Pencarian

Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 11

Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen Bagian 11


Kim Loji gelengkan kepala tertawa, "Kepandaian Sam-te tidak rendah. Tidak mudah
bagi seorang tokoh persilatan untuk membunuhnya."
Ia berhenti lalu melanjutkan, "Yang dilihat saudara Ih hanya lahirnya saja maka tak
dapat disesalkan kalau dia begitu mati2an membelanya. Memang aku, Ing-heng dan Samte
pada pertama kali bertemu dengannya juga mempunyai perasaan kagum sehingga
bersedia diperalat. Kemudian setelah bergaul beberapa tahun, barulah menyadari bahwa
dia seorang julig yang amat berbahaya. Ah, di dunia memang banyak sekali manusia2
durjana, tetapi tak mungkin dapat menyamai kelihayan Ih Thian-heng. Dia cerdas dan
cermat sekali. Setiap bertindak tentu berhasil karena sebelumnya tentu dirancang
secermat-cermatnya dan sama sekali tak meninggalkan jejak"."
Ih Seng kerutkan dahi, ujarnya, "Ah, ucapan saudara Kim, benar-benar sukar
meyakinkan orang. Maaf, aku terpaksa mohon diri saja."
Karena tak suka mendengar pembicaraan semacam itu lagi, ia terus berputar diri
hendak pergi. "Nanti dulu, saudara Ih. Aku masih hendak bicara sedikit," seru Kim Loji.
"Watakku lebih baik mati daripada menyerah. Kalau saudara Kim hendak membunuh
aku, aku tetap tak mau mendukung saudara," sahut Ih Seng.
Kim Loji menghela napas lagi, "Kalau menuruti perbuatanku selama beberapa tahun
terakhir ini, memang hal itu pasti kulakukan. Tetapi ini aku sudah menjadi seorang
manusia baru maka aku hanya akan membeberkan perbuatan2 jahat dari Ih Thian-heng
saja agar saudara Ih suka mendengarkan".."
Kemudian Kim Loji memandang sejenak ke arah Han Ping lalu beralih memandang ke
langit baru melanjutkan kata-katanya, "Hari ini berantung dapat bertemu dengan anak
Ping. Tugas untuk membalas dendam itu, seluruhnya terletak di bahu anak Ping. Sekalipun
kelak apabila mendengar, Sin-ciu-it-kun Ih Thian-heng akan mencincang tubuhku, aku
tetap puas!"
Kata-kata itu seperti ditujukan kepada Han Ping pun kepada Ih Seng dan seperti juga ia
sedang berkata seorang diri. Sikap Kim Loji memancarkan rasa rawan dan ketakutan. Seolah2
setelah membocorkan rahasia itu, Sin-ciu-it-kun pasti akan mencarinya.
Melihat sikap Kim Loji yang gelisah itu, Ih Seng merasa heran. Pikirnya, "Orang
menyohorkan Kim Loji itu pandai bersilat lidah dan luas pergaulannya. Maka pada setiap
tempat dan saat, banyak orang yang suka mengalah kepadanya. Tetapi mengapa saat ini
dia tampak begitu ketakutan sekali?"
"Saudara Ih dan anak Ping, mari kita cari tempat yang sepi untuk bicara. Akan
kuceritakan dengan jelas semua peristiwa yang menyangkut pembunuhan Ih-heng
kepadamu!" ia terus berputar diri dan mendahului berjalan ke muka.
Han Ping dan Ih Seng segera mengikutinya. Tetapi diam-diam Ih Seng memaki orang
she Kim yang dianggapnya banyak petingkah karena bukankah tanah pekuburan itu sudah
cukup sunyi"
Setelah mencapai puncak, buru-buru Kim Loji duduk bersemedhi memulangkan tenaga.
Ia baru saja sembuh, berjalan tak berapa lama ia sudah merasa letih sekali.
Han Ping dan Ih Seng pun duduk di samping Kim Loji. Memandang ke sekeliling
penjuru, dapatlah ia menikmati pemandangan alam sampai beberapa li jauhnya. Ternyata
puncak di situ. merupakan puncak tunggal yang tidak berhuhungan dengan puncak
pegunungan lain.
Diam-diam Han Ping heran, "Gunung ini jarang pepohonan sehingga dapat melihat
keadaan empat-penjuru. Mengapa paman mengatakan tempat ini sunyi."
Beberapa saat kemudian Kim Loji membuka mata, ujarnya, "Saudara Ih dan anak Ping.
Kalian tentu heran mengapa aku memilih tempat ini. Dari empat penjuru orang mudah
mengetahui kehadiran kita di sini."
"Maaf, paman, pandanganku picik hingga tak mengerti maksud paman. Harap paman
suka memberi keterangan," kata Han Ping.
Kim Loji menghela napas, katanya, "Lahiriyah Sin-ciu-it-kun Ih Thian-heng memang
berlapang dada. Tetapi diam-diam ia mempersiapkan anakbuahnya untuk mendengardengar
berita. Maka walaupun jarang keluar ke dunia persilatan, ia tetap dapat
mengetahui tentang gerak gerik dunia persilatan. Diam-diam ia mengirim anakbuahnya
kemana-mana. Dan anakhuah itu dipilihnya dengan cermat sekali serta secara rahasia.
Kecuali dia sendiri, tak mungkin terdapat orang kedua yang tahu. Memang yang tak kenal
tentu menganggap Ih Thian-heng itu seorang ramah tamah dan berbudi luhur. Tetapi
orang yang tahu, menganggap dia seorang durjana yang ganas sekali sehingga orang
tentu ketakutan "."
Kembali Ih Seng kerutkan alis menyahut, "Saudara Kim hendaknya jangan memfitnah
orang . . tiba-tiba ia hentikan kata-katanya karena melihat wajah Han Ping membengis
marah. "Karena sudah lama berkecimpung dalam dunia persilatan, saudara Ih tentu tahu siapa
pendekar dari gunung Lam-gak itu," tanya Kim Loji.
Sejenak merenung, menyahutlah Ih Seng, "Mengenai ketiga tokoh dari gunung Lamgak
itu, aku hanya mendengar dari orang. Sayang belum beruntung untuk menemui
mereka bertiga!"
"Dikuatirkan saudara tak mungkin berjumpa lagi. Ketiga pendekar Lam-gak itu sudah
dua orang yang meninggal. Hanya aku seorang yang masih hidup". " kata Kim Loji
dengan mengucurkan beberapa tetes airmata.
Melihat sikap yang ber-sungguh-sungguh dari Kim Loji itu, diam-diam mulailah Ih Seng
menaruh kepercayaan.
"Harap saudara Kim suka menuturkan apa sebabnya ketiga Pendekar gunung Lam-gak
itu sampai dibunuh Ih Thian-heng. Jika benar dengan kenyataannya, akan kusiarkan
perbuatannya jahat itu ke dunia persilatan "."
Kim Loji gelengkan kepala, "Bukan hendak merendahkan saudara. Tetapi orang-orang
sebagai kita ini, jika hendak menyiarkan kebusukan Ih Thian-heng, tentu takkan dipercaya
oleh orang. Karena Ih Thian-heng sudah berakar dalam hati orang persilatan sebagai
seorang tokoh yang bersih"."
"Bukan begitu," bantah Ih Seng, "memang kalau diukur kepandaian, walaupun tambah
lagi beberapa orang, tetap kita bukan tandingan Sin-ciu it kun. Tetapi dengan menyiarkan
tentang perbuatannya di dunia persilatan, sekurang-kurangnya kaum persilatan".."
"Ih Thian-heng boleh dikata menguasai dunia persilatan. Setiap gerak-gerik dalam
dunia persilatan tentu tak lepas dari pendengarannya. Bukan membesar2kan kemampuan
orang. Sekalipun fihak It kiong, Ji-koh dan Sam-poh mengirim jago2 simpanannya, tentu
diketahuinya juga. Adanya kupilih puncak gunung ini, tujuanku untuk menghindari
pendengarannya. Dengan berada di tempat yang bebas melibat empat penjuru ini,
dapatlah kita melihat kedatangan seseorang!" tukas Kim Loji.
Ih Seng memuji kecerdikan Kim Loji.
Karena sampai begitu lama belum juga menuturkan tentang kematian orangtuanya,
Han Ping segera mendesak.
Kim Loji menengadah memandang ke langit dan menghela napas panjang. Rupanya ia
tengah mengenangkan peristiwa yang lampau. Beberapa saat kemudian, baru ia mulai
berkata dengan rawan, "Peristiwa itu terjadi pada 20 tahun yang lalu. Pada masa itu
kiong, Ji-koh dan Sam-poh, baru saja muncul di dunia persilatan. Aku dan toako sudah
mengangkat nama di daerah Kang-lam. Kita sudah mendengar nama, tetapi sampai sejauh
itu belum bertemu muka".."
Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan pula, "Peristiwa puluhan tahun itu, meskipun
sadah lewat tetapi kalau hendak diceritakan, memang sukar. Harap anak Ping jangan
menyesali."
"Silahkan paman menutur, aku tentu akan mendengarkan dengan khidmat," kata Han
Ping. "Kira-kira dua puluh tahun berselang, di Heng-yang muncul seorang busu (ahli) yang
mengangkat dirinya dengan gelar Golok-menggetarkan tiga-propinsi Pek Ih-thian. Dia
telah mengundang seluruh kaum persilatan untuk ikut serta dalam sayembara mencari
menantu untuk puterinya Pek Bang-cu. Seorang gadis yang cantik jelita sekali. Bermula
yang datang memang tidak banyak. Namun sebulan kemudian, mulai membanjirlah
pendatang2 yang hendak ikut dalam sayembara itu. Dalam sayembara pilih-menantu
acaranya ialah bertanding kepandaian siapa yang dapat memenangkan jelita itu akan
dijadikan suaminya. Dua bulan lamanya, tiada seorangpun mampu mengalahkan jelita itu.
Kala itu akupun kebetulan berkelana. Mendengar berita itu, timbullah kegairahanku. Buruburu
aku menuju ke Heng-yang. Ketika tiba di panggung sayembara, hari sudah
menjelang sore. Saat itu Ing-heng tampil ke panggung berhadapan dengan Pek Bang-cu.
Mereka telah bertempur sampai 300 jurus tetapi belum ada yang kalah dan menang.
Sorenya pertandingan itu akan dilanjutkan lagi"."
Kim Loji berbenti sejenak untuk memandang wajah Han Ping. Tetapi anakmuda itu
tenang2 saja. Kim Loji melanjutkan ceritanya pula, "Ketika pertandingan dibuka kembali,
entah bagaimana Ing-heng datang terlambat. Aku segera tampil ke atas panggung. Tetapi
Pek Bang-cu menolak karena sudah terikat janji dengan Ing-heng. Aku tak puas. Kubakar
hatinya dengan kata-kata yang membuatnya marah dan akhirnya mau juga bertempur.
Tetapi sampai petang hari, tiada yang kalah dan menang "."
Saat itu. Han Ping bendak bertanya tetapi entah bagaimana ia batalkan maksudnya dan
hanya batuk-batuk saja.
Dengan bersemangat, Kim Loji melanjutkan, "Kutantang Pek Beng-cu untuk
melanjutkan pertandingan itu besok pagi hingga sampai ada yang kalah. Tetapi tanpa
menyahut, ia terus turun panggung. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali aku sudah datang
ke gelanggang untuk menantangnya. Tetapi begitu dia muncul, belum sempat aku naik ke
atas panggung, seseorang sudah mendahului naik"."
"Bukankah orang itu guruku?" tanya Han Ping.
"Kala itu kami bertiga belum kenal mengenal. Orang yang naik ke panggung itu meniru
siasatku. Dia menggunakan kata-kata yang membangkitkan amarah si jelita. Dan akhirnya
mereka pun bertempur. Ah, memang aneh sekali peristiwa itu. Merekapun bertempur
dengan berimbang ".."
"Akupun mendengar tentang sayembara pilih menantu di Heng-yang itu," tiba-tiba Ih
Seng menyeletuk, "tetapi karena ada urusan maka tak dapat mengunjungi ".."
Kim Loji keliarkan pandang matanya ke empat penjuru lalu menyambung lagi, "Sore
harinya, aku sudah menunggu di bawah panggung. Tetapi begitu Pek Bang-cu muncul,
tiga sosok bayangan segera serempak loncat ke atas panggung ?""
"Di antara ketiga orang itu salah seorang tentulah saudara Kim sendiri, bukan?" Ih Seng
tertawa. Wajah Kim Loji tampak serius. Ia tak memghiraukan omongan Ih Seng dan
melanjutkan. "Selain aku, kedua orang itu adalah toako Ji Ing dan sam-te Nio Siu. Itulah
pertama kali Tiga Pendekar gunung Lam-gak bertemu muka!"
"Bagaimana sikap Pek Bang-cu menghadapi ketiga penantang itu?" tanya Ih Seng.
"Kami bertiga tidak saling kenal tetapi serempak loncat ke atas dan serempak pula tiba
di atas panggung. Akhirnya kita berhantam sendiri."
Melihat Han Ping tartarik hati, Ih Seng cepat menyelutuk, "Kalian bertiga belum saling
kenal, tantu tak mau mengalah. Lalu bagaimana cara kalian bertempur?"
Jawab Kim Loji, "Kami berkelahi menurut kepentingan masing2 sendiri. Engkau
menjotos aku, aku menendang dia, dia menghantam engkau. Pendek kata kami bertiga
berkelahi secara acak2an!"
"Ho, benar-benar suatu peristiwa yang jarang terjadi," seru Ih Seng, "sayang saat itu
aku tak dapat hadir."
"Melihat cara berkelahi acak2an tanpa aturan itu, sekalian hadirin marah. Entah siapa
yang segera memaki di bawah panggung, "Kalau kalian hendak bertempur sampai mati,
mengapa tak mencari tempat yang sepi saja tetapi mengacau di pangung sayembara sini?"
Walaupun mendengar dan mengakui makian itu memang tepat, tetapi karena sedang
terlibat dalam pertempuran sengit, kami tak dapat berhenti lagi. Toako Ji Ing tiba-tiba
lepaskan dua buah pukulan hebat untuk mendesak mundur aku dan Sam-te. Kemudian ia
pun menyurut mundur seraya berkata, "Kalau mau bertempur baiklah kite cari tempat
agar dapat bertempur mati2an. Siapa menang nanti berhak untuk naik ke panggung sini
lagi!" "Aku dan Sam-te menerima tantangannya itu. Kami bertiga segera turun panggung dan
menuju ke sebuah tempat sunyi di luar kota. Di situ kami tetapkan acara. Akan diadakan
undian. Undian ini akan menghasilkan dua orang yang akan bertempur dulu sampai 300
jurus. Kalau ada yang menang, pemenangnya akan diadu dengan orang ketiga. Tetapi
kalau dalam 300 jurus tiada yang kalah dam menang, pertandingan dihentikan dan
diadakan undian lagi. Hasilnya, dua orang akan bertempur tagi. Siapa menang akan diadu
dengan orang ketiga?""."
"Ah, tidakadil," seru Ih Seng, "kalau dalam babak pertama tak ada yang menang lalu
diundi lagi dan kebetulan jatuh pada kedua orang itu lagi, bukankah mereka akan tele-tele
kehabisan tenaga" Bukankah enak saja orang ketiga itu nanti akan menempurnya?"
"Sekalipun kurang adil, tetapi rasanya tiada lain cara yang lebih baik," jawab Kim Loji,
"harus diketahui bahwa kepandaian kita bertiga hampir berimbang. Jika mencari cara yang
adil, kemungkinanan takkan ada penyelesaiannya. Entah sampai kapan pertandingan itu
akan habis. Dengan cara undian ini kecuali mengadu kesaktian juga mengadu
peruntungan nasib. Siapa yang menarik undian harus bertempur dulu, memang harus
menerima nasib."
