Kisah Si Rase Terbang 1
Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung Bagian 1
"Soat-san Hui-hauw
(Kisah si Rase Terbang)
Karya : Chin Yung Saduran : OKT
CATATAN PENTING :
Ini adalah versi asli memang berakhir dengan open ending (menggantung)
Ada buku KISAH SI RASE TERBANG versi bajakan kisahnya lebih panjang tetapi tidak
nyambung karena ditempel kisah masa lalu Ouw Hui dan bukan lanjutan dari Soat San Hui Ho
KATA PENGANTAR Ketika diminta untuk memberikan Kata Pengantar untuk buku ini, terus terang, saya merasa
sebenarnya belum layak. Mengingat buku ini merupakan salah satu novel yang terbaik untuk
jenisnya dan dapat dikatakan merupakan buah karya dua Maestro yang sudah diakui pada
bidangnya masing-masing.
Novel ini sendiri, menurut saya merupakan salah satu yang terunik dan terbaik dari Louis Cha,
atau yang lebih dikenal sebagai Jinyong (Chin Yung), salah satu novelis dalam bahasa Mandarin
yang paling berpengaruh. Dengan sederhana dan unik, dari hanya satu lokasi cerita utama,
mengalirlah berbagai kilas balik kejadian (flash back) yang dramatis. Kita menjadi terbius dan
sakaw (baca: ketagihan) oleh berbagai keterkejutan dan ketegangan yang membawa kita pada
suatu akhir yang luar biasa. Semuanya begitu apik dan harmonis, menunjukkan kejeniusan
Jinyong dalam mengelola konflik dan tempo dalam cerita yang padat ini dan sangat kaya dengan
berbagai karakter manusia. Akhirnya secara misterius, tanpa menggurui, cerita ini telah membawa
saya dalam suatu perjalanan spiritual.
Semua di atas hanya dimungkinkan oleh jerih-payah Uy Kim Tiang, atau yang lebih terkenal
dengan singkatan O. K. T. - penerjemah novel khususnya genre silat paling besar dan produktif.
Melalui bahasanya yang efektif, efisin dan luwes, beliau, telah membuat edisi Indonesia novel ini
menjadi sesuatu yang lain dan begitu komunikatif dengan pembacanya. Beliau dengan begitu
tekun dan teliti melakukan riset dan memberikan keterangan, sehingga kita bisa menikmati bagian
terkecil novel ini sekalipun. Karenanya kita bisa menikmati puisi-puisi maupun konteks kebudayaan
(Tionghoa) pada novel ini. Saya rasa belum pernah ada penerjemah yang se-intens beliau sampai
saat ini. Pada akhirnya saya sangat menyambut baik penerbitan kembali novel ini. Sebagai penikmat
bacaan khususnya novel genre silat, saya mengharapkan buku ini dapat menjadi alternatif bacaan
khususnya novel silat yang bermutu. Bagi Anda yang sedang memegang buku ini dan berpikir-pikir
untuk mencobanya, saya jamin Anda akan mendapatkan sesuatu sensasi yang berbeda. "Tak
Kenal maka Tak Sayang"
Salam, Danny Njoman Bekerja di bidang Komunikasi Data Anggota Masyarakat Cersil (MCersil) Penikmat bacaan
khususnya novel (sastra) silat
0oo0oo0 Musim dingin belum menyingkir dari daerah utara Gunung Tiang Pek San masih mengenakan
mantel salju yang putih bersih. Saat itu fajar mulai menyingsing dan timbunan salju memantulkan
kembali cahaya matahari dalam beribu-ribu warna, seakan-akan beribu-ribu permata tersebar di
situ. Suasana tenang-tenteram, damai dan suci seakan-akan hendak mengesankan bahwa dunia ini
sungguh indah, bila saja tidak dinodakan perbuatan manusia yang penuh angkara. Tetapi, di sini
pun tiba-tiba terdengar mendesisnya sebatang anak panah yang telah dilepaskan dari balik
gunung di sebelah timur dan melayang ke tengah angkasa.
Dari bunyi mendesisnya anak panah yang tiba-tiba memecahkan kesunyian dengan cepat lagi
nyaring itu, dapat diketahui betapa kuat tenaga orang yang melepaskannya.
Anak panah tersebut dengan sangat tepat menembusi seekor belibis yang sedang terbang
bebas. Terbawa anak panah yang menancap di lehernya, belibis itu terjungkal jatuh di atas salju.
Pada saat itu, dari jurusan barat, beberapa belas tombak dari tempat belibis itu jatuh, empat
penunggang kuda sedang mendatangi dengan cepat. Ketika mendadak terdengar mendesisnya
panah tersebut, keempat orang itu serentak menahan kuda mereka yang segera terhenti semua
Menampak betapa tepatnya belibis itu dipanah jatuh, tanpa kecuali mereka merasa kagum dan
di dalam hati mereka timbul keinginan untuk mengetahui siapakah gerangan pemanah yang
tangkas itu. Akan tetapi, setelah sekian lama menanti dan dari balik gunung itu belum juga muncul orang
yang dinantikan, mereka mendengar derap kaki kuda yang lari pesat. Ternyata orang yang
ditunggu itu sudah pergi dengan mengambil jurusannya sendiri.
Seorang di antara rombongan penunggang kuda itu bertubuh kurus-jangkung, wajahnya
mencerminkan kecerdasan, usianya sudah agak tua. Ia mengerutkan kening demi mendengar
pemanah tadi kabur. Segera ia mengeperak kudanya dan menuju ke lereng gunung di sebelah
timur, diikuti tiga kawannya
Setelah melewati suatu tikungan, mereka melihat lima penunggang kuda yang sudah agak
jauh, mungkin sudah satu li dari tempat mereka. Dari bekas-bekas kaki kuda yang jelas
ditinggalkan di permukaan salju dapat dikira-kira betapa cepat lari kuda mereka itu. Teranglah
sudah, bahwa mereka tidak mungkin dikejar lagi.
"In suheng, agak aneh juga kejadian ini," kata orang tua tadi sambil mengisyaratkan agar
kawan-kawannya menghampiri ia.
Yang dipanggil In suheng ini juga sudah agak tua, tubuhnya agak gemuk, dua belah kumis
tebal menghiasi bibirnya dan tubuhnya diselubungi mantel dari kulit tiauw (suatu jenis binatang
yang mirip dengan tikus dan kulitnya berharga mahal sekali), lagaknya sebagai saudagar kayaraya.
Setelah menyaksikan apa yang dilihat si kurus-jangkung tadi, ia menganggukkan
persetujuannya atas pendapat kawan itu. Kemudian ia membilukkan kudanya untuk segera
dilarikan kembali ke dekat bangkai belibis tadi. Ia mengayunkan cambuknya dan dengan
menerbitkan bunyi "taimil" yang nyaring, ia telah mementalkan belibis itu ke atas. Ketika kemudian
ia menyabet pula, ujung pecut itu sudah segera melilit bangkai belibis tersebut.
Dengan tangannya yang sebelah lagi ia menyambut bangkai belibis serta anak panah itu yang
segera diperiksanya
"Hai!" serunya, sebagai terperanjat.
Mendengar seruan tiba-tiba itu, ketiga kawannya segera mengeperak kuda mereka dan
menghampiri si orang she In.
"Whi suheng, coba periksa ini?" seru yang disebut "In suheng" sambil melemparkan belibis
serta anak panah itu kepada si kurus-jangkung.
Dengan mudah saja ia ini menyambuti burung yang dilemparkan kepadanya dan memeriksa
batang panah itu. Segera terdengar ia berseru juga.
"Eeeh, benar dia, lekas-lekas kita kejari" teriaknya bernapsu. Dengan tergesa-gesa ia
membilukkan kudanya dan mendahului mengejar ke jurusan depan.
Lereng gunung itu seluruhnya berlapiskan salju putih bersih, di sekeliling sudah tidak ada orang
lain lagi, maka mengikuti jejak orang yang mereka kejar itu bukannya soal sulit.
Kecuali dua orang tua tadi, dua orang yang lain masih muda dan sedang kuat-kuatnya, seorang
bertubuh tinggi-tegap dan kelihatan lebih gagah lagi duduk di atas kudanya yang juga tinggi
besar. Yang seorang lagi berbadan sedang, wajahnya putih kehijau-hijauan dan sungguh
menyolok, hidungnya bahkan merah mencorong, mungkin telah menjadi beku kedinginan.
Ketiga orang yang masih tertinggal ini bersiul sekali dan segera memacu kuda untuk menyusul
dengan cepat. Hari itu adalah tanggal 15, bulan 3, tahun ke-empat puluh lima masa pemerintahan Kaisar Kian
Liong dari dinasti Ceng. Di daerah Kanglam bunga-bunga sudah mekar meriangkan suasana
musim semi, tetapi di daerah utara di sekitar gunung Tiang Pek San yang terpencil ini, timbunan
salju justeru baru akan mulai lumer, belum ada gejala-gejala dekat tibanya musim semi.
Dalam pada itu, sang surya baru saja mengintip dari belakang gunung di sebelah timur.
Sinarnya yang kuning keemas-emasan menyorot terang, tetapi tidak membawakan hawa hangat
sedikit juga. Meski hawa di daerah pegunungan itu sangat dinginnya, tetapi karena empat penunggang kuda
tadi memiliki kepandaian yang tinggi semua, tiada seorang di antara mereka yang terganggu
karenanya dan mereka terus melarikan kuda mereka secepat terbang. Sebelum berselang
lama, dari kepala mereka sudah keluar uap dan pemuda yang bertubuh tinggi tegap itu
melepaskan mantelnya.
Ia mengenakan baju kulit dilapis dengan sutera hijau, di pinggangnya digantungkan sebatang
pedang, alisnya dikerutkan hingga hampir bersambung dan matanya berapi-api, tiada hentinya ia
memacu kudanya agar berlari lebih cepat.
Pemuda ini bernama Co Hun Ki, kalangan Kang Ouw mengenalnya sebagai "Teng Liong Kiam".
Ia adalah Ciang Bun Jin partai Thian Liong Bun cabang utara yang berkedudukan di Liau Tang.
Ciang hoat (ilmu silat tangan kosong) dan kiam hoat (ilmu silat pedang) yang merupakan dua
pelajaran utama partai Thian Liong Bun, kedua-duanya sudah cukup dalam diselaminya.
Yang bermuka putih itu adalah suteenya (adik seperguruannya), namanya Ciu Hun Jang dan ia
bergelar "Hwi Liong Kiam". Dalam hal kiam hoat partainya, kepandaiannya sudah cukup
sempurna. Si orang tua tinggi-kurus adalah susiok (paman guru) mereka, yakni "Cit Seng Ciu"
Whi Su Tiong, tokoh tertua dalam partai Thian Liong Bun.
Orang tua yang berlagak sebagai saudagar kaya adalah Ketua Thian Liong Bun cabang selatan,
In Kiat namanya dengan gelar " Wi Cin Thian Lam" (Kekuasaan yang Menggoncangkan Daerah
Selatan). Kali ini, untuk memenuhi permintaan cabang utara, jauh-jauh dari tempat kedudukannya, ia
telah datang ke utara untuk bantu menghadapi musuh tangguh.
Tunggangan mereka adalah kuda pilihan semua dari daerah luar Dinding Besar. Maka sesudah
mereka mengejar hingga tujuh-delapan li, lima penunggang kuda yang sedang dikejar, sudah
mulai kelihatan. Lewat berapa saat lagi mereka sudah menyusul cukup dekat.
"Hai, sahabat berhentilah!" teriak Co Hun Ki dengan nyaring sambil melampaui kawankawannya.
Lima orang yang di depan itu tidak menggubris seruannya, mereka bahkan membedal kuda
mereka semakin kencang.
"Jika kalian tidak mau lekas berhenti, janganlah kalian kelak menyalahkan kami karena tidak
berlaku sopan!" berkumandang pula teriakan Hun Ki dengan suara garang.
Sebagai jawaban terdengarlah seorang di antara rombongan itu mengatakan sesuatu. Orang itu
mendadak menahan kudanya untuk menunggu, sedang empat kawannya tetap memacu kuda
mereka tanpa menengok sama sekali.
Seorang diri Co Hun Ki maju ke depan mendahului rombongannya, iamelihatorangitu sudah
menantikan kedatangannya dengan bidikan busur dan anak panah yang dijujukan tepat ke
dadanya. Akan tetapi, Hun Ki yang sudah tinggi kepandaiannya dan besar nyalinya, tak dapat
digentarkan sikap mengancam orang itu.
'Apakah To suheng yang berada di depan?" teriaknya menyapa.
Wajah orang itu tampan, alisnya tegak memanjang, usianya antara duapuluh tiga-duapuluh
empat tahun, pakaiannya serba ringkas.
Seruan Hun Ki yang terakhir dijawabnya dengan gelak tertawa.
"Awas, panah!" serunya sebagai peringatan.
Dengan mengeluarkan bunyi mendesis tiga kali, tiga batang anak panah susul-menyusul sudah
meluncur menuju ke tiga bagian tubuh Co Hun Ki, atas, tengah dan bawah
Co Hun Ki tidak menyangka bahwa tiga batang panah itu dapat dilepaskan beruntun secepat
itu, maka di saat itu ia terperanjat juga. Lekas-lekas ia mengayunkan cambuknya Dua batang anak
panah yang masing-masing menyerang sebelah atas dan tengah segera dapat dipukul jatuh,
menyusul mana ia menggentak kendali kudanya hingga hewan itu berjingkrak ke atas dan anak
panah ketiga itu lewat di bawah selangkangan kudanya.
Pemuda she To itu bergelak ketawa sekali lagi dan sesaat kemudian membilukkan kudanya
yang segera dikaburkan pula ke depan.
Karena kelakuan orang yang sungguh menantang itu, saking gemasnya, maka Co Hun Ki
menjadi merah padam. Ia memacu kudanya segera hendak mengudak lagi, tetapi "Cit Seng Ciu"
Whi Su Tiong sudah keburu mencegahnya.
"Sabar Hun Ki, tidak nanti ia bisa kabur ke langit, janganlah kuatir," susiok itu menasehatkan.
Sesudah itu ia turun dari kudanya dan mengangkat tiga batang panah yang berserakan di atas
salju. Tiga batang panah itu ternyata benar-benar serupa dengan panah yang menancap di leher
belibis. Karena bukti ini yang sudah tidak usah disangsikan lagi, muka In Kiat sudah segera berubah.
"Benar, memang bocah itu!" katanya dengan suara di hidung.
"Coba tunggu sumoay dulu, lihat apa yang bisa dikatakannya lagi," demikian pendapat Co Hun
Ki. Semua setuju dan mereka lantas berdiam. Tetapi setelah menunggu agak lama dan masih saja
belum terdengar sumoay itu mendatangi, Co Hun Ki menjadi habis sabar.
"Coba kutengok di mana ia!" katanya. Ia segera menjalankan kudanya berbalik kembali ke
jurusan dari mana mereka datang.
"Ia memang tak dapat disalahkan!" kata Whi Su Tiong sambil mengikuti bayangan si pemuda
dengan kedua matanya dan menghela napas.
'Apakah arti kata-katamu, Whi suheng?" tanya In Kiat yang belum mengerti.
Whi Su Tiong tidak menjawab, ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sementara itu, setelah melalui lebih-kurang satu li, Co Hun Ki melihat seekor kuda kelabu tanpa
penunggang serta tidak jauh dari hewan itu seorang gadis dengan pakaian putih seluruhnya,
setengah berlutut seakan-akan sedang mencari sesuatu di salju.
"Apakah yang kau cari, sumoay?" tanya Hun Ki.
Gadis itu tidak menjawab, hanya sesaat kemudian ia mendadak berbangkit dan tangannya
menggenggam sesuatu yang kuning-kuning berkilau menyilaukan disoroti cahaya matahari.
Co Hun Ki turun dari kudanya dan mendekati sang sumoay untuk melihat benda berkilau itu
yang ternyata adalah sebatang pit (alat tulis Tionghoa) kecil dari emas mumi. Panjangnya tidak
cukup tiga dim, tetapi ujungnya tajam sekali, pada batangnya diukirkan sebuah huruf 'An". Hun Ki
mengerutkan alisnya, mukanya segera berubah setelah melihat huruf itu.
"Dari mana kau dapat benda ini?" tanyanya.
"Setelah kalian berangkat, tidak lama lagi aku berangkat menyusul, di tempat ini mendadak aku
mendengar derap kaki kuda dari sebelah belakang, dalam sekejap saja kuda itu sudah dapat
menyusul bahkan melampaui aku. Pada saat itu penunggangnya sekonyong-konyong
mengayun tangannya menimpukkan sebatang senjata rahasia kepadaku, sehingga aku ...
aku____" Sumoay ini tidak dapat meneruskan ceritanya dan wajahnya segera menjadi merah.
Co Hun Ki menjadi agak bercuriga dan ia menatap wajah si gadis yang agaknya sedang
kemalu-maluan. Kulit gadis itu putih-bersih lagi halus dengan suatu sinar dadu yang seakan-akan
menerobos keluar dari bawah kulit wajahnya. Matanya, sebagai juga mukanya, ditujukan ke
bawah dan dalam malunya gadis itu kelihatan semakin cantik
"Tahukah kau, kita sedang mengejar siapa?" tanya Hun Ki.
"Entahlah," jawab si gadis.
"Hm, benarkah kau tidak tahu?" tanya Hun Ki dengan suara dingin.
"Mengapa aku harus tahu?" berbalik si gadis menanya.
"Karena orang itu adalah kekasihmu!" jawab Hun Ki.
"To Cu An ... ?" teriak gadis itu dengan hati cemas.
Entah bagaimana perasaan Hun Ki pada waktu itu, hanya yang nyata adalah, bahwa mukanya
seketika itu berubah seakan-akan tertutup awan.
'Aku tidak menyebut lain daripada "jantung hatimu" dan kau lantas saja menyebut nama To Cu
An" teriaknya dengan gusar.
Muka si gadis kembali menjadi merah dan matanya menjadi basah karena air-mata yang segera
juga sudah turun berketel-ketel.
"Ia ... ia ... I" ia berteriak-teriak tanpa bisa menyelesaikan kalimat yang akan diucapkan itu.
Dalam gusarnya ia tak dapat menguasai diri lagi dan membanting-banting kaki.
"Ia ... ia ... mengapa ia?" tanya Hun Ki dengan bernapsu.
"Ia adalah bakal suamiku, bukan hanya jantung hatiku!" teriak gadis ini yang tak dapat
menahan amarahnya lagi.
Co Hun Ki juga menjadi gusar kini, mendadak ia melolos pedangnya dengan sikap mengancam.
Tetapi gadis yang berada di depannya itu tidak menjadi gentar, dengan sikap menantang ia ini
bahkan melangkah maju.
"Jika berani, bunuhlah aku!" gadis itu menjerit dengan kalap. Karena kenekatan gadis itu, Hun
Ki merandek, dengan mengertak gigi ia menatap wajah si nona, sesaat kemudian perasaan
halusnya timbul dan hatinya menjadi lemah.
"Sudahlah, apa boleh buat!" ia berteriak dan senjatanya segera dijujukan ke ulu-hatinya sendiri.
Tetapi sebelum maksudnya tercapai, gadis itu dengan cepat sudah melolos pedangnya dan
menyampok pedang Hun Ki, hingga perbuatan nekat pemuda ini tidak sampai terlaksana.
"Di dalam hatimu sudah tidak ada tempat untuk diriku, guna apa kau mau menyiksa aku lebih
lama pula?" kata Hun Ki dengan sedih dan penasaran.
Tanpa menjawab, gadis itu memasukkan kembali pedangnya ke dalam selongsongnya.
"Sebagaimana kau juga tahu, ayah merangkap jodoku dengan ia, dalam hal ini apakah yang
dapat kubuat" Kenapa kau hendak juga mempersalahkan aku?" kata si gadis dengan lemah
lembut. Jawaban ini seakan-akan memberikan sedikit sinar terang kepada Hun Ki.
"Aku rela untuk mengikuti kau pergi ke mana saja asal dapat terus berdampingan dengan kau,
biarpun harus mengasingkan diri di puncak gunung yang sunyi ataupun di pulau yang jauh dari
pergaulan manusia," kata Hun Ki selanjutnya.
"suheng, aku sudah mengetahui perasaan hatimu, aku tidak tolol dan aku mengingat
semua kebaikanmu. Tetapi kau adalah Ketua Thian Liong Bun cabang utara, maka jika sampai
terjadi sebagai yang kau katakan tadi, nama partai kita akan hancur berantakan dan kita akan
kehilangan muka semua," kata si gadis sebagai jawaban.
"Meskipun harus hancur-lebur, asal untuk kau aku masih rela juga!" teriak Hun Ki yang sudah
tak dapat menguasai diri lagi. "Langit ambruk pun aku tak perduli, apalagi segala Ciang Bun Jin
...!" Sikap pemuda ini membikin si gadis bersenyum.
"Justeru sifatmu yang keras dan nekat-nekatan tanpa menghiraukan segala apa ini yang tak
kusukai," kata sang sumoay sambil menjabat tangan suhengnya dengan halus.
Ditunjukkan kelemahannya, Hun Ki tak dapat mengumbar napsunya yang berapi-api lagi, ia
hanya dapat menghela napas panjang-panjang.
Tetapi agaknya ia masih kurang puas, tanyanya, "Mengapa kau diam-diam menganggap
pemberiannya sebagai mestika saja?"
"Pemberiannya" Kapan aku berjumpa dengan ia!" bantah sumoay ini.
"Hm! Namanya jelas-jelas diukirkan di batang pit emas ini," Hun Ki menuduh, sehingga si gadis
jadi bersungut-sungut.
"Dasar kau suka menuduh secara ngawur, lebih baik jangan bicara lagi dengan aku!" si gadis
Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membalas berteriak. Ia berlari-lari menghampiri kudanya dan dengan sekali berlompat ia sudah
berada di atas pelana. Segera juga kudanya yang berwarna kelabu itu, sudah dilarikan kencang.
Buru-buru Hun Ki menyempelak kudanya dan mengejar sumoaynya, ia memacu tunggangannya
terus-menerus dan sebelum berselang lama ia sudah dapat menyusul sumoay itu, kuda siapa
segera ditahannya dengan sebelah tangan, sambil berseru, "Sumoay, dengarlah perkataanku
dulu!" Nona itu tidak menggubris dan segera juga mengangkat cambuknya, memukul tangan Hun Ki.
"Lepas! Pantaskah kelakuanmu ini jika dilihat orang!" ia membentak.
Mungkin karena pukulan pertama tadi tidak terlalu keras, maka Hun Ki belum mau melepaskan
pegangannya pada kendali kuda si nona. Ia ini menjadi gusar benar-benar dan segera mengulangi
mencambuk, tetapi kali ini dengan keras. Seketika itu suatu jalur merah keungu-unguan lantas
saja kelihatan pada tangan Hun Ki.
Tetapi, agaknya pemudi itu menyesal dan merasa kasihan, demi melihat tanda merah bekas
pukulannya tadi. Dengan suara yang berubah lunak kembali, ia mengatakan, "Mengapa kau terus
menggoda?"
"Baik, aku menerima salah. Coba pukul sekali lagi," kata si pemuda.
Dengan disertai senyum manis, gadis itu menjawab, "Tanganku sudah lelah dan tak kuat
mengangkat cambuk lagi."
"Kalau begitu, mari kuurut tanganmu yang letih itu." Sambil mengucapkan kata-kata ini, Hun Ki
sudah lantas saja hendak menarik tangan si gadis.
Di luar dugaannya, sumoay itu menyambut tangannya dengan mencambuk sekali lagi Tetapi
kali ini Hun Ki sudah berwaspada, dan dengan sedikit mengegos ia dapat menghindari pukulan
tersebut. Kemudian, dengan tertawa ia menegur, "Tanganmu sudah tidak lelah lagi?"
"Kularang kau menyentuh aku!" jawab si gadis dengan muka memberengut.
"Baiklah, sekarang coba terangkan dari siapa kau dapat pit emas itu!"
"Dari jantung hatiku, namanya jelas-jelas diukirkan pada batang pit emas ini, bukan?" Demikian
dengan tertawa si gadis mengulangi kata-kata Hun Ki tadi.
Mendengar kata-kata ini hati Hun Ki kembali dirasakan pilu, sesaat kemudian tabiatnya yang
keras aseran timbul lagi. Tetapi demi melihat si gadis tertawa, sehingga wajahnya sebagai juga
bunga sedang mekar, melihat betapa indahnya bibir si gadis yang berwarna merah mengelilingi
sebaris gigi laksana mutiara, segera juga hatinya lumer sebagai salju terkena sinar matahari yang
hangat. "suheng, sedari kecil kau merawat aku dengan penuh kecintaan melebihi saudara kandung, aku
bukan tidak berterima kasih dan sedapat mungkin aku akan membalas budimu itu, tetapi ...
sekarang ini kedudukanku serba salah. Kau selalu memperhatikan aku, selalu menyayang, tetapi
pada saat ini kita semua sedang menghadapi ujian yang maha berat, ayah telah meninggal
secara mengenaskan dan Thian Liong Bun kita menghadapi bahaya keruntuhan. Bukankah soalsoal
ini lebih penting dari pada soal-soal pribadi" Mengapa kau masih belum dapat memahami
perasaanku?"
Hun Ki termangu-mangu mendengarkan uraian sumoaynya itu, tak dapat ia membantah segala
kenyataan ini. "Yah, memang kau selalu berada di pihak yang benar dan aku selalu bersalah. Marilah kita
lekas-lekas berangkat," katanya dengan lesu.
Sumoay itu menjadi tertawa sendiri melihat sikap suheng ini.
"Jangan terburu-buru!" katanya menahan. Ia mengeluarkan sapu-tangan dan tanpa ragu-ragu
menyusut keringat yang membasahi muka Hun Ki.
"Di atas padang salju ini, jika keringatmu tidak lekas-lekas disusut, kau bisa masuk angin atau
mendapat penyakit lain yang lebih berbahaya," ujarnya.
Mendapat perlakuan ini tentu saja amarah Hun Ki menjadi buyar seakan-akan asap ketiup
angin. Dengan muka mencerminkan kegirangan ia mengangkat cambuknya dan memukul kuda si
nona dengan perlahan. Dalam suasana baik mereka mengaburkan tunggangan mereka dengan
berendeng. Nama gadis ini adalah Tian Ceng Bun, puteri Tian Kui Long, Ciang Bun Jin (Ketua) Thian Liong
Bun yang baru meninggal belum lama berselang. Oleh sebab itu ia mengenakan pakaian
berkabung. Usianya masih sangat muda, tetapi di daerah Kwan Gwa (di luar Dinding Besar)
namanya sudah agak tersohor juga Disamping berparas cantik, ia pun mempunyai otak yang
cerdik dan banyak akalnya, maka oleh orang-orang Kang Ouw ia diberi julukan "Giok Bin Ho"
(Rase dengan Paras Kumala).
Berkat lari kuda mereka yang cepat, tak lama kemudian mereka sudah tiba di tempat kawankawan
mereka sedang menunggu.
"Lama juga kau pergi, apakah kau menemukan sesuatu?" tanya Whi Su Tiong sambil melirik
keponakan muridnya ini.
Muka Hun Ki menjadi merah. Untuk seketika ia tak dapat menjawab, tetapi akhirnya keluar juga
dari mulutnya, "Tidak, aku tidak menemukan apa-apa."
Setelah ini mereka tidak berayal pula dan tanpa banyak bercakap-cakap mereka mengaburkan
masing-masing tunggangannya dengan kencang.
Beberapa li sudah mereka lalui, keadaan lereng gunung di depan mereka sudah mulai curam
dan berbahaya. Kadang-kadang kuda mereka terpeleset di atas salju yang membeku, maka
selanjutnya mereka tak berani membedal kuda mereka. Perjalanan kini dilanjutkan dengan
perlahan-lahan.
Sesudah melalui dua lereng gunung lagi, jalan bahkan menjadi semakin berbahaya. Tiba-tiba
terdengar kuda meringkik dengan nyaring di sebelah kiri mereka.
Dengan gesit dan tangkas Hun Ki meloncat dari atas pelana ke belakang sebuah pohon siong
yang besar. Dari tempat bersembunyinya ini ia mengintip ke arah suara kuda tadi. Ia melihat lima
ekor kuda ditambatkan pada berapa batang pohon di lereng bukit sebelah sana, di permukaan
salju terdapat bekas-bekas kaki manusia yang lurus menuju ke atas bukit.
"Jiwi susiok, agaknya penjahat kecil itu kini berada di atas bukit itu. Mari kita susul cepatcepat!"
kata Hun Ki dengan suara tegang.
Dari empat orang itu In Kiat adalah yang paling berhati-hati. "Mungkin mereka telah sengaja
memancing kita kemari dan mungkin juga di atas gunung ini telah diatur jebakan." Demikian
pendapatnya. "Tidak perduli sarang naga atau guha macan, hari ini kita hanya boleh mengenal maju tak
boleh mundur!" kata Hun Ki bernapsu.
Melihat sifat pemuda ini yang sangat ceroboh, In Kiat merasa kurang senang. "Whi suheng,
bagaimana menurut pikiranmu?" tanyanya kepada Whi Su Tiong.
Tetapi Whi Su Tiong sudah didahului Tian Ceng Bun yang mengatakan, 'Ada 'Wi Cin Thian Lam'
In susiok di antara kita, kita tidak usah takut kepada jebakan mereka meskipun bagaimana lihay
juga." In Kiat agaknya senang mendengar umpakan ini, ia bersenyum puas. "Melihat cara-cara
mereka yang begitu terburu-buru agaknya mereka tidak berniat menjebak kita. Tetapi ada baiknya
jika kita berhati-hati, kita naik ke atas dengan jalan memutar dan menyerang dari jurusan yang
tak mereka duga sama sekali," katanya.
Hun Ki mengatakan persetujuannya, disusul yang lain-lain. Mereka turun dan lantas menambat
kuda mereka pada pohon-pohon siong (cemara) yang banyak terdapat di situ. Setelah
meringkaskan pakaian, mereka berjalan memutar dan mendaki bukit itu dari jurusan lain. Seluruh
lereng bukit itu ditumbuhi pohon dan batu cadas yang besar-besar menonjol di sana-sini. Tetapi,
berkat ilmu mengentengkan tubuh mereka yang tinggi, segala aral itu tidak menjadikan rintangan,
bahkan merupakan alingan yang baik sekali sehingga kedatangan mereka tidak mudah diketahui
musuh. Mula-mula mereka masih merupakan iring-iringan yang tidak terputus, tetapi setelah berselang
berapa waktu, disebabkan kepandaian mereka masing-masing tidak sama, maka In Kiat dan Whi
Su Tiong sudah meninggalkan Co Hun Ki lebih setombak di belakang mereka. Tian Ceng Bun dan
Ciu Hun Jang ketinggalan lebih jauh lagi, kira-kira tiga-empat tombak di belakang suheng mereka.
"In susiok adalah Ketua cabang kita di selatan, entah bagaimana tingkat kepandaian cabang
selatan itu jika dibandingkan dengan kita dari cabang utara. Sebentar lagi dapat dilihat
kepastiannya," pikir Hun Ki sembari mengikuti kedua susioknya itu. Sesaat kemudian " seakanakan
hendak memamerkan kepandaiannya " ia mempercepat tindakannya dan sambil
mengerahkan seluruh tenaganya, ia menyerobot ke depan melewati dua-dua susiok itu.
"Bagus sekali kepandaianmu, Co sutit. Enghiong benar-benar munculnya di antara kaum
muda," puji ln Kiat.
Co Hun Ki puas, tetapi karena kuatir kesusul, ia tak berani menoleh. Jawabnya hanya, "Aku
masih mengharapkan banyak petunjuk susiok." Kata-kata ini diucapkannya tanpa memperlambat
gerakan kakinya.
Sesaat kemudian ia tidak mendengar pula tindakan kaki di belakangnya, ia menoleh dan
seketika itu ia terperanjat bukan main. Ternyata In Kiat maupun Whi Su Tiong masih tetap sangat
dekat di belakangnya, hanya terpisah kira-kira setindak dari punggungnya. Kembali ia
mengerahkan ilmu mengentengkan tubuhnya untuk mempercepat pula larinya. Dalam sekejap ia
sudah melalui berapa tombak lagi.
In Kiat bersenyum melihat kelakuan sutitnya ini. Ia terus mengikuti Hun Ki dari belakang
tanpa mempercepat atau memperlambat tindakannya. Tidak lama kemudian Hun Ki sudah agak
lelah dan larinya pun mulai lambat. Mendaki gunung memang jauh lebih berat daripada berjalan di
tanah datar dan memang kepandaian Hun Ki belum mencapai tingkat tertinggi.
Pada suatu saat sekonyong-konyong ia merasakan tengkuknya seakan-akan ditiup orang dan
ketika ia hendak menengok, pundak kanannya ditepuk seseorang.
