Pencarian

Pedang Golok Yang Menggetarkan 4

Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen Bagian 4


menarik napas panjang kemudian dia berjalan mundar mandir di
pekarangan yang penuh daun rontok itu Teranglah pikirannya
sedang kacau, rupanya dia tak dapat memutuskan sesuatu. Hingga
dia menjadi tidak tenang.
Mendadak. Siauw Pek mendapat satu pikiran : "Kenapa aku tidak
mau mencuri masuk ke dalam kamarnya. Mungkin aku akan
mendapatkan sesuatu mengenai barang titipan ayahku... Perbuatan
ini tidak baik, tapi terpaksa. Kita pun sudah salah paham "
Hanya sedetik, anak muda ini mengambil putusan. Sambil
menahan terus napasnya, dia bertindak melintas kebelakang, untuk
kedalam rumah. Lauw Hay-tju sedang terbenam dalam pikirannya, ia tidak
mendengar sesuatu.
Dengan cepat Siauw Pek langsung masuk ke kamar tidur si tuna
netra. Sebuah kamar sederhana luar biasa. Tidak ada lain perabotan
kecuali bale bale yang dijadikan pembaringan, di atasnya bertumpuk
kacau beberapa potong pakaian tua dan rombeng. Sebuah selimut
bututpun numpuk diujung pembaringan itu.
Dengan berhati hati, Siauw Pek menghampiri pembaringan- ia
telah mengulur tangannya, tetapi tiba-tiba ia dikejutkan oleh satu
bentakan : "Siapa?" Lekas lekas ia menarik kembali tangannya itu,
tubuhnya ditempelkan kebilik dimana ia berdiam sambil menahan
napas, sedang matanya segera mengawasi ke arah suara itu.
Di saat itu terdengarlah satu suara yang nyaring "Amida Buddha
Loo lap Su Kay datang mengganggu Lauw Sietju."
Tiba tiba Siauw Pek ingat si pendeta bertubuh tinggi besar yang
terlibat di dalam pertempuran mati hidup d imuka jembatan maut
Seng Su Kio Dia itu menggunakan goat gee san, senjata yang mirip
sekup dan berkilauan. Pendeta itu sangat mengesankan kepadanya.
sekarang ia mendengar orang menyebut nama sucinya, mendadak
dadanya bergolak. darahnya mendidih panas. "Loo lap" berarti
"Pendeta Buddha tua", biasanya dipakai untuk menyebut diri sendiri.
Atas kata kata pendeta itu, terdengar jawaban tuan rumah : "Tay
su datang berkunjung ke gubukku yang buruk ini, apakah hendak
membuat ramalan seumur hidup ?"
Terdengar pula suaranya si Pendeta, yang terlebih dahulu
menghela napas panjang : "Lauw Sie tju, kau sungguh seorang
yang luar biasa. Telah beberapa tahun loo lap mengembara selama
beberapa bulan aku mencarimu, baru sekarang ini loolap berhasil
menemukan siecu disini. Siecu, maksud kedatanganku ini ialah
untuk berbicara dengan siecu mengenai suatu peristiwa dalam
Rimba Persilatan beberapa tahun yang lampau..." Istilah "taysu" itu
ialah panggilan menghormat untuk seorang pendeta. Mendengar
itu, Lauw Hay tju tertawa dingin.
"Aku situa adalah orang yang kedua matanya tak dapat melihat
apa apa," berkata tuan rumah pula, "aku hidup sebagai tukang
meramalkan, dan mengenai urusan kaum Rimba Persilatan tak tahu
menahu. Mungkin taysu telah keliru mencari alamat."
-ooodwooo- JILID 7 "Lauw Sietju, tak usah sietju mendustai loo lap lagi," berkata pula
si pendeta. "seperti baru saja loolap katakan, sudah beberapa tahun
lamanya loolap mencari tahu tentang sietju, baik secara berterang
maupun diam diam, baru hari ini loolap berhasil. Sietju, loo lap
mengharap dapat bicara dengan kau mengenai peristiwa beberapa
tahun yang lampau."
sekonyong konyong si orang buta menjadi habis sabar. "Bicara
tentang apakah ?" tanyanya tajam.
"Perkara lama, perkara hutang darah seratus jiwa lebih kaum Pek
Ho Bun," Su Kay Tay su, sang pendeta, menegaskan.
Siauw Pek terkejut. Itu adalah soal yang mengenai dirinya
sendiri. Mengenai itu, ia menjadi berduka secara tiba tiba, hingga ia
tidak dapat mencegah air matanya mengalir keluar. Lekas lekas ia
menepisnya, terus ia memasang telinga pula. "Tentang peristiwa itu,
sedikitpun aku tak tahu apa apa " Terdengar Su Kay menghela
napas panjang pula.
" Karena peristiwa itu, loolap merantau beberapa tahun
lamanya," katanya, menyesal, "setelah dengan susah payah baru
hari ini aku dapat mencari sietju..."
Lauw Hay tju seperti tidak sabaran. Terdengar dia
menggeprakkan tongkatnya ketanah. Dia berkata pula dingin sekali:
"Taysu, adakah kau datang kemari untuk memaksa aku si orang she
Lauw ?" "Memaksa, itulah loolap tidak berani," sahut si pendeta.
"Beberapa tahun waktu telah loolap kurbankan, hanya untuk
mencari siecu, maksudku yang utama ialah untuk memperoleh
penjelasan siecu supaya loolap dapat pecahkan keragu raguanku."
Kata kau yang belakangan ini rupanya menggerakkan juga hati
tuan rumah, sikapnya tak sekeras semula.
"Keragu raguan apakah itu ?" dia bertanya.
"Soalnya begini, siecu," sahut Su Kay : " Dahulu itu kaum kami,
Siauw Lim Pay, telah bekerja sama dengan partai partai besar
lainnya menyerbu dan membasmi pihak Pek Ho Bun. Peristiwa itu
mencurigai loolap. Ketika pembicaraan dilakukan, persetujuan
umum telah didapatkan- Loolap bersama beberapa kakak
seperguruanku bercuriga tetapi kami tak dapat berbuat apa apa.
Ketika itu kami tidak punyabukti bukti serta juga tidak sanggup
menunjuk siapa orang yang bersalah. Demikianlah kami tidak dapat
mencegah penyerbuan dan pembasmian besar-besaran itu, hingga
dengan hati berdenyutan dan giris kami cuma bisa menyaksikannya.
Itulah peristiwa rimba persilatan yang hebat sekali."
Mendengar itu Lauw Hay tju berkata dengan tawar: "Jikalau kau
curiga, kenapa kau tidak mau mengajukan diri untuk berbicara terus
terang guna mengucapkan beberapa kata kata untuk membela Tjoh
Kam Pek" Apakah sikapmu disebabkan kau takut membangkitkan
kemarahan umum, hingga seumpama kau menyalahkan api jadi
membakar tubuhmu sendiri?"
"Pada saat itu kemarahan umum tengah bergolak." Su Kay
menjelaskan- "Seperti diketahui ketua partai kami juga menjadi
salah seorang yang telah dibinasakan secara kejam sekali, hingga
kakak seperguruanku, yang mewakili ketua partai tidak dapat
mengendalikan diri lagi. Aturan partai kami sangat keras, jika lalu
loolap mencegah, bukan saja faedahnya tidak ada, sebaliknya,
loolap bakal menambahkan minyak pada api yang sedang berkobar
besar. Demikianlah loolap terpaksa tutup mulut."
Lauw Hay tju tidak puas. Dia berkata: "Ketika itu kau sudah
bercuriga tapi kau toh dapat duduk diam menonton terjadinya
peristiwa sangat menyedihkan itu. Sekarang telah lewat belasan
tahun, apakah artinya kau mencari tahu duduk persoalannya ?"
" Karena hebatnya peristiwa itu, loolap sampai tak dapat tidur tak
bernapsu makan," su Kay mengaku, " karena itu loolap telah
memikir buat melakukan penyelidikan, supaya duduk perkara yang
sebenarnya dapat dijelaskan dimuka umum supaya sakit hati
Keluarga Tjoh itu dapat dicuci bersih."
Lauw Hay tju berkata pula, suaranya tetap dingin: "seratus jiwa
lebih orang Pek Ho Bun menjadi arwah arwah yang penasaran,
jikalau kau berhasil mencari keterangan, dapatkah kau
membalaskan sakit hati mereka itu" Maukah kau membalaskannya?"
Su Kay Taysu melengak.
"Soalnya sangat sulit, sangkut pautnya sangat luas," ia berkata. "
Didalam peristiwa itu, loolap sendiri terhitung sebagai salah seorang
yang turut melakukan pengeroyokan, cuma loolap bersumpah
dihadapan matahari, sama sekali loolap tidak membunuh satu jiwa
juga orang orang Pek Ho Bun itu"
"Kau tak mampu membalaskan atau mencuci bersih sakit hati
dari seratus lebih jiwa orang Pek Ho Bun itu," kata tuan rumah
dengan suaranya yang tetap dingin, "kau pula salah seorang tukang
mengeroyok, maka kalau kau sekarang berhasil membuat
penyelidikan, apakah gunanya itu" menurut aku yang paling benar
tak usah mencari tahu terlebih jauh"
Su Kay jengah tetapi ia masih berkata: "Diantara langit dan bumi
ada terdapat semangat yang suci murni, begitu didalam dunia
Rimba Persilatan terdapat seseorang atau orang orang yang jujur
dan adil, bijaksana Aku harap sie cu mengerti hal itu. Telah loolap
katakan, dari dulu-dulu loolap sudah curiga. Bagaimana dapat loolap
berdiam saja buat selama-lamanya " Mana mungkni bisa loolap
membiarkan Keluarga Tjoh itu tidak terlampiaskan" Mungkin loolap
tidak sanggup membalaskan sakit hati, tetapi asal loolap dapat
membeberkan duduk perkaranya di muka umum, hingga si penjahat
besar, si biang keladi, dapat ditunjuk, itupun sudah dapat membuat
legakan hatiku.Jikalau si biang keladi dapat ditunjuk. pasti akan ada
orang yang nanti menghukumnya... Dengan begitu maka tercapailah
maksud hati" Tiba tiba Lauw Hay tju menghela napas.
"Siauw Limpay mendapat sebutan dan diagungkan sebagai
gunung Tay Sang dan bintang Pek Taw terang itu bukan tanpa
alasan berkata dia kagum. "Taysu, kau sungguh seorang yang baik
hati" Lauw Haytju menyebut bintang Pek Taw itu sebagai pujian, Pek
Taw ialah Bintang Utara atau Dipper. Su Kay jengah.
"Lauw Sitju, harap kau jangan memuji loolap" ia berkata. "Kau
membuat loolap malu sekali."
Di saat si pendeta berkata begitu, justru si buta dengan secara
sangat mendadak menggerakkan tongkatnya menyambar
pinggangnya tetamu itu. Ia sudah menggunakan tipu silat tongkat
"Menyapu seribu serdadu" Betapa kaget si pendeta. Untung dia
dapat berkelit.
"Sietju" teriaknya mencegah. "Sietju, berbicaralah yang baik
Kenapa tiba tiba sietju menyerang diriku?"
Habis serangannya itu, tiba tiba Lauw Hay tju tertawa nyaring,
nadanya bersemangat berbareng bersedih. Itulah seumpama tawa "
Dengung naga." Hati Siauw Pek terguncang mendengar tawa itu.
Su Kay merangkap kedua belah tangannya yang diangkat
kedepan dadanya. Ia menanti tawa tuan rumah itu berhenti,
kemudian ia berkata: "Lauw sitju, di dalam dadamu terbenam
kedukaan penderitaan yang tidak terduga besarnya Kenapakah Sitju
tak mau mengatakan pada loolap?"
Lauw Hay tju berlaku tenang, dia menjawab:
"Kesembilan partai besar dan kesembilan partai sekutunya,
berapa besar pengaruh mereka itu" Kini karena aku ini seorang she
Lauw telah dapat kau temukan, bagianku adalah bagian mati.
Walaupun demikian, andaikata kau hendak mengeluarkan sesuatu
dari dalam mulutku, itu laksana impian di siang hari" Su Kay
menghela napas.
"Lauw Sietju, apa yang loolap utarakan itu telah keluar dari
hatiku yang tulus," ia berkata, menyesal. "Tetapi Sietju tidak
percaya padaku. oh Tapi, akupun tidak sesalkan . kau memang
nyeri rasanya bila menyaksikan seorang sahabat karib terbinasakan,
hingga rumah tangganya pun hancur berantakan. Sudah begitu,
diantara kaum Rimba Persilatan, tiada seorang jua yang
mengajukan diri untuk membelai ataupun sedikitnya untuk
mendamaikan, menjelaskan duduk perkaranya . Jangan kata Sietju,
loolap sendiri juga tak puas."
"Bagiku," kata tuan rumah, "sudah tidak percaya lagi kepada
dunia Rimba Persilatan ada ceng cie perikeadilan Kita adalah ini
orang orang asing, taysu, oleh karena itu, aku persilahkanmu"
"Lauw Sietju, sabar dahulu," berkata sipendeta luar biasa. Ia
telah "dipersilahkan-diusir, tapi ia tidak gusar. "Sukalah sietju
tenangkan diri jangan berduka dan bergusar, sudi kiranya sitju
mendengar sepatah kata lagi dari loolap." Lauw Haytju berdiam
sekian lama. "Baiklah" kata kemudian- "Baiklah, aku akan mendengarkan-"
"Penasaran pihak Pek Ho Bun telah menjadi peristiwa yang telah
berlalu," berkata si pendeta itu, "dengan begitu, seratus lebih jiwa
yang hilang juga tidak bakal hidup kembali, sekarang, aku ingin
berusaha untuk melenyapkan penasarannya Tjoh Kam Pek
sekeluarga serta seluruh Pek Kee Pok, supaya dunia Rimba
Persilatan mengetahuinya. Di dalam dunia ini, sietju, cuma
engkaulah seorang yang tahu peristiwa itu, karenanya apa bila kau
tidak sudi bicara, bukankah itu akan membikin sahabatmu itu
penasaran di alam baka sehingga seratus lebih anggota keluarga
dan kampung halamannya turut penasaran juga?"
Mendengar demikian, wajah Lauw Haytju menjadi guram, tanpa
terasa, airmata berlinang. su Kay menyedekap tangannya.
"Amidabuddha" pujinya. "Lauw Sietju, loolap mohon dengan
sangat, sudi kiranya mempertimbangkan kata kataku ini."
Siauw Pek diam diam mengangguk angguk seorang diri. Katanya
dalam hati, "Pendeta ini kata katanya benar. Tidak peduli
bagaimana hebat dan menyedihkan penderitaannya Pek Ho Bun,
tetapi, siapa yang benar, siapa yang salah, mestinya dicari tahu
dahulu biang keladinya"
Sampai waktu itu, barulah situna netra menjadi sabar.
"Kau hendak menanyakan hal yang mana?" dia bertanya kepada
Su Kay, suaranya sabar.
"Segala apa yang ada hubungannya dengan peristiwa Pek Ho
Bun dahulu itu, ingin loolap ketahui," menjawab si pendeta. "Apa
yang loolap harap yaitu supaya sietju suka menuturkan semua
sejelas jelasnya."
Sebelum menjawab, Lauw Haytju berkata "Aku siorang she Lauw,
aku tidak takut kau tak kan nanti membunuh untuk memberangus
mulutku" "Sietju, tembok tetangga ada telinganya" berkata Su Kay.
"Jikalau loolap berniat membunuhmu, untuk menutup mulutmu,
tidak guna loolap begini lama denganmu dan menanyakan urusan
begini melit"
Lauw Haytju mengetok ngetokka n tongkatnya beberapa kali.
"Gubukku buruk dan juga tak punya hidangan untuk disuguhkan
kepada para tamu," katanya kemudian, "tapi, silahkan taysu masuk
kedalam untuk bicara sambil duduk."
"Sebagai seorang beragama loolap bersahaja baiklah kita duduk
disini saja." Berkata begitu, pendeta ini lalu mendahului duduk di
tanah. Kata Lauw Hay tju, mulai: "Jikalau dahulu kaulah yang menjadi
ketua Siauw Lim sie, taysu, tak akan terjadi peristiwa hebat dan
sedih semacam itu."
