Pencarian

Pedang Pembunuh Naga 3

Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun Bagian 3


Hui Kiam kembali menatap wajah Sukma Tidak Buyar, kemudian berkata:
"Kakek jalan dulu, aku nanti mengikuti dari belakang."
Begitu memasuki pintu gerbang lalu terbentang satu jalanan yang lebar, mungkin dapat dilalui oleh empat ekor kuda dengan bersama.
Di kedua sisi jalannya ditanami pohon rindang, di bagian ujung, terdapat satu tanah lapang untuk melatih silat, melalui tanah lapang itu, barulah rumah-rumah yang dibangun berderet-deret.
Keadaan di sekitar itu tetap sunyi, perkampungan yang begitu luas, tidak terdapat jejak manusia.
Dua orang itu dengan pikiran bimbang saling berpandangan, lalu melanjutkan perjalanannya melalui tanah lapang, kemudian mendaki undakan batu yang menuju ke ruangan tamu.
"Astaga!"
Dua orang itu berseru serentak, suaranya gemetar. Dalam ruangan yang luas itu, bangkai manusia berserakan di lantai, jumlahnya tak kurang dari seratus. Bangkai-bangkai itu sekujur badannya hitam hangus, terang kematian mereka itu disebabkan kena racun yang sangat berbisa.
Wajah Hui Kiam yang dingin tampak berkerenyut, dahinya penuh air peluh.
Siapa yang membunuh orang-orang Sam-goan-Pang ini?"
Dari keadaan di perkampungan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa orang-orang dalam perkampungan ini, mungkin sudah tidak ada yang hidup.
Sam-goan-pang merupakan salah satu golongan besar, kepandaian Sam-goan Lojin pernah menggemparkan dunia Kang-ouw daerah Tionggoan, ini ternyata mengalami nasib demikian menyedihkan, benar-benar tidak bisa dimengerti.
"Kita datang terlambat, kesudahannya sungguh di luar dugaann kita!" berkata Sukma Tidak Buyar dengan suara gemetar:
Hui Kiam melompat melalui bangkai-bangkai itu, berjalan menuju ke ruangan kedua, disini, dulu ia pernah datang satu kali, untuk mengantar barang antaran, yaug berupa kepala orang atas permintaan Wanita Tanpa Sukma.
Di sini kembali terdapat banyak bangkai, darah merah dan hitam membasahi lantai. Di sini mungkin pernah terjadi suatu pertempuran sengit, dari ceceran darah dapat diduga-dan bangkai di ruangan depan, mungkin dipindahkan dari lain tempat, mungkin inilah sebabnya, maka dari pintu gerbang sehingga ke ruangan tamu, tidak tampak bayangan seorangpun juga.
Perkampungan le-hun Sanchung telah berubah menjadi perkampungan neraka penjagalan manusia.
Mata Hui Kiam setelah menyapu keadaan sekitar tempat itu sejenak, lalu menuju ke ruangan tengah, dan apa yang disaksikan" Itu adalah suatu pemandangan yang dapat membangunkan bulu roma.
Tampak olehnya Sam-Goan Lojin dengan tangan memegang pedang dan mata beringas serta jenggot beterbangan, berdiri di dekat tiang rumah, di bawah kakinya rebah menggeletak diri Sam-goan Pangcu, Tan Kee Cun yang sudah menjadi bangkai.
"Locianpwee....." demikian Hui Kiam memanggil dengan suara gemetar.
"Ia" tidak dapat menjawab kau!" demikian Sukma Tidak Buyar berkata.
Hui Kiam menggeretakkan gigi, ia maju menghampiri, benar saja, orang tua itu sudah tidak bernapas, setengah badannya tertahan di tiang, maka ia tidak roboh. Di dahinya terdapat tiga tanda darah sebesar kacang berbentuk segitiga.
Sukma Tidak Buyar berseru kaget:
"Sam ciok-sie!"
Hui-Kiam terperanjat, lalu bertanya:
"Kakek mengatakan bahwa Sam Goan Lojin mati karena serangan jari tangan Sam-Ciok Sie?"
"Benar!"
"Sam-Ciok-Sie ini ilmu kepandaian siapa?"
"Aiw yang Hong jago dari daerah go-sec!"
"Dia.... bagaimana itu mungkin?"
Hui-Kiam dalam hatinya merasa heran. Aiw-yang Hong adalah ayah Aiw-yang Khin, pemuda yang mati dipotong kepalanya oleh Wanita Tanpa Sukma, juga yang akan menjadi menantu Sam-goan Pangcu. Meskipun perjodohan itu menjadi batal tetapi biar bagaimana kedua pihak pernah ada hubungan satu sama lain. Mungkinkah Aiw-yang Hong sampai hati melakukan perbuatan sekejam itu"
Sementara itu orang tua si Sukma Tanpa Buyar itu berkata sendiri:
"Ilmu kepandaian Sam-toksie dari jago daerah Gosee itu, memang merupakan satu kepandaian luar biasa dalam rimba persilatan tetapi apapun alasannya juga tidak sampai ia mengambil jiwa Sam-goan Lojin, kekuatan kedua orang tua itu selisih tidak berapa, kecuali...." berkata sampai di situ, ia nampak berpikir.
"Kecuali apa?"
"Kecuali ada orang lain yang memberi bantuan, atau membokong secara menggelap.
Fakta sudahlah sangat nyata, orang yang mengganas ini jumlahnya tentu tidak sedikit. Jikalau tidak, siapa orang itu yang sanggup melakukan pembunuhan besar-besaran serupa ini tanpa ada seorang yang lolos?"
"Apakah maksud dan tujuan Aiw-yang Hong berbuat demikian?"
"Sudah tentu karena kitab pusaka Thian-khie Po-kip."
"Mari kita melihat ke ruangan belakang."
Di pekarangan belakang, keadaannya lebih menyedihkan, yang mati semua adalah orang-orang perempuan dan anak-anak.
Dengan darah mendidih dan muka beringas Hui Kiam berkata:
"Kalau aku tidak dapat menumpas keluarga Aiw-yang, aku bersumpah tidak mau jadi orang lagi!"
Ia lalu mengadakan pemeriksaan satu persatu pada semua bangkai kaum wanita itu, ternyata tidak melihat bangkai putri Sam-goan Pangcu, Tan Hian Kun. Dalam hatinya lalu berpikir, apakah ia hanya seorang diri yang luput dari cengkeraman maut ini" Atau.....
Keadaan di luar batas prikemanusiaan itu, sesungguhnya sangat menyedihkan. Salah satu golongan besar dalam rimba persilatan, telah musnah dalam waktu satu hari, hal ini sesungguhnya jarang terjadi.
Hawa amarah nafsu membunuh merangsang dalam hati Hui Kiam. seorang yang sering mengalami kejadian ganas, paling
mudah timbul rasa simpati terhadap nasib orang yang menjadi korban keganasan itu, apalagi ia memang sudah bertekad hendak mengubur semua orang jahat dalam kalangan Kang ouw.
Orang tua si Sukma Tidak Buyar bertanya kepadanya:
"Hui siaohiap, bagaimana tindakan kita selanjutnya..........?"
"Apa" Tindakan selanjutnya?"
"Ya."
"Dengan alasan apa kakek hendak bertindak bersama-sama dengan aku?"
"Di satu pihak aku ingin mencari tahu duduk persoalannya, di lain pihak kita di dalam hal ini mungkin sendirian!"
"Apakah maksud kakek hendak mencari Aiw-yang Hong?"
"Apakah kau ingin mengusut kemana kitab pusaka itu?"
"Itu urusanku sendiri......"
"Bagus sekali, sekarang telah berobah menjadi urusanmu sendiri, jikalau aku tidak memberi kabar padamu, bagaimana?"
"Aku sangat berterima kasih padamu."
"Itu tidak perlu. Setiap orang mempunyai kesenangan sendiri-sendiri. Kesenanganku si orang tua adalah suka sekali mengurusi orang lain. Kalau aku sudah campur tangan dalam suatu urusan aku akan terus campur tangan sampai pada akhirnya kini sudah merupakan hobi selama hidupku."
"Perkataan kakek ini mungkin dengan tidak sejujurnya?"
"Apa artinya?"
"Dalam urusan yang kakek ingin turut campur tangan ini, merupakan suatu permainan berbahaya yang akan membawa akibat melayangnya jiwa kakek, jikalau tidak ada maksud tertentu, apakah perlu kakek turut campur tangan?"
"Percaya atau tidak terserah kau sendiri, kalau kau tidak mau pergi aku juga bisa pergi sendiri."
Hui Kiam merasa kewalahan, ia lalu mengalihkan pembicaraannya ke lain soal.
"Mengapa di sini tidak ada orang yang memikirkan untuk mengubur jenazah orang-orang ini?"
"Kau tidak usah khawatir. Anak buah Sam-goan-pang tidak mungkin mati seluruhnya, mereka yang berada di luaran kalau mendengar berita ini pasti akan kembali. Yang kita khawatirkan adalah soal kita dapat menemukan Aiw-yang Hong atau tidak?"
"Kenapa?"
"Jikalau pengganasan ini benar dilakukan oleh Aiw-yang Hong, apalagi bila ia sudah dapatkan kitab pusaka itu. sudah tentu ia akan kabur jauh-jauh. Tetapi di lain pihak, jikalau perbuatan itu ia lakukan secara rahasia, bagaimana bodohnya juga tidak akan meninggalkan tanda tiga jari tangan Sam co-sienya di badan Sam-goan Lojin, yang berarti mencari susah sendiri. Selain daripada itu, di daerahnya yang mempunyai harta kekayaan yang besar, apakah ia dapat meninggalkan begitu saja?"
"Tepat. Dan menurut perdapat kakek bagaimana?"
"Dalam peristiwa ini ada terdapat banyak hal yarg mencurigakan. Paling baik kita lekas pergi ke sana untuk menyaksikan sendiri."
Di kota Kui-ciu, terdapat sebuah gedung mewah yang hampir menempati setengah komplek jalan di satu jalanan sebelah selatan. Gedung itu adalah tempat kediamannya Aiw-yang Hong yang terkenal dengan jago Gosee.
Di depan pintu gedung mewah itu, berdiri dua orang penjaga pintu yang pada hari itu nampaknya sangat lesu.
Seorang tua yang sudah loyo dan seorang pemuda gagah berbaju putih dan bersikap dingin, datang menghampiri dua penjaga pintu itu.
Seorang dari penjaga pintu itu berkata kepada kawannya:
"Ada orang datang lagi."
Kawannya itu menjawab:
"Ini rombongan yang ke-sepuluh........."
Orang tua berbadan loyo itu memberi hormat dan berkata kepada penjaga pintu:
"Aku si orang tua si Sukma Tidak Buyar, ingin menengok tuanmu. Tolong kabarkan kepadanya!"
Dua penjaga pintu itu ketika mendengar disebutnya nama julukan itu, wajah mereka berubah seketika. Satu di antaranya lalu berkata sambil menghela napas: "Silahkan masuk, tidak perlu melapor dulu!"
Jawaban itu mengejutkan kedua tetamunya yang bukan lain dari pada si Sukma Tidak Buyar dan Hui Kiam.
Dalam hati merasa segera ada apa-aoa yang agak aneh, dengan tanpa banvak bicara, lalu masuk ke dalam dengan langkah lebar.
Di tengah ruangan yang luas, terdapat meja sembahyang. Hui-Kiam mengawasi si Sukma Tidak Buyar sejenak dengan tidak berkata apa-apa, tetapi dari sinar matanya sudah menunjukkan perasaan terkejutnya.
Di depan meja sembahyang nampak kosong tiada seorangpun yang menjaga.
Tatkala dua tamu itu maju ke depan meja sembahyang, dari dalam muncul seorang tua yang segera menyongsong mereka seraya berkata dengan nada suara dingin: "Apakah tuan-tuan juga ingin memeriksa dan membuktikan kebenaran tentang kematian majikanku?"
Pertanyaan itu sangat mengejutkan kedua temannya. Si Sukma Tidak Buyar lalu menanya dengan suara gemetar.
"Apa" Apakah saudara Aiw-yang sudah meninggal dunia?"
"Ya, bagaimana sebutan tuan?"
"Aku adalah si Sukma Tidak Buyar, benar-benar ada suatu kejadian di luar dugaanku!"
"Kedatangan tuan ini"."
"Aku sebetulnya ingin menanyakan suatu persoalan kepada saudara Aiw-yang, tidak duga ia sudah menutup mata. Entah kapan....?"
"Tadi malam jam tiga hampir subuh, majikanku pulang dari luar, telah diserang secara mendadak oleh seorang yang tidak dikenal di dalam pekarangan rumah sendiri."
"Oh; tetapi bagaimana bentuk perawakannya orang yang menyerang itu?"
"Tidak tahu. Penyerang itu menggunakan pedang, tinggi kepandaiannya kita tidak dapat membayangkan, nampaknya majikan kita tidak ada kesempatan untuk memberi perlawanan, ketika mendengar suara jeritan ngeri, orang-orang dalam rumah segera keluar, di situ baru mengetahui bahwa majikan kita dengan enam orang anak murid yang mengiringnya malam itu, semua telah binasa, tak seorangpun lolos sedang penyerangnya telah kabur."
"Apakah saudara kepala pengurus rumah tangga sini?"
"Ya!"
"Barusan kau kata hendak memeriksa dan membuktikan kebenaran kematian majikanmu, apakah maksudnya......?"
"Majikan kita sudah mengalami nasib malang belum terang tanah sudah ada sahabat-sahabat rimba persilatan yang datang mencari. Mereka mengatakan hendak menyaksikan jenazah majikan sendiri. Dalam waktu singkat orang yang datang menengok sudah ada sembilan rombongan banyaknya. Ibu majikan telah memperintahkan kita jangan masukkan jenazah majikan ke dalam peti dulu supaya mereka dapat menyaksikan sendiri!"
"Tahukah apa sebabnya?"
"Orang-orang yang datang itu setelah melihat lantas berlalu, mereka tidak berkata apa-apa."
Hui Kiam berpikir keras, ada satu kemungkinan! Aiw-yang Hong setelah mengganas kepada Sam-goan-pang, dan berhasil
mendapatkan kitab pusaka Thian-khie Po-kip, lalu diikuti oleh orang lain dan dibunuh dan dirampas kitabnya. Ada juga kemungkinannya bahwa pembunuhnya itu adalah sekutunya sendiri.
Kitab pusaka Thian-khie Po kip itu adalah barang peninggalan gurunya Hui Kiam yang ia sedang cari, yang mungkin juga menyebabkan kematian si-supeknya. Andaikata Sam-goan Lojin adalah orang pertama yang menemukan kitab ifu, mungkin si-supek itu mati di tangannya. Akan tetapi Sam-goan Lojin sendiri kini sudah binasa, sudah tentu tidak dapat diminta keterangannya.
Dan sekarang, orang ke-dua yang mendapat kitab itu juga sudah binasa, siapakah selanjutnya yang mendapat kitab pusaka itu" Hawa nafsunya yang semula berkobar, kini telah mereda oleh kejadian di luar dugaan ini. Aiw-yang Hong sudah mati, tidak perduli ia ada orang yang mengganas kepada Sam-goan-pang atau bukan, tetapi pada saat itu ia benar-benar tidak bisa bertindak terhadap keluarganya.
Pengurus rumah tangga itu lalu berkata kepada kedua tamunya:
"Tuan-tuan sudah datang, silahkan menengok jenazah majikan!"
Sehabis berkata ia lalu mengajak tamunya ke dalam. Hui Kiam dan si Sukma Tidak Buyar saling berpandangan, kemudian mengikuti pengurus rumah tangga itu masuk ke dalam. Di belakang tirai kain putih, ada sebuah peti mati yang tidak ditutupi. Dalam peti itu, rebah membujur seorang tua berpakaian merah, air mukanya sudah dingin kaku, masih menunjukkan bekas rasa takutnya, terang bahwa orang tua itu sebelum matinya pernah mendapat ancaman hebat.
Orang sudah mati, sedikitpun tidak bohong, tetapi siapakah pembunuhnya" Dengan kekuatan dan kepandaian Aiw-yang Hong, ditambah lagi dengan enam anak muridnya ternyata tidak sanggup memberi perlawanan sedikitpun juga, sedangkan tempat kejadiannya justru dalam pekarangan rumahnya sendiri, maka kita dapat bayangkan betapa tingginya kepandaian pembunuh itu.
Hui Kiam setelah berpikir beberapa kali, lalu bertanya kepada pengurus rumah tangga itu:
"Bolehkah aku menanyakan beberapa soal?"
"Boleh!"
"Harap tuan suka menceritakan terus-terang; jam berapa majikanmu keluar, apa yang dilakukan dan kemana perginya?"
