Pencarian

Pedang Darah Bunga Iblis 13

Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H Bagian 13


silahkan berhenti."
Disusul muncul dua pendeta yang beralis tebal ditengah jalan
yang menuju keatas gunung.
"Cayhe Suma Bing, berkunjung untuk kedua kalinya." Setelah
melihat tegas siapa yang datang ini, kedua pendeta
itu mundur ketakutan, salah seorang pendeta memberanikan diri
bertanya: "Ada keperluan apa Sicu berkunjung?"
Tiraik asih Websi te http:// kangz usi.co m/ "Laporkan kepada Ciangbun kalian bahwa aku Suma Bing ada
urusan penting mohon bertemu!"
"Harap Sicu suka menanti sebentar!" kedua pendeta itu terus
berlari bagai terbang. Tak lama kemudian seorang pendeta tua
yang berwajah bersih dan angker melayang tiba diluar pintu
pesanggrahan luar itu.
Sekali pandang tahulah Suma Bing, pendeta yang mendatangi ini
bukan lain adalah Liau Ngo Hwesio, segera ia angkat tangan
menyapa: "Selamat bertemu Taysu!"
44. SUM A BIN G MEN GAL AHK AN HUI KON G TAYS U Liau Ngo bersabda Buddha, lalu berkata dengan suara
gemerantang: "Suma sicu berkunjung pula kebiara kita, tentu ada
keperluan bukan?"
"Kalau tiada urusan takkan berkunjung ketempat suci, sudah tentu
cayhe ada urusan sangat penting!"
"Harap tanya..." "Setelah bertemu dengan Ciangbun kalian
pasti akan cayhe
terangkan!" Pelajaran dan pengalaman yang terdahulu membuat
Liau Ngo serba salah mengambil keputusan, setelah bimbang sekian
lamanya akhirnya dia berkata: "Kenapa sicu tidak terangkan
sekalian maksud kedatanganmu, supaya Pinceng ada alasan
memberi laporan!"
Sahut Suma Bing dingin: "Sebelum bertemu dengan Ciangbun
kalian, maaf aku tidak akan menerangkan!"
"Kalau begitu terpaksa pinceng menolak permintaan sicu, harap
sicu..." "Cayhe minta bertemu secara hormat, lebih baik Taysu jangan
mempersukar, kalau tidak..." nada Suma Bing mengancam.
"Kau mau apa?" "Aku bisa langsung pergi menemui Ciangbun
kalian tak usah Taysu pergi melapor." Berobah airmuka Liau Ngo, sabdanya:
"Omitohud. sicu
terlalu memandang rendah Siau lim kita..." "Kau sendiri yang
mengatakan begitu!" "Biara kita adalah tempat suci yang agung,
harap sicu berpikir sebelum bertindak!" "Sudah kukatakan ada urusan
penting baru aku datang
kemari!" "Silahkan terangkan maksudmu itu?" "Belum tiba
saatnya!" "Kalau begitu Pinceng tak dapat menyetujui!" "Maka
jangan kau salahkan aku berlaku kurang hormat,
awas aku akan menerjang masuk!" Dari belakang Liau Ngo
serempak muncul delapan pendeta
yang rata2 berusia pertengahan membekal pentungan, berdiri
jajar diluar pintu pesanggrahan.
Suma Bing mendengus dingin, katanya menegasi: "Taysu aku
tiada minat turun tangan. Kalau kalian masih tidak mengalah dan
memaksa cayhe turun tangan, segala akibatnya harus kalian
sendiri yang bertanggung jawab?"
Liau Ngo si penyambut tamu bergetar hatinya, ujarnya tersendat:
"Sicu tidak mengingat pelajaran yang terdahulu?"
Maksud ucapan Liau Ngo ini hendak memperingati Suma Bing,
bahwa dia dulu sudah pernah diringkus oleh Hui Kong
Taysu dalam satu gebrakan, dan dikurung dikamar Ceng sim sek,
peristiwa itu merupakan noda hitam bagi Suma Bing.
Justru ini sangat menusuk perasaan dan gengsi Suma Bing,
timbullah sifat ugal2annya, serunya sambil bergelak tertawa:
"Taysu, setiap waktu aku juga selalu ingat peristiwa yang
memalukan itu!"
Liau Ngo tertegun, tanyanya: "Jadi maksud kedatangan sicu ini
adalah untuk..."
Suma Bing menukas kata2 orang: "Aku tidak sabar menanti lagi?"
"Kalau sicu tidak mau menerangkan maksud kedatanganmu, maka
Pinceng tidak akan menyambut secara hormat!"
"Kalau begitu silahkan kalian minggir!" Wajah Liau Ngo
berobah tegang, matanya melotot gusar
dan bersiaga, serempak kedelapan pendeta berpentung itu juga
mengayunkan senjatanya. Agaknya bila Suma Bing benar2 hendak
menerjang dengan kekerasan, pasti mereka akan turun tangan
mengeroyok. Suma Bing ganda mendengus ejek, tantangnya: "Kalian
menantang berkelahi?"
Bentak Liau Ngo dengan bengisnya: "Ditempat yang kramat dan
agung ini jangan kau main lagak dan bertingkah!"
Memang Suma Bing sengaja hendak menuntut balas kekalahannya
tempo hari untuk menjunjung pulang gengsinya, tapi tiada
maksudnya hendak melukai orang. Maka diam2 ia kerahkan
kekuatan Giok ci sin kang untuk melindungi badan, mulutnya
berejek menghina: "Aku tidak percaya akan obrolanmu!" sambil
berkata bergegas ia angkat langkah terus menerjang maju.
Sambil bersabda Buddha Liau Ngo angkat sebelah tangannya terus
mengepruk. Tanpa berkelit atau menyingkir Suma Bing seakan2 tidak merasa
dan melihat serangan lawan ini. 'Blang,' dentuman yang keras ini
malah membuat tubuh Liau Ngo membal balik menumbuk pintu
pesanggrahan, tangannya seperti memukul diatas besi baja yang
keras luar biasa sehingga telapak tangannya kesakitan sendiri.
Menggunakan peluang inilah tiba2 Suma Bing berkelebat
menghilang terus berlenggang menuju keatas gunung. Terdengar
bentakan dan makian yang riuh rendah, delapan senjata pentungan
berbareng meluruk mengepruk keatas kepalanya. Betapa hebat
serangan gabungan ini sampai menerbitkan angin badai yang
menderu2. Diiringi jerit dan pekik kesakitan terlihat beberapa
bayangan orang jumpalitan terbang keempat penjuru, kiranya
kedelapan pendeta Siau lim itu semuanya terpental sungsang
sumbel bergelindingan diatas tanah.
Tanpa pedulikan lawan2nya lagi, Suma Bing terus berlenggang
menuju kebiara besar.
Mendengung suara sabda Buddha, tahu2 lima pendeta tua beralis
putih sudah mencegat diluar pintu biara. Mereka bukan lain
adalah Siau lim ngo lo.
Ter-sipu2 Suma Bing angkat tangan sambil sapanya: "Taysu
sekalian apa baik2 saja selama berpisah?"
Kelima Tianglo mengunjuk kejut2 gusar, sahut Hi Bu Taysu tertua
diantara mereka: "Apa sicu hendak memainkan peranan cerita
yang sudah lalu itu?"
"Cerita seperti dulu itu tidak bakal terulang lagi!" sahut Suma Bing
dengan ketus. "Harap kau terangkan maksud kedatanganmu?"
"Mohon bertemu dengan Ciangbun kalian Liau Sian Taysu ada
keperluan penting!"
"Terangkan sejelasnya?" "Ini sudah cukup terang!" Pada saat
itulah Liau Ngo dengan delapan muridnya,
menyusul tiba dengan napas ngos2an, mukanya penuh keringat
dan kotoran. Hi Bu Taysu mengerut alis, semprotnya: "Sicu menggunakan
kekerasan melukai orang"
"Cayhe belum turun tangan, Taysu boleh tanyakan kepada
mereka?" Mata Hi Bu Taysu menatap tajam kearah Liau Ngo. Liau Ngo
menunduk malu dan berkata: "Tecu tergetar oleh
ilmu pelindung badan, tapi tidak terluka." "Kalian boleh mundur!"
Liau Ngo bersama delapan muridnya merangkap tangan
terus mengundurkan diri. Air muka kelima Tianglo semakin
mengelam mengunjuk
kekuatiran, setelah memandang pada keempat kawannya segera
Hi Bu Taysu maju berkata: "Kalau Sicu tidak terangkan maksud
kedatanganmu, Lolap sekalian tidak akan memberi izin."
"Cayhe tidak boleh masuk kedalam biara?" "Ya, begitulah!"
"Apa kalian mampu merintangi cayhe?" "Sicu keterlaluan
memandang rendah kita!" Memang Suma Bing mempunyai
maksud tertentu, sengaja
dia memancing kemarahan kelima Tianglo ini untuk
mencari gara2, maka serunya sambil tertawa dingin: "Baiklah aku akan
menerjang masuk!"
Dulu Suma Bing sudah pernah membuat ribut di Siau lim si sampai
dimana kepandaian dan Lwekang Suma Bing kelima Tianglo sudah
dapat menjajaki. Sudah tentu, mereka tidak bakal menyangka
dalam jangka yang tidak lama ini ternyata Suma Bing sudah
berganti rupa dengan berbagai pengalaman yang menguntungkan
dirinya. Betapa tinggi Lwekangnya sekarang mungkin dalam jaman
ini sudah tiada tandingannya.
Pada saat Suma Bing melangkah maju itulah, kelima Tianglo
berbareng bersabda terus masing2 mendorong sebelah tangannya.
Gabungan tenaga pukulan kelima Tianglo ini sudah tentu bukan
olah2 hebat dan dahsyatnya.
Suma Bing juga tidak berani ayal2an, kedua tangan diputar terus
disodokkan kedepan untuk menyambut secara keras, yang
digunakan adalah tenaga Kiu yang sin kang sampai sepuluh
bagian kekuatannya.
Bersamaan dengan terdengar geledek mengguntur, terlihat
kelima Tianglo tersurut mundur beberapa langkah.
Menggunakan peluang inilah bagai bayangan setan saja, tubuh
Suma Bing menyelinap segesit belut memasuki ruangan Tay hiong
po tian, dalam sekejap mata tibalah dia dipelataran depan Tay
hiong po tian itu.
Suara genta ber-talu2, sekali lagi Siau lim si berkancah didalam
kegemparan yang menegangkan hati. Semua anak murid Siau lim
si menjadi ribut dan keluar merubung disekitar pelataran yang
luas itu. Semua mengunjuk kaget dan rasa ketakutan.
Wajah Suma Bing membeku dingin, raganya tegak sekokoh
pohon besar sikapnya garang, dengan pandangan menantang
kearah Tay hiong po tian.
Ditengah bertalunya suara genta itulah dari dalam Tay hiong po
tian beriring berjalan keluar Liau Sian Taysu Cianbun Hong tiang
dari Siau lim si. Dibelakangnya mengikuti Liau Seng pengawas
kelenteng dan Liau Ngo si penerima tamu, dan yang paling akhir
adalah delapanbelas murid pelindung.
Bertepatan dengan itu, kelima Tianglo juga kebetulan telah
menyusul tiba dan berdiri jajar dipinggiran sebelah kanan.
Suma Bing maju beberapa langkah serta memberi hormat dan
sapanya: "Ciangbunjin selamat bertemu."
Ciangbun Liau Sian merangkap tangan dan bersabda, katanya:
"Untuk kedua kalinya Sicu membikin onar dikelenteng kami, apakah
tujuanmu?"
"Cayhe minta bertemu secara hormat, darimana bisa dikatakan
membikin onar!"
"Silahkan kau terangkan maksud kedatanganmu!" "Cayhe ada
tiga urusan penting yang harus diselesaikan!" "Silahkan
terangkan satu persatu!" "Yang pertama: setelah memperoleh
budi kebaikan Hui
Kong Taysu dari kuil kalian tempo hari, setiap saat tidak cayhe
lupakan barang sedetikpun jua, sekarang aku datang untuk minta
pengajaran lagi!"
Ucapan Suma Bing yang menantang secara terang2an ini
membuat seluruh hadirin kaget dan berobah air mukanya.
Maklum bahwa Hui Kong Taysu adalah Hudco (kakek guru) dari
Ciangbun Hongtiang yang sekarang. Dipandang sebagai pendeta
sakti yang tidak boleh dibuat permainan oleh semua generasi tua
dan muda. Sungguh tidak nyana Sia sin kedua Suma Bing
ternyata berani terang gamblang menantang untuk berkelahi.
Berobah gusar air muka Ciangbun Liau Sian, serunya lantang:
"Sicu kau terlalu takabur, Pun hong tiang (aku) tidak dapat
mengabulkan permintaan ini?"
Suma Bing kerahkan tenaga didalam pusatnya terus menggunakan
suara gelombang panjang berserulah lantang kearah dalam sana:
"Suma Bing kaum keroco Bulim tengah menunggu dan minta
pengajaran dari Hui Kong Taysu!"
Keruan semua anak murid Siau lim si mengunjuk rasa gusar yang
berlimpah2 karena sikap Suma Bing yang congkak ini, entah
berapa banyak sorot mata yang melotot murka menatap kearah
dirinya. Sampai Ciangbun Hongtiang dan para pendeta
seangkatannya juga tidak ketinggalan merasa gusar bukan
kepalang. Tiba2 terdengar seruan yang kumandang dari ruang sebelah sana:
"Hudco tiba!"
Meskipun sebetulnya Suma Bing bertekad dan penuh kepercayaan
pada diri sendiri, tapi tak urung juga merasa kebat-kebit. Dia
sendiri belum berani memastikan, apakah dengan bekal
Lwekangnya sekarang sudah dapat menandingi Pendeta sakti ini.
Jikalau kena terkalahkan lagi, maka ketenarannya bakal lenyap
tanpa berbekas lagi.
Sebetulnya ini hanya pandangan sepihak saja Tokoh sakti siapa
lagi dalam Bulim ini yang dapat atau ada harganya bisa mengukur
kepandaian dengan Hui Kong Taysu, seumpama terkalahkan juga
tidak perlu diambil malu.
Suasana menjadi sedemikian hening walaupun beratus orang turut
hadir. Semua berdiri hikmat sambil meluruskan kedua tangannya.
Serempak Ciangbun Hongtiang menyingkir kesamping sambil
merangkap tangan serta bersabda Buddha.


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tampak seorang pendeta tua yang bertubuh kurus kering tinggal
kulit pembungkus tulang sambil pejamkan mata pelan2 beranjak
keluar dari ruang sebelah dalam sana.