"Peristiwa dahulu itu seumpama anak panah yang telah
terpasang di busur," berkata sang pendeta, " hingga anak panah itu
tak dapat ditarik kembali, hingga andaikata loolap yang menjadi
ketua, belumlah tentu loolap sanggup mencegahnya."
Untuk sejenak. pendeta itu berdiam, ia memperdengarkan suara
tak nyata bagaikan menggumam.
"Jikalau es tebal tiga kaki, itu karena hawa dingin satu hari,"
katanya kemudian-" Dalam peristiwa itu loolap percaya Tjoh Kam
Pek penasaran, akan tetapi melihat suasana atau duduk perkaranya,
loolap tak melihat jalan untuk mencuci bersih sakit hatinya itu.
Andaikata ada orang memfitnahnya, fitnah itu teratur sangat
sempurna, tak dapat orang memecahkannya. Mungkin siecu
mengetahui lebih banyak lagi, cuma belum tahu siecu bisa mulai
dari bagian yang mana. Bagaimana jikalau loolap tanya satu demi
satu, lalu dimana perlunya, siecu menambah atau menjelaskannya"


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan cara ini mungkin kita bisa cari sebab musababnya..." Lauw
Hay tju mengangguk.
"Taysu benar," katanya. "Hanya terlebih dahulu hendak aku
jelaskan satu hal. Penasarannya saudara Toh itu tak dapat
diragukan lagi, cuma karena banyak yang aku tidak jelas, tak berani
aku sembarangan bicara."
" Loolap tahu," berkata sipendeta. " Itulah mengenai Nyonya
Tjoh. Cerita di luaran banyak sekali, karenanya timbullah kesangsian
loolap..."
"Apa?" tanya Lauw Hay-tju cepat. Agaknya dia bersitegang hati.
"Maksud taysu, apakah iparku itu, yaitu Nyonya Tjoh seorang wanita
jahat?" "Belum tentu dia seorang jahat," sahut Su Kay, "Tapi benar dia
adalah kunci dari peristiwa ini, dia adalah orang penting."
Siauw Pek yang sedang mengintai dan mencuri dengar itu
merasakan tubuhnya bergidik. Diluar dugaannya, orang menyebut
nyebut ibunya, bahkan katanya si ibu menjadi orang penting. ibu itu
dicurigai Dalam hal apakah " "Benarkah ibuku tersangkut paut?"
tanyanya di dalam hati.
oleh karena urusan hebat sekali, tak berani anak ini berpikir lebih
jauh. Ia menenangkan diri dengan mencoba memasang telinga lebih
jauh. "Lauw Sie-tju, bukankah kau dan Tjoh Kam Pek bersaudara
angkat?" Su Kay mulai dengan pertanyaannya .
"Dialah penolong jiwaku" sahut si tuna netra sambil menggeleng
kepala. "Tapi dia, dia memandang aku sebagai saudaranya sendiri."
su Kay batuk batuk perlahan-
"Itulah sama saja," katanya. "Lauw Sie-tju, kenalkah kau Nyonya
Tjoh?" "Tentu saja Aku tinggal di Pek Ho Bun lima tahun lamanya."
"Maaf, aku hendak tanya hal dirimu sendiri, siecu," kata
sipendeta pula. "Ketika siecu bertemu dengan Tjoh Kam Pek. siecu
sudah bercacat mata atau belum ?"
"Belum," sahut orang yang ditanya. "Ketika itu kedua mataku
belum rusak"
"Lalu kemudian, apakah sebab kerusakannya?"
"Aku bertempur dengan seorang lawan- Dia menggunakan bubuk
beracun-" "siecu diperlakukan baik di Pek Ho Po, lalu kenapa kemudian
siecu meninggalkannya?"
"Memang Tjoh Toako memperlakukan aku baik sekali, walaupun
demikian Pek Ho Bun bukanlah tempatku tinggal buat selama
lamanya?" "Apakah sebabnya itu" Mungkin ada hubungannya dengan
Nyonya Tjoh ?"
Hati siauw Pek tergetar. Itulah pertanyaan yang kembali
menyentuh hatinya. Hampir ia tak sanggup mengendalikan diri lagi.
Mestinya tak ada alasannya sipendeta menanyakan demikian-
Mungkinkah ibunya berhati serong " oh, tak dapat ia memikir hal itu
Lauw Hay cu bersikap sangat terang. Ketika ia menjawab, ia
menjawab dengan sabar, dengan perlahan sekali.
"Kenapa taysu bertanya begini ?" demikian jawabnya ganti
bertanya. Su Kay juga berlaku tenang.
"Adalah soal sukar buat seorang suami menjaga kebijaksanaan
isterinya dan kebaikan puteranya," demikian jawabnya. "Loolap
cuma mengingini kenyataan, maka itu, loolap mengharap sangat
siecu menjawab dengan sebenar benarnya."
"Itu.. itu..." menyahut si orang buta, terputus putus, dan tak
segera dia melanjutkanjawa bannya itu.
Panyahutan ini menikam hebat kepada Siauw Pek. Disana
terdapat soal ibunya, yang ia sangat cintai. Hampir tak mau ia
memasang telinga terlebih jauh.
Su Kay Taysu menanti, tetapi ia menghela nafas perlahan-
"Loolap tahu pertanyaanku ini mengenai kehormatan Nyonya
Tjoh, kemudian menjelaskan-Inilah pertanyaan yang seharusnya tak
diajukan oleh orang luar, apalagi nyonya itu telah marhum. Tak
heran kalau sietju sulit menjawabnya, sebagaimana loolap pun
mulanya sukar menanyakannya. Tapi ini terpaksa, sebab disini
tersangkut penasarannya seratus lebih jiwa orang Pek Ho Bun,
terutama penasarannya Tjoh Kam Pek sendiri. oleh karena loolap
tak dapat tidak menanyakannya sietju juga tak dapat tidak
menjawab pertanyaanku."
Wajah Lauw hay tju guram sekali waktu ia menjawab.
"Lima tahun aku tinggal di Pek Ho Po, dengan Tjoh Toako, aku
bagaikan saudara kandung," demikian sahutnya. "Tjoh Toako satu
lelaki sejati, dia jujur, dia memperlakukan aku setulus hati. oleh
karena itu diantara kami berdua tiada hal apa juga yang tidak dapat
dibicarakan satu sama lain- Tjoh Toako ingin memajukan Pek Ho
Bun, untuk mengangkat namanya didalam Rimba Persilatan, sering
dia merundingkan soal itu. Dalam hal itu, aku utarakan segala apa
yang aku pikir. Cuma dalam soal inilah yang aku belum pernah
bicara dengan Tjoh Toako."
Su Kay hendak membuka mulutnya tetapi batal walaupun
bibirnya sudah mulai bergerak.
Siauw Pek pun mematung.
lauw Hay tju menghela nafas pula.
"Iparku itu, yaitu Tjoh Toaso," sambungnya, "sebagaimana yang
terlihat sehari hari, adalah seorang wanita yang bijaksana. Tjoh
Toako perlakukan aku sebagai orang sendiri, bagai ia takada
pantangan apa apa, demikian sering ia mengundang aku makan
minum diruangan dalam dimanapun kami bisa berunding. Karena
ini, aku sering bertemu dengan Tjoh Toaso, hingga aku
mengenalnya baik sekali."
Su Kay batuk-batuk perlahan- Ia melihat orang bicara bagaikan
memutar mutar. "Rupanya sietju tidak mau mempercayai loolap." katanya
kemudian- "Baiklah, disini loolap mengangkat sumpah yang berat
sekali.Jikalau loolap bocorkan soal ini, biarlah loolap tak mati wajar "
"Oh, taysu..." kata Lauw Hay tju, cepat. Masih ia berdiam sesaat,
baru ia melanjutkan- "Ketika tahun kelima kira kira setelah hari raya
kauwgwee Tjeekauw tanggal sembilan bulan sembilan ketika Tjoh
Toako berangkat ke Utara buat suatu urusan, iparku telah
menyuruh seorang budak perempuan menyampaikan sepucuk surat
kepadaku yang meminta aku segera masuk ke dalam, untuk suatu
urusan penting katanya ?"
"Habis sietju pergi atau tidak ?" menyela Su Kay Taysu. Dia
sangat tertarik perhatiannya.
"Aku tahu kakak Kam Pek pergi ke Utara, mestinya hubungan
kami erat sekali, tak selayaknya aku pergi ke dalam," jawab Lauw
Hay tju. "Andaikata ada urusan penting, itu dapat dibicarakan di
ruang luar. Hanya ketika itu, tidak dapat aku mengutarakan rasa
hatiku itu maka aku cuma menitahkan si budak kembali lebih
dahulu..."
Pendeta itu kuatir orang tidak mau bicara terus, ia mendesak.
"Sebenarnya sietju pergi ke dalam atau tidak ?"
"Mulanya aku menerka, karena iparku itu seorang cerdas,
jawaban itu akan membuatnya mengerti dan dia akan merubah
tempat pertemuan, yaitu di ruang luar. Nyata dugaanku itu tidak
tepat. Tak lama sekembalinya si budak ke dalam, dia sudah muncul
pula, dia memanggil lagi bahkan dengan mendesak. Saking terpaksa
aku beritahukan budak itu agar dia menyampaikan kepada majikan
perempuannya supaya pertemuan dilakukan di ruang luar, setelah
mana aku mendahului pergi ke ruang itu, untuk menantikannya. Siasia
saja aku menunggu diruang luar itu, iparku itu tidak muncul..."
"Apa mungkin dia tak sudi menemui sietju" Su Kay tanya. orang
yang didedas itu menarik nafas perlahan-
"Selagi aku memikir buat meninggalkan ruang luar itu, mendadak
aku melihat si budak perempuan datang sambil berlari lari,
romannya sangat terburu. Dia memberitahukan padaku bahwa tak
leluasa buat bicara diruang luar itu dimana ada banyak orang
mundar mandir maka aku diminta dengan sangat pergi ke ruang
dalam saja. Kembali aku diminta masuk dengan mereka."
Berkata sampai disitu, orang buta ini menarik nafas panjang,
setelah itu, ia meneruskan keterangannya : "Hal itu membuat aku
menjadi curiga, lantas aku tegur budak perempuan itu serta
menyuruhnya menyampaikan kepada iparku bahwa sebelumnya
kakak Kam Pek kembali tak dapat aku seorang diri masuk ke ruang
dalam, bahwa kalau toh iparku itu mempunyai urusan, itu dapat
disampaikan padaku dengan perantaraan si budak."
"Bagus sikapmu, Lauw Sietju." Su Kay memuji. "Aku kagum
terhadapmu " si orang tua tertawa sedih.
"Habis menegur si budak. aku lalu meninggalkan ruang luar itu,"
ia meneruskan- "Hari itu aku menjadi tidak bernafsu makan, hatiku
tidak tenang, sedangkan malamnya aku gelisah saja, tak dapat tidur
pulas. Tidak habisnya aku memikirkan soal iparku itu."
Su Kay menatap tuan rumahnya. Ia mengharapkan sangat
keterangan lebih lanjut. Itu pula pengharapan Siauw Pek tetapi
pemuda ini bingung dan berduka.
"Sejak itu, sampai tiga hari, tidak terjadi sesuatu," kemudian
Lauw Hay tju menjelaskan lebih jauh. "Budak perempuan itu juga
tidak pernah muncul pula . Hanya lewat hari ketiga itu, kebetulan
aku bertemu dengan budak itu dipekarangan luar dan ia
memberitahukan aku satu hal. setelah itu segera aku mengambil
keputusan buat meninggalkan Tjoh Kee So "
"Apakah yang diberitahukan oleh budak itu " Su Kay bertanya.
"Budak itu memberitahukan bahwa pada hari aku tegur dia, dia
menyampaikan semua kata kataku kepada nyonya, tanpa dirubah
sepatah katapun juga. oleh sebab itu, katanya, nyonya itu terus
menangis, sampai dua hari satu malam, hingga kedua matanya
bengul dan merah, dan bahwa selama itu nyonya tidak mau makan
dan minum..."
siauw Pek kaget, hatinya dirasakan nyeri sekali. Tanpa terasa air
matanya mengucur keluar.
"Setelah itu, sietju, kau terus meninggalkan Tjoh Kee So ?" Su
Kay tanya pula. Lauw Hay tju menggeleng kepala.
"Walaupun aku telah mengambil keputusan buat mengangkat
kaki tetapi itu harus dilakukan nanti, sesudahnya kakak Kam Pek
pulang," sahut orang yang ditanya. "Hanya ketika itu hatiku
mendongkol sekali, sukar buat menenangkan diri. Akujadi sangat
berduka bila aku ingat bagaimana kakak Kam Pek perlakukan aku
sangat baik. Dialah seorang laki laki sejati. Karena hatiku panas, aku
kuatir tak dapat aku mengendalikan diri apa bila aku berdiam tetap
di Tjoh Kee So. Buat sementara aku lalu tinggal diluar. Aku kembali
sesudah lewat sebulan lebih."
" Ketika itu tentulah Tjoh Kam Pek sudah pulang. Pernahkah kau
singgung soal itu kepadanya?"
"Tidak. Ingin aku bicarakannya.Jikalau aku bicara dengan kakak
Kam Pek, aku kuatir dia berselisih dengan isterinya, itu buruk.
Iparku putrinya seorang ternama dan ayahnyapun telah membantu
banyak kepada kakak Kam Pek..."
"Kemudian siecu toh bicara juga kepada Kam Pek halnya kau
berniat meninggalkan rumahnya ?"
"Benar. Setelah aku memberitahukan niatku itu, kakak Kam Pek
heran, sampai dia tercengang. Dia menahan aku, dia mintaaku
jangan pergi. Niatku sudah pasti, tidak dapat aku merubahnya.
Kakak Kam terus menahan, sampai dia memaksa aku tinggal hingga
permulaan lain tahun. Permintaan itu tidak dapat aku tolak maka
aku berjanji akan berdiam terus di Tjoh Kee So. Itulah janji belaka,
sebab kejadiannya belum lagi habis musim dingin, aku sudah
berangkat pergi dengan hanya meninggalkan sepucuk surat."
"Setelah kepergianmu itu, apa kemudian kau pernah bertemu
pula dengan Tjoh Kam Pek ?"
"Kendati juga aku sudah meninggalkan Tjoh Kee So, aku tetap
tidak melupakan kakak Kam Pek, terutama aku sangat menaruh
perhatian pada soal kemakmuran dan keruntuhan Pek Ho Bun-
Kakak Kam Pek demikian baik hati, sukar buat aku melupakan
kebaikannya itu. Karena itu secara diam diam aku biasa memasang
mata atas Pek Ho Bun-.."
"Sietju telah tinggal beberapa tahun lamanya di Pek Ho Bun
pastilah orang orang Pek Ho Bun semuanya kenal kau. Selama sietju
menyelidik itu, apakah tak pernah ada seorang juga yang
memergokinya ?" Lauw Hay tju menggeleng kepala.
"Tidak." sahutnya. "Aku bisa menyamar, akupun menggunakan
obat merubah warna kulit mukaku..."
Baru saja tuan rumah yang buta ini menutup rapat mulutnya,
tiba tiba ada golok ringan Liu yap hui too, " golok terbang daun
yang liu" yang menyambar kedadanya. Itulah serangan gelap yang
sangat mendadak dan menyambarnya senjata juga pesat luar biasa.
