Pencarian

Memanah Burung Rajawali 31

Memanah Burung Rajawali Karya Jin Yong Bagian 31


Keduanya lantas kembali ke rumah makan. Di sana si tukang perahu yang gagu lagi tangal-tongol, mengharapai kedatangan orang. Ia menjadi girang sekali apabila dia menampak kembalinya si muda-mudi.
Dengan berlagak pilon, Kwee Ceng berdua pergi ke perahu orang Tiat Ciang pang itu. Mereka melihat sebuah perahu sedang, tidak besar dan tidak kecil, dan gubuknya hitam. Itulah perahu pengangkutan yang paling banyak digunai di sungai Goan Kang. Di atas perahu itu ada dua orang, yang masih muda, yang lagi mencuci lantai.
Begitu keduanya turun ke perahu, tukang perahu itu melepaskan tambatannya dan menolak perahu ke tengah sungai di mana layar lantas dipasang. Kebetulan sekali angin Selatan meniup keras, perahu laju cepat mengikuti aliran sungai.
Kapan Kwee Ceng memikirkan kebinasaan Yo Kang serta nasibnya Liam Cu dan Lam Kim, ia sangat berduka. Sambil menyenderkan tubuhnya, ia tunduk diam, matanya memandang jauh ke depan.
"Engko Ceng," berkata Oey Yong tiba-tiba. "Coba kau kasih lihat bukunya nona Cin itu. Entah ada hubungan apa di antara itu buku dan buku wasiatnya Gak Bu Bo?"
Anak muda itu seperti sadar.
"Hampir aku lupa!" katanya. Ia terus mengeluarkan bukunya, diserahkan pada si nona.
Oey Yong menyambuti, lantas ia membalik beberapa lembaran.
"Oh, kiranya begini!" katanya agak terperanjat. "Engko Ceng, mari lihat!"
Kwee Ceng berbangkit dan menghampirkan, ia duduk di samping si nona, di tangan siapa ia melihat buku itu.
Ketika itu sudah sore, sinar layung memain di permukaan air. Sinar itu, yang menyorot berbalik dari air, mengenakan juga muka si nona, baju dan buku di tangannya itu.
Sepasang muda-mudi itu besar hatinya, walaupun mereka berada di dalam kendaraan air musuh, mereka tidak takut. Dengan asyik mereka memperhatikan buku pemberian nona Cin itu.
Buku itu adalah buku buah tangannya Siangkoan Kiam Lam, pangcu yang ke 23 dari Tiat Ciang Pang. Di situ Kiam Lam mencatat segala apa mengenai sepak terjang pertainya. Dialah salah seorang punggawanya jenderal Han See Tiong. Ketika Gak Hui terbinasakan dorna Cin Kwee dan Jenderal Han dipecat, dia pun berhneti. Banyak orang bawahan dan serdadunya, yang turut mengundurkan diri dan hidup bertani. Tapi dia benci kawanan dorna, yang menguasai pemerintahan, maka dia mengajak serombongan sebawahannya, yang menyetujui cita-citanya untuk menaruh kaki di wilayah Kheng-siang, bekerja sebagai berandal. Hanya kemudian mereka masuk dalam kalangan Tiat Ciang Pang, malah ketika pangcu yang tua menutup mata, dia menyambut sebagai penggantinya. Mulanya Tiat Ciang Pang ada perkumpulan biasa saja akan tetapi setelah dipimpin dia, sifatnya berubah menjadi kuat. Dia berhasil mengumpulkan kawanan orang-orang gagah di Ouwlam dan Ouwpak, hingga kedudukannya tangguh seimbang dengan kedudukan Kay Pang di Utara. Tidak pernah Kiam Lam melupakan negera dan musuh negaranya, untuk membangunnya pula, sering dia mengirim mata-mata ke Lim-an. Ia mengharap ketika baik guna bergerak: Kemudian Kaisar Kho Cong mengundurkan diri dari tahta kerajaan, yang dia serahkan kepada Kaisar Huaw Cong, ia sendiri merasa senang menjadi Thay sianghong, Kaisar Hauw Cong ingat kesetiaan Gak Hui, ia menitahkan memindahkan kuburannya dari tepi jembatan Cong An Kio ke tepian See Ouw, Telaga Barat, di mana pun di bangun rumah abunya, sedang pakaian dan semua barang lainnya dari Gak Bu Bok disimpan di istana. Malamnya dari siangnya jenazah dipindahkan, bekas-bekas orangnya Gak Hui datang dengan diam-diam untuk bersembahyang. Mata-mata Tiat Ciang Pang di Lim-an mengetahui hal itu dan mendengarnya juga bahwa di antara warisan Gak Bu Bok ada sejilid kitab tentang ilmu perang, maka hal itu diwartakan ke Tiat Ciang San. Kiam Lam lantas bekerja. Ia mengajak sejumlah orangnya yang pandai, mereka berangkat ke kota raja. Pada suatu malam mereka memasuki istana dan berhasil mencuri kitabnya Gak Hui itu, yang mana malam itu juga di bawa dan diserahkan kepada Jenderal Han See Tiong.
Ketika itu Jenderal Han sudah berusia lanjut dan bersama istrinya Nio Hong Giok, ia tinggal menyepi di tepi See Ouw. Dia telah terbangun semangatnya menyaksikan kitabnya Gak Hui itu, hingga dia menghunus pedang dan membacok meja. Ia menghela napas. Untuk memperingati sahabat kekalnya itu, Gak Hui, ia lantas mengumpulkan pelbagai karyanya Gak Bu Bok, dijadikan sebuah buku, buku mana dia kasihkan pada Siangkoan Kiam Lam, yang dinasehati untuk mencoba mewujudkan cita-cita Gak Hui untuk mengusir bangsa asing, guna membangun pula negara sendiri. Kiam Lam menerima itu semua. ia juga bisa berpikir, maka ia ingat, tidak mungkin Gak Hui menulis kitab perangnya untuk dibawa ke kubur, tentulah itu untuk diwariskan kepada suatu orang, hanya saking kerasnya penjagaan Cin Kwee, kitab tersebut tidak sempat disampaikan. Pula mungkin, karena suatu sebab, orang yang harus menerima kitab itu tidak keburu ke kota raja. Kalau ini benar, ada kemungkinan orang itu datang ke istana dan menubruk tempat kosong disebabkan kitab itu telah tercuri. Karena ini, ia lantas membikin petanya gunung Tiat Ciang San diberikuti keterangan singkat bunyinya: "Kitab warisan Gak BU Bok adanya di Tiat Ciang San, di puncak Tiong Cie Hong, di lereng yang kedua." Jenderal Han khawatir orang tidak mengerti petunjuk singkat itu, ia menambahkan dengan cabutan syairnya Gak Bu Bok sendiri. Jenderal Han juga percaya bahwa orang yang bakal menerima warisan itu, jikalau bukannya murid Gak Bu Bok sendiri, tentulah salah seorang sebawahannya.
Kapan Siangkoan Kiam Lam telah berpulang ke Tiat Ciang San, ia memanggil kumpul banyak pecinta negara, ia mengajak mereka bergerak. Tetapi pemerintah Song jeri kepada negara Kim, bukan saja gerakan mulia itu tidak ditunjang bahkan ditindas, dalam hal mana, bangsa pun membantu. Maka gagallah usahanya Siangkoan Kiam Lam, dia mati di atas puncak Tiat Ciang Hong karena luka-lukanya. Bukunya itu bagian belakang, tulisannya tidak karuan, mungkin ditulis setelah dia terluka. Yang paling hebat ialah setelah belasan lembarnya dirobek-robek Cin Lam Kim.
"Tidak disangka Siangkoan Pangcu seorang pencinta negara," kata Kwee Ceng masgul, hingga ia menghela napas. "Sampai ajalnya, dia masih memegangi erat-erat bukunya ini. Aku tadinya menduga dia sama dengan Khiu Cian Jin si pengkhinat, mulanya aku memandang rendah padanya. Kalau tahu begini, tentulah aku sudah menghunjuk hormatku kepada tulang-tulangnya itu."
Tidak lama dari itu, cuaca mulai gelap, maka tukang perahu meminggirkan perahunya dan menambatnya, hendak ia memasak nasi dan menyembelih ayam, untuk mempersiapkan barang makanan.
Oey Yong dan Kwee Ceng khawatir nanti diracuni, dengan alasan si tukang perahu tidak resik, mereka membawa daging dan sayurannya ke darat, ke rumah seorang desa, untuk tolong dimatangi, untuk mereka bersantap di sana.
Tukang perahu itu mendongkol, tetapi karena dia gagu, dia tidak bisa bilang apa-apa kecuali nampak sinar mata dan romannya yang suram.
Habis bersantap, sepasang muda-mudi itu masih berangin di bawah pohon di depan rumah si orang kampung.
"Entah apa yang ditulis dalam beberapa lembar halaman yang dirobek enci Cin itu," berkata si nona. "Di dalam dunia ini cuma Khiu Cian Lie dan Yo Kang yang pernah membaca itu tetapi mereka dua-duanya telah mati."
"Khiu Cian Lie cuma mengambil buku ini, tidak bukunya Gak Bu Bok, kenapa?" tanya Kwee Ceng.
"Mungkin itu disebabkan dia mendapat dengar suara kita. Dan baru ambil jilid ini, dia tidak berani mengambil jilid lainnya. Mungkin beberapa lembar yang tersobek penting isinya. Bukankah si tua bangka sangat memperhatikan itu?"
"Hanya heran tentang Siangkoan Pangcu itu. Dia lari ke puncak. Kenapa tentara negeri tidak mengejar terus?"
"Ini pun aneh. Rupanya cuma setelah melihat isinya sobekan baru duduknya hal akan dapat dimengerti?" kata si nona, yang mendadak tertawa. "Kalau enci Cin itu tidak merobeknya dan kejadian dia pergi ke Wanyen Lieh, itu waktu pasti ada pertunjukan yang bagus sekali?" Ia berhenti pula, atau kembali ia berkata, berseru: "Bagus!"
"Apakah itu?" Kwee Ceng tanya.
"Kita menyerahkan buku ini kepada Wanyen Lieh," menerangkan si nona. "Dengan begitu, dia pasti bakal akan mengirim orang ke Tiat Ciang San untuk mencari buku warisan Gak Bu Bok itu. Bukankah Tiong Cie Hong tempat teramat keramat dari Tiat Ciang Pang" Mana Khiu Cian Jin suka membiarkan tempat sucinya diganggu" Maka itu pasti sekali mereka bakal saling membunuh di antara kawan sendiri! Tidakkah itu bagus?"
"Ya, itu benar bagus!" Kwee Ceng kata sambil bertepuk tangan.
"Aku tidak sangka sekali Suko Kiok Leng ong telah mendirikan jasa besar sekali!" kata Oey Yong yang pun girang.
Kwee Ceng tidak mengerti. "Bagaimana?" ia tanya.
"Kitab Gak Bu Bok disimpan di dalam gua di tepi Cui Han Tong di dalam istana," berkata si nona. "Karena Siangkoan Kiam Lam telah mencurinya dari sana, tentulah gambarnya ia telah taruh di tempat buku itu. Benar bukan?"
"Benar."
"Kiok Suko telah diusir dari Tho Hoa To tetapi dia tidak melupakan budi gurunya. Ia tahu ayah gemar akan tulisan, gmabar dan barang lainnya asal barang kuno, ia rupanya ketahui semua itu ada terdapat banyak di dalam istana, maka tanpa menghiraukan ancaman bahaya, ia nyelundup ke istana dan berhasil mencuri gambar, tulisan dan lainnya?"
"Benar, benar!" Kwee Ceng bilang. "Sukomu itu telah mencuri semua itu berikut gambar peta rahasia itu, lalu semuanya dia simpan di kamar rahasia di Gu-kee-cun, untuk dia nanti menghadiahkan kepada ayahmu, maka apa lacur, dia kena disusul rombongan siewi dan kena dibinasakan. Maka itu ketika Wanyen Lieh pergi ke istana, ia kebogehan, sudah buku Gak Hui tidak ada, petanya juga hilang. Ah, kalau begitu, selama di gua itu tidak usah kita mati-matian merintangi mereka, hingga aku tidak nanti sampai dilukai si bisa bangkotan dan kau tidak usah bersusah hati tujuh hari tujuh malam?"
"Soalnya tidak dapat dipandang dari sudutmu itu," membantah si nona. "Jikalau kau tidak beristirahat di kamar rahasia itu, mana kita bisa mendapatkan gambar peta itu" Juga mana?" Ia berdiam. Ia menjadi ingat pertemuannya sama putr Gochin Baki. Maka ia menjadi masgul. Selang sesaat, ia kata pula: "Entah bagaimana dengan ayahku sekarang?"
Ia memandang rembulan sisir.
"Segera bakal tiba di Pee-gwee Tiong Ciu," katanya. "Setelah pertandingan di Yan Ie Lauw di Kee-hin, apakah kau bakal kembali ke gurun pasir di Mongolia?"
"Tidak, lebih dulu aku membunuh Wanyen Lieh guna membalaskan sakit hatinya ayahku dan paman Yo."
"Setelah itu?" tanya si nona, matanya tetap mengawasi si putri malam.
"Masih banyak urusan lainnya! Suhu mesti diobati dulu hingga sembah. Pula Ciu Toako mesti dicari, untuk menyuruh dia pergi ke rawa lumpur hitam kepada Eng Kouw?"
"Setelah semua itu beres, kau toh akhirnya kembali ke Mongolia?"
Kwee Ceng tidak bisa menyahut, tak tahu ia mesti membilang apa.
"Ah, aku tolol!" kata si nona tiba-tiba. "Perlu apa aku memikirkan itu semua" Justru ada ini ketika baik, satu hari lebih lama kita berkumpul, satu hari terlebih baik. Mari kita kembali ke perahu, kita permainkan gagu palsu itu."
Kwee Ceng menurut. Keduanya berjalan pulang. Tiba di perahu, tukang perahu dan dua pembantunya sudah tidur.
"Pergi kau tidur, aku nanti berjaga-jaga," Kwee Ceng membisiki si nona.
Oey Yong merasakan kesehatannya belum pulih semua, maka itu ia letaki kepalanya di paha si anak muda. Dengan perlahan dia pulas.
Kwee Ceng tidak mau membikin tukang perahu nanti curiga, meskipun dia tidak mengingingkannya, dia terpaksa merebahkan diri, hanya diam-diam ia menghapal ajarannya It Teng Taysu bagian dari Kiu Im Cin-keng yang memakai bahasa Sansekerta. Ia menghapali terus sekitar satu jam, akhirnya ia menjadi gembira. Tidak saja ia tidak merasa kantuk, ia bahkan menjadi segar. Hanya tengah ia bergirang itu, ia mendengar Oey Yong mengigau perlahan. "Engko Ceng, jangan kau menikah sama putri Mongolia itu, aku sendiri yang hendak menikah denganmu." Ia melengak. Kembali ia mendengar suara si nona: "Bukan, bukan, aku salah omong. Aku tidak meminta apa-apa dari kau, aku tahu kau suka aku, itu saja sudah cukup."
"Yong-jie, Yong-jie" kata si anak muda terdengar.
Oey Yong tidak menyahutinya, hanya napasnya perlahan.
Pemuda itu bingung. Ia mencintai si nona, ia merasa kasihan. Ia mengawasi wajah orang yang tidur nyenyak di pahanya itu. Paras si nona itu putih tersinarkan cahaya rembulan, karena kesehatannya belum pulih, kulit mukanya belum kembali bersemu dadu. Ia mengawasi menjublak.