Walaupun sikap Suma Bing angkuh dan congkak, tapi masih tidak
berani berlaku kurang hormat, segera ia membungkuk dalam serta
serunya: "Wanpwe Suma Bing menghadap kepada Taysu yang
mulia." "Jangan banyak peradatan!" seru Hui Kong, kedua matanya tiba2
dipentang, sorot matanya yang dingin tajam menatap Suma Bing.
Serta merta Suma Bing bergidik mundur satu tindak. "Tempo
hari Lolap terbawa oleh nafsu sehingga menanam
akibat ini. Kuharap sukalah Siau sicu menghapus bersih sebab
dan akibat ini!"
"Tidak berani, wanpwe memberanikan diri untuk minta pengajaran
sebanyak tiga jurus kepada Taysu!"
Timbul keributan diantara hadirin. Tempo hari sekali gebrak dengan
mudah saja Hui Kong Taysu lantas meringkus Suma Bing. Tapi
ternyata sekarang Suma Bing berani minta bertanding sebanyak
tiga jurus, ini benar2 sangat mengejutkan dan hampir susah
dipercaya. Kelopak mata Hui Kong dipejamkan lalu dipentang lagi, ujarnya:
"Pasti Siau sicu telah melatih suatu ilmu yang digdaya?"
"Tidak berani, hanya sedikit hasil saja!" "Siau sicu,
silahkan mulai!" "Silahkan Taysu!" "Mana bisa Lolap
turun tangan dulu?" "Kalau begitu maaf wanpwe
berlaku kurang hormat."
Seluruh gelanggang sunyi senyap seumpama jarum jatuh juga
pasti terdengar, semua anak murid Siau lim se-olah2 sudah
berhenti bernapas.
Suma Bing mulai menggerakkan tangan membuat bundaran, jurus
pertama dari Giok ci sin kang yaitu Mayapada remang2 mulai
dilancarkan. Hui Kong Taysu merupakan ahli dalam gelanggang silat yang sakti
luar biasa sudah tentu dia juga tahu baik buruknya sesuatu ilmu,
maka cepat2 ia kerahkan Sian thian sin kang untuk balas
menyerang. Dua ilmu sakti yang tiada taranya kontan saling gempur sehingga
menimbulkan benturan menggeledek bagai gunung longsor,
sehingga seluruh gelanggang diliputi kabut hitam gelap, genteng
dan atap rumah sekelilingnya juga tergetar pecah, malah para
pendeta yang berdiri didepan juga sempoyongan jatuh bangun
kemana-mana. Gebrakan pertama yang mengejutkan ini baru pertama kali ini
terjadi dalam lembaran sejarah Siau lim si.
Waktu kabut menghilang dan keadaan menjadi terang, tampak
jarak antara Suma Bing dengan Hu Kong Taysu kini semakin jauh
kira2 enam tombak.
Semua anak2 murid Siau lim terlongong2 heran, seakan2 mereka
berdiri mematung tanpa semangat.
Setelah istirahat dan menormalkan jalan darahnya berkata pula
Suma Bing: "Taysu harap sambutlah jurus kedua!" " sambil
berkata kakinya dijejakkan melompat maju empat tombak
memperpendek jarak antara mereka.
Wajah tirus Hui Kong yang kurus kering itu mendadak mengunjuk
mimik yang aneh, mendengar seruan Suma Bing ini hanya
manggut2 saja. Mulailah Suma Bing lancarkan jurus kedua yaitu Ih che to cwan
(bintang berpindah jungkir balik). Tampaklah berbagai
bayangan pukulan berkelebatan, susah diraba mana pukulan asli
atau pukulan gertakan, semua bergerak dari segala jurusan yang
diarah juga tempat2 vital yang tidak menentu.
Hui Kong Taysu juga mulai menggerakkan kedua jubah
tangannya, sehingga timbullah kekuatan hebat tidak kentara yang
melindungi seluruh tubuh...
'Blang!' tampak tubuh Hui Kong tergetar mundur selangkah lebar,
mimik aneh pada wajahnya itu seketika buyar.
Ternyata jurus Ih che to cwan ini dapat menembus pertahanan
kekuatan dinding tak kentara dari ilmu sakti Hui Kong dan malah
mengenainya. Hui Kong Taysu dijunjung sebagai Hudco merupakan lambang
tertinggi bagi tingkatan perguruan Siau lim si, adalah satu2nya,
tokoh silat nomor wahid bagi Siau lim selama dua ratusan tahun
terakhir ini. Sungguh tidak nyana dalam dua gebrak saja
sedemikian mudah dapat dikalahkan oleh seorang angkatan muda
yang berusia lebih dari 20 tahun. Hal ini benar2 merupakan
tamparan pedas bagi semua anak murid Siau lim sehingga mereka
berdiri terlongong dengan sedih, memang betapa pedih dan duka
hati mereka susahlah dilukiskan dengan kata2.
Meskipun watak dan sifat pembawaan Suma Bing sangat angkuh
dan keras kepala, tapi lubuk hatinya sangat bijaksana dan jujur.
Setelah mengandal Giok ci sin kang dapat mengalahkan pendeta
sakti nomor wahid dari seluruh jagad ini, hati kecilnya malah
merasa rikuh dan kurang tentram. Maka segera ia membungkuk
hormat serta berkata: "Harap Taysu suka memaafkan kekurang
ajaran wanpwe ini!"
Sungguh tidak malu Hui Kong Taysu dipandang Pendeta teragung
dan sakti, lahirnya tetap tenang dan wajar, setelah bersabda
berkatalah ia: "Bagi umat Buddhis paling mempercaya akan adanya
sebab dan akibat, atau hukum karma. Orang yang menanam
kacang akan memperoleh
kacang, demikian juga orang yang menanam semangka dia juga
akan memperoleh semangka. Siau sicu adalah tunas harapan bagi
kaum persilatan, harap kembangkanlah kebijaksanaan dan cinta
kasih, bertakwa kepada Tuhan berdharma bakti kepada sesama
umatnya, ini akan membawa bahagia dan keberuntungan bagi
kaum persilatan!"
Sahut Suma Bing dengan hikmatnya: "Wanpwe pasti akan patuh
akan petuah berharga dari Taysu tadi!"
Tanpa bicara lagi, segera Hui Kong memutar tubuh terus tinggal
pergi dan menghilang diruangan dalam sana.
Rona wajah Siau lim Ciangbun Liau Sian Taysu berobah tak
menentu, dengan tindakan lebar ia melangkah ketengah pelataran
dan serunya: "Siau sicu, harap katakanlah urusanmu kedua?"
Airmuka Suma Bing berubah serius, katanya: "Aku ingin tahu
siapakah perempuan yang kalian kurung dibelakang puncak itu?"
"Ini... Pinceng tidak bisa menjawab!" "Kuharap Ciangbunjin suka
menghindari kesukaran,
terangkan saja secara jelas!" "Urusan ini menyangkut peristiwa
rahasia perguruan kita,
harap Siau sicu jangan memaksa kesukaran orang lain!" Wajah
Suma Bing semakin mengelam, katanya: "Cayhe
sudah bertekad, harus mengetahui!" "Mengapa Siau sicu harus
mengetahui?" "Untuk membuktikan apakah benar perempuan itu
adalah orang yang tengah kucari!" "Siapakah yang
tengah Siau sicu cari?" "Seorang
perempuan!" "Perempuan?"
"Tidak salah!" "Perempuan macam apakah?" Setelah
ditimang2, akhirnya berkatalah Suma Bing: "San
hoa li Ong Fang lan yang telah menghilang pada lima belas tahun
yang lalu!"
Wajah Siau lim Ciangbun berobah lega, katanya: "Omitohud,
biarlah Pinceng beritahu kepada Sicu, bahwa perempuan yang
terkurung dibelakang puncak itu bukan orang yang kau cari."
Dingin perasaan Suma Bing, katanya menegasi: "Dapatkah cayhe
percaya?" "Omitohud, sebagai kepala dari suatu perguruan, masa Pinceng
mengobral omongan."
Timbul perasaan duka yang susah dibendung dalam benak Suma
Bing, satu2nya harapan yang dinantikan sekian lama ternyata
buyar dalam sekejap ini. Sedemikian besar dunia ini kemana pula
ia harus mencari jejak ibundanya"
Kalau jejak dan keadaan ibundanya masih merupakan teka- teki,
sebagai seorang putranya betapa dapat tenang dan lega hatinya,
apalagi para musuh besarnya selain Iblis timur yang telah mati,
Loh Cu gi beruntung dapat meloloskan diri. Dan selain mereka
berdua dirinya tidak tahu apa2! Selain ibunya sendiri tiada orang
kedua yang dapat menyebut siapa2 lagi musuh2nya yang turut
dalam peristiwa berdarah dulu itu.
Terdengar Siau lim Ciangbun berkata lagi: "Siau sicu masih ada
urusan ketiga bukan?"
Suma Bing menenangkan pikiran, lalu katanya: "Tentang peristiwa
ratusan tahun yang ter-katung2 itu!"
Kata2nya ini membuat seluruh hadirin dari Ciangbunjin sampai
anak muridnya yang terkecil tidak ketinggalan tergetar kaget,
mereka memasang kuping penuh perhatian.
"Maksud Siau sicu adalah..." "Aku diutus untuk mewakili
menyelesaikan peristiwa
ratusan tahun yang terjadi didalam kuil kalian itu!" Mata Siau lim
Ciangbun berkedip2 penuh keharuan,
tanyanya: "Mewakili siapa?"" "Pesan terakhir dari Bu siang Hujin!"
"0, bagaimana cara penyelesaiannya?" "Cayhe mengantar pulang
Bu siang po liok. Bersama itu
kami nyatakan bahwa Bu siang sin hoat sejak saat ini tidak akan
berkembang lagi dikalangan Kangouw!" " setelah berkata
dirogohnya keluar buntalan merah itu dari dalam bajunya.
Berulang kali Siau lim Ciangbun bersabda sambil merangkap tangan
dan menunduk meram, lalu dengan kedua tangannya yang tampak
gemetar menyambuti buntalan merah itu terus dibukanya untuk
diperiksa sekian lamanya, katanya: "Pinceng mewakili perguruan
Siau lim menghaturkan rasa terima kasih yang tak terhingga
kepada Sicu."
"Terima kasih kembali!" Siau lim Ciangbun berpaling kearah
Liau Seng dan berkata:
"Harap Sute pergi melepas perempuan yang terkurung dibelakang
puncak itu!"
"Terima tugas!" seru Liau Seng sambil merangkap tangan, lalu
mengundurkan diri.
Tergerak hati Suma Bing, selalu Siau lim Ciangbun menandaskan
bahwa perempuan yang terkurung dibelakang puncak itu
menyangkut peristiwa rahasia perguruan mereka. Lantas mengapa
sekarang mendadak diperintahkan untuk dilepas, ini benar2 susah
dimengerti. Agaknya Siau lim Ciangbun sudah mengetahui isi hati Suma Bing,
katanya: "Siau sicu, perempuan yang terkurung dibelakang puncak
itu bernama Li Hui..."
Tergetar hebat perasaan Suma Bing, serunya keras: "Li Hui?"
"Benar." "Putri Bu siang sin li?" "Tidak salah, untuk mencari
kembali Po liok yang hilang itu,
terpaksa kita kurung dia sekian lama." Suma Bing menghela napas
panjang yang melegakan,
katanya: "Bukankah tindakan ini terlalu tidak bijaksana?" Merah
wajah Siau lim Ciangbun, katanya: "Menurut
undang2 kelenteng kita, perempuan tidak diperbolehkan
menginjak pintu biara ini. Harap Siau sicu suka menanti didepan
pintu pesanggrahan sana saja!"
"Kalau begitu baiklah cayhe minta diri." Setelah memberi hormat
Suma Bing terus mengundurkan diri. Setelah tiba diluar pintu
pesanggrahan Suma Bing berdiri tenang menanti kedatangan Li
Hui orang yang ditugaskan oleh Giok li Lo Ci harus diketemukan.
Terhitung perjalanannya kali ini tidak sia2, dapat menyelesaikan
tiga urusan sekaligus.
Tidak lama ia berdiam diri tampak sebuah bayangan terbang
mendatangi dengan cepat sekali, begitu tiba terlihat itulah seorang
nenek yang berambut uban.
Cepat2 Suma Bing berseru lantang: "Apakah yang mendatangi ini
adalah Li Hui Cianpwe?"
Nenek tua itu menghentikan langkahnya, sinar matanya tajam
mengawasi Suma Bing, lalu tanyanya: "Kau ini Sia sin kedua Suma
Bing?" "Itulah wanpwe adanya!"
"Ibuku yang mengutus kau untuk menyelesaikan pertikaian ini!"
Berpikir Suma Bing, Li Hui sudah terkurung selama duapuluh
tahun, dia masih belum tahu kalau Bu siang sin li sudah wafat, ada
lebih baik minta dia pulang kelembah biarlah Giok li Lo Ci yang
menceritakan secara langsung kepada dia. Oleh karena pikirannya
ini secara samar2 saja ia menyahut: "Benar!"
Kata Li Hui gemes: "Begitu tega ibu membiarkan aku terkurung
disini selama duapuluh tahun lamanya."
"Ini... wanpwe tidak tahu menahu!" "Lalu darimana pula kau
ketahui bahwa akulah yang
terkurung dibelakang puncak itu" "Wanpwe disuruh
mengembalikan buku yang hilang itu,
adalah pihak Siau lim sendiri yang memberitahu kepada wanpwe!"
"Jadi kau bukan khusus datang untuk menolong aku?"
"Begitulah, hitung2 secara kebetulan saja, tapi..." "Tapi apa?"
"Wanpwe sudah melulusi kepada Lo Ci Cianpwe untuk
menyirapi dan menyelidiki jejak Li Cianpwe..." "Apakah sumoayku
itu baik2 saja?" "Dalam keadaan sehat
waalfiat!" "Lembah kematian adalah tempat buntu, selamanya
belum ada orang pernah keluar masuk, darimana kau dapat..." "Ini juga
terjadi secara kebetulan, kelak pasti Locianpwe
dapat menceritakan kepada Li Cianpwe!" Li Hui manggut, katanya:
"Kau pergilah!" " lalu dia
beranjak dulu menuju kedalam pesanggrahan.
Keruan Suma Bing melengak heran. Menurut aturan Siau lim
perempuan dilarang masuk ke biara suci itu. Kalau dia benar2
menerjang masuk tentu akan menimbulkan keonaran yang
berkepanjangan. Betapa hebat kepandaian Hui Kong Taysu, kalau
sampai dia tertawan dan dikurung lagi, susahlah dibayangkan
akibatnya, maka segera ia maju merintangi serta katanya:
"Cianpwe hendak menuju kemana?"
Li Hui mendengus dingin, katanya: "Selama duapuluh tahun aku
disekap dalam gua yang gelap, perhitungan ini harus kuhimpas!"