"Hayo, anak muda, bergiatlah!" terdengar anjuran In Kiat dengan ketawa
Tentu saja Hun Ki menjadi sangat terkejut berbareng mendongkol. Dengan nekat ia
mengerahkan seluruh tenaganya dan melesat ke depan. Ia dapat meninggalkan kedua susioknya
agak jauh di belakang, tetapi napasnya kini sudah tersengal-sengal dan keringat sudah berketelketel
membasahi badannya.
Dengan lengan bajunya ia menyusut keringat di mukanya dan ia segera teringat bagaimana
Tian Ceng Bun telah melakukannya untuk ia tadi. Dengan timbulnya bayangan ini, tanpa terasa
mukanya jadi berseri-seri. Sedang ia asyik melamun, mendadak di belakangnya terdengar lagi
tindakan kaki orang. Ternyata dua susioknya sudah menyusul dekat di belakangnya pula.
Melihat lari Hun Ki yang mula-mula begitu cepat untuk tidak lama kemudian menjadi lambat
dan napasnya sudah tersengal-sengal, In Kiat mengetahui bahwa dalam hal ilmu mengentengkan
tubuh, sutitnya ini masih jauh daripada dapat menandingi ia. Hanya Whi Su Tiong yang masih
tetap berlari sejajar dengan ia, tanpa bersuara. Jika In Kiat memperlambat larinya, Whi Su Tiong
pun melambatkan gerakan kakinya dan saban kali ia berlari cepat saudara seperguruan ini juga
turut berlari cepat. Agaknya ilmu mengentengkan tubuh Whi Su Tiong adalah setara dengan ia.
In Kiat menyadari, bahwa dua orang susiok-sutit itu ingin menguji kepandaiannya, maka segera
ia mengerahkan tenaganya dan dengan ilmu mengentengkan tubuhnya "Teng Peng Touw Sui"
atau menginjak kapu-kapu menyeberang sungai, ia melesat ke depan seakan-akan kakinya tidak
menyentuh tanah lagi.
Thian Liong Bun didirikan di awal dinasti Ceng. Mula-mula hanya terdapat satu cabang, tetapi
pada masa Kaisar Khong Hi telah terjadi persengketaan antara dua orang murid tertua dari partai
tersebut, maka sebegitu lekas Ciang Bun Jin pada masa itu meninggal dunia, Thian Liong Bun
terpecah menjadi dua cabang, satu di selatan yang lain di utara.
Cabang selatan itu terkenal dalam hal kegesitan dan ketangkasan, sebaliknya cabang utara
mengutamakan kekuatan dan ketenangan. Pada hakekatnya ilmu silat kedua cabang itu tidak
berbeda, hanya penggunaannya dalam pertempuran yang agak berbeda.
Walaupun bertubuh gemuk, sesuai dengan keistimewaan cabang selatan, In Kiat dapat
mendaki bukit itu dengan kecepatan luar biasa, melebihi kegesitan kera. Sebelum berselang lama
Hun Ki sudah ketinggalan jauh di belakangnya. Tetapi, dalam pada itu, Whi Su Tiong masih tetap
mendampingi ia, seakan-akan ingin menjadi bayangannya. Berkali-kali In Kiat berusaha
meninggalkan kawan ini, tetapi senantiasa ia menampak kegagalan. Saban kali ia dapat
meninggalkan rekan ini, segera juga ia sudah disusul lagi.
Demikian, dengan berendeng, mereka telah tiba pada suatu tempat yang terpisah hanya duatiga
li dari puncak. Mendadak In Kiat berkata, "Whi suheng, mari kita berlomba mulai dari sini
sampai ke puncak, coba siapa yang akan tiba terdahulu." Meskipun kata-katanya diucapkan sambil
tertawa, sebenarnya ucapannya itu mengandung tantangan yang agak terang-terangan.
"Mana aku dapat menandingi In suheng," kata Whi Su Tiong, merendah.
"Ah, janganlah terlalu merendah," jawab In Kiat, yang sudah segera mengerahkan seluruh
tenaga dan kepandaiannya. Badannya meluncur cepat sekali ke depan laksana anak panah yang
baru terlepas dari busurnya. Belum sampai berselang lama ia sudah tinggal hanya terpisah berapa
tombak saja dari puncak bukit. Ia menoleh, dan melihat bahwa Whi Su Tiong hanya terpisah
setindak-dua tindak dari ia. Ketika ia sedang mengumpulkan tenaganya untuk menambah
kecepatannya, Whi Su Tiong sudah meloncat maju dan tiba di sampingnya.
"Kudengar suara orang di sana," kata Whi Su Tiong sambil menunjuk ke arah gerombolan
pohon di sebelah kiri.
Melihat kegesitan kawan ini, In Kiat mau ataupun tidak, harus mengakui juga keunggulan
kawannya dalam hal ilmu mengentengkan tubuh.
Sementara itu Whi Su Tiong sudah bergerak maju dengan membongkokkan badan dan
berindap-indap. Dengan hati-hati sekali ia menghampiri gerombolan pohon tersebut. In Kiat
mengikuti di belakangnya dan setiba mereka di ujung gerombolan tersebut, mereka bersembunyi
di belakang sebuah batu besar.
Dari tempat pengintaian ini mereka melihat lima orang di dalam lembah di sebelah bawah. Tiga
orang di antara mereka sedang menjaga tiga buah jalan yang menuju ke tempat mereka dengan
senjata terhunus. Agaknya mereka hendak mencegah orang lain datang ke tempat itu. Dua kawan
mereka sedang menggali tanah di bawah sebuah pohon besar, seorang memegang sekop, yang
lain menggunakan pacul. Agaknya mereka mengetahui, bahwa saban saat dapat terjadi
kedatangan musuh-musuh tangguh yang telah menguntit di sepanjang jalan. Maka kedua orang
yang menggali itu berusaha sekuat-kuatnya untuk menyelesaikan pekerjaan me-icka secepat
mungkin. Setelah mengamat-amati dengan seksama beberapa saat, In Kiat berkata, "Tidak salah,
memang bapak dan anak she To dari Eng Ma Coan, tetapi siapakah tiga kawan mereka itu?"
"Tiga ceecu dari Eng Ma Coan juga, kelima-limanya lawan keras semua," Whi Su Tiong
menerangkan. "Sungguh kebetulan, lima melawan lima," In Kiat berpendapat.
"Kau, aku dan Hun Ki memang tidak usah kuatir, tetapi Hun Jang dan Ceng Bun merupakan
kelemahan fihak kita. Lebih baik kita menyerang mereka secara mendadak sebelum mereka dapat
bersiap dan lebih dahulu membinasakan seorang-dua orang di antara mereka. Sisanya akan lebih
mudah dilayani," kata Whi Su Tiong. In Kiat mengerutkan alisnya, ia agak sungkan menurut usul
itu. Katanya, "Jika perbuatan kita ini teruar di luaran dan kalangan Kang Ouw mengetahui bahwa
kita telah membokong orang, Thian Liong Bun akan menjadi bulan-bulanan ejekan orang."
Whi Su Tiong tidak memperdulikan keberatan kawannya. Ia berpendapat lain, yang segera juga
dinyatakannya, "Dalam hal ini kita harus mengingat sakit hati Tian suheng. Kita harus membasmi
rumput sampai ke akar-akarnya, seorang jua tidak boleh dibiarkan hidup. Maka jika kita semua
menutup mulut, orang luar tidak akan mengetahui apa yang telah terjadi."
"Benarkah, mereka itu sukar dilayani secara terang-terangan?" tanya In Kiat yang masih raguragu.
Sebagai jawaban Whi Su Tiong hanya mengangguk. Sesaat kemudian baru ia membuka suara
pula, "Bertempur satu lawan satu, siauwtee tidak mungkin menang."
Mendengar pengakuan ini, In Kiat baru mau percaya. Sebagai tokoh utama dalam Thian Liong
Bun cabang utara, Whi Su Tiong biasanya agak sombong dan sungkan mengakui keunggulan
orang lain, bahkan di masa hidupnya, Tian Kui Long sendiri, menyegani suteenya ini. Hampir
dapat dipastikan, bahwa kepandaian Whi Su Tiong masih berada di atas kepandaian Gn Kiat)
sendiri, maka selanjutnya In Kiat tidak membantah lagi dan menyerahkan kepada Whi Su Tiong
untuk mengambil keputusan.
Sikapnya yang semula ragu-ragu itu, tak terluput dari perhatian Whi Su Tiong. Di dalam hatinya
Whi Su Tiong mengejek, "Hm, kau ingin menjadi enghiong, biarlah aku yang menjadi
pengecutnya." Tetapi ejekan ini hanya dikandung di dalam hatinya, mulutnya tidak mengeluarkan
sepatah kata. Sementara itu Co Hun Ki sudah tiba di tempat mereka dan tak lama lagi Ciu Hun Jang dan Tian
Ceng Bun juga telah sampai pula.
Setelah semua berkumpul, Whi Su Tiong membentangkan siasatnya "In suheng, kau, aku dan
Hun Ki terlebih dahulu menyerang dan membereskan tiga orang yang meronda itu dengan tok cui
(bor beracun), setelah itu kita bertiga maju dengan serentak mengerubuti dua orang she To "
ayah dan anak " itu. Hun Jang dan Ceng Bun baru boleh bergerak, kalau kita sudah dapat
"mengikat" kedua orang itu."
Segera juga mereka bergerak maju dengan sangat hati-hati. Mendadak Tian Ceng Bun yang
berada di belakang Whi Su Tiong berbisik, "Whi susiok, hendaknya ayah dan anak she To itu
ditangkap hidup-hidup."
Whi Su Tiong menjadi gusar sekali. Ia menoleh dan dengan melotot ia membentak dengan
suara tertahan, "Kau masih coba membela bangsat kecil To Cu An itu?"
"Kurasa ia tidak bersalah," bantah si nona.
Bantahan ini menyebabkan muka Whi Su Tiong menjadi merah-padam, kegusarannya meluap.
Ia mencabut anak panah yang diselipkan di ikat-pinggangnya untuk diangsurkan kepada Ceng
Bun. "Coba kau bandingkan sendiri, inilah yang digunakan si penjahat kecil untuk memanah belibis
tadi." Tian Ceng Bun menyambuti panah itu, seketika itu juga tangannya bergemetar. Co Hun Ki yang
sejak tadi memandang wajah si gadis " sebaliknya daripada mengincar musuh " melihat
berubahnya sikap ini. Ia merasa girang, karena ia berpendapat bahwa sebentar lagi To Cu An
sudah pasti akan kehilangan jiwanya. Tetapi di samping itu ia juga mendongkol, melihat betapa
besarnya kecintaan Ceng Bun kepada To Cu An.
Co Hun Ki memang bertabiat berangasan, maka makin lama berpikir ia menjadi semakin
jengkel, sehingga akhirnya " saking gemasnya " ia sudah mengeluarkan kata-kata menyindir.
Tetapi sebelum ia sempat membuka mulut, pundaknya sudah ditepuk oleh Whi Su Tiong. Orang
tua itu menunjuk seorang musuh yang meronda di sebelah timur.
Ketika itu Ceng Bun dan Hun Jang berdua sudah bersembunyi di belakang sebuah batu besar.
Whi Su Tiong segera mengajak In Kiat dan Hun Ki maju bersama-sama sambil menyiapkan tiga
buah tok cui di tangan masing-masing. Secara perlahan dan hati-hati sekali mereka merayap maju
menghampiri musuh, masing-masing mengincar seorang.
Bor beracun adalah senjata rahasia istimewa yang telah turun-menurun merupakan senjata
andalan Thian Liong Bun. Racun yang dipoleskan pada ujungnya bekerjanya begitu ganas,
sehingga, sesuatu korban, begitu terkena, akan segera terkancing tenggorokannya dengan akibat
napasnya akan menjadi sesak dan ia akan tewas dalam jangka waktu satu jam. Karena lihaynya
dan ganasnya, senjata rahasia ini diberi julukan "Tui Beng Tok Liong Cui" (Bor Naga Beracun
Pengejar Jiwa).
Walaupun tidak diutarakan dengan kata-kata, tetapi di dalam hatinya, Co Hun Ki mempunyai
perhitungan lain daripada pendapat susioknya. "Biarlah, akan aku mampuskan dulu To Cu An si
Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bangsat kecil, untuk membalaskan sakit hati suhu sekalian menyingkirkan duri di mataku. Jika ia
ditangkap hidup-hidup, entah gara-gara apa lagi yang akan dibuat sumoay."
Dengan keputusan ini, ia maju lebih jauh Lewat berapa waktu lagi mereka sudah berada tak
jauh dari musuh. Mereka kini mendekam bersembunyi di antara semak-semak. Tanpa berkesip
Hun Ki mengincar To Cu An yang sedang asyik sekali menggali. Dengan tak sabar ia menantikan
isyarat Whi Su Tiong untuk menyerang.
Mendadak terdengar bunyi beradunya dua benda keras yang nyaring. Ternyata cangkul To Cu
An telah membentur sesuatu yang keras di dalam tanah.
Saat itu Whi Su Tiong mengangkat tangannya, tetapi ketika ia akan memberikan isyarat untuk
menyerang, dari lain jurusan mendadak terdengar mendesirnya sekian banyak senjata rahasia
yang seakan-akan dimuntahkan bukit salju di seberang mereka dengan beruntun-runtun,
ditujukan kepada To Cu An berlima.
Ilmu silat ayah dan anak she To itu sudah sangat tinggi, maka walaupun senjata-senjata
rahasia itu dilepaskan dari jarak dekat, berkat ketangkasan mereka, semua senjata rahasia yang
mengancam itu sudah dapat disampok jatuh dengan cangkul masing-masing.
Tiga kawan mereka tidak begitu beruntung, seorang di antara mereka masih sempat
menggulingkan tubuhnya di atas salju sehingga nyaris mengalami kecelakaan akibat dua batang
panah kecil, yang sebuah menyerempet kepalanya dan sebuah lagi lewat dekat sekali di sisi
lehernya. Dua peronda yang lain mengalami nasib terlebih buruk lagi, dengan telak sekali dua
batang senjata rahasia menancap di punggung mereka dan tanpa bersuara kedua-duanya roboh
untuk tidak berkutik lagi.
Kejadian ini benar-benar sangat mendadak dan di luar dugaan, sehingga bukan saja To Cu An
dan bapaknya, tetapi juga Whi Su Tiong dan kawan-kawan menjadi sangat terperanjat.
"Kawanan tikus, berani benar kamu membokong!" terdengar cacian dari bawah. Yang mencaci
adalah ayah To Cu An, yakni "Tin Kwan Tang" (Penindas dari Sebelah Timur Tembok Besar) To
Pek Swee. Suaranya bergemuruh laksana geledek, sesuai dengan perangainya dan julukannya. Segera
setelah itu, empat orang dengan senjata terhunus dan berkilau-kilau meloncat keluar dari antara
tumpukan salju di bukit seberang itu.
Agaknya empat orang itu sudah mengetahui, bahwa bapak dan anak keluarga To itu akan
datang di tempat tersebut dan sudah menunggu mereka, sambil bersembunyi di dalam suatu
lobang yang telah mereka gali di bawah salju. Mulut lobang itu ditutup dengan batang-batang
kayu yang kemudian tertutup pula oleh salju, sehingga pekerjaan mereka itu sudah tiada bekasbekasnya
lagi. Hanya berapa lobang kecil mereka tinggalkan untuk bernapas dan mengintip
keluar. "To Si Hu Cu" sementara itu sudah meletakkan cangkul dan sekop mereka dan mencabut
senjata masing-masing. Senjata To Pek Swee adalah kang pian (cambuk baja) yang beratnya ada
enam belas kati. To Cu An menggunakan sebilah golok
Ma ceecu yang tadi telah menjatuhkan diri ke dalam tanah legok, telah berguling berapa kali
karena kuatir musuh melanjutkan serangan dengan senjata rahasia, seperti tadi. Setelah itu baru
ia melompat bangun. Senjata yang berada di tangannya adalah lian cu tui, yakni sepasang martil
yang dihubungkan satu pada yang lain dengan rantai.
Dari empat penyerang gelap itu, yang paling depan adalah seorang tinggi-kurus berkulit hitam.
Orang ini adalah Cong Piauw Thauw (Kepala Perusahaan Pengawalan) "Peng Thong Piauw Kiok" di
Pakkhia (Peking), namanya Him Goan Hian. Ia terkenal karena ilmu goloknya "Tee Tong To" dan
ia menjagoi di wilayah "Hoo Siok" (daerah di sekitar sungai Huang Ho).
Berapa tahun sebelumnya, kawanan Eng Ma Coan itu pernah merampas suatu kiriman barangbarang
berharga yang berada di bawah pengawalan piauw kiok tersebut Him Goan Hian telah
berusaha sebisa-bisanya, tetapi ia tidak berhasil meminta kembali barang-barang itu. Gara-gara
peristiwa itu mereka telah jadi bermusuh.
Orang kedua " yang berjalan di belakang Him Goan Hian " adalah seorang wanita. Usianya
kira-kira tigapuluh dua-tiga tahun. Ma ceecu juga kenal siapa dia itu, ialah "Siang To"
The Sam Nio, sepasang golok andalannya telah menyebabkan ia mendapat julukannya itu.
Mendiang suaminya adalah seorang anggauta-pegawai "Peng Thong Piauw Kiok" yang telah tewas
ketika terjadi peristiwa perampasan tersebut.
Dua orang kawan mereka yang lain adalah seorang hweeshio gemuk, bersenjatakan kai to
(golok suci paderi Buddhis) dan seorang laki-laki dengan wajah hitam keungu-unguan. Senjatanya
adalah sepasang thi koay (gaitan besi yang tajam ujungnya.)
Di antara fihak Eng Ma Coan tiada seorang yang mengenal dua orang ini. Mungkin mereka
adalah jago-jago undangan "Peng Thong Piauw Kiok" untuk membantu mereka menuntut balas.
"Kusangka siapa, tak tahunya pecundang-pecundangku dahulu. Kecuali kawanan tikus di bawah
pimpinan tikus besar she Him, memang rasanya sudah tiada lagi yang dapat melakukan perbuatan
serendah itu," bentak To Pek Swee demi melihat keluarnya empat musuh itu.
Dengan suara lemah-lembut Him Goan Hian menjawab bentakan orang tua itu, katanya, "To
ceecu, mari kuperkenalkan kau dengan Ceng Ti Hweeshio dari "Pek Hwee Si" di Shoatang dan ini
adalah suhengku Lauw Goan Ho, Lauw Tayjin, "Tay To Si Wi" (Pengawal Istana Kelas Satu) dari
kota-raja."
Bentakan To Pek Swee tadi sebenar-benarnya hanya ditujukan kepada rombongan Him Goan
Hian yang telah membokongnya tadi. Tetapi bagi In Kiat, kata-kata itu dirasakan sebagai juga
ditujukan kepada fihaknya, mukanya dirasakan panas dan ia coba melirik kepada Whi Su Tiong.
Sebaliknya kawan ini menganggap sepi saja kata-kata To Pek Swee, seakan-akan ia tidak
mendengarnya sama sekali. Matanya tetap mengawasi orang-orang yang berada di lembah
sebelah bawah itu dan yang pada saat itu sudah berhadap-hadapan.
Sebagai juga memang sedari dilahirkan sudah ditakdirkan harus bertentangan, To Pek Swee
dan Him Goan Hian berbeda dalam segala-galanya. Si orang tua bertubuh kuat-kekar dan
suaranya nyaring menggetarkan. Sebaliknya Him Goan Hian bertubuh kurus lemah sesuai dengan
suaranya yang lemah lembut.
"Bagus, majulah beramai-ramai, kita berbicara dengan senjata," suara To Pek Swee kembali
menggetarkan seluruh lembah dan sebelum lenyap kumandang suaranya, ia mengayun-ayun
cambuk bajanya yang mengeluarkan angin menderu-deru, membuktikan betapa besar tenaganya.
Meski adanya pameran kekuatan yang sungguh menantang ini, Him Goan Hian masih tetap
berlaku tenang. Dengan suara tidak meninggalkan nada lemah-lembutnya ia menjawab, "Cayhee
(aku yang rendah) adalah pecundang To ceecu, maka tak berani aku melawan ceecu lagi. Aku
hanya mengharap agar kau suka berlaku murah dan sudi menghadiahkan suatu barang
kepadaku."
'Apakah maksudmu?" teriak To Pek Swee yang menjadi agak heran, walaupun kegusarannya
tidak menjadi reda karenanya
Sebelum menjawab, Him Goan Hian lebih dulu menuding ke dalam lobang galian To Pek Swee
dan anaknya. Menyusul itu ia baru menjawab, "Itu, itulah barang yang kumaksudkan"
To Pek Swee tidak mau membuang kata-kata lagi, setelah mengerti maksud si Piauw Thauw.
Dengan cambuknya ia segera menyerang orang she Him itu.
"Tahan dulu!" teriak yang diserang ini sambil mengelakkan serangan lawan.
"Kau hendak mengatakan apa lagi!" menggelegar pula suara To Pek Swee.
"Cayhee sudah sengaja menunggu kedatangan ceecu beramai selama tiga hari di dalam guha
salju itu. Jika bukan karena memandang muka kalian, barang ini tentu telah kuambil siang-siang.
Barang ini asalnya pun pengawasan kaum Thian Liong Bun, kini " setelah ketelanjur berada di sini
" jika benda itu pindah ke lain tangan pun tidak mengapa. Harap ceecu suka memahami katakataku
ini." "Jangan mengaco, salju beku tebal-tebal menutupi pegunungan ini seluas ribuan li. Jika benarbenar
kamu sudah mengetahui di mana barang ini disimpan, mustahil sekali kamu tidak
mengangkatnya siang-siang."
The Sam Nio tidak dapat bersabar lagi, memang maksud sertanya dalam rombongan Him Goan
Hian, adalah semata-mata untuk membalas sakit hati suaminya. Sambilmenghamburkan tiga
batang hui to (golok terbang) ke arah Ma ceecu ia berseru, "Apa gunanya membuang kata-kata,
labrak saja, habis perkara!"
Dengan martilnya, Ma ceecu menyampok jatuh dua buah golok terbang Sam Nio dan dengan
rantai penghubung kedua martil itu ia menahan golok yang ketiga. Segera setelah menghalau
ketiga-tiga senjata rahasia itu, ia menyerang muka si nyonya dengan sebelah martilnya.
The Sam Nio ternyata juga cukup gesit, dengan membongkokkan badannya ia dapat
mengelakkan sambaran martil lawannya. Berbareng dengan itu dua-dua goloknya dengan gerakan
"Soan Hong Sit" (Angin Puyuh) telah melayang ke arah perut Ma ceecu, yang segera
menggerakkan sebelah martilnya lagi untuk menghalaukan serangan si nyonya.
Hweeshio gemuk itu juga tidak mau tinggal diam menonton saja. Goloknya segera melayang ke
arah kepala To Pek Swee. Jago tua ini tidak berusaha mengelakkan serangan musuh, bahkan ia
sengaja memapaki senjata lawan dengan cambuknya, untuk mengadu tenaga. Kedua senjata itu
beradu dengan menerbitkan bunyi nyaring dan si hweeshio merasakan tangannya panas tergetar,
goloknya yang telah menjadi gumpil, hampir-hampir terlepas dari genggemannya.
Saat itu To Cu An j uga sudah tidak dapat berdiri menonton saja. Ia lantas saja memilih Him
Goan Hian sebagai sasaran goloknya yang diputar kencang.
Enam orang itu, terbagi dalam tiga pasang musuh bertempur dengan sengit sekali di atas
padang salju itu. Tinggal Lauw Goan Ho yang saat itu belum mendapat lawan, maka dengan
menggenggam sepasang gaitannya ia bersiap-siap di sisi kalangan pertempuran. Tetapi sesaat
kemudian ia juga sudah tidak dapat menahan napsunya lagi. "Taysu, silakan mundur, berikanlah
aku ketika untuk berkenalan dengan Tin Kwan Tang'," serunya ketika ia melihat, bahwa si
hweeshio sudah agak kewalahan
Tetapi agaknya hweeshio itu masih penasaran, ia tidak mau mundur. Lauw Goan Ho yang
sudah melangkah maju, tiba-tiba membentur sebelah pundaknya. Karena tak menyangka, bahwa
ia akan dibentur kawan sendiri, maka ia terhuyung-huyung dan hampir-hampir jatuh celentang.
Sedang ia berusaha bertahan sebisa-bisanya, sekonyong-konyong ia merasakan sambaran angin
dingin di belakangnya. Dengan hati bercekat, buru-buru ia menundukkan kepalanya dan sebilah
golok melayang beberapa jari saja di atas kepalanya. Itulah golok To Cu An yang tidak mau
menyia-nyiakan kesempatan itu dan segera mengelu-elukannya dengan bacokan golok.
Ceng Ti Hweeshio bermandikan keringat dingin karena terkejutnya, tetapi sesaat kemudian
timbul pula kegusarannya. Setelah dapat menenangkan hatinya, ia segera membantu Him Goan
Hian mengerojok To Cu An.
Lauw Goan Ho, yang sedang terlibat dalam pertempuran dahsyat melawan To Pek Swee,
ternyata jauh lebih tinggi kepandaiannya daripada sutee-nya. Ketika pada sesuatu saat cambuk
baja To Pek Swee yang berat, datang menyambar ia tidak berkelit, hanya gaitannya
digerakkannya untuk menangkis, keras lawan keras. Terbukti betapa kuat Lauw Goan Ho ini.
Sedikitpun ia tidak berkisar dari tempatnya. Ia benar-benar dapat menandingi kekuatan si jago
tua, bahkan pada saat itu juga ia dapat menekan cambuk lawan itu dengan gaitannya yang kanan,
sedang gaitan kirinya segera meluncur ke arah kepala musuh.
Sebaliknya To Pek Swee juga bukan anak kemarin dan ia tak tinggal diam saja. Ia tahu, bahwa
hari itu ia menemukan lawan yang tidak lemah. Semangatnya dipusatkan dan seluruh tenaganya
dikerahkan untuk melayani musuh itu dengan ilmu silat cambuknya "Liok Hap Pian Hoat".
Tetapi usianya yang sudah tinggi itu bukannya tidak meninggalkan bekas. Sedang di sebelah
sana Ma ceecu sudah mulai berada di atas angin, To Pek Swee justeru sudah mulai terdesak. Ia
lebih banyak menangkis, daripada melancarkan serangan-serangan. Juga keadaan To Cu An "
yang seorang diri harus melayani dua musuh " sudah agak menguatirkan. Harapan satu-satunya
adalah agar Ma ceecu dapat cepat-cepat merobohkan The Sam Nio untuk kemudian lekas-lekas
memaksa Him Goan Hian meninggalkan Cu An dan melayani ia. Jika satu lawan satu, rasanya Cu
An tidak akan menampak kesukaran untuk menjatuhkan si hweeshio.
Sungguh malang, agaknya The Sam Nio telah mengerti, bahwa, jika ia bertahan lebih lama, "To
Si Hu Cu" pasti akan roboh binasa berturut-turut. Maka ia segera berganti siasat, pembelaan diri
sekarang diutamakannya dan sepasang goloknya diputarkan untuk melindungi tubuhnya rapatrapat,
sehingga betapa hebat juga serangan-serangan Ma ceecu, ia ini belum dapat menyentuh
apalagi melukakan The Sam Nio.
Setelah lewat beberapa puluh jurus, biar bagaimana juga The Sam Nio mulai merasakan
beratnya tekanan musuh. Berkali-kali ia harus mundur dan napasnya sudah mulai tersengalsengal.
Tentu saja Ma ceecu tidak mau memberikan ketika untuk bernapas kepadanya, ia bahkan
menyerang dengan lebih ganas pula.
Pada suatu saat ia melihat gerakan golok The Sam Nio agak terlambat dan di antara
penjagaannya terdapat suatu lowongan. Ia tak mau mengabaikan kesempatan baik ini dan dengan
girang ia segera maju menyerbu dengan sepasang martilnya untuk menyelesaikan si nyonya.
Tetapi, sungguh di luar dugaan, mendadak ia merasakan kakinya kehilangan landasan "
ternyata ia telah menginjak lobang persembunyian Him Goan Hian dan kawan-kawan yang sebelah
atasnya masih tertutup salju, sehingga seketika itu juga ia jatuh terperosok ke dalamnya.
Inilah hasil siasat The Sam Nio yang cerdik, dalam keadaannya yang terdesak ia telah sengaja
memancing Ma ceecu ke jurusan lobang tersebut dan dalam kegirangannya Ma ceecu telah
berlaku lengah dengan akibat terperosoknya ke dalam guha bikinan itu.
Di dalam lobang itu Ma ceecu mengeluh, "Celaka!" Dengan hati penasaran ia berusaha
meloncat keluar. The Sam Nio telah berjaga-jaga di tepi lobang dan ketika badan Ma ceecu
terapung, ia segera membacok. Tanpa dapat dicegah lagi, lengan Ma ceecu telah dipisahkan dari
tubuhnya. Dengan memperdengarkan jeritan yang mengerikan, ia jatuh lagi dalam keadaan
pingsan. The Sam Nio tidak berhenti sampai di situ saja, ia segera menyusul turun ke dalam
lobang dan dengan membacok sekali lagi ia menghabiskan riwayat Ma ceecu.
Demi mendengar jeritan Ma ceecu, To Cu An lantas saja mengerti betapa buruknya keadaan
bagi fihaknya pada saat itu. Tetapi, apa yang dapat dibuatnya" Dikerubuti Him Goan Hian dan
Ceng Ti, ia sudah hampir kehabisan daya.
Setelah membinasakan musuhnya, The Sam Nio mengaso sebentar sambil membereskan
rambutnya. Kemudian, setelah selesai mengikat kepalanya dengan sehelai saputangan putih ia
maju pula ke medan pertempuran untuk membantu Lauw Goan Ho mengerojok To Pek Swee. Tak
usah dikatakan lagi bagaimana buruknya keadaan kedua orang, bapak dan anak itu.
Kalau saja To Pek Swee masih duapuluh tahun lebih muda, dalam pertempuran satu lawan satu
tadi, Lauw Goan Ho sekali-kali bukan tandingannya. Di masa yang lampau jago tua itu terkenal
karena tenaganya dan daya serangannya yang benar-benar dahsyat sekali. Tetapi pada saat itu,
dalam usianya yang sudah lanjut, melawan Lauw Goan Ho seorang saja sudah dirasakannya berat
sekali. Ditambah dengan turut sertanya The Sam Nio yang saban-saban melancarkan serangan
demi ada ketikanya, keadaannya benar-benar sangat berbahaya.
Mendadak Lauw Goan Ho membentak, "Kena!" Ketika itu, dengan gerakan "Liong Siang Hong
Bu" (Naga Melingkar Burung Hong Menari), dua-dua gaitannya telah menyerang bersama-sama.
Buru-buru To Pek Swee menangkis, tetapi dalam pada itu The Sam Nio juga menyerang dari
samping. To Pek Swee tentu saja tak dapat menangkis empat batang senjata yang datangnya
berbareng itu. Karena memang sudah tidak ada jalan lain lagi, maka ia terpaksa harus melakukan suatu
tindakan yang sangat berbahaya. Sambil membentak nyaring ia mengangkat kaki kirinya dan
menendang The Sam Nio. Nyonya ini sama sekali tidak menduga bahwa orang tua ini akan
menjadi demikian nekat. Ia kurang waspada dan kini harus menjadi korban tendangan jago tua
ini. Tetapi, di lain fihak To Pek Swee juga tidak dapat menghindarkan pundak kirinya daripada
bahaya terluka lagi, luka yang agak lebar itu segera sudah mengeluarkan darah. Salju di
bawahnya sudah segera juga berwarna merah.
Ternyata orang tua ini memiliki daya tahan yang menakjubkan, walaupun sudah terluka, ia
masih dapat mengayun cambuknya dengan tangkas dan ia tidak mau mundur sama sekali.
To Cu An mengerti, bahwa fihaknya sudah tiada harapan menang lagi. Buru-buru ia menghalau
Ceng Ti dengan tiga serangan beruntun. Bersama dengan mundurnya Ceng Ti, tiba-tiba ia juga
meloncat ke belakang sambil berseru, "Baiklah, kami ayah dan anak menyerah kalah. Kamu
menghendaki jiwa atau harta kami?"
Walaupun musuh terang-terang sudah menyerah kalah, tetapi The Sam Nio masih belum mau
sudah, dengan hati penasaran ia masih menyerang To Pek Swee terus-menerus. Dalam kalapnya,
ia membalas berteriak, "Hartamu, jiwamu, dua-dua kuinginkan!"
Him Goan Hian tidak sependapat dengan nyonya ini. Ia mempunyai perhitungan lain. Tahun
yang lalu, karena hilangnya barang-barang yang dikawalnya, ia harus mengganti penuh seluruh
harga barang-barang tersebut. Peristiwa itu telah menyebabkan ia bangkrut. Maka pada saat itu ia
ingin menyuruh musuh-musuh yang sudah menyerah itu, menyerahkan seluruh harta kekayaan
mereka untuk menebus jiwa mereka.
