Pencarian

Pedang Ular Mas 1

Pedang Ular Mas Karya Yin Yong Bagian 1


"PEDANG ULAR MAS
*Kim Coa Kiam* Judul Asli : Bi Xue Jian
Karya : Yin Yong
Disadur : OKT Bab 1 Kim Coa Kiam
Di saat matahari sedang turun dan rombongan gowak terbang
pulang, di satu jalanan dari pegunungan Tjin Nia di Siamsay,
seorang anak muda lagi kasi kudanya jalan pelahan-lahan,
karena ia sedang menikmati pemandangan alam mendekati
magrib yang indah permai.
Mengikuti pemuda ini ada seorang kacung umur belasan tahun,
kudanya pun kurus, dibelakang kudanya itu, kecuali bungkusan
pakaian pun ada sebuntal pelbagai kitab. Dia ini nampaknya
sibuk, sebab mulai remang-remang, majikannya masih tidak
percepat perjalanan mereka.
"Kongtjoe, jalanan disini tidak aman," ia lalu mendesak. "Nanti kita tidak dapatkan rumah
penginapan. Kalau kita ketemu begal di tengah jalan......"
Si mahasiswa tidak menyawab, dia cuma tertawa, lantas ia keprak lari kudanya.
Pemuda itu ada Hauw Tiauw Tjong alias Hong Hek, asal Siang Kioe di propinsi Hoolam,
turunan sasterawan. Ketika itu ada di jaman kerajaan Beng, tahun kelima dari Kaisar Tjong
Tjeng. Dengan perkenan ayah-bundanya, dia pergi pesiar. Pada waktu itu, pengkhianat
Goei Hian Tiong, thaykam yang berpengaruh, sudah dihukum mati karena
pemberontakannya, akan tetapi Negara belum seluruhnya aman-sentausa, malah disanasini
muncul segala begal dan berandal. Sebenarnya orang-tua itu tidak mufakat puteranya
pesiar tetapi si anak memaksa, katanya, satu laki-laki mesti "dapat baca berlaksa kitab,
dapat merantau berlaksa lie". Dia pun ada satu anak pintar dan berani.
Tiauw Tjong berangkat dengan cuma ajak seorang kacungnya itu, Hauw Kong namanya. Ia
menuju ke arah Barat. Di sepanyang jalan, ia mengicipi kepermaian gunung-gunung,
sungai dan kali. Kapan ia sampai dikaki gunung Tjiong Lam San, yang ia ketemui adalah
penduduk bermuka pucat-kuning yang kurus-kering, malah kadang-kadang mayat-mayat
kelaparan, di antara siapa pada mulutnya masih termamah sisa rumput hijau, keadaannya
sangat menyedihkan dan merisaukan hati. Mulanya, ia masih bisa menderma sejumlah
uang, tapi lama-lama, ia kewalahan sendirinya. Terlalu banyak yang mesti ditolong, dilain
pihak, uang bekalannya sangat terbatas. Tapi semua itu menginsafi ia bagaimana
kemelaratan merajalela, kesengsaraan rakyat jelata hampir merata. Walaupun semua itu,
apabila ia tampak panorama indah, hatinya lega juga.
Baru setelah ditegur kacungnya, Hauw Kongtjoe sibuk juga. Ia sudah larikan kudanya, ia
belum ketemu pondokan, sedang cuaca berubah makin remang-remang, makin gelap.
Belasan lie sudah ia kaburkan kudanya, baru ia sampai di sebuah kampung. Menampak
kampung ia dan kacungnya girang bukan main, tapi kemudian, hati mereka cemas.
Kampung itu sangat sunyi.
"Mari kita cari rumah penginapan," kata si kongtjoe.
Akhirnya Hauw Kong turun di depan sebuah pondokan, yang pakai merek Hotel Tjiang
Lam, terus saja ia kaoki tuan rumah, pemilik hotel. Ia tidak dapat jawaban, melainkan
teriakannya berkumandang dibelakang hotel, yang letaknya berdampingan sama gunung.
Itulah sambutan dari dalam lembah.....
Kembali kacung ini memanggil berulang-ulang, saban-saban ia disambuti kumandangnya.
Hotel tetap sunyi, tidak ada penyahutan, tidak ada yang keluar.
Tiba-tiba berkesiur angin yang dingin. Keduanya, majikan dan kacungnya, bergidik
sendirinya. Tiauw Tjong habis sabar, ia bertindak masuk kedalam hotel. Untuk kagetnya, ia tampak
dua tubuh mayat menggeletak dan darah hitam mengumpiang, bau amis engas
menyambar-nyambar hidung, kawanan laler terbang pergi-datang. Itulah mayat-mayat
sejak beberapa hari.
Hauw Kong, yang ikuti majikannya masuk, menjerit dan lari keluar.
Tiauw Tjong melihat kesekitarnya. Peti2 terbuka berhamburan, pintu dan jendela pecahrusak.
Teranglah sudah, hotel itu ada korbannya berandal.
Hauw Kong lihat majikannya belum juga keluar, ia masuk pula, memanggil.
"Mari kita lihat tempat lain," kata Tiauw Tjong.
Nyata di lain-lain tempat, hasilnya sama. Rumah-rumah kosong, ada juga mayat, malah
ada mayat wanita dengan tubuh telanyang bulat, ialah korban perbuatan binatang.
Jadi itu adalah kampung kosong, merupakan sebagai noraka.....
Walaupun ia bernyali besar, akhirnya, Tiauw Tjong lekas-lekas berlalu dari kampung itu.
Tanpa bicara satu sama lain, majikan dan kacungnya kaburkan kuda mereka terus kearah
Barat, sampai lagi belasan lie. Mereka sibuk sekali. Sekarang mereka merasa lapar.
Dimana mesti mondok" Kemana mesti cari barang makanan" Akhir-akhirnya, si kacung
berseru: "Kongtjoe, lihat!" Dan ia menunjuk.
Majikan itu memandang ketempat yang ditunjuk, ia lihat satu sinar terang, di tempat jauh.
"Mari kita mondok disana!" kata majikan ini, yang kembali kaburkan kudanya.
Hauw Kong, dengan kudanya seperti tulang melulu, susul majikannya itu.
Jalanan itu, makin jauh, makin sukar.
"Kalau itu ada sarang berandal, apa kita bukan cari mati sendiri?" akhirnya Tiauw Tjong
bersangsi. Sang kacung terkejut.
"Kalau begitu, jangan kita pergi kesana!" katanya.
Tiauw Tjong dongak, ia tampak awan gelap disekitarnya. Itulah mendung, tanda bakal
turun hujan. "Kita lihat dulu," kata ia, yang segera turun dari kudanya, yang ia tambat pada sebuah
pohon. Kemudian, dengan tindakan pelahan, ia hampirkan cahaya terang itu. Hauw Kong
ikuti majikan itu.
Segera setelah datang dekat, pemuda ini dapati sebuah rumah dengan dua pintu, ia punya
hati menyadi tetap. Selagi ia mengintip dipintu pekarangan, seekor anjing besar lompat
keluar, terus menggonggong, agaknya dia hendak menerjang.
Dengan bulang-balingkan cambuknya, Tiauw Tjong bikin anjing itu mundur, tapi binatang
ini masih terus perdengarkan suaranya yang berisik, hingga akhirnya daun pintu terbuka,
seorang perempuan tua muncul, sebelah tangannya mencekal pelita.
"Siapa?" tanya nyonya itu.
"Kami, orang pelancongan," sahut Tiauw Tjong. "Kami kemalaman, kami ingin minta
numpang bermalam."
"Mari masuk!" mengundang nyonya itu.
Tiauw Tjong masuk, akan dapati sebuah rumah buruk, kecuali kong, jaitu pembaringan
tanah, tak ada perabot lainnya lagi. Satu penghuni lainnya ada seorang tua yang batukbatuk
saja. Tiauw Tjong suruh kacungnya ambil kuda mereka, tapi kacung ini takut - ia ingat mayatmayat
tadi didalam hotel.
"Mari ikut aku," kata si empeh yang turun dari pembaringannya.
Dengan begitu kuda mereka dapat dibawa kedalam pekarangan.
Si nyonya tua lantas suguhkan beberapa biji kue mo-mo dan masaki satu tehkoan air
panas, tapi Tiauw Tjong tidak pernah makan santapan itu, baru beberapa gigitan saja, ia
sudah letaki pula. Ia lantas tanya, berandal siapa yang telah bunuh beberapa korban
manusia di tempat yang ia lewati.
"Berandal" Mustahil berandal demikian kejam?" sahut si empeh, yang menghela napas.
"Itulah perbuatan bagus dari tentara negeri!"
Tiauw Tjong melengak.
"Tentara negeri" Tentara negeri demikian kejam?" ia tanya. "Apa pembesarnya antap
mereka mengganas?"
Orang tua itu tertawa tawar.
"Rupanya siangkong Baru ini kali pernah merantau!" berkata dia. "Segala apa, siangkong
tak tahu! Pembesar tentara" Dia justeru ambil apa yang paling bagus! Si cantik-manis
mesti lebih dahulu diperlihatkan!"
"Kenapa rakyat tak mengadu ke kantor negeri?" tanya Tiauw Tjong.
"Apa gunanya" Itu artinya cari penyakit! Sekali kau mengadu, dalam sepuluh, delapan,
atau sembilan bagian, jiwamu bakal hilang!..........."
"Eh, bagaimana bisa jadi demikian?"
Tiauw Tjong benar-benar tidak mengerti.
"Bukankah hamba negeri itu saling melindungi" Siapa mengadu, pengaduannya ditolak,
orangnya dirangket, lalu ditahan! Siapa tidak mempersembahkan uang, dia jangan harap
keluar dari penjara!"
Pemuda itu menggeleng kepala.
"Tak nyana aku, pangrepraja di Siamsay ini demikian buruk," menyatakan ia. Ia lantas
tanya pula: "Apa perlunya tentara negeri pergi ke pegunungan?"
"Maksudnya untuk menindas berandal! Tapi sebenarnya, kebanyakan berandal jadi
berandal karena desakannya tentara juga! Kalau tentara tak berhasil membekuk berandal,
dia orang bunuh sejumlah penduduk, kepala mereka ini dihaturkan kepada seatasan
mereka, untuk minta jasa. Mereka serbu rakyat, mereka merampok dan membunuh, dan
pulangnya, bisa naik pangkat juga!"
Orang tua itu bicara makin lama makin sengit, sampai si uwah ulapi tangan berulangulang,
untuk cegah dia. Uwah ini kuatir Tiauw Tjong ada hamba negeri, itulah berbahaya.
Tiauw Tjong sendiri menghela napas, pikirannya pepat sekali. Engkongnya ada satu Thaysiang,
ayahnya adalah Soe-touw, semuanya berpangkat tinggi, ayahnya sudah letaki
jabatan, tapi semua terkenal jujur, siapa sangka, sekarang ada pembesar2 demikian jahat.
Kabarnya tentara Boan-tjioe sering mengancam perbatasan, tentara negeri bukan tangkis
musuh, akan bela Negara, mereka justeru celakai rakyat! Akhirnya, saking lelah dan
pusing memikirkan kejahatan tentara itu, Tiauw Tjong rebahkan diri niat tidur, tapi Baru dia
layap-layap, dia terperanjat dengar suara berisik dari gonggongan anjing dan
berbengernya kuda, disusul sama seruan-seruan dari kemurkaan, lantas gedoran hebat
pada pintu! Si nyonya tua hendak buka pintu, si orang tua cegah ia.
"Siangkong, pergi kebelakang untuk umpatkan diri," kata orang tua itu.
Tiauw Tjong menurut, bersama Hauw Kong, ia menyingkir ke belakang dimana mereka
dapat cium baunya batang-batang kaoliang, lalu mereka dapati tumpukan rumput. Baru
mereka sembunyi, atau mereka dengar suara pintu kena didobrak rubuh.
"Kenapa tidak lekas buka pintu?" demikian teguran bengis. Teguran ini disusul sama
hajaran kepada kuping, suaranya nyata sekali.
"Oh, looya, kita.....kita ada suami-isteri sudah tua, kuping kita tuli, kita tidak dapat
dengar......" terdengar jawaban si nyonya tua.
Tapi kembali suaranya hajaran kepada kuping.
"Jikalau tidak kedengaran, kau mesti dihajar!" demikian teguran lagi. "Lekas sembelih
ayam, lekas siapkan nasi untuk empat orang!"
"Kita sendiri bakal mati kelaparan, dari mana kita dapat ayam?" demikian suara ratapan.
Segera terdengar suara rubuh terbanting, rupanya si orang tua telah dijoroki hingga
rubuh, menyusul mana terdengarlah tangisannya si perempuan tua.
"Sudahlah, Ong!" lalu terdengar satu suara lain." Ini hari kita sudah idar2an satu harian,
kita melainkan terima cukai dua-puluh tail lebih, memang sebenarnya kita orang tidak
puas, tetapi percuma andai-kata kau hendak lampiaskan itu....."
"Tetapi orang ini, tanpa dipaksa, mana bisa jadi?" terdengar penyahutan, rupanya dari si
orang she Ong itu. "Mengenai dua-puluh tail itu, jikalau aku tidak kemplang patah kakinya
si tua-bangka, mana dia sudi keluarkan uangnya?"
"Penduduk di sini sebenarnya melarat," kata orang yang ketiga," hanya kalau kita tidak
paksa mereka, kita sendiri bakal dicaci maki oleh toa-looya......."
Selagi orang ini berkata-kata, kudanya Tiauw Tjong berbenger, beberapa hamba wet itu
heran, lantas mereka pergi keluar, untuk melihat, hingga mereka dapati dua ekor kudanya
si kongtjoe dan kacungnya.
"Si penunggang kuda tentu menginap di sini, inilah berarti hasil....." demikian kawanan
opas itu bicara satu sama lain, kemudian mereka semua kembali ke dalam, dengan
kegirangan. Tiauw Tjong kaget, ia insaf ancaman bahaya, maka itu, ia tarik Hauw Kong, akan ajak
kacung itu molos dari pintu belakang, akan menyingkir lebih jauh di jalanan ceglak-ceglok
dan banyak batunya. Hati mereka lega melihat tak ada orang kejar mereka, sedang uang
bekalan mereka berada di bebokongnya Hauw Kong. Mereka mendekam dalam pepohonan
yang lebat, terus selama satu malam itu, besoknya terang tanah, mereka keluar, akan cari
jalan besar, untuk lanjuti perjalanan.
Di tengah jalan, selagi melakoni perjalanan sepuluh lie lebih, majikan dan kacung itu
rundingkan soal membeli lagi kuda, untuk perjalanan mereka itu. Sementara itu, Hauw
Kong senantiasa mendumal, mencaci maki kawanan hamba2 negeri yang jahat dan kejam,
yang sudah siksa dan peras rakyat, hingga kejadiannya, kuda mereka pun turut lenyap.
Mereka sedang jalan terus ketika tiba-tiba, dari jalan kecil, muncul empat orang polisi,
yang bersenjatakan thie-tjio, yang membekal borgolan, dan dua diantaranya sambil tuntun
dua ekor kuda. Berdua mereka saling mengawasi, dengan melongo. Sebab itulah kuda
mereka! Jadi empat oppas itu adalah hamba2 negeri yang semalam mengganas si empeh
dan uwah rakyat jelata yang melarat.
Di pihak lain, empat oppas itu juga mengawasi majikan dan bujang itu, yang sudah tidak
keburu menyingkir, terpaksa keduanya mencoba jalan terus sambil bawa sikap
sewajarnya. "Eh, sahabat, kauorang kerja apa?" akhirnya satu oppas menegor.
Itulah, Tiauw Tjong ingat, ada orang yang aniaja si empeh tadi malam.
