Pedang Darah Bunga Iblis 12
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H Bagian 12
terdengar dua kali seruan kaget dan kesakitan. Perempuan cantik
setengah umur bersama Ketua Bwe hwa hwe sama terhuyung
mundur, wajah mereka pucat
pias, terang mereka sudah terluka dalam yang bukan ringan oleh
pukulan Suma Bing.
"Chiu Thong, kau rebahlah!" ditengah suara hardikan yang keras
ini, terdengar pula lolong kesakitan, tampak ketua Bwe hwa hwe
terhuyung limbung hampir roboh sambil muntah darah, tapi
akhirnya meloso diatas tanah.
Tujuh bayangan manusia serempak berkelebat merintang
didepannya. "Kalian cari mati!" Kiu yang sin kang menerbitkan gelombang
dahsyat seumpama lahar gunung berapi menerpa kearah tujuh
musuhnya yang berani coba2 merintangi. Maka terdengar pula jerit
dan pekik menyayatkan hati saling susul, ketujuh tubuh manusia
itu juga lantas beterbangan sungsang sumbel keempat penjuru.
Bertepatan dengan saat itulah, mendadak terlihat selarik sinar
merah disertai suara mendesis langsung meluncur kearah Suma
Bing. Se-konyong2 bayangan Suma Bing menghilang dan berputar
secepat angin lesus, tahu2 dia sudah menggeser kedudukan tiga
tombak jauhnya dari tempat ia berdiri semula.
Sambil melambaikan angkin merahnya perempuan cantik setengah
umur itu menatap kearah Suma Bing dengan pandangan ber-api2.
Kiranya selarik sinar merah tadi bukan lain adalah kain ikat
pinggangnya itu yang dibuat senjata untuk menyerang Suma Bing.
Kalau tidak mengandalkan kesaktian Bu siang sin hoat, sungguh
sulit bagi Suma Bing dapat lolos dari serangan senjata lemas ini.
Maka sambil mengempit Ketua Bwe hwa hwe, berkatalah
perempuan cantik setengah umur suaranya gemetar: "Suma Bing,
selamat bertemu!"
Keras2 Suma Bing menjengek hidung, ejeknya: "Kau masih
hendak lari?"
Sekali menjejakkan kaki perempuan setengah umur itu melejit
jauh terus berlari keluar membobol kepungan...
"Kembali!" sekali berkelebat tahu2 Suma Bing sudah mencegat
didepannya terus menghantam kearah musuhnya. Kontan dengan
telak perempuan setengah umur itu terpental mundur bebeberapa
langkah. Maka para jagoan Bwe hwa hwe lainnya beramai2 berlarian keluar
hendak menyelamatkan jiwa sendiri. Tapi mereka tercegat dan
dirintangi oleh anak buah Perkampungan bumi yang sudah
mengepung mereka.
Dalam keadaan yang terpaksa dan terdesak ini, maka berkatalah
perempuan cantik setengah umur itu: "Suma Bing, apa yang
hendak kau perbuat?"
"Aku ingin jiwa kalian!" ancaman yang mengandung keanyiran
darah ini benar2 menggiriskan semua pendengarnya.
Terang Ketua Bwe hwa hwe sudah terluka parah, perempuan
setengah umur ini juga tidak ringan lukanya, mana dia kuat
bertahan, ditambah para anak buah Perkampungan bumi juga
bukan sembarangan jagoan silat, pula mereka sudah berjaga
diempat penjuru. Bagi Suma Bing untuk menyapu habis seluruh
jagoan Bwe hwa hwe bukanlah suatu hal yang sukar seumpama
membalik tangan saja gampangnya.
Setelah menyapu pandang keseluruh gelanggang, berserulah Suma
Bing: "Awas, aku hendak turun tangan."
Peringatannya ini berarti dimulainya pembunuhan besar2- an,
keruan semua jagoan Bwe hwa hwe bergidik ketakutan.
Pada waktu itulah se-konyong2 sebuah bayangan orang meluncur
tiba memasuki gelanggang.
Waktu pandangan Suma Bing menatap kearah bayangan yang
baru tiba ini, tanpa terasa tergetar hatinya.
Ternyata pendatang baru ini bukan lain adalah gadis serba hitam
yang pernah bersua didalam gedung kelenteng bobrok di Sengtoh
tempo hari, yaitu murid Pek chio Lojin yang mengaku bernama
Siau ling. Sambil mengerling tajam berkatalah gadis serba hitam itu dengan
dingin: "Suma Bing, kita bertemu lagi?"
Suma Bing manggut2, sahutnya: "Benar, kedatangan nona ini..."
"Suma Bing, apa kau masih ingat janji kita tempo hari?" Suma
Bing tertegun, sahutnya: "Tentu masih ingat!" "Kau masih
utang satu syarat kepadaku, ya benar!" "Ya." "Kalau begitu,
sekarang juga nonamu hendak menagih
hutangmu itu!" "Sekarang?" "Ya, sekarang juga!" "Dapatkah nona
memberi kelonggaran supaya aku dapat
menyelesaikan urusanku disini dulu?" "Tidak bisa!" Suma Bing
serba salah dan tak habis mengerti. Naga2nya
kedatangan gadis seragam hitam yang tepat pada waktunya ini
bukan secara kebetulan belaka. Tapi untuk memohon sebutir Hoan
hun tan dirinya pernah melulusi satu syarat apapun juga sebagai
penggantian, seorang laki2 harus menepati apa yang pernah
diucapkan, mana boleh ingkar janji, maka katanya sambil kertak
gigi: "Baik, katakanlah!"
Gadis serba hitam menyeringai sinis, ujarnya: "Suma Bing sebelum
kuajukan syaratku ini perlu kiranya aku memperkenalkan diri!"
"Bukankah, kau murid Pek chio Lojin?"
"Benar sih benar, tapi yang kumaksud adalah asal usulku!"
"Cayhe tidak ingin mengetahui riwayat hidup nona, lebih
baik..." "Kau perlu dan harus mengetahui!" "Mengapa?" "Supaya
kau dapat mati dengan meram!" Suma Bing tertawa hambar
ujarnya: "Kata2 seorang laki2
sejati pasti dapat dipercaya, berani bersumpah pasti berani mati,
cayhe tidak akan menyesal."
"Ya, nanti setelah aku memperkenalkan siapa diriku, kau takkan
berani berkata demikian!"
"Kalau begitu silahkan katakan!" "Aku bernama Loh Siau ling!"
Suma Bing melengak tanyanya: "Kau she Loh?" "Benar, inilah
ibuku bernama Ang siu li Ting Yan!" sambil
berkata ia menunjuk perempuan setengah umur itu. Keruan
berobah airmuka Suma Bing, suaranya tergetar:
"Dia adalah ibumu?" "Tidak salah!" "Jadi kau ini adalah putri Loh
Cu gi?" "Tepat sekali!" Saking geram timbul nafsu membunuh
Suma Bing, desisnya
bengis: "Aku harus membunuhmu". Loh Siau ling mengekeh
dingin, jengeknya: "Suma Bing,
bayar dulu syarat yang kuajukan ini!" Mimpi juga Suma Bing tidak
menyangka bahwa gadis serba
hitam ini ternyata adalah putri Loh Cu gi musuh
bebuyutannya, maka katanya lagi: "Aku harus membunuh kau!"
"Suma Bing, kau ini seorang ksatria?" "Kenapa bukan?" "Apakah
ucapanmu dapat dipercaya" "Tentu!" "Kalau begitu dengar dulu
syarat yang harus kuajukan." Apa boleh buat, Suma Bing
mengertak gigi serunya:
"Katakan!" Kata Loh Siau ling mengulum senyum: "Syaratku ini
sangat gampang, kau tutuk sendiri jalan darah mematikan!" Saking kaget
Suma Bing terhuyung tiga langkah, serunya
gusar: "Tidak mungkin!" Loh Siau ling menjengek dingin,
umpatnya: "Suma Bing,
jadi ucapanmu dulu itu adalah kentut belaka?" Bayangan kematian
membuat seluruh tubuh Suma Bing
merinding bergidik. Kalau dirinya harus menutuk sendiri jalan darah
yang mencacatkan badan, bukankah berarti juga menghendaki
jiwanya, malah mungkin akibatnya lebih mengenaskan dari
kematian. Baru sekarang ia sadar telah tertipu dan masuk perangkap lawan,
namun menyesal juga sudah kasep. Apakah dia harus menepati
janjinya dengan syarat yang kejam ini" Bukankah menjadi
makanan empuk dan enak bagi musuh besarnya ini" Sakit hati
orang tua! Dendam perguruan, semua ini merangsang benaknya.
Setelah di-pikir2, lalu dia berkata: "Janjiku pasti dapat kutepati, tapi
setelah kamu sekalian sudah menjadi mayat baru bisa
kulaksanakan!"
Loh Siau ling membentak bengis: "Suma Bing, tidak malukah kau
berkata demikian, jikalau aku tidak menjelaskan
asal-usulku, jikalau waktu di Yok ong bio aku mengajukan syarat
yang sama ini, apakah kau ragu2 dan bimbang" Apakah kau bakal
mengeluarkan perkataanmu tadi?"
Cep kelakep, Suma Bing bungkam seribu basa tidak dapat
menjawab. Memang waktu di Yok ong bio dulu, kalau Loh Siau
ling mengajukan syaratnya ini pasti tanpa ragu2 dia menerima
syaratnya itu, sebab dia ingin sebutir Hoan hun tan untuk
menolong jiwa bibinya Ong Fong jui, sebab dia tidak ingin bibinya
mati karena dirinya.
Tapi, hakikatnya adalah dia tidak rela mati begitu saja ditangan
putri musuh besarnya! Namun ini adalah pilihan keputusan antara
mati atau hidup, juga merupakan perbedaan batas antara sumpah
dan ingkar janji. Keadaan gelanggang seketika sunyi hening,
namun masih dilingkupi suasana tegang dan hawa pembunuhan.
Terdengar Loh Siau ling berkata lagi: "Suma Bing, kalau kau
hendak menjilat ludahmu sendiri, katakan saja, nonamu ini tidak
akan peduli lagi!"
Di b awah g e n c e t a n a n t a r a d e nd am k e s uma t d a n r a s a
k e b e n c i a n y a ng me l u a p 2 , h amp i r s a j a S uma B i n g
t e r t e k a n me ng g i l a , s e r u ny a g e r am s amb i l
me n g e r t a k g i g i : " Su n g g u h me n g g e l i k a n , a k u S uma
B i n g s e o r an g l a k i 2 ma s a h a r u s i ng k a r j a n j i t e r ha d ap
s "Keaolarua bnegg itpue, rseegmerpaulaahn t!u"ru n tangan, tutuklah jalan darah
pencacatmu!"
Lagi2 Suma Bing terhuyung mundur satu langkah... Mendadak
diantara kelompok jagoan Bwe hwa hwe
terdengar seruan kaget dan ketakutan be-ramai2 mereka menyiak
kedua samping, maka terbentang sebuah jalanan. Tampak seorang
orang aneh yang seluruh tubuh berwarna hitam tengah melangkah
memasuki gelanggang sambil berlenggang, dia tak lain tak bukan
adalah Racun diracun.
Serta merta Suma Bing menelan setengguk ludah. Lagi2 seorang
musuh yang harus dia bunuh telah datang.
Begitu memasuki gelanggang, dengan sorot pandangan dingin
Racun diracun menyapu pandang keseluruh gelanggang, lalu
berkata kepada Loh Siau ling: "Kau ini yang menginginkan Suma
Bing menutuk sendiri jalan darah pencacat tubuhnya?"
"Memang begitulah kejadiannya!" sahut Loh Siau ling sambil
manggut2. "Mengapa?" "Mengajukan syarat!" "Syarat apa?" "Ini bukan
urusanmu tuan!" "Belum tentu!" "Jadi tuan juga ingin
menangguk diair keruh?" "Harus kulihat dulu, ini urusan apa
dan untuk kepentingan
apa?" Sepasang bola mata Loh Siau ling yang bening cemerlang
berputar, lalu katanya: "Ini aku boleh beritahu kepadamu. Suma
Bing mohon sebutir Hoan hun tan kepadaku, dia sendiri yang
minta supaya aku mengeluarkan syarat apapun untuk mengganti
obatku itu..."
"Maka syarat nona itu adalah menyuruh dia menutuk jalan darah
sendiri supaya cacat tubuhnya?"
"Tidak salah!" "Bukankah keinginanmu ini terlalu kejam?"
"Suma Bing boleh mengingkari janji atau tidak setuju
dengan syaratku yang kuajukan kalau dia merasa itu terlalu
kejam, telengas atau keji!"
Semprot Suma Bing dengan geramnya: "Kau jangan banyak mulut
untuk mengekang aku, tidak nanti aku Suma Bing ingkar janji
terhadap kau!" Lalu dia berpaling menghadapi Racun diracun,
serunya: "Urusan cayhe ini harap tuan jangan turut campur!"
Racun diracun menjengek dingin, ejeknya: "Suma Bing, benar2
kau ingin mati?"
Sikap Suma Bing tetap angkuh dingin, sahutnya: "Urusanku tidak
perlu tuan turut kuatir!"
Racun diracun mengekeh panjang, katanya: "Suma Bing, sakit hati
orang tuamu belum kau balas, dendam perguruan juga belum kau
himpas. Kalau sekarang kau membawa adatmu sendiri, kau akan
menjadi seorang berdosa sepanjang masa, seorang anak yang
tidak berbakti dan tidak mengenal kebajikan!"
Mendengar tegoran yang menusuk hati ini, tergetar seluruh tubuh
Suma Bing, jidatnya basah oleh keringat, bukan dia tidak tahu,
adalah karena terbawa oleh sifat angkuh dan keras kepalanya
membuat dia malu untuk ingkar janji seumpama jiwa sendiri harus
melayang juga harus dilakoni.
Sementara itu perempuan cantik setengah umur itu tengah
menghimpun tenaga dengan tekun untuk mengobati luka parah
Chiu Thong. Semua jagoan Bwe hwa hwe tengah mengunjuk sorot
mata yang penuh pengharapan menatap kearah Loh Siau ling.
Tanpa menghiraukan Suma Bing lagi, Racun diracun membalik
menghadapi Loh Siau ling, tanyanya: "Siapa namamu?"
"Aku bernama Loh Siau ling!" "Ada permusuhan atau dendam
sakit hati apa antara kau
dengan Suma Bing?" agaknya Racun diracun belum mengetahui
bahwa Loh Siau ling ini adalah putrinya Loh Cu gi.
Loh Siau ling merasa sebal, katanya tak sabar: "Tuan benar2
hendak turut campur?"
"Boleh dikata demikian!" "Jadi tuan hendak membantu Suma
Bing untuk mengingkari sumpahnya?" "Ini belum tentu, apa kau tahu
akibatnya setelah kau
mengajukan syaratmu itu?" "Akibat apa?" "Bwe hwa hwe akan
hancur dalam sekejap mata!" "Huh, mengandal kau tuan, apa
mampu?" "Kau tahu siapa2 yang menjaga diluar lingkungan itu?"
"Siapa?" balas tanya Loh Siau ling acuh tak acuh. "Sim dan Bu dua
Tongcu serta anak buahnya dari
Perkampungan bumi." Mendengar keterangan ini, semua anak
buah dari Bwe hwa
hwe terperanjat dan gentar sungguh tidak mereka sangka bahwa
musuh yang mengepung diluar itu ternyata adalah anak buah
Perkampungan bumi yang merupakan salah satu tempat keramat
dan ditakuti oleh kaum persilatan itu.
Demikian juga air muka Loh Siau ling berobah tegang, tanpa
terasa dia mundur dua langkah, sorot matanya menyapu pandang
kearah anak buah Perkampungan bumi serta serunya: "Apa
benar?" Mulut Racun diracun ber-kecap2 mengejek, katanya: "Loh Siau
ling, terus terang kuberitahu. Suma Bing adalah Huma dari Te po,
juga menjadi calon utama dari majikan Te po yang akan datang,
maka cobalah kau berbuat menurut keinginan hatimu."
Wajah Loh Siau ling be-robah2 pucat dan kehijauan. Tujuannya
hendak melenyapkan Suma Bing adalah untuk
menghilangkan perintang jalan bagi tujuan besar ayahnya. Akan
tetapi kekuatan Te po merupakan lawan ampuh yang susah diatasi
bagi Bwe hwa hwe. Maka dalam keadaan yang mendesak ini
pikirannya menjadi butek dan kehilangan pedoman arah tujuan.
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Loh Siau ling," kata Racun diracun pula, "Apa kau tahu tempat
apakah ini?"
Loh Siau ling tertegun, tanyanya: "Tempat apa?" "Daerah
terlarang dalam kekuasaan Racun diracun!" "Daerah
terlarang?" "Sedikitpun tidak salah!" Loh Siau ling tidak ambil
peduli, sahutnya dingin: "Kalau
daerah terlarang kau mau apa?" "Yang melanggar daerahku
terlarang harus mati!" Kala itu Ang siu li Ting Yan sudah selesai
mengobati luka parah ketua Bwe hwa hwe mereka sama2 bangkit berdiri. Air
muka Loh Siau ling berobah membeku, tantangnya:
"Tuan sangka dengan racunmu itu kau lantas dapat malang
melintang tanpa tandingan?"
Racun diracun mengakak tawa, serunya: "Aku tahu kau adalah
murid tabib sakti Pek chio Lojin yang kenamaan itu. Tapi perlu
kujelaskan, mengandal kemampuan obat pemunahnya Pek chio
Lojin, pasti takkan dapat mengatasi bisaku yang bernama Racun
dalam racun! Kalau kau tidak percaya boleh silahkan dicoba!"
"Racun dalam racun?" gemetar suara Loh Siau ling. "Tidak salah
Racun didalam racun!" Suma Bing sendiri juga tidak ketinggalan
berobah wajahnya, dia sendiri sudah pernah merasakan kelihayan bisa
yang bernama Racun dalam racun itu. Jikalau Phoa Kin sian
tidak menolongnya dengan obat Tan tiong tan, pasti dirinya
sudah melayang jiwanya.
"Lalu apa maksud tujuan tuan?" bentak Loh Siau ling nekad.
"Semua hadirin dalam gelanggang ini sudah terkena racun
didalam racun termasuk kau sendiri, tidak percaya coba kau
empos pernapasan!"
Loh Siau ling adalah murid Pek chio Lojin seorang tabib kenamaan
yang pandai dan paham pengobatan. Begitu dia mencoba
bernapas terasa memang dirinya telah terkena racun berbisa,
dilihatnya semua anak buahnya juga mengunjuk rasa kejut dan
ketakutan, terang mereka juga sudah terkena bisa racun, nyata
bahwa ancaman Racun diracun bukan main2 belaka.
Ter-sipu2 dirogohnya keluar beberapa butir obat pemunah racun
terus ditelannya, setelah sekian lama dia memeriksa, benar juga
kiranya obatnya ini tidak mujarab dan tak berguna melawan bisa
Racun dalam racun. Baru sekarang dia benar2 terperanjat dan
takut, maka bentaknya dengan bengis: "Tuan apa maksudmu
sebenarnya?"
Pelan dan tegas berkatalah Racun diracun: "Semua orang yang
memasuki daerahku terlarang harus dihukum mati, ini sudah
merupakan undang2. Tapi hari ini baiklah aku melanggar
kebiasaanku itu..."
"Kalau tuan melanggar pantangan sendiri pasti disertai syarat
bukan?" tanya Ketua Bwe hwa hwe dengan perasaan haru.
"Tidak salah, kau ini pintar juga!" "Syarat apa?" Racun diracun
tetap menghadapi Loh Siau ling, ujarnya:
"Gampang sekali, kau batalkan syarat yang kau ajukan kepada
Suma Bing. Maka aku tidak akan menarik panjang urusan ini,
segera kuberikan obat pemunahnya, maka kalian harus segera
menggelinding pergi.
"Tidak mungkin terjadi!" "Racunku itu dikolong langit ini tiada
seorangpun yang
mampu memunahkan. Maka semua yang telah terkena racunku ini
dalam setengah jam saja bakal bergelimpangan mati."
Kata2nya ini diucapkan dengan enteng dan seenaknya saja, tapi
dalam pendengaran para jagoan Bwe hwa hwe, se-olah2 perintah
dari Giam lo ong, semua pucat dan gemetar saking ketakutan.
Terdengar Ang siu li Ting Yan ikut bicara: "Apa tuan berani
bertanggung jawab kita semua dapat keluar semua dengan
selamat?" "Sudah tentu!" "Kalau begitu, anak Ling, lulusilah!" Namun
pada saat itulah mendadak Suma Bing menyelak
dengan suara menggeledek: "Racun diracun, cayhe tidak sudi
menerima budimu ini!"
"Suma Bing, agaknya kau takut menghadapi kenyataan ini.
Memang aku berhutang jiwa beberapa orang terhadap kau, tapi
siang2 sudah kukatakan ini merupakan dua hal yang tersendiri
jangan kau campur baurkan. Suma Bing jangan kau salah sangka
bahwa aku bakal menanam budi untuk menebus dosa2ku yang
tertunggak itu atau minta pengampunan kepadamu. Bukti
menyatakan kalau aku ingin kau segera mati segampang
membalikkan tangan. Akan tetapi, sudah kukatakan setengah tahun
lagi aku akan memberikan pertanggungan jawabku kepada kau,
mengapa tidak kau nantikan setengah tahun lagi, urusan hari ini
adalah..."
"Aku belum pernah melulusi kau menanti setengah tahun lamanya!"
demikian tiba2 tukas Suma Bing dengan angkuhnya.
"Jadi kau sekarang juga hendak turun tangan?" "Ada
kemungkinan!" "Suma Bing kau ini binatang berdarah dingin!"
"Ketahuilah aku tidak sudi menerima kebaikanmu!" "Kau takut
akan hati nuranimu sendiri yang bakal tidak
tentram?" "Tidak peduli bagaimana juga aku tidak setuju!" "Jadi
kau sudah bertekad hendak mati?" "Itu urusanku sendiri!" "Tapi
saat ini kau berada didaerahku yang terlarang diinjak
orang luar, akulah tuan rumah disini, apa yang senang kuperbuat
pasti kulakukan, siapapun tiada hak merintangi, kau sudah
mengerti?"
Bukan main heran Suma Bing dibawah solokan didepan sana
adalah tempat mengasingkan diri bibinya Ong Fong jui dan
muridnya Phoa Kin sian. Tapi dengan tandas Racun diracun
berulang2 mengatakan bahwa daerah sekitar sini adalah
daerahnya yang terlarang. Tentu ada hal2 yang mencurigakan"
Betapa kejam dan telengas sifat Racun diracun ini, tulang belulang
kekasihnya Ting Hoan masih belum dingin. Mengapa pula dia
mengambil resiko sedemikian besar untuk membantu dirinya"
Menurut apa yang pernah dikatakan Goan Hi Taysu dari Siau lim si
bahwa dia sealiran dengan Pek kut Hujin malah mungkin adalah
muridnya. Sudah ber-ulang kali mereka guru dan murid ulurkan
tangan menolong jiwanya dan menanam budi pada dirinya.
Sekarang ini juga dalam saat2 dirinya menghadapi mara bahaya
dia muncul lagi, Mengapa"
Karena dia memperkosa dan membunuh Ting Hoan. Karena
mempermainkan Thong Ping yang tidak berdosa dan membunuh
ibundanya. Maka dia bersumpah hendak menumpas manusia laknat
ini! Tapi berbagai kenyataan sudah membuktikan sudah beberapa
kali dia menolong jiwanya. Ini juga kenyataan yang tidak mungkin
disangkal lagi. Antara dendam kesumat dan budi kebajikan
membuat dia tertekan dalam kepedihan, sanubarinya menjerit dan
mengeluh. Sepak terjang Racun diracun ini benar2 hebat, apalagi kalau
dipikirkan secara sehat agaknya sangat mustahil.
--ooo0dw0ooo-- Jilid 11 41 MASA DEPAN YANG HAMPA DAN SURAM.
Setelah memikirkan timbal balik untung ruginya, segera Loh
Siau ling berkata lantang dan tegas: "Racun diracun, baiklah aku
menyetujui jual beli ini!"
"Kita sudah saling tukar, maka antara kau dengan Suma Bing
sudah tidak ada utang piutang lagi?"
"Baiklah." "Ini adalah obat pemunah, ambillah, setelah tiga li
dari sini baru kalian telan, bagikan setiap orang satu butir, jumlahnya
tepat dan tidak kurang!" " Lantas dilontarkan sebuah botol kecil
kearah Loh Siau ling.
Enteng sekali Loh Siau ling ulurkan tangan menyambuti terus
berpaling kearah perempuan cantik setengah umur seraya
berkata: "Mah, mari kita pergi!"
Maka terlihat bayangan orang berkelebat dalam sekejap mata saja
semua jagoan anak buah Bwe hwa hwe berloncatan menghilang
dari pandangan mata...
Tampak Sim tong Tongcu Song Liep hong, anak buah dari
Perkampungan Bumi ter-sipu2 tampil kedepan menghadap Suma
Bing serta berseru: "Harap Huma memberi petunjuk!"
Suma Bing menghela napas panjang2, dan berkata: "Biarkan
mereka pergi, setelah itu kalian juga boleh pulang!"
"Hamba menerima perintah dari Te kun, untuk menyertai dan
melindungi Huma!"
"Tidak perlu lagi, kalian boleh pergi!" "Ini..." Melotot mata
Suma Bing, semprotnya: "Aku ingin kalian
pergi!" "Baik", sahut Song Liep hong sambil membungkuk tubuh
mengundurkan diri. Tak lama kemudian semua orang sudah pergi,
keadaan gelanggang menjadi sepi tinggal Racun diracun berhadapan
dengan Suma Bing, mereka tenggelam dalam pikiran masing2
tanpa buka suara sekian lamanya.
Akhirnya Racun diracun membuka kesunyian, katanya: "Suma
Bing, kau anggap sepak terjangku tadi sangat menyinggung
perasaan dan harga dirimu bukan?"
Kata2 ini langsung menusuk kelubuk hati Suma Bing, semangatnya
menjadi lesu, katanya masgul: "Mengapa tuan berbuat demikian?"
"Aku tidak ingin melihat kau mati secara konyol dan penasaran!"
"Mengapa?" "Kelak kau
akan paham!"
"Apa benar daerah ini adalah tempat terlarang tuan?" "Ini...
hehe, hanya menggertak supaya mereka pergi!" "Silahkan tuan
juga pergi!" "Kau tidak ingin bicara dengan aku?" Terlintas
hawa membunuh pada air muka Suma Bing,
desisnya dingin: "Pertemuan yang akan datang mungkin aku
harus membunuhmu!"
Tawar2 saja Racun diracun berkata: "Terserah apa yang hendak
kau perbuat, asal kau mampu melakukan!"
"Dan lagi, cayhe masih dapat membedakan antara budi dan
dendam, memang hutangku terlalu banyak kepadamu, nanti
setelah semua urusan pribadiku selesai kukerjakan, biarlah aku
menebus hutangku itu dengan kematian jiwaku!"
"Untuk ini rasanya tidak perlu!" "Silahkan, tuan boleh pergi!"
Sambil bersuit melengking tinggi laksana jeritan setan,
tiba2 tubuh Racun diracun melayang jauh terus menghilang. Suma
Bing termangu memandangi bayangan manusia
misterius yang menakutkan itu menghilang dari pandangan
matanya, entah bagaimana perasaan hatinya. Kawankah"
Musuhkah" Berbudi atau berdosa" Tak dapat dia membedakan dan
menganalisa termasuk orang macam apakah Racun diracun ini.
Tapi bagaimanapun juga, dasar keinginannya hendak
membunuhnya takkan goyah atau berubah.
Ia telah menerima budi dan kebaikan seorang lain, ingin benar dia
membalas budi atau kebaikan orang itu. Tapi alasan lain yang lebih
kuat, mau tak mau mengharuskan dia membunuh orang yang
menanam budi ini, perasaan dan perang batin yang kontras ini,
sungguh sangat menyedihkan dan menekan jiwanya. Apalagi bagi
seorang yang jelas dapat membedakan antara budi dan dendam
atau kejahatan,
kekontrasan ini akan lebih mendalam. Begitu juga keadaan Suma
Bing pada waktu itu, berada dalam kekontrasan yang mencekam
sanubarinya. Mendadak ia tergugah dari lamunannya, teringat olehnya keadaan
bibinya yang masih sangat kritis didalam solokan, dan istrinya
Phoa Kin sian sedang pergi menolongnya. Entah Hoan hun tan
yang diperolehnya itu ada manjur atau tidak" Dalam berpikir itu,
kakinya segera ber-lari2 mengembangkan ilmu ringan tubuhnya
terus melayang bagai terbang masuk kedalam solokan yang
curam itu. Kira2 ratusan tombak kemudian, terdengar olehnya suara
bentakan dan makian yang riuh rendah dari balik rimba sebelah
depan sana. Tanpa terasa tergerak benak Suma Bing. Tempat ini
tidak jauh dari solokan tak bernama itu, siapakah yang tengah
bertempur disini. Sedikit merandek, terus dia putar haluan dan
berlari kearah datangnya suara bentakan.
Semakin dekat suara bentakan dan pertarungan semakin nyata
dan jelas. Kiranya disebuah rimba yang membelakangi sebuah
kaki bukit, samar2 terlihat berkelebatnya bayangan beberapa
orang. Begitu mengencangkan kaki, seenteng burung walet tubuhnya
terbang menerobos hutan terus hinggap dipinggir gelanggang
pertempuran. Waktu melihat tegas siapa2 yang tengah bertempur
itu, seketika mendidih darah panasnya. Tampak dua orang Rasul
penembus dada tengah bertempur seru dan sengit melawan Phoa
Kin sian kakak beradik, malah masih ada dua Rasul lainnya yang
berdiri menonton dipinggiran.
Phoa Kin sian kakak beradik tengah mati2an melawan seorang
Rasul penembus dada, keadaannya sudah terdesak dibawah angin,
tidak lama lagi pasti keduanya dapat dikalahkan oleh musuh2nya
ini. Terdengar salah seorang Rasul yang menonton dipinggiran itu
berseru mengancam: "Phoa Cu giok, serahkan Pedang darah
kepada kami, supaya kuampuni jiwa anjingmu itu!"
Seketika berkobar semangat Suma Bing, naga2nya Pedang darah
masih berada ditangan Phoa Cu giok. Maka segera ia tampil
kedepan seraya menghardik: "Berhenti!"
Bentakan yang keras bagai geledek ini kontan menggetarkan
perasaan mereka yang tengah bertempur. Serta merta mereka
menghentikan pertempuran.
Wajah Suma Bing membeku bagai es, sorot matanya
memancarkan sinar kebuasan yang mengandung nafsu
membunuh, selangkah demi selangkah kakinya bertindak maju
memasuki gelanggang.
"Sia Sin kedua!" tercetus seruan kaget berbareng pada keempat
Rasul penembus dada.
