Pencarian

Pedang Golok Yang Menggetarkan 11

Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen Bagian 11


turun tangan atas diriku. Thio Hong Hong yang sejati bersama Hie
Sian ciang Peng telah datang, mereka itu menyerbu masuk kedalam
kamar bawah tanah itu. Mereka memang gagah dan namanyapun
telah menggemparkan dunia persilatan- Setelah bertempur hebat
mereka berhasil membinasakan musuh yang bertanggung jawab
atas kamar itu. ceng Gie loojin sebenarnya belum berusia lanjut
amat, meskipun ilmu silatnya tak dapat dicela, dia bukanlah lawan
Thio Hong Hong berdua. Dia terlukakan Thio Hong Hong dan kabur
karenanya. Thio Hong Hong palsu terbinasa ditangan yang aslinya. Thio
Hong Hong sejati/aslinya kagum bukan main melihat Thio Hong
Hong palsu itu. Loohu kenal kedua orang itu, maka loohu telah
ditolong mereka." Oey Eng menghela napas saking kagumnya.
"Benarlah, didalam dunia Kang ouw yang luas ini, tidak ada yang
tidak aneh" katanya.
"Itulah hal yang sebelumnya belum pernah aku dengar atau lihat,
jikalau yang bicara bukan loocianpwe, pasti aku tak
mempercayainya."
"Kemudian bagaimana?" tanya Kho Kong, "Apakah ceng Gie
loojin muncul pula?"
"Tidak. Selama beberapa puluh tahun ini, belum pernah aku
dengar namanya itu disebut orang pula. Hanya apa yang kini aku
saksikan membuat aku teringat padanya, sehingga loohu mau
menyangka dia telah muncul lagi. Atau sedikitnya, itulah buah hasil
dari warisannya yang mujizat itu....."
orang tua ini bicara secara wajar, akan tetapi kesannya bagi Oey
Eng bertiga mendalam memang aneh orang dapat membuat
manusia palsu yang demikian mirip "
"ceng Gie Loojin aneh, hanya aku tidak mengerti, dia tak cukup
tua tetapi dirinya menyebut siorang tua......" kata Kho Kong "pula
bertentanganlah nama dan perbuatannya itu. Namanya ceng Giee,
adil, perbuatan, kejam Kenapa dia pakai nama aneh itu?"
"Tak banyak cerita tentang ceng Gie loojin. Dahulu dia
menggemparkan, lalu sirap sampai orang melupakannya. Aku
sendiripun lupa. Baru sekarang aku mengingatnya . "
Siauw Pek berpikir keras. Ia percaya, jika benar ada orang
selihay ceng Gie Loojin, pasti bisa terjadi hal hal yang aneh, hebat.
Ban Liang melihat sianak muda diam saja.
"Kau pikirkan apa, saudara kecil?" tegurnya.
"Keterangan loocianpwee ini membuat aku ingat suatu hal"sahut
sianak muda. "Apakah itu saudara kecil?"
"Itulah peristiwa Pek Ho Bun disebabkan serbuan sesama kaum
rimba persilatan-...."
"Maukah saudara menjelaskan agar mungkin loohu dapat
memikirkannya?"
"Toh benar dalam dunia Kang ouw ada kepandaian menyalin
rupa?" "Benar. Buktinya telah aku saksikan dahulu itu."
"Maka itu aku memikir, loocianpwee: Bagaimana kalau ada orang
yang menyamar jadi ayahku dan dia sengaja muncul dipuncak Yan
In Hong itu" Bukankah itu tidak sulit" Dengan begitu bukankah
mudah saja orang menimpahkan kesalahan kepada ayahku"
Bagaimanakah anggapan locianpwe?"
"Itulah mungkin"
"Benar" kata Oey Eng dan Kho Kong.
"Mungkin si jahat itu, pada waktu dia turun tangan, dia tetap
menyamar sebagai ayahku."
Ban Liang menganggukkan kepalanya. "Sayangnya kita tak ada
saksi." "Jika ada orang yang menyamar menjadi ayahku, kenapa tak ada
yang menyamar juga menjadi orang lain?" kata pula sianak muda.
Hati Ban Liang bercekat, ia ingat suatu apa.
"Apakah kamu maksudkan orang menyamar jadi ketua Siauw
Limpay atau Bu Tong pay?" dia menegaskan-
"Ya, sekarang dapat menyamar jadi satu orang, kenapa tidak
tidak lain lain orang lagi?" Oey Engpun berkata. Siauw Pek
menghela napas.
"Yang tidak mengerti ialah kenapa orang menyamar ayahku...."
katanya. "sekarang ini percuma saja kita menerka-nerka," berkata
Ban Liang. "Hanya satu hal yang meninggalkan kesan mendalam
terhadapku. Ya itu peristiwa Pek Ho Bun Sampai sekarang sudah
lewat sepuluh tahun lebih akan tetapi orang Rimba Persilatan belum
melupakannya. Inipun aneh."
Siauw Pek berpikir. Ia bertanya pula: "Mungkin orang berbaju
biru itu ialah murid ceng Gie loojin. Hanya yang mengherankan,
kenapa dia memilih rumah gubuk dan juga ditempat tegalan belukar
semacam itu" Siapakah pria dan wanita itu" Rupanya mereka itu
belum mati, tapi kenapa mereka mau berdiam didalam peti" Apakah
maksud sipelajar berbaju biru menggunakan dua peti mati itu"
Apakah semua itu hanya untuk menyesatkan orang banyak agar tak
ada yang mencurigakannya . "
Ban Liang heran melihat orang berpikir demikian, ia menanyakan
sebabnya. "Aku mengherani orang berbaju biru itu serta sepak
terjangnya. Kalau kita dapat menyelidiki dia, mungkin kita akan
membeber suatu rahasia Rimba Persilatan-...."
"Kau benar juga, saudara kecil. sulitnya bagi kita tak tahu
bagaimana kita harus bekerja"
Siauw Pek berpikir. ^
"AKu memikir sesuatu," katanya kemudian"
Apakah itu, saudara kecil?"
"Inilah pikiran sederhana saja. Kita menyelundup masuk
kegubuknya itu."
"Kita berpura kena ditawan?"
"Ya, salah satu loocianpwee atau saudara Oey atau saudara Kho,
menyaru menjadi orangnya dan aku yang menyamar orang
tawannya. Tidaknya dengan begitu kita masuk kedalam gubuknya?"
Ban Liang berpikir.
"Daya ini baik cuma sangat berbahaya" ujarnya.
"Jalan lain tidak ada. Aku mau menerka rumah itu sebagai pusat
kejahatan-Atau mungin itulah tempat seperti dikatakan Su Kay
taysu, yaitu suatu sarangnya usaha rahasia yang berbahaya, bahwa
peristiwa Pek Ho bun baru peristiwa permulaan saja....."
Dengan tenang anak muda ini menatap kawan kawannya,
terutama Ban Liang. "setelah belasan tahun, peristiwa coh Keepo
menjadi peristiwa yang tergantung," kata ia meneruskan- "Perkara
gantung, sebab tetap tak diketahui sebab musababnya. Pernah aku
menerka ketika ayahku pergi ke Yan In Hong, disana ia telah
memergoki rahasia orang maka ia dicelakai, difitnah....."
"Apakah sekarang saudara kecil merubah perkiraanmu itu?"
Siauw Pek mengangguk.
"Setelah pengalamanku beberapa bulan," katanya, setelah
mendengar kata kata Su Kay Taysu, sekarang aku mengerti bahwa
soal bukannya sesederhana seperti terkaanku semula. Ia menghela
napas, lalu ia menambahkan "Ketika dahulu ketua siauw Limpay itu
terbinasakan orang, mestinya dia ditemani beberapa orang
muridnya. Kenapakah tidak ada diantaranya yang melihat gurunya
dianiaya" Mengenai itu, aku memikir dua kemungkinan-..."
Ban Liang mengangguk angguk. Ia membenarkan jalan pikiran
anak muda ini. Siauw Pek menghela napas. Ia berkata pula:
"Kemungkinan yang pertama yaitu penganiayaan itu telah dipikir
masak masak oleh orang itu, tetapi toh telah diketahui ayahku.
Entahlah bagaimana caranya ayahku memergokinya. Maka itu, Pek
Ho Po diserbu. Maksudnya tak lain tak bukan, untuk membungkam
mulut ayahku."
"Benar BEnar" Ban Liang memuji. Dia menunjukkan-jempoinya.
"Kemungkinan yang lainnya yaitu, keempat ketua partai itu belum
mati." Ban Liang mementang kedua matanya, mendelong menatap
si anak muda. Iapun bertanya: "Apa" Bukankah hal kematian keempat ketua
partai itu telah diketahui oleh umum" Mungkinkah kematian itu
kematian palsu?" Si anak muda tertawa hambar.
"Yang tampak toh mayat mayat, bukan?" katanya. "Siapakah yag
dapat membuktikan bahwa semua mayat itu benar mayat mayat
ketua keempat partai itu?"
Ban Liang menggumam.
"Ini..... ini...... ada juga kemungkinannya......."
"Jikalau keempat ketua partai itu benar masih hidup," berkata
pula Siauw Pek, "masih ada dua tekanan lainnya lagi. Yang pertama
ialah rencana jahat itu dipikir dan dilaksanakan oleh mereka
berempat, jadi merekalah siorang jahat....."
"Sungguh luar biasa" menyela Ban Liang heran dan kagum
berbareng. "Toh ini kemungkinan yang bukan tak mungkin"
Ban Liang mengangguk.
"Kemungkinan lainnya yang kedua?"
?"Mereka telah ditangkap orang, telah dibawa lari dan
disembunyikan....."
" Kenapakah begitu?"
Siauw Pek mengangkat kepala, memandang langit. Ia menghela
napas pula. "Kemungkinan ini, sebabnya sangat ruwet, rumit sekali.
Mungkin disebabkan orang hendak pinjam tenaga mereka. Atau
mereka mau dipaksa untuk menyerahkan sesuatu."
"Saudara kecil," berkata si jago tua kagum, "mungkin
pemikiranmu ini tidak cocok, akan tetapi, karena kau dapat menerka
begini, inilah bukti dari kecerdasanmu yang luar biasa. orang lain
pasti tidak dapat menduga sebagai kau....."
"Itulah sebabnya kenapa aku jadi ingin menyelundup masuk
kedalam rumah gubuk itu, guna membuat penyelidikan- Siapa tahu
kalau hasil penyelidikan ini merupakan bukti yang berhubungan
dengan kematian keempat ketua partai itu ataupun sebaliknya"
Pokoknya kita memperoleh sesuatu hasil penyelidikan."
"Jikalau orang itu benar murid ceng Gie Lojin", berkata Ban Liang
kemudian, "dengan menempuh jalan berbahaya ini, ada
kemungkinan wajah kitapun nanti disalin rupanya atau jiwa kita
terancam maut...."
"Aku tahu itu," kata Siauw Pek, "yang pikirannya sudah tetap.
Waktu kita sempit sekali. Mungkin mereka bakal pindah ketempat
lain Apabila itu sampai terjadi, kemana kita harus cari mereka
didunia yang begini luas ini?"
"Baiklah" kata sijago tua akhirnya, "cuma, untuk memasuki gua
harimau, kita mesti mempunyai rencana dahulu...."
"Tentang itu telah aku pikirkan" siauw Pek berkata.
Ban Liang mengernyitkan alisnya. Pikirnya: "Keras hati anak
muda ini, dia sangat cerdas Benar benarkah dia hendak
menyelundup masuk kedalam rumah
gubuk itu?"
Lalu ia bertanya, "Apakah rencanamu, saudara kecil?"
"Paling dahulu kita bersembunyi didekat rumah gubuk itu. Diam
diam kita menguntit orang orang itu, orang orang yang berpakaian
hitam. Kita lihat mereka pergi kemana dan siapa siapa yang mereka
tawan....."
"Apakah saudara kecil berniat menyaru menjadi seorang
tawanan?" "Benar. Aku yang menyamar jadi orang tawanan, lalu
loocianpwee atau salah satu diantara kedua saudara Oey dan Kho
yang menjadi orang serba hitam itu."
"Bagus" Kho Kong memuji sambil dia menunjukkan jempolnya.
"Bagus"
"Aku situa memikir sesuatu", berkata Ban Liang. "Aku duga orang
orang berpakaian hitam mesti ada mempunyai isyarat supaya
mereka mengenal satu dengan lain."
"Justru karena itu, kita mesti kuntit dahulu mereka, lihat apa
yang mereka lakukan, sesudah itu baru kita bekuk mereka, untuk
mengorek keterangan dari mulutnya, supaya dengan begitu kita bisa
menyamar dengan sempurna." Ban Liang menghela napas.
"Kalau didalam rumah gubuk itu benar ada ceng Gie loojin"^
katanya masgul, "lebih baik kita tak usah pergi melihatnya....."
Siauw Pek heran- Ia melihat orang tua ini masih ingat lakon
dahulu hari dan dia tetap jeri terhadap ceng Gie loojin, ingin ia mesti
mengatakan apa.
"Mari kita cari penginapan dahulu", katanya kemudian- "Nanti
kita berdamai pula."
Ban Liang menurut, akan tetapi didalam hatinya dia berkata "Aku
mesti berdaya buat membikin anak muda ini membataikan
rencananya....." Setelah melihat keempat penjuru. Siauw Pek
berempat menuju kesebelah depan-Mereka melalui sepuluh mil
lebih, baru mereka dapat rumah penginapan- Karena tempat itu
kecil, penginapan juga satu satunya. Itulah losmen miliknya seorang
setengah tua, yang mewarisinya dari leluhurnya semenjak lima
puluh tahun yang lalu.
Ketika Ban Liang berempat tiba dilosmen, waktu sudah jam lima
pagi. Tuan ruma dan kedua pembantunya sudah pada bangun,
bahkan mereka telah membuka pintu, buat mengantarkan para
tetamunya berangkat pergi sehabisnya tetamu itu sarapan pagi.
Dasar losmen kecil, kamarnya cuma dua dan perabotannya
sangat miskin, orang mesti tidur dilantai, diatas tikar, kalau
tetamunya banyak orang, apakah kita orang semuanya ini mesti
tidur berjejalan....
Dikamar yang satu masih ada seorang tetamu yang masih tidur.
Ban Liang memberi tahu tuan rumah bahwa berempat ia
memborong sebuah kamar, tak ia ketumpangan tetamu lainnya.
Iapun bertanya, apa itu tetamu satu
satunya, bakal berangkat hari ini.
"Ya, kecuali dia mati disini" kata tuan rumah. Kata "mati" itu dia
ucapkan perlahan sekali, agaknya dia kawatir ada orang lain yang
mendengarnya.... Ban Liang batuk batuk. niatnya membuat si
tetamu mendusin, tapi ia gagal, walaupun ia berlaku berisik. orang
tidur bagaikan mayat..... Setelah terang tanah, tuan rumah
menyediakan barang hidangan-
"Masih tetamu yang satu itu belum bangun juga."
"Apakah dia tamu langgananmu?" tanya ban Liang pada tuan
rumah. "Bukan-"
"Apa pekerjaan dia?"
"Tukang tambal kwali dan tempayan- Sekarang silahkan tuan
tuan sarapan dahulu, sebentar akan aku bangunkan dia, andaikan
dia masih tetap akan bermalam disini, akan aku minta dia pindah
kamar....."
Ban Liang mengangguk. "Kau she apa, tuan?"
"Tan."
"Bagus. Kami akan berdiam disini tiga atau lima malam. Kami
tengah menjanjikan kawan kawan-"
"Baik, tuan-tuan- Terima kasih"
Ban Liang masih mengawasi tetamu yang tidur nyenyak itu, lalu
dia mengajak tiga kawannya pergi keruang depan, tempat
bersantap. Disitu cuma ada tiga buah meja tua serta kursi kursinya,
barang hidangan sudah disiapkan diatas sebuah meja, maka
berempat mereka lalu duduk menangsel perut, lahap makannya.
