Pencarian

Pendekar Bodoh 8

Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Bagian 8


"Moi" eh" Siocia, kauterimalah pedang ini!"
Barulah Ma Hoa mengangkat mukanya. Dua pasang mata bertemu dengan mesra dan cepat sekali Ma Hoa menyambar pedang itu lalu dimasukkan ke dalam sarung pedang dan ia lalu tertunduk kembali!
"Ah, salah... salah...!" Cin Hai menggoda terus. "Saudara An, kau harus memanggil moi-moi, dan Ma Hoa harus memanggil koko, ini baru benar!"
Bukan main girangnya Nelayan Cengeng itu. Ia bersorak-sorak dan meloncat-loncat sambil bertepuk-tepuk tangan. "Benar, benar...! Bagus..."
Ma Hoa tak dapat menahan lagi jengah dan malunya. Setelah mengerling sekali lagi ke arah Kwee An dan melempar senyum yang mesra dan penuh arti, dara ini lalu lari ke perahunya mendayung pergi secepatnya! Cin Hai dan Nelayan Cengeng tertawa terbahak-bahak.
"Nah, kalian pergilah, pergilah! Cepat pergi dan lekas kembali!" kata Kong Hwat Lojin sambil bertindak pergi.
Kwee An dengan mulut cemberut lalu berkata kepada Cin Hai, "Cin Hai, kau sungguh terlalu! Menggoda orang sampai hampir mati karena malu. Awas, kalau kelak bertemu kembali dengan Lin Lin, pasti akan kubalas sepuas hatiku!"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
213 Mendengar nama ini, tiba-tiba Cin Hai termenung. Ia lalu teringat akan gadis kekasihnya itu dan merasa sedih sekali. Akan tetapi, cepat ia dapat menekan perasaannya dan berkata, "Aah, bukankah godaan-godaan tadi diam-diam membikin engkau berbahagia sekali?"
Kwee An tak dapat menjawab, hanya tersenyum dan memukul bahu Cin Hai. Keduanya lalu melanjutkan perjalanan ke utara, akan tetapi seperempat bagian dari hati dan perasaan Kwee An tersangkut pada duri bunga Botan yang tumbuh di pinggir Sungai Liong-kiang itu!
Beberapa pekan kemudian, Cin Hai dan Kwee An telah tiba di perbatasan Tiongkok Utara di mana bertemu dengan suku-suku Mongol dan Mancu yang hidup secara berkelompok. Pada suatu hari mereka tiba di sebuah sungai yang cukup besar dan melihat sebuah perahu yang dihias mewah sekali di tengah itu.
Orang-orang Mongol dari suku Jungar hilir mudik naik turun perahu itu mengangkut kantong-kantong yang agaknya berat. Di antara suku-suku Jungar ini, banyak yang sering merantau ke pedalaman Tiongkok hingga mereka dapat berbicara dalam bahasa Han, yang biarpun kaku akan tetapi cukup dimengerti oleh Cin Hai dan Kwee An. Dari mereka ini kedua pemuda itu mengetahui bahwa perahu itu adalah milik seorang Pangeran Mongol bernama Vayami. Pangeran ini telah bertukar nama karena ia telah memeluk Agama Buddha Merah, dan bahkan menjadi pemuka dari pada Agama Sakya Buddha ini. Barang-barang yang
diangkut ke dalam perahu itu adalah sumbangan-sumbangan dari pada para pemeluk Agama Buddha yang diberikan kepada Pangeran Vayami.
Ketika Cin Hai dan Kwee An sedang melihat di pinggir sungai, tiba-tiba mereka melihat Hai Kong Hosiang di atas perahu itu. Hwesio ini dapat dikenal dengan mudah karena jubahnya yang berwarna kotak-kotak merah putih dan kepalanya yang gundul licin.
Pada saat itu, perahu telah bergerak ke tengah dan hendak meninggalkan tempat itu, sedangkan para pemeluk agama yang berdiri di tepi sungai berlutut memberi hormat yang terakhir kepada Pangeran Vayami.
Cin Hai dan Kwee An lalu menggenjot tubuh mereka dan meloncat ke atas perahu hingga mereka yang melihat perbuatan kedua pemuda Han ini berseru marah. Hai Kong Hosiang dengan mata terbelalak dan tindakan lebar menyambut kedatangan pemuda itu dengan bentakan,
"Dua ekor anjing rendah dari manakah berani memperlihatkan kekurangajaran di sini?"
"Hai Kong Hosiang, pendeta keparat! Ajalmu sudah berada di depan mata, kau masih banyak bertingkah lagi?" Kwee An balas membentak dan memaki.
Hai Kong Hosiang memandang anak muda itu dan ia lalu teringat dan mengenal wajah Kwee An, "Eh, kau masih belum mampus bersama Ayahmu?" Tiba-tiba tangan kanannya mencabut keluar tongkat ularnya yang lihai sambil berkata. "Baik, kalau begitu biarlah ini hari kuselesaikan pekerjaan dulu yang agaknya kurang sempurna agar kau tidak menjadi
penasaran!"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
214 Sambil berkata demikian, ia maju ke arah Kwee An, akan tetapi pada saat itu, pintu kamar yang terdapat di perahu itu terbuka dan muncul seorang pemuda yang berwajah tampan dan berpakaian pendeta jubah merah. Pendeta ini membentak dengan suaranya yang halus,
"Hai Kong bengyu, tahan dulu!" Kemudian ia keluar dengan tindakan kaki yang halus, dan anehnya, Hai Kong Hosiang nampak hormat sekali kepadanya, karena pendeta gundul ini lalu menahan senjata dan menjura. Pemuda ini bukan lain ialah seorang pangeran yaitu Pangeran Vayami sendiri.
Vayami memandang kepada Kwee An dan Cin Hai, lalu merangkap kedua tangannya dan
berkata dalam bahasa Han yang fasih,
"Jiwi-enghiong (Kedua Tuan yang Gagah Perkasa) telah memberi kehormatan kepadaku dan mengunjungi perahu ini, tidak tahu hendak memberi pelajaran apakah?"
Kwee An dan Cin Hai tercengang melihat Pangeran Mongol yang pandai berbahasa Han dan yang halus tutur sapanya ini, juga mereka merasa heran melihat bahwa kopala agama ini ternyata masih muda sekali takkan lebih dari dua puluh lima tahun usianya! Cin Hai lalu merangkapkan kedua tangan pula dan membalas hormat, diikuti oleh Kwee An.
"Maafkan kami berdua yang tidak tahu adat. Oleh karena melihat hwesio jahat ini berada di atas perahu, kami menjadi lupa diri dan dengan lancang melompat ke atas perahumu. Akan tetapi, kami berdua sama sekali tak hendak mengganggu kepada Tuan, dan urusan kami hanyalah dengan hwesio yang bernama Hai Kong Hosiang ini, karena dia adalah pembunuh keluarga kami dan kami sengaja datang hendak mengadu jiwa dengannya."
Pangeran Vayami tersenyum halus, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar tajam yang membuat Cin Hai terkejut sekali karena ia dapat menduga bahwa selain memiliki tenaga lweekang yang tinggi juga pangeran ini berpengaruh dan cerdik.
"Jiwi-enghiong yang muda dan gagah! Kiranya Jiwi pun mengerti akan aturan tuan rumah dan tamunya. Hai Kong Hosiang Suhu adalah menjadi tamu kami dan oleh karenanya, selama dia berada di atas perahuku, aku harus melindunginya dengan segala tenaga, bahkan dengan jiwaku sekalipun. Maka, kuharap Jiwi suka memandang mukaku dan tidak mengganggunya selama dia masih berada di sini!" Setelah berkata demikian, pangeran itu menggerakkan kedua tangannya dan bertepuk tangan tiga kali. Tiba-tiba dari segala sudut keluarlah lima orang pendeta Sakya yang berjubah merah dan nampak kuat serta pandai ilmu silat.
Cin Hai dapat merasai kebenaran ucapan pangeran itu, maka ia lalu menuding kepada Hai Kong Hosiang, "Hai Kong! Kau tentu masih cukup gagah untuk mengakui kedosaan dan perbuatanmu dan tentu tidak begitu pengecut untuk lari dari tuntutan balas kami. Kalau kau memang laki-laki maka harap kau mau turun ke darat dan marilah kita bertanding mengadu jiwa, menentukan siapa yang lebih pandai!"
Hai Kong Hosiang tadi telah melihat gerakan Cin Hai ketika melompat ke dalam perahu, maka ia maklum bahwa anak muda ini jauh lebih lihai daripada Kwee An, maka ia berkata,
"Jangan kau mengacau dan membuka mulut sembarangan. Aku Hai Kong Hosiang tak
pernah lari dari musuh-musuhku. Akan tetapi yang kubunuh adalah keluarga pemuda ini, dan kau tidak mempunyai sangkut paut dengan urusan itu, mengapa kau ikut campur?"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
215 "Ha-ha-ha, hwesio gundul yang palsu! Kau juga telah mempunyai hutang padaku. Ingatkah kau dahulu ketika kau bertemu melawan Kanglam Sam-lojin di depan Kuil Ban-hok-tong di Tiang-an" Anak kecil yang meniup suling dan yang hendak kaubunuh dulu itu siapa" Lihat mukaku baik-baik, dan kau tentu akan ingat bahwa kau sekarang berhadapan dengan anak itu yang kini hendak membalas kebaikan budimu dulu!"
Hai Kong Hosiang terkejut. Ia ingat bahwa anak ini ia lihat bersama dengan Ang I Niocu di dalam gua Tengkorak itu, maka diam-diam ia merasa agak jerih. Akan tetapi, Hai Kong Hosiang adalah seorang gagah yang telah lama malang-melintang di dunia kang-ouw dan jarang bertemu tanding, maka tentu saja ia sama sekali tidak takut menghadapi dua orang anak muda yang masih hijau itu.
"Bagus, kalau begitu, kebetulan sekali. Engkau pun rupanya sudah bosan hidup?"
"Hwesio keparat kau turunlah ke darat!" Kwee An membentak marah.
"Ha, ha! Siapa sudi menurut perintah dua ekor anjing cilik! Aku akan turun kalau aku suka dan sekarang aku belum ada ingatan untuk turun dan melayani kalian." Cin Hai menjura kepada Pangeran Vayami. "Maaf, karena hwesio ini membandel, terpaksa kami berlaku kurang ajar dan bertindak di sini!"
Pangeran Vayami sambil tersenyum berkata. "Cobalah kalau engkau dapat, karena aku tak mungkin tinggal diam melihat tamuku diganggu." Ia lalu memberi tanda dan kelima orang pendeta Sakya itu lalu maju dengan sikap mengancam dan mengurung Cin Hai serta Kwee An!
"Saudara An, kaulawanlah lima boneka merah itu dan aku akan membinasakan kera tua ini!"
Bukan main marahnya Hai Kong Hosiang mendengar dirinya dimaki "kera tua"! Ia lalu berseru nyaring dan senjatanya yang luar biasa, yaitu seekor ular kering itu meluncur dan menyerang ke arah tenggorokan Cin Hai. Cin Hai berlaku gesit dan waspada, ia lalu mengelak mundur sambil mencabut Liong-coan-kiam.
Kelima pendeta Sakya itu bersenjata tongkat dan mereka lalu mengeroyok Kwee An yang memutar pedangnya dengan hebat. Ternyata bahwa kelima pendeta Mongol itu hanya
memiliki tenaga hebat dan kuat bagaikan kerbau jantan, akan tetapi kepandaian silat mereka tak seberapa tinggi, hingga Kwee An tak sampai terdesak oleh mereka. Akan tetapi, bagi pemuda itu pun tidak mudah merobohkan mereka karena ia harus berlaku hati-hati sekali.
Biarpun serangan lawan-lawannya tidak cukup gesit dan berbahaya, namun karena tenaga mereka besar sekali, maka sekali saja terkena pukul tongkat mereka, ia pasti akan celaka!
Maka ia berlaku tenang dan hati-hati dan menjaga diri dengan kuatnya, sedikit pun tak memberi waktu kepada mereka untuk dapat memukulnya.
Yang hebat adalah pertarungan antara Cin Hai dan Hai Kong Hosiang. Pendeta ini benarbenar telah mendapat banyak kemajuan dalam ilmu silatnya seperti yang pernah dikatakan oleh Nelayan Cengeng. Karena berkali-kali bertemu dengan lawan-lawan yang tangguh seperti Bu Pun Su, Biauw Suthai, dan yang lain-lain, dan semenjak kena dikalahkan oleh Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
216 Biauw Leng Hosiang, pendeta ini lalu melatih diri dan mempelajari ilmu silat lain yang tinggi untuk menambah kepandaiannya. Bahkan dalam perjalanannya ke utara, ia sengaja
mengunjungi tokoh-tokoh ternama untuk bertukar ilmu silat dan mempelajari kepandaian mereka itu. Maka dalam pertempuran Cin Hai kali ini, pemuda itu pun harus mengakui bahwa ilmu silat pendeta ini jauh lebih hebat daripada ketika ia bertempur di dalam Gua Tengkorak.
Terutama tongkatnya yang hebat itu, yang di dalam tangannya seakan-akan berubah menjadi seeor ular berbisa yang masih hidup, sangat berbahaya sekali. Biarpun Cin Hai sudah dapat menduga gerakan dalam tiap serangan yang hendak dilancarkan, akan tetapi karena senjata lawannya ini berbahaya dan berbisa, ia menjadi sibuk juga dan terpaksa berlaku hati-hati sekali. Ia lalu mengeluarkan limu Silat Sian-li Utauw pelajaran Ang I Niocu, karena dengan ilmu silat ini ia dapat bergerak gesit sekali dan tubuhnya berkelebat ke sana ke mari menolak serangan lawan dan melakukan serangan balasan yang tak kalah hebatnya.
Melihat pertempuran-pertempuran itu, terutama pertempuran antara Cin Hai dan Hai Kong Hosiang, Pangeran Vayami merasa kagum sekali. Pangeran muda ini berdiri di depan pintu kamarnya dan menonton dengan mata berseri. Ia kagum sekali melihat permainan silat Cin Hai karena ia maklum bahwa terhadap Hai Kong Hosiang, pemuda ini hanya kalah
pengalaman dan kalah senjata saja. Namun, betapa herannya ketika ia melihat bahwa pemuda itu makin lama makin hebat permainan silatnya dan beberapa kali gerakan pemuda itu berubah-ubah. Memang untuk mengacaukan permainan lawannya yang tangguh, Cin Hai
sengaja mencampur permainan silatnya dengan ilmu silat lain. Kadang-kadang ia
mengeluarkan jurus Liong-san-kiam-hoat, Ngolian-kiam-hoat, bahkan seringkali ia
mengimbangi permainan ilmu tongkat Hai Kong Hosiang, yaitu yang berdasarkan jian-coa-kiam-sut atau Ilmu Pedang Seribu Ular. Hai Kong Hosiang tercengang dan heran sekali hingga ia menunda serangannya dan membentak, "Bangsat dan maling rendah! Dari mana kaucuri ilmu pedangku?"
"Ha, ba, gundul tua berbatin kotor! Siapa sudi mencuri ilmu pedangmu yang tak berguna"
Lihatlah, aku mempunyai ilmu pedang yang menjadi nenek moyang ilmu pedangmu itu!"
Setelah berkata demikian, Cin Hai lalu menyerang dengan pedangnya dan Hai Kong Hosiang hampir berseru karena heran dan terkejut, karena Cin Hai benar-benar menyerangnya dengan Ilmu Pedang Jian-coa-kiam-sut, akan tetapi jauh lebih sempurna.
