Pencarian

Pendekar Wanita Penyebar Bunga 12

Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen Bagian 12


nampak Yap Seng Lim bagaikan pohon tayceng itu, pohon
yang angkar dan berjiwa. Hanya ia bimbang, ia lebih suka
bernawung di pohon yang teduh nyaman itu atau berada di
antara pohon bunga mawar untuk bersenandung...
Akhir-akhirnya mereka mulai memasuki juga wilayah Tali.
Masih jalanan pegunungan yang mesti ditempu.
Demikian pada suatu hari, tibalah mereka di tempat yang
dinamakan Anggaypo atau tanjakan Lembah Merah. Sin Cu
menjadi girang, karena pernah ia memperoleh keterangan,
selewatnya lamping ini, lagi dua hari mereka bakal sampai di
Tali. Ia girang dan lupa letihnya karena ia merasa bakal
segera bertemu gurunya. Begitulah ia mendahului Seng Lim,
untuk jalan di depan. Jalanan luar biasa sukar, manusia masih
mending, tetapi kuda lelah bukan main. Maka kesudahannya,
berdua mereka menuntun kuda mereka.
"Orang bilang Thian-cu biopo paling tinggi dan Anggaypo
paling berbahaya, inilah benar," si nona kata menghela napas.
Seng Lim sebaliknya tertawa dan berkata:
"Orang bilang Tali paling indah pemandangan alamnya,
selewatnya tempat sukar ini orang akan melihat tempat indah
seperti Taman Bunga Tho... Aku lihat inilah kehendak Thian,
yang merencanakan manusia mesti bersusah paya dulu baru
beriang gembira. Demikian penghidupan manusia, demikian
juga jalanan..."
Sin Cu ketarik pada kata-kata si pemuda ini, ia merasakan
itu ada filsafatnya...
761 Biarnya sukar, orang pun dapat juga mendaki Anggaypo
itu, maka setibanya di atas tanjakan, kuda mereka sengalsengal,
napasnya mengorong keras, mereka sendiripun mesti
duduk beristirahat. Di sini mereka merasa hati mereka
terbuka. Di hadapan mereka terbentang pemandangan alam
yang menarik hari.
"Kau benar," kata Sin Cu tertawa. "Lihat di sana, habis
gunung-gunung tinggi lalu tanah rendah dan rata."
Tiba-tiba saja si nona teringat pula pada Tiat Keng Sim,
hanya kapan ia berpaling, ia menampak Yap Seng Lim yang
sederhana, polos bagaikan anak dusun. Sendirinya ia
merasakan mukanya panas, ia jengah walaupun Seng Lim
tidak tahu apa yang orang pikir dalam hatinya. Tidak pernah
dia memikir kepada Keng Sim.
Sin Cu bertunduk, ia merasakan pikirannya kacau. Di dalam
otaknya, ia berkutat seorang diri. Ia menjadi sadar kapan
kupingnya mendengar suara meringkiknya kuda di bawah
tanjakan. Mendadak saja ia berseru-seru: "Ciauwya Saycu!
Ciauwya Saycu!"
Seng Lim heran. "Apa?" tanyanya.
"Kudaku yang hilang! Kudaku yang hilang!" menyahut si
nona. "Kau berdiam di sini melihat kuda kita, aku hendak pergi
melihat ke sana!"
Tanpa menanti jawaban si anak muda, ia lari turun
tanjakan. Tepat di tengah-tengah tanjakan itu, Sin Cu
meadapatkan sebuah rumah besar dengan tembokan merah
dan genting hijau, pekarangan depannya luas di mana ada
sejumlah orang, tetapi di situ tidak ada hewannya. Maka ia
menjadi heran sekali.
762 "Tidak nanti kupingku salah dengar, katanya di dalam hati.
"Itulah ringkikannya kudaku! Ah, kuda, kudaku, kau mestinya
telah ditambat dan di kurung orang jahat! Karena kau ketahui
aku datang, kau perdengarkan suaramu supaya aku datang
menolongi..."
Memikir begitu, si nona hampir kalap, hingga hampir saja ia
lantas lari menghampirkan orang banyak di muka rumah besar
itu. Ia membatalkan niatnya karena ia melihat, lebih dulu
daripada ia, ada seorang muda dengan pakaian putih sudah
lari ke antara orang-orang itu. Mengawasi orang muda itu, ia
seperti tengah bermimpi. Orang adalah Tiat Keng Sim, yang
baru saja ia buat pikiran..."
Mau nona ini lari terus, ia merasakan kedua kakinya lemas.
Mungkin ini disebabkan kegirangannya yang meluap-luap. Di
lain pihak, ia berpikir pula untuk menyingkir dari si pemuda,
seperti di Tayciu dulu hari itu...
"Ah!" pikirnya akhirnya, "Baik aku lihat dulu apa dia mau
bikin. Cuma aku tidak mengarti, kenapa dia pun datang ke
mari..." *** Selagi Ie Sin Cu tidak menyangka Keng Sim dapat datang
ke Anggaypo ini, ke Tali, adalah Keng Sim sendiri, sengaja dia
membuat perjalanan untuk mencari si nona. Berdasarkan
kecerdasannya ia menduga, setelah meninggalkan tentara
rakyat, pasti si nona pergi ke Tali untuk mencari gurunya,
maka ia pun lantas menyusul. Disebabkan si nona tertunda
perjalanannya di daerah orang Biauw di Kuiciu dan di
Kunbeng, ia menjadi ketinggalan, sedang barusan pun telah
terjadi peristiwa di Cio Lim itu. Maka Keng Sim telah
mendahului ia. Keng Sim pun tidak nanti bermimpikan, si nona
763 yang ia susul berada di Anggaypo dan sekarang berada di
dekatnya, di belakangnya, terpisahnya tak ada setengah lie...
Sin Cu terus menyembunyikan diri di belakang satu batu
besar, hatinya berde-nyutan, matanya terus mengawasi si
anak muda. Keng Sim maju ke antara orang banyak di depan rumah itu.
"Orang tua she Kok, lekas kau keluar menemui aku!"
demikian suaranya nyaring.
Orang-orang itu adalah khungteng, yaitu pegawaipegawainya
rumah besar itu. Mereka maju untuk menghalangi
si anak muda, tetapi mereka diterjang hingga beberapa di
antaranya roboh terguling.
Sin Cu heran sekali, sampai ia mendelong saja. Segera
terlihat pintu pekarangan dibuka, di situ muncul seorang tua
yang berewokan, yang memegang sebatang golok besar,
tindakannya pun lebar dan tegap.
"Bocah yang baik!" dia berkata, nyaring, "berulang-ulang
kau datang mengacau di sini! Sebenarnya, apakah
kehendakmu?"
"Hendak apa" Aku justeru mau tanya kau, kau mau apa?"
mem-baliki Keng Sim. "Kenapa kau mencegah aku bertemu
sama Ie Siangkong?"
Orang tua itu, tuan rumah, yang ada orang she Kok, hingga
ia disebut Kok Khungcu, menyahuti: "Di sini ialah Kok
keekhung. Di sini di mana ada Ie Siangkong yang kau cari
itu?" 764 "Jikalau di sini tidak ada Ie Siangkong, kenapa kuda
tunggangannya berada di sini?" Keng Sim membentak pula.
Terus ia menambahkan, pelahan: "Sebenarnya, Ie Siangkong
yang tidak sudi menemui aku atau kau sendiri yang tidak
hendak membiarkan aku bertemu dengannya" Kau mesti
mengasi penjelasan padaku!"
"He, jangan kau mengaco belo!" membentak Kok Khungcu
"Jikalau kau tetap mengacau, nanti aku tidak akan berlaku
sungkan-sungkan lagi!"
"Biar bagaimana, aku mesti dapat bertemu pada Ie
Siangkong." Keng Sim membelar. "Tidak, tidak nanti dia tidak
sudi menemui aku!"
"Ayah," berkata seorang muda, yang berada di sampingnya
si orang tua. Dia tadi turut keluar bersama. "Buat apa ayah
banyak bicara lagi sama ini bocah edan" Kau bacok saja
padanya! Berulangkah dia mengacau di sini, kalau hal ini
sampai tersiar, bukankah pamor Kok keekhung bakal turun?"
Pemuda itu ada tuan rumah yang muda, siauw khungcu.
Dia habis sabar. Sudah tiga hari Keng Sim datang mengacau,
sudah dua kali ia bertempur sama tuan rumah yang tua itu.
Maka dia pikir, baik menghajar saja, habis perkara.
Keng Sim berkata pula: "Kau bilang di sini tidak ada Ie
Siangkong. Baiklah! Sekarang coba kau suruh keluar orang
yang menjadi pemiliknya kuda Ciauwya Saycu ma itu! Aku
ingin bertemu dengannya!"
Kali ini dia bicara sabar, dia seperti memohon. Kok Khungcu
itu sebaliknya menjadi gusar.
765 "Apa kuda Ciauwya Saycu ma?" katanya. "Apa pemiliknya"
Rumah ini rumahku! Di sini, di tempat sepuluh lie sekitarnya,
semua sawah, rumah, binatang piaraan, semua milikku,
akulah si pemiliknya! Rupa-rupanya kau mengarah kuda
pilihanku itu" Hm, hm! Bangsat cilik, kau pentanglah matamu!
Aku Kok Tiong Ho, aku tidak dapat orang perhinakan!"
Mendengar begitu, Keng Sim pun menjadi panas pula
hatinya. "Kau tidak sudi mengasi aku bertemu pada pemilik kuda
Ciauwya Saycu ma itu, kau rupanya si tukang merampas
banda dan mencelakai jiwa orang! Pasti kau sudah membunuh
Ie Siangkong , kau merampas banda-nya!"
Orang tua itu menjadi kalap.
"Bocah edan!" dia berteriak. "Kau ngaco belo! Lihat golok!"
Dia terus membacok.
Keng Sim menangkis, maka muncratlah lelatu api yang
disebabkan bentroknya dua rupa senjata. Keduanya lantas
saja bertempur. Sesudah mendengari begitu lama, Sin Cu
mengarti duduknya hal. Pasti karena beradanya Ciauwya
Saycu ma di sini, Keng Sim menduga aku mesti berada
bersama. Dia tidak tahu yang aku telah menyalin pakaian,
sampai sekarang dia tetap memanggil Ie Siangkong kepadaku.
Oh, Keng Sim, kiranya kau masih memikirkan aku..."
Pertempuran berjalan seruh, sudah begitu itu diramaikan
oleh seruan-seruannya kawanan khungteng. Tapi Sin Cu tidak
menggubris itu. Ia hanya pikir: "Begini rupa Keng Sim
memikirkan aku, aku sebaliknya senantiasa menyingkir
daripadanya..."
766 Hampir ia lompat keluar dari tempatnya sembunyi, akan
menghampirkan pemuda itu, atau ia ingat, bagaimana sulitnya
keadaan nanti bila ia berkumpul pula sama itu pemuda. Dulu
saja ia sudah merasa pusing.
Mendadak ia dengar jeritan si anak muda, apabila ia
menoleh, ia menampak pemuda itu berdarah di pundaknya,
tandanya dia telah kena tergores pedangnya Kok Khungcu.
"Bocah edan!" dia berteriak. "Kau ngaco-belo! Lihat golok!!"
Dia terus membacok.
Keng Sim menangkis, maka muncratlah lelatu api yang
disebabkan bentroknya dua rupa senjata. Keduanya lantas
saja bertempur.
"Inilah hebat!" pikirnya. Maka ia siapkan tiga tangkai bunga
emasnya. Hanya di saat ia hendak berlompat, ia pun dapat
mendengar jeritannya Kok Tiong Ho, lengan siapa ternyata
sudah dimam-pirkan pedang si anak muda.
Keng Sim tertawa dan berkata dengan nyaring: "Ada
datang tetapi tidak ada perginya, itulah bukan kehormatan!
Lihat pedang!" Dan ia mengulangi serangannya.
Kok Tiong Ho berkelit, tidak urung tali bajunya terlanggar
kutung. Setelah terluka, Keng Sim menjadi ganas. Berbareng
dengan itu, hati Sin Cu menjadi tenang pula.
"Nyata Keng Sim dapat melayani orang tua itu, baiklah aku
menanti dulu," ia mengambil putusan. Di lain pihak ia
mengagumi orang she Kok itu, yang tua tetapi gagah. Ia pun
tidak menyangka di tempat seperti itu bisa terdapat orang tua
seperti dia itu. "Hanya heran kudaku! Kenapa kudaku dapat
berada di sini" Orang she Kok ini boleh gagah tetapi tidak
nanti dia dapat mencuri kuda...!"
767 Sebentar kemudian, Kok Tiong Ho kembali kena ditikam,
benar ia tidak roboh tetapi ia toh terluka. Sekarang ternyata,
walaupun ia liehay, ia masih tidak dapat menandingi Keng Sim
yang liehay ilmu pedangnya "Keng To Kiamhoat."
Sampai di situ si tuan muda mengambil sebatang tombak
dari tangan satu khungteng nya, dengan itu ia maju
membantui ayahnya.
"Anak Cun, mundur!" berseru si ayah.
Tapi pemuda itu sudah menyerang ke punggung Keng Sim,
tidak keburu ia menarik pulang serangannya itu. Hebat Keng
Sim. Sebat sekali, ia menyabet ke belakang, menangkis
tombak. Hanya satu kali bentrok, tombak itu kena dibabat
putus. Menyusul itu, kakinya si pemuda she Tiat ini melayang,
maka "Bruk!" tubuh tuan muda itu tertendang hingga
terpental dan jatuh terbanting.
Kaget dan gusar si orang tua menyaksikan anaknya kena
dibikin roboh, sambil berseru ia lompat menyerang. Ia menjadi
kalap. Tapi ini merugikan padanya. Karena menuruti hawa
marahnya, permainan silatnya menjadi kacau. Keng Sim
menarik keuntungan dari cacad lawan itu. Sambil ber-seru,
anak muda ini menangkis. Ia telah mengerahkan tenaganya,
keras tangkisan-nya, maka goloknya jago tua itu terpental
terlepas dari cekalan. Sesudah itu, dengan satu gerakan
susulan, Keng Sim mengancam tenggorokan orang. Ia
membentak: "Kau mau ijinkan atau tidak aku bertemu pada Ie
Siangkong?"
Si orang tua tidak menyahuti, hanya ia menghela napas. Ia
menanya anaknya:
"Anak Cun, kau terluka atau tidak?"
768 "Tidak," jawab si anak.
"Baiklah!" berkata jago tua itu. "Semenjak dua puluh tahun,
inilah kekalahanku yang pertama! Apakah namamu?"
"Aku Tiat Keng Sim dari Tayciu!"
"Baik! Anak Cun, pergi kau undang kedua pemilik kuda itu
untuk menemui Tiat Siangkong ini!"
"Apa?" Keng Sim heran. "Dua pemiliknya?"
Tiong Ho tidak menyahuti. Ia hanya merobek ujung
bajunya untuk membalut tiga lukanya. Sembari menghela
napas, ia menambahkan pada anaknya: "Kau sekalian bawa
keluar itu kuda..."
Si tuan muda menurut, ia lantas berlalu. Tidak lama ia
sudah kembali bersama sepasang pemuda pemudi, yang
usianya belum dua puluh tahun yang pakaiannya mewah,
tandanya mereka anak-anak hartawan besar atau orang
berpangkat tinggi.
Melengak Keng Sim mengawasi sepasang muda-mudi itu.


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau... kau... kamu siapa?" tanyanya.
Itu sepasang muda-mudi pun heran.
"Kau... kau... siapa?" mereka balik menanya. "Kenapa kau
hendak menemui kami?"
Bukan melainkan Keng Sim, yang heran tetapi juga Ie Sin
Cu dari tempatnya sembunyi, karena ia kenali muda-mudi itu.
Sekian lama ia menahankan hati, untuk melihat siapa pencuri
769 kudanya, siapa tahu sekarang ia dapatkan sepasang puteri
dan puterinya Bhok Kokkong. Kedua muda-mudi itu ada Bhok
Lin dan Bhok Yan, yang telah meninggalkan rumahnya yang
mewah untuk buron!