Tengah mereka bersantap itu, mendadak tuan rumah datang


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil berlari lari dengan muka pucat dan roman bingung, dengan
gugup, dia kata tak lancar: "Tuan-tuan, maaf, maaf Aku menyesal
sekali..... Tamu tadi itu telah meninggal dunia..... buat tuan-tuan,
akan aku sediakan kamar yang lainnya...."
Ban Liang terperanjat, dia berjingkrak bangun. Ketika tuan rumah
itu mau mengundurkan diri, dia lalu menghadang dan bertanya:
"benarkah dia mati?"
"Benar, tuan- Mana aku berani main-main- Sejak lima puluh
tahun, baru kali ini aku mengalami peristiwa semacam ini...."
"sekarang kau hendak pergi kemana?"
"Inilah jiwa manusia. Maka aku mesti menemui kepala
kampung." "Tunggu sebentar. Aku mengerti ilmu obat obatan, mari kita
tengok dahulu orang itu."
"Tak usah, tuan- Dia sudah mati, kaki tangannya telah dingin
semua....." Ban Liang mencekal tangan orang itu.
"Inilah kejadian buruk buat losmenmu" katanya, "Mari kita lihat
dahulu, mungkin aku dapat menolong dia......"
Tuan rumah itu kaget. Hebat cekalan itu, hingga dia habis
tenaganya. "Tuan-... tuan-.... benar.....," katanya menyeringai.
Lalu mereka pergi kekamar tadi. Tamu itu masih rebah seperti
orang tidur nyenyak.
Ban Liang menyingkap selimut. Ia lihat orang itu berumur kira
kira tiga puluh tahun dan mukanya pucat. Ketika ia meraba
kehidung orang itu, ia mendapat kenyataan benar orang itu sudah
berhenti bernapas.
"Benarkah dia sudah mati?" Kho Kong tanya.
Ban Liang meraba nadi orang. Ia masih ingin bukti lebih jauh.
Kalau hidung orang itu tidak bernapas, tidak demikian dengan
nadinya. Nadi itu masih berdenyut.
Lalu Ban Liang mengedipkan mata pada Siauw Pek bertiga,
mengisyaratkan agar mereka itu bersembunyi dibelakang pintu,
setelah itu ia tertawa dingin dan berkata: "Nadimu masih berdenyut
sahabat, itulah bukti bahwa kau masih hidup. Aku si orang she Ban
pernah mengalami taufan dan gelombang dahsyat, mustahil
perahuku karam didalam selokan" Maka, jangan kau bermain gila
lagi sahabat"
orang yang dikatakan sudah mati itu tetap berdiam, tubuhnya tak
bergeming. Tuan rumah menghela napas.
"orang yang sudah putus jiwa mana bisa bicara......." katanya.
Iapun heran- "Kau tidak tahu diri, sahabat" kata pula Ban Liang, tetap dingin,
"baik, jangan kau katakan aku kejam" Ia mengangkat tangannya
mengancam dada orang.
Tamu itu tetap rebah tak bergerak.
Jago tua itu tidak menghajar dada orang, hanya mendadak
tangannya diarahkan kejalan darah sin hong, untuk menotok.
Baru sekarang ancaman itu ada hasilnya. Tepat jarinya mengenai
baju, tepat tubuh orang itu bergerak menggelinding, lincah sekali
dia bergerak bangun dan duduk. Ban Liang tertawa.
"Aku kira kau tidak takut mati, sahabat" ejeknya, "Kiranya kau
takut juga" orang itu menatap Ban Liang, matanya mencilak. setelah
itu ia mengawasi Siauw Pek dan dua pemuda lainnya. Ia tidak
membuka suara. Ia duduk tetapi kedua tangannya masih
memegangi selimutnya, hingga kedua belah tangannya itu dan
sepasang kakinya tetap ketutupan selimut itu.
sikap tenang itu membuat Siauw pek berempat kagum. Ban liang
menjadi gusar. "Sahabat, diri asalmu sudah terlihat tegas, kau masih tetap
berpura pura" katanya sengit. "Apakah maksudmu?"
orang itu rebah dengan perlahan lahan- Baru sekarang dia
membuka mulutnya. Katanya: "Aku sedang tidur, apa sangkutnya
aku dengan kamu" Kenapa kau hendak menotok jalan darahku?"
Tanpa menanti jawaban, dia memejamkan matanya, seperti juga dia
telah tidur nyenyak pula.
Siauw Pek heran. juga Ban Liang yang berpengalaman, bicaranya
orang itu beralasan, sulit untuk menjawabnya.
Sedangkan orang berdiam, tuan rumah berkata pada tamunya
itu: "Duduk halnya begini tuan- Keempat tuan ini memborong
kamarku ini, maka itu aku memikir memohon tuan pindah kekamar
yang lain, bagaimana?" orang itu membalik tubuhnya.
"Siapa berusaha dia tahu aturan" tegurnya. "Dan didalam hotel,
ada orang yang datang lebih dulu, ada yang datang belakangan.
Bukankah aku yang lebih dahulu menyewa kamar ini" Kenapa
mereka tak diminta mengambil kamar yang lainnya?"
Tuan rumah bungkam. Tamu itu benar.
Walaupun lagaknya aneh, perbuatan tamu itu cocok dengan peri
kebenaran- Maka itu Ban Liang berempat kalah alasan-
Tapi Kho kong habis sabar melihat sijago tua dan ketuanya diam
saja "Soal toh sederhana sekali, bukan?" kata dia.
"Kami banyakan, tuan sendirian, jadi kalau kau menukar kamar,
bukankah itu pantas?"
Tiba tiba orang itu berkata: "Baiklah aku akan mengalah"
Kho kong puas. Katanya: "Bagus kau bersedia pindah, tapi
kenapa kau tidak mau pindah segera?"
"Ya, aku akan pindah" berkata orang itu, yang tiba tiba mencelat
bangun untuk melesat keluar kamar. Ia tetap membawa selimutnya
dengan apa ia lalu lenyap bersama Hanya sekelebatan Ban Liang
heran dan kagum, juga ketiga kawannya tak terkecuali tuan rumah,
siauw Pek tidak melihat sesuatu yang mencurigakan- Dengan
perlahan, ia berkata pada tuan rumah: "Nah, kau lihat tuan
Tamumu itu adalah seorang Kang Ouw yang luar biasa"
Tuan rumah yang melengak, berkata: "Ya, aku telah
melihatnya....."
"Karena dia bukan sembarangan tamu, tuan tentu tak usah pakai
segala aturan lagi"
sijago tua berkata pula, "Maukah kau serahkan semua barangnya
dia itu kepada kami?"
Nampaknya tuan rumah itu bersusah hati.
"Bagaimana aku dapat menyerahkannya?" tanyannya. "Aku tidak
mengerti silat, bagaimana kalau dia datang pula untuk memintanya"
Mudah saja buat dia merampas Jiwaku" "
"Biar bagaimana dia sudah membenci" kata Ban Liang tertawa.
"Bukankah kau seperti memaksanya pindah kamar" Selama kami
berada disini, dia tentu tidak berani datang dulu. Tapi nanti
seperginya kami" Nah sama saja bukan?"
Tuan rumah kaget, dia takut, hingga kakinya bergemetar keras.
"Tuan tuan benar. Aku mohon sukalah tuan tuan mendayakan
menolong aku....." Sijago tua berpikir.
"Ada dayanya hanya itu tetap bergantung kepada
peruntunganmu...."
"Asal jiwaku selamat, akan aku lakukan segala apa...."
"Nah, kita kembali pada persoalan- Kau serahkan barang barang
orang itu, untuk kami periksa. Mungkin dari barangnya itu kita
ketahui tentang dia. Kalau dia jahat, jangan khawatir, kami yang
akan mencarinya. Kalau dia orang baik baik, buat urusan begini,
tidak nanti dia minta jiwamu."
"Tuan benar," berkata tuan rumah, hatinya sedikit lega.
"Sebenarnya dia tidak membawa barang apa apa kecuali sebuah
kotak kayu yang atasnya tertuliskan empat huruf menandakan dia
tukang membetulkan kwali dan jamban-..."
"Baiklah, mari kita lihat dulu"
"Tunggu" berkata tuan rumah. Mendadak ia ingat sesuatu. "Nanti
aku periksa dahulu, dia pindah kekamar lain atau tidak kalau dia
tidak pergi, tidak dapat aku ganggu barangnya."
"Baik Mari kita lihat bersama"
Berlima mereka pergi kelain kamar, yang terpisah cuma beberapa
tindak. Pintu kamar masih tertutup, pertanda belum pernah dibuka.
Tuan rumah menghampiri pintu, tapi mendadak dia mundur pula.
"Silahkan tuan tuan yang masuk lebih dahulu" katanya.
Ban Liang tahu orang itu takut, maka dia maju kedepan- Dia
menolak pintu sambil bertindak masuk kedalam kamar itu. Dia
bersiap sedia. Kamar itu kosong.
"Dia tidak berada dikamar ini Kemanakah dia perginya?" tanya
sijago tua didalam hati. Ia menoleh kepada tuan rumah, lalu. "Apa
kau masih mempunyai kamar lainnya yang dapat ditempati?"
"Tidak."
"Kalau begitu, pergi kau ambil peti kayunya itu"
Tuan rumah menyahut "ya" terus memutar tubuh dan berlalu.
Baru dua tindak, ia sudah memutar pula tubuhnya. Katanya "Siapa
diantara tuan tuan yang turut kepadaku?"
Ban Liang tahu orang itu tetap takut. Ia memberi isyarat pada
Oey Eng dan Kho Kong. Dua saudara itu mengangguk, lalu mereka
ikut tuan rumah. "Aneh orang itu" kata siauw Pek seberlalunya Oey
Eng bertiga, "Dia pergi dengan membawa bawa selimut Tak ku
percaya dia sudah meninggalkan losmen ini"
Ban Liang mengangguk.
"Dia sembunyi entah dimana." katanya, "Aku rasa dia
membutuhkan peti kayunya ini. Baik kita mengintainya apabila dia
datang, kalau perlu kita keroyok dia agar dia dapat dibekuk, kalau
terpaksa tak ada halangannya untuk membunuhnya "
"Mungkinkah dia datang untuk kita?" tanya Siauw Pek.
"Aku menerka demikian-... coba kita tidak mencurigainya,
bagaimana kalau selagi kita tidur dia membokong" Dia lihay, apabila
diam diam dia menotok jalan darah kita, tidakkah itu berbahaya?"
Siauw Pek mengangguk. Lalu dia naik keatas rumah, untuk
memasang mata, Ban Liang berdiam terus didalam kamar,
bersembunyi dibelakang pintu. Tidak lama Oey Eng bertiga sudah
kembali. Dengan mudah saja mereka mendapati kotak kayu itu,
yang benar bertuliskan empat huruf tanda tukang tambal. Ban Liang
menyambut kotak itu, ia tidak segera membuka tutupnya, hanya
dengan keren ia berkata kepada tuan rumah : "Pergi kau kembali
kekamarmu untuk beristirahat. Andaikata orang itu datang meminta
barangnya ini kau katakan bahwa akulah yang mengambilnya, kau
tak akan dibikin susah"
Dengan bersangsi tuan rumah itu mengundurkan diri.
Segera setelah tuan rumah itu berlalu, Ban Liang lompat naik
keatas rumah dimana sambil mengerahkan tenaga dalamnya, ia
berkata "Sahabat, kami telah melihat kepandaian ringan tubuh dari
kau, nyata kau lihay sekali Kau telah datang, tentu dengan maksud
sengaja, kenapa kau tidak sekalian memunculkan dirimu" Silahkan-..
Sahabat, barangmu telah aku ambil, maka itu sebentar, sebelum
tengah hari kau tidak datang mengambilnya, kamu akan membuka
tutupnya buat melihat isinya."
Habis berkata begitu, jago tua itu lompat turun pula, masuk
kedalam kamar, terus berkata pada tiga kawannya, "kita berempat
bergantian menjagai peti kayu ini. Aku telah bicara dengan orang
itu, tak mungkin dia datang membokong kita"
siauw Pek tidak mengerti maksud kawannya ini. "Kenapa kita
tidak mau membukanya sekarang saja?" pikirnya. "Buat apa
menanti sampai tengah hari?" Tak mau ia banyak bertanya. Mesti
ada maksudnya jago tua yang berpengalaman itu.
Maka mereka berempat lalu duduk bersemedhi, yang seorang
sambil memasang mata dan telinga. Sampai mendekati tengah hari,
belum ada gerakan apa apa: tidak terdengar tidak terlihat sesuatu.
Ketika sang tengah hari tiba, cuaca terang benderang. Awan
tidak ada. Waktu itu, Ban Liang berempat telah memperoleh
kesegaran tubuh mereka. Maka jago tua itu lalu menghampiri peti
kayu itu, buat dibawa kehalaman luar, diantara sinarnya matahari
yang terik. Ia tidak mau membuka dengannya, hanya mencari
sepotong bambu galah yang panjang. Sebelum mulai membuka, ia
berkata tidak mau mengambil peti kayunya, karena itu kalau isi peti
bukan barang barang yang tidak berharga, mesti ada sesuatu yang
lainnya yang luar biasa....
Mendengar kata kata itu barulah Siauw Pek tersadar. "Locianpwe
benar Aku kagum" kata ia memuji.
Ban Liang mencekal galahnya dengan erat sambil berbuat begitu,
bersiap sedia, ia berkata pula: "Kita berdiri jauh lima kaki dari peti
kayu, dapat kita peluang untuk menyelamatkan diri kita, akan tetapi
baiklah saudara saudara mengerahkan tenaga dalam kalian, untuk
bersiap sedia terhadap segala kemungkinan" Siauw Pek bertiga
mengangguk. Memangnya mereka sudah berjaga jaga.
Segera juga Ban Liang bekerja. Tepat dia menghajar pintu
kuningan dari peti kayu itu, hingga kunci itu jatuh ketanah. Setelah
itu, ia memasang ujung galah, untuk dipakai menyontek guna
membuka tutup peti. Tapi tiba tiba diantara cahaya matahari terlihat
berkelebatnya satu bayangan hitam, lalu sebatang galah lainnya
menyambar, menghajar galah sijago tua, hingga kedua batang
bambu itu menerbitkan suara nyaring.
Ban Liang terperanjat. Hajaran itu keras sekali sampai ia merasai
lengannya bergetar. Didalam hati ia memuji hajaran hebat itu.
Sedang begitu, dia melihat galah yang dipakai menghajar galahnya
itu sudah menyontek peti kayu yang terus terangkat dan melesat
tinggi. Semua itu terjadi didalam sekejap.
"Kejar" berseru sijago tua yang juga mendahului lompat kearah
melesatnya peti kayu itu.
coh siauw Pekpun melompat mengejar.
Oey Eng dan Kho Kong kalah sebat, hanya sedetik, mereka
kehilangan Ban Liang dan ketuanya itu.
siauw Pek bertari dengan menggunakan lari cepat. "Pat Pou Kan
siam" - "Delapan tindak menghadang tong geret" lekas sekali ia
sampai dipojok rumah penginapan- Disitu ia tidak melihat orang
tadi, hanya galahnya itu disandarkan ditembok. Tapi ia segera
lompat naik keatas rumah untuk melihat kesekitarnya.
Dusun itu kecil dan terpencil. Kecuali diarah utara, dimana
tampak beberapa rumah, ditimur, selatan dan barat hanya tegalan
belukar. Dibarat terdapat segunduka n pohon lebat, disitu ia sempat
melihat berkelebatnya bayangan orang, yang lenyap dibalik pohon-
Tanpa bersangsi lagi, ia menyusul bayangan itu.
