Pencarian

Pedang Pembunuh Naga 6

Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun Bagian 6


Wanita berbaju hitam berkata dengan nada suara dingin:
"Apakah kau tidak merasa agak gegabah dengan anggapanmu itu?"
Padri tua itu mengulapkan tangannya untuk mencegah wanita baju hitam itu bicara lagi. Ia berkata:
"Jarum melekat tulang itu memang benar adalah kepunyaan lolap tahun dahulu, berdasar atas ini sudah sewajarnya kalau siao-siecu beranggapan demikian."
"Apakah Locianpwee mempunyai murid yang berkelana di dunia Kang-ouw?"
"Tidak ada. Lolap hanya mempunyai seorang anak angkat ini yang mendampingi lolap. Sejak lolap meninggalkan penghidupan dunia yang penuh dosa dan mencukur rambut menjadi padri, sudah beberapa puluh tahun belum pernah keluar dari kuil ini. Semua keperluan hidup lolap diurus oleh anak angkat lolap ini."
Hui Kiam mengawasi wanita berbaju hitam itu sejenak lalu berkata:
"Apakah cianpwe sering bergerak di dunia Kang-ouw?"
Wanita berbaju hitam itu mendelikkan matanya dan berkata:
"Kadang-kadang saja aku turun gunung, tetapi hanya sekitar seratus pal saja."
Padri tua itu berpikir sejenak lalu berkata:
"Di dalam kalangan Buddha selalu percaya adanya sebab dan akibat. Sekalipun lolap yakin sangat teguh terhadap pelajaran Buddha, sedikit banyak sudah dapat memahami, munculnya jarum melekat tulang jelas sudah merupakan sebabnya, jikalau hal ini tidak diselesaikan. lolap juga tidak akan mendapat tempat selayaknya sebagai akibat dari sebab itu. Sayang lolap adalah
seorang yang sudah mengungsikan diri, tidak berani menyeburkan diri ke dalam dunia lagi. Sudilah kiranya Siaosicu dengar perkataan lolap?"
"Boanpwe bersedia!"
"Jarum melekat tulang ini dahulu lolap bikin seluruhnya sepuluh buah. Pada delapan puluhan tahun berselang, dengan searang diri lolap bertempur melawan delapan iblis dari negara Thian Tok. Kala itu lolap telah menggunakan delapan buah. Sisa dua buah, sehingga sekarang masih ada belum pernah lolap gunakan."
Sehabis berkata, ia lalu menyodorkan tangannya. Dalam telapakan tangannya benar ada tiga buah jarum baja yang bentuknya serupa. Satu di antaranya adalah yang tadi telah diserahkannya kepada padri tua itu.
Karena keterangan itu ternyata sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Orang Tua Tiada Turunan, maka Hui Kiam mau tidak mau harus percaya. Selain daripada itu, dari sikapnya padri tua itu dapat dipastikan memang bukanlah orang jahat seperti apa yang dibayangkan. Namun demikian jarum itu sudah meminta banyak korban sudah merupakan satu kenyataan, jadi dari manakah senjata itu"
"Memang apa yang Locianpwe tahu, di dalam dunia rimba persilatan siapa lagi yang bisa menggunakan senjata jarum itu?"
"Tidak ada. Senjata jarum Lolap ini walaupun agak ganas tetapi tidak berbisa. Jikalau tidak ditujukan ke bagian yang berbahaya, tidak bisa mengambil jiwa sedemikian cepatnya. Barang siapa yang terkena senjata ini, masih bisa hidup beberapa tahun tergantung dengan kepandaian orang itu. Maksud semula Lolap ialah jarum itu bisa berjalan melalui darah, sehingga tiada seorang yang dapat mengeluarkan. Sedangkan orang yang terkena senjata ini, jikalau mau mengakui kesalahannya dan suka berjanji menjadi orang baik, Lolap masih sanggup mengeluarkan jarum itu. Walaupun senjata ini merupakan senjata tunggal, tetapi orang-orang rimba persilatan yang pernah menyaksikan benda ini barangkali sedikit sekali jumlahnya, kebanyakan hanya mendengar kabar saja!"
"Walaupun jumlahnya sedikit sekali orang yang menyaksikan, tetapi itu masih berarti ada orang yang pernah melihatnya!"
"Itu hanya kata-kata Lolap untuk menggambarkan suatu kemungkinan saja, hakekatnya boleh dikatakan tidak ada."
"Andaikata dua Lo Cian-pwee, Thian dan Tee, dua Raja Rimba Persilatan yang namanya dirangkaikan dengan Lo Cian pwee sehingga menjadi Tiga Raja....."
"Siao-Siecu, apa yang disebut Tiga Raja dalam Rimba Persilatan, hanyalah merupakan nama julukan yang diberikan oleh sahabat-sahabat dari rimba persilatan terhadap tiga orang yang berkepandaian agak tinggi. Sebetulnya tiga orang yang disebut Tiga Raja Rimba Persilatan itu, masing-masing berdiri sendiri, satu sama lain tidak mempunyai hubungan. Umpama Lolap sendiri, dalam seumur hidup ini, hanya satu kali saja pernah bertemu muka dengan dua orang itu."
Ini merupakan suatu berita baru yang Hui Kiam belum pernah mendengar sebelumnya. Ternyata apa yang disebut dengan Tiga Raja Persilatan sebetulnya adalah tiga orang berkepandaian tinggi yang berlainan tempat tinggalnya.
"Dan bagaimana menurut anggapan Locianpwee?"
Padri tua itu memejamkan matanya lama sekali, ia baru membuka matanya dan berkata:
"Hanya satu kemungkinan...."
"Boan-pwee ingin dengar!"
"Delapan Iblis dari Negara Thian Tok dahulu belum mati, lalu mengeluarkan jarum dari dalam badannya, atau sesudah mati jarum itu diambil oleh lain orang."
"Itu adalah kejadian pada waktu delapan puluh tahun berselang, hal ini agak mengherankan."
Pada saat itu, permusuhan dalam hati Hui Kiam, sudah lenyap. Menurut keadaan apa yang disaksikan, penjahat itu tidaklah mungkin kalau Jien Ong. Selain daripada itu, Jien Ong tidak
mempunyai turunan, juga tidak mempunyai murid, Nampaknya ia tidak mengetahui semua peristiwa menganggap Lolap sebagai guru, semua terjadi karena jarum
melekat tulang, siapa tahu itu adalah suatu sebab buruk yang telah lolap tanam, maka dengan ini demi untuk menghapuskan sebab buruk itu bagi kebaikan lolap sendiri."
Hui Kiam setelah berpikir baru berkata:
"Kalau begitu terpaksa boanpwe menerima."
"Lihat!"
Padri tua itu mulai memberikan pelajaran ilmu pukulan dengan tangan kosong. Itu merupakan suatu ilmu pukulan yang luar biasa aneh. Ia ulangi dan ulangi sampai tiga kali baru ia berkata:
"Ilmu pukulan itu dinamakan 'geledek di musim semi'. Sekarang kau boleh coba melakukannya dengan pohon tua dalam pekarangan itu sebagai sasaran!"
Hui Kiam menurut, ia kumpulkan seluruh kekuatan tenaganya untuk melakukan latihannya.
Sudah tiga kali ia melatih, tetapi pohon tua itu hanya gugur beberapa lembar daunnya saja sama sekali tidak ada tanda-tanda yang merugikan kehebatan serangannya itu.
Padri tua itu berkata dengan perasaan heran:
"Aneh, dasar kekuatan tenaga dalam Siaosiecu tidak seharusnya terbatas sampai di situ saja, bagaimana tak dapat mengeluarkan kekuatannya?"
Hui-Kiam sendiri juga tak mengerti gerak tipu yang aneh itu, mengapa nampaknya biasa saja"
Padri tua itu nampak berpikir lama, akhirnya ia berkata:
"Coba Lolap periksa urat nadi Siao siecu. Sekarang coba kau gerakkan tenaga dalammu."
Hui-Kiam menurut. Padri tua itu setelah meraba-raba dengan jatinya tiba-tiba berkata:
"Oh, ilmu semedi yang Siao-siecu pelajari amat berbeda jauh dengan pelajaran biasa. Pantas saja tidak bisa mengeluarkan keampuhannya."
Hui Kiam baru ingat bahwa kekuatan tenaga dalamnya sendiri didapatkan menurut pelajaran bagian atas kitab pusaka Thian khie Po-kip, jika digunakan untuk mempelajari ilmu kepandaian cabang lain, dengan sendirinya tidak dapat menyesuaikan diri. Maka ia lalu berkata dengan hati agak kecewa:
"Budi kebaikan Locianpwe, boanpwe cuma dapat menerima di dalam hati saja."
"Tidak! Lolap masih ada jalan lain, harap Siao-siecu duduk bersila!"
Hui Kiam tercengang lalu, berkata:
"Locianpwe....."
"Ini adalah rejekimu, tidak perlu kau menanya lagi!" demikian perempuan itu berkata. Kedua tangannya menekan pundak Hui Kiam. Sungguh hebat tekanan itu, sehingga Hui Kiam tidak berdaya. Dengan sendirinya ia menurut dan duduk bersila.
Satu tangan padri tua itu diletakkan pada bagian jalan darah Thian Tok Kiat. Hui Kiam mengerti apa artinya ini. Sebentar kemudian ia merasakan hawa panas mengalir ke dalam tubuhnya. Jikalau ia tidak mau menerima, akibat kedua pihak bisa celaka. Maka ia terpaksa memusatkan seluruh perhatiannya untuk menerima aliran panas yang masuk ke dalam tubuhnya.
Ia merasakan dirinya seperti dibakar, sehingga keringatnya mengucur deras.
Tidak berapa lama, aliran hawa panas itu tiba-tiba berhenti. Tetapi ia segera merasa sekujur badannya berubah menjadi segar, kekuatan tenaga dalamnya tambah berlimpah-limpah.
Ia segera berbangkit dan memberi hormat kepada paderi tua itu, seraya berkata:
"Terima kasih banyak-banyak atas pemberian hadiah Lo-cianpwee!"
"Kau tidak perlu mengucap terima kasih. Kalau Lolap menyempurnakan dirimu, itu berarti Lolap harus menyelesaikan sebab dan akibat yang telah terjadi itu. Tetapi karena terbatas dasar kita yang berlainan, kau tidak dapat menerima pelajaran pukulan tangan kosong itu. Maka Lolap terpaksa membantu dengan jalan lain menghadiahkan kau kekuatan tenaga yang berarti dengan latihan tiga puluh tahun."
"Hui Kiam terheran-heran. Paderi tua itu setelah memberikan kekuatan tenaga dalam padanya yang mempunyai dasar latihan tigapuluh tahun, ternyata wajahnya tidak berubah, maka kekuatan tenaga bathin orang itu, benar-benar sudah mencapai taraf yang tidak ada taranya.
Perempuan berbaju hitam itu bertanya:
"Di mana letak makam anak angkatku itu?"
"Di lembah Ciok Bing Gam."
"Apakah kau sendiri yang mengubur?"
"Ya, Boanpwee waktu itu menganggap dia adalah Pui Ceng Un Sucie, maka di atas batu nisannya Boanpwee tulis nama: Pui Ceng Un, sehingga kini masih belum dirubah."
"Baik, aku ucapkan terima kasih kepadamu. Aku nanti akan memindahkan makamnya ke gunung Kiu Kiong San."
Padri tua itu berkata sambil merangkapkan kedua tangannya:
"Siao Siecu, Lolap mengharap bisa mendengar hasil peristiwa jarum melekat tulang itu!"
"Jikalau Boanpwee berhasil menyelesaikan persoalan ini, pasti akan datang lagi untuk menengok Locianpwee. Sudah tidak ada
petunjuk lain lagi, Boanpwee minta diri, dan mohon maaf sebesar-besarnya."
"O-mie-to-hud, semoga Buddha yang penuh kasih akan melindungi perjalanan Siao Siecu."
Setelah Hui Kiam keluar dari kuil itu, pikirannya masih tetap kusut. Dia agak kecewa bahwa dalam perjalanannya ke gunung Kiu Kiong San, hasilnya ternyata jauh berlainan dengan apa yang ditanyakan, bahkan di luar dugaannya mendapat tambahan kekuatan tiga puluh tahun dan caranya untuk memecahkan barisan gaib baik di luar makam pedang. Apa yang lebih berharga dan patut dibuat menghibur hatinya ialah dalam perjalanan itu ia telah mendapat bukti bahwa pembunuh itu masih tetap adalah jago pedang berkedok yang muncul pada sepuluh tahun berselang, dan kini asal ia tekun dalam usahanya mencari pembunuh itu maka sakit hatinya pasti terbalas.
Tetapi yang masih menjadi pikiran ialah kitah pusaka Thian-khie Po-kip bagian bawah ternyata sudah terjatuh di tangan musuhnya. Jikalau musuh itu berhasil mempelajari ilmu silat yang tertera di dalamnya, ditambah lagi dengan senjata purbakala yang disimpan di dalam makam pedang itu, siapa yang mampu menandinginya" .........
Ketika turun dari gunung Kiu-kong-san, sudah hari kedua paginya.
Setelah beristirahat di suatu rumah penginapan kecil, ia balik ke utara. Tujuannya ialah lembah Ciok-bing-gam.
Setelah melakukan perjalanan beberapa hari lamanya, hari itu ia tiba di luar jalanan yang menuju rimba tersebut. Apa yang tampak olehnya ialah makam Wanita Tanpa Sukma.
Hui Kiam menghampiri makam tersebut. Karena dulu ia salah menganggap Wanita Tanpa Sukma adalah sucienya, dan kemudian ternyata bukan, maka batu nisannya ia telah robah namanya menjadi Wanita Tanpa Sukma.
Ia berdiam sejenak di hadapan makam itu, baru memutar badannya dan lari menuju ke jalan yang menuju lembah.
Tidak berapa lama ia sudah tiba di tepi danau dingin di hadapan makam pedang. Saat itu meskipun matahari sudah naik tinggi tetapi keadaan di sekitar danau itu masih sunyi sepi.
Ketika ia menengok ke arah barisan batu gaib itu, keadaannya tak berbeda seperti apa yang pernah dilihatnya. Hanya waktu itu banyak berkumpul orang-orang rimba persilatan, dan kini hanya ia seorang yang ada di situ sehingga kelihatannya nampak menyeramkan.
Ia mulai berpikir: Siapakah orangnya dalam barisan gaib itu" Jago pedang berkedok ataukah muridnya"
Kalau dia memikirkan bagaimana banyak tokoh rimba persilatan yang dilempar keluar setelah dimusnahkan kepandaiannya, atau mati tenggelam dalam danau yang airnya dingin itu, mau tak mau hatinya bergidik juga.
Meski ia sendiri sudah mengerti caranya memasuki dan keluar dari barisan gaib itu, serta mempunyai tambahan kekuatan tenaga dalam, tetapi apakah ia masih sanggup melawan orang dalam barisan, itu masih merupakan satu pertanyaan.
Tetapi kalau dia memikirkan permusuhan dalam perguruannya, keberaniannya lalu terbangun.
Dengan kemauan keras ia berjalan masuk menuju ke dalam barisan gaib itu.....
Tiba-tiba terdengar suara bentakan:
"Berhenti!"
Hui-Kiam terperanjat, ia tidak menduga bahwa di situ bersembunyi seseorang. Ia lalu berhenti dan membalikkan badannya. Di jalanan masuk yang menuju ke lembah itu muncul lima bayangan orang. Berjalan di muka adalah seorang tua yang berpakaian sangat perlente namun wajahnya nampak seram dan menakutkan. Di belakangnya empat laki-laki berpakaian hitam
dengan menyoren pedang. Dari sinar mata orang tua itu adalah tokoh kuat yang mempunyai latihan baik.
Empat laki-laki berpakaian hitam itu setelah menampakkan diri, masih tetap berdiri di tempat masing-masing, sedang orang tua yang berpakaian sangat perlente itu lalu menghampiri. Setelah matanya memandang Hui-Kiam dari atas sampai ke bawah baru berkata:
"Apakah kau bukan Penggali Makam?"
Hui Kiam merasa heran bahwa orang tua itu bisa menyebutkan namanya. Ia segera menjawab dengan nada suara dingin:
"Aku benar adalah Penggali Makam, siapakah Tuan?"
"Aku adalah komandan barisan persekutuan Bintang Emas, namaku Ong Khing Kao!"
Ketika Hui Kiam mendengar disebutnya Persekutuan Bintang Emas, wajahnya berubah seketika. Ia berkata dengan suara lebih keras:
"Ada urusan apakah?"
"Kau segera meninggalkan tempat ini!"
"Kau suruh aku meninggalkan tempat ini?"
"Benar!"
"Mengapa?"
