Pencarian

Pendekar Bodoh 7

Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Bagian 7


"Lin Lin, ada apakah kau mengejarku" Bukankah kau sudah mendengar sendiri kata-kata Ayahmu tadi?"
Hwesio itu meninggalkan mereka karena ia maklum bahwa gadis ini benar-benar mempunyai hubungan dengan orang di dalam kamar.
"Hai-ko, jangan kausamakan Ayah dengan aku!" kata Lin Lin dengan suara memohon.
"Sudahlah Lin-moi, kaupulanglah karena Ayahmu tentu akan marah sekali kalau tahu kau menyusul ke sini. Pulanglah dan biarkan aku orang rendah ini merana seorang diri. Lupakan aku, aku tidak berharga di hadapan keluarga Kwee yang terhormat. Ingat, aku seorang keturunan pemberontak hina!"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
182 "Engko Hai...!" Lin Lin menangis sedih dan dengan nekat ia lalu mendorong daun pintu kamar Cin Hai. Ia melihat betapa pemuda itu dengan muka pucat rebah di pembaringan bambu dan keadaannya menyedihkan sekali karena pipi pemuda itu basah oleh air mata!
"Engko Hai...!" Lin Lin menubruk dan gadis ini menangis tersedu-sedu sambil mendekap kaki Cin Hai yang tertutup selimut.
Melihat keadaan gadis kekasihnya yang benar-benar menyatakan cinta hati yang tulus kepadanya ini, hati Cin Hai melunak.
"Lin-moi... Lin-moi... jangan kau bersedih, Adikku yang manis..." katanya dengan penuh kasih sayang.
Lin Lin menyusut kering air matanya dan di antara air mata yang membasahi bulu mata yang panjang dan bagus ia tersenyum. Hatinya girang lagi mendengar suara Cin Hai yang penuh kasih sayang itu.
"Kalau kau tidak ingin aku menangis, janganlah kau membenciku dan jangan kau pergi meninggalkan aku, Engko Hai."
Cin Hai merasa terharu sekali. "Adikku, percayalah, selama hayat dikandung badan, aku takkan sanggup membenci kau. Aku akan tetap mencintaimu, mencinta dengan sepenuh hati dan nyawa."
Lin Lin memandang dengan sayu. "Hai-ko... kaumaafkanlah kata-kata Ayahku. Dia memang kejam... ah, akan kukatakan terus terang kepadanya. Aku tidak sudi dijodohkan dengan orang lain, lebih baik aku mati atau... atau... aku akan minggat dan pergi bersama kau, Engko Hai."
Cin Hai tersenyum sedih. "Jangan begitu, Lin Lin. Tak baik seorang gadis gagah dan berbudi seperti engkau melarikan diri."
"Habis, bagaimanakah baiknya, Haiko" Ayah begitu keras hati dan kukuh."
"Puterinya begini keras hati dan kukuh, mengapa ayahnya tidak?" Cin Hai menggoda. "Kita harus bersabar. Aku tahu bahwa ayahmu bukan seorang jahat, maka biarlah kita menunggu sampai ia berubah pendirian dan tidak begitu membenciku."
"Ayah tidak membencimu, tetapi agaknya membenci Ayahmu."
Cin Hai menghela napas. "Itulah! Aku ingin sekali mengetahui riwayat Ayahku. Sekarang kau pulanglah agar kemarahan Ayahmu mereda. Percayalah, Lin Lin, aku takkan
melupakanmu dan pada suatu hari baik, pasti aku akan datang kembali"
Lin Lin mengangkat mukanya. "Kau akan pergi ke mana, Hai-ko?"
"Aku hendak pergi ke kampung kelahiranku dan hendak mencari keterangan tentang orang tuaku."
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
183 "Tetapi... kau pasti akan kembali kepadaku, bukan?"
"Tentu saja, Lin-moi, kaukira aku akan merasa senang berjauhan dengan engkau?"
Lin Lin kembali memeluk lutut Cin Hai yang masih rebah di pembaringan. "Hai-ko, kalau kau tidak kembali, aku akan betul-betul minggat dari rumah dan akan mencarimu sampai dapat!"
Akhirnya Lin Lin meninggalkan tempat itu setelah berkali-kali Cin Hai diharuskan berjanji bahwa pemuda itu betul-betul akan kembali. Akan tetapi belum lama gadis itu pergi, tiba-tiba ia kembali lagi dengan wajah pucat sekali. Dengan terengah-engah ia berkata setelah mendorong pintu kamar Cin Hai. "Celaka, Hai-ko, celaka...!" Gadis itu tak dapat melanjutkan kata-katanya akan tetapi lalu menangis dengan sedih.
Cin Hai meloncat dari tempat tidurnya dan cepat memegang kedua pundak Lin Lin. "Lin-moi, tenanglah. Ada apakah yang terjadi?"
Lama sekali Lin Lin menangis sedih, baru dia bisa berkata,
"Celaka, Hai-ko! Rumah telah kedatangan musuh, perwira-perwira jahanam itu datang dan mencelakakan serumah tanggaku! Semua terluka dan... dan Ayah..."
Tanpa banyak cakap lagi Cin Hai lalu menarik tangan Lin Lin dan diajak keluar dari kuil itu.
Ia menggunakan kepandaiannya berlari cepat sambil menarik tangan Lin Lin hingga gadis ini seakan-akan terbang. Mereka menuju ke rumah keluarga Kwee dan dari jauh mereka telah mendengar suara tangis sedih.
Ketika Lin Lin datang bersama Cin Hai, Kwee Tiong dengan pedang di tangan lalu
menyerang Lin Lin dengan hebat. Akan tetapi, sekali layangkan kakinya, Lin Lin telah berhasil menendang pergelangan tangan Kwee Tiong dan pedang itu mencelat jauh.
"Perempuan rendah! Sundal tak tahu malu!" teriak Kwee Tiong dengan mata beringas.
"Engkau main gila di luar, tak tahu di rumah ditimpa malapetaka! Aku akan mencekik lehermu dengan tanganku sendiri!" Pemuda yang sudah kalap ini lalu menubruk maju, akan tetapi Cin Hai lalu mengulurkan jari tangan menotoknya hingga ia roboh dengan lemas, tak dapat berkutik maupun berteriak lagi.
"Lebih baik begini, agar dia jangan membuat gaduh lagi," kata Cin Hai dan bersama Lin Lin ia lalu lari memasuki rumah.
Pemandangan yang nampak di dalam rumah itu membuat kedua kaki Cin Hai terasa lemas dan memeluk tubuh Kwee In Liang yang rebah di lantai mandi darah! Di sudut masih nampak banyak orang lain rebah mandi darah, di antaranya Loan Nio, Kwee Sin, Kwee Bun, Kwee Siang, dan Kwee An!
Cin Hai cepat melakukan pemeriksaan, Kwee In Liang menderita luka parah di dadanya karena bacokan pedang dan jiwanya sukar ditolong lagi. Loan Nio ternyata telah tewas karena bacokan yang tepat mengenai lehernya. Juga Kwee Sin, Kwee Bun dan Kwee Siang telah Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
184 tewas. Hanya Kwee An yang masih bisa diharapkan karena biarpun ia menderita luka parah di pundak, akan tetapi tubuh pemuda ini jauh lebih kuat daripada saudara-saudaranya. Sungguh peristiwa yang mengerikan sekali. Cin Hai tak tahan dan ikut mengucurkan air mata. Ia mengangkat jenazah-jenazah itu dengan baik-baik dan memanggil para pelayan untuk membantu. Kemudian ia lalu menolong Kwee An dan Kwee In Liang. Setelah menotok jalan darah dan mengurut pundak Kwee An, pemuda ini siuman, akan tetapi sangat lemah hingga setelah terbelalak memandang dengan liar untuk mencari-cari musuh-musuhnya, ia lalu rebah lagi dengan lemas dan meramkan mata.
Kwee An lalu dirawat oleh seorang pelayan yang memberi obat dan membalut luka pemuda itu, sedangkan Lin Lin dan Cin Hai menolong Kwee In Liang. Setelah diurut pundaknya oleh Cin Hai, orang tua ini membuka kedua matanya. Untuk beberapa lama kedua matanya
memandang sayu seakan-akan tidak dapat mengenal keadaan di sekelilingnya, akan tetapi lambat laun pemandangan matanya makin terang hingga ia dapat mengenal Cin Hai dan Lin Lin. Ia menggerak-gerakkan kedua tangan dan menyuruh kedua anak muda itu mendekat, lalu ia menggerak-gerakkan bibirnya.
Lin Lin dan Cin Hai mendekatkan kepala mereka untuk dapat menangkap kata-kata orang tua ini.
"Lin Lin kaujaga baik-baik dirimu... aku tidak kuat lagi... Cin Hai, kau... kau... balaskan sakit hati ini... jangan kaukawini Lin Lin sebelum kaubalaskan sakit hati ini"
Cin Hai dan Lin Lin mengangguk-angguk dan Lin Lin menangis terisak-isak. "Cin Hai... kau berjanjilah?" suara orang tua itu makin lemah.
"Aku berjanji Ie-thio!" kata Cin Hai dengan sungguh-sungguh, karena ia merasa bahwa sudah menjadi kewajibannya untuk membalas sakit hati bibinya yang terbunuh secara kejam.
"Aku aku puas... balaskanlah sakit hati ini, basmi anjing-anjing itu... kalau sudah berhasil kau betul-betul mantuku yang baik?" setelah berkata demikian, orang tua ini menghembuskan napas terakhir. Lin Lin menubruk jenazah ayahnya dan jatuh pingsan! Setelah sadar, ia menangis dengan sedih sekali dan menjambak-jambak rambutnya sendiri karena merasa menyesal mengapa kejadian itu terjadi di luar tahunya!
"Sudahlah, Lin-moi, engkau bahkan harus bersukur bahwa engkau tidak berada di rumah.
Karena kalau berada di rumah, tentu engkau pun akan menjadi korban. Kwee An yang begitu lihai pun dapat dirobohkan. Kalau engkau dan semua menjadi korban, siapakah yang akan dapat membalas dendam?"
Karena hiburan-hiburan Cin Hai, Lin Lin dapat menenteramkan hatinya. Kwee Tiong lalu dibebaskan totokannya dan dengan kata-kata tajam Cin Hai berhasil mengusir kemurkaan yang menggelora di dada pemuda itu. Kemudian Kwee Tiong menuturkan peristiwa yang hebat itu.
Ketika Cin Hai dan Lin Lin sedang berkejar-kejaran, datanglah serombongan perwira Sayap Garuda menuju ke rumah keluarga Kwee. Mereka ini adalah lima orang perwira yang dulu mengganggu pesta keluarga Kwee. Kini mereka datang bersama tiga orang tua, yakni dua orang perwira Sayap Garuda lain yang menjadi anggauta daripada Santung Ngo-hiap, yakni Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
185 orang pertama dan ke dua, sedangkan yang ke tiga adalah seorang hwesio gundul yang bukan lain adalah Hai Kong Hosiang adanya!
KEDATANGAN mereka ini sebenarnya hendak mencari Cin Hai untuk menebus kekalahan
mereka yang lalu, akan tetapi karena Cin Hai tidak berada di situ, mereka lalu mengamuk membabi buta dan membunuh semua keluarga Kwee! Tentu saja Kwee In Liang dan putera-puteranya melawan dengan nekad, terutama Kwee An dengan gagah berani menahan serbuan mereka. Dengan pertempuran hebat ini, Kwee An dapat melukai beberapa orang perwira, akan tetapi lawan itu terlampau banyak dan terlampau tangguh terutama Hai Kong Hosiang, hingga akhirnya semua kena dirobohkan! Hanya pelayan-pelayan saja yang tidak dibunuh, sedangkan Loan Nio sendiri pun dengan nekad menyerbu hingga dirobohkan dengan bacokan pedang, Kwee Tiong yang bersifat pengecut dan licin, melihat kehebatan rombongan itu, cepat melarikan diri dan bersembunyi hingga ia terhindar daripada kebinasaan!
Mendengat penuturan Kwee Tiong yang tiada hentinya mencela dan mempersalahkan Cin Hai dan Lin Lin, gadis itu kembali menangis tersedu-sedu,
"Sudahlah, Saudara Kwee Tiong, jangan kau mempersalahkan adikmu lebih jauh. Ketahuilah sebenarnya aku pergi memang dengan sengaja dan tidak ada maksudku untuk kembali lagi.
Sedangkan Adik Lin Lin menyusulku dengan maksud membujuk supaya aku kembali lagi, jangan kau menyangka yang tidak-tidak. Sekarang lebih baik kita urus pemakaman jenazah-jenazah ini dan nanti kalau Kwee An sudah sadar, kita bisa mendengar penjelasan-penjelasan dari padanya.
Karena ia hanya mengandalkan tenaga Cin Hai untuk membalas dendam akhirnya Kwee
Tiong tidak mengomel lagi dan membantu merawat jenazah-jenazah itu dengan sedih.
Setelah sadar dari pingsan dan agak kuat bercakap-cakap, Kwee An dengan air mata berlinang dan gigi dikertak karena sakit hati, berkata kepada Cin Hai. "Aku bersumpah untuk membalas dendam ini! Mereka itu adalah kelima perwira yang dulu mengacau di sini ditambah tiga orang lagi, yakni orang pertama dan ke dua dari Santung Ngo-hiap, dan yang ke tiga adalah Hai Kong Hosiangl!"
"Hm, aku pernah bertemu dengan hwesio itu!" kata Cin Hai. "Kautenangkanlah hatimu, Saudaraku. Besok aku berangkat dan demi kehormatanku, aku akan berusaha untuk
membasmi delapan orang bangsat kejam itu!"
"Jangan Cin Hai! Kau jangan berangkat besok, tidak boleh!" Tiba-tiba Kwee An berkata penuh semangat.
"Kenapa?"
