Pendekar Wanita Penyebar Bunga 11
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen Bagian 11
pembicaraan itu, untuk mulut besar si imam, ia mengasi
dengar ejekannya di hidung. Di hatinya ia kata: "Kalau si
hidung kerbau ini bertemu guruku, kalau hidungnya tidak
dipapas, sungguh sayang!" Ia memang sangat memuja
gurunya, saking mendongkol, ingin ia keluar untuk menghajar
imam itu. Tapi ia tahu salatan.
"Thio Tan Hong itu bagaimana romannya?" Bhok Kokkong
menanya. "Apakah Yang Tayjin pernah melihat dia?"
"Melihat belum tetapi aku ada membawa beberapa helai
gambarnya," Cong Hay menyahut. "Nah ini satu untuk
kongtia, tolong nanti kongtia menjaga agar dia tidak masuk ke
Kunbeng." Bhok Cong menyambuti gambar, untuk dibeber. Ia kaget
hingga air mukanya berubah.
"Kenapakah, kongtia ?" tanya Cong Hay heran.
Cepat sekali pangeran itu bersenyum.
"Aku mengira Thio Tan Hong berkepala tiga bertangan
enam, tidak tahunya dia cuma seorang mahasiswa yang
lemah!" katanya.
689 "Memang begitulah romannya, tidak heran kongtia
terperanjat," kata Cong Hay.
Habis menenggak dua cawan pula, Lauw Kongkong
berkata: "Katanya siauwkongtia tampan dan cerdik sekali, pula dia
mengarti ilmu surat dan ilmu silat, kenapa dia tidak diundang
hadir di sini?"
"Anakku justeru bandel, mana aku berani terima pujian
kongkong ?" menyahut Bhok Kokkong. "Sekarang ini aku
justeru menyuruh dia menyimpan diri dalam kamar tulisnya
untuk memahamkan kitab-kitab, dari itu aku tidak berani
menitah dia menemui tetamu-tetamu agung."
"Kongtia terlalu merendah," berkata Cong Hay. "Bukankah
peri bahasa tua membilang, yang tahu anak hanyalah
ayahnya! Siauwkongtia pintar, itulah berkat ajaran kongtial"
Bhok Cong pikirkan perkataan congkoan itu, ia
menyangsikan ada maksudnya yang lain. Justeru itu, Lauw
Kongkong berkata pula: "Ya, kabarnya kemarin dulu
siauwkongtia mengepalai upacara pembukaan kuil Senghong
bio, hal itu menggemparkan seluruh kota ini. Dia masih muda
sekali tapi sudah pandai bekerja, di belakang hari
kemajuannya tak ada batasnya! Aku minta sukalah kongtia
mengundang dia keluar menemui kami."
Bhok Kokkong cuma berdiam sebentar, lantas dia suruh
hambanya mengundang puteranya. Dia sudah pikir untuk
berpura-pura pilon, sebentar di muka mereka ini, hendak ia
menegur puteranya itu sekalian menyuruh membongkar pula
kuil Senghong itu.
690 Tidak lama, hamba itu balik sambil berlari tersipu-sipu dan
gugup romannya. Ia bersendirian saja.
"Kenapa siauwkongtia tidak datang bersama?" Bhok Cong
tanya, hatinya berdebaran. "Apakah dia lagi salin pakaian?"
Hamba itu bersangsi, tapi ia toh menyahuti: "Siauw...
siauwkongtia... minggat!..."
Bhok Kokkong kaget bukan main, sakit hatinya. Ia
mempunyai cuma dua putera puteri itu, sekarang dua-dua
anak itu buron.
Lauw Kongkong memperlihatkan roman kaget dan heran.
"Kenapa siauwkongtia minggat?" dia menanya. "Dia toh
tidak berbuat salah, bukan" Ah, tentulah itu disebabkan
pendidikan keras dari kongtia..."
Kokkong menenangkan diri tetapi punggungnya mandi
keringat. Ia lantas mengikuti salatan. Katanya: "Sudah
kukatakan, anak itu bandel, sekarang kembali dia menerbitkan
gara-gara, sungguh memalukan!"
"Bagaimana sebenarnya?" Cong Hay turut menanya. Dia
sengaja memancing, untuk melihat pangeran ini menyebut
urusan Senghong bio atau tidak.
Tapi Kokkong dengan gusar sekali berseru: "Dia tidak suka
belajar! Sekarang tentu dia membolos melihat pesta
tengloleng!"
"Memang biasanya anak-anak gemar memain," Lauw
Kongkong menghibur. Sebenarnya ia mengejek.
691 "Anak itu memang bandel sekali," kata kokkong pula.
"Umpama dalam urusan pendirian Senghong bio itu, dia telah
berbuat tidak selayaknya. Itulah perbuatan orang tolol!
Malaikat kota malaikat tidak berarti, kenapa dia memasangi
hio dan mengangguk-angguk di depan patungnya" Bukankah
itu memalukan?"
"Hanya aku dengar patung malaikat kota itu beda dari yang
lainnya," Cong Hay mengatakan.
"Siapa tahu dari mana dia dapatkan boneka itu!" kata
Kokkong. "Benar-benar dia membuat aku malu! Besok aku
perintah orang membongkar kuil itu dan bakar bonekanya,
kemudian aku nanti cari dia untuk dihajar!"
Sekarang si thaykam memperlihatkan senyumnya.
"Pasti siauwkongtia kena orang bujuki maka ia membangun
kuil dan menghormati malaikat kota," katanya. "Aku minta
baiklah kongtia jangan hukum dia, asal boneka itu dihajar tiga
ratus rotan, sesudah itu baru dibakar! Dengan begitu tidaklah
penduduk tolol kena dilagui lagi."
"Memang," Cong Hay campur bicara pula. "Boneka itu
mesti dihajar hancur lebur dulu baru dibakar menjadi abu!..."
Belum berhenti suaranya congkoan ini, di situ muncul
seorang nona. Sangat gesit gerak-geriknya si nona, dia datang
tanpa ketahuan lagi.
Bhok Cong lihat orang mengenakan pakaian yang biasa
dipakai puterinya, orang lebih muda dua tahun dari puterinya
itu, sedang tadinya ia menyangka budaknya. Nona ini cantik
sekali, melebihkan puterinya sendiri. Yang mengherankan,
nona ini nampak agung dan keren, cuma keningnya lancip,
692 seperti dia lagi murka. Dengan sepasang mata tajam, nona itu
menyapu para hadirin.
Kalau lain orang heran, Cong Hay terkejut. Dia kenali Ie Sin
Cu yang dia kurung di liang jebakan yang terisi air. Kenapa
nona ini bisa keluar pula dengan selamat" Saking heran, dia
jadi tidak berani sembarang bergerak. Sunyi sekali itu waktu.
"Kau siapa?" Bhok Kongtia tanya akhirnya.
"Ayahku dijunjung berlaksa rakyat, dihormati bagaikan
malaikat!" berkata Sin Cu dengan berani, suaranya dingin.
"Dan kamu kamu makhluk apa maka kamu hendak membakar
patung ayahku?"
Semua orang heran dan kaget, kokkong bahkan
berjingkrak. "Apa kau bilang?" tanyanya.
"Aku bilang aku larang kamu merusak patung ayahku!"
jawab Sin Cu nyaring.
"Siapakah ayahmu?" kokkong menanya pula.
"Ayahku ialah Lwee-kok Tayhaksu merangkap Pengpou
Siangsie Ie Kiam!" si nona menjawab terus terang.
Muka Bhok Cong pucat bagaikan mayat.
"Kau ngaco-belo" membentak Cong Hay. "Bekuk siluman
ini!" "Kau benar tidak tahu langit tinggi dan bumi tebal!" Bhok
Cong pun membentak.
693 "Bagaimana kau berani mengaku menjadi anaknya
pengkhianat" Mustahil puteraku membuat patung ayahmu"
Kau ngaco belo, lekas pergi keluar!"
*** Bhok Kokkong kuatir sekali si nona benar-benar ada
puterinya Ie Kiam, kalau ia menawan dan memeriksa,
pengakuannya nona itu mungkin nanti merembet-rembet
puteranya, dari itu ia mengusirnya, supaya orang lekas pergi.
Pun dengan begitu diam-diam ia seperti menunjuki jalan lolos
untuk nona itu.
Yang Cong Hay tahu pasti orang ada puteranya Ie Kiam
tetapi malang kepada mukanya orang bangsawan itu, ia tidak
berani bertindak sembrono.
Sin Cu sebaliknya seperti mengerti maksud orang
bangsawan itu, ia tidak memperdulikan bahwa ia dituduh
memalsu, demikian dengan alisnya yang lantik bangun berdiri,
ia berkata dengan nyaring: "Ayahku membela kerajaan Beng,
dia sangat setia! Dengan mempunyai ayah semacam itu, aku
justeru mesti bangga sekali, maka kenapa aku mesti malu
mengakui ialah ayahku" Beda adalah kamu, yang tidak
menggubris penderitaan rakyat, yang cuma pandai bermukamuka
kepada raja! Sebenarnya malu kamu terhadap ayahku
itu!" Bhok Cong membungkam. Ia memang menghargakan Ie
Kiam dan kata-kata si nona ini sangat menusuk hatinya yang
agung. Sekalipun Yang Cong Hay dan konco-konconya, wajah
mereka menjadi pucat.
"Hm!" Sin Cu memperdengarkan pula suaranya.
"Sebenarnya kamu semua yang hadir di sini, siapakah di
694 antara kamu yang tidak mengetahui, bahwa patung Senghong
itu patung ayahku" Nah, kamu lihatlah surat ini!"
Si nona mengeluarkan surat rahasia dari Ong Tin Lam
untuk raja, ia serahkan itu pada Bhok Kokkong.
Muka Tin Lam menjadi pucat sekali, tubuhnya bergerak
bangun. Mungkin dia hendak merampas pulang suratnya itu.
Berbareng dengan gerakannya itu, satu bayangan berkelebat
kepadanya, lalu tubuhnya roboh terguling. Sebab Sin Cu
sudah rabuh kakinya, setelah mana, dengan pedang terhunus,
si nona berdiri di samping Bhok Kokkong , sembari bersenyum
ewah, dia menanya: "Berani kamu mencegah Bhok Kokkong
membaca surat ini?"
Hong Giam Toojin dan Yang Cong Hay dapat melayani nona
berkelahi tetapi kata-kata orang sudah mempengaruhi mereka
hingga mereka mesti berdiam saja. Maka di saat itu, suasana
menjadi sangat tegang. Rata-rata orang melirik atau
mengawasi Bhok Kokkong.
Cepat sekali orang bangsawan itu membaca surat Ong Tin
Lam, ia kaget tercampur murka. Baru sekarang ia mengetahui
sikap raja terhadapnya, bahwa Ong Huciang inilah mata-mata
raja untuk mengawasi tindak-tanduknya. Ia murka karena Tin
Lam secara diam-diam hendak mencelakakan padanya. Tapi ia
adalah seorang yang banyak pengalamannya, lekas sekali ia
dapat menenangkan diri, hingga ia tidak kentarakan rasa
hatinya itu. Dengan tawar ia kata pada Tin Lam: "Ong
Huciangkun, coba kau lihat surat ini! Ada orang yang telah
memalsukan tulisanmu dan menulis ngaco belo! Sungguh
gila!" Lega hati Tin Lam dan Cong Hay mendengar perkataan
pangeran ini. Teranglah si pangeran masih memberi muka.
Maka juga perwira itu, yang telah merayap bangun, berkata
695 dengan nyaring: "Kongtia, terima kasih untuk kepercayaanmu
terhadapku. Surat itu boleh tak usah dibaca lagi, baik robek
saja! Tentulah ini siluman wanita cilik yang telah memalsu
tulisanku, yang tidak keruan-ruan menerbitkan gelombang!
Aku percaya di belakang dia mesti ada penganjurnya, maka itu
tolong kongtia menyelidikinya!"
Juga perwira ini hendak melindungi Bhok Kokkong
sekaliania menolong mukanya sendiri, maka itu ia damprat Sin
Cu sebagai siluman, tidak berani ia menunjuk si nona sebagai
puterinya Ie Kiam.
Sin Cu gusar bukan main, ia tertawa dingin, sikapnya
sangat mengejek.
"Benar, perkara ini harus dicari tahu," kata kongya
kemudian pelahan-lahan. Tapi inilah kata-kata yang ditunggutunggu
Yang Cong Hay. Maka dia sudah lantas lompat ke
depan. "Perempuan siluman, lekas kau mengaku!" ia membentak.
"Siapakah penganjurmu?"
Tapi itu bukan bentakan belaka, bentakan diikuti sambaran
dahsyat. Sin Cu sudah nekat, ia sudah bersedia. Atas datangnya
serangan itu, pedangnya berkelebat, tiga potong bunga
emasnya pun menyambar!
Hong Giam Toojin lompat mencelat ke depan Cong Hay,
tangan bajunya yang gerombongan dikebaskan. Maka juga
ketiga bunga emas itu kena ia masuki ke dalam tangan
bajunya itu. Ia tertawa dan berkata: "Sungguh ilmu pedang
yang bagus!" Dengan dua batang sumpitnya ia menjepit
696 pedang si nona itu, dibawa ke arah meja, dengan begitu
pedang itu nancap di meja itu.
Sin Cu kaget dan mendongkol, ia kerahkan tenaganya
untuk mencabut pedangnya itu. Si imam mempertahankan, ia
menekan, maka sia-sia saja percobaan si nona, pedangnya itu
tidak dapat dicabut. Inilah menandakan tenaga dalam yang
hebat dari imam itu.
"Siluman perempuan, kau bukalah matamu!" berkata si
imam, yang tidak mau lantas turun tangan terlebih jauh. Ia
tertawa lebar. "Kau menyerah atau tidak" Lekas kau bilang,
siapa itu yang berdiri di belakangmu?"
Sin Cu tidak menjawab, sebaliknya jawaban datang dari
luar, dalam rupa tertawa yang nyaring dan panjang,
seumpama kata "mengalunnya naga" atau "menderum-nya
harimau," suara mana seperti mengaung di kuping orang.
Mendengar itu, Hong Giam Toojin terkesiap hatinya.
Segera juga terlihat orang yang terdengar suara
tertawanya itu. Dialah seorang mahasiswa. Sembari bertindak
maju, dia bersenandung:
"Seribu martil selaksa gempur, keluar dari dalam gunung,
apinya yang berkobar membakar bukan buatan hebatnya!
Tulang terbakar, tubuh hancur lebur, tak dibuat takut, asal
dapat meninggalkan nama putih bersih di dalam dunia ini!"
Itulah bunyinya salah sebuah syair paling terkenal dari Ie
Kiam, yang telah dinyanyikan di seluruh negeri, tetapi di
bawah senandung mahasiswa itu, bukan main bekerjanya
pengaruhnya, hingga membikin orang malu sendirinya dan
jerih hatinya. "Kau siapa?" Hong Giam menegur.
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
697 Si mahasiswa tertawa.
"Aku ialah orang di belakang layar yang kau tengah
mencari tahu!" jawabnya tenang.
Tanpa merasa, imam itu membuatnya kendor jepitan
sumpitnya, maka juga Sin Cu segera dapat menarik pulang
pedangnya. Ia pun sudah lantas berseru: "Suhul"
Mahasiswa itu bukan lain orang daripada orang yang
namanya kesohor di empat penjuru lautan, yang kaum Rimba
Persilatan mengakuinya sebagai ahli pedang nomor satu di
kolong langit ini, ialah Thio Tan Hong! Inilah di luar dugaan
siapa juga, maka sunyilah di sekitar situ, umpama jarum jatuh,
mungkin suaranya dapat terdengar nyata.
Air mukanya Bhok Kokkong lantas berubah, ia mengangkat
tangannya memberi hormat.
"Thio Sinshe datang, ada apakah pengajaranmu?" dia
bertanya. "Aku datang karena mendengar kabar kau hendak
menegur kongcu," sahut Tan Hong yang dipanggil sinshe itu
guru, sedang dengan kongcu ia maksudkan puteranya si
orang bangsawan.
"Turut penglihatanku, perbuatannya itu membuat
patungnya Ie Kiam adalah tepat sekali! Laginya, akulah yang
menyuruh kongcu membuatnya, dari itu sekarang sengaja aku
datang untuk memohonkan ampun, jikalau kongtia hendak
menegurnya, baiklah kongtia tegur aku!"
"Sinshe bergurau!" kata Bhok Kokkong tertawa. Lalu lekaslekas
ia kata pada si thaykam she Lauw: "Inilah Thio Sinshe
698 yang pernah menjadi gurunya anakku. Benar tak lebih dari
satu bulan Thio Sinshe mengajar tetapi kepandaiannya aku
sangat mengaguminya. Thio Sinshe ini paling gemar bergurau,
dari itu haraplah Lauw Kongkong sudi memaklumkannya..."
Baru sekarang Sin Cu mengarti kenapa di kamarnya Nona
Bhok ada tergantung pigura tulisan gurunya itu, kiranya
gurunya itu juga menjadi gurunya siauwkongtia. Ia tertawa
dalam hatinya untuk kejenakaannya guru ini.
Memang, ketika Tan Hong lewat di Kunbeng ini, kebetulan
ia lihat Bhok Lin yang bagus bakatnya, ia suka bocah itu,
dengan sendirinya ia ajukan diri sebagai guru, ia ambil orang
sebagai calon murid. Ia tahu tentang keruwetan di antara
pemerintah dan suku bangsa Pek dari Tali, dengan mengambil
Bhok Lin sebagai murid, ia mengandung sesuatu maksud.
Bhok Kokkong sendiri tidak ketahui, guru puteranya itu adalah
Thio Tan Hong yang kenamaan itu, ia cuma ketahui orang
terpelajar dan halus budi pekertinya. Cuma satu bulan Tan
Hong berdiam sama muridnya itu, ia pergi dengan tergesagesa,
hingga Bhok Kongtia menyayanginya. Kongtia mengenali
Tan Hong setelah Yang Cong Hay tunjuki dia gambar orang.
Mulanya ia kaget dan merasa sulit. Ia bersangsi untuk
mengakui Tan Hong itu, sebaliknya, untuk menyangkal, ia
juga tidak berani, sebab ia kuatir Tan Hong nanti tertawan
Cong Hay dan anaknya pastilah akan terembet-rembet. Untuk
sementara, ia mengambil putusan akan mengitungi dulu hal
Tan Hong itu. Ia mengharap-harap Tan Hong tidak akan
memperkenalkan diri, dengan begitu ia percaya Cong Hay
tentu akan memandang kepada mukanya. Di luar dugaannya,
sekarang Tan Hong munculkan dirinya.
Tan Hong menyentil dengan jari tangannya, matanya
melirik ke arah si orang kebiri.
699 "Lauw Kongkong," tegurnya, "semenjak kita berpisahan,
apakah kau ada banyak baik" Kota Kunbeng bagaikan musim
semi seluruh tahun, di sini meminum arak sambil memandangi
sang bunga, sungguh menarik hati, beda seperti langit dengan
bumi dengan negara Ouw yang banyak saljunya!..."
Orang kebiri she Lauw ini memanglah si thaykam yang
tempo hari kaisar Kie Tin ditahan di Tobokpo ada bersama
kaisarnya itu, maka bersama-sama rajanya pernah ia merasai
penderitaan di negara asing. Itu juga sebabnya kenapa dia
sekarang dapat kepercayaannya Kie Tin. Tentu sekali ia kenal
baik si mahasiswa.
"Sebenarnya apakah maksudmu, Thio Sinshe ?" dia
bertanya. "Sri Baginda pelupaan, aku tidak sangka kongkong
pelupaan juga!" berkata Tan Hong. "Lauw Kongkong, kalau
nanti kau pulang ke kota raja, tolong kau tanya Sri Baginda, ia
masih ingat atau tidak pembilanganku terhadapnya tempo kita
masih berada di negara Watzu. Aku maksudkan itu jubah kulit
rase" Mungkin Sri Baginda sudah membuang jubah itu..."
Selama Kie Tin dalam penjara, Tan Hong pernah
menjenguknya dan ia dihadiahkan baju kulit itu untuk
melawan hawa dingin. Ketika baju dipersembahkan, Lauw
Thaykam melihatnya sendiri, dia menjadi saksi utama.
Sekarang, mendengar perkataannya Tan Hong, dia bungkam.
"Ah, Thio Sinshe sudah mabuk!" berkata Bhok Kongtia,
yang masih hendak bersandiwara.
Tan Hong mengangkat satu cawan besar, ia menenggak
isinya, terus ia tertawa.
700 "Di dalam Li Sao-nya, Khut Goan menyesali diri, siapa tahu,
dunia melupai segala apa, cuma sendirilah yang tetap sadar!"
katanya melenggak, "Haha! Aku kuatir, yang mabuk itu
bukannya aku hanya Sri Baginda sendiri begitu-pun kamu
sekalian!"
Kata-kata ini membuatnya orang kaget, hingga muka
mereka berubah, tetapi Tan Hong sendiri, dia tetap tenangtenang
saja. Dia bicara secara wajar sekali. Katanya pula:
"Aku kuatir Sri Baginda dan Lauw Kongkong telah
melupakan semua-mua! Sebenarnya peristiwa lama itu tak
selayaknya ditimbulkan pula akan tetapi menyebutkan itu pula
sungguh besar faedahnya! Aku ingat dahulu hari itu tatkala Sri
Baginda mengutus In Conggoan bersama aku menyambut Sri
Baginda pulang ke negeri, itu waktu Sri Baginda telah
mengangkat sumpah bahwa asal dia dapat kembali naik di
atas takhta, ingin dia menjadi kaisar bijaksana seperti Kaisarkaisar
Giauw dan Sun. Maka sungguh tidak disangka sekali, Sri
Baginda mendapatkan kembali takhtanya belum sepuluh hari,
dia sudah lantas menghukum mati pada Ie Kokloo. Orang
yang dengan sendirinya menggempur Tembok Besar, siapa
berani tanggung dia tidak akan mengalami penderitaan yang
kedua kali di Tobokpo" Tidakkah dengan begitu dia
membuatnya dingin hatinya menteri-menteri setia serta orangorang
gagah perkasa" Haha, Bhok Kokkong, bukannya aku
bergurau! Siauwkongtia telah membangun kuil menghormati
Ie Kokfoo, tentang itu bukanlah aku yang merencanakan, itu
disebabkan dia telah mendengar ceritaku tentang riwayat Ie
Kokfoo itu, dia menjadi sangat ketarik hatinya, dia
membuatnya itu! Cobalah kamu menanya dirimu sendiri,
orang setia dan besar nyali sebagai Ie Kokloo itu, menteri
besar yang membangun negara, setelah dia menutup mata,
tak tepatkah dia menjadi malaikat " Maka jikalau kamu berani
membongkar kuilnya dan merusak patungnya, yang hendak
dibakar, aku kuatir sekali, langit dan bumi nanti tak dapat
701 menem-patkanmu dan manusia dan malaikat-malaikat bakal
bergusar karena-nya"
Hatinya Bhok Kongtia berdebaran, kaki tangannya
bergemetaran. Hebat kata-kata itu, yang membuatnya cemas
hatinya. Di sebelah itu, semangatnya pun terbangun
sendirinya. Memang, perbuatannya raja menghukum mati
kepada Ie Kiam sudah me n dat angk a n penasaran dan
gusarnya semua menteri setia, cumalah mereka tidak berdaya.
Maka kata-katanya Tan Hong ini seperti mewakilkan mereka
mengutarakan penasarannya yang terpendam itu.
Selang sekian lama barulah Lauw Kongkong dapat
menetapkan hatinya.
"Kata-kata menghasut!" gerutunya.
Bhok Kokkong pun berkata: "Lekas pimpin Thio Sinshe
keluar, tolongi dia supaya diperiksa kesehatannya oleh
thabib!" Tan Hong bersenyum ewah.
"Ya, kata-kata menghasut!" katanya nyaring. "Ketahui
olehmu, jikalau sekarang ini kamu tidak mengijinkan aku
mengucapkan kata-kataku, maka siapa berani menyentuh
tubuhku sekali saja, jangan menyesalkan aku apabila aku tidak
memandang-mandang lagi!"
Tapi Hong Giam Toojin gusar.
"Kau makhluk apa?" tegurnya. "Berani kau kurang ajar di
sini?" "Kau sendiri makhluk apa"' Tan Hong balik menegur. Dia
tertawa lebar. "Raja sendiri tidak nanti berani menegurku
702 secara begini! Kau berani berlaku kurang ajar" Aku Thio Tan
Hong, tidak pernah aku mengubah she dan namaku!
Sekarang, mau apa kau"'
Bhok Kokkong kaget sekali mendengar orang
memperkenalkan diri, mukanya menjadi
sangat pucat. "Celaka, celaka..." Ia mengeluh dalam
hatinya. Selagi raja muda ini bingung bukan main. Yang Cong Hay
sebaliknya tertawa berkakak.
"Yang Congkoan, kenapa kau tertawa?" tanya Bhok Kongtia
heran, hatinya cemas.
"Hawa hari ini buruk, mungkin Thio Sinshe ini terganggu
urat syarafnya!" kata orang yang ditanya. "Thio Tan Hong itu
bersama-sama aku adalah dua di antara ke empat ahli pedang
terbesar di jaman ini, bagaimana hebat ilmu kepandaiannya!
Tapi sinshe ini adalah cuma seorang mahasiswa yang lemah
gemulai haha! bagaimana dia berani aku diri sebagai Thio
Tan Hong" Tidakkah ini sangat lucu?"
Sengaja Cong Hay berkata begini. Ia tahu siapa Tan Hong
tetapi ia menelad Bhok Kongya , hendak ia membantu
melindungi orang bangsawan ini. Jadi perbuatannya itu sama
dengan perbuatan Bhok Kongya melindungi Sin Cu.
Tan Hong berpaling kepada congkoan itu, matanya dibuka
lebar. "Kaukah Yang Cong Hay?" tanyanya tertawa dingin.
"Memang ialah Yang Tay jin congkoan dari istana," Bhok
Kokkong mendahului menjawab.
703 "Aku tidak peduli congkoan bukan congkoan!" kata Tan
Hong keras. "Yang Cong Hay, hendak aku tanya kau, siapa
gelarkan kau kiamkek?"
"Kiamkek" ialah ahli pedang. Cong Hay termasuk satu di
antara empat kiamkek terbesar.
"Ah," sahut congkoan itu, "Itulah gelaran yang diberikan
kaum kangouw yang melihat mata padaku. Thio Sinshe,
pertanyaan ini barulah pantas kalau dimajukan oleh Thio Tan
Hong." Tan Hong tertawa lebar.
"Tidak salah!" katanya. "Aku justeru hendak menanyakan,
kau ada mempunyai kepandaian apa" Apakah kau tepat untuk
direndengkan denganku sebagai salah satu dari empat
kiamkek terbesar" Haha! Aku lihat kaulah si kiamkek tetiron!"
"Kau masih hendak memalsukan dirimu Thio Tan Hong?"
menegaskan Cong Hay. Ia tidak takut. Ia lawan ejekan
dengan ejekan. "Baiklah! Karena kau mengaku dirimu Thio Tan Hong, kau
mesti memperlihatkan satu atau dua jurus kepandaian silatmu
dengan pedang!"
"Tidak salah!" Hong Giam Toojin menimbrung. "Jikalau kau
dapat mengalahkan pedang di tanganku barulah suka aku
mengakui kau sebagai Thio Tan Hong!"
Imam ini membantui keponakan muridnya itu mengejek.
"Haha, jangan repot, jangan repot!" Tan Hong tertawa. Ia
ada sabar luar biasa hingga ia tidak mempan ejekan. "Aku
704 mesti mengajar adat dulu kepada ini kiamkek tetiron si
manusia tidak tahu malu! Yang Cong Hay, jikalau kau bisa
melayani aku sepuluh jurus banyaknya, aku nanti membiarkan
kau dipandang sebagai salah satu kiamkek terbesar!"
Cong Hay tidak takut. Ia mengandal kepada paman
gurunya itu, yang ada bersama dengannya, cuma ia menyesal,
siasatnya gagal. Sebenarnya ia ingin paman gurunya itu yang
segera turun tangan, siapa tahu, Tan Hong desak ia hingga di
pojok. Mau atau tidak, ia berkuatir juga. Tapi ia dapat
menungkuli diri. "Biarnya Thio Tan Hong sangat liehay,
mustahil aku tidak dapat melayani ia selama sepuluh jurus?"
Maka ia menebalkan kulitnya.
"Baiklah!" sahutnya. "Silahkan sinshe yang turun tangan
lebih dulu! Sinshe adalah guru sekolah di istana kokkong ini,
aku pun paling menghormati anak sekolah, karena sinshe
mempunyai kegembiraanmu, suka aku menemaninya. Hanya
hendak aku menegaskan, batas kita adalah batas saling towel
saja, supaya kita tak usah menyebabkan hati kongtia menjadi
tidak aman..."
Cong Hay seperti mengalah, ia seperti tetap memandang
orang adalah guru sekolah yang terhormat, sedang
sebenarnya ia mencoba untuk mengikat persahabatan...
"Sudah, jangan ngoceh sajah!" Tan Hong membentak.
"Hunuslah pedangmu!"
Cong Hay sudah lantas menghunus pedanguja, ia lompat
ke gelanggang. Sin Cu segera menghunus juga pedangnya, pedang
Cengbeng kiam, untuk diangsurkan kepada gurunya. "Suhu,
pedangmu!" katanya.
705 Guru itu tertawa.
"Untuk melayani binatang ini perlu apa menggunai
pedang?" sahutnya. Ia bertindak ke tepi pengempang di mana
ada beberapa pohon yangliu, dari sebatang cabangnya yang
meroyot turun, ia potes satu tangkai, kemudian ia balik
kembali, tindakannya tenang.
"Yang Toacongkoan, inilah ketikanya yang paling baik
untuk kau mengangkat namamu!" ia berkata. Sekarang ia
menyebut-nyebut pangkat orang. "Asal kau dapat melayani
cabang yangliu-ku ini sepuluh jurus, pastilah sudah kau dapat
menduduki terus tempatmu sebagai salah satu dari empat
kiamkek terbesar!"
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semua hadirin terperanjat saking heran, dan semua
pahlawannya Bhok Kokkong mementang lebar-lebar mata
mereka. Umumnya mereka mendapat kesan Thio Tan Hong
terlalu jumawa.
Bhok Kokkong tidak tenang hatinya karena ia melihat
wajahnya Yang Cong Hay seperti diliputi hawa pembunuhan,
tangannya yang memegang pedang bergerak-gerak
bergemetaran. Ia berpikir: "Bukankah Thio Tan Hong lagi
hendak mengantarkan jiwanya?" Ia merasa berkasihan
terhadap guru puteranya itu. Tapi ia tetap membungkam.
Karena Cong Hay hendak melindungi padanya, ia anggap
biarlah ia tidak campur bicara lagi.
Ketika itu kedua jago sudah berdiri berhadapan, Tan Hong
angkat cabang yangliu-nya dengan apa ia mengebuti debu di
pakaiannya. "Sin Cu, kau tolongi aku menghitung!" kata ia pada
muridnya itu. Ia bicara sambil tertawa.
706 "Perhatikan tiga jurusku beruntun ini," kata pula Tang
Hong. "Yang pertama ialah 'Memecah Bunga Mengebut
Yangliu1, mengarah pundakmu kiri dan kanan. Yang kedua
ialah 'Phang Ie Memukul Tambur, untuk mengarah
tenggorokanmu. Yang ketiga ialah 'Bianglala Putih Menutupi
Matahari', langsung menikam dadamu!"