Begitu memasuki gelanggang pertama2 yang diperhatikan oleh
Suma Bing adalah Phoa Kin sian, tanyanya penuh kuatir: "Adik
Sian bagaimana keadaanmu. Bagaimana pula keadaan bibi..."
"Aku tidak apa2. Suhu sudah siuman, tapi keadaannya masih
sangat lemah, saat ini tengah bersamadi memulihkan tenaga!"
"O," sahut Suma Bing terhibur lega. Lantas pandangannya
menatap kearah Phoa Cu giok, katanya dengan nada rendah
berat: "Cu giok, yang sudah lalu tidak perlu dipersoalkan lagi.
Sekarang kembalikan Pedang darah itu kepadaku!"
"Adik Giok." sambung Phoa Kin sian, suaranya gemetar:
"Keluarkanlah!"
Dengan rasa kikuk dan malu sambil melirik kepada Suma Bing,
akhirnya Phoa Cu giok merogoh keluar Pedang darah dari dalam
kantongnya... Dimana terlihat bayangan berkelebatan, mendadak keempat Rasul
penembus dada berbareng menubruk maju. Dua diantaranya
menerjang kearah Suma Bing, sedang dua yang lain menyerang
kepada Phoa Cu giok dan Phoa Kin sian. Maka angin pukulan bagai
gelombang badai segera menerjang tiba dengan dahsyatnya.
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Timbul kemurkaan Suma Bing, sambil menggertak keras kedua
tangannya bergerak sambil mengerahkan seluruh kekuatannya
untuk menyongsong serbuan musuh.
Terdengar dentuman dahsyat yang memekakkan telinga. Kedua
Rasul yang menerjang kearah Suma Bing terpental balik dengan
jungkir balik, namun Suma Bing sendiri juga tidak dapat berdiri
tegak, beruntun kakinya terhuyung lima tindak.
"Pedang darah!" tiba2 terdengar seruan kaget dan kuatir Phoa Cu
giok. Maka terlihat sebuah bayangan orang melesat keluar dari
gelanggang pertempuran terus berlari dengan kencang sekali.
Tanpa banyak pikir lagi, segera Suma Bing kembangkan ilmu Bu
siang sin hoat, bagai bayangan setan iblis, tahu2 dia sudah
menghadang didepan bayangan yang lari tadi, begitu tangan kiri
bergerak membabat, tangan kanan juga ikut membalik terus
mencengkram kedepan. Berkelebat sambil menyerang sungguh
kecepatannya susah diukur seumpama kilat menyambar.
Terdengar seruan tertahan, lantas terlihat bayangan itu limbung
sempoyongan beberapa langkah. Dari perawakannya dapat
diketahui, bahwa yang merebut Pedang darah itu adalah pentolan
dari keempat Rasul itu. Tiga bayangan yang lain lagi sudah
menubruk tiba lagi dengan kecepatan bagai bintang meluncur.
Pandangan Suma Bing menatap tajam Rasul yang berada
dihadapannya, tiba2 kedua tangannya bergerak ber-putar2
terus disodokkan kedepan dengan kekuatan Kiu yang sin kang.
Bau terbakar dan hawa panas segera merangsang kedepan bagai
gelombang badai gurun sahara. Kontan ketiga bayangan orang itu
berloncatan minggir menyelamatkan diri.
"Serahkan!" desis Suma Bing sambil mendesak maju dua langkah
kearah Rasul penembus dada, wajahnya membesi diliputi hawa
pembunuhan. Tiba2 selarik sinar terang yang menyilaukan mata meluncur
memapak kedatangan Suma Bing, kiranya itulah cundrik Rasul
penembus dada yang disambitkan langsung mengancam dadanya.
Sambil menggeram gusar Suma Bing mengelak kesamping sambil
mengirim sebuah pukulan. Ternyata kepandaian Rasul penembus
dada juga bukan olah2 hebatnya, hanya dalam waktu sedetik itu
saja tiba2 tubuhnya juga sudah berkelit sejauh lima tombak.
"Seumpama tumbuh sayap juga jangan harap kau dapat lari!"
belum habis suara Suma Bing, tahu2 dia sudah berada dihadapan
lawan lagi, terus beruntun kirim lima serangan berantai yang
dahsyat. Maka terlihat Rasul penembus dada terhuyung mundur
sambil mulutnya menguak, terlihat kerudung putihnya itu kini
berobah berwarna merah.
Pedang darah bagi Suma Bing adalah sangat penting, lebih
penting dari jiwa sendiri, bagaimana juga harus direbut kembali,
maka bentaknya bengis: "Kau mau serahkan tidak?"
"Suma Bing," seru Rasul penembus dada gemetar, "Kau akan mati
tanpa tempat liang kubur yang layak."
"Serahkan!" "Tidak bisa!" "Jadi kau ingin mati!" " sambil
membentak, Kiu yang sin
kang sudah dilancarkan menyerang lagi. 'Blang!' terdengar Rasul
penembus dada mengeluh
tertahan, tubuhnya pelan2 jatuh terkulai.
Disamping sana keadaan Phoa Kin sian dan adiknya juga dalam
bahaya, mereka juga kewalahan menghadapi Rasul yang
berkepandaian lihay diatas mereka, berulang kali mereka sudah
terpukul dengan telak sehingga muntah darah, tinggal tunggu
waktu saja mereka berdua bakal roboh tanpa nyawa lagi.
Sementara itu Suma Bing sudah mengulur tangan hendak
mencengkram pinggang Rasul yang telah roboh itu...
Tiba2 sejalur angin kencang terasa menyerang punggung Suma
Bing. Terpaksa Suma Bing harus miringkan tubuh sambil balas
menyerang sekuatnya. Betapa cepat serangan bokongan ini maka
Suma Bing juga harus melayani sama cepat, tapi toh tidak kuasa
berkelit. 'Bum!' karena getaran yang kuat ini, Suma Bing sampai terpental
sempoyongan. Menggunakan peluang ini, Rasul yang membokong ini gesit sekali
melejit tiba terus meraup Pedang darah yang berada dipinggang
kawannya terus loncat jauh hendak lari...
Bola mata Suma Bing merah membara, kedua tangannya diayun
bergantian, gelombang panas yang dahsyat segera mendera maju
ditengah udara, dibarengi tubuhnya juga ikut melesat maju
mencegat jalan lari musuh. Kontan Rasul yang lari itu terpukul
balik oleh angin pukulannya itu. Dirangsang nafsu membunuh,
serangan Suma Bing semakin deras dan dahsyat, lagi2 dua kali
pukulan dilancarkan untuk merobohkan musuhnya.
Maka terdengarlah lolong panjang yang menyayatkan hati
memecah kesunyian dalam rimba raya. Tampak Rasul penembus
dada itu terbang me-layang2 dan terbanting keras dua tombak
jauhnya. Pedang darah yang dipegangnya juga terlempar jauh dari
cekalan tangannya.
Sebat sekali Suma Bing meraup Pedang darah itu terus
dimasukkan kedalam kantong bajunya, baru sekarang dia dapat
menghela napas panjang yang melegakan. Sekali lagi tubuhnya
berkelebat, tahu2 dia sudah tiba ditempatnya semula dimana Rasul
penembus dada yang lain rebah tak berkutik lagi, terus
mencengkram mukanya...
Begitu kedok dimuka Rasul penembus dada tertanggalkan, tanpa
terasa Suma Bing berteriak kejut sambil mundur dua langkah.
Kiranya Rasul penembus dada yang kenamaan dan sangat
disegani diseluruh Kangouw itu ternyata adalah seorang gadis
rupawan yang cantik jelita.
Keruan hal ini benar2 sangat mengejutkan dan diluar dugaan
Suma Bing. Dua pasangan lain yang tengah bertempur juga lantas berhenti
sendirinya tanpa diminta, mereka maju mendekat.
Pimpinan dari keempat Rasul itu kini sudah pelan2 merayap
bangun, darah masih meleleh dari ujung bibirnya, katanya
ber-api2 penuh kebencian: "Suma Bing, kalau kau mau segeralah
bunuh aku. Kalau tidak akan datang satu hari aku membunuhmu!"
Setelah Pedang darah dapat direbut kembali, lapang dan legalah
hati Suma Bing, apalagi setelah diketahui kalau lawan ini ternyata
seorang gadis rupawan, nafsu membunuhnya telah menghilang
tanpa bekas. Mendengar ancaman orang ini, segera ia bergelak
tertawa, ujarnya: "Mengandal ucapanmu ini, biarlah kulepaskan
kalian pergi. Kalau ingin membalas dendam, se-waktu2 aku
nantikan kedatangan kalian di kalangan Kangouw!"
"Kau jangan menyesal?" "Omong
kosong yang menggelikan!"
Maka tiga Rasul yang lain memayang salah seorang Rasul yang
terluka paling berat terus tinggal pergi tanpa banyak mulut lagi.
Suma Bing berpaling kearah Phoa Kin sian kakak beradik,
tanyanya: "Adik Sian, apa kau tahu perkumpulan apakah Jeng
siong hwe itu?"
"Aku tidak tahu. Tapi kekejaman dan banjir darah yang ditimbulkan
oleh Jeng siong hwe kini benar2 telah menimbulkan gelombang
kemarahan kaum persilatan!"
"Diukur dari kepandaian keempat Rasul ini, dapatlah dipastikan
pemimpin dari Jeng siong hwe itu pasti seorang misterius yang
sangat menakutkan!"
"Itu sudah dapat dibayangkan!" "Kenapa Cu giok bisa bersua
dengan keempat Rasul
penembus dada..." Phoa Cu giok tunduk ke-malu2an. Agaknya
Phoa Kin sian sangat terhibur, juga sangat
menderita, katanya: "Dengan membawa Pedang darah Cu giok
merana di kalangan Kangouw, hampir saja dia dipukul mati oleh
Kangkun Lojin. Untung dia mau bicara secara jujur, sehingga
Kangkun Lojin mengampuni jiwanya dan memerintahkan dia
mengembalikan Pedang darah itu. Tak terduga ditengah jalan
bertemu dengan Rasul penembus dada, dengan kepandaian mereka
yang aneh itu dilihatnya Cu giok menyimpan Pedang itu, maka
mereka terus mengejar dan menguntit sampai disini. Kalau
kebetulan kau tidak muncul, susahlah dibayangkan akibatnya!"
Se-konyong2 Suma Bing ingat sesuatu, tanyanya: "Adik Sian,
kuingat kau pintar menggunakan racun?"
"Kenapa?" balas tanya Phoa Kin sian, wajahnya berubah.
"Kenapa kau tidak gunakan racunmu itu menghadapi Rasul
penembus dada?"
"Kejadian ini sungguh sangat ganjil. Ternyata kali ini para Rasul
itu tidak takut lagi menghadapi racunku!"
"Ada kejadian begitu?" "Kalau tidak buat apa kau
memperingatkan!" "Marilah kita kembali kedalam lembah
solokan itu?" "Kau tidak perlu kesana lagi!" Suma Bing
melengak, tanyanya: "Mengapa?" "Suhu yang menyuruh
begitu!" "Tapi aku harus menilik keadaan bibi!" "Tidak perlu
lagi, paling lama satu bulan dia sudah akan
sembuh kembali!" "Kenapa dia tidak izinkan aku pergi melihatnya
lagi?" "Mana aku tahu!" Suma Bing membatin dan menimbang,
menurut kisikan
Kangkun Lojin bahwa Phoa Kin sian bakal mengalami bencana,
menurut niatnya ia hendak minta bantuan bibinya untuk menjaga
istrinya ini. Tak terduga bibinya tidak ingin menemui dirinya lagi,
urusan ini agaknya harus berlarut berkepanjangan...
"Engkoh Bing." kata Phoa Kin sian lembut. "Agaknya kau ada
omongan yang hendak kau katakan."
"Ya, memang kau menerka betul!" "Apa
yang hendak kau katakan?" "Aku ada
satu permintaan kepadamu!"
"Katakanlah!"
"Aku minta sukalah kau dalam jangka seratus hari ini tidak
meninggalkan tempat tinggalmu ini barang selangkahpun juga?"
Phoa Kin sian heran dan tak mengerti, tanyanya: "Mengapa?"
"Kelak biar kuberitahu kepadamu!" Kata Phoa Kin sian
berpaling kearah Phoa Cu giok: "Dik,
kau kembalilah dulu!" Phoa Cu giok mengiakan terus memutar
tubuh tinggal pergi. "Engkoh Bing," kata Phoa Kin sian, "Katakanlah kenapa?"
Suma Bing menjadi serba susah, tidak mungkin dia
menutur apa yang bakal menimpa istrinya sehingga menambah
beban penderitaan batinnya. Oleh karena pikiran ini maka ia
menyahut putar haluan: "Sebab kau tak lama bakal menjadi ibu,
jangan banyak bergerak sehingga melelahkan badanmu!"
Phoa Kin sian mengulum senyum bahagia, tapi secepat itu tawanya
lantas menghilang, tanyanya: "Mengapa harus dibatasi dalam
seratus hari. Aku bakal... melahirkan... setelah seratus hari lagi?"
"Sudah tentu ada alasannya, tidak peduli bagaimana nanti, dalam
seratus hari ini aku pasti datang menjenguk kau!"
"Baiklah, aku lulusi permintaanmu ini." "Nah, inilah baru istriku
yang baik!" Phoa Kin sian tersenyum malu, tangannya
mencubit sambil
mencemooh: "Cerewet!" "Masa
perkataanku tadi salah!"
Mendadak Phoa Kin sian menutup kedua matanya, terus
membentang kedua lengannya dan berkata: "Engkoh Bing,
ciumlah aku!"
Sikapnya ini benar2 diluar dugaan Suma Bing. Sifat Phoa Kin sian
selamanya putih bersih dan dingin kaku. Pernikahan mereka juga
terjadi dalam peristiwa yang terjadi secara kebetulan. Tatkala itu
kalau bukan karena terkena tutukan jari Hian bu cui yang ci dari si
mawar beracun Ma Siok ceng, itu pelindung Bwe hwa hwe yang
terkenal cabul, tentu Phoa Kin sian tidak bakal kehilangan
kesuciannya, maka mereka tidak mungkin bisa menjadi suami istri.
Walaupun sekarang dia sudah resmi menjadi istrinya. Tapi
kehendak yang merangsang minta dicium ini benar2 baru pertama
kali ini terjadi. Namun bagaimana juga mereka berdua adalah
suami istri. Maka setelah tertegun sejenak, Suma Bing lantas
memeluknya kencang2 sambil mencium dengan mesra.
Phoa Kin sian tenggelam dalam rangsangan penuh nafsu, timbul
suatu perasaan tak menentu dibenak mereka, tatkala itu, se-akan2
sang waktu sudah berhenti, selain terasa getaran jantung dan
dengusan napas serta isapan yang menggelora, segalanya
se-olah2 sudah tidak hidup dan berada lagi.
Lama dan lama sekali baru kedua suami istri ini sadar dari
kenyataan ini. Serta merta Suma Bing merasa sesuatu keanehan
yang menakutkan sanubarinya. Peringatan Racun diracun serta
kisikan Kangkun Lojin itu, laksana duri yang tidak berbekas
me-nusuk2 hati kecilnya sehingga membuatnya tidak tenang
berdiri dan tidak enak duduk.
"Engkoh Bing," ujar Phoa Kin sian penuh kasih mesra, "Kau
merasa diluar dugaan bukan?"
"Ini... ah, tidak!"
"Kau mengelabui aku. Dari air mukamu dapat kulihat kau
berbohong!"
"Apa pikirmu mungkin demikian. Kau adalah istriku..." "Engkoh
Bing, aku selalu merasa segala sesuatu didunia ini
dapat terjadi diluar sangka, tiada yang abadi dan kekal. Terutama
bagi kaum persilatan, yang hidup dan terjun dikilatan ujung
senjata, dengan bekal permusuhan dan dendam sakit hati. Siapa
akan tahu malapetaka apa bakal menimpa dirinya secara
mendadak."
Suma Bing bergidik, memang ini kenyataan, tapi juga pertanda
alamat benih petaka.
"Adik Sian, mengapa timbul pikiranmu yang tidak genah itu?"
"Masa kau tidak mengakui akan kemungkinan ini?" "Memang
harus kuakui, tapi pasti ini tercetus dalam
perasaan batinmu!" "Benar, engkoh Bing. Pikiran semacam ini
sudah lama timbul sejak perkawinan kita dulu, selalu berputar dan mengganjal
dalam pikiranku."
"Adik Sian, dapatkah kau tidak berpikiran begitu" Kenapa tidak kau
pikirkan kelak dan masa depan kita, pikirkanlah tunas muda yang
bakal lahirkan itu..." Mendadak kata2 Suma Bing terputus sampai
disitu. 'Masa depan' kedua kata ini membuatnya bergidik, teringat
olehnya akan janjinya kepada Racun diracun " "...kelak bila
bertemu lagi, aku pasti membunuhmu, tapi hutang budiku terlalu
banyak, biarlah aku membayar budimu itu dengan kematianku..."
Pertemuan yang bakal datang itu, betapa menakutkan. Kalau
begitu dapatkah dirinya menanggung dan menyangkal akan
pandangan Phoa Kin sian yang masuk akal itu.
"Adik Sian, kita tidak perlu me-nerka2 kejadian apa yang bakal
terjadi dimasa depan, paling perlu kita tinjau masa kini!"
"Sekarang ini" Engkoh Bing, apa yang telah diberikan kepada kita
sekarang" Namanya saja kita sebagai suami istri, tapi tiada waktu
untuk kita hidup berdampingan secara kasih mesra, kau ketimur
aku kebarat, masing2 berkelana demi kepentingan sendiri..."
Suma Bing tertawa ewa, ujarnya: "Adik Sian, memang akulah yang
salah, nanti setelah semua sakit hati dan dendamku sudah
terhimpas beres, pasti kutambal kekuranganku..."
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Engkoh Bing, kita setali tiga uang, tapi..." "Kenapa?" "Apa yang
bakal terjadi kelak, siapapun susah
meramalkan!" "Adik Sian, mengapa kau melulu mengatakan kata2
yang tidak baik saja?" "Tidak, engkoh Bing, se-olah2 aku merasa mala
petaka selalu menyertai disampingku..." Perasaan Suma Bing semakin
tenggelam, dipeluknya
istrinya erat2 serta katanya: "Adik Sian, aku tidak akan
meninggalkanmu!"
"Tidak, jangan engkoh Bing, kau sendiri tahu ini tidak mungkin
terjadi!" "Tapi aku rela meninggalkan semua itu!" "Kau salah, jangan
kau mengingkari arti terbesar dalam
jiwa hidupmu ini. Keluarga, perguruan dan beban yang kau pikul
itu, adalah satu2nya tujuan terakhir yang harus kau laksanakan!"
"Adik Sian, cintaku kepadamu bukan termasuk..."
"Aku maklum, kau berangkatlah!"
Suma Bing lepaskan pelukannya terus mundur dua langkah,
tanyanya: "Kau ingin aku pergi?"
"Sudah tentu, apa kau hendak selalu mengeram disini?" "Tapi..."
"Engkoh Bing, Pedang darah sudah kembali pada
pemiliknya, kau harus menyelesaikan rencana dan mengejar
cita-citamu..."
Tergetar perasaan Suma Bing, bangkitlah semangat jantannya,
membekal Pedang darah memohon Bunga iblis untuk melatih ilmu
tiada taranya didunia ini, supaya dapat menuntut balas. Karena
pikirannya ini maka katanya murung: "Adik Sian, aku akan selalu
berterima kasih akan cinta murnimu yang suci ini!"
Phoa Kin sian berseri, serunya: "Engkoh Bing jagalah dirimu
baik2!" "Adik Sian, ingat apa yang kau luluskan padaku. Dalam jangka
seratus hari jangan kau tingggalkan tempat kediamanmu ini."
"Pasti selalu kuingat!" "Kau juga harus hati2 dan baik2
menjaga diri!" Phoa Kin sian mengiakan. Begitulah setelah
berpelukan dan berciuman pula lantas mereka berpisah tanpa banyak kata lagi.
Begitu bayangan Suma Bing menghilang, dua titik air mata
mengalir membasahi kedua pipi Phoa Kin sian. Mengapa dia
menangis" Berat meninggalkan Suma Bing" atau...
Baik kini kita mengikuti perjalanan Suma Bing yang meninggalkan
istrinya dengan perasaan duka nestapa, langsung ia menuju ke
Lembah kematian.
Memang letak Lembah kematian sangat curam dan misterius, bagi
siapa yang berani memasuki hanya kematianlah bagiannya. Namun
bagi Suma Bing tempat yang kramat dan ditakuti ini dianggap
seperti tempat datar yang lurus saja, dicarinya jalan dimana dulu
dia bersua dengan Giok li Lo Ci terus mengembangkan Bu siang sin
hoat meluncur turun.
"Nak, akhirnya kau tiba juga!" Waktu pandangan Suma Bing
menyapu sekitarnya, tampak
Giok li Lo Ci sudah berdiri tegak didepan gua, maka ter-sipu2 ia
merangkap tangan memberi hormat serta sapanya: "Wanpwe
menghadap Cianpwe!"
"Tidak perlu, mari ikut aku!" Tak lama kemudian tibalah mereka
diruang tempat pengobatan tempo hari, setelah mencari tempat duduk, lalu Giok
li Lo Ci membuka mulut: "Nak, kau sudah memperoleh Pedang
darah?" Suma Bing mengiakan dan dirogohnya keluar Pedang darah,
dengan kedua tangannya terus dipersembahkan, ternyata kedua
tangannya itu agak gemetar, betapa haru dan senang hatinya saat
itu, bahwa impian selama ini bakal menjadi kenyataan bagaimana
dia tidak akan terharu dan gembira.
Setelah menyambuti Pedang darah, sekian lama Giok li Lo Ci
mengamat2i dan memeriksa, lalu katanya sambil manggut2: "Nak,
sungguh besar rejekimu, kudoakan setelah kau dapat mempelajari
ilmu mujijat itu, kau dapat mendharma baktikan kepandaianmu ini
kepada sesama hidup yang tertindas."
"Terima kasih akan nasehat Cianpwe!" "Membekal Pedang
darah adalah syarat pertama. Sekarang
dengarlah syarat yang kedua!"
"Akan wanpwe perhatikan!" "Setelah keluar dari pintu ini
berputar kekanan disitu ada
sebuah kamar batu, dengan tenaga murnimu sendiri kau
tembusilah jalan darah mati hidupmu..."
Suma Bing tercengang, katanya: "Jalan darah mati hidup wanpwe
sudah tembus!"
"Apa, jalan darah mati hidupmu sudah tembus?"
42. GIOK CI SIN KANG MENUNJUKKAN KEAMPUHANNYA
"Benar, agaknya Cianpwe sudah lupa, waktu wanpwe
terjatuh kedalam lembah ini dulu seiring waktu menyembuhkan luka
dalam wanpwe. Cianpwe sudah..."
Sampai disini mendadak dia menelan kembali kata2 selanjutnya,
timbul rasa heran dan pertanyaan dalam benaknya. Dia masih
ingat bahwa Giok li Lo Ci memang pernah memberi bantuan
menembuskan jalan darah mati hidupnya. Namun waktu berada di
Perkampungan bumi, setelah minum darah pusaka naga bumi,
sekali lagi jalan darah mati hidupnya juga telah ditembuskan. Ini
benar2 kejadian yang susah dibayangkan apa...
Giok li Lo Ci juga terkejut, katanya: "Waktu kutembuskan jalan
darah mati hidupmu dulu hanya meliputi dua nadi Jim dan Tiok
saja, semua hanya tertembuskan limapuluh empat, masih
ketinggalan satu jalan darah yang susah dibobol, jadi belum
berhasil... Baru sekarang Suma Bing paham, waktu dalam perkampungan
bumi pasti jalan darah terakhir itu yang telah ditembusi, maka
segera katanya: "Wanpwe pernah ketiban
rejeki, mungkin jalan darah yang tertinggal itulah yang telah
dibobolkan."
"Coba biar kuperiksa!" setelah mengulur tangan dan memeriksa
berkata pula Giok li Lo Ci: "Benar, dua puluh lima jalan darah besar
Jim meh dan tiga puluh jalan darah besar Tiok meh sudah tembus
semuanya. Nak, sungguh kau beruntung, segala rejeki numplek
diatas dirimu. Benar2 kejadian yang jarang terjadi dalam dunia
persilatan!"
"Harap tanya apakah syarat yang ketiga itu?" "Nanti kita
bicarakan lagi, sekarang mari kau ikut aku!" Suma Bing
menurut saja mengikuti dibelakang Giok li Lo Ci,
keluar dari kamar batu itu sampailah mereka disebuah lorong
yang panjang, tak lama kemudian mereka tiba pula disebuah
kamar batu yang agak kecil meliputi satu tombak persegi,
menunjuk sebuah meja batu, berkatalah Giok li Lo Ci: "Inilah
disini!" Begitu melihat apa yang terletak diatas meja batu itu tanpa terasa
merinding bulu kuduk Suma Bing. Ternyata diatas meja batu itu
terletak sebuah kerangka sebuah kepala manusia yang besar luar
biasa, ditengah batok kepala itu merekah pecah mengeluarkan
hawa dingin yang menyeramkan.
"Tjianpwe, inikah..." "Betul! Inilah Bunga iblis, kembang yang
menggetarkan seluruh Bulim!" "Ini... kerangka batok kepala ini?" "Coba kau maju
melihat!" Dengan takut2 dan was-was Suma Bing maju mendekati
meja batu, waktu tangan diulurkan terasa dingin menembus
badan. Ternyata bahwa kerangka batok kepala ini adalah terbuat
dari batu Giok yang dipahat, tengahnya kosong dan atasnya
berlobang. "Cianpwe tengkorak ini terbuat dari batu Giok?" "Benar!"
"Harap tanya..." "Sekarang kau tubleskan Pedang darah
kedalam lobang diatas batok kepala itu, lalu kau sirami dengan setalang air ini..."
"Ini..." "Kau tidak perlu banyak tanya, inilah menurut pesan
terakhir suhu sebelum ajal. Aku sendiri juga tidak mengetahui
seluk beluknya."
Dengan ragu2 Suma Bing memasukkan ujung Pedang darah secara
pelan2 dan hati2 kedalam lobang diatas kerangka tengkorak itu,
lalu diangkatnya talang emas yang berada dipinggiran...
Terdengar Giok li Lo Ci berkata lagi: "Gunakan tangan dan setetes
demi setetes siramkan kelobang itu!" " habis berkata terus putar
badan tinggal pergi.
Suma Bing menahan gelora hatinya, pelan2 dengan telapak
tangannya menciduk air terus pelan2 dituang keatas lobang yang
ditancapi pedang itu. Dimana air itu mengenai badan Pedang
lantas berobah warna merah darah lalu mengalir memasuki lobang
tengkorak. Satu jam sudah berlalu tanpa menunjukkan sesuatu
perobahan. Dua jam sudah berlalu pula, tanpa menunjukkan reaksi apapun
juga. Suma Bing mulai gelisah, Tiga jam kemudian setalang air
sudah habis semuanya. Suma Bing benar2 sudah risau dan
gundah sekali. Se-konyong2 lobang diatas kerangka tengkorak itu melebar dan
terus merekah semakin lebar. Darah Suma Bing terasa mengalir
deras, jantungnya berdetak keras. Lobang itu semakin lebar dan
semakin besar, sebuah benda berbentuk
seperti sekuntum bunga pelan2 muncul keluar. Suma Bing
menahan napas, matanya tidak berkedip menatap kearah benda
aneh itu dengan penuh ketegangan, sehingga seluruh tubuhnya
basah kuyup oleh keringat.
Kuntum bunga itu setelah naik setinggi satu kaki tiba2 berhenti
dan tidak bergerak terus mekar sebesar mangkok. Maka
terlihatlah sekuntum bunga putih seperti batu giok yang
kemilauan dan se-olah2 tembus akan cahaya.
Tanpa tertahan lagi Suma Bing berteriak kegirangan: "Bunga iblis!"
" tubuhnya bergemetaran, ini benar suatu keajaiban yang jarang
terlihat dan pernah terdengar.
Tiba2, muncullah Giok li Lo Ci dalam ruangan itu, suaranya
gemetar penuh perasaan: "Betapa besar dunia ini segala
keanehan tak terhitung banyaknya. Nak, terhitung aku orang tua
juga dapat membuka mata."
Ter-sipu2 Suma Bing maju memberi hormat serta katanya: "Budi
Cianpwe ini selamanya takkan kulupakan!"
"Ini memang sudah menjadi rejekimu, budi apa segala yang
kuberikan kepadamu!"
"Harap Cianpwe suka memberi petunjuk selanjutnya!" "Lihatlah
kelopak kuntum bunga ini, semua terbagi dalam
sembilan kelopak, setiap kelopaknya tertera huruf, baiklah kau
baca dan selami sendiri pelajaran ilmu yang tiada taranya ini."
Bermula Suma Bing tidak ambil perhatian. Baru sekarang
diperhatikannya memang benar diatas kelopak bunga itu banyak
tertulis huruf kecil yang rapat dan padat. Satu diantaranya
bertuliskan empat huruf yang sangat besar berbunyi: "Giok ci sin
kang." Tak tertahan Suma Bing membaca keempat huruf itu keras2.
K a t a G i o k l i L o C i p e l a n : " N a k , mema n g k a u s a j a
y a n g b e r j o d o h , a k u t i d a k b i s a t u r u t c amp u r ,
b i a r l a h k a u b e l a j a r d a n me n y e l ami p e l a j a r a n i t u
d i r u a n g a n i n i s a j a , k e p e r l u a nmu s e - h a r i 2 a k u
d a p a t me n y Suma Bing sangaetd tei arhkaarun d aunn bteurtke rikmaau k!a"s ih, sahutnya dengan
hormat: "Terimakasih akan bantuan Cianpwe yang tak ternilai ini."
Diam2 tanpa bersuara Giok li Lo Ci terus mengundurkan diri
keluar ruangan.
Suma Bing mulai memusatkan segala pikiran dan semangatnya,
setelah pikiran terasa jernih baru mulailah dia membaca dan
menyelami pelajaran Giok ci sin kang itu.
Pelajaran Giok ci sin kang ini meliputi dua tahap, pertama melatih
pernapasan, selain itu adalah tiga jurus pelajaran silat. Jurus
pertama bernama Bi cu hong bong (mayapada remang2), jurus
kedua Che ih to cwan (bintang bergeser jumpalitan), ketiga adalah
Kay thian pit te (membuka langit menutup bumi).
Betapa luas dan dalam pelajaran ketiga jurus ilmu silat ini, tidak
mudah untuk dipahami dalam waktu singkat. Namun dipandang
sekadarnya kekuatannya pasti hebat dan luar biasa seumpama
dapat mengejutkan langit menggetarkan bumi.
Sang waktu terus berlalu tanpa terasa. Suma Bing tekun belajar
dan belajar sampai lupa waktu dan lupa akan diri sendiri. Waktu
semua pelajaran sudah selesai dan berhasil dia pahami dan selami
seluruhnya, baru Giok li Lo Ci muncul lagi.