"Kaukira aku akan enak saja tinggal diam sedangkan orang lain hendak mengadu jiwa untuk membalas dendam ini" Tidak, dendam ini harus kubalas sendiri!"
Cin Hai tersenyum maklum. "Baiklah, aku akan menanti sampai sembuh dan kita akan pergi bersama!" Setelah mendapat jawaban ini barulah Kwee An merasa lega dan ia lalu jatuh pulas.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
186 Dengan telaten Cin Hai dan Lin Lin menjaga dan melayani Kwee An dan Lin Lin bahkan minta bantuan gurunya untuk mengobati kakaknya ini. Biauw Suthai ikut merasa berduka dan gemas serta berjanji akan membantu usaha pembalasan sakit hati itu.
Dua pekan kemudian, berkat pengobatan Biauw Suthai dan perawatan yang sangat telaten dari Lin Lin dan Cin Hai, Kwee An sembuh kembali dari pada lukanya yang dideritanya.
Setelah melihat bahwa Kwee An sembuh dan kuat kembali, barulah Cin Hai mengajak
pemuda itu berangkat untuk mencari musuh-musuh mereka.
Ketika mereka hendak berangkat, Lin Lin minta supaya ia dibawa dan ikut membalas dendam. Sebenarnya gadis ini merasa berat sekali untuk berpisah dengan Cin Hai yang amat dicintainya dan ia tidak rela melepas pemuda itu pergi untuk menghadapi bahaya seorang diri.
Akan tetapi ketika mereka berdua bicara di dalam ruang belakang Cin Hai berkata,
"Lin Lin, kau sendiri tahu betapa pentingnya perjalanan yang akan kulakukan bersama Kwee An ini. Bukan saja penting akan tetapi sangat berbahaya maka biarkanlah aku pergi berdua dengan Kwee An dan jangan kau ikut menghadapinya."
Lin Lin menyemberutkan mulutnya, "Justru karena penting dan berbahaya inilah maka aku harus ikut Engko Hai. Urusan sakit hati ini langsung menjadi tugasku, mengapakah aku harus takut menghadapi bahaya karenanya" Dan kalau memang ada bahaya, apa kaukira aku dapat enak-enak saja berpeluk tangan tinggal di rumah dan membiarkan engkau dan Engko An pergi menempuhnya" Ah, Hai-ko engkau tahu bahwa aku akan menderita karena khawatir dan cemas memikirkan nasibmu berdua. Biarkan aku ikut, Engko Hai!"
Cin Hai menjadi serba salah. Ia memang harus membenarkan pendapat gadis ini akan tetapi kepandaian gadis ini masih belum cukup tinggi untuk menghadapi perwira-perwira Sayap Garuda yang lihai dan kejam itu. Kalau gadis ini dibiarkan ikut, bukan dapat membantu usaha pembalasan sakit hati, sebaliknya akan menambah beban saja, karena ia harus melindungi Lin Lin yang ia cinta.
"Jangan engkau ikut, Adikku yang manis. Tidak percayakah engkau kepadaku" Engkau mendengar sendiri pesan terakhir Ayahmu, dan biarkan tugas pembalasan dendam itu menjadi syarat bagiku untuk dapat menjadi... suamimu!"
Akan tetapi dengan sikap bandel Lin Lin bahkan lalu menangis sambil membanting-banting kaki dan berkata, "Tidak... tidak... aku mau ikut...!"
Cin Hai melihat sikap Lin Lin yang seperti seorang anak kecil hendak ditinggal pergi oleh ibunya ini, lalu tersenyum dan menyentuh pundaknya,
"Sudahlah jangan engkau marah. Biar kita merundingkan dulu dengan kakakmu dan
Gurumu, karena aku bermaksud berangkat besok. Masih banyak waktu bagi kita untuk merudingkan persoalan ini."
Maka mereka lalu mengadakan perundingan dengan Biauw Suthai dan Kwee An. Juga Pek I Toanio yang sering berkunjung ke situ ikut pula merundingkan hal ini.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
187 "Lin Lin, muridku, pendapat Sie Taihiap memang betul. Engkau tak usah ikut pergi, karena kepandaianmu belum cukup untuk melakukan pembalasan dendam ini. Ketahuilah,
kepandaian musuh-musuhmu amat tinggi dan sama sekali bukan lawanmu."
"Akan tetapi aku sama sekali tidak takut!" jawab Lin Lin sambil berdiri dengan kedua tangan dikepalkan dan kedua mata bernyala penuh semangat.
Biauw Suthai dan yang lain-lain tersenyum melihat sikap gadis ini. "Aku percaya penuh akan ketabahanmu," kata Biauw Suthai, "akan tetapi, ketahuilah, bukan soal takut dan berani yang terpenting dalam hal ini. Kalau engkau ikut, maka tidak saja engkau takkan membantu, bahkan akan menambah beban kepada Sie-taihiap dan kakakmu Kwee-kongcu."
"Menambah beban?" kata Lin Lin penasaran "Teecu tidak minta digendong, teecu sanggup berjalan sendiri, dan mereka berdua ini tak usah pedulikan teecu asal teecu boleh ikut."
"Lin Lin, engkau sungguh bodoh," kata gurunya. "Bukan demikian maksudku, akan tetapi apabila terjadi pertempuran, maka tentu engkau akan terancam dan hal ini merupakan tambahan tugas yang lebih berat bagi kedua anak muda ini yang harus melindungimu.
Mengertikah engkau" Apakah engkau akan senang apabila pembalasan dendam ini sampai gagal hanya karena ikutmu?" .
Mendengar alasan yang kuat ini, Lin Lin diam saja dan tak dapat menjawab, hanya mulutnya yang berbentuk manis itu cemberut menandakan kekecewaan hatinya. Akhirnya ia dapat dibujuk oleh Pek I Toanio dan gurunya membatalkan keinginannya.
Setelah mendapat pesan dari Biauw Suthai, Pek I Toanio, Lin Lin, dan juga Kwee Tiong yang mendengarkan perdebatan itu diam saja, maka berangkatlah Cin Hai dan Kwee An.
Mereka berdua tahu ke mana harus mencari musuh-musuh mereka, yakni ke kota raja!
Mereka berdua berangkat berjalan kaki saja dan mempergunakan kepandaian mereka berlari cepat.
Ketika Cin Hai dan Kwee An sudah pergi Lin Lin berlari masuk ke dalam kamarnya. Biauw Suthai menggeleng-gelengkan kepala melihat ini dan ia lalu berkata kepada Pek I Toanio,
"Anak itu kecewa karena ditinggal pergi oleh Sie-taihiap! Benar-benar anak panah asmara telah tertancap di hatinya, dan selain itu, ia pun merasa bersedih karena merasa sunyi ditinggal seorang diri oleh mereka berdua. Kaupergilah, hiburlah hatinya dan katakan bahwa kami akan tinggal di sini untuk sementara waktu dan menemaninya."
Sambil tersenyum maklum, Pek I Toanio lalu mengejar Lin Lin ke dalam kamarnya dan ia mendapatkan gadis itu sedang berbaring telungkup di atas tempat tidur dan tubuhnya bergoyang-goyang karena menahan isak tangisnya! Kakak seperguruan yang sangat mencintai sumoinya ini lalu memeluk pundaknya dan berkata menghibur,
"Sumoi, seorang gadis gagah seperti engkau tidak patut bersikap begini lemah."
Lin Lin bangun dan duduk di dekat sucinya, "Suci aku tidak sedih karena tidak boleh ikut pergi, akan tetapi sedih karena yang menyebabkan aku tidak dapat ikut adalah kedangkalan ilmu silatku."
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
188 "Sumoi, kalau begitu, mengapa sementara menanti mereka kembali kau tidak memperdalam ilmu silatmu" Ketahuilah, aku dan Suthai akan tinggal di sini menemanimu untuk sementara waktu."
Tiba-tiba wajah gadis yang muram itu berubah terang dan ia tersenyum! Pek I Toanio menjadi geli melihat gadis yang aneh mudah berubah ini. Baru saja menangis sekarang sudah tersenyum.
Lin Lin lalu menghadap kepada gurunya dan ia sendiri mengatur dua buah kamar di dalam rumah yang besar itu untuk suci dan gurunya. Kemudian ia minta kepada gurunya untuk memberi petunjuk-petunjuk untuk memperdalam ilmu silatnya. Ia berlatih giat sekali karena ia pikir bahwa untuk mengimbangi Cin Hai yang berilmu tinggi, ia harus mempertinggi kepandaiannya pula!
Pada suatu sore ia berlatih silat di dalam pekarangan belakang sambil mendengarkan petunjuk-petunjuk Biauw Suthai yang berdiri memandang gerakan-gerakannya. Setelah selesai bersilat Lin Lin lalu duduk bercakap-cakap dengan Biauw Suthai.
"Suthai, bagaimana pendapatmu tentang ilmu silat Engko Hai?"
"Ilmu silat Sie Taihiap sudah mencapai tingkat yang tidak dapat diukur tingginya, muridku.
Ia telah mewarisi kepandaian tunggal dari Gurunya yakni Bu Pun Su yang luar biasa. Biarpun anak muda itu tidak memperlihatkannya, akan tetapi sebenarnya ia telah memiliki segala inti sari ilmu silat dan mendapat gemblengan yang hebat secara aneh dari Bu Pun Su orang tua sakti itu."
"Suthai, apakah teecu bisa mendapat kemajuan sampai setinggi tingkatnya?"
Biauw Suthai tertawa dan wajahnya yang menyeramkan itu kini nampak gembira. "Muridku, kepandaian manusia tidak ada batasnya dan asalkan orang mau berusaha, tentu ia akan mencapai tujuannya. Akan tetapi untuk dapat memiliki kepandaian silat seperti Sie-taihiap orang harus memiliki bakat dan jodoh dengan guru yang luar biasa seperti Bu Pun Su."
"Dan sampai di mana tingkat kepandaian Ang I Niocu?" tiba-tiba Lin Lin bertanya.
"Dia" Ah, kepandaiannya pun hebat, karena sesungguhnya ilmu kepandaiannya dan ilmu kepandaian Sie-taihiap adalah secabang. Ketahuilah, kalau aku tidak salah, Ang I Niocu adalah cucu murid dari Bu Pun Su karena Kakek itu adalah susiok-couwnya. Dalam hal ilmu silat, biarpun Ang I Niocu memiliki gerakan yang indah dan lebih matang, akan tetapi ia masih kalah setingkat oleh Sietaihiap."
"Suthai, teecu ingin sekali mencoba kepandaian Ang I Niocu. Agaknya teecu takkan kalah melawan dia," entah mengapa tiba-tiba suara Lin Lin terdengar marah dan sengit karena perasaan cemburu telah menyerang hatinya. Gurunya heran mendengar ini, dan tiba-tiba Biauw Suthai yang berkepandaian tinggi dapat mendengar suara tindakan kaki yang ringan sekali di belakang mereka ketika nenek ini mengerling, ternyata Ang I Niocu telah berada di belakang mereka, bersembunyi di balik sebatang pohon.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
189 "Wanita itu agaknya sombong dan sangat bangga akan kecantikannya. Coba saja Suthai ingat kembali betapa ia berlagak ketika memperlihatkan kepandaiannya dulu itu."
"Lin Lin, kalau belum tahu jelas, jangan suka menyangka yang tidak-tidak terhadap orang lain. Pula, bukankah ia telah membantu pihakmu dalam pertempuran dulu itu?" kata Biauw Suthai yang merasa tidak enak sekali karena tentu saja Ang I Niocu dapat mendengar percakapan mereka.
"Suthai, teecu tidak menyangka yang tidak-tidak, karena teecu juga tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan dia kecuali... karena ia... kawan baik Engko Hai, maka ia pun boleh kuanggap sebagai kawan. Akan tetapi, kalau ia tidak sombong, mengapa ia pergi diam-diam dan tanpa pamit" Ia menjadi kawan baik Engko Hai, akan tetapi ketika Engko Hai terluka, mengapa ia tidak peduli bahkan meninggalkannya pergi?"
"Sudahlah Lin Lin, kau membicarakan seorang yang berdiri tidak jauh dari kita!" kata Biauw Suthai, lalu nenek ini berpaling dan berkata, "Niocu, silakan duduk!"
Ang I Niocu keluar dari belakang pohon itu dan Lin Lin cepat berdiri dan memandang kepada Dara Baju Merah itu dengan mata terbelalak. Ia merasa heran sekali ketika melihat betapa wajah Ang I Niocu pucat sekali dan dari kedua mata yang bagus itu keluar dua titik air mata yang masih menetes di atas pipinya.
Akan tetapi, ketika pandangan matanya bertemu dengan Lin Lin, bibir Ang I Niocu
mengeluarkan senyum sedih. "Adikku yang baik, kata-katamu semua benar belaka. Memang aku seorang yang sombong dan bodoh. Adikku, aku maklum akan isi hatimu, jangan kau khawatir. Hai-ji dan aku hanya... hanya kawan baik dan kawan senasib belaka..." Dara Baju Merah itu memejamkan mata seakan-akan menahan rasa sakit yang menyerang dadanya, kemudian ia berkata lagi, kini suaranya terdengar tegas, "Akan tetapi, dalam hal kepandaian, agaknya kau masih harus belajar banyak untuk dapat mengimbangi kepandaianku, apalagi kalau hendak menyamai ilmu kepandaian Hai-ji. Kau tadi menyatakan keinginanmu hendak mencoba ilmu silatku, bukan" Nah, marilah kita main-main sebentar!"
Lin Lin memang berhati tabah, sedikit pun ia tidak menjadi jerih ia lalu menarik keluar belati pendek yang menjadi senjata ampuh baginya. Biauw Suthai hendak mencegah, akan tetapi Ang I Niocu menghadapi nenek ini sambil berkata dan menjura,
"Suthai, aku bukan anak kecil lagi, jangan Suthai salah sangka. Aku hanya bermaksud menambah pengertiannya dan kepandaian Adik ini."
