Pencarian

Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 23

Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen Bagian 23


Tetapi ternyata tusukan Ong Kwan-tiong itu hanya sebuah gerak tipuan. Begitu
menusuk ia terus enjot tubuh melambung ke udara. Dengan demikian Han Ping hanya
memapas angin kosong.
Murid pertama dari Lam hay-bun itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat.
Sekali enjot ia dapat mencapai ketinggian dua tombak. Setelah di udara ia segera
berjumpalitan dan menukik. Walaupun sudah banyak sekali Han Ping berhadapan dengan
tokoh2 sakti dalam dunia persilatan tetapi baru pertama kali itu ia menyaksikan suatu ilmu
permainan yang sedemikian aneh dan hebat. Diam-diam ia terkejut dan sesaat itu ia masih
bingung untuk mencari siasat memecahkannya. Terpaksa ia menghindar mundur sampai
tiga langkah. Ketika Ong Kwan-tiong turun dan baru menginjak tanah, iapun terus melambung lagi
ke udara dan dengan suatu gerak jumpalitan yang indah ia sudah meluncur turun di
belakang Han Ping. Serempak dengan layangkan thiat-ci ke bawah, Ong Kwan-tiong
gerakkan tangan kiri untuk menghantam dengan pukulan Biat gong-ciang atau Pukulanpembelah-
angkasa. Sebuah pukulan tenaga-dalam yang hebat sekali perbawanya.
Kedudukan Han Ping kini terbalik. Dari yang menyerang menjadi yang diserang. Saat
itu ia telah dikuasai lawan.
Gerak serangan yang dilancarkan Ong Kwan-tiong dari udara itu, cepat dan dahsyat.
Dalam empat lima jurus saja, Han Ping sudah terdesak tak dapat balas menyerang.
Terpaksa ia berganti siasat. Tak mau bergerak menyerang tetapi tegak berdiri di tempat
menunggu serangan. Begitu, musuh hampir mendekatinya, barulah ia berusaha untuk
melawan. Tiba-tiba terdengar dering gemerincing senjata yang nyaring sekali. Pedang di tangan
kiri Siangkwan Wan-ceng, terpental ke udara akibat digempur tongkat besi si Kakibuntung.
Pedang itu melayang sampai tujuh tombak jauhnya.
Tetapi Siangkwan Wan-ceng yang keras kepala tetap tak gentar. Walaupun sebuah
pedangnya sudah terpental, namun semangat tempurnya masih menyala-nyala. Tubuhnya
berputar keras, dalam saat menghindari tongkat besi dan pit-besi dari si Kate Oh It- su,
cepat ia pindahkan pedang ke tangan kiri dan tangan kanan terus merogoh ke dalam saku
baju, mengambil segenggam jarum emas terus ditaburkan ke arah ketiga pengeroyoknya.
Taburan jarum emas itu berjumlah 40 batang dan dilakukan pada jarak yang begitu dekat.
Bagaimana dahsyatnya, dapat dibayangkan.
Si Kaki-satu baju merah, si Bungkuk dan si Kate gugup dan tergopoh gopoh
merebahkan diri ke tanah untuk menghindari jarum maut itu.
Pada saat ketiga musuhnya rebah menelentang, Siangkwan Wan-ceng cepat
mengempos semangat dan melambung ke udara dan menusuk Ong Kwan-tiong.
"Jangan".!" teriak Han Ping tetapi sudah terlambat. Tampak tubuh Ong Kwan-tiong
yang tinggi besar tiba-tiba berjumpalitan dan secepat kilat thiat-ci dihantamkan ke pedang
Siangkwan Wan-ceng.
Pedang Siangkwan Wan-ceng tersedot den senjata aneh dari tokoh Lam-hay-bun itu
dan arah tusukannya pun mencong ke samping. Ong Kwan-tion segera menyusuli dengan
sebuah hantaman tangan kiri.
Bertempur di atas udara boleh dikata tak ada kesempatan yang luang. Begitu pedang
Siangkwan Wan-ceng dikuasai lawan, diri nona itu pun berada dalam lingkungan pukulan
musuh. Pada saat pukulan itu akan tiba di dada sinona, sekonyong-konyong segelombang
sinar kebiru-biruan meluncur ke arah pukulan Ong Kwan-tiong.
Ternyata setelah mengetahui bahwa Siangkwan Wan-ceng akan celaka di bawah
pukulan orang, cepat Han Ping enjot tubuh melambung ke arah Ong Kwan-tiong dan
memapas lengan kiri orang itu.
Rajawali terbang-18 kali, sesungguhnya memang ilmu kepandaian khusus untuk
bertempur di udara. Merupakan ilmu simpanan dari perguruan Lam-hay-bun yang jarang
terdapat dalam dunia persilatan.
Karena melihat Siangkwan Wan ceng dalam bahaya, tanpa menghiraukan suatu apa
lagi, Han Ping terus bertindak menolongnya. Tetapi karena harus menggunakan tenaga,
maka tenaga-dalam yang dipergunakan untuk menekan bekerjanya racun dalam tubuhnya
pun berkurang. Racun segera meliar lagi menyalur ke dalam urat2 nadinya. Karena
gangguan itulah maka gerak pedangnya yang seharusnya amat dahsyat, ikut berkurang
juga perbawanya.
Sungguhpun begitu, serangan Han Ping itu tetap membuat Ong Kwan-tiong terkejut.
Segera ia menggunakan jurus Rajawali-sakti-menembus-awan. Tubuhnya tiba-tiba
meluncur ke atas setengah meter lagi. Walaupun ia dapat menghindarkan diri, tetapi ia
tetap merasakan sambaran hawa dingin dari pedang Pemutus Asmara yang menampar ke
mukanya. Setelah berhasil menghalau Ong Kwan-tiong, Han Ping dan Siangkwan Wan-ceng
serempak melayang turun ke bumi. Walaupun Han Ping memiliki tenaga-dalam yang
hebat, tetapi karena belum pernah mempelajari cara2 mengambil napas seperti dalam
ilmu Rajawali-terbang-18 kali itu, maka ia tak dapat meniru Ong Kwan-tiong yang dapat
bebas bertahan lama di udara.
Walaupun baru saja lolos dari bahaya maut, namun Siangkwan Wan-ceng tetap lincah.
Acuh tak acuh ia berpaling kepada Han Ping dan tertawa, "Jika engkau tak menolong, kali
ini aku tentu terluka ,"."
Tiba-tiba ia tak melanjutkan kata-katanya karena melihat napas Han Ping tersengalsengal
dan mukanya bercucuran keringat.
"Mengapa engkau?"serunya dengan cemas.
Sambil julurkan tangan kiri, Han Ping suruh nona itu menyisih, lalu cepat menyelinap di
samping nona itu.
Nona itu terkejut ketika mendengar suara orang tertahan. Cepat ia berpaling ke
belakang. Amboi". . dilihatnya tubuh yang tinggi besar dari si Bungkuk, terlempar ke samping.
Siangkwan Wan-ceng cepat menyadari bahwa orang bungkuk itu tentu terkena pukulan
Han Ping. Tetapi ia heran mengapa pukulan anak muda kali itu sama sekali tak
mengeluarkan suara. Dan bagaimana cara pukulan itu dilontarkan, sama sekali ia tak
mengetahuinya. Si Kate Oh It-su dan si Kaki-satu baju merah, rupanya pecah nyalinya ketika
menyaksikan si Bungkuk dihantam jatuh oleh Han Ping. Kedua orang dari Lam-hay-bun itu
tegak terlongong-longong .
Han Ping mengusap keringat mukanya dengan lengan baju. Pada lain saat berserulah ia
dengan angkuh, "Siapa diantara saudara2 yang masih penasaran, silahkan maju. Jika
saudara2 sudah menyadari bahwa tak mungkin menundukkan aku dengan cara kekerasan,
silahkanlah saudara2 memberi jalan untuk nona ini!"
Sebagai jawaban tiba-tiba si Kaki-satu menggembor keras terus menerjang dengan
tongkat besinya. Dalam jurus Angin-prahara-menderu-dahsyat, ia membabat pinggang
Han Ping. Babatan tongkat si Kaki-satu itu benar-benar dahsyat sekali sehingga Siangkwan Wanceng
sampai kucurkan keringat dingin karena mencemaskan diri Han Ping
Tetapi Han Ping tenang sekali. Ia berputar tubuhnya berputar, tidak menyurut mundur
tetapi menyongsong maju dan secepat kilat menampar bahu sebelah kiri dari si Kaki- satu
itu. Serangan itu selalu memerlukan kecepatan yang luar biasa, pun harus mempunyai
keberanian yang hebat.
Tiba-tiba si Kaki-satu berteriak keras. Tubuhnya terlempar beberapa langkah ke
belakang. "Hayo, siapa lagi yang mau coba2?" seru Han Ping dengan garang.
Sambil mengangkat thiat-ci ke muka dada, Ong Kwan-tiong melangkah maju pelahanlahan
seraya berseru dengan serius, "Ilmu pukulan saudara tadi, benar-benar baru
pertama kali ini kuketahui. Sungguh beruntung aku aku orang she Ong, mempunyai rejeki
untuk menerima pelajaran!"
Sahut Han Ping, "Sesungguhnya aku tiada bermaksud hendak melukai orang. Tetapi
saudara2 sendirilah yang memaksa aku turun tangan". .
"Berhenti!" tiba-tiba nenek Bwe berseru kepada Ong Kwan-tiong, "engkaupun takkan
mampu menerima pukulannya. Akulah si nenek tua ini yang akan menjajalnya!"
Tiba-tiba dara baju ungu berseru dengan suara lemah, "Bwe Nio, gunakanlah ilmu
pukulan perguruan Lam hay-bun kita ialah Bu-siang-gi-kang dan To-hay-sam-si
menghadapinya!"
Ong Kwan-tiong menurut perintah. Ia berhenti dan mundur ke samping.
Ternyata ilmu pukulan Bu-siang-gi-kang dan To-hay-sam-si atau Tiga jurusmembalikkan-
laut, merupakan ilmu istimewa yang paling diandalkan oleh Lam-hay Sin
soh, ketua perguruan Lam-hay- bun. Belasan tahun belajar di perguruan Lam-hay-bun,
Ong Kwan-tiong hanya pernah mendengar suhunya mengatakan tentang ilmu sakti itu
tetapi tak pernah menyaksikan. Saat itu setelah mendengar kata-kata sumoaynya atau si
dara baju ungu, ia pun tak berani berani berkeras maju menempur Han Ping. Terpaksa ia
mundur. Selangkah demi selangkah Bwe Nio menghampiri maju. Tongkat bambunya berdetakdetak
menghantam tanah.