Sembari berkata-kata itu, seperti guru lagi mengajarkan
muridnya, Tan Hong mulai penyerangannya dengan
menggunai cabang pohon yangliu.
Cong Hay mendongkol bukan main. Biar bagaimana, untuk
belasan tahun ia telah menerima baik gelaran salah satu
empat kiamkek besar. Pula ia adalah congkoan dari istana
kaisar. Tapi sekarang ia dipandang tak mata oleh Tan Hong.
Maka kegusarannya membikin ia melupakan jeri hatinya.
Walaupun Tan Hong mencekal Cengbeng kiam, ia masih tidak
takut, hendak ia mengadu jiwa, apapula sekarang orang
memegang hanya sebatang yangliu. Mendadak ia menggeraki
pedangnya, dengan jurusnya "Membiak mega untuk
mengendalikan kilat." Menggetar dan berbunyi pedangnya itu
disebabkan bekerjanya tenaga dalamnya.
"Cuma luarnya saja, dalamnya tak terisi!" kata Tan Hong
tertawa, Dan ia tidak menggeraki kakinya untuk menyingkir
dari tikaman yang nampaknya sangat dahsyat itu, ia
melainkan menggeser sedikit tubuhnya, hingga ujung pedang
lewat di tempat yang kosong. Selagi tubuhnya menggeser,
tangannya tidak berdiam saja, cabang yangliu diangkat,
dipakai menikam ke depan, ke arah muka si penyerang.
Aneh cabang yang lemas itu, karena dikerahkan, lantas
menjadi lempang dan kaku dan juga mengasi dengar suara
keras. 707 Yang Cong Hay kaget tidak kepalang, mau atau tidak, ia
berkelit mundur. Untuk pertama kali ia merasakan liehaynya
lawan ini. "Jurus yang pertama!" Sin Cu berteriak, nyaring tapi halus.
Dia pun mengasi dengar tertawa yang empuk.
Cong Hay mundur sambil menangkis, habis itu ia
memperbaiki dirinya. Segera ia didesak, datanglah jurus yang
kedua. Ia menjadi repot sekali, lagi-lagi ia berkelit. Belum
sempat ia membalas, datang pula jurus yang ketiga. Dan Sin
Cu saban-saban membacakan itu dengan keras.
Biar bagaimana, congkoan ini ada satu jago. Di jurus ketiga
itu, habis membela diri. Ia mencoba membalas menyerang. Ia
tetap ada muridnya satu guru yang liehay, tidak terlalu
gampang untuk merobohkan dia.
Menghindarkan diri dari penyerangan pembalasan itu, Tan
Hong tidak berkelit, ia hanya menyingkirkan ujung pedang
lawan dengan mengetok belakang pedang orang hingga Cong
Hay merasakan telapak tangannya tergetar dan sakit,
pedangnya pun terpental, syukur tidak sampai terlepas dari
cekalan-nya. "Kali ini boleh juga," kata Tan Hong sambil tertawa,
"melainkan penjagaannya, walaupun rapat tetapi masih ada
lowongannya, maka ini tak dapat disebut jurus yang liehay.
Sekarang kau lihatlah lanjutannya tiga jurusku lagi!"
Ketika itu Sin Cu sudah menghitung hingga jurus yang ke
lima. "Perhatikan tiga jurusku beruntun ini," berkata pula Tan
Hong. "yang pertama ialah Memecah Bunga Mengebut
Yangliu, mengarah pundakmu kiri dan kanan. Yang kedua
708 ialah Phang Ie Memukul Tambur, unuk mengarah
tenggorokanmu. Yang ketiga ialah Bianglala Putih Menutupi
Matahari, langsung menikam dadamu!"
Sembari berkata-kata itu, seperti guru lagi mengajarkan
muridnya, Tan Hong mulai dengan penyerangannya. Cong Hay
boleh merasa beruntung yang ia telah diberi petunjuk dulu.
Serangan yang pertama dapat ia halau, begitu-pun yang
kedua. Ia menggunakan tipu silat "Secara main-main
membagi emas" dan "Tapalan pintu besi." Untuk ini ia
menggunakan kecepatan dan tenaganya yang besar. Untuk
yang ketiga, karena tidak dapat memikirkan jalan lain, ia
menggunakan tipu silat "Kilat dan guntur saling menyambar."
Inilah serangannya yang terhebat, dengan maksudnya
membabat putus senjata cabang yangliu di tangan lawan itu.
Untuk ini ia bersedia bersama-sama rugi andaikata lawan
dapat menggunakan siasat lain.
Sin Cu pun dengan beruntun menyebutkannya: "Ke enam!
Ke tujuh! Ke delapan! Ah, sayang, sayang! Coba suhu tidak
menyebutkannya lebih dulu, pasti dia tidak dapat
menyambutinya... Sekarang tinggal dua jurus lagi, maka kalau
Yang Cong Hay berlaku nekat, tidak nanti dia dapat
dirobohkan dalam sepuluh jurus ..."
Selagi nona ini melamun, mendadak ia berhenti dengan
kaget. Tiba-tiba saja ia mendengar suara sangat keras, dari
terdobrak-nya jendela, di mana terlihat melayangnya satu
tubuh manusia, kaca jendela pecah hancur, air empang
berbunyi berdeburan, airnya muncrat ke segala penjuru.
Sebab tubuh Congkoan dari istana yang besar itu telah
tercebur, mandi di pengempang itu!
Dengan menggunakan pukulannya "Kilat dan guntur saling
menyambar," Yang Cong Hay sudah mengerahkan tenaganya
sepenuhnya. Di luar dugaannya, ia menyabet tempat kosong.
709 Cabang yangliu lawan seperti lenyap tidak keruan paran. Atau
tahu-tahu tubuhnya terlibat cabang itu, lalu terangkat,
kemudian di luar segala kesadarannya, tubuhnya itu
terlempar, mendobrak jendela, terus nyemplung di air!
Tan Hong lantas tertawa.
"Dapat melepas dapat menarik, itu namanya mendekati
Tao!" ia berkata. "Begitu juga ilmu silat! Eh, Sin Cu, jurus ini
jurus yang ke berapa?"
"Jurus yang ke sembilan!" sahut Sin Cu setelah ia
mengeluarkan napas lega. Sungguh-sungguh ia tidak
menyangka. Tan Hong menghampirkan jendela, untuk berkata: "Yang
Cong Hay, kau dengar! Semenjak hari ini dan seterusnya, aku
melarang kau menyebut lagi dirimu kiamkek yang terbesar!"
Hong Giam Toojin merasakan tubuhnya dingin tidak
keruan, tetapi ia majukan dirinya. Ia berlompat.
"Mari aku belajar kenal dengan Hian Kie Kiamhoat!" ia
berkata. Ia melihat kehebatan orang tetapi ia penasaran.
Bahkan segera ia menggunakan sepasang sumpit di
tangannya untuk menjepit cabang yangliu di tangan Tan Hong
itu. Hong Giam ini ada sutee, yaitu adik seperguruan, dari Cie
Seng Cu. Dipadu umurnya dengan Hian Kie Itsu, ia ada
terlebih muda dua puluh tahun, akan tetapi bicara tentang
tingkat atau derajat, dia seimbang sama Hian Kie Itsu itu,
maka dipadu dengan Tan Hong, ia lebih tinggi dua tingkat,
karenanya, malu ia melawan orang dari tingkat lebih muda
dengan menggunai pedang. Bahwa ia telah menggunai
710 sepasang sumpit, itu pun karena ia ingin menguji tenaga
dalam dari orang she Thio ini.
Tan Hong tertawa.
"Yang muda tidak maju, yang tua muncul?" katanya
menggoda. Ia menggeraki tubuhnya, ia menggeser cabang
yangliu-nya. Hong Giam Toojin menyangka orang hendak menyingkirkan
diri, ia menjepit pula, untuk mana ia mengerahkan tenaganya.
Justeru itu, Tan Hong berseru: "Tukarlah dengan pedang!"
Sin Cu tidak melihat, tipu apa yang gurunya gunakan, tahutahu
ia tampak sepasang sumpit di tangannya Hong Giam
sudah terlepas dari tangannya dan mencelat ke luar jendela,
jatuh di empang!
Tenaga dalam dari Tan Hong seimbang dengan tenaga
dalam dari si imam, kalau ia toh dapat mempermainkan imam
itu, inilah disebabkan setelah pertempurannya sama Yang
Cong Hay, ia dapat mengenal baik ilmu silatnya lawan ini dan
kebetulan saja, si lawan temberang, maka ia menggunai cacad
orang itu untuk keuntungannya.
Ketika itu Cong Hay sudah merayap naik dari empang,
pakaiannya kuyup basah. Ia meng-hampirkan paman gurunya
untuk segera mengangsurkan pedangnya. Ia kata: " Susiok,
silahkan pakai pedang ini!"
Bahwa Cong Hay hebat, itu telah terbukti. Walaupun ia
terlempar dan tercebur, pedangnya tak lepas dari cekalannya
itu. Jikalau ia ada orang lain, entah ke mana sudah
terbangnya senjatanya itu.
711 Hong Giam berdiri menyeringai. Ia telah menganggap
derajatnya sudah tinggi sekali, sudah semenjak berberapa
tahun ini ia tidak pernah menggunai pedang, maka adalah di
luar dugaannya, sepasang sumpitnya kena diterbangkan orang
malah orang yang tingkat derajatnya jauh terlebih rendah itu.
"Silahkan menggunai pedang, susiok." Cong Hay berkata
pula. Walaupun ia mengasi dengar ejekan "Hm!" imam ini toh
menyambuti pedang keponakan muridnya itu. Ketika ia
mengawasi kepada Tan Hong, ia dapatkan orang tengah
menggunai cabang yangliunya mengebuti pakaiannya,
sikapnya tenang sekali. Ia menjadi mendongkol, ia merasakan
kulit mukanya panas.
"Tan Hong, kau menukarlah dengan pedang!" katanya.
Inilah yang pertama kali si imam menyebut nama Tan
Hong, maka itu, berubah wajah Bhok Kokkong yang
mendengar panggilan orang itu.
"Bagus!" Tan Hong tertawa. "Sekarang kau tidak lagi
mengatakannya aku telah memalsu nama orang! Sin Cu, kau
tolongi aku memotes lagi setangkai cabang yangliu!"
Si murid lincah sekali, cepat ia mengerjakan titah gurunya
itu. Dengan menyekal sepasang cabang yangliu, Tan Hong
bersenyum. "Hong Giam Toojin ," ia berkata, tenang, "kau adalah
sutee-nya Cie Seng Cu, jikalau aku menggunakan cuma
sebatang yangliu, itulah kurang hormat dari pihakku, maka
sekarang aku memakai sepasang batang untuk melayani
712 pedangmu yang panjang. Dengan begini kita menjadi tidak
kipa!" Dengan kata-katanya itu, Tan Hong cuma main resmiresmian.
Cabang yangliu mana dapat dibanding dengan
pedang" Sengaja ia mau angkat dirinya tetapi pun berbareng
mengangkat juga si imam...
Hong Giam berdiam, cuma hatinya tegang sekali. Ia mesti
dapat menguasai dirinya. Tapi toh ia tak dapat bungkam lamalama.
"Bocah, kau tidak tahu aturan! Lihat pedang!" ia
membentak berbareng menikam.
Thio Tan Hong tertawa.
"Loocianpwee, tikamanmu ini tidak kecelaannya!" katanya.
"Dibanding dengan keponakan muridmu, kau ada terlebih
tinggi satu tingkat!"
Itulah pujian tercampur sindiran. Dan kata-kata itu
dikeluarkan berbareng dengan gerakan cabang yangliu di kiri
dan kanan, dilintangkan satu dengan lain.
Hong Giam terperanjat. Sederhana nampaknya serangan
lawan ini tetapi sebenarnya berbahaya. Kalau ia membabat
yangliu yang kiri, iga kanannya sendiri lowong, kalau
sebaliknya, iga kirinya yang kosong. Karena itu terpaksa ia
mengundurkan dirinya, untuk membuat pembelaan saja.
Tentu sekali ia dapat membela diri dengan baik sekali, karena
tidak percuma ia telah dididik kakak seperguruannya.
"Loocianpwee," kata pula Tan Hong, tetap sambil tertawa,
"dengan ini satu gebrak saja maka terlihatlah sudah hasilnya
latihanmu beberapa puluh tahun. Kau telah memperoleh
713 rahasianya kemahiran ilmu silat, hanya sayang, kau baru saja
masuk sampai di ruang pendopo, kau belum lagi masuk ke
dalam kamar, maka baiklah kau pulang untuk belajar terlebih
jauh dengan kakak seperguruanmu, mungkin kau nanti dapat
men-ciptakan suatu partai tersendiri! Sungguh, loocianpwee,
aku menaruh pengharapan besar terhadapmu!"
Kembali pujian yang terselip ejekan yang terlebih hebat,
mirip dengan guru yang tengah mengorek-ngorek kesalahan
dalam buah kalam muridnya.
Hong Giam merasakan dadanya hampir meledak, sebisabisa
ia mengendalikan diri.
Sebagai satu jago, satu ahli, ia menginsafinya baik-baik, di
waktu bertanding, tidak boleh ia mengumbar hawa marahnya.
Ia berlaku waspada sekali terhadap sepasang batang yangliu
lawannya ini, yang tidak dapat dipandang ringan.
Sebentar saja, tiga puluh jurus sudah berlalu. Sepasang
cabang yangliu-nya Tan Hong bergerak-gerak lincah mirip
sepasang naga tengah bermain-main, setiap serangannya
senantiasa di luar dugaan. Hong Giam menggunai sebatang
pedang yang panjang, ia masih kewalahan, ia cuma dapat
menangkis, tidak bisa ia membalas menyerang, dari itu
dengan sendirinya pengaruh lingkaran pedangnya itu makin
lama menjadi makin ringkas, hingga dengan sendirinya si
imam bagaikan kehilangan pengaruhnya.
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menyaksikan kepandaian gurunya itu, Sin Cu sadar. Ia
barulah insaf kefaedahan dari Siangkiam Happek, gabungan
sepasang pedang dari Hian Kie Kiamhoat. Ilmu itu nyata dapat
digunakan tidak cuma oleh satu pasangan, wanita dan pria,
juga dapat oleh satu orang sendiri yang mengandal kepada
kedua tangannya. Pula ini membuktikan liehaynya Tan Hong.
714 Mungkin Hian Kie Itsu sendiri tidak sanggup menciptakan ilmu
permainan sendiri itu.
Ketika dulu hari Hian Kie Itsu menurunkan ilmu silat
pedangnya itu, ia cuma mewariskan kepada dua muridnya
tersayang, Cia Thian Hoa dan Yap Eng Eng, yang masingmasing
diajarkan sebagian, separuh saja, kemudian Thian Hoa
mewariskan pada Tan Hong dan Eng Eng kepada In Lui, juga
seorang separuh, supaya mereka dapat menggabungkan itu,
murid dan cucu murid itu berempat telah terbukti, tidak ada
tandingannya. Sekarang, Tan Hong mainkan itu sendiri saja.
Inilah hasil kecerdasan dan keulatannya sesudah ia menikah
sama In Lui, karena seorang diri terus ia melatih diri dan
memahamkan. Maka tidak sia-sialah cape lelahnya itu. Ini pula
sebab kenapa Tan Hong berani melayani Hong Giam yang
bersenjatakan pedang dengan dua batang yangliu.
Lagi kira tiga puluh jurus, Hong Giam tetap cuma mampu
membela diri. Hanya sekarang, napasnya mulai memburu
keras, sampai itu dapat didengar oleh para hadirin.
Yang Cong Hay senantiasa memasang mata, ia dapat
mengarti suasana yang buruk itu untuk pihaknya. Kalau ia
tidak segera bertindak, mungkin paman gurunya itu
menghadapi bahaya. Maka lantas ia bekerja. Paling dulu ia
merampas sebatang pedang dari tangannya satu pahlawan,
setelah itu, ia berseru: "Si penghianat telah terbukti
kesalahannya, maka hayolah bekuk dia, jangan membuangbuang
tempo lagi!"
Menimpali seruan itu, dari luar ruang muncul belasan orang
dengan senjata mereka lengkap, pakaian mereka tak rata, ada
yang sebagai pahlawan, ada yang seperti imam. Sebab
mereka ada murid-muridnya Cie Seng Pay yang dipimpin Hong
Giam Toojin. Sengaja mereka di tempatkan di luar ruang, oleh
karena mereka dianggap tidak berderajat untuk duduk
715 bersama Bhok Kokkong. Mereka cuma dipesan untuk selalu
siap sedia, buat maju begitu lekas ada pertanda. Di luar,
mereka ditemani oleh sejumlah pahlawannya tuan rumah,
Semuncul-nya mereka, lantas mereka memernahkan diri,
hingga ruang jadi terkurung rapat.
Bhok Kokkong tidak puas tetapi ia tidak bisa berbuat suatu
apa, terpaksa ia berdiam saja, menonton sambil ia dilindungi
beberapa pahlawannya.
Yang Cong Hay pun memberi tanda kepada orangorangnya
itu, untuk bersiap sedia. Kemudian Hong Giam
Toojin berlompat maju, untuk mengambil kedudukannya di
tengah-tengah. Tan Hong bersenyum, kembali ia menggunai cabang
yangliu-nya untuk mengebuti bajunya. Kemudian dengan
sabar barulah ia berkata: "Sudah lama aku mendengar kabar
perihal barisan pedang dari Cie Seng Pay, bahwa barisan itu
liehay sekali, baru sekarang aku dapat menyaksikannya,
sungguh aku merasa sangat berbahagia!"
Yang Cong Hay berdiam saja walaupun ia diejek. Ia hanya
menantikan tanda dari paman gurunya untuk turun tangan
mengepung musuhnya itu.
Tan Hong pun tidak memperdulikannya lebih jauh, ia hanya
menoleh kepada muridnya. Ia tertawa ketika ia berkata:
"Pertempuran kali ini sedikitnya akan memakan waktu
setengah jam, karena tidak ada perlunya untuk kau berdiam di
sini, pergi kau berangkat lebih dulu. Jikalau kau bertemu sama
Hek Pek Moko, sampaikanlah pengharapanku agar mereka tak
kurang suatu apa! Kau tidak usah menantikan aku, jangan kau
mencari, hanya kau boleh berangkat lebih dulu ke Tali. Paling
lambat selang satu dua hari aku akan dapat susul kamu!"
716 Tenang bicaranya Tan Hong, meskipun barisan musuh
berbahaya, ia seperti tak memperdulikannya.
Sin Cu menjadi serba salah. Sebenarnya tidak puas ia
meninggalkan gurunya, sedikitnya ingin ia menyaksikan
pertempuran guru itu. Tapi ia cerdas, mesti ada perlunya
kenapa gurunya menitah ia pergi. Di sana pun ada Hek Pek
Moko, dan ia perlu mencari mereka itu untuk diajak pulang
bersama. Maka ia terpaksa menurut. Katanya: "Baiklah, suhu,
muridmu akan berangkat lebih dulu."
Ia menghunus pedangnya, untuk berlalu. Orang semua siap
sedia, ia pun ingin bersiap. Tapi Tan Hong tertawa.
"Kau simpan pedangmu, anak!" katanya.
"Jangan kau membuatnya mereka kaget hingga nanti
mengganggu barisan pedang mereka ini."
Dengan barisan pedang itu dimaksudkan " kiam tin."
Sin Cu heran hingga ia melengak. Bukankah hebat
pengurungan musuh itu" Mungkinkah, kapan ia
mengundurkan diri, mereka itu tidak akan menghalanghalangi"
Dengan bertangan kosong, mana dapat ia melawan
belasan musuh itu" Tapi ia percaya gurunya, maka ia masuki
pedangnya ke dalam sarungnya, dengan berani tetapi tenang,
ia bertindak keluar, matanya diam-diam dipasang.
Benarlah kesudahannya, tidak ada satu jua murid Cie Seng
Pay yang berani merintangi, mereka berdiri diam pada
kedudukannya masing-masing, maka ia dapat keluar tanpa
halangan. Umpama kata orang menggaploknya mereka itu,
tentu mereka berdiam terus kecuali ada tanda dari Hong Giam
atau Cong Hay...
717 Tan Hong ketahui liehaynya musuh, ia tidak takut, tetapi ia
tahu, ia mesti menaruh perhatian, maka itu, supaya ia tidak
usah repot memikirkan Sin Cu, ia suruh muridnya itu
mengangkat kaki terlebih dulu. Ia sudah menduga tidak nanti
muridnya itu dihalang-halangi musuh.
Baru saja Sin Cu tiba di gili-gili empang, ia sudah lantas
dengar riuhnya suara bentrokan senjata. Itulah tanda yang
gurunya sudah turun tangan. Ia merandak, ia menoleh, ingin
ia menyaksikan, tetapi di akhirnya, ia mendengar kata, ia
berjalan terus. Dengan siurannya angin, ia merasa hatinya
terbuka. Selama dua hari ia menderita, tetapi bertemu
gurunya, ia girang bukan main. Ia percaya, itulah gurunya
yang sudah menolongi padanya. Sebenarnya ia ingin minta
keterangan pada gurunya itu tetapi ia sudah memasuki kota
dan berada dekat hotelnya.
"Entah bagaimana Siauw Houwcu memikirkan aku,"
pikirnya. Setahu bagaimana dengan Hek Pek Moko, mereka sudah
tiba atau belum... Ia berjalan terus. Di tembok luar, ia
dapatkan pertandaannya masih ada. Ketika ia masuk ke
dalam, ia bertindak cepat.
"Siauw Houwcu! Siauw Houwcu!" ia memanggil, gembira.
"Suhu datang!"
Dari dalam kamar tidak ada penyahutan. Ia lantas mulai tak
senang. "Kenapa Siauw Houwcu gemar sekali memain?" katanya.
"Menantikan dua hari saja dia tidak cukup sabar! Dia harus
diajar adat!..."
718 Ia mau menyangka si bocah pesiar ke dalam kota. Ketika ia
menolak daun pintu dan tiba di dalam, ia tercengang. Ia
mendapatkan seperei kusut, tanda seperti Siauw Houwcu
turun dari pembaringan secara kelabakan. Karena tidak mau
memikir banyak-banyak, ia lantas teriaki pelayan rumah
penginapan. Ketakutan nampaknya ketika si pelayan muncul, belum lagi
ditanya, ia sudah bicara, suaranya tidak lancar. Katanya:
"Kami dari pihak rumah penginapan, kami cuma mengurus
tempat tinggal dan makanan tetamu, kalau ada barang yang
hilang, kami tidak bertang-gungjawab..."
"Apa" Barang hilang?" tanya Sin Cu heran.
"Di kota Kunbeng ini sudah lama tidak ada perampok atau
pencuri," berkata si pelayan, menyahuti tak langsung, "maka
sungguh lacur, kali ini kejadian justeru pada pemondokan
kami ini. Inilah di luar dugaan. Apakah nona ingin majikan
kami turut nona pergi mengajukan laporan kepada pembesar
negeri?" Sin Cu jadi heran sekali.
"Sudah, jangan banyak omong!" meme-gatnya. "Penjahat
sudah curi barang apa kepunyaanku?"
"Penjahat telah curi kuda putihmu, nona..."
Nona Ie kaget bukan main.
"Orang telah curi kudaku?" ia menegaskan.
"Benar, nona. Sekarang adikmu tengah mengejar penjahat
itu..." 719 Tanpa menanya lagi, bagaikan angin puyuh, Sin Cu lari ke
istal. Di sana tidak ada Ciauwya Saycu ma, kudanya yang
jempolan itu. Ia lari keluar, lari terus hingga beberapa lie. Ia
mendapat kenyataan, tapak kaki kudanya lenyap di luar kota
itu. Ia berdiri diam sekian lama, lalu lekas-lekas ia kembali ke
hotel. Pelayan penginapan masih berdiri menanti di istal,
hatinya berkuatir. Ia takut nanti dimintai penggantian kerugian
kuda jempolan itu...
"Orang macam apa pencuri itu?" si nona menanya
kemudian. Pelayan itu menggeleng kepala.
"Kejadian tadi malam jam empat kira-kira," ia berkata.
"Tiba-tiba kami mendapat dengar teriakannya tuan kecil,
tatkala kami memburu keluar, tuan kecil sudah pergi menyusul
si pencuri kuda, dia lari keras hingga kami tidak dapat
menyusul. Kami cuma tahu tuan kecil tidak sampat merapikan
pakaiannya lagi. Sebentar saja dia lenyap dari pandangan
mata kami."
Sin Cu mencoba menyabarkan diri.
"Inilah heran," pikirnya. "Kudaku itu cuma mendengar
perintahnya suhu dan subo serta aku bertiga. Lain orang
jangan harap dapat menungganginya, tidak segala pencuri
biasa! Mungkinkah dia liehay sekali" Tidak, tidak! Tidak nanti
Ciauwya Saycu ma menyerah kepada siapa pun! Buktinya,
larinya pun tidak kacau" Mustahilkah subo yang datang
sendiri" Tapi tidak nanti subo bergurau denganku! Suhu pun
tak mungkin, suhu berada di kokkonghu. Siapa orang di
kolong langit ini mampu mencuri kudaku itu dan dapat
membikin kuda itu menurut saja?"
720 Pecah rasanya otak si nona, tidak juga ia dapat menerka
jitu. "Nona Ie, kau berniat mengajukan pengaduan atau tidak?"
pelayan penginapan mengulangi pertanyaannya tadi.
"Apa yang hendak diadukan?" sahut si nona, mendongkol.
"Hanya, aku lagi pikirkan, bagaimana caranya untuk
mengejar si pencuri itu..."
"Tetapi, nona, jangan kau gelisah," kata pelayan itu, "Benar
kau kehilangan kudamu
tetapi ada seorang yang meninggalkan kuda lain
untukmu..."
Sin Cu heran. "Apa kau bilang?" tanyanya. "Siapa orang
itu?" "Dua orang bangsa asing," sahut si jongos. "Mereka ada
pria dan wanita, pakaiannya mewah, bicaranya dengan lidah
Inlam. Mereka berlalu belum lama. Mereka mengatakan kenal
kau, nona, waktu mereka dengar nona kehilangan kuda,
mereka lantas menitipkan kudanya itu."
Sin Cu lantas menduga pada Toan Teng Khong dan puteri
Iran. "Siapa lagi yang turut mereka?" ia menanya.
"Mereka cuma berdua. Agaknya mereka dalam kesusu.
Begitu mendapat tahu nona tidak ada di sini, mereka
meninggalkan kudanya dan berangkat dengan lantas."
721 "Mereka dirintangi orang-orangnya kokkonghu, pantas
mereka tidak mau berdiam lama-lama di kota Kunbeng ini,"
Sin Cu kata dalam hatinya. "Kuda yang mereka tinggalkan ada
kuda dari Arabia, inilah lumayan."
Maka ia lantas suruh si pelayan tuntun kuda itu, kemudian
ia lantas lompat menaikinya.
"Ke mana kaburnya si penjahat?" ia tanya.
"Melihat mengejarnya tuan muda, ke selatan," sahut
pelayan itu. Tanpa membilang apa-apa lagi, Sin Cu kaburkan kudanya
ke arah yang disebutkan itu. Tentu saja ia membuatnya si
pelayan ini heran dan gegetun. Pelayan ini berlega hati bukan
main, sedang tadinya ia ketakutan, kepalanya pun pusing,
takut nanti disuruh mengganti harganya kuda jempolan itu.
Sin Cu mengaburkan kudanya walaupun ia tahu tidak nanti
ia dapat menyandak Ciauwya Saycu ma. Ia mengharap-harap
nanti menemukannya di tengah jalan. Bukankah kudanya itu
tidak suka menurut kecuali terhadap majikannya"
Sore itu ia menumpang bermalam di rumah seorang petani,
besoknya pagi-pagi ia kabur pula. Di tengah jalan ia menemui
beberapa orang, yang gerak-geriknya mencurigai, tetapi
mereka tidak ada bersama Ciauwya Saycu ma, ia
membiarkannya saja. Ia terus kaburkan kudanya sampai satu
kali ia dengar tindakan kaki kuda nyaring di sebelah
belakangnya, apabila ia sudah menoleh, ia dapatkan seorang
penunggang kuda yang muda usianya, matanya besar, alisnya
gompiok, pakaiannya dari cita kasar, romannya mirip petani
yang polos. Dia nampaknya likat dan wajahnya bersemu dadu
ketika si nona mengawasi padanya.
722 "Apakah nona bersendirian saja?" ia menanya.
"Kenapa?" Sin Cu balik bertanya. Ia tidak menyahuti.
"Aku juga bersendirian," kata pemuda itu. "Perjalanan dari
sini ke Inlam Selatan ada tidak aman, aku pikir baiklah kita
jalan bersama, jadi kalau perlu dapat kita saling melindungi.
Bagaimana pikiranmu?"
Sin Cu tidak puas, coba orang tidak bersikap polos, pasti ia
sudah mencambuk.
"Biasanya tak senang aku berjalan bersama-sama lain
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang," sahutnya tawar.
"Terima kasih!" Dan ia jeterkan cambuknya, membuat
kudanya berlompat lari, hingga sesaat kemudian anak muda
itu tak nampak lagi.
"Sungguh aneh," nona kita pikir, ia tertawa di dalam hati.
"Pemuda itu seperti tidak membawa barang berharga, biarnya
tempat tidak aman, dia takuti apa" Mungkinkah romannya
saja polos tetapi sebenarnya dia orang jahat" Fui! Biar dia
jahat, kalau dia tidak ganggu, apa aku perduli?"
Sin Cu kabur terus. Sampai magrib ia masih belum melihat
kudanya. Hatinya mulai dingin. Ia merasa bahwa cara
mencarinya ini tidak tepat.
"Sekarang baik aku menuju langsung ke Tali akan
menantikan suhu di sana," pikirnya kemudian. Ia angkat
kepalanya, memandang ke depan. Ia melihat banyak puncak
bukit. "Orang bilang tempat yang indah ialah Kuilim, siapa tahu
Inlam pun tidak kalah," ia ngelamun. Ia pernah baca banyak
723 buku dan mengenal ilmu bumi, mendadak ia ingat, bukankah
pemandangan di depannya itu ada dari "Cio Lim" atau Rimba
Batu yang tersohor keindahan dan keanehannya (thian kay ek
keng)" Ia ingat benar, Cio Lim berada di kecamatan Louwlam
di Inlam.5) Ia lantas melarikan kudanya mendekati rimba batu itu.
Maka ia lihatlah sepotong batu besar yang bagaikan
tergantung di udara dengan empat hurufnya warna merah:
"Thian Kay Ek Keng," di samping mana ada beberapa pujian
umpama "Pemandangan aneh buatan alam" dan "Buah
kerjaan sakti dari kampak hantu." Karena ini ia jadi ingin
pesiar ke dalam rimba batu itu meskipun ia tahu, rimba
istimewa itu katanya mirip dengan barisan Pattin Touw dari
Cukat Bu Houw, ialah keletakan dan jalanannya yang dapat
menyesatkan orang, bisa masuk tak bisa keluar. Ia pikir,
pesiar dulu, baru melanjuti perjalanannya ke Tali. Begitulah ia
mencari rumah satu penduduk, untuk menumpang singgah.
Penduduk situ ada suku bangsa Ie yang ramah tamah,
yang senang mendapat kunjungan tetamu, maka itu, Sin Cu
disambut dengan manis dan dilayani dengan telaten, hingga ia
disajikan makanan yang istimewa yaitu "lengsan," barang
makanan terbuat dari campuran susu kambing atau susu
kerbau. Makanan itu berbau amis tapi Sin Cu paksa dahar juga
beberapa potong. Habis bersantap sore, ia menanya kalaukalau
tuan rumah kenal baik jalanan di dalam rimba batu itu.