Su Kay Taysu adalah salah seorang pendeta Siauw Lim Sie yang
lihay ilmu silatnya, ia melihat datangnya bokongan itu, walaupun
terkejut, ia dapat mengebut dengan tangan jubahnya yang
gerombongan, kemudian membentak:
"Siapa berani main gila" Tubuhnya mencelat bagaikan burung
melesat keluar pagar pekarangan
Siauw Pek sedang bingung dan berduka, meskipun ia liehay, ia
tidak melihat atau mendengar serangan gelap itu, baru setelah Su
Kay Taysu membentak. ia terperanjat dan tersadar. Ia segera
melihat senjata gelap itu menancap ditiang pintu. Lekas-lekas ia
menyusut air matanya. Ia memikir ingin turut keluar, guna melihat
siapa sipembokong itu, tetapi sekonyong konyong, terjadilah hal
hebat dan menyedihkan
Dengan tiba-tiba Lauw Hay tju, yang bangkit berdiri,
memperdengarkan suara yang tertahan, terus tubuhnya roboh
terguling Menyaksikan itu, si anak muda kaget sekali, tapi dia sadar,
segera dia lompat keluar ruangan, akan tetapi ia tidak melihat siapa
juga. Sebagaimana tadi, Su Kay yang gesit itu, juga tidak melihat
adanya orang lain-
Ketika Siauw Pek kembali, untuk melihat Lauw Haytju, ia
mendapat kenyataan dada si orang tua tuna netra itu telah
tertancap dua batang senjata gelap yang bentuknya anak panah
bukan dan anak torak juga bukan-
Diterangnya matahari, senjata rahasia itu memperlihatkan warna
biru marong, maka itu jelaslah, itulah senjata maut yang telah
dibubuhi bisa. Walaupun dia lihay, Siauw Pek masih hijau dalam hal
pengalaman, maka itu, melihat kecelakaan si tunanetra, ia bingung,
baru sesaat kemudian ia ingat bahwa ia perlu menolong orang itu.
Segera ia maju dua tindak. untuk membangunkan orang tua itu
sambil memanggil : "Loocianpwee Loocianpwee "
Panggilan itu tidak mendapat jawaban- Di dalam herannya, si
anak muda meraba ke hidung orang tua itu. Ia tidak merasakan
hembusan napasnya.
"Mati " serunya didalam hati. Kembali ia bengong, matanya
mendelong mengawasi senjata rahasia itu. Didala m hati, ia berkata
: Sungguh senjata rahasia yang sangat berbahaya Dalam sekejap
dia rampas nyawa orang..."
Penyerang gelap itu liehay sekali, senjata rahasianya sampai
nancap di tulang dada. Itulah yang menyebabkan kematian segera
Dalam bingungnya, Siauw Pek tidak tahu mesti berduka atau b


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

erg usar, cuma air matanya turun menetes tanpa dirasanya, jatuh
ketubuh tak bergerak dari si orang tua yang malang itu.
Tiba tiba, dari kejauhan terdengar jeritan tajam dari seorang
wanita. XXX Mendengar jeritan itu, tiba-tiba Siauw Pek menjadi tenang. Maka
ingatlah ia bahwa Su Kay Taysu bakal segera kembali. Ia harus
menyingkir, supaya orang tidak memergokinya, agar ia tidak akan
dicurigai dan disangka jelek. Tapi, sebelumnya berlalu, ia masih
ingat senjata rahasia itu. Dengan sebat ia mencabutnya, terus ia
melompat, melintasi pagar pekarangan, guna menyembunyikan dirl
diantara gerombolan rumput disis Hutan bambu. Baru saja ia
bersembunyi, Su Kay sudah kembali. Segera ia mendengar pendeta
itu menghela napas panjang dan berkata-kata seorang diri: "Kurang
ajar, aku telah kena terpedayakan tipu "Memancing harimau
meninggalkan gunung". Dengan begini aku telah mengurbankan
jiwa Lauw Sie tju, meskipun benar bukanlah aku yang
membunuhnya. Inilah sangat penasaran Cara bagaimana aku dapat
menenteramkan hatiku...?"
Sekonyong-konyong pendeta ini berhenti berbicara seorang diri.
Hal ini disebabkan sinar matanya bentrok dengan dada Lauw Hay
tju dimana tak ada lagi senjata rahasia maut yang nancap itu. Tentu
sekali ia tidak tahu bahwa Siauw Pek telah mengambilnya. Ia hanya
menjadi heran curiga.
Sesaat kemudian, Siauw Pek mendengar pula suara pendeta itu,
yang berkata: "Penjahat itu berani sekali, dia tak melihat mata
padaku Dia telah membawa pergi senjata maut itu, supaya aku
tidak dapat menyelidiki. Sayang aku terlambat kembali, hingga aku
kehilangan barang bukti itu. oh, LauwSietju, kau dengar, biar
bagaimana, pasti aku akan menyelidiki perkaramu ini, guna
membalaskan sakit hatimu "
Sampai disitu, Siauw Pek tidak mendengarkan terlebih jauh,
sebaliknya, lekas-lekas ia mengangkat kaki, guna menyusul oey Eng
dan Kho Kong, di tempat yang dijanjikan untuk mereka saling
bertemu. Tiba disana, ia disambut gembira oleh dua kawannya itu,
yang kuatir akan keselamatannya sebab ia pergi begitu lama. oey
Eng mengeluarkan napas lega.
"Apakah bengcu menemukan kesulitan?" dia bertanya. Dia
melihat roman muka ketua itu beda daripada biasanya.
"Tempat ini bukan tempat bicara yang aman " sahut Siauw Pek.
"Mari kita lekas berlalu dari sini" Dan ia mendahului bertindak pergi.
oey Eng heran tetapi ia ikut pergi. Begitu jugakho Kong, yang tak
kurang herannya.
Mereka berlari-lari terus, sampai sejauh tujuh lie. Kebetulan
sekali, mereka berhenti di sebuah Touw Tee Bio, yaitu kuil dimana
dipuja malaikat bumi. Disitu kuil itu mencil sendiri, karena tak
tampak kampung atau rumah orang di sekitarnya.
"Bengcu, kenapakah kau?" tanya Kho Kong bingung. "Apakah
bengcu menghadapi lawan yang tangguh?"
"Hebat," sahut si anak muda, menghela napas. Ia
menceriterakan apa yang ia saksikan, kecuali yang mengenai
ibunya. Mendengar keterangan ketua itu, Kho Kong gelisah.
"Mengapa bengcu tidak membantu pendeta itu mencari s i
pembunuh?" tanyanya. "Mengapa bengcu tidak mau membalaskan
sakit hatinya Lauw Haytju ?"
"Bukannya aku tidak mau membantu tetapi aku mesti berhatihati,"
sahut ketua itu.
"Dilihat dari keadaannya, terang sudah bahwa seorang yang
berbuat jahat itu hendak datang dengan berencana. Mereka telah
bersiap sedia dan mengatur segalanya. Tak mudah mencari
penjahat itu karena disekitar rumah Lauw Haytju terdapat banyak
gerombolan rumput dan pohon bambu lebar, hingga dimana saja
orang dapat menyembunyikan diri."
"Lain daripada itu, sekarang ini tidak dapat bengcu muncul
secara terbuka," berkata oey Eng yang menyetujui sikap ketuanya.
"Seorang laki-laki sejati " kata Kho Kong keras. Masih dia
penasaran : "Berjalanlah dia tak merubah namanya, duduk dia tak
menukar shenya. Mengapa kita mesti bekerja dengan
mengumpatkan kepada dan hanya menonjolkan ekor" Mengapa kita
tidak mau memperlihatkan dirl untuk secara laki laki sejati
melakukan pembalasan sakit hati ?"
"Kau benar, saudaraku, hanya keadaannya bengcu lain-" oey Eng
memberi penjelasan- "Jikalau bengcu menampakkan diri, setelah
namanya diketahui umum, segara kita akan mendapat kesulitan-
Pertama tama semua orang Rimba Persilatan akan menjadi musuh
musuh kita, yang kedua, musuh kita yang sebenarnya, si biang
keladi, akan mendapat kesempatan untuk berlaku waspada atau
menyembunyikan diri, hingga kita bertambah sukar buat
menyelidikinya. Adalah berbahaya untuk menghadapi musuh yang
banyak. yang kita tidak kenal sama sekali. Kau tahu sendiri berapa
besar jumlah anggota anggota sembilan partai besar serta sembilan
partai lainnya itu. Bagaimana kita bertiga dapat menghadapi mereka
semua ?" "Jikalau begitu, bukankah buat selama lamanya bengcu tidak
akan dapat muncul secara terang terangan ?" Kho Kong berkata
pula. Dia tetap kukuh dengan anggapannya. Dia terlalu jujur untuk
bisa segera merubah pendiriannya itu.
"Bukan begitu saudara," oey Eng memberi penjelasan pula.
"Dalam hal ini kita mesti melihat waktu dan kesempatannya. Nanti
sesudah ketahuan siapa si musuh besar, baru bengcu perkena ikan
dan mengumumkan dirinya guna menghadapi musuh besar itu
secara terang-terangan, secara laki laki sejati "
Kho Kong tak sabaran tetapi dia cerdas, dia dapat mengerti,
maka setelah mendengar keterangan saudara itu, ia segera tutup
mulut. oey Eng menghela napas.
"Bengcu, bagaimana sikap bengcu" Apa bengcu telah memikir
atau menetapkan tindakan bengcu selanjutnya ?" ia bertanya
kepada ketuanya.
"Sebentar kita kembali kerumah gubuk tadi, untuk melihat mayat
loosianpwee Lauw Hay tju sahut ketua itu, "Dia menjadi saudara
angkat ayahku, tak dapat kita membiarkan mayatnya itu terlantar.
Kecuali Su Kay Taysu telah mengurusnya Saudara tadi berdiam
ditempat yang penting, apakah kalian tidak melihat orang yang
mencurigakan yang berlalu disitu ?"
oey Eng dan kawannya berpikir.
"Tidak^ kecuali seorang penggembala dan seorang wanita
dusun," jawab oey Eng kemudian-
"Benar, aku mengerti sekarang" berkata Kho Kong.
"Kau mengerti apa ?" bertanya oey Eng.
Kho Kong menunjuk pakaiannya.
"Kita dapat menyamar, kenapa mereka tidak ?"
"Benar, adikku " kata oey Eng. "Kata katamu ini membuat aku
ingat si wanita dusun itu Dia membawa sebuah rantang, kepalanya
dibungkus hingga mukanya tak nampak tegas. Ketika itu angin tidak
bertiup keras dan juga wanita dusun tidak biasanya membungkus
kepala dengan sabuk putih..."
"Sayang ketika itu kita tidak curiga hingga kita tidak memegatnya
untuk menanyainya dengan jelas," kata Kho Kong.
"Bagaimana dengan si penggembala, apakah diapun
mencurigakan?" bertanya Siauw Pek.
"Tentang dia aku tidak perhatikan, jadi tidak ada yang dapat
dicurigai," sahut oey Eng "Apa yang ingat, dia menuntun seekor
kerbau celananya digulung tinggi, dan usianya rasanya sudah
lanjut." "Apakah dia membawa pacul atau lain alat pertanian?" "Tidak.
dia cuma membawa sepotong suling bambu."
"Apakah kau melihat tegas sulingnya itu ?" Kho Kong melengak.
"Suling bambu atau bukan, aku kurang tegas, tetapi jelas itu
bukan alat pertanian-" Tiba tiba semangat si anak muda terbangun-
"Mari kita cari " serunya, "barangkali kita masih bisa mendapati
sesuatu..." Kho Kong pun menjadi bersemangat.
"Mari " sambutnya. "Mari " dan segera ia mendahului bergerak.
"Jangan sembrono, saudara," pesan oey Eng. "Kita mesti dengar
bengtju, jangan kita bertindak sendiri " Kho Kong tersadar. Dia
tersenyum. "Baik " katanya.
Segera mereka berangkat. Ketika mereka mendekati rumah Lauw
Hay tju, disana terlihat banyak penduduk kampung, antara satu
dengan lain mereka berbicara perlahan- Teranglah kebinasaan si
orang buta telah tersiar cepat.
"Kasihan," kata seorang wanita tua. "Dialah seorang buta dan
tidak ada anaknya baik lelaki maupun perempuan, bahkan juga
tiada sanaknya..."
"Kasihan Lauw Hay tju" kata seorang kakek, "dia hidup sebagai
tukang tenung, dia tidak punya musuh, entah siapa yang demikian
kejam membunuhnya mati..."
"Akan tetapi paman," kata seorang lain, "walaupun dia buta,
uang simpanannya banyak. simpanannya itu pasti menarik hati
orang jahat. Mungkin uangnya ada delapan ratus atau seribu tahil "
"Bagaimana kau tahu uang simpanannya ada seribu tahil ?" tanya
seorang lainnya.
"Benar Bagaimana kau ketahui itu ?" tanya seorang lain lagi.
orang itu terkejut. Terang dia insaf bahwa dia telah salah bicara.
Tidak tunggu lagi, dia pergi mengangkat kaki. Siauw Pek sebaliknya
memikir lain"
Tak pantas Su Kay Taysu," pikirnya. "Lauw Hay tju mati
karenanya, kenapa sekarang dia meninggalkannya pergi "
Mungkinkah didaalm kalangan pendeta tidak ada orang yang baik
hatinya ?"
Pemuda ini berpikir demikian karena ia ingat halnya sipendeta
tinggi besar yang bernapsu sekali menyerang ayah bundanya. Inilah
kesan buruk yang ia dapatkan dari pengeroyokan dahulu itu.
Kho Kong mementang mata lebar, memandang keempat penjuru.
Mendadak dia menghampiri ketuanya. Kemudian berbisik: "Lihat di
sana, bengcu, dibawah pohon yangliu itu, itu orang yang lagi
berdiri. Dialah si penggembala tadi "
siauw Pek kemudian menoleh. Dua tombak terpisah dari mereka
ada sebuah pohon yang liu, disitulah si penggembala yang
disebutkan kawannya itu.
orang itu mengenakan pakaian kasar, tubuhnya besar, celananya
digulung tinggi, kakinya terbungkus sepatu rumput, sedang
tangannya memegang sebatang tongkat panjang dua kaki yang
warnanya hitam, tampak mirip seruling.
"Pasang mata terhadapnya, jangan sampai dia lolos," katanya.
"Baik, bengcu" Kho Kong menjawab.
"Intai saja," Siauw Pek pesan lagi kawan itu mau memisahkan
diri. Jikalau tidak sangat terpaksa, jangan bentrok dengannya. Kho
Kong mengangguk, terus ia bertindak pergi.
siauw Pek bertiga berdandan sebagai orang desa, mereka tidak
menarik perhatian orang-orang desa itu.
Tidak lama disitu muncul seorang tua usia lebih kurang lima
puluh tahun, dia mendatangi cepat-cepat, tangannya memegang
sebatang bun cwee pipa panjang, dimana digantungkan kantong
tembakaunya. Melihat dia, orang kampung mengangguk memberi
hormat. Mungkin dia itu kepala desa Jie Sie Wan- Dia membuka jalan
diantara orang banyak yang berkerumun, akan menghampiri mayat
Lauw Hay tju, untuk memeriksa. ia menggeleng geleng kepalanya
dan menarik napas.
"Perlu kita membelikan peti mati, untuk mengurus mayatnya,
kemudian merawatnya dahulu dirumah ini..." katanya kemudian- Ia
memandang kesekelilingnya, kemudian meneruskan- "Anak anak
muda baiklah tenaga, dan siapa yang berada, seharusnya dia
mengeluarkan uang. Aku akan mengeluarkan seratus bun-"
Suara itu mendapat sambutan hangat. Kemudian banyak orang
yang merogo sakunya. Maka didalam waktu yang pendek telah
dapat dikumpulkan uang sebanyak kira-kira lima renceng. Empat
orang muda segera membawa uang itu pergi, dan tidak lama,
mereka sudah kembali bersama sebuah peti mati.
siauw Pek menyaksikan mayat Lauw Hay tju dimasukkan kedalam
peti mati, diam-diam ia mengeluarkan airmata.
"Lootjianpwee, tenangkanlah hatimu," katanya didalam hati.
"Asal nyawaku masih ada, akan aku cari si orang jahat buat dipakai
sebagai kurban untuk sembahyangi lootjianpwee"
Selagi ia memuji, Siauw Pek merasa ada orang membentur
tubuhnya. ia segera menoleh itulah oey Eng, yang terus bertindak
pergi. ia mengerti, ia segera pergi menyusul.