Kira kira dua miljauhnya sianak muda bertari lari, tibalah dia
disebuah tempat dimana ada segumplukanpohon bambu yang kecil,
yang mengitari sebuah kuburan besar. Kuburan itu tertutup pohon
rotan lebat, hampir tidak nampak apabila orang tidak datang
mendekatinya . Tetap waktu itu terdengar tangisan yang sedih sekali.
Si anak muda memasang telinga. ia terperanjat sendirinya.
Tangisan itu keluar dari dalam kuburan"
Kuburan ini mungkin telah puluhan tahun tak terurus, siapa
sekarang datang menyambanginya dan menangis begini sedih" Pasti
dia mempunyai hubungan sangat erat dengan orang yang terkubur
disini....."
Demikian pikir Siauw Pek yang terus dengan tindakan perlahan
menghampiri kuburan itu. ia melewati pohon pohon bambu yang
merupakan pagar hidup, hingga ia mendapat kenyataan tanah
pekuburan itu lebar kira kira setang a h bahu. Mestinya pohon rotan
dan bambu itu sengaja ditanamkan-


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mengikuti suara tangisan, anak muda itu berjalan terus. Hampir
separuh nyaia memutari kuburan, sampailah dibagian dimana pohon
rotan kosong, sebagai gantinya ada sebuah lubang gua. Dari dalam
situlah tangisan itu keluar.
siauw Pek mengawasi kemulut gua, hingga ia melihat sebuah
pintu kecil. Tanpa perhatian pintu itu tak tampak. sekarang
terdengar nyata, tangisan itu bercampur kata berulang ulang:
"Suhu, suhu, oh, kau mati secara bersengsara sekali..... ilmu silat
muridmu ini telah dimusnahkan orang, andaikata aku berniat
mencari balas tapi aku sudah tidak mampu. Seumur hidupku, aku
telah tidakpunya harapan lagi......"
"Dialah seorang murid yang baik," pikir Siauw Pek, "dia sudah
tidak berdaya akan tetapi dia masih ingat gurunya. Siapakah dia?"
"Suhu" ialah guru.
"Suhu," terdengar pula, "setiap kali muridmu datang menjenguk
suhu disini, setiap kali juga bertambahlah tanggung jawabku. Suhu
pandai ilmu pengobatan, suhu bercita cita menolong dunia, bagitu
mulia angan angan suhu, siapa tahu kau dicelakai manusia hina
dina, bahkan kepandaian itu dipakai untuk rencana yang jahat
sekali.... Suhu, karena itu walaupun suhu berada didunia baka, hati
suhu tak akan tenteram, sedangkan muridmu, dia hidup bagaikan
mati...." Tanpa merasa, Siauw Pek berkesan baik terhadap orang yang
menangis itu. "Suhu, sakit rasanya hati muridmu ini," Suara itu terdengar lebih
jauh. "Kepandaian suhu telah digunai sihina dina buat mencelakai
kaum Rimba persilatan- Aku pikir daripada hidup tak berdaya dan
tersiksan bathin dan lahir, lebih baik aku susul suhu didunia baka."
Hati Siauw Pek cemas.
"Rupanya dia bunuh diri, mesti aku cegah, aku mesti
menolongnya," pikirnya. Maka ia lalu menyingkap oyot oyot rotan
yang menghadang, yang menutupi daun pintu, terus ia bertindak
masuk kedalam gua itu.
Gua itu tidak lempeng langsung, untuk tiba didalam, Siauw Pek
mesti mengambil waktu beberapa detik, tatkala ia sampai ia telah
tertambat satu tindak
Dimuka sebuah batu nisan terdapat dua buah lentera kaca,
sumbunya lentera itu dinyalakan, maka ruang itu cukup terang.
Didepan nisan terkuali tubuh seorang laki laki yang bajunya
compang camping, dadanya tertancapkan sebilah golok emas - kim
too -sebagaimana golok itu mengeluarkan sinar kuning. Tapi orang
itu belum putus jiwa, ketika dia mendengar tindakan orang dia
menoleh. "Murid jahat, kau tertambat" dia mendamprat Siauw Pek. Dia
tertawa hambar. Anak muda itu melompat menghampiri untuk
memegang tubuh orang itu.
"Saudara jangan salah mengerti" katanya cepat "aku
bukannya....."
Hanya sedetik itu, berhentilah napasnya orang yang nekad itu.
Dampratnya itu adalah kata katanya yang terakhir. Siauw Pek
menyesal sekali.
"Kalau aku tidak datang, mungkin dia belum mati...." pikirnya.
"Dia menyangka akulah si murid jahat..... oh Siauw Pek. Siauw Pek.
walau maksud hatimu baik, kaulah seperti pembunuhnya .... "
Tanpa merasa, air mata anak muda ini keluar meleleh. Karena
orang sudah mati, Siauw Pek melepaskan cekalannya. Ia membaca
huruf huruf batu nisan itu: Kuburan ceng Gie Loojin, Goan Kong cie
Tabib yang luar biasa pandai
Terperanjat sianak muda, hingga ia melongo mengawasi batu
nisan itu, sedangkan otaknya bekerja. "ceng Gie Loojin tabib
pandai" oooooooooo "Baru saja aku dengar cerita Ban loocianpwe tentang ceng Gie
Loojin-" pikirnya, "sungguh diluar dugaan, sekarang aku
menemukan kuburannya...." Ia tunduk. Mengawasi orang
berpakaian bagaikan pengemis itu.
"Saudara" gumamanya, "asal kau masih hidup setengah harian
lagi saja, pastilah soal rumit kang ouw bakal menjadi terang jelas
Adakah ini kehendak Thian".... oh saudara, karena disini tidak ada
peti mati, aku tak mau mengganggumu, baiklah kau tetap rebah
disamping gurumu ini....."
Habis berkata, Siauw Pek mencabut golok emas dari dada orang
itu. Dan Golok Emas itu - kim too - bersinar diantara cahaya api.
Disitu tampak ukiran empat huruf, bunyinya: "ceng Gie Cie Too"
"Golok keadilan" Golok itu harus diambil, buat dibawa pergi atau
dibiarkan didalam kuburan ini.....
"Ah, baiklah aku bawa." pikirnya kemudian. Ia ingat, dengan
membawa pergi golok itu, mungkin ia akan berhasil mencari
keterangan ceng Gie loojin. "Nanti setelah aku berhasil dapat aku
mengembalikannya kemari."
Maka, dengan membawa golok emas itu, ia keluar dari liang
kuburan itu. Kedua daun pintu ia tutup rapat seperti semula. Ketika
ia melihat kelangit, ia tahu bahwa tanpa merasa ia sudah
menggunakan waktu satu jam didalam kuburan itu. Kapan ia ingat
kawan kawannya, yang tentu tengah mengharapnya dilosmen,
segera ia lari pulang. Benarlah dugaannya, Ban Liang bertiga tengah
menunggukannya.
"Saudara kecil, kami lagi menantikanmu untuk bersantap tengah
hari," berkata si jago tua.
"Kemana saja kau pergi?"
"Apakah yang kau peroleh?"
"Dengan tak sengaja aku menemui........"
Ban Liang mengerdipkan mata.
"Mari lekas makan Kita harus lekas lekas melanjutkan perjalanan
kita" berkata jago tua itu, yang mencegah orang bicara terus.
Siauw Pek berhenti bicara, ia mengerti isyarat itu. Ketika ia
menoleh kekiri, ia mendapati dua orang tak dikenal lagi duduk
minum arak. Dua dua orang itu bercacat bekas bacokan golok pada
mukanya masing-masing, sikap mereka sangat tawar.
"Aneh mereka ini"...... pikir sianak muda.
Dua orang itu serupa dandanannya, serupa pula cacat lukanya
itu, masing masing codet alisnya yang kiri ditengah tengah, lalu
bersambung kebatas hidung, terus kepinggiran mulut sampai
dileher. "Mungkinkah itu cacat asal?" Siauw Pek menerka nerka. "Kalau
itulah luka bacokan, siapakah yang membacoknya hingga demikian
tepat?" oleh karena itu si anak muda mengawasinya, dua orang itu balik
mengawasi juga. Maka bentroklah sinar mata mereka bertiga
Siauw Pek tahu ia yang salah, lekas lekas ia melengos, berpaling
kearah lain- Ia berpura pura melihat orang tanpa disengaja.
"Lekas makan" kata Ban Liang, perlahan sekali. Dia agaknya
kesusu. Siauw Pek heran, pikirnya: "Biasanya orang tua ini bangga akan
dirinya sendiri, kenapa sekarang sikapnya berubah, dia seperti jeri
terhadap dua orang itu?"
Oey Eng dan Kho kong berdiam saja. Mereka sudah habis makan,
begitu juga Ban Liang. Bertiga mereka tinggal menantikan ia sendiri.
KArena itu, lekas lekas iapun menangsel perutnya
JILID 22 "Mari " Ban Liang mengajak. melihat kawannya sudah makan
cukup, Ia morogoh sakunya, untuk meninggalkan uang diatas meja.
Terus ia berbangkit dan berjalan terlebih dulu. Oey Eng dan Kho
kong mengikuti. Sianak muda yang berjalan paling belakang.
Setibanya diluar losmen, Seng Supoan mempercepat tindakan
kakinya. Dia jalan seperti berlari lari. Sampai tujuh lie lebih,
baharulah ia berhenti. Dia menoleh kebelakang. Setelah melihat
tidak ada orang lain, ia menghela napas panjang.
"Loocianpwee ada apakah?" tanya Siauwpek. yang baru sempat
berbicara. "Apakah kau melihat tugas dua orang tadi, yang cacat
mukanya?" "Macam mereka aneh, sekali lihat saja, sukar untuk
melupakannya"
"Tahu, atau, kenalkau kau kedua orang itu?"
"Tidak"
"Apakah kau belum pernah dengar gurumu menceriterakannya ?"
"Belum."
"Kalau begitu, tak heran- Ah, tidak kusangka mereka berdua
masih hidup," Siauwpek makin tidak mengerti.
"Siapakah mereka, loocianpwee?" tanyanya. "Dapatkah
loocianpwee menjelaskan tentang mereka itu?"
Ban Liang mengangguk.
"Pasti aku akan menuturkannya, dia, inilah perlu Supaya apabila
dilain waktu kamu bertemu dengan mereka itu, lekas lekas
menyingkir menjauhlah .."
"Apakah ilmu silat mereka itu liehay luar biasa?" bertanya
Siauwpek heran-
"Kalau bicara dari hal ilmu silat saja, jangan kata kau tak usah
takut, akupun tak perlu jeri terhadap mereka itu..."
"Mungkinkah mereka itu pandai ilmu membetot sukma atau
menawan roh?" Ban Liang tersenyum.
"Seumurku belum pernah aku menemui ilmu jahat semacam itu"
"Jikalau begitu, pasti ilmu silat mereka luar biasa mahir..."
"Pada beberapa puluh tahun yang lampau, dua jago Rimba
Persilatan yang paling kesohor adalah ong Kiam kie tong dan Ta To
Siang Go," Ban Liang menjelaskan- "Mereka berdualah yang menjadi
sebab kenapa ada kata kata "Dibawah ong kiam tidak ada panglima
yang sanggup bertempur sepuluh jurus dan Dibawah Ta Too tak
ada orang yang beruntung hidup,." Tapi semenjak kedua jago itu
menyeberangi jembatan maut Seng su kio dimana mereka mensunyi
diri, maka didalam dunia Rimba Persilatan, kecuali Siauw limpay, Bu
Tong pay dan lainnya partai partai persilatan besar, ada juga It
ceng, Siang ok dan It San jin.
"It ceng ialah Satu lurus benar, siang ok yaitu sepasang siJahat,
dan It Sanjin seorang bebas merdeka."
Ban Liang melegakan dadanya dengan menarik napas panjang,
baru ia melanjutkan keterangannya. "It ceng itu ialah Tiat Tan Kiam
kek Thio Hong Hong, siJago pedang bernyali besi. Dan It Sanjin
yaitu Hie sian cianpeng si Dewa Ikan-"
"Julukan It ceng dan siang ok sudah jelas sendirinya, artinya
tepat menurut huruf huruf nya. Bagaimana dengan It Sanjin"
Apakah artinya Sanjin itu?"
Ban liang menghela napas pula sebelum dia memberikan
penjelasan lebih jauh. Berkata ia, "Hie Tian cianpeng mempunyai
satu kegemaran, ialah sangat menggemari ikan, tak peduli lkan apa.
Kalau orang minta pertolongannya dengan membawakan seekor
ikan, pasti ia menolongnya. Dia suka sekali mengumpulkan lkan,
asal yang langka, Karena kegemarannya itu, dia tidak menghiraukan
urusan kaum Persilatan- Asal ada orang membawakan ikan yang
luar biasa, dia tidak ambil pusing orang itu orang macam apa. Inilah
sebabnya, dia berkelakuan lurus dan buruk tidak ketentuan-
Biasanya dia dapat melaksanakan segala pertolongan yang diminta
itu. Demikianlah, lantaran sukar menilai dia sebenarnya orang dari
golongan mana, kaum Rimba Persilatan menyebutnya Sanjin, orang
yang bebas merdeka." Siauw pek mengangguk,
"Kiranya begitu." katanya. "Kiranya dia angin anginan-"
"cianpeng bersenjatakan apa loocianpwee?" Oey Eng bertanya.
"Setiap hari dia berkawan dengan lkan senjatanyapun ada
hubungannya dengan binatang air itu. Ialah sebatang joran pancing
dan sebuah jala lkan yang biasa dia gemblok dipunggungnya.
Katanya jalanya itu lebih liehay dari jorannya, hanyalah sangat
jarang orang melihat dia menggunakannya."
"Dua orang yang bercacat golok dimukanya itu, pasti merekalah
siang ok," berkata Sia u Pek kemudian. "Benar saudara coh, kau
cerdas sekali"
"Julukan mereka saudara kembar, maka juga selain macamnya,
tabiat dan kegemarannya, semuanya sama, bahkan mereka sama
kejam dan jahatnya. Ilmu silat mereka berdua berimbang. Kabarnya
beberapa puluh tahun dahulu itu merekalah sisa mampus dibawah
golok ampuh dari Siang Go"
"oh mereka pernah lolos dari Toan Hun It Too?" tegasi Siauwpek.
"Tidak salah Itulah yang mengherankan Biasanya belum pernah
ada orang yang bisa bebas dari golok Siang Go. Ilmu golok siang Go
menjadi semacam rahasia, yang tak ada orang yang dapat
memahaminya."
"Loocianpwee," siauw Pek tanya lebih dulu, katanya sesudah ong
Kiam dan Pa Too mengundurkan diri, baru muncul It ceng, Siang ok
dan it Sanjin, karena itu, bagaimana duduknya maka Siang Ok lolos
dari Pa Too?" Ban Liang tertawa.
"Pertanyaan yang tepat" katanya, saking gembira. "Selama
munculnya ong kiam dan Pa Too mereka berdua ditakuti berbareng
dihormati kaum Rimba persilatan semuanya. Sinar pedang dan
cahaya golok mereka membuat lain orang tak dapat mengangkat
nama. Tentang Siang ok, asal usul mereka tidak diketahui jelas,
hanya tahu-tahu keganasan mereka yang membuat nama mereka
dibuat sebutan. Siapa yang berani main gila terhadapnya, mesti
celaka, bahkan sampai kepada rumah tangga atau anak istrinya.
Kekejaman mereka tidak ada taranya. Mereka galak dan sombong,
sampai mereka berani menentang ong kiam dan Pa Too. Begitulah
orang menyebut mereka Siang ok sepasang sijahat. orang Kang
ouw, baik yang lurus maupun yang sesat, rata-rata membenci
mereka, hingga semuanya ingin mereka itu tersingkir. Siang Go
tidak berketentuan tempat kediamannya, sulit orang mencarinya
guna menyampaikan tantangan Siang ok itu. Tiga tahun telah lewat
sejak tantangan Siang ok, selama itu, kejahatan semakin terkenal,
barulah selewatnya itu mereka bertemu juga dengan Pa Too..."
