Pencarian

Pedang Golok Yang Menggetarkan 3

Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen Bagian 3


muda. "Kenapa ia berdiam saja di dalam gua dimana tidak ada sinar
matahari, dimana seperti tidak ada siang dan malam. Mengapa ia
tidak mau tinggal bersama-sama kau, locianpwee " Tempat yang
begini luas, walaupun beberapa ratus orang, masih leluasa untuk
tinggal menetap disini..." Kie Tong menarik napas.
"Memang Siang Go sangat aneh," katanya. "Sudah beberapa
puluh tahun, meski kami tinggal disatu tempat dan berdekatan,
kami senantiasa saling menyingkir jauh-jauh. Akulah yang paling
dulu menyeberangi Seng Su Kio dan berdiam disini, ketika si siluman
datang, untuk memisahkan diri dari aku, dia menyeberangi daerah
berlumpur dan penuh bisa itu, mencarl guanya itu." Siauw Pek pun
menarik napas. "Gua itu tanpa tanaman padi, polowijo atau bebuahan," katanya
juga tanpa burung dan binatang lainnya, selama beberapa puluh
tahun apa saja yang ia makan ?" Ditanya begitu, Kie Tong
tercengang. "Dia makan apa ?" tanyanya, membalik. "Akupun tidak tahu "
"Locianpwee " kata Siauw Pek, tiba tiba dengan suara keras.
"dapatkah loocianpwee mengantarkan aku pula keGua Siang
Loocianpwee itu ?" Kie Tong heran. Dia menatap.
"Baru kita pergi, buat apa kita kembali ?" dia tanya.
"Aku ingin meminta dia keluar dari gua itu, dan tinggal bersama
dengan kita diBu Yu Kok," si anak muda menjelaskan-
"Tak mungkin " kata Kie Tong, menggelengkan kepalanya.
Jikalau Pa Too dan ong Kiam tinggal bersama, sukar ditanggung
bahwa keduanya tak akan bentrok satu dengan lain-Memang aku
dapat menahan sabar tetapi kesabaranku juga ada batasnya. oh,
anak. siluman she Siang itu menghormati aku berbareng jeri "
"Apakah loocianpwee juga jeri terhadapnya ?"
Kie Tong menghela napas.
"Inilah salah satu rahasia seumur hidupku," sahutnya. "Sekarang
rahasia itu hendak aku buka, supaya hatiku lega "
Berkata begitu, jago tua ini duduk dengan perlahan-lahan Ia
menepuk-nepuk tanah yang berumput.
"Anak. mari duduk" ia mengundang.
Siauw Pek menatap orang tua itu, lalu ia merasa menyesal. Ia
melihat wajah orang guram, guram keadaan.
"Tahu begini, tak mestinya aku menanyakan dia," pikirnya.
Segera terdengar Kie Tong menarik napas dalam dalam.
"Apa yang aku lakukan seumur hidupku, tidak ada yang tak
dapat diperlihatkan kepada langit atau matahari," katanya
kemudian. " kecuali satu, yang membuat hatiku tidak tenang.
Karena aku sudah mencuri lihat ilmu goloknya Siang Go "
"Tetap itu bukan perbuatan terlalu salah, loopee," sahut Siauw
Pek menghibur. "Buat orang lain mungkin tidak. tidak demikian buatku."
"Mengapa begitu, loopee?"
"ong Kiam dan Pa Too sama terkenalnya dalam dunia Rimba
Persilatan," orang she Kie menerangkan- "kami sampai mendapat
julukan Lam Pek Jie Seng, Nabi darl Selatan dan Utara. Tapi aku
mencuri lihat ilmu silat sahabatku itu, apakah itu pantas" Tidak.
itulah sangat tidak pantas. Tentu saja sulit untuk menerangkannya
mengapa aku melakukan pengintaian-"
"Apa dan maksudnya loopee itu ?"
"Aku ingin melihat kalau kalau ilmu goloknya itu ada
lowongannya, supaya aku dapat menggunakan tipu daya untuk
memecahkan Toan Hun It Too" Kie Tong mengaku.
Siauw Pek melengak. ia berdiam. Didalam hati ia berpikir: "Jadi
tak lain tak bukan maksudmu supaya Ong Kiam menjagoi sendiri,
agar nama Ong Kiam dapat menutup nama Pa Too ini memang
perbuatan tidak tepat, akan tetapi, dimedan laga, orang tak mencela
kecurangan-"
Kie Tong melanjutkan kata katanya : "Pernah aku menyamar dan
menguntit Siang Go. selama setahun. Pernah aku menyaksikan dia
melakukan tipu silat golok Toan Hut It Too membinasakan belasan
jago Rimba Persilatan- Aku melihat bagaimana dia mengeluarkan
golok dan menggerakkannya, dari situ aku berhasil menangkap
rahasianya..."
"Dengan begitu, lopeejadi telah berhasil mendapatkan daya
untuk memecahkan ilmu goloknya itu ?"
"Loopee sudah melihat caranya dia menggunakan goloknya itu,
mengapa loopee tetap masih belum bisa memikir jurus untuk
memecahkannya ?"
"Ketika itu aku memikir sama seperti pikiranmu sekarang ini,
anak. Setelah melihat cacadnya, kenapa aku tidak bisa
menggunakan cacad itu?"
Jago tua itu menghela napas pula.
"Pusing aku memikirkan jurus itu, sampai aku hampir gila." dia
menambahkan. "Dan pernah pada suatu malam, aku sampai
terpaksa menceburkan diri kedalam air yang dinginnya bagaikan
es." "Mengapa begitu, loopee ?"
"Aku ingin supaya hawa dingin membuatku lupa soal itu.
Ternyata dugaanku meleset. Tubuhku dingin, sampai meresap
ketulang-tulang dan sumsum, tetapi tetap tak dapat aku melupakan
keinginan memecahkan Toan Hun It Too itu. Bahkan aku lupa
bahwa aku telah berendam diair es. bukankah itu hebat sekali, anak
?" "Benar-benar kejadian langka " pikir Siauw Pek "Hanya untuk
memecahkan rahasia tipu mulihat orang lain, sapai kegilaan macam
begini." Berapa lama Kie Tong berdiam saja, tapi tiba tiba sinar matanya
yang biasanya lemah lembut dan ramah, mendadak menatap si
anak muda dengan dingin dan tajam. Diapun lalu menanya : "Kau
tahu, anak. bagaimanakah caranya aku membebaskan diri dari
kesukaranku ini ?"
Ditanya begitu, si anak muda menggoyang kepala. "Mana aku
tahu loopee ?" sahutnya.
"Kalau daun rontok. dia jatuh pula keakarnya," kata Kie Tong,
tenang. "Baru kemudian dari sembilan jurus tipu silatku, aku melihat
suatu rahasianya, dengan begitu barulah aku bebas dari
penderitaannya yang kucari- cari sendiri itu."
JILID 5 Tetapi Siauw pek heran.
"Jadi dari ilmu silat loopee sendiri mendapatkan cara untuk
merobohkan tipu silat golok Siang Loocianpwee itu?" tanyanya.
"Bukan, anak. Mungkin seumur hidupku, tidak dapat aku
memecahkannya. Hanya, dari sembilan jurus tipu silatku, aku
berhasil membebaskan diri dari keinginan gilaku." Siauw Pek
menepuk kepalanya.
"Akupun pusing kepala memikirkannya, loopee" katanya:
"Sebenarnya apakah yang membebaskan siksaan loopee itu ?"
Mendadak Kie Tong tertawa riang dan sinar matanyapun
bercahaya pula. Kembali ia pada wajahnya yang lemah lembut dan
ramah. "Sebenarnya aku tahu bahwa sembilan Jurus tipu pedangkupun
ada banyak cacatnya," katanya. "Baru itu waktu aku sadar, bahwa
ilmu silat di kolong langit, biar bagaimana sempurna, mesti ada juga
kekurangannya. Jikalau ada ilmu silat sempurna tanpa cacat,
bukankah orang itu akan menjadi jago sendiri, dan semua orang
Rimba Persilatan mesti tunduk terhadapnya. Kalau itu benar terjadi
maka tak usahlah adanya pelbagai partai lagi"
Siauw Pek mulai mengerti. "oh, kiranya begitu..." katanya.
"Tipu pedang ku sembilan jurus, pantas banyak cacatnya," kata
Kie Tong kemudian- "Tipu golok Siang Go cuma satu jurus, tak
heran sedikit cacatnya. Tipu pedangku berasal dari berbagai macam
tipu pedang di kolong langit yang disatukan, karena itu dalam hal
pembelaan diri, biarpun dikepung oleh berpuluh orang liehay, aku
tak akan kalah. Tipu golok Siang Gopun asalnya adalah dari tipu
golok jago jago dunia yang disatukan- Kalau tipu pedangku untuk
membela diri, tipu golok Siang Go adalah untuk menerjang. Maka
itu, belum pernah ada orang yang lolos dari serangan goloknya itu.
Nah, anak, coba kau pikir : Kalau dengan tipu silat penyerangannya
yang istimewa itu maka siang Go menyerang tipu pedangku yang
mengutamakan pembelaan diri itu, bagaimanakan nanti
kesudahannya ?"
"Aku tidak tahu," sahut pula Siauw Pek. Dia memang tidak
mengerti. "Itu berarti, batu kemala dan batu biasa terbakar musnah samasama."
kata Kie Tong. "Artinya, dua duanya kalah dan mendapat
celaka. Aku terluka oleh bacokan Toan Hun it Too, dia roboh karena
balasan serangan pedangku. Anak, semua orang tahu bahwa ilmu
pedangku ialah ilmu pedang ong Too, Raja Keadilan, itulah
disebabkan belum pernah aku membunuh seorang juga. Pernah aku
mengalahkan orang karena desakanku, sampai musuh menyerah
kalah dan mundur dengan sendirinya, lain daripada itu, sulit aku
melukai membunuh lawanku. inilah yang aku sesaLkan- Begitulah
akan kemudian aku telah memperoleh julukan ong Kiam itu."
Siauw Pek heran, katanya didalam hati. Kau terkenal sebagai Ki
Lan Un it Kiam, kau disebut juga nabi Rimba Persilatan, ilmu
pedangmu menjagoi seluruh dunia, tetapianah, mana ada tipu
pedang istimewa yang hanya bisa dipakai menjaga diri, tetapi tak
dapat melukai musuh ?"
Kie Tong melihat anak itu berdiam, ia dapat menerka sebabnya.
Maka ia tersenyum. "Anak, kau tidak percaya akan kata kataku ini,
bukan?" "Bukannya aku tidak percaya, loopee, aku hanya kurang
mengerti..."
"Tentang itu, suka aku memberi penjelasan, cuma aku kuatir,
kau belum cukup pengertian untuk memperoleh keinsafan .Jikalau
nanti kau telah mempelajari ilmu pedangku, kau akan mengerti
jelas." Siauw Pek menatap. sedang orang tua itu mengawasi.
Selang sejenak, mendadak orang tua itu berkata: "Mulai hari ini,
aku akan ajari kau ilmu kepandaianku "
Siauw Pek tercengang karena heran dan girangnya.
"Terima kasih, loopee, terima kasih ujarnya cepat. "Bukan hanya
aku, juga arwah ayah bundaku dialam baka pasti akan sangat
bersyukur kepada loopee "
"Tetapi, anak," kata orang tua itu, "aku kuatir kau nanti tak
sanggup membawa ong Kiam dan Pa Too keluar dari lembah Bu Yu
Kok ini..."
Mula mula, Siauw Pek heran, tetapi kemudian dia mengerti, Maka
ia berkata : "Biar rintangan berlapis lapis, loopee, tak akan
kuhiraukan Aku percaya arwah ayah bundaku akan membantu
sehingga aku bisa keluar dari lembah ini..."
"Ya, anak memang siapa sangat berbakti, dia akan memperoleh
berkah" Berkata begitu, Kie Tong berhenti secara tiba tiba. Ia menekuk
nekuk jeriji tangannya, untuk menghitung hitung.
"Aku ingat sekarang," katanya kemudian, "tiga tahun lagi, adalah
saat yang tepat untuk menyeberangi jembatan maut itu..." Ia
berdiam sejenak, kemudian katanya lagi: "Mempelajari ilmu silat
sampai sempurna bukannya soal mudah, akan tetapi tiga tahun juga
bukan waktu yang pendek. Anak, kau berbakat baik sekali, kalau
didalam waktu tiga tahun kau terus belajar dengan tekun, kau pasti
akan memperoleh kemajuan- Kaupun telah makan cio jie, yang
berarti pertambahan untuk kekuatan tubuhmu. Aku percaya, dengan
latihan tiga tahun, kau akan dapat menandingi orang yang
mempunyai latihan sepuluh tahun "
"Mudah mudahan loopee," kata Siauw Pek. yang sekali lagi
menghaturkan terima kasih. Ia paykuy terhadap orang tua itu.
Sejak itu, mulailah Tjoh Siauw Pek belajar dibawah pimpinan Kie
Tong, yang mendidiknya lebih dahulu didalam ilmu tenaga dalam-
Bukan main sayangnya orang she Kie ini terhadap muridnya ini,
hingga untuk makan pakaiannya, dia sendiri yang melayani, si murid
cuma diwajibkan belajar tekun dan junun, sedangkan setiap tengah
malam, dia memerlukan mengambilkan ciojie untuk diminum
muridnya, supaya tubuh si murid sehat, kuat dan ulet.
Sang waktu berlalu dengan cepat. Dua tahun telah lewat. Selama
itu, Siauw Pek sudah melatih baik dirinya dalam ilmu dalam- Bahkan
tiap tanggal lima, lima belas dan dua puluh lima selama tiga hari
setiap bulan diapun disuruh melatih ilmu golok Siang Go. supaya dia
mahir dalam ilmu goloknya itu. Tapi, selama dua tahun yang lalu
belum pernah dapat Kie Tong mengajari dia ilmu pedang. dia cuma
banyak diceritakan tentang ilmu silat bersenjata itu.
Pada suatu malam selewatnya dua tahun setengah selagi
rembulan terang benderang, tiba-tiba Kie Tong mengajak muridnya
pergi ke ujung bukit dimana ada banyak tumbuh pohon bunga. Dia
tertawa ketika menunjukkan tempat indah itu. "Anak, kau lihat
tempat ini, bagaimana perasaanmu?" tanyanya. Siauw Pek melihat
keempat penjuru.
"Sungguh indah " sahutnya. "Bunga bunga bagaikan sulaman
dan bau harumnya hampir memabukkan orang" Kie Tong tertawa
pula. "Selama dua tahun lebih," katanya. "kecuali selagi berlatih silat,
kau tidak pernah keluar pintu. Aku lihat walaupun kau berlelah lelah
kemajuanmu adalah diluar dugaanku"
"Itulah berkat kebaikan loopee," kata anak muda. Lagi lagi guru
tertawa. "Mulai malam ini, aku akan ajari kau ilmu pedang " katanya.
Dengan tiba tiba Siauw Pek menjatuhkan diri memberi hormat
kepada gurunya itu.
"Suhu, terimalah hormat murid" katanya yang kemudian
merubah panggilannya dari loopee paman menjadi "suhu" guru. Ia
menjura tiga kali.
Beda daripada biasanya, Kie Tong tidak mencegah. Dia terima
baik pemberian hormat itu
"Sekarang kita telah menjadi guru dan murid" katanya, tertawa.
"Sejak malam ini, tempomu berdiam di lembah ini tinggal kira kira
setengah tahun, karena itu, dibawah pimpinanku kau mesti belajar
dengan sungguh sungguh. Taman bunga ini adalah taman
buatanku, sengaja aku siapkan buat aku berlatih disini."
Siauw Pek bersyukur. cuma ia tidak mengerti mengapa buat
belajar siat pedang guru itu memilih tempat ini, yang dia buat
istimewa. Ia sangat bersyukur dan terharu, hingga air matanya
meleleh keluar.
"Budi suhu ini sangat besar, entah bagaimana aku bisa
membalasnya," katanya.
" Kau telah membalas budiku jikalau kau berhasil mempelajari
ilmu pedangku yang terdiri dari sembilan jurus ini," kata guru itu.
"Dengan begitu kau telah mewariskan ilmu kepandaianku."