Segera sesudah ia terpisah cukup jauh dari rumah gubuk, oey
Eng mempercepat jalannya sembari berjalan cepat itu ia berkata:
"Saudara Kho tengah menyusul penggembala itu. Mari kita lekas
menyusul "
Siauw Pek mengangguk. iapun mempercepat jalannya. Ditempat
terbuka seperti itu, mereka tidak berani sembarangan menggunakan
Keng kang sut, yaitu ilmu lari ringan tubuh yang pesat. Baru setelah
terpisah semakin jauh dari rumah gubuk. mereka berani lari lebih
cepat. Sekira empat atau lima lie, mereka melihat kesana kemari. Kho
Kong tak nampak. juga si penggembala yang dicurigai itu.
"Apakah kita tidak salah jalan, saudara oey?" bertanya Siauw
Pek, heran. "Aku melihat tegas, tidak salah " sahut sang kawan-
"Disini tidak ada orang, mari kita menggunakan ilmu lari cepat"
kata Siauw Pek kemudian- ia terus berlompat.
"Tahan " mendadak terdengar satu bentakan disusul dengan
melesatnya satu bayangan orang dari sisi jalan yang penuh dengan
gombolan pohon- Dia terus menghadang ditengah jalan itu.
Siauw Pek segera memandang tajam. Orang itu, yang
pakaiannnya dari bahan kasar, berumur kira-kira lima puluh tahun,
kumisnya sudah putih.
"Siapakah kau tuan?" tanya sianak muda. "Kenapa kau
menghadang kami ?"
"Belum aku tanya kau, kau sudah mendahului menegur" kata
orang tua itu dengan gusar. "Aku hendak bertanya kepada kamu,
apakah hubunganmu dengan Lauw Hay tju?"
Siauw Pek menatap tajam, di dalam hati ia berkata: "Aku sedang
mencari seseorang, tapi justru yang aku cari muncul sendiri " Ia
mendongkol tapi menahan sabar. "Aku tidak kenal dia..." sahutnya
pelan-orang tua itu tertawa terbahak bahak.
"Hmm, kau hendak mempermainkan akukah Kim Gan Tiauw"
katanya, mengejek. "Sudah beberapa puluh tahun aku menjelajah
dunia Sungai Telaga, mataku belum pernah kelilipan pasir
sebutirpun. Jikalau kau tidak kenal dia, habis, siapakah yang kenal
dengannya" Aku lihat kau diam memuji dan matamu mengeluarkan
sesuatu air"
"Seandai benar aku mengenal dia, lalu kau mau apa?" Siauw Pek
balik bertanya. "Apakah kalau orang kenal dia orang menjadi
melanggar hukum"
orang yang menyebut dirinya Kim Gan Tiauw itu Elang Mata
Emas menjawab kaku kaku: "Mengenal dia tidak melanggar undang
undang tetapi kau menyinggung aku. Jikalau kau tahu diri, marilah
baik baik ikut denganku"


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Turut kau pergi kemana?" Siauw Pek tanya.
"Tak usah kau tahu"
"Emas tulen tak takut api" kata sipemuda. "Aku tidak sangkut
paut dengan Lauw Hay tju, aku tidak takut diperiksa kamu..." Ia
menoleh kepada oey Eng, lalu menambahkan : "Aku hendak bicara
dahulu dengan saudaraku ini, supaya dia dapat membawa
kerumahku."
"Tidak dapat" Kim Gan Tiauw membentak. lalu mendadak ia
menyerang kearah oey Eng yang mendampingi ketuanya.
oey Eng terkejut sekali. Serangan itu tak disangkanya sama
sekali. Tapi syukur masih sempat ia berkelit.
Hebat Kim Gan Tiauw Dia bukan menyerang dengan tangan
kosong tapi dengan senjata tajam, bahkan itulah "hui too", yaitu
senjata rahasia "golok terbang" senjata itu lewat disisi telinga
sasarannya, terus nancap dipohon jue di belakangnya.
Mata Siauw Pek menatap tajam. Sesaat ia telah mengenali golok
terbang itu. Itulah senjata rahasia yang nancap didada Lauw Hay tju
yang merampas nyawanya orang tua tukang tenung itu. Karena itu,
selain sangat berduka, ia pun menjadi gusar. Teranglah orang tua
ini pembunuh saudara angkat dari ayahnya almarhum
Kim Gan Tiauw tidak menyangka oey Eng dapat berkelit, ia
tercengang. Tapi cuma sebentar, kemudian dia tertawa terkekeh
kekeh. "Maaf, maaf" katanya. "Aku situa bangka tidak pernah menerka
bahwa kamu berdua adalah orang-orang yang pandai silat.
Bagaimana jikalau kau mencoba lagi beberapa golokku ?"
Berbareng dengan kata-katanya itu, Kim Gan Tiauw segera
menyerangnya lagi, bahkan sekarang dia telah meluncurkan empat
batang hui to dengan saling susul yang tiga hampir serentak yang
keempat berada di belakang jarak dua kaki. Tiga golok terbang yang
pertama itu menuju tiga tempat berbahaya pada tubuhnya oey Eng.
Sekarang anak muda itu sudah siap sedia. Ia berkelit sambil terus
memutar tubuh dan tangan kanannya meraba kepada buntalannya,
untuk mengambil senjatanya, tetapi golok yang keempat menyusul
cepat sekali. Ia jadi terdesak, tak sempat ia berkelit pula, dengan
terpaksa ia mengayun tangan kirinya, buat menangkis. Kalau hui to
dan lengan beradu, dan maka terlepaslah lengannya itu.
Tepat golok terbang itu lagi mengancam sasarannya, jatuh bakal
mangsanya, mendadak ujungnya melengos, menyambar kesamping,
hingga oey Eng mendengar disamping telinganya suara lewatnya
senjata itu, hingga hati tergetar.
Kim Gan Tiauw terperanjat melihat senjatanya itu gagal. Ia kaget
karena ia ketahui sebab ialah goloknya telah disentil lawannya
dengan "Tan Cie Sin thong". yaitu ilmu "Menyentil jeriji tangan".
Insyaftah ia bahwa ia tengah menghadapi lawan yang tangguh,
maka tanpa ayal lagi, melompat meninggalkan oey Eng, untuk
menyelinap di dalam rujuk yang lebat.
Siauw Pek tidak menyangka orang kabur, hingga ia tidak sempat
mengejar. oey Eng menghampiri ketuanya sambil berkata: "Aku menyesal
sudah berlaku lengah, hingga hampir aku terkena huitoo, terima
kasih bengcu, atas pertolonganmu"
"Kau dalam bahaya, saudaraku, aku merasa kuatir," kata Siauw
Pek. Mendadak ia berhenti sejenak. tetapi segera ia menambahkan:
"Eh, apakah katamu tadi?"
"Terima kasih atas pertolongan bengcu," oey Eng mengulangi.
Siauw Pek menggeleng kepala.
" Kapan aku menolong kau, saudaraku?" ia tanya. "Aku justru
menguatirkan keselamatanmu waktu melihat kau menggunakan
tenagamu menyampok senjata rahasia itu."
"Oh, bengcu cuma memuji aku" kata kawan itu tertawa. Siauw
Pek menggeleng kepala pula.
"Dengan sebenarnya, bukan aku yang menolong kau, saudara"
Oey Eng mau percaya ketua itu, maka ia menjadi heran, hingga
ia melengak. "Kalau begitu aneh, bengcu" katanya. "Dengan sebenarnya,
bukanlah aku yang menangkis golok terbang itu. Memang aku telah
mencoba menyampoknya, sebab sudah tidak ada lain jalan untuk
menolong diri. Aku percaya lenganku sebelah bakal terlepas
kutung^ Kalau itu sampai terjadi, pasti aku tidak akan dapat
membantu lagi kepada bengcu. Di luar dugaanku, tengah lenganku
terancam itu, tiba tiba golok melesat kesamping dan telingaku
mendengar suaranya yang lewat pesat sekali. Heran, siapakah
orang yang demikian liehay dapat menyampok golok itu dengan
tenaga dalamnya?" Siauw Pek menyeringai jengah.
"Bicara terus terang, kepandaian silatku ialah sembilan jurus ilmu
pedang serta sejurus ilmu golok." ia menerangkan- "Aku lihat kau
terancam bahaya, aku hendak menolongmu, tapi aku tidak berdaya,
niat ada, tenaga tiada."
Memang benar, kecuali ilmu golok dan pedangnya, Siauw Pek tak
mengerti ilmu senjata rahasia atau ilmu silat lainnya. Satu satunya
kepandaiannya ialah tenaga dalamnya itu.
"Memang benar golok itu ada yang sampok." oey Eng berkata
pula. "Jikalau penolong itu bukannya bengcu, mesti ada orang lain?"
"Yang pasti bukannya aku"
"Amidabuddha" tiba tiba terdengar satu seruan suci. disusul
dengan munculnya orang yang memuji itu, keluar dari dalam rujuk
sejauh setombak lebih dari mereka. Dialah seorang tua dengan
jubah abu abu, tangannya mencekal hudtim yaitu kebutan. Dia
berwajah tenang tenang agung.
Dua orang itu lalu menoleh, dan Siauw Pek segera mengenali Su
Kay Taysu. Pendeta itu bertindak perlahan menghampiri mereka
berdua. "Maaf loolap telah secara diam diam menyampok huitoo itu,"
katanya, merendah. oey Eng lebih melengak.
"Kita tidak kenal satu dengan lain, kenapa suhu membantuku?"
tanyanya. oey Eng lebih tenang daripada Kho Kong akan tetapi, dia juga
masih kurang pengalamannya dalam dunia Sungai Telaga. Su Kay
tersenyum. "Buddha kami maha agung dan mulia," sabdanya, "tugasnya
ialah menolong sekalian makhluk, maka itu adalah tugasku bila aku
berbuat sesuatu untuk sietju."
siauw Pek sementara itu mengingat mayat Lauw ha tju, yang
ditinggalkan secara begitu saja oleh pendeta ini, ia menjadi tidak
senang. "Ya, kata kata saja menolong sesama manusia, buktinya lain "
katanya, tertawa dingin, "Perbuatannya lain daripada kata katanya "
Mendengar itu, Su Kay melengak. Tapi hanya sejenak. ia lantas
tertawa. "Sietju menegurku, pasti ada sebabnya, katanya. Loolap mohon
sukalah sietju menunjuki kesalahanku itu."
"Boleh saja menunjuki bukti" kata Siauw Pek masih menolongkol.
"Di depan mata kami berada satu kesalahan besar dari kau" Pendeta
itu merangkap kedua tangannya di depan dadanya. Loolap bersedia
mendengarnya, katanya.
"Kau kenal Lauw Hay tju atau tidak ?" Siauw Pek bertanya.
Kembali pendeta itu melengak.
"Baru hari ini loolap menemuinya," sahutnya. "Inipun dapat
dikatakan kenalan-Baik Sekarang hendak aku tanyakan tentang
Lauw Hay tju. Sayang dia telah mati terbokong orang jahat dan jenazahnya
masih berada di gubuknya, di sana tak jauh dari sini."
"Itu aku tahu. Kematiannyapun ada sangkut pautnya dengan
kau. Hanya, setelah dia mati, mengapa kau tidak mengurus
mayatnya?"
Su Kay terperanjat, lalu dengan pandangan tajam dan dingin dia
menatap anak muda di hadapannya itu. Hanya sejenak. dia nampak
menjadi tenang pula.
"Sietju, bagaimana kau dapat tahu begini jelas ?" tanyanya. "Kau
seperti melihatnya sendiri "
Ditanya begitu, Siauw Pek terkejut didalam hati. ia lalu berpikir.
"celaka Kalau aku jelaskan bahwa aku mengintai mereka, tentu
pendeta ini mencurigai aku, pasti dia akan mendesakku dengan
pelbagai macam pertanyaannya.Jikalau aku tidak berikan dia
keterangan yang sebenarnya..."
Karena keragu raguannya ini, si anak muda menjadi tak dapat
segera menjawab. Su Kay menjadi curiga.
"Sietju," katanya keren, "pakaianmu kasar tetapi itu tak dapat
menyembunyikan wajahmu yang sebenarnya. Bicara terus terang,
tentu sietju datang ke Jie Sie Wan karena ada maksud yang
tertentu..."
"Memang benar, taysu. Tapi itu tak ada hubungannya dengan
taysu sendiri."
"Amidabuddha " sipendeta memuji pula, "Sietju tidak sudi
memberitahukan maksud kedatanganmu kemari, mungkin itu
disebabkan ada kesulitannya. Sietju, jikalau kau percaya loolap.
ingin sekali loolap bicara terbuka denganmu."
siauw Pek berpikir, kelihatannya dia bukan orang jahat. Tapi hati
manusia tak dapat diterka, lebih baik aku tidak memperkenalkan
diriku kepadanya. Maka ia lekas menjawab: " Itulah tak usah, taysu"
Terus dia menoleh kepada oey Eng dan berkata: "Mari kita
berangkat "
Pemuda ini membatalkan niatnya menegur lebih jauh kepada
sipendeta tentang dia meninggalkanjenazah Lauw Hay tju, sebab
soal itu dapat menyangkut dirinya. Karenanya ia ingin lekas lekas
pergi. "Sietju, tunggu" tiba tiba sipendeta berkata
"Loolap masih ingin bicara "
Mau tidak mau, Siauw Pek menoleh juga.
"Kau melepaskan budi kepada saudaraku ini, budimu itu akan
kami ingat baik baik. Dilain hari, apabila kita bertemu pula, akan aku
membalasnya. Aku mempunyai urusan yang penting, sekarang tidak
dapat aku bicara banyak banyak denganmu, taysu "
Justru karena orang ingin lekas lekas pergi, malah Su Kay Taysu
bertambah. Tiba tiba sepasang alisnya terbangun, lalu tubuhnya
melompat maju dengan pesat sekali. Dengan begitu didalam
sekejap ia telah berada didepan si anak muda.
"Sietju kau membutuhkan penjelasan" katanya seraya merangkap
kedua belah tangannya tanda menghormat. "Memang aku
membiarkan jenazahnya Lauw Hay tju tetapi inilah untuk
memancing si penjahat yang telah menurunkan tangan berbisa itu.
Aku menerka dia bakal datang pula untuk memperoleh kepastian
Lauw Hay tju benar sudah mati atau masih hidup,"
"Habis, berhasilkah kau mendapatkan sijahat itu ?"
"Menurut penyelidikanku," sahut si pendeta, "diJie Sie Wan ini
atau sekitarnya telah berkumpul secara diam-diam tak sedikit jagojago
Rimba Persilatan, kalau toh sampai sekian lama Lauw Hay tju
masih hidup dengan tenang, itulah disebabkan orang jahat, atau
sijahat itu, tidak berniat membinasakannya. Atau karena penjahat
itu belum memperoleh keterangan cukup maka dia belum turun
tangan membunuh orang buta itu."
"Sekarang dengan kedatanganmu, kau telah menyebabkan
kematian Lauw Hay tju" Siauw Pek menegur.
"Itulah sebabnya hendak loolap cari sipenjahat, untuk
membalaskan sakit hatinya Lauw Hay tju "
"Jikalau kau mendengar kata katamu ini, aku rupanya juga
mencurigai aku?" kata Siauw Pek.
Su Kay berlaku terus terang.
"Sekarang ini belum dapat aku memastikan siapa pembunuh itu,"
sahutnya. " Karena itu siapa juga yang datang kemari, dia tak bebas
dari sangkaan- Sietju mengatakan diri kamu bukannya sipenjahat,
tetapi biar bagaimana pun, kamu belum dapat membebaskan diri
seluruhnya."
siauw Pek berpikir pula: "Dunia Kang ouw berbahaya, pendeta ini
sukar dipastikan dia tidak tengah mendusta. Tak dapat aku
terpedayakan olehnya. Baiklah aku lekas-lekas berlalu dari sini."
Karena berpikir begini, ia berkata dingin "Taysu, dapat kami
memastikan kepadamu bahwa kami bukanlah pembunuh Lauw Haytju
Didalam hal ini, taysu percaya atau tidak. terserah kepada taysu
sendiri." "Benar benarkah tuan berdua hendak berlalu dari sini ?" pendeta
itu menegaskan-"Kalau begitu, terpaksa loolap mesti menahannya
?" "Jikalau kami berdua tidak mau berdiam di sini ?"
" Karena ummat Buddhist mengutamakan cinta kasih, suka loolap
memberikan siecu memilih satu diantara dua jalan "
"Jalan apakah itu, taysu ?"
