Pencarian

Sepasang Pedang Iblis 9

Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 9


adalah puteri yang terkenal itu, yang berdiri dengan cantik dan agungnya, dengan
sepasang mata yang amat berwi-bawa memandang kepada mereka dengan mulut yang
berbentuk indah itu terse-nyum halus, mereka serta-merta menja-tuhkan diri berlutut di
depan Nirahai. "Harap Paduka suka mengampunkan hamba sekalian yang tidak mengenal Puteri yang
mulia," kata Sai-cu Lo-mo mewakili saudara-saudaranya.
"Bangunlah kalian!" Tiba-tiba Nirahai membentak dan ketika mereka dengan kaget bangkit
berdiri memandang, Nira-hai telah memakai lagi kerudungnya, menutupi mukanya yang
cantik, dan kini dari sepasang lubang di depan kerudung, matanya memandang marah.
"Mulai saat ini, kalian tidak boleh sekali-kali menyebutku Puteri, dan jangan membocorkan
rahasia ini! Aku adalah Pangcu (Ketua) Thian-liong-pang dan kalian sebut saja aku Pangcu.
Nah, mari kita duduk dan melanjutkan perundingan demi kemajuan perkumpulan kita."
Demikianlah, semenjak hari itu, Nira-hai menjadi Ketua Thian-liong-pang. Ke-cuali tiga
orang pembantunya itu, tak se-orang pun di antara para anggauta Thian-liong-pang
mengetahui bahwa Ke-tua mereka yang diliputi penuh rahasia, yang selalu menyembunyikan
muka di belakang kerudung, yang memiliki ilmu kepandaian hebat seperti iblis, sebenarnya
adalah Puteri Nirahai yang dahulu amat terkenal itu. Nirahai menurunkan beberapa macam
ilmu silat kepada tiga orang pembantunya sehingga dalam waktu dua tahun saja, Sai-cu Lo-
mo, Lui-hong Sin-ciang Chie Kang, dan Tang Wi Siang telah memperoleh kemajuan yang
amat hebat, tingkat mereka naik jauh lebih tinggi daripada sebelumnya, akan tetapi watak
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
225 mereka pun berubah, penuh rahasia seperti watak Ketua mereka. Para anak buah Thian-
liong-pang juga dilatih ilmu silat oleh tiga orang tokoh ini sehingga pasukan Thian-liong-pang
kini menjadi pasukan yang hebat, setiap orang anggautanya memiliki kepandaian tinggi.
Seperti telah diceritakan di bagian depan tadinya Nirahai menitipkan pute-rinya, Milana,
kepada Pangeran Jenghan di Kerajaan Mongol. Selama membangun dan memperkuat
Thian-liong-pang bebe-rapa tahun, dia meninggalkan puterinya itu dan hanya kira-kira
sebulan sekali dia pergi ke Mongol mengunjungi puteri-nya. Milana sama sekali tidak tahu
bah-wa ibunya adalah Ketua Thian-liong--pang yang amat terkenal itu. Baru sete-lah Nirahai
mengajaknya ke Thian-liong--pang anak perempuan ini tahu bahwa ibunya adalah wanita
berkerudung, Ketua Thian-liong-pang yang menggemparkan dunia kang-ouw. Juga kini
Milana tahu, dengan hati penuh kebanggaan namun ju-ga kedukaan, bahwa ayahnya adalah
Pendekar Siluman, To-cu dari Pulau Es yang agaknya berselisih paham dengan ibunya
sehingga ayah bundanya itu sa-ling berpisah, bahkan timbul gejala sa-ling bertentangan!
Pertemuannya dengan suaminya, Suma Han, mendatangkan rasa duka yang hebat di hati
Nirahai. Dia adalah seorang pu-teri kaisar, seorang wanita yang mempu-nyai harga diri tinggi
sekali. Betapapun besar cinta kasihnya kepada Suma Han, namun sikap suaminya itu
membuatnya berduka. Dia tidak mau menyembah--nyembah minta dibawa, sungguh rasa
rindunya kadang-kadang menyesak di dada. Dia ingin memperlihatkan bahwa kalau Suma
Han tidak membutuhkan dia, dia pun tidak akan merangkak-rangkak mengejar suaminya!
Keangkuhan ini mem-buat dia amat menderita, membuat cin-tanya kadang-kadang berubah
menjadi kebencian, membuat dia ingin menan-dingi kebesaran suaminya, menandingi
kepandaiannya. Dalam pertemuannya dua kali dengan Suma Han, pertama ketika tokoh-
tokoh kang-ouw memperebutkan rahasia pusaka di Sungai Huang-ho, ke dua baru-baru ini,
Nirahai maklum bah-wa dalam ilmu kesaktian dia masih belum mampu menandingi Suma
Han. Biarpun Perkumpulan Thian-liong-pang kini menjadi amat kuat dan agaknya pa-ra
pembantu dan anak buahnya tidak kalah hebat oleh anak buah Pulau Es, namun kalau dia
sendiri tidak mampu menandingi Suma Han, semua akan sia--sia belaka. Tidak ada seorang
pun di Thian-liong-pang yang akan kuat bertan-ding dengan Suma Han. Maka dia harus
mempertinggi ilmu-ilmunya.
Terutama sekali Nirahai ingin me-lihat puterinya, Milana menjadi se-orang yang lebih pandai
daripadanya. Ke-inginan untuk menjadi seorang yang lebih sakti dari Suma Han inilah yang
membuat Nirahai melakukan hal-hal yang amat berani, di antaranya ialah menculik to-koh-
tokoh kang-ouw, ketua-ketua per-kumpulan silat yang diundang atau kalau tidak mau
dipaksa mengunjungi Thian-liong-pang! Untuk apa" Sebaiknya kita sekarang mengikuti
perjalanan Gak Bun Beng yang sedang mengunjungi Thian-liong-pang dengan mengikuti
bayangan dua orang tokoh Thian-liong-pang dengan hati-hati karena dia maklum bahwa
ke-dua orang itu sedang memancingnya un-tuk memasuki markas besar perkumpul-an yang
terkenal itu. Markas Thian-liong-pang yang menja-di pusat perkumpulan itu merupakan se-kumpulan
bangunan besar, dikelilingi oleh dinding batu yang tingginya dua kali tinggi manusia. Di
tempat ujung dinding temboknya terdapat tempat di mana tampak penjaga yang melakukan
penjaga-an siang malam sehingga sarang perkum-pulan itu seperti benteng tentara saja.
Pintu gerbang yang lebar terbuat dari kayu tebal berlapis besi, dijaga pula oleh selosin
orang. Pintu gerbang terbuka ketika dua orang tokoh Thian-liong-pang tiba di situ, akan tetapi
begitu kedua orang itu masuk melalui pintu gerbang, daun pintu tertutup kembali dari dalam.
Bun Beng memeriksa keadaan pintu gerbang yang amat kuat dan dinding tembok yang
tinggi. Ia tersenyum. Agaknya, orang-orang Thian-liong-pang itu terlalu me-mandang rendah
kepadanya. Apa artinya dinding tembok setinggi itu baginya" Le-bih tinggi lagi pun dia akan
mampu me-lompatinya. Dia maklum bahwa mereka tentu sudah menantinya, akan tetapi dia
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
226 tidak takut. Dia harus memasuki sarang Thian-liong-pang, menolong Ketua Bu-tong-pai,
mungkin menolong banyak orang lagi yang terculik dan menjadi tawanan di tempat itu. Pula,
dia sudah mengambil keputusan bulat untuk mene-mui Ketua Thian-liong-pang dan
mene-gurnya agar tidak melakukan penculikan-penculikan. Dia maklum bahwa orang-orang
Thian-liong-pang amat lihai, apa-lagi ketuanya yang pernah ia lihat di pu-lau Sungai Huang-
ho beberapa tahun yang lalu. Ia masih bergidik kalau teringat akan wanita berkerudung yang
amat lihai itu. Akan tetapi, kepandaiannya sekarang ti-dak seperti dahulu, kini dia telah
dewa-sa dan berilmu tinggi, kalau dia tidak menentang perbuatan sewenang-wenang ini,
untuk apa dia mempelajari ilmu sampai bertahun-tahun" Pula, dia ter-ingat betapa tokoh
wanita Thian-liong-pang dahulu bersikap baik kepadanya, dan rata-rata orang Thian-liong-
pang tidak-lah seganas orang Pulau Neraka. Selain kenyataan itu, juga dalam perjalanannya
dia tidak pernah mendengar Thian-liong-pang sebagai perkumpulan orang jahat, tidak
pernah melakukan kejahatan. Kalau sekarang mereka menculik ketua-ketua perkumpulan
dan tokoh-tokoh kang-ouw tentu ada rahasia di balik perbuatan mereka itu dan dia harus
membongkar rahasia itu dan berusaha menghentikan perbuatan mereka.
Akan tetapi Bun Beng bukan seorang yang sembrono. Dia maklum bahwa me-loncat begitu
saja pada siang hari itu merupakan perbuatan yang amat berba-haya. Tidak, dia tidak berani
bersikap sembarangan. Maka dia mundur kembali dan mengintai dari jauh, menanti sampai
malam tiba karena dia mengambil kepu-tusan untuk memasuki sarang naga itu setelah hari
menjadi gelap. Setelah hari berganti malam, Bun Beng berindap-indap mendekati dinding yang mengurung
sarang Thian-liong-pang. Ia sudah memilih bagian kiri di ujung, sebelah kiri pintu gerbang,
untuk melon-cat masuk. Tiba-tiba ia mendengar sua-ra tambur dan gembreng di
sebelahda-lam. Ia berhenti di bawah dinding dan mendengarkan penuh perhatian. Apakah
Thian-liong-pang mengadakan pesta" Hemm, bukan, bantah hatinya. Tambur dan gembreng
itu dipukul seperti kalau dipergunakan untuk mengiringi orang bermain silat! Agaknya
mereka sedang berlatih silat. Dia tidak akan merasa heran kalau mereka telah siap
menanti-nya, bahkan dia menduga bahwa tentu gerak-geriknya sejak tadi telah diintai.
Namun dia tidak peduli. Sekarang atau dia akan terlambat.
Dengan gerakan indah Bun Beng me-loncat. Tubuhnya melayang ke atas dan kedua
kakinya hinggap di atas dua ujung tombak, gerakannya amat ringan seolah-olah seekor
burung garuda yang besar. Ia merasa heran sekali karena tidak ada anak panah atau
senjata orang menyam-butnya. Di bawah tidak tampak orang menjaga, hanya tampak
genteng bangun-an-bangunan dan tampak sinar penerang-an yang besar, terutama di depan
sebu-ah bangunan terbesar di situ. Tampak pula orang-orang hilir mudik, akan tetapi tidak
ada yang menengok, seakan-akan mereka itu hanya orang-orang dusun yang tidak paham
ilmu silat dan tidak tahu akan kedatangannya. Bun Beng merasa penasaran. Apakah pihak
Thian-liong-pang menganggap dia begitu rendah se-hingga tidak pantas untuk menjaga dan
menghebohkan kedatangannya" Ia mela-yang turun dari tembok, hinggap di atas genteng,
kemudian melayang turun pula ke bagian samping bangunan besar yang agaknya saat itu
menjadi pusat keramai-an.
Akan tetapi begitu kakinya menginjak tanah, tahu-tahu di depannya telah ber-diri seorang
kakek yang berkata tenang.
"Selamat datang, Siauw-hiap dari Siauw-lim-pai. Biarpun caramu masuk tidak selayaknya,
namun mengingat bah-wa Siauw-hiap adalah seorang murid Siauw-lim-pai, Pangcu kami
mempersila-kan Siauw-hiap untuk duduk sebagai tamu menonton pertunjukan kami. Ka-mi
menerima Siauw-hiap sebagai se-orang tamu yang terhormat, ataukah.... Siauw-hiap lebih
suka dianggap sebagai seorang pencuri yang rendah?"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
227 Bun Beng memandang orang itu yang ternyata adalah seorang kakek berkepa-la gundul,
berjenggot dan berkumis, pa-kaiannya seperti seorang sasterawan, usianya kurang lebih
enam puluh tahun, suaranya tinggi nyaring akan tetapi si-kapnya halus dan seperti orang
lemah. Mendengar ucapan itu, Bun Beng terse-nyum.
"Terserah kepada Thian-liong-pang akan menganggap aku sebagai apa. Akan tetapi karena
aku ingin bertemu dengan Pangcu kalian, dan melihat betapa aku disambut sebagai tamu,
biarlah aku me-nerima sambutan ini."
"Kalau begitu, silakan Siauw-hiap!" kata kakek itu.
Bun Beng berjalan dengan sikap tenang menuju ke ruangan depan bangunan be-sar
diiringkan oleh kakek gundul. Kini mengertilah dia mengapa dia tidak di-sambut sebagai
musuh dan tidak diserang. Kiranya Thian-liong-pang agaknya merasa enggan bermusuhan
dengan Siauw-lim-pai, dan hanya karena memandang Siauw-lim-pai maka dia disambut
dengan manis budi. Dia mengerti bahwa andaikata kedua orang tokoh yang menawan
Ke-tua Bu-tong-pai tadi tidak mengenal dasar ilmu silat Siauw-lim-pai yang ia miliki dan tidak
melaporkan bahwa dia seorang murid Siauw-lim-pai, tentu penyambut-an mereka akan lain
sekali. Ketika kakek gundul itu mengajaknya memasuki ruangan depan yang luas dan diterangi
banyak lampu gantung besar, dia cepat melayangkan pandang matanya menyapu keadaan
di situ. Ruangan itu luas sekali dan terdapat anak tangga di sebelah dalam. Di atas anak
tangga itu terdapat ruangan lain dan tampaklah se-orang wanita berkerudung duduk di atas
sebuah kursi besar yang lantainya ditila-mi kulit seekor biruang. Wanita berkeru-dung yang
dikenalnya sebagai Ketua Thian-liong-pang yang dahulu pernah da-tang ke Sungai Huang-
ho itu duduk dengan sikap tenang, kedua kakinya mengin-jak kepala biruang yang berada di
bawah kursinya, di sebelah kanan wanita ini du-duk seorang kakek yang mukanya seper-ti
seekor singa, kursinya agak kecil dibandingkan dengan kursi Si Wanita ber-kerudung. Di
sebelah kanan agak belakang Ketua Thian-liong-pang ini berdiri seorang wanita cantik yang
dikenal pula oleh Bun Beng sebagai wanita yang dahulu mewakili Thian-liong-pang di Sungai
Huang-ho. Sedangkan di belakang, agak mundur, berdiri seorang wanita lain yang juga
cantik, pakaiannya seperti wanita lihai yang berdiri di sebelah kanan Ketua itu.