Mendengar ucapan dan melihat sikap Ang I Niocu, Biauw Suthai menarik napas lagi, ia hanya menggerakkan tangannya kepada Lin Lin dan berkata. "Lin Lin, jangan kau berlaku kurang ajar kepada tamu dan belajarlah baik-baik dari Ang I Niocu!"
Ang I Niocu lalu menghunus pedangnya dan berkata kepada Lin Lin,
"Nah, kaumaju dan seranglah, Adikku yang baik, dan jangan kau berlaku sungkan-sungkan lagi."
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
190 Lin Lin adalah seorang gadis yang masih muda sekali dan belum mempunyai banyak
pengalaman. Hatinya masih keras dan tabah, maka ketika mendengar ucapan Ang I Niocu, ia merasa bahwa ia disindir dan dipandang ringan. Maka tanpa mengeluarkan kata-kata lagi ia lalu menyerang dengan belatinya. Ang I Niocu mengelak cepat dan keduanya lalu bertempur seru. Senjata Lin Lin yang berupa belati pendek itu membuat gerakan tangannya cepat sekali jauh lebih cepat daripada gerakan pedang. Lagipula, gadis ini telah mendapat didikan ilmu silat semenjak kecil oleh Biauw Suthai yang berilmu tinggi, maka dapat dimengerti bahwa gadis ini telah memiliki kepandaian yang lumayan dan tak mudah dikalahkan oleh sembarang orang. Selain memiliki ilmu silat tinggi, juga tubuhnya ringan sekali dan gerakannya gesit bagaikan seekor burung walet.
Akan tetapi sekarang ia menghadapi Ang I Niocu yang selain memiliki kepandaian tinggi, juga telah memiliki pengalaman luas daripada Lin Lin. Juga, kalau Lin Lin bertempur dengan bernafsu sekali, adalah Ang I Niocu menghadapinya dengan tenang. Nona Baju Merah ini memainkan pedangnya sambil mengeluarkan ilmu Pedang Tari Bidadari yang indah dan lihai.
Tubuhnya bergerak-gerak perlahan dan lemah gemulai, pedangnya berkelebat cepat dan dapat menangkis setiap serangan Lin Lin yang makin bernafsu melancarkan serangan-serangan hebat. Ang I Niocu sengaja berlaku mengalah dan lebih banyak mempertahankan diri daripada menyerang. Ia membiarkan Lin Lin melakukan serangan bertubi-tubi dan hanya menggunakan sedikit gerakan untuk menangkis atau mengelak, hingga ia hanya sedikit mengeluarkan tenaga, sedangkan Lin Lin bagaikan seekor naga yang muda dan ganas
menyambar-nyambar dengan belatinya!
Lama juga mereka saling mengeluarkan kepandaian. Lin Lin terus mengejar dan Ang I Niocu mengelak dan mempertahankan diri. Peluh telah membasahi wajah Lin Lin yang menjadi kemerah-merahan dan kedua matanya yang indah itu bersinar-sinar galak, sedangkan Ang I Niocu tetap saja bermain dengan tenang. Rambut Ang I Niocu yang diikat dengan saputangan merah dan terurai ke belakang itu berkibar dalam gerakannya, sedangkan rambut Lin Lin yang hitam dan panjang serta dikuncir dua menyabet ke sana ke mari bagaikan dua ekor ular hitam.
Biauw Suthai berdiri menonton pertempuran itu dengan kagum. Karena asyiknya ia
menonton, Biauw Suthai tak terasa lagi kadang-kadang menggerak-gerakkan tangan seakan-akan ia sendiri yang sedang bertempur menghadapi Ang I Niocu. Kalau Lin Lin membuat kesalahan dalam gerakannya, ia menjadi kecewa dan membanting-banting kakinya,
sedangkan kalau Lin Lin melepaskan kesempatan baik dalam sebuah penyerangan, ia menjadi marah dan mengeluarkan suara dengan lidahnya. Orang tua ini benar lupa diri karena asyik dan kagumnya melihat pertempuran itu.
Sebetulnya Ang I Niocu hanya hendak mengukur saja sampai dimana kepandaian gadis itu.
Maka setelah puas melayani Lin Lin, tiba-tiba ia merubah gerakannya dan kini melancarkan serangan-serangan hebat hingga pedangnya berkelebat cepat dan bayangan tubuhnya
bergulung-gulung karena cepatnya gerakannya. Lin Lin terkejut sekali dan terdesak hebat.
Akan tetapi Ang I Niocu tidak mau menyerang terus, bahkan lalu melompat ke belakang sambil berkata,
"Adik, sudah cukup kita mengukur tenaga."
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
191 Lin Lin merasa kagum sekali. Kini ia tahu bahwa kepandaian Ang I Niocu jauh lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri dan tahu pula bahwa Nona Baju Merah itu tidak bermaksud buruk. Maka buru-buru ia simpan belatinya dan menghampiri Ang I Niocu.
"Cici, kepandaianmu lihai sekali dan aku mohon engkau sudi memberi petunjuk."
Ang I Niocu ketika mendengar kata-kata ini dan melihat sikap yang polos dari Lin Lin, timbul perasaan sukanya. Ia memegang Lin Lin, dan berkata, "Adik Lin Lin, engkau masih harus belajar banyak kalau ingin mengimbangi kepandaian Hai-ji"
Ketika melihat betapa wajah gadis ini tertutup oleh kedukaan, ia bertanya, "Adik Lin Lin, mengapa wajahmu nampak murung" Bagaimana dengan keluargamu, baik-baik saja bukan?"
Ternyata Ang I Niocu sama sekali tidak tahu akan peristiwa hebat yang menimpa keluarga Kwee, oleh karena ketika rasa cemburu dan iri hati merusak hatinya hingga membuat ia angkat kaki dan pergi tanpa pamit dulu, ia lalu menjauhkan diri dari dusun itu dan hendak melanjutkan perantauannya. Telah dicobanya dengan berkeras hati untuk melupakan Cin Hai, akan tetapi ternyata ia gagal. Makin dilupa, makin ia teringat kepada pemuda itu dan akhirnya ia tak dapat menahan hatinya lagi. Ia teringat betapa Cin Hai mendapat luka dan ia menjadi kuatir sekali. Inilah yang membuat ia kembali ke kampung itu dan dengan diam-diam masuk pekarangan belakang hingga mendengar percakapan antara Lin Lin dan Biauw Suthai.
Ketika mendapat pertanyaan dari Ang I Niocu tentang keluarganya, tak tertahan lagi Lin Lin lalu memeluk Nona Baju Merah itu sambil menangis keras dan sedih. Ang I Niocu menjadi bingung, akan tetapi ketika ia memandang ke arah Biauw Suthai, nenek tua ini memberi isyarat kepadanya hingga ia hanya mengelus-elus kepala Lin lin yang disandarkan di dadanya.
"Adikku yang baik. Tenangkanlah hatimu dan mari kita bicara dengan baik." Ia lalu menuntun Lin Lin ke dalam rumah menurut isyarat yang diberikan oleh Biauw Suthai.
Kwee Tong dan Pek I Toanio menyambut Ang I Niocu yang dalam pandangan matanya tidak beda seperti seorang bidadari! Maka Kwee Tiong lalu menyuruh pelayan mengeluarkan hidangan dan ia melayani tamunya dengan hormat dan bermuka-muka. Akan tetapi Ang I Niocu yang telah tahu akan sifat pemuda macam Kwee Tiong ini, tidak ambil peduli kepadanya dan bersikap seolah-olah pemuda ini tidak ada.
Ketika mendengar penuturan Lin Lin tentang bencana yang menimpa keluarga Kwee, wajah Ang I Niocu menjadi merah karena ia merasa marah sekali.
"Jahanam benar perwira-perwira itu! Dan Hai Kong Hosiang selalu ikut campur dalam urusan-urusan busuk. Pendeta palsu itu sudah seharusnya dibasmi dari muka bumi!" Sambil mengepal-ngepal tangannya Ang I Niocu menyatakan perasaannya. "Dan bagaimana dengan luka kakakmu" Di mana adanya dia dan di mana Hai-ji?" tanyanya kepada Lin Lin.
"Mereka telah pergi lima hari yang lalu, untuk mencari musuh-musuh kami itu dan membalas dendam!"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
192 Ang I Niocu mengangguk. "Dan kau sendiri, Adik Lin, mengapa kau tidak ikut pergi?"
Pertanyaan ini mengandung dua maksud, pertama-tama karena ia memang merasa heran mengapa Lin Lin tidak mau ikut membalaskan sakit hati orang tuanya. Kedua kalinya karena ia hendak memancing dan menyelidiki sampai di mana hubungan antara gadis ini dengan Cin Hai.
Mendengar pertanyaan ini, tiba-tiba Lin Lin menjadi marah dan cemberut. "Inilah yang menyesalkan hatiku! Mereka itu tidak mau membawaku serta! Sungguh menggemaskan!"
Pek I Toanio ikut bicara dan membela Cin Hai, "Sie-taihiap tidak mau membawa Sumoi oleh karena memang kalau Sumoi ikut, maka usaha membalas dendam itu akan lebih sukar lagi."
"Kepandaian Lin Lin belum cukup tinggi menempuh bahaya besar itu," Kata Biauw Suthai dengan sabar. "Dan lagi, kalau Lin Lin pergi, aku akan ditinggal seorang diri di rumah, bagaimana kalau penjahat-penjahat itu datang kembali?" kata Kwee Tiong yang tak sadar bahwa ucapan ini menunjukkan sifatnya yang pengecut.
Ang I Niocu tersenyum memandang Lin Lin. "Kau benar, Adikku. Tidak ada bahaya bagi seorang anak yang hendak membalaskan sakit hati orang tuanya." Lin Lin memandangnya dengan berterima kasih karena ternyata Nona Baju Merah ini membela dan membenarkannya.
Pada saat ia hendak menyatakan kemenangannya kepada guru dan sucinya, Ang I Niocu yang tidak mau berbantah dengan Biauw Suthai telah berkata pula,
"Akan tetapi betapapun juga, kau harus tunduk kepada nasihat Gurumu." Ucapan ini membuat Lin Lin menunduk dan tidak jadi membuka mulut. Akan tetapi di dalam hati ia merasa tertarik dan suka sekali kepada Ang I Niocu. Dengan sangat ia membujuk-bujuk agar wanita itu suka bermalam di rumahnya. Yang lain ikut membujuk pula hingga akhirnya Ang I Niocu menyatakan setuju. Lin Lin gembira sekali dan ia menarik tangan Ang I Niocu ke kamarnya, karena ia tidak mau berpisah dengan nona ini dan minta Ang I Niocu bermalam di dalam kamarnya saja.
Dan pada keesokan harinya, ternyata Lin Lin telah pergi dari rumah itu bersama Ang I Niocu.
Gadis ini dengan sangat mernbujuk kepada Ang I Niocu untuk membawanya pergi menyusul Cin Hai. Biauw Suthai hanya menggeleng-geleng kepalanya dan berkata kepada Pek I Toanio,
"Muridku, biarpun keselamatan Lin Lin tak perlu dikhawatirkan karena ia pergi bersama Ang I Niocu, akan tetapi hatiku merasa tidak tenteram. Lebih baik kita pergi mencari mereka itu untuk membantu apabila mereka berada dalam bahaya."
Keduanya lalu berpamit kepada Kwee Tiong yang menjadi kecewa dan khawatir sekali.
"Kalau Lin Lin pergi dan jiwi pergi pula, habis kalau sampai terjadi apa-apa di rumah ini, aku harus berbuat apa?"
Pek I Toanio mendongkol sekali melihat sikap pemuda yang penakut ini, maka katanya dengan ketus, "Kongcu, mengapa memiliki hati sedemikian kecilnya" Adik-adikmu pergi dengan nekad mencari musuh, akan tetapi engkau yang ditinggal di rumah seorang diri saja merasa takut."
Akan tetapi Biauw Suthai yang tak mau banyak bicara dengan pemuda ini berkata, "Kwee-kongcu, kalau engkau merasa takut, kaupergi saja kepada Suhumu dan tinggal di rumah kuil."
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
193 Kemudian guru dan murid ini meninggalkan Kwee Tiong tanpa memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk banyak membantah. Kwee Tiong lalu menutup pintu rumahnya,
menghentikan semua pelayan yang membantu rumah keluarga Kwee dan ia pergi ke Tiang-an lalu menemui gurunya, yaitu Tong Gak Hosiang di kelenteng Ban-hok-tong, di mana ia berlutut sambil menangis dan menceritakan segala hal ihwalnya kepada pendeta itu.
Tong Gak Hosiang hanya bisa menghela napas, dia lalu menasihati muridnya untuk berdiam saja untuk sementara waktu di kelenteng itu.
Setelah melakukan perjalanan cepat tanpa berhenti, Cin Hai dan Kwee An tiba di kota raja.
Di sepanjang perjalanan, kedua anak muda ini menuturkan pengalaman masing-masing dan Kwee An merasa kagum sekali akan hasil yang diperoleh Cin Hai, anak yang ketika kecilnya gundul yang selalu dihina orang itu. Ia makin suka kepada Cin Hai dan sepanjang perjalanan tiada hentinya ia minta petujuk-petunjuk dan nasihat-nasihat tentang persilatan. Dengan melihat permainan silat Kwee An saja, Cin Hai dapat melihat kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahannya hingga ia dapat memberi petunjuk yang benar-benar sangat
berguna bagi Kwee An dan berdasarkan petunjuk ini, ilmu silat Kwee An menjadi lebih sempurna lagi.
Di kota raja mereka berdua mencari keterangan dan mendengar bahwa asrama kaum perwira Sayap Garuda adalah sebuah bangunan besar merupakan benteng yang disebut Eng-hiong-koan atau Penginapan Para Pendekar. Dengan tabah dan berani sekali Cin Hai dan Kwee An pada keesokan harinya, pagi-pagi telah mengunjungi Eng-hiong-koan dan memberitahukan kepada penjaga bahwa mereka ingin menemui para perwira Sayap Garuda.