"Nak, kuberikan selamat setinggi2nya kepadamu, ternyata kau
berhasil mempelajari ilmu mujijat yang tiada taranya ini."
"Semua ini berkat bantuan Cianpwe yang menyempurnakan!"
"Pedang darah itu boleh kau bawa serta, tapi Bunga iblis biar
tertinggal disini!"
Suma Bing mengiakan terus mencabut keluar Pedang darah.
Sungguh aneh dan ajaib, tiba2 kuntum bunga Giok itu mengkeret
terus kembali masuk kedalam kerangka tengkorak itu, sekarang
telah pulih seperti sedia kala lagi. Suma Bing berdua merasa
takjup dan kagum akan kepintaran orang si pembuat dan pengatur
semua ini. Setelah tiba didalam ruangan batu semula yang besar itu
berkatalah Suma Bing: "Cianpwe masih ada petunjuk apa?"
"Masih ada dua tugas yang harus kau lakukan!" "Harap tanya
tugas apakah itu?" "Pertama, kau harus kembalikan Bu siang
po liok kepada pihak Siau lim!" "Bu siang po liok" (buku pelajaran Bu siang
sinkang)" "Tidak salah, buku ini memang milik Siau lim, sudah
ratusan tahun lamanya dikangkangi oleh Suhu, sebab musabab
kejadian ini, aku tidak dapat beritahukan kepadamu!"
Diam2 Suma Bing berkata dalam hati: 'Tidak kau katakan aku juga
sudah tahu Kangkun Lojin sudah menuturkan kepadaku
sejelasnya.' Maka segera katanya tawar: "Wanpwe juga tidak ingin
tahu!" "Masih ada satu hal yang harus kau ingat. Kau sudah mempelajari
gerak naik dan kelit dari ilmu Bu siang sin hoat, maksudku dulu
hanya untuk membantu kau keluar dari lembah ini supaya dapat
merebut pulang Pedang darah. Setelah keluar dari lembah nanti,
kau harus melupakan se- akar2nya, jangan sekali2 kau
kembangkan ilmu itu dihadapan orang lain atau kau turunkan
kepada orang. Sebab ini merupakan ilmu pelajaran Siau lim yang
tidak sembarangan diturunkan kepada anak muridnya. Apalagi kau
bukan murid Siau lim si, maka lebih tidak boleh lagi kau unjukkan
kepada orang luar. Ini adalah pesan terakhir yang wanti2 sudah
diberitahu Suhu sebelum meninggal. Apa kau dapat mematuhi
pantangan keras ini?"
"Pasti dapat kulakukan!" " dimulut Suma Bing berkata demikian,
namun dalam hati sebaliknya dia berpikir, setelah aku dapat
mempelajari Giok ci sin kang dan ilmu khikang (pernapasan) yang
tiada taranya itu, meskipun Bu siang sin hoat itu sangat sakti dan
ampuh, tapi kalau dibandingkan masih terpaut sangat jauh bagai
bumi dan langit.
Wajah keriput Giok li Lo Ci menunjukkan kesungguhan hati,
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ujarnya: "Buku catatan ini jangan sampai jatuh atau hilang tercuri
orang. Kau harus secepatnya mengantarkan ke Siau lim si dan
harus langsung kau serahkan sendiri kepada Ciangbun Hong
tiang. Supaya peristiwa seabad yang ter-katung2 itu ada
penyelesaiannya yang menyeluruh".
"Wanpwe pasti dapat membereskan!" "Dan syarat yang
terakhir, kau harus mencari tahu mati
atau hidup jejak seseorang!" "Siapa?" "Li Hui!" "Seorang wanita?"
"Benar, dia adalah anak tunggal dari mendiang Suhu Bu
siang sin li, umurnya lebih lanjut dari usiaku!" Suma Bing
mengiakan dengan suara keheranan! "Jejaknya menghilang sejak
duapuluh tahun yang lalu, mati
hidupnya masih belum diketahui." "Baiklah, wanpwe pasti akan
menyirapi dengan tekun dan
sekuat tenaga." "Kalau sudah ketemu mintalah
jawabannya!" "Jikalau Li Hui Cianpwe itu..."
"Maksudmu kalau dia sudah meninggal dunia?" "Ya begitulah!"
"Tulislah kabar dukanya itu diatas secarik kertas dan
lemparkan masuk lembah!" "Wanpwe sudah maklum." "Baiklah
segera kau boleh berangkat!" "Berapa lamakah wanpwe berdiam
dalam lembah ini?" "Tiga bulan!" Suma Bing berjingkrak kaget,
teriaknya: "Sudah tiga
bulan?" "Sedikitpun tidak salah!" Seketika risau gundah dan
gugup hati Suma Bing. Sungguh
tak terduga dalam sekejap ini ternyata dirinya sudah tiga bulan
berada dalam lembah kematian ini, teringat akan janji terhadap
istrinya Phoa Kin sian hanya seratus hari bagaimana juga segera ia
harus berangkat pulang menemuinya. Karena jangka seratus hari
sudah diambang pintu masihkah dia sehat waalfiat tanpa kurang
suatu apa" Karena pikirannya ini badannya sampai basah oleh
keringat dingin.
Giok li Lo Ci mengeluarkan sebuah bungkusan kain merah dan
berkata: "Inilah buku catatan yang bernama Bu siang po liok itu,
kau harus hati2 dan waspada menjaganya."
"Akan wanpwe perhatikan betul!" "Ingat bagaimana juga kau
harus menyirapi mati hidup Li
Hui!" "Wanpwe akan bekerja sekuat tenaga!"
"Bagus, sekarang kau boleh pergi!"
"Kalau begitu, wanpwe minta diri!" setelah membungkuk memberi
hormat terus berputar dan berjalan keluar meninggalkan gua...
"Eh, kembali sebentar!" Suma Bing melengak sambil memutar
tubuh, tanyanya:
"Cianpwe masih ada pesan apa?" Wajah keriputan Giok li Lo Ci
penuh mengunjuk kepedihan
yang tak terhingga, ujarnya: "Persembahkan sekuntum bunga
dan bakarkan kertas didepan kuburan gurumu untukku!"
Puluhan tahun sudah berselang, namun Giok li Lo Ci belum
melupakan kekasihnya Sia sin Kho Jiang yang sangat dicintainya.
Suma Bing mengangguk hikmad, sahutnya: "Pasti akan wanpwe
lakukan!" "Pergilah!" Suma Bing memutar tubuh lagi terus langsung
keluar dari g u a b a t u i t u . P i k i r n y a s e t e l a h m e n g h a d a p i
l a m p i n g g u n u n g s e t i n g g i r a t u s a n t o m b a k i t u :
" K a l a u G i o k l i L o C i s u d a h b e r p e s a n s u p a y a
s e t e l a h m e n i n g g a l k a n t e m p a t i n i a k u t i d a k
m e n g e m b a n g k a n l a g i i l m u B u s i a n g s i n h o a t .
M e n g a p a a k u t i d a k m e n c o b a s a j a i l m u
p e l a j a r a n p e r n a p a s a n d a r i G i o k c i s i n k a n g
y a n g b a r u k u p e l a j a r i i t u . A k a n k u l i h a t m a n a
y a n g l e b i h s a k t i d a n a m p u h .
Segera ia menghimpun semangat dan mengerahkan tenaga, hawa
murninya berputar cepat dalam tubuhnya, mendadak kakinya
menjejak tanah lantas tubuhnya melejit tinggi...
Terasa tubuhnya sekarang seenteng asap, sekali enjot lima puluh
tombak sudah dicapainya. Belum luncuran tubuhnya merandek ia
sudah berganti napas dan merobah gaya sehingga tubuhnya terus
mumbul dan naik semakin tinggi. Dalam sekejap mata saja tahu2
dirinya sudah menancapkan
kakinya diatas batu cadas yang menyelonong keluar itu. Betapa
girang hatinya sungguh sukar dilukiskan. Agaknya pelajaran
pernapasan yang baru dipelajari ini kalau dibanding ilmu gerak
naik dan kelit dari Bu siang sin hoat masih setingkat lebih tinggi.
Karena sudah kangen betul dan menguatirkan keadaan Phoa Kin
sian, maka tanpa berayal lagi tanpa membuang waktu dia terus
ber-lari2 kencang secepat bintang meluncur turun gunung.
Tengah ia ber-lari2 kencang itulah mendadak terdengar sebuah
suara memanggil dibelakangnya: "Buyung, berhenti sebentar!"
Tanpa terasa tergerak hati Suma Bing, saat mana dia tengah
mengerahkan seluruh tenaga untuk mengembangkan ilmunya,
betapa cepat larinya itu seumpama roket meluncur. Bagi kaum
persilatan umumnya, mungkin bayangannya saja tidak bakal dapat
melihat jelas. Adalah suara itu dapat mengintil kencang
dibelakangnya, betapa hebat dan tinggi kepandaian orang ini
sungguh sangat mengagumkan.
Maka tanpa terasa segera ia hentikan kakinya, begitu melihat
orangnya, legalah hatinya, ter-sipu2 Suma Bing maju menyapa
hormat: "Locianpwe ada petunjuk apakah?"
Kangkun Lojin meng-goyang2kan kipas sambil mengurut
jenggotnya yang panjang menjulai didepan dadanya, tanyanya:
"Buyung, kau keluar dari Lembah kematian?"
Suma Bing tertegun, sahutnya: "Benar!" "Apakah Bu siang sin li
berada didalam lembah itu?" "Ini..." "Aku tidak memaksa
kesukaranmu lohu sudah menanti
selama tiga bulan diluar lembah ini. Sungguh menggirangkan
kemajuanmu sedemikian pesat. Dari gerak gerik badanmu tadi,
sungguh Lohu susah dapat dibandingkan lagi!"
"Locianpwe terlalu memuji!" "Tidak ini kenyataan!" "Wanpwe
ada satu hal hendak kuberitahukan kepada
Locianpwe!" "Tentang urusan apa?" "Tentang Bu siang po liok..."
Tanpa menanti habis ucapan Suma Bing, Kangkun Lojin
sudah menyeletuk: "Bagaimana?" "Buku itu sekarang berada
ditangan wanpwe!" "O, bagaimana ini bisa terjadi?" "Wanpwe
mendapat perintah untuk mengembalikan
kepihak Siau lim!" Meski sudah mencapai latihan selama seratus
tahun tak urung Kangkun Lojin masih terbawa oleh perasaan haru juga,
katanya gemetar: "Buyung, apa ini betul?"
"Mana wanpwe berani ngapusi kepada Cianpwe!" "Bagus,
bagus sekali! Terlaksanalah angan2 Lohu didunia
fana ini. Buyung..." "Locianpwe!" "Apa kau masih ingat cerita
yang kuberitahukan kepadamu
itu?" "Masih ingat betul!" "Lohu sudah tidak lama lagi tinggal
didunia fana ini, aku
harus menceritakan semua kenyataan itu kepadamu." "Dengan
senang hati wanpwe akan mendengar penuh
perhatian." "Nama asli Lohu adalah Buyung
Ceng!" "Buyung cianpwe!"
"Nama asli Bu siang sin li adalah Lin Ji lan, seorang pelaku lain
dari cerita itu bernama Li It sim!"
"Li It sim?" Berpikirlah Suma Bing, menurut pesan Giok li Lo Ci
dirinya harus mencari seorang wanita yang bernama Li Hui, tidak
perlu disangsikan lagi bahwa Li Hui ini pasti anak dari Li It sim
dan Lin Ji lan itu.
"Kalau Li It sim masih hidup, usianya tentu juga sudah mencapai
seratus tahun lebih. Kalau kelak kau bertemu dengan orang ini,
boleh kau beritahu segala kejadian terakhir ini kepada dia. Dan
katakan pula bahwa Lohu tengah menanti kedatangannya
ditempat perpisahan dulu!"
Suma Bing mengiakan. "Buyung masa depanmu gilang
gemilang, waspada dan
hati21ah, Lohu pergi!" " habis berkata lengan bajunya yang
gondrong dikebutkan tahu2 tubuhnya sudah menghilang.
Sekian lama Suma Bing termangu ditengah jalan, batinnya: 'Tokoh
aneh yang luar biasa ini sungguh baik hati dan tekun benar.
Sungguh tidak sangka dia mengintil dibelakangku. Dengan sabar
selama tiga bulan dia menanti diluar lembah kematian!' tak lama
kemudian Suma Bing sudah mengayun langkah melanjutkan
perjalanannya. Pada waktu tengah hari tibalah Suma Bing diluar solokan
kediaman Phoa Kin sian dengan Suhunya. Jantungnya terasa mulai
berdetak keras, selamat atau mautkah yang bakal dihadapi susah
diterka sebelumnya.
Mendadak pemandangan yang menggiriskan hati dan mendirikan
bulu roma terbentang dihadapannya. Sekitar pinggiran solokan
sebelah sana bergelimpangan beberapa mayat manusia. Darah
yang membeku dan berobah warna itu merupakan perpaduan
pandangan yang lebih menyeramkan. Tangan kaki tersebar
di-mana2, kepala, biji mata atau isi perut orang berceceran disana
sini, sungguh keadaan ini sangat mengerikan.
Suma Bing sendiri juga merasa merinding dan bergidik, naga2nya
dalam solokan ini telah tertimpa bencana dahsyat. Keselamatan
Phoa Kin sian guru dan murid, membuat hatinya terasa hendak
melonjak keluar. Akhirnya didapatinya beberapa tanda tertentu
diatas beberapa mayat itu, tanpa terasa tercetus seruan kagetnya:
"Semua adalah anak buah Bwe hwa hwe!"
Kalau diluar solokan penuh diliputi bau anyir darah, entah
bagaimana keadaan dan pemandangan didalam solokan sana"
Sambil berpikir tanpa ayal tubuhnya segera berkelebat melayang
turun kedalam solokan sana seenteng daon melayang.
Selepas pandang, hatinya semakin kebat-kebit. Dalam selokan
di-mana2 terlihat tumbuh2an yang terbakar hangus atau sudah
menjadi abu. Tidak perlu disangsikan lagi pasti dalam solokan ini
pernah terjadi kebakaran besar. Bergegas ia berlari kearah gua.
Begitu tiba seketika dia berdiri termangu, sedikitpun tidak kentara
lagi adanya bekas2 pintu gua, sekarang menjadi rapat seperti
dinding batu semua.
Kemanakah mereka" Ketimpa bencana, atau... Tidak mungkin
gua batu ini tertutup dan menghilang tanpa
sebab, sudah terang kalau ditutup secara paksa oleh orang.
Ditutup sendiri oleh Phoa Kin sian guru dan murid atau disumpal
dari luar. ini susah dibedakan.
Inikah bukti dari ramalan Kangkun Lojin" Sesaat dia menjadi
bingung harus mundur atau terus maju.
Kepandaian Phoa Kin sian dengan gurunya dia tahu betul,
seumpama mengalami serangan mendadak dari luar juga tidak
sukar bagi mereka untuk mengundurkan diri dengan selamat. Tapi
yang membuatnya kuatir adalah Phoa Kin sian tengah mengandung
dan hampir melahirkan. Karena kekuatirannya inilah maka dengan
teliti ia memeriksa setiap jengkal tanah dalam solokan itu. Besar
harapannya dapat
menemukan sesuatu, tapi juga mengharap tidak menemukan
apa2. Ramalan Kangkun Lojin itu benar2 membuat dia bergidik.
Setengah harian sudah ia putar kayun dan membungkuk2, tiada
diketemukan benda2 milik Phoa Kin sian dan gurunya atau
jenazah mereka berdua. Seumpama yang melepas api ini adalah
perbuatan orang2 Bwe hwa hwe, maka mayat2 yang
bergelimpangan diluar solokan itu pasti adalah buah karya dari
Phoa Kin sian kakak beradik dan dibantu oleh bibinya. Tapi
kemana mereka sekarang"
Apakah maksud tujuan perbuatan Bwe hwa hwe ini" Meskipun
ditengah hari bolong, namun suasana dalam solokan ini menjadi
sedemikian seram dan menakutkan. Dalam keputus asaannya
Suma Bing sudah bersiap hendak tinggal pergi keluar solokan.
Baru saja niat ini timbul dalam benaknya, se-konyong2 terdengar
suara tawa yang mengekeh dingin, lantas terdengar sebuah suara
berkata: "Suma Bing, sudah lama kutunggu kedatanganmu."
Berdebar jantung Suma Bing, waktu dia berpaling, kontan
darahnya mendidih, matanya melotot dan airmukanya membeku
penuh nafsu membunuh.
Dihadapannya berdiri musuh besar bebuyutannya yaitu Loh Cu gi,
dan dibelakangnya mengiringi anak buahnya, jumlahnya tidak
kurang dari lima puluh orang.
Dari murka Suma Bing menjadi tertawa besar serunya: "Loh Cu gi,
ternyata semua ini adalah hasil karyamu!"
Loh Cu gi menjengek dingin, ujarnya: "Buyung keparat, kau
menyerah dan pasrah nasib saja."
Suma Bing maju dua langkah, katanya sambil kertak gigi: "Loh Cu
gi, agaknya Tuhan membantu akan kebenaran, seharusnya kau
sendiri yang terima binasa saja!"
"Bocah keparat, cuma sedikit mengangkat tangan saja, aku dapat
membuat seluruh tubuhmu hancur lebur menjadi abu!"
"Kau ini sedang bermimpi!" "Masih ada satu soal hendak
kutanya padamu, apakah kau
benar2 keturunan Suma Hong?" "Tak usah disangsikan lagi."
"Kalau begitu, kau memang harus mampus!" Disertai
bentakannya mendadak secarik sinar merah yang
menyilaukan melesat menerjang kearah Suma Bing, betapa cepat
cara turun tangannya ini betul2 sangat mengejutkan. Inilah puncak
kesempurnaan ilmu Kiu yang sin kang, kekuatannya dapat
melumerkan benda2 keras dan dapat membumi hanguskan benda2
yang mudah terbakar.
Sebat sekali Suma Bing berkelebat menyingkir. Loh Cu gi
perdengarkan jengekan dingin, bagai bayangan
yang selalu mengikuti bentuknya. lagi2 dia lancarkan sebuah
pukulan, kecepatan merobah serangannya sungguh susah dicari
tandingan, cahaya sinar pukulannya, melebar dan melingkupi
udara sekitar tubuhnya. Memang Suma Bing kalah latihan dan
kalah ulet, sampai akhirnya tiada tempat luang lagi untuk selalu
bermain kelit. Dalam gugupnya serta merta ilmu Giok ci sin kang
timbul dan dilancarkan menyertai isi hatinya.
Dentuman keras yang menggetarkan bumi menggoncangkan semua
hadirin. Tampak Suma Bing tersurut tiga langkah dan berdiri tegak
lagi dengan angkernya tanpa kurang suatu apa, sekelilingnya diliputi
kabut asap yang bergulung gulung.
Sungguh kejut Loh Cu gi bukan kepalang, betapa hebat dan tinggi
kepandaian tokoh silat siapapun, takkan mungkin kuat menahan
kedahsyatan pukulan Kiu yang sin kang, seumpama besi baja juga
pasti lumer. Tapi sebaliknya Suma
Bing masih tetap segar bugar tanpa kurang suatu apa setelah
menyambuti pukulannya.
Semua tokoh2 silat dibelakang Loh Cu gi juga berobah pucat pias.
Begitu melancarkan kemurnian ilmu Giok ci sin kang, ternyata kuat
bertahan melawan pukulan Kiu yang sin kang musuh, bertambah
besar tekad hati Suma Bing, ia maju selangkah lantas bentaknya
keras: "Loh Cu gi, akan kucincang dan kuhancur leburkan manusia
laknat seperti kau ini!"
Tanpa sadar Loh Cu gi mundur selangkah dengan gentar. Pada
saat itulah tiba2 lima orang tua berkelebat maju dari belakang Loh
Cu gi terus membungkuk berbareng serta berkata: "Hamba
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
beramai menunggu perintah!"
Loh Cu gi manggut2, tubuhnya melejit mundur sejauh delapan
tombak. Kelima orang tua ini matanya ber-kilat2, terang kalau latihan
Lwekang mereka sudah mencapai titik kesempurnaannya, berdiri
setengah lingkaran mereka menghadapi Suma Bing dan mulai
bergerak siap untuk menyerang...
Terdengar bentakan dan hardikan yang riuh rendah, lima jalur
angin pukulan serempak bergulung menerpa kearah Suma Bing.
Suma Bing menggigit gigi kencang2, airmukanya membesi hitam
dirundung sifat kebuasan, tubuhnya berdiri tegak dan gagah
perwira laksana malaikat elmaut tanpa bergerak. Begitu diterpa
kelima jalur angin pukulan itu, Suma Bing hanya terdorong
mundur tiga tindak.
Bahwa gabungan pukulan kelima orang tua yang berkepandaian
tinggi ternyata dipandang sebagai pukulan anak2. Betapa hebat
dan tinggi kepandaian Suma Bing ini kiranya tiada tandingannya
lagi didunia ini. Seketika kelima
orang tua itu berdiri kesima dan termangu tanpa bergerak, timbul
rasa gentar dan ketakutan dalam benak masing2.
Disaat kelima orang tua itu kesima tanpa bergerak itulah, tiba2
tangan Suma Bing bergerak melintang dan berputar.
Dilancarkannya jurus pertama dari ilmu Giok ci sin kang yang baru
dipelajarinya itu, yaitu Bi cu hong bong (mayapada remang2).
Dimana gelombang badai melanda, tanah merekah dan batu hancur
lebur, pohon dan rumput berterbangan. Lima tombak sekitar
gelanggang menjadi gegap gempita, terdengarlah beberapa kali
jerit dan lolong panjang yang menyayatkan hati memecah
kesunyian udara.
Tampak tubuh kelima orang tua itu hancur lebur dan tercerai berai
kemana2 meliputi arena sepuluh tombak lebih.
Suma Bing sendiri juga terkejut dan kesima melihat hasil kekuatan
ilmu Giok ci sin kang ini, kedahsyatannya sungguh diluar taksiran
sebelumnya. Semua jagoan Bwe hwa hwe yang hadir juga bukan main takut
dan arwahnya terasa hampir melayang meninggalkan badan
kasar. Saat mana Loh Cu gi sudah mundur sejauh lima tombak lebih,
wajahnya menunjukkan kejut dan keheranan, matanya terlongong
memandangi Suma Bing, sungguh susah dibayangkan darimanakah
Suma Bing dapat mempelajari ilmu digdaya yang sakti mandraguna
seperti ini hanya dalam jangka tiga bulan saja"
Suma Bing maju beberapa langkah lagi. "Loh Cu gi, serahkan
nyawamu!" tiba2 dia menggertak keras, tubuhnyapun sudah
melesat tiba dihadapan Loh Cu gi terpaut tiga tombak jauhnya.
"Buyung, jangan terlalu takabur!" " selarik sinar merah kemilau
mendesis menerjang kearah Suma Bing. Sekali ini
agaknya Loh Cu gi sudah kerahkan seluruh kekuatan Kiu yang sin
kang yang dipandang sebagai ilmu yang tiada bandingannya
didunia ini. Suma Bing juga menggerung keras, dengkulnya sedikit ditekuk,
tangannya bergerak melancarkan jurus Mayapada remang2 itu
tadi untuk menyongsong serangan lawan.
Begitu dua ilmu sakti saling berhantam terbitlah guntur yang
menggelegar, saking dahsyat benturan ini sampai bumi
pegunungan sekitarnya terasa bergetar laksana gempa bumi.
Karena benturan dahsyat ini Suma Bing terpental balik dan
terhuyung delapan langkah baru bisa berdiri tegak lagi. Sebaliknya
Loh Cu gi juga mencelat mundur tiga tombak jauhnya, air
mukanya pucat pasi, darah meleleh keluar dari ujung bibirnya.
Tokoh nomor satu pada empat belas tahun yang lalu ternyata
tidak kuat menahan gebrak pertama serangan Suma Bing. Malah
puluhan jago2 Bwe hwa hwe yang terdekat juga terpental
sungsang sumbel dan jungkir balik keempat penjuru.
Maka tanpa bersuara lagi, mendadak Loh Cu gi membalik tubuh
terus melesat terbang memasuki hutan rimba sebelah sana. Maka
semua anak buah Bwe hwa hwe yang masih ketinggalan hidup
be-ramai2 melenting mencawat ekor coba melarikan diri.
"Mau lari kemana?" Suma Bing menghardik keras sekali, tubuhnya
juga melenting maju memburu dengan kencang. Namun rimba itu
sedemikian lebat didalam bawah jurang lagi maka dalam sekejap
mata saja bayangan Loh Cu gi sudah menghilang tanpa bekas.
Saking gusar kepala Suma Bing sampai menguap, dada juga
hampir meledak, tahu dia akan sia2 ia terus mengejar, maka
begitu memutar balik ganti para kunyuk yang ketakutan itulah
yang menjadi korban demi pelampiasan kedongkolan hatinya.
Maka dimana2 timbul pekik dan jerit kesakitan yang menyayatkan
hati. Mungkin hanya seorang dari sepuluh orang yang dapat
menyelamatkan diri,
selebihnya sudah menjadi setan gentayangan dibawah tangan
Suma Bing. Setelah mengumbar kedongkolan hatinya dengan berpesta pora
dengan pembunuhan yang keji itu, baru Suma Bing merasa puas
dan menghentikan sepak terjang selanjutnya, gumamnya sambil
kertak gigi: "Kalau aku tidak menimbulkan banjir darah di Bwe
hwa hwe, aku bersumpah tidak menjadi manusia!"
Suasana sekelilingnya sunyi senyap se-olah2 tiada insan lagi yang
masih tetap hidup didunia fana ini. Sekuat tenaga Suma Bing
menekan gejolak hatinya, serta menerawangi tindakan
selanjutnya. Langsung meluruk ke markas besar Bwe hwa hwe
atau mencari dulu jejak istri dan bibinya"
Dimanakah kiranya sekarang ibunya berada" Kalau ibunya belum
ketemu sukar untuk dapat mengetahui siapa2 saja yang menjadi
musuh besar keluarganya. Apa lebih baik mengantar dan
mengembalikan Bu siang po liok ke Siau lim si"
Setelah berpikir dan ditimang sekian lamanya, akhirnya dia ambil
keputusan untuk pergi dulu ke gereja Siau lim. Perempuan yang
terkurung dibelakang puncak Siau sit hong itulah yang masih
membuat hatinya kurang tentram, dia curiga mungkin perempuan
itu adalah ibundanya yang telah hilang itu. Maka tujuannya ini
boleh dikata sekali tepuk dua lalat.
Meskipun Pek kut Hujin pernah memperingatkan, bahwa
perempuan itu bukan orang yang tengah dicarinya, tapi ia harus
membuktikan sendiri kenyataan ini, untuk membuka ganjalan
hatinya selama ini.
Sekarang ilmu sakti sudah sempurna dipelajarinya, setahap demi
setahap dia bakal dapat menyelesaikan dendam permusuhannya
dengan para musuh besarnya, ini tinggal tunggu waktu saja.
Begitulah tanpa ayal lagi Suma Bing langsung berayun menuju ke
Siong san Siau lim.
Hari itu dia sudah beranjak dijalan raya yang menuju kewilayah Ho
lam, menurut perhitungannya lima hari lagi dia pasti sudah tiba
diatas gunung Siong san itu.
Betapa tinggi ilmu ringan tubuh Suma Bing saat itu, luncuran
tubuhnya seumpama bintang terbang. Se-konyong2 terlihat
didepan sana ada setitik putih tengah berlari kencang, semakin
lama titik putih itu tersusul dan semakin besar. Setelah membelok
sebuah tikungan bayangan putih itu melesat memasuki hutan lebat
dipinggir jalan sebelah kanan.
Sejak memperoleh ilmu Giok ci sin kang, pandangan mata Suma
Bing semakin jeli dan tajam luar biasa. Hanya sekali pandang saja
diketahuinya bahwa bayangan putih itu tidak lain adalah Rasul
penembus dada tokoh yang paling ditakuti kaum persilatan masa
itu. 43. SETELAH DITOLONG MALAH MENTUNG.
Kalau Rasul penembus dada muncul dengan gerak gerik
yang mencurigakan ini pasti ada tujuan yang tertentu. Mungkin
disinilah markas atau sarang Jeng siong hwe itu berada atau
mungkin juga...
Begitu membelok haluan dia juga mengikuti menerjang masuk
kedalam hutan lebat itu.
Dengan kepandaiannya saat itu yang sangat sakti dan
menakjupkan, meskipun gerak gerik Rasul penembus dada sangat
cekatan dan gesit sekali selulup timbul diantara dahan2 pohon,
tapi sebegitu jauh masih tak lepas dari pandangan matanya.
Dia sengaja mengendorkan langkahnya untuk mengintil terus
dibelakangnya. Betapa tinggi kepandaian Rasul penembus dada toh
sejauh itu belum mengetahui bahwa dirinya dikuntit orang.
Setelah melewati hutan lebat ini, didepan sana terlihat melintang
sebuah anak sungai yang lima tombak lebarnya, diantara
keremangan dan himpitan dahan dan daun pohon samar2 terlihat
bangunan sebuah gubuk. Tanpa sangsi dan takut2 Rasul
penembus dada langsung terbang melewati anak sungai itu terus
melesat kearah gubuk bambu itu.
Bukan kepalang heran Suma Bing, buat apa Rasul penembus dada
mendatangi sebuah gubuk reyot yang dibangun ditengah hutan
belukar begini" Mungkinkah...
Tengah ia ber-pikir2, terdengar Rasul penembus dada sudah
perdengarkan tawa dinginnya dan membuka suara kearah gubuk
bambu itu: "Pek chio Lojin, apa kau minta tuanmu ini masuk
kedalam gubuk untuk menyilahkan kau keluar?"
Begitu mendengar nama Pek chio Lojin, berdetak jantung Suma
Bing. Teringat olehnya waktu dirinya mohon sebutir Hoan hun tan
di Yo kong bio dulu, layon jenazah Pek chio Lojin terang terletak
diruang tengah sembahyang. Apa mungkin seperti apa yang
dikatakan oleh Rasul penembus dada dulu bahwa dia hanya pura2
mati untuk mengelabui"
Untuk apa dan kenapa Rasul penembus dada mati2an mengejar
dan tidak melepaskan Pek chio Lojin" Terbawa oleh keinginan
tahunya dengan gerak raga yang cepat luar biasa, seenteng daun
ia melayang melewati anak sungai itu terus menyelinap dan
sembunyi dirumpun bunga yang terletak disamping gubuk bambu.
Terdengar pintu gubuk bambu berkereyotan terbuka. Begitu pintu
gubuk terpentang berjalan keluar seorang tua ubanan yang
bertubuh tegap dan penuh semangat.
"Tua bangka!" maki Rasul penembus dada dengan sikap angkuh
dan dingin, "waktu di Yok ong bio untung kau dapat lolos, tapi
dapat menghindari yang pertama takkan dapat lolos untuk yang
kedua. Semua orang yang terdaftar dalam buku catatan, siapapun
takkan dapat menyelamatkan diri!"
