Pencarian

Pedang Ular Mas 2

Pedang Ular Mas Karya Yin Yong Bagian 2


cerdik, maka atas anjuran gurunya ini, ia tidak lantas memutar diri, hanya ia mendak dulu,
sembari berbuat demikian, tangan kirinya digeraki, tangan kanannya menyusul - ia pun
sembari dengari anginnya gerakan tubuh sang guru - lalu dengan tiba-tiba,ia menyambar
kearah kaki. "Inilah cara yang tidak bercela!" terdengar sang guru, kaki siapa tapinya tidak kena
disambar. Dilain pihak, pundaknya si murid kembali kena ditepuk. Murid ini memutar
tubuh dengan siasia, ia tak lihat gurunya itu.
Kembali Sin Tjie perlihatkan kecerdikannya, ia ingat baik-baik, ajarannya Nie Hoo.
Ia tidak membalik tubuh, ia tidak menyambar lagi, hanya ia jalan setindak demi setindak
kearah tembok, begitu lekas sudah sampai, mendadakan ia putar tubuhnya seraja berseru:
"Entjek Tjoei, aku dapat lihat padamu!"
Dengan sebenarnya, diakui cara demikian, Tjioe San tak lagi bisa singkirkan diri.
"Bagus, bagus!" kata Tjioe San sambil tertawa. "Kau cerdik, kau ada punya bakat, kau
pasti bakal bisa jakinkan Hok-houw-tjiang!"
Lantas saja guru istimewa ini mulai berikan pelajarannya, sejurus dengan sejurus, sampai
diakhirnya, yang semua terdiri dari seratus delapan gerakan, dan saban gerakan
mempunyai lagi tiga perubahan, untuk mengelakkan diri dan menyerang saling ganti,
hingga semuanya jadi jumlah tiga-ratus dua-puluh empat jurus.
Sin Tjie gunakan otaknya, ketika ia Baru diajari tiga kali, ia sudah lantas ingat semua,
dengan pelahan-lahan, ia bisa jalankan Hok-houw-tjiang itu, maka dilain saat, sang guru
mulai pecahkan artinya, keperluannya sesuatu jurus.
Sin Tjie ingat dengan baik semuanya itu, ia terus berlatih dengan sungguh-sungguh. Ia
ketarik hati, gurunya pun suka terhadapnya, yang demikian rajin dan ulet, guru ini tungkuli
terus padanya, hingga malam pertama itu mereka berlatih terus sampai jauh malam, Baru
berhenti. Besoknya pagi-pagi, Tjioe San pergi keluar, untuk cari hawa fajar yang segar.
Betapa keheranannya, ia dapatkan Sin Tjie asyik berlatih seorang diri ditanah lapangan,
dan untuk kekagumannya, murid itu bisa jalankan semua jurus dengan baik. Ia jadi sangat
girang. Dengan diam-diam, ia mendekati murid itu, akan akhirnya lompat melesat, untuk
dupak bebokong orang.
Sin Tjie sedang madap kelain jurusan, ia tidak lihat gurunya, akan tetapi ia dengar angin
menyambar, segera ia egos tubuh kesamping, sembari berbalik, ia ulur tangan kanannya,
untuk sambar kaki yang menendang ia, tapi kapan ia kenali gurunya, ia tarik pulang
tangannya. "Entjek Tjoei!" ia berseru.
Tjioe San tertawa.
"Jangan berhenti, hayo menyerang terus!" kata guru ini sambil dia menyerang muka
orang. Sin Tjie kelitkan kepalanya, kakinya dimajukan satu tindak, sedikit kesamping, dari situ ia
kirim kepalannya yang kecil kepada pinggangnya sang guru. Inilah pukulan ke-89 dari
Hok-houw-tjiang, yang dinamakan "Tjim djip houw hiat", atau "Masuk jauh dalam guha
harimau". "Bagus, begini memang maunya!" Tjioe San memuji sambil ia berkelit. Kemudian, kembali
ia serang murid itu.
Sin Tjie layani guru itu, sampai sekian lama. Beberapa kali ia berbuat keliru, sang guru
lantas ajarkan, untuk dibenarkan, hingga ia jadi sangat gembira. Terus-terusan ia layani
gurunya, hingga habislah semua tiga-ratus dua-puluh empat jurus. Malah itu diulangi dan
diulangi. Bocah ini girang bagaikan ia peroleh azimat atau mustika, ia dapat kenyataan, Hok-houwtjiang
menggenggam banyak rupa rahasia pukulan.
"Mari beristirahat," Kata Tjioe San, sesudah lihat muridnya mandi keringat. Tapi sambil
berduduk, ia pun berikan pelbagai penjelasan. Kemudian, habis mengaso, latihan diulangi.
Guru dan murid ini berhenti untuk bersantap pagi, sekian lama habis itu, mereka berlatih
pula. Hingga itu hari, dari pagi sampai jauh malam, mereka cuma berhenti untuk berdahar
dan beristirahat saja.
Sin Tjie lanjuti cara belajarnya ini terus menerus sampai tujuh hari, selama itu, sang guru
juga terus layani dia, kemudian dimalam kedelapan, Baru Tjio San kata pada muridnya:
"Aku telah ajarkan semua kepada kau, bagaimana nanti jadinya, segala itu terserah kepada
peryakinanmu sendiri. Diwaktu menghadapi lawan, orang mengandal tujuh bagian pada
latihannya, tiga bagian pada kecerdasannya, apabila orang andalkan melulu latihan,
kemenangan sukar didapat."
Sin Tjie terima baik pesanan berarti ini.
"Besok aku hendak kembali kepada Lie Tjiangkoen," Tjioe San terangkan kemudian.
"Maka itu dibelakang hari, kau mesti berlatih sendiri saja."
Merah matanya Sin Tjie mendengar perkataan guru itu, air matanya berlinang. Benar
mereka berkumpul Baru beberapa hari tapi ia telah sangat sukai guru itu, yang manis-budi,
yang mengajar ia dengan sungguh-sungguh.
Tjioe San ada seorang peperangan ulung, tapi melihat sikapnya murid ini, ia terharu, maka
ia lantas usap-usap kepala orang.
"Jarang aku menemui orang berbakat dan cerdik sebagai kau," kata guru ini, "maka
sayang sekali kita berdua tidak berjodoh untuk berkumpul lama-lama..."
"Bagaimana kalau aku ikut pergi pada Lie Tjiangkoen, entjek Tjoei?" Sin Tjie tanya.
"Kau masih begini kecil, mana bisa?" sahut sang guru.
Sin Tjie hendak jawab guru itu atau mendadakan mereka dengar suara binatang buas
diluar rumah. "Binatang apa itu?" tanya si bocah. "Itu bukan suaranya harimau atau serigala...."
"Itulah suara harimau tutul," Tjioe San terangkan. Mendadakan, ia tambahkan : "Mari kita
tangkap binatang liar itu. Ada perlunya...."
"Perlu apa itu, soehoe?" tanya Sin Tjie, yang merasa heran.
Tjioe San tidak menjawab, dia melainkan tertawa, segera ia bertindak keluar.
Murid ini terpaksa lantas menyusul.
"Entjek Tjoei, senjata apa kau pakai untuk lawan macan tutul itu?" ia tanya kapan ia ingat
gurunya tidak bekal senjata.
Tjioe San tidak menyahuti, dia cuma bersenjum. Ia juga tidak ambil pintu depan hanya
bertindak kesamping, diluar kamarnya Tjouw Tiong Sioe, ia memanggil : "Tjoe Toako! Nie
Toako!" Dua orang yang dipanggil itu berada di dalam kamar, mereka lantas buka pintu.
"Tolong toako bantu aku," kata Tjioe San sambil tertawa," di luar ada seekor macan tutul ,
harap toako beramai usir dia masuk kedalam rumah, aku membutuhkan dia."
"Baik, baik," jawab Nie Hoo, si tukang memburu harimau. Malah dia segera sambar
cagaknya, untuk mendahului keluar.
"Nie Toako, jangan lukai binatang itu!" Tjioe San pesan.
Nie Hoo tidak menyahuti, ia keluar terus.
Tjioe San menyusul bersama-sama Tjoe An Kok dan Lo Tay Kan. Sin Tjie bekal tumbak
pendek, ia hendak turut.
"Sin Tjie, jangan kau ikut, tunggu disini saja gurunya mencegah.
Bocah ini terpaksa menurut, maka itu, ia berdiam bersama Tiong Sioe dan Eng Siong.
Mereka mengawasi dari jendela.
Tjioe San bertiga membawa obor, masing-masing berdiam ditiga penjuru. Nie Hoo
sendirian saja, ditepi gunung, lagi tempur sang binatang liar, tapi ia taat kepada pesannya
si Tjoei, ia tidak mau lukai binatang itu, ia cuma menyerang mengancam sambil bela diri.
Begitu lekas lihat api obor, macan tutul itu kaget, berniat melarikan diri, tetapi ketika dia
mundur untuk lari, Tjoe An Kok bertiga pegat dia di tiga jurusan, hingga dia jadi makin
bingung. Diantara tiga orang itu, Tjioe San tidak pegang senjata, dia lantas terjang
gurunya Sin Tjie ini.
Tjioe San tidak takut, ia tidak kaget mendengar gerungan, ketika ia ditubruk, ia egos tubuh
sambil menyerang kepalanya binatang itu, atas mana si macan tutul rubuh bergulingan,
saking kerasnya pukulan. Tapi dia lekas bangun pula, untuk terus lari, kearah selatan,
yang tak ada yang jaga. Ini ada jalanan untuk masuk kedalam rumah, itulah pintu muka.
Dia cerdik, dia urung memasuki pintu itu. Tapi ia telah dikurung dari segala penjuru,
cahaya api bikin dia bingung.
Tjioe San maju dengan berani, selagi berada dibelakangnya si macan tutul, ia lompat
untuk menendang, hingga saking kaget dan kesakitan, binatang itu loncat kedepan. Maka
sekali ini, mau atau tidak, ia masuk juga kedalam rumah.
Eng Siong didalam rumah sudah siap, ia telah tutup semua pintu kecuali pintu barat, maka
kesitu, macan itu lari. Binatang ini menyingkir tanpa pilih jalanan lagi. Begitulah dia
memasuki pendopo barat, sesudah mana, Lo Tay Kan kuncikan dia pintu.
Setelah berkumpul, semua orang, yang bergembira, awasi Tjioe San. Mereka masih belum
tahu maksud utusan dari Lie Tjoe Seng itu.
Tjioe San tertawa, ia kata pada muridnya : "Sin Tjie, pergi masuk kedalam, kau hajar
macan tutul itru!" ia menitah.
Semua orang tercengang.
"Aku kuatir ini tak sempurna...." Kata Tiong Sioe, yang berkuatir.
"Aku nanti mengawasi dari samping, tidak ada bahayanya," Tjioe San bilang, sikapnya
tenang. "Baik!" jawab Sin Tjie, yang terus bertindak kepintu, sambil bawa tumbaknya.
Bocah itu tercengang, tapi segera ia mengerti, gurunya rupanya ingin dia gunai Hok-houwtjiang.
Tentu saja ia bersangsi.
"Kau takut?" sang guru tanya.
Sin Tjie tidak menjawab, hanya ia cabut palangan pintu, terus ia buka daun pintu, akan
nyeplos kedalam.
Segera juga terdengar suara menggeram, lalu satu bajangan berlompat nubruk.
Sin Tjie berkelit kesamping, sebelah tangannya dipakai menyerang, mengenai kuping si
macan tutul, tetapi ia bertenaga kecil, binatang itu seperti tidak merasai sakit, tapi dia
membalik tubuh, untuk menerjang pula.
Dengan gesit Sin Tjie lompat, kebelakang macan itu, akan betot ekornya.
Sementara itu, Tjoei Tjioe San juga sudah njeplos masuk, ia terus berdiri dipinggiran
seraja pasang mata.
Sin Tjie tendang macan itu, atas mana, binatang ini tarik ekornya, hingga si bocah mesti
lepaskan cekalannya. Setelah memutar tubuh, harimau itu menubruk pula.
Dengan berkelit sambil mendekam, Sin Tjie selamatkan diri, karena ia berada disamping,
kembali ia kirim kepalannya, hanya seperti tadi, binatang buas itu tidak bergeming
karenanya. Itu waktu Tjouw Tiong Sioe beramai turut menonton, biar bagaimana, mereka kuatirkan itu
pemimpin cilik, yang masih terlalu muda usianya. Mereka bantu menjaga, diantaranya ada
yang terus pegangi obor, sedang An Kok dan Nie Hoo siapkan senjata rahasia mereka.
Segera juga mereka menyaksikan dengan kekaguman, mlihat bagaimana bocah she Wan
itu bergerak gesit sekali.
Mulanya tertampak Sin Tjie masih ragu-ragu atau sedikit jeri, tetapi setelah pertarungan
ganjil ini berjalan sekian lama, hatinya jadi mantap. Nyata ia bisa gunai dengan sempurna
Hok-houw-tjiang, itu ilmu pukulan "Menakluki Harimau". Ia pun insaf, percuma ia main
kelit, sia-sia saja ia mengajar dengan kepalannya, macan itu ada terlalu tangkas untuk dia,
maka diakhirnya, ia pakai akal. Ialah saban-saban ia loncat kebelakang macan tutul itu, ia
membetot, habis itu, ia jambak bulunya, untuk dibetot copot.
Dicabuti bulunya, yang mana sering kejadiannya, lama-lama macan tutul itu berasa juga
sakit, , maka saban-saban dia menderum, berbareng diapun jadi semakin gusar, tubrukantubrukannya
jadi semakin sengit dan hebat. Tapi tetap saja, tidak pernah dia mampu
terkam itu bocah, yang tubuhnya sangat gesit dan licin. Maka diakhirnya, dari kewalahan,
dia mulai jeri juga, hingga dia lalu tukar siasat, dari saban-saban menerkam, dia main
mundur, dia pentang mulutnya akan mengancam dengan giginya yang besar dan tayam.
Sin Tjie cerdik, ia ganggu macan itu, sampai dia saban-saban diterkam pula, saban
diterkam, dia loncat kesamping , atau kebelakang, selalu dia cabut bulunya! Tjouw Tiong
Sioe beramai, dari berkuatir, jadi tertawa melihat lagak-lagunya bocah ini, kelincahan siapa
mereka sangat kagumi.
Biar bagaimana, macan tutul itu tidak dapat dirubuhkan cuma karena bulunya dicabuti,
pun sia-sia saja pukulan kepalan dan tendangannya Sin Tjie, dari itu, juga ini bocah lalu
menukar siasat.
Sekonyong-konyong Sin Tjie mendekam, ia loncat kedepan macan tutul itu. Gerakan ini
membuat heran itu binatang buas, yang jadi melengak, tapi meski demikian, dia lantas
ingat untuk lompat menerkam. Gerakannya ada sangat gesit, sedang itu waktu, Sin Tjie
sampai didepan binatang itu, hingga ia jadi berada dibawah perutnya si raja hutan.
Nie Hoo terkejut, tidak ayal lagi, ia menyerang dengan sepasang piauw.
Macan itu tidak kena terserang senjata rahasia itu, kaki depannya dapat menyampoknya
hingga jatuh. Berbareng itu, Sin Tjie lenyap dari kolong harimau, sebaliknya tubuhnya nempel sama
perutnya binatang itu. Entah bagaimana, kedua kakinya telah menyangkul keras
kebebokong macan tutul, kepalanya sendiri menyundul janggutnya, hingga ia tidak bisa
digigit binatang itu. Kedua tangannya juga turut memeluk.
Macan tutul itu jadi kewalahan, untuk bikin orang terpelas, dia jatuhkan diri, bergulingan
dilantai. Sin Tjie tetap menjepit dan merangkul dengan keras, ia tidak kasih tubuhnya terpisah dari
tubuh lawannya yang luar biasa itu. Tapi ia insaf, lama-lama ia bisa habis tenaga, apabila
ia pisahkan diri, ia bisa celaka diterkam binatang itu.
"Entjek Tjoei, mari lekas," akhirnya ia memanggil.
"Matanya!" adalah jawaban Tjoei Tjioe San.