"Kami adalah kenalan-kenalan baik dari Ma-ciangkun dan lain-lain perwira, terutama kelima Santung Ngo-hiap."
"Sayang sekali bahwa sekarang para perwira sedang mengadakan pertemuan besar hingga kurasa tak sempat menjumpai kalian berdua," jawab penjaga itu.
"Pertemuan apakah?" tanya Cin Hai.
"Di dalam gedung sedang diadakan pemilihan tiga orang perwira yang hendak diangkat menjadi kepala perwira istana dan menjadi pengawal pribadi Kaisar," jawab penjaga itu.
Akan tetapi penjaga kedua yang tidak suka melihat kawannya mengajak kedua pemuda itu mengobrol, lalu berkata,
"Kamu berdua boleh datang lagi besok pagi saja. Pendeknya pada saat itu tak seorang pun boleh memasuki En-hiong-koan."
Kwee An dan Cin Hai merasa mendongkol sekali. Mereka saling pandang dan saling
memberi tanda dengan kejapan mata. Keduanya bergerak cepat dan hampir berbareng mereka mengulur tangan menotok kedua penjaga itu yang segera roboh dengan tubuh lemas karena tertotok jalan darah mereka oleh Cin Hai dan Kwee An! Dengan tenang kedua pemuda gagah ini lalu bertindak masuk. Mereka langsung ke ruang belakang di mana terdengar suara orang bersorak dan tanpa jerih sedikit pun mereka lalu melangkah masuk dari sebuah pintu yang besar dan tinggi.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
194 Ternyata ruang belakang itu amat luas dan di tengah ruang itu telah terdapat sebuah panggung karena memang ruang ini merupakan ruang berlatih silat atau lian-bu-thia. Kurang lebih tiga puluh orang perwira duduk mengitari panggung itu, dan di kepala panggung duduk seorang hwesio gundul yang bertubuh tinggi kurus, dan di sebelahnya duduk beberapa orang perwira tua yang kelihatannya merupakan perwira-perwira tingkat tinggi. Juga Ma Ing nampak duduk di sebelah hwesio itu.
Pada saat itu, memang sedang diadakan pertandingan adu silat di antara para perwira yang dicalonkan untuk menjadi pemimpin perwira penjaga istana. Pemilihan ini dilakukan atas perintah kaisar sendiri yang minta supaya tiga orang panglima yang berkepandaian tinggi dan lihai untuk menjadi pengawal pribadi di dalam istana. Siapa orangnya yang tidak mau mencoba peruntungannya dengan kesempatan ini" Menjadi pengawal pribadi kaisar adalah sebuah pekerjaan yang enak dan mulia.
Pemilihan ini dilakukan dan diawasi oleh hwesio tinggi kurus itu yang sebenarnya adalah hwesio kepala dalam Kuil See-thian-tong yang menjadi kuil di lingkungan istana dan yang biasanya dikunjungi kaisar. Selain menjadi kepala hwesio di kuil raja itu, juga hwesio yang bernama Beng Kong Hosiang ini diangkat pula menjadi penasihat para perwira, ini kedudukan yang tinggi, karena sebenarnya hwesio ini bukan lain ialah suheng atau kakak seperguruan dari Hai Kong Hosiang yang sudah terkenal kelihaiannya.
Di bawah pengawasan Beng Kong Hosiang, maka telah diadakan pemilihan dan para perwira itu mengadu kepandaian untuk merebut kedudukan itu. Pada saat Cin Hai dan Kwee An memasuki ruangan itu, dua orang perwira Sayap Garuda sedang bergumul di atas panggung dan semua perwira yang menonton bersorak-sorak gembira, juga Beng Kong Hosiang, Ma Ing dan perwira lain yang dianggap tertua dan terpandai, menikmati pertandingan itu hingga mereka tidak melihat masuknya pemuda ini.
Cin Hai berbisik kepada Kwee An dan keduanya lalu menggenjot tubuh mereka melalui kepala para perwira lalu melompat ke atas panggung di mana dua orang perwira itu sedang mengadu kepandaian.
Dengan gerakan ringan dan cepat, Cin Hai dan Kwee An masing-masing memegang seorang perwira pada lehernya dan melemparkan mereka ke bawah panggung seakan-akan orang melempar ayam saja!
Semua orang terkejut, tak terkecuali Beng Kong Hosiang. Ketika Ma Ing melihat siapa yang datang mengacau, ia menjadi pucat karena ia telah mengenal Cin Hai yang telah dirasai kelihaiannya itu.
Cin Hai lalu memandang ke sekeliling dan keadaan di situ sunyi senyap karena semua orang masih tercengang melihat peristiwa yang tak disangka-sangka itu. Siapakah orangnya yang berani mati mengacau di dalam Eng-hiong-koan pada saat perwira-perwira mengadakan pemilihan, bahkan pada saat Beng Kong Hosiang berada di situ" Mungkin setan pun berani mengacau maka tindakan kedua orang pemuda itu sungguh-sungguh membuat mereka
tercengang dan terheran!
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
195 "Cuwi-ciangkun (para panglima yang terhormat), kedatangan kami berdua bukan sengaja hendak mengacau dan kami sebenarnya tidak mempunyai urusan sesuatu dengan Eng-hiong-koan ini. Akan tetapi karena musuh-musuh kami berada di sini, terpaksa kami datang juga.
Kini kami minta supaya para musuh besar kami itu suka tampil ke muka dan
mempertanggungjawabkan perbuatan mereka yang biadab!"
Semua orang merasa heran mendengar ini dan mereka tercengang melihat ketenangan anak muda itu. Yang tidak tahu akan persoalannya saling pandang dan angkat pundak. Melihat keberanian ini, Beng Kong Hosiang tertawa terkekeh-kekeh karena ia memandang rendah sekali kepada kedua orang itu, maka katanya dengan suaranya yang tinggi nyaring,
"Eh, anak-anak muda yang berani mati! Siapakah musuh-musuhmu itu?"
Sekarang Kwee An yang menjawab dengan suaranya yang halus nyaring,
"Musuh-musuh kami adalah si pengecut Boan Sip, kedua saudara Tan Song dan Tan Bu, kelima kawanan yang disebut Santung Ngohiap Ma Ing, Un Kong Sian dan tiga saudaranya yang lain, dan yang terakhir seorang hwesio keparat bernama Hai Kong Hosiang. Manusia-manusia biadab yang namanya kusebutkan itu kalau berada di tempat ini harap maju untuk menerima kematian!"
Semua orang terkejut, tak terkecuali Beng Kong Hosiang. Alangkah beraninya kedua pemuda itu. Orang-orang yang namanya mereka sebut adalah perwira-perwira kelas tinggi, bahkan Ma Ing dan Un Kong Sian mendapat tempat duduk di deretan Beng Kong Hosiang karena mereka itu telah dianggap perwira-perwira yang tinggi kedudukan dan kepandaiannya, demikian pula tiga orang saudara seperguruannya dan yang kesemuanya berjumlah lima orang dan disebut Santung Ngohiap. Lebih-lebih lagi nama terakhir, yakni Hai Kong Hosiang, karena hwesio ini adalah sute (adik sepergurunan) dari Beng Kong Hosiang sendiri!
Musuh-musuh besar yang namanya disebutkan tadi semua berada di situ, kecuali Boan Sip dan Hai Kong Hosiang. Biarpun wajah mereka menjadi berubah ketika nama-nama mereka disebut, tetapi karena berada di rumah sendiri dan mempuyai banyak kawan-kawan, terutama adanya Beng Kong Hosiang di situ membuat mereka tabah dan berani. Secara otomatis Tan Song dan Tan Bu lalu berdiri dan menghampiri kelima saudara Santung Ngohiap yang duduk di dekat Beng Kong Hosiang. Juga lima jago dari Santung itu yakni Ma Ing, Un Kong Sian, dan tiga orang lain yang belum pernah dilihat Cin Hai, berdiri dari kursinya hingga ketujuh orang ini berkelompok untuk menghadapi kedua musuh itu.
Sebetulnya nama Santung Ngohiap memang telah terkenal sekali. Urutan mereka adalah seperti berikut: yang pertama Lauw Tek, ke dua adalah adiknya Lauw Houw. Kedua saudara inilah yana dulu ikut membasmi keluarga Kwee. Orang ke tiga adalah seorang tua yang berwajah sabar dan bernama Ma Keng In, dan dia ini adalah satu-satunya orang dari kelima jago dari Santung yang tidak pernah memusuhi keluarga Kwee dulu, akan tetapi karena ia juga menjadi anggauta Santung Ngohiap, maka otomatis ia pun ikut berdiri dan bersatu dengan saudara-saudara seperguruannya. Orang ke empat dan ke lima adalah Ma Ing dan Un Kong Sian. Melihat kepandaian orang ke empat dan ke lima saja yang demikian hebatnya seperti terbukti ketika Un Kong Sian dan Ma Ing memperlihatkan kepandaian di rumah keluarga Kwee dulu, maka dapat dibayangkan betapa tingginya kepandaian Ma Keng In, Lauw Houw dan Lauw Tek!
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
196 Demikianlah, kelima Santung Ngohiap itu dan kedua saudara Tan Song dan Tan Bu setelah berdiri merupakan satu kelompok, lalu Ma Ing membuka suara,
"Eh, dua anjing pemberontak muda! Kami bertujuh ada di sini, kalian mau apa?"
Sambil berkata demikian, ia bergerak maju menuju ke panggung itu, diikuti oleh enam orang lainnya. Sambil maju, mereka meloloskan senjata masing-masing. Juga para perwira yang merasa marah sekali melihat kedatangan dua orang muda yang mengacau ini, pada bergerak mendekati panggung hingga Cin Hai dan Kwee Ang seakan-akan hendak dikeroyok oleh puluhan orang perwira Sayap Garuda itu!
Cin Hai memandang ke arah mereka dengan senyum sindir. "Hem, hm, tidak kusangka
bahwa selain menjadi manusia-manusia biadab yang kejam, juga para perwira Sayap Garuda yang terkenal ganas ternyata hanyalah sekumpulan pengecut yang hanya berani main keroyokan. Ha-ha, kalian majulah!" Sambil berkata demikian, tangannya bergerak dan tahu-tahu pedang pusaka Liong-coan-kiam telah berada di tangannya! Juga Kwee An telah bersiap sedia dan ia mencabut pedangnya yang juga bukan pedang sembarangan. Mereka telah mengambil keputusan untuk bertempur dengan nekad dan mengadu jiwa.
Tiba-tiba terdengar bentakan Beng Kong Hosiang, "Tahan!" Dan tahu-tahu hwesio yang tinggi kurus ini telah berada di atas panggung, mendahului semua perwira dan ia menghadapi kedua pemuda itu dengan sikap yang angkuh.
"Tidak malukah kalian?" tegurnya kepada semua perwira yang bergerak maju. "Untuk menangkap dua ekor cacing saja kalian hendak menggunakan tongkat besar" Cuwi-ciangkun, jangan kau bikin malu kepada pinceng!"
Memang ucapan Beng Kong Hosiang ini beralasan sekali. Ia terkenal sebagai penasihat para perwira dan terkenal sebagai seorang yang amat disegani dan ditakuti karena kepandaiannya yang tinggi. Sekarang tempat itu dikacau oleh dua orang pemuda, masakan para perwira hendak mengeroyoknya, seakan-akan kehadirannya itu tidak ada artinya sama sekali! Ia telah melihat gerakan kedua orang tadi ketika melompat ke atas panggung dan ia maklum bahwa di antara kedua pemuda ini, yang harus diawasi adalah Cin Hai, sedangkan pemuda yang ke dua itu tidak berbahaya.
Mendengar bentakan Beng Kong Hosiang semua perwira menahan gerakan mereka dan
hanya berdiri memandang kepada pemuda itu dengan mata mengancam.
Beng Kong Hosiang tertawa. "Anak-anak muda, kalian ini siapakah dan murid siapa hingga berani sekali mengganggu tempat kediaman kami?"
"Aku bernama sie Cin Hai dan ini adalah Kwee An," jawab Cin Hai dengan suara tenang karena ia belum kenal siapa sebetulnya hwesio tua ini. "Kedatangan kami ini tidak ada hubungannya dengan orang lain, kecuali orang-orang yang namanya telah disebut tadi.
Mereka itu secara kejam sekali telah membunuh keluarga Kwee dan kami sengaja datang untuk menuntut balas!"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
197 "Hem, mereka itu dibunuh karena mereka telah memberontak dan berani menghina perwira-perwira kerajaan. Kalian memiliki kepandaian apakah berani mengacau di sini" Ketahuilah, anak-anak muda, perbuatanmu ini saja sudah cukup menjadi alasan untuk menghukum
kalian!" "Kami hanya ingin membasmi orang-orang yang menjadi musuh-musuh kami dan untuk itu kami bersedia menghadapi siapa saja!" berkata Kwee An dengan marah karena ia dapat menduga bahwa hwesio ini tentulah orang yang berpengaruh di kalangan perwira Sayap Garuda.
"Ha, ha, ha! Kau seperti anak-anak burung yang baru belajar terbang, tidak tahu sampai di mana tingginya langit dan luasnya lautan! Lauw Tek-ciangkun, marilah kau dan pinceng menghadapi dua ekor cacing-cacing tanah ini!" Beng Kong Hosiang berlaku cerdik. Dia tidak mau kalau pihaknya disebut curang dan main keroyokan, akan tetapi ia pun tidak
menghendaki pihaknya mendapat kekalahan, maka ia sengaja memanggil Lauw Tek yaitu saudara tertua dari Santung Ngohiap atau perwira yang pada saat itu hadir di situ. Ia maklum bahwa kepandaian Lauw Tek cukup tinggi untuk menghadapi Kwee An, sedangkan untuk menghadapi Cin Hai, dia sendiri hendak maju memperlihatkan kepandaiannya!