"Dia tentulah bermimpi dan dalam mimpinya ia mengingat peruntungan kita berdua," pikir anak muda ini. "Aku tidak boleh melihat dia dari sikapnya sehari-hari saja, yang bergembira, seperti orang tidak pernah berduka, sebenarnya di dalam hatinya ia masgul. Ah, akulah yang membikin dia mengalami kesulitan ini. Coba itu hari kita tidak bertemu di Thio-kee-kauw, bukankah itu baik untuknya?"
Selagi yang satu bermimpi atau mengigau itu dan yang lainnya mengawasinya dengan pikiran bimbang, tiba-tiba di permukaan air terdengar suara pengayuh bekerja, lalu terlihatlah sebuah perahu mendatangi dari sebelah hulu.
Kwee Ceng menjadi heran.
"Air sungai ini sangat deras dan berbahaya, siapa yang bernyali begitu besar berani menjalankan perahu malam-malam?" pikirnya. Karena ini, ingin ia melihat. Ketika ia hendak mengangkat kepala, mendadak ia mengurungkannya itu. Tiba-tiba ia mendengar tiga kali tepukan tangan dari perahunya. Diwaktu sunyi seperti itu, suara tepukan tangan itu nyata terdengarnya.
Setelah itu terdengar suara layar dibenahkan.
Tidak usah lama Kwee Ceng menanti akan mendapatkan perahu itu di pinggirkan dan dikasih nempel sama perahunya, maka dengan perlahan ia menepuk-nepuk tubuh Oey Yong untuk mengasih bangun kawannya itu.
Hampir itu waktu tubuh perahu bergoyang sedikit.
Pemuda itu segera mengintai. Ia masih sempat melihat satu orang, dalam rupa bayangan, berlompat ke perahu yang baru sampai itu. Orang itu ialah si tukang perahu yang berlagak gagu.
"Kau tunggu di sini, aku mau pergi melihat," Kwee Ceng berbisik kepada kawannya.
Oey Yong yang telah lantas bangun, mengangguk.
Dengan cepat Kwee Ceng pergi ke kepala perahu. Ia melihat perahu tetangga itu masih bergoyang, ia lantas lompat ke situ. Dengan membarengi bergoyangnya perahu ia membikin penghuni perahu tidak curiga. Dengan lantas ia mengintai. Maka terlihatlah olehnya tiga orang dengan pakaian hitam semua, seragamnya kaum Tiat Ciang Pang. Pula ia mengenali satu di antaranya yang tubuhnya tinggi besar, ialah Kiauw Thay yang pernah dipecundungi Oey Yong.
Pemuda ini sangat gesit, maka itu, ia seperti mendahului si tukang perahu. Sesudah ia mengintai, baru tukang perahu itu tiba di gubuk. Segera dia ditanya Kiauw Thay: "Apa kedua binatang cilik itu ada di sini?"
"Yah," menyahut si tukang perahu yang sekarang bisa bicara.
"Apakah mereka bercuriga?" Kiauw Thay menanya pula.
"Nampaknya tidak. Cuma mereka tidak sudi dahar, dari itu aku tidak bisa bekerja."
"Hm! Biarlah mereka mengantari jiwa di Chee-liong tha! Lusa tengah hari perahu kamu akan tiba di Chee-liong-tha, terpisah satu lie di muara itu, ada dusun Chee-liong-cip. Di sana kau singgah kami nanti menantikan kamu untuk membantu."
"Ya," si tukang perahu menyahuti pula.
"Dua binatang cilik itu lihay, kau mesti berhati-hati," Kiauw Thay memesan. "Kalau kau berhasil, pangcu bakal menghadiahkan kepadamu. Sekarang pergi kau balik ke perahumu dengan ambil jalan dari dalam air, supaya perahumu itu tidak bergoyang, agar mereka tidak curiga."
"Apakah Kiauw Cee-cu tidak ada titah lainnya?"
"Tidak!" menyahut Kiauw Thay seraya mengibaskan tangannya.
Tukang perahu itu lantas keluar dari gubuknya perahu. Ia pergi ke belakang, di sana ia terjun ke dalam air, untuk berenang ke perahunya sendiri.
Kwee Ceng berlaku sebat, ia mendahului kembali ke perahunya. Ia membilangi Oey Yong apa yang ia lihat dan ia dengar.
"Hm!" kata si nona perlahan. "Di tempat It Teng Taysu, air jauh terlebih keras, kita tidak takut, apalagi segala Chee-liong-tha" Mari tidur!"
Karena mengetahui rencananya orang jahat. muda-mudi itu jadi lega hatinya.
Di hari ketiga pagi, ketika si tukang perahu hendak mengangkat jangkar, untuk mulai berangkat pula, Oey Yong kata padanya: "Tunggu sebentar! Lebih dulu kau mendaratkan kuda kami, jangan kalau nanti perahu karam di Chee-liong-tha, dia nanti mengantarkan jiwanya!"
Tukang perahu itu berlagak pilon.
Oey Yong tidak memperdulikannya, bersama Kwee Ceng ia menuntun kudanya mendarat.
"Yong-jie, baik kita jangan bergurau bersama mereka," kata Kwee Ceng perlahan. "Baik dari sini kita melanjutkan perjalanan kita dengan menunggang kuda."
"Kenapa begitu?" menanya si nona.
"Tiat Ciang Pang bangsa manusia rendah, buat apa melayani mereka" Kita diam-diam saja."
"Apa dengan diam-diam saja kita aman?" tanya si nona.
Pemuda itu terdiam.
Oey Yong mengendorkan les kuda, tangannya menunjuk jalanan di sebelah utara.
Kuda itu mengerti. Sudha sering ia berpisah dengan majikannya, senantiasa meraka dapat bertemu pula. Maka ia lari ke arah utara di mana sebentar kemudian dia lenyap.
"Mari kita kembali ke perahu," kata si nona, menepuk tangan.
"Kesehatan kamu belum pulih, perlu apa kau menempuh bahaya?" Kwee Ceng kata pula.
"Kita terpaksa," kata si nona. Ia berjalan balik, ia turun ke perahunya.
Kwee Ceng mengiringi kawannya itu.
Putri Oey Yok Su itu tertawa, ia kata gembira. "Engko tolol, kita ada bersama, biar kita banyak mengalami yang aneh-aneh, kalau kemudian kita berpisah, bukankah jadi banyak yang dapat direnungkan" Bukankah itu bagus?"
Perahu berlayar sampai nampak sungai makin berbahaya. Di kira kanan hanya nampak gunung atau tebing.
Kwee Ceng dan Oey Yong pergi ke kepala perahu, mereka melihat segala apa, maka insyaflah mereka akan bahayanya perjalanan ini. Untuk dapat maju melawan air, perahu mesti ditarik orang. Di situ ada beberapa perahu lainnya. Perahu besar membutuhkan beberapa kuli, sedang perahu kecil, perlu delapan atau sembilan orang. Kuli-kuli penarik itu telanjang dadanya dan kepalanya dilibat sabuk putih, sambil menarik mereka mengasih dengar suara berbareng dan sama. Perahu yang berlayar milir hayut pesat sekali.
Sepasang muda-mudi itu menduga mereka bakal segera mendekati Chee-liong-tha. Hari pun makin lama makin siang.
"Yong-jie," kata Kwee Ceng perlahan, "Aku tidak menyangka sungai Goan Kang mempunyai bagian yang airnya begini deras den berbahaya. Mungkin bagian deras ini panjang sekali. Kalau perahu terbalik sedang kau masih belum segar, tidakkah itu berbahaya?"
"Habis bagaimana?"
"Kita bunuh saja tukang perahu itu lantas kita ke pinggir dan mendarat."
Si nona menggeleng kepala.
"Itulah tidak menarik hati!" katanya.
"Memangnya sekarang waktunya main-main?"
"Aku justru menggemari itu!" si nona tertawa.
Pemuda itu berdiam, ia mengawasi ke depan dan ke kira dan kanan. Ia lantas berpikir.
Berjalan lagi sekian lama, waktu sudah mendekati tengah hari. Setelah melintasi sebuah pengkolan, Kwee Ceng melihat di depan di pinggiran sungai, ada beberapa puluh rumah, yang tinggi dan rendahnya tergantung sama letaknya tanah pegunungan. Di situ, air jadi semakin deras. Ketika sebentar kemudian perhu tiba di dekat kumpulan rumah-rumah itu, di tepi sungai terlihat beberapa puluh orang yang seperti lagi menantikan.
Si tukang perahu lantas melemparkan dua lembar dadung ke darat, dadung mana disambuti beberapa pulu orang itu dan lantas dililit ke sebuah pelatok besar. Dengan ditarik, perahu itu sampai di tempat yang cetek.
Tidak lama tiba lagi sebuah perahu yang ditarik kira tigapuluh kuli, perahu itu dikasih berlabuh di situ, sedang di sebelah depan telah berlabuh kira-kira duapuluh perahu lainnya. Lantas ada seorang di daratan yang berkata nyaring: "Tadi malam keluar ular naga, air di gunung banjir, air sungai ini jadi sangat deras, maka sambil menanti air surut, mari semua beristirahat di sini!"
"Numpang tanya toako, tempat ini apa namanya?" tanya Oey Yong pada orang di sampingnya.
"Chee-liong-cip," orang yang ditanya itu menjawab.
Nona itu mengangguk, diam-diam ia memperhatikan tukang perahunya. Dia itu lagi berbicara gerakan tangan sama seorang di darat, orang mana bertubuh besar dan kekar. Dia menyerahkan satu bungkusan pada orang itu. Kemudian, mendadak orang itu mengeluarkan kapak dengan apa dia membabat putus dadung penambat perahu itu, terus ia mengangkat jangkar, terus ia mendorong perahu itu. Maka sekejap saja, dengan tubuh miring perahu itu hanyut terbawa air.
Si tukang perahu yang memegang kemudi, mengawasi ke muka air. Dua pembantunya masing-masing memegang galah kejen, romannya bersiap-siap akan melindunhgi si tukang perahu. Mungkin mereka khawatir kedua penumpangnya menyerang tukang kemudi itu.
Kwee Ceng terkejut, ia mengawasi air yang deras. Setiap waktu perahu itu dapat membentur wadas. Itu artinya terbalik atau karam.
"Yong-jie, rampas kemudi!" ia berteriak. Ia pun hendak lari ke buntut perahu.
Dua orang yang memegang galah itu mendengar suara si anak muda, mereka bersiap. Ketika mereka mengangkat galahnya, kejennya bergemerlap di cahaya matahari. Itulah tandanya kejen itu tajam sekali.
"Perlahan!" tiba-tiba Oey Yong berseru..
"Bagaimana?" si pemuda tanya.
"Kau melupakan burung kita.." si nona berbisik. "Sebentar perahu karam, kita naiki mereka untuk terbang pergi. Aku mau melihat apa mereka bisa bikin?"
Kwee Ceng sadar.
"Pantas Yong-jie tidak takut, kiranya ia telah siap sedia tipu dayannya" pikirnya. Ia lantas menggapai kepada kedua ekor burungnya, untuk disuruh diam di samping mereka.
Si tukang perahu tidak tahu kenapa anak muda itu batal bergerak, diam-diam ia bergirang. Ia mau percaya mereka kena dibikin jeri oleh arus yang sangat deras itu.
Segera juga terdengar suara dari serombangan kuli penarik perahu, lalu terlihat orang-orangnya, yang lagi menarik sebuah perahu dengan gubuk hitam, yang mengibarkan bendera hitam juga. Ketika si tukang perahu melihat perahu itu, dia lantas mengangkat kapaknya dengan apa dia mengapak putus kemudinya, kemudian dia pergi ke pinggir kiri. Terang dia bersiap akan lompat ke perahu yang lagi mendatangi itu.
Kwee Ceng melihat aksinya si tukang perahu itu.
"Naik!" ia kata seraya menekan punggungnya si rajawali betina.
"Jangan kesusu!" berkata Oey Yong. "Engko Ceng, kau hajar perahu ini dengan jangkar!"
Kwee Ceng mengerti maksudnya si nona, ia bersiap.
Tanpa kemudi, perahu hanyut semakin pesat, sebentar saja, kedua perahu datang semakin dekat. Perahu yang ditarik mudik itu digeser, tidak sampai diterjang perahu yang hanyut. Tukang-tukang menarik perahu agaknya kaget, mereka pada berteriak.
Kwee Ceng menanti saatnya, segera ia melemparkan jangkarnya keras sekali. Ia mengarah pelatok yang dipakai mengikat dadung penarik. Karena perahu pun ditarik keras, maka lemparan jangkar jadi semakin hebat. Begitu terkena, pelatok itu patah, dadungnya terlepas. Selagi tukang-tukang menariknya jatuh ngusruk, perahu itu sendiri lantas terbawa air, hanyut keras sekali. Orang banyak pada berteriak kaget.
Si tukang perahu kaget sekali.
"Tolong! Tolong!" dia berteriak-teriak saking takutnya.
"Hai, orang gagu bisa bicara!" kata Oey Yong tertawa. "Inilah keanehan di kolong langit!"
Kwee Ceng sendiri mengawasi ke perahu yang hanyut itu, tangannya masih memegang jangkar yang satunya. Tukang kemudi dari perahu itu lihay, di air deras, ia masih mencoba memutar kepala perahu, agar jangan buntutnya yang laju di muka seperti semula. Tepat pada saatnya, si anak muda melemparkan jangkar ke kepala perahu.
Si tukang perahu gagu palsu itu kaget bukan main..
Di saat yang sangat berbahaya itu, dari dalam perahu mendadak melompat keluar satu orang, yang bersenjatakan galah kejen dengan apa dia menyambuti, meyontek jangkarnya Kwee Ceng. Dia bertenaga besar tetapi galahnya ini tidak cukup kuat, galah itu patah, karena itu tujuan jangkar jadi berkisar. Begitulah jangkar dan patahan galah jatuh ke air. Orang kuat itu berdiri tegar di perahunya, dia mengenakan baju pendek warna kuning, dia berambut putih dan romannya gagah. Dialah Khiu Cian Jin, ketua dari Tiat Ciang Pang.
Dua-dua Kwee Ceng dan Oey Yong menjadi kagum sekali hingga mereka tercengang.
Justru itu, tanpa ketahuan, tubuh perahu telah membentur wadas. Keras goncangan itu, muda-mudi itu kena terdampar ke pintu gubuk. Mereka kaget, terutama sebab air segera merendam mata kaki mereka. Tidak ada ketika lagi untuk naik ke punggung burung.
"Mari!" Kwee Ceng berseru seraya ia melompat ke arah Khiu Cian Jin. Dia sengaja hendak menubruk ketua Tiat Ciang Pang itu, sebab kalau dia lompat ke arah lain dari perahu itu, sebelum tiba, dia bisa dipapaki serangan. Itulah berbahaya.
Khiu Cian Jin melihat orang berlompat ke arahnya, rupanya dia dapat menerka maksud orang, karena dia tengah memegang galah, dengan itu dia lantas memapaki.
Kwee Ceng melihat penyambutan itu, ia kaget.
Khiu Cian Jin melontorkan galahnya, yang menjurus ke dada si anak muda. Ia rupanya menganggap, lebih baik menyerang sambil menimpuk daripada menanti orang tiba di perahunya.
Dalam saat sangat berbahaya untuk si anak muda, tiba-tiba terlihat sinar hijau menyambut galah kejen itu. Karena mana lenyaplah ancaman bahaya itu.
Itulah Oey Yong, yang berlompat, menyusul kawannya, yang dengan tongkatnya menangkis galah. Setelah itu, begitu menginjak perahu, si nona segera menyerang pangcu dari Tiat Ciang Pang itu, hingga ia menjadi gelagapan, hampir dia kena ditotok.
Khiu Cian Jin mengenal lihaynya tongkat si nona, maka itu, selagi Kwee Ceng baru menaruh kaki, ia mundur kepada anak muda itu, yang dia sapu. Dengan begitu, ia berkelit sambil menyerang. Selagi Kwee Ceng berkelit, ia menyusuli dengan dua serangan saling susul dengan kedua tangannya.