"Aku akan coba, suhu. Aku akan berdaya agar suhu tidak
kecewa." "Tahukah kau, mengapa aku buat taman ini untukmu belajar silat
pedang ?" "Tidak suhu," sahut murid.
"Ilmu silat pedang ku beda daripada ilmu silat pedang lainnya,"
berkata guru itu. "Lebih beda lagi dengan ilmu golok Siang Go.
Selama dua tahun aku menyaksikan kau melatih ilmu golok, aku


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat kau selalu dipengaruhi rasa dendam kesumatmu, sangat
hebat perasaan benci dan sakit hatimu. Tidaklah demikian dengan
ilmu pedangku. Ilmu pedangku sebaliknya, membutuhkan kelemah
lembutan seperti angin musim semi, mesti dipenuhi pengaruh welas
asih dan kesabaran- Diwaktu belajar ilmu pedang, hatimu mesti
riang gembira, lega terbuka bagaikan berbunga. Nah, inilah
sebabnya mengapa kubuatkan kau taman ini. Keindahan tempat ini
akan membantu kau menyelesaikan dan memahirkan ilmu
pedangmu" Siauw Pek sangat bersukur, ia sampai menghela napas.
"Suhu baik sekali." katanya.
"Ilmu silat pedangku disebut ong Too Kiu Kiam tetapi juga
dipanggil Tay Pie Kiam-hoat yaitu Ilmu Pedang Maha Kasih," berkata
guru itu, memberi penjelasan. "Jurus yang pertama dinamakan
Siang im Liauw Yauw, atau Mega Indah Bergulung gulung. inilah
sebab, asal pedang digerakkan, geraknya mirip mega turun dari
langit, segera lawan terkurung sinarnya yang tajam itu, berkilau
kilauan terus membawakan sembilan perubahan, mengancam
menotok sembilan jalan darah lawan itu. Itulah ancaman serangan
untuk lebih menggertak mempunahkan semangat lawan kita. Ilmu
pedang ini memang cuma sembilan jurus tetapi setiap sembilan
jurus berkailkan sembilan, menjadi semuanya delapan puluh satu
jurus pecahan yang sebaliknya dapat berubah bulak-balik hingga
seluruhnya menjadi tujuh ratus dua puluh sembilan jurus. Tegasnya
jurus-jurus agaknya menjadi kacau sekali karena banyaknya. Malam
ini aku akan ajari kau satu jurus dan kau harus melatihnya terus
selama dua malam lagi, hingga satu jurusnya mesti selesai dalam
tiga hari. Itu berarti, tiga kali sembilan menjadi dua puluh tujuh hari.
Aku menetapkan waktu satu bulan untuk kau selesaikan- Sisanya
tiga hari lagi akan digunakan sebagai latihan ulangan, supaya kau
tidak salah dan agar jadi faham benar".." Habis berkata begitu,
orang tua ini menghela napas.
"Tapi ingat, anak." pesannya: "Selama kau mempelajari Tay Pie
Kiam-hoat, kau musti menunda latihan golok Toan Hun it Too. Kau
harus ketahui, Kiu Kiam dan it Too saling berselisihan maksudnya,
maka kalau kau melatihnya dengan serentak. kau akan menampak
kesulitan, sebab hatimu terpecah dua. Kalau kau hendak
menggunakannya, gunakanlah bergantian- Demikian juga cara
melatihnya." Siauw Pek mengerti.
"Pedang dan Golok berselisih, pantas suhu dan Siang Loopee
saling menghormati tetapi saling menghindarkan diri..." pikirnya. Ia
terus mengangguk kepada gurunya itu, kemudian ia mengawasi,
untuk menantikan pelajaran"
Sekarang waspada " terdengar suara siguru, "pasang matamu,
perhatikan, aku hendak memulai jurus yang pertama, lihat dan ingat
baik baik."
"Akan aku perhatikan, suhu," simurid memberikan janjinya.
Kie Tong bertindak ketengah taman, dengan perlahan ia
mengangkat pedangnya, terus ia bersilat, dengan gerakan yang
perlahan- Ia menjalankan semua sembilan jurus.
Sang murid kagum. Ia menyaksikan banyak perubahan. Artinya
itu ialah banyak gerakan-Hal ini membuatnya sukar, sebab sulit
untuknya mengingat jelas semua perubahan itu. Sehabisnya, Kie
Tong berdiri diam, pedangnya disimpan-
"Bagaimana ?" ia menanya kepada muridnya sambil tertawa.
"Bagus, suhu Hanya sejurus pun aku tak ingat lagi..." Guru itu
tertawa pula. "Kalau satu kali lihat saja kau sudah ingat apa itu masih dapat
dinamakan ilmu silat istimewa ?"
"Aku tolol, suhu, aku kuatir akan menyia nyiakan
pengharapanmu..." Lagi lagi sang guru tertawa.
"Hari masih panjang, anak Kalau betul kau gagal didalam tempo
setengah tahun, itu waktu terpaksa kau mesti menunda sampai tiga
tahun lagi " Siauw Pek terperanjat.
"Tiga tahun lagi " katanya didalam hati. Ia ingat sakit hati ayah
bunda dan sekalian saudaranya. Tapi ia berikan janjinya: "Baiklah,
suhu, aku akan belajar dengan sungguh sungguh" Kie Tong puas.
"sekarang, anak, mari kita mulai "
Guru itu lalu mengajari jurus yang pertama. Ia berlaku sabar dan
teliti sekali. Siauw Pek cerdas, iapun sangat rajin, bisa ia menangkap
ajaran gurunya.
Sang waktu berjalan dengan cepat. Segera lewatlah satu bulan.
Siauw Pek dapat memenuhi janjinya. Didalam waktu satu bulan itu,
ia sudah selesai mempelajari Tay Pie Kiam hoat. ilmu Pedang Maha
Kasih itu. Dan selanjutnya ia tinggal melatih saja. Pada suatu hari
habis berlatih, Kie Tong menunjuk bunga bunga didalam tamannya
itu. "Tahukah kau mengapa ditempat latihanmu kutanami bunga
bunga ?" dia tanya muridnya sambil tertawa ramah.
Siauw Pek menggeleng. "Aku tidak tahu," sahutnya.
"Selama sebulan kau belajar disini, adakah yang luar biasa kau
rasai?" Murid itu memandang kesegala arah. Kembali ia menggeleng
kepala. "Aku tidak merasakan apa-apa," sahutnya.
Guru itu tersenyum, tetapi ia tidak memberi keterangan hanya ia
mengalihkan pembicaraan- Katanya: "Mulai besok. aku tidak akan
mengajarimu lagi, hanya setiap hari dua kali kau datang kesini,
untuk berlatih, yaitu setiap jam cu-sie dan ngo-sie."
"cu-sie" ialah jam 11 malam sampai jam 1 tengah malam, dan
"ngo-sie" jam 11 siang sampai jam 1 tengah hari.
"Tetapi, suhu," kata si murid, gugup, "aku belum ingat
seluruhnya, perubahannya demikian banyak, bagaimana aku..."
Sang guru menyela, "Kau harus ingat, tak dapat aku senantiasa
mendampingimu..." Ia berhenti sejenak. kemudian menambahkan:
"Semuanya sembilan jurus, telah kau ingat dengan baik. Tentang
perubahan perubahannya, kau nanti akan mengerti sendiri kalau
kau sudah menghadapi lawan lawanmu, karena semua itu harus
melihat suasana. Belajarlah sendiri, aku tidak ingin mengganggumu.
Dengan berlatih sendiri, kau jadi merdeka. Tentang kemajuanmu
nanti tak dapat aku memastikannya karena itupun harus melihat
untung bagusmu. Di dalam gubuk ada simpanan barang makanan
untuk tiga bulan, sedangkan cio-jie didalam sumur itu, walaupun
tinggal sedikit, masih cukup untuk dimakan selama beberapa bulan"
Siauw Pek menjadi bingung. Aneh guru ini. ia menjadi curiga,
hatinya menjadi tidak enak.
"Sebenarnya suhu mau pergi ke mana?" akhirnya ia tanya.
Kie Tong berlaku tenang, jawabnya: "Gurumu mempunyai suatu
urusan penting, karena itu aku hendak berpisah dengan kau selama
tiga bulan. Berlatihlah dengan sabar dan rajin, tak usah pikirkan
aku." Lalu, tanpa memberi kesempatan lagi kepada muridnya, ia
lompat melesat, sekejap saja telah lenyap dari pandangan mata si
murid, karena dia menyelinap di sebuah tikungan bukit.
Siauw Pek melongo mengawasi gurunya itu, ia menjadi bingung
sekali. Sia sia saja ia bercuriga. Kemana gurunya mau pergi, sedang
di situ, kecuali Siang Go, tidak ada orang lainnya lagi" Mengapa
guru itu mau pergi selama beberapa bulan itu"
Masih sekian lama anak muda ini mendongak memandangi langit,
barulah ia mulai berlatih ilmu pedangnya. Ini merupakan pertama
kali ia berlatih seorang diri, dan juga mesti hidup sendiri saja.
Biarpun begitu, ia tidak merubah kebiasaannya, untuk tetap bersilat
dan bersemadi guna memelihara kesehatannya, untuk memperkuat
tenaga dalamnya. Hanya kadang kadang saja ia melatih kara
bersemadi Siang Go, untuk menjaga agar tidak lupa, supaya
pelajarannya si jago golok tak tersia2kan-
Sampai sebegitu jauh, tetap Siauw Pek belum mengerti jelas
perbedaan antara pelajaran Kie Tong dan pelajaran Siang Go, hanya
karena telah memperoleh kemajuan, dapat juga ia merasakannya.
Kalau ia melatih semadhi Kie Tong, ia merasakan seluruh tubuhnya
lunak. darahnya berpencar rapi keseluruh anggotanya, terutama ke
tangan dan kakinya. segalanya damai. Sebaliknya, kalau ia melatih
ajaran Siang Go, dalam seketika ia menjadi tegang tenaganya
bagaikan mau melesat keluar, nadinya berdenyut keras, dadanya
bergolak. Perbedaan itu terasa makin lama makin jelas.
Tentu saja, walaupun ia belum mengerti, tak mau ia menyianyiakan
salah satu diantara dua pelajaran silat itu.
Hari-hari berlalu, tiga bulan dilewatkan dengan cepat. Yang
paling nyata ialah perbekalannya Siauw Pek sudah habis. ia
memang mengharap- harap kembalinya sang guru,
tapi dari pagi sampai siang, dari siang sampai magrib, sia sia
belaka harapannya. Tetap tak nampak bayangan guru itu.
Tengah malam, barulah Kie Tong kelihatan bertindak memasuki
gubuknya. Dia berjalan lesu, lain daripada biasanya. Bukan main
girang sang murid.
"Suhu" serunya sambil melompat maju, menyambutnya.
"Aku letih sekali," kata guru itu, tangannya diulapkan, "aku
hendak beristirahat. segala sesuatunya, besok akan kita bicarakan."
Siauw Pek percaya keterangan guru itu, ia bisa melihat keletihan
sang guru. Ia merasa heran-
"Kau mengapa, suhu ?" tanyanya.
Kie Tong mengulapkan pula tangannya.
"Anak. jangan ganggu aku," katanya. "Aku tidak kurang suatu
apa, aku cuma ingin beristirahat."
Guru ini bertindak kepembaringannya dimana ia rebahkan diri,
terus tidur. Siauw Pek heran, hingga dia berpikir: "Tenaga dalam suhu mahir
sekali," ia tidak berani menanyakannya lagi.
Malam ini putera Tjoh Kam Pek tidak tidur barang sekejab. Dia
duduk bersemadhi sambil menunggui gurunya itu.
Kie Tong tidur nyenyak sekali. Sampai besok tengah hari, baru
dia terbangun. "Oh, suhu sudah bangun," kata Siauw Pek, yang menghela
napas, hatinya lega.
Kie Tong memandang muridnya, yang mata sayup sayup, Ia tahu
apa sebabnya. "Satu malam kau tak tidur, anak?" katanya
"Aku sehat sehat saja, tak usah suhu memikirkannya," sahut
sang murid. Kie Tong berdiam sebentar, kemudian mendadak
melompat bangun"
Anak. bagaimana ilmu pedangmu?" tanyanya tiba tiba.
"Aku tolol, suhu, aku kuatir menyia nyiakan pengharapan suhu,
"jawab murid itu.
"Mari" kata sang guru. "Ingin aku melihat kau berlatih"
Siauw Pek menurut. Ia bertindak keluar, pedangnya segera
dihunus. Di depang gubuk, ia segera menjalankan ilmu silat pedang
Tay Pie Kiam hoat ilmu Pedang Maha Kasih itu
Kie Tong berdiri memperhatikannya dengan penuh perhatian-
Ketika muridnya sudah selesai bersilat, dia mengangguk angguk.
"Sudah bagus" katanya. "Selanjutnya asal hati dan tubuhmu
sudah bersatu padu, kau akan sampai pada kesempurnaannya. "
"Dalam hal itu, aku masih mengharapkan petunjuk suhu," kata si
murid yang rendah hati itu, yang sangat menghormati gurunya. Kie
Tong mengangkat kepala, memandang kelangit.
"Anak. bagaimana dengan pelajaran Toan Hun It Too ?"
kemudian ia bertanya pula.
"Hanya aku merasa masih ada saja sesuatu yang kurang lurus
dalam mempraktekkannya." Kie Tong berpikir.
"Ketika Siang Go mengajarimu ilmu golok, apakah dengan
hafalannya?" ia tanya.
"Ya, suhu."
"Di saat kau melatih Tay Pie Kiam hoat itu, bagaimana
perasaanmu?"
"Rasanya hati ini jadi tenang dan damai." Sekonyong konyong
guru itu tertawa nyaring.
"Bagus, oh, anak yang baik" serunya, "Kau telah memiliki
kemurniannya ilmu silatku"
"Ah, suhu terlalu memuji," murid itu merendah diri.
Habis itu, lenyap senyuman Kie Tong. Dia jadi bersungguh
sungguh. "Anak." katanya. "malam ini diantara jam sebelas dan satu, telah
aku sediakan segala apa untuk kau melintasi jembatan maut Seng
Su Kio itu. Pada waktu itu kau akan sudah meninggaikan Bu Yu Kok,
ini lembah tidak Bersusah hati."
Siauw Pek tercengang. ia kaget. Mereka berdua bakal berpisah
sedang sudah bertahun tahun mereka hidup bersama" Ia menarik
napas duka. "Apakah suhu tidak pergi bersama?" tanya dia masgul.
Kie Tong menggelengkan kepala.
"Anak yang baik, tak dapat aku tinggalkan gubukku ini dimana
aku sudah tinggalkan selama puluhan tahun," sahut sang guru.
"Tidak tega aku meninggalkannya, memang di sini sunyi tetapi aku
senang dengan penghidupan tenang. Anak. tak usah kau pikirkan
aku." "Jikalau begitu, suhu biarlah nanti apa bila aku telah berhasil
menuntut balas, aku akan kembali kelembah ini untuk seterusnya
menemani suhu," kata sang murid. Guru itu menganggukan tetapi
dia kata: "Tidak usah Aku rasa usiaku sudah cukup tinggi, tidak lama lagi
pun akan tiba saatnya aku pulang ke rakhmattullah..."
Mendadak guru itu menutup mulutnya, dan gantinya, dia
mengusap usap rambut muridnya. Dia berkata sabar. "Anak
selayaknya kau pergi menjenguk Siang Go, guru ilmu golokmu itu"
"Oh ya" kata murid itu cepat. "Memang aku mesti pamit pada
Siang Lootjianpwee" Tapi Kie Tong menggeleng.
"Tak usah, anak," katanya, "Siang Go aneh, tak apa kau tak
menemuinya."
"Siang Lootjianpwee pun telah seperti guruku," berkata Siauw
Pek. " Dengan kepergianku ini, entah kapan aku akan kembali
kemari..."
"Sudah, tak usah kau pergi, anak." kata pula guru itu. "Apa yang
aku katakan, tak akan salah. Sekarang ini kau justru perlu
beristirahat."
Siauw Pek heran, akan tetapi, tidak berani ia menanyakan
gurunya itu. Terpaksa ia pergi kebiliknya, untuk duduk bersemadhi.