"Lalu siapapakah yang beruntung menarik undian kosong itu" " tanya Ih Seng.
Kim Loji termenung beberapa saat seolah-olah mengenangkan peristiwa itu. Kemudian
baru ia berkata pula, "Pertama adalah toako dan sam-te yang kena undian itu. Mereka
segera bertempur. Bermula mereka melancarkan serangan secepat mungkin untuk
merebut kemenangan. Tetapi lewat 200 jurus kemudian, Sam-te terdesak. Hanya dapat
membela diri tak mampu balas menyerang. Kebalikannya serangannya toako makin gencar
dan seru. Setelah 300 jurus, Sam-te sudah kehabisan tenaga. Jika harus berkelahi lagi
dalam 30 jurus saja, tentu sudah rubuh di tangan toako."
Ih Seng tersenyum, "Benar, ketika toako-mu bertempur dengan Pek Bang-cu". "
Sebenarnya ia hendak mengatakan bahwa toako itu memang sengaja mengalah pada
Pek Bang-cu. Tetapi karena teringat bahwa toako itu adalah ayah Han Ping, Ih Seng tak
mau melanjutkan kata-katanya.
Kim Loji memandang Ih Seng, serunya, "Bukankah engkau bendak mengatakan bahwa
toakoku itu menang sengaja tak mau mengeluarkan kepandaian sesungguhnya di atas
panggung sayembara?"
"Benar, aku .. . "
Di luar dugaan Kim Loji gelengkan kepala, katanya, "Toako seorang yang lapang dada,
tak mungkin dia mau menggunakan siasat semacam itu. Sesungguhnya kepandaian nona
Pek itu lebih unggul dari aku dan Sam- te. Hanya dengan toako, Baru dia bertanding
berimbang. Adalah karena kurang pengalaman bertempur dan kuatir akan melukai aku
dan sam-te, maka nona Pek tak mau menyerang secara gegabah. Dia hanya mendesak
supaya kami berdua mengaku kalah sendiri dan mundur."
"Benar juga," kata Ih Seng, "lalu bagaimana hasilnya undian yang kedua itu?"
"Dalam undian kedua itu ternyata jatuh pada aku dan toako yang harus bertempur.
Kami berduapun menetapi perjanjian. Setelah 300 jurus baru berhenti. Dalam
pertempuran itu toako tetap unggul. Walaupun sudah diperas tenaganya dalam babak
pertama tadi, tetapi dia tetap mampu menghadapi aku dengan berimbang. Dengan begitu
jelas kepandaian toako itu lebih unggul dari aku dan sam-te."
"Pertandingan kedua itu, berkesan dalam hatiku dan sam-te. Walaupun sam-te tak
mangatakan apa-apa kepadaku, tetapi kami diam-diam mengakui bahwa toakolah yang
lebih unggul. Sekalipun begitu, pertandingan tetap dilanjutkan. Karena diam-diam timbul
kesatuan pendapat padaku dan sam-te, bahwa kita berdua harus bersatu untuk
mengerubut toako. Caranya dengan bergilir menempurnya. Pertempuran berlangsung
mulai sore hingga sampai keesokan harinya. Toako terus menerus berkelahi sedang aku
dan sam-te dapat bergiliran mengaso. Dengan begitu toako menderita kerugian sekali."
"Rupanya toakomu itu memang lebih unggul berlipat ganda dari kalian. Kalau tidak
tentu sudah jatuh," kata Ih Seng.
"Persekutuan secara diam-diam di antara aku dan Sam-te itu telah diketahui toako,"
kata Kim Loji, "tetapi dia diam saja. Baru pada keesokan hari menjelang fajar, maka ia
berkata kepada kami berdua, "Kepandaian nona Pek itu lebih hebat dari kita. Adalah
karena kurang pengalaman dan hatinya baik, nona Pek tak mau melukai kita dan memberi
kesempatan sampai 300 jurus. Kemarin cara kita bertempur acak-acakan di atas panggung
itu, sesungguhnya telah menimbulkan kemarahan nona Pek. Jika sekarang kita tak tahu
diri dan masih nekad hendak maju dalam sayembara itu, tentulah akan rubuh di tangan
nona itu". "
"Hai, ada yang mendatangi kemari," tiba-tiba Han Ping berseru.
Kim Loji dan Ih Seng berpaling. Ah, benar, memang dari jauh tampak dua sosok
bayangan tengah berlari-lari menuju ke puncak situ. Rupanya kedua orang itu tahu
tentang hadirnya Kim Loji bertiga di puncak gunung.
Tiba-tiba Kim Loji mempercepat ceritanya, "Se-telah memberi peringatan itu, toako
segera berputar diri dan pergi. Tetapi aku dan Sam-te tak mau mendengarkan nasehat
toako. Kami berdua balik ke panggung. Sam-te terus loncat ke atas panggung. Tanpa
banyak bicara, nona Pek segera menyambut dengan serangan. Kira-kira 70-an jurus
kemudian, nona Pek gunakan ilmu tutukan jari Pi-peh-ci, melukai Sam-te. Sejak
mendirikan panggung pertandingan pilih jodoh, baru pertama kali itu nona Pek melukai
orang dengan sungguh-sungguh. Samte terluka parah. Ia muntah darah dan terkapar di
papan panggung. Karena sudah mempunyai ikatan batin dalam persekutuan menghadapi
toako tadi, entah bagaimana, aku merasa wajib menolong sam-te". "
"Cepat aku loncat ke atas panggung untuk menolong sam-te. Tetapi secepat itu nona
Pek sudah menyongsong dengan serangan yang ganas. Tampaknya ia marah sekali
kepadaku. Aku tak sempat bertanya lagi kepadanya. Terpaksa akupun mengeluarkan
seluruh tenaga untuk menghadapinya. Aku dan nona Pek segera terlibat dalam
pertempuran maut. Duaratus jurus kemudian, aku pun rubuh terkena jari sakti Pi-pehci"."
Jilid 14 : Terluka bersamaan
Nonton adu harimau
Han Ping loncat menghindar. Demikian pun Ih Seng dan Kim Loji. Sambil kerahkan
tenaga-dalam, Han Ping siap menghantam, Tetapi ketika memandang kemuka, ternyata
hanya seekor anjing hitam yang besar, mulutnya menggondol sehelai kertas putih.
Seekor anjing yang luar biasa besar dan tegapnya. Sepintas pandang menyerupai


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seekor harimau.
"Ah, Pengemis-sakti Cong To suruh anjingnya menyampaikan surat," Kim Loji
tersenyum. Anjing itu tiba-tiba ngangakan mulutnya dan kertas itupun jatuh ke tanah. Han Ping
memungutnya. "Lekas datang kemari, lihat keramaian!" tertanda Pengemis tua.
Demikian bunyi surat itu.
Ih Seng berpaling, tertawa, "Pengemis sakti Cong To angkuh sekali. Kaum persilatan
yang dipandang mata olehnya, hanya beberapa gelintir orang saja, Sungguh tak kira kalau
ia bersahabat dengan saudara!"
Han Ping tertegun, serunya, "Apa katamu?"
"Eh, bukankah saudara sudah meluluskan aku mengikuti saudara sebagai pelayan".."
"Kapan aku mengatakan begitu?" Han Ping terbeliak.
Tiba-tiba wajah Ih Seng berobah seketika, serunya, "Ih Seng sudah berulang kali
menerima budi pertolongan saudara. Agar dalam hidupku dapat membalas budi maka aku
rela menjadi pelayan saudara. Jika saudara menolak, Ih Seng benar-benar tak ada muka
lagi hidup dalam dunia persilatan. Saudara Ji, saudara Kim, harap menjaga diri baik-baik,
Ih Seng mohon diri?"" mencabut kipas besi dan pedang peraknya, ia buang ke tanah lalu
ngeloyor pergi.
Han Ping buru-buru memungut senjata itu lalu berseru nyaring-nyaring, "Saudara Ih,
mengapa tak engkau bawa senjatamu ini?"
Ih Seng berpaling, tertawa gelak2. Sikapnya amat jantan. Setelah puas tertawa, baru ia
berseru dingin, "Sejak saat ini aku hendak membuang pedang dan tinggalkan dunia
persilatan. Aku akan melewatkan sisa hari tuaku di sebuah tempat yang sunyi. Perlu apa
kubawa senjata lagi?"
"Ping-ji, janganlah terlalu kukuh," tiba-tiba Kim Loji menyelutuk, "saudara Ih seorang
yang keras hati. Apa yang diucapkan tentu dilakukan. Kalau berniat hendak ikut, tentu
akan melayanimu dengan sungguh. Jika engkau masih terikat dengan pandangan2 umum,
berarti engkau mengecewakan kesungguhan hati saudara Ih!"
Terharu Han Ping mendengar nasihat itu. Dengan berlinang-linang airmata, ia
membawa kipas dan pedang ke tempat Ih Seng. Katanya dengan nada serius, "Ji Han-Ping
baru pertama kali keluar dari kandang dengan membawa dendam kesumat. Dan musuhku
adalah tokoh Sin-ciu-it-kun yang termasyhur. Dendam itu entah dapat atau tidak kubalas,
tetapi, betapapun halnya, aku tetap berusaha untuk menunaikan kewajibanku, Jika
saudara Ih ikut aku, tentu lebih banyak bahayanya daripada selamat."
Ih Seng tertawa nyaring, "Seumur hidup, belum pernah aku menaruh rasa hormat
kepada orang. Tetapi sekali aku kagum, biarpun mati aku ikhlas ikut padanya. Jika tiada
saudara yang menolong, Ih Seng tentu sudah jadi mayat dalam makam tua itu."
"Ping-ji," seru Kim Loji dengan bersungguh, "kcsungguhan hati saudara Ih, jika engkau
tetap menampik, tentu akan mengecewakan hatinya. Lekaslah engkau terima saja!"
Sambil menyerahkan pedang dan kipas, berkatalah Han Ping, "Atas budi kecintaan
saudara, kuhaturken terima kasih sekali. Tetapi kita harus bersahabat saja dengan sebutan
saudara barulah aku meluluskan!"
"Ini?"" baru Ih Seng hendak membantah, Kim Loji sudah menyelutuk, "Ah, bagi kaum
persilatan, sebutan itu tidaklah menjadi soal. Saudara Ih pun jangan terlalu kukuh!"
Sambil menyambuti kipas dan pedang, berkatalah Ih Seng dengan serius, "Begini
sajalah! Aku tetap memanggil Kongcu, untuk membedakan kedudukan kita. Dan kongcu
hendak memanggil apa kepadaku, terserah saja."
Kim Loji tertawa gelak2, "Ya, ya, begitupun baik. Hal itu tergantung dari keinginan
masing2. Tetapi aku tetap berbahasa saudara dengan engkau!"
Tiba-tiba anjing besar itu menyalak lalu berputar diri dan lari. Beberapa tombak
jauhnya, binatang itu berhenti.
Kim Loji kerutkan alis, memandang Han Ping, ujarnya: Dalam dunia persilatan, yang
berani memusuhi Sin-ciu-it-kun, hanyalah pengemis sakti Cong To seorang. Dia seorang
yang angkuh sekali. Sungguh mengherankan dia mau bersahabat dengan engkau. Kalau
dia khusus mengirim surat panggilan, tentulah terjadi suatu urusan penting. Hayo kita ke
sana!" Demikianlah ketiga orang itu segera mengikuti anjing besar itu. Setelah melintasi tiga
buah puncak gunung, tibalah mereka di sebuah lembah yang sunyi. Di bawah penerangan
api, tampak si Pengemis-sakti Cong To tengah duduk menghadapi tembok. Tangannya
mencekal sekerat paha ayam. Sedang anjing hitam yang besar itu tengah mengibaskibaskan
ekor dan memutarinya. Mulutnya menganga, ludahnya nyerocos keluar.
Walau Han Ping bertiga tiba di belakangnya, tetap pengemis itu seperti tak mengetahui.
Terpaksa Han Ping melangkah ke muka pengemis itu. Ternyata pengemis itu sedang
masak gulai ayam dalam wajan yang ditaruh di atas sebuah api tungku. Bau gulai ayam
yang harum bertebaran menyambar hidung.
Seketika Han Ping terasa lapar. Tetapi dia sungkan untuk meminta. Sambil menelan air
liur, ia memberi hormat kepada pengemis sakti itu, "Lo-cianpwe mengirim surat
memanggil aku, entah hendak memberi petunjuk apa kepadaku?"
Sambil menggerogoti paha ayam dan mengunyahnya dengan lahap, Cong To
menyahut, "Bukankah telah kutulis jelas supaya engkau kemari menyaksikan keramaian?"
Karena mulutnya penuh dengan daging ayam, maka bicaranyapun tak lampias dan lucu
sekali. Han Ping tersenyum, "Entah keramaian apakah yang lo-cianpwe hendak suruh aku
melihatnya?"
Sambil nyamuk2 mengunyah daging, Cong To menyahut, "Panjang sekali kalau
diceritakan. Tetapi pendeknya tentu menariklah!"
Han Ping berputar tubuh dan memanggil kedua kawannya yang duduk di bawah
karang. Kemudian setelah Cong To selesai makan dan memadamkan api tungku, barulah
Han Ping menghampiri lagi, tanyanya, "Harap lo-cianpwe suka memberitahukan
pertunjukan apakah yang lo-cianpwe suruh aku menyaksikan itu".."
Cong To memandang langit, sahutnya, "Sekarang sudah waktunya, mari kita
berangkat!"
Ia berbangkit dan menuju ke arah utara. Han Ping masih hendak bertanya tetapi
dicegah Kim Loji.
Setelah melintasi sebuah puncak gunung, Cong To mempercepat langkahnya. Yang
dilaluinya adalah hutan belantara yang jarang dijelajahi orang, Mereka gunakan ilmu lari
cepat. Cong To yang berjalan paling depan, makin pesat larinya dan akhirnya seperti terbang
saja ia lari. Karena kepandaiannya sudah bertambah maju pesat, Han Ping tak menemui
kesukaran untuk mengimbangi pengemis itu. Tetapi Kim Loji yang belum sembuh lukanya,
tampak mandi keringat dan terengah-engah napasnya.
Sambil berpaling ke arah kedua kawannya itu, Han Ping kasihan dan minta supaya
Cong To suka kendorkan larinya.
Cong To tiba-tiba berhenti memandang ke langit, sahutnya, "Sekarang masih ada
waktu, kita dapat beristirahat di sini dulu."
Ia terus duduk bersila di tanah dan pejamkan mata bersemedhi.
Kim Loji dan Ih Seng yang tiba beberapa saat kemudian, sibuk mengeringkan keringat
yang membasahi sekujur tubuh mereka. Kemudiau duduk beristirahat.
Sambil duduk berhadapan dengan Cong To, Han Ping bertanya pula, "Keramaian
apakah yang sesunggubnya lo-cianpwe hendak suruh aku menyaksikan itu?"
Cong To membuka mata dan tersenyum. "Pertunjukan itu hanya kita berdua saja yang
dapat menyaksikan. Kedua orang itu lebih baik jangan ikut."
Mendadak Kim Loji membuka mata dan memandang ke sekeliling, lain menghela napas,
"Apakah Cong lo-cianpwe hendak melihat Sin-ciu-itkun?"
Mendengar nama itu seketika mendeburlah darah Han Ping, "Apa?" serunya tanpa
dapat menguasai diri lagi.
Melihat pemuda itu tegang, heranlah Cong To dibuatnya, serunya, "Eh, bagaimana
budak ini" Apakah engkau kenal dengan Sin-ciu- it-kun?"
Dengan menggigit gigi, Han Ping menyahut tandas, "Dia adalah musuh besarku!"