"Jalan yang satu sangat sederhana. Itulah supaya siecu suka
berdiam disini sementara waktu untuk bisa berhandai handai.Jalan
ini tidak saja dapat membantu loolap pula dapat membebaskan
siecu dari sangkaan-"
"Jalan yang lainnya ?"
"Itu juga sederhana. Cukup asal siecu berdua dapat lolos dari
cegahanku ini Jikalau siecu berhasil lolos, loolap tidak akan
menahan kalian lagi."
"Pendeta ini sangat sombong, mestinya dia liehay sekali," pikir
Siauw Pek. "Baiklah aku mencoba ilmu pedang guruku."
Begitu ia berpikir, segera pemuda ini menghunus pedangnya.
"Dari kata katamu, taysu pastilah ilmu silatmu liehay sekali."
katanya. "Nah sekarang aku yang muda ini ingin mencoba barang
satu dua jurus"
Su Kay tahu dia terkenal sekali dalam Rimba Persilatan, dia
menerka si anak muda tidak akan berani melawannya, maka dia
menjadi heran ketika mendengar pemuda ini ingin mengujinya.
"Baiklah," akhirnya dia berkata. " Dengan sepasang tangan
kosongku ini hendak aku menyambut pedangmu. Silahkan"
"Baik" Siauw Pek pun menyambut. "Terpaksa aku menyambut
perintahmu " Begitu ia berhenti berkata, begitu sianak muda
menikam. Su Kay berlaku tenang sekali, bahkan ia tersenyum, akan tetapi,
segera setelah si pemuda menyerang itu, parasnya berubah
sekejap. Dalam terkejutnya, ia mencelat berkelit
"Terima kasih mau mengalah, taysu " kata Siauw Pek sambil
memberi hormat dengan merangkap pedang dan kedua tangannya,
setelah mana ia menarik tangannya oey Eng untuk diajak berjalan
pergi. Pendeta itu ternganga mengawasi orang berlalu, baru setelah
mereka pergi jauh juga, ia tersadar. Ia kaget dan heran, iapun
menyesal dan malu sendirinya. Tak dapat ia menyangkal janjinya,
akan memaksa menahan pemuda itu. Dialah seorang pendeta dan
pula laki-laki sejati, dia jago Rimba Persilatan-
Sesudah terpisah lima tombak dari sipendeta, dengan perlahan
oey Eng kata pada ketuanya: "Bengcu, tikaman bengcu tadi luar
biasa sekali, sangat hebat. tak dapat orang menyangka atau
menerkanya, tidak heran sipendeta mencelat keheranan. Aku lihat
wajahnya berubah menjadi pucat "
"Dia sombong, dia memandang enteng kepada lawan, itulah
sebabnya. Asal dia dapat mengendalikan dirinya sedikit saja, tak
nanti dia terdesak pedangku."


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tak usah merendah, bengcu. Menurut penglihatanku, sekalipun
dia bersiap sedia dan berhati-hati, tak mudah buatnya menangkis
tikaman bengcu."
Siauw Pek hendak menjawab pula kawan itu tetapi ia terhalang
oleh satu seruan. oey Eng terperanjat.
"Itulah Kho Kong " serunya, dan segera dia lari, akan memburu
kearah suara itu.
Liauw Pek segera menyusul.
Mereka mesti memutari sebuah rimba dahulu sebelum mereka
melihat tiga orang tengah bertarung seru. Mulanya mereka itu
nampak bagaikan bayangan-bayangan yang bergerak-gerak gesit
sekali. setelah datang mendekat, Siauw Pek seketika melihat tegas
Kho Kong tengah dikepung dua orang dan keadaan sahabat itu
terancam --ooo0dw0ooo-- JILID 8 "Saudara Kho, lekas mundur " si anak muda menyerukan-
Kho Kong bertiga bertempur ditanah sawah yang berlumpur, kaki
mereka saban-saban membelebas, karena itu gerak gerik mereka
kurang bebas. Pakaian mereka telah kecipratan air kotor.
Kho Kong sudah mulai terdesak, ketika ia mendengar suaranya
Siauw Pek, yang ia kenal ia menjadi girang sekali. Maka ia
menjawab : "Bengcu..." Tapi baru saja ia membuka mulutnya ketika
itulah justru serangan tiba. Ia kaget sekali, dengan gugup ia
menangkis. Karenanya tak sempat ia melanjutkan kata-katanya. oey
Eng melihat tegas saudara itu terdesak. "Biar aku bantu padanya."
katanya pada Siauw Pek.
"Jangan sembrono," sianak muda berkata, "saudara Kho terdesak
tetapi ia masih dapat bertahan sekian lama. Sulit adalah lumpur
sebatas dengkul itu. Tapi mereka itu sudah jadi biasa, tidak
demikian dengan kau, bahkan kalau kau maju, kedua lawan
mungkin akan memperkeras desakannya. Baiklah kita tunggu
sampai mereka pindah dari sawah, baru kita memberikan bantuan."
oey Eng menurut.
"Bengcu benar," katanya. Ia lantas menyiapkan pedangnya,
untuk sewaktu-waktu membantu saudara angkatnya itu.
siauw Pek berkata tenang, sebenarnya hatinya tegang. Itu
disebabkan Kho Kong makin terdesak kedua lawannya, jangankan
buat mundur keluar dari sawah, buat menangkis saja repot.
Bagaimaa harus menolong kawan itu "
"Mau tak mau, mesti aku mencoba goloknya Suhu Siang Go."
pikirnya kemudian- Ia ingat Toan Hun It Too. golok tunggal
pencabut nyawa. "Terpaksa aku mesti melukai kedua musuh itu "
Segera dia mengambil keputusan, siauw Pek mulai menghafal
rahasia cara pemakaian goloknya yang ampuh, sambil menghafal
tangannya membuka buntalannya, dikeluarkan goloknya.
Itu adalah sebuah golok tua yang terbuat dari baja hijau, dari
perunggu, gagangnya terukir dengan ukiran yang halus dan
tergantung runce sutera kuning. Terkena sinar matahari, golok itu
bercahaya berkilauan-
Segera setelah dia bersiap. sepasang mata Siauw Pek yang tajam
dan bengis diarahkan kepada kedua lawan Kho Kong.
Oey Eng melihat wajah bengcu itu, dia terkejut hingga dia
tercengang. Ketua ini menjadi bengis luar biasa, perubahannya itu
secara sangat tiba tiba. Tadinya ia hendak mencegah, tetapi bibir
bengcu itu sudah bergerak mengeluarkan seruan perlahan, segera
disusul selagi tubuhnya lompat kearah sawah, berkelebat golok itu
yang memperlihatkan sinar hijau yang menyilaukan-
Hanya sekejap maka terdengarlah suara jeritan kesakitan yang
hebat, yang saling susul, diiringi dengan robohnya kedua musuh
Kho Kong roboh terkulai di sawah, darahnya yang merah
berlumuran membuat merah lumpur di dekatnya.
Sementara itu Siauw Pek berdiri diam saja. goloknya didalam
cekalannya, wajahnya nampak tak wajar guram, suram dan
menyesal... Kho Kong dengan sepasang senjatanya ditangan juga
berdiri tertegun- Baru selang sesaat dia tersadar, maka lekas lekas
ia meninggalkan sawah menghampiri ketuanya itu.
"Terima kasih, bengcu." katanya memberi hormat. "Terima kasih
atas pertolongan bengcu."
Sesaat itu, Siauw Pek pun bagaikan tersadar, maka wajahnya
segera berubah pula. Bahkan dia bisa tertawa perlahan- Walaupun
demikian diapun berkata kata seorang diri: "Kenapa kau membunuh
mereka" Mereka toh bukannya musuh besar hingga mereka mesti
dibinasakan?"
Kho Kong dapat menerka hati orang.
"Tetapi, bengcu," katanya, "bengcu terpaksa melakukan itu untuk
menolong aku." Siauw Pek menghela napas.
"Tidak salah, tidak salah," katanya, menarik napas. "Ia, karena
aku hendak menolong jiwamu, saudara, terpaksa aku
membinasakan mereka itu berdua."
Sementara itu terdengar suaranya Oey Eng, "Bengcu Saudara
Too, mari lekas"
"Perlu kita urus dahulu mayat dua orang itu," kata sang ketua.
"Tak usah bengcu berlelah diri," berkata Kho Kong, yang segera
mengangkat kedua mayat lawannya itu pergi dari tengah sawah.
Bagaikan dia letih sekali, siauw Pek mengambil sarung golokya,
yang terletak ditanah untuk menyimpan goloknya itu, kemudian dia
duduk menumprah, kepalanya diangkat, didongakkan, untuk
mengawasi matahari diantara langit yang biru.
Berselang sekian lama, Kho Kong sudah kembali dengan pakaian
sudah ditukar dengan yang kering dan bersih, dia menghampiri
ketuanya dan berkata perlahan- "Bengcu, dua orang itu adalah
penjahat-penjahat besar dari dunia Rimba Hijau, merekalah yang
digelarkan Hoolam Jie cie. Dua tikus dari Hoolam. Julukan itu sudah
membuktikan kejahatan mereka, dengan membinasakan dua
manusia jahat itu, tak usah bengcu menyesal atau masgul."
Siauw Pek berpaling dengan perlahan-
"Bagaimana kau ketahui itu?" tanyanya.
"Selagi aku mengubur mayatnya, pada tubuhnya kedapatan
sebuah surat yang memakai alamatnya," sahut Kho Kong. Siauw
Pek menghela napas.
"Mana suratnya itu?"
Kho Kong merogoh sakunya dan mengeluarkan surat yang ia
sebutkan, lalu menyerahkannya pada ketuanya seraya berkata:
"Silahkan bengcu periksa." Siauw Pek menyambuti, ia membeber
surat dan membaca: "Hoolam Djie Tjie
Selagi aku bepergian, diam diam pada tengah malam kamu
memasuki rumahku, kamu mencuri dan juga melukai orang, maka
ketahuilah olehmu, untuk sakit hati ini, jikalau aku tidak membunuh
kami, tak puas hatiku...
Bagian selanjutnya surat itu tidak dapat dibaca, sebab suratnya
sudah kotor dan rusak bekas terkena lumpur.
"Jikalau begini, benarkah mereka manusia manusia busuk." kata
si anak muda seorang diri.
"Mereka mencuri dan melukai orang, memang benar mereka
bukan orang baik baik " kata Kho Kong tertawa. Siauw Pek
tersenyum. "Mereka manusia manusia jahat, tak salah aku membunuhnya"
katanya, yang terus melemparkan surat itu seraya ia berlompat
bangun-Hati Oey Eng lega menyaksikan gerak gerik ketuanya itu.
"Bengcu penuh kasih dan bijaksana, kaulah bukan sembarang
orang," katanya. Si anak muda menghela napas.
"Ayah bundaku terfitnah dan terbinasakan, mereka merembet
seratus jiwa orang lain," katanya. "peristiwa itu membuat aku
merantau dan terlunta lunta bertahun tahun, semua itu aku ingat
baik sekali, berkesan sangat mendalam, walaupun demikian, tak
ingin aku membinasakan biar seorangpun asal dia orang baik baik.
Selamanya aku hendak mencari tahu dan membedakan diantara
benar dan salah."
"Oh, begitu..." kata Oey Eng, yang terus memandang Kho Kong
dan menanya : "Saudaraku, rupanya karena kau menguntit Hoolam
Djie Tjie, kau jadi dikepung mereka itu?"
"Tidak seluruhnya begitu," jawab saudara yang ditanya itu.
"Sebenarnya aku menguntit si penggembala yang membawa bawa
seruling itu. Rupanya dia mengetahui aku menguntitnya, lalu dia
memancing aku sampai disini. Terang disini dia telah mengatur
tentara tersembunyi. Dengan mendadak Hoolam Djie Tjie muncul
dan mengepung aku, selagi aku bertempur, penggembala itu terus
kabur dan menghilang. Tidak kusangka kedua penjahat itu tangguh,
untung bengcu lekas datang membantu..."
"Teranglah mereka telah mengatur rencana sempurnya," berkata
Siauw Pek. "Lauw Hay tju sudah menutup mata, kawanan itu tentu tidak
bakal datang pula kemari," berkata oey Eng. "Aku pikir, sebaiknya
kita segera berangkat pergi. Kita perlu menyelidiki si penggembala
dan konco-konconya." Kembali Siauw Pek menghela napas. Ia
masgul sekali. "Aku berniat pergi ke Pek Ho Po untuk melihat kampung halaman
dan rumahku..." katanya. Ia mendongak melihat langit.
"Baiklah, bengcu. Mudah mudahan saja disana kita akan
mendapatkan sesuatu yang bisa membantu penyelidikan kita ini,"
berkata oey Eng. Siauw Pek mengangguk. "Baik Marilah "
Segera anak muda ini berjalan di depan- ia berjalan sambil
mengingat-ingatjalanan ke kampung halamannya itu. Ia mengingat
samar samar. Oey Eng dan Kho Kong mengikuti di samping kiri dan
kanan bengcu itu.
Belum ada satu jam, tiga orang sekawan ini sudah mulai melihat
kota Gakciu. Itulah sebuah kota yang ramai, disana banyak
penduduk mundar mandir. Dipandang dari segi militer, kota itu juga
sebuah kota penting.
Ketika sedang berjalan oey Eng mengawasi pakaian kedua
kawannya dan pakaiannya sendiri.
"Dengan dandanan semacam ini, tak pantas kita berjalan dijalanjalan
yang ramai ini," katanya perlahan- "Baik kita cari tempat
dimana kita bisa beristirahat sebentar." Siauw Pek setuju.
"Baiklah," sambutnya. "Kita singgah sekalian untuk jajan-"
"Gak Yang Lauw menjadi tempat terkenal dari kota Gakciu,
kenapa kita tidak pergi kesana saja?" Kho Kong mengusulkan- "Kita
minum disana."
"Didalam kendaraan, diatas perahu, di rumah makan atau
dikantoran, orang paling berminyak matanya," kata oey Eng. "kita
berdandan begini, apakah kita tidak bakal diusir bagaikan anjing ?"
"Jikalau sampai terjadi begitu, aku akan ajar adat orang macam
begitu" Siauw Pek usulkan- "Kita pergi dahulu kesebuah tempat,
untuk membuat pakaian baru, barulah kita pergi ke Gak Yang
Lauw." "Bengcu benar " Kho Kong memuji.
Maka pergilah mereka mencari suatu toko penjahit, disana
mereka minta dibikin beberapa potong baju dan celana. Dilain saat,
selagi mendekati magrib, mereka itu sudah sedang menuju
keranggon, atau lauwteng, Gak Yang Lauw.
Sebenarnya Gak Yang Lauw bukan ranggon atau lauwteng
bersahaja, tempat itu adalah restoran terbesar didalam kota Gakciu.
Sekalipun dihari hari biasa, restoran itu selalu penuh dengan tamu
tamunya. Demikianlah, ketika Siauw Pek bertiga tiba, ruang sudah
penuh. "Maaf tuan tuan, sudah kehabisan tempat duduk" menyambut
seorang pelayan.
"Tak usah kau gelisah hati, kami dapat naik dan melihat sendiri "
kata Kho Kong, dingin. Dan tanpa memperdulikan si pelayan, dia
membuka tindakan lebar untuk naik kelaUWteng.
Siauw Pek dan oey Eng mengikuti. Mereka tak likat lagi, karena
pakaian mereka sekarang sudah mentereng. Nampaknya mereka
sebagai orang yang beruang atau orang Rimba Persilatan, hingga
pelayan itu tidak berani mencegah.
Tiba diatas lauwteng, benar semua meja sudah penuh, kecuali
didekat jendela ada seorang pria setengah tua lagi duduk sendirian-
Dia mengenakan baju panjang warna biru. Bertiga mereka
menghampiri meja itu, tanpa mengatakan sesuatu, ketiganya
kemudian duduk.
Mata seorang setengah tua itu bersinar tajam memandang ketiga
orang itu, rupanya dia bergusar tetapi sejenak itu juga, dia batal
membuka mulutnya. Dia berdiam saja.
