Pencarian

Pedang Golok Yang Menggetarkan 12

Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen Bagian 12


untuk mendesak kedua lawan itu.
Dipihak lain, dua orang tadi, yang lari kerumah, satu diantaranya
sudah segera sampai, ia segera mendupak pintu, sehingga daun
pintunya terbuka dengan suara nyaring.
Siauw pek melirih ke dalam rumah. Ia melihat kedua nona berdiri
berendeng ditengah ruang.
Pertempuran berlangsung terus. Agaknya semua lawan tangguh.
Ban Liang berempat tidak dapat dengan cepat cepat mengalahkan
atau mengundurkan mereka itu, sedangkan mereka sendiri, ingin
mereka melindungi nona itu. Dan pada akhirnya si jago tua menjadi
gusar sekali, maka ia berseru kepada kawannya : "Saudara coh,
jangan main berkasihan lagi. Biar bagaimana, tak dapat mereka
dibiarkan mencelakai kedua nona yang tak bersalah dosa itu"
Siauwpek menyambut seruan itu. ia menginsyafi bahaya. Ia lalu
mengeluarkan ilmu pedangnya, dengan cepat ia mengurung kedua
lawannya itu dengan sinar Pedangnya.
Tapi dua orang yang menyerbu pintu, sudah mulai bertindak
masuk. Hanya mereka itu yang mencekal pedang, telah
memasukkan pedangnya kedalam sarung masing-masing. Agaknya
mereka ingin menawan hidup, hidup kedua nona itu.
Bukan main gusarnya Siauwpek. maka habislah sabarnya Dalam
murkanya ia menghunus goloknya. sebenarnya, dua lawan yang
dihadapinya itu, sudah repot sekali. Kalau mereka ditikam atau
dibalas, pasti mereka sudah roboh. Apa mau, ilmu pedang Kie Tong
luar biasa, sedang lawan tinggal dibunh saja, ujung pedang
dialihkan, terus dipakai mengurung lagi Hanya pada saat ia
menghunus goloknya, ia terlambat sedikit. Maka kesempatan ini
digunakan lawan itu untuk melompat mundur. Yang satu, yang
bersenjata gaetan, mundur seraya berkata perlahan:
"Terima kasih untuk kebaikanmu" sebab ia manyangka bahwa dia
telah diberi ampun oleh musuh muda itu.
Habis mundur, lawan itu serta kawannya berdiri diam berendeng.
tak ada minat mereka untuk berkelahi lagi atau merintangi si anak
muda, yang mau maju kedalam rumah. Dengan begitu Siauw Pek
jadi tidak terintangkan-
Kedua nona tetap berdiri berendeng, tangan yang satu dari
mereka nempel satu dengan lain, tangan yang lainnya dipakai
menyampok dan menotok berulang ulang kedepan, maksudnya
untuk merintangi majunya kedua lawan itu yang hendak menangkap
mereka. Memang mereka ini ingin menangkap nona nona itu
dengan menangkap tangannya.
"Tahan" bentak Siauw Pek, yang serentak dengan itu sudah
memandang tajam kesekitarnya.
Dari dua orang laki-laki itu, yang satunya segera menghunus pula
pedangnya. Dia menoleh kepada si anak muda, lalu menegur
dengan dingin "siapakah kau?"
Siauw Pek menyimpan kembali goloknya, ia menyiapkan
pedangnya didepan dada. Biarpun ditegur, ia mengawasi sepasang
nona itu. Ia heran atas gerakan tangan nona nona itu. Entah ilmu
silat apa yang mereka berdua gunakan untuk mencegah tangan
mereka tertangkap lawannya.
Sewaktu anak muda ini "menonton-, salah satu lawan sudah
lantas menikam padanya. Rupanya dia habis sabar. Siauw Pek
menyampok. memusnahkan tikaman itu Selagi menyampok itu,
masih ia mengawasi si nona, sedangkan kepada lawannya itu, ia
cuma melirik. Musuh itu penasaran, dia menyerang pula dan dengan
hebat. Kembali Siauw Pek menangkis, bahkan ketika ia diserang
beruntun hingga tiga kali, semua serangan itu dapat ia tangkis
dengan mudah. Hal ini membuat musuh sangat gusar, lagi sekali dia
mendesak. menyerang berulang ulang.
Baru kali ini, si anak muda memutar pedangnya, mengurung
senjata lawan itu.
Kedua nona itu bertahan- Ketika si bisu melihat perlawanan
Siauwpek. ia bersenyum.
Si anak muda melihat orang bersenyum itu, ia heran dan kagum.
Si nona nampak sangat manis dan menggiurkan.
"Sungguh dia cantik manis luar biasa," pikir si anak muda.
"Sayang, kenapa dia tak dapat bicara" Kenapa dia cacat mulutnya?"
Disaat si anak muda berpikir demikian, tiba tiba orang yang
menyerang nona-nona itu roboh dengan memperdengarkan jeritan
dari kesakitan- Rupanya saking kesengsam dengan kecantikan si
nona-nona serta senyumannya itu, dia sudah berlaku alpa, dia telah
menyentuh salah satu nona
Si nona tunanetra mendengar suara jeritan dan robohnya orang
itu, dia menghela napas dan berkata sendiri: "Kau sendirilah yang
membentur jeriji tanganku, bukannya aku yang sengaja hendak
melukaimu..."
SiauwPek leluasa melihat dan mendengar, karena ketika itu
pedangnya telah mengekang lawannya, yang terkurung tak berdaya
didalam sinar pedangnya.Jangankan melawan, membela diri saja dia
itu sudah putus asa.
Menyaksikan kecantikan si nona tunanetra, si anak muda menjadi
terlebih kagum lagi. sang kakak melebihi kecantikan sang adik.
"Sungguh sepasang nona yang cantik luar biasa" ia memuji,
"sayang... sayang..."
Si nona bisu memandang terus si anak muda, mata jelinya
bermain main, sedangkan tangan kanannya tetap mencekal
pergelangantangan kiri kakaknya. orang akan menyangka dua
saudara itu tengah berpegangan tangan, tak tahunya si adik lagi
memberitahukan segala sesuatu kepada kakaknya itu,
menyampaikan segala apa yang ia lihat dan dengar.
Diluar rumah, pertempuran berlangsung terus. Diantara riuhnya
alat-alat senjata beradu adu terdengar bentakan bentakan
kegusaran dari Kho kong si sembrono yang aseran itu. Mendengar
suara saudaranya itu, Siauw pek insaf akan kehebatan pertempuran
diluar itu. Tanpa menghadapi lawan tangguh, tak akan sang adik
memperdengarkan suaranya tak hentinya. Tak ayal lagi, ia
mendesak lawannya.
"Tahan" tiba2 berseru lawan itu yang memegang pedang, sambil
terus ia melemparkan pedangnya, kemudian dengan tangannya
yang lain, ia menyeka peluhnya. "Aku bukanlah tandinganmu, kita
jangan berkelahi terus..."
Siauw Pek menghentikan desakannya, sebagai gantinya, ia
menotok roboh lawannya itu, setelah mana ia melihat keluar rumah
dimana pertarungan tengah berlangsung hebat sekali.
Ban liang melayani tiga orang lawan, dia nampak menang diatas
angin- Oey Eng bertahan terhadap dua pengepung, Kho Kongpun
dikerubuti berdua, agaknya dia repot sekali. Rupanya itulah yang
menyebabkannya mementang mulutnya lebar lebar.
Ditanah berserakan banyak pacul, yang dilemparkan begitu saja
sebab semua penyerang itu pak tani palsu semuanya pada
membekal senjata masing masing.
Menyaksikan keadaan itu, lega juta hati si anak muda. Tidak ada
kawannya yang terancam bahaya. Tiba-tiba.
"Terima kasih atas bantuanmu ini, saudara"
Itulah suara halus dan merdu, yang berirama, yang datangnya
dari bekalangnya sianak muda.
Siauw Pek tahu kata-kata itu ditujukan kepadanya Tapi ia perlu
melihat kawan kawannya, tak sempat ia memperhatikan lebih jauh
kepada kedua nona itu
"Tak berani aku menerima ucapanmu ini, nona," sahutnya.
"Sudah selayaknya aku berbuat apa yang aku bisa untuk membantu
kalian-" Berkata begitu, tanpa menoleh lagi, segera ia bertindak keluar.
Tepat ia mendengar dua orang berteriak kesakitan saling susul.
Ban Liang telah merobohkan dua orang lawannya, yang mukanya
masing-masing diberi tanda tiga goresan jeriji tangan.
Maka tahulah si anak muda, jago tua itu sudah menggunakan
pukulan Ngo Kwie Souw Hun ciu yang lihay itu. Karena itu juga,
lawannya yang tinggal satu lalu memutar tubuhnya lari menyingkir
"Hm Mau kabur?" bentak si jago tua, mengejek, sambil melompat
menyambar. "Aduh" jerit orang itu, yang roboh seketika, bahkan
napas nyapun segera berhenti
"Sungguh tangan yang lihay" Siauw Pek memuji kawan itu. Ban
Liang tersenyum.
"Aku menguji pelajaran yang aku telah yakini belasan tahun"
sahutnya. "Rebahlah kamu, hai" mendadak terdengar seruan Kho
Kong. Siauw Pek dan Ban Liang segera menoleh. Maka terlihatlah oleh
mereka robohnya seorang lawan dari saudaranya yang aseran itu.
Kejadian itu membikin bingung semua musuh lainnya. Mereka
telah melihat empat kawan mereka roboh, sedang dua yang didalam
pemimpin mereka tak terdengar suaranya, tak nampak munculnya.
Karena itu, sisa lawan Kho Kong segera saja lari kabur
Kho Kong gusar, ia melompat mengejar. Baru lima tombak
jauhnya, ia sudah berhasil menyandak. Maka satu toyoran, ia
membuat musuh itu roboh tengkurap ditanah
Hampir serentak dengan kemenangan Kho Kong itu, Oey Eng
berhasil merobohkan kedua lawannya, maka dengan begitu
selesailah pertempuran yang lima rombongan itu.
"Adik kecil, bagaimana dengan kedua nona itu?" Ban Liang
bertanakepada Siauw Pek perlahan- "Apakah mereka kaget ?"
"Jangan kuatir loocianpwee, mereka tidak kurang suatu apa,"
sahut sianak muda, "Mereka mempunyai kepandaian untuk
melindungi diri mereka. Dari dua musuh yang menyerbu kedalam
rumah, yang satu roboh ditangan mereka itu yang lain terkena
totokanku." Ban Liang menghela napas lega.
"Bagus" pujinya. "Sekarang kita bekerja Yang luka harus dibawa
kedalam rumah, yang terbinasa mesti lekas dikubur"
Dari tujuh musuh diluar, lima mati, yang dua terluka. Lalu yang
lima dikubur sekedarnya, dan yang dua digotong kedalam rumah.
Kedua nona itu duduk dikursi, melihat datangnya rombongan
sianak muda, keduanya bangkit, terus mereka memberi hormat.
"Kalian terkejut, nona-nona" berkata Ban Liang. Maaf, kami
datang terlambat."
"Terima kasih loocianpwee," berkata sinona tunanetra. "Tidak
apa-apa." "Ada satu hal yang kurangaku jelas," kata Siauw Pek. "aku
mohon sukalah nona memberikan keterangan kepada kami."
"Apakah itu, saudara kecil?" Ban Liang bertanya mendahului
sinona. "Apakah sebelum ini orang-orang ini pernah datang kemari?"
tanya sianak muda.
"Tidak-" sahut nona sang kakak itu, "seingatku, belum pernah
ada orang, berlebih lebih musuh yang datang kemari."
"Jikalau begitu nona, kamilah yang membawakan kepusingan
kepada kalian-.." Sinona berdiam. Itulah pertanda benarnya katakata
sianak muda. Siauw Pek berpaling kepada Ban Liang.
"Apakah loocianpwee dapat mengenali mereka ini dari golongan
mana?" tanyanya. "Dapatkah loocianpwee melihat tanda-tandanya?"
orang yang ditanya menggeleng kepala.
"Loohu tidak tahu, sudah puluhan tahun loohu mengundurkan
diri, maka mengenai kaum Kang ouw, loohu telah jadi asing sekali."
"coba tolong beritahukan boanpwee dandanan dan roman
mereka itu," sinona tunanetra minta.
Ban Liang menarik napas tertahan-
"Menurut penglihatanku, mereka ini bukan termasuk pemimpin
mereka," berkata ia. "Mereka semua menyamar menjadi orang
tani..." Ketika itu terdengar suara Kho Kong, yang berjaga jaga diluar:
"Ada orang datang"
Mendengar isyarat itu, Siauw Pek segera menanya orang
tawanannya: "Aku ingin menanya satu urusan kepadamu, tuantuan,"
Dari dua orang itu, yang satu terluka parah, napasnya sudah
putus-putus. Yang kedua, yang lukanya lebih ringan, mengawasi
sianak muda dia membungkam. Sementara itu Oey Eng menghunus
pedangnya. "Aku hendak membantu shatee" serunya, sambil ia
terus lari keluar. Melihat lawan berdiam saja, Ban Liang tertawa
dingin. "Ditanya secara sabar, mana dia mau bicara" katanya, Maka ia
maju untuk menyambar lengan orang itu, dan terus bertanya^ "Eh,
bagaimanakah lukamu?" orang itu berani, dia terus membungkam,
Tak mau dia memandang sijago tua.
"Bagus, sahabat" tertawa si jago tua tawanya dingin. "Hendak
aku coba kau, untuk kau merasai Hun-kit co kut-hoat "
"Hun kit co kut-hoat" ialah ilmu memencet "Memisah otot
menyalahi tulang". Justru itu dari luar terdengar bentakan Kho
Kong, "berhenti"
Ban liang melepaskan Cekalannya, ia berpaling kepada Siauw Pek
seraya berkata: "Saudara kecil tolong kau berdiam disini melindungi
kedua nona, aku hendak melihat siapa itu yang datang."
Tanpa menanti jawaban lagi, jago tua ini segera bertindak keluar.
Siauw Pek mengawasi orang berlalu, lalu ia melihat kepada
kedua nona. ia mendapatkan kedua nona duduk berendeng, masing
masing sebelah tangannya saling berpegangan. Sikap mereka
sangat tenang, agaknya mereka tak guncang pikiran walaupun ada
musuh yang datang mengancam. Kembali ia jadi sangat kagum.
Diam-diam iapun merasa heran sekali. Kecantikan sinona nona
memancarkan sinar keagungan
sinona bisu rupanya melihat sianak muda memperhatikan
mereka, diam diam tangannya menekan tangan kanannya, mementil
mentil. sekonyong konyong nona yang tak dapat melihat itu tertawa
perlahan. Siauw Pek mendengar dan melihat, tiba tiba hatinya guncang
sendiri, maka ia lekas lekas ia menoleh, tak berani ia mengawasi
lebih lama. ia memandang keluar, hingga ia dapat melihat siapa itu
yang datang. Seorang muda dengan pakaian perlente tampak didepan rumah.
Dia menanggung yang bagus. Tempat dia berada itu adalah
dibawah pohon besar, terpisah dari rumah kira-kira dua tombak.
Dengan sepasang mata yang tajam, dia memandang Oey Eng dan
Kho Kong berdua:
Untuk sejenak. Siauw Pek merasa ia kenal anak muda itu akan
tetapi ia tak ingat benar dimana mereka pernah bertemu muka.
Ban Liang berdiri menyender didinding rumah, ia berdiam saja,
agaknya dia lagi memikir sesuatu yang membuatnya sulit.