"Silakan duduk di sini, Siauw-hiap," kata kakek gundul sambil mempersilakan Bun Beng
duduk di atas kursi dekat anak tangga. Akan tetapi Bun Beng tidak segera duduk, hanya
berdiri dengan terhe-ran-heran memandang ke arah para ta-mu yang duduk menghadap ke
arah Ketua, dengan kursi-kursi yang diatur setengah lingkaran mengurung ruangan di bawah
anak tangga, sedangkan para penabuh tambur dan gembreng berdiri paling ujung. Dia tidak
peduli dan tidak melihat betapa Ketua Thian-lipng-pang sama sekali tidak mengacuhkannya,
akan tetapi dapat dibayangkan betapa heran hatinya ketika ia melihat Ang-lojin, Ketua Bu-
tong-pai yang akan ditolongnya itu, duduk pula di antara para tamu de-ngan sikap tenang
dan sama sekali ti-dak menoleh kepadanya! Mengapa orang itu seperti tidak mengenalinya"
Mustahil kalau tidak mengenal atau tidak tahu bahwa kedatangannya untuk menolong ketua
itu! Atau pura-pura tidak kenal" Ah, ini pun tidak mungkin. Bukankah dua orang tokoh Thian-
liong-pang sudah tahu betapa di tengah jalan dia berusaha me-nolong Ketua Bu-tong-pai
itu" Tentu hal ini sudah dilaporkannya pula kepada Ke-tua Thian-liong-pang. Apa perlunya
lagi Ketua Bu-tong-pai berpura-pura" Dia pun tidak mau berpura-pura karena hal ini berarti
bahwa dia takut, maka dia lalu menghampiri Ketua Bu-tong-pai dan me-negur.
"Ang-locianpwe, engkau baik-baik saja-kah?"
Kakek itu memandangnya akan teta-pi sinar matanya seperti tidak menge-nalnya sama
sekali. Dia hanya mengang-guk tanpa menjawab! Bun Beng menjadi penasaran sekali.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
228 Mengapa Ketua Bu-tong-pai bersikap seperti ini" Padahal susah payah ia berusaha
menolongnya dan di jalan tadi sikapnya tidak sedingin ini!
"Locianpwe, apakah kau lupa kepada-ku?" Ia menegur lagi.
Kakek itu kembali memandangnya dengan sikap tidak acuh, lalu menjawab dengan suara
ragu-ragu, "Siapakah" Maaf, aku tidak mengenalmu." Setelah berkata demikian kakek ini
kembali membuang muka menonton dua orang yang sedang bertanding di bawah anak
tang-ga, memandang penuh perhatian seperti yang dilakukan oleh semua orang yang duduk
di situ. Makin heran Bun Beng ketika melihat betapa para tamu yang sebagian besar terdiri
dari kakek-kakek yang kelihatannya berilmu tinggi itu sa-ma sekali tidak menoleh
kepadanya, seolah-olah dia hanya seekor lalat saja! Dengan hati mengkal Bun Beng lalu
du-duk di atas kursi yang ditunjuk oleh ka-kek gundul. Kakek ini pun duduk di atas sebuah
kursi di sebelah kanan Bun Beng. Seorang pelayan datang menyuguhkan arak kepada Bun
Beng, akan tetapi pemuda ini menolak dan menyuruh taruh arak dengan guci dan cawannya
di atas meja. Pelayan itu lalu memenuhi meja di depan kakek gundul dan Bun Beng dengan
hidangan-hidangan seperti yang memenuhi meja-meja lain pula.
Kini Bun Beng memperhatikan para tamu yang duduk di situ. Ada belasan orang, tepatnya
empat belas orang tamu yang melihat sikapnya adalah orang-orang berkepandaian tinggi,
akan tetapi sikap mereka dingin dan tak acuh seperti si-kap Ketua Bu-tong-pai. Di depan
mere-ka ini pun terdapat meja penuh makan-an dan mereka semua menonton pertan-dingan
sambil makan minum. Di bela-kang para tamu duduk pula banyak orang dan di antara
mereka Bun Beng menge-nal dua orang tokoh yang pernah dila-wannya siang tadi, yaitu
mereka yang menculik Ketua Bu-tong-pai. Sedangkan di belakang rombongan yang duduk
ini, yang jumlahnya juga belasan orang, nampak puluhan orang berdiri menonton. Sepasang
kakek kembar yang lihai dan yang menggotong kerangkeng Ketua Bu-tong-pai tampak di
antara mereka yang berdiri. Diam-diam Bun Beng menduga-duga dan dia terkejut. Agaknya
sepa-sang kakek kembar itu adalah anggauta-anggauta rendahan saja, sedangkan ka-kek
muka tengkorak dan pemuda tam-pan adalah anggauta yang lebih tinggi. Kakek gundul yang
duduk di sebelahnya yang tadi menyambutnya, tentu lebih tinggi kedudukannya, apalagi
kakek mu-ka singa dan wanita cantik yang duduk dan berdiri di dekat Ketua Thian-liong-
pang. Kalau sepasang kakek kembar yang demikian lihai itu saja menjadi anggau-ta
rendahan, dapat dibayangkan betapa lihai kakek gundul di sebelahnya ini, apalagi kakek
muka singa, dan lebih-lebih ketuanya! Bun Beng bersikap hati-hati dan tidak mau bergerak,
hendak melihat perkembangannya karena dia sungguh-sungguh bingung dan terheran-
heran mengapa Ang-lojin yang tadinya diculik sekarang menjadi tamu dan bersikap tidak
mengenalnya" Kini Bun Beng mulai memperhatikan dua orang yang bertanding dan kembali
dia tercengang. Yang bertanding dengan golok dan pedang itu bukanlah orang-orang
sembarangan! Laki-i berusia empat puluh tahun yang berkepala besar dan bersenjata golok
itu memiliki ilmu golok yang amat hebat, sedangkan kakek kurus yang usianya tentu sudah
lima puluh tahun lebih itu memi-liki ilmu pedang yang amat tinggi pula. Diam-diam ia
menonton dan mencurah-kan perhatiannya. Bun Beng banyak mengenal ilmu silat, bahkan
dahulu guru-nya yang pertama, Siauw Lam Hwesio, telah membuka rahasia tentang dasar-
dasar gerakan ilmu silat-ilmu silat ting-gi yang dimiliki oleh partai-partai besar. Maka setelah
menonton belasan jurus, Bun Beng mengenal bahwa Si Pemain golok itu tentulah seorang
tokoh Sin-to-pang (Perkumpulan Golok Sakti) yang amat terkenal karena kehebatan ilmu
golok mereka, sedangkan Si Pemain pedang itu tidak salah lagi tentulah se-orang tokoh
besar dari Hoa-san-pai kare-na ilmu pedang yang dimainkannya tidak salah lagi adalah Hoa-
san Kiam-sut! Dia menjadi heran buka main. Mengapa dua orang tokoh dari Sin-to-pang dan
Hoa-san-pai bertanding di tempat ini" Dan selain ditonton oleh banyak tamu dan orang-
orang Thian-liong-pang sambil maka minum, juga diiringi tambur dan gembreng!
Pertandingan itu berjalan dengan seru dan jelas tampak betapa tokoh Sin-to-pang mulai
terdesak, bahkan pundaknya telah terluka goresan pedang. Kalau semua tamu memandang
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
229 dengan sikap dingin, demikian pula para tokoh Thian-liong-pang, hanya Bun Heng
seoranglah yang menonton dengan hati tegang.
"Cukup....!" Tiba-tiba terdengar suara merdu dan halus, namun penuh wibawa keluar dari
balik kerudung yang me-nyembunyikan kepala Ketua Thian-liong-pang. Seketika tambur dan
gembreng berhenti dan kedua orang yang bertan-ding itu pun meloncat mundur
menghen-tikan gerakan masing-masing! Bahkan kini seorang kakek yang agaknya
merupakan ahli pengobatan Thian-liong-pang, menghampiri tokoh Sin-to-pang yang seperti
bekas lawannya telah duduk kembali di kursi masing-masing, kemudian mengobati luka di
pundak tokoh ini.
Bun Beng memandang bengong. Ham-pir dia tidak dapat percaya akan dugaan-nya yang
agaknya tidak dapat salah lagi. Kedua orang tokoh itu diadu! Seperti dua ekor jangkrik diadu!
Betapa mungkin ini" Mengapa mereka sudi" Dan agaknya mereka berdua tadi bukanlah
pasangan pertama yang diadu. Selagi ia menduga-duga dengan bingung, terdengar suara
merdu dari balik kerudung.
"Ang-lojin dari Bu-tong-pai dan Tok-ciang Siucai dari Lam-hai-pang, harap suka maju dan
memperlihatkan kepandai-an!"
Jantung Bun Beng berdebar tegang.
"Siauw-hiap, silakan mencoba hidang-an!" Tiba-tiba kakek gundul berkata.
"Terima kasih, aku tidak lapar," jawab Bun Beng tanpa mengalihkan pan-dang matanya dari
Ketua Bu-tong-pai yang kini telah bangkit berdiri dari kur-sinya dan melangkah maju ke
tempat pertandingan dengan sikap tanpa ragu-ragu dan wajah tidak membayangkan
sesuatu. "Kalau begitu, silakan minum seca-wan arak sebagai penyambutan dari Pangcu kami," kata
pula kakek itu yang sudah bangkit dan menyodorkan secawan arak penuh kepada Bun


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Beng. Mendengar ini, Bun Beng menoleh ke kiri, ke arah Ketua Thian-liong-pang dan ia melihat
betapa sepasang mata di ba-lik lubang kerudung itu tertuju kepada-nya dengan sinar tajam.
Tanpa menja-wab ia menerima cawan arak dan minum arak itu habis sekali teguk. Hampir ia
tersedak, tubuhnya terasa nyaman hangat setelah ia minum arak tadi. Kepalanya menjadi
agak pening sehingga diam-diam ia terkejut sekali. Tak mungkin secawan arak membuat ia
mabok! "Harap Siauw-hiap minum secawan lagi sebagai penyuguhan dari Thian-liong-pang," kata
pula kakek gundul.
"Cukup, aku tidak ingin minum lagi, ingin menonton pertandingan!" kata Bun Beng dengan
hati-hati, dan biarpun ia menjadi curiga sekali, pikirannya dipu-tar untuk menduga apa yang
terdapat di dalam arak yang diminumnya tadi, namun ia menujukan pandang matanya ke
depan, ke arah Ketua Bu-tong-pai yang kini telah berhadapan dengan se-orang laki-laki
berusia kurang lebih tiga puluh tahun, tinggi kurus tampan dengan pakaian seperti seorang
siucai (gelar sasterawan).
"Harap Ji-wi suka mulai pertanding-an tangan kosong! Awas, Ang-lojin, lawanmu adalah
seorang yang memiliki Tok-ciang (Tangan Beracun), harus dila-wan dengan jurus-jurus
simpananmu!" Terdengar pula suara halus dingin Ketua Thian-liong-pang.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
230 Betapa heran hati Bun Beng ketika ia melihat dua orang itu, seperti dua ekor jangkerik atau
ayam aduan, telah mulai saling serang tanpa banyak cakap lagi! Pemuda yang dipanggil
juluk-annya sebagai Tok-ciang Siucai (Sastera-wan Tangan Beracun) telah membuka
serangan setelah menggerak-gerakkan kedua tangannya dengan tangan terbuka dan
telapak tangannya berwarna keme-rahan! Serangan pertama ini merupakan tamparan
dengan tangan kiri ke arah muka lawan disusul dorongan telapak ta-ngan kanan ke arah
dada! Cepat sekali gerakannya dan kalau diingat bahwa ke-dua telapak tangannya
mengandung ha-wa beracun, dapat dibayangkan betapa dahsyat dan berbahaya serangan
ini. Namun Ang-lojin adalah Ketua Bu-tong-pai yang tentu saja memiliki ting-kat ilmu silat yang
sudah amat tinggi. Dengan tenang namun tidak kalah cepat-nya, ia mengelak dengan
geseran kaki ke kiri sambil mengibaskan tangan ka-nan ke kanan menangkis dan dari
sam-ping, tiba-tiba kaki kanannya melakukan tendangan menyerong ke arah perut siucai itu.
"Bagus sekali!" tiba-tiba kakek muka singa memuji tendangan itu dan memang Bun Beng
juga dapat melihat betapa indah dan berbahayanya serangan balasan Ketua Bu-tong-pai
yang dilakukan dengan cekat-an. Tok-siang Siucai ternyata juga lihai karena sambil merobah
kaki melangkah mundur tangan kirinya dapat menangkis serangan itu dengan melemparkan
ke kanan. Namun, tiba-tiba tendangan kaki ka-nan dari Ketua Bu-tong-pai itu telah disusul
dengan tendangan kaki kiri yang digerakkan dengan memutar dari belakang, kembali
tendangan ini menyerong dan yang diarah adalah lutut kanan lawan! Si Pemuda kaget,
mundur selangkah menyelamatkan lututnya, akan tetapi Ketua Bu-tong-pai terus melakukan
tendangan kedua kakinya, cepat dan kuat sekali se-hingga kedua kakinya yang kelihatan
banyak saking cepatnya itu menimbulkan suara angin.
"Hemmmm.... Soan-hong-twi.... seperti itukah?" Ucapan Ketua Thian-liong-pang ini lirih
sekali dan agaknya tidak terdengar oleh orang lain, akan tetapi Bui Beng yang sejak tadi
memperhatikannya, biarpun hanya dengan pendengaran karena matanya ditujukan untuk
mengikuti pertandingan, dapat menangkap kata-katanya. Jantung Bun Beng makin
berdebar. Para tokoh kang-ouw itu, termasuk Ketua Bu-tong-pai yang baru saja ditawan,
semua menjadi begitu jinak dan penurut dan.... arak yang secawan saja sudah membuat dia
mabok.... bukan tidak mungkin ada hubungannya! Dia baru minum secawan saja sudah
pening dan seolah-olah semangatnya mengendor, dan kakek gundul itu tadi berusaha
membu-at dia minum lebih banyak! Kemudian, para tokoh yang saling bertanding mati-
matian dan dengan bersungguh hati, Ke-tua Thian-liong-pang yang menonton dan memberi
komentar! Hemm, seolah-olah ada sinar terang memasuki kepala Bun Beng, namun
pengaruh arak membuat keningnya berdenyut-denyut sehingga sukar bagi dia untuk
memutar otaknya, tidak seperti biasa. Betapapun juga, Bun Beng mengerahkan seluruh
pikirannya un-tuk melakukan penyelidikan, mengambil kesimpulan-kesimpulan dan
mengumpul-kan dugaan-dugaan.
Pertandingan antara Ketua Bu-tong-pai dan tokoh-tokoh Lam-hai-pang ber-langsung makin
seru. Akan tetapi Bun Beng mendapat kenyataan yang menye-nangkan hatinya. Ternyata
ayah Ang Siok Bi, yaitu Ang-lojin Ketua Bu-tong-pai, biarpun kini mau saja diadu seperti
jangkerik, tetap memiliki watak yang baik, sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang
ketua partai persilatan be-sar. Pemuda bertangan ganas itu jelas melakukan serangan-
serangan berbahaya dan mematikan, namun Ketua Bu-tong-pai itu banyak mengalah dan
biarpun terpaksa mengeluarkan jurus-jurus sim-panan dari Bu-tong-pai untuk menyela-matkan diri, namun serangan balasan-nya tidak bersungguh-sungguh seolah-olah
dia enggan untuk mencelakai lawan, tidak mau melukai hebat, apalagi mem-bunuh. Hal ini
tentu saja dapat ia lihat karena banyak lowongan baik tidak di-pergunakan oleh kakek itu.
Kalau Ang-lojin menghendaki, tentu tidak sampai tiga puluh jurus lawannya dapat
dirobohkan dengan pukulan-pukulan istimewanya.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
231 Betapapun juga, tingkat pemuda itu kalah tinggi dan kini dia selalu terdesak mundur. Ketika
sebuah tendangan kilat menyerempat pinggang pemuda itu dan membuatnya terhuyung
miring, kalau Ang-lojin mau tentu mudah baginya menyerang dengan pukulan maut. Namun
kakek ini hanya mendorong pundak pemuda itu dan membuatnya roboh terjengkang.
