Pencarian

Pendekar Wanita Penyebar Bunga 10

Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen Bagian 10


istimewa itu. Dalam saat sangat terdesak maka terlihatlah satu tubuh
mencelat tinggi bagaikan terbang, membarengi mana sinar
hijau dari pedang pun berkelebat ke empat penjuru, diikuti
dengan suara nyaring dari satu bentrokan.
614 "Bagus, ilmu pedang yang bagus!" berseru Poan Thian Lo.
"Nah, sambutlah lagi!"
Nyatalah Sin Cu dapat meloloskan diri dari cambuk dengan
ia mencelat tinggi sambil tangannya membabat, maka
pedangnya itu telah membabat habis gigi-gigi cambuknya si
pangeran tetiron. Semua itu terjadi dengan sangat cepat.
Dengan gerakannya ini yang luar biasa, Sin Cu telah
mempergunakan banyak sekali tenaganya. Dalam ilmu silat
dan tenaga, ia kalah jauh dari Poan Thian Lo, siapa ada
menangi Yang Cong Hay sedikitnya satu lipat, maka itu ia
bukanlah satu tandingan. Bahwa ia sudah membuat
perlawanan, itulah saking terpaksa, untuk melindungi Siauw
Houwcu. Dan bahwa ia dapat membabat putus giginya
cambuk, itu melulu karena ia andalkan liehaynya Hian Kie
Kiamhoat yang ia telah fahamkan itu dibantu sama tajamnya
Cengbeng kiam, pedang mustikanya itu.
Segera datang pula sambaran cambuknya Poan Thian Lo,
cepat dan berat. Sin Cu terkejut. Itu waktu ia sudah lelah dan
telapakan tangannya pun sakit. Meski ia dapat membabat,
bentrokan senjata buatnya tangannya tergetar dan sakit.
Kalau sekarang ia melayani keras dengan keras, ada
kemungkinan pedangnya bakal terlepas dari cekalannya dan
terlempar. Siauw Houwcu bukannya berdiam saja ketika tadi ia
diserang Poan Thian Lo, ia sudah gunai kelincahannya untuk
berkelit dengan menjatuhkan diri dan bergulingan, sesudah
mana dengan gerakannya "Ikan gabus meletik," ia lantas
berlompat bangun.
Justeru itu, ia melihat bahaya mengancam si nona
kawannya itu. "Encie, jangan bingung, aku datang!" ia lantas berseru.
615 "Mana kau dapat?" berseru Sin Cu dengan pertanyaannya,
agaknya ia terperanjat.
Ia baru menanya atau ia dengar suara angin menyambar,
sebab dengan berani bocah itu berlompat kepada musuh,
yang ia serang dengan mendadak itu.
Poan Thian Lo repot, karena ia lagi menyerang Sin Cu.
Kalau ia menyerang terus, mesti ia kena dihajar bocah itu.
Inilah ia tidak menghendakinya. Maka itu ia tarik cambuknya,
untuk dipakai membela diri.
Ketika ini digunai Sin Cu untuk menolong dirinya. Dengan
pedang di depan dada, ia turun, untuk menaruh kaki. Tapi
Poan Thian Lo benar-benar sebat, dia dapat menyerang pula,
ke arah jalan darah soankie hiat, setelah mana ujung
cambuknya menyambar terus ke arah Siauw Houwcu.
Berbahaya sekali bocah itu, dalam halnya ilmu enteng
tubuh, ia kalah dari Sin Cu, maka sulit untuk ia membebaskan
diri. Si nona pun kaget bukan main, hatinya cemas.
Adalah di saat sangat mengancam itu, tiba-tiba cambuk
Poan Thian Lo mental nyam-ping. Di antara mereka lantas
terlihat Hek Moko, yang sembari tertawa terbahak-bahak
memuji si bocah: "Bagus, Siauw Houwcu! Pukulan Naga kau
ini benar-benar ada ajaran gurumu!"
Memang juga Siauw Houwcu menyerang dengan Liongkun,
pukulan Naganya itu, hanya sebab kalah tenaga, ia kena
dibikin terpental lawannya, ia justeru malu sendirinya, karena
ia anggap gurunya itu menterta-wai padanya, ia dapatkan
tubuh lawannya miring. Jadi ia telah kena menghajar musuh
jago itu, meski tidak hebat. Sekarang barulah ia tahu, gurunya
memuji ia dengan sebenar-benarnya.
616 Pertarungan berjalan terus. Hek Pek Moko telah mendesak
Poan Thian Lo dan Ismet dan Akhmad. Dua saudara ini,
dengan mendapatkan bantuannya Poan Thian Lo, menjadi
mendapat hati, hingga mereka sanggup membuat perlawanan
dengan sama serunya.
Poan Thian Lo tidak puas, maka tanpa memikir panjang
lagi, ia memberikan tanda dengan siulannya, atas mana
murid-muridnya di kedua pinggiran lantas menghunus
senjatanya masing-masing, semua meluruk untuk mengepung.
Hek Moko melihat ancaman bahaya itu.
"Sin Cu, kau lindungi tuan puteri, kau menerjang keluar!" ia
teriaki si nona.
"Marilah kita berlalu bersama-sama!" mengajak Toan Teng
Khong. "Tidak!" menyahut Hek Moko. "Tidak dapat tidak, aku mesti
menghajar dulu binatang ini!"
Sin Cu sudah lantas mendampingi puteri Iran itu, dengan
pedang di tangan ia menunjuki roman bengis.
Puteri itu pun agung, ia tidak jadi kecil hati karena bahaya
yang mengancam itu. Untuk beberapa tahun, ia pernah belajar
silat di bawah pimpinan suaminya. Bahkan sambil bersenyum,
ia kata pada suaminya itu: "Kau tidak usah pedulikan aku!
Apakah kau senang membiarkan satu bocah membantu kau
menerjang?"
Siauw Houwcu memang telah berpisah pula. Ia sudah
lantas menghunus goloknya golok Bianto yang ia cekal di
tangan kiri, karena dengan tangan kanannya ia bersilat
617 dengan Loo Han Kun ajarannya Hek Pek Moko. Dengan golok
itu ia bersilat dengan ilmu golok Ngohouw Toan-bun too. Ia
berkelahi dengan bengis sekali hingga murid-muridnya Poan
Thian Lo tidak berani merapatkan dia. Sayangnya untuk ia, ia
masih belum cukup ulat. Maka kemudian ia kena dirintangi
juga oleh banyak musuh, yang bersenjatakan tombak. Tapi ia
tidak kenal mundur, walaupun sudah mandi keringat, ia
bertempur terus.
"Sungguh, tidak kecewa dia menjadi puteranya Thio Hong
Hu!" Sin Cu memuji degan kekaguman menyaksikan
kegagahan orang.
Toan Teng Khong telah menerima baik anjuran isterinya,
begitu ia menghunus pedangnya, begitu ia lompat maju
menerjang. Dan begitu lekas juga, beberapa musuh roboh di
ujung pedangnya.
"Dengan baik hati aku melayani kau, kenapa kaumelukai
pengikut-pengikutku?" Poan Thian Lo menegur.
"Terima kasih, Hoan ong" menjawab Teng Khong. "Kalau
benar Hoan ong bermaksud baik, mengapa kau tidak
membubarkan sekalian pengiringmu ini" Kenapa kau
merintangi kami" Tentang kebaikanmu, nanti saja setibanya
kami di Pakkhia, kami melaporkannya kepada sri baginda
raja!" Teng Khong bicara dengan bahasa Tionghoa yang kaku,
maka kata-katanya ini yang bersifat menyindir terasa lebih
menusuk kuping, dari itu, Poan Thian Lo menjadi gusar bukan
main. Tapi ia mesti mendongkol saja, untuk menghampirkan
orang dan menyerangnya, ia tidak sanggup. Kedua tongkatnya
Hek Pek Moko tetap tengah mengurung padanya.
618 Toan Teng Khong tersohor sebagai ahli pedang nomor satu
di Iran, ia merangkap kedua kepandaian Timur dan Barat, ia
menjadi hebat sekali. Sebentar kemudian, lagi beberapa orang
roboh sebagai kurban pedangnya.
San Cu dapat lihat orang menggunai pedang dengan jarang
sekali menyabet, selalu dengan menikam, maka gerakannya
Teng Khong ada cepat sekali. Ia anggap ilmu silat orang ada
baik sekali walaupun, tidak dapat dibandingkan dengan
Pekpian Hian Kie Kiamhoat dari gurunya.
Dalam pertempuran dahsyat itu, tiba-tiba terdengar
mengaungnya senjata rahasia. Segera ternyata, itulah
serangannya Bong Goan Cu, adik seperguruan dari Poan Thian
Lo. Dia telah menggunai gelang perak di lengannya. Tapi dia
menyerang dengan tubuhnya rebah di tanah. Tinjunya Hek
Moko membikin dia tidak dapat merayap bangun. Meskipun
dia tidak bisa jalan, tangannya masih dapat menggunai
senjata rahasianya itu. Begitulah kedua tangannya menyerang
dengan enam buah gelang peraknya.
Toan Teng Khong kaget sekali waktu tahu-tahu ada senjata
rahasia yang menyambar ke arahnya. Ia lekas-lekas
menangkis dengan pedangnya. Senjata rahasia itu kena
terpukul, lalu mental. Celakanya, dengan mengasi dengar
suaranya yang luar biasa, gelang itu mental nyambar puteri
Iran. Tentu sekali, ia menjadi bertambah kaget. Di saat ia
hendak berlompat, akan menolongi isterinya, mendadak tiga
buah gelang yang lain menyambar pula ke arahnya.
"Celaka!" ia mengeluh.
Akan tetapi, tidak usah pangeran ini menangkis atau
berkelit, enam buah gelang itu telah runtuh sendirinya, jatuh
ke tanah. Sebab Ie Sin Cu sudah menolongi dia menimpuknya
619 hingga semua senjata rahasia itu jatuh. Dan caranya si nona
menimpuk tepat menuruti caranya Ismet dan Akhmad tadi!
Bukan main gembiranya Sin Cu yang ia dapat meniru cara
orang itu. Mengikuti kegembiraannya itu, ia lantas gunai
semuanya tujuh puluh dua biji bunga emasnya, untuk terus
menyerang murid-muridnya Poan Thian Lo. Mereka itu
berjumlah kira lima puluh orang, kecuali yang dirobohkan
Toan Teng Khong dan Siauw Houwcu, masih ada sisa tiga
puluh lebih orang dan mereka ini, semua roboh di tangannya
si nona. Hingga ia cuma menggunai tak ada separuh dari
senjata rahasianya itu.
Habis menyerang dengan cepat Sin Cu jalan mengitari
kalangan, untuk memungut pulang semua bunga emasnya itu.
Pertempuran di antara Hek Pek Moko melawan musuhmusuhnya
berlangsung terus, keadaan mereka kedua pihak
agaknya berimbang. Maka juga, menyaksikan itu, Sin Cu tidak
mendapat duga kapan akan akhirnya itu.
" Cianp wee marilah kita berlalu!" akhirnya Sin Cu
menyerukan dua saudara Moko itu, mengajak mengangkat
kaki. Kedua saudara Moko itu tertawa bergelak, keduanya
menyahuti dengan berbareng:
"Inilah tandingan yang setimpal! Inilah pertandingan yang
seumur hidupku mungkin sukar diketemukan meski juga satu
kali saja! Maka itu baik kamu membiarkan kami bertempur
sepuas-puasnya!"
Kata-kata mereka ini di akhirkan dengan satu tangkisan
tergabung dari kedua tongkat hijau dan putih dan golok
bengkung dari Ismet lantas saja terhajar terlepas mencelat ke
620 atas. Akan tetapi Ismet benar-benar liehay, belum sampai
datang serangan kepadanya, ia sudah mencelat menyambuti
goloknya itu, hingga bersama saudaranya dapat ia
merapatkan diri untuk bertempur terlebih jauh. Kedua golok
mereka terus bergerak-gerak mengimbangi kedua tongkat,
kadang-kadang mereka membalas menyerang juga.
Poan Thian Lo adalah yang terendah ilmu silatnya akan
tetapi dengan dapat bantuannya dua saudara kembar yang
menjadi kawannya itu, ia bisa bergerak dengan gesit untuk
memberikan bantuannya mengepung dua saudara Moko itu.
Hingga berlima mereka menjadi bertarung rapat sekali.
Sin Cu mendapat perasaan sayang untuk tidak
menyaksikan pertempuran yang istimewa itu, akan tetapi
kapan ia melihat cuaca, ia menginsafi perlunya mereka
mengangkat kaki. Kalau umpama touwsu mengirim bala
bantuan, tentulah sulit untuk mereka menyingkir. Dari itu di
akhirnya ia berseru kepada dua saudara Moko itu: "Baiklah,
kami akan menantikannya di selat selatan sana!"
Di mana di situ sudah tidak ada lainnya musuh dengan
merdeka Sin Cu beramai dapat menyingkir dari benteng itu.
Sin Cu menarik tangannya si puteri, sedang Toan Teng Khong
mendahulukan mereka untuk mengambil kudanya yang bulu
merah atas mana ia sudah terus menyem-plak, sedang
tangannya menuntun seekor kuda lain yang sama warna
bulunya. "Baik aku bersama Siauw Houwcu menaiki kuda ini," Toan
Teng Khong bilang. "Kau naiki itu kuda untuk sekalian
melindungi tuan puteri."
Kedua kuda ada kuda Persia kenamaan, larinya pesat,
jalanan pegunungan yang sukar di jalani itu tidak menjadikan
621 rintangan untuknya. Sebentar kemudian mereka sudah tiba di
selat di sebelah selatan itu.
Toan Teng Khong lompat turun dari kudanya.
"Bagaimana kau lihat kedua ekor kuda ini?" sembari
tertawa ia menanya Siauw Houwcu. "Jikalau kau suka kuda ini,
lain hari boleh aku menghadiahkan padamu!"
Sin Cu bersenyum.
"Kedua kuda ini memang tidak dapat dicelah," menjawab si
bocah, "hanya kalau mereka hendak diadu dengan kudanya
encie ku, bedanya masih jauh sekali!"
"Benarkah itu?" menanya Teng Khong kurang percaya.
Belum lagi Siauw Houwcu menyahuti, Sin Cu sudah
mengasi dengar siulannya yang nyaring halus yang panjang,
yang berkumandang di selat itu.
Mendengar suara itu, Teng Khong terperanjat.
"Leluhurku beberapa turunan pernah membilang hebatnya
ilmu silat Tionghoa, sekarang aku percaya kebenarannya itu,"
ia berkata kagum. "Sekalipun kau, nona, kau telah mempunyai
tenaga dalam yang liehay ini."
Sin Cu tidak membilang suatu apa, ia cuma bersenyum,
jawabannya telah diwakilkan suara meringkik yang nyaring
dan keras dan panjang, lalu tertampak lari mendatanginya
seekor kuda putih, lari pesat dan melompati beberapa solokan,
akan sebentar saja tiba di hadapan mereka.
Itulah Ciauwya Say-cu ma, yang datang atas panggilan
majikannya. 622 Toan Ceng Khong menghela napas.
"Orang Eropah membilang Persia mempunyakan banyak
mustika, aku bilang, Tiongkok kita, barulah negara kaya raya,"
ia berkata. "Lihat saja, sekalipun kudanya pun begini


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

istimewa!"
Ie Sin Cu tertawa. Ia pondong puteri untuk dikasi turun dari
kudanya. Puteri itu menyekal tangan orang erat-erat.
"Terima kasih!" katanya dalam bahasa Tionghoa, yang
sedikit-sedikit ia dapat pelajari dari suaminya. Suaranya itu
kaku tetapi toh enak didengarnya.
Sin Cu bersenyum.
Lalu, dengan kata-kata Tionghoa yang ia tahu, dibantu
sama gerakan tangannya, puteri itu mencoba memasang
omong dengan nona kita.