"Apakah tuan tuan berdua pasti hendak merintangi aku?"
demikian terdengar suara siperlente itu Suara itu tidak keras akan
tetapi dingin, nadanya mengandung kesombongan. Sejak Kho Kong
dan Oey Eng melengak. akan tetapi siaseran segera menjawab
tegas. "Jikalau kami tidak benar bear, apakah kami bersenda gurau
dengan kau?" Berkata begitu sipolos juga mengangkat sepasang
senjatanya. Anak muda itu tertawa hambar. Dia berkata pula: "Setiap orang
selama hidupnya, dia mati cuma satu kali Karena itu, tuan tuan
berdua apakah benar benar kamu sangat memandang ringan
kepada mati atau hidup kamu?"


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tepat itu waktu Siauw Pek baru ingat bahwa ia pernah ketemu
pemuda itu diJie sie wan-
"Sungguh mulut besar" terdengar suara Kho Kong. "Sebelum kita
bertanding, sungguh sukar buat memastikan kematian ada bagian
siapa" Agaknya pemuda itu tahu bahwa orang sudah menjadi marah, ia
berkata pula dengan sama hambarnya^ "Kau Kaulah yang pertama
bakal mati" Berkata begitu, sinar matanya menyapun kearah Oey
Eng, kearah Ban Liang dan juga Siauw Pek. Sinar mata itu bagaikan
kilat berkeredep. Dia menambahkan: " juga dia juga itu anak muda
diambang pintu serta orang tua kurus didinding" Bukan main
gusarnya Kho Kong,
Belum pernah aku bertemu orang sesombong kau" bentaknya.
Terus dia menentang kedua belah tangannya, seraya
menambahkan: "Kita baik jangan adu mulut lagi Lekas kau turun
dari kudamu beranikah kau?"
Anak muda itu berdongak, dia tertawa terbahak Tawa itu nyaring
seakan emas dan batu saling bentrokan, iramanya berpengaruh.
Tiba tiba saja Ban Liang yang lagi berpikir keras itu berseru^
"benarlah dianya" Dan segera dia melompat maju untuk lari
kedepan. Ketika itu tiba tiba juga sianak muda melarikan kudanya
maju Menyusul itu, mendadak Kho Kong yang memegang sepasang
senjatanya roboh sendirinya
Oey Eng yang mendampingi adiknya itu heran dan kaget, hingga
ia berdiam menjublak, dua matanya terpentang lebar. ia heran
sebab ia tidak melihat bagaimana caranya saudara itu dirobohkan
orang Siorang muda bergerak secara aneh, habis ia merobohkan Kho
kong, terus dia menyerang kepada sianak muda she Oey itu.
Oey Eng kaget, tetapi la gelap. ia insaf akan bahaya, dengan
gesit ia berkelit. Maka ia selamat
Berbareng dengan itu, Ban liang melompat maju
"Liap Hun ciang" seru Seng supoan, sedang dengan tangan
kanannya, dia menyerang dengan menggunakan ilmu Ngo Kwie
Souw hun ciang.
Ilmu silat yang dipakai sianak muda, yang disebut "Liap Hun
ciang", adalah ilmu "Tangan membetot nyawa"
Anak muda itu melihat dan mendengar, ia menerka siorang tua
liehay. maka sambil menarik les kudanya, dia berseru, membuat
kudanya berlompat menyingkir jauh satu tombak lebih.
Siauw Pek terkejut melihat saudaranya roboh, maka ia melompat
maju, sambil berseru: "Turunlah kau" ia menyerang dengan
pedangnya, untuk menyerang dari jarak jauh. Maka meluncurlah
pedangnya itu, bagaikan halilintar.
Sianak muda pernah dipesan gurunya, kecuali terpaksa, tak
dapat ia menggunakan tipu pedang itu. Itulah bukan salah satu
jurus dari Tay pie kiam hoat, Ilmu Pedang Mahakasih, hanya satu
ilmu lain yang diciptakan Kie Tong selama dia menyendiri didalam
lembahnya. Itulah semacam senjata rahasia.
Sianak muda kaget ketika ia melihat melesatnya pedang itu, tak
sempat ia lompat menyingkir, maka ia merosot turun, berputar ke
perut kuda, sesudah mana baru dia menyingkir lebih jauh. Maka
kasihanlah kuda yang bagus itu, dengan turunnya pedang, tubuhnya
berikut pelananya tertebas kutung menjadi dua. Begitu dia selamat,
anak muda terus kabur.
Siauw Pek tidak sempat mengambil pedangnya, dia lari
menghampiri Kho Kong^ "Bagaimana, adik?" dia bertanya.
"Tubuhnya mulai dingin," berkata Oey Eng, yang telah
mendahului menghampiri saudara muda itu. Ia berduka dan
khawatir sekali.
Siauw Pek meraba tangan kiri saudaranya itu benar ia merasa
jeriji tangannya dingin seperti es. Ia mengerutkan alisnya.
sementara itu Ban Liang, yang kagum atas kepandaian si anak
muda, heran melihat anak muda itu diam tertegun darn romannya
berluka. Ia mengerti tentulah Kho kong parah. Maka iapun lari
menghampiri. "Apakah lukanya parah?" tanyanya.
"Mungkin dia terkena pukulan yang beracun," kata Siauw Pek,
menghela napas.
"Jangan putus asa, saudara kecil," berkata sijagotua. "Kakak
Hoan pandai ilmu pengobatan, kedua nona muridnya sudah
menerima warisan kepandaian itu, mungkin nona nona itu sanggup
menolong saudara Kho. Mari kita bawa saudara Kho kepada
mereka..."
Siauw Pek masih bingung. Iapun heran, katanya didalam hati.
Kedua nona itu, yang satu buta, yang satu gagu, benarkah mereka
sanggup mengobati luka saudara Kho ini"
Biar bagaimana itu perlu lekas ditolong, maka bertiga mereka
memperpanjang saudara muda itu, dibawa kedalam rumah.
Kedua nona duduk tenang berendeng, kedua tangan mereka
masih berpegangan satu dengan lain, tetapi ketika si bisu melihat
dibawa masuknya Kho kong, ia terperanjat. Tidak ayal lagi
tangannya yang memegangi tangan kakaknya, dipentil pentilkan-
Segera nona yang satunyapun tampak tegang.
"Apakah dia yang luka, tanyanya.
"Betul, Siauw Pek menjawab.
Dan Ban Liang terus menambahkan. "Kakak Hoan pandai ilmu
ketabiban, apakah nona nona mewarisi kepandaiannya itu?"
Si nona mengangguk sambil menjawab, "Meski suhu pernah
mengajarkan kami akan tetapi kami belum pernah mencoba
menolong orang, karena itu tak tahu kami, kami sanggup mengobati
atau tidak..."
"Ai, Kakak Hoan telah mewariskannya, pasti tak akan gagal," kata
Ban Liang, yang kepercayaannya terhadap Tiong beng teguh sekali.
Si nona bangkit perlahan.
"coba bawa dia kemari," katanya. "Mari aku lihat lukanya."
Siauw pek memondong tubuh Kho kong, didekatkan kepada nona
itu. "Ini dianya," katanya, "Tolonglah"
Nona itu meraba bahu kiri Kho kong, terus hingga kena di, yang
dipegang dengan dua jeriji tangannya.
"Lukanya parah," katanya selang sesaat.
"Dia kena terhajar angin angin, dia roboh seketika dan pingsan,"
Siauw Pek memberitahukan. "Sejak tadi dia belum sadarkan diri...
Tahukah nona dia terlukakan racun apa ?" Ban Liang tanya. Nona
itu menghela napas.
"Belum pernah aku memeriksa orang sakit," berkata ia terus
terang. "Semenjak aku mulai kenal urusan dunia, kecuali suhu dan
adikku ini, belum pernah aku berurusan dengan siapapun."
Alis Ban Liang berkernyit.
"Dengan begini, jadi artinya nona tidak kenal luka ini luka apa?"
tanyanya. "Melihat sudah tetapi aku belum berani memastikannya," sahut si
nona. "Tak apa nona, asal nona sudi memberikan keterangan," kata
Siauwpek. "Nanti kita rundingkan bersama..."
Nona itu berdiam, ketenangannya pulih. Ia berpikir beberapa
lama, baru ia berkata: "Luka ini mestinya disebabkan pukulan angin
dari suatu ilmu silat Gwa kang yang istimewa..."
"Gwa kang" ialah ilmu silat "Bagian Luar". Ilmu silat imbangannya
yaitu "Lay kang" (atau Lweekang), "Bagian Dalam". Lay kang
mementingkan tenaga dalam, dan Gqa kang tenaga luar, yaitu
kekuatan tenaga. Gwa kang disebut juga Nge kang, ilmu "Keras",
dan Lay kang yaitu Nui kang, ilmu "Lunak".
Si nona mengerutkan alis ketika ia berkata pula: "orang itu
mempunyai latihan yang sempurna sekali, dengan sekali saja, dia
melukai orang dibagian dalam, hingga jalan nadinya kena terintangi,
sedang jantung dan lain anggota didalam itu hilang tenaganya..."
"Itulah rupanya yang menyebabkan saudaraku ini pingsan
seketika," kata Siauw Pek.
"Sekarang aku akan mencoba menolongnya," berkata si nona.
"Hanya, seperti aku telah katakan aku tak punya pegangan.Jikalau
pertolonganku gagal, aku minta tuan tuan memaafkan aku,
sebenarnya aku telah mencoba apa yang aku bisa..."
"Silahkan, nona," berkata pula Siauw Pek. "Mati atau hidupnya
seseorang bergantung kepada nasibnya, kalau saudaraku ini tidak
dapat tertolong, apa boleh buat..."
"coba letakkan dia ditanah," berkata si nona. "Akan aku tusuk dia
dengan jarum, untuk mencoba menyadarkannya."
Siauw pek merebahkan saudaranya. Ia berkata perlahanpada si
nona: "Nona, cobalah tolong, apabila nona tidak berhasil, jangan
khawatir, nona tidak bertanggung jawab."
Tiba tiba wajah si nona ditabur dengan senyumannya. Dengan
perlahan dia berjongkok. Tanpa ayal lagi, sepuluh jerijinya yang
lancip. yang putih halus, mulai bergerak gerak ditubuh Kho kong.
Nampak sepuluh jari itu bagaikan bergemeter. Terang si nona
sedang mencari sasarannya. Kemudian jari manisnya yang kiri
berhenti dijalan darah "hok kiat" dari Kho kong dibiarkan disitu,
dilain pihak, tangannya merogoh sakunya, mengeluarkan sepotong
jarum. berbuat begitu, mulutnya berkemak kemik.
Ban Liang dan Siauw Pek mempunyai telinga yang lihay akan
tetapi mereka masih tidak dengar kata-kata si nona Hanya
kemudian si anak muda berkata perlahan sekali: "Jangan ragu ragu,
nona, gunakanlah jarummu" Nona tunanetra itu tertawa perlahan-
"Aku tidak ragu ragu," katanya. akan tetapi walaupun demikian,
kedua tangannya bergemeter keras .Jarum yang sudah diarahkan
kejalan darah hokkiat, tidak segera ditusukkan-..
Siauw Pek hendak menganjurkan pula tetapi Ban Liang
mencegahnya. Untuk sedetik lagi, nona itu masih bersangsi, tapi dilain saat,
sambil menggerakkan giginya dengan keras, jarumnya lalu
ditusukkan Berbareng dengan itu, peluh si nona keluar bercucuran, dari
dahinya sampai kepipinya, suatu tanda bahwa hatinya sangat
tegang. Tubuh Kho kong, yang sekian lama itu berdiam saja, terlihat
berkutik. "Ah, dia mulai sadar" kata Siauw Pek, girang.
"Benarkah?" tanya si nona sambil menyusuli peluhnya.
Belum berhenti suara si nona, tiba-tiba Kho kong sudah
memperdengarkan suaranya.
Wajak si nona menjadi terang, segera dengan tangan kanannya
dia meraba pelipis kiri si anak muda sambil berkata: "jangan
bergerak" Suara itu halus dan merdu, menyayang bagaikan seorang ibu
yang mencinta. Mendengar itu, Kho Kong berdiam. Tadinya anak
muda ini mau bergerak pula.
Ban Liang berbisik ditelinga Siauwpek: "Nampaknya benar nona
ini sudah mewariskan seluruh kepandaiannya sahabat karibku..."
Si nona merogoh pula kesakunya, mengeluarkan sepotong jarum
lainnya. Ia menggunakan tangan kirinya.
"Rebahlah dengan tenang," katanya, sabar. "Tutup matamu,
jangan melihat..."
Kho kong menurut, baru ia melek tapi lalu memejamkannya pula.
Si nona memindahkan jarum ketangan kanannya, dengan tangan
kirinya, dia menekan jalan darahnya thian-tie, kali ini hanya dengan
berdiam sejenak. dia segera memberikan injeksinya.
Kho kong bergerak sedikit, lalu dia menghela napas lega. Si nona
membuka bibirnya yang merah dadu.
"coba jalankan napasmu," katanya sabar. "coba lihat, ada atau
tidak yang tidak lurus."
Kho kong menurut, lalu ia bernapas. dari perlahan sampai
dipercepat. Tiba tiba semangatnya terbangun-"Semua lurus"
serunya girang. Si nona menghela napas lega. Dia bangkit.
"Syukur aku tidak menyia nyiakan pengharapan kamu..."
katanya. "Terima kasih, nona" mengucap Siauw pek sembari memberi
hormat. Si nona tunanetra tidak melihat perbuatan si anak muda akan
tetapi si nona bisu telah memberikan tanda kepadanya, maka juga
lekas sekali dia sudah membalas hormat sambil berkata: "Sekarang
ini biarlah dia beristirahat sebentar, baru jarumnya dapat
dicabut.Jikalau aku tidak keliru, sebentar dia harus diberi makan dua
bungkus obat, setelah beristirahat dua tiga hari, kesehatannya akan
pulih seperti sediakala."
Oey Eng kagum sekali, katanya didalam hatinya: "Dia buta, dia
toh bisa mempelajari ilmu pengobatan penusukan jarum... Dia juga
lemah lembut, dia seperti terpelajar tinggi, sungguh luar biasa..."
Tanpa merasa anak muda ini mengawasi nona itu. hingga ia
melihat tegas sepasang mata yang ditawungi alis lentik, hidung
bangir mulut mungil merah dadu, sepasang mata si nona pun bagus
duduknya, kecuali tampak putihnya saja...
"Kapan jarum ini dapat dicabut?" Siauwpek tanya.
"Paling lama setengah jam lagi," sahut si nona.
Tiba tiba saja Ban Liang bertanya^ "Nona nona, kami belum
ketahui nama kalian-.."
Si nona tidak dapat melihat, tetapi telinganya celi, dengan
mendengar suara saja, segera ia mengenali suaranya sijago tua.
"Loocianpwee menjadi sahabat kekal suhu. Tidak berani kami
yang rendah mendustai loocianpwee." sahutnya, "kami dua saudara
adalah orang orang yang bernasib malang, semenjak kecil kami
dirawat suhu, sampai sekarang kami belum tahushe dan nama kami,
Loocianpwee aku bicara dari hal yang benar," Ia diam sejenak.
untuk menarik napas perlahan, baru ia menambahkan: "Sejak kami
turut suhu, dengan kebaikan hati suhu, kami telah turut she suhu."
"Dengan begitu kamu jadi she Hoan, nona" Sinona mengangguk.
"Benar loocianpwee," sahutnya. "Suhu yang telah memberi nama
kepada kami. Aku ialah Soat Kun, dan adikku ini soat Gie,.."
Ban Liang melengak, kata dia seorang diri: "Rasanya aku pernah
dengar nama ini. Soat Kun-. Soat Gie,.. oh, ya, ada seorang
sahabatku, dia mempunyai seorang anak perempuan yang namanya
Soat Kun-.."
"She dan nama kebetulan sama adalah umum saja," berkata
nona tunanetra itu, "hanya yang beda yaitu lain orang cukup
segalanya dan kami dua saudara tidak beruntung..."
