Pencarian

Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 12

Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen Bagian 12


sipengemis tua tak suka membenci orang yang merengek-rengek di telingaku. Kalau
engkau tahu cara menolongnya, harap jangan menunda waktu lagi!"
Mendengar itu diam-diam Siangkwan Ko memaki si pengemis tua yang dikatakan tak
tahu gelagat. Tetapi kebalikannya Sin-ciu It-kun Ih Thianheng tak marah. Dengan tenang ia
berjongkok memeriksa luka Han Ping seraya menjawab kepada si pengemis tua, "Ah,
dalam usia yang begitu lanjut saudara Cong masih begitu perangsang sekali!"
Sekonyong-konyong terdengar gemerincing gelang dan membawa hawa yang wangi.
Karena terkejut sekalian orang serempak memandang keluar pintu. Sesosok tubuh
berkelebat muncul dan tampaklah seorang dara baju ungu yang berwajah cantik berseri
laksana kuntum bunga sedang mekar.
Di belakang dara baju ungu itu mengikut seorang nenek tua berambut putih seperti
salju dan mencekal sebatang tongkat bambu.
Begitu melihat kemunculan dara baju ungu itu lelaki berpakaian kuning emas dan kedua
pengawal si Bungkuk dan si Pendek, dengan sikap menghormat segera menyisih ke
samping memberi jalan. Dara baju ungu itu tersenyum.
Beberapa bocah laki berpakaian putih yang menghadang di pintu tadi. Melihat si dara
baju ungu dan nenek berambut putih hendak masuk, mereka saling bertukar pandang
mata dan hendak maju menghadang.
Tetapi lelaki baju kuning emas itu selalu memperhatikan mereka. Cepat ia hendak maju
melindungi si dara. Tetapi tiba-tiba ke empat bocah baju putih menundukkan kepala dan
sama mundur dua langkah.
Kiranya karena melihat yang hendak masuk itu seorang dara, surutlah kekerasan hati
mereka, Dan ketika mereka memandang si dara, si dara tengah bersenyum. Senyumnya
laksana bunga2 mekar di musim semi.
Sekalipun ke empat bocah lelaki itu baru berumur tiga empat betas tahun, tetapi
mereka tetap terpesona juga menyaksikan kecantikan si dara baju ungu yang sedemikian
gilang gemilang. Jantung mendebur keras, darah melancar deras dan tanpa disadari
merekapun menyurut mundur.
Dara baju ungu itu berdiri tegak seperti hendak masuk ke dalam ruangan. Sedang si
nenek rambut putih berada di belakangnya.
Sin-ciu It-kun Ih Thian-heng, Pengemis-sakti Cong To dan Siangkwan Ko, tergetar
hatinya ketika melihat dara baju ungu itu masuk. Tetapi tiada seorangpun yang berani
bergerak. Siangkwan Ko masih tetap merawat puterinya. Ih Thian-heng pun tetap
mengobati Han Ping. Sedang Pengemissakti Cong To mengawasi gerak gerik Ih Thianheng
dengan merentang mata lebar-lebar.
Begitu melangkah masuk, dara baju ungu itu pun tak mau bicara apa-apa, maelainkan
memandang ke arah Ih Thian-heng yang sedang mengohati Han Ping.
Suasana dalam kamar itu sunyi senyap seperti kamar kosong.
Kira-kira sepenanak nasi lamanya barulah terdengar Han Ping mendengus napas.
"Murid saudara sudah lancar darahnya, harap saudara suka membantu juga untuk
menyalurkan tenaga-murni agar darahnya lekas normal kembali," kata Ih Thian-heng.
Cong To tak mengacuhkan omongan Ih Thian-heng. Melihat Ih Thian-heng benar-benar
mencekal pergelangan tangan kanan Han Ping dan menyalurkan tenaga-murni, diapun
segera duduk mencekal pergelangan tangan kiri pemuda itu dan bantu menyalurkan
tenaga-murninya.
Sepeminum teh lamanya, Ih Thian-heng menarik kembali tangannya. Tiba-tiba Han
Ping menguak keras dan muntahkan segumpal darah segar.
Ih Thian-heng minta Cong To memapah pemuda itu bangun dan melakukan gerakan
jalan pelahan-lahan. Setelah itu ia akan memberi obat.
Pengemis-sakti Cong To hanya meliriknya sejenak lalu memapah Han Ping dan diajak
berlatih jalan pelahan-lahan.
Ih Thian-heng mengeluarkan sebuah botol kecil Sambil tertawa ia menuang dua butir
pil warna merah tua, lalu menyimpan botol itu ke dalam bajunya lagi.
Dara baju ungu memandang gerak gerik Ih Thian-heng dengan mengulum senyum
hambar. Dalam pada itu setelah berjalan-jalan sebentar, darahnyapun mulai lancar, napas
longgar. Ketika membuka mata dan melihat si dara baju ungu tengah memandang ke
arahnya. Han Ping pun terkesiap heran.
Dengan menjepit sebutir pil pada kedua jari kanan, Ih Thian-heng melangkah ke muka
Siangkwan Ko, serunya, "Saudara Siangkwan, pil ini obat buatanku sendiri. Amat manjur
sekali harap harap diminumkan kepada puteri saudara!"
Tanpa ragu2 Siangkwan Ko menyambuti pil terus mengangkat bangun Siangkwan
Ceng. Kemudian Ih Thian-heng berputar diri menghampiri pengemis sakti.
"Minumlah pil ini"." terdengar Siangkwan
Ko berkata kepada si dara baju hitam.
Melihat Siangkwan Ceng begitu menurut saja disuruh minum pil, tiba-tiba dara baju
ungu itu julurkan kaki dan mendesis, "Ai".."
Belum suara desisan itu habis dan pada saat Siangkwan Ceng ngangakan mulut hendak
menelan pil, tiba-tiba serangkum angin meniup ke dalam ruangan dan menyusul terdengar
bunyi menggedebuk dari benda yang jatuh.
Kiranya Pengemis-sakti Cong To selalu memperhatikan gerak gerik Ih Thian-heng. Ia
sudah hendak berseru memberi peringatan ketika Ih Thian-heng menyerahkan pil kepada
Siangkwan Ko. Tetapi ia tahu bahwa Ih Thian-heng bukan tokoh yang gampang
dipermainkan. Terpaksa ia tahan nafsu.
Tetapi ketika melihat si dara baju kita ngangakan mulut hendak menelan pil itu,
Pengemis-sakti tak dapat mengendalikan diri lagi. Ia lepaskan
ia melesat ke muka ranjang dan membentak, "Tahan dulu!" secepat kilat ia sudah
menyambar pil dari tangan Siangkwan Ko, "saudara Siangkwan jagalah kemungkinan pil
itu mengandung bahaya.
" Gerakan melesat dan menyambar pil itu dilakukan Pengemis-sakti dengan kecepatan
yang luar biasa, Tetapi ternyata Sin-ciu It-kun lebih cepat lagi. Pada saat Pengemis-sakti
bergerak, ia pun sudah bergerak juga. Begitu Pengemis sakti berhasil merebut pil,
sekonyong-konyong tangan kanannya bergetar dan tahu-tahu pil itu sudah pindah ke
tangan Ih Thian-heng lagi.
Setelah merampas pil, Ih Thian-heng menyingkir lima langkah ke samping. Ujarnya
pelahan-lahan, "Rupanya saudara Cong tak percaya kepadaku. Kebaikan hatiku ternyata
meninmulkan kecurigaan saudara Cong. Kalau tak percaya, tak apalah. Akupun tak berani
memaksa orang harus menelan obat buatanku itu!"
Dalam pada berkata-kata itu, Ih Thian-heng sudah berjalan keluar kamar.
Pengemis-sakti Cong To mendengus geram karena pil yang dirampasnya itu dapat
direbut kembali oleh Ih Thian-heng. Belum ia sempat berpikir apa yang, harus dilakukan
tiba-tiba ia terkejut mendengar bunyi menggedebuk dari sosok tubuh yang jatuh. Kiranya
karena tak dipapah si pengentis, Han Ping yang masih lemas tenaganya, jatuh terduduk di
lantai. Cong To cepat loncat ke muka Han Ping.
"Aih"." melihat Han Ping rubuh ke lantai, dara baju ungu itu mendesis kaget.
Sedang Siangkwan Ko yang telah menyadari apa yang telah terjadi segera melesat
maju dan menegur. "Apakah maksud saudara Cong bertindak begitu tadi?"
Cong To tertawa: "Ih Thian-heng hanya berkedok saja sebagai manusia baik. Pengemis
tua duga obat itu tentu mengandung apa-apa!"
"Apakah buktinya saudara Cong tahu hal itu. Aku tak percaya!" kata Singkwan Ko.
Pengemis sakti Cong To menghela napas, ujarnya, "Sayang pengemis tua ini agak
lengah sehingga ular yang sudah kutangkap itu dapat menggigit lagi. Kalau tidak, tentu
dapat mencoba pil tadi dan saudara Singkwan tentu tak menyangsikan keteranganku ini!"
Tiba-tiba si dara baju ungu melengking, "Lebih baik kalau tidak makan obat itu."
Ucapannya amat pelahan, seolah-olah berkata kepada dirinya sendiri.
"Sesungguhnya Siangkwan Ko hendak mendebat pengemis Cong To. Tetapi demi
mendengar kata-kata si dara baju ungu, ia berpaling. Wajah si dara yang memantulkan
sinar kecantikan gemilang suci, telah menurunkan rasa kesangsian jago tua itu. Ia tak mau
bicara apa-apa lagi.
Pengemis-salkti Cong To sejanak memandang Han Ping lalu menghela napas. Kemudian
ia mengambil buli-buli arak dan meneguknya. Setelah itu ia memandang keluar pintu dan
berkata, "Jika tidak memikirkan kepentingan budak itu, pengemis tua tentu takkan
membiarkan dia pergi!"
Kemudian matanya direntang mendelik dan berkata pula, "Asal si paderi masih
bernyawa, gereja tentu tak lari dikejar. Untuk sementara rekening ini kita catat dulu,
besok pengemis tua pelahan-lahan akan membuat perhitungan dengan engkau!"
Habis berkata ia menunduk dan mengurut-urut Han Ping.
Melihat tingkah laku dan kata-kata Pengemis-sakti Cong To yang lucu, tertawalah gadis
baju ungu itu dengan gelinya.
