Pencarian

Pedang Pembunuh Naga 2

Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun Bagian 2


Hui Kiam mendadak ketawa bergelak-gelak:
"Orang she Ko, jangan salah hitung, aku nanti yang turun tangan terhadap kau."
Ko Han San menjadi sengit, dengan segera menghunus pedangnya, begitu diputar, ujung pedang menciptakan lima buah sinar berbentuk bunga bwee. Awak pedang itu tebal dan agak lebar dari pedang biasa, bentuknya sangat menyolok. Itu adalah pedang ajaib yang jarang tertampak dalam rimba persilatan.
Dari gerak pembukaan orang she Ko itu, dapat diduga bahwa ia bukan menggunakan ilmu pedang golongan Tionggoan.
Kedua pihak sudah siap, masing-masing mengerti telah menjumpai lawan tangguh.
Kedua pihak berhadapan sekian lama, agaknya sedang mengukur kekuatan masing-masing.
Mendadak Ko Han San keluarkan suara bentakan keras, pedangnya bergerak, dengan gerak satu tipu gunung Thay-san menindih kepala, membacok kepala Hui Kiam.
Hui Kiam yang sudah siap segera menyambuti serangan tersebut, hingga dua senjata saling beradu. Kedua pihak mundur satu tindak. Setelah itu, masing-masing maju lagi berdiri dengan sikap saling
menantang. Keduanya mengerti bahwa kekuatan mereka ternyata berimbang.
Suara beradunya pedang terdengar lagi, kali ini lebih hebat daripada yang pertama, hanya gerak tipu Hui Kiam masih tetap tidak berubah, tetap itu-itu saja.
Selanjutnya pertempuran berlangsung dengan sengitnya. Sejurus demi sejurus. Hingga jurus ke delapan, mulut kedua pihak sudah mengalirkan darah, badan terhuyung-huyung, nampaknya kedua pihak akan rubuh sama-sama.
Ketika jurus kesembilan dimulai, mendadak terdengar suara keluhan tertahan dari kedua pihak. Kedua-duanya jatuh numprah di tanah dengan napas memburu, hanya mata masing-masing yang tetap memandang lawannya.
Kira-kira setergah jam kemudian, dua orang berdiri berbareng, akan mulai kejurus kesembilan, tapi kedua pihak ternyata sudah kehabisan tenaga. Serangan kedua pihak tidak hebat, badannya sempoyongan kemudian rubuh lagi.
Empat orang yang datang duluan, ketika menyaksikan keadaan demikian, mereka saling memandang lalu menghampiri Hui Kiam.
Hui Kiam diam-diam mengeluh: "Kali ini habislah jiwaku!"
Karena dalam keadaan terluka hebat demikian, jangan kata empat lawan, satu di antaranya sudah cukup menamatkan riwayat. Tapi satu keinginan hidup dan perasaan penasaran telah membangkitkan sisa kekuatannya yang masih ada. Ia berusaha untuk pertahankan jiwanya.
Empat ujung pedang mulai mengancam dari empat penjuru......
Mendadak terdengar suara jeritan ngeri, satu di antara empat orang itu rubuh dalam keadaan mengerikan, kepalanya telah terpisah dari badannya. Ternyata Hui Kiam telah menggunakan sisa kekuatan tenaganya dengan satu gerakan luar biasa gesitnya sudah menabas kutung kepala salah satu di antara empat orang tersebut. Tapi setelah itu, ia sendiri benar-benar sudah kehabisan tenaga, hingga jatuh numprah lagi di tanah. Darah segar keluar dari
mulutnya. Sekarang ia tidak bisa terbuat lain cuma bisa menantikan kematiannya saja.
Tiga kawan yang mati tadi sangat penasaran, sambil keluarkan geraman hebat mereka maju lagi.
Ko Han San mendadak keluarkan perintah: "Jangan bunuh dia, musnahkan saja kekuatan dan kepandaiannya. Bawa pulang dalam keadaan hidup!"
Dimusnahkan kepandaiannya, itu ada lebih daripada kematian. Hui Kiam tidak sudi menghadapi siksaan demikian. Tapi apa daya" Kekuatan untuk bunuh diri saja sudah tidak ada.
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suatu bentakan: "Siapa berani berlaku kurang ajar di sini?"
Setelah itu, sesosok bayangan kecil langsing dari seorang wanita berkerudung dan berbaju hijau muncul bagaikan setan.
Dengan munculnya wanita berkerudung itu, tiga orang yang hendak memusnahkan kepandaian Hui Kiam hentikan gerakannya seketika.
Wanita berkerudung itu lalu berkata pula:
"Lekas enyah dari sini!"
Salah satu di antara tiga laki-laki itu, mengawasi wanita berkerudung itu sejenak, lalu berkata dengan nada suara dingin:
"Apakah nona penghuni tempat ini?"
"Benar."
"Apakah orang-orang ini mati di tangan nona?"
"Benar!" jawabnya dingin sekali, soal membunuh jiwa orang itu agaknya bukan merupakan apa-apa baginya.
"Guru nona?"
"Aku suruh kau lekas enyah!"
"Kira-kira nona bicara."
"Kalau aku tidak punya kira-kira, siang-siang kau sudah menggeletak di sini!"
"Tahukah nona, siapa yang nona bunuh ini?"
"Omong kosong!"
Laki-laki itu mengawasi komandannya yang masih numprah di tanah, sejenak dengan menindas perasaan gusarnya ia berkata:
"Apa nona muridnya Kim-cee-locianpwee?"
Nona itu tidak menjawab pertanyaannya, sebaliknya dengan suara keras ia ulangi ancamannya:
"Kalau tidak lekas pergi, jangan harap kau nanti bisa berlalu dari sini!"
"Nona terlalu jumawa. Aku yang rendah cuma khawatir akan timbul salah paham. Kalau tidak......."
"Kalau tidak bagaimana?"
"Aku tidak segan melakukan pembunuhan!"
Nona itu perdengarkan suara ketawanya terkekeh-kekeh. Mendadak nampak berkelebatnya bayangan hijau kemudian disusul oleh suara jeritan ngeri. Bayangan hijau itu sudah kembal i lagi ditempatnya, tapi lelaki yang bicara dengannya tadi, ternyata sudah rubuh binasa. Kepalanya sudah remuk, darah merah tercampur putih berhamburan di tanah.
Semua orang terpaku. Pembunuhan kejam serupa itu, jarang tertampak di dunia rimba persilatan. Dengan kepandaiannya laki-laki itu ternyata sudah tidak mampu memberi perlawanan sama sekali, bahkan menangkis pun tidak, tahu-tahu sudah remuk kepalanya. Kepandaian nona itu, benar-benar sangat menakjubkan.
Ko Han San yang sudah dapat waktu cukup lama untuk mengatur pernapasannya kekuatan tenaganya mulai pulih. Ia berbangkit perlahan-lahan dengan mata mengawasi wanita berbaju dan berkerudung hijau, agaknya sedang memikirkan apa. Mendadak ia kibaskan tangannya seraya berkata:
"Pulang!"
"Wanita berbaju hijau itu, lantas berkata dengan nada dingin:
"Sudah terlambat!"
"Aku telah menyaksikan gerakan nona tadi. Apakah"."
Wanita baju hijau itu angkat tangannya yang putih. Di udara ia membuat gerakan satu lingkaran, lalu turunkan lagi tangannya.
Badan Ko Han San gemetaran, ia mundur dua langkah. Dengan suara ketakutan ia berkata:
"Aku yang rendah mempunyai mata tapi tidak bisa melihat, sehingga melakukan pelanggaran ini, sekarang rela menerima dosa!"
Sehabis berkata, ia mengorek sebelah biji matanya sendiri. Dengan darah berlumuran, biji mata itu diletakkan dalam telapakan tangannya, kemudian berkata pula!
"Mohon supaya kita diijinkan pulang!'" lalu berpaling pada kedua anak buahnya dan berkata:
"Bukan lekas turun tangan sendiri, apa kau hendak cari mampus!"
Wajah kedua laki-laki itu pucat seketika. Sambil kertak gigi, masing-masing mengorek satu biji matanya sendiri.
Wanita baju hijau itu lantas berkata sambil ulapkan tangannya:
"Kalau memang sudah tahu aturannya, mengingat pelanggaran ini kamu lakukan tidak disengaja, maka pergilah!"
Tiga orang itu bagaikan mendapat suatu keampunan besar, dengan terbirit-birit lari pulang.
Hui Kiam yang menyaksikan adegan luar biasa itu, keringat dingin mengucur keluar. Wajahnya yang dingin kecut, untuk pertama kalinampak ada perubahan, tapi itu hanya sepintas lalu saja, cepat sudah kembali ke asalnya.
Wanita baju hijau itu melayang turun ke depan Hui Kiam, dengan nada dingin ia menegur:
"Kau ingin tinggal?"
Hui Kiam berbangkit. Ia simpan pedangnya sebelum membuka mulut. Wanita baju hijau itu sudah ayun tangannya, menekan batok kepala Hui Kiam, tapi mendadak ditarik kembali kemudian menanya:
"Kau, tidak takut mati?"
Wajah Hui Kiam yang tampan dingin nampak semakin dingin. Sepasang matanya memancarkan sinar buas, tapi sedikitpun tidak mempunyai perasaan takut. Ia mengawasi wanita baju hijau itu dengan mata melotot, kemudian berkata dengan nada dingin:
"Kalau kau ingin turun tangan, terserah. Pada saat ini aku sudah tidak mempunyai kekuatan tenaga untuk melawan!"
Wanita baju hijau itu kembali ayun tangannya, tapi tidak diturunkan. Entah karena merasa kagum atas keberaniannya Hui Kiam, ataukah ketarik oleh sikap laki-laki sejati pemuda itu, kembali ia turunkan tangannya. Sambil ketawa dingin ia berkata:
"Kau siapa?"
"Orang yang sudah hampir mati, perlu apa menyebut namanya?"
"Kau sombong, tapi nonamu tetap hendak menanya."
"Penggali Makam!"
"Penggali Makam" Ng! Orangnya mirip dengan gelarnya, luar biasa dingin dan ketusnya. Siapa namamu?"
"Hui Kiam!"
"Cukup menarik! Untuk pertama kali nonamu mengadakan kecualian terhadap kau, apa kau anggap jika kau tidak terluka parah, bisa bertanding dengan aku?"
"Mungkin!"
"Mungkin" Kalau begitu kau belum mempunyai keyakinan untuk menang."
"Sebelum melihat buktinya, siapapun tidak bisa keluarkan omong besar!"
"Baik! Itu mudah, aku tunggu kau setengah jam," berkata si nona, kemudian dari dalam sakunya ia mengeluarkan sebuah botol kecil. Ia mengambilsebutir pil dari dalamnya, diletakkan di atas batu depan Hui Kiam, ia berkata pula:
"Ini kau telan, setengah jam kemudian kekuatan tenagamu akan pulih kembali. Tapi ingat, jika kau masih bukan tandinganku, kau akan mati lebih mengenaskan!"
Tergerak hati Hui Kiam, tapi di luarnya masih tetap bersikap dingin. Katanya dengan suara datar:
"Dengan memandang budimu yang memberikan obat padaku ini, aku akan mengampuni kau satu kali, aku tidak akan mengambil jiwamu!"
Wanita baju hijau itu dikejutkan oleh ucapan Hui Kiam yang sangat jumawa itu, kemudian ia perdengarkan suara ketawa dingin berulang-ulang kemudian berkata:
"Penggali Makam, apa kau tahu pasti akan berlalu dari sini dalam keadaan hidup?"
"Sudah tentu, tapi yang kumaksudkan ialah kalau hari ini aku tidak mati!"
"Itu hanya terjadi apabila timbul kejadian gaib, sekarang telanlah obat ini!"
Sehabis berkata ia lantas menyingkir.
Hui Kiam telan pil itu dengan perasaan rupa-rupa. Memang benar, ia masih belum mempunyai keyakinan akan dapat menenangkan lawannya. Tentunya si nona murid dari salah satu jago kenamaan, dengan pengalamannya yang masih cetek sudah tentu tidak dapat meraba-raba asal-usulnya nona yang sangat aneh itu. Tapi di luar dugaannya, si nona itu sudi memberi obat padanya untuk memulihkan kekuatan tenaganya, supaya bisa bertanding dengannya. Mungkin nona itu ada mempunyai keyakinan untuk
merebut kemenangan. Kalau tidak, tidak nanti ia berani berbuat demikian.
Wanita baju hijau itu sudah berdiri lagi di hadapannya.
Dengan suara dingin Hui Kiam berkata:
"Boleh mulai!"
"Keluarkan pedangmu! Nampaknya kau pandai menggunakan pedang!"
"Dan pedangmu sendiri?"
"Aku tak mempergunakannya!"
"Kalau begitu aku juga harus melayani dengan tangan kosong, itulah baru adil!"
"Kau tidak menggunakan pedang ini, berarti kau mencari jalan yaug keliru. Kau harus tahu bahwa pertempuran ini berarti mati hidupmu."
"Aku mengerti!"
"Kalau kau tidak menggunakan pedang pasti tak mampu melawan lebih dari tiga jurus."
Sifat sombongnya Hui Kiam terbangkit, katanya dengan suara tegas:
"Jika aku mampu melawan lebih dari tiga jurus, bagaimana?"
"Kau boleh berlalu dalam keadaan hidup, dan selanjutnya aku tidak akan membunuh orang lagi."
"Baik, silahkan!"
"Kau yang turun tangan lebih dulu, tapi harus dengan tenaga penuh!"
"Sebagai tamu tidak boleh merampas haknya tuan rumah, sebaiknya nona yang turun tangan lebih dulu."
"Perlu apa harus memakai banyak aturan, kalau aku yang turun tangan lebih dulu, tiga jurus kau tidak sanggup menahannya!"
Darah Hui Kiam bergolak, untuk pertama kali ia merasakan dirinya dihina, dan rasa itu sungguh pahit, lebih tidak enak daripada dikalahkan dalam pertempuran.
"Sebaiknya nona yang turun tangan lebih dulu!"
"Penggali Makam, ini bukan pertandingan persahabatan. Kau jangan bermain dengan jiwamu."
"Aku mengerti."
"Kalau begitu, awas."
Cepat sekali nona itu sudah melancarkan serangannya. Hui Kiam ketika menyaksikan gerakan nona itu, hampir keringat dinginnya keluar, karena serangannya itu sulit untuk diduga dan luar biasa anehnya, jalan darah penting di badannya, hampir seluruhnya dibawahi ancaman, bahkan sangat sulit untuk mengeluarkannya, baik menyambuti atau berkelit, tidak akan luput dari ancaman kematian.
Tapi sang waktu sudah tidak memberikankesempatan padanya untuk berpikir. Karena serangan sudah mengancam, pikiran itu hanyasekejap mata saja terlintas dalam otaknya, daya ingatan yang dimiliki oleh setiap orangyang sudah berkepandaian tinggi, ini membuat ia selalu bertindak secara gesit. Ia memudar tubuhnya dan melesat sejauh lima kaki,berbareng dengan itu dua belas bagian jalandarahnya merasakan agak kesemutan. Terang meski dengan gerakannya yang aneh itu sudah berhasil lolos dari serangan kematian, tapi tidak luput dari ancaman yang dahsyat. Untung ilmu kepandaian yang ia sudah pelajari jauh berbeda dengan kepandaian biasa, darah dan urat nadi mengalir ke arah yang berlawanan. jika orang lain, mungkin sudah menggeletak menjadi bangkai.
la bergidik. Kepandaian nona itu ternyata jauh lebih tinggi daripada apa yang dibayangkan.
Wanita baju hijau itu agaknya juga menjumpai kejadian di luar dugaannya. Ia keluarkan suara jeritan kaget: "Eh!" kemudian berkata:
"Bagus gerakanmu, bagus kepandaianmu, aku ternyata terlalu pandang ringan dirimu. Sambutlah sekali lagi."
