Pedang Ular Mas 17
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong Bagian 17
"Tidak dapat kau menyebut aku kauwtjoe lagi!" katanya. "Soehoe, silakan kau berikan satu
nama untukku."
Sin Tjie berpikir.
"Baiklah, kau pakai saja nama Tek Sioe," kata dia kemudian. "Tek ialah jeri untuk segala
kekeliruan yang sudah-sudah, dan Sioe untuk menjaga dan menjalankan prilaku baik."
"Bagus, bagus!" kata Tiat Tjhioe dengan girang. "Hee Soesiok, kau panggilah aku Tek
Sioe!" "Kau berusia lebih tua daripada aku, boegeemu juga terlebih tinggi, cara bagaimana kau
memanggil soesiok padaku?" kata Tjeng Tjeng ("Soesiok" ialah "paman guru").
Tiat Tjhioe dekati Nona Hee itu, ia berbisik: "Sekarang aku panggil kau soesiok, lain kali
aku akan panggil kau soebo!"
Kedua pipinya Tjeng Tjeng menjadi merah. "Soebo" itu berarti "nyonya guru". Akan tetapi,
diam-diam ia toh girang bukan main. Sekarnag ia jadi dapat anggapan baik terhadap
kauwtjoe ini. Tadinya ia masih hendak menegur, tetapi segera ia batalkan niatnya itu,
sebab itu wkatu kelihatan Tong Hian Toodjin dan Bin Tjoe Hoa bertindak masuk.
Melihat dua orang Boe Tong Pay itu, Sin Tjie lantas kata pada Tiat Tjhioe: "Sekarang kita
sudah jadi orang sendiri, coba kau beri tahu kepada tootiang ini berdua, Oey Bok Toodjin
itu sebenarnya masih hidup atau sudah mati...."
Ho Tek Sioe bersenyum.
"Dia ada di Inlam, di Tay...."
Ia Baru mengucap sampai di situ, sekonyong-konyong mendengung suara nyaring dan
hebat, sampai meja dan tehkoan bergerak, sampai cawan-cawan pada bergoyang.
Semua orang terjaga. Baru saja hati mereka mulai "tetap", atau suara hebat itu terdengar
pula, kali ini terus, berulang-ulang.
"Itulah dentuman meriam!" kata Thia Tjeng Tiok.
Segera semua orang lari ke depan.
Justru itu Ang Seng Hay datang sambil berlari-lari.
"Balatentara Giam Ong sudah sampai!" katanya.
Dentuman meriam masih terus terdengar, dari arah luar kota kelihatan cahaya api
menyambar-nyambar berkelebatan dibarengi sama riuhnya suara pertempuran.
Jadi terang sudah pasukan perang Giam Ong sudah sampai di luar kota raja.
"Tootiang," berkata Sin Tjie pada Tong Hian Toodjin, "dia sekarang telah angkat aku
menjadi guru, maka tentang guru kamu, baik kita tunda dulu membicarakannya...."
Akan tetapi Ho Tiat Tjhioe segera menyambungi:
"Oey Bok Toodjin itu kena dikurung bibiku di dalam guha Tok Liong Tong di Tay-ke, Inlam.
Pergi kamu bawa ini, untuk memerdekakannya!"
Sembari berkata begitu, ia serahkan sebuah suitan besi hitam-legam yang beroman ularularan.
Tong Hian Toodjin dan Bin Tjoe Hoa girang tak kepalang mendengar guru mereka masih
hidup, berulang-ulang mereka menghaturkan terima kasih mereka. Tong Hian lantas
sambuti suitan itu.
"Inilah akupunya leng-hoe." Ho Tiat Tjhioe kasi keterangan. "Kamu mesti berangkat
dengan segera, supaya kamu bisa mendahului sampai di sana. Anggauta-anggauta Ngo
Tok Kauw di Inlam masih belum tahu aku sudah undurkan diri dari kalangan mereka, asal
mereka lihat lenghoe ini, sudah pasti mereka akan merdekakan gurumu."
Kembali Tong Hian Toodjin dan Bin Tjoe Hoa mengucap terima kasih, dengan tergesagesa
mereka pamitan dari Sin Tjie beramai, lantas mereka berlalu.
Sin Tjie juga sudah lantas kirim orang, untuk serep-serepi kabar pasti, supaya ia bisa
berikan pertandaannya untuk semua kawan seperjuangannya di dalam kota bergerak
serentak menuruti rencana yang ia sudah atur, ialah melepas api berbareng mengadakan
serangan secara mendadak, untuk sambuti serangan dari luar.
Belum terlalu lama, satu tauwbak telah datang bersama sepucuk surat, katanya surat dari
Tie-Tjiangkoen Lie Gam, jenderalnya Giam Ong, yang sengaja kirim itu dengan utus satu
penyelundup. "Bagus!" Sin Tjie memuji. Lantas dia bertindak, mengirim orang-orang ke empat penjuru
kota. Maka di waktu magrib, di mana-mana tersiarlah ko-yauw atau cerita-cerita burung
yang merupakan nyanyian, yang dinyanyikan ramai oleh anak-anak kecil dan orang
pengangguran. Umpama ko-yauw di kota Barat oleh anak-anak berbunyi:
"Pagi mencari satu SENG,
Sore mencari satu HAP,
Selama ini, orang melarat
sukar hidup, Maka lekas-lekas buka pintu,
Menyambut Giam Ong.
Pasti semua, tua dan muda,
Akan jadi girang-senang!"
Sedang di kota Timur, kaum pengangguran bernyanyi:
"Makan dari ibunya,
Berpakai dari ibunya,
Makan dan berpakai tak habis.
Sebab adanya Giam Ong!
Tidak usah bekerja,
Tidak usah bayar coeke!"
Di dalam kota telah terbit kekacauan, tentara Beng Tiauw sudah sibuk sendirinya, tak
sempat mereka mengurus "ocehan" rakyat itu, maka tidak ada yang melarang ko-yauw itu.
Sin Tjie punya barang-barang permata sepuluh peti besar, dengan diam-diam telah dijual
dijadikan uang kontan, uang itu telah dipecah di antara banyak kawan yang dapat
dipercaya, untuk disebar di antara tentara dan opsir-opsir yang bertanggung-jawab atas
penjagaan atau pembelaan kota, dengan begitu, sepak-terjang mereka jadi semakin
leluasa. Besoknya, Sha-gwee Tjap-pwee, yaitu bulan tiga tanggal delapan-belas, Sin Tjie bersama
Tjeng Tjeng, Ho Tek Sioe, Thia Tjeng Tiok dan See Thian Kong beramai, dengan menyamar
sebagai serdadu-serdadu Beng Tiauw, telah pergi ke tembok kota, untuk memandang
keluar, hingga mereka bisa pandang tentara sukarela yang semua mengenakan seragam
warna kuning, jumlahnya semua mungkin beberapa ratus ribu jiwa, nampaknya bagaikan
awan kuning saja....
Dentuman meriam masih senantiasa terdengar, karena kota asik diserang terus. Di pihak
lain, pembelaan tentara pemerintah sudah kacau sekali, tak dapat mereka bertahan lama,
sedang mereka, yang sudah makan sogokan, memanah secara sembarangan saja. Maka
bisa diharap jatuhnya kota akan terjadi di sembarang waktu.
Sin Tjie semua menjadi girang, lekas-lekas mereka undurkan diri, untuk beri titah supaya
orang mulai melepas api di empat penjuru pintu kota, supaya penyerangan segera dimulai.
Malah rakyat melarat turut sambut aksi itu.
Begitulah, kota menjadi kacau.
Selagi orang bertempur seru dan berteriak-teriak, Sin Tjie lihat sepasukan serdadu asik
iringi satu thaykam yang mengenakan pakaian sulam, mereka itu berseru-seru untuk
membuka jalan. Di antara cahaya api terang-terang, pemuda kita segera kenali Tjo Hoa
Soen. "Semua ikut aku!" ia berteriak. "Mari kita bekuk dorna itu!"
Ho Tek Sioe dan Thie Lo Han segera mendahului membuka jalan, semua lantas memburu,
untuk menyerbu. Tentu saja pasukan serdadu pengiring itu tak dapat bertahan terhadap
rombongan orang gagah ini.
Tjo Hoa Soen tampak gelagat buruk, dia putar kudanya, untuk kabur.
Akan tetapi Sin Tjie sudah datang dekat, dengan satu lompatan pesat, anak muda ini
sambar thaykam itu, untuk digusur turun dari kudanya.
Tjo Thaykam kenali ini anak muda, dia kaget dan ketakutan.
"Kau hendak pergi kemana?" Sin Tjie membentak.
"Sri Baginda titahkan siauwdjin pimpin perlawanan di Tjiang-gie-moei!" sahut thaykam itu
dengan suara tak tegas.
Thaykam ini segera diiringi sampai di atas pintu kota yang disebutkan itu, mereka naik ke
atas tembok, hingga, memandang ke luar kota, mereka bisa tampak pasukan perang
sukarela. Dengan senantiasa diiringi sebuah bendera besar, satu orang yang memakai tudung yang
lebar, yang duduk atas seekor kuda hitam, mundar-mandir dengan kuda tunggangannya
itu, memimpin penyerangan. Dia adalah Giam-Ong Lie Tjoe Seng!
"Lekas buka pintu kota, sambut Giam Ong!" Sin Tjie berseru sambil ia cekal keras Tjo
Thaykam, hingga dia ini kesakitan hampir pingsan.
Tjo Hoa Soen insaf, ia telah berada di tangan orang, tidak berani ia melakukan perlawanan.
Ia juga lihat buruknya suasana, yang tidak dapat ditolong lagi, maka sebagai seorang licik,
segera ia dapat pikiran, kalau sekarang ia tukar haluan, dengan menyambut junjungan
yang baru, mungkin ia nanti dapat hadiah. Maka itu, tidak ayal lagi, ia lantas berikan
titahnya untuk pentang pintu kota!
Sambil bersorak-ramai, tentara Giam Ong meluruk ke pintu kota, untuk menerjang ke
dalam. Sin Tjie gunai ketikanya itu akan ikut tentara Beng Tiauw yang kalah lari masuk ke kotadalam,
dimana pasukan pembela kota ada berjumlah besar, hingga dengan datangnya
pasukan dari luar ini, kota-dalam menjadi seperti penuh-sesak.
Ketika itu, cuaca sudah mulai gelap.
Di luar kota, tentara sukarela telah bunyikan gembreng, untuk tunda penyerangan, buat
mereka beristirahat.
Dalam waktu kalut itu, Sin Tjie beramai dengan diam-diam nyeplos pulang ke rumah
mereka, tidak ada opsir atau tentara Beng Tiauw yang perhatikan mereka, sebab mereka
itu masih terlalu sibuk sendiri.
Sesampainya di rumah, Sin Tjie beramai salin pakaian mereka yang berlepotan darah,
mereka lantas duduk bersantap, habis itu mereka naik ke genteng, untuk memandang ke
sekeliling tempat. Di segala penjuru kelihatan api terang-terang.
"Besok pagi pastilah kota-dalam bakal terpukul pecah, maka sebentar malam ada saatnya
untuk aku mencari balas dengan tanganku sendiri!" kata Sin Tjie.
Orang tahu pemuda ini hendak membunuh kaisar Tjong Tjeng.
"Kita hendak turut!" kata kawan-kawan itu.
"Saudara-saudara sudah bercape-lelah satu harian, malam ini pantas kamu beristirahat,"
Sin Tjie bilang. "Besok pun masih banyak kerjaan penting yang mesti dilakukan. Dalam
waktu kacau sebagai ini, penjagaan di istana tentunya longgar, untuk membunuh raja ada
pekerjaan segebrak saja, dari itu, cukup aku bekerja sendiri!"
Orang anggap dugaan pemimpin ini beralasan, mereka tidak memaksa hendak mengikut.
Sin Tjie lantas minta Tjeng Tjeng pasang lilin dan hio, ia masuk, lengpay dengan hurufhuruf
"Sian-koen Peng-pou Siang-sie Tjie Liauw Tok-swee Wan", yang berarti "Almarhum
ayahanda Wan Tjong Hoan, Peng-pou Siang-sie merangkap jenderal yang berperang di
tanah Liauw". ("Peng-pou Siang-sie" berarti "menteri peperangan.)
Pemuda ini hendak siapkan meja abu, untuk sebentar, setelah mengutungi batang leher
kaisar Tjong Tjeng, ia hendak bawa kepala musuh itu untuk dipakai bersembahyang,
terhadap roh ayahnya almarhum itu. Iapun sudah rencanakan, habis sembahyang ia
hendak bawa kepala raja itu akan ditunjuki kepada tentara kerajaan, supaya mereka itu jadi
kaget, takut dan buyar.
Apabila temponya sudah sampai, dengan bekal sebuah kantong kulit, dengan bekal
sepotong golok panjang, seorang diri Sin Tjie pergi ke arah istana kaisar.
Api terang di mana-mana, dalam saat kacau-balau itu, opsir-opsir dan tentara Beng, yang
kabur dari hadapan musuh, menggunai ketika untuk menggarong rakyat.
Sin Tjie tidak sempat perhatikan kekacauan itu, ia menuju langsung ke istana. Kapan
akhirnya ia sampai, ia menjadi heran. Istana sepi dan kosong, tidak ada serdadu
penjaganya, tidak tertampak orang-orang kebiri. Mungkin semua mereka itu sudah angkat
kaki. "Jikalau kaisar buron atau sembunyi, sia-sia usahaku ini...." Pikir pemuda kita, yang
hatinya terasa seperti mencelos. Tapi ia lari ke arah keraton. Baru ia sampai di muka pintu,
ia sudah dengar suara nyaring dari seorang perempuan, yang sedang menegur hebat. Ia
hampirkan pintu, untuk mengintai ke dalam. Begitu ia mendapat lihat, ia jadi girang luar
biasa. Kaisar Tjong Tjeng sedang duduk di atas sebuah kursi, di depannya ada seorang wanita
dengan dandanan sebagai permaisuri sedang menuding-nuding seraya perdengarkan
suaranya yang nyaring dan keras itu.
"Sudah semenjak belasan tahun, asal kau suka dengar sedikit beberapa kata-kataku, tidak
nanti kejadian seperti hari ini! Kau telah bikin kuil leluhur dan negara terjatuh ke dalam
tangan pemberontak, mana kau punya muka akan menemui leluhurmu?"
Demikian permaisuri itu.
Raja tunduk, dia berdiam saja.
Habis itu, sambil menangis dengan menutupi muka, permaisuri lari ke dalam.
Baru Sin Tjie hendak tolak pintu, untuk menerjang masuk, ia lihat munculnya satu
bajangan dari arah samping, bajangan mana merupakan satu nona rupawan yang
menyekal pedang.
"Hoe-hong, keadaan sudah mendesak, mari lekas pergi dari istana!" demikian nona itu
sesampainya ia di depan raja.
Sin Tjie segera kenali Tiang Peng Kiongtjoe atau A Kioe hingga hatinya jadi bercekat.
"Ong Kong-kong, tolong kau layani Sri Baginda," kemudian kata si nona, pada satu
thaykam yang berada di damping raja.
Thaykam itu, Ong Sin In namanya, lantas mengucurkan air mata.
"Baik, kiongtjoe thianhee," sahutnya. "Silakan, thianhee pergi bersama-sama..."
"Tidak," sahut A Kioe. "Aku masih hendak berdiam di sini buat sekian waktu."
"Kota Terlarang segera bakal pecah, dengan berdiam di dalam keraton ini, nanti thianhee
terancam bahaya," membujuk orang kebiri itu.
"Aku hendak tunggu satu orang," tuan puteri bilang.
Wajahnya kaisar berubah.
"Kau hendak tunggu puteranya Wan Tjong Hoan?" tanya dia.
Mukanya A Kioe menjadi merah.
"Tidak salah!" jawabnya. "Hari ini sin-djie hendak berpisah dari hoe-hong..."
"Sin-djie" berarti "aku" untuk anak raja terhadap ayahnya.
"Mau apa kau menantikan dia?" Tjong Tjeng tanya pula.
"Dia telah janjikan aku, sebentar dia bakal datang."
"Coba kasikan pedang itu padaku," kata raja pula.
A Kioe angsurkan pedangnya.
Raja sambuti pedang itu, pedang Kim Tjoa Kiam, mendadak saja sinarnya, yang hitam,
berkelebat, lantas ujung pedang menyambar kepada A Kioe.
Tiang Peng Kiongtjoe menjerit kaget, tubuhnya limbung.
Sin Tjie kaget. Tidak ia sangka kaisar berlaku demikian kejam terhadap puterinya sendiri.
Ia teraling dengan pintu, jarak di antara mereka pun masih cukup jauh, tidak bisa ia lompat
untuk mencegah atau menolongi tuan puteri itu. Ia Baru sampai di tengah jalan, A Kioe
sudah rubuh! Masih kaisar hendak ulangi bacokannya, akan tetapi sekarang si anak muda sempat
berlompat kepadanya, sebelum bacokan pedang turun, tangan kirinya Sin Tjie sudah
menotok tangan kanan raja yang memegang pedang itu, hingga pedang lantas terlepas.
Dengan kesebatannya, dengan tangan kiri masih menyekal lengannya kaisar, dengan
tangan kanannya, Sin Tjie sambar Kim Tjoa Kiam.
Kapan ini anak muda ambil kesempatan, akan menoleh kepada A Kioe, tuan puteri itu
rebah dengan mandi darah, bahu kirinya telah terbacok putus, maka itu, ia gusar bukan
main. "Hoen-koen!" berteriak dia. "Kau telah aniaya ayahku, sekarang aku ambil jiwamu!"
"Hoen-koen" ada cacian: "raja yang gelap pikiran".
Tjong Tjeng kenali Sin Tjie, ia lantas menghela napas.
"Kau benar," katanya. "Aku telah rusaki negara, sekarang aku menyesal, sudah kasip.....
Kau turunilah tanganmu!"
Raja ini lantas tutup rapat kedua matanya.
Dua thaykam lompat, untuk tarik Sin Tjie, tetapi mereka disambut dengan dua tendangan
saling-susul, hingga mereka rubuh terbanting.
Sin Tjie ayun tangan kanannya, justru itu A Kioe membuka matanya, kapan nona ini lihat
keadaan mengancam itu, ia lompat bangun, segera ia tubruk ayahnya, untuk dipeluki.
"Jikalau kau hendak bunuh hoe-hong, bunuh aku lebih dahulu!" katanya. Dengan mata
guram dan roman lesu, nona ini awasi anak muda di depannya itu. Tapi tak lama ia bisa
peluki ayahnya, ia pingsan dan rubuh.
Tidak tega Sin Tjie akan lihat puteri itu bermandikan darah. Dia tolak tubuh kaisar sampai
Tjong Tjeng terjengkang dari kursinyadan rubuh, lantas ia membungkuk, untuk peluk A
Kioe, untuk terus totok pundak kirinya, seluruh bebokongnya juga, guna cegah darah
mengalir terus. Dan selagi darah keluar hanya dengan pelahan, ia keluarkan obat luka
yang ia bekal, untuk diborehkan di tempat yang terluka, sesudah mana, dengan robekan
ujung baju, ia balut luka itu.
Dengan pelahan-lahan, A Kioe sadar akan dirinya.
Ong Sin In, dengan dibantu beberapa thaykam, lekas-lekas pimpin bangun junjungan
mereka, tidak tempo lagi, mereka ajak raja itu lari ke pintu.
"Kemana kau hendak kabur?" membentak Sin Tjie, kapan ia lihat orang mencoba lari. Ia
lantas rebahkan tubuh A Kioe, untuk dilepaskan, buat ia memburu. Akan tetapi tuan puteri,
dengan sebelah tangannya, memeluk dengan keras, sambil menangis, dia ini kata:
"Jangan bunuh dia...... Jangan bunuh dia......"
"Baik!" jawab ini anak muda, yang pikir, raja itu toh tidak bakal mampu buron, sebab kotadalam
segera akan pecah. Ia pun sangat terharu terhadap puteri ini.
Hati A Kioe lega, kendorlah pelukannya, kembali ia pingsan.
Melihat kekacauan dan keraton boleh dibilang sudah kosong, hingga di situ A Kioe tidak
bakal dapat rawatan, Sin Tjie pikir baik ia bawa puteri ini pulang ke rumahnya. Ia ambil
putusan dengan lantas, terus ia pondong puteri itu, buat dibawa pulang.
Sudah kira-kira jam tiga ketika anak muda ini keluar dari keraton. Ia lihat cahaya terang di
pelbagai jurusan, ia dengar teriakan riuh dan tangisan menyedihkan dari sana-sini.
Teranglah, selagi kalah perang dan kabur, tentara Beng terus menggarong rakyat,
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penduduk kota. Kapan Sin Tjie sampai di Tjeng-tiauw-tjoe, di rumahnya, orang asik duduk menunggui dia.
Orang terperanjat dan heran, akan lihat ia pulang sambil pondong seorang perempuan
yang bermandikan darah, malah Tjeng Tjeng lantas unjuk roman tidak puas. Akan tetapi ia
segera kenali A Kioe.
"Mana kepala raja?" ia tanya.
"Aku tidak bunuh dia." Sin Tjie jawab. "Nona Tjiauw, tolong kau capekan hati lagi untuk
merawat dia ini."
Wan Djie bersiap-sedia, ia lantas gantikan pondong A Kioe, untuk dibawa ke dalam.
"Kenapa kau tidak bunuh raja?" Tjeng Tjeng tanya Sin Tjie.
Si anak muda menunjuk ke dalam.
"Dia minta aku jangan membunuhnya," ia menyahut.
"Dia" Dia siapa?" tanya Tjeng Tjeng, yang menjadi gusar. "Kenapa kau dengari perkataan
dia?" Belum Sin Tjie sempat menjawab, Ho Tek Sioe sudah menyela.
"Nona demikian cantik, mengapa dia kutung sebelah tangannya?" kata Nona Ho ini sambil
tertawa. "Soehoe, mana lukisan gambar" Apakah kau tidak bawa sekali?"
Sin Tjie kedipi mata kepada muridnya yang nakal itu.
Sebenarnya Tek Sioe masih hendak mengganggu, tetapi melihat roman sang guru, dan
menampak sikapnya Tjeng Tjeng, ia batal, ia ulur lidahnya, terus ia tutup mulut.
"Gambar apa itu?" Tjeng Tjeng tanya Tek Sioe.
"Nona tadi pandai menggambar," nona Ho jawab. "Aku pernah lihat dia melukis gambar
dirinya sendiri, bagus sekali."
"Apakah benar itu?" tegasi Tjeng Tjeng, matanya melotot. Tapi tanpa tunggu jawaban, ia
ngeloyor ke dalam.
Tek Sioe menoleh kepada Sin Tjie, ia leletkan lidahnya pula....
Anak muda kita lantas pergi ke kamarnya, untuk beristirahat. Ia merasa sangat pusing.
Kapan sang fajar datang, Ang Seng Hay lari masuk.
"Wan Siangkong, See Tjeetjoe telah dapat tawan thaykam Ong Siauw Giauw," ia
melaporkan. "Tentara telah dipimpin untuk buka pintu Soan-boe-moei!"
Sin Tjie lompat bangun.
"Apakah pasukan sukarela sudah memasuki kota-dalam?" dia tanya.
"Pasukan Tjiangkoen Lauw Tjong Bin sudah masuk," jawab Seng Hay.
"Bagus! Mari kita menyambut!"
Setelah berkata begitu, pemuda ini pergi ke thia.
"Soehoe jangan kuatir," Tek Sioe bilang pada gurunya. "Aku nanti urus mereka itu."
Sin Tjie manggut. Murid ini maksudkan Tjeng Tjeng semua.
Thia Tjeng Tiok ada bekas siewie, malah dia ada pemimpin pahlawan dari kaisar Tjong
Tjeng, karenanya, ia tidak mau campur tahu dalam sepak-terjangnya Sin Tjie menyambut
datangnya Giam Ong. Malah paling belakang ini, ia keram diri di dalam kamar, ia tidak mau
tanya segala apa, ia tidak mau dengar apa-apa juga. Sin Tjie tahu jago itu masih ingat
bekas junjungannya, ia tidak bilang suatu apa, ia membiarkan saja ketua dari Tjeng Tiok
Pay itu. Sampai itu waktu, See Thian Kong dan Thie Lo Han masih belum kembali, anak muda ini
lantas ajak A Pa, Ouw Koei Lam dan Seng Hay pergi ke pintu Tay-beng-moei. Di jalanan ia
lihat awan mendung berkumpul, salju putih beterbangan turun. Serdadu-serdadu masih
saja lari serabutan, sedang di antara rakyat ada yang berseru: "Pintu Tjeng-yang-moei,
Tjee-hoa-moei, Tong-tit-moei, semua sudah dipukul pecah!"
Semakin jauh Sin Tjie jalan, makin berkurang serdadu yang merat.
Sekarang Sin Tjie lihat orang pada berdiri di muka pintu rumahnya masing-masing, di atas
pintunya, mereka tempelkan kertas kuning dengan huruf-huruf memujikan selamat kepada
pemerintah yang baru. Semua penduduk itu berseru-seru kegirangan, malah ada yang
sajikan barang makanan di depan pintu, untuk jamu tentara sukarela.
"Rakyat ada begini bersimpati, bagaimana Giam Ong tidak akan berhasil!" kata Sin Tjie
pada tiga kawannya. Mereka jalan terus, sampai mereka dengar suara trompet ramai,
lantas tampak mendatangi sebarisan dari beberapa ribu orang, di muka barisan kelihatan
See Thian Kong bersama Thie Lo Han. Mereka inilah yang pimpin pasukan pejuang di
dalam kota, untuk labrak sesuatu barisan Beng, sampai musuh terpukul hancur dan buyar.
Kapan pasukan tentara itu lihat si anak muda, mereka bertampik-sorak.
"Giam Ong segera akan datang!" Thie Lo Han berseru.
Hampir menyusul seruan imam ini, dari arah depan kelihatan mendatangi sambil berlariKang
Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
lari beberapa penunggang kuda, satu di antaranya membawa sebuah bendera besar
dengan huruf-huruf "Tjie-Tjiangkoen Lie" yang berarti "Lie, pejabat Jenderal".
Dan selagi beberapa penunggang kuda itu mendatangi lebih dekat, Sin Tjie lihat Lie Gam,
pejabat jenderal itu, dengan jubah kuningnya, kudanya dikaburkan.
"Toako!" ia berseru memanggil, sambil ia berlompat ke depan kuda, untuk memapaki.
Lie Gam tercengang, tetapi sekejab saja, iapun sudah lantas loncat turun dari kudanya.
"Djie-tee!" seru dia sambil tertawa. "Kaulah yang berjasa nomor satu atas pecahnya kota!"
"Jasa apa yang siauwtee punyakan?" Sin Tjie bilang. "Begitu lekas sampai pasukan besar
dari Giam Ong, tentara Beng bubar sendirinya."
Dua sahabat ini saling jabat tangan.
Pertemuan yang menggirangkan juga dilakukan dengan beberapa penunggang kuda lain,
yang datang bersama Tjie-tjiangkoen Lie Gam ini, karena mereka ada Lauw It Houw dari
Lauw Ya San, Tjoei Tjioe San, Tjoei Hie Bin, juga An Toa Nio dan An Siauw Hoei, jadi
semua ada sahabat-sahabat kekal, apapula Tjioe San, guru pertama dari Sin Tjie.
Selagi mereka bergembira sekali, mereka dengar suara terompet, yang disusul sama
seruannya pasukan tentara. "Tay-ong sampai! Tay-ong sampai!"
Dengan "Tay-ong" yaitu "Raja besar" dimaksudkan Giam Ong.
Sin Tjie semua menyingkir ke tepi jalanan, dari situ mereka lihat datangnya sebarisan dari
seratus lebih penunggang kuda, di sebelah depan, dengan menunggang kuda bulu hitam,
ada Lie Tjoe Seng yang memakai tudung lebar dan jubah hijau muda, yang mendatangi
dari pintu Tek-seng-moei.
Lie Gam maju, untuk papaki pemimpinnya itu, dengan siapa ia ucapkan beberapa patah
kata. "Bagus! Silakan undang saudara Wan kemari!" berkata pemimpin besar itu.
Lie Gam melambaikan Sin Tjie, ini anak muda bertindak maju menghampirkan.
"Saudara Wan, kau telah dirikan jasa besar!" kata pemimpin itu sambil tertawa. "Apakah
kau tidak punya kuda?"
Lie Tjoe Seng terus lompat turun, akan serahkan kudanya sendiri pada orang yang
dianggap berjasa besar itu.
Sin Tjie menjura menghaturkan terima kasihnya.
Semua orang gembira sekali, mereka berseru "Ban-swee!"
Lie Tjoe Seng menukar kuda lain, lantas ia ajak semua orang mulai jalan lagi, menuju ke
pintu Sin-thian-moei. Selagi jalan, ia menoleh pada Sin Tjie, sembari tertawa, dia kata:
"Kau menyambungi semangat ayahmu, aku menyambungi karunia Thian!"
Namanya Sin Tjie dapat diartikan: "Sin" = "menyambungi/menerima" dan "Tjie" =
"Semangat/angan-angan". Dan "menyambungi karunia Thian" adalah "Sin Thian". ("Thian"
dimaksudkan "Tuhan").
Setelah berkata demikian, Giam Ong tarik busurnya, membidik ke atas, maka melesatlah
sebatang gandewanya, menyambar tepat huruf "Thian" dari nama pintu kota "Sin-thianmoei"
di tembok kota!
Orang menjadi kagum , sebab kecuali gapah dan jitu, tenaga Giam Ong pun besar, anak
panah itu dapat nancap dalam sekali di tembok. Maka lagi sekali orang bertampik-sorak
riuh. Sesampai mereka di muka pintu kota, di situ Thaykam Ong Tek Hoa menyambut bersama
tiga-ratus thaykam lainnya.
Giam Ong tertawa, ia lempar cambuknya.
"Saudara Wan," katanya pada Sin Tjie terhadap siapa ia berpaling, "ketika dahulu kau
pergi ke Siamsay dimana kau menemui aku, apa pernah kau pikir bakal terjadi seperti hari
ini?" "Tay-ong bakal berhasil dengan usaha yang besar, semua orang pandai di kolong langit
sudah mengetahuinya sejak siang-siang," jawab Sin Tjie, "akan tetapi sekali-kali tidak ada
orang dapat pikir kejadiannya ada begini lekas!"
Lie Tjoe Seng bertepuk tangan, ia tertawa pula.
Itu waktu ada orang berlari-lari ke depan Giam Ong, untuk segera melaporkan: "Tay-ong,
ada satu thaykam memberitahukan bahwa dia lihat kaisar Tjong Tjeng lari ke bukit Bwee
San!" Giam Ong memandang Sin Tjie.