"Jangan tanva mengapa, permintaanku ini adalah dengan maksud baik!"
"Ha, ha, ha, sungguh aneh, tidak sangka Persekutuan Bintang Emas bisa berlaku begitu baik hati terhadap aku."
Wajah Ong Khing Hao nampak berubah. Ia lalu berkata:
"Penggali Makam, kau jangan berlagak pintar sendiri. Kau lihat di tanah ini barang apa?"
Hui Kiam lalu melihat ke arah yang ditunjuk. Ia segera lihat bubuk berwarna hitam yang tersebar dari belakang mulut goa
sehingga ke dalam batu aneh. Selain dari pada itu di sekitar danau juga terdapat bubuk hitam itu yang menuju ke barisan aneh. Setelah ia mengenali bubuk itu, bukan kepalang terkejutnya, lalu berkata dengan suara agak gemetar:
"Itu sumbu obat peledak?"
"Benar!"
"Apakah kau hendak meledakkan makam pedang?"
"Benar!"
Hui Kiam segera mengerti maksud Persekutuan Bulan Emas. Karena tidak berhasil mendaptakan barang-barang berharga dalam makam pedang itu, dan mereka tak ingin barang-barang itu jatuh di tangan orang lain, maka hendak meledakkan makam itu. Jika akal kejinya itu terlaksana, mungkin orang yang berada dalam makam pedang itu juga akan terkubur hidup-hidup, dengan demikian juga berarti bahwa segala usaha dan rencana akan tersia-sia semuanya.
Apa yang mengherankan ialah, ia sendiri mempunyai permusuhan sangat dalam dengan Persekutuan Bulan Emas, mengapa orang tua itu memberitahukan kepadanya supaya jangan mendekati makam itu"
"Mengapa kau memberi peringatan kepadaku?" demikian ia berkata.
"Sebab ada orang yang tidak ingin kau binasa."
"Siapa?" bertanya Hui Kiam heran.
"Di kemudian hari kau nanti tahu sendiri!" jawab Ong Kheng Hao sambil ketawa menyindir.
"Kau tidak bersedia untuk memberitahukan sekarang?"
"Ya saat ini aku belum dapat memberitahukan kepadamu."
"Jika aku katakan jangan meledakkan, bagaimana?"
"Kau tidak sanggup menghalangi!"
"Apakah maksud hendak meledakkan barisan gaib ini?"
"Untuk menghindarkan jatuhnya lebih banyak korban jiwa manusia!"
"Apakah Persekutuan Bulan Emas benar-benar demikian baik hati?"
"Percaya atau tidak, terserah kepadamu sendiri."
---ooo0dw0ooo---
Jilid 12 Kalau begitu, di sini aku beritahukan kepadamu, aku tidak mengijinkan orang-orangmu meledakkan obat peledak itu!"
"Apakah kau dapat merintangi itu?"
"Coba saja!"
Suasana nampak sangat tegang.
Ong Kheng Hoa lalu mengulapkan tangannya seraya berkata:
"Pasang api!"
Empat laki-laki berpakaian hitam bergerak melakukan tugas masing-masing, di antara suara percikan api, asap hitam mengepul dan menjalar ke kanan kiri barisan gaib itu.
Dada Hui Kiam dirasakan hampir meledak, ia segera lompat melesat ke kanan.
"Mundur!" demikian suara bentakan yang keluar dari mulut Ong Kheng Hoa, kemudian dengan kecepatan bagaikan kilat melakukan serangan kepada Hui Kiam. Karena serangannya yang amat dahsyat itu, Hui Kiam yang sedang melesat tinggi terpaksa balik lagi.
Api sudah menjalar sepanjang dua tombak di sekitar tempat itu.
Hui Kiam lalu menghunus pedangnya. Dengan tenaga kekuatan penuh ia menyerang Ong Kheng Hoa. Karena di gunung Kiu-kiong-san ia mendapat tambahan tenaga dalam yang kekuatannya sebanding dengan latihan tiga puluh tahun, maka serangan yang
menggunakan tenaga sepenuhnya itu sesungguhnya sangat hebat sekali.
Ong Kheng Hoa tidak berani menyambut serangan itu, ia melompat minggir ke samping.
Hui Kiam lompat melesat lagi sejauh lima tombak, lalu mengayun tangannya ke arah sumbu api yang sedang berkobar itu.
Di lain pihak, Ong Kheng Hoa juga bergerak menyerang Hui Kiam.
Kalau Hui Kiam tidak menyambut serangan Ong Kheng Koa, pasti akan binasa di bawah pedang lawannya itu, maka mau tidak mau ia harus menyambut serangan tersebut. Dalam satu gerakan, dia sudah dapat tahu bahwa kekuatan orang she Ong itu masih di atas Ko Han
San, kalau ia tidak dapat tambahan kekuatan tenaga dari Jien Ong, barangkali tidak sanggup menahan serangan orang she Ong itu. Dalam keadaan demikian, ia segera menghunus pedangnya untuk menangkis serangan itu.
Kedua pedang saling beradu, Hui Kiam mundur satu langkah.
la benar-benar merasa heran mengapa Persekutuan Bulan Emas mempunyai banyak tenaga kuat.
Serangan Ong Kheng Hoa sedemikian hebat. Dengan beruntun dia melakukan serangannya sampai tiga kali, sehingga Hui Kiam terpaksa mundur sampai dua tombak.
Api dan asap sudah menjalar sejauh sepuluh tombak, terpisah dengan barisan gaib itu hanya beberapa tombak saja, di bagian lain juga sudah menjalar separuhnya.
Dengan mata beringas Hui Kiam menggunakan tipu serangannya yang cuma satu jurus itu. Serangan itu pernah membinasakan tiga jago pedang dari Liong-tong-pay, juga pernah mengutungkan lengan tangan Utusan Persekutuan Bulan Emas, dan kini setelah tambah kekuatan tenaga dalamnya, dapat dibayangkan betapa hebatnya serangannya itu.
Begitu serangan itu dilancarkan, benar saja Ong Kheng Hoa lalu terpental mundur sampai delapan kaki jauhnya.
Selagi lawannya terpental mundur, Hui Kiam dengan kecepatan bagaikan kilat melesat ke arah api sumbu yang menyala itu.
"Penggali Makam, meskipun kau ingin mati tetapi aku masih belum!" demikian Ong Kheng Hoa berkata, lalu dengan tidak kalah cepatnya ia mengejar dan menyerang lagi kepada Hui Kiam.
Diserangnya demikian rupa, Hui Kiam terpaksa mundur.
Dalam waktu sekejap mata saja, dia sudah mundur sampai lima enam tombak jauhnya.
Api sumbu itu sudah tiba di tempat terakhir sedang tempat kedua orang itu bertempur terpisah dengan barisan gaib itu hanya sejarak kurang dari sepuluh tombak, sehingga masih termasuk dalam ancaman peledakan.
Ong Kheng Hoa sambil menggeram hebat ia melompat sejauh sepuluh tombak.
Hui Kiam tahu bahwa usahanya untuk memadamkan api itu sudah tidak berhasil, sehingga peledakan itu sudah tidak dapat dielakkan lagi. Dalam keadaan putus pengharapan dan gusar, ia sudah lupa untuk menyingkir.
Tiba-tiba Ong Kheng Hoa peringatkannya:
"Penggali Makam, apakah kau benar-benar ingin mampus?"
Hui-Kiam yang menyaksikan keadaan dalam berbahaya dalam keadaan murka ia melompatmundur sejauh delapan tombak.
Tetapi apa yang terjadi sesungguhnya di luar dugaan semua orang. Api sumbu sudah tiba di bagian terakhir, tetapi obat peledak itu ternyata tidak meledak.
Jika obat itu meledak, jangankan Hui Kiam sedangkan Ong Kheng Hoa juga tidak akan terhindar dari peledakan itu.
Api yang menyala di lain bagian, juga sudah sampai di tempat terakhir, namun juga tidak terjadi peledakan.
Kejadian di luar dugaan ini membuat hati Hui Kiam merasa lega.
Kejadian aneh itu cuma dapat diartikan bahwa orang dalam barisan gaib itu sudah mengetahui akal jahat Persekutuan Bulan Emas sehingga lebih dulu sudah memindahkan atau membasahi obat peledak.
Ong Kheng Hoa dan empat anak buahnya hanya bisa saling memandang, tidak bisa berbuat apa-apa.
Hui Kiam setelah berpikir sejenak, lalu melompat melesat ke dalam barisan batu-batu gaib.
"Berhenti!" demikianlah terdengar suara bentakan Ong Kheng Hoa, yang hendak merintangi, tetapi Hui Kiam tidak mau peduli, ia terus menerjang masuk dengan langkah lebar.
Kalau Hui Kiam hendak memecahkan barisan tersebut, ia harus mahir ilmu pukulan pelajaran Jien Ong untuk merusak sebagian batu-batu hitam yang dipasang dalam barisan aneh itu, tetapi karena pelajaran ilmu tenaga dalam yang ia punyai sangat berlainan dengan pelajaran umumnya, ia tak dapat mempelajari ilmu pukulan tersebut, sedangkan batu-batu hitam yang terdapat dalam barisan aneh itu, lebih keras daripada besi atau baja, tidak dapat dihancurkan dengan kekuatan biasa. Karena tidak mungkin akan menghancurkan barisan tersebut maka ia harus memasuki dengan menurut petunjuk Jien Ong.
Sepanjang pinggir barisan tampak basah dengan air. Sumbu api itu padam sampai di tempat yang basah itu.
Begitu Hui Kiam masuk ke dalam barisan, sudah berhasil menembus ke garis ke-tiga tidak tampak kejadian apa-apa. Tetapi ia tetap siap siaga, untuk menjaga dari serangan tiba-tiba.
Menginjak garis ke-lima, menurut petunjuk Jien Ong di sini merupakan pusat barisan itu, tetapi masih belum tampak adanya tanda-tanda yang aneh.
Hui Kiam berhenti. Ia menghafalkan segala petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Jien Ong, kemudian melanjutkan usahanya.
Semakin dalam ia masuk semakin sepi keadaannya, tetapi juga semakin nyata adanya bahaya yang mengancam dirinya.
Kembali dua garis telah dilalui. Di depan matanya terdapat sebuah mulut goa. Mulut goa itu berbentuk empat persegi. Di atas mulut goa terdapat tulisan yang berbunyi "Makam Pedang".
Hati Hui Kiam berdebar keras. Teka-teki yang selama itu mengganggu pikirannya segera akan terungkap.
Mengawasi mulut goa yang dalam dan gelap itu, perasaan seram dan ngeri timbul di hatinya.
Mengapa orang yang berada dalam barisan gaib itu tidak menunjukkan gerakan apa-apa" Apakah ia sudah keluar dari dalam barisan dengan membawa senjata purbakala itu" Tetapi kegagalan usaha Persekutuan Bulan Emas yang hendak meledakkan barisan gaib itu, ternyata memang perbuatan orang yang berada dalam barisan ini".
Pada saat itu dari samping dirinya tiba-tiba terdengar suara orang berseru: "Eh!''
Hui-Kiam terperanjat. Ia masih belum dapat tahu dari mana datangnya suara itu, hembusan angin yang keluar dari serangan jari tangan beberapa kali menyambar kepadanya. Dari suara hembusan angin itu dapat diduga betapa hebatnya serangan tersebut.
Dalam keadaan demikian, sudah tentu tidak keburu untuk menyingkirkan dirinya. Ia yang sudah mempunyai cukup kepandaiannya, dengan tanpa banyak pikir lagi segera bertiarap ke tanah.
Sambaran hembusan angin itu lewat di atas kepalanya, lalu membentur barisan batu sehingga mengeluarkan suara nyaring
Serangan dengan kekuatan tenaga dalam semacam ini, apabila mengenakan tepat bagian jalan darah terpenting dalam anggota badan manusia, betapapun tingginya kepandaian ilmu silat yang dipunyai oleh korban yang terkena serangan tersebut, juga akan musnah seluruhnya. Dari hal itu dapat ditarik kesimpulan bahwa pada waktu-waktu sebelumnya, banyak orang-orang kuat yang coba
menerjang masuk ke dalam barisan, semua telah terlempar keluar dalam keadaan sudah musnah seluruh kepandaiannya, semua korban itu jatuh karena serangan hebat ini.
Setelah serangan itu berlalu, Hui Kiam melompat bangun. Kini nampak berdiri satu bayangan orang kecil langsing.
Hui Kiam kembali terkejut dan terheran-heran. Orang yang berada di hadapannya ternyata ia adalah seorang perempuan muda. Ini jauh meleset dari dugaannya sehingga untuk sesaat lamanya ia berdiri tertegun.
Sewaktu perempuan muda itu bergerak maju ke tempat yang terang, Hui Kiam baru nampak dengan tegas bahwa perempuan itu berusia sekitar duapuluh tahunan, badannya padat parasnya cantik tetapi agak pucat, mungkin karena lama berdiam di dalam goa. Di balik parasnya yang cantik itu nampak tegas diliputi oleh perasaan gusar yang menakutkan.
Hui Kiam semakin terkejut. Dalam dugaannya, orang yang berada dalam goa itu mungkin adalah jago pedang berkedok atau orang yang sangat berbahaya, sungguh tidak diduga hanya merupakan seorang perempuan muda yang sangat cantik.
Apakah kecuali ia masih ada orang lain lagi"
Akhirnya perempuan itu membuka mulut. Nada suaranya tajam dingin menakutkan:
"Kepandaian Tuan bagus sekali, ternyata dapat mengenal barisan purbakala yang ajaib ini."
Hui-Kiam maju beberapa langkah. Kira-kira delapan kaki di depan mulut goa ia bertanya dengan perasaan terheran-heran:
"Bagaimana sebutan nona yang mulia?"
"Pelindung Pedang!"
"Pelindung Pedang?"
"Benar, dan nama Tuan sendiri"..."
"Penggali Makam!"
"Hem, terlalu sombong!"
Jelas bahwa perempuan muda yang menamakan diri sebagai Pelindung Pedang ini telah mengira bahwa nama julukan Hui-Kiam mengandung maksud mengejek, karena di tempat itu justru adalah makam pedang dan ia mempunyai nama julukan Penggali Makam, dianggapnya tidaklah mungkin hal itu suatu kebetulan.
Kedua pihak berdiri terpisah agak dekat. Hui Kiam dapat merasakan bahwa perempuan muda itu membuat orang menimbulkan perasaan tidak berani mengganggu. Kecantikannya meskipun belum dapat dibandingkan dengan kecantikan Tong-hong Hui Bun, tetapi kecantikan perempuan dihadapinya itu, dalam perasaannya bagaikan bidadari yang agung, tak boleh dilanggar sembarangan.
Ia hampir lupa di mana dirinya berada.
Pelindung Pedang membuka suaranya lagi:
"Penggali Makam, musnahkan sendiri kepandaianmu lalu keluar dari sini!"'
Hui Kiam setelah menenangkan pikirannya, ia berkata dengan suara dingin:
"Nona terlalu tinggi hati!"
"Tuan jangan mengagungkan diri sendiri, mati atau hidup tergantung dalam pikiranmu sendiri."
"Kalau kudengar ucapan nona ini, mati hidupku agaknya berada di tangan nona."
"Sedikitpun tidak salah!"
"Nona menamakan sendiri Pelindung Pedang."
"Aku tadi toh sudah kukatakan?"
"Kedatanganku ini justru hendak mendapatkan pedang itu!"
"Sekalipun kau tidak menerangkan aku juga sudah tahu. Kuulangi lagi satu kali, musnahkan sendiri kepandaianmu dan lekas berlalu dari sini!"
"Apakah nona menganggap aku akan kembali begitu saja dengan ucapanmu ini?"
"Kalau begitu kau sudah bertekad hendak mengubur tulang-tulangmu dalam makam ini?"
"Asal nona dapat melakukan!"
Harus nona itu semakin tebal hawa amarahnya. Ia hanya mengeluarkan suara dari hidungnya.
Hui-Kiam setelah berpikir beberapa kali lalu bertanya:
"Apakah di dalam makam pedang ini hanya nona seorang diri saja?"
"Tentang ini kau tidak perlu tahu!"
"Bolehkah nona memberitahukan asal-usul diri nona?"
"Apakah kau sedang mimpi?"
Dalam hati Hui Kiam berpikir: Perempuan ini pasti mempunyai kepandaian yang luar biasa, apakah aku sanggup menghadapinya,
masih merupakan suatu pertanyaan. Apabila di belakangnya masih ada jago pedang berkedok yang dahulu merupakan musuh besar perguruannya, keadaannya semakin tidak menyenangkan. Andaikata bukan jago pedang berkedok, tentunya juga orang kuat yang berkepandaian sangat tinggi. Tetapi aku sudah datang kemari, apakah harus kembali dengan tangan kosong"
Yang penting pada dewasa itu ialah mencari tahu dulu asal-usulnya. Apabila orang yang berdiri di belakang perempuan ini bukanlah orang yang menggunakan jarum melekat tulang itu maka keadaan semakin ruwet.