"Majikan sudah keluar tiga hari lamanya, katanya hendak menengok sahabat, tadi malam baru pulang!"
"Siapakah orang yang akan dikunjungi oleh majikanmu?"
"Sebelum berangkat majikan berkata hendak ke Ie-hun San-chung!"
"Apakah hendak menengok Sam-Goan-Lojin?"
"Mungkin!"
Hati Hui-Kiam kembali bergolak, nampaknya Aiw-yang Hong ini benar-benar adalah pembunuh orang-orang Sam-Goan-pang. Tetapi jikalau tidak ada orang lain berkepandaian amat tinggi yang memberi bantuan, dengan hanya kekuatannya Aiw-yang Hong sendiri serta enam anak muridnva, tidak mungkin ia dapat melakukan perbuatan tersebut, kecuali sudah direncanakan masak-masak. Di antara orang-orang Sam-Goam-pang yang telah mati, itu sebagian besar menjadi korban racun berbisa.
Ia lalu bertanya pula: "Waktu majikanmu pergi hendak menengok sahabatnya, kecuali enam anak muridnya sendiri, apakah masih ada orang lain yang pergi bersama-sama?"
"Tidak ada."
"Pada waktu belakangan ini apakah ada sahabat dari rimba persilatan yang datang kemari?"
"Mengapa sahabat hendak bertanya sedemikian teliti?"
"Sudah tentu ada sebabnya, kuharap kau suka menceritakan terus terang."
Pengurus rumah tangga itu berpikir sejenak baru menjawab:
"Ada setengah bulan bercelang Liang-gie Sie-seng pernah datang kemari berdiam sekian waktu lamanya."
Si Sukma Tidak Buyar segera berkata dengan suara kaget:
"Liang-gie Sie-seng seorang ahli kenamaan dalam menggunakan berbagai racun. Sudah cukup, mari kita pergi."
Hui Kiam bercekat. Keadaannya mendekati dugaannya hanya tiada seorang belum banyak pengalamannya sehingga tidak tahu siapa itu Liang-gie Sie-seng. Nampaknya orang tua si Sukma Tidak Buvar itu pasti tahu baik orang ini. Dalam persahabatannya selama beberapa hari ini, ia sudah tahu bahwa si Sukma Tidak Buyar ini adalah seorang Kang-ouw kawakan, pengalamannya mungkin lebih banyak dari pada si Manusia Gelandangan.
Pengurus rumah tangga itu kini baru bertanya kepada tamu mudanya itu:
"Siapa nama siaohiap yang mulia?"
"Aku Penggali Makam!"
Pengurus rumah tangga itu membuka lebar kedua matanya. Ia mundur dua langkah dan berkata dengan suara gemetar:
"Kau.........kau Penggali Makam?"
Hui-Kiam dengan sikap dingin menganggukkan kepala dan berkata:
"Benar!"
"Tidak terduga kalian datang sendiri."
"Apa artinya?"
Tepat pada saat itu, seorang wanita setengah tua berpakaian putih muncul dari dalam. Dengan wajah beringas dan sikapnya yang menakutkan, wanita itu berkata sambil menunjuk Hui-Kiam:
"Penggali Makam, aku hendak cincang tubuhmu!"
Dalam hati Hui Kiam mesti dikejutkan oleh sikap dan perkataan perempuan itu tetapi di luarnya masih mengunjukkan sikapnya yang dingin keras. Dengan suara datar ia bertanya:
"Apa sebabnya?"
Wanita itu menjawab dengan suara bengis:
"Apa sebabnya" Tanyalah kepada dirimu sendiri."
Hui Kiam tiba-tiba memikirkan sesuatu hal, maka ia lalu bertanya:
"Apakah nyonya ini adalah nyonya Aiw-yang sendiri?"
"Benar!"
"Apakah nyonya hendak maksudkan tentang kematian anak nyonya pada waktu hari pernikahannya?"
Mata nyonya Aiw-yang itu menunjukkan kemarahan yang sudah memuncak. Ia berkata dengan suara bengis: "Penggali Makam, ada permusuhan apakah antara kau dengan anakku, mengapa kau berbuat begitu kejam terhadapnya?"
"Anakmu itu bukan aku yang membunuh."
"Kau membantah?"
Pada saat itu satu suara seorang perempuan berkata dengan suara yang nyaring:
"Apa yang ia katakan memang benar, akulah orang yang membunuh Aiw-yang Khin!"
Suara itu lalu disusul oleh datangnya seorang perempuan muda berbaju merah cantik sekali, perempuan itu bukan lain dari pada Wanita Tanpa Sukma.
Kedatangan wanita itu, apalagi ia segera mengakui kesalahannya, benar-benar di luar dugaan Hui Kiam.
Semula nyonya Aiw-yang Hong terperanjat, kemudian berkata dengan nada suara bengis:
"Kau.......siapa ?"
"Wanita Tanpa Sukma."
"Kau membunuh anakku!"
"Benar, aku membunuhnya tetapi masih belum dapat menghapus rasa dendam dan sakit hatiku."
"Kau......."
Aiw-yang Khin telah mempermainkan diriku. Semula ia memikat dan merayu aku tetapi kemudian ia buang aku seperti sampah lalu hendak kawin dengan perempuan lain. Tiga hari ke muka sebelum hari kawinnya, aku pernah berlutut di hadapannya dan minta kepadanya, tetapi ia tak bergerak sama sekali, sementara itu, di dalam perutku sudah ada bibit keturunan....."
Berkata sampai di situ air mata mengalir bercucuran.
Nyonya Aiw-yang, mundur dua langkah, rasa terkejut menggantikan rasa marahnya.
Wanita Tanpa Sukma dari badannya mengeluarkan sebuah batu kumala lalu berkata pula:
"Nyonya, ini adalah barangmu. Benda ini berikan kepadanya sebagai tanda mata pertunangan kau rasanya masih dapat mengenalinya, bukan?"
"Aku" kenal nona, dalam perutmu......"
"Ha, ha ha!" suara tertawa yang menusuk telinga, tercampur dengan suara hancurnya benda nyaring, ternyata batu kumala itu sudah dilempar ke tanah dan hancur berantakan.
Hui Kiam melambaikan tangan kepada si orang tua Sukma Tidak Buyar, seraya berkata:
"Kakek, mari kita pergi."
Keluar dari gedung keluarga Aiw-yang, Hui Kiam berkata:
"Kakek, andaikata Aiw-yang Hong bersekutu dengan Liang-gie Sie-seng untuk menghadapi Sam-goan-pang, terlebih dulu menggunakan racun yang menyebabkan Szm-goan Lojin dan
anaknya kehilangan tenaga melawannya kemudian bertindak kepada orang-orang bawahannya ini dan juga telah mendapatkan kitab pusaka dari Thian-kie Po-kip, dan Liang-gie Sie-seng lalu timbul pikhannya hendak mendapatkan kitab pusaka itu, dengan cara yang serupa ahli racun itu lebih dulu menggunakan racunnya kemudian dilukakan dengan pedang, dengan mudah sekali ia dapat membinasakan Aiw-yang Hong bersama enam muridnya. Apakah kemungkinan ini ada?"
"Itu mungkin, aku sendiri juga berpikir demikian!"
"Di mana tempat tinggalnya Liang-gie Sie-Seng?"
"Di perbatasan propinsi Su-coan, di dekat lembah Bu-hiap."
"Terima kasih!"
"Jangan terburu-buru, mari kita cari bersama-sama."
"Kakek agaknya sangat gembira terhadap perkara ini?"
"Angaplah demikian. Kita harus segera keluar kota, pergi beristirahat di tempat yang agak tenang. Di situ kita boleh makan dan minum arak dulu, kemudian kita melanjutkan perjalanan. Kota ini termasuk daerah kekuasaan orang-orang Persekutuan Bulan Emas, daripada banyak urusan lebih baik kurang urusan, kau pikir bagaimana?"
"Begitupun baik!"
Keluar dari kota, Sukma Tidak Buyar lalu berkata sambil menunjuk ke sebelah barat jalan raya:
"Kira-kira lima pal dari sini ada sebuah kota kecil. Tempat itu terkenal dengan pengcluaran araknya yang paling enak. Umumnya orang menganggap bahwa arak itu keluaran dari ibukota propinsi Su-coan, sebetulnya keliru."
Setelah itu orang tua itu menyebutkan banyak namanya arak-arak yang terkenal, tetapi karena Hui-Kiam tidak gemar minum arak maka ia alihkau pembicaraannya ke lain soal.
"Tidak disangka Wanita Tanpa Sukma itu bisa datang kemari."
"Tetapi aku sudah duga ia pasti akan datang!"
"Sebabnya?"
"Kau tentunya masih ingat, aku pernah berkata kepadanya tentang diri Bu-theng Kongcu, itu sebetulnya hanya membohonginya. Aku sudah menghitung dengan cepat, setelah ia tak berhasil menemukan pemuda itu, pasti dengan kabar berita tentang kitab pusaka Thian-kie Po- kip dan langsung menuju ke Sam-goan-pang. Tetapi Sam-goan-pang sudah terjadi hal-hal di luar dugaan, sudah tentu ia akan berjalan mencari kita. Bagaimana kau pikir?"
"Memang sangat beralasan. Tetapi ia sudah mengandung. Kandungannya itu terhitung darah daging keluarga Aiw-yang, mengapa ia harus membunuh Aiw-yang Khin" Urusan ini...."
"Urusan remeh semacam ini aku si orang tua tidak suka campur tangan!"
Ketika mereka sedang berjalan, Sukma Tidak Buyar tiba-tiba menghentikan kakinya. Sambil kerutkan keningnya ia berkata:
"Perjalanan ini tidak baik, aku tidak jadi minum arak!"
"Kenapa?" tanya Hui-Kiam kaget.
"Kita sudah masuk perangkap!"
"Masuk perangkap"! Apa artinya?"
"Di depan ada musuh, di belakang ada yang mengejar, bukankah berarti ini masuk perangkap?"
Hui-Kiam mengawasi ke depan dan ke belakang, tetapi keadaan jalan raya tetap sepi, tiada tertampak bayangan orang selain daripada itu, dengan kekuatannya pada masa itu bagi orang biasa yang dalam sejarak sepuluh tombak di sekitarnya jangan harap bisa lolos dari pendengarannya.
Tetapi saat itu pemandangannya terang benderang, tempat sejarak lima puluh tombak masih tampak oleh matanya, apakah
orang tua Sukma Tidak Buyar mempunyai pengetahuan lebih dulu sebelum sesuatu terjadi" Ataukah ia ingin membuat malu dirinya"
Karena berpikiran demikan, maka ia lalu berkata dengan napda suara dingin:
"Tetapi aku tidak dapat lihat ada tanda apa-apa."
"Sudah dekat, mereka akan lekas menunjukkan diri, maksudnya adalah kau!"
"Perkataan kakek ini pasti ada dasarnya?"
"Sudah tentu. Nah, kau lihat, bukankah itu orang yang datang?"
Hui Kiam kini memasang mata benar-benar. Benar saja, di dua ujung jalan raya ada beberapa titik hitam bergerak mendatangi, dalam waktu sekejap mata saja titik hitam itu berobah menjadi bentuk manusia. Dalam hatinya lalu timbul curiga, apakah itu akal muslihatnya orang tua yang sangat misterius itu"
"Orang dari golongan mana mereka itu?"
"Orang-orang dari Persekutuan Bulan Emas?"
"Adakah itu rencanamu?"
"Apa maksud pertanyaanmu ini?"
"Ha, ha ha ha, kakek di dalam Persekutuan Bulan Emas, kau mempunyai kedudukan apa, mungkin tidak rendah ya?"
Sukma Tidak Buyar melototkan matanya lalu berkata:
"Hui Kiam, kau jangan pikir yang bukan-bukan. Kedatangan mereka itu dengan tujuan dan tekad yang bulat, penumpahan darah sudah tidak dapat dihindarkan lagi. Saat itu kau
nanti harus menurut perkataanku dalam suatu tindakanmu. Jikalau kau tidak beruntung terjatuh di tangan mereka, bagaimana akibatnya kau boleh bayangkan sendiri"."
Sementara itu beberapa orang berpakaian hitam yang jumlahnya hampir dua puluh jiwa telah datang dari dua jurusan dan mengambil sikap mengurung terhadap dua orang itu.
Hui Kiam masih setengah percaya setengah tidak terhadap perkataan Sukma Tidak Buyar, tetapi sang waktu sudah tidak mengijinkan ia banyak berpikir lagi.
Di antara rombongan orang berpakaian hitam itu, nampak keluar seorang yang lengannya tinggal sebelah, lalu berkata dengan nada mengejek:
"Penggali Makam, kita bertemu lagi. Dunia memang luas, tetapi bagi orang-orang yang bermusuhan dirasakan sempit. Selamat bertemu!"
Orang itu, bukan lain dari pada Utusan Bulan Bintang yang dahulu sebagai utusan untuk mengantarkan barang antaran kepada Sam-goan Lojin di Sam-goan-pang, tetapi telah dipotong sebelah lengannya oleh Hui Kiam.
Hui Kiam menyapu orang-orang di sekitarnya. Diantara mereka itu kecuali dua orang tua yang masing-masing bersenjata pedang, yang lainnya nampak masih muda-muda dan berbadan kuat, di belakang mereka masing-masing membawa sebilah pedang. Hui Kiam lalu menatap wajah utusan yang lengannya tinggal satu itu dan berkata kepadanya dengan nada dingin:
"Dahulu aku cuma mengutungi satu lenganmu semata-mata karena jangan sampai Sam-goan Lojin mendapat susah. Tetapi hari ini, kematianmu sudah tiba!"
Salah satu dari kedua orang tua yang membawa pedang maju dua langkah dan berkata kepada utusan lengan satu:
"Nomor delapan, kau mundurlah!" kembali ia berpaling dan berkata kepada seorang berjanggut: "Nomor dua, kau coba menghadapinya!"
"Baik!"
Utusan lengan satu yang disebut nomor delapan lalu mengundurkan diri, dan utusan nomor dua sambil menghunus pedang maju ke hadapan Hui-Kiam seraya berkata:
"Penggali Makam, hunuslah pedangmu!"
Hui-Kiam dengan sikap tenang dingin perlaban-lahan menghunus pedangnya. Ia berdiri dengan sikap acuh tak acuh, ujung pedang menunjuk ke bawah, ini merupakan pembukaan ilmu pedangnya yang hebat itu.
Suasana menjadi gawat, pembunuhan tidak akan dapat dihindarkan lagi.
Di lain pihak, orang tua membawa pedang, sudah berhadapan dengan Sukma Tidak Buyar dan berkata kepadanya:
"Apakah tuan ini orang yang mempunyai nama panggilan Sukma Tidak Buyar?"
"Benar!"
"Hari ini sukmamu mungkin akan buyar."
"Ha, ha, ha, bagaimana sebutan sahabat"''
"Anggota badan pelindung hukum Persekutuan Bulan Bintang, Malaikat dari Langit Kim Kui!"
"Sungguh tidak kuduga kalian dua saudara ternyata sudah menjadi anggaota badan pelindung dari Bulan Emas, dan yang satu itu tentunya adalah adikmu si Malaikat dari Bumi Kim Go!"
Orang tua itu berkata sambil menatapkan matanya kepada orang tua yang berdiri di samping Hui Kiam, suaranya nyaring, maksudnya ialah untuk memberitahukan kepada Hui Kiam bahwa dua orang tua itu adalah dua Malaekat Langit dan Bumi, yang namanya menggetarkan golongan hitam dan putih.
Hui Kiam meskipun sudah mendengar perkataan Sukma Tidak Buyar, tetapi karena pengalamannya belum banyak, ia tidak tahu dua Malaekat Langit dan Bumi itu orang dari mana, maka ia tidak menaruh perhatian.
Malaekat Langit Kim Hui menatap wajah Sukma Tidak Buyar sejenak lalu berkata:
"Nama aslimu?"
"Nama asliku sudah hilang, tinggal nama julukan yang tidak sedap kedengarannya ini!"
"Ada hubungan apakah kau dengan Penggali Makam?"
"Kawan sejalan."
"Maksudmu apakah kawan sejalan dalam menghadapi kepada persekutuan kami?"
"Aku tidak berkata demikian, kawan sejalan ialah kawan sama-sama jalan."
"Kau menyangkal ada hubungan dengan dia?"
"Juga tidak menyangkal."
"Inilah paling baik. Tahukah kau apa akibatnya orang-orang yang berani bermusuhan dengan persekutuan kami?"
"Jelas sekali!"
''Bagus, tiga hari, kemudian kau harus datang melaporkan diri ke kantor cabang kita di daerah Go-see. Sekarang kau boleh pergi!"
"Maaf, kalau mau pergi harus bersama-sama pergi, dengan dia sudah menjadi kawan sejalan, tidak boleh tidak harus mempunyai sedikit perasaan setia kawan!"