Ucapannya itu ditutup dengan serangannya yang luar biasa cepatnya. Dengan kepandaian seperti yang dipunyai oleh Hui Kiam, sudah tidak mendapat kesempatan untuk memikir, dengan sendirinya ia melakukan perlawanan sekenanya. Karena ia tidak mengetahui arah yang diserang oleh si nona, terpaksa balas menyerang dengan tenaga sepenuhnya untuk menyambuti serangan lawannya, tapi kesudahannya sangat mengenaskan.
Sekujur badannya merasa tergoncang hebat. Kekuatan tenaga dalamnya merosot turun seketika. Serangan semacam ini, bukan satu serangan totokan yang umum dalam kalangan rimba persilatan. Hui Kiam yang tidak takut ditotok, kini ternyata sudah tidak berdaya. Di luar dugaan ia telah ditundukkan. Berbareng dengan itu, satu tangan halus sudah mengancam diatas kepalanya. Andaikata nona itu bermaksud hendak mengambil jiwanya, batok kepalanya sudah siang-siang hancur.
"Aku kalah, bunuhlah!" Itu saja yang Hui Kiam mampu katakan.
Untuk sesaat, pikirannya mulai dingin, segala cita-citanya hendak menuntut balas, telah lenyap semua, ia sudah siap sedia untuk menyambut kedatangan maut.
Di luar dugaan, nona baju hijau itu tarik kembali tangannya. Katanya dengan nada dingin:
"Kuberikan kesempatan terakhir bagimu, kau menggunakan pedang untuk melawan!"
Hui Kiam merasa sangat terhina, sikapnya yang tidak mudah berubah, saat itu wajahnya nampak berkerenyut sejenak. Mati baginya bukan apa-apa, tapi hinaan itu lebih hebat daripada kematian. Maka ia lantas menjawab sambil kertak gigi:
"Tidak usah, aku terima kalah!"
"Kau rela mati?"
Sudah tentu ia tidak rela karena sakit hatinya belum terbalas. Tugas yang diberikan oleh suhunya belum terlaksana, bagaimana ia rela mau" Tapi apakah ia bisa minta ampun terhadap orang perempuan" Apakah ia sudi menurunkan derajatnya sendiri"
"Seorang laki-laki yang sudah berani menerjang ke dunia Kang-ouw, apa arti kematian?"
Wanita baju hitam itu kewalahan, sudah nyata bahwa ucapan Hui Kiam itu menggerakkan hatinya. Sayang parasnya tertutup oleh kain kerudung, hingga tidak dapat dilihat perubahannya. Setelah hening agak lama, ia baru membuka mulut dan berkata dengan nada duka:
"Perggali Makam, kau tidak kecewa menjadi seorang gagah. Begini saja, seperti biasa, kau korek satu biji matamu sesudah itu kau berlalu dari sini!"
"Tidak bisa!"
"Apa" Kau lebih suka mati daripada memberikan satu biji matamu?"
"Aku Hui Kiam tidak sudi minta dikasihani jiwaku di bawah ancaman seperti ini!"
"Apa kau ingin aku antar kau berlalu dari sini dengan secara hormat?"
"Sudah kalah tidak ada apa-apa yang aku harus ucapkan. Kalau aku menang, aku juga akan bunuh mati kau!"
"Kau pasti suruh aku bunuh kau?"
"Terserah!"
"Sudah berkali-kali aku mengalah tapi kau tetap menghendaki kematian, sudah tentu aku tidak bisa berbuat apa-apa!"
Untuk ke tiga kalinya nona itu mengangkat tangannya hendak menghajar kepala Hui Kiam. Meski Hui Kiam tahu bagian mana yang di arah oleh wanita itu, tapi heran serangannya itu membuat
orang yang diserang tak dapat memberikan perlawanan sama sekali.
Hui Kiam membuka matanya tanpa berkedip matanya serangan si nona itu tidak ditujukan kepada dirinya.
Kalau ia mati, bagaimana rupanya nona itu, dari dari mana asal usulnya, ia tak tahu sama sekali. Tapi ia juga tak perlu menanya. Pertama, karena menanya juga tak ada gunanya. Ke dua, nona itu belum tentu sudi menerangkan.
Inilah adatnya Hui Kiam yang berbeda dengan orang lain.
Serangan tangan nona itu sudah hampir turun, di luar dugaan ia tarik kembali.
Sambil menghela napas perlahan ia berkata:
"Sudahlah, kau boleh pergi!"
Hal ini kembali di luar dugaan Hui Kiam. Manusia tetap manusia, bukannya kayu atau batu. Keinginan Hui Kiam untuk hidup tadi hanya tertindas bukan lenyap, maka ucapan si nona itu telah membangkitkan keinginannya untuk hidup lagi. Tapi dia tidak merasa girang, sebab dalam matanya, hal itu tetap masih merupakan satu kehinaan. Maka untuk sesaat dia masih berdiri kesima di tempatnya, tidak tahu apa yang harus diucapkannya.
"Kau" masih belum mau pergi?"
"Kedatanganku ini ada mempunyai tujuan!"
"Tujuan apa?"
"Mencari seseorang."
"Siapa?"
"Iblis Wanita Bertusuk Konde Emas."
Wanita berbaju hijau itu mengeluarkan seruan "Ow!" kemudian berkata:
"Kedatanganmu juga hendak mencari iblis wanita itu?"
"Ya !"
"Mengapa?"
"Hendak membuktikan ia adalah musuhku atau bukan!"
"K.au jujur tapi kelewatan. Jika aku justru adalah muridnya iblis wanita itu, sudah pasti kau sudah mampus!"
"Tapi nona toh bukan muridnya?"
"Bagaimana kau tahu?"
"Kalau betul, barisan orang-orang Persekutuan Bulan Emas itu tidak akan berlalu begitu saja tanpa melawan."
"Kalau kau sudah tahu bukan, mengapa masih belum mau pergi?"
"Karena aku pikir, mungkin nona tahu di mana adanya iblis wanita itu?"
"Taruhlah aku tahu, apa kau kira aku bisa memberitahukan padamu?"
"Kalau begitu, aku minta diri. Budimu yang sudah memberikan obat dan tidak mengambil jiwaku ini, aku nanti pasti akan balas!"
"Kau tidak kepingin tahu aku siapa?"
"Tidak usah, aku nanti bisa datang lagi."
"Kau, masih berani datang lagi?"
"Ya, nanti setelah aku yakin bahwa kepandaianku sudah cukup kuat untuk menandingi nona, aku bisa datang berkunjung lagi."
"Kesombonganmu jarang ada di dalam dunia."
"Terima kasih atas pujianmu."
"Jika kau tidak mendapatkan kepandaian yang mampu menandingi aku lagi, bagaimana?"
"Tidak mungkin."
"Kau berani pastikan?"
"Dalam satu tahun kalau aku tidak mampu menepati janjiku ini, aku akan bunuh diri...."
"Kau...." Badan wanita itu menggetar tidak dapat melanjutkan kata-katanya.
Hui Kiam juga tiada maksud memikirkan maksudnya si nona. Ia angkat tangan memberi hormat kemudian balikkan badannya dan angkat kakinya yang berat".
"Tunggu dulu!" demikian terdengar suara si nona.
Hui Kiam merandak. Ia berpaling dan menanya:
"Nona menyesal?"
"Apa benar kau hendak mencari Iblis Wanita Bertusuk Konde Emas?"
"Ya."
"Apa kau ingin aku memberitahukan padamu?"
"Kalau nona sudi, aku haturkan banyak-banyak lerima kasih!" suaranya tetap dingin.
"Kau tidak usah membuang-buang tempo untuk mencari padanya lagi."
Kenapa?" "Iblis wanita itu sudah lama tidak ada dalam dunia."
Hui Kiam merasa kecewa. Tanyanya dengan suara gemetar:
"Iblis wanita itu sudah tidak ada di dalam dunia?"
"Benar. Rahasia ini dalam kalangan Kang-ouw barangkali belum ada orang ke dua yang tahu...."
"Dia" tak boleh mati......."
"Eh! Kau ini benar-benar tidak patut. Dengan maksud baik aku beritahukan padamu tapi kau katakan tidak bisa mati. Apa kau anggap aku membohongimu" Atau......."
"Maaf, aku tadi salah kata. Maksudku ialah aku tidak mengharap musuhku itu mati sehingga kandaslah keinginanku untuk menuntut balas."
"Apa kau masih ingin dengar?"
"Teruskanlah!"
"Dua puluh tahun berselang, iblis wanita itu di gunung Bu-leng-san telah berjumpa dengan musuh kawakannya, Sam-im Kui-sin. Mereka bertempur sampai seratus jurus lebih. Kesudahannya kedua-duanya terluka parah dan mati di tempat itu. Jenazah mereka dikubur oleh orang yang kebetulan lewat di situ."
"Kata nona bahwa iblis wanita itu sudah mati pada dua puluh tahun berselang?"
"Sedikitpun tak salah!"
"Nona dengar kabar atau melihat sendiri?"
"Meski cuma mendengar, tapi tidak ada bedanya dengan melihat sendiri."
Dalam hati Hui Kiam lantas berpikir, iblis wanita itu sudah mati pada dua puluh tahun berselang sedang kematian ibunya terjadi sepuluh tahun berselang. Perbedaan waktu ada sepuluh tahun. Sudah tentu pembunuh ibunya itu bukan Iblis Wanita Bertusuk Konde Emas. Tapi siapa"
Siapakah yang membunuh orang dengan tusuk konde berkepala burung Hong" Apakah".
Karena berpikir demikian, maka ia lantas menanya:
"Numpang tanya, apakah iblis wanita itu mempunyai murid?"
"Hal ini aku tidak tahu!"
"Apakah iblis wanita itu menggunakan tusuk konde emas sebagai senjata rahasia?"
"Iblis wanita itu tinggi sekali kepandaiannya jarang menemukan tandingan, belum pernah dengar ia menggunakan senjata rahasia. Tapi tusuk konde emas itu adalah tanda kepunyaannya."
Hui Kiam tundukkan kepala sambil berpikir. Dalam hal ini ada dua kemungkinan pertama, adalah dia iblis wanita itu, belum mati, ke dua ialah dia mempunyai murid keturunan, dan yang melakukan pembunuhan itu mungkin ada muridnya.
Mungkin waktu ibunya mati terbunuh ia baru berusia delapan tahun, tapi dia masih ingat bahwa kepandaian ibunya tidak terhitung lemah, orang yang berkepandaian biasa tidak mampu membunuh padanya. Dari sikap ibunya ketika menyembunyikan padanya, ke dalam di bawah tanah, dapat diduga bahwa musuh itu pasti bukan orang sembarangan. Sayang, karena ia sendiri sembunyi di dalam goa, itu tidak dapat lihat dengan tegas raut dan raut mukanya sang musuh itu juga tidak dengar suaranya. Kalau tidak pasti lebih mudah baginya untuk mengenali orangnya. Dan sekarang, satu-satunya jalan ialah mencari keterangan apakah iblis wanita itu juga ada mempunyai murid atau tidak, ataukah iblis wanita itu sendiri belum mati"
Berbareng dengan itu, ia juga teringat akan pesan ibunya, yang menyuruh membunuh satu musuhnya lagi, ialah To-liong Kiam khek Su-ma Suan. Ada dendaman apa antara Su-ma Suan dengan keluarga ibunya, ia sendiri tak mengetahuinya, tapi dia percaya akan pesan ibunya, sedikitpun tidak salah. Menurut keterangan Manusia Gelandangan Ciok Siao Ceng, Su-ma Suan sudah sepuluh tahun lebih menghilang dari dunia Kang-ouw. Kembali ini merupakan satu persoalan yang amat pelik....
Sikapnya wanita baju hijau itu sudah tidak seperti semula yang demikian galak dan dingin. Dengan suara perlahan ia berkata:
"Penggali Makam, kau sedang memikirkan apa?"
'Tidak apa-apa."
Pada saat itu, mendadak ia ingin menanya nama dan asal-usul wanita itu, tapi baru hendak membuka bibir, ia lantas telan kembali. Asal ia mau membuka mulut, menurut keadaan pada saat itu, nona
itu pasti tidak akan menolak. Tapi ia tidak bisa tampar pipinya sendiri, sebab ia barusan sudah menyatakan tidak ingin tanya dirinya nona itu.
Beberapa kali pikirannya beberja, akhirnya ia ini menyoja dan berkata:
"Terima kasih atas petunjukmu. Aku sekarang minta diri."
"Baiklah! Aku" akan menunggu kau sampai satu tahun!"
"Mungkin tidak usah satu tahun aku sudah kembali."
Sehabis mengucapkan demikian, ia lantas berlalu. Baru saja membelok ke satu tikungan telinganya mendadak dapat menangkap suara pantun yang sudah tidak asing baginya.
Hui Kiam kerutkan alisnya. Benar seperti yang ia duga, pengemis cilik yang pernah dijumpai di gunung Bu-san, sudah berjalan menuju ke arahnya dalam lagaknya yang amat jenaka.
Meski keduanya berpapasan, tapi Hui Kiam tidak hiraukan sama sekali.
"Saudara berhenti dulu sebentar!" Demikian Hui Kiam dengar suara pengemis cilik itu. Tapi ia pua-pura tidak dengar, terus melanjutkan perjalanannya. Si pengemis itu mengejar sambil memanggil dengan suara nyaring:
"Penggali Makam, apa kau berhasil menemukan Iblis Wanita Bertusuk Konde Emas?"
Pertanyaan pengemis cilik itu mengejutkan Hui Kiam. Ia terpaksa hentikan kakinya. Sementara itu, sang pengemis itu sudah berada di depannya.
"Apa maksudmu?"
"Aku si pengemis selalu pikirkan diri saudara!"
"Bagaimana kau bisa tahu kalau aku mencari Iblis Wanita Bertusuk Konde Emas?"
"Tentang ini... bukankah aku si pengemis pernah berkata bahwa aku pandai ilmu penebak hati orang?"
"Aku juga pernah kata bahwa aku tidak suka disukai orang!"
Pengemis itu ketawa haha hihihi lalu berkata padanya:
"Saudara Hui, mari bersahabat, bagaimana?"
"Aku selamanya suka berjalan seorang diri, terima kasih!" jawabnya Hui Kiam dingin.
"Apa kau anggap diriku rendah, tidak sederajat dengan kau?" tanya si pengemis sambil mendelikkan matanya.
"Terserah padamu, bagaimana kau pikir, boleh saja."
"Penggali Makam, menurut penglihatanku, sampaipun darahmu mungkin juga dingin."
"Sebelum aku mengambil keputusan hendak membunuh kau, lekas kau pergi. Ingat, aku tidak suka dikintil orang. Lain kali apabila ketemu lagi, jangan sesalkan aku tidak memberi peringatan padamu!"
Pengemis itu leletkan lidahnya tapi wajahnya tak berubah. Sambil ketawa cengar-cengir ia berkata:
"Saudara, perjanjianmu ke gunung ini nampaknya tak mendapat hasil apa-apa!"
"Ada hubungan apa denganmu?"
"Kalau tidak ada hubungannya dengan aku, aku tidak akan ambil pusing urusan ini."
"Aneh, coba kau ceritakan ada hubungan apa denganmu?"
"Umpama kata, tusuk konde emas berkepala burung Hong yang berada di badanmu...."
"Kenapa?"
"Kau ingin tahu asal-usulnya, bukan?"
Hui Kiam menyambar badan pengemis itu. Oleh karena badannya yang kokoh kekar, pengemis itu terangkat tinggi. Dengan suara bengis ia menanya:
"Apa kau tahu?"


Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sekalipun aku tahu juga tak mau menerangkannya."
"Tidak mau menerangkan, aku nanti robek mulutmu!"
"Kau robek juga aku takkan menerangkan, kecuali"."
"Kecuali apa?"
"Kau jawab dulu bahwa kau suka bersahabat denganku, kemudian aku si pengemis akan beritahukan semua apa yang aku tahu."
