Pencarian

Pendekar Wanita Penyebar Bunga 16

Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen Bagian 16


"Benar!" Keng Sim campur bicara. "Mereka saling rebut
kekuasaan hingga keadaan menjadi kacau seperti langit roboh
dan bumi melesak, kita baiklah jangan kecipratan kekotoran
mereka itu, paling benar kita mengangkat kaki jauh-jauh,
supaya diri kita menjadi putih bersih!"
Sin Cu melirik tajam pemuda itu, hatinya tak puas. Ia
sebenarnya mau membujuk paderi itu pergi ke Tunkee, untuk
membantui Seng Lim, tetapi melihat hati orang masih belum
tenang dan Keng Sim pun mengatakan demikian, terpaksa ia
membungkam. Selagi mereka berdiam, dari samping mereka, di mana ada
tikungan gunung, tiba-tiba muncul satu barisan serdadu.
Menampak itu, Tiauw Im menjadi gusar.
"Bagus betul!" serunya. "Aku telah lepaskan Pit Kheng
Thian, sekarang dia menyuruh orang menyusul aku!" Ia
angkat tongkatnya ia memandang tajam.
1051 Tapi segera ternyata, itulah Seng Hay San dan Cio Bun
Wan bersama hanya belasan serdadu berkuda, yang
pakaiannya tidak keruan macam, yang romannya lesuh.
Teranglah mereka tengah kucar-kacir.
"Eh, kenapa kamu jadi begini?" paderi itu menegur, heran.
Seng Hay San lebih dulu memberi hormat.
"Kami yang muda tidak punya guna, kami merasa sangat
malu," ia menyahut. "Pasukan rakyat kami telah kena
dikalahkan tentara pemerintah, dari dua ribu jiwa, kita
ketinggalan hanya tujuh belas orang..."
"Jikalau kita bertempur di air, kita dapat satu melawan
sepuluh!" kata Bun Wan dengan penasaran. "Kita justeru
disuruh Pit Kheng Thian berperang di tanah pegunungan.
Semua saudara kita, menunggang kuda pun tak mampu, maka
itu mereka berkelahi cuma mengandalkan semangat mereka!"
"Meski begitu kami dapat bertahan sampai beberapa
bulan," Hay San menambahkan. "Tapi kerusakan kita hebat
sekali, sudah tidak ada bala bantuan, rangsum juga tidak ada.
Apa kita bisa bikin" Aku hanya malu untuk bertemu orangorang
tua dari kampung halaman kita, karena aku pergi
dengan dua ribu saudara tetapi sekarang kembali hanya
dengan tujuh belas orang..."
"Hm, ini juga perbuatan bagus dari Pit Kheng Thian!"
berkata Tiauw Im sengit.
"Syukur kamu bertemu sama kita!" Keng Sim turut bicara.
"Kamu tak usah pulang lagi kepada Pit Kheng Thian! Dia
sudah memaksa Yap Cong Liu pergi, kamu dipandang
orangnya Cong Liu, dengan pergi ke sana kamu seperti
mengantari diri masuk ke dalam jala!"
1052 Seng Hay San melengak.
"Ah, sayang ayahku tidak ada di sini!" Bun Wan mengeluh.
Suheng, kau pergi ke mana, sudah sekian lama kau tidak
kelihatan" Apakah kau tahu tentang ayahku?"
Parasnya Keng Sim merah sendirinya.
"Aku telah pergi ke Tali menemui Thio Tayhiap, baru
beberapa hari yang lalu aku kembali," jawabnya. "Aku belum
bertemu sama suhu." Tapi ia melihat pedang di pinggang Hay
San, ia heran, hingga ia menanya: "Eh, mengapa pedang suhu
ada pada kau?"
"Pedang ini Nona Ie yang berikan padaku," menjawab Bun
Wan. "Karena aku tidak bertemu ayah, aku berikan itu kepada
suheng untuk ia yang menggunainya. Sebenarnya malam itu
sudah terjadi apakah" Kenapa ayah pergi dengan cara
demikian mendadak" Kenapa pedang ini terjatuh ke dalam
tangan Nona Ie" Sungguh aku tidak mengarti" Nona Ie, kau
tentu dapat bicara sekarang?" akhirnya ia tanya Sin Cu.
"Pedang ini dirampas oleh Ouw Bong Hu dari tangannya
Law Tong Sun yang menjadi komandan barisan pengawal
raja," Sin Cu menerangkan.
"Ouw Peepee menyuruhnya aku menyampaikan kepada
ayahmu. Sayang ayahmu itu sudah pergi. Taruh kata aku
berikan pedang ini pada ayahmu, mungkin dia tidak sudi
menerimanya..."
Bun Wan heran bukan main.
1053 "Kenapa pedang ini terjatuh ke tangan Law Tong Sun?" ia
tanya. "Kenapa ayahku boleh tak menginginkan pula pedang
ini?" "Tentang itu baik kamu tanyakan toasuheng kamu,"
menyahut Sin Cu singkat.
Mendengar perkataan Sin Cu itu, mukanya Keng Sim
menjadi merah. Memang kejadian mengenai pedang itu
sangat membuatnya tak enak hati. Pedang itu ia memintanya
dari gurunya dan diserahkan kepada Law Tong Sun karena
Tong Sun memaksa ayahnya.
Pedang itu jadi ditukar dengan keselamatan jiwa ayahnya
itu. Karena itu, hati Cio Keng To menjadi tawar, maka, juga ia
tak sudi aku lagi Keng Sim sebagai muridnya.
Sudah satu tahun lebih Keng Sim berduka karena itu, ia
malu sendirinya, di luar dugaannya, sekarang Sin Cu
menimbulkan itu di depan kedua adik seperguruannya itu. Ia
menjadi tidak puas terhadap Sin Cu. Ia kata di dalam hatinya:
"Aku rindu kepadamu, untukmu beberapa kali aku pertaruhkan
jiwaku, siapa tahu, sudah kau berlaku tawar terhadapku,
sekarang kau bicara begini di sini, membikin aku malu
terhadap kedua adik seperguruanku ini..."
Meski mendongkol, tetapi karena mengharap Nona Ie nanti
berbalik pikir, ia tidak berani mengutarakan
kemendongkolannya itu.
Bun Wan cerdik, melihat romannya toasuheng itu, ia
menduga kepada sesuatu rahasia, karena ia memangnya jeri
terhadap toasuheng itu, ia tidak berani menanyakannya. Cuma
karena itu ia menjadi bercuriga.
1054 Keng Sim pun kacau pikirannya, tetapi kemudian ia kata
pada Hay San: "Seng Sutee, baiklah kau serahkan pedang itu
padaku, nanti apabila aku bertemu sama suhu, akan aku yang
menyerahkannya."
Sin Cu hendak mencegah tetapi Hay San sudah berkata:
"Usiaku muda, aku tidak bijaksana, kepandaianku pun masih
rendah, dengan membawa-bawa pedang ini, hatiku tidak
tentaram setiap siang dan malam, maka kalau sekarang
suheng yang menyimpannya, itulah paling baik."
"Inilah pusaka keluarga Cio," Sin Cu menyelak juga. "Bun
Wan, kau berada di dalam pasukan tentara, baiklah kau yang
memegangnya untuk kau membela dirimu..."
Bukan main mendongkolnya Keng Sim, hatinya sangat
panas. Nona Ie jadinya menyaterukan dia. Tapi Bun Wan,
setelah bersangsi sebentar, memberikan penyahutannya.
"Terima kasih, encie ," katanya. "Ayah pernah bilang,
walaupun Tiat Suheng dari lain she, dia pintar melebihkan
aku, maka itu ayah pesan, pedang ini di belakang hari baik
diserahkan kepada suheng dan aku dipesan untuk jangan
pikirkan itu. Kata-kata ayah itu mungkin telah diucapkan juga
kepada Tiat Suheng. Jadi adalah maksudayah yang pedang ini
harus diserahkan kepada Tiat Suheng. Nah, suheng , kau
terimalah ini!"
Nona Cio lantas ambil pedang dari tangannya Hay San.
Inilah Keng Sim tidak sangka sekali. Siapa sangka, sumoay ini,
adik seperguruan wanita, demikian menghormati ianya. Hal ini
membuatnya ingat budi gurunya. Ini kembali membikin ia
malu sendirinya, hampir saja air matanya mengalir keluar.
Karena ini, ia tidak dapat segera menyambuti pedang itu.
1055 Bun Wan sendiri, yang memegang gagang pedang,
mengangsurkan pedang itu.
Sin Cu lantas berkata dengan lebih dulu tertawa dingin:
"Dengan mengandal kepada pedang ini, Cio Lounghiong telah
melakukan banyak perbuatan mulia, maka itu, Tiat Kongcu,
semoga kau tidak mensia-siakannya!"
Kembali mukanya Keng Sim bersemu merah. Tapi segera
ia berpikir: "Memang tepat orang gagah bersenjatakan pedang
mustika! Dengan memegang pedang ini, kaum Rimba
Persilatan pastilah memandang aku. Aku harap, dengan
mengandali ini, di belakang hari aku dapat melakukan sesuatu
yang besar dan berharga, kalau kemudian aku bertemu suhu,
bisalah aku bicara dengannya."
Karena ini ia ulur tangannya menyambuti pedang mustika
itu. "Bun Wan, Hay San, bagaimana sekarang pikiranmu?" Sin
Cu tanya pemuda dan pemudi itu.
"Kejadian ada begini di luar dugaan, aku pun tak tahu mesti
berbuat apa sekarang," menyahut Nona Cio.
"Aku hendak pergi ke kota raja, dengan begitu aku bakal
melewati rumahku di Hangciu," Keng Sim turut bicara. "Di
mana di sini pasti bakal terbit kekacauan hebat, sebab Pit
Kheng Thian tentunya bakal kalah dan runtuh, baik kamu
jangan pernahkan diri pula di dalam air keruh, baiklah kamu
turut aku, untuk buat sementara waktu berdiam di rumah itu.
Sesudah keamanan pulih, baru kamu pergi cari suhu."
Sepasang alisnya Hay San terbangun. Nyata ia tak setujui
pikiran Keng Sim itu.
1056 Keng Sim masih hendak bicara tetapi Sin Cu telah dului ia.
"Memang Pit Kheng Thian tidak dapat didampingi pula,"
berkata nona ini. "Yap Seng Lim berada di Tunkee sekarang,
dia lagi menghadapi sepuluh laksa serdadu pemerintah, baik
kamu pergi ke Tunkee sana."
"Dengan Yap Toako aku belum pernah bergaul rapat,"
berkata Hay San, "tetapi aku tahu dia laki-laki sejati dan setia
kepada negara, kalau dia membutuhkan bantuan, baiklah, aku
nanti pergi ke sana untuk memberikan bantuanku. Adik Bun
Wan, bagaimana dengan kau?"
"Kau pergi ke sana, aku tentu turut kau!" menyahut Nona
Cio tanpa bersangsi sedikit juga.
Keng Sim tidak mencegah meskipun ia kembali tak puas
terhadap Sin Cu, bahkan ia diam saja.
Hay San dan Bun Wan lantas memberi hormat, untuk
mengambil selamat berpisah, lalu dengan tujuh belas serdadu
sisanya itu, mereka pergi menuju ke Tunkee.
"Dan kau, Sin Cu?" Tiauw Im lantas tanya Nona Ie.
Sin Cu berpikir sejenak.
"Suhu dan subo telah pergi ke kota raja, aku ingin
menemui mereka," ia menyahut.
Mendengar ini, Keng Sim girang bukan kepalang.
"Kalau begitu, kita baiklah berjalan bersama-sama!"
katanya. Ia menyangka si nona suka mendengar pikirannya,
untuk menyingkir dari kekacauan, ia tidak tahu. Sin Cu
sebenarnya berpikir lain.
1057 "Aku juga ingin bertemu sama Tan Hong, kalau begitu baik
kita berjalan bersama," Tiauw Im pun berkata.
Sin Cu menyatakan akur meski tadinya ia memikir untuk
minta supeecouw ini pergi ke Tunkee untuk membantui Seng
Lim, ia lantas mengubah pikiran kapan ia ingat Seng Lim
cukup dengan dibantu In Hong dan Hay San serta Bun Wan,
sedang Tiauw Im, meskipun gagah, tabiatnya keras, mungkin
di sana dia nanti mengumbar hatinya tanpa ada orang yang
dapat mengendalikannya. Ia juga ingat, dengan pergi ke kota
raja, gurunya suami isteri itu bukannya tidak menghadapi
ancaman bahaya. Pula, dengan Tiauw Im ada bersama, Keng
Sim tentulah tidak berani melibat padanya...
Demikian bertiga mereka menuju ke kota raja.
Keng Sim tidak mau mensia-siakan ketika-nya, ia lantas
mencari alasan untuk bisa berbicara sama Nona Ie. Akan
tetapi Sin Cu melayani ia dengan tawar, si nona membawa
sikapnya yang toapan, setiap diajak bicara mengenai dirinya,
ia menyimpangkannya. Keng Sim menganggap dirinya pintar
tetapi menghadapi sikap si nona, ia putus asa. Ia mendongkol
berbareng berduka. Lama-lama, hatinya menjadi tawar
sendirinya. Biasanya ia memikirkan si nona, sekarang si nona
ada di dampingnya, ia tidak berdaya...
Pernah Keng Sim mencoba menyebut-nyebut Seng Lim.
Atas itu, Sin Cu tetap membawa sikap tawar, acuh tak acuh,
hanya setiap kali nama Seng Lim disebut, matanya
memperlihatkan sinar terang. Sinar ini dapat dilihat Keng Sim,
pemuda ini menjadi tidak enak hati. Ia menjadi jelas. Ia
menduga hati si nona ada pada Seng Lim. Bukankah Sin Cu
selalu berdaya akan membantui Seng Lim itu" Karena
perlakuan Nona Ie ini, kadang-kadang ia ingat Bhok Yan, si
nona puteri pangeran. Nona Bhok itu nampaknya mengarti ia,
1058 si nona suka bergaul dengannya. Puteri Bhok Kokkong itu pun
cantik dan pintar. Dibanding dengan Sin Cu, Bhok Yan lebih
mentereng. Sin Cu mendatangkan kehormatan, Bhok Yan
menyebabkan orang suka kepadanya. Pula, berada bersama
Sin Cu, ia seperti merasa dirinya rendah, sebaliknya
mendampingi Bhok Yan, ia merasakannya agung. Dan karena
riang, hatinya pun berbareng menjadi tenang.
Dengan lewatnya hari-hari, dengan perjalanan makin jauh,
atau lebih benar, perjalanan makin dekat kepada tujuan, Keng
Sim merasa ia terpisah makin jauh dari Sin Cu, mereka
agaknya makin renggang. Cuma Tiauw Im yang tidak tahu
apa-apa yang tidak bercuriga, ia hanya menganggap mudamudi
itu sebagai Kimtoong dan Gioklie, muda-mudi suci yang
polos. Pada suatu hari tibalah mereka di perbatasan Ciatkang. Itu
pun batas di antara tentara pemerintah dan pasukan rakyat
suka rela. Karena itu, tempat itu menjadi sunyi, sangat jarang
orang berlalu-lintas di situ. Lama mereka berjalan, baru
mereka menemui sebuah kedai teh. Kedai itu miliknya seorang
nyonya tua, yang anaknya laki-laki ditarik jadi tukang urus
kuda serdadu pemerintah. Nyonya ini sudah tua, sulit untuk ia
melarikan diri. Tadi-tadinya pun sudah sering ia mengungsi, ia
telah merasakan kesengsaraan, maka kali ini ia berdiam saja.
Tiauw Im bertiga mampir di kedai ini, untuk membasahkan
tenggorokan yang sudah kering. Sembari minum, mereka
pasang omong sama si pemilik yang tua.
Tiba-tiba ada dua orang lewat di depan kedai itu.