Lihaynya serangan jago dari Tiat Ciang Pang ini. Itulah pukulan dari Tiat Ciang Kang-hu, atau ilmu Silat Tangan Besi, yang kaum Tiat Ciang Pang andalkan selama mereka menjagoi, bahkan di tangan orang she Khiu ini, jurusnya telah diubah dan ditambah hingga menjadi semakin lihay. Dibanding sama Hang Liong Sip-pat Ciang, ilmu itu kalah keras tetapi menang halus.
Begitulah dua orang itu bergerak di atas perahu.
Perahu sewaanya Kwee Ceng telah patah pinggang dan karam, si gagu palsu dan kawannya tercebur ke air dan terbawa arus, sia-sia mereka berenang, mereka terbenam di dalam air menggolak bagaikan air pusar.
Perahunya Khiu Cian Jin sendiri, meskipun hanyut keras, masih dapat dipertahankan, karena ada orang Tiat Ciang Pang yang lantas mengendalikannya.
Di atasan perahu, terbang mengikuti adalah kedua burung rajawali serta hiat-niauw, ketika burung itu saban-saban mengasih dengar suaranya.
Sampai itu waktu, Oey Yong pun turut berkelahi. Lebih dulu ia mengundurkan beberapa orang Tiat Ciang Pang, yang merintangi padanya, setelah itu ia dekati Kwee Ceng, guna mengepung Khiu Cian Jin.
Karena sama-sama lihay, kedua pihak berkelahi dengan rasa risih.
Selagi bertempur itu, Oey Yong melihat golok berkelebat di dalam gubuk perahu. Itulah seorang yang tengah membacok. Ia tidak tahu apa yang dibacok itu tetapi ia curiga, maka ia lantas menimpuk dengan jarumnya. Pembacok itu kena lengannya, bacokannya tidak bisa dilanjutkan, goloknya justru mengenai pahanya sendiri sampai dia menjerit. Si nona menyusul seraya berlompat masuk ke dalam gubuk. Ia menendang terjungkal orang itu, yang sudah tidak berdaya, lalu ia melihat seorang rebah tak berkutik di lantai perahu sebab kaki dan tangannya terbelenggu. Ia tidak usah mengawasi lebih lama akan mengenali Sin-soan-cu Eng Kouw, hingga ia menjadi heran. Tidak sekali disangka, di sini mereka dapat menemui nyonya itu, bahkan dalam keadaan tidak berdaya itu. Tanpa ayal lagi, ia memutuskan tambang yang mengikat tangan si nyonya.
Begitu lekas tangannya bebas, dengan tangan kirinya Eng Kouw merampas golok dari tangan si gadis, selagi Oey Yong heran, dia sudah membacok mampus orang Tiat Ciang Pang itu, yang tadi hendak membinasakan padanya. Habis itu dia baru memutuskan tali belengguan kakinya, sedang musuhnya roboh celentang hingga Oey Yong mengenali, dialah Kiauw Thay. Maka ia kata di dalam hatinya: "Kau sangat jahat, pantas kau mampus!"
"Meski kau telah menolongi aku, jangan kau harap aku akan membalas budimu!" kata Eng Kouw pada si nona.
"Siapa mengharap pembalasan budimu?" kata si nona tertawa. "Kau telah menolong aku, maka ini satu kali, aku menolongi kamu. Dengan begitu kita menjadi tidak saling berhutang!"
Sembari berkata begitu, Oey Yong pergi pula keluar untuk membantu lagi kepada Kwee Ceng.
Khiu Cian Jin benar-benat lihay, dia telah dapat bertahan, hanya segera ia menjadi kaget ketika kupingnya mendengar beberapa teriaka beruntun serta suara tubuh tercebur ke air. Sebab Eng Kouw, dalam gusarnya, sudah menghajar semua orang Tiat Ciang Pang yang berada di dalam kendaraan air itu, membikin mereka kecemplung ke air deras. Hingga tidak peduli yang pandai berenang, orang-orang jahat itu jangan harap nanti lolos dari bahaya mampus kelelap!
Khiu Cian Jin digelarkan "Tiat Ciang Sui-sing-piauw", atau di Tangan Besi yang mengambang di permukaan air itu bukan berarti dia dapat berjalan di permukaan air seperti mengambang, itu diartikan lihaynya ilmunya enteng tubuh, jangan kata di air demikian deras, sekalipun di air tenang di telaga, tidak dapat dia berjalan mengambang. Maka itu sekarang hatinya tidak tenang. Ia berkelahi sambil mundur. Kewalahan ia melayani Kwee Ceng yang dibantu Oey Yong. Untuk mencegah si nona menyerang ia dari belakang, ia berdiri membelakangi air. Secara begini ia mencoba bertahan.
Oey Yong berkelahi sambil memperhatikan lawannya yang tangguh ini. Sering ia melihat jago itu melirik ke kiri dan kanan. Ia menduga tentulah orang mengharap-harapkan datangnya perahu lain, ialah bantuan untuk pihaknya. Maka ia juga turut memasang mata. Ia pikir: "Biarnya dia jago, dia bakal dikepung bertiga. Kalo kita gagal, sebenarnya kita ialah kantung-kantung nasi?"
Eng Kouw di lain pihak telah berhasil menyapu bersih semua orang Tiat Ciang Pang. Ia membiarkan hanya satu orang, ialah si tukang kemudi. Ia melihat bagaimana dua muda-mudi itu belum bisa berbuat apa-apa terhadap Khiu Cian Jin, maka akhirnya ia menghampirkan mereka.
"Nona kecil, kau pinggirlah!" ia kata kepada Oey Yong " ia tertawa dingin. "Mari, kasihkan aku yang maju!"
Oey Yong tidak puas sekali. Terang orang memandang enteng padanya. Tapi ia cerdik, ia lantas berpikir. Terus ia mendesak ketua Tiat Ciang Pang itu.
Khiu Cian Jin bisa menduga si nona tentulah mau mundur menaati kata-kata si nyonya, meski ia mengerti ia toh tidak bisa berbuat apa-apa kecuali membela diri, karena si nona mendesak, Kwee Ceng tetap menyerang padanya. Oey Yong bukan mundur sendirinya, ketika mundur, ia menarik tangan baju kawannya seraya berkata: "Biarkan dia maju sendiri!"
Kwee Ceng heran tetapi ia mundur seraya membela diri.
Eng Kouw tidak memperdulikan sikap si nona, ia hanya menghadap Khiu Cian Jin, dengan tertawa dingin ia berkata: "Khiu Pangcu, di dalam dunia kangouw namamu terdengar cukup nyaring, maka aku heran untuk perbuatanmu yang hina dina! Selagi aku tidur di rumah penginapan, tengah aku tidak tahu apa-apa, mengapa kau menggunai hio pulas dan dengan caramu itu kau membekuk aku" Bagus perbuatanmu itu, ya"!"
"Kau telah dibekuk oleh orang sebawahanku, buat apa kau masih banyak bacot?" Khiu Cian Jin membalasi. "Jikalau aku yang turun tangan sendiri, hanya dengan sepasang tangan kosongku, sepuluh Sin Soan Cu pun dapat aku membekuknya!"
Eng Kouw tetap bersikap dingin.
"Di dalam hal apa aku bersalah dari kamu kaum Tiat Ciang Pang?" ia tanya.
"Kedua binatang cilik ini lancang memasuki Tiat Ciang Hong, tempat kami yang suci," kata Khiu Cian Jin. "Kenapa kau menerima mereka di rawa lumpur hitam" Dengan baik-baik aku meminta mereka diserahkan padaku, kenapa kau melindungi mereka dengan kau mendustai aku" Apakah kau sangka Khiu Cian Jin boleh dibuat permainan?"
"Oh, itulah gara-gara dua binatang cilik ini!" katanya. "Kalau kau mempunyai kepandaian, pergi tangkap mereka sendiri. Aku tidak punya banyak tempo akan campur segala urusan tetek-bengek begini!"
Bekas Lauw Kui-hui ini lantas mengundurkan diri, ia duduk bersila di lantai perahu, sikapnya sangat tenang. Ia mau jadi si penonton harimau bertarung, akan menyaksikan orang roboh dua-duanya!
Sikapnya si nona mengherankan dua-dua Kwee Ceng dan Oey Yong serta Khiu Cian Jin. Itulah mereka tidak sangka.
Eng Kouw turun gunung dengan pikiran kacau. Ia mendongkol dan berduka sebab ia gagal membunuh It Teng Taysu. Tidak tega ia melihat sikap tenang dari pendeta itu. Ia bersedih kalau ia membayangkan kematian anaknya yang malang itu. Begitu ketika ia mondok di penginapan, ia berlaku alpa, ia kena diasapi orang Tiat Ciang Pang dan kena ditangkap karenanya. Di dalam keadaan biasa, tidak nanti ia kena dibekuk secara demikian. Ia juga tidak menyangka, di dalam bahaya, ia jutru ditolongi oleh Oey Yong. Ia tetap mendongkol, maka itu, ia ingin biarlah muda-mudi itu dan Khiu Cian Jin mapus bersama?"
Oey Yong berpikir cepat: "Baik, kami akan melayani dulu Khiu Cian Jin, habis itu baru kami nanti mengasih lihat sesuatu padanya!" Ia lantas mengedipi mata kepada Kwee Ceng, terus ia menerjang pula pada Khiu Cian Jin. Aksinya ini segera ditiru si anak muda.
Begitulah mereka bertiga bergebrak pula.
Eng Kouw menonton dengan asyik. Ia melihat meski ketua Tiat Ciang Pang itu lihay, dia sukar bisa cepat-cepat merebut kemenangan. Ia bahkan melihat ketua itu mundur. Ia mau percaya, jadi dari Tiat Ciang San ini akhirnya bakal mampus atau terluka".
Kwee Ceng pun melihat sikap lawannya itu, ia menduga orang lagi mencari akal. Dilain pihak ia berkhawatir untuk Oey Yong, yang baru sembuh dan tidak selayaknya mengeluarkan banyak tenaga. Maka akhirnya ia kata: Yong-jie, baik kau beristirahat, sebentar kau maju pula."
Nona itu menurut.
"Baik," sahutnya seraya ia mundur. Ia tertawa.
Eng Kouw mengiri menyaksikan eratnya hubungan si pemuda dengan si pemudi, terutama perhatiannya si pemuda itu, hingga ia berpikir: "Dalam hidupku, kapannya pernah ada orang berbuat begini macam terhadapku?" Tiba-tiba dari mengiri ia menjadi cemburu dan dari cemburu hatinya menjadi panas. Mendadak ia berlompat bangun dan berkata dengan nyaring: "Dua lawan satu, apa itu namanya"! Mari, mari kita berempat menjadi dua rombongan, satu!" Ia lantas mengeluarkan dua batang bambu, tanpa menanti jawaban orang, ia berlompat menyerang Oey Yong.
Oey Yong menjadi mendongkol sekali.
"Perempuan gila yang lenyap hatinya!" ia mendamprat. "Tidak heran Loo Boan Tong tidak mencintaimu!"
Tapi ini cuma menambah kemurkaannya Eng Kouw yang menyerang makin hebat.
Oey Yong menjadi repot. Ia boleh lihay ilmu Tah Kauw Pang-hoat, tetapi ia kalah tenaga dalam, ia juga belum pulih kesehatannya, maka terpaksa ia menutup diri. Lebih sulit lagi, perahu itu bergerak keras tak hentinya disebabkan derasnya arus.
Kwee Ceng sendiri tetap melayani Khiu Cian Jin, ia tidak bisa merebut kemenangan tetapi ia juga tidak kalah.
Ketua Tiat Ciang Pang menjadi heran tidak karu-karuan kalau Eng Kouw membantu padanya. Tentu sekali perubahan sikap si nyonya membuatnya ia menjadi girang. Dengan begitu ia jadi seperti tambah semangat, terus ia menyerang dengan hebat. Ketika Kwee Ceng menyerang ia dengan jurus "Melihat naga di sawah", ia berkelit, habis berkelit, segera ia membalas menyerang, dengan dua tangannya berbareng, tangan kanannya dengan kejennya dan tangan kiri tangan kosong.
Kwee Ceng tidak takut, ia menangkis dengan dua-dua tangan juga. Maka tangan mereka bentrok. Lantas mereka sama-sama menyerukan: "Hm!" dan tubuh mereka masing-masing mundur tiga tindak. Khiu Cian Jin menahan diri dengan memegang tiang kemudi, dan kaki kiri Kwee Ceng terserimpat dadung, hampir dia terguling. Guna menjaga diri agar tidak diserbu, ia meneruskan lompat jumpalitan.
Khiu Cian Jin menganggap inilah ketikanya yang baik, ia tertawa nyaring dan lama, lantas dia maju, guna menyerang.
Eng Kouw tengah mendesak Oey Yong sampai si nona bernapas sengal-sengal dan peluhnya mengucur tatkala dia mendengar tertawanya ketua Tiat Ciang Pang itu, dia kaget hingga mukanya berubah, hingga lupa ia menarik pulang senjatanya yang kiri, Oey Yong melihat lowongan, lantas ia menyerang ke dada, menotok jalan darah sin-kie. Eng Kouw tidak menghiraukan itu, dengan tubuh terhuyung, dia menubruk ke arah Khiu Cian Jin sambil mulutnya berseru: "Kiranya kau!"
Ketua Tiat Ciang Pang terkejut, apapula dia melihat muka bengis dari nyonya itu yang mulutnya dipentang, kedua tangannya dibuka. Si nyonya seperti mau menubruk buat menggigit atau menggerogoti orang.
"Kau mau apa"!" berseru Khiu Cian Jin dalam herannya. Ia juga lompat ke samping.
Eng Kouw gagal dengan tubrukannya yang pertama itu, dengan mulut bungkam, ia menubruk pula. Ia seperti kalap. Kali ini ia mengajukan kepalanya, untuk menyeruduk.
Khiu Cian Jin berkhawatir. Ia merasa, celaka kalau ia kena dipeluk perempuan yang telah seperti kalap itu. Ia juga berkhawatir melihat Kwee Ceng merangsak. Maka untuk menolong diri, kembali ia berlompat ke samping.
Oey Yong segera menarik tangan Kwee Ceng, buat diajak berdiam di satu pinggiran. Dari situ mereka mengawasi Eng Kouw. Mereka pun heran dan berkhawatir. Nyonya itu kalap seperti orang gila. Terus dia menubruk, mulutnya senantiasa berseru, giginya dipertontonkan. Terang ia ingin memeluk Khiu Cian Jin untuk digerogoti".
Jago Tiat Ciang Pang itu menjadi kawalahan, ia selalu main berkelit. Beberapa kali tangannya kena terjambret tercakar hingga tangannya itu berdarah-darah. Dalam khawatirnya, beberapa kali ia berseru: "Pembalasan, pembalasan! Apakah aku mesti terbinasa di tangan perempuan gila ini?"
Eng Kouw mengulangi tubrukannya, sampai Khiu Cian Jin berada di dekat si tukang kemudi. Sekarang si nyonya matanya menjadi merah. Rupanya ia tahu, lawannya sangat lihay, sukar ia berhasil menubruk. Mendadak ia menyerang si tukang kemudi, hingga orang menjerit dan terjungkal ke air, menyusul mana, ia menendang tiang kemudi sampai tiang itu patah!
Segera karena tak terkendalikan, perahu itu goncang keras, hanyutnya kacau.
Oey Yong kaget hingga ia mengeluh. Kalapnya Eng Kouw bisa membikin mereka nanti kecebur ke air, mungkin bakal mati".Ia tidak tahu kenapa nyonya itu menjadi kalap mendadak. Karena itu ia mainkan mulutnya, guna memanggil burungnya.