Ini pemberian ingat menyadarkan bocah itu, tidak ajal lagi, ia ulur tangan kanannya,
beberapa jarinya mencari sebelah matanya yang terus ia korek dan betot keluar! Binatang
itu kaget dan kesakitan, dia berjingkrakan sambil menderum-derum, darah mengucur
keluar dari matanya itu.
Menampak demikian, Tjioe San lompat maju, ia dekati macan tutul itu tanpa si binatang
buas dapat lihat padanya, segera ia menyerang dengan keras dengan kedua tangannya
kearah kepala, atas mana, macan itu jadi pusing, segera dia rubuh terguling.
Selagi si raja hutan rubuh, Tjioe San sambar Sin Tjie, untuk diangkat.
"Bagus,bagus!" ia puji murid itu.
Kapan si Tjoei menoleh pada kawan-kawannya, Tiong Sioe semua berkuatir hingga
mereka mandi keringat! Tjioe San pentang pintu, ia dekati macan itu pada belakangnya,
lalu ia mendupak.
"Pergilah, aku merdekakan padamu!" kata ia.
Tendangan itu keras, sang harimau, yang mulai merangkak bangun, terjerunuk kedepan,
sesudah mana, dia terus loncat, untuk kabur, Menyusul itu, diluar terdengar riuh jeritan
kaget dari banyak orang.
Menyangka bahwa macan tutul itu menerbitkan kecelakaan, Tiong Sioe semua berlari
keluar, untuk melihat, tapi begitu lekas mereka berada diluar, mereka juga kaget tidak
terkira. Seluruh gunung terang dengan api, yang mendatangi dari arah bawah, diantara itu,
tertampak pelbagai senjata yang berkilatan.
Itulah tentara kerajaan Beng, yang mengurung Lauw Ya San dengan tiba-tiba! Orang-orang
Lauw Ya San Baru saja bubar, yang masih ada tinggal sedikit, ini menyulitkan mereka.
Mereka pun tidak dapat kabar lebih siang, karena mereka disergap dan penjaga-penjaga di
saban pos telah terbunuh mati, sampai mereka ini tidak bisa memberi tanda bahaya.
Tjouw Tiong Sioe ada seorang peperangan ulung, walaupun ia kaget, hatinya tidak gentar.
Tadinya, dia pun adalah orang yang pangkatnya paling tinggi.
"Lo Tjiangkoen," ia segera beri titah pada Lo Tay Kan, "pergi kau pimpin saudara-saudara
tukang masak, tukang sapu dan penjaga-penjaga kuil, lepaslah api digunung sebelah
timur seraya berteriak-teriak, untuk menyesatkan musuh!"
Lo Tay Kan terima titah, ia berlalu dengan cepat.
"Tjoe Tjiangkoe, Nie Tjiangkoen!" Tjouw Tiong Sioe panggil Nie Hoo dan Tjoe An Kok.
"Pergilah kedepan, masing-masing memanah belasan kali, untuk cegah tentara musuh
terlalu mendesak, habis itu, lekas kembali!"
Dua punggawa itu berlalu dengan titah tersebut.
"Tjoei Toako, ada satu tugas penting aku mohon kau yang pegang!" kata Tiong Sioe pada
Tjioe San. "Kau ingin aku yang lindungi Sin Tjie?" Tjioe San tegaskan.
"Benar," jawab pemimpin itu. Lalu bersama-sama Eng Siong, dia menjura terhadap utusan
Lie Tjoe Seng ini.
Tjioe San kaget, dengan tersipu-sipu, ia membalas hormat.
"Bicaralah, djiewie, tapi jangan berbuat begini!" ia mencegah.
Suara gemuruh diluar bertambah besar, malah terdengar juga suara tambur dan gembreng
tentara yang riuh, tapi itu datangnya dari atas gunung, maka Tiong Sioe menduga kepada
perbuatannya Lo Tay Kan, ialah siasat akan mengelabui musuh.
"Inilah satu-satunya darah daging dari Wan Tayswee, tolong Tjoei Toako antar dia turun
gunung!" Tiong Sioe minta kepada Tjioe San.
"Aku nanti lakukan itu!" Tjioe San berikan janjinya.
Itu waktu, Tjoe An Kok dan Nie Hoo kembali habis melepas panah.
"Aku akan ambil jalan bersama Tjoe Tjaingkoen," Tiong Sioe mengatur diri, "kami nanti
gabungkan diri sama Lo Tjiangkoen, akan menerjang turun disebelah timur. Eng Sinshe
bersama Nie Tjiangkoen boleh menerjang dari barat. Kita akan menerjang lebih dulu, buat
tarik perhatiannya tentara musuh, supaja mereka tercegah, setelah itu, Tjoei Toako
bersama Sin Tjie boleh nerobos turun dari gunung belakang. Biarlah kitaorang berkumpul
ditempat Lie Tjiangkoen!"
Semua orang kagum, disaat segenting itu, Tjouw Tiong Sioe masih bisa mengatur diri
demikian sebat dan tepat, coba mereka punyakan tentara, tentu keadaan mereka ada lain
sifatnya. Sin Tjie sedih bukan main, sebab telah begitu lama ikuti Eng Siong semua, yang pun telah
didik dia, sekarang mereka mesti berpisahan secara demikian mendadakan dan dalam
ancaman malapetaka hebat juga. Ia paykoei berulang-ulang terhadap mereka.
"Tjouw Siokhoe, Eng Siokhoe, Tjoe Siokhoe, Nie Siokhoe," kata ia, "aku, aku...."
Ia tak dapat bicara lebih jauh, tenggorokannya seperti terkancing.
"Kau ikuti Tjoei Siokhoe, kau dengar perkataannya," kata Tiong Sioe.


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Masih Sin Tjie tak dapat bicara, ia cuma bisa manggut.
Suara berisik makin hebat, itulah tandanya tentara negeri sudah mulai mendaki tinggi.
"Marilah!" mengajak Eng Siong. "Tjoei Toako, kau berangkat sebentar lagi sedikit..."
Lantas mereka itu bertindak keluar.
Nie Hoo lihat Tjoe Tjio San tidak punya senjata, ia lemparkan kongtjee kepadanya.
"Tjoei Toako, sambut ini!" ia kata.
"Aku tak butuhkan itu," sahut Tjioe San, yang menyambuti tapi terus hendak kembalikan,
hanya Nie Hoo sudah lari jauh, ia jadi batalkan niatnya.
"Mari!" katanya, yang terus tarik tangannya Sin Tjie, sedang tangannya yang lain tetap
pegangi tumbak cagak itu.
Berdua mereka pergi kebelakang dimanapun ada terang cahaya api, hingga kelihatan
berlapis-lapis tentara, entah berapa djumlahnya. Anak panah pun dipanahkan naik
bagaikan hudjan. Maka terpaksa Tjioe San lari balik kekuil, kedapur, akan cari dua buah
kwali, yang satu besar, yang lain kecil yang kecil ia serahkan pada muridnya.
"Inilah tameng!" kata ia. "Mari!"
Dengan berlompatan secara enteng, mereka lari kearah tempat gelap.
"Kejar, kejar!" begitu tentara kerajaan Beng berteriak-teriak, ketika mereka lihat dua orang
berlari-lari. Dan mereka segera mengejar seraya terus memanah juga.
Tjioe San lari dibelakang Sin Tjie, dengan kongtjee, dan tameng kwali, ia tangkis pelbagai
gandewa, hingga kwalinya menerbitkan suara berisik berulang-ulang.
Disebelah depan mereka, ada beberapa serdadu, yang merayap naik, yang memegat, tapi
berdua, guru dan murid itu, serang mereka, hingga belasan serdadu rubuh.
Sin Tjie bersenjatakan tumbak pendek, diwaktu demikian, senjata itu tidak leluasa
dipakainya, karena itu, ia lebih banyak lindungi diri.
Tidak lama, mereka telah sampai ditengah gunung, Baru mereka bernapas lega sedikit,
lantas terdengar suara riuh, disusul sama munculnya sebarisan serdadu Beng Tiauw
dengan yang maju dimuka ada satu tjian-boe atau kapten, yang bersenjatakan sebatang
golok besar, malah terus saja dia bacok Tjioe San.
Tjoe Tjioe San tangkis bacokan itu, ia merasakan tenaga musuh yang besar, maka dengan
sebat, ia balas menyerang.
Kapten itu menangkis seraya ia serukan barisannya: "Saudara-saudara, maju!"
Tjioe San tidak mau melayani lama-lama, dengan tamengnya, ia ancam kapten itu, dengan
cagaknya, ia membarengi menikam, berbareng dengan mana, ia pun membentak.
Celaka adalah kapten itu, iganya kena tertusuk.
Selagi Tjioe San cabut senjatanya, ia menoleh, ia tidak lihat Sin Tjie, bukan main
terkejutnya ia. Disebelah kiri ada suara berisik, ia lihat serdadu-serdadu berkerumun, ia
lari kesana. Beberapa serdadu mundur sendirinya melihat ia merangsak.
Nyata disitu Sin Tjie sedang dikepung tiga serdadu, tumbak pendeknya sudah terlepas
jatuh, maka dia melawan dengan gunai Hok-houw-tjiang, dengan tangan kosong. Kelihatan
nyata ia sedang terdesak.
Tanpa bersuara lagi, Tjioe San berlompat kepada musuh, terus ia menyerang. Satu
serdadu rubuh, menyusul yang lain, dengan begitu, Sin Tjie dapat ditolong.
"Mari!" mengajak sang guru.
"Kejar!" berseru serdadu yang ketiga.
Tidak jauh dari situ masih ada kawan mereka, dua diantaranya lantas maju.
Dengan satu loh-bee, gerakan berbalik, Tjioe San rubuhkan dua serdadu, kemudian ia
terjang yang ketiga, yang coba merangsak. Serdadu yang ketiga itu kena dilemparkan
hingga dia rubuh terbanting sambil perdengarkan jeritan hebat.
Menampak demikian, serdadu-serdadu yang lainnya merandek, tak berani mereka
mendesak. Tjioe San sambar Sin Tjie, untuk dipondong, buat dibawa kabur dengan gunai ilmunya
entengi tubuh. Ia tunggu sampai ia sudah terpisah jauh dari tentara negeri, Baru ia lepas
turun muridnya itu.
"Apakah kau terluka?" dia tanya.
Sin Tjie usap mukanya, ia kena raba barang bergenjik, waktu ia lihat tangannya antara
cahaya rembulan, ia lihat barang cair merah, ialah darah. Ia terkejut. Ia pun kaget, akan
lihat muka gurunya berlepotan darah juga.
"Entjek Tjoei, darah, darah....." ia berseru.
"Tidak apa, inilah darahnya lain orang," sahut Tjioe San. "Kau terluka atau tidak?"
"Tidak," jawab sang murid.
"Bagus! Mari kita pergi!" guru itu mengajak.
Mereka lantas nyelusup antara pepohonan, akan pergi dari tempat berbahaya itu. Mereka
sudah jalan kira-kira setengah jam, sampai tidak ada pepohonan lagi, ketika Tiong Sioe
melongok kebawah, ia tampak cahaya terang, ada beberapa ratus serdadu menjaga disitu.
"Kita tak dapat turun, mari mundur...." Ia bilang.
Mereka jalan beberapa ratus tindak, sampai mereka lihat sebuah gua cetek yang tertutup
pepohonan. Keduanya masuk, untuk umpatkan diri.
Sin Tjie merasa sangat lelah, dasar anak kecil, ketika ia rebahkan diri, cepat sekali, ia jatuh
pulas. Tjioe San angkat tubuh orang, buat dipeluki, supaya murid itu tidur dipangkuannya,
sembari berbuat begitu, ia pasang kuping, hingga ia dengar, suara riuh masih belum
berhenti. Kemudian ia dengar suara merotok keras, disusul sama naik tingginya cahaya
api. Teranglah sudah, kuilnya Wan Tjong Hoan telah dibakar tentara Beng.
Masih berselang sekian lama, Baru terdengar suara terompet tentara, tandanya mereka
dititahkan berkumpul, untuk turun gunung, buat angkat kaki.
Tjioe San terus pasang kuping ketika kemudian ia mengeluh sendirinya. Ia dengar
tindakan kaki yang ramai, yang makin lama makin nyata. Rupanya barisan serdadu
mendatangi kearah guha yang mesti dilalui mereka.
Jikalau dia dipergoki.....
(Bersambung bab ke 3)
Tiba-tiba terdengar suara orang duduk diluar gua, yang teraling pepohonan balabergombolan.
Dengan tangan kanan cekal senjatanya, dengan tangan kiri Tjioe San tekap
mulutnya Sin Tjie. Ia kuatir bocah ini mendusin dan menjadi kaget karenanya, dengan
begitu dia bisa berteriak.
Untuk sesaat kesunyian berkuasa ditempat sunyi itu. Lalu tiba-tiba: "Pemberontak she
Wan itu ada tinggalkan satu anak, kemana perginya bocah itu?" demikian satu suara yang
keras. Benar-benar Sin Tjie tersadar karena suara itu, tapi Tjioe San telah siap, ia bisa cegah
bocah ini buka mulutnya.
"Diam...." Dia kisiki.
"Kau mau omong atau tidak?" kembali terdengar suara keras tadi. Itulah satu pertanyaan
bengis. "Jikalau tetap kau tutup mulut, lebih dahulu aku akan bacok kutung sebelah
kakimu!" "Jikalau kau hendak bacok, bacoklah!" terdengar satu suara lain, ialah suaranya orang
yang diancam itu. "Selama diperbatasan, dengan tumbak dan golok, aku biasa hajar
bangsa Tartar, mustahil aku jeri terhadapmu, dorna!"
Itulah suaranya Eng Siong.
Sin Tjie terkejut.
"Eng Siokhoe..."kata ia, tapi suaranya pelahan.
"Eh, apa benar kau tidak mau bicara?" teguran diulangi.
"Cis!" terdengar suaranya Eng Siong, yang ludahi orang yang ancam dia. "Aduh!..."
Jeritan itu menyusuli suatu suara keras, rupanya benar-benar kakinya Eng Siong dibacok
kutung! Tak bisa Sin Tjie bersabar lagi, ia berontak dari cekalannya Tjioe San.
"Eng Siokhoe!" ia menjerit sambil ia loncat keluar gua. Maka ia bisa lihat, antara cahaya
api, seorang yang bersenjatakan golok, lagi ayunkan senjatanya kearah tanah dimana ada
seorang menggeletak. Ia berlompat, ia menyerang dengan ilmu pukulan "Tjo Kie yo kim,"
atau "kiri menyerang, kanan menangkap," salah satu jurus dari Hok-houw-tjiang.
Orang dengan golok ditangan itu, yang kejam, menjerit bahna kesakitan, sebab tahu-tahu
matanya kena toyoran, sedang selagi ia menjerit dan kesakitan itu, lengannya pun dirasai
sakit, lantas goloknya kena dirampas! Sin Tjie tidak bekerja sampai disitu saja, menyusuli
dengan sebat, ia bacok pundak orang, benar tenaganya tidak cukup besar, pundak itu
tidak sampai terbacok kutung, toh orang telah jadi pusing kepala dan matanya kabur
saking sakitnya.
Disitu ada sejumlah serdadu lain, mereka kaget tapi mereka tidak berdaya untuk
mencegah, setelah mereka dapati, penyerang gelap ini ada bocah, mereka lantas maju
untuk menyerang.
Dalam saat Sin Tjie terancam bahaya, dari dalam gua loncat keluar satu orang lain dengan
kongtjee ditangan, dia cuma berkelebat, lantas senjatanya iu menangkis berbagai senjata
yang mengancam si bocah cilik, hingga sekalian penyerang itu terperanjat, tangannya
kesakitan, ada antaranya, yang senjatanya terpental dan terlepas.
Selagi serdadu-serdadu itu kaget, Tjioe San sambar Sin Tjie untuk terus dibawa lari turun
gunung, ketika kemudian mereka dihujani anak-panah, mereka keburu lari jauh.
Diantara serdadu-serdadu itu, yang atas titahnya Thaykam Tjo Hoa Soen, ada empat yang
pandai silat, kapan mereka ini tampak Tjioe San mereka segera lompat mengejar, satu
antaranya malah keluarkan tiga batang panah-tangan, sebab terdapat kenyataan,
walaupun sedang kempit orang, Tjioe San bisa berlari-lari dan berlompatan dengan keras.