Padahal sebetulnya Cin Hai hanya meniru-niru serangan Hai Kong tadi, hanya saja karena ia telah dapat memecahkan rahasia dasar ilmu silat yang telah dimainkan itu, ia dapat mencari pula ciri-cirinya dan dapat memperbaikinya. Tentu saja gerakannya ini belum matang karena tak pernah dilatih, akan tetapi cukup membuat Hai Kong Hosiang terkejut dan jerih. Tak disangkanya bahwa pemuda ini demikian hebat kepandaiannya. Kehebatan meniru ilmu silat-ilmu silat ini mengingatkan ia akan Bu Pun Su karena pernah pula ia dipermainkan oleh jembel tua itu, maka tentu saja ia menjadi khawatir dan jerih. Namun, karena melihat bahwa Cin Hai hanya seorang pemuda yang baru dewasa, ia memperkuat hatinya dan sambil
membentak keras ia menyerang lagi. Kini tangan kirinya mencabut keluar sebatang sabuk ular yang penuh bisa. Jangankan sampai terpukul oleh sabuk ini bahkan baru keserempet sedikit saja, racun ular yang mengenai kulit dapat menimbulkan rasa gatal yang hebat dan cepat sekali racun itu dapat meresap ke dalam daging dan meracuni darah hingga membahayakan jiwa lawannya. Baru saja sabuk ular itu tercabut keluar, Cin Hai telah mencium bau yang amat amis, maka tahulah dia akan bahaya dan lihainya senjata istimewa ini. Ia lalu menggunakan tangan kirinya mencabut keluar sulingnya dan untuk mengimbangi lawan, ia Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
217 mempergunakan dua macam senjata pula di tangan kanan pedang Liong-coan-kiam, di tangan kiri suling bambunya!
Melihat suling ini, Hai Kong Hosiang menjadi marah karena ia teringat akan peristiwa dulu ketika Cin Hai masih kecil dan dengan suling bambunya telah menggagalkannya untuk mengalahkan Kanglam Sam-lojin, bahkan yang mengakibatkan matinya kelima ularnya
karena Bu Pun Su menjatuhkan tangan kejam! Maka ia lalu menyerang sambil berteriak,
"Anak setan, kali ini kalau belum menghancurkan kepalamu, aku takkan puas!"
Cin Hai diam-diam merasa girang melihat kemarahan Hai Kong Hosiang ini, dan ia melayani serbuan hwesio itu dengan tenang, akan tetapi kegesitan dan kehebatan ilmu pedangnya yang dicampur dengan gerakan-gerakan sulingnya tidak dikurangi kecepatannya. Kedua orang ini bertempur mati-matian hingga bayangan kedua orang ini tak tampak lagi, tertutup oleh sinar senjata masing-masing.
Sementara itu, Kwee An yang mengamuk dengan Kim-san-kiam-hoatnya telah berhasil
merobohkan dua orang pengeroyoknya hingga Pangeran Vayami menjadi terkejut sekali.
Pangeran yang cerdik ini maklum bahwa kedua anak muda yang mengacau di atas perahunya adalah orang-orang tangguh dan jika dilawan terus akan membahayakan keselamatannya, maka ia lalu memberi aba-aba dalam bahasa Mongol. Beberapa orang pelayan yang
berkepandaian rendah dan karenanya tak berani membantu lalu menurunkan dua buah perahu kecil ke atas air. Vayami lalu menyalakan api dan membakar layar yang tergantung ke bawah hingga sebentar saja api menyala hebat di atas perahu itu. Ia lalu melompat dan hendak turun ke dalam perahu-perahu kecil yang telah dilepas ke atas air. Akan tetapi, melihat kecurangan pangeran ini, Kwee An meninggalkan ketiga pengeroyoknya dan ia mengejar pangeran itu sambil berteriak,
"Jangan kau berlaku curang!" Akan tetapi, ketika ia telah tiba di depan pangeran itu, tiba-tiba Vayami menyerangnya dengan obor yang masih menyala. Kwee An terkejut karena serangan ini hebat juga dan diserangkan ke arah pakaiannya. Cepat ia mengelak dan tahu-tahu obor di tangan Vayami yang lihai itu telah diserangkan pula ke arah mukanya! Kwee An miringkan kepala dan selagi ia hendak membalas menyerang, tahu-tahu kaki Vayami telah berhasil menendang lututnya. Biarpun ia dapat miringkan kakinya hingga yang tertendang hanya di atas lututnya dan karena ia mengerahkan tenaga dalamnya maka pahanya tidak sampai terluka, akan tetapi karena tendangan itu keras, dan juga karena mereka berdiri di pinggir perahu, maka tak ampun lagi tubuh Kwee An terpelanting keluar perahu dan jatuh tercebur ke dalam air!
Cin Hai terkejut sekali akan tetapi ia tidak berdaya menolong karena Hai Kong Hosiang mendesaknya dengan hebat.
Ia melihat betapa semua pengikut Vayami dan pangeran itu sendiri melompat ke dalam perahu-perahu kecil dan terdengar Vayami berseru,
"Hai Kong Bengyu, lekas kau melompat ke sini!" Akan tetapi, Hai Kong Hosiang mana dapat meninggalkan Cin Hai begitu saja. Anak muda ini maklum bahwa jika hwesio itu dapat melompat ke dalam perahu, maka selain musuh besar ini tak dapat dirobohkan, juga keadaannya berada dalam bahaya. Api di atas perahu telah mulai membesar dan bahkan kini telah memakan tiang besar di tengah perahu! Oleh karena ini, maka Cin Hai mengambil Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
218 keputusan nekad dan menyerang mati-matian hingga hwesio itu sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk lari. Terpaksa Hai Kong Hosiang kertak gigi dan melayani dengan sama sengitnya.
Masih terdengar beberapa kali suara Vayami memanggil Hai Kong Hosiang akan tetapi karena hwesio itu tak dapat ikut pergi, terpaksa Vayami dan orang-orangnya mendayung perahu mereka melawan arus yang besar dan kuat karena perahu besar dimana Cin Hai dan Hai Kong Hosiang bertempur mati-matian itu telah hanyut ke tengah dan telah tiba di tempat yang airnya mengalir kencang. Kwee An yang tercebur ke dalam air pun tak kuasa menahan bantingan air yang hebat dan terpaksa ia membiarkan dirinya terbawa hanyut sampai jauh.
Baiknya ia pernah berlatih berenang pada Nelayan Cengeng, kalau tidak, mungkin ia akan mati di dalam permainan arus amat kuat itu! Ia tak kuasa berenang ke pinggir karena arus amat deras dan sungai itu sangat lebar, maka ia hanya mempergunakan kepandaiannya untuk menghindarkan tabrakan dengan batu-batu karang dan membiarkan dirinya hanyut di
permukaan air. Sebentar saja ia terbawa hanyut jauh sekali dan setelah melalui sebuah tikungan, perahu besar di mana Cin Hai dan Hai Kong Hosiang bertempur telah lenyap dari pandangan matanya. Ia masih melihat betapa perahu itu mulai berkobar, maka diam-diam Kwee An sangat mengkhawatirkan keselamatan Cin Hai.
Ilmu kepandaian Hai Kong Hosiang memang hebat. Ini terasa sekali oleh Cin Hai, karena sungguhpun pemuda ini telah mengerahkan semua kepandaian dan tenaganya, namun ia tetap tak dapat merobohkan Hai Kong Hosiang. Padahal mereka telah bertempur lebih dari dua ratus jurus. Sungguh harus ia akui bahwa inilah lawan yang paling tangguh yang pernah ia jumpai, kecuali Hek Pek Moko. Kalau dibanding dengan Beng Kong Hosiang, yaitu suheng atau kakak seperguruan Hai Kong, hwesio ini bahkan jauh lebih tangguh. Apalagi sabuk ular di tangan kirinya, sungguh-sungguh sukar dilawan karena berbahaya sekali.
Sebetulnya, ilmu kepandaian yang diwarisi oleh Cin Hai dari Bu Pun Su, boleh dibilang menjadi raja ilmu silat, karena ilmu ini membuat ia dapat mengetahui semua rahasia segala macam ilmu silat yang ada. Akan tetapi, oleh karena sebelum mempelajari ilmu kepandaian hebat ini Cin Hai belum mempunyai dasar-dasar ilmu silat lain, maka sekarang ia hanya mempunyai daya tahan yang sangat kuat saja, dan kurang kuat dalam hal menyerang atau boleh juga disebut kurang agresip. Memang, daya tahannya luar biasa kuatnya dan tak sembarang tipu gerakan yang dapat merobohkannya, akan tetapi sebaliknya daya serangnya lemah sekali oleh karena untuk dapat menyerang ia hanya dapat memetik dari jurus-jurus Ilmu Silat Liong-san yang dipelajarinya dari Kanglam Sam-lojin atau Ilmu Silat Lima Teratai dan Tarian Bidadari yang dipelajarinya dari Ang I Niocu.
Paling banyak ia hanya dapat meniru gerakan lawan untuk membalas menyerang, akan tetapi sudah tentu saja gerakannya kurang mahir, dan pula, apa artinya ilmu silat lawan digunakan untuk menyerang" Sudah tentu lawan itu sudah mengenal serangan ini dan amat mudah mengelak atau menangkisnya.
Maka biarpun Cin Hai dapat menghadapi Hai Kong Hosiang dengan baik akan tetapi juga amat sukar baginya untuk menjatuhkan lawan yang luar biasa tangguhnya ini. Memang dengan Tarian Bidadari, beberapa kali ia telah berhasil menghantam pundak dan lengan Hai Kong Hosiang dengan sulingnya, akan tetapi hwesio ini mempunyai tubuh kebal karena ia telah mempelajari dan memiliki ilmu kebal yang disebut Kim-kang-san atau Pakaian Baju Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
219 Emas. Juga ilmu lweekang hwesio ini sudah cukup tinggi hingga sering kali kalau suling Cin Hai menotok jalan darahnya, ia tidak mengelak, akan tetapi menggunakan tenaganya untuk menutup jalan darahnya itu dan mengerahkan Kim-kang-san untuk menolak pukulan itu!
Diam-diam Cin Hai merasa kagum sekali dan ia tidak menyangka bahwa juga Hai Kong Hosiang merasa kagum kepadanya karena hwesio ini mengakui di dalam hati bahwa apabila pemuda ini telah matang latihannya, tentu ia takkan sanggup menghadapinya lebih lama daripada seratus jurus!
Sementara itu, kini seluruh permukaan perahu telah mulai berkobar dan bahkan api telah menjalar mendekati mereka yang sedang bertempur! Tiang besar di dekat mereka juga telah terbakar dan hawanya menjadi panas bukan main! Pada saat itu, Hai Kong Hosiang tanpa disengaja menginjak sebuah papan yang terbakar hingga sepatunya menginjak api panas, sedangkan pedang di tangan Cin Hai telah disabetkan dengan hebat ke arah pinggangnya!
Hwesio itu berteriak kaget akan tetapi masih sempat menjatuhkan diri ke belakang hingga papan yang terbakar itu kena tertindih tubuhnya dan padam. Dalam kemurkaannya, hwesio itu menggunakan kakinya menyapu tiang besar yang terbakar dan terdengar suara keras ketika tiang yang telah terbakar itu tidak tahan tertendang kaki Hai Kong Hosiang dan menjadi roboh! Dengan mengeluarkan suara hiruk-pikuk, tiang yang terbakar dan layar yang masih menggantung di atasnya itu tumbang menimpa mereka berdua!
Cin Hai cepat melompat pergi ke kepala perahu dan terhindar dari pada bahaya tertimpa tiang yang besar dan berat. Hai Kong Hosiang juga hendak melompat akan tetapi celaka baginya.
Kakinya yang tadi digunakan untuk menyapu tiang secara kebetulan sekali terlibat oleh tali tambang yang besar, yaitu tali penarik layar yang bergantungan di tiang itu. Oleh karena ini, gerakannya melompat membawa tiang itu dan layar di atas roboh ke arah dirinya! Ia mencoba mengelak akan tetapi tali itu seperti tangan yang kuat memegangi kakinya hingga kakinya tertimpa tiang itu dan layar yang lebar dan tebal menyelimuti tubuhnya!
Dengan kekuatan Kim-kang-san yang dimilikinya, Hai Kong Hosiang dapat menyelamatkan kakinya dan kaki itu tidak menjadi patah walaupun tertimpa tiang sebesar itu, akan tetapi ia menjadi sibuk karena sukar untuk keluar dari selimutan layar yang besar itu, sedangkan layar itu pun mulai berkobar dan termakan api! Hai Kong Hosiang meronta-ronta, akan tetapi layar dan tiang itu sukar sekali dilepaskan dan ia menjadi gugup dan panik. Asap api telah masuk ke dalam selubungan layar dan membuat napasnya menjadi sesak. Dan pada saat itu, Hai Kong Hosiang tiba-tiba merasa takut! Ia merasa ngeri dan takut sekali menghadapi bahaya maut berupa api yang hendak membakar dirinya. Oleh karena ini, tak terasa pula ia memekik-mekik. "Tolong... tolonglah jiwaku..."
Pada saat itu, Cin Hai telah berdiri di kepala perahu dan telah siap untuk terjun ke air, meninggalkan perahu yang telah terbakar itu. Ia memandang ke arah Hai Kong Hosiang yang tertimpa tiang dan tertutup layar dan ia merasa girang karena musuh besar ini pasti akan mampus terpanggang. Tadinya ia bersiap sedia, karena kalau hwesio itu dapat melepaskan diri dari tindihan layar, ia hendak mengirim serangan tiba-tiba untuk menamatkan riwayat musuh yang tangguh itu. Akan tetapi ia menjadi lega ketika melihat bahwa hwesio itu tidak mampu melepaskan diri daripada kurungan layar dan tiang! Cin Hai tersenyum, memasukkan pedang ke dalam sarung pedang, menyelipkan suling ke ikat pinggangnya dan hendak mengayunkan tubuhnya terjun ke air. Akan tetapi, pada saat itu telinganya mendengar jeritan Hai Kong Hosiang yang minta tolong!
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
220 Cin Hai berdiri termangu-mangu dan ragu-ragu. Mendengar pekik minta tolong itu, lenyaplah perasaannya bermusuh terhadap Hai Kong Hosiang. Yang terlintas dalam pikirannya pada saat itu hanyalah adanya orang yang terancam bahaya maut dan ia kuasa menolongnya, maka bagaimana ia dapat berlaku kejam dan tinggal berpeluk tangan melihat orang dimakan api"
Ah, hatinya tak sekejam itu dan ia menjadi tidak tega sungguhpun di waktu bertempur, dengan senang hati ia akan menancapkan pedangnya di uluhati hwesio itu!
Tanpa banyak pikir lagi, Cin Hai lalu melompat ke dekat layar dan tiang yang masih mengurung Hai Kong Hosiang dan dengan menggunakan sepatunya ia menginjak-injak api yang mulai membakar layar itu dari tubuh Hai Kong Hosiang. Ternyata keadaan hwesio itu telah mulai payah karena selain api telah ada yang menjilat tubuhnya, juga ia telah dibuat tak berdaya oleh asap. Pertolongan yang datang tiba-tiba ini membuat ia dapat bernapas lagi dan ia duduk terengah-engah sambil terbatuk-batuk sedangkan kakinya masih tertindih tiang!
Melihat muka hwesio yang telah menjadi hitam karena asap dan api, Cin Hai lalu menendang pergi tiang yang menindihnya dan tanpa banyak cakap lagi ia lalu mengangkat tubuh Hai Kong Hwesio dari kurungan api. Ia melompat ke pinggir perahu dan selagi ia hendak menurunkan tubuh musuh itu, tiba-tiba ia merasa pundak kirinya sakit sekali dan mendengar suara Hai Kong Hosiang tertawa!