"Baik, berhentilah dulu. Dengarlah kata-kataku!" serunya.
Lauw Goan Ho bukannya orang tolol dan The Sam Nio memang sudah biasa menurut kepada
pemimpinnya ini. Kedua orang ini segera juga menghentikan desakannya kepada To Pek Swee.
Sebaliknya Ceng Ti adalah seorang hweeshio yang beradat kasar. Ketika itu keadaan fihaknya
sedang menguntungkan. Maka, mana mungkin ia mau berhenti begitu saja" Sambil memutarmutarkan
goloknya kencang-kencang ia sudah segera menyerbu pula ke arah To Cu An.
"Ceng Ti taysu! Ceng Ti taysu!" teriak Him Goan Hian dengan gugup.
Akan tetapi Ceng Ti seakan-akan tidak mendengar seruannya itu. Melihat sikap hweeshio yang
sangat kasar ini, To Cu An akhirnya menjadi jengkel juga dan membuang senjatanya ke atas salju.
"Beranikah kau membunuh aku?" tantangnya sambil membusungkan dada.
Di waktu Cu An berteriak tadi Ceng Ti sebenarnya sudah mengangkat goloknya, tetapi setelah
melihat sikap lawannya itu, ia menjadi tertegun dan ragu-ragu, goloknya tidak jadi diturunkan.
"Keparat gundul! Anjing!" caci Cu An saking gemasnya melihat sikap si hweeshio, yang
dianggapnya sangat keterlaluan. Menyusul kata-katanya, tinjunya melayang dan telak sekali
menghajar hidung si hweeshio.
Ceng Ti sama sekali tidak menduga, bahwa ia akan diserang dengan begitu mendadak. Maka
dapat dimengerti, jika ia jadi gelagapan dan jatuh terduduk seketika itu juga. Hidungnya juga
berdarah berketel-ketel. Setelah hilang kagetnya, hawa amarahnya serentak meluap-luap lagi.
Dengan kalap ia merayap bangun dan lantas saja menerjang Cu An sambil memperdengarkan
geraman yang seram.
Akan tetapi Him Goan Hian masih keburu menarik dan menahan ia. "Sabar dulu, taysu, sabar,"
ujarnya. Ketika Him Goan Hian sedang coba menyabarkan Ceng Ti, Cu An sudah melompat ke dalam
lobang galiannya. Setelah mencangkul berapa kali lagi ia melemparkan alat ini dan mengangkat
sebuah kotak besi yang kira-kira empat kaki panjangnya. Kotak besi ini dibawanya ke atas.
Melihat kotak besi itu, wajah Lauw Goan Ho dan kawan-kawannya berseri kegirangan. Beramairamai
mereka maju berapa langkah mendekati To Cu An.
Dalam pada itu Whi Su Tiong telah memikirkan suatu siasat lain. "In suheng, kau dan Hun Ki
menghajar mereka dengan tok cui, aku akan coba merebut pusaka itu," bisiknya kepada In Kiat
dan Hun Ki. "Siapa yang harus kita serang?" tanya In Kiat dengan berbisik juga.
Sebagai jawaban, Whi Su Tiong hanya menunjuk ke-enam orang di bawah itu, dengan katakata,
jelaslah bahwa maksudnya adalah semua, enam orang itu, tanpa kecuali.
'Alangkah kejamnya," pikir In Kiat diam-diam. Tetapi kemudian ia menganggukan kepalanya
tanda kesetujuannya dan tok-cui di kedua tangannya sudah siap untuk dilepaskan. Kemudian ia
Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melirik ke arah Hun Ki. Ia melihat, bahwa pemuda ini tidak pernah mengalihkan pandangan
matanya dari To Cu An. Agaknya ia tidak memperdulikan lima orang yang lain.
"Hari ini, kami telah terjebak akal licik, pusaka idam-idaman kalangan Bulim ini, tentu saja akan
kami serahkan dengan kedua tangan, hanya masih ada suatu hal yang aku masih belum mengerti
dan mohon diterangkan," kata Cu An dengan suara lantang.
"Apa lagi yang hendak ditanyakan siauw ceecu?" tanya Him Goan Hian sambil melirik.
"Bagaimana kamu dap.it mengetahui, bahwa kotak besi ini disimpan di sini dan apakah
sebabnya kamu mengetahui, bahwa dalam berapa hari ini kami tentu akan datang menggalinya?"
"Pada upacara pengunduran diri Ketua Thian Liong Bun hari itu, banyak sekali yang datang
menghadiri perjamuannya. Sebagai menantu keluarga Tian, siauw ceecu tentu hadir juga bukan?"
kata Him Goan Hian.
Setelah To Cu An menganggukkan kepalanya ia meneruskan, "suhengku ini adalah seorang di
antara sekian banyak tamu hari itu, hanya saja siauw ceecu usianya masih muda ketika itu, dan
dengan kedudukanmu yang mulia, tentu saja kau tidak melihat kehadiran Lauw suheng."
"Mertuaku mengadakan perjamuan untuk sahabat-sahabat, tidak tahunya telah keliru
mengundang juga mata-mata musuh," jawab To Cu An dengan senyuman mengejek.
Kata-kata To Cu An yang menusuk ini tidak membuat Him Goan Hian menjadi naik darah, ia ini
bahkan masih melanjutkan pula pembicaraannya dengan suara lemah lembut. Katanya, "Sekalikali
bukan begitu. Lauw suheng telah mendengar nama siauw ceecu yang sangat tersohor, tentu
saja ia menjadi ketarik dan pada hari itu kedua mata Lauw suheng selalu mengikuti gerak-gerik
siauw ceecu. Ini semua adalah berkat nama Eng Ma Coan yang sudah tersiar ke mana-mana."
"Baik! Baik! Memang sudah sepantasnya kotak ini dipersembahkan kepada Lauw Tayjin," kata
Cu An lagi dan ia mengangkat tinggi-tinggi kotak tersebut untuk diangsurkan kepada Lauw Goan
Ho. Tanpa curiga, Lauw Goan Ho sudah hendak menerima kotak itu, ketika secara tak terduga Cu
An mendadak telah menjebelakkan tutup kotak itu. Tiga batang anak panah melesat keluar
laksana kilat dan menyamber dada Lauw Goan Ho. Agaknya, dalam jarak sedekat itu, serangan
anak panah tersebut sudah tidak dapat dilakkan lagi.
Akan tetapi Lauw Goan Ho ternyata lihay sekali, dalam keadaan terancam ini ia masih sempat
menarik Ceng Ti Hweeshio ke depannya untuk dijadikan tameng hidup. Kasihan Ceng Ti ini,
dengan mengeluarkan teriakan serak jiwanya melayang seketika itu juga. Dua daripada tiga
batang anak panah itu menancap di tenggorokannya.
Panah ketiga yang jurusannya agak ke samping sedikit lewat di samping tubuh hweeshio sial ini
dan tepat sekali mengenai pundak kiri Him Goan Hian. Anak panah itu menancap dalam
sekali"lebih separuh " ke dalam tubuhnya, dapat dimengerti, bahwa lukanya ini tidak enteng.
Kejadian ini lebih-lebih tidak terduga daripada pembokongan atas rombongan Eng Ma Coan
oleh Him Goan Hian dan kawan-kawannya tadi. Rombongan Whi Su Tiong juga tidak kurang
kagetnya, bahkan Tian Ceng Bun sampai berteriak.
Begitu mendengar teriakan itu, Lauw Goan Ho yang licik tidak menghiraukan lagi dua musuh
she To itu maupun kawan-kawannya, buru-buru ia meloncat ke belakang sebuah batu besar untuk
berlindung dan dari tempatnya ini ia menantikan perkembangan selanjutnya.
"Turun tangani" terdengar teriakan Whi Su Tiong kepada rombongannya sambil mendahului
melompat maju. Co Hun Ki segera mengayun tangannya dan tiga batang tok cui menyamber ke arah To ju An
yang memang sedari tadi telah diincarnya terus-menerus.
Mungkin sekali Tian Ceng Hun memang sudah dapat menyelami pikiran si pemuda M.ika ketika
ia ini mengayunkan tangannya, Ceng Bun telah menyenggol pundaknya. Karena ini tubuh Hun Ki
jadi tergoncang dan tiga senjata rahasianya menyeleweng arahnya, sehingga jatuh di atas salju
tanpa menemui sasarannya.
"Barang kembali kepada pemiliknya! Kembali kepada pemiliknya!" seru Whi Su Tiong berulangulang
dan dengan jarinya yang bagaikan ceker garuda ia coba mengorek kedua mata To Cu An,
sementara itu tangannya yang sebelah lagi sudah memegang tepi kotak yang diperebutkan.
Pada saat itu In Kiat juga sudah terlibat dalam pertempuran sengit dengan Lauw Goan Ho.
Mereka sudah pernah berjumpa dalam perjamuan Thian Liong Bun yang disebut-sebut Him Goan
Hian tadi. Mereka sama-sama mengetahui, bahwa lawannya adalah tokoh kenamaan dalam
kalangan Kangouw. Setelah bertempur berapa jurus mereka mengetahui bahwa nama itu bukan
hanya nama kosong dan mereka jadi saling mengagumi.
Dengan pedang terhunus Ciu Hun Jang menyambut Him Goan Hian yang sudah maju juga
menghampiri kalangan pertempuran. Tian Ceng Bun memilih lawan sejenis, yakni The Sam Nio.
Co Hun Ki yang sudah sampai juga bukannya melayani To Pek Swee yang masih menganggur,
tetapi justeru menyerang To Cu An dengan pukulan "Pek Hong Koan Jit" (Pelangi Putih Menembus
Matahari). Serangan ini adalah serangan yang sangat hebat dan ganas.
Karena ketika itu tidak memegang senjata, maka To Cu An terpaksa harus melepaskan kotak
besi itu dan meloncat ke belakang. Kemudian ia memungut goloknya dan segera hendak merebut
kembali kotak yang sudah terjatuh ke dalam tangan musuh itu.
'Anak durjana, karena temaha akan barang pusaka Thian Liong Bun, kau telah membunuh
mertuamu sendiri secara pengecut, secara membokong!" Demikian, sambil memegang kotak besi
itu, Whi Su Tiong memaki dengan sengit
Tuduhan ini tak dapat diterima To Cu An. Dengan suara yang tidak kalah sengitnya ia
membantah, "Siapa mengatakan, bahwa aku membunuh gakhu (mertua laki-laki)!" Selama itu
goloknya tidak pernah mengaso, ia merangsak terus dengan maksud supaya bisa lekas-lekas
merebut kembali kotak itu.
Dengan terjatuhnya kotak besi itu ke dalam tangan Whi Su Tiong, sebenarnya To Cu An sudah
harus mengerti, bahwa baginya sudah tidak ada pengharapan lagi untuk dapat merebutnya
kembali. Biarpun Whi Su Tiong tidak bersenjata, tetapi dengan tangan kosong juga ia sudah bukan
tandingan To Cu An. Apa lagi pada saat itu Co Hun Ki membantu susioknya dari samping dan
saban-saban melancarkan serangan bila saja ada lowongan.
Mendengar tuduhan kepada anaknya itu, To Pek Swee berteriak, "Hai, orang she Whi, Tian
cinkee (besan laki-laki) telah menyerahkan kotak ini dengan tangan sendiri kepada anakku.
Mungkinkah kau tidak menerima atau mempunyai maksud lain?"
Kata-katanya ini ditutup dengan mengayunkan cambuk bajanya ke arah kepala Whi Su Tiong
Dengan sangat mudah Whi Su Tiong dapat mengelakkan serangan ini. Ia melompat pergi dan
sampai di samping Tian Ceng Bun. Tanpa mengucapkan sepatah kata ia terus saja hendak
mengempelang kepala The Sam Nio dengan kotak besi itu.
The Sam Nio telah menyaksikan sendiri, bagaimana anak panah-anak panah tadi melesat keluar
dari dalam kotak itu. Ia takut jika kotak itu akan menyemburkan anak panah lagi, maka ia buruburu
berkelit sambil membongkokkan badan.
Di luar dugaannya, serangan itu hanyalah akal Whi Su Tiong saja, supaya Tian Ceng Bun
menjadi bebas dan dapat diserahi tugas memegang dan menjaga kotak itu. "Jaga kotak ini baikbaik,
biarlah aku yang melayani musuh," pesannya kepada si gadis. Kemudian ia menghampiri lagi
To Pek Swee untuk melanjutkan pertempuran yang tertunda tadi.
Kepandaian jago Thian Liong Bun ini ternyata masih lebih tinggi daripada yang lain-lain.
Dengan cambuknya yang berat dan dengan tenaganya yang kuat, To Pek Swee tidak dapat
berbuat banyak terhadap lawan yang bertangan kosong ini, sehingga terus-menerus ia terdesak
mundur. Juga Ciu Hun Jang sudah berada di atas angin. Karena Him Goan Hian selama ini belum
mendapat kesempatan untuk mencabut panah yang menancap di pundaknya, maka saban kali ia
menggunakan tenaga, pundaknya yang terluka ini dirasakan sakit sekali dan ia tak leluasa
melawan Hun Jang yang tidak lemah kepandaiannya.
Di antara lawan-lawan kaum Thian Liong Bun ini hanya Lauw Goan Ho saja yang masih dapat
melayani lawannya tanpa terdesak. Agaknya ia memang tandingan yang setimpal dengan In Kiat.
Sedang mereka sengit sekali bertempur, Tian Ceng Bun sudah lari ke jurusan barat laut sambil
membawa kotak besi itu.
Melihat Ceng Bun kabur, To Cu An segera menggertak Co Hun Ki dengan suatu bacokan
dahsyat dan ketika lawan ini hendak menangkis, ia menarik kembali serangannya. Sesaat
kemudian ia sudah mengejar si gadis dengan mengerahkan seantero tenaganya. Tindakan To Cu
An ini telah membangkitkan amarah Co Hun Ki. Maka pemuda ini pun segera membalikkan tubuh
dan mengubar dengan kencang.
Akan tetapi, ketika ia baru mengejar berapa langkah ia telah disambut dengan bacokan golok
oleh The Sam Nio yang telah mencegatnya. Tentu saja Hun Ki jadi sangat mendongkol, apalagi
karena melihat Cu An sudah kabur semakin jauh.
Segera ia menyerang dengan serangan-serangan yang lihay dan ganas. Meski kepandaian The
Sam Nio masih belum seberapa, tetapi ia telah meyakinkan suatu ilmu yang khusus untuk
membela diri terhadap musuh yang lebih tangguh, yakni "Tiat Bun Coan" (Palang Pintu Besi) yang
mempunyai tiga puluh enam macam gerakan.
Oleh sebab ini, maka Co Hun Ki tidak dapat mengalahkannya cepat-cepat, meskipun dengan
tipu-tipu serangan yang sangat lihay.
Dalam pada itu Ceng Bun sudah kabur lebih dari satu li, ia menengok dan melihat To Cu An
sudah tidak berapa jauh di belakangnya. Inilah memang yang diinginkannya, dan setelah melewati
sebuah bukit, ia berhenti menunggu.
"Untuk apa kau mengejar aku?" tanyanya seakan-akan kurang senang, tetapi wajahnya
mencerminkan kegirangan hatinya.
"Ceng moay, lebih baik kita bersatu melawan kawanan penjahat itu, persoalan kita sendiri,
nanti saja kita selesaikan dengan baik-baik."
"Siapakah adikmu, mengapa kau membunuh ayahku?"
Demi mendengar teguran ini, To Cu An lantas saja berlutut.
"Thian yang di atas, jika benar aku, To Cu An, telah mencelakakan Tian loocianpwee Ciang Bun
Jin Thian Liong Bun, biarlah aku kelak mati ditembusi berpuluh ribu batang anak panah dan
mayatku dicincang berantakan!" ia bersumpah sambil menunjuk ke atas.
Melihat Cu An berani mengangkat sumpah, Ceng Bun jadi tidak bersangsi lagi dan ia segera
mengulurkan tangannya.
"Baik, ternyata memang bukan kau, sudah sejak semula aku tidak percaya, bahwa kau adalah
pembunuhnya, tetapi mereka ... mereka____"
Sebelum si gadis dapat menyelesaikan ucapannya, To Cu An sudah melompat bangun dan
menggenggam tangannya sambil berkata,
"Ceng moay____"
Mendadak Cu An menghentikan perkataannya, ia melihat wajah nona itu mendadak berubah, ia
mengerti, bahwa tentu ada orang datang ke jurusan mereka. Buru-buru ia membalikkan badan
dan seketika itu ia mendengar bentakan, "Mengapa kamu berdua bersembunyi di sini?"
Bentakan itu sangat menusuk hati Ceng Bun, sehingga ia ini menjadi sangat gusar dan
membalas mendamperat,
"Bersembunyi, katamu" Benar" Mulutmu harus dicuci bersih!"
Sementara itu To Cu An juga sudah mengetahui siapa pendatang baru itu, ialah Co Hun Ki.
Lekas-lekas ia coba memberikan keterangan. "Co suheng, janganlah kau salah mengerti," katanya.
Bersabar memang bukan pembawaan Co Hun Ki. Ia, yang berkepala batu, mana mau
mendengarkan keterangan orang yang dianggapnya sebagai musuh itu. Dengan mata melotot ia
membentak pula, "Salah mengerti apa!" Bersama dengan diucapkannya perkataan ini ia
melancarkan serangan, sehingga To Cu An juga tidak dapat berbuat lain daripada segera
mengangkat goloknya untuk menangkis pedang saingannya.
Baru berapa jurus mereka bertempur, ketika mendadak " di antara gemerincing senjata
beradu " terdengar tindakan kaki dan sesaat kemudian kelihatan The Sam Nio berlari secepat
angin menghampiri mereka.
"Perempuan bangsat, anjing, keparat, kau selalu hendak merintangi saja!" terdengar serentetan
caci Hun Ki yang sudah tak dapat menguasai napsunya lagi. Ia benar-benar sebal melihat
perempuan itu yang selalu membuntuti dan menghalang-halangi segala gerak-geriknya. Tanpa
membuang-buang tempo lagi, ia menyerang si nyonya. The Sam Nio tidak tinggal berpeluk
tangan, ia menangkis dan goloknya yang sebelah lagi segera membalas serangan lawan.
Pada saat itu, dari jurusan lain golok To Cu An juga sudah melayang ke arahnya dengan gerak
tipu "Ciu Liang Hoan Cu".
Meskipun ia kini harus melawan dua musuh, Hun Ki tidak menjadi gentar karenanya, bahkan ia
menganggap ini sebagai ketika yang baik sekali untuk mempamerkan ketangkasannya di hadapan
gadis pujaannya, maka ia mengerahkan seluruh kepandaiannya dan bertempur dengan matimatian
Ketangkasannya menimbulkan kekaguman di hati To Cu An. "Kiam hoat bagus!" pujinya.
Tetapi pada saat yang sama juga ia menyerang selangkang Co Hun Ki dengan gerakan "Siang Po
Liauw Im" sambil setengah berjongkok.
Menurut dugaan The Sam Nio, Co Hun Ki tentu akan mengangkat senjatanya ke atas untuk
menangkis dan penjagaannya di sebelah bawah akan terluang. Sungkan menyia-nyiakan ketika
yang baik ini, ia segera membacok dengan kedua-dua goloknya. Tak pernah ia menyangka, bahwa
To Cu An akan berganti siasat secara tiba-tiba sekali. Dengan gerak tipu "Twe Po Cam Ma To" dan
gerakan pergelangan tangan, goloknya bukan mengenai Co Hun Ki, tetapi sebaliknya melukakan
paha The Sam Nio. "Roboh!" bentak Cu An berbareng dengan itu.
Sungguh keji tipu ini dan benar-benar di luar dugaan datangnya serangan ini, sehingga seorang
ahli yang berkepandaian jauh lebih tinggi daripada The Sam Nio, juga tak akan dapat
mengelakkan serangan Cu An ini. Maka dapat dimengerti jika The Sam Nio roboh seketika itu juga.
Belum puas dengan hasil ini, To Cu An masih memburu maju lagi dan sudah akan menabas leher
nyonya celaka ini.
Tetapi pada detik yang sangat berbahaya bagi The Sam Nio itu, mendadak Co Hun Ki menyelak
dan menangkis golok Cu An.
"Kau tidak takut kehilangan muka?" tanya Hun Ki mengejek.
"Dalam pertempuran tidak ada soal tipu-menipu, dalam hal ini aku hanya ingin membantu kau!"
jawab Cu An dengan tertawa.
Sebelum Hun Ki dapat menjawab pula, Lauw Goan Ho, In Kiat, To Pek Swee, Whi Su Tiong dan
yang lain-lain telah datang semua.
Agaknya mereka semua mempunyai pikiran yang sama. Setelah melihat Tian Ceng Bun kabur
sambil menggondol kotak besi itu, mereka serentak kehilangan napsu bertempur dan segera
menyusul beramai-ramai.
'Ayah, Thian Liong Bun adalah sahabat kita, janganlah bertempur lagi dengan Whi susiok!"
teriak To Cu An kepada ayahnya.
Sebelum To Pek Swee menjawab seruan anaknya itu, Co Hun Ki sudah keburu menyelak dan
mengatakan, "Kau telah mencelakakan suhu, tak sudi aku menjadi sahabatmu!" Tanpa menunggu
kata-katanya habis diucapkan, ia sudah melancarkan lagi serangan-serangan bertubi-tubi.
To Cu An belum berjaga-jaga dan ia dibuat kelabakan karenanya. Dua serangan yang pertama
telah ditangkisnya, tetapi serangan yang ketiga hampir-hampir tak dapat dihindarkannya. Meski ia
buru-buru mengegos ke kiri, pedang lawan itu masih juga lewat dekat sekali di sisi kanan
kepalanya. Sedetik saja terlambat, kepalanya tentu akan tertembus dan otaknya berarakan.
Walaupun ia sudah terluput dari bahaya, tetapi saking terkejutnya ia jadi bermandikan keringat
dingin dan mukanya menjadi pucat
Ketika ia hendak membuka suara, mendadak Tian Ceng Bun berteriak, 'Ai!" Bersama dengan
terdengarnya teriakan Ceng Bun ini, Cu An melihat sebuah senjata rahasia lewat di samping
kepalanya dan sesaat kemudian ia merasakan punggungnya terkena senjata tajam.
Ternyata semua ini adalah gara-gara The Sam Nio. Setelah ia roboh dengan menderita luka,
diam-diam ia menunggu kesempatan untuk membalas pembokongan itu. Maka pada saat Cu An
mundur dengan gugup karena serangan Hun Ki yang tak diduganya, The Sam Nio telah segera
menggunakan kesempatan ini dengan baik. Ia meloncat maju sambil membacok kepala si
pemuda. Untungnya Tian Ceng Bun, yang senantiasa memperhatikan gerak-gerik Cu An, telah melihat
datangnya serangan nyonya itu. Dengan kecepatan bagaikan kilat ia menimpukkan sebatang bor
beracunnya yang segera menancap di dada kiri The Sam Nio. Karena ini, maka daya serangan
goloknya menjadi hilang, sehingga To Cu An jadi terhindar dari bahaya maut.
"Perempuan hina yang busuk!" teriak To Cu An dengan kalap sambil memutarkan tubuh.
Setelah mana sebilah goloknya di timpukkan ke arah dada atau leher pembokongnya barusan.
Karena dekatnya jarak antara kedua orang itu, agaknya The Sam Nio sudah tidak akan dapat
terhindar lagi dari kebinasaan tanpa ada seorang yang dapat menolongnya. Tetapi pada saat
semua orang sedang menantikan terpanteknya tubuh nyonya itu dengan golok di atas salju,
dengan mata membelalak kesima, mendadak terdengar bunyi seakan-akan siulan panjang dan
sesaat kemudian sebutir senjata rahasia yang sangat kecil telah membentur golok Cu An dengan
menerbitkan bunyi nyaring. Benturan ini menyebabkan golok itu berubah arah dan menancap di
salju dekat pada badan The Sam Nio.
Demi melihat betapa tepatnya senjata rahasia itu mengenai golok pembawa maut itu, meskipun
agaknya telah dilepaskan dari tempat yang agak jauh, semua orang tanpa kecuali menjadi terkejut
serta kagum. Tahulah mereka, bahwa kepandaian orang yang melepaskannya sudah sukar diukur
lagi. Serentak mereka menengok ke jurusan, darimana datangnya senjata rahasia itu. Mereka
melihat seorang hweeshio yang kumis maupun jenggotnya sudah putih semua, mendatangi
dengan perlahan sambil menenteng tasbih dan berulang-ulang bersabda, "Siancay, siancay."
Setibanya di tempat itu, si hweeshio lantas saja berjongkok memungut sesuatu yang langsung
dirangkaikan pada tasbihnya. Ternyata, senjata rahasia tadi adalah sebutir biji tasbih.
Serenceng biji-biji tasbih itu agaknya dibuat dari kayu atau bambu. Bahwa barang itu bukan
barang berat, sudah ternyata karena angin pagi yang tidak kencang itu dapat menyebabkannya
terayun. Maka dapat dibayangkan betapa kuat tenaga jari hweeshio itu yang sudah dapat
menyentil sebutir biji tasbih kecil dari jarak berapa puluh tombak untuk membentur golok baja
yang berat sehingga terpental.
Sesaat kemudian, dari tercengang, semua orang-orang itu menjadi gentar dan sudah segera
berhenti bertempur. Tanpa mengedipkan mata mereka semua mengawasi si hweeshio tua. Ia ini
telah menghampiri The Sam Nio untuk diangkat bangun dan setelah mana ia mencabut bor
beracun yang menancap di dada nyonya itu. Seketika itu, dari luka si nyonya, mengalir darah
kehitam-hitaman dan rasa sakit yang sangat hebat nyonya ini menyebabkan segera jatuh pingsan.
Dari sakunya, si hweeshio segera mengeluarkan sebutir pil berwarna merah, yang lantas
dimasukkan ke dalam mulut The Sam Nio. Kemudian ia menatap wajah semua orang yang berada
di sekitarnya dan berkata, "Obat ini hanya dapat menghilangkan rasa sakit Tok Liong Cui adalah
senjata rahasia istimewa dari Thian Liong Bun, maka loolap (sebutan diri seorang hweeshio) tak
berdaya terhadapnya." Kemudian, sambil menatap wajah Whi Su Tiong, ia melanjutkan, "Tuan
adalah tokoh utama Thian Liong Bun. Melihat muka hweeshio, atau kalau tidak, melihat muka
sang Buddha, harap Tuan suka berlaku murah hati." Ucapannya ini ditutup dengan mengangkat
tangannya, memberi hormat kepada orang she Whi itu.
Whi Su Tiong dan The Sam Nio belum saling mengenal, di antara mereka juga tidak ada
ganjelan atau dendaman sakit hati, lagi pula yang meminta adalah si hweeshio tua yang
kepandaiannya telah disaksikannya sendiri. Jika ia tidak bersedia memberikan obatnya,
perkembangan selanjutnya mungkin sekali akan tidak menguntungkan dirinya. Ia berpengalaman
luas dan dapat melihat gelagat, maka seketika hweeshio itu memberi hormat ia juga tidak berayal
Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pula membalasnya.
"Jika taysu yang memerintahkan, tentu saja aku menurut," katanya. Ia segera merogoh
sakunya dan mengeluarkan dua botol kecil. Dari salah sebuah botol itu, ia lalu mengeluarkan
sepuluh butir pil berwarna hitam, yang lantas saja dimasukkan ke dalam mulut The Sam Nio. Botol
yang lain diangsurkannya kepada Tian Ceng Bun sambil berkata, "Oleskan obat ini pada lukanya."
Tian Ceng Bun menurut, kotak besi itu diserahkannya kepada susioknya dan ia menerima botol
itu untuk kemudian dibubuhkan pada luka The Sam Nio.
"Syukur, syukur, sicu (tuan yang berbudi) berbelas kasihan," katanya sambil memberi hormat
sekali lagi. Kemudian ia bertanya, "Sebab apakah Tuan-Tuan saling melabrak di sini" Sebenarnya
tidak ada soal yang tidak dapat diselesaikan dengan jalan damai, maka loolap memberanikan diri
untuk memberikan jasa baik dan mendamaikan Tuan-Tuan."
Mendengar kata-kata si hweeshio ini semua orang jadi saling memandang. Sebagian dari antara
mereka tetap berlaku tenang, tetapi sebagian pula " terutama Co Hun Ki " sudah segera
menunjukkan kegusaran.
"Bangsat kecil ini telah membunuh guruku dan mencuri pusaka partai kami, taysu, coba
pikirkan pantas tidaknya, jika ia diharuskan mengganti dengan jiwanya?" teriak Hun Ki sambil
menuding To Cu An. Selama berbicara ia mengayun-ayunkan pedangnya, sehingga senjata ini
menggetar. "Siapakah gurumu?" tanya si hweeshio.
"Mendiang guruku she Tian dan di masa hidupnya ia menjadi Ketua partai kami cabang utara."
"Ah! Kui Long telah mangkat" Sayang, sungguh sayang!" seru hweeshio tua itu terperanjat
Agaknya ia mengenal Tian Kui Long, bahkan ia seakan-akan menganggap dirinya dari tingkatan
lebih tua. Ketika Tian Ceng Bun, yang baru saja selesai mengobati luka The Sam Nio, mendengar ucapan
si hweeshio, ia segera tampil ke muka sambil menjura dan menangis terisak-isak.
'Aku mohon pertolongan Taysu untuk mencarikan pembunuhnya dan membalaskan sakit hati
ayahku," katanya dengan sedih.
Sebelum hweeshio itu dapat menjawab, Co Hun Ki sudah berteriak, "Pembunuh yang mana
lagi" Dengan adanya bukti-bukti yang cukup ini, bukankah sudah ternyata, bahwa bangsat kecil ini
benar-benar pembunuhnya?"
To Cu An menjawab tuduhan ini dengan hanya tertawa dingin. Tetapi, sebaliknya To Pek Swee
tak dapat bersabar pula. Dengan hati mendidih ia membentak, "Berpuluh-puluh tahun aku
bersahabat rapat sekali dengan Tian cinkee, dan antara kami ada hubungan keluarga, mengapa
kami harus mencelakakan beliau!"
"Mengapa" Tentu saja untuk mencuri pusaka kami!" bentak Hun Ki lagi.
Tuduhan berat yang terus-menerus dilontarkan Hun Ki ini makin membangkitkan amarah To
Pek Swee. Dengan dada serasa mau meledak ia melompat ke arah pemuda kepala batu itu dan
terus saja menyerangnya.
Sedang Co Hun Ki hendak menangkis serangan cambuk itu, si hweeshio sudah menggerakkan
tasbihnya, yang segera melibat cambuk To Pek Swee. Gerakan cambuk itu segera terhenti dan
ketika, sesaat kemudian, si hweeshio menggerakkan tasbihnya dengan perlahan ke atas, senjata
jago Eng Ma Coan ini terpental kembali dan terlepas dari tangannya. Agaknya hweeshio itu tidak
menggunakan banyak tenaga, tetapi gerakannya itu ternyata mengandung tenaga yang dahsyat
sekali, sehingga To Pek Swee merasakan tangannya kesemutan dan kesakitan. Mau tak mau ia
harus melepaskan pegangannya sambil melompat ke samping dan cambuknya itu jatuh melesak di
salju. Tadinya semua orang itu berdiri dekat di sekitar si hweeshio, tetapi demi melihat cambuk baja
itu melayang kembali dan terlepas dari tangan pemiliknya, serta merta mereka meloncat mundur
dan mengawasi hweeshio itu dengan sikap tertegun. Pada saat itu mereka semua berpikir sama
"Tin Kwan Tang sudah lama terkenal karena tenaganya yang besar sekali, tetapi kini dengan
suatu gerakan tasbih yang perlahan, senjatanya telah dibentur terlepas oleh hweeshio ini."
Tak usah ditanyakan lagi betapa malunya To Pek Swee, mukanya menjadi merah seketika itu
juga dan tak lama pula rasa malunya berubah menjadi kegusaran yang meluap-luap.
"Bagus, hweeshio. Tak tahunya kau adalah pembantu undangan Thian Liong BunI" teriaknya
dengan suara bergetar karena marah.
Walaupun dicaci dan dituduh terang-terangan di hadapan orang banyak, si hweeshio tetap
tenang-tenang saja, bahkan senyumnya tidak pernah lenyap dari mulutnya.
"Sicu sudah berusia lanjut, mengapa masih saja berdarah panas. Tidak salah, jika sicu
mengatakan loolap datang di Tiang Pek San ini atas undangan orang, hanya, yang mengundang
bukannya Thian Liong Bun."
Mendengar ucapan si hweeshio yang terakhir ini, kedua-dua rombongan Thian Liong Bun
maupun "To Si Hu Cu" menjadi terkejut sekali.