"Bersama aku punya kongtjoe aku hendak pesiar ke Tjiong Lam San," Hauw Kong
wakilkan kongtjoenya menjawab. Ia pun maju kedepan majikannya itu.
Dengan tiba-tiba oppas, yang dipanggil si Ong itu, sambar Hauw Kong untuk dicekal, lalu
dengan sebat, dia sambar bungkusan dibelakang orang, yang mana dia segera buka,
hingga kelihatanlah isinya uang emas dan perak. Dengan tiba-tiba juga dia jadi mata
merah, romannya jadi bengis.
"Kongtjoe" Kongtjoe apa?" dia berseru. "Kamu orang tentunya bukan orang baik2. Dari
mana harta ini" Tentu hasil pencurian! Bagus, kita dapat bekuk pencuri berikut barang
buktinya! Hayo ikut kita menghadap toa-looya!"
Terang oppas ini menghina pemuda dan bocah itu, yang dia hendak gertak, supaya
uangnya itu bisa dikantongi.
Tapi Hauw Kong cerdik, ia tidak jeri.
"Bagus!" ia bilang. "Kongtjoe ada puteranya Taydjin Hauw Soe-touw, pergi kepada
looyamu, itulah paling bagus!"
Si Ong melengak, hingga ia mundur. Mendadakan, ia tertawa.
"Aku main2 saja!" kata ia, yang romannya jadi ramah-tamah. "Boleh toh kita main-tiba
sedikit?" Menampak orang jadi manis-budi, hatinya Hauw Kong jadi besar.
"Mari pulangi kuda kita," kata ia. "Atau sebentar, menghadap kepada toalooyamu, nanti
aku mintakan presen seorang seratus rotan kepada kamu semuanya."
Semua orang terkejut.
Semua oppas itu jadi terkejut, satu antaranya yang berusia pertengahan lantas kerutkan
alis. "Inilah bahaya," ia pikir kemudian. "Sudah terlanjur, baik aku binasakan dua pitik ini,
uangnya kita rampas."
Ia telah lantas ambil putusan, mendadakan ia cabut goloknya dan bacok si bocah.
Hauw Kong kaget, ia berkelit tidak urung, pundaknya kena kebacok, darahnya lantas
ngucur. "Kongtjoe, lekas lari," berseru kacung ini, yang kecil tetapi hatinya tabah dan setia.
Tiauw Tjong pun kaget, lantas saja ia lari.
Oppas itu penasaran, ia membacok pula, tetapi sekali ini Hauw Kong bisa kelit, sesudah
mana, ia putar tubuh, akan lari juga, akan susul kongtjoenya.
"Kejar mereka!" berseru oppas ganas itu, yang lalu bersama si Ong bertiga, kejar itu
majikan dan kacung.
Bukan main kuatirnya Hauw Tiauw Tjong, ia pun tidak bisa lari keras sekali. Disaat ia
hampir kecandak, tiba-tiba dari arah depannya datang satu penunggang kuda, yang
kudanya dikasi lari dengan keras.
Empat oppas itu lihat si penunggang kuda, yang satu segera berteriak: "Kurang ajar!
Kurang ajar! Bangsat besar, kau berani lawan kita?"
"Bekuk dia! Bekuk dia!" satu oppas yang lain berteriak-teriak. "Bekuk itu penjahat!"
Kawanan oppas ini secara kedji tuduh Hauw Kongtjoe berdua sebagai penjahat. Secara
begini pun mereka mencari alasan untuk keganasan mereka.
Si penunggang kuda di depan datang semakin dekat, tidak saja ia telah lihat dua orang
lagi lari dan empat oppas lagi mengejar, ia pun dengar teriakan-teriakannya si oppas,
maka ia larikan kudanya kearah dua orang itu, setelah datang dekat, ia membungkukkan
tubuh, ia ulur kedua tangannya, nampaknya gampang sekali, ia cekal Tiauw Tjong dan
Hauw Kong, untuk diangkat naik ke belakang kudanya.
Empat oppas itu, dengan napas sengal-sengal, sudah lantas sampai kepada si
penunggang kuda, yang telah tahan kudanya, dan dia ini sudah lantas turunkan dua orang
itu sambil berkata: "Inilah mereka, sudah ditangkap!" Habis itu, ia pun loncat turun.
Penunggang kuda ini bertubuh besar, suaranya nyaring, mukanya berewokan, umurnya
kira-kira tiga puluh tahun.
"Terima kasih," kata keempat oppas, yang berlaku ramah-tamah. Mereka jerih terhadap
orang beroman gagah. Kemudian mereka angkat bangun Tiauw Tjong dan Hauw Kong,
yang jatuh ke tanah.
Penunggang kuda itu awasi Hauw Kongtjoe, yang muda dan sebagai mahasiswa, serta
kacungnya, yang melongo saja sebagai majikannya. Sama sekali mereka berdua tidak
mirip-miripnya dengan orang jahat.
Sekonyong-konyong Hauw Kong buka mulutnya: "Enghiong, tolong! Mereka ini hendak
merampas dan membunuh!"
"Kamu siapa?" tanya si penunggang kuda.
"Inilah kongtjoeku, Hauw Soe-touw punya......"
Hauw Kong belum sempat bicara terus atau satu oppas telah bekap mulutnya.


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saudara, kau baik ambil jalanmu sendiri, jangan kau campur urusan kami orang kantor
negeri," oppas yang usia pertengahan mengasih nasihat.
Tapi si penunggang kuda bersikap lain.
"Lepaskan tanganmu itu, biarkan dia bicara!" ia kata pada oppas yang tekap si bocah.
"Aku yang rendah ada satu anak sekolah, aku tidak bertenaga besar, mana mungkin aku
jadi penjahat....." berkata Tiauw Tjong.
"Eh, kau berani banyak bacot?" satu oppas lain menegur. Dan ia ayun sebelah tangannya,
akan gaplok mukanya si anak muda.
Penunggang kuda itu gusar, ia ayun cambuknya dengan apa ia lilit lengannya si oppas
galak, hingga gaplokannya batal. Sebaliknya, kapan si penunggang kuda betot tangannya,
dia terpelanting dan jatuh mencium bumi, hingga dua buah giginya gempur, mulutnya
mengucurkan darah! "Bagaimana sebenarnya duduknya perkara?" tegaskan si
penunggang kuda.
"Kongtjoeku sedang pesiar," Hauw Kong gantikan tuannya," lantas kami bertemu sama ini
empat orang, mereka lihat uang kami, lantas mereka hendak binasakan dan rampas uang
kami itu!" Ia lantas berlutut. "Enghiong, tolong kami....." ia memohon.
"Apakah ini benar?" si penunggang kuda tanya oppas di depannya.
Oppas itu belum menjawab atau si Ong, yang berada di belakangnya, membacok dengan
goloknya! Penunggang kuda itu dengar sambaran angin, tanpa menoleh lagi, ia berkelit
kekiri, segera ia putarkan tubuhnya, sambil mendekam sedikit, ia kirimkan dupakannya
kepada pahanya si Ong, hingga dia ini terpental dan rubuh.
"Inilah penyamun tulen!" berseru tiga oppas lainnya, sambil mereka maju menyerang.
Tiauw Tjong berkuatir, ia lihat orang tak bersenjata, akan tetapi si penunggang kuda tak
jeri dikerubuti, dengan kelit sini dan egos sana, ia hindarkan sabetan atau kemplangan
thietjio dan sabetan rantai borgolan yang digunai tiga pengepungnya.
Si Ong berbangkit, ia maju pula, ia membacok.
"Kurang ajar!" berseru penunggang kuda itu, yang kelit bacokan tapi tangannya melayang,
hingga dengan keluarkan jeritan kesakitan, hidungnya si Ong muncratkan darah, goloknya
pun terlepas, sebab segera ia tutupi mukanya dengan kedua tangannya.
Penunggang kuda itu jumput golok orang, malah terus ia pakai menyerang, atas mana,
satu oppas terluka pundaknya, kemudian menyusul terbacok kaki kirinya oppas yang
menggunai rantai, hingga dia rubuh.
Melihat demikian, oppas yang satunya lantas saja lari, disusul oleh si Ong, yang pun turut
angkat kaki, sama sekali mereka lupa dua kawan mereka.....
Penunggang kuda itu tertawa berkakakan, ia lempar golok di tangannya, ia hampirkan
kudanya untuk dinaiki.
"Tunggu dulu, inkong," mencegah Tiauw Tjong pada tuan penulungnya itu, yang ia
hampirkan. Ia mengucap terima kasih, ia tanya she dan namanya orang itu.
Orang itu awasi kedua oppas yang terluka, yang rebah di tanah sambil merintih kesakitan,
dengan mata bersorot kegusaran, mereka mengawasi.
"Disini bukan tempat bicara, mari kita pergi kesana," kata si penunggang kuda. "Kita naik
kuda." Ia lompat naik atas kudanya, perbuatannya ditelad oleh Tiauw Tjong dan Hauw Kong, yang
pun naik atas kudanya masing-masing.Dengan berendeng, mereka pergi dari tempat
kejadian itu, sembari jalan, Tiauw Tjong perkenalkan diri.
"Kau jadinya ada Hauw Kongtjoe," kata penunggang kuda itu. "Aku ada Yo Peng Kie yang
dalam kalangan kang-ouw dikenal sebagai Mo-In Kim-tjie, Sayap emas beterbangan, aku
bekerja sebagai piauwsoe kepala dari Boe Hwee Piauw-kiok."
Tiauw Tjong mengucap terima kasih.
'Coba tidak ada piauwtauw yang tolongi kami berdua, hari ini tentulah kami terbinasa
ditangan orang jahat." ia kata.
"Sekarang, baiklah kongtjoe lekas pulang," Peng Kie anjurkan. "Kau mesti beritahukan
kejadian ini kepada ayahmu, supaya ayahmu urus lebih jauh, kalau tidak, tentu kawanan
oppas itu bakal putar duduknya perkara. Terang sudah mereka ada jahat dan licik. Mereka
tidak kenal aku, tentu mereka bakal berati kongtjoe seorang."
Mendengar nasihat itu, lenyap kegembiraannya kongtjoe ini.
"Kau benar, saudara Yo," kata ia. "Terima kasih untuk keterangan kau ini. Mari kita
lakukan perjalanan ber-sama2."
Peng Kie setuju.
"Mari," sahut ia.
Hatinya Tiauw Tjong lega. Dengan dikawani itu piauwsoe, ia tak kuatir lagi.
Dua-puluh lie mereka sudah lalui, tidak juga mereka dapat pondokan. Sukur Peng Kie ada
bawa rangsum kering, ia keluarkan itu, untuk didahar bersama. Mereka singgah sebentar,
Hauw Kong cari kwali pecah, untuk masak air, supaya mereka bisa minum. Ia kumpuli
kayu kering, untuk nyalakan api.
"Si penjahat ada di sini!" tiba-tiba kacung ini dengar suara nyaring dibelakangnya. Ia
terkejut, hingga ia berjingkrak, karena mana, airnya tumpah, menyiram kayunya.
Peng Kie segera berpaling, hingga ia tampak, oppas tadi, yang kabur, telah balik bersama
belasan serdadu, dia itu sendiri kaburkan kudanya paling depan.
"Lekas naik kuda!" piauwsoe ini serukan kawan2nya. Kemudian ia kasi majikan dan
bujang itu lari didepan, ia sendiri dengan hunus golok tantoo, larikan kudanya disebelah
belakang, untuk melindungi.
"Bekuk si penjahat!" beberapa serdadu ber-teriak2.
Semua serdadu itu mengejar dengan keras.
Peng Kie telah lari jauh juga, tetapi ia dapat kenyataan, ia terpisah semakin dekat dengan
rombongan pengejarnya itu.
"Ambil jalan kecil!" ia teriaki dua kawannya.
Tiauw Tjong membiluk kejalan kecil, dibelakang ia, Hauw Kong menyusul bersama si
piauwsoe. "Kejar terus! Siapa dapat membekuk, ia akan dapat upah besar!" si oppas berteriak-teriak,
akan anjurkan belasan serdadu itu.
Melihat orang menyusul semakin dekat, terpaksa Peng Kie tahan kudanya, untuk diputar
balik, guna tunggui barisan pengejar itu, kemudian ia maju memapaki, akan menyerang.
Si oppas kaget, ia lantas mundur, tetapi belasan serdadu maju menyerang. Mereka
bersenjatakan tumbak, yang panjang, dengan lekas Peng Kie jadi repot, belum sempat ia
membacok salah satu musuh, karena goloknya pendek, pahanya telah kena tertusuk,
hingga ia merasakan sakit walaupun lukanya tidak parah. Karena ini, ia jadi kecil hati. Ia
keprak kudanya, ia berlompat kedepan, satu serdadu yang berada paling dekat, ia bacok
pundak kirinya.
Hal ini membikin serdadu-serdadu yang lain kaget, mereka merandek, justeru itu, si
piauwsoe kaburkan kudanya, untuk lari terus.
"Kejar!" berseru si oppas, yang maju pula, diikuti oleh kawan-kawannya.
Peng Kie sudah lantas dapat candak Tiauw Tjong dan Hauw Kong.
Jalanan di depan mulai jadi sempit, tapi sukar, serdadu-serdadu itu jeri terhadap si
piauwsoe, mereka tak berani maju mendekati, mereka cuma mengejar saja.
Peng Kie dapat hati, ia ajak dua kawannya lari dengan keras.
Mereka jalan di tempat banyak tikungan, ini menolong mereka, sebab tidak lama lagi,
mereka lenyap dari pemandangan matanya sekalian pengejar, yang cuma suara teriakteriakannya
saja yang masih terdengar dengan nyata.
Segera mereka menghadapi jalan cagak tiga.
"Kita turun disini!" Peng Kie kata. Ia mendahului loncat turun dari kudanya.
Tiauw Tjong dan kacungnya menuruti, mereka pun turun.
"Mari!" mengajak piauwsoe itu.
Mereka tuntun kuda mereka, masuk kedalam pepohonan yang lebat, untuk sembunyi.
Tidak terlalu lama, muncullah rombongan tentara bersama si Ong. Mereka ini agak
bersangsi melihat jalan cagak itu. Akhirnya, si Ong pilih satu diantaranya.
"Mereka tidak akan susul kita jauh-jauh, mereka bakal kembali," kata Peng Kie. "Mari
lekas!" Ia robek ujung bajunya, buat dipakai membungkus lukanya, habis itu mereka keluar dari
tempat sembunyi, naik atas kuda masing-masing, lantas mereka ambil jalan yang lain yang
diambil pengejar mereka.
Mereka sudah lari jauh juga ketika Peng Kie dengar suara berlari-larinya banyak kuda. Ia
mengerti, orang tentu sedang susul mereka. Biar bagaimana, ia sibuk juga.
Tidak jauh dari mereka, mereka lihat tiga buah rumah gubuk, di depannya, ada
penghuninya orang tani sedang bekerja. Peng Kie hampirkan orang tani itu, sembari
menjura, ia kata : "Saudara, dibelakang kami ada tentara sedang mengejar yang hendak
celakai kami, tolong kau carikan tempat sembunyi....."
Orang tani itu tetap memacul, ia seperti tidak dengar permintaan itu.
Tiauw Tjong turun dari kudanya, ia hampirkan orang tani itu, akan ulangi permintaannya
Peng Kie. Sekali ini, mendadakan orang tani itu mengawasi, dengan kedua matanya yang
bersinar. Ia mengawasi dari atas kebawah pada tiga orang itu.
Berbareng dengan itu dari antara pepohonan lebat terdengar suara suling merayu-rayu,
lantas tertampak satu bocah bercokol dibelakang seekor kerbau. Dia berumur delapan
atau sembilan tahun, kuncirnya kecil pendek nyungcung di batok kepalanya.