Tjioe San masih dengar sambaran angin, lekas-lekas ia mendak, dengan begitu, tiga
batang anak panah lewat diatasan kepalanya.
Selagi Tjioe San mendak, karena mana ia mesti berhenti lari, satu musuh lain serang ia
dengan tiga batang kong-piauw, yang dilepasnya dengan beruntun. Ia lepaskan Sin Tjie, ia
gunai tangannya itu menanggapi dua buah piauw, disaat ia hendak balas menyerang
dengan piauw itu, datanglah panah-tangan dan batu hoei, hong tjio saling susul, hingga ia
jadi repot, batal menyerang dengan piauw, ia menangkis dengan kongtjee.
"Mari!" ia teriaki Sin Tjie, untuk ajak bocah itu lari lebih jauh.
Terpisahlah mereka ini dari tentara Beng adalah jauh, tidak demikian dari itu empat
pengejar yang masih saja bayangi mereka.
"Sahabat baik, letaki senjatamu!" demikian salah satu pengejar berteriak, dengan lagu
suaranya mengejek. "Marilah baik-baik turut kita pulang, nanti kita bikin kamu kurangan
menderita...."
Tjioe San paling sebal terhadap orang yang mulutnya enteng, dari itu, ia jadi mendongkol
sekali. Sembari lari, ia geser kongtjee ketangan kiri dan piauw ke tangan kanan, ia tunggu
sampai orang telah datang lebih dekat, mendadakan ia menyambit, keatas dan kebawah.
Tukang menjengeki itu menjerit, pahanya tertancap sebatang piauw, tidak tempo lagi, ia
rubuh. Tetapi tiga kawannya tidak perdulikan ancaman, mereka mengejar terus.
Melihat orang datang semakin dekat, Tjioe San kata pada Sin Tjie: "Siangtoo dari orang itu
ada bagus, nanti aku rampas untuk diberikan kepadamu!"
Habis mengucap, Tjioe San tancap kongtjee ditanah, lantas ia berlompat maju, akan
hampirkan musuh yang bergegaman siangtoo, golok sepasang.
Dia ini sambut musuh, malah dengan pukulan beruntun "In Ling sam hian", atau "Naga
tiga kali perlihatkan diri dalam awan", dia mendahului menyerang berulang-ulang, karena
mana, Tjioe San tidak lantas dapat mencapai maksudnya.
Dipihak lain, musuh yang kedua, yang bersenjatakan tiat-pian atau thie-phie, rujung besi,
telah berlompat kepada Wan Sin Tjie.
Bocah ini bertangan kosong, segera ia menghadapi ancaman bahaya.
Tjioe San mendongkol, karena tak dapat ia segera rampas siangtoo lawan, dilain pihak, ia
lihat muridnya terancam, maka juga sambil putar tubuh, ia berlompat kepada musuh
dengan tiatpian ditangan itu, dengan ulur tangannya dengan "Kim liong tam djiauw" atau
"Naga emas mencengkeram" ia sambar bebokongnya.
Musuh ini sedang hendak babat pinggangnya Sin Tjie, kapan ia dengar sambaran angin, ia
lantas putar tubuhnya, berbalik, akan lihat si penyerang. Tapi sambarannya Tjioe San
sudah sampai, tidak sempat dia menangkis, terpaksa dia tolong diri dengan bertindak
mundur. Justru itu Sin Tjie dibelakangnya telah ayun kakinya, maka kenalah ia terdupak
kempolannya. Ia tidak rubuh, ia jadi gusar, ia menyabat kebelakang dengan tiatpian. Tapi
ia terlambat, Tjioe San telah sambar ruyungnya itu, untuk dicekal keras, buat dirampas.
Dalam saat kedua pihak bergujengan, orang yang bersenjatakan siangtoo telah datang,
untuk menyerang lebih jauh, bersama ia ada kawannya yang ketiga, yang bergegaman
golok kwie-tauw-too, ber-sama-sama, mereka berdua menyerang dari belakang.
Juga orang yang pertama, yang tadi rubuh terkena piauw, bisa bangun pula, dia
memegang tumbak, dia maju untuk tikam Sin Tjie.
Itulah saat berbahaya untuk Tjioe San dan muridnya. Walaupun demikian, orang she Tjoei
ini tidak menjadi bingung atau putus asa. Sambil berseru, dengan pukulannya "Hang liong
hok houw" atau "Menakluki naga dan menundukkan harimau" , dia hajar dadanya orang
yang pegang ruyung, sampai dia ini rubuh terjengkang, malah dia kena tubruk kawannya
yang bergegaman tumbak, yang hendak tikam si bocah, hingga dia ini turut terguling.
Syukur untuk kawan ini dengan ruyung, dia tidak sampai tertikam tumbak teman.
Tjioe San berlompat, akan rampas tiatpian orang dengan itu ia tangkis serangan siangtoo
dan kwietauwtoo, lalu ia tarik lengannya Sin Tjie, buat diajak lari lebih jauh. Ia tidak punya
ingatan akan layani terus empat musuh itu.
Baru sekarang empat lawan itu berhenti mengejar, mereka rupanya insyaf liehaynya satu
musuh itu, sebagai gantinya, mereka keluarkan senjata rahasia masing-masing dengan
apa mereka menyerang dari jauh.
Tjioe San sibuk sekali ketika ia dengar sambaran angin saling susul, ia tarik Sin Tjie
kepada dadanya, untuk dipeluk, dengan ruyungnya, ia bikin penangkisan. Ia pun sabansaban
lompat berkelit, akan menyingkir dari perbagai serangan saling susul itu. Karena
adanya si bocah, gerakannya jadi terhambat.
Tiga biji pou-tee-tjoe datang menyambar, dua bisa dielakkan tapi yang satu mengenai
paha kirinya Tjioe San. Dia terkejut, sebab mulanya sakit sedikit, lukanya itu lantas jadi
gatal. Ia insyaf, pou-tee-tjoe itu telah dikenai racun. Karena ini, dengan sekuat tenaganya,
ia lari terus. Tetapi ini justru melekaskan bekerjanya racun, kaki kirinya lantas saja jadi
kaku, hingga tidak saja ia tak mampu lari lebih jauh, ia malah rubuh terguling.
"Tjoie Siokhoe!" memanggil Sin Tjie, yang kaget bukan main. Ia sendiri hampir turut
terguling. Empat penyerang, dengan samar-samar, lihat orang rubuh, kapan mereka dengar
suaranya Sin Tjie, mereka mengejar pula.
"Sin Tjie! Sin Tjie!" berseru sang guru. "Lekas lari! Aku nanti tahan mereka!"
Sin Tjie masih bocah tapi ia cerdas, daripada lari, dia justru lompat kesampingnya guru
itu, ia hendak bersiap melawan musuh-musuhnya.
"Dengan kepandaianmu ini, mana sanggup kau belai aku?" kata Tjioe San, yang terharu
bukan main. Murid ini sangat berani dan bakti.
Empat musuh sudah lantas datang dekat, apapula yang bersenjatakan siangtoo dan
kwietauwtoo. Yang pegang kwietauwtoo ini hendak menawan hidup-hidup, ia serang Sin
Tjie dengan belakang goloknya. Ia sengaja sambar bawah betisnya Sin Tjie.
Sin Tjie lihat serangan itu, ia berkelit sambil berlompat.
Tjioe San lihat serangan itu, ia paksa bangkit, untuk berdeku dengan sebelah kaki. Dia
masih pegang dia punya ruyung, dengan itu, ia timpuk orang yang pegang siangtoo. Dia
ini kaget, sampai tak sempat dia berkelit, maka kepalanya kena tiatpian, syukur tidak
hebat. Sedangnya dia melengak, Tjioe San enjot tubuh sekuat tenaga, akan tubruk musuh
ini. Beruntung untuk dia, dia bisa sambar tenggorokan orang.
Musuh kaget, dia membacok, tapi bacokan ditangkis dengan lengan oleh Tjioe San, siapa
kerjakan tenaganya kepada semua jerijinya, maka dilain saat, musuhnya tecekek keras,
tubuhnya rubuh, napasnya berhenti jalan tanpa berkaok lagi....
Inilah hebat, menampak itu, musuh dengan kwietauwtoo ditangan jadi jeri, lantas ia putar
tubuh untuk lari. Melihat ini, dua kawannya, yang menyusul belakangan, yang memang
telah terluka, turut dia dan lari juga.....
Tjioe San sendiri mengeluarkan darah tak putusnya dari lukanya itu, kaki kanannya sudah
lenyap rasa sakitnya, beku tanpa rasa apa juga. Tapi ia kertak gigi, ia kumpul tenaga,
dengan bantuan golok, yang ditandalkan ketanah, ia coba berbangkit. Ia insyaf, musuh lari
tentu akan sebentar kembali bersama pasukan tentaranya, jadi ia tak punya tempo untuk
disia-siakan. "Mari!" ia ajak muridnya. Ia jalan dengan separuh merangkak, karena sebelah tangannya
dipakai sebagai gantinya kaki. Ia separuh menyeret tubuh.
Sin Tjie jalan disebelah kanan gurunya itu, ia pasang pundaknya untuk gurunya cekal
dengan tangan kanan, akan kasi dirinya digelendoti. Jadi, separuh dipepayang, Tjioe San
paksa jalan, setindak demi setindak.
Jalan sekian lama, keadaannya Tjioe San tambah hebat. Mulai dari kaki, bekunya naik ke
tangan, hingga pelahan dengan pelahan, habislah tenaga tangannya itu - tangan kiri.
Sekarang ia mengandal pada tangan kanan saja.
Sin Tjie merasai bandulan makin berat pada pundaknya, ia lawan itu, ia diam saja. Ia telah
mandi keringat.
Mereka jalan terus, sampai si bocah pun lelah sekali.
"Tjoei Siokhoe, didepan ada rumah orang, mari kita pergi kesana," kata sang murid,
apabila ia tampak sebuah rumah. "Kita beristirahat disana sambil umpatkan diri...."
Tjioe San manggut, ia paksa kumpul tenaganya. Adalah setelah sampai didepan pintu,
tenaganya habis, terlepaslah cekalannya, hingga ia rubuh tanpa muridnya dapat
mencegah. "Tjoei Siokhoe!" Sin Tjie menjerit, sambil ia lekas membungkuk. "Tjoei Siokhoe!"
Hampir itu waktu, daun pintu rumah terpentang, seorang perempuan usia pertengahan
muncul diambang pintu.
"Toa-nio," berkata Sin Tjie, "kami bertemu tentara negeri, pamanku ini terluka, tolong kau
ijinkan kami menumpang bermalam, satu malam saja...."
Perempuan tani itu murah hati, ia manggut, lalu ia teriaki satu anak tanggung, umur
delapan atau sembilan-belas tahun, untuk bantui si bocah angkat tubuhnya Tjioe San, buat
diangkat kedalam, direbahkan atas kong.
Karena ia ada tangguh dan kuat semangatnya, walaupun kaki dan tangannya beku
sebelah, Tjioe San tidak pingsan atau kalut pikirannya, sebaliknya, ia sadar benar-benar. Ia
lantas suruh Sin Tjie geser pelita, untuk ia periksa lukanya.
Kaget semua orang, akan tampak luka dikaki itu. Sebab kaki kiri itu bengkak besar, yang
sepotong sudah matang-biru, dilihatnya mengerikan.
"Tolong bungkus luka dipundakku," Tjioe San minta si tuan rumah muda. Kemudian, ia


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

minta dibungkus keras juga pahanya, guna cegah racun naik dan menyerang ke
jantungnya. Habis itu, ia cabut senjata yang melukai padanya. Segera keluar darah hitam.
Tjioe San coba tunduk, ia niat isap darah dari lukanya, supaja racunnya tersedot, tapi
bengkaknya demikian besar, mulutnya tak dapat sampaikan luka itu.
Melihat demikian, tanpa bersuara apa-apa, Sin Tjie gantikan gurunya sedot darah itu, ia
menyedot berulang-ulang, saban-saban ia muntahkan darah hitam itu. Setelah menyedot
kira empat-puluh kali, Baru ia kena hisap darah bersemu merah.
Akhir-akhirnya djago itu menghela napas.
"Syukur ini bukannya racun yang sangat berbahaya," kata ia. "Sin Tjie, lekas kau
kekumur!" Nyonya rumah, yang mengawasi sedari tadi, lalu berdoa.
Besoknya, lohor, tuan rumah muda, yang dimintai pertolongannya, pulang dengan laporan
bahwa tentara negeri sudah mundur dari gunung Lauw Ya San. Disatu pihak, kabar itu
melegakan hati. Akan tetapi, dilain pihak, keadaannya Tjoei Tjioe San menguatirkan sekali.
Bengkaknya mulai kempes, tapi disebelah itu, tubuhnya menjadi panas, dia mulai
mengaco-belo. Sin Tjie ada satu bocah, walaupun ia cerdik, ia toh bingung, ia tidak bisa berbuat suatu
apa. "Tuan kecil," berkata nyonya rumah," aku lihat racun dalam kakinya pamanmu ini belum
habis semua, perlu kau pergi kekota kepada tabib guna periksai lukanya itu."
Sin Tjie anggap usul itu baik.
"Aku nanti pergi," kata ia.
Nyonya rumah, yang baik hati, pergi pinjam gerobak kerbau dari tetangganya, dengan naik
itu, Sin Tjie pergi dengan diantar si anak tanggung. Tjioe San direbahkan diatas gerobak.
Anak tanggung itu mengantari sampai dikota, sampai Sin Tjie telah dapati sebuah rumah
penginapan, lantas ia berangkat pulang.
Sekarang, setelah berada dikota, Sin Tjie kembali bingung. Mereka tidak punya uang. Ia
bengong mengawasi saja gurunya, hingga ketika jongos tanya, ia hendak dahar apa, ia
tidak dapat menyahuti.
"Aku tidak lapar," kemudian ia kasi alasan. Tapi, seperginya si jongos, ia nangis seorang
diri. Selama itu, Tjioe San rebah tak ingat dirinya, adalah sesudah lewat sekian lama, ia
mendusin juga. "Bagaimana, siokhoe?" Sin Tjie tanya. "Apa siokhoe merasa baikan?"
Guru itu manggut.
"Apakah kau ada bawa barang berharga apa-apa?" tanya dia kemudian.
Tiba-tiba Sin Tjie ingat suatu apa, lantas dia menjadi girang.
"Ada ini!" kata ia, yang terus keluarkan sarungnya.
Itu ada kalung emas tertabur delapan buah batu permata, dan dirantainya ada ukiran
beberapa huruf, kapan Tjioe San baca itu, bunyinya ada empat huruf "Hoei Koan Hoan
Tjiang" yang berarti "Kejayaan makmur". Dibawah itu ada lagi dua baris huruf-huruf kecil,
yang berbunyi: "Selamat bahagia ulang bulan Wan Kongtjoe" dan "Selamat dari Tjouw Tay
Sioe". Jadi itu ada tanda-mata dari Tjouw Tay Sioe, panglima nomor satu dari Wan Tjong Hoan,
untuk peringatan usia sebulan dari Wan Sin Tjie.
Tjouw Tay Sioe ini, diwaktu mudanya, ada gagah dan berandalan, kemudian ia kena
ditawan Tok-boe Soen Sin Tjong dari Kie-liauw, diwaktu ia hendak dihukum mati, Wan
Tjong Hoan mintakan keampunan, dengan begitu, ia jadi sangat berterima kasih, keduanya
jadi bersahabat bagaikan saudara, maka dikemudian hari, waktu Wan Tjong Hoan binasa
teraniaya, Tjouw Tay Sioe jadi sangat gusar, dia bawa kabur tentaranya, dia tinggalkan
kota raja tanpa pedulikan titah kaisar Beng. Dikota raja, semua orang berkuatir, kuatirkan
panglima ini, yang berkuasa atas tentara, nanti berontak, sukur ibu dan isterinya Tay Sioe
ada orang-orang bijaksana, mereka bisa bujuk Tay Sioe jangan berkhianat, hingga
kesudahannya, Tay Sioe ajak barisannya menentang desakan tentara Boan.
