak perempuan, sampai bertahun-
tahun ia menanti dan tinggal di istana Kerajaan Mongol, tetap saja tidak ada kabar berita dari
suaminya! Betapa-pun juga, wanita yang keras hati ini te-tap tidak mau pergi mencari
suaminya. Kalau memang suaminya tidak mencin-tainya, dengan bukti tidak pernah
menyu-sulnya, biarlah dia akan memperlihatkan bahwa dia tidak kalah keras hati! Maka dia
lalu meninggalkan puterinya kepada Pangeran Jenghan yaitu keponakan yang
berkekuasaan besar dari Pangeran Galdan, dan dia sendiri merantau ke selatan. Ka-rena
dia mendengar bahwa suaminya telah menjadi Majikan Pulau Es, maka dia la-lu membuat
perkumpulan yang kelak da-pat ia pergunakan untuk menandingi na-ma besar Pulau Es, dan
dipilihlah Per-kumpulan Thian-liong-pang.
Di dalam cerita "Pendekar Super Sakti" telah diceritakan tentang watak dan sifat Puteri
Nirahai yang gagah perkasa, angkuh dan tidak pernah mau kalah, di samping kecantikannya
yang luar biasa dan ilmu kepandaiannya yang amat ting-gi. Mati-matian ia membela Suma
Han yang dicintainya, bahkan ia telah mengor-bankan nama, kedudukan dan
kehormat-annya untuk pendekar kaki tunggal yang dikaguminya itu. Sebesar itu cintanya,
sebesar itu pula sakit hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa suaminya itu tidak
mempedulikannya, tidak menyu-sulnya, bahkan tak pernah mencarinya sampai dia
melahirkan seorang puteri! Rasa sakit hati membuat Nirahai ingin memperlihatkan bahwa
dalam hal kepan-daian dan kebesaran, dia tidak mau kalah oleh suaminya! Pergilah wanita
sakti ini meninggalkan Mongol, merantau ke selatan dan ia menjatuhkan pilihan-nya kepada
Perkumpulan Thian-liong-pang!
Perkumpulan Thian-liong-pang adalah sebuah perkumpulan besar yang pernah mengalami
jatuh bangun seperti juga perkumpulan-perkumpulan lain dan meru-pakan sebuah
perkumpulan yang cukup tua usianya. Usianya sudah lebih dari seratus tahun dan
pendirinya dahulu ada-lah seorang kakek yang berjuluk Sin Seng Losu (Kakek Bintang Sakti)
yang beril-mu tinggi karena dia adalah murid ke-ponakan dari Siauw-bin Lo-mo, seorang di
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
207 antara datuk kaum sesat yang amat sakti. Ketika perkumpulan ini terjatuh ke tangan mantu
Sin Seng Losu yang bernama Siangkoan Bu, perkumpulan itu kembali ke jalan lurus dan
tergolong perkumpulan bersih yang mengutamakan kegagahan dan berjiwa pendekar. Akan
tetapi, setelah Siangkoan Bu tewas dan perkumpulan itu dipimpin oleh murid Sin Seng Losu
yang bernama Ma Kiu berju-luk Thai-lek-kwi dan dibantu oleh sebe-las orang sutenya maka
kembali Thian-liong-pang menjadi sebuah partai persilatan yang amat ditakuti karena tidak
segan melakukan kejahatan mengandal-kan kekuasaan mereka. Terutama sekalr Cap-ji-
liong (Dua Belas Ekor Naga) amat terkenal. Mereka adalah Ma Kiu dan sute-sutenya yang
merajalela di dunia kang-ouw. Dalam keadaan seperti itu muncullah Siangkoan Li, putera
men-diang Siangkoan Bu atau cucu dari Sin Seng Losu yang dengan bantuan Mutiara Hitam
menentang para paman gurunya (baca ceritaMutiara Hitam). Siangkoan Li ini lihai bukan
main karena dia telah diterima menjadi murid dua orang kakek sakti yang setengah gila,
yang berjuluk Pek-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong. Hanya sayang sekali, Siangkoan Li
yang tadinya merupakan seorang pemuda tampan yang gagah perkasa, bahkan menjadi
sahabat baik Mutiara Hitam dan jatuh cinta ke-pada pendekar wanita perkasa itu, tidak
hanya mewarisi kesaktian kedua orang gu-runya, akan tetapi juga mewarisi kega-nasan dan
kegilaannya! Siangkoan Li mengamuk dan berhasil merampas Thian-liong-pang di mana dia menjadi
ketuanya dan semenjak itu Thian-liong-pang menjadi perkumpulan yang penuh rahasia.
Perkumpulan ini tidak pernah menonjol di dunia kang-ouw, akan tetapi tidak ada yang berani
lancang tangan mencari perkara dengan orang-orang Thian-liong-pang yang hidup-nya aneh
dan penuh rahasia. Ilmu silat para anggauta Thian-liong-pang rata-rata amat tinggi dan
dasar ilmu kepandaian mereka bersumber ilmu-ilmu yang aneh dan luar biasa dari Pek-kek
Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, atau lebih tepat dari Siangkoan Li yang menyebarkan
kepan-daian itu kepada para anak buah dan murid-muridnya. Setelah Siangkoan Li
meninggal dunia dalam keadaan mende-rita batin karena cintanya yang gagal terhadap
Mutiara Hitam dan selamanya tidak mau menikah, dalam puluhan ta-hun terjadilah
pergantian ketua baru beberapa kali dan mulailah terjadi ke-kacauan di dalam perkumpulan
ini kare-na perebutan kursi ketua! Dan semenjak itu, selalu ada ketegangan di antara para
murid-murid kepala atau dewan pimpinan mereka yang selalu berusaha memperkuat diri
untuk merampas kedudukan ketua.
Keadaan ini menimbulkan peraturan baru yang dipegang teguh oleh mereka, yaitu setiap
tahun diadakan pemilihan ketua baru dengan jalan berpibu, menga-du kepandaian dan siapa
yang paling pandai di antara mereka, tidak peduli wanita atau pria, tidak peduli saudara tua
atau saudara muda dalam perguruan, dia yang berhak menjadi ketua sampai lain tahun
diadakan pibu lagi di mana dia harus mempertahankan kedudukannya dengan taruhan
nyawa! Ya, dalam pibu antara orang-orang liar ini sering kali terjadi pembunuhan. Mereka
tidak segan saling membunuh di antara saudara sen-diri untuk memperebutkan kursi ketua
yang amat mereka rindukan karena kur-si itu berarti kemuliaan, kemewahan, kehormatan
dan nama besar!
Ketika Nirahai mendatangi perkum-pulan yang hendak dipilihnya sebagai syarat untuk
menandingi kebesaran Pu-lau Es yang dipimpin oleh Suma Han, suaminya yang
dianggapnya menyia-nyia-kan dan menyakitkan hatinya itu tepat terjadi di waktu Thian-liong-
pang sedang mengadakan pibu tahunan yang selalu terjadi di ruangan belakang gedung


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perkumpulan yang amat luas dan terkurung pagar tembok yang tinggi dan atasnya dipasangi
tombak-tombak runcing sehing-ga orang yang berkepandaian tinggi seka-lipun jarang ada
yang dapat melompat pagar tembok itu. Seperti biasa, pibu diadakan di pekarangan luas
yang diku-rung oleh anak buah Thian-liong-pang yang menonton dengan penuh perhatian,
ketegangan dan juga kegembiraan kare-na mereka itu tentu saja mempunyai pi-lihan calon
ketua masing-masing sehing-ga keadaan hampir sama dengan orang-orang yang menonton
adu jago. Bahkan di antara anak buah itu ada yang berta-ruh, bukan hanya bertaruh uang
dan barang berharga, bahkan ada yang mempertaruhkan isterinya!
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
208 Pada waktu itu, Thian-liong-pang yang tidak hanya berganti-ganti ketua akan tetapi juga
berpindah-pindah tempat itu berpusat di kota kecil Cin-bun yang le-taknya di lembah Sungai
Huang-ho, di sebelah utara kota Cin-bun di Propinsi Shantung. Para penduduk Cin-bun
mendengar akan pemilihan ketua, akan tetapi tidak ada yang berani mencampuri, bah-kan
mendekati kelompok bangunan besar yang dilingkungi pagar tembok bertom-bak itu pun
merupakan hal yang berba-haya bagi mereka. Para pembesar peme-rintah Mancu pun tidak
ada yang berani mencampuri, dan mereka ini sudah me-nerima perintah dari atasan bahwa
pe-merintah tidak ingin menciptakan permusuhan dengan perkumpulan yang kuat ini, maka
pemerintah daerah yang mengawasi gerak-gerik mereka dan selama perkum-pulan itu tidak
melakukan perbuatan yang menentang pemerintah, pemerintah pun lebih suka untuk berbaik
dengan mereka. Menentang pun berarti tentu akan menimbulkan pemberontakan baru dan
pemerintah tidak menghendaki hal ini karena setiap pemberontakan merupakan bahaya
besar, dapat merupakan api yang membakar semangat perlawanan rakyat yang dijajah.
Pada waktu itu, Thian-liong-pang mempunyai anak buah yang jumlahnya dua ratus orang
lebih, sebagian besar tinggal di Cin-bun, akan tetapi ada pula yang tinggal di dusun-dusun
sekitar Propinsi Shantung dan membuka cabang-cabang Thian-liong-pang. Akan tetapi pada
waktu itu, semua pimpinan cabang berkumpul pula di pusat untuk menyak-sikan pemilihan
ketua baru melalui pibu, bahkan di antara mereka ada yang ingin -melihat-lihat barangkali
tingkat kepan-daian mereka sudah cukup untuk dicoba mengadu untung ikut dalam pibu.
Dua ratus orang lebih anggauta Thian-liong-pang sudah berkumpul dan suasana menjadi
riang gembira karena para anggauta itu sibuk saling bertaruh memilih jago masing-masing.
Para pim-pinan rendahan yang mendapat tempat di bangku rendah yang berjajar di depan
anak buah itu hanya mendengarkan ting-kah anak buah mereka sambil tersenyum-senyum.
Mereka ini tentu saja tidak be-rani bertaruh seperti yang dilakukan anak buah mereka, hanya
diam-diam mereka pun mempunyai pilihan masing-masing karena mereka sendiri masih
merasa terlalu rendah tingkat kepandaiannya untuk coba-coba berpibu yang berarti
mempertaruhkan nyawa.