Setelah datangnya Yang Cong Hay ke istananya, Bhok Lin
mengarti bahwa ia telah menerbitkan onar. Segera ia
bermupakatan dengan Bhok Yan, saudarinya. Nyata si nona
sudah sebal dengan cara hidup di istananya itu, ingin dia
pesiar. Keduanya lantas mengambil keputusan untuk minggat,
malah keputusan itu segera dilaksanakan. Bahkan mereka
menuju ke Tali, untuk mencari Thio Tan Hong.
Selama Tan Hong berada di istana dan mengajar ilmu
surat, pernah ia omong sama kedua muridnya perihal adanya
seekor pooma, yaitu kuda istimewa, yang jempolan, yang
keras larinya dan dapat mengarti maksud orang, namanya
Ciauwya SayCu ma, kuda mana diberikan pada muridnya yang
bernama Ie Sin Cu, bahwa kuda itu cuma jinak kepada
majikannya. Tan Hong menutur secara iseng-iseng, siapa tahu
Bhok Yan mendengari itu secara sungguh-sungguh, maka
tempo kemudian ia meninggalkan istana, si nona minta suatu
tanda mata ialah kipas emasnya. Tan Hong tidak menyangka
apa-apa, ia memberikannya.
Tempo itu hari Bhok Yan buron, ia belum memikir untuk
mencuri kuda. Seberlalunya dari istana, mereka berdua pergi
ke hotel untuk mencari Sin Cu. Mereka tidak ketahui Sin Cu
dan budaknya tengah dikurung Cong Hay di penjara air. Bhok
Yan tidak menemui si nona, sebaliknya, da dapatkan Ciauwya
Saycu ma. Tiba-tiba da dapat satu pikiran, ialah untuk kabur
bersama kuda jempolan itu. Ia lantas keluarkan kipasnya Tan
Hong dan pakai itu untuk membikin kuda itu jinak. Ia berhasil,
karena kuda itu menurut. Maka berdua, dengan menunggang
kuda itu, mereka kabur. Tanpa tiga hari, tibalah mereka di
Anggaypo. Karena sudah magrib, mereka mampir di Kok
770 keekhung, untuk menumpang bermalam. Di sini mereka
tertahan. Ketua dari Kok keekhung ada jago dari Inlam Barat, melihat
kuda itu, timbullah keinginannya untuk memilikinya. Ia
bersedia membayar seratus tail emas asal ia bisa
mendapatkan kuda itu. Tentu saja Bhok Yan dan Bhok Lin
tidak memandang uang, sedang kuda itu milik guru mereka.
Kok Khungcu cerdik, karena pandainya ia bicara, ia bisa
membikin kedua saudara itu membilanginya bahwa kuda itu
bukan milik mereka. Karena ini semakin keras niatnya memiliki
kuda itu. Tapi juga dua saudara itu tidak menyebutkan diri
mereka yang sebenarnya, mereka kuatir nanti di antar pulang
ke rumahnya. Tiong Ho tidak berani membikin susah pada
sepasang muda-mudi itu, yang gerak-geriknya luar biasa,
tanda dari bukan sembarang orang. Maka itu dengan cara alus
mereka ini ditahan, sedang di lain pihak, da mengirim orang
ke Kunbeng untuk membuat penyelidikan.
Luar biasa kuda Ciauwya Saycu ma sendiri. Kok Tiong Ho
tidak dapat menjinakinya hingga sia-sia saja percobaannya
untuk dapat menunggangi. Maka kejadianlah Tiat Keng Sim
kebetulan lewat di depan kampung dan melihat kuda itu, yang
dia kenali. Dia lantas datang untuk minta bertemu pada Sin
Cu, yang dia sangka berada di dalam rumah besar itu.
Kesudahannya terjadilah satu salah mengarti, hingga mereka
mengadu kekuatan.
Keng Sim tidak kenal Bhok Yan dan Bhok Lin, ia heran.
Kedua puteri dan puteranya Bhok Kokkong juga tidak kenal
pemuda ini, mereka pun heran.
"Kamu siapa?" akhir-nya Keng Sim tanya. "Dari mana kamu
curi kuda putih ini?"
771 Bhok Yan heran dan berpikir: "Kenapa dia tahu kuda ini aku
dapatinya dari mencuri?" Bhok Lin sebaliknya tidak senang.
Dia seorang putera hertog, dia dikatakan mencuri, dia merasa
keagungannya tersinggung. Kata dia dengan dingin: "Kuda ini
bukan kudaku, habis apakah kudamu, tuan" Siapa dapat
menunggangi dia, ialah pemiliknya! Kamu semua mengarah
kuda ini, pergilah kamu coba menunggangi, kamu lihat, kuda
ini suka menurut atau tidak!"
Keng Sim heran. Ia kenal Sin Cu cukup lama, hingga ia
ketahui sifatnya kuda itu. Kenapa kuda itu menurut terhadap
dua bocah ini" Untuk ini, ia mau minta keterangannya mereka
itu. Hanya, belum lagi ia sempat menanya, ke situ terlihat
datangnya dua penunggang kuda, yang baru saja tiba. Melihat
mereka itu, Tiong Ho berseru kegirangan.
Sin Cu pun melihat dua orang baru itu, yang membuatnya
ia terperanjat. Sebab merekalah Yang Cong Hay dan Poan
Thian Lo. Ia tentu tidak tahu, sebelum Yang Cong Hay bekerja
di istana, dia pernah menjadi jago di Inlam Selatan,
sebagaimana Kok Tiong Ho ada jago dari Inlam Barat, dan
bersama suheng-nya, Poan Thian Lo, pernah Cong Hay datang
pada Tiong Ho hingga keduanya menjadi sahabat-sahabat
kekal. "Katanya kau telah dapat seekor kuda istimewa..." kata
Cong Hay, yang berhenti dengan tiba-tiba, untuk segera
menambahkan: "Eh, Bhok Siauwkongtia, kau berada di sini?"
tanyanya pada Bhok Kongcu.
Tiong Ho berlompat, untuk menyingkir dari ancaman Keng
Sim. Kaget ia mendengar perkataan Cong Hay itu.
"Apa?" katanya, melengak. "Inikah Bhok Siauwkongtia"
Kuda itu dialah yang membawanya..."
772 "Bhok Siocia, Bhok Kongcu," berkata pula Cong Hay, "kamu
minggat, apakah kamu tidak kuatir nanti mencelakai kongtia?"
Ia menegur itu dua anak muda tetapi matanya menyapu Tiat
Sim, melihat siapa, ia heran. Ia segera menegur juga. "Eh,
Tiat Kongcu , kenapa kau pun berada di sini?"
"Beberapa kali dia datang mengacau ke mari," Tiong Ho
memotong, "dia minta bertemu sama apa yang dia katakan Ie
Siangkong , dia memaksa sangat, dia pun mau minta kuda
istimewa itu! Apa" Apakah dia sahabatmu?"
Tuan rumah ini menyesal. Ada kemungkinan tak dapat ia
membalas sakit hati. Yang Cong Hay tidak menjawab
sahabatnya itu, ia melenggak dan tertawa lebar.
"Tiat Kongcu, kenapa kau menuntut penghidupan dalam
dunia kangouw dan bergaulan sama segala pengkhianat?" ia
tanya pemuda itu. "Ayahmu berada di kantor sunbu di
Hangciu, ia mengharap-harap pulangmu!" Setelah itu barulah
ia menoleh kepada Tiong Ho, untuk berkata: "Kok Khungcu,
tolong kau menyiapkan kuda untuk mengantarkan pulang
pada Bhok Kongcu dan Bhok Siocia ini. Tentang kuda ini, yang
tidak ada pemiliknya, terhadapmu aku tidak berlaku malumalu
lagi!" Kata-kata yang terakhir berarti si congkoan menghendaki
kuda jempolan itu.
Kok Tiong Ho mendongkol bukan main, akan tetapi sedetik
saja, ia dapat mengendalikan diri, ia lantas mengubah
sikapnya. Inilah ia ingat bahwa ia tidak sanggup membikin
jinak kuda itu. Bukankah bagus kalau ia melepas budi" Maka
ia tertawa dan berkata: "Ada pepatah yang membilang,
pedang mustika dihadiahkan kepada satu congsu, kuda
kenamaan dihadiahkan kepada satu enghiong, maka itu
sungguh tepat Yang Congkoan mendapatkan kuda bagus ini!"
773 Dua-dua congsu dan enghiong berarti orang gagah perkasa
dan pendekar. Tapi Keng Sim lain daripada tuan rumah itu. Ia
tertawa dingin.
"Yang Cong Hay, kau jadinya menghendaki kuda ini?" dia
menanya. Cong Hay berpaling seraya melirik.
"Tiat Kongcu," katanya, mengancam, "bahwa aku sudah
tidak melaporkan pergaulanmu dengan Yap Cong Liu, itulah
suatu tanda persahabatan dari aku! Bukankah kuda ini bukan
kepunyaanmu" Benarkah kau tidak sudi bersahabat
denganku"..."
Belum habis kata-kata itu diucapkan, pedang sudah
berkelebat, ujung pedang telah menikam congkoan itu. Itulah
serangannya Keng Sim, yang habis sabar. Cong Hay berkelit
sambil tertawa.
"Tiat Kongcu, kau benar mirip dengan anjing yang
menggigit dewa Lu Tong Pin, kau tidak mengenal kebaikan
orang!" katanya, mengejek. "Hm! Golok dan pedang tidak
mengenal budi, kau harus berhati-hati!"
Keng Sim tidak pedulikan itu nasehat yang dicampur sama
penghinaan, malah tanpa membilang suatu apa, ia menyerang
pula, segera ia mendesak. Ia membuatnya Cong Hay repot,
hingga hampir lengan congkoan itu berkenalan pada
pedangnya. "Kau tidak tahu liehay ku apabila kau tidak dikasi rasa!"
kata Cong Hay akhirnya. Ia menjadi gusar. "Puteranya Bhok
Kongtia tidak berani aku melukainya tetapi kau anaknya satu
774 bekas giesu, jikalau kau dibikin darahmu mengucur tidak ada
artinya!" Sekarang Congkoan ini menggunai pedangnya untuk
melayani orang berkelahi. Karena dua-duanya ahli pedang
kelas satu, hebat pertempuran mereka itu.
Setelah banyak jurus, mendadak terdengar suara tertawa
panjang dari Yang Cong Hay, yang pun berkata secara
temberang: "Tiat Kongcu, apakah kau masih hendak
bertempur pula?"
Suara ini ada suara yang menyusuli bentrokan keras dari
dua senjata, yang lelatu apinya muncrat berhamburan, kedua
lawan pun berpisahan, sebab Keng Sim mesti mundur dengan
gerakan kakinya Ngoheng Pat-kwa. Sebab pedangnya telah
kena dipapas sebelah hingga pedang itu menjadi podol.
Cong Hay mengatakan demikian tetapi dia maju pula, dia
mengulangi serangannya, sedang Keng Sim, yang mundur
terpaksa, kembali melakukan perlawanan, dengan begitu
mereka jadi bertempur pula. Pemuda ini belum kalah tetapi ia
kena terdesak, kalangan sinar pedangnya terus bertambah
ciut. Ia tidak lagi dapat sering menyerang seperti bermula, ia
lebih banyak membela diri.
Sin Cu bergelisah. Ia menonton dengan mencekal gagang
pedangnya. Ia tidak dapat berpikir banyak kecuali harus maju
untuk membantui Keng Sim. Di pihak sana ada musuh. Di saat
ia mau berlompat keluar dari tempatnya bersembunyi, ia
dengar tindakan kaki di belakangnya, ia lantas menoleh. Maka
terlihatlah Seng Lim, yang sudah lantas berada di
belakangnya. Pemuda she Yap itu agaknya heran.
"Itu toh Tiat Keng Sim?" tanyanya.
775 Tidak sabaran pemuda ini menanti lama-lama, justeru
kupingnya mendengar suara senjata beradu, ia lantas lari
menghampirkan si nona. Ia heran akan mengenali Keng Sim,
akan kemudian bertambah heran menyaksikan Nona Ie seperti
orang ngelamun. Di dalam hatinya ia menanya: "Mereka
berdua toh telah bersahabat lama" Ia masih suka menanyakan
aku tentang si pemuda, kenapa sekarang ia menonton saja?"
Ia tidak tahu si nona justeru mau turun tangan.
Sin Cu terperanjat.
"Memang, dialah Tiat Ken, Sim!" sahutnya bagaikan orang
tersadar. "Siapakah itu yang bertempur dengannya?"
"Dialah Yang Cong Hay, congkoan dari istana kaisar!"
"Ah!" seru Seng Lim tertahan. "Mari lekas kita membantui
dia!" Di mulut pemuda ini mengatakan demikian, dalam
perbuatan ia mendahului si nona berlompat, untuk lari
menghampirkan tempat pertempuran. Kalau tadinya ia berlaku
hati-hati, setelah mengetahui orang itu ada pahlawan istana,
ia tidak mau main ayal-ayalan lagi.
Justeru itu kembali terdengar tertawa terkebur dari Cong
Hay. Kali ini disebabkan dia berhasil memapas ikat kepalanya
Keng Sim. Kemudian dia berkata: "Tiat Kongcu, jikalau kau
tidak mau meletaki pedangmu, aku si orang she Yang
terpaksa akan melakukan kadosahan terhadapmu!"
Itulah ancaman, yang diberikuti dengan desakan, hingga
pemuda she Tiat itu, yang mendongkol bukan main, menjadi
terdesak dan repot sekali.
776 Sementara itu Sin Cu telah mengasi dengar seruannya yang
dibarengi dengan ber-lompatnya tubuhnya, maka di lain saat
ia sudah mendahului Seng Lim tiba di tanah datar.
Keng Sim dengar seruan si nona, ia terperanjat.
Dalamkeadaan terancam bahaya itu, ia masih mengambil
kesempatan untuk menoleh. Ia menjadi heran akan
menyaksikan datangnya satu nona yang cantik jelita, yang
gerakannya sangat lincah itu. Tidak segera ia mengenali Sin
Cu, yang di matanya masih tetap Ie Siangkong. Ini pun yang
pertama kali ia melihat orang dandan sebagai seorang nona.
Karena ini, ia menjadi kurban. Lengan kirinya di dekat pundak
telah tergores pedangnya Cong Hay, yang menyerang ia
dengan ganas. Ia terhuyung, sesudah mana, ia melawan pula
dengan nekat, akan di lain saat ia lompat mundur, akan lari ke
arah si nona. Ia pun memanggil-manggil: "Sin Cu! Sin Cu!"
Sin Cu menjadi sangat terharu saking bersyukur terhadap si
anak muda, yang demikian memperhatikannya. Sudah begitu,
ia pun mendengar suaranya Ciauwya Saycu ma. Kuda itu
melihat majikannya, segera dia meringkik berulang-ulang dan
berjingkrakan, untuk lari menghampirkan.
Kok Khungcu mendapatkan kuda istimewa itu tidak mau
jinak, dia rantai ke empat kakinya kuda itu dengan rantai yang
kasar, sedang empat khungteng-nya diperintah memegangi
rantai itu, guna mencegah binatang itu kabur. Tidak urung,
saking kuat tenaganya, kuda itu bisa berontak. Empat
khungteng itu roboh sendirinya. Karena dirantai, kakinya kuda
itu mengeluarkan darah.


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Untuk sedetik itu Sin Cu bersangsi. Ia terharu terhadap
Keng Sim, yang telah mandi darah, ia pun terharu terhadap
kuda kesayangannya. Tapi Keng Sim adalah manusia, ia
anggap baiklah menolongi Keng Sim dulu. Selagi begitu, Yang
777 Cong Hay sudah maju padanya seraya mendahului
menyerang. Tentu sekali, tidak dapat ia berdiam saja. Ia pun
bertemu pada musuh lama. Tapi, belum lagi ia mengangkat
pedangnya, Seng Lim di sebelah belakangnya sudah
mendahului ianya. Pemuda she Yap ini berlompat dari
samping, menyerang dengan pukulannya Taylek kimkong ciu
jurus "Benturan sepasang tangan." Cong Hay terkejut dan
kagum, hingga ia memuji. Tentu saja ia dapat membela
dirinya dan membikin serangan itu tidak memberi hasil.