Pikirannya Tjioe San sedang kusut, ia tidak perhatikan bunyinya kata-kata pada kalung itu.
"Pergi ajak jongos gadai kalung ini." Ia kata pada muridnya. "Dibelakang hari, kita boleh
datang pula kemari untuk menebusnya."
Sin Tjie juga tidak pikirkan huruf-huruf ukiran itu.
"Baik," sahut ia, yang terus ajak satu jongos, untuk menggadai.
Pengurus pegadaian terkejut ketika ia periksa kalung yang hendak digadaikan itu.
"Sahabat cilik, tunggu sebentar , ya?" kata ia.
Pengurus ini masuk kedalam, sampai lama, hingga Sin Tjie dan si jongos tidak sabaran,
baiknya kemudian, dia muncul juga.
"Sahabat cilik, kami terima gadai untuk dua-puluh tail." Kata ia.
Sin Tjie tidak tahu apa-apa, ia mau terima, tapi jongos mintakan tambahan lagi lima tail,
kalung itu jadi digadai buat dua-puluh lima tail.
Sambil bawa uang dan surat gadai, Sin Tjie ajak jongos mampir sekalian pada tabib. Diluar
tahu mereka, mereka sudah lantas dikuntit dua orang polisi, terus sampai dihotel.
Tjioe San sedang tidur, kepalanya panas seperti api. Karena thabib, yang menyusul
belakangan, belum juga sampai, Sin Tjie menjadi kuatir pula, hingga ia pergi keluar, akan
melihat, mengharap-harap kedatangan sang tabib.
Belum lama, mendadakan datanglah delapan orang polisi ke hotel, mereka itu bekal thietjio
dan rantai belengguan.
"Ini dia si bocah," kata satu oppas seraya tunjuk Sin Tjie.
"Eh, anak, apa kau she Wan?" tanya oppas yang jadi kepala.
Sin Tjie kaget, tak tahu ia mesti menjawab apa.
"Bukan," jawab ia akhirnya, dalam bingungnya.
Oppas itu tertawa, dari sakunya, ia keluarkan kalung emas tadi.
"Habis, kalung ini kau curi dari mana?" tanya dia.
"Itu bukan barang curian, itu ada barangku sendiri," sahut Sin Tjie, yang dengan tidak
langsung toh mengaku.
Kembali oppas itu tertawa.
"Wan Tjong Hoan itu pernah apa denganmu?" tanya dia.
Sin Tjie kaget, ia tidak berani menyahuti, hanya ia lari kedalam, ke kamarnya, akan segera
gebrak bangun pada Tjioe San.
Diluar segera terdengar teriakannnya kawanan oppas tadi : "Berandalan dari Lauw Ya San
bersembunyi dalam hotel ini! Jangan kasi mereka lolos!"
Sementara itu, Tjioe San mendusin dengan kaget, ia berbangkit, akan duduk, akan
turunkan kakinya kelantai, tapi ia tidak dapat bergerak dengan leluasa, begitu kakinya
diturunkan, bukannya ia berdiri, ia justru rubuh terguling.
Disaat itu, rombongan oppas telah nerobos kedalam hotel.
Dalam bingungnya, hingga ia tak keburu kasi bangun gurunya, Sin Tjie lompat kepintu,
disini ia berdiri untuk merintang.
Hotel sendiri lantas jadi berisik, tetamu-tetamu lainnya jadi berkumpul di pekarangan, akan
saksikan hamba-hamba negeri melakukan penangkapan pada penjahat pemburon. Mereka
jadi heran kapan mereka lihat, kawanan oppas itu justru menghadapi satu bocah cilik.
Satu orang polisi segera lemparkan rantai kelehernya Sin Tjie.
Bocah ini mundur, akan berkelit, tetapi ia masih berdiri diluar pintu, untuk cegah orang
masuk. Oppas itu jadi jengah, sebab ia, yang telah punyai pengalaman belasan tahun, tidak
mampu bekuk seorang kacung, dari jengah, ia jadi gusar, maka ia ulur tangannya, akan
sambar kuncirnya bocah itu.
Sin Tjie takut melihat rombongan oppas-oppas itu, ia sudah mau menangis, tapi melihat
orang demikian garang, dan sekali ini ia hendak dijambak rambutnya, ia jadi gusar, ia
sambar tangan orang untuk dibetot dengan kaget. Ia gunai Hok-houw-tjiang punya jurus
"Heng ho tan pian" atau "tarik melintang satu cambuk". Si oppas sempoyongan, ia jadi
gusar, maka ia putar tubuhnya, akan tendang bocah itu. Ia pun mendamprat : "Anak
haram, kau lihat tuanmu!"
Tubuhnya Sin Tjie kecil dan kate, dengan mendak sedikit, ia kasi lewat tendangan itu,
dengan kedua tangannya, ia tanggapi kaki dan kempolan orang, terus ia angkat dan
mendorong dengan keras. Tidak tempo lagi, tubuh besar dari oppas itu terlempar, jatuh
terbanting dengan keras! Sebenarnya Sin Tjie tidak punya tenaga demikian besar, ia
sanggup berbuat demikian sebab ia berbareng pinjam tenaga tendangan dari si oppas
sendiri. Banya orang bersorak. Mereka memang sebal melihat oppas-oppas itu, orang-orang
dewasa dan tua, perhina satu bocah, tapi sekarang si bocah yang menang, mereka puas
dan gembira, tanpa merasa lagi, mereka berikan pujian mereka! Oppas-oppas lainnya
melengak, mereka heran hingga mereka hendak sangka bocah itu punya ilmu gaib. Tapi
segera mereka saling melirik, lantas semuanya maju, dengan golok dan thietjio ditangan.
Menampak demikian, semua tetamu kaget dan takut, mereka pada mundur.
Biar bagaimana, Sin Tjie masih terlalu muda, saking bingung, ia repot, tapi dalam saat
yang berbahaya itu, sekonyong-konyong dari kamar samping lompat keluar satu orang,
yang tubuhnya besar, mencelat kedepannya si bocah, terus ia geraki kaki-tangannya,
entah bagaimana, dengan gampang ia dapat rampas senjatanya sekalian hamba wet itu,
selagi oppas-oppas itu mundur dengan kekuatiran, ia mendesak, ia menyerang dengan
kepalannya sampai orang babak belur. Habis itu, orang ini perdengarkan suara keras yang
luar biasa. "Siapa kau?" akhirnya satu oppas menegor. "Kami hendak tangkap orang jahat, lekas
mundur!" Seperti juga orang yang tidak dengar pertanyaan, tubuhnya orang itu melesat kedepan
oppas ini, tahu-tahu tangannya sudah menjambret dada, apabila ia mengangkat, tubuh si
oppas dilemparkan, hingga tubuh itu melayang, bagaikan lajangan melewati tembok,
ketika dia rubuh, dia terbanting keras, dia pingsan! Melihat demikian, semua oppas lainnya
lari sipat-kuping keluar.
Orang kuat itu lalu hadapi Sin Tjie, ia bicara, tangannya digerak-geraki, tapi suaranya "ahah
oeh-oeh," maka sekarang ternyata dia adalah seorang gagu. Rupanya dia tanya si
bocah, bagaimana duduknya hal.
Bingung Sin Tjie, sebab ia tidak tahu bagaimana harus berikan keterangan. Selagi ia
mengawasi dengan melongo, orang itu lantas saja angkat tangannya keatas, lalu kebawah,
segera menyusul gerakan kakinya, maka tahu-tahu, dia sudah jalankan Hok-houw-tjiang,
sampai jurus kesepuluh, "Pek pok kie hie" jaitu "Egos serangan, tubruk kosong," ia lantas
berhenti. Baru sekarang Sin Tjie mengerti. Sebagai jawaban, ia melanjuti jurus kesebelas. "Tek touw
kwie," atau "menendang betis". Ia bersilat sampai empat jurus.
Si gagu menonton, lalu ia tertawa, ia manggut-manggut, kemudian ia ulur tangannya, akan
tarik bocah itu, yang terus ia pondong.
Sin Tjie ingat gurunya, walaupun ia girang, ia menunjuk kedalam kamarnya. Ia mau tunjuki
bahwa dalam kamar itu ada orang.
Si gagu manggut, ia bertindak masuk kedalam kamar dengan masih empo bocah itu.
Ketika ia lihat Tjioe San numprah ditanah, mukanya pucat bagaikan mayat, ia kaget. Lekaslekas
ia turunkan Sin Tjie, ia hampirkan orang she Tjoei itu.
Tjioe San sadar, ia kenali si gagu ini, ia geraki kedua tangannya, ia tunjuk pahanya juga.
Si gagu itu mengerti, tidak tempo lagi, ia bekerja. Dengan tangan kiri, ia tarik Sin Tjie,
dengan tangan kanan, ia pondong Tjioe San. Dengan tindakan lebar, ia lantas keluar dari
kamar, dari hotel, akan lari sangat cepat, tidak peduli tubuhnya Tjioe San ada seratus kati
lebih beratnya.
Tuan rumah atau jongos tidak berani rintangi si gagu ini.
Si gagu ini berlalu bukan tanpa ada yang kuntit. Dua oppas, yang umpatkan diri diluar
hotel, telah memasang mata, lalu mereka mengikuti dari jauh-jauh, pikir mereka akan cari
tahu, dimana si gagu nanti taruh kaki, mereka akan cari bala bantuan untuk melakukan
penangkapan terlebih jauh.
Tjioe San masih tak sadar akan dirinya, ia tak tahu suatu apa bahwa si gagu bawa dia
kabur. Si gagu sendiri tak tahu ada orang bayangi dia, ia tidak dengar suara apa-apa
diarah belakangnya, karena kedua oppas terpisah jauh dari padanya. Akan tetapi Sin Tjie,
yang cerdik, lihat ada dua orang mengikuti saja, diam-diam ia tarik-tarik tangannya si gagu
dan monjongi mulutnya, untuk mengasi tanda. Atas ini si gagu berpaling, ia lantas lihat
kedua oppas itu, tapi ia tak bikin gerakan apa-apa, ia bertindak terus dengan cepat.
Mereka melalui tempat yang berupa tegalan yang sepi, makin lama makin sunyi, selang
dua-tiga lie, tiba-tiba si gagu letaki tubuhnya Tjioe San ditanah. Nampaknya dia ingin
berhenti, untuk menghilangi lelah, tidak tahunya, dengan sekonyong-konyong ia membalik
tubuh, untuk berlompat, begitu pesat, hingga dalam dua-tiga enjotan saja, ia sudah sampai
didepan kedua oppas itu tanpa mereka ini menduga suatu apa.
Tentu saja kedua hamba wet itu menjadi kaget dan takut, tidak tempo lagi, mereka berhenti
jalan, mereka putar tubuh, dengan niat mengangkat kaki. Tapi sudah kasep! Si gagu ada
terlalu sebat untuk mereka, sebelum mereka bisa angkat kaki, dia ini sudah sampai, kedua
tangannya diulur, hingga tak ampun lagi, mereka kena terjambak masing-masing! Si gagu
tidak melainkan mencekuk kedua oppas itu, tanpa pikir pandang lagi, ia angkat kedua
tangannya, ia ayun itu kesampingnya, dimana ada jurang, apabila ia telah lepaskan
jambakannya, kedua tubuh terlempar melayang kedalam jurang.
"Aduh!...." adalah jeritan hebat, yang tertahan, lantas sunyi-senyap. Sebab kedua oppas
telah terbanting hebat didalam lembah, kepala mereka pecah, otak mereka hancur
berantakan! Habis tamatkan lelakon hidupnya kedua oppas itu, si gagu kembali kepada
Tjioe San, tubuh siapa ia angkat pula, untuk dibawa pergi lagi, tetap dengan tindakannya
yang lebar, cepatnya bagaikan terbang.
Sekali ini sibuk juga Sin Tjie, ia coba berlari-lari keras, tak dapat dia mengikuti dengan
saksama, ia paksakan kedua kakinya lari sekeras bisa, tetapi Baru satu lie, sudah tak
sanggup dia, napasnya lantas memburu sengal-sengal.....
Si gagu menoleh, dia lihat orang sudah kehabisan tenaga, ia bersenyum, lalu ia
menyambar dengan tangannya yang sebelah lagi, akan kempit bocah itu, akan lari terus.
Malah sekarang dia bisa lari dengan terlebih keras lagi, sebab tak usah ia menantikan
pula. Setelah berlari-lari sekian lama, si gagu, yang tidak kenal lelah, membiluk kekiri, maka
sekali ini, dia lari kearah gunung. Ia mendaki. Ia sudah sampaikan dua undakan, masih ia
berlari-lari terus, hingga di depannya terlihat satu rumah gubuk dengan tiga ruangan.
Selagi mendekati rumah itu, seorang yang berada diambang pintu lantas lari keluar, untuk
menghampirkan. Dia ini ada seorang perempuan umur dua-puluh lebih. Dia manggut
terhadap si gagu, si gagu pun manggut terhadapnya, tetapi ia heran tampak si gagu
mengempit dua orang. Segera ia mengajak masuk.
"Siauw Hoei, lekas ambil tehkoan teh dan cangkirnya!" demikian si perempuan muda.
Dari kamar sebelah terdengar satu jawaban anak kecil, cepat sekali dia muncul, dengan
membawa tempat air teh dan cangkirnya. Ia nampaknya heran, hingga setelah memandang
si gagu, dia pun awasi Tjioe San dan Sin Tjie. Nyata dia ada punya sepasang mata yang
celi. Si perempuan muda, walaupun pakaiannya terdiri dari bahan cita kasar, ada punya kulit
muka yang putih-bersih dan halus, sebagaimana si bocah sendiri nampaknya manis.
"Eh, anak, apa namamu?" tanya perempuan muda itu kepada Sin Tjie, yang sudah
diturunkan dari kempitan si gagu. "Bagaimana kau bisa bertemu sama dia ini?"
Sin Tjie percaya orang perempuan ini ada sahabatnya si gagu, lalu ia berikan jawabannya
dengan jelas. Perempuan muda itu lantas saja masuk kedalam, untuk kembali dengan teromol obatobatan,
ia keluarkan dua rupa obat bubuk putih dan merah, ia ambil sedikit, untuk diaduk
dengan air, setelah mana, Tjioe San dicekoki. Habis itu, dia ambil satu pisau kecil dengan
apa dia iris lukanya si Tjoei, sesudah mana, luka itu diborehkan obat bubuk kuning, lantas
ditunggu sebentar, lalu dicuci dengan air, akan akhirnya diborehkan lagi. Tiga kali luka itu
dirawat secara demikian.
Selama itu, Tjioe San buka mulutnya, akan perdengarkan suara tidak jelas.
"Dia ketolongan!" kata si perempuan muda kepada Sin Tjie, ia bicara sambil tersenyum.
Lantas ia gerak-geraki tangannya terhadap si gagu, maksudnya supaja si gagu ini
pondong orang yang luka kedalam, untuk antap dia beristirahat.
Selagi si gagu memondong kedalam, perempuan itu benahkan teromol obatnya.
"Aku ada orang she An, panggillah aku Encim An," kata dia pada Sin Tjie. "Ini ada anakku,
namanya Siauw Hoei. Sekarang tinggallah kau sama kami disini."
Sin Tjie manggut.
An Toa-nio lalu masuk kebelakang, untuk membuat mie, malah ia pun sembelih ayam,
guna santapan kedua tetamunya. Sin Tjie dahar lebih dahulu, habis itu, saking lelah dan
ngantuk, dia tidur dengan kepala diletaki diatas meja. Dia tak ingin apa-apa lagi....
Besoknya pagi, Baru saja orang bangun, Siauw Hoei sudah tarik tangannya Sin Tjie.
"Mari cuci muka!" kata si nona cilik.
"Aku hendak lihat dulu Tjoei Siokhoe, bagaimana lukanya..." kata si bocah.
"Empeh gagu telah bawa dia pergi sejak pagi," Siauw Hoei kasih tahu.
Sin Tjie terperanjat.
"Dibawa pergi" Apa benar?" tanya dia, hatinya mencelos.
Nona itu manggut.