"Bagaimanakah jalannya maka mereka dapat lolos dari Pa Too?"
tanya siauwpek.
"Tentang duduknya dengan jelas, yang tahu hanya Pa Too dan
Siang ok sendiri," jawab Ban Liang, "Hanya terdengar Siang ok
menentang Pa Too bertarung diluar kota Kim leng. Lewat hari
pertempuran itu, selanjutnya orang tidak melihat atau mendengar
lagi tentang kejahatan Siang ok. Maka orang mereka tentulah
menerka sudah mampus diujung golok. Maka rata rata orang
mendoa bersyukur. orangpun memuji Siang Go yang ditakuti itu,
karena dia telah menyingkirkan bahaya untuk umum. Sesudah
banyak tahun lewat, mereka itu muncul pula dan mengulangi
kegagalan mereka, bahkan berlebihan. Mereka muncul sebab
mereka mendengar kabar bahwa ong kiam dan Pa Too sudah
mengundurkan diri."
"Setelah tidak adanya ong kiam dan Pa too siapa lagi yang dapat
mengekang mereka itu?" Kho kong bertanya.
"Itulah Tiat tan kiam kek Thio Hong Hong dan Hie sian ciang
peng Tatkala itu nama Thio Hong Hong sedang mentereng..."
"Jadi buat kedua kalinya Siang ok telah diusir, hanya kali ini oleh
Thio Hong Hong?"
"Entah bagaimana caranya, Thio Hong Hong berhasil
mengundang Hiesian cian Peng dan bersama samalah mereka


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdua mengalahkan sepasang sijahat itu. Kabarnya Siang ok
terluka parah luka yang dapat mematikannya. Maka adalah diluar
dugaan bahwa mereka itu masih belum mati dan sekarang mereka
muncul di tempat kecil dan sunyi ini "
Jago tua itu menghela napas, lalu ia menambahkan: "Jadi
benarlah kata kata su kay taysu bahwa malapetaka besar kaum
rimba persilatan tengah mendatangi semakin dekat..."
"Tak mungkinkah Siang ok ada hubungannya dengan si pelajar
dari rumah gubuk itu?" kata siauwpek.
"Dan, tak mungkinkah Siang ok pun bersangkut paut dengan
ceng Gi Loojin sudah meninggal dunia," sahut Siauwpek
memberitahukan-
"Apa ?"
"Dia sudah menutup mata, dan kuburannya berada didekat
sini..." "Bagaimana kau ketahui itu?"
"Karena aku telah melihat kuburan itu."
Ban Liang heran-
"Benarkah ?" dia menegaskanSiauw
Pek merogo sakunya, mengeluarkan kim too golok emas.
"Apakah loocianpwee kenal dengan golok ini ?" tanyanya sambil
menghunjukkan kim too. Ban Liang menyambuti, ia meneliti golok
itu. "Benar," katanya sejenak kemudian- "Walaupun aku belum
pernah melihatnya tapi tapi..." Ia berpikir sebentar, baru ia
melanjutkan : "Pernah kudengar bahwa selama ceng Gie loojin
merantau, dia suka membawa kimtoo yang terukirkan empat huruf
ceng Gie too. Tak disangka kau telah mendapatkannya."
"Dengan tidak dinyana nyana, aku telah menemui kuburan ceng
Gie lo-jin dan telah masuk kedalamnya," menerangkan Siauwpek.
"hanya aku menyesal, karena itu juga, di luar dugaanku, aku telah
menyebabkan seorang hilang jiwanya... Mengapa dia bukan mati
ditanganku akan tetapi dia kaget karena aku..."
"Kau membuatnya mati lantaran kaget ?"
"Ya. Itulah pengalaman aneh dari aku. Maksudku menceriterakan
pengalamanku itu, tapi dua orang bercacat mukanya itu merintangi
hingga tak sempat aku bicara."
"Benar benar aneh Benar benar dunia kang ouw rumit..."
"Demikian juga kesanku, loocianpwee," berkata Siauwpek. yang
terus menuturkan pengalamannya sejak mendengar suara tangisan
sampai terjadinya peristiwa menyedihkan didalam kuburan ceng Gie
Loojin itu. Ban Liang bertiga melengak mendengar keterangan anak muda
itu. "Jikalau begitu, benarlah ceng Gie loojin sudah meninggal dunia,"
katanya masgul. hingga dia menghela napas.
"Kasihan orang compang camping itu. Sayang dia telah
membunuh diri. Kalau tidak, dapat kita minta keterangannya."
"Ya benar benar rumit" kata Ban Liang "inilah urusan yang tak
dapat kita bereskan sendiri. Nah, mari kita lekas berangkat Jikalau
kita berhasil mengundang orang itu, mungkin kita mempunyai
harapan besar, dan dengan begitu dapat kita mengundang dan
bekerja sama dengan su kay taysu dan lain orang satu tujuan-"
"Loocianpwee," Kho kong tanya, "siapakah orang yang hendak
kita cari itu?"
"Sabar, saudara muda. Sebelum aku memperoleh persetujuan
dari orang itu sekarang tak bisa aku menyebut namanya." Ia
mengangkat kepalanya, ia menghela napas, lalu menambahkan :
"Tempat dimana orang itu menyembunyikan diri, mungkin cuma
akulah seorang yang mengetahui, andaikata dia tidak mau keluar
pula, untuk memasuki lagi dunia kangouw percuma menyebut
namanya, bahkan itu bisa membahayakan dia."
"Tak apalah untuk tidak memberitahukan she dan namanya"
berkata Kho Kong, "tetapi kurasa, bukankah boleh akan loocianpwee
menutur perihal dirinya, tentang sifatnya ?"
"Tentang itu boleh." berkata Ban Liang, dengan batuk batuk
perlahan. "Kie Tong dan Siang Go terkenal karena pedang dan golok
mereka, karena ilmu silatnya, tetapi orang ini terkenal dengan ilmu
suratnya, buat kecerdasannya. Setahuku, belum pernah ada orang
lain yang melebihi kepandaiannya itu..."
"Jadi tak mengerti ilmu silat?" tanya Kho Kong, heran.
"Bukan begitu. Dia mengerti ilmu silat, cuma kepandaiannya itu
tak dapat mengangkat namanya."
"Buat membeber rahasia atau rencana jahat segolongan kaum
kangouw sekarang ini kita membutuh kepandaian silat yang mahir
sekali" berkata pula Kho Kong,
"karena orang yang loocianpwee sebutkan berkepandaian silat
tidak berarti, aku pikir, tak usahlah kita cari dia"
Ban Liang tertawa.
"Adikku, bukannya aku si tua mau memberi nasehat kepadamu,"
katanya sabar, "akan tetapi kau harus menginsyafi banyaknya, dan
rupa-rupa ragamnya kaum kangouw. Ilmu silat saja belum cukup,"
Kho Kong penasaran, ia hendak bicara lebih jauh, akan Oey Eng
mengedipkan matanya mencegahnya.
Ban Liang telah banyak pengalamannya ia tahu kawannya itu
tidak puas, maka ia berkata "Engkau tidak puas, bukan?"
"Jikalau loocianpwee hendak memaksa aku membuka mulut,
baiklah, aku akan bicara terus terang "
"Dia sembrono tetapi jujur" pikir sejago tua "dia kata apa yang
dia pikir, kalau hatinya dikekang, dia tak puas. Baiklah aku layani dia
bicara, supaya dia bisa dibikin gembira." Maka ia berkata, "Adikku,
ada apakah pendapatmU" Bicaralah, aku akan mencuci telingaku
untuk mendengarnya." Kho Kong si jujur tertawa.
"Sebenarnya akupun tidak punya pendapat yang berarti" katanya
polos, "Aku cuma belum jelas tentang perbedaan ilmu silat dengan
ilmu surat. Dan bagi kami yang mempelajari ilmu silat, kami
membutuhkan pedang atau golok. dengan menggunakan senjata
itu, kami dapat mengambil keputusan siapa menang siapa kalah.
Tapi, kalau kepandaian ilmu silat kami tidak berarti, apakah artinya
ilmu surat yang luar biasa itu" Nah, loocianpwee, inilah pikiranku,
bagaimana pendapat loocianpwee ?" orang tua itu tertawa.
"Apakah ada pendapat lain ?" tanya ia.
"Kita sekarang lagi merantau, jauh sudah ribuan lie, kita pergi
kebarat dan ketimur, maksud kita mencuci bersih sakit hati ketua
kami" berkata si polos. "Tapi lawan kita sangat banyak jumlahnya,
sedangkan kita, kita cuma beberapa orang saja. Mungkinkah kita
melawan mereka itu" oleh karena itu, menurut pendapatku, kita
perlu mencari kawan-kawan yang liehay untuk membantu kita.
Selekasnya tenaga kita cukup, kita langsung menuju Siauw Lim Sie,
untuk berbicara, untuk mencari siJahat biang keladi"
"Bagus" Ban Liang mengangguk. "Ada apakah lagi?"
"Untuk itu, seperti telah kukatakan, kita membutuhkan kawan
kawan yang liehay ilmu silatnya Tapi ilmu surat, apakah faedahnya
itu?" "Apakah kau telah bicara cukup, saudara kecil?"
"Sudah, loocianpwee. Kalau loocianpwee bisa membuatku puas,
bila nanti aku bertemu dengan orang itu, pasti aku akan
menghormati dia lebih daripada selayaknya" Sijago tua tersenyum.
"Buat kita orang Kang ouw, ilmu silat memang perlu," katanya,
"akan tetapi disamping itu, kadang kadang kepintaran silat jauh
melebihinya. Tak usah kita melihat yang jauh, kita perhatikan saja
beberapa soal yang kita dengar sekarang, yang kita hadapi, semua
itu tak dapat dibereskan dengan ilmu silat."
"Urusan apakah itu?" Kho Kong menegas.
"Umpamanya rahasia ceng Gie Lo-jin itu. Sekalipun ong kiam
danPa Too muncul pula, belum tentu mereka sanggup
memecahkannya." Kho Kong berdiam beberapa lama. Ban Liang
tertawa perlahan.
"Bagaimana dengan golok warisan ceng Gie loojin itu" kenapa
golok itu dipanggil ceng Gie Too Golok keadilan" Tak mungkin ceng
Gie berarti hanya goloknya ceng Gie loojin" ceng Gie tak dapat
diartikan nama orang saja, itu mestinya ceng-gie keadilan-Golok itu
lupa bukan terbuat dari baja, tak tajam semestinya.Jadi kalau bicara
tentang ilmu silat, apa gunanya golok semacam itu" Menurut
terkaanku, golok itu mestinya mengandung suatu rahasia entah
rahasia apa"..."
"Kalau begitu apakah dengan belajar surat lalu orang dapat
memecahkan rahasia itu?" tanya Kho Kong penasaran-
"orang yang hendak kita cari itu adalah seorang yang luar biasa
pandai. Mengenai ilmu silatnya meski itu bukan kepandaian yang
sangat mahir tetapi dia tak ada disebelah bawahku"
"Jikalau demikian, itulah bukan sembarang ilmu silat" Kho kong
akui. "Dia terpelajar tinggi, dia misalnya saja telah membaca habis
semua buku diseluruh negara, kalau aku si tua bicara dengannya,
selalu itu terjadi buat beberapa hari lamanya..."
"Apakah yang loocianpwee bicarakan dengannya?" menyela Oey
Eng "Banyak ragamnya. Apa yang aku pikirkan, lalu dibicarakan.
Umpama soal ilmu meramal, ilmu tabib, ilmu alam dan ilmu bumi.
Tidak ada soal yang dia tidak ketahui."
"Jikalau demikian adanya, membaca itu banyak faedahnya," si
sembrono pikir. "Kalau begitu, perlu aku membaca banyak buku..."
Maka ia berkata pada sijago tua : "Kalau nanti aku bertemu orang
itu, apabila dia dapat membuatku takluk. didepan kau, loocianpwee,
akan aku berlutut dan mengangguk angguk hingga tiga kali."
"Jangan kita berjanji apa apa" kata si jago tua, tertawa. "Lihat
saja nanti setelah kita bertemu dengan orang itu"
Demikian mereka melakukan perjalanan, berhari hari, tanpa
kesepian. Pada suatu tengah hari, tibalah mereka di kaki sebuah gunung.
DisituBan Liang menghentikan tindakannya.
"Sudah sampai" katanya. "Mari kita beristirahat sebentar, baru
kita pergi menemui orang itu."
Kho kong mendongak mengawasi gunung yang tinggi itu yang
puncaknya bagaikan masuk ke langit.
Ban Liang menggeleng kepala.
"Dia justru tinggal diujung sana, dikaki gunung," katanya.
"Aku pikir tak perlu kita beristirahat lagi, kata si polos. "Kita
sudah sampai, kenapa kita tak mau sekalian beristirahat dirumahnya
saja" "Saudara Kho," berkata Oey Eng. "locianpwee orang sendiri, kau
dapat bicara seenaknya saja dengannya, akan tetapi sebentar
apabila kita bertemu dengan orang pandai itu, jangan kau
sembarangan bicara^"
Selama beberapa hari itu, baik Oey Eng maupun Siauwpek. telah
dipengaruhi kata katanya Ban Liang tentang sahabatnya yang dipuji
tinggi itu, karena itu, saudara she Oey ini menasehati adik
angkatnya itu agar dia nanti tak salah bicara.
"Baiklah," adik itu berjanji.
setelah beristirahat cukup, Ban Liang mengajak kawan kawannya
berangkat pula.
Kho Kong lalu jalan dimuka, dijalan kecil. sampai mereka
melewati sebuah tikungan-Segera mereka melihat sebuah peng
empang dimana terdapat sepasang angsa putih tengah berenang
mundar mandir. Begitu mereka melihat ada orang asing, kedua
binatang itu segera mementang mulutnya, memperdengarkan suara
yang berisik, terus mereka berenang ketepian, untuk naik kedarat
dan berlari lari kearah sebuah rumah bilik tertutup atap. yang
letaknya dipinggir peng empang .
Ban Liang menghentikan tindakannya, mengawasi kedua
binatang itu. "Sepasang angsa itu telah dipelihari tiga puluh tahun lamanya,"
katanya seorang diri. Lalu ia mengepriki pakaiannya, terus ia
bertindak kearah rumah gubuk itu.
siauwpek dan Oey Eng bertiga turut merapihkan pakaian mereka.
Mereka mengikuti jago tua itu.
Rumah gubuk itu, bagian depan dan belakangnya, ditumbuhi
banyak rumput dan pepohonan lainnya seperti mengitari
seluruhnya. Itulah mirip gubuk seorang ini, tak sesuai buat ditinggali
seorang ahli surat.
Tiba dimuka pintu, tampak kedua daun pintu tertutup rapat.
Kedua ekor angsa tadi telah pergi entah kemana.
Sunyi keadaan disekitar itu, seakan denyut jantungpun dapat
terdengar. Ban Liang melirik Siauwpek. ia berkata perlahan : "Harap kamu
menanti sebentar disini, aku hendak mengetuk pintu."
"Silahkan, loocianpwee." sahut si anak muda. Ban Liang
bertindak perlahan menghampiri pintu. Ketika ia mulai mengetuk
iapun mengetuk dengan perlahansiauwpek
memasang telinga. ia mendengar ketukan pintu itu
bagaikan berirama Setelah mengetuk beberapa puluh kali, si jago
tua berhenti. Kho Kong memandang kesekitarnya.
"Beginikah tempat kediaman seorang pandai surat?" pikirnya.