Kho Kong lalu minta delapan rupa barang santapan serta sebotol
arak cong Goan Ang, setelah itu dia berkata keras-keras : "Pelayan
tadi tak dapat dipercaya kata katanya Katanya tidak ada tempat
kosong, nyatanya disini masih ada sebuah, bahkan meja ini besar "
orang setengah tua itu jadi mendongkol sekali.
"Meja ini meja yang telah aku pesan dari tadi " katanya, dingin-
"Sekarang ini aku tengah menantikan kawan kawanku " Kho Kong
tidak merasa tersinggung, bahkan dia tertawa. "Kalau begitu, kami
akan makan lekas lekas." katanya.
Pelayanan nampak cepat sekali, hanya sebentar, datanglah arak
yang dipesan- Kho Kong segera menyambar botol arak itu, kemudian menuangi
sebuah cangkir, terus ia tenggak kering, habis itu, dengan
seenaknya saja ia berkata pada si orang setengah tua berbaju biru.
"TUan- silahkan Mari kita minum "
Pria itu bingung melihat lagak polos dari Kho Kong, tak tahu dia
mesti bergusar atau bersabar, sedangkan Kho Kong sudah duduk
bercokol waktu kemudian dia melayani minum, Kho Kongpun sudah
mendahului mengeringkan cawannya Siauw Pek maju sampai
tengah. "Tuan, dapatkah aku mengetahui she dan nama tuan yang mulia
?" tanyanya hasrat.
"Aku she Beng," sahut pria setengah tua itu. Tapi ia tidak sempat
melanjutkan kata katanya, untuk menyebut namanya, sebab dari
bawah lauwteng segera terdengar suara berisik. Segera ia
mendekati jendela untuk mendongok kebawah dimana ia dapatkan
banyak orang berkerumun dijalan besar. Mungkin disana telah
terjadi sesuatu keonaran-
Siauw Pek tertarik suara riuh itu, ia turut menghampiri jendela,
untuk melihat kebawah. Dan ia melihat orang yang rebah di tanah,
rupanya orang itu sudah tidak bernyawa.
Tiba tiba si pria setengah tua berseru kaget, segera dia menolak
daun jendela, untuk dipentang, kemudian lompat turun
Perbuatan luar biasa itu menyebabkan seruan kaget dari banyak
orang dijalan besar, bahkan ada yang berteriak : "celaka celaka Ada
orang bunuh diri dari lauwteng "
Selain suara riuh itu, orangpun kacau, sebab banyak yang lari
menyingkir, kuatir nanti ketimpa pria yang melompat turun itu.
Hingga mereka saling tubruk.
Siauw Pek heran melihat sikap orang itu, tetapi ia lebih heran
waktu ia mengawasi kearah orang yang rebah ditanah itu. Karena ia
melihat punggung orang itu tertancaplah senjata tajam. Saking
ketarik, tak sempat mengajak kedua kawannya, ia lari turun
ditangga lauw teng.
Melihat kelakuan ketuanya itu, oey Eng dan Kho Kong lari
menyusul. Tiba dijalan besar, si pria setengah tua terlihat tengah


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengangkat tubuh orang yang terluka itu, sepasang matanya
mengeluarkan sinar sangat bengis, dengan tajam ia mengawasi ke
sekitarnya, seperti orang yang lagi mencari si pembunuh gelap.
"Penyerang itu keberaniannya luar biasa," kata Siauw Pek
menghela napas. "Dia berani turun tangan disaat siang benderang
seperti ini serta ditempat umum yang begini ramai..."
"Memang pembunuh itu berani sekali. Amidabuddha " tiba tiba
terdengar pujian dibelakang si anak muda.
Siauw Pek bercekat hati, segera ia menoleh. Maka ia mengenali
Su Kay Taysu. Ia melengak saking herannya.
"Teranglah pendeta ini sedang mengamat amati kami " pikirnya.
Tak lama pria setengah tua itu memeluk tubuh mayat itu,
mendadak dia menyabut pisau belati yang menjadi algojonya.
Karena senjata tajam itu dicabut, darah hidup lantas mancur keluar
dari liang lukanya.
Siauw Pek mengawasi senjata itu, ialah sebuah pedang pendek
tiju atau delapan kim, cahayanya menyilaukan mata. Itulah tanda
bahwa pedang itu tidak beracun. Tapi itu pula bukti lengan si
penyerang kuat luar biasa, hingga dia dapat merenggut jiwa orang
sekejap tanpa menggunakan bisa.
oey Eng menghampirkan sipria setengah tua sampai dekat, maka
ia melihat padapedang pendek itu ada ukiran hurufnya yang halus,
yang bunyinya: "Kiu heng tje kiam-Hiat tyay hiat boan, artiya :
"pedang permusuhan dan kebencian- Hutang darah bayar darah."
Pria setengah tua itu juga melihat huruf huruf ukiran pedang itu,
setelah itu dipondongnya mayat itu, untuk terus dibawa lari cepat
sekali, hingga sesaat dia sudah lenyap dari tempat ramai itu.
Siauw Pek mengawasi hingga orang itu lenyap dari pandangan-
"Pedang permusuhan dan kebencian Hutang darah bayar darah."
ia menghafal perlahan-Apakah pemilik pedang pendek itu" Mungkin
ia menderita terlebih hebat daripada aku?"
"Takdir Takdir " kata Su Kay Taysu seorang, suaranya keras. Dia
seperti menimpali anak muda ini. "Melihat begini, agaknya bencana
Rimba Persilatan sedang makmurnya dan belum mulai reda..."
siauw Pek melirik kepada pendeta itu, lalu ia berkata perlahan
kepada kedua kawannya : "Mari kita naik pula ke lauwteng."
Dengan berlalu tiga orang ini, berkurang juga orang banyak yang
berkerumun itu, mereka pada bubar sendirinya, hanya mereka itu
pada menarik napas panjang pendek. Karena petaka itu hebat
sekali. "Aneh Berbahaya " tiba tiba terdengar satu seruan parau.
siauw Pek mendengar suara itu, ia segera menghentikan
tindakannya, untuk secara diam diam memperhatikannya.
Segera terdengar pertanyaan seorang lain : "Eh, Yu Loo dji, apa
yang aneh ?"
orang yang dipanggil Yu Loo-dji itu, yaitu si Yu nomor dua,
menjawab : "Aneh korban tadi. Tadi dia sedang berjalan
dibelakangku, jarak antara kami cuma satu tindak, tetapi aku tidak
dengar suara jeritan atau keluhan kesakitan, tahu tahu aku
dikagetkan suara robohnya tubuh, hingga aku segera menoleh. Aku
berpaling dengan cepat, tetapi aku tidak melihat sekalipun
bayangan dari penyerangnya, sedangkan setahuku biar orang
bagaimana gesit juga tak mungkin dia lolos dari mataku. Bukankah
itu sangat aneh dan berbahaya ?"
Terdengar lagi satu suara lain : "Ya, aneh si aneh, tetapi, apakah
si bahayanya ?"
"Kami berjalan hanya selang satu tindak." Yu Loodjie
menerangkan, "jikalau penyerang itu salah tangan dan dia menikam
punggungku apakah itu bukan namanya berbahaya ?"
Tiba tiba Su Kay Taysu menyapa orang she Yu itu : "Sietju, coba
kau ingat ingat. Apakah kau tadi tidak melihat orang yang
mencurigakan sikapnya ?"
Yu Looejie berpikir, ia menjawab : "Memang tadi banyak orang
yang berlalu lintas tetapi orang yang terdekat dengan kurban itu
cuma aku, waktu aku berpaling, aku melihat dia sudah rebah
tengkurep dan punggungnya telah tertancapkan senjata tajam itu.
Aku tidak melihat siapa juga yang dapat dicurigai."
Mendengar pembicaraan itu, Siauw Pek mempercepat jalannya
hingga dilainsaat ia sudah sampai di lauwteng. Ketika itu, tetami
tetamu rumah makan itu sudah tinggal kira kira separuh. Rupa
rupanya yang lain lainnya telah pada menggunakan kesempatan
untuk mengangkat kaki dan mengalap barang hidangannya
Ketika siauw Pek dan kawan kawannya sudah duduk kembali,
pelayan segera menyuguhkan barang makanan yang dipesan tadi.
oey Eng mengisikan cawan mereka.
"Bengtju, pendeta itu turut datang ke mari " katanya perlahan. ia
teliti dan melihat kemuka tangga lauwteng. Disana pendeta muncul.
" Kita jangan usil padanya, kita tetap makan," kata ketua itu.
oey Eng menurut, juga Kho Kong. Maka merekapun bersantap.
cepat makan mereka, habis minum segera mereka turun dari lauw
teng. Uang barang hidanganpun diletakkan saja di atas meja.
siauw Pek berjalan di sebelah depan kawannya, menuju
keselatan. ia selalu mengingat-ingat jalan kekampung halamannya.
Lewat kira kira empat atau lima lie, di depan mereka tampak
sebuah kuil besar, berdiri tegak di antara banyak pepohongan yang
merupakan rimba.
"Semasa aku kecil, pernah dengan ayah datang ke kuil ini," kata
Siauw Pek peria han, "Inilah Kwan ong Bio, kuil dimana dipuja Kwan
Kong yang gagah, jujur dan setia. Dahulu, kuil ini sangat bersih,
perawatnya hanya seorang beribadat yang telah lanjut usianya serta
kacungnya. Sekarang kita perhatikan dulu keadaan disini, baru kita
cari tempat sepi dimana kita dapat beristirahat. Setelah sore nanti,
baru kita pergi ke Pek Ho Po..."
" Kenapa kita mesti menanti sampai sore?" Kho Kong tanya.
" Untuk beriaku waspada," sahut sang bengcu "Aku duga mesti
ada satu atau lebih jago Rimba Persilatan yang mengawasi Pek Ho
Po, jikalau kita datang siang, kita mudah diintai.Jika kita pergi
malam, andaikata dipergoki, mudah untuk kita melarikan diri." Kho
Kong dapat mengerti, bahkan ia puji kecerdikan ketuanya itu.
Mereka berbicara sambi berjalan, maka itu lekas juga mereka itu
telah mendekati kuil. Kedua daun pintu pekarangan yang diberi
berwarna merah, ditutup sebelah hingga hanya tubuh seorang saja
dapat lewat situ. Dari antara pepohonan terdengar suaranya tong
geret, suara mana menambah kesunyian kuil itu.
oey Eng mendahului jalan di muka. Selewatnya pintu itu,
tampaklah sebuah pekarangan yang luas dan ditumbuhi rumput
kecuali jalanannya, yang terbuat dari batu baru merah.
Seorang tua yang rambutnya sudah putih, tengah memaculi
rumput, agaknya dia sudah tak kuat lagi.
Kuil besar, saking sepinya nampak menjadi seram. oey Eng
merasakan itu. " Kuil tua yang menyeramkan," katanya dengan
perlahan. "Tembok bersih, jendela dan pintu tak ada yang rusakl kuil
seperti baru selesai diperbaiki" berkata Kho Kong. "Mengapa tak
nampak orang atau orang orang yang datang bersujud?"
"Yah. Inilah aneh " kata Oey Eng merasa.
Si orang tua, seorang imam, perlahan lahan mengangkat
kepalanya mengawasi ketiga orang itu, kemudian ia tunduk pula,
melanjutkan pekerjaannya. Menyaksikan orang bekerja begitu
lambat Kho Kong menggeleng geleng kepala.
Melihat cara bekerjanya itu, sebelum rumput yang di timur
selesai, yang di barat pasti tumbuh lagi, hingga seumur hidupnya
itu, tak kanti dia dapat membersihkan seluruh pekerjaan ini...
"Entah ketuanya, apa dia sama tuanya seperti orang tua itu?"
kata Siauw Pek.
Mereka berjalan terus, sampai memasuki pintu yang ke dua.
Keadaan disini berbeda daripada pekarangan disebelah depan itu.
Disini tumbuh belasan buah pohon pek yang, besar besar dan tinggi
sekali, hingga seluruh pekarangan teriyon cabang caban dan
daunnya, dan rontokan daun membuatnya bala sekali. Pekarangan
itu bagaikan beberapa bulan tidak pernah disapu.
"Diruang ke dua ini banyak kamar yang kosong, baik tak usah
kita masuk kedalam." oey Eng usulkan sesudah ia memandang
sekitarnya. "Jangan kita ganggu imam ketuanya kuil ini, cukup kita
beristirahat disini."
Siauw Pek akur. ia segera pergi kesebelah barat, kekamar
ramping. Kho Kong mendahului ketuanya. ia segera membuka pintu kamar
sisir itu, hingga lantas ia melihat sebuah meja dimana terpuja Toh
Wan Sam Kiat Gle, Tiga Saudara angkat dari Taman Loh (persik),
ialah Lauw Jie, Kwan Kong dan Thio Hwie. Merekalah tiga orang
besar darijaman Sam Kok Tiga Negara yang menjadi contoh teladan
buat kesetiaan, kegagahan dan kejujuran- Bahkan kesetiaannya
mencakup kesetiaan diantara saudara, kesetiaan/cinta negara, dan
kesetiaan menepati janji. Tirai sulam disitu masih baru tetapi penuh
debu. "Aneh " pikir oey Eng. "Kuil telah diperbarui segalanya, mestinya
kuil ini menerima kunjungan ramai, kenapa sekarang justru begini
sunyi, malah menyeramkan ?"
Masih kawan ini memandang sekitarnya, baru dia bertanya
kepada ketuanya: "Bagaimana bengcu lihat kuil ini?"
"Baiklah, kita beristirahat disini saja." sahut ketua itu sambil
mengangguk perlahan- "Selekasnya sang malam tiba, kita pergi ke
Pek Ho Po."
oey Eng segera meletakkan buntalannya, terus ia duduk sambil
memejamkan mata, untuk bersemadhi, tetapi suasana kuil
mencekam hatinya, tak dapat ia menenangkan diri. Ketika ia melirik
kedua kawannya, ia mendapatkan mereka itu sudah bercokol
dengan tenang sekali. Ia segera bangkit bangun, untuk bertindak
keluar. Belum lagi ia melintasi pintu, matanya sudah melihat si
kacung imam tadi, tengah berjalan sambil memanggul paculnya
dijalan samping untuk menuju ke toa-tian, pendopo besar.
"Dia masuk kedalam, entah dia mengabarkan ketuanya atau
tidak tentang kedatangan kami," pikirnya. Ketika ia melihat pula
kearah si too jin, ia terperanjat. orang itu telah lenyap cepat sekali
"Aneh " pikirnya pula, dan kecurigaannya segera timbul. Maka ia
batal berjalan terus, sebaliknya, dengan perlahan-lahan, ia kembali
ketempatnya, untuk duduk bercokol pula. Ia terus piklri si imam
tua^ "Dia masuk ke dalam tentu dia akan melapor ketuanya. Hanya
dia aneh. Dia sudah loyo, mengangkat pacul hampir tidak kuat,
kenapa dia lenyap demikian cepat, hanya sekejapan mataku" Pasti
dia liehay ilmu ringan tubuhnya. Satu antara dua: Apakah dia orang
liehay yang lagi menyembunyikan diri atau satu penjahat besar yang
menyamar... Dan ketuanya, dia pasti ketua yang liehay juga, sebab
kalau tidak, tak nanti dia dapat menguasai kacungnya ini..."
Memikir lebih jauh, oey Eng menyaksikan siimam tua yang lenyap
kedalam ruang dalam dengan melalui pintu sisir. Kemungkinan dia
mendekam di tanah dan lalu merayap memasuki pepohonan lebat,
baru dari sana masuk ke dalam.
"Apakah tak aneh sikapnya almarhum ayah bengcu dahulu ?"
pikirinya pula lewat sejenak. "Bengcu mengatakan, ketika dahulu ia
bersama ayahnya datang kemari, kuil ini sama sepinya seperti
sekarang ini dan penghuninya juga tetap dua orang, si ketua dan
kacungnya. Buat apakah ayah bengcu datang kesini" Pasti ada
maksudnya."
Walaupun otaknya bekerja keras, oey Eng tidak mau
mengganggu ketua dan saudaranya. Ia coba menenangkan diri. tapi
sekarang, diam diam ia berjaga jaga. Kecurigaan membuatnya
waspada dan bersiap siaga.