Ternyata bahwa Hai Kong Hosiang telah menggunakan kesempatan ketika ia digendong oleh Cin Hai itu menotok pundak Cin Hai di bagian jalan darah swan-hong-hiat! Totokan ini sebenarnya hebat sekali dan dapat mendatangkan kematian bagi Cin Hai, akan tetapi karena tenaga Hai Kong Hosiang telah berkurang sedangkan Cin Hai masih sempat menutup jalan darahnya walaupun agak terlambat, maka pemuda itu hanya menderita luka dalam yang cukup hebat hingga ia merasa betapa setengah badannya sebelah kiri telah menjadi lumpuh. Cepat Cin Hai menggunakan tenaga terakhir untuk melempar dirinya dan Hai Kong Hosiang ke dalam air. Terdengar suara keras dan air memercik tinggi ketika dua tubuh itu terbanting di air yang mengalir cepat itu. Hai Kong Hosiang jatuh dengan terlentang hingga untuk beberapa saat ia gelagapan. Akan tetapi, hwesio ini telah mempelajari ilmu di dalam air, maka cepat ia dapat membalikkan diri dan dengan matanya yang telah menjadi pedas dan kabur akibat serangan api tadi, ia mencari-cari mangsanya. Akan tetapi Cin Hai tidak nampak di situ dan selagi Hai Kong Hosiang mencari-cari dengan heran, tiba-tiba dari bawah permukaan air, sebuah lengan tangan menyerangnya dengan kekuatan yang luar biasa. Inilah Pukulan Petir Menyambar Awan yang dilakukan oleh Cin Hai dengan hati gemas. Walaupun sebelah
tubuhnya telah menjadi lumpuh, namun Cin Hai dengan mengeraskan hati dan
mengumpulkan tenaga di tangan kanannya dapat melancarkan pukulan hebat itu yang tepat menghantam punggung Hai Kong Hosiang. Pukulan ini dilakukan dengan tangan kanan dan jari-jari terbuka dan hebatnya luar biasa, hingga tenaga Cin Hai tinggal setengah bagian saja dan walaupun dilakukan dari dalam air namun tubuh Hai Kong Hosiang yang besar itu sampai terpental ke atas air. Cin Hai tidak kelihatan kepala dan tubuhnya dan hanya tangan kanannya saja nampak memukul dari dalam air, sedangkan tangan kirinya telah tak berdaya sama sekali.
Hai Kong Hosiang mengeluarkan jeritan ngeri dan merasa seakan-akan nyawanya telah melayang meninggalkan tubuhnya, kepalanya pusing dan matanya menjadi gelap. Ia
terbanting lagi ke dalam air dan tubuhnya hanyut terbawa air karena ia telah pingsan terkena Pukulan Petir Menyambar Awan itu. Adapun Cin Hai yang lelah sekali dan tubuhnya lumpuh sebelah, setelah melakukan serangan balasan yang hebat ini pun lalu menjadi pingsan dan tubuhnya hanyut di belakang tubuh Hai Kong Hosiang. Dalam keadaan pingsan Cin Hai tidak merasa bahwa ia telah ditolong oleh kaki tangan Pangeran Vayami. Juga Hai Kong Hosiang Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
221 ditolong oleh pangeran itu. Keduanya lalu dibawa ke utara dan dibawa masuk ke dalam sebuah tempat kediaman pangeran itu yang memiliki banyak sekali gedung di daerah utara yang dibangun model gedung bangsa Han.
Berkat tubuhnya yang luar biasa kuatnya, setelah mendapat perawatan dari seorang tabib Mongol, luka yang diderita oleh Hai Kong Hosiang akibat pukulan Cin Hai telah dapat disembuhkan lagi dalam beberapa hari. Juga Cin Hai telah sadar dari pingsannya, akan tetapi ia merasa tubuhnya masih lemah sekali. Ia merasa heran mengapa ia mendapat perawatan sedemikian baiknya dari Pangeran Vayami dan diam-diam ia merasa bersyukur dan berterima kasih.
Ketika Hai Kong Hosiang sadar dan melihat bahwa Cin Hai masih hidup dan berada di tempat itu pula, ia serentak bangun dan hendak membunuh pemuda itu, akan tetapi Vayami mencegahnya. Hai Kong Hosiang adalah utusan kaisar yang ditugaskan menghubungi
Pangeran Vayami yang berpengaruh, bahkan ia diberi tugas membawa surat undangan kepada pangeran itu, maka hwesio ini maklum bahwa Pangeran Vayami adalah seorang yang
terhormat dan yang harus ditaati perintahnya karena pangeran ini adalah calon tamu agung yang diundang ke istana kaisar.
"Hai Kong Beng-yu, jangan salah paham," kata pangeran ini dengan wajah berseri dan senyumnya yang manis. "Bukan aku sengaja membela dia karena aku membenarkan dia dan memusuhimu, akan tetapi aku membutuhkan tenaga dan kepandaiannya. Ketahuilah bahwa ia telah terkena pengaruh madu merah dari tabibku dan sebentar lagi ia akan menjadi alat kita yang boleh dipercaya."
Hai Kong Hosiang mengangguk-angguk dan ia batalkan niatnya hendak membunuh pemuda tangguh yang hampir saja menewaskannya itu. Ia merasa gembira akan muslihat Pangeran Vayami yang cerdik dan licin. Ternyata di daerah utara terdapat banyak sekali obat-obatan yang sangat manjur dan ramuan obat yang luar biasa jahatnya dan yang sama sekali tak pernah dikenal oleh penduduk Tiongkok pedalaman. Pangeran Vayami mempunyai tabib tua yang ahli dalam hal obat-obatan bangsa Mongol dan di antara obat-obat yang mengandung racun luar biasa terdapai semacam obat yang disebut madu merah. Madu merah ini memang madu dari bangsa tawon yang langka terdapat di lain bagian di dunia, dan hanya terdapat di daerah salju di utara. Madu merah ini bukanlah racun yang berbahaya bagi tubuh, akan tetapi mempunyai khasiat memabokkan dan yang dapat membuat orang menjadi lupa akan keadaan dirinya dan yang diberi minum madu merah ini akan menjadi manusia penurut yang tak dapat menguasai pikiran sendiri dan tahunya hanya menjalankan perintah orang lain yang mempengaruhinya. Kalau sekarang mungkin orang macam ini akan disebut manusia-manusia robot! Pangeran yang cerdik ini merasa kagum akan kepandaian Cin Hai, maka diam-diam ia menggunakan obat mujijat ini untuk mencengkeram Cin Hai, dan memperalatnya!
Cin Hai mendapat perawatan yang luar biasa telaten dari tabib tua kepercayaan Vayami hingga dengan mudah saja pemuda itu dapat diberi minum madu merah yang manis rasanya dengan alasan bahwa itu adalah obat untuk menguatkan tubuhnya. Memang benar, tubuh Cin Hai menjadi kuat kembali dan luka akibat totokan Hai Kong Hosiang telah sembuh, akan tetapi ia merasa makin hari makin malas dan semua hal yang telah terjadi berangsur-angsur terlupa olehnya. Bahkan ketika telah diperbolehkan keluar kamar dan melihat Hai Kong Hosiang, ia tidak mengenal lagi hwesio ini! Cin Hai hanya merasa senang luar biasa tinggal di Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
222 situ dan tidak mempunyai kehendak lain. Biarpun pikirannya telah dipengaruhi obat mujijat itu, namun tenaga dan kepandaiannya masih ada padanya. Hanya kepandaiannya dan
julukannya saja yang ia masih ingat, yaitu "Pendekar Bodoh"!
Demikianlah, dengan secara keji sekali, Pangeran Vayami telah dapat menaklukkan Cin Hai yang semenjak itu telah menjadi seorang hambanya yang setia dan yang menurut akan segala perintahnya. Ini tidak mengherankan karena pangeran itu selalu bersikap manis dan baik kepadanya, dan dengan pengaruh sihirnya yang cukup kuat ia dapat merampas pikiran Cin Hai dan dapat mempengaruhi pemuda itu. Selain Pangeran Vayami, tak ada orang lain yang mampu mempengaruhi pemuda ini, karena betapapun juga pemuda ini mempunyai batin dan dasar pelajaran yang kuat!
Setelah tubuh Cin Hai dan Hai Kong Hosiang sembuh kembali, Vayami lalu membawa
rombongannya itu menuju ke selatan, karena ia hendak memenuhi undangan kaisar yang hendak bersekutu dengannya.
Rombongan ini setelah menyeberang sungai lalu melanjutkan perjalanan dengan naik kuda.
Pangeran Vayami memiliki seekor kuda putih yang tinggi besar dan yang mempunyai tenaga luar biasa dan nampaknya liar. Kuda ini bukanlah binatang sembarangan dan dinamakan
"Pek-gin-ma" atau Kuda Perak Putih yang dapat lari seribu li dalam sehari tanpa berhenti!
Pangeran yang cakap ini nampak gagah sekali naik kuda yang berbulu putih itu, hingga jubahnya yang berwarna merah darah nampak mencolok sekali. Di sepanjang jalan pangeran yang tampan ini bersikap gembira dan menyambut penghormatan para rombongan orang-orang Mongol dengan sikap ramah dan agung. Memang hatinya sangat gembira dan girang karena kini ia telah mempunyai seorang penjaga pribadi yang juga menunggang kuda bagaikan sebuah patung hidup di sebelahnya, yaitu Cin Hai! Wajah pemuda yang memang sudah kelihatan bodoh itu kini benar-benar nampak bodoh sekali karena tidak menunjukkan perasaan apa-apa bagaikan seorang sedang duduk di atas kuda sambil mimpi!
Pada suatu hari, rombongan Pangeran Vayami tiba di sebuah kampung padang rumput dan mereka lalu memasang tenda di padang rumput, agak di luar kampung. Pada malam harinya, penduduk kampung yang berpenduduk campuran antara bangsa Han, Mongol dan Mancu,
keluar menyambut Pangeran Vayami untuk menghiburnya. Pangeran ini namanya telah
terkenal sekali dan banyak orang mendewa-dewakannya seperti seorang Buddha hidup dan banyak orang percaya bahwa siapa yang dapat menyenangkan hatinya atau memancing keluar senyum bibirnya yang manis, orang itu akan mendapat hadiah Nirwana atau Surga ke tujuh!
Oleh karena itu, maka semua penduduk, tua muda, laki-laki dan perempuan, bahkan gadis kampung tidak ketinggalan menyerbu ke tempat pemberhentian rombongan itu. Mereka menghidangkan hidangan yang lezat-lezat dari daging domba, bahkan serombongan pemain musik memainkan perkakas mereka dan memainkan lagu rakyat. Gadis-gadis bergembira ria dan menari di depan Pangeran Vayami yang memandang semua itu dengan wajah
menyatakan bosan. Memang ia tidak tertarik menonton tari-tarian itu, oleh karena gadis-gadis di kampung utara memang rata-rata berwajah kasar bagaikan laki-laki dan kulit kehitam-hitaman.
Tiba-tiba, ketika gadis-gadis itu masih menari-nari, berkelebat bayangan merah dan tahu-tahu di tengah-tengah kalangan gadis yang sedang menari itu nampak seorang wanita berbaju merah yang menari-nari pula. Akan tetapi tariannya berbeda dengan tarian para gadis Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
223 kampung itu, dan wanita ini wajahnya demikian cantik jelita hingga Pangeran Vayami memandang dengan kedua mata terbelalak. Gadis ini tidak saja kulitnya begitu halus dan putih laksana sutera, akan tetapi juga mempunyai potongan tubuh yang menggiurkan dan gerak-geriknya lemah gemulai menarik hati! Tidak hanya para pemusik yang menjadi kagum dan saking gembiranya mereka lalu mainkan tetabuhan mereka lebih ramai lagi, akan tetapi juga para gadis yang tengah menari-nari itu menjadi demikian kagum hingga mereka menghentikan tarian mereka dan kini berdiri merupakan sederet barisan yang bertepuk-tepuk tangan sambil tertawa-tawa mengikuti irama lagu sambil menikmati tarian Gadis Baju Merah itu.
Tiba-tiba Hai Kong Hosiang berseru di antara sinar obor yang membuat wajahnya nampak menyeramkan, "Ang I Niocu...!" Dan ia segera mencabut keluar senjatanya yang mengerikan itu, akan tetapi Vayami yang duduk di dekatnya segera mengangkat tangan dan berkata,
"Hai Kong Bengyu, jangan sembarangan bergerak. Biarkan bidadari itu menari!" Ucapan ini merupakan perintah karena pangeran itu benar-benar tidak suka melihat gangguan Hai Kong Hosiang. Oleh karena ini, sambil menggigit bibirnya, Hai Kong Hosiang berdiri saja sambil menatap Ang I Niocu dengan mata merah.
Memang benar, yang datang itu adalah Ang I Niocu sendiri! Dara Baju Merah ini telah dapat melihat Cin Hai berada dalam rombongan Pangeran Vayami, akan tetapi karena sikap Cin Hai mencurigakan, ia lalu sengaja memancing dengan tariannya. Sambil menari ia mengerling ke arah Cin Hai akan tetapi alangkah heran, terkejut dan mendongkolnya ketika ia melihat wajah Cin Hai yang tersorot sinar obor itu menunjukkan seakan-akan pemuda itu tidak kenal kepadanya dan seakan-akan tariannya yang indah itu dalam pandangan Cin Hai hanyalah tarian seekor kodok meloncat-loncat yang tak ada harganya dipandang.
Dalam kemendongkolannya, Ang I Niocu hendak marah, akan tetapi perasaan wanitanya yang halus itu dapat menduga adanya bahaya yang mengancam. Apalagi ketika ia melihat wajah Hai Kong Hosiang yang berada di situ pula! Aneh pikirnya, tentu telah terjadi sesuatu atas diri Hai-ji! Oleh karena ini, ketika ia melihat betapa sepasang mata pangeran muda itu tertuju kepadanya penuh kekaguman dan gairah, dan melihat pula betapa besar pengaruh pangeran itu hingga berani membentak Hai Kong Hosiang, ia lalu menari lebih indah pula untuk membuat pangeran itu benar-benar mabok!
Pangeran Vayami memang mempunyai kelemahan terhadap wanita cantik. Setiap hari dia melihat wanita-wanita yang buruk rupa, maka sekali ini Ang I Niocu yang demikian cantik jelita dan demikian indah tariannya, tak heran apabila ia menjadi tergila-gila! Setelah Ang I Niocu menghentikan tariannya, pangeran itu bertepuk-tepuk tangan dan memuji,
"Bagus, bagus! Hebat sekali! Eh, nona yang cantik seperti bidadari, silakan kau datang ke mari!"
Dengan tindakan kaki yang menarik-narik kalbu Pangeran Vayami, Ang I Niocu
menghampiri pangeran itu, sedangkan Hai Kong Hosiang berdiri di belakang pangeran itu bersiap sedia dengan hati curiga.
Ang I Niocu menjura dan memberi hormat dengan senyum manis bermain di bibirnya yang merah,
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
224 "Nona, kau yang luar biasa ini siapakah namamu" Dan di mana tempat tinggalmu?"
"Sudah kukatakan tadi, dia ini adalah Ang I Niocu yang tersohor namanya!" kata Hai Kong Hosiang. "Gadis ini berbahaya sekali!"
Akan tetapi baik Pangeran Vayami maupun Ang I Niocu tidak mempedulikan ucapan
pendeta itu, dan Ang I Niocu menjawab dengan suaranya yang merdu, "Hamba bernama Kiang Im Giok dan tempat tinggal hamba tidak tentu karena sebenarnya hamba adalah seorang perantau."
"Ah, kau membawa-bawa pedang, tentu kau seorang kang-ouw juga bukan" Kebetulan
sekali, aku pun suka kepada orang-orang gagah dan maukah kau ikut dengan rombonganku?"
"Pangeran sungguh berbudi mulia dan hamba hanya mohon berkah dari Pangeran yang suci ini."
Mendengar ucapan ini Hai Kong Hosiang menjadi ragu-ragu. Benarkah gadis yang gagah ini pun percaya dan tunduk kepada pangeran ini" Sementara itu, Ang I Niocu mengerling ke arah Cin Hai akan tetapi alangkah kagetnya ketika melihat wajah Cin Hai yang seperti mayat itu.