Sambil tersenyum Lauw Tek menggerakkan tubuh dan melompat ke atas panggung
menghadapi Kwee An. Ia lalu menuding dan berkata kepada pemuda itu,
"Dulu kau masih kuberi ampun hingga jiwamu tidak sampai melayang, apakah karena itu kau merasa menyesal dan sekarang sengaja datang untuk mengantar jiwa?"
Kwee An mengenal orang ini sebagai seorang di antara mereka yang menyerbu rumahnya, maka tanpa banyak cakap lagi ia lalu menggerakkan pedangnya dan menusuk dengan gerakan Rajawali Mematuk Ikan sambil tersenyum menyindir Lauw Tek menggerakkan pedangnya menangkis dan mereka berdua lalu bertempur hebat.
"Ha, ha, anak muda, sambutlah hidanganku yang pertama!" kata Beng Kong Hosiang dan ia mengebut dengan ujung lengan baju yang lebar dan panjang ke arah jalan darah kin-hun-hiat di dada Cin Hai. Sambaran ini hebat dan kuat, akan tetapi dengan tenang Cin Hai lalu miringkan tubuhnya mengelak dan tahu-tahu pedangnya membabat ke arah pergelangan tangan Beng Kong Hosiang ini! Hampir saja lengan tangan Beng Kong Hosiang terbabat putus oleh Liong-coan-kiam. Hwesio ini terkejut sekali karena ia tidak menyangka sama sekali akan kehebatan Cin Hai, maka tadi ia berlaku lambat. Harus diketahui bahwa serangannya dalam kebutan ujung lengan baju tadi bukanlah serangan yang sembarangan saja dan baru angin pukulannya saja sudah cukup untuk merobohkan seorang lawan yang kuat, akan tetapi ternyata penuda ini dengan miringkan tubuhnya ke kiri sudah dapat mengelak serangannya. Bagaimana pemuda ini tahu bahwa arah kebutan lengan bajunya memutar ke kanan hingga dengan mudah ia dapat berkelit ke kiri"
Ia mengebut lagi, kini dengan tipu Dewa Mabok Menyiram Arak. Gerakan ini dilakukan dengan ujung lengan baju kanan dan mula-mula langsung meluncur ke depan ke arah muka lawan, akan tetapi gerakan ini hanya untuk mengaburkan pandangan lawan belaka, karena gerakan yang sesungguhnya ialah secepat kilat ujung lengan baju itu diputar ke arah pergelangan orang yang memegang pedang untuk merampas pedang lawan itu! Akan tetapi, lagi-lagi ia terkejut bahkan mukanya menjadi berubah ketika Cin Hai mendiamkan saja ujung lengan baju yang mengebut ke arah mukanya karena ujung lengan baju itu memang tidak Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
198 diteruskan dan kini terputar cepat ke arah pergelangan tangannya. Cin Hai menggerakkan lengan tangannya dan pedangnya menyabet ke bawah hingga tak ampun lagi ujung lengan baju itu terbabat putus!
Bukan main terkejut dan marahnya Beng Kong Hosiang. Tadinya ia mengira bahwa dalam satu dua gebrakan saja ia akan dapat merobohkan lawan yang muda ini. Tidak tahunya, serangannya dalam dua jurus itu tidak menghasilkan sesuatu bahkan ia sendiri menderita rugi karena ujung lengan baju yang merupakan senjata baginya itu telah terbabat putus! Dengan muka terheran-heran ia mengeluarkan senjata yang luar biasa, yaitu sebuah pacul yang bergagang bengkok dan mata pacul itu tajam juga lebar sekali. Akan tetapi anehnya gagang pacul itu dapal dilipat dua dan oleh karena itu setelah dilipat menjadi pendek dan dapat diselipkan di pinggangnya.


Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambil membentak hebat, Beng Kong Hosiang mengayunkan pukulannya dan menyerang
dengan cepat. Gerakannya aneh sekali seperti seorang petani mencangkul tanah, akan tetapi Cin Hai berlaku tangkas dan cepat melompat ke pinggir dan balas menyerang dengan pedangnya.
Di lain pihak, Kwee An mengeluarkan seluruh ketangkasan dan kepandaiannya untuk
mempertahankan diri terhadap serangan Lauw Tek yang betul-betul lihai itu. Melihat permainan pedang Kwee An, Lauw Tek sambil menyerang berkata,
"Eh, anak muda she Kwee, bukanlah kau murid Eng Yang Cu dari Kim- san-pai?"
Kwee An merasa terkejut ketika lawannya dapat mengenal ilmu pedangnya. Ia menahan senjatanya dan membentak, "Kalau aku benar murid Kim-san-pai kau mau apakah?"
Lauw Tek tertawa menghina. "Kebetulan sekali, kau boleh mewakili Eng Yang Cu dan mampus di ujung senjataku!" Setelah berkata demikian ia mendesak makin hebat hinggga Kwee An yang memang kalah tinggi kepandaiannya menjadi terdesak hebat.
Tidak tahunya Lauw Tek memang pernah bentrok dengan Eng Yang Cu, salah satu tokoh dari Kim-san-pai. Hal ini terjadi belasan tahun yang lalu, sebelum Kwee An menjadi murid Eng Yang Cu. Ketika itu, Santung Ngohiap masih tinggal di Santung dan menjadi jago yang ditakuti karena selain lihai juga terkenal ganas. Kebetulan pada waktu itu Eng Yang Cu yang sedang merantau tiba di Santung dan mendengar tentang keadaan Santung Ngohiap, lalu sengaja menantang pibu kepada mereka. Pada waktu itu, Eng Yang Cu masih berdarah panas hingga ia tidak tahan mendengar betapa di Santung ada Santung Ngohiap yang menjagoi dan berlaku sewenang-wenang. Di dalam pertandingan pibu ini, seorang demi seorang dari Santung Ngohiap kena dikalahkan oleh Eng Yang Cu, akan tetapi secara licik kelima jago Santung itu lalu mengeroyok hingga Eng Yang Cu menjadi terdesak dan melarikan diri.
Semenjak itu, Santung Ngohiap menaruh dendam kepada Eng Yang Cu.
Karena pernah bertempur dengan Eng Yang Cu, maka Lauw Tek dapat mengenal ilmu silat Kim-san-pai yang dimainkan oleh Kwee An dan karena melihat kelihaian Kwee An, ia dapat menduga bahwa anak muda ini tentulah murid dari Eng Yang Cu. Dia menjadi girang sekali karena sekarang mendapat kesempatan untuk membalas dendamnya yang dulu kepada murid Eng Yang Cu ini.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
199 Oleh karena ini, Lauw Tek lalu mendesak hebat dan mengeluarkan serangan-serangan maut yang berbahaya. Akan tetapi, biarpun masih muda Kwee An bersemangat baja dan ia berlaku nekad hingga gerakan pedangnya demikian tangkas dan untuk berpuluh jurus ia masih dapat mempertahankan dirinya.
Pada saat itu, dari luar berkelebat bayangan putih dan terdengar suara orang berseru, "Lauw Tek, jangan kau menghina anak kecil. Akulah lawanmu, Kwee An, kau mundurlah!"
Kwee An merasa girang sekali karena ia mengenal itu suara Eng Yang Cu gurunya. Ia lalu mundur dan membiarkan gurunya menghadapi Lauw Tek. Eng Yang Cu adalah seorang tua berusia lima puluh tahun lebih, jenggot dan rambutnya sudah putih dan pakaiannya seperti seorang tosu, juga berwarna putih. Senjatanya adalah pedang panjang yang mengeluarkan cahaya berkeredepan.
"Eng Yang Cu, manusia sombong. Bagus sekali kau datang mengantar jiwa!" Lauw Tek berseru dan menyerang dengan ganas. Para saudaranya seketika melihat kedatangan musuh lama ini, lalu datang menyerbu hingga kini pertempuran lebih hebat lagi. Tiga orang dikeroyok oleh enam orang! Kwee An yang melihat betapa pihak lawan mengeroyok, tidak mau tinggal diam dan ia menggerakkan pedangnya lagi, bahkan kini permainannya lebih hebat karena ia mendapat hati dengan kedatangan suhunya itu.
Sementara itu, dengan ilmu pedang campuran dari Liong-san Kiam-hoat, Ngo-lian Kiamhoat, dan Sianli-utau yang pernah dipelajarinya, juga kepandaiannya yang dipelajari dari Bu Pun Su yaitu mengenal dasar-dasar semua gerakan lawannya, Cin Hai berhasil membuat Beng Kong Hosiang tidak berdaya. Setiap gerakan dan serangan hwesio ini telah dapat diduga oleh Cin Hai, sebaliknya ilmu pedang Cin Hai yang campur aduk telah membingungkan hwesio itu. Hanya tenaga lweekang Beng Kong Hosiang yang tinggi saja yang masih menolongnya hingga ia belum dijatuhkan oleh Cin Hai.
Ketika melihat kedatangan suhu dari Kwee An dan melihat pula naiknya semua lawan hingga keadaan menjadi berbahaya, Cin Hai berseru nyaring dan gerakan pedangnya kini disertai tenaga khikang yang luar biasa. Inilah tenaga khikang yang ia latih atas petunjuk Bu Pun Su, dan yang mempunyai daya tempur luar biasa sekali karena seluruh tenaga lweekang, gwakang dan ginkang dipersatukan merupakan pergerakan hebat hingga menimbulkan angin besar.
Khikang semacam ini jarang dikeluarkan oleh Cin Hai, karena tenaga ini membutuhkan pemusatan yang bulat hingga sangat melelahkan tubuh, ia sendiri akan mendapat celaka oleh karena kehabisan tenaga. Oleh karena inilah, maka jarang sekali ia keluarkan kepandaian ini.
Untuk menggunakan tenaga khikang ini, paling lama ia hanya kuat bersilat sampai tiga puluh jurus saja.
Akan tetapi, akibatnya hebat sekali. Baru saja ia menyerang belum lima jurus, kaki kirinya berhasil menendang dada Beng Kong Hosiang hingga hwesio ini jatuh menggelinding ke bawah panggung dalam keadaan pingsan.
Melihat kehebatan ini, para perwira menjadi terkejut sekali dan permainan Santung Ngohiap menjadi kacau balau hingga Eng Yang Cu mendapat kesempatan melukai Lauw Tek dengan pedangnya. Keadaan menjadi kalut dan semua perwira mencabut senjata hendak mengeroyok.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
200 Akan tetapi karena jumlah mereka besar, sedangkan panggung itu sempit, maka gerakan mereka itu bahkan mengacaukan kawan sendiri. Cin Hai dan Kwee An yang mengambil
keputusan hendak membalas dendam, lalu sengaja menujukan senjata mereka kepada keempat sisa anggauta Santung Ngohiap dan ketua saudara Tan Song dan Tan Bu. Eng Yang Cu yang tidak tahu mana musuh-busuh besar muridnya, hanya menggerakkan senjata untuk
melindungi kedua pemuda itu. Pedang Kwee An berhasil merobohkan Tan Song dan Tan Bu dan serangan pemuda ini disertai kegemasan yang meluap hingga kedua saudara Tan itu roboh tewas mandi darah. Cin Hai yang mengamuk hebat bagaikan seekor Naga Sakti
memperlihatkan diri, juga berhasil merobohkan Un Kong Sian, Lauw Houw, Ma Ing, dan Ma Keng In. Akan tetapi karena ia tahu bahwa Ma Keng In tidak ikut dalam penyerbuan ke rumah keluarga Kwee, ia masih mengampuni orang tua ini dan hanya menotoknya roboh, sedangkan yang lain-lain telah tewas di ujung pedang Liong-koan-kiam!
Melihat bahwa ketujuh musuh besar itu telah dapat dirobohkan, tiba-tiba Cin Hai
melintangkan pedangnya yang masih berlumpuran darah dan ia berteriak.
"Cuwi sekalian, tahan senjata! Kami bertiga tidak mau membunuh orang tidak berdosa.
Orang-orang yang telah mengganas dan membunuh keluarga Kwee hanyalah enam orang
yang telah tewas ini! Sedangkan Ma Keng In karena tidak ikut berdosa, ia hanya diberi hajaran saja demikianpun Beng Kong Hwesio yang sombong hanya diberi hajaran agar ia tidak memandang ringan kepada lain orang! Sekarang harap Cuwi beritahukan di mana adanya Boan Sip dan Hai Kong Hosiang, karena kedua orang jahat itu pun hendak kami basmi dari permukaan bumi!"
Akan tetapi, di antara sekalian perwira itu, mana ada yang berani menjawab dan membuka rahasia kawan sendiri" Mereka hanya berdiri diam sambil bersiap sedia dengan senjata di tangan, walaupun hati mereka telah dibikin gentar oleh kehebatan ketiga orang itu!
Karena tidak ada orang yang berani memberi keterangan, Cin Hai lalu mengajak kedua kawannya pergi dari situ. Tiga bayangan berkelebat dan para perwira baru sadar bahwa ketiga lawan mereka telah pergi setelah tak melihat mereka di atas panggung lagi. Mereka lalu menolong kawan-kawan yang terluka dan sebagian orang lalu lari memberi laporan ke istana.
Keadaan menjadi kalut sekali, karena semenjak Kanglam Chit-koai mengamuk pada beberapa puluh tahun yang lalu di dalam Eng-hiong-koan ini, tak pernah ada orang yang berani mengganggu mereka. Tak dinyana bahwa hari ini dua orang pemuda yang dibantu oleh seorang tosu tua telah membuat mereka kocar-kacir, bahkan enam orang perwira telah binasa!
Yang lebih hebat lagi, Beng Kong Hosiang yang belum pernah dikalahkan orang itu, kini roboh dalam tangan seorang pemuda tanggung! Ini hebat sekali.