Wajah Pek chio Lojin menampilkan rasa kaget dan ketakutan,
katanya gemetar: "Lohu sudah lama tidak mencampuri urusan
dunia, kenapa perkumpulan kalian tetap tidak melepas Lohu?"
"Enak benar kau berkata tiada turut campur urusan dunia.
Ketahuilah, cundrik yang kemilau tajam ini selamanya belum
pernah membunuh seorang tanpa berdosa!"
Pek chio Lojin tersurut selangkah, semprotnya bengis: "Ada
permusuhan apa Lohu dengan perkumpulan kalian?"
Rasul penembus dada menjengek dingin: "Sudah tentu akan
kubuatmu mati secara tulus ikhlas!" sambil berkata itu, sinar
cundrik ditangannya berkelebat, tahu2 ia sudah mendesak tiba
dihadapan Pek chio Lojin sejarak jamahan tangan.
Pek chio Lojin tertawa getir, katanya: "Rasul penembus dada,
waktu cundrikmu menembus dadaku, juga saat ajalmu sudah
tiba." Rasul penembus dada tertawa gelak2, ejeknya tanpa mengacuhkan
ancaman lawan: "Tua bangka, kau pintar meramu rumput obat2an,
paham betul akan sifat2 pengobatan juga pandai menggunakan
racun. Tapi ketahuilah, kau akan sia2, hanya racunmu yang tidak
berarti itu, kau mampu mengapakan aku apa?"
Berobah pucat wajah Pek chio Lojin, tubuhnya gemetaran,
keringat dingin membanjir keluar.
Tiba2 mulut Rasul penembus dada kemak kemik entah apa yang
dikatakan. Seketika rambut Pek chio Lojin berdiri tegak, airmukanya semakin
pucat sampai raganya juga terhuyung limbung, serta serunya
tergagap: "Kau... kau... kau ini..."
"Kau akan mati tanpa penasaran!" seru Rasul penembus dada
sambil mengayun cundrik.
"Stop!" mendadak pada saat itu juga terdengar sebuah bentakan
nyaring, diiringi suara bentakan ini, tampak seorang pemuda
berwajah cakap ganteng dengan airmuka kaku dingin muncul dari
rumpun bunga bagai bayangan setan saja.
Dia tak lain tak bukan adalah Sia sin kedua Suma Bing adanya.
Saking terkejut Rasul penembus dada mundur tiga tindak,
serunya gemetar: "Lagi2 kau!"
"Benar, inilah cayhe adanya!" sahut Suma Bing tawar. "Suma
Bing, apa kehendakmu?" Nama Suma Bing ini agaknya
membuat Pek chio Lojin
tergetar dan melongo. Setelah melirik kearah Pek chio Lojin
berkatalah Suma Bing:
"Tidak apa2, hari ini aku tidak izinkan kau membunuh orang!"
"Suma Bing, berulangkali kau merintangi dan menentang
sepak terjangku, apa kau tahu apa akibatnya nanti?"
"Bagaimana?" "Cundrik ini akan menembus dadamu!" "Hehehe,
meski cundrikmu sangat tajam, mungkin tidak
mempan menembusi dadaku!" "Ya, nanti kita buktikan!" "Selalu
cayhe nantikan, tapi sekarang kusilahkan kau
segera menggelinding pergi?" "Suma Bing, kau sangka aku
tidak kuasa membunuhmu?"
"Memang kenyataan kau tidak mampu!" Rasul penembus dada
menggerung gusar, sinar cundriknya
berkelebat bagai kilat langsung menusuk keulu hati Suma Bing.
Tapi Suma Bing bergerak lebih cepat berkelit kesamping sambil
bentaknya: "Kau sendiri yang cari mati?"
Begitu serangannya gagal, mendadak Rasul penembus dada
membalik tubuh terus menusuk kearah Pek chio Lojin.
Perbuatan Rasul penembus dada ini benar diluar dugaan Suma
Bing, dalam gugupnya mendadak ia lancarkan pukulan jarak jauh.
'Blang' disertai pekik kesakitan, tampak Rasul penembus dada
sempoyongan dua tombak jauhnya.
Darah segar mengalir deras dari dada Pek chio Lojin, tubuhnya
limbung hampir roboh. Agaknya pukulan Suma Bing tadi telah
menolong jiwanya, sehingga tusukan Rasul penembus dada tidak
menamatkan jiwanya.
Mata Suma Bing melotot ber-api2 menatap wajah dibalik kedok
Rasul penembus dada, desisnya: "Kali ini kuampuni jiwamu, lekas
menggelinding pergi!"
Insaf kalau bukan tandingan Suma Bing lagi, maka setelah
membanting kaki dengan gemesnya, Rasul penembus dada
mencelat jauh terus menghilang.
Saat mana Pek chio Lojin sudah menutup jalan darah seperlunya,
lalu katanya gemetar: "Sudah dua kali Suma siau hiap mengulur
tangan menolong jiwa Lohu, sungguh terima kasih Lohu tak
terhingga."
Sebetulnya Suma Bing sendiri juga tidak tahu mengapa dia turun
tangan menolong jiwa Pek chio Lojin. Mungkin karena rasa
dendamnya kepada Rasul penembus dada belum lenyap.
Dia tahu kalau Rasul penembus dada tengah menuntut balas, tapi
akhirnya toh dia turun tangan juga.
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dulu walaupun dirinya pernah memperoleh sebutir Hoan hun tan,
namun dirinya sudah membelanya mati2an dari renggutan elmaut
ancaman Rasul penembus dada, sehingga layon Pek chio Lojin
tidak sampai hancur berantakan.
Loh Siau ling itu murid perempuan Pek chio Lojin adalah putri
musuh besarnya Loh Cu gi. Kalau Racun diracun tidak muncul
tepat pada waktunya, terang dirinya sudah konyol dibawah
penggantian syarat yang diajukan oleh Loh Siau ling. Kalau
dikatakan budi dan dendam kedua belah pihak sudah sama hapus
dan himpas, sudah tiada hutang piutang lagi.
Oleh karena pikirannya ini, maka dengan tawar ia menyahut:
"Tidak perlu terima kasih apa segala, cayhe tidak sengaja hendak
menolong jiwamu!"
Ujar Pek chio Lojin dengan perasaan haru: "Tapi kenyataan tetap
kenyataan tak mungkin dihapus dan diakui!"
Segera Suma Bing angkat tangan serta ambil berpisah: "Cayhe
minta diri!"
Se-konyong2 terdengar keluhan panjang lantas terlihat Pek chio
Lojin roboh terkapar.
Terperanjat Suma Bing, pikirnya: 'agaknya lukanya itu tidak ringan
kalau sudah mau menolong jangan kepalang tanggung, biar
kupayang masuk kedalam gubuk, mati atau hidup terserah kepada
nasibnya sendiri.'
Maka bergegas ia maju mendukung tubuh Pek chio Lojin terus
dibawa masuk gubuk. Keadaan dalam gubuk sangat sederhana,
hanya terdapat sebuah meja kursi dan sebuah lemari dan sebuah
dipan. Keadaan ruang sebelah dalam sana tidak diketahui karena
tertutup kain yang menjulai panjang diatas pintu. Sedikit ragu2
lantas Pek chio Lojin direbahkan diatas dipan itu.
Baru saja ia hendak meletakkan tubuh yang dibopongnya itu, tiba2
terasa jalan darah Bing bun hiat kesemutan. Hatinya tercekat dan
sebelum suaranya keluar tubuhnya sudah terkapar jatuh lemas.
Pek chio Lojin melompat bangun sambil bergelak tawa kegila2an.
Mimpi juga Suma Bing tidak menyangka Pek chio Lojin bakal
membalas kebaikannya dengan tipu muslihat keji ini. Karena tidak
mengira dan ber-jaga2 waktu sadar namun sudah terlambat,
karena jalan darah sendiri sudah tertutuk oleh lawan.
Meskipun Giok ci sin kang merupakan ilmu digdaya yang tiada
taranya yang dapat melindungi jiwa raganya, tapi sebelum pikiran
bekerja ilmu ini takkan dapat bergerak sendiri. Demikian juga
keadaan sekali ini, belum pikiran siaganya timbul tahu2 sudah
tertutuk maka bagaimanapun lihay dan ampuh ilmunya itu saat ini
toh tidak berguna lagi, begitu kena tertutuk keadaannya tak
ubahnya seperti manusia umumnya.
Kain panjang yang menjulai itu tersingkap, keluarlah seorang gadis
cantik rupawan serba hitam dengan langkahnya yang ringan dan
berlenggang. Dia bukan lain adalah Loh Siau ling. Putri musuh
bebuyutannya. Hampir meledak dada Suma Bing, ingin rasanya membeset dan
mencincang kedua orang tua muda dihadapannya ini. Tapi karena
jalan darah sudah tertutuk, memaki atau gembar- gembor juga
tidak berguna. Dia insaf keadaannya ini sangat kritis, sudah terang
kalau Pek chio Lojin ini adalah komplotan dari pihak Bwe hwa hwe,
kebaikan hatinya tadi berarti mengantar badan sendiri kemulut
harimau, keruan sangat kebetulan bagi mereka.
Maka diam2 ia kerahkan ilmu saktinya untuk coba2 membobol
sendiri jalan darah yang tertutuk itu.
Sekilas Loh Siau ling melirik kearah Suma Bing serta jengeknya
dingin: "Gwakong (kakek), sungguh membuat aku gugup
setengah mati. Untung ada makanan empuk ini yang menyibakkan
kesialanmu!"
Walaupun Suma Bing tertutuk tidak dapat bergerak, namun
pendengarannya masih terang. Panggilan Gwakong itu
membuktikan bahwa ibu Loh Siau ling yaitu Ang siu li Ting Yan
pasti adalah anak perempuan Pek chio Lojin ini.
Pek chio Lojin bergelak tertawa, ujarnya: "Ini benar2 suatu
kebetulan yang sangat kebetulan."
"Bagaimana keadaan luka Gwakong?" "Hanya luka luar saja,
dalam dua hari pasti sudah sembuh." "Lantas bocah ini
bagaimana?" "Lenyapkan ilmu silatnya dan bawa kembali
kemarkas besar!" "Melenyapkan ilmu silatnya?" "Sudah tentu, kalau tidak
siapa berani membawa2 harimau
galak ini!" "Bukankah dibunuh saja lebih beres?" "Eeee, jangan!"
"Kenapa?" "Hehehehehe, ketahuilah kedudukan bocah ini sangat
penting dia adalah Huma dari Te po itu salah satu tempat kramat
yang paling disegani, harga dirinya tidak dibawah benda2 pusaka
dunia persilatan..."
"Aku tidak mengerti!" "Lingji," ujar Pek chio Lojin bergelak
tertawa sambil mengurut janggutnya, "Apa kau tahu tokoh macam apakah
mertua bocah ini atau majikan dari Te po itu?"
"Aku tidak tahu!" Pikiran Suma Bing tetap terpusat dalam
pengerahan tenaga
untuk menjebol jalan darah yang tertutuk. Terdengar Pek chio
Lojin berkata riang gembira: "Anak
Ling, dia bernama Pit Gi!" "Pit Gi" Memangnya kenapa?" "Tokoh
silat nomor satu pada pertandingan silat dipuncak
Hoa san yang pertama!" "O! Jadi ayah adalah tokoh silat nomor
satu pada aduan
silat yang kedua, ini juga tidak..." "Anak Ling, kau ini orang kecil
tapi pambekmu besar. Apa
kau kira gampang memperoleh julukan tokoh silat nomor satu
diseluruh jagad ini. Berapa banyak orang yang mengimpikan
mendapat julukan yang diagungkan ini."
"Apakah tokoh silat nomor satu diseluruh jagad lantas benar2
tiada tandingannya diseluruh dunia?"
"Ini juga belum tentu. Orang pandai masih ada yang lebih pandai,
gunung tinggi ada yang lebih tinggi lagi. Begitu juga tokoh silat
nomor satu diseluruh jagad, hanya diukur dari keadaan waktu itu
pada tokoh2 silat yang ikut bertanding saja, lantas dari
pertandingan itu keluarlah sang juara..."
"Hal ini ada sangkut paut apa dengan Suma Bing?" "Sudah
tentu ada hubungannya. Konon waktu Pit Gi dulu
merebut kedudukan korsi pertama yang teragung dalam kalangan
persilatan, itu adalah karena mengandalkan Kiu im sin kang. Kalau
kita menggunakan Suma Bing sebagai sandera dan minta, dia
mengeluarkan Kiu im sin kang sebagai imbalannya, lalu digabung
dengan Kiu yang sinkang ayahmu. Begitu negatif dan positif
bergabung dapat melatih sebuah ilmu yang dinamakan Bu khek sin
kang. Seluruh jagad raya ini takkan ada orang yang berani
menandingi!"
"Apa benar?" "Masa kakekmu mau ngapusi kau?" "Darimana
kau bisa tahu bahwa majikan Te po itu adalah
tokoh nomor satu yang terdahulu itu?" "Julukan Pit Gi adalah Kiu
im Suseng. Waktu dia menduduki
tokoh pertama dulu semua orang jelas mengetahui, hanya mereka
tidak tahu bahwa dia ternyata adalah majikan dari Te po.
Kebetulan Gandarwa merah Ngo Tang, anak buah dari Menara
setan mendapat tugas untuk pergi menantang kepada Pit Gi,
maka berita ini baru tersebar diseluruh Kangouw, kalau tidak
teka-teki ini takkan ada yang dapat memecahkan."
"O, kiranya begitu!" "Urusan ini sangat penting jangan
di-tunda2 lagi, lenyapkan
dulu ilmu silatnya!" Habis ucapannya tangannya diulur hendak
menutuk jalan darah dibawah perut Suma Bing.
"Eh, benda apakah ini?" tiba2 ia berseru heran. Usaha Suma
Bing sudah hampir mencapai hasil, begitu
melihat Pek chio Lojin hendak melenyapkan ilmu silatnya lalu
merogoh keluar buntalan merahnya, keruan kaget dan serasa
semangatnya melayang keluar, karena tak dapat bergerak
terpaksa dia diam saja.
"Apakah itu?" tanya Loh Siau ling cepat. Pelan2 Pek chio Lojin
membuka buntalan merah itu, lalu
diambilnya sejilid buku kecil yang agak tipis. Begitu melihat judul
diatas sampulnya, kontan dia tertawa gelak2 bagai mendapat lotre
jutaan. "Gwakong, apakah itu sebenarnya?" "Bu siang po liok,
hahahahaha... Ilmu gerak tubuh paling
hebat diseluruh jagad ini entah bagaimana bisa terdapat ditubuh
bocah ini?"
"Coba kulihat!" seru Loh Siau ling terus maju merebut... Pada
saat itulah kebetulan jalan darah Suma Bing sudah
bobol semua terus mendadak mencelat bangun langsung
mencengkram kearah Bu siang po liok itu.
Terdengar dua seruan kaget dan tertahan, Loh Siau ling dan Pek
chio Lojin lari lintang pukang keluar gubuk.
Begitu cengkramannya luput, Suma Bing juga ikut melesat keluar.
Sungguh bencinya kepada Pek chio Lojin luar biasa, tanpa banyak
suara lagi dengan jurus Mayapada remang2 langsung ia
menyerang Pek chio Lojin.
Dimana gelombang badai menerjang tiba menimbulkan angin ribut
yang gegap gempita, tampak raga Pek chio Lojin terbang
me-layang2 diselingi jeritannya yang menyayatkan hati, terus
terbanting keras diatas tanah, kira2 sejauh sepuluh tombak sana.
Loh Siau ling sendiri juga terpental sempoyongan jungkir balik.
Mata Suma Bing menatap tajam kearah Loh Siau ling, pintanya:
"Kembalikan!"
Wajah Loh Siau ling pucat pasi, jantungnya berdetak keras
hampir melonjak keluar, mundur ketakutan tanyanya gemetar:
"Kau bunuh Gwakongku?"
"Gwakongmu?" dengus Suma Bing penuh kebencian, "Hehehe,
ketahuilah, dari ayahmu sampai seluruh anak buah dan
keluarganya akan kutumpas habis se-akar2nya!"
"Suma Bing," seru Loh Siau ling bengis. "Ada dendam dan sakit
hati apakah kau dengan ayahku?"
"Dendam sedalam lautan, kebencian setinggi gunung. Sekarang
kau dulu yang harus kubunuh!"
"Jangan bergerak!"
Loh Siau ling berteriak tinggi sambil mengacungkan Bu siang po
liok serta ancamnya lagi: "Suma Bing, berani kau bergerak, biar
kuremas hancur bukumu ini!"
Suma Bing terkesiap, kalau lawan benar2 menghancurkan buku
itu, bagaimana kelak dia memberi laporan kepada Giok li Lo Ci,
dan bagaimana pula dia harus memberi pertanggungan jawab
kepada pihak Siau lim" Inilah buku catatan ilmu warisan yang
sangat berharga dari partai Siau lim!
Loh Siau ling melihat akan kekejutan Suma Bing, tahu dia bahwa
tindakan dan ancamannya ternyata membawa hasil, maka katanya
lagi sambil tersenyum ejek: "Suma Bing, sekarang kau boleh pergi.
Kalau kau memang seorang jantan datanglah kemarkas besar Bwe
hwa hwe untuk mengambilnya. Seumpama kau berani
menggunakan kekerasan pasti kuhancurkan dulu Bu siang po liok
ini!" "Kau berani?" "Kenapa tidak berani?" "Berani kau merusak buku
itu, akan kubuat tubuhmu
hancur lebur menjadi abu!" Pada saat itulah tiba2 melayang turun
sebuah bayangan
hitam, kiranya seorang pemuda ganteng. "Kau..." tercetus seruan
kejut dan heran dari mulut Suma
Bing. Pemuda ganteng yang tak diundang ini tidak lain adalah
adik ipar Suma Bing yaitu Phoa Cu giok. Kedatangannya yang
mendadak ini benar2 mengejutkan Suma Bing.
"Engkoh Giok!" terdengar Loh Siau ling memanggil dengan
mesranya. Keruan Suma Bing melengak heran, agaknya Loh Siau ling ini
adalah kekasih Phoa Cu giok, ini benar diluar tahunya.
Sekilas Phoa Cu giok memandang Suma Bing, lalu berputar
menghadapi Loh Siau ling dan berkata: "Adik Ling, ada kejadian
apakah?" "Dia hendak membunuh aku!" "Bunuh kau, mengapa?"
"Katanya dia bermusuhan dengan ayahku, itu kakekku
telah dibunuhnya!" Suma Bing tidak tahan lagi, tanyanya: "Cu
giok, dimana Suhu dan toacimu?" "Aku tidak tahu?" sahut Cu giok tertegun.
"Apa kau tidak tahu?" "Bukankah didalam lembah?" "Hm, disana
sekarang sudah menjadi tumpukan puing,
itulah karya dari Bwe hwa hwe!" Berobah hebat airmuka Phoa Cu
giok. "Engkoh Giok, kau, kenal dia?" tanya Loh Siau ling heran.
"Dia adalah cihuku (suami kakak)!" "Apa Suma Bing adalah
cihumu?" Suma Bing menatap Phoa Cu giok dan berkata berat:
"Suruh dia mengembalikan buku itu kepadaku!" "Buku, buku apa?"
"Bu siang po liok. Kudapat titipan dari orang untuk
dikembalikan ke Siau lim si!" "Bu siang po liok, benda berharga
dunia persilatan!" Rona wajah Phoa Cu giok berobah tak
menentu, akhirnya ia
berpaling kearah Loh Siau ling dan serunya: "Kembalikan kepada
dia!" "Tidak mungkin!"
"Kau tidak dengar kataku?" "Nanti dia akan membunuh aku!"
"Ada aku disini tidak nanti dia membunuh kau!" Menggunakan
kesempatan percakapan mereka inilah bagai
b a y a n g a n i b l i s s a j a S u m a B i n g
b e r k e l e b a t m a j u l a l u m e n c e n g k r a m
s e c e p a t k i l a t , t e r u s b e r k e l e b a t
l a g i k e m b a l i k e t e m p a t a s a l n y a . B u
s i a n g p o l i o k s e k a r a n g s u d a h
k e m b a l i d a l a m g e n g g a m a n n y a ,
b e t a p a c e p a t d a n s e b a t
g e r a k a n n y a b e n a r 2 s a n g a t
m e n g e j u t k a n .
Untuk membunuh Loh Siau ling sekarang bagi Suma Bing
segampang membalikkan tangan. Tapi dia menjadi ragu2 dan
bimbang, karena dia adalah bakal atau calon istri Phoa Cu giok adik
iparnya, tak mungkin dia turun tangan, seumpama tidak
membunuhnya, kejengkelan hatinya ini rasanya sukar terlampias.
Dengan rasa kejut dan curiga bertanyalah Phoa Cu giok kepada
Suma Bing: "Cihu, menurut katamu cici dan suhu telah hilang?"
Suma Bing mengiakan. "Benarkah dalam lembah sana sudah
terbumi hangus menjadi tumpukan puing?" "Kau kira aku berdusta?" "Perbuatan
dari Bwe hwa hwe?" "Benar, malah pernah kutempur Loh Cu gi
didalam lembah itu, sayang dia dapat meloloskan diri." Terlintas bayangan nafsu
membunuh diwajah Phoa Cu giok,
namun mimiknya ini tidak kentara dilahirnya. Katanya sambil
mendekat kearah Loh Siau ling: "Adik Ling, cici dan Suhuku telah
hilang, karena perbuatan ayahmu serta anak buahnya!"
Sahut Loh Siau ling lesu berduka: "Itu bukan urusanku, apalagi
kau sendiri tidak pernah memperkenalkan asal- usulmu, siapa
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tahu..." "Setiap orang yang menyakiti hati Phoa Cu giok harus kubalas?"
"Engkoh Giok, kau..." "Adik Ling, tubuhmu sudah menjadi
milikku, sudah tentu
kau tak mungkin lari menikah dengan orang lain, hidup atau mati
jadi setan juga kau sudah menjadi keluarga Phoa, coba katakan
betul tidak?"
Loh Siau ling mundur ketakutan, tanyanya: "Engkoh Giok, untuk
apa kau berkata demikian" Kau masih menyangsikan cintaku
kepadamu?"
"Tidak, aku tahu kau sangat mencintai aku!" "Lalu kau..."
"Mendadak aku sadar bahwa aku tidak mungkin mencintai
kau lagi!" Pucat wajah jelita Loh Siau ling, desisnya gemetar: "Kau
tidak cinta aku lagi?" "Benar, bukan tidak cinta, tapi tidak mungkin
mencintai kau!" "Engkoh Giok, aku..." dua butir airmata meleleh membasahi
pipinya yang putih halus ke-merah2an, agaknya cintanya terhadap
Phoa Cu giok memang sangat dalam.
Phoa Cu giok masih tetap tenang tanpa berobah nada ia berkata
lagi: "Adik Ling, kau jangan salahkah aku?"
"Aku... engkoh Giok, aku cinta kepadamu! Perbuatan ayah yang
durhaka itu jangan kau timpahkan kepadaku..."
"Siapa menyuruh kau menjadi putrinya?"
"Kau... apa yang hendak kau lakukan?" Membesi raut muka
Phoa Cu giok, geramnya: "Aku harus
membunuhmu!" Ucapan ini membuat Suma Bing melonjak kaget,
terus teriaknya: "Cu giok, jangan sembrono..." Tapi sudah terlambat,
belum lenyap seruan Suma Bing,
sudah terdengar jeritan panjang yang mengerikan memecah
kesunyian udara.
Phoa Cu giok benar2 tega membunuh kekasihnya sendiri, ini
benar2 kejadian yang susah dapat dipercaya.
Sedemian cakap dan ganteng pemuda ini, tidak nyana berhati
kejam telengas dan buas melebihi binatang, sedemikian tega dia
turun tangan jahat kepada kekasihnya.
Suma Bing sendiri sampai merinding dan berdiri bulu kuduknya,
serunya gemetar: "Phoa Cu giok, kau betul2 membunuhnya?"
Phoa Cu giok tenang2 seperti tak terjadi apa2, sahutnya acuh tak
acuh: "Aku Phoa Cu giok pasti membalas setiap perbuatan orang
yang menyakiti hatiku. Kejadian ini harus kau salahkan ayahnya!"
"Tapi dia adalah kekasihmu?" "Kekasih lantas terhitung apa,
sedemikian besar dunia ini
dimana2 aku dapat memetik bunga yang harum!" Bergidik dan
merinding seluruh tubuh Suma Bing. Baru
pertama kali ini ditemuinya seorang yang kejam tidak mengenal
kasihan ini, apalagi seorang pemuda yang cakap dan belum
berusia dua puluh.
"Phoa Cu giok, kau terlalu kejam!" "Suma Bing, terpaksa kau
kuakui sebagai cihu, harap
bicaralah sungkan sedikit!"
Keruan timbul kemurkaan Suma Bing, bukan karena menyayangi
kematian Loh Siau ling, sebab Loh Siau ling adalah putri musuh
besarnya, adalah karena sepak terjang dan perbuatan Phoa Cu giok
yang keji tidak mengenal peri kemanusiaan itulah menimbulkan
rasa tidak puasnya, maka sahutnya dingin: "Kau tidak mau
mengakui bahwa perbuatanmu ini mendekati perbuatan yang
sadis?" "Hal itu memang belum pernah kupikirkan, aku hanya memikirkan
keselamatan cici dan Suhu saja!"
"Tapi kan belum tentu mereka benar2 sudah meninggal bukan?"
"Tidak peduli bagaimana, pendeknya dia memang setimpal
menerima kematiannya!"
"Phoa Cu giok, perbuatanmu inilah yang setimpal harus dibunuh!"
Phoa Cu giok menyeringai sinis, ujarnya: "Suma Bing jangan kau
takabur akan kepandaianmu, jikalau tidak kupandang muka cici..."
"Kau mau apa?" "Kau juga harus kubunuh!" Hampir meledak
dada Suma Bing, saking marah dia malah
tertawa, serunya: "Cobalah kau turun tangan." "Kau sangka aku
tidak berani?" sambil menggerang
langsung ia menggenjot kedada Suma Bing, baru sampai ditengah
jalan pukulannya mendadak bergetar menjadi bayangan beberapa
buah kepelan seakan bunga salju yang me-layang2 ditengah udara
terus mengurung dua belas jalan darah penting bagian atas tubuh
Suma Bing. Pukulan ini boleh dikata sangat aneh dan ganas sekali.
Sungguh gusar Suma Bing bukan kepalang, tanpa berayal iapun
himpun kekuatan Kiu yang sin kang sampai sepuluh bagian untuk
menyongsong pukulan musuh.
Maka terdengarlah gerungan tertahan, tampak Phoa Cu giok
tergentak terbang dua tombak lebih, ujung bibirnya meleleh darah
segar. Suma Bing menjadi tertegun, pikirnya, agaknya pukulanku terlalu
berat" Wajah Phoa Cu giok penuh diliputi rasa kebencian yang ber-api2,
sorot matanya buas, hardiknya bengis: "Suma Bing, jangan kau
sesalkan aku turun tangan kejam..."
Pada waktu yang tepat itulah mendadak terdengar sebuah
bentakan nyaring: "Cu giok, berani kau kurangajar kepada
cihumu!" Begitu lenyap suara itu, meluncurlah sebuah bayangan dihadapan
mereka. Pendatang ini bukan lain adalah bibi Suma Bing Ong Fong
jui adanya. Dengan kejut dan rasa takut2 Phoa Cu giok mundur dua langkah
terus bertekuk lutut, sapanya: "Suhu terimalah hormatku!"
Dingin2 saja Ong Fong jui melotot kearahnya, ujarnya: "Cu giok,
lagi2 kau berani lari keluar. Inilah yang terakhir kuperingatkan
kepadamu, jikalau kau berani berbuat jahat menyebar bencana
dimana2, pasti kuhukum menurut peraturan perguruan nomor
satu!" "Ampun Suhu, anak Giok sudah insaf akan dosanya!" Baru
sekarang Suma Bing berkesempatan maju memberi
hormat serta sapanya: "Bibi kau baik2 saja!" "Bing tit, apakah
yang telah terjadi?" Segera Suma Bing menceritakan secara
ringkas jelas. Sehingga Ong Fong jui gusar bukan kepalang, semprotnya
kepada Phoa Cu giok: "Cu giok, memang kau setimpal untuk
dibunuh. Mengingat pesan terakhir ayah ibumu maka cicimu
sangat menyayang dan mengeloni kau. Akan datang suatu hari
pasti cicimu akan celaka ditanganmu sendiri."
Phoa Cu giok tunduk diam saja tanpa berani bergerak. Kata
Suma Bing: "Bibi, apakah Kin sian selamat?" "Dia baik2 saja,
kenapakah kau tanyakan dia?" "Ini... tidak apa2 hanya bertanya
saja, dimanakah dia
sekarang?" "Ubek2an kemana2 mencari bocah durhaka ini, ai, dia
sungguh kasihan... dia seorang yang welas asih!" "Waktu Titji
kembali kedalam lembah, kutemui..." "Karena curiga kau
sembunyi didalam lembah, maka Bwe
hwa hwe melepas api membakar lembah untuk memaksa kau
keluar!" "O!" demikian seru Suma Bing, baru sekarang ia tahu duduk
perkara sebenarnya.
"Bing tit, agaknya Lwekangmu..." "Titji sudah mencapai hasil
mempelajari ilmu yang tertera
didalam Pedang darah dan Bunga iblis!" "Ah, apa benar, sungguh
menggirangkan dan kuberi
selamat kepadamu. Bagaimana jejak ibumu dan musuh besarmu?"
"Ini... masih belum ketemu!" "Kau harus berusaha sekuat
tenaga untuk menyirapi
keadaan ibumu, kalau tidak para musuh yang turut dalam
pengeroyokan di puncak kepala harimau itu susah dapat kau
selidiki!"
"Benar!"
"Aku juga akan membantu sekuat tenaga mencari." "Terima
kasih akan bantuan bibi!" "Sekarang kemana kau hendak pergi?"
"Aku diutus seorang Cianpwe untuk menyelesaikan
pertikaian ratusan tahun yang lalu digereja Siau lim!" "Pertikaian
apakah itu?" "Untuk mengembalikan Bu siang po liok kepunyaan
Siau lim yang hilang pada ratusan tahun yang lalu!" "O, kalau begitu kau
harus segera berangkat!" Setelah berpisah dengan bibinya, Suma
Bing menyusuri jalan raya terus melanjutkan perjalanan menuju ke Siau lim si.
Hari itu, pagi2 benar sebelum sang surya mengunjukkan
diri dari peraduannya. Didepan pesanggrahan gereja Siau lim
muncullah seorang pemuda yang bertubuh tegap garang dengan
sikap kaku dingin dan angkuh. Dia bukan lain adalah Suma Bing.
Terbayang olehnya peristiwa yang terdahulu waktu dirinya
teringkus dan dikurung didalam gereja agung ini. Maka
tersimpullah dalam benaknya suatu tekad yang melebihi batas...