Mendadak sinona bisu menepuk tubuh kakaknya dengan tangan
kanannya hingga dua kali. Itulah kembali isyarat mereka berdua,
yang lain orang tak ketahui artinya.
Karena muka sinona tunanetra tampak merah karena jengah,
terus terdengar suaranya yang perlahan. "Adikku memberitahukan
bahwa kita selanjutnya akan tinggal bersama buat waktu yang lama,
oleh karena itu sudah sepantasnya jikalau kami belajar kenal
dengan loocianpwee sekalian, apakah she dan nama besar
loocianpwee ?"
"Benar, itulah benar," berkata Ban Liang cepat, "Aku siorang tua
bernama Ban Liang." Sinona tertawa.
"Nama locianpwee telah lama kami dengar," katanya. "suhu
sering menyebutnya."
"Aku yang rendah Oey Eng," Oey Eng memperkenalkan dirinya.
"oh, Kakak Oey," berkata sinona.
Kho Kong yang tengah beristirahat turut memperkenalkan


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dirinya: "Aku bernama Kho Kong akan tetapi nona nona boleh
panggil saja aku Kho Loo Sam ?"
Berkata begitu, mendadak sipolos ini memutuskan kata katanya.
Ia jengah sendirinya. Ia kuatir nanti disangka mengejek salah satu
dari kedua nona itu, yang bisu. Ia lantas tunduk, tidak berani
mengawasi kedua nona ini.
"Masih ada satu saudara lagi?" bertanya Hoan Soat Kun, karena
ia tidak mendengar orang atau tamunya yang keempat
memberitahukan namanya.
"Aku yang muda coh siauw Pek." sianak muda menjawab,
sedangkan, sejenak tadi dia beragu-ragu harus memperkenalkan diri
dengan sebenarnya atau tidak. Adalah diluar dugaannya, si nona
justru menanyakannya.
"coh Siauw Pek... coh Siauw Pek..." si nona berulang-ulang
menyebut nama orang itu. "Ada seorang nona she coh, Nona Bun
Koan, apakah saudara kenal dia ?" Siauw Pek tercengang. Nama itu
mengejutkannya.
"Dialah kakakku" sahutnya, suaranya menggetar, "bagaimana
nona kenal dia?"
"Nona itu pernah bersama kami dua saudara tinggal satu kamar
buat beberapa hari lamanya," menjawab Soat Kun. "Nona itu baik
sekali, dia tidak menghina kami berdua ya bercacad ini, suka dia
memberitahukan kami tentang keluarganya. Ah, sungguh suatu
pengalaman hidup yang sangat memanaskan hati dan menyedihkan
sekali. Ia sekarang.."
Hati Siauw Pek sangat tegang, hingga sulit dia menguasainya.
"Dimana adanya kakakku itu sekarang?" tanyanya mendesak. Tak
heran adik ini sangat memikirkan kakaknya itu, kakak satu-satunya.
Soat Kun menghela napas.
"Ketika nona coh itu datang kemari, dia membawa sepucuk surat
perantara." katanya. "Dia datang untuk minta suhu menerimanya
sebagai murid..."
"Dan guru nona tak suka menerimanya, bukan?" tanya Siauw
Pek. "suhu mempunyai kesulitannya sendiri, menyesal ia tak dapat
menerima nona itu sebagai muridnya."
"Setelah ditolak. kemana perginya kakakku itu?" tanya pula siauw
Pek. "Nona coh berdiam tujuh hari disini, setelah dia pergi,
selanjutnya tak tahu kami berdua dia pergi kemana."
Dengan matanya berCaCad, nona Hoan tidak dapat melihat
perubahan air mukanya Siauw Pek, yang sangat menyesal dan
berkuatir. Ia menghela napas, lalu ia menambahkan: "Nona coh
halus budi pekertinya. Baru berapa hari kita berkenalan, sinona
pergi, pernah aku tanya suhu, kenapa suhu menolak
permintaannya. Nona itu datang dengan penuh pengharapan tetapi
berlalu dengan menyesal dan berduka."
Sebelum orang sempat berbicara terus, Siauw Pek memotong
suaranya tawar : "Tentu itu disebabkan keluarga coh sangat banyak
musuhnya dan guru nona tidak berani menerima dia sebab itu bisa
menyebabkan datangnya bahaya."
soat Kun tidak bisa melihat akan tetapi dari lagu suara Siauw Pek
ia dapat menerka hati anak muda itu, maka lekas-lekas ia berkata:
"Kakak coh keliru menilai suhu. Suhu bukannya manusia yang takut
mati tetapi serakah hidup,"
Siauw Pek mencoba menguasai hatinya.
"Sudikah nona memberi keterangan kepadaku kenapa guru nona
menolak kakakku itu."
"Walaupun kau tidak menanya, aku akan beri tahu, saudara."
berkata si nona. Dia mencari kata-kata yang tepat, baru dia
melanjutkan : "Menurut suhu, suhu menolak sinona disebabkan dua
hal, Pertama yaitu suhu tidak sanggup melindungi keselamatan
Nona coh, dan kedua suhu merasa kesehatannya terganggu hingga
suhu kuatir hidup tak akan lama lagi. Dengan batas waktu yang
pendek. tidak dapat suhu menurunkan semua pelajarannya.
Didalam ilmu silat, kepandaian suhu sangat terbatas, dia tak ada
derajatnya buat menjadi seorang guru."
Siauw Pek menghela napas lega. "oh, kiranya begitu..." katanya
lesu. "Suhu juga menjelaskan lebih jauh," Nona Hoan menambahkan:
"Katanya, jikalau dia menerima Nona coh, itu bukan saja bakal
mencelakakan sinona, tetapi berbareng melenyapkan kesempatan
kelak dibelakang hari nona itu melakukan pembalasan sakit
hatinya..."
"Bagaimana artinya ini, nona?" tanya Siauw Pek heran-
"Suhu bilang aku, kalau suhu menerima Nona coh, tak sanggup
suhu mewariskan kepandaiannya, kesulitan yang lain ialah sikapnya
delapan belas partai besar nanti. Ada kemungkinan partai-partai itu
tidak mau melepaskan suhu seorang saja, suhu kuatir mereka juga
nanti mencelakai kami dua saudara. celakalah kalau kamipun
dibinasakan, sebab itu berarti batu biasa dan kemala habis terbakar
bersama. Jikalau sampai suhu dan kami terbinasa, lalu kepandaian
tidak dapat diwariskan kepada siapa juga..." Siauw Pek setuju
dengan cara pemikiran itu.
"Benar, katanya.
"Begitulah suhu terpaksa menolak Nona coh Soat Kun"
mengakhiri keterangannya. Siauw Pek menghela napas. Dia
menyesal dan berduka sekali.
"Nona, katanya kemudian, apakah kakakku itu pernah
menuturkan kepada nona nona tentang nasib keluarga Coh" Atau,
pernahkah guru nona menanyakannya?"
JILID 24 "Ya, Nona Coh telah menuturkan segala sesuatu kepada kami.
Suhu juga menanyakan beberapa hal, yang ia anggap
mencurigakan." Mendengar itu. Siauw Pek berpikir. Memang
didalam peristiwa Pek Ho bun itu mesti ada sesuatu yang
tersembunyi. Entah apa saja yang kakakku ceritakan. Dapatkah aku
tanyakan itu kepada nona ini?" Hanya sejenak si anak muda merasa
ragu, segera ia bertanya; "Nona, apa saja kata kakakku itu ?"
"Dari pertanyaan-pertanyaan suhu, sebagian besar nona Coh
tidak dapat jawab," menerangkan nona Hoan.
"Seperginya kakakku itu, apa saja kata Hoan Loocianpwee
kepada nona?"
"Suhu pernah memberitahukan aku bahwa peristiwa Pek Ho bun
itu merupakan pengorbanan dari suatu rencana besar, bahwa
sembilan pay besar beserta empat bun, tiga hwee dan dua pang,
semuanya telah dipermainkan hingga mereka sudah melakukan
kecerobohan, tapi seratus lebih jiwa orang Pek Ho bun itu bukan
kurban kurban percuma cuma..."
"Apakah artinya kata kata itu,nona?" menegasi Siauw Pek, heran.
"Suhu mengatakan bahwa peristiwa Pek Ho bun akan membuat
orang Kang Ouw tersadar, bahwa didalam dunia Kang Ouw secara
diam diam tengah berlangsung suatu perubahan besar yang hebat."
Mendengar itu, si anak muda berpikir. "Kalau begini, biar Hoan
Loocianpwee mempunyai pandangan yang luas, pandangannya itu
CoCok dengan pandangan Su kay taysu. Nona itu pasti mengetahi
lebih banyak lagi." Maka ia lalu menanya lagi". Bagaimana bisa
terjadi demikian, nona?"
"Suhu mengatakan pada kami bahwa orang yang menulis surat
buat si nona adalah seorang gagah yang berhati tawar, yang tidak
suka memperhatikan urusan Rimba Persilatan, kalau toh ia telah
menulis surat untuk nona itu adalah diluar kebiasaannya, bahwa itu
disebabkan akhirnya dia masih tertarik urusan Rimba Persilatan itu"
Siauw pek mengangguk.
"Oh, kiranya begitu," katanya. "Suhu juga mengatakan bahwa
orang yang menulis surat itu berkepandaian silat sangat tinggi," si
nona melanjutkan keterangannya, "bahwa dia termasuk orang
nomor satu dalam dunia Rimba Persilatan. Kata suhu, dengan
menolak si nona, maka orang itu pasti akan
menerimanya dan akan mengajarnya ilmu silat, bahwa meskipun
suhu menolak, nona itu tidak bakal terlantar hidupnya."
"Dengan begitu, nona, segala sesuatu telah berada didalam
terkaan Hoan Loocianpwee?" Hoan Soat Kun mengangguk,
"Begitulah kiranya, katanya. "Suhu pula telah memberitahukan
kami bahwa kelak dibelakang hari kami harus membantu sungguhsungguh
kepada kamu untuk membalaskan dendam kesumat
keluargamu." Siauw pek merangkap kedua tangannya, memberi
hormat. "Nona, dengan ini terlebih dahulu aku menghaturkan banyak
terima kasih," katanya.
Nona itu tersenyum, akan tetapi pada wajahnya nampak
kedukaan. "Hanya," katanya agak masgul. "selama belasan tahun
dari hidup kami, kami berdua bersaudara, kecuali dengan suhu,
belum pernah kami berurusan dengan lain orang siapa juga,
sedangkan ilmu silat kami sangat tidak berarti, karena itu aku tidak
tahu dengan cara bagaimana kami dapat membantu pada kau
kongcu." Nona itu membahasakan, kongcu kepada si anak muda.
Itulah kata kata tuan muda yang terhormat, yang mirip dengan
anda. "Itulah bukannya soal, nona" Ban Liang campur bicara. "Memang
kakak Hoan tidak lihay ilmu silatnya akan tetapi kepintarannya luar
biasa, dia pandai ilmu pedang, dia juga berpandangan luas, dia
dapat menerka nerka melebihi lain lain orang. Sekarang ini urusan
Rimba Persilatan sangat rumit, urusan tidak dapat dibereskan
melulu dengan mengandalkan ilmu silat saja..."
soat Kun menghela napas perlahan.
"Semasa hidupnya suhu, sering suhu menganjurkan,
membesarkan hati kami," katanya.
"Pernah suhu berkata, kalau setelah enam tahun suhu kemari,
maka bencana dunia Kang Ouw akan sudah menjadi kenyataan.
Maka setelah itu, walaupun Cukat Kong beng hidup pula, atau Thio
Liang bangkit kembali, bencana itu sudah tidak terhindarkan lagi..."
"Sekarang ini, nona" bertanya Seng supoan yang sangat tertarik
perhatiannya. "batas waktu enam tahun itu sudah lewat atau
belum?" "Belum. Sejak suhu meninggal dunia, tiga tahun baru berlalu.
Maka itu kedatangan Coh kongcu sekarang ini belumlah terlambat."
Jago tua itu bernapas lega. Dia agaknya menaruh kepercaaan
sangat besar kepada Hoan Tiong beng, sahabat karibnya itu. Lalu ia
memandang anak muda.
"Saudara Coh, katanya.jikalau pertemuan kita terlambat tiga
tahun, jikalau bukannya peristiwa Pek Ho bun telah membangkitkan
rasa tidak puasku, bukan bencana besar kaum Kang Ouw itu telah
berwujud rupa dlkarenakan kita?"
Siauw pek dan dua saudaranya kagum mendengar kata kata
sijago tua itu. Nyata dia sangat memperhatikan dunia Kang Ouw,
atau Rimba Persilatan,jelas hatinya sangat mulia.
"Semasa Coh kongcu belum datang, sebenarnya kami telah
mengharap harapkannya," berkata pula Soat kun, yang bicara
dengan sejujurnya. "Suhu telah memesan, selewatnya enam tahun,
kalau kongcu tidak datang, kami harus pergi kesebuah gunung yang
sunyi, untuk kami tinggal dengan aman dan damai, agar tak usah
kami mencampuri lagi dunia Rimba Persilatan. Akan tetapi sekarang,
setelah kau datang, loocianpwee sekalian, hati kami justru menjadi
tidak tenang..."
Siauw pek heran. "Kenapa begitu, nona?" tanya dia.
"Banyak untuk dikatakan, kongcu," sahut si nona itu. "Kami satu
tak dapat melihat, satu pula tak dapat bicara, sudah bercacad,
tubuh kamipun lemah, karena itu, apakah yang dapat kami perbuat
untuk membantu kongcu?" Ia menghela napas akan tetapi ia lalu
menambahkan: "Tapi suhu telah memesan, tak dapat pesan itu
ditentang. maka itu terpaksa kami si orang orang bercacad mesti
turut kongcu sekalian untuk memasuki dunia Kang Ouw..."
"Keluarganya kamu, nona nona, adalah pengharapan kami,"
berkata Ban Liang, "Sekarang ini keadaan sangat genting. Ceng Gie
Loejin telah menutup mata. Ong kiam dan Pa Too sudah sembunyi,
sebaliknya Siang ok muncul Dilain pihak delapan belas partai
persilatan sejak mereka menyerbu Pek I to-pi", sifatnya telah
berubah menuju keburukan. Yang lebih hebat lagi, sekarangpun
muncul seorang dengan kepandaian sebagai Ceng Gie Loejin itu,
yang pandai ilmu pengobatan, yang menempatkan diri ditanah
belukar, agaknya dia mempunyai suatu rencana besar Nampaknya
tak salah penglihatan kakak Hoan bahwa dunia Kang Ouw bakal
mengalami perubahan, atau kejadian yang maha besar, maha
dahsyat. Nampaknya rencana besar itu sedang berlangsung..."
"Loocianpwee, tahukah kau siapa biang keladi bahaya dan
dimana mulai munculnya?" si nona tanya.
"Sulit untuk menjelaskan, nona. Orang tuanya dapat merasakan
tapi tak dapat meraba. Inilah mungkin sebabnya kenapa kakak Hoan
menghendaki kamu memunculkan diri," nona Hoan Soat Kun
berpikir sejenak, segera ia berkata:
"Baiklah Sekarang silahkan loocianpwee sekalian berdiam
dirumahku ini barang tiga hari itu, kita akan berangkat bersama"
Ban Liang heran tak dapat segera berangkat.
"Nona nona masih mempunyai urusan apakah?" tanyanya.
"Bersama adikku ini, hendak aku pergi ke kuburan suhu."
menjawab si nona. "Disana kami hendak berdiam selama tiga
hari..." Ia berhenti sedikit, baru ia meneruskan;
"Selama tiga hari itu saudara Kho dapat sekalian beristirahat
memelihara lukanya."
"Nona, lukaku telah sembuh," berkata si polos "Aku rasa,
obatpun tak usah aku makan lagi."