"Boleh kau terangkan dulu mengapa kau hendak bersahabat denganku?"
"Kalau namanya tidak benar perkataannya juga tak tepat."
"Apa artinya?"
"Ada orang kata bahwa ketemu orang cuma mengatakan tiga bagian, persahabatan yang belum akrab tidak bisa mengeluarkan kata-kata yang dalam, maka itu aku cuma bisa berkata sampai di sini saja!"
Hui Kiam dibuat tidak berdaya. Memang benar, asal usulnya tusuk konde ini ia ingin tahu bahkan tidak memperhitungkan akibatnya. Maka ia melepaskan si pengemis kecil itu, dan berkata padanya:
"Baiklah kita perlu bersahabat, tapi aku perlu menerangkan lebih dulu, jikalau mengetahui kau memandang maksud jahat, aku juga akan bunuh kau."
Pengemis cilik itu gerak-gerakkan tangan dan kakinya yang tadi bekas dicekal oleh Hui Kiam, setelah itu ia berkata sambil ketawa getir:
"Terserah padamu, segalanya kuterima baik. Bersahabat kita harus menurut aturan. Aku bernama le It Huan. Julukanku Sukma Tidak Buyar, tahun ini usiaku masuk tujuh belas."
"Benar-benar Sukma Tidak Buyar... "
"Sama-sama! Julukanmu Penggali Makam juga ada lebih baik dari julukanku dan saudara"
"Apa kau murid golongan Kay-pang (Pengemis)?"
"Bukan. Suhuku sudah meninggal dunia. Suhu yang sudah wafat tidak perlu disebut perguruannya, maka nama suhu juga tidak perlu diungkap lagi!"
Hui Kiam berpikir sejenak, lalu berkata:
"Aku bernama Hui Kiam, usia dua puluh tahun. Keadaanku serupa dengan kau, suhu sudah meninggal, tidak perlu disebut lagi!"
"Keluarga saudara Hui...."
"Ayah bundaku sudah meninggal, aku hidup sebagai piatu."
"Oh! Maaf aku kesalahan omong. Kita tidak usah memakai segala aturan, yah" Sudah bulukan cukup dengan lisan saja. Saudara Hui lebih tua, aku harus bahasakan 'heng' atau saudrra tua. Aku sebagai adik, terimalah hormatku!"
Sehabis berkata ia lantas menjura dalam-dalam.
Dalam keadaan demikian, Hui Kiam terpaksa membalas hormatnya, tapi suaranya masih tetap dingin:
"Mari kita balik lagi kepada persoalan kita. Coba kau terangkan urusanku, bagaimana bisa ada hubungannya dengan kau?"
le It Huan ketawa cekikikan, lalu berkata:
"Hui toako, kau dengan aku sudah menjadi saudara, maka urusanmu juga menjadi urusanku, bukankah itu ada hubungannya?"
Hui Kiam delikkan matanya, dengan suara tandas ia berkata:
"Kau hendak permainkan aku?"
le It Huan nampaknya jeri, ia mundur satu tindak. Sambil goyang-goyangkan tangannya, ia berkata:
"Hui toako, kau jangan salah paham. Siaoteemu ini, sejak dilahirkan dalam dunia, mempunyai adat sudi gawe, atau senang mencampuri urusan orang lain. Sejak di pusat Sam-goan-pang secara tersembunyi aku dapat melihat sepak terjang toako. Diam-diam aku merasa kagum, maka aku bertekad hendak mengikat tali persahabatan dengari toako. Jika ada maksud jahat, biarlah Tuhan akan kutuk aku!"
Hui Kiam meski belum lenyap rasa curiganya tapi karena ingin tahu rahasianya tusuk konde emas burung hong, terpaksa ia menindas hawa amarahnya. Sambil anggukkan kepala ia berkata:
"Baiklah, apa benar kau paham ilmu menebak hati orang?"
"Itu hanya lelucon saja. Ketika toako berada di luar perkampungan Ie-hun San chung, dan melakukan pembicaraan dengan Manusia Gelandangan Ciok Siao Ceng, siaotee dengan tanpa sengaja telah dapat dengar seluruhnya. Hihihi, begitulah duduknya perkara."
Hui Kiam merasa mengkal, ia tak menduga kalau dipermainkan oleh pengemis cilik itu. Maka ia berkata dengan perasaan mendongkol:
"Kalau begitu, kau sendiri ternyata juga tidak tahu sama sekali tentang tusuk konde emas itu?"
"Sekalipun Manusia Gelandangan yang banyak pengetahuannya juga tidak tahu apa lagi siaotee."
"Kau cari mampus!"
"Toako, kau jangan cemas dulu. Siaotee tentu akan membantu membereskan. Numpang tanya, bagaimana kabarnya tentang Iblis Wanita Bertusuk Konde Emas?"
"Sudah meninggal pada dua puluh tahun yang berselang! O ya, apa kau tahu iblis wanita itu ada mempunyai murid atau tidak?"
"Tentang ini..... siaotee malah belum pernah dengar, tapi aku ada akal untuk mencari keterangan. Mari kita bicarakan lebih dulu tentang tusuk konde emas......."
"Bagaimana?"
"Apa toako pernah dengar nama Manusia Tangan Seribu atau tidak?"
"Manusia Tangan Seribu" Sangat asing bagiku."
"Manusia Tangan Seribu oleh umum dianggap sebagai rajanya ahli senjata rahasia. Ia dapat menggunakan kedua tangannya melancarkan dengan berbareng sepuluh rupa senjata rahasia, dan terhadap segala bentuk dan rupa senjata rahasia yang digunakan oleh tokoh-tokoh berbagai partai rimba persilatan ia dapat mengenali semua. Jika kita dapat menemukan padanya, mungkin dapat membuka tabir rahasia tusuk konde emas ini!"
Semangat Hui Kiam terbangun. Katanya: "Manusia Tangan Seribu itu berdiam dimana?"
"Ia mengasingkan diri di lemoah Cian-hui-kok di gunung Bo-po-san."
"Bo po-san" Terpisah beberapa ribu lie dari sini........"
"la harus memasuki propinsi San-see. Orang tua itu pada tiga puluh tahun berselang telah mengasingkan diri tidak lagi mengurusi persoalan dunia, juga tidak lagi muncul di dunia Kang-ouw, bahkan adatnya sangat aneh...."
"Itu tidak menjadi soal, asal dapat menemukan padanya sudah cukup!"
"Mengapa kita tidak berangkat sekarang?"
Kita" Maksudmu kau hendak berjalan bersama-sama dengan aku?"
"Toako, siaotee akan jadi petunjuk jalan. Ada baiknya buat toako supaya tak usah mencari susah!"
"Baiklah!"
"Toako, apakah sikapmu ini bisa dirubah agak menyenangkan sedikit?"
"Kalau kau tidak senang lihat, terserah!"
"Baik! Baik! Siapa suruh aku bersahabat denganmu! Tunggulah sebentar, aku akan tukar rupa, berjalan sama-sama rada pantesan."
Sehabis berkata ia lari ke tepi sungai untuk mencuci muka dan badannya, lalu balik lagi kepada Hui Kiam.
"Aaaa! Hui Kiam hampir saja berseru. Pengemis cilik itu ternyata adalah satu pemuda tampan. Dari sinar matanya dapat diduga bahwa ia adalah seorang yang cerdik dan banyak akalnya.
Pakaiannya yang semula begitu mesum, sebentar saja entah dengan cara bagaimana, ia sudah menyulap menjadi berpakaian necis dan rapi, dengan demikian hingga kini bukan berupa seorang pengemis jembel lagi, melainkan seorang pemuda terpelajar atau satu kongcu anak seorang berpangkat tinggi. Perubahan itu membuat Hui Kiam melongo.
Setelah selesai berdandan, ia berkata sambil menyoja:
"Toako, silahkan!"
Dua pemuda tampan berlari larian di gunung Bu-san menuju ke kota Kiu ciu. Kepandaian ilmu meringankan tubuh Ie It Huan ternyata tidak di bawah Hui Kiam.
Kira-kira jam dua pagi mereka sudah sampai di kota yang dituju. Diwaktu tengah malam buta itu kota tersebut keadaannya sudah ramai dengan para pedagang yang datang dari berbagai desa.
Ie-It-Huan berkata sambil menunjuk satu tempat yang banyak lampu:
"Toako, mari kita berhenti sebentar. Perutku sudah berbunyi!"
Hui Kiam yang jarang bersenyum, cuma menganggukkan kepala.
le It Huan agaknya kenal betul keadaan tempat itu. Rumah makan nomor satu di kota itu yang bernama Ceng-lian-kie ternyata
dikenal baik olehnya. Begitulah ia ajak Hui Kiam memasuki rumah makan itu.
Dua pemuda itu memilih tempat yang agak sepi. Mereka minta disediakan arak dan hidangan.
Ie-It Huan yang gemar arak begitu melihat arak matanya lantas terbuka lebar, sambil angkat cawan araknya ia berkata:
"Toako, malam ini untuk pertama kali aku minum bersama-sama dengan toako, siaotee minta toako keringkan tiga cawan arak ini!"
Sehabis berkata, ia sendiri menenggak tiga cawan. Hui Kiam kerutkan keningnya. Dengan tanpa banyak omong ia juga minum sampai tiga cawan.
le It Huan meski masih muda, ternyata dapat minum arak tanpa takeran. sSecawan demi secawan lewat tenggorokannya mirip dengan setan pemabokan. Hal ini sangat tidak sesuai dengan bentuk luarnya.
Selagi enak minum, dari meja tidak jauh terdengar suara ketawanya suara wanita. Suara ketawa itu bukan saja nyaring, tapi juga mengandung daya penarik bagaikan magnit.
Di jaman itu jarang tertampak wanita muda berada di rumah makan seorang diri, apalagi tertawa dan berlaku sesukanya dengan bebas, sudah merupakan satu kejadian yang janggal.
Oleh karena tingkahnya wanita itu, hingga semua mata para tamu rumah makan tersebut ditujukan ke arahnya.
Hui Kiam yang dengan tanpa sengaja juga turut berpaling, segera dapat lihat seorang wanita muda dengan bentuk badannya yang langsing menarik serta dandannya yang serba merah. Perempuan itu bukan lain daripada Wanita Tanpa Sukma, yang memikat kemudian membunuh kaum laki-laki dengan kecantikannya.
Munculnya wanita genit itu di tempat umum benar-benar diluar dugaan Hui Kiam.
Laki laki muda yang duduk bersama dengannya ada seorang bagaikan kongcu yang romantis nampaknya. Kongcu itu nampaknya sudah mabuk. Sambil menggoyang-goyangkan kipasnya yang terbikin dari emas, matanya menatap wanita tanpa sukma dengan sikap yang memualkan.
Ie It Huan agaknya tidak mau ambil pusing itu semua, ia cuma perhatikan araknya.
Seorang tamu yang tak dikenal, berkata sambil menghela napas:
"Aih, arak tidak membikin orang mabuk, orangnya sendiri yang mabuk, paras cantik tidak menyesatkan orang, orangnya sendiri yang tersesat oleh paras cantik!"
Mendengar ucapan itu, hati Hui Kiam menjadi sadar. Samnil mengetok meja dengan jari tangannya ia berkata:
"Ow, kau lihat perempuan itu?"
"Siapa?" tanya Ie It sambil angkat kepala.
"Lihat sana!"
"O! Wanita Tanpa Sukma!" reaksinya ternyata sangat hambar.
Hui Kiam dalam hati merasa heran. Tanyanya agak heran dan bingung:
"Kau mabuk?"
"Baru minum beberapa cawan saja, bagaimana bisa mabuk?"
"Bukankah kau sedang memikirkan dirinya?"
Ie It Huan ketawa cekikikan, lalu berkata:
"Toako, kau jangan anggap benar-benar. Itu hanya siasatku hanya hendak menarik perhatian toako."
Sementara itu, wanita cantik menarik itu sudah berdiri di hadapan mereka.
Dengan sikapnya yang tetap dingin Hui Kiam berkata:
"Wanita Tanpa Sukma, dunia ini meski luas tapi jalannya ternyata sempit. Kita telah berjumpa lagi!"
"O ya!"
Mulut Wanita Tanpa Sukma berkata kepada Hui Kiam sedang matanya yang jeli melirik kepada Ie It Huan yang saat itu mukanya sudah merah karena pengaruh arak.
"Siaohiap ini bagaimana scbetulnya?" Ia menanya dengan sikapnya yang luwes menarik, sementara tangannya yang putih halus membcreskan rambatnya yang terurai di atas pundaknya.
"Sukma Tidak Buyar!" jawabnya Hui Kiam dengan nada tetap dingin.
Wanita Tanpa Sukma ketawa terkekeh-kekeh dan berkata:
"Sukma tidak buyar! Orang begini cakap, bagaimana menyerobot gelar nama demikian menakutkan...?"
Ie It Huan tenggak kering araknya, lantas menanya:
"Menyerobot" Apa artinya?"
"Orang yang mempunyai gelar Sukma Tidak Buyar itu aku sudah pernah ketemu, kau tidak bisa menipu aku! Apa sukma tidak buyar itu bukan berarti terus mengikuti orang, betul tidak?"
"Benar, begitu kena diikuti sampai mati baru dilepaskan!"
Hui Kiam lantas menyelak:
"Wanita Tanpa Sukma, kau jangan salah lihat orang, kalau kau memikirkan yang bukan-bukan itu berarti kau cari mati sendiri.
"Oh! Penggali Makam, kita satu sama lain tokh tidak saling melanggar, bukan?"
"Antara kau dengan aku masih ada perhitungan yang belum diselesaikan. Hari itu kau telah berbasil meloloskan diri, tapi kali ini tidak mungkin lagi!"
"Begitu penting kau anggap?"
"Wanita genit seperti kau ini, kalau aku tidak bunuh kau, gelarku Penggali Makam ini harus dihilangkan."
Wauita Tanpa Sukma malah bersenyum. Dengan sikap dan gayanya yang menggairahkan ia balik ke tempatnya semula. Tindakannya itu menarik sermua perhatian para tamu, hingga ramai membicarakannya.
Ie It Huan berkata sambil menyengir:
"Toako, Wanita Tanpa Sukma itu ada mempunyai pantangan untuk dirinya sendiri"."
"Pantangan apa?"
Ia hanya turun tangan terhadap pemuda-pemuda nakal, takkan membunuh orang baik!
"Maksudmu supaya aku tidak membunuh padanya?"
"Bukan! Tidak perduli bagaimana tujuannya tapi sepak terjangnya itu memang patut mendapat hukuman mati."
"Bagaimana asal usulnya?"
"Tidak tahu, kepandaiannya cukup tinggi!"
"Siapa itu kongcu perlente yang duduk di satu meja dengan ia?"
"Masih asing bagiku."
"Nampaknya kongcu itu tidak bisa hidup sampai hari besok pagi....."
Tepat pada saat itu kongcu itu sudah berbangkit dari tempat duduknya. Ia membayar uang makannya, kemudian berlalu dengan Wanita Tanpa Sukma.
Ie It Huan berkata kepada Hui Kiam dengan suara perlahan:
"Toako, kita bagaimana?"
"Kau kata bagaimana?"
"Pergi melihat Wanita Tanpa Sukma bagaimana membereskan kongcu itu."
"Kau benar-benar suka mengurusi urusan orang lain."
"Eh! Bukankah toako kata hendak menghitungkan dengannya?"
"Kau tidak makan dulu?"
"Arak dan sayuran sudah cukup kenyang, tidak usah!"
Ie It Huan mengeluarkan sepotong uang perak, diletakkan di atas meja lalu gapaikan tangannya kepada salah satu pelayan, bersama Hui Kiam buru-buru keluar dari rumah makan.
Di luar, orang yang berjalan mondar-mandir masih ramai, mereka sudah tidak dapat lihat bayangannya orang yang dicari.