Melihat dara itu tertawa dengan nada yang menyengsamkan, Pengemis-sakti Cong To
pun tertarik. Ia ikut tertawa gelak-gelak.
Sekarang marilah kita tinggalkan dulu si Pengemis-sakti Cong To yang sibuk merawat
Han Ping. Kita jenguk lagi kedua nona Ting.
Setelah berpisah dengan Han Ping, kedua nona itu berjalan menyusur sepanjang jalan
pegunungan. Beberapa waktu kemudian, barulah Ting Hong bertanya, "Ci Ling,
kemanakah tujuan kita ini?"
Ping Ling gelengkan kepala dan menghela napas, "Ah, aku sendiripun tak tahu hendak
kemana. Asalkan langit masih membiru, kemana saja langkah kita akan membawa, kita
turut saja."
"Tetapi sebaiknya kita harus mempunyai tetapat tujuan tertentu. Jika terus berjalan
begini, kiranya kurang tepat!"
Ting Ling tertawa, "Dunia memang penuh keajaiban. Siapakah yang mampu
memastikan segala apa" Bukankah enak juga kita saat ini dapat berjalan dengan bebas?"
Ting Hong memandang wajah tacinya. Melihat wajah tacinya itu mengerut sunyi, diamdiam
ia heran. Biasanya, tacinya itu cerdas dan tangkas. Tetapi mengapa pada saat itu
seperti orang longong"
Setelah berjalan beberapa saat lagi, tiba-tiba Ting Hong berseru, "Ai, sekarang aku
mengerti".."
Ia melirik tacinja lalu menghela napas, ujarnya pula, "Ah, tak heran kalau taci begitu
gundah. Aku sendiripun gelisah "."
Diam-diam pandang matanya terbayang wajah pemuda Han Ping. Seketika merahlah
selembar wajah dara itu.
"Adik Hong, apakah engkau juga terkenang pada Han Ping?" tiba-tiba Ting Ling
menegur. Ting Hong mengangguk, "Pemuda semacam dia, sudah tentu patut dikenang!"
Wajah Ting Ling yang sunyi mereka senyum hambar. "Apakah engkau merasa Han Ping
itu dengan Ca Giok"."
Ting Hong cepat menukas dengan dengusan pelahan dan muka menyeringai,
"Bagaimana Ca Giok dapat dibanding dengan Han Ping" Han Ping lapang dada, selalu
bekerja dengan terang. Seorang pemuda yang berwatak ksatrya dan berbudi perwira. Ca
Giok" Hm, dia sih berlainan. Wataknya licin dan licik dan sikapnya seperti orang banci.
Entah mengapa Han Ping mau berkenalan dengan dia?"
Kata Ting Ling, "Han Ping mengukur orang menurut ukuran seorang ksatrya. Dan pula
dia kurang pengalaman dalam dunia persilatan. Tentulah tidak mempunyai kecurigaan
terhadap orang!"
Ting Hong merenung beberapa saat, ujarnya, "Benar, aku memang kuatir Ji siangkong
(Han Ping) akan menderita kerugian dari hubungan itu. Misalnya ketika di atas puncak
bukit itu. Ca Giok pura menderita luka berat dan membiarkan Ji siangkong yang
menghadapi lain orang. Uh, bukankah itu menandakan betapa kelicinan Ca Giok?"
Melihat adiknya sangat ngotot menelanjangi keburukan Ca Giok, tertawalah Ting Ling,
"Kalau begitu, engkau membenci Ca Giok?"
Ting Hong jebikan bibir, "Hm, nanti pada suatu hari tentu akan kuberinya sedikit
pelajaran pahit!"
Ting Ling hanya ganda tertawa tetapi tak mengucap apa-apa. Rupanya ia tengah
memikirkan sesuatu.
Ting Hong menarik-narik ujung baju cicinya, "Ci Ling, apa yang sedang engkau
pikirkan" Engkau masih belum sembuh, janganlah terlalu banyak menggunakan pikiran."
Kata Ting Ling, "Aku sedang merenungkan tentang ilmu kesaktian Ji siangkong yang
maju pesat dalam waktu yang begitu singkat itu. Benar-benar suatu peristiwa yang belum
pernah kuketahui. Jika saat si setan tua Long Kong-siau menangkapmu dan paman kita
tak muncul, kukira Ji siangkong tentu akan bertindak membebaskan engkau. Jika setan
tua itu menerima sedikit pelajaran, hm, alangkah baiknya"."
"Memang setan tua Leng itu memuakkan sekali. Begitu melihat paman muncul, dia
terus ngacir pergi seolah-olah hanya bergurau saja kepada kita. Dia benar-benar setan tua
yang licin!" Ting Hong bersungut.
Ting Ling mengangguk, "Engkau hanya menduga dia jeri terhadap paman sehingga tak
berani membikin susah kita. Tetapi sebenarnya dia hendak mengambil muka paman, ingin
bersekutu dengan paman untuk menghadapi Ji siangkong. Jika sudah berhasil dia tentu
turun tangan untuk mencelakai kita dan paman. Setan tua itu memang amat ganas, lebih
ganas dari harimau!"
"Mengapa Ji siangkong selalu bersua dengan manusia2 begitu" Ci Ling, apakah
kemungkinan Ji siangkong akan menderita"
" Ting Ling tertawa, "Jangan kuatir. Jangankan dia bersama Kim Loji, sekali pun tanpa
Kim Loji, dengan kepandaiannya yang hebat, rasanya dewasa ini jarang orang mampu
menandinginya. Apakah engkau tak memperhatikan bahwa sekali pun paman dan setan
tua Leng Kong-siau juga gentar menghadapinya."
Ting Hong tak berkata apa-apa lagi, Wajahnya menampak kelonggaran hati.
"Ji siangkong memang luar biasa. Bahkan Pengemis-sakti Cong To yang begitu
dipandang tinggi oleh dunia persilatan, juga sungkan terhadapnya. Kurasa kelak dia tentu
akan melakukan suatu peristiwa besar dalam dunia persilatan," kata Ting Ling pula.
Kedua nona itu memang berasal dari keluarga tokoh Rimba Hijau. Sekalipun masih
gadis remaja tetapi dunia persilatan sudah kenal akan kemasyuran nama kedua nona itu.
Tetapi betapapun ganas dan gagahnya, mereka adalah anak gadis yang tak mampu
terhindar dari rasa getaran asmara.
Selama ini mereka hanya bergaul dengan tetamu Rimba Hijau dan tokoh-tokoh
persilatan yang biasanya berwatak licik dan banyak muslihat. Maka sekali berjumpa
dengan Han Ping, segera mereka merasa jatuh hati dan mengagumi peribadi luhur dari
pemuda itu. Diam-diam dalam hati mereka berkesan sekali bayang2 pemuda itu.
Kemudian setelah bersama melakukan pengejaran pada hilangnya kotak pedang
pusaka, pemuda itu tak segan menyaru jadi kusir kereta untuk bersama-sama menuju ke
kota tua Lok-yang. Begitu pula ketika Ting Ling menderita luka akibat pukulan tenaga-sakti
Sam-yang-khi, Han Ping pun berdaya untuk mengejar sidara baju ungu sampai menerobos
ke dalam barisan Batu-bambu. Peristiwa itu meninggalkan kesan mendalam di lubuk hati
mereka, makin lama makin dalam. Oleh karenanya, pada waktu berpisah dengan pemuda
itu, mereka seperti kehilangan semangat.
Selama berjalan dalam keadaan gundah kelana itu tak tahulah sudah berapa jauh
mereka telah menempuh perjalanan. Hanya ketika berpaling, mereka melihat jalur2
jalanan di padang belantara itu, sudah hampir habis ditetapuhnya.
Sedangkan memandang ke sebelah muka, mereka melihat sebuah hutan yang rawan.
Saat itu dalam pertengahan musim rontok. Pohon2 dalam hutan itu hampir telanjang dari
hiasan daunnya. Apalagi hutan itu hanya terdiri dari dua macam tanaman, pohon randu
dan pohon jati.
Ketika melintasi hutan itu dan tiba di ujung terakhir, mereka harus menghadapi gunduk
karang. Di bawah gunduk karang itu tampak sesosok bayangan orang yang berpotongan
tinggi, tengah bergerak kian kemari.
Ting Hong segera menarik ujung baju tacinya, "Lihatlah, ci Ling. Di sebelah muka sana
ada orang berjalan. Pertanda sudah akan mendapat sebuah desa."
Ketika melongok ke muka, Ting Ling melihat orang itu mengenakan baju panjang,
punggung menyelip sebatang pedang. Jalannya tidak cepat dan tidak lambat.
Mamang Ting Ling amat cermat. Setelah mengawasi orang itu sampai beberapa saat,
kedengaran ia berkata seorang diri, "Aneh, mengapa di tetapat yang begini sunyinya,
masakan terdapat orang yang berkunjung. Kemungkinan besar dia tentu kaum persilatan."
"Kalau begitu kita susul dia atau tidak?" cepat Ting Hong menanggapi.
Setelah merenung beberapa saat, Ting Ling gelengkan kepala, "Jangan, aku belum
sembuh betul dan perlu engkau rawat. Lebih baik kita jangan cari perkara."
Ting Hong cibirkan bibir menyahut, "Aku hanya minta persetujuan ci Ling. Sekali-kali
bukan hendak cari perkara."
Ia tertawa lalu berkata pula, "Bukankah ci Ling sendiri dulu gemar menimbulkan onar
dan suka mengumbar kemarahan" Mengapa setelah berjumpa dengan Ji siangkong,
perangai cici berobah banyak sekali
." Diam-diam Ting Ling memaki adiknya, yang makin nakal itu. Tiba-tiba ia kerutkan
wajahnya lebih gelap dan membentak, "Ting Hong "."
Si dara julurkan lidahnya, tertawa, "Karena engkau masih belum sembuh akupun tak
mau menimbulkan kemarahanmu. Ci Ling, apakah engkau suka masakan aku?"
Mendengar itu Ting Lingpun tertawa. Ia memandang ke arah orang yang berada di
sebelah muka itu, katanya, "Adik Hong, rasanya aku kenal dengan orang di sebelah muka
itu ." "Bagus, kalau begitu kita ikuti saja secara diam-diam," kata Ting Hong.
Ting Ling menganggak. Keduanya segera cepatkan langkah. Orang itu menyusur jalan
kecil lalu menyusup ke dalam cekung karang.