"Pihak Siau lim sendiri juga terpaksa melakukan tindakan yang
kurang bijaksana ini!" "Kau pergilah!" "Wanpwe tidak bisa pergi!"
"Kenapa?"
"Wanpwe pernah berkata setelah menemukan Li Cianpwe, aku
harus segera membawa Cianpwe pulang kembali kedalam
lembah!" "Kalau aku tidak mau kembali?" Suma Bing tersenyum kikuk,
ujarnya: "Pertikaian antara
Siau lim dengan Lembah kematian sudah hapus. Ada lebih baik
Cianpwe segera, kembali kelembah saja!"
"Kau hendak merintangi aku?" "Tidak berani aku merintangi,
hanya membujuk saja!" "Kau tidak terima perintah untuk
mengekang gerak gerikku
bukan?" Apa boleh buat, terpaksa Suma Bing berlaku terus
terang:

Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Memang tidak!" Mengelam wajah keriput Li Hui, semprotnya:
"Kalau tidak
kupandang kau bekerja demi kepentingan ibu, pasti tidak
kuampuni kau!"
Suma Bing berpikir: meskipun usianya sudah lanjut tapi tabiatnya
tetap kasar dan suka membawa adatnya sendiri,
maka sahutnya dingin: "Wanpwe menerima pesan dari orang,
bagaimana juga..."
"Suma Bing, kau ini cerewet, jangan salahkan aku berlaku kejam
nanti?" "Wanpwe tidak peduli!" "Sungguh katamu ini?" "Sudah tentu
sungguh2" Sambil menggeram gusar Li Hui mengayun sebelah
tangan terus menggenjot kedada Suma Bing. Serangan ini bukan saja
secepat kilat, juga perbawanya sangat hebat serta mengandung
banyak perobahan. Dari gebrak pertama ini dapatlah dinilai bahwa
kepandaian ini masih setingkat lebih atas dari kepandaian kelima
Tianglo Siau lim.
Suma Bing kerahkan Giok ci sin kang untuk melindungi badan,
dengan tenang ia berdiri tanpa menyingkir atau berkelit.
'Blang.' dada Suma Bing kena digenjot dengan keras, badannya
tergoyang gontai. Wajahnya sedikit berobah. Sebaliknya Li Hui
terpental mundur ber-ulang2 karena tolakan tenaga pukulannya
sendiri. Sungguh kejutnya bukan kepalang. Kehebatan Lwekang
bocah tunas muda ini benar2 diluar persangkaannya.
Suma Bing berkata tawar: "Harap Cianpwe segera pulang
kelembah!"
Lama dan lama sekali Li Hui terlongong memandangi Suma Bing,
mulutnya mengerang lirih terus berkelebat menghilang dari
pandangan mata.
Suma Bing menghela napas lega, terhitung ia sudah menunaikan
tugas yang dipasrahi oleh Giok li Lo Ci. Tapi disamping itu hatinya
juga duka dan masgul, bahwa ternyata perempuan yang terkurung
dibelakang puncak itu kiranya
adalah Li Hui dan bukan ibunya yaitu San hoa li Ong Fang lan
yang sangat diharapkan itu.
Pikirnya, ibunya adalah perempuan yang paling merana dan harus
dikasihani. Bukan saja suami sudah meninggal, kehilangan anak
dan mendapat malu lagi, malapetaka yang sukar dapat tertahan
bagi orang lain ini, semua menumpuk keatas tubuhnya.
Berpikir dan berpikir, lama kelamaan ia tenggelam dalam
kedukaan yang merawan hati tanpa terasa airmata meleleh deras
dikedua pipinya.
Se-konyong2 terdengar sebuah suara serak yang sudah sangat
dikenalnya: "Buyung, kaki si maling tua ini sudah hampir patah,
tapi kiranya tidak sia2 menemukan kau disini!" Yang datang ini
bukan lain adalah si maling bintang Si Ban cwan.
Sejenak Suma Bing tertegun, lantas serunya: "Cianpwe tengah
mencari aku?"
"Buat apa aku jauh2 kemari kalau tidak mencari kau?"
"Darimana Cianpwe mengetahui kalau wanpwe berada di
Siau lim si?" "Diberitahu oleh bibimu!" "0, ada urusan apakah?"
"Sudah tentu ada soal penting!" "Urusan apa?" "Bapak mertuamu
dikabarkan sudah terkuburkan di Telaga
air hitam." Keruan kejut Suma Bing bukan buatan tanyanya
gemetar: "Majikan perkampungan bumi?" "Apa kau masih
mempunyai bapak mertua lain?"
"Dia... bagaimana ini bisa terjadi?" "Seorang diri dia pergi
menepati janji undangan Majikan
Menara iblis dan disana dia mendapat kecelakaan!" "Betapa hebat
kepandaian Te kun itu masa tidak dapat
meloloskan diri?" "Buyung aku si maling tua hanya memberi kabar
kepadamu. Sebagai Huma atau calon majikan Perkampungan bumi
yang akan datang ini. Kalau Te kun sudah mati, jadi kaulah
sekarang yang menjadi penggantinya. Dalam jangka sepuluh hari
ini, seluruh kekuatan Perkampungan bumi hendak diboyong keluar
untuk membalas dendam bagi Te kun mereka. Selama empat hari
empat malam aku mengencangkan kaki berlari kesini. Sekarang
tinggal enam hari lagi, kau harus mengejar waktu menyusul ke
Telaga air hitam yang terletak diperbatasan Sucwan. Pertempuran
kali ini menyangkut jaya atau runtuhnya Perkampungan bumi, kau...
apakah kau tidak menyusul kesana?"
-oo0dw0oo- Jilid 12 45. SUMA BING MENYONGSONG BAHAYA.
"Sudah pasti wanpwe harus segera berangkat untuk
menyelesaikan persoalan ini!" "Kalau begitu segeralah berangkat,
supaya secepatnya kau
tiba disana. Aku si maling tua masih banyak urusan lain, kelak
kita bertemu lagi!" habis bicara terus tinggal pergi.
Hati Suma Bing menjadi gundah dan kurang tentram, sungguh
diluar sangkanya bahwa Te kun bisa terjungkal ditangan majikan
Menara iblis. Sebenarnya dia ketarik menjadi warga Perkampungan bumi bukan
atas kehendaknya sendiri. Tapi nasi sudah menjadi bubur, malah
bibi dan istrinya Phoa Kin sian juga tidak banyak cakap dalam
persoalan ini, sudah tentu ia menyerah saja kepada nasib yang
sudah menjadi suratan takdir.
Sebagai menantu dan calon penggantinya memang seharusnya dia
menuntut balas bagi kematian Te kun.
Disamping itu, menurut undang2 Te po, dia adalah majikan dari
perkampungan bumi yang akan datang, sudah tentu menjadi
kewajibannya pula untuk menunaikan tugas mulia ini.
Kepandaian Te kun sudah sedemikian tinggi dan hebat, namun toh
masih terkalahkan dan tertimpa bencana di Menara iblis. Jikalau
istrinya Pit Yau ang sendiri yang memimpin anak buahnya pergi
menuntut balas, dapatlah dibayangkan akan akibatnya. Sambil
berpikir itu kakinya terus tancap gas beranjak dengan cepatnya
turun dari puncak Siau sit hong langsung kejalan raya yang
menuju keselatan.
Telaga air hitam terletak diperbatasan antara Sucwan dengan Kui
ciu, luas telaga ini kira2 seratusan li, memang serasi nama dan
kenyataannya, air telaga ini hitam legam bagai arang, malah
mengandung racun lagi, tak peduli manusia atau binatang begitu
tersentuh oleh air telaga ini pasti akan mati keracunan. Karena
itulah maka dipandang sebagai salah satu tempat kiamat yang
disegani didunia persilatan. Sepuluh li sekitar telaga ini tiada jejak
manusia atau binatang.
Menara iblis, itulah sebuah bangunan tinggi yang bersusun dua
belas tingkat berwarna cat hitam pula, berdiri dengan megah dan
angkernya ditengah danau.
Pada suatu hari, ditepi telaga air hitam yang sangat ditakuti
sebagai tempat bertuah bagi kaum persilatan itu, muncullah
sebuah bayangan orang, dia bukan lain adalah Suma Bing yang
telah menyusul tiba dari Siauw lim si.
Menghadapi telaga dan menara serba aneh dan seram ini tanpa
terasa timbul perasaan mengkirik dan merinding. Memang Menara
iblis, nama ini sesuai dan cocok benar dengan keadaannya, bagi
siapa saja yang melihat pasti timbul perasaan seram dan takutnya.
Sungguh mengherankan jejak para kerabat dari Perkampungan
bumi kok tidak kelihatan. Menurut berita yang dibawa oleh si maling
tua, kedatangannya ini justru tepat pada waktunya, namun
sepanjang jalan bayangan atau jejak orang2 dari Perkampungan
bumi sedikitpun tidak terlihat, ini betul2 membuat orang tidak
mengerti. Apakah semua orang2 Perkampungan bumi sudah tertumpas habis,
tapi sekitar sini tiada gejala2 yang mencurigakan yang dapat
membuktikan akan rekaan hatinya ini. Atau mungkin orang2
Perkampungan bumi itu sudah mengundurkan waktu untuk meluruk
datang. Tapi bagaimanapun juga kini dirinya sudah tiba disini,
biarlah seorang diri aku tandangi mereka untuk menuntut balas bagi
kematian Te kun.
Baru saja ia berpikir sampai disitu, tiba2 terdengar sebuah lengking
tinggi bagai jeritan setan, belum lenyap suara lengking jeritan ini
lantas disusul empat penjuru sekelilingnya terdengar pula suitan
panjang yang saling bersahutan. Sungguh keadaan ini sangat
mencekam hati dan mendirikan bulu roma.
Suma Bing celingukan kian kemari, namun tak terlihat adanya
bayangan orang.
Mendadak terdengar gelombang air tersiak, dimana ombak telaga
bergulung2, terlihat muncul sebuah benda putih yang
lonjong, waktu ditegasi kiranya itulah sebuah peti mati berwarna
putih bersih. Tanpa terasa berdiri bulu kuduk Suma Bing, bagaimana mungkin
dari tengah telaga muncul sebuah peti mati" Ombak air hitam itu
terus bergulung2 satu demi satu bermunculan peti mati yang
serupa bentuk dan warnanya, jumlahnya tidak kurang dari
duapuluh buah. Semua peti mati itu seumpama sampan kecil yang
melaju pesat, tengah meluncur kearah tepian.
Suma Bing ber-pikir2, naga2nya anak buah Menara iblis semua,
sembunyi didalam peti mati itu. Dan peti mati ini pasti peralatan
untuk mereka keluar masuk dari dalam air.
Benar juga, kenyataan memang seperti dugaannya. Begitu peti2
mati itu menepi ke pantai tutup2 peti lantas menjeplak dan
duapuluh lebih bayangan manusia serempak berloncatan keluar
terus berlari kehadapan Suma Bing.
Suma Bing berdiri tegak dengan angkuhnya sekokoh gunung,
sikapnya tenang dan garang menunggu perobahan apa yang bakal
terjadi. Setelah jaraknya agak dekat dengan Suma Bing, mereka berdiri
berkeliling membentuk sebuah lingkaran dihadapan Suma Bing.
Satu diantaranya yang terdepan adalah seorang tua yang bermuka
tirus bermulut monyong dan berdagu panjang, dengan kedua
matanya yang berjelalatan seperti mata tikus itu, mengamat2i
Suma Bing sekian lamanya, lalu serunya: "Buyung kau inikah Sia
sin kedua Suma Bing yang kenamaan didaerah dataran tengah
itu?" Dingin Suma Bing menyapu pandang kearah mereka, lalu
sahutnya: "Tidak salah!"
"Kau ini pula yang menjadi Huma dari Te po?"
"Tepat sekali!" "Untuk apa kau datang kemari?"
"Untuk melihat tampang majikan dari Menara iblis."
"Hehehehe, buyung, kau belum berharga untuk itu!" Suma
Bing mendengus keras, jengeknya: "Majikan menara
iblis itu terhitung barang apa?" Semua anak buah Menara iblis
tersentak kaget dan
berubah air muka mereka mendengar hinaan Suma Bing ini. Si
orang tua pemimpin itu perdengarkan kekeh tawanya
yang menusuk telinga, katanya: "Buyung, agaknya kau datang
untuk mencari kematian?"
"Dengar!" hardik Suma Bing dingin, "Suruh majikan kalian keluar
menemui aku?"
"Tidak sudi!" "Sekali lagi kau berani menolak, kubunuh kau?"
"Buyung, kau tidak berharga menemui majikan kami. Beringas
wajah Suma Bing, ancamnya sambil maju
setindak: "Kaulah orang pertama dari Menara iblis yang harus
mampus!" Seiring dengan ancamannya ini Suma Bing pelan2 angkat kedua
tangannya terus didorong kemuka. Kontan terlihat si orang tua
pemimpin itu melolong tinggi, tubuhnya melayang jauh kecebur
kedalam danau. Berbareng dengan serangan Suma Bing itu, berpuluh jalur angin
pukulan juga telah melanda tiba kearah Suma Bing, sedemikian
dahsyat pukulan2 ini disertai bunyi guntur yang menggetarkan
bumi. Memang kedatangan Suma Bing untuk menuntut balas sudah
tentu cara turun tangannya juga tidak mengenal kasihan lagi,
begitu jurus Mayapada remang2 dilancarkan, terbitlah angin badai,
bumi terguncang dan alam sekelilingnya menjadi gelap remang2.
Ditengah gemuruhnya angin badai itu
terdengar jerit dan pekik yang menyayatkan hati. Duapuluh lebih
anak buah Menara iblis semua melayang jiwanya dalam satu
gebrak saja. Mayat2 bergelimpangan dimana2 dengan tubuh yang tidak
lengkap lagi. Keadaan ini benar2 sangat seram menakutkan.
Pada saat itulah sebuah suara dingin yang serak gemetar
terdengar berkata: "Suma Bing, kejam benar perbuatanmu ini!"
Terkejut Suma Bing, waktu berpaling dilihatnya tiga tombak
disebelah sana sudah berdiri tiga orang. Yang ditengah adalah
seorang perempuan pertengahan umur yang bersolek dan tidak
kalah cantik dari gadis2 muda yang rupawan. Kedua sampingnya
masing2 berdiri dua orang tua berjubah hitam dan yang lain
berjubah merah.
Yang berjubah merah itu bukan lain adalah Gandarwa merah Ngo
Tang. Pastilah sudah yang berjubah hitam itu adalah Gandarwa
hitam adanya. Lalu siapakah perempuan ditengah itu"
Enam sorot mata yang berapi2 mendelik menatap Suma Bing.