"Aku tahu, aku tahu, cuma sekarang jalanan itu tak dapat
dilalui," berkata tuan rumah.
Sin Cu heran, ia menanyakan sebabnya.
"Sebab sekarang di dalam rimba itu berdiam kawanan
penjahat," menerangkan tuan rumah. "Umpama tahun yang
lalu, dua orang Tionghoa masuk ke dalam rimba, selanjutnya
724 mereka tidak pernah keluar pula. Karena itu, kami di sini tidak
ada yang berani memasukinya."
"Begitu?" kata si nona gusar. "Tempat begini luar biasa
menarik, mana dapat penjahat dibiarkan mendudukinya" Kau
antari aku ke sana, nanti aku singkirkan manusia-manusia
jahat itu!"
Tuan rumah menggeleng-geleng kepala dan menggoyanggoyangi
tangannya. "Tidak bisa, nona," katanya. "Jangan kata nona seorang
diri, sepasukan tentara pun tidak nanti berhasil membasmi
mereka. Mereka kenal jalanan. Kalau lain orang dia dapat masuk tak
dapat kembali."
Sin Cu mendongkol, tapi sebab tuan rumah takut, ia tidak
mau memaksa. Malam itu bulan muda baru muncul, Sin Cu keluar dari
rumah untuk menggadanginya. Tuan rumah hendak
menemani, ia menampik. Ia berjalan seorang diri. Ia cuma
dipesan jangan pergi jauh-jauh.
Di luar kampung itu ada sebuah telaga kecil, di tepi situ
pun ada banyak batunya yang munjul tinggi, berbayang di
permukaan air. Juga pemandangan ini cukup merawankan
hati. Nona ini ingat pembilangan hal adanya Kiam Tie,
Pangempang Pedang, di dalam Cio Lim, maka ia anggap,
pangempang itu pastilah indah sekali. Karena ini tanpa merasa
ia bertindak, berniat memasuki rimba batu itu.
725 Mendadak ia melihat berkelebatnya dua bayangan orang
belasan tombak di depannya. Ia heran. Di sana ada tanah
datar yang berumput, di sana pun ada beberapa batu munjul
itu. Ke sana dua bayangan itu masuk, akan kemudian disusul
dua yang lain. Dari heran, ia menjadi mencurigai orang jahat.
Maka ia lari ke sana, untuk mengintai. Untuk menyembunyikan
diri, ia naik di atas puncak. Ia lihat beberapa orang, di
antaranya seorang wanita.
"Tang Lootoa, apakah kau merasa pasti?" terdengar
seorang. "Benarkah si titik itu seorang diri?"
Si "titik" ada kata-kata rahasia kaum penjahat,
dimaksudkan orang yang di arah.
"Benar-benar mereka penjahat yang hendak mencelakai
orang," pikir Sin Cu. Maka terus ia mengintai, memasang mata
dan kupingnya. "Aku tidak salah, dia seorang diri!", jawab si Tang Lootoa
itu. Sin Cu terus memasang kupingnya, sampai ia terkejut.
"Kalau dia benar bersendirian, jangan kita alpa," terdengar
suara seorang tua, yang nadanya dalam. "Tidak sembarang
orang berani jalan sendirian untuk ribuan lie jauhnya."
Herannya Sin Cu ialah ia seperti mengenal baik suara itu.
Maka ia mengingat-ingat.
"Ah, dialah Lie Ham Cin," si nona akhirnya ingat. Lie Ham
Cin ialah salah satu dari tujuh pahlawan dari istana kaisar,
yang pernah menyateroni Thayouw Sankhung. Dialah yang
dapat lolos dari tangannya Hek Pek Moko, sedang yang
lainnya telah mendapat bagiannya.
726 "Inilah aneh," Sin Cu berpikir lebih jauh. "Aku menyangka
kepada orang-orang jahat biasa, siapa tahu di sini ada turut
campur hamba negeri..."
Tentu sekali, ia menjadi semakin ketarik hati.
"Jangan kuatir, looyacu," kata si wanita. "Kita jangan lawan
dia berterang, kita pancing dia masuk ke dalam rimba batu.
Dia bersendirian, biarnya dia liehay dan mempunyai sayap
untuk terbang, tidak nanti dia lolos!"
"Apakah kau merasa pasti?" Lie Ham Cin menegaskan.
"Tentu! Dengan satu akal, dia pasti bakal kena terpancing."
Sin Cu ingin dengar akal itu, tetapi mereka itu hanya kasakkusuk.
"Benar bagus!" kata Lie Ham Cin tertawa,
"Habis membereskan si titik ini, kita barulah membereskan
juga si budak perempuan!"
"Apakah budak perempuan itu pun si titik yang tangguh?"
si wanita menanya.
"Turut katanya Yang Congkoan, dia telah mewariskan ilmu
pedang gurunya dan senjata rahasianya yang berupa bunga
emas liehay luar biasa," menyahut si orang she Lie.
"Sebenarnya, setiap muridnya Thio Tan Hong pastilah tak
dapat dicelah, pasti dia liehay."
Sin Cu kaget sekali. Jadi ia pun lagi di arah. Hampir ia
merabuh dengan bunga emasnya untuk menghajar
rombongan itu. Baiknya ia dapat menyabarkan diri. Ia
727 menduga-duga, siapa itu si titik, ingin ia mencari tahu. Untuk
ini, ia mesti mengawasi terus gerak-gerik rombongan itu.
"Budak itu mengambil satu jalan bersama si titik, jikalau
kita ketemui mereka berbareng, terhadap siapa kita mesti
turun tangan terlebih dulu?" menanya si wanita.
"Tentu saja si titik lebih dulu!" sahut Lie Ham Cin.
"Mereka tak dapat dikumpul bersama. Sekarang mari kita
bersiap sedia!"
Sin Cu lekas-lekas mengundurkan diri, untuk mengawasi
terlebih jauh. Ia memernahkan diri di tempat tersembunyi di
tepian empang. Belum terlalu lama, ia melihat gerakan serupa bayangan
memasuki Cio Lim.
"Siapa titik itu?" si nona menduga-duga. "Lie Ham Cin
liehay dan kawannya banyak, mereka masih tidak berani
menempur secara terang-terangan... Mungkin dia terlebih
penting daripadaku..."
Setelah itu, ia berjalan pulang, akan besoknya fajar, belum
langit terang, ia sudah pamitan dari tuan rumah, yang ia beri
alasan hendak lekas-lekas melanjuti perjalanannya. Tapi
sebenarnya ia menyembunyikan diri di luar rimba batu itu.
Ketika matahari sudah naik tinggi, beberapa orang
kelihatan masuk ke dalam rimba, terus mereka lenyap, tidak
terdengar juga suara apa-apa dari mereka. Ia menjadi
bersangsi si titik datang hari itu.
Hampir nona ini meninggalkan tempat sembunyinya tatkala
kupingnya mendengar tindakan kaki kuda, lalu tak lama
728 kemudian, muncullah si penunggang, yang ternyata adalah si
anak muda kemarin, yang mengajak ia jalan bersama. Dia pun
rupanya tertarik keindahan rimba batu itu, dia turun dari
kudanya, sambil menggendong tangan, dia mengangkat
kepala, melihat langit dan sekitarnya.
"Dia nampaknya tolol tetapi dia ketarik sama keindahan
alam," berpikir si nona. Ia mengagumi juga pemuda itu, yang
terang berperasaan halus.
Justeru itu, tiba-tiba saja terdengar jeritan seorang wanita.
Si anak muda kaget, dia berpaling ke arah dari mana jeritan
itu datang. Dia tampak seorang pria, yang romannya bengis,
membawa lari seorang wanita masuk ke dalam rimba. Wanita
itu menjerit-jerit terus dan meronta-ronta kaki dan tangan.
"Culik! Tolong! Culik! Tolong!" demikian teriakan si wanita
berulang-ulang.
Pemuda itu kaget, lalu dia menjadi gusar, maka dia lari
untuk mengubar.
Semua itu terkilas di matanya Sin Cu. Untuk sesaat ia
berdiam, segera ia sadar, si titik itu pastilah ini anak muda.
Karena ini ia berteriak-teriak:
"Jangan kejar! Jangan kejar! Itulah akal belaka!"
Sia-sia saja teriakan ini, si anak muda sudah mengejar
masuk ke dalam rimba batu. Tapi keras keinginannya si nona
untuk menolong, maka ia hunus pedangnya, ia memburu.
Segera ia dengar suara bentrokan senjata. Ia lari terus, hingga
ia menyaksikan si anak muda lagi dikepung beberapa orang, di
antaranya seorang tua, ialah Lie Ham Cin si pahlawan kaisar.
Pula si "culik" dan wanita yang terculik itu ada bersama,
729 bahakan kebetulan sekali, wanita lagi berkata-kata sambil
tertawa: "Lihat, looyacu, bagus tidak akalku?"
Hebat si anak muda. Ia gempur seorang musuhnya, hingga
dia terdampar ke sebuah batu sampai kepalanya borboran
darah. Pukulan itu membuatnya si nona heran. Ia kenali itulah
jurus dari ilmu silat Kimkongciang Toasut payciu, hajaran
Tangan Arhat. Lie Ham Cin mengasi dengar ejekan "Hm!" terus ia rangsak
si anak muda. Dia menggunai ilmu silat Thaykek kun, untuk
memecahkan tipu silatnya pemuda itu. Si anak muda benar
hebat, walaupun dia gagah, Lie Ham Cin tak dapat berbuat
banyak. Bahkan habis itu, kembali satu musuh dibikin
terdampar roboh.
Si wanita lantas berteriak: "Looyacu, jangan melayani dia
mati-matian! Biarkan dia merasakan aku punya Cubo
Lianhoan Ouwtiap piauw!"
Itulah piauw yang berupa kupu-kupu.
Sin Cu gusar hingga ia tak tahan sabar lagi. Ia lompat
keluar dari tempatnya sembunyi sambil berseru, ia mengayun
tangannya menyebar bunga emasnya, akan meruntuhkan
setiap piauw kupu-kupu itu.
Aneh senjata rahasia si wanita, sesudah runtuh, lalu terlihat
menyambarnya banyak jarum. Karena ini Sin Cu segera
nyerbu dengan putar tubuhnya berikut pedangnya, buat
melindungi diri sambil menangkis.
"Hati-hati!" si anak muda berseru, memperingati si nona,
lalu ia mengebas dengan sebelah tangannya, atas mana
banyak jarum itu tersampok ke samping mengenai batu
sedang semua orang, kawan dan lawan, pada menyingkir.
730 "Buka!" berseru Lie Ham Cin si orang tua.
Itulah tanda rahasia, mendengar mana kawan-kawannya
yang mengepung si anak muda, lantas kabur berpencaran.
Si anak muda, be-gitupun Sin Cu, tidak perdulikan yang
lain-lain, mereka mengejar si pahlawan raja, yang pun turut
melarikan diri, telasap-telusup di antara batu-batu munjul itu.
Sembari mengejar Sin Cu sesalkan si anak muda: "Kenapa
kau tidak dengar perkataanku" Terang-terang ada harimau
tapi kau justeru lari hampirkan harimau itu" Memangnya kau
tidak dengar teriakanku?"
Si anak muda menyeringai, ia menyahuti: "Aku dengar
suaramu tetapi aku ingin sekali menolongi wanita itu, yang
suaranya menyayatkan hati. Siapa tahu..."
"Rupanya kau tidak perdulikan aku, kau tidak
mempercayainya, kau menyangka aku manusia jahat!"
Merah mukanya si anak muda.
"Tidak, tidak," ia menyangkal.
Melihat roman orang, Sin Cu mendongkol berbareng lucu.
Ia pun lantas mengingat bahwa mereka tidak kenal satu pada
lain, bahwa ada wajar saja orang berkasihan terhadap wanita
yang diculik itu, malah ini menandakan kemuliaan hati si anak
muda. Karena ini, tanpa merasa muncullah kesannya yang
baik. "Masuk gampang, keluar sukar," kata ia kemudian. "Mari
kita lihat."
731 Si anak muda mengangguk.
Mereka lantas mencari jalan keluar. Hati-hati mereka
memeriksa tanda-tanda. Akhirnya mereka kembali ke tempat
semula. Artinya, benar-benar mereka sudah tersesat jalan. Si
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nona lantas duduk di batu, nampaknya ia letih.
Selama itu terus si anak muda membungkam saja. Baru
Sekarang ia mengeluarkan rangsum keringnya, ia membagi
pada si nona. "Nona, kau tentu sudah lapar, kau daharlah," ia berkata.
"Kau membekal berapa banyak rangsum?" Sin Cu tanya.
"Hari ini dapat dilewatkan. Bagaimana besok" Bagaimana
lusa" Kita sukar keluar dari sini, apa daya?"
Sin Cu tidak bisa membilang lainnya. Sekarang mereka
bersama-sama seperti duduk sebuah perahu, tidak dapat ia
menyesalkan pula si anak muda. Agaknya si anak muda terus
tidak tenang hatinya. Mendelong ia mengawasi si nona.
"Menyesal, aku telah mencelakai kau, nona," katanya
kemudian. "Nona tahu ke sini orang dapat masuk tetapi tidak dapat
keluar, mengapa kau masuk juga?"
"Habis mana bisa aku mengawasi saja kau bercelaka?" si
nona membaliki.
"Nona baik sekali!" kata si pemuda. Ia memuji, ia pun
mengucap terima kasih. Ia menjura dengan dalam.
Melihat begitu, Sin Cu tertawa. Karena ini, tidak lama
kemudian, lenyaplah kemendongkolannya.
732 "Sekarang kita berada di sini, marilah kita sekalian melihat
keindahannya rimba batu ini!" katanya kemudian. Ia benarbenar
melupai bahaya yang tengah mengancam dirinya,
dengan menyekal pedang terhunus, ia bertindak jalan.
Anak muda itu mengikuti. Sekarang, dengan hati lega,
dapat mereka memperhatikan batu-batu yang berdiri lempang
itu bagaikan pepohonan. Itulah yang menyebabkan
didapatnya nama Cio Lim atau Rimba Batu itu. Ada tempat
yang sempit hingga memuat hanya satu tubuh, ada juga yang
lebar di mana dapat orang bersilat.
Ketika mereka tiba pada suatu tempat di mana dua buah
puncak seperti saling menggencet, mendadak ada anak panah
menyambar, suaranya nyaring. Dengan pedangnya si nona
menangkis anak panah itu. Habis itu, sunyi sirap. Adalah
sesaat kemudian, datang timpukan piauw.
Gusar Sin Cu, sambil berkelit, ia berlompat, matanya
mengawasi ke tempat dari mana senjata gelap itu datang.
Sebat luar biasa, ia mengayun tangannya, lalu di sana
terdengar suara jeritan, suatu tanda si pelepas piauw itu
menjadi sasaran bunga emas.
Lalu terdengar suara orang. "Budak itu liehay bunga
emasnya, jangan layani dia! Biarkan saja dia kelaparan
beberapa hari, baru kita bereskan padanya!..."
Dalam mendongkolnya, Sin Cu menimpuk pula dua kali
tetapi kali ini tanpa hasilnya, bunganya itu terdengar
mengenakan batu. Karena ini, kegembiraannya menjadi
lenyap. "Nona, legakan hatimu, kau memandangilah segala apa
dengan gembira," berkata si anak muda tertawa. "Kalau ada
733 lagi tikus-tikus yang mengganggu padamu, nanti aku yang
mengusirnya!"
Benar saja, tidak jauh dari situ, terlihat berkelebatnya satu
bayangan orang. Tanpa menanti si nona menyerang, si anak
muda sudah menyentil jari tangannya. Ia menyentil sebutir
batu. "Aduh!" terdengar jeritan di sana, disusul sama tindakan
kaki kabur. "Inilah ilmu Tancie Sinthong yang liehay!" berkata si nona
dengan pujiannya. Itulah ilmu menyentil batu. Karena ini, ia
jadi berpikir. Ia tahu, di dalam ilmu semacam itu, orang
terliehay adalah Tang Gak, yang menjadi supehcouw-nya,
Tang Gak itu ada supeh atau paman seperguruan dari Tan
Hong, gurunya sendiri. Cuma supehcouw itu berada jauh di
gurun pasir. Hanya pada sepuluh tahun yang lampau, pernah
supehcouw itu datang ke Tionggoan. Pemuda ini bicara
dengan lagu suara Kanglam, maka aneh dia mempunyai ilmu
menyentil itu. Ia menjadi menanya dirinya sendiri:
"Mungkinkah pengalamanku yang cupat hingga aku tidak
ketahui di sebelah Supehcouw Tang Gak ada lagi lain orang
yang pandai ilmu ini?"
Sin Cu memikir untuk menanyakan keterangan pada si anak
muda, tapi sementara itu, mereka berjalan terus, hingga di
depan mereka tertampak sebuah telaga kecil. Di tepi telaga itu
ada tumbuh banyak pohon bunga, yang harumnya semerbak.
Di lamping bukit pun ada ukiran dua huruf besar, bunyinya:
"Kiam Hong," artinya, "Puncak Pedang." Maka tidak salah lagi,
itulah telaga yang dinamakan Kiam Tie, artinya Pangempang
Pedang. Di permukaan air itu berkacalah sang puncak serta
pepohonan lainnya, yang mendatangkan pemandangan yang
menajubkan. Maka terbukalah hati pepat dari Sin Cu, hingga
dapat ia bersenandung.
734 "Sungguh tepat syairnya Lim Hoo Ceng dipadukan dengan
keindahan di sini!" berkata si anak muda. "Hanya dunia
sedang kacau, mana dapat kita main bersenang-senang saja?"
Terkejut Sin Cu mendengar si anak muda.
"Dia mirip seorang desa tolol tetapi toh dia mengarti Lim
Hoo Ceng..." pikirnya. Maka dengan sendirinya bertambahlah
kesannya yang baik terhadap ini anak muda atau kawan baru
yang didapatnya secara kebetulan sekali. Berdiri di tepian, Sin
Cu bagaikan ngelamun.
"Coba suhu berada di sini, pastilah dia dapat bersyair..."
pikirnya pula. Atau mendadak ia ingat Tiat Keng Sim. Pemuda
she Tiat itu pastilah akan ketarik juga dengan keindahan
pengempang ini.
"Sebenarnya kau bernama apa?" sekonyong-konyong ia
tanya si anak muda kepada siapa ia menoleh dan
memandanginya. Sesudah berselang lama, baru ia ingat
menanyakan nama orang.
"Aku she Yap dan namaku Seng Lim," menyahut pemuda
itu. "Apakah kau orang Kanglam?" Sin Cu menanya pula.
"Tidak salah. Aku asal Sekhun di Ciatkang Barat."
"Itu artinya kau melakukan perjalanan ribuan lie! Untuk apa
kau datang ke Inlam ini?"
Yap Seng Lim ragu-ragu, ia mengawasi si nona.
735 "Aku hendak pergi ke Tali untuk mencari satu orang,"
sahutnya kemudian.
"Untuk pergi ke Tali, inilah bukan jalanannya." Sin Cu
beritahu. "Jalanan untuk ke Tali ada sebalikannya."
Wajahnya pemuda itu menjadi merah.
"Aku tidak menyangka kau pandai ilmu silat, nona,
bahkan kau liehay sekali," sahutnya, tak langsung.
"Ah!" bersuara si pemudi. "Aku menanya kau kenapa kau
justeru mengambil ini jalanan" Tentang ini toh tidak ada
hubungannya dengan aku mengarti silat atau tidak?"
Seng Lim likat.
"Aku lihat kau berjalan seorang diri, nona, dan jalanan tak
aman, aku... aku..."
Sin Cu tertawa lebar.
"Oh kiranya kau berkuatir untuk diriku, kau jadi hendak
melindungi..." katanya. "Pantaslah kau mengajak aku jalan
bersama-sama."
"Mendengar lagu suaramu, nona, kau pun orang Kanglam,"
berkata si pemuda, yang memutar haluan. "Aku numpang
menanya kenapa nona juga membuat perjalanan ke Inlam
ini?" "Aku juga hendak pergi ke Tali!" sahut si nona tertawa.
"Tapi, jangan kau kesusu menanya aku! Hendak aku menanya
terlebih dulu! Hendak mencari siapakah kau maka kau mau
pergi ke Tali?"
736 "Kau ada orang satu kaum, nona, tidak halangannya untuk
aku memberitahukan," sahut si anak muda. "Aku hendak
mencari ahli pedang nomor satu di jaman ini yaitu Kiamkek
Thio Tan Hong."
Sin Cu berjingkrak. Tak dapat ia menguasai dirinya lagi.
"Oh, kiranya kau hendak mencari guruku!" serunya.
Sekarang adalah Seng Lim yang terkejut.
"Apa?" katanya. "Thio Tan Hong itu gurumu?" Mendadak ia
menjura kepada si nona dan menambahkan: "Kalau begitu
kaulah sucie-ku"
"Sucie" ialah kakak seperguruan yang wanita.
"Siapa gurumu itu?" Sin Cu menanya. Ia seperti tak
menggubris kata-kata orang.
"Guruku ialah Su Teng San," menyahut Seng Lim.
Su Teng San ada muridnya Tang Gak, belum pernah Sin Cu
bertemu dengannya, ia hanya ingat ia mempunyai seorang
paman guru yang pernah merantau di selatan dan utara
sungai besar dan hidup sebagai tabib penolong rakyat jelata.
"Sekarang ini berapa usiamu?" ia menanya. Tiba-tiba saja
ia tertawa. Ditanya begitu, Seng Lim melengak.
"Sekarang ini baru dua puluh dua tahun," sahutnya polos.
Kembali si nona tertawa.
737 "Usiaku baru tujuh belas, cara bagaimana kau memanggil
sucie padaku?" bilangnya.
Kembali Seng Lim menjadi likat, tetapi akhirnya, dia pun
tertawa. "Sumoay!" ia memanggil. Sumoay ialah adik seperguruan
yang wanita. "Untuk apa kau mencari guruku?"
Sin Cu seperti tak pernah kehabisan pertanyaan.
"Aku diperintah pamanku," menyahut Seng Lim.
"Siapa itu pamanmu?" si nona menyerocos.
"Pamanku itu ialah Yap Cong Liu."
"Oh kiranya Yap Toakol" Sin Cu berteriak tanpa merasa.
Di dalam kalangan tentara rakyat, orang semua menyebut
Cong Liu sebagai toako, karenanya si nona ini menuruti
kebiasaan itu, hingga tak dapat ia gampang-gampang
mengubah panggilannya itu, Kemudian ia jengah sendirinya.
Orang ini dan ia ada suheng dan sumoay, maka paman orang
itu mana dapat ia panggil toako, kakak.
"Memang, semua orang memanggil toako pada pamanku
itu," berkata Seng Lim. "Ah, apakah kau bukannya Nona Ie?"
ia balik menanya.
"Kenapa?" tanya Sin Cu heran.
738 "Pamanku pernah memberitahukannya bahwa kau pernah
membantu banyak padanya. Paman mengatakan kaulah
wanita gagah perkasa di jaman ini!"
Wajahnya si nona menjadi bersemuh dadu. Terang sudah
Cong Liu telah membuka rahasia penyamarannya kepada
keponakannya ini.
"Kenapa selama berada dalam tentara rakyat tak pernah
aku melihat kau?" ia menanya, untuk menyimpangi.
"Itulah karena aku datang terlambat. Tatkala aku dengar
paman mengumpulkan tentara untuk melawan perompak kate
(pendek), aku lantas pamitan dari guruku, tetapi ketika aku
sampai ke tempat paman, kawanan perompak itu sudah diusir
ke laut. Aku menyesal dan malu sudah ketinggalan..."
"Ada urusan penting apa itu maka pamanmu menyuruh kau
pergi ke Tali?" masih si nona menanya tak hentinya. "Perlu
apa kau hendak mencari guruku?"
"Sesudah pamanku mengusir perompak, lantas dia
menjunjung Pit Kheng Thian menjadi Toaliongtauw, yaitu
pemimpin pusat dari rombongan dari delapan belas
propinsie..."
"Hm!" Sin Cu perdengarkan suara dingin. "Tidak puas
menjadi toaliongtauw dari lima propinsi Utara, sekarang dia
mau menjadi juga toaliongtauw dari delapan belas propinsi!"
Seng Lim heran, ia melengak.
"Pit Toaliongtauw itu pintar dan gagah," katanya,
"kedudukan itu pamanku yang mengalah dan
menyerahkannya padanya."
739 "Baiklah, kita jangan bicara tentang Pit Kheng Thian itu.
Mari kita bicara tentang pamanmu."
"Pit Kheng Thian hendak menghimpunkan semua tentara
rakyat, untuk mengerek bendera, buat merobohkan kerajaan
Beng guna membangun suatu pemerintah baru..."
"Dari siang-siang memang aku telah ketahui dia hendak
mengangkat dirinya menjadi kaisar! Ah, mengapa kau masih
membicarakan halnya dia itu?"
"Tanpa membicarakan hal dia, tidak dapat kita bicara
jelas." Heran ini anak muda, mengapa agaknya si nona membenci
Kheng Thian. "Baiklah, kau boleh omong terus."
"Sekarang ini angkatan perang rakyat itu tengah
menantikan waktunya saja untuk bergerak," Seng Lim
menjelaskan. "Kheng Thian bilang gurumu ada mempunyai
sebuah peta, dengan mendapatkan itu, besar faedahnya untuk
pergerakan tentara itu. Kheng Thian ketahui aku adalah
keponakannya gurumu, dia minta pamanku mengutus aku
kepada gurumu untuk meminjam peta itu."
"Tentang itu sudah beberapa kali Kheng Thian bicara
denganku, aku tidak melayaninya," kata Sin Cu, "sekarang
rupanya dia hendak pinjam mukanya pamanmu itu!"
"Soal peta ada soal yang nomor dua," Seng Lim
melanjuti,"yang utama itulah soal menjungkalkan pemerintah
Beng. Seumurnya pamanku paling menjunjung Thio Tayhiap,
karenanya ia mau minta pikiran tayhiap dapatkan dia
bertindak merobohkan pemerintah. Maka itu paman sekalian
740 utus aku kepada gurumu itu. Paman pesan, jikalau tayhiap
akur, barulah peta diminta pinjam. Melihat keadaan sekarang
ini, pamanku bersangsi sekali, sebab nampaknya Pit
Toaliongtauw pasti bakal menggeraki angkatan perangnya
itu..." Dalam hal besar seperti itu. Sin Cu tidak dapat berpikir,
hanya entah kenapa, ia senantiasa tidak berkesan baik
terhadap Pit Kheng Thian.
"Tahukah kau seorang she Tiat yang dipanggil Tiat
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kongcu?" ia menanya sesudah ia berdiam sekian lama.
"Apakah kau maksudkan Tiat Keng Sim puteranya Tiat
Giesu dari Tayciu?"
"Benar."
"Semasa aku tiba di Tayciu, dia masih ada di sana, pernah
beberapa kali aku bertemu dengannya."
"Ah, apakah sekarang ia sudah pergi dari sana?"
"Ya, semenjak permulaan bulan yang lalu. Kelihatannya ia
kurang cocok dengan Pit Toaliongtauw."
Si nona berdiam.
"Tiat Kongcu itu agaknya sedikit luar biasa..."
"Kenapa?" Sin Cu heran.
"Kabarnya tempo menghajar perompak, dia telah
mengeluarkan banyak tenaga, hanya habis itu, setahu kenapa,
dia kehilangan kegembiraannya, dia menjadi lesuh, sering dia
duduk minum arak seorang diri, tak suka dia bergaul sama
741 orang. Tidak ada yang ketahui sebabnya perubahannya itu.
Pada permulaan bulan yang lalu itu, setelah Pit Toaliongtauw
menjadi pemimpin besar dari delapan belas propinsi dan mulai
berusaha untuk menggulingkan pemerintah Beng, secara
diam-diam kongcu itu mengangkat kaki. Pit Toaliongtauw
menjadi tidak senang, dia dicaci, dikatakan dia tak cocok
dengan kita sebab dialah anaknya orang berpangkat. Paman
menyesal sekali atas kejadian itu. Nona, apakah kau kenal dia
dengan baik?"
Sin Cu memandang ke permukaan air, ia menjadi teringat
kepada gelombangnya sungai Tiangkang. Ia membayangi
pertemuannya pertama kali dengan Keng Sim. Kemudian ia
teringat juga peristiwa menyedihkan di hutan cemara di antara
Keng To dan Keng Sim, guru dan murid itu. Maka itu lama
baru ia menyahuti.
"Ah, kita tidak mengenal baik. Aku menanya sepintas lalu
saja. Baiklah kita jangan sebut-sebut pula dia itu," katanya.
Seng Lim heran. "Kenapa dia berduka dengan disebutnya
Keng Sim?" pikirnya. Ia menjadi dapat suatu perasaan aneh.
Tapi ia menghiburkan diri. "Buat apa aku pikirkan urusan lain
orang?" Maka ia angkat kepalanya, memandang ke antara
batu-batu tinggi. Sinar matahari sudah mulai suram. Di
permukaan air nampak sinar layung.
"Sebelum langit menjadi gelap, mari kita melihat lain-lain
bagian lagi," ia mengajak. "Sekalian kita cari tempat di mana
dapat kita beristirahat. Di sini benar indah tetapi terlalu
terbuka, apabila musuh menyerbu kita, sulit untuk kita
membela diri."
Sin Cu ikut si pemuda berjalan tetapi dengan mulutnya
bungkam. Mereka mengikuti seluk beluknya batu-batu gunung
itu yang bagaikan berpesta. Masih si nona berdiam saja.
742 Sampai di tempat di mana ada kali kecil yang airnya bening, ia
berhenti untuk minum.
"Ah, ada ikan di kali ini!" kata Seng Lim. "Nanti aku tangkap
beberapa ekor."
Ia lagi memandang ke muka air tempo di sebelah hulunya
ada bayangan satu nona, bayangan mana lenyap dengan
berombaknya air. Cepat sekali Seng Lim menjumput sepotong
batu kecil, menimpuk ke arah dari mana bayangan itu datang.
Atas itu terdengar teriakannya satu nona, yang lantas saja
muncul di antara mereka. Lagi sekali Seng Lim menyerang,
tapi kali ini batunya itu terhajar runtuh bunga emasnya Sin Cu.
"Jangan!" Nona Ie mencegah. Bahkan tubuhnya segera
mencelat menghampirkan nona yang baru muncul itu.
"Kiranya kau!" katanya tertawa. "Mana ayahmu?"
Nona itu berdandan sebagai seorang wanita suku bangsa
Ie. Ia mulanya kaget, tapi kemudian ia berkata dengan
pelahan: "Ah encie, kau masih mengenali aku?" Ia bicara
dalam bahasa Tionghoa.
Memang ialah si nona yang bersama ayahnya pernah
memberi pertunjukan sulap menelan pedang. Ia melihat ke
sekitarnya, kemudian ia berkata pula, tetapi dengan pelahan:
"Panjang untuk menutur. Mari aku ajak dulu kamu keluar dari
rimba batu ini."
Sin Cu girang bukan kepalang.
"Kau kenal jalanan rahasia di sini?"
Si nona mengangguk.
743 "Aku menjadi besar di sini, sekalipun dengan mata meram,
dapat aku keluar dari sini,"sahutnya.
Seng Lim menghampirkan nona itu, untuk memberi hormat.