Hanya kali ini, karena terlalu banyak berpikir, ia tak dapat
menenteramkan diri.
"Anak." kata Kie Tong, "kau telah makan ciojie, hasil pangan itu
dapat menambah tenagamu seperti latihan sepuluh tahun. Rupanya
Thian menyediakan makanan itu untukmu. sekarang kau mau
berlalu, sumur itu juga sudah hampir kosong" Siauw Pek
mengangguk. "Suhu," katanya, "budi suhu besar luar biasa. Suhu seperti telah
menghidupkan pula padaku"
"Sudah, anak. jangan kau banyak pikir. Hayo bersemedi terus,
aku perlu beristirahat"
"Baik,suhu,"sahut si murid itu, yang terus memejamkan matanya.
Sekarang dapat ia mengendalikan hatinya, maka di lain saat, ia
sudah lupa pada dirinya sendiri. Ketika kemudian ia tersadar, waktu
sudah jam dua malam. Ia mendapatkan gurunya tengah berdiri
disisinya, menantikannya. Tentu sekali, ia menjadi terperanjat.
Segera ia melompat bangun-
"Jam berapa sekarang, suhu?" tanyanya.
"Masih siang" sahut guru itu. "Nah, bawalah pedangku dan golok


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siang Go" Murid itu menurut, ia menggantung pedang dan golok itu.
Kie Tong yang terdahulu keluar dari gubuknya ini. Ia berpaling
kebelakang, mengawasi gubuknya itu dimana ia telah tinggal
beberapa tahun setelah itu, ia membuka tindakan lebar lebar
mengikuti sang guru.
Kie Tong berjalan terus. Ia memutari sebuah tikungan- Di saat
lain, mereka berdua melihat sebuah lembah yang dalam di
hadapannya. Tebing lembah itu hampir mirip tepian jurang. Di situ
nampak sebatang rotan yang besar, dilibatkan pada batu besar.
"Anak," kata Kie Tong, "pergilah turun dengan melapai dari rotan
ini." "Baik, suhu," sahut sang murid, yang terus menghampiri rotan
itu, buat memegangnya dengan kedua belah tangannya. dan
bergerak turun-
Diwaktu malam seperti itu, lembah itu nampak gelap. Di situpun
terdapat kabut dan hawanya dingin. Dari dalam lembah, orang tidak
melihat bintang bintang di langit. Tiba di dasar lembah Siauw Pek
tidak dapat melihat lima jari tangannya.
"Anak. telah sampailah kau di dasar lembah." tanya Kie Tong dari
sebelah atas. "Apa kau tidak kurang suatu apa?"
"Ya, suhu " menjawab sang murid. "Aku tidak kurang suatu apa "
"Jikalau begitu, berdirilah diam, jangan bergerak Aku hendak
turun " Siauw Pek menurut. Ia berdiri diam disisi tambang rotan itu.
Hanya sebentar, tibalah Kie Tong di dasar lembah.
Dengan perlahan lahan, mata Siauw Pek mulai terbiasa dengan
tempat gelap. Ia pun dibantu banyak tenaga dalamnya. Samar
samar ia melihat kesekitarnya. Memang benar, lembah itu penuh
kabut dan juga berhawa dingin...
"Sungguh satu tempat yang mengerikan," pikir anak muda ini. Ia
melihat tegas tak lebih jauh daripada empat atau lima kaki.
Kie Tong mengulur sebelah tangannya, dengan perlahan ia
mencekal tangan muridnya.
"Anak. percayalah kepada takdir," kata sang guru, sabar.
"Lihatlah kita berdua dan Siang Go kita semua telah beruntung
berhasil melintasi jembatan maut Seng Su Kio Lebih lebih aku dan
Siang Go, kami telah menempuh bahaya, melawan hembusan angin
puyuh yang berbahaya itu. Memang tentang pengalamannya itu,
Siang Go belum pernah menceritakan kepadaku, akan tetapi aku
telah menduganya. Mungkin dia telah lebih menderita daripada aku,
karena dia selanjutnya berdiam didalam gua gelap gulita itu dimana
tidak ada sinar matahari, bahkan tak mau dia meninggalkannya."
Berkata begitu, orang tua ini menghela napas.
"Anak. tempat kita ini tenang luar biasa," ia menambahkan
selang sejenak. "tetapa kesunyian semacam ini sangat
membosankan, membuat orang tak senang mendiamkannya lamalama.
Kau tahu, pernah beberapa kali aku mencoba menyeberangi
Seng Su Kio, hanya sayang saban saban aku gagal selalu aku
terpaksa mundur sendirinya, hingga akhirnya matilah niatku
meninggalkan tempat ini. Harapan telah tidak ada lagi..." Siauw Pek
dapat mengerti kata kata gurunya itu.
"Suhu adalah seorang lihay, suhupun tidak sanggup melintasi
Seng Su Kio" kata sang murid, "apa lagi aku. Aku percaya, ketika
hari itu aku dapat menyeberangi jembatan maut itu, rupanya aku
dapat perlindungan arwah ayah bundaku." Kie Tong menghela
napas. "Mengenai soal menyeberangi Seng Su Kio telah lama aku
memikirkannya," katanya. "Sesudah lewat waktu sekian lama,
akhirnya aku toh dapat memikir satu jalannya. Kau tahu, anak.
kenapa aku memisahkan diri dari kau selama tiga bulan " Sebab aku
telah pergi ke lembah berkabut dan dingin ini, disisi aku membuat
penyelidikan, guna membuktikan pemikiranku itu. Tak sia sialah aku
menggunakan waktu tiga bulan itu, nyata aku telah berhasil
mendapatkan kebenaran pemikiran itu. Dengan begini anak. aku
jadi mencarikan juga kau suatu jalan keluar, buat meninggalkan Bu
Yu Kok dan Seng Su Kio..." Siauw Pek heran.
"Apakah kenyataan itu, suhu ?" ia bertanya.
"Angin puyuh dijembatan itu mempunyai tenaga kuat luar biasa,"
sang guru menjelaskan " akan tetapi tenaga itu pula ada suatu
keanehannya.Jikalau seorang melintasi jembatan dengan pikiran
kosong, lupa akan hidup dan mati angin itu meniupnya melintas,
tubuh orang itu tidak merintanginya, tak bertahan akan hembusan-
Demikianlah kau, ketika dahulu melintasi, kau ada dalam keadaan
lupa segala-galanya, karena pikiranmu dipengaruhi oleh kebinasaan
hebat dan menyedihkan dari ayah bunda serta saudara saudaramu,
oleh sebab itulah kau dapat melintasinya."
"Jikalau demikian adanya, suhu," kata Siauw Pek, "ingin aku
mencoba melintasi jembatan itu. Aku akan lupakan segala apa dan
tidak akan menggunakan tenaga menentang hembusan angin puyuh
itu." "Ayah bundamu telah mati, anak. di dalam dunia ini tak akan ada
ayah bundamu yang kedua. Kau masih berduka, masih bergusar,
akan tetapi tak nanti kau berduka dan bergusar seperti dahulu itu,
seperti saat ayah bundamu baru dibinasakan orang- Karena itu,
sekarang tak dapat kau melupakan diri secara sewajar seperti
dahulu itu. Selama kau masih sadar dan ingat bahwa kau masih
hidup, kau tak kan dapat menghindarkan diri dari angin puyuh itu,
kau pasti bakal terhembus hingga tergelincir jatuh kedalam jurang.
Itulah sebabnya mengapa aku memikir dan lalu mencoba untuk
membuktikan pemikiran itu. Tiga bulan lamanya aku berdiam di
lembah dingin gelap berkabut ini, siang dan malam aku melakukan
penelitian, aku memperhatikan hembusan angin- Aku mendapat
kenyataan adalah malam ini, hembusan angin itu yang paling
lemah, sebelumnya, aku juga telah membuat penyelidikan dengan
seksama, aku mendapat kenyataan, setiap tiga tahun satu kali, ada
dua belas jam tenaga hembusan berkurang banyak. Walaupun
tenaga hembusan itu lemah, tapi itu masih tak dapat dilawan oleh
tenaga manusia. Hari ini, tengah hari dan tengah malam, adalah
saatnya tenaga hembusan itu berkurang, selewatnya itu, tenaga itu
akan jadi kuat pula seperti biasa. Maka itu, jikalau kita lewatkan
kesempatan ini, kita mesti menanti lagi sampai tiga tahun kemudian
" Siauw Pek mengangguk angguk.
"Suhu," tanyanya, "apakah suhu mau meninggalkan tempat ini
bersama sama aku?"
"Telah kujelaskan tenaga hembusan itu," kata si guru. "tenaga
itu tak dapat dilawan berbareng oleh dua orang. Anak. tak usah kau
pusingkan lagi gurumu."
Siauw Pek merasa berat, ia hendak memeluk gurunya itu, tetapi
Kie Tong sudah menariknya, buat diajak segera berjalan dan
dengan cepat cepat
Mereka menempuh kabut. Siauw Pek terus mengikuti gurunya,
yang nampaknya telah hapal sekali dengan lembah itu. Ia merasa
bahwa ia diajak naik, bahkan beberapa kali mereka mesti jalan
merayap. "Anak" kata Kie Tong kemudian, sesudah mereka jalan beberapa
lama, mendadaklah. "Kau ikuti aku dengan merayap."
Mau tidak mau, Siauw Pek mesti menurut dan mengikuti di
belakang gurunya itu. Jalanan itu makin lama makin sempit, sebab
dikiri kanannya jalan dinding dinding batu gunung yang licin-
Bahkan akhir akhirnya, jalanan sempit itu hanya dapat dilalui
seorang saja. Lewat sekira waktu malam, telinga Siauw Pek mendengar suara
yang nyaring, serentak ia pun berada ditempat terbuka, hingga
mereka dapat bangun berdiri. Ia memandang ke segala arah. Nyata
ia tengah berdiri dimuka sebuah gua batu yang berada diantara
tembokan gunung. Ia pun mendengar hembusan angin serta suara
ombak beradu adu, hingga kedua suara itu bersatu padu bagaikan
sebuah irama...
Kie Tong mengulur tangannya, dia menepuk nepuk sebatang
balok panjang setombak lebih, sambil berkata : "Gua batu ini
tadinya sangat sempit akan tetapi dengan menggunakan waktu
beberapa hari, aku telah menggempur dan membukanya hingga jadi
luas begini. Jikalau dari mulut gua ini kita melompat kaluar, kita
sampai didasar lembah. Air disitu bergelombang, suaranya keras,
tetapi karena terintang sempitnya mulut gua ini, tenaga ombaknya
menjadi sangat terbatas, tak bisa menjadi terlebih hebat lagi..."
Berkata sampai disitu, guru ini hening sejenak. Ia batuk batuk
perlahan. "Sekarang ini waktunya sudah tidak banyak lagi, tidak dapat aku
menjelaskan terlebih jauh," katanya, menyambungi. "Lagipula, kau
tidak tahu keadaan disini terlebih baik daripada kau mengetahuinya.
Lihatlah ini sepotong balok. Telah aku ikat dengan rotan yang kuat
sekali. Jikalau balok ini dilempar kedasar jurang, dia akan dibawa
hanyut oleh arus. Didasar itu ada banyak batu besar malang
melintang, ada kemungkinan balok akan terjepit dan menyangkut
diantaranya. Kau gunakan balok ini untuk berenang berhanyut arus
itu seandainya aku nampak bahaya, lekas kau teriaki aku nanti aku
menarikmu kembali."
Begitu habis berkata, Kie Tong mengangkat balok itu, sambil
berseru nyaring, dengan sekuat tenaganya dilemparkannya balok itu
kedalam jurang. Sejauh empat atau lima tombak. balok itu jatuh
secara perlahan. Kie Tong memegangi rotan erat erat.
"Nah, anak. pergilah " katanya menyuruh.
Siauw Pek tahu bahwa tak ada jalan lain lagi, ia menjatuhkan diri
didepan gurunya, untuk memberi hormat.
"Suhu," katanya, "jikalau aku berhasil menyeberangi arus ini dan
tiba diseberang sana, aku akan ikat rotan ini pada batu besar,
kemudian suhu bersama Siang Lotjianpwee dapat menggunakan
buat menyeberang, untuk meninggaikan tempat ini "
"Itu soal tiga tahun kemudian," berkata sang guru. "Sekarang ini
sudah tak banyak waktu lagi, lekaslah pergi " Sang murid menangis
"Budi suhu sangat besar. tak mampu aku membalasnya. Suhu,
baik baiklah suhu merawat diri, muridmu mau pergi "
Habis berkata, Siauw Pek bangkit berdiri, tangannya menyambar
rotan- Ia menguatkan hati, tanpa ayal lagi, ia melompat keluar dari
mulut gua. Mulut gua jauh lebih tinggi dari permukaan air, waktu tubuh
Siauw Pek hampir sampai di air, dia merasa ada hembusan angin
yang meniupnya, begitu keras, hampir cekalannya kepada rotan
terlepas. Syukur dia tabah dan cerdik, lekas lekas dirangkulnya
rotan itu hingga selanjutnya dia bisa merosot turun-
Ketika dirasanya tubuhnya dingin, tahulah Siauw Pek bahwa ia
telah tercebur disolokan gunung yang lebar yang berarus dahsyat
itu. Tanpa berkuasa lagi, ia terus dibawa hanyut. Ia ingat pesan Kie
Tong, dipegangnya rotan erat-erat.
Satu kali Siauw Pek terkejut, ia merasa nyeri, sebab tubuhnya
telah terbentur batu besar kepalanya terasa pusing, matanya gelap.
Ia gelagapan hingga dua kali dia menceleguk air di luar
keinginannya. Tapi ia masih sadar, ia memegang keras-keras
rotannya, lekas-lekas dikeluarkannya kepalanya untuk dapat
bernapas. Dengan begini ia dapat menenangkan hatinya.
Sang arus tetap membawanya hanyut. Hanya setelah lewat
beberapa tombak. tiba-tiba ia merasa aliran tak sekeras semula,
sedangkan kakinya lantas dapat menginjak sebuah batu besar ketika
ia memandang, ternyata arus tertahan oleh sebuah batu besar
sekali. Kesempatan ini digunakan sianak muda untuk beristirahat
sebentar, setelah itu, ia maju lagi. Tak lama selewatnya batu besar
itu, arus mulai deras lagi. Ia kembali mencetak rotan erat erat. Kali
ini dia melapai, hingga ia dapat mencekam balok yang terikat rotan
itu. "Celaka..." Siauw Pek mengluh didalam hati, hatinyapun
berCekat. "Kabut begini gelap. sungai entah berapa lebar lagi,
dapatkah aku mengandalkan tenagaku untuk berenang " Bagaimana
aku bisa tiba diseberang ?"
Berpikir begitu, anak muda ini terdiam. Tapi otaknya bekerja
terus. Kemudian ia mendoa didalam hati : "Ayah dan ibu, harap
ayah dan ibu melindungi putramu ini" Setelah itu, ia mengambil
keputusan. Dengan tangan kiri, ia memeluk balok dengan tangan
kanan, ia mencabut goloknya dan menabas kutung rotan yang
dipakai mengikat balok itu. Setelah itu, ia memeluk balok dengan
kedua tangannya.
Dengan terputusnya rotan itu, segera terbawa arus dan hanyut
cepat sekali. Tubuh Siau Pek terbawa hanyut, tak hentinya telinganya
mendengar suara-suara nyaring dan berisik. Sebab baloknya itu
sering membentur batu dan saban-saban teringat hanyutnya.
TubuhnyapUn senantiasa terombang ambing karena damparan arus.
Didalam keadaan seperti ini, Siauw Pek tak tahu bahwa ia telah
melewati waktu berapa lama. Apa yang dirasakannya ialah
tenaganya hampir habis. Meski demikian, pelukannya tetap
diperkeras. Yang terakhir ia merasa kaget dan merasa sangat nyeri,
sebab dahinya sebelah kiri kena terbentur batu besar, hingga ia tak
sadarkan diri. Ketika entah berapa lama kemudian ia tersadar dari
pingsannya, ia melihat tempat disekitarnya telah berubah.