Seketika itu bertanya pula dengan maksud hendak menyelami hati nona itu:
"Nona menganggap diri sendiri sebagai Pelindung Pedang, siapakah pemilik pedang itu?"
Pelindung itu tidak menjawab pertanyaannya, sebaliknya berkata dengan suara bengis:
"Apakah kau ingin nonamu bertindak?"
Hui Kiam melihat keadaan demikian, sudah tidak mempunyai kesempatan untuk bicara lagi kecuali mengadu kepandaian, jangan harap dapat mengorek keterangan dari mulut nona itu, maka ia lantas berkata:
"Nona hendak bertindak boleh saja, tetapi lebih dulu kita bicarakan syaratnya!"
"Kau... ingin bicara soal syarat?"
"Benar!"
''Bukankah itu percuma saja?"
"Tidak demikian dalam anggapanku."
"Coba kau sebutkan!"
"Apabila aku yang kalah, terserah bagaimana nona akan lakukan...."
"Seharusnya memang begitu."
"Apabila aku yang menang, harap nona serahkan pedang pusaka itu."
"Penggali Makam, dengarlah, sekalipun kau menang juga tidak dapat membawa pergi pedang pusaka itu, kecuali kau mengambil dulu jiwaku, tetapi... hal ini kau sedikitpun tidak ada harapan...."
"Apakah nona mengandalkan bantuan orang yang berdiri di belakang nona?"
"Tidak! Jiwaku dan kepandaianku itulah yang merupakan bantuan kuat dari diriku."
Dari keterangan perempuan itu dapat ditarik kesimpulan bahwa di dalam makam pedang itu hanya ia seorang diri. Semangat Hui-
Kiam lalu terbangun, tetapi juga merasa bingung. Ia dibingungkan oleh perempuan muda itu, yang sudah mendapatkan pedang pusaka, mengapa tidak lari jauh sebaliknya menjaga di dalam makam pedang ini dan harus menerima gangguan dari orang-orang rimba persilatan sedang ia sendiri menyatakan dirinya sebagai pelindung pedang, namun juga menyatakan apabila pedang ada orangnya juga ada tetapi apabila pedangnya musnah orangnya juga turut musnah.
"Tetapi aku tiada bermaksud untuk mengambil jiwa nona..." demikian ia berkata.
"Sebaliknya dengan aku yang harus membunuhmu mati!"
"Andaikata nona tidak sanggup melakukan?"
"Masih tetap dengan keteranganku semula. Kalau kau tidak berhasil membunuh aku, jangan harap kau bisa membawa pergi pulang pusaka!"
"Apakah kita tidak boleh tidak harus melakukan pertandingan?"
"Hanya itu jalan saja!"
"Baiklah, aku menurut saja!"


Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sehabis berkata ia bertindak maju melancarkan serangan.
Serangan itu sebetulnya hanya merupakan serangan pura-pura saja yang maksudnya hendak pancing perempuan itu supaya bertindak dengan demikian ia dapat mengukur sampai di mana tinggi kepandaian perempuan itu.
Tetapi perempuan itu tidak menghiraukan serangan Hui-kiam, seolah-olah telah tahu maksud yang terkandung dalam hati Hui Kiam.
Ketenangan luar biasa perempuan itu, membuat bergidik hati Hui Kiam, maka ia lanjutkan serangan pura-pura tadi menjadi serangan sungguh-sungguh.
Perempuan itu menggeser kakinya. Nampaknya begitu ringan dan biasa saja, tetapi serangan Hui Kiam ternyata sudah mengenakan tempat kosong.
Perempuan itu setelah mengelakkan serangan Hui Kiam lalu menggerakkan tangannya melancarkan serangan yang luar biasa hebatnya.
Sesaat kemudian Hui Kiam sudah terpental mundur satu langkah.
Perempuan itu menyusul serangan selanjutnya dibarengi dengan serangan jari tangan kirinya.
Hui Kiam sudah dapat menduga kepandaian dan kekuatan tenaga dalam perempuan itu yang ternyata berimbang dengan kekuatannya sendiri. Apabila ia ingin menang, hanya tergantung dengan gerak tipu serangannya, maka ia lalu menggunakan seluruh kepandaiannya untuk menghadapi serangan perempuan itu.
Dua orang itu lalu melakukan pertempuran hebat di depan mulut goa.
Kepandaian Hui Kiam menggunakan tangan kosong, tidak setinggi seperti ia menggunakan pedang yang mempunyai gerak tipu satu jurus saja. Maka untuk menghadapi lawan yang berimbang kekuatannya, ia tak dapat berbuat banyak. Lima jurus kemudian ia mulai terdesak dan sebelum jurus ke sepuluh ia sudah tidak bisa berdaya melakukan serangannya.
Sebaliknya dengan perempuan itu, setiap serangannya ditujukan ke jalan darah terpenting badan Hui Kiam, maksudnya hendak mengambil jiwa pemuda itu.
Satu kali salah satu jalan darah penting Hui Kiam terkena serangan jari tangan, sehingga mundur terhuyung-huyung sampai empat-lima langkah, hampir saja roboh di tanah. Jika serangan itu mengenakan diri orang lain, sudah cukup untuk membuat melayang jiwanya. Tapi kekuatan dan kepandaiannya yang dipelajari oleh Hui Kiam sangat berlainan, meskipun serangan itu tidak melukai dirinya tetapi juga menimbulkan rasa sakit luar biasa.
Perempuan itu nampaknya sangat terheran-heran. Ia berkata:
"Pantas kau begitu takabur, kiranya memang benar mempunyai kepandaian yang berarti!"
Hui Kiam terpaksa menghunus pedangnya karena ia tak boleh kalah. Apabila kalah habislah segala-galanya, termasuk jiwanya sendiri.
"Aku terpaksa hendak menggunakan pedang!" demikian ia berkata.
"Terserah!"
"Senjata nona...."
"Masih belum perlu."
"Ini bukan berarti pertandingan untuk menguji kepandaian!"
"Kalau kudengar pembicaraanmu ini, kau agaknya sangat mengandalkan ilmu pedangmu, tetapi hari ini jangan harap kau bisa keluar dalam keadaan utuh!"
"Nona nanti bisa menyesal...."
"Biarkh kenyataan nanti yang membuktikan."
Hui-Kiam setelah membelikan peringatannya lalu menggunakan kekuatan delapan bagian melakukan serangannya yang cuma satu jurus itu.
Perempuan muda itu ketika menyaksikan gerak tipu serangannya, parasnya berubah seketika. Dengan cepat lompat mundur delapan kaki.
Hui-Kiam terus mendesak dan perempuan itu terpaksa terus mundur ke dalam goa. Dengan tanpa dirasa keduanya sudah masuk ke dalam goa sepuluh tombak.
Perempuan itu meskipun sedikit tidak dapat membalas serangan dan terus mundur, tetapi masih sanggup mengelakkan serangan hebat yang tidak ada taranya itu tanpa terluka. Tentang ini saja sudah cukup membuat Hui Kiam merasa ngeri.
Ilmu pedang Hui-Kiam, hanya satu jurus itu saja, untuk gerak tipu yang hanya sejurus itu mengandung kekuatan yang luar biasa, sekalipun sudah digunakan berulang-ulang tetapi perempuan itu masih belum berhasil memusnahkan serangannya.
Pertempuran secara kucing-kucingan itu terus masuk ke dalam goa sejauh duapuluh tombak. Keadaan di dalam goa itu tiba-tiba terang benderang oleh sinar patung mutiara. Di situ ternyata merupakan sebuah kamar batu yang sangat luas, lengkap dengan segala perabot kamarnya. Masih ada sebuah pintu kecil yang menghubungkan ke lain ruangan. Nampaknya makam pedang ini dibuat oleh satu tangan ahli yang pandai.
Setelah berada di dalam kamar batu itu, perempuan muda itu dengan cepat masuk ke pintu yang menghubungi lain kamar itu.
Hui Kiam terpoaksa berhenti bertindak, sebab apabila dalam kamar itu terdapat pesawat rahasia, ini sangat berbahaya bagi dirinya.
Kini ia sudah mendapatkan kenyataan bahwa dalam makam pedang itu terkecuali perempuan muda yang menamakan dirinya pelindung pedang itu, agaknya sudah tidak ada orang yang ke-dua.
Tiba-tiba matanya dapat melihat dalam kamar itu timbul sebuah makam batu. Selagi ia hendak mengamati tulisan di atas batu nisan, tiba-tiba matanya menjadi silau oleh munculnya perempuan muda yang mengaku dirinya Pelindung Pedang. Tangan perempuan itu
membawa sebilah pedang berwarna hitam. Pedang itu bentuknya sangat aneh. Tidak bersinar juga tidak bercahaya. Nampaknya barang mainan kanak-kanak.
"Penggali Makam, sekarang kau boleh bertindak!" demikian perempuan itu berkata.
"Nona, aku hanya ingin terdapatnya suatu kemenangan atau kekalahan dengan tanpa mengganggu jiwa kita."
"Tetapi sebelum ada salah satu yang mati kau tidak akan mencapai maksudmu."
"Apakah perlunya"'
"Penggali Makam, pertanyaanmu ini tidak ada gunanya, kau sudah pasti akan mati."
Suaranya itu sedemikian dingin tetapi tegas. Hati Hui Kiam bergetar, apakah perempuan itu mempunyai kepandaian ilmu pedang yang lebih unggul" Itu mungkin, sebab serangan ilmu pedang yang hebat itu tidak dapat melukainya. Ini sudah jelas bahwa ia juga merupakan satu ahli pedang.
Tetapi sifat Hui Kiam yang berkepala batu dan tinggi hati tidak akan mundur atau takut oleh satu perkataan saja, maka ia lalu berkata dengan nada suara dingin:
"Apakah nona yakin benar?"
"Sudah tentu!"
"Silahkan bertindak!"
"Kalau aku bertindak lebih dulu, kamu barangkali tidak ada kesempatan untuk balas menyerang, maka biarlah kau yang bertindak dahulu."
"Aku tidak percaya!"
"Kau terlalu sombong!"
"Benarkah?"
"Kalau begitu bersiaplah."
Perempuan itu perlahan-lahan mengangkat pedangnya, tiada sinar yang keluar, agaknya bukan suatu pertempuran antara mati dan hidup begitu ringan dan tenang ia bergerak sangat perlahan-lahan sekali tetapi cukup mengandung gerak tipu yang amat dahsyat..."
Ketika pedang itu berada di tengah-tengah serangannya, Hui-Kiam tiba-tiba merasakan bahwa serangan yang nampaknva biasa itu ternyata merupakan satu gerak tipu luar biasa. Dalam serangan itu mengandung banyak perubahan yang sangat aneh yang tidak dapat dibendung atau ditangkis dari sudut manapun juga.
Dalam terkejutnya, Hui-Kiam terpaksa menggunakan pedangnya untuk menyerang karena ia sudah tidak ada lain jalan untuk menyingkir.
Pedang pusaka itu geraknya tiba-tiba berubah sedemikian cepat, sehingga terciptalah suatu lingkaran hitam.
Keadaan demikian, hanya tampak dalam waktu sekejap mata saja, kemudian disusul oleh beradunya pedang Hui Kiam dengan lingkaran hitam itu. Sesaat kemudian, Hui Kiam hanya merasakan tangannya yang memegang pedang itu tiba-tiba menjadi ringan. Ketika ia menyaksikan apa yang telah terjadi, bukan kepalang rasa heran dan kagetnya. Pedang yang berada di dalam tangannya cuma tinggal sepotong, dan bagian lainnya sudah hancur berkeping-keping dan berserakan di tanah.
Pedang itu adalah barang peninggalan gurunya dan sekarang telah rusak di tangannya.
Perasaan heran, kaget, gusar, dan mendongkol seketika timbul dalam hatinya.
Tetapi, kemudian ia teringat sesuatu yang lebih penting. Ia lalu berkata dengan suara gemetar:
"Apakah itu pedang pusaka dalam makam ini?"
"Tepat, kau tidak dapatkan pedang ini dalam keadaan hidup, tetapi sebelum kau mati sudah dapat menyaksikan benda pusaka ini, kau sudan boleh merasa puas!"
Hui Kiam terharu, wajahnya yang tidak mudah berubah saat itu ternyata nampak berkerenyut, karena perempuan itu mempunyai senjata pusaka luar biasa, ditambah dengan ilmu pedangnya yang luar biasa pula, sehingga harapan untuk hidup baginya benar-benar sudah tidak ada lagi.
Apakah ia takut mati" Senjata pusaka ini seharusnya benda perguruannya, ia merupakan benda yang tidak boleh dipisah dengan kitab pusaka Thian Khie Po-kip karena kepandaian ilmu silat yang ditulis dalam kitab itu, jika ditambah dengan senjata luar biasa ini akan menjadikan seorang kuat tanpa tandingan.
Tetapi, kitab yang memuat pelajaran ilmu silat yang ditulis bagian bawah kitab tersebut tidak tahu berada di mana, dan senjata pusaka itu kini juga berada di tangan perempuan yang tidak dikenal itu, apa yang lebih mengenaskan, ialah dirinya sendiri sudah berada di ambang pintu kematian, maka semua cita-citanya untuk mendapatkan kembali barang-barang perguruannya untuk membalas dendam, telah musnah seluruhnya.
Perempuan itu menggerakkan tangannya, ujung pedang mengancam dada Hui Kiam. Ia berkata dengan suara gemetar:
"Penggali Makam, pergi keluar goa, aku tidak suka tempat ini dikotori oleh noda darah."
Pada saat itu Hui Kiam merasakan betapa hebatnya hawa pedang itu. Ujung pedang dirasakan seolah-olah sudah menembus ulu hatinya.
Ia mengerti, apabila ia melawan itu berarti hanya menambah kehinaan saja, tetapi ia juga merasa penasaran menerima kematian begitu saja, terutama lawannya adalah seorang perempuan, dan mati oleh tangan seorang perempuan benar-benar merupakan suatu hal yang memalukan.
"Turunkanlah pedangmu," demikian Hui Kiam berkata dengan nada suara dingin dan tegas.
Paras perempuan muda itu nampak sedikit berubah. Dengan tanpa sadar ia mundur satu langkah. Matanya memancarkan sinar aneh.
Hui Kiam memutar badannya, ia keluar dari dalam kamar. Begitu tiba di mulut goa ia berpaling lagi untuk menghadapi perempuan pelindung pedang itu. Dengan nada suara dingin ia berkata:
"Tidak perlu nona turun tangan, aku bisa bertindak sendiri!"
Perempuan itu tercengang. Ia berkata:
"Semula aku menyuruhmu berlalu dan memusnahkan kepandaianmu sendiri, kau tidak suka. Sekarang kau tinggalkan jiwamu."
"Aku tahu."
"Kau... agaknya tidak menganggap kematian itu adalah suatu kejadian yang menakutkan."
"Seorang laki-laki perlu apa takut mati."
"Terhadap dirimu sendiri kau juga masih berlaku kejam?"
"Terhadap musuh aku juga tidak bisa memberi kelonggaran."
"Bagaimana kau pikir hendak bertindak?"
"Danau air dingin di luar barisan gaib itu merupakan suatu tempat yang paling baik."
"Kau tentunya tidak akan menggunakan kesempatan ini untuk kabur?"
"Nona terlalu memandang rendah diriku!"
"Baik, Penggali Makam, anggaplah aku kesalahan omong."
"Sebelum aku menghabiskan jiwaku sendiri, aku ingin menanyakan beberapa soal. Sudikah nona memberikan jawaban?"
"Aku harus melihat dulu keadaannya. Cobalah kau katakan!"
Hui-Kiam bukan tidak tahu ia tidak boleh gampang-gampang menyerahkan jiwanya, tetapi daripada mati terhina lebih baik menghabiskan jiwanya sendiri. Kalau kematian itu memang sudah tidak dapat dielakkan, perlu apa takut mati. Itulah sifatnya yang keras kepala dan tinggi hati.
Meskipun ia sedang menghadapi kematian, tetapi setelah ia mengambil keputusan demikian sebaliknya merasa tenang. Satu-satunya jalan yang masih belum mau mengerti ialah asal-usul mengenai perempuan itu....
Ia lalu memajukan pertanyaannya:
"Siapakah guru nona?"
"Tentang ini aku tidak dapat memberitahukannya kepadamu!"
"Sudah berapa lama nona mendapatkan pedang pusaka ini?"
"Sepuluh tahun!"
"Sepuluh tahun?"
"Benar."
"Mengapa nona tidak mau pergi jauh, sebaliknya berdiam di sini saja harus menerima gangguan dari orang luar?"