"Kuda yang bagus! Kuda yang bagus!" satu di antaranya
berkata-kata. Suaranya ada suara orang Utara yang kaku.


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

1059 Sin Cu mengangkat kepalanya, untuk menoleh. Ia lihat
seorang dengan dandannya bangsa Mongolia, tubuhnya kasar
dan keren. Dia ada bersama seorang kate (pendek) dan kecil,
yang dandan sebagai pesuruh atau oppas.
*** Nona Ie segera berpikir. Ia seperti mengenali oppas itu,
entah di mana ia pernah bertemu dengannya. Tak lama ia
berpikir. Ia ingat kejadian dua tahun dulu, di sebuah rumah
makan di tepian utara sungai Tiangkang. Lantas ia ingat
kepada Tie Hian, siewie atau pahlawan raja yang
bersenjatakan golok, yang pernah membantu Gielimkun
Tongnia Law Tong Sun coba menawan Ciu San Bin suami
isteri. Tie Hian juga segera mengenali Nona Ie, ia terkejut. Ia
pernah merasakan tangannya nona itu. Tapi ia mencoba
berlaku tenang, dengan tidak mengentarakan sesuatu, ia ikut
si orang Mongolia mampir untuk minum teh di kedai itu.
Begitu sudah berduduk, mata si orang Mongolia terus
diarahkan kepada Nona Ie. Tiba-tiba dia tertawa dan berkata:
"Kamu kaum wanita di Selatan Tionggoan sangat cantik dan
halus, jikalau kamu berada di gurun pasir kami, pastilah kamu
diangkat dibawa terbang angin gurun!"
Tiauw Im memandang tajam, ia mendongkol.
Sin Cu melihat itu, ia melirik, mengedipi, untuk mencegah.
"Adakah kamu datang dari gurun pasir?" nona ini menanya
sambil tertawa. "Sungguh suatu perjalanan yang jauh!"
Gembira si orang Mongolia karena si nona suka melayani ia
bicara. 1060 "Benar!" sahutnya. "Aku datang sengaja untuk
menyaksikan keindahannya Tionggoan, maka sayang sekali
aku bertemu sama saat peperangan. Nona, adakah kau
datang dari Selatan?"
"Benar," menyahut si nona.
"Apakah kau tidak kuatir penjahat nanti tangkap dan bawa
kau lari untuk dijadikan ratu gunung?"
"Siapa bilang, mereka kawanan penjahat" Merekalah
tentara rakyat suka rela, yang terhadap rakyat bersikap ramah
tamah!" "Benarkah itu" Ada orang bilangnya demikian kepadaku,
aku masih kurang percaya... Eh, ya, katanya pula ada
seorang berandal wanita berpelangi merah, yang liehay
sekali. Benarkah itu?"
Untuk sejenak, Sin Cu heran, tetapi ia lekas memberikan
jawabannya. "Benar! Aku sendiri pernah bertemu dengannya. Dialah
yang dipanggil Leng In Hong. Apakah kau kenal dia?"
"Aku sendiri tidak kenal dia," menjawab orang Mongolia itu
sambil berbangkit berdiri, "tapi ada beberapa sahabatku yang
bulan lalu berangkat ke Selatan untuk mencari dia."
"Siapa-siapakah beberapa sahabatmu itu" Mengapa mereka
mau mencari dia?"
"Ah, nona, kau sangat ketarik sama hal-hal aneh! Perlu apa
kau usil segala urusan kaum kangouw" Ah, kau yang bertubuh
begini lemah hingga angin pun akan meniup roboh padamu,
1061 kau pun membawa-bawa pedang" Apakah kau mengarti ilmu
silat?" "Mengarti sih tidak, hanya di kolong langit ini banyak sekali
manusia busuk, maka itu aku membawa-bawa pedang untuk
membela diriku. Ini toh baik bukan?"
Orang Mongolia itu tertawa.
"Hanya kecewa pedang itu! Bicara terus terang, coba kau
bukannya seorang nona manis, hingga tak suka aku
mengganggunya mungkin aku pun bakal jadi si orang busuk,
untuk satu kali ini saja."
Sin Cu berpura-pura terkejut.
"Apa?" tanyanya. "Kau seorang manusia busuk?"
"Kami orang-orang gagah bangsa Mongolia, kami paling
gemar dengan golok atau pedang mustika. Untuk kami,
merampas pedang dan golok, adalah pekerjaan paling umum.
Tetapi kau jangan kuatir, tidak nanti aku merampas pedang
ini." Sembari berkata begitu, orang Mongolia ini bertindak
mendekati, dengan kedua matanya yang tajam, ia menatap
wajah orang. "Kau begini cantik manis sedap dipandang," katanya pula,
"kau mirip apa yang dikatakan dalam dongeng kami, ialah
bidadari dari gunung Himalaya."
Sementara itu ia telah datang dekat ke meja si nona.
1062 "Ah, kau ngaco belo!" kata Keng Sim nyaring. Tidak senang
ia dengan omongan dan tingkah orang Mongolia ini. "Kau
berani mengganggu anak gadis orang?"
"Pandanganmu cupat sekali!" menyahut si orang Mongolia
tertawa. "Di tempat kami di sana, siapa mempunyai isteri
cantik, jikalau lain orang memandangnya, yang menjadi
suaminya justeru girang sekali! Adakah kau suaminya nona
ini?" "Sudah, jangan ngaco belo!" Sin Cu menyelak. "Ya, hendak
aku tanya kau."
Orang Mongolia itu mengawasi Keng Sim.
"Ah, kiranya kau bukan suami dia!" katanya. "Dengan
begitu, toh tidak ada halangannya untukmu untuk aku
memandangi dia, bukan" Eh, kau satu anak sekolah yang
bertubuh lemah, kau pun membawa-bawa pedang?"
Keng Sim bangkit berdiri.
"Apakah" Apakah matamu panas?" dia menanya.
Orang Mongolia itu tertawa lebar.
"Tidak salah!" sahutnya. "Aku tidak berniat merampas
pedangnya si nona, aku justeru ingin merampas pedangmu!"
Keng Sim tertawa dingin, lantas ia menggeraki tangan
kirinya, untuk membangkol lengan orang. Inilah satu jurus
terliehay dari tiga puluh enam jurus ilmu silat "Taykim Ciu."
Dengan ini ia hendak membanting roboh orang Mongolia itu
sambil berbareng membikin patah tangannya. Ia bertindak
cepat sekali dan telengas. Tapi ia membentur sebuah lengan
yang keras bagaikan besi, tempo si orang Mongolia mengibas,
1063 ia lompat seraya terus menyambar sebuah bangku untuk
dipakai menangkis.
Maka "Brak!" bangku itu kena terhajar patah!
Orang Mongolia itu tertawa terbahak.
"Ha, kau kiranya mengerti juga ilmu silat!" katanya. "Inilah
bagus!" Ia segera maju satu tindak, tangannya menyerang.
Keng Sim mencelat melompati loneng, maka itu, kepalan si
orang Mongolia mengenai tihang, hingga tihang itu
menerbitkan suara nyaring dan miring.
Menampak demikian, Tiauw Im mengangkat tongkatnya
dengan apa ia menahan tihang itu untuk terus ditolak, maka
tihang itu tidak sampai roboh.
"Eh, binatang, kau tidak memakai aturan!" kata paderi ini
mendongkol. "Sudah tidak seharusnya kau hendak merampas
pedang orang, kau juga merusak kedainya wanita tua ini!..."
Tiauw Im tentu sudah turun tangan kalau tidak Sin Cu lekas
mengedipi mata padanya.
Si orang Mongolia tercengang menampak gerakan si
paderi. Tapi cuma sebentar, lantas ia berkata nyaring:
"Apakah soal layak atau tidak layak" Lihatlah harimau di bumi,
dia menerkam kambing! Tuhan menghidupi berlaksa benda
atau makhluk, itulah diperantikan untuk dirampas si menang
dan si kuat! Bagus, kau tidak senang, tetapi tunggu sebentar,
hendak aku membereskan dulu bocah ini, baru kita mainmain!"
1064 Tubuh orang Mongolia ini besar dan kasar, tetapi nyata dia
gesit sekali, dengan satu lompatan dia melewati loneng, dia
seperti telah lantas berada di belakangnya Keng Sim.
Keng Sim tidak berdiam saja, dengan sebat ia menghunus
pedangnya, pedang mustika Cio Keng To yang didapat dari
istana kaisar, dengan itu ia membabat ke kepala orang,
sedang sinarnya pedang berkelebatan menyilaukan mata.
Orang Mongolia itu terkejut, ia berkelit mendak, tetapi
walaupun ia sangat gesit, tidak urung rambutnya kena dibabat
kutung. "Pedang yang bagus!" ia memuji setelah kagetnya itu.
"Ya, pedang yang bagus!" jawab Keng Sim. "Kalau kau
bisa, kau rampaslah!"
Beruntun tiga kali, anak muda ini menyerang pula.
Orang Mongolia itu mengelakkan diri, ia tidak takut, masih
ia dapat berkata: "Di antara orang Han, ilmu silatmu ini jarang
tandingannya, meski demikian, kau masih tidak tepat
memegang pedang itu!"
Setelah itu, ia membalas menyerang. Ia pun menyerang
saling susul hingga tiga kali, hingga Keng Sim tidak dapat
merangsak maju.
Dua-dua pihak menjadi heran dan saling mengagumi. Keng
Sim kagum untuk kepandaian si orang Mongolia, dan si orang
Mongolia heran si anak sekolah yang nampaknya lemah itu
sebenarnya liehay ilmu pedangnya.
Mereka bertempur terus, hingga sebentar kemudian lewat
sudah lima puluh jurus. Sekarang terlihat nyata si orang
1065 Mongolia semakin garang sedang Keng Sim, tak perduli ia
bersenjatakan pedang mustika, kena terdesak, hingga ia
kewalahan sekali. Setelah itu si orang Mongolia mengasi
dengar suaranya yang nyaring dan aneh, kedua matanya pun
merah seperti api, dengan bengis dia berlompat maju!
Sin Cu melihat cara berlompatnya si orang Mongolia, ia
terkejut hingga ia berseru: "Toamo Sinlong!"
Mendengar seru- an itu, si orang Mongolia heran, tetapi
justeru itu, Keng Sim mendapat bernapas, hingga ia dapat
menghalau ancaman bahaya. Kalau tidak, celakalah
lengannya, yang disambar lawannya itu. Meski begitu, ia toh
kena juga terbentur, hingga ia merasakan panas seperti
dibakar, hingga hampir ia membuatnya pedangnya terlepas.
Orang Mongolia itu berhenti menyerang, bahkan dia
mundur tiga tindak.
"Eh, kau siapakah?" ia tanya si nona.
"Toamo Sinlong!" menyahut Sin Cu. "Kau tidak kenal aku,
aku sebaliknya kenal kau!"
Orang Mongolia ini memanglah Hamutu yang dikenal
dengan julukannya itu. Toamo Sinlong berarti Serigala Sakti
dari Gurun Pasir. Dia memang sangat terkenal di gurun Utara
tetapi sampai di Tionggoan barulah ini kali. Dia heran yang
nona itu mengenali padanya. Karena ini, batal ia merampas
pedang Keng Sim, dia terus kembali ke ruang dalam, matanya
mengawasi si nona.
Sin Cu berbangkit, ia bersenyum.
"Apakah kau ingin ketahui aku siapa?" ia menanya.
1066 "Memang aku ingin ketahui, nona, mengapa kau kenal
aku," menyahut orang Mongolia itu.
"Baiklah. Maukah kita bertaruh?"
"Bagaimana?"
"Kita main-main!" berkata Sin Cu tertawa. "Bukankah kau
mentertawai aku seorang nona yang tak kuat menahan tiupan
angin" Bukankah kau telah memikir untuk merampas
pedangku" Nah, begitulah kita bertaruh! Jikalau kau dapat
merampas pedang di tanganku, aku akan menyerahkan
pedangku ini padamu. Kalau kau yang kalah, maka kau mesti
menjawab aku, satu patah demi satu patah tak boleh kau
mendusta setengah patah juga!"
Toamo Sinlong tertawa lebar.
"Nona kecil, kau berani main-main denganku" Sebenarnya
siapakah kau" Kalau ini bapak paderi yang main-main
denganku, tak ada yang dapat dibilang lagi, tetapi kau" Haha!
Walaupun aku Toamo Sinlong ada kalahnya tidak mengenal
aturan, tetapi tidaklah sampai aku menghina satu nona kecil!"
Sin Cu tertawa menyindir.
"Bapak paderi ini jauh terlebih kuat daripadamu!" katanya.
"Kalau kau menempur dia, belum habis sepuluh jurus, jiwamu
pastilah lenyap. Maka lebih baik kau bertaruh denganku !
Beranikah kau tidak memandang mata padaku" Oh, sia-sia
belaka tenagamu yang besar, gelaranmu sebagai jago dari
gurun pasir! Aku tidak takut padamu! Coba tidak ada
pertanyaan, yang aku hendak ajukan kepadamu, sungguh, tak
sudi aku bertaruh denganmu!"
1067 Toamo Sinlong menjerit bahna mendongkolnya. Ia percaya
betul atas tenaganya yang besar dan kepandaian ilmu
silatnya. Di masa mudanya ia telah bertemu seorang pandai,
ia dididik dalam ilmu tenaga dalam, ilmu silat tangan kosong
dan bersenjata, selama dua puluh tahun menjagoi di gurun,
belum pernah ia menemui tandingannya, siapa sangka
sekarang ia dilihat tak mata oleh ini nona.
"Baiklah, nona kecil!" serunya. "Kau tidak mengetahui langit
tinggi dan bumi tebal, nanti aku rampas dulu pedangmu,
baru aku melayani itu paderi!"
Dari kata-kata dan sikapnya, orang Mongolia ini sangat
memandang enteng si nona.
"Eh, Sin Cu, kau jangan bikin dia terluka parah!" pesan
Tiauw Im kepada si nona. "Sebentar biarlah aku dapat
bermain-main dengannya!"
Kata-kata ini pun suatu hinaan untuk jago gurun itu, yang
tak dipandang mata sedikit juga. Maka itu, bukan main
gusarnya ia. Dengan lantas ia mementang kedua tangannya,
untuk menubruk si nona.
"Di sini toyamu!" berkata Tie Hian, si orang kate (pendek)
yang menjadi kawannya, yang hendak memperingati
kawannya untuk jangan berkelahi dengan tangan kosong. Tapi
dia belum sempat menghentikan kata-katanya itu ketika suatu
sinar kuning emas berkelebat, menyusuli gerakan tangan
kirinya Sin Cu, lalu dia kena dihajar kimhoa pada dengkulnya,
seketika itu juga dia roboh terguling hingga dia tak dapat
merayap bangun pula.
Tie Hian memperdengarkan suaranya seraya melemparkan
longgee pang, toyanya si orang Mongolia, karena serangannya
Sin Cu itu, toya itu meluncur terus. Dengan sebat Sin Cu


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

1068 berlompat maju, untuk menanggapi senjata orang, setelah
mana ia berkata dengan dingin: "Sekarang aku mengasi kau
tinggal hidup, untuk kau menjadi saksi! Eh, Toamo Sinlong,
apakah kau menyangka aku senang melayani kau dengan kau
bertangan kosong" Nah, ini toyamu, kau ambillah!"
Toamo Sinlong terkejut. Di luar dugaannya, tubrukan-nya
barusan mengenai sasaran kosong. Dan sekarang ia melihat,
di samping robohnya Tie Hian, toyanya pun diserahkan
padanya. Dengan sendirinya, muka dan kupingnya menjadi
merah. Dalam kesangsiannya, untuk menyambuti toyanya itu,
ia menampak ber-kelebatnya si nona, yang berlompat maju
dengan pedangnya diarahkan ke dadanya. Ia terkejut pula,
karena ia mengarti ancaman bahaya itu. Dengan sebat ia
bergerak untuk menutup diri berbareng membangkol tangan si
nona. Hanya kembali ia kecele.