"Kenal atau tidak kenal, jangan kita sampal diketahui orang itu! Kita ambil jalan
melingkari bukit ini agar dapat melihat gerak-geriknya dari samping," kata Ting Hong. Ting


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ling memuji adiknya, "Eh. tak kira dalam beberapa hari ini saja, cara berpikirmu sudah
jauh lebih tinggi."
Sepeminuman teh lamanya, Ting Ling memperhitungkan kalau sudah dapat menyusul
orang tak dikenal itu, Karena kuatir. Ting Hong buka suara. segera Ting Ling mengarahkan
telunjuk jari ke mulut, melarang Ting Hong jangan bicara apa-apa, Kemudian tangannya
yang lain menunjuk ke arah sebuah batu gunung yang menonjol.
Sebagai seorang adik yang sejak kecil menjadi kawan sepermainan, sudah tentu Ting
Hong dapat menangkap isyarat tacinya itu. Tacinya hendak mengatakan bahwa mereka
sudah dapat mengejar orang itu dan mengajaknya bersembunyt di balik segunduk batu
yang besar. Dari situ mereka akan mengawasi siapakah sesungguhnya orang itu.
Memang Ting Hong kalah cerdas dengan tacinya, tetapi kemasyhuran nama Hun-bongji-
kiau bukanlah gelar kosong. Gelar itu telah ditetapuh dengan darah dan keringat. Dara
itu segera mengeluarkan sehelai kedok dari kulit manusia lalu
dipasang ada mukanya.
Tetapi Ting Ling menggeleng kepala, tanda tak menyetujui tindakan adiknya. terpaksa
Ting Hong menyimpannya lagi. Dengan gesit kedua nona itu berloncatan beberapa kali
lalu bersembunyi di balik batu besar.
Ting Hong melongok ke bawah lalu berpaling memandang Ting Ting lalu gelengkan
kepala. Isyarat itu berarti bahwa Ting Hong tak kenal siapa orang itu.
Ting Ling melongok ke bawah juga. Tetapi baru julurkan kepala, baru2 ia menariknya
kembali. "Ci Ling, siapakah orang itu?" tanya Ting Hong. "Apakah engkau kenal padanya?"
Ting Ling mengangguk.
"Siapa?" desak Ting Hong.
Ting Ling segera membisiki ke dekat telinga adiknya, "Hm. seorang tokoh tua yang
aneh ialah ketua dari marga Nyo. NYo Bun-giau."
Mendengar nama Nyo Bun-giau, Ting Hong pun mengangkat bagu dan julurkan
lidahnya. Mengira Nyo Bun-giau tentu sudah lewat, Ting Ling melongok pula ke bawah. Ia amat
terkejut sekali. Nyo Bun-giau tampak berdiri di tepi jalan kedua matanya menyinarkan
pandangan penuh kecurigaan. Ia memijat hidungnya, memandang ke atas langit lalu
tundukkan kepala lagi.
"Celaka!" tiba-tiba Ting Ling mengeluh dalam hati lalu membaui sekujur tubuhnya,
Setelah itu membaui pada tubuh Ting Hong.
"Ci Ling, apa gunanya engkau membaui tubuhku?" tegur Ting Hong.
Ting Ling menghela napas pelahan, ujarnya, "Setan tua itu telah mencium jejak kita,"
Ting Ling menghela napas.
Ting Hong juga tergetar hatinya, "Lalu bagaimana?"
Tetapi saat itu Ting Ling malah lebih tenang dari beberapa saat yang lalu, ujarnya,
"Urusan sudah jadi begini. Mau menyingkir pun tak dapat. Dan lagi kita berdua Hun-bongji-
kiau belum pernah takut kepada siapa pun juga."
Pada saat kedua saudara itu bercakap-cakap, tiba-tiba kedengaran Nyo Bun-giau
berseru, "Puteri dari keluarga mana atau nyonya terhormat dari siapa"."
Ting Ling berpaling dan deliki mata kepada adiknya lalu berteriak kaget, "Ai, mengapa
nyasar kemari hingga mengejutkan orang?"
Nyo Bun-giau tertawa sinis. "Kalau memang orang, mengapa mengumpatkan diri"
Apakah tak dapat bertemu manusia?"
Ting Hong mengerti bahwa tacinya pura2 tak tahu orang itu. Memandang Ting Ling,
sambil mencibirkan bibir iapun pura2 menyahut dengan marah, "Siapa bilang kami takut
bertemu orang. Siapakah engkau, hai, mengapa berani bicara begitu kurang sopan?"
Sambil berkata, Ting Hong melangkah keluar. Nyo Bun-giau memandang nona itu
cermat2 lalu menegurnya, "Mengapa engkau seorang nona, datang ke tetapat yang begini
sunyi?" Ting Hong mendengus, "Karena engkau bertanya, akupun hendak bertanya juga.
Apakah tetapat ini hanya engkau sendiri yang boleh datang?"
Nyo Bun-giau tertawa mengekeh, "Heh, heh, anak perempuan. kecil2 sudah bermulut
tajam!" Saat itu Ting Ling tak dapat tinggal diam lagi, membiarkan adiknya terdesak. Sambil
melangkah keluar ia berseru, "Hai. ji-ahtau (anak perempuan yang kedua), dengan siapa
engkau ribut2 itu" Di luar tak boleh engkau bikin onar!"
Nyo Bun-giau digelari orang sebagai Perancang sakti, bukan saja dia pandai dalam ilmu
bangunan dan alat2 rahasia, pun juga pintar menghitung hati orang. Seorang yang licin
dan licik. Begitu mendengar suara Ting Ling. belum melihat orangnya, dia sudah dapat menduga.
Sambil batuk-batuk, ia tertawa meloroh.
Setelah keluar, Ting Ling memandang sejenak kepada Nyo Bun-giau lalu berpaling ke
arah adiknya dan menegurnya, "Ji-ahtau, engkau memang liar, inilah dari marga Nyo di
Kimleng. Tak boleh engkau kurang ajar terhadap orang yang lebih tua. Uh, makin besar,
engkau makin meliar."
Ting Hong menyeringai dan menyahut tak puas, "Dia tak bilang apa-apa, bagaimana
kutahu dia kepala dari marga Nyo?"
Ting Ling cepat menarik tangan adiknya dan suruh minta maaf kepada Nyo Bun-giau.
"Lekas haturkan maaf kepada Nyo lo-cianpwe! Kalau tidak. jika sampai lain orang tahu,
kita kaum marga Ting tentu dianggap tak mendapat pendidikan."
Memandang ke arah kedua Dona itu, sambil mengurut jenggot, Nyo Bun-giau tertawa
hambar. "Sudahlah. sudah" karena Ji-siocia tak kenal padaku, tak dapat
menyalahkannya."
Kembali Nyo Bun-giau menelitikan pandang matanya ke sekeliling, kemudian bertanya
pula, "Eh. mengapa kalian datang ke tetapat begini?"
Sahut Ting Ling dengan tangkas, "Ayah suruh aku membawa adikku ini pesiar keluar
mencari pengalaman agar jangan selalu mendekam di rumah dan tak tahu apa-apa "."
Ia memandang Ting Hong dan tertawa.
Sedang dalam hati Nyo Bun-giau memaki kedua nona yang bermulut tajam. Segera ia
berkata dengan sikap serius, "Apakah ayah dan pamanmu baik2 saja selama ini" Kami
jarang sekali bertemu!"
Diam-diam Ting Lingpun menertawakan orang she Nyo itu yang merasa takut kepada
ayahnya. "Terima kasih, lo-cianpwe," sahutnya, "berkat pengestu lo-cianpwe, ayah dan paman
sehat2 saja selama ini. Paman kami ketiga menemani kami. Tadi belum lama lewat di sini.
Jika lo-cianpwe datang kemari dua jam yang lalu, tentu bisa berjumpa dengan paman."
Tergetar hati Nyo Bun-giau mendengar keterangan itu. Namun sikapnya pura2 tenang,
serunya, " Ah, sayang, sayang, terlambat sedikit"."
Ting Ling cepat balas bertanya, "Mengapa lo-cianpwe berkunjung kemari" Apakah
pemandangan alam di daerah Kimleng kalah indah dengan sini?"
Nyo Bun-giau tampak gelagapan. Ia batuk-batuk sebentar lalu menjawab, "Aku
memenuhi undangan seorang sahabat dan lewat di sini. Sungguh tak nyana kalau bersua
dengan kalian."
Ting Ling saling bertukar pandang dengan Ting Hong. Keduanya cibirkan mulut,
tertawa. Nyo Bun-giau bingung, tak tahu apa yang ditertawakan kedua anak perempuan
itu. Namun pada lain kilas, ia menghibur dirinya sendiri. Masakan seorang tua seperti dia,
takut kepada kedua anak perempuan saja!
Ting Ling dan Ting Hong tertawa, Nyo Bungiau pun ikut tertawa meloroh.
Peristiwa dalam makam kuno, amat berkesan sekali dalam hati Nyo Bun-giau. Ia tak
nyana kalau Han Ping seorang pemuda yang tak terkenal, ternyata memiliki tenaga-sakti
yang begitu hebat. Berhadapan satu lawan satu dengan pemuda itu, ia merasa tak
mempunyai harapan menang, Apalagi Han Ping masih didampingi dua tokoh yang hebat,
Kim Loji dan Ih Seng yang termasyhur dengan kipas-besi dan pedang-peraknya.
Dan yang paling memalukan adalah kotak tetapat pedang pusaka yang sudah berada di
tangannya, jatuh ke tangan pemuda itu. Belum pernah seumur hidup ia menderita hinaan
seperti itu. Ia ngiler sekali akan isi makam tua yang penuh ratna mutu manikam yang tak ternilai
harganya. Lebih2 pula, menurut keterangan Kim Loji, makam itupun menyimpan dua buah
pusaka Tonggeret-kumala dan Kupu2-emas.
Dia tetap menginginkan harta pusaka dalam makam itu maka ketika menyerahkan
kotak pedang, ia sengaja menekan kotak itu pada telapak tangannya agar meninggalkan
bekas. Tak lari gunung dikejar, pikirnya. Selain dia, tak mungkin lain orang mampu keluar
masuk ke dalam makam kuno itu. Sekalipun orang lain berhasil mendapatkan kotak
pedang itu, tetapi bagian yang penting telah ia rusakkan sehingga tak mungkin orang itu
mampu masuk ke dalam makam.