Sin Cu menanyakan kenapa puteri ini datang ke Tiongkok.
Tidak dapat puteri memberi keterangan jelas, maka ia minta
Teng Khong membantu bicara. Ia agaknya senang sekali
dengan suami asingnya ini, karena memang ada biasa untuk
wanita Persia yang berbesar hati mempunyai kekasih,
sedikitpun ia tidak malu atau likat.
Sin Cu pun girang, ia gembira melihat suami isteri itu
bicara sambil dicampur sama tanda-tanda dengan tangan,
tetapi kemudian, ia masgul seorang diri. Lain orang telah
berpasangan, hidupnya berbahagia, tetapi ia sendiri, ia masib
sebatang kara...
623 Siauw Houwcu tidak dapat kawan bicara. Ia lari sana lari
sini, akan mencari kesenangannya sendiri, ia pun sering
menoleh ke arah dari mana tadi mereka datang. Lama rasanya
sudah lewat, mendadak dia berseru: "Lihat, kedua guruku
telah datang. Kelihatannya mereka gembira sekali, pasti
mereka telah peroleh kemenangan!" Dan ia lantas tertawa
terbahak-bahak.
Memang di sana terlihat Hek Pek Moko mendatangi dengan
laratkan kuda mereka. Dari jauh cambuk mereka itu telah
dibulang-balingkan, kemudian terdengar suara tertawa mereka
riang gembira. Sin Cu semua berpaling, lantas ia lari bersama Siauw
Houwcu untuk memapaki.
Segera juga kedua saudara Moko telah sampai, keduanya
lantas lompat turun dari kuda mereka. Mereka pun tertawa
dengan gembira sekali.
"Kali ini pertempuran barulah mempuaskan sekali!"
keduanya berseru. "Sudah belasan tahun yang kami belum
pernah menemui tandingan seperti kali ini!"
"Ceritakanlah, suhu , untuk kami mendengarnya!" berkata
Siauw Houwcu yang pun girang luar biasa.
Hek Moko menoleh kepada Sin Cu.
"Pada sepuluh tahun yang lalu kami dua saudara pernah
bertarung dengan gurumu suami isteri," ia berkata. "Kami
kena dikalahkan tetapi kami kalah dengan puas. Kali ini kami
bertempur, kami menang dan Ismet dan Akhmad dua saudara
juga kalah dengan puas juga!"
624 "Dua saudara itu ada harganya untuk dijadikan sahabat!"
berkata Pek Moko. "Cuma sayang mereka tidak berpandangan
luas sebagai guru kamu nona, setelah kalah mereka lantas
bersumpah akan pulang ke negerinya untuk tidak mencampuri
lagi segala urusan nganggur!"
"Yang paling memuaskan adalah Poan Thian Lo si jahanam
itu!" berkata pula Hek Moko, "Dia kena kuhajar dengan
tongkatku hingga tulang kakinya patah! Siauw Houwcu, kau
pun boleh merasa puas!"
"Kabarnya Poan Thian Lo itu bersama-sama Yang Cong Hay
ada murid-muridnya Cie Hee Toojin," berkata Sin Cu.
Hek Pek Moko tertawa terbahak.
"Habis Cie Hee itu bagaimana?" tanya mereka.
"Mustahilkah kami dan gurumu berdua jeri terhadapnya" He,
Siauw Houwcu, mengapa kau diam saja?"
"Kepalaku sedikit pusing," menyahut murid itu.
Hek Moko menyambar tangan orang untuk memeriksa
nadinya. "Ah tidak beres!" katanya.
"Dia telah kena makan obat pengganggu urat saraf,
sesudah itu dia pun kena makan bisa yang diberikan oleh
gadisnya touwsu," Sin Cu memberitahukan.
"Obat pengganggu urat saraf itu sudah dipunahkan,"
berkata Hek Mako. "Bagaimana dengan bisa itu?"
"Turut apa yang aku dengar," Sin Cu memberi keterangan,
"bangsa Biauw suka memelihara pelbagai macam binatang
625 berbisa mereka taruh semua binatang itu dalam sebuah paso
besar, semuanya dibiarkan saling membunuh hingga tinggal
semacam binatang yang hidup sendiri. Binatang itu ditumbuk
dijadikan bubuk, bubuk itu dibikin menjadi semacam obat,
jikalau itu dicampur dalam air teh atau di dalam sayur atau
nasi dan dikasikan orang minum atau makan, di dalam waktu
yang tertentu, umpamanya seratus hari atau satu tahun, bisa
itu akan bekerja, dengan begitu celakalah si kurban kecuali dia
ditolong oleh orang yang mera-cuninya sendiri."
Pek Moko menjadi gusar sekali.
"Kalau begitu mari kita kembali!" ia berseru. "Kita mesti
ubrak-abrik rumahnya touwsu itu dan paksa si wanita siluman
mengeluarkan obat pemunahnya!"
"Bukan, dia bukannya wanita siluman," Siauw Houwcu
bilang, "Ketika itu hari aku dilukai oleh Poan Thian Lo dan
Bong Goan Cu, selama setengah bulan, aku dirawat nona itu."
Sin Cu segera menaruh jari tangannya di mukanya.
"Siauw Houwcu ada punya liangsim yang baik sekali,"
katanya, menggoda, "dia menyayangi isterinya itu!..."
"Siapa bilang dialah isteriku?" Siauw Houwcu membentak.
"Bukankah kita telah membilangnya bahwa kami telah putus
hubungan?"
"Eh, bagaimana duduknya hal ini?" Hek Pek Moko tanya
heran. "Dia telah dipeda-yakan dan dinikahkan," berkata Sin Cu
yang terus menuturkan duduknya hal. Tapi, ketika menutur
sampai di bagian mengacau kamar pengantin, nona ini jengah
sendirinya. 626 Hek Pek Moko lantas tertawa lebar.
"Jikalau menuruti adatku dulu-dulu, touwsu itu mesti
diubrak-abrik!" berkata Hek Pek Moko kemudian, romannya
sungguh-sungguh, "tetapi sejak aku bersahabat dengan
gurumu itu, perangaiku dapat aku ubah banyak. Mendengar
keterangan kau, rupanya gadis touwsu itu juga dijadikan
pekakasnya Poan Thian Lo, maka itu, tidak perlu kita
mengganggu padanya. Aku tidak percaya di dalam dunia ini
ada racun yang tidak dapat dipunahkan!"
Hek Pek Moko pernah mengidarkan seluruh India, sudah
merantau luas di Persia, Tiongkok dan beberapa negara timur
lainnya, mereka telah perhatikan pelbagai macam obat di
negara-negara itu, lebih-lebih Hek Pek Moko, ia paling
memperhatikan penyakit-penyakit yang aneh, ia jadi lebih
mengarti daripada saudaranya itu. Maka ia lantas menyuruh
Siauw Houwcu duduk bersila, terus ia memeriksa pula. Di
akhirnya ia tertawa.
"Bisa ini benar berbahaya tetapi dia tidak dapat mencelakai
orang yang faham yoga," katanya. "Sin Cu, pergi kau lebih
dahulu bersama tuan puteri, nanti aku bebaskan Siauw
Houwcu dari bisa yang menyerangnya, kemudian kita nanti
menyusul kamu."
Sin Cu menurut, maka ia lantas berlalu bersama puteri Iran.
Hek Pek Moko juga sudah lantas bekerja, akan uruti Siauw
Houwcu. Lekas sekali bocah ini merasakan hawa panas pindah dari
tangan gurunya ke tubuhnya sendiri, sudah panas, ia pun
sampai bernapas memburu.
627 "Mainkan napasmu," Hek Moko ajari muridnya.
Siauw Houwcu menurut, ia menenangkan diri, ia bernapas
dengan beraturan, dengan pelahan. Inilah sama dengan
pelajarannya setiap hari, untuk merapikan jalan napasnya itu.
Mulanya ia merasakan sulit akan mengendalikan napasnya itu,
lama-lama barulah ia merasa lega. Lewat lagi sekian lama, ia
merasakan dalam perut seperti ada kutu bergerak-gerak,
perutnya itupun mengasi dengar suara gerijukan.
"Sudah!" berkata Hek Moko setelah menyaksikan
perubahan pada muridnya. "Nah, pergilah kau ke sana
membuang air besar!"
Siauw Houwcu menurut, ia pergi jongkok. Banyak ia
mengeluarkan kotoran. Ketika ia kembali pada gurunya, ia
diberikan obat makan.
Tiga hari Siauw Houwcu mesti membuang tempo, untuk
dirawat terus oleh kedua gurunya bergantian, selama itu ia
terus bersamedhi, maka akhir-akhirnya bukan melainkan
racunnya lenyap, tubuhnya pun menjadi semakin tangguh
berkat latihan tenaga dalam itu. Sesudah itu bersama kedua
gurunya itu serta Toan Teng Khong, ia melanjuti perjalanan
untuk menyusul Sin Cu dan puteri Iran.
Sekeluarnya dari wilayah bangsa Biauw, Hek Pek Moko
mengadakan pembicaraan seturuhnya. Mereka mengusulkan
untuk pergi dahulu ke Khong San, guna mencari Tan Hong
suami isteri. Di kaki gunung Khong San itu pun ada wilayah
Tali, negara atau kampung halamannya Toan Teng Khong.
Teng Khong setujui usul itu. Memang selama beberapa hari
bergaul, dari Sin Cu dan Hek Pek Moko juga, ia telah dengar
perihal Thio Tan Hong itu orang macam apa hingga ingin ia
berkenalan dengan orang she Thio itu suami isteri. Ia
628 merasakan, pengalaman dan hal ikhwalnya sendiri sama
dengan penghidupan yang penuh derita dari Tan Hong itu,
yang juga pernah merantau di negara orang.
Setelah mendapat kesetujuan, Hek Moko mengusulkan pula
untuk mereka memecah rombongan. Rupa mereka beda satu
dari lain, saudaranya dan ia sendiri pun ada apa yang
dinamakan "orang-orang yang dicari pemerintah," jadi dengan
jalan mencar, mereka tidak bakal menarik perhatian umum
dan akan bebas dari kecurigaan orang.
Usul ini pun dapat kesetujuan umum. Maka mereka lantas
memisah diri. Ie Sin Cu berjalan bersama Siauw Houwcu.
Toan Teng Khong tetap bersama isterinya. Dan Hek Pek Moko
tetap berdua dengan mereka jalan paling belakang, untuk
sekalian melindungi pasangan bangsawan itu. Kalau di depan
ada musuh, Sin Cu akan memberi kisikan, dan apabila di
belakang ada pengejar, dua saudara Moko yang akan
bertahan. Hek Moko memberikan Sin Cu beberapa batang hiangcian,
yaitu panah bersuara.
"Umpama kata kau menemui musuh di waktu siang, kau
lepaslah panah putih ini," si Moko Hitam memesan, "Di waktu
malam, kau mesti melepas ini panah hitam. Panah ini tidak
melainkan suaranya dapat terdengar sejauh beberapa lie, juga
akan mengeluarkan sinar api biru, hingga di waktu malam
gampang terlihat dan dikenali."
Sin Cu simpan anak-anak panah itu.
Toan Teng Khong puas hatinya menyaksikan pelindung ini
pandai bersiaga.
629 Di waktu berangkat, Sin Cu ajak Siauw Houwcu bersama
menaiki kuda putihnya. Mereka melintasi tanah datar
perbatasan Inlam dan Kuiciu, lalu masuk ke dalam propinsi
Inlam. Mereka merasa beruntung tidak pernah mereka
menemui sesuatu halangan hingga panah mereka tidak usah
digunakan. Mereka senang dengan perjalanan ini. Dibanding
dengan Sin Cu, usia Siauw Houwcu lebih muda tiga tahun,
tubuhnya pun lebih kate (pendek) sebatas pundak si nona. Di
tengah jalan mereka omong banyak satu dengan lain, mereka
memanggil kakak dan adik. Mereka banyak bicara tentang
ilmu silat, hingga mereka tidak perna kesepian.
Lewat beberapa hari mereka mulai berjalan di jalan umum
dari kota Kunbeng. Di sini mereka jadi semakin tak berkuatir
lagi. "Karena kuatir kita nanti terpisah terlalu jauh, dalam
beberapa hari ini kita berdua tidak berani membiarkan
kemerdekaannya kuda kita, pasti si putih sudah pepat
pikirannya," berkata Nona Ie.
Siauw Houwcu bersenyum.
Sin Cu mengeprak kudanya dengan tali lesnya, yang ia
terus kendorkan, maka tidak ayal lagi, kuda putihnya sudah
lantas membuka ke empat kakinya, untuk berlompat lari,
hingga di lain saat, mereka telah tinggalkan jauh di belakang
pohon-pohon dan rumah-rumah yang berada di kedua tepi
jalan besar. Siauw Houwcu mempeluki pinggang si nona.
"Enak, enak!" serunya kegirangan disebabkan kaburnya
kuda mereka. "Ha, kita menjadi mirip dengan dewa dewi yang
melayang naik di udara!..."
630 Sin Cu tertawa. Ketika kemudian nona ini menahan les
kudanya, mereka telah berada di luar kota Kunbeng, ibukota
propinsi Inlam. Tembok kota sudah ada di dalam pandangan
matanya. Kunbeng adalah kota yang keadaannya cocok dengan
pribahasa "Empat musim seperti musim semi." Itu waktu
sudah di pertengahan bulan ke delapan tetapi di luar kota itu,
pohon bunga ada bagaikan sulaman, sedang di dalam kota,
suasana kota ramai sekali dan di mana-mana kedapatan
pohon-pohon bunga, sedang gunung See San nampak
bagaikan seorang wanita cantik tengah rebah miring.
"Bagus sekali kota ini, kita harus pesiar di sini lebih lama
dua hari!" berkata Siauw Houw-cu.
"Mereka akan sampai di sini sedikitnya nusa, kau dapat
pelesiran dengan puas," Sin Cu bilang.
Mereka masuk ke dalam kota setelah mengitarkan itu,
untuk mempuaskan mata mereka, setibanya di dalam,
mereka menuju ke pusat kota untuk lantas mencari rumah
penginapan. Di luar hotel mereka meninggalkan tanda.
Besoknya pagi Sin Cu sudah lantas dapat keterangan
perihal tempat-tempat yang kesohor dari kota Kunbeng, maka
sambil tertawa ia kata pada Siauw Houwcu: "Eh, bocah nakal,
hari ini aku beri cuti satu hari padamu! Mari kita pergi ke
taman Taykoan Wan, lohornya kita pergi ke See San! Hanya


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ingat, aku larang kau main gila!"
"Belum lagi aku mengangkat guru kepada Thio Tayhiap,
kau sudah mau tunjuk pengaruhmu sebagai kakak
seperguruan!" berkata Siauw
Houwcu. "Aku justeru hendak main gila!"
631 "Jikalau kau main gila, aku tidak akan ajak padamu!"
mengancam si nona. "Aku pun tidak akan ajarkan kau ilmu
dalam Hiankong Yauwkoat!"
"Bagus!" seru bocah itu. "Belum-belum kau sudah
mengancam tidak mau mengajarkan ilmu padaku! Baiklah, aku
akan dengar perkataanmu!"
Pesan terakhir dari Thio Hong Hu menghendaki Siauw
Houwcu, puteranya itu, diterima Tan Hong sebagai murid, ini
pun maksudnya Hek Pek Moko mengantar puteri Iran ke Tali,
ialah sekalian menjenguk Thio Tan Hong. Hal ini diketahui Sin
Cu begitupun Siauw Houwcu, maka si bocah nakal sudah
lantas akuh Sin Cu sebagai sucie, kakak seperguruannya.
Taykoan Wan ada taman terindah dari kota Kunbeng,
begitu memasuki pintu lantas terlihat banyak bunga serta bau
harumnya. Di situ ada dua buah telaga yang kedua tepinya
ditanamkan pohon-pohon yangliu di antara mana orang dapat
mundar-mandir. Di situ juga ada dua buah pengempang
teratai, yang bunganya harum semerbak.