"Pantas ia menolong The Sam Nio tadi. Agaknya dia adalah undangan fihak 'Peng Thong Piauw
Kiok', rasanya kotak pusaka itu sudah sukar dipertahankan lagi," pikir mereka
Karena itu, Whi Su Tiong jadi berjaga-jaga Ia mundur setindak dan Co Hun Ki serta In Kiat
segera meloncat ke samping kiri-kanannya untuk bantu melindungi pusaka itu.
Hweeshio itu tidak menghiraukan tindakan mereka, ia seakan-akan tidak melihat apa-apa.
"Di sini tidak ada kayu untuk menyalakan api, juga tidak ada makanan dan minuman, ditambah
lagi dengan hawa dingin yang menusuk ini. Yang mengundang loolap, tempat tinggalnya tidak
jauh dari sini. Tuan-tuan sekalian adalah sahabat-sahabat loolap, maka lebih baik kita bersamasama
menuju tempatnya untuk mengaso. Tuan rumah pasti akan menerima kita dengan segala
senang hati. Bagaimana pendapat Tuan-Tuan?" kata-katanya ini diakhiri dengan tertawa terbahakbahak,
sebagai juga ia tidak memikirkan lagi pertempuran sengit antara orang-orang itu tadi.
Karena ini maka kekuatiran orang-orang itu menjadi reda Mereka melihat, bahwa roman
hweeshio itu mencerminkan welas-asih dan sikap maupun lagu suaranya ramah-tamah selalu.
"Cianpwee siapakah tuan rumah, yang Taysu sebutkan tadi?" tanya In Kiat.
"Tuan rumah itu tidak mengijinkan loolap menyebutkan namanya, harap sicu sudi memaafkan.
Loolap memang biasa suka mengundang tamu. Siapa saja yang telah diundang, tetapi tidak mau
hadir, loolap menganggapnya sebagai sengaja tidak mau memberikan muka."
Di antara sekian orang itu, agaknya Lauw Goan Ho mempunyai pendapat lain. Ia melihat
tingkah-laku hweeshio tua itu agak aneh dan hatinya lantas saja menjadi sangsi.
"Maaf Taysu, heekoan (pegawai negeri yang rendah) mohon diri," katanya Setelah memberi
hormat ia membalikkan tubuh dan segera hendak berlalu.
"Sungguh beruntung, di tempat pegunungan yang sangat sepi ini masih juga aku dapat
berjumpa dengan pembesar negeri, benar-benar beruntung," kata hweeshio itu dengan tertawa.
Ia menunggu sampai Lauw Goan Ho sudah berlari berapa lama Kemudian sekonyong-konyong
ia meloncat, mengejar si pembesar.
Jubah pertapaannya yang berwarna kelabu, melambai-lambai di atas salju yang putih itu.
Larinya kelihatan tidak berapa cepat, walaupun demikian dalam sekejap saja ia sudah dapat
mendahului Lauw Goan Ho.
"Loolap mengharap agar Tayjin suka memberi muka," katanya dengan tertawa setelah
berhadapan muka dengan Lauw Goan Ho ini. Tanpa menunggu jawaban lagi ia mengulurkan
tangannya dan memegang tangan kanan Lauw Goan Ho.
Jago pembesar ini merasakan separoh tubuhnya mendadak linu dan tidak bertenaga karena
telah kena dipencet urat nadinya. Seumur hidupnya baru pertama kali ini ia mengalami kejadian
serupa itu. Dalam gugupnya, tanpa berpikir lagi, ia segera mengayun tinju kirinya, menjotos muka si
hweeshio. Sungguh tidak diduganya, bahwa dengan serangannya ini, ia seakan-akan mencari penyakit
sendiri. Tadi hweeshio itu memegang tangan Lauw Goan Ho dengan jempol dan telunjuknya.
Melihat datangnya serangan, ia segera menggerakkan tangannya itu ke atas berikut tangan
Lauw Goan Ho. Dengan tiga jarinya yang lain ia menyambut tangan Lauw Goan Ho yang datang
menyerang itu untuk terus dijepit juga.
Dua-dua tangan Lauw Goan Ho sudah terjepit di dalam genggamannya kini, tangan kanannya
masih tetap memainkan rencengan tasbih itu dan dengan perlahan serta berseri-seri ia kembali ke
tempat tadi. Melihat, bagaimana Lauw Goan Ho dipermainkan dan diseret kembali, tentu saja fihak Thian
Liong Bun dan "To Si Hu Cu" menjadi girang sekali.
Tetapi di samping kegirangan itu karena kini ternyata, bahwa hweeshio itu bukan pembantu
undangan "Peng Thong Piauw Kiok", mereka juga terkejut, karena kepandaian sebagai yang
dimiliki si hweeshio belum pernah mereka saksikan sebelumnya.
Ketika itu, dengan masih tetap menyeret Lauw Goan Ho, si hweeshio sudah tiba kembali di
antara mereka. "Lauw Tayjin kini sudah menyanggupi akan memberi muka kepadaku, kurasa demikian juga
dengan kalian," katanya sembari memandang mereka semua.
Dengan peristiwa barusan ini sebagai contoh, meskipun semua orang itu bercuriga dan tak rela
turut, tak ada seorang yang berani menolak, mereka semua menginsyafi, bahwa penolakan akan
berarti kerugian bagi mereka sendiri, sebagai dengan halnya Lauw Goan Ho.
Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi dan tetap saja menyeret Lauw Goan Ho, hweeshio tua
itu sudah segera mendahului berjalan dengan perlahan-lahan.
Tetapi sesaat kemudian, setelah berjalan berapa tindak, ia menoleh dan mengatakan, "Suara
apakah itu?"
Ternyata, jika didengarkan dengan penuh perhatian, lapat-lapat dari jurusan lembah tadi,
terdengar suara bentakan-bentakan yang terputus-putus. Agaknya di sana masih berlangsung
pertempuran mati-matian.
Mendadak Whi Su Tiong teringat akan Ciu Hun Jang.
"Hun Ki lekas pergi membantu Hun Jang," katanya dengan tergesa-gesa.
"Ah, aku juga telah melupakannya," jawab Hun Ki yang lantas saja membalikkan tubuhnya dan
menuju ke tempat itu, diikuti si hweeshio yang masih tetap belum mau melepaskan Lauw Goan
Ho. Tak usah ditunggu lama-lama, ketika ternyata betapa besarnya perbedaan antara kepandaian
Lauw Goan Ho dan hweeshio itu. Walaupun pembesar jagoan ini mengerahkan Seantero
tenaganya, tak urung ia tak dapat menandingi lari si hweeshio dan ia terus-menerus harus manda
diseret. Percuma saja ia coba melepaskan pegangan hweeshio itu yang laksana belenggu baja.
Makin ia meronta genggaman si hweeshio jadi semakin keras.
Lewat lagi berapa saat, Lauw Goan Ho sudah kehabisan tenaga, sebaliknya si hweeshio
mempercepat lagi larinya Karena itu pembesar celaka ini jatuh, tetapi tangannya masih tetap
dipegang erat-erat oleh hweeshio itu. Seakan-akan sekerat balok tubuhnya kini diseret di
sepanjang jalan bersalju itu. Tentu saja Lauw Goan Ho menjadi sangat mendongkol serta malu.
Ingin sekali ia mengangkat kakinya dan menendang penyiksanya, tetapi maksudnya ini tetap
merupakan angan-angan saja. Tambah lama si hweeshio berlari semakin cepat, sehingga Lauw
Goan Ho tak dapat mewujudkan maksudnya itu.
Sementara itu semua orang itu sudah juga mengikuti jejak mereka, maka sebelum berselang
lama mereka sudah beramai-ramai tiba kembali di tempat itu. Suatu pemandangan yang
menggelikan segera terlihat mereka, di samping lobang galian To Cu An tadi kelihatan Ciu Hun
Jang dan Him Goan Hian sedang bergumul di atas salju. Senjata mereka sudah sama-sama
terlepas dan kini mereka menggunakan apa saja yang diberikannya dari alam, yakni tangan, kaki,
siku, lutut, kepala dan gigi. Pertempuran mereka ini sudah tidak ada miripnya lagi dengan
pertempuran antara ahli-ahli silat. Mereka saling menyodok, menggigit, menjambak dan
menumbuk secara sekena-kenanya saja.
Menuruti adatnya, Co Hun Ki sudah segera hendak maju dan menusukkan pedangnya ke dalam
tubuh Him Goan Hian, tetapi pada saat itu mereka masih terus berguling-guling tidak keruan.
Karena ini, Hun Ki menjadi ragu-ragu. Ia kuatir melukakan suteenya sendiri.
Sebaliknya si hweeshio tanpa ragu-ragu melangkah maju dan menjamberet tengkuk Ciu Hun
Jang. Him Goan Hian yang seakan-akan melekat pada tubuh lawannya turut terangkat.
Pemandangan yang dapat dilihat sekarang benar-benar merupakan puncak kelucuan. Seorang
hweeshio tua, dengan tangan kiri masih mengikat kedua tangan Lauw Goan Ho yang masih
terduduk di atas salju di sampingnya, mengangkat tinggi-tinggi seorang lain (Ciu Hun Jang) pada
tubuh siapa melekat seorang lagi (Him Goan Hian) dan kedua orang ini saling menggigit,
menumbuk, menjambak dan saling menyodok, meskipun sudah tidak berada di atas tanah lagi.
Tak mengherankan, jika si hweeshio jadi tertawa terbahak-bahak. Mungkin juga yang lain-lain
akan turut tertawa, jika mereka bukan sedang cemas dan bimbang.
Sesaat kemudian tanpa berhenti tertawa, si hweeshio menggoncangkan badan kedua orang
yang masih bergulat terus. Seketika itu juga, mereka merasakan kaki tangan mereka kesemutan
dan pegangan mereka pada tubuh masing-masing jadi terlepas. Him Goan Hian terpental pergi
sejauh beberapa tombak dan j.ituh dengan menerbitkan bunyi bergedebuk yang nyaring. Setelah
ini si hweeshio melepaskan Ciu Hun Jang dan Lauw Goan Ho.
Karena sudah terlalu lama tergencet, maka tangan Lauw Goan Ho menjadi kaku dan tak dapat
digerakkan. Di pergelangan tangannya kelihatan bekas yang legok ke dalam dan berwarna merah.
Setelah pengalamannya tadi dan melihat bekas jari yang mengerikan ini, nyalinya menjadi ciut.
Sementara itu si hweeshio sudah berkata, "Mari kita lekas berangkat, mungkin masih keburu
turut makan pagi dengan tuan rumah."
Lagi-lagi semua orang itu saling memandang dengan hati penuh keraguan, tetapi mereka
menurut juga. Sebagai kepala rombongannya dan tanpa memperdulikan lagi adat istiadat antara wanita dan
pria, Him Goan Hian segera menggendong The Sam Nio yang sudah menjadi sangat lemah karena
terluka parah tadi.
Kecuali mereka, juga "To Si Hu Cu" dan Ciu Hun Jang telah terluka dan sampai saat itu lukaluka
mereka masih mengeluarkan darah, maka di atas salju di sepanjang jalan yang mereka lalui,
kelihatan bintik-bintik merah.
Berjalan belum berapa li, mereka yang terluka sudah merasa payah sekali, bahkan ada yang
sudah tak kuat bertahan lagi.
Agaknya Tian Ceng Bun merasa kasihan melihat penderitaan orang-orang itu, ia mengeluarkan
sepotong baju dari buntalannya untuk kemudian dirobek dijadikan berapa potong kain pembalut,
yang lalu diberikannya kepada Ciu Hun Jang dan "To Si Hu Cu".
Tindakan Ceng Bun ini merupakan duri di mata Co Hun Ki, tetapi sebelum ia dapat
mengutarakan kedongkolannya, Ceng Bun sudah mengedip kepadanya. Biarpun tidak mengerti
maksud si gadis, Hun Ki mengurungkan juga maksudnya melontarkan kata-kata yang kurang enak
didengarnya, ia hanya mengeluarkan suara mengejek dari lobang hidungnya.
Lewat berapa li pula mereka harus mendaki sebuah bukit. Lapisan salju di tempat ini lebih tebal
dan kaki mereka ambelas di dalamnya sebatas lutut. Perjalanan menjadi luar biasa beratnya,
meskipun mereka rata-rata memiliki kepandaian silat yang tidak rendah. Mereka jadi mengeluh
dan berpikir, "Entah masih berapa jauh kita harus berjalan."
Sebagai juga dapat menebak pikiran mereka, mendadak si hweeshio menunjuk ke puncak
gunung yang menjulang tinggi di sebelah depan. "Sudah dekat, di puncak sana," katanya.
Semua orang-orang itu menjadi putus asa, karena gunung itu berdiri hampir tegak lurus di
permukaan bumi. Meskipun tidak terlalu tinggi, tetapi melihat curamnya yang luar biasa itu,
agaknya bukit tersebut tak mungkin dipanjat biar oleh seekor kera juga, apa lagi manusia
"Seorang yang berkepandaian tinggi sekali mungkin masih akan dapat mendakinya perlahanlahan
dengan mengerahkan seantero tenaganya, tetapi agak mustahil kedengarannya jika ada
orang yang mau tinggal di atas puncak itu," kata mereka di dalam hati yang penuh kesangsian.
Si hweeshio tidak menghiraukan sikap mereka irii dan mendahului berjalan di depan. Ia pun
tidak berhenti bersenyum. Setelah melalui dua buah bukit lagi, mereka tiba di tepi rimba pohon
cemara. Pohon-pohon siong (cemara) itu rata-rata sudah tua sekali, yang termuda juga sudah
berusia ratusan tahun. Cabang-cabangnya yang lebat dan malang-melintang telah menampung
sebagian salju yang turun dari langit dan di bawahnya hanya terdapat sedikit salju. Maka
perjalanan di dalam rimba itu menjadi lebih mudah.
Rimba itu luas juga, setelah berjalan setengah jam baru mereka tiba di ujungnya yang sebelah
sana dan mendapat kenyataan bahwa mereka telah tiba di kaki bukit yang dituju itu.
Dipandang dari dekat puncak tersebut lebih-lebih lagi mematahkan semangat. Biarpun di
musim panas, bukit itu tampaknya hampir tak dapat dipanjat, apa lagi di musim dingin itu, sedang
salju beku seluruh bagian bukit tersebut. Siapa berani coba mendaki, pasti akan terpeleset dan
jatuh dengan badan hancur.
Sementara itu angin pegunungan masih juga meniup dengan menerbitkan bunyi-bunyian
gemerisik di antara daun-daun dan tangkai-tangkai pohon. Mereka menggigil, kesatu karena
dinginnya dan kedua karena merasa seram. Biarpun mereka semua sudah kenyang berkelana dan
sudah pula mengalami aneka ragam bahaya besar, tetapi suasana ili bawah puncak gunung itu tak
dapat tidak menerbitkan rasa seram di hati mereka.
Sedang mereka berdiri bengong, si hweeshio sudah mengeluarkan sebuah bumbung untuk
melepaskan panah api (serupa mercon areng yang waktu itu lazim dipergunakan sebagai
pertandaan di Tiongkok). Sesaat kemudian, setelah dinyalakan, panah api itu meluncur ke atas
dan mengeluarkan asap kehijau-hijauan yang lama setelah itu baru buyar.
Rombongan orang yang mengikutinya menjadi heran melihat panah api itu dapat naik begitu
tinggi dan mengeluarkan asap yang tidak segera menjadi buyar tertiup angin yang saat itu agak
santar juga. Mereka semua mendongak untuk melihat panah api itu mempunyai makna apa. Tak lama
kemudian mereka melihat di puncak, jauh di atas, telah muncul suatu titik hitam, yang segera
sudah meluncur ke bawah dengan kecepatan luar biasa.
Setelah titik hitam itu mencapai tengah lereng, semua orang itu lantas melihat, bahwa titik itu
sebenarnya adalah sebuah keranjang bambu yang diikatkan pada ujung seutas tambang bambu
yang kuat. Mengertilah mereka sudah bahwa keranjang itu telah diturunkan untuk menyambut
tamu. Setelah keranjang tersebut turun sampai di depan mereka, hweeshio itu berkata, "Keranjang ini
dapat memuat tiga orang, maka silakan dua tamu wanita ini naik dahulu serta seorang tamu lakilaki."
Tanpa ragu-ragu Tian Ceng Bun maju dan The Sam Nio dipayangnya masuk ke dalam
keranjang. Sambil melakukan ini ia menimbang-nimbang siapa yang akan dimintanya menyertai
mereka naik lebih dulu. Pikirnya, "Jika aku tidak mengajak Hun Ki atau Cu An turut naik, tentu Hun
Ki akan mencari gara-gara lagi dan mereka akan bertempur. Jika Cu An yang kupinta naik
bersama-sama, susiok tentu akan merasa kurang senang."
Maka akhirnya ia memutuskan untuk mengajak Co Hun Ki saja. "suheng, mari ikut naik lebih
dulu," katanya.
Co Hun Ki tidak pernah menduga, bahwa sumoaynya akan minta ia menyertai mereka Sesaat ia
seakan-akan kesima, tetapi segera mukanya sudah berubah menjadi berseri-seri dan dengan
bangga serta agak mengejek ia memandang Cu An, saingannya Dengan langkah lebar ia
menghampiri keranjang tersebut dan masuk ke dalamnya. Ia duduk di samping Tian Ceng Bun,
segera setelah itu ia menggoyangkan tambang pengerek alat pengangkutan istimewa ini.
Sesaat kemudian sudah terasa, bahwa keranjang itu sudah mulai dikerek ke atas, menuju ke
puncak. Ketiga orang itu segera sudah mendapat suatu perasaan tidak enak. Setiap goncangan
dirasakan mereka sebagai juga saban saat mereka akan jatuh. Hati mereka dirasakan ngeri dan
telapak kaki mereka berasa kesemutan dan agak geli. Ketika mereka sudah mencapai tinggi
Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setengah lereng, Tian Ceng Bun coba melongok ke bawah dan ia menjadi tercengang sekali.
Ternyata orang-orang yang masih ketinggalan di bawah itu tinggal kelihatan seakan-akan bonekaboneka
yang belum satu kaki tingginya.
Dipandang dari jauh puncak itu kelihatannya tidak terlalu tinggi, tetapi pada saat itu ia mengerti
bahwa sebenar-benarnya bukit itu tinggi sekali, bahkan mungkin sampai ribuan kaki. Karena
melongok barusan, Tian Ceng Bun merasakan sebagai juga ia akan jatuh setiap saat dan
kepalanya menjadi pusing. Maka setelah itu ia tidak berani melongok lagi dan berduduk diam saja
di dalam keranjang.
Akhirnya tibalah mereka di atas puncak. Co Hun Ki mendahului keluar dari keranjang itu
kemudian ia membantu Ceng Bun memayang The Sam Nio.
Ketika kemudian mereka memandang ke sekeliling mereka, tahulah mereka bagaimana
keranjang itu telah dikerek tadi. Ternyata di dekat mereka itu terdapat sebuah roda kerekan yang
sangat besar dan sepuluh laki-laki tegap kekar melayani alat tersebut.
Sementara itu keranjang tersebut sudah diturunkan pula.
Dengan cara ini tak lama kemudian semua orang-orang itu berikut si hweeshio sudah tiba di
atas puncak. Sedang tadi, ketika Co Hun Ki bertiga tiba di situ, dua laki-laki berbaju kelabu yang agaknya
menjadi pemimpin sepuluh pekerja itu, bersikap acuh tak acuh, kini setibanya hweeshio tua itu
mereka segera maju sambil menjura dalam-dalam.
"Maaf, meski belum mendapat ijin tuan rumah, loolap telah lancang mengundang beberapa
tamu lain kemari, harap supaya diteruskan kepadanya," kata si hweeshio.
"Semua sahabat Po Si Taysu tentu akan disambut dengan gembira oleh majikan kami," jawab
salah seorang dari dua penyambut itu, yang setengah tua dan berleher panjang, sambil
membongkok memberi hormat lagi.
Semua orang yang telah turut naik itu, baru mengerti, bahwa sebutan si hweeshio adalah Po Si
Taysu. Setelah mengucapkan kata-katanya barusan, laki-laki berleher panjang itu segera memberi
hormat juga kepada sekalian tamu itu.
"Berhubung dengan suatu hal yang penting, majikan kami harus pergi mendadak dan tak dapat
menyambut sendiri Tuan-Tuan tamu sekalian, maka atas namanya aku kini mohon agar Tuan-
Tuan suka memaafkannya"
Sambil membalas pemberian hormat itu semua orang menjadi agak heran. Penyambut ini
hanya mengenakan sepotong baju tipis, meskipun tinggal di puncak bersalju yang terpencil dan
sangat dinginnya Agaknya ia tidak merasa kedinginan, maka tahulah mereka, bahwa orang itu
tentu mempunyai Iweekang yang sangat tinggi. Melihat kenyataan ini mereka jadi mengerti bahwa
tuan rumah yang menjadi majikan orang itu, tentu memiliki kepandaian yang sudah sangat sukar
diukur lagi. "Majikanmu tidak di rumah" Dalam saat begini ia masih juga keluar"'" tanya Po Si dengan nada
heran dan kecewa.
"Sudah sejak tujuh hari majikan pergi ke Leng Ko Tha."
"Leng Ko Tha?" tanya Po Si pula. "Untuk apa?"
Pegawai itu kelihatan agak ragu-ragu, ia tidak lantas menjawab dan melirik ke arah Whi Su
Tiong dan kawan-kawannya.
"Katakan saja, jangan kuatir," kata Po Si.
"Yah, menurut majikan, musuh yang akan datang itu terlalu lihay, mungkin sekali ia sendiri tak
akan bisa menandinginya, maka ia ingin sekali mohon bantuan 'Kim Bian Hud'," terdengar
penjelasan pegawai itu.
Mendengar nama 'Kim Bian Hud' di sebut, orang-orang Thian Liong Bun, "To Si Hu Cu" dan Him
Goan Hian serta kawan-kawan terperanjat semua. Mereka mengetahui, bahwa 'Kim Bian Hud'
(Buddha Bermuka Emas) itu adalah seorang "Bulim Cianpwee" (Angkatan Tua dari Kalangan Jagojago
Silat) dan juga bahwa kalangan Kang Ouw seling menyebutkan ia sebagai "Ta Pian Thian Hee
Bu Tek Ciu" (Menjelayah Seluruh Dunia Tanpa Menemukan Tandingan) selama dua puluh tahun
terakhir itu. Karena julukan yang kedengarannya temberang ini, entah berapa banyak lawan tangguh yang
telah sengaja datang untuk mencoba-coba kepandaiannya Tetapi kepandaiannya memang sudah
sempurna benar-benar. Sampai pada saat itu, tidak perduli dari partai atau golongan apa saja,
belum ada yang terluput daripada kekalahan jika berani coba-coba menguji kepandaiannya.
Sudah sepuluh tahun 'Kim Bian Hud' hidup menyendiri dengan sembunyi dan selama itu tidak
pernah terdengar berita-berita tentang dirinya, bahkan ada yang mengatakan, bahwa ia telah
meninggal, tetapi benar tidaknya berita itu tak ada yang dapat memastikannya. Maka tidak
mengherankan, jika orang-orang itu menyangsikan ucapan si pelayan.
Di samping sangsi, mereka juga terkejut bukan main dan nyali mereka menjadi ciut seketika itu
juga Semua orang mengetahui bahwa 'Kim Bian Hud sudah terlalu tangguh untuk dilawan, selain
itu mereka pun sudah tahu, bahwa ia itu sangat membenci kejahatan, meskipun yang kecil juga
Siapa saja yang melakukan sesuatu yang tidak pantas, asal berita tentang perbuatannya sampai di
telinga 'Kim Bian Hud', yang berbuat itu tidak akan terhindar dari bencana. Masih terbilang
beruntung, jika penyeleweng itu hanya dipatahkan sebelah tangannya atau kakinya.
Justeru semua orang yang mengikut Po Si naik ke puncak itu, sedikit maupun banyak, telah
berbuat dosa. Karena semua itu, mereka menganggap 'Kim Bian Hud' sebagai malaikat elmaut
saja dan hati mereka berdebar-debar keras.
Sebaliknya, Po Si bersenyum demi mendengar cerita pelayan itu.
"Majikanmu berhati-hatinya agak berlebih-lebihan saja. Berapa lihaynya "Soat San Hui Ho"
(Rase Terbang di Gunung Salju) itu, sehingga ia menganggap perlu minta bantuan seorang jago
yang tiada bandingannya?"
"Memang sebenarnya, dengan adanya Taysu membantu kami, kami sudah pasti berada di fihak
yang lebih unggul, tetapi mengingat betapa lihaynya dan cerdiknya si Rase Terbang itu, menurut
majikan tiada jeleknya, jika kita tambah seorang pembantu lagi," jawab si pegawai.
Setelah ini ia menghantarkan tamu-tamu itu ke sebuah gedung yang besar dan di kiri-kanannya
terdapat paviljun terdiri dari lima kamar berderet-deret. Genteng maupun seluruh halaman rumah
itu, tertutup salju, memberikan pemandangan yang khas.
Mereka semua dibawanya ke sebuah ruangan duduk yang luas (thia), yang dihiasi sepasang tui
lian (syair berpasangan) ukiran di atas papan. Arti tui lian itu lebih-kurang sebagai berikut,
Bila menghadapi bahaya maut, berjuang dengan pedang yang panjangnya tiga kaki.
Ribuan tahil emas didatangkan dengan hanya sekali membentak.
Nada maupun gaya tulisan syair itu dengan jelas sekali membawakan sifat-sifat gagah seorang
pendekar. Di muka syair tersebut, dengan huruf-huruf yang lebih kecil, telah diukirkan juga katakata,
"Untuk mengabadikan Sat Kauw Jin Heng". Di belakang kata terakhir syair tersebut terdapat
huruf-huruf, "Corat-coret Ta Pian Thian Hee Bu Tek Ciu 'Kim Bian Hud'" di waktu mabuk.
Semua huruf-huruf itu diukirkan dengan tandas dan agak kasar, terang sekali dikerjakan
dengan sebilah pedang atau golok.
Seluruh rombongan tamu-tamu itu sangat tercengang membaca sepasang syair itu. Mereka tak
mengerti, mengapa tuan rumah itu disebut "Sat Kauw Jin Heng" (Saudara yang Berbudi, si Jagal
Anjing) dan mengapa 'Kim Bian Hud' berani berlaku begitu kurang ajar.
Dengan masih tetap diliputi keheranan tamu-tamu itu kemudian disilakan duduk dan minum teh
dengan dilayani kedua pegawai tadi.
Agaknya Po Si Taysu kurang senang terhadap tulisan 'Kim Bian Hud' itu dan sesaat kemudian ia
berkata, "Tui Lian itu memang sesuai dengan kedudukan majikanmu, tetapi dengan embel-embel
tambahan gelarnya itu, 'Kim Bian Hud' agaknya terlalu temberang dan hendak menonjolkan diri di
atas tuan rumah."
"Taysu keliru, majikanku sangat menghormati dan mengagumi 'Kim Bian Hud' dan ia justeru
merasa sayang, bahwa karena sempitnya papan itu, tak dapat ditambahkan lagi empat huruf,
"Sedari dulu sehingga sekarang" di atas gelar 'Kim Bian Hud' itu."
Mendengar penjelasan pegawai berleher panjang ini, agaknya Po Si Taysu bahkan semakin
penasaran dan dengan nada mengejek ia berkata, "Jadi kalau lengkap seharusnya, 'Sedari dulu
sehingga sekarang menjelayah seluruh dunia tanpa menemukan tandingan'. Di negeri sang
Buddha (India) kebetulan terdapat seorang iblis dari agama liar yang menyebutkan dirinya, 'Di
atas langit maupun di bumi, akulah rajanya'. Ia dan 'Kim Bian Hud' benar-benar merupakan
pasangan yang setimpal."
Ucapan Po Si yang mengandung sindiran ini sangat menggelikan Co Hun Ki yang lantas saja
tertawa terbahak-bahak. Melihat kelakuannya, ini, kawan si leher panjang menjadi kurang senang.
Dengan mata melotot ia memandang Co Hun Ki. "Harap tuan tamu ini suka berlaku lebih sopan
sedikit!" katanya dengan suara gusar.
'Apa?" tanya Hun Ki yang menjadi bingung karena teguran itu.
"Mungkin tuan sendiri yang akan rugi, jika 'Kim Bian Hud mengetahui, bahwa tuan telah
mentertawakan dirinya," kata kawan si leher panjang lagi.
Kata-kata ini bukannya membikin Hun Ki takut dan mundur teratur, sebaliknya ia bahkan
menjadi semakin kepala batu.
"Ilmu silat belum pernah ada batasnya, di luar langit masih ada langit, orang pandai masih ada
yang lebih pandai lagi. Meski bagaimana 'Kim Bian Hud' juga hanya seorang manusia yang jadinya
dan darah dan daging, maka biarpun ia masih sepuluh kali lebih pandai lagi, tak dapat ia disebut
tiada tandingannya," bantahnya
Si pegawai masih tetap pada pendiriannya, katanya, "Mungkin aku yang rendah dan
berpengetahuan sempit memang keliru, tetapi jika majikanku mengatakan demikian tentunya
sudah tidak salah lagi."
Walaupun kata-katanya selalu merendah dan menghormat, tetapi dari sikapnya sudah ternyata
bahwa ia tidak menghormati Hun Ki. Tentu saja pemuda yang aseran ini menjadi mendongkol dan
di dalam hatinya ia berkata, "Jelek-jelek aku juga seorang Ketua partai yang kenamaan, tak
mungkin aku manda dikurangajari seorang hamba yang rendah."
Dalam penasarannya ia berkata pula, "Kalau begitu, di dunia ini, kecuali 'Kim Bian Hud',
majikanmu sudah tiada tandingannya juga."
"Mana berani kami mengatakan demikian," jawab si pegawai sambil menepuk sandaran kursi
Hun Ki dengan perlahan.
Meski tepukan itu perlahan, Hun Ki merasakan kursinya tergoncang dan seketika itu tubuhnya
terpental ke atas. Pada saat itu Hun Ki justeru sedang memegang secangkir air teh, karena
terpentalnya cangkir itu jadi terlepas. Agaknya cangkir itu akan segera jatuh hancur di lantai,
tetapi dengan gerakan secepat kilat, pegawai itu masih keburu menangkapnya disaat cangkir
tersebut hampir menyentuh lantai. Berbareng dengan gerakannya ini, mulutnya mengeluarkan
kata-kata, "Harap tuan tamu berhati-hati."
Karena malu dan gusarnya, muka Hun Ki segera berubah menjadi merah padam dan tanpa
memperdulikan sindiran pegawai itu ia berpaling ke jurusan lain, sedang si pegawai dengan
tenang meletakkan cangkir itu di atas meja.
Po Si Taysu bersikap seakan-akan ia tidak melihat apa yang telah terjadi di depan matanya
itu. Ia melanjutkan percakapannya dengan si leher panjang dan bertanya, "Kecuali tiga saudara
seperguruannya, 'Kim Bian Hud' dan loolap, majikanmu minta bantuan siapa lagi?"
"Sebelum berangkat, majikan telah berpesan, bahwa Hian Bengcu dari Ceng Cong Pay, Leng
Ceng Ki Su dari Kun Lun San dan Chio lookunsu dari Hoo Lam Thay Kek Bun akan datang dalam
berapa hari ini dan kami di sini harus menyambut mereka dengan baik. Sekarang ternyata bahwa
Taysu telah datang paling dahulu, yang menandakan betapa besar setia-kawan Taysu. Majikan
pasti akan sangat berterima-kasih karenanya"
Po Si agak kecewa mendengar penjelasan si leher panjang ini. Tadinya ia mengira, bahwa
dengan kedatangannya, segala urusan " betapa sulit juga " akan dapat diselesaikan. Sama sekali
ia tidak menduga, bahwa tuan rumah akan mengundang juga sekian banyak tokoh-tokoh
kenamaan, yang " meskipun tidak semuanya telah bertemu dengan ia " nama-namanya telah
dikenalnya semua. Agaknya tuan rumah itu kurang percaya akan kesanggupannya, ditambah pula
dengan kenyataan, bahwa kedatangannya tidak disambut sendiri oleh si tuan rumah atau salah
seorang saudara seperguruannya. Karena tidak ada yang ditinggalkan untuk menyambut, maka di
dalam hatinya ia mengatakan, bahwa, jika tahu akan begini jadinya, ia lebih baik tidak datang
saja. Jauh-jauh ia sudah memerlukan datang untuk membantu, tidak tahunya ia kini harus
mengalami perlakuan yang kurang hormat ini.