Memikir sampai disitu. terhiburlah hati Nyo Bun-giau.
Ketika Han Ping dan rombongannya keluar dari makam, Nyo Bun-giau terus melarikan
diri. Ia menyadari bahwa jika bersama mereka, besarlah bahayanya.
Tetapi ketika tiba di cekungan gunung, tiba-tiba ia mencium bau harum dari tubuh
wanita. Karena heran ia berhenti dan bertemulah ia dengan kedua nona Ting itu.
Ia tahu bahwa kedua nona itu termasyhur menyusahkan orang. Tetapi ia sudah
mempunyai rencana sendiri. Maka dengan tahankan kemarahan, ia layani mereka berputar
lidah. Tetapi ketika kedua nona itu menertawakannya, ia amat malu. Tetapi pada lain
kilas, ia tetap bersabar dulu.
Dengan wajah serius, berkatalah ia, "Ah, paman kalian begitu longgar membebaskan
kalian pergi sendiri. Maafkan aku si orang ini hendak menyebut kalian sebagai "hian-titli"
(kemenakan perempuan). Ah, sekali pun kalian pintar dan tangkas, tetapi lebih baik kalau
ada orang yang memberi petunjuk. Dan kalau percaya padaku, lebih baik kita bersamasama
saja. Bukankah tujuan kalian hendak mencari pengalaman dalam dunia persilatan"
Dalam hal itu, kiranya aku dapat memberi petunjuk2. Nah bagaimana hian-titli berdua"."
Habis berkata ia tertawa gelak2.
Ting Ling tersenyum, sahutnya, "Memang baik sekali. Tetapi bukankah hal itu akan
merepotkan lo-ciapwe saja?"
"Ah sama sekali tidak. Bahkan dengan mempunyai kawan dalam perjalanan, kita lebih
gembira dan bisa saling membantu. Mari, kita lanjutkan perjalanan sekarang!"
Ting Hong tak senang melihat tacinya begitu gampang meluluskan ajakan orang.
Pikirnya, "Huh engkau yang mengaku pintar, akhirnya akan terjeblos juga. Walaupun Nyo
Bun-giau mempunyai kedudukan yang terpandang dalam dunia persilatan tetapi dia tak
mempunyai hubungan erat dengan kita. Pun di luaran orang mengatakan Nyo Bun giau itu
hanya lahirnya baik tetapi sesungguhnya seorang yang julig dan banyak muslihat.
Mengapa engkau tak mempertimbangkan masak2 tetapi cepat-cepat meluluskan saja?"
Tetapi nasi sudah menjadi bubur. Karena tacinya sudah meluluskan, ia terpaksa
memapah Ting ling dan berjalan di belakang Nyo Bun-giau selama dalam perjalanan,
beberapa kali Ting Hong hendak menegur tacinya tetapi selalu diawasi Nyo Bun-giau
sehingga ia tak jadi bicara.
Tampak Ting Ling tenang2 saja. Melihat wajah adiknya mengunjuk karang puas, ia
hanya ganda tertawa saja.
"Huh, engkau masih tertawa" Kulihat rasa sakit karena terluka itulah yang
menyebabkan engkau linglung," diam-diam Ting Hong memaki tacinya.
Demikian mereka bertiga jalan tanpa bicara apa-apa. Masing2 mempunyai soal sendiri2
dalam hati. Tak berapa lama haripun mulai gelap. Saat itu mereka sudah keluar dari lembah.
Tampak jauh di sebelah muka, api penerangan yang menunjukkan adanya sebuah kota.
Begitu masuk kota itu, Nyo Bun-giau segera mencari rumah penginapan dan memesan
dua buah kamar.
Malamnya Ting Hong tak dapat menahan hati lagi dan bertanya, "Ci Ling, mengapa
engkau mau mengikuti orang itu" Aku sungguh tak mengerti apa yang engkau
rencanakan."
"Engkau takut kepadanya?" Ting Ling tertawa.
Ting Hong mendengus pelahan "Tidak. aku tak takut. Masakan dia mau memakan kita!"
Ia berhenti sejenak lalu berkata, "Tetapi apa perlunya kita ikut kepadanya. Bukankah
berarti akan mencari kesulitan?"
"Adik Hong, pada akhir2 ini tampaknya engkau sudah tambah banyak pengalaman.
Tetapi engkau tetap tak mengerti isi hatiku. Jika setan tua itu sungguh-sungguh hendak
memusuhi kita. walaupun aku sudah sembuh, tetapi kita berdua tetap bukan
tandingannya. Benar atau tidak?"
"Benar," Ting Hong mengiakan, "tetapi apakah rencanamu mengikuti dia!"
"Karena tak dapat mengelak lagi, lebih baik kita pura2 turut. Tampaknya dia amat
membanggakan diri sebagai orang tua maka kitapun harus mentaati. Dengan begitu dia
tentu sungkan untuk mempersulitkan kita. Dan pula, belum tentu dalam perjalanan ini
aman. Menilik sikap Leng KOng-siau terhadap kita, lebih baik kita berhati-hati. Dengan ikut
padanya, rintangan pertama dia tentu mau melindungi kita"."
Ting Hong mengangguk. "Ah, engkau memang hebat Ci Ling. Aku tak dapat berpikir
panjang sampai di situ. Tetapi kita harus siapkau rencana jangan terus menerus
mengikutinya."
Ting Ling mergangguk, "Soal itu memang sudah kupikirkan. Lihat saja bagaimana
sikapnya besok pagi kepada kita. Jika dia tak baik, kita harus tinggalkan tanda sandi
sepanjang perjalanan. Kupercaya sepanjang jalan dalam kota ini tentu tak luput pengaruh
dari anak buah kita: Asal melibat tanda sandi yang kita tinggalkan, masakan mereka tak
dapat mencari kita."
Penjelasan itu telah melonggarkan kecemasan Kati Ting Hong,
Saat itu Nyo Bun-giau yang rebah di atas ranjang juga gelisah. Dengan membawa
kedua nona itu berarti dia harus berjaga-jaga diri. Ia tahu dalam dunia persilatan dewasa
itu, kecuali beberapa partai persilatan yang besar, yang mempunyai pengaruh adalah Itkiong,
Ji-koh dan Sampoh. Orang luar menganggap It-kiong, Ji-koh dan Sam-poh itu
sebagai satu kesatuan. Tetapi kenyataannya, mereka mempunyai pendirian sendiri2.
Mengingat pada masa itu timbul banyak pergolakan, jika tetap mengukuhi pendirian yang
lalu, tentu akan terpencil. Dan ini amat berbahaya.
Demikian Nyo Bun-giau menimang dalam hati. Ia menyadari kedudukan Nyo-ke-poh
sebagai salah satu Sam-poh atau Tiga marga. Dan teringatlah ia akan pengalaman dalam
makam kuno itu.
Makin merenung makin tetaplah keputusan Nyo Bun-giau. "Benar! Aku harus memiliki
pembantu yang dapat dipercaya."
Kemudian ia mulai mengadakan analisa. Fihak yang kiranya dapat dijadikan pembantu
yang boleh diandalkan, kecuali fihak Ji-koh dan Sam-koh, kiranya tak ada lainnya lagi. Dan
di antara kelompok2 itu, setelah ditinjau dari segala segi kebaikan dan keburukan,
keuntungan dan kerugiannya, kiranya tidak ada yang mencocoki juga.
Nyo Bun-giau berpaling memandang dinding sebelah. Sekilas timbullah pikirannya. Ya,
untuk mencapai tujuannya mencari pembantu tadi, tiada lain jalan kecuali menggunakan
kedua nona ke Nyo-ke-poh. Di sana ia dapat menggunakan bujukan halus sampai tekanan
kasar. Asal salah satu dari kedua nona itu sudah dijadikan anak menantunya, dengan
ikatan keluarga itu, tentulah fihak Lembah Raja-setan akan membantunya.
Memikir sampai disitu. Nyo Bun-giau gembira sekali hatinya. Tetapi teringat bahwa
kedua nona itu tak mudah ditipu, mulailah ia prihatin. Hampir semalam suntuk ia memeras
otak untuk mencari daya.
Keesokan harinya, Nyo Bun-giau suruh pelayar menyewakan sebuah kereta berkuda
dua. Kemudian katanya kepada kedua nona Ting, "Kulihat toa-siocia agak sakit, tentulah
kena angin dingin. Bagaimana kalau kita beristirahat dulu di sini barang dua hari lagi?"
Ting Ling yang cerdik segera tahu kemana tujuan kata-kata Nyo Bun-giau. Ketua marga
Nyo itu, jelas hendak memancing keterangan. Ting Liug tertawa menyahut, "Kami berdua
bukan baru sekali ini pesiar ke luar. Hanya sedikit hawa dingin saja kami tentu tahan.
Harap lo-pohcu jangan kuatir."
Nyo Bun-giau tertawa, "Kalau begitu silahkan naik ke atas kereta. Nona boleh kasih
tahu hendak menuju kemana, aku tentu akan membawa kalian kesana."
"Apakah lo-pohcu akan meluluskan ikut dalam perjalanan kami?" tanya Ting Hong.
Nyo Bun-giau gelagapan mendapat pertanyaan yang tak diduga-duga itu. Sesaat ia tak
dapat menjawab.
Ting Ling yang naik ke atas kereta segera berkata, "Permintaan kami kepada lo-pohcu
hanyalah terbatas untuk menjaga keselamatan selama dalam perjalanan. Tetapi bukan
berarti menghendaki lo-pochu supaya menghapus semua rencana pekerjaan lo-pohcu dan
ikut menemani kami. Atas budi kebaikan lo-pohcu kami menghaturkan terima kasih dan
apabila pulang tentu akan kututurkan kepada ayah."
Sedap sekali kata-kata itu kedengarannya tetapi bagi Nyo Bun-giau hal itu cukup
disadari. Diam-diam ia mengagumi kecerdikan nona itu. Segera ia tertawa menyeringai,
"Harap nona jangan kuatir. Aku si orang tua ini sudah dapat mengatur semua
keperluanku!"
Ia terus naik juga ke atas kereta.
Sekali cambuk menggeletar, kereta itupun segera meluncur ke muka. Ting Ling duduk
bertopang dagu sambil sebelah tangannya menjamah tepian jendela kereta. Ting Hong
hendak bicara tetapi melihat tacinya tengah merenung, ia tak berani membuka mulut dan
hanya memandang lekat2 kepada saudaranya itu.