"Kau ingin aku bertindak?"
"Apa boleh buat!"
"Di bawah tanganku selamanya tidak ada yang hidup, tentang ini kau tentunya mengerti?"


Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sukma Tidak Buyar selamanya tidak bisa mati, tentang ini kau tentunya juga mengerti!"
"Bagus, mari kita coba!"
Dengan tanpa banyak rewel orang tua itu sudah melancarkan serangannya dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam.
Sukma Tidak Buyar terdorong mundur satu langkah, nyata kekuatan tenaga dalamnya masih kalah setingkat.
Tetapi ia segera maju lagi dan balas menyerang, sehingga keduanya lalu bertempur sengit.
Di lain pihak, Hui Kiam dan utusan nomor dua, masih berhadapan bagaikan patung. Ini merupakan pertandingan mengadu keuletan, untuk siapa yang goyah pikirannya segera mendapat serangan yang membahayakan jiwa. Pertandingan semacam itu di luar nampak tenang, tetapi sebetulnya paling berbahaya.
Di wajah Hui Kiam nampak semakin tebal kemarahannya, maksudnya membunuh yang tidak tertampak wujudnya semakin meluap.
Dahi utusan nomor dua sudah penuh keringat, pedang di tangannya tiba-tiba nampak sedikit gemetar, hanya sedikit perubahan itu saja dalam mata orang kuat, sudah merupakan suatu kesempatan baik untuk mengambil jiwanya.
Malaikat Bumi Kim-Go yang menyaksikan hal yang demikian segera berseru:
"Nomor dua mundur............."
Hampir bersamaan pada saat itu suara jeritan mengerikan terdengar, tubuh utusan nomor dua sudah terkutung menjadi dua potong hingga isi perut dan darah berhamburan di tanah.
Setiap orang yang ada di situ, semua dikejutkan oleh kejadian itu.
Hui-Kiam masih tetap berdiri di tempatnya, ujung pedang masih tetap menunjuk ke bawah seolah-olah belum pernah digerakkan, hanya ujung pedang nampak tanda darah yang masih menetes ke tanah.
Semua orang-orang Bulan Emas sama terkejut. Dalam waktu sepintas lalu saja, selanjutnya semua nampak beringas, agaknya ingin mencoba kepandaian pemuda itu, setiap orang sudah siap hanya menantikan komando pemimpinnya.
Malaikat Bumi Kim-Go memperdengarkan suara tertawanya yang menyeramkan. Dengan pedang di tangan kirinya ia berkata:
"Penggali Makam, aku ternyata salah hitung terhadap dirimu. Sekarang serahkanlah jiwamu!"
Ucapannya itu ditutup dengan satu serangan. Gerakan pedangnya menimbulkan suara mengaung di udara, serangannya cepat, ganas dan tepat.
Hui-Kiam kembali menggunakan ilmu pedangnya yang cuma satu jurus itu saja untuk melawan musuhnya.
Dalam waktu sekejap mata saja, kedua pihak sudah saling menyerang sepuluh kali lebih, satu bukti bahwa ilmu pedang kedua pihak semua merupakan ilmu pedang yang lain dari biasanya.
Ilmu pedang Hui-Kiam yang mempunyai gerak tipu satu jurus saja, sudah digunakan berulang-ulang. Meskipun hanya satu jurus, tetapi hebatnya luar biasa. Meski Malaikat Bumi sudah mengeluarkan seluruh kepandaiannya, ternyata masih tidak berdaya. Meski ia tahu bahwa ilmu pedang lawannya itu hanya sejurus saja, tetapi ia tidak dapat menemukan kelemahannya.
Di lain pihak, pertempuran antara Sukma Tidak Buyar dengan Malaikat Langit Kim Kui meskipun yang tersebut lebih dulu agak kalah sedikit setingkat kekuatan tenaga dalamnya, tetapi dengan mengandalkan gerakannya yang lincah dan aneh, ia masih dapat mengimbangi sampai berapa puluh jurus.
Dengan cepat pertempuran dua rombongan itu sudab berlangsung lima puluh jurus lebih. Hui Kiam yang berhasil merebut posisi, lalu melancarkan serangannya dengan sepenuh tenaga sehingga membuat lawannya terus mundur dan hanya mampu menangkis, tidak bisa membalas sama sekali.
Sesaat kemudian, terdengar suara seruan tertahan, ketiak kiri Malaikat Bumi tertusuk ujung pedang Hui Kiam, darah mengucur terus tetapi ia mencoba untuk bertahan terus. Sementara itu beberapa orang anak buahnya semua menantikan dengan pedang terhunus, asal ada perintah dari Malaikat Bumi, segera menyerang bersama.
Hui Kiam dikejutkan oleh keuletan Malaikat Bumi itu. Ilmu pedangnya yang mematikan itu, meski sudah digunakan berulang-ulang sampai lima puluh kali tetapi masih belum merobohkan lawannya, sedangkan kekuatan tenaga dalamnya sendiri, sudah mulai berkurang. Jika semua anak buah Bulan Emas itu maju bersama-sama, bagaimana akibatnya tidak dibayangkan, akan tetapi ia sedikitpun tidak mempunyai pikiran untuk lari....
Di pihaknya Sukma Tidak Buyar, dengan gerakannya yang lincah ia bergerak kesana kemari bagaikan berkelebatnya bayangan, ada kalanya juga balas menyerang. Orang tua misterius itu agaknya menganggap pertempuran itu bagaikan permainan saja, andaikata ia mau berlalu dari situ, mudah saja baginya, dan mungkin tiada seorangpun yang dapat merintanginya. Tetapi ia tidak mau berbuat demikian. Setelah dapat melihat gelagat agak merugikan di pihaknya, tiba-tiba ia berseru:
"Penggali Makam, simpan tenagamu untuk digunakan lain lagi, mari kita pergi!"
Hui Kiam tergerak hatinya, tetapi ia tidak memberikan reaksi apa-apa, ia masih tetap menyerang dengan hebat, agaknya sudah bertekad hendak merobohkan lawannya.
Malaekat bumi keadaannya sudah sangat berbahaya, tetapi ia masih belum mengeluarkan perintah kepada anak buahnya untuk menyerang musuhnya secara beramai. Inilah sifat khas bagi orang gagah, mereka lebih suka mati daripada ternoda namanya.
Pada saat yang sangat gawat itu, tiba-tiba muncul seorang yang membawa buli-buli besar di pundak kirinya dan kantong besar di pundak kanannya. Orang tua itu bukan lain daripada Manusia Gelandangan Ciok Siao Ceng.
Semua orang dari Persekutuan Bulan Emas segera bergerak mundur ke samping dan semua membongkokkan badan memberi hormat seraya berkata:
"Selamat pagi bapak komandan?"
"Sudah tidak perlu."
Hui Kiam yang menyaksikan keadaan orang tua aneh itu, sesaat badannya dirasakan hampir mau meledak. Sungguh tidak disangka bahwa seorang pendekar tua yang sudah kenamaan dalam rimba persilatan, ternyata sudah menjadi mabuk karena pengaruhnya mas, sehingga mengabdikan diri kepada Persekutuan Bulan Emas, bahkan sudah diangkat sebagai komandan. Tetapi meski kedudukannya kedengarannya tinggi sekali, padahal cuma bagaikan seekor anjing yang dituntun oleh majikannya. Orang-orang Persekutuan Bulan Emas telah bermaksud hendak menguasai dunia, hal itu sudah diketahui oleh semua orang. Manusia Gelandangan itu sudah mendapat nama baik dalam rimba persilatan, masih menyediakan tenaga untuk membantu orang-orang jahat itu mencapai cita-citanya, hal ini sesungguhnya sangat memalukan.
Sukma Tidak Buyar lalu berseru dengan sikap suaranya yang sangat lucu:
"A ha.....! Bagus sekali kau Manusia Gclandangan sekarang ternyata juga menjadi komandan dalam Persekutuan Bulan Emas, aku merasa sangat malu terhadap perbuatanmu ini!"
Orang tua aneh itu mulutnya berteriak-teriak tetapi gerak badannya masih tetap lincah, sedangkan Malaikat Langit menyerang semakin hebat.
"Bocah, kalau kau tidak segera pergi nanti sudah tidak keburu lagi," demikian ia berseru kepada Hui-Kiam.
Kemudian ia sendiri mengeluarkan suara geraman hebat, lalu melepaskan diri dari tangan musuhnya. Sebentar kemudian ia sudah berada di suatu tempat sejauh delapan tombak. Kecepatan gerak kakinya itu sesungguhnya sangat mengagumkan.
Akan tetapi, walaupun ia cepat, si Manusia Gelandangan bertindak lebih cepat. Orang hampir tidak melihat bagaimana ia bergerak tahu-tahu sudah berada di hadapan Sukma Tidak Buyar. Dengan satu ayunan tangan, ia telah berhasil memaksa Sukma Tidak Buyar terputar balik lima tombak jauhnya.
Sementara itu ujung pedang Malaekat Langit sudah mengancam kepada dirinya.
Tetapi Manusia Gelandangan kemudian berseru:
"Kim Kui kau menyingkir, aku hendak membunuhnya sendiri!"
Malaekat Langit menarik kembali pedangnya lalu pergi membantu saudaranya mengerubuti Hui Kiam. Dengan demikian keadaan lantas berubah. Hui Kiam berbalik terdesak".
Sukma Tidak Buyar berkata dengan suara keras:
"Penggali Makam, kau jangan mengagungkan kegagahanmu. Kau mati tidak apa, tetapi aku Sukma Tidak Buyar tidak ada orang yang akan menuntutkan balas dendam, mati juga penasaran!"
Perkataan itu menggetarkan hati dan jiwa Hui Kiam.
Sementara itu Manusia Gelandangan sudah menyerang Sukma Tidak Buyar. Tiga jurus kemudian ia sudah tidak berdaya, gerakannya yang demikian lincah ternyata sudah tidak ada gunanya.
Di lain pihak, Hui Kiam sudah terkena tiga serangan hingga mundur terhuyung-huyung. Tetapi di pihaknya Malaikat Langit juga terbabat pundaknya oleh pedang Hui Kiam, darah mengucur keluar, hampir ia roboh.
---ooo0dw0ooo---
JILID 6 KEDUA pihak sudah terluka tetapi pertempuran berlangsung terus. Malaekat Bumi serangannya sudah mulai kendor, walaupun demikian karena kekuatan dalam Hui Kiam sudah mulai berkurang, maka kalau dibanding keadaannya Hui Kiam yang lebih berbahaya.
Sementara itu Sukma Tidak Buyar sudah terkena serangan Manusia Gelandangan, mulutnya sudah mulai mengeluarkan darah.
Hui Kiam yang menyaksikan keadaan demikian, lalu mengerahkan seluruh sisa tenaganya, dengan secara kalap melancarkan serangannya.
Saat itu terdengar suaranya Sukma Tidak Buyar:
"Penggali Makam, aku sudah pasti akan mati. Kau masih belum ingin pergi, apakah kau ingin mati bersama-sama" Bocah, ingatlah musuhmu"."
Tetapi pada saat itu kembali ia terkena salah satu serangan lagi sehingga badannya sempoyongan hendak pergi.
Mendengar perkataan terakhir dari Sukma Tidak Buyar tadi, dalam hati Hui Kiam lalu menjerit: "Ya, aku tidak boleh mati!"
Dengan sisa tenaganya ia melancarkan serangan untuk paksa mundur dua musuhnya, kemudian ia melompat melesat sambil berseru: "Manusia Gelandangan, satu hari kelak aku akan cincang tubuhmu!"
Setelah mengucapkan demikian, ia sudah berada di tempat jauh sejauh delapan tombak.
"Bocah, lari ke utara!"
Baru saja Hui Kiam merasa heran, ia sudah melihat Sukma Tidak Buyar yang mengeluarkan ucapan tadi sudah rubuh di tangan Manusia Gelandangan.
Hati Hui Kiam merasa sedih sekali, tetapi dalam keadaan demikian ia sudah tidak mempunyai tenaga untuk membantu kawannya.
Sebentar kemudian sepuluh lebih orang berpakaian hitam kembali sudah mengerubuti padanya.
Perasaan gemas dan ingin hidup, menyebabkan Hui Kiam melawan mati-matian kepada musuh-musuhnya itu. Setelah tiga musuhnya binasa di tangannya, yang lainnya merasa gentar.
Hui Kiam melompat melesat lagi. Pikirannya agak kalut. Ia cuma ingat pesan Sukma Tidak Buyar, lari menuju ke arah utara. Tapi apa sebabnya harus menuju ke arah utara ia sudah tidak dapat memikirkan lagi.
Di antara riuhnya suara bentakan, orang-orang Bulan Emas mulai mengejarnya.
Hui Kiam mengerahkan ilmunya lari pesat kabur ke arah utara.
Luka di badannya mengeluarkan darah. Akan tetapi ia tidak menghiraukan sama sekali. Ia mengerti, apabila ia kendorkan kakinya, sekalipun tidak dibunuh mati oleh musuhnya juga akan tertangkap hidup.
Lari belum berapa lama, orang yang mengejar sudah nampak di belakang dirinya. Pikirannya semakin kalut, hanya rasa dendam dan gemas memenuhi otaknya.
Tiba-tiba di hadapannya terbentang sebuah sungai. Di atas sungai melintang suatu jembatan batu.
"Habislah!' demikian Hui-Kiam mengeluh dalam hati sendiri. Bayangan maut mulai terbayang dalam otaknya.
Di belakang dirinya ia mendengar suara Manusia Gelandangan yang memberi perintah kepada anak buahnya: "Pegat padanya, tangkap hidup-hidup, jangan biarkan melalui jembatan!"
Hui Kiam menggunakan sisa tenaganya yang terakhir menerjang jembatan. Di belakang dirinya merasa hembusan dari serangan orang banyak, sehingga ia terpental dan roboh di ujung seberang jembatan.
Ia telah roboh tidak bisa bangun lagi. Kaki dan tangannya sudah tidak dapat digerakkan, hanya hatinya masih memikirkan bahwa biar bagaimana ia tidak boleh mati. Akan tetapi maut sudah berada di depan matanya, apakah ia dapat menolak"
Entah berapa lama telah berlalu ingatannya telah pulih kembali. Pertama ia merasakan dirinya sendiri masih hidup, ini agaknya tidak mungkin kecuali....
Ia membuka matanya. Kenyataan membuat ia terheran-heran. Ia masih rebah menggeletak di ujung jembatan. Di lain ujung Manusia Gelandangan dan semua orang-orang Bulan Emas masing-masing nampak berdiri menunggu.
Heran, mengapa mereka tidak melalui jembatan itu untuk menangkapnya"
Ia mencoba menggerakkan badannya. Sekujur badannya dirasakan sakit, tangan kakinya dirasakan lemas, tenaganya sudah tak ada. Ia mengira dirinya sedang bermimpi tetapi semuanya merupakan suatu kenyataan. Hal ini sangat mengherankan, apakah yang mereka tunggu"
Ataukah mereka ada merasa jeri menghadapi sesuatu" Itu mungkin, sebab Manusia Gelandangan pernah menyuruh orang-orangnya merintangi dirinya jangan sampai menyebrangi jembatan. Apakah maksudnya" Dan apa sebabnya pula Sukma Tidak Buyar menyuruh ia lari ke arah utara..."
Mengingat akan dirinya Sukma Tidak Buyar, ia merasa sedih dan menyesal yang selama itu ia belum pernah merasakannya, sehingga pada saat menghadapi kematiannya, ia masih bclum percaya seluruhnya kepada kawan yang aneh sifatnya itu. Tetapi sekarang, ia tahu bahwa Sukma Tidak Buyar itu tiada bermaksud jahat. Namun sudah terlambat, kawannya itu sudah mati. Andaikata dalam dunia ini ada benar-benar 'setan" dan 'sukma", maka sukmanya gugur, mungkin benar-benar tidak buyar.
Menuntut balas. Ia harus menuntut balas bagi sahabatnya itu. Ia harus mencincang tubuhnya Manusia Gelandangan itu.
Tetapi apakah kekuatannya sendiri dapat melaksanakan tugas itu" Dengan tiba-tiba ia teringat lagi kitab Thian-kie Po-kip bagian bawah. Dalam dugaannya, kepandaian ilmu silat yang tertulis di dalam kitab itu pasti merupakan suatu ilmu kepandaian yang tidak ada taranya. Pelajaran yang ia pelajari dari bagian atas, kecuali kepandaian dasar cuma satu pelajaran ihnu pedang yang mempunyai gerak tipu hanya satu jurus saja. Walaupun demikian, namun ilmu pedang sejurus ini pernah digunakannya untuk membunuh empat jago pedang golongan Khong-tong-pai, dan beberapa orang dari Persekutuan Bulan Emas.