Didalam kesunyian itu, dari dalam rumah terdengar suara yang
halus tetapi terang. "Siapa?"
Suara itu menarik hati terdengarnya.
Ban Liang tercengang. ia rupanya tidak menyangka akan
mendengar suara wanita.
"Aku yang rendah, Ban liang." Sahutnya perlahan-
"Ada pengajaran apa, Ban cianseng?" tanya pula suara merdu
itu. Dia membahasakan sian seng atau tuan- Sesungguhnya, suara
itu sangat menggiurkan.
Oey Eng heran hingga ia berpikir: "Benarkah kata pepatah,
"Digunung yang dalam ada burung yang indah dari rumah gubuk
muncul seorang nona cantik,." Belum pernah aku mendengar suara
wanita begini halus dan merdu."
Ban Liang yang tua dan berpengalamanpun dipengaruhi sekali
suara itu. Baharu lewat sesaat, ia menjawab: "Aku hendak menemui
kakak Hoan- Aku minta sukalah nona tolong memberitahukan
tentang kedatanganku ini."
Sebelum memperoleh jawaban, Ban Liang lebih dulu mendengar
tarikan napas yang panjang.
"Kau datang terlambat. Guruku telah menutup mata sudah lama
sekali." Itulah jawaban diluar dugaan sijago tua, sehingga dia berdiri
tertegun, hingga tak tahu dia apa yang mesti diucapkan- Diapun
merasakan hatinya sakit bagaikan diiris iris.
Dari dalam rumah gubuk itupun tak terdengar suara apa apa,
sampai lewat sesaat baru si nona menambahkan- "Gubuk kami kecil
dan sempit, tak ada tempat untuk kami menerima tetamu, maka itu
Loocianpwee, silakan"
Baru sekarang Ban Liang dapat membuka pula mulutnya. "Nona,"
tanyanya, "sejak kapankah nona jadi murid kakak Hoanku itu?"
Suara halus dan merdu itu terdengar pula :
"Sudah sejak beberapa tahun. Apakah Ban locianpwee kurang
percaya akan kata kataku ini"
Ban Liang menghela napas.
"Bukannya loohu tidak percaya atau bercuriga, nona," sahutnya.
"Sebabnya ialah belum pernah loohu mendengar bahwa kakak Hoan


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada atau telah menerima murid, hingga aku jadi heran karenanya"
"Walaupun Ban loocianpwee belum pernah mendengar halnya
guruku menerima murid akan tetapi sebaliknya kami, kami telah
mendengar suhu sering bicara tentang loocianpwee," demikian
suara dari dalam itu, yang menyebut "suhu" untuk gurunya. Karena
ia menggunakan kata kata "kami", teranglah nona itu terdiri lebih
dari satu orang. Kembali Ban Liang menghela napas.
"Syukur sahabatku itu tidak melupakan sahabatnya," katanya,
perlahan-Dari dalam gubuk terdengar pula elahan napas perlahan-
"Sayang guru kami itu belum pernah menyebut halnya
loocianpwee adalah sahabat karibnya, kalau tidak- tidak nanti
boanpwee bicara secara begini dengan loocianpwee." kata pula
suara didalam. Ia sekarang membahasakan diri "boan-pwee", orang
dari tingkat muda
"Bagus benar" kata Ban Liang didalam hati. "Bicaramu begini
halus dan merendah, tetapi kau toh tidak sudi membukakan pintu
untuk mempersilahkan aku masuk..."
Siauw Pek bertiga mendapat dengar tegas pembicaraan diantara
dua orang itu, mereka terus mendengari, tetapi Kho Kong tidak
sabaran, maka dia berbisik kepada ketuanya^.
"Pintu gubuk itu tidak kokoh- kuat, dapat kita mendobraknya
terpentang" Ketua itu tersenyum.
"Ban Loocianpwee sendiri tak mau berbuat demikian, kenapa kita
mendahului dia?" katanya. "Pasti ada sebabnya kenapa Ban
loocianpwee bersikap sabar begini.Jangan kita sembrono."
Setelah sesaat, baru terdengar suara sijago tua: "Sudah nona
ketahui bahwa akulah sahabat kekal gurumu, kenapa nona tidak
mau membuka pintu untuk kami bertemu muka " Akupun perlu
menghunjuk dihadapan abu kakak Hoan itu."
Suara didalam itu menjawab: "Kalau begitu, silahkan loocianpwee
masuk " Ban Liang segera menolak daun pintu, yang terbuka dengan
segera nyatalah pintu itu hanya dirapatkan- Ketika ia melihat
kedalam, ia mendapatkan seorang nona dengan pakaian hijau
duduk membelakangi pintu, mukanya menghadap kedinding bilik,
dimana tergantung gambar lukisan seorang pria.
Ban Liang segera mengenali gambar sahabatnya, si orang she
Hoan itu, yang sebenarnya bernama tiong heng. Di atas meja ada
hlo louw, tempat abu, yang tertancapkan sebatang hlo, yang apinya
menyala, dan asapnya bergulung naik.
Dengan melihat saja belakang si nona, Ban Liang segera
menerka bahwa orang mestinya cantik sekali. Katanya didalam hati:
"Melihat punggung dia, hati orang sudah berdenyut, kalau melihat
wajahnya, mungkin orang akan berlutut didepannya dan akan
mengaku sebe hambanya..."
Jago tua ini bukan pemogor tetapi toh dia tertarik hatinya.
"Apakah Ban Loocianpwee telah melihat gampar ditembok itu?"
demikian terdengar pertanyaan si nona.
"sudah," sahut orang yang ditanya.
Mendapat jawaban itu, si nona lalu berkata: "Baiklah kalau
begitu. Nah, terimalah hormat boanpwee"
Ban Liang dapat menangkap arti kata kata itu. Si nona minta dia
lekas untuk beri hormat pada gambar itu dan kemudian lekas
mengundurkan diri...
Tapi Ban Liang berpikir. "Saudara Hoan pandai ilmu tabib, tak
mungkin dia mudah mendapat sakit dan menutup mata karenanya
Nona yang begini cantik, mungkin dia ada hubungannya yang erat
dengan kematian saudara Hoan itu..."
Selagi jago tua ini menerka demikian, si nona telah berkata pula:
"Guruku telah menutup mata disebabkan menggunai pikiran terlalu
banyak, boanpwee menghaturkan banyak-banyak terima kasih atas
perhatian loocianpwee ini..."
Mendengar begitu, Ban Liang heran sekali. Teranglah bahwa
orang telah menerka apa yang ia pikir itu. Karena ini, ia jadi
bercuriga. Dengan suara perlahan, ia memuji:
"Kakak Hoan, harap arwahmu mengetahui, jikalau kau mati
dengan mengandung penasaran, tolong kau memberikan alamat
kepadaku..."
Nona itu mendengar suaranya. Ia tahu tetamu itu bercuriga.
Maka ia lalu menjelaskan tentang sakit gurunya itu.
Ban Liang mengawasi gambar didinding itu, ia berkata pula:
"Kakak Hoan, kakak Hoan, bukannya aku bercuriga, tetapi kaulah
seorang pandai, kau tabib bagaikan dapat menghidupkan kembali
orang yang telah menutup mata, karena itu,jangan kata kau
memang selalu sehat walafiat, kau tak mungkin mendapat sakit,
andaikata kesehatanmu terganggu, kau puas, akan sembuh dengan
makan sebungkus atau sebutir saja obatmu, mana dapat kau
meninggal dunia karena capek bekerja?"
Jago tua ini tidak dapat menuduh langsung kepada si nona, maka
dia sengaja bicara kepada gambar si sahabat karib.
Tetapi si nona dapat menangkap maksud orang, maka ia
menghela napas dan berkata pula: "Dengan sebenarnya suhu
menutup mata karena bekerja terlalu keras .Jikalau loocianpwee
tidak percaya, ya, apa boleh buat..."
Itulah semacam tantangan- Tak dapatBan Liang bicara lebih jauh
dengan gambar orang maka ia batuk-batuk dan berkata pada si
nona: "Sebelum ada kepastian, tak berani aku bicara sembarangan-"
"Benarlah seperti kata suhu," berkata si nona. "Memang suhu
pernah mengatakan kepada boanpwee, seandaikata loocianpwee
datang kemari tentulah loocianpwee akan mencurigai wafatnya
suhu..." "Bagaimana andaikata benar loohu mencurigai?"
"Suhu memesan buat memberi waktu loocianpwee melakukan
penyelidikan-"
"Sahabatku itu pandai, tidak heran apabila dia dapat menerka
begini," pikir Ban Liang. "Hanya nona ini, siapa tahu dia bicara benar
atau dusta?" Maka ia berkata: "Lebih dahulu aku ingin pergi melihat
kuburannya sahabatku itu."
"Baik sekali. silahkan, loocianpwee"
Sekalipun dia sudah bicara begitu lama dengan tetamunya, nona
itu terus duduk madap kedinding, tak pernah sekali juga dia
berpaling. Ini pun mengherankan si jago tua, hingga makin
bertambahlah kecurigaannya.
"Baiklah, nona. Aku minta sukalah nona menunjukkan kuburan
itu." "Loocianpwee, apakah masih ada kehendakmu yang lain?" si
nona bertanya. "Kalau ada, tolong loocianpwee beritahukan
sekalian- Sebentar, setelah menjenguk kuburan suhu, kukira tak
usah loocianpwee datang pula kemari"
Kata kata itu berarti pengusiran terhadap pihak tetamu akan
tetapi walaupun demikian, suara si nona tetap merdu.
"Ini... ini..." kata Ban Liang, bingung, "sulit aku menerimanya..."
Nona itu menghela napas.
"Ah, benarlah kata suhu," katanya. "Suhu memberitahukan
kepada boanpwee bahwa ianpwee sangat bercuriga."
"Mati atau hidup ada soal besar sekali, nona, karena itu, soal itu
perlu ada kepastian-"
Atas itu maka terdengarlah suara tinggi dari si nona^ "Adikku,
pergi kau ajak Ban loocianpwee menjenguk kuburan suhu"
Mendengar kata-kata itu, Ban liang heran- Apalagi setelah itu
seorang nona segera muncul dari balik gorden disisi mereka. Nona
itu halus jalannya. Ban Liang segera menoleh, untuk mengawasi.
Segera ia tertegun.
Nona itu, baik dandanannya, maupun potongan tubuhnya, sama
benar dengan nona yang lagi duduk itu. Hanya dia ini dapat dilihat
wajahnya dengan jelas. Dia cantik sekali. sepasang alisnya lentik,
kedua matanya tajam dan hidup, hidungnya bangir, mulutnya
mungil, sedangkan bibirnya merah. Dia elok bagai pigura.
Nona itu langsung menghampirkan nona yang memanggil "adik"
kepadanya, dia sedikit membungkuk untuk mukanya mendekati
muka nona yang duduk itu, buat berbicara dengan perlahan, seperti
berbisik. Setelah itu, dengan tindakan perlahan, dia berjalan keluar
rumah. Kembali Ban Liang heran dibuatnya.
"Nona ini mau mengajak aku melihat kuburan sahabatku, kenapa
dia tak menyapa sedikit juga kepadaku?" tanyanya didalam hati.
Justru jago tua ini keheran heranan, ia mendengar si nona yang
tetap duduk itu berkata kepadanya. "Adikku itu memang tak suka
banyak bicara, loocianpwee baik ikuti saja dia.Jangan loocianpwee
menanyakan apa juga, supaya tidak terjadi sesuatu yang akan
membuat pertemuan ini bubar secara tidak menyenangkan-.."
"Hal bagaimanakah ini?" tanya sijago tua itu didalam hati. ia
heran bukan kepalang. Maka ia lalu menanya : "Nona,
bagaimanakah andaikata ditempat pekuburan itu loohu melihat atau
menemui sesuatu yang mencurigakan" Bagaimana jikalau loohu
memikir untuk menanya dia " Masih tak bolehkah ?"
"Paling baik loocianpwee jangan bicara dengan adikku,"
menjawab si nona, tenang. "cukup apabila loocianpwee simpan saja
didalam hati" Kembali Ban Liang heran sekali.
Ketika itu si nona penunjuk jalannya sudah keluar sejauh
beberapa tombak dari rumah gubuk. terpaksa jago tua itu pergi
menyusul. Sementara itu Siauw Pek bertiga menanti dengan sabar, hanya
mereka merasa aneh waktu melihat ada seorang wanita muda
keluar dari rumah gubuk tapi jago tua itu tidak muncul. Mereka
melihat tegas nona itu, yang cantik, yang bertindak dengan
perlahan. Tadinya mereka mau menghampiri rumah, untuk mencari
tahu, tapi justru itu tampak kawan mereka keluar. Segera Siauw Pek
bertindak maju. "Loocianpwea mau pergi kemana?" tanya dia.
"Siapa nona itu?"
"Merekalah murid-murid sahabatku almarhum." sahut Ban Liang.
"Sekarang aku mau ikut nona itu memberi hormat pada arwah
sahabatku itu."
"oh, begitu?" kata Siauw Pek, heran, "Kamu turut atau jangan?"
"Baiklah kita pergi bersama..." berkata Ban Liang. yang tiba-tiba
merandak. "Hanya, nona itu tidak suka banyak bicara, kita jangan
bicara dengannya." Dengan berkata begitu, orang tua itu berjalan
pula akan menyusul si nona.
Siau Pek mengikuti, diturut oleh Oey Eng dan Kho Kong.
Nona itu mengajak para tetamunya berjalan sejauh sampai
empat lima lie, sampai di sebuah lembah yang sunyi. Bahkan itulah
lembah yang mati. Sebab disebelah depannya sebuah puncak tinggi
menutup jalan, dan dikiri dan kanannya adalah dinding dinding bukit
yang tinggi dan licin-
Ban Liang melihat sekeliling, ia tidak mendapati kuburan,
sehinnga segera ia merasakan heran- "Apakah budak itu
memancingku datang kemari?" ia menerka nerka. "Mungkinkah dia
merencanakan sesuatu?"
Selagi jago tua itu menduga, si nona sudah berjalan terus, ia
melewati sebuah batu besar yang seperti menutupi jalanan. ia jalan
disisi batu besar itu.
Ban Liang heran, mau ia menanya, tetapi ia batalkan maksudnya.
Si nona tadi telah memesan dengan sangat supaya ia jangan
berbicara dengan nona pengantar itu. Iapun tadi sudah memesan
Siauw Pek bertiga, maka jikalau ia yang mulai bicara, ketiga
sahabatnya itu pasti menjadi dan akan mentertawakannya. Maka ia
mengekang diri, tidak berkata. sebaliknya, ia mempercepat tindakan
kakinya, untuk menyandak nona itu. ia telah memikir, andainya
sinona melakukan sesuatu tindakan, hendaknya ia mendahului turun
tangan, agar ia atau mereka tak sampai terjebak.
Nona itu berjalan terus. Dia menghampiri sebuah batu karang
yang besar Kembali ia jalan disamping batu itu. Hanya sekarang dia
segera sampai didepan sebuah gua. Di situlah dia memutar tubuh,
berpaling kebelakang, tangannya berulang kali menggapai,
tangannya itu putih bagai batu kemala.
Ban Liang menghampiri nona itu sampai dekat. ia melihat gua itu
bagaikan terkurung dinding batu diempat penjuru. Pikirnya:
"Tanpa memasuki sarang harimau, tak memperoleh anak macan"
maka teruslah ia bertindak masuk.
Bagian dalam dari gua itu merupakan dua ruang yang lebar.
Itulah gua alam, bukan gua buatan- seluruh ruang bersih
keadaannya. Di tengah itu, dekat pada dinding terdapat sebuah peti
mati yang terbuat dari batu. Dan si nona segera menekuk lutut di
depan peti mati itu, kedua pipinya yang merah dadu dilanda air
matanya. Dia menangis sedih tanpa suara.