Dia beroman manis dan cakap, membuat orang segera sukai dia.
Melihat bocah itu, si orang tani kata padanya," Sin Tjie, bawa kuda kedalam gunung, kasi
makan rumput sepuasnya! Tunggu sampai sudah gelap, Baru kau bawa kembali."
Bocah itu pandang Tiauw Tjong bertiga.
"Baik!" ia menyahuti, terus ia hampirkan ketiga kuda orang-orang itu.
Peng Kie tidak mengerti maksud orang, ia berikan kuda mereka.
Sementara itu, suara pengejar datang semakin dekat, Tiauw Tjong sibuk.
"Mereka mendatangi...."kata ia. "Bagaimana?"
"Mari turut aku," mengajak si orang tani.
Tiauw Tjong bertiga ikut diajak masuk kedalam rumah, yang bersih keadaannya walaupun
perabotan kebanyakan ada alat2 pertanian. Mereka dibawa terus kepedalaman, sampai
disebuah kamar tidur, ketika si orang tani singkap kelambu, dibelakang itu ada tembok.
Dia menekan dua kali kepada tembok atas mana tembok itu berbunyi dan terbukalah
sebuah lobang, sehingga mereka terkejut.
"Masuklah!" kata si orang tani.
Peng Kie bertiga masuk. Mereka dapati sebuah gua yang cukup lebar.
Nyata gua itu ada gua gunung, yang sengaja dibuka. Tanpa menggempur rumah, tidak
nanti diketahui, dibelakang rumah ada lobang gua.
Orang tani itu tekan pula tembok, setelah mana, pintu gua tertutup pula. Ia terus pergi
keluar, untuk bekerja pula dengan cangkulnya seperti tadi.
Belum terlalu lama, muncullah si Ong serta belasan serdadunya.
"Eh, apa tadi ada tiga penunggang kuda lewat di sini?" Ong tanya dengan kasar.
"Baru saja dia lewat, kesana!" sahut si petani seraja menunjuk kesebuah jalan kecil.
Ong beramai larikan kudanya ketempat yang ditunjuk itu, disini mereka melalui tujuh atau
delapan lie tanpa ada hasilnya, lantas mereka kembali. Mereka hampirkan pula si petani,
utk. Ditanyakan, tapi dia ini menyahuti tidak jelas, dia mirip dengan seorang budek.
"Sudah, jangan layani si tolol!" kata beberapa serdadu. "Mari!"
Mereka larikan kuda mereka kesebuah jalan kecil lainnya.
Tiauw Tjong bertiga, dari tempatnya sembunyi, dengar suara kaburnya banyak kuda,
suaranya nyata dan lenyap, nyata pula, lenyap lagi. Selama itu, mereka tetap sibuk,
terutama sebab tuan rumah belum datang untuk membukai pintu. Peng Kie coba tolak
pintu gua, tidak ada hasilnya, sebab ia tak tahu rahasianya. Daun pintu pun tak tergerak
sedikit jua. Gua ada gelap. Terpaksa mereka duduk diam, kecuali Peng Kie, yang beberapa
kali merintih karena lukanya, hingga ia kutuki pengejar-pengejarnya.
Entah berapa waktu telah lewat, mendadakan pintu gua terbuka sendirinya dengan
menerbitkan suara, lebih dahulu muncul cahaya api kuning, lalu muncul si orang tani
dengan tangannya menyekal tjiaktay yang lilinnya menyala.
"Marilah kita dahar!" ia mengundang.
Peng Kie berlompat bangun, akan mendahului keluar, Tiauw Tjong dan kacungnya susul
dia. Mereka pergi ke thia dimana ada sebuah meja yang sudah siap dengan nasi dan
temannya, yang masih mengepul-ngepul,kecuali tauwhoe dan sayur, pun ada dua ekor
ayam yang gemuk.
Didalam ruangan itu, kecuali si orang tani dan si bocah angon, ada lagi tiga petani lainnya,
yang menantikan tetamu-tetamunya sambil berdiri.
Tiauw Tjong bertiga memberi hormat, mereka lantas perkenalkan diri.
Mendengar namanya Peng Kie sebagai piauwsoe, nampaknya orang-orang itu tak
memperdulikannya, akan tetapi mengetahui si anak muda ada puteranya Hauw Soe-touw,
semua saling memandang, lantas ada yang tanyakan halnya Hauw Soe-touw selama yang
belakangan ini.
Tiauw Tjong berikan jawaban yang sebenarnya, sesudah mana, ia minta tanya namanya
sekalian petani itu.
"Aku yang rendah she Eng," jawab seorang umur lima-puluh lebih. "Dia ini she Tjoe," dia
perkenalkan petani yang pertama. "Dan dia ini she Nie." Dia tunjuk seorang bertubuh
jangkung tetapi kurus. "Dan dia ini she Lo," ia tambahkan kepada seorang yang kate
dampak. "Aku kira tuan-tuan dari satu keluarga, tak tahunya semua berlainan she," kata Tiauw
Tjong. "Kita semua ada sahabat-sahabat baik," terangkan si orang she Eng.
Segera Tiauw Tjong dapat kenyataan, semua tuan rumah tak gemar bicara tapi gerak-gerik
mereka tak mirip dengan petani sejati; si orang she Tjoe dan Nie nampaknya keren, si
orang she Eng agung-agungan, seperti satu sasterawan. Dia coba bicara sama si orang
she Eng itu, untuk cari kepastian, tapi ia ini tidak menjawab jelas, agaknya ia seperti
mengerti dan tidak mengerti.
Habis berdahar, Baru si orang she Eng tanyakan bagaimana halnya tetamu-tetamu itu
dikejar polisi dan serdadu.
Tiauw Tjong berikan keterangan dengan jelas, karena ia terpelajar, kata-katanya teratur
sempurna dan menarik hati, apapula ketika ia menutur halnya rakyat jelata yang
bersengsara dan mati terlantar, binasa teraniaya, hingga nyata sekali kekejamannya
tentara negeri tukang rampok dan bunuh.
Semua pendengar membuka mata lebar2, si orang she Nie sampai keprak meja, alis dan
kumisnya seperti bangun berdiri, ia tentu telah membuka mulut dan mendamprat jikalau
tidak si orang she Eng lirik dia, terus ia bungkam.
Tiauw Tjong juga ceritakan halnya Yo Peng Kie tolongi ia, dengan itu ia hunjuk syukurnya
dan pujian kepada itu piauwsoe, mendengar mana, piauwsoe ini nampaknya puas sekali.
"Itulah tidak berarti apa-apa," kata Peng Kie. "Yang berbahaya adalah dulu ketika di
Shoasay, seorang diri aku bunuh Tjhin-pak Sam Hiong."
Lalu dengan bangga ia jelaskan bagaimana, dalam keteter, ia berbalik menang lawan
Tjhin-pak Sam Hiong, tiga penjahat besar dari propinsi Shoasay sebelah utara, kemudian
itu ditambah sama pelbagai pengalamannya selama sepuluh tahun, hingga katanya,
banyak penjahat tidak berani pandang enteng kepadanya.
Sedangnya piauwsoe ini menutur dengan gembira, hingga ia seperti lupa daratan, tiba-tiba
si bocah angon tertawa cekikikan.
Peng Kie pandang itu bocah, yang terus berdiam, maka ia lanjuti penuturannya, sekarang
perihal pelbagai kejadian didalam kalangan kang-ouw.
Tiauw Tjong asing dengan kaum kang-ouw, ia jadi ketarik hati.
Hauw Kong pun belum tahu apa-apa, ia puji piauwsoe itu.
Peng Kie kemudian bicara tentang ilmu silat, ia sampai gerak-geraki tangan dan kakinya,
nampaknya ia membuat gembira kepada si orang-orang tani, sampai akhirnya si orang she
Lo menguap dan kata: "Sudah tak siang lagi, marilah kita semua masuk tidur!"
Secara demikian, perjamuan ditutup, malah si bocah angon segera tutup pintu, sedang si
orang she Tjoe angkat sepotong batu besar, yang ditaruh ditempat gelap, untuk dipakai
mengganjal pintu.
Melihat batu besar itu, diam-diam Peng Kie ulur lidah.
"Ah, orang ini bertenaga besar sekali....," pikir ia. "Batu ini sedikitnya empat ratus kati
beratnya...."
Si orang she Eng rupanya lihat keheranannya si tetamu.
"Ditanah pegunungan ada banyak harimau," kata dia. "Bisa kejadian ditengah malam,
binatang buas itu datang dan menggempur pintu, maka pintu perlu diganjel..."
Belum berhenti suaranya si Eng ini atau mendadakan terdengar sampokan angin dahsyat
di luar gubuk, diantara pepohonan, sampai daun-daun dan cabangnya perdengarkan suara
menderu-deru, daun pintu dan jendela bagaikan tergetar, kemudian itu disusul sama
gerungan panjang dan hebat, akan akhirnya terdengar juga suaranya kuda dan kerbau.
"Lihat, binatang itu datang pula untuk berkurang ajar!" kata si Eng.
Si Nie berbangkit, dari belakang pintu, ia ambil sepotong kongtjee, cagak seperti tumbak.
"Sekali ini dia tak dapat dikasi lolos lagi!" kata ia bagaikan berseru. "Sin Tjie, kau pun
turut!" Si bocah angon menyahuti, ia lari kedalam kamar sebelah kanan, dari mana ia keluar pula
dengan tangan mencekal sebatang tumbak pendek dan dipinggan tergendol kantong kulit.
Si Tjoe sudah lantas geser batu besar, ia terus buka pintu, hingga berbareng dengan
terpentangnya pintu itu, angin keras menghembus masuk, membawa juga daun-daun
kering, hingga lilin lantas padam.
Hauw Kong kaget hingga ia menjerit.
Si Nie loncat keluar, diturut oleh si bocah angon, yang bernama Sin Tjie.
"Aku turut!" kata Peng Kie seraja ia djumput goloknya. Tapi Baru ia bertindak selangkah
atau mendadakan lengannya ada yang cekal,ketika ia coba tarik tangannya, ia rasai
cekalan keras sekali, lima jari si pencekal bagaikan jari-jari besi saja.
"Jangan keluar, binatang buas itu ganas sekali!" demikian satu cegahan dengan suara
serak. Lagi sekali Peng Kie geraki tangannya, untuk loloskan cekalan, apamau, ia tidak berhasil,
maka akhirnya, terpaksa ia duduk pula. Baru setelah itu, cekalan kendor sendirinya.
Di luar, segera terdengar seruannya si Nie beberapa kali, bercampur sama gerungannya
sang harimau, diantara mana, ada pula suaranya kongtjee, sedang angin masih menderuderu.
Juga ada terdengar seruan kecil tapi nyaring dari si bocah angon.
Itu semua menandakan bahwa pertempuran sedang berlangsung antara si raja hutan dan
dua petani. Adalah kemudian, suara berisik mulai berkurang, terdengarnya semakin jauh,
makin jauh, rupanya binatang liar itu kabur dan dikejar lawannya.


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si Lo segera nyalakan batu tekesan, untuk sulut lilin, hingga kelihatan, ruangan
tersebarkan banyak daun kering.
Hauw Kong duduk diam, mukanya sangat pucat, sedang Tiauw Tjong nampaknya jeri.
Malah Peng Kie, si piauwsoe yang tadi omong besar, sekarang nampak hatinya gentar,
hingga ia diam saja.
Orang berada dalam kesunyian sekian lama, kemudian terdengar tindakan kaki cepat,
yang segera disusul dengan masuknya si bocah angon, yang terus - sambil tertawa,
wajahnya gembira - berkata separuh berseru : "Kita makan daging harimau! Kita makan
daging harimau!"
Tiauw Tjong lihat tumbak pendek orang berlepotan darah.
"Dia begini kecil, dia berani dan kosen," pikir Hauw Kongtjoe, "tapi aku, aku tidak punya
tenaga untuk sembelih ayam saja....Sungguh malu!...."
Selagi pemuda ini berpikir, si Nie bertindak masuk dengan tindakan lebar, sebelah tangan
mencekal kongtjee, sebelah yang lain menyeret harimau yang terus ia lemparkan ke
tengah thia. Tiauw Tjong kaget sampai ia dapati binatang itu tidak bergerak, tanda sudah mati.
"Sin Tjie, tadi kau menyerang setjara keliru, kau tahu tidak?" tiba-tiba si Nie kata pada si
bocah angon, yang ia awasi dengan tayam.
Bocah itu tunduk.
"Ya, tidak selajaknya aku menyerang dengan piauw depan-berdepan," ia akui.
Mendengar itu, wajahnya si Nie jadi sabar pula.
"Menyerang dari depan bukannya tak boleh," kata dia." Hanya jikalau kau hendak lepas
sepasang piauw dengan berbareng, kau mesti arah dua-dua matanya, setelah piauw
dilepaskan, kau sendiri mesti segera loncat kesamping, tetapi tadi kau gunai sebatang
piauw saja, hingga saking kesakitan, harimau itu lompat menerjang padamu, coba aku
tidak mencegah, apa jiwamu masih dapat ditolong?"
Bocah itu berdiam.
"Tapi piauwmu itu jitu sekali," kata si Nie kemudian, sebagai pujian, "apa yang kurang
adalah tenagamu. Inilah tidak heran, kalau nanti kau telah jadi besar, tenagamu akan
tambah sendirinya."
Ia angkat tubuhnya harimau, untuk dibalik, hingga kelihatan sebatang piauw lain nancap
dilobang kotoran.
"Piauw ini," katanya," apabila digunakannya dengan tenaga besar,akan nembus sampai
kedalam perut dan akan menyebabkan kematian."
"Mulai besok aku nanti berlatih dengan sungguh-sungguh," kata Sin Tjie.
Si Nie manggut, lantas ia seret bangkai harimau itu kebelakang.
Hatinya Peng Kie jadi tidak tenteram. Tadinya ia sangka mereka itu ada orang-orang tani
biasa, tidak tahunya dua diantaranya, malah yang satu adalah satu bocah cilik, dalam
sekejab saja bisa binasakan seekor harimau. Ia jadi curiga, mereka itu adalah penyamunpenyamun
dalam penyamaran rakyat jelata.
"Jikalau mereka turun tangan, mana sanggup aku lawan mereka?" pikir ia.
Sebaliknya dari si piauwsoe, Tiauw Tjong tidak curiga apa-apa, ia malah puji si bocah,
yang tangannya ia cekal dan usap2. Ia pun tanya she dan namanya.
Bocah itu melainkan tertawa, ia tak menjawab.
Malam itu, Tiauw Tjong tidur bertiga bersama Peng Kie dan Hauw Kong. Si kacung pulas
dengan cepat. Tiauw Tjong sukar tidur, maka selang tak lama, ia dengar suara orang baca
buku. Ia lantas kenali suaranya si bocah angon. Bocah itu membaca dalam dialek
Kwietang, ia heran. Lebih2 ia heran akan dapati, buku yang dibaca adalah buku yang ia
tidak kenal. Mungkin itu ada kitab ilmu perang. Maka akhirnya ia berbangkit, ia turun dari
pembaringan akan bertindak ke thia.
Duduk menghadapi api lilin, si bocah terus baca bukunya, disampingnya duduk si Eng,
yang saban2 mengajari padanya.
Si Eng manggut melihat Hauw Kongtjoe.
Tiauw Tjong mendekati, ia lihat beberapa jilid buku diatas meja, kemudian ia djumput satu,
yang berkalimat "Kie Kauw Sin Sie" ialah kitab ilmu perang karangannya jenderal Tjek Kee
Kong. "Saudara," kata ia kemudian, saudara semua bukannya orang-orang biasa, kenapa
saudara beramai hidup menyendiri disini" Maukah saudara kasi keterangan padaku?"
