Pedang Ular Mas 16
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong Bagian 16
Nyatalah ia berada di dalam sebuah kamar yang indah dan lengkap perabotannya.
Kelambu ada kelambu sulam, permai sepre dan selimutnya. Permadani kuning telur juga
ada tersulam bunga mawar merah yang besar. Di meja dekat jendela ada terdapat pelbagai
rupa alat berhias dari seorang perempuan. Perabotan lainnya adalah barang-barang kuno.
"Mungkin ini kamarnya satu selir...." Pikir anak muda ini. "Tidak seharusnya aku berdiam
di sini....."
Selagi ia hendak bertindak ke pintu, lantas kupingnya dengar pelbagai tindakan halus
disusul sama orang-orang perempuan bicara sambil tertawa-tawa. Maka ia merandak.
"Jikalau aku paksa keluar, aku bakal bersomplokan dengan nona-nona keraton ini," ia
pikir. "Satu kali aku kepergok, keraton bakal jadi kacau, mungkin aksinya Tjo Thaykam jadi
terganggu dan tertunda. Maka lebih baik aku sembunyikan diri, untuk melihat selatan."
Karena ini ia lompat ke belakang sekosol yang bergambar seorang wanita cantik serta
bunga bouw-tan.
Sebentar saja, daun pintu telah ditolak terpentang, empat dayang bertindak masuk sambil
iringi satu perempuan muda.
"Thianhee ingin beristirahat atau hendak membaca buku dulu?" tanya satu dayang.
Mendengar itu, Sin Tjie terkejut.
"Jadinya ini ada kamarnya puteri raja," pikirnya. "Ah, baiklah kau tidur saja, tak usah baca
buku lagi....." ia harap-harap.
Si nona, atau kiongtjoe, puteri raja, tidak menyahuti tegas, ia hanya jatuhkan diri di atas
pembaringan. "Apakah perlu membakar dupa?" satu dayang tanya pula.
Kembali puteri itu perdengarkan jawaban tak nyata. "Ehm...." Terdengarnya.
Selang tidak lama, Sin Tjie dapat cium bau dupa yang wangi-halus, hingga tanpa merasa,
ia jadi lesu dan ingin tidur....
"Bawa kemari akupunya pit dan gambar, habis kamu semua pergi keluar," kemudian
berkata si puteri raja. (Pit adalah alat menulis.)
Sin Tjie terperanjat.
"Satu suara yang aku kenal baik...." pikirnya. Berbareng ia pun sibuk. Kalau puteri ini
melukis gambar, pasti dia akan ambil banyak tempo. Bagaimana dapat ia berdiam lamalama
di dalam kamar ini"
Dayang-dayang telah lantas siapkan perabot-tulis dan alat melukis lainnya, setelah itu,
semuanya segera undurkan diri.
Kamar menjadi sunyi pula, cuma kadang-kadang saja terdengar suara meretak di dalam
pendupaan, dari kayu cendana yang terbakar.
Tidak berani Sin Tjie berkutik.
Tidak lama terdengarlah elahan napas dari si puteri, yang terus menyanyikan sebuah syair
dengan pelahan:
"Musim semi dari berlaksa lie
membawa tetamu datang
Bunga dari sepuluh tahun
membuat si cantik menjadi tua
Tahun yang lampau di masa bunga mekar, aku jatuh sakit
Tapi tahun ini, menghadapi sang bunga, masih terlalu pagi."
Itulah suara halus dan merdu akan tetapi sifatnya sedih.
Sin Tjie heran. Kenapa satu puteri raja mesti berduka" Ia pun heran, mengapa suara itu
seperti ia kenal baik. Sementara itu, ia merasa lucu untuk kedudukannya ini.
"Aku ada seorang kang-ouw, kecuali kali ini, belum pernah aku datang ke kota raja, maka
dimana pernah aku bertemu sama puteri raja seperti dia ini" Tidak, aku tidak kenal dia.....
Dia mungkin mirip dengan salah satu kenalanku...."
Si puteri telah bertindak ke dekat meja, lantas terdengar suara ia menggerak-geraki alat
tulisnya, rupanya ia sudah mulai melukis.
Sin Tjie menantikan dengan pikiran terbenam. Itu waktu, pintu telah ditutup dan daun
jendela pun sudah dirapatkan. Tanpa menggunai kekerasan, tak dapat ia keluar dari kamar
ini.... Sang puteri masih terus melukis, sampai terdengar ia lempangkan pinggangnya, mungkin
ia merasa letih.
"Lagi dua-tiga hari, gambar ini akan selesai," kata dia seorang diri. "Setiap hari aku
memikirkanmu, apakah kau juga setiap saat mengingat-ingat aku?"
Ia berbangkit, ia pindahkan gambarnya ke kursi, lalu kursi itu dipindahkan ke depan
pembaringan. "Kau diam di sini, untuk temani aku...." katanya pula.
Kemudian ia buka baju luarnya, untuk naik ke pembaringan.
Keheranan Sin Tjie bertambah-tambah. Siapa itu yang dilukis puteri ini, yang dibuat ingatingatan"
Tak dapat pemuda ini menguasai dirinya, ia geraki kepalanya, untuk memandang ke depan
pembaringan, ke arah kursi, guna lihat gambar buatannya si puteri. Apabila ia telah lihat
gambar itu, keheranannya memuncak, hingga ia terperanjat.
Itulah gambarnya Wan Sin Tjie! Gambar itu sudah berpeta jelas walaupun katanya belum
sempurna. Di situ ia terlukiskan sedang bersenyum riang-gembira.
Inilah tidak disangka si anak muda, tanpa merasa, ia perdengarkan suara herannya:
"Ah!...."
Kuping si puteri terang luar biasa, ia dapat dengar suara sangat pelahan, tangannya
mencabut tusuk konde, tanpa memutar tubuh lagi, tangannya itu dikasi melayang!
Sin Tjie terkejut, menyusul suara angin menyambar, ia angkat tangannya, akan tanggapi
tusuk konde itu.
Menyusul serangannya itu, si puteri telah putar tubuhnya, maka sekarang kedua orang jadi
saling mengawasi, dengan kesudahannya dua-duanya tergugu melongo! Sebab segera
mereka saling mengenali.
Sin Tjie kenali A Kioe, muridnya Thia Tjeng Tiok. Memangnya ia curigai nona itu, yang
dilindungi oleh siewie, ia menduga kepada seorang tak sembarangan, ia hanya tidak
sangka, si nona adalah satu puteri raja.
Muka A Kioe pucat, lalu bersemu merah.
"Wan Siangkong, mengapa kau ada di sini?" akhirnya dia tanya. Dengan cepat ia dapat
tenteramkan diri.
Sin Tjie lantas memberi hormat.
"Siauwdjin bersalah," ia mengakui. "Dengan lancang aku telah menerobos masuk ke
dalam kamar kiongtjoe ini...."
Mukanya A Kioe bersemu merah.
"Silakan duduk," ia mengundang.
Puteri ini sadar yang baju luarnya telah dilolosi, dengan sebat ia sambar itu, untuk dipakai.
Di pintu lantas terdengar ketokan pintu yang pelahan.
"Thian-hee memanggil?" tanya satu dayang.
"Tidak, aku lagi baca buku!" sahut sang puteri dengan cepat. "Pergilah kamu tidur, tidak
usah kamu menunggui di sini."
"Baik, thianhee. Silakan thianhee beristirahat siang-siang."
A Kioe tidak jawab dayangnya itu, ia goyangi tangan kepada Sin Tjie, lantas ia tertawa
dengan pelahan. Tapi, kapan ia menoleh ke arah gambar lukisan, mukanya menjadi merah,
ia jengah sendirinya. Lekas-lekas ia geser kursi itu ke pinggir.
Kemudian, keduanya kembali berdiri berhadapan dengan diam saja.
"Apakah kau kenal orang-orang Ngo Tok Kauw?" akhirnya Sin Tjie tanya.
A Kioe manggut.
"Tjo King-kong bilang Lie Giam telah kirim banyak pembunuh ke kota raja, untuk
mengacau," jawabnya, "maka itu Tjo Kong-kong undang serombongan orang gagah
masuk ke keraton, untuk melindungi Sri Baginda. Katanya kauwtjoe Ho Tiat Tjhioe dari
Ngo Tok Kauw liehay sekali."
"Gurumu, Thia Loo-hootjoe, telah dilukai mereka, apakah thianhee ketahui?" tanya Sin
Tjie. A Kioe kaget, hingga air mukanya berubah.
"Apa?" tanyanya. "Kenapa mereka lukai soehoe" Apakah soehoe terluka parah?"
"Tidak, tidak seberapa," sahut Sin Tjie, yang terus berbangkit. "Sekarang sudah jauh
malam, baik kita tidak bicara terlalu banyak. Kami tinggal di gang Tjeng-tiauw-tjoe. Apa
bisa besok thianhee datang melongok gurumu itu?"
"Baik!" A Kioe jawab. "Dengan menerjang bahaya kau telah datang menyambangi aku, aku
berterima kasih....." Ia bicara dengan pelahan sekali ketika ia menambahi: "Kau telah lihat
bagaimana aku sudah lukiskan gambarmu, maka tentang hatiku, kau sudah ketahui
jelas....."
"Inilah hebat," pikir Sin Tjie. "Rupanya dia telah menyintai aku, kedatanganku sekarang
membuat ia dapat kesan yang keliru. Ini perlu penjelasan..."
Tapi ia belum sempat bicara, atau A Kioe sudah kata pula: "Sejak pertemuan kita di Shoatang-
too, dimana kau rintangi Tie Hong Lioe melukai aku, aku senantiasa ingat saja budikebaikanmu.....
Coba lihat lukisan ini mirip atau tidak?"
Sin Tjie manggut.
"Thianhee," katanya, "aku datang kemari karena...."
Tapi A Kioe segera memotong.
"Jangan panggil aku thianhee," katanya. "Aku pun tidak akan panggil siangkong lagi
kepadamu. Pada mula kalinya kita bertemu, kau kenal aku sebagai A Kioe, maka itu untuk
selamanya, aku tetap ada A Kioe. Aku dengar enci Tjeng panggil kau toako, aku pikir,
umpama itu hari aku pun bisa panggil toako padamu, itu Barulah tepat. Di saat aku
dilahirkan, menteri tukang tenung telah ramalkan aku bahwa apabila aku hidup tetap di
dalam keraton, aku tidak bakal panjang usia, karena itu, Sri Baginda Ayah perkenankan
aku pergi berkelana."
"Pantas kau belajar silat pada Thia Loo-hoetjoe dan ikut dia berkelana," kata Sin Tjie.
"selama berada di luar, pengetahuan dan pengalamanku jadi tambah banyak," A Kioe
bilang. "Aku tahu yang rakyat sangat menderita. Umpama kata aku pakai uang di istana
akan tolong rakyat, masih tidak seberapa jumlahnya yang bisa ditolong."
Sin Tjie kagum mendengar puteri ini bersimpati kepada rakyat.
"Karena itu wajiblah kau nasihati Sri Baginda dan minta Sri Baginda menjalankan
pemerintahan secara bijaksana," ia kata. "Asal rakyat dapat makan dan pakai cukup, tidak
kelaparan dan kedinginan, pasti negara aman-sentausa."
Puteri itu menghela napas.
"Jikalau Sri Baginda Ayah sudi dengar perkataan orang, itulah bagus," katanya. "Sekarang
Sri Baginda Ayah dikitari segala dorna, yang kata-katanya sangat dipercayai benar."
"Kau berpengetahuan luas melebihi Sri Baginda," Sin Tjie puji. Tadinya pemuda ini pikir,
baik atau tidak ia beber rahasia Thaykam Tjo Hoa Soen, akan tetapi sebelum ia ambil
putusan, A Kioe sudah tanya dia: "Apakah Thia Loo-hoetjoe pernah omong tentang
diriku?" "Tidak. Dia bilang dia pernah bersumpah, dari itu tak dapat dia omong tentang kau.
Tadinya aku menyangka kau mempunyai dendaman yang hebat, yang mengenai kaum
kang-ouw, tidak tahunya kau ada puteri raja."
A Kioe bersenyum.
"Thia Soehoe ada pahlawan Sri Baginda Ayah, dia sangat setia kepada junjungannya," ia
beritahu. "Oh, jadinya dia pun ada satu sie-wie?" kata Sin Tjie dengan heran.
A Kioe manggut.
"Ketika dahulu Sri Baginda Ayah masih tinggal di istana pangeran Sin Ong-hoe, Thia
Soehoe menjadi kepala sie-wie," ia menerangkan lebih jauh. "Kemudian setelah Sri
Baginda marhum wafat, Sri Baginda Ayah adalah yang menggantikan naik di tahta. Pada
masa itu, semua orang di dalam istana ada orang-orang kepercayaan Goei Tiong Hian.
Maka juga Thia Soehoe bilang, waktu itu, keadaan ada sangat berbahaya, sampai Sri
Baginda Ayah dan sekalian pahlawannya, siang dan malam tak bisa tidur dengan tenang.
Semua barang makanan diantar dari istana Sin Ong-hoe. Beberapa kali Goei Tiong Hian si
dorna niat celakai Sri Baginda Ayah, saban-saban Thia Soehoe serta Tjo Kong-kong dan
lainnya yang menggagalkannya, hingga bahaya dapat dihindarkan. Itulah sebabnya
kenapa sampai sekarang ini Sri Baginda Ayah tetap percaya Tjo Kong-kong."
"Meski begitu, tak dapat dia dipercayai sepenuhnya!" Sin Tjie bilang.
"Itu benar. Di antara Thia Soehoe dan Tjo Kong-kong tidak terdapat kecocokan."
"Jadi itulah sebabnya kenapa Thia Soehoe jadi keluar dari istana?" Sin Tjie tegaskan.
"Bukan. Katanya karena urusan Wan Tjong Hoan."
Terperanjat juga Sin Tjie mendengar disebutkan nama ayahnya.
"Bagaimana itu?" tanya dia.
"Di waktu kejadian, aku masih belum terlahir," jawab A Kioe, "Baru belakangan aku dengar
hal itu dari soehoe. Soehoe bilang Wan Tjong Hoan ada panglima perang besar di Kwangwa
yang menolak serangan bangsa asing, dia telah dirikan banyak sekali jasa, hingga
bangsa asing jeri bukan main akan lihat dia. Adalah belakangan, bangsa Boan sudah
gunai tipu-daya merenggangkan, cerita-burung disiarkan bahwa Wan Tjong Hoan berniat
berontak. Sri Baginda Ayah percaya itu, tanpa pikir panjang lagi, Wan Tjong Hoan dihukum
mati. Thia Soehoe tahu Wan Tayswee difitnah, dia pernah melindunginya, hingga
karenanya, soehoe jadi bentrok sama Sri Baginda Ayah. Sri Baginda Ayah sedang panas
hati, dia lupa, dia telah gaplok soehoe, maka saking gusar, soehoe lantas meninggalkan
istana, dia sumpah untuk selamanya tak sudi menemui pula Sri Baginda Ayah."
Sin Tjie terharu berbareng bersukur, ia tahan keluarnya air mata, matanya menjadi merah.
"Thia Soehoe bilang, Sri Baginda Ayah tak dapat membedakan orang setia dan dorna," A
Kioe melanjuti. "Soehoe kuatirkan, akhir-akhirnya negara bakal runtuh di tangan Sri
Baginda Ayah. Beberapa tahun kemudian, Sri Baginda Ayah menyesal. Karena katanya tak
dapat aku hidup di istana, aku lantas dikirim kepada soehoe, untuk terus ikuti soehoe. Aku
tidak tahu, kenapa soehoe bentrok sama Ngo Tok Kauw."
Hampir saja Sin Tjie bilang: "Ngo Tok Kauw berniat bikin celaka ayahmu, sebab mereka
tahu Thia Loo-hoetjoe setia kepada Sri Baginda, jadi Thia Loo-hoetjoe hendak
dibinasakan." Tiba-tiba ia tampak lilin, yang tinggal sepotong pendek, hingga ia ingat:
"Keadaan ada begini mendesak, kenapa aku mesti bicara begini banyak sama dia ini?"
Maka ia lantas berbangkit.
"Masih banyak yang mesti dibicarakan, besok saja kita teruskan lebih jauh," katanya.
Mukanya A Kioe merah, ia tunduk, terus dia manggut.
Hampir di waktu itu, pintu kamar diketok secara kesusu dan di luar kamar terdengar
suaranya beberapa orang: "Thianhee, thianhee, lekas buka pintu!"
A Kioe kaget. "Ada apa?" dia tanya.
"Oh, thiangee tidak kurang suatu apa?" tanya satu dayang.
"Aku lagi tidur. Ada apakah?"
"Katanya ada orang lihat ada penjahat nyelusup masuk ke dalam keraton...."
"Ngaco-belo! Penjahat apa sih?"
"Thianhee," kata satu suara lain, "ijinkan kami masuk untuk melihat-lihat...."
Sin Tjie segera bisiki sang puteri: "Itulah Ho Tiat Tjhioe!"
"Jikalau ada penjahat, cara bagaimana aku bisa tenang seperti ini?" kata A Kioe. "Lekas
pergi, jangan bikin berisik di sini!"
Orang-orang di luar itu lantas diam, mereka tahu sang puteri gusar.
Dengan berindap-indap, Sin Tjie pergi ke jendela, niatnya untuk tolak jendela, buat
nerobos pergi. Baru saja ia pegang kain alingan jendela dan menyingkapnya sedikit, ia
lihat cahaya api terang-terang, hingga ia tampak juga belasan thaykam, ialah orang-orang
yang menyekal obor.
"Jikalau aku nerobos, siapa bisa rintangi aku?" pikir pemuda ini. "Dengan aku berlalu
dengan paksa, nama baiknya puteri bakal tercemar. Tidak dapat aku berbuat demikian...."
Maka ia balik pada A Kioe, akan bisiki bahwa tak bisa ia berlalu dengan paksa atau sang
puteri bakal dapat malu.
Puteri itu kerutkan alis.
"Jangan takut," katanya kemudian. "Kau diam saja di sini untuk sekian lama lagi."
Sin Tjie terpaksa, ia menurut.
Tidak terlalu lama, kembali ada suara mengetok pintu.
"Siapa?" tanya A Kioe.
Kali ini datang penyahutan Thaykam Tjo Hoa Soen.
"Sri Baginda dengar ada orang jahat nyelusup ke istana, Sri Baginda berkuatir, dari itu
kacung diperintah menanyakan keselamatan thianhee," sahut thaykam itu, yang
membahasakan diri "kacung".
"Tidak berani aku membikin kong-kong banyak cape," kata A Kioe. "Silakan kong-kong
kembali, tolong sampaikan bahwa aku tidak kurang suatu apa."
"Thianhee ada orang penting, tak dapat thianhee menjadi kaget," kata pula orang kebiri
itu. "Baik ijinkanlah kacung masuk untuk memeriksa kamar."
A Kioe mendongkol kepada orang kebiri itu. Ia percaya, waktu Sin Tjie datang, mesti ada
orang lihat padanya, kalau tidak, thaykam itu tidak nanti berani demikian mendesak.
Dugaan ini benar separuhnya. Memang Tjo Hoa Soen dapat kisikan dari Ho Tiat Tjhioe
bahwa ada orang nyelusup masuk ke keraton puteri, Tiang Peng Kiongtjoe. Sebab lainnya
adalah Tjo Hoa Soen tahu puteri pandai silat, dia bercuriga, dia curiga puteri ini punya
hubungan sama orang kang-ouw sedang dia berniat celakai baginda Tjong Tjeng. Maka
ingin dia mendapat kepastian. Dia berpengaruh, dari itu, dia berani memaksa. Puteri pun
memang tak dapat terlalu rintangi orang kebiri itu.
Maka akhirnya, setelah berpikir, Tiang Peng Kiongtjoe gerak-geraki kedua tangannya
kepada Sin Tjie, untuk beri tanda agar si anak muda naik ke atas pembaringannya, untuk
sesapkan diri di bawah selimut.
Dalam keadaan seperti itu, Sin Tjie sangat terpaksa, maka ia pergi ke pembaringan,
setelah lolosi sepatunya, ia naik, terus ia tutupi diri dengan selimut sulam, hingga ia dapat
cium bau sangat harum. Ia kerebongi tubuh, dari ujung kaki sampai di kepala.
Kembali terdengar suaranya Tjo Hoa Soen, yang mendesak minta dibukai pintu.
"Baiklah," kata Tiang Peng Kiongtjoe akhirnya, "kau boleh periksa!"
Puteri ini loloskan baju luarnya, ia bertindak ke pintu, untuk angkat palangan, setelah
mana, tanpa buka pintu lagi, ia lompat naik ke atas pembaringan, untuk segera kerebongi
diri sebatas leher.
Hatinya Sin Tjie memukul ketika A Kioe rebahkan diri berdampingan dengan dia, pakaian
mereka nempel satu dengan lain, sedang hidungnya dapat cium bau lebih wangi lagi. Tapi
ia berdiam terus, tidak berani dia berkutik, apalagi setelah ia merasa Tjo Hoa Soen dan Ho
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiat Tjhioe sudah masuk ke dalam kamar. Ia merasakan bagaimana tubuhnya sang puteri
sedikit bergemetar.
Ting Peng Kiongtjoe berpura-pura masih lungu-lungu, ia pun berlagak menguap, tetapi toh
ia tertawa. "Tjo Kong-kong, kau baik sekali. Terima kasih!" katanya.
Tjo Hoa Soen memandang ke sekelilingnya, ia tak lihat ada orang lain dalam kamar itu.
Ho Tiat Tjhioe turut memeriksa, ia berpura-pura bikin jatuh saputangannya, untuk pungut
itu, ia membungkuk, dengan begitu ia jadi bisa melongok ke kolong pembaringan.
"Aku pun telah periksa kolong pembaringan, aku tidak sembunyikan orang jahat!" tertawa
A Kioe. "Harap thianhee ketahui, Tjo Kongkong kuatir thianhee kaget," kata ketua Ngo Tok Kauw
itu. Ketika kauwtjoe ini melihat ke kursi, dimana ada gambar Sin Tjie, ia kaget sekali, sukur ia
masih bisa tetapkan hati, maka ia lantas berpaling.
Tjo Thaykam kedipi mata, ia kata: "Mari kita periksa lain-lain bagian lagi." Tapi kepada
empat dayang, ia pesan: "Kamu berempat temani thianhee di sini, jangan kamu tinggal
pergi. Umpama kata thianhee titahkan kamu, masih kamu tidak boleh malas dan mencuri
tempo dan keluar. Mengerti?"
"Kami akan dengar titah kongkong," jawab empat dayang itu.
Tjo Hoa Soen beramai minta perkenan dari puteri, lantas mereka keluar dari kamar.
A Kioe pun segera perintah turunkan kelambu.
"Aku hendak tidur," katanya.
Dua dayang kasi turun kelambu dengan hati-hati, yang satu tambahkan kayu cendana,
setelah buang ujung lilin, mereka pergi ke pojok tembok untuk numprah sambil
menyender. Lega hatinya A Kioe, akan tetapi ia bergirang berbareng malu. Di luar sangkaannya, di luar
keinginannya, sekarang ia rebah berdampingan sama orang yang ia buat kenangan setiap
saat. Pikirannya jadi terbenam, tidak berani ia buka suara, tidak berani ia geraki tubuhnya.
Ia seperti sedang mimpi.
"Bagaimana?" Sin Tjie berbisik, selang sekian lama. "Mesti dicari daya untuk aku keluar
dari sini...."
"Oh...." Si nona bersuara, dengan pelahan sekali. Ia bergerak sedikit, lengan dan kaki
digeser. Tiba-tiba saja ia terperanjat. Ia telah bentur barang dingin. Kapan ia meraba, ia
kena pegang pedang, yang diletaki nyelang di antara mereka berdua.
"Apa ini?" ia tanya.
"Aku nanti terangi, tapi kau jangan kecil hati."
"Aku masuk kemari di luar keinginanku. Aku menyesal telah mesti rebah di sini bersamasama
kau. Tapi ini karena sangat terpaksa. Aku bukan seorang ceriwis dan kurang ajar."
"Aku tidak persalahkan kau," A Kioe bilang. "Singkirkan pedangmu itu, nanti aku kena
dilukai." "Aku kenal adat sopan-santun, tetapi tetap aku ada seorang anak muda, aku sekarang
rebah berdampingan sama kau, satu gadis rupawan dan cantik sekali, aku kuatir nanti tak
dapat atasi diriku...."
A Kioe tertawa.
"Jadi kau palangkan pedangmu" Ah, tolol, toako tolol!...."
Dua-dua mereka kuatir suara mereka nanti terdengar empat dayang, selain mereka bicara
dengan pelahan, kepala mereka pun digeser dekat sekali satu dengan lain. Maka Sin Tjie
dapat cium harumnya hawa segar dari mulutnya si nona, hingga hatinya goncang. Sebisabisa
ia tenangkan diri.
"Adik Tjeng sangat menyintai kau, jangan kau tersesat!" demikian ia peringati dirinya
sendiri. "Seng Ongya itu siapa?" kemudian ia tanya. Ingin ia simpangkan perhatian.
"Dia adalah pamanku," jawab A Kioe.
"Tepat!" kata Sin Tjie pula. "Mereka hendak tunjang dia menjadi kaisar, kau tahu tidak?"
A Kioe terkejut.
"Apa" Siapa mereka?"
"Tjo Hoa Soen telah bikin perhubungan rahasia sama Kioe Ongya dari Boantjioe, dia niat
pinjam tentera Boan untuk tindas pemberontakan Giam Ong."
"Foei! Apakah artinya tentara Boan" Negara kita toh lebih kuat!"
"Benar! Sri Baginda tidak setujui usul pinjam tentara asing itu. Karena ini, Tjo Hoa Soen
beramai niat tunjang Seng Ongya, untuk diangkat jadi kaisar pengganti...."
"Ini memang mungkin. Seng Ongya ada bangsa tolol, pasti dia suka pinjam tentara asing
untuk tindas pemberontak."
"Yang aku kuatirkan mereka nanti bekerja malam ini...."
A Kioe kembali terkejut.
"Ah, kenapa kau tidak omong dari siang-siang" Kita mesti lekas tolongi Sri Baginda
Ayah!" Sin Tjie rapatkan kedua matanya, ia ragu-ragu. Kaisar Tjong Tjeng justeru ada musuh
besarnya, yang sudah hukum mati ayahnya! Selama belasan tahun, tidak ada satu hari
dilewatkan tanpa ia tak ingat permusuhan itu, adalah keinginannya akan dengan tangan
sendiri membunuh musuhnya. Sekarang timbul ini suasana genting. Sebenarnya ini ada
ketika yang bagus sekali. Bukankah, tanpa berbuat sesuatu apa, ia bisa saksikan musuh
besarnya itu terbunuh mati" Tidakkah itu akan memuaskan hatinya" Tapi di sebelah itu,
jikalau Tjo Hoa Soen berhasil, dan dia pinjam tentara Boan, untuk tumpas gerakannya
Giam Ong, tidakkah itu hebat" Bagaimana kalau Giam Ong gagal" Bagaimana kalau
tentara Boan menduduki seluruh Tionggoan" Tidakkah negara menjadi musna dan cucu
Oey Tee semua menjadi kacung"
A Kioe tidak tahu apa yang orang pikirkan, ia menyenggol dengan pundaknya pada
pemuda itu. "Kau pikirkan apa?" tanya dia. "Lekas bantui aku tolongi Sri Baginda Ayah!"
Sin Tjie berdiam, masih ia bersangsi.
"Asal kau tidak melupakan aku, aku tetap ada kepunyaan kau," A Kioe bilang. Nona
bangsawan ini menduga keliru. "Di belakang hari masih ada saat-saatnya untuk kita
berkumpul seperti ini..."
Lagi-lagi Sin Tjie terkejut.
"Ah, kiranya dia menyangka aku tak mau bangun karena terpengaruh oleh keadaan seperti
ini...." Pikirnya. "Baiklah, biar aku lihat keadaan...." Maka ia bisiki puteri raja itu: "Pergi kau
totok semua dayang itu, habis kau tutupi mereka dengan selimut supaya mereka tak dapat
melihat, supaya kita bisa keluar dari sini."
"Aku tidak mengerti tiam-hiat-hoat. Di bagian mana aku mesti totok mereka?" A Kioe
tanya. Menyesal Sin Tjie. Ia tak tahu, puteri ini tidak mengerti tiam-hiat-hoat, ilmu menotok jalan
darah. Terpaksa ia mesti mengajarinya dahulu. Maka terpaksa ia cekal tangannya puteri
itu, untuk dibawa ke dadanya sendiri, ke ujungnya tulang iga yang ke sebelas. Ia telah
pegang tangan yang halus dan lemas.
"Ini dia yang dinamai jalan darah tjiang-boen-hiat," katanya. "Dengan jari tangan, kau totok
ujung tulang mereka, mereka bakal lantas tidak mampu bergerak. Jangan totok terlalu
keras, nanti mereka kehilangan jiwa mereka...."
A Kioe ingat letak anggauta yang ditunjuk itu. Untuk tolongi ayahnya, ia tidak bisa berpikir
banyak lagi. Ia lantas turun dari pembaringan.
Melihat puteri itu bangun, keempat dayang itu berbangkit, untuk tanya: "Thianhee perlu
apa?" "Kemari kau!" ia panggil satu dayang sambil ia pergi ke samping pembaringan, hingga
ketiga dayang lainnya tidak lihat ia berdua dayang yang pertama itu.
Menuruti ajaran Sin Tjie, A Kioe totok dayangnya ini. Karena ia mengerti ilmu silat, ia bisa
menotok dengan baik. Ketika dayang itu sudah rubuh dengan tidak bersuara, ia panggil
yang kedua dan ketiga, untuk ditotok semua. Ketika ia totok yang keempat, kenanya
kurang tepat, dayang itu menjerit, maka lekas-lekas ia bekap mulutnya, untuk ditotok buat
kedua kalinya, Baru orang pingsan.
Sin Tjie sudah pakai sepatunya dan telah turun dari pembaringan ketika A Kioe telah
selesai dengan tugasnya, sama-sama mereka hampirkan jendela, akan singkap sero.
Begitu lekas dapati di luar tidak ada orang, keduanya menolak jendela, untuk lompat
keluar. "Mari ikut aku!" A Kioe mengajak.
Puteri ini ajak kawannya ke kamar Kaisar Tjong Tjeng, ayahandanya. Selagi mendekati
kamar, dari jauh sudah kelihatan bajangan dari banyak orang, jumlah mereka itu mungkin
beberapa ratus jiwa.
"Kawanan dorna sudah kurung Sri Baginda Ayah!" kata A Kioe. "Mari lekas!"
Keduanya berlari-lari.
Baru kira belasan tumbak, kedua orang ini berpapasan sama satu thaykam. Orang kebiri
itu kaget kapan ia kenali Tiang Peng Kiongtjoe, tetapi karena puteri ini cuma bersama satu
pengiring, ia tidak buat kuatir.
"Thianhee masih belum tidur?" tanyanya sambil menjura.
"Minggir!" membentak Tiang Peng Kiongtjoe. Bersama-sama Sin Tjie, puteri ini telah
melihat nyata, di depan dan belakang kamar ayahnya telah berkumpul thaykam-thaykam
dan siewie-siewie, yang semua memegang senjata, suatu tanda keadaan sangat
mengancam. Dengan satu tolakan tangan yang keras, A Kioe bikin thaykam di depannya itu
terpelanting, lantas ia maju terus.