Dari situ ia teringat pula dirinya Leng-gie Sieseng. Besar kemungkinannya bahwa kitab pusaka itu sudah terjatuh dalam tangannya. Jikalau tidak lekas didapatkan kembali, setelah jago ahli racun itu berhasil mempelajari isinya, maka".
Memikir sampai di situ, ia merasa ngeri sendiri.
Dengan tanpa disengaja matanya dapat melihat sebuah batu di atas jembatan yang terdapat tulisan yang sangat menyolok. Tulisan itu berbunyi: "Siapa yang lewat jembatan ini harus mati."
Kini ia tersadar apa sebabnya orang-orang itu tidak berani mengejar melewati jembatan itu. Akan tetapi siapakah gerangan yang mengadakan larangan itu" Mengapa sampaipun orang Bulan Emas juga tidak berani melanggar"
Kini ia telah melewati jembatan itu sehingga tidak mati di tangan musuh-musuhnya, akan tetapi, mungkinkah ia lolos dari tangan orang yang mengadakan larangan itu"
Sementara itu ia mulai memperhatikan keadaan sekitarnya. Ia melihat sebuah jalanan kecil yang terus menuju ke dalam sebuah rimba. Samar-samar dalam rimba itu tampak ujungnya sebuah loteng. Karena pada saat itu dia sendiri sedang rebah terlentang di atas jalanan kecil itu, maka ia menduga bahwa jembatan batu ini dibuat oleh penghuni loteng merah itu, jadi bukan untuk jalan umum, pantas ia mengadakan larangan demikian.
Siapakah gerangan penghuni loteng itu" Mengapa ia mengadakan larangan yang kejam itu"
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara Manusia Gelandangan yang ditujukan kepada penghuni loteng itu. "Aku Ciok Sian Ceng, komandan pasukan Persekutuan Bulan Emas ingin memberitahukan kepada tuan rumah loteng merah. Bocah ini nama panggilannya Penggali Makam, tidak jelas asal usulnya, karena ia selalu bermusuhan dengan persekutuan kita, maka merupakan musuh yang pemimpin kita pasti dapatkan. Sudilah kiranya tuan rumah memberi kelonggaran kepada kami untuk membawa pulang bocah ini!"
Dalam hati Hui Kiam memaki: "Hm, ucapannya seorang budak yang tak tahu malu!"
Suara tindakan kaki orang berjalan tetdengar nyata, dan berhenti samping kepalanya. Pertama yang tampak dalam matanya adalah
sepasang sepatunya yang bersulam indah, lagi ke atas, gaunnya yang bewarna lila, lalu baju atasnya yang bewarna serupa, dengan potongan yang ceking dan akhirnya potongan raut mukanya yang cantik, sayang diliputi oleh sikapnya yang dingin angkuh.
Siapa dia" Penghuni loteng merah, ataukah orang bawahannya"
Perempuan cantik berpakaian lila itu akhirnya membuka mulut. Satu pertanyaan ditujukan kepada dirinya:
"Kau bergelar Penggali Makam?"
Hui-Kiam setelah mendapat istirahat cukup lama, tenaganya berangsur-angsur mulai pulih kembali. Sambil menunjang dengan tangannya, ia bangun sendiri untuk menghadapi nona cantik berbaju lila itu.
Nona itu usianya sekitar tujuh belasan. Cantik memang cantik, cuma sikapnya terlalu dingin sehingga kelihatannya sangat sombong.
"Benar! Bolehkah aku bertanya"."
Perempuan cantik itu tidak memberikan kesempatan untuk ia memajukan lain pertanyaan, sudah memotong dengan nada suara dingin:
"Apakah kau tahu peraturan di sini?"
"Peraturan apa?"
"Apakah kau tidak melihat larangan yang tertulis di atas batu?"
"Sekarang sudah tahu!"
"Kalau begitu kau sudah boleh mati dengan puas...."
Tangannya segera diangkat, hendak menepok batok kepala Hui-Kiam.
Hui-Kiam sejak dapat lihat batu yang tertulis larangan itu, sudah tidak menghiraukan soal mati hidupnya sendiri, maka selagi menghadapi bahaya maut, ia juga tidak gentar bahkan masih berani berkata:
"Sebelum aku mati, aku ingin tahu dulu nama penghuni tempat ini!''
"Bukankah itu percuma saja?"
"Mati di tangan seorang yang tidak tahu namanya, bukankah itu terlalu kejam?"
"Terpaksa kau harus menerima nasib. Tuan rumah di sini selamanya belum pernah memberitahukan namanya kepada orang luar!"
Hui-Kiam mengangkat kepala, matanya memandang ke angkasa. Dengan tidak menunjukkan sikap apa-apa ia berkata:
"Bunuhlah !"
"Kau benar seorang yang tidak takut mati!"
"Aku selamanya belum pernah minta ampun kepada siapapun juga!"
Paras perempuan cantik itu berubah seketika. Ia berkata dengan suara duka:
"Kau seorang laki-laki gagah, tetapi tidak lepas dari kematian."
Dengan cepat tangannya lalu bergerak hendak mencabut nyawa Hui Kiam........
Hui-Kiam sebetulnya masih belum rela mati, tetapi saat itu ia sudah tidak mempunyai kekuatan untuk melawan. Pikirannya, mati secara demikian, setidak-tidaknya lebih baik daripada terjatuh di tangan Manusia Gelandangan yang sudah terang menjadi kaki tangan Persekutuan Bulan Emas.
Pada saat yang sangat berbahaya itu, tiba-tiba terdengar satu suara dari jauh:
"Bawa dia kemari menemui aku!"
Tangan pe.cmpuan cantik itu yang sudah hampir jatuh di batok kepala Hui-Kiam, hanya tinggal menyalurkan kekuatan tenaga dalam
saja, ketika mendengar suara itu segera menarik kembali tangannya dan berkata:
"Kau adalah orang pertama yang ditarik kembali dari tepi jurang maut. Apakah kau bisa berjalan?"
Hal itu sesungguhnya di luar dugaan Hui-Kiam. Ia tahu bahwa orang yang memberi perintah itu pasti adalah penghuni loteng merah itu, tetapi di luar tidak menunjukkan sikap apa-apa sambil menganggukkan kepala ia berkata:
"Mungkin bisa!"
"Kalau begitu mari ikut aku!"
Setelah melalui jalan kecil itu, masuklah ke dalam rimba. Di ujung rimba, terdapat dinding tembok warna merah. Dua pintu yang dijaga berwarna merah nampak terbuka sebelah. Dalam pintu banyak terdapat tanaman bunga mengelilingi.
Menghadapi pemandangan indah dan agak luar biasa itu, Hui Kiam tidak timbul reaksi apa-apa, dalam otaknya hanya memikirkan bagaimana harus menghadapi penghuni loteng merah itu dan nasib apalagi yang harus dihadapi.
Seciap orang yang sudah tidak menghiraukan soal hidup matinya, dapat menghadapi kematian tanpa mengeluh atau mengerutkan keningnya. Tetapi jika ancaman maut itu kendor, perasaan ingin hidup timbul lagi. Setiap orang ingin hidup, tidak ada orang yang tidak takut mati. Hanya tidak ada orang yang sudah putus harapan dalam hidupnya, tidak mau bergulat untuk mempertahankan hidupnya, dapat menghadapi kematian dengan tenang. Perbedaan takut mati dengan tidak takut mati, hanya terpisah seutas tali saja.
Perbedaaan seorang gagah dengan seorang pengecut, juga hanya begitu saja.
Di bawah loteng, di atas batu lantai yang terbuat dari batu putih, berdiri dua perempuan muda berpakaian warna lila, semuanya cantik-cantik.
Perempuan cantik yang membawa masuk Hui Kiam, berhenti di tengah pekarangan, berkata dengan sikap sangat menghormat:
"Tuan putri, orangnya sudah datang."
Di atas loteng, di pinggir langkan, muncul seorang perempuan muda yang juga berpakaian warna lila, berkata dengan suara nada lembut:
"Ciecie, bawa itu orang ke ruangan barat, tuan putri kan menanyakan kepadanya sendiri."
Jawab wanita itu kemudian berkata kepada Hui Kiam: "Mari ikut aku!"
Hui Kiam meski merasa tidak senang di bawa kesana kemari bagaikan seorang tawanan, tetapi karena tertarik oleh keinginannya untuk mengetahui rahasia di loteng merah itu, ia ingin melihat bagaimana macamnya orang yang menjadi tuan rumah tempat itu, maka ia mengikutinya sambil menutup mulut.
Setelah melalui jalan berliku-liku, tibalah ke satu rumah sisi loteng, mungkin itu yang dikatakan ruangan barat.
Hui Kiam disuruh berdiri di luar ruangan.
Ruangan itu terdapat enam buah kamar yang masing-masing dihiasi sangat indah. Orang yang berada di luar tak dapat melihat keadaan dalam kamar.
Lama sekali, dari belakang tirai pintu kamar terdengar suara seorang wanita yang agak sedikit parau:
"Kaukah yang bernama Penggali Makam?"
"Ya, adakah nona tuan rumah di sini?"
"Benar! Penggali Makam, nama julukanmu ini dari mana asalnya?"
"Aku telah bertekad hendak menggali makam bagi orang-orang jahat di dunia."
"Hem, hem. Sangat unik sekali. Kalau begitu kau telah menganggap dirimu sendiri seorang pendekar dari golongan kebenaran?"
"Aku tidak mempunyai maksud itu!"
"Kau dengan Persekutuan Bulan Emas ada permusuhan apa sampai dikejar demikian rupa?"
"Permusuhan atau tidak, tidak ada bedanya, karena Persekutuan Bulan Emas tidak dapat membiarkan hidup kepada orang-orang yang tidak mau mengikuti kehendaknya."
Hening sejenak.
"Siapa gurumu?"
"Tentang ini, maaf aku tidak dapat memberitahukannya!"
"Hem, hem, tahukah kau bahwa tiap orang yang menyeberang jembatan itu tiada satu yang akan hidup lagi?"
"Tahu!"
"Bagaimana pikiranmu?"
"Mati ya, mati saja, apa yang dibuat pikiran?"
"Andaikata aku beruntung sehingga tidak mati, satu hari kelak aku juga akan menggali tanah bagi makammu!"
"Kau sangat sombong dan kejam!"
"Begitulah!"
"Baru saja kau katakan andaikata tidak sampai mati, apakah kau anggap masih ada kesempatan?"
Hui Kiam tertegun, mututnya membungkam. Memang kesempatan itu boleh dikatakan sedikitpun tidak ada, kecuali apabila kekuatan tenaganya sudah pulih kembali seluruhnya. Tetapi terhadap seorang sangat aneh yang masih dimalui oleh Persekutuan Bulan Emas, sekalipun kekuatan tenaganya masih ada, harapan untuk bisa keluar dari tempat itu juga masih merupakan satu pertanyaan besar.
Kembali terdengar pertanyaan dari penghuni loteng merah:
"Bagaimana kau tahu bahwa oreng-orang yang masuk kemari, semua adalah orang yang tak berdosa?"
Hui Kiam kembali bungkam. Larangan meski kejam tetapi sudah dijelaskan di dalam batu pada papan pcringatan, jadi jikalau orang tidak melanggar juga tidak akan mengalami kematian.
Jikalau bukan orang yang sengaja masuk dengan maksud tertentu, tidak nanti ada yang berani menentang maut. Tetapi bagaimana dengan dia sendiri" Kematian itu seharusnya ia terima ataukah tidak" Berpikir demikian, ia lalu menjawab dengan suara dingin:
"Contohnya seperti aku ini, adalah orang yang tidak berdosa!"
"Apakah kau dengan alasan ini ingin supaya aku memberi perkecualian kepadamu?"
"Aku tidak bermaksud minta dikasihani oleh siapapun juga!" jawab Hui Kiam gusar.
"Heemm, kau seorang laki-laki sejati, jikalau kau berlalu dari sini dalam keadaan hidup, apa kau yakin bisa meloloskan diri dari kejaran orang-orang Bulan Emas?"
"Ini adalah soal lain!"
"Kuberitahukan kepadamu, pada dewasa ini, yang dapat menghindarkan kejaran dari orang-orang Bulan Emas, kecuali loteng merah ini, barangkali susah untuk mencari tempat perlindungan yang lebih baik."
"Apa maksud nona?"
"Tidak apa-apa, aku hanya memberitahukan kepadamu satu kenyataan saja."
"Nona ingin perlakukan aku bagaimana?"
"Membiarkan kau berlalu dari sini!"
Jawaban itu sesungguhnya di luar dugaan Hui Kiam. Dalam rimba persilatan, tiap orang vang mengadakan larangan kebanyakan adalah orang-orang yang beradat aneh, orang yang demikian jarang sekali yang mau merusak peraturannya sendiri, dan kini perbuatan penghuni loteng merah ini telah berbuat demikian, satu-satunya sebab mungkin mengandung lain maksud.
Penghuni loteng merah itu agaknya sudah menduga pikiran Hui Kiam. Ia berkata pula:
"Kau adalah orang pertama yang keluar dari loteng merah itu dalam keadaan hidup, tetapi juga merupakan orang pertama yang masuk kemari dengan tiada disengaja!"
Maksud perkataan ini sudah jelas bahwa penghuni loteng merah ini bukan seorang jahat yang gemar membunuh orang, dulu orang-orang yang dibunuh tentu semuanya mengandung maksud tertentu, sehingga itu berarti mencari mati sendiri.
Namun demikian Hui-Kiam masih belum hilang rasa curiganya, maka ia lalu bertanya:
"Tanpa syarat?"
"Ada!"
"Apa syaratnya?"
"Syarat ini bukan dimestikan sebagai syarat untuk menukar kemerdekaanmu, melainkan syarat lain."
"Aku ingin mendengarnya!"
"Aku ir.gin menggunakan obat mustajab buatanku sendiri supaya luka-lukamu sembuh dan kekuatan serta kepandaianmu kembali seluruhnya.............."
"Syaratnya?"
"Mudah sekali, ceritakan riwayatmu!"
Hui Kiam terperanjat. Apakah maksud penghuni loteng merah ini, tertarik oleh perasaan heran, ataukah.......
Jika ia memberitahukan asal usul dirinya dan suhunya, hal itu akan mengakibatkan terjadinya sesuatu yang tidak diingini. Maka ia lalu menjawab:
"Syarat ini maaf aku tidak dapat menerima!"
"Penggali Makam, mengertikah kau bahwa jiwamu saat ini masih bukan kepunyaanmu sendiri?"
'Mengerti!"
"Kau tidak terima baik syarat ini?"
"Tidak!"
"Dengan lain perkataan, kau lebih suka mati daripada memberitahukan asal usulmu?"
"Apakah nona hendak menggunakan kematian untuk mengancam aku?"
"Itu bukan berarti ancaman, kau memang adalah orang yang pasti mati!"
"Asal usulku, apa sebab kau anggap begitu penting bagimu?"
"Mungkin tidak ada harganya, tetapi juga mungkin sangat penting!"
Hui Kiam berpikir sejenak lalu berkata:
"Jika nona suka menerangkan sebab-sebabnya, barangkali aku dapat mempertimbangkan jawaban tentang asal usul diriku itu.
"Penggali Makam, ucapanmu ini berarti kau telah mengambil alih kedudukanku sebagai tuan rumah?"
"Jika nona menganggapnya tidak pantas, boleh tidak usah terima!"
"Penggali Makam, kau adalah seorang paling sombong yang pernah kujumpai, terpaksa aku merobah lagi pikiranku. Kau ada membawa pedang, tentunya paham ilmu pedang. Sekarang aku memberikan kepadamu satu kesempatan yang paling adil. Kau akan menggunakan kepandaianmu untuk menentukan nasibmu
sendiri. Orang yang berdiri di sampingmu itu, adalah muridku yang pertama, Siu-Bie. Jikalau kau bisa membunuhnya mati, kau boleh berlalu dari sini. Tetapi jikalau tidak, kau akan terbunuh."
Hui Kiam melirik kepada perempuan cantik di sampingnya, nampaknya sangat dingin tidak menunjukkan sikap apa-apa.
Penghuni loteng merah itu berkata pada Siu Bie:
"Berilah kepadanya dua butir pil supaya ia pulih kekuatannya. Satu jam boleh dimulai!"
"Baik!"
Nona berbaju lila itu segera berlalu dan masuk ke belakang pintu.
Dalam hati Hui Kiam timbul macam-macam perasaan. Maksud penghuni loteng merah itu sesungguhnya sudah diduga, ia telah menggunakan jiwa muridnya sendiri sebagai barang taruhan. Jikalau tidak mempunyai keyakinan cukup tentunya adalah satu perbuatan gila.