"Kita adalah petani biasa saja," sahut si Eng. "Kita hidup bertani sambil memburu, kalau
kita pun baca buku. Itu biasa saja, bukan" Kenapa kongtjoe heran?"
Tiauw Tjong tak enak sendirinya.
"Maafkan aku, aku telah mengganggu," kata ia, yang terus manggut, untuk kembali
kekamarnya. Sekali ini, rebahkan diri, Tiauw Tjong dapat tidur, tapi, sedang ia layap-layap, ia sedar pula,
sebab Peng Kie goyang tubuhnya dengan piauwsoe itu terus berbisik: "Mari kita pergi,
inilah sarang penjahat!....."
Pemuda itu kaget.
"Bagaimana kau ketahui?" ia tanya "Mari lihat!" Peng Kie berbisik pula. Ia nyalakan api,
akan suluhi sebuah peti kayu, yang ia buka tutupnya. "Lihat, kongtjoe!"
Kembali Tiauw Tjong kaget. Ia lihat peti itu muat banyak sekali emas dan perak dan barang
permata. Ia sampai tergugu.
Peng Kie serahkan api pada si anak muda, ia sendiri angkat minggir peti itu, dibawah
mana ada sebuah peti lain, yang dikunci, akan tetapi selagi ia berkutetan, Tiauw Tjong
mencegah. "Sudahlah, jangan bongkar lebih jauh rahasia orang," kata pemuda ini. "Kita bisa terbitkan
onar....."
"Tetapi didalam sini ada bau luar biasa," Peng Kie bilang.
"Bau apakah itu?"
"Bau bacin amis!"
Tiauw Tjong berdiam.
Peng Kie patahkan rantai kuntji, lalu ia pasang kuping, apabila ia tidak dengar suara apaapa
dari luar, ia buka tutup peti itu, ia sambuti api, untuk menyuluhi.
Kesudahannya ini, keduanya berdiri tercengang, mukanya Hauw Kongtjoe pucat.
Didalam peti itu ada dua kepala manusia, yang satu rupanya sudah sekian lama dikutungi
batas lehernya, sebab darahnya sudah hitam, yang satunya pula, masih Baru, tapi duaduanya
seperti telah dipakaikan obat, karena masih belum rusak.
Peng Kie ada orang kang-ouw, ia toh lemas kaki dan tangannya.
"Mari kita pergi!" kata pula si piauwsoe, sesudah ia dapat pulang ketabahannya dan kedua
peti ia susun rapi seperti tadinya. Habis itu, ia pun kasi bangun pada Hauw Kong, untuk
ajak si kacung singkirkan diri.
Api telah dikasi padam, dengan raba sana-sini, bertiga mereka pergi ke thia, terus kepintu.
Disini Peng Kie dapat raba batu besar, memegang mana, ia mengeluh di dalam hati. Ia
coba gunai antero tenaganya, ia masih tak dapat geraki bergeming batu besar itu.
Sekonyong-konyong, menyalalah api di dalam thia itu! Dengan tiba-tiba, si Tjoe muncul
dengan tjiaktay di tangan, tjiaktay yang lilinnya menyala.
Dalam kagetnya, Peng Kie hunus goloknya. Ia niat bikin perlawanan meskipun hatinya
keder. Tapi si Tjoe bersikap tenang.
"Kauorang hendak berlalu?" tanya dia, yang lantas hampirkan batu besar, untuk diangkat
kesamping, lalu ia buka pintu." Persilakan!"
Dengan kepala tunduk, Peng Kie bertiga keluar dari pintu, mereka hampirkan kuda
mereka, akan buka tambatannya, lalu dengan menunggang binatang tunggangan itu,
malam2 mereka kabur, kearah timur. Tidak satu diantara mereka, yang buka mulut. Mereka
laratkan kuda mereka, sampai belasan lie jauhnya, Baru mereka mulai merasa legaan.
Tiba-tiba terdengar berketoprakannya kaki kuda disebelah belakang mereka, segera
terdengar suara nyaring dari satu orang: "Hei, berhenti! Berhenti!"
Mereka kaget, mereka jadi takut pula, mereka kabur terus, kuda mereka dikepraki.
Sekonyong-konyong satu orang melesat disampingnya tiga orang ini, untuk mendahului
mereka. Kudanya Peng Kie kaget, sampai binatang itu berjingkrak sendiri.
Peng Kie ayun goloknya, akan serang orang itu. Dia ini bertangan kosong, dia kelit, lantas
dia membalas menyerang.
Mereka bertempur dengan seru.
Sebelah tangan siorang tak dikenal menyambar tempilingan kanan dari Peng Kie, dia ini
angkat goloknya, akan dipakai membabat, tapi orang nyata menggertak saja, serangannya
ditarik setengah jalan, dikembalikan, buat dipakai mencekal lengan yang bersenjatakan
golok itu. "Turun!" demikian orang itu berseru sambil ia menarik dengan keras.
Peng Kie sedang membacok, tak keburu dia menarik pulang tangannya atau kelitkan itu, ia
tercekal, ia tertarik, tidak ampun lagi, dia rubuh dari atas kudanya, sedang goloknya, tahu2
sudah kena dirampas lawannya. Tapi si lawan tidak gunai senjata itu untuk balas
membacok, dia lepaskan cekalannya kepada lengan si piauwsoe, dia pakai tangannya itu
pegang golok dengan kedua tangannya, atau dilain saat, golok itu kena dipatahkan dua!
Diantara sinar guram dari bintang-bintang dilangit Peng Kie, yang dapat berdiri pula
setelah ia rubuh dari kudanya, dapat kenali lawannya adalah si Tjoe, tuan rumahnya.
"Mari turut aku kembali!" kata si Tjoe dengan tenang. Lalu, tanpa perduli apa juga, ia kasih
kudanya jalan kembali.
Peng Kie mati daya, ia naik atas kudanya, kemudian dengan satu tanda, ia ajak Tiauw
Tjong dan Hauw Kong balik. Dua kawan ini, yang telah tahan kuda mereka selagi orang
bertempur, juga tidak berdaya lagi, mereka turut tanpa bilang suatu apa.
Kapan Tiauw Tjong bertiga sampai dirumah si petani, kemana mereka lantas masuk,
mereka lihat ruangan tengah terang sekali dengan api lilin. Si bocah angon bertjokol ditengah-
tengah,dikiri dan kanan, duduk empat orang lainnya ialah si Lo, si Eng, si Tjoe dan
si Nie. Semua mereka berdiam, roman mereka sungguh-sungguh, hingga nampaknya jadi
keren. Peng Kie percaya dia ada bakalan mati, maka ia jadi berani.
"Hari ini Yo Thayya terjatuh di tangan kamu, hayo jangan banyak omong lagi, hendak
kamu bunuh, bunuh!" kata ia dengan gagah.
"Eng Toako, bagaimana?" tanya si Tjoe.
Orang yang ditanya itu diam saja, cuma romannya tetap keren.
"Merdekakan Hauw Kongtjoe dan kacungnya, bunuh orang she Yo ini!" si Nie gantikan
menjawab. "Orang she Yo ini menjadi piauwsoe, dengan begitu ia jadi anjingnya segala hartawan,"
kata si Eng akhirnya, "pantas saja jikalau dia dibikin mampus. Tapi sekarang ini dia telah
hunjuk perbuatan mulia dan gagah dengan membantu Hauw Kongtjoe, dia pun berani, baik
kasi dia ampun. Saudara Lo, silakan kau bikin bercacat dua anggauta penggapeannya."
Si Lo lantas saja berbangkit.
Mukanya Peng Kie jadi pucat, saking kaget.
Tiauw Tjong tidak mengerti bahasa rahasia orang Kang-ouw, ia tak tahu, dengan
"anggauta penggape" diartikan sepasang mata, yang mesti dikorek buta. Ia cuma duga,
orang hendak bikin celaka piauwsoe penolongnya itu. Maka itu, ia ingin buka mulut, untuk
mohonkan keampunan.
Tiba-tiba si bocah angon kata : "Entjek Eng, kasihan aku melihat dia, kasi ampun saja
padanya!" Si Eng dan tiga kawannya saling memandang, semua berdiam, tapi akhirnya, dia kata pada
Yo Peng Kie, si piauwsoe: "Sekarang telah ada orang yang mohonkan keampunan bagimu,
bisa atau tidak kau bersumpah akan tak bocorkan apa yang kau alami disini malam ini?"
"Sebenarnya tak niat aku menyelidiki segala apa disini, hanya kebetulan saja aku
menemuinya," sahut Yo Peng Kie. "Aku harus sesalkan diriku, yang seperti tidak punya
mata, hingga tak dapat aku kenali siapa adanya enghiong semua. Aku janji, sejak ini aku
tidak nanti melangkah ke Siamsay ini sekalipun setengah tindak. Mengenai urusan
saudara-saudara disini, aku sumpah akan tutup mulut seperti rapatnya botol. Dibelakang
hari, apabila aku langgar sumpahku ini, Langit dan Bumi bakal binasakan aku!"
"Bagus!" berseru si Eng. "Aku percaya kau ada satu laki2 sejati! Pergilah!"
Peng Kie angkat kedua tangannya, untuk memberi hormat, lalu ia memutar tubuh.
Mendadakan, si Nie berbangkit dari kursinya.
"Apakah kau hendak pergi secara begini saja?" dia menegur.
Peng Kie melengak, tapi segera ia mengerti maksud orang. Ia lantas tertawa meringis.
"Baiklah," kata ia. "Kasi aku pinjam golok!"
Si Tjoe keluarkan sebatang golok dari kolong meja, dengan dilintangi, dia lemparkan
kepada piauwsoe itu.
Peng Kie sambuti golok itu, ia maju mendekati meja, diatas mana, ia letaki tangan
kanannya dengan semua jarinya dibeber, kemudian cepat luar biasa, ia membacok dengan
tangan kiri, hingga sapatlah empat buah djarinya.
"Seorang yang berbuat, seorang yang tanggung jawab!" kata dia sambil tertawa. "Semua
pekerjaanku tidak ada sangkutannya dengan si orang she Hauw!"
Semua orang kagum melihat ketangguhannya piauwsoe ini.
"Bagus!" berseru si Nie, yang perlihatkan jempolnya. "Beginilah selesainya urusan malam
ini!" Terus ia bertindak kedalam, akan keluar pula dengan cepat bersama obat luka dan kain
putih untuk obati dan bungkus tangannya piauwsoe she Yo itu.
Peng Kie tidak mau berdiam lama, setelah selesai pengobatan, ia kata pada Hauw
Kongtjoe," Mari kita berangkat!"
Tiauw Tjong lihat muka orang pucat, ia mengerti penolongnya ini menahan sakit yang
hebat, ia berniat mengajak menanti dahulu, tetapi ia tak bisa buka mulutnya untuk
mengutarakan itu.
Si Eng lihat segala apa didepannya, ia kata: "Hauw Kongtjoe, kalau dibicarakan, kau dan
kita sebenarnya ada hubungan satu sama lain. Sahabat she Yo inipun ada satu laki-laki,
maka baiklah, aku nanti berikan barang ini kepadamu!"
Dari sakunya, si Eng keluarkan serupa barang, yang dia terus serahkan pada si anak
muda. Kapan Tiauw Tjong sudah sambuti, dia lihat itu adalah sepotong tek-pay atau surat bambu
dengan huruf-bakaran "San Tjong", sedang bagian belakangnya, pun dibakar hangus
merupakan tali air. Ia tidak tahu, apa artinya tek-pay itu.
"Sekarang ini Negara sedang kacau," berkata si Eng pula, "kau ada satu mahasiswa
lemah, tak selayaknya kau berkelana, dari itu, aku kasi nasihat padamu, baik kau lekas
pulang. Umpama kau hadapi bahaya ditengah jalan, kau keluarkan tek-pay ini, nanti
ancaman bencana akan berubah menjadi keselamatan."
Tiauw Tjong periksa tek-pay itu, masih ia tak dapatkan keanehan atau kemujizatannya,
maka itu, ia mau percaya, itu adalah benda yang cuma membawa alamat baik.....
"Terima kasih," kata ia akhirnya seraya serahkan tekpay itu kepada Hauw Kong, untuk
disimpan dalam buntalan.
Habis itu, tiga orang itu pamitan, mereka berlalu dengan naik kuda mereka. Sekarang
mereka jalan malam2, dengan pelahan-lahan, terus sampai terang tanah diwaktu mana
mereka sampaikan sebuah kampung.
"Kita singgah disini," mengajak Tiauw Tjong.
Mereka cari pondokan, untuk beristirahat satu hari dan satu malam, akan besoknya pagi,
mereka lanjuti perjalanan mereka. Kembali mereka lewati dusun dimana tentara negeri
pernah rampok dan bunuh-bunuhi penduduk, tak tega melihat bekas-bekas kekejaman itu,
Tiauw Tjong ajak dua kawannya jalan ngidar. Diwaktu tengah hari, mereka singgah
ditengah jalan, lalu kemudian berangkat lebih jauh melalui dua-puluh lie lebih.
Adalah diitu waktu, dari arah depan, ada mendatangi satu penunggang kuda, yang lewati
mereka disamping mereka, selagi berpapasan, dia itu mengawasi Tiauw Tjong bertiga.
Debu mengepul selagi dia lewat.
Tiauw Tjong bertiga jalankan kuda mereka seperti biasa, tapi Baru lima atau enam lie,
mereka dengar pula tindakan kaki kuda dibelakang mereka, makin lama datangnya makin
dekat, akhirnya penunggang kuda itu lewati mereka, hingga mereka tampak orang ada
bungkus kepala dengan cita hijau, romannya gagah.
"Ini orang aneh kelakuannya," kata Tiauw Tjong. "kenapa dia balik pula?"
Memang, itulah ada penunggang kuda yang tadi papaki mereka.
Peng Kie tidak menjawab, hanya ia bilang: "Sebentar lagi, Hauw Kongtjoe, kau lari sendiri
saja!" Pemuda itu terperanjat.
"Apa" Kembali ada penyamun?" tanya dia.
"Kita jalan tak usah sampai lima lie, bakal terbit lelakon," kata Peng Kie. "Kita tak dapat
mundur, dari itu, kita mesti menerjang dan lolos!"
Hatinya Tiauw Tjong, juga kacungnya, jadi tidak tetap. Peng Kie sendiri tegang sendirinya.
Tapi masih mereka jalankan kuda mereka dengan pelahan.
Mereka Baru lewat kira-kira tiga lie, tiba-tiba terdengarlah mengaungnya anak panah, yang
melayang di udara, kemudian menyusul itu, tiga penunggang kuda, yang melintang
ditengah jalan.
Peng Kie maju didepan dua kawannya, ia rangkap kedua tangannya.
"Aku ada si orang she Yo dari Boe Hwee Piauw Kiok," ia perkenalkan diri," tetapi aku
bukannya sedang antar piauw, kita sedang bikin perjalanan saja, itulah sebabnya kenapa
aku tidak kirim karcis nama untuk mengunjungi tjiongwie. Ini ada Hauw Siangkong, yang
sedang pesiar, dia adalah satu anak sekolah. Aku harap kebaikan tjiongwie supaja kami
diberi jalan lewat."
Peng Kie berpengalaman, namanya cukup terkenal, tapi karena tangannya terluka, dan
menyangka rombongan didepannya ada punya hubungan sama rombongannya si Tjoe
beramai ia sengaja berlaku merendah.
Satu diantara tiga pemegat itu, yang tangannya tak bersenjata, tertawa sendirinya.
"Kami kekurangan uang, kami mau minta pinjam seratus tail," kata dia. Dia omong dengan
lidah Amoy, Hokkian.