Justru itu perahu melintag, segera membentur wadas, nyaring suaranya. Sebagai akibatnya, kepala perahu bocor.
Khiu Cian Jin kaget, ia menginsyafi bahaya, maka ia pun menjadi nekat, tetapi ia bukan menempur si nyonya kalap, ia hanya mengenjot tubuhnya, untuk berlompat ke darat. Ia tidak sampai di tepian, ia kecebur, tenggelam ke dalam air. Tapi ia sadar, ia mencoba memegangi batu wadas, dengan berpegangan terus, ia melapai ke pinggiran. Ia telah kena menenggak air, toh ia tiba juga di pinggiran dimana ia merayap naik ke darat, lalu dengan pakaian basah kuyup ia duduk beristirahat, matanya mengawasi ke perahu yang hanyut jauh, hingga seperti satu titik hitam. Ia bergidik kalau ia ingat akan kalapnya Eng Kouw.
"Binatang kemana hendak kau lari"!" demikian si nyonya mendamprat ketika ia melihat musuhnya melompat ke air. Ia juga ingin melompat atau sang air lekas sekali membikin perhu lantas terpisah jauh dari ketua Tiat Ciang Pang itu.
Kwee Ceng menaruh belas kasihan, ia menjambak punggung si nyonya, untuk mencegah dia terjun, tetapi nyonya itu menyampok ke belakang. Maka "Plok!" mukanya si anak muda kena dihajar, sampai ia merasakan pipinya panas dan sakit, hingga ia berdiri menjublak.
Oey Yong pun heran, tetapi burungnya sudah datang maka ia memanggil: "Engko Ceng, mari! Jangan layani perempuan gila itu! Mari kita pergi!"
Kwee Ceng menoleh pada si nona, kemudian ia berpaling pula pada si Eng Kouw. Ketika itu air sudah merendam kaki mereka. Mendadak nyonya itu mendekap mukanya dan menangis menggerung-gerung: "Anak, anak!" dia sesambatan.
"Lekas, lekas!" Oey Yong memanggil engko Cengnya .
Tapi Kwee Ceng bersangsi. Pemuda ini ingat pesan It Teng Taysu untuk menjaga dan melindungi Eng Kouw. Maka ia teriaki kawannya itu: "Yong-jie, lekas kau naik burung itu dan mendarat! Sebentar kau suruh dia terbang pula kemari menyambut aku!"
"Sudah tidak keburu!" Oey Yong kata, hatinya cemas.
"Lekas kau pergi!" Kwee Ceng mendesak. "Kita tidak bisa dapat menyia-nyiakan pesan It Teng Taysu!"
Mendengar penyahutan si anak muda, Oey Yong turut bersangsi. I apun ingat pesan si pendeta dan ingat pertolongan orang padanya. Tengah ia berdiam, mendadak tubuhnya bergoyang keras dan kupingnya mendengar suara nyaring. Nyata perahu mereka telah membentur satu batu besar, hingga air segera menerobos masuk ke dalam perahu itu, badan perahu juga meleset masuk ke dalam air.
"Lekas lompat ke wadas!" Oey Yong berteriak.
Kwee Ceng pun mengerti bahaya, ia mengangguk. Ia segera menghampirkan Eng Kouw untuk memegang padanya.
Kali ini si nyonya berdiam bagaikan orang linglung, dipegangi Kwee Ceng, dia tidak meronta, cuma matanya bengong mengawasi permukaan air.
"Mari!" berseru Kwee Ceng, yang dengan tangan kanannya mengepit tubuh si nyonya dan berlompat.
Oey Yong pun turut berlompat.
Mereka berhasil menginjak batu wadas itu, yang besar, hanya pakaian mereka telah basah kuyup keciprutan air. Ketika mereka menoleh, mereka mendapatkan perahu mereka sudah karam di pinggir wadas itu.
Oey Yong berdiri diam, melihat air, ia seperti kabur matanya. Itulah pengalaman sangat hebat untuknya, meskipun ia sebenarnya pandai berenang.
Burung rajawali terbang berputaran di atasan mereka, burung itu tidak mau turun menghampirkan meskipun berulang-ulang Kwee Ceng memanggil. Terang binatang itu takut air.
Kemudian Oey Yong memandang juga kelilingan. Ia melihat sebuah pohon yangliu di tepian sebelah kiri, terpisahnya dari mereka kira sepuluh tombak. Ia lantas dapat akal.
"Engko Ceng, coba kau pegang tanganku," ia kata.
Kwee Ceng tidak tahu orang hendak berbuat apa, ia pegang tangan kiri si nona.
Mendadak Oey Yong terjun ke air, terus ia selulup.
Pemuda itu kaget, ia lekas-lekas membungkuk dengan tangannya siulur panjang-panjang, sedang kedua kakinya dicantel di batu wadas. Dengan tangan kanan ia terus memegangi tangan si nona.
Oey Yong selulup untuk mengambil dadung layar, yang ia bawa kembali ke wadas. Ia menarik dadung hingga panjang duapuluh tombak lebih, ia mengutungi itu, kemudian ia memanggil burungnya, disuruh menclok di pundaknya kiri dan kanan.
Kwee Ceng membantui memegang burung itu, yang sudah besar dan berat badannya, ia khawatir si nona tak kuat memundaki kedua binatang piaraannya itu.
Oey Yong menginat dadung ke kaki burung yang jantan, ia menunjuk ke pohon yangliu, untuk menitahkan burungnya terbang ke pohon itu.
Burung itu mengerti, dia terbang ke pohon, setelah terbang memutari, ia terbang balik.
"Eh, aku menyuruh dia melibat dadung ini pada pohon!" kata Oey Yong.
Burung itu tidak dapat diksaih mengerti, maka nona ini masgul.
"Hayocoba!" kata Oey Yong kemudian. Ia mencontoh.
Burung rajawali itu terbang pula, ia mesti terbang hingga delapan kali, baru dadung dapat dilibat di pohon. Baru sekarang si nona girang.
Kwee Ceng pun girang, sebab ia mengerti maunya kawannya itu.
Ujung yang lain dari dadung itu lantas diikat pada wadas.
"Nah, Yong-jie, kau mendarat lebih dulu!" kata pemuda itu selesai mengikat.
"Tidak," menyahut si nona itu. "Aku akan menanti kau. Biar dia lebih dulu!"
Eng Kouw mengawasi muda-mudi itu, ia terus menutup mulutnya. Tapi sekarang ia sudah tenang, ia mengerti maksud orang, maka tanpa bilang apa-apa, ia berpegangan pada dadung, untuk melapai naik, hingga dilain saat ia telah tiba di darat.
"Di masa kecil, inilah permainanku yang menarik hati," kata Oey Yong. "Kwee Toaya, aku hendak memberikan pertunjukan, harap kau mengasih hadiah biar banyak!"
Setelah berkata demikian, si nona menyambar dadung untuk berdiri di atas dadung itu, habis mana, dia berlari-lari menyeberang melintasi air deras itu, tiba di pohon untuk turun ke tanah!
Kwee Ceng belum pernah menyakinkan ilmu jalan diatas tambang, dia tidak berani mencoba-coba, khawatir terpeleset dan jatuh ke air, dari itu ia mencontoh Eng Kouw, ia berpegangan pada dadung itu dan melapai. Sambil bergantungan, ia mengawasi ke darat. Lagi beberapa tombak ia akan tiba di pohon, mendengar seruannya Oey Yong: "Eh, kau hendak pergi ke mana?" Ia terkejut. Itulah seruan kaget.
Seruan itu disebabkan Eng Kouw berjalan seorang diri, untuk meninggalkan mereka berdua. Kwee Ceng khawatir nyonya itu belum sadar betul, itulah berbahaya. Maka ia lekas-lekas melapai, belum sampai di cabang pohon, ia sudah lompat turun.
"Lihat, dia pergi seorang diri!" kata Oey Yong, tangannya menunjuk.
Kwee Ceng mengawasi, hingga ia menampak Eng Kouw berlari-lari di tanah pegunungan, yang jalanannya banyak batunya dan sukar. Orang sudah pergi jauh, sulit untuk menyandaknya.
"Dia pergi seorang diri, pikiran dia was-was, inilah berbahaya," kata Kwee Ceng. "Mari kita susul."
Ia berkhawatir, begitu juga Oey Yong.
"Mari!" menyahut si nona setuju. Hanya ketika ia mengangkat kaki, untuk berlompat, mendadak ia roboh sendirinya, jatuhnya duduk, kepalanya digoyang beberapa kali.
Kwee Ceng mengerti nona itu lemas sebab barusan dia memakai terlalu banyak tenaga.
"Kau duduk di sini," ia kata. "Nanti aku yang menyusul sendiri. Aku akan segera kembali."
Pemuda itu lari keras, tapi kapan ia tiba di tikungan tiga, ia bingung. Di situ Eng Kouw tak terlihat, setahu dia mengambil jalanan yang mana. Tempat itu sunyi, rumputnya tinggi, hari pun sudah mendekati sore. Oleh mengkhawatirkan Oey Yong terpaksa ia lari balik.
Kesudahannya, satu malam mereka berdiam di tepi kali itu dengan menahan lapar. Pagi-pagi mereka sudah berjalan mengikuti tepian di mana ada sebuah jalanan kecil. Mereka mau mencari kuda dan burung api mereka, guna bersama-sama mencari jalan besar. Sesudah jalan setengah harian, mereka dapat emncari sebuah rumah makan. Lantas mereka singgah. Mereka membeli tiga ekor ayam, yang seekor dimatangi, untuk dimakan berdua, yang dua ekor untuk sepasang rajawali.
Dua ekor burung itu makan sambil menclok di atas pohon kayu.
Burung jantan baru makan separuh ayam itu ketika ia bersuara nyaring dan panjang, lantas makanannya dilemparkan, terus ia terbang ke utara. Yang betina juga terbang tinggi, setelah dia juga mengasih dengar suaranya, dia menyusul ke utara itu.
"Kelihatannya burung kita bergusar," kata Kwee Ceng. "Mereka melihat apakah?"
"Marilah kita lihat!" kata Oey Yong, yang terus melemparkan sepotong perak.
Dengan lantas mereka lari ke jalan besar, di sana mereka melihat burung mereka terbang berputaran, lalu menukik ke bawah, lalu naik pula, akan seterusnya terbang berputaran lagi.
"Mereka bertemu musuh!" kata Kwee Ceng. "Mari!"
Pemuda itu lantas lari, si nona mengikuti. Kira tiga lie, mereka menampak di depan mereka sekumpulan rumah seperti dusun yang ramai, di atas itu kedua burung mereka masih terbang berputaran, agaknya mereka kehilangan sasaran yang mereka cari.


Memanah Burung Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bab 68. Mengadu diam............
Bab ke-68 cersil Memanah Burung Rajawali, karya Jin Yong.
Sampai di luar dusun, Oey Yong memanggil turun kedua burungnya, akan tetapi burung itu tetap berputaran, masih saja mereka mencari apa-apa.
"Entah dengan siapa mereka bermusuhan hebat?" kata Kwee Ceng.
Lewat sekian lama barulah kedua burung itu turun. Lantas ternyata kaki kiri yang jantan berdarah, di situ ada bekas bacokan golok, syukur kakinya tidak tertebas kutung. Pantas agaknya ia mendongkol.
Muda-mudi itu kaget.
Sebelah kaki burung yang jantan mencengkram satu barang hitam, setelah diperiksa, itulah kulit kepala orang, yang masih ada rambutnya, yang masih ada darahnya.
Sembari memeriksa kulit kepala orang itu, Kwee Ceng berpikir.
"burung ini dipelihara semenjak kecil, dia baik sekali," kata ia. "Aku tahu mereka belum pernah melukai orang tanpa sebab. Kenapa sekarang mereka berkelahi sama orang?"
"Mesti ada yang aneh," kata Oey Yong. "Mari kita cari orang yang kepalanya kehilangan kulitnya itu"."
Maka mereka mampir di dusun itu, untuk bermalam. Tapi dusun besar, banyak rumah dan penduduknya. Mereka membuat penyelidikan sampai sore tanpa ada hasilnya.
Besoknya pagi, mereka mendapatkan kedua burung mereka membawa pulang kuda mereka. Hiat-niauw tidak ada beserta.
"Mari kita cari," kata Oey Yong, yang mengajaki kembali. Ia sangat sayang burungnya itu.
Tapi Kwee Ceng berkhawatir untuk Ang Cit Kong, yang terluka dan entah ada di mana, sedang harian Pwee-gwee Tiong Ciu bakal lekas datang, mereka mesti menghadiri pibu di Yan Ie Lauw di Kee-hin. Ia kata, perlu mereka lekas ke timur.
Oey Yong dapat dikasih mengerti, ia suka turut. Demikianlah dengan naik kuda merah, mereka berangkat. Mereka melarikan kuda mereka keras dan burung mereka mengiringi dari udara. Oey Yong senang sekali, di sepanjang jalan ia banyak omong dan tertawa, gemar ia berguar. Ia jauh lebih gembira daripada yang sudah-sudah. Bahkan diwaktu singgah, sampai jauh malam, dia masih tidak mau tidur, sedang kawannya yang khawatir ia terlalu letih, menganjurkan ia beristirahat. Ada kalanya, sampai jauh malam, sambil bersila di atas pembaringan, ada saja yang ia omongi dengan si anak muda.
Pada suatu hari tibalah mereka di tempat perbatasan sebelah selatan antara dua propinsi Ciat-kang dan Kang-souw, di sini mereka mengasih kuda mereka lari satu harian hingga singgah di sebuah penginapan. Oey Yong pinjam sebuah rantang rotan dari pelayan, hendak ia berbelanja di pasar.
"Kau sudah letih, kita dahar sembarangan saja di sini," Kwee Ceng mencegah.
"Aku hedak masak untukmu," berkata si nona. "Apakah kau tidak sudi makan masakanku?"
"Tentu aku suka, hanya aku menghendaki kau lebih banyak beristirahat," kata si anak muda. "Nanti kalau kau sudah sehat betul, itu waktu masih ada tempo untuk kau masak untukku."
"Sampai aku sehat betul"." mengulangi si nona. "Itu waktu"."
Ia telah bertindak di ambang pintu, baru sebelah kakinya, atau ia berhenti.
Kwee Ceng tidak tahu napa orang bilang, tetapi ia menurunkan naya dari lengan si nona. Ia kata: "Ya, sampai kita sudah dapat mencari suhu, baru kau masak, nanti kita dahar bersama-sama?"
Oey Yong berdiam sekian lama, lalu ia kembali ke dalam, untuk merebahkan diri di atas pembaringan. Ia terus berdiam, rupanya ia kepulasan?".
Kemudian, datang saatnya bersantap. Pelayan telah menyajikan makanan mereka. Si pemuda membanguni si pemudi, untuk diajak berdahar.
Nona itu bangun seraya berlompat turun. Ia tertawa.
"Engko Ceng, kita tidak dahar di sini," ia kata. "Mari turut aku!"
Pemuda itu menurut, ia mengikuti. Mereka pergi ke pasar. Oey Yong pergi ke sebuah rumah besar ynag temboknya putih dan pintunya hitam. Dia mutar ke belakang. Di sini ia lompat naik ke tembok, untuk ke pekarangan dalam. Si pemuda tidak mengerti tetapi ia megikuti terus.
Oey Yong berjalan terus hingga ke ruang depan di mana ada api terang menderang, sebab tuan rumah tengah membikin pesta.
"Semua pinggir!" berkata si nona sambil tertawa. Ia maju ke depan.
Semua orang di tengah pesta itu heran. Semuanya ada tigapuluh orang lebih yang terbagi atas tiga meja. Mereka itu saling mengawasi. Mereka heran mendapat orang adalah satu nona muda dan cantik.