Lantas Sin Tjie lari kedalam kamar, yang kosong. Tidak ada Tjioe San dan si gagu disitu.
Tiba-tiba saja ia menjerit, nangis.
"Ibu, ibu, lekas!" Siauw Hoei teriaki ibunya berulang-ulang.
An toa-nio datang dengan cepat.
"Ibu, dia lihat entjek Tjoei semua pergi, dia menangis," si anak memberitahukan.
"Jangan sibuk, anak yang baik," nyonya An lantas menghibur. "Pamanmu terluka, lukanya
parah, bukan?"
Sin Tjie manggut.
"Aku cuma bisa berikan dia pertolongan pertama," nyonya itu terangkan. "Dia sudah
terserang racunnya senjata rahasia, kalau dia tidak cepat dapat perobatan yang sempurna,
sebelah kakinya itu bisa mati seterusnya, maka itu empeh gagu bawa dia pergi kepada
satu orang lain, yang sanggup mengobatinya. Kau tunggu saja, kalau nanti dia sudah
sembuh, pamanmu itu bakal datang pula kemari melihat kau..."
Sin Tjie dapat dikasih mengerti, dengan pelahan, ia berhenti menangis.
"Pasti pamanmu akan sembuh," Toa-nio kata pula. "Sekarang pergi cuci muka, habis cuci
muka, kita dahar."
Sin Tjie menurut, maka sebentar kemudian, ia sudah duduk bersantap bersama itu ibu dan


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anak. Setelah dahar, An Toa-nio tanya lebih jelas tentang bocah ini.
Sin Tjie tuturkan segala apa, yang ia tahu mengenai dirinya.
Mendengar itu, nyonya rumah menghela napas.
"Sekarang tinggallah kau sama kami, jangan kuatir apa-apa," ia menghibur. "Kau tunggu
saja, tak lama pamanmu sembuh dan akan kembali."
Sin Tjie cuma bisa menurut.
Sejak masih kecil sekali, Sin Tjie sudah berpisah dari ibunya, selama itu, ia berada
dibawah asuhannya Eng Siong dan Tjoe An Kok beramai, walaupun mereka merawatnya
dengan sungguh-sungguh, sekarang, dibanding sama perawatannya An Toa-nio, ia
merasakan perbedaannya. Nyonya An merupakan sebagai ibu sejati, sedang disebelah si
nyonya, ada Siauw Hoei yang manis, yang jelita, yang senantiasa menjadi kawannya. Baru
beberapa hari, Sin Tjie sudah betah.
An Toa-nio satu kali suruh Sin Tjie jalankan semua ilmu silat yang pernah dipelajarkannya.
Sin Tjie menurut, setelah lihat itu, nyonya ini memuji, ia agaknya insaf sempurnanya
pelajaran itu. Berselang sepuluh hari, An Toa-nio anjurkan Sin Tjie berlatih silat setiap hari, akan tetapi,
diwaktu melakukan itu benar atau salah, ia antap saja, tidak pernah ia bilang suatu apa,
malah selagi si bocah berlatih, jarang sekali ia menyaksikannya.
Siauw Hoei senantiasa temani Sin Tjie, tapi disaat si bocah berlatih silat, ia dipanggil
ibunya. Pada suatu hari, An Toa-nio pergi kepasar, untuk belanja. Ia pun niat beli cita, guna
bikinkan baju dan celana untuk Sin Tjie, pakaian siapa sudah korat-karit, pecah disana-sini
bekas dipakai buron dari Lauw Ya San.
"Kamu memain didalam rumah saja, jangan keluar, nanti ada srigala," pesan si nyonya
ketika ia hendak pergi.
Siauw Hoei dan Sin Tjie terima pesan itu, seperginya si nyonya mereka main masakmasakan.
Siauw Hoei keluarkan mangkok dan sumpit kecil.
"Kau potong ayam disini, aku hendak beli daging," kata si nona cilik.
Yang dinamakan "ayam" adalah sepotong lobak, yang di-potong-potong, dan "daging"
adalah semacam ubi hutan, yang ada di pekarangan depan, untuk mana, Siauw Hoei pergi
keluar. Tapi dia pergi sekian lama, hingga Sin Tjie tidak sabaran.
"Siauw Hoei! Siauw Hoei!" bocah ini memanggil-manggil akhirnya.
Panggilan ini tidak dapat jawaban, hingga akhirnya si bocah ingat serigala, sebagaimana
pesannya An Toa-nio. Ia lantas ambil korekan barah didapur, dengan bawa itu, ia lari
keluar. Bukan main kagetnya Sin Tjie begitu lekas ia muncul diambang pintu, karena ia tampak
Siauw Hoei dikempit seorang lelaki bertubuh besar, yang sedang memutar tubuh untuk
lari pergi. "Hei, hei!" berteriak bocah ini sambil mengubar. "Kemana kau hendak pergi?"
Tapi Sin Tjie tidak mengubar saja, ia pun menyerang dengan korekan barah.
Culik itu tidak menyangka, ia kena ditikam Sin Tjie. Sukur untuk dia, dia jangkung dan Sin
Tjie kate, lukanya tidak dibelakang hanya dikempolan. Dia kaget, dia merasa sakit,
karenanya dia jadi gusar.
"Kurang ajar!" dia berseru. Dia turunkan Siauw Hoei, lalu dia hunus goloknya, untuk
dipakai menyerang.
Sin Tjie tidak takut, dia menangkis dengan korekan barahnya itu. Ia keluarkan pelajaran
silat ajarannya Nie Hoo, ialah Gak Kee Sin-tjhio, ilmu silat tombak keluarga Gak (Gak
Hoei). Malah dengan ini, ia pun bisa balas menyerang.
Heran orang bertubuh besar itu, terpaksa ia melayani, hingga disitu terjadilah pertempuran
kipa - seorang dewasa dan tubuh besar melayani satu bocah cilik. Dia ini pun mainkan Lohan-
too, ilmu golok dari Siauw Lim Pay. Dia ada bertenaga besar, goloknya sampai
menderu-derukan angin keras.
Sin Tjie berkelahi sambil hunjuk kegesitannya, ia menyingkir dari bentrokan senjata, ia
main kelit saja, dilain saat, ia menikam berulang-ulang.
Selang belasan jurus, orang dewasa itu sibuk sendirinya. Ia heran, ia penasaran, kenapa ia
tidak sanggup rubuhkan satu bocah cilik! Karena ini, ia jadi berkelahi dengan sengit, ia
ubah cara penyerangannya. Sekarang ia lebih banyak membabat kaki.
Untuk menyerang kaki, penyerangan mesti dilakukan dengan "Tee-tong-too", ialah
permainan golok sambil bergulingan ditanah, tapi si culik tidak bertindak sampai begitu
jauh, ia main jongkok atau mendak saja.
Perubahannya lawan itu membuat Sin Tjie sibuk, dilain saat, ia mesti main mundur. Ia
terancam bahaya.
Siauw Hoei, yang dilepaskan dari cekalan, tidak diam menonton, dia lari kedalam rumah,
darimana ia kembali dengan pedang panjang ditangannya, dengan senjata ini ia serang
culik itu, akan bantui kawannya. Ia menyerang dengan tusukan "Sian-djin tjie lou" atau
"Dewa menunjuki jalanan".
"Foei, perempuan cilik, kau pun hendak cari mati!" berseru culik itu. Ia berbalik, ia bacok
si nona, Ia tidak gunai tenaga keras, ia tidak inginkan jiwa orang, ia cuma hendak sampok
terlepas pedangnya nona itu.
Tapi si nona cerdik, gerakannya pun gesit. Dia berkelit dari serangan itu, dia menyingkir
kebelakang, dari mana dia menyerang pula, dengan tikamannya "Sam-poo lian-tay" atau
"panggung teratai mestika".
Berbareng dengan itu, Sin Tjie menyerang dengan "Tok liong tjoet tong" atau "Naga jahat
keluar dari kedung".
Repot culik itu diserang dari dua pihak, ia mesti berlaku sebat sekali.
Tadinya Sin Tjie berkuatir menampak majunya si nona cilik, tapi setelah lihat penyerangan
orang beberapa kali, ia jadi girang. Nona itu bersilat dengan "Tat Mo Kiam-hoat", ilmu silat
dari guru besar Tat Mo. Untuk tidak kalah pengaruh, ia menyerang dengan lebih seru.
Mengetahui orang desak ia, culik itu menjadi girang. Ia tahu bocah-bocah tidak ulet, tidak
perduli ilmu silat mereka ada cukup untuk menjelamatkan dirinya dari pelbagai serangan.
Benar dugaan culik ini, selang sedikit lama, dua-dua Sin Tjie dan Siauw Hoei mulai jadi
lemah, maka sekarang adalah giliran dia untuk mendesak.
Siauw Hoei menikam, culik itu menangkis, demikian sebat, si nona sampai tidak keburu
menarik pulang senjatanya untuk hindarkan bentrokan, maka begitu kedua senjata beradu,
pedangnya terlepas, terlempar.
Sin Tjie lihat kawannya terancam, ia menikam, tapi culik itu, sembari menangkis, angkat
sebelah kakinya, akan tendang si nona, hingga dia ini terguling karena dia tak sempat
egos tubuh. Dalam kaget dan kuatirnya, Sin Tjie lupa segala apa, waktu ia menikam pula, ia berlaku
sembrono sekali.
Melihat sikap orang itu, culik itu tertawa menyengir. Ia berkelit dari tikaman, lalu ia
merangsang goloknya diayun. Sin Tjie angkat korekan barahnya, untuk menangkis, tapi
selagi kedua senjata hendak beradu, si culik sambar ujung korekan, untuk ditarik sambil
diputar. Sin Tjie kesakitan pada tangannya, karena bentrokan kedua senjata, karena putaran itu,
tak lagi ia bisa mencekal terus senjatanya itu, yang terlepas dengan segera.
Melihat orang telah tidak berdaya, culik itu lemparkan korekan barah,ia loncat pada Siauw
Hoei, tubuh siapa ia sambar, untuk dikempit, buat lantas dibawa lari! Walaupun dia sedang
kesakitan, melihat Siauw Hoei kena dibawa lari, Sin Tjie lupai sakitnya itu. Ia jumput
korekan barahnya, ia lari, akan mengejar.
"He, setan cilik, apakah kau tidak sayang dengan jiwamu?" membentak si culik , yang lihat
bocah itu demikian bandel. Ia kempit Siauw Hoei dengan tangan kiri, dengan tangan kanan
cekal goloknya, ia balik tubuh, akan layani pula bocah itu.
Setelah bertempur lima-enam jurus, Sin Tjie kena terbacok pada pundaknya, sia-sia ia
berkelit, bajunya robek, pundaknya terkena sedikit, hingga darahnya mengucur keluar.
"Setan cilik, apa kau masih berani?" mengejek culik itu.
Sin Tjie benar-benar besar nyalinya.
"Lepaskan Siauw Hoei, aku tidak akan susul pula padamu!" ia jawab sambil ia menahan
sakit. Ia jumput korekannya, kembali ia mengejar musuh, yang sudah lantas kabur pula.
Akhirnya culik itu habis sabar.
"Jikalau aku tidak bunuh dia, dia terang bakal ganggu aku," pikir dia. Maka ia berhenti lari,
ia sambut serangannya Sin Tjie.
Baru beberapa gebrak, korekan Sin Tjie kena disampok, dia terus ditendang hingga rubuh
berguling, sesudah mana, tidak berayal lagi, culik itu lompat maju seraya kirim
bacokannya. Siauw Hoei dalam kempitan lihat bahaya mengancam Sin Tjie, ia geraki kedua tangannya,
akan jambret lengannya culik itu, terus ia gigit lengan itu.
Culik itu kaget, dia kesakitan, karena mana, bacokannya jadi salah.
Sin Tjie sendiri berkelit dengan buang diri, akan bergulingan di tanah.
Dalam sengitnya, culik itu sentil kupingnya Siauw Hoei, kemudian ia maju pula, lagi sekali,
ia serang Sin Tjie.
Bocah itu, yang belum sempat berbangkit, berguling lagi, tapi ujung golok mengenai
jidatnya, hingga di jidat itu, diatasan alis sedikit, terluka dan mengeluarkan darah.
Percaya bahwa orang akan mati kutunya, culik itu hendak kabur pula bersama korbannya.
Sin Tjie benar berani dan bandel, ia berlompat, akan tubruk orang punya kaki kiri, yang ia
peluki dengan keras, lalu dengan tipu silat "To tioe kim tjiang" atau "merubuhkan lonceng
emas", ia tekuk kaki itu menurut sekuat tenaganya.
Sengit culik itu, walaupun ia tidak rubuh, ia toh merasakan sakit pada kaki kirinya itu,
maka ia angkat kaki kanannya, untuk injak si bocah, atas mana, Sin Tjie terpental
terguling. Ia lantas maju pula seraja membacok.
Belum sampai golok turun, atau culik itu terkejut dan merasakan sakit pada kepalanya,
karena batok kepalanya menerbitkan satu suara membeletuk, apabila ia menoleh, ia
tampak An Toa-nio sedang ayun kedua tangannya. Ia jadi jeri, ia tinggalkan Sin Tjie, lantas
ia lari. Tapi Siauw Hoei ia kempit terus.
An Toa-nio ayun tangan kanannya beruntun tiga kali, tiga butir telur menyambar culik itu,
dia bisa kelit dua serangan tapi yang ketiga mengenai batang hidungnya, hingga disebelah
merasa sakit, mukanya mandi putih dan merah telur.
Masih nyonya An menimpuk dengan sebutir telur yang lain, yang kali ini mengenai mata
kiri si culik, hingga dia gelagapan. Walaupun hanya telur, toh timpukan ini ada cukup
keras. Dalam gusarnya, culik ini lepaskan Siauw Hoei, dengan tangan kirinya, ia usap mukanya,
kemudian ia maju, akan serang si nyonya.
An Toa-nio tidak bersenjata, ia melayani sambil senantiasa berkelit.
Sin Tjie sudah bangun, ia telah pungut korekan barahnya, dengan tidak pedulikan lukanya,
ia maju, akan serang culik itu, guna bantu nyonya penolongnya. Ia jadi tambah semangat,
berulang-ulang ia menikam dengan ilmu tumbaknya Gak Hoei.
Karena didesak Sin Tjie, culik itu tak bisa desak An Toa-nio seperti bermula, hingga
nyonya ini dapat sedikit waktu senggang, sebab mana, ia jadi ingat cita yang Baru saja ia
beli untuk Sin Tjie. Segera ia keluarkan cita itu dari dalam rantangnya, terus ia lempar
kekali kecil didekatnya untuk dibasahkan. Ia pun gunai kesempatan menjumput tiga buah
batu, yang dipakai menimpuk, hingga culik itu jadi repot juga, karena mana, Sin Tjie tidak
sampai kena terlalu terdesak.
Selagi si culik terpaksa mundur, An Toa-nio sudah angkat citanya, untuk dibuka hingga
mirip dengan angkin atau sabuk, lalu ia maju lagi, akan dekati orang itu.
"Ouw Loo Sam!" berseru nyonya ini. "Selagi aku tidak ada dirumah, kau datang
menyatroni, kau perhina segala bocah cilik! Adakah kau satu laki-laki?"
Teguran itu ditutup berbareng dengan serangan dengan sepotong cita itu, yang digunakan
sebagai djoan-pian atau cambuk lemas. Setelah basah, cita itu dapat digunakan bagaikan
toya juga. Culik itu, yang dipanggil Ouw Loo Sam, nampaknya sibuk. Ia tendang rubuh pada Sin Tjie,
lantas ia layani sungguh-sungguh pada si nyonya.
An Toa-nio sedang gusar, ia berkelahi dengan hebat, setelah mendesak, dua kali berhasil
ia menyerang dengan toya atau cambuknya yang istimewa itu. Ouw Loo Sam tidak sampai
terluka, tetapi ia merasakan sakit pada bebokongnya, yang kena terpukul. Karena ini,
gerakannya jadi lambat sendirinya.