Peng Kie dan Tiauw Tjong saling mengawasi dengan melengak, tak mengerti mereka akan
kata-katanya orang itu.
"Kami hendak pinjam uang seratus tail, kamu mengerti atau tidak?" tegaskan si
penunggang kuda dengan ikat kepala hijau, yang tadi mundar-mandir dengan kudanya.
Menampak orang ganas, Peng Kie jadi gusar.
"Sudah belasan tahun aku si orang she Yo berkelana, belum pernah aku menemui orangorang
begini kurang ajar!" ia berseru.


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi hari ini aku akan bikin kauorang lihat!" kata orang yang pertama buka suara, yang
lantas turunkan gandewa dan peluruh dari bebokongnya, lalu dengan beruntun, ia
lepaskan tiga biji pelurunya keudara, menjusul mana, ia memanah pula, terhadap tiga
peluru yang pertama, hingga semuanya mengenai dengan jitu, hingga kesudahannya,
enam peluru runtuh sendirinya.
Peng Kie melongo menyaksikan keliehayan orang itu, tapi djusteru itu, mendadakan ia
rasakan sakit pada lengannya kiri, hingga goloknya terlepas dan jatuh tanpa ia merasa.
Nyata ia telah dipanah peluru dengan ia tidak diketahui! Orang yang ketiga segera maju
dengan djoan-pian ditangan, dengan "Kouw teng bek sie", atau "Rotan tua melilit pohon",
segera saja ia sambar pinggangnya piauwsoe dari Boe Hwee Piauw Kiok.
Peng Kie majukan kudanya, akan menyingkir dari serangan itu.
Penjerang itu menyabat ketanah, untuk sambar dan lilit goloknya si piauwsoe, untuk ia
ambil, selagi berbuat demikian, sembari tertawa, ia majukan kudanya melewati Hauw
Kong, terhadap siapa, ia membacok, maka sekejab saja, buntalan dibelakangnya kacung
itu terputus dan jatuh. Habis membacok, dia kasi kudanya kabur terus.
Sementara itu, si tukang panah larikan kudanya, akan susul dia punya kawan, ia berlaku
begitu cepat hingga dia dapat tanggapi buntalan yang lagi jatuh hingga buntalan itu tak
sampai jatuh ketanah, cuma untuk itu, ia perlu cenderungkan tubuhnya.
"Terima kasih!" kata ia sembari tertawa, sebab ia rasakan buntalan itu antap.
Orang yang ketiga menyusul pergi, maka dilain saat, ketiganya sudah menghilang.
Peng Kie jadi sangat lesu, ia sangat berduka, karena mendongkol pun sia-sia saja, tak
sanggup ia berbuat suatu apa menghadapi tiga orang liehay itu.
Hauw Kong bingung tidak kepalang.
"Mana bisa kita pulang?" katanya. "Uang itu semua ada didalam buntalan itu...."
"Mari kita jalan," mengajak Peng Kie, yang tetap lesu. "Masih untung yang jiwa kita tidak
turut lenyap!"
Tiauw Tjong tunduk, ia ikuti piauwsoe itu. Ia lihat, memang mereka tak berdaya.
Kira setengah jam mereka sudah berjalan, lantas mereka dengar tindakan kaki kuda
dibelakang mereka, berketoprakan sangat berisik, hingga mereka menoleh, dan mereka
jadi sangat kaget. Mereka tampak, tiga penyamun tadi balik kembali, debu mengepul naik
tinggi. Peng Kie bergidik sendirinya. Entah apa maunya mereka itu.
Tiga orang itu dapat menyandak dengan cepat, selagi tiga korban mereka mengawasi
dengan bengong, ketiganya loncat turun dari kuda mereka, lalu menghadapi diaorang itu,
mereka memberi hormat.
"Nyata kita ada orang-orang sendiri!" kata satu diantaranya. "Maaf, maafkan kami. Kami
tak kenali djiewie, kami telah berbuat keliru, harap djiewie tidak buat kecil hati."
Lantas seorang diantaranya sodorkan bungkusan yang dirampasnya pada Hauw Kong. Ia
menyerahkan dengan kedua tangannya.
Hauw Kong tidak berani lantas menyambuti, ia awasi dulu kongtjoenya.
Tanpa bersangsi, Hauw Kongtjoe manggut, atas mana, kacungnya sambuti bungkusan itu.
"Aku minta tanya she dan nama djiewie?" lalu menanya orang yang bersenjatakan djoanpian,
rujung lemas. Tiauw Tjong sebutkan nama mereka, mendengar mana, orang itu mengawasi dua
kawannya, sebab heran mereka dengar, dua orang itu ada satu piauwsoe dan satu
mahasiswa putera seorang berpangkat.
"Aku sendiri she Thio dan ini dua saudara ada persaudaraan Lauw," kemudian ia
perkenalkan diri. "Hauw Kongtjoe, coba setelah bertemu, kau perlihatkan tek-pay, tak nanti
jadi terjadi salah mengerti ini. Beruntung kami tak sampai melukai kamu."
Mendengar itu, Baru Tiauw Tjong mengerti khasiatnya tek-pay itu, karena mana, ia tertawa
sendirinya. Ia tetap tidak bilang suatu apa.
"Tentunya djiewie hendak pergi ke gunung Lauw Ya San," kata pula si orang she Thio itu.
"Mari kita berjalan ber-sama2. Dua saudara Lauw ini ada asal Hokkian, mereka tak bisa
bicara dialek utara, tetapi mereka dapat mengerti omongan kita."
Dua saudara Lauw itu manggut, untuk benarkan si Thio.
Tiauw Tjong dan Peng Kie percaya mereka ini ada penyamun-penyamun besar, tetap hati
mereka tidak tenteram.
"Bersama saudara Yo ini, aku hendak pulang ke Hoolam, kami tak pergi ke Lauw Ya San,"
akhirnya Hauw Kongtjoe bilang.
Mendengar jawaban ini, nampaknya si Thio gusar.
"Lagi tiga hari adalah Pee-gwee Tjap-lak," kata dia. "Dari tempat ribuan lie kami sengadja
datang ke Siamsay ini, maka kenapa kamu, yang sudah sampai, tidak mau naik gunung?"
Bingung juga Tiauw Tjong dan kawannya. Mereka tak tahu, apa perlunya mesti panjat
gunung Lauw Ya San. Mereka tak ketahui juga, apa bakal dilakukan Pee-gwee Tjap-lak -
tanggal enambelas bulan delapan itu. Tapi mereka tak sudi akui bahwa mereka tak tahu itu
semua. "Di rumahku ada urusan sangat penting hingga aku mesti segera pulang," Tiauw Tjong
kata pula. "Dengan panjat gunung, tempomu cuma terganggu dua hari!" kata pula si Thio, romannya
tetap gusar. Dengan melewati gunung, kamu tidakhendak hunjuk hormatmu, apa dan
artinya sahabat-sahabat dari San Tjong?"
Kembali Hauw Kongtjoe bingung. Apakah itu "San Tjong?" Benda apakah itu" Peng Kie
berpengalaman, ia mengerti, tak dapat mereka tak pergi ke Lauw Ya San. Laginya, ia insaf,
bencana lebih besar bagaimana juga, mereka mesti berani hadapi, sebab itu nampaknya
mesti dihadapi. Disebelah itu, nampaknya orang tidak bermaksud buruk.
"Kita orang Baru saja bertemu, samwie ada begini baik hati, baiklah, bersama-sama Hauw
Kongtjoe, aku nanti turut samwie," akhirnya dia kata.
Dengan segera si Thio perlihatkan roman girang, dia tertawa.
"Mestinya telah aku duga, tak mestinya djiewie tak hargai persaudaraan," kata ia.
Sampai disitu, berenam mereka jalan sama-sama. Selama itu, si Thio jadi seperti
pemimpin. Dimana mereka sampai cuma dengan gerak-gerakan tangan, dengan kata-kata
yang Tiauw Tjong tak mengerti, mereka lewat tanpa rintangan, semua rumah penginapan,
semua rumah makan, tak sudi terima pembayaran penginapan dan makanan, sebaliknya,
pelayanan ada perlu dan manis sekali.
Selang dua hari, mereka ini sudah mendekati kaki gunung Lauw Ya San, gunung Gaok
Tua. Disitu mereka lantas lihat banyak orang lain, yang berlerot seperti tak putusnya,
dandanan mereka berlain-lainan, potongan orangnya pun berbeda, ada yang gemuk, ada
yang kurus, yang jangkung dan kate, hanya yang sama, mereka semua seperti mengerti
ilmu silat. Dan kebanyakan dari mereka itu kenal dengan si Thio dan dua saudara she
Lauw itu, mereka saling tegur.
Peng Kie dan Tiauw Tjong bersikap tak hendak cari tahu rahasia orang, maka itu, selagi
orang bicara, mereka sengaja berdiri jauh-jauh, tapi mereka bisa dengar pembicaraan
mereka, yang berlidah Selatan dan utara, Timur dan Barat, tidak ketentuan. Mereka pun
tahu pasti, diaorang datang dari tempat yang jauh.
Buat apa mereka datang kemari" Ini ada hal yang gelap untuk Tiauw Tjong berdua.
Malam itu, Tiauw Tjong berenam mondok disebuah penginapan dikaki gunung, untuk siap
akan besok pagi-pagi mandjat gunung Lauw Ya San.
Benar sedangnya orang bersantap sore, mendadakan ada datang satu orang yang terus
memberi kabar: "Tjouw Siangkong sampai!" Ata situ, delapan atau sembilan bagian orang
segera berbangkit dan merubul keluar dari penginapan.
"Mari kita pun melihat," mengajak Yo Peng Kie kepada Tiauw Tjong, ujung baju siapa ia
tarik. Tiauw Tjong menurut, keduanya turut keluar.
Diluar hotel, semua orang berdiri dengan rapi dan tenang, mereka seperti lagi menantikan
orang, entah siapa.
Tidak terlalu lama, terdengarlah tindakan kaki kuda diarah barat gunung, maka semua
mata ditujukan kesana.
Segera juga tertampak datangnya seorang anak muda umur dua-puluh tujuh atau delapan
tahun, yang kudanya dikasi jalan pelahan-lahan, tapi setelah dia lihat banyak orang
menyambut, dia larikan kudanya, untuk menghampirkan, setelah sampai, dia loncat turun
cepat sekali. Dari antara orang banyak segera maju seorang bertubuh besar, akan sambuti kudanya si
anak muda, siapa sendirinya bertindak, akan manggut kepada semua penyambutnya.
Ketika ia tampak seorang dengan dandanan sebagai mahasiswa, ia memberi hormat.
"Siapa tuan ini?" tanya dia.
"Aku yang rendah she Hauw," sahut Tiauw Tjong. "Bolehkah aku mengetahui she dan
nama besar dari tuan?"
"Aku ada Tjouw Tiong Sioe," jawab si anak muda, dengan lakunya hormat.
Tiauw Tjong memberi hormat sambil memuji.
Tiong Sioe bersenyum, terus ia bertindak kedalam rumah penginapan.
Peng Kie tarik sahabatnya kepinggiran.
"Nampaknya mahasiswa she Tjouw ini ada berpengaruh," berbisik dia. "Pergi kau bicara
dengannya, supaja dia ijinkan kita lanjuti perjalanan kita. Sama-sama orang sekolahan,
tentu leluasa untuk kamu berbicara...."
Tiauw Tjong anggap pikiran sahabat ini benar, ia lantas bertindak kedalam, ke pintu kamar
sianak muda, yang sudah lantas masuk kedalam sebuah kamar, Ia sengaja batuk-batuk,
sesudah mana, ia mengetok dengan pelahan. Ia pun dengar suaranya orang membaca
buku didalam kamar, yang segera berhenti setelah ia mengetok beberapa kali, segera
disusul sama terbukanya daun pintu.
"Didalam rumah penginapan ada sepi, saudara Hauw datang untuk bicara, inilah bagus!"
kata si orang she Tjouw, yang sambut tetamunya.
Tiauw Tjong masuk, segera ia tampak sejilid buku diatas meja dimana ada tulisan, rupanya
ada rencana kerajaan.
Kuatir orang curiga, Tiauw Tjong tidak mengawasi lama2, terus saja ia duduk.
Mulai bicara, Tjouw Tiong Sioe tanya asal-usul orang, atas mana Tiauw Tjong tidak
umpatkan dirinya.
"Oh!...." Tiong Sioe keluarkan seruan tertahan, apabila ia ketahui, tetamunya ada
puteranya Houw-pou Siang-sie Hauw Soen. "Ayahmu itu ada satu menteri yang putihbersih,
kami semua ada hargai dia."
"Tak berani aku terima pujian ini," Tiauw Tjong merendahkan diri. Kemudian ia ceritakan
bagaimana, sedang pesiar, ia bertemu sama oppas dan serdadu-serdadu yang jahat,
bagaimana Peng Kie tolongi dia, sampai ia ketemui orang-orang yang berikan mereka
tekpay. Ia tidak tuturkan bahwa itu malam mereka pergoki banyak emas-perak dan kepala
orang dalam peti kayu.
Tjouw Tiong Sioe tertawa.
"Inilah djodoh yang kita bertemu disini," kata dia. "Besok saudara boleh ikut aku naik
kegunung, untuk belajar kenal dengan banyak orang gagah, pasti kau akan bergembira.
Asal saudara tidak uwarkan pengalamanmu disini, aku tanggung kau tidak bakal hadapi
ancaman malapetaka."
Lega juga hatinya Tiauw Tjong mendengar kata-kata itu, karena itu, ia suka pasang
omong, terutama mengenai ilmu sastera, tetapi justeru karena ini, ia dapat kenyataan,
orang she Touw itu tidak terlalu terpelajar, sebaliknya dilain pihak, Tjouw Siangkong ini
kagumi dia. Pasang omong sampai jam dua, Baru Tiauw Tjong kembali kekamarnya dimana Peng Kie
sibuk menanti-nanti dia, piauwsoe ini sampai jalan mundar-mandir saja, dia lega hatinya
melihat si anak muda berwajah terang.
(Bersambung bab ke 2)Besoknya ada Ting Tjioe, harian tanggal lima-belas bulan delapan
yang indah, Tiauw Tjong bertiga turut Tjouw Tiong Sioe panjat gunung Lauw Ya San.
Mereka berangkat pagi-pagi, diwaktu tengah hari, sampailah mereka ditengah gunung
dimana sudah menantikan belasan orang dengan barang hidangan, untuk semua orang
berhenti sebentar, akan bersantap dan minum, untuk sekalian beristirahat, kemudian Baru
mereka mendekati terlebih jauh. Adalah sejak ini, seterusnya, saban-saban ada orangorang
yang menjaga, yang menanya dan memeriksai sesuatu pengunjung. Ketika
gilirannya Tiauw Tjong bertiga dimintai keterangan, Tiong Sioe cuma manggut pada si
petugas, lantas mereka dikasi lewat tanpa pertanyaan apa jua.
"Sungguh berbahaya!" kata si kongtjoe dalam hatinya. Ia makin insaf pengaruhnya orang
she Tjouw ini. Ia girang semalam ia telah pasang omong dengan orang ini yang
berpengaruh. Ia hanya belum tahu, apa akan terjadi terlebih jauh.
Diwaktu magrib sampailah semua orang diatas gunung dimana ada beberapa ratus orang
yang berbaris rapih, untuk menyambut, mereka itu jangkung dan kate, kurus dan gemuk,
tidak rata, semua beroman keren. Satu diantaranya, rupanya yang jadi kepala, maju untuk
sambut Tiong Sioe,sesudah mana, sambil bergandengan tangan, mereka sama-sama
masuk kedalam sebuah rumah yang besar.