Di muka pintu keraton menjaga beberapa siewie, akan tetapi mereka ini kena ditolak
minggir oleh Sin Tjie.
Semua orang kebiri tidak berani turun tangan apabila mereka tampak tuan puteri itu. Satu
diantaranya sebaliknya lari kepada Tjo Thaykam untuk melaporkan hal kedatangannya
puteri itu. Tjo Hoa Soen ada satu dorna yang cerdik tetapi licik, nyalinya kurang cukup besar,
walaupun sekarang ia yang kepalai gerakan menjunjung Seng Ong, ia tidak berani muncul
sendiri, ia cuma berikan titah-titah saja. Kapan ia dengar laporan, ia tidak kuatir, Ia anggap,
Tiang Peng Kiongtjoe sendirian saja, apa puteri itu bisa bikin.
"Tetap perkuat penjagaan!" ia ulangi titahnya.
A Kioe ajak Sin Tjie maju terus, sampai ke kamar dimana biasanya kaisar Tjong Tjeng
memeriksa surat-surat negara. Di pintu kamar terdapat belasan thaykam dan siewie, di
situpun terdapat tujuh atau delapan mayat yang telah bermandikan darah. Rupa-rupanya
korban-korban ini ada mereka yang setia kepada raja.
Semua siewie dan thaykam melongo kapan mereka lihat tuan puteri.
A Kioe tidak perdulikan mereka itu, ia tarik tangannya Sin Tjie, untuk diajak menerobos
masuk ke dalam kantor raja itu.
"Tahan!" berseru satu siewie sambil ia maju memegat, goloknya diangkat naik untuk
dipakai membacok pemuda kita.
Sin Tjie berkelit sambil tangannya terus menyambar dada, maka siewie itu terpelanting
jatuh., Begitu berada di dalam kantor, Sin Tjie lihat api lilin terang sekali, di situ berdiri belasan
orang. "Hoe-hong!" seru A Kioe sambil ia lari untuk tubruk satu orang dengan jubah kuning.
(Hoe-hong adalah panggilan untuk ayah yang menjadi raja.)
Sin Tjie awasi orang itu, muka siapa putih bersih dan perok, akan tetapi dalam keadaan
kaget dan gusar.
"Inilah dia kaisar Tjong Tjeng musuh ayahku...." pikir pemuda ini.
Belum sampai Tiang Peng Kiongtjoe dapat tubruk ayahnya, dua orang yang tubuhnya
besar menghalang di depan raja, golok mereka dibalingkan.
Kaisar lihat puterinya itu.
"Perlu apa kau datang kemari?" tegurnya. "Lekas pergi!"
Dekat kaisar berdiri seorang umur kurang-lebih empat-puluh tahun, tubuhnya gemuk
terokmok, mukanya penuh berewok. Dia kata dengan keren:
"Pemberontak sudah pukul pecah Hoen-tjioe dan Thaygoan, segera juga mereka bakal
sampai ke kota raja ini! Kau tidak hendak minta bala-bantuan bangsa asing, apa
maksudmu?"
Kata-kata kasar itu ditujukan kepada kaisar.
"Siok-hoe!" seru A Kioe kepada si terokmok itu, yang sikapnya keren. "Kau berani berlaku
begini kurang ajar terhadap Junjunganmu?"
Mendengar si nona, Sin Tjie tahu, dia itu adalah Pangeran Seng Ong.
Pangeran ini lantas tertawa berkakakan.
"Kurang ajar?" dia mengulangi. "Dia hendak bikin ludas negara indah warisan leluhur kita,
maka kami, setiap anggauta keluarga Tjoe, tidak dapat antapkan dia!"
Kata-kata jumawa ini dibarengi sama terhunusnya pedang, yang cahayanya berkilauan,
hingga semua orang di kiri-kanannya terkejut.
Kemudian, dengan roman sangat bengis, pangeran ini bentak raja:
"Lekas bilang, bagaimana putusanmu!"
Kaisar menghela napas.
"Apa Tim kurang bijaksana hingga negara jadi kacau," kata dia, "sampai tentara
pemberontak hendak menuju ke kota raja buat bikin terbalik pemerintah, akan tetapi
meminjam tentara Boan juga bakal sama membahayakan untuk negara.... Jikalau Tim
mesti mati untuk rakyat, itu tak usah dibuat menyesal, tetapi yang harus disesalkan adalah
kalau nanti negara indah dari leluhur kita ini mesti diserahkan kepada lain bangsa...."
Dengan acungi pedangnya, yang panjang, Seng Ong maju satu tindak.
"Jika begitu, lekas kau keluarkan maklumat untuk undurkan diri, untuk serahkan
kedudukanmu kepada pengganti yang bijaksana!" dia berseru dengan sikapnya sangat
mengancam. Tubuhnya raja bergemetar.
"Apakah kau hendak bunuh rajamu?" dia tanya.
Seng Ong menoleh ke belakangnya, ia kedipi mata.
Di belakang pangeran ini ada satu opsir dari Kim-ie Wie-koen, pasukan istimewa dari raja,
dia ini cabut goloknya yang panjang, dengan suara nyaring, dia bilang: "Jikalau raja sudah
gelap pikiran dan boe-too, setiap orang dapat membinasakan dia!"
Artinya "boe-too" adalah "tidak adil" (tidak bijaksana).
Sin Tjie awasi opsir itu, karena ia ingat suara orang itu. Segera juga ia kenali, orang itu ada
An Kiam Tjeng, suami An Toa-nio, ayah dari An Siauw Hoei.
A Kioe jadi sangat gusar, hingga ia menjerit dengan bentakannya. Ia sembat sebuah kursi,
ia lompat ke depan ayahnya, untuk menghalangi opsir itu. Dan ketika An Kiam Tjeng toh
terusi membacok raja, ia menangkis, terus-terusan sampai tiga kali beruntun.
Sampai di situ, lain-lainnya siewie lantas maju, untuk turut kepung raja atau tuan puteri itu.
Dari tadi Sin Tjie masih diam saja, akan tetapi setelah tampak A Kioe keteter, ia tidak bisa
berdiri terus sebagai penonton, maka ia lompat maju, untuk ceburkan diri dalam
pertempuran itu. Begitu lekas ia geraki tangan kirinya, dua siewie kena dibikin
terpelanting, hingga ia bisa dekati A Kioe, untuk serahkan pedang Kim Tjoa Kiam kepada
puteri itu, kemudian ia sendiri maju ke samping kaisar, akan lindungi raja ini yang menjadi
musuhnya.... Belasan siewie menerjang raja, sesuatu dari mereka lantas dihajar ini anak muda, yang
gunai kedua tangan dan kakinya, hingga bukan saja mereka tak dapat maju, mereka
sendiri yang rubuh dengan urat putus atau tulang-tulang patah!
A Kioe sendiri, dengan pedang mustika Ular Emas di tangan, hingga ia tidak
membutuhkan lagi kursinya, sudah lantas unjuk kegagahannya. Baru saja beberapa jurus,
ia sudah tabas kutung golok besar dan panjang dari An Kiam Tjeng.
Seng Ong terperanjat. Tidak ia sangka, kaisar bisa dapat bantuan tangguh di saat yang
sangat terjepit itu.
"Orang-orang di luar, semua maju!" ia lantas berteriak-teriak.
Teriakan itu disambut dengan munculnya Ho Tiat Tjhioe, Ho Ang Yo dan Lu Djie Sianseng
berikut empat jago tua anggauta Ngo Tjouw dari Tjio Liang Pay. Tapi mereka ini
tercengang kapan mereka saksikan kaisar Tjong Tjeng dilindungi oelh Sin Tjie, si anak
muda yang liehay, yang sedang labrak beberapa sie-wie yang masih bandel.
Akhir-akhirnya Oen Beng Tat mendelik dengan matanya mengeluarkan sinar tajam
bagaikan api menyala, dia terus menjerit: "Lebih dahulu bereskanlah binatang ini!"
Lalu, bersama tiga saudaranya, dia lompat maju.
A Kioe sendiri sudah lantas lompat ke samping ayahnya, dengan bersenjatakan pedang
mustika, ia bisa pukul mundur setiap penyerang yang maju merangsek, sampai pahlawanpahlawannya
Seng Ong jeri juga. Karena ini ia dapat kesempatan akan tampak Sin Tjie
sedang dikerubuti enam sie-wie, hingga ia merasa, dalam keadaan seperti itu, pemuda itu
pasti sukar bantu ia. Mau atau tidak, ia berkuatir juga.
Selagi tuan puteri ini pasang mata sambil berpikir keras, mendadak ia lihat si orang
perempuan tua, yang romannya sangat jelek, yang dandan sebagai pengemis, mata siapa
bersinar sangat tajam, lompat ke arahanya sambil angkat kedua tangannya, untuk
perlihatkan sepuluh jarinya yang tajam bagaikan kuku garuda. Si jelek dan begis ini
berseru dengan suaranya yang menyeramkan: "Lekas kembalikan Kim Tjoa Kiam
padaku!" Pada waktu itu, Sin Tjie sudah ambil keputusan. Sekarang ia hendak tolongi kaisar Tjong
Tjeng supaya gagallah usaha dorna-dorna mengundang masuk angkatan perang
Boantjioe, supaya kerajaan Beng dapat dihindarkan dari kemusnaan. Ia pikir, baik ia
tunggu sampai tentaranya Giam Ong masuk ke kota raja, Baru ia wujudkan pembalasan
sakit hatinya. Jadi, urusan negara dulu, Baru kepentingan pribadi.
Sementara itu, ia sudah lantas dikepung oleh empat Ngo Tjouw dari Tjio Liang Pay, siapa
sudah liehay tetapi sekarang dibantu pula oleh Lu Djie Sianseng dan Ho Tiat Tjhioe,
hingga tak sempat ia membantu A Kioe siapa, dengan rambut riap-riapan, lagi putar
pedangnya secara hebat akan layani penyerang-penyerangnya. Sebab anggauta-anggauta
Kim-ie Wie-koen desak si nona dari tiga jurusan.
Dalam saat segenting itu, tiba-tiba saja pemuda ini dapat satu pikiran. Sambil berkelit
disusl sama lompatan, ia loloskan diri dari hoentjwee yang liehay dari Lu Djie Sianseng
dan sapuan berbahaya dari tongkat panjang Oen Beng San, lantas ia melejit ke depan Ho
Tiat Tjhioe. "Menyesal; kami terpaksa mengerubuti!" kata kauwtjoe dari Ngo Tok Kauw sambil tertawa
seraya dengan gaetannya ia sambuti si anak muda.
Sin Tjie berkelit.
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah kau sudah tidak sayangi lagi jiwanya beberapa puluh anggautamu?" tegur Sin
Tjie. Tercengang Ho Tiat Tjhioe kapan ia ingat orang-orangnya yang lagi terancam bahaya itu.
Justru itu, Sin Tjie gunai ketikanya untuk loncat keluar dari kepungan.
Oen-sie Soe Loo, empat ketua Keluarga Oen, tidak mau lepaskan musuh lawas ini, mereka
maju untuk mengepung pula. Oen Beng Tat dengan siang-kek, sepasang tumbak
cagaknya, serang bebokongnya Sin Tjie sebagai sasaran. Tapi ia ini egos tubuhnya.
"Kau gantikan aku menahan mereka!" tiba-tiba saja Sin Tjie kata pada Ho Tiat Tjhioe.
"Apa?" tanya kauwtjoe dari Ngo Tok Kauw.
Si anak muda tidak lantas menjawab, ia kelit dulu dari serangannya Oen-sie Soe Loo dan
Lu Djie Sianseng.
"Aku nanti ajak kau pergi lihat adik Tjeng she Hee!" kata dia kemudian.
Memang sejak melihat Tjeng Tjeng kauwtjoe ini sudah runtuh hatinya, maka mendengar
katanya Sin Tjie, hatinya sekarang memukul keras. Hampir tidak berpikir lagi, ia angkat
tangan kirinya, akan dengan itu gaet Oen Beng Go, orang yang berada paling dekat
dengannya. Ngo yaya tidak pernah sangka kawan ini bakal berkhianat, dia kaget bukan main melihat
datangnya serangan secara demikian tiba-tiba, tetapi ia masih bisa geraki cambuk
kulitnya, untuk menangkis gaetan.
Akan tetapi Ho Tiat Tjhioe gesit dan telengas, setelah gagal bokongannya itu, ia mendesak
dengan hebat sekali, sama sekali ia tidak hendak memberi ketika kepada Tjio Liang Pay
itu, tidak perduli orang liehay. Baru tiga desakan berulang-ulang, ujung gaetannya telah
mampir di bahu kiri dari Beng Go, hingga bahu itu tergurat.
Oleh karena gaetan itu ada racunnya, dalam sesaat itu, mukanya Ngo yaya menjadi pucat,
bahunya membengkak dengan cepat, hingga di lain saat, tubuhnya menjadi limbung,
tangan kanannya dipakai mengucak-ucak kedua matanya.
"Aku tak dapat melihat apa-apa! Aku.... Aku terkena racun!...." Ia berseru.
Oen-sie Sam Loo bingung melihat saudara muda itu, dengan tidak perdulikan lagi kepada
musuh, mereka lompat menghampirkan, untuk menolongi. Lebih dahulu mereka pepayang
saudara itu. Sin Tjie menjadi senggang karena berkurangnya desakan tiga jago Oen itu, di lain pihak,
hatinya bercekat kapan ia ingat bagaimana telengasnya kauwtjoe dari Ngo Tok Kauw itu.
Tapi juga ia tidak punya kesempatan akan berlengah, sebab tempo ia mencuri lihat kepada
A Kioe, ia dapatkan puteri itu sedang terdesak hebat oleh Ho Ang Yo dan An Kiam Tjeng,
yang berlompatan gesit di kiri dan kanannya.
Justru itu waktu Ho Tiat Tjhioe sudah serang Lu Djie Sianseng, tanpa buang tempo lagi,
Sin Tjie berlompat dengan pesat ke arah Ho Ang Yo, dia sampai justru sedangnya si uwah
seram membaliki belakang, dengan sebat sekali dia jambret bebokong orang, terus dia
angkat tubuhnya nyonya itu, untuk segera dilemparkan!
An Kiam Tjeng terkejut melihat kawannya kena dirobohkan secara demikian rupa, selagi
begitu, ujung pedangnya A Kioe mampir di paha kirinya, tidak ampun lagi, ia rubuh
terguling! Di sana, pertempuran di antara Ho Tiat Tjhioe dan Lu Djie Sianseng berlanjut terus.
Sianseng ini telah saksikan rubuhnya Oen Beng Go, dengan sendirinya, hatinya jeri,
semangatnya lumer, maka setelah tiga percobaannya mendesak hebat gagal, dengan
sekonyong-konyong dia berlompat keluar kalangan.
"Maaf, loohoe tak dapat melayani lama-lama!" serunya. Dan terus ia angkat kaki.
Ho Tiat Tjhioe sambut seruan itu sambil tertawa.
"Lu Djie Sianseng, sampai ketemu pula! Sampai ketemu pula!"
Ketika itu Oen Beng Go telah tak sadar akan dirinya, karena bekerjanya racun.
Oen-sie Sam Loo, tiga saudara Oen, kaget bukan kepalang kapan mereka kenali lukanya
saudara ini mirip dengan luka dulu dari tangan liehay Kim Tjoa Long-koen, hati mereka
memukul keras. Sedetik saja, mereka saling memandang, untuk memberikan tanda
rahasia, habis mana Beng Gie sambar tubuh Beng Go, untuk dipeluk dan diangkat, buat
dibawa lari, sedang Beng Tat dan Beng San berlompat, yang satu untuk membuka jalan,
yang lain guna memegat, melindungi di belakang.
Ho Tiat Tjhioe berlompat, untuk menyusul, tetapi bukannya buat menyerang, hanya guna
melemparkan satu bungkusan.
"Inilah obat untuk luka itu! Sambutilah!" ia berseru.
Oen Beng San, Sam Yaya, berhenti berlari, ia putar tubuhnya, untuk sambuti obat itu,
setelah mana, ia lari pula.
Ho Tiat Tjhioe tertawa, ia pun kembali.
Sampai itu waktu, pertempuran telah memberi rupa lain. Dengan tidak adanya jago-jago
Tjo Liang Pay dan Lu Djie Sianseng, kawanan Kim-ie Siewie menjadi repot, dengan cepat
mereka kena dihajar kalang-kabutan oleh A Kioe dan Sin Tjie, akan akhirnya mereka lari
bubaran! Baru saja Kim-ie Siewie lari ke pintu, atau Thaykam Tjo Hoa Soen muncul di situ bersama
sepasukan Gie-lim-koen.
Sin Tjie lihat datangnya barisan itu, ia berseru: "A Kioe! Ho kauwtjoe! Mari kita lindungi Sri
Baginda keluar dari sini!"
A Kioe dan Tiat Tjhioe berikan jawaban mereka.
Maka lantas mereka bertiga kurung kaisar Tjong Tjeng.
Di saat mereka ini hendak maju menerjang, terdengarlah seruannya Tjo Thaykam secara
tiba-tiba: "Dorna bernyali besar! Kau berani ganggu Sri Baginda! Lekas bunuh dia!"
Itu waktu, tentara Gie-lim-koen telah bertempur sama Kim-ie Siewie. Yang belakangan ini
hendak loloskan diri tetapi karena dipegat dan diserang, terpaksa mereka bikin
perlawanan. Seng Ong menjadi kaget, hingga ia melengak.
"Tjo Kongkong! Kau.....kau...... Bukankah kau dengan aku telah...."
Setelah sadar, pangeran ini tegur thaykam serikatnya itu, akan tetapi belum habis dia
bicara, ujung pedangnya Tjo Hoa Soen telah nancap di dadanya!
Semua Kim-ie Sie-wie kaget melihat perbuatannya thaykam ini, malah Sin Tjie, Ho Tiat
Tjhioe dan A Kioe juga tak kurang herannya.
Cuma kaisar Tjong Tjeng seorang yang puji orang kebiri itu sebagai hamba yang setia....
Tjo Hoa Soen tetap berdiam di tempatnya "sembunyi" selama pertempuran berlangsung,
orang-orang kepercayaannya terus memasang mata dan setiap saat memberi laporan
saling-susul, maka itu ia lantas dapat tahu ketika Ho Tiat Tjhioe tukar haluan, hingga Sin
Tjie dan A Kioe jadi dapat angin, hingga pertempuran jadi salin rupa untuk kerusakan
pihaknya. Jadi gagallah usaha mereka akan mengusir atau membunuh kaisar. Dia sangat
cerdik, di saat segenting itu, dia lantas saja tukar haluan, tanpa ayal, dia bawa pasukan
Gie-lim-koen, katanya untuk tolongi Sri Baginda.
Semua Kim-ie Siewie lantas letaki senjata mereka.
"Tawan! Tawan mereka!" Tjo Thaykam berikan perintahnya.
Serdadu-serdadu Gie-lim-koen segera tangkap semua siewie itu.
"Gusur mereka keluar! Hukum mati mereka semua!" Tjo Thaykam berikan titahnya terlebih
jauh. Ia melancangi raja.
Titah ini pun telah dijalankan dengan lantas, maka di dalam tempo yang pendek, binasalah
semua siewie itu, hingga musnah juga semua orang yang turut dalam komplotan itu.
Itulah tindakan hebat untuk menutup mulut orang!
Ho Tiat Tjhioe lihat pertempuran telah selesai, ia berpaling kepada Wan Sin Tjie, dan
tertawa. "Wan Siangkong, besok aku tunggu kau di bawah pohon besar di tempat sepuluh lie di
luar kota!" katanya, sehabis mana ia tarik tangannya Ho Ang Yo untuk diajak berlalu.
Itu waktu, si uwah jelek, yang tidak terluka hebat, memang sudah dekati pemimpinnya itu.
Selagi orang memutar tubuh, kaisar Tjong Tjeng memanggil. "Kau....kau..."
Kaisar ini hendak memberi pujian dan hadiah kepada si juwita itu akan tetapi Tiat Tjhioe
tidak memperdulikannya, terus saja ia ajak bibinya berlalu.
Ketika kaisar kemudian berpaling kepada puterinya, ia dapatkan, puteri itu asyik pandang
Sin Tjie dengan air muka berseri-seri. Barulah sekarang hatinya menjadi tenteram benar.
Tertawanya sang puteri berarti bahaya benar-benar sudah lewat. Ia lantas jatuhkan diri di
atas kursi. "Siapakah dia ini?" tanya ia kepada puterinya. Ia tunjuk pemuda kita. "Jasanya tidak kecil.
Tim akan beri hadiah padanya."
Raja ini anggap, setelah ia berikan janjinya itu, Sin Tjie nanti berlutut di depannya, untuk
haturkan terima kasih. Di luar sangkaannya, anak muda itu berdiri tetap dengan gagah dan
agung. A Kioe tarik ujung bajunya si anak muda.
"Lekas menghaturkan terima kasih," ia membisikkan.
Putera Wan Tjong Hoan tidak tekuk lutut, sebaliknya ia awasi kaisar itu. Segera ia teringat
kepada ayahnya, yang sudah bela negara dengan melupakan diri-sendiri, yang jasanya
sangat besar, akan tetapi toh oleh kaisar ini, ayahnya itu telah dijatuhkan hukuman mati
secara hebat. Maka juga, kemurkaan dan kesedihannya telah berkumpul jadi satu.
"Apakah namamu?" raja tanya, dengan suara lemah lembut. "Di mana kau pegang
jabatanmu?"
Kaisar ini menanya demikian oleh karena ia lihat pemuda ini dandan sebagai seorang
kebiri, ia menyangka orang ada salah satu thaykamnya.
Masih Sin Tjie awasi kaisar itu.
"Aku ada orang she Wan," akhirnya ia jawab juga, sikapnya gagah, suaranya keren. "Aku
ada putera Peng-pou Siang-sie Wan Tjong Hoan yang dahulu telah membela negara di
tanah Liauw!"
Kaisar Tjong Tjeng tercengang, sampai ia agaknya seperti tak mendengar nyata.
"Apa kau bilang?" ia menegasi.
"Ayahku telah berjasa besar sekali untuk negara tetapi oleh Raja dia telah dihukum mati!"
Sin Tjie kata pula, suaranya jadi lebih keras.
Kaisar itu terkejut. Sekarang tak lagi ia mendengar tak nyata. Ia pun lantas menjadi lesu.
"Sekarang Baru aku menyesal, sesudah kasip..." ia akui. Ia berhenti sebentar. Kemudian ia
tanya: "Hadiah apakah yang kau kehendaki?"
Bukan kepalang girangnya A Kioe akan dengar pertanyaan ayahnya itu. Kembali ia tarik
ujung bajunya si anak muda. Ia ingin pemuda ini gunai ketika yang baik itu untuk minta
menjadi Hoe-ma, menantu raja.
Tapi jawabannya orang yang dipuja ini di luar dugaannya.
Dengan suara yang menyatakan kemurkaannya, Sin Tjie jawab: "Aku tolongi kau melulu
untuk keselamatannya negara; buat apakah hadiah" Hm! Sekarang Sri Baginda sudah
menyesal, maka sekarang aku minta supaya Sri Baginda cuci bersih penasarannya ayahku
almarhum!"
Biar bagaimana, raja tetap raja, ia ada punya keangkuhan. Maka itu, melihat sikapnya
pemuda ini, mendengar kata-katanya Sin Tjie, ia berdiam. Ia sudah menyatakan
kemenyesalannya, itu sudah cukup, tapi untuk aku kesalahannya, inilah lain.
Selagi begitu, Thaykam Tjo Hoa Soen, yang tadi telah pergi bersama barisannya, sudah
kembali bersama-sama barisannya itu. Ia memberi hormat pada raja, ia tanyakan
kewarasannya junjungan ini. Habis itu ia melaporkan bahwa semua pemberontak sudah
dihukum mati. Ia juga beritahu bahwa keluarganya Pangeran Seng Ong sudah ditawan
semua. Ia menantikan keputusannya raja.
Kaisar Tjong Tjeng manggut-manggut.
"Bagus!" katanya. "Dasar kau setia!"
Hampir Sin Tjie bongkar rahasianya orang kebiri ini apabila ia dengar laporan itu. Ia
marasa sangat sebal untuk kelicinannya dorna ini. Tapi di saat sepenting itu, ia ingat suatu
apa, lantas ia bisa sabarkan diri. Ialah ia ingat, pasukan perang Giam Ong bakal lekas
sampai di kota raja, maka dengan adanya manusia rendah ini di damping raja, itu akan ada
untungnya untuk pergerakannya.
Tanpa perdulikan lagi kaisar, Sin Tjie manggut pada A Kioe.
"Mari kembalikan pedang itu padaku, aku hendak pergi!" katanya.
Tiang Peng Kiongtjoe terperanjat.
"Kapan kau akan tengok aku pula?" tanyanya. Ia sampai lupa bahwa di situ ia ada
bersama kaisar dan Thaykam Tjo Hoa Soen.
"Harap thianhee rawat diri saja baik-baik," kata Sin Tjie seraya ia ulur tangannya, untuk
sambuti pedangnya.
A Kioe tarik tangannya.
"Untuk sementara baiklah pedang ini dititipkan padaku di sini," katanya. "Lain kali, apabila
kita bertemu pula, Baru aku kembalikan padamu....."
Sin Tjie ragu-ragu, apapula ia tampak roman heran dari kaisar dan Tjo Hoa Soen.
Kemudian, lantas saja ia manggut pula kepada tuan puteri, lalu ia putar tubuhnya dan
bertindak keluar.
A Kioe menyusul sampai di luar, di pintu keraton.
"Kau jangan kuatir, tidak nanti aku lupakan kau," katanya dengan pelahan.
Sin Tjie niat menutur segala apa, akan tetapi ia lihat istana itu bukan tempatnya, ketika itu
bukan saatnya juga, maka ia bilang: "Di dalam negeri bakal terbit perubahan besar, maka
daripada berdiam menyendiri di dalam istana, lebih baik kau pergi jauh berkelana. Kau
ingat baik-baik perkataanku ini."
Inilah nasihat supaya A Kioe berlalu dari istana, sebab Giam Ong segera bakal sampai di
kota raja, waktu itu suasana ada sangat mengancam. Akan tetapi A Kioe tak dapat tangkap
maksud itu, yang tersembunyi. Malah dia tertawa.
"Benar," katanya. "memang aku lebih suka ikuti kau pergi berkelana ke mana saja, itu jauh
terlebih senang daripada kehidupan mewah di istana. Nanti saja, apabila kau telah datang
pula, Baru kita-orang bicara pula dengan jelas!"
Sin Tjie menghela napas, tak bisa ia mengatakan apa-apa lebih jauh. Setelah ia geraki
tangan, untuk pamitan, ia loncati tembok, untuk berlalu dari istana. Ia lihat obor terangterang
di segala penjuru istana, rupanya masih saja dilakukan penggeledahan untuk cari
sisa-sisa pemberontak....
Anak muda kita sangat kuatirkan keselamatan Tjeng Tjeng, maka itu ia lakukan perjalanan
pulang dengan cepat sekali. Kapan ia sudah sampai di rumahnya di gang Tjeng-tiauw-tjoe,
Baru hatinya lega. Di sana kedapatan Tjeng Tjeng bersama-sama Wan Djie dan Lip Djie
dengan tidak kurang suatu apa.
Baru sekarang, setelah tak tidur satu malaman, dan habis keluarkan tenaga banyak, Sin
Tjie ingat keletihannya dan mengantuk, dari itu, setelah bicara sedikit, ia pergi ke
kamarnya untuk tidur.
Waktu sudah siang, kira jam tujuh atau delapan pagi, Baru Sin Tjie mendusin. Ketika ia
pergi keluar, di thia sudah menantikan Tong Hian Toodjin bersama Bin Tjoe Hoa serta
enam murid Boe Tong Pay lainnya.
Tong Hian beramai datang ke rumah Sin Tjie sebab dapat kabar kaum Ngo Tok Kauw
melakukan penyerangan, mereka niat memberikan bantuan, tidak tahunya, pertempuran
sudah berhenti.
"Terima kasih," Sin Tjie menghaturkan kepada tetamu-tetamunya itu.
Kemudian ia bilang, mungkin sekali Oey Bok Toodjin masih belum mati.
Kabar ini, walaupun masih samar-samar, sangat menggirangkan orang-orang Boe Tong
Pay itu. Karena Sin Tjie sendiri belum dapat kepastian, mereka tidak menanyakan melitmelit,
mereka cuma sampaikan harapan untuk si anak muda suka membantu lebih jauh.
Sekalian orang sudah datang, Sin Tjie minta Tong Hian semua berdiam terus di rumahnya
itu, untuk bantu melindungi andaikata bantuan mereka dibutuhkan, setelah itu seorang diri
ia pergi ke luar kota sebelah barat, ia jalan terus sampai kira sepuluh lie, lalu di bawahnya
sebuah pohon besar, ia tampak Ho Tiat Tjhioe asik menantikan dia.
Nona kepala Ngo Tok Kauw itu bersenyum berseri-seri, ia menyambut sambil tertawa,
sikapnya manis dan hormat.
"Wan Siangkong!" katanya; tetap masih tertawa. "Tadi malam aku telah sempurnakan
urusan baikmu! Kau lihat, cukup atau tidak perbuatanku sebagai sahabat kekal?"
"Keadaan tadi malam memang sangat berbahaya," Sin Tjie jawab. "Beruntung sekali Ho
Kauwtjoe telah beri bantuanmu secara tiba-tiba, hingga onar besar bisa dapat dicegah.
Aku sangat bersukur kepada kau, kauwtjoe."
Masih saja kauwtjoe itu tertawa.
"Wan Siangkong, kau beruntung bukan main!" katanya pula. "Kau telah dapatkan satu
puteri raja yang cantik molek yang berikan cintanya kepadamu, maka jikalau kemudian
kau menjadi Hoe-ma, apa mungkin kau nanti melupakan orang-orang kang-ouw semacam
kami?" Sin Tjie heran.
"Ah, jangan main-main, Ho Kauwtjoe!" katanya, dengan roman sungguh-sungguh.
Tapi kauwtjoe itu tetap tertawa.
"Hai, kau masih menyangkal?" katanya. "Dia demikian menyinta padamu, mustahil kau
tidak lihat itu" Laginya, jikalau kau tidak cintai dia, mengapa kau serahkan pedang Kim
Tjoa Kiam kepadanya" Dan kenapa kau tolongi ayahanda rajanya secara demikian matimatian?"
"Itulah melulu untuk keselamatannya negara," Sin Tjie jawab.
"Ya, untuk keselamatan negara!" kata si nona. Ia terus tertawa dengan manis. "Untuk
keselamatan negara dengan cara mencuri kau tidur bersama dalam satu pembaringan
dengan puteri orang! Haha-haha!"
Merah mukanya Sin Tjie, bukan main sibuknya ia.
"Apa....apa"....." tanya dia. "Kenapa kau....."
"Kau hendak tanya, kenapa aku ketahui itu, bukankah?" tertawa Ho Kauwtjoe. "Ketika aku
turut Tjo Hoa Soen masuk dalam kamarnya tuan puteri, aku telah lantas dapat tahu,
bersama ia di bawah selimutnya ada tersembunyi satu orang lain! Kita ada sesama kaum
kang-ouw, apa kau sangka mataku buta" Hihi-hihi! Mulanya aku berniat menyingkap
selimut, akan tetapi ketika aku menoleh ke kursi dan lihat gambar lukisan kau, Wan
Siangkong, aku dapat pikiran lain. Aku anggap baiklah aku ikat persahabatan
denganmu...."