Gandarwa merah tampil kedepan serta katanya sinis: "Suma Bing,
tidak peduli apa maksud kedatanganmu, berani semena2 kau
turun tangan membunuh para jagoan anak buahku, maka jangan
harap kau dapat meninggalkan Telaga air hitam ini dengan tetap
bernyawa."
Suma Bing ganda tertawa ejek: "Legakan hatimu, sebelum
tujuanku terkabul, aku pasti takkan pergi!"
"Apa tujuanmu?" "Bagaimana cara kematian Pit Gi majikan dari
Perkampungan bumi?" "Mati" Siapa
yang mengatakan?"
Suma Bing melengak, tanyanya menegas: "Masa dia belum
meninggal?"
Tiba2 perempuan ditengah itu membuka suara, senggaknya dingin:
"Benar, dia belum mati, tapi dia juga tidak boleh hidup bebas."
"Apa2an ucapanmu ini?" "Dia hanya boleh hidup ditempat ini,
sekali berani beranjak
keluar kematianlah bagiannya!" "Dimana dia sekarang?" "Dimana
dia kau tidak perlu tahu!" Suma Bing mendesak maju, desisnya:
"Jikalau sampai
terjadi sesuatu yang mengancam keselamatan majikan
Perkampungan bumi, hm..."
"Kau mau apa?" "Akan kuratakan Menara Iblis!" "Hahahahaha,
buyung hijau yang tidak tahu tingginya
langit dan tebalnya bumi, besar mulut dan takabur!" "Tuankah
yang menjadi majikan Menara iblis?" "Benar!" "Bagus sekali,
kuharap segera kau lepaskan majikan
Perkampungan bumi!" "Buyung enak benar kau berkata?" "Lalu
apa maksud kalian sebenarnya?" "Pit Gi pantas untuk dihukum
mati, tapi aku tidak tega
turun tangan, hanya kukurungnya saja seumur hidup!" Sejenak
Suma Bing berpikir, lantas serunya: "Mohon tanya
ada permusuhan apakah antara majikan Perkampungan bumi


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan kau?"
"Anak muda seperti kau belum berharga menanyakan soal ini!"
"Apakah urusan rahasia yang tidak boleh diketahui orang lain?"
Berobah rona wajah majikan Menara iblis, bentaknya lirih:
"Mulutmu kotor dan kurang ajar, ringkus dia!"
"Terima perintah!" Demikian Gandarwa merah mengiakan.
Memang jarak mereka terpaut paling dekat, begitu lenyap suaranya tahu2 cakar
setannya sudah mencengkram tiba menyerang Suma Bing, cara
dan kecepatan serangan ini benar2 menakjupkan.
Begitu mendengar perintah lawan, pikiran Suma Bing lantas
bersiaga, serta merta Giok ci sin kang lantas timbul melindungi
badannya. Cengkraman Gandarwa merah meraih pundak kiri Suma Bing,
begitu jarinya dikerahkan mencengkram seketika ia rasakan
sesuatu yang ganjil...
"Pergilah kau!" tiba2 Suma Bing menggertak sambil menyodok
dengan sikutnya.
'Buk' sambil mengerang dan menguak menyemprotkan darah
segar Gandarwa merah terhuyung puluhan langkah, tubuhnya juga
limbung hampir roboh.
Sungguh mimpi juga Gandarwa merah tidak menyangka, dalam
jangka tiga bulan saja musuh kecilnya ini sudah berganti orang
dengan Lwekangnya yang luar biasa.
Hampir dalam waktu yang bersamaan ketika Gandarwa merah
terhuyung mundur sambil muntah darah itu. Gandarwa hitam juga
sudah bergerak secepat kilat sambil lancarkan pukulannya,
kecepatannya juga tidak kalah hebat, sungguh mengejutkan.
Karena sudah tidak mungkin lagi berkelit. Suma Bing menjadi
nekad, dan mandah saja menerima pukulan keras ini.
Benturan keras membuat tubuh Suma Bing tersurut tiga langkah,
sedang Gandarwa hitam sendiri juga terpental mundur dua
langkah lebar, wajahnya membesi hitam dan mengunjuk kekejutan
yang tak terperikan.
Gandarwa merah hitam sudah sangat tenar dan kenamaan
dikalangan Kangouw, susah dicari tandingan yang kuat melawan
mereka berdua, siapa nyana bagi Suma Bing mereka tidak lebih
laksana kutu yang menyambar api mencari gebuk sendiri.
Segera majikan Menara iblis mengulapkan tangan serta
perintahnya: "Kalian mundur!"
Dengan wajah merah jengah Gandarwa hitam segera
mengundurkan diri.
Sementara itu Gandarwa merah tengah duduk samadi
mengerahkan tenaga untuk berobat diri.
Setelah menyuruh Gandarwa hitam mundur, berkatalah majikan
Menara iblis dingin: "Suma Bing, hebat juga kepandaianmu, tapi
jikalau kau berpikir untuk pergi dengan nyawa tetap hidup, kau
tengah bermimpi!"
Suma Bing menjengek hina, sahutnya acuh tak acuh: "Aku percaya
kepada kemampuanku sendiri bahwa tiada seorang juga yang
mampu merintangi aku. Tapi, maksud kedatanganku ini hanya ingin
mengetahui apakah majikan Perkampungan bumi benar2 mati atau
masih hidup. Sebelum terlaksana keinginanku, takkan kutinggalkan
tempat ini!"
"Kau akan susah menjaga diri!"
"Belum tentu!" "Jadi kau tidak
percaya?" "Sudah tentu tidak
percaya?" "Baiklah kau coba ini!" seiring dengan lenyap suaranya tahu2
tubuhnya sudah melejit tiba dihadapan Suma Bing langsung
mengirim sebuah serangan.
Seketika Suma Bing merasa seluruh tubuhnya tergetar hebat,
dalam waktu yang bersamaan terasa ada empat tempat
ditubuhnya yang sekaligus kena terserang sehingga darah bergolak
dirongga dadanya sampai badannya terhuyung hampir roboh.
Belum dia dapat berdiri tegak dan berganti napas, jurus serangan
kedua musuh sudah merangsang tiba pula, sungguh kecepatannya
luar biasa. Jurus kedua ini telah mengenai enam jalan darah
mematikan didepan dada Suma Bing. Jikalau tidak mengandal
keampuhan Giok ci sin kang yang melindungi badan, pasti saat itu
tubuhnya sudah terkapar menggeletak tanpa bernyawa diatas
tanah. Kepandaian semacam ini, baru pertama kali ini Suma Bing
merasakan. Sambil menggerung tertahan Suma Bing tersurut lagi beberapa
langkah, darah segar sudah menerjang ketenggorokkannya hampir
saja tersemprot keluar.
Dilain pihak Majikan Menara iblis sendiri juga bukan kepalang
kejutnya. Dia percaya dengan dua jurus serangannya ini takkan ada
seorang tokoh silat siapapun yang kuat bertahan. Tapi sekarang
kenyataan Suma Bing bukan saja kuat bertahan malah agaknya
tidak kurang suatu apa. Keruan ia terlongong.
Dalam detik2 inilah mendadak Suma Bing menghardik keras:
"Diberi tidak membalas, itulah kurang hormat!" Secepat kilat jurus
Mayapada remang2 dilancarkan. Dimana gelombang badai
menerjang tiba lima tombak sekitarnya menjadi gelap dan
menggetar. Majikan Menara iblis ternyata tidak kuasa bertahan diterpa angin
kencang yang membadai ini, beruntun terhuyung empat
tombak jauhnya wajahnya mengunjuk rasa kejut dan heran tidak
percaya. Begitu mendapat angin, Suma Bing tidak sia2kan kesempatan ini,
jurus Ih sing to cwan lantas diberondong keluar juga.
Agaknya Majikan Menara iblis gentar menghadapi serangan
dahsyat ini, tubuhnya melejit tinggi dan hinggap diatas sebuah
peti mati yang terapung diatas air.
Saat mana Gandarwa merah juga sudah berdiri dan melompat
menyingkir bersama Gandarwa hitam.
Suma Bing bertengger dipinggir danau, airmukanya merah diliputi
nafsu membunuh katanya menegasi: "Aku tekankan sekali lagi,
harap kau suka melepas orang?"
Majikan Menara iblis mengejek dingin: "Tidak bisa!" "Apa kau
tidak bayangkan akibatnya?" "Coba kau lihat dulu!" Waktu
Suma Bing berpaling, tanpa terasa ia menyedot
hawa dingin, tampak berpuluh2 orang pemanah yang sudah siap
dengan senjatanya mengepung bundar dibelakangnya, busur
sudah ditarik tinggal tunggu perintah saja.
Waktu ia menoleh lagi. Majikan Menara iblis dan Gandarwa merah
hitam sudah menyingkir jauh ketengah telaga sejauh puluhan
tombak. Bahwasanya kalau ilmu ringan tubuh sudah dilatih sempurna dapat
terbang atau berjalan diatas gelombang air, tapi jikalau disuruh
berhenti tanpa bergerak dipermukaan air, ini sangat ganjil dan tak
mungkin terjadi. Tapi kenyataan didepan matanya ini betul2
membuat jantungnya berdetak keras.
Suara majikan Menara iblis terdengar dari permukaan telaga sana:
"Suma Bing, sekali kuberi aba2, sekejap saja kau akan mati
dengan tubuh penuh ditaburi anak panah!"
"Itu berarti kau juga membawa keruntuhan hebat luar biasa bagi
Menara iblis!" demikian balas ancam Suma Bing.
"Kematian sudah didepan mata masih berani keras mulut?"
"Silahkan tuan memberi perintah!" Dimulut Suma Bing berkata
demikian, sebenarnya hatinya
gugup setengah mati tengah mencari akal untuk mengatasi.
Sudah tentu dengan keampuhan Lwekangnya sekarang, hanya
anak2 panah saja tidak akan dapat mengapakan dia.
Tanpa berayal lagi majikan Menara iblis mengayun lengan bajunya
yang melambai2 dibawa angin lalu. Kontan anak panah bersuitan
bagai hujan derasnya, semua meluncur kearah Suma Bing.
Perbawa serangan ini benar2 mengejutkan dan menyedot
semangat orang.
Suma Bing kerahkan seluruh kekuatan Giok ci sin kang untuk
melindungi badan, semua anak panah begitu mendekat
ketubuhnya semua terpental balik tanpa melukai seujung rambut.
Tiba2 tubuh Suma Bing melejit terus menubruk ketengah2 para
pemanah itu. Pembunuhan besar2an seperti membabat rumput
saja terbentang dihadapan sang majikan. Suara jerit dan pekik
kesakitan yang menyayat hati terdengar saling susul, sungguh
ngeri dan mendirikan bulu roma.
"Stop!" terdengar majikan Menara iblis membentak keras sambil
melompat kedaratan lagi.
Tanpa terasa Suma Bing menghentikan perbuatannya. Hanya
dalam sekejap itu mayat sudah bertumpuk dan bergelimpangan
dimana2, jumlahnya tidak kurang dari limapuluh orang jiwa mereka
melayang semua.
Gigi majikan Menara iblis gemeretak saking murka, gerungnya:
"Suma Bing, benar2 kau ingin menjual jiwamu untuk kepentingan
Pit Gi?" "Dianggap begitu juga boleh!" "Kalau begitu baiklah kuberi
tahu, sekarang Pit Gi terkurung
dipuncak tertinggi dari Menara iblis itu, kalau kau punya
kepandaian silahkan naik kesana untuk menolongnya."
"Alah, apa sukarnya?" jengek Suma Bing dengan sombongnya.
"Ya, silahkan coba!" habis berkata bagai terbang berloncatan
menginjak gelombang majikan Menara iblis menghilang didalam
menara hitam itu.
Para pemanah yang masih ketinggalan hidup juga secara diam2
tanpa bersuara sudah lenyap tanpa meninggalkan jejak.
Tak lama kemudian semua peti mati yang terapung diatas air itu
juga lenyap menghilang.
Menghadapi air telaga yang hitam legam dan memandang jauh
Menara iblis yang berdiri tegak bagai jin ditengah danau itu, Suma
Bing tenggelam dalam pikirannya.
Walaupun air danau mengandung bisa jahat, tapi dia tidak perlu
kuatir karena dirinya pernah menelan rumput ular. Meskipun
permukaan danau ini sangat luas, namun mengandal
kepandaiannya saat itu, untuk terbang beranjak diatas permukaan
air bukanlah soal sukar baginya. Justru yang tengah diragukan
adalah karena Menara iblis itu dijajarkan sebagai salah satu tempat
kramat yang bertuah bagi kaum persilatan, sudah pasti didalam
menara itu dipasang berbagai jebakan yang dapat mengancam
jiwanya. Dilain pihak seumpama bapak mertuanya dapat lolos dari
menara iblis itu, dapatkah selamat tiba diatas daratan. Karena
mungkin ditengah perjalanan diatas air itu mereka bakal
dicegat dan diserang mati2an oleh musuh, akibat dari kenekadan
musuh inilah yang harus dipertimbangkan.
Tapi dalam situasi yang sekarang ini, selain maju tiada alasan
untuk mundur. Tentang kenapa orang2 Perkampungan bumi
sampai saat itu masih belum terlihat bayangannya ini juga
membuat hatinya risau.
Tiba2 otaknya mendapat suatu ilham yang membuat terang
hatinya. Baru sekarang dia sadar mengapa Majikan Menara iblis
serta Gandarwa merah dan hitam bisa dengan antengnya berdiri
dipermukaan air. Maka dicarinya dua lembar papan kayu selebar
telapak tangan terus diikat dibawah sepatunya.
Waktu ia melompat turun kedalam air, eh benar juga ternyata
anteng dan ringan sekali. Begitu Giok ci sin kang dipusatkan,
seketika terasa badannya seenteng daon, secepat burung walet
terbang terus melesat kearah Menara iblis itu.
Sebentar saja tibalah dia didepan pintu Menara iblis. Kiranya
bangunan Menara iblis ini melingkupi tanah seluas puluhan
tombak, selain Menaranya yang tegak meninggi sekelilingnya
masih ada tanah pelataran kosong.
Memandangi Menara iblis didepannya ini, tanpa terasa ciut nyali
Suma Bing, seluruh bangunan Menara ini terbuat dari besi baja,
selain dua pintu besi yang terpasang ditingkat paling bawah,
lapisan selanjutnya sampai paling puncak tiada pintu atau jendela
sebuahpun, se-akan2 berbentuk seperti keong.
Diatas pintu besi besar itu terpancang papan besi yang bertuliskan
'Menara Iblis'.
Sejenak Suma Bing ragu2, lalu dengan langkah lebar mendekat
kedepan pintu, waktu tangannya mendorong ternyata tidak
bergeming, maka ia mundur tiga langkah, kedua tangannya
menghimpun seluruh tenaganya terus dihantamkan kearah pintu
besi itu. Dentuman keras menggelegar membuat seluruh bangunan
Menara itu tergetar. Pintu besi itu terpentang lebar bertepatan
dengan itu hujan anak panah memberondong keluar.