"Aku sudah katakan bahwa aku adalah pelindung pedang, bukan pemilik pedang!"
"Kalau begitu siapakah pemilik pedang itu?"
"Tentang ini aku juga tidak dapat memberitahukan kepadamu!"
"Mengapa nona dapat menemukan makam pedang yang jarang diketahui oleh manusia?"
"Maaf, aku tidak dapat memberitahukan kepadamu!"
"Nona tentunya tidak akan menyangkal bahwa nona ada hubungannya dengan jago pedang berkedok?"
"Apa jago pedarg berkedok?"
Sepasang mata Hui Kiam memancarkan sinar tajam, terus menatap paras perempuan itu, agaknya ingin menembusi hati perempuan itu sebab matanya manusia tidak bisa membohong, dari matanya bisa membuka rahasia dalam hatinya.
Tetapi ia kecewa. Dari mata perempuan itu kecuali menunjukkan rasa bingung, tidak menunjukkan sikap apa-apa lagi.
Kalau tidak ada gambar peta tempat menyimpan pedang, siapapun tidak akan tahu bahwa di dalam barisan batu gaib itu ada sebuah makam pedang. Siapapun tidak akan dapat mencari ke tempat yang tersembunyi itu. Tetapi dengan cara bagaimana gambar peta itu bisa terjatuh di tangan perempuan itu"
Apakah Toa supeknya sebelum mati di tangan jago pedang berkedok, sudah kehilangan gambar peta itu"
Pertanyaan tetap merupakan pertanyaan, karena perempuan itu tidak mau memberikan keterargan percuma saja ia memikir.
"Benar, apa yang kumaksud dengan jago pedang berkedok itu ialah seorang ahli pedang luar biasa yang muncul pada sepuluh tahun berselang!"
Perempuan itu menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata:
"Tidak tahu!"
"Tentunya bukan secara kebetulan saja nona mendapatkan pedang ini?"
"Aku sudah katakan tidak akan menjawab pertanyaan ini!"
"Di dalam kamar di bawah tanah itu, rupanya masih ada sebuah makam lagi?"
"Benar!"
'"Itu makam siapa?"
"Makam ibuku!"
"Apa, ibumu?"
"Sudah banyak kau menanya, rasanya sudah cukup."
"Baiklah sampai di sini saja."
"Silahkan!"
Perkataan silahkan mengandung maksud apa, Hui Kiam sudah tentu mengerti sendiri. Ia tidak berkata apa-apa, perlahan-lahan memutar badannya. Setelah melalui barisan aneh itu lalu berjalan ke tepi danau, dengan diikuti oleh perempuan pelindung pedang yang membawa pedang pusaka di tangannya.
Sebentar kemudian, tibalah di tepi danau.
Hui Kiam menghadapi air danau yang tenang itu. Otaknva kosong-melompong, apapun tidak dipikirkannya. Ia tidak ingin memikir, juga tidak ada gunanya untuk dipikir. Ia sedang menghadapi maut yang sudah melambaikan tangan....
Hanya satu lompatan saja habislah segala-galanya.
Sambil mengatupkan gigi ia lompat ke dalam danau....
Tetapi baru saja ia bergerak, suatu kekuatan tenaga dalam yang sangat hebat menggulung dirinya memaksa ia balik ke tempatnya. Orang yang berbuat demikian itu ternyata adalah perempuan muda pelindung pedang itu.
Hui Kiam berkata dengan suara gusar:
"Apakah artinya perbuatan nona ini?"
Perempuan itu dengan sinar mata yang aneh menatap wajah Hui Kiam kemudian berkata:
"Kelakuanmu sesungguhnya sangat mengagumkan!"
"Apakah nona hanya ingin mengatakan itu saja?"
"Tidak! Aku telah berobah pikiranku!"
"Beroboah pikiranmu?"
"Hem, hem, hem."
"Kau ingin bertindak sendiri?"
"Tidak! Bagaimana andaikata... aku minta kau berlalu dari sini?"
Perkataan itu sesungguhnya di luar dugaan Hui Kiam. Untuk sesaat lamanya ia malah berdiri bingung tidak dapat mengeluarkan perkataan apa-apa.
Perempuan itu berkata pula dengan suara sedih:
"Penggali Makam, pergilah!"
"Benar?"
"Tidak ada syaratnya apa-apa."
"Syarat ..." ia ketawa menyeringai seolah-olah sedang memikirkan sesuatu.
Sejak Hui Kiam memasuki barisan gaib itu, untuk pertama kali ia melihat perempuan itu mengunjukkan ketawanya. Ketawanya itu nampak manis agung juga mengandung sedikit kemalu-maluan, tetapi juga mengandung pengaruh yang dapat menggerakkan hati
lelaki. Sayang di dalam keadaan demikian sedikitpun tak ada reaksi yang timbul di dalam hati Hui Kiam.
"Apa syaratnya?" demikian Hui Kiam bertanya. Dalam hatinya timbul semacam perasaan ingin hidup kembali. Perasaan semacam itu, hanya orang kembali dari bahaya maut, yang baru dapat merasakannya dengan adanya harapan hidup itu, maka segala pikiran timbul kembali, ia tiba-tiba merasakan betapa perlunya ia hidup terus, bukan karena dirinya sendiri, bukan karena sayang jiwanya sendiri, melainkan karena dengan sakit hati yang dia harus menuntut balas terhadap semua musuh-musuhnya di samping itu masih ada bayangan Tong-hong Hui Bun perempuan cantik luar biasa itu yang ternyata sudah memikat hatinya.
Asal ia teringat akan perempuan cantik itu hatinya segera berdebaran. Dahulu apa yang ada dalam hatinya hanya dendam sakit hati kebencian, tiada pikiran apa-apa yang masuk dalam hatinya. Tetapi sejak berkenalan dengan Tong-hong Hui Bun, lubuk hatinya yang penuh dendam dan kebencian, telah didobrak. Perempuan itu sudah berhasil menempatkan diri dalam hatinya bahkan menduduki tempat yang sangat penting.
Perempuan pelindung pedang itu setelah berdiam sekian lama, akhirnya berkata:
"Apabila kau sudi menerima, syarat ini tidak berat."
Hui Kiam dengan sinar mata dingin memandang gadis itu lalu berkata:
"Coba nona ceritakan!"
Gadis yang menyebut dirinva sebagai pelindung pedang itu sebentar nampak merah parasnya, kemudian menundukkan kepalanya dan mengucapkan kata-katanya yang sangat perlahan:
"Harap kau suka datang lagi menengok aku."
Hui Kiam seketika tertegun, ia segera dapat memahami maksud yang terkandung dalam ucapan rona itu, adakah itu yang dimaksudkan salah"
Ini sesungguhnya tidak harus berpikir. Perobahan itu juga terlalu mendesak, karena belum lama berselang, gadis itu hendak mengambil jiwa, tetapi sekarang mengajukan syarat demikian.
"Inikah yang nona katakan sebagai syarat?"
Gadis itu masih tetap menundukkan kepala, berkata dengan suara tidak lampias:
"Ya. Apakah.... kau menerima baik?"
Hui Kiam sejenak nampak berpikir. Ia mencoba mengendalikan perasaannya yang bergolak, baru berkata:
"Aku pasti akan datang lagi!"
Gadis itu mengangkat mukanya. Matanya memancarkan sinar tajam yang mempunyai daya penarik. Kedua pipinya masih kemerah-merahan, nampaknya agak malu-malu. Dengan suara agak gemetar ia berkata:
"Kau ... menerima baik?"
Hui Kiam yang menghadapi gadis cantik masih putih bersih ini, apalagi setelah mendengar kata-katanya yang seolah-olah menggedor lubuk hatinya, sesaat itu benar-benar terpesona. Akan tetapi ia tahu benar bahwa di antara mereka berdua samar-samar terdapat suatu rintangan yang rupanya susah ditembus, dan rintangan itu, setiap waktu cukup untuk memusnahkan impian mereka.
"Nona, maaf, aku akan berbicara terus terang. Terhadap pedang pusaka itu aku sudah bertekad bulat hendak mendapatkannya, tanpa memperhitungkan akibatnya!"
"Tidak sepantasnya kau seorang gagah yang bersifat begitu rendah dan sombong."
"Tetapi, maksudku ini bukanlah terdorong oleh kesombongan!"
"Lalu apa?"
"Lain kali apabila aku datang lagi, aku akan memberitahukannya kepadamu!"
"Maksudmu apakah setelah kepandaianmu sekiranya sanggup merebut pedang pusaka itu dari tanganku, baru kau akan datang lagi?"
"Aku tidak akan ingkar, memang demikianlah maksudku."
Gadis itu nampak berubah parasnya. Ia berkata dengan nada suara dingin:
"Aku masih bisa merobah pendirianku."
"Aku tidak suka menarik keuntungan dengan kata-kata yang manis. Apa yang terukir dalam hatiku, aku harus mengutarakannya terus terang."
Inilah tentunya seorang gagah dari golongan kebenaran. Sebetulnya dia dapat mengatakan dari mulutnya segala kata-kata yang manis untuk menipu lawan, agar ia melepaskan diri lebih dulu. Akan tetapi sifat dan perangainya yang tinggi dan sombong, mendorong padanya tidak akan berbuat demikian.
Gadis itu nampak beberapa kali berobah parasnya, akhirnya baru berkata:
"Kau..... pergilah!"
Hui Kiam sedapat mungkin menindas perasaan yang menjolak. Ia menarik napas dalam-dalam, kemudian berkata:
"Budi kecintaanmu ini akan terukir dalam hatiku!"
"Oh, tunggu dulu.........."
"Nona masih ada perlu apa lagi?"
"Jikalau kau nanti datang lagi, pedang ini lalu sudah diambil oleh pemiliknya."
"Tentang ini... saat itu aku akan minta nona memberitahukan namanya pemilik pedang itu."
"Mungkin aku dapat memberitahukan kepadamu."
"Baiklah, sampai berjumpa lagi!"
Hui Kiam mengangkat tangan memberi hormat lalu berjalan keluar dari dalam barisan. Hatinya dirasakan sangat berat. Dengan membawa perasaan sedih yang tidak terhingga, ia telah merasakan bahwa kepandaian dan kekuatannya sendiri pada saat itu, masih berjarak jauh untuk dapat melaksanakan usahanya menuntut balas dendam, dan jarak itu bisa diperpendek atau tidak ia masih belum mempunyai keyakinan teguh. Satu-satunya pengharapan ialah untuk mendapatkan kembali kitab pusaka Thian-kie Po-kip. Tetapi kitab itu sudah terjatuh di tangan jago pedang berkedok yang sangat misterius. Sepuluh tahun berselang, suhu dan para supeknya masih belum sanggup melawan jago pedang itu, apalagi ia dengan mengandalkan kepandaian apa untuk dapat merampas kembali kitab pusaka itu"
Keluar dari barisan ajaib itu, dengan tanpa sadar ia berpaling dan memandang lagi sejenak. Suatu pikiran yang timbul dalam otaknya, benarkah ia bisa kembali lagi"
la menarik napas panjang, perlahan-lahan menggeser kakinya berjalan menyusuri tepi danau.
Beberapa bayangan orang nampak berkelebat di hadapannya. Kepala pasukan Persekutuan Bulan Emas bersama empat anak buah, muncul dengan tiba-tiba. Lima orang itu semua menunjukkan perasaan terkejut dan heran. Sementara itu Ong Kheng Hao lalu maju dan berkata kepadanya:
"Penggali Makam, kau ternyata dapat keluar dari dalam barisan itu dengan selamat!"
Dengan sinar mata dingin Hui Kiam mengawasi orang she Ong itu, kemudian berkata dengan nada suara dingin:
"Hal ini agaknya tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan tugasmu!"
Wajah Ong-Kheng Hao segera berubah. Ia berkata dengan suara keras:
"Kau sungguh sombong!"
"Hem hem!"
"Bagaimana dengan pelang pusaka?"
"Kalau kau mempunyai kepandaian kau boleh ambil!"
"Apakah kau sudah berjumpa dengan orang dalam barisan itu?"
"Kalau sudah berjumpa kau mau apa?"
"Aku si orang tua bukannya takut kecipratan darah, melainkan mendapat perintah tidak boleh melukaimu, maka sebegitu jauh aku tidak mengambil tindakan apa-apa terhadap dirimu, kau mengerti" Nah, sekarang pergilah!"
Hati Hui Kiam tergerak, ia bertanya:
"Apakah perintah itu dari junjunganmu?"
"Tidak perlu bertanya, silahkan!"
Hui Kiam memperdengarkan suara di hidung lalu melesat ke jalan lembah yang sempit itu. Dalam hatinya merasa heran, apa sebabnya pemimpin Persekutuan Bulan Emas mengeluarkan perintah yang tidak mengijinkan orang-orangnya bermusuhan dengan dirinya" Apakah maksudnya"
Tidak antara lama ia sudah melalui jalan sempit itu dan tibalah di luar lembah.
Tiba-tiba seorang berpakaian hitam menghampirinya dan berkata sambil menunjuk ke kiri:
"Penggali Makam, di depan gunung itu ada orang menantikan kedatanganmu."
Sehabis berkata, dengan tanpa memperdulikan reaksi Hui-Kiam sudah melesat dan berlalu lebih dulu.
Hui Kiam tercengang. Siapa gerangan yang sedang menantikan dirinya" Mengapa orang mengetahui jejaknya, dan mengutus orang menyampaikan kabar" Kawan ataukah lawan karena tidak memberitahukan namanya, hanya meninggalkan pesan singkat itu saja agaknya sudah dapat menduga bahwa ia pasti pergi menjumpai....
Pergi atan tidak. Pikiran itu berkecamuk dalam olaknya. Karena tertarik oleh perasaan heran, akhirnya telah mengambil keputusan untuk menemui orang tersebut.
Maka, ia lalu bergerak menuju ke tempat yang ditunjuk oleh orang tua tadi.
Tidak berapa lama ia sudah tiba di tempat itu. Seorang yang berpakaian hitam lain sudah menantikan kedatangannya. Orang itu ketika melihat kedatangannya, segera tangannya menunjuk ke suatu tempat dan berkata dengan sikapnya yang menghormat:
"Silahkan!"
Hui-Kiam dengan tidak sabar mengajukan pertanyaan:
"Ada urusan apakah sebetulnya?"
Orang itu menjawab sambil tertawa dingin:
"Jikalau tuan tidak berani menjumpai, sekarang masih keburu kau batalkan maksudmu."
Sudah tentu perkataan orang itu mengandung maksud mengejek. Di samping itu juga sudah nyata mengunjukkan bahwa pertemuan itu bukanlah dengan maksud baik. Tetapi sifat Hui Kiam yang selalu tahu maju dan tidak mengenal mundur, seketika itu lalu menyahut dengan nada suara dingin:
"Sejak muncul di dunia Kang-ouw, Penggali Makam tidak tahu apa artinya tidak berani. Tetapi perbuatan kalian yang agaknya takut diketahui oleh manusia ini sesungguhnya sangat memuakkan."
Orang berpakaian hitam itu berdiam tidakberkata apa-apa.
Hui Kiam mengawasi keadaan tempat itu sejenak, ternyata sangat sepi. Orang itu telah mengutus orang menantikannya di jalanan yang menembus ke makam pedang itu. Sudah jelas orang itu mengetahui benar segala gerak-geriknya, sehingga memilih tempat yang sepi sunyi itu untuk mengadakan pertemuan. Nampaknya sudah terang hahwa orang itu mengandung maksud jahat.
Setelah berpikir sejenak, ia lalu bertindak berjalan menuju tempat yang ditunjuk.
Berjalan kira-kira limapuluh tombak, di tempat sebelah kanannya tampak sebuah jalan sempit. Kembali terdapat seorang berpakaian hitam yang berdiri menunggu di pinggir jalan.
"Silahkan masuk!" demikian orang itu berkata.
Ketika Hui Kiam mengawasi orang itu, hatinya berdebar. Wajah orang itu tidak asing baginya. Saat itu segera teringat dalam perjailanannya mencari Liang-gie-si-seng. Waktu ia dihadang dan diserang oleh orang-orang Persekutuan Bulan Emas, orang berbaju hitam itu justru juga merupakan salah seorang di antaranya.
Kalau begitu, orang yang mengundangnya itu pasti adalah orang dari Persekutuan Bulan Emas.
Waktu ia masih berada di tepi danau dekat makam pedang, Ong Kheng-Hao pernah berkata bahwa ia mendapat perintah atasnya tidak boleh mengganggu dirinya. Kalau begitu undangan orang itu apakah ada mengandung lain maksud yang tertentu" Orang yang mengundang itu apakah pemimpin persekutuan itu sendiri ataukah".