Saat itu keringat pada kepala Han Ping makin mengucur deras. Tubuhnya seolah-olah
mandi keringat.
Tiba-tiba Siangkwan Wan-ceng lari ke muka Han Ping, serunya, "Engkau sudah letih
sekali. Biarlah aku yang menghadapi nenek itu!"
Bwe Nio tertawa dingin, "Enyahlah!" " ia mengangkat tongkat dan pelahan-lahan
dipukulkan. Siangkwan Wan-cengpun menangkis dengan pedangnya. Pada saat ia hendak gunakan
tenaga untuk menyiak tongkat si nenek, tiba-tiba ujung tongkat bambu itu memancar
aliran tenaga yang kuat sekali dan tahu2 pedang Siangkwan Wan-ceng yang tinggal
sebatang itu, mencelat lepas dari tangannya.
Seumur hidup baru pertama kali itu Siangkwan Wan-ceng bertemu dengan lawan yang
mempunyai tenaga dalam sedemikian hebatnya. Mau tak mau gentarlah hatinya.
Setelah dapat mementalkan pedang si nona, Bwe Nio ayunkan tangan kiri menghantam
Han Ping seraya membentak, "Budak kecil, cobalah dulu pukulanku Biat-gong-ciang ini.
Setelah itu baru kita nanti mulai bertempur!"
Saat itu racun dalam tubuh Han Ping sudah mulai bekerja. Ia rasakan tenaganya lemah.
Tetapi darah mudanya tetap panas. Mendengar ejekan Bwe Nio, ia segera empos
semangat dan menangkis.
Tetapi pukulan nenek itu memang luar biasa hebatnya. Seketika Han Ping rasakan
tubuhnya gemetar, darahnya bergerak naik ke atas ke dada. Telinganya tak henti2
mengiang, pandang matanya pudar, kepala berat kaki ringan dan akhirnya tak kuasa ia
berdiri tegak. Bluk". . ia rubuh meneliku ke muka dan pingsan.
Angin malam berhembus meniup rambut Bwe Nio yang putih. Wajahnya menampil
kerut sedingin es. Dahinya memancar hawa pembunuhan. Tiba-tiba ia ayunkan tongkatnya
menusuk dada Han Ping.
Tetapi serempak dengan itu, segulung sinar pedang melesat tiba dan menyambut
tongkat si nenek. Tring". tongkat si nenek tersiak ke samping dan menghantam segunduk
batu karang. Sekepal batu karang itu, hancur lebur.
Ternyata yang menghantam tongkat si nenek itu adalah Siangkwan Wan-ceng. Ia tahu
bahwa nenek itu memiliki tenaga dalam yang hebat maka ia kerahkan seluruh tenaga
dalam untuk menggempur. Tetapi setelah dapat menyiak tongkat, dadanya berombak
keras, napas memburu deras.
Nona yang keras kepala itu menyadari bahwa tak mungkin ia mampu melawan nenek
Bwe. Maka iapun tak mau menyusuli menyerang lagi melainkan menjulaikan pedangnya ke
bawah dan berseru dengan angkuh, "Jangan membunuhnya!"
Nenek Bwe tertawa dingin, "Mengapa".?"
Tiba-tiba ia seperti menyadari sesuatu, serunya pula, "O, benar! Lebih dulu
membunuhmu baru dia?"
Ia menarik pulang tongkat lalu mengangkat tangan hendak menghantam. Tetapi
tampaknya Siangkwan Wan-ceng tak gentar. Nona itu sudah tak menghiraukan nasibnya,
mati atau hidup.
"Memang aku tak dapat melawanmu," serunya dengan dingin, "sudah tentu mudah
sekali bagimu hendak membunuh aku. Tetapi belum tentu engkau mampu
menandinginya"."
Berhenti sejenak, ia melanjutkan lagi, "Jika aku belum kehabisan tenaga, mungkin
dalam seratus jurus belum tentu engkau dapat melukai aku!"
Nenek Bwe gentakkan tongkatrya ke batu karang. Batang tongkat menyusup sampai
tiga bagian. Serunya marah, "Menerima sebuah pukulanku saja dia tak kuat, bagaimana
aku tak mampu mengalahkannya?"
"Pertempuran itu tidak adil!" seru Siangkwan Wan-ceng.
"Budak perempuan bermulut tajam. Mana yang tak adil?" bentak nenek Bwe murka.
Tenang-tenang saja Siangkwan Wan-ceng menjawab, "Sebelum bertempur dengan
engkau, dia sudah terkena racun ganas. Racun itu tentu sudah mulai bekerja. Tadi
beberapa kali bertempur sebenarnya sudah tak kuat. Dan pada saat dia sudah kehabisan
tenaga, engkau menghantamnya, sudah tentu ia tak kuat."
"Sekalipun begitu tapi bukan suatu bukti bahwa aku tak dapat melawannya!"
Siangkwan Wan-ceng tertawa dingin, "Apakah engkau pernah belajar ilmu pedang?"
"Dengan memetik daun, kudapat melukai orang, dengan taburkan bunga aku dapat
membunuh musuh. Sebatang tongkat ini sudah lebih dari cukup, sekalipun punya pedang
tetapi tak kuperlukan!" sahut nenek Bwe.
Mendengar itu marahlah si dara. Tanpa disadari ia mengunjuk gaya keangkuhannya
sebagai puteri marga Siangkwan yang termasyhur di wilayah Kanglam, teriaknya, "Engkau
mengerti pedang atau tidak" Siapa yang menanyakan ilmu kepandaianmu?"
Di luar dugaan, nenek Bwe tertarik akan sifat Siangkwan Wan-ceng yang tak takut mati
itu. Diam-diam ia merasa sayang kepada si dara. Sejenak merenung ia menyahut,
"Delapan belas macam senjata, aku dapat menggunakan. Apalagi hanya pedang!"
"Nah, begitulah," kata si dara, "ilmu pedang tingkat tinggi tak lain hanyalah "naik"
pedang melukai musuh. Apakah engkau yakin mempunyai kemampuan begitu?"
Nenek Bwe agak terkesiap, serunya, "Walaupun aku tak mengerti ilmu Naik-pedang,
tetapi tak mungkin dapat melukai aku!"
Berkata Siangkwan Wan-ceng dengan nada serius, "Ilmu kepandaianmu yang sakti,
memang baru pertama kali ini aku bertemu dengan musuh seperti engkau. Tetapi jika
mengatakan engkau dapat mengalahkannya, itu pasti belum tentu. Berkelana dalam dunia
persilatan, memang setiap saat tentu tak terhindar dari bahaya. Kalau engkau memang
yakin dapat mengalahkannya, sekarang janganlah membunuhhya dulu. Tujuh hari
kemudian, datanglah lagi kesini untuk bertanding secara adil. Pada saat itu, tenaganya
tentu sudah pulih. Dalam pertempuran yang adil itu, yang menang tentu puas. Yang kalah
tentu mati tak penasaran!"
Dara baju ungu yang sejak tadi diam saja saat itu tiba-tiba berseru dengan nada dingin,
"Kalau dia memang sudah keracunan, mengapa engkau dapat mengatakan dia dapat
hidup sampai tujuh hari lagi?"
Siangkwan Wan-ceng terkesiap, sahutnya, "Soal itu tak perlu engkau urus. Aku dapat
mencari usaha untuk menyembuhkannya."
Si dara baju ungu tertawa hambar, "Jangan sok pintar sendiri. Ketahuilah, dalam dunia
dewasa ini, kecuali aku, tak mungkin ada orang lain yang mampu menolongnya. Dan tiada
seorangpun yang berani menolongnya."
Habis berkata dara itu segera ayunkan langkah pelahan menghampiri ke tempat
Siangkwan Wan-ceng. Nenek Bwe cepat melangkah dua tindak untuk merintangi
Siangkwan Wan-ceng agar jangan mengganggu si dara baju ungu.
Setelah dekat pada Han Ping, dara baju ungu itupun berjongkok dan mengulurkan
tangan memeriksa urat nadi Han Ping. Pelahan-lahan ia menyingkap kain kerudung
mukanya. Setelah memandang wajah Han Ping, ia menghela napas pelahan, "Racun sudah
tampil ke atas, sukar dapat bertahan hidup sampai nanti tengah malam."
Kemudian ia mengangkat muka dan memandang cakrawala, serunya, "Hanya tinggal
sejam lagi!"
Meskipun Siangkwan Wan-ceng sombong tetapi sesungguhnya ia tak mampu untuk
mengobati racun yang menyerang Han Ping. Mendengar kata-kata si dara baju ungu. ia
gelisah sekali. Tetapi sungkan untuk bertanya. Terpaksa ia tahan dalam hati.
Dara baju ungu tiba-tiba berdiri dan berkata dingin kepada Siangkwan Wan-ceng,
"Tunggulah di sini, sampai dia menghembuskan napas yang terakhir. Tetapi aku hendak
minta jenazahnya. Kalau engkau meluluskan, kami akan mundur dari sini. Setelah benarbenar
ia sudah meninggal, kami akan membawa jenazahnya!"
"Perlu apa engkau meminta jenazahnya?" tanya Siangkwan Wan-ceng.
Jawab dara baju ungu, "Siapapun tak tahu bagaimana perobahan hatiku dalam
beberapa hari nanti. Mungkin akan kulempar jenazahnya ke dalam lembah sarang ulur.
Mungkin akan kutaruh di puncak gunung untuk makanan burung."
Ia menghela napas pelahan, ujarnya pula, "Mungkin akan kubangun sebuah makam
indah untuk tempat jenazahnya!"
Siangkwan Wan-ceng agak tertegun, "Hatimu boleh digolongkan Ganas dan Kejam.
Orang yang sudah mati tak boleh dituntut dendam lagi. Dia sudah mati mengapa engkau
masih hendak menyiksa jenazahnya?"
Dara baju ungu tertawa nyaring, "Apakah hubunganmu dengan dia?"
Selembar wajah Siangkwan Wan-ceng berobah, sahutnya, "Aku adalah kawannya,
bagaimana?"
Dara baju ungu itu kembali tertawa nyaring, "Kawan" Bukan sesama perguruan dan tak
tersangkut hubungan famili tetapi mengaku sebagai kawan, apakah engkau tak malu?"
Ia merapikan rambutnya yang tertiup angin malam lalu berkata pula, "Dan lagi, belum
tentu dia mau mengaku dirimu sebagai kawan. Ah, benar-benar seorang gadis yang suka
bertepuk sebelah tangan!"
Siangkwan Wan-ceng berwatak keras. Ia tak menghiraukan ucapan dara baju ungu itu.
Tetapi ucapannya yang terakhir itu, benar-benar menusuk perasaannya.