"Cukup!" teriak Ketua Thian-liong-pang. "Tok-ciang Siucai, harap mundur dan Pek-eng Sai-
kong harap maju untuk melayani Ang-lojin dengan senjata. Ang-lojin, ilmu silat tangan
kosong Bu-tong-pai hebat, harap perlihatkan ilmu silat-mu dengan senjata. Bukankah Siang-
kiam (Sepasang Pedang) menjadi keistimewaan Bu-tong-pai" Silakan!"
Berkata demikian, Ketua Thian-liong-pang ini menggerakkan tangan kirinya dan sepasang
pedang melayang ke arah Ang-lojin. Ketua Bu-tong-pai ini tidak menjawab melalnkan
menerima sepasang pedang itu dengan gerakan indah. Bun Beng melihat munculnya
seorang pende-ta berpakaian lebar dan bermuka penuh brewok telah menerima sebatang
toya dari tangan kakek muka singa yang du-duk di sebelah kanan Ketua Thian-liong-pang.
"Pek-eng Sai-kong, kami telah me-nyaksikan dan mengagami ilmu toyamu. Harap jangan
sungkan-sungkan, pergunakan jurus-jurus yang paling hebat, teru-tama jurus kedua puluh
tujuh Pek-eng-coan-ci (Garuda Putih Menyabetkan Ekor). Hati-hati, ilmu siang-kiam Bu-tong-
pai amat lihai!" Dalam suara dari balik ke-rudung itu terkandung kegembiraan be-sar. Bun
Beng makin berdebar karena di dalam otaknya yang kacau oleh pe-ngaruh arak
memabokkan, ia kini mulai dapat menyingkap tabir yang merahasia-kan semua peristiwa
yang aneh yang dihadapinya.
Kembali terjadi pertandingan dan sekali ini lebih hebat menegangkan dari-pada tadi. Sai-
kong itu amat kuat, toya-nya benar-benar berbahaya dan teringat-lah Bun Beng akan sebuah
aliran yang menamakan dirinya Pek-eng-pang (Toya Garuda Putih) yang merupakan
sekelom-pok orang gagah yang sesungguhnya me-miliki dasar ilmu toya Siauw-lim-pai
namun telah dicampur-aduk dengan ilmu silat golongan hitam! Jadi saikong ini adalah
seorang tokoh Pek-eng-pang! Ia memandang penuh perhatian karena dia-pun ingin sekali
menyaksikan bagaimana ilmu toya Siauw-lim-pai yang telah diro-bah itu!
Terdengar suara nyaring berkali-kali ketika toya bertemu dengan pedang, dan tampaklah
sinar toya yang kuning bergu-lung-gulung menjadi satu dengan sinar pedang yang putih.
Sekali ini, Ketua Bu-tong-pai harus mengerahkan seluruh kepandaiannya karena yang
menjadi la-wannya adalah orang terpandai dari Pek-eng-pang! Biarpun Ketua Bu-tong-pai ini
tidak mempunyai hati yang kejam tidak ingin melukai apalagi membunuh lawan, namun
sekali ini mau tidak mau dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan ke-pandaiannya,
karena kalau tidak, dia sendiri yang akan menjadi korban toya yang ganas.
Bun Beng mengepal ujung lengan kur-sinya. Diam-diam ia telah siap sedia un-tuk menolong
kalau Ketua Bu-tong-pai terancam bahaya. Biarpun dia kini dapat menduga bahwa saikong
itu, seperti juga Ketua Bu-tong-pai, hanya berperan seperti dua ekor jangkerik aduan, namun
tetap saja hatinya berpihak kepada Ang-lojin. Bukan semata-mata karena kakek itu adalah
ayah Ang Siok Bi yang cantik, biarpun hal ini sedikit banyak menjadi sebab juga, akan tetapi
terutama sekali karena ilmu toya Siauw-lim-pai yang te-lah berubah itu menurut keterangan
su-hunya dibawa lari oleh seorang murid Siauw-lim-pai yang murtad!
"Hyaaatttt....!" Tiba-tiba saikong itu membentak keras dan Bun Beng diam-diam terkejut
sekali sehingga tanpa disa-darinya ia telah meremas patah ujung lengan kursinya, siap
untuk disambitkan kalau Ang-lojin terancam bahaya! Dan memang hebat sekali jurus yang
kini di-pergunakan oleh Sai-kong itu dalam penyerangannya. Itulah jurus dari ilmu toya
Siauw-lim-pai, hal ini diketahui jelas oleh Bun Beng, akan tetapi jurus itu telah dirobah
sedemikian rupa sehing-ga selain lihai juga menjadi ganas dan licik sekali. Toya itu
menyodok ke arah pusar lawan dengan cepatnya, dan begitu Ang-lojin menangkis dengan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
232 pedang kiri, tiba-tiba tubuh saikong itu tergu-ling ke depan, lalu tubuhnya menggelin-ding ke
arah lawan, tongkat atau toya itu diputar menyerampang kaki lawan dilanjutkan dengan
sodokan ke atas, mengarah mata dibarengi dengan tendangan ke arah anggauta tubuh di
bawah pusar. Serangan yang mematikan!
Namun Ang-lojin tidak menjadi gugup menghadapi jurus yang oleh Ketua Thian-liong-pang
disebut Pek-eng-coan-ci tadi dan terpaksa dia pun mengeluarkan ju-rus simpanannya.
Kedua pedangnya mela-kukan gerakan menggunting dan begitu berhasil menjepit toya,
tubuhnya terang-kat ke atas dengan kaki ke atas, kemu-dian ia berjungkir balik, melepaskan
je-pitan toya dan sambil menukik turun, sepasang pedangnya melakukan gerakan
menyerang dari kanan kiri, lagi-lagi menggunting bagian leher dan pinggang lawan denngan
sepasang pedang!
"Heh, itukah Siang-in-toan-san (Sepa-sang Awan Memutuskan Gunung)?" terde-ngar Ketua
Thian-liong-pang berseru li-rih namun dapat terdengar cukup jelas oleh Bun Beng.
Saikong itu kaget sekali dan hanya dengan melempar tubuh ke belakang sambil memutar
toya membentuk lingkaran melindungi tubuh ia dapat menyelamatkan diri, akan tetapi ia
terkejut dan sampai terhuyung-huyung. Kini ia berteriak lagi dan tiba-tiba tubuhnya
membalik, sikapnya seperti hendak me-nyerang, akan tetapi tiba-tiba sambil membalik ini
toyanya meluncur terlepas dari tangan, merupakan anak panah rak-sasa yang menyambar
ke arah tubuh Ang-lojin.
"Trakkk!" Toya itu menyeleweng dan menancap di atas lantai di depan Ang-lojin yang tadi
saking tak menyangka hampir saja menjadi korban toya.
"Cukup! Harap Ji-wi kembali ke kur-si masing-masing!" Terdengar Ketua Thian-liong-pang
berkata sambil meman-dang ke arah Bun Beng yang sudah bang-kit berdiri. Semua orang
Thian-liong-pang kini menoleh ke arah Bun Beng, maklum bahwa Ketua mereka marah
sekali kepada tamu muda yang dengan lancang telah menimpuk toya dengan ujung lengan
kursi yang dipatahkan.
"Chie Kang, berapa cawankah tamu Siauw-lim-pai itu minum arak?" terde-ngar wanita
berkerudung bertanya kepada kakek gundul. Bagi orang yang tidak tahu, tentu Ketua itu
apakah tamu mudanya terlalu banyak minum arak se-hingga mabok dan melakukan
kelancang-an itu. Akan tetapi Bun Beng yang su-dah dapat menduga, hanya tersenyum,
apalagi ketika mendengar kakek gundul menjawab,
"Dia hanya minum secawan, menolak untuk minum lagi, Pangcu."
"Dan untung bahwa aku hanya minum secawan, kalau tidak tentu aku pun akan kaujadikan
jangkerik aduan, bukan begi-tu, Thian-liong-pangcu?" Bun Beng kini menghadapi Ketua itu
dengan sikap tenang, sedikitpun tidak gentar, mulut-nya tersenyum mengejek.
Biarpun wajah itu tidak tampak, na-mun sepasang muta yang tampak dari kedua lubang itu
mengeluarkan sinar berapi, tanda bahwa Ketua ini marah sekali. Sejenak hening di situ,
hening yang penuh ketegangan, dirasakan be-nar oleh semua anggauta Thian-liong-pang.
Kalau Ketua mereka sudah marah, tentu akan terjadi hal yang mengerikan.
"Orang muda, karena engkau adalah seorang murid Siauw-lim-pai dan kami tidak
mempunyai permusuhan dengan Siauw-lim-pai, maka perbuatanmu menye-rang dua
pembantu kami, kami maafkan. Bahkan kami menerimamu sebagai se-orang tamu
terhormat, biarpun engkau masuk seperti seorang pencuri. Akan te-tapi jangan mengira
bahwa karena eng-kau seorang murid Siauw-lim-pai lalu boleh berbuat sesuka hatimu dan
lan-cang!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
233 Bun Beng mengangkat dadanya dan memandang Ketua itu dengan sikap menantang.
"Thian-liong-pangcu! Aku datang bu-kan sebagai utusan Siauw-lim-pai, me-melainkan atas
nama pribadi yang ingin mengingatkanmu bahwa perbuatanmu ti-dak baik dan kuminta
engkau segera menghentikan perbuatanmu itu!"
"Eh, bocah sombong. Perbuatan apa yang kau maksudkan?" Suara Ketua Thian-liong-pang
mengandung keheranan karena dia benar-benar merasa bahwa di dunia ini terdapat
seorang pemuda yang begini tidak tahu diri berapi menentangnya secara terang-terangan,
bah-kan menegurnya seperti seorang dewasa menegur seorang kanak-kanak!
"Hemmm, perlukah dijelaskan lagi" Baiklah agar jangan aku dikatakan bica-ra mengawur
dan menuduh kosong, baik kukatakan bahwa aku sudah mengetahui rahasia semua
penculikan yang dilakukan Thian-liong-pang terhadap para tokoh kang-ouw. Engkau
menculik mereka, ter-masuk Ang-lojin Ketua Bu-tong-pai, ke-mudian kauberi mereka
minuman arak yang mengandung racun perampas ingat-an, mungkin yang pengaruhnya
hanya un-tuk sementara saja. Kemudian, selagi para Locianpwe yang bernasib malang ini
kehilangan ingatan mereka, kaujadikan mereka jangkerik-jangkerik aduan karena engkau
ingin mengetahui rahasia ilmu silat simpanan mereka yang terpak-sa harus mereka
pergunakan dalam pertandingan untuk menyelamatkan diri. Bukankah begitu?"
Keadaan makin tegang dan semua anggauta Thian-liong-pang menganggap pemuda
lancang itu menjadi calon mayat, karena mana mungkin Ketua mere-ka membiarkan saja
kekurangajaran se-perti itu" Akan tetapi, sikap dan ucap-an Bun Beng menimbulkan
kekaguman di hati Nirahai, Ketua Thian-liong-pang itu. Memang wanita ini sebagai seorang
sakti, akan selalu kagum terhadap orang yang gagah berani, yang menganggap nyawa
sebagai hal yang ringan, menganggap kematian sebagai hal sepele, mengang-gap bahaya
bukan apa-apa dalam mem-bela kebenaran yang dipercayanya. Hanya ada keraguan di
hatinya apakah pemuda ini bersikap sedemikian berani terdorong sifat gagah yang aseli,
ataukah hanya untuk bersombong saja terdorong oleh nama besar Siauw-lim-pai.
"Bocah sombong! Kalau benar begitu, mengapa" Apa kehendakmu?"
"Pangcu, aku hanya memperingatkan bahwa engkau main-main dengan api! Engkau
menanam permusuhan dengan se-luruh dunia kang-ouw dengan perbuatan-mu ini. Aku
minta agar engkau meng-hentikan perbuatan ini dan membebas-kan semua tawanan."
"Hemm, tanpa kauminta, semua saha-bat yang menjadi tamuku akan kubebas-kan. Kau
memperingatkan agar kami menghentikan perbuatan kami. Kalau aku menolak
peringatanmu ini, habis kau mau apa?"
"Terpaksa aku akan menantangmu bertanding! Aku tahu bahwa engkau sakti, Thian-liong-
pangcu, akan tetapi demi membela kebenaran, demi kesela-matan seluruh tokoh kang-ouw,
aku siap mengorbankan nyawa!"
"Keparat cilik! Engkau sombong se-kali! Pangcu, ijinkan saya membasmi bocah sombong
ini!" Tan Wi Siang sudah meloncat maju dengan marah sekali.
"Wi Siang, mundurlah!" Ketua Thian-liong-pang membentak, "Bocah ini mem-punyai
ketabahan besar, atau memang hanya seorang bocah sombong yang mengandalkan nama
Siauw-lim-pai. Biar Paman Chie Kang saja yang melayani-nya!"
"Baik, Pangcu!" Lui-hong Sin-ciang Chie Kang sudah meloncat maju. Kakek gudul ini sudah
sejak tadi merasa marah menyaksikan sikap Bun Beng, "Eh, orang muda yang tidak
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
234 mengenal kebaikan orang! Majulah, ingin kulihat sampai di mana kepandaianmu!" katanya
dengan suara yang tinggi nyaring.
"Chie Kang, jangan bunuh dia, kau tahu apa yang harus kaulakukan!"
"Hemmm," Bun Beng mengejek. "Aku pun tahu, Pangcu! Tentu engkau hendak mempelajari
pula jurus-jurus simpanan dari Siauw-lim-pai, bukan" Ha, sekali ini engkau akan kecelik!"
Kembali Nirahai tertegun. Bocah ini selain memiliki keberanian yang luar bia-sa, juga amat
cerdik seolah-olah menge-tahui semua isi hatinya. Terhadap bocah seperti ini, dia harus
berlaku hati-hati. Diam-diam ia menduga-duga siapakah gerangan bocah ini. Apakah Ketua
Siauw-lim-pai yang mendengar akan penculikan-penculikan yang dilakukannya, sengaja
mengirim seorang muridnya yang dapat dipercaya untuk melakukan penye-lidikan" Dia
maklum bahwa di Siauw-lim-pai terdapat banyak orang pandai, maka dia tidak pernah
berurusan dengan Siauw-lim-pai, bahkan memesan kepada para anak buah untuk
menjauhkan diri dari permusuhan dengan partai itu. Akan tetapi Ketua Siauw-lim-pai yang
mengambil langkah pertama memusuhi Thian-liong-pang, hemmm, dia pun tidak takut!
Lui-hong Sin-ciang Chie Kang mak-lum akan maksud Ketuanya dan kata-kata Bun Beng
yang dengan tepat membongkar niat Ketuanya membuat ia ma-kin marah. Sambil
menggereng ia telah menerjang maju, sengaja mengeluarkan jurus berbahaya untuk
memaksa lawan muda itu mengeluarkan jurus simpanan dari Siauw-lim-pai agar dapat dilihat
oleh Ketuanya. Memang apa yang dilontarkan oleh Bun Beng sebagai tuduhan tadi tepat sekali. Nirahai
sengaja menculik tokoh-tokow kang-ouw, kemudian membius mereka dengan arak beracun,
mengadu mereka untuk dapat mempelajari gerak-an yang aseli dari jurus-jurus terlihai
semua partai yang hanya dikenalnya bagian teorinya saja. Dia ingin memperdalam ilmu
silatnya sedemikian rupa da-lam persiapannya menghadapi suaminya, Suma Han atau
Pendekar Siluman, juga Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es!