Belum lama orang she oey ini bersemadhi, tiba tiba telinganya
mendengar tindakan kaki yang perlahan sekali. Hatinya bercekat,
segera ia membuka sedikit matanya. Ia melihat sikacung imam tua
berkelebat. Hanya sedetik imam itu lantas menghilang pula dipintu
dimana dia muncul.
"Tepatlah terkaanku " pikir Oey Eng. "Dia muncul sekejap. lalu
menghilang Apa mau dia kerjakan?" Maka ia segera merogoh
sakunya, menyialkan dua biji senjata rahasianya. Lama juga Oey
Eng menanti, kuil tetap sunyi senyap. dan siimampun tak muncul
pula. Lewat lagi sekian lama, Siauw Pek dan Kho Kong tersadar.
oey Eng lega melihat kedua kawan itu sudah bangun, segera ia
berkata kepada ketuanya : "Bengcu, aku ingin menanyakan sesuatu,
dapat atau tidak ?"
Siauw Pek tertawa. " Katakanlah "
"Begini, bengcu. Ketika dahulu ayah bengcu datang kekuil ini,
apakah maksudnya ?" Siauw Pek heran, dia mengawasi sahabatnya
itu. Diapun berpikir.
" Waktu itu aku masih kecil, ingatanku belum kuat. Jikalau tidak
salah, ayah mau menjenguk ketua kuil ini."
oey Eng bangkit, ia lari keluar kamar, untuk melihat sekeliling,
setelah itu ia masuk kembali.
"Apakah bengcu ingat berapa lama ayah bengcu berdiam didalam
kuil ini?" ia tanya pula.
Siauw Pek heran-
"Saudara ku menanya begini rupa, apakah kau curigai sesuatu?"
ia balik bertanya.
"Tjoh Lotjianpwee menjadi ketua Pek Ho Bun mestinya dia
banyak sekali kerjaan dan repot," berkata Oey Eng. "Kuil seharusnya
ramai, dan bukan tempat bersemayam, apa perlunya ayah bengcu
datang kemari" Tentu ada maksud dan sebabnya, bukan" Demikian
dengan bengcu sekarang, kenapa bengcu ingat kuil ini dan mau
langsung datang kesini" Bukankah itu disebabkan bengcu berkesan
sekali terhadap kuil ini?"
Siauw Pek mengangguk. "Kau benar," sahutnya.
"Sekarang ingin aku menerka," kata oey Eng pula. "Ketika dahulu
bengcu dan ayah bengcu datang kemari, kuil sama sunyinya seperti
sekarang. Itulah kesunyian yang mengesankan, sekarang kita tiba
disini, kitapun beristirahat ditempat yang sepi. Bukankah ini yang
menyebabkan bengcu ingat kuil Kwan ong Bio ini ?"
"Jikalau kau tidak menjelaskan begini, saudara oey, akupun tidak
ingat kesanku dahulu itu," ia akui. "Ketika dahulu ayah datang
kemari rasanya ayah membuat janji pertemuan dengan seorang
sahabatnya."
"Nah, coba bengcu ingat ingat, siapakah sahabatnya itu ?"
" Ketika itu aku masih kecil sekali, mana dapat aku mengingatnya
?" jawab siketua. Tapi ia toh berpikir, kepalanya diangkat, melihat
ke atas. Lewat sejenak, ia berkata pula: " orang yang dijanjikan itu,
yang aku ingat, datang dengan menaiki sebuah kendaraan berkuda
yang mentereng sekali."
Tiba tiba Kho Kong menyela: "Kalau begitu tak sukar buat kita
mendapatkan kepastian Bukankah waktu itu belum lewat terlalu
lama " Kenapa kita tidak mau cari ketua kuil ini, untuk menanyakan
?" "Begitulah pikiranku," kata oey Eng. " Entah bagaimana pendapat
bengcu." "Pikiranmu berdua sama, pastilah itu tidak keliru."
"Kalau begitu, baik sekarang kita segera pergi cari siimam ketua"
kata Kho Kong, yang mendahului berlompat bangun. Dia bukannya
sembrono hanya tabiatnya agak terburu nafsu.
"Menurut dugaanku, ketua kuil ini pasti bukan orang biasa," oey
Eng berkata pula. Jikalau sebentar kita bertemu dengannya, harus


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kita berlaku sungkan, asal kita tetap waspada, dan jikalau tidak
sangat perlu, baik bengcu j angan perkenalkan diri." Siauw Pek
mengangguk. Dia setuju. "Kamu baik sekali " katanya.
"Aku berterima kasih "
Iapun bangkit buat memberi hormat sambil menjura, sedangkan
air matanya berlinang-linang .
oey Eng dan Kho Kong terperanjat, lekas lekas mereka membalas
hormat. "Jangan, jangan sungkan bengcu" kata mereka. "Tanpa bengcu
kita pasti tak akan akur seperti sekarang ini, bahkan pasti kita sudah
mati bersama. Untuk membalas budi, kami mau lakukan segala apa
untuk bengcu."
"Jangan mengucap demikian, saudara," kata Siauw Pek, yang
menepas air matanya.
Ketika itu matahari sudah doyong kebarat dan sinarnya sinar
layung, dari luar terdengar suara pohonpekyang yang tertiup angin,
pemandangan indah tetapi itu tak dapat menyingkirkan kesunyian
yang menyeramkan dari kuil ini. Sampai disitu ketiganya bertindak
kedalam oey Eng jalan dimuka.
DI luar toatian ada lantai yang tinggi, disitu menghadang sebuah
pintu yang tertutup rapat. Dipojok pintu itu tampak sikacung imam
yang tua yang duduk nglenggut. Jubahnya abu-abu disisinya
menggeletak paculnya.
"Locianpwee" oey Eng menyapa sambil memberi hormat. Ia tahu
bukan orang sembarangan orang, tidak mau ia berlaku gegabah.
Dengan perlahan si imam membuka kedua matanya, ia
mengawasi orang yang menyapanya. "Ada apa ?" dia tanya.
"Kami bertiga kebetulan lewat di Gakciu," sahut oey Eng. "sudah
lama kami mendengar nama terkenal dari ketua Kwan ong Blo, kami
sengaja datang berkunjung. Tolong locianpwe mengabarkan
kedatangan kami ini."
Nampak imam itu tercengang, terus ia tertawa hambar.
"Terlambat kedatanganmu ini, tuan-tuan," katanya. Kho Kong
heran- "Terlambat bagaimana ?" dia tanya.
"sudah tiga hari ketua kami pergi kelain tempat."
"Tahukah locianpwee kemana perginya ketuamu itu?" tanya oey
Eng tersenyum. Si imam menggoyang kepala, tetapi dia tertawa.
"Kuil kami tidak ramai, ketua kami senggang sekali, maka itu dia
pergi pesiar seenaknya saja. dia pergi kemana dia suka, jadi sulit
untukku menyebutkan kemana dia pergi."
"Kuil ini besar dan indah, mustahilkah loo tiang tinggal seorang
diri disini?" tanya Kho Kong. Ia membahasakan "lootiang", orang tua
yang dihormati. Imam itu melempangkan tubuhnya.
"Inilah kuil tua seperti juga tua pohon-pohonnya." sahut. "Kuil ini
belukar dan bala, tapi dia telah menemani aku situa selama
beberapa puluh tahun- Memang kuil ini sepi tetapi tenteram, tempat
tenteram yang jarang didapati. Jangan terharu karena kesepianku,
tuan-tuan, sekalipun masih ada ketua kami, dia juga tak pernah
memperhatikannya," Ia bangkit dan mengangkat paculnya, lalu
sambil tertawa tawar ia menambahkan : " Hari ini sudah banyak aku
bicara " Segera ia memanggul pacul dan bertindak pergi. Kho Kong
melirik ketuanya.
"Tua bangka ini aneh" katanya.
Suara itu tak perlahan, mestinya si imam dengar, tetapi dia
seperti berlagak tuli, dia ngeluyur terus.
"Mari kita masuk kedalam toatian untuk melihat lihat" kata oey
Eng yang suaranya disengajakan keras.
Mendadak si imam merandek, agaknya dia ragu, tetapi segera
dia berjalan terus. Kho Kong mengangkat tangannya, dia meraba
pintu. "Apa kita masuk ?" tanyanya.
"Awas, jangan merusak pintu orang" Siauw Pek memperingatkan-
Kho Kong menolak daun pintu, tetapi pintu itu tak bergeming. Ia
heran, alisnya berkerut.
"Di luar tak ada kuncinya, tentu dikunci dari dalam," kata oey
Eng. Kho Kong mencoba menggunakan tenaga tenaganya pintu itu,
sampai dua kali. Pintu itu tetap berdiri tegak. Ia menjadi gusar,
sehingga dia berkata: "Aku tidak percaya aku tidak sanggup
mendorongmu menjeblak"
Segera dia mengerahkan tenaga dalamnya. Dia memang pernah
mempelajari "Tong cu Hun goan Khie kang", yaitu ilmu tenaga
dalam yang dinamakan "semangat perjaka". Ia mengerahkan
separuhnya tetapi sudah seberat lima ratus kati. Maka hanya
segebrakan, daun pintu itu menjeblak, roboh terbanting dengan
menerbitkan suara berisik sekali. Siauw Pek menghela nafas.
"Kita telah merusakkan pintu orang. Bagaimana kita nanti
bertanggung jawab?" katanya.
"Janganlah kuatir, bengcu " kata Kho Kong tertawa. "kita
gantikan saja dengan sejumlah uang" terus dia bertindak masuk.
Dengan terpaksa, Siauw Pek dan oey Eng mengikuti.
Toa tian ataupun pendopo besar itu, semua jendelanya tertutup
rapat karena itu, ruang menjadi gelap suram. Mata sipemuda tajam
tetapi ia masih sukar melihat tegas.
Hanya sebentar, terdengar satu suara perlahan- Kemudian suara
itu lenyap pula. Tapi Siauw Pek mengenalinya, itulah suara tindakan
kaki. Maka ia segera memasang mata dan waspada.
Ditengah toa tian itu tampak duduk bercokol patung Kwan Kong
yang besar dan tinggi setombak lebih, dikedua sisinya mendampingi
ia Kwan Peng bersama ciu cong, putra serta pengikut pribadinya
yang gagah dan setia. ciu cong mencekal chee Liong Yan goat too.
golok besar dan tajam kepunyaan Kwan Kong. Dia berewokan kaku
dan pendek, sepasang matanya mendelik, maka juga dia nampak
bengis sekali. Kecuali ketiga patung itu, seluruh ruang kosong
melompong. Dengan tibanya sang magrib, toa tian menjadi makin guram.
"Apakah bengcu mendengar sesuatu?" oey Eng berbisik.
"Ia, rupanya tindakan kaki sangat perlahan," sahut sang ketua.
"Peduli apa suara itu" kata Kho Kong sengit, "Mari kita periksa"
"Jangan sembrono," oey Eng peringati. "Penghuni kuil dan
segalanya aneh semuanya."
Kho Kong mengeluarkan senjatanya poan koanpit. Katanya: "Aku
akan masuk dari kiri kekanan Kau, kakak oey, dari kanan ke kiri
Bengcu sendiri harap berdiam ditengah, untuk bersiap membantu ke
kiri dan ke kanan" Dan tanpa menanti jawaban, dia terus bertindak
ke kiri. Kini mata Siauw Pek telah menjadi biasa.
Maka ia dapat melihat ditembok kanan dari patung Kwan Kong
tergantung sehelai gambar lukisan. Tong geret disinar rembulan
yang bergoyang perlahan- Ia menjadi curiga^ "Benar katanya oey
Eng, didalam kuil ini orang dan segala sesuatunya aneh"
Berpikir lebih jauh, tiba tiba pemuda ini ingat sesuatu. Mungkin
itulah sebuah pintu rahasia. Ia jadi ingat juga suara tindakan
perlahan tadi. Suara itu rasanya datang dari arah itu. Maka ia ingin
maju menghampiri untuk memeriksa. Tapi tepat itu waktu, ia
mendengar tindakan kaki datang dari belakangnya. Tidak ayal lagi,
sambil mengumpul semangat, ia berpaling. Maka ia melihat
sikacung imam yang tua itu, entah kapan datangnya, sudah berada
didalam ruangan itu. Ia terkejut, berpikir: "Dia muncul tanpa suara
apa-apa, terang dialah seorang berkepandaian tinggi."
Sepasang mata Imam itu tajam sekali, dia menatap wajahnya si
anak muda, setelah itu dia menegur: "Tuan-tuan lancang memasuki
toa tian dan telah merusak pintu juga, apakah maksud kalian?"
Dalam keadaan terlanjur itu, Siauw Pek terpaksa berlaku
seenaknya saja. Ia tertawa tawar dan berkata. "Kami datang buat
memuja tentulah ini bukan perbuatan yang terlarang. Tentang pintu
yang rusak ini, aku yang rendah bersedia ganti dengan uang"
Imam itu tertawa dingin. "Tuan, tidakkah kau bicara terlalu
ringan?" " Habis bagaimana pikiran lootiang?"
"Menurut aku si tua, karena kau telah lancang memasuki kuil ini
dan merusak pintunya maka kamu harus dihukum menurut aturan
di kuil kami." Mendengar suara orang itu keras, Siauw Pek segera
berpikir: "Dia menutup mulutnya rapat rapat. Tentu sulit akan mengorek
keterangan darinya telah terlanjur, harap saja aku berhasil
mendapatkan sesuatu." Karena ini, iapun lantas bicara dengan
roman keren: "Sebuah kuil dan patungnya biasa dipuja orang dari segala
penjuru arah, pintunya senantiasa dibuka terpentang, tetapi aneh
kuilmu ini justru ditutup rapat dan kamu menolak orang datang
bersujud. Ada apakah sebenarnya?" Mendadak si imam tertawa
nyaring. "Tak sedikit si tua menemukan orang orang sembrono sebagai
kau bertiga, tuan-tuan Ya, pintu ini juga bukan baru pertama kali ini
didubrak orang, hanyalah, semua pendobrak itu sudah menerima
hukuman menurut aturan kuil kami "
"Bagaimana aturan kuilmu itu?" tanya oey Eng nyaring. "Dan
bagaimana dihukumnya orang yang lancang masuk kependopo ini"
Kami ingin mendengarnya dahulu."
oey Eng telah muncul kembali bersama Kho Kong. Mereka
menggeledah tanpa hasil, maka mereka lekas kembali, hingga
mereka mendapat dengar kata kata si imam. Imam itu tertawa
dingin. "Rupanya tuan tuan, sebelum kamu melihat peti mati tak kamu
mengucurkan air mata " katanya. Dan mendadak dia menyampok
dengan sebelah tangannya dengan telapak tangan-
"Hebat tangan orang ini..." pikir Siauw Pek.
SI imam menyampok tembok disampingnya, suaranya terdengar
keras sekali. Tapi yang luar biasa ialah tembok dikedua sisi bergerak
dengan tiba tiba, menutup pintu toatian Hingga sekejap itu, gelap
gulitalah pendopo besar ini
oey Eng terkejut tapi dia telah siap sedia, dengan pedangnya dia
lantas menerjang si imam. Tapi imam itu lenyap seketika
Pendopo jadi demikian sunyi hingga dapat terdengar suara
nafasnya tiga pemuda itu.