Sin Cu tertawa, ia menarik pulang pedangnya, di sebelah
itu, ia menyodorkan toya orang, maka mau atau tidak, Toamo
Sinlong mencekalnya itu!
"Bagus!" seru si nona. "Kita sekarang sama-sama
memegang senjata! Jadi kita tidak kipa! Nah, kau berhatihatilah
menyambut aku!"
Sin Cu segera menyerang dengan Cengbeng kiam, ujung
pedangnya itu dengan saling susul mencari dua jalan darah
ciangbun di kiri dan hoantiauw di kanan. Hebatnya gerakan itu
bagaikan berbareng.
"Bagus!" Hamutu berseru. "Kau berani pentang mulut
besar, kiranya ilmu pedangmu berada di atasannya bocah itu!"
Dia terus mainkan toyanya, hingga anginnya menderu-deru.
Bukan saja toya itu terbuat daripada baja pilihan, jurusnya
pun terdiri dari seratus delapan semuanya bersifat keras,
maka toya itu tak takuti pedang mustika.
1069 Sin Cu tidak sudi keras melawan keras, ia main berkelit. Ia
menggunai tipu silat "Coanhoa jiauwsie," atau "Menembusi
bunga, memutarkan pohon." Ia bergerak sangat lincah seperti
cecapung menyambar-nyambar air.
"Kenapa kau tidak berani menyambuti?" tanya Hamutu
berseru. Tapi baru ia membuka mulutnya, atau ia mesti
memutar tubuhnya, karena si nona, yang tidak melayani ia
bicara, mendadak berlompat ke samping terus ke
belakangnya. Maka perlu ia membela diri seraya terus
menyerang juga, untuk menghajar pedang lawannya.
Kembali ia kebogehan. Toyanya itu menangkis angin,
sedang si nona, yang berlompat ke sampingnya, lagi-lagi
menyerang padanya.
Demikian Sin Cu berlompat, berputaran, gesit dan lincah.
Dalam sengitnya, Toamo Sinlong menghajar dengan
toyanya. Untuk kesekian kalinya, si nona dapat berkelit, maka
sekarang mejalah yang menjadi sasaran toya, hingga meja itu
ambruk! Si nyonya pemilik kedai terkejut, ia sangat menyayangi
mejanya itu, maka di sebelah menjerit-jerit, ia pun memaki
dan mengutuk kalang kabutan.
Hamutu tidak memperdulikan si nyonya tua, hanya ia lebih
memerlukan berlompat ke luar loteng.
"Mari kita bertempur di luar!" ia menantang sambil
menggapai. 1070 "Baik!" menyambut Sin Cu. "Akan aku membuatnya kau
puas takluk!" Dan ia lompat menyusul. Bahkan terus ia
menikam ke punggung.
Hamutu dapat belajar cerdik sekarang. Ia menutup diri. Di
atas ia mainkan "Soathoa kayteng," atau "Bunga salju
menutup embun-embunan," di bawah ia menancap diri
dengan "Kouwsie poankin," atau "Pohon kering melingkar
akar." Tetap Sin Cu dengan caranya berkelahi perputaran, saban
ada ketikanya, baru ia menyerang. Karena ini, tetapi Hamutu
lebih banyak membela diri. Lama-lama kewalahan juga jago
gurun pasir ini, tak dapat lagi ia membalas menyerang, malah
setelah seratus jurus lewat, napasnya mulai sengal-sengal.
Keng Sim menonton dengan melengak. Tidak ia sangka
Nona Ie maju demikian pesat. Tadi ia tidak senang mendengar
orang Mongolia mengatakan ilmu silatnya kalah daripada si
nona, sekarang ia menjadi heran dan kagum, ia likat
sendirinya. Sin Cu sendiri berkelahi sambil otaknya bekerja.
"Toamo Sinlong benar liehay tetapi dia mana dapat menjadi
lawannya encie In Hong?" demikian pikirnya. "Ilmu pedang
encie In Hong ada buah pengajarannya Hok Thian Touw,
maka itu, mustahil dia ini dapat membinasakan pemuda she
Hok itu" Laginya dia ini, walaupun suka dia berbuat tak
pantas, dia bukannya seorang jahat..."
Tengah si nona berpikir, terdengarlah seruan Tiauw Im:
"Eh, jangan kau bikin dia mampus karena letihnya! Aku masih
hendak main-main dengannya!"
Sin Cu tertawa.
1071 "Baiklah!" ia memberi penyahutan. "Di dalam tempo tiga
jurus, akan aku bikin dia berlutut dan minta-minta ampun!"
Toamo Sinlong mendongkol bukan kepalang, hingga ia
berkaok-kaok. Ia merasa sangat dihina. Dengan gerakan
"Luitian kauwhong" atau "Guntur dan kilat bertempur," ia
membuatnya senjatanya bergerak satu seperti sepuluh,
dengan begitu rapat sekali ia mengurung dirinya. Ia berseru:
"Baiklah! Hendak aku lihat bagaimana dalam tiga jurus kau
merobohkan aku! Kecuali akulah satu mayat!"
"Jangan kau gusar tidak keruan!" berkata Sin Cu tertawa.
"Kau menjagalah baik-baik!"
Nona ini lantas menyerang, sinar pedangnya berkelebatan.
"Kau hedak keras lawan keras, itu artinya kau cari
mampus!" pikir Hamutu. Ia terus mengerahkan tenaga
dalamnya, untuk membikin gerakan toyanya bertambah hebat.
Mendadak sinar kuning emas menyilaukan mata Hamutu.
"Hai, bocah, banyak sekali tingkahmu!" berseru Toamo
Sinlong. Ia menggunakan toyanya menghajar jatoh tiga
kuntum bunga emas. Lantas ia tertawa dan kata dengan
nyaring: "Kau menggunai senjata rahasia" Tidak, aku tidak
takut!" Selagi orang membuka mulut, Sin Cu menyerang pula.
Dengan pedangnya ia menikam berbareng dengan itu tangan
kirinya mengayun lima buah kimhoa, bunga emasnya itu.
Sebuah kimhoa melesat ke atas kepalanya Hamutu,
membikin kulit kepalanya lecet.
1072 Kaget orang Mongolia ini, meskipun empat yang lainnya
dapat ia singkirkan. Ia terkesiap hatinya tapi ia berpikir:
"Tinggal lagi satu jurusnya. Baiklah aku menjaga saja senjata
rahasianya, aku menyingkir dari pedangnya..."
Sin Cu tidak mau memberi kesempatan kepada lawannya
itu. Sambil berseru, kembali ia menyerang, pedang bareng
dengan bunga emas. Karena kali ini ia menggunai tipu
"Thianlie sanhoa," atau "Bidadari menyebar bunga," maka
bunga emasnya itu terdiri dari satu raup.
Sebagaimana biasa, Hamutu membela dirinya,
mengurungnya dengan toyanya. Maka tak hentinya suara
bentrokan, toya terhajar bunga emas, atau bunga emas
tersampok toya dan runtuh.
"Tiga jurus telah lewat, bagaimana?" bertanya Hamutu
sambil tertawa. Tapi, baru ia menanya demikian, atau untuk
kagetnya ia mendapatkan, bunga-bunga emas yang
tersampok toya itu pada balik kembali menyerang padanya. Ia
kaget, sedang itu waktu baru saja ia habis menggunai seluruh
tenaganya. Ia mencoba mengurung diri pula hanya kali ini ia
gagal. Sebuah kimhoa tepat mengenai lututnya, di jalan darah
hoantiauw, maka itu tidak tempo lagi, kedua lututnya itu
menjadi lemas, hilang tenaganya, tanpa merasa, ia jatuh
dengan berlutut. Ia tentu tidak ketahui si nona kali ini
menyerang dengan ilmunya seperti boomerang.
"Bagaimana?" tanya si nona, tertawa. "Aku membilangnya
tiga jurus, tetapi sebenarnya baru dua jurus setengah!"
Hamutu tidak lantas menjawab, ia hanya mengerahkan
tenaga dalamnya, untuk membebaskan diri dari totokan bunga
emas, setelah mana ia berlompat bangun.
Tentu saja ia merasa sangat tidak puas.
1073 Sin Cu mengawasi dengan tertawa dingin.
"Kelihatannya kau tidak puas!" ia berkata. "Kau bertenaga
besar, Ie Sin Cu tengah bertarung dengan si orang Mongol,
Toa-Mo Sin Long.apakah kau suka main-main sama bapak suci
ini?" "Memang aku ingin belajar kenal dengannya!" sahut
Hamutu nyaring. "Kalau aku kembali kena dikalahkan, aku
akan pulang ke Gurun Utara, untuk selama-lamanya tidak
nanti aku datang pula ke Tionggoan!"
Tiauw Im pandang orang Mongolia itu.
"Kau sudah sangat letih, baik kau beristirahat dulu," ia
bilang. "Laginya kau telah merusaki perabotnya nyonya tua
ini, baiklah kau berhitungan dulu dengannya, untuk membayar
gantian kerugiannya. Dia berdagang secara kecil, dia tentu
bakal rugi besar..."
Hamutu gusar sekali.
"Keledai botak, kau berani menghina aku?" ia berteriak. Ia
merogo sakunya, ia mengeluarkan sepotong perak besar,
ketika ia timpuki itu ke meja, perak itu melesak masuk ke kayu
meja. "Bukankah perak itu cukup untuk membayar
kerugiannya" Nah, marilah kita mulai! Mari kita mengadu
tenaga!" Tiauw Im Hweeshio tidak lantas menyahuti, hanya dengan
perlahan ia menepuk ke meja, atas mana potongan perak tadi
mencelat naik. "Apakah sekarang juga kita mulai?" ia menanya, sabar.
1074 "Baiklah! Aku tidak mau menang sendiri. Begini saja..." Ia
menancap tongkatnya ke tanah, lalu dengan sebelah
tangannya ia memegangi gagang tongkatnya itu, ia
menambahkan: "Kau gunai kedua tanganmu, kau cabut ini,
asal kau bisa mencabut hingga separuhnya saja, kaulah yang
menang!" Hamutu gusar sekali. Ia merasa sangat terhina.
"Perlu apa sampai menggunai dua tangan?" katanya. Ia
menyampok dengan sebelah tangannya.
Tongkat itu tidak bergeming, bahkan ada seperti tenaga
balik, tangannyalah yang bergemetar sesemuatan.
"Lebih baik kau menggunai dua-dua tanganmu!" kata
Tiauw Im tertawa.
Mukanya Hamutu menjadi merah. Sekarang ia memasang
kuda-kudanya. Sambil berbuat begitu, ia mengerahkan
tenaganya, lalu dengan kedua tangannya, ia memegang
tongkat itu. Ia sudah mencabut dengan semua tenaganya,
tongkat tetapi tak bergeming.
"Jikalau kau sangat memaksakan tenagamu, kau bakal
mendapat luka di dalam," Tiauw Im memberi ingat.
"Kelihatannya kau satu laki-laki sejati, maka kau pergilah!"
Paderi ini menyentuh tongkatnya itu, yang masih dipegangi
si orang Mongolia, atas mana jago gurun pasir ini terpelanting
jatuh. Dia menjadi gusar, dia menyambar toyanya. "Mari!" dia
menantang. Tiauw Im tertawa tetapi ia menggeleng kepala.
1075 "Sungguh kau galak!" katanya. "Inilah yang dibilang, tak
ada obat untuk mengobatinya! Kau telah diberi ampun, kau
masih tak sadar!"
Mendadak paderi ini mengulur tangannya, menyambar ke
arah toya. Liehay Hamutu tetapi tak berdaya ia
menghindarkan diri, toyanya itu kena dirampas.
Tiauw Im bawa toya itu ke dengkulnya, terus ia menekan,
maka sekejab saja, baja potongan itu menjadi bengkok
melengkung. Lalu, sambil tertawa, ia melemparkannya ke
tanah, hingga toya itu masuk ke dalam tanah hampir mendam
semua! Baru sekarang Toamo Sinlong menjadi sangat lesuh. Habis
sudah kegagahannya. Insaflah ia sekarang, orang gagah ada
lagi yang melebihkan gagahnya.
"Baik," katanya menghela napas. "Kau hendak tanya apa"
Tanyakanlah!"
"Ada seorang bernama Hok Thian Touw," tanya Sin Cu.
"Benarkah kau yang membunuh dia itu?"
"Siapa itu Hok Thian Touw?" jawab Hamutu, "Aku tidak
kenal dia!"
"Benarkah kau tidak kenal dia?" tanya Sin Cu, yang menjadi
kegirangan. Tapi ia masih bersangsi. "Bukankah Hek In Tay itu
sahabatmu?"
"Kalau dia, benar."
"Bukankah kau yang menghendaki dia mencari Leng In
Hong?" 1076 "Mereka sendiri yang pergi mencarinya."
"Apakah kau tahu kenapa mereka pergi cari Leng In
Hong?" "Hek In Tay itu mau berjual beli denganku."
"Jual beli apakah itu?"
"Aku mendapat sebuah kitab ilmu pedang, kelihatannya
bagus ilmu itu, tetapi kitabnya aku tidak mengarti. Aku periksa
itu bersama Hek In Tay beramai. In Tay bilang itulah sarinya
ilmu pedang. Ia bilang juga, kalau semua belasan kitab itu
bisa didapatkan dan dipelajari, tak sukar untuk menciptakan
sebuah ilmu pedang yang menjagoi sendiri di kolong langit ini.
Aku tanya, bagaimana bisa dapat lengkap kitab itu. In Tay
mengarti huruf Tionghoa. Ia membilangi aku, menurut catatan
di bagian belakang kitab itu ada penjelasan bahwa kitab yang
lainnya berada di tangannya seorang wanita bernama Leng In
Hong. Nona itu ia kenal. Karena ini ia membuat perjanjian
dengan aku, jual beli seperti aku katakan barusan. Ialah ia
pergi mencari kitab yang berada di tangannya Leng In Hong,
apabila ia berhasil, kita akan sama-sama me-mahamkannya."
Sin Cu girang berbareng berduka.
"Kau sendiri, bagaimana caranya kau mendapatkan kitab
pedang itu?" ia tanya, suaranya rada menggetar.


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Itulah kejadian pada suatu hari. Di tengah-tengah gurun
pasir aku bertemu seorang muda. Dia keurukan pasir. Aku
lantas menolongi dia. Sayang sudah terlalu lama dia
terurukan, napasnya tinggal setarikan-setarikan saja. Dia
rupanya mengarti yang dia tidak bakal hidup lebih lama, maka
di saat ajalnya itu, dia menyerahkan kitab itu padaku dengan
minta aku menyampaikan ke Pataling kepada seorang... Ia
1077 belum menyebutkannya nama orang itu, napasnya sudah
berhenti. Karena aku tidak tahu, siapa itu yang mesti dicari,
aku simpan saja kitab itu. Aku hendak rampas pedangnya
ialah supaya aku bisa meyakinkan kitab ilmu pedang itu, agar
aku menjadi ahli pedang tanpa tandingan."
Sin Cu menggigil sendirinya, ia merasakan hatinya sangat
dingin. "Mana kitab itu?" ia menanya pula.
Hamutu bersangsi tetapi ia merogo juga ke sakunya. Ia
mengeluarkan sejilid buku.
"Aku telah terkalahkan olehmu, jikalau kamu menghendaki
kitab ini, aku tidak bisa bilang apa-apa," katanya.