Menghadapi terjangan kakek gundul, Bun Beng terkejut. Hebat bukan main serangan
lawannya yang menubruk de-ngan kedua tangan terbuka jarinya, mencengkeram dari atas
dan bawah dengan getaran hawa yang membuktikan tenaga sin-kang kuat. Untuk
menggunakan ilmu silat Siauw-lim-pai dia tidak mau, kare-na dia tidak ingin kalau Ketua


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thian-liong-pang yang amat lihai itu "mencuri" jurus-jurus pilihan dengan melihat dia
mainkan jurus itu. Akan tetapi terjang-an kakek gundul yang menjadi lawannya benar-benar
amat berbahaya. Maka ia cepat mengerahkan gin-kangnya dan ha-nya mengelak ke sana ke
mari tanpa mainkan jurus pilihan Siauw-lim-pai! Un-tung bahwa dalam hal gin-kang, dia
da-pat mengatasi gerakan kakek itu sehing-ga sampai belasan jurus ia mampu
meng-hindarkan semua terjangan kakek itu dengan hanya mengandalkan illmunya
meringankan tubuh!
"Heh, kau masih keras kepala, ya?" Chie Kang mendengus marah menyaksi-kan lawannya
itu benar-benar tidak mengeluarkan jurus Siauw-lim-pai dan hanya mengelak ke sana-sini. Ia
mero-bah serangannya, kini dia mengerahkan sin-kang dan menyerang dengan gerakan
lambat, namun kedua tangannya menda-tangkan angin yang bergulung-gulung menghadang
semua jalan keluar Bun Beng! Pemuda itu terkejut, maklum bah-wa menghadapi
penyerangan seperti itu tidak mungkin baginya untuk hanya mengandalkan gin-kang saja.
Maka ia berseru keras, tubuhnya melakukan ge-rakan aneh sekali, tubuhnya menyeruduk ke
depan, kedua tangannya membentuk lingkaran-lingkaran aneh sekaligus menghalau semua
serangan lawan dan berbalik kedua tangannya yang seolah-olah berubah menjadi banyak
sekali itu mengirim pukulan dari semua penjuru!
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
235 "Aihhhh....!" Chie Kang berteriak, berusaha mengelak namun tetap saja pundaknya terkena
tangan Bun Beng sehingga ia terhuyung ke belakang, Bun Beng mendesak ke depan untuk
mengirim pukulan yang akan merobohkan lawan.
Tiba-tiba tampak bayangan berkele-bat, kedua tangan Bun Beng tertolak ke samping, dan
sebelum Bun Beng sempat menjaga diri, tahu-tahu ia telah terguling roboh. Tubuhnya jatuh
terlentang dan tahu-tahu kaki kiri Ketua Thian-liong-pang telah menginjak dadanya! Bun
Beng merasa betapa kaki yang kecil itu seperti gunung beratnya sehingga dia tidak mampu
bergerak lagi, dan maklumlah pe-muda ini bahwa sekali wanita itu mengerahkan tenaga,
dadanya akan pecah! Na-mun dia tidak takut dan memandang dengan mata melotot.
"Bocah sombong! Dari mana engkau mempelajari ilmu tadi?"
Biarpun dia sudah tidak berdaya dan hanya menanti maut yang berada di telapak kaki
wanita itu, namun Bun Beng merasakan kegirangan dan kepuasan besar karena ia
mendapat kenyataan bahwa wanita sakti ini tidak mengerti jurusnya tadi!
"Ha-ha-ha-ha! Thian-liong-pangcu, mau bunuh, lekas bunuhlah. Siapa takut mati dan siapa
takut padamu" Engkau memang pandai seperti iblis, akan tetapi juga menyeleweng dan
jahat seperti iblis. Memangengkau iblis, kalau tidak, tentu engkau tidak akan
menyembunyikan mu-kamu di belakang kerudung! Akan tetapi, biarpun engkau iblis sendiri
yang ma-sih belum puas dan ingin mencuri ilmu silat seluruh orang kang-ouw, tetap saja
engkau tidak menang melawan Pendekar Siluman dari Pulau Es! Ha-ha-ha, eng-kau akan
dipermainkan lagi seperti dulu di Sungai Fen-ho, seperti yang telah kusaksikan sendiri. Ha-
ha-ha!" Bun Beng merasa betapa kaki itu makin berat menindih dadanya. Ia meme-jamkan mata,
menanti datangnya maut, akan tetapi kaki itu tidak menginjak te-rus, bahkan turun dari
dadanya dan tiba-tiba rambutnya yang dikuncir itu terjam-bak, tubuhnya terangkat dan
dipaksa bangkit. Ia kini berdiri di depan wanita itu, melihat sepasang mata di balik ke-rudung
yang seolah-olah hendak memba-karnya.
"Siapa engkau" Siapa....?" Wanita itu membentak, kini suaranya tidak halus merdu lagi,
melainkan melengking nya-ring penuh kemarahan.
"Aku akan mati, perlu apa menyem-buyikan nama" Aku Gak Bun Beng...."
"Ya Tuhan....!" Bun Beng mendengar suara ini dari atas anak tangga, akan tetapi dia tidak
tahu siapa yang berseru kaget itu karena Ketua Thian-liong-pang di depannya tiba-tiba
tertawa menghina.
"Hi-hik, kiranya anak haram, keturun-an Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak datuk
kaum sesat" Pantas.... pan-tas....! Engkau jahat, melebihi Ayahmu yang tidak sah. Manusia
macammu ini tidak layak hidup!"
Nirahai mengangkat tangan kanannya, siap menghantam kepala Bun Beng. Seka-li ini,
karena Bun Beng sudah berdiri dan tidak seperti tadi, diinjak tak mam-pu berkutik, tentu saja
tidak sudi mam-pus begitu saja tanpa melawan.
"Plakkk!" Hantaman dengan telapak wanita itu berhasil dia tangkis dengan jurus Sam-po-
cin-keng dan biarpun tubuhnya terlempar sampai lima meter jauhnya, ia berhasil menangkis
dan ti-dak terluka. Dia sudah meloncat bangun lagi, siap melawan mati-matian.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
236 "Pangcu....!" Tiba-tiba terdengar te-riakan keras dan berkelebatlah tubuh ka-kek bermuka
singa menghadang tubuh Nirahai yang sudah berjalan mengham-piri Bun Beng dengan mata
berkilat penuh penasaran.
"Sai-cu Lo-mo, minggirlah engkau! Bocah ini harus kubunuh!" bentak ke-tuanya.
"Pangcu, ampunkanlah.... dia cucu kepo-nakan saya, satu-satunya keturunan saya,
bagaimana Pangcu tega untuk mem-basmi keturunan saya" Ampunkanlah, atau Pangcu
bunuh saya sekalian!"
Mendengar ini, tiba-tiba lemaslah tu-buh Nirahai dan ia memandang wajah pembantunya
yang berlutut di depan kakinya. Bu Beng berdiri memandang de-ngan mata terbelalak! Dia
cucu kepo-nakan kakek bermuka singa itu"
"Sudahlah! Tidak dibunuh pun tidak mengapa, akan tetapi harus suka menja-di anggauta
kita." "Apa" Aku menjadi anggauta Thian-liong-pang, membantu kalian menculiki orang-orang
gagah untuk dicuri kepandai-annya" Terima kasih, lebih baik mati!" Bun Beng membentak
sambil membanting kakinya penuh kemarahan.
Sai-cu Lo-mo cepat meloncat ke de-pan Bun Beng sambil membentak penuh teguran, "Gak
Bun Beng, engkau tidak boleh berkata begitu! Engkau adalah cu-cu keponakanku sendiri,
harus mentaati kata-kataku."
Bun Beng memandang kakek itu pe-nuh perhatian. "Locianpwe, sejak kapan-kah aku
menjadi cucu keponakanmu dan siapakah Locianpwe?"
"Aku adalah Sai-cu Lo-mo Bhok Toan Kok, mendiang Ibumu Bhok Khim, ada-lah
keponakanku."
Diam-diam Bun Beng merasa terha-ru. Baru sekali ini dia bertemu dengan orang yang ada
hubungan keluarga dengannya, akan tetapi dia bertanya penuh rasa penasaran.
"Kalau benar demikian mengapa baru sekarang Locianpwe mengaku sebagai Pa-man
Kakekku?" Sai-cu Lo-mo menarik napas panjang. "Engkau tidak tahu, Bun Beng. Aku telah berusaha
merampasmu dengan me-ngirim anak buah Thian-liong-pang dahulu ke kuil tua, dekat
Sungai Fen-ho, akan tetapi usahaku gagal, engkau di-rampas oleh Pendekar Siluman dan
dibe-rikan kepada orang Siauw-lim-pai. Seka-rang kebetulan sekali kita dapat berkum-pul,
engkau menurutlah, tinggal di sini menjadi anggauta kami, mempelajari ilmu dari Pangcu dan
membuat jasa."
"Maaf, Kakek, hal ini tidak dapat ku-lakukan. Bukan sekali-kali aku tidak me-mandang
perhubungan keluarga antara kita. Aku tahu engkau seorang yang ba-ik dan telah berusaha
menyelamatkan aku, akan tetapi untuk menjadi anggauta Thian-liong-pang aku tidak sudi.
Terse-rah kepada Thian-liong-pangcu, hendak membebaskan aku bersama para tokoh
kang-ouw di sini atau hendak membunuh-ku!"
"Sai-cu Lo-mo, mengingat dia cucu keponakanmu, aku tidak membunuhnya. Akan tetapi dia
harus menjadi anggauta kita atau mati!" terdengar Nirahai ber-kata, suaranya dingin dan
mengandung keputusan yang tidak dapat dibantah lagi.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
237 Sai-cu Lo-mo menjadi bingung sekali. Dia ingin menyelamatkan keturunannya ini, akan
tetapi maklum bahwa pemuda ini memiliki keberanian dan kenekatan yang sukar
ditundukkan dan ia maklum pula bahwa kalau Pangcunya marah, ti-dak ada seorang pun
berani membantah-nya. Lalu ia mendapatkan akal dan ber-kata.
"Pangcu, ampunkan saya dan ampun-kan dia yang masih muda. Kalau dia ti-dak mau, biar
dia kita tawan dan perla-han-lahan saya akan membujuknya."
Terdengar jawaban dengan suara ke-sal, "Sesukamulah....."
Sai-cu Lo-mo menjadi girang sekali. "Bun Beng, dengarlah betapa baiknya Ketua kita.
Engkau menurutlah, Cucuku!"
"Maaf, aku tidak mau menjadi anggauta Thian-liong-pang! Biarpun Ayahku yang tidak
pernah kukenal itu disebut seorang datuk kaum sesat, namun aku bukanlah orang sesat!"
"Bocah bandel, kalau begitu aku akan menawanmu!" Sai-cu Lo-mo membentak dan
menubruk ke depan hendak menang-kap Bun Beng. Akan tetapi, Bun Beng sudah mengelak
cepat dan ketika kakek itu menyusul dengan serangan totokan untuk merobohkannya, dia
cepat menangkis.
"Plak-plak!" Bun Beng terpental ke belakang dan Sai-cu Lo-mo terhuyung. Diam-diam Bun
Beng terkejut, maklum bahwa orang yang mengaku kakeknya ini memang memiliki
kepandaian dan tena-ga lebih hebat daripada kakek gundul yang berhasil ia kalahkan tadi.
Di lain pihak, Sai-cu Lo-mo juga ka-gum. Kiranya cucu keponakannya ini benar tangguh,
pantas saja sutenya kalah. "Gak Bun Beng, berani engkau melawan kakekmu sendiri?"
"Aku tidak melawan seorang kakek-ku, melainkan melawan orang-orang Thian-liog-pang."
jawab Bun Beng tegas.
"Engkau benar tak tahu diri dan sombong!" Sai-cu Lo-mo kini menerjang dengan hebatnya.
Bun Beng terpaksa menggerakkan kaki tangan melawan dan kembali dia menggunakan Ilmu
Silat Sam-po-cin-keng. Begitu ia mainkan ju-rus-jurus aneh ilmu silat ini, Sai-cu Lo-mo
mengeluarkan seruan kaget dan kakek ini terdesak hebat! Melihat gerakan pe-muda itu
Nirahai menjadi kagum dan tertarik sekali. Dia telah melihat dan mempelajari banyak macam
ilmu silat tinggi, akan tetapi belum pernah ia me-nyaksikan ilmu silat tangan kosong se-perti
yang dimainkan pemuda itu. Sung-guhpun gerak kaki pemuda itu mempu-nyai dasar ilmu
silat Siauw-lim-pai yang sudah matang, namun jurus itu bukanlah jurus ilmu silat Siauw-lim-
pai. "Wi Siang kaubantulah Lo-mo menang-kap bocah itu, pancing sedapatmu agar dia
mengeluarkan seluruh ilmunya," bisiknya dengan tertarik sekali sambil duduk kembali ke
atas kursinya untuk menon-ton dan mempelajari jurus-jurus yang dimainkan Bun Beng.
Tang Wi Siang kini sudah mengenal Bun Beng sebagai anak yang dahulu per-nah
menolongnya ketika ia bertanding melawan Thai Li Lama di pulau Sungai Huang-ho dan
hampir celaka oleh ilmu sihir Lama itu. Dia meloncat dan me-nyerang Bun Beng dengan
gerakan lin-cah sekali.
Bun Beng terkejut. Dia maklum bah-wa wanita ini memiliki gerakan yang ce-pat luar biasa
dan mungkin lebih lihai daripada Sai-cu Lo-mo. Dan memang dugaannya benar, Tang Wi
Siang menjadi orang yang paling disayang dan dipercaya oleh Nirahai di antara para
pembantunya, maka wanita itu dia beri pelajaran ilmu silat yang lebih tinggi daripada
pembantu-pembantu lain, bahkan Tang Wi Siang telah dia beri Ilmu Silat Yancu-sinkun (Ilmu
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
238 Silat Burung Walet) yang mengan-dalkan gerakan gin-kang tinggi sekali. Menghadapi Sai-cu
Lo-mo saja dia sudah merasa berat, bukan hanya karena kakek itu lihai sekali, juga ia
merasa enggan untuk melukai orang tua paman ibunya ini. Sekarang ditambah lagi dengan
Tang Wi Siang, dia benar-benar menjadi ter-ancam hebat. Gerakan penyerangan Wi Siang
demikian cepatnya seolah-olah ke-dua lengan wanita itu berubah menjadi enam dan karena
Bun Beng harus menja-ga jangan sampai ia tertawan oleh ka-kek itu, sebuah totokan tangan
kiri wa-nita itu ke arah lehernya tak dapat ia elakkan lagi. Akan tetapi, ternyata ta-ngan itu
tidak dilanjutkan menotok, ha-nya mendorong pundaknya sehingga ia terpental dekat anak
tangga. Ia melon-cat lagi dan sekilas pandang ia melihat muka berkerudung Ketua Thian-
liong-pang yang sedang memandangnya penuh perhatian, ia menjadi terkejut sekali dan
sadar bahwa Tang Wi Siang yang turun membantu Sai-cu Lo-mo tentu hanya mendesaknya
agar dia mengeluarkan se-mua jurus ilmunya, yaitu Sam-po-cin-keng dan Si Ketua itu
hendak menyaksi-kan dan mencuri ilmu itu dengan jalan melihat gerakan-gerakannya!