Wajah Cong To berobah serius. Ia mengambil buli2 arak yang tergantung di
punggungnya dan meneguknya tiga kali. Katanya perlahan, "Seumur hidup, pengemis tua
ini tak suka bertanya tentang urusan orang. Tetapi melihat keadaanmu begitu tegang,
hatiku tertarik. Bukan hendak membesarkan keunggulan orang. Tetapi dengan
kepandaianmu sekarang ini, sukar kiranya menghadapi dia. Apalagi dia amat cerdik dan
pandai sekali. Dengan licin ia dapat mengelabuhi mata seluruh dunia persilatan?"."
Menutur sampai di sini, pengemis termasyhur itu berhenti menghela napas. Kemudian
dengan rawan berkata, "Sungguh menggelikan sekali kaum persilatan itu. Mereka
menyanjung- nyanjungnya setinggi langit dan menghaturkan gelar Sin-ciu Itkun
kepadanya. Baik partai2 persilatan besar maupun kecil, golongan Putih maupun Hitam,
semua mengindahkan kepadanya. Perselisihan apapun juga, apabila Sin-ciu It"kun
mengatakan sepatah kata tentu beres. Pengemis-tua ini walaupun tahu bahwa dia seorang
yang licin, tetapi belum dapat menemukan jejaknya dan belum dapat bukti untuk
kusiarkan kepada dunia persilatan. Ah, mungkin dalam dunia ini hanya pengemis tua ini
yang menentangnya! Oleh karena hanya seorang diri, maka terpaksa membiarkan dia
bersimarajalela di dunia persilatan. Tigapuluh tahun bukanlah waktu yang singkat, dia
sudah dapat membentuk kaki tangan di dunia persilatan."
Tiba-tiba ia mengangkat buli2 merah dan meneguknya pula, "Sayang beribu-ribu kaum
persilatan, tiada seorangpun yang tahu urusan ini!"
"Dengan kewibawaan lo-cianpwe dalam dunia persilatan, jika lo-cianpwe mau
mencanangkan bantuan untuk menyingkap keburukan Ih Thian-heng".."
Pengemis-sakti Cong To tertawa panjang dan memotong kata-kata Han Ping, "Seumur
hidup pengemis tua ini tak pernah merugikan orang. Tak pernah mau membunuh orang
baik. Tetapi karena menentang Sin-ciu It-kun, maka sampai putus hubungan dengan
beberapa orang sahabat. Pengemis tua ini pun memikirkan kepentingan orang lain. Tak ku
hiraukan soal itu. Tetapi ah, rupanya alam telah membekali watak kepadaku untuk
mengurus orang. Dan watak itu tak dapat kurobah lagi. Oleh karena hal itu, maka ikatan
permusuhanku dengan Ih Thian-heng makin mendalam sehingga sampai memuncak pada
tarap "tidak dapat hidup bersama". Menurut peribadinya, seharusnya dia tentu sudah
melenyapkan diriku, Tetapi rupanya dia memang sengaja memperlambat hal itu sehingga
mencelakai diri pengemis tua ini."
Han Ping memang amat mengindahkan kepada pengemis sakti itu. Mendengar
ucapannya yang begitu perwira, ia menatap pengemis itu, ujarnya, "Walaupun dunia
persilatan penuh dengan bahaya, tetapi Kebenaran tetap abadi. Salah atau Benar, pada
suatu saat tentu akan tersingkap. Lo-cianpwe menjadi pelopor dari Kebenaran, adalah
suatu tindakan yang perwira. Adalah para sahabat dapat mengerti atau tidak, tetapi untuk
mengindahkan ucapan lo-cianpwe, bukanlah suatu hal yang hina!"
Kembali pengemis sakti itu meneguk buli2 araknya dan menghela napas pelahan. Pada
saat hendak membuka mulut, Kim Loji sudah mendahului, "Kiranya tak perlu Cong locianpwo
menyesal dan penasaran. Tigapulah tahun lamanya Sin-ciu-It-kun telah
mengelabuhi mata sekalian kaum persilatan dengan perbuatan yang perwira, sudah tentu
dalam waktu yang singkat sukar untuk merobah pandangan dunia persilatan. Tetapi"."
Kim Loji tertawa mengekeh lalu memandang ke arah Han Ping, ujarnya, "Jika tak ingin
diketahui orang, selain tidak berbuat apa-apa dan membiarkan Ih Thian-heng bertindak
merajai dunia persilatan, rasanya tak ada lain jalan. Tetapi aku Kim Loji, selama masih
mempunyai napas, tentu akan mempersembahkan tulang2 tua ini untuk berusaha
mengungkap kejahatannya dan menyiarkan ke seluruh dunia. Pada saat itu, ingin
kuketahui bagaimana reaksi kaum persilatan. Percayalah, bahwa semua apa tak mungkin
lari dari Kebenaran dan Keadilan!"
Pengemis-sakti Cong To mengusapkan jarinya ke mulut yang basah dengan arak,
kemudian berseru, "Baik, tak kusangka engkau Kim Loji juga manusia yang punya hati.
Dengan begitu pengemis tua ini tak seorang diri!"
Ia tertawa gelak2.
Kim Loji menghela napas pelahan, "Sekalipun mempunyai kemauan untuk membongkar
kejahatan ini, tetapi tenagaku amat terbatas. Bertahun-tahun, kutelan hinaan dan kuderita
segala derita batin, adalah karena hendak mengintai segala sepak terjang Ih Tnian-hang
yang busuk. Pada saatnya, hendak kubongkar segala kejahatannya kepada dunia
persilatan. Kalau dapat membuka kedoknya, biarpun hancur lebur aku rela menerima
kematian!"
Oleh karena berhadapan dengan beberapa cianpwe, Ih Seng terpaksa menguasai diri.
Setelah mendengar ucapan Kim Loji yang jantan, timbullah semangatnya. Setelah
berbatuk-batuk, ia berkata, "Tempo hari ketika saudara Kim menceritakan tentang
kepalsuan tingkah laku Ih Thian-heng, kuanggap saudara Kim memfitnah. Aku tak percaya
dan masih membela Ih Thian-heng. Tetapi setelah mengetahui keadaan yang sebenarnya,
aku pun penasaran. Apalagi setelah mendengar penjelasan dari Cong lo-cianpwe, makin
teguhlah hatiku. Walaupun kepandaianku masih rendah, tetapi aku bersedia mati apabila
tenagaku diperlukan!"
Pengemis-sakti Cong To meneguk araknya lagi lalu tunjukkan jempolnya, "Bagus,
engkau hebat saudara Ih. Sahabat semacam engkau, kuterima dengan sepuluh jari ?""
Tiba-tiba anjing hitam menggonggong pelahan dan pengemis saktipun segera
berbangkit, "Ah, sudah waktunya, jangan sampai terlambat menyaksikan pertunjukan itu!"
Dia terus mengajak berangkat lagi. Tetapi kali ini ia berjalan lambat, seolah-olah takut
jejaknya diketahui orang.
Setelah melintasi beberapa gerumbul hutan kecil, dalam keremangan malam mereka
melihat sebuah gedung besar yang menjulang tinggi.
Han Ping tertegun. Ia pernah datang ke rumah itu bersama kedua nona Ting. Waktu ia
hendak mengatakan, pengemis sakti buru-buru mencegahnya. Kemudian berpaling kepada
Kim Loji dan Ih Seng, "Walaupun malam ini kita akan menyaksikan pertunjukan, tetapi
acara yang utama akan dihidangkan nanti tengah malam. Engkau dan saudara Ih
sebaiknya mencari tempat bersembunyi dulu. Aku bersama budak ini akan masuk melihatlihat!"
Rupanya Kim Loji dan Ih Seng menyadari kepandaiannya kalah dengan kedua orang
itu. Mereka mengangguk dan bersembunyi dalam semak.
Tiba-tiba Cong To berpaling ke arah semak dan menghampiri. "Apa saja yang terjadi
dalam gedung itu, harapan kalian jangan masuk. Jika sampai tengah malam aku belum
kembali, pergilah kalian 10 li jauhnya ke sebelah utara dan tunggu di sebuah kuil di situ."
Tanpa menunggu jawaban, tiba-tiba Pengemis-sakti melenting 3 tombak tingginya dan
melayang ke arah gedung besar itu. Baru beberapa loncatan, dia sudah berada 5 tombak
jauhnya. Sedikitpun gerakannya tak mengeluarkan angin suara apa-apa.
Ih Seng menghela napas, "Hari ini baru kusaksikan kesaktian pengemis yang
termasyhur itu. Cukup dengan ilmu meringankan tubuh itu saja, sudah menggetarkan
dunia persilatan"."
Kata-kata itu terputus ketika ia melihat Han Ping beraksi. Dengan sebuah loncatan ke
udara, pemuda itu beberapa kali berjungkir balik dan melayang meluncur turun 4-5
tombak jauhnya. Beberapa kejapan mata, keduanya sudah lenyap dalam kegelapan
malam. Kim Loji membisiki Ih Seng, "Ih Thian-heng luar biasa cermatnya. Siapa tahu di sekitar
tempat ini sudah dijaga ketat."
Baru ia berkata sampai disitu, tiba-tiba terdengar suara angin mendesing. Dari sebatang
pohon yang terpisah tiga empat meter di samping mereka, meluncur sebatang anakpanah
dan menjurus ke arah gedung besar.
Ih Seng memandang tajam ke pohon itu. Tampak di atas dahan pohon itu, teraling oleh
gerumbul daun yang lebat, samar2 seperti bersembunyi seseorang.
"Sin-ciu It-kun benar-benar licin sekali. Sungguh tak terduga bahwa di atas pohon tua
itu, dia memasang orang!" bisik Ih Seng kepada Kim Loji.
"Kita gempur dulu pos yang telah mengetahui tempat persembunyian kita," sahut Kim
Loji. "Tetapi pohon itu empat tombak tingginya. Jika memanjat, musuh tentu mengetahui.
Sukar kita laksanakan. Hanya dengan gunakan senjata gelap kita dapat merubuhkannya!"
kata Ih Seng. Pada saat keduanya sedang berunding, tiba-tiba dari atas pohon itu meluncar sesosok
tubuh. Sabelum orang itu jatuh ke tanah, muncullah seseorang yang cepat menyanggapi
tubuh orang itu. Setelah diletakkan ke tanah, Orang itu terus loncat menyerbu ke dalam
gedung. Orang itu mengenakan jubah panjang, punggung menyanggul sebatang senjata
bengkok, gerakannya tak kalah gesit dengan Pengemis-sakti Cong To.
Ih Seng kerutkan dahi dan menanyakan kepada Kim Loji apakah tahu orang itu. Kim
Loji gelengkan kepala, "Dia luar biasa cepatnya. Dalam malam yang gelap begini, sukar
melihat wajahnya yang jelas."
Sejenak berhenti, ia berkata pula, "Tokoh yang memiliki kepandaian sakti serupa itu,
dewasa ini hanya terbatas jumlahnya Kemungkinan tak lepas dari".."
Tiba-tiba ia hentikan kata-katanya karena saat itu terdengar suara angin mendesir. Ah,
ternyata dua orang lelaki berpakaian ringkas dan bersenjata golok tawto, lari ke bawah
pohon besar itu, lalu berseru, "Hai mengapa lepaskan panah pertandaan" Apakah terjadi
sesuatu?" Sudah tentu tiada jawaban karena penjaga di atas pohon itu sudah ditembak mati
dengan senjata gelap oleh orang yang berkepandaian tinggi tadi.
Kawannya segera menarik orang yang berseru itu diajak menuju ke gedung besar.
Serentak Ih Seng mencabut kipas besinya dan membisiki Kim Loji, "Jika kedua orang itu
sampai melapor ke dalam gedung, tentu berbahaya. Mari kita totok jalan darah mereka!"
Tetapi Kim Loji menolak, "Jangan buru-buru. Tak perlu kita turun taagan, mereka tak
mungkin dapat melintasi tiga tombak jauhnya."
Ih Seng tahu bahwa Kim Loji itu memang luas sekali pengalamannya. Walaupun agak
bersangsi tetapi dia tak mau mendesak dan hanya ingin melihat apakah dugaan Kim Loji
itu benar. Baru ia merenung demikian, tiba-tiba kedua orang itu rubuh ke tanah! Ih Seng
terkesiap dan memuji Kim Loji, "Ah, perhitungan saudara Kim benar-benar tepat sekali!"
Kim Loji hanya tersenyum tak menyahut.
Mendadak sesosok bayangan melesat datang. Samar2 Ih Seng melihat pendatang itu
bertubuh pendek kecil. Tetapi karena gerakannya secepat kilat, ia tak dapat melihat jelas.
Ih Seng hanya bersungut, "Sungguh senjata rahasia yang ganas sekali. Tiada


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengeluarkan suara apa-apa, tahu-tahu korbannya mati. Sudah belasan tahun
berkecimpung di dunia persilatan tetapi belum pernah kusaksikan senjata seganas itu"."
Berhenti sejenak, tiba-tiba ia berseru lagi, "Ah benar, tentulah jarum Hong-wi-ciam dari
marga Ca".."
Tetapi Kim Loji gelengkan kepala, "Jarum Hong-wi-ciam dari marga Ca itu, walaupun
amat beracun sekali, tetapi tak dapat membuat mati dengan seketika. Dan lagi kecuali
ketua marga Ca, yakni Ca-Cu-jing itu, tiada seorangpun yang memiliki kepandaian ilmu
meringankan tubuh yang hebat.
"Apakah pendatang tadi seorang wanita?" tanya Ih Seng.
"Benar, orang lelaki tak mungkin sekecil itu tubuhnya," sahut Kim Loji.
Demikianlah pada saat Kim Loji dan Ih Seng sedang mempercakapkan orang aneh yang
muncul dan membunuh keempat anak buah dari gedung besar itu, adalah Han Ping dan
Pengemis saktipun sudah menghampiri ke dekat rumah gedung itu. Mereka berhenti di
luar gedung dan sembunyi di tempat yang gelap.
"Kepandaian Ih Thian-heng itu memang sukar diukur tingginya," kata Pengemis-Sakti,
"dan juga merupunyai anak buah yang banyak sekali. jika menyadari bahwa jejak kita
telah diketahui mereka, lebih baik kita muncul secara terang-terangan saja, Sin-ciu It-kun
suka berpura-pura. Asal bukan dia yang turun tangan, tentulah tak membahayakan."
Diam-diam Han Ping heran, "Mengapa Pengemis-sakti yang biasanya angkuh ini begitu
berhati2 sekali memuji kepandaian Sin-ciu It-kun. 1a duga Sin-ciu It kun itu memang luar
biasa saktinya.
Melihat Han Ping diam saja, Cong To berkata pula, "Jika tak terpaksa, lebih baik
menghindarkan pertempuran dengan Sin-ciu It-kun".."
Dalam pada berkata itu Cong To dekatkan punggung ke tembok dan membubung naik
lalu meluncur turun ke halaman dalam.
Han Ping empos semangat, loncat melampui pagar tembok itu. Tetapi Cong To pun
sudah lenyap. Setelah sejenak mengawasi ke sekeliling penjuru, Han Ping terus loncat ke
dalam halaman. Pada halaman gedung yang luas itu, kecuali beberapa bangunan rumah
dan gedung bertingkat, hanya ditumbuhi dengan pohon2 jambu dan lain2 pohon yang
besar dan rindang daunnya.
Han Ping tak berpengalaman memnsuki rumah orang pada waktu malam. Maka ia agak
gelisah. Ia bersembunyi di bawah pohon besar dan tak tahu apa yang harus dilakukan.
Angin di malam musim rontok, menghambur berguguran daun kering. Menambah
keseraman suasana gedung.