Diatas gunung itu ada terdapat beberapa puluh rumah, yang letaknya berpencaran, yang
paling besar adalah rumah tadi, yang mirip dengan sebuah kuil. Tidak ada panggung atau
pagar-pagar seperti benteng, hingga keadaan itu tak mirip-miripnya dengan sarang
berandal. Peng Kie tidak sangka bahwa rumah-rumah itu ada demikian sederhana. Ini ada
pengalaman Baru bagi ia, yang sudah belasan tahun berkelana. Ia pun tidak mengerti
mengenai wajahnya semua orang itu, yang datang dari pelbagai penjuru. Mereka ada
sahabat kekal satu dengan lain, pertemuan mestinya menggirangkan mereka, tapi
buktinya, orang rata-rata ada berduka dan tak puas.....
Tiauw Tjong bertiga diantar kesebuah kamar kecil, untuk mereka sendiri, sebentar
kemudian, ada orang mengantari barang hidangan, ialah nasi serta empat macam sayur
dan dua-puluh lebih bahpauw.
"Entah apa yang mereka bakal bicarakan...."begitu Tiauw Tjong dan Peng Kie saling tanya
malam itu. Mereka tidak tahu juga, mereka itu bakal lakukan apa.
Besoknya ada Peegwee Tjaplak - tanggal enam-belas bulan delapan, Tiauw Tjong dan
Peng Kie bangun pagi-pagi, setelah bersihkan diri dan sarapan, mereka keluar akan jalanjalan
ditepi gunung. Ini kali mereka lihat juga orang-orang dengan kepala atau muka
bercacat, kurang tangan atau kaki, suatu tanda dari medan pertempuran. Mereka tidak
ingin terbitkan gara-gara, maka lekas-lekas mereka kembali kekamar mereka, terus mereka
tak keluar lagi.
Siang itu, sampai sore, barang makanan tetap sama seperti paginya, sayur melulu, hingga
Peng Kie mendumel dalam hatinya : "Celaka, orang desak aku dengan ini macam
hidangan yang tawar melulu!...."
Mendekati malam, seorang datang kekamarnya Tiauw Tjong.
"Tjouw Siangkong undang kamu ke pendopo untuk saksikan upacara," kata dia, yang
menyampaikan undangan.
Tiauw Tjong dan Peng Kie, yang sudah dandan, lantas ikut keluar.
Hauw Kong hendak turut majikannya, tapi si pengundang tolak dia.
"Saudara cilik, kau tidur saja siang-siang," katanya.
Tiauw Tjong lewati beberapa rumah batu, Baru mereka sampai di kuil, yang pakai nama
Tiong Liat Soe, tulisannya bagus dan keren.
"Entah kuil siapa ini," pikir Tiauw Tjong, menduga-duga. Bersama Tiong Sioe ia ikut
masuk terus kedalam. Di serambi, dikiri dan kanan, ada banyak para-para senjata dengan
pelbagai macam senjatanya, delapan-belas rupa, yang semua terawat baik, bersinar
bergemirlapan. Di pendopo sudah berkerumun banyak sekali orang, barangkali dua atau tiga-ribu, yang
memenuhi ruangan yang luas.
Tiauw Tjong dan kawannya heran kenapa digunung itu bisa berkumpul demikian banyak
orang. Di tengah ruangan, Tiauw Tjong lihat satu patung yang beroman sebagai satu panglima
perang, kopiahnya kopiah perang emas, jubahnya jubah perang berlapis baja, tangan
kirinya mencekal pedang kebesaran, Siang-hong Poo-kiam, dan tangan kanannya
memegang leng-kie, bendera titah.
Patung itu punyakan muka yang kecil dan bersih tapi keren romannya, kumis-jenggotnya
tiga aliran,matanya memandang kedepan, sinarnya rada guram, seperti orang berduka.
Dikedua sampingnya ada masing-masing sebaris sin-wie.
Karena ia berdiri jauh, Tiauw Tjong tidak dapat baca tulisan namanya patung itu.
Diempat penjuru ruangan dikibarkan banyak bendera, disitu pun kedapatan banyak kopiah
perang, pelbagai alat senjata dan pakaian kuda, dan benderanya beraneka-warna, ada
yang bertuliskan huruf-huruf. Disini pun semua roman ada berduka, hingga Hauw
Kongtjoe jadi sangat bingung.
Akhir-akhirnya, berbangkitlah satu orang jangkung-kurus, yang duduk disamping patung,
ia sulut lilin, ia pasang hio, lalu ia serukan : "Mulai sembahyang!"
Semua orang berlutut serentak, maka Tiauw Tjong dan Peng Kie pun turut tekuk lutut.
Tjouw Tiong Sioe maju kemuka, untuk angkat tjee-boen, untuk dibacakan.
Peng Kie tidak mengerti bunjinya tjee-boen itu, tidak demikian dengan Tiauw Tjong, yang
heran dan kaget, hingga ia keluarkan keringat dingin. Disitu pemerintah Boan dicaci habis,
dan kaisar Tjong Tjeng pun tidak dikasi hati, kaisar ini dkatakan tolol dan tak dapat
membedakan kansin dari tiongsin, antara dorna dan menteri setia, merusak Negara,
melulu menjadi orang berdosa antara cucu-cucunya Oey Tee. Lebih jauh, Beng Thay-houw
sendiri turut dicela sebab sudah membunuh Tjie Tat, Na Giok dan Lauw Kie, menteri2
berjasa. Yan Ong pun dimaki sebagai penyiksa rakyat dan Hie Tjong sebagai pekakas
orang kebiri, karena banyak menteri besar sebagai Him Teng Pek kena dihukum mati.
Tjong Tjeng dikatakan sewenang-wenang, sudah celakai "jendral" mereka, jendral (Goanswee)
yang gagah dan berjasa besar.
Sampai disitu mengertilah Tiauw Tjong, patung itu ada patung sang jendral, ialah Tok-boe
Wan Tjong Hoan dari Liauwtong yang sudah berjasa berulang-ulang melabrak angkatan
perang Boan, membinasakan Tjeng Thay-tjouw Nuerhacha, hingga bangsa Boan sangat
takut terhadapnya.
Setelah mendengar tjee-boen itu, Tiauw Tjong awasi patung, lalu ia merasakan melihat
patung itu bagaikan hidup bersemangat.
Akhirnya tjee-boen, yang membuat Tiauw Tjong kembali kaget, adalah sumpah para
hadirin untuk membasmi musuh Boan, guna melenyapkan penasaran jendral mereka
supaja rohnya si jendral puas ditanah baka.
"Hormatilah Goanswee kita serta panglima yang turut dia berkorban!" Tjouw Tiong Sioe
akhirkan pembacaannya.
Semua orang lantas menjura, atas mana satu bocah yang berpakaian berkabung, yang


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah maju kedepan, akan balas hormatnya orang banyak itu.
Melihat itu anak kecil, buat kesekian kalinya, Tiauw Tjong dan Peng Kie kaget, hatinya
berdebaran. Mereka kenali, bocah itu adalah si kacung yang berani lawan harimau, yang
dipanggil Sin Tjie! Habis pemberian hormat, semua orang berbangkit, muka mereka
berlinangkan air mata.
"Saudara Hauw," kata Tiong Sioe kemudian pada Tiauw Tjong, "saudara terpelajar tinggi,
bagaimana saudara lihat tjee-boen ini" Kalau ada yang tidak sempurna, tolong kau ubah!"
"Aku tak berani, saudara Tjouw," jawab Hauw Kongtjoe.
Tapi Tiong Sioe titahkan orang sediakan perabot tulis.
"Aku ajak saudara mendaki gunung ini justeru untuk mohon kau menulis suatu apa untuk
tambah kegemilangan dari Wan Tay-goanswee!" ketua ini.
Tiauw Tjong jadi serba salah. Ia ketahui baik penasarannya Wan Tjong Hoan, yang
terbinasa sebagai korban dari tipu-muslihat merenggangkan dan mengadu-domba dari
kaisar Boan, tapi karena goanswee itu dihukum mati kaisar, apabila dia dikatakan
penasaran, itu berarti mencela kaisar, hukuman untuk ini perbuatan adalah leher kutung!
Tapi Tiong Sioe telah memohon, bagaimana itu dapat ditolak" Dasar ia pintar, ia cuma
berpikir sebentar, lantas ia angkat pit dan menulis: "Naga kuning belum sempat dihajar,
Boe Bok sudah mengandung penasaran.
Kerajaan Han sedang menantikan kebangunan, Atau bintangnya Tjoe-kat telah guram
padam. Bagaimana menyedihkan!"
Dengan "Naga Kuning", (Oey Liong) diartikan bangsa Tartar (Liauw), sedang Boe Bok ada
gelaran suci untuk Gak Hoei, dan dengan Tjoe-kat dimaksud Tjoe-kat Liang. Setjara begini,
Tiauw Tjong bisa egos diri umpama tjee-boen itu terjatuh kedalam tangan kaisar.
Tjong Sioe senang sekali dengan tulisan itu, yang huruf-hurufnya bagus, sedang dengan
begitu, Wan Tjong Hoan dibandingkan dengan Gak Hoei dan Tjoe-kat Liang. Ia lantas
bacakan itu dan terangkan artinya pada semua hadirin, hingga mereka pun puas, semua
menghaturkan terima kasih pada mahasiswa ini. Dengan begitu, Tiauw Tjong dan Peng Kie
tidak lagi dipandang sebagai orang luar.
"Surat dan pujian saudara ini sempurna sekali," kata Tiong Sioe kemudian. "Aku nanti
perintah untuk ukir ini diatas batu disamping kuil ini."
Tiauw Tjong menjura, untuk merendahkan diri.
Habis itu, semua orang duduk kembali, lalu seorang berdiri, untuk membacakan laporan,
maka Tiauw Tjong jadi ketahui, kebanyakan hadirin ada bekas sebawahan Wan Tjong
Hoan, setelah terbinasanya Goanswee ini, mereka bubar-mencar tapi gunung Lauw Ya San
dijadikan tempat berkumpul, untuk hormati kepala perang itu.
Hal yang belum jelas bagi Hauw Kongtjoe adalah maksud terlebih dalam dari ini macam
pertempuran, rupa-rupanya mereka masih kandung maksud apa-apa.
Setelah laporan itu, pembaca acara memanggil : "Hoe Tjongpeng Tjoe Kok An dari Keetin!"
Satu orang lantas berbangkit, tetapi melihat orang itu, Tiauw Tjong dan Peng Kie terkejut.
Orang itu ada si petani she Tjoe, yang ajak ia masuk kedalam rumah gubuknya, ke gua
rahasia di dalam gunung.
"Kiranya dia ada satu panglima ternama yang menentang bangsa Liauw," pikir piauwsoe
itu. "Masih berharga bagiku yang aku kalah ditangannya...."
Tjoe Kok An berdiri buat terus berkata : "Ilmu silat pemimpin muda kita selama satu tahun
ini telah peroleh kemajuan pesat dan surat pun ia mengenal tambah banyak. Ilmu silatku,
ilmu silatnya saudara-saudara Nie dan Lo, semua telah diwariskan kepadanya, maka itu
sekarang aku hendak minta saudara-saudara pujikan lain guru untuk didik ia terlebih
jauh." "Bagus!" jawab Tjouw Tiong Sioe. "Tentang itu, sebentar kita damaikan pula. Bagaimana
urusan menyingkirkan orang jahat?"
Si Nie, si pembunuh harimau, berbangkit, menggantikan si Tjoe, yang telah berduduk pula.
Kata ia : "Si pengkhianat she Oen telah dibinasakan Lo Tjham-tjiang di propinsi Tjiatkang
dalam bulan yang lalu, dan pengkhianat Doe akulah yang bunuh pada sepuluh hari yang
lalu ketika aku susul dia di Tiang-an. Kepala mereka berdua ada disini."
Habis berkata, si Nie jumput satu kantong yang diletaki dilantai, ia buka itu, untuk
keluarkan dua kepala orang.
"Bagus, bagus!" banyak orang berseru, kemudian pun terdengar cacian dan kutukan
terhadap dua pengkhianat itu.
Tiong Sioe sambuti dua kepala orang itu, untuk diletaki diatas meja sembahyang, setelah
mana, ia berlutut menjalankan kehormatan.
Tiauw Tjong kenali dua kepala itu, ialah yang Peng Kie pergoki didalam peti kayu. Baru
sekarang ia mengerti, itulah dua musuhnya Wan Tok-boe.
Setelah itu beberapa orang lain, dengan bergiliran, keluarkan masing-masing satu kepala
orang, yang juga diletaki diatas meja sembahyang, hingga disitu semua ada belasan
kepala tanpa tubuh.
Sesuatu dari orang-orang itu berikan laporannya seperti si Nie, dari situ jadi dapat
diketahui, salah satu kepala adalah kepalanya satu giesoe yang Tiauw Tjong dengar dari
ayahnya dulu pernah dakwa Wan Tjong Hoan, yang dituduh bersekongkol hendak menjual
Negara, pantas sekarang dia dibinasakan.
"Sekarang tinggallah satu musuh besar kita terhadap siapa kita belum mencari balas!"
kata Tiong Sioe setelah pelbagai laporan itu. "Raja Tartar dan kaisar Tjong Tjeng masih
bercokol atas tahtanya! Bagaimana kita mesti menuntut balas" Coba saudara-saudara
utarakan pikiranmu masing-masing."
Seorang kate berbangkit.
"Tjouw Siangkong!" berkata ia dengan suaranya yang nyaring luar biasa, hingga Tiauw
Tjong dan Peng Kie jadi heran, sebab itulah suara tak dinyana dari soerang kate sebagai
dia. "Tio Tjongpeng hendak bicara apa?" tanya Tiong Sioe. "Silakan!"
"Menurut aku," berkata si kate itu. Tapi dia belum sempat meneruskannya ketika dari luar
muncul satu orang, sikapnya ter-gesa2, terus saja ia kata : "Tjiangkoen Lie Tjoe Seng ada
kirim utusan!...."
Mendengar ini, banyak orang perdengarkan suara tak nyata.
"Tio tjongpeng, mari kita sambut dulu utusannya Lie Tjiangkoen," Tiong Sioe mengajak.
"Baik," jawab tjhamtjiang itu, malah dialah yang mendahului bertindak keluar.
Sekalian hadirin berbangkit, untuk pergi keluar.
Pintu besar sudah lantas dipentang, dua orang, dengan obor-obor besar ditangan, berdiri
dikiri dan kanan, kemudian tertampak tiga orang bertindak masuk.
Selama ia berada di Siamsay, Peng Kie telah dengar nama besar dari Lie Tjoe Seng yang
berani bunuh pembesar negeri dan berontak, maka sekarang ia ingin ketahui utusannya
pemberontakan itu.
Dari tiga orang itu, yang jalan terdepan, ada seorang umur empat-puluh lebih, romannya
bengis, tetapi dandanannya seperti rakyat jelata saja, sebab rambutnya kusut, kakinya
bersepatu rumput saja, tanpa kaos, dan bajunya, yang kapas hitamnya molos keluar,
tangan bajunya sudah pada pecah. Itulah roman umum dari petani di Siamsay.
Dari dua yang lain, yang satu berumur tiga-puluh lebih, kulitnya putih, romannya cakap,
tak miripnya dia dengan petani, dan kawannya, yang berusia dua-puluh lebih, bertubuh
besar-kekar, kulit mukanya rada hitam, tapi dia mirip dengan petani.' Sampai di thia, orang
yang pertama masih mengucap apa-apa, dimuka meja, ia berhenti untuk berdiri diam.