"Saudara Wan, pergi lekas bawa orang untuk tawan dia!" ia titahkan.
Sin Tjie terima titah itu sambil menyahuti "Ya", lalu dengan ulapkan tangan, ia ajak Ouw
Koei Lam beramai pergi memburu ke Bwee San.
Bwee San ada satu bukit kecil, kapan rombongannya Sin Tjie sampai di atas bukit itu,
semua mereka terperanjat. Di situ, pada sebuah pohon besar, tergantung tubuhnya dua
orang, satu di antaranya riap-riapan rambutnya, bajunya baju biru pendek dengan garis
putih, rompinya dari sutera putih, celananya putih juga, kaki kirinya telanjang, kaki
kanannya pakai sepatu merah berikut kaosnya.
Setelah Sin Tjie datang dekat, ia kenali yang rambutnya riap-riapan itu ada Tjong Tjeng,
kaisar terakhir dari Kerajaan Beng. Pada bajunya kaisar ini ada tulisan memakai darah
sebagai berikut:
"Sejak tim naik atas tahta-kerajaan, tujuh-belas tahun telah lampau, selama itu, empat kali
musuh telah menyerbu masuk ke dalam perbatasan, hingga sekarang ini pemberontak
mendesak sampai di kota raja. Walaupun tim tidak bijaksana akan tetapi sebenarnya
adalah menteri-menteri yang telah menyesatkan tim. Sekarang ini, meskipun tim mati, tim
tidak punya muka untuk bertemu sama leluhurku di dunia baka, maka itu tim singkirkan
kopiaku, tim tutupi muka dengan rambutku. Biarlah kaum pemberontak cincang mayat tim
tetapi janganlah bikin celaka kendati satu saja rakyat negeri."
Membaca firman wasiat itu, Sin Tjie jadi sangat terharu, ia berduka sekali. Dua puluh tahun
ia mendendam sakit hati, sekarang ia dapat membalasnya, itu adalah hal yang
menggirangkan, siapa nyanya, ia mesti saksikan akhir yang menyedihkan ini dari musuh
besarnya. Ia menghela napas.
"Sekaranglah kau bisa menulis begini macam," kata dia. "Kau memesan untuk kami
jangan bikin celaka sekalipun jiwanya seorang rakyat jelata. Coba sejak dahulu kau
menyayangi rakyat, coba kau tidak tindas rakyat sampai mereka kelaparan dan tak
berdaya, mana mungkin bisa terjadi seperti hari ini?"
"Wan Siangkong, orang yang satunya lagi ada satu thaykam," Ang Seng Hay kasi tahu.
"Satu raja mati cuma dengan ditemani satu thaykam, ini dia yang dibilang, tanah ambruk,
genteng hancur, semua orang berbalik, memisahkan dirinya," berkata Sin Tjie. "Sekarang,
Seng Hay, pergi kau singkirkan semua mayat ini, supaya tidak sampai diganggu orang."
Seng Hay menyahuti ia akan urus mayat itu, maka setelah itu, Sin Tjie ajak rombongannya
balik untuk memberi laporan pada Giam Ong.
Lie Tjoe Seng sendiri sudah menuju ke istana, disana ada serdadu-serdadu pihaknya,
yang menjaga, mereka menyambut, untuk mengantari masuk ke dalam.
Kapan kemudian Sin Tjie masuk ke istana, ia dapatkan Giam Ong sedang duduk di kursi
dengan seorang anak muda yang pakaiannya tidak rapi berdiri di sampingnya.
"Bagus, saudara Wan!" kata pemimpin itu apabila ia lihat si anak muda. "Mana raja" Bawa
dia menghadap!"
"Tjong Tjeng telah mati gantung diri," Sin Tjie kasi tahu. "Inilah surat wasiatnya."
Lie Tjoe Seng tercengang, tapi kemudian, ia sambuti surat wasiat itu, untuk dibaca.
Mendengar hal raja mati, si anak muda dengan pakaian kusut itu menangis menggerunggerung,
hampir saja ia pingsan.
"Inilah thaytjoe!" kata Giam Ong pada Sin Tjie.
"Oh," kata si anak muda, yang lantas mengasih bangun pada thaytjoe - putera mahkota
itu. "Kenapa kau kehilangan negaramu" Kau tahu tidak sebabnya?" Giam Ong tanya putera
raja itu. "Sebab hoe-hong keliru mempercayai dorna Tjioe Yan Djie dan lainnya," jawab thaytjoe.
"Aku juga ketahui itu," kata Giam Ong sambil tertawa. Tapi ketika ia menambahkan, ia
hunjuk roman keren: "Aku kasih tahu padamu, ayahanda-rajamu tolol dan kejam, dia
sudah membuat rakyat hidup bersengsara! Memang harus dibuat sedih yang ayahandamu
hari ini telah mati gantung diri, akan tetapi selama tujuh-belas tahun pemerintahannya,
setahu sudah berapa ribu, beberapa laksa anak negeri yang dia paksa mati menggantung
diri, nasib mereka itu lebih-lebih hebat dan menyedihkan."
Thaytjoe tunduk, ia tidak bilang suatu apa. Akan tetapi, selang sedikit lama, ia kata:
"Sekarang baik kau bunuhlah aku!"
Sin Tjie tidak nyana putera ini berhati keras, ia jadi kuatirkan keselamatan dirinya.
Tetapi Giam Ong bilang: "Kau masih anak-anak, kau tidak punya dosa, mana bisa aku
sembarang bunuh orang?"
"Kalau begitu, aku hendak majukan beberapa permohonan," kata putera raja itu.
"Coba sebutkan, aku ingin dengar," Giam Ong jawab.
"Aku minta kau jangan ganggu kuburannya leluhurku, supaya kau juga kubur baik-baik
jenazah hoe-hong dan boe-houw," minta thaytjoe. Ia masih ingat kepada ayahnya dan
ibunda-raja. "Itulah pasti. Tentang itu tak usah kau minta."
"Di sebelah itu, aku minta kau jangan bunuh-bunuhi rakyat."
Giam Ong tertawa berkakakan.
"Bocah tak tahu apa-apa! Aku justru ada si rakyat jelata! Adalah kami rakyat jelata yang
pukul pecah kota-rajamu ini! Kau mengerti tidak?"
"Jadinya kamu tidak membunuh rakyat?" thaytjoe tegasi.
Giam Ong lantas buka bajunya, akan perlihatkan dada dan pundaknya yang penuh tandatanda
bekas hujan cambukan.
Melihat tanda-tanda bekas siksaan itu, orang semua gegetun.
Lie Tjoe Seng lantas kata: "Aku juga ada rakyat jelata yang taat terhadap undang-undang,
akan tetapi pembesar jahat sudah siksa aku, aku pernah dipukuli, hingga saking habis
daya, terpaksa aku berontak. Ayahmu itu, - hm!- dan juga kau sendiri, kamu berpura-pura
saja menyayangi rakyat, buktinya tentara kita, dari yang berpangkat tinggi sampai serdadu
biasa, tidak ada satu yang tidak pernah merasai siksaanmu!"
Thaytjoe tunduk pula, ia berdiam.
Lie Tjoe Seng pakai pula bajunya.
"Sekarang pergi kau mundur," ia menitahkan. "Mengingat kau adalah putera mahkota aku
angkat kau menjadi pangeran. Dengan begini aku hendak hunjuk kepadamu, kami rakyat
jelata, kami tidak mendendam sakit hati! Pangeran apa aku hendak angkat kau" Karena
ayahmu persembahkan negaranya kepada kami, sekarang aku angkat kau jadi pangeran
Song-ong."
Huruf "Song" dari Song-ong itu sama suara-bacanya dengan huruf "song" = "mengantar".
Bersama thaytjoe itu ada Thaykam Tjo Hoa Soen.
"Lekas kau haturkan terima kasih kepada Sri Baginda," ia ajari putera mahkota.
Thaytjoe menoleh, ia memandang dengan bengis pada orang kebiri itu. Dengan mendadak
saja sebelah tangannya melayang, ke mukanya thaykam she Tjo itu.
"Plok!" demikian suara nyaring, yang menyusuli gaplokan itu. Lalu di pipinya sang
thaykam menggalang tapak lima jari tangannya si putera mahkota.
Giam Ong tertawa terbahak-bahak.
"Bagus!" serunya. "Dia ada orang tidak setia dan tidak berbudi, bagus dia dihajar! Mana
orang" Gusur dia keluar, penggal batang lehernya!"
Tjo Hoa Soen kaget tidak terkira, mukanya pucat dengan mendadakan, terus ia rubuhkan
diri, akan berlutut di depan pemimpin rakyat itu. Ia manggut berulang-ulang, sampai
jidatnya mengenai lantai dan boboran darah. Dengan sangat ia mohon dikasihani.
Giam Ong tak gubris orang itu; ia tendang orang kebiri itu, sampai dia terguling kemudian
ia titahkan orangnya hukum mati thaykam jahat itu.
Thaytjoe sendiri, dengan sikap agung, bertindak keluar.
"Ini anak berhati keras, aku suka orang yang bersifat sebagai dia," kata Giam Ong sambil
tertawa pada Sin Tjie. Terus ia menoleh ke samping, pada Koensoe Song Hian Tjek, ahli
pemikirannya yang tubuhnya kate. Ia kata: "Kabarnya kaisar Tjong Tjeng ada punya
seorang puteri, entah ada di mana puteri itu."
"Kaisar Tjong Tjeng telah bacok kutung sebelah lengannya puteri itu, aku bawa dia pulang
untuk dirawat," Sin Tjie wakilkan sang ahli pemikir menjawab. "Kalau nanti dia sudah
sembuh, aku nanti bawa ia menghadap Tay-ong."
"Bagus, bagus!" Giam Ong tertawa. "Jasamu tidak kecil, aku justru lagi pikiri dengan apa
aku mesti hadiahkan kau. Nah, kau ambillah puteri raja itu untukmu!"
Sin Tjie terkejut.
"Tidak, tidak, itulah....." katanya.
"Saudara Wan, malu apa" kata Song Hian Tjek, yang potong kata-katanya anak muda ini.
"Memang benar, satu enghiong mestilah satu orang muda! Lauw Tjiangkoen dan lainnya
juga berjasa besar akan tetapi Tay-ong cuma hadiahkan mereka beberapa dayang."
Ahli pemikir ini bicara sambil tertawa, bagi Sin Tjie, sikap dan perkataannya, ada
mengandung sindiran, maka itu, ia mengawasinya dengan melengak. Ia lihat orang
bertubuh tinggi tidak tiga kaki, malah kaki kanannya lebih pendek dari kaki kirinya, hingga
tubuhnya dia itu menjadi dengdek, miring sebelah.... Untuk tunjang diri, koensoe ini
pegangi sebatang tongkat. Dia pun mempunyai muka gepeng dan panjang, romannya
sangat licin, suatu tanda dari kecerdikannya. Dia masih bersenyum-senyum waktu dia
terus awasi padanya.
Justeru itu waktu, Lie Gam datang dengan cara kesusu sekali.
"Tay-ong!" katanya begitu ia sudah datang dekat, "Lauw Tjiangkoen beramai sedang
mengacau tak keruan!"
"Ada kejadian apakah?" tanya Lie Tjoe Seng.
"Mereka telah tangkap-tangkapi sejumlah pembesar dan hartawan, mereka siksa orangorang
itu, untuk peras uangnya," sahut Lie Gam. "Katanya sudah tidak sedikit orang yang
mereka bunuh."
Mendengar ini, Koensoe Song Hian Tjek tertawa. Ia mendahului tayongnya bicara. Ia
bilang: "Mereka itu telah berperang mati-matian, mereka rampas negara sesudah
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengadu-jiwa, sekarang mereka lagi membikin uang, itulah tidak apa...."
Lie Gam tidak puas dengan kata-kata ini, ia gusar.
"Tidak demikian!" katanya. "Kanglam masih belum dapat dibikin tetap, Gouw Sam Koei di
San-hay-kwan masih belum menakluk, selagi hati umum masih belum tenang, bagaimana
orang-orang yang mengepalai tentara bisa memikir untuk mengumpul uang" Apakah
artinya itu?"
"Kenapa sih kalau orang mengumpul uang?" kata pula Song Hian Tjek dengan tawar.
"Yang dikuatirkan adalah kalau orang terkena bujukan orang lain, lantas dia kandung
maksud jelek terhadap Tay-ong - itu Barulah jelek...."
Otot-otot di mukanya Lie Tjoe Seng bergerak-gerak sedikit, tanpa diingini, ia melirik
kepada Lie Gam.
Masih Lie Gam murka.
"Kami telah berhasil dengan usaha besar kami ini, bukankah itu disebabkan kami tahu hati
rakyat, hingga rakyat tunjang kita?" kata pula dia dengan keras.
Tidak enak hatinya Sin Tjie akan lihat orang berselisih. Ia bukannya orang lama dari Giam
Ong, tidak mau ia campur perselisihan itu. Maka ia lantas memberi hormat pada Giam
Ong, terus ia undurkan diri dari istana. Tidak lagi ia sempat bicarakan urusan hadiah
puteri raja itu. Ketika ia Baru keluar dari pintu istana, di depan ada seorang berlari-lari
kepadanya. "Siauw-soesiok, aku cari kau dimana-mana!"
(Bersambung bab ke 24)
Orang itu memakai pakaian kasar dan sepatunya sepatu rumput, di bebokongnya ada
golok panjang, Sin Qe lantas kenali, dia adalah Cui Hie Bin, keponakannya Cui Ciu San.
"Ada apakah?" ia tanya pemuda itu.
Hie Bin tidak lantas menyahuti, ia hanya keluarkan sesampul surat dari sakunya, ia
haturkan itu kepada ini "paman cilik" (siauw susiok),
Sin Cie awasi surat itu, ia baca alamatnya, "Kepada murid-muridku!" ia kenali surat
gurunya, maka ia lantas menjura, habis itu ia menyambuti dengan kedua tangan nya.
Kemudian ia buka sampul itu, akan keluarkan suratnya untuk dibaca,
Guru itu menulis ringkas saja.
"Kami kaum Hoa San Pay mempunyai pesan turun menurun ialah sesuatu murid tak dapat
pangku pangkat di dalam pemerintahan Karena sekarang Giam Ong sudah berhasil
dengan pergerakannya yang besar, murid-murid kita pun sudah lakukan tugasnya, maka
sesuatu murid mesti lantas undurkan diri Nanti di malaman bulan purnama dari bulan
keempat kamu mesti berkumpul di puncak Hoa San.
Surat itu dibubuhkan tanda tangan dua huruf "Jin Ceng".
Sin Cie kaget "Kalau begitu temponya rapat tidak ada satu bulan lagi kita mesti berangkat sekarang!"
kata dia. "Memang, Pamanku juga hendak lantas berangkat," Hie Bin kasih tahu.
"Mari kita pulang!" Sin Cie mengajak
Maka mereka berjalan dengan cepat
Begitu lekas Sin Cie memasuki gang di mana terletak rumahnya, ia dengar ramai suara
beradunya pelbagai alat senjata, ia juga dengar suara cacian, ia jadi kaget maka ia lantas
lari Beberapa serdadu Beng kelihatan lari serabutan.
Tentara Beng Tiauw sudah buyar kenapa di sini masih ada lagi?" pemuda ini pikir.
ia lari semakin keras, hingga tibalah ia di depan rumahnya.
Di ambang pintu, Ho Tek Siu sedang labrak belasan serdadu Beng, yang berada di dalam
rumah yang nampaknya hendak nerobos keluar Untung untuk mereka ini mereka hanya
diancam saja, untuk dicegah lo!os, Kapan Tek Siu lihat gurunya datang, ia bersenyum ia
lantas lompat minggir
Maka serentak belasan serdadu peng itu lari keluar, saling tabrak hingga ada yang
ngusruk jatuh, sebentar saja tidak kelihatan bajangan mereka juga,
Selagi gurunya pandang dia, Tek Siu tertawa,
"Serdadu-serdadu Beng itu lihat rumah kita besar, mereka menyerang masuk untuk
menggarong!" katanya,
Sin Cie bersenyum,
"Syukur aku keburu pulang, kalau tidak celakalah mereka!" bilangnya,
"Bertiga mereka masuk ke dalam, justru mereka berpapasan dengan Ang Seng Hay, yang
mendatangi sambil berlari keras, mukanya pucat sekali romannya sangat tegang,
"Celaka! Celaka!" demikian teriakannya beru1ang-ulang,
"Ada apakah?" tanya Sin Cie yang menjadi kaget
Thia.... Thia... Thia Lo hucu...!" kata Seng Hay yang tak dapat bicara jelas,
Melihat demikian, Sin Cie serta yang lainnya segera memburu ke kamarnya Thia Ceng
Tiok, ketua dari Ceng Tiok Pay. Begitu sampai di dalam kamar, semua orang kaget tidak
terkira, Thia Ceng Tiok berlutut dengan tubuh sudah menjadi mayat golok tajam mengkilap
nancap di dadanya,
Tangkap si pembunuh!" berteriak See Thian Kong yang menjadi gusar bukan kepa1ang.
Malah ia segera mendahului lompat keluar jendela,
Ouw Kui Lam Ho Tek Siu dan beberapa yang lain turut lompat keluar untuk susul si
pembunuh, Sin Cie cari tahu napasnya Ceng Tiok hidungnya benar-benar napasnya ketua Ceng Tok
Pay itu sudah berhenti, malah tubuhnya pun sudah jadi dingin, Jadi dia telah menutup
mata sejak sekian lama, jadi kematiannya diketahui sesudah terlambat
Kemudian anak muda itu perhatikan golok yang nancap di dada kawan itu. Di gagang
golok terikat selembar kertas yang ada tulisannya, terdiri hanya dari delapan huruf yang
artinya, "Hamba yang rendah mati bersama-sama Sri Baginda."
Surat peninggalan itu membuktikan Thia Ceng Tiok bukan mati dibunuh, dia hanya bunuh
diri berkorban untuk junjungannya, Rupanya bekas pahlawan raja ini telah lantas dengar
kematian dari kaisar Cong Ceng dan segera korbankan diri karenanya, untuk unjuki
kesetiaannya terhadap raja itu yang dia tetap cintai.
Tanpa merasa, saking terharu, Sin Cie meneteskan air mata. ia kagumi ketua dari Ceng
Tiok Pay ini yang tidak melupakan junjungannya walaupun dia telah diperlakukan tak
selayaknya oleh junjungan itu.
Lantas anak muda itu perintah orang susul See Thian Kong semua sambil berbareng
perintah orang lekas beli peti mati dan lainnya barang keperluan untuk urusan jenazahnya
Ceng Tiok, Sebagai ketua dari Ceng Tiok Pay, jenazah Thian Ceng Tiok tidak dapat dirawat
sembarangan saja, akan tetapi suasana sedang kacau, terpaksa segala apa dilakukan
secara sederhana, Semua anggota Ceng Tiok Pay juga tidak dapat diberi kabar lagi Di itu
hari juga, jenazah dikubur dengan semua orang unjuk hormat mereka yang terakhir
Selama kerepotan mengurus jenazah itu, Ceng Ceng seorang saja yang tidak kelihatan
muncul Mulanya Sin Cie tidak menaruh perhatian adalah kemudian ia tanyakan Wan Jie.
"Mana Nona Hee?"
"Sudah sekian lama aku tidak lihat, nanti aku panggil dia," kata nona Ciauw yang lincah, ia
lantas pergi ke kamar Ceng Ceng, akan terus mengetok pintuk dengan perlahan, "Adik
Ceng, adik Ceng!" ia memanggil
Tidak ada jawaban,
Wan Jie ulangi ketokan pada pintu, ia pun memanggil berulang-ulang tetapi tetap tidak ada
jawaban, sampai Sin Cie datang sendiri Karena heran, anak muda ini tolak pintu yang
terus terbuka, Nyata kamar itu kosong, malah pakaian pedang dan abu ibunya si nona
telah bawa semua!
Setelah melengak sekian lama, Sin Cie coba memeriksa kamar itu, sampai di bawah bantal
ia dapatkan sepotong kertas yang ada tulisannya ringkas saja bunyinya.
"Karena sudah ada kim-kie giok yap, buat apa ada aku si orang rakyat jelata."
Kembali Sin Cie melongo sebab pikirannya kusut sekali ia mengerti kenapa Ceng Ceng
kabur sebab dia bercemburu terhadap A Kiu alias Tiang Peng Kong-cu. Kata "kim-kie giok
yap" itu - "cabang emas dan daun kumala" - berarti putri raja. ia menyesal untuk sifat
cupat dari nona itu yang masih tidak bisa mengatasi diri
"Adik Ceng, kelihatannya tetap kau belum mengerti aku," ia mengeluh di dalam hati ia pun
berkhawatir sekali ia langit "DuIu dia buron, hampir dia celaka di tangan orang asing,
sekarang dia kabur pu!a, selagi suasana begini keruh, Kemudian dia pergi?"
Duduk di atas pembaringan, Sin Cie berdiam saja,
Wan Jie heran, ia pergi keluar, untuk memberi kawan-kawannya maka orang lantas pada
masuk, antaranya ada yang menghiburkan, ada yang memberi pikiran,
Wan Jie masih muda tetapi cerdas sekali
"Wan Siangkong," katanya "Sekarang ini tidak ada faedahnya akan kau berkhawatir atau
berduka saja, Nona Hee gagah, siapa berani main gila terhadapnya" Aku pikir baik urusan
jatuh begini waktunya rapat di gunung Hoa San sudah sangat mendesak, baik siangkong
segera berangkat bersama paman A Pa, enci Ho serta lainnya, Biar aku sendiri berdiam di
sini untuk rawat enci A Kiu, See Siokhu bersama Thie Losu, Ouw Siokhu dan semua orang
Kim Liong Pang pun akan tetap berdiam di sini untuk berikhtiar membantu cari nona Hee.
Kiia nanti kirim pemberitahuan ke seluruh tujuh propinsi supaya semua saudara nanti
tolong mencari juga serta memperhatikan nona Hee itu."
Sin Cie manggut-manggut mendengari nona Ciauw itu.
"Bagus pikiran kau, nona Ciauw," katanya. "Baik, aku nanti bekerja menuruti kau. Hanya
mengenai Tek Siu, aku pikir baik ia tidak usah turut, ia boleh berdiam saja sama kau di
sini. sekarang ini ia belum resmi menjadi anggota partai kami Hoa San Pay."
Kedua matanya Tck Siu bersinar kapan ia dengar perkataannya guru ini. Tadinya ia
hendak bicara, tetapi mendadakkan ia bata ikan itu, Tiba-tiba saja ia ingat Ceng Ceng juga
agaknya cemburui ia. jadi kalau ia ikut anak muda itu, si anak muda akan jadi kurang
merdeka. Akhirnya terus tutup mufut, ia melainkan bersenyum, Tetapi, di dalam hatinya ia
kata. "Kau tidak suka ajak aku pergi ke Hoa San, aku toh bisa pergi sendiri!"
Nona Ho ada bekas pemimpin Ngo Tok Kauw, ia sudah biasa ambil putusan scndiri, sudah
biasa ia bertindak sendirian, walaupun ia telah ubah haluan, masih ada sisa-sisa adatnya
ilu. Maka itu, setelah ambil putusan akan pergi seorang diri ke Hoa San, ia terus pikirkan
dayanya bagaimana agar ia bisa bertamu sama Couwspe, pemimpin dari Hoa San Pay.
Setelah bersiap, Sin Cie menghadap Tiong Ong untuk beritahukan maksud kepergian
berapat di Hoa San, untuk pamitan, ia juga ambil selamat berpisah dari Lic Gam.
Tiong Ong memberi persen banyak barang pcrmata, Tempo Sin Cie hendak menampik, Lie
Gam kcdipi mata padanya, maka ia lantas terima sambil menghaturkan terima kasih,
Kctika Lie Gam antar saudara ini keluar dari istana, ia menghela napas dan kata, "Saudara
kau telah berhasil lantas sekarang kau undurkan diri, inilah tindakan paling tepat Di sini
aku merasai gencetannya manusia rendah akan tetapi tak dapat aku meletaki jabatanku,
maka aku ingin pertaruhan jiwaku untuk membalas budinya Tiong 0ng...."
Wajahnya jenderal ini menjadi guram,
"Toako, jaga saja dirimu hati-hati," Sin Cie pesan, "Umpama kata kau menghadapi sesuatu
bahaya, meski juga aku berada jauh selaksa lie, pasti aku akan datang untuk
menyusulmu!"
Sambil linangan air mata, dua saudara angkat ini berpisahan,
Besoknya Sin Cie berangkat dengan menunggang kuda hitam hadiah dari Giam Ong
bersama ia turut A Pa si empe gagu, Cui Ciu San,. Cui Hie Bin, An Toa Nio, An Siauw Hui
dan Ang Seng Hay enam orang berikut Thay Wie dan Siauw Koay, kedua binatang
piaraannya, Mereka ambil tujuan Barat, menuju ke Hoa San. Mereka menunggang kuda
pilihan, maka itu dengan lekas mereka telah sampai di Wan-peng dimana mereka singgah
di holcl, untuk beristirahat
Besoknya pagi habis bersantap dengan matanya yang awas, Seng Hay lihat seekor
kalajengking dan seekor kelabang di pojok tembok, dipantek dengan paku, ia bercckat
hati, segera ia tarik ujung baju Sin Cie untuk kisiki majikan ini,
Kapan si anak muda saksikan dua ekor binatang berbusa itu diam-diam ia manggut ia
mengerti, dua binatang itu mesti ada hubungannya sama Ngo Tok Kauw, maka ia sayangi
Ho Tek Siu tidak turut bersama, kalau tidak tentulah murid itu bisa memberi penjelasan
Seng Hay cerdik, ia dekati jongos untuk diajak bicara hal yang tidak ada kepentingannya,
setelah mana, ia tunjuk kala dan kelabang itu sambit kata, "Dua binatang berbisa di
tembok itu tentulah dipantek oleh beberapa orang yang berbicara dengan lidah Selatan?"
Sang jongos tidak curiga, malah ketika ia menJawab, ia tertawa,
"Jikalau tidak karena telah dapat uang ingin aku buang saja dua makhluk jahat itu. S
unggun menyebalkan." demikian jawabnya, ia tekuk-tekuk jarinya, "Bclum sampai dua
hari, orang-orang yang menanyakan itu seperti kau tuan ada belasan banyaknya!"
"Srapa sebenarnya yang telah pantek binatang itu?"
"Seorang pengemis wanita tua!"
Seng Hay segera lirik Sin Cie.
"Siapa saja yang telah menanyakannya?" tanya dia sambil dia scsapkan sepotong perak
hancur di tangannya
si jongos, "Kalau bukan segala tukang minta-minta tentu segala orang tidak karuan!" sahut jongos
itu sambil tertawa, "Aku tidak sangka, tuan kau pun menanyakannya! Ah, kau upahi
aku...." "Ketika si uwa pantek paku itu, siapa saja yang melihat dia?" Sin Cie turut menanya.
"ltu hari sungguh kebetulan!" berkata si jongos.
"Mulanya satu siangkong muda dan cakap, yang minum arak sendirian saja"
"Beberapa usianya siangkong itu" Bagaimana dandanannya?"
"Nampaknya dia lebih muda sedikit daripada kau siangkong. Dia demikian cakap hingga
tadinya aku menyangka kepada anak wayang, Setelah dilihat pedang di pinggangnya, baru
aku ubah dugaanku itu. Dia seperti lagi kematian sanaknya, mukanya lesu, sepasang
alisnya mengkerut, Dia minum arak akan tetapi kedua matanya merah, Melihat dia, orang
bisa merasa kasihan...."
Orang segera menduga pada Ceng Ceng.
"Eh, kau jangan omong sembarangan!" Hi'e Bin menegur ia anggap sial akan sebut Ceng
Ceng kematian orang di rumahnya...."
Kaget jongos itu tapi ia terus susuti meja.
"Apakah tuan-tuan hendak berangkat sekarang?" dia tanya,
"Habis bagaimana?" Sin Cie masih tanya.
Jongos itu masih melirik pada Hie Bin, baru ia menyahut "Selagi siangkong itu minum, aku
dengar tindakan kaki di tangga lauwteng, lantas aku lihat datangnya seorang tua,
Rambutdan kumis jenggotnya putih semua, akan tetapi roman dan tubuhnya masih kekar
sekali Dia membawa sepotong tongkat yang ia taruhnya sambil diketruki keras di lantai
sampai cawan-cawan di atas meja turut menggetar.
Sin Cie terkejut
"ltulah Oen Beng San," pikirnya. "Ceng Ceng bertemu sama Samyayanya, cara bagaimana
dia dapat loloskan diri...?"
"Orang tua itu duduk di meja di samping mejanya siangkong itu," jongos melanjuti, Dia
lantas minta arak dan sayurannya, Dia baru duduk, lantas datang seorang tua tain,
Anehnya beruntun telah datang semuanya empat orang tua, semua rambut dan kumisnya
putih, mukanya merah segar Senjata mereka ini ada yang tombak cagak pendek, ada yang
runcing kulit Mereka tidak melihat satu pada lain akan tetapi mereka duduk masingmasing
di satu meja yang aneh ialah mereka kitari si siangkong. Hal itu membuat aku
sangat heran, Habis itu tidak lama datanglah si pengemis wanita tua. Mulanya majikan
hendak usir pengemis ini siapa tahu, Trang!" ia membuat satu suara nyaring, hingga aku
terkejut Tuan sangka apa sudah terjadi?"
"Apakah itu?" Hie Bin balik tanya,
"lni dia yang dibilang, Malaikat Uang berkeredong kulit anjing, orang tidak dapat dilihat
dari wajahnya saja." jawab si jongos yang tegas kekagumannya, "Suara nyaring itu adalah
sepotong besar perak, yang dilemparkan di meja kuasa, Kemudian, sambil memandang
dan menuding kepada empat orang tua itu ia bilang, "Uang mukanya semua tuan-tuan itu
masuki dalam perhitunganku Tuan, pernahkan tuan bertemu dengan pengemis wanita
itu?" Sin Cie menjadi sibuk, dia gelisah,
"Empat jago dari Cio Liang Pay sudah tak dapat dilawan Ceng Ceng, sekarang muncul Ho
Ang Yo! itulah hebat - pikirnya,
Gembira sangat si jongos dengan penuturannya, tanpa tunggu jawaban si anak muda, ia
sudah meneruskan "Walaupun uang arak mereka telah dibayarkan, empat orang tua itu
tidak memperdulikannya, mereka terus repot dengan arak mereka sendiri Maka si uwa jadi
mendongkol dengan tiba-tiba ia berseru, sebelah tangannya diayun, lantas satu benda
putih mengkilap menyambar orang tua yang membawa tongkat."