Memandang petimati itu, tanpa terasa Ban Liangpun
mengucurkan airmata. ia ingat sahabat karibnya Begitu ia datang
dekatpetimati itu, ia menagis menggerung. Tidak dapat ia menahan
duka hatinya. siauwpek bertiga menyusul masuk. Mereka mendengar tangisan
kawan tua itu, mereka melihat kesedihan sikawan, sedangkan si
nona menangis tanpa suara. Dengan sendirinya mereka turut
terharu, sehingga mereka berdiam saja air muka mereka suram.
siauwpek tak tahu petimati itu jenazah siapa, hanya Ban Liang
telah memberitahukan tentang sahabatnya, slorang she Hoan itu
yang katanya pandai sekali, maka sendirinya ia itu menghargai
sahabat yang sudah menjadi orang halus itu. Bahkan sendirinya ia
bertekuk lutut didepan petimati.
Ban Liang juga berlutut. Sesudah lewat sekian lama, setelah
merasa sedikit tenang, iapun berkata kata seorang diri: "Kakak
Hoan, oh kakak Hoan kau pintar luar biasa, kenapa sekarang kau
meninggaikan dunia secara diam diam begini" Tidakkah ini sangat
menyedihkan" Bukankah kau sangat menderita" Kakak, aku
menyesal tidak mendapat kesempatan bertemu denganmu Kakak. di
saat terakhir ini, tak dapatkah aku melihat wajahmu?"
Kata kata ini diucapkan seorang diri akan tetapi itulah disengaja
oleh sijago tua karena secara tidak langsung, ia tujukan itu kepada
sinona pengantarnya. Itulah pengutaraan dari kecurigaannya. itu
juga menyatakan bahwa ia ingin membuka tutup peti mati...
Mendengar suara orang itu, sinona menyeka air matanya,
kemudian dia berpaling, memandang jago tua itu kedua biji
matanya bersinar sangat tajam. Dia agaknya mau bicara tetapi
batal. Ban Liang menyesal ia dapat menerka hati sinona, tetapi orang
tidak membuka mulut, ia tidak memperoleh kepastian apa yang si
nona hendak ucapkan, walaupun demikian ia telah mengambil
ketetapan, untuk membuka tutup petimati. Maka dia bertindak
mundur dua langkah, untuk memasang kuda kuda, guna mengulur
kedua tangannya, memegang pinggiran tutup petimati itu. Begitu ia
mengerahkan tenaganya tutupnya segera terangkat naik sambil
memperdengarkan satu suara bergeser keras.
Serentak dengan itu dari dalam peti mengepul asap putih, yang
harum, terus bergulung gulung naik. Bau harum itu menyenangkan-
Sebelum melihat ke dalam peti, Ban Liang lebih dulu menoleh
pada si nona. ia melihat nona itu berlutut di depan peti, kedua
tangannya menututpi muka, kedua bahunya bergerak gerak tidak
hentinya. Teranglah nona itu sangat bersedih dan ia menangis
tanpa suara. Setelah asap putih membumbung naik, maka didalam petimati itu
tampak sebuah jenazah yang masih utuh, orangnya kurus, usianya


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setengah tua, yang bajunya warna yang panjang. Dia rebah dengan
tenang. Ban Lian mengawasi. Kecuali lebih kurus sedikit, sahabat itu
sama dengan sahabat yang sudah lewat dari beberapa puluh tahun
yang lalu. d isaat mereka berdua berpisahan buat penghabisan kali.
Yang mengherankan, wajah sahabat itu bagaikan orang yang lagi
tidur, tak mirip dengan orang yang tanpa nyawa...
Sebagai jago tua, yang banyak pengalamannya, tahulah Ban
Liang bahwa mayat itu terlindung oleh asap tadi, maka tubuhnya
bertahan tak dapat rusak.
Sementara itu sisa asap hampir habis, Ban Liang menjadi
bingung. ingin ia lekas lekas meletakkan tutup petimati itu untuk
menutupinya lagi, Tapi tiba tiba dibawah kepala mayat tampak
ujung sehelai kertas putih- Maka ia lalu berpikir: Hoan Tiong Beng
pandai luar biasa, dia meninggaikan suratnya ini tentulah menuruti
rencana yang ia telah atur. Mungkinkah kedua nona itu tak
melihatnya" Mungkinkah karena aku membuka tutup peti, surat ini
bergerak sendirinya" Barangkali isi surat ini menjelaskan sebab
musabab dari kematiannya bahkan juga menyebut siapa musuh
yang telah membinasakannya"..."
Karena menerka demikian, sebat luar biasa Ban Liang
menggunakan sebelah tangannya menyambar surat itu, lalu
dimasukkan kedalam sakunya, setelah mana dengan berhati hati ia
meletakkan pula tutup petimati, untuk menutupinya kembali dengan
baik. Si nona berpakaian hijau masih menangis mendekam, tetap
tak terdengar suaranya.
Siauwpek bertiga melihat gerak gerik jago tua itu tetapi mereka
diam saja. Ban liang bertindak mundur segera setelah peti tertutup rapi.
Sudah tentu tidak ada kesempatan untuknya membaca surat dari
dalam petimati itu, maka ia segera menggunakan Toan Im cie Sut -
Ilmu menyalurkan suara untuk bicara pada Siauw Pek. katanya:
"Kau perhatikan nona ini" Segera setelah itu ia mengundurkan untuk
pergi keluar dari dalam ruang itu
Siauwpek mengerti, diam diam ia menyentuh Oey Eng dan Kho
Kong, untuk mengatur mereka itu, hingga sikap mereka bagaikan
mengurung sinona.
Setiba diluar gua, Ban liang segera mengeluarkan surat tadi
untuk dibaca. Surat itu tertutup rapi, tidak ada tandanya bekas
dibuka, alamatnya yaitu: "Saudara Ban Liang Buka dan baca sendiri
surat ini."
"Ha, kiranya, sebelum sahabatku menutup mata, dia sudah tahu
ajalnya bakal tiba," pikir seng supoan "Iapun telah menerka bahwa
aku bakal datang kemari untuk menjenguknya bahwa tak dapat
tidak. aku pasti bakal membuka petimatinya, maka dia
meninggalkan surat rahasia ini."
Ia lalu membaca bunyinya surat, yang tertulis atas kertas yang
halus. Nah beginilah : "Saudara Ban Liang
Sesampainya surat ini ditanganmu, aku telah menutup mata
sejak beberapa tahun yang lampau. Dan, disaat saudara datang ke
mari melihatku untuk berbela sungkawa, itu pula saatnya yang
dunia kang ouw mulai terancam petaka maha besar..."
Membaca sampai disitu, jago tua ini menghela napas. Didalam
hati ia memuji, "Sungguh lihay HoanTiong beng. Ia telah dapat tahu
dan meramalkan apa yang bakal terjadi setelah dia meninggalkan
dunia yang fana ini..." Kembali ia menghela napas, lalu ia membaca
lebih jauh : "Rumah gubukku tetap seperti biasanya, pemandangan alam
gubuk ini seperti sedia kala. tetapi saudara, kau tentunya akan
berduka karena kematianku ini, kau pasti mencurigai kedua nona
yang berdiam didalam gubukku - mencurigai tanpa mereka
bersalah..." Membaca tulisan itu, Ban Liang malu pada dirinya
sendiri. Tapi membaca terus :
"Bakatku telah dibatas, maka itu aku tidak berdaya mempelajari
ilmu silat sampai ke puncak kemahiran, karenanya aku merubah cita
citaku, aku terus memahamkan ilmu bintang dan meramal. Didalam
pelajaran ini, aku harus berhati hati supaya aku tidak sampai
tersesat, sebagaimana sering terjadi pada lain orang. oleh karena
sulitnya pelajaran ini maka aku hidup menyendiri, aku menolak
kunjungan siapa juga. Pada saat aku memperoleh kemajuan ilmu
itu, tiba-tiba aku merasakan perubahan pada tubuhku..."
"Ah..." mengeluh Ban Liang. "kiranya dia terlalu letih karena
meyakinkan ilmunya yang baru..." Lalu ia membaca pula :
"Adalah pada saat itu, dengan tiba tiba ada seorang tani datang
padaku, membawakan sepasang bayi padaku. Mereka adalah itu
dua anak perempuan yang saudara menemuinya. Mereka berbakat
luar biasa, merekalah murid muridku yang tepat.
Hanyalah sayang kedua anak manis itu, mereka sama-sama
bercacat. Walaupun mereka berdua cantik luar biasa, mereka ada
kekurangannya masing masing : Sang kakak matanya tak dapat
melihat, sang adik mulutnya tak dapat berbicara..."
Membaca demikian, barulah Ban Liang tersadar. Pantas nona
yang pertama selalu membelakanginya, dan nona ini tak suka bicara
dengannya. Teranglah, nona yang pertama tadi sang kakak. dan
nona ini sang adik.
"Sayang... sayang..." pikirnya, "Mesti mereka berdua sangat
cantik, sebagaimana kata sahabatku ini. Aku telah melihat potongan
tubuh si nona pertama dan mendengar suaranya yang begitu lemah
lembut dan merdu Adiknya inipun elok sekali, wajahnya sangat
menggairahkan. " Kembali ia membaca pula :
"Setelah aku menerima sepasang anak kembar itu, padaku telah
terjadi suatu perubahan besar. Aku telah merawat mereka hingga
besar, setelah mana setiap hari, setiap saat, kami hidup sangat
bergembira ria. Semangatku terbangun, hingga aku tidak memikir
hari-hari penghabisanku. Aku menyayangi mereka, dan mereka
sebaliknya sangat berbakti kepadaku.
Benar dugaanku, mereka berbakat sangat baik, mereka cerdas
sekali, sang kakak tuna netra akan tetapi telinganya celih dan
pandai mendengar dan membedakan segala rupa suara, sedangkan
otaknya sangat tajam dan kuat. Sementara sang adik, walaupun dia
bisu akan tetapi otaknya sangat tajam, ingatannya sangat kuat. Apa
yang telah dia lihat, tak dapat dia lupakan- Asal dia membaca, satu
kali saja, dia ingat untuk selama-lamanya. Dia pandai pula melihat
suasana. Kedua kakak beradik itu berkumpul setiap waktu, siang dan
malam. Mereka hidup sangat rukun, dapat mereka saling mengalah.
Suara mereka suara bicara dan tertawa sangat menyenangkan siapa
yang mendengarnya, maka juga selama belasan tahun, hatiku
terbuka, aku selalu gembira.
Tentu saja, kakak beradik itu mewujudkan cita-citaku. Semua
kepandaianku, aku wariskan kepada mereka berdua. Hanya sayang,
sebelum mereka dapat menyelesaikan pelajaran mereka, tiba-tiba
kesehatanku terganggu pula. Maka itu, saudara, aku lalu menulis
suratku ini untukmu..."
sampai disitu suratnya Hoan Tiong Beng itu sudah tidak karuan
macam, sudah tidak nyata, dan sukar untuk dimengerti, meski Ban
Liang menerka nerka, ia tak dapat, Maka surat itu ia masukkan pula
kesakunya untuk disimpan- Karena ia memikir, menyimpan itu tidak
ada ruginya. Bahkan menyimpan suratnya seorang sahabat karib
adalah baik sekali, sebagai kenangan/ Siapa tahu kalau surat itu
masih mengandung arti lainnya yang belum sanggup pecahkan"
Mungkin dibelakang hari, ia dapat menyuruh bacakanpada salah
seorang ahli surat.
sambil berpikir jago tua ini kembali kedalam gua, si nona bisu
masih mendekam dan mengangis. Menampak demikian ia jengah, ia
malu sendirinya. Ia menghela napas.
"Sudah, anak. jangan kau menangis," katanya menghibur. ia
anggap pantaslah kalau ia memanggil anak kepada nona itu, sebab
sinona dan saudaranya menjadi anak-anak pungut dari sahabat
kekalnya itu. Nona itu mengangkat kepalanya, memandang pada orang yang
menyapanya. Mukanya masih penuh dengan air mata. Kemudian, ia
merapikan tutup petimati, habis mana ia bertindak keluar gua.
Masih airmatanya meleleh Walaupun demikian, sikapnya tenang.
Terhadap Siauw pek bertiga, ia menolehpun tidak apa lagi
mengawasi. "Loocianpwee" berbisik Kho Kong, "kita berdiam disini atau ikut
sinona?" "Kita ikut dia," menjawab Ban Liang, yang terus mendahului
bertindak keluar.
Siauwpek bertiga mengikuti di belakang jago tua itu, maka
berempat merekapun mengikuti dibelakang sinona, menuju ke
rumah atap. Kho kong merasai dadanya penuh, beberapa kali ia hendak
menyapa sinona, saban saban ia bisa mencegah hatinya. Ia
mentaati pesan Ban Liang.
Tiba dimuka rumah, nona itu tidak menoleh untuk mengatakan
sesuatu, atau memberi isyarat apa-apa, langsung ia bertindak
masuk ke dalam rumahnya. Ban Liang menghentikan tindakannya.
"Silahkan menanti sebentar disini," katanya pada kawankawannya.
"Hendak aku masuk ke dalam buat dengan kedua
saudara itu."
"Aku rasa tak perlu, loocianpwee," Kho Kong berkata. "Sahabat
loocianpwee sudah meninggal dunia, kedatangan kita kemari sudah
tidak ada hasilnya, apakah faedahnya akan berbicara dengan kedua
anak perempuan itu?"
Ban Liang menjawab kawan ini, sikapnya tenang suaranya adem:
"Walaupun sahabatku itu sudah lama menutup mata tetapi ia telah
meninggalkan suratnya yang ada menyebut nyebut tentang kaum
Kang ouw, perihal apa yang bakal terjadi, bahkan ia telah
mengetahui bahwa aku bakal datang kemari..."
Oey Eng khawatir akan menyebabkan bentrokan, ia lekas datang
sama tengah. Katanya "Karena Hoan Loocianpwee dapat
meramalkan apa yang bakal terjadi didalam dunia Kang ouw,
mungkin dia telah mengatur sesuatu..." Ban liang menghela napas.
ia mengawasi Siauwpek.
"Nona itu sudi atau tidak membantu kita, itulah akan tergantung
kepada untung bagusmu saudara kecil" katanya.
siauw Pek berpikir : Mungkinkah nona itu masih demikian muda,
dapat membantuku. coh Siauwpek, akan menjelaskan sakit hati
ayah bundaku?" Meski ia beragu-ragu itu, ia toh berkata pada
slorang tua^ "Loocianpwee, aku mengenal kepadamu. Terserahlah"
Ban Liang mengangguk. ia berkata: "Aku akan menggunakan
segala kepandaianku untuk meminta mereka ini suka
membantumu..." ia berdongak, ia menghela napas. Lalu ia
menyambungi: "Aku slorang tua, kecuali kedosaanku sering
melakukan pembunuhan kepada orang orang jahat, aku percaya
betul bahwa apa yang aku telah lakukan, semua itu tak ada satu jua
yang tak dapat dikemukakan d ihadapan langit dan matahari
Semoga kedua nona itu telah mewariskan semua kepandaian
sahabat kekalku itu, supaya dengan cara kepandaiannya itu mereka
akan berhasil menolong dunia Kang ouw dari ancaman mara
bencana ..."
Begitu habis berkata, segera orang tua ini membuka langkahnya
bertindak masuk kedalam rumah bilik almarhum Hoan Tiong Beng...
siauw Pek bertiga mengawasi jago tua itu, sianak muda melihat
tindakan orang agaknya berat, Itulah bukti kesangsian sijago tua
tentang maksudnya mengundang sinona nona akan berhasil atau
tidak. Maka ia sendiripun jadi berpikir keras.