Tanpa banyak omong lagi, Sin Cu menyambuti kitab itu, ia
membalik-baliknya dengan cepat. Ia mendapat kenyataan,
semua huruf kitab sama dengan huruf-huruf dalam surat
palsunya Hek In Tay. Jadi benar katanya In Hong bahwa
itulah surat palsu. Jadi kitab ini benar tulisannya Hok Thian
Touw sendiri. "Benarkah Hok Thian Touw telah menutup mata?" ia
menanya dirinya sendiri. Ia mau percaya Hamutu tetapi ia
tetap ragu-ragu. Maka terus ia pegangi kitab itu, hatinya yang
dingin bagai membeku itu bekerja terus. Ia seperti kehilangan
semangatnya. "Sin Cu, kau kenapa?" tanya Keng Sim kaget.
Sin Cu mendengar seperti tidak mendengar, dengan
mendelong ia mengawasi Toamo Sinlong.
1078 "Dia... dia benarkah telah mati?" akhirnya ia menanya. Ia
menanya Hamutu tetapi seperti menanya dirinya sendiri.
Suaranya pun menggetar.
Toamo Sinlong mengawasi, ia heran bukan main. Melihat
orang demikian berduka, ia terharu.
"Adakah orang itu sanakmu yang terdekat?" ia menanya.
"Ah, orang sudah mati mana dapat hidup pula" Nona, jangan
kau terlalu bersusah hati..."
Sin Cu menahan keluarnya air matanya. Ia mengangkat
tangannya. "Aku sudah selesai bicara, kau pergilah!" ia bilang. "Orang
yang si anak muda minta kau cari benar sahabatku, kitab ini
mesti dikembalikan padanya, nanti aku yang
mengembalikannya."
"Baiklah," menyahut si orang Mongolia. "Aku memang tidak
mengarti kitab itu, kau justeru mempunyai pedang, biarlah
kau dapat menyampai maksudmu. Aku tidak perduli kau
serahkan itu kitab kepada lain orang atau kau sendiri yang
menggunainya."
Hamutu ini membawa sikapnya satu laki-laki. Sebenarnya
tidak ingin ia menyerahkan kitab itu, tetapi dua kali ia
dikalahkan secara mutlak, semangatnya menjadi runtuh, maka
ia suka mengalah.
Itu waktu terdengarlah suaranya Tie Hian, si tayjin atau
orang besar yang menjadi siewie atau pahlawan yang
bersenjatakan golok yang kelasnya kelas empat. Katanya:
"Hamutu, bukankah kau hendak pergi ke Selatan" Aku telah
menemani kau sampai di sini, habis sekarang kau hendak
pergi seorang diri..."
1079 Tie Hian ini tidak liehay sekali ilmu silatnya, lebih liehay
ialah mulutnya. Maka itu ia membantui Yang Cong Hay
dengan mengandali mulutnya itu, untuk membujuki orangorang
kangouw yang kenamaan. Dan tahun dulu pernah ia
membujuki Liauw Hian, seorang paderi murtad dari Siauwlim
Sie, hanya kemudian, Liauw Hian itu menjauhkan diri, karena
mana, Cong Hay telah sesalkan dan tegur padanya.
Sekarang ia mendengar kabar Hamutu mau ke Tionggoan,
ia tahu orang liehay, ia mencari dan menemuinya, untuk
ditempel sebagai sahabat. Ia pandai bicara, ia berhasil. Maka
ia menemaninya, untuk mencari Hek In Tay. Ia percaya, kalau
ia berhasil membawa
Hamutu kepada Yang Cong Hay, ia dapat menebus
kesalahannya mengenai urusan Liauw Hian itu. Maka
cemaslah hatinya, disebabkan telah berhati tawar, orang
Mongolia itu berjalan terus saja, tak menoleh sekali jua.
"Kitab ilmu pedang juga aku tidak menghendakinya lagi,
maka perlu aku apa pergi terus ke Selatan?" sahutnya dingin.
"Jikalau kau nanti bertemu sama Hek In Tay, tolong bilangi
saja bahwa jual beli kita aku telah bikin habis, umpama kata
dia berhasil memperoleh itu tiga belas jilid kitab lainnya dari
tangan Leng In Hong, biarlah itu dipunyakan dia sendiri."
Cepat jalannya orang Mongolia ini, sebentar saja ia sudah
melalui satu lie lebih.
"Eh! eh!" berseru Tie Hian. "Kau sudah pergi, bagaimana
dengan aku?"
Siewie ini takut bukan main.
1080 Sin Cu tengah berduka dan tak sabaran, mendengar itu, ia
berkata: "Jikalau selanjutnya kau suka menjadi orang baikbaik
dan tidak lagi menjadi gundalnya Yang Cong Hay, suka
aku memberi ampun pada jiwamu!"
"Terserah kepadamu, liehiap." menyahut Tie Hian.
Sin Cu geraki pedangnya, dengan itu ia menyontek putus
tulang piepee si pahlawan kaisar, kemudian ia membebaskan
totokan-nya seraya berkata: "Pergilah kau!"
Tie Hian dapat bergerak pula tetapi karena tulang piepeenya
sudah putus, walaupun jiwanya ketolongan, ilmu silatnya
telah musnah, maka itu, ia tinggal hidup dengan tidak lagi
muncul dalam dunia kangouw.
"Sungguh mempuaskan!" akhirnya Keng Sim tertawa.
Sebaliknya Sin Cu tidak dapat menahan kesedihannya, air
matanya turun bercucuran.
"Sebenarnya siapa yang telah menutup mata maka kau
menjadi begini berduka?" menanya Tiauw Im Hweeshio
heran. "Karena Hok Thian Touw benar-benar telah meninggal
dunia," sahut si nona sambil menangis terus. Ia sesenggukan.
"Siapa itu Hok Thian Touw?" Keng Sim tanya, hatinya
dingin. Ia mau percaya Hok Thian Touw itu tentu ada
mempunyai hubungan sangat erat dengan si nona.
Sin Cu menepas air mata.
"Dialah sahabatnya encie In Hong semenjak mereka samasama
kecil," ia menyahut sesaat kemudian.
1081 "Kau maksudkan Ceecu Leng In Hong itu?" Keng Sim
menegasi. "Benar. Sampai sekarang encie In Hong masih menantikan
dia." Keng Sim merasa lega hingga hampir ia tertawa. Ia
menguasai dirinya.
"Kalau begitu, pantaslah kalau Leng In Hong yang
menangis sedih untuknya," ia kata kemudian. "Dia mungkin
orang gagah, tetapi di kolong langit yang luas ini, banyak yang
mati muda. Mana bisa kau tangisi mereka itu" Apakah kau
kenal orang she Hok itu?"
Sin Cu mendongkol mendengar pertanyaan itu. Ia memang
lagi sangat berduka.
"Dengannya belum pernah aku bertemu muka!" sahutnya
keras. "Dia jangkung atau kate (pendek), dia gemuk atau
kurus, aku tidak tahu! Tapi aku mengagumi untuk
semangatnya untuk menciptakan suatu partai baru dan aku
bersedih karena terpisahnya dia dari encie Leng. Dia menutup
mata di luar tahunya encie Leng. Kenapa kau melarang aku
menangis?"
Nona ini menjadi mendongkol.
"Kalau begitu, kau menangislah!" kata Keng Sim, yang
paksakan diri tertawa. "Syukur asal kau tidak merusak
kesehatanmu..." Di dalam hatinya, ia menambahkan:
"Kiranya dia berduka untuk kekasihnya lain orang..." Ia
tidak kuatir lagi, ia cuma heran.
1082 Keng Sim tidak tahu, Sin Cu menangis, sebagian untuk
nasib malang dari In Hong, sebagian untuk nasibnya sendiri.
Benar ia relah menyerahkan Seng Lim kepada In Hong, di
dalam hatinya ia tetap masih merasa berat, ia mengharap
Thian Touw tidak mati. Hanya sekarang harapannya itu sudah
ludas. Ia menangis sambil memujinya kebahagian-nya In
Hong dengan Seng Lim, di lain pihak, ia menangisi dirinya
sendiri. Sebagai seorang lain, Keng Sim tak dapat mengarti
sifatnya seorang anak dara...
Sejak hari itu, hilanglah kegembiraannya Sin Cu. Keng Sim
ketahui itu, ia terus membungkam, tidak berani ia
membangkitkan rasa tak senang si nona. Lewat dua hari,
tibalah mereka di Hangciu. Rumah Keng Sim adanya di tepi
Seeouw, Telaga Barat, ia mengundang Sin Cu untuk mampir
buat dua hari. Mulanya Sin Cu hendak menolak, tetapi kapan ia ingat
pemuda itu sudah lama berpisah dari rumahnya, sekarang
mereka pun mau menuju ke kota raja, sedang Tiauw Im juga
ingin menyambangi sahabat di kuil Lengin Sie, ia
menerimanya juga undangan itu.
Tiat Hong ialah ayahnya Keng Sim, yang ada lepasan giesu
, dan namanya jadi terkenal karena berani menentang dorna
Ong Cin, berada di rumahnya. Ia girang melihat puteranya
pulang dengan mengajak seorang nona cantik. Tapi ia terkejut
akan mengetahui nona itu ada puterinya Ie Kiam. Maka ia
menerima si nona dengan terpaksa.
Sesudah bicara sama si nona, yang berlaku polos, Tiat
Hong berpikir banyak. Ia memang tidak senang pemerintah
mempercayai segala dorna, tetapi ia pun tidak setujui
sikapnya orang-orang seperti Yap Cong Liu dan Pit Kheng
Thian, yang menggunai kekerasan melawan pemerintah. Ia
tetap sama sifatnya, setia kepada pemerintah, sebab siapa
1083 makan gaji dari kaisar, dia mesti bekerja untuk kaisar. Ia
mengagumi Ie Kiam, yang binasa untuk negara, ia menyesali
kematian itu, meski begitu, tak setuju ia orang memberontak.
Maka ia menasihati si nona untuk membawa diri baik-baik,
supaya dia tidak sampai terjatuh di dalam tangan dorna. Ia
juga menganjuri puteranya membawa diri dan jalan di jalan
yang benar, supaya putera ini tidak tersesat, agar dia tetap
berada di dalam keluarga sasterawan, jangan sampai hidup
sebagai orang kangouw...
Sin Cu kagumi Tiat Hong sebagai rekan ayahnya almarhum
tetapi ia tidak setuju cita-cita atau cara hidupnya bekas giesu
ini, yang berkukuh setia kepada pemerintah meskipun
tindakan kaisar sesat. Ia tentu saja tidak mau membantah
tuan rumah ini, maka itu, habis bersantap malam, dengan
alasan letih, ia meminta diri untuk lantas beristirahat.
Tiat Hong menyediakan sebuah kamar yang jendelanya
menghadapi telaga, menghadapi gunung Kouw San. Si nona
tengah berduka, malam itu sukar ia mendapat pulas, maka itu
ia pergi ke jendela, memandang jauh ke telaga, ke gunung
yang mencil sendirian itu. Ia melihat si Puteri Malam berkaca
di permukaan telaga, yang airnya bening, sedang gunung
Kouw San ada seumpama seorang wanita cantik lagi rebah di
telaga itu. Keindahan malam dari Seeouw tak usah kalah
dengan keindahan laut Jiehay atau gunung Khong San di Tali.
Menghadapi semua pemandangan malam ini, Sin Cu jadi
teringat halnya itu malam ia main perahu di laut Jiehay,
mengingat hutan batu yang luar biasa, halnya solokan yang
airnya mengalir, hanya sekarang ia telah berpisah ribuan lie
dari Seng Lim, rekannya itu. Ia lantas ingat kegagahannya
Seng Lim, yang melawan tentara negeri, ia berkuatir untuk itu
anak muda, yang semangatnya ia puja. Kemudian ia ingat
cita-citanya Keng Sim, untuk tinggal menyendiri di telaga
1084 Seeouw ini. Bagaimana jauh bedanya cita-cita Keng Sim itu
dari Seng Lim yang berangan-angan besar dan mulia...
Tengah nona ini kusut pikirannya, mendadak ia mendapat
dengar suara orang di bawah lauwteng. Tidak nyata suara itu
tapi tak lolos dari kuping liehay dari si nona. Itulah suara
orang mengundang tetamu masuk. Nyata terdengar tindakan
kaki di tangga batu.
"Heran di waktu tengah malam begini masih ada tetamu
datang?" berpikir nona ini. "Ah, mengapa aku tidak dengar
suaranya bujang" Kenapa tidak terdengar juga tertawanya
tuan rumah dan tetamunya?"
Terus Sin Cu heran, akhirnya ia jadi curiga. Karena ini, ia
jadi semakin susah tidur. Di akhirnya, ia merapikan
pakaiannya, ia pergi ke luar, untuk melihat, atau sedikitnya
mencuri dengar pembicaraan orang. Dengan ringannya
tubuhnya, ia dapat keluar secara diam-diam. Di luar ruang
tetamu, ia bergelantungan di payon rumah. Begitu ia
mengintai ke dalam, begitu ia terkejut.
Berduduk di dalam ruangan itu adalah tiga orang. Yang
pertama ialah tuan rumah. Yang kedua yaitu Ciehui Law Tong
Sun dari pasukan Gielimkun. Dan yang ketiga Tiat Keng Sim.
"Jangan sungkan, Tiat Tayjin," terdengar suaranya Tong
Sun, sangat perlahan. "Tentang teh atau arak, tak usahlah
disediakan, karena datangku Cuma untuk minta beberapa
keterangan dari kongcu , habis bicara, hendak aku segera
berangkat, tidak berani aku membuat kaget tetamumu yang
terhormat itu."
Agaknya Tiat Hong terkejut.
1085 "Kau ada mempunyai pengajaran apa, Law Tayjin?" ia
menanya. "Silahkan kau memberikan titahmu kepada anakku
ini." Mendengar begitu, Tong Sun tertawa.
"Untuk memerintahkan, itulah aku tidak berani," sahutnya.
"Hal yang sebenarnya adalah begini: Yang Toacongkoan baru
kembali dari Kunbeng, ia mendapat kabar yang Tiat Kongcu
telah dapat penghargaan dari Bhok Kokkong, karena mana


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekarang Tiat Kongcu hendak pergi ke kota raja untuk
menyampaikan laporannya Bhok Kokkong itu. Untuk Tiat
Kongcu, inilah suatu jalan kemajuan yang penuh dengan
pengharapan. Sri Baginda sendiri baru-baru ini pernah bicara
dengan kami, Sri Baginda telah menyebut-nyebut nama taijin,
maka itu, kalau nanti Sri Baginda melihat kongcu, pasti Sri
Baginda bakal jadi girang sekali. Apabila Tiat Kongcu
mendapat anugerah pangkat, mungkin tayjin bakal turut
keluar lagi."
"Aku telah berusia lanjut, aku tidak mengharapi pangkat
lagi," berkata Tiat Hong. "Mengenai puteraku ini, aku
mengharap bantuan tayjin semua."
"Kata-kata yang baik, tayjin. Hanya satu hal hendak aku
mengatakannya kepada kongcu, apabila kongcu dapat
menghadap Sri Baginda, sekali-kali janganlah ia membawa
pedang yang berada di pinggangnya."
Tiat Hong heran.
"Pedang apakah itu?" ia tanya.
Tong Sun menunjuk kepada Keng Sim.
1086 "Pedang di tubuh kongcu itu ialah pedang asal dari istana,"
ia memberitahu.
Ayah itu menjadi kaget.
"Keng Sim, dari mana kau dapatkannya itu?" ia menanya.
"Benar begitu," Tong Sun menimbrung. "Inilah justeru yang
aku hendak mohon penjelasannya dari kongcu."
Keng Sim tidak menjadi heran atau gentar atas pertanyaan
komandan Gielimkun itu.
"Baiklah," sahutnya. "Law Tayjin mau menanyakan aku dari
mana aku peroleh ini, tetapi hendak aku menanya dulu, di
tempat manakah tayjin telah membuatnya pedang ini lenyap?"
Ditanya begitu, Tong Sun tertawa lebar. Nyata ia tak dapat
digertak. "Pedang dari istana ini mulanya dicuri oleh penjahat
terbang yang bernama Cio Keng To," ia menyahut, lancar.