"Tak dapat, saudara," mencegah si nona. "Tanpa makan obat,
racun di dalam tubuhmu tidak bakal lenyap seluruhnya, selang
sepuluh atau dua puluh tahun nanti lukamu kan kambuh"
Kho kong terkejut, terus ia membungkam. soat Kun menghela
napas. "Siapa suka menolong aku mencatat resep?" tanyanya.
"Silahkan sebut nona" menjawab Siauw pek
Nona itu menyebutkan nama nama obat berikut timbangan berat
entengnya, dan sianak muda mencatat semuanya. Setelah itu, si
nona memegang dan melepaskan tangan kanan Soat Gie, sang adik
itu lalu pergi kedalam, untuk kembali didalam tempo pendek dengan
membawa satu bungkusan kecil. Dia terus menghampiri kakaknya.
Sekembali adik itu, Soat kun berkata pula; "Jikalau aku tak keliru,
setelah kami berdua meninggalkan rumah ini, mesti ada orang
orang Rimba Persilatan yang datang menyerang pula kemari. oleh
karena itu baik baiklah tuan tuan melayani mereka itu."
"Tentang ini jangan nona pikirkan," kata Ban Liang.
"Di dalam telah tersedia pembaringan berikut segala
perlengkapannya," berkata pula si nona. "juga sudah disiapkan
barang makanan untuk tiga hari. Selama tiga hari itu, baik baiklah
loocianpwee sekalian berjaga-jaga. Nah kami pergi."
"Perlukah kami mengantar kau?" tanya Ban Liang.
"Tak usah. Terima kasih " Berkata begitu, si nona lalu menarik
tangan adiknya diajak pergi. Oey Eng mengawasi mereka keluar,
baru ia pergi mengambil pedang Siauw pek, setelah kembali pada
kawannya, ia berbisik pada Ban Liang, "Loocianpwee, ada satu hal
yang membuatku merasa sulit..."
"Apakah itu?" tanya sijago tua, heran.


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tentang nona nona Hoan itu. Nona yang bisu masih tidak apa,
tetapi bagaimana dengan yang tak dapat melihat itu, sedangkan
ilmu silatnya lumayan saja "Jikalau kita mengajak mereka berdua
merantau bersama, bukankah itu berarti kita mesti berbareng
menjagai mereka " Tidakkah itu menyulitkan ?"
"Kau benar, adik, Akan tetapi aku percaya hal itu telah dipikirkan
oleh almarhum kakak Hoan."
Oey Eng berdiam. Ia melihat Ban Liang mempunyai kepercayaan
penuh. Meski demikian, dihatinya ia berpikir. "Nona tuna netra itu
benar pintar tapi ilmu silatnya belum cukup untuk membela diri. Dan
bagaimana dengan si nona bisu" Entahlah... Sungguh suatu
pemikiran akan mengajak ajak kedua nona itu merantau tak
ketentuan... Mereka cantik luar biasa, tapi mereka juga bercacat
masing-masing, tidakkah itu membahayakan mereka " bagaimana
kita harus memecah diri untuk melindungi mereka itu?"
Siauw Pek berpendapat serupa dengan Oey Eng, ia kawatir dan
bingung memikirkan keselamatan nona nona itu, tapiBan Liang
berketetapan hati, maka iapun mesti percaya jago tua itu. Meski
begitu, toh ia masih berpikir juga. "Selanjutnya kita akan berada
bersama-sama kedua nona itu, itu artinya kita semua setiap hari
bakal berada diantara gelombang dayshat. Bagaimana andaikata
nona nona itu tidak dapat melindungi dirinya" Bukankah itu berarti
salah perhitungan."
Karena masing-masing berpikir, ruang rumah itu menjadi sunyi
sekali. Barulah lewat sesaat Ban Liang yang memecah kesunyian.
Katanya "Menurut dugaanku, malam ini pastilah ada musuh yang
datang menyerbu. Kita berempat namun harus dihitung tiga.
Suadara Kho mesti beristirahat..."
"Syukur kedua nona sudah pindah dari sini, kalau tidak, salah
satu dari kita mesti istimewa melindungi dirinya." Ban Liang
mengangguk, "Satu hal kita harus pikirkan." katanya
"Musuh telah mengalami kekalahan,jikalau mereka datang pula.
mesti mereka telah mengatur suatu rencana..."
"Benar begitu. Habis loocianpwee memikir daya apa ?"
"Dayanya telah kupikir hanya masih belum sempurna." sahut si
orang tua. Siauw pek yang berdiam sejak tadi, mendadak turut bicara.
Katanya, "Satu kesukaran lagi ialah kita terang mereka gelap. Maka
itu, tak selayaknya kita mengandalkan daya keras lawan keras saja.
Menurut aku, baiklah kita lawan mereka dengan cara terbuka Yaitu
kita berkumpul ditepi pengempang sana."
Si orang tua tersenyum. "Saudara Coh, kita telah menyaksikan
ilmu pedang dan ilmu golokmu," katanya. "maka kita percaya kau
telah mewariskan kesempurnaan kepandaian Thian Kiam dan Pa
Too, hingga selajutnya, kita sangat mengandalkan kepandaianmu
itu. Hanya mengenai keadaan kita sekarang, aku masih tetap
percaya juga pada almarhum sahabat karibku itu. Aku percaya dia
telah mewariskan suatu daya upaya, dan nona nona itu pasti akan
berhasil membantumu menghindari bencana Rimba Persilatan
sekalian membereskan sakit hati keluargamu. Sekarang, saudara,
kau perlu berlaku sabar"
Oey Eng tidak dapat menenangkan diri seluruhnya. Dia berkata:
"Nona nona itu muda dan belum berpengalaman, mereka juga
bercacat, maka itu, sekalipun benar mereka sudah berhasil
mewariskan kepandaian guru mereka, mereka tak dapat
dibandingkan dengan Hoan loocianpwee sendiri."
Ban Liang mengelak sejenak. "Tunggu," katanya kemudian. "Aku
akan ke dalam, untuk melihat kedua nona sudah mengatur sesuatu
atau belum..."
Oey Eng melengak. Dia heran. "Tak mungkin..." katanya, tertawa
hambar. Ban Liang tidak berkata apa apa lagi, ia masuk kedalam.
Tidak lama ia sudah keluar pula, Kalau tadi wajahnya suram,
sekarang terang benderang, ramai. "Benar dugaanku" serunya.
"Kedua nona sudah menalangi kita mengatur daya untuk
menghadapi lawan"
Siorang she Oey tercengang. "Benarkah?" dia menegaskan.
"Kapan loohu pernah mendusta, saudara kecil"
Masih sianak muda ragu ragu. "Bagaimanakah cara bertahan
itu?" tanya dia.
Ban Liang merogoh sakunya, mengeluarkan sepucuk surat.
"Caranya bertahan ada didalam surat ini" Siorang tua meletakkan
sampulnya, dan Oey Eng mendekati, melihatnya. "Tiga jalan untuk
menangkis serangan," demikian tertulis tegas diatas sampul itu, dan
tulisannya halus dan bagus.
Ban Liang membuka sampul, mengeluarkan isinya, lalu
membebernya. Diatas itu terbaca tulisan ini:
"Kami berdua saudara menduga bahwa malam ini bakal ada
musuh datang menyerbu. Tuan tuan berempat berkepandaian tinggi
akan tetapi menurut hemat kami tak usah tuan tuan menggunakan
kekerasan menentangnya Disini ada tiga jalan untuk menghadapi
mereka, silakan pilih satu diantaranya..."
Oey Eng kagum dan heran. Ia menghela nafas. "Seorang muda
yang belum pernah menjelajahi dunia Kang Ouw dapat mengetahui
kebusukan kaum Kang Ouw, sungguh luar biasa Benarkah
kepandaian itu didapan hanya dalam kitab kitab saja?" katanya. Ban
Liang tertawa. "Inilah keanehan dunia" ujarnya. "Ada orang pandai tapi cuma
pandai surat dan bicara kalau menghadapi kenyataan, dia tidak
berdaya. Dilain pihak ada orang orang lemah sebagai nona nona ini.
Aku ingat pernah kakak Hoan mengatakan kepadaku, bahwa orang
terpelajar tanpa kenyataan lebih baik menjadi orang tani saja*
"Itulah benar. Ban Loocianpwee," Siauw Pek turut bicara.
"Kakak Hoan itu bukan hanya pandai surat tapi juga pandai
bekeeja," berkata siorang tua "Kalau dia bekerja dengan negara, dia
bisa menjadi panglima perang atau perdana menteri yang akan
membuat negaraaman sentosa dan rakyat hidup makmur dan
beruntung."
Ia menengadah kelangit. lalu ia menambahkan, "Kalau dia diberi
kesempatan mengepalai dunia Rimba Persilatan, pasti lenyaplah
segala kejahatan dan kebusukan, maka itu sayang sekali, diatas dia
tidak dikenal kepala pemerintah, di bawah dia tidak ditunjang kaum
Rimba persilatan, hingga sia-sia belaka semua kepintaran dan
kepandaiannya itu." Siauw Pek kagum mend engar kata-kata
kawannya ini, sendirinya ia mengagumi pula Tiong Beng.
Ban Liang memandang ketiga kawannya itu.
"Semoga kita dapat mengharapkan sepenuhnya bantuan nonanona
itu" katanya. "Hasilnya nona-nona itu akan memuaskan arwah
kakak Hoan didunia baka." Oey Eng melongok keluar, melihat
cuaca. "Loocianpwee, bagaimana tentang ilmu pengobatan Hoan
Loocianpwee itu?" ia tanya.
"Yang nomor satu diseluruh negara."
"Kalau begitu, dapatkah Hoan loocianpwee mengetahui sebab
musabab dari gagu dan butanya kedua nona-nona itu" Menurut
penglihatanku, kedua nona itu tidak ada tanda-tandanya menjadi
bercacat..."
"Kau benar, saudara kecil. Tak selayaknya kakak beradik itu
bercacat. Kalau mereka mulus, semua wanita cantk dikolong Langit
ini akan memandang suram kepada mereka..."
Siauw Pek ngelamun maka juga ia berkata: "Mungkinkah
disebabkan nona-nona itu terlalu cantik maka mereka menjadi
bercacat ?"
"Itulah tak mungkin" kata Kho Kong, "Tak adil kalau begitu "
Dan si orang tua tersenyum.
"Ingatlah ada waktu terang jernih. ada saatnya mendung guram
Bukan bulan biasa bundar dan bersisir" Dimana ada kecantikan yang
sempurna?"
"Sudahlah" Oey Eng menyela. "Hari sudah tidak siang lagi, mari
kita memilih siasat. Ban Liang menurut, maka ia membeber pula
kertasnya, utuk membaca :
"Tipu daya yang kesatu : Aturlah jebakan. Kalau malam ini
musuh datang, pasti mereka datang dengan tenaga penuh.
Meskipun kalian berempat gagah perkasa, akan tetapi tak usah
kalian mengadu kekuaran baiklah kamu mementang pintu lebar
lebar dan menyalakan lilin terang2 untuk menggertak mereka agar
hatinya gentar, agar mereka ragu2. Disamping itu, diatas gunung,
siapkanlah banyak batu, letakkan dan tumpuk secara kacau. Selama
itu tuan tuan boleh beristirahat disuatu tempat yang sunyi. Akupun
telah mengatur perangkap didalam kamar,jikalau musuh merusak
kamarku itu, mereka bakal mendapat bagiannya."
"Bagus" kata Kho kong tertawa. Tapi mendadak dia melihat
sekitarnya dengan mata membelalak, "Eh, dimana dipasangnya
perangkap itu?"
"Mari kita lihat tipu daya yang kedua," berkata Oey Eng. Mereka
lalu melihat bersama: "Tipu daya yang kedua: Tolak musuh dengan
api. Didalam laci mejaku ada tersimpan obat peledak buatan suhu,
ambillah itu untuk dipendam dibeberapa pojok di dalam kamar, juga
diluar diantara gombolan rumput dan dibawah pohon ditepi
empang. Sembunyikanlah sumbuya didalam tanah, siap untuk
disulut." "Tipu ini baik hanya sayang, rumah ini bakal musnah." kata Oey
Eng. "Mari kita lihat dahulu yang nomor tiga" berkata Ban Liang.
Mereka melihat pula :
"Tipu daya yang ketiga: Memasang jaring menangkap burung
gereja." "Namanya saja sudah luar biasa" kata Ban Liang. "Sungguh Hoan
loocianpwee liehay sekali" memuji Siauw pek, "Lebih lebih karena ia
berhasil mewariskan kepandaiannya itu kepada kedua muridnya
yang bercacat ini."
Ban Liang senang mendengar sahabatnya dipuji, ia tertawa.
"Nah, sekarang tahulah kamu bahwa aku si tua tidak mendusta"
katanya. "Kecantikan kedua nona saja telah membuktikan
kecerdasannya"
Kho Kong turut berkata. "Mari kita lihat bagaimana caranya jaring
diatur" Ban Liang tertawa pula. Kembali mereka membaca.
"Keadaan tubuh suhu berbatas, tak dapat ia meyakinkan ilmu
silat hingga mahir, maka itu ia menukar haluan, ia mempelajari ilmu
surat dan lainnya, seperti melukis dan mengukir. Pernah suhu
mengukir dua potong batu kemala menjadi dua boneka cantik, yang
dalamnya kosong, lalu didalamnya disembunyikan semacam obat,
asal disulut, obat itu merupakan asap yang bisa nyelusup masuk
kedalam telinga. Asap itu demikian halus, hingga sulit untuk dilihat
dengan mata. Yang jelas ialah tersiarnya baunya yang harum. Untuk
mengelabuhi orang, baiklah cari setabung bunga yang harum
ditaruh didalam kamar. Asap itu mengandung racun yang keras,
siapa terkena, meskipun sedikit, akan roboh pingsan. Selama itu
tuan tuan boleh menyembunyikan diri didalam kamar, dikolong meja
dan lainnya, baik untuk turun tangan atau menonton saja. Didalam
sepuluh musuh, tujuh atau delapan pasti akan roboh sendirinya.
Cuma, mengandal asap ini, terserah kepada tuan tuan, apakah
tuan2 sudi..."
"Bagaimana, eh?" tanya Kho kong. "Jika kita bersembunyi di
dalam kamar, bukankah kita sendiri yang paling dahulu akan
terkena racun dan pingsan" Bukankah justru kita yang ditawan
musuh?" "Sabar saudara. Terus baca dahulu..." Kho kong menurut, ia
membaca pula: "Patung kemala itu disimpan didalam sebuah kotak. Suhu
menyimpan itu didalam dinding belakang tempat abunya. Didalam
kotak itu terdapat juga sebutir pil.Jikalau tuan tuan menelan obat
itu, kalian akan bebas dari serangan asap yang beracun itu."
Habis membaca. Ban Liang mengawasi Siauw Pek. "Nah, yang
mana yang kau pilih?" tanyanya. Jikalau akupilih yang terakhir," Oey
Eng menjawab lebih dulu, "dengan menawan mereka hidup2, bisa
kita mengorek keterangan dari mulut mereka tentang diri mereka
itu. Kitapun dapat melindungi keutuhan rumah ini."
"Akupun setuju, walaupun cara ini kurang bersifat laki laki," kata
Siauw Pek, Mengandaikan obat, bukan tenaga, bukanlah cara laki
laki sejati, demikian anggapan bangsa kungfu atau engchiong
budiman dan orang gagah.
"Bagaimana andaikata obat itu sudah hilang tenaga kekuatannya
sebab telah tersimpan lama?" Kho kong memperingatkan. "Apakah
itu bukan berarti kegagalan?"