"Ia sudah lolos lagi," berkata Hui Kiam sambil menengok kesana kemari.
Mendaelak seorang tua kurus kering berambut putih berjalan dingklak dingkluk dengan memegang tongkat, mulutnya menyanyikan sebuah syair dari jaman Song yang hingga saat itu masih banyak penggemarnya.
"Di rumah mencari padanya ubek-ubekan ketika mendadak menengok orang itu ternyata berada di suatu tempat yang jarang lampunya."
Sehabis menyanyikan syair itu, orarg tua itu berkata kepada dirinya sendiri: "Aku orang tua selamanya tidak suka makan cuma-cuma barangnya orang, rekening arak itu hitung-hitung sudah lunas!"
Orang tua itu meski jalannya dingklak dingkluk, tapi dalam waktu sekejap mata, tahu-tahu sudah menghilang di antara orang banyak.
Ie-It Huan menarik tangan Hui Kiam, katanya dengan girang:
"Mari kita pergi kesana!"
"Kau" dapat lihat?"
"Tempat yang jarang lampunya. Tidak salah, mari pergi!"
Hui Kiam agaknya tersadar dua pemuda itu dengan cepat berjalan menuju ke tempat itu.
"Siapa orang tua tadi itu?"
"Tidak tahu, pada lima hari berselang di sini siaotee ajak minum arak padanya!"
"Kiranya begitu. Tapi bagaimana ia bisa tahu kalau kita sedang mencari orang?"
"Mudah sekali, Wanita Tanpa Sukma berpakaian serba merah menyolok bagi semua mata dan kemudian kita keluar dari rumah makan itu. Di depan pintu kita longok sana longok sini. Toako bahkan pernah membuka suara. Andai aku juga dapat menduga delapan sampai sembilan bagian."
"Ng! Masuk akal, kau benar-benar banyak akal dan pikiran!"
"Toako memuji."
Penerangan lampu di jalanan makin jarang. Ternyata sudah tiba di pinggir pintu kota, namun masih belum kelihatan orang yang dicari.
Dua pemuda itu saling berpandangan sejenak, lalu lari ke luar kota.
Tidak jauh ada terdapat rimba pohon Liu. Di bawah sinar rembulan, tempat itu merupakan satu tempat yang sangat baik untuk mengadakan pertemuan bagi muda-mudi yang sedang tenggelam dalam asmara.
Di antara lebatnya dua pohon, sebuah sungai kecil melingkar ke dalam rimba tersebut. Di pinggir sungai, nampak berdiri dua bayangan orang.
Ie It Huan berkata dengan suara perlahan:
"Di sana."
Dengan cepat mereka menghampiri tempat tersebut.
Bayangan orang itu ternyata adalah Wanita Tanpa Sukma dengan kongcu perlente itu.
Kongcu itu nampak sudah mabuk dengan kecantikan Wanita Tanpa Sukma. Sambil ketawa cengar-cengir ia lalu berkata:
"Adikku yang baik, nampaknya kau sedang gembira menghadangi puteri malam yang indah permai, tapi menurut pikiranku, bukankah lebih baik kita duduk-duduk di sana?"
"Kau toh tidak akan mampus, kenapa begitu kesusu?"
"Ow! Adikku memaki aku. Meski, meski aku tidak akan mampus, tapi toh sayang kalau kita lewatkan saat yang baik ini begitu saja!"
"Apa artinya perkataanmu ini?"
"Adikku yang manis, kalau sedang marah nampaknya semakin cantik"."
"Biarlah aku terangkan dulu pikiranku, kau jangan mengganggu."
"O, ya, barusan itu pemuda yang minum bersama-sama dengan Penggali Makam itu siapa?"
Hui Kiam yang mengintip, ketika mendengar pertanyaan itu, agak kaget. Bagaimana kongcu itu kenal padanya, sedangkan ia sendiri tidak tahu siapa dia"
Wanita Tanpa Sukma lantas menyahut dengan suara duka:
"Tidak tahu, mungkin orang baru!"
"Heh, hch. Penggali Makam meski sikapnya terlalu dingin, tapi masih terhitung satu tipenya seorang pemuda tampan. Kau, apa akan lepaskan padanya begitu saja?"
"Kongcu, kau anggap aku perempuan semacam apa?"
"Adikku yang manis, aku hanya main-main saja."
Wanita Tanpa Sukma itu terkekeh-kekeh. Ia rapatkan badannya kepada sang kongcu, lalu berkata dengan suara lemah-lembut:
"Engkoku yang baik, kau sungguh baik sekali."
---ooo0dw0ooo---
JILID 4 SEMENTARA itu, tangannya yang halus sudah memeluk badannya si kongcu. . . .
Ie It Huan berkata kepada Hui Kiam sambil menyentuhnya.
"Toako, dia sudah akan turnn tangan...."
Tapi belum lenyap suaranya, ia sudah dapat lihat kipas kongcu itu mendadak bergerak, kemudian tubuh Wanita Tanpa Sukma itu mundur terhuyung-huyung sambil keluarkan jeritan, selanjutnya lantas rubuh di tanah.
Kongcu itu lantas berkata sambil ketawa tergelak-gelak:
"Wanita Tanpa Sukma, kau salah hitung. Dengan kepandaianmu ini tidak berlaku di hadapan kongcumu. Apa kau kira kongcupun tidak tahu riwayatmu" Ha ha ba adikku yang manis, mari kita bersenang-senang dulu, dan kemudian... heh, tempat ini baik sekali bagi tempat mengasomu untuk selama-lamanya."
Wanita Tanpa Sukma ternyata sudah tcrtotok jalan darahnya, ia kini sudah tak berdaya sama sekali.
"Kau... kau" siapa"'' demikian ia bertanya dengan suara bengis.
"Bu-theng Kongcu. Apa kau pernah dengar" Bu-theng itu artinya tidak mempunyai isi perut, tapi bukan seorang yang suka malang melintang sesukanya, ha ha ha....."
Dengan kepandaiannya Wanita Tanpa Sukma dalam waktu sekejap mata sudah dibikin tidak berdaya oleh Bu-thcng Kongcu, ini kalau bukan karena Wanita Tanpa Sukma yang terlalu pandang ringan korbannya, sehingga salah hitung, tentu saja kepandaian Bu-theng Kongcu ini yang terlalu tinggi bagi Wanita Tanpa Sukma.
Dengan perasaan tidak kaget dan heran, Ie It Huan berkata kepada Hui Kiam:
"Toako, Bu-theng kongcu ini belum lama muncul di dunia Kang-ouw tapi namanya sudah menggetarkan baik kalangan putih maupun golongan hitam. Malam ini aku baru menyaksikan wajah aslinya. Kabarnya, ia ada satu Don-yuan yang sangat ganas, tidak mempunyai perasaan prikemanusiaan, kalau membunuh orang, tidak meninggalkan bangkainya dalam Keadaan utuh, perempuan yang ia sudah cemarkan kehormatannya lantas diambil jiwanya"."
Kini kembali terdengar suara Bu-theng kongcu yang berkata kepada Wanita Tanpa Sukma sambil ketawa terbahak-bahak:
"Wanita Tanpa Sukma, bentuk tubuhmu ini benar-benar sangat menarik hati!"
Sehabis berkata demikian, kipasnya bergerak digunakan untuk merobek baju korbannya.
Wanita Tanpa Sukma berteriak dengan suara kalap:
"Bu-theng kongcu, sekalipun aku sudah menjadi setan, juga tidak akan mengampuni kau!"
"Bagus sekali. Ingat, kalau kau sudah jadi setan, jangan lupa aku bernama Kang Lie."
Tepat pada saat itu, sesosok bayangan putih melayang turun dari tengah udara sambil mengeluarkan suara bentakan: "Kawanan tikus, kau berani."
Bu-theng kongcu lompat mundur beberapa tindak. Tatkala matanya menatap bayangan putih itu, ia lantas berkata sambil ketawa:
"Penggali Makam, tidak nyana kau juga antarkan nyawa."
"Bu-theng kongcu, aku juga hendak menggali makam untukmu."
Sementara Ie It Huan yang juga sudah tiba di situ segera dapat lihat Wanita Tanpa Sukma yang telah menggeletak di tanah tanpa berdaya bajunya berkoyak, hingga badannya setengah telanjang. Ketika menyaksikan keadaan demikian, ia lantas pelengoskaa kepalanya.
Bu-theng kongcu lagaknya sangat sombong, agaknya tidak pandang mata pada Penggali Makam.
Dengan wajah penuh amarah, Hui Kiam berkata padanya:
"Orang she Kang, sudah lama kudengar semua kejahatanmu. Malam ini, aku hendak melenyapkan satu anasir kejahatan dalam rimba persilatan!"
"Kau mampu?"
"Coba saja!"
Dengan tanpa banyak bicara lagi, ia sudah melancarkan serangannya dengan sepenuh tenaga.
Bu-theng kongcu pentang kipasnya, anginnya menghembus keluar, hingga berbenturan dengan hembusan angin yang keluar dari serangan Hui Kiam.
Kedua-duanya segera terpental mundur satu langkah, ternyata kekuatan mereka berimbang.
Hui Kiam agak kaget, ia tidak menduga bahwa satu kipas saja membawa hembusan angin demikian hebat.
Bu-theng kongcu kini balas menyerang dengan senjata kipasnya yang ampuh itu.
Hui Kiam sambuti serangan tersebut. Kali ini juga mengunjukkan keseimbangan kekuatan mereka.
Bu-theng kongcu agaknya merasa penasaran. Dengan kecepatan luar biasa ia membuka serangannya dengan berbagai gerak tipunya yang aneh-aneh, hingga Hui-Kiam terdesak mundur.
Ie-lt Huan coba hendak memberi bantuan, tapi ia tidak berani berlaku gegabah. Ia takut akan menimbulkan kemarahan Hui-Kiam karena walaupun bergaul hanya belum lama, tapi sudah kenal baik sifatnya pemuda bermuka dingin itu.
Menghadapi serangan musuh yang demikian dasyat, Hui-Kiam terpaksa hunus pedangnya, kemudian dengan gerakan tipunya yang tidak ada taranya, ia melakukan serangannya.
"Trang!" demikian suara benturan senjata terdengar nyaring. Keduanya lantas memisahkan diri. Baju Bu-theng kongcu bagian dadanya terkoyak bekas senjata Hui Kiam, tetapi aneh, kongcu itu nampak tenang saja, juga tidak tertampak darah mengalir keluar.
Hui Kiam heran. Apakah kongcu itu mempunyai ilmu gaib yang tidak mempan senjata tajam"
Tiba-tiba terdengar suaranya Wanita Tanpa Sukma yang nyaring: "Dia ada mengenakan baju kulit yang tidak mempan senjata tajam. Barusan karena aku tidak mengetahui, hingga terpedaya olehnya."
Hui Kiam baru sadar apa sebabnya senjatanya tidak mampu menembusi dadanya dan apa sebabnya Wanita Tanpa Sukma ditundukkan dengan mudah oleh kongcu keparat itu.
Kedua pemuda itu kembali saling menyerang. Karena keduanya ada berimbang kekuatannya, sedang gerak tipu serangan Hui Kiam cuma serupa saja, meski serangannya cukup hebat, tapi karena Bu-theng kongcu mempunyai senjata ampuh yang melindungi tubuhnya, maka ia tidak perlu menjaga bagian-badannya dan bisa melakukan serangan dengan sepenuh tenaga.
Sebentar saja pertempuran itu sudah berlangsung duapuluh jurus lebih, tapi keduanya masih belum kelihatan tanda-tandanya siapa yang akan menang dan siapa yang bakal kalah.
Tiba-tiba terdengar pula suaranya Wanita Tanpa Sukma yang ditujukan kepada le It Huan:
"Sukma Tak Buyar, tolong bebaskan totokanku!"
Ie It Huan melengak. Mengingat keadaannya wanita itu, jantungnya berdebaran. Dengan tanpa menoleh ia menjawab:
"Kau tertotok bagian mana?"
"Bagian buah dada, perut dan pusar!"
Ie It Huan hampir jatuh semaput. Ketiga jalan darah itu letaknya di bagian terlarang, bagaimana bisa ia turun tangan" Maka seketika lamanya ia tidak dapat membuka mulut.
"Sukma Tak Buyar, kau ternyata ada hati menyaksikan seorang wanita diperhina dengan berpeluk tangan saja. Percuma kau menjadi seorang Kang-ouw!" berkata Wanita Tanpa Sukma dengan penuh ejekan.
Ucapan itu memang hebat. Ie It Huan tahu Hui Kiam hendak membunuh wanita itu, tapi tentunya juga tidak akan turun tangan bila ia tahu wanita itu dalam keadaan tidak berdaya.
Karena wanita itu sudah membuka mulut untuk minta pertolongan, kalau tidak diterima, agaknya keterlaluan dan memang benar itu bukan sikapnya orang-orang Kang-ouw, yang mengutamakan sifat kesatriaannya. Maka ia lantas maju sambil kertak gigi, kemudian ia ulur tangannya untuk membebaskan totokan wanita itu.
"Terima kasih!" berkata Wanita Tanpa Sukma, yang lantas lompat bangun dan membereskan pakaiannya, kemudian dengan rasa gemas ia menerjang Bu-theng kongcu.
Pada saat itu, tiba-tiba muncul empat laki-laki berpakaian serba hitam.
"Kongcu, kami datang terlambat. Harap maafkan kesalahan kami!" Demikian empat laki-laki itu berkata dan berpencar menjadi dua rombongan masing-masing menghadapi le-It Hoan dan Wanita Tanpa Sukma.
Waktu itu, Bu-theng kongcu sudah bertempur empat jurus lebih. Serangan Bu-theng kongcu sangat aneh, makin lama makin dahsyat. Kipasnya sebentar terbuka sebentar tertutup. Hawa dingin menyambar-nyambar bagaikan ujung pedang.
Hui Kiam merasa agak berat karena Cuma mengerti semacam gerak tipu itu-itu saja, walaupun sudah digunakan berkali-kali dan masih tetap ampuh, tapi sedikit banyak masih bisa memberi kesempatan bagi lawannya untuk balas menyerang. Ia juga tahu, sekalipun kongcu itu tidak memakai baju kulit untuk melindungi badannya, tapi hendak mengalahkan padanya setidak-tidaknya juga masih memerlukan waktu seratus jurus lebih.
Dari pihaknya bagi Bu-theng kongcu juga merasa kaget dan terheran-heran terhadap kepandaian Hui Kiam. Ia sudah salah hitung.
Saat itu Wanita Tanpa Sukma sudah kalap benar-benar. Bagaikan harimau betina yang sedang mengamuk karena kehilangan anaknya, ia hajar dua laki-laki pakaian hitam itu.
Belum berapa jurus, satu di antaranya sudah rubuh sambil mengeluarkan jeritan ngeri, tinggal satu lagi sudah tentu tidak dapat berbuat apa-apa maka sebentar kemudian sudah tamat riwayatnya.
Dengan matinya dua pengawal kongcu ini, dua lainnya yang melawan Ie It Huan lantas merasa keder. Satu di antaranya sudah dihajar mampus oleh pemuda itu, sedang satu nya lagi meski sudah tahu tidak ada harapan tapi masih melawan mati-matian.
Sementara itu, Wanita Tanpa Sukma yang masih penasaran, lantas maju menerjang dan dengan satu serangan, ia sudah bikin remuk kepala pengawal tersebut.
Bu-theng kongcu yang melihat gelagat tidak baik, buru-buru meninggalkan lawannya dan kabur jauh-jauh.
Wanita Tanpa Sukma yang masih kalap itu lantas mengejar sambil berteriak: "Kemana kau lari!"
Hui Kiam kesima. Ia simpan pedangnya dan berkata kepada Ie-It Hoan:
"Mari kita pergi!"
"Balik ke kota?"
"Aku pikir tidak usah, sebaiknya kita bermalam di luar kota saja!"