"Jangan ngeberahol!" Hie Bin tertegun "Mungkinkah pengemis wanita itu punya pedang
wasiat?" "Untung apa aku mendusta?" balik tanya si jongos, "Memang itu bukannya pedang wasiat
akan tetapi bedanya tak banyak! Si orang tua angkat sumpitnya, akan tanggapi serangan
Segera terdengar suara nyaring, suara bentrokan di antara senjata dan sumpit itu. Habis
itu aku tampak sumpit merupakan gagang rencengan Ketika aku mulanya melihat aku
kaget bukan main! Tahukah kau apa adanya benda yang dipakai menyerang itu?"
"Apakah itu?" Hie Bin tanya,
"ltu adalah serenceng sarung kuku! Dan semuanya kena tercantol di antara sumpit!
Saking kagum, aku berseru dengan pujianku, Selagi aku memuji, aku dengar satu suara
nyaring, Apakah suara itu kau tahu?"
"Apakah itu?"
"Kau lihat ini."
"Jongos itu tarik tangan Hie Bin untuk bawa dia kepada buah meja, untuk unjuki pinggiran
meja itu. Di atas meja itu ada satu lubang yang kecil, ketika jongos ambil sebatang sumpit dan
memasukinya ke dalam lubang itu, tepat busurnya.
"lnilah sumpitnya si orang tua, yang ditancapkan ke meja ini," jongos itu menjelaskan
"Tidakkah itu ada kepandaian yang luar biasa" Mungkin si pengemis wanita melihat dia
tidak punya kesanggupan melawan dia lantas lari keluar Kemudian, setelah si siangkong
berlalu ber-sama-sama empat orang tua itu, Rupanya mereka ada dari satu rombongan,
yang mengatur diri demikian rupa untuk layani si pengemis wanita tua itu...."
"Ke arah mana perginya mereka itu?" tanya Sin Cie diakhirnya,
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mereka menuju ke Liang hiang, dusun di barat selatan sana," sahut sang jongos, Tidak
lama seberangkatnya mereka itu si pengemis wanita tua datang puIa, kali ini dia
tinggalkan kala dan kelabangnya itu. Dia lelah berikan sepotong perak kepadaku dengan
pesan agar aku jagai itu kedua binatang berbisa supaya jangan ada yang ganggu, Selama
ini keamanan ada sangat terganggu, majikan lelaki ingin tutup perusahaannya ini, nyonya
majikan tidak mengijinkannya maka perusahaan di1an-jutinya...."
Sin Cie tidak tunggu sampai orang ngoceh habis, ia lantas lari keluar.
"Mari kita susul!" serunya pada kawan-kawannya, Maka semua memburu keluar untuk
naik atas kuda mereka dan kabur.
Pada hari itu ia minggat, Ceng Ceng sedang mendongkol dan berduka, Setelah ambil
putusan akan bawa abu ibunya ke Hoa San, untuk dikubur jadi satu dengan jenazah
ayahnya, Malah ia telah ambil keputusan sesudah penguburan ayah dan ibunya itu ia akan
habiskan jiwanya dengan bunuh diri di samping kuburan ayah dan bundanya itu.... ia
merasa sangat tidak beruntung, sebab dapati bakal suami yang tidak mencinta....
Ceng Ceng mampir di Wan peng dengan niatan menghibur diri ia tidak sangka disitu ia
bertemu sama keempat yayanya yang segera kurung padanya, kemudian datang Ho Ang
Yo yang sudah adu kepandaian, hingga Oen Beng San perlunjuki kelihayannya akan bikin
kuncup nyalinya pahlawan Ngo Tok Kauw itu hingga nyonya itu mundur sendirinya,
Tahu bahwa dia tidak punya harapan akan lolos lagi dari tangannya keempat yaya itu,
Ceng Ceng dapat mengatasi diri, hingga selanjutnya ia tidak jeri Iagi. ia hanya khawatir ia
nanti lantas dibikin mati di situ juga sedang giatnya adalah supaya ia bisa lebih dahulu
mempersatukan dan mengubur abu ibunya dengan tu!ang-tulang ayahnya. ia ada cerdik,
dalam saat berbahaya itu, ia masih dapat akal
Toa yaya," ia mendengar Oen Beng Tat sambil ia hampirkan yaya yang terus itu, untuk beri
hormatnya, sesudah mana ia juga kasih hormat kepada ketiga yaya lainnya,
Empat yaya itu heran menampak orang tak jeri sedikit juga terhadap mereka hingga
mereka mengawasi saja.
"Suwie-yaya hendak pergi ke mana?" kemudian Ceng ceng tanya sambil ia tertawa.
"Kau sendiri hendak pergi ke mana?" Beng San tanya,
"Aku sedang tunggu sahabatku she Wan karena kita lelah berjanji akan bertemu di sini."
Ceng Ceng jawab dengan karangannya belaka, "la masih belum sampai...."
Kelihatannya keempat yaya itu terkejut mendengar disebutnya nama Sin Cie, malah Oen
Beng Gie, si Jie yaya segera berbangkit
"Lekas ikut kami!" katanya,
"Aku lagi tunggu kawan...." Ceng Ceng berpura-pura,
Beng Gie ulur sebelah tangannya bagaikan berke1e-batnya kilat, sampai tahu-tahu Ceng
Ceng merasai lengannya tercekal keras nadinya kena dipencet, hingga tanpa berdaya, ia
mesti ikut bertindak keluar rumah makan, ia terus diajak naik bersama ke atas seekor kuda
yang segera dilarikan keras ke luar kota, terus sampai di suatu tempat yang sepi sekali, Di
sini mereka berhenti dan turun di bawah sebuah pohon besar, Tapi si nona dijoroki hingga
dia jatuh terjungkal
"Anak hina dina, anak tidak tahu malu!" begitu ia segera didamprat "Hari ini Thian adalah
yang membikin kau bertemu kami!"
Ceng Ceng lantas menangis, "Yaya, aku salah apa?" dia tanya, "Aku minta yaya beri
ampun padaku, Lain kali aku nanti dengar kata...."
"Hm, kau masih mengharap hidup?" bentak Oen Beng Gie, jie yaya itu. Malah dia segera
hunus pisau belatinya yang tajam,
"Jie yaya, kau hendak bunuh aku?" tanya Ceng Ceng sambil menangis,
"Kau berdosa, pantas kau terima kematianmu!" kata Oen Beng Gie, si Ngo yaya.
"Sam yaya," kata Ceng Ceng tanpa perdulikan ngo yaya itu, "lbuku adalah anak
perempuan kandung dari kau maka kepadamu aku minta tolong dalam satu ha1...."
"Tetapi buat minta dikasih tinggal hidup itulah kau jangan harap!" kata engkong luar itu.
Ceng Ceng menangis pula,
"Kalau nanti aku telah mati," katanya, "Aku minta kau tolong sampaikan sepucuk suratku
kepada itu sahabat she Wan, kau pesan supaya dia sendiri saja yang pergi cari mustika,
tidak usah dia tunggu aku lagi-"
Tergerak hatinya keempat yaya itu mendengar kata-kata "cari mustika".
"Apakah itu yang hendak dicari?" tanya mereka hampir berbareng,
"Aku bakal mati, tak dapat aku buka rahasia," jawab Ceng Ceng, "Aku cuma minta supaya
suratku tolong disampaikan...."
Nona ini robek ujung bajunya, ia ambil sepotong jarum dari sakunya, dengan itu dia tusuk
jari tangannya, akan keluarkan darahnya itu, ia menulis di atas itu robekan baju,
Masih keempat yaya itu tanya mustika apa itu yang hendak dicari, tetapi Ceng Ceng
menulis terus, ia tidak berikan jawabannya, Ketika telah selesai ia menulis ia serahkan
surat darah itu pada engkongnya,
"Untuk sampaikan surat ini, sama yaya tidak usah kau menemukan sendiri orang she Wan
ilu," ia bilang, "Cukup jikalau kau kirim orang ke Wang peng ke rumah makan di mana kita
lelah bertemu itu."
Meskipun ia sedang bersandiwara, tapi kapan ia ingat Sin Cie, yang dikatakan "tidak
setia", Ceng Ceng toh bersedih, hingga ia menangis pula dengan sedih, air matanya
mengucur tak hentinya.
Kecmpat yaya itu tidak tahu orang sedang permainkan mereka, mereka tidak tahu apa
sebabnya cucu ini menangis demikian sedih.
Ketiga yaya dekali Beng San, untuk baca surat darah itu.
Ceng Ceng menulis begini
Toako Sin Cie! Dalam penghidupan kita ini, tidak dapat kita bertemu pula satu dengan lain, Maka itu
mustika kepunyaan ayahku, semuanya aku hadiahkan kepadamu, Pergilah kau yang gali
sendiri, tidak usah kau tunggu aku pula.
Hormatnya adikmu si Ceng
"Mustika apakah itu!" Beng Go bentak "Mungkinkah kau ketahui tempat simpannya itu?"
Ceng Ceng cuma manggut dengan per1ahan.
"Fui, kau menjual orang!" Ngo yaya itu bentak pula, "Mana ada mustika! Ayahmu yang
sudah mampus menjadi setan telah perdayakan kami, sekarang kau kembali hendak main
gila pu!a!"
Ceng Ceng tidak menyahuti, hanya sambil tunduk, ia keluarkan dari sakunya sepasang
kumala yang disu1am-kan kepada sepotong ikat pinggang sutera, itulah kumala model
kupu-kupu yang dapat dari satu-di antara sepuluh peti harta karun, Karena kupu-kupu itu
indah ukirannya dan mungil, ia sengaja ambil untuk disimpan,
Setelah keluarkan kupu-kupu kumala itu, hingga dapat dilihat keempat yaya itu mendadak
ia berbangkit untuk berdiri tegak untuk kata juga secara menantang, Terserah kepada
kamu, suratku ini hendak kamu sampaikan kepada aiamatnya atau tidak! sekarang kamu
bunuhlah aku."
Di antaranya suaranya itu, kumalanya itu jatuh ke tanah sambil menerbitkan suara, ia
lantas membungkuk untuk memungutnya, akan tetapi Oen Beng Go telah dahulu ia
menyambar Merah matanya keempat yaya itu sesudah mereka lihat tegas itu kumala kupu-kupu.
Mereka ada penjahat-penjahat dari puluhan tahun, cara bagaimana mereka tidak kenal
mustika berharga, Maka itu goncanglah hati mereka semua,
"Darimana kau peroleh ini?" akhirnya mereka tanya,
Ceng Ceng tetap membisu,
"Kau kasih tahu pada kami, mungkin kami akan selamatkan jiwamu." Beng San lantas
membujuk "ltulah satu di antara barartg-barang mustika yang aku maksudkan," sahut Ceng Ceng
dengan roman ter-paksa, "Bersama-sama Wan Toako itu, setelah kami pahamkan
pengunjukan petanya, aku telah berhasil mendapat tempat mustika disimpan dan
membongkarnya, Sama sekali ada sepuluh peti, yang memuat pelbagai batu permata dan
uang, Adatah sukar untuk bawa itu semua, maka aku ambil ini sepasang kupu-kupu.
Sekarang kita hendak pergi pula untuk ambil semua peti itu...."
Kembali ia menangis,
Keempat yaya itu jauhkan diri mereka untuk berdamai Mereka tidak takut si nona nanti
kabur, sebab di tempat sepi seperti itu dengan gampang mereka dapat mengejarnya,
"Nyatalah sekarang benar halnya mustika simpanan itu," kata Oen Beng San.
"Baik, kita paksa dia antar kita, untuk kita yang ambil," Beng Gie usulkan.
Tiga saudara itu manggut
"Lebih dahulu kita dustakan dia bahwa kita akan memberi keampunan," Beng San
utarakan tipu dayanya, "Kalau nanti mustika sudah ada di dalam tangan kita, baru kita
hukum dia!"
Tiga saudara itu setuju.
"Aku ada punya satu cara gampang," kata Beng Gie. "Lcbih dahulu kita ambil mustikanya,
setelah itu kacung hina dina ini kita belesaki ke dalam lubang bongkaran itu, untuk diuruk
pula, maka kalau nanti si binatang she Wan itu datang menggali, dia bakal gali hanya
mustika hidupnya ini! Tidakkah itu bagus?"
Tiga saudara itu tertawa berkakakkan,
"Bagus pikiran ngotee!" kata mereka, yang puji adik bungsu itu,
Mereka itu girang karena sudah dapatkan Ceng Ceng diluar dugaan, mereka juga bakal
dapat harta karun. Mereka hampirkan Ceng Ceng, untukdidesak akan antar mereka ke
tempat simpanan mustika dengan si nona dijanjikan jiwanya akan dikasih tinggal hidup....
Ceng Ceng sedang bersandiwara, ia menampik akan antari semua yaya itu, adalah setelah
dibujuk pulang pergi dan diancam juga, baru ia mau sebutkan, tempat simpan harta karun
itu adalah di puncak gunung Hoa San. ia telah pikir, selagi empat yaya itu repot bongkar
tanah ia mau cari ketika akan cari kuburan ayahnya, supaya bisa dikubur bersama dengan
abu ibunya, Sesudah itu seperti rencananya, ia hendak bunuh diri,
Karena ia telah unjuk bukti dan alasan yang masuk di akal, empat tertua dari Cio Liang Pay
itu percaya omongan nona ini.
Ketika dahulu Ngo Couw dapat bekuk Kim Coa Long kun, yang dibawanya ke Hoa San,
mereka memang sudah dengar halnya harta karun itu dipendam di gunung tersebut, hanya
itu waktu, kecuali Kim Coa Long kun bisa mengingat, mereka juga tidak peroleh suatu apa.
Belakangan pun terjadi lelakonnya Thio Cun Kioa dan si pendeta yang dapat sergap Sin
Cie dengan kesudahan mereka mati semua,
perjalanan dilanjutkan dengan segera, dengan cepat luar biasa, malah hari itu, mereka
tidak singgah lagi, Sebabnya dari perjalanan cepat luar biasa ini karena kekhawatirannya
keempat yaya itu nanti Sin Cie dapat susul mereka, karena mereka mengerti, asal mereka
kesusul si anak muda, usaha mereka bisa gagal, jiwa mereka sendiri bisa hilang,
Maka bukan main lelahnya mereka berempat ketika itu sore mereka sampai di tapal batas
propinsi Shoasay, Lantas saja mereka cari hotel di mana paling dahulu mereka minta
disajikan barang hidangan,
Beng Gie ada orang yang paling sembrono di antara keempat saudaranya itu pun paling
kuat daharnya maka dialah yang berteriak-teriak minta arak, sayur, dan mie.
Jongos telah bekerja sebat untuk layani tetamu-tetamunya ini.
Seperti biasanya, begitu lekas barang makanan sudah diatur di atas meja, Beng Gie lantas
mendahului saudara-saudaranya, daharnya sangat bernapsu.
Ceng Ceng diperkenankan duduk dahar bersama, disaat nona ini dan Beng Tat bertiga
angkat sumpit serupa benda, melihat mana, dia kaget tidak terkira, sampai tubuhnya
berdiri tegak bagaikan patung, lantas rubuh.
Beng Tat bersama dua saudaranya, juga Ceng Ceng kaget bukan main, Benda yang dijepit
sumpitnya Beng Gie itu adalah seekor kawa-kawa yang hitam dan besar Tiga saudara itu
juga heran ketika mereka dapati eng Gie masih saja berdiam, maka Beng Tat lantas
mendekati untuk raba tubuhnya.
Engko ini kaget sekali, apabila ia telah kena raba tubuh yang lantas mulai jadi dingin,
sedang napas di hidungnya adik itu pun sudah berhenti berjalan Dia kaget berbareng
gusar sekali, Dalam murkanya Beng San hampirkan kuasa restoran untuk dijambak, rubuh kuasa ini
demikian keras, hingga tulang betisnya orang ini patah, hingga si kuasa pingsan,
Beng San tunggu sampai orang sadar scndirinya, ia jambak dada orang, dilain pihak dia
jepit bangkai kawa-kawa dengan sumpitnya untuk di antar ke depan muka kuasa itu.
"Kau bernyali sangat besar! Kau berani racuni kita! Apakah ini?" dia tanya dengan bengis.
Kuasa itu kaget dan takut bukan main,
"Rumah makan kami sudah dibuka selama tujuh puluh tahun.,." katanya dengan tubuh
bergemetar dan suara tidak lancar, "Kita juga selalu jaga kebersihan dapur kita.... Heran
entah darimana datangnya ini binatang...."
Beng San samber pipi orang, sekali ia memcncet, tcrpentanglah mulut si kuasa restoran
itu, menyusul mana, bangkai kawa-kawa dimasuki ke dalam mulutnya, dijejaii, hingga
bangkai itu kena tertelan.
Boleh dibilang dalam sekejap saja, kuasa restoran itu rubuh binasa, kulit di seluruh
tubuhnya berubah menjadi hitam,
Karena ini, kacaulah keadaan di rumah makan itu.
Beng Tat takut Ceng Ceng lari, ia sambar nona ini, untuk diseret keluar begitu lekas dia
kempit tubuhnya Beng Gie,
Beng San dan Beng Go jadi seperti kalap, mereka keluarkan senjata mereka dengan apa
mereka menyerang kalang kabutan, akan obrak-abrik rumah makan itu, dimana ada
beberapa jongos dan tetamu lainnya hingga sama sekali rubuh tujuh atau delapan korban,
Kemudian sesudah melepas api akan bakar rumah penginapan berikut rumah makan itu,
baru mereka angkat kaki.
Tidak ada orang lainnya yang berani maju mencegah.
Beng Tat pergi jauh juga, baru ia turunkan mayat adiknya buat bersama dua saudaranya
menggali lubang, akan kubur secara sembarangan pada saudara itu. Kemudian mereka
singgah di sebuah kuil tua.
Tiga saudara itu gusar dan berduka dengan berbareng, Mereka menduga pada kejahatan
kaum Ngo Tok Kauw, karena tidak bisa jadi orang hotel berbuat demikian jahat
Ceng Ceng tahu lihaynya pihak Ngo Tok Kauw, ia juga menduga pada kaum agama yang
memuja bisa itu,
"Pasti ini ada perbuatan Ho Ang Yo, si pengemis tua," terkanya, "Rupanya dia telah
bayangi kita...." Karena kejadian hebat itu, ketika dilain harinya mereka mampir di rumah
makan, untuk bersantap, Beng Tat suruh jongos cobai dulu semua barang makanan yang
disajikan, sesudah didapat kenyataan, barang hidangan itu tidak ada racunnya, baru
mereka dahan Beberapa hari selanjutnya, perjalanan dilanjuti tanpa kejadian sesuatu, hingga hatinya tiga
saudara Oen itu menjadi sedikit lega, mereka melainkan tetap waspada,
Pada suatu malam di rumah penginapan, mendadak terdengar suara berisik di istal,
jongos berteriak-teriak ada pencuri kuda,
Beng Go kaget, ia pun gusar, sebab itulah kudanya, yang diganggu, ia lantas pergi ke
belakang, untuk memeriksa, Baru saja ia sampai di depan istal, mendadak ia dengar suara
siur-siur dari tempat gelap di sampingnya, Dengan sebal ia berkelit Tapi itulah semprotan
barang cair, karenanya tidak dapat ia hindarkan diri, terutama mukanya yang kena
tersemprot. Dengan lantas ia dapat cium bau amis, ia lantas menduga jelek, Karena ia
lihay, sebab ia tidak rubuh seketika, ia masih sempat cabut ruyungnya, ia menyerang ke
arah si pencuri kuda. ia bisa mendengar tegas hingga ia tahu ke mana ia mesti arahkan
senjatanya, ia pun merasa bagaimana ia telah menyerang dengan jitu dan dengar suara
senjatanya mengenai tubuh musuh, yang bebokongnya kena terhajar hingga tulangnya
patah. "Ha, tua bangka kau masih galak!" demikian satu bentakan yang dibarengi dengan satu
bacokan. Masih sempat Beng Go menyerang pula, Lebih dahulu ia menangkis, hingga ia dapat lilit
kampaknya si penyerang, sesudah mana, ia membetot dengan keras, Musuh tidak dapat
pertahankan diri, dia terbetot keras, sampai tubuhnya terlempar, tepat mengenai tembok,
hingga kepalanya pecah dengan kepala hancur, tubuhnya terus rubuh binasa!
Beng Tat dan Beng San menduga pada orang-orang jahat tidak berarti, mereka percaya,
Beng Go seorang cukup untuk hajar si pencuri kuda, baru mereka kaget ketika mereka
dengar saudara itu berkaok-kaok, hingga mereka lompat memburu,
Beng Go kedapatan sedang menggaruk-garuk mukanya, masih saja ia perdengarkan
suaranya, sampai Beng Tat lompat untuk peluk tubuhnya.
"Kau kenapa ?" tanya ini kanda sulung,
Beng San sendiri segera lompat kcluar, untuk cari musuh, akan tetapi sia-sia saja, ia tak
dapatkan siapa juga, Maka ia lantas kembali ia kaget kapan ia dapat si kanda nya peluki
adiknya sambil kanda itu menangis menggerung-gerung.
Nyatalah, dalam waktu yang pendek sekali, setelah dia berhenti menggaruki mukanya,
Beng Go telah berhenti bernapas, mukanya telah jadi tidak karuan, terutama bekas digaruk
pulang pergi tak hentinya, Karena ia telah terkena semprotan bisa, yang pertama membuat
ia merasa gatal, hingga ia tak tahan akan tak menggaruki mukanya, sedang matanya terus
tidak dapat dibuka lagi.
"Ketika duapuluh tahun dahulu Kim Coa Long kun minggat dari tangan kita," katanya
Bcng Tat sambil menangis, "Dia sudah terputuskan urat-uratnya, dia telah jadi satu
manusia bercacad, maka itu waktu, aku menyangka dia telah ditolongi orang-orang Ngo
Tok Kauw...."
"Kau benar," Beng San bilang, "Teranglah sudah, Ngo Tok Kauw telah memusuhkan kami,
secara diam-diam. Kita telah diundang Co Hoa Sun untuk bekerja sama-sama, walaupun
usaha kita bermusuh satu pada lain, maka itu kenapa Ngo Tok Kauw seterukan kami,
Nyata Ngo Tok Kauw ada di pihak Kim Coa Lon kun.
Oen Beng Tat berpikir sebcntar, lantas berjingkrak,
"ltulah mungkin," katanya. "Kim Coa Long kun punya bisa yang lihay, pasti dia punyakan
perhubungan dengan Ngo Tok Kauw."
Dua saudara ini jadi ingat benar ketika dulu Kim Coa Long kun datang mengacau di Cio-
Iiang untuk menuntut balas, Karena ini diam-diam hati mereka gentar
Tanpa banyak omong lagi, mereka rawat mayat Oen Beng Go untuk dikubur, sesudah
mana mereka ambil putusan untuk berangkat terus ke Hoa San, guna cari dan bongkar
harta karun, sesudah itu mereka hendak berdaya mencari balas, Tctap mereka khawatir
nanti diakali, maka itu baik diwaktu berislirahat, terutama diwaktu dahar, mereka berlaku
sangat hati-hati. Diwaktu malam, mereka sampai takut untuk mondok di hotel.
Pada suatu hari, Beng Tat dan Beng San ajak Ceng Ceng berhenti di sebuah kuil tua di
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tengah perjalanan Beng Tat, meskipun sudah tua, tenaganya tetap besar, maka dengan
gampang ia angkat dua potong batu penggilingan yang berat, untuk dipakai menggalang
pintu depan dan pintu belakang, supaya tidak ada orang yang bisa dobrak pintu itu di luar
tahu mereka. Secara demikian baru mereka dapat tidur dengan hati tentram
Tepat tengah malam, ada terdengar suara berkelisik, Sebagai ahli-ahli ilmu silat, atu orangorang
kang-ouw ulung, terang kupingnya dua saudara Oen ini. Mereka mendusin dengan
lantas, Mulanya terdengar suara seperti suara tikus, mereka tidak perhatikan maka mereka tidur
pula, Oen Beng San sudah tidur pula sayup-sayup tatkala ia dapat cium bau harum, hingga ia
merasakan hatinya, dirinya lega benar, hingga ia merasa sangat gembira, lantas seperti
lagi melayang-layang, bagaikan ia berada di atas sorga, Tidak lama dari itu, hatinya
goncang dengan tiba-tiba hingga ia mendusin sambil terus lompat bangun dengan
berjingkrak. Oen Beng Tat juga lantas bangun, tapi ia berotak sangat cerdas, masih ia ingat Ceng
Cehg, tangan kiri siapa ia tarik, Maka dilain saat, keduanya sudah berada di samping meja.
Dari sini di antara sedikit sinar terang, mereka lihat Oen Beng San sedang bersilat dengan
tongkatnya yang lihay, sampai dia kena hajar patung Buddha sampai patung itu patah dan
rubuh, suara hajaran dan rubuhnya keras sekali,
Serubuhnya patung itu, dari belakang patung muncul dua bocah yang mengenakan
pakaian serba kuning. Bo-cah yang satu yang bersenjatakan golok dengan berani terjang
Beng San. Bocah yang lain memegang sebatang pipa sumpitan, dia bersedia akan sumpit
atau semprot jago she Oen itu,
Menampak demikian, Toa-yaya tidak ayal lagi dengan panah di tangannya, maka kapan
senjata rahasia itu sudah melesat, kedua bocah baju kuning itu rubuh saling susul jiwa
mereka terbang melayang,
Meski sudah tidak ada musuh, Oen Beng San masih terus berkelahi
"Shatee, musuh sudah tidak ada," Beng Tat teriaki adik itu,
Beng San seperti tidak gubris pemberitahuan itu, ia terus saja bersilat, malah gerakgerakannya
makin hebat, Rupanya ia telah terkena pengaruh hebat dari bau harum tadi.
"Celaka!" pikir Beng Tat yang dari heran menjadi kaget, hingga ia bercuriga, ia lantas
lompat maju, dengan niat rampas tongkat adik itu, akan tetapi Samyaya putar tongkatnya
sangat cepat dan rapat, hingga ia tidak sanggup merapatinya,
Selagi bersilat terus, mendadak yang ketiga dari Ngo Couw berteriak keras sendirinya,
tanpa sebabnya habis mana, ujung tongkatnya diarahkan kepada dadanya sen-diri, hingga
ia terserang sangat hebat, berbareng sama memuntahkan darah hidup, ia rubuh terguling,
terus saja tubuhnya menjadi kaku.
BengTat kaget tidak kepalang, tidak terkecuali Ceng Ceng, ia telah saksikan ketiga
yayanya binasa secara hebat, terbinasa oleh pihak Ngo Tok Kauw, Tidak lagi ia
mempunyai rasa simpati kepada semua yayanya itu, toh sekarang ia merasa terharu juga,
tanpa merasa ia ber-linangkan air mata.
Beng Tat sampai tidak sanggup bcrkata-kata lagi, dengan tenang ia pondong tubuh
adiknya untuk dibawa keluar, akan digalikan lubang, buat dipendam secara demikian saja.
Dia ada seorang yang hatinya paling keras, bagaikan baja, maka itu meski ia beri hormat
penghabisan kepada adiknya itu, tidak ia menangis.
"Mari kita berangkat!" kata dia pada Ceng Ceng.
Kendati juga yayanya tinggal seorang, Ceng Ceng masih jeri, dengan terpaksa ia
mengikut, akan lakukan perjalanan dimalam yang gelap petang itu, sebelum mereka
kenyang tidur, Kali ini Oen Beng Tat berlaku luar biasa waspada,
Pada suatu hari semasuknya dalam wilayah Siamsay, Oen Beng Tat lihat satu bocah
dengan pakaian serba merah menghampirkan dia sampai dekat scka1i. Mungkin dia ingat
bocah-bocah serba kuning, ia jadi curiga, malah tanpa bilang suatu apa, dengan
mendadak saja ia menyerang.
Tidak ampun lagi, bocah itu pecah batok kepalanya, tubuhnya rubuh binasa dalam
sekejap. Ceng Ceng kaget, ia ngeri tetapi terus ia bungkam, ia jeri akan saksikan roman bermuram
durja dari yaya itu yang wajahnya menjadi gelap dan bengis,
sementara itu orang sekarang mulai menuju ke kaki bukit Hoa San, sebagaimana
gunungnya sudah tertampak dari kejauhan, Mereka sudah jalan setengah harian, maka
keduanya merasa sangat berdahaga, Karena ini, mereka singgah di sebuah paseban,
untuk minum air, sedang kuda mereka dilepas untuk beristirahat
Sebentar kemudian, Oen Beng Tat dihampirkan oleh seorang tani yang berlidah Siamsay,
sebagaimana terdengarnya itu ketika dia menanya, "Apakah aku bicara sama Oen Loyacu?"
Beng Tat berbangkit
"Apa kau mau?" tanyanya dengan bengis.
"Tadi ada orang upahkan aku dua rencengan uang, aku diminta sampaikan surat
untukmu," sahut petani itu.
"Mana dia orang itu?"
"Dia sudah pergi lama, dia menunggang kuda."
"Coba sambuti suratnya!" Beng Tat perintah Ceng Ccng, ia ada sangat licin, hingga ia
tidak mau terima sendiri surat itu,
Ceng Ceng sambuti surat itu yang tertutup dalam sampul, rupanya seperti surat biasa,
tidak ada yang men-curigaL Baru setelah itu, jago tua ini berani menerima itu dari tangan
si nona, Sama sekali surat itu ada tiga,
Yang pertama memuat tulisan:
"Oen Loo-toa,
Saat kematianmu sudah sampai.
Panas hatinya Beng Tat, hingga ia jadi sangat gusar ia mau lihat surat yang kedua, tapi
surat ini terlepit, sukar dibuka lepitannya, akan tetapi ia telah jadi tidak sabaran, maka ia
tempel jari tangannya ke mulut, ia basahkan surat dengan air ludahnya, Baru sekarang
surat itu dapat dibuka, Bunyinya:
"Jikalau kau tidak percaya bacalah surat yang ketiga."
Meluap hawa amarahnya jago tua ini.
Surat yang ketiga juga tertutup rapat, untuk dapat membukanya Beng Tat mesti bawa pula
jari tangannya ke dalam mulutnya, untuk basahi itu dengan air ludah di lidahnya, maka
setelah kena dibasahkan, barulah surat ketiga itu dapat dibuka, untuk dibaca,
Akan tetapi kali ini, surat itu tidak ada huruf-hurufnya, Apa yang terlihat lukisan
gambarnya seekor kelabang besar serta gambarnya satu tengkorak manusia.
Dalam murkanya, karena sangat mendongkol Beng Tat lemparkan surat itu ke tanah.
Boleh dibilang hampir berbareng dengan itu ketua dari Cio Liang Pay rasai sedikit sakit
atau perih pada jari telunjuk dari tangannya yang kanan dan ujung lidahnya, Segera ia
ingat suatu apa, mendadak saja ia rasakan tubuhnya panas dingin.