Berdiri dihadapan Siauw Pek seorang nona nelayan yang
mengenakan baju hijau berkuncir panjang. sedangkan celananya
komprang dan kedua kakinya telanjang. Nona itu tengah merapikan
jalanya. Ia sendiri rebah diatas lantai dari suatu bahagian perahu,
yang beralaskan kasur yang tebal. Ia menarik napas lega, lalu ingin
menyapa nona itu, tapi sinona, yang melihatnya tersadar, berbalik
menatap kepadanya, kemudian melepaskan jaringnya, sambil
berseru: "Kakek Kakek.. Mari orang itu sudah sadar"
Kemudian terdengar jawaban dari seorang kakek, yang berkata:
"Lekas kau panaskan sup kau itu, suguhkan kepadanya, supaya dia
makan" Menyusul kemudian, terlihat datangnya orang itu. seorang
tua yang bertubuh kasar, yang kepalanya ditutup dengan tudung
bambu dan tubuhnya mengenakan baju kasar.
Diam-diam anak muda ini mengerahkan tenaga dalamnya. Ia
merasa lega. Jalan napasnya tidak terganggu, cuma kepalanya
masih nyeri sedikit demikian juga lengan dan pahanya, terasa nyeri
sekali bekas terbentur- bentur batu
orang tua itu menghampirinya, lalu dia membungkuk sambil
mengulurkan tangannya untuk meraba kepala sianak muda.
Mendadak anak muda itu bergerak bangun untuk duduk. orang tua
itu terkejut dan dia lalu mundur. "oh saudara kecil, kau telah sadar,"
katanya heran- "Terima kasih paman," sahut Siauw Pek. "paman telah
menolongku," ia bangkit, dan memberi hormat.
orang tua itu hendak mencegah, tetapi sudah tidak keburu.
"Kau bertubuh kuat, saudara kecil," katanya. "Rupanya kau
pernah belajar silat."
"Maaf paman, itulah sebenarnya," Siauw Pek mengakui. Tak
dapat ia berdusta. tiba tiba ia terkejut. Ia ingat pedang dan
goloknya yang biasanya tergantung dipinggangnya, telah tidak ada.
Ia melihat tajam kesekitarnya.
"Saudara kecil, kau mencari apa?" tanya si nelayan tua.
"Aku membekal senjata, entah itu telah lenyap atau..."
"Apakah itu golok dan pedang ?"
"Benar. Apakah paman telah melihatnya ?"


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Barang- barang itu telah kusimpan-.."
Ketika itu terdengar suara nyaring halus si nona : "Kakek. sup
ikan sudah dipanasi, biarlah dia makan "
Siauw Pek menoleh. sekarang ia melihat tegas nona itu, yang
usianya dikira baru lima atau enam belas tahun, matanya jeli,
alisnya lentik, kulitnya putih halus. Untuk kaum nelayan, dia cantik
sekali. Meskipun dia mengatakan demikian, nona itu toh membawakan
sendiri sup ikannya kepada si anak muda, sambil mengangsurkan ia
berkata manis : "Sup ini masih panas, tuan- Mari makan "
Siauw Pek menyambut sop itu.
"Ucapannya halus dan rapi. mungkin dia pernah bersekolah,"
pikir Siauw Pek. yang terus mengucapkan terima kasih :
"Merepotkan saja, nona "
"Maafan kami, saudara kecil," berkata si nelayan tua, ramah.
"Kami berdua, kakek dan cucu, hidup sebagai nelayan sukar hidup
kami, karena itu tak dapat kami mematuhi aturan adat istiadat
sopan santun, yang melarang pria dan wanita berpegangan tangan-
.." "Paman jujur dan polos, aku justru senang sekali " Orang tua itu
tersenyum, ia melihat kesekitarnya.
"Hari ini hasil kami lumayan, cukup buat aku membeli arak. untuk
minum sampai mabuk, sekarang, marilah kita pulang "
"Ya, kakek " kata si nona, yang terus tertawa manis. "Hari ini
akupun mendapatkan dua ekor ikan yang langka, hendak aku bawa
pulang untuk dipiara. Aku minta jangan kakek menjualnya, untuk
ditukar dengan arak " Kakek itu tertawa.
"Ah budak. kau selalu biasa " tegurnya.
"Masih tak mau lekas lekas merapikan jala kita "
Nona manis itu tersenyum, dia keluar dari gubuk perahunya.
Senang Siauw Pek melihat lagak lagu si nona, yang wajar dan
polos, yang, rupanya tahu segala sesuatu sebagai seorang anak
nelayan. "apakah paman masih mempunyai anggota keluarga lainnya ?"
Ditanya begitu, sicrang tua menghela napas
"Kami cuma berdua, kakek dan cucu," jawabnya. "Buruk nasib
anak ini, dihari dia lahir, ayahnya mendapat kecelakaan, yaitu
perahunya karam dan lenyap bersama-samanya, hingga sekarang
tak ada kabarnya lagi..."
"Mungkin dia masih hidup, paman- orang baik dilindungi Tuhan "
Nelayan tua itu tersenyum sedih.
"Saudara kecil, tak usah kau menghibur aku," katanya. "Sudah
lima puluh tahun aku hidup sebagai nelayan, mustahil aku tak tahu
sifat air" Kecelakaan itu disebabkan munculnya angin puyuh laut
yang hebat sekali. Kami kaum nelayan, siapa ketemu angin itu, dia
tak ampun lagi. Untuk kami, kami mengenal pepatah yang
mengatakan, rejeki tak datang serentak. bencana tak jalan
sendirian- Setahun kemudian, ibu si anak telah menemui ajalnya.
Maka selanjutnya, kami hidup berdua. Syukur kepada Tuhan, dalam
usiaku begini tinggi, aku tetap sehat dan segar, maka selama tiga
belas tahun, kami kakek dan cucu dapat terus hidup bersama."
"Jadi cucu paman itu tahun ini berusia tiga belas tahun ?"
"Empat belas tahun, saudara kecil. Memang nampaknya dia
seperti anak umur lima atau enam belas tahun- Tidak ada yang
mendidiknya, maka aku kirim dia kesekolah dimana dia telah belajar
selama tiga tahun- Anak itu berotak terang, sayang dia wanita dan
juga longgor, dalam usia sepuluh tahun, dia sudah mirip anak umur
tiga atau empat belas tahun- Terpaksa aku menghentikan
sekolahnya, supaya dia bisa diajak menangkap ikan bersama sama.
Inilah penghidupan kami."
Siauw Pek heran- Bocah umur empat belas tahun sudah seperti
orang dewasa. orangnya pun cerdas dan cantik. Ketika itu muncul
pula si nona. "Kakek. sudah siap " katanya. si kakek bangkit.
"Saudara kecil, kau rebahlah, biarlah aku memegang kemudi."
Habis berkata, dia pergi ke luar.
Siauw Pek mengawasi kakek dan cucu itu keluar, kemudian dia
duduk bersemadhi.
Kira-kira sudah lewat waktu beberapa lama, tiba-tiba terdengar
suara nyaring halus dari si nona : "Tuan, sudah sampai, silahkan
turun dari perahu "
Siauw Pek membuka matanya dan memandang keluar, maka ia
melihat si nona di mulut gubuk perahunya itu, wajahnya manis
menarik hati. Dia tidak tertawa tapi nampak bagaikan sedang
tersenyum simpul. Tanpa merasa, hati pemuda ini guncang.
"Sungguh manis sekali " pikirnya. Terus ia bangkit seraya
bertanya : "Mana kakekmu, nona ?"
Si nona membalas memandang, kedua matanya bermain
menggiurkan- " Kakek telah pergi membeli arak. dia mau mengundang kau
minum, tuan " sahutnya.
"Aku tak biasa minum, aku kuatir nanti mengecewakan kakekmu
" Nona itu tertawa, hingga nampak dua baris giginya yang bagus.
"Kau she apa tuan ?"
"She Tjoh, namaku Siauw Pek," si anak muda memperkenalkan
diri. "Oh, tuan Tjoh " kata si nona. "Aku Han Lian Jie. Selanjutnya
panggil saja aku Lian Jie. si Lian-"
"Mana aku berani lancang, nona." Nona itu tertawa.
"Tak apa " katanya. "Bahkan kakek memanggil aku si budak Lian
Semua tetanggaku memanggil aku Lian Jie, maka itu, janganlah kau
segan-" Selagi bicara itu, mata si nona bermain bagus sekali,
lagaknya menggiurkan-
Siauw Pek masih muda, dia jangan sendirinya, hingga tak berani
dia mengawasi lama-lama.
"Mari nona " katanya, seraya berjalan keluar dari gubuk perahu.
"Rumah kami sempit, maka itu kakek menyuruh aku mengajakmu
ke Heng Hoa Kie," kata si nona.
"Heng Hoa Kie" adalah sebuah rumah makan didesa itu.
Siauw Pek heran- Asal sinar mata mereka berdua bertemu, terus
hatinya bimbang.
"Baik nona tak usah mengantarkanku," katanya kemudian, seraya
matanya diarahkan kesungai. "Nona tunjukkan saja jalannya, nanti
aku pergi sendiri."
"Kalau begitu, aku jadi mesti berdiam seorang diri didalam
perahu. Mana bisa ?" kata si nona, menatap.
"Kalau begitu, marilah " kata Siauw Pek. yang terus turun dari
perahu. "Eh, tuan " memperingatkan si nona. "Apakah kau tidak mau
bawa golok dan pedangmu?"
Siauw Pek tercengang.
"Akh, mengapa aku melupakan senjataku?" ia tegur dirinya
sendiri. "Nona ini terlalu manis, tak dapat aku berdiam lama-lama
disini. Sebentar setelah bertemu si orang tua, perlu aku segera
mengucapkan selamat tinggal..." Ia kembali kedalam perahu,
mengambil golok dan pedangnya, kemudian ia keluar pula, untuk
bertindak pergi.
"Eh, eh, jangan jalan terlalu cepat, tuan " berkata si nona, yang
repot menyusul. "Nanti aku tak kuat mengikuti "
Terpaksa Siauw Pek memperlambat tindakannya, hingga
keduanya jalan berendeng.
"Tuan tentu pandai silat?" kata sinona sambil jalan-
"Aku tidak pandai, lumayan saja," sahut si anak muda.
"Maukah tuan mengajari aku barang dua jurus?"
Tak dapat Siauw Pek menolak. orang telah menolong jiwanya
dan pantaslah kalau ia membalas budi.
"Aku akan ajari tiga jurus," katanya. "Untuk menjaga diri saja."
Berkata begitu, anak muda ini lalu mengajari tiga jurusnya sambil
ia memetakan dengan kedua tangannya.
Nona Han benar-benar cerdas, cepat sekali ia hafal tiga jurus itu.
"Dia cerdas melebihi aku sepuluh kali," kata Siauw Pek didalam
hati, kagum.Jikalau dia dapat guru yang pandai, pasti dia lekas maju
dan mencapai kesempurnaan-"
Pasar terpisah empat atau lima lie dari tepi sungai, maka itu
tanpa merasa, sepasang muda mudi itu sudah sampai disana. Ketika
itu kira kira jam tiga empat lohor, pasar sudah bubar, tak banyak
orang mundar mandir, tetapi, dilihat dari toko-toko atau warung
dikiri kanan, rupanya itulah sebuah pasar yang ramai.
Lian Jie kenal baik pasar itu, langsung ia mengajak Siauw Pek ke
Heng Hoa Kie, sebuah rumah makan yang selalu banyak
langganannya. Ruang ada tiga, dua dikiri dan satu dikanan.
Sejumlah tetamu sedang duduk berkumpul. Ketika sinona tiba,
banyak mata diarahkan kepadanya.
Diam-diam Siauw Pek memasang mata kepada si nona. Dia
ternyata berjalan langsung, tidak melirik kekiri dan kanan, sama
sekali tak menghiraukan para tetamu itu. Dia membawa kawannya
ini masuk keruang kedua dimana terdapat sebuah kamar.
Setelah dua orang ini mengambil tempat duduk, seorang pelayan
muncul. Dia kenal si nona, sambil tertawa dia berkata : "oh kau,
nona Sudah sepuluh hari aku tak melihatmu"
"Sudahlah, jangan banyak omong" nona itu menegur, "Kakekku
sudah datang, atau belum?"
"Sudah, paman Han sudah datang. Dia memesan, kalau nona
datang, supaya menantikannya, dia pergi sebentar saja."
Setelah berkata begitu, pelayan itu mengawasi si nona tak
hentinya, matanya galak. Dia seperti kelaparan paras elok. Lian Jie
mengerutkan alisnya. "Bawakan kami dua kati arak " katanya.
"Nona minum seorang diri atau berdua ?" tanya pelayan itu,
mencari cari omongan- Dia toh tahu orang berdua, dan akan jadi
bertiga dengan si orang tua nanti.
"Memangnya kau buta?" bentak sinona. "Kau lihat sendiri berapa
jumlahnya kami ?"
Pelayan itu menoleh kepada Siauw Pek lalu dia tertawa dan
berkata : "oh, nona sudah punyai si dia "
Tiba-tiba siauw Pek menjadi gusar. ia menekan meja, tubuhnya
lalu mencelat, terus sebelah tangannya melayang kemuka orang itu
sedang mulutnya mencaci : "Kau ngoceh tidak keruan, yah ?"
Tanpa disengaja, pemuda ini memperlihatkan ilmu ringan
tubuhnya. Pelayan itu kaget, dia menjerit keras, tubuhnya
terpelanting. Melihat orang itu terpelanting, Siauw Pek terperanjat. Sekarang
baru ia insaf. segera ia melompat pula untuk menyambar tubuh
pelayan itu. ia berhasil tetapi si pelayan bagaikan setengah mati dan
mulutnya berdarah. Begitupun hidungnya, sedangkan napasnya
empas- empis. Segera Siauw Pek menguruti tubuh orang.
Hanya sebentar, orang itu telah membuka matanya, ia menatap
si anak muda. Mendadak ia menekuk lutut dan bermohon : "Tuan,
maaf, ampunilah jiwaku..." Lian Jie tercengang, ia mengawasi
kawannya. Siauw Pek menatap. ia menghela napas.
"Ingat, lain kali jangan kau menghina perempuan " katanya
bengis. "Aku berjanji tuan," kata pelayan itu, yang terus ngeloyor pergi.
Lian Jie sadar, ia kagum sekali.
"Liehay ilmu silatmu" Katanya pada sianak muda.
"Maaf nona, pelayan itu kurang ajar hingga aku habis sabar."
si nona mengawasi.
"Aku hendak minta sesuatu, dapatkah ?"
Siauw Pek tunduk. Matanya si nona memain secara menarik hati
sekali. "Kamulah penolongku, nona, asal yang aku sanggup, akan aku
lakukan," ia menjawab.
Mendadak nona itu tertawa.
"Disekitar tempat ini, semua orang memuji aku cantik," katanya.
"Dimana aku lewat, disitu semua mata memandangku, kau telah
melihat, coba katakan, aku ini benar benar cantik atau tidak?"
siauw Pek melengak. Tidak sangka ia akan mendengar
pertanyaan itu. ia menjadi tidak dapat menjawab segera. Kembali si
nona tertawa. "Katakanlah " desaknya, "jangan ragu ragu"
"Kalau benar nona tanya aku, kalau jawabanku salah, harap kau
jangan gusar."
"oh, tidak bicaralah"
"orang memuji nona cantik, tetapi buat aku kau lebih benar
genit." Di saat itu si nelayan tua muncul di ambang pintu.
" oh, paman " si pemuda menyambut. "Silahkan duduk "
"Tadi aku jumpa beberapa sahabat, mereka mengajakku minum,"
berkata si nelayan "Kau tentu telah menunggu lama, maaf"
"Paman sungkan"
Ketika itu seorang pelayan muncul dengan barang makanan,
ketika dia melihat si nona, dia tersengsam, hingga hampir dia
membentur meja, melihat itu, Lian Jie tertawa geli. Diam diam
Siauw Pek menghela napas.
"Dia masih muda sekali, tetapi tampaknya seperti sudah
dewasa." pikirnya. "Pakaiannya yang sangat ini tidak dapat
menyembunyikan kecantikannya. Sayang dia genit sekali."
"Adik, mari minum " si nelayan tua mengundang selagi pemuda
itu berpikir. siauw Pek mengangguk. ia menemani minum. Setelah bergaul
dengan Kie Tong, ia jadi doyan arak.