Adalah si muka putih, yang menggendol buntalan dibelakangnya, keluarkan lilin dan hio,
untuk disulut dan dipasang, sesudah mana, bertiga mereka menjalankan kehormatan
sambil berlutut dan manggut-manggut, atas mana si bocah pengangon kerbau turut tekuk
kaki, untuk membalas hormat itu.
Setelah upacara ini, si rambut kusut kata dengan nyaring : "Tjiangkoen kami Lie Tjoe Seng
ketahui halnya Wan Taytjiangkoen telah labrak bangsa Tartar di Liauwtong, dia telah
membuat jasa besar, tjiangkoen kami sangat kagum, maka sayang kemudian Wan
tjiangkoen telah dihukum mati oleh raja, hingga rakyat menjadi gusar dan berontak
karenanya. Kami, untuk dapat makan, sudah rampas rangsum Negara, kami bunuh
pembesar negeri, untuk ini, kami mohon perlindungan roh suci Wan Tjiangkoen. Mari kita
menerjang ke Pakkhia, buat bekuk raja dan menteri-menteri dorna, untuk bunuh mereka
satu demi satu, supaja dengan demikian, bisa kita balas sakit hati Taygoanswee serta
semua rakyat!"
Semua hadirin ketarik mengetahui Lie Tjoe Seng hargai jendral besar mereka
(taygoanswee). Mereka pun dapat kenyataan, walaupun suaranya kaku, utusan ini bicara
dengan sungguh-sungguh.
Tiong Sioe menjura, untuk beri hormat pada utusan itu.
"Terima kasih, terima kasih," kata ia, yang terus tanya she dan nama si utusan.
"Aku ada Lauw It Houw," jawab si utusan. "Lie Tjiangkoen ketahui saudara-saudara
hendak rayakan peringatannya Wan Taygoanswee, ia telah utus kami datang kemari."
Kembali Tiong Sioe menghaturkan terima kasih, kemudian ia perkenalkan dirinya.
"Saudara jadinya ada saudara muda dari tjiangkoen Tjouw Tay Sioe," kata si utusan.
"Kami ketahui nama besar dari Tjouw Tjiangkoen, kami semua kagumi dia...."
Selagi Tiong Sioe hendak pasang omong sama tetamunya ini, yang bermuka hitam si
tetamu, kawannya yang telah awasi para hadirin, mendadakan berlompat kepintu besar
dimuka mana segera ia berhenti, berdiri dengan membalik tubuh.
Semua orang heran, semua awasi tetamu ini.
Dengan tiba-tiba utusannya Lie Tjoe Seng itu tunjuk dua orang usia pertengahan diantara
para hadirin, terus ia tanya: "Kamu adalah orang-orang sebawahan Tjo Thaykam, apa
kamu hendak perbuat disini?"
Kata-kata ini membuat kaget semua orang.
Kaisar Tjong Tjeng sudah binasakan Goei Tiong Hian dan keluarga Keh dan singkirkan
kambratnya mereka ini, tetapi ia tetap curigai semua menteri besar, ia terus pakai orangorang
kebiri sebagai orang-orang kepercayaannya, maka juga, ia andalkan Thaykam Tjo
Hoa Soen siapa telah pimpin semua pahlawan rahasia dari kaisar, tugasnya melulu untuk
selidiki berbagai menteri. Inilah sebabnya kenapa semua hadirin heran.
Dua orang yang dituding itu, yang satu berumur kira-kira empat-puluh tahun, mukanya
berewokan kuning, dan yang kedua, rupanya putih tak berkumis, tubuhnya kate-dampak.
Si kate-dampak ini terkejut tapi segera ia tenang pula.
"Kau maksudkan aku?" tanya dia sembari tertawa. "Ah, jangan main-main...."
"Hm, main-main?" sahut si muka hitam. "Aku tahu bagaimana kau kasak-kusuk di rumah
penginapan, lalu kamu menyelusup masuk ke San-tjong ini. Tentu, kemudian kamu akan
beri laporan kepada Tjo Thaykam, hingga akhirnya, balatentara akan dikirim untuk
menyerbu kesini. Itulah buahnya kasak-kusuk kamu itu!"
Mendengar itu, si berewokan kuning hunus goloknya, dia hendak segera menyerang tapi
si muka putih cegah dia. Si muka putih ini bersikap tenang.
"Lie Tjoe Seng hendak bereskan sahabat-sahabat dari San-tjong, siapa pun ketahui ini!"
kata dia. "kau berniat merenggangkan kami, itulah tak mungkin terjadi!"
Suara ini halus tetapi tajam, itulah terang suaranya seorang kebiri, tetapi walaupun
demikian, suara ini memberi pengaruh, hingga banyak hadirin mengawasi si penuduh itu.
Lauw It Houw dandan sebagai petani, akan tetapi dia adalah seorang peperangan ulung,
dia cerdik, dia lantas bisa lihat orang curigai pihaknya.
"Kau siapa, tuan" Adakah sahabat dari San-tjong?" ia tanya dengan tenang.
Ditanya demikian, orang muka putih itu tergugu, dia berdiam.
Tiong Sioe lantas mendekati, untuk tanya: "Sahabat, adakah kau bekas sebawahan dari
Wan Taygoanswee" Kenapa mataku yang lamur tak kenali kau" Kau sebenarnya ada
sebawahan dari tjongpeng mana, dari kota mana?"
Si muka putih lihat tak dapat berpura-pura pilon lebih lama, ia lirik kawannya, ia kedipi
mata, lantas ia loncat kepintu. Perbuatannya ini segera disusul sahabatnya itu, malah dia
ini segera membacok pada si muka hitam, penuduhnya.
Si muka putih mirip orang banci tetapi gerakannya pesat sekali, dengan cepat telah
keluarkan senjatanya, sepasang poan-koanp-pit, yang mirip alat tulis, dengan itu, iapun
serang si muka hitam, yang ia arah dadanya. Senjata ini pun bisa dipakai menotok jalan
darah. Utusannya Lie Tjoe Seng datang untuk hunjuk hormat, ia tidak siapkan senjata, menampak
dia diserang, semua hadirin kaget dan berkuatir. Dua rupa senjata serang ia dengan
berbareng. Maka itu, beberapa orang lantas bersiap, untuk bantu padanya. Akan tetapi
segera ternyata, dia liehay.
Dengan kesebatan luar biasa, dengan tangan kirinya, utusan Lie Tjoe Seng ini mendahului
sambar lengannya si berewokan kuning, tubuhnya cuma mendak sedikit, berbareng
dengan itu, tangan kanannya, dengan dua jari, menyambar kearah sepasang matanya si
penyerang dengan poan-koan-pit. Karena ia telah mendak sambil mengegos sedikit, ia
tidak kuatir senjata musuh mengenai sasarannya.
Utusan ini diserang terlebih dahulu, akan tetapi karena kegesitannya, kedua tangannya
dapat melayani kedua musuh.
Dua-dua musuh lantas mundur sambil tarik pulang tangan mereka, si berewokan sambil
lebih dahulu loloskan tangannya dari cekalan.
Semua hadirin berubah menjadi girang melihat utusan itu demikian liehay, mereka yang
hendak membantu pun urungkan niatnya masing-masing. Semua lantas menonton saja.
Selagi pertempuran berjalan, dua mata-matanya Tjo Thaykam sibuk sendirinya. Mereka
insyaf, walaupun mereka mengepung berdua, sebenarnya mereka sendiri berada didalam
sarang harimau, mereka dengan sendirinya terancam bahaya. Karena ini, mereka main
mundur dengan pelahan-lahan, akan kemudian mendadakan merangsak, untuk mendesak.
Utusannya Lie Tjoe Seng berkelahi dengan hati-hati, tapi daripada membela diri, ia lebih
banyak menyerang, tidak peduli ia bertangan kosong. Dengan begini, ia pun bisa
merintangi kedua musuh, yang berniat menghampirkan pintu, untuk loncat keluar, untuk
lari..... Dalam sibuknya, si muka putih mainkan poan-koan pit secara hebat, ia ingin bisa totok
jalan darah lawan, untuk dibikin rubuh, sedang si berewokan kuning mendesak dengan
ilmu goloknya Boe-Seng-Boen asal Shoasay, satu kali ia mendak dengan tiba-tiba tetapi
goloknya membacok kebawah. Ini kalipun desakan ada sangat berbahaya. Akan tetapi,
orang semua lihat, utusan itu tetap tenang saja, benar ia mundur tapi dengan teratur.
Pertempuran berlanjut. Sebab pihak Tjo Thaykam ingin bisa angkat kaki, mereka coba
merangsak terus. Tapi mendadakan, si berewokan kuning terdengar menjerit, menjerit
kesakitan, goloknya terpental diantara hadirin.
Melihat demikian, Tjoe An Kok maju, akan tanggapi gegaman itu.
Berbareng sama terlemparnya golok, utusan Lie Tjoe Seng kirim tendangan terhadap
lawannya yang berewokan kuning itu, tidak ampun lagi, lawan itu terjungkal rubuh. Tapi
utusan itu tidak berhenti sampai disitu, Baru kaki kiri turun atau kaki kanannya
menggantikan melayang akan tendang juga lawannya yang kedua, si muka putih.
Lawan yang kedua ini liehay, ia bisa loloskan diri dari ancaman kaki itu, dilain pihak, ia
terus maju, akan balas menyerang. Lagi-lagi ia menotok kedada musuh, sepasang poankoan-
pit sengaja dimajukan silih-ganti.
Utusannya Lie Tjoe Seng berlaku gesit, ketika poan-koan-pit yang pertama, tangan kiri,
hampir mengenai dadanya, dengan tiba-tiba ia miringkan tubuh dan tangannya dipakai
menyambar ujung senjata musuh itu, begitu ia dapat mencekal, begitu ia membetot
dengan dikageti, hingga dalam sekejab saja, ia telah rampas senjata itu.
Poan-koan-pit tangan kanan, yang dipakai menyusul, telah menyusul dengan tak dapat
dibatalkan lagi, segera senjata ini diketok lawannya, yang gunakan poan-koan-pit kirinya
itu, maka kedua senjata beradu keras, nyaring suaranya, muncrat lelatu apinya.
Celaka untuk si muka putih, selagi tangannya sesemutan dan sakit karena bentrokan yang
hebat itu, ia juga tak dapat cekal lebih jauh sisa senjatanya itu, yang terlepas dan
terpental! Si muka hitam lantas saja tertawa pandang, sembari tertawa, tangan kanannya
menyambar dada musuh, untuk segera diangkat, lalu menyusul tangan kirinya,
menyambar celana musuh itu, sesudah mana, kedua tangannya, yang masing-masing
masih mencekal, dipentang dengan keras, hingga belum orang tahu apa-apa, terdengarlah
suara memberebet yang nyaring.
Ternyata celana si muka putih kena terbeset pecah dan tertarik hingga copot, hingga
orangnya Tjo Thaykam itu menjadi telanjang sebatas pinggang kebawah, hingga dilain
pihak, semua hadirin mengawasi dengan melongo.
Si muka hitam bicara.
"Kau ada orang kebiri atau bukan, biarlah orang banyak persaksikan!" berkata dia.
Baru sekarang semua orang seperti tersadar. Memang benar, si muka putih adalah
seorang kebiri, hingga - saking lucu - semua orang tertawa lebar, semua bertindak
mendekati, mengurung thaykam itu, muka siapa pucat, bahna jengah.
Dilain pihak lagi, semua orang kagumi utusannya Lie Tjoe Seng itu untuk kegagahannya.
Sementara itu, dua-dua mata-matanya Tjo Thaykam telah ditelikung.
"Untuk apa Tjo Thaykam kirim kamu kemari?" Tiong Sioe segera memeriksa. "Kamu ada
punya berapa kawan" Tjara bagaimana kamu bisa nyelundup masuk kesini?"
Dua orang itu bungkam.
Melihat orang membandel, Tiong Sioe kedipi Lo Tjhamtjiang, siapa sudah lantas datang
mendekati, dengan goloknya, ia bacok bergantian dua mata-mata itu, hingga kepala
mereka kutung, sesudah mana, kedua kepala diletaki diatas meja sembahyang.
"Jikalau tidak ada sam-wie, tentu sekali kami bakal alami bencana," kata Tiong Sioe
kemudian kepada utusannya Lie Tjoe Seng bertiga. Ia memberi hormat seraya terus
mengucap terima kasih.
"Tapi ini pun terjadi karena kebetulan saja," berkata Lauw It Houw. "Selama ditengah jalan,
kami lihat dua orang ini, yang sikapnya mencurigai, yang gerak-gerakannya gesit, karena
itu, selagi mondok, kami intai mereka, kesudahannya kami ketahui siapa adanya mereka.
Mereka rupanya tak sangka ada orang yang intai mereka, hingga mereka kasak-kusuk
dengan leluasa."
Sampai disitu, Tiong Sioe tanya dua kawannya orang she Lauw ini.
Orang yang beroman cakap itu mengaku she Thian, dan kawannya yang mukanya hitam,
she Tjoei. Tjoe An Kok kagumi utusan yang gagah itu, sampai ia jabat orang punya tangan dan puji
padanya. Kemudian Lauw It Houw bersama-sama Tjouw Tiong Sioe dan beberapa orang lagi, pergi
kebelakang, kekamar rahasia, untuk bicara. Utusan ini sampaikan amanatnya Lie Tjoe
Seng, yang suka bekerja sama-sama untuk gulingkan pemerintah.
Atas usul perserikatan itu, pihak Tjouw Tiong Sioe ragu-ragu, maka kemudian, Tiong Sioe
bilang : "Menurut aku, baiklah kitaorang bekerja sama-sama. Tjo Thaykam sudah ketahui


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gerakan kita, kita harus perbesar djumlah kita. Dimana tujuannya Lie Tjiang-koen ada
sama dengan cita-cita kami, kita bisa bekerja sama-sama untuk lawan pemerintah dengan
berbareng kita sendiri bisa balaskan sakit hatinya Wan Thaygoanswee. Apa yang aku buat
kuatir adalah Tjo Thaykam nanti mendahului menyerang kita."
Pikiran ini dapat kesetujuan, maka putusan segera diambil.
Selagi didalam orang rundingkan cara-cara untuk bekerja sama-sama, diluar, Tjoe An Kok,
bersama si Nie, yang bernama Hoo, tarik tangannya si anak muda muka hitam she Tjoei,
yang bernama Tjioe San, untuk diajak ke tempat yang sepi.
"Tjoei Toako", kata An Kok, "Walaupun kita Baru pernah bertemu hari ini, hari pertama,
aku percaya kita sudah seperti sahabat kekal, maka itu harap kau tidak pandang kita
sebagai orang luar."
"Djiewie toako, dulu kamu telah hajar bangsa Tartar, kamu telah lindungi rakyat negeri"
berkata Tjioe San, "perbuatan itu ada perbuatan yang membikin aku kagum, sekarang aku
bisa bertemu sama sahabat-sahabat dari San-tjong, aku girang bukan main!"
"Aku ingin berlaku lancang aku ingin ketahui, guru toako itu siapa adanya?" tanya Nie
Hoo. Ditanya tentang gurunya, matanya Tjioe San mendadakan menjadi merah.
"Guruku itu ada It-seng-loei Thio Pek Ya, sudah banyak tahun ia menutup mata," ia jawab.
Tjoe An Kok dan Nie Hoo saling mengawasi, terang mereka heran.
Nie Hoo ada polos, ia segera berkata pula: "Aku tahu It-seng-loei Thio Tjianpwee, namanya
yang besar kita kagumi, akan tetapi, Tjoei Toako, harap kau tidak gusar, sekalipun Thio
Tjianpwee berkepandaian tinggi, ia nampaknya masih beda jauh dengan kau."
Tjoei Tjioe San berdiam, ia tidak menyahuti.