"Aku berterima kasih, kongcu, yang tahun dulu kau dapat
memintanya dari Keng To itu dan menyerahkannya padaku.
Apa lacur, pedang ini kemudian dapat dirampas Ouw Bong Hu
yang menjadi koncohnya Thio Tan Hong. Sekarang pedang ini
kembali ada pada kongcu. Inilah terang kecuali kongcu ada
mempunyakan ikatan guru dan murid dengan Cio Keng To,
kongcu pun ada hubungannya dengan Thio Tan Hong."
Tiat Hong terkejut hingga ia melengak.
"Anakku ini belum tahu apa-apa, tanpa sadar ia
berhubungan sama orang jahat, inilah benar," ia berkata.
"Tentang ini, aku minta sukalah tayjin memaafkannya. Karena
pedang ada milik istana, Keng Sim, lekas kau kembalikan itu
1087 kepada Law Tayjin agar Law Tayjin dapat menunaikan
tugasnya."
"Inilah milik guruku," berkata Keng Sim, "maka itu, biarnya
aku dibunuh, akan aku bertanggung jawab. Tentang ini tidak
ada hubungannya sama ayahku."
"Keng Sim, kau... kau... kenapa kau bicara begini rupa?"
ayah itu menegur.
Tong Sun tertawa.
"Tiat Kongcu omong dari hal yang benar," ia berkata.
"Memang pedang ini milik istana, tetapi artinya tidak
seberapa, maka itu asal kongcu dapat membantu aku di dalam
soal yang kedua, biarlah pedang ini tetap ada pada kongcu,
aku akan tidak melaporkannya kepada Sri Baginda."
Bagi Keng Sim, ia mengharap urusan tidak menyangkut
ayahnya, sebaliknya, ia berat untuk menyerahkan pedang itu,
sekarang komandan Gielimkun ini bicara lunak, ia pun
bersikap sama lunaknya. Ia memberi hormat ketika ia
menjawab, "Silahkan bicara, tayjin "
Tong Sun tertawa.
"Hendak aku menanya, siapa itu tetamu kongcu?"
tanyanya. Pertanyaan ini membuatnya Tiat Giesu menjadi terlebih
kaget lagi. Tetapi sang putera sebaliknya tertawa.
1088 "Law Tayjin adalah ciehui dari kelas dua, tetapi toh Tayjin
sendiri yang melakukan tugas mengunci dari mencari
rahasianya segala orang kangouw."
Tong Sun tertawa pula.
"Kalau dia orang kangouw biasa, memang tidak usah aku
turun tangan sendiri," ia menyahut terus terang, "tetapi dialah
nona berharga puterinya Ie Kokloo, inilah lain, dengan
menguntit dia, kehormatanku tidak menjadi terhina. Tiat
Tayjin, kau niscaya ketahui baik tentang tetamumu yang
terhormat itu. Tayjin sendiri toh yang melayani dia!"
Mendengar ayahnya didesak secara demikian, Keng Sim
menjadi gusar. Ia memegang gagang pedangnya.
"Law Tayjin, kau menghendaki apa?" ia tanya.
"Untuk ini hendak aku melihat dulu, kongcu sendiri hendak
berbuat bagaimana?" balik bertanya komandan Gielimkun itu.
"Jikalau kau hendak menawan dia di dalam rumahku ini,"
berkata Si anak muda, memberikan jawabannya, "aku kenal
kau tetapi pedangku ini tidak!"
Mendengar jawaban itu, hati Sin Cu tergerak juga. Ia
mendengari terus.
"Kongcu, walaupun pedangmu tajam, aku Law Tong Sun,
aku tidak jeri!" berkata komandan itu sambil tertawa.
"Umpama kata kau dapat membunuh aku, kau pun tidak bakal
bebas dari hukuman rumah tangga dan keluargamu bakal
dihukum mati semua. Apakah kamu keluarga Tiat tidak
memikirkan itu semua?"
1089 Tiat Hong pun sudah memikir nekat, tetapi mendengar
kata-kata Tong Sun ini, yang masih memberi nasihat, ia
merubah pula pikirannya.
"Law Tayjin," ia berkata, "aku minta sukalah kau
mengangkat tanganmu, nanti aku Tiat Hong akan membalas
budimu ini."
Tong Sun tertawa. "Biarnya pangkatku pangkat miskin, aku
masih tidak mengharap pembalasan budimu, tayjin," ia
berkata, sikapnya agung. "Mengenai urusan ini, jikalau
bantuanku hendak diminta, maka hendak aku minta Tiat
Kongcu, sukakah dia membantu aku atau tidak..."
"Untuk itu baiklah disebutkan dulu, sebenarnya urusan apa
itu," kata Keng Sim.
"Aku dengar kongcu baru kembali dari Selatan," berkata
Tong Sun, "katanya kau bersahabat erat dengan Yap Cong Liu
dan Pit Kheng Thian."
Kembali Tiat Hong kaget. Satu gelombang belum tenang,
datang gelombang lain.
"Anakku telah membaca kitab syair semenjak dia kecil," ia
berkata, "meski benar ia suka merantau, yang bersih akan
tetap bersih, yang kotor akan tetap kotor, dari itu aku percaya
dia tidaklah nanti bergaul sama segala orang jahat..."
"Tentang kongcu, aku mengetahui juga sedikit. Karena itu,
tidak nanti sekarang aku bicara dengan kongcu sendiri."
"Sebenarnya dalam hal apa kau mau minta bantuanku?"
Keng Sim menanya tegas.
1090 "Biarlah aku omong terus terang. Dua pemberontak she
Yap dan she Pit itu dipandang pemerintah sebagai penyakit
berat di dalam perut, maka itu sekarang telah dikerahkan
beberapa rombongan tentara untuk membasmi mereka. Di
Ciatkang, pasukan perang dipimpin sendiri oleh Sunbu Thio
Kie. Pada itu aku si orang she Law turut memberikan
bantuanku. Sekarang ini pemerintah lagi membutuhkan
bantuannya orang-orang gagah yang mengetahui jelas perihal
kaum pemberontak itu. Apakah kongcu berminat untuk
mendirikan jasa?"
Keng Sim mengerutkan kening. Di dalam hatinya ia
berpikir: "Biarnya aku tidak menghargai Cong Liu dan Kheng
Thian, dengan aku membawa tentara menyerang mereka,
apakah aku tidak bakal melukai hatinya Sin Cu?" Tapi ia mesti
menjawab, maka lekas ia menyahuti: "Tidak ada minatku
untuk mendirikan jasa dari kalangan ketentaraan. Laginya aku
tengah menerima tugas dari Bhok Kokkong untuk untuk pergi
ke kota raja."
"Bhok Kokkong sudah mengirimkan laporannya," berkata
Tong Sun. "Bahwa kongcu diutus pula, tak lain tak bukan, ia
hendak mpmujikan kongcu kepada Sri Baginda. Lebih dulu
membasmi pemberontak, habis itu baru pergi ke kota raja,
bukankah itu terlebih sampurna?"
"Tidak, aku tidak dapat berbuat begitu!" kata Keng Sim,
yang sebenarnya ketarik hati sebab orang toh puji padanya. Ia
memang gemar diangkat-angkat.
Tong Sun tertawa tawar.
"Kalau kongcu tidak mau pergi, aku tidak dapat memaksa,"
ia berkata. "Sekarang bagaimana dengan halnya pedang milik
istana dan puterinya Ie Kiam itu" Ah, begini saja: Bukankah
kongcu pandai ilmu surat" Maka silahkan kongcu menulis
1091 tentang keadaan kaum pemberontak, sebegitu jauh yang
kongcu dapat ketahui, lalu kongcu menjelaskan caranya kita
menyerang mereka."
Keng Sim tertawa dingin.
"Pit Kheng Thian itu makhluk apa hingga dia dapat
penghargaan begini dari kamu?" ia tanya. "Tentang Yap
Cong Liu, dia telah didesak pergi oleh Pit Kheng Thian itu.
Apakah kamu masih belum tahu Kheng Thian sekarang adalah
sebagai sepotong balok yang tak dapat menahan sebuah
gedung?" "Benarkah begitu?" tanya Tong Sun girang. "Ah, inilah
penting sekali! Kongcu , coba kau menjelaskan pula beberapa
hal lainnya."
Mendengar pembicaraan itu, Sin Cu gusar berbareng
bingung. Rahasianya Kheng Thian itu jadinya sudah dibeber.
Ia mendengar lebih jauh, ia tidak mendengar pembicaraan,
hanya kupingnya dapat menangkap suara pit bekerja. Ia gusar
hampir ia tidak dapat menguasai dirinya lagi. Akhirnya, ia
menghela napas. Tidak sudi ia mengintai pula, lantas ia
kembali ke kamarnya, akan menyalin pakaian, setelah mana ia
menulis surat perpisahan kepada Keng Sim.
Pernah Nona Ie bersusah hati, pernah ia hilang harapan
atas Keng Sim, tetapi sekaranglah yang paling hebat. Sungguh
ia tidak sangka Keng Sim relah menjual rahasia militer kaum
pejuang kebang-saan, untuk pemerintah dapat menumpas
tentara rakyat suka rela. Benar Keng Sim berbuat begitu untuk
melindungi ia, tetapi itulah tindakan yang membuat hatinya
sakit. Memang ia tidak puas terhadap Kheng Thian tetapi
hatinya tetap berada di pihak tentara rakyat. Benar-benar ia
tidak mengarti Keng Sim.
1092 Seorang diri, dengan diam-diam, Sin Cu keluar dari
kamarnya. Ia cari kudanya, lantas ia pergi. Ia pergi tanpa
menoleh pula ke belakang. Maka juga, ketika Keng Sim
ketahui kepergiannya, si nona sudah pergi jauh, tak dapat ia
disusul lagi. Setengah bulan kemudian, Nona Ie telah tiba di
kota raja. Itulah kota tak asing untuknya, karena da
dibesarkan di Pakkhia. Hanya dulu ia adalah puterinya seorang
menteri besar, yang besar juga jasanya untuk negara,
sekarang ia menjadi seorang kangouw perantauan. Bahkan ia
pulang dengan diam-diam, sebab ia pun terhitung sebagai
"penjahat yang tengah dicari" pemerintah. Mengingat tentang
dirinya, nona ini menyesal, hatinya risau. Syukur, karena
menyamar sebagai seorang pemuda, tidak ada orang yang
mengenalinya. Langsung ia menuju ke rumah Co An, sahabat
kekal dari ayahnya.
Co An itu ada seorang kebiri yang sudah lanjut usianya,
yang telah mengundurkan diri. Ketika dulu ia melayani raja
almarhum, ia berjasa. Itu sebabnya ia diijinkan mengundurkan
diri, supaya dirawat anak cucunya. Tatkala Ie Kiam dihukum
mati, sekalipun menteri-menteri yang pernah ditunjang
olehnya, pada menutup mulut, adalah Co An seorang, yang
berani meminta kepada kaisar untuk mengurus jenazahnya.
Raja menerima baik permintaan itu karena kebetulan kepala
Ie Kiam dicuri Pit Kheng Thian. Sebagai alasan raja ini
menunjuk bahwa Ie Kiam adalah menteri dari dua kaisar.
Kemudian lagi, Kheng Thian pun dapat bantuan orang kebiri
ini maka tubuh dan kepala Ie Kokloo dapat dipersatukan dan
dikubur di Hangciu. Berhubung dengan itu, Kheng Thian
membanggakan jasanya kepada Sin Cu, sebenarnya ia
mendapat bantuan berharga dari orang kebiri ini.
Bukan main girangnya Co An melihat Nona Ie. Nona ini
menerangkan ia ingin menumpang tinggal tetapi ia kuatir
nanti merembet-rembetnya. Atas itu dengan bersemangat Co
An kata: "Beruntun aku telah melayani tiga kaisar, sekarang
1093 ini aku tinggal dimasuki ke dalam peti, umpama kata aku
ditangkap, paling banyak aku toh mati sekali. Apalagi sekarang
aku belum dihadiahkan kematian!"
Dengan memperoleh jawaban itu, maka tenanglah hati si
nona menumpang pada itu sahabat ayahnya.
Co An tinggal di dekat pintu kota barat, rumahnya itu
terpisah jauh dari bagian kota yang ramai, tetapi meski begitu,
walaupun usianya sudah tua, ia suka pergi ke kota untuk
mendengar-dengar kabar untuk kebaikannya si nona, bahkan
ia pergi memasuki istana bertemu sama bekas rekannya yang
menjadi kepala, dari siapa ia mengharap kabar penting. Hanya
mengenai datangnya puteri Iran ke kota raja, tidak ada kabar
ceritanya. Hingga Sin Cu menjadi heran dan gelisah
sendirinya. Bukankah Keng Sim membilang gurunya mengantar puteri
itu ke kota raja" Bukankah mereka cuma ketinggalan kira satu
bulan" Sudah seharusnya gurunya itu dan si puteri Iran tiba di
kota raja ini. Satu bulan Sin Cu berdiam sama Co An. Kecuali memikirkan
gurunya, ia pun memikirkan Seng Lim. Ia menguatirkan
keselamatan pemuda itu, yang diserang oleh angkatan perang
negara. Mestinya Kheng Thian tidak sudi membantu si pemuda.
Pada suatu hari, saking pepat pikiran, si nona berjalan
seorang diri. Tiba di luar kota, ia mendengar riuh suara


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tetabuan. Setelah menanya-nanya orang yang hendak pergi
menonton, baru ia ketahui di sana ada seorang hartawan yang
lagi merayakan pernikahan puterinya. Saking isang, ia
bertindak ke tempat keramaian itu, untuk menyaksikan.
*** 1094 Tuan rumah rupanya berharta besar. Di dalam
pekarangannya ia membangun sebuah panggung yang besar,
untuk wayang yang ditanggapnya. Di sana terlihat sererotan
pengemis bertindak masuk ke dalam pekarangan itu. Sebab
biasanya hartawan-hartawan di kota raja, dalam pesta nikah
atau tengah kematian anggauta keluarganya, suka mengamal
pada kaum pengemis. Kawanan pengemis itu pun tahu diri,
mereka memegang tata tertib, setelah menerima amal,
dengan rapi mereka mengundurkan diri, tidak pernah mereka
datang untuk kedua kalinya atau membikin ribut. Penduduk
Pakkhia mengenal aturan, sampaikan pengemisnya tak jadi
kecuali. Sin Cu dari kecil hidup di Pakkhia, ia ketahui baik
kebiasaan ini, maka ia tidak menjadi heran.
Selagi si nona berdiri mengawasi, ia tampak satu pengemis
muda, usianya kurang lebih dua puluh tahun, mendatangi
dengan tindakan cepat. Bungkusan yang dia gendol beda
daripada buntalan pengemis yang umum. Buntalannya ini
terbikin dari tiga potong cita masing-masing berwarna merah,
hitam dan putih, pada itu ada tujuh buntalan benangnya.
Banyak pengemis yang lebih tua, yang mengalah pada dia ini.
Meski si nona heran tetapi ia tahu aturan kaum pengemis.
Pengemis dengan dandanan sebagai itu terang tengah
menjalankan tugas menyampaikan berita penting dari
pemimpinnya. Tujuh buntalan benang itu menandakan dialah
murid pengemis tingkat tujuh. Di dalam kalangan pengemis,
kecuali pangcu, yang buntalannya sembilan, ialah yang paling
dihormati, bahkan yang berbuntal tujuh ini pun langka.
Dalam herannya itu, Sin Cu berpikir: "Pit Kheng Thian,
sebagai pangcu dari Partai Pengemis di Utara, juga menjadi
toaliongtauw dari delapan belas propinsi, dia bangun di
Selatan, tidak lama lagi dia bakal mengangkat dirinya menjadi
raja. Karena orang-orang penting dari Partai Pengemis di
1095 Utara berduyun-duyun pada pergi ke Selatan. Maka juga
kenapa sekarang di kota raja ini masih ada seorang pengemis
tingkat ke tujuh yang belum pergi ke Selatan itu?"