Juga Kaisar menjadi terkejut mendengar huru-hara ini. Ia lalu memerintahkan barisan pengawal untuk mengejar dan mengepung, akan tetapi pada saat itu, Cin Hai dan kawan-kawannya telah lari jauh meninggalkan tembok kota raja dan telah berhenti di dalam sebuah hutan.
Cin Hai diperkenalkan oleh Kwee An kepada gurunya dan Eng Yang Cu memandang dengan kagum kepada Cin Hai.
"Sie-taihiap, kau masih begini muda akan tetapi kepandaianmu sungguh-sungguh membuat aku menjadi kagum sekali. Siapakah Suhumu yang mulia?"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
201 Sebagaimana biasa, Cin Hai merasa segan untuk memberitahukan nama suhunya karena maklum bahwa Bu Pun Su sama sekali tidak suka bahkan membenci segala nama besar yang dianggapnya kosong belaka. Maka melihat keraguan pemuda itu, Kwee An lalu mewakilinya menjawab,
"Guru Saudara Cin Hai ini adalah Bu Pun Su."
"Ah!" Eng Yang Cu terkejut sekali mendengar ini. "Tak heran apabila kepandaiannya lihai sekali. Pinto pernah mendengar nama besar Suhumu walaupun mataku belum mendapat
kemuliaan dan kehormatan untuk bertemu dengan Locianpwe itu, akan tetapi setelah melihat kepandaian muridnya, hatiku telah cukup puas."
Kemudian Eng Yang Cu menceritakan bahwa dari seorang sahabatnya di kalangan kang-ouw ia mendengar tentang nasib buruk yang menimpa keluarga Kwee An. Kakek ini yang sangat sayang kepada muridnya itu, menjadi marah sekali dan seorang diri ia berangkat ke kota raja hendak mencari Santung Ngohiap yang telah membunuh keluarga muridnya dan kebetulan sekali ia datang di saat yang tepat hingga dapat membantu pembalasan sakit hati Kwee An dan Cin Hai.
"Baiknya Totiang cepat-cepat datang, kalau tidak, aku tak berdaya menolong Saudara Kwee An, karena hwesio itu pun cukup lihai hingga aku tidak mempunyai kesempatan
membelanya," kata Cin Hai terus terang.
"Kwee An, musuh-musuhmu telah terbalas dan semua itu berkat bantuan Sie-taihiap ini, maka jangan kau melupakan budi yang besar itu." "Musuh belum terbalas semua, Suhu," kata Kwee An. Masih ada dua orang musuh besar yang memegang peranan penting dalam
perbuatan biadab itu, yakni Hai Kong Hosiang yang lihai dan Boan Sip perwira yang tadinya hendak memaksa adikku menjadi isterinya."
Eng Yang Cu terkejut. "Hai Kong Hosiang ikut-ikut dalam perbuatan keji" Ah, memang benar kata-kata orang kang-ouw bahwa setiap perbuatan jahat yang sangat keji, tentu Hai Kong Hosiang ikut campur! Biarpun ilmu kepandaian Hai Kong Hosiang mungkin tak lebih hebat daripada suhengnya, akan tetapi hwesio itu terkenal cerdik dan banyak akalnya, lagi curang sekali. Namun pinto percaya bahwa dengan bantuan seorang kawan seperti Sie-taihiap ini, pasti ia akan terbalas!"
Eng Yang Cu terkejut. "Hai Kong Hosiang ikut-ikut dalam perbuatan keji" Ah, memang benar kata-kata orang kang-ouw bahwa setiap perbuatan jahat yang sangat keji, tentu Hai Kong Hosiang ikut campur! Biarpun ilmu kepandaian Hai Kong Hosiang mungkin tak lebih hebat daripada suhengnya, akan tetapi hwesio itu terkenal cerdik dan banyak akalnya, lagi curang sekali. Namun pinto percaya bahwa dengan bantuan seorang kawan seperti Sie-taihiap ini, pasti ia akan terbalas!"
Kemudian, setelah memberi nasihat dan pesanan kepada muridnya agar berlaku hati-hati dan agar supaya suka minta petunjuk-petunjuk dari Cin Hai, tosu pengembara ini lalu melanjutkan perjalanannya.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
202 "Kalau pinto kebetulan bertemu dengan Hai Kong atau Boan Sip, tentu pinto takkan tinggal diam dan mencoba untuk melawan mereka," katanya. Kwee An merasa terharu atas
pembelaan suhunya itu dan menghaturkan terima kasih dan selamat berpisah. Juga Cin Hai merasa kagum sekali atas kebaikan guru Kwee An itu.
"Suhumu itu berhati mulia sekali, Saudara An," katanya dan ia teringat kepada suhunya sendiri Bu Pun Su, yang tiada kabar beritanya itu. Apakah suhunya itu masih berada di Gua Tengkorak"
"Saudara Cin Hai, ketika kita hendak pergi ke kota raja dan mampir di Tiang-an mencari Boan Sip, ternyata ia telah meninggalkan tempat tinggalnya itu dan kabarnya pergi ke kota raja. Akan tetapi, di kota raja pun ia tak ada. Ke manakah ia pergi dan ke mana pula kita harus mencari dia dan Hai Kong Hosiang?"
Setelah berpikir sebentar, Cin Hai menjawab, "Mungkin sekali Boan Sip ikut pergi dengan Hai Kong Hosiang. Biarlah kita menyelidiki lagi ke kota raja mencari jejak mereka. Akan tetapi kita harus berlaku sangat hati-hati, karena tentu saja Kaisar takkan tinggal diam karena perbuatan kita yang membunuh para perwira."
Mereka lalu menanti sampai sore, karena bermaksud hendak memasuki kota raja di waktu malam agar jangan terlalu banyak mengalami rintangan para penjaga yang tentu berlaku waspada setelah terjadi kerusuhan demikian hebatnya.
"Saudara Kwee An, kurasa satu-satunya orang yang dapat memberi keterangan tentang Hai Kong Hosiang dan Boan Sip, adalah Ma Keng In. Perwira ini adalah orang ke tiga dari Santung Ngohiap, dan dibanding dengan saudara-saudaranya, ia agaknya paling baik.
Mungkin sekali dia mau memberi tahu kepada kita tentang tempat tinggal Hai Kong Hosiang, mengingat bahwa kita telah berlaku murah hati dan tidak membunuhnya."
Dengan mempergunakan kepandaian ginkang mereka yang tinggi, Cin Hai dan Kwee Ang dengan mudah dapat melompati tembok kota di bagian yang tidak terjaga dan karena malam itu gelap, maka mereka dapat menyelundup ke dalam kota tanpa menemui rintangan. Ketika Cin Hai mencari keterangan di kalangan penduduk, dengan mudah mereka dapat mengetahui di mana rumah kediaman perwira she Ma itu, yaitu di dalam sebuah gedung besar yang kuno.
Segera mereka jalan di atas genteng dan menuju ke rumah itu. Akan tetapi baru saja mereka tiba di atas wuwungan rumah perwira Ma Keng In, mereka dicegat oleh seorang pemuda berpakaian biru yang telah berdiri di situ dengan tangan memegang sebatang pedang terhunus dan tajam berkilat!
"Hm, kalian masih belum puas dan hendak mengambil jiwa Ayahku?" bentaknya sambil menggerakkan pedang. "Nah, majulah, memang sejak tadi aku telah menanti kedatanganmu berdua!"
Pemuda baju biru itu menyerang Kwee An dengan pedangnya dan Kwee An cepat
menangkis. Kedua pedang bertemu menerbitkan suara nyaring dan bunga api berpijar memercik keluar tanda bahwa kedua orang muda ini seimbang! Cin Hai terkejut karena ternyata pemuda ini mempunyai gerakan cukup lihai.
"Sobat, tahan dulu," katanya. "Kau siapakah dan mengapa tiba-tiba menyerang kami?"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
203 "Kalian diam-diam memasuki kotaraja dan mencari rumah kediaman Ma-ciankun. Masih hendak bertanya mengapa aku menanti dengan pedang di tangan di sini" Aku adalah anak dari Ma-ciangkun. Siang tadi kau telah melukai Ayahku dan mengganas di kota raja, sekarang sebelum kau hendak mencari Ayah, kauhadapi dulu anaknya!"
Sebelum Cin Hai dan Kwee An menjawab, pemuda itu dengan ganasnya telah menyerang lagi kepada Kwee An. Melihat pemuda yang tampan itu dan sikapnya yang lemah lembut serta pergerakan pedangnya yang lihai, Cin Hai menjadi tertarik sekali, maka ia diamkan saja dan menonton pertempuran itu dengan penuh perhatian. Yang mengherankan hatinya ialah bahwa ilmu pedang pemuda itu berbeda sekali dengan ilmu pedang Ma Keng In, bahkan tidak lebih rendah daripada kepandaian Ma-ciangkun itu! Juga gerakan pemuda itu aneh sekali, karena selalu menyerang sambil membalikkan tubuh hingga gerakannya seperti seekor naga yang menyabet dengan ekornya yang tajam. Juga dalam hal tenaga dan kecepatan, ternyata pemuda yang lihai ini tidak kalah oleh Kwee An!
JUGA Kwee An tidak kurang terkejutnya karena putera Ma Keng In ini ternyata merupakan seorang lawan yang tangguh sekali dan ia hanya dapat mengimbangi pemuda itu dan tak dapat mendesak!
"Sobat, kita datang bukan bermaksud buruk!" Kwee An berkata sambil menahan serangan orang akan tetapi pemuda itu tidak ambil peduli dan terus menyerang dengan ganasnya.
Pada saat itu terdengar suara Ma Keng In yang berat dari bawah genteng, "Hoa-ji,jangan berlaku kurang ajar kepada tamu. Jiwi, kalian turunlah jika hendak bicara dengan aku!"
Pemuda yang disebut Hoa-ji oleh ayahnya mengeluarkan seruan kecewa, akan tetapi ia lalu melompat ke bawah dengan ringan, diikuti oleh Kwee An dan Cin Hai. Ma Keng In telah berdiri di situ dan menyambut mereka dengan wajah keren.
"Jiwi yang muda dan gagah malam-malam datang ke pondokku ada keperluan apakah?"
Kwee An membalas hormatnya dan berkata, "Harap Lo-enghiong suka memaafkan kami.
Sebenarnya kami berdua tidak mempunyai permusuhan dengan kau orang tua, karena tidak ikut membasmi keluargaku. Kedatangan kami ini sengaja hendak mohon pertolongan Lo-enghiong dan bertanya di mana adanya Hai Kong Hosiang dan Boan Sip, kedua musuh
besarku yang masih belum terbalas itu."
Walah Ma Keng In memerah. "Hm, kalian otang-orang muda memang terlalu berani dan tidak memandang sebelah mata kepadaku! Kaukira aku ini seorang pengkhianat yang sudi mencurangi dan mengkhianati kawan-kawan sendiri" Biarpun kalian akan membunuh dan memotong lidahku, aku orang she Ma tidak serendah itu untuk mengkhianati kawan-kawan sendiri."
Kwee An tercengang dan tak dapat menjawab. Tapi Cin Hai lalu tertawa aneh. Ma Keng In memang semenjak tadi memandang ke arah Cin Hai karena ia sungguh mengagumi anak
muda yang telah ia saksikan kelihaiannya siang tadi. Kini mendengar suara tertawa anak muda itu ia berkata,
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
204 "Apakah kau demikian memandang rendah kepadaku hingga mentertawakan sikapku yang bodoh?"
"Ah, tidak, tidak sekali-kali, Ma-ciangkun! Aku yang muda bahkan merasa teramat kagum melihat sifat kesatriaanmu. Yang kuanggap lucu adalah keanehanmu. Kau begini gagah perkasa dan berjiwa satria, akan tetapi mengapa kau sudi menjadi anggauta Sayap Garuda yang terkenal ganas menindas rakyat" Biarlah, hal itu bukan urusan kami dan aku pun tidak akan mengutik-utik. Akan tetapi pemandanganmu tadi keliru sekali! Ujar-ujar kuno menyatakan bahwa kebaikan harus dibalas dengan kebaikan pula, akan tetapi kejahatan harus dibalas dengan keadilan! Hai Kong Hosiang dan Boan Sip adalah orang-orang yang telah melakukan keganasan dan kekejaman yang termasuk kejahatan besar. Kalau kau memberi tahu tempat mereka kepada kami, itu berarti bahwa kau telah melakukan sesuatu yang adil.
Ingatlah bahwa permusuhan ini tiada sangkut pautnya dengan kedudukanmu atau kedudukan mereka sebagai anggauta Sayap Garuda, akan tetapi adalah urusan pribadi. Lagi pula mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian, maka apa perlunya mereka bersembunyi daripada kami" Kalau kau menolak untuk memberitahukan tempat tinggal mereka, itu berarti bahwa kau bahkan merendahkan mereka dan berarti kau takut kalau-kalau mereka itu akan kalah dan terbunuh oleh kami!"
Ma Keng In mendengarkan ucapan panjang lebar ini dengan mata terbelalak dan ia makin heran melihat pemuda yang tidak saja berkepandaian lihai itu, akan tetapi juga mempunyai pemandangan yang demikian dalam dan halus. Ia menghela napas dan berkata,
"Alasan-alasanmu dapat diterima, anak muda. Memang Hai Kong Suhu adalah seorang yang tinggi hati dan kalau ia tahu bahwa aku menolak untuk memberi keterangan kepadamu tentang kepergiannya, tentu ia akan merasa kurang senang dan menganggap aku
merendahkannya. Baiklah kalau kau dan kawanmu memaksa, akan tetapi kalau kalian tewas dan celaka di dalam tangannya janganlah kalian merasa penasaran kepadaku. Hai Kong Suhu dan Boan-ciangkun sedang menjalankan tugas yang diperintahkan oleh Kaisar untuk
menghubungi pasukan-pasukan Mongol di perbatasan utara. Lima hari yang lalu mereka dan beberapa orang perwira lain telah berangkat ke utara meninggalkan kota raja."