Bun Beng adalah seorang pemuda yang cerdik. Dia tahu bahwa betapapun juga, dia takkan
mampu menang karena kalau Si Ketua sendiri turun tangan, be-tapapun dia melawan akan
percuma sa-ja, maka dia mengambil keputusan untuk tidak memperlihatkan ilmunya agar
tidak dicuri oleh Ketua itu. Tak mungkin eng-kau akan dapat mencuri jurus-jurus sim-panan
Siauw-lim-pai dan Sam-po-cin-keng, pikirnya dan kini ia melawan de-ngan gerakan
sederhana sehingga dalam belasan jurus saja ia telah roboh terto-tok oleh Sai-cu Lo-mo.
Nirahai menjadi terkejut, penasaran, dan marah. Dia pun mengerti bahwa pe-muda bandel
itu sengaja tidak memper-lihatkan jurus-jurus aneh itu, dan senga-ja membiarkan dirinya
tertangkap! "Lempar dia ke dalam penjara di bawah tanah!" bentak Ketua Thian-liong-pang. "Jangan
keluarkan sebelum dia mentaati perintah!"
Sai-cu Lo-mo terkejut dan meman-dang Ketuanya. Akan tetapi sinar mata ketuanya jelas
menyatakan tidak mau dibantah. Terpaksa Sai-cu Lo-mo diam saja melihat tubuh pemuda itu
diseret oleh dua orang petugas yang membawa ke tempat tahanan di bawah tanah yang
letaknya di sebelah belakang kompleks bangunan-bangunan sarang Thian-liong-pang.
Biarpun tubuhnya sudah lemas terto-tok, ketika ia diseret pergi, Bun Beng masih
mendengar ucapan Ketua Thian-liong-pang, "Lanjutkan pesta dan pertan-dingan!" Dia
merasa puas dapat menang-kap kemarahan dan kejengkelan dalam suara itu. Dia telah
kalah, dia telah gagal menolong para tokoh kang-ouw, namun sedikitnya dia telah berhasil
membuat Ketua Thian-liong-pang kecewa, terhina dan marah-marah!
Tahanan di bawah tanah itu amat menyeramkan. Dua orang petugas yang kini menggotong
tubuh Bun Beng, membawa pemuda itu memasuki lorong ba-wah tanah yang menurun
melalui anak tanga batu. Lorong yang gelap dan di tiap tikungan terdapat pintu besi yang
terjaga oleh dua orang anggauta Thian-liong-pang. Setelah melalui tujuh pintu, sampailah
mereka di sebuah kamar tahanan dan tubuh Bun Beng dilempar ke dalam kamar ini.
Bun Beng tidak memperhatikan tem-pat itu, juga tidak peduli ketika pintu kamar itu ditutup
dari luar. Dia sibuk mengatur pernapasan, dan berusaha membebaskan totokan agar jalan
darah-nya mengalir normal kembali. Dia mak-lum bahwa tanpa usaha ini pun, akhir-nya
totokan itu akan punah, akan tetapi, hal itu akan makan waktu beberapa jam lamanya.
Akhirnya dia berhasil memu-lihkan kembali jalan darahnya dan ia bangkit duduk, bersila dan
menghimpun tenaga karena mulai saat itu dia harus berlaku hati-hati dan tenaganya harus
pulih untuk meghadapi segala kemungkin-an. Ktirang lebih sejam lamanya dia ber-siulian,
tidak mempedulikan keadaan di sekelilingnya. Setelah tenaganya pulih dan batinnya tenang
kembali, barulah Bun Beng menghentikan samadhinya dan membuka mata. Mula-mula yang
ia da-pati adalah bahwa kamar itu agak gelap, remang-remang dan lembab. Kemudian
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
239 setelah membiasakan matanya dalam cuaca yang remang-remang itu, ia bang-kit berdiri dan
mulai menyelidiki kamar tahanan.
Sebuah kamar berdinding batu yang lebarnya tiga meter persegi, langit-langitnya juga batu,
tingginya dari lan-tai ada empat meter. Tidak ada jendela-nya, hanya terdapat sebuah pintu
dari mana dia dilempar masuk. Pintu ini kecil hanya cukup dimasuki satu orang, dan terbuat
dari baja tebal yang masuk ke dalam dinding batu. Kokoh kuat pin-tu itu, tak mungkin
dibongkar. Bun Beng menarik napas panjang karena sekali pan-dang saja dia maklum
bahwa tidak mungkin lolos dari tempat ini mengguna-kan tenaga membongkar pintu atau
men-jebol dinding. Harus mencari akal. Na-mun, andaikata dia dapat keluar, bagai-mana ia
dapat lolos dari Thian-liong-pang" Lorong itu saja mempunyai tujuh buah pintu yang terjaga,
belum lagi diingat bahwa kalau dapat keluar dari lo-rong bawah tanah, di atas sana masih
ada tokoh-tokoh Thian-liong-pang yang lihai, terutama sekali Ketuanya!
"Aku harus bersabar dan melihat per-kembangan selanjutnya," akhirnya ia menghibur diri
sendiri. Betapapun juga dia merasa yakin bahwa dia tidak akan dibunuh, ksrena selain Sai-
cu Lo-mo mengaku sebagai kakeknya itu tidak su-ka melihat keturunannya terbunuh, juga
Ketua Thian-liong-pang agaknya ingin se-kali mendapatkan ilmu silatnya, teruta-ma sekali
Sam-po-cin-keng! Betapapun, dia masih memiliki ilmu sebagai "modal" untuk hidup! Dengan
pikiran ini, hatinya menjadi lebih tenang dan Bun Beng lalu mencari tempat duduk di lantai
yang enak. Akan tetapi, mana ada tempat du-duk yang enak" Lantai itu terbuat dari batu
pula, kasar dan agak basah karena selalu ada air menitik turun dan di atas lantai tampak
rangka-rangka manusia berserakan! Bun Beng mengerutkan ke-ningnya. Ada tujuh buah
tengkorak ma-nusia di dalam kamar mereka itu. Siapa tahu mungkin lebih banyak lagi,
tersem-bunyi di balik batu-batu berlumut. Dia tidak peduli, akan tetapi, rangka-rangka
manusia di situ memperingatkannya bahwa kalau dia tidak mentaati perintah Ketua Thian-
liong-pang dan tidak mau menjadi anggautanya, tanpa dibunuh pun dia akan mati di tempat
ini, seperti rangka-rangka itu! Akan tetapi, mung-kinkah kakek muka singa yang telah bera-ni
mati membelanya itu akan membiar-kan dia mati"
Tidak! Dia tidak boleh mati kela-paran di tempat ini. Dia harus ber-usaha untuk keluar dari
neraka ini. Mulailah Bun Beng melakukan penyelidik-an. Mula-mula dia memeriksa pintu itu
dan mencoba tenaganya. Namun segera mendapat kenyataan bahwa tidak mung-kin ia
menjebol pintu yang amat kuat itu. Dia lalu memeriksa dinding batu. Dinding yang amat
kokoh, batu bertum-puk dengan tanah yang keras. Kokoh ku-at tak mungkin dibongkar
dengan ta-ngan kosong.
Siapa tahu, akan ada penjaga datang menyerahkan makanan, pikirnya. Kalau mereka,
terutama kakek muka singa, ti-dak menghendaki dia mati, tentu mere-ka akan mengirim
makanan dan minum-an. Dia merasa yakin bahwa dia tidak akan dibiarkan mati begitu saja
sebelum dlbujuk. Maka ia menghentikan pemerik-saannya dan kembali duduk di sudut
ka-mar itu, bersila dan bersamadhi. Ter-ingat ia akan semua pengalamannya di waktu kecil.
Sudah berkali-kali, semen-jak terseret oleh pusaran maut air Su-rgai Huang-ho, dia
terancam bahaya maut, bahkan terpaksa harus hidup di antara sekumpulan monyet, dibawa
ter-bang burung raksasa dan jatuh terlepas ke atas laut, namun selalu dia tertolong! Kalau
Thian menghendaki, sekali ini pun dia tentu akan selamat. Teringat akan kekuasaan Tuhan,
Bun Beng menjadi te-nang. Manusia hidup tergantung dari ke-kuasaan Tuhan, mutlak dan
seluruhnya! Tanpa kekuasaan Tuhan, manusia tak mungkin dapat hidup. Detik jantung yang
memompa darah ke seluruh bagian tu-buh, pernapasan yang memberi makan darah, semua
berjalan otomatis tanpa dikuasai manusia. Dalam tidur sekalipun, detik jantung dan pompa
paru-paru te-tap bekerja, siapa yang mengerjakannya kalau bukan kekuasaan Tuhan"
Dalam keadaan sunyi gelap mengha-dapi ancaman maut ini, perasaan Bun Beng makin
dekat dengan kekuasaan Tuhan. Teringatlah ia akan wejangan-wejangan gurunya yang
pertama, Siauw Lam Hwesio, akan kekuasaan Tuhan dan betapa lemahnya manusia,
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

240 betapa tidak ada artinya. Ingin ia tertawa karena geli hatinya kalau teringat akan wejang-an
suhunya dahulu. Bagaimana pula yang dikatakan gurunya itu akan kelemahan manusia"
Orang yang merasa dirinya pandai dan berkuasa adalah sebodoh-bodoh orang, demikian
antara lain gurunya pernah berkata. Manusia memiliki puluhan ribu rambut dan bulu di
tubuhhya, namun mengatur pertumbuhan sehelai rambut atau bulunya saja dia tidak
mampu! Jangankan mengatur pertumbuhan kuku, mengatur detik jantung, menentukan ma-ti
hidupnya! Hanya oleh kehendak dan kekuasaan Tuhan sajalah manusia dapat hidup dan
mati! Pelajaran seperti ini memperkuat batin Bun Beng, memperbesar kepercayaannya kepada
Tuhan sehingga dia tidak takut menghadapi ancaman bahaya maut, karena ia sudah merasa
yakin sepenuh-nya, bahkan sudah berkali-kali menga-laminya dalam hidup, bahwa apa pun
yang terjadi, baru dapat terjadi apabila Tuhan menghendaki. Katau Tuhan meng-hendaki dia
mati, tidak ada kekuasaan di dunia ini yang akan dapat menghin-darkannya dari kematian.
Sebaliknya, apabila Tuhan menghendaki dia hidup, juga tidak ada kekuasaan di dunia ini
yang akan dapat membuat dia mati! Apalagi hanya kekuasaan manusia, biar dia sesakti
Ketua Thian-liong-pang sekalipun. Teringat akan semua ini Bun Beng tertawa. Ingin dia
bertanya kepada Ketua Thian-liong-pang yang sakti itu apakah dia mampu mengatur
pertumbuhan ram-but-rambutnya, tidak usah semua, sehe-lai saja!
Betapapun juga, Tuhan takkan meno-long manusia yang tidak berusaha meno-long dirinya
sendiri. Usaha atau iktiar merupakan kewajiban manusia yang se-kali-kali tidak boleh
dihentikan selama dia hidup. Adapun akan jadinya, terse-rah kepada kekuasaan Tuhan,
akan teta-pi dia harus berusaha menyelamatkan di-ri. Kalau Tuhan menghendaki dia mati
akan matilah dia. Mati dibunuh Ketua Thian-liong-pang, atau mati kelaparan di situ, atau mati
dalam usahanya me-nyelamatkan diri, semua itu hanya dija-dikan lantaran atau jalan, dipilih
oleh Tuhan sebagai penyebab kematiannya.
Pikiran ini membuat Bun Beng men-jadi tenang sekali, sedikit pun dia tidak merasa khawatir
karena hatinya telah bebas daripada keinginan hidup atau ma-ti, sudah ia serahkan
seluruhnya kepada keputusan Thian. Ia hanya memutar otaknya mencari jalan keluar,
bagaima-na harus menggunakan akal.
Setelah keadaan di dalam kamar tahan-an itu gelap pekat, tanda tentu di luar ada api
penerangan yang dipadamkan, Bun Beng merebahkan dirinya, terlentang di atas lantai batu
yang lembab dan ter-tidurlah dia karena hatinya tenang. Sinar yang membuat keadaan gelap
pekat itu menjadi remang-remang membangunkannya. Ia menduga bahwa tentu malam
telah terganti pagi karena cahaya yang kini sedikit menerangi kamar itu berbe-da dengan
cahaya semalam, cahaya ma-tahari yang putih dengan cahaya lampu kemerahan.
Sebuah kepala nampak di balik jeruji baja di bagian atas pintu. Kepala Sai-cu Lo-mo!
Kemudian, tangan kakek itu di-ulurkan di antara jeruji, membawa dua potong roti kering yang
panjang dan se-guci air.
Bun Beng dapat menangkap getaran suara penuh haru dan harap dalam kata-kata kakek
itu. Ia menahan kilas pikiran untuk menangkap kedua lengan kakek yang diulur masuk
melalui jeruji besi. Apa gunanya" Dia tidak akan dapat me-maksa kakek ini, dan tidak dapat
pula mencelakakannya. Ia menerima roti dan guci air.
"Terima kasih." Tanpa berkata-kata lagi pemuda ini makan roti kering. Dua potong roti itu
cukup baginya untuk me-ngenyangkan perutnya, kemudian ia mi-num air jernih yang
menyegarkan tubuhnya. Selesai makan dan minum, Bun Beng yang melihat kakek itu masih
berdiri di luar pintu dan sejak tadi memandangnya bertanya.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
241 "Sampai berapa lama aku akan dita-han di sini" Apakah makanan dan mi-numan diberi
racun perampas ingatan agar aku suka membuka rahasia ilmu si-lat untuk dipelajari
Pangcumu?"
Sai-cu Lo-mo menggeleng kepalanya. "Tidak, Bun Beng. Engkau adalah cucu-ku, engkau
dianggap sebagai orang sendi-ri, tidak perlu Pangcu mempelajari ilmu-mu yang kelak akan
ditukar dengan il-mu yang lebih tinggi oleh Pangcu sendi-ri. Bun Beng, tidak tahukah engkau
bah-wa kami bermaksud baik kepadamu" Engkau cucuku, hanya satu-satunya, maka
engkau tidak akan dibunuh. Kalau engkau suka menjadi anggauta Thian-liong-pang, engkau
malah akan mempero-leh kedudukan tinggi, sesuai dengan ke-pandaianmu."
Bun Beng menggeleng kepala. Biar-pun dia harus berusaha meloloskan diri, akan tetapi tak
pernah terpikir olehnya menukar keselamatannya dengan merendahkan diri menjadi
anggauta Thian-liong-pang yang ia anggap amat jahat dan keji!
"Percuma saja engkau membujuk. Aku tidak akan suka menjadi angauta Thian-liong-pang,
hanya untuk menyelamatkan nyawaku. Kalau aku berhasil keluar dari sini, aku tetap akan
menentang Thian-liong-pang menculiki tokoh-tokoh kang-ouw."