"Aku telah terpedaya!" pikirnya, kagetnya bukan kepalang, ia merasa pasti sudah jadi
korban kelihayan musuh.
Surat-surat itu rupanya sengaja dilempel, supaya jadi sukar untuk buka lepitannya, supaya
kalau toh mesti dibuka, ada diperlukan air untuk membasahkannya. Air untuk membuka
surat, yang paling gampang ialah air ludah, Lebih dahulu daripada itu, mestinya racun
telah dikenakan kepada surat bagian yang ditempel lekat itu, supaya dengan menggunai
ludah, orang akan keracunan tanpa merasa,
Ini adalah satu di antara tiga puluh enam tipu daya dari kaum Ngo Tok Kauw, Dahulu Kim
Coa Long kun dapat pelajari ini dari Ho Ang Yo maka ia bisa kenakan racun itu pada "Kim
Co Pit Kipriya" yang palsu, hingga Thio Cun Kiu rubuh sebagai korban, Beng Tat teliti dan
waspada, tetapi ia tidak ingat sampai begitu jauh, Maka sekarang ia telah menjadi korban,
Begitu ia insyaf, ketua dari Cio Liang Pay lantas ingat si petani, Kapan ia angkat
kepalanya, ia tampak orang sudah jalan pergi beberapa puluh tindak, Dalam gusarnya, ia
lompat untuk mengejar Baru ia sampai di luar paseban, ia rasai kepalanya sangat pusing,
matanya berkunang-kunang, ia kuatkan hati tidak perduli kepalanya lantas terasakan
sangat sakit, ia kerahkan tenaganya, ia menimpuk dengan panah tangannya.
Petani itu memang ada orang Ngo Tok Kauw yang sedang menyamar ia sudah serahkan
suratnya, ia percaya ia sudah berhasil, maka ia berlalu dengan tenang, ia menjerit dengan
keras ketika tahu-tahu ia merasa bebokongnya tertancap panah tangan, terus tubuhnya
rubuh, jiwanya melayang pergi.
Oen Beng Tat tertawa seram beberapa kali habis itu tubuhnya rubuh terjengkang, tidak
sanggup dia pertahankan diri lagu
"Toa yaya, kau kenapa?" tanya Ceng Ceng dengan kaget
Nona ini masih belum tahu, suatu apa, ia tidak menyangka je1ek. Malah ia hampiri yaya itu
sambil membungkuk ia hendak melihat muka orang,
Mendadak Beng Tat geraki tangan kirinya, menyusul itu, tombaknya melesat nyambar,
Ceng Ceng kaget bukan main. Mana dapat ia berkelit lagi" jarak mereka berdua ada terlalu
dekat ia cuma lihat berkelebatnya satu cahaya putih perak, menuju ke arah dadanya,
Disaat nona ini tutup kedua matanya, untuk terima binasa, mendadak ia dengar suara
barang keras beradu, menyusul rasa sakit pada belakang kakinya, Kapan ia buka kedua
matanya, ia dapatkan tombak pendek terletak di dekat kakinya, Adalah tombak itu yang
membuat ia merasa sakit, sekarang ia ingin tahu siapa-siapa sudah tolongi padanya, pada
waktu ia berbalik mendadak ia rasakan bebokongnya terpegang keras, sampai ia tak dapat
berbalik, Selagi ia heran dan bingung, tahu-tahu kedua tangannya telah ditelikung ke
belakang, diikat dengan keras. Adalah sesudah ia tidak berdaya baru, bisa menoleh. Tapi
kapan ia kenali siapa yang tawan padannya ia kaget melebihi waktu ia ditangkap keempat
yayanya, Orang itu adalah Ho Ang Yo dari Ngo Tok Kauw, si uwa beroman jelek dan bengis yang
menyeramkan Ceng Ceng merasa, di tangan perempuan tua ini, ia bakalan tinggal dunia dalam cara lebih
hebat lagi...."
Ho Ang Yo tapinya tertawa pada nona ini tertawa dingin sekali,
"Kau inginkan kematian cara apa?" si uwa tanya, "Kau pilih mati dengan satu kali bacok"
Atau kau inginkan dipaguti seribu ekor ular selama tujuh kali tujuh menjadi empat puluh
sembilan hari, sesudah mana baru kau mati.,.?"
Ceng Ceng bergidik, ia meramkan mata, ia tidak menyahut.
"Kau antar aku mencari ayahmu yang tidak berbudi itu!" kata pula si uwa. "Dengan antari
aku, aku akan bikin kau tidak sampai tersiksa...."
Ceng Ceng segera berpikir
"Memangnya aku hendak cari tulang-tulang ayah, Baik aku antar padanya, Sampai di sana,
aku mau lihat, apa dia bisa bikin...."
Maka ia menyahut dengan gagah,
"Aku juga hendak tengok ayahku, mari kita pergi bersama!"
Ho Ang Yo curiga orang terima tawarannya demikian gampang, Tapi Kim Coa Long kun
telah jadi seorang bercacat, tidak perduli ilmu silatnya bagaimana lihay, ia toh tidak usah
takut, begitu ia pikir,
"Baik, mari kau antar aku," katanya sambil tertawa.
"Kau merdekakan dulu aku, supaya aku bisa kubur mayat toa-yaya," Ceng Ceng minta,
"Merdekakan kau" Hm."
Dia jemput tombak pendek dari Oen Beng Tat, seorang diri terus dia menggali lubang di
tepi jalanan, sesudah dia buatkan satu lubang cukup besar, dia gusur tubuhnya Beng Tat,
juga tubuh orangnya sendiri untuk dilempar ke dalam lubang itu, yang dia lantas uruki
sekedarnya. Sembari nguruk, uwa itu ngoceh seorang diri. "Meski juga ayahmu ada satu telur busuk,
tidak nanti aku antapkan dia diperhina orang 1ain. Empat tua bangka ini adalah yang
membikin ayahmu mati tidak, hidup pun tidak, Sudah sekian lama aku hendak mencari
balas kepada mereka, Mengapa kau panggil dia yaya?"
Ceng Ceng tidak mau menjawab, ia hanya jalan, mendaki gunung,
Selama hari itu, dua orang ini cuma bisa jalan kira lima puluh lie, jalanan terus menanjak
Mereka berhenti di tengah gunung, Untuk dapat beristirahat supaya si nona tidak berdaya
dan tidak dapat kabur, kecuali kedua tangannya ditelikung terus, Ho Ang Yo juga belenggu
kedua kakinya, Untuk itu ia telah sediakan tali kulit
Besoknya pagi, baru terang tanah, orang sudah berjalan pula, Makin tinggi, jalanan makin
sukar hingga dari bertindak saja, orang perlu bantuan kedua tangan, untuk pegangan Ho
Ang Yo sudah kehilangan tangan kirinya, tidak dapat ia bantu tarik Ceng Ceng sebab
tangan kanannya dipakai jambret batu atau oyot, maka itu, terpaksa ia buka ikatan tangan
si nona. ia suruh si nona jalan di depan ia sendiri di belakang, untuk sambil mengawasi.
Ceng Ceng belum pernah sampai di gunung Hoa San, maka itu si uwa yang berbalik mesti
menunjuki ia jalanan.
Malam itu mereka tidur di cabang pohon di tepi jurang tapi Ceng Ceng tak dapat tidur
dengan tenang, ia berpikir banyak, terutama pikiri nasibnya di tangan orang jahat ini.
Saban-saban ia juga dengar pekik orang hutan,
Besoknya perjalanan dilanjuti, Adalah di hari ketiga baru sampailah mereka di puncak Hoa
San, gunung kesohor di arah Barat,
Dari Sin Cie, Ceng Ceng pernah dengar penuturan perihal keadaan di tempat dimana
ayahnya dikubur, sekarang ia perhatikan daerah gunung di sekitarnya ia merasa tepat
sekali lukisannya si anak muda, Maka itu mulailah hatinya goncang, hingga sendirinya, ia
jadi ber-duka, tidak dapat ia cegah mengalir keluar air matanya,
"Dimana dia sembunyi?" tanya Ho Ang Yo dengan bengis, ia tidak perdulikan orang
sedang berduka sangat
"Disana," Ceng Ceng menunjuk kepada jurang, "Di sana ada sebuah gua, ayah di
dalamnya...."
"Baik! Mari kita pergi bersama!" si uwa mengajak
Ceng Ceng bergidik waktu ia tampak wajah uwa itu. Roman dia ini nampaknya jadi lebih
bengis dan menakuti,
Mereka mesti jalan mutar untuk sampai di jurang,
Mereka baru jalan beberapa puluh tindak ketika keduanya dengar suara tertawa yang
datangnya dari arah suatu tikungan,
Ho Ang Yo tarik tangannya Ceng Ceng untuk diajak mendekam di antara rumput yang
tinggi dan lebat, di sini lima jari tangannya yang berkuku lihay ditaruh dekat lehernya si
nona, "Jangan bersuara!" ia mengancam
Tentu saja Ceng Ceng takut, sebab satu kali ia bersuara, tenggorokannya bakal kena
tercengkeram sebelum ia sempat berdaya,
Segera kelihatan dua orang mendatangi Yang satu ada imam tua, yang lain ada seorang
tani dari usia pertengahan.
Ceng Ceng segera kenali Kwie eng cu. Bhok Siang Tojin serta Tong-pit Thie shuipoa Oey
Cin, masing-masing guru dan saudara seperguruan yang tertua dari Sin Cie, ia tahu
mereka itu lihay tapi ia tidak berani menjerit untuk minta tolong, ia jeri untuk lima kuku
beracun dari Ho Ang Yo.
"Suhu bakal sampai lagi beberapa hari!" terdengar suara Oey Cin yang berbicara sambil
tertawa, "Juga suteenya yang kecil bakal datang dalam lagi beberapa hari ini, maka itu waktu,
lotiang tidak usah khawatir nanti tidak ada lawanmu main catur."
Bhok Siang tertawa dengan nyaring,
"Jikalau bukannya karena ingin main catur, untuk apa aku datang kemari justru kamu
kaum Hoa San Pay hendak berapat?" kata imam itu. "Apa untuk bantu meramaikan saja"
Tidak!" Mereka bicara sambil jalan terus, hingga mereka tinggalkan Ceng Ceng dan Ho Ang Yo.
Uwa itu tidak berani berkutik ia insyaf lihaynya kaum Hoa San Pay, tidak mau ia nanti
kepergok! Sesudah orang lewat jauh baru ia muncul pula, Untuk pergi ke gua, ia keluarkan
dadungnya yang ujungnya ia ikat kepada sebuah pohon besar
"Mari kita turun!" Dia ajak Ceng Ceng. Tubuh si nona bersama tubuhnya sendiri ia ikat
bersama untuk bisa turun ke gua.
"Di sini!" kata Ceng Ceng, setelah ia lihat lubang gua.
Hatinya Ho Ang Yo goncang keras, Setelah dua-puluh tahun memikiri saja, tak sedetik
juga ia me1upa-kannya, maka sekarang ia dapat cari tempat sembunyinya orang yang ia
cintai, yang kemudian ia anggap sudah sia-siakan padanya, Segera ia bakal bertemu sama
orang yang dibuat pikiran itu. ia berpikir keras, Apa ia mesti siksa lelaki itu, untuk
kemudian baru bikin dia binasa" Atau apa baik ia memberi ampun"
Kecuali berdebar hatinya, Ho Ang Yo pun bergemetar, tangannya dirasakan dingin.
Dengan tangan kanan, ia mulai singkirkan batu-batu di mulut gua, setelah itu, ia suruh
Ceng Ceng merayap di depan.
Tadinya mulut gua sempit setelah Sin Cie babati dengan pedang mustika, jalanan itu jadi
cukup lebar, leluasa untuk orang keluar masuk.
Ho Ang Yo mengikuti dengan hati-hati ia siap sedia kalau-kalau Kim Coa Long kun nanti
terjaga ia secara diam-diam, Masih ia khawatirkan Jago Ular Emas itu.
Ceng Ceng memasuki gua dengan air matanya berlinang-linang, kemudian ia menangis
sesenggukan Ketika mereka sampai di bagian yang gelap, Ho Ang Yo nyalakan api. Sebagai sumbu atau
obor, ia sulut ujung dadungnya, ia suruh si nona pegangi itu untuk maju lebih jauh,
Ceng Ceng berkhawatir.
"Kalau dadung itu terbakar habis, cara bagaimana kita bisa keluar dari sini?" demikian
pikirnya, "Tidak heran kalau aku tidak kembali sebab di sini telah knmpul ayah dan ibuku, Tapi dia
ini, apa dia juga tidak mau keluar pula?"
Nona ini tidak tahu, Ho Ang Yo juga sudah nekat, tidak mau ia keluar pula dengan masih
hidup dari gua itu.
jalan lagi sedikit jauh uwa ini mulai bercuriga, ia lihat tempat bukan seperti ditempati
manusia, Mendadak ia jambak pundak si nona,
"Hai, kau hendak main gila sama nyonyamu?" tegur-nya. "Awas, aku nanti bikin kau
mampus secara kecewa!"
Ceng Ceng cuma bisa berserah.
Jalan lagi sedikit, tiba-tiba ada angin dingin menyambar Lalu di depan mereka berdiri
sebuah kamar ba1u.
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ho Ang Yo angkat obor untuk awasi di sekitarnya, pada empat penjuru tembok ia tampak
gambar-gambar peta dari ilmu silat ia pun segera dapat baca pemberian tahu yang Sin Cie
pernah ketemukan, yaitu:
"Mustika berharga, ilmu rahasia, diberikan kepada yang berjodoh, Siapa yang masuk
dalam pintuku, menemui bencana jangan penasaran"
Ho Ang Yo kenali hurufi Tulisan Kim Coa Long kun. Melihat surat itu lenyap
kesangsiannya. Tapi hatinya terus memukul pu!a, suratnya ada, orangnya belum nampak.
"Saat Gie, kau keluar," ia memanggil
Suara itu nyaring halus, kamar ada kecil, maka terdengarnya nyata sekali, Akan tetapi,
jawabannya tidak ada. Maka Ho Ang Yo lantas berdiam akan tenangkan diri,
Kamar batu itu kosong dari manusia,
"Dimana dia?" tiba-tiba ia bentak Ceng Ceng, sesudah sia-sia saja ia memanggil lagi
beberapa kali. "Di sini!" sahut si nona sambil menangis, dengan tangannya menunjuk ke tanah,
Dengan tiba-tiba saja Ho Ang Yo merasa matanya gelap, kepalanya pusing, hingga ia
sambar lengan si nona, untuk ia pegangan, kalau tidak, ia bisa rubuh terguling,
"Apa?" tanyanya kemudian dengan suara serak,
"Ayah dikubur di sini," sahut Ceng Ceng, yang menangis terus,
Ho Ang Yo menjerit dengan tertahan, "Qh... oh, kiranya dia sudah mati...."
Tak kuat lagi dia menahan tubuhnya, ia rubuh men-delepok di atas batu di mana Kim Coa
Long kun biasa berduduk,
Sekejap saja, hilang penasarannya sejak puluhan tahun, sekarang teringatlah ia akan
cintanya kepada orang yang dicintainya itu.
"Nah, pergilah kau, aku beri ampun padamu..." akhirnya ia kata pada Ceng Ceng, suaranya
lemah, Melihat orang demikian berduka, tanpa merasa, Ceng Ceng jadi berbalik merasa kasihan,
ia ingat biar bagaimana, ayahnya toh telah sia-siakan uwa ini yang tadinya ada satu nona
cantik dan mencinta keras, Memang ada sebab kenapa ayahnya belum ingin ketemui
kekasih ini, sampai mereka jadi terpisah untuk se1ama-lamanya.
Karena rasa kasihannya ini, dengan tidak merasa Ceng Ceng peluk uwa itu, yang ia
tadinya takuti bagaikan melihat iblis, ia menangis dengan keras.
"Pergi kau, lekasan," kata pula Ho Ang Yo. "Kalau sebentar dadung telah terbakar habis,
kau tidak bakalan bisa keluar 1agi...."
"Kau sendiri?" tanya si nona.
"Aku hendak berdiam di sim" untuk temani ayahmu." 1 "Aku juga tidak mau keluar lagi,"
kata Ceng Ceng,
Ho Ang Yo sudah terbenam dalam kedukaan, ia tidak perdulikan lagi nona itu.
Ceng Ceng menangis terus,
Tiba-tiba saja Ho Ang Yo berbangkit untuk dengan tangannya lantas mengkeruki tanah
untuk digali ia bekerja bagaikan kalap,
"Kau hendak bikin apa?" tanya Ceng Ceng kaget,
"Aku telah pikir dia untuk dua puluh tahun," sahut si uwa dengan sedih, "Selama itu, tidak
pernah aku ketemui orangnya, maka melihat saja tulang-tulangnya pun boleh juga...."
Ceng Ceng kaget dan berkhawatir. ia tampak orang punya roman dan sikap yang berubah,
Ho Ang Yo terus menggali, tangannya bekerja seperti pacul saja, setelah berselang lama
juga, muncullah tulang-tulang manusia,
itulah tulangnya Kim Coa Long kun, yang Sin Cie kubur dengan baik. Sesudah sekian lama
semua tulang itu masih tinggal utuh,
Ceng Ceng menangis, ia tubruk tulang-tulang ayahnya itu,
Ho Ang Yo masih menggali, sampai ia dapat angkat sebuah tengkorak, ia rangkul itu, ia
menangis ia ciumi
"Hee-long, Hee-long, aku datang melongok pada-mu..." katanya dengan sedih, ia
memanggil suami kepada tengkorak itu, ia menangis lalu ia nyanyi dengan perlahan
sekali.,.,"
Ceng Ceng dengar itu nyanyian, sepatah kata juga ia tidak mengerti
Habis menyanyi, Ho Ang Yo ciumi tengkorak itu dengan bernafsu ia jadi seperti kalap,
baru ia berhenti ketika ia menjerit dengan tiba-tiba. Sebab ada apa yang tajam yang
menusuk mukanya hingga ia merasa sakit dan kaget, Lantas ia bawa tengkorak itu ke
depan api untuk diawasi dengan seksama,
(Bersambung ke Bab 25)
Nyata di mulutnya tengkorak, terjepit di antara gigi, terdapat sepotong tusuk konde, yang
pendek sekali, yang tidak nampak apabila tidak diperhatikan
Ho Ang Yo cabut tusuk konde itu dengan tangannya, dia tidak berhasil Jeriji-jeriji
tangannya tidak dapat menjemput dengan seksama.
Rupanya Kim Coa Long kun gigit tusuk konde di waktu hidupnya sampai ia mati maka
perhiasan rambut itu jadi terjepit keras, itu adalah sebuah tusuk konde emas,
Ho Ang Yo penasaran, ia mencoba lagi sekali. Kali ini gigi-gigi tengkorak pada copot,
maka tusuk konde itu jatuh sendirinya, Lantas ia pungut untuk disusuti debu-nya.
"Sekonyong-konyong saja uwa ini terperanjat hingga wajahnya turut berubah, ia menjerit
ketika ia tanya, "Apakah ibumu bernama Gie?" tanyanya.
"Huruf "Gie" dari ibunya Ceng Ceng beda dari huruf "Gie" dari "Saat Gie" namanya ayah si
nona, Ceng Ceng manggut dengan perlahan
Ho Ang Yo berduka berbareng panas hatinya, hingga ia kertak gigi,
"Baik, baik!" katanya dengan sengit "Meskipun disaat kematianmu kau masih ingat saja si
perempuan hina dina! Sampai kau gigit tusuk kondenya!"
Mengawasi dua huruf "Oen Gie" yang terukir di gagang tusuk konde, sinar matanya uwa
ini bagaikan api hendak menyambar, dalam sengitnya, ia masuki tusuk konde itu ke dalam
mulutnya, terus ia gigit dan ganyam hingga mulutnya itu mengeluarkan darah.
Ceng Ceng lihat kelakuan itu, ia percaya, pikiran sehat dari Ho Ang Yo sudah menjadi
kabur ia pun insyaf, saat yang paling berbahaya bakal sampai, maka lantas saja ia
keluarkan guci kecil yang memuat abu ibunya, ia buka tutup guci, akan tabur isinya ke
dalam lubang, supaya bercampuran sama tulang-tulang rerongkong ayahnya,
Ho Ang Yo bengong mengawasi kelakuan si nona ini.
"He, kau lagi bikin apa?" tegurnya kemudian.
Ceng Ceng tidak berikan jawaban hanya setelah menuang habis, ia keruki tanah untuk
dipakai menutupi lubang kubur itu, di dalam hatinya, ia memuji. "Ayah dan ibu, harap
kctahui, anakmu sudah kubur ayah dan ibu bersama-sama...."
Ho Ang Yo sambar guci kosong, ia pandang sebentar, segera ia sadar.
"Ha! ini jadinya abu ibumu!" serunya,
Ceng Ceng manggut dengan perlahan
Cepat luar biasa tangannya si uwa menyambar, Ceng Ceng lihat itu, ia berkelit, tidak urung
pundaknya terkena juga, hingga ia terpelanting hampir ia rubuh.
Ho Ang Yo lantas menjerit-jerit, "Aku larang kau kubur mereka bersama-sama.
ia jadi seperti kalap, dia garuki lagi tanah untuk dibongkar pula,
Akan tetapi abu sudah bercampuran sama tulang-tulang dan tanah tidak dapat di angkat
untuk dipisahkan lagi, Tapi dalam sengitnya, uwa ini tarik keluar semua tu!ang,
"Aku nanti bakar kamu menjadi abu!" teriaknya, "Aku nanti sebar abumu di kaki gunung
Hoa San ini supaya terbang berhamburan ke empat penjuru, buyar ke segala jurusan,
hingga kau tidak dapat berkumpul sama si kacung hina dina!"
Ceng Ceng menjadi gusar berbareng sibuk, ia tubruk si uwa untuk mencegah, ia
menyerang, akan tetapi ia kalah kosen, baru beberapa jurus saja ia telah kena dirubuhkan,
Untung untuknya, uwa ini tidak serang ia dengan kuku-kukunya yang lihay,
Ho Ang Yo buka baju luarnya, untuk pakai itu sebagai umpan api setelah tulang ditumpuk
di atas bajunya itu, ia mulai sulut itu. Kemudian ia kipasi api menjadi berkobar
Dilain saat tulang-tulang telah mulai terbakar nyala, hingga asap lantas mengu!ak di dalam
kamar baru itu.
Memandang tulang-tulang terbakar Ho Ang Yo tertawa berkakakkan, tandanya ia sangat
puas, Tiba-tiba saja ia melengak tatkala merasakan bau asap yang luar biasa, segera ia
berteriak "Hee-Iong, oh, bagaimana kau kejam!"
Ceng Ceng juga lantas merasakan bau asap yang luar biasa itu, selagi ia merasa heran, ia
pun segera merasakan kepalanya pusing, matanya kabur, hingga ia jadi kaget Tapi ia
masih bisa lihat si uwa bengis menghadapi api unggun yang luar biasa itu berulang-ulang
dia menyedot dan mengeluarkan napas, akan akhirnya dia berseru beru1ang-u!ang.
"Baik, baik! Memangnya ingin aku mati bersama-sama kau."
Mendadak saja ia angkat kepala, akan berpaling kepada Ceng Ceng.
Nona ini menjerit sekuat-kuatnya kapan ia tampak wajah bengis orang yang menakutkan,
ia balik tubuhnya, akan lari ke arah mulut gua, akan tetapi baru ia lari beberapa tombak,
tak tahan ia dengan rasa pusingnya, begitu kakinya dirasakan lemas, ia terus saja rubuh,
Sin Cie sementara itu kaburkan kudanya bersama-sama kawannya, ia bisa menduga dua
binatang berbisa dari Ho Ang Yo di rumah makan adalah si uwa sedang memanggil
kumpul-kumpul anggota-anggota Ngo Tok Kauw untuk ikuti jejaknya, ia mengerti ancaman
apa menghadapi Ceng Ceng. Tidak perduli di tangan siapa kaum Cio Liang Pay atau Ngo
Tok Kauw Ceng Ceng mesti bercelaka juga, Maka itu, ia gelisah bukan main.
Di sepanjang jalan sambil tanya sana sini, Sin Cie dengar hal hal kebinasaannya tiga di
antara empat jago Cio Liang Pay ia dapat menduga kepada mereka itu, karena di situ tidak
ada lain orang yang berombongan sebagai tertua-tua dari Cio liang Pang itu, ia jadi sangat
berkhawatir, hingga ia jadi tidak nafsudahar, tidak tenang tidur Apa yang juga rada
melegakan hatinya adalah jurusan yang diambil oleh orang-orang Cio Liang Pay itu ada
jurusan Hoa San. Dengan begitu, tidak usahlah ia menjadi nyasar diwaktu mengikuti jejak
mereka itu, dan tidak usah ia gagal menghadapi rapat kaumnya, Begitulah mereka telah
mendekati kaki gunung,
Ang Seng Hay bermata jeli, selagi singgah sebentar di paseban, ia tampak gundukan
tanah yang mencurigai, lantas saja ia bongkar gundukan tanah itu, hingga untuk
kegirangannya, ia dapati mayatnya Oen Beng Tat.
"Dengan matinya dia ini, pasti Ceng Ceng telah jatuh ke dalam tangan Ngo Tok Kauw," Sin
Cie beri kepastian, "Mari kita lekas susul ke atas gunung!"
An Toa Nio menghiburi, dia kata, "Sekarang ini saat rapatnya Hoa San Pay, umpama kata
Bok Locianpwe sendiri masih belum datang tetapi Oey Cin Suheng atau salah satu di
antaranya tentu sudah sampai lebih dahulu, Maka itu apabila kaum Ngo Tok Kauw naik ke
gunung, pihakmu pasti akan beri pertolongannya kepada Nona Hee itu."
"Jikalau Ngo Tok Kauw berani mendaki Hoa San, pasti mereka sudah siap sedia dari
siang-siang!" Sin Cie bilang, "Maka itu kita mesti jaga supaya jangan ada orang kita yang
rubuh di tangan orang-orangnya berbisa itu...." inilah kekhawatiran yang bertambahtambah
dari si anak muda,
"Kalau Couwsu juga telah datang apa yang kita mesti jerikan?" kata Cui Hie Bin. "Mari
lekas kita mendaki gunung!"
Oleh karena kuda tak dapat mendaki gunung, semua kuda lantas dititipkan pada seorang
desa, dengan jalan kaki dengan berlari-lari, orang mulai mendaki gunung,
Selagi mendaki puncak, Sin Cie dengar suara-suara mengaung di udara, tanda dari
senjata-senjata rahasia, segera ia jadi girang seka1i.
"ltulah Bhok Siang Tojin di atas! Dia lagi memanggil kita!" katanya dengan kegirangan ia
keluarkan tiga biji caturnya ia pun menimpuk ke udara sampai sekejap saja, tiga biji
senjata rahasia itu lenyap sendirinya, akan lagi sebentar tiga-tiganya tampak pula sedang
turun ke arah mereka.
"Sungguh hebat, siauw susiok!" Hie Bin memuji, Sin Cie niat tanggapi ketiga biji caturnya,
ketika tahu-tahu muncul beberapa senjata rahasia lain dari arah samping, yang menimpa
ketiga biji catur itu hingga tiga-tiganya jstuh.
Me nyusul itu muncullah satu orang dengan sebelah tangannya mencekal shuipoa, alat
penghitung, yang digoyang pergi datang, sembari dia itu tertawa gembira,
"Suhu," seru Hie Bin, apabila ia tampak orang itu. "Suhu sudah datang lebih dahulu."
Orang itu memang Tong-pit Thie shuiphoa Oey Cin.
Lantas Hie Bin lari kepada gurunya itu, tanpa perdulikan tempat itu tempat apa, ia jatuhkan
diri untuk berlutut, untuk paykui tiga kali, maka waktu ia sudah berbangkit kelihatan
jidatnya benjut! Sebab ia manggut-manggut sampai membentur batu gunung,...
Melihat kelakuan tunangannya itu Siauw Hui mendongkol berbareng merasa kasihan ia
mendongkol melihat ketololan orang tapi berkasihan dan terharu melihat kejujurannya,
Ketika Hie Bin kembali padanya ia lantas sesali, Tapi Hie Bin tidak memperdulikannya dia
hanya tertawa saja.
Sin Cie hampirkan suheng itu, untuk beri hormat akan tanyakan ini dan itu sejak mereka
berpisah, sebagaimana sang suheng juga menanyakan dia. Kemudian, selagi ia hendak
tanya suheng itu kalau-kalau dia lihat Ceng Ceng atau orang Ngo Tok Kauw, sekonyongkonyong
Tay Wie dan Siauw Koay berpekik beru1ang-ulang, terus saja keduanya lari ke
arah jurang, "Celaka, mereka minggat!" teriak Hie Bin. ia mau mengejar untuk melawan
"lni ada tempat asal mereka mau pergi biarkan saja," Sin Cie bilang,
Meski ia mengucap demikian pemuda ini heran juga sebab melihat dua binatang piaraan
itu pergi tanpa sikap ragu-ragu, hingga ia mengawasi saja sampai keduanya pergi jauh,
Selagi Sin Cie mengawasi, tiba-tiba ia lihat asap mengepul dari arah guanya Kim Coa
Long-kun, ia menjadi kaget Adalah ke sana Tay Wie dan Siauw Koay lari, lalu di sana
kedua binatang itu goyang pulang pergi tangannya seperti menunjuk ke tempat asap,
^seperti memanggil mereka,
Siauw Hui juga lihat sikapnya kedua binatang itu,
Toako dua binatang itu bukannya buron," katanya. "Lihat mereka lagi memanggil-manggil
kau!" "Benar!" jawab Sin Cie, yang terus menerjang A Pa, untuk memberi tanda dengan tangan
nya. Melihat demikian, A Pa segera lari ke gua mereka sendiri, untuk ambil dadung dan obor,
lantas dengan diikuti kawan-kawannya ia lari ke arah jurang,
"Nanti aku yang masuki gua itu!" kata Sin Cie yang bilang, cuma ia sendiri ketahui baik
keadaannya gua itu. ia terus robek ujung bajunya, guna dipakai menyumpal hidungnya
Dcngan sebelah tangan memegang obor, pemuda ini turun di dadung, yang sudah
dipasang A Pa. Tay Wie dan Siauw Koay masih berpekik saja, kaki dan tangannya tidak berhentinya
digerak-geraki, nampaknya mereka sangat gelisah,
sebentar saja, Sin Cie sudah sampai di dalam gua, Segera ia diserang asap, hingga ia
merasakan sukar bernapas. Untung baginya, hidungnya telah disumpal siang-siang, ia
maju terus sambil berlari di jalan gua itu, sampai ia tampak satu tubuh manusia rebah di
tengah terowongan, ia kaget kapan ia telah lantas kenali Ceng Ceng. ia segera
Suling Emas Dan Naga Siluman 5 Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long Kisah Pedang Bersatu Padu 12
"Tidak dapat kau menyebut aku kauwtjoe lagi!" katanya. "Soehoe, silakan kau berikan satu
nama untukku."