Diam-diam Nona Ie perhatikan gerak-geriknya pengemis
muda itu. Dia berdesakan maju ke depan, dia berbisik dengan
seorang pengemis tua dan bercacat, lalu tanpa menerima
amal, dia mengundurkan diri cepat-cepat. Terang sudah
bahwa dia hendak pergi ke tempat yang kedua untuk
menyampaikan beritanya.
Masih Sin Cu menguntit. Pengemis itu keluar dari kota,
menuju langsung ke See San, Gunung Barat. Setelah
mendapat kenyataan di situ tidak ada lain orang, Nona Ie
melekaskan tindakannya, melewati pengemis itu, akan di lain
saat ia memutar tubuh, untuk menghalangi perjalanan orang.
Terkejut pengemis muda itu akan menyaksikan ada orang
yang menguntit padanya.
"Siangkong, mengapa kau memegat aku?" dia menanya
seraya mementang lebar matanya.
"Aku adalah pelayan tetamu dari keluarga hartawan tadi,"
Sin Cu memberikan pe-nyahutannya, "tugasku yaitu membagibagi
uang arak dan makanan kepada kamu, maka kenapa,
walaupun sudah masuk ke dalam, kau tidak menerima amal"
Apakah itu bukan berarti kau tidak memandang hormat
kepada tuan rumah?"
Pengemis itu tercengang, lalu ia memberi hormat dan
menyahuti: "Sebenarnya datangku terlambat, dari itu tidaklah
mentaati peraturan yang aku maju ke depan. Ada sebabnya
mengapa aku berbuat demikian. Hari ini terlalu banyak
pengemis yang hadir, aku tidak sabaran menanti sampai
giliranku, karena itu aku mendesak ke depan untuk berbicara
1096 dengan beberapa rekanku, untuk memesan buat mereka
tolong mewakilkan aku menerima amal bagianku itu."
"Jikalau begitu, mari kembali kau turut aku, aku akan lantas
mendahului yang lain memberikan amalmu," berkata si nona
sengaja. "Terima kasib, terima kasih, aku tak berani membikin
susah," menampik pengemis muda itu.
"Tidak dapat kau bersikap begini. Dengan menampik berarti
kau melanggar aturan!"
Pengemis itu heran hingga ia menjadi tidak senang.
"Tidak pernah aku mendengar semacam aturan!" katanya
keras. "Aku sendiri tidak menghendakinya, dapatkah kau
memaksa aku?"
"Benar, aku justeru hendak memaksa kau menerimanya!"
jawab Sin Cu. "Ah, kau rupanya sengaja hendak mempermainkan aku si
pengemis melarat!" ia menegur. "Aku tidak mempunyai luang
tempo untuk pasang omong denganmu! Kau hendak memberi
aku jalan atau tidak?"
"Tidak mempunyai luang tempo?" tanya si nona. "Ha!
Sampai pun menerima amal tidak ada tempo! Sebenarnya
kenapa kau bagini tergesa-gesa?"
"Urusan kami si pengemis melarat ada apa sangkutannya
dengan kaum orang hartawan?" pengemis itu balik menanya.
Ia gusar sekali. "Ah, jikalau kau tidak membagi jalan, maaf,
aku terpaksa berlaku tak hormat kepada kau, tuan!"
1097 Dia lantas mengangkat tongkatnya hingga terdengar siuran
angin. Nampak nyata dia mengarti ilmu silat.
Nona Ie bersenyum.
"Belum pernah aku menampak pengemis dengan kelakuan
sepertimu ini," katanya sabar. "Kau tidak menghendaki amal!
Tidak, aku, justeru ingin kau kembali!"
Mendadak Sin Cu menolak ujung tongkat si pengemis, atas
mana pengemis itu terhuyung mundur beberapa tindak. Tentu
sekali, dia menjadi kaget.
"Aku juga belum pernah menemui orang semacam kau
yang memaksakan hendak memberi amal!" katanya sengit.
"Kau orang macam apakah?"
Sin Cu tertawa geli, sambil tertawa ia angkat tangan
kirinya menunjuk kepada langit, dengan tangan kanannya ia
menunjuk pada bumi, kemudian kedua tangannya itu
membuat sebuah lingkaran bundar, sembari berbuat demikian,
ia berkata-kata dengan nyaring: "Dengan langit sebagai tutup
dan bumi sebagai gubuk, dengan lima telaga dan empat
lautan menjadi rumah, aku si pengemis malas memangku
pangkat, maka itu dengarlah aku menyanyikan lagi Lianhoa
Lok." Lagu "Lianhoa Lok" ialah lagu kaum pengemis. Dan katakata
si nona ini adalah kata-kata rahasia di dalam Partai
Pengemis. Sin Cu mendengarnya itu dari Pit Kheng Thian. Kheng
Thian memberikan berapa rupa keterangan untuk membuat
senang hatinya si nona, siapa tahu sekarang Sin Cu dapat
menggunai itu. 1098 Pengemis itu terkejut.
"Kau... kau juga anggauta Partai kami?" dia menanya. Dia
mementang mata lebar-lebar sebab dia melihat pakaian orang
yang bagus. Sin Cu tertawa. "Kau heran melihat pakaian bagus dari
aku?" ia tanya. "Partai Pengemis sekarang tak dapat
dibandingkan dengan masa yang telah lampau. Pit
Toaliongtauw kami tak seberapa lama lagi akan mengenakan
jubah naga! Selama aku berdiam di Selatan, aku memakai
kepangkatanku! Ada apakah yang aneh?"
"Kau pun datang dari Selatan?" pengemis itu tanya, dia
tetap heran. "Ah, habis kenapa kau bicara begini denganku?"
"Aku ini diutus oleh Pit Toaliongtauw untuk menyerapnyerapi
kabar," Sin Cu mengarang cerita. "Sudah dua bulan
aku tiba di sini, tidak berani aku sembarang memperlihatkan
diri asalku. Hari ini aku melihat kau saudara dari tingkat ke
tujuh membawa berita, aku kuatir ada terjadi sesuatu yang
penting, dari itu aku menanyakan kepadamu."
Mendengar keterangan si nona, kesangsiannya pengemis
muda itu lenyap delapan atau sembilan bagian.
"Tengah malam ini di Pitmo Giam," katanya sesaat
kemudian. "Di Pitmo Giam untuk apa?" Sin Cu tanya.
"Kau murid ke tujuh, siapakah kau?"
Mendadak saja, pengemis muda itu menjadi gusar.
1099 "Kiranya kau si kuku garuda!" dia membentak. Lalu dengan
tongkatnya, dia menyerang.
Adalah aturan kaum pengemis itu, kalau ada rapat, seorang
anggauta dilarang menanyakan melit-melit, Sin Cu tidak
ketahui itu, ia membuka rahasia sendiri.
Nona Ie berkelit.
"Maafkan aku!" katanya tertawa. "Aku bukan hamba negeri
tetapi aku pun tidak akan mengijinkan kau mengangkat kaki!"
Pengemis itu menyerang pula, tetapi kali ini untuk
menggertak saja. Dia mendapat kenyataan dia tidak sanggup
melawan perintang jalan itu, dari itu, setelah gertakannya itu,
dia memutar tubuh untuk melarikan diri. Tapi Sin Cu sangat
liehay, ia dapat mendahului menotok orang hingga orang
menjadi tidak berdaya, sesudah mana, ia bawa pengemis
muda ini ke sebuah guha di kaki bukit. Ia menotok dengan
totokan yang dapat bertahan dua belas jam, selewatnya itu
pengemis ini bakal bebas sendirinya. Ketika ia hendak berlalu,
ia meninggalkan rangsum dan uang perak satu potong,
sembari tertawa ia berkata: "Kalau sebentar malam kau
merdeka, setibanya di Pitmo Giam masih dapat kau
menemukan aku. Tidak apa sekarang kau menderita sedikit,
toh potongan perak ini cukup sebagai upahmu..."
Pitmo Giam itu, jurang Hantu ialah suatu tempat
tersembunyi di gunung See San ini. Di situ ada sebuah batu
besar mirip patung, yang romannya bengis, di bawah itu ada
sebuah lubang yang dalam, maka itu dinamakan Pitmo Giam.
Sin Cu bernyali besar, maka itu sekalipun di waktu magrib,
seorang diri ia pergi ke sana. Ia mengenakan yahengie,
pakaian peranti jalan malam, dan sebelum tengah malam
tibalah ia di tempat rahasia itu. Ketika ia tiba, ia tidak melihat
seorang juga, maka itu, ia menantikan. Ia melihat si Puteri
1100 Malam sudah mendekati tengah-tengah langit. Itu waktu ia
menampak atasan sebuah pohon di atas jurang bergerak
sedikit, lalu diam pula.
"Tak sembarang ilmu ringan tubuh orang itu," nona ini
berpikir. "Kalau dia dari Partai Pengemis, dia mesti berada di
bawah, kenapa sekarang dia bersembunyi di atas pohon?"
Nona ini hendak pergi mencari tahu ketika, "Plok! Plok!" ia
mendengar dua kali tepukan tangan, disusul sama sambutan
empat kali di sebelah selatan, setelah mana terlihat sejumlah
pengemis tiba di Pitmo Giam. Suara mereka itu lantas
terdengar cukup berisik.
Sin Cu memasang kuping, hingga ia mendapat dengar:
"Lao Pit, sekarang ini kau berbahagia!"
"Seorang pengemis malas menjadi orang berpangkat, tetapi
Lao Pit, cobalah kau bilang, mana lebih senang, menjadi
pengemis atau memangku pangkat?" Itulah pertanyaan
bergurau. "Eh, ya, Lao Pit, benarkah keadaan di Selatan kurang
bagus" Apakah Toaliongtauw mengirim kau ke mari untuk
minta bala bantuan?"
Lalu terdengar suara yang Nona Ie kenal baik sekali:
"Saudara-saudara, jangan kamu main-main. Hari ini aku
mengundang kamu berkumpul justeru disebabkan ada urusan
penting untuk mana aku, mengharap pengajaran dari kamu."
Itulah suara Pit Goan Kiong. Dia biasa omong lucu tetapi
kali ini suaranya sungguh-sungguh.
1101 Sin Cu heran sekali.
"Kiranya Pit Goan Kiong yang menitahkan anggauta Partai
Pengemis tingkat ke tujuh itu memanggil rapat rahasia ini,"
pikirnya. "Pit Goan Kiong menjadi orang kepercayaannya Pit
Kheng Thian, sekarang keadaan tentara sangat gentingnya,
kenapa dia dapat dipisahkan dan diutus ke mari?"
Ia lantas mendengar pula suaranya Pit Goan Kiong itu:
"Toaliongtauw mengutus aku datang ke kota raja untuk suatu
tugas penting, kecuali aku dan Toaliongtauw sendiri, tidak ada
lain orang lagi yang boleh mendapat tahu."
Kata-kata ini membuat kaum pengemis heran hingga
mereka bungkam Semua. Maka sunyilah tempat rapat rahasia
ini. Dengan begitu terdengar jelas ketika seorang yang
nadanya tua berkata: "Pit Laotee, kalau begitu, tak selayaknya
kau menghimpun rapat ini. Semua saudara di sini aku percaya
betul, meski begitu kita mesti berjaga, maka siapa tidak
harusnya mendengar, tidak harus dia mendengarnya!"
"Mustahil aku tidak mengarti aturan kita?" kata Pit Goan
Kiong menyeringai. "Tapi urusan ada sangat penting, aku
tidak berdaya, terpaksa aku mengundang kamu ke rapat ini,
untuk kita berdamai."
"Kalau begitu penting, baik, kau bicaralah!" berkata orang
tua tadi. "Apakah Toaliongtauw melakukan sesuatu
kekeliruan?"
"Sebenarnya urusan lebih hebat daripada hidup atau
matinya Partai kita," menyahut Pit Goan Kiong.
Semua orang menjadi semakin heran, mereka tetap
membungkam, cuma semua mata diarahkan kepada wakil
ketua mereka. 1102 Goan Kiong menghela napas, lalu ia berkata dengan
perlahan. "Setibanya Toaliong-tauw di Selatan, dia telah melakukan
sesuatu yang maha besar," demikian
katanya. "Itulah usaha yang semenjak dulu kala belum
pernah dilakukan oleh Partai kita."
"Memang," berkata satu orang, "dengan Toaliongtauw
menjadi kaisar, kaum pengemis menjadi dari bumi yang datar
naik ke langit!"


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kata yang lain lagi: "Benar Cu Goan Ciang asal pengemis
tetapi dia belum memasuki Partai kita, maka itu Toaliongtauw
kita ialah orang yang pertama kali dapat merampas dunia!"
Akan tetapi Pit Goan Kiong menghela napas.
"Walaupun demikian, dunia ini sukar dirampasnya," ia
berkata. "Toaliongtauw telah bentrok sama Yap Cong Liu,
dengan begitu sebatang tiang tak dapat menahan sebuah
gedung..."
Mendengar ini, sejumlah pengemis mengajukan pertanyaan
meminta keterangan.
Pit Goan Kiong memberikan penjelasannya, sesudah mana,
ramailah pengemis-pengemis itu dengan pelbagai pikirannya.
Ada mereka yang membenarkan Pit Kheng Thian, katanya,
Kheng Thian pintar dan gagah, kalau Yap Cong Liu tidak akur
dengannya, pantas Cong Liu dikesampingkan. Tapi ada juga
yang tidak setujui ketua Kaypang itu, sebab alasannya, selagi
musuh besar berada di depan mata, tidak layak orang bentrok
dalam kalangan sendiri.
1103 "Hal ini baiklah kita jangan bicarakan dulu," kata suara tua
yang tadi. "Layak atau tidak, kejadian toh sudah berlaku.
Menurut aku, soal belum dapat menentukan runtuh atau
hidupnya Partai kita."
"Benar!" berkata seorang lain. "Sebenarnya Toaliongtauw
mengutus kau ke mari untuk apa hingga kau tidak mentaati
aturan kita dan terpaksa mengadakan rapat ini?"
Goan Kiong berdiam sekian lama, baru menyahuti,
suaranya rada menggetar.
"Sekarang ini tentara negeri menyerang dari tiga jurusan,"
katanya. "Barisan terdepan dari pasukan tengah yang dipimpin
oleh Sunbu Thio Kie dari Ciatkang sudah melewati kota Unciu.
Maka itu pasukannya Toaliongtauw sendiri sudah terkurung di
sama tengah. Di timur, pasukannya Yap Seng Lim telah putus
perhubungannya, untuk menolong diri sudah sulit baginya,
jangan kata untuk pulang buat memberikan bantuannya..."
Orang tua tadi terdengar tertawa lebar.
"Apakah artinya itu?" katanya, "tenang. Toaliongtauw kita
telah mengerek bendera maha mulia, dia sudah membuat
peristiwa menggemparkan, kalau dia berhasil, dialah satu
enghiong, kalau dia gagal, dia tetap seorang hookiat.
Sekarang ini belum terbukti kita bakal berhasil atau gagal,
mengapa kau begini bingung, laoteel"
"Benar!" banyak suara menyambut orang tua itu. "Kita
semua suka pergi ke Selatan akan masuk menjadi serdadu,
kita suka bekerja sama Pit Toaliongtauw, guna sama-sama
menghadapi kebahagiaan atau kecelakaan! Kita akan mati
puas andaikata kita sudah melakukan sesuatu yang besar!"
Goan Kiong menghela napas pula.
1104 "Sayang Toaliongtauw tidak mendengar sendiri suara
saudara-saudara ini," katanya masgul. "Bukankah benar itu
pembilangan, air yang jauh tak dapat memadamkan api yang
dekat" Kamu tahu, Thio Kie sudah mengirim utusan ke dalam
kota yang terkurung untuk memanggil Toaliongtauw
menakluk!"