Tidak berapa lama, perempuan berbaju lila itu nampak keluar lagi. Dari tangannya memegang dua butir pel yang berwarna putih. Dengan sikapnya yang tenang sekali ia berkata:
"Telanlah ini, satu jam kemudian akan pulih kembali kekuatanmu."
Dengan perasaan agak bingung Hui-Kiam menyambuti pel itu dan segera ditelannya. Perempuan itu berlalu lagi. Hui-Kiam setelah mengawasinya sejenak, lalu duduk bersemedi untuk memulihkan kekuatannya.
Pel itu sesungguhnya sangat mujijat, begitu masuk ke dalam perut segera merasakan aliran hawa panas ke seluruh badan. Ia buru-buru pejamkan matanya untuk mengatur pernapasannya.
Ketika ia sadar, rasa sakitnya hilang sama sekali, kekuatan tenaga dalamnva sudah pulih kembali. Saat itu ternyata sudah senja hari.
Perempuan yang dipanggil Siu-Bie itu, dalam sekejap sudah berdiri di hadapannya sambil menenteng pedang. Ia segera melompat bangun, sementara itu dari belakang pintu terdengar suaranya penghuni loteng merah yang berkata:
"Penggali Makam, bertenpurlah untuk mempertahankan jiwamu!"
Hui Kiam bersama Siu Bie berjalan menuju ke pekarangan dan berkata dengan nada suara dingin:
"Apakah kita tidak boleh tidak harus bertempur sampai ada salah satu yang mati?"
"Sudah tentu!"
"Bukankah itu terlalu kejam?"
"Jikalau kau anggap kau sendiri seorang budiman, kejamlah terhadap dirimu sendiri!"
Hui Kiam menggertakkan gigi. Ia berpaling menghadapi perempuan baju lila. Sambil menghunus pedangnya ia berkata: "Silahkan, nona."
Perempuan itu berkata dengan suara gemetar:
"Ini adalah suatu pertempuran antara mati dan hidup, apakah kau mengerti?"
"Mengerti!"
"Di sini aku adalah tuan rumah dan sebagai tetamu, maka seharusnya kau yang mulai lebih dulu!"
"Aku dengan nona, tidak mempunyai permusuhan apa-apa, hanya nonamu sendiri yang bermaksud demikian, jangan sesalkan aku seorang kejam."
"Jangan terlalu mengandalkan dirimu sendiri."
Ucapan itu hampir merupakan suatu ejekan sehingga membuat perasaan tidak lega Hui Kiam lenyap seketika.
Membunuh orang, baginya bukan merupakan soal apa-apa, akan tetapi juga harus dilihat persoalannya. Dipaksa untuk melakukan pembunuhan, ini merupakan pengalamannya yang pertama.
Karena keadaan sudah mendesak, tak boleh ia tidak melakukan, sebab kalau ia tidak membunuh itu berarti ia sendiri akan terbunuh. Tidak mempunyai plihan lain, juga tidak ada yang dipertimbangkan lagi.
"Sambutlah!"
Setelah mengeluarkan ucapan demikian, ia mulai membuka serangannya.
Sebentar terdengar suara beradunya senjata. Serangannya yang begitu hebat, ternyata dapat ditangkis oleh lawannya. Ia terkejut, kepandaian dan kekuatan perempuan itu jauh lebih tinggi dari apa yang ia bayangkan. Perasaan berat dirasakan menindih hatinya.
Kini adalah gilirannya perempuan itu balas menyerang. Gerak tipunya yang ganas telah memaksa Hui Kiam mundur dua langkah.
Dengan tanpa ragu-ragu lagi, ia mengerahkan seluruh kekuatan dan kepandaiannya untuk balas menyerang.
Sinar pedang berkelebatan mengeluarkan suara beradunya dua pedang yang memekakkan telinga. Dua bayangan orang sebentar berpisah sebentar bertemu. Hui Kiam sudah mengeluarkan seluruh kepandaiannya, tetapi pihak lawannya agaknya masih belum nengeluarkan seluruh tenaga. Perbedaan itu tampak nyata.
Perempuan baju lila itu menunjukkan senyum di bibirnya. Pedang di tangannya menikam dengan sikap yang tenang tidak ganas, seperti apa yang dilakukan semula. Apa yang lebih mcngherankan ialah ujung pedang itu tidak ditujukan ke bagian manapun dari badan lawannya, tetapi ditujukan ke arah tempat yang kosong di atas pundak kiri Hui Kiam.
Hui Kiam semula terkejut, tetapi kemudian wajahnya berobah, ia dapat mengenali bahwa ia sangat yakin bahwa itu ada satu gerak tipu yang amat dahsyat, tidak mudah diringkus juga tidak mudah dielakkan, untuk menyingkir saja juga sudah tidak mungkin lagi.
Gerak tipunya sendiri, yang sebetulnya dapat digunakan untuk menyerang dan menjaga diri, tetapi saat itu sudah tidak berguna sama sekali.
Inilah ilmu pedang luar biasa yang pertama kali pernah dijumpainya.
Gerakan serangan pedang itu meskipun sangat terlambat, tetapi mengandung ancaman hebat. Ia tercengang dan tidak percaya, agaknya hanya bisa menantikan kematiannya saja.
Pada saat itu ujung pedang telah membuat lingkaran di tempat kosong samping dirinya dan akhirnya berhenti di salah satu bagian jalan darah atas tubuhnya. Gerakan itu agaknya membuat jalan darah di bagian atas dan tengah terancam dengan serentak.
"Tahan!" demikian suara yang keluar dari mulut penghuni itu.
Semangat Hui Kiam seketika itu dirasakan telah runtuh, kaki dan tangannya kesemutan, keringat dingin membasahi sekujur badannya.
"Aku mengaku kalah."


Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ucapan itu keluar dari milut Hui Kiam bagaikan seorang sedang mengigau, juga seperti merasa putus harapan terhadap dirinya sendiri.
Perempuan berbaju lila itu menarik pedangnya dan mundur dua langkah.
Perbuatan perempuan itu mengherankan Hui Kiam. Apakah ia harus menunggu lawannya yang bertindak" Diwajahnya yang dingin angkuh, nampak berkericut, tiba-tiba ia angkat pedangnya hendak menggorok lehernya sendiri.
Semacam kekuatan tenaga dalam telah berhasil merintangi maksud Hui Kiam, dan orang yang merintangi maksudnya itu bukan lain daripada Siu Bie.
Hui Kiam terkejut dan terheran-heran, lalu menanya dengan nada suara dingin:
"Apakah maksud nona?"
Siu Bie tidak menjawab, sebaliknya penghuni loteng merah yaag menyahut: "Penggali Makam, kau boleh pergi!"
Hui Kiam hampir tidak percaya kepada pendengaran sendiri. Tetapi wajahnya yang dingin tidak menunjukkan perasaan terkejut, juga telah menampakkan perasaan girang. Dengan suara sedih ia berkata:
"Tetapi aku kalah!"
"Benar, kau kalah tetapi juga boleh pergi!"
"Kenapa?"
"Kau bukan orang yang aku cari. Maksudku minta kau turun tangan dengan Siu Bie, hanya ingin mengetahui asal-usulnya dari ge rak tipu ilmu pedangmu, walaupun aku masih belum berhasil mengenali ilmu pedangmu, tetapi itu bukan merupakan soal penting, kau boleh pergi."
Hui Kiam kini benar-benar merasa tertarik, ia telah menghadapi suatu teka-teki yang sangat unik. Ia dapat memaafkan tindakan penghuni loteng merah seluruhnya, bahkan ia sangat berterima kasih atas pemberian obatnya yang telah memulihkan kekuatan tenaganya. ini juga berarti bahwa ia sudah terlepas dari tangan maut, maka ia lalu berkata:
"Bolehkah aku membantu nona?"
Penghuni loteng merah agaknya dikejutkan oleh pertanyaan di luar dugaannya itu.
"Apa, kau ingin membantu aku?"
"Ya."
"Sebab apa mendadak kau timbul pikiran demikian?"
"Sekedar untuk membalas budimu yang sudah memberi obat kepadaku"."
"Penggali Makam, sesungguhnya tidak kusangka, meskipun sikapmu dingin tetapi hatimu hangat.........."
"Aku adalah seorang yang menggariskan dengan tegas antara dendam dengan budi, tidak suka menerima budi orang secara cuma-cuma."
"Aku memberi obat padamu bukan bermaksud melepas budi kepadamu."
"Aku tahu, justru karena itu, maka aku majukan permintaan demikian!"
"Baiklah, kalau begitu tolong kau cari tahu tentang dirinya seseorang di kalangan Kang-ouw!"
"Bagaimana macamnya orang itu?"
"Ia ada seorang bernama Su-ma Suan, julukannya To-liong Kiam-khek!"
"Apa" To-liong Kiam-khek Su-ma Suan?"
"Benar, kau kenal dengannya?"
Perasaan Hui Kiam tergetar. To-liong Kiam-khek adalah musuh besarnya yang menurut pesan ibunya harus dicari dan dibunuh mati. Terhadap pesan ini, sedikitpun ia tidak melupakan, dan kini, penghuni loteng merah itu juga minta ia mencari To-liong Kiam-khek, ini sangat kebetulan. Dengan menindas perasaan sendiri ia berkata dengan tenang:
"Aku juga justru hendak mencarinya!"
"Kau juga hendak mencari padanya" Mengapa?"
"Ini adalah satu rahasia, maaf aku tidak dapat memberitahukan!"
"Kau sudah dapatkan tanda-tandanya?"
"Kabarnya sudah sepuluh tahun lebih ia menghilang dari dunia Kang-ouw. Hanya, biar bagaimanapun aku harus mendapatkan dirinya. Sekalipun ia sudah mati, juga akan dapatkan kuburannya!"
"Ini sangat kebetulan. Jika menemukannya, katakan saja kepadanya apakah sudah lupakan perjanjiannya dengan loteng merah pada sepuluh tahun berselang......."
Hui Kiam dalam hati merasa heran, pikirnya:
"Ini pasti soal asmara."
"Kalau begitu, di sini nona menantikannya sudah lebih dari sepuluh tahun?"
"Ya."
"Nama nona yang mulia?"
"Katakan saja padanya penghuni loteng merah, sudah cukup!"
Dalam bati Hui Kiam sebetulnya ingin tahu bagaimana paras aslinya penghuni loteng merah itu, tetapi ia tidak berani mengutarakan, tidak ada satu alasanpun baginya untuk minta nona itu menunjukkan muka juga tidak pantas untuk menanyakan rahasianya. Ia tak dapat membayangkan bagaimana reaksi nona itu kalau mendengar keterangannya bahwa To-liong Kiam-khek itu adalah musuh besarnya. Tetapi hal itu tidak boleh tidak harus diberitahukan kepadanya lebih dulu, sebab permintaan untuk melakukan sesuatu pekerjaan bagi nona itu, adalah keluar dari mulutnya sendiri, kalau ia tidak menerangkan keadaan yang sebenarnya, di kemudian hari pasti akan menimbulkan kerewelan.
Oleh karena itu, maka ia kemudian berkata:
"Ada sedikit persoalan yang harus kuterangkan lebih dulu!"
"Persoalan apa?"
"Pesan nona yang minta aku sampaikan, nanti apabila aku dapat menemukan To-liong Kiam-khek, aku pasti sampaikan kepadanya, tetapi aku tidak dapat menjamin bisa membawanya kemari dalam keadaan hidup!"
"Mengapa?"
"Sebab aku sudah bersumpah hendak mengambil jiwanya!"
"Kau..... ada permusuhan dengannya?"
"Ya."
"Musuh mati-matian, ataukah musuh dari ayah bundamu?"
"Kenyataan memang demikian!"
"Kan jujur, jika aku minta kau menceritakan sebab musababnya permusuhan itu, kau mungkin tidak akan terima, sebab kau pernah menolak permintaanku untuk memberitahukan asal-usulmu, aku juga terus terang memberitahukan kepadamu, aku cinta padanya, andaikata untuk menghindarkan terjadinya sesuatu yang tidak diingini"."
"Kau boleh membunuhku lebih dulu!"
"Aku memang ada pikiran demikian, tetapi aku tidak dapat berbuat demikian!"
"Sebabnya?"
"Pertama, hal ini kau sendiri yang memberitahukan secara terus terang, kalau aku membunuhmu, ini berarti satu perbuatan yang kurang bijaksana. Ke-dua, aku tidak perlu khawatir, sebab kau pasti bukan tandingannya, dan ketiga, mungkin, aku sendiri juga hendak membunuhnya...."
"Semua sudah kujelaskan, bolehkah aku sekarang pergi?"
"Kau boleh pergi!" hening sejenak, lalu perintahnya kepada Siu Bie:
"Siu Bie, antarkan ia keluar!"
Hui Kiam mengangkat tangan memberi hormat ke arah pintu kamar. Ia lalu mengikuti Siu Bie keluar dari loteng merah. Tiba di ujung jembatan ia memasang mata, ternyata sudah tak tertampak bayangannya orang-orang Persekutuan Bulan Emas, begitu pula Manusia Gelandangan Ciok Siao Ceng.
Ia berhenti dan berkata kepada Siu Bie:
"Nona Siu, sampai di sini saja, aku mohon diri."
Siu Bie memandangnya sejenak, lalu berkata:
"Hati-hatilah terhadap pembalasan Persekutuan Bulan Emas."
"Aku mengerti!"
Setelah menyebrangi jembatan, ia ingin menengok sejenak jenasah Sukma Tidak Buyar, supaya dikubur secara pantas, jangan sampai terlantar.
Tiba-tiba di tempat bekas pertempuran, ia hanya mendapatkan bekas tanda darah yang sudah kering, tidak terdapat satupun bangkai manusia, mungkin sudah dikubur.
"Tetapi siapakah gerangan yang mengubur" Mungkinkah orang-orang Persekutuan Bulan Emas sudi mengubur jenazah Sukma Tidak Buyar?"
Ia melakukan pemeriksaan sepanjang jalan sepuluh tombak, mengharap supaya mendapatkan jawabannya.
Tiba-tiba matanya dapat melihat gundukan tanah di bawah sebuah pohon besar kira-kira lima puluh tombak terpisah dari tempat ia berdiri.
Ia lalu menghampiri. Hatinya merasa pilu seketika. Benar saja, gundukan tanah itu adalah makamnya Sukma Tidak Buyar. Sebuah batu nisan yang masih baru dengan sebaris huruf yang berbunyi: Disini bersemayam seorang pendekar berkelana Sukma Tidak Buyar.
Tiada nama aslinya, hanya nama julukannya. Juga tidak diterangkan, siapa yang mendirikan kuburan itu"
Hanya di bagian kiri bawah batu nisan itu, terdapat sebaris tulisan yang isinya memuji tinggi sekali diri dan jiwa Sukma Tidak Buyar. Dikatakannya sebagai seorang pendekar yang jiwa dan sukmanya tetap hidup, benar-benar tidak buyar, melanjutkan perjuangannya menumpas kejahatan dengan semangat menyala-nyala.
Susunan kata-katanya kurang sempurna, tetapi mengandung maksud yang mendalam.
Cuaca mulai gelap, burung-burung beterbangan pulang ke kandangnya, beberapa anak gembala juga sudah mulai pulang dengan binatang gembalanya, begitu pula paman-paman tani, juga berbondong-bondong pulang dari sawah, merupakan suatu pemandangan pedusunan di waktu damai. Tetapi bagi orang Kang-ouw seperti Hui Kiam, sangat berbeda keadaannya, hampir setiap saat jiwanya terancam bahaya.
Hui Kiam berdiri dengan hati sedih di hadapan kuburan Sukma Tidak Buyar, untuk memberi hormatnya yang terakhir.
Andaikata Sukma Tidak Buyar tidak berjalan bersama-sama dengannya, mungkin sekarang ia belum mati.
Mengingat sepak terjang orang-orang Persekutuan Bulan Emas ingin menguasai dunia, terutama jika teringat diri Manu:ia Gelandangan, hatinya segera menjadi panas, rasa kebenciannya meluap-luap, maka ia lalu komat-kamit dan berdoa di hadapan makam Sukma Tidak Buyar: "Kakek, aku akan menuntut balas untukmu, akan menagih hutang darah pada mereka, kau bersemayamlah dengan tenang."
Sekonyong-konyong terdengar suara orang berkata:
"Sukma Tidak Buyar mempnnyai sahabat seperti kau, benar-benar boleh merasa bangga!"
Hui Kiam diam-diam terkejut, cepat ia berpaling dan menegur:
"Siapa?"
"Aku!"
Jawaban itu disusul oleh munculnya seorang laki-laki setengah tua berpakaian sebagai seorang pelajar, dari belakang sebuah pohon besar. Ia berjalan dengan gayanya yang sopan, benar-benar seperti orang terpelajar. Namun wajahnya pucat seperti habis sembuh dari sakit. Ia berjalan sampai kira-kira lima langkah di hadapan Hui Kiam, baru berhenti.