Tetapi ia tidak sempat untuk memikirkan hal itu. Ia lalu berkata dengan nada suara dingin:
"Sahabat urusan nomor berapa?"
Orang berpakaian hitam itu wajahnya nampak berubah, kemudian menunjukkan tertawanya yang menyeramkan, baru berkata:
"Nomor lima. Sungguh baik daya ingatmu."
"Siapa orang yang mengundang aku ini?"
"Setelah kau nanti masuk ke lembah sudah tentu mengerti sendiri."
Hui Kiam memperdengarkan suara di hidung. Dengan tindakan lebar dan melembungkan dada, ia berjalan menuju ke lembah.
Berjalan kira-kira beberapa tombak, di hadapannya terbentang suatu tanah datar seluas sepuluh tombak. Sepuluh lebih bayangan orang bagaikan patung berdiri berbaris di tempat itu.
Tatkala mata Hui Kiam menyapu kepada orang-orang itu, orang yang berdiri di tengah-tengah barisan itu ternyata adalah Koo Han San dari Persekutuan Bulan Emas yang dahulu ketakutan telah dipaksa oleh wanita berbaju hijau yang berkedok untuk mengorek sebuah biji matanya sendiri. Dua orang yang berdiri di kedua belah sisinya ternyata adalah dua saudara Kim, yang mempunyai julukan Thian-tee Siang-sat, atau Sepasang Malaikat Bumi dan Langit.
Melihat itu, hati Hui Kiam seketika berdebar. Kepandaiannya yang dapat diandalkan, ialah gerak tipunya yang cuma sejurus itu. Tetapi jurus pedang itu harus digunakan dengan pedang dan sekarang pedang itu sudah patah di dalam makam pedang. Sebelum ia sendiri mendapat kekuatan sebagai kepandaian Koo Han San masih berada di atasnya, dan kini meski ia sendiri mendapat kekuatan tenaga, untuk menghadapi Koo Han San seorang masih sanggup, akan tetapi ditambah dengan dua Malaikat Langit dan Bumi itu serta sepuluh lebih Utusan Persekutuan Bulan Emas, sudah tentu sangat berbahaya baginya.
Pada saat itu, ia sudah berada kurang lebih dua tombak di hadapan orang-orang itu.
Utusan Bulan Emas yang berdiri berbaris, segera bergerak. Mereka membuat sebuah lingkaran sehingga Hui Kiam berada di tengah-tengah kurungan mereka.
Semua itu telah menunjukkan bahwa orang-orang itu sudah merencanakan lebih dahulu untuk menghadapinya.
Meski hati Hui Kiam terkejut, tetapi di luarnya masih menunjukkan sikap yang angkuh dan dingin. Kemudian ia berkata:
"Koo Han San, tidak disangka kita berjumpa lagi!"
Dengan nada suara dingin Koo Han San berkata:
"Penggali Makam, mungkin ini pertemuan yang terakhir."
"Apakah maksud perkataanmu ini?"
"Tidak apa-apa. Aku si orang tua hanya ingin memegang peran sebagai penggali makam yang hendak menggali tanah bagi makammu."
"Apakah itu maksudmu mengundang aku datang kemari?"
"Tepat!"
"Undangan maut?"
"Kau sungguh pintar. Apakah merasa menyesal datang kemari?"
"Aku selamanya tidak tahu apa artinya menyesal!"
"Itu bagus, bocah kau sungguh berani, mengapa kau tidak membawa pedang?"


Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku akan melayani kau dengan tangan kosong!"
"Mengingat akan keberanianmu, aku harus memberikan kesempatan kepadamu untuk melawan sebaik-baiknya!"
Sehabis berkata, ia lalu berpaling dan berkata kepada seorang berpakaian hitam:
"Nomor Dua Belas, berikan pedang kepadanya!"
"Baiklah!" demikian orang hitam itu menyahut lalu menghunus pedangnya dan dilemparkan ke arah Hui Kiam.
Hui Kiam tak mempunyai pilihan lagi. Ia mengulur tangannya menyambuti pedang itu.
Koo Han-San berkata pula:
"Bocah, hari ini pengharapanmu untuk keluar dari sini dalam keadaan hidup sangat tipis sekali sebab aku sudah bertekad hendak membinasakan kau, maka semoga kau dapat menciptakan kewajiban dalam ilmu pedangmu."
"Apakah sebabnya kau hendak berbuat demikian?"
"Sudah tentu ada sebabnya."
"Apakah karena permusuhan lama?"
"Harus dikatakan permusuhan baru!"
"Permusuhan baru" Apakah artinya?"
Mata Ko-Han San menyapu setiap wajah orang bawahannya sejenak, kemudian berhenti di atas wajah Sepasang Dewa Langit dan Bumi. Ketika tidak mendapat lihat reaksi apa-apa, baru berkata pula kepada Hui Kiam:
"Tidak halangan aku beritahukan kepadamu supaya kau tidak mati penasaran. Kau telah mendapatkan cinta kasihnya seorang cantik jelita, benarkah itu?"
Hui Kiam terkejut. Ia segera teringat dirinya Tong Hong Hui Bun".
"Maksudmu adalah majikan atau pemilik tanda perintah batu Kumala?"
'Benar, adalah wanita rendah itu!"
Ucapan 'wanita rendah' itu sangat menusuk telinga, dalam pendengaran Hui Kiam sungguh tak enak. Tetapi ia masih coba mengendalikan perasaan hatinya. Ia tak tahu apa yang dikatakan dengan musuh baru itu, dengan cara bagaimana dapat dirangkaikan dengan diri Tong Hong Hui Bun"
"Apakah artinya?"
"Oleh karena kau bocah ini, orang baju lila itu telah dipaksa terjun ke jurang oleh perempuan hina itu!"
Hui Kiam tiba-tiba tersadar, tetapi pikiran itu mengandung perasaan cemburu.
"Orang berbaju lila itu mencari mati sendiri, ada hubungan apa dengan kau?"
Setiap orang yang ada di situ, semua menunjukkan sikap benci dan bermusuhan. Mata Koo Han San yang hanya cuma tinggal satu memancarkan sinar yang menakutkan. Sambil tertawa mengejek ia berkata:
"Sampai di sini saja keteranganku. Kalau kau sudah mengerti apa sebabnya kau harus korbankan jiwamu, sudah cukup."
Hui Kiam benar-benar sangat murka. Dari pembicaraan orang she Ko itu, agaknya sudah menganggap dirinya sebagai daging yang empuk. Ia pikir di antara orang berbaju lila itu dengan To Hong Hui Bun, entah ada hubungan apa. Waktu berada di puncak gunung batu, Tong Hong Hui Bun pernah mengatakan kepadanya seorang gagah yang tidak berharga, karena tergila-gila kecantikannya, sehingga mengganggu terus-menerus. Tetapi dari mulut orang berbaju lila itu, hubungan antara dua manusia itu, agaknya bukan hanya sampai di situ saja.
Kini Koo Han San karena hendak menuntut balas dendam bagi orang baju lila itu, telah mengalihkan kebenciannya kepada dirinya. Apakah orang berbaju lila itu juga merupakan salah satu tokoh kuat dalam Persekutuan Bulan Emas"
Kalau benar, belum berapa lama Ong Kheng Hao pernah berkata kepadanya bahwa ia mendapat perintah tidak boleh mengganggu dirinya. Apakah perbuatan Koo Han San dan orang-orang ini merupakan perbuatan yang menentang pemimpinnya" Ini sesungguhnya merupakan suatu persoalan yang tak dapat dipikirkan.
Karena pikiran itu, maka ia tiba-tiba mencari keterangan. Katanya:
"Orang berbaju lila itu ada hubungan apa dengan kalian?"
"Tentang ini kau tak perlu tanya!"
"Ada hubungan apa pula antara orang berbaju lila dengan pemilik tanda perintah batu kumala?"
Malaekat Langit Kim Hui tiba-tiba perdengarkan suaranya:
"Ko congkam, waktu sudah tidak mengijinkan lagi. Kalau terlambat mungkin akan terjadi perobahan. Bertindaklah dengan segera!"
Koo Hoa San menyahut sambil menganggukkan kepala:
"Baik!"
Kim Hui lalu menghunus pedangnya. Ia maju beberapa langkah seraya berkata:
"Penggali Makam, serahkan jiwamu!"
Hui Kiam melintangkan pedangnya. Ujung pedang menunjuk ke bawah. Ia membuat tanda memulai. Sepasang sinar matanya yang tajam terus menatap wajah Malaikat Langit itu, dan mata Malaikat Langit yang beradu dengan sinar mata itu hatinya terguncang hebat.
Sebentar kemudian Malaikat Langit itu menggerakkan pedangnya dengan hebat menyerang Hui Kiam.
Hui Kiam sudah bertekad hendak membunuh lawannya satu persatu, maka dengan tanpa kenal kasihan ia melancarkan serangannya yang terampuh, yang hanya sejurus saja.
Begitu habis bergerak, tiba-tiba terdengar suara jeritan ngeri, lalu disusul oleh muncratnya darah merah. Ternyata tubuh Malaikat Langit sudah terkutung menjadi dua potong batas pinggang.
Di antara orang-orang Persekutuan Bulan Emas terdengar suara riuh. Siapapun tak menduga bahwa dengan kepandaiannya Malaikat dari Langit, ternyata tidak sanggup melawan hanya dengan satu jurus saja.
Hui Kiam sendiri juga merasa heran. Ia masih ingat waktu ia diserang oleh orang-orang itu di dekat Loteng Merah. Malaikat dari Bumi masih bisa menandingi dirinya sampai lima puluh jurus. Apakah kepandaian Malaikat dari Langit itu benar-benar sudah tidak berguna sama sekali"
Tetapi kemudian ia tersadar. Karena ia sendiri mendapat tambahan tenaga yang berarti mendapat tambahan seperti latihan tiga puluh tahun, apalagi ia mengeluarkan dengan sepenuh tenaga, sudah tentu hebat pengaruhnya. Oleh karenanya maka seketika itu ia semakin yakin kepandaiannya sendiri ....
Wajah Koo-Han San nampak berkerenyut. Ia berkata dengan suara keras:
"Bocah, dari mana kau mendapat kekuatan dan kepandaian semacam itu?"
Malaikat Bumi yang menyaksikan kematian saudaranya, segera mendelikkan matanya kemudian mengeluarkan suara bentakan keras dan menerjang".
Tetapi Koo-Han San menghalangi bertindaknya Malaikat Bumi itu, kemudian ia berkata:
"Kita tidak boleh mengadakan pengorbanan lagi. Tenanglah sedikit."
"Kalau aku tidak dapat mencincang tubuh bocah ini, aku bersumpah tidak mau jadi orang lagi!" berkata si Malaikat Bumi itu.
Koo-Han-San perlahan-lahan menghunus pedangnya seraya berkata:
"Kim Hok-hoat jangan khawatir, kehendakmu akan terpenuhi!"
Sementara itu, orang she Koo itu sudah berada di hadapan Hui Kiam. Tetapi Malaikat Bumi masih mengunjukkan perasaannya yang tidak puas, agaknya ingin menelan bulat-bulat diri Hui-Kiam.
Hui-Kiam tetap berdiri di tempatnya sambil memegang erat senjatanya.
Koo-Han San telah memperdengarkan suara di hidung, lalu menyodorkan pedangnya....
Pertempuran sengit segera terjadi. Pertempuran itu sangat hebat. Dua bilah pedang saling menyambar, hingga tampak sinarnya yang berkelebatan, dan hembusan anginnya yang menyambar sejarak tiga puluh tombak.
Sepuluh jurus! Dua puluh jurus!
Dan akhirnya tiga puluh jurus telah dilaluinya. Koo-Han-San sudah terdesak dan nampak berada di bawah angin. Keadaannya merupakan suatu yang sangat menyedihkan. Ia sudah tidak mampu melawan, sehingga Malaikat Bumi menganggap perlu untuk membantu Koo Han San agar jangan sampai mati di ujung pedang musuhnya.
Dengan turunnya ke gelanggang dari Malaikat Bumi itu, serangan Koo-Han San nampak hidup lagi. Dengan demikian keadaan menjadi berimbang pula.
Hui Kiam tahu bahwa kedudukannya sangat berbahaya. Dalam pertempuran antara mati dan hidup itu, tentunya tidak akan sudah sebelum ada yang tewas. Sepuluh lebih orang-orang Bulan Emas yang berdiri menyaksikan pertempuran itu, apabila dihadapi satu persatu, mungkin tidak menjadi soal, tetapi apabila dikeroyok, niscaya menjadi lain keadaannya.
Meskipun ia dapat kabur andaikata ia mau, tetapi ia tidak menghendaki demikian.
---ooo0dw0ooo---
JILID 13 KEMBALl sepuluh jurus telah dilalui, keadaan kedua pihak masih tetap berimbang.
Pada saat itu, enam Utusan Bulan Emas tiba-tiba turut campur tangan. Dengan demikian keadaan lantas berubah. Hui Kiam merasa tidak leluasa lagi melayani musuh-musuhnya, sedangkan pihak musuhnya menyerang semakin hebat, apabila sedikit lengah lenyaplah nyawanya.
Selagi pertempuran berlangsung sengit, tiba-tiba terdengar suara jeritan ngeri, seorang Utusan Bulan Emas nampak rubuh.
Bersamaan pada saat itu, ujung pedang Koo Han San juga sudah melukai ketiak kiri Hui Kiam sehingga darah mengalir keluar dari badan pemuda itu....
Dalam murkanya Hui Kiam melancarkan serangannya semakin hebat.
Seorang lagi sudah menjadi korban senjatanya.
Dengan cepat tiga Utusan Bulan Emas maju untuk menggantikan kedudukan kawannya yang binasa tadi.
Koo Han San dan Malaikat Bumi, dengan dibantu oleh tujuh anak buahnya, mengurung makin ketat dan menyerang semakin hebat. Agaknya tidak memberi kesempatan lagi pada lawannya.
Di antara suara bentakan keras, pundak kanan Hui Kiam kembali terkena tusukan pedang musuhnya. Luka itu mengeluarkan banyak darah, oleh karenanya keadaannya nampak sangat lelah, gerakan pedangnya perlahan-lahan mulai kehilangan keampuhannya.
Namun demikian, ia tetap bertahan. Dalam hatinya seolah-olah menjerit: aku tak boleh dijatuhkan oleh mereka!
Ingin menembus kurungan yang demikian ketat, ia harus berusaha dulu untuk mengurangi tekanan lawannya. Tetapi tekanan yang dirasakan paling berat hanya Koo Han San seorang. Apabila ia dapat menyingkirkan orang itu, yang lainnya agak mudah dihadapinya.
Pikiran itu secepat kilat terlintas dalam otaknya, maka ia segera mengumpulkan sisa kekuatan tenaganya. Lebih dulu ia mengancam Malaekat Bumi, kemudian menunjukkan serangannya kepada Koo Han San.
Serangan itu dilakukan secara nekad. Setelah terdengar suara beradunya dua senjata yang diseling dengan suara seruan tertahan, Koo Han San dengan badan sempoyongan mundur empat-lima langkah, dadanya merah dengan darah.
Semua orang yang mengerubut Hui Kiam, telah dikejutkan oleh keadaan ini.
Hui Kiam setelah berhasil dengan usahanya, tidak menyia-nyia waktu lagi. Ia mengerahkan sisa tenaganya yang masih ada. Ujung pedangnya ditujukan kearah Malaikat Bumi.
Hampir bersamaan pada saat itu, ujung pedang lima Utusan Bulan bintang telah menyerang dengan serentak. Apabila ia tidak merobah gerakannya, sekalipun Malaikat Bumi akan binasa di ujung pedangnya, tetapi ia sendiri juga akan menjadi korbannya kelima pedang itu.
Karena keadaan mendesak, ia terpaksa merobah gerakannya. Pedangnya digunakan untuk menangkis lima pedang musuhnya.
Sementara itu terlihat pula Koo Han San yang terjun lagi ke dalam kalangan sekalipun masih terluka parah.
Dalam keadaan demikian, Hui Kiam hanya mengandalkan keberaniannya dan kenekatannya. Tetapi apabila keberanian itu mulai berkurang, itu berarti suatu tanda keputusan bagi nasibnya, karena serangan yang gagal dari Hui Kiam tadi, telah memberikan kesempatan bagi musuhnya untuk mengurung semakin ketat.
Satu jurus, dua jurus dan tiga jurus" setiap jurusan dari pihak musuhnya dirasakan bagaikan suatu tekanan yang sangat hebat.
Wajah Hui-Kiam tampak pucat, napasnya sudah mulai memburu. Ia agaknya sudah tidak mampu menggunakan pedangnya untuk menahan serangan musuh-musuhnya.