Adapun pimpinan yang tingkatnya tinggi sudah pula berkumpul di atas kur-si-kursi di tingkat
atas ruangan yang dipisahkan dari pekarangan tempat pibu itu oleh lima buah anak tangga
di mana ditaruh kursi gading untuk Sang Ketua, diapit-apit beberapa buah kursi untuk para
pimpinan yang tinggi tingkatnya dan mereka inilah yang menjadi calon-calon penantang
ketua lama. Pada wak-tu itu tampak lima orang pemimpin ting-gi yang telah duduk dengan
tubuh tegak dan sikap angkuh, sinar mata mereka berseri seolah-olah mereka itu masing-
masing telah merasa yakin akan mem-peroleh kemenangan dalam pibu yang hendak
diadakan. Kursi gading untuk Ketua masih kosong karena Ketuanya belum keluar,
sedangkan seperangkat alat tetabuhan yang dipukul perlahan menyemarakkan suasana
seperti dalam pesta.
Orang pertama dari para pimpinan tinggi adalah seorang kakek yang menye-ramkan.
Mukanya seperti muka singa karena rambut di kedua pelipisnya di-sambung dengan jenggot
yang melingkari wajahnya, kumisnya juga tipis seperti ku-mis singa. Tubuhnya kekar penuh
membayangkan tenaga yang amat kuat biar-pun kakek ini usianya sudah mendekati enam
puluh tahun. Rambut dan cambang bauknya sudah berwarna putih, namun warna ini
menambah keangkerannya kare-na membuat mukanya lebih mirip muka singa. Sepasang
matenya yang lebar menyinarkan cahaya kilat menyeramkan, namun sikapnya pendiam,
pakaiannya se-derhana dan dia duduk seperti seekor si-nga kekenyangan yang mengantuk!
Kakek ini sebenarnya merupakan saudara seper-guruan tertua dan bahkan menjadi suheng
dari Ketua yang sekarang, namun kare-na dia seorang berjiwa perantau dan petualang,
maka dia tidak mempunyai nafsu untuk merebut kedudukan ketua, sungguhpun dalam hal
kepandaian, masih sukar ditentukan siapa yang lebih unggul antara dia dan Sang Ketua.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
209 Kakek ini sudah tidak dikenal lagi nama aselinya, lebih dikenal julukannya yang
menyeramkan, yaitu Sai-cu Lo-mo (Iblis Tua Ber-muka Singa)!
Orang ke dua juga seorang kakek berusia lima puluh tahun lebih, kepala-nya gundul akan
tetapi dia bukanlah se-orang hwesio karena dia berjenggot dan berkumis dan berpakaian
seperti seorang pelajar, bersikap halus namun matanya liar seperti mata orang yang tidak
wa-ras pikirannya. Kelihatannya kakek gun-dul ini lemah, duduk memegangi lengan kursi
dan kadang-kadang kedua tangannya bergerak menggigil seperti orang buyuten, kepalanya
bergerak-gerak sendi-ri tanpa disadari mengangguk-angguk dan mulutnya kadang-kadang
tersenyum geli seolah-olah ada setan tak tampak membadut di depannya. Namun jangan
dianggap remeh kakek ini karena dia pun merupakan suheng dari Sang Ketua, dan sute dari
Sai-cu Lo-mo. Namanya Chie Kang dan julukannya tidak kalah menye-ramkan dari
suhengnya karena di dunia kang-ouw dia dikenal sebagai Lui-hong Sin-ciang (Tangan Sakti
Angin dan Kilat)!
Orang ke tiga adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun, tinggi besar tubuhnya,
wajahnya merah seperti orang sakit darah tinggi, matanya me-lotot jarang berkedip,
hidungnya besar merah tanda sifat gila perempuan, pa-kaiannya seperti seorang jago silat
dan di punggungnya tampak gagang sebatang golok besar. Inilah Twa-to Sin-seng (Bin-tang
Sakti Golok Besar) Ma Chun yang amat disegani dan ditakuti karena watak-nya yang kasar,
terbuka, dan kurang ajar terhadap wanita tanpa tedeng aling-aling lagi!
Orang ke empat adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih, wa-jahya tampan
sekali, bahkan begitu ha-lus gerak-geriknya, begitu merah bibir-nya dan begitu tajam
memikat kerling matanya sehingga dia lebih mirip seorang wanita! Sepasang pedang
tergantung di pinggangnya, pakaiannya biru, dari ba-han sutera halus dan laki-laki tampan
ini termasuk seorang yang pesolek. Sa-yangnya, sinar matanya yang bagus itu mengandung
kekejaman dan juga kesombongan yang memandang rendah semua orang! Dia ini pun
bukan orang biasa dan merupakan di antara para pemimpin tinggi yang telah membuat
nama Thian--liong-pang menjadi nama besar dan te-nar.
Pedangnya amat ditakuti orang dan dia dijuluki Cui-beng-kiam (Pedang Pengejar Arwah),
namanya Liauw It Ban. Kalau suhengnya, Ma Chun, terkenal sebagai seorang laki-laki gila
perempuan dan suka mempermainkan wanita, Liauw It Ban ini lebih hebat lagi karena dia
seorang mata keranjang yang berwatak sadis, senang sekali menyiksa wanita yang menjadi
korbannya! Betapapun juga, dia dan suhengnya tidak pernah mengumbar hawa nafsu iblis
itu di daerah sendiri karena mereka tunduk akan perintah ketua mereka agar tidak
mengotorkan nama Thian-liong-pang di daerah sendiri sehingga tidak mendapat kesan
buruk terhadap pemerintah. Karena itu, namanya lebih tersohor di daerah lain di luar
propinsi. Orang ke lima akan mendatangkan rasa heran bagi orang luar Thian-liong--pang karena dia
paling tidak patut men-jadi anggauta dewan pimpinan perkum-pulan besar itu. Dia adalah
seorang wa-nita yang masih muda, kurang lebih dua puluh tujuh tahun usianya, cantik manis
dengan pakaian sederhana namun tidak dapat menyembunyikan lekuk lengkung tubuhnya
yang sudah matang. Wanita ini merupakan saudara seperguruan termuda, namun dia
memiliki ilmu kepandaian di luar ilmu keturunan ilmu para Pim-pinan Thian-liong-pang
karena dia telah menerima ilmu-ilmu dari mendiang suaminya, seorang murid dari Bu-tong-
pai yang lihai. Suaminya tewas setahun yang lalu ketika berusaha memasuki pibu
memperebutkan kedudukan ketua sehing-ga wanita ini yang bernama Tang Wi Siang,
adalah seorang janda kembang yang harum dan membuat banyak pria tertarik dan ingin
sekali memetiknya. Teruta-ma sekali kedua orang suhengnya sendi-ri, Ma Chun dan Liauw It
Ban yang pa-da waktu itu pun seringkali melayang-kan sinar mata ke arahnya. Bahkan
beberapa kali Ma Chun menelan ludah kalau pandang matanya menyapu tubuh sumoi-nya
yang penuh gairah. Liauw It Ban ju-ga memandang dengan sinar mata penuh gairah, akan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
210 tetapi ia tersenyum-senyum dan memasang aksi setampan mungkin untuk menundukkan
hati sumoinya yang sudah menjadi janda itu. Namun, Tang Wi Siang duduk dengan tenang
dan sikap-nya dingin sekali, seperti sebongkah es membeku. Namun, di luar tahu lain orang,
diam-diam ia menyapukan pan-dang matanya yang tajam itu ke arah Liauw It Ban,
suhengnya yang tampan. Dahulu sebelum suaminya tewas, dia ti-dak mempedulikan
suhengnya yang tam-pan ini, bahkan sebelum ia menikah, ia tidak pernah melayani rayuan
suheng-nya. Akan tetapi sekarang, setelah seta-hun lamanya dia menjanda, setelah me-rasa
tersiksa hatinya karena kehilangan rayuan dan cinta kasih seorang pria yang pernah
dinikmatinya hanya beberapa ta-hun lamanya, diam-diam sering jantung-nya berdebar kalau
membayangkan su-hengnya yang tampan itu menggantikan mendiang suaminya!
Lima orang inilah, bersama Sang Ketua sendiri, yang menjadi tokoh-tokoh utama dari Thian-
liong-pang dan memang mereka berenam memiliki kepandaian yang tinggi, memiliki
keistimewaan masing--masing sehingga sukar untuk dikatakan siapa di antara mereka yang
paling lihai. Dan kini, sudah dapat dibayangkan bah-wa dalam pibu perebutan kedudukan
ke-tua, lima orang inilah yang akan berani maju untuk berpibu melawan Sang Ke-tua, karena
selain mereka, siapa lagi yang akan berani maju"
Tiba-tiba tetabuhan dipukul keras dan terdengar aba-aba dari komandan upacara, yaitu
seorang pemimpin rendahan yang memberi tahu akan munculnya Sang Ke-tua. Semua
anggauta Thian-liong-pang serentak bangkit memberi hormat, dan lima orang itulah yang
berdiri dengan tenang dan biasa menyambut munculnya Si Ketua yang ditunggu-tunggu
sejak tadi. Orang takkan merasa heran setelah melihat munculnya Ketua Thian-liong-pang
karena memang patutlah orang ini menjadi ketua. Tubuhnya tinggi besar se-perti raksasa
sehingga Ma Chun yang tinggi besar itu hanya setinggi pundaknya! Ketua Thian-liong-pang
ini tinggi-nya seimbang dengan besar tubuhnya. Langkahnya lebar dan berat seperti
lang-kah seekor gajah, lantai sampai terge-tar dibuatnya. Pakaiannya mentereng akan tetapi
ketat dan membayangkan tonjolan otot-otot yang besar. Kedua lengannya sampai ke jari
tangannya pe-nuh bulu hitam kasar, kepalanya yang besar juga berambut hitam kasar
seperti kawat-kawat baja. Alisnya tebal hampir persegi, matanya bulat dengan manik mata
hitam amat kecil sehingga kelihatannnya mata itu putih semua, hidungnya kecil akan tetapi
mulutnya besar seperti terobek kedua ujungnya. Jenggot dan ku-misnya dipotong pendek,
kaku seperti si-kat kawat! Kulitnya yang kelihatannya tebal seperti kulit badak itu berkerut-
-kerut, agak hitam mengingatkan orang akan kulit buaya yang tebal, keras, dan lebat! Inilah
dia Phang Kok Sek, Ketua Thian-liong-pang yang telah mewarisi Hwi-tok-ciang (Tangan
Racun Api) dari leluhur Thian-liong-pang, yaitu Lam-kek Sian-ong! Tahun yang lalu, dalam
pibu dia telah menewaskan ketua lama yang menjadi paman gurunya sendiri, mene-waskan
pula suami Tan Wi Siang dan beberapa orang lain lagi, bahkan melukai Ma Chun yang
menjadi sutenya.