Maka dengan hati berdebar-debar ia lalu berkata pula,
"Hamba telah kenal dengan Hai Kong Hosiang yang berdiri di belakang Paduka itu, bahkan hamba pernah kenal dengan pemuda ini. Mengapa mereka berdua berada dalam rombongan Paduka?" tanyanya dengan hati-hati sambil menunjuk kepada Cin Hai yang sama sekali tidak memperhatikan percakapan itu.
"Ha, ha, ha! Tak heran kau kenal mereka, karena mereka adalah tokoh besar di kalangan kang-ouw. Hai Kong Hosiang tuan rumahku yang mengantar aku berkunjung ke kerajaan, sedangkan pemuda itu adalah penjagaku yang setia. Ha, ha, marilah kita bicara di dalam, Nona, tak perlu kita membicarakan orang-orang ini."
"Hamba hanya menurut kehendak Paduka," kata Ang I Niocu sambil tersenyum.
Dengan suara lantang Pangeran Vayami lalu membubarkan semua orang dan memberi
berkah dengan kedua tangan dilambai-lambaikan kemudian dengan berani sekali ia
memegang tangan Ang I Niocu yang halus lemas dan menggandeng gadis itu menuju ke kemahnya, pangeran ini lalu memerintahkan kepada para pelayannya untuk menyediakan meja perjamuan dan ia lalu mengajak Ang I Niocu makan minum dengan gembira.
Dengan menggunakan senyum dan kerlingnya yang menawan hati, Ang I Niocu berhasil memancing Pangeran Vayami untuk menceritakan pengalaman Cin Hai. Pengaruh arak telah membuat lidah pangeran itu menjadi fasih dan ia menceritakan sambil diseling kata-kata memuji-muji kecantikan Ang I Niocu.
Bukan main marahnya Gadis Baju Merah ini mendengar bahwa Cin Hai telah berada dalam pangaruh madu merah yang berbahaya. Tiba-tiba ia menendang meja yang berada di
depannya dan sekali ia bergerak, ia telah menangkap tangan Pangeran Vayami dan
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
225 menempelkan pedangnya di leher pangeran itu. Pangeran Vayami menjadi pucat sekali dan tubuhnya gemetar, kedua kakinya menjadi lemas.
"Ang I Niocu penjahat perempuan! Sudah kuduga engkau mempunyai niat buruk!" tiba-tiba terdengar bentakan di luar tenda.
"Mundur, atau leher pangeran cabul ini akan kupenggal lebih dulu!" Ang I Niocu
membentak. Terpaksa sambil memaki-maki Hai Kong Hosiang mundur lagi dan keluar dari kemah.
"Lekas kau perintahkan supaya kuda Pek-gin-ma dibawa ke sini!" Ang I Niocu memerintah sambil memutar lengan Pangeran Vayami. Pangeran ini merasa kesakitan dan dengan suara megap-megap ia perintahkan orangnya untuk membawa kuda Pek-gin-ma ke situ. Setelah kuda putih yang indah itu didatangkan, Ang I Niocu memerintah pula,
"Sekarang kaupanggil Cin Hai ke sini!"
Cin Hai takkan mau datang kalau lain orang yang memanggil, maka setelah Pangeran Vayami memberitahukan hal ini kepada Ang I Niocu, gadis itu lalu memaksa dan
mendorongnya keluar untuk mencari Cin Hai. Kebetulan sekali, Cin Hai tidak berada jauh di situ dan pemuda ini duduk di dekat api unggun sambil termenung,
"Cin Hai, kau ke sini!" Pangeran Vayami memerintah dan bagaikan sebuah robot, pemuda itu bangun berdiri dan menghampiri Pangeran Vayami. Hati Ang I Niocu perih sekali melihat keadaan Cin Hai demikian rupa.
Sementara itu dengan bantuan sinar obor dan api unggun, Pangeran Vayami memandang dan menatap mata Cin Hai dengan tajam dan diam-diam ia mengerahkan tenaga sihirnya hingga pada saat itu Cin Hai menjadi tunduk betul-betul dan berada di bawah pengaruhnya sama sekali.
Melihat Hai Kong Hosiang mendekat, Ang I Niocu membentak, "Kau berdiri jauh di sana, kalau tidak aku takkan ampunkan Pangeranmu ini!" Terpaksa dengan mendongkol sekali Hai Kong Hosiang lalu mundur dan berdiri agak jauh sambil memandang dengan mata tajam. Ia maklum bahwa kepandaian Ang I Niocu tak boleh dibuat gegabah dan bahwa bukan hal yang mudah untuk menolong jiwa pangeran yang telah berada di bawah ancaman pedang.
Dengan tangan kanan masih memegang pedang dan ditodongkan kepada Pangeran Vayami, Ang I Niocu melepaskan pegangan tangan kirinya dan kini ia menggunakan tangannya untuk memegang lengan Cin Hai. Akan tetapi, Cin Hai sama sekati tidak mempedulikannya dan tetap memandang kepada Pangeran Vayami bagaikan seekor anjing memandang kepada
tuannya, siap menanti perintah. Tiba-tiba Pangeran Vayami berkata dalam bahasa Mongol yang artinya, "Tangkap wanita ini!" Memang ia telah mengajar Cin Hai mengerti perintahnya dalam bahasa Mongol. Ang I Niocu sama sekali tidak mengerti bahasa itu.
Mendengar perintah ini, tiba-tiba Cin Hai bergerak dan tahu-tahu ia telah memeluk Ang I Niocu dan sebelah tangannya memegang pergelangan tangan gadis itu yang memegang
pedang. Ang I Niocu tak dapat berkutik dalam pelukan Cin Hai yang keras ini, maka gadis ini hanya dapat mengeluh,
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
226 "Hai-ji... aduh, Hai-ji..."
Aneh sekali, panggilan yang dikeluarkan oleh suara Ang I Niocu ini menusuk telinga dan menembus hati Cin Hai. Pada saat itu ia merasa seperti mendengar suara dari surga yang amat dikenalnya, suara yang membangunkannya dari alam mimpi membuat ia merasa bahwa hanya suara inilah yang harus ditaatinya. Ini tidak aneh, karena dulu ketika ia masih kecil, memang suara panggilan yang keluar dari mulut Ang I Niocu dan yang biasa menyebut "Hai-ji" atau anak Hai inilah yang selalu berkumandang di dalam telinganya dan yang selalu dikenangnya sebagai panggilan yang paling mesra dan menyenangkan hati di dunia ini. Maka kenangan lama yang sudah menggores dalam-dalam di hatinya ini tak mudah terhapus oleh pengaruh baru yang mempengaruhi pikirannya.
Tiba-tiba ia melepaskan pelukannya dan memandang kepada Ang I Niocu dengan bingung, tak tahu harus berbuat apa.
"Cin Hai tangkaplah wanita ini!" Sekali lagi Pangeran Vayami berseru, akan tetapi Ang I Niocu segera berkata,
"Hai-ji, mari kau ikut aku!"
Ternyata suara Ang I Niocu lebih kuat mempengaruhi jiwa Cin Hai hingga sekarang ia betul-betul berada di bawah pengaruh Ang I Niocu! Dengan wajah membayangkan kegembiraan, pemuda itu mengikuti Ang I Niocu. Tiba-tiba dari belakang terdengar suara angin
menyambar, dan Ang I Niocu berteriak,
"Hai-ji, mari kita binasakan hwesio binatang ini!"
Oleh karena tadinya pemuda ini taat sekali kepada Pangeran Vayami, maka Pangeran Vayami tidak merampas pedang Liong-coan-kiam dari tangan Cin Hai. Maka kini mendengar perintah Ang I Niocu, Cin Hai mencabut senjatanya dan menangkis serbuan Hai Kong Hosiang! Ang I Niocu membantu dan terpaksa Hai Kong Hosiang berkelahi sambil mundur karena menghadapi keroyokan dua orang ini, ia merasa jerih! Ia maklum sepenuhnya bahwa jika dilanjutkan, ia takkan menang menghadapi Cin Hai dan Ang I Niocu.
Kesempatan ini digunakan oleh Ang I Niocu untuk membetot tangan Cin Hai ke arah kuda Pek-gin-ma yang masih berdiri di situ dan kendalinya dipegang oleh seorang pelayan pangeran. Pangeran Vayami tak berani menghalangi karena ia maklum kalau Hai Kong Hosiang tidak berani menghadapi dua orang ini, apa lagi dia!
"Hai-ji, kau naik di belakang dan kau mempertahankan setiap serangan!" kata lagi Ang I Niocu yang lalu melompat ke atas kuda itu. Cin Hai pun hanya menurut dan naik di belakang Ang I Niocu! Gadis itu menggunakan kakinya untuk menendang roboh pelayan yang
memegang kendali dan ia lalu menarik kendali kuda Pek-gin-ma itu yang segera meringkik keras, mengangkat kedua kaki depan tinggi-tinggi ke atas, lalu berlari secepat angin! Hai Kong Hosiang sambil menyumpah-nyumpah mengayunkan tiga batang piauw beracun ke arah mereka, akan tetapi dengan kebutan lengan bajunya, Cin Hai berhasil menyampok ketiga batang piauw itu ke tanah.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
227 Malam itu terang bulan dan kuda Pek-gin-ma yang berbulu putih itu berlari cepat. Bulunya mengkilap tertimpa sinar bulan hingga ia benar-benar merupakan kuda yang mempunyai bulu bagaikan perak tulen! Ang I Niocu mencabut saputangannya yang digulung merupakan cambuk dan ia membujuk kuda Pek-gin-ma dengan mencambuk perlahan pada kuncungnya agar dapat berlari lebih cepat lagi. Kuda itu meringkik gembira dan ia benar-benar lari keras sekali seakan-akan keempat kakinya yang putih itu tidak menyentuh tanah! Sementara itu, Cin Hai duduk di belakang Ang I Niocu dengan anteng bagaikan sebuah boneka besar yang duduk diam sambil berdongak ke atas memandangi bulan!
"Hai-ji... Hai-ji... kau kenapakah...?" berkali-kali Ang I Niocu bertanya sambil menoleh dan khawatir melihat sikap Cin Hai yang sudah berubah menjadi manusia robot itu!
Akan tetapi Cin Hai tidak menjawab apa-apa, hanya termenung memandang bulan. Tiba-tiba ia menjawab juga,
"Aku Pendekar Bodoh dan kau... kau... sahabatku yang harus kubela!" Hanya demikian ia menjawab dan selanjutnya ia tak dapat memikir apa-apa lagi.
Sebetulnya bagaimanakah maka Ang I Niocu, atau Dara Baju Merah yang gagah perkasa itu dapat tiba-tiba muncul di daerah utara ini dan kebetulan sekali dapat menolong Cin Hai"
Untuk dapat mengetahui hal ini, baiklah kita menengok sebentar pengalamannya semenjak ia melarikan diri dengan Lin Lin dari keluarga Kwee.
Semenjak Ang I Niocu datang ke rumahnya, Lin Lin merasa tertarik dan suka sekali kepada Nona Baju Merah ini hingga ia mengajak Ang I Niocu tidur di kamarnya. Dan di dalam kamarnya, dengan terus terang ia mengeluarkan isi hatinya, dan menuturkan betapa ia dan Cin Hai telah saling mencinta. Ia menceritakan pengalamannya dengan Cin Hai tanpa malu-malu lagi, tidak tahu sama sekali betapa kata-katanya semua itu merupakan sebuah senjata yang lebih tajam daripada sebuah pedang pusaka yang menusuk-nusuk hati dan perasaan Ang I Niocu.
Akhirnya Lin Lin berkata sambil merangkul Ang I Niocu dan menangis,
"Cici yang baik, bayangkan betapa sedih hatiku ketika Engko Hai pergi meninggalkanku untuk membalas dendam ini. Selain merasa kecewa, aku pun merasa khawatir sekali akan keselamatannya. Bagaimana kalau ia sampai menemui bahaya" Kalau aku boleh ikut, biar kami berdua menghadapi bahaya maut dan sampai terbinasa sekalipun, aku merasa puas dan dapat mati dengan mata meram!"
Ketika Lin Lin tidak mendengar Ang I Niocu menjawab, ia memandang dan melihat bahwa Nona Baju Merah itu pun menangis dengan sedihnya sehingga ia terisak-isak, Lin Lin menyangka bahwa Nona Baju Merah ini ikut merasa sedih dan terharu, maka ia lalu berbalik menghibur.
"Cici, kalau engkau sudi membawaku mengejar Hai-ko dan An-ko! Setidaknya kita akan dapat membantu mereka bukan" Apalagi dengan adanya kau yang lihai, aku takkan takut menghadapi siapapun juga."
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
228 Karena bujukan-bujukan ini, akhirnya Ang I Niocu tak kuasa menahan lagi dan demikianlah, dengan diam-diam mereka pada malam hari itu juga melarikan diri untuk menyusul Cin Hai dan Kwee An! Ang I Niocu dapat melihat bahwa cinta gadis ini terhadap Cin Hai besar sekali, dan kalau pemuda itu pun membalas cinta Lin Lin, sudah menjadi tugasnya untuk
menemukan mereka kembali. Bukankah ia mencinta kepada Cin Hai dengan sepenuh
jiwanya" Cintanya bukan terdorong nafsu, akan tetapi ia betul-betul ingin melihat pemuda itu hidup bahagia di samping wanita yang dicintainya, dan menurut pandangannya, Lin Lin cukup pantas menjadi gadis pilihan Cin Hai.
Ang I Niocu yang telah berpengalaman itu dengan mudah dapat menduga bahwa Cin Hai dan Kwee An tentu menuju ke kota raja untuk mencari musuh-musuh besar itu, maka ia pun langsung mengajak Lin Lin menuju ke kota raja. Di sepanjang jalan tiada bosannya ia memberi petunjuk ilmu silat kepada Lin Lin, bahkan memberi tahu tentang rahasia latihan lweekang yang lebih tinggi.
Ketika mereka tiba di kota raja, Ang I Niocu mendengar tentang penyerbuan Cin Hai dan Kwee An, dan tentang terbunuhnya empat orang dari Santung Ngohiap dan dua orang perwira lain. Lin Lin mengucurkan air mata karena merasa girang dan terharu. Ketika mendengar bahwa dua orang musuh besarnya, yaitu Hai Kong Hosiang dan Boan Sip masih belum
terbalas dan kedua pemuda itu mengejar mereka ke utara, Lin Lin lalu minta kepada Ang I Niocu untuk mengejar ke utara. Ang I Niocu menyetujui pula dan begitulah mereka pada keesokan harinya melakukan pengejaran ke utara. Mereka tertinggal tujuh hari oleh Kwee An dan Cin Hai.
Pada suatu hari mereka tiba di pinggir Sungai Liong-kiang dan melihat dua orang sedang dikeroyok oleh sekumpulan perwira kerajaan. Dua orang ini bukan lain ialah Nelayan Cengeng dan muridnya, yaitu Ma Hoa atau gadis puteri Ma Keng In yang berpakaian laki-laki. Yang mengeroyok adalah tujuh orang perwira dan seorang hwesio yang gagah perkasa, karena hwesio ini bukan lain ialah Beng Kong Hosiang, suheng dari Hai Kong Hosiang yang pernah roboh di tangan Cin Hai.
Beng Kong Hosiang dan tujuh orang perwira itu mendapat tahu bahwa kedua orang pemuda yang mengacau di Enghiong-koan telah mengejar ke utara, maka mereka merasa kuatir akan keselamatan Hai Kong Hosiang lalu melakukan pengejaran pula. Di pinggir Sungai Liong-kiang mereka melihat sebuah perahu kecil di mana duduk seorang tua yang berpakaian nelayan dan seorang pemuda tampan. Biarpun para perwira itu mengenal Ma Keng In sebagai seorang perwira, akan tetapi mereka tidak mengenal Ma Hoa yang berpakaian laki-laki, dan mereka menyangka bahwa pemuda ini tentulah seorang nelayan pula.