Tercekat hati Suma Bing, sebat sekali kakinya menggeser
kesamping delapan kaki, untung bisa terhindar dari serangan keji
ini. Setelah menenangkan gejolak hatinya, sambil melintangkan kedua
tangan didepan dada gesit sekali ia melompat masuk kedalam
Menara iblis. Terdengar suara kereyat kereyot, pintu besi Menara iblis itu mulai
menutup sendiri. Keadaan dalam menara seketika gelap gulita
sampai lima jari sendiri tidak terlihat.
Betapapun tinggi dan hebat kepandaian Suma Bing, dalam
keadaan sekarang ini tak urung hatinya kebat-kebit dan was2
juga. Sekian lama kedua matanya dipejamkan, lalu dibuka kembali,
samar2 pemandangan dihadapannya mulai jelas, dimana sorot
matanya memandang mendadak ia menjerit kaget dan melompat
mundur. Tampak ber-puluh2 kerangka tengkorak yang lengkap berdiri
berjajar membelakangi dinding, sikapnya mengancam dengan
menjulurkan kedua tangannya kedepan siap hendak menubruk
mangsanya. Perasaan dingin timbul diatas tengkuknya terus menjalar
keseluruh tubuh. Seram dan menakutkan benar sehingga tanpa
terasa telapak tangan Suma Bing basah oleh keringat.
Tiba2 suara ringkik jeritan setan terdengar saling bersahutan
menusuk telinga. Semua kerangka itu mendadak bergerak2 dan
mulai bertindak maju dengan langkah kaku terus merubung kearah
dirinya. Keruan Suma Bing merasa arwahnya terbang ke-awang2, keringat
dingin ber-ketes2 membasahi tubuh.
'Trap, trap!' irama tulang2 yang bergeser diatas tanah menambah
keseraman suasana yang menakutkan. Kerangka sudah tentu
tidak akan bisa bergerak, tidak perlu disangsikan pasti semua ini
ada peralatan yang mengendalikan.
Suma Bing mengheningkan cipta menenangkan gejolak hatinya,
tiba2 tangannya terayun terus memukul kedepan. Kontan beberapa
kerangka yang berada didepan tersapu roboh berantakan
menumbuk dinding. Suara tulang2 yang tercerai berai menumbuk
dinding terdengar riuh rendah, asap putih kehijauan ber-gulung2
dari tulang2 yang hancur ber- keping2 itu. Kerangka lain yang tidak
terserang masih tetap melangkah kaku mendekat kearahnya
dengan sikap mengancam.
Bahwa pukulannya dapat merobohkan beberapa kerangka itu, ini
menambah keberanian Suma Bing. Sambil menggereng keras dia


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggerak2kan kedua tangannya sambil memutar badan sekaligus
Suma Bing serang semua kerangka yang mengelilingi dirinya. Maka
dalam sekejap saja kerangka2 itu menjadi setumpukan tulang2
kering yang hancur berantakan berserakan dimana2. Tapi asap
putih kehijauan yang menguap dari dalam tulang2 yang hancur itu
bertambah lebat memenuhi ruangan. Kabut putih ini mengeluarkan
bau harum yang dapat memabukkan orang.
Suma Bing merasa kepala pening dan badan terasa enteng, tahu
dia bahwa kabut putih ini ternyata mengandung racun jahat.
Cepat2 ia kerahkan hawa murni dalam tubuhnya untuk
membendung serangan hawa beracun ini.
Untung dia pernah menelan rumput ular yang berkhasiat menolak
segala bisa, kalau tidak tanggung sejak tadi ia sudah terkapar
roboh tanpa bernyawa lagi.
Waktu angkat kepala memandang keatas, lapis kedua kira2
setinggi dua tombak, tampak undakan atau tangga untuk naik
keatas. Hanya disebelah kanan sana terbuka sebuah lobang
kecil kira2 lima kaki, lobang kecil inilah agaknya menjadi pintu
penghubung untuk menerobos masuk ketingkat dua itu.
Dengan adanya pengalaman yang berbahaya pada tingkat
permulaan ini, sudah pasti pada tingkat kedua juga tidak bakal
selamat begitu saja, mungkin bahaya yang mengancam lebih
menakutkan dan lebih seram.
Sekian lama Suma Bing mengamat2i lobang kecil itu, tiba2 ia
menghantam kearah lobang bundar itu, terus tubuhnya ikut
melejit kesamping...
'Blum!' terdengar dentuman menggelegar, sebuah papan baja
bundar sebesar lobang diatasnya itu meluncur mengemplang
keatas kepalanya, untung dia cepat menyingkir sehingga papan
baja itu jatuh diatas tanah menggetarkan seluruh bangunan
Menara iblis, dari sini dapatlah dibayangkan betapa berat papan
besi baja itu. Kalau secara ceroboh tadi Suma Bing terus meloncat keatas
hendak menerobos naik, pasti tubuhnya akan tertindih hancur
lebur menjadi perkedel.
Sekian lama Suma Bing kesima dan menelan air liur sambil
melelet lidah. Tapi bagaimana juga karena Majikan Perkampungan bumi
terkurung dipuncak menara ini, seumpama gunung golok dan
wajan minyak mendidih juga harus dihadapi dan diterjang terus.
Begitulah setelah hatinya tenang dan semangatnya pulih kembali,
beruntun tangannya bergerak memukul tiga kali, setelah dilihatnya
tiada reaksi apa2 baru kakinya dijejakkan, tubuhnya terus melejit
keatas menerobos lobang bundar itu.
Pada saat tubuh Suma Bing baru saja muncul diambang lobang
kecil itu, segulung angin pukulan laksana gugur gunung sudah
menerjang tiba mengarah tubuh Suma Bing. Kesempatan untuk
berpikir saja belum ada tahu2 badan Suma Bing sudah terpental
jauh menumbuk dinding besi baja.
Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/
'Blang', tubuhnya terpental balik lagi terus terkapar diatas tanah,
terasa kepalanya pusing tujuh keliling, mata ber- kunang2.
Waktu ditegasi terlihat seorang perempuan berpakaian serba hitam
dengan rambut terurai panjang tengah berdiri membelakangi dirinya.
Jadi yang membokong dengan pukulan tadi terang adalah perbuatan
perempuan ini. Timbullah hawa amarahnya bentaknya: "Berputarlah
untuk terima kematianmu!"
"Terima kematian" Hahahahahahaha..." Nada kata dan
tertawanya hakikatnya bukan suara yang
keluar dari mulut makhluk berjiwa, sedemikian dingin kaku seram
dan aneh menakutkan.
46. MENEBUS CINTA.
Tanpa terasa berdiri bulu kuduk Suma Bing, gertaknya
sekali lagi: "Aku tidak ingin membunuhmu dari belakang!"
"Membunuh aku" Apa kau mampu?" "Segampang membalikkan
tangan!" "Huh, kau sedang bermimpi?" "Baik, lihatlah ini!" diiringi
bentakan kedua tangannya
sudah bergerak... Namun sebelum tenaga terkerahkan keluar,
mendadak terasa papan besi dimana dia berpijak bergerak terus berputar,
semakin berputar semakin cepat. Kontan pandangannya menjadi
kabur dan kepala terasa berat dan pening. Diam2 hatinya
mengeluh, kalau berputar terus seperti
ini tak sampai sepeminuman teh pasti dirinya akan roboh secara
konyol. Suara dingin yang menusuk telinga itu mendadak terdengar lagi:
"Suma Bing, bagi yang berani memasuki Menara iblis, selain
menjadi setan tiada jalan lain untuk hidup".
Pecah nyali Suma Bing, tapi apa yang dapat diperbuatnya, dalam
keadaan tubuh turut berputar seperti gangsingan itu, darah mulai
bergolak dirongga dadanya. Apakah harus mandah saja terima
kematian" Biasanya orang yang terdesak dalam bahaya bisa timbul akal
sehatnya, demikian juga mendadak Suma Bing mendapat ilham
cara bagaimana dia harus menyelamatkan diri. Tiba2 tubuhnya
meluncur tinggi terus bergantungan diatas atap loteng tingkat
ketiga se-olah2 seekor kelelawar besar.
Terdengar sebuah seruan kejut, besi berputar itu juga segera
berhenti. Perempuan aneh bagai setan itu masih tetap berdiri
ditempatnya. Suma Bing melayang turun terus mencengkram kearah lawan...
Selicin belut perempuan itu berkelit kesamping terus membalik
badan. Napas Suma Bing hampir berhenti dan serta merta mundur
berulang2. Sungguh dia tidak dapat membedakan apakah makhluk
dihadapannya ini manusia atau setan. Seumur hidupnya belum
pernah dilihatnya makhluk seaneh ini. Panca indra perempuan ini
tidak lengkap, wajahnya penuh goresan luka dan daging yang
menonjol2 matanya tinggal satu dan miring kesamping, hidungnya
bolong plong dan mulutnya meringis kelihatan dua baris giginya
yang memutih menyeramkan...
"Kau ini manusia atau setan?" "Terserah apa
yang hendak kau katakan!"
Suma Bing menjadi nekad dan bertekad, katanya: "Tak peduli kau
ini manusia atau setan, yang terang kau memang harus mampus!"
Ih sing to cwan(bintang bergeser jumpalitan) yaitu jurus kedua
dari Giok ci sin kang dengan kecepatan yang susah diukur
dilancarkan untuk menyerang.
Jurus Ih sing to cwan inilah yang telah mengalahkan Hui Kong
Taysu, si padri agung dari Siau lim si yang diabdikan sebagai
Hudco. Betapa dahsyat kekuatannya dapatlah dibayangkan. Apalagi
sekarang dilancarkan didalam ruang menara yang luasnya hanya
empat tombak saja, hampir setiap senti peluang yang kosong
sudah terlingkup dalam kekuatan pukulan Suma Bing ini.
Baru saja perempuan aneh tadi hendak menggerakkan alat
rahasianya, tapi sudah terlambat. Terdengar keluhan tertahan
lantas badan perempuan itu limbung kebelakang terus terkapar
roboh tak bergerak lagi.
Suma Bing menyeringai dingin, sekali cengkram dengan mudah
saja ia jinjing tubuh orang terus mendongak memandang ketingkat
ketiga, dia bersiap menggunakan perempuan yang terluka berat ini
sebagai perintis jalan menerobos lobang kecil yang menuju
ketingkat tiga itu. Memang perbuatannya ini agak kejam. Tapi
bagaimana juga perempuan jelek rupa ini harus dikorbankan
menjadi makanan bagi alat2 rahasia yang dipasang ditingkat ketiga
itu. Pada saat itulah mendadak sebuah nada dingin kaku berkata
gugup: "Suma Bing, letakkan dia!"
Sebat sekali Suma Bing memutar tubuh, dilihatnya majikan
Menara iblis sudah berdiri dihadapannya.
"Letakkan dia!" seru majikan Menara iblis pula. Suma Bing
mendengus ejek, katanya: "Kau anggap
sedemikian gampang?"
"Lalu kau mau apa?" "Kuharap dia membuka jalan untuk naik
ketingkat ketiga
itu!" "Tidak mungkin!" "Tidak mungkin" Kalau kau bilang tidak
lantas benar tidak?" Berulangkali wajah majikan Menara iblis
ber-ganti2 tak menentu, desisnya dingin: "Suma Bing, dia sudah terluka berat
sekali..."
"Memang, tapi justru cayhe baru saja terhindar dari ancaman
elmaut!" "Letakkan dia!" "Tidak bisa." "Kalau sampai terjadi apa2, awas,
tubuhmu pasti hancur
lebur!" "Kalau kau anggap kau bisa berbuat begitu, silahkan
lakukan, aku anggap sepele!" "Suma Bing, menara ini dibangun
dengan besi baja, selain
lobang hawa tiada pintu atau jendela. Seumpama kau dapat
menerobos sampai ketingkat teratas, juga hanya kematian saja
bagimu, jangan harap kau dapat tinggal pergi dengan masih
bernyawa!"
"Itukan urusanku sendiri nanti!" "Jadi kau sudah bersiap
mengantar nyawamu didalam
menara ini?" "Belum tentu, masih terlalu pagi untuk menentukan
itu!" Sikap gugup dan nada ucapan majikan Menara iblis yang
lunak ini benar2 membuat Suma Bing ter-heran2. Kenapa
sedemikian besar perhatian majikan Menara iblis ini terhadap
perempuan jelek yang sudah setengah mampus ini"
"Suma Bing, lepaskan dia, biar kululusi kau naik terus tingkat
teratas dengan selamat."
Suma Bing me-nimang2 mati hidup Tekun masih belum diketahui
daripada menerjang secara sembrono, lebih baik menyetujui
permintaan orang saja. Orang ini adalah ketua dari suatu aliran
yang ditakuti, sudah tentu tidak akan ingkar janji, maka segera
katanya dingin: "Apa benar majikan Perkampungan bumi terkurung
dipuncak sana?"
"Benar!" "Apa benar dia belum mati?" "Pertanyaanmu ini
berlebihan." "Baik, aku setuju dengan permintaanmu itu!" lalu
dilemparkan perempuan jelek itu kearah majikan Menara iblis.
Ter-sipu2 majikan Menara iblis maju menyambut terus
memeriksa lukanya, lalu mengusap wajahnya. Pandangan Suma
Bing serasa kabur, matanya terbelalak.
Ternyata perempuan jelek menyerupai setan itu adalah
penyamaran dari seorang gadis yang cantik rupawan. Kiranya dia
mengenakan kedok muka untuk me-nakut2i orang. Baru sekarang
dia paham, gadis ayu ini pasti ada hubungan sangat erat dengan
majikan Menara iblis, mungkin juga anaknya, kalau tidak mana
mungkin dia begitu gugup dan perhatian malah mau mengalah
mengajukan syarat tukar menukar.
Sekian lama majikan Menara iblis memeriksa dengan teliti,
akhirnya pandangannya beringas dan membentak bengis: "Suma
Bing, kalau lukanya sampai tak dapat ditolong akan kubalas
dengan tindakan keji yang paling kejam!"
Nada ucapannya mengandung ancaman serius yang berlimpah2.
Acuh tak acuh Suma Bing menyahut: "Kalau kau mampu
melaksanakan ancaman itu cayhe takkan berkerut alis!"
"Baik, semua alat rahasia kini sudah kututup semua, silahkan kau
naik keatas!"
Sejenak Suma Bing bimbang, lalu melejit menerobos lobang bundar
diatasnya. Benar juga tanpa rintangan yang membahayakan dalam
sekejap saja, dia sudah tiba ditingkat kesebelas. Setingkat lagi
adalah yang terakhir, itulah tempat dimana Te kun sekarang
tengah dikurung.