Dengan gerakan kedua tangannya yang kaku Ketua ini mempersilakan sau-dara-saudara
seperguruannya untuk duduk kembali. Dia sendiri menduduki kur-si gading, dan semua anak
buah lalu du-duk pula, para pemimpin rendah duduk di bangku dan para anggauta duduk di
atas lantai yang terbuat dan batu perse-gi yang lebar, keras dan berwarna hitam. Seperti
biasa, mereka itu merupa-kan setengah lingkaran menghadap ke arah tempat para pimpinan
duduk, ya-itu di atas anak tangga dan di depan atau sebelah bawah anak tangga itu
me-rupakan ruangan yang sengaja dikosong-kan karena di situlah biasanya diadakan pibu
antara pimpinan untuk menentukan siapa yang berhak menjadi ketua baru karena memiliki
ilmu kepandaian tertinggi. Tempat pibu yang berbahaya karena lantai ubin batu itu amat
keras sehing-ga sekali terbanting, tulang bisa patah, apalagi kalau kepala yang terbanting
bisa pecah! Seperti sudah menjadi kebiasaan setiap diadakan pibu pemilihan ketua baru, Thian-liong-
pangcu yang bertubuh seper-ti raksasa memberi isyarat dengan kedua tangan ke atas,
menyuruh semua orang tidak mengeluarkan suara berisik. Sete-lah keadaan menjadi
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
211 hening, dia bangkit berdiri dan mengucapkan kata-kata yang sudah dikenal baik oleh semua
anggauta. "Saudara sekalian, hari ini kita berkumpul untuk mengadakan pemilihan ke-tua baru seperti
yang tiap kali diadakan sesuai dengan kehendak dewan pimpinan. Aku sendiri sebagai
ketua, kedua orang Suheng, dua orang Sute, dan Sumoiku sebagai anggauta dewan
pimpinan telah bersepakat untuk mengadakan pemilihan ketua baru pada hari ini sesuai
dengan kebiasaan dan peraturan perkumpulan kita. Seperti telah menjadi kebiasaan Thian-
liong-pang pula, aku sebagai ketua harus mempertahankan kedudukanku se-bagai ketua
dan dia yang dapat mengalahkan aku dan kemudian keluar sebagai orang terkuat, dialah
yang berhak men-jadi ketua baru tanpa ada tantangan da-ri siapapun juga dan memiliki hak
mutlak untuk menjadi Ketua Thian-liong-pang. Luka atau mati dalam pibu tidak boleh
mengakibatkan dendam dan kebencian di antara saudara seperkumpulan, karena pibu ini
diadakan bukan karena urusan pribadi, melainkan untuk pemilihan ke-tua dan demi
kepentingan dan nama besar Thian-liong-pang. Aku sudah selesai bicara dan di antara para
anggauta bia-sa dan pimpinan yang ingin memasuki pibu, harap berdiri dan menyatakan
pendapatnya." Setelah berkata demikian, Ketua yang bertubuh seperti raksasa itu duduk
kembali, kedua lengannya yang besar ditaruh di atas lengan kursi gading, tubuhnya
memenuhi kursi itu dan pandang matanya menyapu semua orang yang hadir penuh
tantangan. Namun diam-diam ia melirik ke arah dua orang suhengnya, yaitu Sai-cu Lo-mo
dan Lui-hong Sin-ciang Chie Kang. Ketua ini tidak gentar menghadapi dua orang su-tenya
dan seorang sumoinya karena merasa yakin bahwa dia akan dapat mengalahkan mereka.
Namun dia me-ngerti bahwa kalau dua orang suhengnya itu memasuki pibu, dia harus
berhati--hati karena akan bertemu lawan yang berat.
Sai-cu Lo-mo yang sudah berusia enam puluh tahun itu adalah seorang perantau dan sejak
dahulu tidak pernah memasuki pibu perebutan kursi ketua karena baginya, menjadi ketua
berarti harus selalu berada di Thian-liong-pang dan agaknya dia tidak mau mengorban-kan
kesukaannya merantau dengan men-jadi ketua. Adapun Lui-hong Sin-ciang Chie Kang
adalah seorang yang sama sekali tidak mempunyai ambisi, belum pernah mengikuti pibu
pemilihan ketua, lebih senang duduk termenung, atau ber-samadhi atau diam-diam melatih
ilmu silatnya, kalau tidak tentu dia tengge-lam dalam kitab-kitab kuno karena dia adalah
seorang kutu buku yang karena terlalu suka membaca tanpa mempedulikan waktu, sampai
kadang-kadang mata-nya basah dan merah, sedangkan kedua tangannya menggigil
buyuten! Betapapun juga, Phang Kok Sek maklum bahwa suhengnya yang ke dua ini
memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan dia masih belum berani memastikan apakah dia
akan menang melawan Ji-suhengnya ini.
Karena ada kekhawatiran ini, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia melihat twa-
suhengnya, Sai-cu Lo-mo sebagai orang pertama yang bangkit ber-diri dari kursi di ujung
sebelah kanan-nya. Juga para anggauta menjadi heran dan tegang karena maklum bahwa
kalau yang tua-tua ini sudah ikut pibu, tentu akan ramai sekali pertandingan antara saudara-
saudara seperguruan itu.
Sai-cu Lo-mo mengelus brewoknya yang putih sambil tersenyum sebelum bi-cara,
kemudian ia berkata, "Harap semua saudara jangan salah menduga. Aku le-bih suka
merantau di alam bebas daripa-da harus terikat di atas kursi gading sebagai ketua!
Sekarang pun aku masih belum mengubah kesenanganku dan aku tidak akan mengikuti
pibu pemilihan ketua, hanya ada sedikit hal yang perlu kuke-mukakan. Siapa pun yang akan
menjadi ketua baru, mulai sekarang harus dapat mengendalikan Thian-liong-pang dengan
baik, mencegah penyelewengan para ang-gauta yang hanya akan merusak nama besar
Thiang-liong-pang. Hentikan per-buatan-perbuatan maksiat yang rendah dan yang menyeret
Thian-liong-pang ke lembah kehinaan, karena kita bukanlah angauta-anggauta perkumpulan
rendah, bukan segerombolan penjahat-penjahat kecil yang mengandalkan nama
perkumpulan untuk melakukan perbuatan menji-jikkan seperti yang sering kudengar yaitu
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
212 berlaku sewenang-wenang, memperkosa wanita, dan sebagainya. Kalau perbuatan-
-perbuatan ini tidak dihentikan, kalau Ketua baru tidak mampu mengendalikan, hemmm....
aku tidak mengancam, akan tetapi terpaksa aku akan turun tangan menantangnya dan
mungkin akan timbul hasratku untuk menjadi ketua!" Setelah berkata demikian, kakek muka
singa itu duduk kembali dan melenggut seperti orang hendak tidur!
Keadaan menjadi sunyi, kemudian terdengar bisik-bisik di antara para ang-gauta yang
sebagian besar merasa ter-singgung dan tidak senang dengan ucap-an itu. Adapun Phang
Kok Sek, Sang Ketua, menjadi merah mukanya, terasa panas seperti baru saja menerima
tamparan. "Cocok sekali!" Tiba-tiba Lui-hong Sin-ciang Chie Kang berseru dan bangkit dari kursinya,
suaranya tinggi nyaring sungguh tidak sesuai dengan sikapnya yang tenang dan kelihatan
lemah. "Ja-ngan membikin malu nenek moyang kita yang gagah perkasa, Siangkoan Li Su-
couw yang pernah menjadi sahabat baik pendekar wanita sakti Mutiara Hitam!" Setelah
berkata demikian, Lui-hong Sin-ciang Chie Kang duduk kembali.
Biarpun ucapan kedua orang suhengnya itu merupakan tamparan dan teguran
ter-sembunyi, yang ditujukan kepadanya, na-mun hati Phang Kok Sek menjadi lega karena
jelas bahwa kedua orang suheng-nya itu tidak mau memasuki pibu mem-perebutkan kursi
ketua! Kini tinggal dua orang sutenya dan seorang sumoinya, karena selain mereka bertiga,
siapa lagi yang berani memasuki pibu" Dia meli-rik ke arah kedua orang sutenya dan
su-moinya. Hampir berbareng, Twa-to Sin-seng Ma Chun dan Cui-beng-kiam Liauw It Ban bangkit
berdiri memandang ketua mereka juga suheng mereka sambil ber-kata,
"Aku hendak memasuki pibu!" kata Ma Chun.
"Dan aku juga ingin mencoba-coba, memasuki pibu pemilihan ketua baru!" kata Liauw It
Ban. Setelah kedua orang itu duduk kembali, Tang Wi Siang bangkit berdiri. Jan-da muda yang
cantik jelita ini berkata tenang, "Aku ingin memasuki pibu, akan tetapi hendaknya Pangcu
dan sekalian Suheng dan saudara sekalian maklum bahwa aku merasa tidak cukup untuk
menjadi ketua...."
"Sumoi, aku bersedia membantumu mengatur pekerjaan ketua!" Tiba-tiba Liauw It Ban
berseru dan matanya memandang dengan sinar penuh arti. Kedua pipi wanita itu berubah


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merah, jantung-nya berdebar karena maklum apa yang tersembunyi di balik ucapan itu,
apalagi ketika ia melihat banyak mulut terse-nyum-senyum maklum, membuat dia merasa
lebih jengah lagi.
"Terima kasih, Liauw-suheng. Akan tetapi, aku tidak ingin menjadi ketua, juga jangan
disalah artikan bahwa aku memasuki pibu karena mendendam atas kematian mendiang
suamiku. Sama sekali tidak, aku memasuki pibu setelah sela-ma ini aku melatih diri
memperdalam ilmu silat dan semata-mata hanya untuk mempertebal keyakinan bahwa
orang yang menjadi ketua perkumpulan kita memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi
dariku sehingga boleh dipercaya dan di-andaikan utuk menjunjung nama dan ke-hormatan
Thian-liong-pang!"