Saat itu, badannya sudah terkena empat tikaman pedang lagi, matanya dirasakan pula hampir saja ia rubuh. Pakaiannya yang putih sudah berubah merah seluruhnya.
"Murid!" demikian terdengar suara bentakan keras Koo Han San. Malaekat Bumi dan lima utusan segera menarik mundur serangannya.
Badan Hui-Kiam sudah sempoyongan tetapi ia masih memaksakan diri supaya jangan rubuh. Namun demikian, bayangan maut sudah membayangi dirinya. Ia berpikir, kali ini rasanya sangat sulit baginya untuk melepaskan diri dari bencana maut.
Koo Han San berpaling dan berkata kepada Malaekat Bumi:
"Kim Hok-hoat, kuserahkan kepadamu!"
Malaekat Bumi segera maju mendekati Hui Kiam, lalu berkata dengan suara gemetar:
"Penggali Makam, aku hendak mencincang tubuhmu. Kau keluarkan keberanianmu, untuk disajikan kepada arwah kakakku!"
Hui Kiam sangat murka. Darah menyembur pula dari mulutnya, membasahi muka Malaekat Bumi.
Malaekat Bumi memperdengarkan suara teriakan aneh. Ia sudah mengulur tangannya hendak meyambar dada Hui Kiam....
Dengan mata terbuka lebar Hui Kiam mengawasi tangan Malaekat Bumi, tetapi ia sudah tidak dapat menggerakkan kaki. Pedang di tangannya juga sudah tidak terangkat lagi.
Ia seolah-olah sudah bersedia menghadapi kematian dengan tanpa berdaya.
Dalam saat demikian kritis, tiba-tiba terdengar suara halus nyaring: "Tahan!"
Mendengar suara itu, Malaikat Bumi ketakutan. Dengan cepat ia melangkah lalu melompat mundur.
Seorang perempuan cantik jelita, muncul di tengah-tengah lapangan dengan diiringi oleh delapan orang pengawal perempuan muda.
Perempuan yang baru datang itu bukan lain daripada si cantik misterius Tong hong Hui Bun.
Parasnya yang cantik diliputi oleh hawa amarah yang nampaknya begitu hebat. Ketika sinar matanya tajam menyapu, semua orang-orang Persekutuan Bulan Emas yang ada di situ setiap orang nampaknya ketakutan setengah mati. Hanya Koo Han San seorang saja yang tidak takut. Matanya memancarkan sinar buas dan benci, tetapi hatinya juga agak gemetar.
Semangat Hui Kiam mendadak terbangun lagi. Ia berseru: "Kakak!"
Tetapi kemudian badannya sempoyongan dan akhirnya roboh.
Dua pengawal perempuan muda segera melompat maju untuk membawa Hui Kiam menyingkir ke samping dan menghentikan darahnya yang mengalir.
Dengan pandangan mata yang penuh kasih sayang Tong hong Hui Bun mengawasi Hui Kiam sejenak, kemudian berpaling dan berkata kepada Koo Han San:
"Koo Ciongkam, kau masih ingin berkata apa lagi?"
Koo Han San mundur satu langkah. Dengan suara agak gemetar ia berkata:
"Aku si orang she Koo karena merasa kekuatanku sendiri yang masih lemah, sangat menyesal tidak dapat membunuh dengan tangan sendiri kau perempuan yang sangat rendah martabatmu...."
"Tutup mulut!" demikian Tong hong Hui Bun membentak dengan suara bengis. Dengan tanpa mengunjukkan gerakan apa-apa, ia sudah berada di hadapan Koo Han San lalu ayunkan tangannya.
Suara jeritan ngeri telah terdengar. Koo Han San sudah roboh sambil menyemburkan darah dari mulutnya, sedikitpun tidak mampu melawan.
Tong hong Hui Bun memperdengarkan suara tertawa dingin lalu berpaling dan berkata kepada Malaikat Bumi:
"Kim Hok hoat, kau masih menunggu apalagi?"
Malaikat Bumi berkata sambil tertawa keras.
"Aku akan menantikan kedatanganmu di dunia akherat!"
Sehabis berkata demikian, lalu menusukkan pedangnya ke dada sendiri. Badannya lalu roboh tersungkur di tanah".
Hui Kiam yang rebah tertelentang di samping ingatannya masih belum hilang. Ketika menyaksikan keadaan demikian, diam-diam bergidik. Ia tidak menyangka bahwa wanita pujaannya itu sedemikian berwibawa, sehingga seolah-olah sudah menguasai mati hidupnya orang-orang Bulan Emas.
Tong-hong Hui Bun kemudian mengalihkan pandangan matanya ke arah para Utusan Perserikatan Bulan Emas yang berdiri dengan badan gemetar.
Belum lama berselang para Utusan Bulan Emas ini mendapat perintah untuk menghubungi partai-partai persilatan supaya menggabungkan diri dengan Persekutuan Bulan Emas.
Setiap partai persilatan yang dihubunginya tiada satupun yang berani memandang ringan. Kalau tokh ada juga orang yang berani menentang mereka itu tidak sanggup melawan kepandaiannya, sehingga para utusan itu telah malang-melintang dan menganggap dirinya seorang gagah yang disegani oleh musuh-musuhnya. Tetapi sekarang di hadapannya Tong hong Hui Bun, semua orang dari para utusan itu nampaknya sangat kecil lemah dan tidak berarti apa-apa. Alangkah ganjilnya keadaan itu.
Kepandaian Tong-Hong Hui Bun sama dengan kecantikannya, sudah mencapai ke tingkat yang tidak ada tandingannya.
Sepuluh Utusan Bulan Emas, setiap orang bagaikan kambing menantikan nasibnya hendak disembelih. Keadaan itu sangat menyedihkan. Mereka setiap orang merupakan orang-orang kuat kelas satu dalam dunia Kang-ouw, tetapi sekarang mereka telah menghadapi ancaman maut, sama sekali tidak mempunyai kekuatan untuk memberi perlawanan. Tetapi tidak seorang pun yang menunjukan sikap minta dikasihani. Mungkin mereka tahu bahwa kematian itu tidak dapat dihindarkan. Mungkin juga itu ada sifat aslinya orang gagah.
Di antara pengawal perempuan muda itu ada seorang yang berkata dengan suara nyaring:
"Silahkan tuan-tuan bertindak sendiri, jangan membuang waktu!"
Salah satu di antaranya para utusan itu lalu memperdengarkan suaranya:
"Bengcu, aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi!"
Setelah itu lalu menggorok lehernya sendiri dan roboh binasa.
Tindakan utusan itu disusul oleh kawan-kawannya sehingga dalam waktu sekejap mata saja para utusan itu semua sudah menghabiskan jiwanya sendiri di hadapannya perempuan cantik itu.
Ini mungkin merupakan suatu pembunuhan massal yang paling kejam di dalam dunia. Di bawah tekanan pengaruh yang tidak kelihatan, tiap orang sudah mengahiri hidupnya sendiri tanpa melawan.
Hui-Kiam hampir tak percaya bahwa semua itu adalah suatu kejadian yang sebenarnya. Apakah kedudukan sebenarnya Tong-hong Hui Bun ini"
Mengapa ia dapat menguasai jiwa manusia dengan begitu mudah" Apalagi orang yang binasa itu semua bukan orang-orang sembarangan.
Saat itu Tong-hong Hui-Bun sudah mengeluarkan perintah:
"Kubur jenazah mereka!"
Delapan pengawal perempuan itu dengan serentak bergerak melakukan perintah junjungannya.
Tong-Hong Hui-Bun lalu menghampiri Hui Kiam. Ia berjongkok, alisnya dikerutkan. Dengan sikap menyayang ia memeriksa semua luka di badan Hui Kiam, kemudian berkata:
"Adik, kau merasakan bagaimana badanmu?"
Suara itu halus merdu sehingga hati Hui Kiam tergoncang hebat. Sambil tertawa masam ia menjawab:
"Tidak apa-apa!"
"Sakitkah?"
"Masih sanggup bertahan!"
"Bisa jalan?"
Dengan kedua tangannya Hui Kiam menekan tanah. Badannya lompat ke atas. Rasa sakit membuat ia mengeluarkan suara rintihan tanpa sengaja, kemudian matanya berkunang-kunang, sehingga
badannya roboh lagi. Satu lengan tangan putih halus, menahan badannya yang akan roboh.
Ia menenangkan hatinya. Sambil tersenyum meringis ia berkata:
"Kakak, beginilah keadaanku sekarang, seolah-olah sudah tidak berguna sama sekali."
"Adik, kepandaian yang kau miliki, sudah susah dicari bandingannya!"
"Kakak"."
Ia masih ingin berkata sesuatu, tetapi seolah-olah tidak dapat keluarkan dari mulutnya. Sewaktu dua pasang pandangan mata saling beradu, semua kata-katanya seolah-olah sudah terucapkan dalam pandangan matanya.
"Adik, mari kita keluar, paling penting mengobati lukamu lebih dulu!"
Hui Kiam badannya terangkat oleh Tong-hong Hui Bun. Sesaat kemudian sudah berada dalam pangkuannya.
Hui Kiam lalu berkata dengan suara cemas:
"Kakak, sekujur badanku penuh darah, pakaianmu...."
"Adik!"
Tong-hong Hui Bun lalu meletakkan Hui Kiam dalam pelukannya. Pemuda yang berperawakan tegap itu, bentuk badannya lebih besar daripada Tong-hong Hui Bun, sehingga dipeluk sedemikian rupa, merupakan suatu pemandangan yang agak ganjil.
Dalam pelukan si cantik jelita, rasa sakit Hui Kiam agaknya sudah lenyap semuanya, hanya jantungnya yang dirasakan bergoncang sedemikian keras.
Di luar lembah menunggu sebuah kereta besar yang sangat mewah. Dua pengawal perempuan muda berdiri di depan kereta. Empat ekor kuda putih mulus yang akan menarik kereta itu, juga sedang menantikan dengan tenang.
Di atas kereta duduk seorang perempuan tua berambut putih dengan pakaian yang serba hitam.
Tiba di depan kereta, salah seorang pengawal perempuan muda itu buru-buru menyambut dan membuka tutup kereta:
Perempuan tua berbaju hitam itu berpaling dan bertanya:
"Dia itukah?"
Hui Kiam yang menyaksikan perempuan tua itu, nampaknya amat terperanjat, karena paras wanita itu sangat buruk. Matanya sipit, hidungnya pesek dan sepasang bibirnya teba. Di paras kulitnya yang hitam sudah banyak berkerut. Dibandingkan dengan kecantikan Tong Hong Hui Bun merupakan suatu perbandingan yang amat menyolok.
Tong Hong Hui Bun sebaliknya nampak sangat menghormati perempuan jelek itu. Ia berkata dengan nada sangat menghormat:
"Bibi Bwee, ia terluka sangat parah!"
"Letakkanlah ke dalam kereta, biar nanti kuperiksa!"
"Mungkin kita harus lekas pulang!"
Setelah berkata demikian, ia lalu masuk ke dalam kereta sambil menundukkan kepalanya. Bau harum menusuk hidung Hui Kiam sehingga menggoncangkan hati pemuda itu lagi.
Dalam kereta itu ternyata diperlengkapi tempat tidur yang sangat mewah.
Hui Kiam diletakkan di atas pembaringan. Perempuan tua yang disebut bibi Bwe oleh Tong hong Hui Bun itu ikut masuk ke dalam kereta. Setelah memeriksa semua luka di badan Hui Kiam lalu berkata:
"Jikalau tidak diobati dengan obat mujarab golongan kita, luka ini akan berobah menjadi bintik-bintik dan tanda bekas luka yang sangat jelek. Nona, ia telah kehilangan darah terlalu banyak, begitu juga tenaga murninya, kalau bukan karena latihan kekuatan tenaganya yang sudah sempurna, barangkali tidak dapat
disembuhkan lagi. Kita harus segera pulang, supaya ia dapat tidur dengan tenang. Jikalau tidak, ia tidak sanggup menahan rasa sakit karena tergoncangnya dalam kereta ini!"
Perempuan tua itu dipanggil bibi oleh Tong hong Hui Bun, sedang ia bahasakan Tong-hong Hui Bun nona, entah bagaimana hubungan yang sebenarnya antara dua perempuan itu"
Perempuan tua itu setelah berkata demikian lalu keluar lagi.
Hui Kiam segera bertanya kepada Tong hong Hui Bun:
"Siapakah dia?"
"Dia adalah Hek Bwee Hiang, pelayan ibu sejak masih muda. Adalah ia yang merawat aku sehingga dewasa. Kepandaianku sebahagian besar juga merupakan warisan kepandaiannya."
"Apakah kepandaian bibi Bwee masih di atas kakak?"
"Masih lebih tinggi satu dua tingkat!"
"Bukankah itu sudah mencapai ke suatu taraf yang tidak taranya?"
"Belum tentu, dalam rimba persilatan kepandaian ilmu silat merupakan suatu hal yang sangat aneh. Yang sudah dianggap tinggi ternyata masih ada yang lebih tinggi lagi!"
"Tetapi setidak-tidaknya sudah susah menemukan tandingan?"
"Mungkin."
"Sekarang kita hendak kemana?"
"Ke tempat kediamanku."
"Dimana?"
"Aku beritahukan kepadamu, kau juga tidak tahu. Tempat itu letaknya sangat terpencil."
"Apakah ini juga merupakan sebahagian rahasia kakak?"
"Barulah begitu."
"Jauhkah letaknya?"
"Kira-kira memerlukan perjalanan setengah hari."
"Seratus pal?"
"Kurang lebih begitu. Aku sekarang hendak menotok jalan darah tidurmu."
"Demikian kita omong-omong bukankah lebih baik?"
"Untuk mengejar waktu, kita harus melarikan kuda lebih pesat tetapi kau tidak sanggup menahan."
Sehabis berkata, dia mencium jidat Hui Kiam. Ciuman itu bagaikan satu ciuman ibu kepada anaknya. Hui Kiam bagaikan terkena strom listrik. Sesaat kemudian jalan darah tidurnya dirasakan kesemutan, ia lalu hilang ingatannya.
Entah berapa lama telah berlalu, ketika ia siuman dan membuka matanya ia lalu merasakan sangat berbeda pemandangan dan keadaan di sekitarnya. Ternyata saat itu ia sudah berada di suatu tempat tidur yang sangat mewah.
Tempat itu nampaknya tenang dan sunyi. Sejak kanak-kanak hingga dewasa, jangankan pernah tidur di tempat demikian, melihat sajapun belum pernah keadaan tempat tidur yang demikian mewah.
Disini, sebetulnya, merupakan tempat kediaman Tong-Hong Hui Bun, bahkan kamar ini mungkin kamarnya sendiri.
Sekarang ia memikirkan dengan cara bagaimana harus membalas budi perempuan cantik itu"
Ia coba membalikkan badannya ternyata sudah tidak merasakan sakit, ia hanya merasakan suatu ikatan yang tidak wajar. Ketika ia meraba dengan tangannya ia baru tahu bahwa sekujur badannya dibungkus oleh kain sutra putih. Tinggal celana dalamnya yang juga sudah diganti baru yang tidak terbungkus.
Pada saat itu, sesosok bayangan orang bergerak perlahan menghampiri tempat tidurnya dengan tanpa bersuara!
Hati Hui Kiam hampir terlompat keluar. Dengan suara perlahan ia memanggil:
"Kakak!"
Tidak ada jawaban. Ketika ia memandang dengan seksama, ternyata orang perempuan yang datang itu adalah seorang pengawal yang muda, sehingga dengan perasaan tidak enak ia bertanya:
"Nona siapakah?"
Perempuan muda itu tidak menjawab, hanya orangnya sedang berada di depan pembaringan. Terpisah oleh kelambu ia tidak kelihatan dengan tegas, tetapi samar-samar dapat dilihatnya perempuan itu berparas cantik.
Sebuah tangan yang putih halus, membuka kelambu. Sebuah paras yang cantik tetapi dingin terbentang di depan mata Hui Kiam. Paras itu tidak asing bagi Hui Kiam, tetapi bukan salah satu dari delapan pengawal perempuan yang pernah dilihatnya di dalam lembah. Hanya untuk sesaat itu ia sudah tidak ingat di mana ia pernah melihatnya.
"Penggali Makam, apakah kau masih ingat diriku?"
Nada suaranya sangat dingin, sedangkan sinar matanya mengunjukkan perasaan benci dan dendam.
Hui Kiam terkejut, tetapi sekonyong-konyong ia teringat siapa adanya perempuan itu, lalu berkata:
"Nona adakah Tang Hian Kun?"
"Kau tentunya tidak menduga, bukan?"
Ya, Hui Kiam sedikitpun tidak menduga bahwa cucu perempuan Sam Goan Lojin itu ternyata sudah menjadi pelayan Tong-hong Hui Bun. Waktu Sam Goan Lojin dibasmi oleh tangan-tangan orang jahat, di antara begitu banyak bangkai manusia tidak terdapat bangkainya Tang Hian Kun. Benar saja, saat itu ia sudah lolos dari bencana maut itu.