Setelah itu, ia membalas menyerang.
Seng Lim tidak jerih, dia melawan tanpa berkisar, sedang di
sebelah dianya, Tiat Keng Sim sudah lantas membantu
padanya. Menampak demikian, karena percaya Seng Lim berdua
bakal dapat bertahan. Sin Cu mengawasi si pemuda she Tiat.
Ia berkata dengan pelahan: "Baik-baiklah kau melayani dia,
hendak aku menolongi dulu kuda putihku."
Habis berkata, si nona lompat ke arah kudanya, yang pun
sudah tiba padanya. Ia lantas mengasi bekerja pedangnya
yang tajam, membabat kutung empat utas rantai besi itu.
Maka di lain saat, merdekalah Ciauwya Saycu ma. Celaka
adalah ke empat khungteng, mereka sudah terseret-seret
kuda itu, yang rantainya tak mau mereka lepaskan...
Itu waktu Sin Cu dapat mendengar teriakannya Yang Cong
Hay: "Dua orang ini ada orang-orang jahat yang dicari Sri
Baginda Raja, jangan kasi mereka merat!" Kata-kata itu
ditujukan kepada Keng Sim dan Seng Lim. Sebab ia segera
kenali si orang she Yap itu setelah ia menempur beberapa
jurus. ia kenali orang yang diarah Lie Ham Cin. Ia girang
berbareng heran, sebab secara kebetulan ia dapat menemui
orang she Yap ini yang ia kagumi ilmu silatnya yang liehay.
778 Tapi ia tidak tahu yang Lie Ham Cin sudah melayang jiwanya
pergi menghadap kepada Raja Akherat.
Sin Cu usap-usap kudanya, yang ia dapatkan tidak kurang
suatu apa kecuali lecet di kakinya. Tentu sekali ia tidak dapat
berdiam lama-lama, mesti ia maju untuk membantui Keng Sim
dan Seng Lim. Hanya, belum lagi ia maju, tiba-tiba ia dengar
suara orang tertawa lebar disusuli kata-kata: "Nona Ie, mana
gurumu" Ha! Kali ini tidak lagi ada orang yang dapat
menolongi kau!"
Kata-kata itu segera disusul dengan tibanya orangnya, yang
menyekal cambuk dengan apa dia terus menyerang. Bagaikan
bayangan, penyerang itu menggeraki tubuhnya.
"Jangan ganggu kudaku!" berseru Sin Cu. Ia pun
menangkis. Dua senjata bentrok keras, karenanya si nona mundur tiga
tindak. Penyerang itu ada Poan Thian Lo, murid kepala dari Cie
Hee Toojin. Dia memang jauh lebih liehay daripada Yang Cong
Hay. Kuda putih itu melihat majikannya terancam bahaya, dia
berjingkrak mendupak.
"Binatang, kau mencari mampus!" membentak Poan Thian
Lo, yang tangan kirinya diangkat, dipakai menekan kepala
kuda itu. Tapi binatang itu kuat sekali.
Sin Cu sudah lantas menyerang, guna menolongi kudanya,
maka Poan Thian Lo mesti memutar tubuh untuk melayani
nona ini. Ia menyambut dengan cambuknya.
779 Sin Cu bersiul panjang sambil terus berkata: "Kudaku, pergi
kau lari ke tanjakan sana menantikan aku!"
Ciauwya Saycu ma benar-benar cerdas, sambil meringkik
dia berontak, lantas dia lari pergi menuju ke tempat yang
ditunjuki. Berbareng dengan itu, dua orang pun lari ke luar
kalangan dengan niat menyamber kuda itu, untuk berlompat
ke atasnya guna lari bersama-sama atas seekor kuda.
Merekalah Bhok Yan dan Bhok Lin, puteri-puteranya Bhok
Kokkong Poan Thian Lo menyaksikan itu semua, dia bergerak sebat
sekali. Dengan tinggalkan Sin Cu, dia ayun cambuknya pada
sebuah pohon di sisinya, dia menarik dengan keras, hingga
pohon itu tercabut berikut akarnya, lalu pohon itu dilemparkan
guna menghalang-halangi kedua muda-mudi itu.
"Siauwkongtia jangan lari-larian!" berkata dia sambil
bersenyum ewah. "Kau tunggu saja, sebentar kita pulang
bersama ke Kunbeng!"
Kok Khungcu pun sudah lantas mengepalai orang-orangnya
untuk mengurung muda-mudi itu. Tapi mereka cuma
mengurung, sebab setelah ketahui siapa dua orang itu, tidak
berani mereka berlaku kurang ajar. Bahkan si khungcu muda
berkata dengan manis:
"Silahkan siauwkongtia dan siocia kembali ke gubukku!"
"Aku mau berdiam di sini menonton keramaian!" kata Bhok
Lin nyaring. Khungcu itu merasa sudah cukup asal kedua orang itu tidak
melarikan diri, maka itu ia tidak memaksa.
780 Menampak aksinya Bhok Yan dan Bhok Lin itu, Sin Cu
hendak menghampirkan mereka akan tetapi dia dirintangi
Poan Thian Lo. Dalam murkanya ia menyerang dengan lima
bunga emasnya. Poan Thian Lo memutar cambuknya membikin lima bunga
emas itu jatuh, kemudian ia menyerang pula si nona. Sia-sia
saja Sin Cu hendak membabat kutung cambuk lawan itu,
orang ada sangat lincah, ia bagaikan dikurung, karenanya
terpaksa ia membela diri saja.
Kuda putih itu lari terus, dia baru berhenti setelah sampai
di tempat yang ditunjuk. Di sini dia mengangkat kedua kaki
depannya, berdiri bagaikan manusia, kemudian dia menoleh
ke arah pertempuran.
Kok Tiong Ho berdiri bengong. Ingin sekali ia mendapatkan
kuda itu. Tetapi sesaat kemudian, hatinya menjadi tawar
sendirinya. Ia ingat, umpama ia sanggup menangkap, kuda itu
toh akhirnya bakal jadi kepunyaannya Yang Cong Hay...
Ketika itu Cong Hay tengah dikepung Seng Lim berdua
Keng Sim. Nampaknya ia kena terdesak. Maka juga, segera
terdengar dia berseru: "Kok Khungcu, inilah saatnya untuk kau
mendirikan jasa untuk pemerintah!"
Orang she Kok ini berharta besar, ia tidak mementingkan
pangkat, tetapi tiga kali ia telah merasakan pedangnya Keng
Sim, hatinya panas, dari itu kebetulan sekali Cong Hay
meminta bantuannya. Pula, di hadapan banyak orangnya, ia
hendak menunjuk kegagahannya. Demikianlah ia jumput
goloknya yang besar dan maju menyerang Keng Sim.
Maka kali ini, berimbanglah keadaan mereka itu. Hebat bagi
Sin Cu untuk melayani Poan Thian Lo. Syukur untuknya, ia
dapat bersilat dengan baik dengan ilmu silat pedang Hian Kie
781 Kiamhoat, dengan ia main membela diri, masih bisa ia
bertahan. Bhok Lin menyaksikan dua rombongan yang bertempur itu.
"Encie, lekas lihat!" ia serukan saudaranya. "Lihat, bagus
sekali ilmu pedangnya Nona Ie! Ah, sayang, sayang! Oh,
celaka, berbahaya sekali cambuk itu! Bagus, bagusnya Nona
Ie dapat menyelamatkan dirinya!..."
Bhok Yan sebaliknya mengawasi Tiat Keng Sim, ia seperti
tidak mendengar teriakan adiknya itu.
"Nah, itulah baru ilmu pedang yang bagus sekali!" dia pun
berseru. "Kau lihat, adikku, itulah serangan Burung Garuda
Menyerbu Udara! Dan itulah tipu silat Mengalungi Rembulan!"
"Apa?" tanya Bhok Lin. Dia salah mengarti, dia membicarai
Sin Cu tetapi encie-nya membicarakan Keng Sim.
Keng Sim bergerak dengan lincah, ia mendatangkan
kekagumannya Nona Bhok, hingga nona ini ngelamun: "Aku
tadinya menyangka yang liehay adalah ilmu pedangnya Thio
Tayhiap seorang, yang tidak ada tandingannya, siapa tahu dia
ini pun liehay sekali, mungkin melebihkan-nya..."
Tentu sekali pandangan nona ini tidak tepat, sebab sangat
jauh bedanya kalau Keng Sim dibanding dengan Thio Tan
Hong. Kebetulan saja pemuda she Tiat ini dibantu Seng Lim,
hingga ia jadi dapat berkelahi dengan baik, sedang
pengetahuan si nona mengenai ilmu silat pedang masih hijau.
Terus ini encie dan adik menonton, saban-saban mereka
memuji diseling sama jeritan kaget kalau kebetulan melakukan
penyerangan yang berbahaya.
782 Jauh di tanjakan, mendadak terdengar Ciauwya Saycu ma
meringkik keras. Sin Cu dapat dengar itu, ia kaget dan heran,
hingga ia sudah lantas menoleh. Ia lihat kudanya berjingkrak,
terus lari ke arah jalan besar. Justeru karena itu hampir saja ia
dirabuh cambuknya Poan Thian Lo. Setelah sadar, ia melayani
pula dengan saksama, hingga untuk sementara ia mesti
melupai kudanya.
Ciauwya Saycu ma pergi dengan lekas, tetapi sama
lekasnya juga kembalinya. Tapi ia bukan balik sendiri saja.
Sekarang di punggungnya ada seorang yang telah
perdengarkan suara keras bagaikan guntur. Dia bertubuh
besar, matanya biru, mukanya berewokan, dia mirip seorang
Ouw (asing), sedang tubuhnya tertutup dengan baju seragam
tersalut emas, tangannya menyekal sepasang gaetan
Siangliong Hokciu kauw.
"Paman Tamtay!" Sin Cu berseru apabila ia telah melihat
penunggang kudanya itu.
Memang benar penunggang kuda itu ada Tamtay Biat
Beng, pahlawannya Thio Tan Hong, atau murid kepala dari
Siangkoan Thian Ya. Dibanding dengan Tan Hong,
majikannya, dia masih setingkat lebih tinggi derajatnya. Dia
berasal orang Tionghoa tetapi lama dia hidup di Mongolia,
maka dia mirip orang asing, sedang di Mongolia dia dikenal
sebagai Tantai Mieh Ming. Sekarang dia sudah mendekati usia
enam puluh tahun akan tetapi dia masih tetap gagah.
Setibanya, setelah lompat turun dari kudanya, Tamtay Biat
Beng membentak Poan Thian Lo, lalu dia menyerang.
Suheng dari Yang Cong Hay ini terkejut. Sebenarnya dia
hendak menyerang Sin Cu, karena serangan itu, terpaksa ia
mengubah haluan, ia menyambuti terjangan orang ini. Maka
783 berkelebatlah sepasang gaetan, yang terus dapat menggaet
cambuknya itu. "Kau siapa?" membentak Biat Beng. "Besar nyalimu berani
menghina keponakanku!"
Poan Thian Lo mengerahkan tenaganya, untuk menarik
cambuknya. Ia berhasil meloloskan diri tetapi cambuknya itu
terkutung ujungnya!
Sin Cu segera mengasi dengar suaranya: "Binatang ini
muridnya Cie Hee Toojin, sudah sering sekali dia menghina
aku! Paman, tolong kau berikan tanda mata di tubuhnya!"
"Baik!" berseru Biat Beng, yang lantas saja menggeraki
sepasang gaetannya, yang nampak seperti sepasang naga
emas. Repot Poan Thian Lo didesak secara begitu, tidak dapat ia
membalas menyerang. Ia mesti menutup dirinya. Baru
beberapa jurus, lantas terdengar satu suara keras. Itulah
suara dari putusnya pula cambuk! Hingga dari panjang
setombak lebih, cambuk itu menjadi pendek tinggal empat
kaki kurang! Poan Thian Lo kaget, semangatnya seperti terbang. Ia
lantas saja memikir untuk mengangkat kaki, sebab lawannya
ini liehay luar biasa. Untuk ini ia segera mendapatkan
ketikanya, sebab biar bagaimana, dia tetap seorang liehay.
Tamtay Biat Beng tidak mengejar, dia hanya berkata
nyaring: "Dengan memandang muka gurumu yang bersahabat
dengan Hian Kie Loocianpwee, suka aku mengasi ampun
padamu dari kematian! Kau ingatlah ini baik-baik!"
784 Menyusul kata-katanya itu, sebelah gaetannya menyambar,
maka tidak ampun lagi, sebelah kupingnya Poan Thian Lo
kena dipapas kutung!
Tanpa membilang suatu apa, tanpa menjerit, Poan Thian Lo
ngiprit terus. Sin Cu hendak membantui Keng Sim dan Seng Lim, akan
tetapi Yang Cong Hay sangat licik, ia telah mendengar dan
menyaksikan segala apa, tanpa mensia-siakan tempo sedetik
jua, ia meninggalkan kedua lawannya dan kabur.
Keng Sim panas hatinya, hendak ia mengejar, akan tetapi
kapan ia lihat si nona datang, ia batalkan niatannya.
"Kau baik, Nona Ie!" ia berkata pelahan.
Sin Cu mengangguk dengan tawar.
"Perlu apa kau pergi ke Inlam?" dia balik menanya.
Mendadak saja Keng Sim merasa tawar hati, di dalam
hatinya ia kata: "Dari tempat laksaan lie aku menyusul kau,
mustahilkah kau tidak mengetahui rasa hatiku?" Tentu saja, di
hadapan banyak orang itu, ia tidak berani membeber rahasia
hatinya itu. Maka dengan menyeringai ia menyahuti: "Aku dengar Thio
Tayhiap..."
Seng Lim melihat lagak orang, ia menyelak: "Memang,
tentulah saudara Tiat mencari Thio Tayhiap, maka kebetulan,
sekarang dapat kita berjalan bersama."
Campur bicara orang ini menolong Keng Sim, hanya
seterusnya, ia tetap merasa hatinya tidak tentaram, sebab si
785 nona seperti tidak mempedulikan padanya, nona itu
sebaliknya bicara dengan pemuda she Yap itu, asyik agaknya.
Tamtay Biat Beng bekerja terus. Dengan gampang ia
membubarkan orang-orang Kok keekhung hingga ia berhasil
melepaskan Bhok Yan dan Bhok Lin dari kurungan.
Biat Beng datang dengan tugas mencari itu anak-anaknya
Bhok Kokkong, sebab Thio Tan Hong menduga pasti muridmuridnya
itu tentulah menyingkir ke Tali. Ia sendiri, setelah
mengusir Cong Hay semua, sudah mendahului berangkat
pulang. Di sepanjang jalan Biat Beng mendengar-dengar
kabar, sampai kebetulan sekali di Anggaypo dia bertemu sama
Ciauwya Saycu ma. Kuda ini mengenali baik pahlawan itu,


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keeciang dari majikannya, maka juga ia sudah lantas lari
menghampiri, karena mana Biat Beng bisa sampai dengan
cepat di gelanggang pertempuran.
Kok Tiong Ho melihat gelagat jelek, dia lari masuk ke dalam
rumahnya. Di depan rumah dia membuat semacam
bentengan, untuk melindungi diri.
Biat Beng menanyakan Bhok Lin tentang orang she Kok itu.
"Aku kenal orang ini, satu jago di Inlam Barat," berkata Biat
Beng kemudian sambil tertawa, "Dia hendak membeli kudamu
dengan seratus tahil emas, tidak apa, meski dengan
perbuatannya itu ternyata dia punya mata tetapi seperti buta.