Ia berpaling memandang ke arah Han Ping yang rebah di tanah. Seketika dalam hati
timbul suatu perasaan sedih. Pikirnya, "Benar! Memang aku tak tahu apakah dia mau
mengakui aku sebagai kawannya atau tidak! Apalagi walaupun dapat kutanya dan ia
menggelengkan kepala, kemanakah hendak kusembunyikan mukaku?"


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seketika suasana sunyi senyap. Hati setiap orang seperti tertindih batu berat. Tiba-tiba
si dara baju ungu membungkukkan tubuh dan memungut pedang Pemutus Asmara,
serunya, "Walaupan pedang ini luar biasa tajamnya, tetapi dia seperti orang yang
memilikinya. Selamanya tak pernah mengenyam kebahagiaan. Pedang ternama sebagai
bunga ternama, keharumannya hanya dinikmati sendiri dalam kesepian"."
Tiba-tiba Siangkwan Wan-ceng mengangkat muka lalu membentak, "Lepaskanlah,
jangan menyentuh barang miliknya."
Berkata si dara baju ungu dengan suara lembut, "Itulah cerita yang terdapat dalam
dunia persilatan di tanah Tiong-goan. Barang siapa yang memiliki pedang ini, seumur
hidup tentu akan merasa kesepian dan hidup seorang diri. Kelak engkau tentu akan tahu
tentang cerita itu!"
"Kalau sudah tahu lantas bagaimana?" tegur Siangkwan Wan-ceng.
"Kalau tahu, itu baik sekali," kata si dara baju ungu, "akan kugunakan pedang ini untuk
menusuk ulu hatinya, supaya dia mati. Setelah itu, pakailah pedang yang berlumuran
darahnya itu untuk bunuh diri. Nanti akan kubangun sebuah makam untuk kalian berdua.
Pedang ini sebagai tanda peringatan. Pada batu nisan makam itu akan terukir tentang
peristiwa kematianmu membela cinta itu. Dan memperingatkan kepada orang di dunia,
supaya jangan berani lagi coba2 hendak mengejar pedang Pemutus Asmara itu. Rasanya
Asmara yang begitu bergairah tentu mengalahkan kesunyian makam yang terasing!"
Nada ucapannya yang lemah lemhut itu mengandung jeritan hati dari kesedihan dan
penasaran. Setiap patah kata-katanya seolah-olah memperingatkan orang akan tibanya
kiamat, dimana se-olah-olah melukiskan dunia ini hanya penuh derita kehidupan dan
kebinasaan. Siangkwan Wan-ceng di luar dugaan pun menghela napas, ujarnya, "Kata-katamu
memang beralasan juga. Seorang yang hidup sampai seratus tahun, akhirnya tentu mati
juga. Apabila setelah dapat meninggalkan kenangan yang mengesankan di hati orang,
itulah suatu kematian yang berharga."
"Engkau meluluskan?" tanya si dara baju ungu.
Siangkwan Wan-ceng pelahan-lahan memandang ke empat penjuru. katanya, "Dalam
kepungan orang-orangmu yang begitu ketat, rasanya aku tentu tak menerobos mereka."
"Hm, rupanya engkau mempunyai kesadaran juga," nenek Bwe tertawa dingin.
Kuatir kalau nenek Bwe mengeluarkan kata-kata yang menyinggung hati Siangkwan
Wan-ceng sehingga menggagalkan rencana, maka si dara baju ungu cepat-cepat berseru
pula, "Kalau begitu sekarang juga segera kubunuhnya!"
Pedang diangkat dan pelahan-lahan ditusukkan ke dada Han Ping. Melihat itu
Siangkwan Wan-ceng menghela napas dan buru2 pejamkan mata. Gadis yang gagah dan
seorang pendekar wanita yang biasa membunuh orang tanpa berkedip mata ini, saat itu
tiba-tiba berobah lemas lemah seperti anak kambing.
Di bawah cahaya bintang yang redup, tampak lengan tangan dara baju ungu itu
gemetar. Suatu pertanda bahwa hatinya sedang dilanda ketakutan dan ketegangan.
Ujung pedang yang tajam, menyusup ke dada Han Ping. Sepercik darah segar segera
memancar deras.
Tiba-tiba kedengaran dara baju ungu itu mengerang. Tubuhnya menggigil keras. Nenek
Bwe cepat ulurkan tangan kiri untuk mengepal jari dara itu. tetapi sesaat tangan nenek
Bwe menyentuh jari si dara, ia terkejut sekali. Begitu besar rasa kejut itu sehingga
tubuhnya tergetar.
Ternyata jari tangan dara baju ungu itu, dingin seperti es.
"Nak, engkau bagaimana?"seru nenek Bwe cemas.
Sambil menggenggam kencang tangan nenek Bwe, dara baju ungu itu berseru, "Bwe
Nio, apakah aku menusuk di tempat yang salah?"
Oleh karena nenek Bwe dan dara baju ungu itu membuka mulut pada waktu yang
sama, maka mereka saling tak dapat mendengar apa yang dikatakan masing-masing.
Saat itu Siangkwan Wan-ceng sudah membuka mata. Pertama-tama ia segera terkejut
ketika melihat darah yang memancar dari dada Han Ping itu. Setelah menghela napas
rawan, cepat-cepat ia pejamkan mata pula.
Dengan susah payah dara baju ungu itu mengangkat tangannya. Tampaknya seberat
orang mengangkat benda seribu kati. Kemudian cepat 2 ia menyurut mundur dua langkah
dan sandarkan tubuhnya ke dada nenek Bwe. Tring" pedang Pemutus Asmara pun jatuh
ke tanah. Ong Kwan-tiong, si Bungkuk, si Kate dan lelaki yang berkaki buntung itu, wajahnya
mengerut tegang. Mereka memandang lekat2 ke tubuh Han Ping. Dalam pancaran mata
mereka, mengandung rasa sayang dan kecewa atas kematian seorang jago muda yang
gagah perwira itu.
Kira2 sepeminum teh lamanya, kesunyian suasana tempat itu telah dipecah oleh
hembusan angin yang membawa suara seruan yang bernada sarat, "Ceng ji, Ceng-ji". ."
Suara itu dari tempat jauh tetapi dapat menyusup jelas ke dalam telinga orang. Jelas
bahwa orang yang berteriak itu tentu memiliki ilmu tenaga-dalam yang tinggi.
Siangkwan Wan-ceng cepat memungut pedang Pemutus Asmara, terus hendak
diarahkan ke dadanya sendiri. Sekali ayun, ujung pedang Pemutus Asmara yang tajam itu
tentu akan bersarang ke dadanya.
Suara orang yang berseru memanggil Ceng-ji itu, makin lama makin terdengar
merawankan. Dalam malam yang sunyi, makin terdengar menyentuh perasaan.
Siangkwan Wan-ceng melirik ke arah dara baju itu, lain berkata pelahan, "Ayahku
sedang memanggil aku, biarlah aku menjumpainya sebentar lalu bunuh diri, bagaimana?"
Sahut si dara baju ungu dingin, "Ikatan anak dan orangtua itu amat berat. Setelah
menemui ayahmu, mana engkau bisa bunuh diri?"
Kemudian dara baju ungu itu memandang ke tubuh Han Ping yang rebah di tanah dan
menghela napas, "Ah, mungkin jenazahnya akan kedinginan. Jika engkau tak suka mati,
terpaksa kami akan membawa mayatnya!"
"Aku sudah meluluskan, tentu takkan ingkar!" seru Siangkwan Wan-ceng, "sehabis
bertemu ayah aku tentu bunuh diri!"
Anginpun reda dan berhembus pelahan. Dara baju ungu itu tegak berdiri seperti patung
Dan seperti tak mendengar kata-kata Siangkwan Wan-ceng, dara itupun terus melangkah
pelahan-lahan ke tempat Han Ping. Ia berjongkok dan pelahan-lahan menarik sebelah
tangan Han Ping.
Sekalipun tak bicara sepatah kata, dan mukanya tertutup oleh kerudung hitam, tetapi
langkah kakinya mengandung perbawa yang menyeramkan.
Siangkwan Wan-ceng tak senang kalau dara itu menyentuh tubuh Han Ping. Tetapi
untuk beberapa saat, ia tak dapat mencegahnya.
Tampak kesepuluh jari dara itu menggenggam tangan Han Ping erat2. Terdengar
mulutnya menghela napas dan lalu menengadahkan kepala berkata pelahan-lahan, "Ah,
tak kira dalam beberapa kejab saja, tangannya sudah sedingin begini."
Siangkwan Wan-ceng tergetar hatinya. Pedang yang dicekalnya terlepas jatuh.
Bergegas ia berjongkok. Tanpa bicara, dara baju ungu itu segera menyerahkan tangan
Han Ping kepada Siangkwan Wan-ceng. Siangkwan Wan-cengpun terus saja menyambuti.
Lama, lama sekali Siangkwan Wan-ceng termenung2. Memandang ke langit nan biru, ia
menghela napas, "Oh, Allah".. apakah benar-benar dia harus mati secara begini sunyi?"
Ia rasakan tangan Han Ping dingin sekali. Ong Kwan-tiong dan nenek Bwe saling
bertukar pandang mata. Dalam sinar mata kedua orang itu seperti memancar rasa iba dan
sayang. Si Bungkuk dan si Kate batuk-batuk lalu bersama-sama berpaling memandang ke
arah sebatang pohon.
Si dara baju ungu tiba-tiba malah tertawa pelahan, ujarnya, "Racun sudah bercampur
darah, nyawanya sudah hilang. Sekalipun lebih cepat mati sejam, tetapi perlu apa
membuat kaget dan harus disayangkan?"
Tiba-tiba Siangkwan Wan-ceng berbangkit. Dengan sinar mata penuh dendam
kemarahan, ia menatap dara baju ungu itu.
Dara baju ungu itupun berbangkit juga. Tiba-tiba Siangkwan Wan-ceng gerakkan
tangan kanan menusuknya.
"Hai, engkau mau apa!" teriak nenek Bwe terkejut sekali seraya loncat ke samping
Siangkwan Wan-ceng. Jika Siangkwan Wan-ceng berani ajukan ujung pedangnya lagi,
tongkat nenek itu tentu akan menusuk tubuhnya.
Tetapi ternyata Siangkwan Wan-ceng seperti orang yang sudah kehilangan semangat.
Ia tak merasa kalau ujung tongkat si nenek sudah menyentuh pakaiannya Tetapi iapun tak
melanjutkan tusukannya kepada si dara baju ungu. Dengan menghela nafas pelahan ia
menarik pulang pedang dan memandang lagi ke mayat Han Ping, serunya beriba, "Engkau
sudah mati, baiklah"
Sekali gerakkan pedang, ia hendak menusuk tenggorokannya sendiri.