Angin pagi berembus. Jalan penuh dengan guguran daun. Tiba-tiba di jalan tampak
seorang pemuda berumur 25 tahun tengah berjalan bergegas-gegas. Dari sinar mentari
pagi yang menimpa wajahnya, pemuda itu tampak gagah sekali.
Tiba-tiba ia membusungkan dada, dan menghela napas panjang lalu berkata seorang
diri, "Ho, Leng loji, kali ini sudah jelaslah tali permusuhan antara aku Ca Giok dengan
kalian dari Lembah Seribu-racun. Jika tak kuberi kalian sedikit hajaran, tentu takkan
redalah kemarahanku sau-pohcu ini "."
Ia memandang cakrawala pagi lalu bersuit nyaring. Suatu suitan untuk melonggarkan
kesesakan dada dan untuk membangkitkan semangat kejantanannya. Habis bersuit, ia
lanjutkan berjalan lagi.
Beberapa saat berjalan, ia melihat di sebelah muka terdapat sederet pohon jati yang
tinggi. Ca Giok menyadari bahwa saat itu ia sudah berada di jalan besar. Cepat-cepat ia
pesatkan langkah.
Pada saat ia hendak mencapai jalan besar, tiba-tiba ia mendengar suara berderak-derak
dari roda kereta yang lari cepat. Buru-buru ia bersembunyi di balik sebuah gerumbul


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pohon. Tak berapa lama, tampak sebuah kereta meluncur datang. Sepasang kuda menarik
kereta itu. Di samping kusir yang mengendalikan kuda, tampak seorang tua berambut putih.
Tetapi karena teraling kusir, tak dapatlah Ca Giok melihat roman muka orang tua itu.
Begitu pula karena kain tenda di jendela kereta tertutup, ia tak dapat mengetahui siapa
penumpangnya. Ca Giok tak mau menghiraukan lagi karena tak ada kepentingan dengan dirinya. Ia
terus hendak keluar dari tetapat persembunyiannya. Tetapi sekonyong-konyong matanya
terbeliak ketika tertumbuk sulaman kembang warna kuning yang menghias pada lengan
baju penumpung dalam kereta itu. Rasanya ia pernah melihat baju macam itu tetapi ia
lupa entah dimana.
Ca Giok seorang cermat. Sekali timbul kecurigaan, tentu tak mau melepaskan
penyelidikannya. Begitu kereta meluncur tujuh delapan tombak jauhnya, iapun cepat
loncat keluar dan mengikutinya. Dalam pada mengikuti itu tak henti2nya ia memeras otak
untuk mengingat-ingat siapakah pemakai baju berlengan sulaman kembang warna kuning
itu. Beberapa saat kemudian, ia menampar dahinya dan mendesus, "Hai, apakah
penumpang itu benar kedua nona taci beradik itu?"
Ia menimang. Kalau benar kedua nona Ting, lalu siapakah orangtua berjenggot putih
yang duduk di sebelah kusir itu" Namun kalau bukan kedua saudara Ting, mengapa
mengenakan baju yang biasa dipakai Ting Ling .
Walaupun Ca Giok itu seorang yang licin dan banyak muslihat. Tetapi karena selama ini
ia telah mengalami berbagai bahaya bersama Han Ping dan kedua nona Ting, maka
terhadap kedua nona itu ia mempunyai rasa hubungan yang lain.
Tangan kilat Ca Giok adalah sau-pohcu atau majikan muda dari marga Ca, sejak kecil
sering ikut ayahnya berkelana di dunia persilatan. Maka ia banyak pengalaman dan lebih
tinggi kewaspadaannya. Apalagi dia memiliki kepandaian yang hebat. Maka walaupun
masih muda, ia sudah termasyhur lihai.
Walaupun sudah dapat dipastikan bahwa yang berada dalam kereta itu tentu kedua
saudara Ting, tetapi karena ia belum kenal akan orangtua berjenggot putih itu, maka ia
tak mau unjuk diri dan mengikuti secara diam-diam saja. Bahkan untuk lebih aman, ia
mengambil lilin kuning untuk melumuri mukanya sehingga kelihatan lebih tua.
Hampir dua jam lamanya ia mengikuti kereta itu dari belakang, mataharipun sudah
menjulang di tengah langit. Saat itu kereta memasuki sebuah desa, Di tepi jalan terdapat
beberapa warung dan tokoh kecil.
"Nah, sampai di tetapat ini kalian tentu berhenti dan dapatlah kulihat apakah benar
kedua nona Ting itu atau bukan," pikir Ca Giok.
Ternyata kereta memang berjalan lebih lambat. Buru-buru Ca Giok bersembunyi di tepi
jalan. Ia tetap mengawasi gerak gerik orangtua berjenggot putih itu.
Kusir menggentakkan kendali dan berhentilah kereta itu. Apa yang disaksikan Ca Giok,
benar-benar mengejutkan dan hampir tak dapat dipercaya. Pikirnya, "Ho, sejak kapankah
kepala marga dari Kim-leng itu berkenalan dengan kedua nona dari Lembah Raja-Setan?"
Ia terus mengikuti gerak-gerik Nyo Bun-giau. Begitu turun dari kereta, orang she Nyo
itu tentu akan membantu penumpangnya turun.
Tetapi ternyata Nyo Bun-giau tidak bertindak begitu. Selekas turun dari kereta terus
masuk ke sebuah warung, membeli dua poci teh, beberapa kuweh dan sayur dalam
bungkusan, lalu bergegas naik ke kereta lagi. Ia memberi pesan kepada kusir dan kusir itu
segera melarikan kudanya lagi.
Terpaksa Ca Giok juga membeli beberapa kuweh lalu mengikuti kereta itu lagi.
Ketika matahari tenggelam di barat dan memasuki sebuah desa. barulah kereta itu
berhenti di sebuah rumah penginapan.
"Huh, mau lari kemanapun tetap kukejar," diam-diam Ca Giok menertawakan. Tetapi ia
tak berani terang-terangan unjuk diri, menginap di sebuah warung, sebelah penginapan
tersebut. Dia memang cermat. Begitu masuk ke kamar, tak mau ia keluar2 lagi. Ia terus tak
henti2nya memikirkan diri kedua nona. Tetapi tetap tak dapat memecahkan rahasia
mereka. Akhirnya ia menghela napas dan memutuskan bahwa nanti tentu mengetahui
juga. Setelah memadamkan lampu, ia menutup jendela lalu naik ke atas ranjang. Tengah
malam setelah suasana sunyi senyap, barulah ia bangun dan membuka jendela. Setelah
melongok keadaan sekeliling, barulah ia loncat keluar dan melenting ke atas wuwungan
rumah. Dilihatnya rumah penginapan itu cukup besar juga. Terdiri dari empat gunduk
bangunan. Kamar2nya banyak, karena gelap maka sukar juga untuk mencari kamar Nyo
Bun-giau dan kedua nona Ting itu.
Ia mendekam di atas wuwungan rumah. Tetapi sampai beberapa lama, belum juga ia
melihat suatu perobahan. Segera ia enjot tubuhnya melambung ke arah wuwungan
gunduk bangunan ketiga. Tetapi tetap tak melihat sesuatu. Jendela kamar2 sama tertutup.
Setengah jam kemudian, ia tak sabar lagi. Ia mengambil selembar genteng terus
hendak dilontarkan ke arah thian-keng atau halaman serambi tengah. Tetapi tiba-tiba ia
mendapat pikiran lain. Diam-diam ia memaki diri sendiri mengapa begitu gegabah. Jika
sampai Nyo Bun-giau keluar, bukankah ia akan langsung bentrok dengan dia" Suatu hal
yang tak perlu. Akhirnya ia letakkan kembali genteng itu.
Ia hendak menuju ke lain kamar. Tetapi tiba-tiba dari sebelah bawah terdengar suara
gemeretak macam bunyi papan ranjang. Cepat ia loncat ke atas wuwungan kamar itu.
Mengaitkan kedua kakinya pada tiang belandar, lalu menjulaikan tubuhnya ke bawah,
kepalanya melekat di atas jendela kamar.
Serentak ia mendengar suara halus berkata dengan bisik2, "Cici, kita sudah ikut sehari
dengannya, adakah"."
Angin malam berhembus dan pohon2 bunga di halaman berkeresekan sehingga suara
itu tak kedengaran jelas.
Namun hal itu sudah cukup menggirangkan Ca Giok. Ia tahu jelas itulah suara Ting
Hong. Selekas angin berlalu berdengarlah suara Ting Ling berkata, "Kukira tentu ada orang
yang sudah mengetahui tentang kita naik kereta itu."
"Bagaimana orang bisa tahu?" tanya Ting Hong.
"Dengarlah Ji-ahtau, hari ini sengaja kutunjukkan lengan bajuku di luar jendela kereta.
Asal ada anak buah Lembah Raja-setan yang melihat, tentu tahu kalau kita. Mereka tentu
akan memperhatikan, asal"."
Kata-kata Ting Ling kembali hilang tertiup angin malam.
Diam-diam Ca Giok geli dalam hati. Bukan anak-buah Lembah Raja-setan melainkan dia
yang melihatnya. Tiba-tiba ia tersadar, "Hai, jelas mereka tak suka bersama Nyo Bun-giau.
Kalau suka masakan dia sengaja memberi tanda sandi untuk memberi tahu kepada anak
buah Lembah Raja-setan" Tetapi mereka berdua bukan nona yang lemah, mengapa
sampai dapat dibawa Nyo Bun-giau?"
Serasa penuh benak Ca Giok memikirkan hal itu. Ia tak tahu bagaimana harus
bertindak. Namun bagaimanapun juga, ia merasa lebih dekat dengan kedua nona itu
daripada dengan Nyo Bungiau. Dan ia harus menolong mereka.
Baru ia memikir sampai di situ, tiba-tiba sinar cahaya melintas di muka. Diam-diam ia
mengeluh dan secepat kilat ia ayunkan tubuh ke atas lalu mendekam di atas genteng. Ia
kira jejaknya telah ketahuan orang.
Tetapi karena sampai beberapa lama tak ada kejadian apa-apa, ia mengangkat kepala
memandang ke empat penjuru. Tiba-tiba dilihatnya pada kamar sebelah kanan yang ujung
pertama sendiri memancarkan sinar lilin. Dan di bawah jendela memantul sesosok
bayangan. Ca Giok girang dan tegang hatinya. Buru-buru ia melayang ke atas kamar itu.