Lian Jie menuangi cawan pemuda itu. "Tuan, mari minum "
katanya. " Inilah hormatku" Siauw Pek mengawasi nona itu, ia bingung.
"Minumlah, adik kecil," kata Han Loo Djie.
"Anak ini, sejak kecil melihat aku doyan minum, dia meniru."
siauw Pek malu di hati ia menghabiskan isi cawan yang kedua
itu. ia memikir buat lekas lekas angkat kaki. Karena terpaksa ia
melayani minum lagi. Selama itu, ia melihat si nona makin manis
dan makin manis.
"Aku mesti pergi sekarang," pikirnya kemudian- Maka ia bangkit,
untuk menjura kepada si nelayan tua seraya berkata. "Paman kau
beserta nona Han telah menolong aku, aku sangat berterima kasih,
akan kuingat budi kalian berdua, sayang aku punya urusan penting
hingga tidak dapat aku berdiam lama lama di sini. Aku memohon
diri..." Berkata begitu, pemuda ini membalikkan tubuhnya hendak
pergi. "Tuan Tjoh, jangan pergi dulu" Itulah suaranya si nona, keras
tetapi merdu. "Ada apa, nona?" Siauw Pek berbalik. Si nona tertawa.
"Hendak aku beritahukan suatu hal kepadamu," katanya.
"Beberapa hari lalu seorang tukang tenung telah meramaikan aku,
katanya aku tidak selamanya menjadi seorang nelayan sewaktu
waktu namaku bakal terkenal di antara orang banyak."
"Kau sudah mabuk, nona," kata Siauw Pek yang membalikkan
tubuhnya pada si nelayan tua, dan meneruskan berkata: "Paman,
nona Lian sudah mulai dewasa, harap kau baik baik mendidiknya . "
Sia sia saja kata kata pemuda ini. Tanpa ketahuan, Han loo djie
sudah tidur pulas, kepalanya diletakkan di atas meja.
"Tuan Tjoh," kata si nona, "Jikalau kau suka mengajak aku,


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kakek tak akan mencegah." Siauw Pek terkejut.
"Lain kali saja," katanya. "Apabila ada kesempatan, aku akan
datang menjenguk nona dan kakekmu."
Begitu berkata, Siauw Pek lantas bertindak pergi dengan cepat,
tetapi ia masih dengar suara si nona. "Tuan Tjoh, tukang tenung
berkata bahwa tiga bulan lagi aku bukan seorang nelayan lagi "
Pemuda itu berjalan terus, pesat tindakannya. Selang sepuluh lie,
barulah ia berjalan perlahan- ia menyesal meninggaikan si nelayan
secara terburu begitu, tetapi ia tidak bisa berbuat lain- inilah
perjalanannya yang pertama, tetapi ia tidak menjadi bingung. Kie
Tong telah banyak sekali menuturkan ia segala hal ikhwal Kangouw,
dunia Sungai Telaga.
Ketika matahari mulai selam diarah barat, Siauw Pek menunda
tindakan kakinya ia menoleh kearah dari mana ia datang, lalu ia
ingat Lian Jie. Sayang anak itu cantik tetapi genit dia mendatangkan
rasa suka tetapi pun rasa ngeri...
Lama juga pemuda ini berdiri diam, baru ia melanjutkan
perjalanannya itu. ia menghela napas perlahan, ia berduka tetapi
dadanya panas. Beberapa kali ia meraba golok dipinggangnya dan
pedang dipunggungnya. Lalu dia berkata didalam hati : "Tjoh siauw
Pek Tjoh Siauw Pek. Ingat... Kaulah putera ayah bundamu, kau
akhli waris Pek Ho Bun, tak dapat kau melupakan sakit hatimu yang
besar sekali. Kau ingat tanggung jawabmu Kau mesti ketahui,
berapa sulit perjalanan dihadapanmu. Disana terdapat musuh
musuhnya ratusan jiwa anggota keluargamu. Dikolong langit ini,
sebagian besar orang-orang Rimba Persilatan adalah musuh
musuhmu. -ooodwoooJILID 6 "Karena itu, kau harus sabar dan tenang, kau mesti pandai
berpikir.Jangan sampai kau dapat dipermainkan oleh kecantikan dan
kegenitan Han Lian Jie "
Berpikir demikian, Siauw pek lalu mengambil ketetapan. Ia
menuju dulu ke pek Hopo kampung halamannya di kota Gak yang.
Ia ingin menyaksikan reruntuhan rumah tanggan yang hancur itu.
Mungkin reruntuh rumahnya akan membuatnya ingat sesuatu.
Setelah itu mau pergi ke Jie Sie Wan untuk menjenguk Lauw Hay itu
si buta, guna meminta pulang barang barang titipan ayahnya. Itulah
warisan yang tertinggal untuknya.
Setelah dia mengambil ketetapan ini, harinya menjadi lebih lega.
Ia membuka tindakan lebar, untuk melanjutkan perjalanannya.
Sore itu, ditengah jalan tak tampak lain orang. Hanya sang angin
yang menghembus-hembus bajunya. Tetapi ia tak merasa kesepian-
Baginya sudah biasa hidup menyendiri. Tengah ia berjalan,
sekonyong-konyong Siauw Pek mendengar suara napas orang. Berat
suara itu, seperti suara orang sakit parah. Ia heran hatinya menjadi
tertarik, ingin ia ketahui, siapa orang itu.
Berjalan maju, pemuda ini mengitari sebuah tempat yang lebar
dengan pepohonan- Ia mendapatkan tanah datar yang ditumbuhi
rumput. Ketika itu binatang binatang sudah keluar, dan dibawah
cahaya bintang, ia melihat dua orang yang berpakaian serba hitam
tengah bertarung seru. Mereka itulah yang mengeluarkan suara
napas yang berat itu.
"Heran mereka itu," pikirnya. "Apakah ada permusuhan besar
diantara mereka berdua sehingga mereka berkelahi mati hidup
ditempat belukar ini" Mengapa mereka mencari waktu malam
seperti ini ?"
Sambil berpikir, Siauw Pek bertindak dengan perlahan, hingga
setelah datang lebih dekat ia dapat melihat tegas kedua orang itu,
yang masing-masing baru berusia dua puluh empat atau dua puluh
lima tahun, yang satu bersenjatakan sepasang poan koan-pit,
senjata yang berupa seperti pit, alat tulis, yang lain bergeman
sebatang pedang panjang. Hanya ketika itu, senjata mereka itu
diletakkan ditanah sejauh satu tombak lebih, mereka sendiri
berkelahi dengan tangan kosong, untuk mengadu kekuatan-
Mungkin ini disebabkan mereka telah kewalahan bertarung dengan
memakai senjata.
Dua orang muda itu berdiri berhadapan, sama sama memasang
kuda kuda, dan mengeluarkan tangan mereka masing masing, untuk
ditempelkan menolak satu pada lain-Itulah pertanda mereka sedang
menguji tenaga dalam masing masing. Rupanya mereka sudah
beradu lama, hingga kaki mereka melesak ke dalam tanah.
Anehnya, mereka sama tangguhnya.
Dahi dua orang muda itu sudah bermandikan peluh. Dilihat dari
roman dan suara napasnya nyata mereka sudah kehabisan tenaga,
hanya untuk menghentikan pertempuran, agaknya mereka segan-..
"Tentunya mereka akan berhenti sendiri sesudah mereka
kehabisan tenaga..." pikir siauw Pek.
"Itulah berbahaya, sebab ada kemungkinan napas mereka akan
turun berhenti juga. Dapatkah aku berdiam saja dan tidak menolong
mereka ?" Sejenak anak muda ini berdiam, buat berpikir mengambil
keputusan- Setelah itu, ia bertindak maju menghampiri dua orang
itu. Ia maju sambil dekat sekali, diantara keduanya. Diam diam ia
mengerahkan tenaga dalamnya, kedua tangannya diangsurkan. Lalu
tiba tiba ia berseru, kedua tangannya ditempelkan diantara dua
orang itu, untuk menanggapi, seraya maju ke tengah tengah
mereka sambil menolak kekiri dan kekanan.
Dua orang itu terpisah, mereka sama sama mundur. Mereka tidak
dapat mempertahankan diri lagi dua duanya lalu roboh. Hanya
begitu roboh cepat mereka bangun pula, untuk duduk bersemadhi,
guna mengatur napasnya masing masing. Mereka menutup mata,
tidak ada orang yang mengawasi orang yang memisahkannya.
Siauw Pek mengerti sebabnya itu. Itulah daya guna mencegah luka
dalam. "Tuan tuan," kata anak muda ini, " kepandaian kamu berimbang,
jikalau bertempur terus, kamu bakal sama sama celaka. Paling
benar ialah kau jangan berkelahi lebih jauh "
Setelah berkata, siauw Pek membalikkan tubuhnya hendak
berjalan pergi. Ia tidak menantikan jawaban- la tahu, tak mudah
kedua orang itu lekas lekas menyahuti. Akan tetapi dugaannya
meleset. Baru ia jalan belasan tindak dari belakangnya terdengar
satu seruan lemah : "Berhenti "
Lemah itu suara tapi nadanya penuh hawa amarah. Siauw Pek
heran, ia menghentikan tindakannya.
Segera terdengar suara yang lainnya : "Jikalau kau seorang lakilaki,
tunggulah kami barang satu jam "
Anak muda itu memandang langit.
"Baiklah " katanya sabar. "Akan aku tunggu kamu selama satu
jam." Untuk menantikan itu, ia terus duduk numprah ditanah.
Benar saja selang kira-kira satu jam, si baju hitam disebelah
selatan sudah bangkit lebih dahulu. Lantas yang disebelah utara pun
menyusul berlompat bangun. Mereka itu saling memandang, terus
keduanya berjalan menghampiri pemisahnya tadi. Melihat sikap
orang mengancam, Siauw Pek bangkit.
"Kamu menyuruh aku menanti, tuan-tuan, ada petunjuk apakah
dari kamu kepadaku ?" ia tanya sabar.
"Siapa suruh kau campur tangan ?" bentak pemuda yang dikiri,
bengis. "Memang " kata yang dikanan. "Kami berdua berkelahi, ada
sangkut pautnya apakah denganmu" Kenapa kau pisahkan kami?"
"Maksudku baik, tuan-tuan- Aku lihat tenaga kamu bisa mati
berdua. Sudah nyata kamu sama tangguhnya, buat apa kamu
berkelahi terus ?"
"Kamu benar, tetapi kamu telah merusak sumpah kami " berkata
yang dikiri. "Bahkan kamu membikin kami celaka. sebab kami mesti
berkelahi dari mulai lagi "
Yang dikananpun berkata dingin- "Kami sudah berkelahi selama
tiga bulan, tak juga ada kesudahannya, kekuatan kami selalu
seimbang, tidak ada yang menang atau kalah, maka malam ini kami
berjanji akan berkelahi terus sampai mati. Siapa sangka, selagi akan
tiba saatnya kematian, kau datang mengacau. Maka kaulah yang
harus bertanggung jawab "
siauw Pek mengawasi tajam kedua orang itu. Usia mereka
ditaksir belum lewat dua puluh tiga atau dua puluh empat tahun. Ia
heran, maka ia bertanya: "Tuan-tuan, kamu masih muda, kenapa
kamu bermusuhan begini hebat, hingga kamu mau berkelahi sampai
mati " Sudah berkelahi tiga bulan, kamu tetap seri, bukankah itu
bukti dari batas kepandaian kamu " Apakah kebaikannya andaikata
kamu berkelahi terus ?"
"Sebenarnya kami tidak bermusuhan," sahut yang dikiri. "Tetapi,
tak dapat tidak kamu mesti berkelahi "
Lalu kata yang dikanan: "Bukan saja kami tak bermusuhan,
bahkan kami saling mengasihi, tapi kami terikat oleh sumpah, maka
salah satu dari kami mesti mati " Siauw Pek heran berbareng
tertarik hati. Ia jadi ingat akan nasibnya sendiri.
"Aneh, tuan-tuan," katanya. "Kamu sendiri tidak bermusuhan,
tapi kamu mau berkelahi hidup atau mati. Mungkinkah ada
permusuhan mengenai pembunuhan ayah kamu?"
"Bukan permusuhan disebabkan pembunuhan ayah, hanya guru "
kata yang kiri, dingin-"Hanya guru sama dengan ayah, bukan" Maka
itu pun musuh besar "
"Dan kami telah bersumpah didepan arwah guru kami untuk
menuntut balas. Begitulah sulit buat kami hidup bersama didalam
dunia ini " Siauw Pek dapat mengerti, ia mengangguk.
"Bicaramu beralasan, tuan-tuan- Coba katakan kepadaku, kenapa
guru kamu bermusuhan satu dengan lain " Siapakah sebenarnya
yang bersalah diantara mereka itu ?"
"Inilah permusuhan yang kami, sebagai murid tak dapat
menjelaskannya," jawab yang di kiri. "Urusan kami tak dapat
diberitahukan orang luar. Yang benar ialah guruku terbinasa
ditangan guru dia. Mana bisa sakit hati ini tidak dibalaskan ?"
"Gutuku juga terbinasa ditangan guru dia " kata yang dikanan,
dingin- " Urusan tetua kami mesti kami yang muda yang
membereskannya "
"Bagaimana, eh?" tanya Siauw Pek heran- "Jadi guru kamu telah
saling bunuh ?" Orang yang dikanan mengangguk.
"Mereka sama-sama terkena satu pukulan tangan, lantas mereka
sama-sama mati." Mendengar itu, siauw Pek menarik napas.
"Kalau begitu, tuan-tuan bakal mengulangi lakon guru kalian itu "
katanya. "Kamu bakal jadi seperti batu kemala yang sama-sama
hancur lebur Tuan-tuan, maukah kamu mendengar nasihatku,
berhentilah berkelahi, supaya kalian mengikat persahabatan saja ?"
orang yang dikiri menghela napas.
"Kau benar," katanya. Tapi tak dapat aku turuti nasehatmu ini."
"Kalau kata-kataku benar, kenapa tak dapat dituruti ?" tanya
Siauw Pek. "Aku juga tak dapat menerima," kata yang di kanan- "Kecuali...?"
"Kecuali apa ?"
"Sebab sumpah kami itu " menjelaskan yang dikanan. "kecualinya
yaitu ada orang yang dapat mengalahkan kami berdua, kami berdua
serentak akan melawan satu orang "
"Mengapa sumpah itu begini aneh ?"
"Jikalau dia dapat mengalahkan kami, itulah bukti keliehayan
dia," kata yang dikanan "Jikalau kami tidak mendengar nasehat dia,
andai kata dia mau, mudah saja dia membunuh salah satu dari
kami, kalau salah satu dari kami mati, mana dapat kami. kami ialah
yang masih hidup dapat menuntut balas." Siauw Pek heran, tapi
didalam hati dia mau tertawa:
"Kamu aneh" katanya, "toh salah satu diantara kamu mesti mati
?" "Sudah" Kata yang dikiri, "kau memisahkan kami, kau cari
kesulitanmu sendiri"
"Jangan kau sesalkan kami."
Siauw Pek menatap orang itu, dia mengangguk.
"Baiklah kalau begitu," katanya, terpaksa. "Ingin mencoba coba
kamu barang satu dua jurus. Tapi perlu aku jelaskan, tiada niatku
merampas kemenangan atau untuk bersombong maksudku hanya
ingin memisahkan kami, supaya kamu akur satu sama lain- Nah,
majulah " "Kami berdua mengepung kau seorang, itulah tidak adil," kata
yang kiri. "Sekarang begini saja : Kau boleh pilih pakai tangan
kosong atau senjata "
Siauw Pek berpikir : "Aku belajar silat, kebanyakan aku
mengatakan senjata tajam, Guru Kie mengatakan kepadaku, ong
Too Kiu Kiam dapat dipakai melawan kepungan, baiklah sekarang
aku mencoba..." Segera ia menghunus pedangnya, ia berkata pula :
"Baiklah, mari kita main main dengan senjata tajam "
Orang yang dikiri melompat, dan memungut senjatanya :
pedang. Orang muda yang dikananpun menjemput pegangannya :poan
koan pit. Lantas keduanya bersikap mengurung.