Dia belum melakukan kejahatan, baiklah kita memberi ampun
padanya!" Karena ini, selamatlah orang she Kok itu.
Sin Cu girang sekali mendapat pulang kudanya.
786 "Marilah kita pergi, lekas!" katanya. Ingin ia segera
mendaki gunung Khong San untuk menjenguk kakek gurunya
serta gurunya sendiri.
Bhok Lin dan Bhok Yan lega hatinya, keduanya
menghampirkan Sin Cu dan Keng Sim. Hal ini ada baiknya bagi
Sin Cu, yang bisa meloloskan diri dari Keng Sim.
"Siauwkongtia, terima kasih!" katanya kepada putera
hertog dari Kunbeng itu.
"Kau yang datang menolongi aku, akulah yang mesti
menghaturkan terima kasih padamu!" berkata anak pangeran
itu. "Buat apa terima kasihmu itu?"
Kelihatan nyata kepolosannya anak ini, yang masih mirip
kekanak-kanakan.
"Kau toh telah membikin patung untuk ayahku!" berkata
Sin Cu, girang berbareng terharu. "Bagaimana bisa aku tidak
bersyukur kepadamu?"
"Ayahmu jujur dan setia, dia berkurban untuk negara, dia
dikagumi seluruh negara," berkata Bhok Lin. "Sebenarnya
dengan membangun kuil saja aku masih belum dapat
menunjuki hormatku terhadapnya. Nona Ie, perkataanmu ini
membikin aku malu saja..."
"Biar bagaimana, kau telah menunjuki nyalimu yang besar!"
kata Sin Cu tertawa. "Aku ketahui apa yang terjadi di antara
kau dan ayahmu."
"Di dalam ini hal, aku menurut kepada kakakku saja," Bhok
Lin mengaku. "Sebenarnya aku kuatir juga tetapi kakak
menganjurkan aku. Tanpa kakak, aku pun tidak berani buron.
Ah, kau tidak tahu, kakakku paling pandai bekerja! Dia dapat
787 membujuki ayah, katanya tidak bakal terjadi sesuatu, sampai
ayah percaya padanya. Biasanya kakaklah yang mengatur
segala apa, nyalinya besar sekali, cuma ia pun biasa bekerja di
belakang, akulah yang selalu dimajukan di depan!..."
Bocah ini mau bicara dengan lagak tua bangka tetapi
akhirnya, ia balik kepada asalnya, sebagai bocah!
Sin Cu bersenyum.
Bhok Yan pun bersenyum, ia membiarkan adiknya itu
bicara. "Ketika itu hari encie menyuruh Kim Go memanggil aku,
sayang sudah terlambat," kata Sin Cu kemudian.
"Hari itu aku bertindak lancang sekali, harap encie tidak
buat kecil hati," berkata Bhok Yan. "Siapa nyana akhirnya
terbit onar. Syukur sekarang kita dapat bertemu juga."
Nona ini bicara dengan Nona Ie tetapi matanya melirik
Keng Sim. "Inilah Tiat Kongcu , puteranya Giesu Tiat Hong," Sin Cu
memperkenalkan.
Mendengar itu, Keng Sim mengerutkan keningnya.
"Oh, tentulah Tiat Giesu yang dulu telah mendakwa si
pengkhianat Ong Cin!" kata Nona Bhok kagum. "Ayah pun
pernah menyebut-rjebut nama Tiat Giesul"
Senang Keng Sim si nona memuji ayahnya.
"Tiat Kongcu dan Ie Siocia, terima kasih yang kamu telah
menolongi kami," kata pula Bhok Yan. "Dan kau sampai
788 terluka, kongcu..." Mendadak ia pun ingat Seng Lim, maka
segera ia menambahkan: "Masih ada ini kakak. Kakak,
terimalah hormat dan terima kasihku!" Ia memberi hormat
kepada pemuda she Yap itu.
Seng Lim mengangguk, terus ia dekati Tamtay Biat Beng
dengan siapa ia bicara.
Mendengar kata-katanya Bhok Yan, yang berterima kasih
atas pertolongannya, Keng Sim berkata di dalam hatinya:
"Sebenarnya aku tidak tahu kamu ditahan di dalam rumah ini,
maka apakah artinya ucapan terima kasihmu?" Tapi orang
mengingat budinya, ia girang. Ia kata: "Jangan mengucap
terima kasih. Tidak berarti luka kecil ini."
"Kau bilang tidak berarti!" kata si nona, "Kau lihat, lukamu
mengeluarkan darah!"
"Aku ada punya obat luka, setelah aku pakaikan, tentu
baik," katanya. "Sebenarnya, luka ini tidak berarti, Bhok
Siocia. Kau tidak tahu, selama pertempuran di Tayciu melawan
perompak asing, setiap hari aku membikin darah mengalir.
Itulah baru hebat! Bahkan pada suatu hari, ketika aku
menempur musuh dan tujuh dan delapan, lenganku hampir
dibacok kutung mereka itu. Syukur aku keburu kelit dan
akhirnya menang juga."
Agaknya Bhok Yan kagum bukan main.
"Begitu?" katanya. "Ah, kongcu benar muda dan gagah! Eh
ya, apa itu yang dinamakan dan tujuh dan delapan" Jangan,
jangan bergerak, nanti aku balut lukamu!..."
Sembari berkata si nona mengeluarkan sapu tangan
suteranya, ia lantas ikat lukanya pemuda itu. Senang Keng
Sim mendapat perlakuan ini. Bukankah Sin Cu bersikap tawar
789 terhadapnya" Katanya dalam hatinya, "Hm, kau tidak
pedulikan aku, ada lain orang yang memperhatikannya! Dia
malah seorang nona agung! Dia tidak bertingkah seperti kau!"
Sebenarnya ia ingin menolak pertolongan Nona Bhok tetapi
akhirnya ia membiarkan saja. Inilah karena ia ingin "mengasi
rasa" pada Sin Cu. Bahkan setiap kata si nona agung ia jawab
dengan sepuluh kata, ialah dengan menutur lebih jauh perihal
pertempurannya dengan perompak, sebagai juga ialah satu
pendekar. Di luar dugaannya pemuda ini, Sin Cu tidak menjadi kurang
senang. Malah nona itu lantas membayangi lagi Yap Cong Liu.
Cong Liu paling besar jasanya tetapi dia tidak membanggakan
diri. Kemudian ia pun menoleh kepada Seng Lim, si pemuda
polos, yang nampak tolol seperti anak dusun. Seng Lim pernah
melakukan banyak usaha besar, tidak sedikit dia membantu
pamannya, dia pun tidak temberang, sedikit omongnya. Maka
sekarang ia mengarti semakin jelas. Pikirnya: "Ah, yang satu
bunga mawar dari taman di Kanglam, yang lain pohon tayceng
dari tanah datar tinggi di Inlam dan Kuiciu. Bunga mawar
mempertontonkan diri pada orang-orang besar, pohon
tayceng berdiam saja meneduhkan orang-orang perjalanan."
Jadi itulah dua sifat yang berlainan satu dari lain. Dapat
membedakan itu, ia mual dan berduka. Toh ia masih kadangkadang
melirik pada Keng Sim, orang yang pertama kali
seperti menarik hatinya, hanya setiap pemuda itu berpaling
kepadanya, ia melengos dengan cepat.
"Encie, kau pikirkan apa?" menegur Bhok Lin, yang heran
untuk sikap orang tak wajar.
790 "Tidak apa-apa," sahut Nona Ie sabar, "Aku lagi
memikirkan ingin lekas tiba di Tali untuk menemui guruku."
"Benar," kaa bocah agung itu. "Aku pun ingin lekas-lekas
menemuinya!"
Tamtay Biat Beng tertawa.
"Kalau begitu, marilah lekas kita berangkat!" mengajaknya.
Sin Cu lantas serahkan kudanya pada Bhok Yan dan Bhok
Lin untuk mereka itu yang menaiki bersama. Bhok Yan
menampik dan mengatakan, Keng Sim terluka, baik pemuda
itu yang menunggang kuda itu. Akan tetapi kesudahannya,
Keng Sim naik atas kuda dari Iran, Bhok Yan naik atas
Ciauwya Saycu ma, dan Bhok Lin berjalan kaki menemani si
Nona Ie. Jarak Anggaypo dan Tali tidak ada tiga ratus lie, kalau
Ciauwya Saycu ma dibiarkan lari, tanpa setengah harian,
orang akan sudah tiba di sana, tetapi sekarang ada yang
berjalan kaki, terutama Bhok Kongcu tidak biasa, perjalanan
mesti melewati sang malam. Begitulah mereka singgah di
tengah jalan. Malam itu Sin Cu tidak dapat tidur pulas meski sebenarnya
ia merasa letih bekas jalan dan bertempur. Ia gulak-gulik saja,
di depan matanya berbayang Keng Sim dan Seng Lim. Ia
sekarang telah bertambah pengalamannya, ia bukan lagi nona
umur tujuh belas tahun yang kebanyakan. Setempo pun
muncul bayangan Bhok Lin, tetapi dia ini masih terlalu muda.
seimbang dengan Siauw Houwcu, maka di akhirnya si nona
bersenyum sendirinya.
Besoknya perjalanan dilanjuti sejak pagi-pagi. Mereka
berada di jalan pegunungan. Lalu lewat tengah hari mereka
791 tiba di sebuah lembah. Di lain saat mereka sudah berada di
kaki sebuah puncak. Di timur itu ada telaga yang airnya
berkaca pada matahari.
"Di bawah sana Heekwan, lantas Tali," Tamtay Biat Beng
memberitahu sambil menunjuki. "Kamu lihat, itulah bukit
Khong San serta laut Jiehay. Sin Cu, sebentar sore kau bakal
bertemu gurumu."
Karena ini, orang percepat tindakan kaki mereka, hingga
lekas juga mereka tiba di Heekwan, yang duduknya di selatan
Khong San dan Jiehay, seperti menyender pada Sia Yang
Hong, punyak terakhir dari sembilan belas puncak gunung
Khong San itu. Tamtay Biat Beng menjelaskan empat keistimewaan dari
wilayah situ, yaitu siuran angin dari Heekwan, bunga dari
Siangkwan, salju dari Khong San dan rembulan dari Jiehay,
semua pemandangan alam yang indah. Katanya angin dari
Heekwan aneh sekali, angin itu bisa menyambar atasan rumah
dan mementang jendela tetapi tak akan masuk ke dalam
rumah. "Ah, lebih baik kita jalan lekasan!" kata Sin Cu, yang tidak
tertarik hatinya.
Ketika itu di bulan ke sembilan, musim rontok, di waktu
tengah hari, hawa udara terik seperti di musim panas. Di jalan
besar ada terdengar orang menjual salju.
Bhok Yan tertawa menjebi, katanya pada Keng Sim:
"Bagaimana keadaan di sini dibanding sama di Kanglam?"
"Masing-masing ada kebagusannya," sahut si anak muda.
"Aku sudah biasa dengan Kanglam, aku senang dengan
keadaan di sini."
792 "Pernah aku membaca syair Menjual Salju karangannya
seorang paderi dari Tali," berkata Bhok Yan. "Bunyinya syair
itu, 'Di dafam kota Sepasang Naga ratusan bunga harum, Laut
Perak merangkul langit, di musim enam di jalan besar
berteriakan menjual salju, orang yang berlalu lintas
menyangka yang dijual itu ialah madu.' Di bawah syair itu ada
keterangan bahwa di gunung Khong San di Tali ini, sampai di
bulan enam, salju masih belum lumer, orang menjualnya di
pasar, seperti di Gouwhee orang menjual es. Nah, bagaimana
bedanya orang jual es itu dengan di sini orang menjual salju?"
"Di Souwciu dan Hangciu orang tak sepolos seperti di sini,"
sahut Keng Sim.
Dengan Gouwhee, tanah Gouw, dimaksudkan dua kota
Hangciu dan Souwciu itu.
Bhok Yan seperti dapat menyelami hati Keng Sim, di
sepanjang jalan itu terus ia pasang omong dengan itu anak
muda, bicara hal ilmu surat dan syair. Keng Sim pun senang
melayaninya, sebab orang pandai bicara, luas
pengetahuannya, bicaranya manis, meskipun sebenarnya
orang belum dapat menggantikan Sin Cu...
Selewatnya Heekwan orang mendapatkan tidak ada angin,
maka terlihatlah pemandangan indah dari laut Jiehay.
Sebenarnya inilah bukan laut, hanya telaga. Inilah disebabkan
di mata orang Inlam, telaga besar ialah laut, dan Jiehay ada
sebuah telaga besar di daratan. Di tepian ada tumbuh banyak
pohon yangliu, yang menambah keindahan. Burung-burung
pun beterbangan. Pemandangan di situ mirip dengan gambar
lukisan. "Nona ie, tidakkah pemandangan si sini indah sekali?"
tanya Bhok Lin tertawa. "Aku pikir, kalau kita pilih suatu
793 malam terang bulan dan kita main perahu di telaga Jiehay ini,
pasti sangat menarik hati!"
"Memang!" Keng Sim mendahului menjawab. "Berdiam di
sini, aku seperti tidak ingin pulang lagi..."
Sampai sebegitu jauh Seng Lim berdiam saja, tetapi
sekarang tiba-tiba saja ia merasa sifat Sin Cu sama dengan
sifatnya. Ia menggemari keindahan gelombang sesudah badai.
Ia pikir: "Angin tenang ombak diam, meski itu indah, itulah
biasa saja. Keadaan itu tepat untuk orang-orang sebagai Keng
Sim dan Nona Bhok Yan..."
Sin Cu ada puterinya seorang menteri, dia agung tak kalah
dengan Bhok Yan, entah bagaimana, Seng Lim tapinya merasa
Nona Ie itu adalah orang segolong dengannya, beda dari Nona
Bhok itu. Toh berkenalan mereka berdua belum lama dan
belum erat. Dari Heekwan sampai di Tali, tempo perjalanan yang
diminta tak usah sampai satu jam, akan tetapi Tamtay Biat
Beng membawa orang tak langsung, dia mengajak ke Hieciu
tin dan melintasi "laut" Jiehay itu, maka berenam, berikut
kuda mereka, mereka mesti menyewah dua buah perahu
nelayan untuk menyeberangi telaga besar itu. Biat Beng
bersama Sin Cu dan Seng Lim, dan Bhok Yan serta adiknya
bersama Keng Sim. Bhok Lin ingin turut perahunya Sin Cu
akan tetapi Biat Beng sudah mendahului menarik tangannya
Seng Lim, ia jadi malu untuk memaksa.
Sumbernya Jiehay adalah gunung Khong San di mana air
adalah salju yang lumer, lalu mengalir turun, berkumpul di
telaga itu. Di situ ada banyak nelayan dan banyak burung


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbang berseliweran, untuk saban-saban menyerbu air akan
menangkap ikan yang menjadi barang makanannya.
794 Menyaksikan itu, Keng Sim menjadi gembira, sembari tertawa
ia kata, itulah suasana seperti di Kanglam.
Bhok Yan pun bergembira hingga ia bersenandung.
"Sungguh mereka bergembira sekali," kata Seng Lim
tertawa. Pikiran Sin Cu se-dang ruwet tetapi ia melirik kepada orang
she Yap itu dan bersenyum, kemudian ia pun mengawasi ke
permukaan air. Sebentar kemudian telaga telah di seberangi dan orang tiba
di kaki bukit Khong San. Terlihat puncak gunung penuh
dengan salju, di mana pun ada nampak cahaya kehijauhijauan.
"Pantas Khong San dinamakan juga Tiamkhong San, nama
ini cocok dengan bukitnya," berkata Sin Cu. Di atasan
puncakpun nampak mega putih, yang bagaikan sehelai sabuk
kumala mengitari sembilan belas puncak.