Selagi hendak berlalu, tiba-tiba terdengar suara orang tua:
"Jangan kesusu pergi dulu, aku ingin bicara sebentar."
Berbareng pada saat itu di hadapan mereka sudah berdiri seorang tua. Ternyata adalah itu orang tua yang mengunjukkan di mana adanya Wanita Tanpa Sukma.
Ie It Huan buru-buru maju memberi hormat seraya berkata:


Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lotiang hendak memberi petunjuk apa?"
Tapi orang tua itu tidak perdulikan pertanyaan le It Huan, sebaliknya dengan sinar matanya yang tajam menatap wajah Hui Kiam, lama baru menanya:
"Anak, kau murid siapa?"
"Mohon dimaafkan, tentang ini boanpwee tidak dapat menerangkan."
Wajah orang tua itu berubah, dengan tongkatnya ia ketukkan ke tanah lalu berpaling dan berkata kepada Ie It Huan:
"Bocah, kau hendak kemana?"
Satu dipanggil anak satunya dipanggil bocah ini nyata ada bedanya, bagi le It Huan meski bukan berarti suatu penghinaan, tapi sedikit banyak merasa mendongkol maka ia menjawab meniru jawaban Hui Kiam:
"Tentang ini boanpwee tidak dapat menerangkan."
"Bocah! Aku si orang tua akan memukulmu baru nanti berhitungan dengan setan tua pemabukan."
Ie It Huan terperanjat, wajahnya berubah seketika. Ia buru-buru memberi hormat dan berkata:
'"Kau orang tua bagaimana panggilannya?"
"Jangan menanya dulu. Beritahukan padaku, kau hendak kemana!"
"Ini" ini" ada urusan rahasia. Boanpwee tidak dapat"."
"Tidak bisa. Bagaimanapun juga kau harus terangkan. Kalau tidak, urusan setan tua pemabukan itu aku si orang tua tidak mau memperdulikannya lagi!"
Hui Kiam yang berdiri di samping merasa heran, entah apa yang dibicarakan oleh kedua orang itu.
Ie-It Huan nampaknya sangat murung. Matanya terus menatap Hui Kiam, agaknya ingin menanyakan kepadanya apakah ia boleh menerangkan maksud perjalanan ini kepada orang tua itu.
Hui Kiam juga dapat mengerti kesulitan pemuda itu. Karena pikirannya bahwa kepergiannya hendak mencari Manusia Tangan Seribu itu tidak perlu dirahasiakan, maka ia lantas anggukkan kepala.
le-It Huan bagaikan seorang yang baru terlepas dari siksaan. Lebih dulu ia unjukkan senyumnya, barulah berkata:
"Boanpwee dengan saudara angkat ini hendak pergi ke gunung Bo-po-san!"
"Bo-po-san" Perlu apa kau hendak pergi ke tempat sejauh ribuan lie itu?"
"Untuk menjumpai seorang locanpwee yang berdiam di lembah Pek hui-kok!"
"Itu ahli senjata rahasia Si Tangan Seribu?"
"Ya!"
"Tidak usah pergi. Untung aku tadi menanyakan, kalau tidak itu tentu akan menubruk angin!"
"Kenapa?"
"Sebab Manusia Tangan Seribu sudah meninggal pada setengah tahun berselang karena perbuatannya orang jahat."
Kepala Hui Kiam seperti diguyur air dingin. Manusia Tangan Seribu sudah binasa di tangan orang jahat! Maka rahasia mengenai tusuk konde emas siapa lagi yang dapat memberi keterangan?"
"Benarkah Manusia Bertangan Seribu itu sudah meninggal di tangan orang jahat?" demikian ia bertanya.
Orang tua itu segera menyahut dengan alis berdiri:
"Aku si orang tua tidak ada perlunya membohongimu. Sebaliknya, apakah kau suka memberitahukan kepadaku apakah maksudmu hendak mencari ahli senjata rahasia itu?"
"Ingin minta kepadanya untuk menyelidiki asal-usulnya sebuah senjata rahasia!"
"Ow, senjata rahasia apa?"
"Sepasang tusuk konde emas kepala burung hong."
"Coba perlihatkanlah kepadaku!"
Hui Kiam lalu mengeluarkan tusuk konde tersebut dan diberikan kepada orang tua itu.
Orang tua itu memeriksa dengan seksama, akhirnya ia mengembalikan tusuk konde itu seraya berkata: "Aku tidak dapat membedakan dari mana kau dapat senjata ini?"
"Boanpwee dapat dari seorang yang terbinasa karena senjata ini!"
"Oh, aku belum pernah mendengar ada orang rimba persilatan yang menggunakan tusuk konde sebagai senjata rahasia, mungkin itu perbuatan seorang rendah"."
Dari kepandaian orang yang binasa itu, orang yang menggunakan senjata ini bukanlah orang sembarangan."
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara seruan le It Huan: "Boanpwee tahu siapa kau si orang tua ini."
Orang tua itu menatap wajah Ie It Huan dengan sinar mata dingin, lalu berkata:
"Bocah, tabiatmu ini serupa benar dengan setan tua pemabukan. Melihat pakaianmu begini necis bagaikan satu kongcu, tapi masih tidak terlepas dari tabiatmu yang bobrok bagaikan besi rongsokan itu. Kau tahu siapa aku si orang tua?"
Ie It Huan tidak marah, sebaliknya malah tertawa cengar-cengir: "Kau si orang tua adalah Orang Tua Tiada Turunan"."
Hui Kiam ketika mendengar disebutnya nama Orang Tua Tiada Turunan itu, nampaknya sangat heran, kemudian ia berkata: "Jadi locianpwee adalah Orang Tua Tiada Turunan"''
"Kenapa?"
"Dicari kesegala pelosok, tidak tahunya diketemukan dengan secara mudah!"
Orang tua itu membuka lebar matanya dan bertanya:
"Anak, apakah artinya perkataanmu ini?"
Hui Kiam baru memberi hormat seraya berkata:
"Boanpwee Hui Kiam, atas pesan suhu hendak mencari locianpwee!"
"Cari aku si orang tua?"
"Ya."
"Siapa suhumu?"
"Dimasa hidupnya suhu belum pernah memberitahukan namanya, tetapi beliau meninggalkan sepotong barang kepercayaan, pesan pada boanpwee biar bagaimana harus mencari locianpwe sehingga ketemu, nanti pasti mengerti sendiri."
Sehabis berkata demikian, dari dalam sakunya ia mengeluarkan sebuah benda, yang ternyata cuma merupakan sepotong belahan uang tembaga kuno yang aneh bentuk dan rupanya.
Orang Tua Tiada Turunan itu setelah menyaksikan belahan uang tembaga itu, wajahnya berubah seketika, badannya gemetar. Ia menerima uang itu dan diperiksanya dengan seksama, kemudian ia berkata:
"Suhumu sudah menutup mata?"
"Ya," jawabnya singkat.
"Bagaimana matinya?"
Dengan air mata berlinang-linang dan kertak gigi Hui Kiam menjawab:
"Tiga hari tiga malam suhu mengeluh terus-menerus, kemudian baru menutup mata dalam keadaan musnah seluruh kepandaiannya. Atas pertanyaan boanpwee, suhu cuma mengatakan bahwa dahulu ia pernah terkena tangan jahat musuhnya. Luka lama itu telah kambuh lagi."
Orang Tua Tiada Turunan juga mengucurkan air mata. Ia berkata dengan suara gemetar:
"Kembali seorang gagah perkasa telah mengalami nasib demikian menyedihkan, aih..!"
Ie-It Huan yang sejak tadi berdiri mendengarkan dengan tenang, sama sekali tak bisa campur mulut, tapi ia telah dapat melihat di balik sifat Hui Kiam yang dingin angkuh masih terdapat suatu perasaan yang halus tulus.
Dengan suara sedih Hui Kiam berkata:
"Mohon locianpwee sudi memberitahukan sedikit keterangan!
Orang Tua Tiada Turunan itu berpikir sejenak lalu mengembalikan potongan uang lama itu kepada Hui Kiam seraya berkata:
"Mari kita pindah ke lain tempat untuk beromong-omong!"
Di bawah pimpinan Orang Tua Tiada Turunan itu, tiga orang itu melalui sungai dan rimba pohon Liu, tiba di suatu tempat yang tersembunyi, setelah masing-masing mengambil tempat duduk, Orang Tua Tiada Turunan itu lalu berkata sambil menghela napas panjang:
"Dengarlah ceritaku tentang peristiwa aneh dalam kalangan rimba persilatan..."
la lalu menatap Hui Kiam dan berkata pula:
"Bocah, apakah kau pernah mendengar nama julukan Lima Kaisar Rimba Persilatan?"
Ie It Huan tiba-tiba menyela dengan suara nyaring:
"Lima Kaisar Rimba Persilatan?"
"Bocah, tutup mulutmu. Aku tidak bertanya kepadamu. Kau jangan sembarangan membuka mulut, kalau tidak mau kau dengar aku nanti usir kau pergi!"
Ie lt Huan membasahi lidahnya, agaknya merasa takut terhadap orang tua itu. Benar saja, ia lalu bungkam.
Hui Kiam berkata:
"Boanpwe muncul di kalangan Kang-ouw belum lama. Terhadap beberapa tokoh terkemuka, tidak begitu jelas."
Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepala dan berkata:
"Lima Kaisar Rimba Persilatan itu, adalah lima tokoh yang paling menonjol dalam rimba persilatan pada lima puluh tahun kemarin. Baik kepandaiannya maupun nama kedudukannya, kecuali Tiga Raja Rimba Persilatan yang sudah tidak tahu di mana jejaknya, sudah tidak ada lagi yang dapat menandingi. Orang-orang rimba persilatan, kebanyakan cuma mendengar nama Lima Kaisar, tetapi tidak tahu siapa sebetulnya Lima Kaisar itu?" Sejenak dia berdiam, kemudian berkata pula:
"Dari mana asal-usulnya Lima Kaisar itu, tiada orang yang tahu. Urutan gelar mereka dibagi Kim, Bok, Bui, Hwee dan Tho"."
le-It Huan kembali hendak membuka mulut, tetapi baru saja bergerak bibirnya, sudah dipelototi oleh Orang Tua Tiada Turunan.
"Di antara Lima Kaisar itu, dipandang dari sudut kepandaian ilmu silatnya, Kim-tee-Cui-Pin yang paling tinggi, dan yang paling cerdik adalah Thio-tee Sun Thian Kuat, sementara itu Bok tee-Kong-sun Yu-To Cui-tee Thio Cek Leng dan Hwee-tee Pui Un Tiong termasuk orang-orang yang berkepandaian biasa saja, sudah tentu itu menurut perbandingan kepandaian antara Lima Kaisar itu, tetapi dalam rimba persilatan, tiada seorangpun yang mampu menandingi salah satu di antara mereka berlima. Pada sepuluh tahun berselang Thio-tee Sun Thian Kuat dengan tidak sengaja telah menemukan sejilid kitab ajaib dalam rimba persilatan."
Ie lt Hoan lalu menyela:
"Thian-khie Po-kip!"
Orang Tua Tiada Turunan itu mendelikkan matanya dan berkata:
"Benar, kitab itu adalah Thian-kie Po-kip. Disamping kitab itu disertai sehelai gambar peta, yang menunjukkan tempat tersimpannya sebilah senjata pedang dari jaman purbakala."
Hui Kiam segera menyela:
"Apakah itu bukan sebuah makam pedang sangat rahasia yang letaknya di lembah Ciok-leng-gai, yang ramai dibicarakan oleh orang-orang rimba persilatan?"
"Tepat, itulah pedangnya makam yang sangat aneh itu. Waktu itu, menurut hasil perundingan Lima Kaisar itu, gambar peta itu dibawa oleh Kim-tee Cui-pin untuk mencari tempat tersimpannya senjata purbakala itu, sedangkan kitabnya dipelajari lebih dulu oleh Thio-tee Sun Thian Kuat yang paling cerdik...."
"Bagaimana hal itu bisa tersiar ke dunia Kang-ouw?"
"Dengar dulu penuturanku. Kitab itu terlalu susah dipahami. Thio-tee menggunakan waktu satu tahun, baru dapat memahami isinya satu bagian saja. Sementara itu, tiba-tiba tersiar kabar tentang kematiannya Kim-tee di bawah gunung Tay-hong-san...."
"Aaa!"
"Berita itu pernah menggemparkan seluruh rimba persilatan. Empat Kaisar yang lainnya ketika mendengar berita itu segera pergi kesana. Tiba di tempat tersebut, benar saja segera dapat menemukari jenazah Kim-tee di bawah kaki gunung dengan luka parah di badannya, sedang tubuhnya sudah mulai membusuk."
"Kalau begitu betapa hebatnya kepandaian si pembunuh?"
"Em! Empat Kaisar selesai mengurus jenazah Kim-tee mendadak muncul seorang jago pedang berkedok yang sangat aneh. Orang itu mengaku bahwa Kim-tee itu mati di tangannya, bahkan menantang keempat Kaisar itu"."
Hui Kiam dan Ie It Huan berseruan "Oh" berbareng, bukan kepalang terkejut mereka.
Orang Tua Tiada Turunan itu pejamkan mata berpikir sejenak, lalu berkata pula:
"Kedua pihak lalu mengadakan pertempuran di atas gunung Tay-hong-san. Jago pedang berkedok itu Tak mau memberitahukan namanya dan asal-usulnya, tetapi ia mengaku bahwa maksudnya ialah ingin mendapatkan kitab Thian-khie Po-kip"."
"Lebih dulu Bok-tee yang maju melayani musuh tidak dikenal ini, tetapi baru tiga jurus ia sudah kalah. Cui-tee turut membantu, tetapi juga tidak tahan sampai sepuluh jurus. Kemudian Empat Kaisar bergabung menjadi satu, bertempur sengit lebih dari dua ratus jurus lebih. Tho-tee terluka parah, sedang serangan pedang jago pedang berkedok itu tetap ganas. Jika keadaan itu berlangsung terus, pada akhirnya Empat Kaisar itu pasti jatuh di tangan jago pedang tidak dikenal itu semuanya."
Berkata sampai di situ, Orang Tua Tiada Turunan itu menghela napas panjang. Dengan nada berubah tinggi ia berkata pula:
"Thio-tee dan Hwee-tee meskipun sudah terluka parah, tetapi tidak mau mengundurkan diri. Mereka dengan bahu membahu bertempur terus secara mati-matian. Dengan demikian, pertempuran itu dilanjutkan hampir seratus jurus lagi.
Sekonyong-konyong Bok-tee menggeram hebat. Ia melancarkan satu serangan ganas. Dengan secara nekad ia melesat ke dalam lingkaran pedang musuhnya. Serangan nekad ini membuat jago pedang berkedok itu berlubang dada kirinya, tetapi Thio-tee sendiri jiwanya melayang seketika."
Hui Kiam dan Ie It Huan yang mendengarkan nampak tertegun.
Wajah Orang Tua Tiada Turunan nampak berkerenyit beberapa kali. Ia berkata pula:
"Karena serangan itu, gerakan jago pedang itu mulai kendor. Tiga Kaisar mendesak hebat. Jago pedang itu pelahan-lahan mulai terdesak. Sekonyong-konyong ia melepaskan senjata rahasia.
Dengan kepandaiannya yang begitu tinggi, tiga Kaisar itu ternyata tidak satu pun yang mampu mengelakkan senjata rahasia tersebut"."
"Dari senjata rahasia tersebut, tiga Kaisar itulah baru dapat mengenali siapa adanya jago pedang berkedok itu"."
Hui Kiam sudah menduga sebagian. Dengan tidak sabar lagi ia bertanya:
"Dari mana asal-usul jago pedang itu?"
"Senjata rahasia itu bernama 'Hut-kut-sim-ciam" atau jarum yang melekat tulang, senjata tersebut sebetulnya merupakan senjata tunggal dari Jin-ong, adalah satu tokoh dalam barisan Tiga Raja Rimba Persilatan"."