Pintu rumah tetap cuma dirapatkan, maka Ban Liang sudah
menolaknya terbuka. Begitu daun pintu terpentang, segera
terdengar suara merdu dari sinona tunanetra: "Adikku telah
memberitahukan aku loocianpwee telah memegang teguh janjimu."
Ban liang mengangkat kepalanya. ia melihat sinona masih tetap
duduk menghadapi dinding.
Hanya sekarang sinona bisu berdiri mendampingi kakaknya itu.
Pada kedua belah pipi merah dadu nona itu masih ada bekas air
matanya. Dengan sendirinya hati jago tua itu berdenyut Sedetik itu ia
merasa jengah sekali. syukur tadi ia tidak melakukan tindakan
lainnya kecuali mengambil surat wasiat sahabat karibnya. ia
mengangkat kedua tangannya dan berkata perlahan: "Tadi dari
dalam peti mati, loohu telah mengambil surat sahabat karibku, baru
setelah membaca surat itu ternyata loohu telah mencurigaimu, nona
nona. Maka itu sekarang loohu merasa hatiku tidak tenang..."
"Itulah tidak apa, loocianpwee," menjawab si nona, sabar.
"Loocianpwee sangat menyayangi sahabat kekal, perbuatanmu itu
adalah perbuatan yang tak dapat dihindarkan siapa juga."
"Didalam surat wasiatnya itu, sahabatku telah menulis jelas
tentang kamu berdua, nona nona. Ternyata kamu telah mewarisi
seluruh kepandaian kakak Hoan."
"Suhu pandai luar biasa, kami sebaliknya bodoh dan bercacat.
walaupun kami telah mempelajari kepandaian suhu almarhum, apa
yang kami peroleh tidak ada satu perselaksa..."
"Harap nona nona jangan sungkan, tak usah nona nona
merendah," berkata Ban Liang
"Kakak Hoan telah menulis jelas sekali didalam suratnya itu." ia
diam sejenak, baru ia melanjutkan- "Sekarang ini dunia Kang ouw
tengah terancam mala petaka besar, oleh karena itu sesudah nona
nona dapat mewarisi kepandaian sahabatku itu, mana dapat kamu
berdiam saja ditempat ini hingga kamu seperti memendam
kepandaian kamu itu" Maka itu nona nona, baiklah nona turut pada
loohu untuk kita memasuki dunia, guna melakukan sesuatu yang
menggemparkan, buat menolong menyingkirkan ancaman- bencana
bagi khalayak ramai. Secara begitu nona nona kamu jadi tidak akan
menyia nyiakan jerih payah kakak Hoan yang telah mendidik
kamu..." Setelah kata kata jago tua itu, ruang kamar sunyi senyap. Selagi
sijago tua menantikan jawaban, nona nona itu terdiam semuanya.
"Loocianpwee mengangkat terlalu tinggi kepada kami dua
saudara..." kemudian terdengar suara sinona yang matanya tidak
melihat. Habis itu, ia menghela napas panjang. Masih hening
sekejap. baru ia menambahkan^ "oleh karena loocianpwee menjadi
sahabat suhu, pasti di dalam suratnya suhu menulis jelas sekali
tentang kami dua saudara, sang kakak buta sang adik gagu bahwa
itulah cacat asal..."
"Memang sahabatku ini menulis demikian di dalam suratnya,"
berkata Ban Liang, "akan tetapi disamping itu sahabatku memuji
tinggi kepada kepandaian nona berdua, bahwa bakat nona nona
bagus luar biasa, karenanya dengan menerima warisan kepandaian
gurumu, nona nona bagaikan warna hijau yang asal mulanya warna
biru." Sinona menghela napas pula. Katanya: "itu juga pujian saja dari
suhu. Meskipun kami berdua telah menerima perlindungan dan
kasih sayang suhu, yang memandang kami bagaikan anak anak
kandung, yang telah mengajari kepandaiannya, toh disebabkan
bakat bebal dari kami, kami telah menyia nyiakan pengharapan
suhu kami itu. cacat kami telah membatasi kesanggupan kami
banyak sekali. oleh karena itu, loocianpwee, tidak sanggup kami
mencegah ancaman dunia Kang ouw itu, karenanya, menyesal kami


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harus menyia nyiakan juga pengharapan loocianpwee ini."
Ban Liang melengak. suara gadis itu halus dan merdu, akan
tetapi nadanya pasti.
"Nona nona, kamu tidak berniat muncul di dalam dunia, habis
apakah nona nona hendak tinggal bersembunyi disini buat selama
lamanya?" ia bertanya.
Jago ini menyaksikan perlengkapan rumah sangat sederhana.
Itulah nampaknya pertanda bahwa kedua saudara kembar itu tidak
berniat tinggal menetap di rumah atapnya ini...
Nona yang menghadap kedinding itu menjawab, "Loocianpwee
menjadi sahabat kekal dari suhu, kami tidak berada mendustai
loocianpwee Dengan sebenarnya lagi beberapa hari kami berdua
hendak pindah kedalam gua dari suhu kami, buat tinggal
mendampingi suhu untuk selama lamanya. Tak ada niat kami buat
pergi turun gunung ini..." Ban Liang bingung sendirinya. Hebat
keputusan nona nona ini.
"Akan tetapi, nona," berkata dia, cepat: "Sahabatku telah
mewariskan seluruh kepandaiannya kepada nona-nona, sebaliknya
nona hendak terus tinggal mendampingi jenazahnya tak ingin nona
keluar dari goa itu, memang benar dengan berbuat demikian nona
telah melakukan kebaktian nona-nona, tapi berbareng dengan itu
tidakkah nona juga menyia-nyiakan kepandaian yang telah
diwariskannya itu" Loohu kira itulah bukan pengharapan guru
nona." Tiba-tiba sinona berpaling. Inilah yang pertama kali ia
memperhatikan mukanya. ia berkata, walaupun dengan sabar:
"Seorang kakak tunanetra dan seorang adik bisu, dan anak
perempuan yang bercacat dan lemah walaupun kami telah
menerima warisan kepandaian suhu kami, apakah yang kami bisa
perbuat didalam dunia Kang ouw, didalam kalangan Rimba
Persilatan ?"
Ban Liang mengawasi sinona. ia kagum bukan main- Nona itu
lebih cantik daripada adiknya. Sepasang alisnya panjang dan lentik,
bila tidak tahu halnya sinona buta, ia pasti tak akan menyangkanya,
ia akan mengira sedang mendiamkan mata saja. ia menghala napas
saking menyesal dan terharu.
"Nona," berkata ia, "walaupun apa juga yang nona katakan tetapi
sura sahabat karibku telah menulis jelas sekali tentang kamu..."
Sinona menyingkap rambut didahinya. ia tertawa hambar.
"Meskipun Loocianpwee menggunakan lidah yang tajam, kami
kakak beradik yang bercacad ini tidak mempunyai hasrat untuk
muncul di dalam dunia persilatan-.." berkata ia suaranya tetap.
"Didalam dunia Kang ouw yang luas, nona tidak ada keanehan
yang tampak," berkata slorang tua membujuk. "Maka itu siapa tahu
andaikata kita akan dapat menemui seorang tabib yang pandai
mengobati mata hingga kedua mata nona nanti dapat melihat pula
serta adikmu nanti dapat bicara seperti kita ?"
"Loocianpwee baik sekali, terima kasih "
JILID 23 Suara si nona tetap hambar. Hanya sebentar, ia menambahkan :
"Loocianpwee, diantara pria dan wanita ada perbedaannya, oleh
karena itu, jikalau sudah tidak ada urusan lainnya, sudah tiba
saatnya buat loocianpwee kembali..."
Ban Liang terperanjat. Ia tidak sangka si nona mengeluarkan
kata-katanya itu. Itu artinya: bahwa ia telah diusir pergi Ia
melengak karenanya. Tapi ia segera sadar.
"Nona," katanya kemudian, "tahukah nona apa yang sahabatku
tulis didalam surat peninggalannya itu?" orang yang ditanya
menggeleng kepala.
"Tidak" sahutnya.
Ban Liang berpikir dengan cepat. Kedua nona ini bercacat, karena
itu tak ingin mereka muncul didalam pergaulan umum. Bukankah
pantas jikalau aku mendustai, memperdayai mereka" Karena
berpiklr demikian, cepat cepat ia berkata: "Nona, bagaimana jikalau
didalam surat wasiat sahabatku itu ada ditulis pesan yang
memerintahkan nona nona mesti keluar dari gunung ini untuk
muncul didalam dunia Kang ouw?" Ditanya begitu, nona itu
tercengang. "Jikalau benar demikian, sudah selayaknya suhu memberitahukan
aku sebelumnya dulu beliau menutup mata," katanya sejenak
kemudian- "Pernahkah sahabatku itu memberitahukannya"
"Tidak."
Si nona menggoyang kepala.
"Jikalau sahabatku menulis demikian didalam suratnya itu,
bagaimana pendapat nona, apakah itu dapat dipandang sebagai
perintah guru."
"Jika hal itu benar, memang itu dapat dianggap sebagai suatu
perintah. Hanyalah, aku tak percaya, bahwa dalam surat wasiatnya
itu, suhu benar menghendaki kami muncul didunia."
Ban Liang berpikir cepat. "Memang surat HoanTiong beng cuma
memuai kecerdasan kedua muridnya tetapi tak ada pesan atau
perintah untuk kedua murid itu keluar dari tempat perguruannya. Ia
telah memikir untuk mendustai tapi segera insaf bahwa dialah
seorang tua dan seorang laki laki sejati, tak semestinya ia
mendusta. Atau umpama nona nona itu percaya dia, ada
kemungkinan kelak dibelakang hari mereka bakal menyesal seumur
hidupnya. Maka pada akhirnya ia menghela napas.
"Didalam surat wasiat sahabatku itu tak ada ditulis perintah
untuk nona nona muncul dalam dunia Kang ouw, katanya kemudian,
akan tetapi, menurut bunyinya surat, niat itu telah ternyata, hanya
entah kenapa, gurumu itu tak mau menyebutkannya, mungkin ia
ada memikir lainnya."
"Loocianpwee" tiba tiba si nona bertanya, "dapatkah loocianpwee
menunjukkan surat suhu pada kami untuk kami baca sendiri?"
"Boleh, boleh... menjawab Ban Liang cepat. Ia malah segera
mengeluarkan surat Tiong beng dan diberikan kepada si nona,
sedangkan hatinya berpikir aneh: "Kau tak dapat melihat,
bagaimana kau dapat membaca surat ?"
Si nona tunanetra menyambuti surat itu, yang ia terus serahkan
pada adiknya. "Kau lihat," katanya, "kau beritahukan aku bunyinya."
si nona itu menyambut surat itu, untuk dibuka dan dibeber
ditangan kirinya, sedangkan tangan kanannya diletakkan pada
tangan kakaknya, setelah mana jerijinya dikutik kutik, disentil sentil
perlahan lahan, bagaikan orang menabu kim (Kim kecapi atau gitar
Tiongkok) . Menyaksikan demikian, Ban Liang mengawasi dengan
tercengang. Inilah pemandangan yang asing baginya. Itulah cara
aneh, yang istimewa sekali, buat seorang bisu bicara dengan
seorang tunanetra
cepat si nona bisu menggerak gerakkan tangannya, lekas sekali
habis sudah ia "membacakan" surat gurunya itu kepada kakaknya.
Si nona cacat mata menghela napas.
"Perintah suhu tak dapat ditentang, kami tidak dapat tak
menerima baik kehendaknya itu," katanya kemudianHeran
Ban Liang, hingga ia melengak pula. Sedang dialah orang
yang meminta, bahkan dengan mendesak, agar nona nona itu sudi
membantu usaha usaha Siauwpek. "Bagaimana nona?" dia
bertanya, Jadi nona sudi keluar dari sini?" Tanpa merasa, jago tua
itu mengajukan pertanyaannya. Nona itu mengangguk.
"Surat suhu untuk loocianpwee jelas sekali bunyinya, berkata ia,
itulah seandainya loocianpwee meminta kami keluar dari sini,
maka..." "Maka bagaimana, nona?" tanya Ban Liang saking tegang
hatinya. Nona tunanetra itu tertawa perlahan.
"Maka kami tak dapat menolak," sahutnya Masih jago tua itu
heran, ya, heran sekali.
"Nona," katanya, "loohu tidak melihat surat yang bunyinya
demikian."
"Suhu menulis dengan kata kata rahasia," menjawab si nona,
menjelaskan- "Loocianpwee tidak tahu kata kata rahasia itu pasti
loocianpwee tidak melihatnya..."
"Begitu?" kata pula si jago tua. Di akhir suratnya akan tampak
corat coret yang tdak keruan bentuknya. Apakah itu pertanda yang
menyebutnya?"
"Itulah satu urusan lain, loocianpwee. Sekarang tolong
loocianpwee simpan surat ini kelak dibelakang hari masih ada
keperluannya yang berharga besar." Ban Liang menyambut surat
almarhum sahabat kekalnya itu.
"Dahulu semasa hidupnya gurumu, nona, segala perbuatannya
membuat aku si tua bingung tak mengerti," katanya, tidak kusangka
bahwa juga nona nona berdua sekarang telah mewariskan sifat
sahabat karibku ini..." Nona itu menghela napas.
"Itulah soal sulit untuk diterangkan dimuka," katanya "Didalam
segala hal, kami berdua mohon segala petunjuk dari loocianpwee..."
Ban Liang tertawa.
"Loohu bicara dari hal yang benar, nona" katanya. "Sekarang
saja perbuatan nona sudah memperlihatkan sifat gurumu itu."
Kembali si nona menghela napas.
"Sekarang, loocianpwee," katanya, sabar. tolong loocianpwee
berempuk dahulu dengan sekalian sahabat loocianpwee itu, supaya
kamu dapat memberi waktu tiga hari pada kami berdua saudara.
Tiga hari kemudian silakan loocianpwee beserta sahabatmu datang
pula kemari, waktu itu kami kakak beradik akan turut loocianpwee
pergi" "Memang nona nona harus menyiapkan sesuatu," berkata si
orang tua. "Baiklah, nona, inilah janji kita. Lewat tiga hari, kami
akan datang pula"
segera setelah berkata begitu, Ban Liang memutar tubuhnya buat
bertindak pergi.
Siauw Pek bertiga telah menantikan lama sekali rasanya, mereka
sudah habis sabar, maka itu melihat munculnya si jago tua, ia lalu
menyambut, dan segera bertanya, "Bagaimana loocianpwe, telah
bereskah pembicaraan dengan kedua nona itu?"
"Bagus" jawab Ban Liang separuh berseru, Diapun tertawa.
"Sudah beres cuma mereka minta waktu tiga hari buat mengatur
sesuatu urusan pribadi mereka. Nanti lagi, tiga hari, kita datang pula
kemari menyambut mereka." Siauw Pek mengangguk.
"Ya, kitapun baik menggunakan waktu tiga hari itu untuk
merencanakan tindakan kita selanjutnya," katanya. "Kita harus
pikirkan soal soal Kang ouw sekarang ini..."
"Ada satu hal, yang hendak loohu beritahukan kepadamu,
saudara saudara..."
"Apakah itu, loocianpwee?"
"Setelah kita berhasil mengundang nona itu untuk memohon
bantuannya," Ban Liang menjelaskan, "selanjutnya kita harus turut
setiap kata kata mereka agar dengan begitu mereka jadi merdeka
dan leluasa untuk memperlihatkan kepandaian mereka"
Mendengar demikian Kho Kong yang tidak mengatakan sesuatu,
segera berpikir dalam benak otaknya, "Dua nona yang masih hijau
sekali mana mereka sanggup mengurusi soal soal yang mengenai
dunia Kang ouw"Jika kita harus menuruti segala perkataannya,
tidakkah itu hal yang sangat lucu dan mentertawakan?"
Walaupun ia berpikir demikian, tak berani ia mengutarakannya,
karena ia khawatir nantinya bentrok dengan sijago tua.