"Orang bilang pemandangan alam di sini sangat indah
tetapi aku tidak gembira untuk mengicipinya, aku ingin lekaslekas
pulang!" berkata Tamtay Biat Beng yang terus saja
melepaskan panah nyaring, yang berbunyi mengaung di
tengah udara. Menyusul pertandaan panah itu, sebentar kemudian terlihat
beberapa orang berlari-lari turun. Mereka itu segera dikenali
adalah Hek Pek Moko bersama Siauw Houwcu si bocah bengal
dan Jenaka, malah bocah ini lari mendahului dua orang India
itu, larinya sambil berjingkrakan, untuk paling dulu
menghampirkan Sin Cu.
795 "Ha, setan cilik!" Nona Ie berseru, sambil tertawa. "Hari itu
kau membikin aku mati memikirkan kau! Siapa tahu kau telah
tiba lebih dulu di sini...!"
Bocah itu tertawa. Kapan ia melihat Bhok Lin, ia
membentur dengan sikutnya.
"Eh, jangan kurang ajari" Sin Cu mencegah. "Inilah Bhok
Siauwkongtia."
"Aku pun tahu!" Siauw Houwcu tertawa seraya terus ia
menyambar tangan orang untuk ditarik. Ia kata: "Hai bocah,
kenapa itu hari kau tidak menjelaskannya bahwa kaulah calon
murid guruku, kalau tidak, pastilah aku sudah mengijinkan
kamu menunggang kuda putih itu" Eh, eh, kenapa kau diam
saja" Apakah kau merasa sakit bekas kesikut olehku" Sudah,
jangan marah, mari aku ajak kau pergi mencari ikan!"
Senang Bhok Lin dengan perlakuannya Siauw Houwcu. Di
dalam gedungnya ia tidak kurang suatu apa, tetapi di sana
cuma menghormat atau mengangkat-angkat ia, atau cuma
kakaknya, Bhok Yan, yang dapat bergurau padanya tetapi di
sini, ia mendapatkan satu sahabat yang sangat bergembira ini.
Sebenarnya ia merasa berat untuk meninggalkan Sin Cu tetapi
toh ia turut juga pergi, akan bermain-main dengan memetik
bunga dan menangkap ikan.
Sin Cu semua memberi hormat kepada Hek Pek Moko, yang
ternyata sudah tiba lebih dulu tujuh atau delapan hari. Mereka
itu berdiam sama Thio Tan Hong. Sedang Toan Teng Khong
bersama isterinya, puteri Iran, tinggal di istana Toan Ongya.
Ketika itu Siauw Houwcu sudah diterima Tan Hong sebagai
murid yang kedua.
796 Setelah Biat Beng menitipkan kuda mereka di rumah
seorang suku Ie, lantas bersama-sama mereka mendaki
gunung mengikut Hek Pek Moko yang jalan di depan.
Sembilan belas puncak gunung Khong San serta delapan
belas aliran solokannya adalah pemandangan alam paling
kesohor untuk Tali, semua air solokan gunung itu turun ke
Jiehay, airnya jernih dan indah dipandangnya, lebih-lebih di
waktu sinar matahari memenuhi permukaan air, dasarnya
sampai terlihat nyata di mana nampak batu-batu
bagaikan mutiara. Di gunung Khong San ini, salju tak
habisnya seluruh tahun, tak lumer semuanya. Maka hawa
udara di sini mirip dengan hawa udara di Kanglam. Maka juga
pohon-pohon rumput yang hijau dan pohon bunga yang
indah, hidup terus tahun ketemu tahun.
Saking gembira, Keng Sim bersenandung:
"Kalau dapat bunga indah sebagai kawan untuk selamalamanya,
tubuh ini biarlah menjadi tua di Khong San..."
Bhok Yan tertawa gembira. Ia menduga, dengan "bunga
indah" itu tentulah si pemuda maksudkan dia. Hanya ketika ia
menoleh kepada Sin Cu, hatinya terkesiap.
Nona itu nampaknya masgul, sepasang alisnya mengkerut,
matanya mendelong ke satu arah.
Di atas gunung itu ada beberapa buah rumah batu,
romannya kuno tetapi cocok dengan hati.
"Kakek guru bersama kedua loocianpwee Siangkoan Thian
Ya dan Siauw Lootoanio tinggal di itu rumah di belakang
gunung," Tamtay Biat Beng memberitahu kepada Sin Cu.
797 "Sekarang kita pergi dulu ke itu rumah di sebelah depan untuk
menemui gurumu."
Mereka berbicara sambil berjalan terus.
"Itulah sepantasnya," berkata Sin Cu, malah dia
mendahului menolak daun pintu.
Tiba di dalam, terlihat In Tiong suami isteri tengah
menantikan, Tan Hong tidak nampak.
"Gurumu lagi pergi ke istana, ada urusan," In Tiong
memberi keterangan. "Selama beberapa hari ini keadaan
tegang, katanya Bhok Kokkong di Kunbeng sudah menggeraki
pasukan perangnya."
Mendengar itu hati Bhok Yan dan Bhok Lin tak tenang.
Sin Cu mengangguk, ketika ia hendak menanyakan subonya,
ialah ibu gurunya, mendadak kupingnya mendengar
suara bayi menangis, apabila ia menoleh dengan segera, ia
lihat ibu gurunya itu, In Lui, mendatangi dengan tangannya
mengempo satu anak. Baru kira setengah tahun subo itu
melahirkan anak.
Segera Sin Cu menghampirkan, untuk memberi hormat
sekalian memberi selamat.
In Lui tarik tangan muridnya itu, ia mengusap-usap
rambutnya yang bagus.
"Sin Cu, selama satu tahun ini aku telah mensia-siakan
kau," katanya manis. "Sebenarnya tidak tenang hatiku
membiarkan kau merantau seorang diri. Syukurlah sekarang
kau telah kembali dengan tidak kurang suatu apa. Ah, kau
sekarang telah menjadi tinggi seperti aku...!"
798 Sin Cu terharu berbareng gembira. Sejenak itu ia ingat
pengalamannya selama ia mengembara. Ia duduk berendeng
sama ibu guru itu. Ia ingin bicara banyak tetapi tak tahu ia
bagaimana harus mulai. Maka ia memain saja sama si bayi
yang manis, ia mengemponya, tak ingin ia melepaskannya...
Sementara itu ada terdengar suaranya panah, yang
datangnya dari kaki gunung.
"Nanti aku lihat, siapa yang datang," berkata Tamtay Biat
Beng, yang terus mengundurkan diri. Atau di lain saat
terdengar suara orang tertawa.
"Suhu pulang!" seru Sin Cu. Ia lompat bangun, unuk
membukai pintu. Maka segera ia mendapatkan gurunya
datang bersama Ouw Bong Hu suami isteri. Lekas-lekas ia
memberi hormat.
"Bagus kamu semua telah tiba!" kata Tan Hong tertawa.
"Inilah tepat waktunya! Ketika Toan Ongya mendengar
sampainya kamu, dia gembira sekali. Besok kamu diundang
pergi ke istananya!"
Semua orang segera memberi hormat pada tayhiap itu.
Mengetahui Seng Lim adalah keponakannya Cong Liu,
sembari tertawa Tan Hong berkata: "Rupanya saudara Yap
datang atas titahnya Yap Toako."
"Benar," sahut Seng Lim dengan hormat. "Ada urusan yang
menyulitkan untuk mana pamanku hendak memohon petunjuk
dari tayhiap."
"Apakah itu?" tanya Tan Hong. "Silahkan bicara."
799 Seng Lim menuturkan pesannya Cong Liu.
Tan Hong tidak segera menjawab, ia hanya tertawa dan
berkata kepada Keng Sim: "Aku bersahabat erat dengan
gurumu. Adakah dia baik?"
"Baik..." sahut si pemuda ringkas, mukanya bersemu
merah. Habis itu barulah Tan Hong berkata pula: "Mengenai
keadaan tentara di Kanglam aku kurang jelas. Kamu berdua
datang dari sana, bagaimana pandangan kamu?"
"Aku kuatirkan kegagalannya..." menyahut Keng Sim.
"Kenapa?" Tan Hong menanya.
"Untuk menggeraki tentara, tiga pokok yang paling
penting," Keng Sim menjawab. "Itulah temponya, keletakan tempat
dan orangnya..."
"Benar."
"Sekarang ini belum saatnya untuk menggeraki tentara,"
menjelaskan Keng Sim. "Sekarang ini negara lagi ngalami
banyak kesulitan. Peperangan di Tobokpo menyebabkan
semangat kita mendapati gempuran hebat. Baru saja
beberapa tahun kita beristirahat, aku kuatir hati rakyat masih
kacau. Pula semenjak dulu kala, gerakan harus di mulai dari
Barat daya, jarang yang mulai dari pesisir laut. Dan bukannya
aku memandang kecil, orang semacam Pit Kheng Thian itu,
dia bukanlah orang yang dapat membangun negara. Itulah
sebabnya mengapa aku bilang semua-nya tiga pokok tidak
tepat." 800 Lancar bicaranya Keng Sim ini. Di matanya Sin Cu,
pembicaraan itu tepat dan tidak tepat. Meski demikian, si nona
tidak membilang suatu apa.
Tan Hong bersenyum.
"Dan kau, bagaimana pandanganmu?" ia menanya Seng
Lim. "Untukku, kalah atau menang, tidak berani aku membilang
suatu apa," sahut pemuda she Yap itu. "Untukku, soal adalah
kita harus bekerja atau tidak, soal menang atau kalah adalah
urusan yang nomor dua."
Keng Sim tertawa tawar.
"Kalau bakal gagal, untuk apa kita bergerak" Cuma-cuma
mencelakai diri sendiri" katanya.
Mendengar ini, Tan Hong kata dalam hatinya: "Apabila
semua orang sependapat denganmu, segala apa mesti sudah
ada kepastiannya, pasti dulu hari itu leluhurku dan Cu Goan
Ciang boleh tidak usah bergerak menentang bangsa
Mongolia!" Tapi ia tidak mengutarakan itu. Ia kata pula pada
Seng Lim: "Coba kau omong lebih jauh."
Seng Lim berpikir sejenak, baru ia berkata pula: "Sekarang
ini bangsa Watzu tengah membangun dan perompak asing
berdiam untuk sementara waktu saja, ancaman dari pihak
mereka tetap ada, di balik itu pemerintah Beng tidak berani
menentang musuh luar, sebaliknya, dia menggeraki tentara di
dalam negeri, sikapnya itu membikin lenyap pengharapan
rakyat. Menurut aku, rakyat bukannya me-nguatirkan
kekacauan, mereka menguatirkan justeru keselamatan negara.
Bicara tentang tempat, dulu hari juga Thaycouw bergerak dari
801 Kanglam mengusir bangsa Tartar, dia tidak mengukuhi dari
Barat daya untuk mempersatukan negara. Perihal si
pemimpin, asal bendera dikerek naik, rakyat tentu dapat
memilihnya sendiri."
"Tidak, tidak demikian!" kata Keng Sim, mukanya merah. Ia
terus membantah dengan menyebut-nyebut kitab.
Tan Hong berdiam, ia mendengari orang berdebat.
Biat Beng habis sabar. Katanya: "Urusan negara, yang
demikian besar, tidakkah baik dibicarakan nanti saja" Aku libat
yang paling penting sekarang ialah bagaimana kita harus
melayani rombongan iblis yang hendak menyerbu gunung
kita!" Sin Cu heran hingga ia melengak.
"Rombongan iblis yang hendak menyerbu gunung?" dia
menanya. "Apakah artinya itu?"
"Tentang itu, paman Ouw kamu ada membawa berita,"
berkata Tan Hong.
"Ya," berkata Ouw Bong Hu. "Aku telah pergi ke Kanglam
mencari Cio Keng To. Aku telah mencari ke mana-mana, tak
berhasil aku. Ia sudah pulang tetapi segera ia lenyap. Karena
itu aku kembali sekalian mencari Yang Cong Hay. Aku dengar
kabar dia sudah berhasil membujuk gurunya turun gunung,
malah mereka sudah berhasil juga meminta bantuannya
sejumlah iblis yang sejak sekian lama hidup menyendiri.
Mereka itu hendak datang mengacau ke mari dengan
menggunai alasan memberi selamat hari ulangnya Hian
Kie Cianpwee."
"Sebenarnya kawanan iblis apa itu?" Biat Beng bertanya.
802 "Sebegitu jauh yang aku dengar," menjawab Ouw Bong Hu,
"ada Kiupoanpo Kongsun Bu Houw dari Aylao San, ada Tek
Seng Siangjin dari Sengsiu hay di Kunlun San, dan ada lagi
Touw Liong Cuncia dari pulau Benghee To di Tanghay serta
Liok Yang Cinkun dari Ceksek San di propinsi Kamsiok. Kalau
guru-guru kita turun tangan, mereka itu dapat dilayani, kalau
tidak, sungguh mereka tidak dapat dipandang ringan."
Thio Tan Hong tertawa. Ia berkata: "Sekarang ini ketiga
loocianpwee kita justeru tengah bersamedhi untuk melatih
dirinya, sampai nanti hari ulangnya kakek guruku yang masuk
usia delapan puluh tahun barulah cukup samedhinya itu."
Ouw Bong Hu heran.
"Ilmu apakah itu yang mereka yakinkan?" ia tanya.
"Ilmu itu tidak ada batasnya," kata Tan Hong, "Mereka
tengah memahamkan kepandaian masing-masing untuk nanti
dipersatukan. Kapankah datangnya Cie Hee Toojin serta
rombongan iblisnya itu?"
"Karena mereka menyebut hari ulang tahun, mestinya
mereka bakal datang di harian yang tepat," menyahut Ouw
Bong Hu. "Bagus!" berseru
Siauw Houwcu, yang menyelak. "Hari itu kita bakal melihat


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thay-sucouw mempertontonkan kepandaiannya mengusir
rombongan iblis itu! Sungguh rejeki mata kita bagus sekali!"
Sin Cu tertawa, tetapi dia berkata: "Thaysucouw ialah tetua
paling terhormat kaum Rimba Persilatan, tidak nanti dia
sembarang turun tangan!"
803 Tan Hong tidak ambil mumat anak-anak itu. Ia kata:
"Toasupeh Tang Gak berada jauh di perbatasan Tibet, aku
kuatir dia tidak dapat datang untuk memberi selamat.
Jiesupeh Tiauw I m berada di Ganbunkwan tengah
mengunjungi Kimtoo Ceecu, aku kuatir dia pun tidak nanti
keburu pulang. Melainkan guruku suami isteri yang pasti bakal
datang dari Siauwhan San. Dengan adanya kedua guruku,
dengan gabungan pedang mereka, aku percaya cukuplah
sudah untuk melayani semua musuh itu."
Siauw Houwcu gembira sekali. Ia tidak kenal bahaya, ia
cuma tahu menonton. Demikianpun itu beberapa pemuda
segerombolannya.
*** Tan Hong tertawa.
"Kamu habis jalan jauh, tentu kamu letih, sekarang pergilah
kamu beristirahat," ia berkata. "Besok pagi-pagi kita mesti
pergi menghadap ongya."
Semua orang menurut, mereka mengundurkan diri untuk
beristirahat. Keng Sim melirik Seng Lim, agaknya ia belum
puas. Ia pun merasa tidak enak mendapatkan sikap tawar dari
Sin Cu, yang agaknya tidak mempedulikan perdebatan
mereka. Benar seperti dijanjikan, besoknya pagi-pagi Tan Hong
mengajak lima anak-anak itu Bhok Yan dan Bhok Lin, Keng
Sim, Sin Cu dan Seng Lim pergi ke istana Toan Ongya yang
berada di luar kota Tali dekat dengan Coakut Ta, menara
Tulang Ular. Di sepanjang jalan di situ ada tempat-tempat
dengan pemandangan alam yang indah, umpama di Ouwtiap
Coan, Sumber Kupu-kupu, di tepi itu ada sebuah pohon tua
804 dan besar yang daunnya yang lebat meroyot turun ke air yang
jernih. "Sayang sekarang sudah musim rontok," kata Tan Hong
tertawa, "sekarang sudah tidak ada kupu-kupunya. Coba kamu
datang di musin semi atau musim panas, pasti kamu akan
tampak banyak sekali binatang itu terbang berseliweran di
sini, berkumpul di atas pohon besar ini. Apapula pada tanggal
tujuh belas bulan empat, kupu-kupu itu pada mencelok
bergelantungan di cabang-cabang pohon, sambung
menyambung sampai di permukaan air. Itulah pemandangan
yang indah dan langka."