Oey Yong menghampirkan satu tetamu yang gemuk, ia menjambak dan mengangkat tubuh orang, kakinya menggaet, maka robohlah si terokmok itu. "Apa kamu masih tidak mau menyingkir?" ia tanya, sambil tertawa.
Orang menjadi heran berbareng takut, mereka itu lantas jadi kacau.
"Mana orang" Mana orang?" tuan rumah berteriak-teriak. Dia heran, kaget dan berkhawatir dan mendongkol juga.
Segera terdengar suara berisik, di situ muncul dua guru silat beserta belasan pengikutnya. Mereka itu membawa golok dan toya.
Oey Yong tidak takut bahkan ia tertawa terus. Ketika ia menyambut kedua guru silat itu, sebentar saja ia dapat merobohkan mereka, terus ia menyerbu, merampas senjata belasan pengikut itu, hingga tuang pesta menjadi sangat kacau.
Tuan rumah jadi takut, dia hendak lari, tetapi dia dicekuk si nona, jenggotnya di tarik, lehernya diancam dengan golok. Dalam takutnya ia menekuk lutut, dengan suara gemetaran dan tidak lancar ia berkata: "Lie-tay-ong"oh, nona"kau ingin uang, nanti aku sediakan, asal kau ampuni jiwaku?"
"Siapa menghendaki uangmu"!" kata Oey Yong tertawa. "Mari temani aku minum!"
Tuan rumah itu ditarik jenggotnya, ia ketakutan, ia diam saja.
"Mari duduk," kata si nona, yang pun menarik tangan Kwee Ceng. Ia mengaajaknya duduk di meja tuan rumah bersama tuan rumah itu. "Kamu juga duduk!" ia kata pada orang banyak, yang berkumpul di pojokan, bingung dan berkhawatir. "Eh, kenapa kamu tidak mau duduk?" Ia lantas menancap golok di meja, golok itu berkilauan.
Semua tetamu itu ketakutan, dengan saling desak, mereka berebut maju, hingga kursi pada terlanggar terbalik.
"Kamu toh bukan bocah-bocah umur tiga tahun!" nona itu menegur. "Apa kamu tidak dapat duduk dengan rapi?"
Semua tetamu itu takut, mereka lantas berlaku tenang.
Oey Yong minum araknya dengan gembira.
"Perlu apa kau mengadakan pesta?" ia tanya tuan rumah. "Apakah kau kematian anggota keluargamu?"
"Sebenarnya aku tambah anak," kata tuan rumah. Sekarang ia tidak takut lagi. "Hari ini ada hari ulang tahun satu bulan anakku itu dan aku mengundang sahabat dan tetangga-tetanggaku"."
"Bagus!" kata si nona tertawa. "Coba kau bawa keluar anakmu itu!"
Tuan rumah kaget, mukanya pucat. Ia takut anaknya dibunuh. Dengan membelalak, ia mengawasi pisau yang masih nancap di meja. Tapi karena takut, ia terpaksa menyuruh orang membawa keluar anaknya itu.
Oey Yong menggendong bayi itu, ia mengawasi muka orang. Ia pun memandang muka tuan rumah. "Tidak mirip-miripnya," katanya. "Jangan-jangan ini bukan anakmu sendiri!"
Tuan rumah itu likat dan berbareng berkhawatir, kedua tangannya bergemetaran.
Semua tetamu itu merasa lucu tetapi tidak ada yang berani tertawa.
Oey Yong mengeluarkan sepotong uang emas berat kira lima tail, ia serahkan itu kepada inang pengasuh berikut bayinya seraya berkata: "Ini tidak berarti, hitung saja sebagai tanda mata dari nenek luarnya."
Semua orang merasa heran dan lucu. Dia orang luar dan menyebut dirinya nenek luar sedang dialah satu nona remaja. Tuan rumah tampaknya girang.
"Mari! aku beri kau selamat satu mangkok!" kata Oey Yong. Dan ia mengambil satu mangkok besar, ia isikan arak, ia tolak itu ke depan tuan ruamhnya.
"Aku tidak kuat minum, maaf," kata tuan rumah itu.
Mendadak si nona mengasih lihat roman bengis, tangannya pun menyambar jenggot.
"Kau minum atau tidak"!" dia tanya keras.
Tuan rumah itu ketakutan, terpaksa ia menenggak arak itu.
"Nah, ini baru bagus!" kata si nona. "Mari, sekarang kita main teka-teki!"
Semua orang takut, maka apa yang si nona inginkan lantas kejadian. Tapi mereka bangsa saudagar atau hartawan, tidak ada yang pandai main teka-teki, si nona jadi sebal. "Sudahlah!" katanya.
Sementara itu tuan rumah roboh menggabruk. Dia tidak kuat minum tetapi mesti minum banyak arak?"..
Si nona tertawa lebar, ia dahar, Kwee Ceng menemani padanya.
Akhirnya terdengar tanda jam satu malam, si nona mengajak kawannya pulang, tuan rumah dan tetamunya dibiarkan dalam bingung?"
"Bagus tidak, engko Ceng?" Oey Yong tanya setibanya di pondokan.
"Ah, tidak karua-karuan kau membikin orang ketakutan," kata si anak muda.
"Sekarang ini aku mencari kesenangan untukku, aku tidak peduli orang lain ketakutan," kata si nona.
Pemuda itu heran. Kata-kata itu mesti mengandung arti tetapi ia tidak sanggup menangkapnya.
"Aku hendak pergi jalan-jalan, kau turut tidak?" kemudian Oey Yong tanya.
"Di waktu begini mau pergi ke mana lagi?" tanya si pemuda heran.
"Aku ketarik sama bayi tadi. Ingin aku memain dengannya, sesudah beberapa hari, baru aku akan membayarnya pulang".."
"Eh, mana dapat?" kata Kwee Ceng heran.
Tapi si nona tertawa, dia pergi ke luar, dia melompat tembok pekarangan.
Kwee Ceng menyusul, ia menarik tangan orang.
"Yong-jie, kau sudah main-main lama, apakah itu masih belum cukup?" tanyanya.
"Belum cukup," si nona menyahuti. "Mari kau temani aku, kita main-mian sampai puas benar. Lewat beberapa hari lagi bukankah kau bakal meninggalkan aku, kau akan pergi mengawini putri Gochin Baki" Tentu dia bakal tidak mengijinkan kau bertemu pula sama aku".. kau tahu, waktunya aku berada bersama kau, lewat satu hari berarti kurang satu hari, maka itu satu hari itu tempo itu ingin aku membikin menjadi dua hari, seperti tiga hari, ya seperti empat hari! Engko Ceng, hari kita sudah tidak banyak lagi, maka malam juga aku tidak mau tidur, aku mau pasang omong terus dengan kau! Mengertikah kau sekarang" Bukankah kau tidak bakal mencegah aku pula atau menasehati aku untuk beristirahat?"
Kwee Ceng terbengong. Baru sekarang ia mengerti perubahan sikap si nona ini - sikapnya yang luar biasa itu. Si nona jadi tak ingin berpisah dengannya. Tempo yang pendek hendak dibikin panjang dengan pertemuan lama, tak siang tak malam". Ia memegang erat tangan si nona itu, ia merasa kasihan, ia mencintai.
"Yong-jie, otakku yang tumpul!" katanya. "Sebegitu jauh aku tidak mengerti maksudmu. Aku".aku?" Ia berdiam tak dapat ia berkata terus. Ia tidak tahu mesti mengatakan apa.
Oey Yong tersenyum.
"Dulu hari ayah mengajarkan aku membaca banyak syair, yang mengenai kedukaan dan penasaran," katanya. "Aku kira itu disebabkan ayah berduka karena sangat mengingat ibuku yang telah meninggal dunia itu, baru sekarang aku ketahui, hidup di dalam dunia ini, orang benar banyak lelakonnya, sebentar girang, sebentar bersusah hati?"
Malam itu bulan sisir, udara terang, hawa pun adem. Angin meniup halus.
Kwee Ceng jadi berpikir. Ia tidak menyangka si nona mencinta dia sedemikian rupa. Sekarang ia mengerti akan kelakuan luar biasa nona itu selama beberapa hari yang paling belakangan ini.
"Bagaimana kalau kita berpisah nanti?" pikirnya. "Yong-jie cuma ditemani ayahnya, apa tidak kesepian ia berdiam seorang diri di Tho Hoa To" Dan bagaimana lagi nantinya, kalau ayahnya telah menutup mata" Tidakkah ia akan hanya ditemani hamba-hamba gagu" Mana dia bisa merasa senang-senang?"
Mengingat begitu, hati pemuda ini menjadi kecil. Ia pegangi keras tangan si nona, ia menatap mukanya.
"Yong-jie," katanya, "Biar langit ambruk, akan aku menemai kau di Tho Hoa To!"
Tubuh si nona bergemetar, ia mengangkat kepalanya.
"Apa katamu?" ia tanya.
"Aku tidak lagi memperdulikan lagi Jenghiz Khan atau Gochin Baki," menyahut si anak muda. "Seumur hidupku akan aku menemani kau saja!"
"Ah?" kata si nona dan ia nyelundup ke dadanya anaknya muda.
Kwee Ceng merangkul. Sekarang ia merasa hatinya lega.
"Bagaimana dengan ibumu?" si nona tanya selang saat.
"Aku akan pergi menjemputnya untuk diajak ke Tho Hoa To," sahut si anak muda.
"Apakah kau tidak takut pada Jebe, gurumu dan Tuli serta sekalian saudaranya, semua pangeran itu?"
"Mereka semua baik terhadapku tetapi aku tidak dapat memecah dua hatiku?"."
"Bagaimana dengan keenam gurumu dari Kanglam serta Ma Totiang, Khu Totiang dan lainnya lagi?"
"Pasti mereka bakal gusar tetapi perlahan-lahan saja aku akan meminta maaf pada mereka. Yong-jie, kau tidak mau berpisah dari aku, aku juga tidak mau berpisah dari kau."
"Aku punya akal," berkata si nona tiba-tiba. "Kita bersembunyi di Tho Hoa To, untuk selamanya kita jangan berlalu dari situ. Ayah pandai mengatur hingga pulau itu tertutup untuk orang lain, taruh kata mereka dapat mendatangi tetapi tidak nanti mereka dapat mencari kau?"
Kwee Ceng menganggap akal itu tidak sempurna, ia hendak mengutarakan pikirannya itu atau mendadak ia memasang kupingnya. Ia mendengar tindakan kaki di tempat belasan tombak, tindakan dari dua orang yang biasa berjalan malam, datangnya dari selatan, tujunannya utara. Ia pun dapat mendengar perkataan satu di antaranya: "Loo Boan Tong telah terkena terjebak Pheng Toako, kita jangan takuti dia lagi! Mari lekas!"
Juga Oey Yong mendengar sama seperti si anak muda. Kedua mereka tidak berniat memikir apa juga, ingin mereka menyenangkan hati, tetapi disebutkannya nama Loo Boan Tong, membuatnya mereka berdua itu berjingkrak berbareng, dengan serentak mereka lari untuk menyusul kedua orang itu.
Orang-orang yang belum dikenal itu berlari-lari tanpa mengetahui yang mereka lagi dikuntit. Mereka lari terus hingga lima-enam lie di belakang dusun itu. Tempo mereka membelok ke sebuah tikungan, dari sebelah depan lantas terdengar suara yang berisik sekali serta cacian.
Dengan mempercepat larinya, Kwee Ceng dan Oey Yong lantas sampai di tempat tujuan. Dengan lantas mereka menjadi terkejut dan heran. Mereka telah melihat Ciu Pek Thong lagi duduk bersila di tanah, tubuhnya tak bergerak, entah dia hidup atau sudah mati. Dan di depannya, duduk bercokol juga ada seorang pertapaan sebagaimana dikenali dari jubahnya. Dialah Leng Tie Siangjin, si pendeta dari Tibet.
Di samping Ciu Pek Thong ada sebuah gua gunung yang mulutnya kecil, yang bisa muat tubuh satu orang dengan orang itu mesti masuk sambil membungkuk. Di luar gua ada enam orang, ialah mereka yang suaranya berisik itu, mereka berani membuka mulut tetapi takut masuk ke dalam gua, seperti juga di dalam situ ada suara makhluk yang dapat mencelakai orang.
Kwee Ceng khawatir Ciu Pek Thong telah menjadi korbannya si Pheng Toako, sebagaimana tadi dia mendengar perkataannya orang, karena itu hendak ia lantas maju mendekati.
Oey Yong melihat sikap kawannya, ia mencegah sambil menarik tubuh orang.
"Sabar," kata Oey Yong. "Mari kita memeriksa dulu dengan teliti."
Kwee Ceng dapat dicegah maka berdua mereka mengumpatkan diri. Dengan begitu mereka jadi melihat dengan tegas rombongan orang itu, yang kebanyakan adalah kenalan-kenalan lama, ialah Som Sian Lao Koay Nio Cu Ong, Kwie-bu Liong Ong See Thong Thian, Cian-ciu Jin-touw Pheng Lian Houw dan Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay. Dua lagi ialah si orang tukang jalan malam tadi, yang mereka tidak kenal.
Oey Yong merasa semua orang itu bukan tandingannya dia serta Kwee Ceng. Dua orang baru itu juga tidak usah dikhawatirkan. Tapi ia masih melihat ke sekitarnya. Di situ tidak ada orang lain. Maka ia kisiki kawannya: "Dengan kepandaian Loo Boan Tong, beberapa orang ini pastilah tidak bisa berbuat sesuatu atas dirinya, maka itu, menurut sangkaanku, mesti di sini ada See Tok Auwyang Hong. Entah dia bersembunyi di mana"."
Si nona lantas hendak mencari tahu atau ia mendengar suara tak sedap dari Pheng Lian Houw. "Binatang, jikalau kau tetap tidak keluar, aku nanti ukup kau dengan asap!"
Dari dalam gua, ke dalam mana ancaman Pheng Lian Houw diberikan, terdengar jawaban yang berat dan angker: "Kau mempunyai kepandaian bau apa, kau keluarkan saja!"
Kwee Ceng terkejut. Ia mengenali suara gurunya yang nomor satu, yaitu Hui Thian Pian-hok Kwa Tin Ok si Kelelawar Terbangkan Langit. Sekarang ia tidak ingat lagi kepada Auwyang Hong, lantas ia berseru: "Suhu, muridmu datang!" Suaranya itu disusul sama lompatannya yang pesat, hingga ia muncul sambil berbareng mencekuk punggungnya Hauw Thong Hay, tubuh siapa lantas dilemparkan!
Munculnya si anak muda membuatnya pihak Thong Hay menjadi kaget. Pheng Lian Houw berdua See Thong Thian lantas maju menerjang, sedang Nio Cu Ong pergi ke belakang orang, untuk membokong.
Kwa Tin Ok di dalam gua pun turut bekerja. Ia rupanya mengetahui perbuatan si orang she Nio, ia lantas menyerang dengan sebatang tokleng atau lengkak beracun.
Cu Ong terkejut, dia berkelit sambil tunduk, tidak urung ujung kondenya kena tersambar beberapa jiur rambutnya putus. Ia kaget bukan main. Ia tahu senjatanya Tin Ok itu beracun, sebagaimana dulu hari hampir saja Pheng Lian Houw terbinasa karenanya. Maka ia berlompat ke samping seraya meraba kepalanya. Ia berlega hati ketika ia mendapatkan kenyataan kulit kepalanya tidak terluka.