Cin Hai menjura dan berkata, "Terima kasih banyak, Ma-ciangkun. Kau memang benarbenar seorang tua gagah dan berhati lurus. Mudah-mudahan bertemu kembali dalam keadaan yang lebih menyenangkan."
Kwee An juga menghaturkan terima kasih dan keduanya lalu melompat ke atas genteng untuk meninggalkan kota raja yang sebetulnya tidak aman bagi mereka itu.
Akan tetapi, belum jauh mereka pergi, tiba-tiba terdengar suara orang menegur dari belakang.
Mereka berhenti dan ternyata Ma Hoa, pemuda berbaju biru yang menegur mereka tadi, telah mengejar mereka!
"Eh, eh, kau mengejar mau apa" Apakah hendak melanjutkan pertandingan yang tadi?" Kwee An menegur tidak senang.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
205 "Kalau hendak melanjutkan pertandingan, tak perlu aku banyak cakap!" jawab pemuda itu ketus. "Ayah terlalu lemah, maka kalau kalian memang orang-orang gagah, di dalam tiga hari aku akan menanti kalian di lereng Pai-san di sebelah utara!"
Kwee An merasa mendongkol dan penasaran. "Mengapa kami tidak berani" Baiklah, kalau kami menuju ke utara kami akan mampir di tempat itu dan di sana kita boleh bertempur sampai seribu jurus! Siapa takut dengan seorang kanak-kanak seperti kau?"
Pemuda itu membanting-banting kaki dan berkata, "Aku akan menunggu di sana!" Kemudian ia lalu membalikkan tubuh dan lari meninggalkan mereka.
"Ah, Saudara An, mengapa kau mencari musuh baru" Orang itu kulihat lihai sekali, ilmu kepandaiannya tidak kalah jika dibandingkan dengan Ayahnya." Cin Hai menegur dengan suara menyesal.
"Siapa takut dia?" jawab Kwee An yang merasa mendongkol dan penasaran sekali karena tadi ia benar-benar tidak dapat mengalahkan pemuda itu. Setelah pemuda itu menentangnya apakah ia harus mundur" "Dan lagi kita hendak melewati Pai-san. Kalau kita tidak menyambut tantangannya, bukankah kita akan diterwakan oleh seorang kanak-kanak?"
Cin Hai tersenyum dan maklum bahwa Kwee An merasa penasaran sekali karena tidak dapat mengalahkan seorang pemuda yang sikapnya masih seperti kanak-kanak itu!
Setelah melakukan perjalanan sambil bertanya-tanya di jalan kepada penduduk dusun tentang rombongan Hai Kong Hosiang, tiga hari kemudian Cin Hai dan Kwee An tiba di lereng bukit Pai-san.
Pemandangan di lereng bukit ini sungguh indah dan tanah di situ subur. Hal ini adalah karena di lereng itu mengalir sebuah sungai yang menjadi sumber atau mata air Sungai Liong-kiang dan yang menjadi anak sungai atau cabang Sungai Huangho, karena sungai Liong-kiang ini akhirnya memuntahkan airnya di Sungai Kuning yang besar itu.
Ketika Cin Hai dan Kwee An sedang berdiri termangu-mangu sambil memandang ke arah air sungai yang mengalir sambil memperdengarkan dendang riak air yang menyedapkan telinga, tiba-tiba dari jauh terlihat sebuah perahu kecil yang bergerak maju melawan arus air. Setelah dekat, ternyata yang duduk di dalam perahu itu adalah pemuda baju biru putera Ma Keng In dan seorang tua berpakaian nelayan yang bertubuh kurus bagaikan tengkorak hidup dan berwajah gembira. Biarpun melawan arus air, akan tetapi dengan dayungnya pemuda itu dapat menggerakkan perahu dengan lajunya, hingga dapat dibayangkan betapa kuat tenaganya.
Tiba-tiba terdengar nelayan tua itu berdendang, suaranya yang parau itu diiringi bunyi riak air. "Di belakang pintu gerbang merah indah cemerlang anggur dan daging berlebih-lebihan hingga masam membusuk!
Di luar pintu gerbang kotor sunyi melengang berserakan tulang rangka sisa korban dingin dan lapar!!"
Cin Hai terkesiap. Ia mengenal syair yang diucapkan dalam lagu ini. Ini adalah syair yang ditulis oleh pujangga Tu Fu. Pada jaman dulu keadaan rakyat di bawah pemerintahan Raja Hsuan Tsung sangat menderita dan pada suatu hari ketika lewat di Pegunungan Lisan, Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
206 Pujangga itu melihat betapa Raja Hsuan Tsung bersenang-senang dan berpelesir dengan para selir di istananya yang disebut istana Hua Cin. Oleh karena merasa betapa janggalnya perbedaan ini, yaitu antara kehidupan raja yang tahunya hanya bersenang-senang belaka tidak mempedulikan keadaan rakyatnya yang sengsara dan banyak yang mati kelaparan dan
kedinginan, maka jiwa patriot yang menggelora di hati pujangga Tu Fu menggerakkan tangannya untuk membuat syair itu.
Syair ini semenjak dulu dilarang oleh semua kaisar yang memerintah karena dianggap sangat menghina kaisar, dan bersifat memberontak, maka jarang ada orang mengenalnya lagi, apalagi menyanyikannya, karena apabila terdengar oleh kaki tangan kaisar, tak ampun lagi orang itu dapat ditangkap sebagai pemberontak dan dijatuhi hukuman keras. Akan tetapi nelayan tua yang duduk di dalam perahu itu bahkan berani menyanyikannya dengan lagu suara yang bersemangat sekali. Orang yang berani bernyanyi seperti itu di tempat terbuka, tahulah seorang yang luar biasa dan berilmu tinggi.
"Bagus sekali syair itu, seakan-akan kulihat Tu Fu menjelma kembali." Dengan suara keras Cin Hai memuji.
Ketika itu perahu kecil tadi telah tiba di depan mereka dan nelayan itu lalu memandang ke arah Cin Hai. Tiba-tiba tubuhnya bergerak dan tahu-tahu tubuh yang seperti tengkorak itu telah melayang berdiri di depan Cin Hai.
"Hi-hi, anak muda, kau kenal Tu Fu?" tanyanya.
"Kenal" Dia sahabat baikku di alam mimpi!" jawab Cin Hai yang lalu mengucapkan sebuah syair lain dari Tu Fu dengan suara nyaring.
"Mungkinkah membangun sebuah gedung dengan laksaan kamar untuk memberi tempat bagi para fakir miskin di seluruh dunia yang akan merasa bahagia biarpun dalam hujan karena gedung kokoh kuat bagaikan bukit raksasa"
Kalau saja aku dapat melihat ini tiba-tiba muncul di depan mataku, biarlah gubukku ini hancur lebur, biarlah aku mati kedinginan, aku akan mati dengan mata meram dan jiwa tenteram!
Nelayan itu melebarkan matanya dan memandang kepada Cin Hai dengan wajah gembira sekali. Tiba-tiba dari kedua matanya yang lebar itu mengalir air mata dan ia lalu memeluk leher Cin Hai dan menangis tersedu-sedu sambil menyandarkan kepalanya di pundak pemuda itu.
Kepala nelayan tua itu mengeluarkan bau amis seperti bau ikan, dan ketika ia memeluk Cin Hai kedua tangannya merangkul. Cin Hai merasa seakan-akan ia ditindih oleh sebuah batu besar yang beratnya ribuan kati. Ia merasa terkejut sekali dan tahu bahwa diam-diam kakek nelayan ini telah mencoba tenaganya.
Maka ia lalu menahan napas dan mengerahkan tenaga dalamnya untuk melawan tekanan yang hebat ini. Ia hampir tidak kuat, akan tetapi berkat keteguhan hatinya, ia tidak mengeluh atau memperlihatkan kelemahannya.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
207 Akhirnya kakek nelayan itu melepaskan pelukannya dan Cin Hai merasa lega sekali.
Keringat dingin telah keluar dari kulit mukanya dan ia menggunakan ujung lengan bajunya untuk menyusut peluh itu.
Kakek nelayan itu setelah memandang tubuh Cin Hai dari kepala sampai kaki dengan mata berseri dan wajah gembira, lalu berpaling kepada pemuda baju biru yang sementara itu telah keluar dari perahu dan menghampiri mereka. "Eh, anak nakal, pemuda inikah yang
kaumaksudkan" Ah, Hoa-ji, kau akan kalah! Kau tentu kalah!"
Pemuda yang bernama Ma Hoa itu menggeleng kepalanya dan menuding ke arah Kwee An,
"Bukan dia, Suhu, yang inilah!"
Kwee An dan Cin Hai memandang ke arah pemuda itu. Mereka tercengang, karena setelah melihat pemuda itu di siang hari, ternyata bahwa pemuda ini benar-benar berwajah tampan sekali dan sikapnya pendiam dan agung! Ma Hoa lalu melangkah rnenghadapi Kwee An dan berkata,
"Hem, ternyata kau mematuhi janji. Nah, mau tunggu apa lagi" Cabutlah senjatamu dan coba kau perlihatkan kepandaianmu!" Sambil berkata demikian, Ma Hoa lalu melolos pedangnya dari pinggang dan bersiap sedia. Kwee An berdiri bingung karena ia merasa jerih juga menghadapi pemuda yang bersikap agung dan tenang ini. Ia berpaling kepada Cin Hai, akan tetapi Cin Hai sedang saling pandang dengan nelayan tua itu sambil tersenyum-senyum, sedangkan kakek nelayan itu lalu memegang tangan Cin Hai, ditarik untuk bersama duduk di bawah sebatang pohon dan dengan tertawa haha-hihi ia berkata,
"Mari, mari, sahabatku, kita duduk di sini dan menonton kedua anak nakal itu!"
Cin Hai maklum bahwa kakek nelayan luar biasa ini tak bermaksud jahat, maka ia tidak menguatirkan keselamatan Kwee An dan ia lalu ikut duduk di sebelah kakek itu.
Ma Hoa ketika melihat Kwee An berdiri bengong, lalu membentak,
"Tidak lekas mengeluarkan senjatamu" Apakah kau takut?"
Marahlah Kwee An melihat kecongkakan pemuda itu, maka dengan muka merah ia mencabut senjatanya dan berkata, "Tenang, kawan. Siapa yang takut kepada engkau?"
Ma Hoa lalu menyerang dengan hebat dan tanpa sungkan-sungkan lagi Kwee An dengan cepat menangkis dan membalas menyerang. Sebentar saja keduanya bertempur seru sekali, saling mengerahkan tenaga dan kepandaian, saling melepas umpan, membuat gerak tipu dan mengeluarkan segala jurus yang saling berbahaya.
Cin Hai duduk dengan bengong karena kagum. Ia tak hanya mengagumi kepandaian kedua anak muda ini, akan tetapi ia mengagumi kenyataan bahwa kepandaian kedua orang itu boleh dibilang sama tinggi dan sama pandai. Dan yang lebih mengherankannya lagi, Ma Hoa biarpun sikapnya congkak sokali, akan tetapi di dalam pertempuran itu agaknya tidak mengandung hati ingin mencelakakan Kwee An. Ini dapat dilihatnya dari gerakan pemuda itu Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
208 yang selalu terlambat sedikit dari pada seharusnya dalam mengirim serangan maut! Kwee An tak pantas disebut murid Kim-san-pai yang lihai kalau ia tidak mengetahui hal ini. Mula-mula ia merasa heran dan menganggap bahwa lawannya memang masih belum matang betul
kepandaiannya, akan tetapi karena berkali-kali Ma Hoa memperlambat gerakannya, ia menjadi maklum dan hatinya girang sekali. Ternyata pemuda ini mencoba kepandaiannya saja. Oleh karena itu, ia lalu mengeluarkan kepandaiannya yang paling hebat dan memutar pedangnya sedemikian rupa hingga sinar pedangnya bergulung-gulung, akan tetapi ia pun menjaga-jaga jangan sampai melukai pemuda lawannya itu. Sungguh suatu pertempuran yang hebat dan indah dipandang.
Bukan main girang hati Cin Hai melihat keadaan itu, karena ia maklum bahwa keduanya tidak mempunyai keinginan mencelakakan lawan. Tadinya ia telah merasa khawatir kalau-kalau harus bermusuhan dengan nelayan tua yang hebat ini, karena kalau ia dan Kwee An sampai menjadi musuh nelayan ini, itu berarti bahwa mereka telah menanam bibit
permusuhan yang berbahaya. Laginya, ia merasa suka sekali kepada kakek nelayan yang bersemangat ini. Kegirangan hatinya dan keadaan tamasya alam yang indah di situ telah membuat hatinya bahagia sekali dan tak terasa pula ia mengeluarkan suling bambunya. Kakek nelayan itu memandangnya dengan senang sekali hingga Cin Hai lalu mulai menyuling, sambil matanya memandang kepada dua orang muda yang masih bermain pedang.
Cin Hai memang pandai sekali menyuling. Ketika suara lengking sulingnya melagukan sebuah lagu peperangan kuno yang bersemangat, maka Kwee An dan Ma Hoa tak terasa pula terpengaruh oleh nyanyian ini dan mereka bermain pedang makin hebat dan indah, seakan-akan dua orang penari yang mendengar suara gamelan merdu yang membuat tarian mereka lebih indah.
Kakek nelayan itu menatap wajah Cin Hai dan aneh sekali. Kembali dari kedua matanya yang lebar mengalir keluar air mata. Ternyata hati kakek nelayan ini perasa sekali hingga membuat ia terkenal sebagai seorang yang cengeng atau mudah menangis. Oleh karena inilah, maka ia mendapat sebutan Nelayan Cengeng!