"Aku percaya surat ini bukan ditulis sejak lama, bahkan si nona
pasti sudah memeriksa obat biusnya itu," berkata Siauw Pek,
"Mari kita lihat dahulu boneka kemala itu," Oey Eng
menyarankan. "Benar" Ban Liang akur. "Mari" Iapun bertindak cepat kemeja
abu. Ketika ia menggeser hio-louw, tempat abu, dibelakangnya ada
semacam knop kecil, Ia memegang knop itu, terus memutarnya
kekanan dua kali. Mendadak terbukalah sebuah lubang pada
dinding. Didalam situ tampak sebuah kotak,
Dengan berhati hati. Ban Liang menarik keluar kotak itu. Ia tutup
pula pintu rahasia dan mengembalikan hiolouw pada tempatnya,
baru ia membuka tutup kotaknya.
Melihat isi kotak, keempat orang itu kagum sekali. Disitu tampak
sepasang boneka kemala, yang indah, yang mirip dengan orang
hidup. Setelah diteliti, kedua boneka mirip dengan Soat Kun dan
Soat Gie. Ban Liang mengangkat satu boneka, untuk diputar balik
satu kali, benarlah perut boneka itu kosong dan dari situ molos
keluar sesuatu yang mirip hio, yang panjangnya kira kira tiga dim,
yang besarnya seperti kelingking.
"Inilah pasti obat bius itu," kata Oey Eng.
"Tidak salah," Ban Liang membenarkan. Ia berdiam sedetik, lalu
ia menambahkan: "Melihat boneka ini, yang begini indah buatannya
aku jadi ingat kepada sahabatku itu. Aku khawatir..."
"Apakah yang dikhawatirkan itu, loocianpwee?" tanya Siauw Pek.
"Boneka ini bukan saja indah," menjawab Ban Liang. "Siapa
memegang kemala ini, dia merasai hawa hanga.t Inilah bukti bahwa
kemala bukan sembarang kemala. Sahabatku itu sangat menyayangi
waktu, tak mau ia menyia nyiakannya, maka itu, boneka ini
tentunya ia buat semenjak lama. Aku percaya, boneka dibuat bukan
melulu guna memuaskan mata, sekarang kemala ini dikeluarkan,
guna melawan musuh, kalau sampai pecah, apakah tak sayang?"
"Jangan khawatir, loocianpwee," kata Kho kong. "Kita taruh
ditempat yang tinggi..."
"Tapi musuh pasti bukan sembarang musuh, sedangkan rumah
ini tingginya cuma setombak lebih..."
"Habis, bagaimana pikiran loocianpwee?" tanya Siauw Pek, "Aku
masih bersangsi..."
"Kalau begitu, kita berhati-hati saja/" berkata Oey Eng.
"Mungkin kedua nona telah memikir juga," kata Ban Liang
kemudian. Mereka mengambil keputusan memakai tipu yang nomor tiga itu.
Selagi bersiap, sijago tua memesan agar kawan-kawannya berhati
hati menyentuh segala sesuatu dirumah itu. Soat Kun telah
mengatakan bahwa dia telah memasang perangkap.


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekarang ini semua orang menaruh kepercayaan besar kepada
kedua nona itu, maka itu, pesan sijago tua pun segera diperhatikan.
Mereka lalu mengatur. Ketika mereka selesai, matahari sudah turun
dibarat. Siauw Pek akan bersembunyi dikolong meja dengan dihalingi dua
tumpuk kayu bakar. Kho Kong diminta bersembunyi diatas penglari
dimana ada tempat buat satu orang. Dari atas pun orang mudah
melihat keseluruh ruang. Hanya saudara itu dipesan mesti berhati
hati, jangan berkelisik,jangan membuka suara.
"Cuma dari atas penglari agak sukar turun tangan," pikir Oey
Eng. Ia justru diminta bersembunyi didalam kamar, maka itu ia
terus masuk kedalam, untuk memeriksa, memilih tempat
sembunyinya. "Sambil menanti waktu, mari kita beristirahat," mengajak Ban
Liang habis dia mengatur diri itu.
Siauw Pek semua menurut. Maka berdiamlah mereka semua,
hingga rumah menjadi sunyi sekali. Malam tiba dengan cepat, dan
kini keadaan menjadi gelap gulita. suara yang terdengar cuma
hembusan angin malam kepada rumah atap itu.
Ban Liang menyulut lilin. Habis menutup jendela, dia masuk
kedalam kamar, untuk duduk bersila diatas pembaringan, guna
beristirahat sambil menanti musuh. Malam yang gelap dan sunyi
kemudian terganggu oleh satu bentakan keras dari luar rumah:
"Jikalau ada manusia hidup didalam rumah ini lekas keluar"
Siauw Pek semua menutup mulut. "Awas kamu" terdengar pula
suara diluar itu. "Kalau tuan besarmu gusar, akan aku bakar gubuk
kamu ini" Tetap tidak ada jawaban.
Agaknya orang diluar itu habis sabar. Tidak lama, segera
terdengar suara menjeblaknya pintu, yang telah orang tendang
terpentang. Dengan terbukanya pintu, angin menghembus masuk.
juga sesosok tubuh orang, yang digantung dipintu bergoyang
goyang Ban Liang menaruh api ditempat yang tak tersampaikan
angin, maka apinya itu tidak padam, hingga seluruh ruang takmpak
nyata. Siauw pek dikolong meja sebaliknya bisa melihat tegas
kearah pintu. Diambang pintu tampak berdiri seorang laki-laki lebih
kurang empatpuluh tahun. Dia bertubuh besar, dandanannya
singsat, tangannya mencekal sebatang golok. Dia berdiri diam
mengawasi tubuh yang tergantung itu, rupanya dia sangat
terpengaruh. "Yang tergantung itu, orang mati atau orang hidup?" terdengar
pertanyaan dari luar, dari orang lain.
Orang yang berdiri diambang pintu itu menjawab, "Dialah salah
satu saudara yang kemarin terluka parah disini "
"Dia sudah mati atau masih hidup?" tanya pula suara itu.
Agaknya dia aseran.
"Nampaknya dia sudah mati..."
"Kalau dia sudah mati, lemparlah mayatnya. Buat apa diawasi
saja* Orang itu menurut. Dengan goloknya, dia membabat tali pengikat
tubuh mayat, dan dengan yang lain, dia menyambut mayat itu,
untuk segera dilemparkan kesamping
Tapi itulah bukan mayat, itulah salah satu musuh yang tertotok
Siauw Pek, hanya karena tertotok, dia tak dapat bicara, tak dapat
bergerak. karena dia dilemparkan hingga terbanting keras, dia justru
jadi putus jiwa
"Hmm, dua orang budak busuk" mengejek orang bertubuh besar
itu. "Dengan menggantungkan satu mayat, apakah kamu kira dapat
menghalang halangi kami menyerbu masuk?" Lalu, dengan
melindungi diri dengan goloknya, dia bertindak maju. Siauw Pek
memasang mata keluar. Samar samar ia melihat gerak geriknya kira
kira sepuluh orang lebih.
Tiba didalam rumah, orang tadi menyalakan sebuah bambu yang
ia bekal. dengan begitu, dengan adanya api lilin didalam, kamar jadi
terlebih terang, segala apa apa nampak semakin nyata.
Dari luar terdengar pertanyaan keras dan berat. Apakah ada
sesuatu yang mencurigakan" "Tidak ada..." sahut yang baru masuk
itu, matanya celingukan. Segera ia melihat sepasang boneka kemala
diatas meja abunya Hoan Tiong beng. Maka ia lalu menambahkan.
"Di atas meja abu ada dua boneka kemala. Mungkin kedua budak
itu sudah lari kabur..." Kamar itu memang telah dirapikan Ban liang
berempat hingga tak nampak sesuatu bekas yang bisa
mendatangkan kecurigaan.
Lalu terdengar tindakan beberapa pasang kaki. Maka muncullah
diambang pintu empat orang muda berseragam hitam yang
memegang pedang mengiringi seorang yang memakai pakaian
kuning seluruhnya, yang mukanya ditutup dengan topeng. Orang itu
terus masuk, Dibelakang si serba kuning ini terlihat orang lain lagi,
seorang muda dengan dandanan perlente, yang lengan kirinya
terbalut kain putih.
Dengan mata tajam, si serba kuning menanya anak muda
dibelakangnya itu: "Apakah kau melihat tegas sekali"
Nampak pemuda itu sangat menghormati si serba kuning itu,
katanya sambil membungkuk
"Tidak salah Dialah orang itu yang di Jiesiewan mencoba
merampas barang titipan pada Lauw Haycu."
"Hm" si serba kuning mendumal. "Mungkinkah dia benar-benar
turunan si orang she Coh itu yang berhasil menyeberangi jembatan
maut Seng Su Kio?"
"Itulah hamba tidak tahu, tidaklah berani hamba memastika "
berkata pemuda yang lengannya dibalut itu.
"Thian kiam Kie Tong dan Pa Too Siang Go adalah orang orang
yang lihay sekali," berkata pula si serba kuning. "sejak mereka
melintasi Seng Su Kio, selama beberapa puluh tahun, tak terdengar
beritanya apa benar bocah itu dapat kembali dari Seng Su Kio "
Mungkinkah ?"
Orang berkata kata seorang diri, tiada kawannya yang berani
campur bicara. Maka ia mengocah pula : "Yang aneh Kenapa
mereka itu dapat berhubungan dengan dua orang murid Hoan Tiong
Beng?" Mendadak si anak muda perlente berkata: "Siapa tahu kalau
kedua budak itu masih bersembunyi didalam rumahnya ini?"
Mendengar begitu, mendadak orang itu bungkam. Tapi matanya
mengawasi tajam kepada kedua boneka kemala. Lalu ia
menghampiri meja. Dia terus mengulur tangannya untuk
menjemput boneka itu. Baru tangannya itu mau menyentuh,
sekonyong konyong dia menarik kembali, batal memegangnya. Lalu
ia mengawasi keseluruh ruang.
"Nona nona" dia berkata nyaring; "Nona nona, sekarang ini kamu
sudah terkurung rapat. Jikalau kamu tidak mau keluar untuk
menemuiku, jangan kamu sesalkan aku keterlaluan. Jangan kamu
menyesal" Siauw Pek dikolong meja heran mendengar suara orang itu.
Katanya didalam hati. "Suara dia begini luar biasa, mungkin dia
berkepandaian tinggi sekali..."
Si serba kuning tidak memperoleh jawaban, dia gusar. "Masuk"
perintahnya. "Geledah"
"Baik" menjawab dua orang berseragam hitam, yang terus
bertindak masuk kedalam. Tapi mereka bagaikan orang yang
melempat diri kelautan besar, begitu masuk, mereka tak terdengar
suaranya lagi, tak nampak muncul pula.
"Budak-budak tolol dan buta" berteriak siserba kuning. "Kemana
kamu pergi"..." Mendadak dia menutup mulutnya, terus dia menoleh
kepada sipemuda perlente, lalu, mendadak juga dia lari keluar, Dan
si anak muda, diapun turut memutaK tubuh untuk lari.
Menampak demikian, Siauw Pek keluar dari tempat sembunyinya,
ia berlompat untuk menghadang, dan segera menyerang. Tangan
kirinya menyambar siperlente, dan dua jeriji tangan kanannya
menotok si serba kuning.
Si serba kuning menangkis totokan itu.
Siauw Pek terkejut. Pikirnya: "Tenaga dalam dia ini tangguh
Benarkah obat bius dari dalam boneka kemala itu tak mempan
terhadapnya?"
Sementara itu sipemuda perlente, yang juga menangkis
serangan, setelah menangkis itu, terhuyung sendirinya, tubuhnya
roboh, barulah menyusul dia, si serba kuning juga ter-huyung2.
"Dasar kuat tenaga dalamnya dia dapat bertahan," pikir Siauw
Pek, Maka tidak ayal lagi ia lompat maju, akan mengulangi
serangannya, barulah kali ini, lawan itu roboh terguling.
Ketika itu Kho Kong juga lompat turun dari atas penglari, untuk
menyerang dua orang yang berseragam hitam. Mereka ini
menangkis, akan tetapi mereka roboh seketika, sebab saat
itu,pengaruh obat bius sudah bekerja diantara rombongan penyerbu
itu. Ban Liang muncul ketika dia mendengar suara berisik. "Berhasil?"
tanyanya. "Semua telah terbekuk " sahut si polos.
"Dialah pemimpinnya," Siauw Pek tanya sambil menunjuk si
serba kuning. "Dengan beradanya dia disini, pasti kawan kawannya
tidak akan berani bertindak sembrono." Ban Liang menghampiri si
serba kuning, ia hendak menjambak, buat mengangkat tubuh orang
itu, tapi mendadak ada anak panah bersuara melesat kearahnya.
"Awas locianpwee" berseru Siauw Pek memperingatkannya. Anak
panah itu melesat ketangan sijagotua. Dan sijago tua itu menarik
tangannya sambil mundur dua tindak, maka Anak panah itu nancap
dipintu. "Padamkan api" Ban Liang berseru.
"Mari kita bicara dengan mereka itu" Siauw Pek menyahuti,
tangannya dikibaskan memadamkan lilin.
Ban Liang pergi kebelakang pintu, lalu berkata dengan tawar:
"Pemimpin kamu telah kami tawan. Asal kamu masih
menggunakanpanah gelap, akan aku bunuh dia serta juga semua
kawanmu ini"
Dari luar segera terdengar suara yang keras. "Kamu juga telah
kami kurung, Kalau kita sama-sama bertahan, salah satu mesti
roboh" "Kamu boleh kurung kami tidak takut" sahutBan Liang. "Kami
mempunyai persediaan pangan buat beberapa bulan boleh kamu
coba mengurung buat tiga bulan lamanya."
Suara nyaring itu terdengar pula: "Habis tuan hendak mengatur
bagaimana untuk menyelesaikan urusan kita itu?" suara itu nyaring
tetapi nadanya lunak.
"Si kuning ini agaknya sangat berharga, hanya entah dia
pemimpin utama atau bukan." sijago tua berbisik. "Nanti aku dengar
lebih jauh suara mereka..."
maka ia berkata pula. "Pemimpin kamu telah kami bekuk,
kamulah kawanan naga tanpa kepala, Masih ada mukakah kamu
untuk mengadakan pembicaraan" Untuk kamu tinggal satu jalan:
Letakkan senjata kamu, buat manda diringkus, lalu menantikan
keputusan kami"
"Jangan banyak tingkah, tuan" berkata suara nyaring diluar itu.
"Jikalau kamu keterlaluan, hingga kamu memaksa kami turun
tangan, jangan nanti kamu menyesal sesudah terlambat"
Licik orang itu. Dia tak mau menyebut nama si serba kuning
sebenarnya orang apa, pemimpin mereka atau bukan...
Siauw pek mengawasi keluar. Dan samar samar ia menampak
seorang yang bertubuh tinggi besar sedang berdiri seorang diri
sejarak tiga tombak dari pintu. Mungkin kawan-kawan dia itu
mengatur diri dikedua sisinya. Dialah orang yang bicara dengan
sijago tua. Ban Liang tertawa dan berkata: "Jikalau kau mau main
gila denganku, itulah sia sia belaka. Jikalau aku tidak mau
melepaskan dia serba kuning ini, apa yang bisa kamu perbuat"
Beranikah kamu lancang turun tangan?" Tanpa menanti jawaban, ia
menambahkan, suara sengaja ditinggikan. "Saudara Kho, Coba kau
kasih rasa sedikit kepada bocah itu"
Jago tua ini cuma main-main, untuk menggertak lawan, akan
tetapi Kho Kong berlaku sungguh-sungguh. Ia menghampiri si serba
kuning untuk menjambaknya, setelah mana, tanpa mengawasi lagi
muka orang, dia menampar dua kali.