"Memanggil menakluk?" tanya si orang tua.
"Tidak salah, memanggil menakluk!" Goan Kiong
membenarkan. "Thio Kie menjamin pangkat Congpeng untuk
Toaliongtauw."
"Habis bagaimana Pit Kheng Thian?" tanya pula si orang
tua. " Toaliong tauw kita belum memberikan jawabannya..."
"Memang Toaliongtauw kita bukannya orang yang tak
bertulang!" seru orang banyak. "Satu pangkat Congpeng mana
dapat memancing Toaliongtauw kami!"
"Memang juga Toaliongtauw tidak melihat mata pada
pangkat Congpeng," Pit Goan Kiong membenarkan. "Hanya
dia telah menulis sepucuk surat rahasia, dia memerintahnya
aku membawa ke kota raja ini. Itulah untuk minta bantuannya
Yang Cong Hay, guna minta Cong Hay menyampaikannya
kepada raja, kalau raja ingin dia menakluk, supaya raja sendiri
yang memanggilnya menakluk, dan dia minta sedikitnya satu
pangkat tokbu, gubernur sebuah propinsi!"
Keterangan ini membuatnya rapat sangat sunyi, kalau ada
sebatang jarum jatuh, pasti suaranya akan dapat didengar.
Semua orang merasakan hatinya pepat.
1105 "Yap Seng Lim dengan pasukannya di Tunkee telah
menang dua kali," Pit Goan Kiong melanjuti keterangannya,
"karena itu, penyerangan pasukan negeri kepadanya telah
diperkeras. Benar kota Unciu telah dikurung tetapi keadaannya
tak sedemikian genting. Dalam keadaan begini, Pit
Toaliongtauw telah mengambil keputusan-nya itu. Di mana
urusan tak dapat dihindarkan pula, ia anggap, daripada
dimusnahkan tentara negeri, untuk sementara baiklah kita
tinggal hidup..."
"Benar-benarkah dia beranggapan demikian?" menegasi si
orang tua. "Aku menguatirkan sebaliknya," sahut Pit Goan Kiong.
"Akulah keponakannya, biasanya aku sangat dipercaya dia. Ini
rupanya maka aku diutus secara rahasia begini. Dia meminta
perantaraannya Yang Cong Hay supaya dia dapat bicara
sendiri dengan raja. Di antara permohonannya itu, kecuali
supaya tentara rakyat diubah menjadi tentara negeri, juga dia
berjanji untuk membereskan pasukannya Yap Seng Lim itu.
Inilah jalan untuk dia dapat berbuat jasa, guna menebus
dosanya itu."
"Begitu?" suara bergemuruh di empat penjuru. "Kalau
begitu kami kaum Kaypang, mana kami ada punya muka akan
bertemu sama orang?"
"Benar! Memang Toaliongtauw mengatakannya, setelah
menakluk, kita orang-orang penting dari Kaypang bakal
mendapat pangkat, bahwa dengan memangku pangkat kita
tak menyalahi leluhur kita. Ini justeru yang aku tidak sanggup.
Maka itu setibanya aku di sini, sudah tiga hari, aku masih
tetap ragu-ragu, aku masih belum berani menunaikan tugas
yang diberikan Toaliongtauw kepadaku. Demikianlah sekarang
aku mohon saudara-saudara memberi petunjuk kepadaku."
1106 Mendengar semua itu, Sin Cu kaget berbareng girang. Ia
kaget sebab mimpi pun tidak yang Pit Kheng Thian kesudian
menerima panggilan menakluk dari pemerintah dan dia
hendak membikin celaka Yap Seng Lim. Ia girang sebab
sekalipun Pit Goan Kiong, seorang sebawahan yang dipercaya,
dapat membedakan kebenaran dari kesesatan, bahkan dia
berani membeber rahasia toaliongtauw itu.
Si orang tua menepuk tangannya tiga kali, ia membikin
rapat sunyi kembali.
"Memang benar urusan ini lebih penting daripada hidup
atau matinya kita," ia berkata. "Kita harus memikir masakmasak.
Nah, kirimlah orang ke empat penjuru untuk
memasang mata!"
Tiba-tiba terdengar suara di atas pohon di atas jurang itu.
Si orang tua kaget.
"Siapa itu yang mencuri dengar rapat kita!" ia membentak.
Sin Cu terkejut, ia menyangka ia dapat terlihat mereka itu,
tapi kagetnya Cuma sebentar, di sana nampak satu bayangan
berlompat turun dari atas pohon. Sesaat kemudian, ia
dibuatnya heran bukan kepalang sesudah ia melihat tegas
bayangan itu, satu bocah yang berlarian kepada kaum
pengemis itu. Sebab dialah Siauw Houwcu! Hampir ia berteriak
memanggil bocah itu. Syukur ia bisa mengendalikan diri, terus
ia bersembunyi dan memasang kupingnya.
Siauw Houwcu sudah berumur enam belas tahun, tetapi ia
tetap kekanak-kanakan dan binal seperti di masa kecilnya.
"Hai, kamu hendak makan empat penjuru, aku si tuan kecil
sebaliknya lima!" demikian katanya, suaranya gembira. "Kamu
1107 telah memanggang ayam, kamu hendak mengundang aku
turut berdahar atau tidak?"
Semua pengemis itu menyangka kepada musuh besar,
tidak tahunya cuma satu bocah, mereka menjadi melengak.
Melainkan si orang tua, yang mengarti bocah itu bukan
sembarang bocah, maka ia berlompat maju, untuk mencekuk.
"Kau siapa?" ia membentak.
Siauw Houwcu menarik pundaknya, kakinya berputar,
dengan begitu bebaslah ia dari cengkeraman, tidak perduli si
orang tua telah menggunai tipu silat Tay kim na ciu hoat, ilmu
menangkap tangan.
Menyaksikan itu, semua orang terkejut.
"Oh, mata-mata cilik!" mereka berseru.
"Siapa mengirimmu ke mari?"
Siauw Houwcu tidak takut, dia bahkan tertawa menghadapi
si orang tua. "Kau tidak kenal aku, aku kenal kau!" katanya Jenaka. "The
Tiangloo, guruku menyuruh aku menyatakan kesehatanmu!"
Pengemis tua itu ialah pengemis pengurus kaum pengemis
di kota raja, kedudukannya lebih tinggi dari pada
kedudukannya Pit Goan Kiong, Kedudukannya ialah tingkat ke
delapan. Orang tua itu mengawasi si bocah dengan keheranheranan.
Tidak pernah ia ingat ada sahabatnya kaum
kangouw yang mempunyai murid semacam bocah ini. Karena
itu ia berlaku waspada, dengan tangan melindungi dadanya,
1108 dengan mata menatap tajam, ia membentak menanya:
"Siapakah gurumu itu?"
"Thio Tan Hong dari Souwciu!" sahut
Siauw Houwcu singkat.
Orang tua itu nampak kaget.
"Oh, Thio Tayhiapl" katanya. "Kapankah datangnya
Tayhiapl Mata dan kupingku tidak lengkap lagi, tayhiap
datang ke kota raja, aku tidak tahu, sampai aku tidak dapat
memberi selamat datang padanya, sampai kaulah yang diutus,
engko kecil! Harap dimaafkan!"
"Jangan kau sungkan, loojinkee." berkata Siauw Houwcu
tertawa. "Hendak aku omong terus terang. Tahukah loojinkee
apa perlunya guruku menyuruh aku mencuri dengar rapatmu
ini" Bahkan guruku memesan aku untuk berhati-hati, agar
kamu tidak menyangka aku sebagai si maling cilik! Ha!
Barusan Tay kim na ciu hoat dari loojinkee hampir saja
mengenakan tulang piepee-ku! Ya, ya, kau hendak undang
aku atau tidak dahar ayam panggangmu?"
The Tiangloo tidak mengambil mumat kejenakaan bocah
ini. Ia diliputi kegirangannya mendengar beradanya Thio Tan
Hong di kota raja. Ia kenal baik nama orang yang tersohor
cerdik itu. "Baiklah, silahkan, silahkan!" sahutnya. "Aku mohon tanya
di mana Thio Tayhiap mondok" Tolong engko kecil ajak aku
pergi menemuinya."
"Guruku lagi repot, kunjunganmu ini baik ditunda dulu,"
berkata Siauw Houwcu. "Di dalam rapatmu ini, kecuali aku,
1109 masih ada seorang lain di dalam rimba, kau hendak turut
mengundang dia atau tidak?"
Sin Cu berpikir: "Ah, kiranya bocah ini telah dapat melihat
aku." Ia hendak lantas keluar dari tempat sembunyinya ketika
ia batal karena ia lantas mendapat dengar suaranya The
Tiangloo: "Engko kecil datang bersama siapa" Tentu saja aku
pun mengundang dia!..."
Siauw Houwcu tertawa ketika ia menjawab: "Orang itu
tidak datang bersama aku! Melihat tubuhnya yang tinggi dan
besar, mungkin dia satu penjahat besar dari sungai atau laut,
dia tak mirip-miripnya dengan satu maling cilik!"
Tiangloo itu terperanjat, lekas-lekas ia menghadap ke
empat penjuru seraya meng-angkat tangan untuk memberi
hormat. Ia berkata: "Sahabat dari kalangan manakah itu"
Silahkan sahabat keluar untuk kita saling bertemu!"
Habis itu terdengarlah suara tertawa nyaring di belakang
batu besar, dari situ nampak munculnya suatu tubuh tinggi
besar, yang terus bertindak ke arah rapat. Ia berkata dengan
keras: "Ini dia yang dibilang, air banjir menyerbu kuilnya si
raja naga! Sebenarnya kita ada orang-orang sendiri!"
Pit Goan Kiong terkejut.
"Toako Kouw Beng Ciang!" ia berseru. "Kau pun datang?"
Goan Kiong heran bukan main. Beng Ciang terpercaya
Kheng Thian melebihkan ianya. Ia sudah diutus, maka kenapa
Beng Ciang diutus juga"
Beng Ciang tidak menyahuti, hanya sembari tertawa ia
berkata: "Pit Toako, semua pembicaraan kamu telah aku
1110 dengar. Pit Laotee, luas pandanganmu, kau bersemangat, aku
si Kouw tua kagum untukmu!"
Goan Kiong menjadi terlebih heran, tetapi hatinya lega.
"Kiranya dia sama tujuannya denganku," pikirnya. Maka ia
ulur tangannya untuk berjabatan. Ia berkata pula: "Sikapku ini
benar atau salah, tolong toako menunjuki..."
Belum habis kata-katanya itu atau ia mendengar Beng
Ciang berteriak, tangannya diputar, maka sejenak itu juga,
tangannya itu kena ditelikung ke belakang: "Kecewa kau
menjadi keponakannya Toaliongtauw. Bagaimana kau berani
mendurhaka?"
Goan Kiong merasakan tubuhnya lemas, tidak dapat ia
meronta. Beng Ciang telah mengerahkan Engjiauw lat, tenaga
dari Kuku Garuda, maka nadi si pengemis tercekal hingga dia
mati kutunya. Inilah kejadian luar biasa, maka kagetlah semua pengemis
itu. Bahkan The Tiangloo terus berseru sambil dia berlompat
maju, untuk menerjang.
"Lagi satu tindak kau maju, akan aku bikin kau bercacad!"
Beng Ciang mengancam sambil tertawa berkakak. Hanya
belum lagi suaranya habis, satu sinar kuning emas telah
menyambar tangannya, hingga dia menjerit dan cekalannya
dilepaskan, tubuhnya pun terhuyung tiga tindak.
Sebab Sin Cu dengan bunga emasnya sudah menyerang
lengan orang, menyusul mana ia muncul dari tempatnya
sembunyi. Beng Ciang ada pahlawan nomor satu dari Pit Kheng Thian,
benar ia telah dibokong hingga ia memerdekakan Goan Kiong
1111

Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tetapi ia tidak terluka, begitu ia dapat berdiri tegak, segera ia
mengeluarkan cambuknya, cambuk Hongliong pian.
"Kiranya semua ada di sini!" katanya, seram. "Haha! Kamu
semua kena terkurung dan terbekuk berbareng, sungguh tak
usahlah aku berabe lagi!"
Dua kali jago ini mengibas cambuknya, hingga terdengar
suara nyaring dua kali juga, setelah mana dari empat penjuru,
dari pepohonan lebat, berlompat keluar belasan orang
dengan dandanan serba hitam. Juga dari dalam jurang Pitmo
Giam meluncur sejumlah anak panah, hingga beberapa
pengemis roboh karenanya.
Seorang berpakaian hitam lompat kepada The Tiangloo
sambil dia berseru: "Hutongnia Tonghong Lok dari Gielimkun
di sini! Kaum pemberontak, masih kamu tidak mau menerima
dibekuk" Apakah kamu hendak menanti sampai tuanmu turun
tangan sendiri?"
The Tiangloo tidak menyahut hanya dengan tongkatnya, ia
menerjang, dengan begitu ia jadi bertempur sama komandan
kedua dari pasukan raja itu. Pit Kheng Thian kasar romannya
saja, sebenarnya dia cerdik. Benar Goan Kiong keponakannya
sendiri, tetapi menghadapi urusan penting, hatinya tidak
tenang, maka itu ia mengutus pula Beng Ciang untuk mematamatainya
keponakan itu. Ia mau percaya, umpama kata ada
seorang yang berkhianat, rencananya untuk menakluk pada
pemerintah tidak bakal gagal. Beng Ciang asal penjahat,
untuknya menjadi pemimpin tentara rakyat atau pembesar
negeri, sama saja, maka itu ia bersetia kepada Kheng Thian, ia
bekerja keras menyelidiki sepak terjang kaum pengemis
hingga ia mendapat tahu hal rapat rahasia itu. Sebelum pergi
mengintai, ia sudah mengasi kisikan pada Yang Cong Hay, dari
itu Cong Hay sudah lantas mengirim Tonghong Lok serta
1112 belasan komandan Kimiewie bersama belasan anggauta
Gielimkun yang terpilih.
Beng Ciang liehay, sesudah merobohkan beberapa
pengemis, menerjang ke arah Pit Goan Kiong, tetapi ia
dirintangi Siauw Houwcu, yang lincah gerakannya, tubuhnya
licin bagaikan ikan.
"Kecewa kau bertubuh tinggi seperti kerbau dan besar
seperti kuda, kau tidak tahu malu!" bocah ini menegur.
"Kenapa aku tidak tahu malu?" tanya Beng Ciang heran.
"Sebab kau makan di dalam, merayap di luar!" jawab Siauw
Houwcu. "Untuk mencari pangkat, kau menjual sahabat!"
Beng Ciang gusar berbareng merasa lucu, sebab bocah ini
berani omong seperti seorang kangouw.
"Bocah cilik, kau ngaco belo!" ia membentak. Dengan
cambuk kanan ia menangkis serangan Goan Kiong, dengan
tangan kiri hendak ia membekuk bocah nakal ini. Ia tidak
memandang mata kepada bocah. Maka kecewalah ia tempo
cengkeramannya tak mengenai sasarannya.
Siauw Houwcu turunan panglima perang, dia juga telah
memperoleh pelajaran dari Hek Pek Moko, dalam ilmu silat, ia
telah memenangin orang kangouw yang kebanyakan, maka
itu, ia lincah dan gesit sekali. Tempo ia disambar, ia mendak
akan meloloskan diri, sambil molos, ia menghajar pinggang
orang. Tepat ia dapat mengenai pinggang lawan. Ia telah
menggunai pukulan Kuntauw Naga dari Ngoheng Loohan kun
ajarannya Hek Pek Moko.
Beng Ciang merasakan sakit sekali, sampai ia terbongkokbongkok.
1113 "Sekarang sambut lagi Kuntauw Harimauku!" berseru Siauw
Houwcu sambil tertawa. Ia menarik pulang tangan kanannya,
tangan kirinya dimajukan.