Girang sekali hati Phang Kok Sek mendengar ini dan diam-diam ia mengambil keputusan
untuk memaafkan sumoinya yang cantik itu dan tidak membu-nuhnya. Akan tetapi kedua
orang sute-nya Ma Chun dan Liauw It Ban harus ia tewaskan dalam pibu itu karena kalau
sekali ini mereka gagal, pada lain ke-sempatan tentu mereka itu akan menco-ba lagi dan hal
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
213 ini merupakan bahaya terus-menerus bagi kedudukannya. Ia se-gera bangkit berdiri dan
berkata, "Terima kasih atas wejangan kedua Suheng dan tentu saya akan berusaha memperbaiki
keadaan perkumpulan kita. Seperti saudara sekalian telah mende-ngar, yang memasuki pibu
untuk kedu-dukan ketua baru hanyalah Ma-sute dan Liauw-sute, sedangkan Sumoi hanya
akan menguji kepandaian Ketua baru yang berhasil keluar sebagai pemenang dalam pibu
ini. Kurasa tidak ada orang lain la-gi yang akan memasuki pibu hari ini!"
"Ada!" Tiba-tiba terdengar suara yang bening merdu, suara wanita! "Akulah yang akan
memasuki pibu memperebut-kan kedudukan ketua Thian-liong-pang!"
Semua orang menengok dan memandang dengan penuh keheranan kepada seorang
wanita yang kepalanya berkerudung sutera putih dan tahu-tahu telah berdiri di dalam
ruangan itu. Bagaimana mungkin orang ini masuk" Semua pintu masih tertutup, dan tempat
itu dikelilingi tembok yang tinggi dan atasnva di-pasangi tombak-tombak runcing
mengandung racun!
"Engkau siapa?" Phang Kok Sek mem-bentak dengan suara menggeledek kare-na marah.
Terdengar suara ketawa kecil di ba-lik kerudung sutera itu dan dengan lang-kah tenang
wanita berkerudung itu me-masuki ruangan sampai di bagian tengah yang kosong, di bawah
anak tangga ke-mudian berkata,
"Pangcu, siapa aku bukanlah hal pen-ting. Akan tetapi kalau kalian semua ingin tahu juga,
akulah calon Ketua ba-ru dari Thian-liong-pang, calon Ketua kalian. Aku memasuki pibu
untuk mendapatkan kedudukkan Ketua Thian-liong--pang."
Phang Kok Sek bangkit berdiri dan menudingkan telunjuknya ke arah wanita berkerudung
itu. "Tidak mungkin! Eng-kau telah melakukan dua pelanggaran. Pertama, engkau sebagai
orang luar be-rani memasuki tempat ini tanpa ijin, ke-salahan ini saja sudah patut dihukum
dengan kematian. Ke dua, pibu keduduk-an Ketua Thian-liong-pang hanya dilaku-kan di
antara anggauta sendiri, tidak bo-leh dicampuri orang dari luar! Hayo, buka kedokmu dan
perkenalkan dirimu. Karena engkau seorang wanita, mungkin sekali kami dapat memberi
ampun." Kembali wanita itu tertawa, halus merdu dan penuh ejekan namun cukup membuat tulang
punggung yang mendengarnya terasa dingin. "Phang Kok Sek, biarpun engkau telah
menjadi Ketua Thian-liong-pang, ternyata engkau agaknya tidak tahu atau lupa akan
seja-rah Thian-liong-pang dan riwayat tokoh--tokoh besarnya di waktu dahulu. Dahulu,
pendekar besar Siongkoan Li telah diusir dari Thian-liong-pang, dan dianggap seba-gai
orang luar karena perbuatan-perbuat-annya yang menentang Thian-liong-pang dan karena
menjadi murid dari kedua Sian-ong Kutub Utara dan Selatan. Akan tetapi kemudian dia
kembali dan meram-pas Thian-liong-pang menjadi ketuanya! Bukankah itu berarti seorang
luar dapat menjadi Ketua Thian-liong-pang" Dan lu-pakah engkau kepada Gurumu sendiri,
Guru semua anggauta dewan pimpinan Thian-liong-pang ini" Siapakah Guru ka-lian"
Bukankah guru kalian mendiang Kim-sin-to Sai-kong adalah seorang per-tapa dari Kun-lun-
san yang sama sekali bukan anggauta Thian-liong-pang tadi-nya?"
Keenam pimpinan Thian-liong-pang terkejut sekali. Bagaimana orang ini dapat mengetahui
semua rahasia itu yang menjadi rahasia moyang para pimpinan Thian-liong-pang"
"Siapakah engkau?" Kembali Phang Kok Sek bertanya.
"Aku adalah calon Thian-liong-pang-cu," wanita berkerudung menjawab.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
214 Tiba-tiba Sai-cu Lo-mo berkata sete-lah menatap sepasang mata di balik ke-rudung itu
dengan tajam. "Toanio, siapa pun adanya engkau, caramu masuk dan sikapmu
menunjukkan bahwa engkau se-orang pemberani. Akan tetapi ketahuilah bahwa seorang
yang ingin menjadi Ketua Thian-liong-pang bukanlah melalui pibu, melainkan merupakan
perampas perkum-pulan yang harus lebih dahulu mengalahkan seluruh pimpinan...."
"Memang aku datang untuk mengalahkan kalian semua atau siapa saja yang menentangku
menjadi Ketua Thian-liong--pang!" Wanita itu menjawab seenaknya. "Nah, aku menyatakan
diriku sebagai Ketua Thian-liong-pang yang baru! Siapa yang akan menentang" Boleh
maju!" Para anggauta Thian-liong-pang memandang dengan hati tegang dan juga gembira karena
mereka merasa yakin bahwa munculnya wanita aneh ini akan mengakibatkan pertandingan
yang amat menarik. Tadinya mereka sudah merasa kecewa ketika mendengar ucapan Sai-
cu Lo-mo dan Lui-hong Sin-ciang Chie Kang karena maklum bahwa dua orang tua itu tidak
memasuki pibu sehingga pertan-dingan yang akan terjadi di antara Ketua dan dua orang
sutenya dan seorang su-moinya tidak akan menarik hati.
Sementara itu, melihat sikap wanita berkerudung, enam orang pimpinan Thian-liong-pang
menjadi marah dan diam-diam Phang Kok Sek memberi tan-da dengan matanya kepada
Cui-beng--kiam Liauw It Ban. Mereka berenam adalah orang-orang yang berkedudukan
tinggi pula, maka biarpun mereka ditan-tang, mereka merasa malu untuk maju mengeroyok.
Pula, Phang Kok Sek yang cerdik sengaja menyuruh sutenya maju, selain untuk
menyaksikan dan mengukur kepandaian wanita berkerudung juga an-daikata terjadi sesuatu
dengan diri Liauw It Ban hanya berarti bahwa dia kehilang-an seorang di antara saingan-
saingannya! Akan tetapi betapa kaget hatinya, dan juga para pimpinan lain ketika wanita itu mendahului
Liauw It Ban yang hendak bangun menghadapi Si Pedang Pengejar Roh itu sambil berkata,
"Nah, engkau sudah menerima perintah Suheng-mu untuk melawan aku. Majulah!"
Bukan main tajamnya pandang mata di balik kerudung sutera itu sehingga isyarat Sang
Ketua dengan matanya da-pat ia tangkap! Liauw It Ban meloncat bangun dan ketika tangan
kanannya ber-gerak, tampak sinar berkelebat, pedangnya telah berada di tangan kanan. Ia
tersenyum mengejek, melintangkan pe-dang depan dada dan menggunakan telun-juk kirinya
menuding ke arah muka berkerudung itu.
"Perempuan sombong! Agaknya engkau belum mengenal aku, maka engkau bera-ni
membuka mulut besar! Lebih selamat bagimu kalau engkau membuka kerudung-mu agar
dapat kulihat wajahmu. Kalau wajahmu sehebat tubuhmu, hemm.... agaknya aku masih
dapat mengampuni-mu asal engkau tahu bagaimana harus membalas budi, ha-ha!"
Betapa kagetnya ketika laki-laki ber-usia tiga puluh tahun yang tampan dan pesolek ini
mendengar suara dari balik kerudung, suara yang merdu namun me-ngandung ejekan,
"Cui-beng-kiam Liauw It Ban, siapa tidak mengenal orang rendah seperti engkau ini"
Engkau orang ke lima dari enam Pimpinan Thian-liong-pang, dan sudah cu-kup engkau
mengotorkan Thian-liong-pang dengan perbuatan-perbuatanmu yang kotor, memperkosa
wanita-wanita baik--baik, menyiksa orang. Engkau seorang penjahat cabul yang berhati keji
dan se-sungguhnya engkau tidak patut menjadi tokoh Thian-liong-pang. Kedatanganku
memang untuk menjadi Ketua Thian--liong-pang dan sekaligus membersihkan Thian-liong-
pang dari monyet-monyet ko-tor macam engkau!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
215 "Singggg....!" Tampak sinar kilat keti-ka pedang di tangan Liauw It Ban me-nyambar ke arah
leher wanita berkeru-dung. Namun, dengan gerakan mudah seka-li wanita itu mengelak,
bahkan terdengar tertawa mengejek. Tidak percuma Liauw It Ban mendapat julukan Cui-
beng-kiam (Pedang Pengejar Roh) karena begitu pe-dangnya luput, sudah membalik lagi
dengan serangan ke dua yang merupakan sebuah tusukan ke arah dada wanita
berkerudung itu.
Semua pimpinan Thian-liong-pang terbelalak kaget ketika menyaksikan gerak-an wanita
berkerudung itu. Wanita itu mengangkat tangan kirinya dan dua buah jari tangannya, telunjuk
dan ibu jari, menjepit ujung pedang yang menusuk-nya dengan mudah sekali dan.... betapa
pun Liauw It Ban menarik, pedangnya tidak dapat terlepas dari jepitan dua buah jari itu!
"Begini sajakah Pedang Pengejar Roh" Tentu roh tikus saja yang dapat dikejarnya. Hi-hik!"
Wanita berkerudung itu mengejek.
"Perempuan siluman!" Liauw It Ban membentak, tangan kanannya menyam-bar ke depan,
menghantam ke arah muka wanita yang tertutup kerudung su-tera itu.