Si serba kuning itu terkena obat bius, ia juga habis ditotok,
walaupun demikian ia sadar, maka itu, gaplokan si anak muda
membuatnya merasa sangat nyeri. Kendati demikian, ia tak bisa
berbuat apa-apa, ia cuma bisa gusar dan mendongkol, buat
membuka suara dia tak mampu
Diluar terdengar suara yang gusar sekali. Dia rupanya
mendengar suara tamparan yang nyaring itu. Maka ia segera
berkata dengan bengis. "Kamu berlaku ganas, tuan Awas nanti kami
bakar gubuk kamu ini"
"Jikalau kamu masih saja berkepala batu, aku akan hajar lagi dia
ini" kata sijago tua.
Kali ini suara diluar itu bungkam. Maka sepilah didalam maupun
diluar rumah. Siauw pek sementara itu heran. Orang diluar tadi tak nampak
pula, karenanya ia berpikir: "Mungkin dia tak sudi berbicara lagi
Mungkin dia mau turun tangan." maka ia terus berkata pada Ban
Liang: "Rupanya musuh tidak mau berbicara lagi Mungkin dia mau
melakukan sesuatu Kita harus waspada"
"Tidak salah" berkata Ban Liang. "Lekas bawa siserba kuning dan
kawan-kawannya kedepan, kita pakai mereka sebagai tameng"
Berkata begitu, jago tua ini memperkeras suaranya, supaya musuh
diluar dapat mendengar.
"Betul" berseru Kho Kong. Dan dia gusur si serba kuning
kedepan. Diluar, suasana tetap sunyi, tidak ada serbuan, sedangkan
tadinya mereka agaknya galak sekali, kesunyian berlangsung menit
demi menit. "Saudara, bagaimana kalau kita pergi melihat keluar?" berbisik
Kho Kong pada Oey Eng, kawannya yang diam saja sejak tadi.
"Jangan sembrono," Ban Liang mewakilkan Oey Eng menjawab,
"siapa tahu jikalau mereka itu tengah mengatur kurungan."
"Lalu apakah kita mau main diam diam saja," tanya si-polos.
"Sekarang gelap petang, kita tunggu datangnya sang siang, baru
kita lihat." berkata sijago tua.
Kho kong berbicara wajar saja, tapi Ban Liang dengan ada
maksudnya, maka suaranya diperkeras.
Benarlah, diluar terdengar suara perlahan dari tindakan banyak
kaki Rupanya suara si jago tua membuat mereka merubah siasat.
"Waspada" Ban Liang memperingatkan. "Mungkin mereka mau
turun tangan sekarang." Lalu Siauw Pek diminta menjaga dikanan
dan Oey Eng dikiri.
Diluar, benar-benar orang sudah mulai bekeeja, Dua orang
mendekati pintu.
Oey Eng menarik tangan Siauw Pek, untuk memberi isyarat.
Maka keduanya bersiap sedia. Ban Liang dan Kho Kong belum tahu
ada gerakan musuh dikir dan kanan, berdua mereka memasang
mata kedepan saja. Setelah datang dekat pada pintu, kedua orang
diluar itu berhenti bertindak,
Oey Eng menjadi curiga. Inilah sebabnya ia tidak bisa melihat
tegas. Maka ia segera berkata nyaring: "Toako, lekas turun tangan"
bersamaan dengan itu, iapun menyerang dengan tangan kanannya.
Siauw Pek menyerang segera setelah ia mendengar suara


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kawannya itu. Kedua orang diluar itu tidak menyangka akan
diserang, mereka menangkis dengan gugup.
Yang dikanan, yang menyambut serangan Siauw Pek, tertolak
mundur lima tindak, Lawan Oey Eng terhuyung dua tindak, sebab
serang si orang she Oey tidak sekeras ketuanya.
"Sungguh manusia tolol tak berguna" terdengar dampratan
diluar. "Lekas pergi" Dua orang yang terpukul mundur itu agak
ketakutan, dengan segera mereka mengundurkan diri, lenyap
didalam kegelapan. Siauw pek mengenali suara yang ternyata bukan
orang yang tadi bicara dengan Ban Liang. Ia heran, kenapa dengan
cepat sekali orang sudah menukar pemimpin" Mungkinkah musuh
telah mendatangkan bala bantuan" Karenanya ia mengawasi tajam
kearah suara orang itu.
Didalam gelap, hanya tampak sesosok tubuh bergelempang, tapi
tak terlihat jelas mukanya.
"Toako melihat apa?" Oey Eng berbisik.
"Aku tidak melihat apa-apa," sahut sianak muda.
"Aku mengira mungkin mereka itu menggunakan sesuatu guna
menutupi tubuh mereka."
"Jikalau tidak salah, toako, musuh telah mendatangkan banyak
bala bantuan," Oey Eng mengutarakan dugaannya.
"Benar, akupun menduga demikian," sahut Siauw pek,
"Sang pagi akan segera tiba," kata Oey Eng pula. "setelah terang
tanah, toako hendak bertindak bagaimana?"
"Biarlah Ban Loocianpwee yang mengambil keputusan." sahut
sianak muda, "kita baik-baik berunding dengan..."
Selagi ia berkata begitu, Siauw pek melihat sesosok tubuh
bergerak keatas rumah. Perlahan sekali bergeraknya orang itu. Oey
Eng mengeluarkan sebatang sumbu.
"Awas, toako" katanya perlahan Terus ia pergi kebelakang pintu.
Disitu, begitu ia mengibaskan tangannya, sumbunya itu menyala
mengeluarkan api. Menyusul itu, dua batang Anak panah
menyambar tangan yang memegang sumbu itu, serangan
datangnya dari luar. Dua dua panah tidak mengenai sasarannya Oey
Eng berlaku sebat, begitu mengibas dia melemparkan sumbunya
keluar,jatuh ditangah sejauh satu tombak lebih, Dengan adanya
sumbu itu, segala apa tampak nyata diluar itu. Orang yang tadi
mendatangi itu, yang merayap mendekam ditanah, tak berkutik.
Siauw Pek melihat tajam.
"Mereka menyamar" ia berteriak. Ia melihat hanya kain hitam.
Suara si anak muda putus dengan mendadak. Ini disebabkan
sebatang panah api
menyambar kearahnya, nancap ditiang pintu. Apinya itu menyala
terus. "Lekas padamkan" Ban Liang berseru, ia menguatirkan
terbakarnya rumah itu. Iapun menyaksikan si serba kuning. Apakah
dia bukan sipemimpin" Mungkinkah masih ada pemimpin atasnya"
Kalau tidak, kenapa musuh menggunakan api"
Menurut kaum Rimba Persilatan, kalau seorang pemimpin
tertawan dan dikuasai lawan, kawan kawannya tidak boleh
menggunakan api, sebab itu berarti ancaman bahaya kematian bagi
sipemimpin yang tak berdaya ditangan lawan. Andaikata sipemimpin
tidak terancam serangan api membuat lawan bertambah gusar.
Dengan dilepaskannya panah api itu, teranglah bahwa si serba
kuning tidak dihargai sama sekali.
Siauw Pek menghunus pedangnya, ia membabat kearah
api.Justru itu, menyambar pula dua batang panah api lainnya. Ia
menyampok yang satu, yang lainnya ia sambut dan dicekal,
kemudian ia lemparkan kearah tubuh yang mendekam tadi. Setelah
itu, sianak muda lompat mundur kebelakang pintu.
"Bagus" Kho kong memuji ketuanya. "Melihat kepandaian toako,
pasti musuh terbuka matanya"
Tapi Ban Liang berkata sungguh-sungguh: "Siserba kuning
bukanlah pemimpin mereka yang utama. Kita salah menawan orang.
Lihat saja, mereka tak pedulikan lagi siserba kuning hidup atau mati
Kita...: Suara sijago tua terputus. Mendadak sosok tubuh yang
mendekam itu bergerak bangun dan lari, Dia terkena panah api
yang dilemparkan Siauw Pek, rupanya dia takut atau tak tahan, dia
kaget dan kabur. "Kelihatan benar mereka mendapat bala bantuan,"
Ban Liang berkata pula, "Kita mesti merubah siasat. Mari kita
bersiap" Siauw pek pun merasa musuh tak dapat dipandang ringan.
Sipemuda perlente berkedudukan tinggi, dia kalah dari siserba
kuning tapi sekarang ternyata, diluar itu ada orang yang lebih tinggi
kedudukannya daripada siserba kuning itu.
Perubahan lainnya segera menyusul. Hal itu mengherankan Ban
Liang semua. Itulah karena musuh diluar itu sirap, malam menjadi
sunyi kembali, sampai sekian lama tak terdengar suara apa apa.
"Bagaimana ini, loocianpwee?" Oey Eng berbisik kepada sijago
tua. "Entahlah Rupanya musuh diluar liehay sekali. Kita harus
waspada." "Entah bagaimana dengan itu nona nona kakak beradik?" Oey
Eng tanya pula. Ia menguatirkan dua saudara bercacat itu.
"Mari kita keluar untuk melihat," berkata Kho Kong, sipolos.
"Barang kali musuh sudah pergi semua."
"Jangan sembrono." Ban Liang mencegah. "Jikalau aku tidak
keliru menerka, sekarang ini justru musuh sudah mengurung kita
berlapis lapis. jikalau kita lalai, kita bisa mendapat rugi..."
"Kalau begitu, loocianpwee," tanya Kho kong "apakah kita harus
main menjaga saja?" Ban Liang tersenyum.
"Kita tunggu sampai terang tanah" sahutnya.
"Sebentar kita melihat keadaan, baru kita pikirkan tindakan kita
selanjutnya"
Ketika itu angin bertiup-tiup, rumah atap turut tertiup pula.
Dengan lewatnya sang waktu diufuk timur tampak cahaya putih
samar samar Dengan perlahan, segala sesuatu diluar terlihat
makinjelas dan terang.
Siauw pek mengintai. Segalanya terang di luar: rumput hijau, air
pengempang bergoyang perlahan. Tak ada bayangan seorang juga.
"Apakah masih ada musuh?" tanya Ban Liang dari belakang
pintu. "Tidak," sahut Siauw pek, "Tidak ada pertanda apa apa."
"Nanti aku lihat" berkata Kho Kong sambil bergerak. Ban liang
hendak menjaga, tapi ia terlambat.
Anak muda itu lari keluar. Ia memandang ke sekitarnya, Tak
tampak musuh. Suasana tenang sekali. Lalu ia berpikir: "Ban
locianpwe terlalu teliti, da bercuriga tanpa alasan. Musuh toh sudah
pergi..." karenanya, ia bertindak lebih jauh dari muka rumah.
"Saudara Kho,jangan sembrono" Ban Liang berteriak, "Lekas
balik" "Jangan kuatir, loocianpwee" sahut si anak muda. "Musuh sudah
pergi semua"
Ia berjalan terus kebelakang rumah, sijago tua khawatir, hingga
dia menghela napas. "Saudara Kho sembrono sekali, aku khawatir."
Siauw pek dan Oey Eng kurang berpengalaman, mereka sama
berpikir, walaupun Kho kong sembrono tetapi dia bisa melihat,
mustahil dia tidak tahu kalau ada musuh?" Oleh karena ini, mereka
tidak berpikir seperti sijago tua.
Tapi Kho kong pergi, sampai lama belum kembali, Kedua anak
muda saling melirik.
"Aneh," berbisik Siauw pek, Jangan-jangan benar shatee
mendapat celaka..."
"Nanti aku lihat " berkata Oey Eng sambil bergerak untuk pergi
keluar. "Tak usah " mencegah sijago tua keras. Sipemuda heran,
"Kenapa loocianpwee."
"Musuh sudah memasang perangkap disekitar rumah ini. asal kau
keluar, kita bakal kehilangan lagi satu tenaga."
"walaupun ada gunung golok dan kwali minyak panas, mesti aku
lihat saudara Kho " berkata Oey Eng.
"Ingatlah, tak sabaran dengan urusan kecil dapat menggagalkan
rencana besar..." si jago tua memperingatkan. Tapi Siauw pek
sependapat dengan Oey Eng Kata dia : "Siapa bersaudara, mereka
mesti mati atau hidup bersama. siapa yang tidak jujur, dia dikutuk
Thian Menyesal, loocianpwee aku mesti sia-siakan kebalkan hatimu"
Berkata begitu, anak muda ini menghunus pedangnya dan
berlompat keluar. Sijago tua menarik napas.
"Kalau diluar ada musuh, kau sendiri dapat melayani mereka,"
katanya. "Hanya..." Siauw pek merandek.
"Hanya apa, loocianpwee?"
"Menurut apa yang aku duga, saudara Kho tertawan musuh
tanpa dia berkesempatan lagi melakukan perlawanan."
menerangkan sijago tua. "Dia kena tertangkap hidup-hidup."
"Bagaimana pendapatmu ini, loocianpwee "
"Kho kong sembrono tetapi kadang kadang dia teliti." berkata
sijago tua, "dia tak akan pergi terlalujauh dari sekitar rumah ini, dan
kalau dia bertempur dengan musuh pasti kita mendengar suara
bentrokan senjatanya. Atau kalau tidak dengar suara senjata
beradu, pasti terdengar juga terlak-teriakannya..."
Siauw pek mengangguk, "Loocianpwee benar juga." katanya.
"Musuh banyak, kita sedikit, buat dapat kemenangan, kita harus
sabar." berkata pula sijago tua "begini dalam pertempuran kita ini"
"Habis bagaimana, loocianpwee ?" Oey Eng tanya.
"Kita lihat kelebihan kita untuk menghadapi kekurangan lawan..."
"Maukah loocianpwee menjelaskan lebih jauh?"
"Disamping jumlahnya yang besar, musuh sudah mengatur
perangkap disekitar rumah kira ini, asal kita keluar, berarti kita
menyerahkan diri masuk kedalam perangkapnya itu. Sekarang ini
kita menanti saja serangan mereka*
"Jikalau mereka tidak menyerbut, apakah kita harus menanti
terus, biarpun sampai satu tahun?" Oey Eng menegaskan.
"Menurut terkaanku, musuh tak akan lewat kau hari ini. Kalau
mereka tidak menyerbu di waktu sore, pasti sebentar malam.
Mungkin secara besar besaran..." mendadak si orang tua itu
memperlahan suaranya. "Nampaknya si serba kuning ini, benar
orang penting dari rombongan itu. Mereka tidak berani meneruskan
melepas api membakar kita, tentu inilah sebabnya. Yang dicurigai
mereka tentulah kenapa enam orangnya yang menyerbu dapat kita
tawan dengan mudah. Pasti mereka menduga rumah kita ini rumah
perangkap karena mana mereka tidak berani lancang
menyerbunya..."
Kembali sijago tua berpikir, maka ia berhenti sebentar, baru ia
melanjutkan "Hanya orang yang mengepalai rombongan itu
sekarang ini teranglah orang yang lihay, yang sabar luar biasa,
maka juga dia dapat mengatur perangkap diluar, tak mau dia
sembarang menyerbu."
Oey Eng menghela napas, ia berduka. "Kalau kita sampai mag
rib, bukankah sekalipun ada seratus saudara Kho juga akan keburu
dibinasakan semuanya"..." katanya, masgul.
"Pikiranmu beda daripada pikiran kau, saudara kecil," berkata
Ban Liang, tetap sabar. "benar mereka telah menawan saudara Kho
tetapi kitapun telah membekuk orangnya dan si serba kuning ini
orang penting dari mereka itu. Mungkin dia bukan kepalanya tapi
dia toh salah satu orang pentingnya mana mereka berani mereka
menurunkan tangan jahat atas diri saudara Kho."
Ban Liang melihat keluar rumah. Dengan perlahan ia
menambahkan. "Aku masih memikirkan sesuatu yang luar biasa.
Mungkin rombongan musuh kita ini ialah rombongan yang disebut
Su Kay Taysu, mungkin dialah sipengacau dibelakang tirai kaum
Kang Ouw..."