'"Kim Bian Hud' bersahabat rapat dengan majikanmu. Untuk mengundangnya, sudah cukup jika
ia pergi sendiri saja, mengapa Ma dan Li dua saudara seperguruannya harus ikut juga?" tanyanya
Senyuman Dewa Pedang 4 Duri Bunga Ju Karya Gu Long Pendekar Pengejar Nyawa 23
"Soat-san Hui-hauw
(Kisah si Rase Terbang)
Karya : Chin Yung Saduran : OKT
CATATAN PENTING :
Ini adalah versi asli memang berakhir dengan open ending (menggantung)
Ada buku KISAH SI RASE TERBANG versi bajakan kisahnya lebih panjang tetapi tidak
nyambung karena ditempel kisah masa lalu Ouw Hui dan bukan lanjutan dari Soat San Hui Ho
KATA PENGANTAR Ketika diminta untuk memberikan Kata Pengantar untuk buku ini, terus terang, saya merasa
sebenarnya belum layak. Mengingat buku ini merupakan salah satu novel yang terbaik untuk
jenisnya dan dapat dikatakan merupakan buah karya dua Maestro yang sudah diakui pada
bidangnya masing-masing.
Novel ini sendiri, menurut saya merupakan salah satu yang terunik dan terbaik dari Louis Cha,
atau yang lebih dikenal sebagai Jinyong (Chin Yung), salah satu novelis dalam bahasa Mandarin
yang paling berpengaruh. Dengan sederhana dan unik, dari hanya satu lokasi cerita utama,
mengalirlah berbagai kilas balik kejadian (flash back) yang dramatis. Kita menjadi terbius dan
sakaw (baca: ketagihan) oleh berbagai keterkejutan dan ketegangan yang membawa kita pada
suatu akhir yang luar biasa. Semuanya begitu apik dan harmonis, menunjukkan kejeniusan
Jinyong dalam mengelola konflik dan tempo dalam cerita yang padat ini dan sangat kaya dengan
berbagai karakter manusia. Akhirnya secara misterius, tanpa menggurui, cerita ini telah membawa
saya dalam suatu perjalanan spiritual.
Semua di atas hanya dimungkinkan oleh jerih-payah Uy Kim Tiang, atau yang lebih terkenal
dengan singkatan O. K. T. - penerjemah novel khususnya genre silat paling besar dan produktif.
Melalui bahasanya yang efektif, efisin dan luwes, beliau, telah membuat edisi Indonesia novel ini
menjadi sesuatu yang lain dan begitu komunikatif dengan pembacanya. Beliau dengan begitu
tekun dan teliti melakukan riset dan memberikan keterangan, sehingga kita bisa menikmati bagian
terkecil novel ini sekalipun. Karenanya kita bisa menikmati puisi-puisi maupun konteks kebudayaan
(Tionghoa) pada novel ini. Saya rasa belum pernah ada penerjemah yang se-intens beliau sampai
saat ini. Pada akhirnya saya sangat menyambut baik penerbitan kembali novel ini. Sebagai penikmat
bacaan khususnya novel genre silat, saya mengharapkan buku ini dapat menjadi alternatif bacaan
khususnya novel silat yang bermutu. Bagi Anda yang sedang memegang buku ini dan berpikir-pikir
untuk mencobanya, saya jamin Anda akan mendapatkan sesuatu sensasi yang berbeda. "Tak
Kenal maka Tak Sayang"
Salam, Danny Njoman Bekerja di bidang Komunikasi Data Anggota Masyarakat Cersil (MCersil) Penikmat bacaan
khususnya novel (sastra) silat
0oo0oo0 Musim dingin belum menyingkir dari daerah utara Gunung Tiang Pek San masih mengenakan
mantel salju yang putih bersih. Saat itu fajar mulai menyingsing dan timbunan salju memantulkan
kembali cahaya matahari dalam beribu-ribu warna, seakan-akan beribu-ribu permata tersebar di
situ. Suasana tenang-tenteram, damai dan suci seakan-akan hendak mengesankan bahwa dunia ini
sungguh indah, bila saja tidak dinodakan perbuatan manusia yang penuh angkara. Tetapi, di sini
pun tiba-tiba terdengar mendesisnya sebatang anak panah yang telah dilepaskan dari balik
gunung di sebelah timur dan melayang ke tengah angkasa.
Dari bunyi mendesisnya anak panah yang tiba-tiba memecahkan kesunyian dengan cepat lagi
nyaring itu, dapat diketahui betapa kuat tenaga orang yang melepaskannya.
Anak panah tersebut dengan sangat tepat menembusi seekor belibis yang sedang terbang
bebas. Terbawa anak panah yang menancap di lehernya, belibis itu terjungkal jatuh di atas salju.
Pada saat itu, dari jurusan barat, beberapa belas tombak dari tempat belibis itu jatuh, empat
penunggang kuda sedang mendatangi dengan cepat. Ketika mendadak terdengar mendesisnya
panah tersebut, keempat orang itu serentak menahan kuda mereka yang segera terhenti semua
Menampak betapa tepatnya belibis itu dipanah jatuh, tanpa kecuali mereka merasa kagum dan
di dalam hati mereka timbul keinginan untuk mengetahui siapakah gerangan pemanah yang
tangkas itu. Akan tetapi, setelah sekian lama menanti dan dari balik gunung itu belum juga muncul orang
yang dinantikan, mereka mendengar derap kaki kuda yang lari pesat. Ternyata orang yang
ditunggu itu sudah pergi dengan mengambil jurusannya sendiri.
Seorang di antara rombongan penunggang kuda itu bertubuh kurus-jangkung, wajahnya
mencerminkan kecerdasan, usianya sudah agak tua. Ia mengerutkan kening demi mendengar
pemanah tadi kabur. Segera ia mengeperak kudanya dan menuju ke lereng gunung di sebelah
timur, diikuti tiga kawannya
Setelah melewati suatu tikungan, mereka melihat lima penunggang kuda yang sudah agak
jauh, mungkin sudah satu li dari tempat mereka. Dari bekas-bekas kaki kuda yang jelas
ditinggalkan di permukaan salju dapat dikira-kira betapa cepat lari kuda mereka itu. Teranglah
sudah, bahwa mereka tidak mungkin dikejar lagi.
"In suheng, agak aneh juga kejadian ini," kata orang tua tadi sambil mengisyaratkan agar
kawan-kawannya menghampiri ia.
Yang dipanggil In suheng ini juga sudah agak tua, tubuhnya agak gemuk, dua belah kumis
tebal menghiasi bibirnya dan tubuhnya diselubungi mantel dari kulit tiauw (suatu jenis binatang
yang mirip dengan tikus dan kulitnya berharga mahal sekali), lagaknya sebagai saudagar kayaraya.
Setelah menyaksikan apa yang dilihat si kurus-jangkung tadi, ia menganggukkan
persetujuannya atas pendapat kawan itu. Kemudian ia membilukkan kudanya untuk segera
dilarikan kembali ke dekat bangkai belibis tadi. Ia mengayunkan cambuknya dan dengan
menerbitkan bunyi "taimil" yang nyaring, ia telah mementalkan belibis itu ke atas. Ketika kemudian
ia menyabet pula, ujung pecut itu sudah segera melilit bangkai belibis tersebut.
Dengan tangannya yang sebelah lagi ia menyambut bangkai belibis serta anak panah itu yang
segera diperiksanya
"Hai!" serunya, sebagai terperanjat.
Mendengar seruan tiba-tiba itu, ketiga kawannya segera mengeperak kuda mereka dan
menghampiri si orang she In.
"Whi suheng, coba periksa ini?" seru yang disebut "In suheng" sambil melemparkan belibis
serta anak panah itu kepada si kurus-jangkung.
Dengan mudah saja ia ini menyambuti burung yang dilemparkan kepadanya dan memeriksa
batang panah itu. Segera terdengar ia berseru juga.
"Eeeh, benar dia, lekas-lekas kita kejari" teriaknya bernapsu. Dengan tergesa-gesa ia
membilukkan kudanya dan mendahului mengejar ke jurusan depan.
Lereng gunung itu seluruhnya berlapiskan salju putih bersih, di sekeliling sudah tidak ada orang
lain lagi, maka mengikuti jejak orang yang mereka kejar itu bukannya soal sulit.
Kecuali dua orang tua tadi, dua orang yang lain masih muda dan sedang kuat-kuatnya, seorang
bertubuh tinggi-tegap dan kelihatan lebih gagah lagi duduk di atas kudanya yang juga tinggi
besar. Yang seorang lagi berbadan sedang, wajahnya putih kehijau-hijauan dan sungguh
menyolok, hidungnya bahkan merah mencorong, mungkin telah menjadi beku kedinginan.
Ketiga orang yang masih tertinggal ini bersiul sekali dan segera memacu kuda untuk menyusul
dengan cepat. Hari itu adalah tanggal 15, bulan 3, tahun ke-empat puluh lima masa pemerintahan Kaisar Kian
Liong dari dinasti Ceng. Di daerah Kanglam bunga-bunga sudah mekar meriangkan suasana
musim semi, tetapi di daerah utara di sekitar gunung Tiang Pek San yang terpencil ini, timbunan
salju justeru baru akan mulai lumer, belum ada gejala-gejala dekat tibanya musim semi.
Dalam pada itu, sang surya baru saja mengintip dari belakang gunung di sebelah timur.
Sinarnya yang kuning keemas-emasan menyorot terang, tetapi tidak membawakan hawa hangat
sedikit juga. Meski hawa di daerah pegunungan itu sangat dinginnya, tetapi karena empat penunggang kuda
tadi memiliki kepandaian yang tinggi semua, tiada seorang di antara mereka yang terganggu
karenanya dan mereka terus melarikan kuda mereka secepat terbang. Sebelum berselang
lama, dari kepala mereka sudah keluar uap dan pemuda yang bertubuh tinggi tegap itu
melepaskan mantelnya.
Ia mengenakan baju kulit dilapis dengan sutera hijau, di pinggangnya digantungkan sebatang
pedang, alisnya dikerutkan hingga hampir bersambung dan matanya berapi-api, tiada hentinya ia
memacu kudanya agar berlari lebih cepat.
Pemuda ini bernama Co Hun Ki, kalangan Kang Ouw mengenalnya sebagai "Teng Liong Kiam".
Ia adalah Ciang Bun Jin partai Thian Liong Bun cabang utara yang berkedudukan di Liau Tang.
Ciang hoat (ilmu silat tangan kosong) dan kiam hoat (ilmu silat pedang) yang merupakan dua
pelajaran utama partai Thian Liong Bun, kedua-duanya sudah cukup dalam diselaminya.
Yang bermuka putih itu adalah suteenya (adik seperguruannya), namanya Ciu Hun Jang dan ia
bergelar "Hwi Liong Kiam". Dalam hal kiam hoat partainya, kepandaiannya sudah cukup
sempurna. Si orang tua tinggi-kurus adalah susiok (paman guru) mereka, yakni "Cit Seng Ciu"
Whi Su Tiong, tokoh tertua dalam partai Thian Liong Bun.
Orang tua yang berlagak sebagai saudagar kaya adalah Ketua Thian Liong Bun cabang selatan,
In Kiat namanya dengan gelar " Wi Cin Thian Lam" (Kekuasaan yang Menggoncangkan Daerah
Selatan). Kali ini, untuk memenuhi permintaan cabang utara, jauh-jauh dari tempat kedudukannya, ia
telah datang ke utara untuk bantu menghadapi musuh tangguh.
Tunggangan mereka adalah kuda pilihan semua dari daerah luar Dinding Besar. Maka sesudah
mereka mengejar hingga tujuh-delapan li, lima penunggang kuda yang sedang dikejar, sudah
mulai kelihatan. Lewat berapa saat lagi mereka sudah menyusul cukup dekat.
"Hai, sahabat berhentilah!" teriak Co Hun Ki dengan nyaring sambil melampaui kawankawannya.
Lima orang yang di depan itu tidak menggubris seruannya, mereka bahkan membedal kuda
mereka semakin kencang.
"Jika kalian tidak mau lekas berhenti, janganlah kalian kelak menyalahkan kami karena tidak
berlaku sopan!" berkumandang pula teriakan Hun Ki dengan suara garang.
Sebagai jawaban terdengarlah seorang di antara rombongan itu mengatakan sesuatu. Orang itu
mendadak menahan kudanya untuk menunggu, sedang empat kawannya tetap memacu kuda
mereka tanpa menengok sama sekali.
Seorang diri Co Hun Ki maju ke depan mendahului rombongannya, iamelihatorangitu sudah
menantikan kedatangannya dengan bidikan busur dan anak panah yang dijujukan tepat ke
dadanya. Akan tetapi, Hun Ki yang sudah tinggi kepandaiannya dan besar nyalinya, tak dapat
digentarkan sikap mengancam orang itu.
'Apakah To suheng yang berada di depan?" teriaknya menyapa.
Wajah orang itu tampan, alisnya tegak memanjang, usianya antara duapuluh tiga-duapuluh
empat tahun, pakaiannya serba ringkas.
Seruan Hun Ki yang terakhir dijawabnya dengan gelak tertawa.
"Awas, panah!" serunya sebagai peringatan.
Dengan mengeluarkan bunyi mendesis tiga kali, tiga batang anak panah susul-menyusul sudah
meluncur menuju ke tiga bagian tubuh Co Hun Ki, atas, tengah dan bawah
Co Hun Ki tidak menyangka bahwa tiga batang panah itu dapat dilepaskan beruntun secepat
itu, maka di saat itu ia terperanjat juga. Lekas-lekas ia mengayunkan cambuknya Dua batang anak
panah yang masing-masing menyerang sebelah atas dan tengah segera dapat dipukul jatuh,
menyusul mana ia menggentak kendali kudanya hingga hewan itu berjingkrak ke atas dan anak
panah ketiga itu lewat di bawah selangkangan kudanya.
Pemuda she To itu bergelak ketawa sekali lagi dan sesaat kemudian membilukkan kudanya
yang segera dikaburkan pula ke depan.
Karena kelakuan orang yang sungguh menantang itu, saking gemasnya, maka Co Hun Ki
menjadi merah padam. Ia memacu kudanya segera hendak mengudak lagi, tetapi "Cit Seng Ciu"
Whi Su Tiong sudah keburu mencegahnya.
"Sabar Hun Ki, tidak nanti ia bisa kabur ke langit, janganlah kuatir," susiok itu menasehatkan.
Sesudah itu ia turun dari kudanya dan mengangkat tiga batang panah yang berserakan di atas
salju. Tiga batang panah itu ternyata benar-benar serupa dengan panah yang menancap di leher
belibis. Karena bukti ini yang sudah tidak usah disangsikan lagi, muka In Kiat sudah segera berubah.
"Benar, memang bocah itu!" katanya dengan suara di hidung.
"Coba tunggu sumoay dulu, lihat apa yang bisa dikatakannya lagi," demikian pendapat Co Hun
Ki. Semua setuju dan mereka lantas berdiam. Tetapi setelah menunggu agak lama dan masih saja
belum terdengar sumoay itu mendatangi, Co Hun Ki menjadi habis sabar.
"Coba kutengok di mana ia!" katanya. Ia segera menjalankan kudanya berbalik kembali ke
jurusan dari mana mereka datang.
"Ia memang tak dapat disalahkan!" kata Whi Su Tiong sambil mengikuti bayangan si pemuda
dengan kedua matanya dan menghela napas.
'Apakah arti kata-katamu, Whi suheng?" tanya In Kiat yang belum mengerti.
Whi Su Tiong tidak menjawab, ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sementara itu, setelah melalui lebih-kurang satu li, Co Hun Ki melihat seekor kuda kelabu tanpa
penunggang serta tidak jauh dari hewan itu seorang gadis dengan pakaian putih seluruhnya,
setengah berlutut seakan-akan sedang mencari sesuatu di salju.
"Apakah yang kau cari, sumoay?" tanya Hun Ki.
Gadis itu tidak menjawab, hanya sesaat kemudian ia mendadak berbangkit dan tangannya
menggenggam sesuatu yang kuning-kuning berkilau menyilaukan disoroti cahaya matahari.
Co Hun Ki turun dari kudanya dan mendekati sang sumoay untuk melihat benda berkilau itu
yang ternyata adalah sebatang pit (alat tulis Tionghoa) kecil dari emas mumi. Panjangnya tidak
cukup tiga dim, tetapi ujungnya tajam sekali, pada batangnya diukirkan sebuah huruf 'An". Hun Ki
mengerutkan alisnya, mukanya segera berubah setelah melihat huruf itu.
"Dari mana kau dapat benda ini?" tanyanya.
"Setelah kalian berangkat, tidak lama lagi aku berangkat menyusul, di tempat ini mendadak aku
mendengar derap kaki kuda dari sebelah belakang, dalam sekejap saja kuda itu sudah dapat
menyusul bahkan melampaui aku. Pada saat itu penunggangnya sekonyong-konyong
mengayun tangannya menimpukkan sebatang senjata rahasia kepadaku, sehingga aku ...
aku____" Sumoay ini tidak dapat meneruskan ceritanya dan wajahnya segera menjadi merah.
Co Hun Ki menjadi agak bercuriga dan ia menatap wajah si gadis yang agaknya sedang
kemalu-maluan. Kulit gadis itu putih-bersih lagi halus dengan suatu sinar dadu yang seakan-akan
menerobos keluar dari bawah kulit wajahnya. Matanya, sebagai juga mukanya, ditujukan ke
bawah dan dalam malunya gadis itu kelihatan semakin cantik
"Tahukah kau, kita sedang mengejar siapa?" tanya Hun Ki.
"Entahlah," jawab si gadis.
"Hm, benarkah kau tidak tahu?" tanya Hun Ki dengan suara dingin.
"Mengapa aku harus tahu?" berbalik si gadis menanya.
"Karena orang itu adalah kekasihmu!" jawab Hun Ki.
"To Cu An ... ?" teriak gadis itu dengan hati cemas.
Entah bagaimana perasaan Hun Ki pada waktu itu, hanya yang nyata adalah, bahwa mukanya
seketika itu berubah seakan-akan tertutup awan.
'Aku tidak menyebut lain daripada "jantung hatimu" dan kau lantas saja menyebut nama To Cu
An" teriaknya dengan gusar.
Muka si gadis kembali menjadi merah dan matanya menjadi basah karena air-mata yang segera
juga sudah turun berketel-ketel.
"Ia ... ia ... I" ia berteriak-teriak tanpa bisa menyelesaikan kalimat yang akan diucapkan itu.
Dalam gusarnya ia tak dapat menguasai diri lagi dan membanting-banting kaki.
"Ia ... ia ... mengapa ia?" tanya Hun Ki dengan bernapsu.
"Ia adalah bakal suamiku, bukan hanya jantung hatiku!" teriak gadis ini yang tak dapat
menahan amarahnya lagi.
Co Hun Ki juga menjadi gusar kini, mendadak ia melolos pedangnya dengan sikap mengancam.
Tetapi gadis yang berada di depannya itu tidak menjadi gentar, dengan sikap menantang ia ini
bahkan melangkah maju.
"Jika berani, bunuhlah aku!" gadis itu menjerit dengan kalap. Karena kenekatan gadis itu, Hun
Ki merandek, dengan mengertak gigi ia menatap wajah si nona, sesaat kemudian perasaan
halusnya timbul dan hatinya menjadi lemah.
"Sudahlah, apa boleh buat!" ia berteriak dan senjatanya segera dijujukan ke ulu-hatinya sendiri.
Tetapi sebelum maksudnya tercapai, gadis itu dengan cepat sudah melolos pedangnya dan
menyampok pedang Hun Ki, hingga perbuatan nekat pemuda ini tidak sampai terlaksana.
"Di dalam hatimu sudah tidak ada tempat untuk diriku, guna apa kau mau menyiksa aku lebih
lama pula?" kata Hun Ki dengan sedih dan penasaran.
Tanpa menjawab, gadis itu memasukkan kembali pedangnya ke dalam selongsongnya.
"Sebagaimana kau juga tahu, ayah merangkap jodoku dengan ia, dalam hal ini apakah yang
dapat kubuat" Kenapa kau hendak juga mempersalahkan aku?" kata si gadis dengan lemah
lembut. Jawaban ini seakan-akan memberikan sedikit sinar terang kepada Hun Ki.
"Aku rela untuk mengikuti kau pergi ke mana saja asal dapat terus berdampingan dengan kau,
biarpun harus mengasingkan diri di puncak gunung yang sunyi ataupun di pulau yang jauh dari
pergaulan manusia," kata Hun Ki selanjutnya.
"suheng, aku sudah mengetahui perasaan hatimu, aku tidak tolol dan aku mengingat
semua kebaikanmu. Tetapi kau adalah Ketua Thian Liong Bun cabang utara, maka jika sampai
terjadi sebagai yang kau katakan tadi, nama partai kita akan hancur berantakan dan kita akan
kehilangan muka semua," kata si gadis sebagai jawaban.
"Meskipun harus hancur-lebur, asal untuk kau aku masih rela juga!" teriak Hun Ki yang sudah
tak dapat menguasai diri lagi. "Langit ambruk pun aku tak perduli, apalagi segala Ciang Bun Jin
...!" Sikap pemuda ini membikin si gadis bersenyum.
"Justeru sifatmu yang keras dan nekat-nekatan tanpa menghiraukan segala apa ini yang tak
kusukai," kata sang sumoay sambil menjabat tangan suhengnya dengan halus.
Ditunjukkan kelemahannya, Hun Ki tak dapat mengumbar napsunya yang berapi-api lagi, ia
hanya dapat menghela napas panjang-panjang.
Tetapi agaknya ia masih kurang puas, tanyanya, "Mengapa kau diam-diam menganggap
pemberiannya sebagai mestika saja?"
"Pemberiannya" Kapan aku berjumpa dengan ia!" bantah sumoay ini.
"Hm! Namanya jelas-jelas diukirkan di batang pit emas ini," Hun Ki menuduh, sehingga si gadis
jadi bersungut-sungut.
"Dasar kau suka menuduh secara ngawur, lebih baik jangan bicara lagi dengan aku!" si gadis
Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membalas berteriak. Ia berlari-lari menghampiri kudanya dan dengan sekali berlompat ia sudah
berada di atas pelana. Segera juga kudanya yang berwarna kelabu itu, sudah dilarikan kencang.
Buru-buru Hun Ki menyempelak kudanya dan mengejar sumoaynya, ia memacu tunggangannya
terus-menerus dan sebelum berselang lama ia sudah dapat menyusul sumoay itu, kuda siapa
segera ditahannya dengan sebelah tangan, sambil berseru, "Sumoay, dengarlah perkataanku
dulu!" Nona itu tidak menggubris dan segera juga mengangkat cambuknya, memukul tangan Hun Ki.
"Lepas! Pantaskah kelakuanmu ini jika dilihat orang!" ia membentak.
Mungkin karena pukulan pertama tadi tidak terlalu keras, maka Hun Ki belum mau melepaskan
pegangannya pada kendali kuda si nona. Ia ini menjadi gusar benar-benar dan segera mengulangi
mencambuk, tetapi kali ini dengan keras. Seketika itu suatu jalur merah keungu-unguan lantas
saja kelihatan pada tangan Hun Ki.
Tetapi, agaknya pemudi itu menyesal dan merasa kasihan, demi melihat tanda merah bekas
pukulannya tadi. Dengan suara yang berubah lunak kembali, ia mengatakan, "Mengapa kau terus
menggoda?"
"Baik, aku menerima salah. Coba pukul sekali lagi," kata si pemuda.
Dengan disertai senyum manis, gadis itu menjawab, "Tanganku sudah lelah dan tak kuat
mengangkat cambuk lagi."
"Kalau begitu, mari kuurut tanganmu yang letih itu." Sambil mengucapkan kata-kata ini, Hun Ki
sudah lantas saja hendak menarik tangan si gadis.
Di luar dugaannya, sumoay itu menyambut tangannya dengan mencambuk sekali lagi Tetapi
kali ini Hun Ki sudah berwaspada, dan dengan sedikit mengegos ia dapat menghindari pukulan
tersebut. Kemudian, dengan tertawa ia menegur, "Tanganmu sudah tidak lelah lagi?"
"Kularang kau menyentuh aku!" jawab si gadis dengan muka memberengut.
"Baiklah, sekarang coba terangkan dari siapa kau dapat pit emas itu!"
"Dari jantung hatiku, namanya jelas-jelas diukirkan pada batang pit emas ini, bukan?" Demikian
dengan tertawa si gadis mengulangi kata-kata Hun Ki tadi.
Mendengar kata-kata ini hati Hun Ki kembali dirasakan pilu, sesaat kemudian tabiatnya yang
keras aseran timbul lagi. Tetapi demi melihat si gadis tertawa, sehingga wajahnya sebagai juga
bunga sedang mekar, melihat betapa indahnya bibir si gadis yang berwarna merah mengelilingi
sebaris gigi laksana mutiara, segera juga hatinya lumer sebagai salju terkena sinar matahari yang
hangat. "suheng, sedari kecil kau merawat aku dengan penuh kecintaan melebihi saudara kandung, aku
bukan tidak berterima kasih dan sedapat mungkin aku akan membalas budimu itu, tetapi ...
sekarang ini kedudukanku serba salah. Kau selalu memperhatikan aku, selalu menyayang, tetapi
pada saat ini kita semua sedang menghadapi ujian yang maha berat, ayah telah meninggal
secara mengenaskan dan Thian Liong Bun kita menghadapi bahaya keruntuhan. Bukankah soalsoal
ini lebih penting dari pada soal-soal pribadi" Mengapa kau masih belum dapat memahami
perasaanku?"
Hun Ki termangu-mangu mendengarkan uraian sumoaynya itu, tak dapat ia membantah segala
kenyataan ini. "Yah, memang kau selalu berada di pihak yang benar dan aku selalu bersalah. Marilah kita
lekas-lekas berangkat," katanya dengan lesu.
Sumoay itu menjadi tertawa sendiri melihat sikap suheng ini.
"Jangan terburu-buru!" katanya menahan. Ia mengeluarkan sapu-tangan dan tanpa ragu-ragu
menyusut keringat yang membasahi muka Hun Ki.
"Di atas padang salju ini, jika keringatmu tidak lekas-lekas disusut, kau bisa masuk angin atau
mendapat penyakit lain yang lebih berbahaya," ujarnya.
Mendapat perlakuan ini tentu saja amarah Hun Ki menjadi buyar seakan-akan asap ketiup
angin. Dengan muka mencerminkan kegirangan ia mengangkat cambuknya dan memukul kuda si
nona dengan perlahan. Dalam suasana baik mereka mengaburkan tunggangan mereka dengan
berendeng. Nama gadis ini adalah Tian Ceng Bun, puteri Tian Kui Long, Ciang Bun Jin (Ketua) Thian Liong
Bun yang baru meninggal belum lama berselang. Oleh sebab itu ia mengenakan pakaian
berkabung. Usianya masih sangat muda, tetapi di daerah Kwan Gwa (di luar Dinding Besar)
namanya sudah agak tersohor juga Disamping berparas cantik, ia pun mempunyai otak yang
cerdik dan banyak akalnya, maka oleh orang-orang Kang Ouw ia diberi julukan "Giok Bin Ho"
(Rase dengan Paras Kumala).
Berkat lari kuda mereka yang cepat, tak lama kemudian mereka sudah tiba di tempat kawankawan
mereka sedang menunggu.
"Lama juga kau pergi, apakah kau menemukan sesuatu?" tanya Whi Su Tiong sambil melirik
keponakan muridnya ini.
Muka Hun Ki menjadi merah. Untuk seketika ia tak dapat menjawab, tetapi akhirnya keluar juga
dari mulutnya, "Tidak, aku tidak menemukan apa-apa."
Setelah ini mereka tidak berayal pula dan tanpa banyak bercakap-cakap mereka mengaburkan
masing-masing tunggangannya dengan kencang.
Beberapa li sudah mereka lalui, keadaan lereng gunung di depan mereka sudah mulai curam
dan berbahaya. Kadang-kadang kuda mereka terpeleset di atas salju yang membeku, maka
selanjutnya mereka tak berani membedal kuda mereka. Perjalanan kini dilanjutkan dengan
perlahan-lahan.
Sesudah melalui dua lereng gunung lagi, jalan bahkan menjadi semakin berbahaya. Tiba-tiba
terdengar kuda meringkik dengan nyaring di sebelah kiri mereka.
Dengan gesit dan tangkas Hun Ki meloncat dari atas pelana ke belakang sebuah pohon siong
yang besar. Dari tempat bersembunyinya ini ia mengintip ke arah suara kuda tadi. Ia melihat lima
ekor kuda ditambatkan pada berapa batang pohon di lereng bukit sebelah sana, di permukaan
salju terdapat bekas-bekas kaki manusia yang lurus menuju ke atas bukit.
"Jiwi susiok, agaknya penjahat kecil itu kini berada di atas bukit itu. Mari kita susul cepatcepat!"
kata Hun Ki dengan suara tegang.
Dari empat orang itu In Kiat adalah yang paling berhati-hati. "Mungkin mereka telah sengaja
memancing kita kemari dan mungkin juga di atas gunung ini telah diatur jebakan." Demikian
pendapatnya. "Tidak perduli sarang naga atau guha macan, hari ini kita hanya boleh mengenal maju tak
boleh mundur!" kata Hun Ki bernapsu.
Melihat sifat pemuda ini yang sangat ceroboh, In Kiat merasa kurang senang. "Whi suheng,
bagaimana menurut pikiranmu?" tanyanya kepada Whi Su Tiong.
Tetapi Whi Su Tiong sudah didahului Tian Ceng Bun yang mengatakan, 'Ada 'Wi Cin Thian Lam'
In susiok di antara kita, kita tidak usah takut kepada jebakan mereka meskipun bagaimana lihay
juga." In Kiat agaknya senang mendengar umpakan ini, ia bersenyum puas. "Melihat cara-cara
mereka yang begitu terburu-buru agaknya mereka tidak berniat menjebak kita. Tetapi ada baiknya
jika kita berhati-hati, kita naik ke atas dengan jalan memutar dan menyerang dari jurusan yang
tak mereka duga sama sekali," katanya.
Hun Ki mengatakan persetujuannya, disusul yang lain-lain. Mereka turun dan lantas menambat
kuda mereka pada pohon-pohon siong (cemara) yang banyak terdapat di situ. Setelah
meringkaskan pakaian, mereka berjalan memutar dan mendaki bukit itu dari jurusan lain. Seluruh
lereng bukit itu ditumbuhi pohon dan batu cadas yang besar-besar menonjol di sana-sini. Tetapi,
berkat ilmu mengentengkan tubuh mereka yang tinggi, segala aral itu tidak menjadikan rintangan,
bahkan merupakan alingan yang baik sekali sehingga kedatangan mereka tidak mudah diketahui
musuh. Mula-mula mereka masih merupakan iring-iringan yang tidak terputus, tetapi setelah berselang
berapa waktu, disebabkan kepandaian mereka masing-masing tidak sama, maka In Kiat dan Whi
Su Tiong sudah meninggalkan Co Hun Ki lebih setombak di belakang mereka. Tian Ceng Bun dan
Ciu Hun Jang ketinggalan lebih jauh lagi, kira-kira tiga-empat tombak di belakang suheng mereka.
"In susiok adalah Ketua cabang kita di selatan, entah bagaimana tingkat kepandaian cabang
selatan itu jika dibandingkan dengan kita dari cabang utara. Sebentar lagi dapat dilihat
kepastiannya," pikir Hun Ki sembari mengikuti kedua susioknya itu. Sesaat kemudian " seakanakan
hendak memamerkan kepandaiannya " ia mempercepat tindakannya dan sambil
mengerahkan seluruh tenaganya, ia menyerobot ke depan melewati dua-dua susiok itu.
"Bagus sekali kepandaianmu, Co sutit. Enghiong benar-benar munculnya di antara kaum
muda," puji ln Kiat.
Co Hun Ki puas, tetapi karena kuatir kesusul, ia tak berani menoleh. Jawabnya hanya, "Aku
masih mengharapkan banyak petunjuk susiok." Kata-kata ini diucapkannya tanpa memperlambat
gerakan kakinya.
Sesaat kemudian ia tidak mendengar pula tindakan kaki di belakangnya, ia menoleh dan
seketika itu ia terperanjat bukan main. Ternyata In Kiat maupun Whi Su Tiong masih tetap sangat
dekat di belakangnya, hanya terpisah kira-kira setindak dari punggungnya. Kembali ia
mengerahkan ilmu mengentengkan tubuhnya untuk mempercepat pula larinya. Dalam sekejap ia
sudah melalui berapa tombak lagi.
In Kiat bersenyum melihat kelakuan sutitnya ini. Ia terus mengikuti Hun Ki dari belakang
tanpa mempercepat atau memperlambat tindakannya. Tidak lama kemudian Hun Ki sudah agak
lelah dan larinya pun mulai lambat. Mendaki gunung memang jauh lebih berat daripada berjalan di
tanah datar dan memang kepandaian Hun Ki belum mencapai tingkat tertinggi.
Pada suatu saat sekonyong-konyong ia merasakan tengkuknya seakan-akan ditiup orang dan
ketika ia hendak menengok, pundak kanannya ditepuk seseorang.