Gembira Sin Cu berada di taman indah ini setelah selama
satu tahun ia berjoang saja. Ia merasa seperti ia telah kembali
ke kampung halamannya di telaga Thayouw.
Di dalam taman pun ada lauwteng atau ranggon Taykoan
Lauw, berada di atas itu orang dapat memandang ke
sekitarnya sejauh lima ratus lie, untuk menikmati
pemandangan alam yang luas dan menarik hati, yang mirip
dengan keindahan di Kanglam. Sin Cu tersengsam hingga
tanpa merasa ia ingat pertemuannya pertama kali dengan Tiat
Keng Sim di sungai Tiangkang. Ia jadi bagaikan bermimpi...
632 "Eh, encie, kau kenapa?" Siauw Houw-cu menegur
menyaksikan orang diam saja.
"Tidak apa-apa," menyahut si nona, pelahan.
"Sinar matamu tidak dapat mendustai aku, encie1." kata si
nakal. "Kau mesti tengah memikirkan sesuatu! Kenapa kau
tidak sudi memberitahukan itu kepadaku?" Ia lantas bawa jarijari
tangannya ke mukanya, untuk goda kawan itu.
Mau tidak mau, Sin Cu tertawa. Bocah nakal itu Jenaka
sekali. "Anak kecil tahu apa tentang orang tua!" katanya. "Jangan
main gila!"
"Hai, berapa tua sih kau ada, encie?" tanya bocah "Kau
sudah lantas bawa lagaknya si orang tua! Mari berdiri, untuk
kita mengukur tubuh kita. Lihat, apakah kau bukan sama
tingginya dengan aku?"
Ia mendekati, untuk berdiri berendeng, guna mengukur
tingginya mereka. Sin Cu menolak tubuh orang.
"Siapa sedang memikirkan sesuatu!" katanya. "Jangan kau
main gila!"
Justeru itu di bawah ranggon terdengar suara gembreng
ramai. "Ha, di sana ada yang main sulap!" kata Siauw Houwcu,
yang sudah lantas melongok ke bawah. "Mari kita lihat! Kau
nanti hilang kemasgulanmu, encie."
"Kemasgulan apa perlu aku melenyapkannya?" Sin Cu
berkata. 633 Meski ia berkata begitu, ia turut Siauw Houwcu turun di
tangga. Bocah itu sudah mendahului ia lari turun.
Di sebuah tanah terbuka ada, seorang tua dan seorang
nona, yang rupanya ada ayah serta gadisnya. Orang tua itu
menggubat kepalanya dengan sabuk putih dan si wanita muda
memakai semacam sarung.
Dandanannya mereka sebagai orang suku bangsa Ie. Si
nona tengah mengasi pertunjukan makan pedang, ialah
pedangnya yang panjang dia masuki ke dalam mulutnya
sebatas gagangnya. Setelah mencabut keluar pedang itu,
terus dia menyerang sebatang pohon, hingga pedang itu
nancap dalam beberapa dim. Inilah untuk menunjuki pedang
itu bukannya pedang lemas.
Semua penonton lantas saja bersorak. Si orang tua
mengangkat nampannya dari kuningan.
"Masih ada permainan yang terlebih menarik!" berkata dia,
"Tuan-tuan penonton sudilah memberikan sedikit uang!"
Penonton belum banyak, setelah jalan sekitaran, orang tua
itu dapat uang saweran belum ada satu tail. Kemudian ia pergi
ke depan Sin Cu.
Nona Ie merogo sakunya, atau mendadak air mukanya
menjadi merah. Nyata ia lupa membawa uang dan di sakunya
cuma ada belasan tangkhie. Mana dapat ia menyawer
demikian sedikit"
"Kasilah seberapa saja, nona," berkata si orang tua.
Sin Cu likat, maka ia cabut tusuk kondenya, yang terbuat
dari batu kumala, "Ambillah ini!" katanya seraya meletakkan
634 tusuk konde itu ke dalam penampan, atau mendadak ia
menjadi tercengang. Itulah warisan ibunya. Bagaimana itu
dapat diberikan kepada lain orang"
Si orang tua menjumput tusuk konde itu, ia pun agaknya
heran. Seumurnya ia merantau, belum pernah ia memperoleh
saweran barang perhiasan, sedang kumala ini berharga
sedikitnya seratus tail perak.
Tiba-tiba seorang muda tertawa dan berkata: "Nona ini
royal sekali! Sampai barang pesalinnya pun dia dermakan!..."
Nona kita memang sedang berduka, mendengar suara
orang itu ia menjadi mendongkol.
Ia memotes selembar daun yangliu, ia mementil itu. Ia
belum meyakinkan ilmu itu dengan sempurna tetapi ketika
daun itu menyamber lengan si anak muda, dia berkaok
"Aduh!" dan tangannya bertanda merah. Anak muda itu heran
sekali, tidak tahu ia sebabnya itu, tapi lekas-lekas, ia angkat
kaki pergi menyingkir.
Si tukang sulap pegang tusuk konde, setelah mengawasi
sekian lama, ia tertawa dan berkata: "Budakku ini tidak pantas
memakai tusuk konde kumala ini. Usianya pun masih terlalu
muda. Kalau tidak, cocok ini untuk dijadikan pesalinnya nanti.
Nona, kau baik sekali, aku sangat berterima kasih kepadamu,
hadiahmu ini tidak berani aku terima. Baiklah nona mengasi
aku beberapa bun saja."
Sembari tertawa, ia menyerahkan pulang tusuk konde itu.
Sin Cu menyambuti kulit mukanya bersemu dadu. Ia lantas
merogo semua uang tangkhie-nya, diletaki di dalam
penampan. 635 Atas itu para,penonton pada bersorak. Di samping tukang
sulap ini ada seorang penjual mieshoa matang, ialah yang
disebut mieshoa Inlam, dapurnya sedang marong apinya, si
nona tukang sulap itu masuki pedangnya ke dalam api,
setelah menjadi merah, ia serahkan itu pada ayahnya.
Ayah itu menyambuti. pedang itu ia kibasi, hingga letikan
apinya beterbangan, kemudian sambil tertawa, ia kata:
"Pertunjukan yang lebih menarik inilah dianya! Lihat!" Ia
masuki pedang panas itu ke dalam mulutnya, sampai di batas
gagang. Ia memasukinya dengan pelahan-pelahan. Mendadak
saja ia memuntahkannya atau pedang itu berloncat keluar.
Dengan lantas ia masuki pedang itu ke dalam air di tahangnya
si tukang mieshoa, lantas air itu mendidih dan berbunyi, suatu
tanda pedang itu masih panas sekali. Asapnya pun mengepul
naik. Semua penonton kagum hingga mereka menjublak, hingga
tidak lagi mereka perhatikan si nona.
"Ah, ilmu apakah itu?" bertanya Sin Cu.
"Ilmu sulap biasa, palsu," berbisik Siauw Houwcu di kuping
orang. "Bagaimana bisa menjadi?" si nona tanya pula.
Siauw Houwcu menarik tangan si nona, untuk diajak pergi
sedikit jauh. "Sulap ini sering aku saksikan di India," katanya. "Ilmu itu
ilmu palsu tetapi benar untuk meyakinkan itu dibutuhkan
waktu delapan sampai sepuluh tahun. Mereka dapat
mempelajari segala macam senjata, asal turunnya di
tenggorokan tidak bergoyang tidak nanti dia dapat melukakan
orang." 636 "Tetapi pedang itu telah dibakar hingga marong?" si nona
menanya. "Tukang sulap itu lebih dulu, telah menyimpan sarung
pedang di dalam tenggorokannya itu," Siauw Houwcu
menerangkan pula, "pedang dikasi masuk ke dalam sarung itu
maka ia tidak terbakar."
Sin Cu mau percaya keterangan ini tetapi ia tetap heran.
Ilmu sulap itu adanya di India, dari mana si tukang sulap
pelaja-rinya" Mereka ini pun ada orang Ie sedang ketika itu
perhubungan India-Tiongkok belum maju. Memang jarak
propinsi Inlam dan India cuma terselang Birma tetapi orang
yang mundar-mandir ada sangat jarang. Orang Ie itu, dalam
hal kepindahan, ada terlebih kukuh daripada bangsa
Tionghoa umumnya, apa mungkin dia melakukan
perjalanan ribuan lie untuk mempelajari ilmu sulap itu" Meski
ilmu menelan pedang itu tipu belaka tetapi gerak-gerik si
orang Ie menandakan dia mengarti ilmu silat. Kalau dia
mengandali main sulap saja, kenapa dia menampik tusuk
konde" Selagi nona ini merasa aneh, si orang Ie sendiri merasa
kecele. Ia sudah mengasikan pertunjukan menelan pedang
panas itu, penonton yang berkerumun tidak menjadi
bertambah dan uang saweran di dalam penampannya cuma
seratus bun lebih serta beberapa potong perak hancur.
"Apakah kau baru pernah datang ke kota Kunbeng ini?"
menanya seorang penonton.
"Kenapa kau tidak ketahui hari ini ada hari rampungnya
berhala Senghong bio" Semua penduduk Kunbeng pergi
637 melihat keramaian. Baik kau pun pergi ke sana untuk
membuka pertunjukanmu."
Sin Cu heran mendengar perkataan itu. Senghong bio
berarti kuil dari si malaikat kota. Malaikat kota bukan malaikat
yang terlalu agung. Kenapa seluruh penduduk kuil
memerlukan sangat malaikat itu" Mungkinkah Senghong di
Kunbeng beda dari Senghong lainnya"
Hampir itu waktu terdengar ramai suara gembreng dan
tambur tercampur terompet, begitu juga berisiknya suara
banyak orang. "Nah, Senghong merondai kota, mari kita lihat!" berseru
satu orang. Itu artinya arak-arakan toapekong atau malaikat.
Kali ini si tukang sulap lantas saja bebenah dan berlalu dari
situ. "Encie, mari kita pun melihat!" Siauw Houwcu mengajak.
"Seng Hong di kolong langit ini semuanya sama, tidak lebih
dari- Ayah itu menyambuti, pedang itu ia kebasi, hingga letikan
apinya beterbangan, kemudian sambil tertawa, ia berkata:
"Pertunjukan yang lebih menarik inilah dianya! Lihatlah!" Ia
memasuki pedang panas itu ke dalam mulutnya, sampai di
batas gagang. Ia memasukinya dengan pelahan-pelahan. pada
sepotong boneka kayu, ada apakah yang bagus dilihat?" sahut
Sin Cu tertawa. "Apakah di kampungmu belum pernah kau
menyaksikan arak-arakan toapekong?"
638 "Kita bukan melihat toapekong, kita melihat keramaian
saja," Siauw Houwcu mengasi penjelasan.
"Dasar bocah gemar ramai-ramai!" tertawa pula si nona.
Sebenarnya Sin Cu pun ingin melihat, ia hanya ragu-ragu,
karena ini, ia bersama Siauw Houwcu berlalu paling belakang
dari taman itu. Kesudahannya ia mesti mendesak-desak di
antara orang banyak yang berjubalan.
Kapan akhirnya Nona Ie mendapat lihat wajah Senghong
atau malaikat kota itu, hampir ia menjerit bahna herannya. Ia
tampak suatu wajah bundar bagaikan rembulan penuh,
jubahnya tersulam, tangannya memegang hut atau tanda
kepangkatan. Kedua mata bagaikan matanya orang hidup.
Itulah suatu roman halus tetapi agung. Dan itulah wajah dari
ayahnya, almarhum Ie Kiam! (Menurut keterangan, Senghong
bio di Kunbeng Kunming memang besar dan agung hanya
sekarang digunakan untuk lain keperluan, dan Senghong atau
malaikatnya memang dituliskan namanya Ie Kiam.)
"Encie, apakah kau kurang sehat?" tanya Siauw Houwcu
heran. "Tidak," menyahut si nona.
"Nah, kenapa kau menangis?"
Sin Cu lekas me-nyusuti air matanya.
"Aku biasa mengeluarkan air mata kalau terlalu girang," ia
menjawab pula. Bocah itu lantas tertawa lebar.
639 "Nah, kau suka katai aku, kau sendiri sebenarnya lebih suka
menonton!" katanya.
Kali ini bocah ini tidak mendapat jawaban, ia mendapatkan
si nona masih terbengong mengawasi toapekong yang tengah
diarak itu. *** "Siapakah Senghong Looya itu?" akhirnya Sin Cu tanya
seorang di sampingnya.
"Senghong ialah Senghong yaitu malaikat," menyahut
orang itu. "Nona, pertanyaanmu aneh!"
Sin Cu melengak.
"Toh malaikat ini ayahku!" pikirnya.
"Mungkinkah orang tak leluasa menjelaskannya?" Maka ia
tanya lainnya hal: "Siapakah yang membangun Senghong
bio?" "Yang menderma kebanyakan orang hartawan dan
saudagar besar," sahut orang itu. "Siapa mereka itu, tidak
jelas bagiku. Ada apa kau menanyakan ini?"
Kembali Sin Cu mendapatkan pertanyaan yang tak dapat ia


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jawab. Tapi ia tetap heran.
"Siapakah yang mengukir patung Senghong itu?" tanyanya
pula. "Kau baik menanya pada kepala tukang kayu dan tukang
batu tak sempat aku mela-yanimu!" kata orang itu, yang
lantas ngeloyor pergi.
640 Toapekong pun sudah lantas diarak lewat.
"Encie, apakah kau sakit kepala?" tanya Siauw Houwcu,
seraya ia terus raba dahi orang. Tapi ia merasakan dahi yang
dingin. Sin Cu singkirkan tangan orang.
"Jangan ngaco!" katanya.
"Kau yang ngaco!" kata Siauw Houwcu dalam hatinya. "Kau
tanya orang yang tidak-tidak..." Tapi ia masgul melihat sikap
luar biasa dari kawannya ini.
Sebenarnya kacau pikirannya Sin Cu. Ayahnya toh
dipandang sebagai pengkhianat. Ayah itu dihukum mati dan
harta bendanya disita. Dunia boleh penasaran tapi kaisar
berkuasa, orang bisa bilang apa" Maka tidak disangka sekali,
di Kunbeng ini orang justeru memuja Ie Kiam dan dihormat
sebagai malaikat kota, patungnya dibikin begitu mirip dan
hidup, kuilnya dibangun secara besar.
"Kota Kunbeng ini berada jauh di Selatan tetapi masih tetap
dikuasai pemerintah kalau pemerintah ketahui ini, bukankah
pembikin patung ini dan pendiri kuilnya bisa ditangkap dan
disita rumah tangganya" Siapa itu orang yang nyalinya begini
besar?" Sin Cu tanya dirinya sendiri. Ia tidak ingat kalau-kalau
ayahnya ada punya sahabat di sini. Pikirnya pula: "Aku tidak
sangka ayah dapat menjadi Senghong di kota ini..."
Tanpa merasa nona Ie bertindak mengikuti arak-arakan itu
terus sampai di kuilnya, yang besar berlipat kali daripada yang
biasa terdapat di lain-lain kota. Undakan ruang depan pun ada
tiga, setelah itu baru sampai di toatian yaitu pendopo besar
tempat bersemayamnya malaikat kota itu. Di sini segala apa
ada mentereng, tangganya pun terbikin dari batu marmer,
mulai dari bawah payon ada belasan undak. Dari dalam
641 pendopo, asap mengulak naik. Di situ telah berjubal banyak
orang. "Lihat, Siauwkongtia datang!" seru banyak orang begitu
lekas terdengarnya suara tetabuan patim.
"Siapa itu siauwkongtia?" tanya Sin Cu kepada seorang tua
di dekatnya. Orang tua itu tertawa.
"Di dalam kota Kunbeng ini memangnya ada berapa
kokkong?" dia menyahuti.