Siauw Pek terperanjat. Segera dia ingat sesuatu. Maka dia
bangkit, terus dia menggusur si serba kuning kemuka pintu, segera
dia meloloskan topeng orang itu.
Enam mata dari si anak muda dan Ban Liang segera diarahkan
kemuka si serba kuning itu, semua merasa heran, hingga mereka
menatap terus : Itulah sebuah wajah yang cantik sebagai wajah
seorang wanita, alisnya lentik, matanya jeli, kulit mukanya halus dan
dadu. "Mukanyapun berbau pupur, bukan seperti muka pria." kata Oey
Eng. wajah Ban Liang nampak sungguh-sungguh. Kata dia perlahan.
"Mungkin itu rencana besar dari beberapa puluh tahun, sekarang ini
mulai meletus dan kitalah yang pertama kali menemuinya..."
"Loocianpwee, kata-kata loocianpwee kurang jelas," berkata Oey
Eng. "Selama beberapa puluh tahun aku tinggal menyendiri didalam
lembah yang sunyi sambil mempelajari ilmu Ngo Kwie souw Hun
Ciu, kesabaranku bertambah, demikian juga pengalamanku,"
berkata siorang tua, "setiap kali aku memikir sesuatu hal, dapat aku
memikirkannya dengan tenang dan merdeka, demikian kali ini, aku
telah memikirkan sesuatu."
"Apakah itu, loocianpwee?"
"Coba kau terka, berapa usianya siserba kuning ini?"
"Jikalau dia benar seorang wanita, mengingat tenaga dalamnya
yang mahir, dia paling sedikit diatas tiga puluhan."
"Sekarang coba kau gunakan pedang menyontek bajunya
itu,jikalau dia benar seorang wanita, pasti kita akan menemukan
sesuatu." Oey Eng heran, hatinya jadi tertarik, Tanpa ayal lagi,
dengan ujung pedangnya ia menyontek baju orang tawanannya itu.
Maka terbukalah baju orang itu, hingga terlihatlah dua buah
susunya. Ban Liang mengibas tangannya, akan lekas-lekas menutup
rapat baju itu, kemudian ia menghela napas.
"Orang ini mungkinkah dia..." katanya.
"Siapakah dia loocianpwee?" tanya Oey Eng. Ban Liang hendak
menjawab ketika dia melihat Siauw pek tengah mengawasi
mendelong kepada si serba kuning itu. Ia membatalkan niatnya,
bahkan ia menoleh kepada Oey Eng. Sianak muda mengawasi
ketuanya Iaheran ketua itu nampaknya teng ah berpikir keras.
"Saudara; apa kah kau kenal wanita ini?" Ban Liang bertanya
perlahan. Siauw pek bagaikan tersadar. Dia menghela napas. "Aku sendiri
mengenal baik padanya," sahutnya, ragu-ragu. "Kau
berpengetahuan luas, loocianpwee, apa kah kau kenal kepadanya ?"
"Tidak," sahut Ban Liang.
"Rasanya aku pernah lihat dia entah dimana..." kata Siauw pek,
"Kita pikir saja perlahan-lahan," kata sijago tua. "Kita mempunyai
cukup waktu akan mengingat-ingat..."
"Sekarang ini aku ragu-ragu, rasanya aku pernah menemui dia,
rasanya tidak, toh rasanya pasti aku mengenalnya baik sekali," kata
pula sianak muda "Ah dasar benak hatiku, rasanya dia telah ada
lukisannya"
"Kenyataan apa kah itu, saudara kecil ?" ^
"Kenyataan bahwa didalam dunia ini ada seorang seperti dia..."
"Kalau begitu saudara, coba kau ingat baik-baik. Adakah seorang
diantara keluarga Pek Ho Bun kamu yang mirip dengan wanita ini?"
"Tidak, aku telah mengingat ingat tetapi aku tidak ingat
kepadanya."
"Aneh" Oey Eng turut bicara, "kau tidak ingat dia, kau belum
pernah melihatnya, tapi kenapa kau rasanya mengenalnya dan dia


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terlukis dalam benak hatimu ?"
"Inilah yang membuatku bingung..."
Kembali sianak muda menatap siserba kuning itu.
"Loocianpwee, bagaimanakah ini?" Oey Eng berbisik pada Ban
Liang. Jago tua itu menggeleng kepala.
"Ya, aneh Kalau begini kita harus menanti kembalinya nona
Hoan..." Oey Eng menghela napas. "Benar-benar dunia Kang Ouw aneh"
katanya. Dan Ban Liang berpikir keras. "Banyak pengalamanku tetapi yang
seperti ini, inilah yang pertama kali," katanya.
Kedua orang berbicara dengan sangat perlahan. Siauw Pek
seperti mendengarnya. Sebab dia lagi berpikir keras sekali, pikirnya
itu lagi terbenam. Justru itulah mereka mendengar satu suara
nyaring: "Aku hendak bicara dengan kamu,tuan-tuan" Suara itu
keras bagaikan guntur. Semua orang lalu menoleh, maka didepan
pintu terlihatlah seorang bertubuh besar dengan warna pakaian
hitam seluruhnya. Dia bertangan kosong pula.Jarak antara pintu dan
dia kira-kira dua tombak lebih. Habis berkata begitu, dia diam
menanti. "Ada pengajaran apakah dari kau, tuan?" Ban Liang bertanya.
"Aku mendapat tugas berbicara dengan kamu tuan tuan," ia
mengangkat tangannya dan menggoyang goyangkannya, "Tuantuan
lihat, aku tidak membekal senjata." Ban Liang tertawa dingin.
"Bawa senjata atau tidak, sama saja" kata jago tua ini. "Asal kau
berani main gila. jangan nanti kau sesalkan aku siorang tua paling
dahulu aku akan habiskanjiwa orang berpakaian kuning ini"
JILID 25 Orang itu tertawa.
"Kita terpisah cukup jauh, karena itu bolehkah aku masuk
kedalam rumah?" dia bertanya.
"Masuk boleh, tetapi kau harus hati-hati"Ban Liang
memperingatkan, "Rumah kami ini telah dipasangi berbagai macam
perangkap, asal kau lancang masuk, kau bakal kena terbekuk,
paling baik berdirilah sejarak tujuh atau delapan kaki dari ambang
pintu" "Aku akan perhatikan pesanmu ini," kata si orang tinggi besar itu.
Ia bertindak maju sejauh yang disebutkan sijago tua. Ban Liang
tetap bersembunyi dibalik pintu, ia cuma menongolkan sedikit
kepalanya. "Kau hendak bicara apa, tuan?" tanyanya.
"Kami telah menawan seorang tuan she Kho, katanya dialah
sahabat kamu," kata utusan lawan itu.
"Benar. Lalu?"
"Aku ditugaskan membicarakan utusan sahabat kamu itu."
"Maksudmu ?"
"Usul kamu ialah kita saling menukar orang tawanan..."
"Bagaimanakah caranya itu?" tanya Ban Liang tertawa.
"Kita berlaku adil dan pantas, kami menangkap satu orang dan
tuan enam, akan tetapi kami menukar satu dengan satu. Hanya..."
"Hanya, kau maksudkan kau dapat memilih orang yang kamu
hendak tukarkan itu?"
"Benar" sahut siutusan, yang tertawa menyeringai. Disenggapi
sijago tua, dia merasa malu sendirinya. Ban liang tertawa hambar.
"Inilah dapat Cuma, kecuali sibaju kuning, dapat kamu memilih
siapa saja satu diantara lima yang lainnya "
Utusan itu melengak, "Ah..." katanya ragu-ragu. "Aku justru
menerima perintah untuk menukar kawan tuan-tuan dengan orang
yang berbaju kuning itu."
"Jikalau begitu, maaf tuan" Ban Liang menyela. "Menyesal aku
mesti menyia-nyiakan pengharapan kamu ini. Tolong kau sampaikan
kepada pemimpin kamu bahwa siorang baju kuning itu tak ingin
kami menukarnya "
"Aku masih ada sedikit bicara... kata utusan itu
"Silahkan "
"Tuan-tuang telah terkurung didalam rumah atap ini, itu dan
suaru keadaan yang dapat dipertahankan lama lama Jikalau tuantuan
suka menukarkan orang berbaju kuning itu, kami juga akan
segera meninggalkan tempat ini hingga selanjutnya kita tak akan
bentrok pula."
Ban liang menyambut dengan tertawa dingin. "Tuan, nampaknya
kami terlalu memandang ringan kepada soal mati atau hidup kamu
sendiri..." katanya.
Kembali orang itu merasa jengah. Diapun mendongkol tetapi dia
tak dapat mengumbarnya. "Aku bicara dengan sungguh-sungguh,
harap tuan tuan suka memperhatikannya," katanya terpaksa berlaku
sabar. Ban Liang tertawa dingin, kata dia terus terang: "Kamu
menghendaki sibaju kuning, lima kawanmu yang lainnya kamu
biarkan, kamu tak pedulikan. Nyata kamu kejam sekali. Kau sendiri,
kaulah pesuruh, apakah kekuasanmu" Bukannya aku hendak
memancing kemarahanmu, tapi aku kuatir bahwa kemerdekaan kau
sendirinya jiwamu mungkin tinggal menanti waktu lenyapnya"
Orang itu kalah bicara. Dia rupanya merasai kebenaran kata
orang tua ini. Dengan lesu dia tunduk.
Ban Liang batuk-batuk, lalu berkata pula dengan sabar. "Mereka
itu dapat mengorbankan kelima kawanmu ini, maka itu, apakah
artinya kau seorang diri" Bukankah kau, seperti mereka ini dapat
dikurbankan juga?"
Orang itu mengangkat kepalanya. "Benar," katanya. "Tapi,
baiklah kita kembali kepada pembicaraan tadi. Asal sibaju kuning itu
dibebaskan, siorang she Kho pasti akan dibebaskan pula. Hal ini
tuan tak usah khawatir."
"Kau bersitegang, tuan. Bagaimana jikalau aku tidak
menukarkan?"
"Sahabatmu itu bakal mengalami siksaan yang paling hebat, dia
bakal dihukum picis"
"Jangan lupa,padaku ada enam jiwa Kami pun dapat menyiksa
mereka seperti kamu menyiksa kawan kami"
"Hanya kesempatanmu sudah tidak ada, tuan Jikalau pihak kami
telah memperoleh kepastian bahwa kami tak berdaya menolongi
kawan kami itu maka didalam waktu sekejap kamu bersama dengan
rumah ini bakal menjadi abu."
Ban liang mau percaya gertakan itu, tetapi dia tidak mau kalah
bicara. Maka dia tertawa dan katanya dengan tenang. "Aku percaya
betul, tuan, pemimpin kamu bakal menggunakan seribu satu daya
upaya guna menolong si baju kuning."
"Jelasnya tuan menolak?" tanya utusan itu.
"Ya. Kami menolak syaratmu itu" Siutusan berdiam, dia menarik
napas berduka. Nampak dia mau bicara tetapi batal.
Dengan perlahan dia memalingkan tubuhnya dan bertindak pergi.
Oey Eng mengawasi sijago tua.
"Kenapa kita tidak tukar..." katanya. Tapi mendadak kata yang
nyaring: "Sahabat tunggu Kau..."
Utusan itu mendengar panggilan, dia menghentikan tindakan
kakinya dan berpaling. Nampak dia sedikit gembira.
"Tuan menerima baik syarat kami?" dia tanya.
Oey Eng berpikir dengan cepat. Segera setelah memanggil orang
itu, ia merasa bahwa ia telah kesalahan omong. Karena itu, selagi
orang itu berkata-kata, dengan perlahan ia kata pada Ban Liang.
"Maaf loocianpwee, aku keliru."
Ban Liangpun berkata perlahan. "Jikalau kita tukar sibaju kuning
ini, kita memang bebas dari ancaman malapetaka, tetapi itu buat
sesaat saja, karena dilain detik, pasti kita bakal diserbu mereka.
Pasti itu tak berhenti sebelum kita mati semua" Maka itu, Oey Eng
segera menjawab siutusan
"Tuan, kami benar benar merubah pikiran kami. Aku ingin, agar
pemimpinmu yang sekarang suka datang kemari untuk bicara
langsung dengan kami."
Kalau tadi nampak gembira, utusan itu kini menjadi lesu pula. Ia
menarik napas perlahan, Tapi dia lekas menjawab: "baiklah Akan
aku sampaikan pesan tuan tuan ini, cuma ia suka datang kemari
atau tidak, itulah aku tak tahu."
"Jikalau dia mau datang, datanglah sebelum gelap gulita," Ban
Liang memberitahu. "Jika dia tak mau datang, tak apa. Selekasnya
malam tiba kita tak usah bicara lagi"
Utusan itu tak berkata apa apa, dia memutar tubuh dan pergi.
Dia menuju kebarat. Cepat dia lenyap dari pandangan mata. Oey
Eng bingung. Dia mikirkan Kho Kong.
"Loocianpwee, mereka akan datang, tidak?" tanyanya.
"Mereka tidak datang seandainya pemimpin mereka itu sudah tak
memerlukan lagi siserba kuning ini" sahut Ban Liang.
Oey Eng menghela nafas. Katanya pelan: "Ada harganya juga
jiwa saudara Kho ditukar dengan jiwa enam orang ini, ia tentu akan
dapat memjamkan mata..."
Ban Liangpun menghela napas, mau ia membuka mulut tapi
batal. Ia mendengar kata kata Oey Eng itu. ia mengerti, akan tetapi
dia tak berani sembarangan bicara. Karena mereka berdiam, sang
waktu lewat dengan suasana lengang.
Selang beberapa lama, musuh tadi tampak datang pula. Dia
datang dekat hingga empat atau lima kaki, barulah dia berhenti.
Lalu dia berkata seraya memberi hormat: "Aku telah menyampaikan
pesannya tuan tuan, ketua kami bersedia mengadakan
pertemuan..."
Ban liang berkata cepat "Sang waktu sudah tidak siang lagi kalau
dia mau datang dia harus lekas lekas"
"Pemimpin kami akan segera datang Aku diminta menyampaikan
pesan saja"
Ban Liang berkata pula: "Tolong kau sampaikan kepada
pimimpinmu bahwa waktu adalah uang, cepat dia datang lebih baik
lagi" Utusan itu melengak. "Akan kuberitahukan," katanya seraya terus
membalik tubuh dan pergi dengan tindakannya yang lebar.
.o.o.O.o.o. Setelah orang itu pergi, Oey Eng tanya kawannya perlahan:
"Loocianpwee, kalau orang itu bersedia saling menukar orang
tawanan, bagaimana sikap loocianpwee?"
"Sampai sekarang ini, aku belum bisa berkata apa-apa." sahut
Ban Liang. "Kita lihat suasana sebentar saja."
Oey Eng berkata pula; "Kalau loocianpwee mengambil keputusan
tidak mau menukar tawanan, kita mesti segera menempur mereka
Pedang dan golok toako ampuh, tak mungkin orang itu dapat
melawannya. Jikalau kita bisa menangkap lagi salah satu pemimpin
mereka, dia dapat dipakai menukar saudara Kho..."
"Sebegitu jauh belum pernah aku mengira ngira sebelumnya,"
kata Ban Liang.
Oey Eng masih mau bicara ketika ia melihat datangnya dua orang
kacung berbaju hijau yang tangannya memegang pedang. Mereka
berjalan dengan perlahan. Dibelakang mereka tampak tiga orang
lainnya, dua diantaranya yang berjalan dikiri dan kanan mengiringi
seorang berpakaian putih seluruhnya: Pakaiannya putih, ikat
kepalanya putih, putih juga cala mukanya. Mereka menghampiri
rumah atap. walaupun disiang hari, karena dandanannya yang luar biasa itu,
orang itu mendatangkan rasa heran bahkan sedikit menyeramkan...