Cin Hai juga dapat melihat bahwa kedua anak muda itu terpengaruh oleh suara sulingnya. Ia melihat betapa mereka berdua telah berpeluh karena pertempuran itu telah berjalan dua ratus jurus lebih! Ia menjadi kasihan dan tiba-tiba ia menghentikan tiupan sulingnya. Keadaan menjadi sunyi setelah suara suling itu terhenti dan yang terdengar kini hanya riak air. Keadaan yang sunyi ini melenyapkan nafsu dan semangat kedua anak muda itu hingga dengan
sendirinya mereka lalu melompat mundur. Wajah kedua pemuda itu berpeluh dan berwarna merah, akan tetapi aneh sekali. Sekarang Kwee An tidak mempunyai perasaan penasaran karena tidak dapat mengalahkan pemuda itu bahkan ia memandang ke arah pemuda itu dengan sorot mata berterima kasih dan ingin bersahabat karena timbul rasa suka di dalam hatinya kepada pemuda itu.
"Bagus, bagus!" tiba-tiba nelayan tua itu melompat berdiri dan berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil yang diberi kembang gula. "Mereka itu cocok dan sesuai sekali, bukan?" katanya kepada Cin Hai dan Cin Hai lalu mengangguk sambil tersenyum.
"Cocok, sama tampan, sama tangkas, dan sama-sama keras hati! Sungguh, jodoh yang cocok!
He, anak muda she Kwee, engkau adalah jodoh muridku, tak ada pemuda lain yang lebih cocok untuk menjadi calon suami muridku, Ha, ha!" Kakek nelayan yang luar biasa ini tertawa terkekeh-kekeh karena girangnya.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
209 Kwee An merasa bingung dan tidak mengerti. Ia memandang ke arah Cin Hai dan tiba-tiba Cin Hai berkejap dan menunjuk dengan sulingnya ke arah Ma Hoat! Kwee An tetap tidak mengerti dan ketika ia memandang kepada Ma Hoa, ia melihat pemuda itu berdiri dengan kepala tunduk dan muka kemerah-merahan dan kadang-kadang sudut matanya mengerling dengan malu-malu! Ini adalah sikap seorang gadis dan tiba-tiba ia menjadi mengerti! Hampir saja ia menempeleng kepalanya sendiri. Mengapa ia begitu bodoh" Ma Hoa bukan seorang pemuda, akan tetapi seorang gadis. Gadis yang cantik jelita dan berkepandaian tinggi pula!
Mengingat hal ini, tiba-tiba saja wajah Kwee An menjadi merah bagaikan kepiting direbus dan ia lalu pergi menghampiri Cin Hai dan tak berani berkata-kata lagi.
"Bukankah cocok sekali mereka?" lagi-lagi kakek nelayan itu bertanya kepada Cin Hai. "Aku yang akan menjadi comblangnya dan aku tanggung Ma-ciangkun takkan mampu menolak
seorang calon mantu yang begini baik! Eh, anak muda she Kwee, mengapa kau diam saja?"
Cin Hai mewakili Kwee An dan berdiri sambil menjura, "Lo-cianpwe, maafkanlah kawanku ini. Dia masih kurang pengalaman dan pemalu sekali, dan tentang perjodohan ini tentu saja harus ia tanyakan dulu kepada Suhunya karena kedua orang tuanya telah tidak ada lagi."
"Ah, jangan banyak upacara lagi!" kata kakek nelayan. "Orang she Kwee, bukankah kau juga suka kepada Hoa-ji seperti ia suka kepadamu?"
Kwee An memandang wajah kakek itu dengan heran. Mulutnya tidak berani bertanya, akan tetapi sinar matanya mengandung penuh pertanyaan, yaitu bagaimana kakek ini dapat menduga demikian"
Agaknya kakek nelayan ini dapat membaca pikiran orang karena setelah tertawa terkekeh-kekeh ia lalu berkata,
"Dalam pertempuran kalian tadi telah jelas terlihat sifat menyayang dan suka dari kalian berdua, apakah kalian dua orang bodoh dapat menipuku" He, Hoa-ji bukankah kau suka kepada pemuda she Kwee ini?"
Ma Hoa memang telah kenal betul akan sifat suhunya yang selalu bersikap terus terang dan jujur, akan tetapi sebagai seorang gadis yang masih bodoh dan pemalu, tentu saia ia merasa malu sekali orang membicarakan tentang perjodohan dan tentang hati suka secara begitu blak-blakan tanpa tedeng aling-aling lagi! Maka ia lalu menundukkan muka dan melompat ke dalam perahunya terus mendayung perahu itu meninggalkan mereka!
"Ha-ha-ha... hi-hi... lihatlah dia telah menjawab pertanyaanku. Dia suka kepadamu! Kalau dia tidak suka tentu ia telah marah dan mengamuk. Kalau dia pergi dan berlari, itu tandanya ia setuju! Nah, anak muda, kau tidak boleh menolak murid Si Nelayan Cengeng!"
Cin Hai terkejut mendengar nama ini karena ia pernah mendengar dari Bu Pun Su bahwa di antara tokoh-tokoh luar biasa terdapat seorang nelayan tua yang disebut Nelayan Cengeng dan yang menjadi ahli silat di darat maupun di dalam air. Juga Kwee An pernah mendengar nama ini dari suhunya, maka mereka berdua lalu memperlihatkan sikap menghormat sekali.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
210 "Locianpwe, harap kau orang tua sudi maafkan teecu yang bodoh. Sebagaimana dikatakan oleh Saudara Cin Hai tadi, dalam soal perjodohan, bukan teecu menampik, akan tetapi harus teecu minta nasihat Suhu terlebih dahulu."
"Eh, siapa Suhumu yang beradat kukuh dan kuno itu?" tanya Nelayan Cengeng.
"Suhu adalah Eng Yang Cu."
"Oh, tosu dari Kim-san itu" Ha, ha, aku suaah menduga bahwa engkau tentu anak murid Kim-san-pai, akan tetapi tak kuduga bahwa imam tua itu masih mau mencapaikan diri menerima seorang murid. Bagus, bagus! Kau tak usah menanyakan dia, karena kalau dia tahu bahwa engkau menjadi suami muridku, tentu dia setuju sepuluh bagian!"
"Teecu menghaturkan banyak terima kasih atas budi kebaikan Lo-cianpwe, akan tetapi sungguh, teecu pada waktu ini belum berani mengikat diri dengan perjodohan!"
Si Nelayan Cengeng yang sebenarnya bernama Kong Hwat Lojin ini memang mempunyai
perasaan yang mudah sekali tersinggung, maka mendengar ucapan dan penolakan Kwee An, ia lalu membanting-banting kakinya dan tanah di mana kakinya terbanting menjadi berlubang setengah kaki lebih!
"Apa katamu" Kau menolak" Baik, akan tetapi kau harus mengajukan alasan yang kuat dan dapat diterima, kalau tidak jangan harap kau dapat meninggalkan tempat ini!"
Kini Cin Hai buru-buru berdiri dan mewakili Kwee An menjawab, karena ia cukup mengenal adat Kwee An yang biarpun pendiam akan tetapi keras hati dan tak kenal takut. Ia khawatir kalau-kalau Kwee An akan menjadi nekad dan membikin marah orang tua itu.
"Locianpwe, sesungguhnya Saudara Kwee An sama sekali tidak menolak dan bahkan merasa bahagia sekali karena mendapat kehormatan besar dan dipilih sebagai jodoh muridmu yang lihai. Akan tetapi ketahuilah bahwa saudaraku ini berada dalam keadaan berkabung dan sekarang sedang melakukan perjalanan dengan teecu untuk mencari musuh besarnya dan membalaskan sakit hati orang tua dan keluarganya yang terbunuh oleh musuh besar itu."
Cin Hai lalu dengan singkat menuturkan pengalaman Kwee An dan betapa keluarga pemuda itu terbasmi oleh musuh-musuhnya. Mendengar tentang peristiwa yang menyedihkan ini, tak tertahan lagi Kong Hwat Lojin menangis tersedu-sedu hingga Kwee An merasa sangat terharu dan tak dapat menahan lagi keluarnya air mata yang membasahi pipinya.
"Jadi musuh-musuh yang belum terbalas itu adalah Hai Kong Hosiang dan seorang perwira"
Ah, Hai Kong, engkau memang jahat sekali. Kalau kau kebetulan bertemu dengan aku, tentu kau akan kurendam dalam air sampai perutmu menjadi kembung!" katanya dengan marah.
Kemudian ia teringat akan sesuatu dan berkata kepada Cin Hai,
"Kepandaian Hai Kong Hosiang kabarnya telah maju pesat karena ia selalu melatih diri dengan ilmu-ilmu silat baru. Tunangan Hoa-ji ini tentu tak dapat melawannya. Mungkin kau dapat menandingi hwesio itu, akan tetapi ketahuilah bahwa hwesio itu selain pandai ilmu silat, juga licin dan cerdik sekali. Apakah engkau mengerti ilmu dalam air?"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
211 Cin Hai menggeleng kepalanya, juga Kwee An menyatakan bahwa ia hanya dapat berenang sedikit saja.
"Ah, kalau begitu, kalian harus berlatih dulu hingga kau akan siap menghadapi hwesio itu, baik di darat maupun di air!"
Cin Hai dan Kwee An merasa girang sekali dan semenjak hari itu, selama dua minggu mereka menerima latihan-latihan dari Nelayan Cengeng itu. Kwee An mendapat latihan ilmu pedang yang disebut Hai-liong-kiam-hwat atau Ilmu Pedang Naga Laut dan latihan napas untuk dapat bertahan di dalam air serta gerakan-gerakan renang, sedangkan untuk Cin Hai, nelayan itu mengatakan bahwa ia tidak berani memberi pelajaran ilmu pukulan karena kepandaian pemuda itu katanya sudah melebihi kepandaiannya sendiri. Maka Cin Hai lalu mendapat latihan bermain di dalam air. Karena Cin Hai memang telah memiliki lweekang yang tinggi dan dapat menahan napas sampai lama, maka sebentar saja ia dapat menguasai ilmu itu dan dapat bermain di air bagaikan seekor ikan saja.
Tentu saja kedua pemuda itu merasa girang sekali. Selama dua minggu itu, Ma Hoa tidak muncul, akan tetapi pada saat Cin Hai dan Kwee An hendak meninggalkan Nelayan Cengeng dan melanjutkan perjalanan ke utara mencari Hai Kong Hosiang, tiba-tiba gadis itu mendatangi dengan naik perahu dari jauh. Cin Hai lalu menunda keberangkatannya dan menanti kedatangan gadis itu, sedangkan Kwee An tidak berani mengangkat muka dan menunduk kemalu-maluan!
Ketika gadis itu meloncat ketuar dari perahu dan kebetulan Kwee An mengangkat muka memandang, ia menjadi tercengang dan tak kuasa mengalihkan pandangan matanya lagi dari gadis itu. Ternyata bahwa kali ini Ma Hoa mengenakan pakaian wanita dan ia telah merubah diri menjadi seorang dara yang luar biasa cantiknya. Bajunya berwarna merah jambon, celananya sutera biru dan ikat pinggangnya serta pengikat rambutnya berwarna merah darah, berkibar-kibar tertiup angin gunung. Gagang pedang yang tergantung di pinggang menambah kegagahan dan kecantikannya. Diam-diam Cin Hai merasa girang sekali karena gadis ini memang pantas sekali menjadi jodoh Kwee An.
Nelayan Cengeng melebarkan kedua matanya ketika melihat pakaian muridnya itu. "Aduh, sudah bertahun-tahun aku tidak melihat kau mengenakan pakaian seperti ini! Bagus muridku, bagus sekali. Kebetulan kau datang karena tunanganmu hendak pergi melanjutkan
perjalanan."
Memang orang tua ini terlalu sekali. kejujurannya yang luar biasa hingga ia menyebut Kwee An sebagai tunangan muridnya itu telah membuat kedua anak muda itu menjadi jengah dan malu sekali.
"Ma Hoa, kita adalah orang-orang sendiri dan bukanlah orang-orang lemah, apa artinya segala sikap malu-malu kucing" Kesinikan pedangmu!" Biarpun ia keras hati, akan tetapi Ma Hoa tunduk dan takut kepada suhunya yang menganggapnya sebagai anak sendiri, maka sambil menundukkan kepala ia bertindak maju. Langkahnya lemah gemulai dan menarik hati sekali. Dengan perlahan dan tangan gemetar ia melolos pedangnya dan diberikan kepada suhunya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun karena ia tahu bahwa jika ia mengeluarkan Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
212 suara, maka suaranya akan terdengar menggigil. Nelayan Cengeng gembira, lalu ia berkata kepada Kwee An dengan suara memerintah,
"Kwee An, terimalah pedang ini dan sebagai gantinya kau harus memberikan pedangmu kepada tunanganmu!"
Dengah sikap menghormat, Kwee An menerima pedang itu, kemudian ia mencabut
pedangnya sendiri dan hendak diberikan kepada kakek itu. Akan tetapi, tiba-tiba Cin Hai yang sedang bergirang hati, berkata,
"Saudaraku, engkau tidak boleh memberikan kepada Locianpwe. Harus kauberikan sendiri kepada tunanganmu! Bukankah begitu, Locianpwe?"
Nelayan Cengeng itu memandang dengan heran kepada Cin Hai, akan tetapi hanya sebentar saja karena ia tertawa bergelak dan berkata, "Benar, benar! Cin Hai berkata betul sekali! Kau harus memberikan sendiri kepada tunanganmu agar kalian jangan terus bersikap malu-malu kucing!"
Dapat dibayangkan betapa malunya kedua anak muda itu karena godaan kedua orang ini.
Dengan hati berdebar-debar Kwee An menghampiri Ma Hoa dan mengasurkan pedang itu.
Akan tetapi, karena dara itu sedang menunduk dan sama sekali tidak berani mengangkat muka dan tidak melihat ia mengangsurkan pedang, maka gadis itu tidak menerima pedang yang diberikan kepadanya. Kwee An menjadi bingung dan serba salah, terpaksa ia menggerakkan bibirnya memanggil,
Istana Pulau Es 2 Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long Pedang Naga Kemala 8
^