"Ahhh, engkau tidak tahu, Bun Beng. Pangcu adalah seorang yang bijak-sana, sama sekali
bukan orang jahat. Bah-kan dia telah merobah Thian-liong-pang dari kesesatannya, kembali
ke jalan benar. Kalau dia melakukan penculikan atas di-ri tokoh-tokoh kang-ouw itu sekali-
kali bukan dengan niat mencelakakan mereka, melainkan hendak mempelajari dan
me-nyaksikan jurus-jurus rahasia mereka yang telah diketahui Pangcu bagian teo-rinya saja.
Kemudian mereka dibebaskan kembali. Pangcu adalah seorang yang memiliki kesaktian
hebat!" "Hemmm, kalau memang sakti, mengapa masih ingin mencuri ilmu orang-orang lain?"
"Pangcu tidak akan menggunakan il-mu-ilmu itu, hanya ingin menghimpun, kemudian
menciptakan ilmu baru untuk menandingi kehebatan To-cu Pulau Es."
Bun Beng mengerutkan keningnya. "Justeru itulah yang aku tidak suka! Aku kagum dan
suka kepada Pendekar Silu-man yang aku yakin adalah seorang yang selain sakti, juga amat
bijaksana. Kalau Pangcumu memusuhi Pendekar Siluman, sudah pasti sekali aku berpihak
kepada Majikan Pulau Es itu!"
Sai-cu Lo-mo kelihatan berduka. "Aihh, Bun Beng. Mengapa engkau me-nyusahkan hati
seorang tua seperti aku" Apa perlunya engkau mencampuri sega-la urusan yang tiada
sangkut-pautnya denganmu" Engkau menyerah dan taat-lah, dan aku bersumpah bahwa
kelak engkau tidak akan menyesal. Akan kau lihat sendiri kebaikan Thian-liong-pang!"
"Maaf, aku tetap tidak mau menjadi anggauta Thian-liong-pang."
"Bun Beng, engkau tidak akan dapat keluar dari sini. Jalan satu-satunya ada-lah mentaati
Pangcu dan aku hanya di-perbolehkan membujukmu selama tiga hari. Kalau selama itu
engkau belum menurut, engkau akan menjadi tahanan di sini selamanya! Dan engkau....
engkau akan mati dengan sia-sia...."
"Menyesal sekali. Aku lebih memilih bahaya mati daripada harus menuruti ke-hendak
Pangcumu yang seperti iblis itu!"
Kakek itu menghela napas panjang, kemudian pergi dengan muka berduka. Selama tiga
hari terus-menerus datang dan membujuk, namun tetap saja Bun Beng tidak mau menuruti
bujukannya. Bahkan pemuda itu kini tekun dengan penyelidikannya. Dibongkarnya batu-batu
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
242 di lantai di antara tulang-tulang rangka manusia dan ia menemukan sebuah ka-pak
bergagang panjang. Tentu ini meru-pakan senjata dari seorang di antara mereka yang telah
menjadi rangka itu. Kemudian ia memeriksa dinding, dinding di sebelah kanan pintu lebih
berlumut dan dingin sekali. Kalau ia menempelkan telinganya di situ, mendengar bunyi air
berkerosok. Hal ini menimbulkan du-gaan bahwa tentu dinding ini yang pa-ling tipis sehingga
dia dapat mendengar bunyi air bergerak. Akan tetapi mengapa ada air di balik dinding ini"
Setelah hari ke tiga dan kakek muka singa menghabiskan bujukannya dengan sia-sia, kakek
itu tidak muncul lagi. Se-tiap malam ada seorang penjaga melemparkan roti kering dan guci
air ke da-lam kamar tahanan. Dan mulailah Bun Beng bekerja. Dengan kapak gagang
pan-jang itu dimulai membongkar batu din-ding kanan sekuat tenaga. Dia bekerja setelah
penjaga melemparkan makanan. Setelah menghabiskan roti dan air, mu-lailah dia
menghantami dinding batu de-ngan kapaknya. Dia mempunyai waktu sehari semalam
lamanya. Besok malam, barulah ada penjaga datang untuk mem-beri makanan dan
minuman. Dia harus berhasil selama sehari semalam ini, ka-rena kalau tidak, tentu penjaga
akan melihatnya dan dia akan ketahuan, yang berarti gagal!
Bun Beng bekerja dengan semangat menyala-nyala. Tak pernah sedetikpun ia beehenti dan
dia tidak mempedulikan kedua telapak tangannya yang sudah le-cet-lecet dan otot-otot
lengannya yang menggelepar-gelepar di dalam daging.
Ia terus menghantamkan kapaknya dan satu demi satu batu dinding dapat ia bongkar, batu
itu keras sekali dan sema-lam suntuk dia hanya dapat membong-kar sedalam satu meter.
Namun belum tampak tanda-tanda bahwa dinding itu telah menipis! Pada keesokan harinya
Bun Beng masih terus bekerja, dia tidak mempedulikan apa-apa lagi, seluruh pi-kiran,
perhatian, dan tenaga dikerahkan untuk menghantami batu-batu dengan kapaknya. Dia tidak
tahu berapa lama dia bekerja, hanya bahwa dia harus ber-lomba dengan waktu. Betapapun
juga, hatinya mulai risau ketika dinding yang tadinya jelas itu mulai tampak suram tanda
bahwa hari telah mulai sore dan sebentar lagi malam akan tiba dan ber-arti Si Penjaga akan
datang mengantar roti dan air. Dia akan ketahuan dan akan gagal! Teringat akan ini, Bun
Beng mem-perhebat ayunan kapaknya, menghantam dinding batu yang kini sudah ia gali
se-dalam dua meter lebih, tingginya seukur-an tubuhnya. Batu-batu berserakan di dalam
kamar itu, ia tendang-tendangi sehingga bertumpuk di kanan kiri dan belakangnya.
Malam tiba. Kegelapan cuaca kini diterangi seberkas cahaya kemerahan, sinar lampu
penerangan seperti biasa. Tak lama lagi penjaga tentu muncul. Bun Beng menghentikan
kapaknya yang menjadi panas karena terus menerus menghantam batu keras. Dia terduduk,
terengah-engah dan menghapus peluh sambil mengasah otak. Bagaimana seka-rang"
Dinding terkutuk itu tidak juga dapat ia tembus, agaknya setebal perut gunung! Dan Si
Penjaga sebentar lagi datang! Akan terbuang sia-sialah usaha-nya yang mati-matian selama
sehari se-malam! Tubuhnya penat sekali, perutnya lapar dan kerongkongannya kering, haus.
Lapar dan haus! Teringat akan ini, Bun Beng meloncat bangun dan lari ke pintu,
menempelkan tubuhnya ke pintu yang le-barnya hanya sebesar orang. Kedua le-ngannya ia
keluarkan dari celah-celah jeruji baja, mukanya ia tempelkan pada jeruji dan matanya
mengerling ke arah datangnya penjaga.
Ketika ia melihat penjaga datang membawa roti dan guci air, Bun Beng berteriak-teriak
memaki, "Penjaga kepa-rat! Mengapa begitu lama" Aku sudah kelaparan dan hampir mati
kehausan! Hayo cepat bawa roti dan air itu ke sini! Keparat jahanam engkau!"
Penjaga itu berhenti dan tertawa. "Ha-ha-ha, orang muda. Jangan kira aku tidak tahu akan
akal bulusmu!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
243 Dapat dibayangkan betapa kaget hati Bun Beng mendengar ini. Ia makin mera-pat pada
jeruji pintu, menutupi seluruh celah jeruji uengan kedua lengan di ka-nan kiri mukanya.
"Apa.... apa maksud-mu?"
Kembali penjaga itu tertawa dan ber-diri agak jauh sehingga Bun Beng tidak akan mampu
menjangkau dengan tangan-nya. "Ha-ha-ha, apa kaukira aku bodoh" Engkau tentu ingin
agar aku mendekat sehingga engkau dapat menangkapku dan membunuhku, bukan?"
Rasa lega menyelubungi hati Bun Beng. Ia membentak, "Memang aku ingin sekali mencekik
lehermu dan mematahkan tulang punggungmu!"
"Jangan mimpi, aku lebih cerdik dari-mu. Begitu melihat engkau di pintu, aku sudah curiga
karena biasanya engkau ti-dak mengacuhkan roti dan air yang kubawa untukmu. Tentu
engkau hendak menggunakan akal, pikirku, maka aku ti-dak mau mendekat. Nah, nih, kau
tangkap roti dan airmu. Ha-ha-ha!" Penjaga itu melemparkan roti dan guci air ke arah kedua
tangan Bun Beng. Dengan sengaja Bun Beng bergerak lambat. Roti dapat ditangkapnya,
akan tetapi guci air itu luput dan jatuh ke atas lantai di luar pintu, airnya tumpah.
"Jahanam, lekas ambilkan air untuk-ku. Aku haus sekali!" Bun Beng berte-riak-teriak akan
tetapi penjaga itu ter-tawa.
"Rasakan kau!" katanya sambil ber-jalan pergi!
Bun Beng cepat mengambil kapak-nya dan lupa makan. Dia mulai lagi be-kerja, hatinya
lega. Dia telah dapat memperpanjang waktu usahanya sehari se-malam lagi! Batu-batu itu
mulai mudah dibongkar karena tanahnya lembek dan basah, bahkan kini ada air menetes-
netes memasuki kamar. Dia menggali terus penuh semangat.
Pada keesokan harinya lewat pagi, air yang menetes makin banyak, bahkan kini jelas
terdengar bunyi riak air. Bun Beng mengapak terus, tampak ada batu bergerak, kapaknya
terayun ke arah ba-tu itu dan.... "krasak-krasak byuuuurrrr."
Bun Beng cepat meloncat ke samping, melempar kapaknya dan mepet pada din-ding dekat
lubang yang kini tiba-tiba pecah menjadi lebar terdorong oleh ma-suknya air seperti dituang.
Bun Beng berdiri mepet dinding dengan muka pu-cat. Bahaya yang datang mengancamnya
ini tidak kalah mengerikan. Memang be-nar dia telah berhasil membobol dinding, akan tetapi
ternyata di belakang dinding itu adalah air yang entah berapa banyak-nya, yang kini
membanjiri kamar tahan-an. Bun Beng tidak mau panik, dan otak otaknya bekerja cepat.
Kalau dia menero-bos lubang itu, tidak mungkin dia kuat menghadapi tenaga air yang
menerjang masuk, maka ia hanya mepet dinding de-kat lubang sambil mencengkeram
dinding batu dengan kedua tangannya. Dia mak-lum bahwa kalau kamar itu telah penuh, air
akan terus menerobos keluar melalui celah-celah jeruji pintu. Akan tetapi, mengingat bahwa
lubang itu tidak begi-tu besar dan air yang menerobos tidak banyak, maka tekanan air dari
luar lu-bang dinding tentu tidak begitu besar. Maka dengan kenekatan luar biasa, Bun Beng
menanti sampai kamar itu penuh, air naik dengan cepatnya sampai ke le-her, dia
memejamkan mata dan mengum-pulkan napas sepenuh paru-parunya sam-bil menanti.
Bun Beng memang cerdik. Kalau dia panik dan berusaha keluar dari lubang dinding selain
air menerjang masuk, ten-tu dia akan terseret dan terbanting kem-bali sehingga
membahayakan keselamatannya. Sebentar saja air menjadi penuh dan Bun Beng yang telah
tenggelam di dalam air itu merasa betapa dorongan air dari lubang dinding yang jebol itu
tidak begitu kuat lagi. Cepat ia melepaskan cengkeraman tangannya pada din-ding,
berenang ke arah lubang dengan tangan meraba-raba karena ketika ia membuka matanya,
dia tidak dapat melihat apa-apa, air itu keruh dan akhirnya ia dapat meraba dinding yang
jebol. Ia merangkak, berpegangan pada pinggiran lubang, terus merayap keluar lubang itu.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
244 Ketika ia meluncur ke depan, tubuhnya terdorong ke atas dan tahulah dia bahwa dia berada
di air yang dalam, entah te-laga, sungai atau laut! Tak mungkin la-utan, pikirnya, karena air
tidak asin. Dia membiarkan dirinya meluncur ke atas, bahkan membantu dengan kaki
ta-ngannya karena dia harus dapat tiba di permukaan air. Dadanya seperti akan meledak
karena sudah terlalu lama dia menahan napas!
Betapa girang hati Bun Beng ketika akhirnya kepalanya tersembul di permukaan air. Ia
membuka mulut dan menghi-sap napas banyak-banyak sampai dada-nya terasa nyeri. Ia
terengah-engah, ber-ganti napas dan membuka kedua mata-nya. Kiranya ia telah tiba di
permukaan sebuah sungai yang amat lebar, sungai yang selain lebar juga dalam, dan
air-nya keruh. Demikian lebarnya sungai itu sehingga dari tempat ia muncul, yaitu di tengah-
tengah, ia melihat kedua tepi-nya jauh sekali.
"Aduhh....!" Tiba-tiba secara otomatis Bun Beng mengerahkan sin-kang membu-at kakinya
keras karena kakinya terasa digigit sesuatu dari bawah. Ia dapat menahan gigitan itu dengan
sin-kangnya yang membuat kaki kirinya kebal, akan tetapi kini mahluk yang mengigitnya itu
meronta dan hendak menyeretnya ke bawah.
Bun Beng menjadi marah. Cepat ia menarik kakinya dan tampaklah seekor ikan menggigit
kakinya itu. Ikan yang besar sekali, sebantal besarnya.
"Ikan keparat!" Bun Beng membentak dan menendangkan kakinya. Ikan itu men-celat
karena gigitannya terlepas dan ka-rena dia tidak dapat tahan lama di atas permukaan air.
Akan tetapi kini Bun Beng melihat suara hiruk pikuk di kanan kirinya, air berguncang dan
suaranya berkecipak, tampaklah kepala-kepala dan ekor-ekor banyak ikan besar
mengurung-nya dan menyerangnya dari depan, kanan kiri dan belakang!
Bun Beng makin mendongkol. Dia mengenal ikan-ikan ini, semacam ikan lele yang tidak
bersisik, kulitnya licin halus, kepalanya bulat mengkilap dan matanya seperti mata orang
yang licik, gerakannya cepat sekali. Biasanya ikan macam ini merupakan bahan hidangan
yang lezat, baik dipanggang maupun di-masak atau digoreng sekalipun. Biasanya melihat
seekor ikan seperti ini di darat menimbulkan selera. Akan tetapi pada saat itu, agaknya
selera ikan-ikan itulah yang timbul melihat tubuh Bun Beng! Dan ikan-ikan ini, berbeda
dengan yang biasanya dilihat Bun Beng, amatlah be-sarnya. Belum pernah ia melihat ikan
lele sedemikian besarnya, biasanya hanya sebesar betis. Mungkin bukan ikan-ikan lele,
karena tidak mempunyai kumis!
Bun Beng tidak memusingkan ikan apa-apa yang mengeroyoknya dan dia mulai mengamuk.
Dengan tangan kanan, ia memukul seekor ikan yang menyerang-nya dari depan sehingga
tubuh ikan itu terlempar jauh di atas air, kemudian ka-ki tangannya bekerja memukul dan
menendang ikan-ikan itu.