Semua orang kagum, tetapi Bhok Yan kemudian menghela
napas, ia berkata: "Hanya dikuatir penghidupan manusia tak
kekal. Sampai nanti musim semi lain tahun, entah kita bakal
berpisahan ke mana..." Sembari berkata begitu, ia melirik
Keng Sim. Pemuda itu terkesiap hatinya, ia lantas tunduk, agaknya ia
seperti tak mengarti perkataannya nona itu.
Jalan lebih jauh, mereka tiba di Samtah Sie, kuil Tiga
Menara yang katanya dibangun oleh Jenderal Uttie Keng Tek,
di jaman kerajaan Tong. Yang aneh dari menara ini ialah
setiap saatnya matahari doyong ke barat, bayangan menara
muncul di sebuah kobakan air lima belas lie dari situ,
berbayang menjadi tiga buah menara.
Habis menara ini, tibalah mereka di Coakut Tah, yang pun
ada dongengnya, katanya: Lama, lama sekali, di Jiehay itu ada
seekor ular besar, yang suka menimbulkan angin menerbitkan
gelombang hingga sawah-sawah kelam terendam, hingga
manusia dan binatang bercelaka karenanya. Kemudian datang
seorang gagah bernama Toan Cie Seng, dengan membawa
delapan buah golok, dia terjun ke dalam telaga Jiehay itu,
805 sengaja dia mengasi dirinya ditelan ular itu, sesampainya di
dalam perut barulah dia menikam kalang kabutan hingga ular
itu binasa. Sayangnya, dia tidak dapat bernapas, dia pun turut
mati di dalam perut ular itu. Untuk memperingati budi dan
jasanya Cie Seng itu, ular itu dibakar habis dan menara itu
dibangun. Katanya Cie Seng ini ialah leluhurnya keluarga
Toan, sebab penduduk menghargainya, turunannya dijunjung
sebagai raja turun temurun. Bahwa istana Toan Ongya diberdirikan
di samping Coakut Tah, pun katanya guna
memperingati leluhur yang gagah dan berani berkurban itu.
Sampai pada, jaman Beng, keluarga Toan diberi pangkat
"Tiepeng ciangsu" tetapi rakyat setempat tetap memanggil
ongya. Tiepeng ciangsu yang sekarang bernama Toan Teng Peng,
dialah kakak sepupu dari Toan Teng Khong, kapan mereka
berdua mendengar datangnya Ie Sin Cu, mereka menyambut
dengan manis dan menjamunya di dalam taman. Puteri Iran
turut hadir bersama. Banyak yang mereka bicarakan.
Toan Teng Peng pun melayani Bhok Yan dan Bhok Lin
dengan sempurna. Bhok Lin menjadi malu hati, maka ia
beritahukan yang ayahnya bakal menyerang ke Tali.
Mendengar itu sambil tertawa Sin Cu berkata:
"Siauwkongtia, Toan Ongya baik sekali terhadap kamu,
bagaimana ayahmu masih hendak menggeraki angkatan
perangnya untuk datang menyerang?"
Merah mukanya Bhok Kongcu.
"Aku akan mencoba membujuk ayah, guna mencegah ia
membawa tentaranya memasuki kota ini," katanya. Ia berkata
demikian, hatinya sebenarnya bingung.
806 Toan Teng Peng dan Tan Hong tertawa sambil saling
mengawasi. "Terima kasih, siauwkongtia." kata mereka.
Di saat pesta hendak ditutup, satu nona datang dengan
paras bersenyum-senyum.
"Anak Cu mari!" Toan Teng Peng memanggil seraya
menggapai. "Mari menemui tetamu-tetamu kita!"
Itulah puterinya Teng Peng yang bernama Cu Jie, usianya
baru enam belas, seimbang sama usianya Bhok Lin. Dia cerdas
dan manis budi, siapa pun senang bergaul dengannya.
Bhok Yan menarik tangan orang.
"Sungguh seorang nona yang cantik manis!" dia memuji.
"Encie-lah yang seperti bidadari!" Cu Jie balik memuji.
"Katanya Bhok Kongtia hendak mengirim tentara menyerang
kita, kalau nanti negara kita musnah dan rumah tangga kita
ludas, mungkin aku ditawan dan dijadikan budak, sampai pada
itu waktu, pasti encie tidak akan sukai aku..."
"Jangan mengucap begini, adikku," berkata Bhok Yan.
"Ayahku tidak hendak memusuhi, itu adalah urusan negara."
Teng Peng lantas menyelak sama tengah: "Sudah jangan
bicarakan urusan itu! Jauh-jauh Bhok Kongcu dan Bhok Siocia
datang ke mari, kita adalah orang sendiri. Anak Cu, lebih baik
kau menyanyi untuk mereka."
Nona itu dengar kata, benar-benar ia lantas bernyanyi,
antaranya ia menyebut-nyebut si tukang jual salju.
807 "Ya, kita mendengar tukang jual salju itu menjual saljunya!"
Bhok Lin kata tertawa.
"Memang, Tali dan Kunbeng tidak beda banyak," Cu Jie
bilang. Ia tertawa manis sekali. Kemudian ia melanjuti
nyanyinya, tentang keindahan alam di Tali, yang rakyatnya
bersedia untuk berperang.
"Rakyat yang jempolan!" memuji Tan Hong.
Tapi hati Bhok Lin tawar. Ia menyayangi kalau tempat
indah ini menjadi medan perang.
Habis berjamu, Teng Peng ajak semua tetamunya melihatlihat
istananya, istana indah yang usianya sudah beberapa
ratus tahun. Di dalam taman pun ada pengempangnya yang
bagus, yang dikitari loneng batu putih serta diperlengkapi
jembatan batu marmer untuk orang menyeberanginya. Di situ
pun ada paseban, ada ranggon, ada sebuah batu besar mirip
singa. Bhok Lin kagum, ia memuji.
"Kau baru sampai di Tali, kau belum sempat melihat kelenting
Kwan Im Am," kata Toan Cu Jie tertawa.
"Kelenting itu dibangun atas sebuah batu besar, itulah baru
kelenting besar! Batu ini sangat kecil."
"Bukankah kelenting Kwan Im Am itu yang dinamakan juga
kelenting Tay Cio Am?" tanya Bhok Yan.
"Benar! Oh, encie pernah pergi ke sana?"
"Aku cuma pernah baca itu dalam catatan di Tian Lam
Hong But Cie," jawab Nona Bhok. "Berhubung dengan itu
808 katanya ada sebuah dongeng. Katanya dulu kala itu ada
sekawanan berandal hendak menyerbu Tali, lantas Dewi Kwan
Im muncul dengan menyamar menjadi seorang wanita tua,
punggungnya menggen-dol itu batu besar. Melihat itu,
kawanan berandal heran dan kaget. Dewi kata pada mereka,
'Aku sudah tua, aku cuma bisa menggendol batu kecil ini,
tetapi anak-anak muda di dalam kota, mereka biasa
menggendong batu-batu yang jauh terlebih besar.' Kawanan
berandal itu ketakutan, mereka kabur, tidak berani mereka
masuk ke dalam kota. Itulah dongeng yang dinamakan
'Menggendong batu mengundurkan tentara.' Benarkah itu?"
Sengaja Nona Bhok menunjuki pengatahuannya yang luas
itu di depan Keng Sim.
Cu Jie mengangguk.
"Benar, encie," katanya. "Luas pengatahuanmu, aku kagum
sekali. Habis itu, karena penduduk kota bersyukur, mereka
membangun kelenting dewi itu di atas itu batu besar."
Sin Cu ketahui halnya dongeng itu tetapi ia berdiam saja.
Bhok Lin sebaliknya berpikir, entah dewi itu bisa atau tidak
mencegah angkatan perang ayahnya itu...
Keng Sim diam-diam terus memperhatikan Sin Cu. Ia tahu
hati orang adem.
"Pemandangan di sini indah, bukannya kamu mengicipinya
hanya kamu membicarakannya!" katanya.
"Bukankah itu sama saja?" Bhok Yan tertawa. "Rupanya
cuma kau yang paling pandai mengicipi pemandangan alam
yang indah..."
809 Itu waktu mereka sudah menyeberangi jembatan. Toan
Teng Peng minta Tan Hong menulis sesuatu. Katanya, ia
dengar tayhiap ini pun pandai ilmu surat.
"Biarlah anak-anak muda yang menulisnya!" Tan Hong
tertawa. "Nah, siapa di antara kamu yang hendak menulis
tanda peringatan?"
Bhok Yan ingin menulis tetapi ia tidak segera mendapatkan
bahannya. Maka ia mengawasi Keng Sim.
"Aku tidak berani bertingkah di depan Thio Tayhiap." kata
pemuda she Tiat itu. Ia tahu maksudnya si Nona Bhok.
"Tiat Kongcu turunan pandai, kau pasti dapat menulis
bagus!" Tan Hong memuji.
"Ya, kau tulislah!" Bhok Yan mendesak.
Keng Sim puas sekali. Ia lantas minta pit dan kertas, terus
ia menulis, memuji keindahan taman dan batu dalam dongeng
itu, bahwa di malaman terang bulan, ujung jembatan
bagaikan sepasang bianglala.
Bhok Yan girang, ia memuji sambil bertepuk tangan.
Teng Peng pun girang. Pujian kepada batu itu ada pujian
untuk keluarga Toan juga. Karena ini, ia mengasi titah agar
pujian itu diukir di alas batu, Tan Hong pun memuji, tetapi ia
tahu, syairnya Keng Sim itu kurang lengkap, kurang kekerasan
hati, seumpama kata ada kepala tidak ada ekornya...
Kemudian orang duduk beristirahat di bawah batu. Gembira
Toan Teng Peng, ia menyuruh pahlawan-pahlawannya
mengadu gulat. 810 "Inilah permainan bagus!" tertawa Bhok Yan, yang gembira
sekali. "Tiat Kongcu, mengapa kau tidak hendak mencoba
mengambil bagian?"
"Oh, kiranya Tiat Kongcu mengarti ilmu surat dan ilmu silat
juga!" berkata tuan rumah. "Nah, inilah ketika baik untuk
kamu! Lekas kamu minta pengajaran dari Tiat Kongcu"
Tidak dapat Keng Sim menampik anjuran Nona Bhok. Ia
memang mau membanggakan kegagahannya. Maka ia pergi
ke gelanggang. Ia melawan kedua pahlawan. Mereka itu
mengira orang lemah lembut, tidak berani mereka
mengeluarkan seantero tenaganya, tetapi kesudahannya,
mereka kena dibikin jungkir balik! Malah jidat mereka munjul
bengkak bekas terbanting.
Menonton itu, Sin Cu mengerutkan kening. Bhok Yan pun
agak kecewa. Toan Teng Peng, sebagai tuan rumah, bertepuk
tangan memuji. Mendengar ini, Keng Sim menjadi puas sekali.
Puas pesiar, sudah magrib, orang balik pulang. Selagi
berjalan, Sin Cu membiarkan Keng Sim dan Bhok Yan jalan
lebih dulu, ia berayal-ayalan, untuk bisa berjalan bersama
Seng Lim. "Berhubung sama ilmu gulat, kepandaianmu Taylek
kimkong ciu adalah yang paling tepat," ia kata pada pemuda
itu, coba tadi kau turun tangan, celakalah kedua pahlawan
itu." "Tetapi itu main-main saja, orang mesti mengenal batas,"
Seng Lim jawab. "Tiat Kongcu itu benar lincah, dia harus
dipuji." Sin Cu bersenyum.
811 "Eh, ya, mengapa hari ini kau berdiam saja?" ia tanya.
"Sebenarnya aku tengah memikirkan keletakan tempat,"
Seng Lim menyahut. "stana mengandal gunung di tiga muka
dan air di satu muka. Pendirian benar kuat, tetapi kalau orang
menggunai perahu enteng menyerbu dari air, setibanya di
tepian lantas orang menghadapi pembelaan di darat, inilah
berbahaya. Tentara penjaga pasti tidak bakal keburu
mencegahnya. Inilah berbahaya. Istana pun berada di luar
kota, kurang erat hubungannya dengan tentara di dalam kota,
ini menambah ancaman bahaya. Umpama kata aku menjadi
kepala perang musuh, pasti aku akan rampas dulu istana guna
nanti merampas seluruh Tali."
"Kiranya kau membungkam seluruh hari karena memikirkan
soal peperangan," kata si nona.
"Meskipun begitu, kalau musuh menyerang dari air, mereka


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cuma dapat mengirim jumlah yang kecil," Seng Lim
menambahkan. "Hanya dengan jumlah yang kecil mereka
dapat menyeberangi air. Oleh karenanya, apabila kita
membuat penjagaan di muka air, cukup kita dengan beberapa
ratus serdadu yang terlatih saja. Umpama di hulu telaga kita
mengatur penjagaan, kita memancing musuh masuk, lantas
mereka akan kena dibekuk!"
Kembali Sin Cu tertawa.
"Pantaslah selama di dalam istana kau mengawasi tembok
saja di mana ada terlukis peta bumi!" katanya pula.
Pembicaraan mereka terputus tertawanya Bhok Yan. Ketika
Sin Cu berpaling, ia melihat Nona Bhok jalan berendeng
dengan Keng Sim, agaknya erat sekali pergaulan
812 mereka. Tiba-tiba ia merasakan mukanya menjadi panas
sendirinya. Belum sempat ia menoleh ke lain jurusan, Keng
Sim sudah berpaling ke arahnya. Empat mata bentrok
sinarnya, lantas keduanya sama-sama tunduk. Hati Sin Cu
berdenyu-tan, ia mendapatkan kemenyesalan pada sinar
matanya anak muda itu.
Malam itu Nona Ie mesti berpikir banyak. Sampai jauh
malam barulah ia dapat pulas. Selama itu ia ingat saja Keng
Sim. Besoknya pagi ia pergi ke luar kamar gurunya, ia jalan
mundar-mandir saja, tidak berani ia mengasi bangun gurunya
itu. Selang sekian lama barulah sang guru membuka pintu.
"Eh, Sin Cu, kau memikirkan apa?" menegur Tan Hong,
yang lihat roman orang beda daripada biasanya. Ia tertawa.
"Tidak, suhu, muridmu cuma hendak memberi selamat pagi
padamu," sahut si nona.
Tan Hong bersenyum. Bersama murid itu ia pergi ke latar.
Mereka menyender di loneng untuk memandangi gunung
Khong San dan telaga Jiehay.
"Ah, sang hari lewat cepat sekali!" berkata sang guru. "Kau
sekarang sudah berumur tujuh belas tahun. Benar bukan?"
"Dari hari ulang telah lewat tiga bulan," sahut sang murid,
mengangguk. "Ketika pertama kali kau datang ke Thayouw sankhung, kau
baru berusia tujuh tahun," berkata pula sang guru. "Ya, itu
waktu kau masih mengeluarkan air dari hidungmu..."
813 "Sementara itu belasan tahun sudah suhu mendidik
muridmu," sahut si nona.
Guru itu tertawa pula.
"Kau telah menjadi dewasa, aku lega hati. Hanya..."
"Hanya apa, suhu?"
"Semasa kau berumur tujuh tahun, kau tidak memikir suatu
apa. Sekarang dalam usia tujuh belas, kaulah satu nona
remaja. Tidak dapat tidak, aku mesti memikirkan kau dalam
suatu urusan..."
Si nona berdiam. Hanya sebentar, ia mengangkat
kepalanya. "Keindahan di sini dipadu sama Thayouw sankhung saling
beri..." katanya.
"Ya. Memang Jiehay dapat dibandingkan dengan Thayouw.
Selama musim semi, seluruh gunung penuh bunga,
pemandangannya sungguh indah."