Tepat pada saat itu, sesosok tubuh melesat tiba dan berteriak keras, "Ceng ji, Ceng-ji,
apakah bukan engkau yang bicara itu?"
Cepat laksana kilat, orang itu melayang turun dari udara dan tiba di hadapan
Siangkwan Wan-ceng.
Suara panggilan yang bernada ramah penuh kesayangan yang mesra itu, serentak
dapat menyadarkan pikiran Siangkwan Wan-ceng yang sudah gelap.
Seorang bertubuh tinggi besar dan mengenakan pakaian warna hitam serta jenggotnya
sudah bercampur putih, berdiri setengah meter di depan Siangkwan Wan-ceng. Di bawah
cahaya bintang, tampak matanya berlinang dua titik airmata dan wajahnya mengerut
kedukaan. "Ceng-ji, apakah engkau diganggu orang?" serunya.
Ia tahu bahwa Siangkwan Wan-ceng itu dibesarkan dalam suasana kemanjaan. Sudah
tentu tak dapat menderita. Melihat nona itu hendak bunuh diri, ia duga tentu menderita
siksaan bathin yang hebat.
Siangkwan Wan-ceng tertawa rawan, sahutnya, "Ayah telah memelihara aku dengan
penuh kesayangan tetapi maaf aku tak dapat menunaikan bhakti kepada ayah"."
Ternyata yang muncul itu adalah Siangkwan Ko, ayah dari Siangkwan Wan-ceng. Sudah
tentu kepala dari marga Siangkwan itu terkejut sekali mendengar kata-kata puterinya.
"Ceng- ji!" teriaknya dengan sekuat tenaga sehingga kumandangnya mengarungi
empat penjuru gunung.
Mendengar teriakan sang ayah yang penuh dengan curahan kesayangan dan kepiluan
hati, Siangkwan Wan-ceng tersentak dari kelimbungan. "Yah?"" iapun berseru dan
mencucurkan air mata.
Ia menyadari bahwa dirinya menempati kedudukan yang penting dalam hati ayahnya.
Melihat ayahnya sampai meneteskan airmata, luluhlah hati Siangkwan Wan ceng. Ia tak
mau sang ayah menderita dalam usianya yang sudah tua itu. Pelahan-lahan pedang
Pemutus Asmara diturunkan dan berkatalah ia dengan rawan, "Yah. anggaplah ayah tak
pernah melahirkan seorang anak yang tak berbakti seperti aku ini!"
Cepat sekali mata Siangkwan Ko berkeliaran memandang ke sekeliling, serunya,
"Apakah mereka yang menghinamu?"
Siangkwan Wan-ceng gelengkan kepala, "Aku sendiri yang menyetujui. Tak boleh tidak
aku harus mati."
Siangkan Ko terkesiap, "Soal kematian, apakah bisa sembarangan saja menyetujui?"
"Sudah terlanjur, tiada guna disesalkan!" seru Siangkwan Wan-ceng.
"Ceng-ji. apakah engkau tak memikirkan betapa menderita ayahmu nanti jika engkau
meninggal itu" Dan apakah engkau tak ingat sama sekali kepada mamamu yang sedang
menderita sakit lumpuh" Jika tahu engkau meninggal. apakah engkau kira dia tak bakal
menyusulmu juga?"
Kepala marga Siangkwan itu menghela napas lalu berkata pula, "Ceng-ji, selama hidup
ayahmu selalu menepati ucapan. Dan akupun menghendaki puteriku jangan bolak-balik
bicaranya. Ketika mereka menggunakan ilmu silat untuk membunuhnya, sekalipun aku
sebagai seorang ayah tentu akan berduka sekali, tetapi aku tak dapat bicara apa-apa.
Tetapi kalau mereka hanya menggunakan omongan licin untuk menipumu supaya mati,
kuanggap hal itu bukan tindakan yang jujur. Sekalipun sudah janji, tetapi tak harus mesti
ditaati." Tiba-tiba nenek Bwe gentakkan tongkatnya ke tanah berseru bengis, "Karena
mengingat usianya yang begitu muda dan kurang pengalaman maka barulah kita memberi
kesempatan padanya untuk bunuh diri. Karena sekalipun tidak bunuh diri, juga serupa
saya tak nanti dapat lolos dari kematian!"
Siangkwan Ko tertawa dingin, "Di tangan siapa rusa itu akan mati, masih belum dapat
dipastikan. Baiklah jangan buka mulut besar dulu." " ia berpaling memandang puterinya
lalu berkata, "Ceng-ji, kemarilah! Kita berdua bersatu padu menempur orang-orang Lamhay-
bun?" Nenek Bwe kembali gentakkan tongkatnya, "Demi kecintaan ayah dan anak yang begitu
dalam, akan kulaksanakan kehendak kalian itu!" " ia menutup kata dengan ayunkan
tongkat menghantam Siangkwan Ko.
Siangkwan Ko tertawa hina. Menghindar tiga langkah ke samping, ia menghindari
serangan nenek Bwe. Nenek Bwe putar lengannya. Hantaman itu tiba-tiba dirobah menjadi
gerak menabas pinggang orang.
Siangkwan Ko diam-diam terkejut melihat kesebatan orang. Cepat ia mencabut pedang
dan hendak ditangkiskan. Tetapi sekali tangan nenek Bwe mengendap, tongkatnyapun
ditarik pulang lagi.
Sambil melirik ke arah dara baju ungu, nenek itu berkata dengan nada dingin kepada
Siangkwan Ko. "Kemarilah. kita berkelahi di tempat yang lapang. Asal engkau mampu
menerima dua-puluh jurus seranganku, segera kita bebaskan kalian berdua ayah dan anak
pergi!" Siangkwan Ko masih mencekal pedang dan merenung diam. Diam-diam ia menimang
dalam hati, "Ceng- ji biasanya berhati keras menurut kemauannya sendiri. Sekalipun
berhadapan dengan musuh kuat, anak itu tetap tak gentar. Tetapi aneh mengapa
tampaaknya saat ini dia seperti kehilangan sifatnya yang keras itu dan menurut saja
disuruh bunuh diri?"
Dalam pada itu, Ong Kwan-tiong gentakkan senjata thiat-cinya dan berkata dengan
hormat kepada nenek Bwe, "Harap lo-cianpwe suka beristirahat. Biarlah aku yang
menghadapinya!"
Nenek Bwe memandang Ong Kwan-tiong tanpa menyahut apa-apa.
Kiranya pada waktu menghindari serangan tadi, Siangkwan Ko telah melesat ke
samping si dara baju ungu. Sekali gerakkan pedang Siangkwan Ko pasti dapat melukai
dara itu. Rupanya Ong Kwan-tiong menyadari juga kedudukan sumoaynya yang berbahaya itu.
Ia tak berani bertindak sembarangan. Setelah batuk-batuk beberapa kali, ia berseru,
"Sudah lama aku mendengar kemasyhuran nama Siangkwan pohcu, lebih hebat dari
marga Nyo dan marga Ca. Sudah lama aku ingin sekali mendapat pelajaran. Maka silahkan
kemari ke tempat tanah lapang untuk menguji kepandaian!"
Sebagai seorang yang sudah kenyang makan asam garam dunia persilatan, sudah tentu
ketua marga Siangkwan itu tak mudah terpikat. Tiba-tiba mendapat pikiran, "Mereka dapat
memaksa puteriku bunuh diri tetapi mengapa mereka begitu sungkan sekali kepadaku?"
Secepat matanya melirik ke arah dara baju ungu yang berdiri dengan kepala
menunduk, ia tahu kalau dara itu tak menyadari tahwa ia berada di sampingnya. Karena
mengenakan kerudung muka warna hitam, Siangkwan Ko tak dapat melihat wajah dara
itu. Tetapi menilik arah ia berdiri, jelas kalau dara itu sedang memperhatikan wajah Han
Ping yang menggeletak di tanah.
"Hm, mengapa ia berdiri terlongong-longong. Apakah yang sedang dipikirkannya?"
Siangkwan Ko menduga-duga.
Tiba-tiba ia melihat tubuh Han Ping meregang-regang. Si dara baju ungu pun
kedengaran menghela napas lalu pelahan-lahan duduk dan melambai kepada Siangkwan
Wan ceng, "Lekas kemari, dengarkan perintahku untuk mengusir keluar darah beracun
dalam tubuhnya."
Siangkwan Wan-ceng meragu tetapi akhirnya ia menurut juga. Seluruh mata yang hadir
tercurah ke arah kedua gadis itu.
Mendengar nada suara sumoaynya yang menyatakan bahwa Han Ping mempunyai
harapan hidup kembali, Ong Kwan-tiong tak keruan perasaannya. Tak tahu ia, apakah
girang atau sedih. Ia tahu akan kecerdasan yang luar biasa dari sumoaynya itu. Dara itu
telah mempelajari ilmu pengobatan. Tak nanti sembarangan bicara.
Ong Kwan-tiong menghela napas lalu menengadah memandang ke langit. Terhadap
keadaan Han Ping yang akan hidup kembali, dalam hatinya timbul dua macam perasaan
yang saling bertentangan. Di satu fihak ia merasa sayang kalau seorang tunas muda yang
memiliki bakat begitu luar biasa harus mati begini muda. Di lain fihak, jika saat itu tidak
melenyapkan pemuda itu, kelak beberapa tahun lagi, dalam dunia persilatan mungkin
tiada orang yang sanggup menandingi pemuda itu". . .
Karena timbulnya pertentangan dalam batinnya itu, maka Ong Kwan-tiong menaruh
perhatian besar soal mati hidupnya Han Ping. Ia menyadari bahwa mati hidupnya pemuda
itu mempunyai arti yang besar bagi dunia persilatan.
Setelah jongkok maka Siangkwan Wan-ceng memandang dara baju ungu itu, tanyanya,
"Bagaimana caraku membantu?"
"Tekanlah jalan darah Hian-ki hiat di dadanya dengan tangan kirimu, lalu gunakan
tangan kanan untuk menghalau peredaran darahnya!" kata dara baju ungu.
Sejenak Siangkwan Wan-ceng memandang muka Han Ping, lalu bertanya, "Apakah dia
sudah mati" Atau masih hidup?"
"Masih ada setitik napas, denyutnya masih belum berhenti!" jawab dara baju ungu.
"Kalau begitu masih hidup?"