Bukan main malunya Sin Tjie, tak ada tempat untuk ia sembunyikan mukanya.
"Ya, A Kioe telah tidak sempat sembunyikan gambar lukisannya itu," pikirnya.
Ho Tiat Tjhioe mengawasi pemuda ini, yang merah mukanya sampai ke kuping-kuping
Baru setelah itu, ia ubah sikapnya.
"Bukankah Hee Siangkong sudah kembali dengan tidak kurang suatu apa?" tanyanya.
Sin Tjie manggut.
"Sekarang aku datang untuk obati saudara-saudaramu yang terluka," katanya.
(Bersambung bab ke 23)
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ho Tiat Tjhioe manggut.
"Mari!" ia mengajak, sambil ia jalan di muka, menuju ke arah barat. Di sepanjang jalan,
pemimpin Ngo Tok Kauw ini puji A Kioe, untuk kecantikannya, untuk kegagahannya juga.
Tidak disangka ada puteri raja, demikian muda, demikian kosen juga.
Sin Tjie antap orang godai ia, ia lawan dengan membungkam saja.
Mereka jalan jauhnya kira lima lie, sampailah mereka di sebuah kuil tua, yang bernama
Hoa Giam Sie. Di luar kuil berkumpul beberapa orang Ngo Tok Kauw, sebagai penjaga,
kapan mereka lihat pemuda kita, mereka memandang dengan tampang bermusuhan.
Sin Tjie tidak gubris mereka itu, ia terus ikuti Ho Tiat Tjhioe masuk ke dalam kuil, sampai
di ruang pendopo. Di muka pendopo Tay Hiong Poo-thian, di antara tikar tergelar, rebah
anggauta-anggauta Ngo Tok Kauw, yang kemarin ini menjadi kurban-kurbannya.
Tanpa buang tempo lagi, Sin Tjie hampirkan mereka satu demi satu, untuk ditotok, hingga
di lain saat, sembuhlah mereka semua, dapat mereka bergerak pula dengan merdeka
sebagai sediakala.
Lantas setelah itu, pemuda ini kata dengan nyaring: "Aku tidak bermusuhan dengan
saudara-saudara beramai, cuma disebabkan salah mengerti yang kecil sekali, kejadian aku
berbuat keliru terhadap saudara-saudara, maka itu, di sini aku haturkan maaf pada
saudara-saudara!"
Pemuda ini tidak cuma mengucap kata-kata, ia pun menjura kepada semua orang Ngo Tok
Kauw itu. Rupanya masih panas hatinya orang-orang Ngo Tok Kauw itu, mereka tidak membalas
hormat, mereka pelengoskan muka, tidak ada satu yang suka bicara.
Sin Tjie tidak menjadi berkecil hati. Ia anggap ia sudah lakukan keharusannya, maka tanpa
bilang suatu apa lagi, ia bertindak keluar. Cuma satu kali, ketika ia kebetulan menoleh ke
samping pendopo, di situ ia tampak sepasang mata yang mencorong tajam menghadapi
Ho Tiat Tjhioe, yang antar ia keluar. Ia tidak kenali mata siapa itu, tetapi menampak sinar
mata orang, ia terkejut. Itulah sinar mata yang penuh dengan kebencian hebat.
Masih Sin Tjie mencoba melihat pula tapi kali ini sepasang mata itu telah lenyap, kelihatan
tubuhnya berkelebat, lantas hilang. Tapi karena ia lihat tubuh berkelebat, segera ia
menduga kepada Ho Ang Yo, si uwah yang romannya menyeramkan.
Sesampainya di luar, selagi Sin Tjie pandang Ho Tiat Tjhioe, ia pun heran. Lenyap cahaya
terang dan riang-gembira dari pemimpin agama ini, tak suka ia bicara, romannya jadi
pendiam dan keren. Hingga Ho Kauwtjoe jadi bukan seperti Ho Kauwtjoe yang ramahtamah
tadi. Di luar pekarangan, kedua orang saling memberi hormat, untuk pamitan. Sin Tjie berjalan
pulang, ketika kemudian ia menoleh, Ho Tiat Tjhioe sudah masuk. Ia jadi curiga, timbul
keinginannya untuk mendapat tahu sebab dari perubahan sikapnya kauwtjoe itu. Maka itu,
sesudah jalan terus sekira satu lie, hingga ia percaya, tidak nanti orang intai ia, lekas-lekas
ia kembali. Ia sangat kuatir orang mempunyai daya keji, untuk mengganggu ia atau
pihaknya. Tidak perduli jalanan jadi lebih jauh dan ambil lebih banyak tempo, ia mutar ke
selatan, dari sana ia menuju ke belakang Hoa Giam Sie, dimana tidak ada orang, maka
dengan merdeka ia bisa hampirkan tembok, untuk lompat naik dan masuk ke pekarangan
dalam. Segera ia dengar suitan istimewa dari Ngo Tok Kauw, tanda undangan berapat.
Untuk sementara Sin Tjie umpeti diri di atas pohon, antara daun-daun yang lebat,
kemudian setelah duga, orang tentunya sudah berkumpul, ia turun dari atas pohon,
dengan hati-hati ia menuju ke belakang Tay Hiong Poo-thian. Ia bersukur ia tidak ketemui
siapa juga, hingga ia bisa tempatkan diri tepat di belakang pendopo, untuk pasang kuping.
Dengan lantas ia dengar suara-suara keras, dari pertentangan. Ia masih dapat kenali suara
orang. Ialah suara tajam dari Ho Ang Yo, suara nyaring dari Tjee In Go. Mereka ini sedang
serang Ho Tiat Tjhioe, yang dikatakan karena main cinta sudah melupakan musuh besar
dari Ngo Tok Kauw, sehingga dia jadi berkhianat, bahwa dia telah bersekongkol sama
musuh, hingga dia pun merusak usaha menjunjung satu raja baru, hingga itu pun berarti
merusak harapan Ngo Tok Kauw untuk pentang sayap dan pengaruh.
Selama diserang pergi-datang, Ho Tiat Tjhioe sendiri cuma mendengari sambil perlihatkan
senyum ewah. Adalah kemudian Baru ia tertawa dingin, ia tanya: "Sekarang, habis kamu
mau apa?" Itulah pertanyaan yang sangat ringkas, yang segera membuat semua anggota menjadi
bungkam. Lama orang terbenam dalam kesunyian, baru terdengar Ho Ang Yo buka mulutnya.
"Kita mesti angkat satu kauwtjoe baru!" kata uwah ini.
Tiat Tjhioe tidak jadi gentar, dia bersikap tenang tapi keren.
"Selama beberapa ratus tahun adalah aturan Ngo Tok Kauw, kalau kauwtjoe menutup mata
barulah diangkat kauwtjoe baru sebagai penggantinya!" katanya. "Habis, apakah kamu
inginkan aku mati?"
Kembali orang bungkam. Inilah pertanyaan hebat.
Melihat orang semua berdiam, Tiat Tjhioe tanya: "Siapakah yang memikir suka menjadi
kauwtjoe baru?"
Kembali satu pertanyaan ringkas tetapi tak kurang hebatnya.
"Siapa memikir untuk jadi kauwtjoe baru?" Tiat Tjhioe ulangi pertanyaannya.
Masih semua orang bungkam.
Siasia saja Ho Tiat Tjhioe ulangi pertanyaannya itu sampai tiga kali, maka akhirnya ia
tertawa berkakakan.
"Sekarang hayolah kamu memikir dengan seksama!" katanya kemudian. "Coba kamu pikir,
siapa di antara kamu yang mempunyai kepandaian untuk menangkan aku! Siapa yang
memikir demikian, silakan maju! Silakan dia rampas kedudukan kauwtjoe kita! Siapa yang
takut nanti antarkan jiwanya secara kecewa, dia mesti gunai ketikanya ini, untuk tutup
bacot!" Sin Tjie dengar semua itu, lantas saja ia mengintip di sela-sela pintu. Ia lihat Ho Tiat Tjhioe
sendirian duduk di sebuah kursi, jauh di sebelah depan ia, orang-orang Ngo Tok Kauw
pada memandang sambil berdiri, nampaknya mereka semua berjeri hati.
Di dalam hatinya, Sin Tjie kata: "Aku telah tempur semua orang Ngo Tok Kauw, tidak ada
satu di antara mereka yang nempil sama kauwtjoe ini. Tapi sekarang dia menindih orang
dengan kekerasan, aku percaya tak dapat dia menjadi kauwtjoe yang kekal-abadi."
Sampai di situ, pemuda ini dapat kenyataan orang Ngo Tok Kauw tidak kandung niat
memusuhkan terus padanya atau pada Tjeng Tjeng, maka ia anggap baik ia pulang saja,
tak ada perlunya ia mencampuri urusan dalam dari mereka itu. Benar selagi ia hendak
memutar tubuh, ia tampak satu cahaya berkelebat. Itulah Ho Ang Yo yang bertindak maju
dengan sebatang senjata yang aneh, yang pemuda kita belum pernah lihat.
Senjata itu yang besar, mirip dengan gunting. Dari gurunya, Sin Tjie belum pernah dengar
senjata semacam itu, maka bisa dimengerti, ia juga tak tahu cara menggunainya. Karena
ini ia batal pergi, ia terus mengintai lagi.
"Aku sendiri, tidak memikir untuk jadi kauwtjoe!" berkata Ho Ang Yo secara menyindir.
"Dan aku juga tahu, aku bukannya tandingan kau! Tapi aku terpaksa bertindak, untuk Ngo
Tok Kauw kita! Kita harus ingat kepada tujuh leluhur kita serta tiga puteranya, bahaimana
susah-payah mereka, sesudah bergulat empat-puluh tahun lebih, Baru mereka dapat
berdirikan perkumpulan agama kita, hingga terutama sejak seratus tahun yang terakhir ini,
Baru kita dapat malang-melintang di Selatan. Maka itu, sekali-kali tidak boleh Ngo Tok
Kauw mesti termusna-ludas di tanganmu, kacung hina!"
Ho Tiat Tjhioe tidak jawab itu bibi, hanya dia tanya semua orang.
"Apakah hukumannya untuk penghinaan terhadap kauwtjoe?"
"Sudah sedari siang-siang aku tidak anggap lagi kau sebagai kauwtjoe!" Ho Ang Yo
sengapi. "Mari maju!"
Uwah ini geraki kedua tangannya, untuk buka senjata semacam gunting itu, hingga
terdengar suara nyaring. Benar-benar senjata istimewa itu mirip gunting, mirip sepit untuk
menjepit! Ho Tiat Tjhioe bersenyum dingin, ia tidak bergeming dari kursinya.
Ho Ang Yo maju terus menghampirkan, hingga dua kali gunting itu menggunting. Rupanya
ia jeri terhadap kauwtjoe itu, sebelumnya menyerang, ia coba dulu senjatanya, sekalian
dipakai mengancam. Adalah setelah ketiga kalinya, sesudah datang dekat, Baru ia
menyerang betul-betul.
Tiat Tjhioe cuma berkelit dari serangan, ia tidak membalas.
Sin Tjie heran, hingga ia mengawasi terus.
Orang-orang Ngo Tok Kauw maju dengan pelahan, sikap mereka mengurung.
Baru sekarang si anak muda mengerti, pemimpin agama itu mengambil sikap menjaga diri,
"menutup pintu". Tadinya ia tidak menduga demikian, karena sempitnya sela-sela pintu, ia
melainkan lihat ruang pendopo kecil, lurus panjang saja.
Sampai sekian lama, masih tidak ada satu anggauta juga yang berani mulai dengan
penyerangannya, mereka cuma maju untuk mengancam, bersikap mengurung.
"Mahluk-mahluk tak berguna, takut apa?" teriak Ho Ang Yo. "Hayo, semua maju!"
Ia memberi tanda dengan guntingnya.
Baru sekali ini, semua orang maju sambil berseru-seru.
Tiat Tjhioe lompat, kedua tangannya bergerak, maka terdengarlah suara bentrokan, suara
berisik, sebab kursi yang dia pakai sebagai alat penangkis, rusak terkena bacokanbacokan.
Di lain pihak, dua anggauta menjerit dan rubuh, karena mereka dihajar gaetan!
Segera setelah itu, terlihatlah bajangan putih berkelebat sana-sini, gesit sekali.
Sin Tjie adalah satu ahli silat, walaupun pertempuran tampaknya sangat kalut, ia toh bisa
lihat tegas sesuatu pukulan atau tendangan, apalagi itu waktu, gerakannya orang-orang
liehay dari Ngo Tok Kauw masih rada ayal, sebab mereka itu Baru saja ditotok sembuh
olehnya, sedang mereka itu rebah sudah lama juga.
Ho Tiat Tjhioe tidak pikir untuk menyingkir dari kepungan puluhan anggauta-anggautanya
itu. Jikalau ia inginkan itu, menurut Sin Tjie ketikanya ada banyak. Maka terang sudah,
kauwtjoe ini hendak tindih orang-orangnya itu dengan kegagahannya.
Pertempuran berjalan terus.
Sin Tjie terus pasang mata, sampai perhatiannya ketarik oleh gerak-geriknya salah satu
penyerang. Dia ini tidak merangsak seperti yang lainnya, walaupun dengan pelahan-lahan
ia coba dekati Ho Tiat Tjhioe. Dalam genggaman tangannya, orang ini menyekal suatu apa,
entah barang atau senjata apa itu. Adalah setelah mengawasi sekian lama, pemuda kita
kenali Kim-ie Tok Kay Tjee In Go, si pengemis tidak berbudi. Setelah datang cukup dekat,
mendadak pengemis ini berseru dengan keras, kedua tangannya diangsurkan ke depan
dengan cepat, cekalannya dilepaskan, maka terlihatlah suatu benda bersinar kuning emas
mencelat ke arah Ho Tiat Tjhioe.
Kauwtjoe ini berkelit sambil lompat jumpalitan, akan tetapi "senjata rahasia" dari Tjee In
Go pun aneh, dia seperti bisa bergerak sendiri, dia dapat menyambar kepada Ho Tiat
Tjhioe, selagi dia ini pun sibuk karena desakannya empat atau lima macam senjata lainnya
disebabkan desakan penyerang-penyerang, maka akhirnya, dengan perdengarkan jeritan
kaget dan menyeramkan, kauwtjoe itu terkena juga itu senjata rahasia.
Sekarang pun Sin Tjie dapat lihat tegas senjata rahasia aneh itu, yang sebenarnya bukan
semacam gegaman, hanya seekor ular hidup, ialah ular berbisa kuning emas yang
ditangkap Tjee In Go, ular yang dikatakan "nabi"!
Selagi menjerit, Ho Tiat Tjhioe rasai matanya gelap, akan tetapi dia masih sempat ulur
tangannya, akan sambar ular yang menggigit pundaknya, sedang dengan gaetannya, ia
masih bisa gaet mati dua penyerangnya yang terdekat.
Segera terdengar teriakannya Ho Ang Yo: "Si kacung hina sudah kena dipagut ular emas,
hayo desak dia, supaya bisa ular dapat lantas bekerja!"
Ho Tiat Tjhioe tidak dapat lagi lakukan perlawanan, dengan tubuh sempoyongan, ia
menyingkir ke arah belakang pendopo. Tapi hatinya masih kuat, ia bisa pertahankan diri
untuk tidak rubuh. Dengan ancaman gaetannya yang liehay, ia juga membikin orang tidak
berani melintang di depannya, untuk memegat.
Menampak orang tak dapat dirintangi, Ho Ang Yo berlompat maju, ia terus menyerang
dengan gunting istimewanya, untuk gunting batok kepala orang.
Masih sempat Tiat Tjhioe berkelit sambil tunduki kepala, dan dengan gaetannya, ia coba
balas menyerang.
Tapi karena ini, ia dihalangi oleh Phoa Sioe Tat dan Thia Kie Soe.
Dalam keadaan sangat berbahaya itu, Ho Tiat Tjhioe meraba dan menekan ke
pinggangnya, maka menyusul itu menyambarlah senjata rahasia jarum berbisa!
Phoa Sioe Tat tidak menyangka, dia tidak sempat berkelit, malah dia tidak dapat berteriak
juga, sebatang jarum mengenai dia, terus dia rubuh dan binasa.
Tapi juga Tiat Tjhioe sendiri, racun ular sudah bekerja, walaupun ia masih bisa
memberikan perlawanan, ilmu silatnya sudah kacau, tubuhnya tidak berdiri tegak lagi.
Nampaknya, pikirannya pun sudah mulai was-was.
Tidak tega Sin Tjie setelah ia menyaksikan sampai sebegitu jauh. Ia ingat, Ho Tiat Tjhioe
jadi bentrok dengan kaum sendiri boleh dibilang disebabkan tipu-dayanya
merenggangkan mereka. Maka ia anggap, ia bertanggung-jawab, pantas jikalau ia tolongi
nona yang liehay itu. Ia pun tidak berayal-ayalan lagi.
"Semua berhenti!" mendadak dia berseru sambil ia pun lompat keluar dari belakang
pendopo. Semua orang Ngo Tok Kauw kaget, hingga tertunda sendirinya serangan mereka. Inilah
hal yang mereka tidak sangka sama sekali.
Akan tetapi Tiat Tjhioe sudah kalap, dia tidak kenali Sin Tjie, dia malah menggaet,
menyerang ini anak muda.
Sin Tjie berkelit ke samping, tangan kirinya diulur, untuk menyekal lengan orang.
Dalam keadaan seperti itu, masih ingat Tiat Tjhioe dengan jalannya ilmu silat, maka ketika
ia merasa lengannya ada yang tangkap, ia kasi turun lengannya, membarengi mana, ia
menyerang dengan gaetannya dengan "Oey hong tjie" atau "Antupan tawon galuh".
"Aku hendak tolongi kau!" Sin Tjie serukan sambil ia kelit dari gaetan itu.
Masih Tiat Tjhioe kalap, masih ia menyerang pula, malah dengan hebat sekali, maka mau
atau tidak, Sin Tjie mesti melayani. Setelah beberapa jurus, dia sambar kaki orang dengan
kaki kanannya. "Brak!" demikian tubuh si nona rubuh terbanting. Tapi berbareng dengan itu, dia pentang
kedua matanya, melihat Sin Tjie, dia berseru dengan kaget: "Wan Siangkong, apakah aku
sudah mati?"
"Aku hendak tolongi kau!" Sin Tjie jawab. Dan ia sambar kedua lengan orang, untuk
diangkat, buat dibawa menyingkir ke arah pintu.
Selama Tiat Tjhioe terjang Sin Tjie secara buta-tuli, orang-orang Ngo Tok Kauw berdiri
menonton. Mereka pun Baru saja sadar dari kaget dan herannya atas munculnya secara
mendadak pemuda yang liehay. Tapi begitu lihat si anak muda itu hendak bawa lari
kauwtjoe mereka itu, mereka merangsak sambil berseru-seru.
"Siapa berani maju!" bentak Sin Tjie seraya ia berbalik.
Ancaman ini ada hebat, entah siapa yang mulai, ketika di bagian belakang ada orang
menjerit, dan lari, yang lain-lain lantas memutar tubuh, untuk kabur juga, untuk mereka
gabruki pintu di belakang mereka!
Sin Tjie tertawa sendirinya akan menyaksikan orang demikian jeri terhadapnya. Maka itu ia
tidak terus angkat kaki, ia malah dapat ketika akan periksa lukanya Tiat Tjhioe, pundak kiri
siapa sudah bengkak, sedang muka dadu dari si nona sekarang mulai berubah menjadi
hitam. Pemuda kita tahu, Tiat Tjhioe telah terluka hebat, kalau toh ia dapat pertahankan diri
sampai sebegitu jauh, ini ada akibatnya karena dulu-dulu dia selalu memain dengan bisa
ular. Tapi si nona perlu ditolong, tidak leluasa, tidak selamat untuk ia berdiam lama-lama
di kuil Hoa Giam Sie ini, sarang Ngo Tok Kauw itu, maka tanpa sangsi lagi, Sin Tjie
pondong tubuh kauwtjoe itu, untuk dibawa lari pulang.
Tjeng Tjeng semua heran ketika mereka lihat si anak muda pulang sambil pondong Ho Tiat
Tjhioe, mereka juga kaget.
"Hai, kenapa kau pondong dia?" Tjeng Tjeng berseru. "Lekas turunkan!"
"Lekas! Lekas ambil kodok es!" Sin Tjie berseru.
Selagi lain-lain orang masih berdiam, Wan Djie sudah maju akan bantui Sin Tjie, untuk
bawa Ho Tiat Tjhioe ke dalam untuk segera ditolongi.
Tong Hian Toodjin dan Bin Tjoe Hoa serta kawan-kawannya menjadi heran berbareng
gusar akan saksikan kauwtjoe dari Ngo Tok Kauw itu, sebab kauwtjoe ini adalah musuh
besar mereka. Sin Tjie keluar pula dengan cepat, dengan demikian dapat ia tenteramkan hati kawankawannya
dan kepada mereka itu ia tuturkan apa yang terjadi di Hoa Giam Sie, sampai ia
tolongi kauwtjoe dari Ngo Tok Kauw itu. Ia juga jelaskan, bantuan apa yang Tiat Tjhioe
sudah berikan kepada pihaknya.
"Lagi satu hal," kemudian Sin Tjie tambahkan, pada rombongannya Tong Hian Toodjin,
"hal gurumu, Oey Bok Toodjin, sebentar dapat kita tanyakan kepadanya sesudah ia
sadar." Orang-orang Boe Tong Pay itu girang menerima keterangan anak muda ini, dengan lantas
mereka haturkan terima kasih mereka.
Tidak antara lama, Wan Djie keluar.
"Bisanya sudah tersedot keluar dengan pelahan-lahan akan tetapi orangnya masih belum
sadar," ia beri tahu.
"Kau kasi dia makan obat pelepas racun, lantas antapkan dia tidur, untuk dia beristirahat,"
Sin Tjie bilang.
Wan Djie jawab, "Baiklah," akan tetapi selagi ia hendak masuk kembali, kelihatan Lip Djie
datang masuk sambil berlari-lari, lalu dia berseru-seru: "Wan Siangkong, selamat,
selamat!" "Kaulah yang harus dikasi selamat!" menyambut Tjeng Tjeng sambil tertawa.
Mukanya Wan Djie menjadi merah, lekas-lekas ia berlalu.
Lo Lip Djie tidak layani godaannya Nona Hee, ia kata pula: "Pasukan besar dari Giam Ong
sudah rampas Djie-lim dan Han-tiong!"
Warta ini benar-benar menggirangkan semua orang.
"Apa kabar ini sudah pasti?" tegaskan Sin Tjie yang teliti.
"Warta ini aku dapatkan dari Saudara Thio yang ditugaskan pergi mencari ini.... Bin
Djieya," jawab Lip Djie. "Menurut dia, ketika dia sampai di Siamsay, dia dapatkan
tentaranya Giam Ong sedang menyerang kota, hingga suara meriam menggelegar tak
henti-hentinya, karena itu, tidak dapat dia jalan lebih jauh. Begitulah dia telah lihat sendiri
pasukan Beng Tiauw kena dilabrak hingga kalah besar dan tjongpeng dari kota itu dapat
dibinasakan."
"Bagus kalau begitu!" kata Sin Tjie. "Dengan begitu bisa diharap kedatangannya
sembarang waktu dari tentara rakyat itu ke kota raja ini, itu waktu kita nanti menyambut
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari dalam."
Karena ini Sin Tjie lantas ambil ketika untuk mengatur rencana penyambutan, supaya
penyerangan bisa dilakukan berbareng, dari luar dan dalam. Ia tetapkan siapa mesti
melepas api, siapa mesti rampas kota, siapa mesti bunuh jendral pembela ibu-kota.
Karena ini ada urusan rahasia, ia tidak lantas umumkan itu pada kawan-kawannya.
Untuk beberapa hari, Sin Tjie menjadi repot, ia perlu hubungkan kawan-kawan
seperjuangan lainnya yang berada di dalam kota, untuk janjikan mereka turun tangan
bersama begitu lekas angkatan perang Giam Ong sudah sampai. Ketika itu hari ia pulang
habis bekerja, Wan Djie ketemui dia dengan wajah Nona Tjiauw ini masgul sekali.
"Wan Siangkong, masih saja Ho Kauwtjoe tak sadar akan dirinya," kata dia.
Sin Tjie menjadi heran.
"Sudah beberapa hari tetapi ia masih belum sadar juga!" katanya.
Lantas bersama Wan Djie, ia masuk ke dalam, untuk melongok.
Ho Tiat Tjhioe rebah dengan muka seperti tidak ada darahnya, napasnya jalan seperti
tinggal satu tarikan demi satu tarikan.
Menyaksikan itu, pemuda ini menjadi sangat berduka, hingga ia berdiam saja. Tapi
otaknya bekerja. Selang sesaat, mendadak ia berjingkrak sambil berseru: "Celaka!"
Wan Djie terkejut.
"Kenapa, Wan Siangkong?" tanya nona ini.
"Aku lupa satu hal," Sin Tjie jawab. "Jikalau seorang biasa terkena racun, asal racunnya
sudah dapat dikeluarkan, dia bisa lantas sembuh. Dengan Ho Kauwtjoe, keadaan ada lain.
Sedari kecil dia bergaul dengan pelbagai binatang berbisa, mungkin juga ia telah makan
entah obat apa yang mengandung bisa. Ya, binatang berbisa yang umum tidak dapat
meracuni dia, tidak demikian apabila dia terkena bisa yang hebat, sekali terkena, dia bisa
keracunan secara hebat sekali. Demikianlah kali ini. Selama beberapa hari ini, aku terlalu
repot, sampai aku tidak ingat itu...."
"Habis sekarang, bagaimana?" Nona Tjiauw tanya.
Sin Tjie berpikir, ia ragu-ragu.
"Nampaknya tidak ada lain jalan kecuali kasi dia makan kodok es itu," sahut ia kemudian.
"Meski begini, kita cuma mencoba saja. Kesangsianku disebabkan urusan lain lagi. Kalau
kita kasi dia makan kodok es itu, lalu kita dapat gangguan pula dari orang-orang Ngo Tok
Kauw, asal ada orang kita yang terluka dan keracunan, pasti dia mesti terima nasibnya,
tidak ada pertolongan lagi...."
Wan Djie benar-benar berduka. Kekuatiran itu beralasan.
Sin Tjie terus berpikir, sampai tiba-tiba ia tepuk pahanya.
"Marilah kita kasi dia makan obat itu!" katanya kemudian. "Dia bukannya sanak, bukannya
kadang kita, akan tetapi tak tega aku untuk awasi dia mati tersiksa secara begini di depan
kita...." Wan Djie bersangsi, karena percobaan itu benar-benar berbahaya. Kalau Tiat Tjhioe
ketolongan, kalau tidak, bukankah obat mujarab itu lenyap dan ancaman di belakang hari
tak dapat dielakkan lagi" Akan tetapi ia toh serahkan kodok es itu, yang terus diaduki
arak, untuk terus dicekoki kepada Ho Tiat Tjhioe.
Habis itu, orang duduk menantikan akibatnya.
Belum selang setengah jam, muka pucat dari Ho Kauwtjoe mulai berubah, kelihatan sinar
semu dadu, dan napasnya pun tidak empas-empis lagi.
Sin Tjie masih mengawasi sekian lama, lantas ia dapat kepercayaan nona itu bakal
ketolongan, dari itu ia lantas tinggal pergi keluar, justru Ang Seng Hay sedang cari dia.
"Wan Siangkong, orang Ngo Tok Kauw datang mencari!" kata pengiring ini begitu lekas ia
lihat majikannya. Ia nampaknya tergesa-gesa.
Hatinya Sin Tjie bercekat, sepasang alisnya mengkerut.
"Berapa jumlah mereka?" ia tegasi.
"Baru satu orang sampai di luar, entah yang menyusul belakangan," Seng Hay jawab.
Sin Tjie berpikir keras.
"Kecuali Ho Kauwtjoe, ilmu silatnya orang-orang Ngo Tok Kauw itu biasa saja," pikir ia.
"Yang berbahaya adalah racun mereka. Mereka telah jeri terhadapku, perlu apa sekarang
mereka datang pula" Mesti ada yang mereka buat andalan maka mereka berani cari aku!
Mustika kodok sudah dimakan habis oleh Ho Tiat Tjhioe, andaikata ada orang dari pihakku
yang terluka, habislah dia...."
Tapi ia tidak bisa buang tempo.
"Pergi wartakan semua orang," ia titahkan Seng Hay. "Semua mesti berkumpul di thia
besar, tanpa titah atau tanda dari aku, aku larang siapa juga keluar akan hadapi orangorang
Ngo Tok Kauw! Pergi lekas!"
Ang Seng Hay menurut, maka dengan separuh lari, ia pergi untuk sampaikan titah itu
kepada semua kaumnya.
Sin Tjie sendiri lekas pergi keluar, begitu sampai di ambang pintu, ia sudah lantas dapat
lihat satu orang Ngo Tok Kauw, yang separuh tubuhnya telanjang, celananya sudah
rombeng, sedang berdiri di depan pintu, berdiri dengan kedua tangan, kepalanya di
bawah, kedua kakinya di atas. Ia tidak merasa aneh, karena ia sudah kenal dengan lagalagunya
orang-orang kaum "Lima Macam Bisa" itu. Ia juga lantas kenali, orang itu ada
Kim-ie Tok Kay Tjee In Go.
Hanya kali ini, "dandanan" orang she Tjee ini ada lebih istimewa.
Di kedua pundak, di bebokongnya, juga di kedua bahu-tangannya, Tjee In Go telah
tancapkan sama sekali sembilan batang golok panjang yang tajam-mengkilap, ujung golok
nancap dalam, darahnya yang masih segar masih mengalir keluar.
Sin Tjie mengawasi dengan waspada, ia mesti siap sedia. Orang berlaku aneh, ia
menduga-duga apa In Go lagi gunai ilmu siluman.
"Kau datang kemari, apakah kau mau?" ia tegur.
Tjee In Go tidak menjawab, ia hanya mengoceh sebagai pembaca mantera: "Sembilan
golok menembusi lobang, itulah pendekarnya Agama Iblis!"
"Kita berdua harus ambil jalan masing-masing, maka jangan kamu ganggu pula pihakku!"
Sin Tjie kata pula. "Aku janji bahwa aku pun tidak bakal ganggu kamu lebih jauh. Lekas
pergi!" Tjee In Go tidak menyahuti, dia tetap mengoceh dengan manteranya itu, malah mulutnya
berkemik semakin cepat mengucapkan "Sembilan golok menembusi lobang, itulah
pendekarnya Agama Iblis!"
Sin Tjie heran bukan main, ia terus mengawasi, dengan lebih teliti. Sekarang ia dapat lihat
pada setiap batang golok diikatkan semacam mahluk berbisa, ada kalajengking, ada
kelabang, semuanya masih bergerak berkutik-kutik.
Itu waktu Ang Seng Hay telah berhasil mengumpulkan semua kawan, tidak terkecuali
Tjeng Tjeng, ia ajak mereka semua berkumpul di thia, dengan begitu, mereka ini jadi bisa
turut saksikan tindak-tanduk luar biasa dari Kim-ie Tok Kay Tjee In Go si Pengemis
Berbisa Berbaju Sulam....
Sin Tjie melirik kepada Ang Seng Hay, pengiring ini ada seorang cerdik, karena ia pun
dapat dengar nyata ocehannya si orang she Tjee, lekas-lekas ia masuk ke dalam, bersamasama
Tjiauw Wan Djie, ia masuk ke kamarnya Ho Tiat Tjhioe.