"Siauwkongtia itu berarti "paduka hertog yang muda" dan "
kokkong" ialah hertog.
Mendapat jawaban itu, Sin Cu terkejut.
"Itukah Bhok Kokkong?" dia tanya pula.
Orang tua itu mengangguk.
"Tidak salah," sahutnya. "Senghong bio ini ialah Bhok
Siauwkongtia yang memperbarui."
Di muka tangga batu segera terlihat dihentikan dan
diturunkannya sebuah joli besar warna biru, dari dalam joli
muncul satu anak muda yang romannya seperti pemuda
bangsawan, bibirnya merah, giginya putih, usianya baru tujuh
atau delapan belas tahun, wajahnya masih wajah kekanakkanakan.
Setibanya pemuda ini, siraplah pendopo yang tadi
ramai itu. Pengacara pun lantas berseru: "Bunyikan genta dan
tambur! Silahkan Malaikat yang agung naik atas
kedudukannya!"
642 Kiranya pangeran yang muda ini akan mengepalai upacara
selesainya pembangunan kuil dan menyambutnya malaikat ke
gedungnya yang baru rampung itu.
Sin Cu heran hingga ia merasai ia tengah bermimpi.
Keluarga Bhok ini turun menurun menjadi hertog
Kimkokkong dengan kedudukannya di propinsi Inlam ini. Di
antara banyak panglimanya Kaisar Cu Goan Ciang dari ahala
Beng, leluhurnya siauwkongtia ini, yaitu Bhok Eng, adalah
yang paling berbahagia karena dia sekalian menjadi anak
angkat dari kaisar itu. Setelah berhasil menumpas apa yang
disebut "Pemberontakan Liang Ong," dia dikur-niakan gelaran
raja muda Kimiengong. Habis dia, semua turunannya dijadikan
hertog KimKokkong. Di a n t a ra putera atau cucu keluarga
besar itu, ada beberapa yang menjadi huma yaitu menantu
raja. Hingga di dalam kalangan menteri-menteri, tidak ada
keluarga lainnya yang dapat mengimbangi kebesarannya.
Sin Cu mempunyai ayah suatu menteri, sendirinya ia
mengarti hikayat pemerintahnya pemerintah Beng. Cu Goan
Ciang itu tidak mengenal budi, setelah menjadi raja, dia suka
membunuh menteri-menterinya yang berjasa, dia kejam tak
kalah daripada Han Khotouw Lauw Pang, pendiri dari ahala
Han. Ada di antara menteri berjasa yang melebihkan Bhok
Eng, umpama Cie Tat, Siang Gie Cun dan Na Giok, tapi
mereka sendiri atau anak cucunya, tidak langgeng
kedudukannya. Na Giok didakwa berontak, dia dihukum mati
sampai kepada tiga tingkat keluarganya. Putera Siang Gie Cun
terembet perkara Na Giok itu, dia dikurniakan kematian. Cie
Tat ada menteri berjasa nomor satu, dia diangkat jadi raja
muda Tiongsan Ong, dia punya mempunyai surat bukti bebas
dari hukuman mati, toh kemudian ketika pangeran Yan Ong
sebagai paman merampas kedudukan keponakannya (kaisar
Beng Seng Couw) puteranya, yaitu Cie Hui Couw, tak luput
dari pemecatan pangkat dan kehormatan dan mesti mati
643 mereras di dalam penjara. Cuma Keluarga Bhok ini, dengan
kedudukannya di Inlam ini, paling beruntung.
"Kenapa siauwkongtia ini berani membangun Senghong bio
ini?" Sin Cu heran. "Apakah dia tidak takut pemerintah
mengetahuinya dan nanti mendapat susah karenanya" Ini toh
ayahku yang dipuja, meskipun disebutnya malaikat kota"
Bukankah pembangunan ini dan upacaranya ada mentereng
luar biasa" Di samping itu, herannya, belum pernah aku
mendengar ada hubungan apa-apa di antara ayahku dengan
keluarga besar ini..."
Siauwkongtia sudah lantas mengunjuki kehormatannya. Ia
memasang tiga batang hio. Perbuatannya ini diturut oleh
banyak orang. Kecuali si pangeran muda sendiri, di situ tidak
ada pembesar lainnya.
Sin Cu turut memberi hormatnya. Dari tangan biokong,
pengurus bio, ia minta tiga batang hio. Lantas ia menekuk
lutut, air matanya pun mengem-beng. Sembari tunduk ia kata
dalam hatinya: "Ayah, ayah dipuja sebagai malaikat, dihormati
rakyat jelata, ayah mati bagaikan hidup!"
Siauwkongtia lihat orang demikian ber-sungguh hati
bersujut, dia heran. Dia memanggil, terus dia tanya: "Kau ada
punya kesukaran apa maka kau menyampaikannya itu kepada
Senghong?"
"Tidak apa-apa," menyahut Sin Cu seraya menepas air
matanya. "Aku lihat kamu sangat menghormati Senghong,
hatiku jadi tergerak sekali dan terharu, hingga tidak dapat aku
menahan keluarnya air mataku."
Siauwkongtia masih heran, ia sebenarnya hendak menanya
pula ketika dari luar terdengar suara gembreng pembuka
jalan, lantas datang pemberitahuan: "Ong Huciangkun tiba!"
644 "Mau apa dia datang kemari?" kata siauwkongtia, yang
keningnya mengkerut. Ia berjalan keluar, untuk menyambut.
Sin Cu menggunai ketika ini untuk mengundurkan diri.
Ketika ia menoleh ke pojok, ia dapatkan si tukang sulap dan
gadisnya lagi melirik ke arahnya, rupanya orang mengawasi ia
secara diam-diam. Ia terkejut, ia lantas ingat suatu apa. Ia
berkata dalam hatinya: "Setibanya Hek Pek Moko, aku mesti
lantas berlalu dari sini." Ia menduga orang mencurigai ia
tetapi ia merasa berat untuk lantas meninggalkan patung
ayahnya itu... Suara gembreng sudah lantas berhenti, satu pembesar
kelihatan agung bertindak masuk.
"Ong Ciangkun juga datang untuk pasang hio?"
Siauwkongtia menyambut.
"Siauwkongtia, bagus betul usaha kesujutanmu ini,"
menyahuit si panglima. Ia lantas memandangi patung.
Kemudian ia tertawa dan berkata pula: "Pandai benar orang
melukis, seperti orang hidup saja! Hanya kenapa wajah
Senghong ini beda dari Senghong yang pernah aku lihat di
lain-lain kota?"
"Sesuatu tempat ada malaikat kotanya masing-masing,"
siauwkongtia menjawab. "ini tidak aneh, bukan?"
Huciang itu tertawa lebar.
"Perkataan kau ini, siauwkongtia, membuka kecupatan
pandanganku!" katanya. "Kiranya malaikat kota itu beda satu
dari lain karena perbedaan kotanya... Haha! Pembangunan
kuil ini serta pembuatan patungnya adakah atas
kehendaknya Bhok Kongya atau siauwkongtia sendiri?"
645 "inilah kehendakku sendiri," menyahut pangeran muda itu.
"Adakah sesuatu yang tidak dapat?"
"Bagus! Bagus!" berkata Ong Huciang tertawa menyeringai.
"Di dalam wilayah bangsa Ie memang tidak ada halangannya
mengadakan pengajaran dengan perantaraan malaikat. Nabi
sendiri pernah membilangnya begitu."
Semua orang di ruang itu mendongkol mendengar opsir ini
menyebutkan propinsi Inlam sebagai tanah suku bangsa Ie,
semuanya mengawasi dengan sinar mata kebencian. Rupanya
si ciangkun dapat lihat sikap orang itu, lekas-lekas dia tertawa
dan menambahkannya: . "Maksudku, ya... ialah, perbuatan
siauwkongtia ini tepat dengan caranya seorang nabi!"
"Ah, benarkah itu?" siauwkongtia tertawa. "Bagus, bagus!
Kalau begitu kau pun harus memberi hormat sambil berlutut
dan mengangguk tiga kali!"
Perwira ini bernama Ong Tin Lam, pangkatnya yaitu
Pengiam Huciangkun, tetapi di mana kekuasaan di Inlam
berada di dalam tangannya Bhok Kongya , ia berada sebagai
sebawahan saja dari hertog itu, ia sama sekali tidak punya
kekuasaan, maka itu meskipun ia tidak puas dengan perkataan
si pangeran muda, ia toh terpaksa menurut menjalankan
kehormatan. Ia bertekuk lutut, ia manggut tiga kali, ketika ia
berbangkit, ia likat sekali.
Sin Cu tertawa di dalam hatinya.
"Ciangkun ini tentulahh pernah lihat ayahku," pikirnya. "Ah,
hebat permainan dari siauwkongtia ini, satu perwira tinggi
diperintah memberi hormat kepada satu pemberontak!..."
646 Ong Huciang itu bicara agi sedikit dengan siauwkongtia,
terus dia berpamitan.
Siauwkongtia membiarkan orang pergi, ia lebih
memerlukan melihat kelilingan akan mencari Sin Cu. Justeru
itu di luar sirap suara berisik dari banyak orang, lalu terlihat
orang banyak membuka jalan, akan mengasi lewat pada
seorang nona yang diiring dua budak wanita.
Bhok Lin, ialah siauwkongtia, sudah lantas maju
menyambut. " Encie pun datang!" katanya.
Nona itu mengangguk. Ia adalah Bhok Yan puterinya
Kimkokkong Bhok Cong. Ia mempunyai alis yang panjang,
romannya cantik, potongan tubuhnya halus, sikapnya pun
agung. Lebih dahulu ia memberi hormat kepada Senghong.
"Adik, mari ikut aku pulang," ia berkata kemudian. "Ayah
mencari kau."
"Ada apa, encie?" tanya pangeran itu terperanjat.
Agaknya tidak leluasa nona itu menyahuti, tapi ia
bersenyum. "Segala apa ada aku, kau pulanglah," ia berkata. Ia pun
menarik tangan orang untuk diajak berlalu.
Sin Cu mencuri mengawasi. Ia lihat alis nona itu menunjuki
hati pepat. Seberlalunya nona dan pangeran muda itu, pendopo
kembali jadi ramai oleh orang banyak, yang pada menghunjuk
hormatnya. 647 Sin Cu ajak Siauw Houwcu mengundurkan diri. Ia lihat si
tukang sulap dan gadisnya, mereka itu rupanya tidak dapat
melihat padanya.
"Dari kata-kata dan sikapnya si nona, rupanya Bhok
Kokkong tidak ketahui urusan pembaruan kuil dan pembikinan
patung Senghong ini," ia berpikir. "Anehlah si pangeran muda,
ia ada muda belia, ia pun pasti belum melihat rupa ayahku,
kenapa ia dapat membuatnya patung ayah begini bagus?"
"Encie benarkah kau tidak sakit?" Siauw Houwcu tanya. Ia
heran akan roman tak wajar dari Nona Ie, yang sejak tadi
menarik perhatiannya.
"Eh apakah kau menyumpahi aku?" si nona balik menanya.
"Aku lihat kau tidak wajar, encie," berkata bocah itu. "Tidak
keruan-ruan mengapa tadi kau menangis?"
"Kau lihat bukankah orang banyak itu sangat menghormati
Senghong?" kata si nona. "Sikap mereka itu membuatnya aku
terharu. Aku sangat menghargai kesujutan mereka." Ia lalu
tertawa. "Tidak, encie, kau tentu ada memikirkan sesuatu,"
membandal si bocah. Kau cuma tidak sudi memberitahukan itu
kepadaku..."
Sin Cu mengkerut-kan keningnya.
"Sudahlah, jangan ngaco belo di sini!" membentak si nona.
"Anak kecil mana tahu urusan orang tua" Mari lekas pulang
untuk bersantap tengah hari!"
648 "Tidak, aku tidak mau pulang dulu! Kau telah menjanjikan
aku pesiar ke See San. Sepatah katanya satu kuncu..."
Mau tak mau, Sin Cu tertawa. Ia menambahkan:
"...bagaikan kuda dicambuk satu kali!"
"Bagus! Itulah baru tepat! Nah, lekas ajak aku ke See San!"
"Apakah kau tidak lapar?"
"Aku ada membekal uang beberapa puluh bun tangkhie!"
"Kenapa tadi kau tidak menyawer kepada si tukang sulap?"
"Sengaja aku tinggalkan untuk kau nanti bersantap tengah
hari!" si bocah tertawa. "Dengan melihat romanmu tadi, encie,
aku tahu kau lupa membawa uang..."
Sin Cu melengak untuk kecerdikannya bocah ini. Justeru itu


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangannya disamber, untuk ditarik. Sembari berbuat begitu,
bocah itu tertawa lucu. Ia mengajak orang untuk dahar
mieshoa, hingga uang mereka tinggal dua bun!
Sekeluarnya dari kota, hari sudah lewat tengah hari.
Dengan tidak adanya mega, langit menjadi cerah. Terbuka
hatinya Sin Cu, apapula setelah ia menyaksikan keindahan See
San, Gunung Barat. Mengagumi untuk men-daki bukit, akan
memandangi apa yang disebut "pintu naga," ialah semacam
puncak yang menonjol, yang tingginya ribuan tombak, hingga
kuil di atas itu mirip tergantung di udara. Di bawah itu ada
telaga Thian Tie yang kesohor, yang luas. Siapa mendaki
tangga, bajunya berkibar-kibar tertiup angin, orang mirip
menaiki tempat dewa-dewi, Sin Cu kagum hingga ia
terbengong... 649 Lorong dari pintu naga itu adalah batu gunung yang
dibobok dan berliku-liku, hingga ada bagian yang muat hanya
satu orang. "Tempat ini tepat untuk main petak!" kata Siauw Houwcu
tertawa. "Aku ajak kau ke gunung ini, lantas kau ingat main petak!"
berkata Sin Cu, yang pun tertawa. "Kau mensia-siakan
pemandangan alam yang indah di sini!"
Di atas "pintu naga" (jiongburi) ada kedapatan ukiran ikan
leehie yang luar biasa, yang seperti dari udara berlompat
terbang. Ikan itu bahagian bawahnya mirip ikan, bahagian
atasnya seperti naga. Jadi inilah yang di dalam dongeng
disebut "kan leehie melompati pintu naga." katanya, "sebab
pintu naga terlalu tinggi, apabila ikan leehie dari telaga
Thiantie dapat meloncatinya, ikan itu dapat terus berubah
menjadi naga untuk naik ke langit."
"Aku lihat, walaupun orang paling liehay ringan tubuhnya,
tidak nanti dia dapat melompati pintu naga ini!" berkata Siauw
Houwcu. Sin Cu bersenyum. Di lain pihak, ia kagumi bocah ini, yang
tak pernah melupai ilmu silat. Pantas Hek Pek Moko
membilangnya dia sangat berbakat.
Di atas iiongbun itu juga ada ukiran malaikat Kwee Seng
dalam rupa patung batu, kecuali pit di tangannya yang terbuat
dari kayu. Di situ ada tulisan singkat mengenai sebuah
dongeng. Ialah katanya seorang pemuda kehilangan
kekasihnya, dia mendaki See San dan mengukir patung itu.
Sayang di situ dia tidak dapatkan batu yang cocok untuk
membuat pit (alat tulis), hingga patungnya itu tidak lengkap.
Habis itu ia terjun ke telaga Thiantie, hingga ia berkurban diri.
650 Sin Cu ketarik, ia kagumi pemuda yang berkurban itu.
Hanya, pikirnya kemudian, di dalam dunia tidak ada semacam
pemuda... Memikir begini, mendadak bayangan Tiat Keng Sim
berpeta di hadapan matanya. Ia lantas tunduk, akan
mengawasi telaga Thiantie itu (yang pun disebut Kunbeng
ouw, telaga Kunbeng). Ia melihat banyak kapu-kapu, yang
tertiup sang angin, sedang lembaran-lembaran bunga di muka
air pun beterbangan buyar...