Beberapa waktu kemudian tiba-tiba Han Ping teringat ketika Ting hong membawanya
masuk ke sebuah halaman gedung. Di situ penuh dengan pot bunga. Begitu pula
kamarnya amat indah sekali. Kesan itu tak mudah dilupakan Han Ping, hingga saat itu ia
pun terbayang lagi.
Setelah pejamkan mata dan diam-diam kerahkan hawa murni, ia meraba tubuh pedang
Pemutus-Asmara. Setelah mengamati keempat penjuru lagi serta menentukan jalanjalannya,
ia se:era gunakan ilmu Pat-poh-teng-gong atau Delapan-langkah-mendaki-udara,
melesat masuk. Setelah melalui sebuah halaman yang luas. tibalah ia di atas sebuah
rumah. Dilihatnya tiap2 pintu kamarnya terkunci. Diam-diam ia heran, pikirnya, "Menilik
keadaannya, gedung ini kosong. Lalu hendak melihat keramaian apakah pengemis sakti
itu?" Tetapi pada lain kilas ia teringat bahwa tokoh semacam Pengemis-sakti Cong To tak
mungkin sembarangan berkata. Dengan kesimpulan itu, ia meninjau letak setiap jalan dan
arah di sekeliling penjuru. Setelah itu ia loncat ke arah timur.
Kembali ia melintasi sebuah halaman dan ah kini ia menemukan halaman kecil yang
penuh dengan pot bunga. Keadaan di situ, masih seindah dahulu. Bunga beraneka warna
menyiarkan bau yang harum, Tetapi pintu kamar, tetap tertutup rapat.
Diam-diam Han Ping menimang, "Kalau tiada didiami orang, tak mungkin keadaan
tempat ini sedemikian bersih dan rapi. Tentulah tempat ini sering didatangi orang."
Cepat ia ayunkan tubuh melayang terus ke muka pintu itu. Sakali dorong, pintu itu
terbuka. Seketika hidungnya terbaur oleh serangkum bedak yang harum baunya.
"Ah, kamar ini tentu milik seorang gadis. Tempo hari bersama Kedua nona Ting itu,
tetapi sekarang ia hanya seorang diri memasukinya. Ah, tak boleh sembarangan masuk
"." ia berdiri tegak di muka pintu dan termenung-menung.
Tiba-tiba terdengar suara napas yang halus dan bunyi selimut tersingkap.
"Siapa itu?" karena terkejut, tanpa tersadar Han Ping menegur.
Tiada jawaban kecuali suara napas halus, macam orang yang tidur nyenyak. Han Ping
sadar kelepasan bicara, buru-buru ia bersembunyi lagi.
Ia merasa, dalam suasana yang begitu sunyi senyap, sedikit suara saja tentu terdengar.
Jika dalam gedung itu terdapat barisan penjagaan rahasia tentu akan keluar
menyerbunya. Ia siap2.
Tetapi sampai beberapa waktu, tak tampak suatu perobahan apapun. Hanya suara
napas orang yang tidur itu masih tetap terdengar pelahan.
Saat itu Han Ping dapat memperhatikan bahwa suara napas itu berasal dari orang
perempuan. Tetapi ia tak berani memastikan apakah orang itu benar-benar tidur nyenyak.
Tiba-tiba terdengar suara orang itu mengeluh. Seperti seorang yang sedang bermimpi
buruk. Kini Han Ping makin yakin kalau orang itu tentu seorang wanita. Pikirnya, "Ah,
kalau kamar ini milik wanita, aku tak boleh tinggal disini!"
Waktu ia hendak melangkah pergi, dari tengah ruangan terdengar suara batuk-batuk
dan derap langkah orang. Terpaksa Han Ping menyurut ke dalam kamar lagi. Dalam
kegelapan, ia memandang ke muka dan melihat sesosok tubuh rebah di atas sebuah
ranjang yang terletak di ujung kamar. Ah ia masih ingat ranjang itu sebuah ranjang kayu
yang dihias dengan ukir-ukiran bunga.
Pendatang itu ternyata menghampiri ke muka kamar. Han Ping gugup. Cepat ia empos
semangat dan melambung ke atas, bersembunyi di atas tiang penglari.
Tepat pada saat ia bersembunyi, pintu pun terbuka dan dua lelaki muncul. Seorang
berpakaian serba ringkas dan yang seorang berjubah panjang. "Apakah budak perempuan
itu ditaruh di kamar ini?" kata orang berjubah panjang.
Orang berpakaian ringkas dan menyanggul pedang itu rupanya takut kepada orang
berjubah panjang. Sambil mengacungkan api, ia menyahut hormat, "Benar, benar. dan
parasnya amat cantik sekali "."
Orang berjubah itu mendengus: Perlu apa banyak bicara. Lekas antar aku kesana!"
Orang berpedang itu segera melangkah masuk dan berhenti di muka ranjang. Sambil
menyuluhi dengan korek ia menyingkap kelambu.
Di atas penglari itu, asal mau berpaling saja Han Ping tentu dapat melihat wajah wanita
di dalam ranjang itu. Tetapi ia tak mau.
Terdengar orang berjubah itu menghela papas dan memuji, "Ah, benar-benar sekuntum
bunga yang cantik jelita bagai bidadari turun ke bumi ".."
Orang berpedang itupun juga menghela napas, sahutnya, "Menghadapi seorang
bidadari begini, sekalipun lelaki yang berhati bajapun tentu akan luluh imannya?"
"Siapa suruh angkau banyak mulut" Apakah engkau sudah bosan hidup!" bentak orang
berjubah itu dengan marah.
Mendengar kedua orang itu memuji-muji, tergeraklah hati Han Ping. Ah, benarkah di
dunia ini terdapat seorang wanita yang sedemikian cantiknya" Tanpa disadari ia
memalingkan muka dib awah sinar penerangan korek api, tampak seorang dara berbaja
ungu tengah rebah di dalam ranjang. Rambutnya terurai, wajahnya seperti bunga tho-hun,
alis melengkung seperti bulan tanggal muda. Hidung mancung menaungi mulut yang
mungil berlapis sepasang bibir merekah delima. Ah benar-benar seorang dara yang luar
biasa cantiknya.
Han Ping terlongong-longong.
Tetapi pada lain kilas ia terkejut. Rasanya ia pernah melihat dara itu. Tetapi ia tak
berani memastikan.
"Dara ini tentu akan membuat Thung-cu kesengsam," kata orang berjubah panjang,
"jika dapat memperoleh kitab pusaka Lam-hay-bun darinya, Cungcu tentu akan memberi
hadiah besar. Engkau harus menjaganya baik-baik."
"Ah, benar dia," diam-diam Han Ping mendesuh dalam hati, "sungguh tak nyana, di
dunia ini terdapat seorang manusia yang menyerupai bidadari!"
Memang walaupun sudah kenal, tetapi Han Ping tak pernah mengamati wajah dara itu
dengan seksama. Maka ia tak mampunyai kesan mendalam tentang kecantikan dara itu.
Kecantikannya jauh melebihi kedua nona Ting.
Saat itu korekpun padam. Orang yang memegang korek itu menjerit kesakitan. Karena
kesengsem melihat kecantikan dara itu, api sampai membakar jarinya.
Tak berapa lama, kedua orang itu keluar.
Setelah kedua orang itu pergi, barulah Han Ping melayang turun ke muka ranjang. Ia
hendak mengangkat dara baju ungu itu tetapi pada lain kilas ia teringat tata kesopanan
antara lelaki dan wanita. Ia belum kenal dengan gadis itu, walaupun tujuannya hendak
menolong tetapi tak boleh ia melanggar kesopanan.
Sesaat Han Ping tertegun tak tahu apa yang harus dilakukan. Tiba-tiba terdengar gadis
itu mendamprat, "Hmm, pria dan wanita tak boleh bergaul bebas. Seorang ksatrya takkan
masuk ke dalam kamar gelap. Tengah malam menyelundup ke kamar yang dihuni seorang
gadis, berdiri di samping ranjang dengan mata mendelik memandang diriku uh " tak tahu
malu".."
Meluaplah seketika darah Han Ping mendengar makian itu. Tubuhnya terhuyunghuyung
mundur dua langkah, serunya "Harap nona jangan salah paham. Setitikpun aku
tak mengandung hati yang hina!"
Kembali gadis itu berseru, "Menemukan semangka di bawah pohon, sekalipun bukan
jahat tetapi juga telah melanggar hak yang bukan haknya. Menilik tindakanmu, jelas
engkau ini bukan orang terpelajar yang kenal aturan."
Tajam sekali lidah dara itu. Han Ping merasa seperti disayat dengan puluhan golok.
Gemetarlah tubuhnya, Darahnya bergolak-golak namun orangnya tetap tegak membisu.
Pikirnya, "Aku seorang jantan, masakah mandah dihina begitu rupa."
Tetapi pada lain kilas ia mengakui bahwa makian dara itu memang tepat sekali. Setelah
termenung beberapa lama, barulah ia dapat menyahut dengan rendah hati, "Peristiwa ini,
memang sukar dijelaskan. Apa yang terkandung dalam hatiku. hanya Allah yang tahu.
Tetapi nonapun tak salah kalau menduga begitu. Atas ketidak sopanku, harap nona suka
memberi maaf."
Ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena saat itu terdengar derap langkah kaki
orang mendatangi.
Dan kembali dara itu berseru, "Melihat kesulitan harus mengulurkan bantuan. Engkau
membanggakan diri sebagai seorang jantan tetapi begitu melihat bahaya terus hendak
melarikan diri.. Apakah engkau tak malu bertemu dengan kaum pendekar dalam dunia?"
Han Ping terbeliak.
"Aneh," pikirnya, "bukankah dia telah memaki aku habis-habisan sehingga aku tak
dapat membantah sama sekali" Mengapa sekarang berkata begini?"
Sebenarnya saat itu ia sudah melangkah sampai ambang pintu. Mendengar kata-kata
dara itu, ia berhenti. Berpaling ke belakang. tampak dara itu duduk di atas ranjang. Han
Ping bingung untuk mencari kata-kata. Akhirnya ia dapat juga memperoleh kata-kata itu,
"Nona telah terjeblus dalam sarang harimau. Sebaiknya lekas tinggalkan tempat ini. Nona
mau percaya omongan ini atau tidak, terserah pada nona!"
Ia berputar diri terus melangkah keluar.
"Berhenti!" gadis itu tertawa dingin dan berseru.
Saat itu Han Ping sudah di luar pintu. Mendengar seruan si dara, ia terpaksa berhenti
lagi. Sambil berdiri di ambang pintu ia berseru, "Jika nona masih ada lain perintah,
silahkan bilang. Aku masih mempunyai lain urusan yang penting?"
Dara itu marah. Ia mendengus lalu berpaling muka. Berkat kepandaiannya yang telah
maju pesat, dapatlah Han Ping melihat keadaan dalam kamar yang gelap itu. Melihat dara
itu palingkan muka tak mengacuhkan dirinya, Han Ping menyengir kuda. Pergi salah,
tinggalpun tak benar. Karena tak tahu apa yang hendak dilakukan, ia tegak
terlongonglongong.
"Jika nona tak perlu memberi pesan, aku hendak pergi," akhirnya ia dapat berseru juga.
Bukan menyahut, kebalikannya dara itu malah rebahkan diri di atas ranjang lagi.
Walaupun merasa bahwa dara itu bukan kepalang angkuhnya, tetapi Han Ping
menyadari babwa keadaan dara itu amat berbahaya sekali. Harus lekas2 dibawa pergi dari
tempat situ. Tanpa berpaling memandang Han Ping, dara itu melengking, "Matipun aku tak sudi
mengurus urusanmu, manusia usil!"
Han Ping menghela napas, katanya seorang diri, "Hm, anak perempuan memang
sukar"."
Serentak ia apungkan tubuh loncat ke atas rumah. Sementara si dara yang masih rebah
di atas ranjang, cepat-cepat berpaling muka. Demi melihat Han Ping lenyap, dara yang
rupanya tengah menderita luka berat itu, bercucuran airmata. Tetapi ia berusaha sekuat
tenaga menahan isaknya.
Selekas di atas wuwungan rumah, Han Ping longgarkan kesesakan dadanya dengan
menghela napas panjang. Kemudian ia memandang ke sekeliling penjuru. Tetapi gedung
itu sunyi senyap. Diam-diam ia merasa heran. Jelas gedung itu terdapat penghuninya
tetapi mangapa tak tampak barang seorang pun yang keluar"
Hampir sepeminuman teh lamanya Han Ping tegak di atas atap rumab tetapi tak terjadi
suatu peristiwa apa-apa. Dia masih hijau dan tak punya pengalaman dalam dunia
persilatan. Menghadapi keadaan seperti saat itu, ia kehilangan faham.
Angin malam berembus mengantar bau bunga yang harum semerbak. Han Ping
menampar kepalanya sendiri sampai dua kali. Ia menyadati bahwa suasana gedung itu
penuh dengan ketegangan. Namun tak tahu ia bagaimana harus menghadapi. Ia anggap
berdiri terus di atas rumah, juga kurang tepat.
Tengah ia berada dalam kebingungan, tiba-tiba sesosok bayangan melesat dan lenyap.
Melihat itu, segera ia mengejarnya. Sejak berbulan-bulan meyakinkan ilmu bersemedhi,
hampir separoh dari penyaluran tenaga-murni dari mendiang Hui Gong tay-su, dapat
digunakan. Dengan demikian tenaga-dalamnya memperoleh kamajuan pesat. Sekali loncat
ke udara ia gunakan ilmu Delapan-langkah-naik-ke-udara. Setelah melintasi dua buah
rumah, tibalah ia di atas sebuah pohon jambu. Setelah meraih dahan, ia ayunkan tubuh
melayang ke muka sampai dua tombak dan tiba lagi di atas wuwungan rumah.
Tetapi ah, orang itu sudah tak tampak lagi bayangannya. Tiba-tiba terdengar suara
menggedebuk seperti benda berat jatuh ke tanah, Begitu berpaling ke belakang, ia melihat
di bawah pohon jambu tadi, sesosok bayangan hitam. Han Ping terus menyerbunya.
Ia memang agak bingung menghadapi suasana gedung besar yang sunyi senyap itu.
Pikirnya, begitu ia dapat membekuk seorang penghuni dapatlah ia mengorek keterangan
dari orang itu. Maka cepat ia mencengkeram tubuh orang itu dan melayang turun. Ketika
mengamati, ah" ternyata orang itu sudah tak bernyawa lagi. Orang itu bukan lain adalah
lelaki berpakaian ringkas yang menyanggul pedang tadi. Menilik tubuhnya masih hangat,
jelas dia belum berapa lama yang mati. Tetapi Han Ping tak menemukan barang sebuah
luka pun pada tubuh orang itu. Aneh, apakah yang menyebabkan kematian orang itu"
Tiba-tiba ia tersadat. Pikirnya, "Ah, segala sepak terjang Sin-ciu-It-kun dalam gedung
ini tentu telah diketahui Pengemis-sakti Cong To. Dan jelas pula bahwa selain dirinya,
masih terdapat orang lain juga dapat menyelidiki gedung itu. Bayangan yang luar biasa
cepatnya tadi, kalau salah seorang penjaga gedung itu tentulah dapat mengetahui
jejaknya. Tetapi jelas orang itu tak menghiraukan dirinya dan terus melesat pergi. Jelas
tentu orang lain. Ah, ternyata malam itu tak sedikit jumlahnya orang luar yang menyelidiki
gedung besar itu. Demikian pikir Han Ping.
Tiba-tiba Han Ping terkejut ketika merasa belakangnya disambar angin lembut. Buruburu
ia berputar tubuh dan memandang ke muka. Ah, seorang dara berpakaian hitam
yang tubuhnya kecil dan pada punggungnya menyanggul dua batang pedang, tampak
berdiri pada jarak dua tiga meter. Matanya berkilat-kilat memandang ke arahnya.