"Aupp....!" Karena lupa bahwa dia bu-kan sedang berada di darat, maka begitu dia main silat
di air, tubuhnya tengge-lam dan dia gelagapan. Cepat ia menggerakkan kedua kakinya dan
kini setelah tubuh atasnya timbul, ia hanya menggu-nakan kedua tangan saja untuk
memukul dan mendorong ikan-ikan itu, sedangkan kedua kakinya dia pergunakan untuk
men-ahan tubuhnya agar tidak tenggelam.
Bun Beng adalah seorang yang telah memiliki tingkat kepandaian tinggi, dan kalau hanya
dikeroyok oleh ikan-ikan se-perti itu saja, agaknya dia akan dapat mengalahkan para
pengeroyoknya dengan mudah. Akan tetapi itu kalau di darat. Kalau di air, dialah yang repot
sekali. Kepandaiannya berenang di air amat terbatas, bukan termasuk ahli, tentu saja
dibandingkan dengan ikan-ikan yang me-mang hidupnya di air dia kalah jauh dan sebentar
saja Bun Beng menjadi gelagap-an dan sudah beberapa kali tubuhnya terkena gigitan ikan-
ikan kelaparan itu.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
245 Celaka, keluhnya. Baru saja terbebas dari kamar neraka, dia sudah diancam bahaya air,
dan baru saja dia terbebas dari ancaman itu, kini dia kembali menghadapi maut di mulut ikan
lele! Benar-benar menyebalkan bahaya yang sekali ini mengancamnya. Betapa tidak
menyebalkan kalau dia harus mati di mulut ikan-ikan lele! Padahal, semestinya ikan-ikan lele
itulah yang mati di mulut manusia. Betapa memalukan, se-orang pendekar mati dikeroyok
ikan lele! Tidak, dia tidak mau mati begitu re-meh! Bun Beng melawan sedapatnya sambil
berusaha berenang ke tepi sungai itu.
Tiba-tiba terdengar lengking nyaring disusul suara berkelepaknya sayap. Bun Beng
mendengar ini, akan tetapi dia ti-dak dapat mengalihkan perhatiannya terhadap
pengeroyokan ikan-ikan itu. Sekali ia memutar tubuh menghantam seekor ikan dengan
tangan kanannya, membuat ikan itu terlempar dalam keadaan mati karena kepalanya pecah.


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba saja, seperti munculnya ta-di, ikan-ikan itu menyelam dan lenyap, kecuali
beberapa ekor yang telah menjadi bangkai. Dan sebelum Bun Beng sem-pat sadar akan
datangnva bahaya lain, tahu-tahu pundaknya terasa nyeri dan tubuhnya melayang ke atas!
Bun Beng terkejut sekali. Tubuhnya melayang tinggi dan di atas terdengar kelepak sayap
burung! Ia memandang ke atas dan tepat seperti yang ia duga dan khawatirkan, pundaknya
telah dicengke-ram oleh kaki seekor burung rajawali yang besar dan ia dibawa terbang
ting-gi sekali!
"Sialan!" Bun Beng menyumpahi diri-nya. Terlepas dari mulut ikan lele, kini masuk ke dalam
cengkeraman rajawali raksasa yang buas! Mengapa dirinya se-lalu ditimpa kemalangan dan
diancam bahaya maut yang mengerikan" Teringat ia akan pengalamannya dahulu ketika ia
diterbangkan seekor burung dan dia bersembunyi di dalam keranjang. Dia memandang
penuh perhatian dan keningnya berkerut. Celaka! Burungnya yang itu, itu juga! Burung
rajawali milik Pulau Neraka! Tak salah lagi, dia mengenal modelnya. Wah, wah, kalau
burungnya ada, tentu pemiliknya ada. Bocah laki-laki menjemukan itu, bocah iblis yang keji
dan sadis! Sekarang tentu sudah menjadi seorang pemuda, dan tentu lebih kejam daripada
dahulu. Hampir saja Bun Beng memukul kalau saja dia tidak ingat bahwa dia bukan di atas tanah. Ia
melirik ke bawah dan menjadi ngeri. Burung itu terbang ting-gi sekali sehingga sungai yang
besar itu kini tampak jelas seperti seekor naga jauh di bawah. Dan burung itu tidak lagi
berada di atas sungai. Kalau dia memukul dan terlepas dari cengkeram-an, tentu dia akan
jatuh terbanting ke atas tanah dan remuk semua tulangnya! Maka ia lalu meraih ke atas dan
tangan-nya memegang kaki burung erat-erat sambil melepaskan cengkeraman kaki burung
yang masih mencengkeram pun-daknya. Kini dialah yang memegang ka-ki burung, tidak
berani melepaskan karena hal itu akan berarti kematian yang mengerikan baginya.
Tiba-tiba ia melihat seekor burung lain, juga amat besar, terbang cepat datang dari jauh.
Sudah terdengar suara pekik burung itu melengking keras. Ce-laka, pikirnya, tak salah lagi
tentulah bocah setan itu yang datang menung-gang burungnya. Masih terlalu jauh un-tuk
dapat dilihat apakah burung yang terbang datang itu ada penunggangnya atau tidak. Dia
memutar otaknya, men-cari akal apa yang harus dilakukannya kalau sampai pemuda setan
itu betul-betul datang. Kalau saja dia bisa naik ke atas punggung burung ini, dia akan
mendapat kesempatan untuk menghadapi lawan. Sama-sama menunggang burung, barulah
ramai dan sebanding kalau bertempur. Kalau dia bergantung pada kaki burung, tentu saja
dia tidak dapat melakukan perlawanan dengan baik, paling-paling dia hanya bisa melindungi
tubuhnya dengan sebelah tangan yang sebelah lagi harus ia pergunakan untuk
bergantungan pada kaki burung.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
246 Tiba-tiba burung yang membawanya itu pun melengking keras, lengking tan-da kemarahan
dan ketika burung yang terbang datang itu sudah tampak dekat, hati Bun Beng agak lega
karena tidak tampak ada penunggangnya. Akan tetapi, kelegaan hatinya itu menjadi berubah
seketika ketika kedua ekor burung itu sudah saling serang dengan hebatnya. Kini tampak
jelas oleh Bun Beng bahwa burung yang baru datang adalah seekor burung garuda putih.
Dia mengenal bu-rung itu. Burung tunggangan Pendekar Siluman. Burung garuda dari Pulau
Es! Tentu saja dua ekor burung yang menjadi musuh lama itu kini saling terjang mati-matian,
saling cakar, saling patuk, saling kabruk sambil mengeluarkan sua-ra melengking menulikan
telinga. Bun Beng yang celaka dalam perta-rungan antar dua ekor burung raksasa itu. Betapa tidak"
Tubuhnya tergantung di kaki burung rajawali dan di dalam pertandingan itu, kedua ekor
burung sa-ling terjang sehingga tubuh Bun Beng terbawa, terguncang, bahkan dia menjadi
korban terkaman burung garuda yang tentu saja tidak dapat membedakan dia dari kaki
burung lawan. Bun Beng yang masih bergantung pa-da kaki rajawali menjadi serba salah. Mau membantu
garuda putih dengan me-mukul tubuh rajawali, berarti dia seper-ti memukul diri sendiri. Kalau
rajawali itu jatuh, bukankah berarti dia sendiri pun jatuh jatuh ke bawah" Mau memban-tu
burung rajawali, dapat ia lakukan dengan jalan memukul garuda putih di waktu dua ekor
burung itu saling kabruk, hatinya tidak mengijinkan karena dalam pertandingan antara kedua
ekor burung itu otomatis dia berpihak kepada garuda putih yang menjadi peliharaan
Pendekar Siluman yang ia kagumi. Membantu raja-wali salah, membantu garuda pun tidak
mungkin. Diam saja juga tidak baik ka-rena dialah yang palnng payah dalam pertadingan
angkasa itu. Bun Beng benar-benar merasa tersiksa sekali, tersiksa lahir batin. Tubuhnya menjadi bulan-
bulanan, montang-manting terdorong ke sana sini, kena patuk, kena cakar sehingga ia luka-
luka dan tubuh-nya terasa sakit-sakit, pakaiannya banyak yang terkoyak. Ini benar-benar
menyiksa hatinya. Dalam pertadingan biasa, biar-pun melawan musuh yang jauh lebih
pan-dai, sedikitnya dia bisa melawan, balas menyerang, atau kalau sudah merasa kalah,
dapat melarikan diri. Akan teta-pi sekarang ini sama sekali dia tidak berdaya. Membalas
tidak bisa, melin-dungi tubuh sendiri pun tidak sempurna, melarikan diri pun.... mana
mungkin" Habislah ikhtiar sebagai manusia dan dalam keadaan seperti itu, tidak lain jalan
lagi kecuali menyerahkan nasib ke tangan Tuhan! Dia hanya dapat menggunakan sebelah
tangan untuk menangkis setiap ada bahaya patukan, cengkeraman atau kabrukan sayap
yang mempunyai tenaga kwintalan!
Dalam pertandingan angkasa yang ramai itu, Si rajawali raksasa akhirnya terdesak hebat.
Banyak bulu sayapnya membodol dan kepalanya berdarah. Hal ini tidak mengherankan.
Dalam keadaan biasa saja, garuda putih dari Pulau Es yang terlatih itu merupakan lawan
be-rat baginya, apalagi sekarang sebelah kakinya diganduli orang, tentu saja hal ini
membuat gerakannya kurang leluasa sehingga dia lebih banyak menerima pa-tukan dan
cengkeraman. Karena itu, sambil mengeluarkan suara melengking bingung, seperti seekor
ayam dikejar-kejar anak kecil, rajawali raksasa itu mulai menggerak-gerakkan kakinya yang
diganduli Bun Beng, berusaha melepas-kan orang yang menjadi pengganggu ge-rakannya.
Bun Beng maklum akan niat rajawali itu dan tentu saja dia tidak su-di disuruh turun begitu
saja. Terlepas berarti melayang turun dari tempat yang tingginya ribuan kaki! Maka ia malah
menggunakan tenaganya untuk memegang kaki rajawali itu sekuat mungkin se-hingga
biarpun rajawali itu berusaha un-tuk menendangkan kakinya tubuh Bun Beng tetap saja tidak
terlepas dari kaki-nya.
Namun, kini keadaan Bun Beng ma-kin payah. Kalau tadinya dia hanya menjaga diri dari
serangan garuda putih yang sebetulnya menyerang Si rajawali dan tanpa disengaja
menyerang Bun Beng pula, setelah rajawali itu kini berusaha melepaskannya, Bun Beng
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
247 harus mengha-dapi dua serangan, yaitu dari garuda yang masih menyerang secara ngawur
sehing-ga dirinya ikut diserang, dan dari raja-wali yang hendak menendang dirinya supaya
terlepas. Tubuh Bun Beng terayun-ayun dan beberapa kali hampir saja pegangannya terlepas.
Betapapun juga, dia tidak bera-ni memegang kaki rajawali itu dengan dua tangannya, karena
tangan yang kanan ia perlukan untuk menjaga diri, me-nangkis terjangan garuda. Kepalanya
menjadi pening dan tangan kirinya tera-sa penat sekali. Kalau sudah tidak kuat, dia
mengganti tangan kiri dengan tangan kanan yang menggandul, sedangkan ta-ngan kirinya
yang penat itu ia perguna-kan untuk melindungi tubuhnya dari ter-jangan garuda putih.
Ketika burung garuda menyambar lagi, kini dari bawah, agaknya garuda yang cerdik itu
melihat betapa lawannya sibuk dengan kakinya, paruh dan cakar garuda yang menerjang
perut raja-wali itu otomatis mengabruk pula tubuh Bun Beng yang tergantung.
"Celaka....!" Pemuda itu berseru ke-ras dan betapapun ia hendak memperta-hankan, tak
mungkin ia menangkis se-rangan garuda sehebat itu hanya dengan tangan yang sudah
penat. Gerakan me-nyelamatkan dirinya secara otomatis membuat ia menggunakan pula
tangan kanan, lupa bahwa tangan kanannya tak boleh dilepaskan dari kaki rajawali. Be-gitu
ia menggerakkan tangan kanan me-lepaskan kaki rajawali, tentu saja tubuh-nya terlepas dan
melayang ke bawah.
"Mampus aku sekarang....!" Ia mengo-mel karena jengkel akan kebodohannya sendiri, akan
tetapi ia segera teringat dan disambungnya tenang, "....kalau Tuhan menghendaki....!"
Akan tetapi betapa mungkin ia akan dapat menyelamatkan diri dengan tubuh meluncur ke
bawah sedemikian cepatnya, menuju ke arah tanah di bawah yang berbatu" Betapapun
lihainya, tidak mungkin ia dapat menguasai tubuhnya yang meluncur turun cepat sekali,
seperti ba-tu disambitkan.
Bukan main herannya rasa hati Bun Beng. Di saat kematian berada di depan mata ini
seperti dalam mimpi ia meli-hat wajah yang berubah-ubah. Pertama wajah Milana, kemudian
berubah menja-di wajah Kwi Hong, dan berubah lagi menjadi wajah Ang Siok Bi puteri Ketua
Bu-tong-pai. Gila, ia menyumpah. Menga-pa dalam menghadapi maut yang agak-nya sekali
ini tidak mungkin dapat ia elakkan lagi, pikirannya jadi kacau-balau dan ia teringat akan
gadis-gadis itu" Ini-kah yang disebut watak mata keranjang seorang pria" Ayahnya
memperkosa ibu-nya! Ayahnya dan ibunya saling bunuh! Anak haram, kata Ketua Thian-
liong-pang. Anak seorang datuk kaum sesat, seringkali ia mendengarnya. Dan dia ma-sih
cucu keponakan seorang tokoh Thian-liong-pang yang mukanya seperti singa. Orang
macam apakah dia" Mati pun ti-dak ada yang kehilangan. Pikiran ini membuat dia makin
tenang, karena ia berpendapat bahwa orang seperti dia ini kalau terus hidup pun hanya akan
mengalami kesengsaraan dan penghina-an, mengalami tekanan batin dan tidak dihargai
orang. Satu-satunya orang yang paling baik terhadapnya adalah suhunya yang pertama,
Siauw Lam Hwesio. Akan tetapi suhunya itu telah dibunuh secara mengerikan oleh Im-kan
Seng-jin Bhong Ji Kun koksu (guru negara) yang tinggi kurus itu bersama pembantu-
pembantu-nya. Tidak, dia tidak boleh mati! Biar-pun kalau hidup ia mengalami
kesengsa-raan batin, akan tetapi dia harus hidup untuk menuntut balas atas kematian Siauw
Lam Hwesio yang demikian me-nyedihkan! Dan dia masih meninggalkan sepasang pedang
pusaka yang belum diam-bilnya. Sayang kalau pedang itu tersia-sia hilang di tempat rahasia
itu. Kini timbul keinginan hatinya untuk menye-rahkan pedang itu kepada Pendekar
Silu-man, satu-satunya orang yang dikagumi-nya di antara seluruh tokoh sakti di du-nia ini.