Beng Kong Hosiang melihat sikap nelayan yang memandang acuh tak acuh itu, dapat
menduga bahwa orang tua itu tentulah seorang kang-ouw yang berkepandaian, maka setelah menjura ia berkata,
"He, kawan nelayan tua, tolonglah kami menyeberang sungai ini dengan perahumu, berapa saja upahnya yang kauminta, tentu pinceng bayar lunas!"
Nelayan Cengeng tertawa haha-hihi mendengar ucapan ini, kemudian menatap mereka baik-baik, ia lalu menjawab,
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
229 "Hwesio yang bercampur gaul dengan segala perwira kerajaan, permintaanmu ini pantas sekali. Akan tetapi jawablah dulu. Kalian delapan orang dari istana ini hendak menuju ke manakah?"
Melihat sikap pelayan yang sama sekali tidak menghormati mereka, Ben Kong Hosiang yang menyangka bahwa nelayan itu tentu tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa, maka ia lalu menjawab, "Nelayan tua, ketahuilah, bahwa pinceng adalah Beng Kong Hosiang yang
menjadi kepala penjaga dari kelenteng di istana dan menjadi penasehat dari kaisar sendiri.
Maka janganlah kau banyak bertanya dan seberangkanlah pinceng bersama semua ciangkun ini."
Mendengar nama ini, terkesiaplah hati Nelayan Cengeng dan Ma Hoa. Mereka telah
mendengar dari Kwee An bahwa hwesio ini adalah suheng dari Hai Kong Hosiang yang pernah bertempur dengan kedua pemuda itu, maka mereka dapat menduga bahwa rombongan ini tentulah mengejar Cin Hai dan Kwee An yang telah melanjutkan perjalanan pada beberapa hari yang lalu.
"Beng Kong Hosiang, kalau kau tidak memberi tahu maksud kepergianmu ke utara ini, terpaksa aku menolak untuk menyeberangkan kalian."
Seorang perwira yang berangasan menjadi marah dan membentak,
"He, tua bangka! Tidak tahukah kau bahwa kau sedang berhadapan dengan perwira-perwira kaisar" Apa kau ingin mampus" Hayo, seberangkan kami dan jangan banyak tingkah lagi!"
Nelayan Cengeng tertawa bergelak mendengar kekasaran ini, lalu menjawab,
"Perahu ini adalah perahuku, dan hanya aku yang berhak menentukan, apakah kalian boleh atau tidak memakai perahu ini. Sekarang aku katakan tidak boleh dan kalau kalian hendak menyeberang, gunakan saja lain perahu!"
Melihat sikap ini, Beng Kong Hosiang dapat menduga bahwa nelayan tua itu tentu bukan orang sembarangan. Kalau saja di situ terdapat lain perahu tentu ia tidak akan melayani lagi, akan tetapi di situ tidak ada lain perahu dan perahu kecil nelayan itu hanyalah satu-satunya yang ada. Maka ia lalu berkata dengan suara halus,
"Sahabat, mungkin karena kita belum berkenalan, maka kau tidak sudi menolong. Bolehkah pinceng mengetahui namamu yang mulia?"
Melihat sikap pendeta ini, tiba-tiba Nelayan Cengeng tertawa geli sekali hingga kedua matanya keluar air mata.
"Ha, ha, ha! Ternyata Beng Kong Hosiang dapat juga merendahkan diri. Sungguh lucu!
Ketahuilah aku adalah seorang nelayan tua yang malang-melintang disungai ini untuk mencari ikan. Aku lebih suka berdekatan dengan ikan-ikan dari pada dengan segala perwira tukang pukul dan aku lebih tidak suka pula melihat hwesio-hwesio yang bergelandangan dengan tukang-tukang pukul itu, karena hwesio demikian ini tentu bukan hwesio baik-baik!"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
230 Bukan main marahnya ketujuh perwira itu mendengar makian ini, akan tetapi Beng Kong Hosiang dapat mengendalikan perasaannya dan ia segera bertanya dengan heran, "Apakah kau ini Si Nelayan Cengeng?"
"Ha, ha, aku tertawa atau menangis menurut keadaan dan waktuku, apa sangkutannya dengan kau?" jawab Nelayan Cengeng itu. Jawaban yang tidak karuan ini menguatkan dugaan Beng Kong Hosiang karena ia pernah mendengar bahwa Nelayan Cengeng adalah seorang aneh yang kadang-kadang membawa tingkah seperti orang gila.
Sementara itu, ketujuh perwira yang telah mencabut senjata, lalu mendekat ke pinggir perahu dan membentak, "Orang tua kau lekas keluar dari perahu dan berikan perahurnu kepada kami untuk dipakai menyeberang dan jangan banyak cakap lagi!"
Ma Hoa semenjak tadi menahan marahnya, kini ia pun melompat keluar dari perahu ke darat dan menghunus pedangnya. Ketujuh perwira itu menyerbu kepada Ma Hoa dan segera
pemuda itu terkurung rapat. Nelayan Cengeng tertawa bergelak dan sekali tubuhnya berkelebat, ia telah menghadapi Beng Kong Hosiang. Pendeta ini tidak mau memperlihatkan kelemahannya dan ia segera menerjang dengan senjatanya yang aneh yaitu sebatang pacul.
Nelayan Cengeng mengeluarkan senjatanya yang tidak kalah hebatnya, yaitu sebatang dayung yang terbuat daripada kayu hitam dan keras.
Kepandaian Nelayan Cengeng memang sangat tinggi dan tenaganya besar, maka sebentar saja Beng Kong Hosiang sangat terdesak oleh gerakan dayung yang mengamuk bagaikan seekor naga sakti menyambar-nyambar itu. Melihat hal ini, maka dua orang perwira lalu membantunya dan yang lima orang lain masih saja mengeroyok Ma Hoa segera terdesak hebat dan keadaannya berbahaya sekali. Nelayan Cengeng biarpun tidak terdesak akan tetapi ilmu pacul Beng Kong Hosiang yang cukup hebat itu disertai bantuan dua orang perwira yang terpandai membuat ia tidak dapat membantu muridnya yang terdesak.


Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan pada saat itulah Ang I Niocu dan Lin Lin tiba di tempat itu. Ketika Ang I Niocu melihat bahwa yang mengeroyok nelayan tua dan pemuda cakap itu adalah rombongan perwira istana dan seorang hwesio yang tangguh, tanpa bertanya ia telah dapat memilih pihaknya. Ia lalu berbisik kepada Lin Lin, "Kaubantulah pemuda itu!" Kemudian sambil mencabut pedangnya, Ang I Niocu melompat dan menjadi sebuah sinar merah yang cepat sekali menggempur Beng Kong Hosiang dari samping sambil dibarengi teriakannya, "Hwesio penjilat kaisar, jangan kau menjual kesombongan di sini!" Pedang Ang I Niocu berkelebat-kelebat membuat Beng Kong Hosiang terkejut sekali.
Baik Beng Kong Hosiang, maupun Nelayan Cengeng pernah mendengar nama Ang I Niocu, maka kini melihat seorang wanita cantik jelita yang berpakaian merah datang menyerbu dengan kepandaian yang demikian tinggi dan indah gerakannya segera mereka dapat menduga siapa adanya gadis ini. Beng Kong Hosiang mengertak gigi dan memperkuat gerakannya karena maklum bahwa ia menghadapi bantuan seorang yang tangguh, sedangkan Nelayan Cengeng lalu tertawa bergelak-gelak. "Ha, ha, ha, Beng Kong Hosiang! Agaknya ketika engkau berangkat dari kelentengmu, engkau belum mencuci tubuh hingga tertimpa kesialan!
Sekarang pergilah mandi dulu!" Sambil berkata demikian ia mendesak hebat dengan
dayungnya! Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
231 Ilmu pedang Ang I Niocu memang sudah hebat sekali. Apalagi kalau yang menghadapinya belum pernah melihat atau mengenal ilmu pedangnya, maka kehebatan itu akan menjadi makin mengerikan. Baru beberapa puluh jurus saja, ia dapat mendesak dua orang perwira yang mengeroyok Nelayan Cengeng dan akhirnya dengan tipu gerakan Bidadari Menyebar Bunga ia berhasil melukai tangan mereka hingga senjata mereka berdua terlepas dari pegangan! Kedua perwira ini berteriak kesakitan dan melompat mundur. Dan pada saat itu juga, Nelayan Cengeng juga telah berhasil menghantamkan dayungnya yang mengenai paha Beng Kong Hosiang. Hwesio itu terhuyung-huyung dan Nelayan Cengeng sambil tertawa-tawa mendupak pantatnya hingga hwesio itu menggelundung dan masuk ke dalam sungai!
"Ha, ha, mandilah! Mandilah biar bersih!" Nelayan Cengeng berkata sambil tertawa geli!
Lin Lin juga tidak mau tinggal diam. Dara muda ini ketika melihat betapa pemuda yang tampan dan memiliki ilmu pedang lumayan juga sedang dikeroyok oleh lima orang perwira yang berkepandaian tinggi hingga keadaannya terdesak dan berbahaya sekali, lalu menyerbu dengan pedang pendeknya yang lihai berputar-putar di tangannya! Tadinya memang Lin Lin telah memiliki ilmu pedang yang baik, maka ditambah dengan petunjuk dari Ang I Niocu yang diberikan kepadanya, kini kepandaiannya telah maju pesat dan gerakan pedang pendeknya lihai dan dahsyat. Sebentar saja ia telah merobohkan seorang pengeroyok.
Sebaliknya Ma Hoa ketika melihat seorang gadis manis menyerbu dan membantunya,
menjadi girang sekali dan sekarang timbullah semangatnya. Gadis yang berpakaian sebagai laki-laki ini lalu membentak nyaring dan pedangnya membuat gerakan kilat hingga kembali seorang perwira kena dirobohkan!
"Adikku yang manis! Terima kasih atas bantuanmu!" Ma Hoa berseru dar mengerling ke arah Lin Lin sambil memutar pedangnya menyerang terus. Lin Lin kaget dan marah
mendengar ini, karena ia menganggap bahwa "pemuda" ini sungguh kurang ajar hingga mukanya berubah merah karena malu dan marah.
Sementara itu, para perwira ketika melihat datangnya dua orang gadis kosen ini dan melihat betapa Beng Kong Hosiang telah dikalahkan, dan dilempar ke dalam sungai, menjadi takut dan jerih. Mereka lalu membalikkan tubuh dan melarikan diri secepatnya, mengejar Beng Kong Hosiang yang melarikan diri terlebih dulu!
Nelayan Cengeng tertawa terkekeh-kekeh dan membiarkan semua perwira itu lari, bahkan yang terluka lalu merangkak-rangkak dan pergi tanpa diganggu sedikit pun.
"Ha, ha, Beng Kong Hosiang! Baru sekarang kau tahu lihainya dayung butut Nelayan Cengeng!!" berseru nelayan tua itu dengan tertawa geli sampai kedua matanya mengeluarkan air mata.
Mendengar nama ini, Ang I Niocu terkejut sekali dan ia buru-buru memberi hormat. "Ah, tidak tahunya Cianpwe adalah Kong Hwat Lojin Si Nelayan Cengeng! Terimalah hormat dari aku yang muda!"
Kembali Nelayan Cengeng tertawa senang. "Bagus, bagus! Ang I Niocu, namamu bukan kosong belaka. Ilmu pedangmu sungguh membuat aku orang tua merasa kagum sekali!"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
232 Sementara itu melihat betapa Lin Lin memandangnya dengan mata tajam dan mulut
cemberut, Ma Hoa tertawa dan berkata kepadanya, "Adik yang manis, ilmu pedangmu pun hebat sekali! Siapakah namamu?"
Kini Lin Lin tak dapat menahan marahnya lagi karena ia menganggap pemuda ini terlalu kurang ajar! Ia belum pernah mendengar nama Nelayan Cengeng maka ia tidak berapa menaruh perhatian pada kakek itu, dan sambil menudingkan telunjuknya ke arah hidung Ma Hoa, ia berkata,
"Kau janganlah membuka mulut sembarangan dan berlaku kurang ajar! Kau kira aku ini siapakah maka kau berani bertanya sembarangan saja?"
Lin Lin menjadi makin terheran dan marah ketika melihat "pemuda" itu tidak marah, bahkan tertawa bergelak dan nyaring. Akan tetapi anehnya, ketika tertawa "pemuda" ini
menggunakan ujung lengan bajunya untuk menutupi mulutnya, sedangkan suaranya juga nyaring dan merdu seperti suara ketawa seorang wanita! Selagi ia berdiri memandang dengan mata heran tercampur marah, tiba-tiba Nelayan Cengeng juga tertawa dan berkata,
"Nona, dia ini adalah muridku dan bernama Ma Hoa! Memang seorang pemuda ceriwis yang layak dipukul! Ha, ha, ha!"
"Suhu, jangan membikin Nona ini menjadi makin marah! Lihat, mukanya sudah menjadi merah dan mulutnya cemberut menambah manisnya!" kata Ma Hoa. Lin Lin menjadi gemas sekali, akan tetapi sebelum ia menggerakkan tangan yang hendak menampar mulut "pemuda"
itu, tiba-tiba Ang I Niocu yang bermata tajam sambil tersenyum berkata kepadanya,
"Adik Lin Lin, mengapa kau begitu bodoh" Pemuda ini adalah seorang wanita! Apakah kau tak dapat menduganya?"
Lin Lin terkejut dan memandang dengan tajam sedangkan Ma Hoa lalu melepaskan
kupiahnya hingga rambutnya yang hitam dan panjang itu terurai ke bawah menutupi
pundaknya. Kini "pemuda" itu berubah menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan yang sedang tertawa manis kepadanya. Lin Lin juga tertawa dan mukanya menjadi makin merah karena malu akan kebodohannya sendiri. Ma Hoa menghampiri dan memeluk pundak Lin Lin.
"Adikku yang manis, maafkanlah aku yang menggodamu. Entah mengapa, melihat kau
semanis ini, aku menjadi suka sekali! Siapakah namamu, Adik yang manis?" tanyanya.
"Enci, kau benar-benar nakal sekali! Siapa yang menyangka engkau bukan seorang pemuda aseli" Namaku adalah Kwee Lin."
Sepasang mata Ma Hoa yang jeli itu bersinar mendengar ini. "Apa" Engkau she Kwee" Eh, Adik, kenalkah engkau kepada seorang pemuda bernama... Kwee An?"
Lin Lin menangkap tangan Ma Hoa dan memegang tangan itu erat-erat. "Enci Hoa, apakah engkau bertemu dia" Dia adalah kakakku dan sekarang aku sedang mencari dia!"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
233 "Ha, ha, ha!" Si Nelayan Cengeng tertawa bergelak. "Ini namanya kebetulan sekali. Nona Kwee Lin, kau tadi tidak membantu orang lain oleh karena yang kaubantu itu adalah calon Soso (Kakak iparmu) sendiri!"
Lin Lin tercengang dan memandang kepada wajah Ma Hoa yang menunduk kemalu-maluan.
"Betulkah ini, Enci Hoa?"
Ma Hoa tak dapat menjawab, hanya tertunduk sambil memegang-megang pedang yang
tergantung di pinggangnya. Tiba-tiba Lin Lin mengenali pedang Kwee An dan ia segera memeluk Ma Hoa dengan girang sekali. "Ah, benar engkau telah menerima pedang Engko An! Ah, aku girang sekali! Eh, calon ensoku yaqg baik, sekarang beritahukanlah kepadaku di mana adanya calon suamimu itu?"
Ma Hoa mengerling dan cemberut. "Kau nakal sekali, Adik Lin! Kalau kau tidak mau berhenti menggodaku aku takkan mau memberitahukan di mana dia sekarang berada!"
Sementara itu, Ang I Niocu juga merasa girang sekali mendengar bahwa benar-benar Cin Hai dan Kwee An telah di sini dan bahkan Kwee An telah mengikat perjodohan dengan gadis murid Nelayan Cengeng yang cantik dan gagah itu.