Keduanya saling beradu pandang. Sampai beberapa saat, mereka tak berkata apa-apa.
Han Ping meletakkan mayat yang masih dipegangnya lalu pelahan-lahan mundur. Sejak
didamprat si dara baju ungu, ia agak jeri terhadap orang perempuan. Tetapi karana kuatir
diserang, maka iapun hanya mundur tanpa berputar tubuh.
"Berhenti!" bentak dara baju hitam itu dengan nada dingin.
Han Ping hampir melonjak kaget tetapi iapun berhenti juga. Dara haju hitam itu
pelahan-lahan maju menghampiri. Pada jarak satu dua meter di hadapan Han Ping, ia
berhenti dan berseru dingin, "Apakah engkau orang gedung ini?"
"Bukau!" sahut Han Ping.
Tiba-tiba dara itu tersenyum, "Bagaimana engkau dapat membuktikan keteranganmu
itu?" "Mangapa harus membuktikan?" Han Ping berseru heran, "kita tak saling kenal dan tak
dendam mendendam. Tak ada hubungan apa-apa "."
"Hm, jika engkau tak dapat membuktikan ucapanmu tadi"." dara baju hitam itu melirik
ke arah mayat, "engkau tentu akan mengalami kesudahan seperti dia?"
Diam-diam Han Ping menimang, "Malam ini yang datang ke gedung sini, kemungkinan
tentu orang yang memusuhi Sin-ciu It-kun. Ah, lebih baik aku mengalah saja."
Ia segera menjawab, "Harus bagaimana caraku membuktikan?"
Gadis itu tertegun. Rupanya ia tak mengira kalau menerima pertanyaan begitu.
Sahutnya, "Mudah saja. Jika engkau memang bukan gedung ini, lekas keluar dari sini dan
jangan mengurusi apa pun yang terjadi dalam gedung ini!"
Han Ping tersenyum, "Memang amat mudah sekali. Tetapi ijinkanlah aku bertanya
kepada nona. Apakah maksud nona menyuruh aku keluar dari gedung ini" Tengah malam
nona berkunjung kemari tentu bukan tak ada sebabnya. Karena aku sendiri, jika tak ada
urusan tentu tak mungkin tengah malam buta begini datang kemari. Sekali lagi kukatakan
kepada nona, bahwa aku bukan penghuni gedung ini. Jika nona tak percaya, memang
amat sukar!"
Dara baju hitam itu tertawa dingin. "Sepanjang hidupku, tak pernah aku bicara
sebanyak saat ini. Biarlah malam ini kuberi pengecualian kepadamu. Hm, jika engkau tak
mau keluar dari gedung ini, bagimu tiada gunanya malah membahayakan. Apa yang akan
terjadi malam ini sangat berbahaya sekali. Menilik umurmu masih begini muda dan
rupanya bukan orang persilatan, maka kunasehati"."
Han Ping tersenyum, "Terima kasih atas nasehat nona. Tetapi mati hidup seseorang itu
tiada yang dapat mengetahui. Ia berputar diri lalu loncat ke atas rumah.
"Berhenti!" tiba-tiba dara baju hitam itu membentaknya,"apakah engkau bisa lari?"


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekali tangan mengayun, selarik sinar putih meluncur ke arah pemuda itu.
Setelah berada di atas rumah, Han Ping loncat pula ke bawah, di tempat yang gelap.
Kalau loncat ke atas, ia kuatir nona itu tentu tetap tak mau melepaskannya.
Tindakan Han Ping itu, membuat geram si dara baju hitam. Cepat ia susuli lagi dengan
dua lontaran senjata rahasia. Tetapi Han Ping sudah loncat turun ke bawah. Dara itu
memandang kian kemari tetapi tak dapat melihat bayangan Han Ping yang sudah
melenyapkan diri.
Dara itu mendengus "Huh, manusia licin!" ia lantas melayang ke atas rumah. Tetapi di
empat penjuru, ia tak dapat melihat Han Ping. Diam-diam ia terkejut atas kegesitan Han
Ping. Di tempat persembunyiannya, Han Ping tak berani melongok keluar. Ia tahu
kepandaian dara itu hebat sekali. Setelah dara itu pergi barulah ia berani keluar.
Memandang ke langit, ia menghela papas panjang. Ia terus hendak loncat ke atas rumah
untuk mencari Cong To. Tetapi tiba-tiba ia teringat untuk memungut senjata rahasia yang
dilontarkan si dara baju hitam tadi untuk ditunjukkan Cong To. Pengemis-sakti itu tentu
dapat mengenal nama si dara.
Segera ia melangkah ke bawah pohon jambu. Pada batang pohon itu menancap
sebatang jarum perak dengan panjang 3 dim. Tetapi ketika mencabut dan memeriksa,
ternyata jarum itu tidak sama dengan jarum biasa. Ujungnya pecah dua, merupakan
bentuk daun yang amat kecil sekali.
Karena pengalamannya amat terbatas, Han Ping tak tahu nama jarum rahasia itu.
Setelah menyimpannya. ia terus hendak melangkah pergi. Tetapi tiba-tiba dari belakang
terdengar dengus tertawa dingin, "Kukira engkau memiliki ilmu naik ke langit, kiranya
hanya bersembunyi di tempat gelap saja. Hm, sungguh memalukan engkau mengaku
dirimu sebagai seorang anak laki-laki!"
Dampratan itu benar-benar telah menyinggung perasaan Han Ping. Seketika meluaplah
darah panasnya. Serentak ia berputar tubuh. Si dara baju hitam berada pada jarak tiga
empat meter. "Janganlah nona berkata seenak hati sendiri. Aku tak kenal padamu maka akupun
mengalah saja. Tetapi jangan mengira kalau aku sungguh-sungguh takut kepadamu! "
serunya. Dara itu tertegun. Rupanya ia tak menyangka kalau mendapat penyahutan demikian.
Katanya, "Apakah engkau berkata kepadaku" "
"Di sini selain engkau dan aku, tiada orang lain lagi. Sudah barang tentu berkata
kepadamu!"
Bukan kepalang marah dara itu. Tiba-tiba ia menggeliat, "Engkau berani memaki
aku"."
Han Ping juga masih berdarah panas. Melihat sikap dara itu makin sombong, ia cepat
menukas, "Mengapa tak berani?"
Dara itu memandang lekat2 kepada Han Ping.
Beberapa saat kemudian ia tersenyum, "Engkau berani memaki karena engkau tak tahu
aku ini siapa. Jika sudah tahu, tentu engkau takkan berani memaki aku!"
"Sikapmu terhadap orang yang begitu memandang rendah, sudah pantas kalau
didamprat. Hai, Jika tak ingat engkau ini seorang perempuan tentu dari tadi sudah kuberi
hajaran! "
?"?"?"?"?"?"?"?"
Trims to: axd002, edisaputra"..
http://ecersildejavu.wordpress.com/
?"?"?"?"?"?"?"?""
Dara itu gelengkan kepala menghela napas, "Seingatku, belum pernah aku berhadanan
dengan orang yang sekurang ajar engkau. Boleh dikata engkaulah manusia di dunia yang
pertama berani memaki aku ".. "
Han Ping tertawa dingin, "Sebagai seorang lelaki, sesungguhnya aku malu untuk
bertengkar dengan anak perempuan. Tetapi karena engkau terus menerus menghina,
terpaksa aku tak tahan?"."
Tiba-tiba ia sadar bahwa kalau terus menerus ribut mulut dengan dara itu, entah kapan
nanti baru selesai. Maka ia tak mau melanjutkan pembicaraan lagi. Berputar tubuh terus
loncat ke atas rumah dan lari.
Dara itu masih ter-longong2. Ia Lantas tertegun mendengar makian Han Ping. Seumur
hidup baru pertama kali itu ia didamprat tajam oleh orang. Ketika sadar, ia hendak
mengejar Han Ping. Tetapi pemuda itu sudah tak tampak lagi bayanganaya. Ia banting2
kaki dan memaki seorang diri, "Jangan harap engkau ketemu aku lagi. Sekali bertemu
tentu akan kuhajar sampai rontok gigimu!"
Makian itu bernada cukup keras sehingga Han Ping masih dapat mendengarnya. Tetapi
ia anggap tak perlu melayani. Setelah melintasi beberapa bangunan rumah, tibalah ia di
sebuah halaman yang indah. Penuh dengan tanaman bunga seruni dan Dahlia yang
tengah mekar. Walaupun saat itu dalam pertengahan musim rontok tetapi bunga2 itu tetap segar.
Diam-diam ia merasa heran juga.
"Halaman ini sunyi senyap, jarang dikunjungi orang. Tetapi mengapa dihias dengan
aneka bunga yang begitu indah"." pikirnya.
Tiba-tiba gerumbul bunga yang di tengah halaman itu bergoyang2 dan menyusul
terdengar suara teriakan perlahan, "Budak, lekas engkau beristirahat. Malam ini kita sia2
saja kemari!"
Itulah suara si Pengemis-sakti Cang To. Han Ping cepat loncat turun. Tampak pengemis
tua itu sedang duduk bersandar pada gerumbul pohon bunga. Hawa arak menyelubungi
bau bunga yang harum.
Banyak sekali pertanyaan yang Han Ping hendak ajukan. Tetapi sebelum ia sempat
membuka mulut, si Pengemis-sakti sudah mendahului, "Pengemis tua mengira kalau dia
sendiri memperoleh berita rahasia itu. Siapa tahu ternyata telah tersiar di luar. Budak,jika
engkau berayal lagi beberapa saat engkau tentu akan menjumpai banyak kesulitan! "
Habis berkata pengemis itu segera mengambil buli2 arak dari punggungnya lalu
meneguknya. "Rupanya banyak sekali jago2 sakti yang datang ke tempat ini," kata Han Ping.
Pengemis sakti itu tersenyum, "Bukankah engkau telah kesomplokan dengan seorang
dara baju hitam yang tingkahnya berandalan" Jika tak salah, engkau pasti menerima
dampratannya! "
"Hai, lo-cianpwe tahu semua" " Han Ping kaget.
"Jika tahu dan mengatakan hal itu, bukanlah suatu kepandaian namanya," sahut Cong
To. Han Ping menghela napas pelahan, serunya, "Malam ini aku dimaki-maki dua orang.
Yang Satu membuatku diam tak mampu menjawab. Yang satu, membuat aku naik darah!
" Cong To tertawa, "Dara baju hitam itu memang terkanal berandalan di daerah Se-pak.
Tidak mengherankan kalau dia memakimu."
Melihat pengemis itu tenang2 saja mendengar diri Han Ping dimaki orang dan bahkan
mengatakan memang sudah selayaknya, Han Ping mendongkol juga, "Jika tak mengingat
dia itu seorang anak perempuan, tentu sudah kuhajarnya!"
"Uh, budak perempuan itu tak boleh dibuat main2. Lebih baik engkau jangan cari
perkara dengan dia," kata si Pengemis-sakti seraya meneguk araknya lagi.
"Kalau begitu lo-cianpwe tentu kenal padanya" "
Sahut Pengemis-sakti, "Pengemis tua ini tak takut setan belang tetapi terhadap budak
perempuan itu agak gentar juga. Aku tak mampu menghajarnya, apalagi engkau "." tibatiba
ia hentikan kata-katanya karena teringat waktu di biara tempo hari, Han Ping pernah
menyaksikan bagaimana ia telah dihina oleh seorang jelita baju hijau.
Han Ping seorang pemuda yang berwatak keras. Meluaplah darah panasnya mendengar
kata-kata pengemis sakti itu, serunya, "Kalau begitu, apabila bartemu dengan dia lagi, aku
tentu hendak minta pelajaran kepadanya!"
Pengemis-sakti tartawa gelak2, "Ho, darahmu mudah panas, budak!"
Han Ping heran mengapa pengemis itu malah tertawa begitu bebas, "Mengapa locianpwe
tertawa begitu lepas" Apakah tak takut didengar penghuni gedung ini" "
Sin ciu It kun memang licin sekali. Sebenarnya malam ini dia hendak mengadakan rapat
dengan semua anakbuahnya. Tetapi mendadak dibatalkan, sehingga kita mendapat hidung
panjang"."
Tiba-tiba Han Ping teringat ketika keliru masuk ke dalam kamar tawanan sidara baju
ungu. Lelaki berjubah panjang itu mengatakan bahwa Chungcu (majikan), akan datang, Ia
duga yang dimaksud dengan sebutan Chungcu itu, tentulah Sin-ciu It-kun sendiri. Tetapi
mengapa mendadak dia tak jadi datang"
Karena tak mempunyai pengalaman, apa yang terkandung dalam hati tentu serentak
ditanyakan. "Apakah kedatangan kita ke gedung ini, sudah diketahuinya" Tetapi gedung
ini penuh dijaga dengan penjaga2 yang bersembunyi!"
"Sekalipun belum tentu dia tahu tentang kedatangan kita tetapi ternyata yang datang
kesini, bukanlah hanya kita berdua saja," tiba-tiba Pengemis-sakti itu teringat sesuatu
maka ia tak melanjutkan kata-katanya lagi. Ia serentak berbangkit.
Melihat pengemis itu bersikap tegang, Han Pingpun ikut berdiri dan bertanya,
"Kenapa?"
Sambil gelengkan kepala Cong To menyahut pelahan, "Ih Thian-heng memang luar
biasa lihainya. Kalau dia sampai tak datang, tentulah sudah memasang jerat. Mungkin juga
dia sebenarnya sudab berada dalam gedung ini tetapi bersembunyi."
Han Ping tertegun. Sejanak ia memandang sekeliling penjuru. katanya "Ah, tak
mungkin. Para penjaga banyak yang kulukai. Jika Ih Thian-heng sudah berada disini, tak
mungkin ia hanya berpeluk tangan saja."
Cong To menghela napas. "Dia seorang manusia yang berhati dingin. Jangan cepatcepat
menilai dia dengan ukuran orang biasa!"
Berhenti sejenak, ia berkata pula, "Dara baju hitam itu, apabila turun tangan tentu
amat ganas sekali. Olah karena itu setiap tokoh di kalangan Rimba Hijau (penyamun)
daerah Sepak, jeri kepadanya. Untung dia jarang keluar sehingga sulit untuk orang hendak
menemuinya. Kalau dia sering keluar ke dunia persilatan, mungkin sudah terjadi geger.
Sebagian besar penjaga2 gedung ini tentu rubuh di tangannya."
Han Ping hendak mencela dara baja hitam yang ganas itu tetapi teringat bahwa yang
dihajar itu anakbuah Sin-ciu It-kun, diam-diam ia tak jadi mencela.
Tampak Pengemis-sakti memandang ke langit. Rupanya dia tengah menghadapi suatu
persoalan sulit. Han Ping pun tak mau menggangunya. Ia melontarkan pandangan
menyelidik ke arah gedung di sebelah depan. Luasnya hampir setengah bahu. Kecuali
dihias dengan aneka bunga, pun terdapat juga sebuah gunung-gunungan palsu yang
dibuat orang. Di bawah gunung-gunungan itu, terdapat sebuah empang air seluas satu
tombak. Empat buah rumah berderet-deret jadi satu. Setiap rumah menghadap ke kebun
bunga, Kedua jendelanya besar yang tertutup, asal terbuka tentu dapat melihat keluar.