"Jangan sembrono, waspada" Siauw Pek memperingatkan-
Kho Kong menyiapkan senjatanya didepan dadanya. Dia gusar
sekali hingga dia berkata keras. "Tak usah kau main sembunyi
sembunyian. Jikalau berani, mari kita bertempur secara terang
terangan. Jangan kau membuat tuan Kho kamu gusar, nanti aku
bakar kuilmu ini " Sia sia saja suara keras itu. Tidak datang
jawabannya. "Sudah saudara Kho" Oey Eng mencegah. "Jangan kau membuka
suara, itu sama juga memberitahukan kita berada di arah mana"
"Benar" kata Siauw Pek. "Kita mesti berdiam saja " Kho Kong
mendengarnya, dia lantas menutup mulut.
oey Eng sebaliknya berbisik. "Mari kita pergi kepojok. untuk
mengumpatkan diri, disitu kita mencari jalan untuk keluar dari
sini..." "Kau benar. Mari kita menyembunyikan diri dulu," Siauw Pek
setuju. Bertiga mereka bertindak ke pojok timur. Disitu mereka duduk
seraya memasang mata dan telinga, guna melihat perubahan-
Mungkin baru seminuman teh lamanya, tiba tiba terdengar suara
dingin si imam tua. "Sekarang ini jalan hidup kamu cuma satu Ialah
meletakkan senjata kamu dan manda ditelikung tanganmu, lalu
turut aku menghadap ketua kuil kami. Jikalau kamu mengandalkan
kepandaian yang tidak berarti itu dan kamu membangkang terus,
tak mau menyerah, jangan nanti kamu katakan aku si orang tua
kejam " Siauw Pek pernah memperhatikan suara itu, ia menerka
datangnya dari belakang patung, ia lalu menggunakan "Toam Im cie
Sut" ilmu menyalurkan suara berbisik berbicara dengan kedua
kawannya: "Dia belum tahu tempatnya sembunyi kita, jangan layani dia
bicara." Suara dingin itu terdengar pula: "Bagus, ya Kamu mau main diam
diam saja untuk mengulur waktu. Jikalau aku tidak
mempertunjukkan kepandaianku, kamu belum tahu punya
kelihayan"
Siauw Pek mendengar jelas. Benar orang bersembunyi di
belakang patung Kwan Kong.
Kho Kong memasang mata, dia menggunakan Toan Im cie Sut
terhadap ketuanya. "Tua bangka itu berada di belakang patung
Bengcu dan saudara oey siap siaga, nanti aku hajar dia"
Siauw Pek menarik tangan kawannya. "Jangan sembrono. Kita
nanti sebentar lagi."
Suaranya si imam tua tidak terdengar pula, Siauw Pek bertiga tak
sabaran. Justru itu mendadak dua mata Kwan Kong menyoroti sinar terang
tajam, menyapu keseluruh pendopo.
Siauw Pek terkejut pikirnya, "oh, kiranya pendopo ini penuh
dengan pelbagai alat alat rahasianya..."
Karena sorotan itu tiga pemuda tak dapat bersembunyi lagi.
Segera terdengar tertawa dingin yang lama, disusul tawa si imam
pula. "Jikalau sekarang aku menjalankan alat alat rahasiaku, segera
ribuan senjataku yang beracun akan menyapu kamu diempat
penjuru ruang. Inilah kesempatan terakhir Lekas letakkan senjata
kalian-Jika mau main ayal ayalan, berarti mencari mati sendiri" Kho
Kong bertingkat bangun, dia telah habis sabar.
"Jikalau kau laki laki sejati, mari melayani Tuan Kho kamu dan
bertempur selama tiga ratus jurus"
Sorotan itu membuat Siauw Pek bertiga itu silau hingga mereka
sukar melihat apapun juga dilain pihak. gerak gerik mereka
tampaklah nyata. oey Eng menarik tangan Kho Kong.
"Janganlah sembrono" ia memperingatkan- "Kita dengar putusan
bengcu" Siauw Pek menenangkan diri.
"Kita kurang pengalaman," katanya pelan"
Ketika tadi dia menyampok, kita tak menyangka dia mau
menggerakkan alat rahasianya. Menurut dugaanku, biang pesawat
berada di patung Kwang Kong itu, dari mana suara si tua itu keluar.
Mungkin tubuh patung kosong dan si tua sembunyi di dalam..."
"Aku dugapun begitu." kata oey Eng.
"Bagaimana kalau kita rusak saja patung itu?" Kho Kong
mengusulkan- "Musuh ditempat gelap. kita di tempat yang terang, keadaan kita
berbahaya," berkata sang ketua, "jangan kita sembrono, terkecuali
kita sudah sangat terdesak."
"Toh, kita tidak dapat main diam diam saja?" kata Kho Kong tak
sabar. "Sabar saudaraku. Bengcu akan dapat mengatur," oey Eng
memperingatkan-Ketika itu, mendadak hilang sinar bersorot itu.
Dalam sekejap. pendopo gelap gulita.
"Bengcu, saudara Kho, mari kita menukar tempat." oey Eng
berbisik. Siauw Pek dan Kho Kong sama pikiran, keduanya segera
bergeser diri kepinggir. oey Eng mengikuti.
"Rupanya si imam tua bukan pemimpin di sini." Siauw Pek


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbisik. "Dia tentu lagi minta petunjuk ketuanya .Jikalau dia
siketua, tentu dia sudah turun tangan-"
"Tak dapat diam saja," Kho Kong kata pula "Dari pada menanti
diserang, lebih baik kita mendahului menyerbu. Bagaimana pikir
bengcu ?" "Kau benar, tetapi kita harus sabar. Mari kita menanti sebentar
lagi." "Bukankah kita jadi memberi kesempatan bekerja kepada lawan-
.." "Tapi inilah daya kita satu satunya. Pepatah mengatakan :
memanah penunggang kuda, panah dahulu kudanya, membekuk
orang jahat bekuk dulu kepalanya. Si imam belum tentu ketua disini,
kalau dia bukan, percuma kita menawannya, bahkan sebaliknya kita
bagaikan menggebrak rumput membuat ular kaget kita membuat
musuh dapat bersiap siaga "
Bertiga mereka bicara dengan saluran Toan Im cie sut, supaya
musuh tidak dapat dengar.
Selagi mereka berdiam, tiba tiba terdengar suara dingin yang
memecah kesunyian:
"Selama beberapa puluh tahun, belum pernah ada seorang jua
yang dapat lolos dari pendopo ini, disekeliling tembok terdiri dari
batu batu hijau yang kuat keras, sedangkan di pelbagai tempat
telah dipasang pesawat pesawat Jikalau kamu tahu selatan, lekas
letakkan senjata kamu masing masing lantas kamu pergi ketengah
tengah pendopo, menanti keputusan, dengan begitu mungkin kamu
akan memperoleh keselamatan jiwa kamu " Kho Kong gusar tak
terkendalikan. "Jahanam " cacinya. "Jikalau kau laki laki, kau keluarlahJikalau
Tuan Kho kamu tidak hancur luluhkan batok kepalamu, aku akan
buang sheku ini "
"Siapa terkurung, sembilan bagiannya adalah mati" kata pula
suara dingin tadi. "Bagaimana kau masih sombong begini" Rupanya
kau benar benar laki laki sejati"
Siauw Pek dan oey Eng tidak mencegah kepada Kho Kong .Justru
pembicaraan itu membuat mereka mendapat kesempatan akan
memperhatikan suara dingin itu darimana keluarnya.
"Siapa kesudian dipuji kamu?" bentak Kho Kong. "Buat seorang
laki laki, nanti tak ditakuti."
Sekonyong konyong terdengar suara halus lembut:
"Seorang manusia cuma mati sekali, kau berani mati, kau dapat
dipuji, tetapi matimu secara begini, sungguh tak setimpal"
Kho Kong melengak. Ia mengenali suara seorang wanita. Ini
yang tak dikira. Siauw Pek dan oey Eng pun heran. Kuil Kwan Kong
ini aneh. Kho Kong tertegun tidak lama, lalu habis sabarnya.
"Siapakah kau?" tegurnya.
Pertanyaan itu dijawab tawa yang nyaring halus, yang sedap
untuk telinga. Tawa itu Seperti juga membuyarkan suasana seram
dari pendopo. Tidak lama, terhentilah tawa itu, diganti pula oleh
suara merdu tadi:
"Akulah si ketua yang kamu ingin ketemukan. Sejak tadi kamu
memasuki toa tian, aku telah melihat kalian-.."
"Tetapi tadi kamu tidak melihat seorang wanita jua" kata Kho
Kong. "Aku pandai menyamar, menyalin wajahku" kata pula suara
merdu itu. "Mana dapat kamu mengetahui penyamaranku yang lihay
ini" Mendengar suara orang itu, berkuranglah hawa marahnya Kho
Kong sisembrono
"Aku hendak menanyaimu," katanya. "Kita tidak kenal satu
dengan yang lain, seumpama air sumur yang tidak menyerbu air
kali, kenapa kau mengurung kami didalam pendopo ini" Apakah
maksudmu?"
sementara itu Siauw Pek membisiki oey Eng "Aneh.. Seingatku,
kuil ini tidak mempunyai ketua wanita..."
"Inilah mungkin disebabkan perubahan suasana dunia," oey Eng
berkata. " pula sekarang dunia Kang ouw mempunyai orang orang
perempuan yang luar biasa, siapa tahu kalau ada wanita yang
mengambil alih pimpinan kuil ?"
"Tentu ada maksudnya" demikian jawab suara merdu tadi.
"Menurut terkaanku, kamu adalah orang orang muda yang baru
keluar dari rumah perguruan serta mempunyai kepandaian silat
yang baik sekali."
"Kami mengerti silat, apakah sangkut pautnya itu dengan kau?"
Kho Kong tanya.
" Kenapa kau mengurung kami disini?" Wanita itu tertawa pula.
"Pasti ada sangkut pautnya" jawabnya. Dia diam sejenak. lalu
menambahkan : "Kamu adalah orang orang yang baru keluar dari
rumah perguruan, kamu sangat cocok untuk syarat syarat kami"
Kho Kong tidak mengerti.
"Syarat syarat apakah ?" tanyanya. Ia menjadi suka melayani
orang bicara. "Aku hendak mengambil kamu menjadi orang pihak Kwan ong
Bio" sahut wanita itu.
"Bagaimana pikiran kamu bertiga?"
"Kalau begitu, buanglah pikiranmu itu" bentak Kho Kong, "Kami
adalah laki laki sejati..."
Wanita itu memotong: "Apakah kau kira cuma kamu bertiga laki
laki" Apakah kamu sangka kami pihak Kwan ong Blo tidak
mempunyai" Hm Kamu sudah terkurung, tak dapat kamu
dibebaskan biar bagaimana, kamu telah datang kemari dan
mengetahui juga sedikit dari rahasia kami"
"Kau dapat mengurung kami tetapi belum tentu kami tak dapat
lolos" kata Kho Kong "coba kami menggunakan senjata, belum tentu
kami akan roboh ditangan kamu"
"Sudahlah" kata wanita itu. "Rupanya sebelum kelelap didalam
sungai Hong Hoo, kamu belum mau menyerah Karena aku tidak
sudi dengar nasehatku, maaf tak dapat aku melayani kamu lebih
lama lagi. Tunggu saja sampai kamu telah merasai liehay kami, baru
kamu akan memohon kepadaku"
Diakhiri tertawa merdu, lenyaplah suara wanita itu. Kho Kong
menyesal. "Sayang," katanya didalam hati. " Dialah ketua disini, kalau dia
pergi, aku dapat bicara dengan siapa lagi" orang lain toh tak dapat
mengambil keputusan-.."
Selagi menyesal, Kho Kong ingat sesuatu suara dingin tadi. Ia
rasa pernah mendengar suara itu, entah dimana...
Segera setelah lenyap suara si wanita, Siauw Pek melompat maju
juga Oey Eng. Lompat mereka itu tidak mendengarkan suara.
Kho Kong si tak sabaran melihat gerak gerik kedua kawannya itu
menerka bahwa tentu kedua kawan itu sudah ketahui tempat
darimana suara tadi datangnya, maka segera ia berkata keras:
"Jikalau kamu tidak mau membuka pintu pendopo, dan melepaskan
kami keluar, aku akan bakar kuilmu ini hingga musnah tanpa kerana
" Inilah siasat si sembrono, untuk menimbulkan suara berisik,
supaya musuh tidak mendengar suara bergeraknya Siauw Pek.
siauw Pek dan oey Eng pun menggunakan kesempatan itu untuk
menghampiri patung Kwan Kong (Kong Kong she Kwan bernama Ie
alias In Tiang. Kong adalah sebutan terhormat untuknya karena ia
telah dipandang sebagai malaikat, iapun disebut Tee Kun Kwan Tee
Kun Kwan Mee, Kwan Seng, Kwan Looya da Kwan Hutju. Ia dipuja
sebagai dewa Perang.
Ketika oey Eng mengulur tangannya meraba patung Kwan Kong
itu, ia mengerutkan alis. Patung itu dingin sekali. Terang itulah
patung besi. Maka lekas lekas ia bicara dengan menggunakan suara
salurannya. "Bengtju, jangan seenaknya turun tangan- Patung ini
terbuat dari besi belaka "
siauw Pek tercengang. Ia lalu berkata. "Tapi setelah keadaan kita
begini rupa, tak dapat tidak, kita mesti turun tangan juga. Mari kita
mencoba, dapat kita merobohkan patung ini atau tidak..."
oey Eng terpaksa menurut. Ia lalu menaruh kedua tangannya
pada patung sambil terus mengerahkan tenaganya.
siauw Pek meluncurkan tangan kanannya. Dengan satu isyarat, ia
mengerahkan tenaganya. oey Eng menelan- Namun, patung tak
bergeming sedikitpun juga.
"Mari" kata ketua itu sambil menarik tangan kawannya. Tetapi,
tiba tiba dari empat matanya patung patung Kwan Peng dan Tjiu
Tjong yang berada dikedua sisi patung Kwan Kong itu mengeluarkan
sinar merah marong, disusul dengan sehembusan bau harum sekali,
hingga segera hidung kedua anak muda itu menciumnya, seketika
itu juga keduanya roboh tak sadarkan diri.
juga Kho Kong tidak luput dari hembusan wewangian itu.
Entah telah lewat berapa lama, tatkala ketiga pemuda itu
tersadar, mereka mendapatkan diri mereka terkurung didalam
sebuah penjara air, kedua tangan dan kaki mereka terbelenggu
rantai rantai besi sebesar jeriji tangan, sedangkan tubuh mereka
juga dilibat dengan tambang-tambang otot kerbau, ditambat pada
sebuah tiang batu. Kaki mereka semua, sebatas dengkul ke bawah,
terendam didalam air. oey Eng membuka matanya, melihat
kesekitarnya. "Apakah bengtju sudah sadar?" tanya dia perlahan.
"Ya," Siauw Pek menyahut.
"Asal mereka membuka pintu air, tidak ada satujam, pasti kita
sudah kelelap mampus." kata oey Eng pula. "Sekarang baik kita
mencoba bersabar..."
"Mereka ahli ahli tukang ringkus." berkata Kho Kong. "Dengan
diringkus cara begini, tak dapat kita meronta."
"Yang hebat ialah libatan tambang otot ini" kata Siauw Pek. "Tak
dapat kita lolos kecuali kita mengerti Siu kut hoat, yaitu ilmu
meringkaskan tulang tulang dan daging. sekarang ini, mengarahkan
tenaga dalampun sulit."
"Masih sulit juga," kata oey Eng. " Dengan Siu kut hoat dapat kita
bebas dari libatan, tapi bagaimana kita bisa keluar dari penjara air
ini?" "Habis, kakak oey, apa sekarang kita diam saja menerima
binasa?" tanya Kho Kong.
"Bukan begitu, saudaraku. Kita sabar dulu, untuk melihat salatan
atau kesempatan-Mereka mengurung kita secara begini, itu tanda
bahwa mereka belum menginginkan jiwa kita. Mungkin mereka
mempunyai suatu keperluan- Menurut aku, sekarang baik kita
mengumpulkan tenaga, untuk menunggu saat menggunakannya..."
"Benar, kita harus sabar," Siauw Pek pun kata. "Kita beristirahat
untuk sekalian menantikan saat yang baik."
Karena sering menderita semenjak masih kecil, pemuda ini
mempunyai kesabaran luar biasa, bisa ia menguasai diri.
Kho Kong mendongkol sekali, dia hendak mengumbar hawa
amarahnya, tetapi karena ketua itu berlaku tenang, ia terpaksa
menutup mulutnya.
Sekira waktu sesantapan, tiba tiba mereka bertiga mendengar
satu suara berisik, ketika mereka menoleh, mereka melihat sebuah
pintu terpentang disebelah kanan mereka. Disitu muncul seorang
pemuda yang tangannya memegang sebuah lentera tengloleng
(orang biasa menyebut tanglung, harusnya teng-lung, atau teng
Kisah Para Pendekar Pulau Es 5 Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Pendekar Panji Sakti 21
^