Mengaitkan kaki ke tiang belandar lalu tubuh berayun ke bawah, kepalanya
bergelantungan pada jendela. Dengan gunakan ujung lidah, ia melubangi kertas jendela.
Mengintai ke dalam, kejutnya bukan kepalang.
Di dalam kamar yang remang2 penerangannya itu, tampak Nyo Bun-giau sedang berdiri
di samping meja. Di atas meja terletak seperangkat alat tulis.
Yang mengherankan Ca Giok ialah, mengapa pada waktu tengah malam yang hawanya
tak panas, Nyo Bun-giau berdiri di samping meja dengan telanjang badan"
Tetapi sebagai seorang pemuda yang banyak pengalaman, Ca Giok cepat berpikir. Tak
mungkin tanpa sebab, Nyo Bun-giau berbuat begitu. Walaupun jeli, Ca Giok terpaksa
menahan dan tetap mengawasi gerik-gerik orang she Nyo itu.
Tampak Nyo Bun-giau sedang memandang pahanya sendiri sebelah kiri. Lalu
mengambil pit dan melukis di atas kertas. Memandang ke pahanya lalu mencorat-coret lagi
di atas kertas.
Walaupun cerdik dan banyak pengalaman, namun sesaat Ca Giok tak dapat juga
mengerti maksud tingkah laku Nyo Bun-giau itu. Ketika memandang secara seksama,
barulah Ca Giok mengetahui bahwa pada paha kiri Nyo Bun-giau itu terdapat segumpal
daging yang berwarna ungu. Oh dia terluka yang mengandung racun. Dan ketika
mengawasi dengan seksama, Ca Giok melihat jelas bahwa di atas gumpal daging yang
berwarna ungu itu terdapat noda guratan seperti benang. Rupanya Nyo Bungiau tengah
meniru guratan2 untuk dilukis di atas kertas.
Tertariklah hati Ca Giok, pikirnya, "Huh, apakah yang sedang dilakukan setan tua itu?"
Kiranya Nyo Bun-giau sedang menyalin lukisan peta makam kuno dari pahanya ke atas
kertas. Ketika menyerahkan kembali kotak pedang pusaka kepada Han Ping, sengaja Nyo
Bun-giau mengecapkan kotak itu ke pahanya. Dengan menutup peredaran darah pahanya,
ia dapat menekankan kotak itu sekuat-kuatnya hingga meninggalkan gambar yang jelas di
atas pahanya. Dan saat itu barulah ia mengambil alih peta itu dari pahanya ke atas kertas.
Sekalipun mengetahui gerak-gerik Nyo Bun-giau tetapi Ca Giok tak mengerti apa yang
sedang dilakukan orangtua itu. Tetapi ia tahu jelas bahwa ketua marga Nyo itu memang
ahli dalam bangunan. Maka ia duga orang itu tentu sedang membuat denah sebuah
rencana. Ca Giok anggap tak perlu lama-lama berada2 disitu.
Ia tak mengerti apa yang dilakukan Nyo Bun-giau, di samping itu amatlah berbahaya
kalau sampai ketahuan orang she Nyo itu. Nyo Bun-giau berilmu tinggi. Andaikaia tidak
sedang menumpahkan perhatiaannya melukis, kemungkinan besar tentu sudah mencium
jejak kedatangan Ca Giok. Lebih baik ia lekas2 tinggalkan tetapat itu.
Cepat ia ayunkan tubuh ke atas genteng lalu melayang ke atas wuwungan rumah.
Malam makin larut dan bergegaslah ia kembali ke tetapat penginapannya lagi.
Rebah di pembaringan, pikirannya masih merana. Jika seorang diri, sukarlah ia
menghadapi Nyo Bun-giau. Asal ia dapat memanggil anak buah Ca-ke-poh untuk
membuntuti Nyo Bun-giau masakan akhirnya mereka tak dapat diketahui tujuannya.
Keesokan hari pagi2 sekali, Nyo Bun-giau sudah berangkat. Ca Giokpun buru-buru
menyiapkan sandi rahasia untuk menyampaikan berita ke Ca-kepoh. Anakbuah Ca-ke-poh
yang mengetahui sandi pertandaan itu harus menurutkan petunjuk2 dalam sandi untuk
menyusulnya. Setelah selesai, barulah ia berangkat untuk mengejar kereta. Pada jendela kereta yang
sudah jauh jaraknya itu tampak Ting Ling tetap lekatkan lengan bajunya pada jendela
kereta. Menjelang petang, mereka masuk ke sebuah kota besar. Setelah Nyo Bun-giau mencari
hotel, Ca Giokpun tinggal dalam hotel itu juga. Ia memberi tanda rahasia pada daun
jendeladan pintu kamarnya.
Dua jam kemudian, pintu kamarnya terdengar diketuk orang, "Tuk, tuk, tuk" dua kali
ketukan panjang dan sekali ketukan cepat, Ca Giok gembira sekali. Ia duga tentulah
anakbuah Ca-ke-poh telah melihat sandi rahasia yang ditinggalkan dalam rumah
penginapan. Setelah mengenakan baju ia mengambil lilin, membolang-balingkan tiga kali
lalu memutar satu kali dalam bentuk lingkaran. Kemudian membuka pintu dan duduk di
sisi meja. Dua orang lelaki melangkah masuk. Begitu melihat Ca Giok, mereka berdiri tegak
dengan sikap hormat lalu berkata, "Kami telah melihat sandi yang sau-pohcu tinggalkan di
pintu kamar penginapan. Lalu kami bergegas-gegas menyusul. Pesan apakah yang saupohcu
hendak berikan kapada kami?"
"Ada sebuah pekerjaan yang hendak kuberikan kepada kalian. Entah apakah kalian
berani melakukan atau tidak?"
Kedua orang itu menyurut, sahutnya, "Asal saupohcu memberi perintah, sekalipun
masuk ke dalam lautan api, kami pasti takkan mundur!"
Ca Giok tertawa dingin, "Bagus, sebenarnya kedatanganku kemari ini karena sedang
membututi seseorang. Tetapi aku masih ada lain urusan dan orang itu tak dapat
dilepaskan. Karelia tak dapat memecah diri sekaligus melakukan dua macam pekerjaan,
terpaksa kupanggil bala bantuan kemari!"
Dengan hormat kedua orang itu meminta Ca Giok segera memberi titah.
"Terus terang saja aku sedang membututi Nyo Bun giau, kepada marga Nyo-ke-poh
dari Kimleng. Aku menaruh kecurigaan pada gerak-geriknya. Tetapi aku masih mempunyai
lain urusan yang harus kukerjakan sendiri. Maka kuminta kalian yang mengikuti kereta Nyo
Bun-giau itu. Cukup kalian ikuti saja sampai dimana mereka hendak menuju. Tetapi jangan
lupa, sepanjang jalan kalian harus tinggalkan sandi pertandaan. Selekas urusanku selesai,
aku tentu segera menyusul kalian. Tak sampai dua tiga hari saja tentu sudah dapat
menyusul!"
Salah seorang yang lebih tua, berkata, "Kami akan berusaha sedapat mungkin agar dia
jangan sampai tahu. Tetapi apabila sampai terjadi hal2 yang di luar dugaan, apakah kami
harus"."
Ca Giok gelengkan kepala. "Asal kalian berhati-hati saja, kiranya tak sampai bentrok
dengan dia!"
Kemudian ia memberi isyarat tangan, "Silahkan kalian kembali ke tetapat kalian. Besuk
pagi tak usah kalian kemari mengunjungi aku. Kita segera melakukan tugas masing2."
Ca-ke-poh amat keras sekali peraturannya. Kedua orang itu tak berani banyak bicara
lagi. Mereka memberi hormat lalu melangkah keluar. Tiba-tiba Ca Giok berseru suruh
mereka berhenti dulu.
"Masih ada dua buah hal yang hendak kupesan. Pertama, kalian tak boleh ketahuan
agar jangan mengejutkan dia. Kedua, di sepanjang jalan kalian harus memperhatikan
orang-orang yang mencurigakan, terutama orang-orang dari kedua Lembah , .. " kata Ca
Giok. Kemudian dengan berganti nada bengis, ia berkata pula, "Urusan ini amat penting
sekali. Kalau sampai dia lolos, hm, awas!"
Setelah suruh kedua anakbuah pergi, Ca Giok rebahkan diri lagi di pembaringan. Diamdiam
ia menimang, "Untuk membebaskan kedua nona itu dari tangan Nyo Bun-giau,
tenagaku tak sanggup. Sekalipun mampu berbuat begitu, pun lebih baik jangan mengikut
permusuhan dengan iIhak Nyo-kepoh. Satu-satunya jalan, aku harus mencari orang
Lembah Raja-setan untuk menolong nona itu. Biar mereka sendiri yang menolong puteri
dari ketua Lembah Raja-setan."
Memikir sampai disitu, teringatlah ia akan Ting Yan-san, paman dari kedua nona itu.
Asal bisa berjumpa dengan orang itu, tentu akan terjadi pertetapuran hebat dengan Nyo
Bun-giau. Tetapi ah, untuk mencari si Paderi-pencabut-nyawa Ting Yan-san, bukanlah mudah.
Demikian Ca Giok tak henti2-nya memutar otak. Tiba-tiba ia teringat, ia rasa Ting Yan-san
tentu juga ikut datang memperebutkan kitab pusaka dari Lam-hay-bun. Dengan begitu
jelas din tentu berada di sekitar pedesaan Bik-lo-san.
"Benar," katanya seorang diri, "besok pagi aku harus balik mencari setan tua Ting
itu"."
Keesokan harinya, ia segera kembali menuju ke gunung Bik-lo-san lagi.
Pada waktu tengah hari, ia merasa lapar sekali dan berhenti makan di sebuah kota.
Tengah ia enak2 menikmati hidangan, tiba-tiba terdengar suara orang tertawa dingin. "Ho,
kukira engkau kabur ke langit. Tak kira kalau dapat kuketemukan disini. Perhitungan itu
dapat kita selesaikan dengan sebaik-baiknya"."
Setiap angin berhembus dan orang itupun sudah berada di muka meja Ca Giok.