Justeru itu Sin Cu berseru: "Lekas menggunai tipu Hunhoa
Hutliu Ciuhoat! Lalu Poanlong Jiauwsie, berkelit ke kiri!"
Belum berhenti suara si nona, kaki Beng Ciang sudah
melayang, ke arah dada si bocah. Kalau ia terus menyerang,
pasti ia bakal tertendang hebat. Ia lantas batal menyerang, ia
berkelit, tapi tak urung ia kelanggar juga sedikit hingga ia
jumpalitan. Gusar bocah ini, ia berlompat bangun, hendak ia
menyerang pula. Tapi sekarang ia lihat Beng Ciang tengah
melayani Nona Ie. Ia lantas mencabut Bianto, golok lemasnya.
"Dua kepalan ditukar sama satu kaki, kau sudah menang
unggul, apakah kau masih belum puas?" tanya Sin Cu kepada
bocah itu. Ia tertawa. "Pergi kau bantui The Tiangloo1."
"Baik!" seru Siauw Houwcu mengarti. "Nah, kau tolongi aku
mengorek matanya!"
Dengan masih mendongkol ia menerjang ke arah The
Tiangloo, siapa lagi bertempur sama Tonghong Lok,
pembantunya Yang Cong Hay. Pengemis ini cukup liehay,
sayang usianya sudah lanjut. Selama belasan jurus, ia masih
dapat bertahan, selewatnya itu, napasnya memburu, ia
tersengal-sengal. Maka beruntung sekali, Siauw Houwcu
datang membantu padanya.
Dalam jumlah, pihak Partai Pengemis kalah banyak, sudah
begitu, pihak Kimiewie dan Gielimkun semuanya pilihan, maka
selang sedikit lama, terlihatlah pihak mana yang terlebih
1114 unggul. Sebenarnya sama banyaknya orang kedua pihak yang
roboh, hanya karena kalah jumlah, Kaypang kena terdesak.
Sin Cu melayani Beng Ciang tanpa hasil. Ia menang liehay
pedangnya tetapi lawannya mahir tenaga dalamnya, dari itu,
kekuatan mereka jadi berimbang.
Di pihak Kaypang, lagi dua anggauta tingkat enam kena
dirobohkan. Goan Kiong berkelahi dengan hebat, ia penasaran Kheng
Thian tidak menghargai lagi padanya. Selagi berkelahi ia
mendengar suaranya The Tiangloo'. "Selama masih ada
gunung hijau, jangan takut kekurangan kayu bakar!"
Itulah tanda kaum Kaypang, artinya, lolos pun bagus. Maka
itu, hebat Goan Kiong menyerang musuhnya, hingga satu
pahlawan roboh.
Beng Ciang tertawa seram melihat lagaknya Goan Kiong, ia
kata dengan dingin: "Peng-khianat, kau masih memikir untuk
kabur" Hm!" Mendadak ia meninggalkan Sin Cu, dengan
cambuknya ia menyerang pengemis she Pit ini. Cambuknya itu
apabila diulur menjadi panjang setombak lebih.
Goan Kiong tidak menyangka ketika sekonyong-konyong ia
kaget sekali. Suaranya Beng Ciang disusul lantas cambuknya,
hingga ia kena kelibat. Di lain pihak, tiga pahlawan merintangi
Sin Cu. Ia lantas kena ditarik, hampir ia terguling.
Pit Goan Kiong bukan tandingan Beng Ciang, tetapi juga
ketiga pahlawan bukan lawannya Sin Cu. Beng Ciang
mengharap si nona dapat dilibat, supaya ia keliru merobohkan
Goan Kiong, setelah mana hendak ia melawan pula si nona. Di
luar dugaannya, Sin Cu berlaku cepat. Tepat Goan Kiong
terlibat cambuk, ia telah membabat putus senjatanya ketiga
1115 musuhnya, menyusul mana ia mengeluarkan bunga emasnya
dengan apa ia menimpuk.
Beng Ciang putar cambuknya untuk membela diri, ia
berhasil menyampok jatuh dua kuntum bunga emas itu, hanya
karena itu Goan Kiong dapat meloloskan diri, terus dia
menerobos ke luar kurungan.
Beng Ciang liehay berimbang sama Cong Hay, dengan
cambuknya ia bisa membela diri, tapi cuma bisa membela
dirinya sendiri, tidak demikian dengan orang-orangnya. Sin Cu
menggunai ketikanya ini, ia meraup pula bunga emasnya dan
menyerang ke segala penjuru dengan tipu "Thianlie sanhoa,"
atau "Bidadari menyebar bunga." Sebagai kesudahan dari itu,
terdengarlah jeritan saling susul, sebab enam atau tujuh opsir
Gielimkun kena terhajar jalan darahnya, mereka roboh
kesakitan untuk terus tak dapat merayap bangun lagi.
Siauw Houwcu mendapat hati menyaksikan berhasilnya
Nona Ie, ia lantas menyerang hebat dengan ilmu goloknya
Ngohouw Toanbun too. Dengan berani ia mendesak.
Tonghong Lok girang melihat majunya si bocah. Ia
memang memegang golok gaetan peranti menggaet senjata
lawan. Ia menyambut bacokan sambil berseru: "Lepaskan
tanganmu!"
Siauw Houwcu pun liehay. Ia kelit goloknya, sambil berkelit,
dari bawah ia membabat. Inilah
Tonghong Lok tidak sangka sama sekali, maka kagetlah dia
tempo tahu-tahu golok lawan mengenai lengannya, hingga
lengan itu tergores berdarah! Dasar dia liehay, dia tidak
menghiraukan lukanya itu, terus dia mencoba membangkol
golok si bocah.
1116 The Tiangloo melihat ancaman bahaya untuk Siauw
Houwcu, ia maju menyerang. Ia sebenarnya sudah letih, maka
tempo kedua senjata bentrok, tongkatnya kena dibikin mental,
lengannya terus terlukakan. Bagusnya, si bocah dapat
meloloskan diri dari malapetaka.
Sampai di situ, karena kedua pihak sama-sama terluka,
Tonghong Lok tidak berani ngotot terus, sedang Siauw
Houwcu, dengan melindungi The Tiangloo , membuka jalan
noblos. Ia menggabungi diri dengan Sin Cu.
Beng Ciang penasaran, ia menyusul.
Sin Cu dapat melihat tingkah orang, dia mengedipi mata
pada Siauw Houwcu. Bocah ini mengarti, maka ia lantas
bersiap. Mendadak saja keduanya berlompat balik, pedang
dan golok mereka menyerang dengan berbareng, pedang
membabat, golok menyontek!
Hebat kesudahannya serangan tiba-tiba ini, cambuknya
Beng Ciang menjadi kurban, kutung menjadi empat potong.
Inilah sebab Sin Cu dan Siauw Houwcu menggunai serangan
tergabung Pekpian Hian Kie Kiamhoat.
"Aku hendak melihat, kau masih dapat mengejar kami atau
tidak!" Sin Cu tertawa menantang, sedang tangan kirinya
diayun, menimpuk dengan tiga bunga emas.
Beng Ciang memegangi cambuk kutung, dengan itu ia
membela dirinya. Dua bunga emas dapat dihalau, tetapi yang
ketiga molos dan nancap di matanya yang kiri, hingga ia
kelabakan! Siauw Houwcu tertawa berkakak, dengan dibantu Sin Cu,
ia terus pepayang The Tiangloo untuk menyingkir dari
tempat berbahaya itu, menyusul Pit Goan Kiong. Mereka kabur
1117 di belakang gunung See San itu. Hebat kesudahannya
pertempuran ini. Di pihak Tonghong Lok, dari sepuluh, tujuh
atau delapan bagian yang roboh, di pihak Kaypang, cuma lolos
The Tiangloo berdua Pit Goan Kiong. Maka itu, Goan Kiong
berduka hingga ia menangis sedih.
"Nona, oh, bukan, Ie Liehiap, banyak-banyak terima kasih!"
ia mengucap kepada Sin Cu. Dasar ia Jenaka, ia toh
bersenyum. Ia biasa memanggil nona, sekarang ia robah itu
dengan liehiap, nona yang gagah.
Sin Cu tertawa, tetapi ia toh terharu, sebab Goan Kiong
bersenyum hanya serintasan.
"Jangan berduka, Pit Toako," ia menghibur. "Kalau aku
sudah dapat menemui guruku, aku nanti membalaskan sakit
hatimu ini!" Ia menoleh kepada Siauw Houwcu, untuk
menanya: "Kapannya suhu datang" Sekarang suhu berdiam
di mana?" "Suhu sampai kemarin dulu. Segera suhu ketahui hal
rapatnya kaum Kaypang. Lantaran suhu tidak dapat memecah
diri, aku diperintah menyerapi kabar. Ha, encie tahu, subo dan
In Tayhiap pun datang bersama, mereka memecah diri di dua
tempat. In Tayhiap di rumahnya Han Giesu , dan suhu
bersama subo di dalam piauwkiok dekat istana. Sungguh
ramai dan!"
Dari berduka, Sin Cu menjadi gembira.
"Subo dan paman pun datang!" katanya girang. "Kalau
begitu, kita tidak usah berkuatir lagi!"
"Sebenarnya, kalau bukan In Tayhiap terluka di Khong San
di tangan Touw Liong Cuncia yang bersenjatakan golok
beracun hingga ia mesti beristirahat hampir satu bulan di
1118 dalam guha, pasti kita telah datang ke sini terlebih siang lagi,"
Siauw Houwcu menerangkan.
Sin Cu masih hendak menanya ketika ia lihat wajah The
Tiangloo berubah menjadi pucat, alisnya hitam, tubuhnya pun
terhuyung. Ia menjadi kaget sekali.
" Tiangloo, kenapa?" ia menanya.
"Aku tak tahan," menyahut pengemis tua itu seraya
menggoyangi kepada. "Kamu lekas cari Thio Tayhiap, tak usah
kamu perdulikan aku lagi. Kau, Pit Goan Kiong, kau umumkan
saudara-saudara kita bahwa aku terbinasa oleh golok beracun
dari Tonghong Lok, mintalah mereka membalaskan sakit
hatiku!" "Golok beracun?" tanya Goan Kiong heran. Ia lantas
melihat lukanya tertua itu di mana darah telah berubah
menjadi hitam. Ia ambil selembar daun, ia celup itu kepada
darah itu, lantas daun itu berubah menjadi kuning hangus.
Hebat racun itu, apa pula bekerjanya di tubuh yang tua.
Tidak dapat Sin Cu meninggalkan orang tua itu, ia mencoba
menolongi dengan mengobati lukanya dengan obatnya
pemunah racun, bubuk Kietok san. Sayang obat itu tidak
dapat melumakan racun goloknya Tonghong Lok.
"Kenapa kamu tidak mau lekas berlalu?" kata The Tiangloo
menguati diri. "Apa kamu hendak menanti hingga disapu
bersih barisan Gielimkun?"
"Lebih suka aku mati bersama daripada meninggalkan
kau!" sahut Goan Kiong.
The Tiangloo menjadi gusar sekali, ia mengangkat
kepalanya. Ia sebenarnya hendak menggunai titah Kaypang,
1119 untuk menyuruh kawan ini pergi, tempo ia melihat sinar
matahari muncul di timur hingga ia pun nampak tembok
Banlie Tiangshia di arah barat laut yang berlugat-legot di
daerah pegunungan itu.
"Tempat apakah ini?" ia menanya.
"Kita berada dekat selat Holow Kok di utara See San,"
menjawab Goan Kiong.
"Bagus!" berkata Tiangloo. "Mari pimpin aku ke dalam
lembah, untuk melihat di sana ada rumah orang atau tidak..."
Suaranya perlahan tetapi terang.
Mendengar suara orang lain dari biasanya, Goan Kiong
bersama Siauw Houwcu lantas menuju ke lembah. The


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiangloo nampak bersenyum, tetapi kedua matanya
dirapatkan perlahan-lahan.
Tiba di dalam lembah, di sana kedapatan sebuah rumah.
Itulah gubuk bertembokkan tanah liat, dan itu pun rumah
satu-satunya di lembah yang luas itu.
"Rumah ini rada aneh!" Sin Cu kata dalam hatinya.
Goan Kiong segera mengetok pintu, yang terus dibuka oleh
seorang sasterawan tua yang mengenakan baju panjang
warna biru dan kepalanya digubat sabuk, hingga tak miripmiripnya
ia dengan satu petani.
Sebenarnya, rombongan The Tiangloo sendiri tidak keruan
macamnya. Mereka pengemis, pakaian mereka bersih, tetapi
banyak tambalannya. Pakaian mereka bersih kecuali
kecipratan darah. Di antara mereka ada seorang bocah serta
seorang pemuda, yang belakangan ialah Sin Cu dalam
1120 penyamaran. Maka mereka pun aneh. Si tuan rumah tidak
heran itu tidak kaget atas kedatangan mereka.
"Kami bertemu begal," Siauw Houwcu mendusta, "dan
orang tua ini terluka parah, maka itu kami mohon suka diberi
menumpang untuk beristirahat."
Tuan rumah itu tertawa.
"Ada semacam penjahat yang membegal pengemis?"
katanya. "Aku sudah berusia lanjut begini tetapi belum pernah
aku mendengar pembegalan seperti ini!"
"Kita kebetulan bertemu tuan kecil ini di gunung," Goan
Kiong mencoba menjelaskan. "Penjahat hendak membegal
tuan ini, kita tidak tega hati melihatnya, kita membantui dia,
karenanya kita mendapat luka."
"Kalau begitu, tuan berdua ialah pengemis-pengemis gagah
dan budiman!" kata tuan rumah itu. "Maaf, maaf!"
Tuan rumah ini agaknya tidak percaya tapi toh ia
mempersilahkan tetamu-tetamunya itu masuk.
Rumah itu terperlengkap sederhana sekali, meja dan
kursinya cuma beberapa buah akan tetapi segalanya bersih
resik. Di tembok pun ada gambar lukisan. Jadi itulah bukan
rumah orang tani.
Selagi Sin Cu mengawasi rumah orang, tuan rumah tertawa
dingin. "Kamu berdua membantu dia ini melawan penjahat?"
katanya. "Haha! Jangan kamu membuatnya aku tertawa
hingga perutku mulas! Aku lihat, kau menjadi muridnya pun
1121 pantas, cuma sayang usianya tidak tepat. Laginya seorang,
nona tak leluasa menerima pengemis tua menjadi muridnya..."
Mukanya Sin Cu menjadi merah. Selagi ia hendak membuka
mulutnya, mendadak tuan rumah itu merampas tongkatnya
The Tiangloo, sedang tangannya yang sebelah lagi dipakai
mengusap-usap kantung guninya.
The Tiangloo adalah ketua Partai Pengemis di Pakkhia,
tongkatnya dari bambu yang berbuku delapan, yang disebut
Patciat Tekpang, adalah senjata keramat bagi partainya itu,
sekarang si sasterawan tua berbuat demikian, itulah
perlanggaran atas kesuciannya Partai
Pengemis, maka juga Pit Goan Kiong menjadi tidak senang.
"He, kau berbuat apa?" dia menegor. Dia lantas
menyambar dengan tangannya, guna merampas pulang
tongkat itu. Goan Kiong ini pernah meyakinkan ilmu silat Kimna hoat,
dia pun terpisah dekat sekali dengan tuan rumah, tidak ada
alasan kenapa dia tidak dapat merampas pulang tongkat itu,
tetapi kejadian yang benar tidaklah demikian. Si sasterawan
berkelit sekelebatan atau pengemis itu telah menyambar
tempat kosong! The Tiangloo telah merapati matanya sekian lama,
sekarang ia membukanya, lalu dengan perlahan ia berkata:
"See San Iein Yap Toaya, aku The Kok Yu sengaja datang
Naga Naga Kecil 11 Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Golok Halilintar 8
^