"Awas " berseru orang yang memegang pedang, yang terus
menikam, dengan tipu silat " Kebakaran hutan membakar hutan-"
Siauw Pek mengalah, dia berkelit.
Justru orang berkelit, pemuda yang memegang poan koan pit,
maju menusuk. karena dia menggunakan tipu "Kuda hutan membiak
suri," senjatanya mengarah kekedua jalan darah.
Tepat pada waktu itu, pemuda berpedang itu menikam pula, kali
ini dengan tikaman "Burung belibis terbang turun di pasir datar."
Maka dengan begitu, segera serulah Siauw Pek dikepung dua
lawan itu. Setelah bertarung beberapa lama tetap Siauw Pek terkurung
kedua musuhnya. Ia bisa mendesak mereka itu mundur, tetapi
kembali dia dirapatkan- Ia terkepung tetapi ia tak terdesak. Dengan
mudahnya ia menghalau setiap serangan, pembelaan dirinya rapat
sekali. Oleh karena putera Tjoh Kam Pek kena dikurung, tanpa merasa,
mereka sudah bertempur dua puluh jurus lebih. Mulanya Siauw Pek
rada risi setelah itu, hatinya mantap. permainan silatnya menjadi
tenang dan rapi, dilain pihak, serangannya terus bertambah
membahayakan lawan-
Lagi sepuluh jurus dilewatkan, tengah serunya mereka
bertempur, mendadak pemuda yang bergegaman pedang melompat
keluar kalangan- Sambil memberi hormat, dia berkata : "Saudara,
ilmu pedangmu lihay, aku menyerah kalah" Iapun terus
melemparkan senjatanya. Pemuda yang lainnya turut mundur.
"Terima kasih buat belas kasihanmu, saudara," katanya sambil
melemparkan poan koan pitnya untuk memberi hormat juga. Siauw
Pek heran. Ia melihat orang orang itu belum kalah.
"Tuan tuan mengalah saja," katanya.
Pemuda yang bersenjata pedang itu memberi hormat pula, ia
berkata : "Saudara, akulah oey Eng. Bolehkah aku mengetahui she
dan besar dari saudara ?"
"Aku Tjoh Siauw Pek," sahut Siauw Pek singkat.
"Aku Kho Kong," berkata pemuda yang bersenjata poan koanpit
sambil menjura.
"Syukur saudara saudara suka berdamai," kata Siauw Pek.
"Terima kasih, itu tandanya saudara saudara sudi memberi muka
padaku. Nah, sampai ketemu pula "


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berkata begitu, anak muda ini menyimpan pedangnya, ia
memberi hormat, kemudian bertindak pergi. Iasudahjalan empat
atau lima lie tatkala ia mendengar suara orang berlari lari dari arah
belakangnya. Ia heran, maka ia menoleh. Ternyata oey Eng dan Kho
Khong tengah berlari cepat ke arahnya, mereka sambil saban saban
memanggil padanya. Ia lalu berhenti berjalan, untuk menantikan-
"Kami mengagumi kepandaian silatmu, saudara Tjoh," kata oey
Eng. "kami juga kagum akan kebaikan hatimu. Kau amat mulia
sekali Saudara, aku menyusul kau untuk bermohon jikalau anda
tidak mencela kebodohan kami, agar kami diijinkan menemanimu di
sepanjang jalan, agar sewaktu waktu kami dapat menerima
petunjukmu, supaya kami mendapat tambah kemajuan-"
"Kami berdua adalah sama sama anak yatim piatu yang
dipelihara dan dididik guru kami masing masing," Kho Kong pun
berkata. "Itulah sebabnya mengapa kami sangat menyintai dan
menghormati guru kami, sehingga kami suka membelanya mati
matian- Aku kagum terhadap kau, saudara Tjoh. Kau telah
memisahkan kami dan membuat akur satu dan yang lain- Saudara
tahu, kami tidak punya rumah tangga, kami hidup dalam
perantauan- Ketika dulu guru kami berkelahi, mereka cuma
perebutkan nama kosong. Mereka menutup mata karena sama sama
terluka, tak sempat mereka memberi penjelasan atau memesan-
Kami berkelahi hanya disebabkan ingin menuntut balas, lain tidak.
Tadinya habis setiap berkelahi, karena letih, kami beristirahat,
selama itu, selalu kami sadar bahwa kami inilah anak anak piatu..."
Siauw Pek menghela napas.
"Nasibku juga sama dengan kamu, saudara saudara," katanya,
yang lantas menghentikan kata katanya, sebab mendadak ia ingat,
tidak selayaknya ia menuturkan riwayatnya. "Bagus kamu insaf akan
keadaan diri kami. Bukankah kamu tak akan berkelahi pula, bahkan
sebaliknya, akan bersahabat?"
"Itulah putusan kami, saudara Tjoh," sahut oey Eng. "Dulupun
guru kami tidak memesan buat kami menuntut balas hingga hidup
dan mati. Bahkan sekarang kami menyesal, kami pun menyesalkan
sumpah kami itu, yang keterlaluan-"
"Sebenarnya," Kho Kong turut bicara pula, "guru kami ada juga
meninggalkan pesan tetapi itu tidak mengenai sebab musababnya
mereka bertempur, hanya mengenai soal pembalasan- Pesan itu
ialah: Kalau kelak dikemudian hari ada orang yang memisahkan
kami, kami berdua mesti kepung dia, jika kamu kena dikalahkan,
pembalasan harus dilunaskan-"
"Baru guru kami berkata begitu, mereka sudah menutup mata.
Tadi kami kena dikalahkan, saudara Tjoh, hati kami jadi tertarik,
maka kami berdamai untuk mengikuti kau..."
Tak dapat Siauw Pek menerima permintaan itu. Ia mempunyai
urusan sendiri.
"sukur kamu akur satu sama lain," katanya "saudara saudara,
aku mempunyai urusan sendiri yang penting, maaf, tak dapat aku
menemui kamu lama lama, selamat tinggal "
"TUnggu dulu saudara Tjoh " Kho Kong memanggil sela gi
pemuda itu mengangkat kaki.
"Tolong dengar dulu kataku..."
"Saudara Tjoh," oey Engpun berkata, "kau bagaikan penolong
jiwa kami, karena itulah, suka kami mengawanimu, untuk
mengiringimu."
"Terima kasih, saudara saudara. Dengan sebenarnya, tak dapat
kamu mengikuti aku. Aku mempunyai musuh besar, sekarang aku
lagi mencarinya, entah di mana, tetapi setiap saat, mungkin aku ini
akan bertempur mati hidup.Jikalau kamu berdua turuti aku,
bukankah itu dapat menyusahkan kamu" Yang benar kita
bersahabat saja Nah, sampai bertemu pula"
"Saudara Tjoh mari dengar dahulu" kata oey Eng, yang telah
saling mengerdipi mata dengan Kho Kong. "Sebenarnya kami
menyusul saudara sebab kami melihat saudara agaknya mempunyai
urusan penting..."
"Bukannya aku menolak kalian, saudara saudara, yang benar
ialah kedudukan aku sangat berbahaya. Memang sekarang aku tak
kurang suatu apa, siapa tahu dilain waktu" Sekarang ini orang
belum tahu tentang kemunculanku"
"Seorang laki laki binasa untuk orang yang mengenalnya,
demikian sebuah pepatah." berkata oey Eng. "Pepatah itu tepat
sekali. Kami takluk kepadamu, saudara Tjoh, maka itu kami bersedia
menyerahkan diri kami untuk mengikutimu, supaya kami dapat
membalas sedikit budimu. Dalam hal ini kami tidak menghiraukan
soal mati hidup"
"Jiwa kami telah kau tolong, saudara Tjoh," kata Kho Kong, "
karena itu mana dapat kami tidak membalasnya dengan jiwa kami
juga?" "Kamu baik sekali, saudara saudara. Hanya..."
oey Eng tertawa nyaring dan lama, kata katanya Siauw Pek
terputus karenanya. Tertawa itu mengagumkan dan mengharukan,
sebab keluar dari hati yang tulus.
Habis tertawa, oey Eng bersikap tenang sekali. Katanya sabar:
"Saudara Tjoh, kami tahu sebabnya saudara menampik kami. Itulah
karena ilmu silat kami tidak berarti, hingga kau kuatir kami hanya
akan menjadi bandulan saudara, bahwa kami cuma akan
menyusahkanmu saja... Nah, saudara, karena itu, ijinkanlah
memohon diri" Berkata begitu, pemuda ini memberi hormat, terus
memutar tubuh. Kho Kong melihat kawannya pergi, dia menarik
napas panjang. "Kami berlaku setulusnya, sesungguh hati siapa tahu saudara
Tjoh menolak kami," katanya masgul. "Baiklah, saudara, akupun
bermohon diri..." Ia memberi hormat, lalu pergi menyusul oey Eng.
Siauw Pek tergugah, hingga ia ternganga mengawasi dua orang
itu. ia menghela napas, hatinya tidak enak.
"saudara oey, Saudara Kho" ia lalu memanggil. "Saudara saudara
maukah kamu dengar dahulu kata kataku?"
oey Eng berpaling, dia tertawa sedih.
"Kepandaian kami tidak berarti, sukar buat kami bersahabat
dengan kau, saudara Tjoh..." katanya, menyesal.
"Saudara-saudara, kamu baik sekali, akupun mengerti," kata
Siauw Pek. "Hanya aku mohon supaya kami juga mengerti aku. Aku
mempunyai kesulitan sendiri. Tapi, saudara-saudara, jikalau kamu
tidak kuatir nanti kena terembet rembet olehku baiklah, suka aku
terima tawaran kamu ini. Lebih dahulu, terimalah rasa syukurku"
Berkata begitu, ia memberi hormat. oey Eng girang, dia tertawa.
"Jikalau saudara memang benar sudi menerima kami," katanya,
"kami berjanji akan dengan sekuat tenaga kami membantu saudara
membuat pembalasan" Kho Kong juga, memberikan janjinya Siauw
Pek menghela napas. Wajahnya tampak guram.
" Kedua saudaraku, tahukah kamu siapa itu musuhku?"
"Kami tidak tahu, saudara sudi kiranya anda menjelaskan," minta
Kho Kong. "Musuhku itu bukan cuma satu, bahkan banyak." Siauw Pek
menerangkan- "Merekalah kesembilan partai besar serta sembilan
partai lainnya merabalah sembilan pay, empat bun, tiga hwee dan
dua pang."
Mendengar itu, oey Eng dan Kho Kong melengak. Itulah mereka
tidak sangka. Hingga beberapa lama mereka tak dapat berkata kata.
"Nah, sekarang tentulah saudara saudara sudah ketahui," Siauw
Pek menambahkan.
"Kalau tentang diriku ini, terutama tentang niatku untuk
menuntut balas, diketahui oleh pihak luar oleh musuh musuhku,
segera juga aku akan terancam bahaya besar. Pasti mereka itu akan
mencariku, guna turun tangan lebih dahulu. Dengan begitu, saudara
saudara, hanya karena aku seorang, kamu pun jadi dimusuhi oleh
banyak musuh Maksudku, oleh dunia Rimba Persilatan-.."
"Ya, Saudara," tanya oey Eng kemudian, "kau baru berusia lebih
kurang dua puluh tahun bagaimana caranya sampai kau jadi
bermusuhan dengan delapan belas partai itu ?"
"Ya, saudara, apakah sebabnya itu ?" Kho Kong pun bertanya.
"Panjang ceritanya, saudara saudaraku," sahut Siauw Pek,
tenang. "sakit hati ini dimulai oleh keluargaku setingkat diatas. inilah
dendam kesumat pembunuhan ayahku beserta penasaran
kebinasaan seluruh keluarga dan kampung halaman " Kho Kong
heran. "Saudara Tjoh," katanya, "toh tak dapat kau membalas dendam
kepada semua orang Rimba Persilatan ?"
Siauw Pek mengangguk.
"Benar," sahutnya. "Kata pepatah penasaran ada penyebabnya,
utang ada piutangnya. Demikian juga sekalian orang Rimba
Persilatan yang telah memusuhi keluargaku itu. Pertama tama
hendak aku membuat penyelidikan yang seksama, untuk dapat tahu
sebab musabab yang sebenarnya, setelah itu, ingin aku cari dia atau
mereka yang menjadi biang keladinya. Tak kupikir buat ganggu
mereka yang main ikut ikutan saja. Akan aku bunuh musuh atau
musuhku yang utama, guna menghibur arwah ayah bunda serta
saudara saudaraku di alam baka."
oey Eng mengerti, ia mengangguk angguk. Selanjutnya, ia
memperlihatkan roman sungguh sungguh.
"Ada sesuatu yang hendak kutanyakan, saudara," katanya,
"Mungkin ini pertanyaan yang tak seharusnya. Aku minta saudara
tidak menjadi kecil hati."
" Katakanlah, saudara oey " kata Siauw Pek cepat. "Aku bersedia
mendengarnya."
"Jikalau seorang orang dituduh oleh ribuan orang, pasti semua
orang mengatakan dia bersalah," kata oey Eng. "Dia itu tentulah
ada sebabnya. Sekarang mengenai sakit hatimu, saudara. inilah
perumpamaan saja. Seandainya setelah saudara membuat
penyelidikan tetapi kenyataannya ayah saudaralah yang bersalah,
bagaimana nanti sikap dan tindak tanduk saudara ?"
"Pertanyaanmu tepat, saudara oey." jawab Siauw Pek, yang tidak
menjadi kurang senang "Jikalau hasil penyelidikanku benar seperti
terkaanmu ini, aku bersedia menghadapi orang banyak untuk
mengaku bersalah buat menebus dosa " oey Eng kagum, dia
menunjukkan jempolnya.
" Dengan mengandaikan kepada kata katamu ini, saudara Tjoh "
katanya, sungguh sungguh " bersedia aku untuk mengikuti kau,
untuk memberikan seluruh tenagaku kepadamu "
"Aku juga " seru Kho Kong, yang tidak kurang kagumnya, hingga
dia memberikan janjinya seketika.
Siauw Pek terharu, ia menghela napas.
"Kamu baik sekali, kedua saudaraku, aku sangat bersyukur
kepada kamu," katanya. Dengan sebenarnya, seorang diri saja, aku
menghadapi kesulitan dalam usahaku menuntut balas ini. Syukur,
didalam perantauan aku bertemu dengan kamu berdua yang
bersedia membantuku. Mungkin ini disebabkan arwah ayah
danibusaya yang sudah meninggal dunia itu telah
memberkahikuputra tunggalnya. Nah, kedua saudara, terimalah
hormat dan terima kasihku "
Berkata begitu, Siauw Pek lalu memberikan hormat sambil
berlutut, menjura.
oey Eng dan Kho Kong menjadi repot, dengan tersipu sipu
mereka menjatuhkan diri di tanah guna membalas hormat itu.
"Tidak berani kami menerima hormat ini," kata mereka.
Bertiga mereka saling memberi hormat, lalu sambil berpegangan
tangan, mereka berbangkit berdiri. oey Eng puas, dia tersenyum.
"Sejak saat ini, kami akan turut segalanya perintahmu, kakak
Tjoh," kata dia setulusnya. "Di dalam dunia Rimba persilatan tidak
ada si tua dan si muda, yang ada hanya si gagah dan si pintar,
karena itu, saudara, justru kau terlebih lihay daripada kami berdua,
kaulah kakak kami " Tapi Siauw Pek menolak.
"Itulah tak dapat, saudara oey. Kita bersahabat, mesti ada yang
usianya lebih tua..."
"Bukan begitu, kakak Tjoh," Kho Kong pun berkata. "Ular tanpa
kepala tidak dapat berjalan, burung tanpa sayap tidak dapat terbang
demikian juga kita. Kami berdua sangat mengagumi saudara,
karenanya kami memohon persahabatanmu. Saudara, untuk
mewujudkan cita citamu, tenaga kita bertiga masih belum cukup.
Maka itu, menurut pikiranku untuk usaha kita ini, baik kita
membangun suatu ikatan dan yang menjadi bengcu, kepala ataupun
pemimpinnya, ialah kau sendiri. Setelah ini, kita akan cari dan
menerima kawan kawan yang sepaham dengan kita. Secara begini,
disamping kita bisa membalas dendam, sekalian kita juga bisa
membasmi mereka yang busuk dan jahat, supaya kaum Rimba
Persilatan mengangkat pula namanya yang bersih."