"Aku tidak mau mati dulu!" Bun Beng berteriak diluar kesadarannya dan tiba-tiba ia melihat
seekor burung raksasa lain di bawahnya. Celaka, apakah ia dikejar dua ekor burung tadi"
Ah, tidak, burung ini berada di bawahnya, bergerak-gerak terbang menyongsongnya, tentu
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
248 akan menyerangnya pula. Dalam keadaan melayang dan meluncur turun ini, se-dangkan
menjaga jatuhnya saja dia tidak mampu, bagaimana ia akan dapat mem-pertahankan diri
kalau burung raksasa ini menyerangnya" Ah, dia akan tertolong kalau dapat menangkap
burung itu. Asal dapat menangkapnya, entah merangkul lehernya atau merangkul kakinya,
pen-deknya dia harus dapat mengunakan bu-rung itu sebagai penyelamatnya dari
ke-jatuhan yang tak dapat disangsikan lagi akan kehancuran tubuhnya. Kalau tadi timbul
kengerian karena takut diserang burung baru ini, sekarang dia malah mengharap agar
burung itu benar-benar menyerangnya. Karena kalau dia yang harus menuju ke burung itu,
tentu saja tidak mungkin. Tanpa sayap mana mung-kin dia bisa mengatur meluncurnya itu"
Makin dekat.... dan Bun Beng kembali menyumpah, "Dasar awak sialan!" Yang disangkanya
burung raksasa itu ternyata hanyalah sebuah layangan besar sekali. Memang bentuknya
seperti burung, bah-kan dilukis seperti burung, akan tetapi tetap saja benda itu hanya
sebuah layang-layang yang biasa menjadi permainan seorang kanak-kanak! Apa artinya
sebu-ah layang-layang baginya dalam keadaan terancam bahaya maut seperti itu" Se-akan-
akan malah mengejeknya, bergerak-gerak ke kanan kiri dipermainkan angin.
Melihat betapa layang-layang itu berge-rak-gerak seperti seekor burung yang menari-nari
mengejeknya, timbul rasa panas di hati Bun Beng. Memang dia terancam bahaya maut,
akan tetapi se-dikit pun dia tidak takut. Mengapa harus diejek" Karena dia tidak berdaya
membalas, kalau dia dapat tentu akan ditang-kapnya layang-layang itu dan dicabik-cabiknya,
maka Bun Beng hanya meme-jamkan matanya dan membiarkan tubuh-nya meluncur terus
ke bawah. Teringat ia ketika dahulu ia jatuh pula dari kaki burung rajawali terbang dan berada di dalam
keranjang, akan te-tapi di bawahnya adalah laut luas sehing-ga dia terjatuh dengan empuk.
Hanya satu perbedaannya, kalau dahulu di wak-tu dia masih kecil dia menjadi pingsan ketika
meluncur turun, kini dia dapat mempertahankan diri dan tidak menjadi pingsan. Hal ini
karena sin-kangnya su-dah bertambah jauh lebih kuat, maka ia merasa dadanya sesak dan
sukar berna-pas namun ia masih dapat menahannya dan masih dalam keadaan sadar
sepenuh-nya, merasakan betapa tubuhnya mela-yang turun dengan kecepatan yang
me-ngerikan. Tiba-tiba ia merasa kakinya nyeri dan luncuran tubuhnya tertahan, bahkan kini tubuhnya
tergantung dengan kepala di bawah. Ketika ia membuka mata, ia melihat bahwa kedua
kakinya terlibat oleh sehelai tali yang cukup besar, sebe-sar kelingking. Tubuhnya yang
bergan-tung itu bergoyang ke kanan kiri, akan tetapi tidak melucur ke bawah lagi. Ia melihat
ke atas, di atas kepalanya, tidak begitu tinggi, hanya sejauh lima enam meter, tampak
layang-layang rak-sasa tadi bergerak-gerak.
"Setan! Iblis! Siluman angkasa laknat! Engkau mengacau layang-layangku, si ke-parat!"
Tiba-tiba Bun Beng mendengar suara makian dari atas dan dengan ma-ta terbelalak ia
melihat bahwa di ba-wah layang-layang itu tampak seorang kakek berdiri di tali-temali
layang-layang, seorang kakek yang bertubuh pen-dek, berjenggot panjang dengan rambut
terurai lepas, melambai tertiup angin. Yang membuat ia terkejut adalah wajah-nya berwarna
kekuningan mendekati pu-tih, hanya karena jenggot dan rambut-nya sudah berwarna putih
perak maka wajahnya tampak menguning! Seorang tokoh Pulau Neraka! Tidak salah lagi.
Orang dari mana lagi kalau bukan dari Pulau Neraka yang memiliki kulit kuning seperti dicat
itu" Timbul harapannya di hati Bun Beng. Kalau kakek itu dapat hidup di tali la-yang-layang,
tentu ia pun dapat. Harap-an untuk hidup membuat Bun Beng sadar dan cepat-cepat ia
menggunakan kedua tangannya memegang tali layang-layang dengan erat, kemudian
melepaskan kaki-nya dari belitan dan membalikkan tubuh sehingga kini dia bergantung pada
tali layang-layang itu, kedua tangannya me-megang erat dan kedua kakinya ia libat-kan.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
249 Gerakan-gerakannya ini membuat layang-layang itu makin kacau gerakan-nya, bergoyang
ke kanan kiri, kadang-kadang menukik turun dengan kecepatan mengerikan dan
mengeluarkan bunyi angin bercuitan.
"Setan! Bodoh! Kiranya engkau hanya seorang pemuda tolol. Dari mana kau datang
mengacau layang-layangku, heh" Lekas.... wah celaka, pindahkan berat tu-buhmu ke kanan,
injakkan kakimu pada tali dan enjot tubuhmu ke atas. Wah-wah.... celaka, bisa terus layang-
layang ini. Sialan, kau merampas kegembiraan-ku!"
Tidak usah dimaki dan diperingatkan pun, Bun Beng sudah maklum betapa ba-hayanya
"menunggang" layang-layang de-ngan bergantungan pada talinya. Ketika layang-layang itu
menukik turun, dia menjadi ngeri sekali. Mengertilah dia bahwa kakek Pulau Neraka yang
aneh itu tadi "mengemudikan" layang-layang secara aneh dan biarpun di dalam hati-nya dia
tidak suka kepada tokoh Pulau Neraka yang dianggapnya jahat, namun mendengar perintah
itu, otomatis dia mentaatinya. Dalam keadaan seperti itu, tidak ada kawan atau lawan, yang
ada hanyalah orang senasib sependeritaan, kalau gagal sama-sama mati kalau ber-hasil
sama-sama selamat. Dia mengerah-kan tenaganya ke kanan menginjak tali layang-layang
dan mengenjot tubuh ke atas. Benar saja, layang-layang yang ke-hilangan gandulan dan
bobot di bawah itu segera menghentikan gerakan menu-kik ke bawah, kepalanya kgmbali ke
atas dan kini layang-layang itu menjadi "odek" (bergoyang-goyang ke kanan kiri cepat sekali)
membuat tubuh Bun Beng terbawa goyang-goyang membuat kepala-nya pening karena
tubuhnya seperti diko-cok ke kanan kiri.
"Setan udara! Apakah engkau sudah bosan hidup" Jangan pegang erat-erat, layang-layang
menjadi odek tidak karu-an, sialan!"
Biarpun dimaki-maki, Bun Beng yang maklum bahwa keselamatan mereka ber-dua
tergantung dengan keahlian kakek itu, tidak menjadi marah dan bertanya.
"Habis bagaimana, Kakek yang baik?"
"Wah-wah, kau mulai menjilat-jilat, ya" Heiii, bukankah aku pernah melihat tampangmu?"
Bun Beng menjadi bengong. Setelah kini layang-layang itu tidak menukik ke bawah, dia
mendapat kesempatan untuk memandang wajah kakek itu penuh perhatian dan....
teringatlah ia bersama Mi-lana ditolong oleh kakek muka kuning yang aneh. Kiranya inilah
orangnya! Tak salah lagi. Biarpun kini kelihatan lebih tua dan memakai sepatu pula, tidak
ber-telanjang kaki macam dulu, namun sikap aneh kakek itu malah bertambah dan si-kap
inilah yang mengingatkan dia. Akan tetapi dia pun teringat betapa dalam pertemuan-
pertemuan pertama itu dia telah mengakali kakek ini untuk dapat melarikan diri bersama
Milana, maka ia menganggap bahwa tidaklah cerdik untuk mengakuinya.
"Aku tidak pernah berjumpa dengan Locianpwe."
"Ahhh, bohong! Aku pernah melihat mukamu, hemm.... kalau saja engkau su-dah tua dan
kepalamu botak.... heiii, kau mau ke mana?"
Bun Beng tidak mau melayani kakek gila itu lebih lama lagi. Dia melihat ke bawah dan
maklum bahwa kalau dia me-rosot turun melalui tali layang-layang itu, dia akan dapat
sampai ke bumi dan dapat membebaskan diri. Maka kini dia mulai melorot turun sambil
berkata, "Locianpwe, aku mau turun, tidak kera-san di sini!"
"Eh, eh, enak saja! Mana bisa?" Ka-kek itu tertawa bergelak dan tiba-tiba layang-layang itu
menukik ke kiri, kemu-dian membuat gerakan melingkar sehing-ga tali itu pun menggantung
dan ikut pula berputar.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
250 "Wuuuttt!"
"Aihhh....!" Bun Beng cepat mengelak dengan memindahkan tangan, bergantung pada tali
agar jangan sampai terkena pa-tukan layang-layang yang menyambar ke arah tubuhnya!
Serangan aneh layang-layang itu luput, akan tetapi Bun Beng maklum bahwa dengan
kepandaiannya yang dahsyat, tentu kakek itu akhirnya akan dapat memaksa ia meloncat
turun dan akan hancurlah tubuhnya. Ia lalu menggerak-gerakkan tubuhnya, menarik-narik
tali layang-layang itu sehingga kembali layang-layang itu menjadi kacau balau gerakannya.-
"Eh.... Ohh.... setan cilik! Jangan kacau layanganku!" Kakek itu terkejut dan memaki-maki.
Bun Beng tersenyum. "Kalau Locian-pwe tetap menyerangku, aku pun akan tetap menarik-
narik tali layangan sam-pai putus, biar kita berdua mampus!"
"Eh, jangan, eh.... nanti dulu. Kalau talinya putus, aku bagaimana?"
"Masa bodoh. Aku akan jatuh dan mati seketika, tidak menderita. Akan te-tapi Locianpwe
akan terbawa terbang layang-layang putus, mungkin dibawa ke neraka!"
"Hahh-ho kalau neraka memang tem-patku. Akan tetapi jangan.... biarlah kita berjanji, aku


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak akan menyerangmu akan tetapi kau jangan menarik-narik talinya."
"Aku berjanji tak akan menarik-narik talinya, akan tetapi Locianpwe jangan menghalangi aku
turun." "Wah, perjanjian kentut! Mana bisa begitu" Aku tidak menyerangmu dan kau tidak menarik-
narik tali, itu sudah satu lawan satu. Kalau ditambah lagi kau kubiarkan turun berarti kau
minta dua memberi satu. Mana adil?"
"Kalau aku tidak boleh turun, apa ar-tinya perjanjian ini" Locianpwe mau me-nang sendiri
saja. Aku hendak turun, Lo-cianpwe menghalang, maka aku menarik tali. Kalau Locianpwe
tidak melayani aku turun, aku tidak akan menarik tali-nya, itu baru adil namanya."
"Wah, monyet cilik. Engkau benar pokrol bambu kering busuk! Ha-ha-ha, nah, kau turunlah,
hendak kulihat bagai-mana!" Tiba-tiba angin bertiup keras sekali membuat layang-layang itu
terbang miring ke kiri.
"Wuuuutttt....!"
"Aihhh, celaka. Jangan erat-erat me-megang talinya, longgar-longgar saja, kau
mengganggu kendaliku!" Kakek itu memindahkan berat tubuhnya dan melon-cat ke pinggir
kanan layang-layang itu.
"Siuuuttt....!" Kini layang-layang mi-ring ke kanan dengan cepatnya sehing-ga tubuh Bun
Beng terbawa melayang ke kiri kemudian ke kanan, membuat ke-palanya pening dan
jantungnya berdebar penuh kengerian.
"Aku mau turun, Locianpwe. Akan tetapi Locianpwe harus bersumpah tidak akan
menyerangku!" Di dalam hatinya, pemuda ini masih curiga kepada kakek yang ia tahu amat
cerdik dan curang itu.
"Apa" Bersumpah?" Kakek itu terta-wa-tawa dan kini layang-layang kemba-li telah lurus dan
tenang. "Boleh saja. Sudah sepuluh kali aku bersumpah dan lima puluh kali melanggarnya,
kini di-tambah satu kali sumpah untuk dilang-gar lima kali, tidak mengapalah!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
251 "Wah, sumpah seperti itu apa harga-nya?" Bun Beng mendongkol sekali dan maklum bahwa
sumpah kakek ini tidak boleh dipercaya. Diam-diam ia merasa geli juga. Kakek ini curang
ataukah ju-jur" Mengapa kebiasaan melanggar sum-pah dia katakan secara terus terang
ma-cam itu" Tidak curang tidak jujur, me-lainkan gila agaknya!
"Kalau begitu, biar kutarik putus ta-li ini!" katanya dan mulai menarik-narik lagi.
"Eit-eit-eiitt....! Jangan! Biarlah, tan-pa sumpah-sumpahan. Kau boleh turun tanpa kuhalangi,
akan tetapi kau harus memberitahukan namamu."
Bun Beng berpikir. Kabarnya ayahnya seorang datuk kaum sesat. Orang-orang Pulau
Neraka tentulah bukan golongan bersih, maka apa salahnya kalau dia mengaku" Sesama
kaum tentulah tidak ada pertentangan.
"Baiklah, Locianpwe. Aku bernama Gak Bun Beng...."
"Astaga! Engkau bocah yang dulu ku-cari-cari" Bocah yang ditinggalkan Ibumu di kuil tua di
lembah Sungai Fen-ho" Ha-ha-ha, engkau putera Gak Liat Si Botak! Pantas saja aku seperti
per-nah melihat macammu, kiranya anak Si Gak Liat, Si Setan Botak. Ha-ha-ha-heh-heh-
heh!" Kakek itu tertawa terpingkal-pingkal, tangan kanan memegangi tali layang-layang,
tangan kiri menekan-nekan perutnya.
Mengkal sekali rasa hati Bun Beng menyaksikan lagak kakek itu. "Kakek gila, engkau terlalu
menghina orang! Si-apa sih engkau yang begini sombong" Dan apa hubunganmu dengan
Ayah Bun-daku?"
"Ha-ha-heh-heh-heh!" Kakek itu ma-sih terpingkal-pingkal bahkan saking geli hatinya, air
matanya bercucuran di atas pipinya yang kuning. "Namaku Ngo Bouw Ek, di dunia kang-ouw
aku dijuluki Kwi-bun Lo-mo akan tetapi aku baru bebera-pa tahun merantau. Dalam
perantauanku yang pertama, kebetulan sekali aku ber-temu dengan Kang-thouw-kwi Gak
Liat Ayahmu, kami bertanding dan aku mem-buat dia payah sampai terkencing-ken-cing! Ha-
ha, dia datuk kaum sesat, mengaku kalah dan dia mengangkat aku sebagai kakak angkat!
Lalu dia menceritakan bahwa yang membuat dia sering kali tak dapat tidur adalah
perbuatan-nya atas diri Bhok Kim murid Siauw-lim-pai. Dia mendengar kabar bahwa wanita
itu melahirkan seorang putera sebagai akibat perbuatannya yang memperkosa wanita itu.
Dia berpesan agar aku kelak mengambil a
Dewi Ular 6 Bara Naga Karya Yin Yong Duri Bunga Ju 9
^