"Apakah di Khong San ada bunga mawarnya?" tanya Sin Cu
tiba-tiba. Tan Hong tercengang.
"Inilah aku tidak perhatikan," sahutnya. "Tapi di sini semua
empat musim seperti musim semi, umpama kata benar tidak
ada pohon mawarnya, kalau kita memindahkannya dari
Kanglam, pohon itu pastilah akan tumbuh di sini..."
814 "Eh, suhul" mendadak si murid menanya pula, suhu
menyukai bunga mawar di Kanglam atau pohon tayceng di
sini?" Kembali guru itu tercengang. Ia memandang mata orang,
hingga ia merasa melihat cahaya yang mengandung sesuatu
rahasia. Maka ia lantas bersenyum.
"Untukku, aku menyukai dua-duanya!" sahutnya. "Bunga
mawar dapat membikin orang senang dan gembira, dan
pohon tayceng bisa membikin orang meneduh dan berangin."
"Tidak demikian, suhu," si murid mendesak. "Umpama suhu
mesti memilih, yang mana suhu akan pilihnya?" Kali ini ia
menatap wajah gurunya itu. Ia mirip bocah yang menghadap
soal sulit, yang meminta bantuan keputusan.
Tan Hong berpikir, terus ia tertawa.
"Dalam hal itu kita mesti melihat sifatnya sesuatu orang,"
ujarnya. "Diumpamakan Bhok Yan, dia pasti menyukai bunga
mawar." Sin Cu mengangguk.
"Kalau kita bicara tentang kefaedahannya untuk manusia,
tentu saja pohon tayceng yang terlebih baik," guru itu
menambahkan. Kembali si nona mengangguk.
"Sebenarnya," berkata guru itu kemudian, tertawa,
"untukmu baiklah kau tunggu lagi dua tahun untuk
memikirkan soal begini. Untukmu masih belum lambat."
815 Mukanya nona itu bersemu merah.
"Sekarang pergilah kau memasang omong sama subo-mul"
kata pula sang guru, yang bersenyum. "Subo-mu hendak
mengetahui ke-pandaianmu menggunai senjata rahasia.
Sekarang aku hendak pergi ke ke istana. Lusa ada harian
thaysucouw membuka pintu kamarnya, di depannya kau boleh
pertontonkan kepandaianmu."
Seberlalunya guru itu, Sin Cu berpikir keras. Ia masgul.
Maka ia lantas cari subo-nya, ibu guru. Tapi ia segera
mendengar suara bayi menangis, ia membatalkan niatnya.
Tentu sang ibu guru lagi menyusui bayinya.
Justeru itu ia tampak Siauw Houwcu mendatangi sambil lari
berjingkrakan. Bocah nakal itu sudah lantas menyamber
tangannya, untuk ditarik.
"Sudah lama aku mencarinya, kiranya kau ada di sini,"
serunya. "Lekas, lekas! Mari kita menangkap ikan!" Segera dia
menambahkan: di sana pun ada Bhok Siauwkongtia, dia
menyuruh aku, mengajak kau!"
Karena lagi masgul itu, Sin Cu turut bocah nakal itu.
Girang Bhok Lin melihat datangnya nona ini.
"Kau baik, Nona Ie?" ia menegur.
"Cis" bentak Siauw Houwcu. "Memang ada apanya yang
tidak baik sampai kau mesti menyapanya"..."
Mukanya Bhok Lin merah.
816 "Inilah adat peradatan, Siauw Houwcu," katanya. "Ah, kau
mirip bocah liar!"
"Ya, aku bocah liar dan kau bocah agung!" kata si nakal,
mengangkat pundak. "Kau tidak suka main-main sama aku!"
"Maaf, Siauw Houwcu, aku salah!" Bhok Lin lekas mengaku.
"Aku tidak berani lagi..."
Lenyap juga kegembiraannya Sin Cu melihat dua bocah itu
bergurau. Mereka itu, kecil tidak dapat dikatakan masih kecil,
besar belum besar.
Yang digemarkan Houwcu adalah kionghie, ikan "panah,"
ikan istimewa di telaga Jiehay itu, yang bisa disebut juga ikan
paling aneh di kolong langit. Kalau ikan lain berenang
mengikuti air, dia justeru sebaliknya, dia berenang melawan
air, untuk selamanya dia tidak kembali ke hilir dari telaga
Jiehay, dia berenang naik melawan delapan belas aliran kali
kecil di Khong San itu, tubuhnya dapat mencelat maju.
Demikian dia dapat namanya, ikan panah.
Untuk menangkap akan itu, Siauw Houwcu membikin
lingkaran pada ujungnya sebuah cabang kayu kecil. Lingkaran
itu digunai sebagai joanpian,cambuk lemas. Setiap kali dia
menyamber, ikan kena tersamber, untuk terus dikasi masuk ke
dalam korang. Dia liehay, belum pernah samberannya gagal.
Maka itu cepat sekali dia telah dapat menangkap banyak.
Bhok Lin girang sekali, berulangkah ia bersorak.
Kembali Siauw Houwcu menyamber. Mendadak ia
menampak satu bayangan orang, lalu lingkarannya itu
kesamber, ikannya terlepas, nyemplung pula ke air, hingga air
muncrat. Pun korang-nya turut kesamber, hingga ikannya
pada terlepas, semua berenang terus ke hulu.
817 Bayangan itu ialah Yap Seng Lim.
Bocah itu jadi gusar.
"Yap Toako, kau bikin apa?" dia menegur.
"Jangan ganggu ikan ini," sahut Seng Lim tertawa. "kan ini
besar semangatnya, dia tidak kenal kesukaran. Lihat, dia terus
maju ke hulu. Semangatnya itu harus dikagumi. Sekarang kau
main menangkapi, aku tidak puas..."
Siauw Houwcu melengak, tapi cuma sebentar, dia kata
"Baiklah, kau benar!" Ia berbangkit, ia menepuk-nepuk
tangan, untuk membersihkan tangannya itu.
Sin Cu dan Bhok Lin tertawa. Tapi mendadak, tertawa
mereka tertindih suara tertawa seram dari lain orang, yang
datangnya tiba-tiba.
Tahu-tahu di dekat mereka muncul enam tujuh orang, yang
semua beroman luar biasa. Yang satu berambut merah, kedua
kakinya lempang jegar, ketika dia berlompat, dia berlompat
tingginya tujuh delapan kaki dan jauhnya dua tiga tombak,
kedua matanya besar seperti kelene-ngan. Dia mengawasi
Nona Ie, sembari tertawa dia kata: "Sungguh nona kecil yang
cantik manis!"
Seng Lim berempat terkejut, apapula ia sendiri dan Sin Cu.
Turut pantas, sedikit saja orang berkerisik, mereka mesti
mendengarnya. Tapi kali ini, tahu-tahu orang sudah datang
dekat. Sin Cu mendongkol atas kata-kata orang, akan tetapi belum
ia sempat mengambil sikap, ia sudah dibikin terkejut pula.
Orang luar biasa itu sudah berlompat kepadanya, tangannya
818 menyamber. Hampir ia kena dicekuk, baiknya ia masih dapat
berkelit. Siauw Houwcu menjadi gusar, mendadak saja ia
menyerang. Ia berhasil, suara hajarannya berbunyi keras. Ia
telah menggunai jurus dari Liongkun, kuntauw Naga. Ia masih
kecil tetapi tenaganya sudah berat enam atau tujuh ratus kati.
Hanya kali ini ia gagal. Meski ia menghajar jitu, yang roboh
bukan si orang berambut merah itu, ia sendiri yang tertolak
mundur kira-kira tiga tombak, terus kecebur ke kali kecil!
Seng Lim tidak ketahui, rombongan itu adalah orang-orang
undangannya Cie Hee Toojin. Merekalah yang disebut
rombongan iblis. Dan si rambut merah ini ada Liok Yang
Cinkun yang ceriwis, yang gemar paras elok, maka juga
datang-datang dia main gila terhadap Nona Ie.
Selagi Siauw Houwcu terpelanting, Sin Cu sudah
menghunus Cengbeng kiam.
Liok Yang Cinkun tidak menghiraukan pedang itu, kembali
ia menjambret, karena ini, ia lantas bertempur sama si nona.
Mengetahui musuh liehay, Sin Cu lantas menggunai ilmu
silat "Menembusi bunga mengitarkan pohon." Ia berlompatan,
ia melejit sana sini, tubuhnya sangat lincah. Tempo ia
menyerang dengan tipu silat "Bidadari melemparkan torak," ia
berhasil memapas ujung jubah si imam, hanya habis itu,
pedangnya terpental.
Liok Yang Cinkun tidak kaget, dia bahkan tertawa terbahak.
"Pedang yang bagus!" serunya. "Pedang yang bagus dan
nona yang cantik! Kalau aku mendapatkan dua-duanya,
tidakkah itu bagus?" Kembali dia menyamber, kali ini ke tulang
819 piepee di pundak si nona. Celaka siapa kena dijambak
tulangnya itu. Selagi imam ini girang sekali sebab ia dapat mendesak si
nona manis, mendadak terdengar suara "Buk!" lalu ia
merasakan punggungnya sakit, tubuhnya pun terhuyung ke
depan dua tindak. Berbareng dengan itu, ujung pedang si
nona menyamber ke jalan darah cietong hiat di bawah
tetenya. Tapi ia bisa membebaskan diri, cuma hajaran tadi
membikin ia kaget juga.
"Ha, kiranya kau pun mengarti silat?" tegurnya pada orang
yang membokong punggungnya. Sin Cu menyerang terus, tiga
kali beruntun, tapi ia menggunai ketika akan menoleh kepada
orang yang membantu ianya, ialah Seng Lim. Tangan si anak
muda bengkak dengan tiba-tiba, tubuhnya pun bergulingan
di tanah, sebab akibat serangannya, ia terpental jatuh, ia
mesti bergulingan di tanah.
Liok Yang mendongkol karena kena dibo-kong sedang si
nona tak dapat ia membekuknya.
Sin Cu yang cerdik lantas saja insaf bahwa ia kalah jauh,
karena itu ia berkelahi terus dengan tipu silatnya itu
Menembusi Bunga Mengitari Pohon.
Dengan begini ia dapat bergerak dengan lincah sekali,
serangannya pun aneh. Ia menggertak ke timur, sebenarnya
ia menyerang ke barat, ia mengancam ke selatan, habisnya ia
menikam ke utara. Ia sendiri tidak pernah kena dijambret.
Cuma semua serangannya tidak memberi hasil. Lawan itu
kebal, tidak mempan senjata tajam, tidak pun pedang mustika
itu. 820 "Yap Suheng, lekas pergi mengundang suhu1." kata si nona
kemudian, sesudah ia melayani belasan jurus tanpa ada
hasilnya. Seng Lim tidak mau pergi. Ia dapat kenyataan si nona
terancam bahaya. Tangan kanannya bengkak dan sakit,
sekarang ia gunai tangan kirinya. Tangannya terluka tetapi ia
masih dapat berkelahi dengan baik.
"Jangan lawan tenaga, dia kedot!" Sin Cu mengasi ingat.
"Dia kuat sekali!" Ia berseru tetapi ia menyerang.
Seng Lim panas hatinya. Ia lompat ke samping, dengan
tangan kiri ia mencabut sebuah pohon kecil, dengan itu ia
menyapu imam yang tangguh itu.
Gagal serangan dengan pohon kayu ini. Liok Yang Cinkun
dapat berkelit. Tapi dia mendongkol. Sekian lama dia tidak
sanggup merebut kemenangan, dia malu sendirinya.
"Mesti aku mampusi dulu bocah ini, baru aku bekuk si
wanita!" pikirnya. Karena ini, ia lantas mengempos


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semangatnya. Ketika itu Cie Hee Toojin berseru: "Cinkun, ampuni dia!
Dialah muridnya Thio Tan Hong!"
Imam ini tidak kenal Sin Cu, tetapi bersama ia ada Poan
Thian Lo dan muridnya itu yang memberitahukan. Poan Thian
Lo mengharap-harap Liok Yang Cinkun berhasil, sebab ia benci
nona itu. Tadinya ia diam saja, adalah gurunya, yang minta
keterangan padanya, sebab guru ini bercuriga melihat ilmu
silat yang liehay dari nona itu. Ditanya gurunya, Poan Thian Lo
tidak berani mendusta. Cie Hee tidak takuti Tan Hong, ia tidak
menyayangi Sin Cu, ia hanya merasa malu mengingat
derajatnya mesti melayani orang dari tingkat rendah.
821 "Oh, kiranya muridnya Thio Tan Hong!" Liok Yang Cinkun
pun berseru. "Benar, tidak dapat aku berlaku sembrono!" Tapi
ia toh menggunai tenaganya, ia menyamber pohonnya Seng
Lim, ia menarik dan mematahkannya, sesudah mana, ia
serang si anak muda. Seng Lim cerdik, dia membuang diri
dengan lompatan "Ikan gabus meletik," dengan begitu ia
selamat. Sin Cu tapinya tidak mundur, sekalian hendak menolongi
Seng Lim, ia berkelahi secara nekat.
Liok Yang Cinkun mengebas dengan tangan bajunya, untuk
melibat pedang orang. Sembari tertawa dia kata: "Sebentar
aku akan minta kepada gurumu! Aku menghendaki Thio Tan
Hong menyerahkanmu menjadi muridku!"
Panas hatinya Sin Cu, mukanya menjadi merah padam. Ia
mengerahkan tenaganya tetapi tidak berhasil ia meloloskan
pedangnya dari gubatan tangan baju imam itu. Ia heran
bahwa orang ada sedemikian liehay.
Seng Lim sudah berlompat bangun, ia menahan sakit pada
lukanya. Ia memikir untuk menyuruh Bhok Lin lari pulang,
guna mengasi kabar pada Thio Tan Hong atau lainnya. Ia
kecele. Pangeran muda itu tidak ada, setahu ke mana
perginya. Ia tidak tahu Liok Yang Cinkun tengah
mempermainkan Nona Ie, menyaksikan nona itu terancam
bahaya, lupa segala apa, ia lompat untuk menerjang.
"Bocah busuk, kau mencari mampusmu?" Liok Yang Cinkun
mengejek. Ia masih mengubat pedang, si nona, dengan
tangan baju yang lainnya ia mengebas pada ini anak muda.
Hebat Seng Lim terancam. Baru saja samberan angin
datang, ia sudah merasai kepalanya pusing. Tapi ia nekat, ia
822 maju terus dengan serangannya. Atau mendadak ia
merasakan tubuhnya tertolak keras, sampai ia mundur
beberapa tindak. Ia masih terhuyung tatkala ia dengar
teriakan girang dari Sin Cu.
Beberapa bayangan orang terlihat berkelebat, menyusul itu
tubuh Liok Yang Cinkun terguling roboh hingga si imam
berteriak keras, selagi dia roboh, dia disusul dua rupa benda
yang berkelebat berkilauan.
Seng Lim pun segera dapat melihat, dia menjadi girang
sekali. Di situ muncul Hek Pek Moko!
Dua orang Putih dan Hitam ini dipanggil Siauw Houwcu. Kecemplung
di kali, bocah nakal itu tidak segera mendarat. Ia
ada sangat cerdik, tanpa timbul lagi, ia berenang sambil
menyelam. Ia baru muncul sesudah terpisah jauh dari tempat
kejadian. Dia mau pergi kepada Toan Teng Khong akan
mencari gurunya, tempo ia bersomplokan sama Hek Pek
Moko. Maka ia lantas minta bantuannya dua saudara ini.
Mengetahui Sin Cu terancam bahaya, Hek Pek Moko datang
dengan lantas, bahkan dengan lantas mereka serang si imam
ceriwis hingga dia itu roboh.
Liok Yang Cinkun tidak terluka, dia lantas berlompat
bangun. Ketika sepasang tongkat Hek Pek Moko menyamber pula, ia
menangkis dengan mengerahkan tenaganya menurut ilmu
kekuatannya Kungoan Itkhiekang.