Seperti yang sudah2, hanya lobang bundar sebesar kakilah
satu2nya, penghubung antara tingkat demi tingkat itu. Perasaan
Suma Bing mulai tegang. Dia ingin berteriak memanggil, tapi
setelah dipikir2, akhirnya dia urung membuka suara, sekali kakinya
mengenjot tanah, tubuhnya terus menerobos lewat dan tiba
ditingkat teratas.
"Siapa itu?" Terdengar sebuah bentakan nyaring serak. Sekali
dengar lantas Suma Bing tahu itulah bentakan yang keluar dari
mulut Te kun sendiri.
Suma Bing menyapu pandang kesekelilingnya, melihat apa yang
terpajang dihadapannya seketika ia terlongong2.
Sampai lupa memberi jawaban! Itulah sebuah ruang atau
kamar yang dihias sedemikian
indah dan mewah seumpama kamar penganten, sinar mutiara
berkilauan menerangi seluruh kamar itu. Tampak Te kun tengah
duduk tegap diatas sebuah korsi malas. Wajahnya mengunjuk rasa
kejut, matanya kesima memandangi Suma Bing.
Ini bukan kamar tahanan, jadi terang bahwa Te kun juga bukan
ditahan. Pasti ada hal2 apa yang mencurigakan"
Konon bahwa seorang diri Te kun meluruk datang menepati janji
dan terkubur didasar Telaga air hitam. Tapi kenyataan dia masih
segar bugar" Ada pula yang mengatakan Te kun terkurung
dipuncak Menara iblis, namun kenyataan ini juga berlawanan
dengan berita yang dikabarkan"
Adalah majikan Menara iblis ternyata adalah perempuan setengah
umur yang masih cantik molek, mungkinkah disini letak
persoalannya"
Otaknya sampai terasa berdenyutan memikirkan persoalan ini.
Akhirnya Te kun Pit Gi membuka suara: "Menantuku, untuk apa
kau kemari?"
Suaranya sudah tidak berat dan berwibawa seperti waktu masih
berada di Perkampungan bumi, tak ubahnya seperti orang tua
biasa yang tengah bicara dengan menantunya.
Sesaat Suma Bing tertegun, lalu sahutnya sambil membungkuk
hormat: "Siau say(menantu) menghadap Te kun!"
"Sudahlah, coba katakan mengapa kau datang kemari?"
"Menurut kabar bahwa Te kun sudah terkubur di Telaga air
hitam. Seluruh kekuatan Perkampungan bumi akan diboyong
kemari untuk menuntut balas. Maka jauh2 Siau say menyusul
tiba, tapi..."
"Kenyataan tidak seperti apa yang dikabarkan?" "Ya, benar!"
"Kabar kematian itu memang aku sendiri yang suruh orang
menguarkan!" "Kenapa?" tanya Suma Bing tersentak kaget.
Agaknya Raja bumi sudah berobah sangat tua dalam
sekejap mata ini, katanya sambil menghela napas: "Selama hidup
ini aku sudah berkeputusan untuk tidak kembali lagi ke
Perkampungan bumi atau muncul didunia persilatan!"
Lebih heran dan tak mengerti, dalam ingatan Suma Bing betapa
garang dan besar wibawa Raja bumi tempo hari
sungguh tidak nyana hari ini bisa bicara demikian lunak dan
lembek, ini benar2 susah dapat dipercaya.
Berkata pula Te kun Pit Gi: "Kau merasa diluar dugaan bukan?"
"Ya." "Sudah kebancut kau datang kemari, terpaksa harus
kututurkan duduk perkara sebenarnya. Tapi, kau harus ingat satu
hal..." "Harap jelaskan?" "Duduk perkara peristiwa ini hanya kuijinkan


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau sendiri yang tahu, selamanya jangan kau bocorkan kepada siapapun
juga!" "Terhadap adik Ang juga tidak boleh?" Terbayang rasa duka
pada wajah Raja bumi, sahutnya:
"Dia boleh dikecualikan, tapi juga harus tiba saatnya yang tepat
baru boleh kau beritahu kepadanya."
"Yang dimaksud tiba saatnya adalah..." "Sedikitnya setelah
duapuluh tahun kemudian." "Duapuluh tahun kemudian?"
"Bersama itu, kau juga harus tahu benar bahwa aku sudah
mati." "Ini..." "Inilah perintahku yang pertama dan yang terakhir
kepadamu, kau harus patuh!" "Tapi Perkampungan bumi tiada
yang memimpin..." "Kaulah calon penggantinya." Berobah airmuka
Suma Bing, sungguh dia tidak berani
membayangkan masa depannya, sebab dia masih berhutang budi
terhadap Racun diracun, namun dia juga harus
membunuh Racun diracun. Dia sendiri pernah berkata akan
menebus budi orang dengan kematiannya, untuk membuktikan
kejantanannya bahwa dia dapat membedakan antara budi dan
dendam. Baru saja pikiran Suma Bing melayang2, terdengar Raja bumi
berkata lagi: "Menantuku, kau tahu mengapa aku berbuat
demikian?"
"Siau say tidak paham!" "Untuk menebus cinta!" "Menebus
cinta" Apakah artinya?" Berobah nada ucapan Raja bumi,
sedemikian berat serak
dan merawan hati: "Dulu, aku menelantarkan seorang perempuan.
Sekarang, dengan sisa hidupku ini aku harus menebus kesalahanku
itu kepadanya!"
"Siapakah dia?" "Majikan Menara iblis!" "O!" Tergetar seluruh
tubuh Suma Bing. Mimpi juga tidak nyana
bahwa urusan ini ternyata ber-liku2 sedemikian jauh. Bahwa dua
majikan dari Perkampungan bumi dan Menara iblis yang sangat
disegani itu kiranya adalah sepasang kekasih, tapi dia salah
berpikir... "Dia adalah istriku sah, kita mempunyai seorang anak perempuan,
lebih tua dua tahun dari Yau ang. Dia bernama Yau cu!"
"O!" tercetus seruan kaget dari mulut Suma Bing. Teringat olehnya
gadis molek yang terluka berat oleh pukulannya ditingkat kedua
tadi, pastilah dia itu Pit Yau cu adanya. Dia adalah toaci dari
istrinya kedua Pit Yau ang, entah bagaimana keadaannya.
"Apa kau tahu siapakah aku ini dulu?" Terbayang oleh Suma
Bing percakapan Pek chio Lojin dan
muridnya, segera ia manggut2 dan sahutnya: "Tahu!" "Tahu!
darimana kau tahu?" "Dengar dari percakapan orang!" "Coba
katakan yang kau tahu!" "Kiu im Suseng adalah tokoh silat nomor
satu diseluruh jagad ini pada pertandingan silat pertama dipuncak Hoa san..."
"Ya, kau benar. Sejak aku menggondol gelar jago nomor satu
seluruh jagad yang kosong itu, pengalamanku hampir sama
dengan nasibmu itu!"
"Sama dengan nasibku?" "Ya, sama benar, seperti kau menjadi
duplikatku!" "Terpilih sebagai huma oleh Perkampungan bumi?"
"Semua benar, dalam keadaan yang tidak merdeka aku
dinikahkan dengan ibu Yau ang. Sejak itu aku menduduki jabatan
sebagai Raja bumi. Sedang ibu Yau ang sejak melahirkan Yau ang
terus meninggal dunia. Dan bertepatan dengan waktu aku terpilih
sebagai calon Huma di perkampungan bumi, Yau cu ibu beranak
mendadak menghilang, kemana2 aku telah mencari tanpa hasil.
Tak nyana takdirlah yang menentukan, kiranya dia telah menjadi
majikan dari Menara iblis ini!" habis berkata ia menghela napas
panjang dengan lesu!
Suma Bing manggut2, ujarnya: "Sekarang aku paham!" Pada
saat itulah sebuah bayangan mendadak muncul bagai
bayangan setan. Terlihat bayangan itu tengah membopong
bayangan orang lain. Mereka bukan lain adalah majikan Menara
iblis ibu beranak.
Air muka majikan Menara iblis membesi kaku, matanya
menyorotkan kemarahan yang ber-api2.
Melihat gelagatnya, ciut nyali Suma Bing, perasaannya ikut
tenggelam dan mendelu mungkin Pit Yau cu sudah meninggal"
Terdengar Te kun berjingkrak kaget, serunya: "Dia... Yau cu
kenapa?" "Dia sudah mati!" sahut majikan Menara iblis penuh kebencian.
Te kun melompat bangun serunya gemetar: "Apa katamu?"
"Cuji sudah mati?" "Bagaimana bisa mati?" "Menantumu yang
bagus itulah yang turun tangan!" Bergetar seluruh tubuh Te
kun, dua kilat matanya menatap
tajam ke wajah Suma Bing lama dan lama kemudian baru tercetus
pertanyaannya: "Kau yang membunuh dia?"
Suma Bing menggigit gigi, sahutnya: "Benar, sebelum ini kita
masing2 adalah musuh besar yang harus menentukan mati atau
hidup!" Te kun maju memayang tubuh Yau cu, dua titik air mata meleleh
keluar menetes di wajahnya yang pucat pias tanpa darah.
Ancam majikan Menara iblis gemetar: "Suma Bing, sudah
kukatakan akan kuhancur leburkan tubuhmu menjadi perkedel!"
Serta merta Suma Bing mundur selangkah! Suara Te kun
terdengar sangat sedih: "Istriku, dia tidak
sengaja..."
Mata majikan Menara iblis semakin me-nyala2, semprotnya
beringas: "Kau berani merintangi aku menuntut balas anak
gadisku?" Sementara itu Te kun tengah memeriksa denyut jantung anak
gadisnya, mendadak dia berseru kegirangan: "Nadi besarnya
masih belum putus..."
"Aku tahu, tapi seumpama tabib Hoa tho(tabib kenamaan pada
jaman Sam kok) hidup lagi juga jangan harap dapat
menyembuhkan dia!"
Mendengar ini, Suma Bing berseru girang, tanyanya gugup: "Apa
betul nadi besarnya belum putus?"
"Betul." sahut majikan Menara iblis mengertak gigi, "delapan nadi
diseluruh tubuhnya sudah hampir musnah, meskipun..."
"Bisa ditolong." "Apa, bisa ditolong?" Te kun dan majikan
Menara iblis berseru kejut berbareng. Suma Bing mengusap
keringat yang membasahi jidatnya,
serta katanya: "Ilmu Kiu yang sin kang yang Siau say pelajari
dapat menolongnya!"
Majikan Menara iblis masih kurang terima, jengeknya: "Suma Bing,
kau menolong dia untuk menolong jiwamu sendiri!"
Watak Suma Bing juga keras dan congkak, hampir saja kemarahan
hatinya meledak namun karena berhadapan langsung dengan Te
kun sedapat mungkin ia tahan kemarahannya, sahutnya dingin:
"Aku menolongnya karena aku kenal budi pekerti, bukan untuk
menolong diriku sendiri."
Te kun Pit Gi meletakkan Pit Yau cu diatas ranjang lalu katanya:
"Menantuku, lekaslah kau menolongnya!"
Setelah menenangkan hatinya dan menghimpun semangat, Suma
Bing maju mendekati ranjang, secepat terbang tangannya bergerak
menutuk berbagai jalan darah besar, lalu mencopot sepatu naik
dan duduk diatas ranjang. Kiu yang sin kang mulai dikerahkan
melalui tangan yang menekan batok kepala terus disalurkan, hawa
murni yang positip bersifat panas terus membanjir masuk...
Sepeminuman teh kemudian, badan Suma Bing basah kuyup bagai
kehujanan, wajahnya pucat pasi. Sebaliknya Pit Yau cu bernapas
teratur, darahnya sudah berjalan normal airmukanya juga sudah
bersemu merah. Tanpa berkesip Te kun dan majikan Menara iblis mengawasi
keadaan anaknya.
Setengah jam telah berlalu lagi, terdengar Pit Yau cu mulai
mengerang lirih Pit Yau cu membuka mata dan pelan2 bangkit
berduduk, begitu melihat Suma Bing yang tengah bersamadi
diatas ranjang, sambil menggerung gusar terus angkat tangan
mengepruk kebatok kepala Suma Bing...
"Jangan Cuji!" cegah Te kun sambil menyambar pergelangan
tangannya serta katanya pula: "Kejadian ini akibat salah paham,
untuk menolong kau dia sudah kehilangan banyak hawa murni. Kau
turunlah beristirahat!"
Pit Yau cu menarik pulang tangannya, setelah melerok sekali lagi
kearah Suma Bing terus putar badan dan menghilang dipintu
rahasia. Waktu Suma Bing selesai dengan samadinya, itu sudah berselang
satu jam kemudian dihadapannya tinggal Te kun seorang saja.
Kata Te kun dengan sedihnya: "Menantuku, tugas berat
Perkampungan bumi selanjutnya kini terjatuh diatas pundakmu?"
"Siau say akan junjung tinggi pengharapan Gak tio(bapak mertua)
yang mulia!"
"Bagus sekali, masih ada lagi, kuharap kau perlakukan Angji
baik2..." "Pasti aku bisa." "Jagalah dirimu baik2, sekarang boleh kau
pergi. Ingat dan
jangan lupa pesanku tadi." "Siau say ingat betul, sekarang juga
minta diri!" Setelah membungkuk dan memberi hormat langsung
Suma Bing turun dari Menara iblis. Kini pintu besar Menara iblis sudah
terbuka lebar, hanya sekarang tidak tampak bayangan seorang
jua. Seperti datangnya tadi dia menyebrangi danau dan kembali
tiba didarat. Memandang kearah Menara iblis dikejauhan sana, hatinya terasa
hampa dan masgul, Sang junjungan yang agung majikan
Perkampungan bumi kenamaan dan ditakuti akhirnya harus
menghabiskan sisa hidupnya ditempat pengasingan. Tapi, sudah
seharusnya ia merasa tentram dan puas, seperti apa yang
dikatakan sendiri tengah menebus cintanya yang tertunggak.
Baru sekaranglah diinsafi pula olehnya bahwa semua kejadian dan
peristiwa dikalangan Kangouw ternyata serba- serbi dan tiada
sesuatu yang selalu abadi.
Sekonyong2 terdengar derap langkah kaki yang ramai tengah
mendatangi dari kejauhan sana, disusul berkelebat beberapa
bayangan manusia tengah melayang tiba bagai bintang terbang.
Betapa jeli pandangan Suma Bing sekarang, dari kejauhan sudah
dilihatnya bahwa mereka itu bukan lain adalah anak buah dari
perkampungan bumi. Yang mengepalai dan terdepan adalah
istrinya sendiri yaitu Pit Yau ang bersama Coh hu dan Yu pit dua
perdana menterinya, dan dibelakangnya lagi
adalah para Tongcu dan semua petugas hukum serta para
kerabatnya, jumlahnya tidak kurang dari dua ratusan orang.