Ca Giok tergetar hatinya. Ketika mengawasi ke muka, ah, ternyata Leng Kong-siau
manusia beracun dari Lembah Seribu-racun.
Karena Ca Giok membakar barisan Bambu-batu dari si dara baju ungu, hampir saja
Leng Kong-siau yang terkurung dalam barisan itu, mati terbakar. Itulah sebabnya maka ia
amat benci setengah mati kepada Ca Giok. tetapo hari ketika di puncak gunung, ia tentu
sudah dapat menghajar pemuda itu andaikata Han Ping tak ikut campur menghalangi.
Kini tak terduga-duga ia telah menemukan pemuda itu di rumah makan. Kesempatan
itu tak disia-siakan Leng Kong-siau.
Tetapi Ca Giokpun amat lincah. Begitu melihat Leng Kong-siau berada di mukanya,
cepat ia lemparkan meja lalu loncat mundur.
Tetapi Leng Kong-siau hanya tertawa gelak2, "Kalau hari ini sampai melepaskan
engkau, percuma Baja Leng Kong-siau hidup sampai setua ini"."
Ia menutup kata-katanya dengan loncat sambil ulurkan tangan untuk menyambar
tangan Ca Giok.
Ca Giok menyadari bahwa dirinya sukar lolos. Tetapi ia tetap berusaha mencari daya.
Akhirnya ia memperoleh akal, serunya karas, "Leng loji, engkau sungguh-sungguh
menganggap aku takut kepadamu?"
Leng Kong-siau tertegun. Ia terkejut mendengar ucapan Ca Giok yang begitu gagah.
Ca Giok memandang Leng Kong-siau dan berseru pula: Leng loji, engkau juga seorang
tokoh persilatan yang ternama. Kalau mau mencari aku, marilah kita selesaikan di lain
tetapat yang lebih sesuai. Di sini bukan tetapat yang layak untuk kita berkelahi.
Bagaimana pendapatmu, hai?"
Mendapat gertakan itu, Leng Kong-siau batuk-batuk, sahutnya, "Baik, pokok engkau
jangan harap bisa lolos!"
Ca Giok lemparkan sekeping perak kepada pelayan lalu berpaling ke arah Leng Kongsiau
dan tertawa dingin, "Leng loji tak jauh di sebelah muka sana terdapat sebuah dataran
gunung. Aku akan menunggumu di sana!"
Habis berkata ia terus loncat keluar. Sebagai tokoh yang diberi gelar si Tangan Kilat
memang Ca Giok mempunyai kelebihan dalam ilmu ginkang. Gerakannya itu mirip dengan
bintang jatuh di angkasa.


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Leng Kong siau juga seorang tokoh yang menonjol namanya. Dalam ilmu ginkang, ia
pun mempunyai keistimewaan tersendiri. Sekali enjot tubuh. ia cepat menyusul Ca Giok.
Sambil berlari, diam-diam Ca Giok memeras otak. Baginya hanya ada dua jalan.
Pertama, berusaha meloloskan diri. Kedua, mencari akal untuk membakar setan tua itu
agar mau bertetapur melawan Nyo Bun-giau. Jalan kedua ini, kecuali dapat menolong
kedua nona Ting, pun suatu keuntungan baginya, "Apabila kedua harimau itu sudah samasama
terluka, mudahlah dibereskan."
Setelah menetapkan rencana, diam-diam ia tertawa puas. Berputar tubuh, ia loncat ke
atas lereng gunung di sebelah kanan.
Dalam saat mengejar tadi, diam-diam Leng Kongsiau memuji kecepatan lari pemuda
itu. Begitu melihat Ca Giok loncat ke atas lereng, ia segera membentak, "Ho, jangan kira
engkau mampu meloloskan diri!"
Leng Kong-siaupun loncat ke atas lereng gunung. Saat itu Ca Giok tengah memandang
ke sekeliliag tetapat. Ternyata di sekeliling tetapat itu penuh dengan batu2 berserakan dan
duri anak yang tajam. Jauh dari jalan besar sehingga tak mungkin orang datang ke situ.
Setelah menyedot napas, ia berhenti dan berdiri tegak.
Leng Kong-siau tahu bahwa Ca Giok itu seorang pemuda licin, banyak akal muslihat.
Melihat pemuda itu berhenti, ia tak berani gegabah bertindak. Setelah menggeliat sambil
condongkan tubuh, ia melesat ke samping Ca Giok.
Tiba-tiba Ca Giok tertawa, "Ah, Leng lo-cianpwe, mengapa engkau begitu ngotot
hendak membikin susah diriku?"
Leng Kong-siau tertawa sinis. "Masakan engkau sendiri belum mengetahui?"
Berkata Ca Giok dengan serius, "Ca-ke poh dengan Lembah Seribu-racun, terpisah di
utara dan selatan. Masing2 mempunyai daerah sendiri2. Dan selama ini tak pernah
mempunyai dendam bentrokan apa-apa. Masing2 mengerjakan usahanya sendiri. Tetapi
sekarang dengan mengandalkan kepandaian kuat sebagai seorang cianpwe berkeras
hendak membunuh aku. Benar-benar aku tak mengerti apakah maksudmu yang
sebenarnya?"
Leng Kong-siau batuk-batuk, sahutnya, "Ucapannya sepintas kedengarannya memang
beralasan. Tetapi apakah engkau lupa akan tindakanmu melepas api itu" Mengapa saat itu
sama sekali engkau tak ingat akan hubungan Ca-ke-poh dengan Lembah Seribu-racun
yang tak mempunyai dendam permusuhan suatu apa?"
Ca Giok tertawa. "0, kiranya lo-cianpwe mendendam peristiwa itu. Tetapi sesungguhnya
tak dapat menyalahkan tindakanku itu. Dalarapeparangan, tak ada lagi hubungan antara
ayah dan anak. Dalam keadaan yang kuderita pada saat itu, terpaksa aku bertindak
lepaskan api, demi untuk menyelamatkan diriku. Sama sekali tak sengaja hendak
mencelakai lo-cianpwe?"
"Ca Giok, jangan jual kepandaian bermulut-tajam di hadapanku!" bentak Leng Kongsiau.
"karena percuma saja, Leng Kong-siau tak sudi percaya ocehanmu lagi!"
Ca Giok geiengkan kepala menghela napas, ujarnya, "Kalau tak percaya, akupun tak
dapat berbuat apa-apa. Sekarang engkau hendak bertindak begitu. Terserah engkau
hendak bagaimana, aku hanya menurut saja"."
Ia menghela napas lagi dan berkata lebih lanjut, "Hanya menilik seorang Leng Kongsiau
lo-cianpwe bertindak begitu membabi-buta, benar-benar Ca Giok harus tertawa geli!"
Habis berkata ia terus tertawa gelak2 dengan nyaring sekali.
eang Kong-siau sendiri juga seorang rubah yang licin. Tetapi ditertawakan sedemikian
rupa oleh Ca Giok, ia merasa bingung juga. Cepat ia membentaknya, "Jangan banyak
mulut! Masakan tindakanku harus meminta penilaianmu, huh!"
Melihat hati Leng Kong-siau mulai goyah, cepat Ca Giok berkata, "Bukan aku hendak
menilai tindakan lo-cianpwe. Tetapi yang jelas lo-cianpwe telah menelantarkan tujuan lo
ciaupwe datang kemari. Hal yang penting, lo-cianpwe tak mau mengerjakan, sebaliknya
lo-cianpwe ngotot begitu rupa untuk memusuhi diriku!"
Wajah Leng Kong-siau berobah seketika. Diam-diam ia mengakui kebenaran ucapan
pemuda itu. Namun lahirnya ia tetap tenang. "Jembatan lain dengan jalanan. Tindakanku
kepadamu saat ini, adalah untuk menghimpaskan dendam kemarahanku atas
perbuatanmu membakar barisan. Hal itu tak ada hubungannya dengan kedatanganku
kemari. Jadi tak benar kalau aku menelantarkan tujuan. Saat ini aku hendak menghajarmu
sampai taubat. Jika hendak bicara apa-apa, asal beralasan, aku tentu akan meluluskan
agar engkau benar-benar tunduk sampai di hati!"
Ca Giok sejenak melirik ke arah orang itu dan diam-diam menertawakannya, "Huh,
setan tua, jangan jual mulut besar di hadapanku! Apa engkau kira aku tak tahu isi hatimu,
heh?" Kemudian ia menjawab, "Kudengar lo-cianpwe seorang yang cermat sekali. Tetapi
menurut pandanganku, lo-cianpwe tak ubah seperti "tupai yang pandai melompat, tetapi
sekali jatuh terpeleset juga". Cobalah kutanya, apakah lo-cianpwe tahu siapa saja yang
datang ke tetapat ini?"
Leng Kong-siau tertawa meloroh, "Ho, masakan hal itu perlu kujawab!"
Dengan wajah serius, Ca Giok berkata, "Bukan hendak mengatakan lo-cianpwe tak
tahu. Tetapi aku berani memastikan bahwa lo-cianpwe tentu tak mengetahui
keseluruhannya dengan jelas!"
Leng Kong-siau mendesus dan balikkan gundu matanya, "Ho, kalau aku Leng loji tak
tahu. apakah engkau lebih tahu dari aku" Hm, Leng loji tak mudah dikelabuhi orang .."
Makin jelas Ca Giok akan isi hati Leng Kongsiau. Dengan sikap yang yakin, berserulah ia
dengan lantang, "Akh, bukan begitu maksudku. Sudah tentu aku kalah jauh dengan
pandangan lo-cianpwe. Tetapi banyak hal justru kujumpai secara tak terduga-duga.
Misalnya seperti kali ini".."
Tiba-tiba ia berhenti berkata.
Leng Kong-siau juga seekor rubah yang licin.
Melihat Ca Giok beberapa kali jual gertak, timbullah kecurigaannya, jangan2 pemuda itu
memang tahu sesuatu rahasia penting. Seketika kerut-wajahnya berobah tenang dan
berkatalah ia dengan nada yang agak ramah, "Seorang pahlawan, memang sudah
kelihatan sejak masih muda. Kalian anak2 muda, tentulah lebih cerdas"."
Berhenti sejenak ia melanjutkan pula, "Selain kita beberapa orang itu, adakah engkau
menemukan lain orang yang mencurigakan?"