"Hayo, anak muda, bergiatlah!" terdengar anjuran In Kiat dengan ketawa
Tentu saja Hun Ki menjadi sangat terkejut berbareng mendongkol. Dengan nekat ia
mengerahkan seluruh tenaganya dan melesat ke depan. Ia dapat meninggalkan kedua susioknya
agak jauh di belakang, tetapi napasnya kini sudah tersengal-sengal dan keringat sudah berketelketel
membasahi badannya.
Dengan lengan bajunya ia menyusut keringat di mukanya dan ia segera teringat bagaimana
Tian Ceng Bun telah melakukannya untuk ia tadi. Dengan timbulnya bayangan ini, tanpa terasa
mukanya jadi berseri-seri. Sedang ia asyik melamun, mendadak di belakangnya terdengar lagi
tindakan kaki orang. Ternyata dua susioknya sudah menyusul dekat di belakangnya pula.
Melihat lari Hun Ki yang mula-mula begitu cepat untuk tidak lama kemudian menjadi lambat
dan napasnya sudah tersengal-sengal, In Kiat mengetahui bahwa dalam hal ilmu mengentengkan
tubuh, sutitnya ini masih jauh daripada dapat menandingi ia. Hanya Whi Su Tiong yang masih
tetap berlari sejajar dengan ia, tanpa bersuara. Jika In Kiat memperlambat larinya, Whi Su Tiong
pun melambatkan gerakan kakinya dan saban kali ia berlari cepat saudara seperguruan ini juga
turut berlari cepat. Agaknya ilmu mengentengkan tubuh Whi Su Tiong adalah setara dengan ia.
In Kiat menyadari, bahwa dua orang susiok-sutit itu ingin menguji kepandaiannya, maka segera
ia mengerahkan tenaganya dan dengan ilmu mengentengkan tubuhnya "Teng Peng Touw Sui"
atau menginjak kapu-kapu menyeberang sungai, ia melesat ke depan seakan-akan kakinya tidak
menyentuh tanah lagi.
Thian Liong Bun didirikan di awal dinasti Ceng. Mula-mula hanya terdapat satu cabang, tetapi
pada masa Kaisar Khong Hi telah terjadi persengketaan antara dua orang murid tertua dari partai
tersebut, maka sebegitu lekas Ciang Bun Jin pada masa itu meninggal dunia, Thian Liong Bun
terpecah menjadi dua cabang, satu di selatan yang lain di utara.
Cabang selatan itu terkenal dalam hal kegesitan dan ketangkasan, sebaliknya cabang utara
mengutamakan kekuatan dan ketenangan. Pada hakekatnya ilmu silat kedua cabang itu tidak
berbeda, hanya penggunaannya dalam pertempuran yang agak berbeda.
Walaupun bertubuh gemuk, sesuai dengan keistimewaan cabang selatan, In Kiat dapat
mendaki bukit itu dengan kecepatan luar biasa, melebihi kegesitan kera. Sebelum berselang lama
Hun Ki sudah ketinggalan jauh di belakangnya. Tetapi, dalam pada itu, Whi Su Tiong masih tetap
mendampingi ia, seakan-akan ingin menjadi bayangannya. Berkali-kali In Kiat berusaha
meninggalkan kawan ini, tetapi senantiasa ia menampak kegagalan. Saban kali ia dapat
meninggalkan rekan ini, segera juga ia sudah disusul lagi.
Demikian, dengan berendeng, mereka telah tiba pada suatu tempat yang terpisah hanya duatiga
li dari puncak. Mendadak In Kiat berkata, "Whi suheng, mari kita berlomba mulai dari sini
sampai ke puncak, coba siapa yang akan tiba terdahulu." Meskipun kata-katanya diucapkan sambil
tertawa, sebenarnya ucapannya itu mengandung tantangan yang agak terang-terangan.
"Mana aku dapat menandingi In suheng," kata Whi Su Tiong, merendah.
"Ah, janganlah terlalu merendah," jawab In Kiat, yang sudah segera mengerahkan seluruh
tenaga dan kepandaiannya. Badannya meluncur cepat sekali ke depan laksana anak panah yang
baru terlepas dari busurnya. Belum sampai berselang lama ia sudah tinggal hanya terpisah berapa
tombak saja dari puncak bukit. Ia menoleh, dan melihat bahwa Whi Su Tiong hanya terpisah
setindak-dua tindak dari ia. Ketika ia sedang mengumpulkan tenaganya untuk menambah
kecepatannya, Whi Su Tiong sudah meloncat maju dan tiba di sampingnya.
"Kudengar suara orang di sana," kata Whi Su Tiong sambil menunjuk ke arah gerombolan
pohon di sebelah kiri.
Melihat kegesitan kawan ini, In Kiat mau ataupun tidak, harus mengakui juga keunggulan
kawannya dalam hal ilmu mengentengkan tubuh.
Sementara itu Whi Su Tiong sudah bergerak maju dengan membongkokkan badan dan
berindap-indap. Dengan hati-hati sekali ia menghampiri gerombolan pohon tersebut. In Kiat
mengikuti di belakangnya dan setiba mereka di ujung gerombolan tersebut, mereka bersembunyi
di belakang sebuah batu besar.
Dari tempat pengintaian ini mereka melihat lima orang di dalam lembah di sebelah bawah. Tiga
orang di antara mereka sedang menjaga tiga buah jalan yang menuju ke tempat mereka dengan
senjata terhunus. Agaknya mereka hendak mencegah orang lain datang ke tempat itu. Dua kawan
mereka sedang menggali tanah di bawah sebuah pohon besar, seorang memegang sekop, yang
lain menggunakan pacul. Agaknya mereka mengetahui, bahwa saban saat dapat terjadi
kedatangan musuh-musuh tangguh yang telah menguntit di sepanjang jalan. Maka kedua orang
yang menggali itu berusaha sekuat-kuatnya untuk menyelesaikan pekerjaan me-icka secepat
mungkin. Setelah mengamat-amati dengan seksama beberapa saat, In Kiat berkata, "Tidak salah,
memang bapak dan anak she To dari Eng Ma Coan, tetapi siapakah tiga kawan mereka itu?"
"Tiga ceecu dari Eng Ma Coan juga, kelima-limanya lawan keras semua," Whi Su Tiong
menerangkan. "Sungguh kebetulan, lima melawan lima," In Kiat berpendapat.
"Kau, aku dan Hun Ki memang tidak usah kuatir, tetapi Hun Jang dan Ceng Bun merupakan
kelemahan fihak kita. Lebih baik kita menyerang mereka secara mendadak sebelum mereka dapat
bersiap dan lebih dahulu membinasakan seorang-dua orang di antara mereka. Sisanya akan lebih
mudah dilayani," kata Whi Su Tiong. In Kiat mengerutkan alisnya, ia agak sungkan menurut usul
itu. Katanya, "Jika perbuatan kita ini teruar di luaran dan kalangan Kang Ouw mengetahui bahwa
kita telah membokong orang, Thian Liong Bun akan menjadi bulan-bulanan ejekan orang."
Whi Su Tiong tidak memperdulikan keberatan kawannya. Ia berpendapat lain, yang segera juga
dinyatakannya, "Dalam hal ini kita harus mengingat sakit hati Tian suheng. Kita harus membasmi
rumput sampai ke akar-akarnya, seorang jua tidak boleh dibiarkan hidup. Maka jika kita semua
menutup mulut, orang luar tidak akan mengetahui apa yang telah terjadi."
"Benarkah, mereka itu sukar dilayani secara terang-terangan?" tanya In Kiat yang masih raguragu.
Sebagai jawaban Whi Su Tiong hanya mengangguk. Sesaat kemudian baru ia membuka suara
pula, "Bertempur satu lawan satu, siauwtee tidak mungkin menang."
Mendengar pengakuan ini, In Kiat baru mau percaya. Sebagai tokoh utama dalam Thian Liong
Bun cabang utara, Whi Su Tiong biasanya agak sombong dan sungkan mengakui keunggulan
orang lain, bahkan di masa hidupnya, Tian Kui Long sendiri, menyegani suteenya ini. Hampir
dapat dipastikan, bahwa kepandaian Whi Su Tiong masih berada di atas kepandaian Gn Kiat)
sendiri, maka selanjutnya In Kiat tidak membantah lagi dan menyerahkan kepada Whi Su Tiong
untuk mengambil keputusan.
Sikapnya yang semula ragu-ragu itu, tak terluput dari perhatian Whi Su Tiong. Di dalam hatinya
Whi Su Tiong mengejek, "Hm, kau ingin menjadi enghiong, biarlah aku yang menjadi
pengecutnya." Tetapi ejekan ini hanya dikandung di dalam hatinya, mulutnya tidak mengeluarkan
sepatah kata. Sementara itu Co Hun Ki sudah tiba di tempat mereka dan tak lama lagi Ciu Hun Jang dan Tian
Ceng Bun juga telah sampai pula.
Setelah semua berkumpul, Whi Su Tiong membentangkan siasatnya "In suheng, kau, aku dan
Hun Ki terlebih dahulu menyerang dan membereskan tiga orang yang meronda itu dengan tok cui
(bor beracun), setelah itu kita bertiga maju dengan serentak mengerubuti dua orang she To "
ayah dan anak " itu. Hun Jang dan Ceng Bun baru boleh bergerak, kalau kita sudah dapat
"mengikat" kedua orang itu."
Segera juga mereka bergerak maju dengan sangat hati-hati. Mendadak Tian Ceng Bun yang
berada di belakang Whi Su Tiong berbisik, "Whi susiok, hendaknya ayah dan anak she To itu
ditangkap hidup-hidup."
Whi Su Tiong menjadi gusar sekali. Ia menoleh dan dengan melotot ia membentak dengan
suara tertahan, "Kau masih coba membela bangsat kecil To Cu An itu?"
"Kurasa ia tidak bersalah," bantah si nona.
Bantahan ini menyebabkan muka Whi Su Tiong menjadi merah-padam, kegusarannya meluap.
Ia mencabut anak panah yang diselipkan di ikat-pinggangnya untuk diangsurkan kepada Ceng
Bun. "Coba kau bandingkan sendiri, inilah yang digunakan si penjahat kecil untuk memanah belibis
tadi." Tian Ceng Bun menyambuti panah itu, seketika itu juga tangannya bergemetar. Co Hun Ki yang
sejak tadi memandang wajah si gadis " sebaliknya daripada mengincar musuh " melihat
berubahnya sikap ini. Ia merasa girang, karena ia berpendapat bahwa sebentar lagi To Cu An
sudah pasti akan kehilangan jiwanya. Tetapi di samping itu ia juga mendongkol, melihat betapa
besarnya kecintaan Ceng Bun kepada To Cu An.
Co Hun Ki memang bertabiat berangasan, maka makin lama berpikir ia menjadi semakin
jengkel, sehingga akhirnya " saking gemasnya " ia sudah mengeluarkan kata-kata menyindir.
Tetapi sebelum ia sempat membuka mulut, pundaknya sudah ditepuk oleh Whi Su Tiong. Orang
tua itu menunjuk seorang musuh yang meronda di sebelah timur.
Ketika itu Ceng Bun dan Hun Jang berdua sudah bersembunyi di belakang sebuah batu besar.
Whi Su Tiong segera mengajak In Kiat dan Hun Ki maju bersama-sama sambil menyiapkan tiga
buah tok cui di tangan masing-masing. Secara perlahan dan hati-hati sekali mereka merayap maju
menghampiri musuh, masing-masing mengincar seorang.
Bor beracun adalah senjata rahasia istimewa yang telah turun-menurun merupakan senjata
andalan Thian Liong Bun. Racun yang dipoleskan pada ujungnya bekerjanya begitu ganas,
sehingga, sesuatu korban, begitu terkena, akan segera terkancing tenggorokannya dengan akibat
napasnya akan menjadi sesak dan ia akan tewas dalam jangka waktu satu jam. Karena lihaynya
dan ganasnya, senjata rahasia ini diberi julukan "Tui Beng Tok Liong Cui" (Bor Naga Beracun
Pengejar Jiwa).
Walaupun tidak diutarakan dengan kata-kata, tetapi di dalam hatinya, Co Hun Ki mempunyai
perhitungan lain daripada pendapat susioknya. "Biarlah, akan aku mampuskan dulu To Cu An si
Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bangsat kecil, untuk membalaskan sakit hati suhu sekalian menyingkirkan duri di mataku. Jika ia
ditangkap hidup-hidup, entah gara-gara apa lagi yang akan dibuat sumoay."
Dengan keputusan ini, ia maju lebih jauh Lewat berapa waktu lagi mereka sudah berada tak
jauh dari musuh. Mereka kini mendekam bersembunyi di antara semak-semak. Tanpa berkesip
Hun Ki mengincar To Cu An yang sedang asyik sekali menggali. Dengan tak sabar ia menantikan
isyarat Whi Su Tiong untuk menyerang.
Mendadak terdengar bunyi beradunya dua benda keras yang nyaring. Ternyata cangkul To Cu
An telah membentur sesuatu yang keras di dalam tanah.
Saat itu Whi Su Tiong mengangkat tangannya, tetapi ketika ia akan memberikan isyarat untuk
menyerang, dari lain jurusan mendadak terdengar mendesirnya sekian banyak senjata rahasia
yang seakan-akan dimuntahkan bukit salju di seberang mereka dengan beruntun-runtun,
ditujukan kepada To Cu An berlima.
Ilmu silat ayah dan anak she To itu sudah sangat tinggi, maka walaupun senjata-senjata
rahasia itu dilepaskan dari jarak dekat, berkat ketangkasan mereka, semua senjata rahasia yang
mengancam itu sudah dapat disampok jatuh dengan cangkul masing-masing.
Tiga kawan mereka tidak begitu beruntung, seorang di antara mereka masih sempat
menggulingkan tubuhnya di atas salju sehingga nyaris mengalami kecelakaan akibat dua batang
panah kecil, yang sebuah menyerempet kepalanya dan sebuah lagi lewat dekat sekali di sisi
lehernya. Dua peronda yang lain mengalami nasib terlebih buruk lagi, dengan telak sekali dua
batang senjata rahasia menancap di punggung mereka dan tanpa bersuara kedua-duanya roboh
untuk tidak berkutik lagi.
Kejadian ini benar-benar sangat mendadak dan di luar dugaan, sehingga bukan saja To Cu An
dan bapaknya, tetapi juga Whi Su Tiong dan kawan-kawan menjadi sangat terperanjat.
"Kawanan tikus, berani benar kamu membokong!" terdengar cacian dari bawah. Yang mencaci
adalah ayah To Cu An, yakni "Tin Kwan Tang" (Penindas dari Sebelah Timur Tembok Besar) To
Pek Swee. Suaranya bergemuruh laksana geledek, sesuai dengan perangainya dan julukannya. Segera
setelah itu, empat orang dengan senjata terhunus dan berkilau-kilau meloncat keluar dari antara
tumpukan salju di bukit seberang itu.
Agaknya empat orang itu sudah mengetahui, bahwa bapak dan anak keluarga To itu akan
datang di tempat tersebut dan sudah menunggu mereka, sambil bersembunyi di dalam suatu
lobang yang telah mereka gali di bawah salju. Mulut lobang itu ditutup dengan batang-batang
kayu yang kemudian tertutup pula oleh salju, sehingga pekerjaan mereka itu sudah tiada bekasbekasnya
lagi. Hanya berapa lobang kecil mereka tinggalkan untuk bernapas dan mengintip
keluar. "To Si Hu Cu" sementara itu sudah meletakkan cangkul dan sekop mereka dan mencabut
senjata masing-masing. Senjata To Pek Swee adalah kang pian (cambuk baja) yang beratnya ada
enam belas kati. To Cu An menggunakan sebilah golok
Ma ceecu yang tadi telah menjatuhkan diri ke dalam tanah legok, telah berguling berapa kali
karena kuatir musuh melanjutkan serangan dengan senjata rahasia, seperti tadi. Setelah itu baru
ia melompat bangun. Senjata yang berada di tangannya adalah lian cu tui, yakni sepasang martil
yang dihubungkan satu pada yang lain dengan rantai.
Dari empat penyerang gelap itu, yang paling depan adalah seorang tinggi-kurus berkulit hitam.
Orang ini adalah Cong Piauw Thauw (Kepala Perusahaan Pengawalan) "Peng Thong Piauw Kiok" di
Pakkhia (Peking), namanya Him Goan Hian. Ia terkenal karena ilmu goloknya "Tee Tong To" dan
ia menjagoi di wilayah "Hoo Siok" (daerah di sekitar sungai Huang Ho).
Berapa tahun sebelumnya, kawanan Eng Ma Coan itu pernah merampas suatu kiriman barangbarang
berharga yang berada di bawah pengawalan piauw kiok tersebut Him Goan Hian telah
berusaha sebisa-bisanya, tetapi ia tidak berhasil meminta kembali barang-barang itu. Gara-gara
peristiwa itu mereka telah jadi bermusuh.
Orang kedua " yang berjalan di belakang Him Goan Hian " adalah seorang wanita. Usianya
kira-kira tigapuluh dua-tiga tahun. Ma ceecu juga kenal siapa dia itu, ialah "Siang To"
The Sam Nio, sepasang golok andalannya telah menyebabkan ia mendapat julukannya itu.
Mendiang suaminya adalah seorang anggauta-pegawai "Peng Thong Piauw Kiok" yang telah tewas
ketika terjadi peristiwa perampasan tersebut.
Dua orang kawan mereka yang lain adalah seorang hweeshio gemuk, bersenjatakan kai to
(golok suci paderi Buddhis) dan seorang laki-laki dengan wajah hitam keungu-unguan. Senjatanya
adalah sepasang thi koay (gaitan besi yang tajam ujungnya.)
Di antara fihak Eng Ma Coan tiada seorang yang mengenal dua orang ini. Mungkin mereka
adalah jago-jago undangan "Peng Thong Piauw Kiok" untuk membantu mereka menuntut balas.
"Kusangka siapa, tak tahunya pecundang-pecundangku dahulu. Kecuali kawanan tikus di bawah
pimpinan tikus besar she Him, memang rasanya sudah tiada lagi yang dapat melakukan perbuatan
serendah itu," bentak To Pek Swee demi melihat keluarnya empat musuh itu.
Dengan suara lemah-lembut Him Goan Hian menjawab bentakan orang tua itu, katanya, "To
ceecu, mari kuperkenalkan kau dengan Ceng Ti Hweeshio dari "Pek Hwee Si" di Shoatang dan ini
adalah suhengku Lauw Goan Ho, Lauw Tayjin, "Tay To Si Wi" (Pengawal Istana Kelas Satu) dari
kota-raja."
Bentakan To Pek Swee tadi sebenar-benarnya hanya ditujukan kepada rombongan Him Goan
Hian yang telah membokongnya tadi. Tetapi bagi In Kiat, kata-kata itu dirasakan sebagai juga
ditujukan kepada fihaknya, mukanya dirasakan panas dan ia coba melirik kepada Whi Su Tiong.
Sebaliknya kawan ini menganggap sepi saja kata-kata To Pek Swee, seakan-akan ia tidak
mendengarnya sama sekali. Matanya tetap mengawasi orang-orang yang berada di lembah
sebelah bawah itu dan yang pada saat itu sudah berhadap-hadapan.
Sebagai juga memang sedari dilahirkan sudah ditakdirkan harus bertentangan, To Pek Swee
dan Him Goan Hian berbeda dalam segala-galanya. Si orang tua bertubuh kuat-kekar dan
suaranya nyaring menggetarkan. Sebaliknya Him Goan Hian bertubuh kurus lemah sesuai dengan
suaranya yang lemah lembut.
"Bagus, majulah beramai-ramai, kita berbicara dengan senjata," suara To Pek Swee kembali
menggetarkan seluruh lembah dan sebelum lenyap kumandang suaranya, ia mengayun-ayun
cambuk bajanya yang mengeluarkan angin menderu-deru, membuktikan betapa besar tenaganya.
Meski adanya pameran kekuatan yang sungguh menantang ini, Him Goan Hian masih tetap
berlaku tenang. Dengan suara tidak meninggalkan nada lemah-lembutnya ia menjawab, "Cayhee
(aku yang rendah) adalah pecundang To ceecu, maka tak berani aku melawan ceecu lagi. Aku
hanya mengharap agar kau suka berlaku murah dan sudi menghadiahkan suatu barang
kepadaku."
'Apakah maksudmu?" teriak To Pek Swee yang menjadi agak heran, walaupun kegusarannya
tidak menjadi reda karenanya
Sebelum menjawab, Him Goan Hian lebih dulu menuding ke dalam lobang galian To Pek Swee
dan anaknya. Menyusul itu ia baru menjawab, "Itu, itulah barang yang kumaksudkan"
To Pek Swee tidak mau membuang kata-kata lagi, setelah mengerti maksud si Piauw Thauw.
Dengan cambuknya ia segera menyerang orang she Him itu.
"Tahan dulu!" teriak yang diserang ini sambil mengelakkan serangan lawan.
"Kau hendak mengatakan apa lagi!" menggelegar pula suara To Pek Swee.
"Cayhee sudah sengaja menunggu kedatangan ceecu beramai selama tiga hari di dalam guha
salju itu. Jika bukan karena memandang muka kalian, barang ini tentu telah kuambil siang-siang.
Barang ini asalnya pun pengawasan kaum Thian Liong Bun, kini " setelah ketelanjur berada di sini
" jika benda itu pindah ke lain tangan pun tidak mengapa. Harap ceecu suka memahami katakataku
ini." "Jangan mengaco, salju beku tebal-tebal menutupi pegunungan ini seluas ribuan li. Jika benarbenar
kamu sudah mengetahui di mana barang ini disimpan, mustahil sekali kamu tidak
mengangkatnya siang-siang."
The Sam Nio tidak dapat bersabar lagi, memang maksud sertanya dalam rombongan Him Goan
Hian, adalah semata-mata untuk membalas sakit hati suaminya. Sambilmenghamburkan tiga
batang hui to (golok terbang) ke arah Ma ceecu ia berseru, "Apa gunanya membuang kata-kata,
labrak saja, habis perkara!"
Dengan martilnya, Ma ceecu menyampok jatuh dua buah golok terbang Sam Nio dan dengan
rantai penghubung kedua martil itu ia menahan golok yang ketiga. Segera setelah menghalau
ketiga-tiga senjata rahasia itu, ia menyerang muka si nyonya dengan sebelah martilnya.
The Sam Nio ternyata juga cukup gesit, dengan membongkokkan badannya ia dapat
mengelakkan sambaran martil lawannya. Berbareng dengan itu dua-dua goloknya dengan gerakan
"Soan Hong Sit" (Angin Puyuh) telah melayang ke arah perut Ma ceecu, yang segera
menggerakkan sebelah martilnya lagi untuk menghalaukan serangan si nyonya.
Hweeshio gemuk itu juga tidak mau tinggal diam menonton saja. Goloknya segera melayang ke
arah kepala To Pek Swee. Jago tua ini tidak berusaha mengelakkan serangan musuh, bahkan ia
sengaja memapaki senjata lawan dengan cambuknya, untuk mengadu tenaga. Kedua senjata itu
beradu dengan menerbitkan bunyi nyaring dan si hweeshio merasakan tangannya panas tergetar,
goloknya yang telah menjadi gumpil, hampir-hampir terlepas dari genggemannya.
Saat itu To Cu An j uga sudah tidak dapat berdiri menonton saja. Ia lantas saja memilih Him
Goan Hian sebagai sasaran goloknya yang diputar kencang.
Enam orang itu, terbagi dalam tiga pasang musuh bertempur dengan sengit sekali di atas
padang salju itu. Tinggal Lauw Goan Ho yang saat itu belum mendapat lawan, maka dengan
menggenggam sepasang gaitannya ia bersiap-siap di sisi kalangan pertempuran. Tetapi sesaat
kemudian ia juga sudah tidak dapat menahan napsunya lagi. "Taysu, silakan mundur, berikanlah
aku ketika untuk berkenalan dengan Tin Kwan Tang'," serunya ketika ia melihat, bahwa si
hweeshio sudah agak kewalahan
Tetapi agaknya hweeshio itu masih penasaran, ia tidak mau mundur. Lauw Goan Ho yang
sudah melangkah maju, tiba-tiba membentur sebelah pundaknya. Karena tak menyangka, bahwa
ia akan dibentur kawan sendiri, maka ia terhuyung-huyung dan hampir-hampir jatuh celentang.
Sedang ia berusaha bertahan sebisa-bisanya, sekonyong-konyong ia merasakan sambaran angin
dingin di belakangnya. Dengan hati bercekat, buru-buru ia menundukkan kepalanya dan sebilah
golok melayang beberapa jari saja di atas kepalanya. Itulah golok To Cu An yang tidak mau
menyia-nyiakan kesempatan itu dan segera mengelu-elukannya dengan bacokan golok.
Ceng Ti Hweeshio bermandikan keringat dingin karena terkejutnya, tetapi sesaat kemudian
timbul pula kegusarannya. Setelah dapat menenangkan hatinya, ia segera membantu Him Goan
Hian mengerojok To Cu An.
Lauw Goan Ho, yang sedang terlibat dalam pertempuran dahsyat melawan To Pek Swee,
ternyata jauh lebih tinggi kepandaiannya daripada sutee-nya. Ketika pada sesuatu saat cambuk
baja To Pek Swee yang berat, datang menyambar ia tidak berkelit, hanya gaitannya
digerakkannya untuk menangkis, keras lawan keras. Terbukti betapa kuat Lauw Goan Ho ini.
Sedikitpun ia tidak berkisar dari tempatnya. Ia benar-benar dapat menandingi kekuatan si jago
tua, bahkan pada saat itu juga ia dapat menekan cambuk lawan itu dengan gaitannya yang kanan,
sedang gaitan kirinya segera meluncur ke arah kepala musuh.
Sebaliknya To Pek Swee juga bukan anak kemarin dan ia tak tinggal diam saja. Ia tahu, bahwa
hari itu ia menemukan lawan yang tidak lemah. Semangatnya dipusatkan dan seluruh tenaganya
dikerahkan untuk melayani musuh itu dengan ilmu silat cambuknya "Liok Hap Pian Hoat".
Tetapi usianya yang sudah tinggi itu bukannya tidak meninggalkan bekas. Sedang di sebelah
sana Ma ceecu sudah mulai berada di atas angin, To Pek Swee justeru sudah mulai terdesak. Ia
lebih banyak menangkis, daripada melancarkan serangan-serangan. Juga keadaan To Cu An "
yang seorang diri harus melayani dua musuh " sudah agak menguatirkan. Harapan satu-satunya
adalah agar Ma ceecu dapat cepat-cepat merobohkan The Sam Nio untuk kemudian lekas-lekas
memaksa Him Goan Hian meninggalkan Cu An dan melayani ia. Jika satu lawan satu, rasanya Cu
An tidak akan menampak kesukaran untuk menjatuhkan si hweeshio.
Sungguh malang, agaknya The Sam Nio telah mengerti, bahwa, jika ia bertahan lebih lama, "To
Si Hu Cu" pasti akan roboh binasa berturut-turut. Maka ia segera berganti siasat, pembelaan diri
sekarang diutamakannya dan sepasang goloknya diputarkan untuk melindungi tubuhnya rapatrapat,
sehingga betapa hebat juga serangan-serangan Ma ceecu, ia ini belum dapat menyentuh
apalagi melukakan The Sam Nio.
Setelah lewat beberapa puluh jurus, biar bagaimana juga The Sam Nio mulai merasakan
beratnya tekanan musuh. Berkali-kali ia harus mundur dan napasnya sudah mulai tersengalsengal.
Tentu saja Ma ceecu tidak mau memberikan ketika untuk bernapas kepadanya, ia bahkan
menyerang dengan lebih ganas pula.
Pada suatu saat ia melihat gerakan golok The Sam Nio agak terlambat dan di antara
penjagaannya terdapat suatu lowongan. Ia tak mau mengabaikan kesempatan baik ini dan dengan
girang ia segera maju menyerbu dengan sepasang martilnya untuk menyelesaikan si nyonya.
Tetapi, sungguh di luar dugaan, mendadak ia merasakan kakinya kehilangan landasan "
ternyata ia telah menginjak lobang persembunyian Him Goan Hian dan kawan-kawan yang sebelah
atasnya masih tertutup salju, sehingga seketika itu juga ia jatuh terperosok ke dalamnya.
Inilah hasil siasat The Sam Nio yang cerdik, dalam keadaannya yang terdesak ia telah sengaja
memancing Ma ceecu ke jurusan lobang tersebut dan dalam kegirangannya Ma ceecu telah
berlaku lengah dengan akibat terperosoknya ke dalam guha bikinan itu.
Di dalam lobang itu Ma ceecu mengeluh, "Celaka!" Dengan hati penasaran ia berusaha
meloncat keluar. The Sam Nio telah berjaga-jaga di tepi lobang dan ketika badan Ma ceecu
terapung, ia segera membacok. Tanpa dapat dicegah lagi, lengan Ma ceecu telah dipisahkan dari
tubuhnya. Dengan memperdengarkan jeritan yang mengerikan, ia jatuh lagi dalam keadaan
pingsan. The Sam Nio tidak berhenti sampai di situ saja, ia segera menyusul turun ke dalam
lobang dan dengan membacok sekali lagi ia menghabiskan riwayat Ma ceecu.
Demi mendengar jeritan Ma ceecu, To Cu An lantas saja mengerti betapa buruknya keadaan
bagi fihaknya pada saat itu. Tetapi, apa yang dapat dibuatnya" Dikerubuti Him Goan Hian dan
Ceng Ti, ia sudah hampir kehabisan daya.
Setelah membinasakan musuhnya, The Sam Nio mengaso sebentar sambil membereskan
rambutnya. Kemudian, setelah selesai mengikat kepalanya dengan sehelai saputangan putih ia
maju pula ke medan pertempuran untuk membantu Lauw Goan Ho mengerojok To Pek Swee. Tak
usah dikatakan lagi bagaimana buruknya keadaan kedua orang, bapak dan anak itu.
Kalau saja To Pek Swee masih duapuluh tahun lebih muda, dalam pertempuran satu lawan satu
tadi, Lauw Goan Ho sekali-kali bukan tandingannya. Di masa yang lampau jago tua itu terkenal
karena tenaganya dan daya serangannya yang benar-benar dahsyat sekali. Tetapi pada saat itu,
dalam usianya yang sudah lanjut, melawan Lauw Goan Ho seorang saja sudah dirasakannya berat
sekali. Ditambah dengan turut sertanya The Sam Nio yang saban-saban melancarkan serangan
demi ada ketikanya, keadaannya benar-benar sangat berbahaya.
Mendadak Lauw Goan Ho membentak, "Kena!" Ketika itu, dengan gerakan "Liong Siang Hong
Bu" (Naga Melingkar Burung Hong Menari), dua-dua gaitannya telah menyerang bersama-sama.
Buru-buru To Pek Swee menangkis, tetapi dalam pada itu The Sam Nio juga menyerang dari
samping. To Pek Swee tentu saja tak dapat menangkis empat batang senjata yang datangnya
berbareng itu. Karena memang sudah tidak ada jalan lain lagi, maka ia terpaksa harus melakukan suatu
tindakan yang sangat berbahaya. Sambil membentak nyaring ia mengangkat kaki kirinya dan
menendang The Sam Nio. Nyonya ini sama sekali tidak menduga bahwa orang tua ini akan
menjadi demikian nekat. Ia kurang waspada dan kini harus menjadi korban tendangan jago tua
ini. Tetapi, di lain fihak To Pek Swee juga tidak dapat menghindarkan pundak kirinya daripada
bahaya terluka lagi, luka yang agak lebar itu segera sudah mengeluarkan darah. Salju di
bawahnya sudah segera juga berwarna merah.
Ternyata orang tua ini memiliki daya tahan yang menakjubkan, walaupun sudah terluka, ia
masih dapat mengayun cambuknya dengan tangkas dan ia tidak mau mundur sama sekali.
To Cu An mengerti, bahwa fihaknya sudah tiada harapan menang lagi. Buru-buru ia menghalau
Ceng Ti dengan tiga serangan beruntun. Bersama dengan mundurnya Ceng Ti, tiba-tiba ia juga
meloncat ke belakang sambil berseru, "Baiklah, kami ayah dan anak menyerah kalah. Kamu
menghendaki jiwa atau harta kami?"
Walaupun musuh terang-terang sudah menyerah kalah, tetapi The Sam Nio masih belum mau
sudah, dengan hati penasaran ia masih menyerang To Pek Swee terus-menerus. Dalam kalapnya,
ia membalas berteriak, "Hartamu, jiwamu, dua-dua kuinginkan!"
Him Goan Hian tidak sependapat dengan nyonya ini. Ia mempunyai perhitungan lain. Tahun
yang lalu, karena hilangnya barang-barang yang dikawalnya, ia harus mengganti penuh seluruh
harga barang-barang tersebut. Peristiwa itu telah menyebabkan ia bangkrut. Maka pada saat itu ia
ingin menyuruh musuh-musuh yang sudah menyerah itu, menyerahkan seluruh harta kekayaan
mereka untuk menebus jiwa mereka.