Semua itu membuat si nona menjadi berduka sendirinya.
"Dengar! Di bawah seperti ada orang berbicara!" Siauw
Houwcu tiba-tiba berkata, suaranya pelahan.
Selama mengikuti In Lui meyakinkan senjata rahasia
kimhoa atau bunga emas, Sin Cu berbareng diajari latihan
kuping untuk pendengarannya jadi terang dan mengarti suara.
Itulah ilmu "mendekam di tanah mendengari suara." maka ia
sudah lantas menempelkan kupingnya di batu gunung.
Sudah dibilang, lorong Liongbun berliku-liku, maka sejarak
beberapa tindak saja, orang tidak dapat melihat satu pada
lain. Tapi suara yang didengar si bocah dapat terdengar nyata
oleh si nona. Terdengarlah seorang, yang suaranya dalam: "Ong
Ciangkun memesan wanti-wanti, surat ini sangat penting,
maka kau mesti dapat menyampaikan ke kota raja!"
Seorang lain menyahuti, menanyakan kepada siapa surat
itu dialamatkan.
"Kau mesti serahkan kepada Tayiwee Congkoan Yang Cong
Hay," menerangkan suara yang pertama. "Kalau Yang Cong
Hay tidak ada, kau sampaikan kepada Gielimkun Congciehui
651 Law Tong Sun. Umpama kata dua-dua tidak ada, kau
serahkan saja kepada Ong Kongkong di dalam istana."
Orang yang kedua menyahuti, "Aku mengarti." Hanya
selang sejenak, ia menanya pula: "Seandai kata di tengah
jalan aku bertemu orangnya Bhok Kong tia?"
"Jikalau kau dapat melawan, lawanlah, kalau tidak, lantas
lari. Umpama kau mati jalan, kau telan saja suratnya.
Tegasnya, surat ini tidak boleh terjatuh dalam tangan lain
orang siapa juga!"
"Aha, inilah tugas menjual jiwa!" seru orang yang kedua
itu. "Kalau begitu, tidak dapat tidak, aku mesti pulang dulu,
untuk pamitan dari isteriku..."
"Thio Lootoa, kenapa kau begini takut mati?" tanya orang
yang suaranya dalam itu. "Kau mesti berangkat malam ini
juga, tentang enso, aku yang nanti urus, kau jangan buat
kuatir." Sampai di situ, berhenti sudah pembicaraan itu, yang lalu
disusul sama suara tindakan kaki mereka.
Hati Sin Cu bercekat.
"Ong Ciangkun itu tentulah perwira tadi di Senghong bio,"
ia berpikir. "Hebat, dalam waktu sebentar saja, dia sudah
menulis surat rahasianya ini! Pastilah bunyinya surat tak baik
bunyinya untuk Bhok Kongtia." Ia lantas tarik tangannya
Siauw Houwcu. "Kita sudah pesiar cukup, sudah waktunya
kita pulang!"
652 Si bocah menurut. Ketika tiba di lorong, mereka bertemu
dua orang ialah dua orang yang tadi berbicara. Kedua orang
itu terkejut mendengar ada suara orang lain, akan tetapi
setelah melihat hanya satu nona dan satu bocah hati mereka
lega. Di lain pihak, Thio Lootoa sudah lantas maju ke lorong
yang sempit. "Hihi-hihi!" dia tertawa. "Nona, jalanan ini sukar dan
berbahaya, maukah aku tuntun padamu?"
"Minggir!" membentak Siauw Houwcu sambil ia berlompat
maju. Ia bertindak tanpa menanti encie-nya menjawab orang
ceriwis itu. Ia membentur dengan pundaknya, tangan kirinya
turut bergerak, karena ia berniat menggunakan pukulan Naga.
Berbareng dengan itu, Sin Cu menarik kawannya itu.
Dibentur Siauw Houwcu, Thio Lootoa miringkan tubuh,
lantas dia hendak menangkap bocah itu dengan niat
dibanting. Justeru itu, hidungnya dapat mencium bau harum,
sebab Sin Cu dan Siauw Houwcu segera lewati dia. Hendak dia
menjambret tetapi sudah tidak keburu. Sahabatnya pun
menarik padanya.
"Thio Lootoa, jangan main-main!" ia mengasih nasihat.
Orang ceriwis ini kecele, dia jadi meggerutu: "Hm kerbau
cilik! Coba hari ini aku tidak punya pekerjaan penting, tentu
aku sudah hajar padamu!"
Siauw Houwcu menoleh, ia menjawab:
"Bagus! Tuan kecilmu memang hendak berkelahi!"
653 Sin Cu tarik kawan itu, sembari tertawa, ia kata kepada dua
orang itu: "Adikku ini sedikit aseran, aku minta paduka berdua
tidak buat kecil hati."
Senang si ceriwis mendengar suara orang yang halus dan
manis. "Oh, nona kecil, kau baik sekali" katanya tertawa. "Apakah
namamu, nona?"
Sin Cu berpura-pura tidak mendengar, selagi orang
berkata-kata, ia tarik tangannya Siauw Houwcu untuk diajak
keluar dari lorong.
Bocah itu tidak puas.
"Makhluk itu kurang ajar, dia menghina kau, kenapa kau
mencegah aku menghajarnya?" ia tanya.
"Kalau dia hendak dihajar, apa kau kira aku tidak bisa
menghajarnya?" si nona menyahuti. "Lekas!"
Siauw Houwcu tidak berani membangkang, walaupun
hatinya masih panas, ia jalan dengan cepat, terus lari.
Dua orang itu tapinya mengejar. Belum lagi Sin Tu berdua
tiba di ranggon Samceng Kok, napas mereka itu sudah
memburu, tetapi mereka memaki: "Dua bangsat cilik,
berhenti!"
Nyatalah tadi selagi melewati Thio Lootoa, Sin Cu sudah
keluarkan kepandaiannya memindah isi saku orang, ia telah
samber suratnya Ong Ciangkun , karena mana ia lantas lari.
Kepandaian itu ia peroleh dari Thio Tan Hong, siapa ketika
dulu hari pertama kali bertemu sama In Lui, telah curi bersih
uang orang. Sebenarnya Tan Hong tidak niat menurunkan
654 kepandaian itu tetapi Sin Cu meminta dengan mendesak
sebab nona ini ketarik mendengar suhu itu menggoda subonya.
Thio Lootoa sadar dengan cepat. Katanya: "Kenapa satu
bocah bisa membentur pundakku hingga aku merasa sakit?"
Kemudian ia merabah ke sakunya, ia jadi kaget bukan
main. Surat itu lenyap tidak keruan paran. Ia jadi menyangka
si nona, maka itu ia ajak kawannya mengejar.
Sin Cu berdua Siauw Houwcu tidak ambil jalan langsung,
mereka mengitarkan Samceng Kok, lalu terus lari mendaki
bukit. Melihat larinya mereka itu Thio Lootoa tawar hatinya. Ia
mengarti orang melebihi ia dalam hal ilmu lari cepat.
Thio Lootoa ini sebenarnya adalah seorang siewie,
pengawal kaisar, namanya Tay Hong. Dia ditugaskan di
Kunbeng, untuk mengawasi sepak terjang Bhok Kokkong.
Supaya orang tidak mencurigai, dia datang dengan menyamar
sebagai rakyat jelata dengan mengajak juga anak isterinya.
Kawannya itu bernama Ong Kim Piauw, orang kepercayaan
Cengiam Hu-ciangkun Ong Tin Lam. Dia pun seorang siewie
dan ikut Ong Tin Lam untuk juga menilik Bhok Kokkong.
Bhok Kokkong ada menteri setia turun temurun, kaisar
mempercayainya, tetapi adalah aturan pemerintah yang telah
berjalan lama, kaisar mesti mengirim orang untuk mengawasi
semua menteri yang ditugaskan di pelbagai propinsi, maka
propinsi Inlam tidak menjadi kecuali. Sudah sepuluh tahun
lebih Ong Huciang tinggal di Kunbeng, belum pernah ia
mendapatkan apa-apa yang mencurigai pada pihak Bhok
Kokkong. Sampai timbullah urusan Ie Kiam dijadikan
Senghong atau malaikat kota oleh siauwkongtia.
655 Dua-dua Thio Tay Hong dan Ong Kim Piauw memang tidak
puas dengan kedudukannya, keamanan kota Kunbeng
membikin mereka tidak dapat ketika untuk berbuat jasa, guna
mendapat kenaikan pangkat, kebetulan ada perbuatannya
siauwkongtia ini, lantas mereka ambil ini sebagai alasan.
Mereka berdamai sama Ong Huciang, lantas perwira itu
menulis laporan rahasianya, Ong Kim Piauw dititahkan
menyampaikannya kepada Thio Tay Hong untuk dibawa ke
kota raja, apa mau mereka bertemu Ie Sin Cu dan suratnya
lenyap. Mereka penasaran maka itu mereka mengejar terus.
Sin Cu pandai lari, ia tidak menjadi soal. Tidak demikian
dengan Siauw Houwcu. Bocah ini pandai silat tetapi dalam hal
ringan tubuh, ia kurang latihan. Tidak lama, larinya mulai
kendor, hingga Sin Cu terpaksa lari pelahan menantikan dia.
Thio Tay Hong mengejar hingga lagi kira tiga tombak, ia
lantas menimpuk Siauw Houwcu dengan dua biji kongpiauw.
Dalam hal menggunai kongpiauw, ia mempunyai latihan
belasan tahun. Tapi kuping si bocah terang, dia dapat
mendengar suara samberan angin, lantas dia men-dak dan
lompat masuk ke dalam rujuk. Dengan bersuara nyaring,
kedua kongpiauw menghajar batu.
"Tidak kena!" mengejek si bocah sambil ia keluar dari
tempatnya berkelit. Ia pun mengejek dengan buat main jeriji
tangannya di mukanya. Tapi karena ini, ia telah kena susul
hingga tinggal satu tombak.
"Kau masih berniat lari, bangsat kecil?" berseru siewie itu
seraya dia lantas berlompat menubruk dalam gerakan "Ngo
Kim Na" atau "Tangan Menangkap Lima" dari kaum Keluarga
Gak di Hoopak. 656 Ketika itu Sin Cu terpisah kira sepuluh tombak dari Siauw
Houwcu, sulit untuk ia menolongi. Sedang Tay Hong pernah
dengan tangannya itu melukai tak sedikit orang.
Siauw Houwcu tidak takut melihat ancaman bahaya itu,
bahkan dia tertawa haha-hihi dan berkata: "Kau
menggerembengi tuan kecilmu meminta-minta, tidak bisa lain,
terpaksa tuan kecilmu menderma kepadamu semua sisa uang
beberapa khie lagi!"
Kata-kata itu disusuli suara menggen-tring, lalu tiga biji
tangkhie melesat ke arah Tay Hong. Bocah ini menggunai itu
sebagai senjata rahasia kimkhie piauw, untuk menyerang
ketiga jalan darah thayyang hiat di kepala, soankie hiat di
dada dan yongcoan hiat di kaki.
Thio Tay Hong tengah berlompat, ia terkejut. Dengan
kedua tangannya ia dapat menyambar dua biji piauw, yang
satunya lagi tidak keburu, maka tepat kakinya kena terhajar,
terus dia roboh terbanting, saking sakitnya, dia mengeluarkan
air mata. "Haha!" tertawa Siauw Houwcu. "Aku tidak niat membunuh
padamu, perlu apa kau menangis" Tubuhmu tinggi seperti
kerbau dan besar seperti kuda, kau meluberkan air mata,
apakah kau tidak malu?"
Siapa kena dilukai jalan darahnya yong-coan hiat, dia mesti
mengeluarkan air mata. Siauw Houwcu mengetahui itu tetapi
sengaja ia mengejek.
Ketika itu Ong Kim Piauw telah dapat menyandak, ia
melihat semua, maka ia menjadi mendongkol sekali.
Sambil berlompat, untuk menerjang, dia berseru: "Bocah
yang baik, mari!"
657 Ia menggunai sebatang poankoan pit, ialah senjata
semacam alat tulis untuk menotok jalan darah. Ia pun pandai
menyambuti senjata rahasia.
"Celaka!" mengeluh Siauw Houwcu.


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Uangku sudah habis, kenapa kau mengemis padaku"
Encie, kau tolongi aku mengusir dia!"
Ia bebas dari totokan pertama, ia lantas diserang berulangulang,
hingga ia menjadi terancam bahaya.
"Baik, aku nanti menderma emas kepadanya!" terdengar
suaranya Sin Cu, yang habis berkata begitu terus tertawa.
Ong Kim Piauw lantas saja terkejut. Di depan matanya
berkelebat sinar kuning emas. Segera ia menangkis pergi
pulang dergan senjatanya, maka dua kali terdengar suara
"traang." Ia berhasil membuat terbang dua biji bunga emas.
Ia hendak membuka mulutnya, akan menegur penyerangnya,
ketika bunga emas itu berbalik menyambar pula, hingga ia
menjadi gugup hendak ia menangkis pula, sudah kasep. Duadua
bunga emas itu mengenai sasarannya, ia lantas roboh
terguling dengan pingsan.
Siauw Houwcu tertawa.
"Dia mana sanggup menerima amal emasmu, encie."
katanya Jenaka.
Walaupun baru lolos dari bahaya, bocah ini sudah bergurau
pula. Ia pungut kedua bunga emas, sembari melewati Thio
Tay Hong, ia dupak jalan darah joanma hiat dari siewie itu,
habis mana bersama kawannya itu ia nge-loyor pergi. Sin Cu
cuma bersenyum saja.
658 Nona Ie gembira sekali. Ia berhasil meniru cara menimpuk
dari Ismet, yang pandai menggunakan senjata rahasia yang
merupakan bola emas.
Habis itu mereka pulang ke rumah penginapan. Segera Sin
Cu mengunci pintu kamarnya, untuk terus merobek surat
rampasannya. Membaca laporan rahasia itu, ia berduka. Di
situ dibeber perbuatan siauwkongtia mengangkat Ie Kiam
menjadi malaikat kota. Pada itu ditambahkan usul supaya
siauwkongtia dipanggil ke kota raja, untuk dipecat menjadi
rakyat biasa, supaya dia diganti oleh lain putera atau
keponakan Bhok Kokkong . Tentang Bhok Kokkong sendiri
diusulkan mencabut segala kekuasaannya.
Bagus kesannya Sin Cu terhadap Bhok Lin, yang
menghormati ayahnya, maka itu, ingin ia menolongi pangeran
muda itu. Dengan cara bagaimana" Inilah yang menyulitkan
ia. Hek Pek Moko belum tiba ia tidak dapat kawan untuk diajak
berdamai. Saking masgul, habis bersantap ia terus
merebahkan diri. Ia sampai tidak mempedulikan ketika Siauw
Houwcu mengi-jang mengajaki ia pergi menonton keramaian
tengloleng. Malam itu selagi Ie Sin Cu belum tidur, pemilik hotel datang
padanya, mengasi tahu di luar ada orang mencari si nona.
"Orang macam apa dia itu?" tanya Sin Cu.
"Seorang muda yang romannya tampan," sahut pemilik
hotel. Nona Ie heran. Ia mulanya menyangka Hek Pek Moko.
Kalau Toan Teng Khong, tidak nanti dia datang sendirian.
"Kenapa di sini ada orang mengenal aku?" pikirnya setelah
berdiam sejenak.
659 "Orang muda itu kelihatannya sebagai orang baik-baik.
Apakah nona ingin menemui dia?" pemilik hotel menanya.
Di Inlam, pergaulan wanita dengan pria tak terlalu keras,
tetapi seorang pria mengunjungi seorang wanita di hotel di
waktu malam buta rata, tidaklah biasa. Tapi tuan hotel itu
telah mendapat presen dari si pemuda, maka itu, ia bicara
baik tentang pemuda itu.
"Baiklah, silahkan ia masuk!" kata Sin Cu kemudian.