Nelayan Cengeng lalu menuturkan kepada Ang I Niocu dan Lin Lin akan pengalaman
mereka dan pertemuan mereka dengan Cin Hai dan Kwee An beberapa waktu yang lalu.
Mereka memberitahukan bahwa kedua anak muda itu telah melanjutkan perjalanan mereka ke utara dalam usaha mereka mencari dan mengejar Hai Kong Hosiang.
Dalam kegembiraan mereka karena pertemuan ini, baik Nelayan Cengeng dan muridnya, maupun Ang I Niocu dan Lin Lin telah kurang hati-hati dan mereka tidak tahu bahwa di pinggir sungai masih ada seorang perwira yang tadi terpelanting ke dalam sungai dan kini bersembunyi di dalam air sambil mengeluarkan kepala dari permukaan air yang
disembunyikan di bawah rumput alang-alang. Perwira ini mendengar semua percakapan mereka dan alangkah kaget, heran dan marahnya ketika mendapat kenyataan bahwa
"pemuda" itu adalah Ma Hoa, puteri dari perwira Ma Keng In yang ia kenal baik!
Ang I Niocu dan Lin Lin tidak menunda perjalanan mereka dan segera berpamit untuk melanjutkan penyusulan mereka kepada kedua pemuda kita. Sebetulnya di dalam hatinya Ma Hoa hendak ikut, akan tetapi ia malu untuk menyatakan hal ini dan pula ia khawatir kalau-kalau ia dikenal oleh para perwira hingga kedudukan ayahnya sebagai seorang perwira akan terancam. Maka terpaksa mereka melepaskan kedua orang gadis pendekar itu pergi dengan hati berat.
Setelah semua orang pergi, perwira yang bersembunyi itu lalu merangkak keluar dan segera lari menuju kembali ke kota raja untuk membuat laporan. Beng Kong Hosiang yang merasa malu dan marah sekali karena kekalahannya, lalu mengumpulkan sejumlah besar perwira dan segera mengejar terus ke utara!
Pertemuan dengan Nelayan Cengeng dan Ma Hoa itu membuat Ang I Niocu dan Lin Lin
merasa girang sekali, oleh karena tidak saja mereka girang mendengar bahwa Kwee An telah mendapat jodoh seorang gadis yang cantik dan gagah, juga mereka kini telah dapat mengikuti jejak kedua pemuda itu dan mendapat kesempatan untuk ikut membalas dendam kepada Hai Kong Hosiang!
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
234 Dua hari kemudian, ketika dua orang gadis pendekar ini sedang berjalan di tempat yang sunyi dari depan mereka melihat dua orang berjalan cepat mendatangi. Gerakan kedua orang dari depan itu demikian cepat hingga Ang I Niocu dan Lin Lin maklum bahwa mereka tentulah orang-orang berkepandaian tinggi. Dan setelah dekat ternyata bahwa dua orang itu adalah Boan Sip, perwira musuh besar keluarga Kwee dan seorang tua yang kelihatan pucat dan berjubah hitam, dan sepasang matanya mengeluarkan sinar kejam.
Ternyata bahwa Boan Sip adalah seorang perwira yang selain cerdik, juga berwatak pengecut sekali. Ketika ia mendengar bahwa kawan-kawannya telah tewas di dalam tangan anak-anak muda yang membalas dendam keluarga Kwee, ia lalu cepat-cepat pergi mengunjungi
suhunya, yaitu Bo Lang Hwesio. Dengan pandai Boan Sip dapat membujuk suhunya untuk membela dirinya dari ancaman musuh-musuhnya. Dan kebetulan sekali, ketika mereka sedang berjalan menuju ke kota raja, di tengah jalan mereka bertemu dengan Ang I Niocu dan Lin Lin.
Melihat Lin Lin, tentu saja Boan Sip menjadi girang sekali dan sebaliknya Lin Lin juga girang oleh karena tak disangka-sangkanya ia dapat bertemu dengan musuh besarnya di tempat itu.
"Bangsat rendah, akhirnya dapat juga aku membalas dendamku!" teriak Lin Lin sambil mencabut keluar pedangnya dan melompat lalu menyerang Boan Sip dengan sengitnya. Boan Sip tertawa besar dan menggunakan pedangnya menangkis sehingga sebentar saja mereka bertempur dengan seru dan hebat.
Sementara itu, karena menyangka bahwa hwesio ini bukan lain tentulah kawan Boan Sip, Ang I Niocu segera mencabut pedangnya dan menyerang Bo Lang Hwesio. Akan tetapi, Dara Baju Merah ini terkejut sekali ketika pedangnya dengan mudah ditangkis oleh ujung lengan baju hwesio itu! Ia berlaku hati-hati sekali oleh karena maklum bahwa hwesio ini berkepandaian tinggi. Sebaliknya melihat gerakan pedang Ang I Niocu yang lain daripada pedang biasa, Bo Lang Hwesio juga merasa kagum dan membentak,
"Nona yang gagah siapakah namamu?"
Akan tetapi Ang I Niocu mana sudi memberitahukan namanya dan sambil menyerang terus ia berseru, "Hwesio jahat tak usah menanya nama! Awaslah pedangku akan menyambar
lehermu!" Boan Sip yang mendengar ini lalu berkata kepada suhunya, "Suhu, Nona Baju Merah itu adalah Ang I Niocu yang sombong!"
Bo Lang Hwesio pernah mendengar nama besar Ang I Niocu, maka sambil tertawa ia
berkata, "Bagus! Ang I Niocu, pinceng Bo Lang Hwesio memang sudah lama mendengar nama besarmu. Nah, kauperlihatkanlah kepandaianmu, hendak kulihat sampai di mana tingginya!"
Sehabis berkata demikian, Bo Lang Hwesio lalu menghadapi Ang I Niocu dengan tangan kosong, akan tetapi setelah berkelahi dua puluh jurus lebih, diam-diam Ang I Niocu terkejut Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
235 dan mengeluh. Ternyata kepandaian hwesio jubah hitam ini benar-benar tinggi dan setingkat lebih tinggi dari kepandaiannya sendiri! Ang I Niocu mengigit bibir dan memutar pedangnya secepatnya untuk menghadapi hwesio yang amat tangguh ini.
Sebaliknya, biarpun sudah mendapat petunjuk dari Ang I Niocu dan kepandaiannya sudah banyak maju, namun Lin Lin masih belum dapat mengatasi kepandaian Boan Sip yang kosen.
Makin lama, pedang Boan Sip makin rapat mengurung dirinya hingga Lin Lin menjadi bingung dan terdesak sekali keadaannya! Ketika ia mengerling Ang I Niocu, ia menjadi makin gugup oleh karena melihat betapa Ang I Niocu juga sangat didesak oleh hwesio itu.
Karena bingung dan gugup, gerakannya menjadi lambat dan tiba-tiba sebuah tendangan Boan Sip mengenai pergelangan tangannya membuat pedang pendeknya terlempar ke atas dan disambut cepat oleh Boan Sip yang tertawa bergelak-gelak. Perwira muda itu lalu menyerang terus dan memutar-mutar pedangnya sehingga Lin Lin terpaksa harus mengelak sambil berloncatan ke sana ke mari menghindarkan diri dari tusukan pedang lawan! Ia tidak berdaya oleh karena pedangnya telah terampas lawan dan pada saat ia sudah amat terdesak, tiba-tiba ia kena ditotok pundaknya oleh Boan Sip hingga roboh terguling dengan tubuh lemas tak berdaya!
Boan Sip tertawa lagi. "Ha, ha, ha! Hanya sebegini saja kepandaianmu dan kau mencari aku untuk membalas dendam" Nah, terimalah hadiahku ini!" Ia mengangkat pedangnya ke atas, akan tetapi ketika ia memandang wajah Lin Lin perasaan cintanya yang dulu timbul kembali dan hatinya tidak tega. Ia lalu membungkuk dan menyambar tubuh Lin Lin yang terus dikempit dan dibawa lari!
"Bangsat hina dina, lepaskan adikku!" Ang I Niocu meloncat hendak mengejar, akan tetapi Bo Lang Hwesio mencegahnya dengan serangan berbahaya hingga terpaksa Ang I Niocu melayani hwesio kosen ini lagi! Hati Dara Baju Merah ini tidak karuan rasanya dan permainan pedangnya menjadi kalut. Setelah mendesak Ang I Niocu dengan hebatnya akan tetapi ternyata pertahanan pedang Gadis Baju Merah itu pun amat kuat hingga setelah bertempur lama belum juga ia dapat merobohkan gadis itu, tiba-tiba Bo Lang Hwesio meloncat pergi sambil berkata,
"Cukup, Ang I Niocu, sudah cukup kita bermain-main. Lain waktu kita boleh bertemu kembali!"
Ang I Niocu hendak mengejar, akan tetapi gerakan hwesio yang gesit itu dan juga oleh karena merasa bahwa ia kalah tinggi kepandaiannya, Ang I Niocu mengurungkan maksudnya mengejar. Apa gunanya mengejar kalau ia tidak dapat menangkap hwesio ini dan tidak dapat mengejar Boan Sip yang menculik pergi Lin Lin" Yang perlu adalah menolong Lin Lin, maka ia lalu mengendurkan larinya dan bermaksud untuk mengikuti hwesio itu dengan diam-diam agar mengetahui ke mana mereka membawa Lin Lin.
Akan tetapi ternyata bahwa waktu yang lama tadi telah memberi kesempatan kepada Boan Sip lari jauh sekali! Dan juga Bo Lang Hwesio yang cerdik tidak mau diikuti olehnya hingga hwesio itu lari secepatnya menyusul muridnya. Ang I Niocu kehilangan jejak mereka, maka Gadis Baju Merah ini dengan sedih dan marah lalu berkeliaran di sekitar daerah itu mencari-cari jejak Boan Sip. Akan tetapi, oleh karena ia masih asing dengan daerah utara, maka usahanya ini sia-sia belaka, bahkan ia lalu tersesat jalan dan tanpa disengaja, akhirnya ia Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
236 bertemu dengan rombongan Pangeran Vayami dan kemudian dengan tipu dayanya menarik hati pangeran yang mata keranjang itu, ia berhasil menolong dan membawa lari Cin Hai yang keadaannya telah menjadi seperti boneka hidup itu.
Dapat dibayangkan betapa bingung dan sedihnya hati Ang I Niocu. Memikirkan keadaan Lin Lin yang terculik oleh Boan Sip, perwira jahat itu saja, hatinya sudah menjadi bingung dan sedih sekali. Apalagi sekarang ia bertemu dengan Cin Hai dalam keadaan seperti itu, maka hatinya menjadi makin bingung dan sedih.
Cin Hai, satu-satunya orang yang dikasihinya, satu-satunya orang yang diharapkan tenaga bantuan untuk mencari Lin Lin dan membasmi musuh besar keluarga Kwee, telah hilang ingatan menjadi orang tolol setolol-tololnya. Celaka betul!
Sambil melarikan kudanya keras-keras, kepala Ang I Niocu berputar-putar dan ia merasa jengkel sekali mendengar betapa yang diingat oleh Cin Hai hanyalah bahwa pemuda itu adalah "Pendekar Bodoh"! Ketika angin malam yang sejuk meniup mukanya dan muka Cin Hai yang duduk di belakangnya, pemuda itu tertawa senang dan berkata,
"Angin sejuk! Angin enak!"
Mendengar ini, Ang I Niocu menahan dan menghentikan kudanya, lalu melompat turun. Juga Cin Hai meniru perbuatannya dan melompat turun.
"Hawa sejuk, angin dingin! Sungguh nyaman!" kata Cin Hai.
Timbul harapan Ang I Niocu mendengar seruan dan melihat kegembiraan ini. Ia segera memegang tangan Cin Hai dan berkata,
"Hai-ji! Ingatkah kau sekarang" Tahukah kau siapa aku?"
"Kau adalah sahabat baik, dan aku... aku Pendekar Bodoh!"
"Bukan bodoh, tetapi tolol! Tolol sekali!" Ang I Niocu membentak dan tiba-tiba gadis itu menjatuhkan dirinya duduk di atas sebuah batu hitam sambil menangis. Hatinya sedih dan bingung, dan baru kali ini selama hidupnya ia merasa amat sengsara. Ia sedih dan bingung memikirkan nasib Lin Lin dan ia gemas melihat Cin Hai yang hanya tolal-tolol seperti boneka itu. Apakah yang ia perbuat" "Sahabatku" Mengapa engkau menangis" Apakah engkau
lapar?" tanya Cin Hai dengan penuh perhatian. Agaknya dalam ingatannya yang kosong ini, Cin Hai teringat ketika ia masih kecil dan ketika ia merantau dan menderita kelaparan. Maka melihat orang menangis, otomatis ia teringat akan sengsaranya orang yang menderita kelaparan!
Ang I Niocu menjadi mendongkol dan gemas sekali. Ia menjadi makin bingung ketika ia teringat kepada Kwee An. Di manakah adanya pemuda itu" Hatinya terpukul dan dengan penuh kekhawatiran ia menduga bahwa tak salah lagi Kwee An tentu telah mengalami kecelakaan. Pemuda itu tadinya bersama Cin Hai, sedangkan Cin Hai tertawan musuh dan keadaannya begini macam, tentu sekali keadaan Kwee An juga tak dapat diharapkan selamat.
"Hai-ji... Hai-ji, kaucobalah untuk mengingat-ingat! Di manakah adanya Kwee An" Putarlah otakmu dan gunakan ingatanmu!" katanya gemas.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
237 "Kwee An" Siapakah dia" Aku tak kenal, tidak tahu... aku tidak tahu apa-apa!"
Ang I Niocu menghela napas, akan tetapi ia dapat menenangkan hatinya. Ia pikir dalam keadaan seperti ini, ia harus menggunakan ketenangan dan mencari akal. Kalau ia bingung dan sedih, hal ini takkan menolong bahkan akan makin mengacaukan urusan. Ia harus lebih dulu mencarikan obat memulihkan ingatan Cin Hai yang telah lupa akan segala apa ini.
Demikianlah dengan penuh kesabaran Ang I Niocu mengajak Cin Hai melanjutkan
perjalanan sambil mencari-cari jejak Boan Sip dan gurunya yang melarikan Lin Lin. Setiap saat, tiada bosannya Ang I Niocu mengajak Cin Hai bercakap-cakap tentang hal-hal dahulu untuk mengembalikan ingatan pemuda itu, akan tetapi pengaruh madu merah memang mujijat sekali. Cin Hai biarpun merasa senang sekali mendengar penuturan Ang I Niocu dan tiap-tiap kali gadis itu bercerita, ia memandang wajahnya dengan mata berseri, akan tetapi, sama sekali pemuda itu tidak dapat mengingat hal yang terjadi di masa lalu!
Sampai tiga hari mereka berkeliaran di daerah utara tanpa berhasil mendapat jejak Boan Sip penculik Lin Lin hingga makin hari makin gelisahlah hati Ang I Niocu. Dalam tiga hari ini, Gadis Baju Merah itu menjadi kurus dan pucat!
Pada malam ke tiga, di waktu bulan bersinar penuh dan sebulatnya hingga malam itu amat indah dan romantis sekali, Ang I Niocu sambil menuntun kuda culikannya berjalan dengan perlahan, Cin Hai berjalan di sebelahnya dan keduanya tak bercakap-cakap, melamun dalam pikiran masing-masing. Ketika mereka melalui daerah yang banyak terdapat batu-batu karang besar dan hitam hingga menyeramkan tampaknya di bawah sinar bulan itu, tiba-tiba Ang I Niocu mendengar suara tertawa yang aneh dan menyeramkan dari tempat jauh!