Siauw pek mengangguk. memberikan janjinya, sedangkan Oey
Eng tidak mengatakan sesuatu.
Berempat mereka segera meninggalkan rumah atap itu, untuk
memasuki sebuah dusun kecil buat mengisi perut mereka didalam
sebuah rumah makan- Setelah itu mereka berjalan lebih jauh. Ban
Liang berjalan didepan, ia mengajak ketiga kawannya kesebuah
rimba, dimana dia berhenti. Lantas ia tertawa, sambil mengawasi
ketiga kawannya, ia berkata: "Bagaimana kamu lihat tempat ini?"
Siauw pek heran- Kenapa sahabat ini berhenti didalam rimba dan
bertanya drmlikian"
"Apa, loocianpwee?" dia balik bertanya.
"Bagaimana kalau kita melewatkan malam disini?" tanya si orang
tua. "Kenapa mesti berdiam disini, loocianpwee?" tanya Kho kong
heran- "Di dusun itu toh ada pondokan?"
Ban liang tidak menjawab, sebaliknya dia melompat naik keatas
pohon- "Saudara coh mari mari" katanya seraya berpaling dan
menunjukkan kesatu arah. "Kau lihat disana"
Si anak muda menurut, ia berlompat naik, bahkan dicabang
teratas. "Ada apa loocianpwee?" tanyanya.
"Lihat disana, tempat apakah itu?" kata pula sijago tua.
Siauw pek memasang mata. Ia melihat sebuah pengempang
ditempat mana ada sebuah rumah atap. Itulah tempat kediaman
kedua nona bercacad yang luar biasa itu. "Itu toh tempat kediaman
kedua nona tadi?" tanya dia.
"Benar" sahutBan Liang, "Kita berdiam di sini, diam diam kita
mengawasi kedua nona itu" ia menghela nafas "siapa tahu bahwa
kedatangan kita ini secara sendirinya telah mengundang ancaman
bahaya untuk kedua nona itu" Bukankah kita bertanggung jawab
untuk melindungi mereka?"
Siauw pek berdiam, tetapi didalam hatinya dia berkata: "Inilah
kekuatiran yang berlebihan-.. "Justru baru berpikir demikian tiba
tiba ia melihat sesosok tubuh manusia muncul dari balik sebuah
pohon besar dan orang itu segera bertindak ke arah rumah atap
Sendirinya ia terperanjat.
Tatkala itu matahari lohor bersinar terang benderang, segala apa
tampak nyata sekali. Sesosok tubuh itu, sesudah maju sekian jauh
mendadak kembali ketempat asalnya dibalik pohon tadi.
"Nah, adik kecil, kau telah melihat, bukan?" kata Ban Liang.
"Ya," sahut kawan yang muda itu, yang kagum sekali terhadap si
orang tua. Ban liang menghela napas. Katanya perlahan. "Ketika tadi kita
meninggalkan rumah atap itu, aku merasa ada orang yang
menguntit kita, tetapi dia agaknya sangat lihay, dia membuat aku
ragu ragu?"
"Heran, loocianpwee, aku tidak tahu sama sekali, Siauw Pek
mengaku. "Inilah adik, disebabkan buak hasil pengalamanku beberapa
puluh tahun. Inilah semacam firasat, atau perasaan, yang
istimewa..."
"Bagaimana loocianpwee orang itu justru memperhatikan kalian
nona tadi?"
"Inilah sederhana sekali, anak. orang itu menguntit kita justru
kita baru meninggalkan rumah atap itu. Dia bukannya
memperhatikan si nona nona sejak tadi tadinya. Tegasnya perhatian
dia ketarik sebab kedatangan kita ini. Barusan sengaja aku menuju
ke rimba ini, menghindarkan diri dari perhatian orang itu." Siauw
Pek mengangguk.
"Dapatkah loocianpwee menerka apakah adanya perhatian orang
itu terhadap kedua nona itu" Ya, apakah maksudnya dia?"
"Sukar untuk memastikannya, anak. Kedua nona itu bercacat, toh
mereka tetap cantik dan menarik hati sekali. Buat orang baru tak
mungkin dia mengetahui bahwa nona nona itu ada kekurangannya
masing masing. Siapa tahu kalau orang kemaruk akan paras elok"


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Atau lagi, siapa tahu seandainya ada orang Kang ouw yang tahu
nona nona itu murid murid Hoan Tiong Beng dan dia mengandung
sesuatu maksud" Siauw Pek mengerti sekarang.
"Kita hendak melindungi nona nona itu," katanya. "akan tetapi
kita berdiam disini, apakah jarak kita tidak terlalu jauh ?"
"Memang jaraknya agak jauh. Tapi, orang itu mungkin tidak
bakal turun tangan secara sembrono, atau mungkin lain malam..."
"Apakah loocianpwee memikir buat nanti malam kita pergi
kepeng empang sana untuk melindungi kedua nona itu?"
"Tidak salah, benar begitu"
"Bagaimana jikalau orang itu cerdik luar biasa, yaitu dia turun
tangan disiang hari?"
"Maka juga kita harus berdiam diatas pohon ini, untuk selalu
memasang mata." Siauw Pek anggap usul itu baik.
"Kalau begitu saudara-saudara Oey dan Kho turut memasang
mata bersama," katanya.
"Benar. Pergi kau ajak mereka naik kemari" Siauw Pek melompat
turun. "Toako, kau melihat apa?" Kho kong segera menegur. si polos ini
heran akan sikap si jago tua dan dia menjadi tidak sabaran. Dia pula
tidak mengerti kenapa jago tua itu menghargai secara luar biasa
pada kedua nona tadi
"Aku melihat sesuatu."
"Apakah itu?"
"Melihat ada orang bermaksud jahat terhadap kedua nona itu
tadi" Si polos terperanjat, diapun heran- hingga dia menggaruk-garuk
kepalanya. "Toako, aku tidak mengerti" katanya.
Siauw Pek tertawa.
"Katakanlah saudaraku "
"Aku tidak percaya bahwa kedua nona itu pintar sekali atau
memiliki kepandaian " si sembrono mengutarakan isi hatinya.
"Mungkin mereka dapat membantu toako mencuci bersih sakit hati
toako sekeluarga serta menghindari bencana untuk dunia Kang ouw
?" Kembali Siauw Pek tertawa.
"Sebelum ada buktinya, saudaraku jangan kita sembarangan
mengambil keputusan "
Pemuda inipun menyangsikan kepercayaan kuat dari Ban Liang
terhadap kedua nona itu, sebaliknya pengetahuan, atau pengalaman
si jago tua, dihargainya sekali.
"Toakoh " kata pula si polos: "Toako telah memperoleh golok
emas dari ceng gie loojin kenapa toako tidak mau bertindak
langsung yaitu segera memanggil berkumpul rekan rekan kaum
rimba persilatan, buat membeberd ihadapan mereka tentang bahaya
yang lagi mengancam itu, untuk mereka bekerja sama " Kenapa kita
justru mengundang kedua nona nona yang buta dan gagu itu ?"
"Sabar, saudaraku. Dalam hal ini, kita harus mengandal kepada
ban loocianpwee. Dia sangat berpengalaman dan pengalamannya
itu mesti kita hargakan-"
Kali ini saudara bicara dengan sungguh sungguh, bahkan
nadanya bagaikan menegur sang adik, Kho kong sangat
menghormati ketua ini. ia tunduk.
"Baik, toako, aku akan tidak memperkukuh anggapanku ini,"
katanya. "Saudara saudara, mari kita lekas naik " tiba tiba terdengar suara
Ban liang di atas pohon- Suara itu terburu, sebagai pertanda adanya
urusan penting.
"Mari" Siauw pek mengajak dan ia mendahului melompat naik.
Kho kong segera menyusul begitupun Oey Eng yang sedari tadi
berdiam saja. Ia ini menurut saja pada ketuanya.
"coba perhatikan disana" kata Ban Liang selekasnya tiga sekawan
itu sudah berada bersama sama diatas pohon- Ia menunjuk
kerumahnya si nona nona tadi.
Siauw pek bertiga mengawasi ke arah rumah atap itu. Mereka
melihat beberapa orang tadi, yang pada memanggul pacul, tengah
bertindak kearah rumah atap itu. Mereka itu datang dari tiga
penjuru, maka keadaan mereka mirip suatu pengurungan-
"Suasana buruk agaknya, loocianpwee..." kata Siauw pek.
"Segala pak tani, dapatkah mereka dicurigai ?" tanya Kho Kong.
"sekarang ini saatnya orang bekerja di sawah," Ban Liang
berkata. Justru itu tampak orang-orang tani itu mempercepat tindakan
kakinya, semua menuju terus kearah rumah atap itu. Tetapi dilain
saat, mereka pada menyembunyikan diri. Melihat itu, baru Kho kong
turut menjadi bercuriga.
"Benar-benar mencurigakan " katanya. Lalu dia melompat turun,
untuk terus lari kearah peng empang.
"Adik, jangan sembrono " Siauw pek berteriak seraya turut
melompat turun untuk menyusul. Kho Kong berhenti lari
"Menolong orang bagaikan menolong memadamkan api
kebakaran," katanya, "mana boleh kita main ayal ayalan ?"
Ban Liang dan Oey Eng pun melompat turun menyusul dua
kawan itu. Si orang tua segera berkata "Agaknya mereka itu mau
bekerja disiang hari..."
"Benar Kita tak boleh terlambat, mari kita lekas pergi " mengajak
Kho kong. "Tapi, kita pergi secara begini, kita akan mendatangkan
kecurigaan-.."
"Apakah tak dapat kita menyamar ?" tanya kho kong. Ban Liang
melihat kesekitarnya.
Kebetulan sekali tampak seorang anak gembala kerbau tengah
bercokol dipunggung binatang angonannya itu sambil meniup
seruling. Melihat demikian si orang tua itu mendapat pikiran- Maka
berkatalah dia, "Saudara kecil, pergi kau menyamar jadi bocah
angon itu "
Siauw Pek menurut. Ia lalu melompat turun untuk menghampiri
si bocah angon- Ia menyapa bocah itu, ia bicara dengan sabar,
hingga tanpa curiga apa apa anak gembala itu suka meminjamkan
kerbau dan serulingnya. Maka lekas sekali sianak muda menjalankan
kerbaunya kearah peng empang.
Ban Liang lalu menyuruh Oey Eng dan Kho Kong, "kamu berdua,
pergi lekas pinjam atau sewa itu kereta ditepijalan, lalu lekas kamu
menyusul kami "
Oey Eng dan Kho Kong menurut, mereka lekas berlalu. Memang,
tidak jauh dari mereka, ditepijalan, ada sebuah kereta
"Kalau tidak ada kudanya, kita pakai kerbau saja..." kata Oey
Eng. "Ya, apapun boleh, asal kamu lekas-lekas" kata Ban Liang.
Oey Eng lalu menarik tangan Kho Kong untuk diajak pergi kepada
seorang pak tani didekat situ, buat meminjam baju kasarnya serta
paculnya juga, sehingga dengan penyamarannya sebagai pak tani,
dapat dia lekas menuju kerumah atap.
Siauw pek menuju kepeng empang dengan pikiran tak tenang.
Itulah sebab kerbaunya berjalan sangat lambat Karena itu juga
dilain saat, ia telah kena disusul dan dilewati Kho kong yang naik
sebuah kereta kuda, Kata si polos : "Toako,aku jalan lebih dahulu"
Ketua itu lalu berkata dengan saluran Toan Im cie-sut, "Baiklah,
saudaraku Tapi hati-hati, jangan sembrono Kecuali sangat terpaksa,
jangan kamu turun tangan Dan kau mesti dengar Ban loocianpwee"
Hanya sebentar kereta kho kong sudah lewat empat lima
tombak. hingga tak dapat diketahui si polos dapat mendengar
nasehat itu atau tidak.
Ban loocianpwee segera sampai didekat pengempang. Dengan
matanya yang tajam ia bisa melihat disitu, dibawah pohon, antara
gombol-gombolan rumput tebal, tengah bersembunyi sepuluh orang
lebih. Ia terkejut. Ia menerka inilah bukan orang orang kemaruk
paras elok, hanya mungkin mereka itu dipimpin seseorang yang
mempunyai maksud tertentu.
Pintu gubuk dan jendela tertutup rapat Mungkin kedua nona
didalam rumah itu telah mendapat firasat dan telah bersiap sedia
menghadapi ancaman bahaya. Sepasang angsa putih dipengempang
juta entah pergi kemana.
Ketika itu, keretanya Oey Eng dan Kho kong telah mendekati
rumah. Mereka tidak pandai mengendalikan kereta, merekapun
tergopoh gopoh, maka roda-roda kereta melanda tanah berlumpur,
hingga lumpurnya bermuncratanorang
orang yang bersembunyi didekat rumah rupanya telah
menduga kereta itu datang dengan maksud tak baik. dua
diantaranya muncul, guna menghadang. Hingga kereta berhenti
dengan tiba tiba.
"Mau apa kamu menahan kereta kami, tuan tuan?" Oey Eng
bertegur. Ia melihat lagi sepuluh tombak, akan tibalah mereka
didepan rumah. Dan kedua penghadang itu satu tua dan yang lain muda. Yang
tua usianya diatas lima puluh dan janggut ubatan dan panjang. dan
yang muda lebih kurang dua puluh tahun, kecuali dandanannya tak
mirip dengan orang-orang tani. Yang tua tertawa dingin dan
menegur: "Tuan tuan berdua dari partai mana " Nyali kamu tidak
kecil, ya?"
"Perlu apa kau menanya begini, tuan?"
"Menurut penglihatanku, kamu bukannya orang orang tani"
jawabnya. Kho Kong menyingkap tenda kereta. "Bagaimanakah
dengan tuan tuan berdua?" orang itu tertawa.
"Memang Memang kami bukannya orang orang tani" dia
mengakui. Mendadak ia menyerang Oey Eng dengan paculnya.
si anak muda waspada, ia berkelit sambil melompat. Hampir
serentak dengan serangan si orang tua itu, si anak muda juga
memacul kho kong.
si polos sudah siap sedia, dengan sebelah pitnya ia menangkis.
sambil menangkis itu, ia juga berlompat keluar dari keretanya.
Oey Eng menghunus pedangnya, ia membalas menyerang pada
si orang tua. Maka disitu terjadilah pertempuran dalam dua
rombongan. Melihat pertempuran sudah terjadi, Ban Liang tidak bersangsi lagi
untuk berturun tangan Langsung ia menuju kerumah atap. Lewat disisi sebuah
pohon besar, mendadak ia disambul serangan sepotong loan-pian,
cambuknya lunak yang ujungnya menotok kepadany Dan
penyerangnya adalah seorang tua yang mengenakan thung-sha,
baju panjang. Dibokong secara begitu, sijago tua menyampok ujung cambuk
lunak itu, tapi segera ia ditotok pula. Lawan itu liehay dengan
cambuknya yang istimewa itu. yang mencari sasar jalan darah
lawan- Dengan begitu, Ban Liang jadi kena dihalangi.
Dan sementara itu muncul pula dua orang lain, yang
bersenjatakan pedang, semua lari menuju kerumah.
"Nona-nona, awas" berseru Ban liang yang menjadi khawatir.
Siauw pek melihat pertempuran sudah berlangsung, ia lari
menghampiri rumah, akan tetapi, belum lagi ia datang dekat, ia
sudah dipegat, dirintangi dua orang lain, yang bertubuh besar. yang
usianya berimbang satu dengan lain- Dan senjata mereka ini masing
masing ialah gaetan dan pedang.
Repot juga sianak muda, sedangkan maksudnya adalah untuk
segera memasuki rumah. Terpaksa ia menggunakan pedangnya,
Rahasia Peti Wasiat 1 Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 5
^