Sin Tjie berpikir.
"Baiklah, kau pakai saja nama Tek Sioe," kata dia kemudian. "Tek ialah jeri untuk segala
kekeliruan yang sudah-sudah, dan Sioe untuk menjaga dan menjalankan prilaku baik."
"Bagus, bagus!" kata Tiat Tjhioe dengan girang. "Hee Soesiok, kau panggilah aku Tek
Sioe!" "Kau berusia lebih tua daripada aku, boegeemu juga terlebih tinggi, cara bagaimana kau
memanggil soesiok padaku?" kata Tjeng Tjeng ("Soesiok" ialah "paman guru").
Tiat Tjhioe dekati Nona Hee itu, ia berbisik: "Sekarang aku panggil kau soesiok, lain kali
aku akan panggil kau soebo!"
Kedua pipinya Tjeng Tjeng menjadi merah. "Soebo" itu berarti "nyonya guru". Akan tetapi,
diam-diam ia toh girang bukan main. Sekarnag ia jadi dapat anggapan baik terhadap
kauwtjoe ini. Tadinya ia masih hendak menegur, tetapi segera ia batalkan niatnya itu,
sebab itu wkatu kelihatan Tong Hian Toodjin dan Bin Tjoe Hoa bertindak masuk.
Melihat dua orang Boe Tong Pay itu, Sin Tjie lantas kata pada Tiat Tjhioe: "Sekarang kita
sudah jadi orang sendiri, coba kau beri tahu kepada tootiang ini berdua, Oey Bok Toodjin
itu sebenarnya masih hidup atau sudah mati...."
Ho Tek Sioe bersenyum.
"Dia ada di Inlam, di Tay...."
Ia Baru mengucap sampai di situ, sekonyong-konyong mendengung suara nyaring dan
hebat, sampai meja dan tehkoan bergerak, sampai cawan-cawan pada bergoyang.
Semua orang terjaga. Baru saja hati mereka mulai "tetap", atau suara hebat itu terdengar
pula, kali ini terus, berulang-ulang.
"Itulah dentuman meriam!" kata Thia Tjeng Tiok.
Segera semua orang lari ke depan.
Justru itu Ang Seng Hay datang sambil berlari-lari.
"Balatentara Giam Ong sudah sampai!" katanya.
Dentuman meriam masih terus terdengar, dari arah luar kota kelihatan cahaya api
menyambar-nyambar berkelebatan dibarengi sama riuhnya suara pertempuran.
Jadi terang sudah pasukan perang Giam Ong sudah sampai di luar kota raja.
"Tootiang," berkata Sin Tjie pada Tong Hian Toodjin, "dia sekarang telah angkat aku
menjadi guru, maka tentang guru kamu, baik kita tunda dulu membicarakannya...."
Akan tetapi Ho Tiat Tjhioe segera menyambungi:
"Oey Bok Toodjin itu kena dikurung bibiku di dalam guha Tok Liong Tong di Tay-ke, Inlam.
Pergi kamu bawa ini, untuk memerdekakannya!"
Sembari berkata begitu, ia serahkan sebuah suitan besi hitam-legam yang beroman ularularan.
Tong Hian Toodjin dan Bin Tjoe Hoa girang tak kepalang mendengar guru mereka masih
hidup, berulang-ulang mereka menghaturkan terima kasih mereka. Tong Hian lantas
sambuti suitan itu.
"Inilah akupunya leng-hoe." Ho Tiat Tjhioe kasi keterangan. "Kamu mesti berangkat
dengan segera, supaya kamu bisa mendahului sampai di sana. Anggauta-anggauta Ngo
Tok Kauw di Inlam masih belum tahu aku sudah undurkan diri dari kalangan mereka, asal
mereka lihat lenghoe ini, sudah pasti mereka akan merdekakan gurumu."
Kembali Tong Hian Toodjin dan Bin Tjoe Hoa mengucap terima kasih, dengan tergesagesa
mereka pamitan dari Sin Tjie beramai, lantas mereka berlalu.
Sin Tjie juga sudah lantas kirim orang, untuk serep-serepi kabar pasti, supaya ia bisa
berikan pertandaannya untuk semua kawan seperjuangannya di dalam kota bergerak
serentak menuruti rencana yang ia sudah atur, ialah melepas api berbareng mengadakan
serangan secara mendadak, untuk sambuti serangan dari luar.
Belum terlalu lama, satu tauwbak telah datang bersama sepucuk surat, katanya surat dari
Tie-Tjiangkoen Lie Gam, jenderalnya Giam Ong, yang sengaja kirim itu dengan utus satu
penyelundup. "Bagus!" Sin Tjie memuji. Lantas dia bertindak, mengirim orang-orang ke empat penjuru
kota. Maka di waktu magrib, di mana-mana tersiarlah ko-yauw atau cerita-cerita burung
yang merupakan nyanyian, yang dinyanyikan ramai oleh anak-anak kecil dan orang
pengangguran. Umpama ko-yauw di kota Barat oleh anak-anak berbunyi:
"Pagi mencari satu SENG,
Sore mencari satu HAP,
Selama ini, orang melarat
sukar hidup, Maka lekas-lekas buka pintu,
Menyambut Giam Ong.
Pasti semua, tua dan muda,
Akan jadi girang-senang!"
Sedang di kota Timur, kaum pengangguran bernyanyi:
"Makan dari ibunya,
Berpakai dari ibunya,
Makan dan berpakai tak habis.
Sebab adanya Giam Ong!
Tidak usah bekerja,
Tidak usah bayar coeke!"
Di dalam kota telah terbit kekacauan, tentara Beng Tiauw sudah sibuk sendirinya, tak
sempat mereka mengurus "ocehan" rakyat itu, maka tidak ada yang melarang ko-yauw itu.
Sin Tjie punya barang-barang permata sepuluh peti besar, dengan diam-diam telah dijual
dijadikan uang kontan, uang itu telah dipecah di antara banyak kawan yang dapat
dipercaya, untuk disebar di antara tentara dan opsir-opsir yang bertanggung-jawab atas
penjagaan atau pembelaan kota, dengan begitu, sepak-terjang mereka jadi semakin
leluasa. Besoknya, Sha-gwee Tjap-pwee, yaitu bulan tiga tanggal delapan-belas, Sin Tjie bersama
Tjeng Tjeng, Ho Tek Sioe, Thia Tjeng Tiok dan See Thian Kong beramai, dengan menyamar
sebagai serdadu-serdadu Beng Tiauw, telah pergi ke tembok kota, untuk memandang
keluar, hingga mereka bisa pandang tentara sukarela yang semua mengenakan seragam
warna kuning, jumlahnya semua mungkin beberapa ratus ribu jiwa, nampaknya bagaikan
awan kuning saja....
Dentuman meriam masih senantiasa terdengar, karena kota asik diserang terus. Di pihak
lain, pembelaan tentara pemerintah sudah kacau sekali, tak dapat mereka bertahan lama,
sedang mereka, yang sudah makan sogokan, memanah secara sembarangan saja. Maka
bisa diharap jatuhnya kota akan terjadi di sembarang waktu.
Sin Tjie semua menjadi girang, lekas-lekas mereka undurkan diri, untuk beri titah supaya
orang mulai melepas api di empat penjuru pintu kota, supaya penyerangan segera dimulai.
Malah rakyat melarat turut sambut aksi itu.
Begitulah, kota menjadi kacau.
Selagi orang bertempur seru dan berteriak-teriak, Sin Tjie lihat sepasukan serdadu asik
iringi satu thaykam yang mengenakan pakaian sulam, mereka itu berseru-seru untuk
membuka jalan. Di antara cahaya api terang-terang, pemuda kita segera kenali Tjo Hoa
Soen. "Semua ikut aku!" ia berteriak. "Mari kita bekuk dorna itu!"
Ho Tek Sioe dan Thie Lo Han segera mendahului membuka jalan, semua lantas memburu,
untuk menyerbu. Tentu saja pasukan serdadu pengiring itu tak dapat bertahan terhadap
rombongan orang gagah ini.
Tjo Hoa Soen tampak gelagat buruk, dia putar kudanya, untuk kabur.
Akan tetapi Sin Tjie sudah datang dekat, dengan satu lompatan pesat, anak muda ini
sambar thaykam itu, untuk digusur turun dari kudanya.
Tjo Thaykam kenali ini anak muda, dia kaget dan ketakutan.
"Kau hendak pergi kemana?" Sin Tjie membentak.
"Sri Baginda titahkan siauwdjin pimpin perlawanan di Tjiang-gie-moei!" sahut thaykam itu
dengan suara tak tegas.
Thaykam ini segera diiringi sampai di atas pintu kota yang disebutkan itu, mereka naik ke
atas tembok, hingga, memandang ke luar kota, mereka bisa tampak pasukan perang
sukarela. Dengan senantiasa diiringi sebuah bendera besar, satu orang yang memakai tudung yang
lebar, yang duduk atas seekor kuda hitam, mundar-mandir dengan kuda tunggangannya
itu, memimpin penyerangan. Dia adalah Giam-Ong Lie Tjoe Seng!
"Lekas buka pintu kota, sambut Giam Ong!" Sin Tjie berseru sambil ia cekal keras Tjo
Thaykam, hingga dia ini kesakitan hampir pingsan.
Tjo Hoa Soen insaf, ia telah berada di tangan orang, tidak berani ia melakukan perlawanan.
Ia juga lihat buruknya suasana, yang tidak dapat ditolong lagi, maka sebagai seorang licik,
segera ia dapat pikiran, kalau sekarang ia tukar haluan, dengan menyambut junjungan
yang baru, mungkin ia nanti dapat hadiah. Maka itu, tidak ayal lagi, ia lantas berikan
titahnya untuk pentang pintu kota!
Sambil bersorak-ramai, tentara Giam Ong meluruk ke pintu kota, untuk menerjang ke
dalam. Sin Tjie gunai ketikanya itu akan ikut tentara Beng Tiauw yang kalah lari masuk ke kotadalam,
dimana pasukan pembela kota ada berjumlah besar, hingga dengan datangnya
pasukan dari luar ini, kota-dalam menjadi seperti penuh-sesak.
Ketika itu, cuaca sudah mulai gelap.
Di luar kota, tentara sukarela telah bunyikan gembreng, untuk tunda penyerangan, buat
mereka beristirahat.
Dalam waktu kalut itu, Sin Tjie beramai dengan diam-diam nyeplos pulang ke rumah
mereka, tidak ada opsir atau tentara Beng Tiauw yang perhatikan mereka, sebab mereka
itu masih terlalu sibuk sendiri.
Sesampainya di rumah, Sin Tjie beramai salin pakaian mereka yang berlepotan darah,
mereka lantas duduk bersantap, habis itu mereka naik ke genteng, untuk memandang ke
sekeliling tempat. Di segala penjuru kelihatan api terang-terang.
"Besok pagi pastilah kota-dalam bakal terpukul pecah, maka sebentar malam ada saatnya
untuk aku mencari balas dengan tanganku sendiri!" kata Sin Tjie.
Orang tahu pemuda ini hendak membunuh kaisar Tjong Tjeng.
"Kita hendak turut!" kata kawan-kawan itu.
"Saudara-saudara sudah bercape-lelah satu harian, malam ini pantas kamu beristirahat,"
Sin Tjie bilang. "Besok pun masih banyak kerjaan penting yang mesti dilakukan. Dalam
waktu kacau sebagai ini, penjagaan di istana tentunya longgar, untuk membunuh raja ada
pekerjaan segebrak saja, dari itu, cukup aku bekerja sendiri!"
Orang anggap dugaan pemimpin ini beralasan, mereka tidak memaksa hendak mengikut.
Sin Tjie lantas minta Tjeng Tjeng pasang lilin dan hio, ia masuk, lengpay dengan hurufhuruf
"Sian-koen Peng-pou Siang-sie Tjie Liauw Tok-swee Wan", yang berarti "Almarhum
ayahanda Wan Tjong Hoan, Peng-pou Siang-sie merangkap jenderal yang berperang di
tanah Liauw". ("Peng-pou Siang-sie" berarti "menteri peperangan.)
Pemuda ini hendak siapkan meja abu, untuk sebentar, setelah mengutungi batang leher
kaisar Tjong Tjeng, ia hendak bawa kepala musuh itu untuk dipakai bersembahyang,
terhadap roh ayahnya almarhum itu. Iapun sudah rencanakan, habis sembahyang ia
hendak bawa kepala raja itu akan ditunjuki kepada tentara kerajaan, supaya mereka itu jadi
kaget, takut dan buyar.
Apabila temponya sudah sampai, dengan bekal sebuah kantong kulit, dengan bekal
sepotong golok panjang, seorang diri Sin Tjie pergi ke arah istana kaisar.
Api terang di mana-mana, dalam saat kacau-balau itu, opsir-opsir dan tentara Beng, yang
kabur dari hadapan musuh, menggunai ketika untuk menggarong rakyat.
Sin Tjie tidak sempat perhatikan kekacauan itu, ia menuju langsung ke istana. Kapan
akhirnya ia sampai, ia menjadi heran. Istana sepi dan kosong, tidak ada serdadu
penjaganya, tidak tertampak orang-orang kebiri. Mungkin semua mereka itu sudah angkat
kaki. "Jikalau kaisar buron atau sembunyi, sia-sia usahaku ini...." Pikir pemuda kita, yang
hatinya terasa seperti mencelos. Tapi ia lari ke arah keraton. Baru ia sampai di muka pintu,
ia sudah dengar suara nyaring dari seorang perempuan, yang sedang menegur hebat. Ia
hampirkan pintu, untuk mengintai ke dalam. Begitu ia mendapat lihat, ia jadi girang luar
biasa. Kaisar Tjong Tjeng sedang duduk di atas sebuah kursi, di depannya ada seorang wanita
dengan dandanan sebagai permaisuri sedang menuding-nuding seraya perdengarkan
suaranya yang nyaring dan keras itu.
"Sudah semenjak belasan tahun, asal kau suka dengar sedikit beberapa kata-kataku, tidak
nanti kejadian seperti hari ini! Kau telah bikin kuil leluhur dan negara terjatuh ke dalam
tangan pemberontak, mana kau punya muka akan menemui leluhurmu?"
Demikian permaisuri itu.
Raja tunduk, dia berdiam saja.
Habis itu, sambil menangis dengan menutupi muka, permaisuri lari ke dalam.
Baru Sin Tjie hendak tolak pintu, untuk menerjang masuk, ia lihat munculnya satu
bajangan dari arah samping, bajangan mana merupakan satu nona rupawan yang
menyekal pedang.
"Hoe-hong, keadaan sudah mendesak, mari lekas pergi dari istana!" demikian nona itu
sesampainya ia di depan raja.
Sin Tjie segera kenali Tiang Peng Kiongtjoe atau A Kioe hingga hatinya jadi bercekat.
"Ong Kong-kong, tolong kau layani Sri Baginda," kemudian kata si nona, pada satu
thaykam yang berada di damping raja.
Thaykam itu, Ong Sin In namanya, lantas mengucurkan air mata.
"Baik, kiongtjoe thianhee," sahutnya. "Silakan, thianhee pergi bersama-sama..."
"Tidak," sahut A Kioe. "Aku masih hendak berdiam di sini buat sekian waktu."
"Kota Terlarang segera bakal pecah, dengan berdiam di dalam keraton ini, nanti thianhee
terancam bahaya," membujuk orang kebiri itu.
"Aku hendak tunggu satu orang," tuan puteri bilang.
Wajahnya kaisar berubah.
"Kau hendak tunggu puteranya Wan Tjong Hoan?" tanya dia.
Mukanya A Kioe menjadi merah.
"Tidak salah!" jawabnya. "Hari ini sin-djie hendak berpisah dari hoe-hong..."
"Sin-djie" berarti "aku" untuk anak raja terhadap ayahnya.
"Mau apa kau menantikan dia?" Tjong Tjeng tanya pula.
"Dia telah janjikan aku, sebentar dia bakal datang."
"Coba kasikan pedang itu padaku," kata raja pula.
A Kioe angsurkan pedangnya.
Raja sambuti pedang itu, pedang Kim Tjoa Kiam, mendadak saja sinarnya, yang hitam,
berkelebat, lantas ujung pedang menyambar kepada A Kioe.
Tiang Peng Kiongtjoe menjerit kaget, tubuhnya limbung.
Sin Tjie kaget. Tidak ia sangka kaisar berlaku demikian kejam terhadap puterinya sendiri.
Ia teraling dengan pintu, jarak di antara mereka pun masih cukup jauh, tidak bisa ia lompat
untuk mencegah atau menolongi tuan puteri itu. Ia Baru sampai di tengah jalan, A Kioe
sudah rubuh! Masih kaisar hendak ulangi bacokannya, akan tetapi sekarang si anak muda sempat
berlompat kepadanya, sebelum bacokan pedang turun, tangan kirinya Sin Tjie sudah
menotok tangan kanan raja yang memegang pedang itu, hingga pedang lantas terlepas.
Dengan kesebatannya, dengan tangan kiri masih menyekal lengannya kaisar, dengan
tangan kanannya, Sin Tjie sambar Kim Tjoa Kiam.
Kapan ini anak muda ambil kesempatan, akan menoleh kepada A Kioe, tuan puteri itu
rebah dengan mandi darah, bahu kirinya telah terbacok putus, maka itu, ia gusar bukan
main. "Hoen-koen!" berteriak dia. "Kau telah aniaya ayahku, sekarang aku ambil jiwamu!"
"Hoen-koen" ada cacian: "raja yang gelap pikiran".
Tjong Tjeng kenali Sin Tjie, ia lantas menghela napas.
"Kau benar," katanya. "Aku telah rusaki negara, sekarang aku menyesal, sudah kasip.....
Kau turunilah tanganmu!"
Raja ini lantas tutup rapat kedua matanya.
Dua thaykam lompat, untuk tarik Sin Tjie, tetapi mereka disambut dengan dua tendangan
saling-susul, hingga mereka rubuh terbanting.
Sin Tjie ayun tangan kanannya, justru itu A Kioe membuka matanya, kapan nona ini lihat
keadaan mengancam itu, ia lompat bangun, segera ia tubruk ayahnya, untuk dipeluki.
"Jikalau kau hendak bunuh hoe-hong, bunuh aku lebih dahulu!" katanya. Dengan mata
guram dan roman lesu, nona ini awasi anak muda di depannya itu. Tapi tak lama ia bisa
peluki ayahnya, ia pingsan dan rubuh.
Tidak tega Sin Tjie akan lihat puteri itu bermandikan darah. Dia tolak tubuh kaisar sampai
Tjong Tjeng terjengkang dari kursinyadan rubuh, lantas ia membungkuk, untuk peluk A
Kioe, untuk terus totok pundak kirinya, seluruh bebokongnya juga, guna cegah darah
mengalir terus. Dan selagi darah keluar hanya dengan pelahan, ia keluarkan obat luka
yang ia bekal, untuk diborehkan di tempat yang terluka, sesudah mana, dengan robekan
ujung baju, ia balut luka itu.
Dengan pelahan-lahan, A Kioe sadar akan dirinya.
Ong Sin In, dengan dibantu beberapa thaykam, lekas-lekas pimpin bangun junjungan
mereka, tidak tempo lagi, mereka ajak raja itu lari ke pintu.
"Kemana kau hendak kabur?" membentak Sin Tjie, kapan ia lihat orang mencoba lari. Ia
lantas rebahkan tubuh A Kioe, untuk dilepaskan, buat ia memburu. Akan tetapi tuan puteri,
dengan sebelah tangannya, memeluk dengan keras, sambil menangis, dia ini kata:
"Jangan bunuh dia...... Jangan bunuh dia......"
"Baik!" jawab ini anak muda, yang pikir, raja itu toh tidak bakal mampu buron, sebab kotadalam
segera akan pecah. Ia pun sangat terharu terhadap puteri ini.
Hati A Kioe lega, kendorlah pelukannya, kembali ia pingsan.
Melihat kekacauan dan keraton boleh dibilang sudah kosong, hingga di situ A Kioe tidak
bakal dapat rawatan, Sin Tjie pikir baik ia bawa puteri ini pulang ke rumahnya. Ia ambil
putusan dengan lantas, terus ia pondong puteri itu, buat dibawa pulang.
Sudah kira-kira jam tiga ketika anak muda ini keluar dari keraton. Ia lihat cahaya terang di
pelbagai jurusan, ia dengar teriakan riuh dan tangisan menyedihkan dari sana-sini.
Teranglah, selagi kalah perang dan kabur, tentara Beng terus menggarong rakyat,
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penduduk kota. Kapan Sin Tjie sampai di Tjeng-tiauw-tjoe, di rumahnya, orang asik duduk menunggui dia.
Orang terperanjat dan heran, akan lihat ia pulang sambil pondong seorang perempuan
yang bermandikan darah, malah Tjeng Tjeng lantas unjuk roman tidak puas. Akan tetapi ia
segera kenali A Kioe.
"Mana kepala raja?" ia tanya.
"Aku tidak bunuh dia." Sin Tjie jawab. "Nona Tjiauw, tolong kau capekan hati lagi untuk
merawat dia ini."
Wan Djie bersiap-sedia, ia lantas gantikan pondong A Kioe, untuk dibawa ke dalam.
"Kenapa kau tidak bunuh raja?" Tjeng Tjeng tanya Sin Tjie.
Si anak muda menunjuk ke dalam.
"Dia minta aku jangan membunuhnya," ia menyahut.
"Dia" Dia siapa?" tanya Tjeng Tjeng, yang menjadi gusar. "Kenapa kau dengari perkataan
dia?" Belum Sin Tjie sempat menjawab, Ho Tek Sioe sudah menyela.
"Nona demikian cantik, mengapa dia kutung sebelah tangannya?" kata Nona Ho ini sambil
tertawa. "Soehoe, mana lukisan gambar" Apakah kau tidak bawa sekali?"
Sin Tjie kedipi mata kepada muridnya yang nakal itu.
Sebenarnya Tek Sioe masih hendak mengganggu, tetapi melihat roman sang guru, dan
menampak sikapnya Tjeng Tjeng, ia batal, ia ulur lidahnya, terus ia tutup mulut.
"Gambar apa itu?" Tjeng Tjeng tanya Tek Sioe.
"Nona tadi pandai menggambar," nona Ho jawab. "Aku pernah lihat dia melukis gambar
dirinya sendiri, bagus sekali."
"Apakah benar itu?" tegasi Tjeng Tjeng, matanya melotot. Tapi tanpa tunggu jawaban, ia
ngeloyor ke dalam.
Tek Sioe menoleh kepada Sin Tjie, ia leletkan lidahnya pula....
Anak muda kita lantas pergi ke kamarnya, untuk beristirahat. Ia merasa sangat pusing.
Kapan sang fajar datang, Ang Seng Hay lari masuk.
"Wan Siangkong, See Tjeetjoe telah dapat tawan thaykam Ong Siauw Giauw," ia
melaporkan. "Tentara telah dipimpin untuk buka pintu Soan-boe-moei!"
Sin Tjie lompat bangun.
"Apakah pasukan sukarela sudah memasuki kota-dalam?" dia tanya.
"Pasukan Tjiangkoen Lauw Tjong Bin sudah masuk," jawab Seng Hay.
"Bagus! Mari kita menyambut!"
Setelah berkata begitu, pemuda ini pergi ke thia.
"Soehoe jangan kuatir," Tek Sioe bilang pada gurunya. "Aku nanti urus mereka itu."
Sin Tjie manggut. Murid ini maksudkan Tjeng Tjeng semua.
Thia Tjeng Tiok ada bekas siewie, malah dia ada pemimpin pahlawan dari kaisar Tjong
Tjeng, karenanya, ia tidak mau campur tahu dalam sepak-terjangnya Sin Tjie menyambut
datangnya Giam Ong. Malah paling belakang ini, ia keram diri di dalam kamar, ia tidak mau
tanya segala apa, ia tidak mau dengar apa-apa juga. Sin Tjie tahu jago itu masih ingat
bekas junjungannya, ia tidak bilang suatu apa, ia membiarkan saja ketua dari Tjeng Tiok
Pay itu. Sampai itu waktu, See Thian Kong dan Thie Lo Han masih belum kembali, anak muda ini
lantas ajak A Pa, Ouw Koei Lam dan Seng Hay pergi ke pintu Tay-beng-moei. Di jalanan ia
lihat awan mendung berkumpul, salju putih beterbangan turun. Serdadu-serdadu masih
saja lari serabutan, sedang di antara rakyat ada yang berseru: "Pintu Tjeng-yang-moei,
Tjee-hoa-moei, Tong-tit-moei, semua sudah dipukul pecah!"
Semakin jauh Sin Tjie jalan, makin berkurang serdadu yang merat.
Sekarang Sin Tjie lihat orang pada berdiri di muka pintu rumahnya masing-masing, di atas
pintunya, mereka tempelkan kertas kuning dengan huruf-huruf memujikan selamat kepada
pemerintah yang baru. Semua penduduk itu berseru-seru kegirangan, malah ada yang
sajikan barang makanan di depan pintu, untuk jamu tentara sukarela.
"Rakyat ada begini bersimpati, bagaimana Giam Ong tidak akan berhasil!" kata Sin Tjie
pada tiga kawannya. Mereka jalan terus, sampai mereka dengar suara trompet ramai,
lantas tampak mendatangi sebarisan dari beberapa ribu orang, di muka barisan kelihatan
See Thian Kong bersama Thie Lo Han. Mereka inilah yang pimpin pasukan pejuang di
dalam kota, untuk labrak sesuatu barisan Beng, sampai musuh terpukul hancur dan buyar.
Kapan pasukan tentara itu lihat si anak muda, mereka bertampik-sorak.
"Giam Ong segera akan datang!" Thie Lo Han berseru.
Hampir menyusul seruan imam ini, dari arah depan kelihatan mendatangi sambil berlariKang
Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
lari beberapa penunggang kuda, satu di antaranya membawa sebuah bendera besar
dengan huruf-huruf "Tjie-Tjiangkoen Lie" yang berarti "Lie, pejabat Jenderal".
Dan selagi beberapa penunggang kuda itu mendatangi lebih dekat, Sin Tjie lihat Lie Gam,
pejabat jenderal itu, dengan jubah kuningnya, kudanya dikaburkan.
"Toako!" ia berseru memanggil, sambil ia berlompat ke depan kuda, untuk memapaki.
Lie Gam tercengang, tetapi sekejab saja, iapun sudah lantas loncat turun dari kudanya.
"Djie-tee!" seru dia sambil tertawa. "Kaulah yang berjasa nomor satu atas pecahnya kota!"
"Jasa apa yang siauwtee punyakan?" Sin Tjie bilang. "Begitu lekas sampai pasukan besar
dari Giam Ong, tentara Beng bubar sendirinya."
Dua sahabat ini saling jabat tangan.
Pertemuan yang menggirangkan juga dilakukan dengan beberapa penunggang kuda lain,
yang datang bersama Tjie-tjiangkoen Lie Gam ini, karena mereka ada Lauw It Houw dari
Lauw Ya San, Tjoei Tjioe San, Tjoei Hie Bin, juga An Toa Nio dan An Siauw Hoei, jadi
semua ada sahabat-sahabat kekal, apapula Tjioe San, guru pertama dari Sin Tjie.
Selagi mereka bergembira sekali, mereka dengar suara terompet, yang disusul sama
seruannya pasukan tentara. "Tay-ong sampai! Tay-ong sampai!"
Dengan "Tay-ong" yaitu "Raja besar" dimaksudkan Giam Ong.
Sin Tjie semua menyingkir ke tepi jalanan, dari situ mereka lihat datangnya sebarisan dari
seratus lebih penunggang kuda, di sebelah depan, dengan menunggang kuda bulu hitam,
ada Lie Tjoe Seng yang memakai tudung lebar dan jubah hijau muda, yang mendatangi
dari pintu Tek-seng-moei.
Lie Gam maju, untuk papaki pemimpinnya itu, dengan siapa ia ucapkan beberapa patah
kata. "Bagus! Silakan undang saudara Wan kemari!" berkata pemimpin besar itu.
Lie Gam melambaikan Sin Tjie, ini anak muda bertindak maju menghampirkan.
"Saudara Wan, kau telah dirikan jasa besar!" kata pemimpin itu sambil tertawa. "Apakah
kau tidak punya kuda?"
Lie Tjoe Seng terus lompat turun, akan serahkan kudanya sendiri pada orang yang
dianggap berjasa besar itu.
Sin Tjie menjura menghaturkan terima kasihnya.
Semua orang gembira sekali, mereka berseru "Ban-swee!"
Lie Tjoe Seng menukar kuda lain, lantas ia ajak semua orang mulai jalan lagi, menuju ke
pintu Sin-thian-moei. Selagi jalan, ia menoleh pada Sin Tjie, sembari tertawa, dia kata:
"Kau menyambungi semangat ayahmu, aku menyambungi karunia Thian!"
Namanya Sin Tjie dapat diartikan: "Sin" = "menyambungi/menerima" dan "Tjie" =
"Semangat/angan-angan". Dan "menyambungi karunia Thian" adalah "Sin Thian". ("Thian"
dimaksudkan "Tuhan").
Setelah berkata demikian, Giam Ong tarik busurnya, membidik ke atas, maka melesatlah
sebatang gandewanya, menyambar tepat huruf "Thian" dari nama pintu kota "Sin-thianmoei"
di tembok kota!
Orang menjadi kagum , sebab kecuali gapah dan jitu, tenaga Giam Ong pun besar, anak
panah itu dapat nancap dalam sekali di tembok. Maka lagi sekali orang bertampik-sorak
riuh. Sesampai mereka di muka pintu kota, di situ Thaykam Ong Tek Hoa menyambut bersama
tiga-ratus thaykam lainnya.
Giam Ong tertawa, ia lempar cambuknya.
"Saudara Wan," katanya pada Sin Tjie terhadap siapa ia berpaling, "ketika dahulu kau
pergi ke Siamsay dimana kau menemui aku, apa pernah kau pikir bakal terjadi seperti hari
ini?" "Tay-ong bakal berhasil dengan usaha yang besar, semua orang pandai di kolong langit
sudah mengetahuinya sejak siang-siang," jawab Sin Tjie, "akan tetapi sekali-kali tidak ada
orang dapat pikir kejadiannya ada begini lekas!"
Lie Tjoe Seng bertepuk tangan, ia tertawa pula.
Itu waktu ada orang berlari-lari ke depan Giam Ong, untuk segera melaporkan: "Tay-ong,
ada satu thaykam memberitahukan bahwa dia lihat kaisar Tjong Tjeng lari ke bukit Bwee
San!" Giam Ong memandang Sin Tjie.
"Saudara Wan, pergi lekas bawa orang untuk tawan dia!" ia titahkan.