"Tuan, silahkan berhenti, sejarak satu tombak" Ban Liang
berkata. "Harap kaujangan datang terlalu dekat dengan rumah kami
ini" Orang yang berpakaian putih itu mendengar kata, Dia berhenti
kira-kira satu tombak, segera terdengar suaranya yang dingin:
"Tuau-tuan, ada pengajaran apakah dari kamu?" Ban liang pun
bersuara dingin.
"Kami tidak mengundang kamu, tuan" sahutnya. "Adalah tuan
yang mengirimkan utusan kepada kami untuk mendamaikan
sesuatu. Apakah maksud tuan maka tuan menanya begini kepada
kami?" Orang berbaju putih itu berdiri tegak, sepasang matanya bersorot
tajam mengawasi kearah rumah. Dia tidak membuka suara,
sikapnya dingin sekali.
Kedua kacung yang bersenjatakan pedang juga berdiri diam
laksana patung. Karena itu, suasana diselubungi kesunyian, barulah
lewat sesaat, si serba putih berkata, nadanya menegur, "Andaikata
benar aku yang mengirim utusan buat mengadakan pembicaraan
dilakukan dengan cara ini?"
"Sahabat, kau sabar luar biasa" berkata Ban Liang.
Si baju putih berdiam sejenak, baru dia berkata: "Kami telah
menawan seorang dari kamu..."
Ban Liang segera menyela: "Kami telah menawan enam orang
bawahan kamu, tuan"
"Bukankah ada diantaranya yang berpakaian serba kuning"
"Benar. Jikalau aku si tua tak salah melihat, dialah seorang
wanita" Orang itu berdiam sejenak, baru dia berkata, "PunCo mengambil
keputusan hendak menukar orang kamu yang tertangkap oleh kami
dengan orang berpakaian kuning itu."
Ban Liang tertawa berkakak, suaranya mendengung keluar
rumah. "Kenapa kau tertawa tuan?" tanya si baju putih heran, suaranya
dingin. Dia mendongkol orang tidak segera menjawab usulnya.
"Aku tertawakan kau tuan, karena kau..."
"Apakah kamu tidak mau menukarnya?" tanya si baju putih.
"Kecuali si baju kuning, si wanita yang menyamar menjadi pria
itu, dari lima yang lainnya, tuan bebas memilihnya" berkata Ban
Liang tenang tegas.
"Punco justru hendak menukar dengan si baju kuning itu, tidak
dengan yang lain" berkata si baju putih, suaranya keren. Dia pula,
seperti tadi, membahasakan dirinya "punco" itu berarti bahwa
didalam rombongannya; dia punya kedudukan yang tinggi, kepala
dari suatu bahagian.
"Jikalau demikian, tak usah kita bicara lebih jauh" Ban Liang
meneruskan, "Asal aku berikan perintahku, rumah ini bakal menjadi abu"
berkata si baju putih keren.
"Silahkan kalau tuan tidak memperdulikan lagi jiwa orang orang
kamu itu" Ban Liang menantang.
Si baju putih dengan perlahan mengulur tangannya, mengambil
pedang ditangan sikacung sebelah kiri. Katanya dingin. "Apakah kau
hendak belajar kenal dengan pedang punco?"
"Aku kira tak perlu kita berkenalan pula" sahut Ban Liang,
singkat. Si baju putih tidak menyangka bakal mendapat jawaban
serupa itu, ia sampai berdiam
untuk berpikir.
"Sungguh kau cerdik, tuan" katanya.
"Tuan, pembicaraan kita harus berakhir sampai disini" berkata
Ban Liang tanpa menghiraukan kata kata orang itu. "Oleh karena
sukar didapatkan perdamaian, tidak ada lain jalan kita harus
mengandalkan kepada kepandaian kita masing masing, untuk
memutusakan siapa menang siapa kalah"
"Jadinya kamu hendak merampas jiwa orang." tanya si baju
putih.

Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sabar, tuan,jangan kau risau" kata Ban Liang. "Jikalau hendak
melakukan pembunuhan, lebih dahulu kami habiskan jiwanya itu
orang orang dengan seragam hitam, baru sipemuda perlente, dan
paling akhir barulah si baju kuning"
Tutup muka si baju putih tergoyang tanpa ada angin yang
meniupnya. Teranglah bagaimana tegang rasa hatinya. Karenanya,
dia berdiam sampai beberapa lama. Dan akhirnya dia juga yang
kalah sabar. Dia berkata: "Kecuali saling tukar, untuk membebaskan
orang berbaju kuning itu, masih ada syarat apa lagikah?"
"Syarat apa tuan." sahut Ban Liang dingin, "cuma aku khawatir
engkau tak setuju"
"Apakah itu" Katakanlah"
"Yang pertama tama ialah orang kami itu harus dilepaskan lebih
dahulu" "Baik," sahut si baju putih, yang terus berkaok
"Bebaskan si orang she Kho "
Hanya sebentar terlihatlah Kho kong muncul dengan tak kurang
suatu apa. Diam diam Oey Eng menghela napas.
"Dasar jahe tua" pujinya didalam hati. "Ban Loocianpwee jauh
lebih menang daripada kita."
Ketika Kho kong berjalan lagi empat atau lima kaki akan sampai
dirumah, mendadak Ban Liang menyerukannya : "berhenti"
Kho kong menurut, Segera dia berhenti bertindak.
Oey Eng heran sekali.
"Kenapa saudara Kho disuruh berhenti, loocianpwee?" tanyanya.
Ban Liang tidak segera menjawab pertanyaan itu, hanya dengan
tajam dia menatap saudara kecil yang polos tapi aseran itu.
"Saudara Kho, apakah kau sadar?" tanyanya.
"Ya" Kho kong menjawab. "Ketika kau dibebaskan,- apakah ada
ditaruhkan sesuatu pada tubuhmu"Ban Liang bertanya.
Kho kong terdiam, terus ia memeriksa tubuhnya.
"Tidak," sahutnya sejenak kemudian. "Jikalau tidak, bertindaklah
perlahan lahan."
Kho kong menurut, ia berjalan maju.
"Mundur" tiba tiba Ban Liang memerintah setelah orang
mendekati pintu. Tapi Kho kong berjalan terus, agaknya dia tidak
dengar perintah itu.
"Tahan dia," seru sijago tua sambil mengibaskan tangannya.
Justru itu bayangan lalu berkelebat, sebab si baju putih bersama
kedua kacungnya sudah berlompat maju untuk menyerbu masuk
kedalam rumah Oey Eng berlompat maju, niatnya mencegah Ban
Liang, supaya Kho kong dapat dibiarkan masuk, akan tetapi
menyaksikan bergeraknya si baju putih, dia terkejut, maka segera ia
menikam si baju putih itu. Si baju putih mengibaskan sebelah
tangannya, segera ada sesuatu tenaga yang menyampok terpendal
pedang si orang she Oey, Dia bertindak sangat cepat, untuk
menyerbu masuk.
Ban liang menggerakkan tangannya, untuk menolak tubuh orang
itu. Kembali si baju putih mengibaskan tangannya. Tanpa dapat
dicegah, sijago tua kena
tertolak mundur. Maka ketiga penyerbu itu segera bertindak ke
ambang pintu. Justru rumah itu bakal kena diserbu, mendadak satu
sinar pedang berkilauan dan angin mendengung dengung,
mendesak ketiga orang itu mundur. Setibanya diluar, si baju putih
memutar pedangnya, untuk mengadakan perlawanan, buat
mencoba memukul mundur sinar pedang itu.
Siauwpek, yang telah berlompat keluar mendesak terus. Ia
memaksa ketiga lawannya mundur.
Ban Liang melihat pada boneka diatas meja, lalu dia berseru:
"Desak terus supaya mereka mudur "
Siauw Pek menyahut, dia mendesak keras. Kedua kacung segera
menyerang dari kiri dan kanan.
Melihat orangnya maju, si baju putih mundur beberapa tindak,
untuk berdiri menonton, dia memperhatikan gerakan gerakan
pedang lawan. Agaknya dia sangat memperhatikan ilmu pedang
lawan. Kedua kacung itu masih muda, akan tetapi ilmu pedang mereka
baik sekali, mereka dapat bekerja sama, maju dan mundurnya
rapih. Hanya sayang mereka menghadapi Ong Too Kiu Kiam, hingga
mereka tidak berdaya. Dengan segera mereka kena terkekang.
"Berhenti" sekonyong konyong si baju putih berseru.
Kedua bocah mendengar mereka lompat mundur lima kaki.
Siserba putih menatap Siauw Pek, "Pernah apakah kau dengan
Thiam kiam tong tanyanya.
"Beliau adalah guruku" sahut sianak muda terus terang walaupun
ia merasa heran.
Dengan nada dingin, sibaju putih berkata. "Kalau begitu kaulah
Coh Siauw Pek turunan Coh kam pek dari Pek ho bun kaukah yang
telah bisa menyeberangi Seng su kio?"
Sambil berkata begitu, dia mengawasi terus dari atas kebawah
dari bawah keatas.
Siauw pek tidak menyangkal. "Benar" sahutnya gagah. "Akulah
Coh Siauw Pek sisa anggota satu satunya yang masih hidup dari Pek
ho bun" Siserba putih masih berkata pula, suara tetap dingin. "Belum
tentu Mungkin masih ada satu Coh bun koan, yang masih hidup
dikolong langit ini"
Disebut nama kakaknya itu membuat Siauw pek melengak,
sekalipun dari mulut Soat kun dan Soat Gie telah ia ketahui tentang
masih hidup kakaknya itu. Tapi dia tak berdiam lama.
"Tak usah kau menyusahkan hati memikirkan itu, tuan" katanya.
Sibaju putih mengulapkan tangannya.
"Mari kita pergi" katanya, kepada kawan kawannya. Dan dia
mendahului memutar tubuh untuk berlalu.
Kedua kacung itu menyahut, segera mereka pergi mengintil. Ban
Liang memandang kepada Kho Kong.
"Tangkap dia" ia berseru.
Kho kong hendak memutar tubuhnya, buat ikut sibaju putih
berlalu. Tapi Siauw pek menghadang dihadapannya.
"Adik Kho" kata ketua ini, sabar, "kemana kau mau pergi?"
"Aku pergi untuk melihat lihat, segera aku kembali," sahut sang
adik yang terus berlompat, untuk menerobos cegahan. Siauw pek
memutar pedangnya, mengurung saudara itu, mencegahnya pergi.
"Kau mau lihat apa?" ia tanya. Kho kong mundur dua tindak,
"Untuk melihat mereka itu" sahutnya. Lalu, mendadak dia
mengayun tangan kanannya, menimpukkan suatu sinar terang
kearah ketua itu.
Siauw pek sampok senjata rahasia itu, sebatang jarum racun.
"Dialah orang yang menyamar saudara Kho" teriak Ban Liang.
"Jangan biarkan dia lolos"
Siauw pek berlompat, untuk menikam punggung orang tua itu.
Akan tetapi tidak dapat dia berbuat telengas. walaupun ada kata
kata sijago tua itu ia masih ragu ragu. Orang mirip sekali dengan
adik angkatnya itu. Maka juga pedangnya cuma menggores pecah
baju orang itu.
"Kho kong" rupanya merasa tak ungkulan lolos, dia menyerang
pula dengan senjata rahasianya, secara hebat sekali.
Siauw pek sudah siap sedia, ia berkelit. Toh ia terkejut. Sekarang
ia tahu pasti, bahwa orang bukan Kho kong, karena Kho kong tidak
seliehay itu dan juga dia tidak mempunyai senjata rahasia. Karena
ini, ia maju pula, untuk mengulangi serangannya. Tapi, mendadak ia
menjadi terperanjat bahwa herannya. Karena dengan mendadak
saja Kho kong roboh terkulai...
Itu disebabkan Ban Liang, dengan menggunakan Ngo kwie souw
hun ciu, telah menyerang dari jarak jauh, membuat orang terkena
dan roboh seketika. Hanya ia menggunakan totokan.
Siauw pek berlaku cerdik dan sebat. Tanpa ragu pula, dia sambar
tubuhnya "saudara" itu, buat diangkat, untuk segera dibawa
kedalam rumah Oey Eng mengawasi adik itu, yang matanya terpejamkan,
nampaknya dia seperti terluka parah. Maka ia menoleh kepada Ban
Liang untuk bertanya: "Loccianpwee, apakah loocianpwee
menyerang hebat kepadanya?"
"Tidak," menjawab Ban Liang, yang segera menotok bebas adik
kecil itu. Kho kong menghela napas, ia membuka matanya, tetapi
lekas juga ia meram kembali. Oey Eng menatap tajam muka orang.
"Mungkinkah didalam dunia ini ada dua orang yang begini mirip
satu dengan lain?" tanyanya. "Mungkinkah orang dapat mencari
manusia yang mirip begini didalam waktu yang begini pendek...?"
Lalu ia menoleh kepada sijago tua, untuk meneruskan berkata: "Aku
lihat dia bukannya orang yang menyamar..."
"Pandanganku lain," berkata sijago tua. Mendadak saja, dengan
luar biasa sebat, dia menyambar muka orang itu, yang kulitnya
dijambak, maka sekejap itu juga, locotlah kulit muka orang itu.
sebenarnya itu bukanlah kulit hanya gips
"Liehay Sungguh liehay" Oey Eng berseru berulang-ulang sambil
menggeleng kepala. "Bagaimana orang begini pandai membuat
penyamaran"
Selagi saudara ini berkata begitu, "Kho kong" sudah berlompat
bangun dan tangannya digerakkan, menimpukkan jarum bisanya.
Tapi, Siauw pek sangat sebat, tangannya menghajar kelengan orang
itu, maka terlepas dan jatuhlah jarumnya itu. Dilain pihak, Ban Liang
juga menghajar bahu orang itu, bahkan dia turun tangan berat
sekali, sampai lengan itu terlepas dan jatuh kelantai. Oey Eng tidak
kurang sebatnya. Dengan pedangnya, dia mengancam dada lawan.
"Siapakah kau?" tanyanya bengis. Orang itu menyeringai
menahan rasa nyerinya, matanya mendelik terhadap anak muda
yang mengancamnya, setelah itu dia memjamkan mata dan
bungkam, giginya dikertak, guna menahan sakitnya.
Ban liang bertindak lebih jauh. Jeriji jeriji tangannya bekerja pada
tenggorokan orang itu, untuk memencet sambil berkata dingin:
"Kamu mau mampus" Tak akan tercapailah maksudmu."
Dengan suara susah, orang itu berkata: "Kamu sudah
terlambat..." Lalu dengan mendadak dia roboh, napasnya berhenti
berjalan Oey Eng kaget dan heran, hingga dia melengak, "Dia mati..."
"Sayang..." mengeluh Ban Liang, "Aku telah menerkanya tetapi
aku terlambat..."
"Dasar racunnya yang hebat, loocianpwee," kata Oey Eng.
"Sebenarnya loocianpwee telah bertindak cepat sekali."
Ban Liang menggusur tubuh orang, katanya. "Nah, sekarang baru
benar benar kita menghadapi ancaman bencana..."
"Kelihatannya siorang serba kuning penting sekali," berkata Oey
Eng. "Asal kita tak lepaskan dia, musuh mungkin tak berani
bertindak sembarangan."
"Tergantung kepada suasana nanti," kata sijago tua. "Saudara
COh telah turun tangan, ini pula menambah kesulitan. Si serba putih
itu liehay sekali, dia mengenali ilmu silat Thiam Kie Tong."
Semua orang heran liehaynya musuh itu. "Jika begini,
loocianpwee," berkata Oey Eng kemudian, "bukankah sia sia usaha
kedua nona itu?"
"Musuh memang liehay sekali," mengaku sijago tua. "Sayang
kedua nona tak ada bersama kita, kalau mereka hadir, aku percaya
Rahasia Peti Wasiat 2 Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long Ksatria Negeri Salju 4
^