Ia lantas mengeluarkan senjata rahasianya, paku Touw-kut-jiam, terus ia jalan mutar ke kiri gua, maksudnya untuk menyerang ke dalam gua secara diam-diam, guna membokong musuh yang ada di dalam itu. Ia baru menggeraki tangannya atau ia merasakan lengannya kaku, pakunya lantas saja jatuh dengan menerbitkan suara nyaring. Tengah ia bingung, ia mendengar tertawanya seorang nona yang terus berkata: "Lekas berlutut! Kau akan merasai tongkat lagi!"
Nio Cu Ong berpaling, ia melihat Oey Yong dengan tongkat di tangan, berdiri sambil tertawa haha-hihi. Ia kaget berbareng girang. Pikirnya: "Kiranya tongkat Ang Cit Kong jatuh di tangannya dia ini?" Dengan segera ia mengerjakan dua tangannya berbareng: Tangan kiri melayang ke pundak si nona, tangan kanan menyambar ke tongkat, yang ia hendak rampas.
Dengan lincah Oey Yong berkelit dari sambaran tangan kiri itu. Ia tidak menarik tongkatnya, ia sengaja memberinya ketika hingga ujung tongkat itu kena dipegang perampasnya. Cu Ong girang bukan main. Dia lantas menarik dengan keras, di dalam hatinya ia lantas kata: "Jikalau kau tidak melepaskan maka tubuhnya bakal ketarik bersama."
Benar saja tongkat itu kena ketarik, tetapi cuma sedetik, cekalannya lolos sendirinya. Sebab selagi ia menarik si nona mengikuti, mendadak nona itu mendorong dengan kaget, hingga terlepaslah cekalannya. Tengah dia terkejut, tahu-tahu tongkat itu sudah berbalik melayang ke kepalanya. Ia kaget melihat tonggkat itu berkelebat. Dasar dia lihay, ia lantas menjatuhkan diri berguling jauh satu tombak. Ketika ia sudah berdiri pula, ia menampak si nona berdiam diam mengawasi dia dengan tersenyum.
"Kau tahu apa nama jurus ini?" si nona tanya tertawa. "Kau telah kena aku kempleng satu kali, kau tahu kau berubah menjadi apa?"
Dulu hari pernah Nio Cu Ong merasa lihaynya tongkatnya itu, dia buatnya Ang Cit Kong "mati dan hidup pula", maka juga meski tempo telah lama lewat, dia masih ingat itu dan merasa jeri, sekarang dia merasakannya pula, meski tidak hebat, toh hatinya terkesiap, dia menjadi jeri. Justru itu ia melihat See Thong Thian dan Pheng Lian Houw tengah terdesak hebat, mereka itu cuma dapat membela diri, dia lantas berseru dan memutar tubuhnya untuk mengangkat kaki.
See Thong Thian kena disikut Kwee Ceng, dia terhuyung tiga tindak. Meneruskan serangannya, tangan kiri si anak muda melayang kepada Pheng Lian Houw. Dia ini tidak berani menangkis, dia berkelit. Tapi dia kalah gesit, tangan anak muda itu kena menyambar lengannya, yang terus dicekal keras. Dia bertubuh kate dan kecil, dengan gampang tubuhnya itu kena diangkat, hingga kedua kakinya seperti bergelantungan di udara".
Sambil mengangkat tubuh orang, Kwee Ceng mengepal tangan kirinya, siap sedia meninju dada orang tawanannya itu. Lain Houw melihat itu, dalam takutnya dia berseru menanya: "Hari ini bulan kedelapan tanggal berapa?"
"Apa kau bilang?" tanya si anak muda tercengang.
"Kau memegang kepercayaan atau tidak?" Lian Houw tanya. "Apakah kata-katanya satu laki-laki tak masuk hitungan?"
"Apa kau bilang?" sambil menegasi, Kwee Ceng masih mengangkat tubuh orang.
"Bukankah janji kami ialah Pwee-gwee cap-gouw," kata Lian Houw. "Bukankah janji pertandingan kita di Yan Ie Lauw di Kee-hin pada tanggal limabelas bulan delapan" Dan tempat ini bukannya kota Kee-hin dan sekarang bukannya harian Tiong Ciu! Bagaimana dapat kau mencelakai aku?"
Kwee Ceng pikir perkataan orang itu benar juga, ia hendak melepaskan atau mendadak ia ingat suatu apa.
"Kau bikin apa atas dirinya Toako Ciu Pek Thong?" ia tanya.
"Dia sekarang lagi bertaruh sama Leng Tie Siangjin," menyahut Lian Houw. "Mereka bertaruh, siapa bergerak paling dulu, dialah yang kalah! Urusan dia tak ada hubungannya dengan aku!"
Kwee Ceng mengawasi dua orang yang duduk di tanah itu, pikirnya: "Kiranya begitu?" Lantas ia menanya keras: "Toasuhu, adakah kau baik?"
Itulah pertanyaannya untuk Kwa Tin Ok, gurunya yang nomor satu.
"Hm!" jawab Hui Thian Pian-hok dari dalam gua.
Sampai di situ, pemuda itu lantas melepaskan cekalannya sambil ia terus menolak dada orang.
"Pergilah!" ia mengusir.
Pheng Lian Houw tidak roboh, karena dia terus berlompat. Ketika kedua kakinya telah menginjak tanah, ia berpaling ke arah kedua kawannnya, See Thong Thian dan Nio Cu Ong, maka ia mendapatkan mereka itu sudah pergi jauh. "Celaka, manusia tidak ingat persahabatan!" ia mencaci di dalam hatinya. Lantas ia memberi hormat kepada Kwee Ceng seraya membilang: "Nanti tujuh hari kemudian kita mengadu kepandaian pula di Yan Ie Lauw untuk memastikan kalah menang!" Setelah beraksi begitu, ia memutar tubuhnya, dengan menggunai ilmu enteng tubuhnya, ia lantas menangkat kaki.
Itu waktu Oey Yong telah menghampirkan Ciu Pek Thong dan Leng Tie Saingjin. Dua orang itu saling mengawasi dengan matanya masing-masing terbuka lebar, tidak ada yang mengedip atau menoleh. Ia lantas ingat perkataannya dua orang yang berjalan malam itu bahwa Pek Thong telah kena ditipu Lian Houw, sekarang ingin ia membuktikan itu. Pasti karena jeri kepada Pek Thong, jago tua itu telah dipancing kemurkaannya, dia diadu dengan Leng Tie Siangjin, dengan cara adunya mereka main diam-diam. Dengan cara begitu, Pek Thong jadi dibikin tak berkutik, hingga mereka itu jadi leluasa mengepung Kwa Tin Ok. Pek Thong gemar bergurau, ia pun lolos, gampang saja ia kena diperdayakan, maka juga meski di sampingnya orang bertempur hebat dan mengacau, dia tidak mengambil mumat, dia terus beradu diam dengan Leng Tie Siangjin, si pendeta dari Tibet itu. Dia berduduk tegar, maksudnya yang utama ialah mengalahkan Leng Tie.
"Loo Boan Tong, aku datang!" kata Oey Yong.
Pek Thong mendengar itu, tetapi dia takut kalah, maka dia berdiam saja.
"Dengan bertaruh begini kau menyia-nyiakan waktu," kata si nona. "Lagi satu jam juga, belum tentu kamu ada yang menang atau kalah! Mana itu menarik hati" Begini saja! Aku yang menjadi wasitnya! Aku akan mengitik kamu, mengitiknya sama, lantas aku mau lihat siapa yang tertawa paling dulu. Siapa yang tertawa, dialah yang kalah!"
Sebenarnya Pek Thong sudah habis sabar, bahwa ia toh tetap berdiam saja, ia penasaran kalau ia sampai kalah, sekarang mendengar usulnya si nona, ia akur. Tapi ia tak mau mengasih tanda akan kesetujuannya, sebab kalau ia menepi atau bergerak, ia kalah.
Oey Yong tidak menanti jawaban, ia mendekati mereka, ia memernahkan diri di antara mereka itu, lalu ia mementangkan kedua tangannya, dengan berbareng ia menotok ke jalan darah siauw-yauw-hiat mereka itu, ialah urat tertawa. Ia tahu Pek Thong menang unggul dari Leng Tie, ia tidak berlaku curang. Kesudahannya totokannya itu membuatnya heran. Pek Thong memang tetap bercokol, tetapi anehnya, Leng Tie pun berdiam saja, pendeta itu seperti tidak merasakan apa-apa, dia seperti tidak menggubris godaan itu.
"Heran pendeta ini," pikir si nona. "Nyata dia lihay ilmunya menutup jalan darahnya. Jikalau aku, tentulah aku sudah tertawa terpingkal-pingkal?" Ia penasaran, maka ia menotok pula, kali ini dengan terlebih keras.
Ciu Pek Thong mengumpul tenaga dalamnya, ia menentang totokannya Oey Yong. Segera ia menjadi heran. Ia mendapat kenyataan tenaganya si nona menjadi besar sekali. Ia melawan terus, ia bertahan, tetapi ia kewalahan. Diakhirnya, ia melepaskan perlawannya, sambil berlompat bangun, ia tertawa berkakakan. Kemudian ia kata: "Eh, eh, pendeta, kau hebat! Baiklah, Loo Boan Tong menyerah kalah!"
Oey Yong menjadi menyesal. Ia tidak menyangka Pek Thong begitu gampang saja menagaku kalah. Pikirnya: "Kalau tahu begini, aku tidak mengangggu dia, aku hanya mengeraskan totokanku kepada si pendeta." Maka ia lantas menghadapi Leng Tie Siangjin dan berkata: "Kau sudah menang, nonamu tidak menginginkan jiwamu! Lekas mabur!"
Leng Tie Siangjin tidak menyahuti, ia tetap duduk.
"He, siapa kesudian menontoni macam tololmu ini!" membentak si nona seraya tangannya menolak. "Kau berpura-pura mampus"!"
Oey Yong menolak dengan perlahan, tetapi tubuh si pendeta yang besar dan gemuk itu roboh terguling dengan tiba-tiba, robohnya dengan tangan dan kaki tidak bergerak, seperti tadi dia bersila.
Si nona terkejut, juga Kwee Ceng dan Pek Thong.
"Apakah ini disebabkan ilmunya menutup jalan darah?" tanya Oey Yong. "Apa ilmunya itu belum sempurna maka ia gagal bertahan dan menjadi kaku terus-terusan dan mati sendirinya?" Ia lantas menaruh tangannya di depan hidung pendeta itu, ia merasakan hawa tarikan napas yang biasa, ia menjadi heran dan mendongkol serta lucu.
"Loo Boan Tong, kau terpedayakan, kau tidak tahu," ia kata sambil tertawa pada Pek Thong. "Sungguh manusia tolol!"
"Apa kau bilang?" tanya si orang tua yang matanya dipentang lebar.
Si nona tertawa.
"Kau bebaskan dulu dia dari totokan jalan darah, baru kita bicara pula!" sahutnya.
Si tua jenaka itu melengak, tetapi ia membungkuk kepada Leng Tie Siangjin, tubuh siapa ia lantas raba-raba, uasp sana dan usap sini, ia juga menepuk-nepuk, dengan begitu ia mendapat kenyataan, si pendeta telah ditotok seluruh jalan darahnya. Ia lantas berjingkrak dan berseru-seru: "Tidak, tidak, inilah tidak masuk hitungan!"
"Tidak masuk hitungan apa?" Oey Yong menegasi.
"Dia ini dipermainkan konconya," kata Loo Boan Tong. "Sesudah dia duduk tadi, konconya totok dia hingga dia jadi duduk tegak tanpa bisa berkutik. Dengan begitu mesti kita bertaruh sampai lagi tiga hari dan tiga malam, dia pasti tidak bakal kalah!" Ia berbalik pula pada si pendeta yang rebah melengkung di tanah, dia kata: "Mari, mari! Mari kita mulai mengadu pula!"
Sementara itu hari Kwee Ceng menjadi lega. Ia melihat orang tidak kurang suatu apa, bahkan sehat sekali. Maka ia tidak sudi mendengari ocehan orang yang lebih lama. Ia ingat kepada gurunya. Dari itu ia lantas lari ke dalam gua.
Pek Thong sendiri lantas menolongi Leng Tie Siangjin, masih ia mengoceh tak hentinya. "Mari, mari kita bertaruh pula!"
"Mana guruku?" Oey Yong tanya dengan suara dingin kepada orang tua berandalan itu. "Kau buang kemana guruku itu"!"
Ditanya begitu Pek Thong terkejut hingga ia berteriak, lantas ia lari ngiprit ke arah gua, hingga hampir saja dia saling tabrak sama Kwee Ceng, yang keluar dari dalam gua itu sambil memayang gurunya.
Tiba di luar anak muda ini berdiri menjublak. Ia melihat Kwa Tin Ok, gurunya yang paling tua itu, melibat kepalanya dengan sabuk putih, bajunya baju putih pula.
"Suhu, apakah kau sedang berkabung?" akhirnya ia menanya heran. "Jie-suhu dan yang lainnya mana?"
Tin Ok tidak menyahuti, hanya ia mengangkat kepalanya memandang langit. Dengan lantas ia mengucurkan air mata.
Kwee Ceng heran dan kaget, sampai dia tak berani lantas mengulangi pertanyaannya.
Ketika itu Pek Thong sudah muncul pula dari dalam gua, ia mepepayang satu orang yang tangannya kiri mencekal cupu-cupu arak, tangannya yang kanan memegang daging ayam sebelah potong, sedang mulutnya menggigit satu paha ayam juga. Dialah Kiu Cie Sin Kay Ang Cit Kong.
Oey Yong dan Kwee Ceng menjadi girang sekali.
"Suhu!" mereka memanggil.
Justru itu Kwa Tin Ok, dengan romannya yang bengis, menghajar nona Oey dengan tongkat besinya.
Oey Yong yang sedang bergirang sekali, ia tidak menyangka yang ia bakal diserang. Itulah satu jurus dari Hok Mo Thung-hoat, yaitu ilmu tongkat Menakluki Iblis, yang Tin Ok sengaja menciptakannya di gurun pasir untuk melawan Bwee Tiauw Hong. Sebaliknya, Kwee Ceng melihat itu. Bukan main kagetnya murid ini. Tidak ada tempo lagi untuk mencegah dengan mulut, terpaksa si anak muda mengulur tangan kirinya, guna menyampok tongkat itu, sedang dengan tangan kanannya ia menyambar ujungnya, guna membikin tongkat itu tidak jatuh. Dalam kesusu, ia menggunai tenaga besar. Inilah hebat untuk Kwa Tin Ok. Dia tersampok dan tertarik, dia tidak dapat mempertahankan dirinya, tongkatnya terlepas, tubuhnya terpelanting jatuh!
Kemabli Kwee Ceng menjadi kaget.
"Suhu!" ia berseru seraya menubruk, guna mengasih bangun gurunya itu.
Mulutnya Kwa Tin Ok mengeluarkan darah, sebab dua buah giginya copot, sedang mulutnya bengkak akibat jatuhnya itu.
"Untuk kau!" katanya ketika ia mengambil kedua buah giginya itu dan menyerahkannya kepada muridnya. Tangannya berlepotan darah.
Kwee Ceng menjatuhkan diri di depan gurunya itu.
"Teecu salah, suhu," ia kata. "Silahkan suhu menghukum"."
"Untukmu!" kata pula si guru, tangannya tetap dilonjorkan.
"Suhu?" murid itu kata pula sambil menangis.
Ciu Pek Thong menyaksikan kejadian itu, yang dia anggap lucu, maka ia tertawa dan kata: "Semenjak dulu adalah guru yang menghajar murid tetapi hari ini murid menghajar guru! Bagus, bagus!" Ia tidak memperdulikan lagi bahwa ia justru membikin hati Tin Ok menjadi makin panas. Karena sang murid tidak mau menerima giginya itu, Tin Ok lantas menelan itu!
"Bagus, bagus!" kembali Pek Thong berseru-seru dan bertepuk tangan.