Dengan sinar mata dingin Hui Kiam memandang kepadanya, kemudian bertanya:
"Bagaimana sebutan nama tuan yang mulia?"
"Sukma Tidak Buyar!"
Hui Kiam terperanjat, ia mundur dua langkah.
"Apa" Tuan juga bernama Sukma Tidak Buyar?"
"Benar!"
"Apa artinya ini?"
"Eh, Penggali Makam, pertanyaanmu ini sangat aneh. Apakah nama julukan Sukma Tidak Buyar itu boleh dipakai oleh orang lain, tetapi aku tidak."
"Memakai nama julukan orang, apa tuan tidak merasa malu?"
Hui Kiam mulutnya bertanya, tetapi dalam hati diam-diam merasa heran, bagaimana laki-laki itu mengetahui nama julukannya sendiri, bahkan nampaknya seperti tidak asing sama sekali.
Laki-laki itu mengurut-urut kumisnya dan berkata dengan suara datar:
"Nama julukan cuma merupakan satu tanda bagi orang, bagaimana kau tahu aku yang memakai nama orang" Apa tidak bisa jadi orang yang sudah mati itu yang memakai nama julukanku"''
"Tuan pandai berputar lidah tetapi orang yang sudah mati itu adalah sahabatku di masa hidupnya. Aku tidak mengijinkan orang lain menggunakan nama julukannya!"
"Maksudmu.... "
"Mulai saat ini, kau tidak boleh sebut dirimu Sukma Tidak Buyar!"
"Apabila aku tidak mau?"
"Aku bukan orang berhati Budha!"
"Maksudmu mengajak berkelahi?"
"Mungkin begitu."
"Jika aku juga sahabatnya orang yang sudah mati itu?"
"Kau....... sahabatnya?"
"Ehm! Apabila aku bukan sahabatnya, perlu apa aku mengubur jenazahnya dengan menempuh bahaya dimusuhi oleh orang-orang Bulan Emas"
Hati Hui Kiam bergerak, ia berkata sambil menunjuk batu nisan:
"Batu ini tuan yang mendirikan?"
"Benar!"
"Kalau begitu aku harus mengucapkan terima kasih padamu."
'"Tidak perlu. Ini memang sudah menjadi kewajibanku!"
"Tuan menggunakan nama julukan Sukma Tidak Buyar, tentu ada sebabnya."
"Sudah pasti sebabnya sudah jelas, apa yang dinamakan dengan istilah Sukma Tidak Buyar ialah sukmanya orang yang mati itu tidak turut mati. Apakah kau tidak membaca kata-kata terakhir dalam tulisan di atas batu nisan itu" Dimana disebutkan dengan kata-kata semangat bernyala-nyala, kata-kata itu sudah mencakup semua-muanya."
"Tuan menganggap diri sebagai Sukma Tidak Buyar ke dua?"
"Kesatu atau kedua tidak perlu kita perdebatkan. Bagaimanapun juga Sukma Tidak Buyar toch belum mati, titik."
"Tuan agaknya mempunyai maksud tertentu."
"Anggaplah begitu!"
"Kalau tuan tidak mempunyai maksud tertentu, untuk memperingati orang yang mati, ku ingin bersahabat dengan tuan.
Laki-laki setengah tua itu lalu menatapnya dan kemudian berkata:
"Kau Penggali Makam mau menganggapku sebagai sahabat, aku merasa sangat beruntung dan dengan ini lebih dahulu kuucapkan banyak terima kasih!"
"Sudikah kiranya tuan memberitahukan nama tuan yang mulia?"
"Sukma Tidak Buyar!"
Hui-Kiam sangat mendongkol, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa.
"Mari kita berangkat, lebih dulu kita minum beberapa cawan arak di kampung depan!" berkata Sukma Tidak Buyar.
"Apa tuan......"
"Ini toka, memang urusan yang sudah seharusnya!"
"Aku tidak mengerti!"
"Perkara di dalam dunia kadang-kadang benar-benar, kadang-kadang bohong; Perlu apa menganggapnya terlalu serius?"
"Tuan tadi berkata hendak berangkat, apa artinya ini"
"Eh, bukankah kau hendak mencari Liang-giee Siee-seng?"
Hui .Kiam terperanjat, wajahnya berobah seketika. Benarkah orang ini jelmaannya orang tua Sukma Tidak Buyar yang sudah mati itu" Jikalau tidak bagaimana ia tahu rahasia sendiri yang tidak diketahui oleh orang lain" Bcnarkah di dalam dunia ini ada orang yang sudah mati bisa menjelma lagi" Ini benar-benar merupakan suatu hal yang tidak habis dimengerti.
"Penggali Makam, kau tidak pernah merasa heran, aku adalah keturunan Sukma Tidak Buyar. Segala sepak terjangnya di masa hidup tidak bisa lolos dari mataku, maka aku juga berani menganggap diriku sebagai Sukma Tidak Buyar, ingatlah kata-kata terakhir di atas batu nisan kuburan itu. Semangat Sukma Tidak Buyar tetap bernyala-nyala, ini berarti bahwa sukmanya memang tidak buyar."
"Bernyala-nyala untuk apa?"
"Untuk membantu dalam usaha menegakkan kebenaran!"
"Dalam dunia ini sebetulnya ada berapakah orang yang mempunyai gelar Sukma Tidak Buyar?"
"Cuma satu!"
"Tuan terhitung nomor berapa?"
"Dua tetapi satu!"
"Tetapi aku juga mempunyai seorang sahabat yang mempunyai julukan demikian!"
"Bagaimana macamnya?"
Seorang pemuda yang belum lama muncul di dunia Kang-ouw, nama aslinya Ie It Hoan."
Laki-laki setengah tua itu tertawa terbahak-bahak, kemudian berkata:
"Oh! Dia" Bocah itu terlalu banyak akalnya. Aku kenal dengannya."
Hui Kiam sebetulnya berkepala dingin dan cerdas otaknya namun ia juga dibingungkan oleh kejadian yang aneh ini maka ia lalu bertanya:
"Tuan juga kenal kepadanya?"
"Sudah tentu, jikalau tidak bagaimana aku
mengijinkannya memakai nama gelar itu?"
"Menurut dugaan itu, Ie It Huan dengan tuan dan orang yang sudah mati ini, satu sama lain agaknya mempunyai hubungan satu dengan yang lain."
"Bukan cuma erat saja, bahkan sudah seperti saudara sedaging."
"Hah! Persaudaraan seperguruan ataukah...."
"Tepat, memang seperguruan, bahkan kekuatan dan kepandaian kita seimbang tidak hanya juga sehaluan, pikirannya juga sama."
"Ini benar-benar merupakan suatu kejadian yang aneh."
"Penggali Makam, kau terhadap Ie It Huan agak keterlaluan!"
"Apakah maksud dari perkataanmu ini?"
"Ia ingin bersahabat denganmu dengan hati sejujur-jujurnya, tetapi mengapa kau menolak keras jangan bersama-sama dengannya?"
Hui Kiam melongo sekian lama, tetapi hatinya mendadak bergerak, ia tidak menjawab pertanyaan itu, sebaliknya dialihkan ke lain soal, katanya:
"Jika ada seseorang pandai menyamar, juga mempunyai kepandaian meniru suara orang lainnya serta segala gerak-geriknya, orang itu pasti dapat meniru segala tingkah laku orang itu untuk mengelabui mata orang lain."
Laki-laki setengah tua itu sekonyong-konyong mundur dua langkah, kemudian bertanya:
"Apa yang kau maksudkan dengan perkataanmu ini?"
"Kau!"
"Ie It Hoan, lain kali jika kau hendak menyamar, harus perhatikan sedikit terhadap pakaianmu. Pakaian bagian bawahmu dalam pakaian baju panjangmu ini adalah itu pakaian yang dahulu pernah kau kenakan ketika kau menyamar sebagai pengemis. Sahabat, jikalau bukan karena pakaian bawahmu tersingkap oleh tiupan angin, aku benar-benar kena kau tipu."
Laki-laki setengah tua itu tertawa mengikik. Lekas-lekas ia membuang kumisnya dan penyamaran di mukanya, sehingga tampak wajahnya yang semula yang tampan. Dia, ternyata adalah samaran dari Ie It Hoan. Hanya, menyamar dan merobah suara sedemikian rupa bagusnya, di dalam rimba persilatan sebetulnya merupakan suatu ilmu kepandaian yang tersendiri.
Dengan tertawa cengar-cengir Ie It Hoan menjura di hadapan Hui Kiam, kemudian ia berkata sambil meniru nada suara pemain sandiwara di atas panggung:
"Toako, maafkanlah perbuatanku ini."
Hui-Kiam senang akan kecerdikan pemuda itu, tetapi di mukanya masih tetap menunjukkan sikap dingin, ia berkata:
"Adik Hoan, tidak perlu dikatakan, orang yang menyamar sebagai orang itu tentunya juga kau?"
"Ini kau tidak boleh salahkan aku, sebab kau tidak mengizinkan aku jalan bersama-sama kau!"
"Tetapi bagaimana dengan kuburan ini?"
"Untuk mengunjukkan bahwa Sukma Tidak Buyar sudah mati!"
"Jadi itu kuburan kosong?"
"Ya!"
"Bagus sekali perbuatanmu! Sampai aku beberapa kali memanggil kau kakek......"
Ie-It Hoan kembali menjura dan berkata:
"Toako orang besar tidak meladeni urusan orang kecil, maafkanlah sekali lagi!"
"Jikalau orang-orang Persekutuan Bulan Emas mengetahui bahwa itu ada kuburan kosong, bagaimana?"
"Justru demikianlah maksudku orang dunia Kang-Ouw tahu bahwa Sukma Tidak Buyar tidak bisa mati."
"Tetapi aku melihat sendiri kau roboh di tangan Manusia Gelandangan, bagaimana itu bisa jadi?"
"Rahasia alam tidak boleh dibocorkan. Aku mempunyai akal sendiri untuk menghindarkan diri dari segala macam bencana, yang bagaimana tidak bisa mati."
Hui-Kiam benar-benar sangat kagum tetapi juga merasa mangkel terhadap sepak terjang pemuda itu.
"Penghuni loteng merah itu orang golongan mana?"
"Tentang ini.......tidak tahu!"
"Kalau begitu mengapa kau minta aku lari ke arah utara!"
"Inilah yang dikatakan pertaruhan jiwa. Kalau kau tidak pergi, pasti mati! Tetapi kalau menerjang loteng merah itu tentu masih
ada sedikit harapan. Toako, kau tidak tahu betapa besar kekhawatiranku. Andaikata kau tidak keluar lagi, aku terpaksa masuk ke sana!"
"Mempertaruhkan nyawa?"
"Satu orang kalau sudah terdesak betul-betul apa boleh buat, cuma satu jalan ialah mempertaruhkan jiwanya. Tetapi orang yang pandai mempertaruhkan jiwanya banyak menangnya daripada kalahnya."
"Hem! Tetapi pertaruhan semacam itu, kalah satu kali saja habislah jiwanya!"
Ie It Huan membuka matanya lebar-lebar. Sambil menghapus keringatnya yang mengalir keluar ia berkata:
"Sudilah kiranya toako menceritakan pengalaman toako di loteng merah itu?"
Hui Kiam lalu menceritakan semua pengalaman di dalam loteng merah.
Setelah mendengarkan cerita itu, Ie It Huan lalu berkata sambil mengerutkan keningnya:
"Kepandaian muridnya saja ternyata sudah melampui kepandaianmu, kalau begitu kita tidak dapat menaksir betapa tinggi kepandaian penghuni loteng merah itu sendiri. Siapakah ia" Apa sebabnya pula ia mempunyai persoalan dengan To-liong Kiam-khek".?"
Hui Kiam mendongakkan kepala melihat cuaca, lalu berkata: "Kita harus pergi!"
Ie It Huan kembali menggunakan penyamarannya. Setelah berubah pula wajahnya seperti seorang pelajar setengah tua, ia lalu berkata:
"Toako, kita harus berjalan dengan terpisah satu jalan. Andaikata terjadi apa-apa di luar dugaan, kita dapat segera menghadapinya. Kau boleh melakukan menurut pikiranmu sendiri, jangan
memperdulikan aku, aku bisa mengikuti kau dari jarak jauh. Sebaiknya....."
"Sebaiknya bagaimana?"
"Kau juga menyamar!"
"Seorang laki-laki harus berani berlaku terus terang, aku tidak suka merubah wajahku!"
"Kalau begitu aku adalah manusia rendah" Baiklah, tidak apa. Toako, tenggorokanku sudah kering, ingin sekali aku minum arak, terpaksa aku jalan lebih dulu."
Sehabis berkata dengan cepat ia bergerak, sebentar mungkin sudah menghilang di antara kegelapan.
Hui Kiam dengan seorang diri berdiri di hadapan kuburan kosong, terhadap Ie It Huan timbul kesannya yang sangat dalam sejak semula menunjukkan diri sehingga bersahabat dengannya semua terjadi secara tidak diduga-duga semua tindak-tanduknya, juga diliputi oleh kabut misterius yang sangat tebal, siapa gurunya belum pernah ia sebutkan.
la lalu teringat kepada musuh gurunva, musuh orang tuanya dan semua pertikaian yang menyangkut dirinya sendiri.
Sekonyong-konyong ia dapat melihat bayangan seseorang tampak di tempat sejauh tiga tombak. Bayangan orang itu agaknya memang sudah berdiri di situ, oleh karena ia tidak dapat melihat bagaimana munculnya hanya dengan ketajaman pandang matanya, ia dapat melihat bayangan orang itu ada seorang berkedok berpakaian warna lila.
Sinar mata Hui Kiam baru saja tertumbuk dengan sinar mata orang yang keluar melalui dari lobang kedoknya segera merasakan suara tindasan yang belum pernah ia alami, rasa tertindas itu seperti terus menusuk ke ulu hati sehingga diam-diam ia merasa bergidik, dengan tanpa sadar kakinya mundur selangkah.
Orang berkedok itu tidak mengeluarkan suara, ia berdiri dengan tenang bagaikan satu patung.
Hui Kiam setelah pikirannya tenang kembali lalu bertanya:
"Tuan orang pandai dari mana?"
Tak ada jawaban dari orang ini, hanya sinar matanya tajam, terus memandang wajahnya, agaknya hendak menembusi isi hatinya.
Kelakuan orang itu telah membangkitkan sifat dingin dan sombong Hui Kiam. Ia memandang orang itu sejenak, lantas membalikkan badannya dan berlalu.
Tetapi baru saja kakinya bergerak, orang berkedok itu tiba-tiba sudah menghadang di hadapanaya, lalu ia menegur pula:
"Apakah maksud perbuatan tuan ini?"
Orang berkedok itu akhirnya membuka mulut. Dengan suaranya yang tajam bagaikan peluru ia berkata:
"Kau, benarkah Penggali Makam?"
"Benar, bagaimana sebutan tuan?"
"Oraug berbaju lila!"
"Ada urusan apa?"
"Kau pernah masuk ke loteng merah?"
"Ya!"
"Kau....tidak dibunuh?"
"Kalau sudah dibunuh bagaimana aku bisa berbicara dengan tuan?"
"Mengapa tidak dibunuh?"
"Rasanya hal ini tidak mempunyai hubungan dengan tuan."
"Tetapi aku ingin tahu!"
Nada suaranya bagaikan perintah itu, diucapkannya dengan sikap tegas, agaknya hendak memberitahukan kepadanya, meskipun Hui Kiam tahu bahwa tinggi kepandaian orang itu tidak dapat diukur,
tetapi ia tidak sudi diperlakukan demikian rupa, maka lalu berkata dengan nada suara dingin:
"Aku tidak berkewajiban untuk menceritakan kepadamu."
"Kau terlalu sombong."
"Terserah bagaimana tuan pikir."
"Sebaiknya kau mengaku terus terang."
"Mengaku" Ha, ha, ha, istilah ini sesungguhnya sangat unik, tetapi aku bukan seorang pesakitan"."
"Tetapi tidak ada bedanya!"
"Apakah tuan tidak menganggap itu terlalu sombong?"
"Itu sudah merupakan satu perlakuan yang cukup pantas!"
"Kalau tidak?"
"Kau tidak mungkin hidup lebih lama lagi!"