Ditengah ramainya suara kaget bayangan orang2 itu melayang tiba
semua. Pit Yau ang berjingkrak kegirangan diluar dugaan serunya:
"Engkoh Bing, tak terduga kau telah tiba lebih dulu!"
Suma Bing tertawa ewa, sahutnya: "Adik Ang, semua anak
buahmu sudah kau kerahkan datang semua?"
"Ya, hanya tinggal beberapa orang saja untuk menjaga rumah."
Coh hu Yu pit segera maju menghadap dan menyembah:
"Menghadap Huma!"
Cepat2 Suma Bing goyang2 tangan, katanya: "Kalian bangun tak
perlu banyak peradatan."
Lalu beramai2 para Tongcu dan semua kerabatnya bergiliran maju
dan menyembah. Sambil melayani semua anak buah Perkampungan bumi, otak
Suma Bing bekerja keras, dengan alasan apakah dia harus
mencegah supaya Pit Yau ang tidak berkukuh untuk menuntut
balas" Semua anak buah Perkampungan bumi tengah berkabung
dan geram hatinya, mereka meluruk datang dengan hati panas
yang me-luap2 untuk membalas dendam, bara api tengah
ber-kobar2 disetiap sanubari mereka.
Setelah dipikirkan secara mendalam, Suma Bing ambil keputusan,
untuk perintah Te kun yang terakhir itu, terpaksa dia harus berlaku
keras dan tegas untuk berbohong.
Mata Pit Yau ang mengembeng airmata, ujarnya sedih merawan
hati: "Engkoh Bing, sekarang kaulah yang memimpin untuk
bertindak... "Aku yang memimpin?"
"Sudah lajim dan jamak sekali bukan, masa kau..." "Urusan ini
sudah selesai sebagian..." "Apa?" "Apa kau tidak melihat
mayat2 dipinggir telaga dan noda2
darah itu" Semua sorot mata beralih mengikuti tempat yang
ditunjuk Suma Bing. Lalu kembali lagi menatap kearah Suma Bing. Tanya
Pit Yau ang heran dan tak mengerti: "Engkoh Bing,
apakah yang telah terjadi?" "Aku sudah menuntut balas bagi Te
kun!" "Kau..." "Ya Menara iblis sudah kucuci bersih dengan banjir
darah!" Semua anak buah Perkampungan bumi mengunjuk rasa
kagum dan kaget luar biasa. Dengan tenaga seorang saja dapat
mencuci bersih seluruh kekuatan Menara iblis, ini benar2 susah
dibayangkan dengan akal pikiran sehat.
Tapi, kenyataan ini terucapkan dari mulut Huma sendiri, siapa
yang berani tidak percaya.
"Engkoh Bing," ujar Pit Yau ang pilu. "Lalu bagaimana dengan
jenazah ayahku?"
Suma Bing tidak menduga bakal mendapat pertanyaan ini,
seketika ia terhenyak ditempatnya tanpa mampu menjawab. Tapi
akhirnya tersimpul suatu akal dalam benaknya, sahutnya:
"Jenazahnya tenggelam didasar danau hari itu juga waktu dia
datang kemari."
"Tenggelam didasar danau?" Pit Yau ang mengeluh panjang terus
berlutut dan menyembah kearah danau, pecahlah tangisnya
ter-gerung2. Tidak ketinggalan semua anak buah Perkampungan Bumi
serempak juga berlutut dan menyembah kearah danau sebagai
penghormatan terakhir kepada Te kun almarhum.
Sebagai Huma sudah tentu tidak bisa tidak Suma Bing harus
menunjukkan teladan, terpaksa dia juga berlutut dan menyembah
disamping Pit Yau ang.
Suasana seketika menjadi sunyi menyedihkan diliputi isak tangis
berkabung yang merawan hati. Tapi keadaan sebenarnya hanya
Suma Bing seoranglah yang jelas mengetahui.
Agak lama kemudian baru Suma Bing bimbing Pit Yau ang bangkit
berdiri dan membujuk supaya menghentikan tangisnya. Semua
berdiri dan mengheningkan cipta kearah Menara iblis yang berada
ditengah danau sana.
Tiba2 Pit Yau ang membanting kaki, serunya geram: "Engkoh
Bing, menara itu harus kita hancurkan."
Tercekat hati Suma Bing, sahutnya gugup: "Adik Ang, menurut
hematku, kita sudahi saja sampai disini..."
"Kenapa?" "Air danau hitam ini mengandung racun yang
sangat jahat, bagi siapa yang terkena pasti segera mati. Aku sudah menebus
hutang darah Te kun, kalau ada pula tindakan apa2, sedikitnya


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harus mengorbankan tenaga dan mungkin malah jiwa!"
"Sejak semula kenapa tidak kau runtuhkan saja menara itu?"
"Itu tak mungkin terjadi!" "Kenapa tak mungkin?" "Menara itu
dibangun dengan lapisan papan2 besi baja,
mana gampang untuk merusaknya!"
"Lantas kita mandah saja terima nasib ini?" "Adik Ang, Menara
Iblis sudah mengorbankan apa yang
harus dia korbankan. Pasti Te kun dapat meram dialam baka."
Namun kecintaan Pit Yau ang terhadap ayahnya sangat
dalam, sekian lama dia masih meributkan ini itu serta bertangisan
sekian lamanya pula. Sehingga membuat Suma Bing jengkel tapi
juga tak tega. Namun bagaimana juga dia tidak bakal berani
membangkang akan perintah Te kun itu, untuk mengatakan duduk
perkara sebenarnya.
Coh hu Si Kong teng, Yu pit Ciu Ing tiong berbareng maju
menghadap sambil membungkuk tubuh: "Hamba berdua minta
sedikit petunjuk?"
"Silahkan katakan!" Kata Coh hu hormat: "Perkampungan kita
tidak bisa tanpa
pimpinan, harap Huma segera kembali kedalam kampung untuk
menduduki jabatan Te kun ini?"
Suma Bing tertegun, sahutnya: "Te kun baru saja wafat, urusan ini
harus dirundingkan lagi seratus hari kemudian. Apalagi urusan
pribadiku dikalangan Kangouw masih belum selesai. Sekali aku
menduduki jabatanku, nama dan kedudukanku akan membuat
penghambat belaka. Bagaimana menurut pendapat kalian berdua?"
lalu dia berpaling kearah Pit Yau ang dan katanya pula: "Adik Ang,
kau jelas mengetahui keadaanku yang serba sulit ini. Semua urusan
dikampung sementara biarlah kau yang urus dan pimpin maukah?"
Sesaat Pit Yau ang ragu2, akhirnya manggut2 setuju. Sekilas
Coh hu dan Yu pit saling berpandangan, lalu
membungkuk dan berseru lagi: "Menurut perintah Huma!" terus
mengundurkan diri.
Suma Bing menghela napas lega, ujarnya: "Adik Ang, perintahkan
segera kembali!"
"Lalu kau bagaimana?" "Kuharap kau dapat memaafkan aku.
Segera aku harus
kembali ke Tionggoan untuk menuntut balas kepada musuh2ku!"
"Kau tidak mengiring..." bicara setengah terus ditelan kembali.
Suma Bing tertawa ringan, bujuknya: "Adik Ang, hari2 yang akan
datang masih panjang."
Mata Pit Yau ang merah dan berlinang air mata, katanya:
"Baiklah, engkoh Bing, jagalah dirimu baik2!"
"Aku pasti dapat, kau juga hati2 dan jagalah kesehatanmu!"
Sekian lama dipandangnya Pit Yau ang lekat2, diam2 benak Suma
Bing mengeluh, sungguh dia tidak berani membayangkan masa
depannya, janjinya terhadap Racun diracun merupakan ketentuan
dari nasibnya kelak.
Demi dendam dan demi kesejahteraan kaum persilatan dia harus
membunuh Racun diracun.
Dan untuk menebus budi kebaikan Racun diracun yang
berulangkali menolong jiwanya, hanya dengan kematianlah dapat
melunasi hutang budinya ini.
Demikianlah dengan rasa pilu dan masgul dia ambil berpisah
dengan istri keduanya Pit Yau ang terus beranjak cepat menuju ke
Tionggoan. Dendam kesumat dan kebencian sudah semakin deras berderap
dalam aliran darahnya. Tujuannya yang pertama kali ini adalah
menangkap hidup2 Loh Cu gi dan menumpas habis seluruh Bwe
hwa hwe dengan banjir darah.
Dua jam kemudian dia sudah menempuh perjalanan sejauh dua
ratusan li. Tengah berlari kencang itulah, mendadak dilihatnya tiga orang
Tosu tengah berdiri jajar dibawah sebuah pohon besar dipinggir
jalan. Saking heran dan ingin tahu, segera Suma Bing menghentikan
langkahnya. Ketiga Tosu ini masing2 mengenakan seragam jubah panjang
berwarna abu2 kehitaman.
Suma Bing melengak. Dari jubah seragam yang aneh ini dia tahu
bahwa ketiga Tosu ini adalah anak murid Bu tong pay yang
sangat kenamaan dengan ilmu pedangnya yaitu Bu tong sam siu.
Bu tong sam siu tidak bergerak juga tidak membuka suara,
mereka berdiri tegak bagai tiga buah patung hidup.
Suma Bing semakin heran dan besar hasratnya ingin tahu. Entah
untuk keperluan apa Bu tong sam siu ini datang keperbatasan
yang belukar ini" Tapi mereka sedemikian angkuh tanpa menyapa
sekedarnya, buat apa pula dirinya mencari penyakit. Setelah
dipikir2, kakinya diangkat hendak tinggal pergi...
Mendadak dilihatnya jubah didepan dada Bu tong sam siu itu
bersemu merah darah!
Keruan hatinya terperanjat, sebat sekali tubuhnya berkelebat tiba
dihadapan Bu tong sam siu. Waktu ditegasi merindinglah tubuhnya.
Kiranya ketiganya sudah menjadi mayat dan kaku tanpa roboh. Bu
tong sam siu mati bersamaan dipinggir jalan, ini betul2 sangat
mengejutkan dan susah dipahami.
Dilihat dari noda darah yang masih merembes keluar, agaknya
kematian mereka terjadi belum lama ini. Setelah diteliti sekian
lamanya tanpa terasa tercetus seruan kaget dari mulutnya: "Rasul
penembus dada!"
Ternyata dada ketiga Tosu dari Bu tong pay ini masing2 berlobang
karena tusukan cundrik. Cara2 pembunuhan
Tiraik asih Websi te http:// kangz usi.co m/ semacam ini, selain perbuatan Rasul penembus dada tiada
keduanya lagi. Betapa tenar dan kenamaan Bu tong sam siu ini, kenapa bisa mati
ditangan Rasul penembus dada.
Perkumpulan macam apakah Jeng siong hwe sebenarnya" Apa
tujuannya menyebar maut dengan pembunuhan sadis yang
menakutkan itu" Tokoh macam apakah Ketua mereka"
Waktu pertamakali dirinya bertemu dengan Rasul penembus dada,
orang pernah menyangka bahwa dirinya adalah sekomplotan
dengan Loh Cu gi. Maka, naga2nya bahwa Loh Cu gi, juga pasti
adalah salah satu sasaran yang harus dibunuh pula oleh pihak Jeng
siong hwe. Kalau sampai Loh Cu gi diketahui oleh Rasul penembus
dada sebagai sesepuh atau pemegang peranan belakang layar Bwe
hwa hwe. Bukankah jerih payah sekian lama ini bakal menjadi sia2
belaka" 47. IBU SUMA BING ADALAH KETUA JENG SIONG HWE
Berpikir sampai disini, semakin besar hasratnya untuk
segera meluruk kemarkas besar Bwe hwa hwe, supaya sakit
hatinya dapat segera terbalas.
Namun ber-turut2 lain pikiran segera merangsang juga dalam
benaknya. Itulah persoalan tentang barisan pohon2 bunga Bwe
itu. Barisan inilah merupakan perintang utama sebagai
penghambat untuk terlaksananya cita2nya untuk menuntut balas.
Kalau tidak dapat memecahkan barisan pohon2 bunga
Bwe ini, bagaimana juga dirinya tidak bakal dapat memasuki
markas besar musuh. Alis tebalnya berkerut semakin dalam.
Pada saat itulah, se-konyong2 terdengar sebuah suara memanggil:
"Suma Bing, selamat bertemu."
Terperanjat Suma Bing, dimana pandangannya menyapu,
dilihatnya sebuah bayangan putih melayang tiba bagai bayangan
setan tahu2 sudah tiba dihadapannya. Pendatang ini tak lain tak
bukan adalah Rasul penembus dada.
Agaknya setelah membunuh Bu tong sam siu Rasul penembus
dada masih belum pergi jauh. Sinar mata Suma Bing berkilat
menyapu lawan, katanya dingin: "Bu tong sam siu ini adalah kau
yang membunuh?"
"Tidak salah!" "Untuk kejahatan apa mereka harus dibunuh?"
"Sudah tentu ada alasannya untuk dibunuh!" "Alasan apa"
Coba katakan!" "Ini tidak menyangkut urusanmu!" "Kalau
aku mau mengurus?" "Kau tidak akan mampu mengurus!"
Berkobar marah Suma Bing, dengusnya berat: "Aku tidak
percaya tidak dapat mengurus." Rasul penembus dada
menyeringai dingin: "Suma Bing,
keselamatanmu sendiri susah diramalkan, masih berani banyak
tingkah dan membela orang yang sudah mati?"
Suma Bing maju dua langkah, tantangnya: "Dalam dua gebrak
kalau kau masih tetap hidup, untuk selanjutnya biarlah aku tidak
bernama Suma Bing."
Tanpa sadar Rasul penembus dada mundur selangkah lebar,
desisnya: "Mungkin kau tiada kesempatan turun tangan!"
"Hm, biar kau rasakan..."
"Nanti dulu!" "Masih hendak kentut apalagi kau?" "Suma Bing
bicaralah sopan sedikit!" Panas rasa wajah Suma Bing, baru
sekarang disadari
bahwa musuhnya ini adalah seorang perempuan, memang
ucapannya tadi terlalu kasar. Maka tanyanya mendesak: "Ada
omongan apalagi, lekas katakan?"
"Ketua kami ingin bertemu dengan kau!" Suma Bing
melengak, tanyanya menegasi: "Ingin ketemu
aku?" "Tidak salah!" "Untuk apa?" "Kau takut?" Semprot
Suma Bing dengan sombongnya: "Selamanya aku
tidak kenal apa artinya takut!" Rasul penembus dada keluarkan
suara tawa ringan,
jengeknya: "Tuan terlalu besar mulut!" "Apa kau tidak terima?"
dengus Suma Bing. "Setelah bertemu dengan ketua kita, baru
kau akan kenal apa yang dinamakan takut!" Suma Bing berludah menghina.