Masih An Toa-nio mendesak, akan akhirnya, ia dapat libat golok lawan, maka lantas saja ia
menarik dengan kaget dan keras! Ouw Loo Sam terkejut, tak dapat ia mencekal keras,
goloknya terlepas dan terbetot oleh si nyonya, tapi ia tertawa dingin. Ia telah lompat dua
tindak, lalu ia kata sambil bersenyum iblis: "Aku adalah orang yang terima pesan dari
suamimu! Selama alusku belum buyar, maka ada satu hari yang aku nanti cari pula
padamu...!"
Alisnya si nyonya berdiri, ia sahuti ancaman itu dengan sabatan cambuk istimewanya.
Loo Sam telah bersedia agaknya, sebelum serangan sampai, ia sudah putar tubuh dan lari,
lari turun gunung dengan lekas.
Melihat orang angkat kaki, An Toa-nio tidak mengejar, hanya ia balik, untuk lekas-lekas
lihat Siauw Hoei dan Sin Tjie.
Siauw Hoei tidak terluka, dia melainkan kaget, ia tubruk ibunya lantas ia menangis. Dasar
bocah cilik! Sin Tjie berlumuran darah, ia diajak pulang untuk lantas dipetali darahnya,
sesudah bersih, lukanya diobati, dibungkus dengan rapi. Dia peroleh dua luka, syukur
tidak berbahaya; benar ia keluarkan banyak darah tetapi itu tidak sampai membahayakan
jiwanya. Ia dipondong, untuk direbahkan di pembaringan.
Sampai disitu, Siauw Hoei cerita pada ibunya bagaimana, selagi keluar sebentar, ia ketemu
Ouw Loo Sam, yang terus tawan ia, buat dibawa lari, bagaimana Sin Tjie pergoki mereka,
lantas bocah itu lawan Loo Sam, untuk tolongi padanya.
"Aku tidak sangka, begini muda usianya, dia berhati mulia, dia gagah sekali," berkata An
Toa-nio. "Tak dapat kita berayal pula, aku mesti tolong ia supaya jadi seorang sempurna."
Kemudian nyonya ini lanjuti pada puterinya. "Kau pun pergi tidur, sebentar malam kita
berangkat."
Siauw Hoei tidak heran atas kata-kata ibunya itu, ia lantas beristirahat.
An Toa-nio lantas berkemas, ia siapkan dua buntalan, kemudian ia tunggu datangnya sang
sore. Habis bersantap, bertiga mereka duduk menghadapi pelita. Nyonya ini tidak kunci
pintu, ia tidak jeri.
Benar kira-kira jam dua, diluar terdengar tindakan kaki, yang terus masuk kedalam.
Itulah si gagu, yang telah kembali. Ia bertubuh besar dan keren tapi tindakannya enteng,
suatu bukti bahwa kepandaian entengi tubuhnya telah sempurna.
An Toa-nio menyambut sambil berbangkit, ia bicara sama si gagu itu dengan mainkan
kedua belah tangannya, dengan mainkan juga mulutnya. Si gagu rupanya mengerti, dia
manggut-manggut.
"Mana Tjoei Siokhoe?" Sin Tjie tanya. "Apa dia baik?"
"Dia baik, kau jangan kuatir," An Toa-nio menghibur. "Mari, aku hendak omong sama kau."
Nyonya itu masuk kedalam kamar dimana ia duduk atas pembaringan.
Sin Tjie mengikuti, si nyonya lantas tarik tangannya.
"Sin Tjie!" katanya dengan manis-budi, "begitu lihat kau, aku suka padamu, dari itu, aku
pandang kau sebagai anak sendiri. Tadi kau telah berkorban untuk Siauw Hoei, itulah
budimu yang aku tidak nanti lupakan. Malam ini kami hendak pergi kesuatu tempat jauh,
maka itu, pergilah kau ikut empeh gagu."
"Tidak, aku ingin ikut kau bersama," kata Sin Tjie.
"Aku pun tidak tega berpisah dari kau," terangkan An Toa-nio. "Aku ingin empeh gagu
bawa kau kepada satu orang, dia adalah guru Baru namanya saja dari Tjoei Soesiokmu.
Baru beberapa bulan Tjoei Soesiok belajar silat pada orang itu, ilmu silatnya sudah liehay
sekali. Lootjianpwee itu ada punya ilmu silat yang tidak ada tandingannya, dari itu aku
ingin kau berguru kepadanya."
Mendengar itu Sin Tjie berdiam, agaknya dia ketarik.
"Seumur hidupnya, lootjianpwee itu cuma terima dua murid," An Toa-nio terangkan lebih
jauh. "Itu adalah kejadian pada belasan tahun yang lampau. Meskipun demikian, masih
belum tentu dia suka menerima murid pula. Tapi aku ada berbakat baik, hatimu pun mulia,
aku percaya dia pasti akan suka padamu. Empeh gagu ada bujangnya lootjianpwee itu,
aku ingin dia ajak kau untuk minta lootjianpwee terima padamu. Maka pergilah kau dengan
baik-baik. Umpama kejadian lootjianpwee tidak suka terima kau, empeh gagu nanti bawa
kau kembali padaku."
Sampai disitu, Sin Tjie telah ambil putusannya. Dia manggut.
"Bagus!" kata nyonya An. "Sekarang baik kau ketahui tabiatnya lootjianpwee itu. Dia
adalah seorang aneh. Umpama kau tidak suka dengar perkataannya, lantas dia tidak sukai
padamu. Umpama kau terlalu dengar kata, dia juga akan cela kau terlalu tolol dan tidak
punya semangat! Maka segala-galanya tinggal terserah kepada peruntunganmu sendiri!"
Dari lengannya, nyonya itu loloskan sepotong gelang emas, ia masuki itu kelengannya
bocah ini, apabila ia lengkuk sedikit, gelang itu menjadi kecil dan tidak akan lolos lagi.
"Jikalau nanti kau sudah rampungkan pelajaran ilmu silatmu, apabila kau telah menjadi
satu bocah besar, jangan kau lupakan encim Anmu ini dan Siauw Hoei!" kata nyonya yang
baik budi itu sambil tertawa.
"Andaikata lootjianpwee sudi terima aku," berkata Sin Tjie," apabila ada ketika senggang,
aku minta encim suka ajak Siauw Hoei datang melongok aku!"
Matanya nyonya itu menjadi merah, saking hatinya terharu.
"Baik, aku akan senantiasa ingat kau," ia jawab.
Lantas An Toa-nio menulis sepucuk surat, yang ia serahkan pada si gagu.
"Sekarang kita berangkat," kata ia sambil ia bawa dua buntalannya.
Berempat mereka keluar dari rumah, sesampainya diluar, mereka berpisah dalam dua
rombongan, masing-masing dengan tujuannya sendiri.
Sin Tjie berkumpul Baru beberapa hari dengan An Toa-nio dan Siauw Hoei, akan tetapi
perpisahan itu membuat ia merasa sangat berat. Ia senantiasa ingat itu bibi dan puterinya.
Si gagu tahu bocah ini telah keluarkan banyak darah karena luka-lukanya, dari itu, ia
angkat tubuh orang untuk dipondong, sesudah mana, segeralah ia buka tindakannya yang
lebar, ia jalan cepat sekali tak peduli jalanan ada jalanan pegunungan yang sukar. Ia
lakukan perjalanan siang, setiap malam mereka mondok ditempat dimana mereka sampai
sorenya, tetapi bukannya dihotel atau rumah orang, hanya didalam gua-gua atau rumah
berhala. Kalau toh mereka singgah di hotel, melulu untuk beristirahatnya si bocah, untuk
beli barang makanan.
Dalam halnya sendiri, si gagu dahar secara sembarangan, melainkan sekali tangsel perut,
sedikitnya mesti dua kati mie! Sering Sin Tjie tanya, mereka telah sampai ditempat apa,


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jawabannya adalah menunjuk jari tangannya kearah depan.
Lagi tiga hari telah dilewatkan, jalanan jadi bertambah sukar, makin sukar, hingga lebih
benar disebut, sudah tidak ada jalanan lagi, untuk maju terus, si gagu gunai kedua
tangannya, akan merayap naik atau merambat antara pepohonan oyot. Sebab mereka
sedang mendaki gunung.
Selama itu, lukanya Sin Tjie telah jadi sembuh, cuma diatasan alisnya ada ketinggalan
tanda cacat kecil. Dia menggemblok di bebokongnya empeh gagu itu, kedua tangannya
merangkul leher orang dengan keras. Ia jeri kapan ia lihat tempat yang curam. Kalau
mereka terpeleset dan jatuh, habislah.......
Satu hari lamanya si gagu mesti manjat, sampailah ia diatas puncaknya gunung yang
tinggi dimana tepinya ada sebidang tanah yang lebar dimanapun ada tumbuh banyak
pohon cemara yang tinggi-tinggi, yang merupakan rimba saja. Disini si gagu jalan
melewati lima atau enam rumah batu, melihat mana, ia bersenyum sendirinya, hingga dia
mirip seorang perantauan lama yang Baru kembali ke kampung asalnya sendiri.
Didepan sebuah rumah batu, si gagu tuntun Sin Tjie untuk masuk kedalamnya, Galagasi
malang melintang, sebagai tanda rumah itu sudah lama tidak diisi, tetapi dengan
bantuannya sesapu, si gagu bersihkan itu, malah ia terus sapui semua, dalam dan luar,
sesudah mana, ia nyalakan api untuk masak air dan nasi.
Gunung ada demikian tinggi, entah bagaimana caranya si gagu sediakan beras dan
lainnya itu. Ada sulit untuk Sin Tjie bicara sama empehnya ini, tetapi ia tidak banyak cerewet, ada
selang tiga hari, ia sibuk juga. Dengan gerakan tangan, ia tanya si gagu, mana dia si
lootjianpwee yang katanya dia bakal angkat jadi gurunya.
Si gagu mengerti pertanyaan itu, dia menunjuk kebawah gunung.
"Mari kita turun," Sin Tjie mengajak. Ia memberi tanda-tanda pula.
Si gagu menggeleng-geleng kepala, ia tak mau meluluskannya.
Dengan terpaksa, Sin Tjie diam saja. Ia jadi sangat masgul. Ia pun kesepian. Tidak dapat ia
pasang omong dengan si empeh itu.
Pada suatu malam, selagi Sin Tjie sedang tidur, ia mendusin dengan tiba-tiba. Didepan
matanya berkelebat cahaya terang, yang membuat ia terperanjat. Ia geraki tubuhnya, untuk
berbangkit, duduk diatas pembaringan, sebelah tangannya mencekal lilin yang apinya
menyala. Orang tua itu perlihatkan roman berseri-seri, tandanya ia girang.
Dasar otaknya cerdas, Sin Tjie lekas-lekas turun dari pembaringan, lantas saja ia paykoei
empat kali. "Soehoe!" berkata dia. "Akhirnya soehoe datang juga!"
Orang tua itu tertawa terbahak-bahak.
"Eh, anak, siapa suruh kau panggil soehoe padaku?" tanya dia. "Cara bagaimana kau
ketahui bahwa pasti aku akan terima kau sebagai murid?"
Sin Tjie girang bukan kepalang. Dari kata-katanya orang tua itu, benar-benar dia bakal
diterima sebagai murid. Segeralah ia berikan jawabannya : "Inilah encim An yang ajari
aku!" "Artinya itu dia telah menambah kesulitan untukku!" kata si orang tua, sambil bersenyum.
"Baiklah, memandang kepada mendiang ayahmu, aku terima kau sebagai murid!"
Lantas saja Sin Tjie hendak paykoei pula, tetapi si orang tua cegah.
"Sudah cukup, sudah cukup!" katanya. "Sampai besok saja."
Besoknya pagi, sebelum terang tanah, Sin Tjie sudah bangun dari tidurnya, lantas ia pergi
pada si empeh gagu diluar, dia ini rupanya sudah dapat tahu juga yang orang tua itu suka
terima bocah ini sebagai murid, dalam kegirangannya yang meluap-luap, dia angkat
tubuhnya si bocah, dia lemparkan ke atas, lalu dia tanggapi dengan tangannya. Hingga
empat-lima kali tubuh Sin Tjie terapung-apung, sehingga bocah itu, yang pun girang
sekali, tertawa dengan berisik.
Si orang tua di dalam kamarnya dengar suara riuh diluar, ia bertindak menghampirkan,
hingga ia saksikan laga-lagunya si gagu dan bocah itu.
"Bagus!" berkata ia. "Kau masih begini muda, kau mengerti perbuatan-perbuatan mulia
dan gagah, kau telah tolongi seorang perempuan. Hayo, kepandaian apa kau punyai,
pertunjuki semua itu, kasi aku lihat!"
Sin Tjie jengah, hingga wajahnya menjadi merah.
"Jikalau kau tidak perlihatkan semua kepandaianmu, cara bagaimana aku bisa ajarkan kau
silat?" kata si orang tua sambil tertawa. Sekarang Barulah si bocah tahu, orang tua itu
tidak main-main dengannya.
"Baiklah, soehoe," kata ia kemudian, sesudah mana, ia mulai bersilat. Ia jalankan Hokhouw-
tjiang ajaran Tjoei Tjioe San dari permulaan sampai diakhirnya.
Orang tua itu mengawasi dengan air muka berseri-seri, ia tunggu sampai si bocah
selesaikan jurus terakhir, ia tertawa.
"Tak habisnya Tjioe San puji kecerdasanmu, mulanya aku tidak percaya," kata dia. "Dia
ajarkan kau ilmu silat ini Baru beberapa hari saja, sekarang kau bisa jalankan itu begini
rupa, dia benar."
Mendengar disebutnya nama gurunya, Sin Tjie sangat tertarik, tergerak hatinya, akan
tetapi orang tua itu masih bicara, ia tidak berani memutuskannya.
"Tjoei Siokhoe dimana?" begitu ia tanya, begitu lekas si orang tua berhenti bicara. "Apa ia
baik?" Terang sudah ia sangat perhatikan keselamatan orang she Tjoei itu.
"Ia tak kurang suatu apa, ia sudah kembali kepada Lie Tjiangkoen," jawab si orang tua.
Sin Tjie girang sekali, walaupun ia ada sedikit menyesal yang ia tak sampai bertemu pula
dengan guru Hok-houw-tjiang itu.
Si gagu sendiri sudah lantas siapkan meja sembahyang.
Si orang tua keluarkan selembar gambar dimana ada lukisannya satu sasterawan, yang
romannya alim dan agung. Ia sulut lilin, ia pasang hio, lantas ia memberi hormat sambil
menjura. Kemudian Barulah ia kata pada Sin Tjie : "Inilah gambarnya Tjie Tjouw-soeya,
pendiri dari kaum kita Hoa San Pay. Hayo kau jalankan kehormatan!"
Sin Tjie menurut, ia lantas paykoei , tapi ia tak tahu, berapa kali ia mesti manggutmanggut,
ia terus paykoei tak hentinya, hingga si orang tua tertawai padanya.
"Sudah cukup!" kata si orang tua itu.
Masih saja orang tua itu ketawa ketika tahu-tahu si bocah paykoei terhadapnya.
"Soehoe!" memanggil murid cilik ini, yang sangat cerdik.
Sambil bersenyum orang tua itu terima pemberian hormat ini.
"Mulai hari ini, kau adalah murid yang sah dari Hoa San Pay kita," kata si orang tua
kemudian. "Lebih dahulu daripada kau, aku telah punyakan dua murid, sejak itu, karena
tidak ada orang yang berbakat, aku belum pernah terima murid lainnya lagi, belasan tahun
telah lewat, baru sekarang kau datang. Kau ada murid yang ketiga,kau juga ada murid
penutup, maka itu, kau mesti belajar dengan sungguh-sungguh, supaya tidak sampai kau
menerbitkan malu untuk kaum kita!"
Sin Tjie manggut berulang-ulang.
"Aku janji, soehoe," ia berikan perkataannya.
"Aku adalah orang she Bok," sang guru berkata pula." Dalam kalangan kang-ouw,
sahabat-sahabatku panggil aku Pat Tjhioe Sian-wan. Kau harus ingat baik-baik, kau harus
jaga supaja lain kali, apabila ada orang tanya kau tentang nama gurumu, nanti kau
menyahuti, "Oh, oh, aku tak tahu....."