Setelah meninjau keadaan di sekeliling halaman itu, kembali ia berpaling kepada
Pengemis-sakti. Tampak pengemis itu tengah memandang sebatang pohon bunga dengan
tak berkedip, Han Ping tahu pengemis tua itu cerdas dan banyak pengalaman. la tak
berani mengganggunya. Dalam pada itu diam-diam perhatiannya tertumpah kepada si
dara baju hitam. Mengapa seorang dara yang begitu muda belia, mempunyai kewibawaan
yang sedemikian hebat. Bahkan seorang tokoh macam Pengemis-sakti pun juga jeri
kepadanya. Darah muda Han Ping kembali meluap. Makin keras keinginannya untuk mengadu
kepandaian dengan dara itu apabila kelak bertemu lagi.
Karena memikirkan hal itu, hatinya terasa gelisah, ia segera berjalan menurutkan jalan
kecil yang terbuat daripada batu2 kecil yang bundar, menuju ke rumah di sebelah kanan.
Naik ke atas titian, terdapat serambi yang mangalingi kebun bunga itu. Titian dipagari
oleh pagar merah yang membatas kolam dengan kebun.
Juga jendela rumah itu indah sekali buatannya. Berbentuk bundar dan dihiasi dengan
huruf2 doa puji Kebahagiaan dan Keselamatan.
Makin heran Han Ping dibuatnya. Masakan di dalam sebuah pedesaan yang terpencil
sunyi, terdapat sebuah gedung yang begitu indah. Seketika timbullah rasa ingin tahu dari
pemuda itu. Ia tak peduli segala apa, pokoknya hendak mengetahui apakah yang berada
dalam ruangan rumah. itu Segera ia melangkah maju dan hendak mendorong daun
jendela. Tepat pada saat itu dari belakang terdengar suara gelak tertawa dari Pengemis-sakti
Cong To. Buru-buru Han Ping tarik pulang tangannya dan berpaling ke belakang,
menghampiri ke tempat Cong To.
heran mengapa pengemis tua itu tertawa seorang diri.
Begitu melihat wajah pengemis itu berseri gembira meneguk buli-buli araknya, Han
Ping tak berani mengganggu dan hanya berdiri di sampingnya.
Setelah dua kali meneguk, pengemis itu letakkan buli-bulinya, mengusap mulut lalu
melirik ke arah pemuda itu, menyengir seperti kucing tertawa. Sudah tentu Han Ping geli
melihatnya. Han Ping hendak bertanya tetapi kembali didahului Pengemis-sakti lagi, "Budak, engkau
tentu makin heran melihat keadaan gedung ini. bukan..?""
Mendengar pertanyaan yang tak diinginkan itu Han Ping menyahut enggan, "Memang
istimewa sekali pembuatan rumah ini."
Pengemus tua inimasih menganggap dunia kosong belaaka. Selamanya tak perduli
rumah orang bagus atau tidak. Bagiku hanya merasa gedung ini memang luar biasa dari
biasanya. Turut pendapat pengemis tua, gedung ini tentu mempunyai keistimewaan yang
hebat!" Mendengar pernyataan itu, kembali Han Ping keliarkan matanya ke sekeliling penjuru.
Dalam hati ingin menjawab pernyataan si pengemis tetapi mulutnya tak tahu bagaimana
harus mengucap.
Sekali lagi Pengemis-sakti melirik Han Ping. Melihat pemuda itu diam saja, ia berkata
pula, "Tak kira mereka begitu cermat dan hati2 sekali. Setiap langkah direncanakan
dengan teliti. Budak, mungkin engkau masih hijau sehingga tak mampu melihat rahasia
dari perangkap mereka!"
Anak muda memang mudah tersinggung. Demikian pula dengan Han Ping. Ia merasa
tersinggung mendengar kata-kata Pengemis sakti itu. Sambil mendenguskan hidung, ia
menyahut, "Kedatanganku kemari, pun juga atas perintah lo cianpwe. Tetapi mengapa locianpwe
mengatakan hal2 yang tak kumengerti" Adakah lo cianpwe merasa takut?"
Pengemis-sakti tertawa gelak2, "Seumur hidup pengemis-tua berkelana di dunia
persilatan, pernah basah kuyup dalam air. Pernah terbakar dalam api, pernah menerjang
gunung golok hutan pedang. Tetapi selama itu belum pernah pengemis tua ini merasa
gentar. Masakan setelah menjelang liang kubur, pengemis tua masih temaha hidup takut
mati?" Kalau biasanya, Han Ping tentu tak dapat menjawab. Tetapi entah bagaimana pada
saat itu setelah mengetahui bahwa gedung itu milik Ih Thian-heng, ia benar tak mau
melepaskan kesempatan itu. Segera ia berseru dingin, "Jika lo-cianpwe memang sudah
niat datang kemari dan tak takut apa-apa, maka sekalipun gedung ini penuh dengan
keanehan apa saja, kita harus tetap menerjangnya!"
Diam-diam Pengemis-sakti Cong To menganggap watak Han Ping itu lebih tak sabaran
dari dirinya. Diam-diam ia hendak menghajar adat pada anak muda itu.
"Bagi pengemis tua ini, bukan soal takut atau tidak takut. Melainkan aku tengah
berpikir apakah yang tersembunyi dalam ruang kamar itu."
Ia melihat ke arah gunung2an palsu katanya pula, "Menilik gelagatnya, bukan hanya
kamar itu yang ada apa-apanya, pun gunung2an palsu itu juga tidak sewajarnya.
Didirikannya di tempat ini tentu bukan tak ada sebabnya!"
Habis berkata kembali Pengemis-sakti itu memandang Han Ping untuk menunggu
reaksinya. Benar seperti yang diduga Pengemis-sakti, seketika menggeloralah hati Han Ping. Ia
anggap pernyataan pengemis itu memang benar. Berpaling ke arah Pengemis sakti,
segera ia berseru dengan bersemangat, "Menurut pandangan lo-cian-pwe, tempat ini tentu
ada apa-apa yang patut dicurigai. Mumpung Ih Thian-heng tak muncul, bukankah kita
dapat menyelidikinya.?"
Han Ping duga, Pengemis-sakti itu tentu akan menyetujui sarannya. Tetapi di luar
dugaan, malah berkata dengan wajah serius, "Jangan, jangan! Sekalipun dia tak muncul
tetapi menurut pernitungan pengemis tua, hal itu memang mencurigakan sekali. Jika tak
salah, sesungguhnya Ih Thian-heng sudah datang tepat pada waktunya. Dan yang datang
kesini tak sedikit jumlahnya. Semisal dengan dara baju hitam yang engkau jumpai tadi,
juga datang kemari. Dengan begitu, nanti malam tentu akan terjadi keramaian yang
hebat. Jangan engkau terburu nafsu dulu. Jika kita bertindak secara gagabah, siapa tahu
kitalah yang akan terbentur dengan kesulitan. Tak perlu mengatakan yang lain2, cukup
dara haju hitam itu saja sudah cukup untuk menyulitkan kita. Bukan karena pengemis tua
takut urusan, tetapi sesungguhnya budak perempuan itu memang bisa membikin kepala
orang pusing"."
Baru Pengemis-sakti berkata sampai disitu, tiba-tiba dari balik gustung-gunungan palsu
terdengar suara melengking, "Hai, sebagai seorang cianpwe, ternyata engkau tak segan
merangkai cerita panjang lebar tentang ketidak benarnya kedatanganku. Sungguh tidak
tepat sekali!"
Pengemis sakti memandang Han Ping, kerutkan dahi. Dan Han Pingpun juga
memandangnya. Keduanya bertukar pandang beberapa jenak lalu sama-sama berpaling ke
arah gunung2-an palsu itu.
Dari balik gunung-guuungan muncul si dara baju hitam yang punggungnya menyanggul
sepasang pedang. Memandang si pengemis tua, berkatalah dara itu seolah-olah kepada
dirinya sendiri, "Orang yang sudah berumur begitu tua tetapi di belakang mash suka
mengomongkan seorang muda. Hm, benar-benar orang bisa geli."
Enak sekali ia mengucap tetapi bagi telinga orang, seperti ditusuki jarum. Han Ping
berpaling ke arah Cong To tetapi pengemis tua itu malah memandang ke lain jurusan.
Seakan-akan tak mendengarkan kata-kata si dara tadi. Melihat itu tahulah Han Ping bahwa
Cong To tak mau bentrok dengan dara itu.
Jelas kata-kata dara itu ditujukan pada Pengemis-sakti Cong To, tetapi mengapa
pangemis itu diam saja" Diam-diam Han Ping penasaran sendiri. Masakan seorang
cianpwe yang ternama, mandate saja didamprat seorang dara"
Kali ini Han Ping tak mau mengalah lagi. Ia tersenyum tawar, serunya, "Seoraag anak


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perempuan tetapi bicara begitu tak mengindahkan terhadap seorang cianpwe!"
Di luar dugaan dara baju hitam itu tak ma rah didamprat Han Ping. Ia hanya
memandang pemuda itu dengan dingin, "Bukan urusanmu, Lebih baik jangan ikut campur!
Jika tak mengingat engkau pendatang baru dalam dunia persilatan, tak mungkin kubiarkan
angkau bersikap begitu kepadaku ?""
Jawab Han Ping, "Engkau bilang urusan ini tak menyangkut diriku" Tetapi Cong locianpwe
sedang bicara padaku. Dan lagi mataku tak dapat membiarkan engkau bersikap
begitu".. "
Belum Han Ping selesai bicara, dara itu sudah menukas, "Sudah beberapa kali aku telah
melanggar pantangan memberi kelonggaran kepadamu. Tetapi rupanya engkau tak kenal
gelagat, semakin dapat hati semakin melonjak. Apakah karena engkau merasa punya
sandaran muka berani menghina aku?"
Han Ping tertawa nyaring, "Terima kasih atas kebaikan nona memberi kelonggaran
kepadaku. Tetapi segala tindakanku ini, sama sekali bukan karena mengandalkan bantuan
orang. Aku yang berbuat, aku sendiri yang tanggung akibatnya. Ah. untung engkau
seorang anak perempuan, coba seorang lelaki, hm, hm. tentu lainlah tindakanku."
Dara baju hitam itu tertawa menyeringai. "Lalu apa tindakanmu kepadaku" Ingin benar
kudengar pernyataanmu!"
Setelah beberapa saat bicara dengan dara itu, kemarahan Han Pingpun agak reda.
Apalagi dara itu tidak marah dan marah selalu tersenyum, Han Ping merasa sungkan juga.
Ia menghela napas panjang, ujarnya, "Engkau datang kemari karena Ih thian-hang,
begitupun aku. Karena Ih Thian-heng tak ada, mengapa aku harus bertengkar dengan
nona" Aku takkan mencampuri urusanmu, engkau pun jangan peduli urusanku!"
Tiba-tiba dara itu mengerutkan kening dan berseru dengan dingin, "Engkau tak mau
marah kepadaku. tetapi akulah yang akan marah kepadamu!"
Han Ping maju dua langkah. katanya, "Jika nona menghendaki begitu. terpaksa akupun
akan melayani!"
Data itu menggeliat maju ke muka seraya tertawa, "Ih, engkau mau mengajak
berkelahi?"
Marahlah Han Ping. Ia anggap dara itu keliwat congkak dan perlu dihajar. Serunya,
"Aku seorang anak laki, jika nona hendak berkelahi, aku bersedia mengalah tiga jurus."
Kata-kata itu bagai minyak yang menyiram api kemarahan si dara. Seketika wajahnya
memancarkan hawa pembunuhan. Tanpa banyak bicara, ia maju mendekat dan lepaskan
tiga buah pukulan ke udara, "Aku malas banyak bicara dengan engkau. Seperti yang
engkau kehendaki, aku sudah memukul tiga kali, nah, sekarang giliranmu yang turun
tangan!" Han Ping pasang kuda-kuda seraya mempersilahkan orang, "Silahkan nona
menyerang!"
"Huh, segala tata cara brengsek!" ujar dara itu seraya melangkah kanan Han Ping.
Tangannya kiri menghantam dada orang. Han Ping menyurut ke belakang tiga langkah
tetapi dara itu mendesak maju sambari ayunkan kedua tangannya. Dalam sekejab mata
saja, duabelas pukulan teloh mencurah dari tangan dara itu.
Serangan itu benar-benar mirip dengan hujan mencurah. Duabelas pukulan susul
menyusul tak memberi kesempatan pada lawan. Han Ping terpaksa harus mundur sampai
6 langkah. Diam-diam ia terkejut heran melihat serangan berantai yang menabur laksana
kilat menyambar cepatnya itu.
Setelah keduabelas pukulan dara itu selesai, barulah Han Ping dapat berdiri tegak.
Mengempos semangat, ia balas menghantam seraya menerjang.
Dara itu tertawa dingin. Tangan kanan menarik ke belakang sehingga tenaga pukulan
Han Ping terseret ke samping. Kemudian tangan kiri dara itu bergerak dengan jurus
Menutup-pintu-mendorongrembulan untuk merangsek bahu Han Ping.
Han Ping terkejut karena gerakan tangan dara itu mempunyai daya sedot yang hebat.
Han Pingpun tak mau kalah hati. Ia kokohkan kedua kakinya, sambil bertegak dada dan
menarik kembali tangannya serta tangan kiri mencengkeram pergelangan si dara dengan
jurus Kin-liong chiu!
Tangan kiri dara itu bergerak cepat sekali. Pada saat ujung jarinya menyentuh bahu
Han Ping, tangan kiri pemuda itupun sudah menyentuh pergelangan tangan si dara juga.
Huh ". keduanya menyurut mundur untuk menghindari serangan masing-masing.
Sejak beradu pandang, keduanya maju saling menyerang lagi.
Kali ini Han Pirg tak berani memandang rendah Mereka bertempur cepat dan saling
dahulu-mendahului untuk merebut kesempatan. Yang tampak hanya dua sosok bayangan
yang bergamburan macam orang menari cepat. Sepuluh jurus kemudian, sukar dibedakan
mana si dara mana Han Ping.
Pengemis-sakti Cong To enak2 saja melihat pertempuran seru itu. Ia mengambil buli "
buli araknya. Sambil minum sambil menikmati pertempuran.
Ia pernah berkelahi dengan Han Ping dan tahu bahwa pemuda itu memiliki kepandaian
sakti. Ia percaya dara baju hitam itu tentu tak mampu melayani sampai limapuluh jurus.
Tetapi di luar dugaan, makin lama pertempuran itu makin berjalan seru. Limapuluh
jurus cepat berlalu dan ternyata si dara bukannya kalah, malah makin hebat serangannya.
Jurus yang digunakan makin aneh dan jarang tampak di dunia persilatan. Selain luar biasa
cepatnya, pun setiap seranganya selalu tepat mengarah pada bagian yang berbahaya.
Tetapi gerakan Han Pingpun makin lama makin dahsyat. Pukulannya sekeras palu besi
yang mampu menghancurkan batu karang. Gerak perubahannya sukar diduga.
Tanpa disadari, pengemis tua itu makin tertarik perhatiannya. Diam-diam ia menimang,
"Kedua anak muda itu saling mengeluarkan ilmu kepandaian yang luar biasa. Yang satu
pukulannya keras. Gerakannya terang-terangan tetapi mengandung perobahan yang sukar
diduga. Yang lain, gerakannya cepat sekali dan ganas. Jika dapat menggabungkan kedua
ilmu itu menjadi satu, rasanya di dunia ini tentu tak ada yang dapat menandinginya!."
Han Ping memang beradat tinggi. Mendengar gerutu si pengemis tua dalam menilai
pertempuran itu, seketika meluaplah kemarahannya. Dengan menggembor keras, ia
lontarkan dua buah pukulan. Tampaknya tiada bertenaga, tetapi waktunya tepat sekali.
Seketika dara baju hitam itu dipaksa mundur tiga langkah.
Dara itu tampaknya menderita luka-dalam yang parah. Tubuhnya menggigil dan tibatiba
ia muntah darah lalu pejamkan mata. Pada saat itu jika Han Ping mau menghantam
lagi, dara itu pasti binasa. Tetapi pemuda itu tak mau menyerang lagi. Ia tegak sambil
menengadah ke langit, seperti merenungkan sesuatu.