"Ho Kauwtjoe, apakah artinya 'Sembilan golok menembusi lobang, itulah pendekarnya
Agama Iblis'?" tanya ia kepada pemimpin Ngo Tok Kauw itu.
Tiat Tjhioe sudah mulai sadar, mendengar pertanyaan Seng Hay, ia geraki tubuhnya untuk
bangun berduduk.
"Siapa yang telah datang?" dia baliki menanya.
"Satu pengemis yang tidak pakai baju," sahut Seng Hay.
"Baik," kata kauwtjoe itu. "Eh, nona, tolong kau pegangi aku, antar aku keluar." Ia bicara
kepada Wan Djie.
Nona Tjiauw bersangsi. Ia tahu orang Baru saja sadar, tubuhnya pasti masih sangat lelah.
Selagi ia hendak mencegah, Tiat Tjhioe sudah goyangi tangan pada Seng Hay, untuk
menyuruh orang lelaki ini undurkan diri, kemudian ia ambil bajunya, yang panjang, untuk
dipakai. Semua gerakannya sangat lambat.
"Tak dapat kau keluar," Wan Djie bilang.
"Lekas tolong pegangi aku!" kata Kauwtjoe itu, yang tidak perduli cegahan.
Wan Djie jadi kewalahan, ia terpaksa menurut. Ia ulur tangannya, untuk membanguni
pemimpin Ngo Tok Kauw itu.
Ho Tiat Tjhioe ulur tangan kanannya, akan cekal tangan Nona Tjiauw kita.
Begitu ia kena dicekal, Wan Djie terperanjat. Tangannya kauw-tjoe ini kuat dan keras
sekali, ia merasa bagaikan tangannya kena dijepit, hingga seperti tidak berdaya, ia ikut
nona itu bertindak keluar. Dengan sendirinya ia merasa jeri berbareng kagum terhadap
ratu bisa ini. Begitu lekas Ho Tiat Tjhioe sampai di muka pintu, ia berseru: "Kau lihat! Bukankah aku ini
masih hidup?"
Parasnya Tjee In Go memperlihatkan roman girang, ia kerahkan tenaga kedua tangannya,
lantas ia berjumpalitan, sampai dua kali, tetap ia berdiri dengan kedua tangannya itu,
kepalanya di bawah, kedua kakinya di atas.
"Kenapa kau datang untuk menghaturkan maaf?" tanya Ho Tiat Tjhioe. "Jikalau kau tidak
mendapatkan ancaman malapetaka, tidak nanti kau mendapat kesadaranmu!"
Baru sekarang Kim-ie Tok Kay mau bicara.
"Oh, kauwtjoe yang bijaksana!" demikian katanya, "aku yang rendah telah berdosa hingga
mesti terbinasa berlaksa kali. Aku telah melukai tubuh yang suci dari Kauwtjoe. Bersukur
kepada Tjit-tjouw Sam-tjoe, yang melindungi dan memberkahi, Kauwtjoe selamat, tidak
kurang suatu apa!"
"Tjit-tjouw Sam-tjoe" ialah yang dimaksudkan "Tujuh leluhur, tiga putera".
Ho Tiat Tjhioe membentak: "Rupanya kau percaya, dengan pakai si ular emas untuk
melukai aku, jiwaku pasti bakal melayang! Jikalau aku telah mati, maka dengan menuruti
aturan kaum kita, dengan sendirinya kaulah yang menggantikan jadi kauw-tjoe! Bukankah
benar begitu?"
Tjee In Go tekuk kedua tangannya, lantas ia lonjorkan itu kedua samping, dengan begitu
dahinya jadi mengenai tanah, dengan dahi itu yang mengganjal tubuhnya, ia masih berdiri
dengan kaki di atas. Dengan ini ia jalankan kehormatan.
"Aku tanya kau, kenapa kau datang untuk menghaturkan maaf kepadaku?" Ho Tiat Tjhioe
tanya. "Aku yang rendah tidak berani mendustai Kauwtjoe," Tjee In Go menyahut. "Memang,
menurut aturan kaum kita, adalah aku yang rendah yang mesti menjadi kauwtjoe
pengganti. Tapi si uwah pengemis tidak setuju, dia bentrok sama aku, kesudahannya aku
yang rendah tidak sanggup lawan dia..."
"Memang aku tahu hatimu tidak lurus!" Ho Tiat Tjhioe kata. "Sekarang kau insaf, kau
hendak bersetia kepadaku, baik, aku suka kasi ampun pada satu jiwamu!"
Kauwtjoe ini hampirkan Kim-ie Tok Kay. Ia membungkuk, akan cabut sebatang golok di
pundak. Tjee In Go jadi sangat girang, ia memberi hormat pula, lantas ia berjumpalitan lagi, untuk
berdiri dengan kedua kakinya, habis mana, ia putar tubuhnya, terus ia ngeloyor pergi.
Dengan tetap dipepayang Wan Djie, Tiat Tjhioe bertindak ke thia, semua orang ikuti dia.
Dan semua orang itu terbenam dalam keanehan berhubung sama "pertunjukan" barusan
itu... Ho Tiat Tjhioe tertawa.
"Dia telah didesak sampai di jalan buntu, maka itu dia datang untuk minta bantuanku," ia
kata pada orang banyak.
"Apakah artinya semua golok itu?" Tjeng Tjeng tanya.
Tiat Tjhioe masih pegangi goloknya Tjee In Go, ia loloskan seekor kalajengking yang diikat
kepada golok itu, ia bungkus dengan saputangannya, dalam beberapa lepitan, lalu ia
masuki ke dalam sakunya.
"Ini adalah ilmu siluman dari kita," kata Tiat Tjhioe sambil tertawa. "Aku harap saudarasaudara
tidak mentertawakan kami. Semua sembilan golok itu ada binatang berbisanya
masing-masing, bisa itu dapat dipakai mengobati, dengan cara bisa lawan bisa. Siapa
keracunan bisanya semacam binatang, ia mesti diobati dengan bisanya semacam
binatang juga, cuma dengan dicampuri obat lainnya, lukanya bisa disembuhkan. Mulai hari
ini dan selanjutnya, setiap tahun di musim semi, apabila lukanya terkena bisa itu kambuh,
aku lantas obati dengan sebungkus obat pemunah bisa."
Tjeng Tjeng manggut-manggut.
"Secara demikian untuk selamanya, setiap tahun dia menjadi seperti kacungmu," kata dia,
"tidak nanti dia berani berkhianat pula."
"Tepat dugaan Hee Siangkong!" kata Tiat Tjhioe sambil tertawa.
"Apakah tidak boleh jikalau dia sendiri yang cabuti golok-golok di tubuhnya itu?" Tjeng
Tjeng tanya pula.
"Golok-golok itu justru dia sendirilah yang tusuki di anggauta-anggauta tubuhnya itu," Tiat
Tjhioe terangkan lebih jauh, "dengan dia datang kepadaku, untuk minta tolong dicabuti, itu
adalah bukti pernyataannya bahwa ia takluk kepadaku. Dia telah lukai aku dengan ular
emas itu, jikalau dia tidak pakai itu cara menusuk diri dengan sembilan golok, dia mengerti
bahwa aku tidak bakal terima baik padanya."
"Jikalau begitu, kenapa kau tidak hendak cabut saja semua golok itu sekaligus?" lagi-lagi
Tjeng Tjeng tanya. "Pada tubuhnya itu masih ada delapan golok yang nancap tajam,
bagaimana sakitnya...."
Ho Kauwtjoe tertawa.
"Memang aku kehendaki dia menderita lebih banyak!" sahutnya. Ia berhenti sebentar, lalu
ia menambahkan: "Jikalau Hee Siangkong juga suka memberi keampunan kepadanya,
baik besok aku nanti cabut semua sekaligus!"
"Terserah kepadamu!" Tjeng Tjeng bilang. "Tak dapat aku mengasihani orang jahat
sebangsa dia!"
Sampai di situ, Tong Hian Toodjin anggap pembicaraan mengenai lelakon Tjee In Go
sudah sampai di akhirnya, maka ia berbangkit, akan hadapi pemimpin Ngo Tok Kauw itu.
"Ho Kauwtjoe," berkata dia, "aku ingin bicara perihal guru kami. Dengan memandang
kepada Wan Siangkong, aku minta sudilah kau memberikan keterangan kepada kami."
Begitu sang imam bicara, semua murid Boe Tong Pay lainnya lantas pada berbangkit.
Ho Tiat Tjhioe pandang imam itu, ia tertawa dingin.
"Wan Siangkong telah melepas budi besar kepadaku, tetapi kamu dari Boe Tong Pay tidak
ada sangkutannya dengan aku!" kata dia dengan tandes. "Kesehatan tubuhku masih
belum pulih, apakah kamu hendak gunai kelemahan diriku ini untuk memaksa kepadaku"
Jikalau itu benar, aku Ho Tiat Tjhioe, aku tidak takut!"
Adalah di luar dugaan umum yang nona ini bicara dengan sikap demikian keras.
Diam-diam Sin Tjie kedipi Tong Hian Toodjin, kepada siapa ia berpaling.
"Kesehatan Ho Kauwtjoe sedang terganggu, nanti saja pelahan-lahan kita bicarakan pula
urusan ini," ia malang di tengah.
Belum sempat Tong Hian menyatakan sesuatu, sambil perdengarkan suara di hidung, Tiat
Tjhioe pegang tangannya Wan Djie, untuk ajak Nona Tjiauw masuk ke dalam. Dengan
begitu saja ia tinggalkan orang-orang Boe Tong Pay itu, sedang yang lainnya pada
melongo. Orang-orang Boe Tong Pay perdengarkan gerutuan mereka, suatu tanda mereka merasa
sangat tidak senang. Mereka merasa seperti dihinakan.
"Serahkan urusan ini padaku," Sin Tjie kata pada sekalian tetamunya itu. "Aku
bertanggung-jawab untuk cari tahu tempat di mana beradanya Oey Bok Toodjin."
Baru setelah dengar janji ini, orang-orang Boe Tong Pay itu bisa tenangi hati.
Besoknya pagi, benar saja Tjee In Go datang pula.
Ho Tiat Tjhioe cuma cabut sebatang golok.
Demikian seterusnya, setiap hari Kim-ie Tok Kay datang, untuk pemimpinnya cabuti
goloknya itu. Di hari kesembilan, ketika ia datang pula - di waktu tengah hari - adalah Ang
Seng Hay yang memberi warta pada Ho Tiat Tjhioe.
Ketika itu, Tiat Tjhioe telah pulih kesehatannya.
Juga Thia Tjeng Tiok, See Thian Kong, si empe gagu A Pa, Thie-Lo-Han Gie Seng dan Ouw
Koei Lam, sudah sembuh seluruhnya, mereka ingin saksikan, setelah Ho Kauwtjoe cabut
golok yang terakhir itu, bagaimana sikapnya kauwtjoe ini terhadap Tjee In Go. Maka itu,
mereka semua turut pergi keluar.
Kim-ie Tok Kay sudah berdiri pula dengan kedua tangan menggantikan kakinya, ia unjuk
air muka sangat terang, tanda kegirangannya.
Ho Tiat Tjhioe tidak lantas cabut golok di bebokong orang itu, ia menoleh pada Tjeng
Tjeng, ia tertawa.
"Hee Siangkong," katanya, "orang ini punyakan sifat buruk, akan tetapi ilmu silatnya baik
sekali, maka bagaimana kau pikir jikalau aku berikan dia kepadamu untuk dia jadi
kacungmu" Dengan kau simpan obat pemunah racun dalam tanganmu, tidak nanti dia
berani bantah setiap perkataanmu."
Tjeng Tjeng bersenyum.
"Aku ada seorang perempuan, untuk apa aku mempunyai seorang kacung lelaki buruk
sebagai dia?" dia menjawab dengan pelahan.
Ho Tiat Tjhioe terperanjat, hingga ia melongo. Sejak ia lihat Tjeng Tjeng, seterusnya saban
kali ia menemui pula, selamanya justru nona Hee sedang dandan sebagai satu pemuda,
maka itu, makin lama ia melihat, makin tertarik hatinya, makin keras cintanya. Selama itu,
tidak pernah ia curigai puterinya Kim Tjoa Long-koen ini. Oleh karena ini, jawaban si nona
bikin ia heran bukan main.
"Apa?" tegasi dia.
"Aku tidak inginkan kacung itu," sahut Tjeng Tjeng.
"Kau membilang tentang seorang perempuan"...." Tiat Tjhioe tegasi pula.
Wan Djie tertawa, ia campur bicara.
"Ini adalah nona Hee," ia kasi tahu. "Sejak masih kecil dia gemar sekali dandan sebagai
seorang pria. Tidak heran jikalau kau tidak dapat tahu, juga aku pada mulanya bertemu,
aku tidak dapat mengenalinya."
Tiat Tjhioe merasai matanya berkunang-kunang, maka ia tercengang memandang
"pemuda" di depannya itu. Sekarang ia lihat tegas satu kulit muka yang putih-halus,
sepasang alis yang lentik melengkung! Ya, itulah kulit dan alisnya seorang wanita. Maka ia
kaget, ia mendongkol, ia penasaran....
"Hai, mengapa aku jadi begini tolol!" dalam hatinya ia tegur dirinya sendiri, ia
menyesalinya. "Kenapa untuk seorang perempuan, aku berontak terhadap agamaku, aku
tentangi kawan-kawanku" Benar-benar tak pantas aku hidup lebih lama pula!...."
Kauwtjoe ini ada seorang luar biasa, walaupun dia berhati keras bagaikan baja, semakin
dia gusar, semakin murah tertawanya, senyumannya. Juga kali ini, ia lantas tertawa,
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sujennya nampak nyata.
"Benar-benar aku tolol!" katanya. Ia bertindak ke tangga, akan hampirkan Tjee In Go. Ia
membungkuk, sikapnya hendak mencabut golok di bebokongnya Kim-ie Tok Kay, yang
sekarang rebah tertelungkup. Ia ada seorang dengan hati kuat, akan tetapi perubahan
kejadian ini telah sangat pengaruhi dia, maka itu, sesaat itu, hatinya gentar, ia bimbang,
tanpa ia kehendakinya, kakinya lemas, hingga ia berdiri dengan limbung.
Tjiauw Wan Djie berada dekat kauwtjoe ini, ia maju, untuk menolongi.
Itu waktu semua mata ditujukan kepada Tjee In Go dan Ho Tiat Tjhioe, karena kauwtjoe ini
limbung tubuhnya, perhatian dipindahkan kepada dia seorang diri. Maka orang tidak lihat
ketika tahu-tahu, dari pinggir jalanan, tertampak orang berlari-lari dan berlompat kepada
Kim-ie Tok Kay, setelah datang dekat, orang itu berseru dengan nyaring, sesudah
membungkuk kepada In Go, dia lompat mundur pula. Tapi hampir berbareng sama
lompatannya orang itu, In Go perdengarkan jeritan dari kesakitan yang hebat, dia rebah
tertelungkup dengan golok yang panjang di bebokongnya, nancap dalam sekali.
Itulah kejadian sangat cepat, sedetik saja. Orang semua kaget. Walaupun di situ ada Sin
Tjie, ada Thia Tjeng Tiok, See Thian Kong dan lain-lain orang liehay, masih mereka tak
dapat cegah kejadian hebat itu. Adalah sesudah orang lompat mundur, Baru orang kenali,
si pembokong itu ada Ho Ang Yo, si uwah jelek.
Sekarang uwah ini, dengan semparkan pulang pergi tangan kirinya dengan mulut
berteriak-teriak lompat berjingkrakan dengan kedua kakinya. Nyatalah seekor ular kuning
emas telah menyantel di belakang telapakan tangannya, sia-sia ia berlaku kalap secara
demikian, ular itu tak mau terlepas!
"Bagus! Bagus!" berseru Tjee In Go sambil ia angkat kepalanya. Tapi setelah mengucap
demikian, kepalanya lemas, tubuhnya berkelejat, terus dia diam saja. Karena rohnya telah
melayang pergi.
Sekarang semua mata ditujukan kepada Ho Ang Yo.
Uwah yang romannya begis ini nampaknya jadi bertambah menyeramkan, suatu tanda ia
berada dalam ketakutan yang sangat. Masih dia berjingkrakan, masih dia kibas-kibaskan
tangannya, tetap sang ular tidak mau copot dari belakang telapakan tangannya itu.
Beberapa kali ia coba ulur tangan kanannya, akan cekal ular itu, untuk ditarik, tetapi
saban-saban dengan lekas ia tarik pulang tangannya itu, disebabkan dia takut nanti
tangan kanannya juga disantok ular berbisa itu seperti tangan kirinya. Ia telah disantok
tadi ketika ia pegang gagang golok, yang ia terus tuncapkan di bebokongnya Tjee In Go. Si
ular kuning emas adalah binatang berbisa dari gagang golok itu.
Ho Tiat Tjhioe telah dapat berdiri pula dengan tetap, ia turut tonton tingkahnya Ho Ang Yo,
benar ia tertawa tetapi ia tidak kata apa-apa.
Akhir-akhirnya Ho Ang Yo ingat suatu apa, ia tidak lagi berjingkrakan, tangan kanannya
dimasuki ke dalam sakunya, untuk tarik keluar sebuah golok, begitu lekas golok itu
berkelebat, tangan kirinya telah ia babat kutung sebatas ugal-ugalan! Rupanya ia insaf,
percuma ia binasakan atau singkirkan ular itu sesudah ia kena dipagut, ia toh bakal
bercelaka karena bisanya. Setelah itu ia robek ujung bajunya, untuk dipakai membalut
tangannya itu, kemudian ia lari kabur bagaikan orang kalap.
Semua penonton tercengang karena menghadapi pemandangan yang hebat itu.
Ho Tiat Tjhioe hampirkan tubuhnya Tjee In Go, untuk ambil sebuah pipa besi, yang ia pakai
menindih tubuhnya sang ular emas, kemudian dengan gaetan kirinya, ia gurat daging
tangannya Ho Ang Yo, hingga daging itu terpotong, maka itu, bersama sisa daging, yang
masih dipagut terus, ular itu dikasi masuk ke dalam pipa, yang terus ditutup rapat.
"Dari mana datangnya ular kuning ini?" Sin Tjie tanya.
Tiat Tjhioe tertawa meringis.
"Orang she Tjee itu minta pertolonganku, dia tetap masih tidak tenteram hatinya, dia kuatir
aku nanti bikin dia celaka, maka itu ular ini ia simpan di dalam gagang goloknya yang
kesembilan itu," ia kasi keterangan. "Umpama kata aku cabut goloknya itu, tidak ada soal
lagi, itu artinya aku tidak ganggu dia, akan tetapi apabila aku niat bunuh dia, dia akan
pakai ular itu untuk balas pagut tanganku. Hm! Bibi sebaliknya tidak suka mengasi ampun
pada In Go, dia mencoba membinasakan kawan sendiri, untuk kekejamannya itu, ia
peroleh pembalasannya, hingga sekarang tangannya pun mesti buntung sebelah. Coba
dia berlambat sedikit saja, dia juga pasti tidak bakal ketolongan lagi...."
Sin Tjie menghela napas.
"Apakah tangan kirimu pun dikutungi secara demikian?" Tjeng Tjeng tanya Tiat Tjhioe.
Ho Kauwtjoe deliki ini nona, dia tidak menjawabnya, hanya sambil tutupi mukanya, dia lari
ke dalam. "Sungguh orang aneh!" kata Nona Hee dengan sengit, karena ia "ketemu batunya!"
Tjiauw Wan Djie diam saja, ia malah perlihatkan roman masgul.
"Nanti aku pergi temani dia, supaya tidak terbit onar lain," katanya, yang terus masuk ke
dalam, untuk susul pemimpin Ngo Tok Kauw itu.
Akan tetapi ia pergi tidak lama, ia kembali dengan tergesa-gesa.
"Wan Siangkong, Ho Kauwtjoe kurung diri di dalam kamar, ia kunci pintu, aku panggilpanggil,
dia tidak memperdulikannya," ia kasi tahu.
"Biarkan dia beristirahat sebentar," Sin Tjie jawab.
"Bukan begitu, siangkong. Aku kuatir...."
"Baik, mari kita lihat!" kata si anak muda.
Ia lantas bertindak ke dalam, Wan Djie dan Tjeng Tjeng turut dia.
Wan Djie lantas ketok pintu, tidak ada jawabannya; ia ulangi itu, tetap tidak ada
jawabannya. Ia berkuatir, ia jadi bercuriga, maka ia lari ke jendela, untuk mengintip.
Mendadak ia menjerit.
"Celaka! Wan Siangkong, lekas kemari!" ia berseru.
Akan tetapi, walaupun ia teriaki Sin Tjie, ia toh tidak tunggu sampai pemuda itu lari
menghampiri dia, dengan ayun kedua tangannya, dengan gerakan "Heng teelan to" atau
"Lintangi gili-gili untuk mencegah ombak", ia hajar daun jendela menjeblak terpentang,
menyusul mana, ia enjot tubuhnya untuk berloncat ke dalam.
Sin Tjie dan Tjeng Tjeng jadi bercuriga, mereka lari ke jendela, dengan saling susul,
mereka juga lompat ke dalam kamar. Bila si anak muda lihat Ho Tiat Tjhioe, mukanya
menjadi merah. Nona she Ho itu, pemimpin dari Ngo Tok Kauw, sudah buka bajunya, hingga kelihatanlah
buah dadanya yang putih bagaikan salju, orangnya sendiri sedang tekuk lutut di depan
sebuah boneka kayu yang mungil, tangan kanannya sedang pegangi si ular kuning emas,
yang ia hendak bawa ke dadanya itu!
Tanpa ragu-ragu barang sedetik juga, Sin Tjie ayun tangan kanannya, segera dua bitir biji
caturnya menyambar kepada mulutnya ular kuning emas itu!
Ho Tiat Tjhioe kaget, ia sampai lepaskan cekalannya, tapi segera setelah itu, ia mendekam
di atas meja, untuk menangis menggerung-gerung.
Tjeng Tjeng sambar pipa besi, untuk dikasi masuk ular itu ke dalamnya.
"Kenapa kau berlaku nekat begini?" ia terus tanya kauwtjoe itu, suaranya lembut. "Orangorang
kaummu tidak sukai lagi kepadamu, kau toh bisa turut kami. Bukankah itu bagus?"
Tiat Tjhioe nangis terus, ia tidak menjawab.
"Ho Kauwtjoe," Sin Tjie turut bicara, "Ngo Tok Kauw ada satu perkumpulan agama yang
sesat, dengan kau menukar haluan, dengan putuskan perhubunganmu dengan mereka,
tidakkah itu bagus" Kenapa kau mesti berduka?"
Itu waktu Thia Tjeng Tiok dan lainnya pun telah datang berkumpul kapan mereka telah
ketahui duduknya hal, mereka lantas membujuki dan menghibur.
Penyesalan dan penasarannya Tiat Tjhioe rupanya terlalu hebat, hingga untuk sesaat itu,
pikirannya jadi butek, hingga ia lupa segala apa, ia mau habisi jiwa sendiri, tetapi setelah
orang tolongi dia dan sekarang mendengar bujukan dan hiburan, setelah nyata orang
semua bersimpati kepadanya, kecerdasannya datang pula. Ia pun segera ingat suatu apa.
Maka ia angkat kepalanya, dengan matanya yang tajam, ia awasi semua orang di
sekitarnya. Tiba-tiba saja ia tertawa.
"Wan Siangkong," katanya, "asal kau suka terima baik satu permintaanku, aku tidak akan
bunuh diri!" Melihat tingkah nona itu, Tjeng Tjeng berpikir: "Ini orang sangat aneh! Baru
saja dia nekat, dia menangis, atau sekarang dia sudah bisa tertawa pula! Untuk apa dia
menangis" - Oh, inilah hebat! Mungkinkah dia jatuh hati kepada dia"...."
Dengan "dia", dia maksudkan Sin Tjie. Maka mendadak saja, kumat pula hati cemburunya.
Karena itu, segera dia dului si anak muda.
"Apakah yang kau hendak minta dari dia?" dia tanya.
Ho Tiat Tjhioe tidak jawab si nona, ia hanya pandang si anak muda.
"Wan Siangkong, kau bilang dulu, kau suka terima atau tidak?" dia mendesak.
"Sebenarnya aku tidak tahu, apakah yang Ho Kauwtjoe inginkan aku lakukan?" Sin Tjie
tanya. Juga anak muda ini mulai curiga. Maka tak mau ia lantas berikan jawaban yang
mengiakan. Ho Tiat Tjhioe awasi Tjeng Tjeng dan Wan Djie, tiba-tiba saja ia tertawa pula, kemudian
dengan mendadak, ia berlutut di depan Sin Tjie, ia manggut berulang-ulang.
Sin Tjie terperanjat, ia heran, tetapi ia pun sibuk membalas hormat itu, hingga ia juga
manggut berulang-ulang.
"Sudah, sudah, jangan jalankan kehormatan." ia mencegah.
Sampai di situ, Baru Tiat Tjhioe mau bicara.
"Jikalau kau tidak terima aku sebagai muridmu, aku tidak hendak bangun!" katanya.
Tjeng Tjeng melongo, akan tetapi segera hatinya menjadi lega, hingga ia bisa tertawa.
"Kauwtjoe punya boegee sudah liehay sekali, siapa sanggup menjadi gurumu?" kata dia.
Kauwtjoe itu tertawa pula.
"Soehoe, jikalau tetap kau tidak terima aku sebagai murid, aku nanti berlutut di sini buat
selama-lamanya!" kata dia pula.
Sin Tjie berlega hati, ia pun merasa lucu, tetapi ia kewalahan.
"Belum satu tahun sejak aku keluar dari rumah perguruan, mana dapat aku menjadi
guru?" kata dia. "Jikalau Ho Kauwtjoe tidak cela kebisaanku yang masih cetek, baiklah
kita saling menyakinkan saja, untuk memahamkan lebih jauh ilmu silat kita. Mungkin
dengan cara itu kita sama-sama akan memperoleh faedah. Tentang soal angkat guru baik
kita jangan sebut-sebut."
Tiat Tjhioe tidak menjawab, tetap dia tekuk lutut, tidak mau dia berbangkit.
"Mari bangun!" kata Sin Tjie, lalu dengan terpaksa ia ulur kedua tangannya, untuk
memegang dan memimpin bangun.
Kauwtjoe itu tarik tangannya.
"Awas! Tanganku ada bisanya!" kata dia. Dia tertawa. Iapun kibaskan lengan kirinya, yang
bercagak hitam dan mengkilap, untuk gaet tangannya Sin Tjie itu, hingga cahayanya
berkelebat! Sin Tjie tidak tarik pulang tangannya itu, malah ia majukan dua-duanya. Di saat seperti itu
ia unjuk kesebatannya luar biasa. Ia sambar kedua bahu orang, ia kerahkan tenaganya,
maka dalam sekejab saja, di luar kehendaknya Tiat Tjhioe, tubuhnya dia ini terangkat naik!
Akan tetapi pemimpin Ngo Tok Kauw benar-benar liehay, begitu lekas tubuhnya terangkat
naik, ia tekuk pinggangnya ke dalam, ia angkat kedua kakinya, berbareng dengan mana,
kedua bahunya pun dikibaskan!
Sin Tjie tidak mau dada atau mukanya kena didupak, ia lepaskan cekalannya, kakinya
mundur setindak menyusul mana Ho Tiat Tjhioe poksay, jumpalitan, hingga di lain saat,
dia injak tanah dengan kedua kakinya, tidak ia rubuh, hanya dia terus berlutut pula!
Kagumlah semua penonton, tanpa merasa, mereka bertampik-sorak. Mereka telah
saksikan kepandaian yang luar biasa sekali dari pemuda dan pemudi itu.
"Ho Kauwtjoe, silakan kau beristirahat sebentar, aku hendak keluar untuk menemui
tetamu," kemudian Sin Tjie bilang. Diam-diam ia pun kagumi kauwtjoe ini. Ia terus
bertindak keluar.
Tiat Tjhioe menjadi sibuk, dia berteriak: "Wan Siangkong, apa benar-benar kau tidak sudi
terima aku sebagai murid?"
"Menyesal aku tidak sanggup," jawab Sin Tjie.
"Baiklah kalau begitu!" kata kauwtjoe itu dengan nyaring. "Nona Hee, mari! Mari aku gunai
tempo setengah malaman ini untuk kasi dengar kau, dongeng tentang gambar lukisan
ditaruh di muka pembaringan!"
Tjeng Tjeng melongo. Ia tidak mengerti.
Muka Sin Tjie sebaliknya, menjadi merah. Ia merandek, ia berbalik.
"Hebat orang she Ho ini," pikir dia. "Dia pasti berani lakukan apa yang dia pikir. Mana bisa
dibiarkan dia beber rahasianya A Kioe dan aku..."
Kalau sampai teruwar bagaimana ia rebah berdampingan sama satu nona bukan sanak
bukan kadangnya, bagaimana ia dan A Kioe tak bakal dapat malu" Bukan saja Tjeng Tjeng
bakal jadi murka, ia pun akan malu sekali. Karena itu, ia goyang-goyang tangannya.
Tiat Tjhioe tertawa pula.
"Soehoe, terima baiklah permintaanku!" katanya pula.
Sin Tjie kasi dengar suara tidak nyata: "Oh, oh...."
Tapi Tiat Tjhioe lantas saja jadi sangat girang.
"Bagus, soehoe telah meluluskan!" serunya. Ia geraki kedua dengkul, begitu berdiri, dia
lompat ke depan si anak muda, untuk paykoei, untuk jalankan kehormatan besar!
Sin Tjie jadi sangat terdesak, terpaksa ia balas separuh dari itu pemberian hormat.
Atas itu, orang banyak lantas kasi selamat, pada itu murid dan guru.
Tinggallah Tjeng Tjeng menjadi sangat heran, ia bingung.
"Kau hendak berdongeng cerita apa" ia tanya Tiat Tjhioe.
Ho Kauwtjoe tertawa, tetapi ia lantas menyahuti.
"Di dalam kalangan agamaku ada semacam ilmu gaib," katanya, "asal kita lukiskan
gambarnya satu orang, lalu gambar itu kita taruh di depan pembaringan, terus kita kasi
hormat dengan manggut-manggut kepadanya sambil membaca mantera, pasti itu orang
akan sakit jantung dan kepalanya, beruntun selama tiga bulan, dia tidak akan sembuhsembuh."
Tjeng Tjeng mendengari dengan perhatian, ia separuh percaya dan separuh tidak.
Tetapi Sin Tjie menjadi lega hatinya. Meski demikian, ia kata dalam hatinya: "Di kolong
langit tidak ada orang yang angkat guru dengan cara ancaman sebagai ini! Dia masih
belum bisa ubah hatinya, pasti tak dapat aku ajari ia ilmu silat."
Maka ia kata dengan sungguh-sungguh: "Sebenarnya aku tidak punyakan ilmu silat yang
bisa diajari kepadamu, akan tetapi kau begini bersungguh hati, baiklah untuk sementara
aku namanya saja menjadi guru, kita akan tunggu sampai aku sudah memberi keterangan
kepada guruku. Apabila guruku itu telah memberi perkenannya, Baru aku nanti ajari kau
ilmu silat Hoa San Pay."
Alasan ini kuat. Ho Tiat Tjhioe tidak bisa mendesak lebih jauh.
"Baik, baik," ia terima janji Sin Tjie itu. Ia girang sekali.
"Ho Kauwtjoe...." Kata Tjeng Tjeng.