"Bagus, bagus," oey Eng memuji. "Inilah pikiran yang baik sekali.
Menurut aku, tak usah sulit sulit kita mencari nama, baik pakai saja
Rombongan Tjeng Gi pang "
"Apakah nama itu tidak terlalu agung?" tanya Siauw Pek. "ceng
Gi berarti "keadilan", dan "Pang" ialah "Kawanan". "Menurut aku,
sekarang baiknya kiga jangan membangun ikatan dahulu, sebab kita
belum membuat penyelidikan dan hasilnya belum ketahuan-Jikalau
nanti yang bersalah adalah ayahku, tidakkah kita merusak kesucian
kata kata Tjeng Gi itu?" oey Eng menarik napas kagum.
" Kakak Tjoh, kau ini sungguh bijaksana " ia memuji. "Sekarang
baiknya begini saja. Ikatan kita jangan dibangun dahulu, tetapi kau
tetap menjadi bengcu yaitu pemimpin kami."
"Ya, ya kakak Tjoh menjadi bengcu" kata Kho Kong, "Nah,
bengcu, apakah tindakan permulaanmu" Kemana kita pertama
pergi?" "Ketika ayahku masih ada," sahut Siauw Pek "beliau pernah
memberitahukan bahwa beliau telah menitipkan beberapa rupa
barang pada seorang sahabatnya, maka itu sekarang aku
memikirkan buat pergi mengambil barang barang itu, yang mestinya
penting sekali. Dari sana baru kita mulai membuat penyelidikan
tentang urusan ayahku."
"Jikalau demikian, mari kita berangkat sekarang," mengajak oey
Eng. "Satu hal harus diperintah," Siauw Pek pesan- "Sebelum kita
berhasil mencari keterangan baiknya aku menyembunyikan diri dulu,
agar musuh tidak datang mengganggu. Artinya kita membuat
penyelidikan secara rahasia."
"Itu benar" oey Eng dan Kho Kong setuju.
Lalu mereka itupun berjalanlah. Inilah yang pertama kali putera
Tjoh Kam Pek mendapat kawan- Dan, pada suatu tengah hari,
mereka tiba di Ji Si Wan, kota Gak yang bagian selatan-
Jie Sie Wan adalah sebuah dusun kecil, yang penduduknya hanya
beberapa puluh keluarga, kebanyakan petani yang sederhana.
Tiba didesa itu Siauw Pek bertiga berpakaian sebagai orang
orang desa juga. senjata mereka disimpan dalam bungkusan, untuk
tidak mendatangkan kecurigaan- Lebih dahulu mereka berpura-pura
mengitari desa, baru berjalan memasuki.
Seorang tua, yang sedang berangin sambil mengipasi diri,
tampak sedang duduk dibawah sebuah pohon, Siauw Pek
menghampiri orang tua itu, untuk memberi hormat kepadanya
sambil menanya kalau-kalau desa itu benar desa Jie Sie Wan"
Benar," sahut orang tua itu, "Tuan tuan hendak mencari
siapakah ?"
"Ada seorang tuna netra yang dipanggil Lauw Hay tju, benarkah


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia tinggal disini?" tanya Siauw Pek.
sebelum menjawab, orang tua itu memandangi si anak muda
dahulu. "Lauw Hay tju ?" dia mengulangi. "Dia tinggal disebelah barat
sana, di sebuah rumah bilik. Mudah mencarinya, sebab rumahnya
itu mencil sendirian."
"Terima kasih " kata Siauw Pek seraya memberi hormat pula,
terus ia mengajak kedua kawannya bertindak kearah barat.
Selagi berjalan, tiga orang ini masih mendengar orang tua itu
berkata kata seorang diri : "Aneh Sudah empat atau lima tahun, tak
pernah ada seorang jua yang mencari Lauw Hay tju, tetapi selama
beberapa hari ini, tak hentinya orang datang menjenguknya..."
Siauw Pek terperanjat. Karena ini, segera ia mempercepat
tindakannya. Disebelah barat itu ada sebidang tanah persawahan dan kebun,
benar disana tampak sebuah rumah kecil, yang dikelilingi pohonpohon
bambu hijau. "Tentu itulah rumahnya," kata oey Eng, perlahan. "Mari kita
hampiri." Begitu ia melihat rumah cilik itu, Siauw pek merasakan
tindakannya menjadi berat. Disebabkan hatinya tiba-tiba menjadi
tidak tenang, dan ia lalu menerka nerka : Adakah barang titipan
ayahnya masih ada " Apakah barang titipan itu ada sangkut pautnya
dengan urusan sakit hatinya" Sebenarnya si tuna netra itu orang
macam apa" Kenapa ayahnya menitipkan barangnya kepada orang
buta itu" Selagi ia masih berpikir, tahu tahu Kauw-Pek telah tiba di depan
rumah orang. Pintu rumah tertutup. Didepannya tergantung sebuah
papan merk, bunyinya: Lauw Hay tju, Mo Kut Tam Siang. Artinya
"Lauw Hay tju si akhli nujum dengan meraba tulang."
Segera Siauw Pek mengetuk pintu. "Apa ada orang di dalam ?"
tanyanya. Dari dalam terdengar jawaban yang parau. "Apakah orang yang
ingin di ramalkan" Silahkan masuk "
Siauw Pek menolak daun pintu. Ia melihat ruang depan yang
penuh rumput dan daun daun, tandanya ruang itu tak kenal sesapu.
Ia menerka tentulah tuan rumah tinggal seorang diri saja.
Disitu, Kho Kong mendahului masuk keruang dalam. Segera
dilihatnya seorang buta yang sedang duduk dibelakang sebuah
meja, orang itu sudah tua, rambutnya panjang dan kusut,
bajunya telah pecah disana sini, sedang janggutnya ubanan dan
meroyot turun kedadanya. Kedua matanya sudah buta. Mengawasi
orang bercaCad itu ia heran- ia tidak mengerti mengapa Tjoh Kam
Pek dapat menitipkan barangnya kepada orang buta semacam ini.
Tuan rumah rupanya telah tahu tetamunya sudah masuk. ia
bangkit secara mengundang: "Silahkan duduk dikursi bambu
didepanku ini." Sementara itu Siauw Pek dan oey Eng mengikuti Kho
Kong. Walaupun buta matanya, Lauw Hay tju terang pendengarannya.
Ia dapat membedakan orang dari tindakan kakinya saja.
" Ketiga tuan, silahkan duduk" ia mengundang pula. "Mataku
tidak dapat melihat, maaf, aku tak dapat meninggalkan tempat
dudukku untuk menyambut kedatangan tuan tuan."
"Maaf, lotjianpwee, aku mengganggu ketenteramanmu," kata
Siauw Pek. Ia menyebut "lootjianpwee" orang tua tingkat lebih atas
karena dialah sahabat, bahkan orang kepercayaan ayahnya.
"Sama sekali tidak. tuan," kata tuan rumah. "Aku hidup dari
hasilnya ramalanku, aku menyambut girang setiap kunjungan, lebih
banyak tetamu lebih baik lagi, jikalau tiada orang datang, bukankah
aku mati kelaparan ?"
Diam-diam Siauw Pek mengawasi tajam si tuna netra. Ia tidak
melihat sesuatu yang luar biasa, yang mencurigakan-
"sebenarnya kami datang bukan untuk minta diramalkan,"
katanya kemudian perlahan-Mendadak Lauw Hay-tju menjadi heran.
"Habis kamu datang mau apa ?" tanyanya, suaranya segera
berubah. "Bengtju kami datang untuk mencari keterangan," oey Eng turut
bicara. "Jikalau kau dapat memberi penjelasan, kami akan beri
banyak uang kepadamu, hingga selanjutnya tak usah kau hidup dari
ramalanmu lagi."
" Walaupun kedua mataku sudah buta, aku masih mempunyai
semacam kepandaian." berkata si buta. " Dengan hasil
kepandaianku itu, dapat aku melewatkan hari-hariku. Mengenai
uang yang tak ketahuan asal usulnya, maaf, tak dapat aku
menerimanya."
"Lotjianpwee memang seorang berilmu," kata Siauw Pek. "Aku
yang muda..."
"Aku menujumkan orang untuk penghidupanku," memutus si
orang tua, "aku harap tuan tuan jangan mengangkat tinggi-tinggi
padaku." Siauw Pek menghela napas perlahan-
" Lotjianpwee, ingin aku menyebut satu nama mungkin
lotjianpwee mengenalnya," katanya sabar.
"Tidak. aku tidak kenal " kata siorang cepat. " Kecuali orangorang
yang datang meramalkan kesini, aku tidak kenal siapa juga "
Mendengar suara orang itu, hati Siauw Pek lega, kemudian ia
berkata perlahan sekali : "Lotjianpwee, apakah barang titipan
sahabatkmu dari kaum Pek Ho Bun masih ada?" Ditanya begitu,
Lauw Hay-tju kaget, hingga tubuhnya gemetar.
"Sekarang jam berapa ?" tanyanya cepat.
"sudah lohor magrib matahari sore merah," sahut Siauw Pek.
Kembali tubuh siorang buta bergemetar. Dia berkata lagi:
"Dijalan ketempat baka tak ada penginapan-.."
Siauw Pek kemudian menimpali: "Tetamu datang dari Tanah
Barat tempat hati Buddha."
Tiba-tiba Lauw Hay-tju menggerakkan tangannya menyambar
tongkat bambu yang disandarkan dikursinya.
"Kau siapa ?" dia bertanya keras.
"Boanpwee Tjoh Siauw Pek," sahut sianak muda sabar.
Mendadak pula tangan kanan Lauw Hay tju bergerak. dengan
tongkatnya itu dia menusuk kedada sianak muda. Tongkat itu
bergerak bagaikan kilat. Siauw Pek kaget sekali.
"Lotjianpwee" ia berseru sambil berkelit. Kho Kong kaget, dia
segera menyiapkan senjatanya.
Hebat orang tua itu, dia buta tetapi sangat gesit. Baru tetamunya
berkelit, tusukannya yang kedua sudah menyusul.
Melihat betapa liehaynya si orang tua, Siauw Pek kagum. Katanya
didalam hati: "Hebat ilmu silat tongkat ini, sungguh gagah, juga
tenaga dalamnya mahir sekali." ia berkelit pula.
Kali ini Kho Kong menangkis. "Tahan, lotjianpwee " dia berseru.
"Aku situa tidak takut kamu kabur" kata orang tua itu, yang terus
mundur kesamping, sedang tongkatnya ditarik kembali.
Boanpwee Tjoh Siauw Pek, ia berkata pula. "Ayahku ialah Tjoh
Kam Pek dari Pek Ho Bun." Lauw Hay tju menyela dengan tertawa
dingin. "Apakah kau menghinaku sebab aku buta tak melihat apa-apa,
tidak melihat kau ?" tanyanya.
Siauw Pek heran, hingga dia tercengang.
"Sebelum ayahku melihat bencana, ayah telah memesan
boanpwee." ia menerangkan- "Ayah bilang, andaikata boanpwee
dapat hidup, supaya boanpwee pergi mencari lotjianpwee disini
untuk meminta barang-barang yang dititipkan ayah. Syukur
boanpwee tidak mati maka itu sekarang boanpwee datang
kemari..."
Mata situan rumah buta tetapi toh mencilak hingga tampak
putihnya. "Kalau begitu sungguh aneh " serunya.
"Kenapa, lotjianpwee ?" bertanya Siauw Pek. Iapun heran,
hatinya bercacat. "Apakah jawaban boanpwee tidak tepat ?" Lauw
Hay-tju tidak menjawab dia hanya bertanya. "Bukankah kau telah
datang kemarin ?"
sekarang Siauw Pek yang ganti terkejut. "Apa ?" tanyanya.
"Kemarin datang seorang pemuda kepadaku," berkata Lauw Haytju.
"Katanya dialah anak piatu dari Tjoh Kam Pek. Tepat jawaban
dia tak salah sepatah katapun juga, kata-kata rahasia itu hanya
diketahui kami berdua, ayahmu dan aku. Kalau dia tahu kata-kata
rahasia itu, dia pasti bukan si orang palsu "
Siauw Pek bingung dan menyesal, berkali kali dia membanting
kakinya. "Siapakah orang itu ?" tanyanya berulang ulang. "Siapakah dia "
Bagaimana dia dapat mengetahui kata kata rahasia itu ?"
Tiba tiba terdengar tawa dingin dari Kho Kong.
"Lotjianpwee" dia menyela, "kedua matamu itu benar benar buta
atau hanya berlagak buta ?"
"Bicara sebenarnya, tuan tuan," sahut orang tua itu, " mata ku ini
bukan buta seluruhnya, cuma lamur saja. Aku dapat melihat jauh
empat atau lima kaki, dengan samar samar."
oey Eng campur bicara.
"Locianpwee," katanya, "kalau loocianpwee cuma lamur, tentu
loocianpwee berkesan mendalam mengenai anak muda yang
kemarin itu. Apakah loocianpwee bisa menunjukkan sesuatu yang
istimewa ?" orang tua itu berdiam.
"Andaikata aku tahu, akupun tidak dapat menjelaskan kepada
kamu," sahutnya dingin. "Kalau dikatakan dia itu palsu, mana bisa
aku percaya bahwa kamu bukannya yang palsu juga."
"Tetapi loocianpwee," kata Siauw Pek, yang tetap bingung sekali,
apakah kata-kata rahasiaku ada yang salah ?"
"Tidak Sepatah katapun tidak "
"Jikalau sepatah katapun tidak ada yang salah, kenapa
loocianpwee masih tak mau percaya aku ?"
Kho Kong menyela: "Dikolong langit ini, semua orang dapat
dipalsukan, tetapi tidak ada orang yang sudi mengaku menjadi anak
orang lain "
"Tapi kata kata rahasia orang itu, sepatah juga tidak salah,"
berkata si orang tua. "kata kata rahasia itu hanya diketahui oleh aku
dan sahabat Tjoh Kam Pek serta isterinya. Jikalau bukan Tjoh Kam
Pek yang memberi tahu, bagaimana orang lain itu?" Siauw Pek
menghela nafas.
"Loocianpwee, coba tolong ingat ingat pula, ia minta: Benarkah
taksalah sepatah kata jua timpalan orang muda kemarin itu?"
"Tidak. tidak salah sama sekali. Kata kata itu telah aku hafal
belasan tahun, jangankan orang itu salah, dia beragu ragu pun pasti
curiga dan aku dapat mendedasnya "
"Apakah loocianpwee tanya she dan namanya ?"
"Itulah tidak, anak. Adalah perjanjian diantara aku dan sahabatku
Tjoh Kam Pek untuk tak usah menanyakan she dan nama orang
yang minta barang titipan itu. Pesan ayahmu itu pasti adalah hasil
dari pemikiran yang dalam. Ayahmu merantau keseluruh negara,
pasti ada orang yang memperhatikan dan mengintainya. Pasti
orangpun akan mencurigai setiap orang yang ada hubungan
dengannya. Aku menerima pesan aku mesti berlaku jujur dan setia
terhadap pesan itu, jadi aku tidak tanyakan she dan nama anak
muda itu." Siauw Pek menyesal sekali. Kembali ia menarik nafas.
"Boanpwe datang dari ribuan lie, tak sangka karena terlambat
satu hari, urusan jadi gagal secara hebat begini..^" katanya. Si
orang buta dengan perlahan duduk pula dikursinya.
"Anak." ia menegaskan, "apakah kau benar benar putera Tjoh
Kam Pek sahabatku itu?"
"Jikalau loocianpwee masih menyangsikan aku, nanti aku
terangkan segala apa yang aku masih ingat perihal ayahku itu."
"Segala sesuatu dahulu itu." kata Lauw Hay cu, " walaupun aku
tidak tahu jelas tapi aku rasa masih ada yang aku ingat. Asal aku
memperoleh kepastian kaulah anak sahabatku itu, akan aku
tuturkan segala apa yang aku tahu kepadamu."
"Bagaimana caranya loocianpwee percaya aku?" Siauw Pek
bertanya. "Semasa hidupnya, ayahmu itu sangat terkenal, dia telah
merantau luas," kata si orang tua "karena itu tidak ada orang yang
tidak mengenalnya, jadi buat melukiskan roman wajahnya itulah
tidak sulit."