Berselang beberapa jenak setelah tegak berdiam diri, dara baju hitam itu tiba-tiba
melengking dan menyerang lagi dengan kedua tangannya. Han Ping terpaksa menangkis.
Tetapi tiba-tiba ia mendengus tertahan dan mundur sampai lima langkah lalu rubuh.
Pada saat ia rubuh, tiba-tiba ia menggembor keras da menghantam. Tidak keras
tampaknya gerak pukulan itu. Tetapi tiba-tiba dara baju hitam itu melengking kaget ketika
dirinya terdorong oleh suatu tenaga dahsyat sehingga terlempar ke udara dan jatuh
terkapar di tanah".
Seketika suasana hening lelap. Di bawah sinar bintang di langit kelam tampak dua
sosok tubuh anak muda, menggeletak di tanah. Keduanya samasama menderita lukadalam
yang parah sekali sehingga tak mampu duduk.
Seorang tokoh persilatan termasyhur macam Cong To, tetap tak mengerti apa sebab
kedua anak muda itu terluka. Matanya si pengemis yang jeli dapat melihat ketidak-wajaran
wajah Han Ping. Diam-diam ia terkejut. Ia tahu pemuda itu terkena pukulan yang amat
beracun. Meraba dahi pemuda itu, ia makin percaya bahwa pemuda itu terluka-dalam
yang parah. Cong To tertegun. Ia tundukkan kepala merenung. Tetapi tetap tak dapat mengetahui
ilmu pukulan yang digunakan dara baju hitam itu.
Beberapa waktu kemudian, tiba-tiba dari arah belakang terdengar derap langkah orang
mendatangi. Ketika berpaling, is melihat seorang tua berjubah biru dan berjenggot
panjang, tengah muncul dengan langkah pelahan. Wajahnya keren sekali, langkahnya
sarat. Tanah yang dilalui, meninggalkan bekas telapak kaki yang cukup dalam. Matanya
memandang ke arah si dara baju hitam yang masih menggeletak di tanah.
Pengemis-sakti Cong To cepat dapat mengenal orangtua itu dan secepat itu ia pun
segera siap2. Setelah dekat, orangtua jubah biru tiba-tiba berhenti lalu tertawa dingin, "kukira siapa,
kiranya engkau pengemis tua ?""
Sejenak berhenti tiba-tiba ia berseru pula degan nada keras, "Siapakah yang telah
melukai anak perempuanku ini" Lekas bilang!"
Cong To menengadahkan muka dan tertawa panjang, "Apakah kata-kata saudara
Siangkwan yang keras itu ditujukan kepadaku si pengemis tua ini?"
"Di sini hanya engkau dan aku. Jika tidak kepadamu, apakah aku bertanya pada diriku
sendiri?" "Tetapi telinga si pengemis tua ini masih belum tuli, harap saudara Siangkwan jangan
berteriak begitu keras!"
"Pengemis busuk!" bentak orangtua jubah biru itu, "lain orang memang takut
kepadamu, tetapi aku Siangkwan Ko tak takut!"
Pengemis-sakti Cong To tertawa dingin, "Kalau engkau tak takut kepada pengemis tua,
masakan pengemis tua takut kepadamu?"
Dengan menggembor keras, Siangkwan Ko terus menghantam. Angin keras mendesir
ke arah sipengemis sakti. Tetapi dengan tertawa dingin Cong To gerakkan tangan kanan
menangkis. Desss . .. dua tenaga sakti saling berbentur. Dan tubuh kedua jago tua sama-sama
berguncang. Siangkwan Ko tarik pulang tangannya lalu berseru, "Ahh, nama Pengemis-sakti benarbenar
tak kosong. Silahkan terima lagi sebuah pukulanku!"
Pengemis-sakti Cong To bersiap dan menjawab, "Silahkan, pengemis tua siap
melayani."
Pada saat Siangkwan Ko hendak dorongkan kedua tangannya, tiba-tiba ia teringat
sesuatu dan batalkan gerakannya, "Dalam adu tenaga ini, salah satu tentu akan menderita
luka"."
Pengemis-sakti Cong To tertawa gelak2, "Hmm. kau benar tetapi entah siapa yang akan
menderita luka itu. Jiwa pengemis tua ini sih tak berguna, tetapi saudara Siangkwan
sebagai pemimpin kaum persilatan daerah Utara, seharusnya meninggalkan pesan."
Sahut Siangkwan Ko, "Ah. saudara Cong terlalu membikin kecil hati orang. Sebelum
bertempur, aku ingin meminta penjelasan pada saudara!"
Cong To tertawa, "Dalam hati pengemis tua, juga mempunyai sebuah hal yang hendak
mohon petunjuk saudara. Tetapi karena saudara telah mendahului, silahkan mengatakan
lebih dulu!"
Siangkwan Ko mendengus dingin. "Dengan kepandaian yang engkau miliki, tak
mungkin engkau mampu melukai anakku. Ingin kutahu, siapakah yang telah melukai
anakku itu?"
Melihat jago tua itu menggigil, Cong To dapat menduga tentu hatinya sedih sekali.
Diam-diam pengemis tua itu menimang dalam hati, "Hm, dia sedang sedih dan marah
sekali. Jika jadi bertempur dia tentu akan bertempur sampai mati. Orang-orang dari kedua
Lembah dan ketiga Marga, menyohorkan orang tua ini sakti sekali dan peribadinya
termasuk golongan Putih. Jika kulayani dia bertempur, yang untung tentulah Ih Thianheng"."
Karena sampai beberapa saat pengemis tua itu diam saja. Siangkwan Ko tak sabar lagi.
Berserulah ia dengan keras, "Pengemis tua, orang persilatan mengatakan namamu
sebagai pendekar perwira. Tetapi ternyata hanya seorang manusia yang berani unjuk ekor
tak berani memperlihatkan kepalanya!"
Rupanya jago tua Siangkwan itu marah sekali sehingga ia tak mau menggunakan
panggilan "saudara" lagi.
Berpaling memandang ke arah Han Ping yang masih rebah. Cong To berseru tawar,
"Singkwan Ko, agaknya jiwa dari anakmu itu amat berharga sekali. Tetapi masakan jiwa
orang lain juga tak berharga?"
Menurutkan arah pandang Cong To yang menumpah kepada Han Ping, Singkwan Ko
tertawa nyaring serunya, "Sekalipun seribu jiwa tokoh-tokoh persilatan yang Sakti, bagiku
tetap tak lebih berharga dari selembar jiwa puteriku ."
Dua butir airmata menitik turun dari pelapuk jago tua itu.
Cong To tergetar hatinya.Ia tahu bahwa kesadaran pikiran orang she Siangkwan itu
sudah kacau, Lebih baik ia mengalah.
"Wan-ji, kata Siangkwan Ko seorang diri," matilah engkau dengan tenteram, Ayahmu
hendak membunuh seribu tokoh persilatan untuk menjadi hambamu di alam baka .. ."
Makin terkejutlah Cong To mendengar ocehan Siangkwan Ko yang sudah kacau
pikirannya itu. Cepat-cepat ia mencari akal. Tiba-tiba ia berjongkok dan meraba dada Han
Ping. Jantung pemuda itu masih berdetak dan napasnyaoun masih berhembus sekalipun
lemah. Serentak is berseru keras2, "Saudara Siangkwan, lekas periksa apakah puterimu
benar-benar sudah meninggarl"
oooo0000oooooooo
Antara Putih dan Hitam.
Siangkwan Ko tertegun. Sampai sekian lama baru saat itu ia tersadar. Buru-buru iapun
berjongkok dan lekatkan telinganya ke dada puterinya. Tiba-tiba is mengangkat kepala
dan menghela napas longgar. Segala kesedihan, kedukaan, keputus-asaan telah lenyap
keluar. Sikapnya tenang kembali.
Ia berpating ke arah pengemis-Sakti dan bertanya, "Saudara Cong, bagaimanakah
persoalan ini. Siapakah yang rebah di hadapanmu itu?"
"Kedua budak itu, sama-sama saling ngotot. Dari berbantah mulut sampai adu pukulan.
Sampai lebih dari 100 jurus, tak ada yang kalah dan menang. Akhirnya masing2
mengeluarkan ilmu tenaga-dalam yang hebat dengan akibat keduanya sama-sama
menderita luka!"
"Apa" Hanya dua orang yang bertempur?" seru Siangkwan Ko sambil melongok ke arah
Han Ping. "Apa" Masakan pengemis tua ini sudi ikut campur dalam pertempuran mereka?" balas
Cong To. Siangkwan Ko gelengkan kepala tertawa dingin. "Bagaimana pendapat saudara Cong
tentang tenaga pukulanku?"
Cong To mengambil buli-buli araknya dan meneguk kemudian menyahut seenaknya,
"Tak lebih keras dari kepunyaan pengemis tua!"
"Hm, mungkin tak lebih lemah dari engkau!" dengas Siangkwan Ko.
Cong To tertawa gelak2, "Jika saudara Siang-kwan tak percaya, nanti setelah kite
tolong kedua budak ini, kita cari tempat yang sepi untuk adu jotosan!"
"Kalau saudara Cong mempunyai selera sudah tentu akupun senang melayani," sahut
Siangkwan Ko. "Yang penting kita tolong dulu kedua budak ini. Soal adu kepalan itu kelak kita
rundingkan lagi," kata Cong To.
Siangkwan Ko mengangguk. Setelah kerahkan tenaga-dalam ia segera mengurut tubuh
si dara baju hitam.
Sebenarnya Cong To agak bingung bagaimana harus meuolong Han Ping. Ia benarbenar
tak mengerti ilmu kepandaian apa yang digunakan dalam pertempuran tadi. Tetapi
serta melihat Siangkwan Ko mengurut2 tubuh puterinya, timbullah pikirannya untuk
meniru. Segera ia mengurut-urut jalan darah penting pada tubuh Han Ping. Namun sampai
sekian lama belum tampak hasilnya. Melirik ke arah Siangkwan Ko, juga jago tua itu belum
dapat menolong puterinya.
Terdengar Siangkwan Ko menghela napas dan hentikan peng-urutannya Kemudian
berkata, "Saudara Cong, ilmu apakah yang digunakan budak itu sehingga menyebabkan
anakku tak dapat sadarken diri?"
Balas Cong To, "Ilmu apakah yang digunakan anakmu sehingga budak laki ini tak dapat
kutolong .. ?"
Belum selesai mengucap, tiba-tiba dari belakang terdengar suara tertawa pelahan lalu
suara yang penuh keramahan. "Tak perlu kalian berdua gelisah dan sibuk2. Kedua anak
muda itu telah menderita luka-dalam yang berat. Harus beristirahat cukup lama baru
mereka dapat sadarkan diri."
Siangkwan Ko dan Pengemis-sakti Cong To cepat berpaling ke belakang. Tampak
seorang lelaki pertengahan umur yang sikapnya seperti seorang terpelajar, berdiri pada
jarak setombak jauhnya sambil memandang ke arah kedua jago tua itu.
Cong To serentak berbangkit: Ih Thian-heng."
Sekali tubuh menggeliat sasterawan pertengah dan umur itu sudah meluncur ke
hadapan pengemis-sakti, ujarnya, "Benar, memang aku Ih Thian-heng. Adakah saudara
Cong selama ini tak kurang suatu apa?"
Ia segera memberi hormat.
Sesungguhnya walaupun sudah mendengarnya. tetapi Siangkwan Ko belum pernah
melihat Ih Thian-heng. Kini, dengan sedikit gerak meluncur itu, cukup mengejutkan
perasaan hati Siangkwan Ko, "Pengemis tua memang telah menduga engkau ten
Tetapi Ih Thian-heng tak mengunjuk reaksi apa-apa, kecuali tersenyum. "Ah, memang
aku amat mengagumi perhitungan saudara yang selalu tepat!"
"Jangan menyanjung-nyanjung, pengemis tua tak senang dipuji-puji!" seru Cong To.
Ternyata Ih Thian-heng memang mempunyai peribadi yang kuat. Dia tak ambil pusing
ucapan Cong To, Kemudian ia berpaling ke arah Siangkwan Ko: Saudara tentulah
Siangkwan pohcu yang termasyhur dalam dunia persilatan di daerah Sepak!"
Dengan sungkan, Siangkwan Ko mengiakan.
Kembali Ih Thian-heng memberi hormat, katanya, "Ah, sudah lama mendengar
kemasyhuran namanya, tetapi baru saat ini aku beruntung dapat bertemu."
"Tetapi kebesaran nama saudara, menggema di seluruh dunia. Atu lah yang merasa
beruntung sekali bertemu."
Ih Thian-heng tersenyum, "Saudara Siangkwan dan saudara Cong, harap membawa
kedua anak yang terluka itu ke dalam kamar. Hendak kuperiksa dengan ilmu pukulan apa
meraka sampai terluka itu. Mudah-mudahan aku dapat memberi obat!"
Sejenak Siangkwan Ko memandang ke arah Cong To lalu mengangkat tubuh puterinya,
"jika saudara benar-benar dapat menolong anakku ini, aku tentu akan membalas budi
yang setimpal."
"Dapat atau tidak aku membari pertolongan, sekarang ini belam dapat dipastikan," kata
Ih Thian-heng. "Harus parlu kuperiksa dulu baru dapat kupastikan. Jangan bicarakan soal
budi!" Dalam pada bicara itu. diam-diam Pengemis-sakti sudah mengambil keputusan. Bahwa


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia sudah tak mampu menyembuhkan Han Ping. Daripada membiarkan anak itu mati,
biarlah ia meluluskan Sinciu It-kun untuk mengobati.
Cepat ia mengangkat tubuh Han Ping. Tanpa bicara apa-apa, ia melangkah ke belakang
Siangkwan Ko. Dengan segala keramahan budi, Sin-ciu Itkun mempersilahkan kedua
orang itu mengkutinya menuju ke sebuah kamar di sebelah kiri.
Begitu tiba di muka kamar, pintu segera terbuka sendiri. Dalam kamar diterangi
beberapa batang lilin besar. Ih Thian-heng mempersilahkan Siangkwan Ko dan Cong To
masuk. Tepat bocah lelaki berumur tiga empatbelas tahun, siap menunggu di empat
sudut. Di sampingnya masing2 terdapat meja dengan sebatang lilin merah.
Cong To sejenak memandang ke sekeliling lalu berpaling kebelakang. Tampak dua anak
lelaki berdiri di belakang pintu. Selain keenam budak lelaki itu, tiada lain orang lagi. Di
tengah kamar diberi sebuah ranjang kayu.
Ih Thian-heng minta Cong To menunggu. Ia hendak memeriksa puteri dari Siangkwan
Ko lebih dahulu: "Setelah itu Baru nanti kuperiksa murid saudara".!"
Cong To membiarkan saja orang menganggap Han Ping itu muridnya. Ia duduk di kursi
dekat dinding. Setelah membaringkan si dara di atas ranjang. Siangkwan Ko berpaling ke arah Cong
To, "O, kiranya dia murid saudara Cong ".."
Pengemis-sakti hanya tertawa dingin. "Sayang pergemis tua tak punya rejeki
mengambilnya sebagai murid, hanya dapat menerima si pengemis kecil.
"Kalau bukan murid saudara Cong, lalu dari perguruan manakah dia?" tanya Siangkwan
Ko. "Bagaimana aku tahu?" Cong To marah.
Karena mengingat anaknya yang sedang rebah di atas ranjang, Siangkwan Ko tahankan
kemarahannya. Ih Thian-heng mulai memeriksa denyut nadi si dara. Beberapa waktu lamanya, baru ia
lepaskan tangan dan berbangkit. Dengan wajah serius ia berkata kepada Cong To,
"Saudara Cong. aku hendak minta tanya kepadamu apakah boleh?"