Sin Tjie terima titah itu sambil menyahuti "Ya", lalu dengan ulapkan tangan, ia ajak Ouw
Koei Lam beramai pergi memburu ke Bwee San.
Bwee San ada satu bukit kecil, kapan rombongannya Sin Tjie sampai di atas bukit itu,
semua mereka terperanjat. Di situ, pada sebuah pohon besar, tergantung tubuhnya dua
orang, satu di antaranya riap-riapan rambutnya, bajunya baju biru pendek dengan garis
putih, rompinya dari sutera putih, celananya putih juga, kaki kirinya telanjang, kaki
kanannya pakai sepatu merah berikut kaosnya.
Setelah Sin Tjie datang dekat, ia kenali yang rambutnya riap-riapan itu ada Tjong Tjeng,
kaisar terakhir dari Kerajaan Beng. Pada bajunya kaisar ini ada tulisan memakai darah
sebagai berikut:
"Sejak tim naik atas tahta-kerajaan, tujuh-belas tahun telah lampau, selama itu, empat kali
musuh telah menyerbu masuk ke dalam perbatasan, hingga sekarang ini pemberontak
mendesak sampai di kota raja. Walaupun tim tidak bijaksana akan tetapi sebenarnya
adalah menteri-menteri yang telah menyesatkan tim. Sekarang ini, meskipun tim mati, tim
tidak punya muka untuk bertemu sama leluhurku di dunia baka, maka itu tim singkirkan
kopiaku, tim tutupi muka dengan rambutku. Biarlah kaum pemberontak cincang mayat tim
tetapi janganlah bikin celaka kendati satu saja rakyat negeri."
Membaca firman wasiat itu, Sin Tjie jadi sangat terharu, ia berduka sekali. Dua puluh tahun
ia mendendam sakit hati, sekarang ia dapat membalasnya, itu adalah hal yang
menggirangkan, siapa nyanya, ia mesti saksikan akhir yang menyedihkan ini dari musuh
besarnya. Ia menghela napas.
"Sekaranglah kau bisa menulis begini macam," kata dia. "Kau memesan untuk kami
jangan bikin celaka sekalipun jiwanya seorang rakyat jelata. Coba sejak dahulu kau
menyayangi rakyat, coba kau tidak tindas rakyat sampai mereka kelaparan dan tak
berdaya, mana mungkin bisa terjadi seperti hari ini?"
"Wan Siangkong, orang yang satunya lagi ada satu thaykam," Ang Seng Hay kasi tahu.
"Satu raja mati cuma dengan ditemani satu thaykam, ini dia yang dibilang, tanah ambruk,
genteng hancur, semua orang berbalik, memisahkan dirinya," berkata Sin Tjie. "Sekarang,
Seng Hay, pergi kau singkirkan semua mayat ini, supaya tidak sampai diganggu orang."
Seng Hay menyahuti ia akan urus mayat itu, maka setelah itu, Sin Tjie ajak rombongannya
balik untuk memberi laporan pada Giam Ong.
Lie Tjoe Seng sendiri sudah menuju ke istana, disana ada serdadu-serdadu pihaknya,
yang menjaga, mereka menyambut, untuk mengantari masuk ke dalam.
Kapan kemudian Sin Tjie masuk ke istana, ia dapatkan Giam Ong sedang duduk di kursi
dengan seorang anak muda yang pakaiannya tidak rapi berdiri di sampingnya.
"Bagus, saudara Wan!" kata pemimpin itu apabila ia lihat si anak muda. "Mana raja" Bawa
dia menghadap!"
"Tjong Tjeng telah mati gantung diri," Sin Tjie kasi tahu. "Inilah surat wasiatnya."
Lie Tjoe Seng tercengang, tapi kemudian, ia sambuti surat wasiat itu, untuk dibaca.
Mendengar hal raja mati, si anak muda dengan pakaian kusut itu menangis menggerunggerung,
hampir saja ia pingsan.
"Inilah thaytjoe!" kata Giam Ong pada Sin Tjie.
"Oh," kata si anak muda, yang lantas mengasih bangun pada thaytjoe - putera mahkota
itu. "Kenapa kau kehilangan negaramu" Kau tahu tidak sebabnya?" Giam Ong tanya putera
raja itu. "Sebab hoe-hong keliru mempercayai dorna Tjioe Yan Djie dan lainnya," jawab thaytjoe.
"Aku juga ketahui itu," kata Giam Ong sambil tertawa. Tapi ketika ia menambahkan, ia
hunjuk roman keren: "Aku kasih tahu padamu, ayahanda-rajamu tolol dan kejam, dia
sudah membuat rakyat hidup bersengsara! Memang harus dibuat sedih yang ayahandamu
hari ini telah mati gantung diri, akan tetapi selama tujuh-belas tahun pemerintahannya,
setahu sudah berapa ribu, beberapa laksa anak negeri yang dia paksa mati menggantung
diri, nasib mereka itu lebih-lebih hebat dan menyedihkan."
Thaytjoe tunduk, ia tidak bilang suatu apa. Akan tetapi, selang sedikit lama, ia kata:
"Sekarang baik kau bunuhlah aku!"
Sin Tjie tidak nyana putera ini berhati keras, ia jadi kuatirkan keselamatan dirinya.
Tetapi Giam Ong bilang: "Kau masih anak-anak, kau tidak punya dosa, mana bisa aku
sembarang bunuh orang?"
"Kalau begitu, aku hendak majukan beberapa permohonan," kata putera raja itu.
"Coba sebutkan, aku ingin dengar," Giam Ong jawab.
"Aku minta kau jangan ganggu kuburannya leluhurku, supaya kau juga kubur baik-baik
jenazah hoe-hong dan boe-houw," minta thaytjoe. Ia masih ingat kepada ayahnya dan
ibunda-raja. "Itulah pasti. Tentang itu tak usah kau minta."
"Di sebelah itu, aku minta kau jangan bunuh-bunuhi rakyat."
Giam Ong tertawa berkakakan.
"Bocah tak tahu apa-apa! Aku justru ada si rakyat jelata! Adalah kami rakyat jelata yang
pukul pecah kota-rajamu ini! Kau mengerti tidak?"
"Jadinya kamu tidak membunuh rakyat?" thaytjoe tegasi.
Giam Ong lantas buka bajunya, akan perlihatkan dada dan pundaknya yang penuh tandatanda
bekas hujan cambukan.
Melihat tanda-tanda bekas siksaan itu, orang semua gegetun.
Lie Tjoe Seng lantas kata: "Aku juga ada rakyat jelata yang taat terhadap undang-undang,
akan tetapi pembesar jahat sudah siksa aku, aku pernah dipukuli, hingga saking habis
daya, terpaksa aku berontak. Ayahmu itu, - hm!- dan juga kau sendiri, kamu berpura-pura
saja menyayangi rakyat, buktinya tentara kita, dari yang berpangkat tinggi sampai serdadu
biasa, tidak ada satu yang tidak pernah merasai siksaanmu!"
Thaytjoe tunduk pula, ia berdiam.
Lie Tjoe Seng pakai pula bajunya.
"Sekarang pergi kau mundur," ia menitahkan. "Mengingat kau adalah putera mahkota aku
angkat kau menjadi pangeran. Dengan begini aku hendak hunjuk kepadamu, kami rakyat
jelata, kami tidak mendendam sakit hati! Pangeran apa aku hendak angkat kau" Karena
ayahmu persembahkan negaranya kepada kami, sekarang aku angkat kau jadi pangeran
Song-ong."
Huruf "Song" dari Song-ong itu sama suara-bacanya dengan huruf "song" = "mengantar".
Bersama thaytjoe itu ada Thaykam Tjo Hoa Soen.
"Lekas kau haturkan terima kasih kepada Sri Baginda," ia ajari putera mahkota.
Thaytjoe menoleh, ia memandang dengan bengis pada orang kebiri itu. Dengan mendadak
saja sebelah tangannya melayang, ke mukanya thaykam she Tjo itu.
"Plok!" demikian suara nyaring, yang menyusuli gaplokan itu. Lalu di pipinya sang
thaykam menggalang tapak lima jari tangannya si putera mahkota.
Giam Ong tertawa terbahak-bahak.
"Bagus!" serunya. "Dia ada orang tidak setia dan tidak berbudi, bagus dia dihajar! Mana
orang" Gusur dia keluar, penggal batang lehernya!"
Tjo Hoa Soen kaget tidak terkira, mukanya pucat dengan mendadakan, terus ia rubuhkan
diri, akan berlutut di depan pemimpin rakyat itu. Ia manggut berulang-ulang, sampai
jidatnya mengenai lantai dan boboran darah. Dengan sangat ia mohon dikasihani.
Giam Ong tak gubris orang itu; ia tendang orang kebiri itu, sampai dia terguling kemudian
ia titahkan orangnya hukum mati thaykam jahat itu.
Thaytjoe sendiri, dengan sikap agung, bertindak keluar.
"Ini anak berhati keras, aku suka orang yang bersifat sebagai dia," kata Giam Ong sambil
tertawa pada Sin Tjie. Terus ia menoleh ke samping, pada Koensoe Song Hian Tjek, ahli
pemikirannya yang tubuhnya kate. Ia kata: "Kabarnya kaisar Tjong Tjeng ada punya
seorang puteri, entah ada di mana puteri itu."
"Kaisar Tjong Tjeng telah bacok kutung sebelah lengannya puteri itu, aku bawa dia pulang
untuk dirawat," Sin Tjie wakilkan sang ahli pemikir menjawab. "Kalau nanti dia sudah
sembuh, aku nanti bawa ia menghadap Tay-ong."
"Bagus, bagus!" Giam Ong tertawa. "Jasamu tidak kecil, aku justru lagi pikiri dengan apa
aku mesti hadiahkan kau. Nah, kau ambillah puteri raja itu untukmu!"
Sin Tjie terkejut.
"Tidak, tidak, itulah....." katanya.
"Saudara Wan, malu apa" kata Song Hian Tjek, yang potong kata-katanya anak muda ini.
"Memang benar, satu enghiong mestilah satu orang muda! Lauw Tjiangkoen dan lainnya
juga berjasa besar akan tetapi Tay-ong cuma hadiahkan mereka beberapa dayang."
Ahli pemikir ini bicara sambil tertawa, bagi Sin Tjie, sikap dan perkataannya, ada
mengandung sindiran, maka itu, ia mengawasinya dengan melengak. Ia lihat orang
bertubuh tinggi tidak tiga kaki, malah kaki kanannya lebih pendek dari kaki kirinya, hingga
tubuhnya dia itu menjadi dengdek, miring sebelah.... Untuk tunjang diri, koensoe ini
pegangi sebatang tongkat. Dia pun mempunyai muka gepeng dan panjang, romannya
sangat licin, suatu tanda dari kecerdikannya. Dia masih bersenyum-senyum waktu dia
terus awasi padanya.
Justeru itu waktu, Lie Gam datang dengan cara kesusu sekali.
"Tay-ong!" katanya begitu ia sudah datang dekat, "Lauw Tjiangkoen beramai sedang
mengacau tak keruan!"
"Ada kejadian apakah?" tanya Lie Tjoe Seng.
"Mereka telah tangkap-tangkapi sejumlah pembesar dan hartawan, mereka siksa orangorang
itu, untuk peras uangnya," sahut Lie Gam. "Katanya sudah tidak sedikit orang yang
mereka bunuh."
Mendengar ini, Koensoe Song Hian Tjek tertawa. Ia mendahului tayongnya bicara. Ia
bilang: "Mereka itu telah berperang mati-matian, mereka rampas negara sesudah
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengadu-jiwa, sekarang mereka lagi membikin uang, itulah tidak apa...."
Lie Gam tidak puas dengan kata-kata ini, ia gusar.
"Tidak demikian!" katanya. "Kanglam masih belum dapat dibikin tetap, Gouw Sam Koei di
San-hay-kwan masih belum menakluk, selagi hati umum masih belum tenang, bagaimana
orang-orang yang mengepalai tentara bisa memikir untuk mengumpul uang" Apakah
artinya itu?"
"Kenapa sih kalau orang mengumpul uang?" kata pula Song Hian Tjek dengan tawar.
"Yang dikuatirkan adalah kalau orang terkena bujukan orang lain, lantas dia kandung
maksud jelek terhadap Tay-ong - itu Barulah jelek...."
Otot-otot di mukanya Lie Tjoe Seng bergerak-gerak sedikit, tanpa diingini, ia melirik
kepada Lie Gam.
Masih Lie Gam murka.
"Kami telah berhasil dengan usaha besar kami ini, bukankah itu disebabkan kami tahu hati
rakyat, hingga rakyat tunjang kita?" kata pula dia dengan keras.
Tidak enak hatinya Sin Tjie akan lihat orang berselisih. Ia bukannya orang lama dari Giam
Ong, tidak mau ia campur perselisihan itu. Maka ia lantas memberi hormat pada Giam
Ong, terus ia undurkan diri dari istana. Tidak lagi ia sempat bicarakan urusan hadiah
puteri raja itu. Ketika ia Baru keluar dari pintu istana, di depan ada seorang berlari-lari
kepadanya. "Siauw-soesiok, aku cari kau dimana-mana!"
(Bersambung bab ke 24)
Orang itu memakai pakaian kasar dan sepatunya sepatu rumput, di bebokongnya ada
golok panjang, Sin Qe lantas kenali, dia adalah Cui Hie Bin, keponakannya Cui Ciu San.
"Ada apakah?" ia tanya pemuda itu.
Hie Bin tidak lantas menyahuti, ia hanya keluarkan sesampul surat dari sakunya, ia
haturkan itu kepada ini "paman cilik" (siauw susiok),
Sin Cie awasi surat itu, ia baca alamatnya, "Kepada murid-muridku!" ia kenali surat
gurunya, maka ia lantas menjura, habis itu ia menyambuti dengan kedua tangan nya.
Kemudian ia buka sampul itu, akan keluarkan suratnya untuk dibaca,
Guru itu menulis ringkas saja.
"Kami kaum Hoa San Pay mempunyai pesan turun menurun ialah sesuatu murid tak dapat
pangku pangkat di dalam pemerintahan Karena sekarang Giam Ong sudah berhasil
dengan pergerakannya yang besar, murid-murid kita pun sudah lakukan tugasnya, maka
sesuatu murid mesti lantas undurkan diri Nanti di malaman bulan purnama dari bulan
keempat kamu mesti berkumpul di puncak Hoa San.
Surat itu dibubuhkan tanda tangan dua huruf "Jin Ceng".
Sin Cie kaget "Kalau begitu temponya rapat tidak ada satu bulan lagi kita mesti berangkat sekarang!"
kata dia. "Memang, Pamanku juga hendak lantas berangkat," Hie Bin kasih tahu.
"Mari kita pulang!" Sin Cie mengajak
Maka mereka berjalan dengan cepat
Begitu lekas Sin Cie memasuki gang di mana terletak rumahnya, ia dengar ramai suara
beradunya pelbagai alat senjata, ia juga dengar suara cacian, ia jadi kaget maka ia lantas
lari Beberapa serdadu Beng kelihatan lari serabutan.
Tentara Beng Tiauw sudah buyar kenapa di sini masih ada lagi?" pemuda ini pikir.
ia lari semakin keras, hingga tibalah ia di depan rumahnya.
Di ambang pintu, Ho Tek Siu sedang labrak belasan serdadu Beng, yang berada di dalam
rumah yang nampaknya hendak nerobos keluar Untung untuk mereka ini mereka hanya
diancam saja, untuk dicegah lo!os, Kapan Tek Siu lihat gurunya datang, ia bersenyum ia
lantas lompat minggir
Maka serentak belasan serdadu peng itu lari keluar, saling tabrak hingga ada yang
ngusruk jatuh, sebentar saja tidak kelihatan bajangan mereka juga,
Selagi gurunya pandang dia, Tek Siu tertawa,
"Serdadu-serdadu Beng itu lihat rumah kita besar, mereka menyerang masuk untuk
menggarong!" katanya,
Sin Cie bersenyum,
"Syukur aku keburu pulang, kalau tidak celakalah mereka!" bilangnya,
"Bertiga mereka masuk ke dalam, justru mereka berpapasan dengan Ang Seng Hay, yang
mendatangi sambil berlari keras, mukanya pucat sekali romannya sangat tegang,
"Celaka! Celaka!" demikian teriakannya beru1ang-ulang,
"Ada apakah?" tanya Sin Cie yang menjadi kaget
Thia.... Thia... Thia Lo hucu...!" kata Seng Hay yang tak dapat bicara jelas,
Melihat demikian, Sin Cie serta yang lainnya segera memburu ke kamarnya Thia Ceng
Tiok, ketua dari Ceng Tiok Pay. Begitu sampai di dalam kamar, semua orang kaget tidak
terkira, Thia Ceng Tiok berlutut dengan tubuh sudah menjadi mayat golok tajam mengkilap
nancap di dadanya,
Tangkap si pembunuh!" berteriak See Thian Kong yang menjadi gusar bukan kepa1ang.
Malah ia segera mendahului lompat keluar jendela,
Ouw Kui Lam Ho Tek Siu dan beberapa yang lain turut lompat keluar untuk susul si
pembunuh, Sin Cie cari tahu napasnya Ceng Tiok hidungnya benar-benar napasnya ketua Ceng Tok
Pay itu sudah berhenti, malah tubuhnya pun sudah jadi dingin, Jadi dia telah menutup
mata sejak sekian lama, jadi kematiannya diketahui sesudah terlambat
Kemudian anak muda itu perhatikan golok yang nancap di dada kawan itu. Di gagang
golok terikat selembar kertas yang ada tulisannya, terdiri hanya dari delapan huruf yang
artinya, "Hamba yang rendah mati bersama-sama Sri Baginda."
Surat peninggalan itu membuktikan Thia Ceng Tiok bukan mati dibunuh, dia hanya bunuh
diri berkorban untuk junjungannya, Rupanya bekas pahlawan raja ini telah lantas dengar
kematian dari kaisar Cong Ceng dan segera korbankan diri karenanya, untuk unjuki
kesetiaannya terhadap raja itu yang dia tetap cintai.
Tanpa merasa, saking terharu, Sin Cie meneteskan air mata. ia kagumi ketua dari Ceng
Tiok Pay ini yang tidak melupakan junjungannya walaupun dia telah diperlakukan tak
selayaknya oleh junjungan itu.
Lantas anak muda itu perintah orang susul See Thian Kong semua sambil berbareng
perintah orang lekas beli peti mati dan lainnya barang keperluan untuk urusan jenazahnya
Ceng Tiok, Sebagai ketua dari Ceng Tiok Pay, jenazah Thian Ceng Tiok tidak dapat dirawat
sembarangan saja, akan tetapi suasana sedang kacau, terpaksa segala apa dilakukan
secara sederhana, Semua anggota Ceng Tiok Pay juga tidak dapat diberi kabar lagi Di itu
hari juga, jenazah dikubur dengan semua orang unjuk hormat mereka yang terakhir
Selama kerepotan mengurus jenazah itu, Ceng Ceng seorang saja yang tidak kelihatan
muncul Mulanya Sin Cie tidak menaruh perhatian adalah kemudian ia tanyakan Wan Jie.
"Mana Nona Hee?"
"Sudah sekian lama aku tidak lihat, nanti aku panggil dia," kata nona Ciauw yang lincah, ia
lantas pergi ke kamar Ceng Ceng, akan terus mengetok pintuk dengan perlahan, "Adik
Ceng, adik Ceng!" ia memanggil
Tidak ada jawaban,
Wan Jie ulangi ketokan pada pintu, ia pun memanggil berulang-ulang tetapi tetap tidak ada
jawaban, sampai Sin Cie datang sendiri Karena heran, anak muda ini tolak pintu yang
terus terbuka, Nyata kamar itu kosong, malah pakaian pedang dan abu ibunya si nona
telah bawa semua!
Setelah melengak sekian lama, Sin Cie coba memeriksa kamar itu, sampai di bawah bantal
ia dapatkan sepotong kertas yang ada tulisannya ringkas saja bunyinya.
"Karena sudah ada kim-kie giok yap, buat apa ada aku si orang rakyat jelata."
Kembali Sin Cie melongo sebab pikirannya kusut sekali ia mengerti kenapa Ceng Ceng
kabur sebab dia bercemburu terhadap A Kiu alias Tiang Peng Kong-cu. Kata "kim-kie giok
yap" itu - "cabang emas dan daun kumala" - berarti putri raja. ia menyesal untuk sifat
cupat dari nona itu yang masih tidak bisa mengatasi diri
"Adik Ceng, kelihatannya tetap kau belum mengerti aku," ia mengeluh di dalam hati ia pun
berkhawatir sekali ia langit "DuIu dia buron, hampir dia celaka di tangan orang asing,
sekarang dia kabur pu!a, selagi suasana begini keruh, Kemudian dia pergi?"
Duduk di atas pembaringan, Sin Cie berdiam saja,
Wan Jie heran, ia pergi keluar, untuk memberi kawan-kawannya maka orang lantas pada
masuk, antaranya ada yang menghiburkan, ada yang memberi pikiran,
Wan Jie masih muda tetapi cerdas sekali
"Wan Siangkong," katanya "Sekarang ini tidak ada faedahnya akan kau berkhawatir atau
berduka saja, Nona Hee gagah, siapa berani main gila terhadapnya" Aku pikir baik urusan
jatuh begini waktunya rapat di gunung Hoa San sudah sangat mendesak, baik siangkong
segera berangkat bersama paman A Pa, enci Ho serta lainnya, Biar aku sendiri berdiam di
sini untuk rawat enci A Kiu, See Siokhu bersama Thie Losu, Ouw Siokhu dan semua orang
Kim Liong Pang pun akan tetap berdiam di sini untuk berikhtiar membantu cari nona Hee.
Kiia nanti kirim pemberitahuan ke seluruh tujuh propinsi supaya semua saudara nanti
tolong mencari juga serta memperhatikan nona Hee itu."
Sin Cie manggut-manggut mendengari nona Ciauw itu.
"Bagus pikiran kau, nona Ciauw," katanya. "Baik, aku nanti bekerja menuruti kau. Hanya
mengenai Tek Siu, aku pikir baik ia tidak usah turut, ia boleh berdiam saja sama kau di
sini. sekarang ini ia belum resmi menjadi anggota partai kami Hoa San Pay."
Kedua matanya Tck Siu bersinar kapan ia dengar perkataannya guru ini. Tadinya ia
hendak bicara, tetapi mendadakkan ia bata ikan itu, Tiba-tiba saja ia ingat Ceng Ceng juga
agaknya cemburui ia. jadi kalau ia ikut anak muda itu, si anak muda akan jadi kurang
merdeka. Akhirnya terus tutup mufut, ia melainkan bersenyum, Tetapi, di dalam hatinya ia
kata. "Kau tidak suka ajak aku pergi ke Hoa San, aku toh bisa pergi sendiri!"
Nona Ho ada bekas pemimpin Ngo Tok Kauw, ia sudah biasa ambil putusan scndiri, sudah
biasa ia bertindak sendirian, walaupun ia telah ubah haluan, masih ada sisa-sisa adatnya
ilu. Maka itu, setelah ambil putusan akan pergi seorang diri ke Hoa San, ia terus pikirkan
dayanya bagaimana agar ia bisa bertamu sama Couwspe, pemimpin dari Hoa San Pay.
Setelah bersiap, Sin Cie menghadap Tiong Ong untuk beritahukan maksud kepergian
berapat di Hoa San, untuk pamitan, ia juga ambil selamat berpisah dari Lic Gam.
Tiong Ong memberi persen banyak barang pcrmata, Tempo Sin Cie hendak menampik, Lie
Gam kcdipi mata padanya, maka ia lantas terima sambil menghaturkan terima kasih,
Kctika Lie Gam antar saudara ini keluar dari istana, ia menghela napas dan kata, "Saudara
kau telah berhasil lantas sekarang kau undurkan diri, inilah tindakan paling tepat Di sini
aku merasai gencetannya manusia rendah akan tetapi tak dapat aku meletaki jabatanku,
maka aku ingin pertaruhan jiwaku untuk membalas budinya Tiong 0ng...."
Wajahnya jenderal ini menjadi guram,
"Toako, jaga saja dirimu hati-hati," Sin Cie pesan, "Umpama kata kau menghadapi sesuatu
bahaya, meski juga aku berada jauh selaksa lie, pasti aku akan datang untuk
menyusulmu!"
Sambil linangan air mata, dua saudara angkat ini berpisahan,
Besoknya Sin Cie berangkat dengan menunggang kuda hitam hadiah dari Giam Ong
bersama ia turut A Pa si empe gagu, Cui Ciu San,. Cui Hie Bin, An Toa Nio, An Siauw Hui
dan Ang Seng Hay enam orang berikut Thay Wie dan Siauw Koay, kedua binatang
piaraannya, Mereka ambil tujuan Barat, menuju ke Hoa San. Mereka menunggang kuda
pilihan, maka itu dengan lekas mereka telah sampai di Wan-peng dimana mereka singgah
di holcl, untuk beristirahat
Besoknya pagi habis bersantap dengan matanya yang awas, Seng Hay lihat seekor
kalajengking dan seekor kelabang di pojok tembok, dipantek dengan paku, ia bercckat
hati, segera ia tarik ujung baju Sin Cie untuk kisiki majikan ini,
Kapan si anak muda saksikan dua ekor binatang berbusa itu diam-diam ia manggut ia
mengerti, dua binatang itu mesti ada hubungannya sama Ngo Tok Kauw, maka ia sayangi
Ho Tek Siu tidak turut bersama, kalau tidak tentulah murid itu bisa memberi penjelasan
Seng Hay cerdik, ia dekati jongos untuk diajak bicara hal yang tidak ada kepentingannya,
setelah mana, ia tunjuk kala dan kelabang itu sambit kata, "Dua binatang berbisa di
tembok itu tentulah dipantek oleh beberapa orang yang berbicara dengan lidah Selatan?"
Sang jongos tidak curiga, malah ketika ia menJawab, ia tertawa,
"Jikalau tidak karena telah dapat uang ingin aku buang saja dua makhluk jahat itu. S
unggun menyebalkan." demikian jawabnya, ia tekuk-tekuk jarinya, "Bclum sampai dua
hari, orang-orang yang menanyakan itu seperti kau tuan ada belasan banyaknya!"
"Srapa sebenarnya yang telah pantek binatang itu?"
"Seorang pengemis wanita tua!"
Seng Hay segera lirik Sin Cie.
"Siapa saja yang telah menanyakannya?" tanya dia sambil dia scsapkan sepotong perak
hancur di tangannya
si jongos, "Kalau bukan segala tukang minta-minta tentu segala orang tidak karuan!" sahut jongos
itu sambil tertawa, "Aku tidak sangka, tuan kau pun menanyakannya! Ah, kau upahi
aku...." "Ketika si uwa pantek paku itu, siapa saja yang melihat dia?" Sin Cie turut menanya.
"ltu hari sungguh kebetulan!" berkata si jongos.
"Mulanya satu siangkong muda dan cakap, yang minum arak sendirian saja"
"Beberapa usianya siangkong itu" Bagaimana dandanannya?"
"Nampaknya dia lebih muda sedikit daripada kau siangkong. Dia demikian cakap hingga
tadinya aku menyangka kepada anak wayang, Setelah dilihat pedang di pinggangnya, baru
aku ubah dugaanku itu. Dia seperti lagi kematian sanaknya, mukanya lesu, sepasang
alisnya mengkerut, Dia minum arak akan tetapi kedua matanya merah, Melihat dia, orang
bisa merasa kasihan...."
Orang segera menduga pada Ceng Ceng.
"Eh, kau jangan omong sembarangan!" Hi'e Bin menegur ia anggap sial akan sebut Ceng
Ceng kematian orang di rumahnya...."
Kaget jongos itu tapi ia terus susuti meja.
"Apakah tuan-tuan hendak berangkat sekarang?" dia tanya,
"Habis bagaimana?" Sin Cie masih tanya.
Jongos itu masih melirik pada Hie Bin, baru ia menyahut "Selagi siangkong itu minum, aku
dengar tindakan kaki di tangga lauwteng, lantas aku lihat datangnya seorang tua,
Rambutdan kumis jenggotnya putih semua, akan tetapi roman dan tubuhnya masih kekar
sekali Dia membawa sepotong tongkat yang ia taruhnya sambil diketruki keras di lantai
sampai cawan-cawan di atas meja turut menggetar.
Sin Cie terkejut
"ltulah Oen Beng San," pikirnya. "Ceng Ceng bertemu sama Samyayanya, cara bagaimana
dia dapat loloskan diri...?"
"Orang tua itu duduk di meja di samping mejanya siangkong itu," jongos melanjuti, Dia
lantas minta arak dan sayurannya, Dia baru duduk, lantas datang seorang tua tain,
Anehnya beruntun telah datang semuanya empat orang tua, semua rambut dan kumisnya
putih, mukanya merah segar Senjata mereka ini ada yang tombak cagak pendek, ada yang
runcing kulit Mereka tidak melihat satu pada lain akan tetapi mereka duduk masingmasing
di satu meja yang aneh ialah mereka kitari si siangkong. Hal itu membuat aku
sangat heran, Habis itu tidak lama datanglah si pengemis wanita tua. Mulanya majikan
hendak usir pengemis ini siapa tahu, Trang!" ia membuat satu suara nyaring, hingga aku
terkejut Tuan sangka apa sudah terjadi?"
"Apakah itu?" Hie Bin balik tanya,
"lni dia yang dibilang, Malaikat Uang berkeredong kulit anjing, orang tidak dapat dilihat
dari wajahnya saja." jawab si jongos yang tegas kekagumannya, "Suara nyaring itu adalah
sepotong besar perak, yang dilemparkan di meja kuasa, Kemudian, sambil memandang
dan menuding kepada empat orang tua itu ia bilang, "Uang mukanya semua tuan-tuan itu
masuki dalam perhitunganku Tuan, pernahkan tuan bertemu dengan pengemis wanita
itu?" Sin Cie menjadi sibuk, dia gelisah,
"Empat jago dari Cio Liang Pay sudah tak dapat dilawan Ceng Ceng, sekarang muncul Ho
Ang Yo! itulah hebat - pikirnya,
Gembira sangat si jongos dengan penuturannya, tanpa tunggu jawaban si anak muda, ia
sudah meneruskan "Walaupun uang arak mereka telah dibayarkan, empat orang tua itu
tidak memperdulikannya, mereka terus repot dengan arak mereka sendiri Maka si uwa jadi
mendongkol dengan tiba-tiba ia berseru, sebelah tangannya diayun, lantas satu benda
putih mengkilap menyambar orang tua yang membawa tongkat."