"Belum berhenti sama sekali, tetapi sudah dekat ajalnya. Dalam waktu sepeminuman
teh harus dapat mengeluarkan darahnya yang tercampur racun setelah itu harus menutup
jalan darahnya. Pertolongan itu harus dilakukan secepat mungkin. Jika terlambat, dia tentu
akan kehabisan darah dan mati. Sekalipun minum pil mujijad yang dapat mengembalikan
jiwa, tetap tak dapat menolongnya!" kata si dara baju ungu.
"Lalu mengapa engkau menusuknya?" tanya Siangkwan Wan-ceng, "jika tak kau tusuk,
dia tentu tak begitu gawat keadaannya!"
Sekalipun mulutnya menggerutu tetapi ia tetap melakukan apa yang diperintah si dara
baju ungu itu. Tangan kiri menekan dada Han Ping dan tangan kanan kerahkan tenagadalam
untuk melancarkan peredaran darah pemuda itu.
Dara baju ungu pelahan-lahan menyingkap ujung kerudung mukanya. Sejenak
memandang luka Han Ping, ia menghela napas, "Jika tak kutusuk, saat ini dia tentu tak
tertolong lagi jiwanya!"


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena didorong oleh Siangkwan Wan-ceng luka Han Ping yang sudah tak berdarah itu,
tiba-tiba memancurkan darah lagi. Melihat bagaimana deras darah itu memancar keluar,
Siangkwan Wan-ceng hampir tak dapat menahan kesedihannya. Ia mengangkat muka dan
memandang dara baju ungu itu, "Apakah engkau suruh dia mati di tanganku?"
Dara baju ungu itu tertawa dingin. Ia tak mau menyahut apa-apa dan hanya
memandang Siangkwan Wan-ceng melakukan pengurutan untuk mengeluarkan darah Han
Ping yang kena racun itu.
Saat itu separoh pakaian Han Ping sudah berlumuran darah sehingga segan orang
melihatnya. Siangkwan Wan-cengpun tak dapat menguasai ketenangan hatinya. Tangannya mulai
gemetar. "Bagaimana?" tanyanya kepada si dara.
Si dara baju ungu diam saja seolah-olah tak manghiraukan pertanyaan Siangkwan Wanceng.
Lewat sepeminum teh kemudian, tubuh Han Ping tiba-tiba gemetar. Siangkwan Wanceng
hentikan gerakan tangan kanannya dan membentak marah sekali, "Bagaimana ini"
Apakah engkau hendak suruh aku mengeluarkan seluruh darahnya?"
Dara baju ungu menyahut dingin, "Jangan banyak ribut2. Apabila sudah waktunya,
tentu kusuruh engkau berhenti!"
Sekalipun gelisah tetapi Siangkwan Wan-ceng tetap mengurut. Hampir seluruh darah
Han Ping telah keluar. Luka itu tidak mengeluarkan darah lagi tetapi air.
Dara baju ungu menghela napas, serunya, "Sudahlah!"
Siangkwan Wan-ceng cepat berhenti lalu cepat-cepat menutup jalandarah Han Ping.
Sebelum ditanya, dara baju ungu itu mendahului, "Sekarang, darah beracun dalam
tubuhnya sudah keluar. Asal makan obat penawar racun dan beristirahat beberapa waktu,
dia tentu akan sembuh."
Siangkwan Wan-ceng melengking marah, "Tetapi kulihat dia tak mungkin hidup.
Seorang yang sudah kehabisan darah mana bisa hidup?"
Dara baju ungu itu pelahan-lahan berdiri.
Kain kerudung mukanya berkibar-kibar tertiup angin pegunungan. Dengan langkah
lemah gontai ia berjalan maju. Sikapnya amat tenang sekali dan berjalan ke muka
Siangkwan Ko. Kepala marga Siangkwan itu cepat lintangkan pedang peraknya. Sembari keliarkan
mata memandang ke sekeliling, ia membentak pelahan, "Berhenti!" " terus loncat
mengangkat pedang gin-kiam dilekatkan ke punggung si dara.
Serempak pada saat Siangkwan Ko membentak itu, nenek Bwe, Ong Kwan-tiong dan si
Kaki- buntungpun segera menyerbu Siangkwan Ko. Mereka bergerak cepat sekali tetapi
tetap kalah cepat selangkah dari Siangkwan Ko. Ujung pedang kepala marga Siangkwan
itu sudah lebih lulu melekat di punggung si dara baju ungu.
Nenek Bwe yang pertama loncat mundur dan membentak bengis, "Lekas mundur!"
Ong Kwan-tiong dan si Kaki-satu mengiakan dan cepat loncat mundur ketempatnya
semula. Melihat itu Siangkwan Ko menengadahkan muka seraya tertawa nyaring. Cepat ia
mencekal siku lengan kiri dara baju ungu itu. Rapanya ia mencengkeram terlalu keras
sehingga dara itu mengerang kesakitan dan tubuhnya gemetar.
"Jangan melukainya"!" teriak nenek Bwe dengan marah.
Siangkwan Ko balas membentak, "Kalau berani maju selangkah saja, tentu akan
kutusuknya dengan pedang!"
Juga si Kaki-satu berteriak gopoh, "Jangan mengganggu selembar rambut dari
sumoayku, kalian berdua ayah dan anak jangan harap dapat tinggalkan tempat ini dengan
masih bernyawa!"
Siangkwan Ko membelalakkan mata lebar2 dan berseru mengejek, "Kalau kubunuhnya,
kalian mau apa?"
Si Kaki-satu tertegun dan tak dapat menjawab apa-apa.
Ong Kwan-tiong batuk-batuk pelahan lalu berseru, "Siangkwan pohcu, kalau mau
bicara, silahkan mengatakan. Apa yang dapat kami lakukan, tentu akan meluluskan."
Jelas sudah, setelah dara baju ungu itu jatuh dalam kekuasaan Siangkwan Ko, orangorang
Lam-hay-bun benar-benar tak berkutik dan kehilangan kegarangannya.
Nenek Bwe gentakkan tongkatnya, menghela napas panjang, ujarnya, "Seumur hidup
aku tak mau sembarangan memberi janji. Tetapi malam ini akan kuhapus pantangan itu
dan meluluskan kalian."
Siangkwan Ko tertawa dingin, serunya puas, "Tetapi Siangkwan Ko seumur hidup tak
pernah meminta pertolongan orang!"
Sekonyong konyong kedua bahu nenek Bwe bergerak dan cepat laksana kilat, ia sudah
melesat ke samping Siangkwan Wan-ceng dan sekali sudah mencengkeram pergelangan
tangan kanan gadis itu.
Saat itu Siangkwan Wan-ceng sedang menunduk memandang Han Ping. Seluruh
perhatiannya dicurahkan untuk mengamati setiap perobahan dari pemuda itu sehingga ia
tak menghiraukan apa yang terjadi di sekitarnya. Baru setelah pergelangan tangannya
dicengkeram nenek Bwe, ia tersentak kaget. Dengan tenang dan hambar ia berpaling
memandang nenek Bwe dan menegurnya, "Mau apa?"
Nenek Bwe kerahkan tenaga dalam tetapi tak dipancarkan ke arah jarinya. Sahutnya
dingin, "Suruh ayahmu melepaskan To-ji, segera kulepaskan tanganmu!"
"Siapakah To-ji itu".?" sahut Siangkwan Wan-ceng seraya melirik ke arah depan.
Dilihatnya ayahnya sedang mencekal siku lengan si dara baju ungu. Ia segera menyadari
dan menegas, "O, dara baju ungu itukah?"
"Benar," jawab nenek Bwe, "lekas suruh ayahmu melepaskannya!"
Siangkwan Ko tertawa memanjang, "Kalau aku tak mau melepaskannya?"
"Anak perempuanmu ini tentu akan kubunuh lebih dulu!" seru nenek Bwe.
"Dara baju ungu ini masih sayang jiwanya atau tidak?" sahut Siangkwan Ko.
Tiba-tiba dara baju ungu itu menyelutuk, "Tak apa, sekalipun engkau bunuh aku tetap
takkan mati. Tak percaya, silahkan mencoba!"
"Apa" Aku tak mampu membunuhmu?" Siangkwan Ko menegas heran.
"Silahkan engkau mencoba semua senjata yang engkau punya," kata si dara.
"To-ji, apakah engkau gila?" seru nenek Bwe. Dara baju ungu itu tertawa melengking,
serunya, "Bukankah aku masih waras?"
"Hidup dan Mati itu soal besar. Bukan mainan kanak-kanak! Mengapa engkau suruh dia
mencobanya!"
Dara baju ungu itu tertawa ringan, "Kalau dia menurut omonganku dan menusuk mati
aku. Bukankah kalian juga dapat menyiksa anak perempuannya?"
Mendengar kata-kata itu tergetarlah hati Siangkwan Ko, katanya, "Engkau pandang aku
ini orang macam apa" Masakan aku kena tipu seorang budak perempuan semacam
engkau! Hm, bagaimana mereka hendak mengerjai anak perempuanku, akupun akan
mencontohnya, mengerjai engkau!
Tukas pembicaraan itu jelas mengunjukkan betapa penting arti dari kedua nona itu bagi
kedua belah fihak. Keduanya sama-sama cemas.
Dari pembicaraan itu, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa apabila nenek Bwe tak
mencelakai Sangkwan Wan-ceng, Siangkwan Ko pun takkan bertindak terhadap si dara
baju ungu. "Harap Siangkwan pohcu suka mempertimbangkan lebih lanjut," Ong Kwan-tiong
berkata, "paling banyak engkau hanya mempunyai peluang untuk memukul satu kali.
Apabila kesempatan itu gagal, engkau tak mungkin mempunyai kesempatan turun tangan
lagi. Tetapi kebalikannya, kami masih mempunyai banyak waktu. Tak perlu terburu-buru
mengerjai puterimu! Misalnya, dapat menyayat kulitnya dan mengiris-iris dagingnya. Dan
lagi dapat melakukan hal itu di depan hidungmu!"
Siangkwan Ko sejenak keliarkan pandang ke sekeliling lalu menyahut dingin, "Pedang
gin-kiam yang kucekal ini, tak kurang dari duapuluh empat kati beratnya. Dalam dunia
kiranya tiada pedang yangmelampaui berat dari pedangku ini. Pedang perak ini sudah
menemani aku malang melintang di dunia persilatan selama tiga puluh tahun. Dan selama
itu tak pernah ada orang yang mampu menyelamatkan jiwanya di bawah tabasan pedang
ini"."
Tiba-tiba Siangkwan Wan-ceng berteriak memanggil si dara baju ungu, "To ji" To-ji,
lekas kemarilah!"
Dara baju ungu berpaling, serunya, "Siapa yang engkau panggil?"
"Engkau! Bukankah namamu Toji?" sahut si nona.
"Siapa yang memberitahu kepadamu?"