"Apakah jago pedang itu murid Jin-ong?"
"Tiga Kaisar kala itu telah membuka kedok jago pedang itu, tetapi jago pedang itu tidak mengaku juga tidak membantah. Karena Tiga Raja Pedang itu sudah lima puluh tahun lebih tidak muncul di dunia Kang-ouw sedangkan Jin-ong juga seorang golongan baik. Apa yang disebut jarum melekat tulang itu hakekatnya dalam cerita saja, yang pernah digunakan satu kali oleh Delapan Iblis dari Thian-ik pada delapan puluhan tahun berselang"."
"Dan selanjutnya?"
"Tiga Kaisar tahu setelah terkena senjata rahasia itu, kalau melanjutkan pertempuran paling-paling cuma bisa tahan hidup sampai setengah jam lagi, maka Cui-tee mendesak supaya Thio-tee dan Hwe-tee, segera berlalu untuk berusaha menuntut balas, agar tidak binasa bersama. Dengan bercucuran air mata kedua kaisar itu akhirnya mengundurkan diri"."
"Kalau begitu Cui-tee telah berkorban."
"Ya, setelah Thio-tee dan Hwee-tee pergi, di bawah kaki gunung Keng-san, Thio-tee merobek kitab itu menjadi dua bagian, bagian atas dibawanya sendiri, bagian bawahnya diberikan kepada Hwee-
tee, maksudnya apabila mereka tidak berhasil melindungi kitab itu, sekalipun dirampas oleh musuh, juga Cuma hanya dapatkan sebagian saja.
Thio-tee dan Hwee-tee berpisahan, masing-masing memberi serupa benda sebagai tanda kepercayaan. Thoitee berkata, semasa masih hidup, ia akan mencari seorang turunan, untuk diberi pelajaran bagian ke atas, di kemudian hari orang yang diambilnya sebagai murid itu dengan membawa benda kepercayaan itu boleh minta kepada Hwee-tee untuk menyempurnakannya!"
Hui Kiam tiba-tiba bangkit dan berkata dengan suara bergetar:
"Mungkinkah suhu adalah Thio-tee Sun Thian Kuat?"
"Benar, suhumu adalah Thio-tee. Setelah ia berpisahan dengan Hwee-tee, di bawah kaki gunung Keng-san kebetulan menemukan kau yang sedang terlantar. Karena melihat bakat dan tulang-tulangmu yang bagus, dengan sangat girang ia membawamu pergi......."
Mata Hui Kiam tiba-tiba mengunjukkan kemurkaan dalam hatinya. Dengan suara keras dan air mata berlinang ia berseru:
"Dengan darah menukar darah, dengan pembunuhan menghentikan pembunuhan."
Orang Tua Tiada Turunan juga bangkit, sambil menepuk pundak Hui Kiam ia berkata:
"Anak, suhumu tidak memberitahukan namanya kepadamu, juga tidak mewariskan kepandaiannya sendiri, karena ia takut akan dikenali oleh musuhnya sehingga mensia-siakan pengharapannya. Kau harus dapat menyadari suhumu, rahasiakanlah asal-usul dirimu"."
"Boanpwe akan ingat pesan locianpwe ini."
"Sekarang kau harus berusaha untuk mencari orang yang membawa sepotong belahan uang logam kuno itu ...."
"Si supek?"
"Sudah dikatakan, mungkin Hwee-tee sendiri tetapi mungkin juga bukan."
"Mengapa?"
"Suhumu selama sepuluh tahun ini masih belum berhasil mengeluarkan Jarum Melekat Tulang dari dalam tubuhnya, sehingga akhirnya meninggal dunia setelah musnah semua kepandaiannya. Hwee-tee mungkin juga tidak terkecuali. Sudah tentu jika ia mengetahui bahwa ajalnya sudah akan tiba, tentunya bisa mengadakan persiapan......."
Hui Kiam bergidik.
Orang tua itu berkata pula:
"Adalah tidak sengaja aku berjumpa dengan suhumu setelah kejadian itu. Ia lalu menceritakan peristiwa tersebut serta memintaku untuk mencari jejak Hwee-tee, tetapi hingga saat ini aku masih belum dapat menemukan. Anak, jika kau tidak dapat menemukan Si supekmu untuk mempelajari bagian bawah kitab Thian khie-po-kip, jangan membicarakan soal menuntut balas lagi."
"Biar bagaimana boanpwee pasti hendak mencari Si supek."
"Kau boleh mencoba mengadakan penyelidikan di gunung Tay-hoan-san lebih dulu...."
"Ya!"
"Dan lagi, kau harus berlaku sangat hati-hati, Persekutuan Bulan Emas pasti tidak akan melepaskan kau, aku sekarang masih hendak melanjutkan usahaku untuk mencari Si supekmu, untuk melaksanakan janjiku kepada suhumu. Urusan selanjutnya, aku bisa mencari kau sendiri."
"Terima kasih atas budi kebaikan locianpwee."
"Tidak usah kau mengucapkan terima kasih. ingat, jangan melakukan banyak pembunuhan."
"Ya."
"Mengenai urusan tusuk konde emas berkepala burung hong itu, aku akan memperhatikannya"."
"Bolehkah aku bertanya, apakah locianpwee tahu siapa orangnya yang dinamakan To-liong Kiam-khek itu?"
"Ia sudah sepuluh tahun lebih menghilang, kita harus menyelidikinya perlahan-lahan. Sekarang aku hendak pergi."
Gesit sekali gerakan Orang Tua Tiada Turunan itu, sebentar sudah menghilang dari depan mata Hui Kiam.
Dengan perasaan heran Kui Kiam bertanya kepada le It Huan:
"Apakah adik Hoan tahu riwayatnya orang tua itu?"
"Riwayat orang tua ini sangat unik sekali. Ia dengan suhu hubungannya erat sekali, tetapi aku hanya mendengar saja, belum pernah melihat orangnya. Ia sebetulnya tidak disebut Orang Tua Tiada Turunan, nama julukannya semula adalah Dewa Dalam Arak. Nama itu disesuaikan dengan kegemarannya akan arak. Sepuluh tahun berselang, ia bercerai dengan isterinya. Sang istri itu kemudian menghilang dengan membawa anak laki satu-satunya yang lahir dalam usianya sudah lanjut. Karena rumah tangganya berantakan, juga tidak pernah menerima seorang muridpun juga, maka ia menyebut dirinya sendiri menjadi Orang Tua Tiada Turunan.
Oleh karena mencari anak dan istrinya, ia sampai melakukan perjalanan jauh ke perbatasan, maka aku cuma mendengar namanya tidak tahu orangnya!"
'Bagaimana kelakuannya?"
"Orang dari golongan kebenaran, tapi tidak menghiraukan segala peraturan yang tidak perlu!"
"Sebentar sudah akan terang tanah, aku pikir kita tidak usah balik ke dalam kota, kita berpisah di sini saja!"
"Apa, berpisah?"
"Aku lihat kau bukan seorang penganggur sedang aku masih banyak sekali urusanku tidak ada alasan kau terus menerus mengikuti aku."
"Toako, aku memang benar-benar tidak mempunyai pekerjaan apa-apapun juga, baiknya, aku ikut kau saja?"
"Aku suka pergi seorang diri saja!"
"Terhadapku kau agaknya masih tidak percaya?"
"Terserah bagaimana kau pikir, aku harus pergi."
"Tidak perlu mengucapkan sampai berjumpa lagi?"
"Berkumpul atau berpisah, bagi manusia yang masih hidup belum menentu, biar saja kita serahkan kepada nasib."
Sehabis berkata, lalu bergerak pergi.
Sambil memandang bayangannya, le It Huan berkata: "Dalam dunia ternyata ada seorang bersikap dingin dan tidak berperasaan begitu rupa. Kalau aku tidak mengikuti jejakmu, bukankah percuma saja aku mempunyai nama julukan Sukma Tidak Buyar?"
Dengan cepat ia segera lari menyusul.
Dalam perjaialan ke gunung Tay-hong-san, meski Hui Kiam belum tahu akan hasilnya, tapi seperti apa yang dikatakan oleh Orang Tua Tiada Turunan, gunung Tay-hong san merupakan tempat kematian supeknya, mungkin dapat diketemukan sedikit tanda-tanda yang dapat digunakan sebagai petunjuk. Dalam perjalanan, hatinya merasa tidak karuan.
Benarkah musuhnya itu adalah muridnya Jiu-ong"
Dengan seorang diri, orang itu hampir memusnahkan semua Lima Kaisar, kekuatan dan kepandaian demikian, sesungguhnya tidak habis dimengerti. Jika ia sendiri tidak berhasil menemukan Si-supeknya, untuk mempelajari kepandaian dalam kitab Thian-khie Po-kip seluruhnya, maka soal menuntut balas dendam akan merupakan suatu impian saja!
Siapakah musuh yang membinasakan ibunya" Apa sebab musababnya"
Mengapa To-liong Kiam-khek menghilang"
Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam otaknya.
Pergi ke gunung Tayhong san, jika mengambil jalan lurus, harus melalui gunung Keng-san. la takut melihat tempat terjadinya peristiwa berdarah semasa kanak-kanak, tetapi mau tidak mau kakinya menginjak tanah yang meninggalkan bekas darah itu. Rumah tinggalnya yang dibakar pada sepuluh tahun berselang sedikitpun sudah tidak meninggalkan bekasnya, semua hanyut terbawa oleh berlalunya sang waktu, tinggal ingatannya yang tetap masih segar, peristiwa menyedihkan yang terjadi pada sepuluh tahun berselang, kembali terbayang dalam otaknya dalam bayangan air matanya ia seolah-olah dapat melihat paras ibunya dan pengalamannya yang menyedihkan, sehingga menimbulkan perasaan pilu dalam hatinya.
Di bawah sebuah pohon tua, terdapat segundukan tanah kuburan. Ia ingat itu adalah suhunya yang membantunya mencari tulang-tulang ibunya dalam reruntuhan puing dan abu, lalu ditanam di tempat itu, dan sekarang, suhunya juga sudah meninggal setelah menderita tiga hari tiga malam......
Ia berlutut di depan makam, airmata mengalir deras, tekadnya untuk menuntut balas semakin teguh.
Sinar matahari yang menyinari dirinya membuat satu bayangan di atas tanah kuburan.
Tiba-tiba ia dapat melihat satu bayangan lain bertumbuk di atas bayangan dari badannya sendiri.
Ia terperanjat. Dari bayangannya dapat diukur bahwa orang itu berada di belakangnya tidak jauh dari tiga kaki, tetapi siapakah dia dan sejak kapan berada di belakangnya" Mengapa ia sendiri tidak berasa" Apakah karena kepandaian orang itu yang terlalu tinggi ataukah karena ia sendiri sedang berduka sehingga menjadi lengah"
Kalau orang itu adalah musuh, ia benar-benar sudah tidak mempunyai banyak kesempatan untuk melawan.
Tetapi meski dalam hatinya merasa terkejut dan khawatir, di mukanya masih tetap tidak mengunjukkan reaksi apa-apa. Dengan tenang ia mengusap air matanya. Dengan nada suara dingin ia menanya: "Siapa?"
Sebuah benda keras dan dingin terasa menempel di jalan darab Ben bun-hiat di belakang punggung. Ia tahu bahwa itu adalah ujung pedang. Meski ia mempunyai kepandaian ilmu luar biasa, jalan darahnya tidak takut tertotok tetapi itu hanya bagi totokan dengan jari biasa, jika dengan ujung pedang, sekalipun dewa juga tidak mampu mengelakkan.
Satu suara yang dingin dan menusuk telinga terdengar di belakangnya:
"Penggali Makam, sekarang ceritakanlah siapa suhumu?"
"Kau siapa?" demikian Hui Kiam bertanya dengan mengeraskan hatinya.
"Tidak halangan aku beritahukan kepadamu. Utusan Bulan Emas."
Hui Kiam merasa bergidik, terjatuh di tangan musuh besarnya itu tidak mungkin ia dapat meloloskan diri, tetapi pada saat itu ia sudah tidak mempunyai kesempatan sedikitpun untuk memberi perlawanan. Betapapun tinggi kepandaiannya, betapapun gesit gerakannya juga sulit untuk meloloskan diri dari ujung pedang musuhnya. Meski hatinya merasa panas, tetapi apa daya"
"Membokong dari belakang, bukan perbuatan seorang gagah!" demikian ujarnya.
"Penggali Makam, dengan kau untuk apa harus berbicara soal licik atau tidak" Sekarang, beritahukanlah lekas siapa suhumu?"
"Tidak!"
"Apakah kau ingin mampus?"
"Soal mampus bagiku tidak berarti!"
"Benarkah kau tidak mau menjawab?"
'Tidak!" Rasa sakit luar biasa mendadak seperti menusuk ulu hatinya, ujung pedang sudah masuk setengah dim dalam jalan darah, ia masih ingat hawa panas mengalir melalui jalan darahnya, tetapi ia mengatupkan gigi, sedikitpun tidak mengeluh.
"Kau jawab tidak?"
"Tidak!"
Ujung pedang terasa digerakkan, tulang di belakang gegernya mengeluarkan suara seperti dikerik, rasa sakit itu, tidak dapat dilukiskan dengan pena, tubuhnya mulai gemetar, dahinya mengeluarkan keringat dingin, tetapi ia tetap mengatupkan gigi. Ia yang dihidupkan dalam suasana dalam kebencian dan amisnya darah telah belajar banyak segala kekejaman terhadap dirinya sendiri atau terhadap musuh
nya, kekuatan benci tidak terbatasi ia dapat membuat orang tidak menghiraukan siksaan badannya, tidak menghiraukan hidup atau mati.
"Penggali Makam, setengah dim lagi, nyawamu akan tamat!" demikian terdengar suara ancaman.
"Ber" tin" dak" lah"."
Darah mengucur tiada hentinya, suatu pertanda bahwa jiwanya pelahan-lahan mendekati ajalnya, melambai-lambaikan tangannya, ia masih menolak. Dengan mati secara demikian, itu sesungguhnya merupakan suatu hal di luar dugaannya.
Sekonyorig-konyong dua sosok bayangan orang lari mendatang dan berkata dengan serentak:
"Tahan!"
Dengan seorang memegang tangan Hui Kiam, dua orang itu tarik berdiri badannya.
Utusan Bulan Emas yang berada di belakangnya bertanya dengan suara bengis:
"Penggali Makam, siapa orang dalam makam ini?"
"Kalian tidak perlu tahu!" jawab Hui Kiam dengan suara gemetar.
"Membuat kau menangis sedih, orang dalam makam ini tentunya mempunyai hubungan erat dengan kau. Bagaimana" Apakah kau ingin aku berlaku sebagai Penggali Makam?"
"Kau" berani?"
"Ini bukan soal berani atau tidak berani. Kecuali kau suka memberitahukan suhumu dan riwayatnya......."
"Kalau aku tidak sampai mati, jika aku tidak mampu membunuh habis kalian orang-orang seperti iblis binatang ini, aku bersumpah tidak mau jadi orang lagi!"
"He he he be, sayang sekali kawan, kau sudah tidak akan mendapat kesempatan lagi untuk selama-lamanya."
Kedua orang berpakaian hitam yang memegang dua tangan Hui Kiam berkata:
"Menurut pikiranku sebaiknya musnahkan kepandaian dan kekuatannya terlebih dulu, kemudian kita membawanya ke pusat!"
Utusan yang berada di belakang diri Hui Kiam lalu menjawab:
"Baik."
Tepat pada saat itu".
Sesosok bayangan merah dengan kecepatan bagaikan kilat meluncur turun ke hadapan tiga orang itu dan membentak dengan suara bengis:
"Penggali Makam, aku akan ambil jiwamu!"
Bersamaan dengan itu, tangannya sudah menyambar Hui Kiam yang tertawan oleh tiga Utusan Bulan Emas.
"Jangan bertindak!"