"Setan dan iblis juga turut menggodaku!" gadis itu menggerutu dengan marah, karena siapakah orangnya yang akan tertawa seperti itu di tengah-tengah padang yang luas dan sunyi ini kecuali setan dan iblis"
"Bukan setan dan iblis, itu suara orang ketawa," tiba-tiba Cin Hai berkata, oleh karena biarpun telah kehilangan ingatannya, namun kepandaian dan ketajaman telinga Cin Hai tak menjadi berkurang karenanya. Kalau telinga Ang I Niocu tak dapat menangkap suara ketawa itu dengan jelas oleh karena suara itu diliputi gema yang keras, adalah Cin Hai dapat menangkap suara itu dengan jelas dan tahu bahwa yang tertawa adalah manusia biasa, akan tetapi yang menggunakan tenaga khikang di dalam suara ketawanya hingga terdengar dari tempat jauh dan amat menyeramkan.
Bagaikan tertarik oleh tenaga gaib, Cin Hai lalu menujukan tindakan kakinya ke arah suara ketawa tadi dan Ang I Niocu juga berjalan mengikuti pemuda itu. Setelah melewati beberapa gunduk batu karang, akhirnya mereka tiba di tempat terbuka di mana tanahnya rata dan luas merupakan satu tempat terbuka yang kering dan berumput serta terang karena mendapat sinar bulan dengan sepenuhnya. Dan ketika mereka keluar dari belakang sebuah gunung karang, Cin Hai berdiri diam dan Ang I Niocu juga berhenti bertindak dan berdiri di belakang pemuda itu dengan hati terasa ngeri dan seram ketika melihat pemandangan yang dilihatnya di tempat itu.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
238 Di tempat terbuka itu, di atas tanah, melihat dua tumpuk tengkorak-tengkorak manusia merupakan gundukan tinggi seperti batu-batu bundar dan putih, dan tumpukan tengkorak itu terpisah kira-kira dua tombak jauhnya. Di atas tiap tumpukan tengkorak terlihat dua orang dalam keadaan aneh, yang seorang berjongkok sambil meluruskan kedua tangan ke depan, dan yang seorang lagi berdiri di atas puncak gundukan itu dengan kepala di bawah dan kedua kaki di atas! Kedua orang ini saling berhadapan dan saling menggerak-gerakkan kedua tangan seakan-akan sedang melakukan pukulan-pukulan dan nampaknya menyeramkan sekali.
Apalagi ketika Ang I Niocu melihat orang yang berjongkok itu, diam-diam ia bergidik oleh karena orang itu dapat disebut seorang rangka hidup! Muka itu tua dan kurus sekali, mukanya tak berdaging sedikitpun juga hingga merupakan tengkorak terbungkus kulit. Rambutnya yang hanya sedikit di atas kepala itu diikat dengan sehelai kain dan pakaiannya seperti pakaian pendeta.
Orang ke dua yang berdiri dengan kepala di bawah di atas tumpukan tengkorak itu adalah seorang hwesio tinggi besar dan bermuka menyeramkan dan ketika Ang I Niocu memandang dengan penuh perhatian, ternyata bahwa hwesio ini bukan lain ialah Hai Kong Hosiang!
Berdebarlah hati Ang I Niocu melihat hwesio kosen ini, akan tetapi oleh karena di situ ada Cin Hai, ia tidak takut sama sekali. Ia maklum bahwa Hai Kong Hosiang dan kakek tua renta yang seperti rangka itu menguji tenaga khikang secara aneh dan menyeramkan sekali. Harus diketahui bahwa tumpukan tengkorak itu licin dan mudah sekali runtuh, maka baru berdiri di puncak tumpukan saja membutuhkan kepandaian ginkang yang amat tinggi, apalagi kalau harus mengerahkan tenaga mengadu khikang! Lebih-lebih kalau berdirinya dengan kepala di bawah dan kaki di atas seperti yang dilakukan oleh Hai Kong Hosiang, maka diam-diam Ang I Niocu merasa kagum dan ngeri melihat kemajuan dan kehebatan Hai Kong Hosiang. Pada saat itu, biarpun Hai Kong Hosiang telah mengerahkan tenaga di kedua tangannya mendorong dan memukul ke depan, akan tetapi kakek tua renta yang berjongkok di puncak tumpukan tengkorak ke dua itu tak bergerak sedikitpun juga, sedangkan ketika kakek tua renta itu mengayun kedua tangannya, biarpun hanya dengan gerakan perlahan saja, namun tubuh Hai Kong Hosiang telah bergerak-gerak dan terayun-ayun seakan-akan didorong-dorong dan hendak roboh! Dari sini dapat diduga bahwa tenaga khikang kakek itu lebih tinggi daripada tenaga Hai Kong Hosiang!
Ketika Hai Kong Hosiang yang berdiri jungkir balik itu melihat kedatangan Cin Hai dan Ang I Niocu, hwesio ini lalu berseru keras,
"Hai, bagus sekali kalian datang mengantar kematian!" Dan ia lalu memberi tanda dengan kedua tangannya yang menggerak-gerakkan jari-jari tangan ke arah kakek tua renta itu. Kakek ini lalu memutar tubuhnya menghadapi Ang I Niocu dan Cin Hai dengan gerakan ringan sekali dan dari atas tumpukkan tengkorak itu ia mengirim pukulan dengan kedua tangannya ke arah Cin Hai dan Ang I Niocu!
Sungguh hebat tenaga pukulan kakek itu yang dilancarkan dari tempat jauh. Ang I Niocu merasa betapa angin tenaga raksasa mendorongnya dan cepat-cepat gadis ini meloncat ke samping agar jangan sampai terluka oleh tenaga pukulan maut ini. Sebaliknya, Cin Hai yang dapat juga merasai datangnya tenaga hebat ini, segera menggunakan kedua tangannya untuk mendorong ke depan dan mengerahkan tenaga khikangnya! Dua tenaga raksasa bertemu dari dorongan dua orang ini dan Cin Hai lalu terhuyung mundur sampai empat langkah!
Sedangkan kakek itu kedudukannya menjadi miring, tanda bahwa ia pun kena dorong oleh tenaga Cin Hai yang tidak lemah!
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
239 Ang I Niocu terkejut karena maklum bahwa adu tenaga ini menyatakan bahwa kakek tua renta ini masih lebih kuat dan lebih lihai daripada Cin Hai. Hal ini belum seberapa, akan tetapi kenyataan bahwa kakek ini mentaati permintaan Hai Kong Hosiang yang dilakukan dengan gerak tangan menandakan bahwa kakek ini berdiri di pihak Hai Kong Hosiang! Hal ini berbahaya sekali oleh karena dapat diduga betapa tingginya kepandaian kakek itu!
Akan tetapi pada saat itu, kakek tua renta dan Hai Kong Hosiang tiba-tiba berseru keras sekali. Kemudian keduanya lalu bergerak dan meloncat turun dari tumpukan tengkorak bagaikan orang ketakutan! Ketika Ang I Niocu memperhatikan, ia pun merasa terkejut sekali dan hampir saja ia menjerit. Ternyata bahwa di antara sekian banyaknya tengkorak yang ditumpuk, di tengah-tengah tumpukan, tengkorak yang dinaiki Hai Kong Hosiang tadi terdapat sebuah kepala yang bukan tengkorak, oleh karena kepala ini mempunyai sepasang mata yang dapat melirik ke sana ke mari dan masih berambut sungguhpun rambutnya telah putih semua! Sedangkan di tengah tengah tumpukan tengkorak yang dinaiki kakek tua renta tadi pun terdapat sebuah kepala yang kini mengeluarkan suara tertawa terkekeh-kekeh menyeramkan. Akan tetapi, tiba-tiba rasa ngeri dan takut di dalam hati Ang I Niocu berubah rasa girang oleh karena ia segera dapat mengenal suara ketawa terkekeh ini. Bu Pun Su, kakek gurunya orang luar biasa itu, entah bagaimana telah bersembunyi di dalam tumpukan tengkorak yang diinjak oleh kakek tua renta itu.
Memang benar, ketika tiba-tiba di dalam tumpukan terjadi gerakan yang membuat semua tengkorak menggelinding ke sana ke mari, muncullah Bu Pun Su dari tumpukan itu sambil berseri mukanya dan mulutnya tertawa geli. Dengan gerakan sebelah tangannya, Bu Pun Su membuat tumpukan yang satu lagi menjadi runtuh dan dari dalam tumpukan itu muncullah seorang suku bangsa Jungar yang sudah tua sekali dan yang sama sekali tidak dikenal oleh Ang I Niocu. Ternyata orang tua bangsa Mongol ini adalah dukun atau ahli pengobatan yang ikut dalam rombongan Pangeran Vayami dan yang telah diculik oleh Bu Pun Su dan dibawa ke situ serta dipaksa masuk dan bersembunyi di dalam tumpukan tengkorak.
Hai Kong Hosiang menjadi pucat sekali ketika melihat Bu Pun Su. Ia maklum akan kelihaian kakek jembel ini, akan tetapi oleh karena ia ditemani oleh kakek tua renta yang bukan lain adalah supeknya (uwa gurunya) yang bernama Kam Ki Sianjin, orang yang sudah tua usianya hingga telah gagu tak dapat bicara pula, maka Hai Kong Hosiang berbesar hati dan mengandalkan tenaga supeknya ini untuk melawan Bu Pun Su.
"Supek, inilah Bu Pun Su si manusia jahil yang telah berkali-kali menggangu teecu!" Hai Kong Hosiang berkata sambil menuding ke arah Bu Pun Su yang masih berdiri sambil tertawa. Kam Ki Sianjin masih dapat menggunakan telinganya untuk mendengar, bahkan ia memiliki ketajaman pendengaran yang luar biasa, akan tetapi lidahnya telah membeku dan ia tak dapat berbicara lagi. Maka ia lalu menatap wajah Bu Pun Su dan tiba-tiba menepuk kedua tangan sekali, menunjuk ke arah Bu Pun Su dengan tangan kiri dan arah diri sendiri dengan tangan kanan, lalu mengangkat kedua tangan itu ke atas kepala dengan jari-jari ke atas dan sama tingginya. Ia hendak menyatakan bahwa dia dan Bu Pun Su boleh mengadakan pibu karena tingkat kepandaian mereka sama tingginya.
Bu Pun Su tertawa lagi dengan hati geli, kemudian ia pun menepuk tangan, menuding ke arah tengkorak-tengkorak yang bergelimpangan di bawah dan ke arah Kam Ki Sianjin, lalu menurunkan kedua tangannya ke bawah, sama rendahnya. Ia hendak menyatakan bahwa Kam Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
240 Ki Sianjin mempunyai tingkat yang sama rendahnya dengan tengkorak-tengkorak itu! Ini bukan semata-mata penghinaan yang tak berdasar oleh karena Bu Pun Su tahu bahwa kakek tua renta itu berjuluk Si Tengkorak Hidup.
Kam Ki Sianjin menjadi marah sekali dan segera melompat maju menyerang Bu Pun Su.
Gerakannya cepat bagaikan menyambarnya kilat hingga Ang I Niocu terkejut sekali oleh karena belum pernah ia menyaksikan ginkang demikian tingginya, lalu menepuk pundak Cin Hai yang memandang semua itu dengan bengong tapi nyata kelihatan tertarik sekali. Ketika ia menengok ke arah Ang I Niocu yang menepuk pundaknya, Ang I Niocu berkata,
"Hai-ji, hwesio tinggi besar itu adalah Hai Kong Hosiang dan ia adalah musuh besarmu.
Hayo kita serang dia!"
"Aku tidak punya musuh. Apakah engkau bermusuhan dengan dia?" tanya Cin Hai. Ang I Niocu menjadi gemas dan ia berkata keras,
"Ya, ya, dia musuh besarku, hayo kita serang dia!"
"Baik! Kalau dia musuhmu, aku, akan menyerang dia!" Ia lalu melompat dan menyerang Hai Kong Hosiang yang melayaninya sambil memaki-maki.
"Ang I Niocu! Perempuan rendah, perempuan curang!"
"Bangsat gundul, hari ini kau harus mampus!" Ang I Niocu berseru marah dan mencabut pedangnya, terus membantu Cin Hai mengeroyok hwesio itu.
Demikianlah, disaksikan oleh puluhan tengkorak yang bergelimpangan di atas tanah dan oleh dukun tua berbangsa Mongol yang berdiri tak bergerak bagaikan hantu malam, di tempat yang mengerikan itu terjadi perkelahian hebat sekali. Yang paling hebat adalah perkelahian yang terjadi antara Bu Pun Su dan Kam Ki Sianjin, oleh karena di tempat mereka bertempur itu tidak kelihatan apa-apa sama sekali, yang ada hanyalah dua bayangan yang berkelebat ke sana ke mari bagaikan dua iblis sedang bertempur.
Tak terdengar suara tangan atau kaki mereka, akan tetapi di sekitar tempat mereka bertempur itu bertiup angin keras yang membuat tengkorak-tengkorak yang tadi menggelinding dekat, kini menggelinding lagi menjauhi seakan-akan tengkorak itu takut dan ngeri menyaksikan pertandingan yang dahsyat itu dari dekat!
Sementara itu, dikeroyok dua oleh Cin Hai dan Ang I Niocu, Hai Kong Hosiang merasa sibuk sekali. Baru menghadapi seorang di antara mereka saja, terutama Cin Hai, ia takkan dapat menang, apalagi kini dikeroyok dua! Ia telah mengeluarkan seluruh kepandaiannya, bahkan ia telah memainkan tongkat ularnya dengan ganas, akan tetapi tetap saja terdesak hebat oleh pedang Ang I Niocu dan kepalan tangan Cin Hai!
Sebetulnya, selama beberapa hari ini, kepandaian Hai Kong Hosiang, terutama lweekang dan khikangnya, telah naik dan maju pesat sekali oleh karena ia mendapat latihan lweekang dengan berjungkir balik dari supeknya, yaitu Kam Ki Sianjin! Akan tetapi oleh karena latihannya belum masak benar, maka kini menghadapi dua orang muda yang tangguh itu, ia Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
241 tak berdaya dan terdesak hebat. Keringat dingin mengucur dari jidatnya dan setiap saat jiwanya terancam bahaya maut.
Tiba-tiba terdengar suara Bu Pun Su tertawa bergelak dan dari tempat ia bertempur, nampak bayangan Kam Ki Sianjin melesat keluar dari kalangan pertempuran, dan kakek tua renta ini langsung menyambar ke arah Hai Kong Hosiang dan tahu-tahu ia telah dikempit dengan gerakan cepat sekali!
Ternyata bahwa Kam Ki Sianjin tak kuat melawan Bu Pun Su dan ketika ia hendak kabur, ia melihat betapa Hai Kong Hosiang terdesak, maka ia mempergunakan kecepatan untuk
menolong murid keponakannya itu dan membawa lari dari situ!
Bu Pun Su masih tertawa bergelak ketika Ang I Niocu menjatuhkan diri berlutut di depannya.
Akan tetapi Cin Hai yang tidak ingat siapa adanya kakek tua kosen ini, hanya berdiri dengan bingung dan memandang dengan sinar mata kosong.
"Bagus, Im Giok. Kau telah dapat menolongnya sebelum terlambat. Dan orang Mongol inilah yang akan menyembuhkannya!" Bu Pun Su lalu memanggil dukun tua itu mendekat, lalu ia menunjuk kepada Cin Hai sambil berkata dalam bahasa Mongol, "Obatmu yang membuat dia menjadi seperti itu dan obatmu pula yang harus menyembuhkannya!"
Dukun tua bangsa Mongol itu mengangguk-angguk dan dengan tenang ia mengeluarkan
sebuah guci tanah kecil dari kantung dalam.
"Cin Hai, kaumajulah dan terimalah pengobatan dari dukun sihir ini!" berkata Bu Pun Su dengan suara memerintah kepada Cin Hai yang tidak mengenal nama sendiri dan tidak mengenal pula kakek lihai itu.