"Kalau begitu sungguh sukar buat boanpwee" Siauw Pek
mengaku. "Jangan bersusah hati dulu, anak. Aku masih punya satu cara."
"Tolonglah jelaskan, loocianpwee."
"Dalam ilmu silat Pek Ho Bun, ada tiga jurusnya yang istimewa
yang dapat dipakai menyelamatkan diri dari ancaman bahaya,"
berkata Lauw Hay-tju, "sekarang dengan tongkatku ini, aku hendak
mengujimu. Mataku lamur, aku tidak dapat melihat tegas, tetapi
asal kau gunakan itu, dapat aku merasakannya." Berkata begitu, dia
lalu menjemput tongaktnya. "Mari kita coba" katanya pula. Siauw
Pek bingung, dia mengeluh didalam hati.
"Lootjianpwee," katanya, "walaupun cara ini sempurna tetapi
bagiku sulit sekali. Aku tidak mengerti ilmu silat Pek Ho Bun. Mana
bisa aku melayani lootjianpwee bersilat ?"
Lauw Hay tju menunda tongkatnya, dia heran.
"Ngaco " bentaknya. "oh, hampir aku kena diperdayakan olehmu
" Baru saja dia membentak. orang tua itu sudah menyerang
dengan hebat, dia menggunakan tipu silat "Menyapu tentara seribu
jiwa." Ruang itu tidak luas, itulah berbahaya bagi Siauw Pek. Iapun
tidak berniat melayani tuan rumah itu. Terpaksa ia melompat
mundur, untuk menyingkir keluar. Kho Kong menjadi tidak puas, dia
gusar. "oh, tua bangka tidak pakai aturan" bentaknya. "Bengcu kami
tidak sudi melayani kau, karena itu dia senantiasa mengalah.
Apakah kau sangka dia takut padamu." Sementara itu, Siauw Pek
sudah tiba diluar, ia diikuti oey Eng.
Kho Kong mendongkol, akan tetapi iapun tidak melayani. ia
berkelit, terus menyingkir ke sudut.
Mata Lauw Hay tju tidak berguna, tapi tidak demikian dengan
telinganya. Ia tahu masih ada satu orang dalam ruangan itu dan
juga di mana orang itu berada, ia maju untuk menyerang Kho Kong.
Kali ini dengan menggunakan jurus "Naga emas mengulur kuku."
Pemuda itu telah menyiapkan sepasang senjatanya, sambil
menangkis dan membalas menyerang. ia menusuk dengan jurus
"cecer terbang membentur lonceng."
Lau Hay tju berkelit, terus dia menyerang pula, empat kali
beruntun- Semua serangan berat dan berbahaya. Kho K^ong
membela diri dengan menjaga dan menangkis, dan ketika ia hendak
membalas menyerang, tiba-tiba sibuta menggunakan tongkatnya
menyingkap tirai, kemudian lompat menyelinap dibelakangnya. Ia
menyingkir kedalam kamar.
Kho Kong heran, dia mengerutkan alis.
"Saudara oey, jaga jendela belakang," teriaknya setelah dia ingat
sesuatu. "Jangan biarkan situa buta lolos"
oey Eng menyahut. Sambil menghunus pedang ia lari
kebelakang. Sesaat lamanya itu Siauw Pek berdiam saja. Ia heran dan
bercuriga. Pikirnya: "Dia lihay, kenapa dia suka tinggal menyendiri
ditempat sesunyi ini, hidup belasan tahun sebagai tukang tenung "
Sayang ayah tak pernah menceritakan dia pandai silat..."


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika itu suara Kho Kong : "TUa b angka buta, ada apakah
kesulitanmu" Lekas beri tahu terus terang. Tak nanti kami paksa
dan mengganggumu.Jikalau kau tetap bersembunyi, awas akan aku
bakar gubukmu ini"
Menyusul ancaman itu, Lauw Hay tju menyingkap tirai dan
muncul. Ditangan kanannya tambah sebuah pisau belati. Dia
berkata dingin.
"Siapakah yang menyembunyikan diri" Kamu tahu, Lauw Hay tju
juga seorang lelaki sejati sayang mataku bercacat, hingga tak
sanggup aku membalaskan sakit hati Tjoh Toako, hingga aku mesti
menahan malu hidup menyendiri disini, supaya aku dapat
melindungi barang titipannya. Aku tidak tahu titipan itu barang apa
tetapi aku percaya itu pastilah barang berharga sekali. Karena itu,
aku tak dapat mati. Tapi sekarang lain Sekarang ini titipan Tjoh
Toako telah diambil oleh ahli warisnya, kalau aku mati, aku tidak
menyesal, maka sekarang, mari kita mengadu jiwa sebagai ganti
membalaskan sakit hati Tjoh Toako "
Berkata begitu, orang tua ini berhenti sejenak, kemudian
meneruskan- "Biar kamu menggunakan akal apa juga, jangan
mengharap aku membuka rahasia sedikitpun. Mataku gelap tetapi
tidak hatiku. Baik akujelaskan terlebih dahulu, Pisau belatku ini ada
racunnya yang jahat, asal pisau ini melukai tubuh orang, racunnya
akan bekerja menutup kerogkongan. Pisau belati ini aku simpan
spesial untuk membalaskan sakit hati Tjoh Toako, maka itu, justru
kamu datang kemari, inilah bagus sekali. Andaikata aku tidak dapat
melawan kami, maka senjata ini akan kupakai membunuh diri "
Mendengar begitu, Siauw Pek makin curiga.
"Lootjianpwee, tunggu " ia berkata. "Letakkan dulu senjata
lootjianpwee, supaya kita dapat berbicara secara terus terang."
"Tak perlu kita bicara lagi," kata orang tua itu. "Telah kuketahui
siapa kamu "
Siauw Pek semakin heran- orang lamur, tapi kata katanya
demikian pasti. " Lootjianpwee, tahukah kau siapa kiranya aku ini ?"
ia bertanya. "Aku tak tahu, namamu, tetapi aku tahu kamu termasuk
rombongan apa haha. Kau ingin mengorek keterangan dari mulutku
si buta " Hm Jangan harap " Kho Kong gusar.
"Baiklah, tua bangka buta" teriaknya. "Belum pernah aku
menemui orang dungu semacam kau Mari "
Kawan ini mau maju menyerang, tapi Siauw Pek mencegahnya.
"Sudah, saudara Kho, kita jangan mendesaknya. Mari kita pergi "
Lauw Hay tju mendengar itu, dia tertawa dingin-
"Pergilah kamu, pergi, untuk mengundang lebih banyak kawan "
dia menantang. "sekalipun kamu datang beratus atau beribu orang,
tetapi aku tak jeri Hm Tak lebih tak kurang, jiwaku cuma satu "
Kho Kong gusar dan mendongkol. tetapi dia bertindak keluar. Dia
mesti taati kata kata pemimpinnya itu.
Maka bersama-sama bertiga mereka mengundurkan diri.
Tiba ditegalan, Kho Kong mengeluh. "Tua bangka buta itu benar
benar gila. Dia tetap tidak percaya kau, bengtju Dia tidak mau pikir
dikolong langit ini dimana ada orang yang memalsukan anak orang "
"Kalau mendengar kata katanya itu, tak heran dia mencurigai
kita," kata Siauw Pek, sabar. "Mestinya dia bersahabat sangat erat
dengan almarhum ayahku. Dia menerima pesan, sudah seharusnya
dia bersetia kepada pesan itu. Aku tidak mengerti ilmu silat Pek Ho
Bun, ilmu silat partaiku, tidak heran dia menjadi curiga."
"Kalau begitu, apakah kita berhenti sampai disini saja?" tanya
Kho Kong, penasaran-Siauw Pek menghela nafas.
"Sayang dia telah menganggap kita sebagai musuh besar,"
katanya. "Sukar sekali bagi kita merebut kepercayaannya.Jangankan
dialah sahabat karib ayahku, walaupun dia seorang tidak dikenal
oleh ayahku itu, tak dapat kita memaksakan kematiannya. Aku
menyesal sebab kelambatan satu hari saja, gagallah perjamuanku
ini..." "Kau berpikir besar, bengtju," oey Eng turut bicara. "Tapi hati
manusia itu sukar dijajaki. Siapa tahu mungkin dia sedang
menggunakan tipu daya" Dia toh dapat berpura pura."
Lagi lagi Siauw Pek menarik nafas.
"Melihat gerak geriknya itu, tak mungkin dia sedang
menggunakan tipu," katanya. "Sekarang baik kita mencari akal..."
Kho Kong tetap penasaran-
"Menurut aku, dia pasti berpura pura " katanya sengit. "Dia licik
sekali " "Dunia Sungai Telaga penuh dengan akal bulus, tak dapat kita
menjaganya," kata Siauw Pek, tetapi mengenai Lauw Hay tju, aku
percaya dia bukanlah seorang licik,"
Pengalaman pahit getir membuat anak mdua ini dapat memikir
jauh. Ia menjadi beda dengan orang orang dewasa seumurnya. Kho
Kong bertabiat keras, tetapi dia juga dapat berpikir.
"Ya, sayang kita terlambat," katanya kemudian- "Barang titipan
itu mestinya penting sekali. Apakah kita berhenti sampai disini"
Menurut aku, sekarang baik kita menyembunyikan diri ditempat ini,
untuk secara diam diam kita intai gerak gerik si buta itu. Setelah itu
barulah kita menetapkan rencana kita..." oey Eng yang berdiam saja
sejak tadi, turut bicara.
"Pikiranmu ini baik, saudara. hanya pelaksanaannya meminta
terlalu banyak waktu," katanya. "Menurut aku, baiklah kita
melenyapkan dahulu tenaga perlawanannya, yaitu kita tangkap dia
hidup hidup, kemudian baru kita berdaya membuatnya mau
menuturkan segala galanya. Kalau kita sudah bekuk dia, dia mau
matipun tidak bisa." Kho Kong menunjukkan jempolnya.
"Bagus Bagus" pujinya. "Pikiran yang bagus." Tapi, mendadak ia
mengerutkan alisnya. "oh, tidak, tak dapat kita lakukan ini" ia
menambahkan. "Tadi aku menempur dia, dia lihay."
"Kita berdua bersaudara oey, tak sanggup kita membekuknya.
Bengcu liehay, tetapi bengcupun sukar menotok jalan darahnya
dalam satu serangan-"
"Memang, dia memang liehay," oey Eng akui "sekarang
bagaimana " Titipan barang ayah bengcu penting sekali, perlu kita
dapatkan itu. Bagaimana kalau kita sekarang istirahat dahulu, nanti
aku selesaikan dia " Kita masuk ke gubuknya dengan berpencar, lalu
kita tunggu kesempatan untuk membokong menotok jalan
darahnya."
"Didalam pertempuran, tak ada halangannya orang
menggunakan pelbagai macam tipu muslihat," kata Siauw Pek.
"Hanya dialah sahabat kekal almarhum ayahku, mana pantas kau
membokong dia. Lagi pula dia bertabiat sangat keras, andaikata dia
membandel menutup rahasia bagaimana, apa yang dapat kita
perbuat." oey Eng berpikir.
"Jikalaujalan keras tak dapat. Terpaksa kita mesti ambil jalan
halus," katanya. "Terpaksa kita mesti mengalah dan mengabdi
kepadanya." Siauw Pek berdiam. Belum bisa ia mengambil
keputusan- "Sayang dahulu ayah tidak mengajariku ilmu silat Pek Ho Bun
hingga aku tidak mengerti tiga jurus ilmu itu," katanya. "Tak heran
orang tua itu mencurigai aku karenanya."
"Soalnya memang sukar," kata Kho Kong. "Tua bangka itu kukuh
sekali" Tiba tiba oey Eng menarik tangan Siauw Pek. "Ada orang"
bisiknya. Mari kita bersembunyi."
Memang ketika itu mulai terdengar tindakan kaki kuda, maka
ketiga pemuda itu lalu mendak diantara gerombolan pohon.
Segera juga tampak mendatang seekor kuda putih tinggi besar,
yang berjalan dengan perlahan, penunggangnya ialah seorang
muda yang berpakaian mewah, usianya ditaksir baru dua puluh
empat atau dua puluh lima tahun, mukanya putih, matanya jeli.
Pada pelana tergantung sebatang pedang panjang, yang dihiasi
runce merah, yang berkelebat- kelebat ditiup angin.
Tiba didepan rumah Lauw Hay-tju, kuda itu dihentikan,
penunggangnya mengawasi rumah serta sekitarnya, setelah itu dia
melompat turun dan menghampiri pintu.
"Dialah seorang pemuda hartawan, buat apa dia mengunjungi
Lauw Hay-tju?" berbisik oey Eng, mari kita lihat.
"Memang dia mencurigakan," kata Siauw Pek aku menerka dia
pandai silat. Kalau kita dekati mungkin dia bercuriga."
"Jangan ragu, bengcu," kata Kho Kong, "dengan selalu ragu, kita
bakal gagal. Mari kita dekati dia, kalau dia mempergoki kita, tidak
apa. Siapa tahu dialah pemuda yang telah menipu Lauw Hay tju,
yang telah mengambil barang titipan ayah bengcu ?"
"Baiklah," Siauw Pek berkata, "sekarang kamu tunggu disini, aku
hendak pergi melihat dia, seandainya aku kepergok dan jadi
bertempur, jangan sekali-sekali kamu membantu aku, tugas kalian
ialah pergi mencari tahu tempat mondoknya orang itu."
"Baik," jawab oey Eng. "Bersama saudara Kho, aku nanti
memisah diri untuk menguntit dan menyelidikinya."
Siauw Pek keluar dari tempat sembunyinya, kemudian bertindak
menuju kerumah Lauw Hay tju, ia berjalan dengan perlahan. segera
setelah ia mendekati pagar pekarangan, ia melompat untuk
bersembunyi diantara pagar itu, guna menghampiri bilik rumah.
Ketika itu si tetamu muda dan Lauw Hay tju tengah berbicara sambil
berdiri. ia lalu memasang telinga.
"Barang titipan sudah diserahkan, buat apa paman masih
menjaga terus rumah gubuk ini?" demikian terdengar sianak muda
bertanya. "Seseorang mempunyai pikirannya sendiri, tak dapat dipaksa,"
sahut sibuta. "Tolong sampaikan kepada gurumu bahwa aku sehat
walafiat "
"Tetapi," kata pula sianak muda, "apabila hal ini tersiar diluaran,
mungkin semua orang Rimba Persilatan bakal memusuhimu" orang
tua itu menggoyang kepala.
"Gurumu baik, aku berterima kasih," katanya. "Tapi aku sudah
jadi biasa dengan penghidupan sunyi ini, jikalau aku dipaksa berlalu
dari sini, itulah tidak baik."
Pemuda itu masih hendak bicara, tapi ia telah ditolak tubuhnya
oleh tuan rumah sampai diluar, setelah itu, brak maka daun pintu
telah digabruki di belakangnya.
Untuk sejenak. pemuda itu bengong mengawasi daun pintu, lalu
ia menarik napas masgul, kemudian dengan lesu ia menghampiri
kudanya, segera mencengklaknya dan berlalu pergi. Kalau tadi
datangnya perlahan lahan, kini cepat sekali perginya. Sekali
dikaburkan, kudanya segera membawanya larat dan lenyap dari
pandangan mata Siauw Pek heran. Sampai disitu, ia ingin berlalu, tetapi mendadak
ia mendengar suara pintu dibuka, lalu tampak Lauw Hay-tju muncul,
bertindak perlahan keruang luar.
"Rupanya ada maksud tertentu mengapa orang tua ini lebih suka
tinggal menyendiri disini," pikirnya.
"Entah siapa anak muda itu" Dia tidak mirip sembarang orang
Kenapa Lauw Hay-tju tak sungkan sungkan lagi terhadapnya ?"
Lauw Hay-tju berhenti berjalan, nampak dia memasang telinga.
Siauw Pek terperanjat, lekas lekas ia menahan napas.
Beberapa saat lamanya si buta memasang telinga, terus dia
Bukit Pemakan Manusia 21 Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Jodoh Rajawali 9
^