Siangkwan Wan-ceng berpaling memandang nenek Bwe, sahutnya, "Tadi nenek itu
memanggilmu begitu dan aku mendengarnya. Tiada orang yang memberitahu kepadaku!"
Si dara baju ungu itu hendak melangkah tetapi karena lengannya dicekal Siangkwan
Ko, ia tak dapat lepaskan diri.
"Yah, lepaskan ia," seru Siangkwan Wan-ceng dengan nada sarat dan rawan.
"Lepaskan ia, mungkin kita berdua sukar lolos dari bahaya"."sahut Siangkwan Ko.
Siangkwan Wan-ceng menghela napas. "Mati hidup sudah tersurat dalam nasib. Ayah
tak perlu kuatir, kumohon ayah lepaskan ia."
Siangkwan Ko julaikan pedangnya ke bawah dan lepaskan cekalannya, "Pergilah!"
Sejenak gerakkan lengan kirinya, dara baju ungu itu lalu melangkah menghampiri ke
tempat Siangkwan Wan-ceng.
Siangkwan Ko kiblatkan pedang gin-kiamnya dan berseru, "Sekarang kalian tak perlu
takut. Siapa yang hendak menempur aku lebih dulu?"
Kepala marga Siangkwan itu tegak berdiri dengan wajah serius seraya siap dengan
pedang Perak atau gin-kiam.
Si Kaki satu gentakkan tongkat besinya terus hendak loncat maju tetapi Ong Kwantiong
cepat melintangkan thiat-ci di hadapannya dan membentaknya pelahan, "Jangan
bertindak sembarangan."
Saat itu si dara baju ungupun sudah tiba di tempat Siangkwan Wan-ceng. Ia mencekal
tangan Siangkwan Wan-ceng lalu duduk di sisinya.
Nenek Bwe termangu dan lepaskan juga cekalannya pada pergelangan tangan
Siangkwan Wan-ceng.
Siangkwan Wan ceng memandang Han Ping, tanyanya, "Tadi dia bergerak lagi"."
"Apakah engkau tentu akan menolongnya?" selutuk si dara baju ungu.
Siangkwan Wan-ceng anggukkan kepala, "Dia selalu menuduh bahwa akulah yang
memaksanya minum racun. Aku hendak menolongnya supaya hidup agar dapat memberi
tahu bahwa aku tak meracuninya."
Dara baju ungu itu menghela napas, "Baiklah. aku dapat meluluskan engkau. Tetapi
seumur hidup aku tak mau menderita kerugian. Aku mau menolongmu tetapi engkau
harus meluluskan sebuah syaratku."
"Syarat apa?" tanya Siangkwan Wan-ceng.
"Sederhana sekali tetapi sukar untuk melakukan," kata si dara baju ungu. "Aku kuatir
engkau sukar pegang janji."
"Asal aku mampu, tentu akan meluluskan. Tak perlu simpan rahasia, lekas katakanlah!"
"Dalam mengerjakan sesuatu, aku selalu tak mau terjerumus dalam kesulitan .. ." kata
si dara baju ungu seraya merogoh ke dalam baju dan roengeluarkan sebuah botol kecil
dari batu kumala, katanya; "Dalam botol kumala ini terisi pil Hui-sim-sin-tan (pil perusak
hati) dari perguruan Lam-hay-bun. Setelah makan, dalam tempo sejam, racun itu segera
bekerja menyusup ke dalam urat2 jantung."
Mendengar itu Siangkwan Ko deliki mata dan membentak marah, "Apa" Engkau hendak
suruh anakku makan pil beracun seganas itu?"
Dara baju ungu menyahut dingin, "Memang aku hendak suruh puterimu makan pil itu,
tentu saja tak perlu kuberi penjelasan pandang lebar. Andaikata kubilang pil dalam botol
kumala itu adalah obat mujijad dari perguruan Lam-hay-bun dan setelah makan akan
dapat menambah umur dan tenaga dalam, entah apakah engkau mau percaya atau
tidak?" Siangkwan Ko batuk-batuk pelahan, serunya, "Ini, ini sudah tentu tak percaya!"
"Tetapi kukatakan bahwa pil ini adalah pil beracun penghancur hati yang ganas. Kalau
puterimu meminumnya, itu bukan salahku."
"Katakanlah maksudmu!" seru Siangkwan Wan-ceng, "ingin kutahu dengan cara apa
engkau dapat menyebabkan aku mau menelan pil beracun itu!"
"Persoalannya sederhana sekali," kata si dara baju ungu. "Engkau menghendaki aku
menolong jiwanya tetapi engkau harus meluluskan sebuah syaratku. Tetapi aku tak mau
memaksamu maka hendak kuajukan dua buah syarat agar engkau dapat memilih sendiri."
"Yang pertama, tentulah suruh aku minum pil Hui-sim-sin-tan itu, bukan?" tukas
Siangkwan Wan-ceng, "jangan kuatir! Katakan saja syarat yang kedua itu!"
"Yang satu itu lebih sederhana lagi," sahut dara baju ungu, "asal engkau mengucapkan
sumpah. Setelah lukanya sembuh, jangan engkau bicara lagi dengannya dan jangan
membantunya apa-apa. Nah, hanya begitulah!"
"Itu amat mudah, Ceng ji, lekas sanggupilah!" selutuk Siangkwan Ko.
Siangkwan Wan-ceng memandang ayahnya dengan pandang rawan2 penasaran.
Kemudian menghela napas pelahan, tanyanya, "Setelah minum pil Hui-sim-sin tan itu,
entah berapa lama aku dapat hidup?"
"Jangan kuatir," ujar dara baju ungu, "asal engkau setiap waktu makan obat
penawarnya, tiga sampai lima tahun engkau takkan mati. Tetapi kalau tak makan obat
penawar, dalam tujuh hari saja, jantung dan uluhatimu akan remuk dan engkau tentu
mati. Lebih dulu dapat kuberimu tiga butir pil penawarnya. Setiap bulan boleh engkau
minum sebutir."
Siangkwan Wan-ceng merenung sejenak, ujarnya, "Baik, akan kucoba pil beracun Huisim-
sin-tan dari perguruanmu Lam-hay-bun itu!"
Dara baju ungu tertawa melengking, "Bagus." " dari botol kumala itu ia menuang
sebutir pil warna hijau, ujarnya, "Makanlah ini dan aku pun segera mulai menolongnya.
Dalam waktu sepertanak nasi lamanya, dia tentu dapat menjelma hidup kembali!"
Siangkwan Wan-ceng menyambuti pil itu. Dua butir airmata menitik turun dari sudut
matanya. Katanya dengan nada beriba kepada ayahnya, "Yah, kutahu bahwa pilihanku ini
tentu akan membuat hatimu bersedih. Tetapi kuharap ayah suka memaafkan puterimu
yang tak berbakti ini."
Gemetar tubuh kepala marga Siangkwan itu demi mendengar kata-kata puterinya.
Dengan nada gemetar ea berkata, "Nak, apakah engkau sudah limbung pikiranmu?"
Siangkwan Wan-ceng tertawa hambar. Pada lain saat ia terus masukkan pil itu ke
dalam mulutnya.
Berkata si dara baju ungu, "Pil itu luar biasa ganasnya. Begitu masuk ke dalam mulut
terus meleleh menjadi cairan dan racunpun akan terus mengalir ke dalam tubuh,
menyusup ke dalam jantung. Apabila engkau hendak main siasat mengulumnya dalam
mulut, itu berarti engkau mencari penyakit sendiri."
Siangkwan Wan-ceng berseru marah, "Jangan mengukur hati seorang ksatrya dengan
ukuran hati seorang rendah. Jangan kuatir, pil itu sudah kutelan. Kalau tak percaya
lihatlah!" ia terus mengangakan mulutnya lebar2.
Dara baju ungu itu kembali merogoh ke dalam baju dan mengeluarkan sebuah botol
dari kumala hijau lalu menuang empat butir pil warna putih, jarnya, "Engkau ternyata
dapat memegang kepercayaan. Empat butir pil penawar ini nanti setelah duabelas jam,
engkau minum satu. Dan selanjutya setiap satu bulan engkau minum sebutir. began
demikian engkau pasti selamat tak kurang suatu apa dalam waktu tiga bulan ini."
Hati Siangkwan Ko mengikuti pil yang ditelan puterinya masuk kedalam perut. Hati
kepala marga Siangkwan itupun ikut tenggelam. Rasa ketegangan dan kesedihan yang
meluap dan mencengkeram hatinya, membuat tangannya lantas lunglai. Walaupun dekat
dari tempat Siangkwan Wan-ceng, namun ia tak berdaya untuk merebut pi1 beracun dari
tangan puterinya tadi.
Pula dalam anggapannya, Siangkwan Wan-ceng tentu takkan segila itu untuk menelan
pil beracun. Maka betapalah kejutnya ketika melihat puterinya benar-benar mau menelan
pil celaka itu.
Pun dara baju ungu itupun terkesiap juga melihat keberanian Siangkwan Wan-ceng
menelan pil beracun. Ia menghela napas pelahan lalu berjongkok dan cepat mengangkat
bahu Han Ping lalu berkata pelahan kepada Siangkwan Wan-ceng, "Lekas minumkan pil
putih yang engkau bawa itu sebutir!"
Siangkwan Wan ceng, menurut perintah. Setelah mengangakan mulut Han Ping, ia
susupkan sebutir pil putih tadi.
"Dengar perintahku, lakukan pengurutan jalandarah di tubuhnya," kata si dara baju
ungu pula. Siangkwan Wan-ceng deliki mata kepada dara itu, "Pada suatu hari kelak aku tentu
akan membelah tubuhmu dengan pedang!"
Dara baju ungu itu tertawa, "Sejak saat ini selama berbulan-bulan, engkau bakal
menderita siksaan racun Hu- sim-sin- tan itu. Mana engkau mempunyai kesempatan untuk
melampiaskan dendam kebencianmu kepadaku"."
Sejenak berhenti, ia melanjutkan kata-katanya pula, "Sekarang, lekas engkau mengurut
jalandarah Thian jong dan Lian cwan di lehernya."
Siangkwan Wan-ceng menurut. Dengan kedua tangannya, ia mulai mengurut leher
pemuda itu tak henti2nya dara itu memberi petunjuk mana2 yang harus diurut Siangkwan
Wan-ceng. Dalam beberapa kejab saja, Siangkwan Wan-ceng telah mengurut duabelas
jalandarah di tubuh Han Ping.
Setelah menenangkan napas beberapa jenak, ketegangan hati Siangkwan Ko mulai
reda. Tiba-tiba ia maju selangkah dan lekatkan pedang gin-kiam seberat 21 kati itu ke
batang leher si dara baju ungu.