Kemurkaan Hui Kiam timbul. Orang berbaju lila itu bukan saja tidak pandang mata pada Hui Kiam, tetapi juga menganggap dirinya sebagai barang permainan yang tak berharga, bahkan dengan tindakannya itu ia agaknya memang sengaja mencari gara-gara. Di dalam dunia mana ada hak memaksa orang lain untuk menceritakan rahasianya. Maka seketika itu ia lalu berkata dengan suara gusar:
"Kita satu sama lain belum pernah kenal, ini bagaikan air sumur dengan air sungai, yang satu dengan yang lain tidak saling mengganggu, tuan demikian memaksa orang, apakah tuan menganggap bahwa aku ini adalah seorang yang boleh kau perbuat sesukamu?"
"Semua percuma saja, kau cuma bisa menjawab pertanyaanku!"
"Tidak bisa!"
"Kau berani mengulangi sekali lagi?"
"Tidak bisa!"
Mata orang berbaju lila itu memancarkan sinar yang menakutkan. Ia menggeser kakinya maju selangkah, lalu mengulurkan tangannya untuk menyambar Hui Kiam dengan satu gerakan yang luar biasa aneh dan cepatnya. Hui Kiam segera teringat gerak tipu ilmu pedang Siu Bie, murid pertama penghuni loteng merah, biar bagaimana sulit dielakkannya. Pikiran itu hanya sepintas lalu saja terlintas dalam otaknya dan hampir berbareng prda saat terlintasnya pikiran itu, tangannya sudah menghunus pedangnya dan melancarkan serangannya untuk mengimbangi gerakan orang berbaju lila itu.
Orang berbaju lila itu tiba-tiba berseru: "Eh," lalu dengan cepat menarik kembali tangannya, selanjutnya secara bagus sekali ia mengelakkan serangan Hui Kiam yang sangat hebat itu, kemudian ia mengulur tangannya lagi dengan kecepatan luar biasa untuk menyambar tangan Hui-Kiam.
Hui Kiam coba membalikkan pedangnya untuk memapas tangan lawannya, tetapi sudah tidak keburu. Orang berbaju lila itu ternyata bergerak lebih dulu, sehingga sesaat kemudian tangannya sudah tertangkap.
Untung kepandaian yang dipelajari oleh Hui Kiam jauh berlainan dengan ilmu kepandaian biasa, ia tidak takut jalan darahnya ditotok, maka meskipun badannya sudah tidak bisa bergerak, gerakan pedangnya masih belum kendor. Ia melanjutkan serangannya kepada tangan lawannya".
Orang berbaju lila mengendorkan tangannya. Tangan yang lain melancarkan satu serangan kilat.
Serangan itu mengenakan dengan telak. Lengan tangan kanan Hui Kiam hampir patah, pedangnya hampir terlepas, badannya mundur terhuyung-huyung.
Orang berbaju lila itu berkata dengan nada suara dingin: "Aku ternyata telah memandang rendah dirimu, kau tidak takut ditotok."


Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sehabis berkata tangannya menyerang lagi. Tempat yang diarah, bukan bagian jalan darah, juga bukan bagian urat melainkan tempat mengalirnya darah.
Hui-Kiam meski tahu dirinya diserang lagi tetapi ia tak dapat menyingkir. Serangan itu ketika mengenakan dirinya, seluruh tenaganya seolah-olah lenyap seketika.
Orang berbaju lila mundur selangkah dan berkata:
---ooo0dw0ooo---
JILID 7 "Sekarang kau boleh ceritakan!"
"Tidak!"
"Kau mencari mati sendiri?"
"Hem."
Sekali lagi orang berbaju lila itu menyerang Hui Kiam. Badan Hui Kiam terpental sejauh tiga tombak. Orang berbaju lila itu menghampiri lagi dan berkata dengan suara bengis:
"Katakan mengapa penghuni loteng merah itu tidak membunuhmu?"
Semua tulang-tulang sekujur badan Hui Kiam dirasakan seperti patah, tetapi ia masih mencoba berusaha bangun. Pedang tak terlepas dari tangannya, tetapi darah merah sudah mengalir keluar dari mulutnya. Orang berbaju lila itu entah menggunakan ilmu apa untuk melenyapkan kekuatan tenaganya, sehingga ia tidak mempunyai daya perlawanan sama sekali, semua rasa dendam dan bencinya, cuma dapat ditujukan dari sinar matanya. Ia lalu berkata dengan perasaan gemas:
"Orang berbaju lila, satu hari kelak aku akan membunuhmu!"
"Ha, ha, ha?" suara tertawa yang mengandung penuh ejekan, dan setelah berhenti tertawa orang berbaju lila itu berkata: "Bocah, apakah kau kira kau masih ada kesempatan untuk hidup" Untuk mengambil jiwamu, tidak perlu aku menggunakan tenaga, hanya sebelum kau menjawab pertanyaanku jangan harap kau bisa mati dengan enak."
Hui Kiam berpikir, orang ini begitu keras keinginannya untuk menanyakan persoalan yang menyangkut dengan diri penghuni loteng merah, pasti ada sebabnya, akan tetapi, ia sudah tiada maksud ingin tahu sebab-sebabnya itu. Di dalam dadanya pada saat itu sudah dipenuhi oleh rasa dendam dan kebencian, sehingga rasa takut sudah tidak mendapat tempat lagi.
Orang berbaju lila itu berkata pula:
"Dan lagi mengenai asal-usul dirimu sendiri. Dua soal ini setelah kau selesaikan, aku mungkin dapat memikirkan atau menimbang untuk memberi ampun kepada dirimu."
"Jangan harap kau meodapat sepatah jawaban dari mulutku."
"Kau bisa menjawab."
"Kau mengimpi!"
"Penggali Makam, apakah kau pernah mendengar ilmu jari tangan yang dinamakan Ie-sin-cie?"
Sekujur badan Hui Kiam gemetaran, ia mundur empat langkah. Dahulu ia pernah mendengar cerita dari gurunya. Ia mengatakan bahwa di dalam rimba persilatan ada semacam ilmu kepandaian yang sangat ganas tetapi sudah lama menghilang dari muka bumi. Ilmu itu dinamakan le-sin-cie. Barang siapa yang tertotok oleh jari tangan dengan menggunakan ilmu kepandaian itu, pikiran dan semangatnya akan musnah sehingga berubah menjadi seorang linglung seumur hidup hingga binasa.
Ini benar-benar merupakan suatu siksaan badan dan batin yang terlalu kejam. Jauh lebih jahat dari pada kematian sebab orang yang sudah menjadi linglung, sekalipun hidup sudah tidak ada gunanya.
Sungguh tidak disangka orang berbaju lila ini mempunyai kepandaian ilmu yang sudah lama menghilang dari rimba persilatan itu.
"Kau..... berani?" berkata Hui Kiam dengan suara gemetar.
"Ucapanmu ini bukankah cuma-cuma saja. Mengapa aku tidak berani" Ha ha ha."
Hui Kiam terpaksa keraskan kepala ia berkata:
"Lakukanlah!"
Orang berbaju lila itu ternyata telah digerakkan hatinya oleh sifat keras kepala dan angkuh Hui Kiam. Sejenak ia merasa heran, kemudian berkata:
"Kau sudah mengambil keputusan?"
Tepat pada saat itu satu suara dari orang tua terdengar dari dalam rimba yang tidak jauh dari situ:
"Penghuni loteng merah, keluarkanlah pedangmu!"
Lalu terdengar suara seorang wanita yang berkata:
"Kau masih belum pantas menjadi lawanku!"
Hui Kiam diam-diam terperanjat. Bagaimana penghuni loteng merah bisa datang kemari" Siapakah itu orang yang menentangnya" Dari ilmu pedang yang ditunjukkan oleh Siu Bie, dapat diukur bahwa ilmu pedang penghuni loteng merah pasti sudah mencapai sesuatu taraf yang sudah tidak ada taranya, maka orang yang berani menentangnya pasti bukan orang sembarangan.
Orang berbaju lila itu membalikkan badannya perlahan-lahan. Mukanya ditujukan ke arah datangnya suaranya itu. Badannya agak gemetar!
Terdengar suara itu pula, tetapi kali ini kedengarannya agak jauh:
"Penghuni loteng merah, kau jangan pergi. Persoalan ini kalau tidak diselesaikan, aku si orang tua nanti akan membakar loteng merah ini."
"Tua bangka, kau bukan tandinganku."
Orang berbaju lila itu sekonyong-konyong menggerakkan badannya melesat melayang ke dalam rimba. Kelincahan dan kegesitannya bergerak sesungguhnya sangat mengagumkan. Hui Kiam hanya dapat lihat berkelebatnya bayangan lila, lalu sudah kehilangan jejak orang itu.
Tiba-tiba dari dalam rimba yang berlawanan arahnya terdengar suara halus masuk ke dalam telinganya:
"Siauhiap lekas mundur, kesempatan ini jangan kau sia-siakan. Lari kemari selekas mungkin."
Hui Kiam tidak dapat membedakan lagi suara siapa. Ia lalu lari ke dalam rimba yang ditunjuk oleh suara tadi. Tetapi karena kekuatan dan kepandaiannya sudah terpengaruh oleh totokan tangan orang berbaju lila itu, gerak kakinya tidak beda dengan orang biasa. Baru sampai dekat rimba ia sudah terpegang oleh orang. Terdengar suaranya orang berkata: "Jangan bersuara!"
Keadaan dalam rimba gelap gulita. Dalam pandangan Hui Kiam pada saat itu, kegelapan itu dirasakan sangat luar biasa. Ia tidak tahu siapakah orangnya yang menolong dirinya itu, tetapi karena orang itu memintanya untuk tidak bersuara, maka ia terpaksa menutup mulut.
Dibawa ke dalam rimba kira-kira duapuluh tombak, tiba-tiba badannya dirasakan ringan. Ternyata ia dibawa naik ke atas sebuah pohon besar yang kemudian dibawa masuk ke dalam lobang besar yang terdapat di atas pohon itu. Hui Kiam bertanya lagi:
"Tuan siapa?"
"Stt!"
Hui Kiam terpaksa menutup mulut. Hatinya merasa heran, siapakah orang itu, mengapa ia datang memberi pertolongan pada waktu yang tepat nampaknya, orang ini merasa jeri terhadap orang berbaju lila, mengapa kebetulan ada orang yang menentang penghuni loteng merah sehingga menarik perhatian orang berbaju lila dan akhirnya pergi kesana, apakah ini kebetulan saja"
Sejenak telah berlalu. Di bawah pohon terdengar suara yang tidak asing lagi baginya:
"Locianpwee, orangnya sudah berlalu, tapi mungkin bisa balik lagi. Tunggulah sebentar."
Semangat Hui Kiam terbangun seketika. Orang yang bicara itu, bukan lain daripada Ie It Hoan. Ia membebaskan dirinya orang yang di sisi badannya itu. "Locianpwee, apakah...."
Belum lagi cukup pikirannya, orang di sampingnya itu berkata padanya:
"Hui-Kiam, tahukah kau siapa aku ini?"
"Oh! Locianpwee adalah Orang Tua Tiada Turunan?"
"Benar, ini sangat kebetulan, jika tidak jiwamu pasti melayang di tangan orang berbaju lila itu!"
"Kebetulan" Kau maksudkan dengan penghuni loteng merah itu?"
"Apakah penghuni loteng merah, adalah bocah di bawah pohon itu yang seorang memegang peranan dua orang, ia sengaja berlaku demikian maksudnnya ialah hendak menarik perhatian orang berbaju lila dan supaya pergi menyingkir aku sebetulnya sangat mengkhawatirkan jiwanya........"
Hui-Kiam menarik napas dalam-dalam. Hatinya sangat mengagumi kecerdikan dan kepandaiannya meniru suara orang Ie-It Hoan itu.
"Orang berbaju lila itu dari golongan mana?"
"Sekarang masih belum tahu. Bulan yang lalu di kota Seng-po aku pernah melihat ia menunjukkan diri satu kali. Ilmu pedang ketua partai Thay-kek dalam rimba persilatan terhitung salah satu ilmu pedang sangat tinggi, kau pikir bagaimana?"
"Kenapa?"
"Di bawah tangan orang berbaju lila, hanya setengah jurus saja, sudah tidak berkutik. Orangnya terluka, pedangnya terpapas kutung!"
"Ah!"
"Ini masih belum terhitung apa-apa. Menurut kabar yang tersiar di kalangan Kang-ouw pada akhir-akhir ini, orang berbaju lila itu pernah mengunjungi partai Bu-tong pai, yang dianggapnya sebagai pemimpin ilmu pedang. Dalam pertandingan itu termasuk orang-orang golongan tua dari partai tersebut, tidak seorangpun yang dapat menandingi dalam waktu dua jurus!"
Hui Kiam dalam hati bergidik, nampaknya jika ia sendiri menggunakan ilmu pedangnya yang cuma terdiri dari satu jurus gerak tipu itu mungkin dapat memberi perlawanan kepada orang berbaju lila, meskipun mungkin hanya satu keberatan saja....
"Kalau begitu ilmu pedang orang berbaju lila itu mungkin sudah susah dicari tandingannya?"
"Mungkin. Menurut apa yang aku tahu, kecuali jago-jago dari generasi atasan seperti Tiga Raja Rimba Persilatan yang masih belum diketahui dengan tepat, sampai di mana tinggi kepandaiannya sesungguhnya susah dicari seorangpun yang dapat menandingi kepandaian orang berbaju lila itu!"
"Apakah tidak mungkin bahwa orang berbaju lila ini adalah itu orang jago pedang berkedok yang dahulu pernah membunuh mati suhu dan supek sekalian?"
"Hm! Itu mungkin!"
"Dulu apakah suhu pernah menerangkan kepada Locianpwe tanda-tanda istimewa dan pakaian yang dipakai oleh jago pedang berkedok itu?"
"Pakaian setiap waktu bisa berobah, tidak dapat digunakan buat pegangan, sementara mengenai tanda-tanda istimewa, karena orang itu memakai kedok, tak mudah untuk dikenal."
"Kalau begitu bagaimana kita harus membuktikannya?"
"Tunggu setelah kepandaianmu dapat memenangkan orang berbaju lila itu, kau nanti mencarinya juga belum terlambat. Sekarang sekalipun kau dapat membuktikan bahwa dia adalah pembunuh suhumu, tetapi kau bisa berbuat apa"
Dan seandainya rahasia dirimu sendiri terbuka, bagaimana pula akibatnya?"
"Ya! Pada saat ini... kalau aku membicarakan soal menuntut balas bagi suhu sesungguhnya masih terlalu pagi!"
"Walaupun demikian, tetapi kau juga tak boleh putus harapan. Asal kau dapat menemukan bagian bawah kitab pusaka Thian-kie Po-kip, dengan bakat dan kecerdasanmu pasti kau berhasil. Bencana besar sudah mengancam rimba persilatan, semoga kau menjadi orang kuat untuk melenyapkan bencana itu!"
"Boan-pwe tidak berani menerima pujian cianpwe, tetapi ingin sekedar menyumbangkan tenaga saja."
"Baiklah, tahukah kau mengapa aku bisa kebetulan begitu sampai di sini dan memberi pertolongan kepadamu?"
"Inilah justru yang aku minta keterangan Locianpwe!"
"Aku mendengar kabar suatu berita yang ada hubungannya dengan dirimu, maka aku datang kemari untuk mencari kau. Di tengah jalan aku berjumpa dengan bocah yang gemar minum arak itu. Aku dengan dia lalu pergi menuju kemari. Kebetulan dapat lihat kau sedang terdesak oleh orang berbaju lila itu. Akhirnya si bocah itu mencari akal. Dengan menyamar sebagai orang tua, ia sengaja menentang kepada penghuni loteng merah untuk menyingkirkan orang berbaju lila. Tetapi ini sesungguhnya sangat berbahaya. Jikalau terbuka kedoknya, akibatnya sangat hebat!"
"Kabar apa yang ada hubungan dengan aku?"
"Supekmu jago besar tua, Kiem-tee, bukankah karena lampiran gambar peta di dalam kitab pusaka Thian-gie Po-kip sehingga perlu pergi mencari sebilah pedang purbakala?"
"Hal itu Locian-pwee perrah menceritakan."
"Menurut petunjuk-petunjuk jalan peta, pedang purbakala itu disimpan dalam sebuah makam pedang yang letaknya di dalam lembah Cok-beng-gam. Pada hari-hari terakhir ini, entah siapa yang menyiarkan berita ini kepada kalangan Kang-ouw sehingga banyak orang Kaug-ouw berbondong-bondong menuju kesana."
"Oh!"
"Makam pedang itu karena terdapat dalam buku peta pada kitab pusaka Thian-gie Po-kip, mungkin ada hubungannya dengan kepandaian ilmu silat yang tertera di dalam kitab pusaka itu. Kau adalah satu-satunva orang yang menjadi keturunan atau murid dari Lima Kaisar Rimba Persilatan, tidak boleh tidak kau harus perhatikan soal ini, betul tidak?"
"Ya!"