Demikian Utusan Bulan Emas berseru, lalu merintangi tindakan orang yang baru datang tadi".
Orang yang baru datang itu ternyata adalah Wanita Tanpa Sukma.
Tindakan Wanita Tanpa Sukma itu benar-benar di luar dugaan semua orang.
Utusan Bulan Emas yang menggunakan pedang mengancam Hui Kiam, berkata:
"Wanita Tanpa Sukma, apakah maksudmu?"
Wanita Tanpa Sukma mengunjukkan tingkahnya yang genit. Ia berkata sambil tersenyum menggiurkan:
"Tuan-tuan utusan dari Bulan Emas, tolong kalian serahkan dia kepadaku, bagaimana?"
"Serahkan kepadamu"'" berkata utusan yang memegang pedang itu. "Wanita Tanpa Sukma, daging ini kau sudah tidak mendapat bagian. Carilah ke lain tempat!"
"Tuan ternyata salah faham. Maksudku ialah memberikannya kepadaku supaya aku yang membunuhnya."
Mendengar perkataan demikian, dada Hui Kiam dirasakan seperti mau meledak. Ia tidak menyangka bahwa dirinya dibuat rebutan sebagai barang hidangan empuk.
Utusan itu menjawab sambil tertawa dingin:
"Wanita Tanpa Sukma, kau tak perlu berlagak, dalam dunia ini masih banyak laki-laki tampan, jangan kau memikir yang tidak-tidak."
Wanita Tanpa Sukma mendekati utusan tersebut. Dengan sikapnya yang semakin genit ia berkata:
"Tuan, maksud kalian tidak lain juga menginginkan dia mati. Siapa bertindak bukan serupa saja. Mengapa kau tidak mau memberi muka?"
"Kami tidak akan tertipu oleh akal muslihatmu. Sudah saja."
"Eh, tuan bicara harus tahu aturan sedikit."
"Wanita Tanpa Sukrma, kau harus tahu bahwa kami bukan orang-orang yang sayang kepada paras elok."
Wanita Tanpa Sukma kembali maju selangkah. Ia berkata dengan paras dingin:
"Aku sudah bertekad bulat akan mendapatkan dirinya."
Sambil mengayunkan tangan kirinya, dengan kecepatan bagaikan kilat menyerang belakang kepala Hui Kiam.
Utusan itu sambil berseru: "Kau berani!" menangkis dengan tangannya.
Tetapi tangan kanan pada saat itu mendadak menusuk ketiak kiri utusan itu.
Utusan tersebut yang tangan kanannya memegang pedang mengancam Hui Kiam, sedangkan tangan kiri digunakan untuk menangkis, kecuali berkelit sudah tidak ada lain jalan lagi. Disamping itu, serangan Wanita Tanpa Sukma itu juga merupakan serangan mematikan, sudah tentu tidak berani menyambut dengan kekerasan.
Keadaan sudah tidak memberikan kesempatan baginya untuk banyak berpikir. Hampir dengan secara otomatis utusan itu memiringkan badannya. Tangan kiri berbenturan dengan tangan Wanita Tanpa Sukma yang menyerang belakang kepala Hui Kiam, sehingga mengeluarkan suara "Duk!" Utusan itu lalu terpental mundur satu langkah, sehingga ujung pedang terpisah dari tubuh Hni Kiam.
Dua utusan yang memegang kedua tangan Hui Kiam hanya bisa berteriak:
"Kau cari malapetaka!"
Terjadinya perubahan itu sesungguhnya tidak terduga-duga. Daya reaksi Hui Kiam juga cepat sekali. Karena seluruh
kekuatannya masih utuh, luka di belakang punggung hanya merupakan luka luar, tidak ada artinya, setelah dari ancaman, dua orang itu tak dipandang mata lagi olehnya. Dengan cepat ia gerakkan dua tangannya, sehingga dua orang yang memegang kedua tangannya terpental jauh.
Di lain saat, pedang Hui Kiam sudah berada dalam tangannya.
Tiga Utusan Bulan Emas itu dengan mata membara dan suara menggeram hebat menyerang Wanita Tanpa Sukma dan Hui Kiam.
Hui Kiam yang sedang murka, melakukan serangan mematikan satu-satunya yang terdiri hanya satu jurus.


Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba tiba terdengar suara jeritan ngeri. Utusan yang menyerang dari kanan terpotong putus badannya batas pinggang, sedang utusan yang menyerang dari kiri tertabas pedangnya sehingga menjadi dua potong.
Wanita Tanpa Sukma berulang-ulang perdergarkan suara tertawanya, badannya bergerak bagaikan ikan berenang menerobos dalam sinar pedang si utusan.
Betapapun tinggi kepandaian Utusan Bulan Emas saat itu juga tidak berdaya terhadapnya.
Hui Kiam pada saat itu sudah mengerti maksud Wanita Tanpa Sukma. Setelah membinasakan satu lawannya, ia menyerang lagi kepada utusan yang masih memegang pedang.
Utusan itu sangat gusar. Ia menetakkan pedangnya yang tinggal sebilah itu kepada Hui Kiam. Pemuda itu terpaksa menangkis dengan pedangnya......
Setelah menetakkan senjatanya, utusan itu lalu kabur terbirit-birit.
Utusan yang bertempur melawan Wanita Tanpa Sukma, ketika melihat gelagat tidak baik lalu berseru:
"Wanita Tanpa Sukma, kau tunggu saja!" kemudian juga melarikan diri.
Hui Kiam menyimpan kembali pedangnya, kemudian berkata kepada Wanita Tanpa Sukma sambil mengangkat tangan memberi hormat:
"Kuucapkan banyak-banyak terima kasih atas bantuan nona."
Kata-katanya meski sangat menghormat tetapi sikapnya dingin sekali.
Wanita Tanpa Sukma kembali memperlihatkan sikapnya yang menggiurkan. Ia berkata sambil tersenyum:
"Tidak usah. Kau membantu aku melepaskan diri dari tangan Bu-theng kongcu, dan aku bantu kau melepaskan kepungan Utusan Bulan Emas, untuk selanjutnya kita satu sama lain tidak ada yang hutang."
Hui Kiam masih ingin berkata apa-apa, bibirnya bergerak tetapi tidak dikeluarkan.
Wanita Tanpa Sukma memandang Hui Kiam sejenak, kemudian berkata dengan sungguh-sungguh:
'"Penggali Makam, Persekutuan Bulan Emas mempunyai banyak penganut yang berkepandaian sangat tinggi. Para utusan tadi itu, cuma terhitung orang-orangnya yang termasuk golongan kelas dua ke bawah, selanjutnya harus berlaku hati-hati. Tujuan utama persekutuan itu hendak menguasai rimba persilatan. Mereka tidak melepaskan seorang musuhnyapun juga. Tokoh-tokoh ternama yang tidak mau menuruti kehendaknya juga tidak dilepaskan begitu saja. Sampai ketemu lagi!"
Hui Kiam sebetulnya masih ingin mengucapkan beberapa parah kata, tetapi wataknya yang dingin menyebabkannya segan nembuka mulut, hanya dari sinar matanya saja yang menunjukkan perasaan terima kasihnya.
Setelah mengawasi Wanita Tanpa Sukma berlalu, ia berlutut lagi di hadapan kuburan ibunya kemudian melanjutkan perjalanannya ke gunung Tay hong-san.
Wanita Tanpa Sukma itu meski menggunakan kecantikannya dan kegenitannya untuk memikat dan membunuh laki-laki hidung bejlang, tetapi dalam kalangan Kang-ouw tidak pernah tersiar cerita yang menjelekkan namanya. Dari hal ini bisa dilihat bahwa tindakannya itu semata-mata karena terdorong oleh perasaan hatinya yang disakiti sehingga menimbulkan hasrat untuk menuntut balas. Hal ini mirip keadaannya dengan Hui Kiam yang menyebut dirinya Penggali Makam.
Hari itu juga Hui Kiam tiba di gunung Tay hong-san dan melakukan penyelidikannya.
Keadaannya mirip dengan usahanya mencari Iblis Wanita Bertusuk Konde Emas. Tiada sedikitpun keyakinan, tetapi tidak boleh tidak harus mencarinya.
Dalam waktu tiga hari ia sudah menjelajahi seluruh gunung tetap tidak mendapatkan apa-apa.
Ia tahu bahwa perjalanannya ini akan tersia-sia. Tetapi ia masih belum putus harapan sebab dalam hatinya masih mempunyai keinginan untuk mencoba-coba. Karena dari semula tidak menaruh banyak harapan, maka perasaan putus harapan dengan sendirinya juga berkurang.
Kini tempat yang diinjak itu, adalah puncak terakhir gunung tersebut. Keadaan alamnya sangat indah dan menawan hati.
Tiba tiba matanya dapat melihat tidak jauh dari tempat ia berdiri, ada sebuah tumpukan batu yang mirip dengan sebuah kuburan.
Siapakah gerangan orang yang dikubur dalam puncak gunung yang tinggi dan mempunyai pemandangan alam demikian indah ini"
Dengan tidak disadarinya ia berjalan menghampiri gundukan tanah itu. Tidak salah, itu adalah sebuah kuburan yang dibuat oleh tangan manusia! Meski nampaknya bukan sebuah kuburan kuno tetapi sedikitnya sudah berumur.
Ia menghapus lumut yang tumbuh di lapisan batu nisan. Segera tertampak tulisan di atasnya. Ketika ia membaca bunyinya tulisan itu, seketika berdiri terkejut.
Huruf-huruf di atas batu nisan itu berbunyi:
"Di sini bersemayam Pui In Tiong.
Didirikan oleh putrinya: Pui Ceng Un."
Pui Un Tiong adalah Hwee-tee, salah satu dari Lima Kaisar, orang yang merupakan supeknya dan kini sedang dicarinya. Beliau sudah meninggal" Pui Ceng Un adalah putrinya" Dan di mana ia sekarang berada"
Si supeknya sudah meninggal dunia. Bagaimanakah kematiannya itu" Mati karena Jarum Melekat Tulang ataukah" Sepotong uang logam yang berada di tangannya, apakah meninggalkan pesan kepada keturunannya"
Ia berlutut di hadapan makam supeknya. Harus mencari puterinya itu"
Soal ini, harus dapat menemukan putrinya yang bernama Pui Ceng Un itu dahulu, baruIah dapat jawabannya. Tetapi kemana harus mencari putrinya itu"
Ia berlutut di hadapan makam supeknya untuk menyatakan hormatnya.
Dengan diketemukannya makam itu, kini telah terbukti bahwa Lima Kaisar itu sudah tiada seorangpun yang masih hidup. Jago pedang berkedok yang digambarkan oleh Orang Tua Tiada Turunan, kini telah terbayang dalam otaknya. Seorang jago pedang luar biasa, tetapi juga merupakan satu hantu yang menakutkan. Hanya untuk mendapatkan jilid kitab Thian-khie Po-kip, lima orang kuat luar biasa dalam rimba persilatan telah dilenyapkan dari dunia.
Benarkah orang itu adalah muridnya Jin-ong"
Sudah sepuluh tahun lamanya, mengapa tiada dengar kabar tentang diri jago pedang berkedok itu muncul lagi di kalangan Kang-
ouw" Sudah tentu, maksudnya mengenakan kedok hanya untuk menutupi wajah aslinya dan kejahatannya.
Tiga Raja Rimba Persilatan sudah lima puluh tahun lebih menghilang dari dunia Kang-ouw. Peristiwa berdarah yang mengenaskan ini bukankah akan terpendam untuk selama-lamanya"
"Aku hendak menuntut balasl"
Demikianlah Hui Kiam menggeram dan mengacungkan kepalan tangannya ke atas. Rasa benci dan dendam telah meluap berubah menjadi suatu keinginan yang dingin dan buas.
Wajahnya yang memang sudah dingin, nampak semakin dingin.
Sekonyong-konyong dari tempat apak jauh, terdengar suara jeritan ngeri. Hui Kiam terkejut. Dengan tanpa pikir lagi dia lari bergerak menuju ke puncak gunung sebelahnya.
Tidak berapa lama, ia sudah berada di atas puncak gunung tersebut. Matanya berputaran melihat keadaan sekitarnya. Segera menemukan bangkai seorang pemuda berpakaian ringkas warna hitam, rebah menggeletak dalam darah. Sebilah pedang terletak beberapa kaki di sisi badannya. Awak pedang masih ada bekas tanda darahnya sedang badan terkorban terdapat sebuah sarung pedang yang kotor. Sudah terang bahwa pembunuhnya telah menggunakan pedang sendiri.
Siapakah pembunuhnya"
Tiga tombak dari tempat kejadian itu, di belakang sebuah pohon besar, kelihatan satu bayangan merah.
"Kau?" berseru demikian dengan suara gemetar.
"Ya, aku. Mengapa"'' demikian terdengar satu jawaban dari si Wanita Tanpa Sukma, berjalan menghampirinya.
"Kau membunuh orang lagi?"
"Benar, aku yang membunuh orang itu. Sebelum aku mati dibunuh, aku tidak akan menghentikan tindakanku ini!"
Ucapan ini dikatakan dengan paras gusar sehingga membuat gemetar. Siapa yang melihatnya, inilah suatu perbuatan kejam bagaikan perbuatan orang gila. Hui Kiam dengan sinar mata dingin menatap paras wanita itu kemudian berkata:
"Untuk menghentikan perbuatanmu yang gila itu, nampaknya aku harus membunuhmu!"
"Kau si Penggali Makam barang kali tidak sanggup melakukan!" jawabnya wanita itu acuh tidak acuh.
"Coba libat saja!" Berkata demikian, segera mengangkat tangannya, tetapi ketika hendak melakukan serangan, tiba-tiba ditarik kembali dan berkata dengan suara gemetar:
"Wanita Tanpa Sukma, kali ini aku lepaskan kau tetapi harus menerima baik satu syaratku!"
"Syarat apa?"
"Kita bersama-sama pergi ke Ie-hun San-cung untuk menyelesaikan persoalanmu yang minta aku mengantarkan barang sumbangan kepala manusia kepada Sam-goan Lojin."
"Dalam soal ini rupanya tidak perlu kau yang harus bertindak."
"Tetapi aku sudah menyanggupi Sam-goan Lojin untuk menyelesaikan persoalan ini!"
"Tetapi jikalau aku tak mau?"
"Aku terpaksa akan memotong kepalamu!"
"Benarkah?"
"Aku sudah akan mempertaruhkannya dengan nama baikku."
Paras Wanita Tanpa Sukma itu nampak berobah, ia berkata:
"Penggali Makam, aku bukan takut kepadamu, melainkan oleh karena dahulu kau sudi menolong aku mengantarkan kepala orang itu sehingga kau terbawa-bawa oleh persoalan itu, maka rela aku menceritakan kepadamu hal yang sebenarnya......"
"Ceritakanlah!"
Paras Wanita Tanpa Sukma itu menunjukkan perasaan dendam sakitnya yang hebat. Dengan suara menggeletar ia mulai menceritakan kisahnya:
"Seorang gadis piatu yang belum mempunyai pengalaman hidup di dalam dunia yang kotor ini telah membayangkan keberuntungan hidup di masa yang akan datang. Ia berikan semua cintanya kepada seorang laki-laki yang diangapnya boleh dijadikan saudara seumur hidupnya paling akhir. Ia bahkan menyerahkan kesuciannya yang amat berharga. Tetapi laki-laki itu setelah mendapatkan cinta dan dirinya gadis piatu itu, lalu meninggalkannya dengan seorang gadis lain. Cobalah kau pikir sendiri, laki-laki yang kejam dan tidak berperasaan ini harus dibunuh atau tidak?"
"Apakah gadis piatu itu adalah kau sendiri?"
"Tepat!"
"Apakah kau juga pernah memikirkan diri gadis baru bakal isterinya yang tiada berdosa?"
"Sudah. Kalau ia menikah dengan lelaki demikian, tidak akan beruntung, maka aku telah membunuh bakal suaminya sebelum mereka melakukan upacara perkawinan, dengan demikian ia boleh merasa beruntung karena kehormatannya belum dicemarkan."