Seberlalunya tuan rumah, Siauw Houwcu tertawa
menghadapi kawannya.
"Seorang muda yang tampan!" katanya. "Hihi! Kiranya
kekasih encie ada di sini!"
"Ngaco!" membentak si nona, "Nanti aku robek mulutmu!"
Lalu dengan roman sungguh, ia menambahkan:
"Orang datang tengah malam, dia mesti mempunyai urusan
penting sekali. Pergi kau bersembunyi."
"Ah, kau tidak sukai aku berada di dalam kamar!" kata si
nakal. "Malu?"
Sin Cu mendelik terhadap bocah itu, atas mana dengan
mengulur lidah dan jalan berindap-indap dia pergi ke
kamarnya sendiri, yang sebelah menyebelah, maka itu lantas
ia manjat tembok, untuk memasang kuping...
Sin Cu lagi berpikir, ia tidak perhatikan bocah nakal itu.
Pula ia segera dengar suara tuan rumah di luar kamar:
"Tetamu sudah datang!" Ia lantas membukai pintu.
660 Seorang muda, yang benar tampan, bertindak masuk. Ia
mengenakan mantel bulu rase putih. Ia bertindak dengan
pelahan. Sin Cu mengawasi, ia heran. Ia merasa seperti pernah lihat
orang ini, entah di mana. Ia lantas menanyakan she dan nama
orang serta maksud kedatangannya malam-malam itu.
Tetamu itu mengawasi ke sekitar kamar. Selama itu, tuan
rumah sudah mengundurkan diri. Tiba-tiba ia tertawa, terus ia
mengunci pintu.
Sin Cu terkejut. "Kau mau apa?" tegurnya.
Pemuda itu tertawa, halus suaranya, maka Nona Ie menjadi
curiga. Setelah tertawa, pemuda itu membuka kopianya, maka
terlihatlah rambutnya yang bagus. Ketika Sin Cu mengawasi,
ia segera kenali budak keluarga Bhok yang tadi ia lihat di
Senghong bio tengah mengiringin Nona Bhok, ia menjadi
tertawa sendirinya.
Sudah dua tahun ia biasa menyamar, ia tidak dapat
mengenali orang.
"Maaf, Nona!" berkata si budak kemudian.
"Kenapa kau ketahui she dan namaku dan aku tinggal di
sini?" Sin Cu menanya. Ia heran.
Budak itu tidak menjawab, hanya ia berkata pula: "Nonaku
mengundang nona. Sebentar nona akan mengetahui sendiri."
Sin Cu menjadi bertambah heran.
661 "Aku minta nona berangkat sekarang juga," berkata lagi si
budak. "Nonaku lagi mengalami perkara sulit sekali, ia mau
minta pikiran nona."
"Mungkinkah urusan yang ada sangkutannya dengan
laporan rahasia ini?" Sin Cu lantas menduga-duga. "Kalau
benar, baiklah surat ini kau berikan kepada Nona Bhok itu..."
"Nona Ie, mari lekas!" mendesak pula si budak. "Sekarang
sudah jam dua lewat, sele-watnya jam tiga, nanti orang
mencurigai kita."
Sin Cu melihat roman orang yang bergelisah.
"Baik," katanya. "Tunggu sebentar..." Ia sebenarnya
hendak memesan apa-apa kepada Siauw Houwcu, atau
mendadak seorang lompat turun dari atas tembok. Ia terkejut.
Syukur ia segera mengenalinya.
"Encie, aku di sini!" berkata orang itu ialah si bocah nakal
Siauw Houwcu. "Adikku nakal, kau tentu kaget?" katanya pada budak Nona
Bhok. "Oh, tidak," sahut si budak. "Adikmu liehay, nona, guru silat
di istanaku tak sepandai dia." Dia mengatakan tidak kaget,
sebenarnya hatinya memukul.
Sin Cu lantas kata pada Siauw Houwcu: "Kedua gurumu
bakal datang besok, umpama aku belum pulang, kau
beritahukan aku pergi ke Bhok Konghu."
"Aku mengarti."
"Sebelum aku pulang, kau jangan pergi ke luar."
662 "Apa kau kira aku bocah cilik hingga perlu dipesan lagi?" si
nakal menyahuti.
"Kau mesti jagai kudaku, jangan sampai orang curi!" pesan
pula si nona. "Kuda itu ada kesayanganmu, aku pun menyukainya, kalau
ada yang curi, aku nanti adu jiwaku!"
"Siapa bisa mencuri kuda itu, dia mesti liehay sekali. Kau
mungkin bukan tandingannya..."
"Kalau begitu, apa perlunya kau pesan aku?" si nakal
membaliki. "Kuda itu kenal aku, kalau kau yang menaikinya, dia tidak
nanti membangkang. Tidak demikian terhadap orang lain.
Kalau ada yang mencuri dan kau tidak sanggup melawan, kau
kabur bersama kuda itu..."
"Sudah, sudah, kau pergilah!" si nakal jadi habis sabar.
"Selembar saja kuda itu lenyap bulunya, aku bertanggung
jawab." Sin Cu lantas berlalu bersama si budak. Di jalan besar
tinggal sedikit orang-orang yang berlalu lintas. Ia diajak pergi
ke pintu yang kecil dari kota timur, dekat dengan luar kota.
Suasana di situ sunyi sekali. Rembulan pun guram karena baru
tanggal tiga bulan delapan. Hanya angin bersiur-siur. Ia tidak
bergembira. Selagi mendekati pintu kota, tiba-tiba terdengar satu suara
angin dibarengi berkele-batnya bayangan orang di atas
tembok kota. Ia lantas lompat mencelat, karena ia tahu ia
tengah dibokong. Ia sudah siap dengan bunga emasnya tetapi
663 ia tidak segera membalas menyerang. Hanya ia tampak tubuh
si budak terangkat naik.
Ia menjadi kaget sekali, tanpa ayal lagi, ia menimpuk
dengan panah Coayam cian pengasi Hek Moko, maka panah
itu meluncur ke udara dengan mengasi dengar suara tajam
dan terus mengeluarkan api bersinar biru.
Sekarang Nona Ie melihat seorang yang berpakaian hitam
yang memakai topeng, dengan tali bandering dia mengangkat
tubuh si budak naik ke atas tembok. Ia segera menyerang
dengan dua buah bunga emasnya.
Tembok kota tinggi tiga tombak. sedang orang itu gesit
sekali, belum lagi ia terserang, sudah ia lompat turun ke luar
kota. Sin Cu bergelisah, ia hunus pedangnya, sambil lompat, ia
tancap itu ke tembok kota, untuk dipakai menahan tubuhnya,
maka di lain saat ia sudah berada di atas tembok. Ia melihat
ke bawah, ia dapatkan orang sudah lari puluhan tombak
jauhnya. Sinar rembulan yang guram membikin ia tidak dapat
melihat tegas. Ia cuma tahu orang dapat lari keras. Terpaksa
ia lompat turun, untuk mengejar. Sekian lama, ia melainkan
bisa mendekati sepuluh tombak lebih. Tiga kali ia menimpuk,
semuanya gagal. Maka ia mengejar terus.
Orang itu lari ke lembah, di sana dia lenyap. Sebaliknya, Sin
Cu melihat sebuah rumah besar dari mana terlihat sinar api.
Itulah rumah satu-satunya, maka si nona menyangka orang
lari ke rumah itu. Dengan berani ia bertindak menghampi-kan.
Ia lihat pintu seperti cuma dirapatkan, ia lantas mencoba
menolak. Kedua daun pintu sudah lantas menjeblak.
"Mungkinkah pintu tidak dikunci untuk memancing aku?" si
nona berpikir. Ia perlu menolongi orang, ia lantas bertindak
masuk. Baru ia jalan belasan tindak, mendadak pintu di
belakangnya bersuara nyaring, tertutup sendirinya. Ia jadi
664 kaget berbareng gusar, hingga ia mengasi dengar suaranya:
"Aku akan memasukinya walaupun ini sarang naga atau guha
harimau!" Dari sebelah dalam terdengar suara tertawa samar-samar.
Mengikuti itu, Sin Cu membuka tindakannya. Ia melintasi
beberapa pintu, yang hanya dirapatkan, terus sampai di
sebuah ruang besar. Di sana terlihat satu perwira tengah
berduduk di kursi dan di depannya ada si budak, yang
tubuhnya terbelenggu.
"Ha, kiranya kau!" Sin Cu berseru. "Kau menjadi Tayiwee
Congkoan tapi tengah malam buta rata kau menculik gadis
orang! Tahukah apa dosamu?"
Perwira itu, ialah Yang Cong Hay, lantas tertawa.
"Nona Ie," dia berkata, "tahukah kau akan dosamu di siang
hari bolong melukai orang?" dia balik menanya. Dia rupanya
sudah ketahui perbuatan si nona tadi siang.
"Kau tahu siapa dia ini?" Sin Cu menanya tanpa perdulikan
perkataan orang.
Yang Cong Hay tertawa.
"Lain orang jeri terhadap Bhok Kokkong, aku tidak!"
katanya. Terus dia mengeprak meja. "Budak cilik, lekas
serahkan suratmu!" Dia membentak si budak perempuan.
"Surat apa?" budak itu tanya.
"Surat rahasia dari Ong Ciangkun1."
"Ong Ciangkun yang mana?"
665 "Jangan kau berlagak gila! Nonamu suruh kau malammalam
mencari Nona Ie, apakah perlunya" Jikalau tidak
serahkan itu, terpaksa aku berbuat kurang ajar! Lihat, aku
berani atau tidak menggeledah kau!" Mendadak dia usir
tangannya menyambar baju si budak.
"Hai, kau berani menghina hambanya kongya?" budak itu
membentak. Nyata dia berani.
Tapi Yang Cong Hay melawan tertawa, sedang kedua
tangannya bekerja. Dengan bersuara "Bret!" baju si budak
terbelah dua, maka terlihatlah baju dalamnya yang merah.
Sin Cu menjadi mendongkol sekali.
"Surat itu ada di tanganku!" ia berseru. "Kau menghina
satu budak, sungguh tidak tahu malu!"
Inilah tipunya Yang Cong Hay, untuk memaksa orang
membuka rahasia. Maka ia tertawa pula.
"Kenapa kau tidak mengatakannya siang-siang?" katanya.
"Serahkan surat itu padaku, perkara habis! Kalau tidak, jangan
harap kau bisa keluar dari sini!"
"Jikalau kau bisa, kau ambillah!" si nona menantang. Malah
segera ia mendahului menyerang dengan pedangnya.
Yang Cong Hay mencelat dari kursinya, tapi tangannya
menyambar, untuk mencoba merampas pedang
penyerangnya itu. Tapi ia gagal, ia lantas diserang pula.
Dengan lekas lewat sudah beberapa jurus. "Sungguh pesat
kemajuannya satu anak muda!" berkata Cong Hay, yang
lihat si nona menjadi terlebih gagah. "Tapi, hm, untuk
melayani aku, kau masih beda jauh!"
666 Ia terus menyerang dengana kedua tangannya, dengan
tipu silat "Naga terbang ke langit," hingga Sin Cu mesti lompat
mundur dua tindak. Ketika ini dipakai si perwira untuk


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghunus pedangnya.
Mengetahui ia terancam di mulut harimau, Sin Cu bersedia
mengadu jiwa. Ia keluarkan kepandaiannya menggunai
pedangnya. Maka sembari berkelahi ia sempat mengsontek
putus belengguannya si budak, hingga dia ini menjadi kaget
dan lemas, tidak dapat dia berlari.
"Lekas lari, jangan pedulikan aku!" Sin Cu memberi ingat.
Yang Cong Hay tertawa lebar.
"Sesudah sampai di sini kau memikir untuk lari" Hm! Kau
mimpi?" katanya.
Nyata di pintu ada mengandang beberapa orang, di
antaranya siewie Thio Tay Hong yang tadi siang dirobohkan
Siauw Houwcu. Dia tidak tahu tabiatnya Yang Cong Hay, yang
suka berkelahi satu sama satu, selagi yang lainnya berdiam
saja, dia maju untuk membalas sakit hati.
Sin Cu murka, ia berbalik sambil menangkis, berbareng
dengan itu, tangan kirinya terayun, maka bunga emasnya
membuat liang di dahinya orang she Thio itu.
Yang Cong Hay mendongkol.
"Gotong dia pergi!" ia menitah. "Kamu menjaga di luar
pintu, jaga kalau ada yang nyelundup! Siapa pun tak boleh
masuk ke dalam rumah ini!"
667 Yang Cong Hay mendongkol sebab tidak sempat ia
mencegah serangan si nona. Ia pun tidak menyangka bahwa
tidak gampang untuknya membekuk nona itu. Justeru ia
berkata, mendadak si nona sudah bergerak dengan, tipunya
"Menembusi bunga, mengitari pohon." Segera dia bergerak
cepat sekali, berlari-lari ke empat penjuru, berputar-putar.
Yang Cong Hay menyusul dan menikam, beberapa kali,
tetapi ia gagal, meski nampaknya ia akan berhasil mengenai
sasarannya. "Yang Cong Hay liehay!" begitu memuji orang-orang di
ambang pintu, untuk menjilat-jilat.
Cong Hay tetap gagal dengan penyerangannya, gagal
dengan beberapa puluh tika-mannya, hingga selain ia menjadi
jengah, pujian pun berhenti sendirinya, sebab semua
orangnya menjadi heran sekali.
Dalam mendongkolnya, Cong Hay tertawa dingin.
"Bagus muridnya Thio Tan Hong, sejurus juga dia tidak
berani menangkis!" ia mengobor. Ia tidak tahu, karena kalah
tenaga dalam, Sin Cu tidak dapat bertahan terlalu lama
dengan ilmunya "Menembusi bunga, mengitari pohon" itu. Nona itu
memang tengah bergelisah, tetapi dapat ia mengendalikan
diri. Ia mengerling, lalu ia pun tertawa dingin, untuk
membalas mengejek. "Sambut!" serunya tiba-tiba, segera
pedangnya berkelebat, menyusuli mana, dua bunga emasnya,
melesat dari bawah pedangnya itu.
Dua kali terdengar suara nyaring, segera terlihat Yang Cong
Hay mundur beberapa tindak. Di luar dugaannya, pedangnya
668 kena dihajar bunga emas si nona. Syukur, dia masih sempat
menangkis. Sin Cu tidak berhenti sampai di situ. Bunga emasnya yang
ketiga dan ke empat menyerang pula saling susul.
Dengan pedangnya, Cong Hay punahkan dua senjata
rahasia itu, terus ia tertawa,
"Mutiara sebesar beras pun bersinar!" dia mengejek. Tapi
dia dihujani bunga emas yang ke lima, ke enam, ke tujuh dan
ke delapan. Untuk menjual lagak, dia berlompatan, pedangnya
berkelebatan. Maka runtuhlah ke empat bunga emas si nona.
Nyaring suara beradunya kedua rupa senjata itu. Bukan
kepalang puasnya orang she Yang ini, hingga ia tertawa
terbahak-bahak. Di luar dugaannya, beberapa bunga emas
yang tersampok mental itu tiba-tiba berbalik menyambar pula,
mengarah jalan darahnya. Ia kaget, lekas-lekas ia membela
dirinya. Ia melihat bagai-mana senjata rahasia itu mempunyai
tenaga menyambar balik. Ia heran sekali.
"Aneh senjata rahasianya budak ini..." ia berpikir.
Sin Cu tidak mau mengarti, ia menyerang terus dengan
bunga emasnya, ia menggunai hingga delapan belas biji, maka
mau atau tidak, Yang Cong Hay menjadi gentar juga nyalinya.
Terpaksa congkoan ini mengurung diri dengan pedangnya.
Sayangnya untuk Sin Cu, belum sempurna latihannya
menimpuk menurut cara Ismet itu dan belum sempurna
latihan tenaga dalamnya, karenanya, bunga emasnya masih
kurang cepat untuk Cong Hay.