"Tuan darimanakah itu sepagi ini sudah berkunjung ke biara kita,
Jodoh Rajawali 5 Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Petualang Asmara 13
terdengar dua kali seruan kaget dan kesakitan. Perempuan cantik
setengah umur bersama Ketua Bwe hwa hwe sama terhuyung
mundur, wajah mereka pucat
pias, terang mereka sudah terluka dalam yang bukan ringan oleh
pukulan Suma Bing.
"Chiu Thong, kau rebahlah!" ditengah suara hardikan yang keras
ini, terdengar pula lolong kesakitan, tampak ketua Bwe hwa hwe
terhuyung limbung hampir roboh sambil muntah darah, tapi
akhirnya meloso diatas tanah.
Tujuh bayangan manusia serempak berkelebat merintang
didepannya. "Kalian cari mati!" Kiu yang sin kang menerbitkan gelombang
dahsyat seumpama lahar gunung berapi menerpa kearah tujuh
musuhnya yang berani coba2 merintangi. Maka terdengar pula jerit
dan pekik menyayatkan hati saling susul, ketujuh tubuh manusia
itu juga lantas beterbangan sungsang sumbel keempat penjuru.
Bertepatan dengan saat itulah, mendadak terlihat selarik sinar
merah disertai suara mendesis langsung meluncur kearah Suma
Bing. Se-konyong2 bayangan Suma Bing menghilang dan berputar
secepat angin lesus, tahu2 dia sudah menggeser kedudukan tiga
tombak jauhnya dari tempat ia berdiri semula.
Sambil melambaikan angkin merahnya perempuan cantik setengah
umur itu menatap kearah Suma Bing dengan pandangan ber-api2.
Kiranya selarik sinar merah tadi bukan lain adalah kain ikat
pinggangnya itu yang dibuat senjata untuk menyerang Suma Bing.
Kalau tidak mengandalkan kesaktian Bu siang sin hoat, sungguh
sulit bagi Suma Bing dapat lolos dari serangan senjata lemas ini.
Maka sambil mengempit Ketua Bwe hwa hwe, berkatalah
perempuan cantik setengah umur suaranya gemetar: "Suma Bing,
selamat bertemu!"
Keras2 Suma Bing menjengek hidung, ejeknya: "Kau masih
hendak lari?"
Sekali menjejakkan kaki perempuan setengah umur itu melejit
jauh terus berlari keluar membobol kepungan...
"Kembali!" sekali berkelebat tahu2 Suma Bing sudah mencegat
didepannya terus menghantam kearah musuhnya. Kontan dengan
telak perempuan setengah umur itu terpental mundur bebeberapa
langkah. Maka para jagoan Bwe hwa hwe lainnya beramai2 berlarian keluar
hendak menyelamatkan jiwa sendiri. Tapi mereka tercegat dan
dirintangi oleh anak buah Perkampungan bumi yang sudah
mengepung mereka.
Dalam keadaan yang terpaksa dan terdesak ini, maka berkatalah
perempuan cantik setengah umur itu: "Suma Bing, apa yang
hendak kau perbuat?"
"Aku ingin jiwa kalian!" ancaman yang mengandung keanyiran
darah ini benar2 menggiriskan semua pendengarnya.
Terang Ketua Bwe hwa hwe sudah terluka parah, perempuan
setengah umur ini juga tidak ringan lukanya, mana dia kuat
bertahan, ditambah para anak buah Perkampungan bumi juga
bukan sembarangan jagoan silat, pula mereka sudah berjaga
diempat penjuru. Bagi Suma Bing untuk menyapu habis seluruh
jagoan Bwe hwa hwe bukanlah suatu hal yang sukar seumpama
membalik tangan saja gampangnya.
Setelah menyapu pandang keseluruh gelanggang, berserulah Suma
Bing: "Awas, aku hendak turun tangan."
Peringatannya ini berarti dimulainya pembunuhan besar2- an,
keruan semua jagoan Bwe hwa hwe bergidik ketakutan.
Pada waktu itulah se-konyong2 sebuah bayangan orang meluncur
tiba memasuki gelanggang.
Waktu pandangan Suma Bing menatap kearah bayangan yang
baru tiba ini, tanpa terasa tergetar hatinya.
Ternyata pendatang baru ini bukan lain adalah gadis serba hitam
yang pernah bersua didalam gedung kelenteng bobrok di Sengtoh
tempo hari, yaitu murid Pek chio Lojin yang mengaku bernama
Siau ling. Sambil mengerling tajam berkatalah gadis serba hitam itu dengan
dingin: "Suma Bing, kita bertemu lagi?"
Suma Bing manggut2, sahutnya: "Benar, kedatangan nona ini..."
"Suma Bing, apa kau masih ingat janji kita tempo hari?" Suma
Bing tertegun, sahutnya: "Tentu masih ingat!" "Kau masih
utang satu syarat kepadaku, ya benar!" "Ya." "Kalau begitu,
sekarang juga nonamu hendak menagih
hutangmu itu!" "Sekarang?" "Ya, sekarang juga!" "Dapatkah nona
memberi kelonggaran supaya aku dapat
menyelesaikan urusanku disini dulu?" "Tidak bisa!" Suma Bing
serba salah dan tak habis mengerti. Naga2nya
kedatangan gadis seragam hitam yang tepat pada waktunya ini
bukan secara kebetulan belaka. Tapi untuk memohon sebutir Hoan
hun tan dirinya pernah melulusi satu syarat apapun juga sebagai
penggantian, seorang laki2 harus menepati apa yang pernah
diucapkan, mana boleh ingkar janji, maka katanya sambil kertak
gigi: "Baik, katakanlah!"
Gadis serba hitam menyeringai sinis, ujarnya: "Suma Bing sebelum
kuajukan syaratku ini perlu kiranya aku memperkenalkan diri!"
"Bukankah, kau murid Pek chio Lojin?"
"Benar sih benar, tapi yang kumaksud adalah asal usulku!"
"Cayhe tidak ingin mengetahui riwayat hidup nona, lebih
baik..." "Kau perlu dan harus mengetahui!" "Mengapa?" "Supaya
kau dapat mati dengan meram!" Suma Bing tertawa hambar
ujarnya: "Kata2 seorang laki2
sejati pasti dapat dipercaya, berani bersumpah pasti berani mati,
cayhe tidak akan menyesal."
"Ya, nanti setelah aku memperkenalkan siapa diriku, kau takkan
berani berkata demikian!"
"Kalau begitu silahkan katakan!" "Aku bernama Loh Siau ling!"
Suma Bing melengak tanyanya: "Kau she Loh?" "Benar, inilah
ibuku bernama Ang siu li Ting Yan!" sambil
berkata ia menunjuk perempuan setengah umur itu. Keruan
berobah airmuka Suma Bing, suaranya tergetar:
"Dia adalah ibumu?" "Tidak salah!" "Jadi kau ini adalah putri Loh
Cu gi?" "Tepat sekali!" Saking geram timbul nafsu membunuh
Suma Bing, desisnya
bengis: "Aku harus membunuhmu". Loh Siau ling mengekeh
dingin, jengeknya: "Suma Bing,
bayar dulu syarat yang kuajukan ini!" Mimpi juga Suma Bing tidak
menyangka bahwa gadis serba
hitam ini ternyata adalah putri Loh Cu gi musuh
bebuyutannya, maka katanya lagi: "Aku harus membunuh kau!"
"Suma Bing, kau ini seorang ksatria?" "Kenapa bukan?" "Apakah
ucapanmu dapat dipercaya" "Tentu!" "Kalau begitu dengar dulu
syarat yang harus kuajukan." Apa boleh buat, Suma Bing
mengertak gigi serunya:
"Katakan!" Kata Loh Siau ling mengulum senyum: "Syaratku ini
sangat gampang, kau tutuk sendiri jalan darah mematikan!" Saking kaget
Suma Bing terhuyung tiga langkah, serunya
gusar: "Tidak mungkin!" Loh Siau ling menjengek dingin,
umpatnya: "Suma Bing,
jadi ucapanmu dulu itu adalah kentut belaka?" Bayangan kematian
membuat seluruh tubuh Suma Bing
merinding bergidik. Kalau dirinya harus menutuk sendiri jalan darah
yang mencacatkan badan, bukankah berarti juga menghendaki
jiwanya, malah mungkin akibatnya lebih mengenaskan dari
kematian. Baru sekarang ia sadar telah tertipu dan masuk perangkap lawan,
namun menyesal juga sudah kasep. Apakah dia harus menepati
janjinya dengan syarat yang kejam ini" Bukankah menjadi
makanan empuk dan enak bagi musuh besarnya ini" Sakit hati
orang tua! Dendam perguruan, semua ini merangsang benaknya.
Setelah di-pikir2, lalu dia berkata: "Janjiku pasti dapat kutepati, tapi
setelah kamu sekalian sudah menjadi mayat baru bisa
kulaksanakan!"
Loh Siau ling membentak bengis: "Suma Bing, tidak malukah kau
berkata demikian, jikalau aku tidak menjelaskan
asal-usulku, jikalau waktu di Yok ong bio aku mengajukan syarat
yang sama ini, apakah kau ragu2 dan bimbang" Apakah kau bakal
mengeluarkan perkataanmu tadi?"
Cep kelakep, Suma Bing bungkam seribu basa tidak dapat
menjawab. Memang waktu di Yok ong bio dulu, kalau Loh Siau
ling mengajukan syaratnya ini pasti tanpa ragu2 dia menerima
syaratnya itu, sebab dia ingin sebutir Hoan hun tan untuk
menolong jiwa bibinya Ong Fong jui, sebab dia tidak ingin bibinya
mati karena dirinya.
Tapi, hakikatnya adalah dia tidak rela mati begitu saja ditangan
putri musuh besarnya! Namun ini adalah pilihan keputusan antara
mati atau hidup, juga merupakan perbedaan batas antara sumpah
dan ingkar janji. Keadaan gelanggang seketika sunyi hening,
namun masih dilingkupi suasana tegang dan hawa pembunuhan.
Terdengar Loh Siau ling berkata lagi: "Suma Bing, kalau kau
hendak menjilat ludahmu sendiri, katakan saja, nonamu ini tidak
akan peduli lagi!"
Di b awah g e n c e t a n a n t a r a d e nd am k e s uma t d a n r a s a
k e b e n c i a n y a ng me l u a p 2 , h amp i r s a j a S uma B i n g
t e r t e k a n me ng g i l a , s e r u ny a g e r am s amb i l
me n g e r t a k g i g i : " Su n g g u h me n g g e l i k a n , a k u S uma
B i n g s e o r an g l a k i 2 ma s a h a r u s i ng k a r j a n j i t e r ha d ap
s "Keaolarua bnegg itpue, rseegmerpaulaahn t!u"ru n tangan, tutuklah jalan darah
pencacatmu!"
Lagi2 Suma Bing terhuyung mundur satu langkah... Mendadak
diantara kelompok jagoan Bwe hwa hwe
terdengar seruan kaget dan ketakutan be-ramai2 mereka menyiak
kedua samping, maka terbentang sebuah jalanan. Tampak seorang
orang aneh yang seluruh tubuh berwarna hitam tengah melangkah
memasuki gelanggang sambil berlenggang, dia tak lain tak bukan
adalah Racun diracun.
Serta merta Suma Bing menelan setengguk ludah. Lagi2 seorang
musuh yang harus dia bunuh telah datang.
Begitu memasuki gelanggang, dengan sorot pandangan dingin
Racun diracun menyapu pandang keseluruh gelanggang, lalu
berkata kepada Loh Siau ling: "Kau ini yang menginginkan Suma
Bing menutuk sendiri jalan darah pencacat tubuhnya?"
"Memang begitulah kejadiannya!" sahut Loh Siau ling sambil
manggut2. "Mengapa?" "Mengajukan syarat!" "Syarat apa?" "Ini bukan
urusanmu tuan!" "Belum tentu!" "Jadi tuan juga ingin
menangguk diair keruh?" "Harus kulihat dulu, ini urusan apa
dan untuk kepentingan
apa?" Sepasang bola mata Loh Siau ling yang bening cemerlang
berputar, lalu katanya: "Ini aku boleh beritahu kepadamu. Suma
Bing mohon sebutir Hoan hun tan kepadaku, dia sendiri yang
minta supaya aku mengeluarkan syarat apapun untuk mengganti
obatku itu..."
"Maka syarat nona itu adalah menyuruh dia menutuk jalan darah
sendiri supaya cacat tubuhnya?"
"Tidak salah!" "Bukankah keinginanmu ini terlalu kejam?"
"Suma Bing boleh mengingkari janji atau tidak setuju
dengan syaratku yang kuajukan kalau dia merasa itu terlalu
kejam, telengas atau keji!"
Semprot Suma Bing dengan geramnya: "Kau jangan banyak mulut
untuk mengekang aku, tidak nanti aku Suma Bing ingkar janji
terhadap kau!" Lalu dia berpaling menghadapi Racun diracun,
serunya: "Urusan cayhe ini harap tuan jangan turut campur!"
Racun diracun menjengek dingin, ejeknya: "Suma Bing, benar2
kau ingin mati?"
Sikap Suma Bing tetap angkuh dingin, sahutnya: "Urusanku tidak
perlu tuan turut kuatir!"
Racun diracun mengekeh panjang, katanya: "Suma Bing, sakit hati
orang tuamu belum kau balas, dendam perguruan juga belum kau
himpas. Kalau sekarang kau membawa adatmu sendiri, kau akan
menjadi seorang berdosa sepanjang masa, seorang anak yang
tidak berbakti dan tidak mengenal kebajikan!"
Mendengar tegoran yang menusuk hati ini, tergetar seluruh tubuh
Suma Bing, jidatnya basah oleh keringat, bukan dia tidak tahu,
adalah karena terbawa oleh sifat angkuh dan keras kepalanya
membuat dia malu untuk ingkar janji seumpama jiwa sendiri harus
melayang juga harus dilakoni.
Sementara itu perempuan cantik setengah umur itu tengah
menghimpun tenaga dengan tekun untuk mengobati luka parah
Chiu Thong. Semua jagoan Bwe hwa hwe tengah mengunjuk sorot
mata yang penuh pengharapan menatap kearah Loh Siau ling.
Tanpa menghiraukan Suma Bing lagi, Racun diracun membalik
menghadapi Loh Siau ling, tanyanya: "Siapa namamu?"
"Aku bernama Loh Siau ling!" "Ada permusuhan atau dendam
sakit hati apa antara kau
dengan Suma Bing?" agaknya Racun diracun belum mengetahui
bahwa Loh Siau ling ini adalah putrinya Loh Cu gi.
Loh Siau ling merasa sebal, katanya tak sabar: "Tuan benar2
hendak turut campur?"
"Boleh dikata demikian!" "Jadi tuan hendak membantu Suma
Bing untuk mengingkari sumpahnya?" "Ini belum tentu, apa kau tahu
akibatnya setelah kau
mengajukan syaratmu itu?" "Akibat apa?" "Bwe hwa hwe akan
hancur dalam sekejap mata!" "Huh, mengandal kau tuan, apa
mampu?" "Kau tahu siapa2 yang menjaga diluar lingkungan itu?"
"Siapa?" balas tanya Loh Siau ling acuh tak acuh. "Sim dan Bu dua
Tongcu serta anak buahnya dari
Perkampungan bumi." Mendengar keterangan ini, semua anak
buah dari Bwe hwa
hwe terperanjat dan gentar sungguh tidak mereka sangka bahwa
musuh yang mengepung diluar itu ternyata adalah anak buah
Perkampungan bumi yang merupakan salah satu tempat keramat
dan ditakuti oleh kaum persilatan itu.
Demikian juga air muka Loh Siau ling berobah tegang, tanpa
terasa dia mundur dua langkah, sorot matanya menyapu pandang
kearah anak buah Perkampungan bumi serta serunya: "Apa
benar?" Mulut Racun diracun ber-kecap2 mengejek, katanya: "Loh Siau
ling, terus terang kuberitahu. Suma Bing adalah Huma dari Te po,
juga menjadi calon utama dari majikan Te po yang akan datang,
maka cobalah kau berbuat menurut keinginan hatimu."
Wajah Loh Siau ling be-robah2 pucat dan kehijauan. Tujuannya
hendak melenyapkan Suma Bing adalah untuk
menghilangkan perintang jalan bagi tujuan besar ayahnya. Akan
tetapi kekuatan Te po merupakan lawan ampuh yang susah diatasi
bagi Bwe hwa hwe. Maka dalam keadaan yang mendesak ini
pikirannya menjadi butek dan kehilangan pedoman arah tujuan.
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Loh Siau ling," kata Racun diracun pula, "Apa kau tahu tempat
apakah ini?"
Loh Siau ling tertegun, tanyanya: "Tempat apa?" "Daerah
terlarang dalam kekuasaan Racun diracun!" "Daerah
terlarang?" "Sedikitpun tidak salah!" Loh Siau ling tidak ambil
peduli, sahutnya dingin: "Kalau
daerah terlarang kau mau apa?" "Yang melanggar daerahku
terlarang harus mati!" Kala itu Ang siu li Ting Yan sudah selesai
mengobati luka parah ketua Bwe hwa hwe mereka sama2 bangkit berdiri. Air
muka Loh Siau ling berobah membeku, tantangnya:
"Tuan sangka dengan racunmu itu kau lantas dapat malang
melintang tanpa tandingan?"
Racun diracun mengakak tawa, serunya: "Aku tahu kau adalah
murid tabib sakti Pek chio Lojin yang kenamaan itu. Tapi perlu
kujelaskan, mengandal kemampuan obat pemunahnya Pek chio
Lojin, pasti takkan dapat mengatasi bisaku yang bernama Racun
dalam racun! Kalau kau tidak percaya boleh silahkan dicoba!"
"Racun dalam racun?" gemetar suara Loh Siau ling. "Tidak salah
Racun didalam racun!" Suma Bing sendiri juga tidak ketinggalan
berobah wajahnya, dia sendiri sudah pernah merasakan kelihayan bisa
yang bernama Racun dalam racun itu. Jikalau Phoa Kin sian
tidak menolongnya dengan obat Tan tiong tan, pasti dirinya
sudah melayang jiwanya.
"Lalu apa maksud tujuan tuan?" bentak Loh Siau ling nekad.
"Semua hadirin dalam gelanggang ini sudah terkena racun
didalam racun termasuk kau sendiri, tidak percaya coba kau
empos pernapasan!"
Loh Siau ling adalah murid Pek chio Lojin seorang tabib kenamaan
yang pandai dan paham pengobatan. Begitu dia mencoba
bernapas terasa memang dirinya telah terkena racun berbisa,
dilihatnya semua anak buahnya juga mengunjuk rasa kejut dan
ketakutan, terang mereka juga sudah terkena bisa racun, nyata
bahwa ancaman Racun diracun bukan main2 belaka.
Ter-sipu2 dirogohnya keluar beberapa butir obat pemunah racun
terus ditelannya, setelah sekian lama dia memeriksa, benar juga
kiranya obatnya ini tidak mujarab dan tak berguna melawan bisa
Racun dalam racun. Baru sekarang dia benar2 terperanjat dan
takut, maka bentaknya dengan bengis: "Tuan apa maksudmu
sebenarnya?"
Pelan dan tegas berkatalah Racun diracun: "Semua orang yang
memasuki daerahku terlarang harus dihukum mati, ini sudah
merupakan undang2. Tapi hari ini baiklah aku melanggar
kebiasaanku itu..."
"Kalau tuan melanggar pantangan sendiri pasti disertai syarat
bukan?" tanya Ketua Bwe hwa hwe dengan perasaan haru.
"Tidak salah, kau ini pintar juga!" "Syarat apa?" Racun diracun
tetap menghadapi Loh Siau ling, ujarnya:
"Gampang sekali, kau batalkan syarat yang kau ajukan kepada
Suma Bing. Maka aku tidak akan menarik panjang urusan ini,
segera kuberikan obat pemunahnya, maka kalian harus segera
menggelinding pergi.
"Tidak mungkin terjadi!" "Racunku itu dikolong langit ini tiada
seorangpun yang
mampu memunahkan. Maka semua yang telah terkena racunku ini
dalam setengah jam saja bakal bergelimpangan mati."
Kata2nya ini diucapkan dengan enteng dan seenaknya saja, tapi
dalam pendengaran para jagoan Bwe hwa hwe, se-olah2 perintah
dari Giam lo ong, semua pucat dan gemetar saking ketakutan.
Terdengar Ang siu li Ting Yan ikut bicara: "Apa tuan berani
bertanggung jawab kita semua dapat keluar semua dengan
selamat?" "Sudah tentu!" "Kalau begitu, anak Ling, lulusilah!" Namun
pada saat itulah mendadak Suma Bing menyelak
dengan suara menggeledek: "Racun diracun, cayhe tidak sudi
menerima budimu ini!"
"Suma Bing, agaknya kau takut menghadapi kenyataan ini.
Memang aku berhutang jiwa beberapa orang terhadap kau, tapi
siang2 sudah kukatakan ini merupakan dua hal yang tersendiri
jangan kau campur baurkan. Suma Bing jangan kau salah sangka
bahwa aku bakal menanam budi untuk menebus dosa2ku yang
tertunggak itu atau minta pengampunan kepadamu. Bukti
menyatakan kalau aku ingin kau segera mati segampang
membalikkan tangan. Akan tetapi, sudah kukatakan setengah tahun
lagi aku akan memberikan pertanggungan jawabku kepada kau,
mengapa tidak kau nantikan setengah tahun lagi, urusan hari ini
adalah..."
"Aku belum pernah melulusi kau menanti setengah tahun lamanya!"
demikian tiba2 tukas Suma Bing dengan angkuhnya.
"Jadi kau sekarang juga hendak turun tangan?" "Ada
kemungkinan!" "Suma Bing kau ini binatang berdarah dingin!"
"Ketahuilah aku tidak sudi menerima kebaikanmu!" "Kau takut
akan hati nuranimu sendiri yang bakal tidak
tentram?" "Tidak peduli bagaimana juga aku tidak setuju!" "Jadi
kau sudah bertekad hendak mati?" "Itu urusanku sendiri!" "Tapi
saat ini kau berada didaerahku yang terlarang diinjak
orang luar, akulah tuan rumah disini, apa yang senang kuperbuat
pasti kulakukan, siapapun tiada hak merintangi, kau sudah
mengerti?"
Bukan main heran Suma Bing dibawah solokan didepan sana
adalah tempat mengasingkan diri bibinya Ong Fong jui dan
muridnya Phoa Kin sian. Tapi dengan tandas Racun diracun
berulang2 mengatakan bahwa daerah sekitar sini adalah
daerahnya yang terlarang. Tentu ada hal2 yang mencurigakan"
Betapa kejam dan telengas sifat Racun diracun ini, tulang belulang
kekasihnya Ting Hoan masih belum dingin. Mengapa pula dia
mengambil resiko sedemikian besar untuk membantu dirinya"
Menurut apa yang pernah dikatakan Goan Hi Taysu dari Siau lim si
bahwa dia sealiran dengan Pek kut Hujin malah mungkin adalah
muridnya. Sudah ber-ulang kali mereka guru dan murid ulurkan
tangan menolong jiwanya dan menanam budi pada dirinya.
Sekarang ini juga dalam saat2 dirinya menghadapi mara bahaya
dia muncul lagi, Mengapa"
Karena dia memperkosa dan membunuh Ting Hoan. Karena
mempermainkan Thong Ping yang tidak berdosa dan membunuh
ibundanya. Maka dia bersumpah hendak menumpas manusia laknat
ini! Tapi berbagai kenyataan sudah membuktikan sudah beberapa
kali dia menolong jiwanya. Ini juga kenyataan yang tidak mungkin
disangkal lagi. Antara dendam kesumat dan budi kebajikan
membuat dia tertekan dalam kepedihan, sanubarinya menjerit dan
mengeluh. Sepak terjang Racun diracun ini benar2 hebat, apalagi kalau
dipikirkan secara sehat agaknya sangat mustahil.
--ooo0dw0ooo-- Jilid 11 41 MASA DEPAN YANG HAMPA DAN SURAM.
Setelah memikirkan timbal balik untung ruginya, segera Loh
Siau ling berkata lantang dan tegas: "Racun diracun, baiklah aku
menyetujui jual beli ini!"
"Kita sudah saling tukar, maka antara kau dengan Suma Bing
sudah tidak ada utang piutang lagi?"
"Baiklah." "Ini adalah obat pemunah, ambillah, setelah tiga li
dari sini baru kalian telan, bagikan setiap orang satu butir, jumlahnya
tepat dan tidak kurang!" " Lantas dilontarkan sebuah botol kecil
kearah Loh Siau ling.
Enteng sekali Loh Siau ling ulurkan tangan menyambuti terus
berpaling kearah perempuan cantik setengah umur seraya
berkata: "Mah, mari kita pergi!"
Maka terlihat bayangan orang berkelebat dalam sekejap mata saja
semua jagoan anak buah Bwe hwa hwe berloncatan menghilang
dari pandangan mata...
Tampak Sim tong Tongcu Song Liep hong, anak buah dari
Perkampungan Bumi ter-sipu2 tampil kedepan menghadap Suma
Bing serta berseru: "Harap Huma memberi petunjuk!"
Suma Bing menghela napas panjang2, dan berkata: "Biarkan
mereka pergi, setelah itu kalian juga boleh pulang!"
"Hamba menerima perintah dari Te kun, untuk menyertai dan
melindungi Huma!"
"Tidak perlu lagi, kalian boleh pergi!" "Ini..." Melotot mata
Suma Bing, semprotnya: "Aku ingin kalian
pergi!" "Baik", sahut Song Liep hong sambil membungkuk tubuh
mengundurkan diri. Tak lama kemudian semua orang sudah pergi,
keadaan gelanggang menjadi sepi tinggal Racun diracun berhadapan
dengan Suma Bing, mereka tenggelam dalam pikiran masing2
tanpa buka suara sekian lamanya.
Akhirnya Racun diracun membuka kesunyian, katanya: "Suma
Bing, kau anggap sepak terjangku tadi sangat menyinggung
perasaan dan harga dirimu bukan?"
Kata2 ini langsung menusuk kelubuk hati Suma Bing, semangatnya
menjadi lesu, katanya masgul: "Mengapa tuan berbuat demikian?"
"Aku tidak ingin melihat kau mati secara konyol dan penasaran!"
"Mengapa?" "Kelak kau
akan paham!"
"Apa benar daerah ini adalah tempat terlarang tuan?" "Ini...
hehe, hanya menggertak supaya mereka pergi!" "Silahkan tuan
juga pergi!" "Kau tidak ingin bicara dengan aku?" Terlintas
hawa membunuh pada air muka Suma Bing,
desisnya dingin: "Pertemuan yang akan datang mungkin aku
harus membunuhmu!"
Tawar2 saja Racun diracun berkata: "Terserah apa yang hendak
kau perbuat, asal kau mampu melakukan!"
"Dan lagi, cayhe masih dapat membedakan antara budi dan
dendam, memang hutangku terlalu banyak kepadamu, nanti
setelah semua urusan pribadiku selesai kukerjakan, biarlah aku
menebus hutangku itu dengan kematian jiwaku!"
"Untuk ini rasanya tidak perlu!" "Silahkan, tuan boleh pergi!"
Sambil bersuit melengking tinggi laksana jeritan setan,
tiba2 tubuh Racun diracun melayang jauh terus menghilang. Suma
Bing termangu memandangi bayangan manusia
misterius yang menakutkan itu menghilang dari pandangan
matanya, entah bagaimana perasaan hatinya. Kawankah"
Musuhkah" Berbudi atau berdosa" Tak dapat dia membedakan dan
menganalisa termasuk orang macam apakah Racun diracun ini.
Tapi bagaimanapun juga, dasar keinginannya hendak
membunuhnya takkan goyah atau berubah.
Ia telah menerima budi dan kebaikan seorang lain, ingin benar dia
membalas budi atau kebaikan orang itu. Tapi alasan lain yang lebih
kuat, mau tak mau mengharuskan dia membunuh orang yang
menanam budi ini, perasaan dan perang batin yang kontras ini,
sungguh sangat menyedihkan dan menekan jiwanya. Apalagi bagi
seorang yang jelas dapat membedakan antara budi dan dendam
atau kejahatan,
kekontrasan ini akan lebih mendalam. Begitu juga keadaan Suma
Bing pada waktu itu, berada dalam kekontrasan yang mencekam
sanubarinya. Mendadak ia tergugah dari lamunannya, teringat olehnya keadaan
bibinya yang masih sangat kritis didalam solokan, dan istrinya
Phoa Kin sian sedang pergi menolongnya. Entah Hoan hun tan
yang diperolehnya itu ada manjur atau tidak" Dalam berpikir itu,
kakinya segera ber-lari2 mengembangkan ilmu ringan tubuhnya
terus melayang bagai terbang masuk kedalam solokan yang
curam itu. Kira2 ratusan tombak kemudian, terdengar olehnya suara
bentakan dan makian yang riuh rendah dari balik rimba sebelah
depan sana. Tanpa terasa tergerak benak Suma Bing. Tempat ini
tidak jauh dari solokan tak bernama itu, siapakah yang tengah
bertempur disini. Sedikit merandek, terus dia putar haluan dan
berlari kearah datangnya suara bentakan.
Semakin dekat suara bentakan dan pertarungan semakin nyata
dan jelas. Kiranya disebuah rimba yang membelakangi sebuah
kaki bukit, samar2 terlihat berkelebatnya bayangan beberapa
orang. Begitu mengencangkan kaki, seenteng burung walet tubuhnya
terbang menerobos hutan terus hinggap dipinggir gelanggang
pertempuran. Waktu melihat tegas siapa2 yang tengah bertempur
itu, seketika mendidih darah panasnya. Tampak dua orang Rasul
penembus dada tengah bertempur seru dan sengit melawan Phoa
Kin sian kakak beradik, malah masih ada dua Rasul lainnya yang
berdiri menonton dipinggiran.
Phoa Kin sian kakak beradik tengah mati2an melawan seorang
Rasul penembus dada, keadaannya sudah terdesak dibawah angin,
tidak lama lagi pasti keduanya dapat dikalahkan oleh musuh2nya
ini. Terdengar salah seorang Rasul yang menonton dipinggiran itu
berseru mengancam: "Phoa Cu giok, serahkan Pedang darah
kepada kami, supaya kuampuni jiwa anjingmu itu!"
Seketika berkobar semangat Suma Bing, naga2nya Pedang darah
masih berada ditangan Phoa Cu giok. Maka segera ia tampil
kedepan seraya menghardik: "Berhenti!"
Bentakan yang keras bagai geledek ini kontan menggetarkan
perasaan mereka yang tengah bertempur. Serta merta mereka
menghentikan pertempuran.
Wajah Suma Bing membeku bagai es, sorot matanya
memancarkan sinar kebuasan yang mengandung nafsu
membunuh, selangkah demi selangkah kakinya bertindak maju
memasuki gelanggang.
"Sia Sin kedua!" tercetus seruan kaget berbareng pada keempat
Rasul penembus dada.
Begitu memasuki gelanggang pertama2 yang diperhatikan oleh
Suma Bing adalah Phoa Kin sian, tanyanya penuh kuatir: "Adik
Sian bagaimana keadaanmu. Bagaimana pula keadaan bibi..."