Oey Yong menjadi bingung. Ia tidak tahu kenapa Tin Ok hendak membinasakan padanya. Ia mendekati Cit Kong, tangan siapa ia cekal.
"Biar bagaimana juga teecu tidak berani melawan suhu," kata Kwee Ceng mengangguk-angguk. "Barusan teecu kesalahan tangan, maka itu harap suhu menghukum padaku"."
"Suhu! Suhu!" membentak sang guru. "Siapa gurumu" Kau mempunyai pemilik dari Tho Hoa To sebagai mertuamu, perlu apa lagi kau dengan gurumu" Kanglam Cit Koay cetek kepandaiannya, mana tepat ia menjadi gurunya Kwee Toaya"!"
Kwee Ceng semakin menyesal, ia mengangguk-angguk pula. Hebat sekali kemurkaan guru itu hingga Oey Yok Su disebut-sebut sebagai mertuanya dan ia pun disindir "toaya" atau "tuan besar"
Ang Cit Kong tidak dapat mengawasi saja.
"Kwa Tayhiap," ia berkata, "Diantara guru dan murid, keterlepasan tangan adalah hal yang umum, oleh karena itu, aku harap kau maafkanlah muridmu ini. Barusan anak Ceng menggunai jurus dari ilmu silat ajaranku si pengemis tua, akulah yang bersalah, di sini aku haturkan maaf kepadamu"
Pengemis itu benar-benar menjura kepada jago nomor satu dari Kanglam itu.
Mendengar itu Cit Kong berkata demikian, Ciu Pek Thong pikir ia pun baik bicara. Maka ia kata kepada Hoe Thian Pian-hok: "Kwa Tayhiap, diantara guru dan murid keterlepasan tangan adalah umum sekali, karena sambaran saudar Kwee barusan kepada tongkatmu adalah sambaran ajaranku, di sini aku Loo Boan Tong menghanturkan maaf padamu."
Ia pun menjura.
Dalam murkanya itu, Tin Ok menganggap orang mengejek padanya, ia bukan saja mendongkol pada si tua yang doyan bergurau itu, ia juga menganggap Ang Cit Kong mau main gila terhadapnya, maka itu dengan sengit ia kata: "Kamu Tong Shia dan See Tok, Lam Tee dan Pak Kay, kamu semua mengandalkan kepandaianmu, kamu menganggap kamu dapat malang melintang di kolong langit, akan tetapi di mataku, perbuatan kamu semua banyak yang tak pantas, maka akhirnya nanti mesti buruk akibatnya!"
Pek Thong heran.
"Eh, apakah salahnya Lam Tee hingga kau membawa-bawa dia?" ia tanya.
Oey Yong melihat suasana buruk sekali, kalau ia diam saja, si tua bangka berandalan ini bisa mengacau hebat, karena dalam murkanya itu, Tin Ok mesti dibikin sabar dan bukannya dikocok, maka ia lantas menyelak. Ia kata: "Loo Boan Tong, burung Wanyoh mau terbang berpasangan datang mencari kau, apakah kau tidak mau lekas-lekas pergi melihatnya?"
Pek Thong kaget hingga ia lompat berjingkrak.
"Apa"!" ia menanya.
"Dia ingin bersama kau di musim dingin di dalam tempat yang tersembunyi mandi baju merah?" kata pula si nona.
Pek Thong menjadi terlebih kaget lagi.
"Dimana" Dimana?" ia tanya berulang-ulang.
"Di sana!" sahut Oey Yong, tangannya menunjuk ke arah Selatan. "Di sana! Lekas kau pergi mencari dia!"
"Untuk selama-lamanya aku tidak akan menemui dia pula!" berseru Pek Thong. "Nona yang baik, apa juga kau boleh menitahkannya kepadaku asal kau jangan membilangi dia aku ada di sini"!" belum berhenti suaranya, dia sudah lari ke arah utara.
"Kau ingat, perkataanmu ini ialah janjimu!" kata Oey Yong.
"Kalau Loo Boan Tong sudah mengatakan, dia tidak nanti menyesal!" kata Pek Thong dari jauh, lalu dia lenyap dari pandangan mata si nona.
Maksudnya Oey Yong ialah memperdayakan si tua jenaka itu pergi mencari Eng Kouw, siapa tahu, Pek Thong takut bertemu sama si nyonya itu, dia bahkan kabur. Tapi biar bagaimana, orang toh telah menyingkir, maka lega juga hatinya nona ini.
Kwee Ceng masih berlutut di depan gurunya, ia masih minta diberi hukuman. Sambil menangis, ia kata pula: "Buat gua teecu, suhu bertujuh telah pergi jauh ke gurun di utara, tempat yang bersengsara, maka itu biarpun tubuh teecu hancur lebur, sukar untuk teecu membalas budi suhu semua. Tanganku ini bersalah, baiklah teecu tidak menginginkannya pula!"
Dengan tangan kanannya, si anak muda mencabut pedangny, dengan itu ia menebas tangannya yang kiri, tetapi Kwa Tin Ok menangkis dengan tongkatnya, hingga kedua senjata itu bentrok keras, lelatu apinya muncrat, tangan si guru dirasakan sakit. Itulah bukti yang muridnya itu benar-benar mau mengutungi tangannya itu. Maka lantas ia berkata: "Baiklah, sekarang aku ingin kau melakukan sesuatu!"
"Titahkan saja suhu, tidak nanti teecu membantah," Kwee Ceng bilang.
"Jika kau menampik, lain kali jangan kau bertemu pula padaku!" kata si guru. "Biarlah perhubungan kita putus bagai ditebas!"
"Teecu akan melakukan itu dengan sungguh-sungguh!" kata Kwee Ceng. "Kalau tidak sampai mati baru teecu berhenti!"
Tin Ok membanting tongkatnya ke tanah.
"Kau kutungi kepalanya Oey Lao Shia serta kepala gadisnya!" dia bilang keras.
Bukan main kagetnya Kwee Ceng. Itulah titah sangat hebat, yang ia tidak sangka.
"Suhu!" serunya. "Suhu"!"
"Bagaimana"!" tanya si suhu bengis.
"Entah kenapa Oey Lao Shia bersalah kepada suhu?"
"Hm! Hm!" mengejek si suhu. "Aku mengharap Thian memberikan ketika sejenak saja untuk aku bisa melihat, asal aku bisa melihat mukamu binatang cilik yang bong in pwee gia!" Dia mengangkat pula tongkatnya, niat menyerang.
Bukan main sedihnya Kwee Ceng, yang dikatakan bong it pwee gie - tidak mengenal budi. Ia melihat tongkat mengancam. Ia tidak berkisar, ia tidak berkelit.
Oey Yong terkejut, apa pula ketika ia mendapatkan si pemuda diam saja.
"Menolong dulu, itulah perlu!" pikirnya. Maka ia menggeraki tongkatnya, dengan jurus "Anjing jahat menghadang jalanan".
Tongkatnya Tin Ok tidak mengenai sasarannya.
Bukan main mendongkolnya ketua Kanglam Cit Koay ini. Tangkisan si nona membuatnya terhuyung, meski ia tidak jatuh. Dua kali ia menumbuk dadanya sendiri, lantas ia lari ke arah utara.
"Suhu, suhu!" Kwee Ceng berteriak-etriak memanggil.
"Apakah Kwee Toaya menghendaki jiwa tuaku"!" guru itu tanya.
Kwee Ceng tercengang. Ia tidak berani mencegah pula. Ia menunduki kepala. Maka ia cuma bisa mendengar suar tongkat besi mengenai tanah atau batu, makin lama makin jauh, makin jauh, makin samar, lalu lenyap. Ia ingat budinya guru itu, ia menjatuhkan diri di tanah dan menangis menggerung-gerung..
Sambil menuntun tangan Oey Yong, Ang Cit Kong menghampiri muridnya itu.
"Dua-dua Oey Lao Shia dan Kwa Tayhiap mempunyi tabiatnya sendiri-sendiri yang sangat luar biasa," ia berkata. "Entah ada terjadi perselisihan apa di antara mereka itu. Sekarang kau jangan bersusah hati, kau serahkan urusan ini padaku, nanti aku si pengemis tua yang membereskannya, supaya mereka menjadi akur pula."
Kwee Ceng berhenti menangis, ia bangun.
"Suhu, tahukah suhu apa sebabnya itu?" ia tanya.
Cit Kong menggeleng kepala, tetapi ia berkata: "Loo Boan Tong telah kena orang perdayakan. Dia bertaruh mengadu diam maka kejadianlah dia diam tak berkutik. Memangnya kawanan manusia jahat itu hendak membikin celaka aku, kebetulan gurumu itu sampai, dia melindungi aku, dia mengajaknya aku bersembunyi ke dalam gua itu. Dengan mengandal pada lengkak beracun gurumu itu, orang jahat itu tidak berani memasuki gua. Maka kita dapat bertahan sekian lama. Gurumu itu seorang yang mulia hati, melindungi aku dengan membahayakan dirinya sendiri."
Pengemis itu berhenti bicara, ia menceegluk araknya dua kali, akan menggerogoti paha ayamnya, yang ia terus telan, setelah mana ia menyeka mulutnya. Habis itu, baru ia berkata pula: "Pertempuran barusan hebat sekali. Celaka untukku, karena kepandaianku telah ludas, aku tidak dapat turun tangan untuk membantu. Aku bertemu sama gurumu itu tetapi tidak sempat aku bicara dengannya. Aku percaya kegusarannya barusan pasti bukan karena kau keterlepasan tangan. Dia seorang berbudi dan jauh pandangannya, tidak nanti dia berlaku dengan cupat pikiran. Lagi beberapa hari akan tiba waktu perjanjian Pwe-gwee Cap-gouw, maka sesudahnya pertandiang di Yan Ie Lauw nanti aku menjadi orang pertengahan akan mengakuri mereka itu."
Kwee Ceng mengucap terima kasih.
"Kepandaian kamu berdua maju sangat pesat, anak-anak," Cit Kong berkata pula sambil tertawa. "Kwa Tayhiap ada seorang Rimba Persilatan yang kenamaan tetapi setelah kamu turun tangan, dia jatuh pamornya. Sebenarnya bagaimanakah halnya dengan kamu?"
Kwee Ceng berduka dan malu, ia tidak dapat berbicara maka Oey Yong yang menutur hal perjalanan mereka berdua semenjak mereka berpisah di istana raja.
Cit Kong memuji dengan seruannya mendengar Yo Kang membinasakan Auwyang Kongcu. Ketika ia mendengar halnya Yo Kang menipu Lou Tiangloo sekalian, ia mencaci naka muda itu sebagai anak jadah. Kemudian ia melongo mendengar halnya It Teng Taysu menolongi Oey Yong sampai pada lelakonya Sin Soan Cu Eng Kouw yang penasaran dan mendendam hebat. Diakhirnya ia berseru kaget mengetahui Eng Kouw muncul di Chee-liong-tha, di mana nyonya itu menjadi seperti hilang ingatan.
"Suhu, apakah kau kenal Eng Kouw?" Oey Yong tanya.
"Tidak, aku tidak kenal dia," menyahut guru itu. "Hanya di waktu Toan Hongya masuk menjadi pendeta, aku berada di sisinya. Dia telah mengirim surat padaku di Utara, dia mengundang aku datang ke Selatan. Aku lantas datang karena aku percaya tanpa urusan penting tidak nanti dia mengundang aku. Aku datang karena sekalian aku ingin mencoba pula makanan Inlam yang lezat, bahkan aku berangkat dengan cepat. Tempo aku bertemu sama Toan Hongya, dia lesu sekali, dia sangat berbeda sama waktunya pertemuan di Hoa San, di mana dia gagah bagaikan naga dan harimau. Aku heran sekali. Besoknya ia mengajaki aku berunding tentang ilmu silat, maksudnya untuk mewariskan padaku dua macam kepandaiannya Sian Thian Kan dan It Yang Cie. Kembali aku menjadi heran. Sian Thian Kan dari Toan Hongya bersama Hang Liong Sip-pat Ciang dari aku, Kap Mo Kang dari Auwyang Hong dan Pek Khong Ciang dari Oey Lao Shia, sama tersohornya, sama tangguhnya, maka itu setelah dia pun memperoleh It Yang Cie dan Ong Tiong Yang, pasti sudah dia bakal jadi jago nomor satu di kolong langit ini dalam pertempuran yang kedua di Hoa San. Tidak karu-karuan sekarang dia mau mewariskan dua rupa kepandaian itu kepadaku, untuk itu dia memakai alasan merundingkan ilmu silat. Kenapa dia tidak mau mempelajari Hang Liong Sip-pat Ciang dari aku" Mesti ada sebabnya. Hal itu aku memikirkannya. Kemudian setelah diam-diam aku berbicara dengan empat muridnya, baru aku ketahui sebab aneh itu. Kiranya sehabis mewariskan kepandaiannya padaku, dia hendak membunuh diri"
"Suhu," berkata Oey Yong, "Toan Hongya itu khawatir, setelah dia mati, It Yang Cie tidak ada yang mewariskannya dan itu artinya tidak ada orang yang dapat menguasai Auwyang Hong."
"Benar, aku juga telah melihat hal itu. Karena itu juga, aku bilang aku tidak suka mempelajari dua rupa kapandaiannya itu. Setelah aku menampik, dia baru menutur maksud hatinya. Dia kata keempat muridnya biarnya mereka jujur dan setia, tetapi sebab perhatian mereka itu ditumpleki pada urusan pemerintahan, tidak nanti mereka memperoleh kemajuan. Dia kata pula, tidak apa aku tidak menyukai Sian Thian Kan, tetapi It Yang Cie sangat perlu. Dia bilang, apabila It Yang Cie terbawa ke kubur olehnya tanpa ada yang mewariskan, dia malu bertemu dengan Ong Tiong Yang di dunia baka. Aku masih membandel tidak mau menerima warisannya itu. Aku pikir, dengan membandel artinya jiwanya dapat diselamatkan."
"Kejadian itu sungguh aneh," kata Oey Yong. "Semenjak dahulu adalah umum, seorang mau belajar dan minta diajari dan orang menolak mengajari, akan tetapi kali ini, orang tidak mau belajar tetapi dibujuki dan dipaksa!"
"Oleh karena aku tetap menolak," Cit Kong bercerita lebih lanjut, "Toan Hongya habis daya, lantas dia masuk menjadi pendeta, di harian dia dicukuri rambutnya, aku hadir dan mendampingi dia. Itulah kejadian belasan tahun yang lalu. Ah, bagus, bagus sekarang urusan bisa diselesaikan secara begini."
"Suhu," kemudian Oey Yong berkata pula, "Urusan kami sudah beres, sekarang tentang urusan suhu sendiri."
"Urusanku sendiri?" kata si orang tua. "Di istana aku telah makan segala macam masakan lezat?" dan tak hentinya ia menyebut namanya pelbagai sayur sambil dengan lidahnya menjilati bibirnya.
"Kenapa Loo Boan Tong tidak berhasil mencari suhu?"
"Sebabnya ialah karena koki raja sering kehilangan banyak sayurannya, dapu istana jadi kacau! Semua orang bilang di dapur istana itu muncul dewa rase, lantas mereka memasang hio memjua aku. Kemudian urusan terdengar oleh pimpinan siewi, dia mengirim delapan siewi untuk manjagai dapur, untuk menangkap dewa rase itu. Aku jadi sulit, sedang Loo Boan Tong tidak datang-datang. Terpaksa aku pergi bersembunyi di tempat yang sepi. Tempat itu dipanggil ruang Gok Lek Hoa-tong. Di sana ada tanaman banyak pohon bwee. Itulah tempat raja menggadangi bunga bwee di musim dingin, maka itu di musim panas, di itu tak ada satu setan juga kecuali beberapa orang kebiri tua tukang sapu. Senang aku tinggal di situ. Di mana saja di dalam istana, orang bisa makan, seratus pengemis tinggal juga mereka tidak bakal kelaparan. Baru belasan hari aku hidup senang lalu datang gegobrak, mulanya Loo Boan Tong yang main menangis seperti setan mengulun atau anjing membaung atau kucing mengeong, hingga istana jadi kacau, lalu beberapa orang berteriak-teriak: 'Ang Cit Kong Looyacu! Ang Cit Kong Looyacu!' Aku mengingat, aku mengenali mereka itu ialah rombongannya Pheng Lian Houw, See Thong Thian dan Nio Cu Ong?"