"Maaf," katanya. "Aku menyangka kau ada konconya
penjahat..."
Si nona tertawa.
"Siapa bilang bukannya?" ia menjawab.
Seng Lim terkejut.
"Kalau bukannya aku kenal Nona Ie, tidak nanti aku
menempu bencana ini," berkata pula si nona.
Sin Cu pun heran.
Nona itu tertawa, ia menunjuk pada tusuk konde kumala di
rambutnya. Sin Cu lihat itu, ia kenali itulah tusuk kondenya
sendiri yang ia hadiahkan kepada si nona. Maka sekarang
mengartilah ia sudah. Pada tusuk konde itu ada ukiran huruf
Ie, tanda dari keluarga Ie.
"Karena nona ketahui rahasia jalanan di sini, sekarang tak
ingin aku lekas-lekas keluar dari sini," berkata Seng Lim
kemudian. Mendengar itu sekarang si nonalah yang menjadi heran,
"Kamu tidak mau lekas berlalu dari sini, apakah kamu
hendak menantikan kematian-mu?" dia menegaskan.
744 "Aku ingin minta bantuanmu, nona," kata Seng Lim. "Aku
ingin usir dulu kawanan penjahat, supaya ini tempat indah
tidaklah dinodai mereka itu!"
Sin Cu sebaliknya berpikir: "Nona ini mengaku menjadi
konco penjahat dan ia agaknya bukan tengah bermain-main,
kenapa Seng Lim berani bicara begini rupa terhadapnya?"
Nona itu mengawasi si anak muda. "Apakah kamu cuma
berdua?" ia tanya.
"Kenapa?"
"Mereka itu berjumlah besar, sedikitnya dua ratus jiwa, di
antaranya ada pahlawan dari kota raja! Bukankah kamu
berdua saja?"
Mendengar itu, berubahlah pandangannya Sin Cu. Ia
menjadi girang sekali.
"Memang aku tahu kau bukan orang busuk, nona,"
katanya. "Sekarang aku minta kau ajak aku pergi ke
sarangnya penjahat itu. Tentang segala peristiwanya kau tidak
usah memperdulikannya."
Nona itu tertawa.
"Aku boleh tidak usah memperdulikannya, tidak demikian
dengan Thio Tayhiapl"
Kembali Sin Cu heran hingga ia berdiri melengak.
"Thio Tayhiap yang mana?" ia bertanya.
"Kecuali guru kau, nona, di kolong langit ini mana ada Thio
Tayhiap lainnya?"
745 Benar-benar Sin Cu bingung sekali.
"Sebenarnya, bagaimana duduknya hal?" tanyanya pula. Di
dalam hatinya, ia kata:
"Suhu memang liehay, aku hanya tidak mengarti kenapa
dia seperti dapat meramalkan" Mungkinkah dia sudah ketahui
kami bakal tersesat di sini?"
Nona suku Ie itu seperti dapat menerka hati orang, ia
tertawa ketika ia berkata pula: "Adalah Thio Tayhiap yang
menitahkan kami ayah dan anak datang ke mari. Kita tidak
menyangka akan menemui nona di sini, sungguh kebetulan!"
"Oh, encie yang baik, kau menjelaskannya padaku!"
akhirnya Sin Cu minta.
Nona itu lantas bicara dengan sungguh-sungguh: "Kawanan
penjahat di sini sebagian besar ada orang-orang Ie,
pemimpinnya pun suku Ie, namanya Lang Ying, tapi yang
menjadi pemimpin besar ialah begal tunggal dari Inlam
Selatan yang namanya sangat kesohor yaitu Touw Kun. Touw
Kun ini ketarik pada rimba yang istimewa ini, ia mengajak
Lang Ying bekerja sama. Asalnya Lang Ying ada pemimpin
yang gagah dari kaum Ie kami, tapi ia benci pemerintah yang
memungut pajak dengan bengis, tidak senang ia melihat
bangsanya diperas, maka ia kena dibujuk Touw Kun. Begitulah
ia dapat mengumpul kira-kira dua ratus orang bangsanya,
yang semua muda-muda. Karena ini juga, Lang Ying tidak
mengganggu penduduk Ie di sekitar sini."
Baru sekarang Sin Cu mengarti sebabnya kenapa penduduk
tahu ada penjahat tetapi mereka tidak takut dan hidupnya
tenang-tenang saja. Pantas juga tuan rumah yang ia tumpangi
746 tidak suka menunjuki jalan, malah ia dilarang pergi jauh dari
rumahnya. "Touw Kun juga mengumpul konco-konconya sendiri," si
nona suku Ie menerangkan lebih jauh. "Mereka berjumlah
lebih sedikit tetapi mereka lebih tangguh, maka itu dialah yang
berkuasa, hingga kejadian dia bukan cuma membegal tetapi
pun membunuh orang, ialah kaum saudagar yang berlalulintas
di sini. Karena ini orang-orang suku Ie menjadi jeri dan
tempat ini seperti terlarang untuk mereka. Lang Ying tidak
puas tetapi ia tidak dapat berbuat suatu apa."
Sin Cu tidak menyangka demikian kusut keadaan dalam
dari kawanan penjahat itu.
"Kami ayah dan anak asal Cio Lim ini," berkata pula si nona
suku Ie itu melanjuti keterangannya, "kemudian kami pindah
ke Tali di kaki gunung Khong San. Di atas gunung itu
kabarnya ada tinggal beberapa orang pertapa, yang penduduk
di dekat-dekatnya menghormatinya sebagai dewa-dewa..."
Sin Cu menduga pada kakek gurunya, ialah Hian Kie Itsu
bersama Siangkoan Thian Ya serta Siauw Loothaypo bertiga.
Ia tidak menjelaskannya, ia hanya tanya apa si nona pernah
melihat orang-orang pertapa itu. Nona itu menggeleng kepala,
tetapi ia menyahuti: "Katanya mereka itu tinggal di puncak
Inlong Hong, puncak tertinggi dari Khong San, puncak mana
seluruh tahun ditutupi mega atau kabut dan tidak sembarang
orang dapat mendakinya. Taruh kata orang dapat memendakinya,
belum tentu dewa-dewa itu suka menemuinya. Hanya
ada satu Ouw Toaya, muridnya salah satu dewa itu, yang
sering turun gunung untuk berbelanja dan dia suka menolong
mengobati orang sakit..."
"Bukankah Ouw Toaya itu yang bernama Ouw Bong Hu?"
747 "Benar, itulah namanya Ouw Toaya itu. Aku
mengetahuinya pun baru tahun yang lampau. Kami menanam
sayur, setiap kali turun gunung, Ouw Toaya belanja kepada
kami, karenanya kami jadi kenal dia. Sering Ouw Toaya itu
singgah di rumah kami. Ayahku ketahui Ouw Toaya pandai, ia
telah minta supaya aku diterima menjadi muridnya. Ouw
Toaya menampik, katanya ia masih mempunyai guru, ia jadi
tidak dapat menjadi guru lain orang. Maka ia cuma
mengajarkan kami beberapa rupa ilmu silat. Pun kebiasaan
kami menelan pedang adalah pengajarannya Ouw Toaya itu di
saat ia bergembira sekali..."
Ouw Bong Hu itu ada murid nomor dua dari Siangkoan
Thian Ya. Dia tinggal lama sekali bersama gurunya, maka itu
ia mendapatkan pelajaran jauh lebih banyak daripada Tamtay
Biat Beng (atau Tantai Mieh Ming) si murid kepala. Hanya ilmu
menelan pedang itu didapat Ouw Bong Hu bukan dari gurunya
tetapi dari Hek Pek Moko dengan siapa ia bersahabat erat
sekali, dia mempelajarinya secara iseng-iseng.
"Kamu tinggal aman dan berbahagia di kaki gunung Khong
San, habis kenapa kamu pindah pula ke mari?" tanya Sin Cu.
"Itulah sebab kami menerima titahnya gurumu, nona. Thio
Tayhiap datang ke Khong San baru di musim semi tahun ini.
Ia kenal baik dengan kita. Tayhiap gemar sekali pesiar.
Bahkan Toan Ongya sering mengundang dia datang ke
istana." Keluarga Toan ini, pada sebelum jaman Goan Tiauw, ada
menjadi raja di Tali, raja turun temurun, maka itu meski benar
sekarang kedudukannya cuma sebagai tiepeng ciang -su,
pegawai negeri, rakyatnya saking kebiasaan tetap memanggil
ongya (raja muda atau pangeran).
748 "Selama yang paling belakang ini Toan Ongya hendak
mengangkat dirinya menjadi raja," si nona suku Ie melanjuti
keterangannya, "semua suku kami di Inlam menunjang
padanya. Karena ini, Toan Ongya ingat kepada rombongannya
Lang Ying, maka disayangi sekali ketika ketahuan Lang Ying
menjadi penjahat. Tapi Thio Tayhiap mengatur daya upaya
supaya Lang Ying suka datang ke Tali. Kami ada orang Cio Lim
sini, dari itu Thio Tayhiap yang menugaskan ayah untuk dapat
membujuk Lang Ying itu. Thio Tayhiap menugaskan kami
datang ke Kunbeng dulu, untuk mengadakan perhubungan
dengan siauwkongtia."
Baru sekarang Sin Cu sadar kenapa siauwkongtia ketahui
alamatnya. "Tentulah kau yang membuka rahasiaku!" katanya.
Nona itu bersenyum.
"Harap nona maafkan aku yang telah menguntit kau,"
bilangnya. Hanya berhenti sebentar, si nona suku Ie berbicara pula:
"Aku ada mempunyai satu kakak misan yang menjadi salah
satu sebawahannya Lang Ying itu, dengan kakak itu kami
membuat perhubungan. Sudah tiga hari kami berada di sini,
masih kami belum dapat menemui Lang Ying sendiri untuk
berbicara dengannya. Kakak misanku itu bilang Lang Ying
dikekang Touw Kun, mungkin dia tidak berdaya. Baru kemarin
ini ada datang beberapa pahlawan dari kota raja, satu di
antaranya yang bernama Han Thian ada saudara angkatnya
Touw Kun. Touw Kun hendak dibujuk buat menjadi matamatanya
pahlawan-pahlawan itu. Tentang ini kakak misanku
itu belum berani membebernya pada Lang Ying. Kamu telah
dipancing masuk ke dalam rimba ini, itulah hasil tipu dayanya
Han Thian suami isteri serta Touw Kun itu. Kabarnya semua
749 pahlawan itu liehay apapula yang menjadi kepala yang
bernama Lie Ham Cin..."
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Cuma sebegitu saja!" kata Sin Cu, yang mendadak
berhenti berkata. Sebab tiba-tiba ia ingat suatu apa.
Keningnya lantas dikerutkan.
"Musuh berjumlah besar, baik Nona Ie jangan
sembarangan," kata si nona suku Ie, yang menyangka orang
menyesal sudah omong besar tadi.
"Tidak ada artinya beberapa pahlawan itu!" Sin Cu kata
tertawa. "Bersama-sama Yap Toako, dapat aku melayani
mereka. Apa yang aku kuatirkan ialah kami nanti melukai
banyak orang bangsamu..."
Nona suku Ie itu berpikir. "Kalau nona merasa pasti, suka
aku membantu," kemudian ia menawarkan diri. Ia
mengeluarkan sehelai bendera kecil, yang bersulamkan dua
ekor singa, terus ia serahkan itu kepada Sin Cu sambil
menambahkan: "Inilah bendera Toan Ongya. Tidak ada suku
bangsa di Inlam yang tidak mengenal ini. Kalau nona bisa
mengalahkan Touw Kun serta beberapa pahlawan itu, bisalah
kau gunai bendera ini untuk panggil menakluk Lang Ying itu."
Inilah bagus, Sin Cu girang menerima bendera itu.
"Bagus!" katanya. "Sekarang kau pimpinlah aku ke sarang
mereka!" Kawanan Touw Kun itu bersarang di atas bukit Taykim Nia
di dalam rimba batu itu, itulah bukit tertinggi. Ke sana si nona
suku Ie mengajak Sin Cu dan Seng Lim. Mereka mesti berjalan
berliku-liku dan naik dan turun, nyeplos di antara batu-batu
tinggi seperti pedang atau tombak itu. Pula ada puncakpuncak
yang dihubungi satu dengan lain dengan batu panjang
750 aneh bagaikan jembatan. Syukur Sin Cu dan Seng Lim yang
mengikuti si nona suku Ie itu, kalau tidak pastilah orang telah
terhalang di tengah jalan saking sukarnya jalanan itu.
Tatkala itu sang waktu sudah mulai magrib. Kagum Sin Cu
menyaksikan keletakan tempat.
"Tidak tepat tempat seindah ini dijadikan sarang penjahat,"
berkata ia. "Biarnya bukan untuk Toan Ongya, pasti suka aku
membasmi mereka ini."
Si nona suku Ie benar-benar mengenal baik rimba batu itu.
Ia maju tanpa ragu-ragu sampai mereka berada di kaki bukit
Taykim Nia itu. Di atas puncak terlihat sinar api. Nona itu
kuatir terlihat orang jahat, ia berkata: "Untuk sampai di
puncak yang menjadi sarang penjahat itu perhu dilewatkan
tiga puncak yang kecilan yang berada di jalanan mendaki ini,
maka itu sampai di sini, silahkan nona maju sendiri. Aku
doakan hasilmu! Setelah sarang penjahat pecah, nanti kita
bertemu pula!"
Sin Cu menerima baik. Memang tidak dapat nona itu turut
menyerbu. Mereka berpisahan.
Seberlalunya si nona, Sin Cu berbicara pada Seng Lim,
untuk bermupakatan. Selama berbicara, mereka berduduk di
tanah. Sin Cu setuju masuk langsung, untuk melabrak
kawanan penjahat itu.
"Lebih baik kita berpencar," Seng Lim memberi usul. Ia
bicara sambil tertawa.
"Musuh liehay, mereka pun berjumlah besar, jangan kita
sembrono. Baik kau yang menyerang dari depan, untuk
melayani kawanan pahlawan kaisar itu. Aku akan masuk dari
belakang, lebih dulu aku nanti membakar sarang mereka,
751 supaya mereka bingung dan kacau, tanpa mereka ketahui
berapa besarnya jumlah kita. Dengan musnahnya sarang
mereka, Lang Ying lebih gampang dibujuk."
Diam-diam Sin Cu mengagumi anak muda ini, yang pandai
bekerja. Kalah Keng Sim kalau mereka berdua dipadu. Keng
Sim lebih banyak temberang. Karena orang bicara dengan
beralasan, ke-putusan lantas diambil. Maka itu, lantas juga
mereka bekerja: Yang satu maju langsung dari depan, yang
lain jalan ngitar ke belakang. Mereka akan turun tangan begitu
lekas masing-masing sudah tiba, tak usah mereka saling
memberi pertandaan lagi.
Sin Cu berjalan cepat, ia berlari-lari.
Puncak pertama dilewatkan tanpa penjaganya dapat
mengetahui. Di puncak kedua ia terpergok, ia pun dipanah,
tetapi ia melawan, dengan bunga emasnya ia robohkan
penjaga itu. Ia kaget ketika ia melihat panah, yang dipakai
menyerangnya, nancap di batu, suatu tanda si penyerang
bukan sembarang orang. Karena ini, ia jadi waspada. Ia
loloskan pakaian orang, untuk ia pakai. Dengan
penyamarannya ini, ia menghampirkan puncak yang ketiga.
Tiba-tiba dua bayangan menghampirkan padanya.
"Eh, Ciu Toako, kenapa kau tidak menjaga di bawah?" ia
ditegur. Ia terkejut. Mahir ilmu ringan tubuhnya tetapi orang
masih dapat memper-gokinya. Ia tahu, si penjaga yang ia
binasakan tadi rupanya orang she Ciu dan ia disangka si Ciu
itu. Ia menyambut mereka dengan ayunan tangan, maka
sekejab saja, dua-dua mereka roboh karena bunga emasnya.
Memang, di puncak kedua dan ketiga, penjaga-penjaganya
adalah orang-orang yang diandalkan Touw Kun. Tetapi
mereka semua masih tidak dapat merintangi si nona.
752 Sin Cu maju terus hingga ia mendekati markas penjahat. Ia
masih menyamar, cuaca pun suram, tidak gampang untuk
orang mempergoki ia. Orang pun tidak menyangka musuh
dapat memasuki Cio Lim yang terahasia itu. Demikian ia dikasi
lewat tanpa teguran. Dari dalam terdengar ramai orang
berpesta, dari orang yang main tebak-tebakan tangan.
"Puas mereka merayakan pesta kemenangannya!" Sin Cu
kata dalam hatinya. Ia bersenyum ewah.
Memang itulah pesta kemenangan.
"Han Jieso, inilah jasamu yang besar!" terdengar suaranya
Lie Ham Cin, yang tertawa lebar. "Mereka telah terkurung,
tinggal dibekuknya saja, tidaklah apa, Han Jieko terluka
sedikit." "Looyacu terlalu memuji!" terdengar jawaban seorang
wanita."Tidak berani aku menerima jasa. Sebenarnya jasa
harus didapatkan oleh Touw Ceecu, yang mengijinkan Cio Lim
dipakai sebagai gelanggang pancingan. Tapi dua titik itu sukar
untuk dibekuknya..."
Lie Ham Cin tertawa pula.
"Sebenarnya, semuanya berjasa!" katanya pula. "Sekarang
ini Yang Congkoan sudah tiba di Kunbeng, maka kedua titik itu
boleh kita serahkan saja padanya, lalu habislah tanggung
jawab kita. Bahkan kita boleh mengharapi pahala. Touw
Ceecu, jikalau dikehendaki olehmu, boleh kau minta Yang
Congkoan bicarakan pada Bhok Kongtia supaya kaulah yang
diangkat menjadi raja setempat di sini. Kalau itu sampai
kejadian, sungguh tepat, jadi kau tidak usahlah menjadi raja
dari rimba Cio Lim ini!..."
753 "Aku juga tidak mengharapi jasa atau pangkat!" terdengar
suara nyaring dan kasar dari Touw Kun. "Hanya, aku tanya,
boleh tidak kalau itu bocah she Ie diserahkan padaku?"
Lie Ham Cin si pahlawan kaisar tertawa.
"Tahukah kau dia orang apa?" tanya pahlawan ini. "Dialah
puterinya Ie Kiam! Dialah si anak pemberontak yang dicari Sri
Baginda! Bagaimana kau dapat menghendaki dia?"
Agaknya Touw Kun terkejut.
"Dia puterinya Ie Kokloo?" katanya. "Oh, celaka aku, celaka
aku! Coba aku mengetahuinya siang-siang, tidak nanti aku
memikir gila-gila demikian!..."
Ie Kiam sangat dihormati orang banyak, sekalipun Touw
Kun, dia masih menghargainya.
"Apa" Kau jeri untuk namanya Ie Kiam?" Lie Ham Cin
tanya. "Menurut undang-undang pemerintah, siapa berdosa,
kedosaannya turun kepada anak-anaknya, anak-anaknya itu
akan dijadikan budak! Bocah itu sangat cantik, aku kuatir Sri
Baginda sendiri yang nanti menghendakinya! Kalau tidak,
dengan mengodol banyak uang, ada harapan kau
mendapatkan dia..."
Kembali pahlawan ini tertawa, hanya kali ini, tertawanya itu
dibarengi sama suara memberebet di tenda gubuk, lalu
sebuah sinar emas melesat masuk. Menyusul itu orang yang
dipanggil Han Jieso menjerit keras, tubuhnya roboh.
Satu sinar pun menyambar ke arah Lie Ham Cin, tetapi dia
awas dan sebat, dia sempat mencabut goloknya dan
menangkis, hingga sinar emas itu mental. Hanya, berbareng
754 dengan itu, Sin Cu lompat masuk, matanya mendelik,
pedangnya diputar!
Touw Kun kaget hingga ia duduk menjublak. Kembali Nona
Ie mengayun tangannya, kali ini tiga bunga emas melesat dari
tangannya. Han Jieko mengeluarkan teriakan mengerikan
yang tertahan, tubuhnya lantas roboh, sebab sepotong kimhoa
nancap di batang lehernya, hingga jiwanya segera melayang
pergi. Kimhoa yang kedua mengenai Touw Kun di saat itu
kepala begal hendak menggeraki toyanya guna maju
menyerang si nona begitu lekas ia sadar, cuma orang she
Touw ini tidak dirampas jiwanya, melainkan ilmu silatnya yang
dibikin musnah. Inilah sebab barusan dia masih menghargai Ie
Kiam. Lie Ham Cin menangkis kimhoa yang ketiga, terus ia
tertawa terbahak-bahak. Ia dapatkan si nona seorang diri, ia
tidak takut. "Kau manusia celaka!" Sin Cu menegur. "Hek Pek Moko
memberi ampun padamu, supaya kau insaf dan mengubah
kelakuan, siapa tahu kau tetap menjadi kuku garuda, bahkan
kau mencelakai menteri setia! Sekarang kau tidak dapat
ampun lagi!"
Sin Cu pun berani, ia lantas menerjang.
Lie Ham Cin membuat perlawanan. Tiga kali ia
membuyarkan serangan si nona, lalu ia tertawa lebar.
"Kau tidak hendak memberi ampun padaku, apakah kau
kira aku sudi memberi ampun padamu?" katanya, mengejek.
"Sahabat-sahabat, mari maju! Dia inilah puterinya si
pengkhianat, dia mesti ditangkap hidup, jangan bikin dia
mampus!" 755 Lie Ham Cin membawa empat siewie, pahlawan, kecuali
Han Thian yang telah terbinasa itu, masih ada tiga yang
lainnya, yang semuanya pilihan, maka ia menganjurkan
mereka ini maju mengepung Nona Ie. Maka Sin Cu lantas saja
terkurung. Nona itu bersenyum ewah. In mainkan pedangnya
melayani empat musuh itu. Ia perlihatkan ilmu pedang Hian
Kie Kiamhoat. Walaupun ketiga musuhnya gagah, ia
membuatnya mereka itu repot. Syukur mereka mendapat
bantuannya Lie Ham Cin yang liehay itu, kalau tidak pastlah
siang-siang senjata mereka sudah terbabat kutung.
Lie Ham Cin itu berpokok ilmu silat Thaykek Pay, ia telah
memaham-kan ilmu tangan kosong dan golok untuk beberapa
puluh tahun, hebat perlawanannya itu, hingga ia membikin si
Nona Ie menjadi penasaran dan sebal. Maka Sin Cu
menyerang bukan main hebatnya.
Pertempuran itu dahsyat sekali, seluruh markas menjadi
gempar. Touw Kun merayap bangun, ia tidak dapat berkelahi
lagi tetapi ia bisa mementang bacotnya. Maka ia teriaki Lang
Ying, yang ia panggil Lang Ceecu, untuk membantui dengan
menggunakan barisan panah.
Sin Cu dengar suara orang itu, ia menginsafinya bahaya. Ia
mengarti tidak dapat ia berlaku ayal. Maka kembali ia desak
Lie Ham Cin, yang sudah mulai kewalahan, begitu lekas
pahlawan tua itu mundur, ia mengayun tangannya
menyambar-kan tiga buah kimhoa.
Dari tiga pahlawan, yang dua roboh seketika terkena bunga
emas itu. Yang ketiga, yang paling liehay di antaranya, dapat
menyelamatkan diri. Setelah itu sambil menuding, si nona
bentak Touw Kun: "Telah aku mengampunkan jiwamu, kau
masih tidak sudi menerima kebaikan hatiku! Jikalau kau masih
756 mementang bacot, lihatlah ini dua contoh!" Ia menunjuk
kepada kedua pahlawan, dari yang mana yang satu terhajar
matanya, yang satu lagi tertancap tenggorokannya.
Setelah itu, tidak menghiraukan markas penjahat kalut, Sin
Cu mendesak pula Ham Cin. Tapi sambil berkelahi, ia melihat
kelilingnya. Ia mendapat kenyataan di pintu ada menghalang
seorang suku Ie yang berewo-kan dan matanya tajam beserta
beberapa puluh tukang panah suku bangsa Ie. Ia menduga
kepada Lang Ying. Tidak tempo lagi, ia keluarkan bendera
sulam dua kepala singa, ia kibarkan itu untuk dilihat orang
banyak sambil ia berkata dengan nyaring: "Lang Ceecu,
kaulah orang gagah bangsa Ie, mengapa kau membantu
harimau mengganas" Kau tahu, Toan Ongya menggundang
kau datang ke Tali untuk melakukan usaha besar! Maka kau
pikirlah masak-masak!" Kemudian Ia lemparkan bendera itu
kepada ketua suku Ie itu.
Lang Ying berdiri menjublak setelah ia menanggapi bendera
itu. "Lang Ceecu" Lie Ham Cin berteriak, "jikalau kau
menghendaki kekayaan dan pangkat mulia, akan aku
mintakan Sri Baginda mengangkat kau menjadi touwsu dari
Cio Lim ini! Lekas bekerja sama untuk membekuk pengkhianat
inil" Belum lagi berhenti suaranya pahlawan raja ini, segera
terdengar suara sangat berisik dari belakang markas, di mana
nampak api berkobar-kobar.
Lang Ying kaget bukan main. Ia tidak menduga kepada
perbuatan Yap Seng Lim seorang, ia percaya markasnya sudah
diserbu dari belakang dan telah dobol, bahkan ia tengah
terkurung. Untuk sejenak ia tercengang, lantas ia berteriak
keras: "Siapa kesudian anugerah kamu bangsa Han?"
757 Terus ia mengibaskan tangannya kepada pasukan
panahnya: "Mundur kamu!" Habis itu, ia menghunus goloknya
akan maju menerjang, untuk membantui Sin Cu.
Lie Ham Cin kaget bukan kepalang. Inilah ia tidak sangka.
Tapi ia sangat licin. Mendadak saja ia berlompat, tangan
kirinya diulur. Ia mainkan jurus dari Kimna hoat, pukulan
Menangkap. Hebat gerakannya itu, sejenak saja, Lang Ying
telah kena ditawan olehnya.
Sin Cu kaget, ia menikam, tetapi lawan itu memajukan
tubuhnya si pemimpin suku Ie itu. Terpaksa si nona menarik
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pulang pedangnya.
"Baiklah!" seru si pahlawan. "Mari kita mampus bersama!"
Sin Cu menyerang terus, ia membabat kuping tetapi gagal.
Saban-saban tubuh Lang Ying digunakan sebagai tameng.
Senang Ham Cin melihat kegagalan orang, bahwa orang
sudah kewalahan, maka ia tertawa tergelak-gelak.
Tengah pahlawan ini tertawa, mendadak ada seruan hebat
di sebelah belakangnya, seruan bagaikan guntur, lalu tenda
tersingkap, terlihat bayangan satu orang lompat menerjang
masuk. Belum sempat Ham Cin melihat bayangan itu, ia
sudah merasakan sakit hingga ke tulang-tulang. Sebab hanya
dengan satu kali bergerak, selagi ia repot membela diri dari
serangan bertubi-lubi dari Sin Cu, tiba-tiba saja
lengannyayang kanan kena orang cekuk dan ditekuk!
Pasti sekali bayangan itu Seng Lim adanya. Seng Lim
mempunyai kepandaian Taylek kimkong ciu, lima jarinya
memegang keras sekali, maka juga, satu kali dia mengerahkan
tenaganya, Lie Ham Cin tidak sanggup mempertahankan diri
lagi, bahkan goloknya mental menghajar jidatnya sendiri.
758 Untuk mencoba membela diri, terpaksa ia melepaskan
cekalannya kepada Lang Ying.
Orang Ie itu menjadi sangat gusar, begitu ia merdeka, ia
ayun goloknya ke arah pahlawan ini, maka pada detik itu juga,
tubuh si pahlawan kena terbacok menjadi dua potong!
Dalam saat kacau itu, Touw Kun sudah menyingkirkan diri.
Pahlawan yang terakhir telah kena dibinasakan Sin Cu, yang
meninggalkan Lie Ham Cin selekasnya musuh ini dicekuk Seng
Lim. Maka itu, dengan yang mati dan kabur, habislah kawanan
penjahat kecuali orang-orangnya Lang Ying. Mereka ini lantas
mencoba memadamkan api.
Tetapi Lang Ying tertawa berkakak:
"Biarlah semua terbakar habis! Kita toh telah bebas dari
kawanan anjing itu hingga sekarang kita semua dapat pergi ke
Tali kepada Toan Ongya."
"Memang, tidak selayaknya kita melanjuti pekerjaan kita
ini, cuma-cuma kita dicaci dan dikutuk bangsa kita!" ada yang
menimpali ketua itu. Dia ini ialah kakak misan dari si nona
suku Ie itu. Nona itu sudah lantas muncul, dalam kegirangannya ia
tubruk Sin Cu yang ia rangkul. Saking girang ia sampai tidak
dapat berkata-kata.
Malam itu juga Lang Ying hendak meninggalkan Cio Lim.
Kapan penduduk yang berdekatan memperoleh kabar, mereka
datang berduyun-duyun. Di hadapan mereka itu Lang Ying
mengutarakan keputusannnya untuk menukar cara hidup. Ia
mendapat sambutan riuh rendah. Bahkan di depan rimba batu
itu segera diadakan pesta besar, orang menyembelih babi dan
kambing, orang menari-nari dan bernyanyi-nyanyi selama tiga
759 hari! Semua penduduk di dekat-dekat situ turut ambil bagian
dalam pesta besar yang sangat meriah itu. Adalah tiga hari
kemudian, baru rombongannya Lang Ying itu berangkat
menuju ke Tali.
Seng Lim bersama Sin Cu tidak dapat menunggu sampai
tiga hari, di hari pertama, sehabis menghadiri pesta, mereka
pamitan dari Lang Ying semua, kemudian mereka berangkat
terlebih dulu. Dari Cio Lim ke Tali, perjalanan ada seribu lie lebih dan
mesti melintasi pegunungan atau tanah datar tinggi,
perjalanan pun sukar, maka sudah empat lima hari, kedua
orang muda itu masih berada di tanah pegunungan yang
tinggi atau hutan belukar. Selama itu Seng Lim bersikap
sangat telaten terhadap Sin Cu hingga si nona puas dengan
teman seperjalanan ini. Si pemuda tidak menyebabkan orang
gembira tetapi juga ia tidak menyebalkan...
Sin Cu pun puas dengan perjalanan ini walaupun kawannya
tidak pandai bernyanyi atau bersenandung, sebagai gantinya,
di rimba-rimba ada burung-burung dengan pelbagai ragam
bunyinya, ada bunga-bunga yang indah dan harum semerbak,
ada sungai-sungai atau air yang indah.
Ada sebuah pohon yang menarik perhatiannya Nona Ie
selama perjalanannya ini. Pohon itu kedapatan di sepanjang
jalan. Itulah pohon yang dinamakan tayceng sie atau "hijau
besar," yang penduduk setempat namakan "bongsui sie" atau
"pohon angin dan air," yang daunnya sangat lebat dan
mendatangkan keteduhan, yang batangnya mirip
"cengkeraman naga," yang duduknya di tanah kuat sekali.
Daunnya pun hijau di empat musim. Hingga orang
memandangnya sebagai alamat usia muda dan penghidupan.