"Aku tidak apa2. Suhu sudah siuman, tapi keadaannya masih
sangat lemah, saat ini tengah bersamadi memulihkan tenaga!"
"O," sahut Suma Bing terhibur lega. Lantas pandangannya
menatap kearah Phoa Cu giok, katanya dengan nada rendah
berat: "Cu giok, yang sudah lalu tidak perlu dipersoalkan lagi.
Sekarang kembalikan Pedang darah itu kepadaku!"
"Adik Giok." sambung Phoa Kin sian, suaranya gemetar:
"Keluarkanlah!"
Dengan rasa kikuk dan malu sambil melirik kepada Suma Bing,
akhirnya Phoa Cu giok merogoh keluar Pedang darah dari dalam
kantongnya... Dimana terlihat bayangan berkelebatan, mendadak keempat Rasul
penembus dada berbareng menubruk maju. Dua diantaranya
menerjang kearah Suma Bing, sedang dua yang lain menyerang
kepada Phoa Cu giok dan Phoa Kin sian. Maka angin pukulan bagai
gelombang badai segera menerjang tiba dengan dahsyatnya.
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Timbul kemurkaan Suma Bing, sambil menggertak keras kedua
tangannya bergerak sambil mengerahkan seluruh kekuatannya
untuk menyongsong serbuan musuh.
Terdengar dentuman dahsyat yang memekakkan telinga. Kedua
Rasul yang menerjang kearah Suma Bing terpental balik dengan
jungkir balik, namun Suma Bing sendiri juga tidak dapat berdiri
tegak, beruntun kakinya terhuyung lima tindak.
"Pedang darah!" tiba2 terdengar seruan kaget dan kuatir Phoa Cu
giok. Maka terlihat sebuah bayangan orang melesat keluar dari
gelanggang pertempuran terus berlari dengan kencang sekali.
Tanpa banyak pikir lagi, segera Suma Bing kembangkan ilmu Bu
siang sin hoat, bagai bayangan setan iblis, tahu2 dia sudah
menghadang didepan bayangan yang lari tadi, begitu tangan kiri
bergerak membabat, tangan kanan juga ikut membalik terus
mencengkram kedepan. Berkelebat sambil menyerang sungguh
kecepatannya susah diukur seumpama kilat menyambar.
Terdengar seruan tertahan, lantas terlihat bayangan itu limbung
sempoyongan beberapa langkah. Dari perawakannya dapat
diketahui, bahwa yang merebut Pedang darah itu adalah pentolan
dari keempat Rasul itu. Tiga bayangan yang lain lagi sudah
menubruk tiba lagi dengan kecepatan bagai bintang meluncur.
Pandangan Suma Bing menatap tajam Rasul yang berada
dihadapannya, tiba2 kedua tangannya bergerak ber-putar2
terus disodokkan kedepan dengan kekuatan Kiu yang sin kang.
Bau terbakar dan hawa panas segera merangsang kedepan bagai
gelombang badai gurun sahara. Kontan ketiga bayangan orang itu
berloncatan minggir menyelamatkan diri.
"Serahkan!" desis Suma Bing sambil mendesak maju dua langkah
kearah Rasul penembus dada, wajahnya membesi diliputi hawa
pembunuhan. Tiba2 selarik sinar terang yang menyilaukan mata meluncur
memapak kedatangan Suma Bing, kiranya itulah cundrik Rasul
penembus dada yang disambitkan langsung mengancam dadanya.
Sambil menggeram gusar Suma Bing mengelak kesamping sambil
mengirim sebuah pukulan. Ternyata kepandaian Rasul penembus
dada juga bukan olah2 hebatnya, hanya dalam waktu sedetik itu
saja tiba2 tubuhnya juga sudah berkelit sejauh lima tombak.
"Seumpama tumbuh sayap juga jangan harap kau dapat lari!"
belum habis suara Suma Bing, tahu2 dia sudah berada dihadapan
lawan lagi, terus beruntun kirim lima serangan berantai yang
dahsyat. Maka terlihat Rasul penembus dada terhuyung mundur
sambil mulutnya menguak, terlihat kerudung putihnya itu kini
berobah berwarna merah.
Pedang darah bagi Suma Bing adalah sangat penting, lebih
penting dari jiwa sendiri, bagaimana juga harus direbut kembali,
maka bentaknya bengis: "Kau mau serahkan tidak?"
"Suma Bing," seru Rasul penembus dada gemetar, "Kau akan mati
tanpa tempat liang kubur yang layak."
"Serahkan!" "Tidak bisa!" "Jadi kau ingin mati!" " sambil
membentak, Kiu yang sin
kang sudah dilancarkan menyerang lagi. 'Blang!' terdengar Rasul
penembus dada mengeluh
tertahan, tubuhnya pelan2 jatuh terkulai.
Disamping sana keadaan Phoa Kin sian dan adiknya juga dalam
bahaya, mereka juga kewalahan menghadapi Rasul yang
berkepandaian lihay diatas mereka, berulang kali mereka sudah
terpukul dengan telak sehingga muntah darah, tinggal tunggu
waktu saja mereka berdua bakal roboh tanpa nyawa lagi.
Sementara itu Suma Bing sudah mengulur tangan hendak
mencengkram pinggang Rasul yang telah roboh itu...
Tiba2 sejalur angin kencang terasa menyerang punggung Suma
Bing. Terpaksa Suma Bing harus miringkan tubuh sambil balas
menyerang sekuatnya. Betapa cepat serangan bokongan ini maka
Suma Bing juga harus melayani sama cepat, tapi toh tidak kuasa
berkelit. 'Bum!' karena getaran yang kuat ini, Suma Bing sampai terpental
sempoyongan. Menggunakan peluang ini, Rasul yang membokong ini gesit sekali
melejit tiba terus meraup Pedang darah yang berada dipinggang
kawannya terus loncat jauh hendak lari...
Bola mata Suma Bing merah membara, kedua tangannya diayun
bergantian, gelombang panas yang dahsyat segera mendera maju
ditengah udara, dibarengi tubuhnya juga ikut melesat maju
mencegat jalan lari musuh. Kontan Rasul yang lari itu terpukul
balik oleh angin pukulannya itu. Dirangsang nafsu membunuh,
serangan Suma Bing semakin deras dan dahsyat, lagi2 dua kali
pukulan dilancarkan untuk merobohkan musuhnya.
Maka terdengarlah lolong panjang yang menyayatkan hati
memecah kesunyian dalam rimba raya. Tampak Rasul penembus
dada itu terbang me-layang2 dan terbanting keras dua tombak
jauhnya. Pedang darah yang dipegangnya juga terlempar jauh dari
cekalan tangannya.
Sebat sekali Suma Bing meraup Pedang darah itu terus
dimasukkan kedalam kantong bajunya, baru sekarang dia dapat
menghela napas panjang yang melegakan. Sekali lagi tubuhnya
berkelebat, tahu2 dia sudah tiba ditempatnya semula dimana Rasul
penembus dada yang lain rebah tak berkutik lagi, terus
mencengkram mukanya...
Begitu kedok dimuka Rasul penembus dada tertanggalkan, tanpa
terasa Suma Bing berteriak kejut sambil mundur dua langkah.
Kiranya Rasul penembus dada yang kenamaan dan sangat
disegani diseluruh Kangouw itu ternyata adalah seorang gadis
rupawan yang cantik jelita.
Keruan hal ini benar2 sangat mengejutkan dan diluar dugaan
Suma Bing. Dua pasangan lain yang tengah bertempur juga lantas berhenti
sendirinya tanpa diminta, mereka maju mendekat.
Pimpinan dari keempat Rasul itu kini sudah pelan2 merayap
bangun, darah masih meleleh dari ujung bibirnya, katanya
ber-api2 penuh kebencian: "Suma Bing, kalau kau mau segeralah
bunuh aku. Kalau tidak akan datang satu hari aku membunuhmu!"
Setelah Pedang darah dapat direbut kembali, lapang dan legalah
hati Suma Bing, apalagi setelah diketahui kalau lawan ini ternyata
seorang gadis rupawan, nafsu membunuhnya telah menghilang
tanpa bekas. Mendengar ancaman orang ini, segera ia bergelak
tertawa, ujarnya: "Mengandal ucapanmu ini, biarlah kulepaskan
kalian pergi. Kalau ingin membalas dendam, se-waktu2 aku
nantikan kedatangan kalian di kalangan Kangouw!"
"Kau jangan menyesal?" "Omong
kosong yang menggelikan!"
Maka tiga Rasul yang lain memayang salah seorang Rasul yang
terluka paling berat terus tinggal pergi tanpa banyak mulut lagi.
Suma Bing berpaling kearah Phoa Kin sian kakak beradik,
tanyanya: "Adik Sian, apa kau tahu perkumpulan apakah Jeng
siong hwe itu?"
"Aku tidak tahu. Tapi kekejaman dan banjir darah yang ditimbulkan
oleh Jeng siong hwe kini benar2 telah menimbulkan gelombang
kemarahan kaum persilatan!"
"Diukur dari kepandaian keempat Rasul ini, dapatlah dipastikan
pemimpin dari Jeng siong hwe itu pasti seorang misterius yang
sangat menakutkan!"
"Itu sudah dapat dibayangkan!" "Kenapa Cu giok bisa bersua
dengan keempat Rasul
penembus dada..." Phoa Cu giok tunduk ke-malu2an. Agaknya
Phoa Kin sian sangat terhibur, juga sangat
menderita, katanya: "Dengan membawa Pedang darah Cu giok
merana di kalangan Kangouw, hampir saja dia dipukul mati oleh
Kangkun Lojin. Untung dia mau bicara secara jujur, sehingga
Kangkun Lojin mengampuni jiwanya dan memerintahkan dia
mengembalikan Pedang darah itu. Tak terduga ditengah jalan
bertemu dengan Rasul penembus dada, dengan kepandaian mereka
yang aneh itu dilihatnya Cu giok menyimpan Pedang itu, maka
mereka terus mengejar dan menguntit sampai disini. Kalau
kebetulan kau tidak muncul, susahlah dibayangkan akibatnya!"
Se-konyong2 Suma Bing ingat sesuatu, tanyanya: "Adik Sian,
kuingat kau pintar menggunakan racun?"
"Kenapa?" balas tanya Phoa Kin sian, wajahnya berubah.
"Kenapa kau tidak gunakan racunmu itu menghadapi Rasul
penembus dada?"
"Kejadian ini sungguh sangat ganjil. Ternyata kali ini para Rasul
itu tidak takut lagi menghadapi racunku!"
"Ada kejadian begitu?" "Kalau tidak buat apa kau
memperingatkan!" "Marilah kita kembali kedalam lembah
solokan itu?" "Kau tidak perlu kesana lagi!" Suma Bing
melengak, tanyanya: "Mengapa?" "Suhu yang menyuruh
begitu!" "Tapi aku harus menilik keadaan bibi!" "Tidak perlu
lagi, paling lama satu bulan dia sudah akan
sembuh kembali!" "Kenapa dia tidak izinkan aku pergi melihatnya
lagi?" "Mana aku tahu!" Suma Bing membatin dan menimbang,
menurut kisikan
Kangkun Lojin bahwa Phoa Kin sian bakal mengalami bencana,
menurut niatnya ia hendak minta bantuan bibinya untuk menjaga
istrinya ini. Tak terduga bibinya tidak ingin menemui dirinya lagi,
urusan ini agaknya harus berlarut berkepanjangan...
"Engkoh Bing." kata Phoa Kin sian lembut. "Agaknya kau ada
omongan yang hendak kau katakan."
"Ya, memang kau menerka betul!" "Apa
yang hendak kau katakan?" "Aku ada
satu permintaan kepadamu!"
"Katakanlah!"
"Aku minta sukalah kau dalam jangka seratus hari ini tidak
meninggalkan tempat tinggalmu ini barang selangkahpun juga?"
Phoa Kin sian heran dan tak mengerti, tanyanya: "Mengapa?"
"Kelak biar kuberitahu kepadamu!" Kata Phoa Kin sian
berpaling kearah Phoa Cu giok: "Dik,
kau kembalilah dulu!" Phoa Cu giok mengiakan terus memutar
tubuh tinggal pergi. "Engkoh Bing," kata Phoa Kin sian, "Katakanlah kenapa?"
Suma Bing menjadi serba susah, tidak mungkin dia
menutur apa yang bakal menimpa istrinya sehingga menambah
beban penderitaan batinnya. Oleh karena pikiran ini maka ia
menyahut putar haluan: "Sebab kau tak lama bakal menjadi ibu,
jangan banyak bergerak sehingga melelahkan badanmu!"
Phoa Kin sian mengulum senyum bahagia, tapi secepat itu tawanya
lantas menghilang, tanyanya: "Mengapa harus dibatasi dalam
seratus hari. Aku bakal... melahirkan... setelah seratus hari lagi?"
"Sudah tentu ada alasannya, tidak peduli bagaimana nanti, dalam
seratus hari ini aku pasti datang menjenguk kau!"
"Baiklah, aku lulusi permintaanmu ini." "Nah, inilah baru istriku
yang baik!" Phoa Kin sian tersenyum malu, tangannya
mencubit sambil
mencemooh: "Cerewet!" "Masa
perkataanku tadi salah!"
Mendadak Phoa Kin sian menutup kedua matanya, terus
membentang kedua lengannya dan berkata: "Engkoh Bing,
ciumlah aku!"
Sikapnya ini benar2 diluar dugaan Suma Bing. Sifat Phoa Kin sian
selamanya putih bersih dan dingin kaku. Pernikahan mereka juga
terjadi dalam peristiwa yang terjadi secara kebetulan. Tatkala itu
kalau bukan karena terkena tutukan jari Hian bu cui yang ci dari si
mawar beracun Ma Siok ceng, itu pelindung Bwe hwa hwe yang
terkenal cabul, tentu Phoa Kin sian tidak bakal kehilangan
kesuciannya, maka mereka tidak mungkin bisa menjadi suami istri.
Walaupun sekarang dia sudah resmi menjadi istrinya. Tapi
kehendak yang merangsang minta dicium ini benar2 baru pertama
kali ini terjadi. Namun bagaimana juga mereka berdua adalah
suami istri. Maka setelah tertegun sejenak, Suma Bing lantas
memeluknya kencang2 sambil mencium dengan mesra.
Phoa Kin sian tenggelam dalam rangsangan penuh nafsu, timbul
suatu perasaan tak menentu dibenak mereka, tatkala itu, se-akan2
sang waktu sudah berhenti, selain terasa getaran jantung dan
dengusan napas serta isapan yang menggelora, segalanya
se-olah2 sudah tidak hidup dan berada lagi.
Lama dan lama sekali baru kedua suami istri ini sadar dari
kenyataan ini. Serta merta Suma Bing merasa sesuatu keanehan
yang menakutkan sanubarinya. Peringatan Racun diracun serta
kisikan Kangkun Lojin itu, laksana duri yang tidak berbekas
me-nusuk2 hati kecilnya sehingga membuatnya tidak tenang
berdiri dan tidak enak duduk.
"Engkoh Bing," ujar Phoa Kin sian penuh kasih mesra, "Kau
merasa diluar dugaan bukan?"
"Ini... ah, tidak!"
"Kau mengelabui aku. Dari air mukamu dapat kulihat kau
berbohong!"
"Apa pikirmu mungkin demikian. Kau adalah istriku..." "Engkoh
Bing, aku selalu merasa segala sesuatu didunia ini
dapat terjadi diluar sangka, tiada yang abadi dan kekal. Terutama
bagi kaum persilatan, yang hidup dan terjun dikilatan ujung
senjata, dengan bekal permusuhan dan dendam sakit hati. Siapa
akan tahu malapetaka apa bakal menimpa dirinya secara
mendadak."
Suma Bing bergidik, memang ini kenyataan, tapi juga pertanda
alamat benih petaka.
"Adik Sian, mengapa timbul pikiranmu yang tidak genah itu?"
"Masa kau tidak mengakui akan kemungkinan ini?" "Memang
harus kuakui, tapi pasti ini tercetus dalam
perasaan batinmu!" "Benar, engkoh Bing. Pikiran semacam ini
sudah lama timbul sejak perkawinan kita dulu, selalu berputar dan mengganjal
dalam pikiranku."
"Adik Sian, dapatkah kau tidak berpikiran begitu" Kenapa tidak kau
pikirkan kelak dan masa depan kita, pikirkanlah tunas muda yang
bakal lahirkan itu..." Mendadak kata2 Suma Bing terputus sampai
disitu. 'Masa depan' kedua kata ini membuatnya bergidik, teringat
olehnya akan janjinya kepada Racun diracun " "...kelak bila
bertemu lagi, aku pasti membunuhmu, tapi hutang budiku terlalu
banyak, biarlah aku membayar budimu itu dengan kematianku..."
Pertemuan yang bakal datang itu, betapa menakutkan. Kalau
begitu dapatkah dirinya menanggung dan menyangkal akan
pandangan Phoa Kin sian yang masuk akal itu.
"Adik Sian, kita tidak perlu me-nerka2 kejadian apa yang bakal
terjadi dimasa depan, paling perlu kita tinjau masa kini!"
"Sekarang ini" Engkoh Bing, apa yang telah diberikan kepada kita
sekarang" Namanya saja kita sebagai suami istri, tapi tiada waktu
untuk kita hidup berdampingan secara kasih mesra, kau ketimur
aku kebarat, masing2 berkelana demi kepentingan sendiri..."
Suma Bing tertawa ewa, ujarnya: "Adik Sian, memang akulah yang
salah, nanti setelah semua sakit hati dan dendamku sudah
terhimpas beres, pasti kutambal kekuranganku..."
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Engkoh Bing, kita setali tiga uang, tapi..." "Kenapa?" "Apa yang
bakal terjadi kelak, siapapun susah
meramalkan!" "Adik Sian, mengapa kau melulu mengatakan kata2
yang tidak baik saja?" "Tidak, engkoh Bing, se-olah2 aku merasa mala
petaka selalu menyertai disampingku..." Perasaan Suma Bing semakin
tenggelam, dipeluknya
istrinya erat2 serta katanya: "Adik Sian, aku tidak akan
meninggalkanmu!"
"Tidak, jangan engkoh Bing, kau sendiri tahu ini tidak mungkin
terjadi!" "Tapi aku rela meninggalkan semua itu!" "Kau salah, jangan
kau mengingkari arti terbesar dalam
jiwa hidupmu ini. Keluarga, perguruan dan beban yang kau pikul
itu, adalah satu2nya tujuan terakhir yang harus kau laksanakan!"
"Adik Sian, cintaku kepadamu bukan termasuk..."
"Aku maklum, kau berangkatlah!"
Suma Bing lepaskan pelukannya terus mundur dua langkah,
tanyanya: "Kau ingin aku pergi?"
"Sudah tentu, apa kau hendak selalu mengeram disini?" "Tapi..."
"Engkoh Bing, Pedang darah sudah kembali pada
pemiliknya, kau harus menyelesaikan rencana dan mengejar
cita-citamu..."
Tergetar perasaan Suma Bing, bangkitlah semangat jantannya,
membekal Pedang darah memohon Bunga iblis untuk melatih ilmu
tiada taranya didunia ini, supaya dapat menuntut balas. Karena
pikirannya ini maka katanya murung: "Adik Sian, aku akan selalu
berterima kasih akan cinta murnimu yang suci ini!"
Phoa Kin sian berseri, serunya: "Engkoh Bing jagalah dirimu
baik2!" "Adik Sian, ingat apa yang kau luluskan padaku. Dalam jangka
seratus hari jangan kau tingggalkan tempat kediamanmu ini."
"Pasti selalu kuingat!" "Kau juga harus hati2 dan baik2
menjaga diri!" Phoa Kin sian mengiakan. Begitulah setelah
berpelukan dan berciuman pula lantas mereka berpisah tanpa banyak kata lagi.
Begitu bayangan Suma Bing menghilang, dua titik air mata
mengalir membasahi kedua pipi Phoa Kin sian. Mengapa dia
menangis" Berat meninggalkan Suma Bing" atau...
Baik kini kita mengikuti perjalanan Suma Bing yang meninggalkan
istrinya dengan perasaan duka nestapa, langsung ia menuju ke
Lembah kematian.
Memang letak Lembah kematian sangat curam dan misterius, bagi
siapa yang berani memasuki hanya kematianlah bagiannya. Namun
bagi Suma Bing tempat yang kramat dan ditakuti ini dianggap
seperti tempat datar yang lurus saja, dicarinya jalan dimana dulu
dia bersua dengan Giok li Lo Ci terus mengembangkan Bu siang sin
hoat meluncur turun.
"Nak, akhirnya kau tiba juga!" Waktu pandangan Suma Bing
menyapu sekitarnya, tampak
Giok li Lo Ci sudah berdiri tegak didepan gua, maka ter-sipu2 ia
merangkap tangan memberi hormat serta sapanya: "Wanpwe
menghadap Cianpwe!"
"Tidak perlu, mari ikut aku!" Tak lama kemudian tibalah mereka
diruang tempat pengobatan tempo hari, setelah mencari tempat duduk, lalu Giok
li Lo Ci membuka mulut: "Nak, kau sudah memperoleh Pedang
darah?" Suma Bing mengiakan dan dirogohnya keluar Pedang darah,
dengan kedua tangannya terus dipersembahkan, ternyata kedua
tangannya itu agak gemetar, betapa haru dan senang hatinya saat
itu, bahwa impian selama ini bakal menjadi kenyataan bagaimana
dia tidak akan terharu dan gembira.
Setelah menyambuti Pedang darah, sekian lama Giok li Lo Ci
mengamat2i dan memeriksa, lalu katanya sambil manggut2: "Nak,
sungguh besar rejekimu, kudoakan setelah kau dapat mempelajari
ilmu mujijat itu, kau dapat mendharma baktikan kepandaianmu ini
kepada sesama hidup yang tertindas."
"Terima kasih akan nasehat Cianpwe!" "Membekal Pedang
darah adalah syarat pertama. Sekarang
dengarlah syarat yang kedua!"
"Akan wanpwe perhatikan!" "Setelah keluar dari pintu ini
berputar kekanan disitu ada
sebuah kamar batu, dengan tenaga murnimu sendiri kau
tembusilah jalan darah mati hidupmu..."
Suma Bing tercengang, katanya: "Jalan darah mati hidup wanpwe
sudah tembus!"
"Apa, jalan darah mati hidupmu sudah tembus?"
42. GIOK CI SIN KANG MENUNJUKKAN KEAMPUHANNYA
"Benar, agaknya Cianpwe sudah lupa, waktu wanpwe
terjatuh kedalam lembah ini dulu seiring waktu menyembuhkan luka
dalam wanpwe. Cianpwe sudah..."
Sampai disini mendadak dia menelan kembali kata2 selanjutnya,
timbul rasa heran dan pertanyaan dalam benaknya. Dia masih
ingat bahwa Giok li Lo Ci memang pernah memberi bantuan
menembuskan jalan darah mati hidupnya. Namun waktu berada di
Perkampungan bumi, setelah minum darah pusaka naga bumi,
sekali lagi jalan darah mati hidupnya juga telah ditembuskan. Ini
benar2 kejadian yang susah dibayangkan apa...
Giok li Lo Ci juga terkejut, katanya: "Waktu kutembuskan jalan
darah mati hidupmu dulu hanya meliputi dua nadi Jim dan Tiok
saja, semua hanya tertembuskan limapuluh empat, masih
ketinggalan satu jalan darah yang susah dibobol, jadi belum
berhasil... Baru sekarang Suma Bing paham, waktu dalam perkampungan
bumi pasti jalan darah terakhir itu yang telah ditembusi, maka
segera katanya: "Wanpwe pernah ketiban
rejeki, mungkin jalan darah yang tertinggal itulah yang telah
dibobolkan."
"Coba biar kuperiksa!" setelah mengulur tangan dan memeriksa
berkata pula Giok li Lo Ci: "Benar, dua puluh lima jalan darah besar
Jim meh dan tiga puluh jalan darah besar Tiok meh sudah tembus
semuanya. Nak, sungguh kau beruntung, segala rejeki numplek
diatas dirimu. Benar2 kejadian yang jarang terjadi dalam dunia
persilatan!"
"Harap tanya apakah syarat yang ketiga itu?" "Nanti kita
bicarakan lagi, sekarang mari kau ikut aku!" Suma Bing
menurut saja mengikuti dibelakang Giok li Lo Ci,
keluar dari kamar batu itu sampailah mereka disebuah lorong
yang panjang, tak lama kemudian mereka tiba pula disebuah
kamar batu yang agak kecil meliputi satu tombak persegi,
menunjuk sebuah meja batu, berkatalah Giok li Lo Ci: "Inilah
disini!" Begitu melihat apa yang terletak diatas meja batu itu tanpa terasa
merinding bulu kuduk Suma Bing. Ternyata diatas meja batu itu
terletak sebuah kerangka sebuah kepala manusia yang besar luar
biasa, ditengah batok kepala itu merekah pecah mengeluarkan
hawa dingin yang menyeramkan.
"Tjianpwe, inikah..." "Betul! Inilah Bunga iblis, kembang yang
menggetarkan seluruh Bulim!" "Ini... kerangka batok kepala ini?" "Coba kau maju
melihat!" Dengan takut2 dan was-was Suma Bing maju mendekati
meja batu, waktu tangan diulurkan terasa dingin menembus
badan. Ternyata bahwa kerangka batok kepala ini adalah terbuat
dari batu Giok yang dipahat, tengahnya kosong dan atasnya
berlobang. "Cianpwe tengkorak ini terbuat dari batu Giok?" "Benar!"
"Harap tanya..." "Sekarang kau tubleskan Pedang darah
kedalam lobang diatas batok kepala itu, lalu kau sirami dengan setalang air ini..."
"Ini..." "Kau tidak perlu banyak tanya, inilah menurut pesan
terakhir suhu sebelum ajal. Aku sendiri juga tidak mengetahui
seluk beluknya."
Dengan ragu2 Suma Bing memasukkan ujung Pedang darah secara
pelan2 dan hati2 kedalam lobang diatas kerangka tengkorak itu,
lalu diangkatnya talang emas yang berada dipinggiran...
Terdengar Giok li Lo Ci berkata lagi: "Gunakan tangan dan setetes
demi setetes siramkan kelobang itu!" " habis berkata terus putar
badan tinggal pergi.
Suma Bing menahan gelora hatinya, pelan2 dengan telapak
tangannya menciduk air terus pelan2 dituang keatas lobang yang
ditancapi pedang itu. Dimana air itu mengenai badan Pedang
lantas berobah warna merah darah lalu mengalir memasuki lobang
tengkorak. Satu jam sudah berlalu tanpa menunjukkan sesuatu
perobahan. Dua jam sudah berlalu pula, tanpa menunjukkan reaksi apapun
juga. Suma Bing mulai gelisah, Tiga jam kemudian setalang air
sudah habis semuanya. Suma Bing benar2 sudah risau dan
gundah sekali. Se-konyong2 lobang diatas kerangka tengkorak itu melebar dan
terus merekah semakin lebar. Darah Suma Bing terasa mengalir
deras, jantungnya berdetak keras. Lobang itu semakin lebar dan
semakin besar, sebuah benda berbentuk
seperti sekuntum bunga pelan2 muncul keluar. Suma Bing
menahan napas, matanya tidak berkedip menatap kearah benda
aneh itu dengan penuh ketegangan, sehingga seluruh tubuhnya
basah kuyup oleh keringat.
Kuntum bunga itu setelah naik setinggi satu kaki tiba2 berhenti
dan tidak bergerak terus mekar sebesar mangkok. Maka
terlihatlah sekuntum bunga putih seperti batu giok yang
kemilauan dan se-olah2 tembus akan cahaya.
Tanpa tertahan lagi Suma Bing berteriak kegirangan: "Bunga iblis!"
" tubuhnya bergemetaran, ini benar suatu keajaiban yang jarang
terlihat dan pernah terdengar.
Tiba2, muncullah Giok li Lo Ci dalam ruangan itu, suaranya
gemetar penuh perasaan: "Betapa besar dunia ini segala
keanehan tak terhitung banyaknya. Nak, terhitung aku orang tua
juga dapat membuka mata."
Ter-sipu2 Suma Bing maju memberi hormat serta katanya: "Budi
Cianpwe ini selamanya takkan kulupakan!"
"Ini memang sudah menjadi rejekimu, budi apa segala yang
kuberikan kepadamu!"
"Harap Cianpwe suka memberi petunjuk selanjutnya!" "Lihatlah
kelopak kuntum bunga ini, semua terbagi dalam
sembilan kelopak, setiap kelopaknya tertera huruf, baiklah kau
baca dan selami sendiri pelajaran ilmu yang tiada taranya ini."
Bermula Suma Bing tidak ambil perhatian. Baru sekarang
diperhatikannya memang benar diatas kelopak bunga itu banyak
tertulis huruf kecil yang rapat dan padat. Satu diantaranya
bertuliskan empat huruf yang sangat besar berbunyi: "Giok ci sin
kang." Tak tertahan Suma Bing membaca keempat huruf itu keras2.
K a t a G i o k l i L o C i p e l a n : " N a k , mema n g k a u s a j a
y a n g b e r j o d o h , a k u t i d a k b i s a t u r u t c amp u r ,
b i a r l a h k a u b e l a j a r d a n me n y e l ami p e l a j a r a n i t u
d i r u a n g a n i n i s a j a , k e p e r l u a nmu s e - h a r i 2 a k u
d a p a t me n y Suma Bing sangaetd tei arhkaarun d aunn bteurtke rikmaau k!a"s ih, sahutnya dengan
hormat: "Terimakasih akan bantuan Cianpwe yang tak ternilai ini."
Diam2 tanpa bersuara Giok li Lo Ci terus mengundurkan diri
keluar ruangan.
Suma Bing mulai memusatkan segala pikiran dan semangatnya,
setelah pikiran terasa jernih baru mulailah dia membaca dan
menyelami pelajaran Giok ci sin kang itu.
Pelajaran Giok ci sin kang ini meliputi dua tahap, pertama melatih
pernapasan, selain itu adalah tiga jurus pelajaran silat. Jurus
pertama bernama Bi cu hong bong (mayapada remang2), jurus
kedua Che ih to cwan (bintang bergeser jumpalitan), ketiga adalah
Kay thian pit te (membuka langit menutup bumi).
Betapa luas dan dalam pelajaran ketiga jurus ilmu silat ini, tidak
mudah untuk dipahami dalam waktu singkat. Namun dipandang
sekadarnya kekuatannya pasti hebat dan luar biasa seumpama
dapat mengejutkan langit menggetarkan bumi.
Sang waktu terus berlalu tanpa terasa. Suma Bing tekun belajar
dan belajar sampai lupa waktu dan lupa akan diri sendiri. Waktu
semua pelajaran sudah selesai dan berhasil dia pahami dan selami
seluruhnya, baru Giok li Lo Ci muncul lagi.
"Nak, kuberikan selamat setinggi2nya kepadamu, ternyata kau
berhasil mempelajari ilmu mujijat yang tiada taranya ini."