Mendengar itu, tak dapat ditahan lagi, Sin Tjie tertawa. Tapi segera ia berhenti. Ia ingat
pesannya An Toa-nio bahwa si orang tua bertabiat koe-koay; ingat itu, hatinya kecil, ia jeri,
akan tetapi sekarang ternyata, guru ini bukannya seorang aneh, dia hanya satu tukang
guyon! Pat Tjhioe Sian-wan Bok Djin Tjeng, si Lutung Sakti Tangan Delapan, sudah
malang-melintang dua-puluh tahun lebih dalam dunia kang-ouw, belum pernah dia
ketemukan tandingannya, karena ia tidak suka jual lagak, namanya tidak terlalu tersohor.
Memang benar ia mempunyai sifat yang luar biasa, ialah suka menyendiri. Tapi terhadap
Sin Tjie, segera timbul perasaan kasihannya. Bocah ini, yang yatim-piatu, harus
dikasihani, sedang disebelah itu, Djin Tjeng hargakan sangat Wan Tjong Hoan sebagai
panglima perang yang gagah, sebagai jenderal yang setia, terutama disayangi
kebinasaannya secara menyedihkan. Sin Tjie sendiri ada berbakat baik, cerdas,
kelakuannya sangat menyukai orang. Maka itu, lenyap keanehannya, Djin Tjeng suka
terima bocah ini, malah ia telah berguyon dengannya.
"Kedua soehengmu ada jauh lebih tua daripadamu, dua atau tiga-puluh tahun lebih,"
berkata sang guru kepada muridnya. "Murid-murid mereka juga ada jauh terlebih tua
daripada kau. Maka bisa kejadian, mereka akan sesalkan aku, yang aku telah terima kau,
satu murid begini muda! Dan umpama kata kau belajar tidak berhasil, apabila nanti kau
dipadu dengan murid-murid mereka dan kau kalah, ada alasan untuk mereka itu cela
aku..." "Pasti aku belajar sungguh-sungguh, soehoe," Sin Tjie pastikan. Lalu ia tanya: "Tjoei
Siokhoe itu ada murid soehoe juga?"
"Ia hendak turut Lie Tjiangkoen berperang, ia tidak punya tempo akan belajar dengan tetap
padaku," sahut Bok Djin Tjeng. "Aku cuma ajarkan ia ilmu pukulan Hok-houw-tjiang, tak
dapat ia dipandang sebagai muridku." Lalu ia tunjuk si gagu dan melanjuti : "Lihat ia!
Setiap hari ia saksikan kita berlatih, dengan sendirinya ia dapatkan bukan sedikit
kepandaian, akan tetapi apabila ia dipadu dengan dua muridku, bedanya bagaikan langit
dan bumi saja!"
Sin Tjie kagum, hingga ia melengak. Ia telah saksikan kekuatan dan liehaynya si empeh
gagu, toh ia ini cuma satu pelajan dan kepandaiannya didapat, katanya, "boleh mencuri
lihat saja." Tjioe San pun gagah sekali, toh ia cuma peroleh satu Hok-houw-tjiang. Semua
itu adalah bukti-bukti yang menunjuki liehaynya guru ini.
"Maka jikalau aku belajar sungguh-sungguh, walaupun aku tak dapat susul kedua
soeheng, tentu sedikitnya aku bisa dapat kepandaian sebagai si gagu ini." Pikir ia. Dan
pikiran ini membikin ia girang sekali.
"Kami kaum Hoa San Pay mempunyai beberapa aturan," Bok Djin Tjeng berkata lebih jauh.
"Itu mengenai pantangan berbuat cabul, melakukan pekerjaan sebagai piauwsoe dan lainlain,
sekarang belum dapat aku jelaskan kepada kau, karena kau tentunya tidak mengerti.
Melainkan kau hendak pesan dua rupa kepada kau, yaitu kau mesti dengan kata guru, kau
mesti jangan lakukan apa-apa yang buruk! Kau mengerti?"
"Pasti aku akan dengar perkataan soehoe, tidak nanti aku berbuat buruk," jawab sang
murid. "Bagus!" berkata guru itu. "Sekarang mari kita mulai berlatih. Karena temponya sangat
mendesak, Tjoei Siokhoemu ajarkan kau Hok-houw-tjiang secara sekelebatan saja.
Sebenarnya, ilmu pukulan itu mempunyai kefaedahan yang utama, usiamu masih terlalu
muda, apabila kau terus yakinkan itu, kau tak akan dapatkan kesempurnaan. Maka
sekarang aku nanti mulai kau dengan Tiang-koen Sip-toan-kim."
"Dulu pernah Nie Siokhoe ajarkan aku pukulan itu," Sin Tjie terangkan.
"Ya, tetapi itu belum berarti!" kata sang guru. "Apa kau rasa kau sudah pandai gunai itu"
Kau keliru jauh! Jikalau kau telah sempurnakan Tiang-koen Sip-toan-kim, didalam
kalangan kang-ouw, tentulah tak banyak orang lagi yang sanggup kalahkan padamu!......."
Sin Tjie melengak pula.
"Ya, ya, soehoe," kata ia, yang tak berani banyak omong lagi.
"Sekarang kau lihat, habis itu, kau turuti," kata sang guru.
Bok Djin Tjeng lantas jalankan Tiang-koen Sip-toan-kim, muridnya mengawasi.
Sin Tjie heran, ilmu silat yang guru ini jalankan, semua mirip dengan yang ia peroleh dari
Nie Hoo. Ia jadi tidak mengerti, apakah kefaedahannya ilmu pukulan itu........
Sedang bocah ini berpikir keras, sang guru tegur padanya.
"Apakah kau sangka gurumu perdayakan kau" "tanya Bok Djin Tjeng. "Mari, mari, kau
coba serang aku, asal kau bisa jambret saja baju atau langgar ujung bajuku, anggaplah
kau benar sudah pandai!"
Bocah itu tidak berani serang gurunya, ia cuma bersenyum saja, tak bergerak ia dari
tempatnya berdiri.
"Hayo maju, aku sedang ajarkan kau ilmu silat!" guru itu mendesak.
Mendengar bahwa ia hendak diberi pelajaran, Sin Tjie lantas maju, dengan satu lompatan,
ia sambar baju gurunya, yang memakai tungsha, baju panjang. Ia rasa ia bakal berhasil
menjambret, tidak tahunya, Baru ia hampir mengenai atau ujung baju itu seperti mundur
sendirinya. Ia maju pula, atau lantas, ia kehilangan gurunya itu.
"Aku disini!" kata si guru sambil tertawa, dengan tangannya ia tekan pundak orang. Ia ada
dibelakang si murid.
Sin Tjie berdiam, tetapi dia geraki tubuhnya dengan gerakan "Auw tjoe hoan sin" atau
burung elang jumpalitan". Ia bergerak dengan gesit sekali, kedua tangannya dipentang,
untuk merangkul. Tapi ia merangkul tempat kosong, ia tak lihat gurunya. Apabila ia
berpaling, ia tampak gurunya itu berdiri dari dia jauhnya kira-kira tiga tumbak! "Aku mesti
bisa jambak padamu!" pikirnya, yang jadi sangat penasaran. Ia lompat pula, secara sangat
gesit, tangannya diulur.
Tangan bajunya Bok Djin Tjeng dikibaskan, tubuhnya ikut mencelat, dengan begitu, ia
hindarkan dari terkaman, hingga kembali sang murid tangkap angin.
Sin Tjie tidak jadi putus asa, dia malah tidak mendongkol, sebaliknya, ia tertawa hi-hi-hi,
menandakan kegembiraannya. Ia mengejar, ia membiluk kemana si guru putar tubuh. Tibatiba
ia lihat si gagu gerak-gerakan tangannya sebagai tanda untuknya. Diam-diam ia
menaruh perhatian, mendadakan hatinya tergerak.
"Benar-benar soehoe gunakan Tiang-koen Sip-toan-kim",ia memikir. "Kenapa soehoe ada
begini gesit?"
Ia masih mengubar terus, tapi sekarang dengan perhatikan gerak-gerik gurunya itu. Ia
sudah paham benar sekali semua gerakannya. Ia terus menaruh perhatian, akan setelah
itu, ia pun menelad gerakan gurunya, hingga lantaslah terlihat, dia pun jadi gesit beberapa
lipat. Bok Djin Tjeng senantiasa awasi sang murid, diam-diam dia manggut-manggut.
"Anak ini benar-benar bisa terima pelajaran," pikir dia.
Sin Tjie perhebat pengejarannya, karena ia bisa bergerak terlebih sebat pula, akan tetapi
didepan dia, gurunya pun bertambah-tambah gesit, hingga sia-sia saja pengejarannya.
Hingga berdua mereka seperti merupakan bajangan saja.
Lagi sekian lama, mendadakan Bok Djin Tjeng berlompat, akan tubruk muridnya, tubuh
siapa ia angkat tinggi-tinggi.
"Murid yang baik, anak yang manis!" berkata dia sambil tertawa berkakakan.
"Soehoe!" kata sang murid, yang girang luar biasa, karena sekarang ia insaf kemujijatan
Tiang-koen Sip-toan-kim.
"Bagus, anak, sebegini sudah cukup untuk latihanmu!" kata sang guru. Ia turunkan tubuh
Sin Tjie, ia lepaskan cekalannya. "Sekarang kau ulangilah sendiri!"
Sin Tjie menurut, ia lantas jalankan Tiang-koen Sip-toan-kim.
Setelah mengawasi beberapa ulangan, Bok Djin Tjeng masuk kedalam.
Sin Tjie tidak turut gurunya beristirahat, ia masih berlatih terus, sampai belasan kali,
hingga ia tambah mengerti kefaedahannya ilmu silat itu, yang berpokok pada kegesitan. Ia
ada demikian kegirangan, hingga malam itu tak dapat ia tidur dengan nyenyak, terus ia
bayangi itu ilmu pukulan, sampai mimpi pun ia masih berlatih....
Besoknya pagi, Baru saja fajar, bocah ini sudah bangun, untuk berlatih, karena ia kuatir
pengajarannya kemarin nanti terlupa. Ia belajar seorang diri, dengan sungguh-sungguh.
Berselang belum lama, selagi bocah ini sangat bersemangat, ia dengar suara batuk-batuk
dibelakangnya, apabila ia berpaling, ia lihat gurunya.
Bok Djin Tjeng berada dibelakang muridnya, sambil tertawa.
"Soehoe!" ia memanggil, terus ia berdiri diam, kedua tangannya dikasih turun.
"Kau telah mengerti dengan cepat, inilah bagus," berkata sang guru. "Tapi kau Baru
mengerti bagian atas, bagian bawahnya belum, dibagian bawah, kau masih kosong,
apabila kau hadapi lawan liehay, kau bakal celaka. Kau mesti bersikap begini...."
Guru itu lantas mengasi contoh.
"Sekarang hayo kau turut!"
Sin Tjie menelad gurunya, ia mengerti dengan cepat, setelah mana, terus ia jakinkan ini
ajaran baru, hingga ia kembali dapat tambah pengertian.
Selanjutnya, tidak pernah Sin Tjie abaikan ajaran-ajaran gurunya. Sang tempo lewat
dengan cepat, selang tiga tahun, bocah ini telah masuk usia dua-belas tahun. Ia berlatih
dari kecil, sekarang tubuhnya jadi kuat sekali, pasek dan gesit.
Seperti biasanya, Bok Djin Tjeng suka turun gunung, untuk pesiar, kalau ia pergi, ia pergi
untuk dua atau tiga bulan. Setiap kali ia pergi, ia ajarkan muridnya pelbagai ilmu, apabila ia
pulang, ia lantas menilik, untuk mengajarkan terlebih jauh. Ia puas mendapati muridnya
belajar rajin sekali dan pesat kemajuannya.
Pada suatu harian Toan-ngo-tjiat, sehabisnya minum arak Hiong-hong-tjioe, dengan tibatiba
saja Bok Djin Tjeng keluarkan gambarnya Tjouwsoe-ya, ia memberi hormat sambil
paykoei, ia perintah Sin Tjie turut menghormatinya sebagai dia. Kemudian dia kata pada
muridnya: "Sin Tjie, tahukah kau, apa sebabnya hari ini aku suruh kau menghormati
Tjouwsoe-ya?"
Murid ini goyang kepala.
Bok Djin Tjeng masuk kedalam kamarnya, akan keluar pula dengan satu peti kayu kecil
tetapi pandang, yang ia letaki diatas meja, apabila ia telah buka tutup peti itu, nyata
didalamnya terletak sebilah pedang yang sinarnya bergemirlapan menyilaukan mata.
Pedang itu pandangnya tiga kaki.
Sin Tjie terkaget! "Apa soehoe hendak ajarkan pedang padaku?" tanya dia.
Sang guru manggut, ia jumput keluar pedang tajam itu.
"Kau berlutut, dengar perkataanku," tiba-tiba kata dia, suaranya keras, sikapnya keren
dengan mendadakan.
Tanpa banyak omong, murid itu tekuk kedua lututnya.
"Pedang adalah rajanya ratusan macam alat-senjata," berkata Bok Djin Tjeng, "pedang ada
gegaman paling sukar untuk dipelajarkan. Tapi kau ada berotak terang, kau pun berhati
keras, aku percaya kau akan sanggup mempelajarinya. Ilmu pedang kaum kita, Hoa San
Pay, yang diwariskan berulang-ulang, mengandal kepada si ahliwaris, tetapi buktinya
sampai sebegitu jauh, senantiasa tambah saja kemajuannya. Dikalangan lain, ada umum
sang guru tinggalkan satu ilmu pukulan yang dirahasiakan, karena ini, satu angkatan
dengan satu angkatan, murid-muridnya tambah kurang kepandaiannya, tetapi kita, kita
tidak berbuat demikian. Benar kita memilih murid dengan keras, tetapi setelah dipilih, kita
berikan dia semua pelajaran, malah dibagian ilmu pedang, setiap achliwaris menambah
kepandaiannya. Ilmu pedang kita sulit untuk dipelajarkan, hanya setekah mengerti, orang
akan insaf itu dengan sempurna, dan asal orang bisa wariskan, dia sudah seperti tidak ada
tandingannya. Sekarang aku hendak ajarkan kau ilmu pedang tapi kau mesti sumpah


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dahulu bahwa kau tidak nanti bunuh sekalipun satu orang yang tidak bersalah-dosa!"
Sin Tjie jawab gurunya itu, ia kata : "Ini hari soehoe ajarkan teetjoe ilmu pedang, apabila
dibelakang hari aku binasakan seorang yang tidak bersalah, maka pasti aku pun bakal
binasa terbunuh orang!"
"Bagus! Hayo bangun!"
Sin Tjie berbangkit, untuk berdiri.
"Aku tahu kau berhati mulia, tidak nanti kau bunuh orang tanpa alasan," kata guru ini,"
akan tetapi saat ada berlainan, ada saatnya untuk silat membedakan kebenaran dari
kepalsuan, inilah yang harus dijaga. Asal kau senantiasa berpokok pada kejujuran dan
belas-kasihan, aku percaya tidak nanti kau membunuh secara keliru. Maka hal ini mesti
kau ingat baik-baik."
Sin Tjie manggut, ia beri pula janjinya.
"Sekarang kau lihat," berkata sang guru akhirnya. Ia cekal pedang dengan tangan kanan,
tangan kirinya diletaki diatas itu, habis itu ia mulai bersilat, hingga sinar pedang memain,
me-nyambar- bagaikan naga dan ular, cahayanya seperti bianglala.
(Bersambung bab ke 4)
Sin Tjie sudah ikuti Bok Djin Tjeng tiga tahun, pandangan matanya telah jadi beda sekali,
sekalipun demikian, sekarang tak bisa ia ikuti gerak tangan dan kakinya sang guru,
sedangnya ia kagum, tiba-tiba guru itu berseru, pedangnya melesat kedepan, nancap
dibongkotnya satu pohon besar.
Itulah tenaga yang besar luar biasa, karena mana, Sin Tjie menjadi bengong dan nganga
saja! "Bagus!" demikian satu suara pujian, yang datangnya dari arah belakang si bocah.