Dalam murkanya, perwira itu berseru, atas mana empat
pintu di ruang itu lantas tertutup rapat.
669 Itu artinya sudah tertutup jalan keluar si nona, maka ia pun
menjadi nekat. Penerangan dalam ruang itu padam, sebagai
gantinya terlihat sinarnya bunga emas, yang berkilauan di
sana-sini. Yang Cong Hay berkelahi sambil berseru, ia mencoba
menjatuhkan semua bunga emas. Ia pun berbareng
menggunai Pekkong ciang, ialah serangan tangan kosong,
yang anginnya saja yang menyampok keras.
Sin Cu heran untuk liehaynya orang ini, tetapi ia pun tidak
takut, bahkan ia merangsak.
Cong Hay lebih gagah tapi dia repot, mana mesti menjaga
bunga emas, mana mesti menangkis pedang si nona. Pula ia
jeri untuk pedang mustika nona itu. Mau atau tidak, sekarang
ia terdesak juga.
Didalam hatinya, Cong Hay mengeluh. Untuk menawan si
nona, ia sebenarnya mempunyai daya lain tetapi tadi ia telah
pentang mulut hendak bertempur satu sama satu dan ia malu
untuk menarik pulang perkataannya itu.
Sementara itu telah terdengar keruyuknya ayam dan sinar
fajar memasuki ruang rumah. Rupanya sang waktu tiba pada
jam empat. Tentu sekali, bertele-telenya pertempuran membuat kedua
pihak sama-sama lelah. Si nona disebabkan kalah latihan
tenaga dalam, Cong Hay lantaran terlalu banyak menggunai
tenaga untuk menyingkir dari bunga emas dan tajamnya
pedang mustika.
Mereka yang menanti di luar ruang pun heran dan cemas
hatinya. Mereka tetap membungkam, sebab mereka tidak
670 berani membuka mulut untuk pemimpinnya itu menyudahi
pertempuran satu sama satu itu.
Lagi sejenak, suara napas Sin Cu terdengar nyata. Di lain
pihak, dahi Cong Hay bermandikan keringat. Jago ini
mendongkol berbareng bergelisah. Ia mesti terus menjagai
keselamatan dirinya. Ia insaf, sedikit saja lambat, ia bisa
celaka. Sebentar kemudian, dari jendela masuk sinar terang sang
pagi. Tiba-tiba dari luar terdengar suara nyaring: "Yang Tayjin,
Ong Ciangkun mengundang!"
Inilah yang diharap Cong Hay. Kali ini ia tidak menjadi
gusar. Lantas ia mencoba mendesak si nona, hingga nona itu
mundur dua tindak.
"Budak cilik, aku membiarkan kau hidup lagi beberapa
jam!" kata perwira itu. "Sebentar aku datang pula untuk
membereskanmu!"
"Congkoan yang maha agung hendak melarikan diri?" si
nona mengejek. Habis berkata Cong Hay mencelat tinggi, dia menyerbu
genteng hingga berlobang dan tubuhnya keluar dari situ.
Sin Cu berniat menyusul lawannya itu ketika mendadak ia
merasakan rumah goyak bagaikan bumi gempa, berbareng
dengan itu ia juga mendengar suaranya si budak perempuan:
"Nona Ie! Nona Ie! Kau di mana?" Budak itu sembunyikan diri
di antara meja marmer yang besar.
671 "Jangan takut, aku di sini!" si nona lekas menyahuti, lantas
dia lompat, akan menyambar budak itu. Tapi berbareng
dengan itu, tubuhnya terjeblos tanpa dia berdaya lagi, hingga
di lain saat dia berada di tempat gelap hingga dia tak dapat
melihat lima jari tangannya di depan matanya. Dia
mendongkol hingga dia mengutuk Cong Hay sebagai manusia
tak terhormat. *** Selagi nona itu mementang mulut, kupingnya mendengar
menderunya air seperti air banjir dan berbareng tubuhnya
dirasai dingin. Dari atas liang pun terdengar suara orang:
"Yang Congkoan menitahkan kau menyerahkan pedang serta
surat, kalau tidak, jangan sesalkan kita tidak mengenal
kasihan, terpaksa kau akan direndam mati!"
"Baiklah, kau buka pintu!" Sin Cu menyahuti.
Di atas lantas tertampak sinar terang, tandanya liang
dibuka. Sin Cu segera mencelat naik, tiga bunganya pun
ditimpuki sekalian. Ia tidak memikirkan, berapa tingginya pintu
itu. Belum lagi ia sampai di atas, tutup sudah dirapatkan pula.
Dari atas itu dengar tertawa dan kata-kata ejekan.
Sin Cu mendongkol sekali. Budak itu pun terdengar giginya
bercatrukan. Air sudah merendam mereka hingga di lutut.
"Apakah kau takut?" Sin Cu tanya. Ia memeluki tubuh
orang. "Sebenarnya aku takut, tapi ada bersama nona, sekarang
tidak lagi." sahut budak itu.
"Kenapa?" Sin Cu tanya. Ia bersenyum.
672 "Karena kau ada puterinya menteri setia nomor satu di
dalam kerajaan kita." menjawab pula budak itu. "Dahulu hari
ayahmu tidak takut mati, untuk membela negara ia telah
berkurban, maka itu, kenapa mesti takut untuk penderitaan
begini?" Sin Cu terharu, hingga ia berdiam saja. Ayahnya itu
memang setia dan telah berkurban.
"Nona Ie," berkata pula si budak. "Aku dapat melihat dan
bertemu denganmu, tidaklah sia-sia hidupku ini. Nonaku pun
sangat mengagumi kau."
"Aku pun bersyukur kepada tuanmu yang muda dan
nonamu itu," kata Sin Cu. "Apa namamu?"
"Aku Touw Kim Go, nona. Aku ada dari suku bangsa Pek di
Tali dan sedari kecil aku melayani Siocia."
"Dari mana kau ketahui halku?"
"Nona majikanku yang membilangi. Siocia pun ketahui kau
sudah melukai Thio Tay Hong dan Ong Kim Piauw."
"Bagaimana dia ketahui kejadian itu?"
"Kemarin mereka di-ketemukan serdadu peronda, mereka
lantas digotong pulang. Kebetulan Bhok Kongya tidak ada di
rumah, kami semua pergi keluar untuk melihat. Siocia kenali
Ong Kim Piauww sebagai sebawahan Ong Ciangkun. Siocia
menanya kenapa mereka terluka, Ong Kim Piauw tidak mau
memberi keterangan. Kemudian mereka diambil Ong
Ciangkun. Nonaku lantas keluar sebentar, sekembalinya, ia
menyuruh aku mencari kau di rumah penginapan."
"Kenapa nonamu ketahui aku?"
673 "Itulah sebab bunga emasmu, yang Siocia kenal. Katanya di
kolong langit ini, kecuali isteri Thio Tayhiap dan kau, tidak lain
orang yang menggunai senjata rahasia semacam itu."
Sin Cu heran bukan main.
"Nona itu kelihatan lemah, kenapa dia tahu tentang senjata
rahasia kaum Rimba Persilatan?" ia berpikir. "Pula, kenapa dia
tahu hotelku?"
Memikir begini, ia jadi sangat ingin segera menemui nona
Bhok itu. Maka ia menyesal sekali, sekarang dirinya terkurung
dan ia tidak mempunyai sayap untuk terbang pergi.
Si budak kedinginan dan kelaparan, hampir dia tidak dapat
bicara. Sin Cu memeluki dan mengangkat, untuk mencegah
orang kerendam. Ia sendiri pun mulai lapar juga.
Tiba-tiba terlihat sinar terang dari atas, lalu sebuah
bungkusan jatuh. Sin Cu dapat lihat itu, ia menanggapi.
Menyusul itu, sinar terang lenyap lagi.
Memeriksa bungkusan, Sin Cu dapatkan itu adalah nasi
yang terbungkus dengan daun teratai, baunya nasi dan
harumnya teratai tercampur menjadi satu, membangkitkan
selera orang. "Sungguh wangi!" kata si budak.
Sin Cu sendiri heran bukan main, hingga ia menjadi curiga.
"Bukankah tadi mereka mengancam aku" Kenapa sekarang
mereka memberikan nasi" Mungkinkah nasi ini dicampuri
racun?" 674 Selagi berpikir, tiba-tiba ia dengar suara pelahan dan halus:
"Jangan takut, jangan takut! Makanlah!"
Si nona terkejut dan heran. Ia rasa kenal suara itu, yang
datangnya dari sebelah tembok. Sukar akan dicari orang yang
dapat bicara seperti orang itu. Ia terkejut, karena kalau orang
sudah sedemikian liehay tenaga dalamnya, sebenarnya tak
susah untuk orang itu membekuk ia.
"Aku lapar, aku lapar sekali... Barang apa itu, nona?" si
budak bertanya, suaranya lemah.
"Nasi pepes daun teratai," si nona menyahuti. Ia lantas
pecah dua nasi itu, separuh ia kasi si budak, separuhnya untuk
ia sendiri. Berdua mereka berdahar dengan bernapsu, lezad
sekali nasi itu!
Kejadian luar biasa lainnya segera menyusul. Air yang naik
semakin dekat, mendadak surut, surut hingga habis. Sin Cu
heran berbareng girang.
"Apa artinya ini?" si nona menanya dirinya sendiri. "Dia
musuh atau kawan?" Ia maksudkan orang yang mengantarkan
nasi pepes itu.
Si bujang, yang lelah sekali, setelah bersantap, lantas tidur
pulas. Sin Cu tidak mau mengganggu, ia hanya diam berpikir.
Lagi selang sekian lama, di atas terdengar suara beradunya
senjata, selang sekian lama, suara itu lenyap. Habis itu
mendadak terlihat sinar terang.
"Encie Kim Go, kita ketolongan!" berseru Sin Cu.
"Apa?" si budak mendusin kaget. Ia mengucak-ngucak
matanya. 675 "Kau peluk aku erat-erat, jangan takut, aku akan bawa kau
naik." Nona Ie membalas memeluk dengan tangan kiri, tangan


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kanannya memegang pedangnya, terus ia mencelat naik.
Untuk tiba di atas, ia mesti beberapa kali menancap pedang di
tembokan liang itu. Setibanya di atas, ia berdiri menjublak.
Belasan orang laki-laki tampak di situ, dengan pelbagai
sikapnya, seperti orang disihir. Ada yang lagi menikam dengan
pedang, ada yang membungkuk untuk memanah, ada yang
lagi membacok dan lainnya. Mata mereka itu berjelilatan,
seperti mereka ketakutan dan tengah menderita.
Sin Cu sadar setelah ia ingat orang tentu telah terkena
totokan, akibat pertempuran tadi. Ia coba menotok bebas
salah satu orang, untuk ditanyai keterangannya, tetapi ia tidak
berhasil. Istimewa totokan orang yang tidak dikenal itu.
"Apakah Hek Pek Moko yang datang atas tanda panahku?"
kemudian Sin Cu menduga-duga. Ia lari keluar. Sunyi di
sekitarnya, di situ tidak ada lain orang. Matahari sudah
bersinar layung. Tanpa merasa, sudah lohor lagi. Ia jadi
bertambah heran. Hek Pek Moko tidak bakal meninggalkan
padanya. "Nona Ie, di sini seram, mari kita lekas pergi!" si budak
mengajak. "Satu malam aku tidak pulang, nonaku tentu
berkuatir sekali."
"Baik," kata Sin Cu, yang masih memeriksa rumah itu, yang
semua pintunya terpentang, penghuninya semua masih
berdiam bagaikan patung-patung. Ia pergi ke belakang, ia
melihat beberapa ekor kuda. Ia memilih dua ekor, dengan itu
berdua Touw Kim Go ia kabur ke dalam kota, terus ke gedung
Bhok Kokkong, tidak jauh dari pintu kecil bahagian timur.
676 Tiba di sana, orang sudah pasang lampu.
Kim Go ajak Nona Ie masuk dari belakang. Di dalam tidak
ada orang merintangi ia. Di depan sebuah kamar indah, ia
mengetok pintu, ia berkata: "Siocia, Nona Ie sudah datang!"
Dari dalam kamar tidak terdengar suara apa-apa.
"Ah, ke mana siocia pergi?" pikir budak ini.
Selang sekian lama, baru pintu dibuka, seorang budak lain
muncul. "Eh, Kim Go, kenapa baru sekarang kau pulang?" tanya dia,
ialah Gin Kui, pelayan lain dari Bhok Siocia.
"Panjang untuk aku menutur. Mana siocia?"
"Siocia sudah pergi."
"Pergi" Pergi ke mana?"
"Entahlah! Siocia pergi tadi magrib, keluarnya dari taman.
Romannya kesusu sekali. Aku tidak berani menyapa."
Sembari berkata, budak itu menyilahkan Sin Cu masuk ke
dalam kamar. Segera setibanya di dalam, Nona Ie heran atas
sebuah pigura yang bermuatkan tulisan melulu. Ia mengenali
baik sekali tulisan gurunya, Thio Tan Hong. Ia tidak mengarti,
kenapa tulisan gurunya ada di situ.
Gin Kui sendiri sudah lantas berkata: "Malam ini kongya
menjamu tetamu, yang katanya datang dari kota raja dan
pangkatnya entah congkoan apa. Kongya pesan siocia
677 untukmenilik siauwya, katanya sebentar habis pesta, kongya
hendak berbicara. Siapa tahu, siocia sudah lantas pergi."
"Congkoan?" Sin Cu berpikir. "Diakah Yang Cong Hay?" Ia
lantas menanya, kenapa Bhok siocia yang disuruh menilik
siauwkongtia. Gin Kui bersangsi.
"Inilah Nona Ie, yang diundang nona kita, kau boleh omong
segala apa," Kim Go beritahu.
"Setahu kenapa, kemarin kongtia gusar, siauwya dikurung
di kamar," menerangkan Gin Kui. "Karena tidak ada pahlawan
yang menjaga, siocia yang diberi tugas..."
Sin Cu menduga tentulah pangeran tua memarahi
puteranya urusan Senghong. Itu waktu terdengar suara kuda
kereta. "Nah, tetamu itu datang!" berkata Gin Kui.
"Di mana pestanya dibikin?" Sin Cu tanya.
"Di dalam taman sebelah barat."
"Mari kau ajak aku melihat."
Gin Kui kaget, dia ketakutan.
"Mari aku yang mengantari," kata Kim Go tertawa. "Kita
dapat bersembunyi di belakang gunung palsu di tepi
pengempang. Kalau orang pergoki kita, bilang saja kita lagi
main petak, kongya tentu tidak marah."
678 Budak ini lantas cari makanan buat Sin Cu dan ia sendiri,
kemudian mereka salin pakaian mereka yang basah. Secara
diam-diam mereka pergi ke taman. Kebetulan perjamuan baru
di mulai. Dari tempat sembunyi, Sin Cu dapat melihat nyata
sekali. Di kursi pertama duduk seorang berpangkat besar,
mukanya putih tanpa kumis. Yang duduk di kursi kedua
benarlah Yang Cong Hay. Yang ketiga Sin Cu kenal sebagai
Ong Ciangkun. Di sisi tuan rumah ada seorang imam. Bhok
Kongya panjang jenggotnya dan nampak agung.
"Heran, kenapa kongya mengundang imam?" Kim Go
berbisik. Itu waktu si pembesar pangkat tinggi terlihat bicara. Kim
Go tidak dapat mendengar suaranya. Sin Cu lekas
menempelkan kupingnya di batu gunung, ia mendapat
mendengar dengan nyata.
"Kabarnya si bocah suku bangsa Pek di Tali hendak
berontak, yang mengepalai ialah keluarga Toan, semua
pembesar pemerintah hendak diusir pergi. Adakah itu benar?"
Suara pembesar ini kecil, mirip suara wanita.