760 Memperhatikan pohon ini, Sin Cu mendapat suatu kesan
baru. Pernah dia mengumpamai Tiat Keng Sim dengan bunga
mawar di dalam taman di Kanglam dan Yap Cong Liu seperti
pohon cemara di dataran Inlam atau Kuiciu, maka sekarang ia
Elang Terbang Di Dataran Luas 11 Amarah Pedang Bunga Iblis Karya Gu Long Kisah Pendekar Bongkok 10
pembicaraan itu, untuk mulut besar si imam, ia mengasi
dengar ejekannya di hidung. Di hatinya ia kata: "Kalau si
hidung kerbau ini bertemu guruku, kalau hidungnya tidak
dipapas, sungguh sayang!" Ia memang sangat memuja
gurunya, saking mendongkol, ingin ia keluar untuk menghajar
imam itu. Tapi ia tahu salatan.
"Thio Tan Hong itu bagaimana romannya?" Bhok Kokkong
menanya. "Apakah Yang Tayjin pernah melihat dia?"
"Melihat belum tetapi aku ada membawa beberapa helai
gambarnya," Cong Hay menyahut. "Nah ini satu untuk
kongtia, tolong nanti kongtia menjaga agar dia tidak masuk ke
Kunbeng." Bhok Cong menyambuti gambar, untuk dibeber. Ia kaget
hingga air mukanya berubah.
"Kenapakah, kongtia ?" tanya Cong Hay heran.
Cepat sekali pangeran itu bersenyum.
"Aku mengira Thio Tan Hong berkepala tiga bertangan
enam, tidak tahunya dia cuma seorang mahasiswa yang
lemah!" katanya.
689 "Memang begitulah romannya, tidak heran kongtia
terperanjat," kata Cong Hay.
Habis menenggak dua cawan pula, Lauw Kongkong
berkata: "Katanya siauwkongtia tampan dan cerdik sekali, pula dia
mengarti ilmu surat dan ilmu silat, kenapa dia tidak diundang
hadir di sini?"
"Anakku justeru bandel, mana aku berani terima pujian
kongkong ?" menyahut Bhok Kokkong. "Sekarang ini aku
justeru menyuruh dia menyimpan diri dalam kamar tulisnya
untuk memahamkan kitab-kitab, dari itu aku tidak berani
menitah dia menemui tetamu-tetamu agung."
"Kongtia terlalu merendah," berkata Cong Hay. "Bukankah
peri bahasa tua membilang, yang tahu anak hanyalah
ayahnya! Siauwkongtia pintar, itulah berkat ajaran kongtial"
Bhok Cong pikirkan perkataan congkoan itu, ia
menyangsikan ada maksudnya yang lain. Justeru itu, Lauw
Kongkong berkata pula: "Ya, kabarnya kemarin dulu
siauwkongtia mengepalai upacara pembukaan kuil Senghong
bio, hal itu menggemparkan seluruh kota ini. Dia masih muda
sekali tapi sudah pandai bekerja, di belakang hari
kemajuannya tak ada batasnya! Aku minta sukalah kongtia
mengundang dia keluar menemui kami."
Bhok Kokkong cuma berdiam sebentar, lantas dia suruh
hambanya mengundang puteranya. Dia sudah pikir untuk
berpura-pura pilon, sebentar di muka mereka ini, hendak ia
menegur puteranya itu sekalian menyuruh membongkar pula
kuil Senghong itu.
690 Tidak lama, hamba itu balik sambil berlari tersipu-sipu dan
gugup romannya. Ia bersendirian saja.
"Kenapa siauwkongtia tidak datang bersama?" Bhok Cong
tanya, hatinya berdebaran. "Apakah dia lagi salin pakaian?"
Hamba itu bersangsi, tapi ia toh menyahuti: "Siauw...
siauwkongtia... minggat!..."
Bhok Kokkong kaget bukan main, sakit hatinya. Ia
mempunyai cuma dua putera puteri itu, sekarang dua-dua
anak itu buron.
Lauw Kongkong memperlihatkan roman kaget dan heran.
"Kenapa siauwkongtia minggat?" dia menanya. "Dia toh
tidak berbuat salah, bukan" Ah, tentulah itu disebabkan
pendidikan keras dari kongtia..."
Kokkong menenangkan diri tetapi punggungnya mandi
keringat. Ia lantas mengikuti salatan. Katanya: "Sudah
kukatakan, anak itu bandel, sekarang kembali dia menerbitkan
gara-gara, sungguh memalukan!"
"Bagaimana sebenarnya?" Cong Hay turut menanya. Dia
sengaja memancing, untuk melihat pangeran ini menyebut
urusan Senghong bio atau tidak.
Tapi Kokkong dengan gusar sekali berseru: "Dia tidak suka
belajar! Sekarang tentu dia membolos melihat pesta
tengloleng!"
"Memang biasanya anak-anak gemar memain," Lauw
Kongkong menghibur. Sebenarnya ia mengejek.
691 "Anak itu memang bandel sekali," kata kokkong pula.
"Umpama dalam urusan pendirian Senghong bio itu, dia telah
berbuat tidak selayaknya. Itulah perbuatan orang tolol!
Malaikat kota malaikat tidak berarti, kenapa dia memasangi
hio dan mengangguk-angguk di depan patungnya" Bukankah
itu memalukan?"
"Hanya aku dengar patung malaikat kota itu beda dari yang
lainnya," Cong Hay mengatakan.
"Siapa tahu dari mana dia dapatkan boneka itu!" kata
Kokkong. "Benar-benar dia membuat aku malu! Besok aku
perintah orang membongkar kuil itu dan bakar bonekanya,
kemudian aku nanti cari dia untuk dihajar!"
Sekarang si thaykam memperlihatkan senyumnya.
"Pasti siauwkongtia kena orang bujuki maka ia membangun
kuil dan menghormati malaikat kota," katanya. "Aku minta
baiklah kongtia jangan hukum dia, asal boneka itu dihajar tiga
ratus rotan, sesudah itu baru dibakar! Dengan begitu tidaklah
penduduk tolol kena dilagui lagi."
"Memang," Cong Hay campur bicara pula. "Boneka itu
mesti dihajar hancur lebur dulu baru dibakar menjadi abu!..."
Belum berhenti suaranya congkoan ini, di situ muncul
seorang nona. Sangat gesit gerak-geriknya si nona, dia datang
tanpa ketahuan lagi.
Bhok Cong lihat orang mengenakan pakaian yang biasa
dipakai puterinya, orang lebih muda dua tahun dari puterinya
itu, sedang tadinya ia menyangka budaknya. Nona ini cantik
sekali, melebihkan puterinya sendiri. Yang mengherankan,
nona ini nampak agung dan keren, cuma keningnya lancip,
692 seperti dia lagi murka. Dengan sepasang mata tajam, nona itu
menyapu para hadirin.
Kalau lain orang heran, Cong Hay terkejut. Dia kenali Ie Sin
Cu yang dia kurung di liang jebakan yang terisi air. Kenapa
nona ini bisa keluar pula dengan selamat" Saking heran, dia
jadi tidak berani sembarang bergerak. Sunyi sekali itu waktu.
"Kau siapa?" Bhok Kongtia tanya akhirnya.
"Ayahku dijunjung berlaksa rakyat, dihormati bagaikan
malaikat!" berkata Sin Cu dengan berani, suaranya dingin.
"Dan kamu kamu makhluk apa maka kamu hendak membakar
patung ayahku?"
Semua orang heran dan kaget, kokkong bahkan
berjingkrak. "Apa kau bilang?" tanyanya.
"Aku bilang aku larang kamu merusak patung ayahku!"
jawab Sin Cu nyaring.
"Siapakah ayahmu?" kokkong menanya pula.
"Ayahku ialah Lwee-kok Tayhaksu merangkap Pengpou
Siangsie Ie Kiam!" si nona menjawab terus terang.
Muka Bhok Cong pucat bagaikan mayat.
"Kau ngaco-belo" membentak Cong Hay. "Bekuk siluman
ini!" "Kau benar tidak tahu langit tinggi dan bumi tebal!" Bhok
Cong pun membentak.
693 "Bagaimana kau berani mengaku menjadi anaknya
pengkhianat" Mustahil puteraku membuat patung ayahmu"
Kau ngaco belo, lekas pergi keluar!"
*** Bhok Kokkong kuatir sekali si nona benar-benar ada
puterinya Ie Kiam, kalau ia menawan dan memeriksa,
pengakuannya nona itu mungkin nanti merembet-rembet
puteranya, dari itu ia mengusirnya, supaya orang lekas pergi.
Pun dengan begitu diam-diam ia seperti menunjuki jalan lolos
untuk nona itu.
Yang Cong Hay tahu pasti orang ada puteranya Ie Kiam
tetapi malang kepada mukanya orang bangsawan itu, ia tidak
berani bertindak sembrono.
Sin Cu sebaliknya seperti mengerti maksud orang
bangsawan itu, ia tidak memperdulikan bahwa ia dituduh
memalsu, demikian dengan alisnya yang lantik bangun berdiri,
ia berkata dengan nyaring: "Ayahku membela kerajaan Beng,
dia sangat setia! Dengan mempunyai ayah semacam itu, aku
justeru mesti bangga sekali, maka kenapa aku mesti malu
mengakui ialah ayahku" Beda adalah kamu, yang tidak
menggubris penderitaan rakyat, yang cuma pandai bermukamuka
kepada raja! Sebenarnya malu kamu terhadap ayahku
itu!" Bhok Cong membungkam. Ia memang menghargakan Ie
Kiam dan kata-kata si nona ini sangat menusuk hatinya yang
agung. Sekalipun Yang Cong Hay dan konco-konconya, wajah
mereka menjadi pucat.
"Hm!" Sin Cu memperdengarkan pula suaranya.
"Sebenarnya kamu semua yang hadir di sini, siapakah di
694 antara kamu yang tidak mengetahui, bahwa patung Senghong
itu patung ayahku" Nah, kamu lihatlah surat ini!"
Si nona mengeluarkan surat rahasia dari Ong Tin Lam
untuk raja, ia serahkan itu pada Bhok Kokkong.
Muka Tin Lam menjadi pucat sekali, tubuhnya bergerak
bangun. Mungkin dia hendak merampas pulang suratnya itu.
Berbareng dengan gerakannya itu, satu bayangan berkelebat
kepadanya, lalu tubuhnya roboh terguling. Sebab Sin Cu
sudah rabuh kakinya, setelah mana, dengan pedang terhunus,
si nona berdiri di samping Bhok Kokkong , sembari bersenyum
ewah, dia menanya: "Berani kamu mencegah Bhok Kokkong
membaca surat ini?"
Hong Giam Toojin dan Yang Cong Hay dapat melayani nona
berkelahi tetapi kata-kata orang sudah mempengaruhi mereka
hingga mereka mesti berdiam saja. Maka di saat itu, suasana
menjadi sangat tegang. Rata-rata orang melirik atau
mengawasi Bhok Kokkong.
Cepat sekali orang bangsawan itu membaca surat Ong Tin
Lam, ia kaget tercampur murka. Baru sekarang ia mengetahui
sikap raja terhadapnya, bahwa Ong Huciang inilah mata-mata
raja untuk mengawasi tindak-tanduknya. Ia murka karena Tin
Lam secara diam-diam hendak mencelakakan padanya. Tapi ia
adalah seorang yang banyak pengalamannya, lekas sekali ia
dapat menenangkan diri, hingga ia tidak kentarakan rasa
hatinya itu. Dengan tawar ia kata pada Tin Lam: "Ong
Huciangkun, coba kau lihat surat ini! Ada orang yang telah
memalsukan tulisanmu dan menulis ngaco belo! Sungguh
gila!" Lega hati Tin Lam dan Cong Hay mendengar perkataan
pangeran ini. Teranglah si pangeran masih memberi muka.
Maka juga perwira itu, yang telah merayap bangun, berkata
695 dengan nyaring: "Kongtia, terima kasih untuk kepercayaanmu
terhadapku. Surat itu boleh tak usah dibaca lagi, baik robek
saja! Tentulah ini siluman wanita cilik yang telah memalsu
tulisanku, yang tidak keruan-ruan menerbitkan gelombang!
Aku percaya di belakang dia mesti ada penganjurnya, maka itu
tolong kongtia menyelidikinya!"
Juga perwira ini hendak melindungi Bhok Kokkong
sekaliania menolong mukanya sendiri, maka itu ia damprat Sin
Cu sebagai siluman, tidak berani ia menunjuk si nona sebagai
puterinya Ie Kiam.
Sin Cu gusar bukan main, ia tertawa dingin, sikapnya
sangat mengejek.
"Benar, perkara ini harus dicari tahu," kata kongya
kemudian pelahan-lahan. Tapi inilah kata-kata yang ditunggutunggu
Yang Cong Hay. Maka dia sudah lantas lompat ke
depan. "Perempuan siluman, lekas kau mengaku!" ia membentak.
"Siapakah penganjurmu?"
Tapi itu bukan bentakan belaka, bentakan diikuti sambaran
dahsyat. Sin Cu sudah nekat, ia sudah bersedia. Atas datangnya
serangan itu, pedangnya berkelebat, tiga potong bunga
emasnya pun menyambar!
Hong Giam Toojin lompat mencelat ke depan Cong Hay,
tangan bajunya yang gerombongan dikebaskan. Maka juga
ketiga bunga emas itu kena ia masuki ke dalam tangan
bajunya itu. Ia tertawa dan berkata: "Sungguh ilmu pedang
yang bagus!" Dengan dua batang sumpitnya ia menjepit
696 pedang si nona itu, dibawa ke arah meja, dengan begitu
pedang itu nancap di meja itu.
Sin Cu kaget dan mendongkol, ia kerahkan tenaganya
untuk mencabut pedangnya itu. Si imam mempertahankan, ia
menekan, maka sia-sia saja percobaan si nona, pedangnya itu
tidak dapat dicabut. Inilah menandakan tenaga dalam yang
hebat dari imam itu.
"Siluman perempuan, kau bukalah matamu!" berkata si
imam, yang tidak mau lantas turun tangan terlebih jauh. Ia
tertawa lebar. "Kau menyerah atau tidak" Lekas kau bilang,
siapa itu yang berdiri di belakangmu?"
Sin Cu tidak menjawab, sebaliknya jawaban datang dari
luar, dalam rupa tertawa yang nyaring dan panjang,
seumpama kata "mengalunnya naga" atau "menderum-nya
harimau," suara mana seperti mengaung di kuping orang.
Mendengar itu, Hong Giam Toojin terkesiap hatinya.
Segera juga terlihat orang yang terdengar suara
tertawanya itu. Dialah seorang mahasiswa. Sembari bertindak
maju, dia bersenandung:
"Seribu martil selaksa gempur, keluar dari dalam gunung,
apinya yang berkobar membakar bukan buatan hebatnya!
Tulang terbakar, tubuh hancur lebur, tak dibuat takut, asal
dapat meninggalkan nama putih bersih di dalam dunia ini!"
Itulah bunyinya salah sebuah syair paling terkenal dari Ie
Kiam, yang telah dinyanyikan di seluruh negeri, tetapi di
bawah senandung mahasiswa itu, bukan main bekerjanya
pengaruhnya, hingga membikin orang malu sendirinya dan
jerih hatinya. "Kau siapa?" Hong Giam menegur.
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
697 Si mahasiswa tertawa.
"Aku ialah orang di belakang layar yang kau tengah
mencari tahu!" jawabnya tenang.
Tanpa merasa, imam itu membuatnya kendor jepitan
sumpitnya, maka juga Sin Cu segera dapat menarik pulang
pedangnya. Ia pun sudah lantas berseru: "Suhul"
Mahasiswa itu bukan lain orang daripada orang yang
namanya kesohor di empat penjuru lautan, yang kaum Rimba
Persilatan mengakuinya sebagai ahli pedang nomor satu di
kolong langit ini, ialah Thio Tan Hong! Inilah di luar dugaan
siapa juga, maka sunyilah di sekitar situ, umpama jarum jatuh,
mungkin suaranya dapat terdengar nyata.
Air mukanya Bhok Kokkong lantas berubah, ia mengangkat
tangannya memberi hormat.
"Thio Sinshe datang, ada apakah pengajaranmu?" dia
bertanya. "Aku datang karena mendengar kabar kau hendak
menegur kongcu," sahut Tan Hong yang dipanggil sinshe itu
guru, sedang dengan kongcu ia maksudkan puteranya si
orang bangsawan.
"Turut penglihatanku, perbuatannya itu membuat
patungnya Ie Kiam adalah tepat sekali! Laginya, akulah yang
menyuruh kongcu membuatnya, dari itu sekarang sengaja aku
datang untuk memohonkan ampun, jikalau kongtia hendak
menegurnya, baiklah kongtia tegur aku!"
"Sinshe bergurau!" kata Bhok Kokkong tertawa. Lalu lekaslekas
ia kata pada si thaykam she Lauw: "Inilah Thio Sinshe
698 yang pernah menjadi gurunya anakku. Benar tak lebih dari
satu bulan Thio Sinshe mengajar tetapi kepandaiannya aku
sangat mengaguminya. Thio Sinshe ini paling gemar bergurau,
dari itu haraplah Lauw Kongkong sudi memaklumkannya..."
Baru sekarang Sin Cu mengarti kenapa di kamarnya Nona
Bhok ada tergantung pigura tulisan gurunya itu, kiranya
gurunya itu juga menjadi gurunya siauwkongtia. Ia tertawa
dalam hatinya untuk kejenakaannya guru ini.
Memang, ketika Tan Hong lewat di Kunbeng ini, kebetulan
ia lihat Bhok Lin yang bagus bakatnya, ia suka bocah itu,
dengan sendirinya ia ajukan diri sebagai guru, ia ambil orang
sebagai calon murid. Ia tahu tentang keruwetan di antara
pemerintah dan suku bangsa Pek dari Tali, dengan mengambil
Bhok Lin sebagai murid, ia mengandung sesuatu maksud.
Bhok Kokkong sendiri tidak ketahui, guru puteranya itu adalah
Thio Tan Hong yang kenamaan itu, ia cuma ketahui orang
terpelajar dan halus budi pekertinya. Cuma satu bulan Tan
Hong berdiam sama muridnya itu, ia pergi dengan tergesagesa,
hingga Bhok Kongtia menyayanginya. Kongtia mengenali
Tan Hong setelah Yang Cong Hay tunjuki dia gambar orang.
Mulanya ia kaget dan merasa sulit. Ia bersangsi untuk
mengakui Tan Hong itu, sebaliknya, untuk menyangkal, ia
juga tidak berani, sebab ia kuatir Tan Hong nanti tertawan
Cong Hay dan anaknya pastilah akan terembet-rembet. Untuk
sementara, ia mengambil putusan akan mengitungi dulu hal
Tan Hong itu. Ia mengharap-harap Tan Hong tidak akan
memperkenalkan diri, dengan begitu ia percaya Cong Hay
tentu akan memandang kepada mukanya. Di luar dugaannya,
sekarang Tan Hong munculkan dirinya.
Tan Hong menyentil dengan jari tangannya, matanya
melirik ke arah si orang kebiri.
699 "Lauw Kongkong," tegurnya, "semenjak kita berpisahan,
apakah kau ada banyak baik" Kota Kunbeng bagaikan musim
semi seluruh tahun, di sini meminum arak sambil memandangi
sang bunga, sungguh menarik hati, beda seperti langit dengan
bumi dengan negara Ouw yang banyak saljunya!..."
Orang kebiri she Lauw ini memanglah si thaykam yang
tempo hari kaisar Kie Tin ditahan di Tobokpo ada bersama
kaisarnya itu, maka bersama-sama rajanya pernah ia merasai
penderitaan di negara asing. Itu juga sebabnya kenapa dia
sekarang dapat kepercayaannya Kie Tin. Tentu sekali ia kenal
baik si mahasiswa.
"Sebenarnya apakah maksudmu, Thio Sinshe ?" dia
bertanya. "Sri Baginda pelupaan, aku tidak sangka kongkong
pelupaan juga!" berkata Tan Hong. "Lauw Kongkong, kalau
nanti kau pulang ke kota raja, tolong kau tanya Sri Baginda, ia
masih ingat atau tidak pembilanganku terhadapnya tempo kita
masih berada di negara Watzu. Aku maksudkan itu jubah kulit
rase" Mungkin Sri Baginda sudah membuang jubah itu..."
Selama Kie Tin dalam penjara, Tan Hong pernah
menjenguknya dan ia dihadiahkan baju kulit itu untuk
melawan hawa dingin. Ketika baju dipersembahkan, Lauw
Thaykam melihatnya sendiri, dia menjadi saksi utama.
Sekarang, mendengar perkataannya Tan Hong, dia bungkam.
"Ah, Thio Sinshe sudah mabuk!" berkata Bhok Kongtia,
yang masih hendak bersandiwara.
Tan Hong mengangkat satu cawan besar, ia menenggak
isinya, terus ia tertawa.
700 "Di dalam Li Sao-nya, Khut Goan menyesali diri, siapa tahu,
dunia melupai segala apa, cuma sendirilah yang tetap sadar!"
katanya melenggak, "Haha! Aku kuatir, yang mabuk itu
bukannya aku hanya Sri Baginda sendiri begitu-pun kamu
sekalian!"
Kata-kata ini membuatnya orang kaget, hingga muka
mereka berubah, tetapi Tan Hong sendiri, dia tetap tenangtenang
saja. Dia bicara secara wajar sekali. Katanya pula:
"Aku kuatir Sri Baginda dan Lauw Kongkong telah
melupakan semua-mua! Sebenarnya peristiwa lama itu tak
selayaknya ditimbulkan pula akan tetapi menyebutkan itu pula
sungguh besar faedahnya! Aku ingat dahulu hari itu tatkala Sri
Baginda mengutus In Conggoan bersama aku menyambut Sri
Baginda pulang ke negeri, itu waktu Sri Baginda telah
mengangkat sumpah bahwa asal dia dapat kembali naik di
atas takhta, ingin dia menjadi kaisar bijaksana seperti Kaisarkaisar
Giauw dan Sun. Maka sungguh tidak disangka sekali, Sri
Baginda mendapatkan kembali takhtanya belum sepuluh hari,
dia sudah lantas menghukum mati pada Ie Kokloo. Orang
yang dengan sendirinya menggempur Tembok Besar, siapa
berani tanggung dia tidak akan mengalami penderitaan yang
kedua kali di Tobokpo" Tidakkah dengan begitu dia
membuatnya dingin hatinya menteri-menteri setia serta orangorang
gagah perkasa" Haha, Bhok Kokkong, bukannya aku
bergurau! Siauwkongtia telah membangun kuil menghormati
Ie Kokfoo, tentang itu bukanlah aku yang merencanakan, itu
disebabkan dia telah mendengar ceritaku tentang riwayat Ie
Kokfoo itu, dia menjadi sangat ketarik hatinya, dia
membuatnya itu! Cobalah kamu menanya dirimu sendiri,
orang setia dan besar nyali sebagai Ie Kokloo itu, menteri
besar yang membangun negara, setelah dia menutup mata,
tak tepatkah dia menjadi malaikat " Maka jikalau kamu berani
membongkar kuilnya dan merusak patungnya, yang hendak
dibakar, aku kuatir sekali, langit dan bumi nanti tak dapat
701 menem-patkanmu dan manusia dan malaikat-malaikat bakal
bergusar karena-nya"
Hatinya Bhok Kongtia berdebaran, kaki tangannya
bergemetaran. Hebat kata-kata itu, yang membuatnya cemas
hatinya. Di sebelah itu, semangatnya pun terbangun
sendirinya. Memang, perbuatannya raja menghukum mati
kepada Ie Kiam sudah me n dat angk a n penasaran dan
gusarnya semua menteri setia, cumalah mereka tidak berdaya.
Maka kata-katanya Tan Hong ini seperti mewakilkan mereka
mengutarakan penasarannya yang terpendam itu.
Selang sekian lama barulah Lauw Kongkong dapat
menetapkan hatinya.
"Kata-kata menghasut!" gerutunya.
Bhok Kokkong pun berkata: "Lekas pimpin Thio Sinshe
keluar, tolongi dia supaya diperiksa kesehatannya oleh
thabib!" Tan Hong bersenyum ewah.
"Ya, kata-kata menghasut!" katanya nyaring. "Ketahui
olehmu, jikalau sekarang ini kamu tidak mengijinkan aku
mengucapkan kata-kataku, maka siapa berani menyentuh
tubuhku sekali saja, jangan menyesalkan aku apabila aku tidak
memandang-mandang lagi!"
Tapi Hong Giam Toojin gusar.
"Kau makhluk apa?" tegurnya. "Berani kau kurang ajar di
sini?" "Kau sendiri makhluk apa"' Tan Hong balik menegur. Dia
tertawa lebar. "Raja sendiri tidak nanti berani menegurku
702 secara begini! Kau berani berlaku kurang ajar" Aku Thio Tan
Hong, tidak pernah aku mengubah she dan namaku!
Sekarang, mau apa kau"'
Bhok Kokkong kaget sekali mendengar orang
memperkenalkan diri, mukanya menjadi
sangat pucat. "Celaka, celaka..." Ia mengeluh dalam
hatinya. Selagi raja muda ini bingung bukan main. Yang Cong Hay
sebaliknya tertawa berkakak.
"Yang Congkoan, kenapa kau tertawa?" tanya Bhok Kongtia
heran, hatinya cemas.
"Hawa hari ini buruk, mungkin Thio Sinshe ini terganggu
urat syarafnya!" kata orang yang ditanya. "Thio Tan Hong itu
bersama-sama aku adalah dua di antara ke empat ahli pedang
terbesar di jaman ini, bagaimana hebat ilmu kepandaiannya!
Tapi sinshe ini adalah cuma seorang mahasiswa yang lemah
gemulai haha! bagaimana dia berani aku diri sebagai Thio
Tan Hong" Tidakkah ini sangat lucu?"
Sengaja Cong Hay berkata begini. Ia tahu siapa Tan Hong
tetapi ia menelad Bhok Kongya , hendak ia membantu
melindungi orang bangsawan ini. Jadi perbuatannya itu sama
dengan perbuatan Bhok Kongya melindungi Sin Cu.
Tan Hong berpaling kepada congkoan itu, matanya dibuka
lebar. "Kaukah Yang Cong Hay?" tanyanya tertawa dingin.
"Memang ialah Yang Tay jin congkoan dari istana," Bhok
Kokkong mendahului menjawab.
703 "Aku tidak peduli congkoan bukan congkoan!" kata Tan
Hong keras. "Yang Cong Hay, hendak aku tanya kau, siapa
gelarkan kau kiamkek?"
"Kiamkek" ialah ahli pedang. Cong Hay termasuk satu di
antara empat kiamkek terbesar.
"Ah," sahut congkoan itu, "Itulah gelaran yang diberikan
kaum kangouw yang melihat mata padaku. Thio Sinshe,
pertanyaan ini barulah pantas kalau dimajukan oleh Thio Tan
Hong." Tan Hong tertawa lebar.
"Tidak salah!" katanya. "Aku justeru hendak menanyakan,
kau ada mempunyai kepandaian apa" Apakah kau tepat untuk
direndengkan denganku sebagai salah satu dari empat
kiamkek terbesar" Haha! Aku lihat kaulah si kiamkek tetiron!"
"Kau masih hendak memalsukan dirimu Thio Tan Hong?"
menegaskan Cong Hay. Ia tidak takut. Ia lawan ejekan
dengan ejekan. "Baiklah! Karena kau mengaku dirimu Thio Tan Hong, kau
mesti memperlihatkan satu atau dua jurus kepandaian silatmu
dengan pedang!"
"Tidak salah!" Hong Giam Toojin menimbrung. "Jikalau kau
dapat mengalahkan pedang di tanganku barulah suka aku
mengakui kau sebagai Thio Tan Hong!"
Imam ini membantui keponakan muridnya itu mengejek.
"Haha, jangan repot, jangan repot!" Tan Hong tertawa. Ia
ada sabar luar biasa hingga ia tidak mempan ejekan. "Aku
704 mesti mengajar adat dulu kepada ini kiamkek tetiron si
manusia tidak tahu malu! Yang Cong Hay, jikalau kau bisa
melayani aku sepuluh jurus banyaknya, aku nanti membiarkan
kau dipandang sebagai salah satu kiamkek terbesar!"
Cong Hay tidak takut. Ia mengandal kepada paman
gurunya itu, yang ada bersama dengannya, cuma ia menyesal,
siasatnya gagal. Sebenarnya ia ingin paman gurunya itu yang
segera turun tangan, siapa tahu, Tan Hong desak ia hingga di
pojok. Mau atau tidak, ia berkuatir juga. Tapi ia dapat
menungkuli diri. "Biarnya Thio Tan Hong sangat liehay,
mustahil aku tidak dapat melayani ia selama sepuluh jurus?"
Maka ia menebalkan kulitnya.
"Baiklah!" sahutnya. "Silahkan sinshe yang turun tangan
lebih dulu! Sinshe adalah guru sekolah di istana kokkong ini,
aku pun paling menghormati anak sekolah, karena sinshe
mempunyai kegembiraanmu, suka aku menemaninya. Hanya
hendak aku menegaskan, batas kita adalah batas saling towel
saja, supaya kita tak usah menyebabkan hati kongtia menjadi
tidak aman..."
Cong Hay seperti mengalah, ia seperti tetap memandang
orang adalah guru sekolah yang terhormat, sedang
sebenarnya ia mencoba untuk mengikat persahabatan...
"Sudah, jangan ngoceh sajah!" Tan Hong membentak.
"Hunuslah pedangmu!"
Cong Hay sudah lantas menghunus pedanguja, ia lompat
ke gelanggang. Sin Cu segera menghunus juga pedangnya, pedang
Cengbeng kiam, untuk diangsurkan kepada gurunya. "Suhu,
pedangmu!" katanya.
705 Guru itu tertawa.
"Untuk melayani binatang ini perlu apa menggunai
pedang?" sahutnya. Ia bertindak ke tepi pengempang di mana
ada beberapa pohon yangliu, dari sebatang cabangnya yang
meroyot turun, ia potes satu tangkai, kemudian ia balik
kembali, tindakannya tenang.
"Yang Toacongkoan, inilah ketikanya yang paling baik
untuk kau mengangkat namamu!" ia berkata. Sekarang ia
menyebut-nyebut pangkat orang. "Asal kau dapat melayani
cabang yangliu-ku ini sepuluh jurus, pastilah sudah kau dapat
menduduki terus tempatmu sebagai salah satu dari empat
kiamkek terbesar!"
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semua hadirin terperanjat saking heran, dan semua
pahlawannya Bhok Kokkong mementang lebar-lebar mata
mereka. Umumnya mereka mendapat kesan Thio Tan Hong
terlalu jumawa.
Bhok Kokkong tidak tenang hatinya karena ia melihat
wajahnya Yang Cong Hay seperti diliputi hawa pembunuhan,
tangannya yang memegang pedang bergerak-gerak
bergemetaran. Ia berpikir: "Bukankah Thio Tan Hong lagi
hendak mengantarkan jiwanya?" Ia merasa berkasihan
terhadap guru puteranya itu. Tapi ia tetap membungkam.
Karena Cong Hay hendak melindungi padanya, ia anggap
biarlah ia tidak campur bicara lagi.
Ketika itu kedua jago sudah berdiri berhadapan, Tan Hong
angkat cabang yangliu-nya dengan apa ia mengebuti debu di
pakaiannya. "Sin Cu, kau tolongi aku menghitung!" kata ia pada
muridnya itu. Ia bicara sambil tertawa.
706 "Perhatikan tiga jurusku beruntun ini," kata pula Tang
Hong. "Yang pertama ialah 'Memecah Bunga Mengebut
Yangliu1, mengarah pundakmu kiri dan kanan. Yang kedua
ialah 'Phang Ie Memukul Tambur, untuk mengarah
tenggorokanmu. Yang ketiga ialah 'Bianglala Putih Menutupi
Matahari', langsung menikam dadamu!"