Tetapi kauwtjoe itu memotong:
Rahasia 180 Patung Mas 17 Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Pedang Naga Kemala 11
Nyatalah ia berada di dalam sebuah kamar yang indah dan lengkap perabotannya.
Kelambu ada kelambu sulam, permai sepre dan selimutnya. Permadani kuning telur juga
ada tersulam bunga mawar merah yang besar. Di meja dekat jendela ada terdapat pelbagai
rupa alat berhias dari seorang perempuan. Perabotan lainnya adalah barang-barang kuno.
"Mungkin ini kamarnya satu selir...." Pikir anak muda ini. "Tidak seharusnya aku berdiam
di sini....."
Selagi ia hendak bertindak ke pintu, lantas kupingnya dengar pelbagai tindakan halus
disusul sama orang-orang perempuan bicara sambil tertawa-tawa. Maka ia merandak.
"Jikalau aku paksa keluar, aku bakal bersomplokan dengan nona-nona keraton ini," ia
pikir. "Satu kali aku kepergok, keraton bakal jadi kacau, mungkin aksinya Tjo Thaykam jadi
terganggu dan tertunda. Maka lebih baik aku sembunyikan diri, untuk melihat selatan."
Karena ini ia lompat ke belakang sekosol yang bergambar seorang wanita cantik serta
bunga bouw-tan.
Sebentar saja, daun pintu telah ditolak terpentang, empat dayang bertindak masuk sambil
iringi satu perempuan muda.
"Thianhee ingin beristirahat atau hendak membaca buku dulu?" tanya satu dayang.
Mendengar itu, Sin Tjie terkejut.
"Jadinya ini ada kamarnya puteri raja," pikirnya. "Ah, baiklah kau tidur saja, tak usah baca
buku lagi....." ia harap-harap.
Si nona, atau kiongtjoe, puteri raja, tidak menyahuti tegas, ia hanya jatuhkan diri di atas
pembaringan. "Apakah perlu membakar dupa?" satu dayang tanya pula.
Kembali puteri itu perdengarkan jawaban tak nyata. "Ehm...." Terdengarnya.
Selang tidak lama, Sin Tjie dapat cium bau dupa yang wangi-halus, hingga tanpa merasa,
ia jadi lesu dan ingin tidur....
"Bawa kemari akupunya pit dan gambar, habis kamu semua pergi keluar," kemudian
berkata si puteri raja. (Pit adalah alat menulis.)
Sin Tjie terperanjat.
"Satu suara yang aku kenal baik...." pikirnya. Berbareng ia pun sibuk. Kalau puteri ini
melukis gambar, pasti dia akan ambil banyak tempo. Bagaimana dapat ia berdiam lamalama
di dalam kamar ini"
Dayang-dayang telah lantas siapkan perabot-tulis dan alat melukis lainnya, setelah itu,
semuanya segera undurkan diri.
Kamar menjadi sunyi pula, cuma kadang-kadang saja terdengar suara meretak di dalam
pendupaan, dari kayu cendana yang terbakar.
Tidak berani Sin Tjie berkutik.
Tidak lama terdengarlah elahan napas dari si puteri, yang terus menyanyikan sebuah syair
dengan pelahan:
"Musim semi dari berlaksa lie
membawa tetamu datang
Bunga dari sepuluh tahun
membuat si cantik menjadi tua
Tahun yang lampau di masa bunga mekar, aku jatuh sakit
Tapi tahun ini, menghadapi sang bunga, masih terlalu pagi."
Itulah suara halus dan merdu akan tetapi sifatnya sedih.
Sin Tjie heran. Kenapa satu puteri raja mesti berduka" Ia pun heran, mengapa suara itu
seperti ia kenal baik. Sementara itu, ia merasa lucu untuk kedudukannya ini.
"Aku ada seorang kang-ouw, kecuali kali ini, belum pernah aku datang ke kota raja, maka
dimana pernah aku bertemu sama puteri raja seperti dia ini" Tidak, aku tidak kenal dia.....
Dia mungkin mirip dengan salah satu kenalanku...."
Si puteri telah bertindak ke dekat meja, lantas terdengar suara ia menggerak-geraki alat
tulisnya, rupanya ia sudah mulai melukis.
Sin Tjie menantikan dengan pikiran terbenam. Itu waktu, pintu telah ditutup dan daun
jendela pun sudah dirapatkan. Tanpa menggunai kekerasan, tak dapat ia keluar dari kamar
ini.... Sang puteri masih terus melukis, sampai terdengar ia lempangkan pinggangnya, mungkin
ia merasa letih.
"Lagi dua-tiga hari, gambar ini akan selesai," kata dia seorang diri. "Setiap hari aku
memikirkanmu, apakah kau juga setiap saat mengingat-ingat aku?"
Ia berbangkit, ia pindahkan gambarnya ke kursi, lalu kursi itu dipindahkan ke depan
pembaringan. "Kau diam di sini, untuk temani aku...." katanya pula.
Kemudian ia buka baju luarnya, untuk naik ke pembaringan.
Keheranan Sin Tjie bertambah-tambah. Siapa itu yang dilukis puteri ini, yang dibuat ingatingatan"
Tak dapat pemuda ini menguasai dirinya, ia geraki kepalanya, untuk memandang ke depan
pembaringan, ke arah kursi, guna lihat gambar buatannya si puteri. Apabila ia telah lihat
gambar itu, keheranannya memuncak, hingga ia terperanjat.
Itulah gambarnya Wan Sin Tjie! Gambar itu sudah berpeta jelas walaupun katanya belum
sempurna. Di situ ia terlukiskan sedang bersenyum riang-gembira.
Inilah tidak disangka si anak muda, tanpa merasa, ia perdengarkan suara herannya:
"Ah!...."
Kuping si puteri terang luar biasa, ia dapat dengar suara sangat pelahan, tangannya
mencabut tusuk konde, tanpa memutar tubuh lagi, tangannya itu dikasi melayang!
Sin Tjie terkejut, menyusul suara angin menyambar, ia angkat tangannya, akan tanggapi
tusuk konde itu.
Menyusul serangannya itu, si puteri telah putar tubuhnya, maka sekarang kedua orang jadi
saling mengawasi, dengan kesudahannya dua-duanya tergugu melongo! Sebab segera
mereka saling mengenali.
Sin Tjie kenali A Kioe, muridnya Thia Tjeng Tiok. Memangnya ia curigai nona itu, yang
dilindungi oleh siewie, ia menduga kepada seorang tak sembarangan, ia hanya tidak
sangka, si nona adalah satu puteri raja.
Muka A Kioe pucat, lalu bersemu merah.
"Wan Siangkong, mengapa kau ada di sini?" akhirnya dia tanya. Dengan cepat ia dapat
tenteramkan diri.
Sin Tjie lantas memberi hormat.
"Siauwdjin bersalah," ia mengakui. "Dengan lancang aku telah menerobos masuk ke
dalam kamar kiongtjoe ini...."
Mukanya A Kioe bersemu merah.
"Silakan duduk," ia mengundang.
Puteri ini sadar yang baju luarnya telah dilolosi, dengan sebat ia sambar itu, untuk dipakai.
Di pintu lantas terdengar ketokan pintu yang pelahan.
"Thian-hee memanggil?" tanya satu dayang.
"Tidak, aku lagi baca buku!" sahut sang puteri dengan cepat. "Pergilah kamu tidur, tidak
usah kamu menunggui di sini."
"Baik, thianhee. Silakan thianhee beristirahat siang-siang."
A Kioe tidak jawab dayangnya itu, ia goyangi tangan kepada Sin Tjie, lantas ia tertawa
dengan pelahan. Tapi, kapan ia menoleh ke arah gambar lukisan, mukanya menjadi merah,
ia jengah sendirinya. Lekas-lekas ia geser kursi itu ke pinggir.
Kemudian, keduanya kembali berdiri berhadapan dengan diam saja.
"Apakah kau kenal orang-orang Ngo Tok Kauw?" akhirnya Sin Tjie tanya.
A Kioe manggut.
"Tjo King-kong bilang Lie Giam telah kirim banyak pembunuh ke kota raja, untuk
mengacau," jawabnya, "maka itu Tjo Kong-kong undang serombongan orang gagah
masuk ke keraton, untuk melindungi Sri Baginda. Katanya kauwtjoe Ho Tiat Tjhioe dari
Ngo Tok Kauw liehay sekali."
"Gurumu, Thia Loo-hootjoe, telah dilukai mereka, apakah thianhee ketahui?" tanya Sin
Tjie. A Kioe kaget, hingga air mukanya berubah.
"Apa?" tanyanya. "Kenapa mereka lukai soehoe" Apakah soehoe terluka parah?"
"Tidak, tidak seberapa," sahut Sin Tjie, yang terus berbangkit. "Sekarang sudah jauh
malam, baik kita tidak bicara terlalu banyak. Kami tinggal di gang Tjeng-tiauw-tjoe. Apa
bisa besok thianhee datang melongok gurumu itu?"
"Baik!" A Kioe jawab. "Dengan menerjang bahaya kau telah datang menyambangi aku, aku
berterima kasih....." Ia bicara dengan pelahan sekali ketika ia menambahi: "Kau telah lihat
bagaimana aku sudah lukiskan gambarmu, maka tentang hatiku, kau sudah ketahui
jelas....."
"Inilah hebat," pikir Sin Tjie. "Rupanya dia telah menyintai aku, kedatanganku sekarang
membuat ia dapat kesan yang keliru. Ini perlu penjelasan..."
Tapi ia belum sempat bicara, atau A Kioe sudah kata pula: "Sejak pertemuan kita di Shoatang-
too, dimana kau rintangi Tie Hong Lioe melukai aku, aku senantiasa ingat saja budikebaikanmu.....
Coba lihat lukisan ini mirip atau tidak?"
Sin Tjie manggut.
"Thianhee," katanya, "aku datang kemari karena...."
Tapi A Kioe segera memotong.
"Jangan panggil aku thianhee," katanya. "Aku pun tidak akan panggil siangkong lagi
kepadamu. Pada mula kalinya kita bertemu, kau kenal aku sebagai A Kioe, maka itu untuk
selamanya, aku tetap ada A Kioe. Aku dengar enci Tjeng panggil kau toako, aku pikir,
umpama itu hari aku pun bisa panggil toako padamu, itu Barulah tepat. Di saat aku
dilahirkan, menteri tukang tenung telah ramalkan aku bahwa apabila aku hidup tetap di
dalam keraton, aku tidak bakal panjang usia, karena itu, Sri Baginda Ayah perkenankan
aku pergi berkelana."
"Pantas kau belajar silat pada Thia Loo-hoetjoe dan ikut dia berkelana," kata Sin Tjie.
"selama berada di luar, pengetahuan dan pengalamanku jadi tambah banyak," A Kioe
bilang. "Aku tahu yang rakyat sangat menderita. Umpama kata aku pakai uang di istana
akan tolong rakyat, masih tidak seberapa jumlahnya yang bisa ditolong."
Sin Tjie kagum mendengar puteri ini bersimpati kepada rakyat.
"Karena itu wajiblah kau nasihati Sri Baginda dan minta Sri Baginda menjalankan
pemerintahan secara bijaksana," ia kata. "Asal rakyat dapat makan dan pakai cukup, tidak
kelaparan dan kedinginan, pasti negara aman-sentausa."
Puteri itu menghela napas.
"Jikalau Sri Baginda Ayah sudi dengar perkataan orang, itulah bagus," katanya. "Sekarang
Sri Baginda Ayah dikitari segala dorna, yang kata-katanya sangat dipercayai benar."
"Kau berpengetahuan luas melebihi Sri Baginda," Sin Tjie puji. Tadinya pemuda ini pikir,
baik atau tidak ia beber rahasia Thaykam Tjo Hoa Soen, akan tetapi sebelum ia ambil
putusan, A Kioe sudah tanya dia: "Apakah Thia Loo-hoetjoe pernah omong tentang
diriku?" "Tidak. Dia bilang dia pernah bersumpah, dari itu tak dapat dia omong tentang kau.
Tadinya aku menyangka kau mempunyai dendaman yang hebat, yang mengenai kaum
kang-ouw, tidak tahunya kau ada puteri raja."
A Kioe bersenyum.
"Thia Soehoe ada pahlawan Sri Baginda Ayah, dia sangat setia kepada junjungannya," ia
beritahu. "Oh, jadinya dia pun ada satu sie-wie?" kata Sin Tjie dengan heran.
A Kioe manggut.
"Ketika dahulu Sri Baginda Ayah masih tinggal di istana pangeran Sin Ong-hoe, Thia
Soehoe menjadi kepala sie-wie," ia menerangkan lebih jauh. "Kemudian setelah Sri
Baginda marhum wafat, Sri Baginda Ayah adalah yang menggantikan naik di tahta. Pada
masa itu, semua orang di dalam istana ada orang-orang kepercayaan Goei Tiong Hian.
Maka juga Thia Soehoe bilang, waktu itu, keadaan ada sangat berbahaya, sampai Sri
Baginda Ayah dan sekalian pahlawannya, siang dan malam tak bisa tidur dengan tenang.
Semua barang makanan diantar dari istana Sin Ong-hoe. Beberapa kali Goei Tiong Hian si
dorna niat celakai Sri Baginda Ayah, saban-saban Thia Soehoe serta Tjo Kong-kong dan
lainnya yang menggagalkannya, hingga bahaya dapat dihindarkan. Itulah sebabnya
kenapa sampai sekarang ini Sri Baginda Ayah tetap percaya Tjo Kong-kong."
"Meski begitu, tak dapat dia dipercayai sepenuhnya!" Sin Tjie bilang.
"Itu benar. Di antara Thia Soehoe dan Tjo Kong-kong tidak terdapat kecocokan."
"Jadi itulah sebabnya kenapa Thia Soehoe jadi keluar dari istana?" Sin Tjie tegaskan.
"Bukan. Katanya karena urusan Wan Tjong Hoan."
Terperanjat juga Sin Tjie mendengar disebutkan nama ayahnya.
"Bagaimana itu?" tanya dia.
"Di waktu kejadian, aku masih belum terlahir," jawab A Kioe, "Baru belakangan aku dengar
hal itu dari soehoe. Soehoe bilang Wan Tjong Hoan ada panglima perang besar di Kwangwa
yang menolak serangan bangsa asing, dia telah dirikan banyak sekali jasa, hingga
bangsa asing jeri bukan main akan lihat dia. Adalah belakangan, bangsa Boan sudah
gunai tipu-daya merenggangkan, cerita-burung disiarkan bahwa Wan Tjong Hoan berniat
berontak. Sri Baginda Ayah percaya itu, tanpa pikir panjang lagi, Wan Tjong Hoan dihukum
mati. Thia Soehoe tahu Wan Tayswee difitnah, dia pernah melindunginya, hingga
karenanya, soehoe jadi bentrok sama Sri Baginda Ayah. Sri Baginda Ayah sedang panas
hati, dia lupa, dia telah gaplok soehoe, maka saking gusar, soehoe lantas meninggalkan
istana, dia sumpah untuk selamanya tak sudi menemui pula Sri Baginda Ayah."
Sin Tjie terharu berbareng bersukur, ia tahan keluarnya air mata, matanya menjadi merah.
"Thia Soehoe bilang, Sri Baginda Ayah tak dapat membedakan orang setia dan dorna," A
Kioe melanjuti. "Soehoe kuatirkan, akhir-akhirnya negara bakal runtuh di tangan Sri
Baginda Ayah. Beberapa tahun kemudian, Sri Baginda Ayah menyesal. Karena katanya tak
dapat aku hidup di istana, aku lantas dikirim kepada soehoe, untuk terus ikuti soehoe. Aku
tidak tahu, kenapa soehoe bentrok sama Ngo Tok Kauw."
Hampir saja Sin Tjie bilang: "Ngo Tok Kauw berniat bikin celaka ayahmu, sebab mereka
tahu Thia Loo-hoetjoe setia kepada Sri Baginda, jadi Thia Loo-hoetjoe hendak
dibinasakan." Tiba-tiba ia tampak lilin, yang tinggal sepotong pendek, hingga ia ingat:
"Keadaan ada begini mendesak, kenapa aku mesti bicara begini banyak sama dia ini?"
Maka ia lantas berbangkit.
"Masih banyak yang mesti dibicarakan, besok saja kita teruskan lebih jauh," katanya.
Mukanya A Kioe merah, ia tunduk, terus dia manggut.
Hampir di waktu itu, pintu kamar diketok secara kesusu dan di luar kamar terdengar
suaranya beberapa orang: "Thianhee, thianhee, lekas buka pintu!"
A Kioe kaget. "Ada apa?" dia tanya.
"Oh, thiangee tidak kurang suatu apa?" tanya satu dayang.
"Aku lagi tidur. Ada apakah?"
"Katanya ada orang lihat ada penjahat nyelusup masuk ke dalam keraton...."
"Ngaco-belo! Penjahat apa sih?"
"Thianhee," kata satu suara lain, "ijinkan kami masuk untuk melihat-lihat...."
Sin Tjie segera bisiki sang puteri: "Itulah Ho Tiat Tjhioe!"
"Jikalau ada penjahat, cara bagaimana aku bisa tenang seperti ini?" kata A Kioe. "Lekas
pergi, jangan bikin berisik di sini!"
Orang-orang di luar itu lantas diam, mereka tahu sang puteri gusar.
Dengan berindap-indap, Sin Tjie pergi ke jendela, niatnya untuk tolak jendela, buat
nerobos pergi. Baru saja ia pegang kain alingan jendela dan menyingkapnya sedikit, ia
lihat cahaya api terang-terang, hingga ia tampak juga belasan thaykam, ialah orang-orang
yang menyekal obor.
"Jikalau aku nerobos, siapa bisa rintangi aku?" pikir pemuda ini. "Dengan aku berlalu
dengan paksa, nama baiknya puteri bakal tercemar. Tidak dapat aku berbuat demikian...."
Maka ia balik pada A Kioe, akan bisiki bahwa tak bisa ia berlalu dengan paksa atau sang
puteri bakal dapat malu.
Puteri itu kerutkan alis.
"Jangan takut," katanya kemudian. "Kau diam saja di sini untuk sekian lama lagi."
Sin Tjie terpaksa, ia menurut.
Tidak terlalu lama, kembali ada suara mengetok pintu.
"Siapa?" tanya A Kioe.
Kali ini datang penyahutan Thaykam Tjo Hoa Soen.
"Sri Baginda dengar ada orang jahat nyelusup ke istana, Sri Baginda berkuatir, dari itu
kacung diperintah menanyakan keselamatan thianhee," sahut thaykam itu, yang
membahasakan diri "kacung".
"Tidak berani aku membikin kong-kong banyak cape," kata A Kioe. "Silakan kong-kong
kembali, tolong sampaikan bahwa aku tidak kurang suatu apa."
"Thianhee ada orang penting, tak dapat thianhee menjadi kaget," kata pula orang kebiri
itu. "Baik ijinkanlah kacung masuk untuk memeriksa kamar."
A Kioe mendongkol kepada orang kebiri itu. Ia percaya, waktu Sin Tjie datang, mesti ada
orang lihat padanya, kalau tidak, thaykam itu tidak nanti berani demikian mendesak.
Dugaan ini benar separuhnya. Memang Tjo Hoa Soen dapat kisikan dari Ho Tiat Tjhioe
bahwa ada orang nyelusup masuk ke keraton puteri, Tiang Peng Kiongtjoe. Sebab lainnya
adalah Tjo Hoa Soen tahu puteri pandai silat, dia bercuriga, dia curiga puteri ini punya
hubungan sama orang kang-ouw sedang dia berniat celakai baginda Tjong Tjeng. Maka
ingin dia mendapat kepastian. Dia berpengaruh, dari itu, dia berani memaksa. Puteri pun
memang tak dapat terlalu rintangi orang kebiri itu.
Maka akhirnya, setelah berpikir, Tiang Peng Kiongtjoe gerak-geraki kedua tangannya
kepada Sin Tjie, untuk beri tanda agar si anak muda naik ke atas pembaringannya, untuk
sesapkan diri di bawah selimut.
Dalam keadaan seperti itu, Sin Tjie sangat terpaksa, maka ia pergi ke pembaringan,
setelah lolosi sepatunya, ia naik, terus ia tutupi diri dengan selimut sulam, hingga ia dapat
cium bau sangat harum. Ia kerebongi tubuh, dari ujung kaki sampai di kepala.
Kembali terdengar suaranya Tjo Hoa Soen, yang mendesak minta dibukai pintu.
"Baiklah," kata Tiang Peng Kiongtjoe akhirnya, "kau boleh periksa!"
Puteri ini loloskan baju luarnya, ia bertindak ke pintu, untuk angkat palangan, setelah
mana, tanpa buka pintu lagi, ia lompat naik ke atas pembaringan, untuk segera kerebongi
diri sebatas leher.
Hatinya Sin Tjie memukul ketika A Kioe rebahkan diri berdampingan dengan dia, pakaian
mereka nempel satu dengan lain, sedang hidungnya dapat cium bau lebih wangi lagi. Tapi
ia berdiam terus, tidak berani dia berkutik, apalagi setelah ia merasa Tjo Hoa Soen dan Ho
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiat Tjhioe sudah masuk ke dalam kamar. Ia merasakan bagaimana tubuhnya sang puteri
sedikit bergemetar.
Ting Peng Kiongtjoe berpura-pura masih lungu-lungu, ia pun berlagak menguap, tetapi toh
ia tertawa. "Tjo Kong-kong, kau baik sekali. Terima kasih!" katanya.
Tjo Hoa Soen memandang ke sekelilingnya, ia tak lihat ada orang lain dalam kamar itu.
Ho Tiat Tjhioe turut memeriksa, ia berpura-pura bikin jatuh saputangannya, untuk pungut
itu, ia membungkuk, dengan begitu ia jadi bisa melongok ke kolong pembaringan.
"Aku pun telah periksa kolong pembaringan, aku tidak sembunyikan orang jahat!" tertawa
A Kioe. "Harap thianhee ketahui, Tjo Kongkong kuatir thianhee kaget," kata ketua Ngo Tok Kauw
itu. Ketika kauwtjoe ini melihat ke kursi, dimana ada gambar Sin Tjie, ia kaget sekali, sukur ia
masih bisa tetapkan hati, maka ia lantas berpaling.
Tjo Thaykam kedipi mata, ia kata: "Mari kita periksa lain-lain bagian lagi." Tapi kepada
empat dayang, ia pesan: "Kamu berempat temani thianhee di sini, jangan kamu tinggal
pergi. Umpama kata thianhee titahkan kamu, masih kamu tidak boleh malas dan mencuri
tempo dan keluar. Mengerti?"
"Kami akan dengar titah kongkong," jawab empat dayang itu.
Tjo Hoa Soen beramai minta perkenan dari puteri, lantas mereka keluar dari kamar.
A Kioe pun segera perintah turunkan kelambu.
"Aku hendak tidur," katanya.
Dua dayang kasi turun kelambu dengan hati-hati, yang satu tambahkan kayu cendana,
setelah buang ujung lilin, mereka pergi ke pojok tembok untuk numprah sambil
menyender. Lega hatinya A Kioe, akan tetapi ia bergirang berbareng malu. Di luar sangkaannya, di luar
keinginannya, sekarang ia rebah berdampingan sama orang yang ia buat kenangan setiap
saat. Pikirannya jadi terbenam, tidak berani ia buka suara, tidak berani ia geraki tubuhnya.
Ia seperti sedang mimpi.
"Bagaimana?" Sin Tjie berbisik, selang sekian lama. "Mesti dicari daya untuk aku keluar
dari sini...."
"Oh...." Si nona bersuara, dengan pelahan sekali. Ia bergerak sedikit, lengan dan kaki
digeser. Tiba-tiba saja ia terperanjat. Ia telah bentur barang dingin. Kapan ia meraba, ia
kena pegang pedang, yang diletaki nyelang di antara mereka berdua.
"Apa ini?" ia tanya.
"Aku nanti terangi, tapi kau jangan kecil hati."
"Aku masuk kemari di luar keinginanku. Aku menyesal telah mesti rebah di sini bersamasama
kau. Tapi ini karena sangat terpaksa. Aku bukan seorang ceriwis dan kurang ajar."
"Aku tidak persalahkan kau," A Kioe bilang. "Singkirkan pedangmu itu, nanti aku kena
dilukai." "Aku kenal adat sopan-santun, tetapi tetap aku ada seorang anak muda, aku sekarang
rebah berdampingan sama kau, satu gadis rupawan dan cantik sekali, aku kuatir nanti tak
dapat atasi diriku...."
A Kioe tertawa.
"Jadi kau palangkan pedangmu" Ah, tolol, toako tolol!...."
Dua-dua mereka kuatir suara mereka nanti terdengar empat dayang, selain mereka bicara
dengan pelahan, kepala mereka pun digeser dekat sekali satu dengan lain. Maka Sin Tjie
dapat cium harumnya hawa segar dari mulutnya si nona, hingga hatinya goncang. Sebisabisa
ia tenangkan diri.
"Adik Tjeng sangat menyintai kau, jangan kau tersesat!" demikian ia peringati dirinya
sendiri. "Seng Ongya itu siapa?" kemudian ia tanya. Ingin ia simpangkan perhatian.
"Dia adalah pamanku," jawab A Kioe.
"Tepat!" kata Sin Tjie pula. "Mereka hendak tunjang dia menjadi kaisar, kau tahu tidak?"
A Kioe terkejut.
"Apa" Siapa mereka?"
"Tjo Hoa Soen telah bikin perhubungan rahasia sama Kioe Ongya dari Boantjioe, dia niat
pinjam tentera Boan untuk tindas pemberontakan Giam Ong."
"Foei! Apakah artinya tentara Boan" Negara kita toh lebih kuat!"
"Benar! Sri Baginda tidak setujui usul pinjam tentara asing itu. Karena ini, Tjo Hoa Soen
beramai niat tunjang Seng Ongya, untuk diangkat jadi kaisar pengganti...."
"Ini memang mungkin. Seng Ongya ada bangsa tolol, pasti dia suka pinjam tentara asing
untuk tindas pemberontak."
"Yang aku kuatirkan mereka nanti bekerja malam ini...."
A Kioe kembali terkejut.
"Ah, kenapa kau tidak omong dari siang-siang" Kita mesti lekas tolongi Sri Baginda
Ayah!" Sin Tjie rapatkan kedua matanya, ia ragu-ragu. Kaisar Tjong Tjeng justeru ada musuh
besarnya, yang sudah hukum mati ayahnya! Selama belasan tahun, tidak ada satu hari
dilewatkan tanpa ia tak ingat permusuhan itu, adalah keinginannya akan dengan tangan
sendiri membunuh musuhnya. Sekarang timbul ini suasana genting. Sebenarnya ini ada
ketika yang bagus sekali. Bukankah, tanpa berbuat sesuatu apa, ia bisa saksikan musuh
besarnya itu terbunuh mati" Tidakkah itu akan memuaskan hatinya" Tapi di sebelah itu,
jikalau Tjo Hoa Soen berhasil, dan dia pinjam tentara Boan, untuk tumpas gerakannya
Giam Ong, tidakkah itu hebat" Bagaimana kalau Giam Ong gagal" Bagaimana kalau
tentara Boan menduduki seluruh Tionggoan" Tidakkah negara menjadi musna dan cucu
Oey Tee semua menjadi kacung"
A Kioe tidak tahu apa yang orang pikirkan, ia menyenggol dengan pundaknya pada
pemuda itu. "Kau pikirkan apa?" tanya dia. "Lekas bantui aku tolongi Sri Baginda Ayah!"
Sin Tjie berdiam, masih ia bersangsi.
"Asal kau tidak melupakan aku, aku tetap ada kepunyaan kau," A Kioe bilang. Nona
bangsawan ini menduga keliru. "Di belakang hari masih ada saat-saatnya untuk kita
berkumpul seperti ini..."
Lagi-lagi Sin Tjie terkejut.
"Ah, kiranya dia menyangka aku tak mau bangun karena terpengaruh oleh keadaan seperti
ini...." Pikirnya. "Baiklah, biar aku lihat keadaan...." Maka ia bisiki puteri raja itu: "Pergi kau
totok semua dayang itu, habis kau tutupi mereka dengan selimut supaya mereka tak dapat
melihat, supaya kita bisa keluar dari sini."
"Aku tidak mengerti tiam-hiat-hoat. Di bagian mana aku mesti totok mereka?" A Kioe
tanya. Menyesal Sin Tjie. Ia tak tahu, puteri ini tidak mengerti tiam-hiat-hoat, ilmu menotok jalan
darah. Terpaksa ia mesti mengajarinya dahulu. Maka terpaksa ia cekal tangannya puteri
itu, untuk dibawa ke dadanya sendiri, ke ujungnya tulang iga yang ke sebelas. Ia telah
pegang tangan yang halus dan lemas.
"Ini dia yang dinamai jalan darah tjiang-boen-hiat," katanya. "Dengan jari tangan, kau totok
ujung tulang mereka, mereka bakal lantas tidak mampu bergerak. Jangan totok terlalu
keras, nanti mereka kehilangan jiwa mereka...."
A Kioe ingat letak anggauta yang ditunjuk itu. Untuk tolongi ayahnya, ia tidak bisa berpikir
banyak lagi. Ia lantas turun dari pembaringan.
Melihat puteri itu bangun, keempat dayang itu berbangkit, untuk tanya: "Thianhee perlu
apa?" "Kemari kau!" ia panggil satu dayang sambil ia pergi ke samping pembaringan, hingga
ketiga dayang lainnya tidak lihat ia berdua dayang yang pertama itu.
Menuruti ajaran Sin Tjie, A Kioe totok dayangnya ini. Karena ia mengerti ilmu silat, ia bisa
menotok dengan baik. Ketika dayang itu sudah rubuh dengan tidak bersuara, ia panggil
yang kedua dan ketiga, untuk ditotok semua. Ketika ia totok yang keempat, kenanya
kurang tepat, dayang itu menjerit, maka lekas-lekas ia bekap mulutnya, untuk ditotok buat
kedua kalinya, Baru orang pingsan.
Sin Tjie sudah pakai sepatunya dan telah turun dari pembaringan ketika A Kioe telah
selesai dengan tugasnya, sama-sama mereka hampirkan jendela, akan singkap sero.
Begitu lekas dapati di luar tidak ada orang, keduanya menolak jendela, untuk lompat
keluar. "Mari ikut aku!" A Kioe mengajak.
Puteri ini ajak kawannya ke kamar Kaisar Tjong Tjeng, ayahandanya. Selagi mendekati
kamar, dari jauh sudah kelihatan bajangan dari banyak orang, jumlah mereka itu mungkin
beberapa ratus jiwa.
"Kawanan dorna sudah kurung Sri Baginda Ayah!" kata A Kioe. "Mari lekas!"
Keduanya berlari-lari.
Baru kira belasan tumbak, kedua orang ini berpapasan sama satu thaykam. Orang kebiri
itu kaget kapan ia kenali Tiang Peng Kiongtjoe, tetapi karena puteri ini cuma bersama satu
pengiring, ia tidak buat kuatir.
"Thianhee masih belum tidur?" tanyanya sambil menjura.
"Minggir!" membentak Tiang Peng Kiongtjoe. Bersama-sama Sin Tjie, puteri ini telah
melihat nyata, di depan dan belakang kamar ayahnya telah berkumpul thaykam-thaykam
dan siewie-siewie, yang semua memegang senjata, suatu tanda keadaan sangat
mengancam. Dengan satu tolakan tangan yang keras, A Kioe bikin thaykam di depannya itu
terpelanting, lantas ia maju terus.
Di muka pintu keraton menjaga beberapa siewie, akan tetapi mereka ini kena ditolak
minggir oleh Sin Tjie.