"Semua ini berkat bantuan Cianpwe yang menyempurnakan!"
"Pedang darah itu boleh kau bawa serta, tapi Bunga iblis biar
tertinggal disini!"
Suma Bing mengiakan terus mencabut keluar Pedang darah.
Sungguh aneh dan ajaib, tiba2 kuntum bunga Giok itu mengkeret
terus kembali masuk kedalam kerangka tengkorak itu, sekarang
telah pulih seperti sedia kala lagi. Suma Bing berdua merasa
takjup dan kagum akan kepintaran orang si pembuat dan pengatur
semua ini. Setelah tiba didalam ruangan batu semula yang besar itu
berkatalah Suma Bing: "Cianpwe masih ada petunjuk apa?"
"Masih ada dua tugas yang harus kau lakukan!" "Harap tanya
tugas apakah itu?" "Pertama, kau harus kembalikan Bu siang
po liok kepada pihak Siau lim!" "Bu siang po liok" (buku pelajaran Bu siang
sinkang)" "Tidak salah, buku ini memang milik Siau lim, sudah
ratusan tahun lamanya dikangkangi oleh Suhu, sebab musabab
kejadian ini, aku tidak dapat beritahukan kepadamu!"
Diam2 Suma Bing berkata dalam hati: 'Tidak kau katakan aku juga
sudah tahu Kangkun Lojin sudah menuturkan kepadaku
sejelasnya.' Maka segera katanya tawar: "Wanpwe juga tidak ingin
tahu!" "Masih ada satu hal yang harus kau ingat. Kau sudah mempelajari
gerak naik dan kelit dari ilmu Bu siang sin hoat, maksudku dulu
hanya untuk membantu kau keluar dari lembah ini supaya dapat
merebut pulang Pedang darah. Setelah keluar dari lembah nanti,
kau harus melupakan se- akar2nya, jangan sekali2 kau
kembangkan ilmu itu dihadapan orang lain atau kau turunkan
kepada orang. Sebab ini merupakan ilmu pelajaran Siau lim yang
tidak sembarangan diturunkan kepada anak muridnya. Apalagi kau
bukan murid Siau lim si, maka lebih tidak boleh lagi kau unjukkan
kepada orang luar. Ini adalah pesan terakhir yang wanti2 sudah
diberitahu Suhu sebelum meninggal. Apa kau dapat mematuhi
pantangan keras ini?"
"Pasti dapat kulakukan!" " dimulut Suma Bing berkata demikian,
namun dalam hati sebaliknya dia berpikir, setelah aku dapat
mempelajari Giok ci sin kang dan ilmu khikang (pernapasan) yang
tiada taranya itu, meskipun Bu siang sin hoat itu sangat sakti dan
ampuh, tapi kalau dibandingkan masih terpaut sangat jauh bagai
bumi dan langit.
Wajah keriput Giok li Lo Ci menunjukkan kesungguhan hati,
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ujarnya: "Buku catatan ini jangan sampai jatuh atau hilang tercuri
orang. Kau harus secepatnya mengantarkan ke Siau lim si dan
harus langsung kau serahkan sendiri kepada Ciangbun Hong
tiang. Supaya peristiwa seabad yang ter-katung2 itu ada
penyelesaiannya yang menyeluruh".
"Wanpwe pasti dapat membereskan!" "Dan syarat yang
terakhir, kau harus mencari tahu mati
atau hidup jejak seseorang!" "Siapa?" "Li Hui!" "Seorang wanita?"
"Benar, dia adalah anak tunggal dari mendiang Suhu Bu
siang sin li, umurnya lebih lanjut dari usiaku!" Suma Bing
mengiakan dengan suara keheranan! "Jejaknya menghilang sejak
duapuluh tahun yang lalu, mati
hidupnya masih belum diketahui." "Baiklah, wanpwe pasti akan
menyirapi dengan tekun dan
sekuat tenaga." "Kalau sudah ketemu mintalah
jawabannya!" "Jikalau Li Hui Cianpwe itu..."
"Maksudmu kalau dia sudah meninggal dunia?" "Ya begitulah!"
"Tulislah kabar dukanya itu diatas secarik kertas dan
lemparkan masuk lembah!" "Wanpwe sudah maklum." "Baiklah
segera kau boleh berangkat!" "Berapa lamakah wanpwe berdiam
dalam lembah ini?" "Tiga bulan!" Suma Bing berjingkrak kaget,
teriaknya: "Sudah tiga
bulan?" "Sedikitpun tidak salah!" Seketika risau gundah dan
gugup hati Suma Bing. Sungguh
tak terduga dalam sekejap ini ternyata dirinya sudah tiga bulan
berada dalam lembah kematian ini, teringat akan janji terhadap
istrinya Phoa Kin sian hanya seratus hari bagaimana juga segera ia
harus berangkat pulang menemuinya. Karena jangka seratus hari
sudah diambang pintu masihkah dia sehat waalfiat tanpa kurang
suatu apa" Karena pikirannya ini badannya sampai basah oleh
keringat dingin.
Giok li Lo Ci mengeluarkan sebuah bungkusan kain merah dan
berkata: "Inilah buku catatan yang bernama Bu siang po liok itu,
kau harus hati2 dan waspada menjaganya."
"Akan wanpwe perhatikan betul!" "Ingat bagaimana juga kau
harus menyirapi mati hidup Li
Hui!" "Wanpwe akan bekerja sekuat tenaga!"
"Bagus, sekarang kau boleh pergi!"
"Kalau begitu, wanpwe minta diri!" setelah membungkuk memberi
hormat terus berputar dan berjalan keluar meninggalkan gua...
"Eh, kembali sebentar!" Suma Bing melengak sambil memutar
tubuh, tanyanya:
"Cianpwe masih ada pesan apa?" Wajah keriputan Giok li Lo Ci
penuh mengunjuk kepedihan
yang tak terhingga, ujarnya: "Persembahkan sekuntum bunga
dan bakarkan kertas didepan kuburan gurumu untukku!"
Puluhan tahun sudah berselang, namun Giok li Lo Ci belum
melupakan kekasihnya Sia sin Kho Jiang yang sangat dicintainya.
Suma Bing mengangguk hikmad, sahutnya: "Pasti akan wanpwe
lakukan!" "Pergilah!" Suma Bing memutar tubuh lagi terus langsung
keluar dari g u a b a t u i t u . P i k i r n y a s e t e l a h m e n g h a d a p i
l a m p i n g g u n u n g s e t i n g g i r a t u s a n t o m b a k i t u :
" K a l a u G i o k l i L o C i s u d a h b e r p e s a n s u p a y a
s e t e l a h m e n i n g g a l k a n t e m p a t i n i a k u t i d a k
m e n g e m b a n g k a n l a g i i l m u B u s i a n g s i n h o a t .
M e n g a p a a k u t i d a k m e n c o b a s a j a i l m u
p e l a j a r a n p e r n a p a s a n d a r i G i o k c i s i n k a n g
y a n g b a r u k u p e l a j a r i i t u . A k a n k u l i h a t m a n a
y a n g l e b i h s a k t i d a n a m p u h .
Segera ia menghimpun semangat dan mengerahkan tenaga, hawa
murninya berputar cepat dalam tubuhnya, mendadak kakinya
menjejak tanah lantas tubuhnya melejit tinggi...
Terasa tubuhnya sekarang seenteng asap, sekali enjot lima puluh
tombak sudah dicapainya. Belum luncuran tubuhnya merandek ia
sudah berganti napas dan merobah gaya sehingga tubuhnya terus
mumbul dan naik semakin tinggi. Dalam sekejap mata saja tahu2
dirinya sudah menancapkan
kakinya diatas batu cadas yang menyelonong keluar itu. Betapa
girang hatinya sungguh sukar dilukiskan. Agaknya pelajaran
pernapasan yang baru dipelajari ini kalau dibanding ilmu gerak
naik dan kelit dari Bu siang sin hoat masih setingkat lebih tinggi.
Karena sudah kangen betul dan menguatirkan keadaan Phoa Kin
sian, maka tanpa berayal lagi tanpa membuang waktu dia terus
ber-lari2 kencang secepat bintang meluncur turun gunung.
Tengah ia ber-lari2 kencang itulah mendadak terdengar sebuah
suara memanggil dibelakangnya: "Buyung, berhenti sebentar!"
Tanpa terasa tergerak hati Suma Bing, saat mana dia tengah
mengerahkan seluruh tenaga untuk mengembangkan ilmunya,
betapa cepat larinya itu seumpama roket meluncur. Bagi kaum
persilatan umumnya, mungkin bayangannya saja tidak bakal dapat
melihat jelas. Adalah suara itu dapat mengintil kencang
dibelakangnya, betapa hebat dan tinggi kepandaian orang ini
sungguh sangat mengagumkan.
Maka tanpa terasa segera ia hentikan kakinya, begitu melihat
orangnya, legalah hatinya, ter-sipu2 Suma Bing maju menyapa
hormat: "Locianpwe ada petunjuk apakah?"
Kangkun Lojin meng-goyang2kan kipas sambil mengurut
jenggotnya yang panjang menjulai didepan dadanya, tanyanya:
"Buyung, kau keluar dari Lembah kematian?"
Suma Bing tertegun, sahutnya: "Benar!" "Apakah Bu siang sin li
berada didalam lembah itu?" "Ini..." "Aku tidak memaksa
kesukaranmu lohu sudah menanti
selama tiga bulan diluar lembah ini. Sungguh menggirangkan
kemajuanmu sedemikian pesat. Dari gerak gerik badanmu tadi,
sungguh Lohu susah dapat dibandingkan lagi!"
"Locianpwe terlalu memuji!" "Tidak ini kenyataan!" "Wanpwe
ada satu hal hendak kuberitahukan kepada
Locianpwe!" "Tentang urusan apa?" "Tentang Bu siang po liok..."
Tanpa menanti habis ucapan Suma Bing, Kangkun Lojin
sudah menyeletuk: "Bagaimana?" "Buku itu sekarang berada
ditangan wanpwe!" "O, bagaimana ini bisa terjadi?" "Wanpwe
mendapat perintah untuk mengembalikan
kepihak Siau lim!" Meski sudah mencapai latihan selama seratus
tahun tak urung Kangkun Lojin masih terbawa oleh perasaan haru juga,
katanya gemetar: "Buyung, apa ini betul?"
"Mana wanpwe berani ngapusi kepada Cianpwe!" "Bagus,
bagus sekali! Terlaksanalah angan2 Lohu didunia
fana ini. Buyung..." "Locianpwe!" "Apa kau masih ingat cerita
yang kuberitahukan kepadamu
itu?" "Masih ingat betul!" "Lohu sudah tidak lama lagi tinggal
didunia fana ini, aku
harus menceritakan semua kenyataan itu kepadamu." "Dengan
senang hati wanpwe akan mendengar penuh
perhatian." "Nama asli Lohu adalah Buyung
Ceng!" "Buyung cianpwe!"
"Nama asli Bu siang sin li adalah Lin Ji lan, seorang pelaku lain
dari cerita itu bernama Li It sim!"
"Li It sim?" Berpikirlah Suma Bing, menurut pesan Giok li Lo Ci
dirinya harus mencari seorang wanita yang bernama Li Hui, tidak
perlu disangsikan lagi bahwa Li Hui ini pasti anak dari Li It sim
dan Lin Ji lan itu.
"Kalau Li It sim masih hidup, usianya tentu juga sudah mencapai
seratus tahun lebih. Kalau kelak kau bertemu dengan orang ini,
boleh kau beritahu segala kejadian terakhir ini kepada dia. Dan
katakan pula bahwa Lohu tengah menanti kedatangannya
ditempat perpisahan dulu!"
Suma Bing mengiakan. "Buyung masa depanmu gilang
gemilang, waspada dan
hati21ah, Lohu pergi!" " habis berkata lengan bajunya yang
gondrong dikebutkan tahu2 tubuhnya sudah menghilang.
Sekian lama Suma Bing termangu ditengah jalan, batinnya: 'Tokoh
aneh yang luar biasa ini sungguh baik hati dan tekun benar.
Sungguh tidak sangka dia mengintil dibelakangku. Dengan sabar
selama tiga bulan dia menanti diluar lembah kematian!' tak lama
kemudian Suma Bing sudah mengayun langkah melanjutkan
perjalanannya. Pada waktu tengah hari tibalah Suma Bing diluar solokan
kediaman Phoa Kin sian dengan Suhunya. Jantungnya terasa mulai
berdetak keras, selamat atau mautkah yang bakal dihadapi susah
diterka sebelumnya.
Mendadak pemandangan yang menggiriskan hati dan mendirikan
bulu roma terbentang dihadapannya. Sekitar pinggiran solokan
sebelah sana bergelimpangan beberapa mayat manusia. Darah
yang membeku dan berobah warna itu merupakan perpaduan
pandangan yang lebih menyeramkan. Tangan kaki tersebar
di-mana2, kepala, biji mata atau isi perut orang berceceran disana
sini, sungguh keadaan ini sangat mengerikan.
Suma Bing sendiri juga merasa merinding dan bergidik, naga2nya
dalam solokan ini telah tertimpa bencana dahsyat. Keselamatan
Phoa Kin sian guru dan murid, membuat hatinya terasa hendak
melonjak keluar. Akhirnya didapatinya beberapa tanda tertentu
diatas beberapa mayat itu, tanpa terasa tercetus seruan kagetnya:
"Semua adalah anak buah Bwe hwa hwe!"
Kalau diluar solokan penuh diliputi bau anyir darah, entah
bagaimana keadaan dan pemandangan didalam solokan sana"
Sambil berpikir tanpa ayal tubuhnya segera berkelebat melayang
turun kedalam solokan sana seenteng daon melayang.
Selepas pandang, hatinya semakin kebat-kebit. Dalam selokan
di-mana2 terlihat tumbuh2an yang terbakar hangus atau sudah
menjadi abu. Tidak perlu disangsikan lagi pasti dalam solokan ini
pernah terjadi kebakaran besar. Bergegas ia berlari kearah gua.
Begitu tiba seketika dia berdiri termangu, sedikitpun tidak kentara
lagi adanya bekas2 pintu gua, sekarang menjadi rapat seperti
dinding batu semua.
Kemanakah mereka" Ketimpa bencana, atau... Tidak mungkin
gua batu ini tertutup dan menghilang tanpa
sebab, sudah terang kalau ditutup secara paksa oleh orang.
Ditutup sendiri oleh Phoa Kin sian guru dan murid atau disumpal
dari luar. ini susah dibedakan.
Inikah bukti dari ramalan Kangkun Lojin" Sesaat dia menjadi
bingung harus mundur atau terus maju.
Kepandaian Phoa Kin sian dengan gurunya dia tahu betul,
seumpama mengalami serangan mendadak dari luar juga tidak
sukar bagi mereka untuk mengundurkan diri dengan selamat. Tapi
yang membuatnya kuatir adalah Phoa Kin sian tengah mengandung
dan hampir melahirkan. Karena kekuatirannya inilah maka dengan
teliti ia memeriksa setiap jengkal tanah dalam solokan itu. Besar
harapannya dapat
menemukan sesuatu, tapi juga mengharap tidak menemukan
apa2. Ramalan Kangkun Lojin itu benar2 membuat dia bergidik.
Setengah harian sudah ia putar kayun dan membungkuk2, tiada
diketemukan benda2 milik Phoa Kin sian dan gurunya atau
jenazah mereka berdua. Seumpama yang melepas api ini adalah
perbuatan orang2 Bwe hwa hwe, maka mayat2 yang
bergelimpangan diluar solokan itu pasti adalah buah karya dari
Phoa Kin sian kakak beradik dan dibantu oleh bibinya. Tapi
kemana mereka sekarang"
Apakah maksud tujuan perbuatan Bwe hwa hwe ini" Meskipun
ditengah hari bolong, namun suasana dalam solokan ini menjadi
sedemikian seram dan menakutkan. Dalam keputus asaannya
Suma Bing sudah bersiap hendak tinggal pergi keluar solokan.
Baru saja niat ini timbul dalam benaknya, se-konyong2 terdengar
suara tawa yang mengekeh dingin, lantas terdengar sebuah suara
berkata: "Suma Bing, sudah lama kutunggu kedatanganmu."
Berdebar jantung Suma Bing, waktu dia berpaling, kontan
darahnya mendidih, matanya melotot dan airmukanya membeku
penuh nafsu membunuh.
Dihadapannya berdiri musuh besar bebuyutannya yaitu Loh Cu gi,
dan dibelakangnya mengiringi anak buahnya, jumlahnya tidak
kurang dari lima puluh orang.
Dari murka Suma Bing menjadi tertawa besar serunya: "Loh Cu gi,
ternyata semua ini adalah hasil karyamu!"
Loh Cu gi menjengek dingin, ujarnya: "Buyung keparat, kau
menyerah dan pasrah nasib saja."
Suma Bing maju dua langkah, katanya sambil kertak gigi: "Loh Cu
gi, agaknya Tuhan membantu akan kebenaran, seharusnya kau
sendiri yang terima binasa saja!"
"Bocah keparat, cuma sedikit mengangkat tangan saja, aku dapat
membuat seluruh tubuhmu hancur lebur menjadi abu!"
"Kau ini sedang bermimpi!" "Masih ada satu soal hendak
kutanya padamu, apakah kau
benar2 keturunan Suma Hong?" "Tak usah disangsikan lagi."
"Kalau begitu, kau memang harus mampus!" Disertai
bentakannya mendadak secarik sinar merah yang
menyilaukan melesat menerjang kearah Suma Bing, betapa cepat
cara turun tangannya ini betul2 sangat mengejutkan. Inilah puncak
kesempurnaan ilmu Kiu yang sin kang, kekuatannya dapat
melumerkan benda2 keras dan dapat membumi hanguskan benda2
yang mudah terbakar.
Sebat sekali Suma Bing berkelebat menyingkir. Loh Cu gi
perdengarkan jengekan dingin, bagai bayangan
yang selalu mengikuti bentuknya. lagi2 dia lancarkan sebuah
pukulan, kecepatan merobah serangannya sungguh susah dicari
tandingan, cahaya sinar pukulannya, melebar dan melingkupi
udara sekitar tubuhnya. Memang Suma Bing kalah latihan dan
kalah ulet, sampai akhirnya tiada tempat luang lagi untuk selalu
bermain kelit. Dalam gugupnya serta merta ilmu Giok ci sin kang
timbul dan dilancarkan menyertai isi hatinya.
Dentuman keras yang menggetarkan bumi menggoncangkan semua
hadirin. Tampak Suma Bing tersurut tiga langkah dan berdiri tegak
lagi dengan angkernya tanpa kurang suatu apa, sekelilingnya diliputi
kabut asap yang bergulung gulung.
Sungguh kejut Loh Cu gi bukan kepalang, betapa hebat dan tinggi
kepandaian tokoh silat siapapun, takkan mungkin kuat menahan
kedahsyatan pukulan Kiu yang sin kang, seumpama besi baja juga
pasti lumer. Tapi sebaliknya Suma
Bing masih tetap segar bugar tanpa kurang suatu apa setelah
menyambuti pukulannya.
Semua tokoh2 silat dibelakang Loh Cu gi juga berobah pucat pias.
Begitu melancarkan kemurnian ilmu Giok ci sin kang, ternyata kuat
bertahan melawan pukulan Kiu yang sin kang musuh, bertambah
besar tekad hati Suma Bing, ia maju selangkah lantas bentaknya
keras: "Loh Cu gi, akan kucincang dan kuhancur leburkan manusia
laknat seperti kau ini!"
Tanpa sadar Loh Cu gi mundur selangkah dengan gentar. Pada
saat itulah tiba2 lima orang tua berkelebat maju dari belakang Loh
Cu gi terus membungkuk berbareng serta berkata: "Hamba
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
beramai menunggu perintah!"
Loh Cu gi manggut2, tubuhnya melejit mundur sejauh delapan
tombak. Kelima orang tua ini matanya ber-kilat2, terang kalau latihan
Lwekang mereka sudah mencapai titik kesempurnaannya, berdiri
setengah lingkaran mereka menghadapi Suma Bing dan mulai
bergerak siap untuk menyerang...
Terdengar bentakan dan hardikan yang riuh rendah, lima jalur
angin pukulan serempak bergulung menerpa kearah Suma Bing.
Suma Bing menggigit gigi kencang2, airmukanya membesi hitam
dirundung sifat kebuasan, tubuhnya berdiri tegak dan gagah
perwira laksana malaikat elmaut tanpa bergerak. Begitu diterpa
kelima jalur angin pukulan itu, Suma Bing hanya terdorong
mundur tiga tindak.
Bahwa gabungan pukulan kelima orang tua yang berkepandaian
tinggi ternyata dipandang sebagai pukulan anak2. Betapa hebat
dan tinggi kepandaian Suma Bing ini kiranya tiada tandingannya
lagi didunia ini. Seketika kelima
orang tua itu berdiri kesima dan termangu tanpa bergerak, timbul
rasa gentar dan ketakutan dalam benak masing2.
Disaat kelima orang tua itu kesima tanpa bergerak itulah, tiba2
tangan Suma Bing bergerak melintang dan berputar.
Dilancarkannya jurus pertama dari ilmu Giok ci sin kang yang baru
dipelajarinya itu, yaitu Bi cu hong bong (mayapada remang2).
Dimana gelombang badai melanda, tanah merekah dan batu hancur
lebur, pohon dan rumput berterbangan. Lima tombak sekitar
gelanggang menjadi gegap gempita, terdengarlah beberapa kali
jerit dan lolong panjang yang menyayatkan hati memecah
kesunyian udara.
Tampak tubuh kelima orang tua itu hancur lebur dan tercerai berai
kemana2 meliputi arena sepuluh tombak lebih.
Suma Bing sendiri juga terkejut dan kesima melihat hasil kekuatan
ilmu Giok ci sin kang ini, kedahsyatannya sungguh diluar taksiran
sebelumnya. Semua jagoan Bwe hwa hwe yang hadir juga bukan main takut
dan arwahnya terasa hampir melayang meninggalkan badan
kasar. Saat mana Loh Cu gi sudah mundur sejauh lima tombak lebih,
wajahnya menunjukkan kejut dan keheranan, matanya terlongong
memandangi Suma Bing, sungguh susah dibayangkan darimanakah
Suma Bing dapat mempelajari ilmu digdaya yang sakti mandraguna
seperti ini hanya dalam jangka tiga bulan saja"
Suma Bing maju beberapa langkah lagi. "Loh Cu gi, serahkan
nyawamu!" tiba2 dia menggertak keras, tubuhnyapun sudah
melesat tiba dihadapan Loh Cu gi terpaut tiga tombak jauhnya.
"Buyung, jangan terlalu takabur!" " selarik sinar merah kemilau
mendesis menerjang kearah Suma Bing. Sekali ini
agaknya Loh Cu gi sudah kerahkan seluruh kekuatan Kiu yang sin
kang yang dipandang sebagai ilmu yang tiada bandingannya
didunia ini. Suma Bing juga menggerung keras, dengkulnya sedikit ditekuk,
tangannya bergerak melancarkan jurus Mayapada remang2 itu
tadi untuk menyongsong serangan lawan.
Begitu dua ilmu sakti saling berhantam terbitlah guntur yang
menggelegar, saking dahsyat benturan ini sampai bumi
pegunungan sekitarnya terasa bergetar laksana gempa bumi.
Karena benturan dahsyat ini Suma Bing terpental balik dan
terhuyung delapan langkah baru bisa berdiri tegak lagi. Sebaliknya
Loh Cu gi juga mencelat mundur tiga tombak jauhnya, air
mukanya pucat pasi, darah meleleh keluar dari ujung bibirnya.
Tokoh nomor satu pada empat belas tahun yang lalu ternyata
tidak kuat menahan gebrak pertama serangan Suma Bing. Malah
puluhan jago2 Bwe hwa hwe yang terdekat juga terpental
sungsang sumbel dan jungkir balik keempat penjuru.
Maka tanpa bersuara lagi, mendadak Loh Cu gi membalik tubuh
terus melesat terbang memasuki hutan rimba sebelah sana. Maka
semua anak buah Bwe hwa hwe yang masih ketinggalan hidup
be-ramai2 melenting mencawat ekor coba melarikan diri.
"Mau lari kemana?" Suma Bing menghardik keras sekali, tubuhnya
juga melenting maju memburu dengan kencang. Namun rimba itu
sedemikian lebat didalam bawah jurang lagi maka dalam sekejap
mata saja bayangan Loh Cu gi sudah menghilang tanpa bekas.
Saking gusar kepala Suma Bing sampai menguap, dada juga
hampir meledak, tahu dia akan sia2 ia terus mengejar, maka
begitu memutar balik ganti para kunyuk yang ketakutan itulah
yang menjadi korban demi pelampiasan kedongkolan hatinya.
Maka dimana2 timbul pekik dan jerit kesakitan yang menyayatkan
hati. Mungkin hanya seorang dari sepuluh orang yang dapat
menyelamatkan diri,
selebihnya sudah menjadi setan gentayangan dibawah tangan
Suma Bing. Setelah mengumbar kedongkolan hatinya dengan berpesta pora
dengan pembunuhan yang keji itu, baru Suma Bing merasa puas
dan menghentikan sepak terjang selanjutnya, gumamnya sambil
kertak gigi: "Kalau aku tidak menimbulkan banjir darah di Bwe
hwa hwe, aku bersumpah tidak menjadi manusia!"
Suasana sekelilingnya sunyi senyap se-olah2 tiada insan lagi yang
masih tetap hidup didunia fana ini. Sekuat tenaga Suma Bing
menekan gejolak hatinya, serta menerawangi tindakan
selanjutnya. Langsung meluruk ke markas besar Bwe hwa hwe
atau mencari dulu jejak istri dan bibinya"
Dimanakah kiranya sekarang ibunya berada" Kalau ibunya belum
ketemu sukar untuk dapat mengetahui siapa2 saja yang menjadi
musuh besar keluarganya. Apa lebih baik mengantar dan
mengembalikan Bu siang po liok ke Siau lim si"
Setelah berpikir dan ditimang sekian lamanya, akhirnya dia ambil
keputusan untuk pergi dulu ke gereja Siau lim. Perempuan yang
terkurung dibelakang puncak Siau sit hong itulah yang masih
membuat hatinya kurang tentram, dia curiga mungkin perempuan
itu adalah ibundanya yang telah hilang itu. Maka tujuannya ini
boleh dikata sekali tepuk dua lalat.
Meskipun Pek kut Hujin pernah memperingatkan, bahwa
perempuan itu bukan orang yang tengah dicarinya, tapi ia harus
membuktikan sendiri kenyataan ini, untuk membuka ganjalan
hatinya selama ini.
Sekarang ilmu sakti sudah sempurna dipelajarinya, setahap demi
setahap dia bakal dapat menyelesaikan dendam permusuhannya
dengan para musuh besarnya, ini tinggal tunggu waktu saja.
Begitulah tanpa ayal lagi Suma Bing langsung berayun menuju ke
Siong san Siau lim.
Hari itu dia sudah beranjak dijalan raya yang menuju kewilayah Ho
lam, menurut perhitungannya lima hari lagi dia pasti sudah tiba
diatas gunung Siong san itu.
Betapa tinggi ilmu ringan tubuh Suma Bing saat itu, luncuran
tubuhnya seumpama bintang terbang. Se-konyong2 terlihat
didepan sana ada setitik putih tengah berlari kencang, semakin
lama titik putih itu tersusul dan semakin besar. Setelah membelok
sebuah tikungan bayangan putih itu melesat memasuki hutan lebat
dipinggir jalan sebelah kanan.
Sejak memperoleh ilmu Giok ci sin kang, pandangan mata Suma
Bing semakin jeli dan tajam luar biasa. Hanya sekali pandang saja
diketahuinya bahwa bayangan putih itu tidak lain adalah Rasul
penembus dada tokoh yang paling ditakuti kaum persilatan masa
itu. 43. SETELAH DITOLONG MALAH MENTUNG.
Kalau Rasul penembus dada muncul dengan gerak gerik
yang mencurigakan ini pasti ada tujuan yang tertentu. Mungkin
disinilah markas atau sarang Jeng siong hwe itu berada atau
mungkin juga...
Begitu membelok haluan dia juga mengikuti menerjang masuk
kedalam hutan lebat itu.
Dengan kepandaiannya saat itu yang sangat sakti dan
menakjupkan, meskipun gerak gerik Rasul penembus dada sangat
cekatan dan gesit sekali selulup timbul diantara dahan2 pohon,
tapi sebegitu jauh masih tak lepas dari pandangan matanya.
Dia sengaja mengendorkan langkahnya untuk mengintil terus
dibelakangnya. Betapa tinggi kepandaian Rasul penembus dada toh
sejauh itu belum mengetahui bahwa dirinya dikuntit orang.
Setelah melewati hutan lebat ini, didepan sana terlihat melintang
sebuah anak sungai yang lima tombak lebarnya, diantara
keremangan dan himpitan dahan dan daun pohon samar2 terlihat
bangunan sebuah gubuk. Tanpa sangsi dan takut2 Rasul
penembus dada langsung terbang melewati anak sungai itu terus
melesat kearah gubuk bambu itu.
Bukan kepalang heran Suma Bing, buat apa Rasul penembus dada
mendatangi sebuah gubuk reyot yang dibangun ditengah hutan
belukar begini" Mungkinkah...
Tengah ia ber-pikir2, terdengar Rasul penembus dada sudah
perdengarkan tawa dinginnya dan membuka suara kearah gubuk
bambu itu: "Pek chio Lojin, apa kau minta tuanmu ini masuk
kedalam gubuk untuk menyilahkan kau keluar?"
Begitu mendengar nama Pek chio Lojin, berdetak jantung Suma
Bing. Teringat olehnya waktu dirinya mohon sebutir Hoan hun tan
di Yo kong bio dulu, layon jenazah Pek chio Lojin terang terletak
diruang tengah sembahyang. Apa mungkin seperti apa yang
dikatakan oleh Rasul penembus dada dulu bahwa dia hanya pura2
mati untuk mengelabui"
Untuk apa dan kenapa Rasul penembus dada mati2an mengejar
dan tidak melepaskan Pek chio Lojin" Terbawa oleh keinginan
tahunya dengan gerak raga yang cepat luar biasa, seenteng daun
ia melayang melewati anak sungai itu terus menyelinap dan
sembunyi dirumpun bunga yang terletak disamping gubuk bambu.
Terdengar pintu gubuk bambu berkereyotan terbuka. Begitu pintu
gubuk terpentang berjalan keluar seorang tua ubanan yang
bertubuh tegap dan penuh semangat.
"Tua bangka!" maki Rasul penembus dada dengan sikap angkuh
dan dingin, "waktu di Yok ong bio untung kau dapat lolos, tapi
dapat menghindari yang pertama takkan dapat lolos untuk yang
kedua. Semua orang yang terdaftar dalam buku catatan, siapapun
takkan dapat menyelamatkan diri!"