Sembari berkata-kata itu, seperti guru lagi mengajarkan
muridnya, Tan Hong mulai penyerangannya dengan
menggunai cabang pohon yangliu.
Cong Hay mendongkol bukan main. Biar bagaimana, untuk
belasan tahun ia telah menerima baik gelaran salah satu
empat kiamkek besar. Pula ia adalah congkoan dari istana
kaisar. Tapi sekarang ia dipandang tak mata oleh Tan Hong.
Maka kegusarannya membikin ia melupakan jeri hatinya.
Walaupun Tan Hong mencekal Cengbeng kiam, ia masih tidak
takut, hendak ia mengadu jiwa, apapula sekarang orang
memegang hanya sebatang yangliu. Mendadak ia menggeraki
pedangnya, dengan jurusnya "Membiak mega untuk
mengendalikan kilat." Menggetar dan berbunyi pedangnya itu
disebabkan bekerjanya tenaga dalamnya.
"Cuma luarnya saja, dalamnya tak terisi!" kata Tan Hong
tertawa, Dan ia tidak menggeraki kakinya untuk menyingkir
dari tikaman yang nampaknya sangat dahsyat itu, ia
melainkan menggeser sedikit tubuhnya, hingga ujung pedang
lewat di tempat yang kosong. Selagi tubuhnya menggeser,
tangannya tidak berdiam saja, cabang yangliu diangkat,
dipakai menikam ke depan, ke arah muka si penyerang.
Aneh cabang yang lemas itu, karena dikerahkan, lantas
menjadi lempang dan kaku dan juga mengasi dengar suara
keras. 707 Yang Cong Hay kaget tidak kepalang, mau atau tidak, ia
berkelit mundur. Untuk pertama kali ia merasakan liehaynya
lawan ini. "Jurus yang pertama!" Sin Cu berteriak, nyaring tapi halus.
Dia pun mengasi dengar tertawa yang empuk.
Cong Hay mundur sambil menangkis, habis itu ia
memperbaiki dirinya. Segera ia didesak, datanglah jurus yang
kedua. Ia menjadi repot sekali, lagi-lagi ia berkelit. Belum
sempat ia membalas, datang pula jurus yang ketiga. Dan Sin
Cu saban-saban membacakan itu dengan keras.
Biar bagaimana, congkoan ini ada satu jago. Di jurus ketiga
itu, habis membela diri. Ia mencoba membalas menyerang. Ia
tetap ada muridnya satu guru yang liehay, tidak terlalu
gampang untuk merobohkan dia.
Menghindarkan diri dari penyerangan pembalasan itu, Tan
Hong tidak berkelit, ia hanya menyingkirkan ujung pedang
lawan dengan mengetok belakang pedang orang hingga Cong
Hay merasakan telapak tangannya tergetar dan sakit,
pedangnya pun terpental, syukur tidak sampai terlepas dari
cekalan-nya. "Kali ini boleh juga," kata Tan Hong sambil tertawa,
"melainkan penjagaannya, walaupun rapat tetapi masih ada
lowongannya, maka ini tak dapat disebut jurus yang liehay.
Sekarang kau lihatlah lanjutannya tiga jurusku lagi!"
Ketika itu Sin Cu sudah menghitung hingga jurus yang ke
lima. "Perhatikan tiga jurusku beruntun ini," berkata pula Tan
Hong. "yang pertama ialah Memecah Bunga Mengebut
Yangliu, mengarah pundakmu kiri dan kanan. Yang kedua
708 ialah Phang Ie Memukul Tambur, unuk mengarah
tenggorokanmu. Yang ketiga ialah Bianglala Putih Menutupi
Matahari, langsung menikam dadamu!"
Sembari berkata-kata itu, seperti guru lagi mengajarkan
muridnya, Tan Hong mulai dengan penyerangannya. Cong Hay
boleh merasa beruntung yang ia telah diberi petunjuk dulu.
Serangan yang pertama dapat ia halau, begitu-pun yang
kedua. Ia menggunakan tipu silat "Secara main-main
membagi emas" dan "Tapalan pintu besi." Untuk ini ia
menggunakan kecepatan dan tenaganya yang besar. Untuk
yang ketiga, karena tidak dapat memikirkan jalan lain, ia
menggunakan tipu silat "Kilat dan guntur saling menyambar."
Inilah serangannya yang terhebat, dengan maksudnya
membabat putus senjata cabang yangliu di tangan lawan itu.
Untuk ini ia bersedia bersama-sama rugi andaikata lawan
dapat menggunakan siasat lain.
Sin Cu pun dengan beruntun menyebutkannya: "Ke enam!
Ke tujuh! Ke delapan! Ah, sayang, sayang! Coba suhu tidak
menyebutkannya lebih dulu, pasti dia tidak dapat
menyambutinya... Sekarang tinggal dua jurus lagi, maka kalau
Yang Cong Hay berlaku nekat, tidak nanti dia dapat
dirobohkan dalam sepuluh jurus ..."
Selagi nona ini melamun, mendadak ia berhenti dengan
kaget. Tiba-tiba saja ia mendengar suara sangat keras, dari
terdobrak-nya jendela, di mana terlihat melayangnya satu
tubuh manusia, kaca jendela pecah hancur, air empang
berbunyi berdeburan, airnya muncrat ke segala penjuru.
Sebab tubuh Congkoan dari istana yang besar itu telah
tercebur, mandi di pengempang itu!
Dengan menggunakan pukulannya "Kilat dan guntur saling
menyambar," Yang Cong Hay sudah mengerahkan tenaganya
sepenuhnya. Di luar dugaannya, ia menyabet tempat kosong.
709 Cabang yangliu lawan seperti lenyap tidak keruan paran. Atau
tahu-tahu tubuhnya terlibat cabang itu, lalu terangkat,
kemudian di luar segala kesadarannya, tubuhnya itu
terlempar, mendobrak jendela, terus nyemplung di air!
Tan Hong lantas tertawa.
"Dapat melepas dapat menarik, itu namanya mendekati
Tao!" ia berkata. "Begitu juga ilmu silat! Eh, Sin Cu, jurus ini
jurus yang ke berapa?"
"Jurus yang ke sembilan!" sahut Sin Cu setelah ia
mengeluarkan napas lega. Sungguh-sungguh ia tidak
menyangka. Tan Hong menghampirkan jendela, untuk berkata: "Yang
Cong Hay, kau dengar! Semenjak hari ini dan seterusnya, aku
melarang kau menyebut lagi dirimu kiamkek yang terbesar!"
Hong Giam Toojin merasakan tubuhnya dingin tidak
keruan, tetapi ia majukan dirinya. Ia berlompat.
"Mari aku belajar kenal dengan Hian Kie Kiamhoat!" ia
berkata. Ia melihat kehebatan orang tetapi ia penasaran.
Bahkan segera ia menggunakan sepasang sumpit di
tangannya untuk menjepit cabang yangliu di tangan Tan Hong
itu. Hong Giam ini ada sutee, yaitu adik seperguruan, dari Cie
Seng Cu. Dipadu umurnya dengan Hian Kie Itsu, ia ada
terlebih muda dua puluh tahun, akan tetapi bicara tentang
tingkat atau derajat, dia seimbang sama Hian Kie Itsu itu,
maka dipadu dengan Tan Hong, ia lebih tinggi dua tingkat,
karenanya, malu ia melawan orang dari tingkat lebih muda
dengan menggunai pedang. Bahwa ia telah menggunai
710 sepasang sumpit, itu pun karena ia ingin menguji tenaga
dalam dari orang she Thio ini.
Tan Hong tertawa.
"Yang muda tidak maju, yang tua muncul?" katanya
menggoda. Ia menggeraki tubuhnya, ia menggeser cabang
yangliu-nya. Hong Giam Toojin menyangka orang hendak menyingkirkan
diri, ia menjepit pula, untuk mana ia mengerahkan tenaganya.
Justeru itu, Tan Hong berseru: "Tukarlah dengan pedang!"
Sin Cu tidak melihat, tipu apa yang gurunya gunakan, tahutahu
ia tampak sepasang sumpit di tangannya Hong Giam
sudah terlepas dari tangannya dan mencelat ke luar jendela,
jatuh di empang!
Tenaga dalam dari Tan Hong seimbang dengan tenaga
dalam dari si imam, kalau ia toh dapat mempermainkan imam
itu, inilah disebabkan setelah pertempurannya sama Yang
Cong Hay, ia dapat mengenal baik ilmu silatnya lawan ini dan
kebetulan saja, si lawan temberang, maka ia menggunai cacad
orang itu untuk keuntungannya.
Ketika itu Cong Hay sudah merayap naik dari empang,
pakaiannya kuyup basah. Ia meng-hampirkan paman gurunya
untuk segera mengangsurkan pedangnya. Ia kata: " Susiok,
silahkan pakai pedang ini!"
Bahwa Cong Hay hebat, itu telah terbukti. Walaupun ia
terlempar dan tercebur, pedangnya tak lepas dari cekalannya
itu. Jikalau ia ada orang lain, entah ke mana sudah
terbangnya senjatanya itu.
711 Hong Giam berdiri menyeringai. Ia telah menganggap
derajatnya sudah tinggi sekali, sudah semenjak berberapa
tahun ini ia tidak pernah menggunai pedang, maka adalah di
luar dugaannya, sepasang sumpitnya kena diterbangkan orang
malah orang yang tingkat derajatnya jauh terlebih rendah itu.
"Silahkan menggunai pedang, susiok." Cong Hay berkata
pula. Walaupun ia mengasi dengar ejekan "Hm!" imam ini toh
menyambuti pedang keponakan muridnya itu. Ketika ia
mengawasi kepada Tan Hong, ia dapatkan orang tengah
menggunai cabang yangliunya mengebuti pakaiannya,
sikapnya tenang sekali. Ia menjadi mendongkol, ia merasakan
kulit mukanya panas.
"Tan Hong, kau menukarlah dengan pedang!" katanya.
Inilah yang pertama kali si imam menyebut nama Tan
Hong, maka itu, berubah wajah Bhok Kokkong yang
mendengar panggilan orang itu.
"Bagus!" Tan Hong tertawa. "Sekarang kau tidak lagi
mengatakannya aku telah memalsu nama orang! Sin Cu, kau
tolongi aku memotes lagi setangkai cabang yangliu!"
Si murid lincah sekali, cepat ia mengerjakan titah gurunya
itu. Dengan menyekal sepasang cabang yangliu, Tan Hong
bersenyum. "Hong Giam Toojin ," ia berkata, tenang, "kau adalah
sutee-nya Cie Seng Cu, jikalau aku menggunakan cuma
sebatang yangliu, itulah kurang hormat dari pihakku, maka
sekarang aku memakai sepasang batang untuk melayani
712 pedangmu yang panjang. Dengan begini kita menjadi tidak
kipa!" Dengan kata-katanya itu, Tan Hong cuma main resmiresmian.
Cabang yangliu mana dapat dibanding dengan
pedang" Sengaja ia mau angkat dirinya tetapi pun berbareng
mengangkat juga si imam...
Hong Giam berdiam, cuma hatinya tegang sekali. Ia mesti
dapat menguasai dirinya. Tapi toh ia tak dapat bungkam lamalama.
"Bocah, kau tidak tahu aturan! Lihat pedang!" ia
membentak berbareng menikam.
Thio Tan Hong tertawa.
"Loocianpwee, tikamanmu ini tidak kecelaannya!" katanya.
"Dibanding dengan keponakan muridmu, kau ada terlebih
tinggi satu tingkat!"
Itulah pujian tercampur sindiran. Dan kata-kata itu
dikeluarkan berbareng dengan gerakan cabang yangliu di kiri
dan kanan, dilintangkan satu dengan lain.
Hong Giam terperanjat. Sederhana nampaknya serangan
lawan ini tetapi sebenarnya berbahaya. Kalau ia membabat
yangliu yang kiri, iga kanannya sendiri lowong, kalau
sebaliknya, iga kirinya yang kosong. Karena itu terpaksa ia
mengundurkan dirinya, untuk membuat pembelaan saja.
Tentu sekali ia dapat membela diri dengan baik sekali, karena
tidak percuma ia telah dididik kakak seperguruannya.
"Loocianpwee," kata pula Tan Hong, tetap sambil tertawa,
"dengan ini satu gebrak saja maka terlihatlah sudah hasilnya
latihanmu beberapa puluh tahun. Kau telah memperoleh
713 rahasianya kemahiran ilmu silat, hanya sayang, kau baru saja
masuk sampai di ruang pendopo, kau belum lagi masuk ke
dalam kamar, maka baiklah kau pulang untuk belajar terlebih
jauh dengan kakak seperguruanmu, mungkin kau nanti dapat
men-ciptakan suatu partai tersendiri! Sungguh, loocianpwee,
aku menaruh pengharapan besar terhadapmu!"
Kembali pujian yang terselip ejekan yang terlebih hebat,
mirip dengan guru yang tengah mengorek-ngorek kesalahan
dalam buah kalam muridnya.
Hong Giam merasakan dadanya hampir meledak, sebisabisa
ia mengendalikan diri.
Sebagai satu jago, satu ahli, ia menginsafinya baik-baik, di
waktu bertanding, tidak boleh ia mengumbar hawa marahnya.
Ia berlaku waspada sekali terhadap sepasang batang yangliu
lawannya ini, yang tidak dapat dipandang ringan.
Sebentar saja, tiga puluh jurus sudah berlalu. Sepasang
cabang yangliu-nya Tan Hong bergerak-gerak lincah mirip
sepasang naga tengah bermain-main, setiap serangannya
senantiasa di luar dugaan. Hong Giam menggunai sebatang
pedang yang panjang, ia masih kewalahan, ia cuma dapat
menangkis, tidak bisa ia membalas menyerang, dari itu
dengan sendirinya pengaruh lingkaran pedangnya itu makin
lama menjadi makin ringkas, hingga dengan sendirinya si
imam bagaikan kehilangan pengaruhnya.
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menyaksikan kepandaian gurunya itu, Sin Cu sadar. Ia
barulah insaf kefaedahan dari Siangkiam Happek, gabungan
sepasang pedang dari Hian Kie Kiamhoat. Ilmu itu nyata dapat
digunakan tidak cuma oleh satu pasangan, wanita dan pria,
juga dapat oleh satu orang sendiri yang mengandal kepada
kedua tangannya. Pula ini membuktikan liehaynya Tan Hong.
714 Mungkin Hian Kie Itsu sendiri tidak sanggup menciptakan ilmu
permainan sendiri itu.
Ketika dulu hari Hian Kie Itsu menurunkan ilmu silat
pedangnya itu, ia cuma mewariskan kepada dua muridnya
tersayang, Cia Thian Hoa dan Yap Eng Eng, yang masingmasing
diajarkan sebagian, separuh saja, kemudian Thian Hoa
mewariskan pada Tan Hong dan Eng Eng kepada In Lui, juga
seorang separuh, supaya mereka dapat menggabungkan itu,
murid dan cucu murid itu berempat telah terbukti, tidak ada
tandingannya. Sekarang, Tan Hong mainkan itu sendiri saja.
Inilah hasil kecerdasan dan keulatannya sesudah ia menikah
sama In Lui, karena seorang diri terus ia melatih diri dan
memahamkan. Maka tidak sia-sialah cape lelahnya itu. Ini pula
sebab kenapa Tan Hong berani melayani Hong Giam yang
bersenjatakan pedang dengan dua batang yangliu.
Lagi kira tiga puluh jurus, Hong Giam tetap cuma mampu
membela diri. Hanya sekarang, napasnya mulai memburu
keras, sampai itu dapat didengar oleh para hadirin.
Yang Cong Hay senantiasa memasang mata, ia dapat
mengarti suasana yang buruk itu untuk pihaknya. Kalau ia
tidak segera bertindak, mungkin paman gurunya itu
menghadapi bahaya. Maka lantas ia bekerja. Paling dulu ia
merampas sebatang pedang dari tangannya satu pahlawan,
setelah itu, ia berseru: "Si penghianat telah terbukti
kesalahannya, maka hayolah bekuk dia, jangan membuangbuang
tempo lagi!"
Menimpali seruan itu, dari luar ruang muncul belasan orang
dengan senjata mereka lengkap, pakaian mereka tak rata, ada
yang sebagai pahlawan, ada yang seperti imam. Sebab
mereka ada murid-muridnya Cie Seng Pay yang dipimpin Hong
Giam Toojin. Sengaja mereka di tempatkan di luar ruang, oleh
karena mereka dianggap tidak berderajat untuk duduk
715 bersama Bhok Kokkong. Mereka cuma dipesan untuk selalu
siap sedia, buat maju begitu lekas ada pertanda. Di luar,
mereka ditemani oleh sejumlah pahlawannya tuan rumah,
Semuncul-nya mereka, lantas mereka memernahkan diri,
hingga ruang jadi terkurung rapat.
Bhok Kokkong tidak puas tetapi ia tidak bisa berbuat suatu
apa, terpaksa ia berdiam saja, menonton sambil ia dilindungi
beberapa pahlawannya.
Yang Cong Hay pun memberi tanda kepada orangorangnya
itu, untuk bersiap sedia. Kemudian Hong Giam
Toojin berlompat maju, untuk mengambil kedudukannya di
tengah-tengah. Tan Hong bersenyum, kembali ia menggunai cabang
yangliu-nya untuk mengebuti bajunya. Kemudian dengan
sabar barulah ia berkata: "Sudah lama aku mendengar kabar
perihal barisan pedang dari Cie Seng Pay, bahwa barisan itu
liehay sekali, baru sekarang aku dapat menyaksikannya,
sungguh aku merasa sangat berbahagia!"
Yang Cong Hay berdiam saja walaupun ia diejek. Ia hanya
menantikan tanda dari paman gurunya untuk turun tangan
mengepung musuhnya itu.
Tan Hong pun tidak memperdulikannya lebih jauh, ia hanya
menoleh kepada muridnya. Ia tertawa ketika ia berkata:
"Pertempuran kali ini sedikitnya akan memakan waktu
setengah jam, karena tidak ada perlunya untuk kau berdiam di
sini, pergi kau berangkat lebih dulu. Jikalau kau bertemu sama
Hek Pek Moko, sampaikanlah pengharapanku agar mereka tak
kurang suatu apa! Kau tidak usah menantikan aku, jangan kau
mencari, hanya kau boleh berangkat lebih dulu ke Tali. Paling
lambat selang satu dua hari aku akan dapat susul kamu!"
716 Tenang bicaranya Tan Hong, meskipun barisan musuh
berbahaya, ia seperti tak memperdulikannya.
Sin Cu menjadi serba salah. Sebenarnya tidak puas ia
meninggalkan gurunya, sedikitnya ingin ia menyaksikan
pertempuran guru itu. Tapi ia cerdas, mesti ada perlunya
kenapa gurunya menitah ia pergi. Di sana pun ada Hek Pek
Moko, dan ia perlu mencari mereka itu untuk diajak pulang
bersama. Maka ia terpaksa menurut. Katanya: "Baiklah, suhu,
muridmu akan berangkat lebih dulu."
Ia menghunus pedangnya, untuk berlalu. Orang semua siap
sedia, ia pun ingin bersiap. Tapi Tan Hong tertawa.
"Kau simpan pedangmu, anak!" katanya.
"Jangan kau membuatnya mereka kaget hingga nanti
mengganggu barisan pedang mereka ini."
Dengan barisan pedang itu dimaksudkan " kiam tin."
Sin Cu heran hingga ia melengak. Bukankah hebat
pengurungan musuh itu" Mungkinkah, kapan ia
mengundurkan diri, mereka itu tidak akan menghalanghalangi"
Dengan bertangan kosong, mana dapat ia melawan
belasan musuh itu" Tapi ia percaya gurunya, maka ia masuki
pedangnya ke dalam sarungnya, dengan berani tetapi tenang,
ia bertindak keluar, matanya diam-diam dipasang.
Benarlah kesudahannya, tidak ada satu jua murid Cie Seng
Pay yang berani merintangi, mereka berdiri diam pada
kedudukannya masing-masing, maka ia dapat keluar tanpa
halangan. Umpama kata orang menggaploknya mereka itu,
tentu mereka berdiam terus kecuali ada tanda dari Hong Giam
atau Cong Hay...
717 Tan Hong ketahui liehaynya musuh, ia tidak takut, tetapi ia
tahu, ia mesti menaruh perhatian, maka itu, supaya ia tidak
usah repot memikirkan Sin Cu, ia suruh muridnya itu
mengangkat kaki terlebih dulu. Ia sudah menduga tidak nanti
muridnya itu dihalang-halangi musuh.
Baru saja Sin Cu tiba di gili-gili empang, ia sudah lantas
dengar riuhnya suara bentrokan senjata. Itulah tanda yang
gurunya sudah turun tangan. Ia merandak, ia menoleh, ingin
ia menyaksikan, tetapi di akhirnya, ia mendengar kata, ia
berjalan terus. Dengan siurannya angin, ia merasa hatinya
terbuka. Selama dua hari ia menderita, tetapi bertemu
gurunya, ia girang bukan main. Ia percaya, itulah gurunya
yang sudah menolongi padanya. Sebenarnya ia ingin minta
keterangan pada gurunya itu tetapi ia sudah memasuki kota
dan berada dekat hotelnya.
"Entah bagaimana Siauw Houwcu memikirkan aku,"
pikirnya. Setahu bagaimana dengan Hek Pek Moko, mereka sudah
tiba atau belum... Ia berjalan terus. Di tembok luar, ia
dapatkan pertandaannya masih ada. Ketika ia masuk ke
dalam, ia bertindak cepat.
"Siauw Houwcu! Siauw Houwcu!" ia memanggil, gembira.
"Suhu datang!"
Dari dalam kamar tidak ada penyahutan. Ia lantas mulai tak
senang. "Kenapa Siauw Houwcu gemar sekali memain?" katanya.
"Menantikan dua hari saja dia tidak cukup sabar! Dia harus
diajar adat!..."
718 Ia mau menyangka si bocah pesiar ke dalam kota. Ketika ia
menolak daun pintu dan tiba di dalam, ia tercengang. Ia
mendapatkan seperei kusut, tanda seperti Siauw Houwcu
turun dari pembaringan secara kelabakan. Karena tidak mau
memikir banyak-banyak, ia lantas teriaki pelayan rumah
penginapan. Ketakutan nampaknya ketika si pelayan muncul, belum lagi
ditanya, ia sudah bicara, suaranya tidak lancar. Katanya:
"Kami dari pihak rumah penginapan, kami cuma mengurus
tempat tinggal dan makanan tetamu, kalau ada barang yang
hilang, kami tidak bertang-gungjawab..."
"Apa" Barang hilang?" tanya Sin Cu heran.
"Di kota Kunbeng ini sudah lama tidak ada perampok atau
pencuri," berkata si pelayan, menyahuti tak langsung, "maka
sungguh lacur, kali ini kejadian justeru pada pemondokan
kami ini. Inilah di luar dugaan. Apakah nona ingin majikan
kami turut nona pergi mengajukan laporan kepada pembesar
negeri?" Sin Cu jadi heran sekali.
"Sudah, jangan banyak omong!" meme-gatnya. "Penjahat
sudah curi barang apa kepunyaanku?"
"Penjahat telah curi kuda putihmu, nona..."
Nona Ie kaget bukan main.
"Orang telah curi kudaku?" ia menegaskan.
"Benar, nona. Sekarang adikmu tengah mengejar penjahat
itu..." 719 Tanpa menanya lagi, bagaikan angin puyuh, Sin Cu lari ke
istal. Di sana tidak ada Ciauwya Saycu ma, kudanya yang
jempolan itu. Ia lari keluar, lari terus hingga beberapa lie. Ia
mendapat kenyataan, tapak kaki kudanya lenyap di luar kota
itu. Ia berdiri diam sekian lama, lalu lekas-lekas ia kembali ke
hotel. Pelayan penginapan masih berdiri menanti di istal,
hatinya berkuatir. Ia takut nanti dimintai penggantian kerugian
kuda jempolan itu...
"Orang macam apa pencuri itu?" si nona menanya
kemudian. Pelayan itu menggeleng kepala.
"Kejadian tadi malam jam empat kira-kira," ia berkata.
"Tiba-tiba kami mendapat dengar teriakannya tuan kecil,
tatkala kami memburu keluar, tuan kecil sudah pergi menyusul
si pencuri kuda, dia lari keras hingga kami tidak dapat
menyusul. Kami cuma tahu tuan kecil tidak sampat merapikan
pakaiannya lagi. Sebentar saja dia lenyap dari pandangan
mata kami."
Sin Cu mencoba menyabarkan diri.
"Inilah heran," pikirnya. "Kudaku itu cuma mendengar
perintahnya suhu dan subo serta aku bertiga. Lain orang
jangan harap dapat menungganginya, tidak segala pencuri
biasa! Mungkinkah dia liehay sekali" Tidak, tidak! Tidak nanti
Ciauwya Saycu ma menyerah kepada siapa pun! Buktinya,
larinya pun tidak kacau" Mustahilkah subo yang datang
sendiri" Tapi tidak nanti subo bergurau denganku! Suhu pun
tak mungkin, suhu berada di kokkonghu. Siapa orang di
kolong langit ini mampu mencuri kudaku itu dan dapat
membikin kuda itu menurut saja?"
720 Pecah rasanya otak si nona, tidak juga ia dapat menerka
jitu. "Nona Ie, kau berniat mengajukan pengaduan atau tidak?"
pelayan penginapan mengulangi pertanyaannya tadi.
"Apa yang hendak diadukan?" sahut si nona, mendongkol.
"Hanya, aku lagi pikirkan, bagaimana caranya untuk
mengejar si pencuri itu..."
"Tetapi, nona, jangan kau gelisah," kata pelayan itu, "Benar
kau kehilangan kudamu
tetapi ada seorang yang meninggalkan kuda lain
untukmu..."
Sin Cu heran. "Apa kau bilang?" tanyanya. "Siapa orang
itu?" "Dua orang bangsa asing," sahut si jongos. "Mereka ada
pria dan wanita, pakaiannya mewah, bicaranya dengan lidah
Inlam. Mereka berlalu belum lama. Mereka mengatakan kenal
kau, nona, waktu mereka dengar nona kehilangan kuda,
mereka lantas menitipkan kudanya itu."
Sin Cu lantas menduga pada Toan Teng Khong dan puteri
Iran. "Siapa lagi yang turut mereka?" ia menanya.
"Mereka cuma berdua. Agaknya mereka dalam kesusu.
Begitu mendapat tahu nona tidak ada di sini, mereka
meninggalkan kudanya dan berangkat dengan lantas."
721 "Mereka dirintangi orang-orangnya kokkonghu, pantas
mereka tidak mau berdiam lama-lama di kota Kunbeng ini,"
Sin Cu kata dalam hatinya. "Kuda yang mereka tinggalkan ada
kuda dari Arabia, inilah lumayan."
Maka ia lantas suruh si pelayan tuntun kuda itu, kemudian
ia lantas lompat menaikinya.
"Ke mana kaburnya si penjahat?" ia tanya.
"Melihat mengejarnya tuan muda, ke selatan," sahut
pelayan itu. Tanpa membilang apa-apa lagi, Sin Cu kaburkan kudanya
ke arah yang disebutkan itu. Tentu saja ia membuatnya si
pelayan ini heran dan gegetun. Pelayan ini berlega hati bukan
main, sedang tadinya ia ketakutan, kepalanya pun pusing,
takut nanti disuruh mengganti harganya kuda jempolan itu.
Sin Cu mengaburkan kudanya walaupun ia tahu tidak nanti
ia dapat menyandak Ciauwya Saycu ma. Ia mengharap-harap
nanti menemukannya di tengah jalan. Bukankah kudanya itu
tidak suka menurut kecuali terhadap majikannya"
Sore itu ia menumpang bermalam di rumah seorang petani,
besoknya pagi-pagi ia kabur pula. Di tengah jalan ia menemui
beberapa orang, yang gerak-geriknya mencurigai, tetapi
mereka tidak ada bersama Ciauwya Saycu ma, ia
membiarkannya saja. Ia terus kaburkan kudanya sampai satu
kali ia dengar tindakan kaki kuda nyaring di sebelah
belakangnya, apabila ia sudah menoleh, ia dapatkan seorang
penunggang kuda yang muda usianya, matanya besar, alisnya
gompiok, pakaiannya dari cita kasar, romannya mirip petani
yang polos. Dia nampaknya likat dan wajahnya bersemu dadu
ketika si nona mengawasi padanya.
722 "Apakah nona bersendirian saja?" ia menanya.
"Kenapa?" Sin Cu balik bertanya. Ia tidak menyahuti.
"Aku juga bersendirian," kata pemuda itu. "Perjalanan dari
sini ke Inlam Selatan ada tidak aman, aku pikir baiklah kita
jalan bersama, jadi kalau perlu dapat kita saling melindungi.
Bagaimana pikiranmu?"
Sin Cu tidak puas, coba orang tidak bersikap polos, pasti ia
sudah mencambuk.
"Biasanya tak senang aku berjalan bersama-sama lain
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang," sahutnya tawar.
"Terima kasih!" Dan ia jeterkan cambuknya, membuat
kudanya berlompat lari, hingga sesaat kemudian anak muda
itu tak nampak lagi.
"Sungguh aneh," nona kita pikir, ia tertawa di dalam hati.
"Pemuda itu seperti tidak membawa barang berharga, biarnya
tempat tidak aman, dia takuti apa" Mungkinkah romannya
saja polos tetapi sebenarnya dia orang jahat" Fui! Biar dia
jahat, kalau dia tidak ganggu, apa aku perduli?"
Sin Cu kabur terus. Sampai magrib ia masih belum melihat
kudanya. Hatinya mulai dingin. Ia merasa bahwa cara
mencarinya ini tidak tepat.
"Sekarang baik aku menuju langsung ke Tali akan
menantikan suhu di sana," pikirnya kemudian. Ia angkat
kepalanya, memandang ke depan. Ia melihat banyak puncak
bukit. "Orang bilang tempat yang indah ialah Kuilim, siapa tahu
Inlam pun tidak kalah," ia ngelamun. Ia pernah baca banyak
723 buku dan mengenal ilmu bumi, mendadak ia ingat, bukankah
pemandangan di depannya itu ada dari "Cio Lim" atau Rimba
Batu yang tersohor keindahan dan keanehannya (thian kay ek
keng)" Ia ingat benar, Cio Lim berada di kecamatan Louwlam
di Inlam.5) Ia lantas melarikan kudanya mendekati rimba batu itu.
Maka ia lihatlah sepotong batu besar yang bagaikan
tergantung di udara dengan empat hurufnya warna merah:
"Thian Kay Ek Keng," di samping mana ada beberapa pujian
umpama "Pemandangan aneh buatan alam" dan "Buah
kerjaan sakti dari kampak hantu." Karena ini ia jadi ingin
pesiar ke dalam rimba batu itu meskipun ia tahu, rimba
istimewa itu katanya mirip dengan barisan Pattin Touw dari
Cukat Bu Houw, ialah keletakan dan jalanannya yang dapat
menyesatkan orang, bisa masuk tak bisa keluar. Ia pikir,
pesiar dulu, baru melanjuti perjalanannya ke Tali. Begitulah ia
mencari rumah satu penduduk, untuk menumpang singgah.
Penduduk situ ada suku bangsa Ie yang ramah tamah,
yang senang mendapat kunjungan tetamu, maka itu, Sin Cu
disambut dengan manis dan dilayani dengan telaten, hingga ia
disajikan makanan yang istimewa yaitu "lengsan," barang
makanan terbuat dari campuran susu kambing atau susu
kerbau. Makanan itu berbau amis tapi Sin Cu paksa dahar juga
beberapa potong. Habis bersantap sore, ia menanya kalaukalau
tuan rumah kenal baik jalanan di dalam rimba batu itu.