"Baik, berhentilah dulu. Dengarlah kata-kataku!" serunya.
Lauw Goan Ho bukannya orang tolol dan The Sam Nio memang sudah biasa menurut kepada
pemimpinnya ini. Kedua orang ini segera juga menghentikan desakannya kepada To Pek Swee.
Sebaliknya Ceng Ti adalah seorang hweeshio yang beradat kasar. Ketika itu keadaan fihaknya
sedang menguntungkan. Maka, mana mungkin ia mau berhenti begitu saja" Sambil memutarmutarkan
goloknya kencang-kencang ia sudah segera menyerbu pula ke arah To Cu An.
"Ceng Ti taysu! Ceng Ti taysu!" teriak Him Goan Hian dengan gugup.
Akan tetapi Ceng Ti seakan-akan tidak mendengar seruannya itu. Melihat sikap hweeshio yang
sangat kasar ini, To Cu An akhirnya menjadi jengkel juga dan membuang senjatanya ke atas salju.
"Beranikah kau membunuh aku?" tantangnya sambil membusungkan dada.
Di waktu Cu An berteriak tadi Ceng Ti sebenarnya sudah mengangkat goloknya, tetapi setelah
melihat sikap lawannya itu, ia menjadi tertegun dan ragu-ragu, goloknya tidak jadi diturunkan.
"Keparat gundul! Anjing!" caci Cu An saking gemasnya melihat sikap si hweeshio, yang
dianggapnya sangat keterlaluan. Menyusul kata-katanya, tinjunya melayang dan telak sekali
menghajar hidung si hweeshio.
Ceng Ti sama sekali tidak menduga, bahwa ia akan diserang dengan begitu mendadak. Maka
dapat dimengerti, jika ia jadi gelagapan dan jatuh terduduk seketika itu juga. Hidungnya juga
berdarah berketel-ketel. Setelah hilang kagetnya, hawa amarahnya serentak meluap-luap lagi.
Dengan kalap ia merayap bangun dan lantas saja menerjang Cu An sambil memperdengarkan
geraman yang seram.
Akan tetapi Him Goan Hian masih keburu menarik dan menahan ia. "Sabar dulu, taysu, sabar,"
ujarnya. Ketika Him Goan Hian sedang coba menyabarkan Ceng Ti, Cu An sudah melompat ke dalam
lobang galiannya. Setelah mencangkul berapa kali lagi ia melemparkan alat ini dan mengangkat
sebuah kotak besi yang kira-kira empat kaki panjangnya. Kotak besi ini dibawanya ke atas.
Melihat kotak besi itu, wajah Lauw Goan Ho dan kawan-kawannya berseri kegirangan. Beramairamai
mereka maju berapa langkah mendekati To Cu An.
Dalam pada itu Whi Su Tiong telah memikirkan suatu siasat lain. "In suheng, kau dan Hun Ki
menghajar mereka dengan tok cui, aku akan coba merebut pusaka itu," bisiknya kepada In Kiat
dan Hun Ki. "Siapa yang harus kita serang?" tanya In Kiat dengan berbisik juga.
Sebagai jawaban, Whi Su Tiong hanya menunjuk ke-enam orang di bawah itu, dengan katakata,
jelaslah bahwa maksudnya adalah semua, enam orang itu, tanpa kecuali.
'Alangkah kejamnya," pikir In Kiat diam-diam. Tetapi kemudian ia menganggukan kepalanya
tanda kesetujuannya dan tok-cui di kedua tangannya sudah siap untuk dilepaskan. Kemudian ia
Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melirik ke arah Hun Ki. Ia melihat, bahwa pemuda ini tidak pernah mengalihkan pandangan
matanya dari To Cu An. Agaknya ia tidak memperdulikan lima orang yang lain.
"Hari ini, kami telah terjebak akal licik, pusaka idam-idaman kalangan Bulim ini, tentu saja akan
kami serahkan dengan kedua tangan, hanya masih ada suatu hal yang aku masih belum mengerti
dan mohon diterangkan," kata Cu An dengan suara lantang.
"Apa lagi yang hendak ditanyakan siauw ceecu?" tanya Him Goan Hian sambil melirik.
"Bagaimana kamu dap.it mengetahui, bahwa kotak besi ini disimpan di sini dan apakah
sebabnya kamu mengetahui, bahwa dalam berapa hari ini kami tentu akan datang menggalinya?"
"Pada upacara pengunduran diri Ketua Thian Liong Bun hari itu, banyak sekali yang datang
menghadiri perjamuannya. Sebagai menantu keluarga Tian, siauw ceecu tentu hadir juga bukan?"
kata Him Goan Hian.
Setelah To Cu An menganggukkan kepalanya ia meneruskan, "suhengku ini adalah seorang di
antara sekian banyak tamu hari itu, hanya saja siauw ceecu usianya masih muda ketika itu, dan
dengan kedudukanmu yang mulia, tentu saja kau tidak melihat kehadiran Lauw suheng."
"Mertuaku mengadakan perjamuan untuk sahabat-sahabat, tidak tahunya telah keliru
mengundang juga mata-mata musuh," jawab To Cu An dengan senyuman mengejek.
Kata-kata To Cu An yang menusuk ini tidak membuat Him Goan Hian menjadi naik darah, ia ini
bahkan masih melanjutkan pula pembicaraannya dengan suara lemah lembut. Katanya, "Sekalikali
bukan begitu. Lauw suheng telah mendengar nama siauw ceecu yang sangat tersohor, tentu
saja ia menjadi ketarik dan pada hari itu kedua mata Lauw suheng selalu mengikuti gerak-gerik
siauw ceecu. Ini semua adalah berkat nama Eng Ma Coan yang sudah tersiar ke mana-mana."
"Baik! Baik! Memang sudah sepantasnya kotak ini dipersembahkan kepada Lauw Tayjin," kata
Cu An lagi dan ia mengangkat tinggi-tinggi kotak tersebut untuk diangsurkan kepada Lauw Goan
Ho. Tanpa curiga, Lauw Goan Ho sudah hendak menerima kotak itu, ketika secara tak terduga Cu
An mendadak telah menjebelakkan tutup kotak itu. Tiga batang anak panah melesat keluar
laksana kilat dan menyamber dada Lauw Goan Ho. Agaknya, dalam jarak sedekat itu, serangan
anak panah tersebut sudah tidak dapat dilakkan lagi.
Akan tetapi Lauw Goan Ho ternyata lihay sekali, dalam keadaan terancam ini ia masih sempat
menarik Ceng Ti Hweeshio ke depannya untuk dijadikan tameng hidup. Kasihan Ceng Ti ini,
dengan mengeluarkan teriakan serak jiwanya melayang seketika itu juga. Dua daripada tiga
batang anak panah itu menancap di tenggorokannya.
Panah ketiga yang jurusannya agak ke samping sedikit lewat di samping tubuh hweeshio sial ini
dan tepat sekali mengenai pundak kiri Him Goan Hian. Anak panah itu menancap dalam
sekali"lebih separuh " ke dalam tubuhnya, dapat dimengerti, bahwa lukanya ini tidak enteng.
Kejadian ini lebih-lebih tidak terduga daripada pembokongan atas rombongan Eng Ma Coan
oleh Him Goan Hian dan kawan-kawannya tadi. Rombongan Whi Su Tiong juga tidak kurang
kagetnya, bahkan Tian Ceng Bun sampai berteriak.
Begitu mendengar teriakan itu, Lauw Goan Ho yang licik tidak menghiraukan lagi dua musuh
she To itu maupun kawan-kawannya, buru-buru ia meloncat ke belakang sebuah batu besar untuk
berlindung dan dari tempatnya ini ia menantikan perkembangan selanjutnya.
"Turun tangani" terdengar teriakan Whi Su Tiong kepada rombongannya sambil mendahului
melompat maju. Co Hun Ki segera mengayun tangannya dan tiga batang tok cui menyamber ke arah To ju An
yang memang sedari tadi telah diincarnya terus-menerus.
Mungkin sekali Tian Ceng Hun memang sudah dapat menyelami pikiran si pemuda M.ika ketika
ia ini mengayunkan tangannya, Ceng Bun telah menyenggol pundaknya. Karena ini tubuh Hun Ki
jadi tergoncang dan tiga senjata rahasianya menyeleweng arahnya, sehingga jatuh di atas salju
tanpa menemui sasarannya.
"Barang kembali kepada pemiliknya! Kembali kepada pemiliknya!" seru Whi Su Tiong berulangulang
dan dengan jarinya yang bagaikan ceker garuda ia coba mengorek kedua mata To Cu An,
sementara itu tangannya yang sebelah lagi sudah memegang tepi kotak yang diperebutkan.
Pada saat itu In Kiat juga sudah terlibat dalam pertempuran sengit dengan Lauw Goan Ho.
Mereka sudah pernah berjumpa dalam perjamuan Thian Liong Bun yang disebut-sebut Him Goan
Hian tadi. Mereka sama-sama mengetahui, bahwa lawannya adalah tokoh kenamaan dalam
kalangan Kangouw. Setelah bertempur berapa jurus mereka mengetahui bahwa nama itu bukan
hanya nama kosong dan mereka jadi saling mengagumi.
Dengan pedang terhunus Ciu Hun Jang menyambut Him Goan Hian yang sudah maju juga
menghampiri kalangan pertempuran. Tian Ceng Bun memilih lawan sejenis, yakni The Sam Nio.
Co Hun Ki yang sudah sampai juga bukannya melayani To Pek Swee yang masih menganggur,
tetapi justeru menyerang To Cu An dengan pukulan "Pek Hong Koan Jit" (Pelangi Putih Menembus
Matahari). Serangan ini adalah serangan yang sangat hebat dan ganas.
Karena ketika itu tidak memegang senjata, maka To Cu An terpaksa harus melepaskan kotak
besi itu dan meloncat ke belakang. Kemudian ia memungut goloknya dan segera hendak merebut
kembali kotak yang sudah terjatuh ke dalam tangan musuh itu.
'Anak durjana, karena temaha akan barang pusaka Thian Liong Bun, kau telah membunuh
mertuamu sendiri secara pengecut, secara membokong!" Demikian, sambil memegang kotak besi
itu, Whi Su Tiong memaki dengan sengit
Tuduhan ini tak dapat diterima To Cu An. Dengan suara yang tidak kalah sengitnya ia
membantah, "Siapa mengatakan, bahwa aku membunuh gakhu (mertua laki-laki)!" Selama itu
goloknya tidak pernah mengaso, ia merangsak terus dengan maksud supaya bisa lekas-lekas
merebut kembali kotak itu.
Dengan terjatuhnya kotak besi itu ke dalam tangan Whi Su Tiong, sebenarnya To Cu An sudah
harus mengerti, bahwa baginya sudah tidak ada pengharapan lagi untuk dapat merebutnya
kembali. Biarpun Whi Su Tiong tidak bersenjata, tetapi dengan tangan kosong juga ia sudah bukan
tandingan To Cu An. Apa lagi pada saat itu Co Hun Ki membantu susioknya dari samping dan
saban-saban melancarkan serangan bila saja ada lowongan.
Mendengar tuduhan kepada anaknya itu, To Pek Swee berteriak, "Hai, orang she Whi, Tian
cinkee (besan laki-laki) telah menyerahkan kotak ini dengan tangan sendiri kepada anakku.
Mungkinkah kau tidak menerima atau mempunyai maksud lain?"
Kata-katanya ini ditutup dengan mengayunkan cambuk bajanya ke arah kepala Whi Su Tiong
Dengan sangat mudah Whi Su Tiong dapat mengelakkan serangan ini. Ia melompat pergi dan
sampai di samping Tian Ceng Bun. Tanpa mengucapkan sepatah kata ia terus saja hendak
mengempelang kepala The Sam Nio dengan kotak besi itu.
The Sam Nio telah menyaksikan sendiri, bagaimana anak panah-anak panah tadi melesat keluar
dari dalam kotak itu. Ia takut jika kotak itu akan menyemburkan anak panah lagi, maka ia buruburu
berkelit sambil membongkokkan badan.
Di luar dugaannya, serangan itu hanyalah akal Whi Su Tiong saja, supaya Tian Ceng Bun
menjadi bebas dan dapat diserahi tugas memegang dan menjaga kotak itu. "Jaga kotak ini baikbaik,
biarlah aku yang melayani musuh," pesannya kepada si gadis. Kemudian ia menghampiri lagi
To Pek Swee untuk melanjutkan pertempuran yang tertunda tadi.
Kepandaian jago Thian Liong Bun ini ternyata masih lebih tinggi daripada yang lain-lain.
Dengan cambuknya yang berat dan dengan tenaganya yang kuat, To Pek Swee tidak dapat
berbuat banyak terhadap lawan yang bertangan kosong ini, sehingga terus-menerus ia terdesak
mundur. Juga Ciu Hun Jang sudah berada di atas angin. Karena Him Goan Hian selama ini belum
mendapat kesempatan untuk mencabut panah yang menancap di pundaknya, maka saban kali ia
menggunakan tenaga, pundaknya yang terluka ini dirasakan sakit sekali dan ia tak leluasa
melawan Hun Jang yang tidak lemah kepandaiannya.
Di antara lawan-lawan kaum Thian Liong Bun ini hanya Lauw Goan Ho saja yang masih dapat
melayani lawannya tanpa terdesak. Agaknya ia memang tandingan yang setimpal dengan In Kiat.
Sedang mereka sengit sekali bertempur, Tian Ceng Bun sudah lari ke jurusan barat laut sambil
membawa kotak besi itu.
Melihat Ceng Bun kabur, To Cu An segera menggertak Co Hun Ki dengan suatu bacokan
dahsyat dan ketika lawan ini hendak menangkis, ia menarik kembali serangannya. Sesaat
kemudian ia sudah mengejar si gadis dengan mengerahkan seantero tenaganya. Tindakan To Cu
An ini telah membangkitkan amarah Co Hun Ki. Maka pemuda ini pun segera membalikkan tubuh
dan mengubar dengan kencang.
Akan tetapi, ketika ia baru mengejar berapa langkah ia telah disambut dengan bacokan golok
oleh The Sam Nio yang telah mencegatnya. Tentu saja Hun Ki jadi sangat mendongkol, apalagi
karena melihat Cu An sudah kabur semakin jauh.
Segera ia menyerang dengan serangan-serangan yang lihay dan ganas. Meski kepandaian The
Sam Nio masih belum seberapa, tetapi ia telah meyakinkan suatu ilmu yang khusus untuk
membela diri terhadap musuh yang lebih tangguh, yakni "Tiat Bun Coan" (Palang Pintu Besi) yang
mempunyai tiga puluh enam macam gerakan.
Oleh sebab ini, maka Co Hun Ki tidak dapat mengalahkannya cepat-cepat, meskipun dengan
tipu-tipu serangan yang sangat lihay.
Dalam pada itu Ceng Bun sudah kabur lebih dari satu li, ia menengok dan melihat To Cu An
sudah tidak berapa jauh di belakangnya. Inilah memang yang diinginkannya, dan setelah melewati
sebuah bukit, ia berhenti menunggu.
"Untuk apa kau mengejar aku?" tanyanya seakan-akan kurang senang, tetapi wajahnya
mencerminkan kegirangan hatinya.
"Ceng moay, lebih baik kita bersatu melawan kawanan penjahat itu, persoalan kita sendiri,
nanti saja kita selesaikan dengan baik-baik."
"Siapakah adikmu, mengapa kau membunuh ayahku?"
Demi mendengar teguran ini, To Cu An lantas saja berlutut.
"Thian yang di atas, jika benar aku, To Cu An, telah mencelakakan Tian loocianpwee Ciang Bun
Jin Thian Liong Bun, biarlah aku kelak mati ditembusi berpuluh ribu batang anak panah dan
mayatku dicincang berantakan!" ia bersumpah sambil menunjuk ke atas.
Melihat Cu An berani mengangkat sumpah, Ceng Bun jadi tidak bersangsi lagi dan ia segera
mengulurkan tangannya.
"Baik, ternyata memang bukan kau, sudah sejak semula aku tidak percaya, bahwa kau adalah
pembunuhnya, tetapi mereka ... mereka____"
Sebelum si gadis dapat menyelesaikan ucapannya, To Cu An sudah melompat bangun dan
menggenggam tangannya sambil berkata,
"Ceng moay____"
Mendadak Cu An menghentikan perkataannya, ia melihat wajah nona itu mendadak berubah, ia
mengerti, bahwa tentu ada orang datang ke jurusan mereka. Buru-buru ia membalikkan badan
dan seketika itu ia mendengar bentakan, "Mengapa kamu berdua bersembunyi di sini?"
Bentakan itu sangat menusuk hati Ceng Bun, sehingga ia ini menjadi sangat gusar dan
membalas mendamperat,
"Bersembunyi, katamu" Benar" Mulutmu harus dicuci bersih!"
Sementara itu To Cu An juga sudah mengetahui siapa pendatang baru itu, ialah Co Hun Ki.
Lekas-lekas ia coba memberikan keterangan. "Co suheng, janganlah kau salah mengerti," katanya.
Bersabar memang bukan pembawaan Co Hun Ki. Ia, yang berkepala batu, mana mau
mendengarkan keterangan orang yang dianggapnya sebagai musuh itu. Dengan mata melotot ia
membentak pula, "Salah mengerti apa!" Bersama dengan diucapkannya perkataan ini ia
melancarkan serangan, sehingga To Cu An juga tidak dapat berbuat lain daripada segera
mengangkat goloknya untuk menangkis pedang saingannya.
Baru berapa jurus mereka bertempur, ketika mendadak " di antara gemerincing senjata
beradu " terdengar tindakan kaki dan sesaat kemudian kelihatan The Sam Nio berlari secepat
angin menghampiri mereka.
"Perempuan bangsat, anjing, keparat, kau selalu hendak merintangi saja!" terdengar serentetan
caci Hun Ki yang sudah tak dapat menguasai napsunya lagi. Ia benar-benar sebal melihat
perempuan itu yang selalu membuntuti dan menghalang-halangi segala gerak-geriknya. Tanpa
membuang-buang tempo lagi, ia menyerang si nyonya. The Sam Nio tidak tinggal berpeluk
tangan, ia menangkis dan goloknya yang sebelah lagi segera membalas serangan lawan.
Pada saat itu, dari jurusan lain golok To Cu An juga sudah melayang ke arahnya dengan gerak
tipu "Ciu Liang Hoan Cu".
Meskipun ia kini harus melawan dua musuh, Hun Ki tidak menjadi gentar karenanya, bahkan ia
menganggap ini sebagai ketika yang baik sekali untuk mempamerkan ketangkasannya di hadapan
gadis pujaannya, maka ia mengerahkan seluruh kepandaiannya dan bertempur dengan matimatian
Ketangkasannya menimbulkan kekaguman di hati To Cu An. "Kiam hoat bagus!" pujinya.
Tetapi pada saat yang sama juga ia menyerang selangkang Co Hun Ki dengan gerakan "Siang Po
Liauw Im" sambil setengah berjongkok.
Menurut dugaan The Sam Nio, Co Hun Ki tentu akan mengangkat senjatanya ke atas untuk
menangkis dan penjagaannya di sebelah bawah akan terluang. Sungkan menyia-nyiakan ketika
yang baik ini, ia segera membacok dengan kedua-dua goloknya. Tak pernah ia menyangka, bahwa
To Cu An akan berganti siasat secara tiba-tiba sekali. Dengan gerak tipu "Twe Po Cam Ma To" dan
gerakan pergelangan tangan, goloknya bukan mengenai Co Hun Ki, tetapi sebaliknya melukakan
paha The Sam Nio. "Roboh!" bentak Cu An berbareng dengan itu.
Sungguh keji tipu ini dan benar-benar di luar dugaan datangnya serangan ini, sehingga seorang
ahli yang berkepandaian jauh lebih tinggi daripada The Sam Nio, juga tak akan dapat
mengelakkan serangan Cu An ini. Maka dapat dimengerti jika The Sam Nio roboh seketika itu juga.
Belum puas dengan hasil ini, To Cu An masih memburu maju lagi dan sudah akan menabas leher
nyonya celaka ini.
Tetapi pada detik yang sangat berbahaya bagi The Sam Nio itu, mendadak Co Hun Ki menyelak
dan menangkis golok Cu An.
"Kau tidak takut kehilangan muka?" tanya Hun Ki mengejek.
"Dalam pertempuran tidak ada soal tipu-menipu, dalam hal ini aku hanya ingin membantu kau!"
jawab Cu An dengan tertawa.
Sebelum Hun Ki dapat menjawab pula, Lauw Goan Ho, In Kiat, To Pek Swee, Whi Su Tiong dan
yang lain-lain telah datang semua.
Agaknya mereka semua mempunyai pikiran yang sama. Setelah melihat Tian Ceng Bun kabur
sambil menggondol kotak besi itu, mereka serentak kehilangan napsu bertempur dan segera
menyusul beramai-ramai.
'Ayah, Thian Liong Bun adalah sahabat kita, janganlah bertempur lagi dengan Whi susiok!"
teriak To Cu An kepada ayahnya.
Sebelum To Pek Swee menjawab seruan anaknya itu, Co Hun Ki sudah keburu menyelak dan
mengatakan, "Kau telah mencelakakan suhu, tak sudi aku menjadi sahabatmu!" Tanpa menunggu
kata-katanya habis diucapkan, ia sudah melancarkan lagi serangan-serangan bertubi-tubi.
To Cu An belum berjaga-jaga dan ia dibuat kelabakan karenanya. Dua serangan yang pertama
telah ditangkisnya, tetapi serangan yang ketiga hampir-hampir tak dapat dihindarkannya. Meski ia
buru-buru mengegos ke kiri, pedang lawan itu masih juga lewat dekat sekali di sisi kanan
kepalanya. Sedetik saja terlambat, kepalanya tentu akan tertembus dan otaknya berarakan.
Walaupun ia sudah terluput dari bahaya, tetapi saking terkejutnya ia jadi bermandikan keringat
dingin dan mukanya menjadi pucat
Ketika ia hendak membuka suara, mendadak Tian Ceng Bun berteriak, 'Ai!" Bersama dengan
terdengarnya teriakan Ceng Bun ini, Cu An melihat sebuah senjata rahasia lewat di samping
kepalanya dan sesaat kemudian ia merasakan punggungnya terkena senjata tajam.
Ternyata semua ini adalah gara-gara The Sam Nio. Setelah ia roboh dengan menderita luka,
diam-diam ia menunggu kesempatan untuk membalas pembokongan itu. Maka pada saat Cu An
mundur dengan gugup karena serangan Hun Ki yang tak diduganya, The Sam Nio telah segera
menggunakan kesempatan ini dengan baik. Ia meloncat maju sambil membacok kepala si
pemuda. Untungnya Tian Ceng Bun, yang senantiasa memperhatikan gerak-gerik Cu An, telah melihat
datangnya serangan nyonya itu. Dengan kecepatan bagaikan kilat ia menimpukkan sebatang bor
beracunnya yang segera menancap di dada kiri The Sam Nio. Karena ini, maka daya serangan
goloknya menjadi hilang, sehingga To Cu An jadi terhindar dari bahaya maut.
"Perempuan hina yang busuk!" teriak To Cu An dengan kalap sambil memutarkan tubuh.
Setelah mana sebilah goloknya di timpukkan ke arah dada atau leher pembokongnya barusan.
Karena dekatnya jarak antara kedua orang itu, agaknya The Sam Nio sudah tidak akan dapat
terhindar lagi dari kebinasaan tanpa ada seorang yang dapat menolongnya. Tetapi pada saat
semua orang sedang menantikan terpanteknya tubuh nyonya itu dengan golok di atas salju,
dengan mata membelalak kesima, mendadak terdengar bunyi seakan-akan siulan panjang dan
sesaat kemudian sebutir senjata rahasia yang sangat kecil telah membentur golok Cu An dengan
menerbitkan bunyi nyaring. Benturan ini menyebabkan golok itu berubah arah dan menancap di
salju dekat pada badan The Sam Nio.
Demi melihat betapa tepatnya senjata rahasia itu mengenai golok pembawa maut itu, meskipun
agaknya telah dilepaskan dari tempat yang agak jauh, semua orang tanpa kecuali menjadi terkejut
serta kagum. Tahulah mereka, bahwa kepandaian orang yang melepaskannya sudah sukar diukur
lagi. Serentak mereka menengok ke jurusan, darimana datangnya senjata rahasia itu. Mereka
melihat seorang hweeshio yang kumis maupun jenggotnya sudah putih semua, mendatangi
dengan perlahan sambil menenteng tasbih dan berulang-ulang bersabda, "Siancay, siancay."
Setibanya di tempat itu, si hweeshio lantas saja berjongkok memungut sesuatu yang langsung
dirangkaikan pada tasbihnya. Ternyata, senjata rahasia tadi adalah sebutir biji tasbih.
Serenceng biji-biji tasbih itu agaknya dibuat dari kayu atau bambu. Bahwa barang itu bukan
barang berat, sudah ternyata karena angin pagi yang tidak kencang itu dapat menyebabkannya
terayun. Maka dapat dibayangkan betapa kuat tenaga jari hweeshio itu yang sudah dapat
menyentil sebutir biji tasbih kecil dari jarak berapa puluh tombak untuk membentur golok baja
yang berat sehingga terpental.
Sesaat kemudian, dari tercengang, semua orang-orang itu menjadi gentar dan sudah segera
berhenti bertempur. Tanpa mengedipkan mata mereka semua mengawasi si hweeshio tua. Ia ini
telah menghampiri The Sam Nio untuk diangkat bangun dan setelah mana ia mencabut bor
beracun yang menancap di dada nyonya itu. Seketika itu, dari luka si nyonya, mengalir darah
kehitam-hitaman dan rasa sakit yang sangat hebat nyonya ini menyebabkan segera jatuh pingsan.
Dari sakunya, si hweeshio segera mengeluarkan sebutir pil berwarna merah, yang lantas
dimasukkan ke dalam mulut The Sam Nio. Kemudian ia menatap wajah semua orang yang berada
di sekitarnya dan berkata, "Obat ini hanya dapat menghilangkan rasa sakit Tok Liong Cui adalah
senjata rahasia istimewa dari Thian Liong Bun, maka loolap (sebutan diri seorang hweeshio) tak
berdaya terhadapnya." Kemudian, sambil menatap wajah Whi Su Tiong, ia melanjutkan, "Tuan
adalah tokoh utama Thian Liong Bun. Melihat muka hweeshio, atau kalau tidak, melihat muka
sang Buddha, harap Tuan suka berlaku murah hati." Ucapannya ini ditutup dengan mengangkat
tangannya, memberi hormat kepada orang she Whi itu.
Whi Su Tiong dan The Sam Nio belum saling mengenal, di antara mereka juga tidak ada
ganjelan atau dendaman sakit hati, lagi pula yang meminta adalah si hweeshio tua yang
kepandaiannya telah disaksikannya sendiri. Jika ia tidak bersedia memberikan obatnya,
perkembangan selanjutnya mungkin sekali akan tidak menguntungkan dirinya. Ia berpengalaman
luas dan dapat melihat gelagat, maka seketika hweeshio itu memberi hormat ia juga tidak berayal
Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pula membalasnya.
"Jika taysu yang memerintahkan, tentu saja aku menurut," katanya. Ia segera merogoh
sakunya dan mengeluarkan dua botol kecil. Dari salah sebuah botol itu, ia lalu mengeluarkan
sepuluh butir pil berwarna hitam, yang lantas saja dimasukkan ke dalam mulut The Sam Nio. Botol
yang lain diangsurkannya kepada Tian Ceng Bun sambil berkata, "Oleskan obat ini pada lukanya."
Tian Ceng Bun menurut, kotak besi itu diserahkannya kepada susioknya dan ia menerima botol
itu untuk kemudian dibubuhkan pada luka The Sam Nio.
"Syukur, syukur, sicu (tuan yang berbudi) berbelas kasihan," katanya sambil memberi hormat
sekali lagi. Kemudian ia bertanya, "Sebab apakah Tuan-Tuan saling melabrak di sini" Sebenarnya
tidak ada soal yang tidak dapat diselesaikan dengan jalan damai, maka loolap memberanikan diri
untuk memberikan jasa baik dan mendamaikan Tuan-Tuan."
Mendengar kata-kata si hweeshio ini semua orang jadi saling memandang. Sebagian dari antara
mereka tetap berlaku tenang, tetapi sebagian pula " terutama Co Hun Ki " sudah segera
menunjukkan kegusaran.
"Bangsat kecil ini telah membunuh guruku dan mencuri pusaka partai kami, taysu, coba
pikirkan pantas tidaknya, jika ia diharuskan mengganti dengan jiwanya?" teriak Hun Ki sambil
menuding To Cu An. Selama berbicara ia mengayun-ayunkan pedangnya, sehingga senjata ini
menggetar. "Siapakah gurumu?" tanya si hweeshio.
"Mendiang guruku she Tian dan di masa hidupnya ia menjadi Ketua partai kami cabang utara."
"Ah! Kui Long telah mangkat" Sayang, sungguh sayang!" seru hweeshio tua itu terperanjat
Agaknya ia mengenal Tian Kui Long, bahkan ia seakan-akan menganggap dirinya dari tingkatan
lebih tua. Ketika Tian Ceng Bun, yang baru saja selesai mengobati luka The Sam Nio, mendengar ucapan
si hweeshio, ia segera tampil ke muka sambil menjura dan menangis terisak-isak.
'Aku mohon pertolongan Taysu untuk mencarikan pembunuhnya dan membalaskan sakit hati
ayahku," katanya dengan sedih.
Sebelum hweeshio itu dapat menjawab, Co Hun Ki sudah berteriak, "Pembunuh yang mana
lagi" Dengan adanya bukti-bukti yang cukup ini, bukankah sudah ternyata, bahwa bangsat kecil ini
benar-benar pembunuhnya?"
To Cu An menjawab tuduhan ini dengan hanya tertawa dingin. Tetapi, sebaliknya To Pek Swee
tak dapat bersabar pula. Dengan hati mendidih ia membentak, "Berpuluh-puluh tahun aku
bersahabat rapat sekali dengan Tian cinkee, dan antara kami ada hubungan keluarga, mengapa
kami harus mencelakakan beliau!"
"Mengapa" Tentu saja untuk mencuri pusaka kami!" bentak Hun Ki lagi.
Tuduhan berat yang terus-menerus dilontarkan Hun Ki ini makin membangkitkan amarah To
Pek Swee. Dengan dada serasa mau meledak ia melompat ke arah pemuda kepala batu itu dan
terus saja menyerangnya.
Sedang Co Hun Ki hendak menangkis serangan cambuk itu, si hweeshio sudah menggerakkan
tasbihnya, yang segera melibat cambuk To Pek Swee. Gerakan cambuk itu segera terhenti dan
ketika, sesaat kemudian, si hweeshio menggerakkan tasbihnya dengan perlahan ke atas, senjata
jago Eng Ma Coan ini terpental kembali dan terlepas dari tangannya. Agaknya hweeshio itu tidak
menggunakan banyak tenaga, tetapi gerakannya itu ternyata mengandung tenaga yang dahsyat
sekali, sehingga To Pek Swee merasakan tangannya kesemutan dan kesakitan. Mau tak mau ia
harus melepaskan pegangannya sambil melompat ke samping dan cambuknya itu jatuh melesak di
salju. Tadinya semua orang itu berdiri dekat di sekitar si hweeshio, tetapi demi melihat cambuk baja
itu melayang kembali dan terlepas dari tangan pemiliknya, serta merta mereka meloncat mundur
dan mengawasi hweeshio itu dengan sikap tertegun. Pada saat itu mereka semua berpikir sama
"Tin Kwan Tang sudah lama terkenal karena tenaganya yang besar sekali, tetapi kini dengan
suatu gerakan tasbih yang perlahan, senjatanya telah dibentur terlepas oleh hweeshio ini."
Tak usah ditanyakan lagi betapa malunya To Pek Swee, mukanya menjadi merah seketika itu
juga dan tak lama pula rasa malunya berubah menjadi kegusaran yang meluap-luap.
"Bagus, hweeshio. Tak tahunya kau adalah pembantu undangan Thian Liong BunI" teriaknya
dengan suara bergetar karena marah.
Walaupun dicaci dan dituduh terang-terangan di hadapan orang banyak, si hweeshio tetap
tenang-tenang saja, bahkan senyumnya tidak pernah lenyap dari mulutnya.
"Sicu sudah berusia lanjut, mengapa masih saja berdarah panas. Tidak salah, jika sicu
mengatakan loolap datang di Tiang Pek San ini atas undangan orang, hanya, yang mengundang
bukannya Thian Liong Bun."
Mendengar ucapan si hweeshio yang terakhir ini, kedua-dua rombongan Thian Liong Bun
maupun "To Si Hu Cu" menjadi terkejut sekali.