Semua orang kebiri tidak berani turun tangan apabila mereka tampak tuan puteri itu. Satu
diantaranya sebaliknya lari kepada Tjo Thaykam untuk melaporkan hal kedatangannya
puteri itu. Tjo Hoa Soen ada satu dorna yang cerdik tetapi licik, nyalinya kurang cukup besar,
walaupun sekarang ia yang kepalai gerakan menjunjung Seng Ong, ia tidak berani muncul
sendiri, ia cuma berikan titah-titah saja. Kapan ia dengar laporan, ia tidak kuatir, Ia anggap,
Tiang Peng Kiongtjoe sendirian saja, apa puteri itu bisa bikin.
"Tetap perkuat penjagaan!" ia ulangi titahnya.
A Kioe ajak Sin Tjie maju terus, sampai ke kamar dimana biasanya kaisar Tjong Tjeng
memeriksa surat-surat negara. Di pintu kamar terdapat belasan thaykam dan siewie, di
situpun terdapat tujuh atau delapan mayat yang telah bermandikan darah. Rupa-rupanya
korban-korban ini ada mereka yang setia kepada raja.
Semua siewie dan thaykam melongo kapan mereka lihat tuan puteri.
A Kioe tidak perdulikan mereka itu, ia tarik tangannya Sin Tjie, untuk diajak menerobos
masuk ke dalam kantor raja itu.
"Tahan!" berseru satu siewie sambil ia maju memegat, goloknya diangkat naik untuk
dipakai membacok pemuda kita.
Sin Tjie berkelit sambil tangannya terus menyambar dada, maka siewie itu terpelanting
jatuh., Begitu berada di dalam kantor, Sin Tjie lihat api lilin terang sekali, di situ berdiri belasan
orang. "Hoe-hong!" seru A Kioe sambil ia lari untuk tubruk satu orang dengan jubah kuning.
(Hoe-hong adalah panggilan untuk ayah yang menjadi raja.)
Sin Tjie awasi orang itu, muka siapa putih bersih dan perok, akan tetapi dalam keadaan
kaget dan gusar.
"Inilah dia kaisar Tjong Tjeng musuh ayahku...." pikir pemuda ini.
Belum sampai Tiang Peng Kiongtjoe dapat tubruk ayahnya, dua orang yang tubuhnya
besar menghalang di depan raja, golok mereka dibalingkan.
Kaisar lihat puterinya itu.
"Perlu apa kau datang kemari?" tegurnya. "Lekas pergi!"
Dekat kaisar berdiri seorang umur kurang-lebih empat-puluh tahun, tubuhnya gemuk
terokmok, mukanya penuh berewok. Dia kata dengan keren:
"Pemberontak sudah pukul pecah Hoen-tjioe dan Thaygoan, segera juga mereka bakal
sampai ke kota raja ini! Kau tidak hendak minta bala-bantuan bangsa asing, apa
maksudmu?"
Kata-kata kasar itu ditujukan kepada kaisar.
"Siok-hoe!" seru A Kioe kepada si terokmok itu, yang sikapnya keren. "Kau berani berlaku
begini kurang ajar terhadap Junjunganmu?"
Mendengar si nona, Sin Tjie tahu, dia itu adalah Pangeran Seng Ong.
Pangeran ini lantas tertawa berkakakan.
"Kurang ajar?" dia mengulangi. "Dia hendak bikin ludas negara indah warisan leluhur kita,
maka kami, setiap anggauta keluarga Tjoe, tidak dapat antapkan dia!"
Kata-kata jumawa ini dibarengi sama terhunusnya pedang, yang cahayanya berkilauan,
hingga semua orang di kiri-kanannya terkejut.
Kemudian, dengan roman sangat bengis, pangeran ini bentak raja:
"Lekas bilang, bagaimana putusanmu!"
Kaisar menghela napas.
"Apa Tim kurang bijaksana hingga negara jadi kacau," kata dia, "sampai tentara
pemberontak hendak menuju ke kota raja buat bikin terbalik pemerintah, akan tetapi
meminjam tentara Boan juga bakal sama membahayakan untuk negara.... Jikalau Tim
mesti mati untuk rakyat, itu tak usah dibuat menyesal, tetapi yang harus disesalkan adalah
kalau nanti negara indah dari leluhur kita ini mesti diserahkan kepada lain bangsa...."
Dengan acungi pedangnya, yang panjang, Seng Ong maju satu tindak.
"Jika begitu, lekas kau keluarkan maklumat untuk undurkan diri, untuk serahkan
kedudukanmu kepada pengganti yang bijaksana!" dia berseru dengan sikapnya sangat
mengancam. Tubuhnya raja bergemetar.
"Apakah kau hendak bunuh rajamu?" dia tanya.
Seng Ong menoleh ke belakangnya, ia kedipi mata.
Di belakang pangeran ini ada satu opsir dari Kim-ie Wie-koen, pasukan istimewa dari raja,
dia ini cabut goloknya yang panjang, dengan suara nyaring, dia bilang: "Jikalau raja sudah
gelap pikiran dan boe-too, setiap orang dapat membinasakan dia!"
Artinya "boe-too" adalah "tidak adil" (tidak bijaksana).
Sin Tjie awasi opsir itu, karena ia ingat suara orang itu. Segera juga ia kenali, orang itu ada
An Kiam Tjeng, suami An Toa-nio, ayah dari An Siauw Hoei.
A Kioe jadi sangat gusar, hingga ia menjerit dengan bentakannya. Ia sembat sebuah kursi,
ia lompat ke depan ayahnya, untuk menghalangi opsir itu. Dan ketika An Kiam Tjeng toh
terusi membacok raja, ia menangkis, terus-terusan sampai tiga kali beruntun.
Sampai di situ, lain-lainnya siewie lantas maju, untuk turut kepung raja atau tuan puteri itu.
Dari tadi Sin Tjie masih diam saja, akan tetapi setelah tampak A Kioe keteter, ia tidak bisa
berdiri terus sebagai penonton, maka ia lompat maju, untuk ceburkan diri dalam
pertempuran itu. Begitu lekas ia geraki tangan kirinya, dua siewie kena dibikin
terpelanting, hingga ia bisa dekati A Kioe, untuk serahkan pedang Kim Tjoa Kiam kepada
puteri itu, kemudian ia sendiri maju ke samping kaisar, akan lindungi raja ini yang menjadi
musuhnya.... Belasan siewie menerjang raja, sesuatu dari mereka lantas dihajar ini anak muda, yang
gunai kedua tangan dan kakinya, hingga bukan saja mereka tak dapat maju, mereka
sendiri yang rubuh dengan urat putus atau tulang-tulang patah!
A Kioe sendiri, dengan pedang mustika Ular Emas di tangan, hingga ia tidak
membutuhkan lagi kursinya, sudah lantas unjuk kegagahannya. Baru saja beberapa jurus,
ia sudah tabas kutung golok besar dan panjang dari An Kiam Tjeng.
Seng Ong terperanjat. Tidak ia sangka, kaisar bisa dapat bantuan tangguh di saat yang
sangat terjepit itu.
"Orang-orang di luar, semua maju!" ia lantas berteriak-teriak.
Teriakan itu disambut dengan munculnya Ho Tiat Tjhioe, Ho Ang Yo dan Lu Djie Sianseng
berikut empat jago tua anggauta Ngo Tjouw dari Tjio Liang Pay. Tapi mereka ini
tercengang kapan mereka saksikan kaisar Tjong Tjeng dilindungi oelh Sin Tjie, si anak
muda yang liehay, yang sedang labrak beberapa sie-wie yang masih bandel.
Akhir-akhirnya Oen Beng Tat mendelik dengan matanya mengeluarkan sinar tajam
bagaikan api menyala, dia terus menjerit: "Lebih dahulu bereskanlah binatang ini!"
Lalu, bersama tiga saudaranya, dia lompat maju.
A Kioe sendiri sudah lantas lompat ke samping ayahnya, dengan bersenjatakan pedang
mustika, ia bisa pukul mundur setiap penyerang yang maju merangsek, sampai pahlawanpahlawannya
Seng Ong jeri juga. Karena ini ia dapat kesempatan akan tampak Sin Tjie
sedang dikerubuti enam sie-wie, hingga ia merasa, dalam keadaan seperti itu, pemuda itu
pasti sukar bantu ia. Mau atau tidak, ia berkuatir juga.
Selagi tuan puteri ini pasang mata sambil berpikir keras, mendadak ia lihat si orang
perempuan tua, yang romannya sangat jelek, yang dandan sebagai pengemis, mata siapa
bersinar sangat tajam, lompat ke arahanya sambil angkat kedua tangannya, untuk
perlihatkan sepuluh jarinya yang tajam bagaikan kuku garuda. Si jelek dan begis ini
berseru dengan suaranya yang menyeramkan: "Lekas kembalikan Kim Tjoa Kiam
padaku!" Pada waktu itu, Sin Tjie sudah ambil keputusan. Sekarang ia hendak tolongi kaisar Tjong
Tjeng supaya gagallah usaha dorna-dorna mengundang masuk angkatan perang
Boantjioe, supaya kerajaan Beng dapat dihindarkan dari kemusnaan. Ia pikir, baik ia
tunggu sampai tentaranya Giam Ong masuk ke kota raja, Baru ia wujudkan pembalasan
sakit hatinya. Jadi, urusan negara dulu, Baru kepentingan pribadi.
Sementara itu, ia sudah lantas dikepung oleh empat Ngo Tjouw dari Tjio Liang Pay, siapa
sudah liehay tetapi sekarang dibantu pula oleh Lu Djie Sianseng dan Ho Tiat Tjhioe,
hingga tak sempat ia membantu A Kioe siapa, dengan rambut riap-riapan, lagi putar
pedangnya secara hebat akan layani penyerang-penyerangnya. Sebab anggauta-anggauta
Kim-ie Wie-koen desak si nona dari tiga jurusan.
Dalam saat segenting itu, tiba-tiba saja pemuda ini dapat satu pikiran. Sambil berkelit
disusl sama lompatan, ia loloskan diri dari hoentjwee yang liehay dari Lu Djie Sianseng
dan sapuan berbahaya dari tongkat panjang Oen Beng San, lantas ia melejit ke depan Ho
Tiat Tjhioe. "Menyesal; kami terpaksa mengerubuti!" kata kauwtjoe dari Ngo Tok Kauw sambil tertawa
seraya dengan gaetannya ia sambuti si anak muda.
Sin Tjie berkelit.
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah kau sudah tidak sayangi lagi jiwanya beberapa puluh anggautamu?" tegur Sin
Tjie. Tercengang Ho Tiat Tjhioe kapan ia ingat orang-orangnya yang lagi terancam bahaya itu.
Justru itu, Sin Tjie gunai ketikanya untuk loncat keluar dari kepungan.
Oen-sie Soe Loo, empat ketua Keluarga Oen, tidak mau lepaskan musuh lawas ini, mereka
maju untuk mengepung pula. Oen Beng Tat dengan siang-kek, sepasang tumbak
cagaknya, serang bebokongnya Sin Tjie sebagai sasaran. Tapi ia ini egos tubuhnya.
"Kau gantikan aku menahan mereka!" tiba-tiba saja Sin Tjie kata pada Ho Tiat Tjhioe.
"Apa?" tanya kauwtjoe dari Ngo Tok Kauw.
Si anak muda tidak lantas menjawab, ia kelit dulu dari serangannya Oen-sie Soe Loo dan
Lu Djie Sianseng.
"Aku nanti ajak kau pergi lihat adik Tjeng she Hee!" kata dia kemudian.
Memang sejak melihat Tjeng Tjeng kauwtjoe ini sudah runtuh hatinya, maka mendengar
katanya Sin Tjie, hatinya sekarang memukul keras. Hampir tidak berpikir lagi, ia angkat
tangan kirinya, akan dengan itu gaet Oen Beng Go, orang yang berada paling dekat
dengannya. Ngo yaya tidak pernah sangka kawan ini bakal berkhianat, dia kaget bukan main melihat
datangnya serangan secara demikian tiba-tiba, tetapi ia masih bisa geraki cambuk
kulitnya, untuk menangkis gaetan.
Akan tetapi Ho Tiat Tjhioe gesit dan telengas, setelah gagal bokongannya itu, ia mendesak
dengan hebat sekali, sama sekali ia tidak hendak memberi ketika kepada Tjio Liang Pay
itu, tidak perduli orang liehay. Baru tiga desakan berulang-ulang, ujung gaetannya telah
mampir di bahu kiri dari Beng Go, hingga bahu itu tergurat.
Oleh karena gaetan itu ada racunnya, dalam sesaat itu, mukanya Ngo yaya menjadi pucat,
bahunya membengkak dengan cepat, hingga di lain saat, tubuhnya menjadi limbung,
tangan kanannya dipakai mengucak-ucak kedua matanya.
"Aku tak dapat melihat apa-apa! Aku.... Aku terkena racun!...." Ia berseru.
Oen-sie Sam Loo bingung melihat saudara muda itu, dengan tidak perdulikan lagi kepada
musuh, mereka lompat menghampirkan, untuk menolongi. Lebih dahulu mereka pepayang
saudara itu. Sin Tjie menjadi senggang karena berkurangnya desakan tiga jago Oen itu, di lain pihak,
hatinya bercekat kapan ia ingat bagaimana telengasnya kauwtjoe dari Ngo Tok Kauw itu.
Tapi juga ia tidak punya kesempatan akan berlengah, sebab tempo ia mencuri lihat kepada
A Kioe, ia dapatkan puteri itu sedang terdesak hebat oleh Ho Ang Yo dan An Kiam Tjeng,
yang berlompatan gesit di kiri dan kanannya.
Justru itu waktu Ho Tiat Tjhioe sudah serang Lu Djie Sianseng, tanpa buang tempo lagi,
Sin Tjie berlompat dengan pesat ke arah Ho Ang Yo, dia sampai justru sedangnya si uwah
seram membaliki belakang, dengan sebat sekali dia jambret bebokong orang, terus dia
angkat tubuhnya nyonya itu, untuk segera dilemparkan!
An Kiam Tjeng terkejut melihat kawannya kena dirobohkan secara demikian rupa, selagi
begitu, ujung pedangnya A Kioe mampir di paha kirinya, tidak ampun lagi, ia rubuh
terguling! Di sana, pertempuran di antara Ho Tiat Tjhioe dan Lu Djie Sianseng berlanjut terus.
Sianseng ini telah saksikan rubuhnya Oen Beng Go, dengan sendirinya, hatinya jeri,
semangatnya lumer, maka setelah tiga percobaannya mendesak hebat gagal, dengan
sekonyong-konyong dia berlompat keluar kalangan.
"Maaf, loohoe tak dapat melayani lama-lama!" serunya. Dan terus ia angkat kaki.
Ho Tiat Tjhioe sambut seruan itu sambil tertawa.
"Lu Djie Sianseng, sampai ketemu pula! Sampai ketemu pula!"
Ketika itu Oen Beng Go telah tak sadar akan dirinya, karena bekerjanya racun.
Oen-sie Sam Loo, tiga saudara Oen, kaget bukan kepalang kapan mereka kenali lukanya
saudara ini mirip dengan luka dulu dari tangan liehay Kim Tjoa Long-koen, hati mereka
memukul keras. Sedetik saja, mereka saling memandang, untuk memberikan tanda
rahasia, habis mana Beng Gie sambar tubuh Beng Go, untuk dipeluk dan diangkat, buat
dibawa lari, sedang Beng Tat dan Beng San berlompat, yang satu untuk membuka jalan,
yang lain guna memegat, melindungi di belakang.
Ho Tiat Tjhioe berlompat, untuk menyusul, tetapi bukannya buat menyerang, hanya guna
melemparkan satu bungkusan.
"Inilah obat untuk luka itu! Sambutilah!" ia berseru.
Oen Beng San, Sam Yaya, berhenti berlari, ia putar tubuhnya, untuk sambuti obat itu,
setelah mana, ia lari pula.
Ho Tiat Tjhioe tertawa, ia pun kembali.
Sampai itu waktu, pertempuran telah memberi rupa lain. Dengan tidak adanya jago-jago
Tjo Liang Pay dan Lu Djie Sianseng, kawanan Kim-ie Siewie menjadi repot, dengan cepat
mereka kena dihajar kalang-kabutan oleh A Kioe dan Sin Tjie, akan akhirnya mereka lari
bubaran! Baru saja Kim-ie Siewie lari ke pintu, atau Thaykam Tjo Hoa Soen muncul di situ bersama
sepasukan Gie-lim-koen.
Sin Tjie lihat datangnya barisan itu, ia berseru: "A Kioe! Ho kauwtjoe! Mari kita lindungi Sri
Baginda keluar dari sini!"
A Kioe dan Tiat Tjhioe berikan jawaban mereka.
Maka lantas mereka bertiga kurung kaisar Tjong Tjeng.
Di saat mereka ini hendak maju menerjang, terdengarlah seruannya Tjo Thaykam secara
tiba-tiba: "Dorna bernyali besar! Kau berani ganggu Sri Baginda! Lekas bunuh dia!"
Itu waktu, tentara Gie-lim-koen telah bertempur sama Kim-ie Siewie. Yang belakangan ini
hendak loloskan diri tetapi karena dipegat dan diserang, terpaksa mereka bikin
perlawanan. Seng Ong menjadi kaget, hingga ia melengak.
"Tjo Kongkong! Kau.....kau...... Bukankah kau dengan aku telah...."
Setelah sadar, pangeran ini tegur thaykam serikatnya itu, akan tetapi belum habis dia
bicara, ujung pedangnya Tjo Hoa Soen telah nancap di dadanya!
Semua Kim-ie Sie-wie kaget melihat perbuatannya thaykam ini, malah Sin Tjie, Ho Tiat
Tjhioe dan A Kioe juga tak kurang herannya.
Cuma kaisar Tjong Tjeng seorang yang puji orang kebiri itu sebagai hamba yang setia....
Tjo Hoa Soen tetap berdiam di tempatnya "sembunyi" selama pertempuran berlangsung,
orang-orang kepercayaannya terus memasang mata dan setiap saat memberi laporan
saling-susul, maka itu ia lantas dapat tahu ketika Ho Tiat Tjhioe tukar haluan, hingga Sin
Tjie dan A Kioe jadi dapat angin, hingga pertempuran jadi salin rupa untuk kerusakan
pihaknya. Jadi gagallah usaha mereka akan mengusir atau membunuh kaisar. Dia sangat
cerdik, di saat segenting itu, dia lantas saja tukar haluan, tanpa ayal, dia bawa pasukan
Gie-lim-koen, katanya untuk tolongi Sri Baginda.
Semua Kim-ie Siewie lantas letaki senjata mereka.
"Tawan! Tawan mereka!" Tjo Thaykam berikan perintahnya.
Serdadu-serdadu Gie-lim-koen segera tangkap semua siewie itu.
"Gusur mereka keluar! Hukum mati mereka semua!" Tjo Thaykam berikan titahnya terlebih
jauh. Ia melancangi raja.
Titah ini pun telah dijalankan dengan lantas, maka di dalam tempo yang pendek, binasalah
semua siewie itu, hingga musnah juga semua orang yang turut dalam komplotan itu.
Itulah tindakan hebat untuk menutup mulut orang!
Ho Tiat Tjhioe lihat pertempuran telah selesai, ia berpaling kepada Wan Sin Tjie, dan
tertawa. "Wan Siangkong, besok aku tunggu kau di bawah pohon besar di tempat sepuluh lie di
luar kota!" katanya, sehabis mana ia tarik tangannya Ho Ang Yo untuk diajak berlalu.
Itu waktu, si uwah jelek, yang tidak terluka hebat, memang sudah dekati pemimpinnya itu.
Selagi orang memutar tubuh, kaisar Tjong Tjeng memanggil. "Kau....kau..."
Kaisar ini hendak memberi pujian dan hadiah kepada si juwita itu akan tetapi Tiat Tjhioe
tidak memperdulikannya, terus saja ia ajak bibinya berlalu.
Ketika kaisar kemudian berpaling kepada puterinya, ia dapatkan, puteri itu asyik pandang
Sin Tjie dengan air muka berseri-seri. Barulah sekarang hatinya menjadi tenteram benar.
Tertawanya sang puteri berarti bahaya benar-benar sudah lewat. Ia lantas jatuhkan diri di
atas kursi. "Siapakah dia ini?" tanya ia kepada puterinya. Ia tunjuk pemuda kita. "Jasanya tidak kecil.
Tim akan beri hadiah padanya."
Raja ini anggap, setelah ia berikan janjinya itu, Sin Tjie nanti berlutut di depannya, untuk
haturkan terima kasih. Di luar sangkaannya, anak muda itu berdiri tetap dengan gagah dan
agung. A Kioe tarik ujung bajunya si anak muda.
"Lekas menghaturkan terima kasih," ia membisikkan.
Putera Wan Tjong Hoan tidak tekuk lutut, sebaliknya ia awasi kaisar itu. Segera ia teringat
kepada ayahnya, yang sudah bela negara dengan melupakan diri-sendiri, yang jasanya
sangat besar, akan tetapi toh oleh kaisar ini, ayahnya itu telah dijatuhkan hukuman mati
secara hebat. Maka juga, kemurkaan dan kesedihannya telah berkumpul jadi satu.
"Apakah namamu?" raja tanya, dengan suara lemah lembut. "Di mana kau pegang
jabatanmu?"
Kaisar ini menanya demikian oleh karena ia lihat pemuda ini dandan sebagai seorang
kebiri, ia menyangka orang ada salah satu thaykamnya.
Masih Sin Tjie awasi kaisar itu.
"Aku ada orang she Wan," akhirnya ia jawab juga, sikapnya gagah, suaranya keren. "Aku
ada putera Peng-pou Siang-sie Wan Tjong Hoan yang dahulu telah membela negara di
tanah Liauw!"
Kaisar Tjong Tjeng tercengang, sampai ia agaknya seperti tak mendengar nyata.
"Apa kau bilang?" ia menegasi.
"Ayahku telah berjasa besar sekali untuk negara tetapi oleh Raja dia telah dihukum mati!"
Sin Tjie kata pula, suaranya jadi lebih keras.
Kaisar itu terkejut. Sekarang tak lagi ia mendengar tak nyata. Ia pun lantas menjadi lesu.
"Sekarang Baru aku menyesal, sesudah kasip..." ia akui. Ia berhenti sebentar. Kemudian ia
tanya: "Hadiah apakah yang kau kehendaki?"
Bukan kepalang girangnya A Kioe akan dengar pertanyaan ayahnya itu. Kembali ia tarik
ujung bajunya si anak muda. Ia ingin pemuda ini gunai ketika yang baik itu untuk minta
menjadi Hoe-ma, menantu raja.
Tapi jawabannya orang yang dipuja ini di luar dugaannya.
Dengan suara yang menyatakan kemurkaannya, Sin Tjie jawab: "Aku tolongi kau melulu
untuk keselamatannya negara; buat apakah hadiah" Hm! Sekarang Sri Baginda sudah
menyesal, maka sekarang aku minta supaya Sri Baginda cuci bersih penasarannya ayahku
almarhum!"
Biar bagaimana, raja tetap raja, ia ada punya keangkuhan. Maka itu, melihat sikapnya
pemuda ini, mendengar kata-katanya Sin Tjie, ia berdiam. Ia sudah menyatakan
kemenyesalannya, itu sudah cukup, tapi untuk aku kesalahannya, inilah lain.
Selagi begitu, Thaykam Tjo Hoa Soen, yang tadi telah pergi bersama barisannya, sudah
kembali bersama-sama barisannya itu. Ia memberi hormat pada raja, ia tanyakan
kewarasannya junjungan ini. Habis itu ia melaporkan bahwa semua pemberontak sudah
dihukum mati. Ia juga beritahu bahwa keluarganya Pangeran Seng Ong sudah ditawan
semua. Ia menantikan keputusannya raja.
Kaisar Tjong Tjeng manggut-manggut.
"Bagus!" katanya. "Dasar kau setia!"
Hampir Sin Tjie bongkar rahasianya orang kebiri ini apabila ia dengar laporan itu. Ia
marasa sangat sebal untuk kelicinannya dorna ini. Tapi di saat sepenting itu, ia ingat suatu
apa, lantas ia bisa sabarkan diri. Ialah ia ingat, pasukan perang Giam Ong bakal lekas
sampai di kota raja, maka dengan adanya manusia rendah ini di damping raja, itu akan ada
untungnya untuk pergerakannya.
Tanpa perdulikan lagi kaisar, Sin Tjie manggut pada A Kioe.
"Mari kembalikan pedang itu padaku, aku hendak pergi!" katanya.
Tiang Peng Kiongtjoe terperanjat.
"Kapan kau akan tengok aku pula?" tanyanya. Ia sampai lupa bahwa di situ ia ada
bersama kaisar dan Thaykam Tjo Hoa Soen.
"Harap thianhee rawat diri saja baik-baik," kata Sin Tjie seraya ia ulur tangannya, untuk
sambuti pedangnya.
A Kioe tarik tangannya.
"Untuk sementara baiklah pedang ini dititipkan padaku di sini," katanya. "Lain kali, apabila
kita bertemu pula, Baru aku kembalikan padamu....."
Sin Tjie ragu-ragu, apapula ia tampak roman heran dari kaisar dan Tjo Hoa Soen.
Kemudian, lantas saja ia manggut pula kepada tuan puteri, lalu ia putar tubuhnya dan
bertindak keluar.
A Kioe menyusul sampai di luar, di pintu keraton.
"Kau jangan kuatir, tidak nanti aku lupakan kau," katanya dengan pelahan.
Sin Tjie niat menutur segala apa, akan tetapi ia lihat istana itu bukan tempatnya, ketika itu
bukan saatnya juga, maka ia bilang: "Di dalam negeri bakal terbit perubahan besar, maka
daripada berdiam menyendiri di dalam istana, lebih baik kau pergi jauh berkelana. Kau
ingat baik-baik perkataanku ini."
Inilah nasihat supaya A Kioe berlalu dari istana, sebab Giam Ong segera bakal sampai di
kota raja, waktu itu suasana ada sangat mengancam. Akan tetapi A Kioe tak dapat tangkap
maksud itu, yang tersembunyi. Malah dia tertawa.
"Benar," katanya. "memang aku lebih suka ikuti kau pergi berkelana ke mana saja, itu jauh
terlebih senang daripada kehidupan mewah di istana. Nanti saja, apabila kau telah datang
pula, Baru kita-orang bicara pula dengan jelas!"
Sin Tjie menghela napas, tak bisa ia mengatakan apa-apa lebih jauh. Setelah ia geraki
tangan, untuk pamitan, ia loncati tembok, untuk berlalu dari istana. Ia lihat obor terangterang
di segala penjuru istana, rupanya masih saja dilakukan penggeledahan untuk cari
sisa-sisa pemberontak....
Anak muda kita sangat kuatirkan keselamatan Tjeng Tjeng, maka itu ia lakukan perjalanan
pulang dengan cepat sekali. Kapan ia sudah sampai di rumahnya di gang Tjeng-tiauw-tjoe,
Baru hatinya lega. Di sana kedapatan Tjeng Tjeng bersama-sama Wan Djie dan Lip Djie
dengan tidak kurang suatu apa.
Baru sekarang, setelah tak tidur satu malaman, dan habis keluarkan tenaga banyak, Sin
Tjie ingat keletihannya dan mengantuk, dari itu, setelah bicara sedikit, ia pergi ke
kamarnya untuk tidur.
Waktu sudah siang, kira jam tujuh atau delapan pagi, Baru Sin Tjie mendusin. Ketika ia
pergi keluar, di thia sudah menantikan Tong Hian Toodjin bersama Bin Tjoe Hoa serta
enam murid Boe Tong Pay lainnya.
Tong Hian beramai datang ke rumah Sin Tjie sebab dapat kabar kaum Ngo Tok Kauw
melakukan penyerangan, mereka niat memberikan bantuan, tidak tahunya, pertempuran
sudah berhenti.
"Terima kasih," Sin Tjie menghaturkan kepada tetamu-tetamunya itu.
Kemudian ia bilang, mungkin sekali Oey Bok Toodjin masih belum mati.
Kabar ini, walaupun masih samar-samar, sangat menggirangkan orang-orang Boe Tong
Pay itu. Karena Sin Tjie sendiri belum dapat kepastian, mereka tidak menanyakan melitmelit,
mereka cuma sampaikan harapan untuk si anak muda suka membantu lebih jauh.
Sekalian orang sudah datang, Sin Tjie minta Tong Hian semua berdiam terus di rumahnya
itu, untuk bantu melindungi andaikata bantuan mereka dibutuhkan, setelah itu seorang diri
ia pergi ke luar kota sebelah barat, ia jalan terus sampai kira sepuluh lie, lalu di bawahnya
sebuah pohon besar, ia tampak Ho Tiat Tjhioe asik menantikan dia.
Nona kepala Ngo Tok Kauw itu bersenyum berseri-seri, ia menyambut sambil tertawa,
sikapnya manis dan hormat.
"Wan Siangkong!" katanya; tetap masih tertawa. "Tadi malam aku telah sempurnakan
urusan baikmu! Kau lihat, cukup atau tidak perbuatanku sebagai sahabat kekal?"
"Keadaan tadi malam memang sangat berbahaya," Sin Tjie jawab. "Beruntung sekali Ho
Kauwtjoe telah beri bantuanmu secara tiba-tiba, hingga onar besar bisa dapat dicegah.
Aku sangat bersukur kepada kau, kauwtjoe."
Masih saja kauwtjoe itu tertawa.
"Wan Siangkong, kau beruntung bukan main!" katanya pula. "Kau telah dapatkan satu
puteri raja yang cantik molek yang berikan cintanya kepadamu, maka jikalau kemudian
kau menjadi Hoe-ma, apa mungkin kau nanti melupakan orang-orang kang-ouw semacam
kami?" Sin Tjie heran.
"Ah, jangan main-main, Ho Kauwtjoe!" katanya, dengan roman sungguh-sungguh.
Tapi kauwtjoe itu tetap tertawa.
"Hai, kau masih menyangkal?" katanya. "Dia demikian menyinta padamu, mustahil kau
tidak lihat itu" Laginya, jikalau kau tidak cintai dia, mengapa kau serahkan pedang Kim
Tjoa Kiam kepadanya" Dan kenapa kau tolongi ayahanda rajanya secara demikian matimatian?"
"Itulah melulu untuk keselamatannya negara," Sin Tjie jawab.
"Ya, untuk keselamatan negara!" kata si nona. Ia terus tertawa dengan manis. "Untuk
keselamatan negara dengan cara mencuri kau tidur bersama dalam satu pembaringan
dengan puteri orang! Haha-haha!"
Merah mukanya Sin Tjie, bukan main sibuknya ia.
"Apa....apa"....." tanya dia. "Kenapa kau....."
"Kau hendak tanya, kenapa aku ketahui itu, bukankah?" tertawa Ho Kauwtjoe. "Ketika aku
turut Tjo Hoa Soen masuk dalam kamarnya tuan puteri, aku telah lantas dapat tahu,
bersama ia di bawah selimutnya ada tersembunyi satu orang lain! Kita ada sesama kaum
kang-ouw, apa kau sangka mataku buta" Hihi-hihi! Mulanya aku berniat menyingkap
selimut, akan tetapi ketika aku menoleh ke kursi dan lihat gambar lukisan kau, Wan
Siangkong, aku dapat pikiran lain. Aku anggap baiklah aku ikat persahabatan
denganmu...."
Bukan main malunya Sin Tjie, tak ada tempat untuk ia sembunyikan mukanya.