"Aku tahu, aku tahu, cuma sekarang jalanan itu tak dapat
dilalui," berkata tuan rumah.
Sin Cu heran, ia menanyakan sebabnya.
"Sebab sekarang di dalam rimba itu berdiam kawanan
penjahat," menerangkan tuan rumah. "Umpama tahun yang
lalu, dua orang Tionghoa masuk ke dalam rimba, selanjutnya
724 mereka tidak pernah keluar pula. Karena itu, kami di sini tidak
ada yang berani memasukinya."
"Begitu?" kata si nona gusar. "Tempat begini luar biasa
menarik, mana dapat penjahat dibiarkan mendudukinya" Kau
antari aku ke sana, nanti aku singkirkan manusia-manusia
jahat itu!"
Tuan rumah menggeleng-geleng kepala dan menggoyanggoyangi
tangannya. "Tidak bisa, nona," katanya. "Jangan kata nona seorang
diri, sepasukan tentara pun tidak nanti berhasil membasmi
mereka. Mereka kenal jalanan. Kalau lain orang dia dapat masuk tak
dapat kembali."
Sin Cu mendongkol, tapi sebab tuan rumah takut, ia tidak
mau memaksa. Malam itu bulan muda baru muncul, Sin Cu keluar dari
rumah untuk menggadanginya. Tuan rumah hendak
menemani, ia menampik. Ia berjalan seorang diri. Ia cuma
dipesan jangan pergi jauh-jauh.
Di luar kampung itu ada sebuah telaga kecil, di tepi situ
pun ada banyak batunya yang munjul tinggi, berbayang di
permukaan air. Juga pemandangan ini cukup merawankan
hati. Nona ini ingat pembilangan hal adanya Kiam Tie,
Pangempang Pedang, di dalam Cio Lim, maka ia anggap,
pangempang itu pastilah indah sekali. Karena ini tanpa merasa
ia bertindak, berniat memasuki rimba batu itu.
725 Mendadak ia melihat berkelebatnya dua bayangan orang
belasan tombak di depannya. Ia heran. Di sana ada tanah
datar yang berumput, di sana pun ada beberapa batu munjul
itu. Ke sana dua bayangan itu masuk, akan kemudian disusul
dua yang lain. Dari heran, ia menjadi mencurigai orang jahat.
Maka ia lari ke sana, untuk mengintai. Untuk menyembunyikan
diri, ia naik di atas puncak. Ia lihat beberapa orang, di
antaranya seorang wanita.
"Tang Lootoa, apakah kau merasa pasti?" terdengar
seorang. "Benarkah si titik itu seorang diri?"
Si "titik" ada kata-kata rahasia kaum penjahat,
dimaksudkan orang yang di arah.
"Benar-benar mereka penjahat yang hendak mencelakai
orang," pikir Sin Cu. Maka terus ia mengintai, memasang mata
dan kupingnya. "Aku tidak salah, dia seorang diri!", jawab si Tang Lootoa
itu. Sin Cu terus memasang kupingnya, sampai ia terkejut.
"Kalau dia benar bersendirian, jangan kita alpa," terdengar
suara seorang tua, yang nadanya dalam. "Tidak sembarang
orang berani jalan sendirian untuk ribuan lie jauhnya."
Herannya Sin Cu ialah ia seperti mengenal baik suara itu.
Maka ia mengingat-ingat.
"Ah, dialah Lie Ham Cin," si nona akhirnya ingat. Lie Ham
Cin ialah salah satu dari tujuh pahlawan dari istana kaisar,
yang pernah menyateroni Thayouw Sankhung. Dialah yang
dapat lolos dari tangannya Hek Pek Moko, sedang yang
lainnya telah mendapat bagiannya.
726 "Inilah aneh," Sin Cu berpikir lebih jauh. "Aku menyangka
kepada orang-orang jahat biasa, siapa tahu di sini ada turut
campur hamba negeri..."
Tentu sekali, ia menjadi semakin ketarik hati.
"Jangan kuatir, looyacu," kata si wanita. "Kita jangan lawan
dia berterang, kita pancing dia masuk ke dalam rimba batu.
Dia bersendirian, biarnya dia liehay dan mempunyai sayap
untuk terbang, tidak nanti dia lolos!"
"Apakah kau merasa pasti?" Lie Ham Cin menegaskan.
"Tentu! Dengan satu akal, dia pasti bakal kena terpancing."
Sin Cu ingin dengar akal itu, tetapi mereka itu hanya kasakkusuk.
"Benar bagus!" kata Lie Ham Cin tertawa,
"Habis membereskan si titik ini, kita barulah membereskan
juga si budak perempuan!"
"Apakah budak perempuan itu pun si titik yang tangguh?"
si wanita menanya.
"Turut katanya Yang Congkoan, dia telah mewariskan ilmu
pedang gurunya dan senjata rahasianya yang berupa bunga
emas liehay luar biasa," menyahut si orang she Lie.
"Sebenarnya, setiap muridnya Thio Tan Hong pastilah tak
dapat dicelah, pasti dia liehay."
Sin Cu kaget sekali. Jadi ia pun lagi di arah. Hampir ia
merabuh dengan bunga emasnya untuk menghajar
rombongan itu. Baiknya ia dapat menyabarkan diri. Ia
727 menduga-duga, siapa itu si titik, ingin ia mencari tahu. Untuk
ini, ia mesti mengawasi terus gerak-gerik rombongan itu.
"Budak itu mengambil satu jalan bersama si titik, jikalau
kita ketemui mereka berbareng, terhadap siapa kita mesti
turun tangan terlebih dulu?" menanya si wanita.
"Tentu saja si titik lebih dulu!" sahut Lie Ham Cin.
"Mereka tak dapat dikumpul bersama. Sekarang mari kita
bersiap sedia!"
Sin Cu lekas-lekas mengundurkan diri, untuk mengawasi
terlebih jauh. Ia memernahkan diri di tempat tersembunyi di
tepian empang. Belum terlalu lama, ia melihat gerakan serupa bayangan
memasuki Cio Lim.
"Siapa titik itu?" si nona menduga-duga. "Lie Ham Cin
liehay dan kawannya banyak, mereka masih tidak berani
menempur secara terang-terangan... Mungkin dia terlebih
penting daripadaku..."
Setelah itu, ia berjalan pulang, akan besoknya fajar, belum
langit terang, ia sudah pamitan dari tuan rumah, yang ia beri
alasan hendak lekas-lekas melanjuti perjalanannya. Tapi
sebenarnya ia menyembunyikan diri di luar rimba batu itu.
Ketika matahari sudah naik tinggi, beberapa orang
kelihatan masuk ke dalam rimba, terus mereka lenyap, tidak
terdengar juga suara apa-apa dari mereka. Ia menjadi
bersangsi si titik datang hari itu.
Hampir nona ini meninggalkan tempat sembunyinya tatkala
kupingnya mendengar tindakan kaki kuda, lalu tak lama
728 kemudian, muncullah si penunggang, yang ternyata adalah si
anak muda kemarin, yang mengajak ia jalan bersama. Dia pun
rupanya tertarik keindahan rimba batu itu, dia turun dari
kudanya, sambil menggendong tangan, dia mengangkat
kepala, melihat langit dan sekitarnya.
"Dia nampaknya tolol tetapi dia ketarik sama keindahan
alam," berpikir si nona. Ia mengagumi juga pemuda itu, yang
terang berperasaan halus.
Justeru itu, tiba-tiba saja terdengar jeritan seorang wanita.
Si anak muda kaget, dia berpaling ke arah dari mana jeritan
itu datang. Dia tampak seorang pria, yang romannya bengis,
membawa lari seorang wanita masuk ke dalam rimba. Wanita
itu menjerit-jerit terus dan meronta-ronta kaki dan tangan.
"Culik! Tolong! Culik! Tolong!" demikian teriakan si wanita
berulang-ulang.
Pemuda itu kaget, lalu dia menjadi gusar, maka dia lari
untuk mengubar.
Semua itu terkilas di matanya Sin Cu. Untuk sesaat ia
berdiam, segera ia sadar, si titik itu pastilah ini anak muda.
Karena ini ia berteriak-teriak:
"Jangan kejar! Jangan kejar! Itulah akal belaka!"
Sia-sia saja teriakan ini, si anak muda sudah mengejar
masuk ke dalam rimba batu. Tapi keras keinginannya si nona
untuk menolong, maka ia hunus pedangnya, ia memburu.
Segera ia dengar suara bentrokan senjata. Ia lari terus, hingga
ia menyaksikan si anak muda lagi dikepung beberapa orang, di
antaranya seorang tua, ialah Lie Ham Cin si pahlawan kaisar.
Pula si "culik" dan wanita yang terculik itu ada bersama,
729 bahakan kebetulan sekali, wanita lagi berkata-kata sambil
tertawa: "Lihat, looyacu, bagus tidak akalku?"
Hebat si anak muda. Ia gempur seorang musuhnya, hingga
dia terdampar ke sebuah batu sampai kepalanya borboran
darah. Pukulan itu membuatnya si nona heran. Ia kenali itulah
jurus dari ilmu silat Kimkongciang Toasut payciu, hajaran
Tangan Arhat. Lie Ham Cin mengasi dengar ejekan "Hm!" terus ia rangsak
si anak muda. Dia menggunai ilmu silat Thaykek kun, untuk
memecahkan tipu silatnya pemuda itu. Si anak muda benar
hebat, walaupun dia gagah, Lie Ham Cin tak dapat berbuat
banyak. Bahkan habis itu, kembali satu musuh dibikin
terdampar roboh.
Si wanita lantas berteriak: "Looyacu, jangan melayani dia
mati-matian! Biarkan dia merasakan aku punya Cubo
Lianhoan Ouwtiap piauw!"
Itulah piauw yang berupa kupu-kupu.
Sin Cu gusar hingga ia tak tahan sabar lagi. Ia lompat
keluar dari tempatnya sembunyi sambil berseru, ia mengayun
tangannya menyebar bunga emasnya, akan meruntuhkan
setiap piauw kupu-kupu itu.
Aneh senjata rahasia si wanita, sesudah runtuh, lalu terlihat
menyambarnya banyak jarum. Karena ini Sin Cu segera
nyerbu dengan putar tubuhnya berikut pedangnya, buat
melindungi diri sambil menangkis.
"Hati-hati!" si anak muda berseru, memperingati si nona,
lalu ia mengebas dengan sebelah tangannya, atas mana
banyak jarum itu tersampok ke samping mengenai batu
sedang semua orang, kawan dan lawan, pada menyingkir.
730 "Buka!" berseru Lie Ham Cin si orang tua.
Itulah tanda rahasia, mendengar mana kawan-kawannya
yang mengepung si anak muda, lantas kabur berpencaran.
Si anak muda, be-gitupun Sin Cu, tidak perdulikan yang
lain-lain, mereka mengejar si pahlawan raja, yang pun turut
melarikan diri, telasap-telusup di antara batu-batu munjul itu.
Sembari mengejar Sin Cu sesalkan si anak muda: "Kenapa
kau tidak dengar perkataanku" Terang-terang ada harimau
tapi kau justeru lari hampirkan harimau itu" Memangnya kau
tidak dengar teriakanku?"
Si anak muda menyeringai, ia menyahuti: "Aku dengar
suaramu tetapi aku ingin sekali menolongi wanita itu, yang
suaranya menyayatkan hati. Siapa tahu..."
"Rupanya kau tidak perdulikan aku, kau tidak
mempercayainya, kau menyangka aku manusia jahat!"
Merah mukanya si anak muda.
"Tidak, tidak," ia menyangkal.
Melihat roman orang, Sin Cu mendongkol berbareng lucu.
Ia pun lantas mengingat bahwa mereka tidak kenal satu pada
lain, bahwa ada wajar saja orang berkasihan terhadap wanita
yang diculik itu, malah ini menandakan kemuliaan hati si anak
muda. Karena ini, tanpa merasa muncullah kesannya yang
baik. "Masuk gampang, keluar sukar," kata ia kemudian. "Mari
kita lihat."
731 Si anak muda mengangguk.
Mereka lantas mencari jalan keluar. Hati-hati mereka
memeriksa tanda-tanda. Akhirnya mereka kembali ke tempat
semula. Artinya, benar-benar mereka sudah tersesat jalan. Si
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nona lantas duduk di batu, nampaknya ia letih.
Selama itu terus si anak muda membungkam saja. Baru
Sekarang ia mengeluarkan rangsum keringnya, ia membagi
pada si nona. "Nona, kau tentu sudah lapar, kau daharlah," ia berkata.
"Kau membekal berapa banyak rangsum?" Sin Cu tanya.
"Hari ini dapat dilewatkan. Bagaimana besok" Bagaimana
lusa" Kita sukar keluar dari sini, apa daya?"
Sin Cu tidak bisa membilang lainnya. Sekarang mereka
bersama-sama seperti duduk sebuah perahu, tidak dapat ia
menyesalkan pula si anak muda. Agaknya si anak muda terus
tidak tenang hatinya. Mendelong ia mengawasi si nona.
"Menyesal, aku telah mencelakai kau, nona," katanya
kemudian. "Nona tahu ke sini orang dapat masuk tetapi tidak dapat
keluar, mengapa kau masuk juga?"
"Habis mana bisa aku mengawasi saja kau bercelaka?" si
nona membaliki.
"Nona baik sekali!" kata si pemuda. Ia memuji, ia pun
mengucap terima kasih. Ia menjura dengan dalam.
Melihat begitu, Sin Cu tertawa. Karena ini, tidak lama
kemudian, lenyaplah kemendongkolannya.
732 "Sekarang kita berada di sini, marilah kita sekalian melihat
keindahannya rimba batu ini!" katanya kemudian. Ia benarbenar
melupai bahaya yang tengah mengancam dirinya,
dengan menyekal pedang terhunus, ia bertindak jalan.
Anak muda itu mengikuti. Sekarang, dengan hati lega,
dapat mereka memperhatikan batu-batu yang berdiri lempang
itu bagaikan pepohonan. Itulah yang menyebabkan
didapatnya nama Cio Lim atau Rimba Batu itu. Ada tempat
yang sempit hingga memuat hanya satu tubuh, ada juga yang
lebar di mana dapat orang bersilat.
Ketika mereka tiba pada suatu tempat di mana dua buah
puncak seperti saling menggencet, mendadak ada anak panah
menyambar, suaranya nyaring. Dengan pedangnya si nona
menangkis anak panah itu. Habis itu, sunyi sirap. Adalah
sesaat kemudian, datang timpukan piauw.
Gusar Sin Cu, sambil berkelit, ia berlompat, matanya
mengawasi ke tempat dari mana senjata gelap itu datang.
Sebat luar biasa, ia mengayun tangannya, lalu di sana
terdengar suara jeritan, suatu tanda si pelepas piauw itu
menjadi sasaran bunga emas.
Lalu terdengar suara orang. "Budak itu liehay bunga
emasnya, jangan layani dia! Biarkan saja dia kelaparan
beberapa hari, baru kita bereskan padanya!..."
Dalam mendongkolnya, Sin Cu menimpuk pula dua kali
tetapi kali ini tanpa hasilnya, bunganya itu terdengar
mengenakan batu. Karena ini, kegembiraannya menjadi
lenyap. "Nona, legakan hatimu, kau memandangilah segala apa
dengan gembira," berkata si anak muda tertawa. "Kalau ada
733 lagi tikus-tikus yang mengganggu padamu, nanti aku yang
mengusirnya!"
Benar saja, tidak jauh dari situ, terlihat berkelebatnya satu
bayangan orang. Tanpa menanti si nona menyerang, si anak
muda sudah menyentil jari tangannya. Ia menyentil sebutir
batu. "Aduh!" terdengar jeritan di sana, disusul sama tindakan
kaki kabur. "Inilah ilmu Tancie Sinthong yang liehay!" berkata si nona
dengan pujiannya. Itulah ilmu menyentil batu. Karena ini, ia
jadi berpikir. Ia tahu, di dalam ilmu semacam itu, orang
terliehay adalah Tang Gak, yang menjadi supehcouw-nya,
Tang Gak itu ada supeh atau paman seperguruan dari Tan
Hong, gurunya sendiri. Cuma supehcouw itu berada jauh di
gurun pasir. Hanya pada sepuluh tahun yang lampau, pernah
supehcouw itu datang ke Tionggoan. Pemuda ini bicara
dengan lagu suara Kanglam, maka aneh dia mempunyai ilmu
menyentil itu. Ia menjadi menanya dirinya sendiri:
"Mungkinkah pengalamanku yang cupat hingga aku tidak
ketahui di sebelah Supehcouw Tang Gak ada lagi lain orang
yang pandai ilmu ini?"
Sin Cu memikir untuk menanyakan keterangan pada si anak
muda, tapi sementara itu, mereka berjalan terus, hingga di
depan mereka tertampak sebuah telaga kecil. Di tepi telaga itu
ada tumbuh banyak pohon bunga, yang harumnya semerbak.
Di lamping bukit pun ada ukiran dua huruf besar, bunyinya:
"Kiam Hong," artinya, "Puncak Pedang." Maka tidak salah lagi,
itulah telaga yang dinamakan Kiam Tie, artinya Pangempang
Pedang. Di permukaan air itu berkacalah sang puncak serta
pepohonan lainnya, yang mendatangkan pemandangan yang
menajubkan. Maka terbukalah hati pepat dari Sin Cu, hingga
dapat ia bersenandung.
734 "Sungguh tepat syairnya Lim Hoo Ceng dipadukan dengan
keindahan di sini!" berkata si anak muda. "Hanya dunia
sedang kacau, mana dapat kita main bersenang-senang saja?"
Terkejut Sin Cu mendengar si anak muda.
"Dia mirip seorang desa tolol tetapi toh dia mengarti Lim
Hoo Ceng..." pikirnya. Maka dengan sendirinya bertambahlah
kesannya yang baik terhadap ini anak muda atau kawan baru
yang didapatnya secara kebetulan sekali. Berdiri di tepian, Sin
Cu bagaikan ngelamun.
"Coba suhu berada di sini, pastilah dia dapat bersyair..."
pikirnya pula. Atau mendadak ia ingat Tiat Keng Sim. Pemuda
she Tiat itu pastilah akan ketarik juga dengan keindahan
pengempang ini.
"Sebenarnya kau bernama apa?" sekonyong-konyong ia
tanya si anak muda kepada siapa ia menoleh dan
memandanginya. Sesudah berselang lama, baru ia ingat
menanyakan nama orang.
"Aku she Yap dan namaku Seng Lim," menyahut pemuda
itu. "Apakah kau orang Kanglam?" Sin Cu menanya pula.
"Tidak salah. Aku asal Sekhun di Ciatkang Barat."
"Itu artinya kau melakukan perjalanan ribuan lie! Untuk apa
kau datang ke Inlam ini?"
Yap Seng Lim ragu-ragu, ia mengawasi si nona.
735 "Aku hendak pergi ke Tali untuk mencari satu orang,"
sahutnya kemudian.
"Untuk pergi ke Tali, inilah bukan jalanannya." Sin Cu
beritahu. "Jalanan untuk ke Tali ada sebalikannya."
Wajahnya pemuda itu menjadi merah.
"Aku tidak menyangka kau pandai ilmu silat, nona,
bahkan kau liehay sekali," sahutnya, tak langsung.
"Ah!" bersuara si pemudi. "Aku menanya kau kenapa kau
justeru mengambil ini jalanan" Tentang ini toh tidak ada
hubungannya dengan aku mengarti silat atau tidak?"
Seng Lim likat.
"Aku lihat kau berjalan seorang diri, nona, dan jalanan tak
aman, aku... aku..."
Sin Cu tertawa lebar.
"Oh kiranya kau berkuatir untuk diriku, kau jadi hendak
melindungi..." katanya. "Pantaslah kau mengajak aku jalan
bersama-sama."
"Mendengar lagu suaramu, nona, kau pun orang Kanglam,"
berkata si pemuda, yang memutar haluan. "Aku numpang
menanya kenapa nona juga membuat perjalanan ke Inlam
ini?" "Aku juga hendak pergi ke Tali!" sahut si nona tertawa.
"Tapi, jangan kau kesusu menanya aku! Hendak aku menanya
terlebih dulu! Hendak mencari siapakah kau maka kau mau
pergi ke Tali?"
736 "Kau ada orang satu kaum, nona, tidak halangannya untuk
aku memberitahukan," sahut si anak muda. "Aku hendak
mencari ahli pedang nomor satu di jaman ini yaitu Kiamkek
Thio Tan Hong."
Sin Cu berjingkrak. Tak dapat ia menguasai dirinya lagi.
"Oh, kiranya kau hendak mencari guruku!" serunya.
Sekarang adalah Seng Lim yang terkejut.
"Apa?" katanya. "Thio Tan Hong itu gurumu?" Mendadak ia
menjura kepada si nona dan menambahkan: "Kalau begitu
kaulah sucie-ku"
"Sucie" ialah kakak seperguruan yang wanita.
"Siapa gurumu itu?" Sin Cu menanya. Ia seperti tak
menggubris kata-kata orang.
"Guruku ialah Su Teng San," menyahut Seng Lim.
Su Teng San ada muridnya Tang Gak, belum pernah Sin Cu
bertemu dengannya, ia hanya ingat ia mempunyai seorang
paman guru yang pernah merantau di selatan dan utara
sungai besar dan hidup sebagai tabib penolong rakyat jelata.
"Sekarang ini berapa usiamu?" ia menanya. Tiba-tiba saja
ia tertawa. Ditanya begitu, Seng Lim melengak.
"Sekarang ini baru dua puluh dua tahun," sahutnya polos.
Kembali si nona tertawa.
737 "Usiaku baru tujuh belas, cara bagaimana kau memanggil
sucie padaku?" bilangnya.
Kembali Seng Lim menjadi likat, tetapi akhirnya, dia pun
tertawa. "Sumoay!" ia memanggil. Sumoay ialah adik seperguruan
yang wanita. "Untuk apa kau mencari guruku?"
Sin Cu seperti tak pernah kehabisan pertanyaan.
"Aku diperintah pamanku," menyahut Seng Lim.
"Siapa itu pamanmu?" si nona menyerocos.
"Pamanku itu ialah Yap Cong Liu."
"Oh kiranya Yap Toakol" Sin Cu berteriak tanpa merasa.
Di dalam kalangan tentara rakyat, orang semua menyebut
Cong Liu sebagai toako, karenanya si nona ini menuruti
kebiasaan itu, hingga tak dapat ia gampang-gampang
mengubah panggilannya itu, Kemudian ia jengah sendirinya.
Orang ini dan ia ada suheng dan sumoay, maka paman orang
itu mana dapat ia panggil toako, kakak.
"Memang, semua orang memanggil toako pada pamanku
itu," berkata Seng Lim. "Ah, apakah kau bukannya Nona Ie?"
ia balik menanya.
"Kenapa?" tanya Sin Cu heran.
738 "Pamanku pernah memberitahukannya bahwa kau pernah
membantu banyak padanya. Paman mengatakan kaulah
wanita gagah perkasa di jaman ini!"
Wajahnya si nona menjadi bersemuh dadu. Terang sudah
Cong Liu telah membuka rahasia penyamarannya kepada
keponakannya ini.
"Kenapa selama berada dalam tentara rakyat tak pernah
aku melihat kau?" ia menanya, untuk menyimpangi.
"Itulah karena aku datang terlambat. Tatkala aku dengar
paman mengumpulkan tentara untuk melawan perompak kate
(pendek), aku lantas pamitan dari guruku, tetapi ketika aku
sampai ke tempat paman, kawanan perompak itu sudah diusir
ke laut. Aku menyesal dan malu sudah ketinggalan..."
"Ada urusan penting apa itu maka pamanmu menyuruh kau
pergi ke Tali?" masih si nona menanya tak hentinya. "Perlu
apa kau hendak mencari guruku?"
"Sesudah pamanku mengusir perompak, lantas dia
menjunjung Pit Kheng Thian menjadi Toaliongtauw, yaitu
pemimpin pusat dari rombongan dari delapan belas
propinsie..."
"Hm!" Sin Cu perdengarkan suara dingin. "Tidak puas
menjadi toaliongtauw dari lima propinsi Utara, sekarang dia
mau menjadi juga toaliongtauw dari delapan belas propinsi!"
Seng Lim heran, ia melengak.
"Pit Toaliongtauw itu pintar dan gagah," katanya,
"kedudukan itu pamanku yang mengalah dan
menyerahkannya padanya."
739 "Baiklah, kita jangan bicara tentang Pit Kheng Thian itu.
Mari kita bicara tentang pamanmu."
"Pit Kheng Thian hendak menghimpunkan semua tentara
rakyat, untuk mengerek bendera, buat merobohkan kerajaan
Beng guna membangun suatu pemerintah baru..."
"Dari siang-siang memang aku telah ketahui dia hendak
mengangkat dirinya menjadi kaisar! Ah, mengapa kau masih
membicarakan halnya dia itu?"
"Tanpa membicarakan hal dia, tidak dapat kita bicara
jelas." Heran ini anak muda, mengapa agaknya si nona membenci
Kheng Thian. "Baiklah, kau boleh omong terus."
"Sekarang ini angkatan perang rakyat itu tengah
menantikan waktunya saja untuk bergerak," Seng Lim
menjelaskan. "Kheng Thian bilang gurumu ada mempunyai
sebuah peta, dengan mendapatkan itu, besar faedahnya untuk
pergerakan tentara itu. Kheng Thian ketahui aku adalah
keponakannya gurumu, dia minta pamanku mengutus aku
kepada gurumu untuk meminjam peta itu."
"Tentang itu sudah beberapa kali Kheng Thian bicara
denganku, aku tidak melayaninya," kata Sin Cu, "sekarang
rupanya dia hendak pinjam mukanya pamanmu itu!"
"Soal peta ada soal yang nomor dua," Seng Lim
melanjuti,"yang utama itulah soal menjungkalkan pemerintah
Beng. Seumurnya pamanku paling menjunjung Thio Tayhiap,
karenanya ia mau minta pikiran tayhiap dapatkan dia
bertindak merobohkan pemerintah. Maka itu paman sekalian
740 utus aku kepada gurumu itu. Paman pesan, jikalau tayhiap
akur, barulah peta diminta pinjam. Melihat keadaan sekarang
ini, pamanku bersangsi sekali, sebab nampaknya Pit
Toaliongtauw pasti bakal menggeraki angkatan perangnya
itu..." Dalam hal besar seperti itu. Sin Cu tidak dapat berpikir,
hanya entah kenapa, ia senantiasa tidak berkesan baik
terhadap Pit Kheng Thian.
"Tahukah kau seorang she Tiat yang dipanggil Tiat
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kongcu?" ia menanya sesudah ia berdiam sekian lama.
"Apakah kau maksudkan Tiat Keng Sim puteranya Tiat
Giesu dari Tayciu?"
"Benar."
"Semasa aku tiba di Tayciu, dia masih ada di sana, pernah
beberapa kali aku bertemu dengannya."
"Ah, apakah sekarang ia sudah pergi dari sana?"
"Ya, semenjak permulaan bulan yang lalu. Kelihatannya ia
kurang cocok dengan Pit Toaliongtauw."
Si nona berdiam.
"Tiat Kongcu itu agaknya sedikit luar biasa..."
"Kenapa?" Sin Cu heran.
"Kabarnya tempo menghajar perompak, dia telah
mengeluarkan banyak tenaga, hanya habis itu, setahu kenapa,
dia kehilangan kegembiraannya, dia menjadi lesuh, sering dia
duduk minum arak seorang diri, tak suka dia bergaul sama
741 orang. Tidak ada yang ketahui sebabnya perubahannya itu.
Pada permulaan bulan yang lalu itu, setelah Pit Toaliongtauw
menjadi pemimpin besar dari delapan belas propinsi dan mulai
berusaha untuk menggulingkan pemerintah Beng, secara
diam-diam kongcu itu mengangkat kaki. Pit Toaliongtauw
menjadi tidak senang, dia dicaci, dikatakan dia tak cocok
dengan kita sebab dialah anaknya orang berpangkat. Paman
menyesal sekali atas kejadian itu. Nona, apakah kau kenal dia
dengan baik?"
Sin Cu memandang ke permukaan air, ia menjadi teringat
kepada gelombangnya sungai Tiangkang. Ia membayangi
pertemuannya pertama kali dengan Keng Sim. Kemudian ia
teringat juga peristiwa menyedihkan di hutan cemara di antara
Keng To dan Keng Sim, guru dan murid itu. Maka itu lama
baru ia menyahuti.
"Ah, kita tidak mengenal baik. Aku menanya sepintas lalu
saja. Baiklah kita jangan sebut-sebut pula dia itu," katanya.
Seng Lim heran. "Kenapa dia berduka dengan disebutnya
Keng Sim?" pikirnya. Ia menjadi dapat suatu perasaan aneh.
Tapi ia menghiburkan diri. "Buat apa aku pikirkan urusan lain
orang?" Maka ia angkat kepalanya, memandang ke antara
batu-batu tinggi. Sinar matahari sudah mulai suram. Di
permukaan air nampak sinar layung.
"Sebelum langit menjadi gelap, mari kita melihat lain-lain
bagian lagi," ia mengajak. "Sekalian kita cari tempat di mana
dapat kita beristirahat. Di sini benar indah tetapi terlalu
terbuka, apabila musuh menyerbu kita, sulit untuk kita
membela diri."
Sin Cu ikut si pemuda berjalan tetapi dengan mulutnya
bungkam. Mereka mengikuti seluk beluknya batu-batu gunung
itu yang bagaikan berpesta. Masih si nona berdiam saja.
742 Sampai di tempat di mana ada kali kecil yang airnya bening, ia
berhenti untuk minum.
"Ah, ada ikan di kali ini!" kata Seng Lim. "Nanti aku tangkap
beberapa ekor."
Ia lagi memandang ke muka air tempo di sebelah hulunya
ada bayangan satu nona, bayangan mana lenyap dengan
berombaknya air. Cepat sekali Seng Lim menjumput sepotong
batu kecil, menimpuk ke arah dari mana bayangan itu datang.
Atas itu terdengar teriakannya satu nona, yang lantas saja
muncul di antara mereka. Lagi sekali Seng Lim menyerang,
tapi kali ini batunya itu terhajar runtuh bunga emasnya Sin Cu.
"Jangan!" Nona Ie mencegah. Bahkan tubuhnya segera
mencelat menghampirkan nona yang baru muncul itu.
"Kiranya kau!" katanya tertawa. "Mana ayahmu?"
Nona itu berdandan sebagai seorang wanita suku bangsa
Ie. Ia mulanya kaget, tapi kemudian ia berkata dengan
pelahan: "Ah encie, kau masih mengenali aku?" Ia bicara
dalam bahasa Tionghoa.
Memang ialah si nona yang bersama ayahnya pernah
memberi pertunjukan sulap menelan pedang. Ia melihat ke
sekitarnya, kemudian ia berkata pula, tetapi dengan pelahan:
"Panjang untuk menutur. Mari aku ajak dulu kamu keluar dari
rimba batu ini."
Sin Cu girang bukan kepalang.
"Kau kenal jalanan rahasia di sini?"
Si nona mengangguk.
743 "Aku menjadi besar di sini, sekalipun dengan mata meram,
dapat aku keluar dari sini,"sahutnya.
Seng Lim menghampirkan nona itu, untuk memberi hormat.
"Maaf," katanya. "Aku menyangka kau ada konconya
penjahat..."