"Mau apa mereka mencari suhu?" tanya Oey Yong heran.
"Aku pun heran. Hendak aku menyingkir dari mereka, tetapi Loo Boam Tong mempergoki aku. Di sangat girang, dia peluk aku, dia memuji-muji kepada Thian. Kemudia dia menitahkan Nio Cu Ong semua berjalan di belakang?"
Kembali Oey Yong heran.
"Kenapa Nio Cu Ong semua dapat diperintah Loo Boan Tong?"
"Ketika itu aku pun sangat heran. Aku melihat mereka sangat takut pada Loo Boan Tong, apa yang diperintahkan, mereka lantas kerjakan, tidak berani mereka membantah. Demikian mereka diberi tugas mengiringi, Loo Boan Tong menggendong aku sampai di Gu-kee-cun, untuk mencari kamu berdua. Dia tengah jalan dia menjelaskan padaku bahwa dia bingung tidak dapat mencari aku, sedangnya begitu dia bertemu Nio Cu Ong semua. Dia hajar mereka itu, dia suruh mereka membantui mencari di segala tempat. Mereka mengatakan sia-sia belaka mereka mencari di istana sedang istana sangat luas dan lebar".
Oey Yong tertawa.
"Loo Boan Tong lihay sekali, dia dapat membikin Nio Cu Ong semua tunduk. Kenapa kawanan iblis itu tidak melarikan diri saja?"
Cit Kong tertawa.
"Loo Boan Tong ada mempunyai akalnya sendiri. Dia kata dia telah membuat obat pel yang dicampuri kotorannya, dia suruh mereka makan satu orang tiga butir. Setelah itu dia membilanginya, obatnya itu ada racunnya dan akan bekerja selewat empatpuluh sembilan hari, bahwa obat pemunahnya cuma dia sendiri yang dapat membikinya. Mereka itu jadi ketakutan, mungkin mereka sangsi, tetap mereka menjadi mendengar kata. Begitulah mereka jadi dapat diperintah segala macam".
Kwee Ceng lagi berduka tetapi mendengar cerita sang guru, ia tertawa juga.
"Sampai di Gu-kee-cun, kamu tidak dapat dicari," Ang Cit Kong meneruskan keterangannya, "Loo Boan Tong memaksa mereka itu mencari pula. Kemarin malam mereka pulang dengan lesu, mereka gagal, karena itu Loo Boan Tong mencaci mereka, yang terus diancam, apabila besok mereka gagal pula, mereka akan dikasih makan lagi obat kotorannya itu, timbul kecurigaan mereka. Mereka percaya bahwa mereka lagi dipermainkan, bahwa sebenarnya mereka bukan dikasih makan racun. Lantas mereka memancing. Dalam gusarnya, Loo Boan Tong membuka rahasianya sendiri tanpa merasa. Aku menjdai berkhawatir. Mereka itu bangsa licik, aku pikir lebih baik mereka disingkirkan saja, supaya mereka kelak tidak menjadi bahaya di kemudian hari. Mereka itu benar lihay, mereka merasa bahaya mengancam, mereka mendahului turun tangan. Begitulah Pheng Lian ouw menggunai kecerdikannya, dia mau adu Loo Boan Tong dengan Leng Tia Siangjin. Tidak dapat aku mencegah lagi. Untuk menolong diri, aku pergi menyingkir. Kebetulan sekali di luar dusun aku bertemu Kwa Tayhiap. Dia melindungi aku menyingkir ke mari, kemudian dia pergi kepada Loo Boan Tong, maka Loo Boan Tong pun datang ke mari, hanya di sini, setelah dikocok Lian Houw, dia mengadu kepandaian duduk diam sama di pendeta."


Memanah Burung Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Oey Yong mendongkol berbareng merasa lucu.
"Jikalau tidak terjadi perkara kebetulan, suhu jiwamu bisa hilang di tangan Loo Boan Tong," kata ia. "Baiknya kebetulan sekali engko Ceng dan aku mendengar lewatnya dua kawan mereka itu."
"Jiwaku memang sudha tidak berharga lagi, jiwa ini di antarkan di tangan siapa pun sama saja," kata sang guru.
"Suhu, ketika itu hari kita pulang dari pulau Beng Hee To?" kata si nona.
"Bukan Beng Hee To hanya pulau menggencet setan!" kata sang guru pula.
"Baik, pulau menggencet setan," kata sang murid. "Sekarang ini benar-benar Auwyang Kongcu telah menjadi setan! Ketika itu hari di atas getek kita menolongi Auwyang Hong paman dan keponakan, aku mendengar si bisa bangkotan mengatakan bahwa di kolong langit ini cuma ada satu orang yang dapat menyembuhkan suhu, hanya dia sangat gagah dan lihay, dia tidak bisa dipaksa menolongi suhu sedang suhu tidak sudi menolongi diri dengan merugikan lain orang, suhu tidak mau minta pertolongan orang itu. Suhu juga tidak mau membilang nama orang itu. Sekarang kami tahu siapa orang itu, sebab dialah bukan lain daripada Toan Hongya dulu hari dan It Teng Taysu sekarang ini."
Ang Cit Kong menghela napas.
"Jikalau dia menggunai It Yang Cie menyalurkan jalan darahku, memang dia dapat menyembuhkan aku," dia berkata, "Hanya karena dia menolong aku, dia bakal menggunai tenaga dalamnya cara berlebihan, setelah itu banyak tujuh tahun atau sedikitnya lima tahun, tidak dapat ia memulihkan tenaga dalamnya itu. Mungkin hatinya tawar dan dia tidak menghiraukan lagi urusan pertemuan yang kedua di gunung Hoa San, tetapi dengan usianya yang sudah enam atau tujuhpuluh tahun, berapa lama lagi dia bisa hidup" Maka itu, mana aku si pengemis tua dapat membuka mulut untuk mohon pertolongannya?"
Mendengar itu, Kwee Ceng berjingkrak.
"Suhu, mari aku yang mengobati kau!" ia berkata. "Aku telah mempelajari It Yang Cie! Apakah tidak baik sekarang juga di gua ini aku menyalurkan semua jalan darahmu?"
Ang Cit Kong menggeleng kepala.
"Tahukag kau kenapa It Teng Taysu mengajari It Yang Cie kepadamu?" ia tanya.
Inilah Kwee Ceng tidak pernah pikir, maka ia mendengar pertanyaan gurunya ini, ia lantas mengerti, tanpa merasa ia mengeluarkan peluh dingin.
"Ah, It Teng Taysu hendak mencari kematiannya!" ia berseru. "Kalau begitu akulah yang membikin dia celaka!"
"Ketika dia mengobati Yong-jie, jikalau dia tidak melihat kau diam-diam mempelajari ilmunya itu, tempo Eng Kouw mencari dia, mustahil dia berani pasang tubuhnya untuk dibunuh nyonya itu," kata guru ini pula. "Untuk menolongi aku, untuk mengobati aku, tidak menjadi soal, tetapi bagaimana kalau dalam tempo lima atau tujuh tahun lagi si bisa bangkotan datang untuk membikin celaka padamu" Bagaimana kau nanti dapat melayani dia" Bolehkah kau menyia-nyiakan pengorbanan It Teng Taysu?"
"Jikalau suhu sudah sembuh, suhu dapat melayani si bisa bangkotan itu," berkata sang murid.
Cit Kong lagi-lagi menggeleng kepala.
"Sukar untuk lukaku dapat disembuhkan tempo yang cepat," katanya. "Sebaliknya hari pertandingan di Yang Ie Lauw di Kee-hin sudah sampai bulu alis. Maka itu tentang sakitku ini dan pengobatannya, baik kita bicarakan lain kali saja."
Oey Yong tertawa mendengar diua orang ini berebut omong, yang satu memaksa mau mengobati, yang lain menolak. Ia berkata. "Sudahlah, jangan kamu berebut mulut! Untuk menyalurkan jalan darah dan meluruskan nadi, aku mengerti!"
"Apa katamu?" Cit Kong tanya heran.
Si nona tersenyum, ia menyahuti: "Bahasa yang aneh yang engko Ceng ingat di dalam hatinya telah disalin dengan jelas kepada kami, sekarang aku pikir-pikir, ilmu itu dapat dipakai menolong suhu," Untuk menguatkan keterangannya itu, ia menjelaskan penjelasan-penjelasan dari It Teng Taysu itu.
"Bagus, bagus!" kata Cit Kong girang. "Aku lihat kau memang dapat menolong, cuma untuk itu dibutuhkan tempo sedikitnya setengah sampai satu tahun."
Bab 69. Hebat!!!
Bab ke-69 cersil Memanah Burung Rajawali, karya Jin Yong.
"Suhu," kata Oey Yong kemudian. "Di dalam pertemuan di Yan Ie Lauw itu, pihak sana pasti bakal mengundang Auwyang Hong, benar Loo Boan Tong tidak bakal kalah tetapi dia berandalan, dia suka mengacau, aku khawatir nanti timbul keonaran, maka itu aku pikir perlu kita pergi ke Tho Hoa To untuk mengundang ayahku. Dengan begitu barulah kita akan merasa pasti akan kemenangan kita!"
"Kau benar," berkata Cit Kong. "Biar aku yang pergi dulu ke Kee-hin dan kamu berdua pergi ke Tho Hoa To."
"Baiklah kita pergi bersama dulu ke Kee-hin," kata Kwee Ceng. Ia berkhawatir untuk gurunya itu.
"Tidak usah, biar aku pergi sendiri," kata guru itu. "Aku akan menunggang kudamu. Umpama kata ada orang jahat, aku dapat mengaburkannya. Siapa dapat menyusul aku?" Ia lantas melompat ke punggung kuda itu, di mana dia menenggak araknya. Ketika ia menjepit kedua kakinya, kuda itu berpekik menghadapi Kwee Ceng, lantas ia kabur ke arah utara.
Pemuda itu mengawasi gurunya sampai guru itu lenyap dari pandangan matanya, lantas ia mengingat sikap Kwa Tin Ok, gurunya yang ke satu itu dari pihak Kanglam Cit Koay, ia menjadi sangat berduka.
Oey Yong tahu orang bersusah hati, ia tidak membujukinya, hanya ia terus menyewa perahu, untuk mengajak orang menaikinya, guna berangkat ke Tho Hoa To. Di dalam perjalanan itu, mereka tidak mengalami sesuatu, maka mereka tiba dengan tidak kurang suatu apa di pulau yng dituju. Setelah mendarat dan membayar sewaan perahu, hingga si tukang perahu lantas pergi, baru ia kata kepada kawannya: "Engko Ceng aku hendak memohon sesuatu padamu, kau suka meluluskan atau tidak?"
"Kau sebutkan dulu, aku mendengarnya," menyahut si anak muda, "Jangan nanti soal yang aku tidak dapat melakukannya."
Oey Ying tertawa.
"Aku bukannya minta kau memotong kepalanya keenam gurumu itu!" katanya.
Pemuda itu tidak puas.
"Untuk apa kau menimbulkan urusan itu, Yong-jie?" ia tanya.
"Kenapa aku tidak boleh menimbulkannya?" si nona balik menanya. "Mungkin kau dapat melupakan itu, aku tidak! Biarnya aku baik dengan kau tetapi aku tidak suka kepalaku dipotong olehmu?"
Anak muda itu menarik napas panjang.
"Sungguh aku tidak mengerti kenapa toasuhu demikian gusar?" katanya.
"Toasuhu ketahui baik sekali kaulah orang yang aku cintai. Biar aku mesti mati seribu atau selaksa kali, tidak nanti aku sudi melukai kau biar bagaimana kecil juga."
Oey Yong bersyukur. Ia menarik tangan si anak muda, ia menyenderkan tubuhnya ke tubuh anak muda itu.
"Engko Ceng, apakah kau anggap Tho Hoa To ini bagus?" ia tanya. Ia menunjuk barisan pohon yangliu di tepi air. Perlahan suaranya.
"Mirip tempat dewa-dewi," Kwee Ceng menyahut.
Si nona menghela napas.
"Ingin aku tinggal hidup di sini, tidak sudi aku dibunuh kau?" katanya.
Kwee Ceng mengusap-usap rambut nona itu.
"Anak tolol! Mana dapat aku membunuh kau.."
"Bagaimana kalau kau didesak enam gurumu, ibumu dan sekalian sahabatmu" Kau turun tangan juga atau tidak?"
"Biar semua orang di seluruh jagat memusuhkan kau, aku tetap akan melindungimu!" kata si anak muda.
Oey Yong memegang keras tangan si anak muda.
"Untukku, kau suka mengorbankan segala apa?" ia tanya.
Kwee Ceng berdiam, agaknya ia bersangsi.
Oey Yong mengangkat kepalanya, ia mengawasi mata orang. Sinar mata itu menunjuki roman kedukaan atau ragu.
"Yong-jie," kata si anak muda kemudian, "Aku telah bilang padamu aku suka berdiam di Tho Hoa To untuk memenani kau seumur hidupku, ketika aku mengatakan itu, aku telah mengambil keputusanku."
"Bagus!" si nona berseru. "Mulai hari ini ,kau tidak akan meninggalkan pulau ini!"
Kwee Ceng heran.
"Mulai hari ini?" dia tanya.
"Ya, mulai hari ini," berkata si nona. "Aku akan minta ayah pergi ke Yan Ie Lauw untuk membantu pihakmu, aku bersama ayah nanti pergi membunuh Wanyen Lieh guna membalaskan sakit hatimu, habis itu aku bersama ayah nanti pergi ke Mongolia menyambut ibumu! Bahkan akan aku minta ayah menemui keenam gurumu guna memohon maaf untukmu. Aku hendak membikin supaya hatimu lega dan tidak ada apa-apa lagi yang harus dipikirakn!"
Kwee Ceng heran. Aneh sekali sikap nona ini.
"Yong, jie, apa yang aku bilang, semua itu kata-kataku," ia bilang. "Kau boleh menetapkan hati."
Si nona menghela napas.
"Urusan di dalam dunia ini banyak yang sukar dibilang pasti," katanya. "Ketika dulu hari kau menerima baik perjodohan putri Mongolia itu, mana kau pernah ingat bahwa kau hari ini bakal menyangkal dia. Juga aku sendiri, aku pikir aku dapat melakukan segala apa sesukaku. Sekarang baru aku tahu" Ah, apa yang kita pikir baik, justru Thian pikir sebaliknya."
Kedua matanya si nona menjadi merah, lekas-lekas dia tunduk.
Kwee Ceng pun berdiam, pikirannya bekerja. Ingin ia menemani Oey Yong seumur hidup di Tho Hoa To ini, tetapi berat untuk meninggalkan semua urusan dalam dunia, itulah tidak sempurna. Hanya kenapa dia tidak dapat menyebutnya.
"Aku bukannya tidak percaya kau dan hendak memaksa kau berdiam di sini," si nona berkata pula sesaat kemudian, perlahan, "Hanya"hanya"Di dalam hatiku aku sangat takut?" Ia lantas mendekam di pundak anak muda itu, ia menangis.
Pukulan Si Kuda Binal 2 Pendekar Sejagat Seri Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Petualang Asmara 14
^