"Ya, A Kioe telah tidak sempat sembunyikan gambar lukisannya itu," pikirnya.
Ho Tiat Tjhioe mengawasi pemuda ini, yang merah mukanya sampai ke kuping-kuping
Baru setelah itu, ia ubah sikapnya.
"Bukankah Hee Siangkong sudah kembali dengan tidak kurang suatu apa?" tanyanya.
Sin Tjie manggut.
"Sekarang aku datang untuk obati saudara-saudaramu yang terluka," katanya.
(Bersambung bab ke 23)
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ho Tiat Tjhioe manggut.
"Mari!" ia mengajak, sambil ia jalan di muka, menuju ke arah barat. Di sepanjang jalan,
pemimpin Ngo Tok Kauw ini puji A Kioe, untuk kecantikannya, untuk kegagahannya juga.
Tidak disangka ada puteri raja, demikian muda, demikian kosen juga.
Sin Tjie antap orang godai ia, ia lawan dengan membungkam saja.
Mereka jalan jauhnya kira lima lie, sampailah mereka di sebuah kuil tua, yang bernama
Hoa Giam Sie. Di luar kuil berkumpul beberapa orang Ngo Tok Kauw, sebagai penjaga,
kapan mereka lihat pemuda kita, mereka memandang dengan tampang bermusuhan.
Sin Tjie tidak gubris mereka itu, ia terus ikuti Ho Tiat Tjhioe masuk ke dalam kuil, sampai
di ruang pendopo. Di muka pendopo Tay Hiong Poo-thian, di antara tikar tergelar, rebah
anggauta-anggauta Ngo Tok Kauw, yang kemarin ini menjadi kurban-kurbannya.
Tanpa buang tempo lagi, Sin Tjie hampirkan mereka satu demi satu, untuk ditotok, hingga
di lain saat, sembuhlah mereka semua, dapat mereka bergerak pula dengan merdeka
sebagai sediakala.
Lantas setelah itu, pemuda ini kata dengan nyaring: "Aku tidak bermusuhan dengan
saudara-saudara beramai, cuma disebabkan salah mengerti yang kecil sekali, kejadian aku
berbuat keliru terhadap saudara-saudara, maka itu, di sini aku haturkan maaf pada
saudara-saudara!"
Pemuda ini tidak cuma mengucap kata-kata, ia pun menjura kepada semua orang Ngo Tok
Kauw itu. Rupanya masih panas hatinya orang-orang Ngo Tok Kauw itu, mereka tidak membalas
hormat, mereka pelengoskan muka, tidak ada satu yang suka bicara.
Sin Tjie tidak menjadi berkecil hati. Ia anggap ia sudah lakukan keharusannya, maka tanpa
bilang suatu apa lagi, ia bertindak keluar. Cuma satu kali, ketika ia kebetulan menoleh ke
samping pendopo, di situ ia tampak sepasang mata yang mencorong tajam menghadapi
Ho Tiat Tjhioe, yang antar ia keluar. Ia tidak kenali mata siapa itu, tetapi menampak sinar
mata orang, ia terkejut. Itulah sinar mata yang penuh dengan kebencian hebat.
Masih Sin Tjie mencoba melihat pula tapi kali ini sepasang mata itu telah lenyap, kelihatan
tubuhnya berkelebat, lantas hilang. Tapi karena ia lihat tubuh berkelebat, segera ia
menduga kepada Ho Ang Yo, si uwah yang romannya menyeramkan.
Sesampainya di luar, selagi Sin Tjie pandang Ho Tiat Tjhioe, ia pun heran. Lenyap cahaya
terang dan riang-gembira dari pemimpin agama ini, tak suka ia bicara, romannya jadi
pendiam dan keren. Hingga Ho Kauwtjoe jadi bukan seperti Ho Kauwtjoe yang ramahtamah
tadi. Di luar pekarangan, kedua orang saling memberi hormat, untuk pamitan. Sin Tjie berjalan
pulang, ketika kemudian ia menoleh, Ho Tiat Tjhioe sudah masuk. Ia jadi curiga, timbul
keinginannya untuk mendapat tahu sebab dari perubahan sikapnya kauwtjoe itu. Maka itu,
sesudah jalan terus sekira satu lie, hingga ia percaya, tidak nanti orang intai ia, lekas-lekas
ia kembali. Ia sangat kuatir orang mempunyai daya keji, untuk mengganggu ia atau
pihaknya. Tidak perduli jalanan jadi lebih jauh dan ambil lebih banyak tempo, ia mutar ke
selatan, dari sana ia menuju ke belakang Hoa Giam Sie, dimana tidak ada orang, maka
dengan merdeka ia bisa hampirkan tembok, untuk lompat naik dan masuk ke pekarangan
dalam. Segera ia dengar suitan istimewa dari Ngo Tok Kauw, tanda undangan berapat.
Untuk sementara Sin Tjie umpeti diri di atas pohon, antara daun-daun yang lebat,
kemudian setelah duga, orang tentunya sudah berkumpul, ia turun dari atas pohon,
dengan hati-hati ia menuju ke belakang Tay Hiong Poo-thian. Ia bersukur ia tidak ketemui
siapa juga, hingga ia bisa tempatkan diri tepat di belakang pendopo, untuk pasang kuping.
Dengan lantas ia dengar suara-suara keras, dari pertentangan. Ia masih dapat kenali suara
orang. Ialah suara tajam dari Ho Ang Yo, suara nyaring dari Tjee In Go. Mereka ini sedang
serang Ho Tiat Tjhioe, yang dikatakan karena main cinta sudah melupakan musuh besar
dari Ngo Tok Kauw, sehingga dia jadi berkhianat, bahwa dia telah bersekongkol sama
musuh, hingga dia pun merusak usaha menjunjung satu raja baru, hingga itu pun berarti
merusak harapan Ngo Tok Kauw untuk pentang sayap dan pengaruh.
Selama diserang pergi-datang, Ho Tiat Tjhioe sendiri cuma mendengari sambil perlihatkan
senyum ewah. Adalah kemudian Baru ia tertawa dingin, ia tanya: "Sekarang, habis kamu
mau apa?" Itulah pertanyaan yang sangat ringkas, yang segera membuat semua anggota menjadi
bungkam. Lama orang terbenam dalam kesunyian, baru terdengar Ho Ang Yo buka mulutnya.
"Kita mesti angkat satu kauwtjoe baru!" kata uwah ini.
Tiat Tjhioe tidak jadi gentar, dia bersikap tenang tapi keren.
"Selama beberapa ratus tahun adalah aturan Ngo Tok Kauw, kalau kauwtjoe menutup mata
barulah diangkat kauwtjoe baru sebagai penggantinya!" katanya. "Habis, apakah kamu
inginkan aku mati?"
Kembali orang bungkam. Inilah pertanyaan hebat.
Melihat orang semua berdiam, Tiat Tjhioe tanya: "Siapakah yang memikir suka menjadi
kauwtjoe baru?"
Kembali satu pertanyaan ringkas tetapi tak kurang hebatnya.
"Siapa memikir untuk jadi kauwtjoe baru?" Tiat Tjhioe ulangi pertanyaannya.
Masih semua orang bungkam.
Siasia saja Ho Tiat Tjhioe ulangi pertanyaannya itu sampai tiga kali, maka akhirnya ia
tertawa berkakakan.
"Sekarang hayolah kamu memikir dengan seksama!" katanya kemudian. "Coba kamu pikir,
siapa di antara kamu yang mempunyai kepandaian untuk menangkan aku! Siapa yang
memikir demikian, silakan maju! Silakan dia rampas kedudukan kauwtjoe kita! Siapa yang
takut nanti antarkan jiwanya secara kecewa, dia mesti gunai ketikanya ini, untuk tutup
bacot!" Sin Tjie dengar semua itu, lantas saja ia mengintip di sela-sela pintu. Ia lihat Ho Tiat Tjhioe
sendirian duduk di sebuah kursi, jauh di sebelah depan ia, orang-orang Ngo Tok Kauw
pada memandang sambil berdiri, nampaknya mereka semua berjeri hati.
Di dalam hatinya, Sin Tjie kata: "Aku telah tempur semua orang Ngo Tok Kauw, tidak ada
satu di antara mereka yang nempil sama kauwtjoe ini. Tapi sekarang dia menindih orang
dengan kekerasan, aku percaya tak dapat dia menjadi kauwtjoe yang kekal-abadi."
Sampai di situ, pemuda ini dapat kenyataan orang Ngo Tok Kauw tidak kandung niat
memusuhkan terus padanya atau pada Tjeng Tjeng, maka ia anggap baik ia pulang saja,
tak ada perlunya ia mencampuri urusan dalam dari mereka itu. Benar selagi ia hendak
memutar tubuh, ia tampak satu cahaya berkelebat. Itulah Ho Ang Yo yang bertindak maju
dengan sebatang senjata yang aneh, yang pemuda kita belum pernah lihat.
Senjata itu yang besar, mirip dengan gunting. Dari gurunya, Sin Tjie belum pernah dengar
senjata semacam itu, maka bisa dimengerti, ia juga tak tahu cara menggunainya. Karena
ini ia batal pergi, ia terus mengintai lagi.
"Aku sendiri, tidak memikir untuk jadi kauwtjoe!" berkata Ho Ang Yo secara menyindir.
"Dan aku juga tahu, aku bukannya tandingan kau! Tapi aku terpaksa bertindak, untuk Ngo
Tok Kauw kita! Kita harus ingat kepada tujuh leluhur kita serta tiga puteranya, bahaimana
susah-payah mereka, sesudah bergulat empat-puluh tahun lebih, Baru mereka dapat
berdirikan perkumpulan agama kita, hingga terutama sejak seratus tahun yang terakhir ini,
Baru kita dapat malang-melintang di Selatan. Maka itu, sekali-kali tidak boleh Ngo Tok
Kauw mesti termusna-ludas di tanganmu, kacung hina!"
Ho Tiat Tjhioe tidak jawab itu bibi, hanya dia tanya semua orang.
"Apakah hukumannya untuk penghinaan terhadap kauwtjoe?"
"Sudah sedari siang-siang aku tidak anggap lagi kau sebagai kauwtjoe!" Ho Ang Yo
sengapi. "Mari maju!"
Uwah ini geraki kedua tangannya, untuk buka senjata semacam gunting itu, hingga
terdengar suara nyaring. Benar-benar senjata istimewa itu mirip gunting, mirip sepit untuk
menjepit! Ho Tiat Tjhioe bersenyum dingin, ia tidak bergeming dari kursinya.
Ho Ang Yo maju terus menghampirkan, hingga dua kali gunting itu menggunting. Rupanya
ia jeri terhadap kauwtjoe itu, sebelumnya menyerang, ia coba dulu senjatanya, sekalian
dipakai mengancam. Adalah setelah ketiga kalinya, sesudah datang dekat, Baru ia
menyerang betul-betul.
Tiat Tjhioe cuma berkelit dari serangan, ia tidak membalas.
Sin Tjie heran, hingga ia mengawasi terus.
Orang-orang Ngo Tok Kauw maju dengan pelahan, sikap mereka mengurung.
Baru sekarang si anak muda mengerti, pemimpin agama itu mengambil sikap menjaga diri,
"menutup pintu". Tadinya ia tidak menduga demikian, karena sempitnya sela-sela pintu, ia
melainkan lihat ruang pendopo kecil, lurus panjang saja.
Sampai sekian lama, masih tidak ada satu anggauta juga yang berani mulai dengan
penyerangannya, mereka cuma maju untuk mengancam, bersikap mengurung.
"Mahluk-mahluk tak berguna, takut apa?" teriak Ho Ang Yo. "Hayo, semua maju!"
Ia memberi tanda dengan guntingnya.
Baru sekali ini, semua orang maju sambil berseru-seru.
Tiat Tjhioe lompat, kedua tangannya bergerak, maka terdengarlah suara bentrokan, suara
berisik, sebab kursi yang dia pakai sebagai alat penangkis, rusak terkena bacokanbacokan.
Di lain pihak, dua anggauta menjerit dan rubuh, karena mereka dihajar gaetan!
Segera setelah itu, terlihatlah bajangan putih berkelebat sana-sini, gesit sekali.
Sin Tjie adalah satu ahli silat, walaupun pertempuran tampaknya sangat kalut, ia toh bisa
lihat tegas sesuatu pukulan atau tendangan, apalagi itu waktu, gerakannya orang-orang
liehay dari Ngo Tok Kauw masih rada ayal, sebab mereka itu Baru saja ditotok sembuh
olehnya, sedang mereka itu rebah sudah lama juga.
Ho Tiat Tjhioe tidak pikir untuk menyingkir dari kepungan puluhan anggauta-anggautanya
itu. Jikalau ia inginkan itu, menurut Sin Tjie ketikanya ada banyak. Maka terang sudah,
kauwtjoe ini hendak tindih orang-orangnya itu dengan kegagahannya.
Pertempuran berjalan terus.
Sin Tjie terus pasang mata, sampai perhatiannya ketarik oleh gerak-geriknya salah satu
penyerang. Dia ini tidak merangsak seperti yang lainnya, walaupun dengan pelahan-lahan
ia coba dekati Ho Tiat Tjhioe. Dalam genggaman tangannya, orang ini menyekal suatu apa,
entah barang atau senjata apa itu. Adalah setelah mengawasi sekian lama, pemuda kita
kenali Kim-ie Tok Kay Tjee In Go, si pengemis tidak berbudi. Setelah datang cukup dekat,
mendadak pengemis ini berseru dengan keras, kedua tangannya diangsurkan ke depan
dengan cepat, cekalannya dilepaskan, maka terlihatlah suatu benda bersinar kuning emas
mencelat ke arah Ho Tiat Tjhioe.
Kauwtjoe ini berkelit sambil lompat jumpalitan, akan tetapi "senjata rahasia" dari Tjee In
Go pun aneh, dia seperti bisa bergerak sendiri, dia dapat menyambar kepada Ho Tiat
Tjhioe, selagi dia ini pun sibuk karena desakannya empat atau lima macam senjata lainnya
disebabkan desakan penyerang-penyerang, maka akhirnya, dengan perdengarkan jeritan
kaget dan menyeramkan, kauwtjoe itu terkena juga itu senjata rahasia.
Sekarang pun Sin Tjie dapat lihat tegas senjata rahasia aneh itu, yang sebenarnya bukan
semacam gegaman, hanya seekor ular hidup, ialah ular berbisa kuning emas yang
ditangkap Tjee In Go, ular yang dikatakan "nabi"!
Selagi menjerit, Ho Tiat Tjhioe rasai matanya gelap, akan tetapi dia masih sempat ulur
tangannya, akan sambar ular yang menggigit pundaknya, sedang dengan gaetannya, ia
masih bisa gaet mati dua penyerangnya yang terdekat.
Segera terdengar teriakannya Ho Ang Yo: "Si kacung hina sudah kena dipagut ular emas,
hayo desak dia, supaya bisa ular dapat lantas bekerja!"
Ho Tiat Tjhioe tidak dapat lagi lakukan perlawanan, dengan tubuh sempoyongan, ia
menyingkir ke arah belakang pendopo. Tapi hatinya masih kuat, ia bisa pertahankan diri
untuk tidak rubuh. Dengan ancaman gaetannya yang liehay, ia juga membikin orang tidak
berani melintang di depannya, untuk memegat.
Menampak orang tak dapat dirintangi, Ho Ang Yo berlompat maju, ia terus menyerang
dengan gunting istimewanya, untuk gunting batok kepala orang.
Masih sempat Tiat Tjhioe berkelit sambil tunduki kepala, dan dengan gaetannya, ia coba
balas menyerang.
Tapi karena ini, ia dihalangi oleh Phoa Sioe Tat dan Thia Kie Soe.
Dalam keadaan sangat berbahaya itu, Ho Tiat Tjhioe meraba dan menekan ke
pinggangnya, maka menyusul itu menyambarlah senjata rahasia jarum berbisa!
Phoa Sioe Tat tidak menyangka, dia tidak sempat berkelit, malah dia tidak dapat berteriak
juga, sebatang jarum mengenai dia, terus dia rubuh dan binasa.
Tapi juga Tiat Tjhioe sendiri, racun ular sudah bekerja, walaupun ia masih bisa
memberikan perlawanan, ilmu silatnya sudah kacau, tubuhnya tidak berdiri tegak lagi.
Nampaknya, pikirannya pun sudah mulai was-was.
Tidak tega Sin Tjie setelah ia menyaksikan sampai sebegitu jauh. Ia ingat, Ho Tiat Tjhioe
jadi bentrok dengan kaum sendiri boleh dibilang disebabkan tipu-dayanya
merenggangkan mereka. Maka ia anggap, ia bertanggung-jawab, pantas jikalau ia tolongi
nona yang liehay itu. Ia pun tidak berayal-ayalan lagi.
"Semua berhenti!" mendadak dia berseru sambil ia pun lompat keluar dari belakang
pendopo. Semua orang Ngo Tok Kauw kaget, hingga tertunda sendirinya serangan mereka. Inilah
hal yang mereka tidak sangka sama sekali.
Akan tetapi Tiat Tjhioe sudah kalap, dia tidak kenali Sin Tjie, dia malah menggaet,
menyerang ini anak muda.
Sin Tjie berkelit ke samping, tangan kirinya diulur, untuk menyekal lengan orang.
Dalam keadaan seperti itu, masih ingat Tiat Tjhioe dengan jalannya ilmu silat, maka ketika
ia merasa lengannya ada yang tangkap, ia kasi turun lengannya, membarengi mana, ia
menyerang dengan gaetannya dengan "Oey hong tjie" atau "Antupan tawon galuh".
"Aku hendak tolongi kau!" Sin Tjie serukan sambil ia kelit dari gaetan itu.
Masih Tiat Tjhioe kalap, masih ia menyerang pula, malah dengan hebat sekali, maka mau
atau tidak, Sin Tjie mesti melayani. Setelah beberapa jurus, dia sambar kaki orang dengan
kaki kanannya. "Brak!" demikian tubuh si nona rubuh terbanting. Tapi berbareng dengan itu, dia pentang
kedua matanya, melihat Sin Tjie, dia berseru dengan kaget: "Wan Siangkong, apakah aku
sudah mati?"
"Aku hendak tolongi kau!" Sin Tjie jawab. Dan ia sambar kedua lengan orang, untuk
diangkat, buat dibawa menyingkir ke arah pintu.
Selama Tiat Tjhioe terjang Sin Tjie secara buta-tuli, orang-orang Ngo Tok Kauw berdiri
menonton. Mereka pun Baru saja sadar dari kaget dan herannya atas munculnya secara
mendadak pemuda yang liehay. Tapi begitu lihat si anak muda itu hendak bawa lari
kauwtjoe mereka itu, mereka merangsak sambil berseru-seru.
"Siapa berani maju!" bentak Sin Tjie seraya ia berbalik.
Ancaman ini ada hebat, entah siapa yang mulai, ketika di bagian belakang ada orang
menjerit, dan lari, yang lain-lain lantas memutar tubuh, untuk kabur juga, untuk mereka
gabruki pintu di belakang mereka!
Sin Tjie tertawa sendirinya akan menyaksikan orang demikian jeri terhadapnya. Maka itu ia
tidak terus angkat kaki, ia malah dapat ketika akan periksa lukanya Tiat Tjhioe, pundak kiri
siapa sudah bengkak, sedang muka dadu dari si nona sekarang mulai berubah menjadi
hitam. Pemuda kita tahu, Tiat Tjhioe telah terluka hebat, kalau toh ia dapat pertahankan diri
sampai sebegitu jauh, ini ada akibatnya karena dulu-dulu dia selalu memain dengan bisa
ular. Tapi si nona perlu ditolong, tidak leluasa, tidak selamat untuk ia berdiam lama-lama
di kuil Hoa Giam Sie ini, sarang Ngo Tok Kauw itu, maka tanpa sangsi lagi, Sin Tjie
pondong tubuh kauwtjoe itu, untuk dibawa lari pulang.
Tjeng Tjeng semua heran ketika mereka lihat si anak muda pulang sambil pondong Ho Tiat
Tjhioe, mereka juga kaget.
"Hai, kenapa kau pondong dia?" Tjeng Tjeng berseru. "Lekas turunkan!"
"Lekas! Lekas ambil kodok es!" Sin Tjie berseru.
Selagi lain-lain orang masih berdiam, Wan Djie sudah maju akan bantui Sin Tjie, untuk
bawa Ho Tiat Tjhioe ke dalam untuk segera ditolongi.
Tong Hian Toodjin dan Bin Tjoe Hoa serta kawan-kawannya menjadi heran berbareng
gusar akan saksikan kauwtjoe dari Ngo Tok Kauw itu, sebab kauwtjoe ini adalah musuh
besar mereka. Sin Tjie keluar pula dengan cepat, dengan demikian dapat ia tenteramkan hati kawankawannya
dan kepada mereka itu ia tuturkan apa yang terjadi di Hoa Giam Sie, sampai ia
tolongi kauwtjoe dari Ngo Tok Kauw itu. Ia juga jelaskan, bantuan apa yang Tiat Tjhioe
sudah berikan kepada pihaknya.
"Lagi satu hal," kemudian Sin Tjie tambahkan, pada rombongannya Tong Hian Toodjin,
"hal gurumu, Oey Bok Toodjin, sebentar dapat kita tanyakan kepadanya sesudah ia
sadar." Orang-orang Boe Tong Pay itu girang menerima keterangan anak muda ini, dengan lantas
mereka haturkan terima kasih mereka.
Tidak antara lama, Wan Djie keluar.
"Bisanya sudah tersedot keluar dengan pelahan-lahan akan tetapi orangnya masih belum
sadar," ia beri tahu.
"Kau kasi dia makan obat pelepas racun, lantas antapkan dia tidur, untuk dia beristirahat,"
Sin Tjie bilang.
Wan Djie jawab, "Baiklah," akan tetapi selagi ia hendak masuk kembali, kelihatan Lip Djie
datang masuk sambil berlari-lari, lalu dia berseru-seru: "Wan Siangkong, selamat,
selamat!" "Kaulah yang harus dikasi selamat!" menyambut Tjeng Tjeng sambil tertawa.
Mukanya Wan Djie menjadi merah, lekas-lekas ia berlalu.
Lo Lip Djie tidak layani godaannya Nona Hee, ia kata pula: "Pasukan besar dari Giam Ong
sudah rampas Djie-lim dan Han-tiong!"
Warta ini benar-benar menggirangkan semua orang.
"Apa kabar ini sudah pasti?" tegaskan Sin Tjie yang teliti.
"Warta ini aku dapatkan dari Saudara Thio yang ditugaskan pergi mencari ini.... Bin
Djieya," jawab Lip Djie. "Menurut dia, ketika dia sampai di Siamsay, dia dapatkan
tentaranya Giam Ong sedang menyerang kota, hingga suara meriam menggelegar tak
henti-hentinya, karena itu, tidak dapat dia jalan lebih jauh. Begitulah dia telah lihat sendiri
pasukan Beng Tiauw kena dilabrak hingga kalah besar dan tjongpeng dari kota itu dapat
dibinasakan."
"Bagus kalau begitu!" kata Sin Tjie. "Dengan begitu bisa diharap kedatangannya
sembarang waktu dari tentara rakyat itu ke kota raja ini, itu waktu kita nanti menyambut
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari dalam."
Karena ini Sin Tjie lantas ambil ketika untuk mengatur rencana penyambutan, supaya
penyerangan bisa dilakukan berbareng, dari luar dan dalam. Ia tetapkan siapa mesti
melepas api, siapa mesti rampas kota, siapa mesti bunuh jendral pembela ibu-kota.
Karena ini ada urusan rahasia, ia tidak lantas umumkan itu pada kawan-kawannya.
Untuk beberapa hari, Sin Tjie menjadi repot, ia perlu hubungkan kawan-kawan
seperjuangan lainnya yang berada di dalam kota, untuk janjikan mereka turun tangan
bersama begitu lekas angkatan perang Giam Ong sudah sampai. Ketika itu hari ia pulang
habis bekerja, Wan Djie ketemui dia dengan wajah Nona Tjiauw ini masgul sekali.
"Wan Siangkong, masih saja Ho Kauwtjoe tak sadar akan dirinya," kata dia.
Sin Tjie menjadi heran.
"Sudah beberapa hari tetapi ia masih belum sadar juga!" katanya.
Lantas bersama Wan Djie, ia masuk ke dalam, untuk melongok.
Ho Tiat Tjhioe rebah dengan muka seperti tidak ada darahnya, napasnya jalan seperti
tinggal satu tarikan demi satu tarikan.
Menyaksikan itu, pemuda ini menjadi sangat berduka, hingga ia berdiam saja. Tapi
otaknya bekerja. Selang sesaat, mendadak ia berjingkrak sambil berseru: "Celaka!"
Wan Djie terkejut.
"Kenapa, Wan Siangkong?" tanya nona ini.
"Aku lupa satu hal," Sin Tjie jawab. "Jikalau seorang biasa terkena racun, asal racunnya
sudah dapat dikeluarkan, dia bisa lantas sembuh. Dengan Ho Kauwtjoe, keadaan ada lain.
Sedari kecil dia bergaul dengan pelbagai binatang berbisa, mungkin juga ia telah makan
entah obat apa yang mengandung bisa. Ya, binatang berbisa yang umum tidak dapat
meracuni dia, tidak demikian apabila dia terkena bisa yang hebat, sekali terkena, dia bisa
keracunan secara hebat sekali. Demikianlah kali ini. Selama beberapa hari ini, aku terlalu
repot, sampai aku tidak ingat itu...."
"Habis sekarang, bagaimana?" Nona Tjiauw tanya.
Sin Tjie berpikir, ia ragu-ragu.
"Nampaknya tidak ada lain jalan kecuali kasi dia makan kodok es itu," sahut ia kemudian.
"Meski begini, kita cuma mencoba saja. Kesangsianku disebabkan urusan lain lagi. Kalau
kita kasi dia makan kodok es itu, lalu kita dapat gangguan pula dari orang-orang Ngo Tok
Kauw, asal ada orang kita yang terluka dan keracunan, pasti dia mesti terima nasibnya,
tidak ada pertolongan lagi...."
Wan Djie benar-benar berduka. Kekuatiran itu beralasan.
Sin Tjie terus berpikir, sampai tiba-tiba ia tepuk pahanya.
"Marilah kita kasi dia makan obat itu!" katanya kemudian. "Dia bukannya sanak, bukannya
kadang kita, akan tetapi tak tega aku untuk awasi dia mati tersiksa secara begini di depan
kita...." Wan Djie bersangsi, karena percobaan itu benar-benar berbahaya. Kalau Tiat Tjhioe
ketolongan, kalau tidak, bukankah obat mujarab itu lenyap dan ancaman di belakang hari
tak dapat dielakkan lagi" Akan tetapi ia toh serahkan kodok es itu, yang terus diaduki
arak, untuk terus dicekoki kepada Ho Tiat Tjhioe.
Habis itu, orang duduk menantikan akibatnya.
Belum selang setengah jam, muka pucat dari Ho Kauwtjoe mulai berubah, kelihatan sinar
semu dadu, dan napasnya pun tidak empas-empis lagi.
Sin Tjie masih mengawasi sekian lama, lantas ia dapat kepercayaan nona itu bakal
ketolongan, dari itu ia lantas tinggal pergi keluar, justru Ang Seng Hay sedang cari dia.
"Wan Siangkong, orang Ngo Tok Kauw datang mencari!" kata pengiring ini begitu lekas ia
lihat majikannya. Ia nampaknya tergesa-gesa.
Hatinya Sin Tjie bercekat, sepasang alisnya mengkerut.
"Berapa jumlah mereka?" ia tegasi.
"Baru satu orang sampai di luar, entah yang menyusul belakangan," Seng Hay jawab.
Sin Tjie berpikir keras.
"Kecuali Ho Kauwtjoe, ilmu silatnya orang-orang Ngo Tok Kauw itu biasa saja," pikir ia.
"Yang berbahaya adalah racun mereka. Mereka telah jeri terhadapku, perlu apa sekarang
mereka datang pula" Mesti ada yang mereka buat andalan maka mereka berani cari aku!
Mustika kodok sudah dimakan habis oleh Ho Tiat Tjhioe, andaikata ada orang dari pihakku
yang terluka, habislah dia...."
Tapi ia tidak bisa buang tempo.
"Pergi wartakan semua orang," ia titahkan Seng Hay. "Semua mesti berkumpul di thia
besar, tanpa titah atau tanda dari aku, aku larang siapa juga keluar akan hadapi orangorang
Ngo Tok Kauw! Pergi lekas!"
Ang Seng Hay menurut, maka dengan separuh lari, ia pergi untuk sampaikan titah itu
kepada semua kaumnya.
Sin Tjie sendiri lekas pergi keluar, begitu sampai di ambang pintu, ia sudah lantas dapat
lihat satu orang Ngo Tok Kauw, yang separuh tubuhnya telanjang, celananya sudah
rombeng, sedang berdiri di depan pintu, berdiri dengan kedua tangan, kepalanya di
bawah, kedua kakinya di atas. Ia tidak merasa aneh, karena ia sudah kenal dengan lagalagunya
orang-orang kaum "Lima Macam Bisa" itu. Ia juga lantas kenali, orang itu ada
Kim-ie Tok Kay Tjee In Go.
Hanya kali ini, "dandanan" orang she Tjee ini ada lebih istimewa.
Di kedua pundak, di bebokongnya, juga di kedua bahu-tangannya, Tjee In Go telah
tancapkan sama sekali sembilan batang golok panjang yang tajam-mengkilap, ujung golok
nancap dalam, darahnya yang masih segar masih mengalir keluar.
Sin Tjie mengawasi dengan waspada, ia mesti siap sedia. Orang berlaku aneh, ia
menduga-duga apa In Go lagi gunai ilmu siluman.
"Kau datang kemari, apakah kau mau?" ia tegur.
Tjee In Go tidak menjawab, ia hanya mengoceh sebagai pembaca mantera: "Sembilan
golok menembusi lobang, itulah pendekarnya Agama Iblis!"
"Kita berdua harus ambil jalan masing-masing, maka jangan kamu ganggu pula pihakku!"
Sin Tjie kata pula. "Aku janji bahwa aku pun tidak bakal ganggu kamu lebih jauh. Lekas
pergi!" Tjee In Go tidak menyahuti, dia tetap mengoceh dengan manteranya itu, malah mulutnya
berkemik semakin cepat mengucapkan "Sembilan golok menembusi lobang, itulah
pendekarnya Agama Iblis!"
Sin Tjie heran bukan main, ia terus mengawasi, dengan lebih teliti. Sekarang ia dapat lihat
pada setiap batang golok diikatkan semacam mahluk berbisa, ada kalajengking, ada
kelabang, semuanya masih bergerak berkutik-kutik.
Itu waktu Ang Seng Hay telah berhasil mengumpulkan semua kawan, tidak terkecuali
Tjeng Tjeng, ia ajak mereka semua berkumpul di thia, dengan begitu, mereka ini jadi bisa
turut saksikan tindak-tanduk luar biasa dari Kim-ie Tok Kay Tjee In Go si Pengemis
Berbisa Berbaju Sulam....
Sin Tjie melirik kepada Ang Seng Hay, pengiring ini ada seorang cerdik, karena ia pun
dapat dengar nyata ocehannya si orang she Tjee, lekas-lekas ia masuk ke dalam, bersamasama
Tjiauw Wan Djie, ia masuk ke kamarnya Ho Tiat Tjhioe.