"Nona Tan.... "
"Penggali Makam dengarlah, aku sekarang hendak membunuh kau!"
"Apakah kau...."
Tangan Tan Hiang Kun bergerak. Sebilah belati tajam mengkilat, telah mengancam dada Hui Kiam....
Hui Kiam terperanjat, karena saat itu kepandaiannya belum pulih kembali, sekujur badannya terbungkus dengan kain sutra, sehingga tidak bisa bergerak dengan leluasa, apalagi saat itu ia sedang rebah terlentang merupakan kesempatan paling baik bagi orang untuk bertindak terhadap dirinya.
"Nona Tan, sudikah kiranya kau mendengarkan sedikit keteranganku?"
"Kau ingin berbuat apa?"
"Apakah nona lantaran urusan barang antaran kepala manusia itu?"
"Kalau kau mengerti sudah cukup."
"Kala itu aku dipermainkan oleh orang lain. Di samping itu, urusan ini juga sudah diselesaikan oleh orang yang berkepentingan sendiri."
"Orang yang berkepentingan" Siapa?"
"Wanita Tanpa Sukma!"
"Dimana orangnya?"
"Sudab meninggal!"
"Penggali Makam, tidak guna kau menyangkal. Hutang darah harus dibayar dengan darah."
"Nona, dengarlah habis kata-kataku...."
Tan Hiang Kun berkata dengan suara bengis:
"Kau mengharap ada orang datang menolong" Jangan pikir yang bukan-bukan!"
Belati di tangan Tan Hiang Kun dengan cepat ditujukan kepada Hui Kiam....
Semacam daya perlawanan dengan sendirinya telah timbul. Hui Kiam meskipun masih belum leluasa bergerak, tetapi sambil berseru keras, ia masih dapat menyerang dengan tangannya secara nekad. Walaupun ia belum sembuh dari lukanya yang parah, tetapi dengan kekuatan dan kepandaian yang dimiliki olehnya, daya perlawanan dalam keadaan sangat kritis itu, ternyata masih tidak boleh dianggap remeh.
Hembusan angin yang keluar dari serangan tangannya itu, telah membuat terpental dirinya Tan Hiang Kun, sehingga mundur sampai tiga langkah. Dalam hal ini, nona itu ternyata sudah salah hitung. Ia tidak menyangka kalau Hui Kiam masih mempunyai tenaga untuk memberi perlawanan, jikalau tidak ia pasti tidak akan bertindak begitu gegabah.
Tetapi Hui Kiam sendiri karena menggunakan kekuatan tenaga dalamnya, luka-luka sekujur badannya kambuh lagi, rasa sakit membuat dirinya pingsan.
Waktu sadar, dua tangannya dirasakan tergenggam erat oleh sepasang tangan halus.
Ketika ia membuka mata, sepasang sinar mata jeli dan penuh rasa kasih sayang sedang memandang kepadanya. Mata itu bukan lain daripada matanya Tong-hong Hui Bun.
Perasaan pertama yang timbul dalam hatinya ialah ia masih belum binasa di ujung belati Tan Hiang Kun.
Tong-hong Hui Bun dengan suara lemah lembut berkata:
"Adik, aku terlalu gegabah. Hampir saja menerbitkan bencana yang membuat kemenyesalan seumur hidup!"
Dalam hati Hui Kiam timbul perasaan manis. Ia lalu berkata sambil tersenyum:
"Kakak, entah bagaimana aku harus membalas budimu?"
Tong-hong Hui Bun melepaskan tangannya yang menggenggam sepasang tangan Hui Kiam, dengan perlahan mengusap-usap muka Hui Kiam lalu berkata dengan suara lemah lembut:
"Adik, kau tidak usah berkata demikian, asal di dalam hatimu mengingatku selamanya aku sudah merasa puas."
Hui Kiam merasa tidak seperti dapat menguasai dirinya sendiri, seluruh perasaannya sudah dibikin lumer oleh api asmara. Ia memejamkan matanya, untuk menikmati tangan halus yang bergerak di kedua pipinya. Mulutnya mengeluarkan kata-kata bagaikan dalam impian:
"Kakak, kau merupakan sebagian dari jiwaku."
"Adik ...."
Sepasang bibir yang hangat mengecup pipinya. Ia membiarkan dirinya berada dalam pelukan perempuan cantik itu.
Ia merasakan darahnya mengalir semakin kencang, jantungnya berdebar semakin keras. Suatu perasaan aneh yang belum pernah timbul selama ini, seolah-olah membakar sekujur badannya.
Dengan tanpa menguasai dirinya sendiri ia membentangkan kedua lengannya untuk balas memeluk tubuh Tong hong Hui-Bun yang langsing itu.
Suatu perasaan telah merangsang otaknya. Mereka agaknya masih belum cukup merasa puas hanya dengan begitu saja....


Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Selagi hampir tidak dapat menguasai perasaan masing-masing, Tong hong Hui-Bun tiba-tiba melepaskan tangan Hui Kiam dan berkata dengan suara memburu:
"Adik, kau tidak boleh berbuat demikian. Rawatlah lukamu baik-baik, itulah yang penting!"
Perkataan Tong-hong Hui Bun itu seolah-olah air dingin yang menyiram api asmara yang sedang berkobar. Hui Kiam membuka matanya. Ia dapat melihat bahwa perempuan cantik itu masih memandang kepadanya dengan mata penuh kasih sayang.
Ia masih hendak memeluk lagi, tetapi dicegah oleh Tong-hong Hui Bun.
"Adik, lukamu tidak ringan, pikirlah akibatnya!"
Perangai Hui Kiam yang kokoh tinggi hati dan sombong, kala itu ternyata menguasai dirinya lagi. Akal budinya telah berkata sambil tertawa menyeringai:
"Kakak, maafkan aku!"
"Adik, ini bagaimana dapat dikatakan maaf. Nanti setelah lukamu sembuh"."
Ia sengaja tidak melanjutkan ucapannya, tetapi agaknya sudah dimengerti oleh Hui Kiam.
Tiba-tiba ia teringat kejadian sangat berbahaya yang mengancam dirinya tadi. Maka lalu berkata sambil kerutkan alisnya:
"Kemana dia ?"
Kau maksudkan si budak hina Tan Hiang kun?"
"Ya !"
"Ia sudah tidak ada alasan untuk diberi hidup lagi"."
Hui Kiam bertanya dengan perasaan terkejut.
"Aku tidak bisa bertindak sendiri!"
"Tetapi di mana orangnya sekarang?"
"Dalam tahanan untuk menantikan hukumannya."
"Aku ingin bertemu dengannya!"
"Kau... ingin bertemu dengannya, mengapa?"
"Ada sedikit hal aku perlu menjelaskan kepadamu. Ia mengalami kejadian yang patut dikasihani maka perbuatannya itu dapat dimaafkan!"
"Baik, kuiringi kehendakmu!"
Sehabis berkata, ia menekan di suatu tempat dekat pembaringan. Seorang pengawal perempuan muda segera muncul dengan tindakan tergesa-gesa.
"Bawa itu perempuan hina itu kemari!" demikian Tong-hong Hui Bun memberikan perintah.
"Baik."
Pengawal perempuan itu berlalu. Tidak antara lama, Tan Hiang Kun sudah dibawa masuk ke kamar oleh dua orang pengawal perempuan muda.
Hui Kiam dengan setengah duduk dan menutup tubuhnya dengan selimut. Tong-hong Hui: Bun menyingkap kelambu, dan pengawal perempuan itu lalu menghadapkan Tan Hiang Kun ke depan Hui Kiam.
Tan Hiang Kun dengan rambut terurai dan pakaian tidak terurus, mengawasi Hui Kiam dengan sinar mata bengis.
Hui Kiam berkata dengan suara tenang:
"Nona Tan, semula ketika aku hendak berkunjung ke perkampungan, di tengah jalan telah dipermainkan oleh Wanita Tanpa Sukma. Ia minta aku membawakan barang antaran yang ternyata yang di dalamnya terisi kepala manusia. Kejadian itu sesudahnya membuat aku merasa sangat tidak enak, sehingga aku perlu menjelaskan dan menyelesaikan sendiri pada kakek dan ayahmu...."
"Hem!"
"Dengarlah habis dulu keteranganku ini. Bakal suami nona ialah Auw Yang Khie sebetulnya adalah kekasih wanitanya Wanita Tanpa Sukma. Mereka berdua bukan saja sudah mengikat janji sehidup semati, bahkan sudah menjadi suami istri yang belum resmi, karena Wanita Tanpa Sukma itu sudah mengandung."
Tan Hiang Kun nampaknya terkejut. Ia bertanya:
"Apakah keterangan ini benar?"
"Tidak ada faedahnya bagiku untuk membohongi kau. Nyonya Auw-yang Khien boleh menjadi saksi hidup, karena Wanita Tanpa Sukma pernah menjelaskan duduk perkaranya kepadanya!"
"Apa dikarenakan Wanita Tanpa Sukma membunuhnya?"
"Tepat!"
"Setelah membunuh orangnya lalu menyuruh orang mengantarkan kepalanya ke rumahku"."
"Nyonya Tan kau juga seorang perempuan. Kau tentunya dapat menggambarkan seorang gadis yang masih suci dan putih bersih, bagaimana perasaannya apabila dipermainkan oleh seorang pemuda yang justru dicintainya" Maksudnya mengantarkan kepala itu, di satu pihak sudah tentu untuk melampiaskan amarahnya.
Aku sudah tak merasakan kebahagiaan lagi.
"Wanita Tanpa Sukma telah melampiaskan kemarahannya kepada pemuda-pemuda jahat yang tidak berperasaan. Ia membunuh semua pemuda bangor dengan otak dingin, tetapi akhirnya ia juga mati terbunuh."
Tan Hiang Kun merasa pilu, air mata mengalir bercucuran. Kemudian ia berpaling dan berkata kepada Tong-hong Hui Bun:
"Harap berikan hukuman mati kepada budakmu ini!"
Dengan paras dingin Tong-hong Hui Bun berkata sambil mengulapkan tangannya:
"Bawa keluar!"
Hui Kiam tiba-tiba berkata:
"Tunggu dulu."
"Apakah perkataan adik belum habis?"
"Bukan! Bukan, aku ... minta supaya kakak bebaskannya!"
"Apa" Kau mintakan ampun untuknya?"
"Anggaplah begitu!"
"Adik, dibawa namaku aku tidak mengijinkan ada orang yang berkhianat."
Wajah Hui Kiam segera berubah, ia berkata:
"Apakah maksud kakak tidak meluluskan permintaan adikmu ini?"
Tong hong Hui Bun mengerutkan alisnya, lama tidak membuka suara, nampaknya ia sedang berpikir keras. Di satu pihak ia harus mempertahankan peraturan dalam partainya, tetapi di lain pihak ia merasa berat akan menolak permintaan dari pemuda itu. Maka sesaat lamanya ia tidak bisa mengambil keputusan.
Hui Kiam yang menampak perempuan pujaannya itu diam saja, hatinya merasa tidak enak. Sejak muncul di dunia Kang-ouw, belum pernah ia minta pertolongan lain orang, dan sekarang untuk pertama kalinya ia minta tolong, dan orang yang dimintai pertolongan itu justru merupakan orang dalam pujaan hatinya namun ternyata tidak berhasil. Bagi orang lain mungkin tidak apa-apa, tetapi bagi seorang yang beradat tinggi hati dan kokoh seperti Hui-Kiam ini pukulan itu dirasakan sangat hebat. Maka seketika itu ia lalu berkata pula dengan suara dingin:
"Kakak, tidak usah menyusahkan hatimu, semua hak berada di tanganmu!"
Tong-hong Hui-Bun membalikkan kepalanya lalu berkata sambil tersenyum:
"Adik, andaikata aku tidak terima permintaanmu, bagaimana?"
"Sudah tentu aku yang rendah tidak dapat memaksa."
"Apa" Kau yang rendah" Adik, apakah kau marah?"
"Aku tidak berani. Sudah terang banyak aku berhutang budi kepadamu, rasanya masih belum sanggup membayar."
"Adik, jikalau aku pura-pura menerima baik permintaanmu, tetapi kemudian secara diam-diam aku membunuhnya, bagaimana" Akan tetapi aku tidak dapat berbuat demikian. Lebih suka aku membohongi diriku sendiri juga tidak suka membohongi kau!"
Ucapan perempuan cantik itu benar-benar telah memberi kesan dalam sekali kepada Hui Kiam.
Sementaira itu Tan Hiang Kun lalu berkata:
"Penggali Makam, budimu aku terima di dalam hati. Harap kau jangan mintakan ampun jiwaku!"
Hui Kiam berkata sambil tertawa getir:
"Itu memang benar. Tetapi bagi aku, setelah mengambil sesuatu keputusan, tidak akan aku robah."
Tong hong Hui Bun sudah tentu dapat mengerti maksud ucapan Hui Kiam itu. Maka lalu berkata:
"Suruh ia pergi!"
Dua pengawal perempuan itu segera lepaskan tangannya. Lebih dulu Tan Hiang Kun memberi hormat dan mengucapkan terima kasih kepada Tong hong Hui Bun yang memberikan ampun kepadanya, kemudian berkata kepada Hui Kiam:
"Kalau aku benar-benar tidak mati, aku akan selalu ingat budimu ini."
"Sudahlah nona, kau jangan pikirkan itu!"
Tan Hiang Kun meninggalkan kamar itu. Dua perempuan pengawal juga berlalu setelah memberi hormat kepada junjungannya.
Setelah mereka berlalu, Hui Kiam berkata kepada To-hong Hui Bun:
"Kakak, aku harus sudah berterima kasih kepadamu."
Tang-hong Hui Bun dengan sikap manja melirik kepadanya sejenak, lalu berkata:
"Adik, encimu ini selamanya tak mau dengar perintah orang lain, tetapi terhadap kau... aku tidak bisa kata apa-apa."
"Ini suatu bukti betapa besar cintamu terhadap diriku."
"Adik, kau beristirahatlah. Sebentar kalau lukamu pecah lagi dan harus diobati lagi, kau harus merebah terlentang di atas pembaringan sepuluh hari lamanya...."
"Begitulah, tetapi ini bukan berarti kau harus rebah terlentang terus-terusan, masih bergerak di dalam kamar. Sepuluh hari kemudian, kau baru sembuh seluruhnya."
"Kakak, apakah... aku ada harganya kau cintai demikian?"
"Adikku yang tolol, sudah tentu!"
Sehabis berkata, kembali ia mencium jidat Hui Kiam dan berlalu dari kamar.
Hui Kiam sebetulnya ingin menanyakan riwayat wanita cantik itu, tetapi karena mengingat bahwa dirinya sendiri juga dirahasiakan, terpaksa ia mengurungkan maksudnya.
Begitu Tong hong Hui Bun berlalu, kamar dirasakannya kosong dan sunyi senyap. Hui Kiam terlentang sejenak. Telah dapat lihat barang-barang dan pakaian di tempat pembaringannya, nampaknya khusus disediakan untuknya. Ia turun dari pembaringan setelah menggerakkan sebentar kaki dan tangannya ia rasakan bahwa gerakannya tidak terganggu, maka segera memakai baju luarnya dan berjalan keluar.
Di luar jendela, merupakan suatu taman buatan manusia. Di situ terdapat banyak tanaman bunga beraneka warna, tetapi keadaannya sunyi tidak kelihatan bayangan seorangpun juga.
Ia berdiri melamun sejenak, lalu mengaca di depan kaca. Dari bayangan kaca ia telah mendapatkan bahwa dirinya menjadi kurus.
Di dekat kaca, terdapat sebuah pintu kecil yang menembus ke lain kamar. Dalam isengnya, Hui Kiam mendorong pintu kecil itu. Kamar itu ternyata merupakan kamar buku. Keadaannya bersih. Di situ terdapat banyak lukisan-lukisan gambar-gambar dan tulisan dari jaman kuno, hanya kitab buku bacaan yang jumlahnya tidak banyak.
Dalam keadaan beristirahat dan merawat sakitnya, buku bacaan merupakan kawan yang paling baik untuk melewatkan waktu senggang.
Setindak demi setindak ia berjalan masuk. Lebih dulu ia melihat gambar-gambar dan tulisan yang tergantung di atas tembok, kemudian menuju ke rak buku. Ketika ia memeriksa buku-buku itu, terkejutlah hatinya, karena buku-buku itu bukan merupakan buku bacaan biasa melainkan buku kitab pelajaran ilmu silat dan ilmu pedang.
la sungguh tidak menduga bahwa seorang perempuan ternyata dapat mengadakan koleksi buku-buku pelajaran ilmu silat yang begitu luas.