"Pantas ia menolong The Sam Nio tadi. Agaknya dia adalah undangan fihak 'Peng Thong Piauw
Kiok', rasanya kotak pusaka itu sudah sukar dipertahankan lagi," pikir mereka
Karena itu, Whi Su Tiong jadi berjaga-jaga Ia mundur setindak dan Co Hun Ki serta In Kiat
segera meloncat ke samping kiri-kanannya untuk bantu melindungi pusaka itu.
Hweeshio itu tidak menghiraukan tindakan mereka, ia seakan-akan tidak melihat apa-apa.
"Di sini tidak ada kayu untuk menyalakan api, juga tidak ada makanan dan minuman, ditambah
lagi dengan hawa dingin yang menusuk ini. Yang mengundang loolap, tempat tinggalnya tidak
jauh dari sini. Tuan-tuan sekalian adalah sahabat-sahabat loolap, maka lebih baik kita bersamasama
menuju tempatnya untuk mengaso. Tuan rumah pasti akan menerima kita dengan segala
senang hati. Bagaimana pendapat Tuan-Tuan?" kata-katanya ini diakhiri dengan tertawa terbahakbahak,
sebagai juga ia tidak memikirkan lagi pertempuran sengit antara orang-orang itu tadi.
Karena ini maka kekuatiran orang-orang itu menjadi reda Mereka melihat, bahwa roman
hweeshio itu mencerminkan welas-asih dan sikap maupun lagu suaranya ramah-tamah selalu.
"Cianpwee siapakah tuan rumah, yang Taysu sebutkan tadi?" tanya In Kiat.
"Tuan rumah itu tidak mengijinkan loolap menyebutkan namanya, harap sicu sudi memaafkan.
Loolap memang biasa suka mengundang tamu. Siapa saja yang telah diundang, tetapi tidak mau
hadir, loolap menganggapnya sebagai sengaja tidak mau memberikan muka."
Di antara sekian orang itu, agaknya Lauw Goan Ho mempunyai pendapat lain. Ia melihat
tingkah-laku hweeshio tua itu agak aneh dan hatinya lantas saja menjadi sangsi.
"Maaf Taysu, heekoan (pegawai negeri yang rendah) mohon diri," katanya Setelah memberi
hormat ia membalikkan tubuh dan segera hendak berlalu.
"Sungguh beruntung, di tempat pegunungan yang sangat sepi ini masih juga aku dapat
berjumpa dengan pembesar negeri, benar-benar beruntung," kata hweeshio itu dengan tertawa.
Ia menunggu sampai Lauw Goan Ho sudah berlari berapa lama Kemudian sekonyong-konyong
ia meloncat, mengejar si pembesar.
Jubah pertapaannya yang berwarna kelabu, melambai-lambai di atas salju yang putih itu.
Larinya kelihatan tidak berapa cepat, walaupun demikian dalam sekejap saja ia sudah dapat
mendahului Lauw Goan Ho.
"Loolap mengharap agar Tayjin suka memberi muka," katanya dengan tertawa setelah
berhadapan muka dengan Lauw Goan Ho ini. Tanpa menunggu jawaban lagi ia mengulurkan
tangannya dan memegang tangan kanan Lauw Goan Ho.
Jago pembesar ini merasakan separoh tubuhnya mendadak linu dan tidak bertenaga karena
telah kena dipencet urat nadinya. Seumur hidupnya baru pertama kali ini ia mengalami kejadian
serupa itu. Dalam gugupnya, tanpa berpikir lagi, ia segera mengayun tinju kirinya, menjotos muka si
hweeshio. Sungguh tidak diduganya, bahwa dengan serangannya ini, ia seakan-akan mencari penyakit
sendiri. Tadi hweeshio itu memegang tangan Lauw Goan Ho dengan jempol dan telunjuknya.
Melihat datangnya serangan, ia segera menggerakkan tangannya itu ke atas berikut tangan
Lauw Goan Ho. Dengan tiga jarinya yang lain ia menyambut tangan Lauw Goan Ho yang datang
menyerang itu untuk terus dijepit juga.
Dua-dua tangan Lauw Goan Ho sudah terjepit di dalam genggamannya kini, tangan kanannya
masih tetap memainkan rencengan tasbih itu dan dengan perlahan serta berseri-seri ia kembali ke
tempat tadi. Melihat, bagaimana Lauw Goan Ho dipermainkan dan diseret kembali, tentu saja fihak Thian
Liong Bun dan "To Si Hu Cu" menjadi girang sekali.
Tetapi di samping kegirangan itu karena kini ternyata, bahwa hweeshio itu bukan pembantu
undangan "Peng Thong Piauw Kiok", mereka juga terkejut, karena kepandaian sebagai yang
dimiliki si hweeshio belum pernah mereka saksikan sebelumnya.
Ketika itu, dengan masih tetap menyeret Lauw Goan Ho, si hweeshio sudah tiba kembali di
antara mereka. "Lauw Tayjin kini sudah menyanggupi akan memberi muka kepadaku, kurasa demikian juga
dengan kalian," katanya sembari memandang mereka semua.
Dengan peristiwa barusan ini sebagai contoh, meskipun semua orang itu bercuriga dan tak rela
turut, tak ada seorang yang berani menolak, mereka semua menginsyafi, bahwa penolakan akan
berarti kerugian bagi mereka sendiri, sebagai dengan halnya Lauw Goan Ho.
Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi dan tetap saja menyeret Lauw Goan Ho, hweeshio tua
itu sudah segera mendahului berjalan dengan perlahan-lahan.
Tetapi sesaat kemudian, setelah berjalan berapa tindak, ia menoleh dan mengatakan, "Suara
apakah itu?"
Ternyata, jika didengarkan dengan penuh perhatian, lapat-lapat dari jurusan lembah tadi,
terdengar suara bentakan-bentakan yang terputus-putus. Agaknya di sana masih berlangsung
pertempuran mati-matian.
Mendadak Whi Su Tiong teringat akan Ciu Hun Jang.
"Hun Ki lekas pergi membantu Hun Jang," katanya dengan tergesa-gesa.
"Ah, aku juga telah melupakannya," jawab Hun Ki yang lantas saja membalikkan tubuhnya dan
menuju ke tempat itu, diikuti si hweeshio yang masih tetap belum mau melepaskan Lauw Goan
Ho. Tak usah ditunggu lama-lama, ketika ternyata betapa besarnya perbedaan antara kepandaian
Lauw Goan Ho dan hweeshio itu. Walaupun pembesar jagoan ini mengerahkan Seantero
tenaganya, tak urung ia tak dapat menandingi lari si hweeshio dan ia terus-menerus harus manda
diseret. Percuma saja ia coba melepaskan pegangan hweeshio itu yang laksana belenggu baja.
Makin ia meronta genggaman si hweeshio jadi semakin keras.
Lewat lagi berapa saat, Lauw Goan Ho sudah kehabisan tenaga, sebaliknya si hweeshio
mempercepat lagi larinya Karena itu pembesar celaka ini jatuh, tetapi tangannya masih tetap
dipegang erat-erat oleh hweeshio itu. Seakan-akan sekerat balok tubuhnya kini diseret di
sepanjang jalan bersalju itu. Tentu saja Lauw Goan Ho menjadi sangat mendongkol serta malu.
Ingin sekali ia mengangkat kakinya dan menendang penyiksanya, tetapi maksudnya ini tetap
merupakan angan-angan saja. Tambah lama si hweeshio berlari semakin cepat, sehingga Lauw
Goan Ho tak dapat mewujudkan maksudnya itu.
Sementara itu semua orang itu sudah juga mengikuti jejak mereka, maka sebelum berselang
lama mereka sudah beramai-ramai tiba kembali di tempat itu. Suatu pemandangan yang
menggelikan segera terlihat mereka, di samping lobang galian To Cu An tadi kelihatan Ciu Hun
Jang dan Him Goan Hian sedang bergumul di atas salju. Senjata mereka sudah sama-sama
terlepas dan kini mereka menggunakan apa saja yang diberikannya dari alam, yakni tangan, kaki,
siku, lutut, kepala dan gigi. Pertempuran mereka ini sudah tidak ada miripnya lagi dengan
pertempuran antara ahli-ahli silat. Mereka saling menyodok, menggigit, menjambak dan
menumbuk secara sekena-kenanya saja.
Menuruti adatnya, Co Hun Ki sudah segera hendak maju dan menusukkan pedangnya ke dalam
tubuh Him Goan Hian, tetapi pada saat itu mereka masih terus berguling-guling tidak keruan.
Karena ini, Hun Ki menjadi ragu-ragu. Ia kuatir melukakan suteenya sendiri.
Sebaliknya si hweeshio tanpa ragu-ragu melangkah maju dan menjamberet tengkuk Ciu Hun
Jang. Him Goan Hian yang seakan-akan melekat pada tubuh lawannya turut terangkat.
Pemandangan yang dapat dilihat sekarang benar-benar merupakan puncak kelucuan. Seorang
hweeshio tua, dengan tangan kiri masih mengikat kedua tangan Lauw Goan Ho yang masih
terduduk di atas salju di sampingnya, mengangkat tinggi-tinggi seorang lain (Ciu Hun Jang) pada
tubuh siapa melekat seorang lagi (Him Goan Hian) dan kedua orang ini saling menggigit,
menumbuk, menjambak dan saling menyodok, meskipun sudah tidak berada di atas tanah lagi.
Tak mengherankan, jika si hweeshio jadi tertawa terbahak-bahak. Mungkin juga yang lain-lain
akan turut tertawa, jika mereka bukan sedang cemas dan bimbang.
Sesaat kemudian tanpa berhenti tertawa, si hweeshio menggoncangkan badan kedua orang
yang masih bergulat terus. Seketika itu juga, mereka merasakan kaki tangan mereka kesemutan
dan pegangan mereka pada tubuh masing-masing jadi terlepas. Him Goan Hian terpental pergi
sejauh beberapa tombak dan j.ituh dengan menerbitkan bunyi bergedebuk yang nyaring. Setelah
ini si hweeshio melepaskan Ciu Hun Jang dan Lauw Goan Ho.
Karena sudah terlalu lama tergencet, maka tangan Lauw Goan Ho menjadi kaku dan tak dapat
digerakkan. Di pergelangan tangannya kelihatan bekas yang legok ke dalam dan berwarna merah.
Setelah pengalamannya tadi dan melihat bekas jari yang mengerikan ini, nyalinya menjadi ciut.
Sementara itu si hweeshio sudah berkata, "Mari kita lekas berangkat, mungkin masih keburu
turut makan pagi dengan tuan rumah."
Lagi-lagi semua orang itu saling memandang dengan hati penuh keraguan, tetapi mereka
menurut juga. Sebagai kepala rombongannya dan tanpa memperdulikan lagi adat istiadat antara wanita dan
pria, Him Goan Hian segera menggendong The Sam Nio yang sudah menjadi sangat lemah karena
terluka parah tadi.
Kecuali mereka, juga "To Si Hu Cu" dan Ciu Hun Jang telah terluka dan sampai saat itu lukaluka
mereka masih mengeluarkan darah, maka di atas salju di sepanjang jalan yang mereka lalui,
kelihatan bintik-bintik merah.
Berjalan belum berapa li, mereka yang terluka sudah merasa payah sekali, bahkan ada yang
sudah tak kuat bertahan lagi.
Agaknya Tian Ceng Bun merasa kasihan melihat penderitaan orang-orang itu, ia mengeluarkan
sepotong baju dari buntalannya untuk kemudian dirobek dijadikan berapa potong kain pembalut,
yang lalu diberikannya kepada Ciu Hun Jang dan "To Si Hu Cu".
Tindakan Ceng Bun ini merupakan duri di mata Co Hun Ki, tetapi sebelum ia dapat
mengutarakan kedongkolannya, Ceng Bun sudah mengedip kepadanya. Biarpun tidak mengerti
maksud si gadis, Hun Ki mengurungkan juga maksudnya melontarkan kata-kata yang kurang enak
didengarnya, ia hanya mengeluarkan suara mengejek dari lobang hidungnya.
Lewat berapa li pula mereka harus mendaki sebuah bukit. Lapisan salju di tempat ini lebih tebal
dan kaki mereka ambelas di dalamnya sebatas lutut. Perjalanan menjadi luar biasa beratnya,
meskipun mereka rata-rata memiliki kepandaian silat yang tidak rendah. Mereka jadi mengeluh
dan berpikir, "Entah masih berapa jauh kita harus berjalan."
Sebagai juga dapat menebak pikiran mereka, mendadak si hweeshio menunjuk ke puncak
gunung yang menjulang tinggi di sebelah depan. "Sudah dekat, di puncak sana," katanya.
Semua orang-orang itu menjadi putus asa, karena gunung itu berdiri hampir tegak lurus di
permukaan bumi. Meskipun tidak terlalu tinggi, tetapi melihat curamnya yang luar biasa itu,
agaknya bukit tersebut tak mungkin dipanjat biar oleh seekor kera juga, apa lagi manusia
"Seorang yang berkepandaian tinggi sekali mungkin masih akan dapat mendakinya perlahanlahan
dengan mengerahkan seantero tenaganya, tetapi agak mustahil kedengarannya jika ada
orang yang mau tinggal di atas puncak itu," kata mereka di dalam hati yang penuh kesangsian.
Si hweeshio tidak menghiraukan sikap mereka irii dan mendahului berjalan di depan. Ia pun
tidak berhenti bersenyum. Setelah melalui dua buah bukit lagi, mereka tiba di tepi rimba pohon
cemara. Pohon-pohon siong (cemara) itu rata-rata sudah tua sekali, yang termuda juga sudah
berusia ratusan tahun. Cabang-cabangnya yang lebat dan malang-melintang telah menampung
sebagian salju yang turun dari langit dan di bawahnya hanya terdapat sedikit salju. Maka
perjalanan di dalam rimba itu menjadi lebih mudah.
Rimba itu luas juga, setelah berjalan setengah jam baru mereka tiba di ujungnya yang sebelah
sana dan mendapat kenyataan bahwa mereka telah tiba di kaki bukit yang dituju itu.
Dipandang dari dekat puncak tersebut lebih-lebih lagi mematahkan semangat. Biarpun di
musim panas, bukit itu tampaknya hampir tak dapat dipanjat, apa lagi di musim dingin itu, sedang
salju beku seluruh bagian bukit tersebut. Siapa berani coba mendaki, pasti akan terpeleset dan
jatuh dengan badan hancur.
Sementara itu angin pegunungan masih juga meniup dengan menerbitkan bunyi-bunyian
gemerisik di antara daun-daun dan tangkai-tangkai pohon. Mereka menggigil, kesatu karena
dinginnya dan kedua karena merasa seram. Biarpun mereka semua sudah kenyang berkelana dan
sudah pula mengalami aneka ragam bahaya besar, tetapi suasana ili bawah puncak gunung itu tak
dapat tidak menerbitkan rasa seram di hati mereka.
Sedang mereka berdiri bengong, si hweeshio sudah mengeluarkan sebuah bumbung untuk
melepaskan panah api (serupa mercon areng yang waktu itu lazim dipergunakan sebagai
pertandaan di Tiongkok). Sesaat kemudian, setelah dinyalakan, panah api itu meluncur ke atas
dan mengeluarkan asap kehijau-hijauan yang lama setelah itu baru buyar.
Rombongan orang yang mengikutinya menjadi heran melihat panah api itu dapat naik begitu
tinggi dan mengeluarkan asap yang tidak segera menjadi buyar tertiup angin yang saat itu agak
santar juga. Mereka semua mendongak untuk melihat panah api itu mempunyai makna apa. Tak lama
kemudian mereka melihat di puncak, jauh di atas, telah muncul suatu titik hitam, yang segera
sudah meluncur ke bawah dengan kecepatan luar biasa.
Setelah titik hitam itu mencapai tengah lereng, semua orang itu lantas melihat, bahwa titik itu
sebenarnya adalah sebuah keranjang bambu yang diikatkan pada ujung seutas tambang bambu
yang kuat. Mengertilah mereka sudah bahwa keranjang itu telah diturunkan untuk menyambut
tamu. Setelah keranjang tersebut turun sampai di depan mereka, hweeshio itu berkata, "Keranjang ini
dapat memuat tiga orang, maka silakan dua tamu wanita ini naik dahulu serta seorang tamu lakilaki."
Tanpa ragu-ragu Tian Ceng Bun maju dan The Sam Nio dipayangnya masuk ke dalam
keranjang. Sambil melakukan ini ia menimbang-nimbang siapa yang akan dimintanya menyertai
mereka naik lebih dulu. Pikirnya, "Jika aku tidak mengajak Hun Ki atau Cu An turut naik, tentu Hun
Ki akan mencari gara-gara lagi dan mereka akan bertempur. Jika Cu An yang kupinta naik
bersama-sama, susiok tentu akan merasa kurang senang."
Maka akhirnya ia memutuskan untuk mengajak Co Hun Ki saja. "suheng, mari ikut naik lebih
dulu," katanya.
Co Hun Ki tidak pernah menduga, bahwa sumoaynya akan minta ia menyertai mereka Sesaat ia
seakan-akan kesima, tetapi segera mukanya sudah berubah menjadi berseri-seri dan dengan
bangga serta agak mengejek ia memandang Cu An, saingannya Dengan langkah lebar ia
menghampiri keranjang tersebut dan masuk ke dalamnya. Ia duduk di samping Tian Ceng Bun,
segera setelah itu ia menggoyangkan tambang pengerek alat pengangkutan istimewa ini.
Sesaat kemudian sudah terasa, bahwa keranjang itu sudah mulai dikerek ke atas, menuju ke
puncak. Ketiga orang itu segera sudah mendapat suatu perasaan tidak enak. Setiap goncangan
dirasakan mereka sebagai juga saban saat mereka akan jatuh. Hati mereka dirasakan ngeri dan
telapak kaki mereka berasa kesemutan dan agak geli. Ketika mereka sudah mencapai tinggi
Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setengah lereng, Tian Ceng Bun coba melongok ke bawah dan ia menjadi tercengang sekali.
Ternyata orang-orang yang masih ketinggalan di bawah itu tinggal kelihatan seakan-akan bonekaboneka
yang belum satu kaki tingginya.
Dipandang dari jauh puncak itu kelihatannya tidak terlalu tinggi, tetapi pada saat itu ia mengerti
bahwa sebenar-benarnya bukit itu tinggi sekali, bahkan mungkin sampai ribuan kaki. Karena
melongok barusan, Tian Ceng Bun merasakan sebagai juga ia akan jatuh setiap saat dan
kepalanya menjadi pusing. Maka setelah itu ia tidak berani melongok lagi dan berduduk diam saja
di dalam keranjang.
Akhirnya tibalah mereka di atas puncak. Co Hun Ki mendahului keluar dari keranjang itu
kemudian ia membantu Ceng Bun memayang The Sam Nio.
Ketika kemudian mereka memandang ke sekeliling mereka, tahulah mereka bagaimana
keranjang itu telah dikerek tadi. Ternyata di dekat mereka itu terdapat sebuah roda kerekan yang
sangat besar dan sepuluh laki-laki tegap kekar melayani alat tersebut.
Sementara itu keranjang tersebut sudah diturunkan pula.
Dengan cara ini tak lama kemudian semua orang-orang itu berikut si hweeshio sudah tiba di
atas puncak. Sedang tadi, ketika Co Hun Ki bertiga tiba di situ, dua laki-laki berbaju kelabu yang agaknya
menjadi pemimpin sepuluh pekerja itu, bersikap acuh tak acuh, kini setibanya hweeshio tua itu
mereka segera maju sambil menjura dalam-dalam.
"Maaf, meski belum mendapat ijin tuan rumah, loolap telah lancang mengundang beberapa
tamu lain kemari, harap supaya diteruskan kepadanya," kata si hweeshio.
"Semua sahabat Po Si Taysu tentu akan disambut dengan gembira oleh majikan kami," jawab
salah seorang dari dua penyambut itu, yang setengah tua dan berleher panjang, sambil
membongkok memberi hormat lagi.
Semua orang yang telah turut naik itu, baru mengerti, bahwa sebutan si hweeshio adalah Po Si
Taysu. Setelah mengucapkan kata-katanya barusan, laki-laki berleher panjang itu segera memberi
hormat juga kepada sekalian tamu itu.
"Berhubung dengan suatu hal yang penting, majikan kami harus pergi mendadak dan tak dapat
menyambut sendiri Tuan-Tuan tamu sekalian, maka atas namanya aku kini mohon agar Tuan-
Tuan suka memaafkannya"
Sambil membalas pemberian hormat itu semua orang menjadi agak heran. Penyambut ini
hanya mengenakan sepotong baju tipis, meskipun tinggal di puncak bersalju yang terpencil dan
sangat dinginnya Agaknya ia tidak merasa kedinginan, maka tahulah mereka, bahwa orang itu
tentu mempunyai Iweekang yang sangat tinggi. Melihat kenyataan ini mereka jadi mengerti bahwa
tuan rumah yang menjadi majikan orang itu, tentu memiliki kepandaian yang sudah sangat sukar
diukur lagi. "Majikanmu tidak di rumah" Dalam saat begini ia masih juga keluar"'" tanya Po Si dengan nada
heran dan kecewa.
"Sudah sejak tujuh hari majikan pergi ke Leng Ko Tha."
"Leng Ko Tha?" tanya Po Si pula. "Untuk apa?"
Pegawai itu kelihatan agak ragu-ragu, ia tidak lantas menjawab dan melirik ke arah Whi Su
Tiong dan kawan-kawannya.
"Katakan saja, jangan kuatir," kata Po Si.
"Yah, menurut majikan, musuh yang akan datang itu terlalu lihay, mungkin sekali ia sendiri tak
akan bisa menandinginya, maka ia ingin sekali mohon bantuan 'Kim Bian Hud'," terdengar
penjelasan pegawai itu.
Mendengar nama 'Kim Bian Hud' di sebut, orang-orang Thian Liong Bun, "To Si Hu Cu" dan Him
Goan Hian serta kawan-kawan terperanjat semua. Mereka mengetahui, bahwa 'Kim Bian Hud'
(Buddha Bermuka Emas) itu adalah seorang "Bulim Cianpwee" (Angkatan Tua dari Kalangan Jagojago
Silat) dan juga bahwa kalangan Kang Ouw seling menyebutkan ia sebagai "Ta Pian Thian Hee
Bu Tek Ciu" (Menjelayah Seluruh Dunia Tanpa Menemukan Tandingan) selama dua puluh tahun
terakhir itu. Karena julukan yang kedengarannya temberang ini, entah berapa banyak lawan tangguh yang
telah sengaja datang untuk mencoba-coba kepandaiannya Tetapi kepandaiannya memang sudah
sempurna benar-benar. Sampai pada saat itu, tidak perduli dari partai atau golongan apa saja,
belum ada yang terluput daripada kekalahan jika berani coba-coba menguji kepandaiannya.
Sudah sepuluh tahun 'Kim Bian Hud' hidup menyendiri dengan sembunyi dan selama itu tidak
pernah terdengar berita-berita tentang dirinya, bahkan ada yang mengatakan, bahwa ia telah
meninggal, tetapi benar tidaknya berita itu tak ada yang dapat memastikannya. Maka tidak
mengherankan, jika orang-orang itu menyangsikan ucapan si pelayan.
Di samping sangsi, mereka juga terkejut bukan main dan nyali mereka menjadi ciut seketika itu
juga Semua orang mengetahui bahwa 'Kim Bian Hud sudah terlalu tangguh untuk dilawan, selain
itu mereka pun sudah tahu, bahwa ia itu sangat membenci kejahatan, meskipun yang kecil juga
Siapa saja yang melakukan sesuatu yang tidak pantas, asal berita tentang perbuatannya sampai di
telinga 'Kim Bian Hud', yang berbuat itu tidak akan terhindar dari bencana. Masih terbilang
beruntung, jika penyeleweng itu hanya dipatahkan sebelah tangannya atau kakinya.
Justeru semua orang yang mengikut Po Si naik ke puncak itu, sedikit maupun banyak, telah
berbuat dosa. Karena semua itu, mereka menganggap 'Kim Bian Hud' sebagai malaikat elmaut
saja dan hati mereka berdebar-debar keras.
Sebaliknya, Po Si bersenyum demi mendengar cerita pelayan itu.
"Majikanmu berhati-hatinya agak berlebih-lebihan saja. Berapa lihaynya "Soat San Hui Ho"
(Rase Terbang di Gunung Salju) itu, sehingga ia menganggap perlu minta bantuan seorang jago
yang tiada bandingannya?"
"Memang sebenarnya, dengan adanya Taysu membantu kami, kami sudah pasti berada di fihak
yang lebih unggul, tetapi mengingat betapa lihaynya dan cerdiknya si Rase Terbang itu, menurut
majikan tiada jeleknya, jika kita tambah seorang pembantu lagi," jawab si pegawai.
Setelah ini ia menghantarkan tamu-tamu itu ke sebuah gedung yang besar dan di kiri-kanannya
terdapat paviljun terdiri dari lima kamar berderet-deret. Genteng maupun seluruh halaman rumah
itu, tertutup salju, memberikan pemandangan yang khas.
Mereka semua dibawanya ke sebuah ruangan duduk yang luas (thia), yang dihiasi sepasang tui
lian (syair berpasangan) ukiran di atas papan. Arti tui lian itu lebih-kurang sebagai berikut,
Bila menghadapi bahaya maut, berjuang dengan pedang yang panjangnya tiga kaki.
Ribuan tahil emas didatangkan dengan hanya sekali membentak.
Nada maupun gaya tulisan syair itu dengan jelas sekali membawakan sifat-sifat gagah seorang
pendekar. Di muka syair tersebut, dengan huruf-huruf yang lebih kecil, telah diukirkan juga katakata,
"Untuk mengabadikan Sat Kauw Jin Heng". Di belakang kata terakhir syair tersebut terdapat
huruf-huruf, "Corat-coret Ta Pian Thian Hee Bu Tek Ciu 'Kim Bian Hud'" di waktu mabuk.
Semua huruf-huruf itu diukirkan dengan tandas dan agak kasar, terang sekali dikerjakan
dengan sebilah pedang atau golok.
Seluruh rombongan tamu-tamu itu sangat tercengang membaca sepasang syair itu. Mereka tak
mengerti, mengapa tuan rumah itu disebut "Sat Kauw Jin Heng" (Saudara yang Berbudi, si Jagal
Anjing) dan mengapa 'Kim Bian Hud' berani berlaku begitu kurang ajar.
Dengan masih tetap diliputi keheranan tamu-tamu itu kemudian disilakan duduk dan minum teh
dengan dilayani kedua pegawai tadi.
Agaknya Po Si Taysu kurang senang terhadap tulisan 'Kim Bian Hud' itu dan sesaat kemudian ia
berkata, "Tui Lian itu memang sesuai dengan kedudukan majikanmu, tetapi dengan embel-embel
tambahan gelarnya itu, 'Kim Bian Hud' agaknya terlalu temberang dan hendak menonjolkan diri di
atas tuan rumah."
"Taysu keliru, majikanku sangat menghormati dan mengagumi 'Kim Bian Hud' dan ia justeru
merasa sayang, bahwa karena sempitnya papan itu, tak dapat ditambahkan lagi empat huruf,
"Sedari dulu sehingga sekarang" di atas gelar 'Kim Bian Hud' itu."
Mendengar penjelasan pegawai berleher panjang ini, agaknya Po Si Taysu bahkan semakin
penasaran dan dengan nada mengejek ia berkata, "Jadi kalau lengkap seharusnya, 'Sedari dulu
sehingga sekarang menjelayah seluruh dunia tanpa menemukan tandingan'. Di negeri sang
Buddha (India) kebetulan terdapat seorang iblis dari agama liar yang menyebutkan dirinya, 'Di
atas langit maupun di bumi, akulah rajanya'. Ia dan 'Kim Bian Hud' benar-benar merupakan
pasangan yang setimpal."
Ucapan Po Si yang mengandung sindiran ini sangat menggelikan Co Hun Ki yang lantas saja
tertawa terbahak-bahak. Melihat kelakuannya, ini, kawan si leher panjang menjadi kurang senang.
Dengan mata melotot ia memandang Co Hun Ki. "Harap tuan tamu ini suka berlaku lebih sopan
sedikit!" katanya dengan suara gusar.
'Apa?" tanya Hun Ki yang menjadi bingung karena teguran itu.
"Mungkin tuan sendiri yang akan rugi, jika 'Kim Bian Hud mengetahui, bahwa tuan telah
mentertawakan dirinya," kata kawan si leher panjang lagi.
Kata-kata ini bukannya membikin Hun Ki takut dan mundur teratur, sebaliknya ia bahkan
menjadi semakin kepala batu.
"Ilmu silat belum pernah ada batasnya, di luar langit masih ada langit, orang pandai masih ada
yang lebih pandai lagi. Meski bagaimana 'Kim Bian Hud' juga hanya seorang manusia yang jadinya
dan darah dan daging, maka biarpun ia masih sepuluh kali lebih pandai lagi, tak dapat ia disebut
tiada tandingannya," bantahnya
Si pegawai masih tetap pada pendiriannya, katanya, "Mungkin aku yang rendah dan
berpengetahuan sempit memang keliru, tetapi jika majikanku mengatakan demikian tentunya
sudah tidak salah lagi."
Walaupun kata-katanya selalu merendah dan menghormat, tetapi dari sikapnya sudah ternyata
bahwa ia tidak menghormati Hun Ki. Tentu saja pemuda yang aseran ini menjadi mendongkol dan
di dalam hatinya ia berkata, "Jelek-jelek aku juga seorang Ketua partai yang kenamaan, tak
mungkin aku manda dikurangajari seorang hamba yang rendah."
Dalam penasarannya ia berkata pula, "Kalau begitu, di dunia ini, kecuali 'Kim Bian Hud',
majikanmu sudah tiada tandingannya juga."
"Mana berani kami mengatakan demikian," jawab si pegawai sambil menepuk sandaran kursi
Hun Ki dengan perlahan.
Meski tepukan itu perlahan, Hun Ki merasakan kursinya tergoncang dan seketika itu tubuhnya
terpental ke atas. Pada saat itu Hun Ki justeru sedang memegang secangkir air teh, karena
terpentalnya cangkir itu jadi terlepas. Agaknya cangkir itu akan segera jatuh hancur di lantai,
tetapi dengan gerakan secepat kilat, pegawai itu masih keburu menangkapnya disaat cangkir
tersebut hampir menyentuh lantai. Berbareng dengan gerakannya ini, mulutnya mengeluarkan
kata-kata, "Harap tuan tamu berhati-hati."
Karena malu dan gusarnya, muka Hun Ki segera berubah menjadi merah padam dan tanpa
memperdulikan sindiran pegawai itu ia berpaling ke jurusan lain, sedang si pegawai dengan
tenang meletakkan cangkir itu di atas meja.
Po Si Taysu bersikap seakan-akan ia tidak melihat apa yang telah terjadi di depan matanya
itu. Ia melanjutkan percakapannya dengan si leher panjang dan bertanya, "Kecuali tiga saudara
seperguruannya, 'Kim Bian Hud' dan loolap, majikanmu minta bantuan siapa lagi?"
"Sebelum berangkat, majikan telah berpesan, bahwa Hian Bengcu dari Ceng Cong Pay, Leng
Ceng Ki Su dari Kun Lun San dan Chio lookunsu dari Hoo Lam Thay Kek Bun akan datang dalam
berapa hari ini dan kami di sini harus menyambut mereka dengan baik. Sekarang ternyata bahwa
Taysu telah datang paling dahulu, yang menandakan betapa besar setia-kawan Taysu. Majikan
pasti akan sangat berterima-kasih karenanya"
Po Si agak kecewa mendengar penjelasan si leher panjang ini. Tadinya ia mengira, bahwa
dengan kedatangannya, segala urusan " betapa sulit juga " akan dapat diselesaikan. Sama sekali
ia tidak menduga, bahwa tuan rumah akan mengundang juga sekian banyak tokoh-tokoh
kenamaan, yang " meskipun tidak semuanya telah bertemu dengan ia " nama-namanya telah
dikenalnya semua. Agaknya tuan rumah itu kurang percaya akan kesanggupannya, ditambah pula
dengan kenyataan, bahwa kedatangannya tidak disambut sendiri oleh si tuan rumah atau salah
seorang saudara seperguruannya. Karena tidak ada yang ditinggalkan untuk menyambut, maka di
dalam hatinya ia mengatakan, bahwa, jika tahu akan begini jadinya, ia lebih baik tidak datang
saja. Jauh-jauh ia sudah memerlukan datang untuk membantu, tidak tahunya ia kini harus
mengalami perlakuan yang kurang hormat ini.
'"Kim Bian Hud' bersahabat rapat dengan majikanmu. Untuk mengundangnya, sudah cukup jika
ia pergi sendiri saja, mengapa Ma dan Li dua saudara seperguruannya harus ikut juga?" tanyanya
Senyuman Dewa Pedang 4 Duri Bunga Ju Karya Gu Long Pendekar Pengejar Nyawa 23