"Ho Kauwtjoe, apakah artinya 'Sembilan golok menembusi lobang, itulah pendekarnya
Agama Iblis'?" tanya ia kepada pemimpin Ngo Tok Kauw itu.
Tiat Tjhioe sudah mulai sadar, mendengar pertanyaan Seng Hay, ia geraki tubuhnya untuk
bangun berduduk.
"Siapa yang telah datang?" dia baliki menanya.
"Satu pengemis yang tidak pakai baju," sahut Seng Hay.
"Baik," kata kauwtjoe itu. "Eh, nona, tolong kau pegangi aku, antar aku keluar." Ia bicara
kepada Wan Djie.
Nona Tjiauw bersangsi. Ia tahu orang Baru saja sadar, tubuhnya pasti masih sangat lelah.
Selagi ia hendak mencegah, Tiat Tjhioe sudah goyangi tangan pada Seng Hay, untuk
menyuruh orang lelaki ini undurkan diri, kemudian ia ambil bajunya, yang panjang, untuk
dipakai. Semua gerakannya sangat lambat.
"Tak dapat kau keluar," Wan Djie bilang.
"Lekas tolong pegangi aku!" kata Kauwtjoe itu, yang tidak perduli cegahan.
Wan Djie jadi kewalahan, ia terpaksa menurut. Ia ulur tangannya, untuk membanguni
pemimpin Ngo Tok Kauw itu.
Ho Tiat Tjhioe ulur tangan kanannya, akan cekal tangan Nona Tjiauw kita.
Begitu ia kena dicekal, Wan Djie terperanjat. Tangannya kauw-tjoe ini kuat dan keras
sekali, ia merasa bagaikan tangannya kena dijepit, hingga seperti tidak berdaya, ia ikut
nona itu bertindak keluar. Dengan sendirinya ia merasa jeri berbareng kagum terhadap
ratu bisa ini. Begitu lekas Ho Tiat Tjhioe sampai di muka pintu, ia berseru: "Kau lihat! Bukankah aku ini
masih hidup?"
Parasnya Tjee In Go memperlihatkan roman girang, ia kerahkan tenaga kedua tangannya,
lantas ia berjumpalitan, sampai dua kali, tetap ia berdiri dengan kedua tangannya itu,
kepalanya di bawah, kedua kakinya di atas.
"Kenapa kau datang untuk menghaturkan maaf?" tanya Ho Tiat Tjhioe. "Jikalau kau tidak
mendapatkan ancaman malapetaka, tidak nanti kau mendapat kesadaranmu!"
Baru sekarang Kim-ie Tok Kay mau bicara.
"Oh, kauwtjoe yang bijaksana!" demikian katanya, "aku yang rendah telah berdosa hingga
mesti terbinasa berlaksa kali. Aku telah melukai tubuh yang suci dari Kauwtjoe. Bersukur
kepada Tjit-tjouw Sam-tjoe, yang melindungi dan memberkahi, Kauwtjoe selamat, tidak
kurang suatu apa!"
"Tjit-tjouw Sam-tjoe" ialah yang dimaksudkan "Tujuh leluhur, tiga putera".
Ho Tiat Tjhioe membentak: "Rupanya kau percaya, dengan pakai si ular emas untuk
melukai aku, jiwaku pasti bakal melayang! Jikalau aku telah mati, maka dengan menuruti
aturan kaum kita, dengan sendirinya kaulah yang menggantikan jadi kauw-tjoe! Bukankah
benar begitu?"
Tjee In Go tekuk kedua tangannya, lantas ia lonjorkan itu kedua samping, dengan begitu
dahinya jadi mengenai tanah, dengan dahi itu yang mengganjal tubuhnya, ia masih berdiri
dengan kaki di atas. Dengan ini ia jalankan kehormatan.
"Aku tanya kau, kenapa kau datang untuk menghaturkan maaf kepadaku?" Ho Tiat Tjhioe
tanya. "Aku yang rendah tidak berani mendustai Kauwtjoe," Tjee In Go menyahut. "Memang,
menurut aturan kaum kita, adalah aku yang rendah yang mesti menjadi kauwtjoe
pengganti. Tapi si uwah pengemis tidak setuju, dia bentrok sama aku, kesudahannya aku
yang rendah tidak sanggup lawan dia..."
"Memang aku tahu hatimu tidak lurus!" Ho Tiat Tjhioe kata. "Sekarang kau insaf, kau
hendak bersetia kepadaku, baik, aku suka kasi ampun pada satu jiwamu!"
Kauwtjoe ini hampirkan Kim-ie Tok Kay. Ia membungkuk, akan cabut sebatang golok di
pundak. Tjee In Go jadi sangat girang, ia memberi hormat pula, lantas ia berjumpalitan lagi, untuk
berdiri dengan kedua kakinya, habis mana, ia putar tubuhnya, terus ia ngeloyor pergi.
Dengan tetap dipepayang Wan Djie, Tiat Tjhioe bertindak ke thia, semua orang ikuti dia.
Dan semua orang itu terbenam dalam keanehan berhubung sama "pertunjukan" barusan
itu... Ho Tiat Tjhioe tertawa.
"Dia telah didesak sampai di jalan buntu, maka itu dia datang untuk minta bantuanku," ia
kata pada orang banyak.
"Apakah artinya semua golok itu?" Tjeng Tjeng tanya.
Tiat Tjhioe masih pegangi goloknya Tjee In Go, ia loloskan seekor kalajengking yang diikat
kepada golok itu, ia bungkus dengan saputangannya, dalam beberapa lepitan, lalu ia
masuki ke dalam sakunya.
"Ini adalah ilmu siluman dari kita," kata Tiat Tjhioe sambil tertawa. "Aku harap saudarasaudara
tidak mentertawakan kami. Semua sembilan golok itu ada binatang berbisanya
masing-masing, bisa itu dapat dipakai mengobati, dengan cara bisa lawan bisa. Siapa
keracunan bisanya semacam binatang, ia mesti diobati dengan bisanya semacam
binatang juga, cuma dengan dicampuri obat lainnya, lukanya bisa disembuhkan. Mulai hari
ini dan selanjutnya, setiap tahun di musim semi, apabila lukanya terkena bisa itu kambuh,
aku lantas obati dengan sebungkus obat pemunah bisa."
Tjeng Tjeng manggut-manggut.
"Secara demikian untuk selamanya, setiap tahun dia menjadi seperti kacungmu," kata dia,
"tidak nanti dia berani berkhianat pula."
"Tepat dugaan Hee Siangkong!" kata Tiat Tjhioe sambil tertawa.
"Apakah tidak boleh jikalau dia sendiri yang cabuti golok-golok di tubuhnya itu?" Tjeng
Tjeng tanya pula.
"Golok-golok itu justru dia sendirilah yang tusuki di anggauta-anggauta tubuhnya itu," Tiat
Tjhioe terangkan lebih jauh, "dengan dia datang kepadaku, untuk minta tolong dicabuti, itu
adalah bukti pernyataannya bahwa ia takluk kepadaku. Dia telah lukai aku dengan ular
emas itu, jikalau dia tidak pakai itu cara menusuk diri dengan sembilan golok, dia mengerti
bahwa aku tidak bakal terima baik padanya."
"Jikalau begitu, kenapa kau tidak hendak cabut saja semua golok itu sekaligus?" lagi-lagi
Tjeng Tjeng tanya. "Pada tubuhnya itu masih ada delapan golok yang nancap tajam,
bagaimana sakitnya...."
Ho Kauwtjoe tertawa.
"Memang aku kehendaki dia menderita lebih banyak!" sahutnya. Ia berhenti sebentar, lalu
ia menambahkan: "Jikalau Hee Siangkong juga suka memberi keampunan kepadanya,
baik besok aku nanti cabut semua sekaligus!"
"Terserah kepadamu!" Tjeng Tjeng bilang. "Tak dapat aku mengasihani orang jahat
sebangsa dia!"
Sampai di situ, Tong Hian Toodjin anggap pembicaraan mengenai lelakon Tjee In Go
sudah sampai di akhirnya, maka ia berbangkit, akan hadapi pemimpin Ngo Tok Kauw itu.
"Ho Kauwtjoe," berkata dia, "aku ingin bicara perihal guru kami. Dengan memandang
kepada Wan Siangkong, aku minta sudilah kau memberikan keterangan kepada kami."
Begitu sang imam bicara, semua murid Boe Tong Pay lainnya lantas pada berbangkit.
Ho Tiat Tjhioe pandang imam itu, ia tertawa dingin.
"Wan Siangkong telah melepas budi besar kepadaku, tetapi kamu dari Boe Tong Pay tidak
ada sangkutannya dengan aku!" kata dia dengan tandes. "Kesehatan tubuhku masih
belum pulih, apakah kamu hendak gunai kelemahan diriku ini untuk memaksa kepadaku"
Jikalau itu benar, aku Ho Tiat Tjhioe, aku tidak takut!"
Adalah di luar dugaan umum yang nona ini bicara dengan sikap demikian keras.
Diam-diam Sin Tjie kedipi Tong Hian Toodjin, kepada siapa ia berpaling.
"Kesehatan Ho Kauwtjoe sedang terganggu, nanti saja pelahan-lahan kita bicarakan pula
urusan ini," ia malang di tengah.
Belum sempat Tong Hian menyatakan sesuatu, sambil perdengarkan suara di hidung, Tiat
Tjhioe pegang tangannya Wan Djie, untuk ajak Nona Tjiauw masuk ke dalam. Dengan
begitu saja ia tinggalkan orang-orang Boe Tong Pay itu, sedang yang lainnya pada
melongo. Orang-orang Boe Tong Pay perdengarkan gerutuan mereka, suatu tanda mereka merasa
sangat tidak senang. Mereka merasa seperti dihinakan.
"Serahkan urusan ini padaku," Sin Tjie kata pada sekalian tetamunya itu. "Aku
bertanggung-jawab untuk cari tahu tempat di mana beradanya Oey Bok Toodjin."
Baru setelah dengar janji ini, orang-orang Boe Tong Pay itu bisa tenangi hati.
Besoknya pagi, benar saja Tjee In Go datang pula.
Ho Tiat Tjhioe cuma cabut sebatang golok.
Demikian seterusnya, setiap hari Kim-ie Tok Kay datang, untuk pemimpinnya cabuti
goloknya itu. Di hari kesembilan, ketika ia datang pula - di waktu tengah hari - adalah Ang
Seng Hay yang memberi warta pada Ho Tiat Tjhioe.
Ketika itu, Tiat Tjhioe telah pulih kesehatannya.
Juga Thia Tjeng Tiok, See Thian Kong, si empe gagu A Pa, Thie-Lo-Han Gie Seng dan Ouw
Koei Lam, sudah sembuh seluruhnya, mereka ingin saksikan, setelah Ho Kauwtjoe cabut
golok yang terakhir itu, bagaimana sikapnya kauwtjoe ini terhadap Tjee In Go. Maka itu,
mereka semua turut pergi keluar.
Kim-ie Tok Kay sudah berdiri pula dengan kedua tangan menggantikan kakinya, ia unjuk
air muka sangat terang, tanda kegirangannya.
Ho Tiat Tjhioe tidak lantas cabut golok di bebokong orang itu, ia menoleh pada Tjeng
Tjeng, ia tertawa.
"Hee Siangkong," katanya, "orang ini punyakan sifat buruk, akan tetapi ilmu silatnya baik
sekali, maka bagaimana kau pikir jikalau aku berikan dia kepadamu untuk dia jadi
kacungmu" Dengan kau simpan obat pemunah racun dalam tanganmu, tidak nanti dia
berani bantah setiap perkataanmu."
Tjeng Tjeng bersenyum.
"Aku ada seorang perempuan, untuk apa aku mempunyai seorang kacung lelaki buruk
sebagai dia?" dia menjawab dengan pelahan.
Ho Tiat Tjhioe terperanjat, hingga ia melongo. Sejak ia lihat Tjeng Tjeng, seterusnya saban
kali ia menemui pula, selamanya justru nona Hee sedang dandan sebagai satu pemuda,
maka itu, makin lama ia melihat, makin tertarik hatinya, makin keras cintanya. Selama itu,
tidak pernah ia curigai puterinya Kim Tjoa Long-koen ini. Oleh karena ini, jawaban si nona
bikin ia heran bukan main.
"Apa?" tegasi dia.
"Aku tidak inginkan kacung itu," sahut Tjeng Tjeng.
"Kau membilang tentang seorang perempuan"...." Tiat Tjhioe tegasi pula.
Wan Djie tertawa, ia campur bicara.
"Ini adalah nona Hee," ia kasi tahu. "Sejak masih kecil dia gemar sekali dandan sebagai
seorang pria. Tidak heran jikalau kau tidak dapat tahu, juga aku pada mulanya bertemu,
aku tidak dapat mengenalinya."
Tiat Tjhioe merasai matanya berkunang-kunang, maka ia tercengang memandang
"pemuda" di depannya itu. Sekarang ia lihat tegas satu kulit muka yang putih-halus,
sepasang alis yang lentik melengkung! Ya, itulah kulit dan alisnya seorang wanita. Maka ia
kaget, ia mendongkol, ia penasaran....
"Hai, mengapa aku jadi begini tolol!" dalam hatinya ia tegur dirinya sendiri, ia
menyesalinya. "Kenapa untuk seorang perempuan, aku berontak terhadap agamaku, aku
tentangi kawan-kawanku" Benar-benar tak pantas aku hidup lebih lama pula!...."
Kauwtjoe ini ada seorang luar biasa, walaupun dia berhati keras bagaikan baja, semakin
dia gusar, semakin murah tertawanya, senyumannya. Juga kali ini, ia lantas tertawa,
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sujennya nampak nyata.
"Benar-benar aku tolol!" katanya. Ia bertindak ke tangga, akan hampirkan Tjee In Go. Ia
membungkuk, sikapnya hendak mencabut golok di bebokongnya Kim-ie Tok Kay, yang
sekarang rebah tertelungkup. Ia ada seorang dengan hati kuat, akan tetapi perubahan
kejadian ini telah sangat pengaruhi dia, maka itu, sesaat itu, hatinya gentar, ia bimbang,
tanpa ia kehendakinya, kakinya lemas, hingga ia berdiri dengan limbung.
Tjiauw Wan Djie berada dekat kauwtjoe ini, ia maju, untuk menolongi.
Itu waktu semua mata ditujukan kepada Tjee In Go dan Ho Tiat Tjhioe, karena kauwtjoe ini
limbung tubuhnya, perhatian dipindahkan kepada dia seorang diri. Maka orang tidak lihat
ketika tahu-tahu, dari pinggir jalanan, tertampak orang berlari-lari dan berlompat kepada
Kim-ie Tok Kay, setelah datang dekat, orang itu berseru dengan nyaring, sesudah
membungkuk kepada In Go, dia lompat mundur pula. Tapi hampir berbareng sama
lompatannya orang itu, In Go perdengarkan jeritan dari kesakitan yang hebat, dia rebah
tertelungkup dengan golok yang panjang di bebokongnya, nancap dalam sekali.
Itulah kejadian sangat cepat, sedetik saja. Orang semua kaget. Walaupun di situ ada Sin
Tjie, ada Thia Tjeng Tiok, See Thian Kong dan lain-lain orang liehay, masih mereka tak
dapat cegah kejadian hebat itu. Adalah sesudah orang lompat mundur, Baru orang kenali,
si pembokong itu ada Ho Ang Yo, si uwah jelek.
Sekarang uwah ini, dengan semparkan pulang pergi tangan kirinya dengan mulut
berteriak-teriak lompat berjingkrakan dengan kedua kakinya. Nyatalah seekor ular kuning
emas telah menyantel di belakang telapakan tangannya, sia-sia ia berlaku kalap secara
demikian, ular itu tak mau terlepas!
"Bagus! Bagus!" berseru Tjee In Go sambil ia angkat kepalanya. Tapi setelah mengucap
demikian, kepalanya lemas, tubuhnya berkelejat, terus dia diam saja. Karena rohnya telah
melayang pergi.
Sekarang semua mata ditujukan kepada Ho Ang Yo.
Uwah yang romannya begis ini nampaknya jadi bertambah menyeramkan, suatu tanda ia
berada dalam ketakutan yang sangat. Masih dia berjingkrakan, masih dia kibas-kibaskan
tangannya, tetap sang ular tidak mau copot dari belakang telapakan tangannya itu.
Beberapa kali ia coba ulur tangan kanannya, akan cekal ular itu, untuk ditarik, tetapi
saban-saban dengan lekas ia tarik pulang tangannya itu, disebabkan dia takut nanti
tangan kanannya juga disantok ular berbisa itu seperti tangan kirinya. Ia telah disantok
tadi ketika ia pegang gagang golok, yang ia terus tuncapkan di bebokongnya Tjee In Go. Si
ular kuning emas adalah binatang berbisa dari gagang golok itu.
Ho Tiat Tjhioe telah dapat berdiri pula dengan tetap, ia turut tonton tingkahnya Ho Ang Yo,
benar ia tertawa tetapi ia tidak kata apa-apa.
Akhir-akhirnya Ho Ang Yo ingat suatu apa, ia tidak lagi berjingkrakan, tangan kanannya
dimasuki ke dalam sakunya, untuk tarik keluar sebuah golok, begitu lekas golok itu
berkelebat, tangan kirinya telah ia babat kutung sebatas ugal-ugalan! Rupanya ia insaf,
percuma ia binasakan atau singkirkan ular itu sesudah ia kena dipagut, ia toh bakal
bercelaka karena bisanya. Setelah itu ia robek ujung bajunya, untuk dipakai membalut
tangannya itu, kemudian ia lari kabur bagaikan orang kalap.
Semua penonton tercengang karena menghadapi pemandangan yang hebat itu.
Ho Tiat Tjhioe hampirkan tubuhnya Tjee In Go, untuk ambil sebuah pipa besi, yang ia pakai
menindih tubuhnya sang ular emas, kemudian dengan gaetan kirinya, ia gurat daging
tangannya Ho Ang Yo, hingga daging itu terpotong, maka itu, bersama sisa daging, yang
masih dipagut terus, ular itu dikasi masuk ke dalam pipa, yang terus ditutup rapat.
"Dari mana datangnya ular kuning ini?" Sin Tjie tanya.
Tiat Tjhioe tertawa meringis.
"Orang she Tjee itu minta pertolonganku, dia tetap masih tidak tenteram hatinya, dia kuatir
aku nanti bikin dia celaka, maka itu ular ini ia simpan di dalam gagang goloknya yang
kesembilan itu," ia kasi keterangan. "Umpama kata aku cabut goloknya itu, tidak ada soal
lagi, itu artinya aku tidak ganggu dia, akan tetapi apabila aku niat bunuh dia, dia akan
pakai ular itu untuk balas pagut tanganku. Hm! Bibi sebaliknya tidak suka mengasi ampun
pada In Go, dia mencoba membinasakan kawan sendiri, untuk kekejamannya itu, ia
peroleh pembalasannya, hingga sekarang tangannya pun mesti buntung sebelah. Coba
dia berlambat sedikit saja, dia juga pasti tidak bakal ketolongan lagi...."
Sin Tjie menghela napas.
"Apakah tangan kirimu pun dikutungi secara demikian?" Tjeng Tjeng tanya Tiat Tjhioe.
Ho Kauwtjoe deliki ini nona, dia tidak menjawabnya, hanya sambil tutupi mukanya, dia lari
ke dalam. "Sungguh orang aneh!" kata Nona Hee dengan sengit, karena ia "ketemu batunya!"
Tjiauw Wan Djie diam saja, ia malah perlihatkan roman masgul.
"Nanti aku pergi temani dia, supaya tidak terbit onar lain," katanya, yang terus masuk ke
dalam, untuk susul pemimpin Ngo Tok Kauw itu.
Akan tetapi ia pergi tidak lama, ia kembali dengan tergesa-gesa.
"Wan Siangkong, Ho Kauwtjoe kurung diri di dalam kamar, ia kunci pintu, aku panggilpanggil,
dia tidak memperdulikannya," ia kasi tahu.
"Biarkan dia beristirahat sebentar," Sin Tjie jawab.
"Bukan begitu, siangkong. Aku kuatir...."
"Baik, mari kita lihat!" kata si anak muda.
Ia lantas bertindak ke dalam, Wan Djie dan Tjeng Tjeng turut dia.
Wan Djie lantas ketok pintu, tidak ada jawabannya; ia ulangi itu, tetap tidak ada
jawabannya. Ia berkuatir, ia jadi bercuriga, maka ia lari ke jendela, untuk mengintip.
Mendadak ia menjerit.
"Celaka! Wan Siangkong, lekas kemari!" ia berseru.
Akan tetapi, walaupun ia teriaki Sin Tjie, ia toh tidak tunggu sampai pemuda itu lari
menghampiri dia, dengan ayun kedua tangannya, dengan gerakan "Heng teelan to" atau
"Lintangi gili-gili untuk mencegah ombak", ia hajar daun jendela menjeblak terpentang,
menyusul mana, ia enjot tubuhnya untuk berloncat ke dalam.
Sin Tjie dan Tjeng Tjeng jadi bercuriga, mereka lari ke jendela, dengan saling susul,
mereka juga lompat ke dalam kamar. Bila si anak muda lihat Ho Tiat Tjhioe, mukanya
menjadi merah. Nona she Ho itu, pemimpin dari Ngo Tok Kauw, sudah buka bajunya, hingga kelihatanlah
buah dadanya yang putih bagaikan salju, orangnya sendiri sedang tekuk lutut di depan
sebuah boneka kayu yang mungil, tangan kanannya sedang pegangi si ular kuning emas,
yang ia hendak bawa ke dadanya itu!
Tanpa ragu-ragu barang sedetik juga, Sin Tjie ayun tangan kanannya, segera dua bitir biji
caturnya menyambar kepada mulutnya ular kuning emas itu!
Ho Tiat Tjhioe kaget, ia sampai lepaskan cekalannya, tapi segera setelah itu, ia mendekam
di atas meja, untuk menangis menggerung-gerung.
Tjeng Tjeng sambar pipa besi, untuk dikasi masuk ular itu ke dalamnya.
"Kenapa kau berlaku nekat begini?" ia terus tanya kauwtjoe itu, suaranya lembut. "Orangorang
kaummu tidak sukai lagi kepadamu, kau toh bisa turut kami. Bukankah itu bagus?"
Tiat Tjhioe nangis terus, ia tidak menjawab.
"Ho Kauwtjoe," Sin Tjie turut bicara, "Ngo Tok Kauw ada satu perkumpulan agama yang
sesat, dengan kau menukar haluan, dengan putuskan perhubunganmu dengan mereka,
tidakkah itu bagus" Kenapa kau mesti berduka?"
Itu waktu Thia Tjeng Tiok dan lainnya pun telah datang berkumpul kapan mereka telah
ketahui duduknya hal, mereka lantas membujuki dan menghibur.
Penyesalan dan penasarannya Tiat Tjhioe rupanya terlalu hebat, hingga untuk sesaat itu,
pikirannya jadi butek, hingga ia lupa segala apa, ia mau habisi jiwa sendiri, tetapi setelah
orang tolongi dia dan sekarang mendengar bujukan dan hiburan, setelah nyata orang
semua bersimpati kepadanya, kecerdasannya datang pula. Ia pun segera ingat suatu apa.
Maka ia angkat kepalanya, dengan matanya yang tajam, ia awasi semua orang di
sekitarnya. Tiba-tiba saja ia tertawa.
"Wan Siangkong," katanya, "asal kau suka terima baik satu permintaanku, aku tidak akan
bunuh diri!" Melihat tingkah nona itu, Tjeng Tjeng berpikir: "Ini orang sangat aneh! Baru
saja dia nekat, dia menangis, atau sekarang dia sudah bisa tertawa pula! Untuk apa dia
menangis" - Oh, inilah hebat! Mungkinkah dia jatuh hati kepada dia"...."
Dengan "dia", dia maksudkan Sin Tjie. Maka mendadak saja, kumat pula hati cemburunya.
Karena itu, segera dia dului si anak muda.
"Apakah yang kau hendak minta dari dia?" dia tanya.
Ho Tiat Tjhioe tidak jawab si nona, ia hanya pandang si anak muda.
"Wan Siangkong, kau bilang dulu, kau suka terima atau tidak?" dia mendesak.
"Sebenarnya aku tidak tahu, apakah yang Ho Kauwtjoe inginkan aku lakukan?" Sin Tjie
tanya. Juga anak muda ini mulai curiga. Maka tak mau ia lantas berikan jawaban yang
mengiakan. Ho Tiat Tjhioe awasi Tjeng Tjeng dan Wan Djie, tiba-tiba saja ia tertawa pula, kemudian
dengan mendadak, ia berlutut di depan Sin Tjie, ia manggut berulang-ulang.
Sin Tjie terperanjat, ia heran, tetapi ia pun sibuk membalas hormat itu, hingga ia juga
manggut berulang-ulang.
"Sudah, sudah, jangan jalankan kehormatan." ia mencegah.
Sampai di situ, Baru Tiat Tjhioe mau bicara.
"Jikalau kau tidak terima aku sebagai muridmu, aku tidak hendak bangun!" katanya.
Tjeng Tjeng melongo, akan tetapi segera hatinya menjadi lega, hingga ia bisa tertawa.
"Kauwtjoe punya boegee sudah liehay sekali, siapa sanggup menjadi gurumu?" kata dia.
Kauwtjoe itu tertawa pula.
"Soehoe, jikalau tetap kau tidak terima aku sebagai murid, aku nanti berlutut di sini buat
selama-lamanya!" kata dia pula.
Sin Tjie berlega hati, ia pun merasa lucu, tetapi ia kewalahan.
"Belum satu tahun sejak aku keluar dari rumah perguruan, mana dapat aku menjadi
guru?" kata dia. "Jikalau Ho Kauwtjoe tidak cela kebisaanku yang masih cetek, baiklah
kita saling menyakinkan saja, untuk memahamkan lebih jauh ilmu silat kita. Mungkin
dengan cara itu kita sama-sama akan memperoleh faedah. Tentang soal angkat guru baik
kita jangan sebut-sebut."
Tiat Tjhioe tidak menjawab, tetap dia tekuk lutut, tidak mau dia berbangkit.
"Mari bangun!" kata Sin Tjie, lalu dengan terpaksa ia ulur kedua tangannya, untuk
memegang dan memimpin bangun.
Kauwtjoe itu tarik tangannya.
"Awas! Tanganku ada bisanya!" kata dia. Dia tertawa. Iapun kibaskan lengan kirinya, yang
bercagak hitam dan mengkilap, untuk gaet tangannya Sin Tjie itu, hingga cahayanya
berkelebat! Sin Tjie tidak tarik pulang tangannya itu, malah ia majukan dua-duanya. Di saat seperti itu
ia unjuk kesebatannya luar biasa. Ia sambar kedua bahu orang, ia kerahkan tenaganya,
maka dalam sekejab saja, di luar kehendaknya Tiat Tjhioe, tubuhnya dia ini terangkat naik!
Akan tetapi pemimpin Ngo Tok Kauw benar-benar liehay, begitu lekas tubuhnya terangkat
naik, ia tekuk pinggangnya ke dalam, ia angkat kedua kakinya, berbareng dengan mana,
kedua bahunya pun dikibaskan!
Sin Tjie tidak mau dada atau mukanya kena didupak, ia lepaskan cekalannya, kakinya
mundur setindak menyusul mana Ho Tiat Tjhioe poksay, jumpalitan, hingga di lain saat,
dia injak tanah dengan kedua kakinya, tidak ia rubuh, hanya dia terus berlutut pula!
Kagumlah semua penonton, tanpa merasa, mereka bertampik-sorak. Mereka telah
saksikan kepandaian yang luar biasa sekali dari pemuda dan pemudi itu.
"Ho Kauwtjoe, silakan kau beristirahat sebentar, aku hendak keluar untuk menemui
tetamu," kemudian Sin Tjie bilang. Diam-diam ia pun kagumi kauwtjoe ini. Ia terus
bertindak keluar.
Tiat Tjhioe menjadi sibuk, dia berteriak: "Wan Siangkong, apa benar-benar kau tidak sudi
terima aku sebagai murid?"
"Menyesal aku tidak sanggup," jawab Sin Tjie.
"Baiklah kalau begitu!" kata kauwtjoe itu dengan nyaring. "Nona Hee, mari! Mari aku gunai
tempo setengah malaman ini untuk kasi dengar kau, dongeng tentang gambar lukisan
ditaruh di muka pembaringan!"
Tjeng Tjeng melongo. Ia tidak mengerti.
Muka Sin Tjie sebaliknya, menjadi merah. Ia merandek, ia berbalik.
"Hebat orang she Ho ini," pikir dia. "Dia pasti berani lakukan apa yang dia pikir. Mana bisa
dibiarkan dia beber rahasianya A Kioe dan aku..."
Kalau sampai teruwar bagaimana ia rebah berdampingan sama satu nona bukan sanak
bukan kadangnya, bagaimana ia dan A Kioe tak bakal dapat malu" Bukan saja Tjeng Tjeng
bakal jadi murka, ia pun akan malu sekali. Karena itu, ia goyang-goyang tangannya.
Tiat Tjhioe tertawa pula.
"Soehoe, terima baiklah permintaanku!" katanya pula.
Sin Tjie kasi dengar suara tidak nyata: "Oh, oh...."
Tapi Tiat Tjhioe lantas saja jadi sangat girang.
"Bagus, soehoe telah meluluskan!" serunya. Ia geraki kedua dengkul, begitu berdiri, dia
lompat ke depan si anak muda, untuk paykoei, untuk jalankan kehormatan besar!
Sin Tjie jadi sangat terdesak, terpaksa ia balas separuh dari itu pemberian hormat.
Atas itu, orang banyak lantas kasi selamat, pada itu murid dan guru.
Tinggallah Tjeng Tjeng menjadi sangat heran, ia bingung.
"Kau hendak berdongeng cerita apa" ia tanya Tiat Tjhioe.
Ho Kauwtjoe tertawa, tetapi ia lantas menyahuti.
"Di dalam kalangan agamaku ada semacam ilmu gaib," katanya, "asal kita lukiskan
gambarnya satu orang, lalu gambar itu kita taruh di depan pembaringan, terus kita kasi
hormat dengan manggut-manggut kepadanya sambil membaca mantera, pasti itu orang
akan sakit jantung dan kepalanya, beruntun selama tiga bulan, dia tidak akan sembuhsembuh."
Tjeng Tjeng mendengari dengan perhatian, ia separuh percaya dan separuh tidak.
Tetapi Sin Tjie menjadi lega hatinya. Meski demikian, ia kata dalam hatinya: "Di kolong
langit tidak ada orang yang angkat guru dengan cara ancaman sebagai ini! Dia masih
belum bisa ubah hatinya, pasti tak dapat aku ajari ia ilmu silat."
Maka ia kata dengan sungguh-sungguh: "Sebenarnya aku tidak punyakan ilmu silat yang
bisa diajari kepadamu, akan tetapi kau begini bersungguh hati, baiklah untuk sementara
aku namanya saja menjadi guru, kita akan tunggu sampai aku sudah memberi keterangan
kepada guruku. Apabila guruku itu telah memberi perkenannya, Baru aku nanti ajari kau
ilmu silat Hoa San Pay."
Alasan ini kuat. Ho Tiat Tjhioe tidak bisa mendesak lebih jauh.
"Baik, baik," ia terima janji Sin Tjie itu. Ia girang sekali.
"Ho Kauwtjoe...." Kata Tjeng Tjeng.
Tetapi kauwtjoe itu memotong:
Rahasia 180 Patung Mas 17 Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Pedang Naga Kemala 11