---ooo0dw0ooo---
JILID 5 "DAN kau melakukan balas dendam terhadap kaum laki-laki?"
"Penggali Makam, kau rupanya tidak dapat memahami hati dan perasaan seseorang yang sudah kehilangan sukma sehingga hanya tinggal raganya saja!"
"Memang, akan tetapi"."
"Cukup sampai di sini saja, tidak perlu kau memberi nasehat padaku."
"Baiklah, kita sama-sama pergi ke Sam-goan-pang. Setiba di tempat tersebut, setelah aku menyelesaikan tugasku, aku segera menarik diri, bagaimana kau hendak menyelesaikan persoalan itu adalah urusanmu sendiri!"
"Apa tidak boleh kita harus pergi?"
"Aku tidak akan sembarangan merobah pendirianku."
"Baiklah, Penggali Makam, kali ini hitung-hitung kau yang menang. Mari pergi!"
Pada saat itu tiba-tiba terdengar seseorang tua berkata: "Wanita Tanpa Sukma tidak perlu kau mengaku kalah, aku ingin berbicara denganmu."
Suara itu mengejutkan hati dua orang itu. Hui Kiam lalu berkata dengan nada suara dingin:
"Orang pandai darimanakah kau, mengapa main sembunyi-sembunyian?"
"Aku sebetulnya tidak ingin menemui orang!"
Demikan terdengar suara jawaban, lalu disusul oleh munculnya seorang orang tua yang menggunakan ranting kayu pohon sebagai tongkat, mengunjukkan diri dari belakang sebuah besar.
Hui Kiam menatap wajah orang tua itu sejenak lalu bertanya:
"Bagaimana julukan kakek yang mulia?"
Orang tua itu dengan sinar mata tajam menyapu dua orang sejenak lalu menjawab dengan tenang:
"Aku adalah seorang tua yang mendapat julukan Sukma Tidak Buyar."
Mendengar disebutnya nama julukan itu, Hui Kiam dan Wanita Tanpa Sukma terkejut, terutama Hui Kiam tampak sangat bingung, maka ia lalu menegaskan.
"Kakek, berjulukan Sukma Tidak Buyar?"
"Benar!"
Hui Kiam tidak habis mengerti. Saudara angkatnya sendiri Ie It Huan, mempunyai julukan Sukma Tidak Buyar, dan orang tua ini juga namakan dirinya Sukma Tidak Buyar. Berapakah sebetulnya orang yang mempunyai julukan demikian di dalam kalangan Kang-ouw" Kesimpulannya, kalau bukan orang tua ini yang bohong, tentunya adalah Ie It Huan yang mencuri nama orang lain. Tetapi siapakah yang tulen dan siapakah yang palsu sesungguhnya tidak mudah dipecahkan.
Setelah berpikir bolak-balik akhirnya ia bertanya:
"Di dalam rimba persilatan sebetulnya ada berapakah gelar Sukma Tidak Buyar?"
"Cuma satu, tidak ada cabangnya!"
"Ini benar-benar aneh!"
"Apanya yang aneh?"
"Aku mengenal seseorang yang juga mempunyai julukan Sukma Tidak Buyar."
Orang tua itu pelototkan matanya dan berkata:
"Kurang ajar, dia berani mencuri gelarku!"
Wanita Tanpa Sukma lalu menyelak:
"Aku pernah melihat seseorang yang juga mempunyai julukan Sukma Tak Buyar, usianya kira-kira empat puluh tahunan."
Orang tua itu berseru:
"Benar-benar kurang ajar!"
Hui Kiam lalu berkata dengan nada suara dingin:
"Tidak perduli siapa yang tulen dan siapa yang palsu, siapa yang mencuri nama siapa?"
Orang tua itu lalu memotongnya dan berkata:
"Bagaimana boleh aku tidak perduli" Seumur hidupku aku paling benci kepada manusia yang suka mencuri!"
"Baiklah aku akui kakek sebagai orang yang mempunyai julukan Sukma Tidak Buyar. Aku ingin bertanya, kakek ada urusan apa?"
Sukma Tidak Buyar mengisyaratkan dengan tangannya kepada Wanita Tanpa Sukma seraya berkata:
"Kau boleh pergi!"
Hui Kiam berkata dengan suara dingin:
"Tunggu dulu kakek, apa maksudmu?"
"Tidak apa-apa. Ia toh sudah menerangkan duduknya perkara, perlu apa masih memaksa mengadakan penjelasan sendiri kepada Sam-goan Lojin" Asal kau menyebutkan namanya Wanita Tanpa Sukma itu sudah cukup. Bukankah itu juga berarti satu penyelesaian" Tentang orang-orang Sam-Goan pang dan pihak keluarga penganten lelaki, bagaimana hendak membikin perhitungan dengannya, itu bukan urusanmu lagi!"
"Tidak bisa, seseorang laki-laki harus tegas, aku tidak suka kehilangan kepercayaan kepada orang lain"."
"Penggali Makam, pandanglah mukaku si orang tua, jangan kau memaksanya!"
"Aku dengan kakek belum pernah mengenalnya, di samping itu juga paling benci kepada orang yang suka mencuri dengar rahasia orang lain!"
"Kau memaki aku?"
"Kalau benar mau apa?"
Sukma Tidak Buyar tidak memperdulikan sikap Hui-Kiam. Sambil mengawasi Wanita Tanpa Sukma ia berkata:
"Jikalau kau hendak mencari Bu-theng Kongcu, ia sedang menghina seorang wanita di pinggir jalan di bawah kaki gunung ini!"
Paras Wanita Tanpa Sukma berubah seketika. Ia heran mengapa orang tua yang menyebut dirinya Sukma Tidak Buyar ini, bisa mengetahui rahasia dalam hatinya. Oleh karena kebenciannya
terhadap kongcu keparat itu sudah terlalu dalam sekali, maka saat itu ia tanpa banyak bertanya kemudian berkata:
"Kakek, kalau kau membohongi aku, aku tidak akan mengampuni kau!"
Sehabis berkata demikian ia segera berlalu.
Hui Kiam segera beranjak untuk merintangi seraya berkata: "Kau hendak lari kemana?"
Tetapi hampir berbarengan pada saat itu, Sukma Tidak Buyar merintangkan tongkatnya, cepat sekali sudah menyapu dengan kekuatan yang hebat.
Hui Kiam yang tidak berjaga-jaga, terpaksa mengelakkan serangan tersebut, tetapi karena rintangan itu, Wanita Tanpa Sukma sudah menghilang dari depan matanya.
Hui Kiam balik ke tempatnya, dan berkata dengan suara bengis:
"Kau cari mampus!"
Orang tua ini menggeser badannya dan berkata: "Tunggu dulu, bicaraku belum habis!"
Hui Kiam yang sudah naik darah lalu maju mendesak sambil berkata:
"Aku tiada waktu mengobrol denganmu!"
Dengan cepat tangannya lalu menyerang.
Orang tua itu meski nampak sangat loyo, tetapi gerakannya gesit sekali, sambil berputaran ia menghindar ke samping kira-kira tiga tombak untuk menghindarkan diri dari serangan Hui Kiam, kemudian berkata sambil mengulap-ulapkan tangannya:
"Penggali Makam, aku bermaksud baik kepadamu!"
"Tidak perduli kau bermaksud baik atau jahat..........!"
"Kau barangkali tidak mengharap dirimu dan asal-usulmu diketahui orang?"
Hui Kiam bercekat, ucapan itu terang mengandung maksud, orang itu dapat mengatakan demikian, tentu mengandung maksud yang tidak sedernana apakah maksud ucapan itu tadi" Apakah ia mengetahui bahwa dirinya adalah keturunan dari Lima Kaisar Rimba Persilatan"
"Apa maksud ucapan kakek ini?"
"Dalam hatimu harus mengerti sendiri."
"Kedatangan kakek ini tentunya tidak secara kebetulan, bukan?"
"Sudah tentu!"
"Apakah kakek mengetahui siapa diriku?"
"Tahu! Bukan saja tahu sedalam-dalamnya, bahkan apa yang kau hendak lakukan pada sekarang ini aku juga mengetahui sejelas-jelasnya!"
"Cobalah kakek tuturkan............"
"Di balik dinding ada telinga, sudahlah kalau bicara, kedatanganku ini hanya sengaja mencari kau untuk turut keramaian...."
"Menyaksikan keramaian........?"
"Ya!"
"Keramaian apa?"
"Kita harus menggunakan kecepatan luar biasa lekas menuju ke Sam-goan-pang, kalau terlambat nanti repot!"
"Mengapa kakek tidak mau menerangkan duduk persoalannya!"
"Ada tersiar kabar bahwa bagian bawah kitab Thian-kie Po kip...."
Jantung Hui Kiam berdebaran keras, ucapan orang tua itu sangat menarik perhatiannya. Kematian supeknya, dengan kitab itu merupakan suatu hal yang ia ingin ketahui. Orang tua yang menyebut diri Sukma Tidak Buyar ini benar-benar sangat mengherankan, mengapa ia tahu akan dirinya dan mengapa pula ia mengetahui rahasia hati orang dan sengaja mencarinya"
"Kakek kata kitab Thian-kie Po-kip!"
"Ya !"
"Bagaimana?"
"Terjatuh di tangan Sam Goan Lojin. Sudah banyak orang rimba persilatan yang mendengar kabar itu menuju kesana....."
"Apa berita itu benar?"
"Mungkin tidak salah."
"Bagaimana kakek tahu bahwa hal ini bisa menarik perhatianku?"
"Ha, ha, ha, bukan cuma tertarik saja. Penggali Makam, kitab itu barangkali lebih penting daripada dirimu sendiri."
Hui Kiam bergidik. Apakah maksud sebenarnya dari orang tua itu" Jikalau ia tidak menerangkannya lebih dulu, akan merupakan suatu ancaman besar bagi dirinya, maka saat itu dengan tidak berkata apa-apa, cepat bagaikan kilat tangannya menyambar si orang tua. Meski serangannya itu dilakukan dengan cepat dan di luar dugaan orang, namun orang tua itu hanya menggoyangkan badannya sudah berhasil mengelakkan dirinya dari sambaran itu. Gerakan yang luar biasa aneh itu, benar-benar mengejutkan dan mengherankan Hui Kiam.
"Penggali Makam, dengan maksud baik aku menyampaikan kabar kepadamu, bagaimanakau balas dengan secara kasar ini?"
"Karena maksud kedatanganmu sangat mencurigakan."
"Saudara, anggap saja seperti tidak ada apa-apa!"
"Kalau kau tidak mau menerangkannya, jangan harap kau bisa lari."
Penggali Makam, kepandaianmu memang hebat, tetapi kau masih belum sanggup menahan aku. Dalam pertempuran lawan keras, mungkin aku tidak mampu menandingi kau, tetapi dalam hal kegesitan, kau masih kalah setingkat. Jikalau tidak, julukan Sukma Tidak Buyar ini boleh kuhapus saja!"
Hui Kiam dalam hati juga mengakui bahwa hal itu memang benar. Gerak badan orang tua itu benar-benar memang aneh. Tetapi apakah ia harus lepas tangan begitu saja"
"Kakek mengetahui terlalu banyak sekali."
"Apa kau hendak membunuh aku supaya menutup rahasiamu?"
"Aku tiada maksud demikian tetapi aku ingin tahu keadaan yang sebenarnya!"'
"Mengapa kau tidak ikut aku ke tempat kejadian itu" Biar kenyataan nanti yang membuktikan perkataanku ini. Bukankah ini lebih baik daripada kita saling bertengkar?"
"Dan lagi dengan maksud apa kakek melepaskan Wanita Tanpa Sukma?"
"Kau tentunya tidak ingin ia mengetahui diri asal usulmu, bukan?"
Perkataan itu kembali mengherankan Hui Kiam. Orang tua itu nampaknya sudah memikirkan masak-masak, besar kemungkinannya ingin menggunakan dirinya untuk mendapatkan kitab pusaka itu, tetapi tentang semua rahasia dirinya yang sudah diketahui oleh orang tua itu, ini benar-benar merupakan suatu teka-teki yang sulit dipecahkan. Hanya ada satu kemungkinan, mungkin orang tua itu telah mencuri dengar pembicaraannya dengan Orang Tua Ttiada Turunan yang dilakukan di luar kota Kut-cin. Ya memang benar, kenyataannya memang begitu. Jikalau tidak, mengapa orang tua ini juga mengetahui isi hati Wanita Tanpa Sukma yang bertekad hendak membalas dendam kepada Bu-theng Kongcu"
Berpikir sampai di situ, hatinya merasa lega. Karena tertarik ingin tahu permulaan selanjutnya dari orang tua itu maka lalu ia berkata:
"Kalau begitu mari kita berangkat. Aku memang ingin membuntutinya sendiri."
Keduanya lalu mengerahkan kepandaian masing-niasing lari pesat dalam perjalanannya itu, kecuali berhenti untuk makan dan tidur, dilakukan terus tanpa kenal waktu, menuju ke pusat perkampungan Sam-goan-pang di Ie-hun San-cung.
Dalam hati Hui Kiam masih mengandung lain harapan. Andaikata benar, bahwa bagian bawah kitab pusaka itu terjatuh di tangan ketua Sam-goan Lojin, maka yang tersiar di kalangan Kang-ouw itu, pasti juga akan menarik perhatiannya dengan demikian ia pasti akan menyendiri sehingga kabur semua rahasia tidak mengetahui ungkapnya.
Jikalau ia tidak berjumpa dengan Orang Tua Tiada Turunan, ia pasti tiada mengetahui siapa suhunya sendiri, sedangkan dalam perjalanan kali ini ke gunung Tay-hong-san, jikalau tidak menemukan makam si supeknya, sudah tentu ia juga tidak mengetahui bahwa ia masih mempunyai seorang sucie, yang bernama Pui Ceng Un, sementara itu bagaimana roman muka sang sucie itu, sudah tentu itu ia tidak dapat menggambarkannya.
Pada hari itu di waktu senja, dua orang itu sudah tiba di perkampungan le-hun Sancung,
perkampungan yang menempati tanah seluas sepuluh hektar lebih itu nampaknya sunyi sepi.
Kesunyiannya sesungguhnya sangat mengherankan, tiada terdengar suara orang juga tiada tertampak bayangan seorangpun juga.
Ini merupakan surtu pemandangan yang amat ganjil, jangan kata sudah tersiar kabar balhwa kitab pusaka itu akan muncul di tempat itu, yang sudah seharusnya menarik perhatian banyak orang tetapi sekalipun pada hari-hari biasanya, perkampungan yang merupakan pusat salah satu golongan besar itu, tidak mungkin demikian sunyi.
Dengan perasaan bimbang Hui Kiam bersama Si Sukma Tidak Buyar lari menuju ke pintu gerbang, tetapi masih tetap tidak tertampak bayangan seorangpun juga, suasananya dirasakan amat seram.
Sukma Tidak Buyar berseru: "Aaaa!" lalu berhenti di salah satu kupel.
Perasaan curiga timbul dalam hati Hui Kiam. Ia melirik kearah Sukma Tidak Buyar dengan sinar mata mengandung berbagai pertanyaan.
"Aneh," demikian Sukma Tidak Buyar berkata sambil menghela napas.
Hui Kiam dengan sinar mata bengis dan dingin mengawasi Sukma Tidak Buyar, sepatah demi sepatah ia berkata kepadanya:
"Aku menunggu keteranganmu!"
Sukma Tidak Buyar menggaruk-garuk kepalanya, lalu memanggil dengan suara nyaring: "Apakah di dalam ada orang?"
la memanggil sampai tiga kali, tetapi tidak mendapat jawaban sehingga kecurigaannya semakin besar, ia lalu berkata:
"Mari kita masuk."
Laron Pengisap Darah 6 Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Kisah Bangsa Petualang 10
^