"Pengemis tua tidak buta tidak tuli, silahkan bertanya kalau ada persoalan!" sahut Cong
To. "Apakah pemuda itu benar-benar bukan murid pewaris saudara?" tanya Ih Thian-heng.
"Pengemis tua tak mungkin mampu menghasilkan seorang murid seperti ini. Jika tak
percaya, terserah sajalah!" sahut Cong To.
"Ai, ai, dunia persilatan siapakah yang tak tahu kebesaran nama saudara Cong?" kata
Ih Thian-heng "saudara Ih, bagaimana dengan luka anak itu" Apakah masih ada harapan ditolong?"
seru Siangkwan Ko agak gugup.
"Turut pemeriksaan tadi. puterimu telah terkena pukulan Lwekang tinggi," kata Ih
Thianheng, "untuk sementara ini belum dapat kuketahui jenis lwekang itu, Jika saudara
Cong dapat memberi tahu tentu segera dapat kucari daya pengobatannya."
Cong To tertawa dingin "Jika saudara Ih dapat memberitahu tentang pukulan lwekang
yang diderita puteri saudara Siangkwan itu, mungkin pengemis tua ini juga dapat
menolongnya!"
Sepasang mata Ih Thian-heng agak merentang, ujarnya, "Sekalipun tidak tahu lwekang
itu, akupun tetap dapat menolongnya.
"Kalau begitu harap saudara Ih segera berusaha menolong jiwa puteriku itu. Seumur
hidup Siang-kwan Ko pasti takkan melupakan budi saudara! eepat2 jago tua itu berseru.
Ih Thian-heng tersenyum simpul, "Ah, jangan lah saudara Siangkwan mengucap begitu.
Sekalipun aku harus kehilangan sedikit tenaga-dalam, tetapi karena sudah meluluskan,
tentu tak nanti akan membuat saudara bersedih kehilangan anak!"
Ia segera memegang tubuh dan baju hitam itu lalu berkata, "Dalam waktu memberi
pertolongan kepada puterimu, janganlah aku sampai diganggu orang. Oleh karena itu
kuharap saudara Siangkwan suka menjaga."
Tanpa menunggu jawaban, Ih Thian-heng terus loncat ke dalam ranjang dan duduk
bersila. Dia lekatkan kedua tangannya kepunggung dan pinggang si dara. Ia hendak
menyalurkan tenaga-murni untuk mengobati luka si dara.
Melihat itu diam-diam Pengemis-sakti menimang2, "Jelas Siangkwan Ko itu amat
mencintai puterinya. Jika Thian-heng sampai berhasil menyembuhkan dara itu ia tentu
dapat menguasai Siangkwan Ko. Dengan demikian aku tentu terpencil seorang diri."
Tiba-tiba terdongar derap langkah orang yang berjalan cepat. Ketika berpaling, ia
melihat seorang lelaki gagah berdiri di ambang pintu. Dia mengenakan pakalan Kim-ih
(sutera warna kuning emas), jenggotnya memanjang sampai ke dada.
Di belakangnya tampak dua orang lelaki. Yang satu bungkuk dan yang satu bertubuh
pendek. "Ah, mengapa mereka juga kemari" Malam ini benar-benar akan terjadi pertunjukan
yang ramai sekali," diam-diam Cong To membatin.
Kiranya ketiga pendatang itu adalah ketua gunung Bik-lo-san dan kedua pengawalnya si
Bungkuk dan si Pendek.
Karena sed?ng menumpahkan perhatiannya mengobati sidara, Ih Thian-heng tak
mengetahui kedatangan ketiga tetamu itu. Tetapi keempat bocah laki baju putih yang
berdiri di samping meja, segera loncat ke pintu dan berjajar-jajar menghadang jalan. Juga
kedua bocah baju putih yang semula menjaga di ambang pintu, pun berputar tubuh.
Keenam bocah laki itu serentak mencabut badik yang terselip di pinggang masing2.
Pengemis-sakti yang luas pengalaman, terkejut melihat keenam batang badik atau
pedang pandak yang dihunus keenam bocah itu. Karena jelaslah bahwa enam batang
badik itu adalah Thiansan-liok-kiam atau Enam-pedang dari gunung Thiansan yang
termasyhur di dunia persilatan.
"Ah, memang hehat benar Ih Thian-heng itu," kata Cong To dalam hati, "dia telah
berhasil mendapatkan keenam pedang pusaka dari Thian-san yang termasyhur!"
Seratus tahun berselang, seorang sakti yang bergelar Thian-san Kiam-soh telah
menerima enam orang murid. Menurut bakat pembawaan keenam muridnya masing2,
Thian-san Kiam-soh telah membuat enam batang pedang dan diberikan kepada mereka.
Dengan mengandalkan kepandaian ilmu-pedang itu, keenam murid Thian-san Kiam-soh
masuk ke daerah Tiong goan untuk mengadu kepandaian dengan tokoh-tokoh persilatan
daerah Tiong-goan.
Keenam murid itu bukan saja tinggi kepandaiannya, pun mereka telah herhasil
membentuk sebuah Liok hap-kiam-tin atau barisan Gabungan"enam-pedang. Pedang
mereka amat tajam sekali. Dapat memapas kutung logam seperti memapas tanah liat saja.
Dengan senjata yang ampuh dan barisan yang tangguh, nama Thian-san-liok-kiam segera
menggegerkan dunia persilatan Tiong-goan. Tiga tahun lamanya Thian-san-liok-kiam
malang melintang di dunia persilatan Tiong-goan.
Melihat sepak terjang mereka yang sombong, marahlah keempat partai Kiam-pay
(partai yang termashur ilmu pedangnya) Bu-tong-pay, Go-bi-pay, Cengsia-pay dan Kun
lun-pay. Mereka bersatu, untuk mengusir keenam jago pedang dari Thian-san itu.
Demikian telah disetujui untuk mengadakan pertandingan ilmu pedang. Dalam
pertempuran yang berlangsung sengit sekali, akhirnya Thian-san-liokkiam berenam tadi
menderita luka parah. Tetapi mereka masih berhasil lolos dari kepungan keempat partai
Kiam-pay itu. Sejak menderita kekalahan itu, Thian-san-liokkiam tak pernah muncul di daerah Tionggoan
lagi. Demikianpun dengan keenam pedang pandak yang ampuh itu. Tak pernah lagi
orang mengetahui tentang senjata itu.
Maka benar-benar mengejutkan bahwa pada malam itu keenam pedang pusaka Thiansan
telah muncul kembali. Dan yang lebih mengherankan, keenam pedang pusaka itu
berada di tangan keenam bocah lelaki.
Rupanya Siangkwan Ko tahu juga akan keenam pedang pandak itu. Diam-diam
timbullah kecurigaannya. Tetapi karena perhatian terikat akan diri puterinya, ia kuatir akan
membuat tak senang hati Sin-ciu It-kun Ih Thian-heng, Maka ia diam saja.
Tampaknya ketua Bik-lo-san dan kedua pengawalnya sedang menunggu sesuatu.
Mereka tak mau segera menerobos ke dalam kamar. Sampai beberapa waktu tiada
seorangpun yang berkata-kata.
Tiba-tiba si dara baju hitam mengerang pelahan dan menggeliatkan tubuhnya. Melihat
itu bukan kepalang girang Siangkwan Ko, serunya pelahan, "Ah, anakku, engkau sudah
sadar?" Tetapi setelah bergeliatan, si dara tak bergerak lagi. Sin-ciu It kun Ih Thian-heng
membuka mata dan melirik ke arah pintu. Setelah melihat lelaki baju sutera mas dan
kedua Bungkuk dan Pendek, ia mengangguk pelahan lalu pejamkan mata lagi untuk
melanjutkan penyaluran tenaga-murninya kepada si dara.
Suasana dalam kamar itu sunyi senyap tetapi penuh dengan ketegangan. Wajah setiap
orang berobah tegang. Keenam bocah baju putih itupun merentang mata, siap sedia.
Hanya Ih Thian-seng yang masih melanjutkan pengobatannya kepada si dara, tampak
menyungging senyum.
Siangkwan Ko yang berdiri di samping, memandang lekat2 ke wajah Ih Thian-heng.
Demi melihat It-kun bersenyum, diapun berdebar-debar diamuk luapan rasa girang.
Sepeminum teh lamanya, kepada Ih Thianseng mulai basah dengan keringat. Dan tak
berapa lama ujung hidungnyapun menitikkan keringat.
Siangkwan Ko tahu bahwa It-kun saat itu sedang menggunakan tenaga murni yang
hebat mengobati luka puterinya. Walaupun ia tak mempunyai hubungan suatu apa dengan
Sin-ciu Itkun, tetapi melihat kesungguhan orang memberi pertolongan, mau tak mau jago
tua Siangkwan itu merasa berterima kasih sekali.
"Ah, saudara Ih terlalu banyak menghabiskan tenaga. Menurut pendapatku, baiklah
kiranya saudara berhenti dan beristirahat dulu," serunya.
Namun Sin-ciu It-kun yang tengah mengerahkan penyaluran tenaga-murni kepada si
dara, tak mengacuhkan permintaan Siangkwan Ko itu. Siang-kwan tidak marah,
kebalikannya ia makin merasa berhutang budi kepada Ih Thian-heng.
Tak berapa lama, dara baju hitam itu menggeliat lagi sambil julurkan kedua tangannya.
Napasnyapun makin mengangsur berat.
Mata Ih Thian-heng yang berkilat tajam, memandang ke arah wajah si dara yang sudah
mulai memerah lalu meraba pernapasan hidung dara itu.
Kemudian ia mempesut keringat di dahi sidara. Setelah itu ia kembali pejamkan mata
lalu menghela napas longgar dan mengangguk kepala, "Saudara Siangkwan, kuhaturkan
selamat kepadamu. Luka puterimu ini sudah tak berbahaya lagi. Asal beristirahat dan
minum pil buatanku, dia tentu"."
Karena amat berterima kasih sekali atas pertolongan orang, maka cepat-cepat
Siangkwan Ko berseru, "Saudara telah merelakan pertolongan besar kepada puteriku. Budi
saudara Ih itu, Siangkwan Ku kelak akan membalasnya."
"Janganlah saudara Siangkwan mengucap begini," cegah Thian-heng, "jangankan nona
itu adalah puteri kesayangan saudara, sekalipun aku belum kenal aku juga akan
menolongnya. Sudah menjadi kewajiban kita kaum persilatan untuk memberi pertolongan
kepada orang yang sedang menderita.
Ia beristirahat sejenak lalu melanjutkan berkata lagi, "Aku Ih Thian-heng, selama
berkecimpung dalam dunia persilatan, setiap saat dan tempat tentu bersedia menolong
orang. Dan sama sekali aku tak mengharap balas apa-apa"."
Ia menutup kata-katanya dengan tertawa nyaring.
Mendengar itu Pengamis-sakti Cong To deliki mata, menyeringai dan mendengus
dingin. Sin ciu It-kun rupanya tahu juga tanggapan sinis dari si pengemis. Ia berbangkit dan
turun dari ranjang lalu berjalan mondar mandir di dalam kamar sambil memanggul kedua
tangannya. Sikapnya bebas sekali. Seolah-olah tak mengacuhkan si Pengemis-sakti dan suasana di
luar pintu yang penuh dengan ketegangan itu.
Jilid 15 : Putri lembah raja setan dikurung di gedung Nyo-ke-poh
Kereta misterius.
Terdengar suara erangan dan dara baju hitam itu tampak menjamah tiang ranjang.
Rupanya ia hendak duduk.
Melihat itu Siangkwan Ko buru-buru memapahnya, "Ceng, apakah engkau sudah
enakan?" Dara itu sedikit membuka mata dan memandang ke sekeliling. Tiba-tiba ia bertanya
heran, "Yah, dimanakah kita sekarang?" ia memandang ke ranjang yang ditidurinya itu
dan berkata:"Ih". mengapa aku tidur di sini?"
Siangkwan Ko mencekal nadi pergelangan tangan puterinya, "Ceng-ji, engkau terluka
parah. Untunglah Ih lo-cianpwe telah berhasil menolongmu. Bagaimana engkau rasakan
seka"ang" Cobalah engkau lakukan pernapasan, apakah masih ada yang sakit?"
Dara baju hitam itu ternyata bernama Siangkwan Ceng. Ia memandang ayahnya
dengan senyum hambar kemudian melakukan perintahnya. Setelah melakukan pernapasan
beberapa saat, ia berkata, "Ah, baik2 saja, tak kurang sesuatu apa!"
Bukan kepalang senang hati orang tua itu melihat puterinya tak kurang suatu. Segera ia
memapah dara itu turun dari pembaringan, "Ceng, lekas engkau haturkan terima kasih
kepada Ih lo-cianpwe!"
Sin-ciu It-kun cepat melangkah maju. Ia memegang tangan dara itu dan tertawa, "Ah,
sudahlah, sudah. Tak perlu menurut perintah ayahmu. Aku adalah sahabat lamanya,
masakan harus diberi penghormatan yang berlebih-lebihan begitu. Eh, bagaimana
keadaanmu sekarang?" Sambil berkata ia membelaibelai rambut dara itu.
Siangkwan Ceng mengangguk, "Baik, sudah tak merasakan sakit lagi."
Kata It-ciu Sin-kun::Jalan darahmu sudah tak mengalami kesulitan lagi. Asal engkau
giat melakakan pernapasan dan jangan terlalu banyak menggunakan tenaga, dalam waktu
singkat engkau tentu sudah pulih seperti sedia kala. Mari, kubantumu kalau engkau
hendak berjalan."
Siangkwan Kwan terharu sekali melihat kebaikan budi It-ciu Sin-kun. Segera ia
menghaturkan terima kasih.
Sambil mencegah supaya Siangkwan Ko jangan banyak peradatan, It-ciu Sin-kun
memapah dara itu turun dari ranjang. Saat itu kaki si dara lemas lunglai tak dapat berjalan
sendiri. Siangkwan Ko dan Ih Thian-heng memapahnya di sebelah kanan kiri. Setelah
berlatih sepeminuman teh lamanya barulah dara itu dapat berjalan sendiri tetapi harus
mandi keringat.
Sin-ciu It-kun Ih Thian-heng menerangkan bahwa peredaran darah dara itu sudah
normal tetapi tak boleh keliwat lelah. Ia minta dara itu beristirahat lagi untuk minum obat.
Melihat Ih Thian-heng sudah membuktikan telah dapat menolong puterinya, Siangkwan
Ko silau dengan rasa terima kasih sehingga apa yang dikatakan Ih Thian-heng ia menurut
saja. Ih Thian-heng segera tinggalkan tetapat itu untuk mengambil obat. Saat itu Pengemissakti
Cong To masih memondong Han Ping. Tetapi pengemis itu tak mempedulikan
kemunculan Ih Thian-heng yang lewat di sampingnya.
Adalah Ih Thian-heng sendiri yang mulai berkata dan meminta Cong To supaya
meletakkan pemuda itu dil antai untuk diperiksanya.
"Apakah engkau sungguh-sungguh hendak menolongnya?" sahut Pengemis-sakti
dengan dingin. Ih Thian-heng, tertawa meloroh, "Saudara Cong, mengapa engkau mengucap begitu"
Apakah ada dua macam menolong, yang sungguh dan yang pura2" Apakah Ih Thian-heng
mempunyai cacad pernah mencelakai orang?"
Pengemis-sakti Cong To deliki mata memotong kata-kata orang, "Sudahlah, sudah! Aku
Pedang Ular Mas 17 Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long Sepasang Pedang Iblis 23
^