Si nona tertawa.
"Siapa bilang bukannya?" ia menjawab.
Seng Lim terkejut.
"Kalau bukannya aku kenal Nona Ie, tidak nanti aku
menempu bencana ini," berkata pula si nona.
Sin Cu pun heran.
Nona itu tertawa, ia menunjuk pada tusuk konde kumala di
rambutnya. Sin Cu lihat itu, ia kenali itulah tusuk kondenya
sendiri yang ia hadiahkan kepada si nona. Maka sekarang
mengartilah ia sudah. Pada tusuk konde itu ada ukiran huruf
Ie, tanda dari keluarga Ie.
"Karena nona ketahui rahasia jalanan di sini, sekarang tak
ingin aku lekas-lekas keluar dari sini," berkata Seng Lim
kemudian. Mendengar itu sekarang si nonalah yang menjadi heran,
"Kamu tidak mau lekas berlalu dari sini, apakah kamu
hendak menantikan kematian-mu?" dia menegaskan.
744 "Aku ingin minta bantuanmu, nona," kata Seng Lim. "Aku
ingin usir dulu kawanan penjahat, supaya ini tempat indah
tidaklah dinodai mereka itu!"
Sin Cu sebaliknya berpikir: "Nona ini mengaku menjadi
konco penjahat dan ia agaknya bukan tengah bermain-main,
kenapa Seng Lim berani bicara begini rupa terhadapnya?"
Nona itu mengawasi si anak muda. "Apakah kamu cuma
berdua?" ia tanya.
"Kenapa?"
"Mereka itu berjumlah besar, sedikitnya dua ratus jiwa, di
antaranya ada pahlawan dari kota raja! Bukankah kamu
berdua saja?"
Mendengar itu, berubahlah pandangannya Sin Cu. Ia
menjadi girang sekali.
"Memang aku tahu kau bukan orang busuk, nona,"
katanya. "Sekarang aku minta kau ajak aku pergi ke
sarangnya penjahat itu. Tentang segala peristiwanya kau tidak
usah memperdulikannya."
Nona itu tertawa.
"Aku boleh tidak usah memperdulikannya, tidak demikian
dengan Thio Tayhiapl"
Kembali Sin Cu heran hingga ia berdiri melengak.
"Thio Tayhiap yang mana?" ia bertanya.
"Kecuali guru kau, nona, di kolong langit ini mana ada Thio
Tayhiap lainnya?"
745 Benar-benar Sin Cu bingung sekali.
"Sebenarnya, bagaimana duduknya hal?" tanyanya pula. Di
dalam hatinya, ia kata:
"Suhu memang liehay, aku hanya tidak mengarti kenapa
dia seperti dapat meramalkan" Mungkinkah dia sudah ketahui
kami bakal tersesat di sini?"
Nona suku Ie itu seperti dapat menerka hati orang, ia
tertawa ketika ia berkata pula: "Adalah Thio Tayhiap yang
menitahkan kami ayah dan anak datang ke mari. Kita tidak
menyangka akan menemui nona di sini, sungguh kebetulan!"
"Oh, encie yang baik, kau menjelaskannya padaku!"
akhirnya Sin Cu minta.
Nona itu lantas bicara dengan sungguh-sungguh: "Kawanan
penjahat di sini sebagian besar ada orang-orang Ie,
pemimpinnya pun suku Ie, namanya Lang Ying, tapi yang
menjadi pemimpin besar ialah begal tunggal dari Inlam
Selatan yang namanya sangat kesohor yaitu Touw Kun. Touw
Kun ini ketarik pada rimba yang istimewa ini, ia mengajak
Lang Ying bekerja sama. Asalnya Lang Ying ada pemimpin
yang gagah dari kaum Ie kami, tapi ia benci pemerintah yang
memungut pajak dengan bengis, tidak senang ia melihat
bangsanya diperas, maka ia kena dibujuk Touw Kun. Begitulah
ia dapat mengumpul kira-kira dua ratus orang bangsanya,
yang semua muda-muda. Karena ini juga, Lang Ying tidak
mengganggu penduduk Ie di sekitar sini."
Baru sekarang Sin Cu mengarti sebabnya kenapa penduduk
tahu ada penjahat tetapi mereka tidak takut dan hidupnya
tenang-tenang saja. Pantas juga tuan rumah yang ia tumpangi
746 tidak suka menunjuki jalan, malah ia dilarang pergi jauh dari
rumahnya. "Touw Kun juga mengumpul konco-konconya sendiri," si
nona suku Ie menerangkan lebih jauh. "Mereka berjumlah
lebih sedikit tetapi mereka lebih tangguh, maka itu dialah yang
berkuasa, hingga kejadian dia bukan cuma membegal tetapi
pun membunuh orang, ialah kaum saudagar yang berlalulintas
di sini. Karena ini orang-orang suku Ie menjadi jeri dan
tempat ini seperti terlarang untuk mereka. Lang Ying tidak
puas tetapi ia tidak dapat berbuat suatu apa."
Sin Cu tidak menyangka demikian kusut keadaan dalam
dari kawanan penjahat itu.
"Kami ayah dan anak asal Cio Lim ini," berkata pula si nona
suku Ie itu melanjuti keterangannya, "kemudian kami pindah
ke Tali di kaki gunung Khong San. Di atas gunung itu
kabarnya ada tinggal beberapa orang pertapa, yang penduduk
di dekat-dekatnya menghormatinya sebagai dewa-dewa..."
Sin Cu menduga pada kakek gurunya, ialah Hian Kie Itsu
bersama Siangkoan Thian Ya serta Siauw Loothaypo bertiga.
Ia tidak menjelaskannya, ia hanya tanya apa si nona pernah
melihat orang-orang pertapa itu. Nona itu menggeleng kepala,
tetapi ia menyahuti: "Katanya mereka itu tinggal di puncak
Inlong Hong, puncak tertinggi dari Khong San, puncak mana
seluruh tahun ditutupi mega atau kabut dan tidak sembarang
orang dapat mendakinya. Taruh kata orang dapat memendakinya,
belum tentu dewa-dewa itu suka menemuinya. Hanya
ada satu Ouw Toaya, muridnya salah satu dewa itu, yang
sering turun gunung untuk berbelanja dan dia suka menolong
mengobati orang sakit..."
"Bukankah Ouw Toaya itu yang bernama Ouw Bong Hu?"
747 "Benar, itulah namanya Ouw Toaya itu. Aku
mengetahuinya pun baru tahun yang lampau. Kami menanam
sayur, setiap kali turun gunung, Ouw Toaya belanja kepada
kami, karenanya kami jadi kenal dia. Sering Ouw Toaya itu
singgah di rumah kami. Ayahku ketahui Ouw Toaya pandai, ia
telah minta supaya aku diterima menjadi muridnya. Ouw
Toaya menampik, katanya ia masih mempunyai guru, ia jadi
tidak dapat menjadi guru lain orang. Maka ia cuma
mengajarkan kami beberapa rupa ilmu silat. Pun kebiasaan
kami menelan pedang adalah pengajarannya Ouw Toaya itu di
saat ia bergembira sekali..."
Ouw Bong Hu itu ada murid nomor dua dari Siangkoan
Thian Ya. Dia tinggal lama sekali bersama gurunya, maka itu
ia mendapatkan pelajaran jauh lebih banyak daripada Tamtay
Biat Beng (atau Tantai Mieh Ming) si murid kepala. Hanya ilmu
menelan pedang itu didapat Ouw Bong Hu bukan dari gurunya
tetapi dari Hek Pek Moko dengan siapa ia bersahabat erat
sekali, dia mempelajarinya secara iseng-iseng.
"Kamu tinggal aman dan berbahagia di kaki gunung Khong
San, habis kenapa kamu pindah pula ke mari?" tanya Sin Cu.
"Itulah sebab kami menerima titahnya gurumu, nona. Thio
Tayhiap datang ke Khong San baru di musim semi tahun ini.
Ia kenal baik dengan kita. Tayhiap gemar sekali pesiar.
Bahkan Toan Ongya sering mengundang dia datang ke
istana." Keluarga Toan ini, pada sebelum jaman Goan Tiauw, ada
menjadi raja di Tali, raja turun temurun, maka itu meski benar
sekarang kedudukannya cuma sebagai tiepeng ciang -su,
pegawai negeri, rakyatnya saking kebiasaan tetap memanggil
ongya (raja muda atau pangeran).
748 "Selama yang paling belakang ini Toan Ongya hendak
mengangkat dirinya menjadi raja," si nona suku Ie melanjuti
keterangannya, "semua suku kami di Inlam menunjang
padanya. Karena ini, Toan Ongya ingat kepada rombongannya
Lang Ying, maka disayangi sekali ketika ketahuan Lang Ying
menjadi penjahat. Tapi Thio Tayhiap mengatur daya upaya
supaya Lang Ying suka datang ke Tali. Kami ada orang Cio Lim
sini, dari itu Thio Tayhiap yang menugaskan ayah untuk dapat
membujuk Lang Ying itu. Thio Tayhiap menugaskan kami
datang ke Kunbeng dulu, untuk mengadakan perhubungan
dengan siauwkongtia."
Baru sekarang Sin Cu sadar kenapa siauwkongtia ketahui
alamatnya. "Tentulah kau yang membuka rahasiaku!" katanya.
Nona itu bersenyum.
"Harap nona maafkan aku yang telah menguntit kau,"
bilangnya. Hanya berhenti sebentar, si nona suku Ie berbicara pula:
"Aku ada mempunyai satu kakak misan yang menjadi salah
satu sebawahannya Lang Ying itu, dengan kakak itu kami
membuat perhubungan. Sudah tiga hari kami berada di sini,
masih kami belum dapat menemui Lang Ying sendiri untuk
berbicara dengannya. Kakak misanku itu bilang Lang Ying
dikekang Touw Kun, mungkin dia tidak berdaya. Baru kemarin
ini ada datang beberapa pahlawan dari kota raja, satu di
antaranya yang bernama Han Thian ada saudara angkatnya
Touw Kun. Touw Kun hendak dibujuk buat menjadi matamatanya
pahlawan-pahlawan itu. Tentang ini kakak misanku
itu belum berani membebernya pada Lang Ying. Kamu telah
dipancing masuk ke dalam rimba ini, itulah hasil tipu dayanya
Han Thian suami isteri serta Touw Kun itu. Kabarnya semua
749 pahlawan itu liehay apapula yang menjadi kepala yang
bernama Lie Ham Cin..."
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Cuma sebegitu saja!" kata Sin Cu, yang mendadak
berhenti berkata. Sebab tiba-tiba ia ingat suatu apa.
Keningnya lantas dikerutkan.
"Musuh berjumlah besar, baik Nona Ie jangan
sembarangan," kata si nona suku Ie, yang menyangka orang
menyesal sudah omong besar tadi.
"Tidak ada artinya beberapa pahlawan itu!" Sin Cu kata
tertawa. "Bersama-sama Yap Toako, dapat aku melayani
mereka. Apa yang aku kuatirkan ialah kami nanti melukai
banyak orang bangsamu..."
Nona suku Ie itu berpikir. "Kalau nona merasa pasti, suka
aku membantu," kemudian ia menawarkan diri. Ia
mengeluarkan sehelai bendera kecil, yang bersulamkan dua
ekor singa, terus ia serahkan itu kepada Sin Cu sambil
menambahkan: "Inilah bendera Toan Ongya. Tidak ada suku
bangsa di Inlam yang tidak mengenal ini. Kalau nona bisa
mengalahkan Touw Kun serta beberapa pahlawan itu, bisalah
kau gunai bendera ini untuk panggil menakluk Lang Ying itu."
Inilah bagus, Sin Cu girang menerima bendera itu.
"Bagus!" katanya. "Sekarang kau pimpinlah aku ke sarang
mereka!" Kawanan Touw Kun itu bersarang di atas bukit Taykim Nia
di dalam rimba batu itu, itulah bukit tertinggi. Ke sana si nona
suku Ie mengajak Sin Cu dan Seng Lim. Mereka mesti berjalan
berliku-liku dan naik dan turun, nyeplos di antara batu-batu
tinggi seperti pedang atau tombak itu. Pula ada puncakpuncak
yang dihubungi satu dengan lain dengan batu panjang
750 aneh bagaikan jembatan. Syukur Sin Cu dan Seng Lim yang
mengikuti si nona suku Ie itu, kalau tidak pastilah orang telah
terhalang di tengah jalan saking sukarnya jalanan itu.
Tatkala itu sang waktu sudah mulai magrib. Kagum Sin Cu
menyaksikan keletakan tempat.
"Tidak tepat tempat seindah ini dijadikan sarang penjahat,"
berkata ia. "Biarnya bukan untuk Toan Ongya, pasti suka aku
membasmi mereka ini."
Si nona suku Ie benar-benar mengenal baik rimba batu itu.
Ia maju tanpa ragu-ragu sampai mereka berada di kaki bukit
Taykim Nia itu. Di atas puncak terlihat sinar api. Nona itu
kuatir terlihat orang jahat, ia berkata: "Untuk sampai di
puncak yang menjadi sarang penjahat itu perhu dilewatkan
tiga puncak yang kecilan yang berada di jalanan mendaki ini,
maka itu sampai di sini, silahkan nona maju sendiri. Aku
doakan hasilmu! Setelah sarang penjahat pecah, nanti kita
bertemu pula!"
Sin Cu menerima baik. Memang tidak dapat nona itu turut
menyerbu. Mereka berpisahan.
Seberlalunya si nona, Sin Cu berbicara pada Seng Lim,
untuk bermupakatan. Selama berbicara, mereka berduduk di
tanah. Sin Cu setuju masuk langsung, untuk melabrak
kawanan penjahat itu.
"Lebih baik kita berpencar," Seng Lim memberi usul. Ia
bicara sambil tertawa.
"Musuh liehay, mereka pun berjumlah besar, jangan kita
sembrono. Baik kau yang menyerang dari depan, untuk
melayani kawanan pahlawan kaisar itu. Aku akan masuk dari
belakang, lebih dulu aku nanti membakar sarang mereka,
751 supaya mereka bingung dan kacau, tanpa mereka ketahui
berapa besarnya jumlah kita. Dengan musnahnya sarang
mereka, Lang Ying lebih gampang dibujuk."
Diam-diam Sin Cu mengagumi anak muda ini, yang pandai
bekerja. Kalah Keng Sim kalau mereka berdua dipadu. Keng
Sim lebih banyak temberang. Karena orang bicara dengan
beralasan, ke-putusan lantas diambil. Maka itu, lantas juga
mereka bekerja: Yang satu maju langsung dari depan, yang
lain jalan ngitar ke belakang. Mereka akan turun tangan begitu
lekas masing-masing sudah tiba, tak usah mereka saling
memberi pertandaan lagi.
Sin Cu berjalan cepat, ia berlari-lari.
Puncak pertama dilewatkan tanpa penjaganya dapat
mengetahui. Di puncak kedua ia terpergok, ia pun dipanah,
tetapi ia melawan, dengan bunga emasnya ia robohkan
penjaga itu. Ia kaget ketika ia melihat panah, yang dipakai
menyerangnya, nancap di batu, suatu tanda si penyerang
bukan sembarang orang. Karena ini, ia jadi waspada. Ia
loloskan pakaian orang, untuk ia pakai. Dengan
penyamarannya ini, ia menghampirkan puncak yang ketiga.
Tiba-tiba dua bayangan menghampirkan padanya.
"Eh, Ciu Toako, kenapa kau tidak menjaga di bawah?" ia
ditegur. Ia terkejut. Mahir ilmu ringan tubuhnya tetapi orang
masih dapat memper-gokinya. Ia tahu, si penjaga yang ia
binasakan tadi rupanya orang she Ciu dan ia disangka si Ciu
itu. Ia menyambut mereka dengan ayunan tangan, maka
sekejab saja, dua-dua mereka roboh karena bunga emasnya.
Memang, di puncak kedua dan ketiga, penjaga-penjaganya
adalah orang-orang yang diandalkan Touw Kun. Tetapi
mereka semua masih tidak dapat merintangi si nona.
752 Sin Cu maju terus hingga ia mendekati markas penjahat. Ia
masih menyamar, cuaca pun suram, tidak gampang untuk
orang mempergoki ia. Orang pun tidak menyangka musuh
dapat memasuki Cio Lim yang terahasia itu. Demikian ia dikasi
lewat tanpa teguran. Dari dalam terdengar ramai orang
berpesta, dari orang yang main tebak-tebakan tangan.
"Puas mereka merayakan pesta kemenangannya!" Sin Cu
kata dalam hatinya. Ia bersenyum ewah.
Memang itulah pesta kemenangan.
"Han Jieso, inilah jasamu yang besar!" terdengar suaranya
Lie Ham Cin, yang tertawa lebar. "Mereka telah terkurung,
tinggal dibekuknya saja, tidaklah apa, Han Jieko terluka
sedikit." "Looyacu terlalu memuji!" terdengar jawaban seorang
wanita."Tidak berani aku menerima jasa. Sebenarnya jasa
harus didapatkan oleh Touw Ceecu, yang mengijinkan Cio Lim
dipakai sebagai gelanggang pancingan. Tapi dua titik itu sukar
untuk dibekuknya..."
Lie Ham Cin tertawa pula.
"Sebenarnya, semuanya berjasa!" katanya pula. "Sekarang
ini Yang Congkoan sudah tiba di Kunbeng, maka kedua titik itu
boleh kita serahkan saja padanya, lalu habislah tanggung
jawab kita. Bahkan kita boleh mengharapi pahala. Touw
Ceecu, jikalau dikehendaki olehmu, boleh kau minta Yang
Congkoan bicarakan pada Bhok Kongtia supaya kaulah yang
diangkat menjadi raja setempat di sini. Kalau itu sampai
kejadian, sungguh tepat, jadi kau tidak usahlah menjadi raja
dari rimba Cio Lim ini!..."
753 "Aku juga tidak mengharapi jasa atau pangkat!" terdengar
suara nyaring dan kasar dari Touw Kun. "Hanya, aku tanya,
boleh tidak kalau itu bocah she Ie diserahkan padaku?"
Lie Ham Cin si pahlawan kaisar tertawa.
"Tahukah kau dia orang apa?" tanya pahlawan ini. "Dialah
puterinya Ie Kiam! Dialah si anak pemberontak yang dicari Sri
Baginda! Bagaimana kau dapat menghendaki dia?"
Agaknya Touw Kun terkejut.
"Dia puterinya Ie Kokloo?" katanya. "Oh, celaka aku, celaka
aku! Coba aku mengetahuinya siang-siang, tidak nanti aku
memikir gila-gila demikian!..."
Ie Kiam sangat dihormati orang banyak, sekalipun Touw
Kun, dia masih menghargainya.
"Apa" Kau jeri untuk namanya Ie Kiam?" Lie Ham Cin
tanya. "Menurut undang-undang pemerintah, siapa berdosa,
kedosaannya turun kepada anak-anaknya, anak-anaknya itu
akan dijadikan budak! Bocah itu sangat cantik, aku kuatir Sri
Baginda sendiri yang nanti menghendakinya! Kalau tidak,
dengan mengodol banyak uang, ada harapan kau
mendapatkan dia..."
Kembali pahlawan ini tertawa, hanya kali ini, tertawanya itu
dibarengi sama suara memberebet di tenda gubuk, lalu
sebuah sinar emas melesat masuk. Menyusul itu orang yang
dipanggil Han Jieso menjerit keras, tubuhnya roboh.
Satu sinar pun menyambar ke arah Lie Ham Cin, tetapi dia
awas dan sebat, dia sempat mencabut goloknya dan
menangkis, hingga sinar emas itu mental. Hanya, berbareng
754 dengan itu, Sin Cu lompat masuk, matanya mendelik,
pedangnya diputar!
Touw Kun kaget hingga ia duduk menjublak. Kembali Nona
Ie mengayun tangannya, kali ini tiga bunga emas melesat dari
tangannya. Han Jieko mengeluarkan teriakan mengerikan
yang tertahan, tubuhnya lantas roboh, sebab sepotong kimhoa
nancap di batang lehernya, hingga jiwanya segera melayang
pergi. Kimhoa yang kedua mengenai Touw Kun di saat itu
kepala begal hendak menggeraki toyanya guna maju
menyerang si nona begitu lekas ia sadar, cuma orang she
Touw ini tidak dirampas jiwanya, melainkan ilmu silatnya yang
dibikin musnah. Inilah sebab barusan dia masih menghargai Ie
Kiam. Lie Ham Cin menangkis kimhoa yang ketiga, terus ia
tertawa terbahak-bahak. Ia dapatkan si nona seorang diri, ia
tidak takut. "Kau manusia celaka!" Sin Cu menegur. "Hek Pek Moko
memberi ampun padamu, supaya kau insaf dan mengubah
kelakuan, siapa tahu kau tetap menjadi kuku garuda, bahkan
kau mencelakai menteri setia! Sekarang kau tidak dapat
ampun lagi!"
Sin Cu pun berani, ia lantas menerjang.
Lie Ham Cin membuat perlawanan. Tiga kali ia
membuyarkan serangan si nona, lalu ia tertawa lebar.
"Kau tidak hendak memberi ampun padaku, apakah kau
kira aku sudi memberi ampun padamu?" katanya, mengejek.
"Sahabat-sahabat, mari maju! Dia inilah puterinya si
pengkhianat, dia mesti ditangkap hidup, jangan bikin dia
mampus!" 755 Lie Ham Cin membawa empat siewie, pahlawan, kecuali
Han Thian yang telah terbinasa itu, masih ada tiga yang
lainnya, yang semuanya pilihan, maka ia menganjurkan
mereka ini maju mengepung Nona Ie. Maka Sin Cu lantas saja
terkurung. Nona itu bersenyum ewah. In mainkan pedangnya
melayani empat musuh itu. Ia perlihatkan ilmu pedang Hian
Kie Kiamhoat. Walaupun ketiga musuhnya gagah, ia
membuatnya mereka itu repot. Syukur mereka mendapat
bantuannya Lie Ham Cin yang liehay itu, kalau tidak pastlah
siang-siang senjata mereka sudah terbabat kutung.
Lie Ham Cin itu berpokok ilmu silat Thaykek Pay, ia telah
memaham-kan ilmu tangan kosong dan golok untuk beberapa
puluh tahun, hebat perlawanannya itu, hingga ia membikin si
Nona Ie menjadi penasaran dan sebal. Maka Sin Cu
menyerang bukan main hebatnya.
Pertempuran itu dahsyat sekali, seluruh markas menjadi
gempar. Touw Kun merayap bangun, ia tidak dapat berkelahi
lagi tetapi ia bisa mementang bacotnya. Maka ia teriaki Lang
Ying, yang ia panggil Lang Ceecu, untuk membantui dengan
menggunakan barisan panah.
Sin Cu dengar suara orang itu, ia menginsafinya bahaya. Ia
mengarti tidak dapat ia berlaku ayal. Maka kembali ia desak
Lie Ham Cin, yang sudah mulai kewalahan, begitu lekas
pahlawan tua itu mundur, ia mengayun tangannya
menyambar-kan tiga buah kimhoa.
Dari tiga pahlawan, yang dua roboh seketika terkena bunga
emas itu. Yang ketiga, yang paling liehay di antaranya, dapat
menyelamatkan diri. Setelah itu sambil menuding, si nona
bentak Touw Kun: "Telah aku mengampunkan jiwamu, kau
masih tidak sudi menerima kebaikan hatiku! Jikalau kau masih
756 mementang bacot, lihatlah ini dua contoh!" Ia menunjuk
kepada kedua pahlawan, dari yang mana yang satu terhajar
matanya, yang satu lagi tertancap tenggorokannya.
Setelah itu, tidak menghiraukan markas penjahat kalut, Sin
Cu mendesak pula Ham Cin. Tapi sambil berkelahi, ia melihat
kelilingnya. Ia mendapat kenyataan di pintu ada menghalang
seorang suku Ie yang berewo-kan dan matanya tajam beserta
beberapa puluh tukang panah suku bangsa Ie. Ia menduga
kepada Lang Ying. Tidak tempo lagi, ia keluarkan bendera
sulam dua kepala singa, ia kibarkan itu untuk dilihat orang
banyak sambil ia berkata dengan nyaring: "Lang Ceecu,
kaulah orang gagah bangsa Ie, mengapa kau membantu
harimau mengganas" Kau tahu, Toan Ongya menggundang
kau datang ke Tali untuk melakukan usaha besar! Maka kau
pikirlah masak-masak!" Kemudian Ia lemparkan bendera itu
kepada ketua suku Ie itu.
Lang Ying berdiri menjublak setelah ia menanggapi bendera
itu. "Lang Ceecu" Lie Ham Cin berteriak, "jikalau kau
menghendaki kekayaan dan pangkat mulia, akan aku
mintakan Sri Baginda mengangkat kau menjadi touwsu dari
Cio Lim ini! Lekas bekerja sama untuk membekuk pengkhianat
inil" Belum lagi berhenti suaranya pahlawan raja ini, segera
terdengar suara sangat berisik dari belakang markas, di mana
nampak api berkobar-kobar.
Lang Ying kaget bukan main. Ia tidak menduga kepada
perbuatan Yap Seng Lim seorang, ia percaya markasnya sudah
diserbu dari belakang dan telah dobol, bahkan ia tengah
terkurung. Untuk sejenak ia tercengang, lantas ia berteriak
keras: "Siapa kesudian anugerah kamu bangsa Han?"
757 Terus ia mengibaskan tangannya kepada pasukan
panahnya: "Mundur kamu!" Habis itu, ia menghunus goloknya
akan maju menerjang, untuk membantui Sin Cu.
Lie Ham Cin kaget bukan kepalang. Inilah ia tidak sangka.
Tapi ia sangat licin. Mendadak saja ia berlompat, tangan
kirinya diulur. Ia mainkan jurus dari Kimna hoat, pukulan
Menangkap. Hebat gerakannya itu, sejenak saja, Lang Ying
telah kena ditawan olehnya.
Sin Cu kaget, ia menikam, tetapi lawan itu memajukan
tubuhnya si pemimpin suku Ie itu. Terpaksa si nona menarik
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pulang pedangnya.
"Baiklah!" seru si pahlawan. "Mari kita mampus bersama!"
Sin Cu menyerang terus, ia membabat kuping tetapi gagal.
Saban-saban tubuh Lang Ying digunakan sebagai tameng.
Senang Ham Cin melihat kegagalan orang, bahwa orang
sudah kewalahan, maka ia tertawa tergelak-gelak.
Tengah pahlawan ini tertawa, mendadak ada seruan hebat
di sebelah belakangnya, seruan bagaikan guntur, lalu tenda
tersingkap, terlihat bayangan satu orang lompat menerjang
masuk. Belum sempat Ham Cin melihat bayangan itu, ia
sudah merasakan sakit hingga ke tulang-tulang. Sebab hanya
dengan satu kali bergerak, selagi ia repot membela diri dari
serangan bertubi-lubi dari Sin Cu, tiba-tiba saja
lengannyayang kanan kena orang cekuk dan ditekuk!
Pasti sekali bayangan itu Seng Lim adanya. Seng Lim
mempunyai kepandaian Taylek kimkong ciu, lima jarinya
memegang keras sekali, maka juga, satu kali dia mengerahkan
tenaganya, Lie Ham Cin tidak sanggup mempertahankan diri
lagi, bahkan goloknya mental menghajar jidatnya sendiri.
758 Untuk mencoba membela diri, terpaksa ia melepaskan
cekalannya kepada Lang Ying.
Orang Ie itu menjadi sangat gusar, begitu ia merdeka, ia
ayun goloknya ke arah pahlawan ini, maka pada detik itu juga,
tubuh si pahlawan kena terbacok menjadi dua potong!
Dalam saat kacau itu, Touw Kun sudah menyingkirkan diri.
Pahlawan yang terakhir telah kena dibinasakan Sin Cu, yang
meninggalkan Lie Ham Cin selekasnya musuh ini dicekuk Seng
Lim. Maka itu, dengan yang mati dan kabur, habislah kawanan
penjahat kecuali orang-orangnya Lang Ying. Mereka ini lantas
mencoba memadamkan api.
Tetapi Lang Ying tertawa berkakak:
"Biarlah semua terbakar habis! Kita toh telah bebas dari
kawanan anjing itu hingga sekarang kita semua dapat pergi ke
Tali kepada Toan Ongya."
"Memang, tidak selayaknya kita melanjuti pekerjaan kita
ini, cuma-cuma kita dicaci dan dikutuk bangsa kita!" ada yang
menimpali ketua itu. Dia ini ialah kakak misan dari si nona
suku Ie itu. Nona itu sudah lantas muncul, dalam kegirangannya ia
tubruk Sin Cu yang ia rangkul. Saking girang ia sampai tidak
dapat berkata-kata.
Malam itu juga Lang Ying hendak meninggalkan Cio Lim.
Kapan penduduk yang berdekatan memperoleh kabar, mereka
datang berduyun-duyun. Di hadapan mereka itu Lang Ying
mengutarakan keputusannnya untuk menukar cara hidup. Ia
mendapat sambutan riuh rendah. Bahkan di depan rimba batu
itu segera diadakan pesta besar, orang menyembelih babi dan
kambing, orang menari-nari dan bernyanyi-nyanyi selama tiga
759 hari! Semua penduduk di dekat-dekat situ turut ambil bagian
dalam pesta besar yang sangat meriah itu. Adalah tiga hari
kemudian, baru rombongannya Lang Ying itu berangkat
menuju ke Tali.
Seng Lim bersama Sin Cu tidak dapat menunggu sampai
tiga hari, di hari pertama, sehabis menghadiri pesta, mereka
pamitan dari Lang Ying semua, kemudian mereka berangkat
terlebih dulu. Dari Cio Lim ke Tali, perjalanan ada seribu lie lebih dan
mesti melintasi pegunungan atau tanah datar tinggi,
perjalanan pun sukar, maka sudah empat lima hari, kedua
orang muda itu masih berada di tanah pegunungan yang
tinggi atau hutan belukar. Selama itu Seng Lim bersikap
sangat telaten terhadap Sin Cu hingga si nona puas dengan
teman seperjalanan ini. Si pemuda tidak menyebabkan orang
gembira tetapi juga ia tidak menyebalkan...
Sin Cu pun puas dengan perjalanan ini walaupun kawannya
tidak pandai bernyanyi atau bersenandung, sebagai gantinya,
di rimba-rimba ada burung-burung dengan pelbagai ragam
bunyinya, ada bunga-bunga yang indah dan harum semerbak,
ada sungai-sungai atau air yang indah.
Ada sebuah pohon yang menarik perhatiannya Nona Ie
selama perjalanannya ini. Pohon itu kedapatan di sepanjang
jalan. Itulah pohon yang dinamakan tayceng sie atau "hijau
besar," yang penduduk setempat namakan "bongsui sie" atau
"pohon angin dan air," yang daunnya sangat lebat dan
mendatangkan keteduhan, yang batangnya mirip
"cengkeraman naga," yang duduknya di tanah kuat sekali.
Daunnya pun hijau di empat musim. Hingga orang
memandangnya sebagai alamat usia muda dan penghidupan.
760 Memperhatikan pohon ini, Sin Cu mendapat suatu kesan
baru. Pernah dia mengumpamai Tiat Keng Sim dengan bunga
mawar di dalam taman di Kanglam dan Yap Cong Liu seperti
pohon cemara di dataran Inlam atau Kuiciu, maka sekarang ia
Elang Terbang Di Dataran Luas 11 Amarah Pedang Bunga Iblis Karya Gu Long Kisah Pendekar Bongkok 10