"Jangan ngeberahol!" Hie Bin tertegun "Mungkinkah pengemis wanita itu punya pedang
wasiat?" "Untung apa aku mendusta?" balik tanya si jongos, "Memang itu bukannya pedang wasiat
akan tetapi bedanya tak banyak! Si orang tua angkat sumpitnya, akan tanggapi serangan
Segera terdengar suara nyaring, suara bentrokan di antara senjata dan sumpit itu. Habis
itu aku tampak sumpit merupakan gagang rencengan Ketika aku mulanya melihat aku
kaget bukan main! Tahukah kau apa adanya benda yang dipakai menyerang itu?"
"Apakah itu?" Hie Bin tanya,
"ltu adalah serenceng sarung kuku! Dan semuanya kena tercantol di antara sumpit!
Saking kagum, aku berseru dengan pujianku, Selagi aku memuji, aku dengar satu suara
nyaring, Apakah suara itu kau tahu?"
"Apakah itu?"
"Kau lihat ini."
"Jongos itu tarik tangan Hie Bin untuk bawa dia kepada buah meja, untuk unjuki pinggiran
meja itu. Di atas meja itu ada satu lubang yang kecil, ketika jongos ambil sebatang sumpit dan
memasukinya ke dalam lubang itu, tepat busurnya.
"lnilah sumpitnya si orang tua, yang ditancapkan ke meja ini," jongos itu menjelaskan
"Tidakkah itu ada kepandaian yang luar biasa" Mungkin si pengemis wanita melihat dia
tidak punya kesanggupan melawan dia lantas lari keluar Kemudian, setelah si siangkong
berlalu ber-sama-sama empat orang tua itu, Rupanya mereka ada dari satu rombongan,
yang mengatur diri demikian rupa untuk layani si pengemis wanita tua itu...."
"Ke arah mana perginya mereka itu?" tanya Sin Cie diakhirnya,
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mereka menuju ke Liang hiang, dusun di barat selatan sana," sahut sang jongos, Tidak
lama seberangkatnya mereka itu si pengemis wanita tua datang puIa, kali ini dia
tinggalkan kala dan kelabangnya itu. Dia lelah berikan sepotong perak kepadaku dengan
pesan agar aku jagai itu kedua binatang berbisa supaya jangan ada yang ganggu, Selama
ini keamanan ada sangat terganggu, majikan lelaki ingin tutup perusahaannya ini, nyonya
majikan tidak mengijinkannya maka perusahaan di1an-jutinya...."
Sin Cie tidak tunggu sampai orang ngoceh habis, ia lantas lari keluar.
"Mari kita susul!" serunya pada kawan-kawannya, Maka semua memburu keluar untuk
naik atas kuda mereka dan kabur.
Pada hari itu ia minggat, Ceng Ceng sedang mendongkol dan berduka, Setelah ambil
putusan akan bawa abu ibunya ke Hoa San, untuk dikubur jadi satu dengan jenazah
ayahnya, Malah ia telah ambil keputusan sesudah penguburan ayah dan ibunya itu ia akan
habiskan jiwanya dengan bunuh diri di samping kuburan ayah dan bundanya itu.... ia
merasa sangat tidak beruntung, sebab dapati bakal suami yang tidak mencinta....
Ceng Ceng mampir di Wan peng dengan niatan menghibur diri ia tidak sangka disitu ia
bertemu sama keempat yayanya yang segera kurung padanya, kemudian datang Ho Ang
Yo yang sudah adu kepandaian, hingga Oen Beng San perlunjuki kelihayannya akan bikin
kuncup nyalinya pahlawan Ngo Tok Kauw itu hingga nyonya itu mundur sendirinya,
Tahu bahwa dia tidak punya harapan akan lolos lagi dari tangannya keempat yaya itu,
Ceng Ceng dapat mengatasi diri, hingga selanjutnya ia tidak jeri Iagi. ia hanya khawatir ia
nanti lantas dibikin mati di situ juga sedang giatnya adalah supaya ia bisa lebih dahulu
mempersatukan dan mengubur abu ibunya dengan tu!ang-tulang ayahnya. ia ada cerdik,
dalam saat berbahaya itu, ia masih dapat akal
Toa yaya," ia mendengar Oen Beng Tat sambil ia hampirkan yaya yang terus itu, untuk beri
hormatnya, sesudah mana ia juga kasih hormat kepada ketiga yaya lainnya,
Empat yaya itu heran menampak orang tak jeri sedikit juga terhadap mereka hingga
mereka mengawasi saja.
"Suwie-yaya hendak pergi ke mana?" kemudian Ceng ceng tanya sambil ia tertawa.
"Kau sendiri hendak pergi ke mana?" Beng San tanya,
"Aku sedang tunggu sahabatku she Wan karena kita lelah berjanji akan bertemu di sini."
Ceng Ceng jawab dengan karangannya belaka, "la masih belum sampai...."
Kelihatannya keempat yaya itu terkejut mendengar disebutnya nama Sin Cie, malah Oen
Beng Gie, si Jie yaya segera berbangkit
"Lekas ikut kami!" katanya,
"Aku lagi tunggu kawan...." Ceng Ceng berpura-pura,
Beng Gie ulur sebelah tangannya bagaikan berke1e-batnya kilat, sampai tahu-tahu Ceng
Ceng merasai lengannya tercekal keras nadinya kena dipencet, hingga tanpa berdaya, ia
mesti ikut bertindak keluar rumah makan, ia terus diajak naik bersama ke atas seekor kuda
yang segera dilarikan keras ke luar kota, terus sampai di suatu tempat yang sepi sekali, Di
sini mereka berhenti dan turun di bawah sebuah pohon besar, Tapi si nona dijoroki hingga
dia jatuh terjungkal
"Anak hina dina, anak tidak tahu malu!" begitu ia segera didamprat "Hari ini Thian adalah
yang membikin kau bertemu kami!"
Ceng Ceng lantas menangis, "Yaya, aku salah apa?" dia tanya, "Aku minta yaya beri
ampun padaku, Lain kali aku nanti dengar kata...."
"Hm, kau masih mengharap hidup?" bentak Oen Beng Gie, jie yaya itu. Malah dia segera
hunus pisau belatinya yang tajam,
"Jie yaya, kau hendak bunuh aku?" tanya Ceng Ceng sambil menangis,
"Kau berdosa, pantas kau terima kematianmu!" kata Oen Beng Gie, si Ngo yaya.
"Sam yaya," kata Ceng Ceng tanpa perdulikan ngo yaya itu, "lbuku adalah anak
perempuan kandung dari kau maka kepadamu aku minta tolong dalam satu ha1...."
"Tetapi buat minta dikasih tinggal hidup itulah kau jangan harap!" kata engkong luar itu.
Ceng Ceng menangis pula,
"Kalau nanti aku telah mati," katanya, "Aku minta kau tolong sampaikan sepucuk suratku
kepada itu sahabat she Wan, kau pesan supaya dia sendiri saja yang pergi cari mustika,
tidak usah dia tunggu aku lagi-"
Tergerak hatinya keempat yaya itu mendengar kata-kata "cari mustika".
"Apakah itu yang hendak dicari?" tanya mereka hampir berbareng,
"Aku bakal mati, tak dapat aku buka rahasia," jawab Ceng Ceng, "Aku cuma minta supaya
suratku tolong disampaikan...."
Nona ini robek ujung bajunya, ia ambil sepotong jarum dari sakunya, dengan itu dia tusuk
jari tangannya, akan keluarkan darahnya itu, ia menulis di atas itu robekan baju,
Masih keempat yaya itu tanya mustika apa itu yang hendak dicari, tetapi Ceng Ceng
menulis terus, ia tidak berikan jawabannya, Ketika telah selesai ia menulis ia serahkan
surat darah itu pada engkongnya,
"Untuk sampaikan surat ini, sama yaya tidak usah kau menemukan sendiri orang she Wan
ilu," ia bilang, "Cukup jikalau kau kirim orang ke Wang peng ke rumah makan di mana kita
lelah bertemu itu."
Meskipun ia sedang bersandiwara, tapi kapan ia ingat Sin Cie, yang dikatakan "tidak
setia", Ceng Ceng toh bersedih, hingga ia menangis pula dengan sedih, air matanya
mengucur tak hentinya.
Kecmpat yaya itu tidak tahu orang sedang permainkan mereka, mereka tidak tahu apa
sebabnya cucu ini menangis demikian sedih.
Ketiga yaya dekali Beng San, untuk baca surat darah itu.
Ceng Ceng menulis begini
Toako Sin Cie! Dalam penghidupan kita ini, tidak dapat kita bertemu pula satu dengan lain, Maka itu
mustika kepunyaan ayahku, semuanya aku hadiahkan kepadamu, Pergilah kau yang gali
sendiri, tidak usah kau tunggu aku pula.
Hormatnya adikmu si Ceng
"Mustika apakah itu!" Beng Go bentak "Mungkinkah kau ketahui tempat simpannya itu?"
Ceng Ceng cuma manggut dengan per1ahan.
"Fui, kau menjual orang!" Ngo yaya itu bentak pula, "Mana ada mustika! Ayahmu yang
sudah mampus menjadi setan telah perdayakan kami, sekarang kau kembali hendak main
gila pu!a!"
Ceng Ceng tidak menyahuti, hanya sambil tunduk, ia keluarkan dari sakunya sepasang
kumala yang disu1am-kan kepada sepotong ikat pinggang sutera, itulah kumala model
kupu-kupu yang dapat dari satu-di antara sepuluh peti harta karun, Karena kupu-kupu itu
indah ukirannya dan mungil, ia sengaja ambil untuk disimpan,
Setelah keluarkan kupu-kupu kumala itu, hingga dapat dilihat keempat yaya itu mendadak
ia berbangkit untuk berdiri tegak untuk kata juga secara menantang, Terserah kepada
kamu, suratku ini hendak kamu sampaikan kepada aiamatnya atau tidak! sekarang kamu
bunuhlah aku."
Di antaranya suaranya itu, kumalanya itu jatuh ke tanah sambil menerbitkan suara, ia
lantas membungkuk untuk memungutnya, akan tetapi Oen Beng Go telah dahulu ia
menyambar Merah matanya keempat yaya itu sesudah mereka lihat tegas itu kumala kupu-kupu.
Mereka ada penjahat-penjahat dari puluhan tahun, cara bagaimana mereka tidak kenal
mustika berharga, Maka itu goncanglah hati mereka semua,
"Darimana kau peroleh ini?" akhirnya mereka tanya,
Ceng Ceng tetap membisu,
"Kau kasih tahu pada kami, mungkin kami akan selamatkan jiwamu." Beng San lantas
membujuk "ltulah satu di antara barartg-barang mustika yang aku maksudkan," sahut Ceng Ceng
dengan roman ter-paksa, "Bersama-sama Wan Toako itu, setelah kami pahamkan
pengunjukan petanya, aku telah berhasil mendapat tempat mustika disimpan dan
membongkarnya, Sama sekali ada sepuluh peti, yang memuat pelbagai batu permata dan
uang, Adatah sukar untuk bawa itu semua, maka aku ambil ini sepasang kupu-kupu.
Sekarang kita hendak pergi pula untuk ambil semua peti itu...."
Kembali ia menangis,
Keempat yaya itu jauhkan diri mereka untuk berdamai Mereka tidak takut si nona nanti
kabur, sebab di tempat sepi seperti itu dengan gampang mereka dapat mengejarnya,
"Nyatalah sekarang benar halnya mustika simpanan itu," kata Oen Beng San.
"Baik, kita paksa dia antar kita, untuk kita yang ambil," Beng Gie usulkan.
Tiga saudara itu manggut
"Lebih dahulu kita dustakan dia bahwa kita akan memberi keampunan," Beng San
utarakan tipu dayanya, "Kalau nanti mustika sudah ada di dalam tangan kita, baru kita
hukum dia!"
Tiga saudara itu setuju.
"Aku ada punya satu cara gampang," kata Beng Gie. "Lcbih dahulu kita ambil mustikanya,
setelah itu kacung hina dina ini kita belesaki ke dalam lubang bongkaran itu, untuk diuruk
pula, maka kalau nanti si binatang she Wan itu datang menggali, dia bakal gali hanya
mustika hidupnya ini! Tidakkah itu bagus?"
Tiga saudara itu tertawa berkakakkan,
"Bagus pikiran ngotee!" kata mereka, yang puji adik bungsu itu,
Mereka itu girang karena sudah dapatkan Ceng Ceng diluar dugaan, mereka juga bakal
dapat harta karun. Mereka hampirkan Ceng Ceng, untukdidesak akan antar mereka ke
tempat simpanan mustika dengan si nona dijanjikan jiwanya akan dikasih tinggal hidup....
Ceng Ceng sedang bersandiwara, ia menampik akan antari semua yaya itu, adalah setelah
dibujuk pulang pergi dan diancam juga, baru ia mau sebutkan, tempat simpan harta karun
itu adalah di puncak gunung Hoa San. ia telah pikir, selagi empat yaya itu repot bongkar
tanah ia mau cari ketika akan cari kuburan ayahnya, supaya bisa dikubur bersama dengan
abu ibunya, Sesudah itu seperti rencananya, ia hendak bunuh diri,
Karena ia telah unjuk bukti dan alasan yang masuk di akal, empat tertua dari Cio Liang Pay
itu percaya omongan nona ini.
Ketika dahulu Ngo Couw dapat bekuk Kim Coa Long kun, yang dibawanya ke Hoa San,
mereka memang sudah dengar halnya harta karun itu dipendam di gunung tersebut, hanya
itu waktu, kecuali Kim Coa Long kun bisa mengingat, mereka juga tidak peroleh suatu apa.
Belakangan pun terjadi lelakonnya Thio Cun Kioa dan si pendeta yang dapat sergap Sin
Cie dengan kesudahan mereka mati semua,
perjalanan dilanjutkan dengan segera, dengan cepat luar biasa, malah hari itu, mereka
tidak singgah lagi, Sebabnya dari perjalanan cepat luar biasa ini karena kekhawatirannya
keempat yaya itu nanti Sin Cie dapat susul mereka, karena mereka mengerti, asal mereka
kesusul si anak muda, usaha mereka bisa gagal, jiwa mereka sendiri bisa hilang,
Maka bukan main lelahnya mereka berempat ketika itu sore mereka sampai di tapal batas
propinsi Shoasay, Lantas saja mereka cari hotel di mana paling dahulu mereka minta
disajikan barang hidangan,
Beng Gie ada orang yang paling sembrono di antara keempat saudaranya itu pun paling
kuat daharnya maka dialah yang berteriak-teriak minta arak, sayur, dan mie.
Jongos telah bekerja sebat untuk layani tetamu-tetamunya ini.
Seperti biasanya, begitu lekas barang makanan sudah diatur di atas meja, Beng Gie lantas
mendahului saudara-saudaranya, daharnya sangat bernapsu.
Ceng Ceng diperkenankan duduk dahar bersama, disaat nona ini dan Beng Tat bertiga
angkat sumpit serupa benda, melihat mana, dia kaget tidak terkira, sampai tubuhnya
berdiri tegak bagaikan patung, lantas rubuh.
Beng Tat bersama dua saudaranya, juga Ceng Ceng kaget bukan main, Benda yang dijepit
sumpitnya Beng Gie itu adalah seekor kawa-kawa yang hitam dan besar Tiga saudara itu
juga heran ketika mereka dapati eng Gie masih saja berdiam, maka Beng Tat lantas
mendekati untuk raba tubuhnya.
Engko ini kaget sekali, apabila ia telah kena raba tubuh yang lantas mulai jadi dingin,
sedang napas di hidungnya adik itu pun sudah berhenti berjalan Dia kaget berbareng
gusar sekali, Dalam murkanya Beng San hampirkan kuasa restoran untuk dijambak, rubuh kuasa ini
demikian keras, hingga tulang betisnya orang ini patah, hingga si kuasa pingsan,
Beng San tunggu sampai orang sadar scndirinya, ia jambak dada orang, dilain pihak dia
jepit bangkai kawa-kawa dengan sumpitnya untuk di antar ke depan muka kuasa itu.
"Kau bernyali sangat besar! Kau berani racuni kita! Apakah ini?" dia tanya dengan bengis.
Kuasa itu kaget dan takut bukan main,
"Rumah makan kami sudah dibuka selama tujuh puluh tahun.,." katanya dengan tubuh
bergemetar dan suara tidak lancar, "Kita juga selalu jaga kebersihan dapur kita.... Heran
entah darimana datangnya ini binatang...."
Beng San samber pipi orang, sekali ia memcncet, tcrpentanglah mulut si kuasa restoran
itu, menyusul mana, bangkai kawa-kawa dimasuki ke dalam mulutnya, dijejaii, hingga
bangkai itu kena tertelan.
Boleh dibilang dalam sekejap saja, kuasa restoran itu rubuh binasa, kulit di seluruh
tubuhnya berubah menjadi hitam,
Karena ini, kacaulah keadaan di rumah makan itu.
Beng Tat takut Ceng Ceng lari, ia sambar nona ini, untuk diseret keluar begitu lekas dia
kempit tubuhnya Beng Gie,
Beng San dan Beng Go jadi seperti kalap, mereka keluarkan senjata mereka dengan apa
mereka menyerang kalang kabutan, akan obrak-abrik rumah makan itu, dimana ada
beberapa jongos dan tetamu lainnya hingga sama sekali rubuh tujuh atau delapan korban,
Kemudian sesudah melepas api akan bakar rumah penginapan berikut rumah makan itu,
baru mereka angkat kaki.
Tidak ada orang lainnya yang berani maju mencegah.
Beng Tat pergi jauh juga, baru ia turunkan mayat adiknya buat bersama dua saudaranya
menggali lubang, akan kubur secara sembarangan pada saudara itu. Kemudian mereka
singgah di sebuah kuil tua.
Tiga saudara itu gusar dan berduka dengan berbareng, Mereka menduga pada kejahatan
kaum Ngo Tok Kauw, karena tidak bisa jadi orang hotel berbuat demikian jahat
Ceng Ceng tahu lihaynya pihak Ngo Tok Kauw, ia juga menduga pada kaum agama yang
memuja bisa itu,
"Pasti ini ada perbuatan Ho Ang Yo, si pengemis tua," terkanya, "Rupanya dia telah
bayangi kita...." Karena kejadian hebat itu, ketika dilain harinya mereka mampir di rumah
makan, untuk bersantap, Beng Tat suruh jongos cobai dulu semua barang makanan yang
disajikan, sesudah didapat kenyataan, barang hidangan itu tidak ada racunnya, baru
mereka dahan Beberapa hari selanjutnya, perjalanan dilanjuti tanpa kejadian sesuatu, hingga hatinya tiga
saudara Oen itu menjadi sedikit lega, mereka melainkan tetap waspada,
Pada suatu malam di rumah penginapan, mendadak terdengar suara berisik di istal,
jongos berteriak-teriak ada pencuri kuda,
Beng Go kaget, ia pun gusar, sebab itulah kudanya, yang diganggu, ia lantas pergi ke
belakang, untuk memeriksa, Baru saja ia sampai di depan istal, mendadak ia dengar suara
siur-siur dari tempat gelap di sampingnya, Dengan sebal ia berkelit Tapi itulah semprotan
barang cair, karenanya tidak dapat ia hindarkan diri, terutama mukanya yang kena
tersemprot. Dengan lantas ia dapat cium bau amis, ia lantas menduga jelek, Karena ia
lihay, sebab ia tidak rubuh seketika, ia masih sempat cabut ruyungnya, ia menyerang ke
arah si pencuri kuda. ia bisa mendengar tegas hingga ia tahu ke mana ia mesti arahkan
senjatanya, ia pun merasa bagaimana ia telah menyerang dengan jitu dan dengar suara
senjatanya mengenai tubuh musuh, yang bebokongnya kena terhajar hingga tulangnya
patah. "Ha, tua bangka kau masih galak!" demikian satu bentakan yang dibarengi dengan satu
bacokan. Masih sempat Beng Go menyerang pula, Lebih dahulu ia menangkis, hingga ia dapat lilit
kampaknya si penyerang, sesudah mana, ia membetot dengan keras, Musuh tidak dapat
pertahankan diri, dia terbetot keras, sampai tubuhnya terlempar, tepat mengenai tembok,
hingga kepalanya pecah dengan kepala hancur, tubuhnya terus rubuh binasa!
Beng Tat dan Beng San menduga pada orang-orang jahat tidak berarti, mereka percaya,
Beng Go seorang cukup untuk hajar si pencuri kuda, baru mereka kaget ketika mereka
dengar saudara itu berkaok-kaok, hingga mereka lompat memburu,
Beng Go kedapatan sedang menggaruk-garuk mukanya, masih saja ia perdengarkan
suaranya, sampai Beng Tat lompat untuk peluk tubuhnya.
"Kau kenapa ?" tanya ini kanda sulung,
Beng San sendiri segera lompat kcluar, untuk cari musuh, akan tetapi sia-sia saja, ia tak
dapatkan siapa juga, Maka ia lantas kembali ia kaget kapan ia dapat si kanda nya peluki
adiknya sambil kanda itu menangis menggerung-gerung.
Nyatalah, dalam waktu yang pendek sekali, setelah dia berhenti menggaruki mukanya,
Beng Go telah berhenti bernapas, mukanya telah jadi tidak karuan, terutama bekas digaruk
pulang pergi tak hentinya, Karena ia telah terkena semprotan bisa, yang pertama membuat
ia merasa gatal, hingga ia tak tahan akan tak menggaruki mukanya, sedang matanya terus
tidak dapat dibuka lagi.
"Ketika duapuluh tahun dahulu Kim Coa Long kun minggat dari tangan kita," katanya
Bcng Tat sambil menangis, "Dia sudah terputuskan urat-uratnya, dia telah jadi satu
manusia bercacad, maka itu waktu, aku menyangka dia telah ditolongi orang-orang Ngo
Tok Kauw...."
"Kau benar," Beng San bilang, "Teranglah sudah, Ngo Tok Kauw telah memusuhkan kami,
secara diam-diam. Kita telah diundang Co Hoa Sun untuk bekerja sama-sama, walaupun
usaha kita bermusuh satu pada lain, maka itu kenapa Ngo Tok Kauw seterukan kami,
Nyata Ngo Tok Kauw ada di pihak Kim Coa Lon kun.
Oen Beng Tat berpikir sebcntar, lantas berjingkrak,
"ltulah mungkin," katanya. "Kim Coa Long kun punya bisa yang lihay, pasti dia punyakan
perhubungan dengan Ngo Tok Kauw."
Dua saudara ini jadi ingat benar ketika dulu Kim Coa Long kun datang mengacau di Cio-
Iiang untuk menuntut balas, Karena ini diam-diam hati mereka gentar
Tanpa banyak omong lagi, mereka rawat mayat Oen Beng Go untuk dikubur, sesudah
mana mereka ambil putusan untuk berangkat terus ke Hoa San, guna cari dan bongkar
harta karun, sesudah itu mereka hendak berdaya mencari balas, Tctap mereka khawatir
nanti diakali, maka itu baik diwaktu berislirahat, terutama diwaktu dahar, mereka berlaku
sangat hati-hati. Diwaktu malam, mereka sampai takut untuk mondok di hotel.
Pada suatu hari, Beng Tat dan Beng San ajak Ceng Ceng berhenti di sebuah kuil tua di
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tengah perjalanan Beng Tat, meskipun sudah tua, tenaganya tetap besar, maka dengan
gampang ia angkat dua potong batu penggilingan yang berat, untuk dipakai menggalang
pintu depan dan pintu belakang, supaya tidak ada orang yang bisa dobrak pintu itu di luar
tahu mereka. Secara demikian baru mereka dapat tidur dengan hati tentram
Tepat tengah malam, ada terdengar suara berkelisik, Sebagai ahli-ahli ilmu silat, atu orangorang
kang-ouw ulung, terang kupingnya dua saudara Oen ini. Mereka mendusin dengan
lantas, Mulanya terdengar suara seperti suara tikus, mereka tidak perhatikan maka mereka tidur
pula, Oen Beng San sudah tidur pula sayup-sayup tatkala ia dapat cium bau harum, hingga ia
merasakan hatinya, dirinya lega benar, hingga ia merasa sangat gembira, lantas seperti
lagi melayang-layang, bagaikan ia berada di atas sorga, Tidak lama dari itu, hatinya
goncang dengan tiba-tiba hingga ia mendusin sambil terus lompat bangun dengan
berjingkrak. Oen Beng Tat juga lantas bangun, tapi ia berotak sangat cerdas, masih ia ingat Ceng
Cehg, tangan kiri siapa ia tarik, Maka dilain saat, keduanya sudah berada di samping meja.
Dari sini di antara sedikit sinar terang, mereka lihat Oen Beng San sedang bersilat dengan
tongkatnya yang lihay, sampai dia kena hajar patung Buddha sampai patung itu patah dan
rubuh, suara hajaran dan rubuhnya keras sekali,
Serubuhnya patung itu, dari belakang patung muncul dua bocah yang mengenakan
pakaian serba kuning. Bo-cah yang satu yang bersenjatakan golok dengan berani terjang
Beng San. Bocah yang lain memegang sebatang pipa sumpitan, dia bersedia akan sumpit
atau semprot jago she Oen itu,
Menampak demikian, Toa-yaya tidak ayal lagi dengan panah di tangannya, maka kapan
senjata rahasia itu sudah melesat, kedua bocah baju kuning itu rubuh saling susul jiwa
mereka terbang melayang,
Meski sudah tidak ada musuh, Oen Beng San masih terus berkelahi
"Shatee, musuh sudah tidak ada," Beng Tat teriaki adik itu,
Beng San seperti tidak gubris pemberitahuan itu, ia terus saja bersilat, malah gerakgerakannya
makin hebat, Rupanya ia telah terkena pengaruh hebat dari bau harum tadi.
"Celaka!" pikir Beng Tat yang dari heran menjadi kaget, hingga ia bercuriga, ia lantas
lompat maju, dengan niat rampas tongkat adik itu, akan tetapi Samyaya putar tongkatnya
sangat cepat dan rapat, hingga ia tidak sanggup merapatinya,
Selagi bersilat terus, mendadak yang ketiga dari Ngo Couw berteriak keras sendirinya,
tanpa sebabnya habis mana, ujung tongkatnya diarahkan kepada dadanya sen-diri, hingga
ia terserang sangat hebat, berbareng sama memuntahkan darah hidup, ia rubuh terguling,
terus saja tubuhnya menjadi kaku.
BengTat kaget tidak kepalang, tidak terkecuali Ceng Ceng, ia telah saksikan ketiga
yayanya binasa secara hebat, terbinasa oleh pihak Ngo Tok Kauw, Tidak lagi ia
mempunyai rasa simpati kepada semua yayanya itu, toh sekarang ia merasa terharu juga,
tanpa merasa ia ber-linangkan air mata.
Beng Tat sampai tidak sanggup bcrkata-kata lagi, dengan tenang ia pondong tubuh
adiknya untuk dibawa keluar, akan digalikan lubang, buat dipendam secara demikian saja.
Dia ada seorang yang hatinya paling keras, bagaikan baja, maka itu meski ia beri hormat
penghabisan kepada adiknya itu, tidak ia menangis.
"Mari kita berangkat!" kata dia pada Ceng Ceng.
Kendati juga yayanya tinggal seorang, Ceng Ceng masih jeri, dengan terpaksa ia
mengikut, akan lakukan perjalanan dimalam yang gelap petang itu, sebelum mereka
kenyang tidur, Kali ini Oen Beng Tat berlaku luar biasa waspada,
Pada suatu hari semasuknya dalam wilayah Siamsay, Oen Beng Tat lihat satu bocah
dengan pakaian serba merah menghampirkan dia sampai dekat scka1i. Mungkin dia ingat
bocah-bocah serba kuning, ia jadi curiga, malah tanpa bilang suatu apa, dengan
mendadak saja ia menyerang.
Tidak ampun lagi, bocah itu pecah batok kepalanya, tubuhnya rubuh binasa dalam
sekejap. Ceng Ceng kaget, ia ngeri tetapi terus ia bungkam, ia jeri akan saksikan roman bermuram
durja dari yaya itu yang wajahnya menjadi gelap dan bengis,
sementara itu orang sekarang mulai menuju ke kaki bukit Hoa San, sebagaimana
gunungnya sudah tertampak dari kejauhan, Mereka sudah jalan setengah harian, maka
keduanya merasa sangat berdahaga, Karena ini, mereka singgah di sebuah paseban,
untuk minum air, sedang kuda mereka dilepas untuk beristirahat
Sebentar kemudian, Oen Beng Tat dihampirkan oleh seorang tani yang berlidah Siamsay,
sebagaimana terdengarnya itu ketika dia menanya, "Apakah aku bicara sama Oen Loyacu?"
Beng Tat berbangkit
"Apa kau mau?" tanyanya dengan bengis.
"Tadi ada orang upahkan aku dua rencengan uang, aku diminta sampaikan surat
untukmu," sahut petani itu.
"Mana dia orang itu?"
"Dia sudah pergi lama, dia menunggang kuda."
"Coba sambuti suratnya!" Beng Tat perintah Ceng Ccng, ia ada sangat licin, hingga ia
tidak mau terima sendiri surat itu,
Ceng Ceng sambuti surat itu yang tertutup dalam sampul, rupanya seperti surat biasa,
tidak ada yang men-curigaL Baru setelah itu, jago tua ini berani menerima itu dari tangan
si nona, Sama sekali surat itu ada tiga,
Yang pertama memuat tulisan:
"Oen Loo-toa,
Saat kematianmu sudah sampai.
Panas hatinya Beng Tat, hingga ia jadi sangat gusar ia mau lihat surat yang kedua, tapi
surat ini terlepit, sukar dibuka lepitannya, akan tetapi ia telah jadi tidak sabaran, maka ia
tempel jari tangannya ke mulut, ia basahkan surat dengan air ludahnya, Baru sekarang
surat itu dapat dibuka, Bunyinya:
"Jikalau kau tidak percaya bacalah surat yang ketiga."
Meluap hawa amarahnya jago tua ini.
Surat yang ketiga juga tertutup rapat, untuk dapat membukanya Beng Tat mesti bawa pula
jari tangannya ke dalam mulutnya, untuk basahi itu dengan air ludah di lidahnya, maka
setelah kena dibasahkan, barulah surat ketiga itu dapat dibuka, untuk dibaca,
Akan tetapi kali ini, surat itu tidak ada huruf-hurufnya, Apa yang terlihat lukisan
gambarnya seekor kelabang besar serta gambarnya satu tengkorak manusia.
Dalam murkanya, karena sangat mendongkol Beng Tat lemparkan surat itu ke tanah.
Boleh dibilang hampir berbareng dengan itu ketua dari Cio Liang Pay rasai sedikit sakit
atau perih pada jari telunjuk dari tangannya yang kanan dan ujung lidahnya, Segera ia
ingat suatu apa, mendadak saja ia rasakan tubuhnya panas dingin.
"Aku telah terpedaya!" pikirnya, kagetnya bukan kepalang, ia merasa pasti sudah jadi
korban kelihayan musuh.