"Ya, jangan melukainya!" seru Siangkwan Wan-ceng pelahan.
Tanpa berpaling kepala dan dengan tenang sekali, dara baju ungu itu berkata, "Jika dia
membunuh aku, dia tentu akan menyaksikan betapa kelak puterinya akan menderita
siksaan pil Hu- sim-sin- tan itu. Tujuh hari tujuh malam akan mengerang-erang tak hentihentinya.
Rintihannya begitu menyayat hati"."
Habis berkata tiba-tiba ia ayunkan kedua tangannya ke dada Han Ping. Rupanya
gerakan menghantam itu menggunakan tenaga penuh. Dan seketika itu Han Ping
membuka mata terus berbangkit bangun.
Dara baju ungupun cepat-cepat berdiri terus hendak melangkah pergi. Tetapi
Siangkwan Ko tekankan pedangnya dan paksa dara itu duduk kembali.
Tiba-tiba terlintas sesuatu dalam benak Siang-kwan Ko, pikirnya, "T"ubuh dara ini lemas
seperti orang kebanyakan. Asal kutambahkan tenaga tekananku, dia tentu tak kuat.


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apakah ia memang tak mengerti ilmusilat" Tetapi ia dapat mengatakan jalandarah di
tubuh orang dengan tepat sekali, seperti seorang ahli silat yang lihay"."
Pada saat itu nenek Bwe, diam-diam sudah lekatkan tangannya ke punggung
Siangkwan Wan-ceng.
Siangkwan Ko terkesiap dan berseru dengan nada dingin, "Sehelai rambut puteriku
engkau rontokkan. budak perempuan ini tentu akan kubelah tubuhnya!"
Jawab nenek Bwe, "Asal kutambahi sedikit tenaga lagi, urat2 jantung puterimu ini tentu
akan putus!"
"Dia sudah minum pil beracun dan tak dapat hidup lebih lama dari tiga bulan"." belum
Siangkwan Ko selesai dengan perkataannya, tiba-tiba Han Ping bergerak. Tangan kirinya
mendekap luka di dadanya dan tangan kanan menjemput pedang Pemutus Asmara lalu
secepat kilat menusuk pergelangan tangan Siangkwan Ko.
Cepat sekali ia bergerak sehingga kctua marga Siangkwan itu tak berjaga-jaga. Dan tak
sempat pula ia berpikir. Padahal ia dapat gerakan pedang gin-kiam untuk menyelamatkan
tangannya dari ancaman pedang Han Ping. Tetapi ia terkejut dan dengan gugup lepaskan
pedang lalu menarik tangannya.
Han Ping memang tak berniat melukainya. Begitu pedang gin-kiam terlepas ke bawah,
cepat ia sambut dengan tendangan. Pedang perak itu melayang ke udara dan meluncur ke
arah nenek Bwe. Nenek itu mendengus, menghantam dengan tongkatnya! Pedang ginkiam
yang beratnya 21 kati, terhantam melayang ke samping.
Tetapi pada saat nenek Bwe itu menghantam pedang, Han Pingpun sudah melesat dan
membabat lengan nenek itu dengan pedang Pemutus Asmara. Karena sedang
menghantamkan tongkat, nenek Bwe tak dapat balas menyerang. Terpaksa ia menghindar
ke samping. Tetapi pada saat ia mengisar, kelima jari tangan kirinyapun menarik tubuh
Siangkwau Wan-ceng setengah langkah ke samping.
Memang Siangkwan Wan ceng sudah merasa bahwa tangan yang melekat pada
jalandarah Beng-bun-hiat di punggungnya. Hebat sekali tenaga dalamnya. Kalau ia
bergeliat, tentulah nenek itu akan marah dan benar-benar akan membunuhnya. Maka
nona itu tak berani meronta atau berusana melepaskan diri.
Mendapatkan tangan kiri nenek itu masih melekat di punggung Siangkwan Wan-ceng,
Han Ping penasaran. Ia maju dan menyerang tiga kali. Serangan itu memaksa nenek Bwe
harus mundur dua langkah dan tangannya yang menempel pada punggung Siangkwan
Wan-cengpun terpaksa dilepaskan.
Siangkwan Wan-cengpun cepat loncat ke samping ayahnya.
Nenek Bwe tertawa seram, serunya, "Engkau minta mati?"
Tongkat pun segera disapukan.
Han Ping loncat mundur sampai dua meter. Dalam keadaan luka berat dan darah
hampir habis. walaupun mempunyai tenaga dalam yang hebat tetapi tenaganya sudah
lemah sekali. Demi untuk menolong kedua gadis, tadi ia telah mengerahkan semangatnya.
Tetapi setelah kedua nona itu terlepas dari bahaya, semangatnyapun berhamburan
lenyap. Kaki lantas lunglai dan bluk". jatuhlah ia tertelentang di tanah.
Nenek Bwe cepat lekatkan ujung tongkatnya ke tenggorokan Han Ping. Nenek itu
murka sekali tetapi tak berani bertindak. Dia cukup berpengalaman. Ia tahu bahwa dara
baju ungu itu mempunyai perasaan yang aneh terhadap pemuda yang gagah dan
berbakat cemerlang itu. Terhadap Han Ping, dara itu benci setengah mati tetapipun
mencintainya lebih dari jiwanya sendiri. Suatu perasaan benci2 cinta yang aneh.
Nenek Bwepun menyadari bahwa apabila ia membunuh anakmuda itu entah bagaimana
nanti penderitaan dara itu" Kecerdasannya yang luar biasa, menyebabkan orang tak
mengerti dan sukar menduga setiap perobahan hati dara itu.
Siangkwan Wan-ceng segera berteriak keras, "Dia belum sembuh dari lukanya.
Tenaganya masih lemah. Siapapun dalam keadaan begitu, tentu dapat membunuhnya.
Mencelakai orang yang sedang menderita luka, bukanlah satu perbuatan yang perwira!"
Saat itu Ong Kwan-tiong dan si Kaki-satu sudah loncat ke samping dari baju ungu dan
berdiri di kanan kirinya.
Terdengar dara baju ungu itu tertawa nyaring lalu berseru, "Bwe Nio, jangan
membunuhnya, lepaskanlah!"
Bwe Nio mengangkat tongkat dan pelahan-lahan mundur.
Han Ping sambil mendekap luka di dadanya memungut pedang lalu berbangkit. Sejenak
memandang ke sekeliling, ia segera melangkah pergi. Ia tak mau mengucap terima kasih
kepada siapapun juga. Wajahnya menampilkan kerut kehampaan. Tiada kasih, tiada
dendam. Dia tak mengacuhkan segala apa, mati, hidup dan menderita".
Dalam cahaya malam, tampak bayangan sosok tubuh pemuda itu makin lama makin
jauh. Setiap orang tahu bahwa sesungguhnya pemuda itu paksakan diri menahan
kesakitan yang hebat tetapi tak mau unjuk kelemahan di depan orang banyak. Dia pergi
seorang diri, hampa dan sunyi karena tiada seorangpun yang bertanya kepadanya,
tentang luka maupun keadaannya.
Setiap angin berhembus dan mengguncangkan kerudung muka dara baju ungu itu.
Tetapi dara itu tak mengacuhkan. Ia seperti kehilangan semangat.
Ong Kwan-tiong cepat ulurkan tangan untuk menahan kain kerudung dara itu seraya
berkata pelahan, "Angin malam amat dingin, sumoay harus menjaga diri, mari kita
pulang!" Dara baju ungu itu seperti dibangunkan dari mimpi. Ia menghela napas, ujarnya,
"Benar-benar seorang lelaki yang keras"." " sebutir airmata menitik turun dari pelapuk
matanya, menetes ke telapak tangan Ong Kwan-tiong.
Ong Kwan-tiong seperti menerima hantaman keras. Ia gemetar dan berbisik, "Sumoay,
mari kita pulang."
Tiba-tiba Siangkwan Wan-ceng melengking, "Hai, tunggulah aku .. .."
"Dia belum jauh, tunggu dulu, aku hendak bicara padamu!" seru si dara baju ungu.
Nenek Bwe pun cepat melintangkan tongkat menghadang Siangkwan Wan-ceng.
Siangkwan Wan-ceng geram dan hendak menyelinap dari samping tetapi nenek Bwe lebih
cepat. Ia mendorong dengan tangan kanan sehingga nona itu tersurut mundur.
"Nona Siangkwan, tunggulah, aku hendak bicara dengan engkau," seru si dara pula.
"Bicara soal apa?" tanya Siangkwan Wan-ceng.
Sambil menghampiri, bertanyalah dara itu, "Mau apa engkau hendak mengejarnya"
Racun dalam tubuhnya masih belum bersih dan dia takkan dapat hidup lama. Apakah
engkau hendak mengurus mayatnya?"
"Engkau manusia beracun. Jangan mengurusi aku!" seru Siangkwan Wan-ceng.
Dara baju ungu tertawa, "Benar, aku hendak membuatnya hidup tidak, matipun segan.
Biarlah dia menderita untuk beberapa tahun. Karena itu takkan kubiarkan dia mati cepatcepat.
Inilah sebuah resep. bawalah!"
"Resep apa?"
Kata si dara, "Untuk membersihkan sisa racun dalam tubuhnya, tetapi akan
menyebabkan lain racun yang sifatnya lebih lambat, pelahan-lahan menyusun ke dalam
dagingnya"."
"Hm, buat apa?" dengus Siangkwan Wan-ceng.
Si dara tertawa, "Itulah yang dikata Pintu muka mengusir badman, pintu belakang
memasukkan serigala."
"Risih telingaku!" teriak Siangkwan Wan-ceng seraya memutar tubuh hendak pergi.
Dara itu berteriak makin lantang, "Sekalipun resep obat ini mengandung racun aneh,
tetapi sifat racun itu lambat sekali. Dua tiga tahun baru bekerja. Jika dia tak minum resep
obat ini, sisa racun dalam tubuhnya dalam tiga hari tentu akan merenggut jiwanya. Di
antara dua pilihan, pilih yang betul2 ringan bahayanya. Maka baiklah engkau ramukan
resep ini."
Siangkwan Wan-ceng tertegun, diam-diam ia berpikir, "Benar, sekalipun obat itu
beracun tetapi dapat memperpanjang jiwanya sampai dua tiga tahun. Dalam jarak waktu
sekian lama itu, dapat berusaha untuk mencari tabib pandai"."
Terdengar dara itu tertawa, "Tak usah engkau banyak pikir. Engkau sendiri hanya dapat
hidup selama tiga bulan. Beaitu racun bekerja dan engkau mati di hadapannya. Tetapi jika
engkau melamun hendak mencarikan obat untuknya, bukanlah seperti menjadi
comblang?"