Buku-buku semacam itu, kebanyakan merupakan kitab wasiat, yang tidak digunakan sebagai kitab umum. Hui Kiam juga mengerti aturan itu. Ia berpikir, walaupun tidak usah mempelajari isinya, tetapi untuk melihat sejenak juga tidak halangan. Lalu sejilid demi sejilid buku-buku itu diperiksanya. Tatkala ia memeriksa ke bagian yang terakhir, sesaat ia bagaikan terpagut ular, napasnya juga merasa sesak. Apa yang dilihat sesungguhnya merupakan kejadian yang tidak terduga-duga.
Kitab yang ia baru periksa itu hanya merupakan kitab yang tidak seberapa tebal yang terlapis dengan kain sutra muda. Di bagian atas kitab itu sudah tidak ada. Di bagian kulit terdapat tulisan empat huruf timbul yang berbunyi: Thian Gie Po-kip.
Bukankah itu kitab pelajaran ilmu silat yang dia sedang cari-cari dan impi-impikan tiap malam"
Bagaimana kitab pusaka itu bisa terjatuh di tangan Tong-hong Hui Bun"
Ini sesungguhnya merupakan suatu pertanyaan yang sulit dijawab.
Menurut keterangan anak angkat perempuan Jin Ong, juga yang menjadi ibu angkat dari Wanita Tanpa Sukma, ketika sucinya Pui Cen Un terluka parah, sepotong uang logam itu ia serahkan kepada
Wanita Tanpa Sukma, serta berkata bahwa barang itu sudah terjatuh di tangan musuh lama ialah jago pedang berkedok itu. Kalau itu benar sudah terjatuh di tangan jago pedang berkedok, bagaimana bisa muncul di sini" Apakah Tong-hong Hui Bun mempunyai hubungan apa-apa dengan jago pedang berkedok itu"
Berpikir sampai di situ dengan tanpa dirasa badannya lalu menggigil sendiri, karena apabila betul demikian, maka si cantik jelita pujaan hatinya itu, adalah musuh besarnya sendiri. Hal ini sesungguhnya terlalu menakutkan dan terlalu kejam.
Ia mengharap supaya mendapat keterangan dari mulut perempuan cantik itu sendiri.
Ia juga mengharap bahwa dugaannya itu bukan merupakan suatu fakta, tapi ada sebabnya.
Kini ia baru merasakan bahwa ia sudah jatuh cinta begitu dalam terhadap diri perempuan cantik itu. Ia takut bahwa roman itu akan berobah menjadi suatu tragedi yang menyedihkan.
Akan tetapi, di dalam khawatir dan takut seperti itu, terdapat suatu perasaan girang, karena barang yang selama itu dicari-cari akhirnya telah didapatkan. Jikalau ia telah berhasil mempelajari ilmu silat yang tertulis di dalamnya, maka tidak terlalu jauh baginya untuk dapat menyelesaikan tugasnya menuntut balas dendam.
Dengan cepat ia mengeluarkan buku itu dan mulai membacanya.
Lembar pertama, juga merupakan bagian yang disobek, merupakan pelajaran ilmu pedang yang terdiri cuma satu jurus, juga adalah itu ilmu pedang yang pernah dipelajarinya sendiri dan sudah digunakan berulang-ulang. Tetapi bagian pelajaran selanjutnya ternyata lebih hebat daripada jurus yvang pertama. Gerak tipu ini dinamakan Bintang Beterbangan di Langit, sedang gerak tipu yang pertama dinamakan Melempar Pecut Memotong Aliran. Jurus ke-tiga dinamakan Tiang Menjulang ke Langit. Ilmu pedang itu seluruhnya hanya terdiri dari tiga jurus gerak tipu.
Lrembar ke-tiga memuat jurus ilmu pukulan tangan kosong. Ilmu pukulan itu dinamakan Tangan Sakti dari pelajaran Thian Gee.
Walaupun hanya satu jurus, tetapi keterangannya dan gambar-gambar yang digunakan untuk memberi contoh ternyata memakan tempat sampai lima lembar banyaknya. Dapat dibayangkan betapa dalam dan hebatnya ilmu pelajaran itu.
Selanjutnya adalah ilmu pukulan dengan menggunakan jari tangan dan gerakan kaki untuk berkelit atau menyingkir dari serangan musuh.
Di bagian terakhir merupakan penjelasan umum seluruh pelajaran itu.
Kepandaian Hui Kiam memang didapat dari bagian atas kitab Thian Gee Po-kip itu dan kini telah dapat bagian lanjutnya yang ada hubungan dengan bagian pertama. Tidaklah heran setelah ia membaca bagian terakhir ini, segera dapat melihat dan memahami intisari dari pelajaran yang sangat hebat itu. Jikalau tidak ada penjelasan umum itu, maka setiap jurus gerak tipu, tidak dapat mengeluarkan kehebatannya. Selain daripada itu, dalam pelajaran untuk melatih dan memupuk kekuatan tenaga dalam, juga diberikan keterangan sejelas-jelasnya.
Sebaliknya, apabila tidak mempunyai dasar dari pelajaran yang didapatkan dalam bagian atas, juga tidak berdaya untuk memahami pelajaran yang tertulis dalam bagian bawah. Dan apabila tidak dapat kitab bagian bawahnya maka pelajaran yang didapat dari bagian atas juga tidak dapat menunjukkan seluruh faedahnya.
Kitab Thian Gee Po-kip sebetulnya memang satu jilid, tetapi karena penciptanya Tho-tee, semula takut kitab itu akan terjatuh di tangan musuh, maka ia dirobek menjadi dua bagian oleh ia sendiri dan Hwe-tee masing-masing satu bagian. Tho tee bertugas mencari seorang yang berbakat untuk mewarisi pelajaran itu. Ia menggunakan uang logam dibelah dua sebagai barang tanda kepercayaan, agar supaya kitab itu bisa bersatu. Tindakan itu ternyata benar, karena siapapun yang mendapatkan kitab bagian bawah itu, akan merupakan barang yang tidak ada gunanya. Sedangkan pelajaran yang ditulis bagian atas, setelah ia turunkan kepada Hui Kiam, kitab itu dimusnahkan. Ini berarti kecuali Hui
Kiam seorang, di dalam dunia ini sudah tidak ada orang lain yang dapat mempelajari ilmu silat itu.
Hui Kiam adalah seorang cerdik, dalam waktu sangat singkat itu, sudah dapat menyadari maksud suhunya.
Tindakan yang sangat perlahan dan halus terdengar di belakangnya. Ia dapat menduga siapa orangnya tetapi ia tidak menoleh, masih tetap membaca bukunya dengan tenang, hanya dalam hatinya sedang memikirkan bagaimana harus membuka mulut untuk menanyakan soal ini.
Orang yang datang itu memang benar adalah Tong-hong Hui Bun. Suaranya yang penuh daya penarik, membuat Hui Kiam sesaat merasa berdebar. Ia tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya setelah ia mengetahui persoalan yang menyangkut kitab wasiat itu.
"Adik, kamar buku ini cukup menyenangkan bagimu?" Tong Hong Bui Bun bertanya.
"Sangat baik!"
"Kau sedang membaca buku?"
"Ya!"
"Buku-buku di atas rak, kau boleh membacanya sesukamu. Nanti setelah sembuh lukamu, mungkin akan dapat sedikit faedahnya."
Hui Kiam menutup bukunya, perlahan-lahan membalikkan badannya. Apa yang ia hadapi masih tetap paras si cantik yang menyilaukan itu, yang penuh kasih sayang dan sedikitpun tidak menimbulkan rasa curiga.
Perasaan pilu sebentar terlintas dalam hatinya, akan tetapi rahasia tentang kitab wasiat itu biar bagaimana harus dianggap, apalagi ia tidak boleh menerangkan asal-usulnya. Dia harus berlaku pura-pura seolah-olah tidak kenal dengan kitab wasiat itu.
"Kakak, kitab ini hanya separoh..."
"Ya, itu adalah separohnya dari Thian Gee Po-kip, nampaknya tinggal kertas yang tidak berharga."
"Bagaimana kakak dapatkan ini?"
"Ah! Untuk apa kau menanyakan soal itu?"
"Hanya tertarik oleh perasaan heran!"
"Kau heran?"
"Ya!" la coba berlagak seperti tidak mengerti kemudian berkata pula: "Kertas tidak berguna yang kau katakan ini, pernah memusnahkan Sam Goan Pang, mengakibatkan kematian jago dari Ge-see Aow-yang Hong dan suami-istri Liang Gie si-seng, tetapi akhirnya...."
Paras Tong-hong Hui Bun menunjukkan sedikit perubahan. Ia menyela:
"Akhirnya bagaimana?"
Sambil menatap paras cantik, Hui Kiam berkata:
"Mereka seorangpun tidak ada yang mendapatkan. Mungkin juga bayangannya saja mereka belum pernah melihat!"
"Apakah kau maksudkan bahwa kematian mereka itu bukan karena kitab wasiat itu?"
"Kabarnya begitu."
"Mungkin kau benar, itu hanya merupakan suatu alibi yang diciptakan oleh pembunuh orang itu untuk mengalihkan perhatian orang."
"Kakak tahu siapakah pembunuhnya itu?"
"Tahu!"
"Siapa?"
"Orang berbaju lila. Ia sudah binasa!"
"Dia?"
Hui Kiam terkejut sehingga mundur selangkah. Apakah orang berbaju lila itu adalah yang dahulu merupakan jago pedang berkedok" Kemungkinan itu memang ada. Ia tidak suka menunjukkan wajah aslinya, dan kepandaiannya hanya setingkat saja di bawah Tong-hong Hui Bun.
"Apakah kau merasa heran bagaimana aku bisa mengetahui?"
"Terus terang memang sedikit heran."
Tong-hong Hui Bun menggeser kakinya. Ia berdiri di tepi bangku di dekat badan Hui Kiam, kemudian berkata:
"Adik, apakah kau masih ingat aku pernah mengatakan kepadamu bahwa orang berbaju lila itu selalu mengganggu aku terus menerus?"
"Ya, aku masih ingat."
"Ia tahu bahwa aku mempunyai kesukaan menyimpan kitab-kitab pusaka semacam ini, maka itu ia telah mengutus orang mengirimkan kitab itu untuk dihadiahkannya kepadaku."
"Oh!"
Hui Kiam menarik napas panjang. Kekhawatiran dalam hatinya kini mulai lenyap. Karena kisah itu dihadapkan secara demikian, maka akibat yang sangat menakutkan itu tak akan terjadi atas dirinya.
Akan tetapi lain pikiran segera menyusul di alam otaknya. Itu adalah asal-usul mengenai diri orang berbaju lila. Apabila orang berbaju lila itu adalah musuhnya sendiri, tetapi ia sudah dipaksa terjun ke dalam jurang oleh Tong-hong Hui Bun, bukankah itu berarti bahwa ia sudah tidak dapat menuntut balas lagi atas dirinya"
Tetapi pikiran itu sebentar kemudian sudah ditolak olehnya sendiri, karena jago pedang berkedok dahulu bisa menggunakan senjata rahasia jarum melekat tulang, sedangkan kematian Oey Yu Hong dengan senjata itu, telah terjadi setelah orang berbaju lila itu dipaksa terjun ke dalam jurang. Orang yang mati tentu tak dapat melakukan pembunuhan.
Darimanakah orang berbaju lila itu mendapat kitab Thian Gee Po-kip ini, sucinya pernah minta Wanita Tanpa Sukma untuk menyampaikan bahwa barang itu sudah terjatuh di tangan jago pedang berkedok. Apakah si baju lila itu merampas dari tangan jago pedang berkedok"
Semakin dipikir semakin kalut.
"Adik, kau nampaknya sedang memikirkan apa-apa?"
Hui Kiam segera tersadar atas sikapnya. Ia lalu tersenyum untuk menutupi perubahan sikapnya itu.
"Aku sedang memikirkan, dengan cara bagaimana orang berbaju lila itu mendapatkan kitab wasiat ini...."
"Kau rupanya menaruh perhatian khusus terhadap soal ini."
"Itulah pembawaan dari sifat manusia. Aku memang selalu gemar mencari tahu segala urusan sampai ke dasar-dasarnya."
"Sudahlah. Soal ini kecuali kau menanyakan kepada orang yang sudah mati di dalam tanah, barangkali tidak ada orang lagi yang dapat memberitahukannya kepadamu."
Hui Kiam menganggukkan kepala dengan perasaan masgul. Ini bukan berarti ia telah menyetujui pikiran Tong-hong Hui Bun, tetapi suatu pernyataan apa boleh buat.
"Adik, ada beberapa soal ingin kuberitahukan kepadamu."
"Kakak katakan saja!"
"Karena ada sedikit urusan aku perlu meninggalkan tempat ini untuk beberapa hari saja!"
"Oh!"
"Tentang lukamu dan perawatan dirimu serta urusan makanmu, aku sudah pesan orang untuk mengurus sebaik-baiknya."
"Kakak, pergilah mengurus urusanmu dengan hati lega."
"Adik, aku hanya mengharap kau jangan keluar jauh-jauh. Taman bunga di luar kamar dan kamar buku itu, kau boleh bergerak
dengan bebas. Selain kedua tempat ini, paling baik kau jangan pergi."
"Mengapa?"
"Kemudian hari akan kuberitahukan kepadamu lagi."
"Meskipun dalam hati Hui Kiam merasa heran, tetapi ia tidak berani. Selain daripada itu, ia sendiri juga belum tentu merasa perlu untuk bergerak atau pergi jauh-jauh, maka ia lalu menjawab sambil menganggukkan kepalanya:
"Baiklah, aku akan turut pesan kakak."
Tong-hong Hui Bun lalu pergi.
Hui Kiam benar-benar merasakan kesepian. Ia seolah-olah kehilangan sesuatu. Pikirannya selalu merasa terganggu. Ia tidak dapat menduga Tong-hong Hui Bun pergi untuk mengurus urusan apa. Orangnya juga merupakan suatu teka-teki, demikian pula kelakuannya, dan tempat tinggalnya ini juga penuh rahasia.
Untungnya, dalam keadaan yang demikian ia masih merasa terhibur oleh kitab wasiat sebagai kawannya.
Kecuali di waktu-waktu makan dan tidur, setiap menit ia gunakan untuk mempelajari isi kitab Thian Gie Po-kip. Ini merupakan kesempatan yang paling baik untuk mempelajari kepandaian ilmu silat golongan perguruannya, ia juga merasakan kesulitan.
Akan tetapi ilmu silat itu merupakan ilmu silat yang sangat dalam sehingga tidak dapat dipelajari seluruhnya dalam waktu yang singkat.
Apabila Torng-hong Hui Bun nanti pulang, dia tidak akan dapat mempelajari secara terbuka, oleh karenanya maka lebih dahulu ia harus ingat dan menghafalkan baik-baik seluruh hafalannya. Ia menggunakan waktu dua hari. Setelah ingat baik seluruhnya, dia baru mulai mengadakan latihan.
Sang waktu berlalu begitu cepat dengan tanpa dirasa.
Sepuluh hari telah berlalu, luka-luka di sekujur badannya sudah sembuh seluruhnya, tetapi Tong-hong Hui Bunbelum pulang, sementara itu dia sudah berhasil memahami dua jurus ilmu pedang lanjutan ilmu pedangnya sendiri, dan ia mulai mempelajari ilmu silat dengan menggunakan tangan kosong.
Hari itu, sehabis makan siang, selagi hendak duduk dalam kamarnya, di luar samar-samar terdengar suara saling bentak. Tertarik oleh perasaan heran, dengan tanpa sadar ia berjalan menuju ke pintu tengah.
Tiba di dekat pintu, seorang pelayan wanita berdiri di tengah pintu dan menegurnya sambil memberi hormat:
"Siaohiap hendak kemana?"
"Apa yang telah terjadi di luar?"
"Ada orang datang mencari musuh!"
"Mencari musuh?"
"Ya!"
"Bagaimana orangnya?"
"Seorang perempuan berpakaian hijau yang memakai kerudung di mukanya. Katanya murid keturunan si Raja Pembunuh."
Ketika mendengar kabar tentang kedatangan perempuan berbaju hijau berkerudung itu, semangat Hui Kiam lalu terbangun. Ia lalu berkata:
"Biarlah aku yang pergi menjumpainya."
Pelayan perempuan itu nampaknya sangat keberatan. Ia berkata sambil tertawa:
"Siaohiap, di waktu hendak pergi majikan telah meninggalkan pesan...."
"Tidak izinkan aku keluar?"
"Bukan tidak mengijinkan, hanya"."
Hanya apa, ia tidak mau menerangkan.
Jodoh Rajawali 9 Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok Laron Pengisap Darah 4
^