Surat-surat itu rupanya sengaja dilempel, supaya jadi sukar untuk buka lepitannya, supaya
kalau toh mesti dibuka, ada diperlukan air untuk membasahkannya. Air untuk membuka
surat, yang paling gampang ialah air ludah, Lebih dahulu daripada itu, mestinya racun
telah dikenakan kepada surat bagian yang ditempel lekat itu, supaya dengan menggunai
ludah, orang akan keracunan tanpa merasa,
Ini adalah satu di antara tiga puluh enam tipu daya dari kaum Ngo Tok Kauw, Dahulu Kim
Coa Long kun dapat pelajari ini dari Ho Ang Yo maka ia bisa kenakan racun itu pada "Kim
Co Pit Kipriya" yang palsu, hingga Thio Cun Kiu rubuh sebagai korban, Beng Tat teliti dan
waspada, tetapi ia tidak ingat sampai begitu jauh, Maka sekarang ia telah menjadi korban,
Begitu ia insyaf, ketua dari Cio Liang Pay lantas ingat si petani, Kapan ia angkat
kepalanya, ia tampak orang sudah jalan pergi beberapa puluh tindak, Dalam gusarnya, ia
lompat untuk mengejar Baru ia sampai di luar paseban, ia rasai kepalanya sangat pusing,
matanya berkunang-kunang, ia kuatkan hati tidak perduli kepalanya lantas terasakan
sangat sakit, ia kerahkan tenaganya, ia menimpuk dengan panah tangannya.
Petani itu memang ada orang Ngo Tok Kauw yang sedang menyamar ia sudah serahkan
suratnya, ia percaya ia sudah berhasil, maka ia berlalu dengan tenang, ia menjerit dengan
keras ketika tahu-tahu ia merasa bebokongnya tertancap panah tangan, terus tubuhnya
rubuh, jiwanya melayang pergi.
Oen Beng Tat tertawa seram beberapa kali habis itu tubuhnya rubuh terjengkang, tidak
sanggup dia pertahankan diri lagu
"Toa yaya, kau kenapa?" tanya Ceng Ceng dengan kaget
Nona ini masih belum tahu, suatu apa, ia tidak menyangka je1ek. Malah ia hampiri yaya itu
sambil membungkuk ia hendak melihat muka orang,
Mendadak Beng Tat geraki tangan kirinya, menyusul itu, tombaknya melesat nyambar,
Ceng Ceng kaget bukan main. Mana dapat ia berkelit lagi" jarak mereka berdua ada terlalu
dekat ia cuma lihat berkelebatnya satu cahaya putih perak, menuju ke arah dadanya,
Disaat nona ini tutup kedua matanya, untuk terima binasa, mendadak ia dengar suara
barang keras beradu, menyusul rasa sakit pada belakang kakinya, Kapan ia buka kedua
matanya, ia dapatkan tombak pendek terletak di dekat kakinya, Adalah tombak itu yang
membuat ia merasa sakit, sekarang ia ingin tahu siapa-siapa sudah tolongi padanya, pada
waktu ia berbalik mendadak ia rasakan bebokongnya terpegang keras, sampai ia tak dapat
berbalik, Selagi ia heran dan bingung, tahu-tahu kedua tangannya telah ditelikung ke
belakang, diikat dengan keras. Adalah sesudah ia tidak berdaya baru, bisa menoleh. Tapi
kapan ia kenali siapa yang tawan padannya ia kaget melebihi waktu ia ditangkap keempat
yayanya, Orang itu adalah Ho Ang Yo dari Ngo Tok Kauw, si uwa beroman jelek dan bengis yang
menyeramkan Ceng Ceng merasa, di tangan perempuan tua ini, ia bakalan tinggal dunia dalam cara lebih
hebat lagi...."
Ho Ang Yo tapinya tertawa pada nona ini tertawa dingin sekali,
"Kau inginkan kematian cara apa?" si uwa tanya, "Kau pilih mati dengan satu kali bacok"
Atau kau inginkan dipaguti seribu ekor ular selama tujuh kali tujuh menjadi empat puluh
sembilan hari, sesudah mana baru kau mati.,.?"
Ceng Ceng bergidik, ia meramkan mata, ia tidak menyahut.
"Kau antar aku mencari ayahmu yang tidak berbudi itu!" kata pula si uwa. "Dengan antari
aku, aku akan bikin kau tidak sampai tersiksa...."
Ceng Ceng segera berpikir
"Memangnya aku hendak cari tulang-tulang ayah, Baik aku antar padanya, Sampai di sana,
aku mau lihat, apa dia bisa bikin...."
Maka ia menyahut dengan gagah,
"Aku juga hendak tengok ayahku, mari kita pergi bersama!"
Ho Ang Yo curiga orang terima tawarannya demikian gampang, Tapi Kim Coa Long kun
telah jadi seorang bercacat, tidak perduli ilmu silatnya bagaimana lihay, ia toh tidak usah
takut, begitu ia pikir,
"Baik, mari kau antar aku," katanya sambil tertawa.
"Kau merdekakan dulu aku, supaya aku bisa kubur mayat toa-yaya," Ceng Ceng minta,
"Merdekakan kau" Hm."
Dia jemput tombak pendek dari Oen Beng Tat, seorang diri terus dia menggali lubang di
tepi jalanan, sesudah dia buatkan satu lubang cukup besar, dia gusur tubuhnya Beng Tat,
juga tubuh orangnya sendiri untuk dilempar ke dalam lubang itu, yang dia lantas uruki
sekedarnya. Sembari nguruk, uwa itu ngoceh seorang diri. "Meski juga ayahmu ada satu telur busuk,
tidak nanti aku antapkan dia diperhina orang 1ain. Empat tua bangka ini adalah yang
membikin ayahmu mati tidak, hidup pun tidak, Sudah sekian lama aku hendak mencari
balas kepada mereka, Mengapa kau panggil dia yaya?"
Ceng Ceng tidak mau menjawab, ia hanya jalan, mendaki gunung,
Selama hari itu, dua orang ini cuma bisa jalan kira lima puluh lie, jalanan terus menanjak
Mereka berhenti di tengah gunung, Untuk dapat beristirahat supaya si nona tidak berdaya
dan tidak dapat kabur, kecuali kedua tangannya ditelikung terus, Ho Ang Yo juga belenggu
kedua kakinya, Untuk itu ia telah sediakan tali kulit
Besoknya pagi, baru terang tanah, orang sudah berjalan pula, Makin tinggi, jalanan makin
sukar hingga dari bertindak saja, orang perlu bantuan kedua tangan, untuk pegangan Ho
Ang Yo sudah kehilangan tangan kirinya, tidak dapat ia bantu tarik Ceng Ceng sebab
tangan kanannya dipakai jambret batu atau oyot, maka itu, terpaksa ia buka ikatan tangan
si nona. ia suruh si nona jalan di depan ia sendiri di belakang, untuk sambil mengawasi.
Ceng Ceng belum pernah sampai di gunung Hoa San, maka itu si uwa yang berbalik mesti
menunjuki ia jalanan.
Malam itu mereka tidur di cabang pohon di tepi jurang tapi Ceng Ceng tak dapat tidur
dengan tenang, ia berpikir banyak, terutama pikiri nasibnya di tangan orang jahat ini.
Saban-saban ia juga dengar pekik orang hutan,
Besoknya perjalanan dilanjuti, Adalah di hari ketiga baru sampailah mereka di puncak Hoa
San, gunung kesohor di arah Barat,
Dari Sin Cie, Ceng Ceng pernah dengar penuturan perihal keadaan di tempat dimana
ayahnya dikubur, sekarang ia perhatikan daerah gunung di sekitarnya ia merasa tepat
sekali lukisannya si anak muda, Maka itu mulailah hatinya goncang, hingga sendirinya, ia
jadi ber-duka, tidak dapat ia cegah mengalir keluar air matanya,
"Dimana dia sembunyi?" tanya Ho Ang Yo dengan bengis, ia tidak perdulikan orang
sedang berduka sangat
"Disana," Ceng Ceng menunjuk kepada jurang, "Di sana ada sebuah gua, ayah di
dalamnya...."
"Baik! Mari kita pergi bersama!" si uwa mengajak
Ceng Ceng bergidik waktu ia tampak wajah uwa itu. Roman dia ini nampaknya jadi lebih
bengis dan menakuti,
Mereka mesti jalan mutar untuk sampai di jurang,
Mereka baru jalan beberapa puluh tindak ketika keduanya dengar suara tertawa yang
datangnya dari arah suatu tikungan,
Ho Ang Yo tarik tangannya Ceng Ceng untuk diajak mendekam di antara rumput yang
tinggi dan lebat, di sini lima jari tangannya yang berkuku lihay ditaruh dekat lehernya si
nona, "Jangan bersuara!" ia mengancam
Tentu saja Ceng Ceng takut, sebab satu kali ia bersuara, tenggorokannya bakal kena
tercengkeram sebelum ia sempat berdaya,
Segera kelihatan dua orang mendatangi Yang satu ada imam tua, yang lain ada seorang
tani dari usia pertengahan.
Ceng Ceng segera kenali Kwie eng cu. Bhok Siang Tojin serta Tong-pit Thie shuipoa Oey
Cin, masing-masing guru dan saudara seperguruan yang tertua dari Sin Cie, ia tahu
mereka itu lihay tapi ia tidak berani menjerit untuk minta tolong, ia jeri untuk lima kuku
beracun dari Ho Ang Yo.
"Suhu bakal sampai lagi beberapa hari!" terdengar suara Oey Cin yang berbicara sambil
tertawa, "Juga suteenya yang kecil bakal datang dalam lagi beberapa hari ini, maka itu waktu,
lotiang tidak usah khawatir nanti tidak ada lawanmu main catur."
Bhok Siang tertawa dengan nyaring,
"Jikalau bukannya karena ingin main catur, untuk apa aku datang kemari justru kamu
kaum Hoa San Pay hendak berapat?" kata imam itu. "Apa untuk bantu meramaikan saja"
Tidak!" Mereka bicara sambil jalan terus, hingga mereka tinggalkan Ceng Ceng dan Ho Ang Yo.
Uwa itu tidak berani berkutik ia insyaf lihaynya kaum Hoa San Pay, tidak mau ia nanti
kepergok! Sesudah orang lewat jauh baru ia muncul pula, Untuk pergi ke gua, ia keluarkan
dadungnya yang ujungnya ia ikat kepada sebuah pohon besar
"Mari kita turun!" Dia ajak Ceng Ceng. Tubuh si nona bersama tubuhnya sendiri ia ikat
bersama untuk bisa turun ke gua.
"Di sini!" kata Ceng Ceng, setelah ia lihat lubang gua.
Hatinya Ho Ang Yo goncang keras, Setelah dua-puluh tahun memikiri saja, tak sedetik
juga ia me1upa-kannya, maka sekarang ia dapat cari tempat sembunyinya orang yang ia
cintai, yang kemudian ia anggap sudah sia-siakan padanya, Segera ia bakal bertemu sama
orang yang dibuat pikiran itu. ia berpikir keras, Apa ia mesti siksa lelaki itu, untuk
kemudian baru bikin dia binasa" Atau apa baik ia memberi ampun"
Kecuali berdebar hatinya, Ho Ang Yo pun bergemetar, tangannya dirasakan dingin.
Dengan tangan kanan, ia mulai singkirkan batu-batu di mulut gua, setelah itu, ia suruh
Ceng Ceng merayap di depan.
Tadinya mulut gua sempit setelah Sin Cie babati dengan pedang mustika, jalanan itu jadi
cukup lebar, leluasa untuk orang keluar masuk.
Ho Ang Yo mengikuti dengan hati-hati ia siap sedia kalau-kalau Kim Coa Long kun nanti
terjaga ia secara diam-diam, Masih ia khawatirkan Jago Ular Emas itu.
Ceng Ceng memasuki gua dengan air matanya berlinang-linang, kemudian ia menangis
sesenggukan Ketika mereka sampai di bagian yang gelap, Ho Ang Yo nyalakan api. Sebagai sumbu atau
obor, ia sulut ujung dadungnya, ia suruh si nona pegangi itu untuk maju lebih jauh,
Ceng Ceng berkhawatir.
"Kalau dadung itu terbakar habis, cara bagaimana kita bisa keluar dari sini?" demikian
pikirnya, "Tidak heran kalau aku tidak kembali sebab di sini telah knmpul ayah dan ibuku, Tapi dia
ini, apa dia juga tidak mau keluar pula?"
Nona ini tidak tahu, Ho Ang Yo juga sudah nekat, tidak mau ia keluar pula dengan masih
hidup dari gua itu.
jalan lagi sedikit jauh uwa ini mulai bercuriga, ia lihat tempat bukan seperti ditempati
manusia, Mendadak ia jambak pundak si nona,
"Hai, kau hendak main gila sama nyonyamu?" tegur-nya. "Awas, aku nanti bikin kau
mampus secara kecewa!"
Ceng Ceng cuma bisa berserah.
Jalan lagi sedikit, tiba-tiba ada angin dingin menyambar Lalu di depan mereka berdiri
sebuah kamar ba1u.
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ho Ang Yo angkat obor untuk awasi di sekitarnya, pada empat penjuru tembok ia tampak
gambar-gambar peta dari ilmu silat ia pun segera dapat baca pemberian tahu yang Sin Cie
pernah ketemukan, yaitu:
"Mustika berharga, ilmu rahasia, diberikan kepada yang berjodoh, Siapa yang masuk
dalam pintuku, menemui bencana jangan penasaran"
Ho Ang Yo kenali hurufi Tulisan Kim Coa Long kun. Melihat surat itu lenyap
kesangsiannya. Tapi hatinya terus memukul pu!a, suratnya ada, orangnya belum nampak.
"Saat Gie, kau keluar," ia memanggil
Suara itu nyaring halus, kamar ada kecil, maka terdengarnya nyata sekali, Akan tetapi,
jawabannya tidak ada. Maka Ho Ang Yo lantas berdiam akan tenangkan diri,
Kamar batu itu kosong dari manusia,
"Dimana dia?" tiba-tiba ia bentak Ceng Ceng, sesudah sia-sia saja ia memanggil lagi
beberapa kali. "Di sini!" sahut si nona sambil menangis, dengan tangannya menunjuk ke tanah,
Dengan tiba-tiba saja Ho Ang Yo merasa matanya gelap, kepalanya pusing, hingga ia
sambar lengan si nona, untuk ia pegangan, kalau tidak, ia bisa rubuh terguling,
"Apa?" tanyanya kemudian dengan suara serak,
"Ayah dikubur di sini," sahut Ceng Ceng, yang menangis terus,
Ho Ang Yo menjerit dengan tertahan, "Qh... oh, kiranya dia sudah mati...."
Tak kuat lagi dia menahan tubuhnya, ia rubuh men-delepok di atas batu di mana Kim Coa
Long kun biasa berduduk,
Sekejap saja, hilang penasarannya sejak puluhan tahun, sekarang teringatlah ia akan
cintanya kepada orang yang dicintainya itu.
"Nah, pergilah kau, aku beri ampun padamu..." akhirnya ia kata pada Ceng Ceng, suaranya
lemah, Melihat orang demikian berduka, tanpa merasa, Ceng Ceng jadi berbalik merasa kasihan,
ia ingat biar bagaimana, ayahnya toh telah sia-siakan uwa ini yang tadinya ada satu nona
cantik dan mencinta keras, Memang ada sebab kenapa ayahnya belum ingin ketemui
kekasih ini, sampai mereka jadi terpisah untuk se1ama-lamanya.
Karena rasa kasihannya ini, dengan tidak merasa Ceng Ceng peluk uwa itu, yang ia
tadinya takuti bagaikan melihat iblis, ia menangis dengan keras.
"Pergi kau, lekasan," kata pula Ho Ang Yo. "Kalau sebentar dadung telah terbakar habis,
kau tidak bakalan bisa keluar 1agi...."
"Kau sendiri?" tanya si nona.
"Aku hendak berdiam di sim" untuk temani ayahmu." 1 "Aku juga tidak mau keluar lagi,"
kata Ceng Ceng,
Ho Ang Yo sudah terbenam dalam kedukaan, ia tidak perdulikan lagi nona itu.
Ceng Ceng menangis terus,
Tiba-tiba saja Ho Ang Yo berbangkit untuk dengan tangannya lantas mengkeruki tanah
untuk digali ia bekerja bagaikan kalap,
"Kau hendak bikin apa?" tanya Ceng Ceng kaget,
"Aku telah pikir dia untuk dua puluh tahun," sahut si uwa dengan sedih, "Selama itu, tidak
pernah aku ketemui orangnya, maka melihat saja tulang-tulangnya pun boleh juga...."
Ceng Ceng kaget dan berkhawatir. ia tampak orang punya roman dan sikap yang berubah,
Ho Ang Yo terus menggali, tangannya bekerja seperti pacul saja, setelah berselang lama
juga, muncullah tulang-tulang manusia,
itulah tulangnya Kim Coa Long kun, yang Sin Cie kubur dengan baik. Sesudah sekian lama
semua tulang itu masih tinggal utuh,
Ceng Ceng menangis, ia tubruk tulang-tulang ayahnya itu,
Ho Ang Yo masih menggali, sampai ia dapat angkat sebuah tengkorak, ia rangkul itu, ia
menangis ia ciumi
"Hee-long, Hee-long, aku datang melongok pada-mu..." katanya dengan sedih, ia
memanggil suami kepada tengkorak itu, ia menangis lalu ia nyanyi dengan perlahan
sekali.,.,"
Ceng Ceng dengar itu nyanyian, sepatah kata juga ia tidak mengerti
Habis menyanyi, Ho Ang Yo ciumi tengkorak itu dengan bernafsu ia jadi seperti kalap,
baru ia berhenti ketika ia menjerit dengan tiba-tiba. Sebab ada apa yang tajam yang
menusuk mukanya hingga ia merasa sakit dan kaget, Lantas ia bawa tengkorak itu ke
depan api untuk diawasi dengan seksama,
(Bersambung ke Bab 25)
Nyata di mulutnya tengkorak, terjepit di antara gigi, terdapat sepotong tusuk konde, yang
pendek sekali, yang tidak nampak apabila tidak diperhatikan
Ho Ang Yo cabut tusuk konde itu dengan tangannya, dia tidak berhasil Jeriji-jeriji
tangannya tidak dapat menjemput dengan seksama.
Rupanya Kim Coa Long kun gigit tusuk konde di waktu hidupnya sampai ia mati maka
perhiasan rambut itu jadi terjepit keras, itu adalah sebuah tusuk konde emas,
Ho Ang Yo penasaran, ia mencoba lagi sekali. Kali ini gigi-gigi tengkorak pada copot,
maka tusuk konde itu jatuh sendirinya, Lantas ia pungut untuk disusuti debu-nya.
"Sekonyong-konyong saja uwa ini terperanjat hingga wajahnya turut berubah, ia menjerit
ketika ia tanya, "Apakah ibumu bernama Gie?" tanyanya.
"Huruf "Gie" dari ibunya Ceng Ceng beda dari huruf "Gie" dari "Saat Gie" namanya ayah si
nona, Ceng Ceng manggut dengan perlahan
Ho Ang Yo berduka berbareng panas hatinya, hingga ia kertak gigi,
"Baik, baik!" katanya dengan sengit "Meskipun disaat kematianmu kau masih ingat saja si
perempuan hina dina! Sampai kau gigit tusuk kondenya!"
Mengawasi dua huruf "Oen Gie" yang terukir di gagang tusuk konde, sinar matanya uwa
ini bagaikan api hendak menyambar, dalam sengitnya, ia masuki tusuk konde itu ke dalam
mulutnya, terus ia gigit dan ganyam hingga mulutnya itu mengeluarkan darah.
Ceng Ceng lihat kelakuan itu, ia percaya, pikiran sehat dari Ho Ang Yo sudah menjadi
kabur ia pun insyaf, saat yang paling berbahaya bakal sampai, maka lantas saja ia
keluarkan guci kecil yang memuat abu ibunya, ia buka tutup guci, akan tabur isinya ke
dalam lubang, supaya bercampuran sama tulang-tulang rerongkong ayahnya,
Ho Ang Yo bengong mengawasi kelakuan si nona ini.
"He, kau lagi bikin apa?" tegurnya kemudian.
Ceng Ceng tidak berikan jawaban hanya setelah menuang habis, ia keruki tanah untuk
dipakai menutupi lubang kubur itu, di dalam hatinya, ia memuji. "Ayah dan ibu, harap
kctahui, anakmu sudah kubur ayah dan ibu bersama-sama...."
Ho Ang Yo sambar guci kosong, ia pandang sebentar, segera ia sadar.
"Ha! ini jadinya abu ibumu!" serunya,
Ceng Ceng manggut dengan perlahan
Cepat luar biasa tangannya si uwa menyambar, Ceng Ceng lihat itu, ia berkelit, tidak urung
pundaknya terkena juga, hingga ia terpelanting hampir ia rubuh.
Ho Ang Yo lantas menjerit-jerit, "Aku larang kau kubur mereka bersama-sama.
ia jadi seperti kalap, dia garuki lagi tanah untuk dibongkar pula,
Akan tetapi abu sudah bercampuran sama tulang-tulang dan tanah tidak dapat di angkat
untuk dipisahkan lagi, Tapi dalam sengitnya, uwa ini tarik keluar semua tu!ang,
"Aku nanti bakar kamu menjadi abu!" teriaknya, "Aku nanti sebar abumu di kaki gunung
Hoa San ini supaya terbang berhamburan ke empat penjuru, buyar ke segala jurusan,
hingga kau tidak dapat berkumpul sama si kacung hina dina!"
Ceng Ceng menjadi gusar berbareng sibuk, ia tubruk si uwa untuk mencegah, ia
menyerang, akan tetapi ia kalah kosen, baru beberapa jurus saja ia telah kena dirubuhkan,
Untung untuknya, uwa ini tidak serang ia dengan kuku-kukunya yang lihay,
Ho Ang Yo buka baju luarnya, untuk pakai itu sebagai umpan api setelah tulang ditumpuk
di atas bajunya itu, ia mulai sulut itu. Kemudian ia kipasi api menjadi berkobar
Dilain saat tulang-tulang telah mulai terbakar nyala, hingga asap lantas mengu!ak di dalam
kamar baru itu.
Memandang tulang-tulang terbakar Ho Ang Yo tertawa berkakakkan, tandanya ia sangat
puas, Tiba-tiba saja ia melengak tatkala merasakan bau asap yang luar biasa, segera ia
berteriak "Hee-Iong, oh, bagaimana kau kejam!"
Ceng Ceng juga lantas merasakan bau asap yang luar biasa itu, selagi ia merasa heran, ia
pun segera merasakan kepalanya pusing, matanya kabur, hingga ia jadi kaget Tapi ia
masih bisa lihat si uwa bengis menghadapi api unggun yang luar biasa itu berulang-ulang
dia menyedot dan mengeluarkan napas, akan akhirnya dia berseru beru1ang-u!ang.
"Baik, baik! Memangnya ingin aku mati bersama-sama kau."
Mendadak saja ia angkat kepala, akan berpaling kepada Ceng Ceng.
Nona ini menjerit sekuat-kuatnya kapan ia tampak wajah bengis orang yang menakutkan,
ia balik tubuhnya, akan lari ke arah mulut gua, akan tetapi baru ia lari beberapa tombak,
tak tahan ia dengan rasa pusingnya, begitu kakinya dirasakan lemas, ia terus saja rubuh,
Sin Cie sementara itu kaburkan kudanya bersama-sama kawannya, ia bisa menduga dua
binatang berbisa dari Ho Ang Yo di rumah makan adalah si uwa sedang memanggil
kumpul-kumpul anggota-anggota Ngo Tok Kauw untuk ikuti jejaknya, ia mengerti ancaman
apa menghadapi Ceng Ceng. Tidak perduli di tangan siapa kaum Cio Liang Pay atau Ngo
Tok Kauw Ceng Ceng mesti bercelaka juga, Maka itu, ia gelisah bukan main.
Di sepanjang jalan sambil tanya sana sini, Sin Cie dengar hal hal kebinasaannya tiga di
antara empat jago Cio Liang Pay ia dapat menduga kepada mereka itu, karena di situ tidak
ada lain orang yang berombongan sebagai tertua-tua dari Cio liang Pang itu, ia jadi sangat
berkhawatir, hingga ia jadi tidak nafsudahar, tidak tenang tidur Apa yang juga rada
melegakan hatinya adalah jurusan yang diambil oleh orang-orang Cio Liang Pay itu ada
jurusan Hoa San. Dengan begitu, tidak usahlah ia menjadi nyasar diwaktu mengikuti jejak
mereka itu, dan tidak usah ia gagal menghadapi rapat kaumnya, Begitulah mereka telah
mendekati kaki gunung,
Ang Seng Hay bermata jeli, selagi singgah sebentar di paseban, ia tampak gundukan
tanah yang mencurigai, lantas saja ia bongkar gundukan tanah itu, hingga untuk
kegirangannya, ia dapati mayatnya Oen Beng Tat.
"Dengan matinya dia ini, pasti Ceng Ceng telah jatuh ke dalam tangan Ngo Tok Kauw," Sin
Cie beri kepastian, "Mari kita lekas susul ke atas gunung!"
An Toa Nio menghiburi, dia kata, "Sekarang ini saat rapatnya Hoa San Pay, umpama kata
Bok Locianpwe sendiri masih belum datang tetapi Oey Cin Suheng atau salah satu di
antaranya tentu sudah sampai lebih dahulu, Maka itu apabila kaum Ngo Tok Kauw naik ke
gunung, pihakmu pasti akan beri pertolongannya kepada Nona Hee itu."
"Jikalau Ngo Tok Kauw berani mendaki Hoa San, pasti mereka sudah siap sedia dari
siang-siang!" Sin Cie bilang, "Maka itu kita mesti jaga supaya jangan ada orang kita yang
rubuh di tangan orang-orangnya berbisa itu...." inilah kekhawatiran yang bertambahtambah
dari si anak muda,
"Kalau Couwsu juga telah datang apa yang kita mesti jerikan?" kata Cui Hie Bin. "Mari
lekas kita mendaki gunung!"
Oleh karena kuda tak dapat mendaki gunung, semua kuda lantas dititipkan pada seorang
desa, dengan jalan kaki dengan berlari-lari, orang mulai mendaki gunung,
Selagi mendaki puncak, Sin Cie dengar suara-suara mengaung di udara, tanda dari
senjata-senjata rahasia, segera ia jadi girang seka1i.
"ltulah Bhok Siang Tojin di atas! Dia lagi memanggil kita!" katanya dengan kegirangan ia
keluarkan tiga biji caturnya ia pun menimpuk ke udara sampai sekejap saja, tiga biji
senjata rahasia itu lenyap sendirinya, akan lagi sebentar tiga-tiganya tampak pula sedang
turun ke arah mereka.
"Sungguh hebat, siauw susiok!" Hie Bin memuji, Sin Cie niat tanggapi ketiga biji caturnya,
ketika tahu-tahu muncul beberapa senjata rahasia lain dari arah samping, yang menimpa
ketiga biji catur itu hingga tiga-tiganya jstuh.
Me nyusul itu muncullah satu orang dengan sebelah tangannya mencekal shuipoa, alat
penghitung, yang digoyang pergi datang, sembari dia itu tertawa gembira,
"Suhu," seru Hie Bin, apabila ia tampak orang itu. "Suhu sudah datang lebih dahulu."
Orang itu memang Tong-pit Thie shuiphoa Oey Cin.
Lantas Hie Bin lari kepada gurunya itu, tanpa perdulikan tempat itu tempat apa, ia jatuhkan
diri untuk berlutut, untuk paykui tiga kali, maka waktu ia sudah berbangkit kelihatan
jidatnya benjut! Sebab ia manggut-manggut sampai membentur batu gunung,...
Melihat kelakuan tunangannya itu Siauw Hui mendongkol berbareng merasa kasihan ia
mendongkol melihat ketololan orang tapi berkasihan dan terharu melihat kejujurannya,
Ketika Hie Bin kembali padanya ia lantas sesali, Tapi Hie Bin tidak memperdulikannya dia
hanya tertawa saja.
Sin Cie hampirkan suheng itu, untuk beri hormat akan tanyakan ini dan itu sejak mereka
berpisah, sebagaimana sang suheng juga menanyakan dia. Kemudian, selagi ia hendak
tanya suheng itu kalau-kalau dia lihat Ceng Ceng atau orang Ngo Tok Kauw, sekonyongkonyong
Tay Wie dan Siauw Koay berpekik beru1ang-ulang, terus saja keduanya lari ke
arah jurang, "Celaka, mereka minggat!" teriak Hie Bin. ia mau mengejar untuk melawan
"lni ada tempat asal mereka mau pergi biarkan saja," Sin Cie bilang,
Meski ia mengucap demikian pemuda ini heran juga sebab melihat dua binatang piaraan
itu pergi tanpa sikap ragu-ragu, hingga ia mengawasi saja sampai keduanya pergi jauh,
Selagi Sin Cie mengawasi, tiba-tiba ia lihat asap mengepul dari arah guanya Kim Coa
Long-kun, ia menjadi kaget Adalah ke sana Tay Wie dan Siauw Koay lari, lalu di sana
kedua binatang itu goyang pulang pergi tangannya seperti menunjuk ke tempat asap,
^seperti memanggil mereka,
Siauw Hui juga lihat sikapnya kedua binatang itu,
Toako dua binatang itu bukannya buron," katanya. "Lihat mereka lagi memanggil-manggil
kau!" "Benar!" jawab Sin Cie, yang terus menerjang A Pa, untuk memberi tanda dengan tangan
nya. Melihat demikian, A Pa segera lari ke gua mereka sendiri, untuk ambil dadung dan obor,
lantas dengan diikuti kawan-kawannya ia lari ke arah jurang,
"Nanti aku yang masuki gua itu!" kata Sin Cie yang bilang, cuma ia sendiri ketahui baik
keadaannya gua itu. ia terus robek ujung bajunya, guna dipakai menyumpal hidungnya
Dcngan sebelah tangan memegang obor, pemuda ini turun di dadung, yang sudah
dipasang A Pa. Tay Wie dan Siauw Koay masih berpekik saja, kaki dan tangannya tidak berhentinya
digerak-geraki, nampaknya mereka sangat gelisah,
sebentar saja, Sin Cie sudah sampai di dalam gua, Segera ia diserang asap, hingga ia
merasakan sukar bernapas. Untung baginya, hidungnya telah disumpal siang-siang, ia
maju terus sambil berlari di jalan gua itu, sampai ia tampak satu tubuh manusia rebah di
tengah terowongan, ia kaget kapan ia telah lantas kenali Ceng Ceng. ia segera
Suling Emas Dan Naga Siluman 5 Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long Kisah Pedang Bersatu Padu 12