"Semula tempat untuk menyimpan pedang itu hanya Toa-supekmu seoranglah yang tahu, yang lainnya cuma tahu persoalannya tetapi tidak tahu tempatnya. Tetapi apakah Toasupekmu hanya mendapatkan tempatnya atau sudah berhasil mendapatkan pedangnya" Ini semua masih merupakan satu teka-teki. Sebaliknya karena Toasupek sudah mati di bawah tangan jago pedang yang sangat misterius itu, kita dapat membuka sendiri jikalau bukan karena pedang, tentu disebabkan oleh gambar petanya, tetapi biarpun bagaimana, jago pedang berkedok itu merupakan kunci yang terpenting yang masih menjadi pertanyaan, dan menyulitkan kita ialah, jago pedang berkedok itu orang dari golongan mana......" Penjahat itu bisa menggunakan senjata tunggal Jien-ong yang berupa jarum melekat tulang, seharusnya ia keturunannya Jien-ong atau muridnya. Di dalam dunia Kang-ouw banyak hal yang tidak dapat diperhitungkan menurut pemikiran biasa. Tiga Raja Rimba Persilatan adalah merupakan tokoh-tokoh kuat pada waktu lima puluh tahun berselang, dan selama itu sudah banyak perobahan, sudah tentu ini juga merupakan suatu garis petunjuk yang sangat berharga, tetapi masih belum dapat dipastikan, dan andaikata benar, bagaimana kau bisa berbuat" Mati atau hidupnya Jien-ong belum kita ketahui, maka satu-satunya jalan ialah mencari jago pedang yang berkedok itu.
"Sudah tentu memang hanya itu jalan saja yang kita dapat tempuh."
"Apa yang paling kukhawatirkan ialah tindakan orang-orang Persekutuan Bulan Emas terhadap dirimu"."
"Soal itu boanpwee malah tidak menghiraukannya. Tahukah Locianpwee bagaimana orangnya pemimpin Persekutuan Bulan Emas itu?"
"Tentang ini... barangkali sembilan puluh sembilan persen anak buah persekutuan itu sendiri tidak dapat menjawab pertanyaan ini. Ini berarti, sehingga pada saat ini masih belum seorangpun yang tahu asal-usul pemimpin persekutuan itu dan markasnya."
"Maksud Locianpwee sekarang...."
"Kita harus lekas pergi ke kuburan pedang itu untuk menyaksikan sendiri benar atau tidaknya kabar yang tersiar luas di dunia Kang-ouw itu."
"Maksud Boanpwee ingin menengok Liang-gie Sie-seng lebih dulu, untuk menyelidiki bagian bawah kitab Thian-gi Po-kip"."
"Lembah Bu-hiap dari sini tidak terlalu jauh. Begini saja, aku pergi ke kuburan pedang itu dulu untuk melihat keadaan, dan kau bersama Ie It Hoan pergi mencari Liang-gie Sie-seng. Selesai tugasmu, lekas kemari. Bagaimana?"
"Baiklah. Hanya karena urusan Boan-pwce, telah menyebabkan Locianpwte turut banyak capaikan hati...."
"Ini adalah kesukaanku sendiri, kau tidak perlu mengucapkan demikian!"
"Apakah harus berangkat sekarang juga?"
"Kau telah lupa bahwa kepandaianmu dan kekuatanmu sudah dibekukan oleh orang berbaju lila itu...."
Hui Kiam seketika itu menjadi bungkam. Kepandaiannya belum pulih kembali, ter-sia-sia ia bertindak. Pada saat itu terdengar suaraI It Huan dari bawah pohon berkata:
"Locianpwee, mengapa kau tidak coba menggunakan ilmu kepandaianmu Siao-yang Sin-kang?"
"Oh! Untung kau peringatkan, aku benar-benar sudah lupa. Sudah tentu boleh coba. Bocah, kau menyingkir agak jauh, awas ada orang yang memperhatikan dirimu!"
"Ya!"
Ie-It Huan segera berlalu. Orang Tua Tiada Turunan mulai memeriksa urat-urat dan jalan darah yang dibekukan oleh orang baju lila, setelah itu ia baru berkata:
"Sungguh beruntung, ilmu Siao-yang Sin-kang tepat sekali untuk menyembuhkan lukamu ini. Perbuatan orang itu sesungguhnya sangat jahat, bagian yang ia bekukan adalah bagian antara jalan hawa dan darah."
Sehabis berkata ia memerintahkan Hui Kiam untuk bersemedhi, kemudian ia menggunakan ilmunya Siao-yang Sin-kang untuk memulihkan kekuatan dan kepandaian Hui Kiam.
Ilmu itu benar-benar luar biasa, belum antara lama Hui Kiam sudah merasakan betapa hebat kekuatannya....
Sinar matahari pagi masuk melalui lobang-lobang di atas pohon, suatu tanda bahwa hari mulai pagi. Sementara itu kekuatan Hui Kiam juga sudah pulih kembali. Dua orang itu lalu turun ke bawah segera disambut oleh Ie It Hoan yang memperhatikan dari tempat seluruhnya. Begitu melihat Hui K.am, pemuda jenaka itu lantas berkata dengan suara girang:
"Toako, kau sudah sembuh" Syukur!"
Perhatian begitu besar yang ditunjukkan oleh pemuda itu, betapapun dingin hati dan perasaan Hui Kiam, mau tidak mau juga tergerak sehingga di bibirnya terlukis suatu senyuman yang baginya merupakan suatu kejadian yang jarang terjadi.
Orang Tua Tiada Turunan setelah berada di bawah lalu berpisah pada mereka, untuk melanjutkan perjalanannya mencari keterangan tentang kuburan pedang.
Ie It Hoan lalu berkata dengan sungguh-sungguh:
"Toako menyamar, bagaimana?"
"Tidak usah!" jawabnya singkat tetapi tegas.
Ie It Hoan berkata:
"Kalau begitu mari kita berangkat! Menurut cara yang sudah, kita jangan berpencaran, tetapi tetap berpisah dalam cara tertentu."
"Baik, mari jalan."
Keduanya dengan satu di muka dan satu di belakang meninggalkan rimba tersebut dengan mengambil jalan, ke jalan raya, berjalan menuju ke barat.
Hui Kiam dan Ie It Hoan setelah tiba di tempat yang dituju, mereka berkumpul lagi. Terhadap keadaan tempat tersebut, bagi Hui Kiam masih asing, sebaliknya dengan Ie It Hoan yang kenal baik dengan hampir di setiap pelosoknya.
Dua pemuda itu melakukan perjalanannya, di dalam pegunungan, satu jam kemudian tibalah di suatu permukaan sebuah lobang terowongan di puncak gunung. Dari lobang terowongan itu melongok ke dalam bisa disaksikan pemandangan alam yang terdapat di lain bagian. Ie It Hoan sambil menunjuk ke suatu tempat tinggi yang diliputi oleh kabut ia berkata:
"Di dalam gua sebelah sana."
"Apa kau pernah datang?"
"Belum pernah masuk, jejakku hanya sampai di sini saja."
"Apakah kau dulu pernah melibat Liang Gie Sie-seng?"
".Sepintas lalu saja. Aku kenal kepadanya, tetapi ia tidak kenal aku."
"Mari kita jalan."
Tidak lama kemudian, dua pemuda itu sudah tiba ke tempat sebuah gua di tengah-tengah lereng puncak gunung.
Ie It Hoan lalu berkata:
"Kita mengunjunginya menurut aturan atau menerobos saja?"
Hui Kiam berpikir sejenak baru menjawab:
"Menurut tanda-tandanya Liang Gie Sie-seng hanya merupakan scorang tersangka yang paling benar, tetapi belum ada bukti yang menyatakan bahwa kitab Thian-gie Po-kip bagian bawah itu benar-benar berada di tangannya, sudah tentu kita berkunjung menurut cara yang selayaknya."
"Kalau begitu nanti aku akan menyampaikan suara untuk minta bertemu lebih dulu."
Sehabis berkata, pemuda itu lalu mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya dan berkata ke arah dalam gua: "Liang-gie Sie-seng, Sukma Tidak Buyar datang berkunjung."
Perkataan itu diucapkan berulang-ulang, tetapi keadaan di dalam gua nampak sepi tiada terdengar jawaban apa-apa.
Hui Kiam lalu berkata sambil mengerutkan keningnya:
'"Apakah ia sudah kabur jauh?"
"Mungkin sekali."
"Mari kita masuk...."
"Eh! Siapa itu?"
Pada saat itu sesosok bayangan kecil langsing lari keluar dari dalam dengan kaki sempoyongan kian lama kian mendekat, barulah tertampak dengan tegas bahwa bayangan itu adalah seorang wanita yang rambutnya terurai dan sekujur badannya penuh darah.
Hui Kiam dan Ie It Hoan terkejut, nampaknya di dalam goa itu sudah terjadi sesuatu.
Wanita itu bisa tiba di dekat mulut goa, agaknya sudah kehabisan tenaga sehingga roboh di tanah tidak bisa bangun lagi.
Hui Kiam dan Je It Hoan menghampiri wanita itu, segera dapat dilihatnya paras wanita itu sangat pucat tetapi masih menunjukkan kemarahannya sehingga nampaknya sangat bengis, seluruh
pakaiannya sudah menjadi merah bekas darah, di badannya terdapat tanda luka enam atau tujuh tempat, sekitar tempat yang terluka terdapat tanda-tanda hitam, di tengah-tengah masih mengalirkan darah merah, keadaannya sangat menyedihkan.
Hui Kiam lalu bertanya sambil mengkerutkan keningnya: "Siapakah kau" Mengapa sampai terluka demikian?"
Wanita itu bagaikan binatang yang terluka, menggelinding dua kali lalu bangun terduduk dengan sinar mata buas mengawasi kedua tamunya, di parasnya yang sudah tidak ada darahnya nampak berkerejit beberapa kali, lalu balik bertanya dengan suara bengis:
"Siapakah" di antara kalian yang bernama Sukma Tidak Buyar?"
Ie It Huan yang pada kala itu masih mengenakan pakaian seperti seorang pelajar segera menjawab:
"Aku!"
''Dan dia?"
"Penggali Makam!"
"Ah!"
Sinar mata buas yang ada pada mata wanita itu lenyap seketika, kemudian diganti dengan sikap kaget dan terheran-heran, lalu berkata pula:
"Kalau begitu, kalian berdua bukan kaki tangannya Persekutuan Bulan Emas?"
Hui Kiam ketika mendengar disebutnya nama Bulan Emas, segera dapat menduga bahwa dalam hal ini ada terselip apa-apa, maka ia lalu berkata:
"Bukan! Sudah tentu aku ingin bertanya."
"Aku bernama Oey Yu Cu, adalah istrinya Liang-gie Sie-seng, Lie Bun....."
"Oh! Nyonya Lie, entah.........."
"Aku...... sudah hampir mati........"
"Dan suami nyonya?"
"Suamiku semalam telah meninggal dunia dianiaya orang."
Wajah Hui Kiam berobah, ia berkata dengan suara gemetar:
"Liaug-gie Sie-seng apa sudah mati?"
"Ya, ia sudah menutup mata, kematiannya sangat menyedihkan, aku..... aku sendiri juga sudah hampir mati."
Berkata sampai di situ dadanya nampak bergerak, napasnya tersenggal-senggal, mulutnya mengeluarkan darah.
Ie It Hoan lalu berkata dengan suara gemas:
"Nyonya Lie, lukamu tidak ringan, aku di sini membawa obat mustajab untuk menyembuhkan luka"."
Oey Yu Cu goyang-goyangkan tangannya yang sudah tidak bertenaga seraya berkata:
"Kebaikanmu" akan kuterima dalam hatiku, hanya pada saat mi sudah tidak ada gunanya. Suamiku kecuali terkenal sebagai ahli racun juga seorang ahli dalam ilmu obat obatan. Kalau aku masih bisa hidup sehingga saat ini, semata-mata karena mengandal pengaruh obat yang dibuatnya, pengaruhnya obat Po-beng Kim-tan. Di dalam dunia ini" tiada ada obat yang lebih baik daripada obat itu, tetapi denyutan jantungku sudah putus, darahku juga mengalir hampir habis, dewapun sudah tidak mungkin dapat menolong lagi."
Hui Kiam yang menyaksikan keadaan demikian, segera mengetahui bahwa nyonya itu memang benar adalah susah ditolong lagi jiwanya, kalau ia tidak lekas mengajukan pertanyaan yang terkandung dalam hatinya barangkali sudah tidak ada kesempatan lagi. Maka ia lalu bertanya:
"Nyonya Lie, maksud kedatanganku ini, ialah ingin mengajukan beberapa keterangan kepada nyonya!"
"Kau" ceritakan!"
"Apakah suami nyonya pernah pergi dengan Aiw-yang Hong membasmi orang orang Sam-goan pang?"
"Tidak!"
Hui Kiam terkejut tetapi segera bertanya pula:
"Apakah Aiw-yang Hong mati di tangan suami nyonya?"
Bibir Oey Yu Cu bergerak-gerak beberapa kali baru menjawab:
"Tuan bertanya.... makin lama semakin aneh. Suamiku dengan Aiw-yang Hong bersahabat sangat erat!"
Jawaban ini tidak ubahnya bagaikan air dingin yang disiram di atas kepala Hui Kiam, dugaannya yang dulu-dulu telah dirobohkan seluruhnya, akan tetapi ia masih tetap tidak mau melepaskan dan bertanya pula:
"Apakah suami nyonya pada waktu akhir-akhir ini pernah mendapatkan kitab pelajaran ilmu silat dan sebagainya?"
Oey-Yu Cu mendongakkan serta mengelengkan kepalanya sebagai jawaban.
Hui-Kiam mengawasi Sukma Tidak Buyar dengan sinar mata penuh tanda tanya. Sukma Tidak Buyar menganggukkan kepalanya sebagai tanda bahwa keterangan nyonya itu boleh dipercaya.
Keadaan Oy-Yu Cu sudah seperti lampu yang kekeringan minyak, ia tiada bertenaga untuk duduk lagi, dengan sangat lemah merebahkan diri di tanah, mulutnya mengeluarkan perkataaan dengan suara lemah:
"Tolong... cari... Oey-Yu Hong, ia tahu!"
Hui-Kiam dapat melihat gelagat tidak baik, cepat-cepat ia bertanya.
Bibir Oey-Yu Cu nampak bergerak-gerak tetapi sudah tidak mengeluarkan suara.
Sukma Tidak Buyar lalu berkata:
"Nyonya Lie, kuatkan hatimu, kalian suami-istri telah mengalami nasib sedemikian menyedihkan. Siapakah orangnya yang melakukan kejahatan itu"''
Ini adalah merupakan suatu kunci terpenting dalam persoalan ini. Huj-Kiam sangat menyeaal tetapi ia tidak menanyakan lebih dulu, selagi hendak menggunakan kekuatan tenaganya untuk membantu memberi semangat kepada nyonya yang bernasib malang itu, tetapi ternyata sudah tidak keburu karena pada saat itu Oy-Yu Cu sudah melayang jiwanya.
Hui Kiam cuma bisa memandang jenazahnya dengan hati pilu, kemudian berkata dengan suara parau:
"Nyonya Lie, aku terima baik permintaanmu, pasti hendak mendapatkan diri Oey-Yu-Hong."
Sukma Tidak Buyar juga berkata sambil menggelengkan kepala serta menghela napas:
"Sayang, ia belum sempat mengatakan sudah menutup mata. Oey-Yu-Hong itu kalau bukan kakaknya tentu adiknya."
"Sungguh tidak diduga bahwa perjalanan kita ini ternyata sia-sia belaka. Apa keterangan nyonya itu kau anggap boleh dipercaya?"
"Boleh dipercaya!"
"Sebabnya?"
"Seorang yang sudah dekat mati tidak bisa membohong. Kecuali itu, Lian-gie Sie-seng sudah mati, ia juga tahu bahwa dirinya sendiri juga pasti mati. Seorang yang sudah kehilangan jiwanya, benda bagaimanapun berharganya baginya sudah tidak ada gunanya sama sekali, perlu apa ia harus menyembunyikan rahasia?"
"Tetapi Sam-goan Lojin mati dengan kepandaian ilmu tiga jari Sam-ciok Ci dari Aiw-yang Hong, sedangkan orang-orang Sam-goan pang sebagian besar mati karena racun, dan menurut keterangan nyonya Aiw yang-Hong, sebelum menemukan ajalnya Aiw-yang-Hong pernah pergi bersama-sama ke Sam-goan-Pang dengan Liang-gie Sie-seng. Disamping itu, Liang-gie Sie-seng merupakan seorang ahli dalam berbagai jenis racun. Hal ini bagaimana kita harus memecahkannya?"
Harpa Iblis Jari Sakti 8 Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long Kisah Sepasang Rajawali 18
^