"Anak tolol!!" Bu Pun Su mencela dan tiba-tiba kakek ini berkelebat ke arah muridnya dan menyerang dengan sebuah totokan. Akan tetapi Cin Hai cepat mengelak dan setelah tujuh kali menyerang dengan gagal, barulah ke delapan kalinya Bu Pun Su berhasil menotok Cin Hai hingga pemuda itu roboh tak ingat orang! Di sini dapat diukur kepandaian Bu Pun Su dan kelihaian Cin Hai pula oleh karena biasanya tiap kali menyerang orang, jarang ada yang dapat mengelak dari serangan kakek jembel ini!
Setelah Cin Hai dibikin tidak berdaya, dukun itu lalu menuangkan isi guci yang berbau harum ke mulut Cin Hai, kemudian ia memijit-mijit dan mengurut-urut kepala pemuda itu.
Agaknya dukun itu bekerja dengan sepenuh tenaga dan semangat oleh karena ternyata bahwa seluruh mukanya berpeluh, padahal malam itu hawa amat dingin! Akhirnya, setelah beberapa lama ia mengurut-urut kepala Cin Hai, ia berdiri sambil mengangguk-anggukkan kepalanya kepada Bu Pun Su. Kakek ini lalu maju dan menepuk pundak Cin Hai yang segera sadar, Pemuda ini seakan-akan baru sadar dari sebuah mimpi buruk. Ia memandang dan ketika melihat Ang I Niocu, ia tersenyum. Sebaliknya ketika melihat suhunya berada di situ pula, ia cepat menjatuhkan diri berlutut sambil berkata,
"Maafkan teecu, suhu. Teecu tidak tahu bahwa Suhu datang di sini dan... dan... sebenarnya teecu berada di manakah?"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
242 Bu Pun Su tertawa terkekeh-kekeh, tanda bahwa hatinya girang sekali melihat betapa muridnya telah sembuh kembali. Juga Ang I Niocu tak dapat menahan keharuan hatinya hingga dua titik air mata melompat keluar dari pelupuk matanya.
Ang I Niocu lalu menuturkan betapa ia mendapatkan pemuda itu berada dalam rombongan Pangeran Vayami dalam keadaan linglung dan hilang ingatan. Kemudian dukun bangsa Mongol itu melanjutkan cerita Ang I Niocu, menceritakan betapa rombongan pangeran itu menolong Cin Hai dari dalam air dan memberi madu merah. Maka teringatlah Cin Hai bahwa ketika itu ia berkelahi mati-matian dengan Hai Kong Hosiang dan akhirnya ia hanyut dalam sungai dalam keadaan pingsan. Cin Hai berlutut lagi di depan suhunya dan berkata,
"Baiknya Suhu datang dan membawa dukun ini untuk menyembuhkan teecu. Kalau tidak, entah bagaimana dengan keadaan teecu."
"Ha, ha, kalau aku tidak mendengar tentang keadaanmu, tentu saja sampai sekarang kau masih menjadi pendekar tolol dan Im Giok masih bingung dan sedih. Hai, Im Giok, setelah Cin Hai sembuh, mengapa kau masih saja berduka?" tanya Bu Pun Su kepada Ang I Niocu.
Mendengar pertanyaan ini, Gadis Baju Merah itu menahan air matanya dan ia pun lalu bertutut sambil berkata, "Susiok-couw, bagaimana teecu takkan bersedih" Adik Lin Lin telah terculik oleh Boan Sip dan suhunya yang lihai, yaitu Bo Lang Hwesio!" Cin Hai terkejut sekali dan menjadi pucat mendengar ini, dan Ang I Niocu lalu menuturkan pengalamannya.
Tak tertahan lagi kesedihan hati Cin Hai, ia lalu berdiri dan membanting-banting kakinya.
"Boan Sip, kalau kau sampai mengganggu Lin Lin, aku Cin Hai akan mengejarmu biar kau lari sampai ke neraka sekalipun!" Pemuda ini mengepal-ngepal tinjunya dan matanya menyinarkan kemarahan besar. Bu Pun Su melihat ini lalu mengangguk-angguk maklum.
"Jadi Nona Lin Lin adalah puteri Kwee ciangkun" Bagus, bagus, Im Giok, kali ini kau benarbenar harus dipuji!" Sehabis mengeluarkan ucapan yang tak dimengerti oleh Cin Hai akan tetapi dapat dimengerti oleh Ang I Niocu itu, Bu Pun Su lalu mengempit tubuh dukun bangsa Mongol yang tadi menolong Cin Hai, lalu berkata,
"Biarlah aku Si Tua Bangka melakukan sebuah tugas lagi. Akulah yang akan mencari tunanganmu, Cin Hai!"
Cin Hai dan Ang I Niocu cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut sambil menghaturkan terima kasih, akan tetapi ketika mereka mengangkat muka memandang, ternyata kakek jembel itu telah lenyap dari situ.
Setelah suhunya pergi, mereka berdua dapat bercakap-cakap dengan leluasa dan kembali Ang I Niocu menuturkan pengalamannya dengan lebih jelas dan panjang lebar. Kemudian Ang I Niocu bertanya,
"Dan di manakah adanya Kwee An" Aku telah bertemu dengan Ma Hoa dan mendengar akan perjodohan anak muda itu."
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
243 Dengan sedih Cin Hai menuturkan pengalamannya dengan Kwee An ketika bertempur
dengah Hai Kong Hosiang dan pengawal-pengawal Pangeran Vayami, hingga Kwee An
tercebur ke dalam air sungai yang deras.
"Entah bagaimana dengan nasib Kwee An," Cin Hai menutup ceritanya dengan penuh hati kuatir, "mari kita mencarinya dan sekalian mencari Hai Kong Hosiang si keparat itu!"
Keduanya lalu meninggalkan tempat itu dan ketika Ang I Niocu mencari kuda putihnya, ternyata kuda itu telah lenyap dan di atas tanah dapat dibaca coret-coretan di atas tanah yang berbunyi, "Kuda dan dukun yang dipinjam harus dikembalikan kepada pemiliknya!"
Kedua anak muda itu maklum bahwa ini tentu perbuatan Bu Pun Su yang berwatak aneh dan penuh rahasia. Maka mereka melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sambil bercakap-cakap dengan asyik.
Kita ikuti Lin Lin yang ditangkap dan dibawa lari oleh Boan Sip, perwira yang lihai itu.
Biarpun Boan Sip mempergunakan ilmu larinya yang cukup tinggi, akan tetapi tak lama kemudian ia dapat tersusul oleh gurunya yaitu Bo Lang Hwesio. Mereka berdua lalu membawa Lin Lin ke sebuah rumah yang telah disediakan oleh Boan Sip untuk tempat tinggal sementara ia bersembunyi dari kejaran musuhnya.
Menurut kehendak Boan Sip ia hendak membunuh gadis itu, akan tetapi Bo Lang Hwesio melarangnya, dan adanya hwesio ini menyelamatkan jiwa Lin Lin, oleh karena Boan Sip sama sekali tidak berani mengganggu atau mencelakainya.
"Kau bermusuhan dengan keluarga Kwee hanya oleh karena engkau ingin mengawini gadis ini. Sekarang keluarga Kwee telah terbasmi dan gadis ini telah kautawan, kalau engkau membunuhnya pula, maka hal ini adalah keterlaluan sekali. Boan Sip, aku tidak peduli akan segala perbuatanmu yang kau lakukan menghadapi urusan-urusan pribadi, akan tetapi aku merasa malu kalau engkau melakukan gangguan terhadap seorang gadis di depan mataku.
Selama engkau minta pembelaanku dan aku berada di sini, aku takkan mengizinkan engkau berlaku sesuka hatimu, kecuali kalau engkau sudah tidak membutuhkan tenaga bantuanku lagi!"
Tentu saja Boan Sip tak berdaya. Ia merasakan perlunya Bo Lang Hwesio mengawaninya, oleh karena selama Cin Hai dan Kwee An masih belum dibunuh dan berkeliaran mencarinya, ia merasa tidak aman kalau berada jauh dari gurunya. Oleh karena ini maka ia terpaksa menurutinya hingga Lin Lin hanya dikurung dalam sebuah kamar saja dengan tak berdaya melarikan diri oleh karena jalan darahnya telah ditotok hingga ia tak dapat mempergunakan tenaganya!
Pada beberapa hari kemudian, di waktu malam, di atas genteng rumah persembunyian Boan Sip nampak berkelebat bayangan hitam yang tak dapat diikuti dengan pandangan mata hingga kalau kebetulan ada orang yang melihat bayangan itu, ia takkan tahu apakah bayangan itu bayang-bayang burung yang sedang terbang atau bayangan apa.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
244 Akan tetapi Bo Lang Hwesio yang sedang duduk bersamadhi di dalam kamarnya, dapat mendengar desir angin yang lain daripada desir angin biasa. Selagi ia masih berada dalam keadaan curiga dan ragu-ragu, tiba-tiba dari atas genteng terdengar orang berkata,
"Bo Lang! Percuma saja engkau bersamadhi kalau perbuatanmu tidak sesuai dengan jubah pendetamu!"
Bo Lang Hwesio terkejut sekali. Bagaimana ada orang yang begitu tinggi ilmu ginkangnya hingga suara kakinya sama sekali tak dapat terdengar olehnya" Padahal Bo Lang Hwesio memiliki ketajaman pendengaran yang luar biasa dan terlatih puluhan tahun lamanya. Belum pernah ia bertemu dengan orang yang memiliki kepandaian meringankan tubuh sedemikian sempurnanya hingga biarpun sedang dalam samadhi, ia sama sekali tak mendengarnya!
"Sahabat yang berilmu tinggi, jangan bicara seperti setan tak berujud, kau masuklah memperlihatkan muka!" kata Bo Lang Hwesio, akan tetapi orang di atas genteng terkekeh--
kekeh dan menjawab,
"Bo Lang Hwesio aku datang untuk minta kembali Kwee-siocia yang kautawan, apakah engkau tetap tidak mau keluar" Aku tidak mau bertindak sebagai maling, lebih baik kuminta terang-terangan!"
Bo Lang Hwesio merasa mendongkol juga mendengar orang berlaku begitu berani dan
menantang, maka tiba-tiba ia menggerakkan tubuhnya dan bagaikan seekor burung besar, hwesio ini sudah melayang keluar jendela, terus menuju ke atas genteng.
Ternyata bahwa di atas genteng itu telah berdiri seorang kakek dengan sikap tenang dan ketika Bo Lang Hwesio melihat kakek ini, tak terasa pula ia berseru keras, "Ah... Bu Pun Su!
Apakah kehendakmu dengan malam-malam datang di sini" Apakah kau hendak mengganggu pinceng pula?"
"Ha, ha, Bo Lang, hwesio gundul! Kau kira aku memang mengganggu manusia tanpa alasan"
Dulu aku mengganggumu di Thian-san oleh karena kau hendak merusak persahabatan dengan tokoh Thian-san-pai. Sekarang aku datang oleh karena kau telah mengumbar nafsu dan membela seorang perwira yang berlaku sewenang-wenang!"
"Bu Pun Su, pinceng tahu bahwa kau memang memiliki kepandaian tinggi, tapi jangan kira pinceng takut kepadamu. Bo Lang Hwesio dulu bukan Bo Lang Hwesio sekarang!"
"Benar, benar! Bo Lang Hwesio dulu nafsunya sendiri yang bernyala-nyala, sedangkan Bo Lang Hwesio sekarang karena sudah tua bangka maka mengumbar nafsunya dengan membela muridnya yang murtad!"
"Bu Pun Su, jembel tua! Jangan sembarang menuduh. Seorang guru membela muridnya yang terancam bahaya oleh musuh-musuhnya, bukankah hal itu sewajarnya" Boan Sip dikejar-kejar musuh-musuhnya yang lihai dan kalau bukan pinceng yang membela, habis siapa lagi"
Tentang Nona Kwee yang tertawan kami perlakukan baik-baik dan adalah salah Nona itu sendiri mengapa kurang tinggi kepandaiannya hingga kalah oleh muridku!"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
245 "Ha, ha, alasan anak kecil! Sudahlah, Bo Lang Hwesio, kalau kau menyerahkan Lin Lin Siocia dengan baik-baik aku si tua bangka pun tak mau membuat ribut lagi. Akan tetapi kalau kau menolak biarlah kita main-main sebentar!"
"Kau sombong!" teriak Bo Lang Hwesio yang lalu menyerang dengan pukulan tangan
terbuka. Pukulannya ini luar biasa hebatnya hingga biarpun gerakan tangannya masih jauh jaraknya dari tubuh Bu Pun Su, namun baju dan rambut kakek jembel itu telah berkibar tertiup angin pukulan!
"Bagus, lweekangmu sudah banyak maju!" jawab Bu Pun Su yang lalu mengelak dan
membalas memukul dengan lima jari tangan kanan terbuka. Pukulan ini tertuju kepada pundak kanan Bo Lang Hwesio dan untuk menilai kehebatan pukulan ini dapat diukur dari suara genteng pecah, dan ternyata genteng di belakang Bo Lang Hwesio yang cepat berkelit itu menjadi terdorong oleh angin pukulan Bu Pun Su yang menggunakan gerak tipu Burung Merak Mengulur Cakar ini tidak mengenai sasaran. Bo Lang Hwesio lalu mengeluarkan seluruh kepandaiannya yang lihai dan sebentar saja kedua orang tua yang gagah itu telah bergerak-gerak pergi datang di atas genteng itu.
Bo Lang Hwesio memang lihai sekali dan tingkat kepandaiannya lebih tinggi setingkat daripada kepandaian Hek Pek Moko, akan tetapi menghadapi Bu Pun Su, ia tak dapat berbuat banyak. Setelah bertempur sengit dua puluh jurus lebih akhirnya Bo Lang Hwesio tak kuat menghadapi kakek jembel itu lebih lama lagi oleh karena gerakan Bu Pun Su benar-benar cepat hingga bagi Bo Lang Hwesio, tubuh lawannya seolah-olah berubah menjadi puluhan banyaknya yang menyerang dan mengeroyoknya dari seluruh jurusan. Kalau orang lain yang menghadapi Bu Pun Su, tentu akan mengira bahwa kakek aneh ini mempergunakan ilmu sihir, akan tetapi Bo Lang Hwesio maklum bahwa ginkang kakek ini sudah sampai di puncak kesempurnaan, sedangkan tenaga lweekangnya sudah jauh lebih tinggi daripada tenaganya sendiri.
Bu Pun Su memang tidak mau mencelakakan atau melukai Bo Lang Hwesio, maka kakek itu hanya mempermainkannya saja dengan gerakannya yang cepat dan kadang-kadang menowel pundak atau perut Si Hwesio. Bo Lang Hwesio menjadi jerih dan berseru,
"Bu Pun Su, benar-benar kau lihai dan aku tidak malu untuk mengaku kalah!" Setelah berseru demikian, Bo Lang Hwesio lalu melompat ke belakang dengan cepat sekali dan alangkah heran dan kagetnya ketika ia merasa betapa dadanya dingin tertiup angin dan ketika ia memandang, mukanya menjadi pucat sekali oleh karena jubahnya di bagian dada telah robek dan bolong. Ia bergidik oleh karena maklum bahwa kalau Bu Pun Su memang
bermaksud jahat, tentu jiwanya telah melayang sejak tadi. Ia menghela napas dan
menggeleng-geleng kepala saking kagumnya dan ia tidak berani mengejar ketika melihat tubuh kakek jembel itu melayang turun ke dalam rumah. Ia harapkan saja kakek itu tidak akan mencelakakan Boan Sip.
Akan tetapi, tak lama kemudian nampak Bu Pun Su melayang naik lagi dan tahu-tahu telah berada di hadapannya sambil membentak,
"Bo Lang Hwesio! Jangan kau mempermainkan aku! Di mana adanya Nona Kwee dan di
mana pula sembunyinya muridmu yang jahat itu?"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
246 Sepasang Pedang Iblis 28 Anak Berandalan Karya Khu Lung Misteri Bayangan Setan 11
^