"Memang benar, hijau asalnya dari biru," An Kok turut bicara, "memang sering terjadi,
murid suka melebihkan gurunya, akan tetapi barusan, melihat caranya toako kalahkan
kedua mata-matanya Tjo Thaykam, pasti toako ada punya kepandaian lain...."
Tjioe San bersangsi, tapi kemudian ia menyahuti juga.
"Djiewie ada kedua sahabat baik, tidak selayaknya aku sembunyikan apa-apa
terhadapmu," demikian katanya. "Memang, setelah soehoe menutup mata, aku telah
ketemu jodoh lain, seorang aneh. Dia ini merasa kasihan melihat aku, dia ajarkan aku
beberapa rupa ilmu pukulan yang menjadi kebiasaannya, tetapi ia telah suruh aku
bersumpah untuk tidak sebutkan nama atau gelarannya. Maka itu, djiewie toako, harap kau
maafkan aku."
Kedua orang she Tjoe dan Nie itu lihat orang bicara sungguh-sungguh.
"Jangan omong tentang maaf, toako," berkata An Kok. "Kalau aku sampai menanyakan
jelas kepadamu, itu disebabkan ada satu urusan yang penting."
"Apakah itu, djiewie?" Tjioe San tanya. "Segala apa yang aku sanggup kerjakan, aku tentu
suka lakukan untuk kamu. Diantara orang sendiri harap djiewie toako tidak sungkan2."
An Kok manggut.
"Harap tunggu sebentar, Tjoei Toako, kita hendak cari dua orang untuk bicara sebentar,"
kata ia. Tjioe San lihat orang berlaku sesungguhnya, ia manggut.
An Kok lantas pergi, bersama-sama si Nie.
Mereka cari si Eng dan si Lo, yang diajak kesamping.
"Ada apa?" si Eng tanya.
"Aku mau bicara perihal utusan she Tjoei itu," jawab An Kok. "Tak satu dari kita sanggup
lawan boegeenya, sedang menurut caranya ia bicara, dia ada seorang jujur...."
"Melainkan mengenai gurunya, dia ragu-ragu bicara terus terang," Nie Hoo timpalkan.
Tjoe An Kok lantas tuturkan hal pembicaraan mereka sama si Tjoei itu. Ia pun kasi tahu ia
dan maksudnya si Nie.
Si Eng, ketika pembuatan tembok kota di Leng-wan, itu adalah buah rencananya, pada itu,
dia keluarkan tenaga tidak sedikit. Sedang si Lo , yang bernama Tay Kan, ada satu tukang
tembak meriam jempolan, selama peperangan di Leng-wan, dialah yang sulut meriam
besar Ang-ie Toa Pauw, hingga bukan sedikit tentara Boan yang terbinasa. Karena
jasanya, ia telah diangkat jadi Tjham-tjiang, letnan kolonel.
"Tak ada halangannya kita omong terus-terang dengannya." Kata Eng Siong kemudian.
"Setelah kita minta, kita lihat bagaimana sikapnya."
"Aku pikir baik kita tanya dulu pikirannya Tjouw Siangkong," Tjoe An Kok mengusulkan.
Usul ini dapat persetujuan, maka mereka lantas pergi kebelakang dimana Tjouw Tiong
Sioe sedang bicara dengan asik sekali sama Lauw It Hauw. Ketua itu dipanggil sebentar,
untuk diajak berdamai.
"Eng Soeya," berkata si siangkong," urusan ini mengenai kepentingan seumur hidup dari
tuan muda kita, sebelum kita ambil putusan, baiklah kau tanyakan dulu pikiran si orang
she Tjoei itu."
Eng Siong setuju, maka ia lantas ajak Tjoe An Kok, Nie Hoo, dan Lo Tay Kan pergi pada
Tjioe San. "Tjoei toako, kami ada punya satu urusan untuk mana kami harap benar bantuanmu,"
berkata Eng Siong. "Maka itu....."
Tjoei San lihat orang ragu-ragu, ia jadi tidak sabar.
"Aku ada seorang kasar, jikalau ada apa-apa, titahkanlah aku," kata ia. "Asal apa yang aku
bisa, tidak nanti aku tidak menurut."
"Saudara Tjoei jujur, baiklah, kita juga hendak bicara terus terang," kata Eng Siong.
"Ketika Wan Taygoanswee teraniaya, ia ada meninggalkan satu putera, waktu itu, sang
putera Baru berumur tujuh tahun. Untuk tolongi putera itu, kita telah lakukan perampasan,
karena mana, tiga kali kami lakukan pertempuran, hingga dua saudara kami terbinasa.
Syukur untuk kami, kami berhasil menolongi putera itu."
Tjioe San tidak bilang suatu apa, ia cuma perdengarkan suara tak nyata.
"Putera itu, yang menjadi tuan muda kita, bernama Wan Sin Tjie," kata Eng Siong
terangkan lebih jauh. "Kami berempat adalah yang didik ia dalam ilmu surat dan ilmu silat.
Dia ada berotak sangat terang, bahannya baik sekali, apa yang diajari dia lantas bisa, Baru
dua tahun, hampir habis semua kebisaan kami diturunkan kepadanya. Dia masih sangat
muda, ada beberapa rupa pelajaran yang ia masih belum menginsafinya, maka itu kami
pikir, apabila ia tetap berada dibawah pimpinan kami, sukar untuk dia peroleh kemajuan
terlebih jauh."
Mendengar sampai disitu Tjioe San segera mengerti maksud orang.
"Jadi saudara ingin aku yang teruskan mendidik dia?" ia tegasi.
Tjoe An Kok manggut.
"Tadi kami saksikan toako layani itu dua mata-mata dorna, kami dapat kenyataan toako
ada sepuluh kali lebih pandai daripada kami," berkata dia," maka jikalau toako sudi terima
dia sebagai murid, untuk didik padanya, kami percaya rohnya Wan Thayswee didunia baka
pasti akan sangat berterima kasih kepadamu...."
Lantas saja empat saudara itu menjura kepada sahabat baru ini.
Dengan cepat-cepat, Tjoei Tjioe San membalas hormat. Segera ia berdiam.
"Saudara-saudara sangat menghargai aku, turut pantas, tak dapat aku menampiknya,"
kata ia kemudian. "Hanya sayang sekarang ini aku mesti berdiam didalam tangsinya Lie
Tjiangkoen, siang dan malam, tidak ada ketentuannya waktu, saban-saban aku mesti
keluar untuk lakukan tugas, malah satu waktu, kami mesti bertempur dengan tentara
negeri, hingga tak dapat dipastikan, berapa hari lagi ada umurku. Maka itu, jikalau Wan
Kongtjoe mesti tinggal bersamaku didalam tangsi, aku sangat kuatir kegagalannya, Tidak
ada tempo senggang untuk aku mendidik dia, dilain pihak, keselamatannya berada dalam
ancaman bencana."
Alasan itu ada beralasan, mendengar itu, Eng Siong berempat jadi putus asa.
Tjioe San lihat orang berputus asa.
"Ada satu orang boegee siapa dapat menangkan aku berlipat-lipat," kata dia kemudian,"
jikalau dia suka terima Wan Kongtjoe, sungguh itu ada keberuntungan besar bagi kongtjoe
itu..." Tapi mendadakan ia goyang-goyang kepala, lalu ia ngoceh seorang diri: "Tidak,
tidak, inilah tak bisa menjadi...."
Eng Siong beramai heran.
"Siapa orang itu?" tanya dia begitupun Tjoe An Kok.
"Itulah si orang aneh yang aku sebutkan tadi," jawab Tjioe San. "Kepandaiannya tidak ada
batasnya. Dia ajari aku Baru enam bulan, aku telah punyakan kebisaanku seperti sekarang
ini, toh itu Baru kulitnya saja....."
"Siapa sebenarnya orang aneh itu?" tegaskan An Kok, yang girang tak kepalang.
"Dia ada seorang yang tabiatnya aneh," terangkan Tjioe San. "Dia telah ajarkan ilmu silat
padaku tetapi dia larang aku panggil guru kepadanya dan dia pun larang aku beritahukan
namanya kepada lain orang, maka itu, aku kuatir taklah bisa berhasil apabila Wan
Kongtjoe disuruh pergi belajar padanya."
"Dimana tinggalnya orang aneh itu?" Nie Hoo tanya.
"Dia juga tidak punya tempat kediaman yang pasti. Dia biasa pergi kesegala tempat, setiap
kali dia pergi, dia tidak mau beritahukan kemana perginya."
Eng Siong berempat kewalahan, tapi si Eng ini terus panggil Wan Sin Tjie untuk bocah ini
diperkenalkan kepada utusannya Lie Tjoe Seng itu.
Tjoei Tjioe San senang melihat ini anak, yang romannya cakap,yang tubuhnya sehat
sekali, kapan ia tanyakan pelajarannya Sin Tjie, Sin Tjie menyahuti dengan rapi.
"Eh, entjek Tjoei," tiba-tiba bocah ini tanya," ketika tadi entjek rubuhkan kedua mata-mata,
ilmu pukulan apakah yang entjek gunai?"
Tjioe San tertawa.
"Itu ada pukulan Hok Houw Tjiang, Harimau mendekam, salah satu petjahan dari Shatjaplak
Lou Kim-na-hoat."
"Demikian cepat gerakan entjek, sampai aku tak melihat tegas!" bocah itu kata.
"Apakah kau ingin pelajarkan itu?" tanya Tjioe San.
Sin Tjie sangat cerdik.
"Ja, entjek Tjoei, ajarkanlah aku!" ia lantas minta.
Tjioe San menoleh pada Eng Siong.
"Pada Lie Tjiangkoen aku telah bicara akan berdiam disini beberapa hari, biar aku gunai
ketikaku akan ajarkan ini anak," ia bilang.
Tentu sekali, Eng Siong girang, sedang Sin Tjie sudah lantas menghaturkan terima kasih.
Pada waktu itu, Lauw It Hauw dan Tjouw Tiong Sioe telah mencapai permufakatan untuk
perserikatan, maka juga dihari kedua, dihadapan patung Wan Tjong Hoan, kedua pihak
resmikan itu dengan angkat sumpah, untuk mati dan hidup bersama.
Pun pagi-pagi, Tiong Sioe telah kasi selamat jalan pada Tiauw Tjong dan Peng Kie bertiga,
selagi berpisahan , ia bilang pada mereka berdua: "Kita telah bertemu secara kebetulan,
inilah jodoh. Tentang kami disini, asal ada yang bocor, kesudahannya dua saudara harus
ketahui sendiri, tak dapat aku jelaskan lagi!"
"Itulah pasti, kami sudah mengerti," sahut Tiauw Tjong berdua.
Tiong Sioe bekali lima puluh tail perak dan perintah dua orang antar mereka ini turun
gunung. Sejak itu, sesampainya mereka dirumah masing-masing, selagi Tiauw Tjong rajin belajar
surat dengan tak suka pesiar lagi, hingga kemudian ia jadi terpelajar tinggi.
Yo Peng Kie tutup Piauw-kioknya, akan hidup menyendiri, sebab ia insyaf, kepandaian tak
ada ujung-pangkalnya, orang pandai ada yang lebih pandai, maka ia anggap lebih baik ia
bertani, bercocok-tanam saja.
Lauw It Houw pulang berdua saja sama kawannya, si orang she Thian.
Dengan pertemuan telah sampai diakhirnya, kaum San-tjong pun bubaran, akan masingmasing
pulang, tetapi diantaranya, ada yang kemudian pergi hubungi diri pada Lie Tjoe
Seng. Tjouw Tiong Sioe bersama Tjoe An Kok, Nie Hood an Eng Siong beramai masih terus
berdiam diatas gunung. Mereka masih mesti urus Wan Sin Tjie. Sebaliknya, Sin Tjie sendiri
seperti tak perdulikan hal-ikhwalnya sendiri saking kegirangan lantaran janjinya Tjoei Tjioe
San akan ajarkan dia ilmu silat Hok-houw-tjiang.
Malam itu Sin Tjie tak dapat tidur nyenyak, sedang dihari besoknya, dia sibuk sendiri,
karena belum sempat orang perhatikan dia. Habis rapat, orang semua sibuk menjelesaikan
ini dan itu, akan antar mereka yang berangkat pulang. Mereka ini pun pada pamitan dari
pemimpin muda ini.
Adalah setelah sore, Baru Tiong Sioe perintah siapkan sebuah meja serta satu kursinya,
begitupun lilin dan hio. Tjoei Tjioe San diminta duduk dikursi itu, untuk terima hormatnya
Sin Tjie. Disitu hendak diadakan upacara sederhana pengangkatan guru atau penerimaan
murid. "Saudara Wan kecil ini, sekali aku lihat, aku lantas suka padanya," kata Tjioe San. "Dia
suka Hok-houw-tjiang, aku nanti pakai tempoku beberapa hari untuk ajarkan dia
sekedarnya. Tentu saja, tempo hanya beberapa hari, tidak cukup, hingga harus
disangsikan ia bisa gunakan itu atau tidak apabila ia sudah bisa melatihnya sendiri.
Semua-semua ada bergantung dengan bakat, kerajinan, dan keuletannya. Biarlah kita
menjadi sahabat-sahabat saja bukannya guru dan murid, suatu hal yang tak dapat
dibicarakan."
"Asal dia diajari, walaupun cuma satu-dua gebrak, dia sudah berarti murid dan saudara
adalah guru," Eng Siong bilang. "Harap Tjoei Toako tidak terlalu merendah."
Tapi putusannya Tjioe San tak dapat diubah, hingga akhirnya orang mengalah.
Sama-sama ahli silat, Eng Siong semua ketahui baik aturan orang memberi pelajaran,
apapula mengenai Tjioe San dan Sin Tjie, guru dan murid istimewa. Tentu sekali, orang
luar tak dapat tonton mereka. Maka itu, semua lantas undurkan diri.
Tjioe San tunggu sampai semua orang sudah pergi, ia duduk dikursi yang disediakan tadi,
untuk bicara sama ahli warisnya mendiang Wan Tjong Hoan.
"Sin Tjie," katanya dengan sungguh-sungguh. "Ini ilmu silat Hok-houw-tjiang aku peroleh
dari seorang berilmu yang telah berusia lanjut, aku sendiri masih belum meyakinkannya
sampai sempurna, akan tetapi, apabila dipakai melayani lawan yang umum, sudah cukup.
Ketika aku diwariskan ilmu pukulan ini, orang berilmu itu wajibkan aku angkat sumpah,
ialah tak boleh aku gunakan untuk menghina orang baik-baik atau mencelakai tanpa
alasan...."
Sin Tjie ada sangat cerdik, segera ia mengerti maksud gurunya ini, lantas ia bertekuk lutut
seraya katanya : "Murid Wan Sin Tjie, apabila telah berhasil mempelajari Hok-houw-tjiang,
tak akan gunakan itu untuk menghina orang baik-baik dan mencelakai tanpa alasan, Baru
ia meneruskan : ".....biarlah soehoe nanti pukul mati padaku!"
Mendengar sumpah itu, Tjioe San tertawa.
"Bagus!" berkata dia, yang tubuhnya mencelat dengan mendadakan.
Sin Tjie angkat kepala dengan heran, karena sang guru lenyap dari hadapannya, kapan ia
menoleh, guru itu kembali telah berada dibelakangnya dan pundaknya lantas ditepuk.
"Kau tangkap aku!" mengandjurkan guru ini.
Sin Tjie telah peroleh ajaran dari Tjoe An Kok dan Nie Hoo, kecuali dasarnya baik, dia pun
Hikmah Pedang Hijau 3 Pendekar Super Sakti Serial Bu Kek Siansu 7 Karya Kho Ping Hoo Golok Halilintar 8
^