"Plakk! Krekkk.... aduuuhhhh!" Liauw It Ban menjerit kesakitan ketika tangan kanan wanita
itu menyambut pukulannya dengen telapak tangan, terus menceng-keram sehingga tulang-
tulang jari tangan Liauw It Ban yang terkepal itu patah--patah dan remuk!
"Krak.... cepppp! Auggghhh...." Wanita itu tidak berhenti sampai di situ sa-ja, tangan kirinya
yang menjepit ujung pedang membuat gerakan, pedang patah ujungnya dan sekali
mengibaskan tangan kiri, ujung pedang itu meluncur dan am-blas memasuki dada Liauw It
Ban sam-pai tembus ke punggung. Liauw It Ban melepaskan pedang mendekap dadanya
dan roboh terjengkang, tewas di saat itu juga. Wanita berkerudung menendang dan mayat
itu melayang ke atas anak tangga, ke arah Ketua Thian-liong-pang!
Phang Kok Sek menyambut mayat itu, memeriksa sebentar dan mukanya menjadi merah
saking marahnya. Kalau saja Liauw It Ban tewas dalam sebuah pertandingan yang dapat
membuka rahasia gerakan wanita itu dan yang kiranya dapat ia tandingi tentu ia akan
merasa girang kehilangan seorang saingan. Akan tetapi kematian sutenya itu demikian
aneh, hanya dalam dua gebrakan saja sehingga dia sama sekali tidak dapat mengukur
sampai di mana tingginya ke-pandaian wanita itu, dan hal ini merupa-kan penghinaan bagi
Thian-liong-pang yang ditakuti oleh semua tokoh kang-ouw. Biarpun dia belum dapat
mengukur dan mengenal ilmu wanita berkerudung, na-mun ia tahu bahwa wanita itu amat
sakti, kalau tidak tak mungkin sutenya yang ilmu kepandaiannya tidak kalah jauh olehnya itu
dapat tewas semudah itu. Maka ia cepat memberi isyarat dan berseru.
"Serbu....!"
Dua ratus orang anak buah Thian-liong-pang dipimpin oleh komandan ma-sing-masing,
serentak bangkit. Tiba-tiba terdengar suara lengking panjang yang menulikan telinga, disusul
oleh berkele-batnya bayangan yang berputar ke arah mereka yang mengurungnya dan....
semua orang terbelalak memandang dua belas orang yang roboh di atas lantai tanpa nyawa
lagi! Kiranya wanita itu sudah bergerak cepat dan merobohkan setiap orang yang berada
paling depan dari para pengurung, entah bagaimana cara-nya karena dua belas orang yang
roboh dan tewas itu tidak terluka sama sekali.
"Para anggauta Thian-liong-pang, dengarlah! Aku datang bukan untuk membunuh kalian,
melainkan untuk memimpin kalian. Kalau aku datang akan membasmi, betapa mudahnya!
Aku akan menjadikan Thian-liong-pang sebuah per-kumpulan terbesar dan terkuat di
selu-ruh dunia, sekuat Pulau Es dengan peng-huni-penghuninya!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
216 Mendengar ini, terutama melihat cara wanita itu merobohkan dua belas orang teman
mereka, para anggauta itu serentak mundur dan menjadi ragu-ragu. Hal ini menimbulkan
kemarahan besar di hati para pimpinan.
"Perempuan rendah, berani engkau membunuh Suteku?" Twa-to Sin-seng Ma Chun
berteriak dan tangan kirinya bergerak.
"Cuit-cuit-cuit.... cap-cap-cappp!" Tiga batang senjata rahasia berbentuk bintang
menyambar ke arah tubuh wanita berke-rudung, namun semua dapat ditangkap oleh wanita
itu dengan jepitan jari-jari tangannya. Wanita itu terkekeh, mengum-pulkan tiga buah senjata
rahasia itu di tangan kirinya, mengepal dan terdengar suara keras. Ketika ia membuka
tangan-nya, tiga buah senjata rahasia bintang yang terbuat dari baja dan diberi racun itu
telah hancur berkeping-keping dan dibuang ke atas lantai!
Twa-to Sin-seng Ma Chun marah se-kali, mencabut golok besarnya dan me-nerjang maju.
Tang Wi Siang yang meli-hat Liauw It Ban, suheng yang mengge-rakkan gairahnya itu
terbunuh, menjadi marah dan ia pun sudah mencabut pe-dang dan membantu Ma Chun
mengero-yok wanita itu.
Sinar golok dan pedang menyambar-nyambar seperti kilat, mengurung tubuh wanita
berkerudung, akan tetapi anehnya, tak pernah kedua senjata ini menyentuh ujung baju Si
Wanita yang bergerak de-ngan mudah dan ringan seolah-olah tubuhnya berubah menjadi
uap. Dikeroyok oleh dua orang yang lihai itu wanita ini malah terkekeh-kekeh dan masih
dapat berkata-kata sambil mengelak ke sana ke mari.
"Twa-to Sin-ceng Ma Chun, engkau pun bukan manusia baik-baik. Engkau mata keranjang,
sombong, kasar dan mengan-dalkan kepandaian yang tidak seberapa...."
"Perempuan rendah! Kalau aku dapat menangkapmu, aku bersumpah akan
me-nelanjangimu dan memperkosamu di depan mata seluruh anggauta Thian--liong-pang....
aughhh....!" Tubuh yang tinggi besar itu terlempar, goloknya terpental dan ketika semua
orang meman-dang, tampak tanda tiga buah jari mem-biru di dahi Ma Chun yang sudah
tewas itu! "Engkau.... manusia kejam....!" Tang Wi Siang menjerit dan pedangnya mener-jang dengan
hebatnya. Tingkat kepandai-an Tang Wi Siang kalau dibandingkan tingkat Ma Chun dan
Liauw It Ban, da-pat dikatakan sama, akan tetapi setelah ia mempelajari ilmu pedang dari
suami-nya yang telah tiada, ia dapat memperhebat ilmu pedangnya dengan gerakan dasar
dari Bu-tong-pai. Maka sekali ini dalam keadaan marah, pedangnya mengeluarkan bunyi
berdesing-desing dan menyerang wanita berkerudung itu secara bertubi-tubi.
"Tang Wi Siang, bagus sekali engkau telah mempelajari ilmu dasar dari Bu--tong-pai. Aku
tidak akan membunuhmu karena aku memilih engkau menjadi wa-kilku dalam memimpin
Thian-liong-pang!"
"Tutup mulutmu! Aku baru mengakui orang kalau sudah dapat mengalahkan aku!"
"Wanita bodoh, tak tahukah engkau, betapa mudahnya itu" Kau tadi menga-takan bahwa
engkau akan menguji kepan-daian setiap Ketua Thian-liong-pang-, nah, sekarang boleh
menguji aku yang akan menjadi junjunganmu dan juga gurumu. Lihat baik-baik, dalam tiga
ju-rus aku akan mengalahkanmu!"
Biarpun pada saat itu juga dia sudah yakin betapa saktinya wanita berkerudung itu, namun
di dalam hatinya Tang Wi Siang menjadi penasaran. Wanita aneh itu te-lah mengenal baik-
baik keadaan Thian--liong-pang, mengenal riwayat perkumpulan ini, bahkan mengenal
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
217 semua nama dan julukan para pimpinan Thian-liong--pang berikut watak mereka. Dan kini
menantangnya akan mengalahkan dalam tiga jurus! Apakah dia dianggap seorang anak
kecil yang tidak mempunyai kepan-daian apa-apa" Rasa penasaran membu-at dia marah
dan merasa dianggap ren-dah dan hina, maka ia berteriak keras,
"Manusia yang bersembunyi di bela-kang kerudung seperti siluman! Kalau kau dapat
mengalahkan aku dalam tiga jurus, aku tidak patut menjadi wakilmu, lebih patut mampus
atau menjadi pela-yanmu!"
"Bagus! Engkau sendiri yang memilih menjadi pelayan!" Wanita aneh itu tidak menjawab
akan tetapi pada saat itu Tang Wi Siang sudah menerjang dengan pedangnya,
menggunakan jurus Hui-po-liu-hong (Air Terjun Terbang Bianglala Melengkung). Jurus ini
adalah jurus ilmu pedang Bu-tong-pai yang amat indah dan berbahaya, menjadi aneh dan
lebih berbahaya lagi karena gerakannya telah dicampur dengan gerakan ilmu aseli dari
Thian-liong-pang, yaitu ketika pedang menyambar membacok ke arah muka la-wan
dilanjutkan dengan gerakan memba-bat leher dari kanan ke kiri dengan gerakan
melengkung, tangan kiri Tang Wi Siang menyusul dengan pukulan sakti yang disebut Touw-
sim-ciang (Pukulan Menembus Jantung), semacam pukulan yang digerakkan dengan tenaga
sin-kang dan dapat menggetarkan isi dada meng-hancurkan jantung dan paru-paru!
"Siuuuttt.... wirr-wirrr-wirrrr....!" Wi Siang hanya melihat berkelebatnya ba-yangan wanita
berkerudung itu ke kanan, kiri dan serangannya luput! Dengan kaget dan penasaran ia
melanjutkan serangan-nya secara beruntun, yaitu dengan jurus Sian-li-touw-so (Sang Dewi
Menenun) dan terakhir dengan jurus Sian-li-sia-kwi (Sang Dewi Memanah Setan). Mula-mula
pedangnya berubah menjadi gulungan sinar yang melingkar-lingkar mengurung tubuh wanita
berkerudung dan menye-rangnya dari arah yang mengelilingi la-wan itu. Wi Siang maklum
bahwa lawan-nya memiliki gin-kang yang luar biasa, dapat bergerak cepat seperti terbang,
maka ia berusaha mengurungnya dengan sinar pedang. Seperti yang telah diduga-nya,
wanita itu tiba-tiba mencelat ke atas untuk menghindarkan diri dari ling-karan sinar pedang.