Hebat tolakan itu, kedua tongkat kena dibikin mental,
setelah mana, imam ini mengulangi emposan semangatnya,
untuk membalas menyerang.
823 "Siluman dari mana berani mengganas di Khong San ini?"
sekonyong-konyong Hek Moko berseru dengan suaranya
bagaikan guntur.
Mau atau tidak, Liok Yang Cinkun terperanjat. Ia tahu ia
tengah menghadapi lawan liehay. Akan tetapi ia sudah siap, ia
meneruskan juga serangannya.
Pek Moko turut maju, ia menyusul serangan saudaranya.
Hebat Liok Yang Cinkun tetapi ia kewalahan melayani
sepasang tongkat putih dan hijau, ia kena terkurung sinar
kedua tongkat itu.
Di antara beberapa iblis itu, Kiupoanpo Kongsun Bu Houw
adalah yang erat persahabatannya dengan Liok Yang Cinkun,
hendak dia membantui, tetapi Cie Hee Toojin segera
mencegah. "Jangan bertempur kalut dulu, marilah kita bicara!" berkata
imam ini. Maka ia maju dengan tenang, kipasnya dikibaskan.
Dengan sabar ia menanya kalau dua orang itu Hek Pek Moko
adanya. Hek Pek Moko merasakan samberan angin, mereka
berhenti menyerang.
Liok Yang Cinkun bernapas lega, tetapi bukannya dia
mengundurkan diri, dia justeru berlompat tinggi, sembari
turun, ia menyerang.
"Kurang ajar!" Hek Moko berseru. Saudaranya pun gusar.
"Jikalau hari ini kami dapat melepaskan kau, iblis, coretlah
nama Hek Pek Moko dari dunia kangouw."
824 Cie Hee Toojin maju pula.
"Apakah tuan-tuan tidak hendak memberi muka padaku?"
ia menanya dingin. Ia pun berulang-ulang mengebasi
kipasnya. Hek Pek Moko suka menahan tongkat mereka, setelah
menangkis Liok Yang Cinkun, hendak mereka menjawab Cie
Hee, atau mendadak ada suara lain yang mendahului mereka.
Suara itu datang dari atas gunung, halus tetapi terang.
Katanya: "Kiranya Cie Hee Tootiang yang datang! Maaf kami
tidak dapat menyambut sebagai selayaknya. Dua saudara Hek
Pek, sabar dulu, kita perlu bicara!"
Sin Cu girang bukan main. Ia mengenali baik suara
gurunya. Ia tadinya kuatir gurunya itu, masih berada jauh di
istananya Toan Ongya
Cie Hee Toojin terperanjat.
"Hebat Thio Tan Hong,..." pikirnya.
"Suaranya ini ada suara dari tenaga dalam yang liehay,
sekali. Dia tidak ada di bawahan aku..." Ia tahu, Tan Hong ada
murid Hian Kie Itsu dari generasi ketiga.
Karenanya ia lantas tarik mundur Liok Yang Cinkun sembari
ia berkata "Mari kita menemui tuan rumah!"
Liok Yang mendongkol tetapi terpaksa ia menyabarkan diri.
Sin Cu segera menghampirkan Seng Lim, yang ia pepayang.
"Bagaimana?" ia tanya, menghibur. "Apakah lukamu
berat?" 825 Seng Lim pegangi tangannya yang bengkak, ia menahan
sakit. "Tidak apa, cuma luka di luar," sahutnya.
Sin Cu tetap mempepayang, karena mana, si anak muda
tidak dapat mencegah. Hanya mukanya menjadi merah,
saking jengah. Sampai di atas gunung, di situ Bhok Lin muncul secara tibatiba.
Ia kaget melihat tangan Seng Lim bengkak besar. Tapi si
anak muda tertawa dan menepuk-nepuk pundaknya, katanya:
"Adik kecil, kau tidak kaget?"
Kongcu ini malu sendirinya. "Ah, sayang aku tidak pandai
silat..." katanya.
"Maka perlulah kau belajar padaku!" Siauw Houwcu
bergurau. Bhok Lin ingin bicara sama Sin Cu tetapi ia likat, maka ia
terus berjalan bersama Siauw Houwcu.
Di atas gunung Thio
Tan Hong ada bersama isterinya, Ouw Bong Hu dan isteri,
In Tiong dan isteri juga, serta Tamtay Biat Beng. Melihat Seng
Lim terluka, ia lantas memberi obatnya.
Cie Hee Toojin beramai sudah lantas tiba, Hek Pek Moko
mengikuti di belakang mereka.
Tan Hong menyambut sambil tertawa.
"Tootiang datang ke mari, ada apakah pengajaranmu?"
tanyanya. 826 "Aku sengaja datang untuk memberi selamat ulang tahun
pada Hian Kie Itsu," menyahut imam itu.
"Hari ulang tahun kakek guruku lusa," Tan Hong
memberitahukan.
"Sengaja aku datang lebih dulu!" Cie Hee kata. "Aku
percaya dia tidak akan mengunci pintu menampik kami.
Tolong kau mengabarkannya."
"Menyesal," Tan Hong, menampik. "Kakek guruku itu
bersama-sama Siangkoan Loocianpwee tengah menutup diri di
dalam kamarnya, sampai lusa barulah mereka membuka
pintu." "Benarkah itu?" menegasi Cie Hee, yang air mukanya
berubah. "Apakah kau sangka mereka jerih terhadapmu?" kata Hek
Moko, yang gusar. Saudaranya gusar juga. "Apakah kau
mengira Hian Kie Loocianpwee tidak berani menemuimu?"
Mendadak dari mendongkol, Cie Hee Toojin menjadi
kegirangan. "Sungguh tidak kebetulan!" katanya, tertawa. "Tapi Hian
Kie Itsu itu adalah sahabat kekalku, karena aku sudah tiba di
sini, aku mesti bertemu padanya. Terpaksa aku mesti
menantikan di sini..."
Tan Hong tertawa dingin. Ia kata: "Sebelumnya kakek
guruku menutup pintu, ia sudah memesan melarang lain
orang mengganggunya, oleh karena itu harap dimaafkan, aku
tidak dapat melayani tootiang beramai."
827 Kembali air muka Cie Hee berubah. Ia menjadi gusar
kembali. "Ketika aku dan Hian Kie Itsu mulai berkenalan, kau masih
belum terlahir!" katanya dingin.
"Kalau begitu Thio Tan Hong tidak usah lagi
memperdulikanmu!" berkata Tamtay Biat Beng murka. "Jikalau
kau hendak bicara dari hal persahabatan, lusa saja kau bicara
sendiri sama Hian Kie Loo cianp wee. Apakah kau tidak kenal
aturan kaum kangouw?"
Cie Hee menjadi bertambah gusar.
"Tidak gampang kami yang dari tempat jauh datang ke
mari!" katanya, menegur.
"Dengan kata-katamu ini jadi benar-benar kau hendak
menolak kami?"
"Jikalau tootiang beramai datang untuk memberi selamat,
lusa saja tootiang datang pula ke gunung ini," berkata Tan
Hong. "Nanti aku memberitahukan kakek guruku itu, nanti kami
melayani tootiang semua. Hari ini maafkan saja!"
Kiupoanpo membanting tongkat besinya. "Hm!" ia
perdengarkan ejekannya. "Sungguh kepala besar!"
Cie Hee Toojin mengibas kipasnya. Ia gusar tetapi
mendadak ia tertawa.
"Tahukah kau, hari ini aku datang selain untuk memberi
selamat kepada Hian Kie Itsu tetapi juga ada maksud
lainnya?" ia menanya.
828 "Kita bukannya cacing di dalam perutmu, mana kita ketahui
hatimu?" sahut Pek Moko.
Wajahnya Cie Hee menjadi merah padam. Ia menggoyang
kipasnya. "Aku tidak mau bicara sama orang tidak keruan" katanya
jumawa. "Thio Tan Hong, hendak aku menanya kau! Apakah
gurumu dan paman gurumu juga belum datang?"
"Guruku pun mungkin akan tiba lusa," Tan Hong menjawab
sejujurnya. Imam itu tertawa dingin.
"Benar-benar kamu membikin dingin hati kami yang datang
karena memangeni kamu!" katanya.
Sampai di situ terdengar tertawanya Tek Seng Siangjin dari
Sengsiu Hay dari Kunlun San. Sejak tadi dia berdiam saja,
sekarang dia meleng-gak. Dia berkata: "Aku kuatir di sini
cuma ada nama kosong belaka! Orang cuma sengaja
mengerek naik papan biancian pay!"
Papan biancian pay itu ada pemberitahuan menunda
peperangan. Alisnya Tan Hong terbangun. "Apa?"menegaskannya.
Cie Hee Toojin berkata pula: "Pada tiga puluh tahun yang
lampau aku telah meyakinkan ilmu silat bersama-sama Hian
Kie Itsu, bukan sedikit aku telah menerima kefaedahannya.
Selama yang belakangan ini aku mendengar kabar dia sudah
memperoleh kemajuan yang besar, maka itu sekarang aku
datang bersama ini beberapa saudara yang berilmu, yang
829 belum pernah berjodoh dapat menerima pelajaran dari kakek
gurumu itu, karenanya mereka memerlukan datang
berkunjung ke mari. Maksud kami ialah kesatu untuk memberi
selamat hari ulang tahunnya, dan kedua guna belajar kenal
dengan kepandaiannya yang kesohor ke mana-mana!" Ia
berhenti sebentar, lantas ia meneruskan sembari mengasi
dengar tertawa dingin: "Kami telah pikir, dengan memasuki
usia delapan puluh tahun, bukan Hian Kie Itsu sendiri yang
memperoleh kemajuan pesat tetapi pun ke empat muridnya,
yang masing-masing mewariskan serupa pelajaran, maka
sayang sekali, mereka tidak berada di sini semua! Tidakkah ini
membuatnya kami datang di tempat kosong?"
Tan Hong tertawa.
"Jikalau kau hendak belajar kenal sama ilmu kepandaiannya
murid kakek guruku, itu pun gampang!" katanya sabar. "Di
sini, ada beberapa murid-muridnya dari generasi ketiga,
mereka itu tidak nanti membikin kamu hilang harapan!"


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ouw Bong Hu pun turut buka suara, katanya dengan
nyaring: "Murid generasi kedua dari Siangkoan Thian Ya juga
berada di sini, maka kalau tuan-tuan hendak berlatih, kami
suka melayaninya!"
Hek Pek Moko juga turut bicara: "Kami dua saudara tidak
termaksud partai mana juga, tetapi sebal kita melihat tingkah
pola kamu ini! Eh, Tan Hong, dalam pertempuran ini kami
hendak turut ambil bagian!"
"Kedua tuan hendak membantu meramaikan, itulah bagus
sekali!" berkata Cie Hee Toojin , menyahuti. "Dengan begitu
kami jadi tidak usah nanti dikatakan yang tua menghina yang
muda!" 830 Sebenarnya girang Cie Hee mengetahui ke empat muridnya
Hian Kie Itsu tidak hadir bersama. Memang dia sengaja datang
hari ini, untuk mengacau lebih dulu.
"Tootiang, silahkan kau menjelaskan caramu," kata Tan
Hong tenang. "Kami bersedia untuk menerima pelajaran!"
Cie Hee Toojin mengajak kawan-kawannya mundur sedikit,
terus mereka kasak-kusuk, Tan Hong mengawasi mereka,
maka ia mendapat lihat gerak-geriknya Poan Thian Lo. Dia ini
menunjuk sana dan menunjuk sini. Menampak itu, ia terkejut.
"Hebat!" serunya mendadak.
"Kenapa?" tanya Hek Pek Moko.
"Yang Tiong Hay ada murid paling disayang dari Cie Hee
Toojin, dia tidak datang bersama ke mari," berkata Tan Hong.
"Mereka ini membilang datangnya untuk memberi selamat
tetapi mereka sengaja datang dua hari di muka. Mereka tentu
ada mengandung sesuatu maksud! Mereka seperti
membokong kita, mereka mestinya menggunai akal muslihat!"
"Aku tidak mengarti," kata Hek Moko. "Coba kau
menjelaskannya. Mereka hendak menggunai tipu apa?"
"Aku mau menduga Yang Cong Hay yang minta gurunya
datang ke mari, untuk melibat kita, dia sendiri dengan diamdiam
menyerbu ke istana Toan Ongya," Tan Hong memberi
keterangan. "Mereka ini benar liehay tetapi mestinya mereka
jerih juga terhadap kakek guruku serta Siangkoan
Loocianpwee. Tentunya mereka sudah tahu kakek guruku lagi
bersamedhi, sengaja mereka datang ke mari menantang kita.
Hm! Liehay akal mereka! Mereka tentu menduga kita
berkumpul di sini, lantas di istana tidak ada orang yang bisa
melayani mereka, itu artinya mereka bakal menang!"
831 "Benar," berkata Hek Pek Moko. "Aku tidak takuti mereka
tetapi aku berkuatir untuk istana..."
Dua saudara ini berniat lantas pergi tetapi mereka masih
berat. Pergi artinya batal bertempur...
"Di dalam ilmu silat, Yang Cong Hay tidak usah
dikuatirkan," kata Tan Hong lagi. "Hanya kalau dia menyerbu,
dia mesti ambil jalan air. Untuk mencegah, inilah bukan
pekerjaan satu dua orang yang dapat mengadu kepandaian,
kita mesti dapatkan seorang yang mengarti ilmu perang
terutama perang di air, untuk dia memegang tampuk
pimpinan. Di istana sudah tersedia cukup barisan air, tinggal
yang menjadi pemimpinnya..."
Segera orang she Tan ini melirik pada Seng Lim. Pemuda
ini memang pernah menjelaskan padanya perihal cacad di
istana, yang berbahaya kalau diserang dari jurusan air, dan
hal itu ia setujui. Bahwa tadi pagi ia pergi ke istana, itu pun
untuk memberi kisikan kepada Toan Ongya. Ia hanya tidak
menyangka, orang datang begini cepat.
Seng Lim harus pergi, tetapi tangannya lagi sakit. Maka
habis melirik pemuda she Yap itu, ia melirik kepada Keng Sim.
Ketika itu Keng Sim lagi bicara sama Sin Cu. Ia hendak
mengambil hati si nona.
"Ah, nona, kau pun terluka," katanya. "Lihat pundakmu itu!
Nanti aku obati!"
Sin Cu cuma robek bajunya di pundak, kulitnya lecet pun
tidak. Ia tengah mendengari gurunya, ia tidak perhatikan
suara si anak muda itu.
832 "Apa katamu?" tanyanya heran, seperti orang baru sadar.
"Siapa yang terluka" Oh, suhu, kau kuatir onghu diserbu!
Bukankah tentang itu Yap Toako telah memberitahukannya"
Ya, pandangan suhu dan pandangan Yap Toako tepat sekali!"
Mendengar suara si nona, Seng Lim majukan diri.
"Biarlah aku yang pergi ke sana!" katanya. "Aku hidup di
wilayah air, aku pandai mengendalikan perahu!"
Tan Hong bersenyum. "Apakah luka di tanganmu tidak
berbahaya?" ia menanya.
Seng Lim ayun tangannya itu.
"Masih ada sebelah lagi yang dapat aku gunakan!"
sahutnya. "Mungkin aku tidak dapat berkelahi benar-benar
tetapi untuk menggayu, aku dapat!"
Tan Hong segera mengambil putusan.
"Baik!" katanya. "Biat Beng, pergi kau antar Seng Lim ke
istana!" Kedua orang itu menurut.
Sin Cu lekas dekati itu anak muda. "Yap Toako, jaga dirimu
baik-baik!" ia memesan.
Hati Keng Sim tidak enak. Ia pun kata di dalam hatinya:
"Bocah ini mengarti apa tentang ilmu perang maka dia berani
memegang pimpinan?" Coba tidak ada Tan Hong, tentulah ia
Lencana Pembunuh Naga 9 Perkampungan Misterius Seri Pendekar Cinta 4 Karya Tabib Gila Hati Budha Tangan Berbisa 12
^