Wajah Pek chio Lojin menampilkan rasa kaget dan ketakutan,
katanya gemetar: "Lohu sudah lama tidak mencampuri urusan
dunia, kenapa perkumpulan kalian tetap tidak melepas Lohu?"
"Enak benar kau berkata tiada turut campur urusan dunia.
Ketahuilah, cundrik yang kemilau tajam ini selamanya belum
pernah membunuh seorang tanpa berdosa!"
Pek chio Lojin tersurut selangkah, semprotnya bengis: "Ada
permusuhan apa Lohu dengan perkumpulan kalian?"
Rasul penembus dada menjengek dingin: "Sudah tentu akan
kubuatmu mati secara tulus ikhlas!" sambil berkata itu, sinar
cundrik ditangannya berkelebat, tahu2 ia sudah mendesak tiba
dihadapan Pek chio Lojin sejarak jamahan tangan.
Pek chio Lojin tertawa getir, katanya: "Rasul penembus dada,
waktu cundrikmu menembus dadaku, juga saat ajalmu sudah
tiba." Rasul penembus dada tertawa gelak2, ejeknya tanpa mengacuhkan
ancaman lawan: "Tua bangka, kau pintar meramu rumput obat2an,
paham betul akan sifat2 pengobatan juga pandai menggunakan
racun. Tapi ketahuilah, kau akan sia2, hanya racunmu yang tidak
berarti itu, kau mampu mengapakan aku apa?"
Berobah pucat wajah Pek chio Lojin, tubuhnya gemetaran,
keringat dingin membanjir keluar.
Tiba2 mulut Rasul penembus dada kemak kemik entah apa yang
dikatakan. Seketika rambut Pek chio Lojin berdiri tegak, airmukanya semakin
pucat sampai raganya juga terhuyung limbung, serta serunya
tergagap: "Kau... kau... kau ini..."
"Kau akan mati tanpa penasaran!" seru Rasul penembus dada
sambil mengayun cundrik.
"Stop!" mendadak pada saat itu juga terdengar sebuah bentakan
nyaring, diiringi suara bentakan ini, tampak seorang pemuda
berwajah cakap ganteng dengan airmuka kaku dingin muncul dari
rumpun bunga bagai bayangan setan saja.
Dia tak lain tak bukan adalah Sia sin kedua Suma Bing adanya.
Saking terkejut Rasul penembus dada mundur tiga tindak,
serunya gemetar: "Lagi2 kau!"
"Benar, inilah cayhe adanya!" sahut Suma Bing tawar. "Suma
Bing, apa kehendakmu?" Nama Suma Bing ini agaknya
membuat Pek chio Lojin
tergetar dan melongo. Setelah melirik kearah Pek chio Lojin
berkatalah Suma Bing:
"Tidak apa2, hari ini aku tidak izinkan kau membunuh orang!"
"Suma Bing, berulangkali kau merintangi dan menentang
sepak terjangku, apa kau tahu apa akibatnya nanti?"
"Bagaimana?" "Cundrik ini akan menembus dadamu!" "Hehehe,
meski cundrikmu sangat tajam, mungkin tidak
mempan menembusi dadaku!" "Ya, nanti kita buktikan!" "Selalu
cayhe nantikan, tapi sekarang kusilahkan kau
segera menggelinding pergi?" "Suma Bing, kau sangka aku
tidak kuasa membunuhmu?"
"Memang kenyataan kau tidak mampu!" Rasul penembus dada
menggerung gusar, sinar cundriknya
berkelebat bagai kilat langsung menusuk keulu hati Suma Bing.
Tapi Suma Bing bergerak lebih cepat berkelit kesamping sambil
bentaknya: "Kau sendiri yang cari mati?"
Begitu serangannya gagal, mendadak Rasul penembus dada
membalik tubuh terus menusuk kearah Pek chio Lojin.
Perbuatan Rasul penembus dada ini benar diluar dugaan Suma
Bing, dalam gugupnya mendadak ia lancarkan pukulan jarak jauh.
'Blang' disertai pekik kesakitan, tampak Rasul penembus dada
sempoyongan dua tombak jauhnya.
Darah segar mengalir deras dari dada Pek chio Lojin, tubuhnya
limbung hampir roboh. Agaknya pukulan Suma Bing tadi telah
menolong jiwanya, sehingga tusukan Rasul penembus dada tidak
menamatkan jiwanya.
Mata Suma Bing melotot ber-api2 menatap wajah dibalik kedok
Rasul penembus dada, desisnya: "Kali ini kuampuni jiwamu, lekas
menggelinding pergi!"
Insaf kalau bukan tandingan Suma Bing lagi, maka setelah
membanting kaki dengan gemesnya, Rasul penembus dada
mencelat jauh terus menghilang.
Saat mana Pek chio Lojin sudah menutup jalan darah seperlunya,
lalu katanya gemetar: "Sudah dua kali Suma siau hiap mengulur
tangan menolong jiwa Lohu, sungguh terima kasih Lohu tak
terhingga."
Sebetulnya Suma Bing sendiri juga tidak tahu mengapa dia turun
tangan menolong jiwa Pek chio Lojin. Mungkin karena rasa
dendamnya kepada Rasul penembus dada belum lenyap.
Dia tahu kalau Rasul penembus dada tengah menuntut balas, tapi
akhirnya toh dia turun tangan juga.
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dulu walaupun dirinya pernah memperoleh sebutir Hoan hun tan,
namun dirinya sudah membelanya mati2an dari renggutan elmaut
ancaman Rasul penembus dada, sehingga layon Pek chio Lojin
tidak sampai hancur berantakan.
Loh Siau ling itu murid perempuan Pek chio Lojin adalah putri
musuh besarnya Loh Cu gi. Kalau Racun diracun tidak muncul
tepat pada waktunya, terang dirinya sudah konyol dibawah
penggantian syarat yang diajukan oleh Loh Siau ling. Kalau
dikatakan budi dan dendam kedua belah pihak sudah sama hapus
dan himpas, sudah tiada hutang piutang lagi.
Oleh karena pikirannya ini, maka dengan tawar ia menyahut:
"Tidak perlu terima kasih apa segala, cayhe tidak sengaja hendak
menolong jiwamu!"
Ujar Pek chio Lojin dengan perasaan haru: "Tapi kenyataan tetap
kenyataan tak mungkin dihapus dan diakui!"
Segera Suma Bing angkat tangan serta ambil berpisah: "Cayhe
minta diri!"
Se-konyong2 terdengar keluhan panjang lantas terlihat Pek chio
Lojin roboh terkapar.
Terperanjat Suma Bing, pikirnya: 'agaknya lukanya itu tidak ringan
kalau sudah mau menolong jangan kepalang tanggung, biar
kupayang masuk kedalam gubuk, mati atau hidup terserah kepada
nasibnya sendiri.'
Maka bergegas ia maju mendukung tubuh Pek chio Lojin terus
dibawa masuk gubuk. Keadaan dalam gubuk sangat sederhana,
hanya terdapat sebuah meja kursi dan sebuah lemari dan sebuah
dipan. Keadaan ruang sebelah dalam sana tidak diketahui karena
tertutup kain yang menjulai panjang diatas pintu. Sedikit ragu2
lantas Pek chio Lojin direbahkan diatas dipan itu.
Baru saja ia hendak meletakkan tubuh yang dibopongnya itu, tiba2
terasa jalan darah Bing bun hiat kesemutan. Hatinya tercekat dan
sebelum suaranya keluar tubuhnya sudah terkapar jatuh lemas.
Pek chio Lojin melompat bangun sambil bergelak tawa kegila2an.
Mimpi juga Suma Bing tidak menyangka Pek chio Lojin bakal
membalas kebaikannya dengan tipu muslihat keji ini. Karena tidak
mengira dan ber-jaga2 waktu sadar namun sudah terlambat,
karena jalan darah sendiri sudah tertutuk oleh lawan.
Meskipun Giok ci sin kang merupakan ilmu digdaya yang tiada
taranya yang dapat melindungi jiwa raganya, tapi sebelum pikiran
bekerja ilmu ini takkan dapat bergerak sendiri. Demikian juga
keadaan sekali ini, belum pikiran siaganya timbul tahu2 sudah
tertutuk maka bagaimanapun lihay dan ampuh ilmunya itu saat ini
toh tidak berguna lagi, begitu kena tertutuk keadaannya tak
ubahnya seperti manusia umumnya.
Kain panjang yang menjulai itu tersingkap, keluarlah seorang gadis
cantik rupawan serba hitam dengan langkahnya yang ringan dan
berlenggang. Dia bukan lain adalah Loh Siau ling. Putri musuh
bebuyutannya. Hampir meledak dada Suma Bing, ingin rasanya membeset dan
mencincang kedua orang tua muda dihadapannya ini. Tapi karena
jalan darah sudah tertutuk, memaki atau gembar- gembor juga
tidak berguna. Dia insaf keadaannya ini sangat kritis, sudah terang
kalau Pek chio Lojin ini adalah komplotan dari pihak Bwe hwa hwe,
kebaikan hatinya tadi berarti mengantar badan sendiri kemulut
harimau, keruan sangat kebetulan bagi mereka.
Maka diam2 ia kerahkan ilmu saktinya untuk coba2 membobol
sendiri jalan darah yang tertutuk itu.
Sekilas Loh Siau ling melirik kearah Suma Bing serta jengeknya
dingin: "Gwakong (kakek), sungguh membuat aku gugup
setengah mati. Untung ada makanan empuk ini yang menyibakkan
kesialanmu!"
Walaupun Suma Bing tertutuk tidak dapat bergerak, namun
pendengarannya masih terang. Panggilan Gwakong itu
membuktikan bahwa ibu Loh Siau ling yaitu Ang siu li Ting Yan
pasti adalah anak perempuan Pek chio Lojin ini.
Pek chio Lojin bergelak tertawa, ujarnya: "Ini benar2 suatu
kebetulan yang sangat kebetulan."
"Bagaimana keadaan luka Gwakong?" "Hanya luka luar saja,
dalam dua hari pasti sudah sembuh." "Lantas bocah ini
bagaimana?" "Lenyapkan ilmu silatnya dan bawa kembali
kemarkas besar!" "Melenyapkan ilmu silatnya?" "Sudah tentu, kalau tidak
siapa berani membawa2 harimau
galak ini!" "Bukankah dibunuh saja lebih beres?" "Eeee, jangan!"
"Kenapa?" "Hehehehehe, ketahuilah kedudukan bocah ini sangat
penting dia adalah Huma dari Te po itu salah satu tempat kramat
yang paling disegani, harga dirinya tidak dibawah benda2 pusaka
dunia persilatan..."
"Aku tidak mengerti!" "Lingji," ujar Pek chio Lojin bergelak
tertawa sambil mengurut janggutnya, "Apa kau tahu tokoh macam apakah
mertua bocah ini atau majikan dari Te po itu?"
"Aku tidak tahu!" Pikiran Suma Bing tetap terpusat dalam
pengerahan tenaga
untuk menjebol jalan darah yang tertutuk. Terdengar Pek chio
Lojin berkata riang gembira: "Anak
Ling, dia bernama Pit Gi!" "Pit Gi" Memangnya kenapa?" "Tokoh
silat nomor satu pada pertandingan silat dipuncak
Hoa san yang pertama!" "O! Jadi ayah adalah tokoh silat nomor
satu pada aduan
silat yang kedua, ini juga tidak..." "Anak Ling, kau ini orang kecil
tapi pambekmu besar. Apa
kau kira gampang memperoleh julukan tokoh silat nomor satu
diseluruh jagad ini. Berapa banyak orang yang mengimpikan
mendapat julukan yang diagungkan ini."
"Apakah tokoh silat nomor satu diseluruh jagad lantas benar2
tiada tandingannya diseluruh dunia?"
"Ini juga belum tentu. Orang pandai masih ada yang lebih pandai,
gunung tinggi ada yang lebih tinggi lagi. Begitu juga tokoh silat
nomor satu diseluruh jagad, hanya diukur dari keadaan waktu itu
pada tokoh2 silat yang ikut bertanding saja, lantas dari
pertandingan itu keluarlah sang juara..."
"Hal ini ada sangkut paut apa dengan Suma Bing?" "Sudah
tentu ada hubungannya. Konon waktu Pit Gi dulu
merebut kedudukan korsi pertama yang teragung dalam kalangan
persilatan, itu adalah karena mengandalkan Kiu im sin kang. Kalau
kita menggunakan Suma Bing sebagai sandera dan minta, dia
mengeluarkan Kiu im sin kang sebagai imbalannya, lalu digabung
dengan Kiu yang sinkang ayahmu. Begitu negatif dan positif
bergabung dapat melatih sebuah ilmu yang dinamakan Bu khek sin
kang. Seluruh jagad raya ini takkan ada orang yang berani
menandingi!"
"Apa benar?" "Masa kakekmu mau ngapusi kau?" "Darimana
kau bisa tahu bahwa majikan Te po itu adalah
tokoh nomor satu yang terdahulu itu?" "Julukan Pit Gi adalah Kiu
im Suseng. Waktu dia menduduki
tokoh pertama dulu semua orang jelas mengetahui, hanya mereka
tidak tahu bahwa dia ternyata adalah majikan dari Te po.
Kebetulan Gandarwa merah Ngo Tang, anak buah dari Menara
setan mendapat tugas untuk pergi menantang kepada Pit Gi,
maka berita ini baru tersebar diseluruh Kangouw, kalau tidak
teka-teki ini takkan ada yang dapat memecahkan."
"O, kiranya begitu!" "Urusan ini sangat penting jangan
di-tunda2 lagi, lenyapkan
dulu ilmu silatnya!" Habis ucapannya tangannya diulur hendak
menutuk jalan darah dibawah perut Suma Bing.
"Eh, benda apakah ini?" tiba2 ia berseru heran. Usaha Suma
Bing sudah hampir mencapai hasil, begitu
melihat Pek chio Lojin hendak melenyapkan ilmu silatnya lalu
merogoh keluar buntalan merahnya, keruan kaget dan serasa
semangatnya melayang keluar, karena tak dapat bergerak
terpaksa dia diam saja.
"Apakah itu?" tanya Loh Siau ling cepat. Pelan2 Pek chio Lojin
membuka buntalan merah itu, lalu
diambilnya sejilid buku kecil yang agak tipis. Begitu melihat judul
diatas sampulnya, kontan dia tertawa gelak2 bagai mendapat lotre
jutaan. "Gwakong, apakah itu sebenarnya?" "Bu siang po liok,
hahahahaha... Ilmu gerak tubuh paling
hebat diseluruh jagad ini entah bagaimana bisa terdapat ditubuh
bocah ini?"
"Coba kulihat!" seru Loh Siau ling terus maju merebut... Pada
saat itulah kebetulan jalan darah Suma Bing sudah
bobol semua terus mendadak mencelat bangun langsung
mencengkram kearah Bu siang po liok itu.
Terdengar dua seruan kaget dan tertahan, Loh Siau ling dan Pek
chio Lojin lari lintang pukang keluar gubuk.
Begitu cengkramannya luput, Suma Bing juga ikut melesat keluar.
Sungguh bencinya kepada Pek chio Lojin luar biasa, tanpa banyak
suara lagi dengan jurus Mayapada remang2 langsung ia
menyerang Pek chio Lojin.
Dimana gelombang badai menerjang tiba menimbulkan angin ribut
yang gegap gempita, tampak raga Pek chio Lojin terbang
me-layang2 diselingi jeritannya yang menyayatkan hati, terus
terbanting keras diatas tanah, kira2 sejauh sepuluh tombak sana.
Loh Siau ling sendiri juga terpental sempoyongan jungkir balik.
Mata Suma Bing menatap tajam kearah Loh Siau ling, pintanya:
"Kembalikan!"
Wajah Loh Siau ling pucat pasi, jantungnya berdetak keras
hampir melonjak keluar, mundur ketakutan tanyanya gemetar:
"Kau bunuh Gwakongku?"
"Gwakongmu?" dengus Suma Bing penuh kebencian, "Hehehe,
ketahuilah, dari ayahmu sampai seluruh anak buah dan
keluarganya akan kutumpas habis se-akar2nya!"
"Suma Bing," seru Loh Siau ling bengis. "Ada dendam dan sakit
hati apakah kau dengan ayahku?"
"Dendam sedalam lautan, kebencian setinggi gunung. Sekarang
kau dulu yang harus kubunuh!"
"Jangan bergerak!"
Loh Siau ling berteriak tinggi sambil mengacungkan Bu siang po
liok serta ancamnya lagi: "Suma Bing, berani kau bergerak, biar
kuremas hancur bukumu ini!"
Suma Bing terkesiap, kalau lawan benar2 menghancurkan buku
itu, bagaimana kelak dia memberi laporan kepada Giok li Lo Ci,
dan bagaimana pula dia harus memberi pertanggungan jawab
kepada pihak Siau lim" Inilah buku catatan ilmu warisan yang
sangat berharga dari partai Siau lim!
Loh Siau ling melihat akan kekejutan Suma Bing, tahu dia bahwa
tindakan dan ancamannya ternyata membawa hasil, maka katanya
lagi sambil tersenyum ejek: "Suma Bing, sekarang kau boleh pergi.
Kalau kau memang seorang jantan datanglah kemarkas besar Bwe
hwa hwe untuk mengambilnya. Seumpama kau berani
menggunakan kekerasan pasti kuhancurkan dulu Bu siang po liok
ini!" "Kau berani?" "Kenapa tidak berani?" "Berani kau merusak buku
itu, akan kubuat tubuhmu
hancur lebur menjadi abu!" Pada saat itulah tiba2 melayang turun
sebuah bayangan
hitam, kiranya seorang pemuda ganteng. "Kau..." tercetus seruan
kejut dan heran dari mulut Suma
Bing. Pemuda ganteng yang tak diundang ini tidak lain adalah
adik ipar Suma Bing yaitu Phoa Cu giok. Kedatangannya yang
mendadak ini benar2 mengejutkan Suma Bing.
"Engkoh Giok!" terdengar Loh Siau ling memanggil dengan
mesranya. Keruan Suma Bing melengak heran, agaknya Loh Siau ling ini
adalah kekasih Phoa Cu giok, ini benar diluar tahunya.
Sekilas Phoa Cu giok memandang Suma Bing, lalu berputar
menghadapi Loh Siau ling dan berkata: "Adik Ling, ada kejadian
apakah?" "Dia hendak membunuh aku!" "Bunuh kau, mengapa?"
"Katanya dia bermusuhan dengan ayahku, itu kakekku
telah dibunuhnya!" Suma Bing tidak tahan lagi, tanyanya: "Cu
giok, dimana Suhu dan toacimu?" "Aku tidak tahu?" sahut Cu giok tertegun.
"Apa kau tidak tahu?" "Bukankah didalam lembah?" "Hm, disana
sekarang sudah menjadi tumpukan puing,
itulah karya dari Bwe hwa hwe!" Berobah hebat airmuka Phoa Cu
giok. "Engkoh Giok, kau, kenal dia?" tanya Loh Siau ling heran.
"Dia adalah cihuku (suami kakak)!" "Apa Suma Bing adalah
cihumu?" Suma Bing menatap Phoa Cu giok dan berkata berat:
"Suruh dia mengembalikan buku itu kepadaku!" "Buku, buku apa?"
"Bu siang po liok. Kudapat titipan dari orang untuk
dikembalikan ke Siau lim si!" "Bu siang po liok, benda berharga
dunia persilatan!" Rona wajah Phoa Cu giok berobah tak
menentu, akhirnya ia
berpaling kearah Loh Siau ling dan serunya: "Kembalikan kepada
dia!" "Tidak mungkin!"
"Kau tidak dengar kataku?" "Nanti dia akan membunuh aku!"
"Ada aku disini tidak nanti dia membunuh kau!" Menggunakan
kesempatan percakapan mereka inilah bagai
b a y a n g a n i b l i s s a j a S u m a B i n g
b e r k e l e b a t m a j u l a l u m e n c e n g k r a m
s e c e p a t k i l a t , t e r u s b e r k e l e b a t
l a g i k e m b a l i k e t e m p a t a s a l n y a . B u
s i a n g p o l i o k s e k a r a n g s u d a h
k e m b a l i d a l a m g e n g g a m a n n y a ,
b e t a p a c e p a t d a n s e b a t
g e r a k a n n y a b e n a r 2 s a n g a t
m e n g e j u t k a n .
Untuk membunuh Loh Siau ling sekarang bagi Suma Bing
segampang membalikkan tangan. Tapi dia menjadi ragu2 dan
bimbang, karena dia adalah bakal atau calon istri Phoa Cu giok adik
iparnya, tak mungkin dia turun tangan, seumpama tidak
membunuhnya, kejengkelan hatinya ini rasanya sukar terlampias.
Dengan rasa kejut dan curiga bertanyalah Phoa Cu giok kepada
Suma Bing: "Cihu, menurut katamu cici dan suhu telah hilang?"
Suma Bing mengiakan. "Benarkah dalam lembah sana sudah
terbumi hangus menjadi tumpukan puing?" "Kau kira aku berdusta?" "Perbuatan
dari Bwe hwa hwe?" "Benar, malah pernah kutempur Loh Cu gi
didalam lembah itu, sayang dia dapat meloloskan diri." Terlintas bayangan nafsu
membunuh diwajah Phoa Cu giok,
namun mimiknya ini tidak kentara dilahirnya. Katanya sambil
mendekat kearah Loh Siau ling: "Adik Ling, cici dan Suhuku telah
hilang, karena perbuatan ayahmu serta anak buahnya!"
Sahut Loh Siau ling lesu berduka: "Itu bukan urusanku, apalagi
kau sendiri tidak pernah memperkenalkan asal- usulmu, siapa
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tahu..." "Setiap orang yang menyakiti hati Phoa Cu giok harus kubalas?"
"Engkoh Giok, kau..." "Adik Ling, tubuhmu sudah menjadi
milikku, sudah tentu
kau tak mungkin lari menikah dengan orang lain, hidup atau mati
jadi setan juga kau sudah menjadi keluarga Phoa, coba katakan
betul tidak?"
Loh Siau ling mundur ketakutan, tanyanya: "Engkoh Giok, untuk
apa kau berkata demikian" Kau masih menyangsikan cintaku
kepadamu?"
"Tidak, aku tahu kau sangat mencintai aku!" "Lalu kau..."
"Mendadak aku sadar bahwa aku tidak mungkin mencintai
kau lagi!" Pucat wajah jelita Loh Siau ling, desisnya gemetar: "Kau
tidak cinta aku lagi?" "Benar, bukan tidak cinta, tapi tidak mungkin
mencintai kau!" "Engkoh Giok, aku..." dua butir airmata meleleh membasahi
pipinya yang putih halus ke-merah2an, agaknya cintanya terhadap
Phoa Cu giok memang sangat dalam.
Phoa Cu giok masih tetap tenang tanpa berobah nada ia berkata
lagi: "Adik Ling, kau jangan salahkah aku?"
"Aku... engkoh Giok, aku cinta kepadamu! Perbuatan ayah yang
durhaka itu jangan kau timpahkan kepadaku..."
"Siapa menyuruh kau menjadi putrinya?"
"Kau... apa yang hendak kau lakukan?" Membesi raut muka
Phoa Cu giok, geramnya: "Aku harus
membunuhmu!" Ucapan ini membuat Suma Bing melonjak kaget,
terus teriaknya: "Cu giok, jangan sembrono..." Tapi sudah terlambat,
belum lenyap seruan Suma Bing,
sudah terdengar jeritan panjang yang mengerikan memecah
kesunyian udara.
Phoa Cu giok benar2 tega membunuh kekasihnya sendiri, ini
benar2 kejadian yang susah dapat dipercaya.
Sedemian cakap dan ganteng pemuda ini, tidak nyana berhati
kejam telengas dan buas melebihi binatang, sedemikian tega dia
turun tangan jahat kepada kekasihnya.
Suma Bing sendiri sampai merinding dan berdiri bulu kuduknya,
serunya gemetar: "Phoa Cu giok, kau betul2 membunuhnya?"
Phoa Cu giok tenang2 seperti tak terjadi apa2, sahutnya acuh tak
acuh: "Aku Phoa Cu giok pasti membalas setiap perbuatan orang
yang menyakiti hatiku. Kejadian ini harus kau salahkan ayahnya!"
"Tapi dia adalah kekasihmu?" "Kekasih lantas terhitung apa,
sedemikian besar dunia ini
dimana2 aku dapat memetik bunga yang harum!" Bergidik dan
merinding seluruh tubuh Suma Bing. Baru
pertama kali ini ditemuinya seorang yang kejam tidak mengenal
kasihan ini, apalagi seorang pemuda yang cakap dan belum
berusia dua puluh.
"Phoa Cu giok, kau terlalu kejam!" "Suma Bing, terpaksa kau
kuakui sebagai cihu, harap
bicaralah sungkan sedikit!"
Keruan timbul kemurkaan Suma Bing, bukan karena menyayangi
kematian Loh Siau ling, sebab Loh Siau ling adalah putri musuh
besarnya, adalah karena sepak terjang dan perbuatan Phoa Cu giok
yang keji tidak mengenal peri kemanusiaan itulah menimbulkan
rasa tidak puasnya, maka sahutnya dingin: "Kau tidak mau
mengakui bahwa perbuatanmu ini mendekati perbuatan yang
sadis?" "Hal itu memang belum pernah kupikirkan, aku hanya memikirkan
keselamatan cici dan Suhu saja!"
"Tapi kan belum tentu mereka benar2 sudah meninggal bukan?"
"Tidak peduli bagaimana, pendeknya dia memang setimpal
menerima kematiannya!"
"Phoa Cu giok, perbuatanmu inilah yang setimpal harus dibunuh!"
Phoa Cu giok menyeringai sinis, ujarnya: "Suma Bing jangan kau
takabur akan kepandaianmu, jikalau tidak kupandang muka cici..."
"Kau mau apa?" "Kau juga harus kubunuh!" Hampir meledak
dada Suma Bing, saking marah dia malah
tertawa, serunya: "Cobalah kau turun tangan." "Kau sangka aku
tidak berani?" sambil menggerang
langsung ia menggenjot kedada Suma Bing, baru sampai ditengah
jalan pukulannya mendadak bergetar menjadi bayangan beberapa
buah kepelan seakan bunga salju yang me-layang2 ditengah udara
terus mengurung dua belas jalan darah penting bagian atas tubuh
Suma Bing. Pukulan ini boleh dikata sangat aneh dan ganas sekali.
Sungguh gusar Suma Bing bukan kepalang, tanpa berayal iapun
himpun kekuatan Kiu yang sin kang sampai sepuluh bagian untuk
menyongsong pukulan musuh.
Maka terdengarlah gerungan tertahan, tampak Phoa Cu giok
tergentak terbang dua tombak lebih, ujung bibirnya meleleh darah
segar. Suma Bing menjadi tertegun, pikirnya, agaknya pukulanku terlalu
berat" Wajah Phoa Cu giok penuh diliputi rasa kebencian yang ber-api2,
sorot matanya buas, hardiknya bengis: "Suma Bing, jangan kau
sesalkan aku turun tangan kejam..."
Pada waktu yang tepat itulah mendadak terdengar sebuah
bentakan nyaring: "Cu giok, berani kau kurangajar kepada
cihumu!" Begitu lenyap suara itu, meluncurlah sebuah bayangan dihadapan
mereka. Pendatang ini bukan lain adalah bibi Suma Bing Ong Fong
jui adanya. Dengan kejut dan rasa takut2 Phoa Cu giok mundur dua langkah
terus bertekuk lutut, sapanya: "Suhu terimalah hormatku!"
Dingin2 saja Ong Fong jui melotot kearahnya, ujarnya: "Cu giok,
lagi2 kau berani lari keluar. Inilah yang terakhir kuperingatkan
kepadamu, jikalau kau berani berbuat jahat menyebar bencana
dimana2, pasti kuhukum menurut peraturan perguruan nomor
satu!" "Ampun Suhu, anak Giok sudah insaf akan dosanya!" Baru
sekarang Suma Bing berkesempatan maju memberi
hormat serta sapanya: "Bibi kau baik2 saja!" "Bing tit, apakah
yang telah terjadi?" Segera Suma Bing menceritakan secara
ringkas jelas. Sehingga Ong Fong jui gusar bukan kepalang, semprotnya
kepada Phoa Cu giok: "Cu giok, memang kau setimpal untuk
dibunuh. Mengingat pesan terakhir ayah ibumu maka cicimu
sangat menyayang dan mengeloni kau. Akan datang suatu hari
pasti cicimu akan celaka ditanganmu sendiri."
Phoa Cu giok tunduk diam saja tanpa berani bergerak. Kata
Suma Bing: "Bibi, apakah Kin sian selamat?" "Dia baik2 saja,
kenapakah kau tanyakan dia?" "Ini... tidak apa2 hanya bertanya
saja, dimanakah dia
sekarang?" "Ubek2an kemana2 mencari bocah durhaka ini, ai, dia
sungguh kasihan... dia seorang yang welas asih!" "Waktu Titji
kembali kedalam lembah, kutemui..." "Karena curiga kau
sembunyi didalam lembah, maka Bwe
hwa hwe melepas api membakar lembah untuk memaksa kau
keluar!" "O!" demikian seru Suma Bing, baru sekarang ia tahu duduk
perkara sebenarnya.
"Bing tit, agaknya Lwekangmu..." "Titji sudah mencapai hasil
mempelajari ilmu yang tertera
didalam Pedang darah dan Bunga iblis!" "Ah, apa benar, sungguh
menggirangkan dan kuberi
selamat kepadamu. Bagaimana jejak ibumu dan musuh besarmu?"
"Ini... masih belum ketemu!" "Kau harus berusaha sekuat
tenaga untuk menyirapi
keadaan ibumu, kalau tidak para musuh yang turut dalam
pengeroyokan di puncak kepala harimau itu susah dapat kau
selidiki!"
"Benar!"
"Aku juga akan membantu sekuat tenaga mencari." "Terima
kasih akan bantuan bibi!" "Sekarang kemana kau hendak pergi?"
"Aku diutus seorang Cianpwe untuk menyelesaikan
pertikaian ratusan tahun yang lalu digereja Siau lim!" "Pertikaian
apakah itu?" "Untuk mengembalikan Bu siang po liok kepunyaan
Siau lim yang hilang pada ratusan tahun yang lalu!" "O, kalau begitu kau
harus segera berangkat!" Setelah berpisah dengan bibinya, Suma
Bing menyusuri jalan raya terus melanjutkan perjalanan menuju ke Siau lim si.
Hari itu, pagi2 benar sebelum sang surya mengunjukkan
diri dari peraduannya. Didepan pesanggrahan gereja Siau lim
muncullah seorang pemuda yang bertubuh tegap garang dengan
sikap kaku dingin dan angkuh. Dia bukan lain adalah Suma Bing.
Terbayang olehnya peristiwa yang terdahulu waktu dirinya
teringkus dan dikurung didalam gereja agung ini. Maka
tersimpullah dalam benaknya suatu tekad yang melebihi batas...
"Tuan darimanakah itu sepagi ini sudah berkunjung ke biara kita,
Jodoh Rajawali 5 Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Petualang Asmara 13