Saat ini sudah dinanti-nanti oleh Wi Siang maka ia lalu menyerang dengan jurus ke tiga,
jurus ter-akhir jurus Sian-li-sia-kwi ini hebat seka-li, dilakukan dengan melontarkan pedang
ke arah bayangan lawan yang mencelat ke atas, Wi Siang amat cerdik. Dia diba-tasi hanya
sampai tiga jurus. Kalau da-lam tiga jurus wanita berkerudung itu tidak mampu
mengalahkannya, berarti dia dianggap menang! Inilah yang menye-babkan dia mengambil
keputusan untuk menggunakan jurus Sian-li-sia-kwi dalam jurus terakhir karena selagi
mencelat di udara dan diserang oleh pedangnya yang meluncur seperti anak panah,
bagaimana wanita itu dapat merobohkannya"
Betapa kaget, heran dan juga girang-nya ketika ia melihat lawannya itu, agaknya
berkeinginan keras untuk mengalahkannya dalam jurus ini malah melun-cur turun dan
menyambut pedang yang menyambar itu! Makin girang lagi hati Wi Siang melihat pedangnya
tepat me-ngenai dada Si Wanita berkerudung sehingga ia tertawa girang penuh
kemenangan. Tiba-tiba suara ketawanya terhenti dan tubuhnya terguling ke atas lantai tanpa dapat
bangun lagi karena seluruh kaki tangannya lemas setelah jalan darah di pundak terkena
totokan wanita itu! Ketika pedangnya tadi mengenai dada Si Wanita berkerudung, terdengar
bunyi keras dan pedangnya telah patah, kemu-dian sebelum ia dapat memulihkan
keka-getan hatinya, tahu-tahu tangan wanita berkerudung telah menotok pundaknya dengan
tubuh masih meluncur dari atas. Tang Wi Siang bukanlah seorang bodoh. Kini dia merasa
yakin bahwa wanita berkerudung itu benar-benar memi-liki kesaktian yang luar biasa,
bahkan ia dapat menduga bahwa biarpun seluruh anggauta dan pimpinan Thian-liong-pang
maju mengeroyok sekali pun, mereka ti-dak akan dapat mengalahkan wanita ini.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

218 "Bangkitlah, Wi Siang!" Wanita berkerudung yang sudah mengenalnya itu menggerakkan
tangan dan tiba-tiba Wi Siang merasa tenaganya sudah pulih kembali. Dia tidak meloncat
bangun, me-lainkan bangkit berlutut di depan wani-ta itu sambil berkata.
"Saya menyatakan takluk dan siap memenuhi semua perintah Pangcu!"
Tiba-tiba terdengar suara bercuitan keras dibarengi menyambarnya benda--benda yang
mengeluarkan sinar ke arah Si Wanita berkerudung. Itulah senjata rahasia yang dilepas oleh
kedua tangan Phang Kok Sek, Ketua Thian-liong-pang yang sudah tak dapat mengendalikan
kemarahannya lagi. Sekaligus dia telah menyerang dengan senjata rahasia ber-bentuk
bintang, senjata rahasia yang khas dari Thian-liong-Pang dan tentu sa-ja dalam
mempergunakan senjata rahasia bintang ini, Phang Kok Sek merupakan seorang ahli yang
pandai. Tujuh belas buah senjata rahasia terbang me-nyambar seperti berlumba menuju ke
sasaran masing-masing yaitu tujuh belas jalan darah terpenting di bagian tubuh depan dari
Si Wanita berkerudung.
Namun wanita berkerudung itu me-miliki kecepatan yang amat hebat. Betapapun cepat
datangnya senjata-senjata rahasia yang menyerangnya, gerakannya mengelak lebih cepat
lagi. Hanya tam-pak tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu ia telah lenyap. Ketika orang
memandang ke atas, tubuhnya telah menempel di langit-langit ruangan itu seperti kelela-war
besar bergantungan pada pohon.
Phang Kok Sek yang selain marah sekali juga maklum bahwa kalau tidak dapat segera
melenyapkan wanita berke-rudung ini kedudukannya terancam, sudah meloncat ke atas dan
mengirim pukulan dahsyat dengan kedua tangan terbuka, didorongkan ke arah tubuh lawan
yang masih menempel di langit-langit.
"Braakkk!"
Hebat bukan main pukulan itu, pukulan Hwi-tok-ciang selain amat dahsyat juga
mengandung hawa panas membakar dan berbisa pula. Langit-langit ruangan itu jebol
dilanda hawa pukulan dahsyat ini. Akan tetapi, bagaikan seekor ca-pung ringannya, tubuh
wanita berkeru-dung sudah mengelak dan melayang tu-run. Ketika tubuhnya lewat dekat
tubuh Phang Kok Sek, wanita itu mengirim se-buah tendangan ke arah dada Phang Kok
Sek. Tingkat kepandaian Pang Kok Sek jauh lebih tinggi daripada tingkat kepan-daian dua orang
sutenya yang tewas dan seorang sumoinya yang telah dikalahkan lawan. Tendangan itu
cepat dan tidak terduga-duga, dilepas selagi tubuh mere-ka berada di tengah udara, akan
tetapi dengan jalan melempar tubuh ke bela-kang dan berjungkir balik, Phang Kok Sek
berhasil menyelamatkan nyawanya dan hanya ujung bajunya saja yang ro-bek kena
diserempet ujung kaki lawan. Hal ini membuktikan betapa lihai wani-ta itu dan Phang Kok
Sek sudah melon-cat ke bawah dengan muka berubah.
"Ji-wi Suheng! Siluman ini telah membunuh Ma-sute dan Liauw-sute, dan beberapa orang
anak buah, apakah kali-an masih tinggal diam saja?" Sambil menegur kedua orang
suhengnya, Phang Kok Sek sudah menyambar senjatanya yang hebat, yaitu sebatang
tombak cagak bergagang baja yang besar dan berat dari sudut belakang tempat duduknya.
Karena wanita berkerudung itu adalah orang luar dan yang terang-terangan hendak
merampas Thian-liong-pang, se-menjak tadi memang Sai-cu Lo-mo dan Lui-hong Sin-ciang
Chie Kang mengang-gapnya sebagai musuh. Akan tetapi, mengingat akan kedudukan dan
tingkat mereka yang sudah tinggi di dunia kang--ouw, mereka masih merasa ragu-ragu dan
malu untuk mengeroyok seorang wa-nita. Kini menyaksikan kelihaian wanita itu yang benar-
benar amat luar biasa dan mendengar teguran Sang Ketua, kedua orang kakek ini sudah
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
219 bangkit dan meloncat ke depan. Mereka tidak meme-gang senjata dan memang kedua
orang kakek ini lebih mengandalkan kepada ka-ki tangannya daripada senjata. Biarpun
bertangan kosong, namun kepandaian mereka hebat dan kaki tangan mereka ini jauh lebih
berbahaya daripada segala macam senjata yang tajam runcing.
Sai-cu Lo-mo yang tertua di antara mereka bertiga dan juga sudah berpengalaman dan
memiliki tingkat yang paling tinggi, kini berhadapan dengan wanita berkerudung,
memandang tajam seperti hendak menembus kerudung itu dengan pandang matanya, lalu
berkata, "Nona, engkau masih begini muda te-lah memiliki kepandaian yang hebat dan sikap yang
aneh sekali. Bukalah keru-dungmu, perkenalkan dirimu dan jelas-kan apa sebabnya engkau
mengacau di Thian-liong-pang dan membunuh orang--orang yang sama sekali tidak ada
permusuhan denganmu?"
Sepasang mata di belakang dua lubang di kerudung itu bersinar-sinar dan biar-pun
mulutnya tidak tampak, jelas dapat diduga bahwa wanita itu tersenyum. Ma-ta itu
memandang kepada Sai-cu Lo-mo dan Chie Kang bergantian, kemudian ber-kata,
"Sai-cu Lo-mo, dan Lui-hong Sin--ciang Chie Kang, aku mengenal siapa kalian berdua dan
tadi aku sudah mendengar kalian mengeluarkan isi hati kalian! Hanya kalian berdualah yang
patut men-jadi Ketua dan Pimpinan Thian-liong--pang, akan tetapi mengapa kalian tidak
pernah mau menjadi Ketua" Aku tahu, karena kalian merasa enggan menjadi Ketua dari
perkumpulan yang makin ru-sak oleh sepak terjang anak buahnya! Thian-liong-pang makin
bobrok dan kali-an tidak mau nama kalian kelak terse-ret ke dalam lumpur kehinaan karena
menjadi Ketuanya! Betapa pengecut! Be-tapapun juga, aku suka kalian memban-tuku kelak,
maka aku tidak akan mem-bunuh kalian berdua. Tak perlu aku memperkenalkan diri, cukup
kalau kalian ketahui bahwa akulah Ketua kalian yang baru, karena aku hendak memimpin
Thian-liong-pang menjadi sebuah perkum-pulan yang besar dan kuat, lebih besar dan lebih
kuat daripada para penghu-ni Pulau Es. Adapun Phang Kok Sek Si Raksasa tolol yang tidak
segan-segan mengorbankan saudara-saudaranya untuk memperebutkan kursi ketua ini, dia
tidak berguna dan akan kulenyapkan...."
"Siluman betina!" Phang Kok Sek su-dah menerjang maju, menusukkan tombak cagaknya
yang panjang, besar dan berat ke arah perut wanita berkerudung itu.
"Takkk!" Wanita itu tidak mengelak, tidak berkisar dari tempat dia berdiri hanya mengangkat
kaki kirinya dan ujung kakinya itu menendang ke arah tombak, tepat mengenai belakang
mata tombak sehingga tusukan itu menyeleweng dan Phang Kok Seng merasa tangannya
bergetar hebat.
Sai-cu Lo-mo dan Lui-hong Sin-ciang Chie Kang yang menjadi merah muka-nya mendengar
ucapan wanita berkerudung itu sudah menerjang maju pula. Mereka merasa berkewajiban
untuk me-nentang wanita ini, bukan sekali-kali un-tuk membantu demi keselamatan pribadi
Phang Kok Sek, namun demi menjaga nama Thian-liong-pang dan sebagai to-koh-tokoh
Thian-liong-pang melihat orang luar mengacau perkumpulan itu.
"Wussss.... ciattt!" Lui-hong Sin-ciang Chie Kang yang kepalanya gundul dan kelihatan
lemah sekali seperti seorang sasterawan yang menjadi botak karena terlalu banyak berpikir
dan menjadi bu-yuten tangannya karena terlalu banyak menulis, begitu menyerang telah
memperlihatkan kedahsyatannya. Kedua tangannya bergerak dengan mantep dan
mengandung tenaga yang dahsyat sekali sehingga serangannya itu membuat kedua
tangannya seolah-olah berubah menjadi baja tajam yang membelah udara menge-luarkan
suara mengerikan. Melihat keli-haian kakek gundul ini, diam-diam wani-ta berkerudung
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
220 menjadi kagum karena ia maklum bahwa orang ini kalau menja-di pembantunya akan
merupakan seorang pembantu yang boleh diandalkan!