"Sekarang mari kau ikut aku!" "Baik, tunjukkan jalan!" Suma
Bing mengintil dibelakang Rasul penembus dada,
sepanjang jalan mereka berlari secepat terbang. Tidak lama
kemudian tibalah mereka di-tengah2 sebuah selat sempit dimana
tersebar batu2 runcing bagai hutan batu. Tiba2 Rasul penembus
dada menghentikan langkah sembari berkata:
"Sudah sampai!" Suma Bing menyapu pandang keempat
penjuru, tanyanya:
"Disinikah markas besar Jeng siong hwe kalian?" "Jangan
banyak cerewet, nanti sebentar kau akan tahu!" Pada waktu
itulah tiba2 muncul seorang gadis serba putih
yang membekal sebilah pedang merah darah, serta serunya
nyaring: "Suci sudah kembali!"
"Dimana suhu berada?" "Berada didalam kamarnya!"
"Segera laporkan kepada Suhu, bahwa Suma Bing sudah
tiba!" "O!" gadis itu mengunjuk rasa kejut dan mengerling
kearah Suma Bing, sekejap saja bayangannya sudah menghilang dibalik
batu. Tiba2 berkatalah Rasul penembus dada: "Suma Bing, konon
kabarnya dalam dua gebrak kau dapat mengalahkan Hui Kong
Taysu yang dipandang sebagai Hudco oleh Siau lim si. Apakah hal
ini benar?"
Suma Bing membatin, kabar yang tersiar dikalangan Kangouw
sedemikian cepat, tak tahunya kabar ini sudah sampai di
perbatasan yang sepi dan belukar ini. Otak berpikir mulutnya
menyahut pelan:
"Benar, memang begitulah halnya!" "Kepandaian yang kau
lancarkan pasti bukan asli dari
pelajaran Lam sia." "Ini... memangnya
kenapa?" "Kau ketiban rejeki?"
"Rasanya aku tidak perlu jawab."
Gadis serba putih itu muncul kembali, katanya: "Suci, menurut
perintah Suhu, harus langsung dibawa ke Hiat tham(panggung
berdarah)."
Berdetak jantung Suma Bing. Panggung darah, suatu nama yang
menusuk telinga. Berulangkali dirinya bermusuhan dengan Jeng
siong hwe, entah cara bagaimana mereka hendak menghadapi
dirinya nanti...
Belum hilang pikirannya, tampak Rasul penembus dada sudah
bertindak seraya ajaknya: "Mari ikut aku."
Batin Suma Bing, mengandal apa yang telah dipelajarinya, masa
perlu takut2 lagi. Maka dengan tenang dan angkernya dia
mengikuti dibelakang orang.
Batu2 runcing itu sedemikian banyak bagaikan hutan, setelah
selulup timbul dan belak belok kekanan kiri, se-akan2 mereka
tengah berada didalam suatu barisan yang menyesatkan saja.
Tak lama kemudian mendadak pemandangan didepannya
berubah. Didepannya sekarang muncul sebuah panggung batu
putih setinggi lima tombak. Didepan panggung batu ini terdapat
sebuah papan batu yang dipasang melintang diatas papan batu ini
bertuliskan dua huruf besar warna merah darah Hiat tham.
Dibelakang papan batu bertuliskan Panggung darah ini adalah
undakan batu yang menjurus keatas sampai puncak panggung.
Melihat suasana dan keadaan ini, tanpa terasa Suma Bing
menyedot hawa dingin.
Kira2 setombak terpaut dari panggung batu itu Rasul penembus
dada menghentikan langkahnya.
Segera terlihat dua baris wanita serba putih pelan2 keluar dari
dua samping panggung darah terus berbaris rapi di kedua
samping, mereka berdiri tegak dengan hikmad.
Terlihat sebuah bayangan bergerak diatas panggung, lantas
terdengar dua kali suara 'Tang, tang!' suara lonceng dari atas
panggung ini sangat nyaring, menambah seram suasana yang
mencekam sanubari ini.
"Silahkan naik panggung!" Rasul penembus dada menyilahkan.
Sedikit bimbang lantas Suma Bing beranjak diatas undakan
dengan mengangkat dada.
Rasul penembus dada mengikuti dibelakangnya. Begitu tiba
diatas panggung, langsung ia berhadapan
dengan sebuah kursi batu. Kursi batu ini sudah berubah warna dan
berlepotan noda2 hitam, sekali pandang dapatlah diketahui itulah
bekas2 noda2 darah yang bertumpuk sampai sekian lamanya.
Ditengah panggung terletak sebuah meja batu panjang,
dibelakang meja ini duduk diatas kursi kebesaran seorang
mengenakan cadar serta pakaian serba putih. Sebelas Rasul
penembus dada lainnya mengelilingi dibelakangnya.
Setelah membungkuk dan memberi hormat kepada orang
ditengah yang mengenakan cadar itu lantas Rasul penembus dada
mengundurkan diri bergabung dengan sebelas teman lainnya
tanpa bersuara.
Dengan angkuh serta membusung dada Suma Bing menghadapi
orang serba putih ditengah itu.


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sorot mata si orang serba putih ini bagai tajam pedang menatap
tajam kewajah Suma Bing tanpa berkesip. Dari sinar matanya
yang ber-kilat2 ini dapatlah diukur bahwa orang serba putih ini
Lwekangnya sudah mencapai taraf yang sangat mengejutkan.
Tidak tertahan lagi, Suma Bing membuka suara lebih dulu:
"Tuankah ketua Jeng siong hwe?"
"Tidak salah!" suaranya dingin dan melengking menusuk telinga,
ini menandakan bahwa ketua Jeng siong hwe ini ternyata adalah
perempuan juga.
Sungguh tidak nyana bahwa sebuah perkumpulan rahasia seperti
Jeng siong hwe yang menggetarkan seluruh dunia persilatan
ternyata diketuai oleh seorang perempuan.
"Ada petunjuk apakah tuan mengundang cayhe kemari?"
Dengan nada suara yang menyedot semangat orang
berkatalah ketua Jeng siong hwe: "Suma Bing, apa betul kau
murid Lam sia?"
"Tak usah disangsikan lagi!" sahut Suma Bing sambil
mengacungkan cincin iblis yang dipakai dijari manisnya.
"Apa hubunganmu dengan Loh Cu gi?" Mengungkit nama Loh
Cu gi membuat darah Suma Bing
mendidih dengusnya dengan penuh kebencian: "Untuk apa tuan
Ketua menanyakan hal ini?"
"Sudah tentu ada keperluanku!" "Kalau dikatakan kita terhitung
sebagai kakak adik
seperguruan!" Berkelebat sorot kebuasan dimata ketua Jeng
siong hwe yang secepat itu pula terus menghilang, tanyanya menegasi:
"Kalian adalah kakak adik seperguruan?"
"Tidak salah!" "Dimana sekarang Loh Cu gi berada?" "Untuk
apa tuan Ketua ingin mengetahui jejaknya?" "Kenapa kau
tidak perlu tahu. Jawab saja pertanyaan yang
kuajukan!" nada perkataannya seakan tengah mengompres
pesakitan. Keruan timbul watak sombong Suma Bing.
"Tuan ketua sedang mengompres keteranganku?"
"Boleh dikata demikian!" "Ingat cayhe bukan menjadi
pesakitan disini?" "Suma Bing, sekarang kau sudah termasuk
pesakitanku tahu!" Saking gusar Suma Bing malah tertawa, serunya: "Kau
seorang ketua, obrolanmu..." "Tutup mulut! Suma Bing.
Meskipun kau seorang Huma dari
Perkampungan bumi, itu tidak menjadi soal, biar aku bicara terus
terang padamu, namamu sudah tercatat dalam daftar kami."
"Hahahaha..." "Kau mau bicara tidak?" Setelah mengakak
kegilaan, berserulah Suma Bing: "Tidak!" "Ringkus dia!" tiba2
ketua Jeng siong hwe membentak
memberi perintahnya. Dua orang serba putih mengiakan terus
melesat kearah Suma Bing.
"Cari mati!" Suma Bing menggertak keras. Namun baru saja
badannya bergerak tiba2 terasa kakinya kencang, beberapa
borgolan tahu2 sudah membelenggu seluruh kakinya dalam
sekejap mata. Alat rahasia semacam ini sungguh praktis dan lihay
sekali membuat orang susah berjaga2 sebelumnya.
Bagai harimau masuk perangkap, Suma Bing menggembor keras
sambil meronta sekuat2nya namun sedikitpun kakinya tidak dapat
digerakkan lagi, maka dapatlah dimengerti bahwa alat2 rahasia
semacam ini memang khusus dibuat secara istimewa.
Dalam pada itu, kedua orang serba putih itu sudah mendesak tiba
dihadapan Suma Bing terus ulur tangan menutuk...
Meskipun kedua kakinya terbelenggu tanpa dapat bergeming,
namun kedua tangannya masih bebas bergerak, menyongsong
kedatangan kedua musuh ini langsung dia lancarkan pukulan Kiu
yang sin kang. Dalam kemampuannya saat itu apalagi tengah
dirangsang gusar, betapa dahsyat kekuatan pukulannya ini
susahlah diukur.
Terdengar jeritan panjang yang menyayatkan hati, kedua orang
serba putih itu kontan terbang jauh melayang jatuh kebawah
panggung. Ketua Jeng siong hwe menggeram gusar, tangannya menggablok
diatas kursinya, tempat dimana Suma Bing berdiri mendadak
merekah kontan tubuhnya terus membrosot turun sampai sebatas
pinggang baru berhenti, dan secepat itu pula batu yang merekah
tadi sudah merangkap lagi sehingga separuh tubuhnya terjepit.
Dengan keadaan seperti ini hilanglah kemampuannya untuk
melawan. Mata Suma Bing mendelik hampir melotot keluar, desisnya sambil
mengertak gigi: "Jikalau aku Suma Bing tidak sampai mati. Anjing
dan ayam diseluruh Jeng siong hwe sini tidak akan ketinggalan
hidup." Ketua Jeng siong hwe juga tidak mau kalah wibawa, jengeknya
sinis: "Tapi sayang kau sudah pasti mati."
"Perbuatan rendah seperti kalian ini termasuk..." "Menghadapi
binatang semacam kau ini, apa perlu
mempersoalkan kejujuran dan kebajikan?" Darah hampir
menyemprot dari mulut Suma Bing, sekuat
tenaga dia telan kembali, semprotnya: "Keganasan Jeng siong
hwe kalian, bukankah lebih kejam
dan buas dari binatang alas..." "Tutup mulut, cundrik tajam kami
selamanya belum pernah
membunuh manusia tanpa dosa!"
"Bohong!" "Suma Bing, katakan dimana jejak Loh Cu gi, nanti
kami beri pengampunan kepadamu." "Tidak sudi!" "Kau akan sudi!"
lantas terdengar suara mencicit dari
samberan angin tutukan jari tangan yang melesat kearah Suma
Bing. Tergetar seluruh tubuh Suma Bing, terasa hawa murni dalam
tubuhnya mulai lumer dan meluber, darah mengalir terbalik,
seketika terasa kesakitan luar biasa dalam tubuhnya se-akan2
dirambati ribuan semut, se-olah2 pula dibeset hidup2, siksaan ini
benar2 sangat berat dan menderita.
Memang inilah cara kompres yang paling kejam dan berat didunia
ini. Meskipun tubuh terbuat dari tulang besi dan otot kawat juga
akhirnya tidak kuat bertahan.
Saking kesakitan gigi Suma Bing hampir copot dari gusinya
sehingga berdarah, keringat dingin berceceran, sekuat tenaga ia
bertahan, mengeluhpun tidak.
"Suma Bing, mau katakan tidak?" "Ti... dak." "Akan kulihat
sampai kapan kau kuat bertahan?" "Ku... bunuh..." akhirnya ia
jatuh pingsan. Waktu jalan darah Thian in hiat bergetar, ia
siuman kembali, rasa nyeri yang menyusup sampai ketulang sumsum
datang bergelombang menyiksa dirinya.
"Suma Bing, katakan nanti kuberi keringanan!"
"Tidak... bisa!" ia jatuh pingsan untuk kedua kalinya.
Tidak lama kemudian dia siuman lagi, lama kelamaan tubuhnya
semakin terasa linu dan semakin membeku, otot diatas jidatnya
sudah merongkol keluar segede kacang hijau.
Sikap ketua Jeng siong hwe tetap sinis dan dingin: "Suma Bing,
katakan?" "Tidak..." "Kalau kau tidak mau katakan, baiklah aku tidak
memaksa lagi. Asal Loh Cu gi masih hidup, akan datang suatu hari dapat
kutemukan. Sekarang kau adalah sesajen pertama dipanggung
berdarah ini setelah penggantian majikan disini!"
Ucapannya ini terdengar sedemikian menggiriskan membuat orang
mengkirik. Ternyata Suma Bing akan dijadikan korban persembahan atau
sesajen diatas panggung berdarah itu.
"Siapkan sembahyangan!" Begitu perintah ketua Jeng siong
hwe ini dikeluarkan,
suasana menjadi semakin tegang dan menyesakkan napas.
Sepuluh orang berpakaian serba putih ber-sama2 bekerja
mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan.
Arwah Suma Bing serasa copot dari raganya, naga2nya memang
sudah nasibnya hari ini tiba ajalnya ditangan ketua Jeng siong
hwe. Kedua orang seragam putih itu menyeret tubuh Suma Bing terus
dibaringkan diatas meja batu panjang yang terletak ditengah
panggung itu. Kaki tangannya dipentang keempat penjuru dan
diborgol dengan kuat. Begitu sebuah tombol ditekan mendadak
meja panjang itu bergerak dan menegak menghadap ketengah
dimana Ketua Jeng siong hwe tengah duduk dengan angkernya.
Dengan membekal cundrik yang berkilau2an dan diangkat tinggi
diatas kepalanya. Rasul penembus dada berdiri tegak
dihadapan Suma Bing, sikapnya mengancam. Para seragam putih
lainnya berpencar dan berdiri tegak diempat penjuru.
Setelah terkena tutukan angin jari yang aneh dan ketua Jeng siong
hwe itu. Suma Bing merasakan hawa murninya semakin terkuras
keluar, maka ilmu saktinya sukar dikerahkan untuk melindungi
badan, sedikitpun tak kuasa lagi melawan atau berontak, terpaksa
mandah saja menerima entah nasib apa yang bakal menimpa
dirinya. Saking putus asa matanya dipejamkan. Saat mana hanya
malaikat elmaut saja yang selalu terbayang dan melingkupi
sanubarinya, hatinya terasa kosong melompong. Dengan tenang
Pendekar Super Sakti 24 Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long Pendekar Sejagat 1
^