Siangkwan Wan-ceng marah, "Apa katamu" Aku tak mengerti!"
Si dara tertawa, "Kedua gadis dari Lembah Setan, lama sekali bergaul dengan dia.
Tentu mereka tumbuh ikatan cinta jika engkau berjerih payah mencarikan tabib pandai
untuk menyembuhkannya tetapi engkau sendiri bakal mati dalam tiga bulan. Apakah itu
bukan menjadi comblang atau engkau yang tanam, orang lain yang memetik buahnya?"
Jawab Siangkwan Wan-ceng, "Aku benar-benar tak mengerti, mengapa engkau begitu
membenci kepadanya. Dia sesungguhnya seorang pemuda yang jujur dan cerdas. Jarang
sekali terdapat seorang pemuda macam dia. Ah, dahulu akupun seperti alam pikiranmu.
Membencinya setengah mati. Siang malam aku selalu merangkai rencana, bagaimana
supaya dapat melukainya. Bagaimana supaya di hadapan ksatrya gagah di seluruh dunia
persilatan, aku dapat membuatnya malu"."
Dara baju ungu cepat memberi isyarat supaya dia jangan melanjutkan ceritanya,
"Kemudian ia mengambil sehelai sapu tangan putih, serunya, "Apakah engkau membawa
cat alis?"
"Aku tak pernah memulas alisku," sahut Siangkwan Wan-ceng.
Dara itu menghampiri seonggok api unggun yang masih belum padam lalu mengambil
setangkai dahan yang belum terbakar hahis. Setelah menulis di atas sapu tangan itu ia
memberikan kepada Siangkwan Wan-ceng, "Sudah kuterangkan sejelas-jelasnya, percaya
atau tidak terserah kepadamu!"
Siangkwan Wan-ceng menyambuti pemberian itu. Ketika memandang ke muka, tampak
ayahnya sedang bertempur dahsyat dengan Ong Kwan-tiong. Diam-diam ia kerutkan alis.
Tiba-tiba si dara berkata, "Jika ayahmu bebas dari perkelahian, tak mungkin ia
membiarkan engkau menyusul seorang pemuda yang menderita luka. Sekarang
kesempatan yang bagus, lekaslah engkau pergi".!"
"Orangmu berjumlah lebih banyak, biarpun lihay, ayah tentu tak dapat memenangi."
Si dara tertawa, "Cukup dengan Bwe Nio seorang saja. ayahmu sudah kalah, Engkau
harus mengerti ucapanku ini. Lekaslah engkau susul dia. Kutanggung ayahmu tentu
takkan menderita luka apa-apa"."
Tiba-tiba Siangkwan Wan-ceng kucurkan airmata, "Setelah berpisah ini, mungkin aku
tak dapat berjumpa dengan ayah lagi"."
"Jangan kuatir," hibur si dara, "wajahmu bukan seorang yang pendek usia. Mungkin
engkau akan berhasil bertemu dengan tabib pandai dan dapat mengobati racun dalam
tubuhmu itu, setelah lukanya sembuh, engkau masih ada waktu untuk pulang ke Kanglam
menghadap ayahmu. Nanti akan kuberitahukan kepada ayahmu agar dia jangan menyusul
kepergianmu ini dan kunasehati supaya dia pulang."
Siangkwan Wan-ceng menghela napas, "Berapa banyak jiwa yang melayang di bawah
pedangku. Tetapi entah bagaimana, kuheran mengapa tak dapat membunuhmu"."
Jawab Siangkwan Wan-ceng, "Soal itu panjang sekali kalau diuraikan. Tetapi pokoknya,
engkau memang tak mempunyai kesempatan untuk membunuh aku. Sekalipun dengan
sekali angkat tangan engkau dapat melakukan, tetapi sebelum angkat tangan, hatimu
sudah kutundukkan." " berkata sampai di sini tiba-tiba ia menyurut mundur dua langkah.
Kedua tangan mendekap dada dan berseru pula, "Lelaslah, tenaganya masih belum pulih,
kalau sampai tergelincir jatuh ke dalam jurang, tulang2nya tentu akan hancur lebur!"
Siangkwan Wan-ceng menghapus airmata, "Keselamatan ayahku, kuserahkan
kepadamu. Kalau dalam tiga bulan aku tak mati, aku tentu akan membalas budimu,"
katanya. Dara baju ungu tertawa, "Angin dan awan, tiada berketentuan, demikian dengan nasib
manusia. Siapa tahu perpisahan kali ini, kita akan dapat berjumpa lagi atau tidak" Dia
sudah jauh, lekaslah engkau susul!"
Siangkwan Wan-ceng menghela napas. Ia hendak bicara tetapi tak jadi. Berputar tubuh
ia terus lari menyusul Han Ping.
Setelah nona itu jauh dari pandangan, dara baju ungu tertawa nyaring dan melangkah
balik dengan pelahan. Serunya nyaring, "Toa-suheng, berhentilah. Aku hendak bicara!"
Dengan jurus Angin-prahara-melanda-bunga, Ong Kwan-tiong mendesak Siangkwan Ko
mundur dua langkah lalu dta sendiri loncat ke samping beberapa langkah.
Setelah Siangkwan Ko memulangkan napas, matanya menatap lekat2 pada senjata
thiat-ci dari Ong Kwan-tiong.
"Siangkwan pohcu," seru si dara tertawa, "setelah bertempur beberapa puluh jurus
dengan toa-suhengku, kiranya engkau tentu menyadari suasana hari ini, lebih
membahayakan daripada menguntungkan dirimu!"
Siangkwan Ko tertawa dingin, "Sebelum diketahui menang kalahnya, sukar dikata siapa
yang akan membunuh rusa itu!"
"Jika kami menggunakan dua orang untuk menyerangmu apakah engkau yakin dapat
bertahan lama?" kata si dara.
"Ini, sukar dibilang," sahut Siangkwan Ko.
"Rupanya engkau pandai melibat gelagat," kata si dara.
Siangkwan Ko berseru marah, "Seorang lelaki boleh dibunuh tapi jangan dihina.
Siapakah diri Siangkwan Ko ini" Masakan sudi menyerah mentah2?"
"Tiada orang yang menyuruhmu menyerah!" seru si dara, "sebelum pergi puterimu
minta dengan sangat kepadaku, tak boleh melukaimu."
"Anakku seorang gadis pilihan, mana sudi meminta belas kasihan orang. Aku tak
percaya!" Si dara tertawa, "Memang biasanya, tak mungkin dia berbuat begitu. Tetapi keadaan
soal ini berbeda."
"Apanya yang berbeda?"
"Ia sudah menelan pil beracun dari perguruan kami Lam-hay-bun. Tiga bulan
kemudian, tentu takkan tertolong jiwanya. Pada saat menghadapi kematian, kebanyakan
orang tentu padam nafsu ingin menang. Dia suruh aku menyampaikan kepadamu, minta
engkau jangan menyusul jejaknya. Dalam tiga bulan, dia tentu akan pulang ke Kanglam.
Diapun minta supaya engkau menyediakan sebuah peti mati yang bagus, ia hendak mati
dengan tenang di rumah."
Siangkwan Ko tertegun, serunya, "Benarkah itu?"
"Aku sudah berjanji meluluskannya. Takkan mencelakaimu, silahkan engkau pergi"."
Siangkwan Ko bersangsi sejenak. Pada lain saat ia berputar tubuh terus angkat kaki.
Berseru si dara dengan nyaring, "Suasana di tempat ini tidak aman. Tak perlu engkau
mencari puterimu. Lekaslah pulang. Jika tertunda oleh sesuatu, tentu sukar. Tak dapar
berjumpa untuk yang terakhir kalinya dengan puterimu, bukankah suatu hal yang
mendukakan hati seumur hidup?"
Siangkwan Ko berseru dengan lantang, "Wanji Wan-ji!"." " terus lari ke muka.
Seruannya yang bernada duka nestapa itu berkumandang jauh sampai menembus awan.
Gunung dan lembah memantulkan nada kumandangnya.
Dara baja ungu menghela napas dan berbisik kepada nenek Bwe, "Mari kita pergi!"
Nenek Bwe terkesiap, "Nak, bukankah engkau lepaskan dia lagi?"
Jawab si dara, "Aku tidak membunuh dia tetapi hanya menyiksanya dengan pelahan
agar ia dapat merasakan penderitaan baru nanti mati."
Nenek Bwe menghampirinya dan berbisik, "Du
================
Halaman 76-77 ================
jenak. Kemudian baru berkata pula, "Karena kalian bersedia, harap lain kali jangan
mengungkat soal pulang ke Lam-hay lagi"."
Dara itu menghela napas panjang, "Mari kita pergi." " ia terus ayunkan langkah.
Sekalian orang dapat merasakan bahwa ucapan dara itu mengandung jeritan hati yang
duka. Tetapi tiada seorangpun yang dapat mengetahui apakah sebenarnya yang
terkandung dalam hati dara itu.
Nenek Bwe gentakkan tongkatnya lalu mengikuti di belakang si dara. Ong Kwan-tiong,
si Kaki-satu baju merah dan kedua pengawal setia si Bungkuk dan si Kate pun menyusul.
Tokoh2 perguruan Lam-hay-bun itu tak berani menanyakan dan hanya mengikuti saja
ke mana dara baju ungu itu ayunkan langkah melanjutkan kelananya di dunia persilatan
Tiong-goan. HABIS ooo000ooo Sesungguhnya ia memuja dan mencintai. Tetapi, yang dicintai tiada merasa dan tak
mengetahui. Maka berkobarlah rasa Cinta itu menjadi suatu dendam kesumat yang
menyala-nyala. Han Ping meletakkan usaha pembalasan dendam kematian orangtuanya, di atas segala.
Ia buta akan cinta seorang dara ayu. Ia gelap akan hati gadis-gadis yang tercurah
kepadanya. Si Dara mau menyatakan isi hatinya. Si Pemuda terlalu jujur untuk menanggapi sikap
seorang dara yang manja. Maka terjadilah kisah tragedi yang bergelimpangan airmata dan
darah. Bagaimana akhir roman yang aneh dari dara baju ungu dengan Han Ping"
Bacalah: MAKAM ASMARA Lebih seru dalam pertempuran. Lebih sengit dalam dendam pembalasan. Lebih
mengharukan dalam buaian Cinta dan Kebencian. Lebih . .
Ah, silahkan baca sendiri. PASTI PUAS!__
Sepasang Pedang Iblis 4 Pendekar Super Sakti Serial Bu Kek Siansu 7 Karya Kho Ping Hoo Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 12
^