Biarpun keadaan wanita berkerudung ini merupakan rahasia bagi semua orang Thian-liong-
pang, namun kita tahu bah-wa dia itu bukan lain adalah Nirahai. Nirahai, puteri Kaisar ini
memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, apalagi setelah digembleng oleh mendiang
Nenek Maya (baca ceritaPendekar Super Sak-ti), tingkat kepandaiannya sudah hebat
sekali. Tentu saja serangan Chie Kang itu baginya bukan apa-apa dan dengan mudah ia
dapat mengelak ke kiri di mana dia tahu Sai-cu Lo-mo sudah siap dengan serangannya yang
ia duga tentu tidak kalah hebatnya dengan Si Kakek gundul.
"Wirrr-wirrr-wirrr.... plak-plak-plak!"
Nirahai makin girang hatinya. Tiga serangan berantai yang diluncurkan Sai--cu Lo-mo
dengan ujung lengan bajunya itu hebat bukan main. Ujung lengan bajunya itu mengandung
tenaga yang lebih kuat daripada kedua tangan Chie Kang dan dia maklum bahwa ujung
lengan baju itu cukup dahsyat untuk menghancurkan batu karang ydng keras! Akan tetapi,
Sai-cu Lo-mo lebih kaget lagi karena tiga kali ujung lengan bajunya ditangkis oleh ujung jari-
jari tangan wanita itu dengan kibasan yang membuat dia mera-sa seluruh lengannya
tergetar. Tahulah dia bahwa dia telah bertemu dengan la-wan yang jauh lebih kuat daripada
dia dan para sutenya!
"Syuuutt.... serrr-serrr-serrr!" Tombak panjang menyambar dari belakang, menu-suk
lambung Nirahai disusul meluncurnya tiga buah senjata rahasia bintang. Cara Phan Kok Sek
menyerang ini saja sudah membuktikan akan kelicikan wataknya, menggunakan
kesempatan selagi Nirahai menghadapi dua orang suhengnya yang lihai, menyerang dari
be-lakang, bukan hanya dengan tombaknya yang dahsyat, juga dengan pelepasan am-gi
(senjata rahasia).
Nirahai menjadi marah. Kedua tangannya bergerak cepat dan tahu-tahu tiga buah senjata
rahasia itu telah ia tangkap dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya menyambar dan
berha-sil menangkap leher tombak ketika ia miring ke kiri dan tombak itu meluncur dekat
lambungnya. Tangan kirinya diayun dan tiga buah senjata rahasia itu me-nyambar ke arah
pemiliknya! Sebagai seorang ahli melepas senjata rahasia Sin-seng-ci tentu saja Phang Kok Sek dapat
menghindarkan diri dan cepat meloncat ke atas dengan kedua kaki di atas dan kepala di
bawah, kedua tangan masih memegangi gagang tombaknya. Gerakannya ini cepat dan
indah sekali sehingga tiga batang Sin-seng-ci menyambar lewat di bawah tubuhnya. Akan
tetapi dia tidak tahu akan kelihaian lawan. Begitu tubuhnya meloncat, Nirahai mengerahkan
tenaga pada tangan kanannya yang memegang gagang tombak itu ke atas. Phang Kok Sek
terkejut dan berusaha menahan dengan kedua tangan, namun dia kalah kuat dan terdengar
te-riakan mengerikan ketika gagang tom-bak itu menerobos dan menusuk perut Phang Kok
Sek sampai tembus ke punggungnya. Sekali menggerakkan tangan, Nirahai melemparkan
tombak bersama tubuh Ketua Thian-liong-pang yang tak bernyawa lagi itu ke samping dan
oto-matis kedua tangannya sudah menangkis dua serangan dari kanan kiri yang dilakukan
Sai-cu Lo-mo dan Chie Kang.
Dalam melakukan tangkisan ini, Nira-hai sudah mengerahkan tenaga pada te-lapak
tangannya, maka begitu telapak tangannya bertemu dengan tangan kedua lawan, dua orang
itu berseru kaget kare-na tangan mereka melekat pada telapak tangan yang berkulit halus
itu, tak da-pat ditarik kembali. Mereka maklum bahwa wanita berkerudung ini sengaja
menantang mereka mengadu sin-kang maka kedua kakek itu dengan kedua kaki terpentang
lebar cepat mengerahkan sin-kang melalui tangan mereka untuk merobohkan lawan.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
221 Terjadilah adu tenaga sin-kang yang hebat. Kedua kakek itu berdiri dengan kaki terpentang
tubuh agak membungkuk, sedangkan Nirahai yang berdiri di tengah, kedua tangannya
terkembang ke kanan kiri menahan tangan kedua lawan, kaki-nya terpentang sedikit dan
tubuhnya te-gak. Semua orang menonton dengan ha-ti tegang, mengira bahwa wanita
berke-rudung itu tentu akan terhimpit di te-ngah-tengah oleh dua kekuatan raksasa yang
amat dahsyat! Namun, Nirahai yang memiliki tingkatan lebih tinggi, bersikap tenang-tenang saja, dari
kedua tangan lawan di kanan ki-rinya, menerobos tenaga sin-kang yang kuat sekali melalui
kedua lengannya yang terkembang. Wanita cerdik ini tidak me-lawan sehingga kedua
lawannya terkejut dan heran, tiba-tiba mereka tersentak kaget ketika ada tenaga amat kuat
menahan dorongan sin-kang mereka, Seje-nak kedua orang itu mengerahkan semangat dan
tenaga dalam dan ketika mereka melihat betapa wanita itu keli-hatannya enak-enak saja
tanpa mengerahkan tenaga, barulah mereka sadar bahwa mereka kena diakali! Kiranya
la-wan mereka itu sengaja mempertemukan kedua tenaga sakti dari kanan kiri sehingga Sai-
cu Lo-mo dan Chie Kang ber-tanding sendiri, saling dorong dengan tenaga sin-kang melalui
tubuh Si Wanita berkerudung yang seolah-olah hanya me-nyediakan dirinya menjadi arena
pertan-dingan sambil menonton seenaknya!
Mereka sadar dan cepat hendak me-narik tenaga sakti mereka, namun ter-lambat karena
pada saat itu, Nirahai su-dah menggunakan tenaganya sendiri, menggunakan kesempatan
selagi kedua orang saling dorong sehingga tenaga sin--kang mereka terpusat kemudian
mereka menarik kembali tenaga ketika sadar bahwa sesungguhnya mereka itu saling
gempur antara saudara sendiri. Ketika kedua orang kakek itu menarik kembali tenaga sin-
kang, saat itulah Nirahai me-nyerang mereka dengan tenaga sakti yang amat dahsyat.
"Cukup, rebahlah!"
Sai-cu Lo-mo dan Lui-hong Sin-ciang Chie Kang tak dapat mempertahankan diri lagi, begitu
Nirahai menarik kedua lengannya mereka roboh dan biarpun mereka sudah berusaha
sekuatnya untuk tidak terguling, tetap saja mereka jatuh berlutut dan cepat memejamkan
mata sambil mengatur pernapasan. Tenaga sin-kang mereka sendiri yang tadi mere-ka tarik
telah menghantam dada mereka karena didorong oleh tenaga wanita ber-kerudung itu,
membuat dada terasa sakit dan pernapasan menjadi sesak. Yang membuat mereka heran
dan bingung ada-lah keadaan lengan kanan mereka yang menjadi lumpuh seolah-olah
tulang pun-dak lengan dalam keadaan terkunci, sa-ma sekali tidak dapat digerakkan!
"Wi Siang, bantulah kedua orang Su-hengmu itu. Kautotok jalan darah Hong-hu-hiat di
pundak kanan mereka masing--masing dua kali." Nirahai berkata kepada Tang Wi Siang
yang berdiri menon-ton pertandingan tadi penuh kagum. Ia mengangguk, menghampiri
kedua orang suhengnya dan tanpa ragu-ragu menotok belakang pundak kanan mereka dua
kali seperti yang diperintahkan wanita berke-rudung itu.
Begitu terkena totokan dua kali, ja-lan darah mereka normal kembali dan lengan kanan
dapat digerakkan. Kini, kedua orang kakek itu benar-benar tun-duk dan merasa yakin bahwa
wanita ber-kerudung itu benar-benar memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa. Timbul
rasa kagum dan suka di hati mereka untuk mengangkatnya menjadi ketua, ka-rena dengan
ketua sehebat ini, Thian--liong-pang pasti akan menjadi sebuah per-kumpulan yang kuat dan
terpandang. Maka mereka lalu berlutut di depan Nirahai sambil berkata,
"Pangcu!"
Terdengar sorak sorai dari para ang-gauta yang kini sudah pula berlutut menghadap Si
Wanita berkerudung yang tersenyum di balik kerudungnya, Nirahai mengangkat, kedua
lengan ke atas dan suara sorakan itu terhenti. Keadaan menjadi sunyi dan semua orang
mendengarkan ucapan dari balik kerudung, ucapan yang halus merdu namun berwi-bawa,
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
222 "Mulai saat ini Thian-liong-pang di ba-wah pimpinanku harus menjadi sebuah perkumpulan
yang kuat, dihormati dan disegani di seluruh dunia kang-ouw. Un-tuk dapat menjadi kuat,
kalian semua harus menggembleng diri dan memper-tinggi tingkat ilmu silat yang akan
kuajarkan kepada kalian semua, sesuai dengan tingkat masing-masing. Untuk men-jadi
perkumpulan yang disegani, Thian--liong-pang harus menunjukkan kegagahan dan
kekuatannya menundukkan semua pi-hak yang menentang kita, dan untuk dapat dihormat,
Thian-liong-pang harus bersih daripada segala perbuatan yang jahat. Tidak boleh ada
penyelewengan lagi, tidak boleh ada perampokan, penin-dasan dan lain perbuatan jahat lagi.
Semua perbuatan yang dilakukan oleh anggauta, harus sesuai dengan peraturan--peraturan
yang akan kuadakan. Setiap pelanggar akan menerima hukuman berat!"