"Memang ada gerakan memberontak itu," Bhok Kokkong
menyahuti. "Cuma menurut pengumuman mereka, mereka
bukan berontak, mereka tidak menghendaki tanah daerah
orang Han. Rupanya mereka mau mengangkat diri menjadi
raja." "Hm, mengangkat diri menjadi raja!" mengejek si pembesar
tinggi. "Bukankah itu pemberontakan" Budi pemerintah
kepada Keluarga Toan bukannya tipis. Ketika dulu leluhurmu,
Kimlengong, memusnahhkan negara Tali, untuk turun
679 temurun keluarga Toan diangkat menjadi pengciangsu di Tali.
Kenapa keluarga itu tidak kenal cukup?"
"Memang. Tentang itu aku pun sudah mengirim laporan
kepada Sri Baginda. Kebetulan Lauw Kongkong datang, inilah
terlebih baik pula. Lauw Kongkong senantiasa mendampingi
Sri Baginda, justeru Kongkong ada orang Inlam, ingin aku
menanya pikiran pikiranmu."
Mendengar panggilan "kongkong" itu, Sin Cu baru tahu
bahwa orang ada seorang kebiri dari istana kaisar. Semenjak
Kaisar Beng Thay Couw mendirikan kerajaannya dia melarang
orang kebiri (thaykam) mencampuri urusan pemerintahan,
larangan ini berjalan beberapa turunan, lalu menjadi longgar,
maka juga sering terjadi kaisar angkat seorang kebiri menjadi
utusannya. Contoh nyata yaitu Kaisar Beng Seng Couw
mengirim Thaykam The Hoo ke luar negeri hingga tujuh kali.
Orang kebiri jaman Beng banyak terdiri dari orang propinsi
Inlam, The Hoo tak terkecuali, ada yang pandai, ada juga
yang buruk. Dan ini thaykam she Lauw, mendengar suaranya,
ada orang Inlam. Senang dia mendengar Bhok Kokkong
memohon pikirannya, ia bersenyum.
"Kongtia sampai menanyakan, mana berani aku tidak
mengutarakan segala apa-apa," kata dia. "Menurut aku,
mesti kongtia lekas mengirim pasukan perang
untukmenindas. Sri Baginda pun memesan aku akan
menyampaikan kepada kongtia untuk mengawasi sepak
terjang mereka itu, setelah sekarang terang ada tandatandanya
pemberontakannya, tidak bisa lain, mereka harus
ditindas!"
Bhok Kokkong berpikir.
"Mengangkat senjata bukankah itu mencelakai rakyat
jelata?" katanya.
680 Mendengar ini, Lauw Kongkong tidak puas. Tapi Keluarga
Bhok besar kekuasaannya, raja pun memberi muka, ia tidak
berani sembarang bicara. Ia tertawa.
"Kongtia mulia hati dan welas asih, tidak kecewa kau
menjadi ibu bapak rakyat," ia berkata. "Cuma di jaman kalut,
orang mesti menggunai hukuman, tanpa mengangkat senjata,
pemberontakan mana dapat ditindes" Sekarang bagaimana
pikiran kongtia?"
Bhok Kokkong bersenyum.
"Hari ini ada dua tetamu jauh akan datang ke Kunbeng," ia
berkata, "dengan menggunai mereka aku memikir suatu
tindakan yang lunak, hanya entahlah, aku bakal berhasil atau
tidak. Baiklah, sebelum aku menyampaikan itu kepada Sri
Baginda, lebih dulu aku mengutarakan kepada kongkong."
"Silahkan bicara, kongtia," kata si orang kebiri seraya
meletaki cangkirnya.
"Siapa kedua tetamu itu?" Yang Cong Hay menanya. Di
dalam hatinya ia kata: "Kenapa orang-orangku tidak ketahui
ini" Mestinya mereka orang luar biasa..."
Bhok Kokkong menyahuti: "Mereka ada puteri Iran serta
suaminya."
Semua hadirin heran. Cong Hay lantas menanya: "Ada apa
hubungan antara puteri Iran itu serta pemberontakan di Tali?"
"Suami puteri itu bernama Toan Teng Khong," Bhok
Kokkong menjawab. "Telah aku dapat keterangan pasti, dialah
turunan dari Toan Pengciangsu dari Tali itu, kakeknya pernah
turut tentara Goan menyerang ke Barat, dia ketinggalan di
681 Iran setahu bagaimana, dia mendapat jodohnya, menjadi
menantu raja Iran. Rupanya dia rindu akan kampung
halamannya, dari tempat jauh itu dia pulang ke mari."
"Datangnya tetamu jauh menandakan kebesarannya raja
kita," berkata Lauw Kongkong . "Sekarang aku ingin tanya
kongtia, caya bagaimana kongtia hendak menggunai mereka
itu untuk siasatmu yang lunak?"
"Dia itu dapat dianggap sederajat dengan pengciangsu
yang sekarang ini di Tali," berkata Bhok Kokkong, "maka aku
hendak memohon Sri Baginda mengangkat dia menjadi
pengciangsu."
"Dapatkah itu mencegah pemberontakan?"
"Inilah yang diharap. Sebenarnya namanya saja dia
diangkat jadi pengciangsu, dia kita tempatkan di Kunbeng sini.
Aku percaya dia dapat mempengaruhi bangsanya di Tali itu.
Dengan memberi pangkat ini, kita memberi muka pada
keluarga Toan itu. Andaikata mereka berontak juga, ada
alasan untuk kita menghukum mereka, untuk menghabiskan
kekuasaannya turun-temurun itu."
Mendengar penjelasan itu, Lauw Kongkong berpikir. Justeru
itu muncul budak perempuan pelayan Bhok Hujin.
"Tidak tahu aturan!" Bhok Kongya menegur. "Aku tidak
panggil kau, perlu apa kau datang ke mari?"
"Sio... siocia..." sahut budak itu gugup.
"Siocia apa?" bentak pula kongtia.
"Siocia lari..." budak itu akhirnya memberitahu.
682 Bhok Hujin tidak melihat puterinya, ia menjadi bingung.
Memang, karena sakitan, ia memuja sang Buddha saja, ia
tidak campur urusan di luar. Malah dengan kongtia, ia
bertemu hanya beberapa hari sekali. Begitupun hari ini, ia
tidak tahu suaminya lagi mengadakan pesta, ia lantas
mengirim budaknya itu.
"Ngaco belo!" bentak kongtia, yang air mukanya berubah.
"Aku yang suruh siocia pergi kepada Keluarga Yo untuk
menyambut bibinya, mungkin bibinya menahan dia. Kenapa
kau sibuk tidak keruan?"
Kongtia berpura-pura saja. Tentu dia malu kalau orang luar
ketahui puterinya buron, sedang puteri itu tinggi
kedudukannya. Budak itu melengak karena heran. Kalau siocia pergi ke
rumah keluarga Yo, mestinya ibunya mendapat tahu. Ia
ditegur, ia penasaran.
"Hu... hujin..." katanya pula.
"Pergilah kau!" kongtia mengusir. "Suruh hujin matangi
yan-oh " Budak itu berlalu dengan air mata mengembeng.
Huciangkun Ong Tin Lam heran, hingga ia jadi bercuriga.
Kemarin toh ia lihat sendiri siocia itu, Bhok Yan, telah pergi ke
Senghong bio. Kongtia sendiri tak tenang hatinya. Heran ia puterinya
buron. Ia lantas ingat kepada perbuatan puteranya, Bhok Lin,
maka ia menyangka mungkin ada hubungannya.
683 Sampai di situ, Lauw Kongkong timbulkan pula
pembicaraan mereka tadi.
"Siasat lunak itu baik tetapi persiapan untuk menghukum
tidak boleh diabaikan," katanya. "Tidakkah begitu, kongtia?"
"Memang."
"Kapan Toan Teng Khong dan puteri Iran itu akan tiba di
sini?" Yang Cong Hay tanya. "Cara bagaimana dia hendak
diinsafkan akan kebaikan kongtia?"
Bhok Kokkong tertawa.
"Aku sudah mengirim orang memapak mereka," sahutnya.
Terus ia menoleh, akan memberikan titahnya: "Coba lihat, Pui
Tongieng sudah pulang atau belum?"
"Pui Tongieng kembali sejak satu jam yang lalu," menyahut
satu hamba. "Dia bilang tidak dapat dia lantas menghadap
Kokkong." Kongtia melengak sejenak, lantas dia tertawa.
"Di antara orang sendiri, kenapa dia malu-malu" Di sini ada
Yang Congkoan, dia boleh sekalian memohon petunjuk. Lekas
suruh dia datang menghadap!"
"Pui Tongieng itu apa bukannya Pui Tee Kong yang menjadi
orang kosen kenamaan di Inlam Selatan?" tanya Cong Hay.
"Telah aku dengar dengan tangan kosong dia sudah
menaklukkan delapan belas tongcu di Lee Kang. Aku yang
rendah mengagumi dia, jadi tak tepat untuk dia mendapat
petunjuk dari aku..."
Bhok Kokkong senang mendengar sebawahannya dipuji.
684 Tidak lama, Pui Tongieng muncul bersama empat
pahlawan. Melihat mereka itu, semua orang terkejut bahna
heran. Empat pahlawan itu matang biru mukanya dan dibalut


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di sana-sini, mereka lesuh sekali. Tongieng sendiri berdarah
pundaknya. "Apakah artinya ini?" tanya Bhok Kokkong, yang pun
tercengang. "Kami pergi menyambut puteri Iran serta suaminya,"
menerangkan Pui Tongieng. "Mereka itu bukan cuma tidak
sudi menerima kebaikan kongtia,mereka malah menyerang
kami." "Dari mana Toan Teng Khong mendapat barisan serdadu?"
Kongtia tanya. Dia heran sebab dia tahu kegagahannya
tongieng ini serta empat pahlawannya itu, mereka dapat
melawan seratus musuh.
"Mereka cuma, berdua," sahut Pui Tee Kong tunduk.
Kongtia heran berbareng gusar.
"Apa" Cuma berdua?" dia menegasi, "Apakah kamu tahangtahang
nasi saja?"
"Bagaimana macamnya dua orang itu?" Cong Hay turut
bicara. "Mereka dua orang India, yang satu hitam, yang lainnya
putih." Mendengar itu, Cong Hay tertawa.
685 "Jangan sesalkan mereka ini, kongtia." ia kata kepada tuan
rumah. "Dua orang itu bernama Hek Pek Moko, merekalah
pencuri-pencuri mustika. Pada belasan tahun yang sudah,
mereka sudah mencuri di istana di kota raja. Tayiwee
Congkoan Kong Tiauw Hay kena mereka kalahkan, aku sendiri
pun ragu-ragu. Hm, hm! Pui Tongieng sendiri dapat luka
enteng, dia malah harus dipuji dan dihadiahkan!"
Dia lantas menyuguhkan secawan arak pada tongieng itu.
Heran Bhok Kokkong mendengar Cong Hay membilang
musuh demikian kosen, kegusarannya pun lantas lenyap.
"Mungkinkah kamu bicara kurang jelas?" Lauw Thaykam
tanya. "Jangan-jangan Toan Teng Khong sangsikan kau diutus
oleh kongtia."
Pui Tee Kong menyahuti dengan penasaran: "Aku telah
menyerahkan surat yang ditulis kongtia sendiri, sampulnya
pun ada capnya Bhok Kokkong. Tanpa membaca lagi, mereka
lantas merobek-robek. Kalau tidak, tidak nanti kami serang
mereka itu."
Toan Teng Khong telah terpedaya di Kuiciu oleh si hoan
ong palsu, maka itu ia suruh Hek Pek Moko jangan mengasi
hati lagi kepada tongieng itu.
"Lihat!" berkata Lauw Kongkong, tertawa. "Begitu bertemu
muka mereka main hajar, itu tandanya mereka tidak
memandang mata! Bagaimana sekarang dengan siasat lunak
kongtia?" Bhok Cong murka.
"Toan Teng Khong tidak tahu diri, hm, tidak ada bicara
lainnya lagi!" serunya. "Di harian tentaraku menindas
pemberontakan, aku tawan dan hukum dia!"
686 "Nah, begitu baru betul!" Lauw Kongkong tertawa pula.
"Dengan orang liar bagaimana kita dapat omong pakai aturan"
Pui Tongieng, kamu terluka karena tugasmu, mari duduk
bersama dan minum arak!"
Thaykam ini dan Cong Hay membaiki tongieng itu dengan
maksud mengambil orang berada di pihaknya. Bhok Kokkong
cerdik, ia bisa menerka hati orang, ia menjadi tidak puas.
"Hek Pek Moko begitu liehay, Yang Tayjin tidak bisa
berdiam lama di Kunbeng, habis siapa sanggup melawan
mereka?" kemudian pangeran ini menanya.
Yang Cong Hay tertawa.
"Biarpun Hek Pek Moko liehay, asal paman guruku turun
tangan, mereka akan kena dibekuk!" katanya.
"Cong Hay, kau terlalu memandang enteng kepada
musuh!" berkata si imam, yang baru sekarang membuka
mulut. "Kalau gurumu yang datang, Hek Pek Moko tidak bakal
sanggup melawan satu gebrak saja! Tapi aku, mungkin aku
mesti menggunai seratus jurus baru aku bisa membikin
mereka takluk..."
"Kalau begitu aku mengandal kepada too tiang saja!" kata
Bhok Kokkong girang.
"Apakah too tiang ada Hong Giam Tootiang ?" tanya Tee
Kong. "Maaf, maaf!" Ia pun berbangkit, akan mengisikan
cangkir imam itu.
Cie Hee Toojin mempunyai cuma satu adik perguruan ialah
Hong Giam Toojin ini. Dia ini kalah tersohor tetapi kalangan
Rimba Persilatan tidak ada yang tidak tahu dia.
687 Dengan temberang Hong Giam minum kering arak suguhan
Tee Kong itu. "Cong Hay mengajak aku datang ke Inlam ini sebenarnya
untuk aku menghadapi musuh yang terlebih liehay daripada
Hek Pek Moko itu," katanya kemudian.
Bhok Cong heran.
"Siapa musuh itu?" dia bertanya.
"Dialah Thio Tan Hong!" Hong Giam omong terus terang.
"Katanya dia telah nelusup ke Inlam dan sekarang ini
sudah tiba di Tali. Apakah kongtia tidak mendapat tahu?"
Bhok Kokkong terperanjat. Ia tahu dulu hari itu Thio Tan
Hong telah membantu Ie Kiam mengalahkan Essen dan
bersama In Tiong masuk ke negeri Watzu menyambut raja
pulang ke negeri.
" Too tiang bermusuh bagaimana dengan Thio Tan Hong
itu?" ia tanya.
"Thio Tan Hong itu konconya Ie Kiam," Cong Hay sambil
tertawa menalangi menyahut. "Apakah kongtia tidak
mengetahui itu" Dialah yang Sri Baginda hendak
menawannya! Dia luas pergaulannya, pandai dia mendengar
kabar, untuk membekuk dia, kita tidak boleh banyak omong."
Bho Kokkong berpikir: "Ie Kiam setia, dia mati secara
menyedihkan. Hal itu membuat aku tidak puas. Sekarang, Sri
Baginda mencari Tan Hong. Bukankah itu budi dibalas jahat?"
Ia berpikir begitu tetapi ia tidak berani kentarakan di air
mukanya. Ia hanya kata: "Kiranya Yang Congkoan
688 mengundang tootiang untuk membekuk pemberontak. Inilah
untuk Sri Baginda, kamu harus dipuji!"
Hong Giam Tootiang tertawa terbahak.
"Thio Tan Hong malang melintang di Tionggoan, dia dapat
julukan ahli pedang nomor satu," katanya, "maka itu kalau
bukan aku, mungkin tidak ada lain orang yang sanggup
menawan dia!"
Sin Cu di tempat sembunyinya mendengari semua
Petualang Asmara 22 Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung Pendekar Cacad 10
^