Selama tiga tahun berdiam diatas gunung, belum pernah Sin Tjie dengar suara lain orang
kecuali gurunya, atau hanya suara ah-ah-uh-uh dari si empeh gagu, sekarang mendadakan
ia dengar satu suara asing - memangnya ia sedang tercengang - ia jadi heran sekali. Cepat
luar biasa, ia menoleh kebelakang, hingga didepan matanya, ia tampak satu toodjin atau
imam yang bersenyum berseri-seri seraja usut-usut kumis dan jenggotnya.
Imam itu berjubah kuning, mukanya bersemu merah, rambutnya sudah putih semua. Habis
memuji, ia berkata : "Sudah lebih dari sepuluh tahun aku tidak lihat kau gunai pedangmu,
tidak disangka kau telah peroleh kemajuan begini rupa!"
Bok Djin Tjeng telah menoleh pada tetamunya itu, ia tertawa berkakakan.
"Bhok Siang Tooyoe, angin apa sudah tiup kau sampai disini?" tanya dia. "Sin Tjie, hayo
kau kasi hormat pada too-tiang!"
Sin Tjie menurut, ia hampirkan itu imam akan berlutut dan manggut didepannya.
"Jangan, jangan!" tertawa si imam, seraya ia membungkuk, untuk angkat bangun bocah
itu. Sin Tjie tidak mau diangkat, dan, sebagai biasanya orang yang mengerti silat, ia gunai
tenaganya, maka itu, tidak gampang untuk si imam cegah pemberian hormat itu. Dia juga
memang cuma mau mencoba saja.
"Lauw Bok!" berkata ia kemudian, "selama beberapa tahun ini, jarang sekali aku bertemu
dengan kau, tidak tahunya kau keram diri disini untuk mendidik muridmu ini. Sungguh,
peruntunganmu tidak buruk, di saat-saat dari hari akhirmu, kau masih mendapatkan satu
bahan yang baik sekali!"
Bok Djin Tjeng girang atas pujian sahabat itu dengan siapa ia biasa berguyon.
"Aya!" Bhok Siang Toodjin berseru sendirinya. "Hari ini aku tidak bawa uang, jadi dengan
Cuma-cuma saja aku terima hormatmu ini, anak! Bagaimana sekarang"......."
Mendengar kata-katanya si imam, hatinya Bok Djin Tjeng tergerak, mendadakan, ia ingat
suatu apa. Ia berpikir: "Imam setan tua ini ada punya kepandaian luar biasa, karenanya,
kaum kang-ouw djuluki ia Kwi-eng-tjoe si Bajangan Iblis. Coba dia suka wariskan salah
satu pelajarannya kepada Sin Tjie, alangkah baiknya! Hanya ia biasanya tak suka terima
murid, maka perlu aku cari akal untuk ia keluarkan kepandaiannya itu...."
Segera juga guru ini kata pada muridnya : "Sin Tjie, tootiang telah berikan janji hadiah
bagimu, lekas kau memberi hormat dan haturkan terima kasihmu!"
Sin Tjie benar-benar cerdik, dengan lantas ia dapat mengerti maksud gurunya, maka
segera ia paykoei pula, ia ucapkan terima kasihnya.
Bhok Siang Toodjin tertawa terbahak-bahak.
"Ya, bagus, bagus, bagus!" kata ia.
"He, bocah cilik, kau dengar aku, untuk jadi manusia, orang mesti jujur dan polos, maka
jangan kau telad gurumu ini yang kulit mukanya sangat tebal! Masa, begitu dengar orang
hendak memberikan barang, dia lantas ketok besi panas! Mustahil aku si tua-bangka nanti
perdayakan kau satu bocah" Mustahil, bukan" Nah, begini saja, justru sekarang aku si
tua-bangka lagi bergembira, aku berikan kau ini saja!"
Dari bebokongnya, dimana ada tergendol satu kantong, imam ini rogoh keluar segumpal
barang, apabila Sin Tjie buka itu, itu adalah baju kaos hitam, melainkan ia tak tahu,
bahannya terbuat daripada sutera atau kulit. Tentu saja, ia terima hadiah barang itu
dengan tergugu.
"Eh, tooheng, jangan kau main-main!" Bok Djin Tjeng kata pada sahabatnya itu, gangguan
siapa tadi ia tak gubris. "Bagaimana kau dapat berikan dia mustika ini?"
Mendengar kata-kata gurunya itu, karena itu baju kaos katanya ada mustika, Sin Tjie ulur
kedua tangannya, akan angsurkan itu kepada si imam.
Tapi si imam menolak.
"Aku tak demikian kikir sebagai gurumu!" kata dia. "Tidak biasanya aku, sudah memberi
barang, barang itu diminta pulang! Kau ambillah!"
Masih Sin Tjie tidak berani menerima, ia awasi gurunya.
"Jikalau begitu, kau terimalah," kata sang guru. "Lekas kau bilang terima kasih."
Sin Tjie menurut, ia mengucap terima kasih sambil paykoei pula.
Lalu, dengan roman sungguh-sungguh, Bok Djin Tjeng kata pada muridnya: "Ini adalah
sepotong baju mustika! Untuk mendapatkan ini, dahulu tootiang sudah keluarkan banyak
keringat-daki, ia telah membahayakan jiwanya sendiri! Nah, kau pakailah!"
Sin Tjie turut perkataan gurunya, ia lantas pakai baju kaos itu.
Bok Djin Tjeng bertindak kepohon, untuk cabut pedangnya, ia cuma gunai dua jerijinya,
nampaknya ia dapat menyabut dengan gampang sekali.
"Baju kaos ini terbuat dari sutera emas putih, rambut dan bulunya kera-kuning, yang
disulam menjadi satu, senjata tajam bagaimana juga tak dapat merusaknya," menjelaskan
ia, menyusul mana, ia bacok pundak muridnya.
Sin Tjie kaget, ia hendak berkelit tapi sudah kasep, ia kalah sebat dengan gurunya itu,
selagi ia berlompat, pundaknya sudah jadi sasaran. Akan tetapi, buat keheranannya, ia
tidak terluka, bacokan terasa enteng sekali, pedang itu terpental balik. Ia jadi sangat
girang, hingga lagi-lagi ia paykoei didepan si imam! Bhok Siang Toodjin tertawa; katanya
pada si bocah: "Kau lihat barang ini hitam-legam, jelek dipandangnya. Ketika pertama kali
kau paykoei, mestinya kau belum punya kepercayaan, kau tidak puas, tetapi sekali ini kau
paykoei, tentu kau sudah puas benar!"
Mukanya Sin Tjie jadi merah karena godaan itu, hingga ia diam saja.
Bhol Siang toodjin tidak perdulikan orang jengah atau tidak, ia melanjutkan : "Dahulu
pernah beberapa kali baju kaos ini tolong jiwaku," katanya, "tetapi sekarang, asal saja
gurumu tidak ganggu aku, mungkin sekalipun tak memakai baju ini, dikolong langit tidak
ada lagi orang yang mampu celakai aku!"
Habis mengucap demikian, imam itu tertawa berkakakan, nampaknya ia sangat puas dan
jumawa. Bok Djin Tjeng pun tertawa, dan berkata: "Eh, imam bangkotan jangan tjampur aduk, kau
mengebul didepannya satu bocah! Dalam hal ilmu kepandaian, tak dapat aku lawan kau,
tetapi dikolong langit ini, ada banyak sekali orang pandai!"
Bhok Siang Toodjin tersenyum.
"Sudah, sudah, kita berdua tak boleh gunai golok dan pedang!" berkata dia. "Mari, mari,
lebih baik kita......."
"Kita adu kepandaian diatas papan catur!" tertawa Bok Djin Tjeng.
"Benar!" Bhok Siang Toodjin pun tertawa. "Kau memangnya adalah cacing kamcekan
dalam perutku!"
"Ya!" kembali tertawa Bok Djin Tjeng, "kau juga, jikalau ketagihan main caturmu, tidak
kumat, tidak nanti kau datang cari aku diatas gunung sebagai ini! Apakah kau bawa alat
peranti makan nasi?"
Bhok Siang Toodjin tertawa sembari tertawa ia meraba bebokongnya, akan kasih turun
papan caturnya (tio-kie) beserta dua bungkus biji tiokienya, sedang si gagu, tanpa
diperintah lagi, sudah lantas gotong keluar meja dan kursi untuk dua orang itu adu otak.
Maka kedua orang tua itu lantas duduk dibawahnya sebuah pohon, akan mulai atur biji,
untuk segera jalankan itu sambil saban-saban berpikir.
Wan Sin Tjie berdiri disamping, ia tidak mengerti permainan itu, maka, sambil ia jalankan
biji-bijinya, Bhok Siang Toodjin ajari dia aturan bertindaknya sesuatu biji. Imam ini pun
kebulkan tentang kepandaiannya main tiokie itu, bahwa Bok Djin Tjeng bukanlah
tandingannya. Bok Djin Tjeng cuma bersenyum saja, ia terus pikirkan biji-bijinya sendiri ia antapkan
orang sombongi diri.
Catur ada permainan yang gampang dipelajari tetapi sulit untuk menjadi ahli, tetapi lain
dengan Sin Tjie, dengan lekas ia mengerti aturan mainnya, malah berkat kecerdasannya, ia
mulai mengerti tipu-tipunya.
Dalam babak pertama, Bhok Siang Toodjin adalah yang mendapat kemenangan, demikian
juga pada babak kedua, setelah itu, pertarungan dilanjutkan, terus sampai cuaca mulai
gelap. Mereka mainkan tiga babak, dibabak ketiga, Bok Djin Tjeng menang.
"Mari kita main terus!" mengajak si imam, yang tidak kenal lelah.
"Aku tidak mempunyai kegembiraan untuk layani kau terus-menerus!" kata Bok Djin
Tjeng. Karena ini, terpaksa Bhok Siang Toodjin pergi beristirahat. Untuk ia, si gagu telah siapkan
pembaringannya.
Sejak itu, beruntun tiga hari, tuan rumah dan tetamunya terus terusan main catur, karena
si tetamu tidak mau mengerti jikalau ia tidak dilayani. Maka dihari keempat, tuan rumah
kata: "Hari ini kita mengasoh satu hari, aku mesti ajarkan ilmu pedang dulu kepada
muridku." Alasan itu ada kuat, Bhok Siang Toodjin tidak menghalangi. Tapi sangat sulit untuk ia
tungkuli diri hari itu, maka juga, begitu lekas Bok Djin Tjeng sudah selesai mengajari
muridnya, dia lantas tarik tangannya sahabat itu.
"Mari, mari, kita bertempur lagi sampai tiga jurus!" kata ia dengan bernapsu.
Bok Djin Tjeng merasa lelah, karena setengah-harian lamanya ia layani Sin Tjie, tapi
sahabatnya sedang ketagihan, apabila ia tidak tungkuli, satu malam itu tentu sahabat ini
tidak bisa tidur, terpaksa ia duduk juga menghadapi papan catur berhadapan dengan
tetamu yang sedang keranjingan itu. Sebab ia sedang lelah dan tidak bernapsu, hampir
saja salah satu bijinya kena dirampas. Dengan susah payah ia perbaiki diri, tidak urung, ia
masih kalah angin.
Sin Tjie dampingi gurunya, ia tak sampai hati menampak guru itu terdesak.
"Soehoe, menyerang kemari," kata ia akhirnya, hingga ia tak ingat bahwa ia telah
mentjampuri urusan orang tua-tua. "Habis itu, soehoe jalan disini, tentu soehoe bisa lolos
dari kepungan..."
Anak luar biasa ini dengan cepat telah mengerti baik tipu-tipunya permainan catur,
penunjukannya itu memang ada jalan untuk hindarkan diri dari ancaman. Bok Djin Tjeng
juga tidak beradat mau menang melulu sebagai Bhok Siang Toodjin, ia tidak keberatan
akan turuti pengundjukan muridnya itu. Benar saja, setelah ia jalankan biji-bijinya
menuruti sang murid, segera ia terlepas dari pengurungan, malah dilain pihak, ia dapat
makan satu biji hitam. Ia sendiri pegang biji putih. Habis itu, Bhok Siang Toodjin berbalik
kena terdesak, malah akhirnya, dia cuma bisa menangi tiga biji.
"Dia benar cerdik," kata Bhok Siang Toodjin, yang puji bocah itu. "Coba biarkan dia lawan
aku, ganda enam biji!"
Bok Djin Tjeng lulusi permintaan itu, ia ijinkan muridnya lawan sang soepeh.
Sin Tjie belum pandai betul tapi kecerdasannya membantu banyak sekali. Ia masih muda
sekali, tapi otaknya kuat.
Dalam kalangan tiokie ada pepatah, "Didalam usia dua-puluh tidak menjadi kampiun,
hilanglah harapan". Ini menandakan, tiokie mesti dipelajari sejak masih anak-anak. Souw
Tong Po ada sasterawan termashur tetapi main tiokie, melawan seorang biasa, ia tak
peroleh kemenangan. Hal itu membuat ia menyesal, hingga dia tulis sairnya : "Menang
girang, kalah pun gembira".
Bok Djin Tjeng sabar dan sederhana, tidak demikian dengan Bhok Siang Toodjin, yang
gemar akan kemenangan. Ia tidak lihat mata pada si bocah cilik, tetapi, sesudah biji-biji
dijalankan, ia lantas merasai satu tandingan bukan sembarangan. Dasar anak kecil, Sin
Tjie ingin menangkan soepehnya itu, ia bermain dengan sungguh-sungguh. Diakhirnya,
Bhok Siang Toodjin menang tetapi bukan tak dengan susah-payah.
Besoknya, pagi-pagi, Bhok Siang Toodjin telah cari Sin Tjie, buat ditarik tangannya, untuk
diajak bertanding pula, tanpa bocah ini bisa menampik. Kali ini, dua kali Sin Tjie menang
dengan beruntun, maka ganda diubah, dari enam biji, jadi lima.
Dapat ganti si bocah cilik, Bhok Siang abaikan tuan rumahnya, terus setiap hari, ia ajak
Sin Tjie "bertempur", hingga tahu-tahu, sudah hampir sepuluh hari mereka main terus,
hingga selanjutnya, dari diganda, keduanya main seperti biasa. Sin Tjie peroleh kemajuan
sangat pesat, hingga dia berani melayani tanpa diganda lagi. Malah sekarang, sering
mereka kalah dan menang bergantian! Begitu lekas Sin Tjie utamakan tiokie, ilmu silatnya
kena diterlantarkan juga. Bok Djin Tjeng ketahui ini, tapi dia antap saja. Baru belakangan,
melihat si tua bangka dan si bocah seperti lupa tidur dan makan - mereka bertempur tanpa
batas tempo - ia jadi kuatir juga. Diam-diam ia kisiki muridnya ini supaja selanjutnya dia ini
layani soepehnya satu hari satu kali saja, sebab dia tidak boleh alpai ilmu silatnya.
Atas kisikan itu, Sin Tjie malu sendirinya. Memang benar, hampir sepuluh hari, ia sudah
siasiakan pelajarannya. Maka besoknya, waktu Bhok Siang Toodjin ajaki dia main catur,
dia menolak dengan manis, katanya ia mesti berlatih. Dihari kedua juga dia kembali
menampik. "Kau temani aku main, habis main, aku nanti ajarkan kau semacam ilmu silat, dengan itu,
pasti gurumu girang," kata Bhok Siang membujuk.
"Nanti aku tanya soehoe dulu," kata Sin Tjie, yang tidak berani lancang.
"Baik, pergilah tanya!" si imam menganjurkan.
Sin Tjie lari mencari gurunya. Ia beritahukan janjinya Bhok Siang.
Bok Djin Tjeng girang. Ia memang tahu, imam itu liehay, melainkan adatnya aneh, dia tak
suka menerima murid, tapi sekali ini dia kasih janjinya, itu tentu disebabkan pengaruh
ketagihannya main catur.
Lantas ia tarik tangan muridnya untuk dibawa kepada si imam, kepada siapa lantas saja ia
menjura : "Kau hendak sempurnakan muridku ini, disini kuhaturkan terima kasih
padamu!" Lantas ia suruh muridnya paykoei.
Sin Tjie menurut, ia paykoei dengan segera.
Legenda Kematian 1 Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung Kisah Para Pendekar Pulau Es 20
^