Mendengar perintah pertama yang ke-luar dari mulut wanita berkerudung itu, diam-diam
Sai-cu Lo-mo dan Lui-hong Sin-ciang Chie Kang menjadi girang se-kali. Sai-cu Lo-mo
demikian kagum dan gembiranya sehingga ia mengangkat tangan kanan ke atas sambil
berteriak, "Hidup Pangcu kita!"
Semua anggauta juga tertegun mende-ngar perintah tadi, tentu saja yang bi-asanya
mengumbar nafsu, diam-diam menjadi gentar dan khawatir kalau-kalau dia akan mangalami
nasib sial dan dihu-kum seperti para pimpinan mereka yang kini masih menggeletak di situ
menjadi mayat. Maka, mendengar seruan Sai-cu Lo-mo, serentak semua anggauta
berte-riak, "Hidup pangcu....!" Bahkan mereka yang tadinya suka mengandalkan nama besar
Thian-liong-pang untuk melakukan penindasan dan perbuatan-perbuatan jahat, berteriak
paling keras! "Sekarang singkirkan dan urus jenazah mereka ini baik-baik, kuburkan seba-gaimana
mestinya. Sai-cu Lo-mo, Lui--hong Sin-ciang Chie Kang, kalian berdua kuangkat menjadi
pembantu-pembantuku, sedangkan Tang Wi Siang, sesuai dengan kehendaknya sendiri
menjadi pelayanku yang paling kupercaya. Mari kita masuk dan merundingkan segala
urusan mengenai Thian-liong-pang. Aku ingin mende-ngar, hal apa saja yang dihadapi
Thian--liong-pang saat ini."
Nirahai diiringkan oleh tiga orang pembantunya memasuki gedung menuju ke ruangan
dalam. Tak seorang pun pela-yan diijinkan masuk ketika empat orang ini mengadakan
perundingan, sedangkan para anak buah Thian-liong-pang sibuk mengurus mayat-mayat
yang bergelim-pangan di ruangan tadi. Mereka, juga pa-ra pelayan, saling berbisik
membicara-kan Ketua partai yang penuh rahasia itu.Nirahai dengan tenang mendengarkan
pelaporan tiga orang pembantunya me-ngenai keadaan Thian-liong-pang. Segala macam
urusan mengenai perkumpulan ini diceritakan oleh Sai-cu Lo-mo dan Lui--hong Sin-ciang
Chie Kang, sedangkan Tang Wi Siang yang duduk di dekat Ni-rahai hanya mendengarkan
dan bersikap sebagai seorang pelayan.
"Tiga buah perkumpulan yang menen-tang kita, mudah dibereskan. Aku akan mendatangi
mereka dan menundukkan mereka. Hal-hal lain dijalankan seperti biasa, akan tetapi harus
disesuaikan dengan peraturan-peraturan yang akan kuadakan. Hanya satu hal yang
menghe-rankan hatiku. Kau tadi menceritakan tentang usaha Thian-liong-pang yang ga-gal
dalam memperebutkan seorang anak bernama Gak Bun Beng. Benarkah utus-an kita itu
dikalahkan oleh Pendekar Siluman dan anak itu akhirnya dibawa oleh Siauw Lam Hwesio
tokoh Siauw-lim-pai?"
"Benar, Pangcu," jawab Sai-cu Lo-mo. Nirahai mengerutkan keningnya. "Anak ini.... Gak
Bun Beng, ada hubungan apakah dengan Thian-liong-pang sehingga perkumpulan kita
harus berusaha merebutnya?"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
223 Sai-cu Lo-mo menarik napas panjang dan mengelus jenggotnya yang seperti jenggot singa
itu. "Maaf, Pangcu. Se-sungguhnya, dengan perkumpulan kita tidak ada hubungan apa-apa
dan mendiang Ketua kami hanya memenuhi permintaan saya, karena sesungguhnya
sayalah yang mempunyai hubungan dengan anak itu. Anak itu masih cucu keponakan saya
sendiri." "Hemmm..... begitukah" Coba jelaskan, siapa sebenarnya anak itu, dia anak si-apa dan


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagaimana hubugannya dengan-mu, Lo-mo" Kalau kuanggap penting, percayalah, aku yang
akan mendapatkan-nya untukmu. Tentang Pendekar Siluman, jangan khawatir, aku akan
dapat mengha-dapinya!"
Bahkan Wi Siang sendiri diam-diam menjadi kaget mendengarkan ini. Berani menentang
Pendekar Siluman" Benarkah Ketuanya yang baru ini memiliki kesak-tian yang demikian
hebat sehingga berani menentang Pendekar Siluman" Baru mendengar cerita para
anggauta Thian-liong-pang tentang Pendekar Siluman yang bisa pian-hoa (merobah diri)
menja-di raksasa dan menjadi setan tanpa kepala saja sudah membuat semua orang gagah
di Thian-liong-pang ngeri dan serem!
Sai-cu Lo-mo dan Chie Kang juga kaget dan sambil memandang wajah yang tertutup
kerudung itu, Sai-cu Lo-mo menjawab, "Dia adalah putera dari kepo-nakan saya yang
bernama Bhok Khim, murid Siauw-lim-pai."
"Hemmm.... Bhok Kim yang berjuluk Bi-kiam, seorang di antara Kang-lam Sam-eng?"
"Betul, Pangcu," jawab Sai-cu Lo-mo makin kagum dan terheran bagaimana wanita
berkerudung ini agaknya tahu akan segala hal dan mengenal semua orang. Maka dia tidak
menyembunyi-kan dirinya lagi dan menyambung, "Saya dahulu bernama Bhok Toan Kok,
Bhok Kim adalah anak tunggal adikku...."
Akan tetapi agaknya Nirahai tidak mempedulikannya dan seperti orang me-lamun karena
mengingat, berkata, "Dan bocah itu she Gak" Hem.... tentu anak dari Kang-thouw-kwi Gak
Liat Si Setan Botak...."
Tiga orang tokoh Thian-liong-pang itu terbelalak, makin heran dan kagum. Sai-cu Lo-mo
berteriak, "Bagaimana Pangcu dapat mengetahuinya....?"
Nirahai memandangnya. "Aku tahu, dan Gak Liat yang memperkosa Bhok Kim sehingga
wanita itu dihukum di Siauw-lim-pai, kemudian melahirkan anak dan.... mereka berdua
kemudian saling bunuh. Hemm.... jadi engkau ingin mengambil cucu keponakanmu itu, Sai-
cu Lo-mo" Apa perlunya" Anak itu adalah keturunan Gak Liat, datuk kaum sesat!"
Sai-cu Lo-mo menarik napas panjang. "Betapapun juga, dia adalah cucu keponakan saya,
Pangcu." Nirahai mengangguk, "Baiklah, urusan anak itu kita tunda dulu saja. Aku tidak ingin
melibatkan Thian-liong-pang hanya karena urusan keturunan Gak Liat. Beta-papun juga,
kalau engkau mendengar di mana adanya bocah itu sekarang, dan ada kemungkinan
merebutnya, aku suka membantumu. Tahukah engkau di mana dia itu sekarang?"
"Dia menjadi murid di Siauw-lim-si."
Nirahai menggeleng kepala. "Kalau Siauw-lim-si kita tidak dapat berbuat se-suatu, Lo-mo.
Ibu anak itu adalah murid Siauw-lim-pai, sudah semestinya kalau anaknya menjadi murid
Siauw-lim-pai pu-la. Jangan mengira bahwa aku takut menghadapi Siauw-lim-pai, akan
tetapi apa perlunya kita menyeret perkumpulan menjadi musuh Siauw-lim-pai yang amat
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
224 kuat hanya karena memperebutkan se-orang anak, apalagi anak keturunan seorang seperti
Gak Liat?"
Diam-diam Sai-cu Lo-mo harus mem-benarkan pendapat pangcunya ini. Tiba--tiba ia
mengangkat kepala dan berkata, "Pangcu.... maaf.... hati saya akan selalu gelisah kalau
tidak menyatakannya se-karang. Kalau saya tidak keliru menduga.... saya dapat mengenal
siapa kiranya Pangcu!"
Nirahai menoleh ke arah Chie Kang dan bertanya, "Bagaimana dengan eng-kau, Lui-hong
Sin-ciang Chie Kang" Apa-kah engkau pun dapat menduga siapa aku?"
Chie Kang terkejut. Dia pun sedang berpikir-pikir. Kalau wanita berkerudung itu tidak
memperlihatkan sikap mengenal semua orang, bahkan mengetahui segala hal yang bagi
banyak tokoh kang-ouw merupakan rahasia, maka di dunia ini kiranya hanya ada seorang
saja wanita seperti itu, akan tetapi diam-diam dia terkejut dan tidak percaya bahwa
pang-cunya yang baru adalah orang itu! Kini dia makin gugup mendengar pertanyaan itu dan
menjawab, "Saya.... saya hanya menduga-duga akan tetapi tidak berani memastikannya.
Pribadi Pangcu penuh rahasia, sukar untuk diduga...."
Nirahai tersenyum di balik kerudung-nya. "Sai-cu Lo-mo, aku dapat menjenguk isi hatimu.
Dugaanmu itu agaknya tidak keliru. Engkau den Chie Kang te-lah kuangkat menjadi
pembantu-pemban-tuku yang setia dan boleh dipercaya, se-dangkan Wi Siang menjadi
pelayan dan pengawalku. Hanya kalian bertiga saja-lah yang boleh mengetahui siapa
sebe-narnya aku. Akan tetapi, kalau sampai seorang di antara kalian berani membo-corkan
rahasiaku, tanganku sendiri yang akan membunuhnya! Nah, agar hati kalian tidak ragu-ragu
lagi, kalian boleh mengenalku." Berkata demikian, wanita berkerudung itu membuka
kerudungnya, dan tampaklah wajahnya yang cantik je-lita, wajah puteri Kaisar Mancu. Puteri
Nirahai yang pernah menggemparkan seluruh dunia kang-ouw sebagai pemimpin pasukan-
pasukan pemerintah yang membasmi para pemberontak! Tiga orang to-koh Thian-liong-
pang itu belum pernah bertemu muka sendiri dengan Nirahai, akan tetapi nama besar puteri
ini sudah lama mereka dengar. Kini mendapat ke-nyataan bahwa yang menjadi Ketua
mereka Dendam Iblis Seribu Wajah 17 Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long Golok Halilintar 11
^