Melihat nada orang sudah berobah ramah, tahulah Ca Giok bahwa setan tua itu sudah
mulai masuk dalam perangkapnya. Dengan tingkah yang dibuat-buat, ia berkata, "Boleh
dianta dewasa ini seluruh kaum persilatan telah datang untuk memperebutkan kitab
pusaka dari partai Lam-hay-bun. Tetapi soal itu, bukanlah soal yang mudah diatasi sendiri.
Harus mengerahkan persatuan dan kekuatan baru ada harapan berhasil. Maka ketika
diutus ayah kemari, ayah telah memberi pesan agar aku jangan membanggakan diri,
lebih2 jangan memiliki hati temaha mau menang sendiri. Harus bersekutu dengan sebuah
dua buah partai untuk mengatur rencana. Kemudian ayahpun menekankan hendaknya aku
selalu mendengar pendapat para cianpwe dan melaksanakan perintahnya. Sekali-kali tak
boleh bertindak sendiri"."
Rangkaian kata-kata indah yang diucapkan Ca Giok itu benar-benar membuat Leng
Kong-siau limbung. Tak tahu apa yang sesungguhnya terkandung dalam ucapan itu. Ia
hanya dapat tertawa meriagis lalu berkata, "Pandangan ayahmu itu, benar-benar tepat
sekali ?""
Ca Giok tak menghiraukan pujian itu, lalu berkata lagi, "Kedatangan kali ini, dalam
setiap langkah dan tepat, aku selalu berpegang pada nasehat ayah. Bahwa tetapi hari
karena salah faham sehingga membuat lo-cianpwe marah, aku benar-benar sangat
menyesal. Kali ini memang telah kudapatkan suatu hal yang lain orang tak tahu. Maka
sengaja kucari lo-cianpwe untuk merundingkan hal itu. Dengan begitu dapatlah kutebus
kesalahan yang telah kulakukan tetapi hari itu .."
Leng Kong-sian tergetar hatinya dan cepat-cepat meminta Ca Giok mengatakan hal itu.
Ca Giok menghela napas, ujarnya, "Sesungguhnya karena hal itulah maka aku sengaja
kemhali kesini mencari lo-cianpwe. Tetapi menilik lo-cianpwe begitu murka kepadaku,
kukuatir keteranganku itu tentu takkan lo-cianpwe percayai!"
Habis berkata, ia menghela napas lagi.
Sesungguhnya Leng Kong-siau mendongkol karena Ca Giok bersikap jual mahal. Ia tahu
dirinya hendak dipancing. Tetapi apa boleh buat, terpaksa ia mendesak, "Hubungan antara
Ca-ke-poh dengan Lembah Seribu-racun selama ini cukup baik. Apalagi ayahmu selama ini
bersikap baik kepada fihak kami. Mengingat hal itu, sudah selayaknya kita harus saling
membantu. Tetapi ucapanmu tadi, sungguh tak sesuai dengan hubungan kita itu!"
Ca Giok tersenyum.
oooo000oooo Setan bertemu Iblis
"Apakah sebenarnya yang engkau dapatkan itu. Disini tiada lain orang lagi, kita dapat
merundingkan hal itu," desak Leng Kong-siau.
Ca Giok memandang ke sekeliling, kemudian berkata dengan setengah berbisik,
"Menurut pengetahuan lo-cianpwe, siapa-apa sajakah yang datang di tetapat ini?"
"Kecuali fihak kita berdua, juga kedua anak perempuan dari Lembah Raja-setan itu,
Ting Yan-san, Kim Loji, si Kipas-besi-pedang-Perak Ih Seng, Naga-laut-Gunhay Cin An-ki,
Kim lokoay"."
Ia menengadah kepala merenung sejenak, lalu berkata pula: "Dan masih terdapat juga
pengemis tua yang memuakkan itu"."
"Lo-cianpwe tak berjumpa dengan lain orang lagi?" tanya Ca Giok.
"Kedua manusia aneh Bungkuk dan Pendek yang tak dapat kita masukkan sebagai
tetamu"."
Ca Giok cepat menyanggapi, "Dan masih ada seorang lagi yang lo-cianpwe tak
menduga" ."
Sambil mengangguk kepala, Leng Kong-siau mendesus, "Yang engkau maksudkan
apakah bukan pemuda she Ji itu"."
"Bukan, bukan dia," bantah Ca Giok. "Lo-cianpwe, di kalangan kedua Lembah dan
ketiga Marga itu, siapakah kiranya yang tampak tak ikut campur dalam urusan ini?"
Mendapat pertanyaan itu, Leng Kong-siau termangu tak dapat menjawab.
"Aku hendak bertanya sedikit lagi," kata Ca Giok, "bagaimanakah pandangan locianpwe
tentang hubungan antara marga Nyo-ke poh dengan Lembah raja-setan selama
ini?" Tergetar hati Leng Kong-siau serunya, "Kepala marga Nyo-ke-poh di Kimleng, Nyo Bungiau,
biasanya membanggakan diri akan alat2 rahasia dalam gedungnya. Dia yakin gedung
Nyo-ke-poh itu berdinding baja yang kokoh sehingga ia jarang bergaul dengan orang luar.
Turut pengetahuanku selama ini, sekalipun hubungan Nyo-ke-poh itu tidak begitu erat
dengan Lembah Raja-setan, tetapipun juga tak mempunyai dendam permusuhan suatu
apa." Ca Giok tertawa, "Memang begitulah. Sekalipun aku masih hijau dan kurang
pengalaman, tetapi sering kudengar ayah mengatakan bahwa hubungan antara Nyo-kepoh
dengan Lembah Raja setan itu memang tak erat tetapipun tak bermusuhan."
"Adakah Nyo Bun-giau juga datang kemari?" tanya Leng Kong-siau.
Ca Giok mengangguk.
"Apakah engkau melihat setan tua Nyo itu bersama-sama Ting loji?" desak Leng Kongsiau.
"Jika dengan Ting Yan-san, aku sih tak heran," kata Ca Giok. Ia herhenti bicara lalu
tertawa aneh. Leng Kong-siau maju selangkah, menegas, "Apakah fihak Lembah Raja-setan kerahkan
orangnya kemari semua?"
"Huh, sekarang baru engkau bingung sendiri," diam-diam Ca Giok menyumpahi. Ia
girang karena Leng Kong-siau sudah mulai terpikat. Namun sebagai seorang pemuda yang
licin, tak mau ia mengunjuk perobahan muka.
"Apakah fihak Lembah Raja-setan kerahkan selurah orangnya atau tidak, aku tak begitu
jelas. Tetapi yarg kulihat dengan mata kepala sendiri ialah kedua nona dari Lembah Rajasetan
itu pergi bersama Nyo Bun-giau," katanya dengan serius.
Seketika berobahlah wajah Leng Kong-siau, serunya menegas, "Apa katamu" Nyo Bungiau
pergi bersama dengan kedua budak perempuan itu" Apakah engkau tidak keliru?"
Ca Giok tertawa. "Harap lo-cianpwe jangan meragukan. Ca Giok yakin tak salah lihat
lagi!" Ia segera menuturkan tentang kereta yang membawa Nyo Bun giau dan kedua nona
itu. Karena curiga, ia segera mengikuti secara diam-diam. Semua yang telah terjadi,
diceritakan kepada Leng KOng-siau. Hanya satu hal yang tak dikatakan ialah tentang di
sepanjang ia meninggalkan sandi rahasia marga Ca-ke-poh.
Leng Kong-siau mementangkan kedua matanya lebar2 menatap Ca Giok, katanya, "Ca
Giok, adakah omonganmu boleh dipercaya" Jangan merangkai cerita bohong di
hadapanku!"
Tergetar hati Ca Giok seketika. Namun ia tetap tenang2 saja menjawab. "Dalam urusan
besar seperti ini, masakan aku berani membohong!"
Tiba-tiba Leng Kong-siau tertawa mengekeh, ujarnya penuh selidik, "Kalau tahu hal itu
mengapa bukannya terus mengikuti mereka tetapi sebaliknya engkau malah datang
kemari" Dan mengapa pula engkau yakin bahwa aku tentu berada disini?"
Makin terbanglah serasa semangat Ca Giok menerima pertanyaan itu. Namun ia cepat
menutupi getar perasaannya dengan sebuah tertawa keras. Lalu menjawab, "Kereta
berkuda-dua tak lebih tak kurang hanya seperti sebatang jarum sulaman saja. Apakah
susahnya untuk menyusul mereka" Tentang mengapa aku kembali kemari dan mengapa
yakin kalau lo-cianpwe tentu berada di sekitar tetapat ini, mudahlah untuk menjawabnya.
Sekalipun masih bodoh, tetapi selama ini sudah lama aku berkelana di dunia persilatan.
Rasanya tak perlulah kuterangkan jawaban itu sejelas-jelasnya. Yang penting, harap locianpwe
suka percaya pada keteranganku yang sesungguhnya ini."
Ia menutup kata-katanya dengan sebuah tertawa nyaring. Ia tak memberi jawaban
secara langsung melainkan secara samar2 saja. Sebagai tokoh yang banyak makan asam
garam dunia persilatan, Leng Kong-siaupun tak mau mengeduk keterangan sampai di
dasarnya. Ia pun terpaksa ikut tertawa juga.
Beberapa saat kemudian, kembali Leng Kong-siau bertanya, "Turut wawasanmu,
permainan apakah yang sedang dilakukan Nyo Bun-giau itu" Dan kemanakah kiranya
tujuan mereka?"
Ca Giok berdiam diri beberapa jenak, lalu berkata, "Apa maksud Nyo Bun-giau, aku tak
berani memastikan. Hanya menurut nada perkataan kedua nona itu rupanya mereka tak
senang. Dan kalau menurut arah yang hendak ditujunya itu, kemungkinan besar tentu ke
Kimleng." Leng Kong-siau mendesus. Tiba-tiba wajahnya berobah gelap, katanya, "Ca Giok,
tentang persoalan kita berdua, baiklah kita kesampingkan dulu. Tindakanmu untuk
mencari aku itu dapat diartikan sebagai kesungguhan hatimu. Sekarang jangan buang
waktu, hayolah engkau tunjukkan tetapat mereka itu. Selama dalam perjalanan kita harus
saling bantu. Dan ingat, jangan
sekali2 engkau secara diam-diam merancang tipu muslihat."
Tiba-tiba ia menyambar pergelangan tangan pemuda Ca itu dan tertawa dingin. "Aku
Leng loji, senang berbuat secara blak-blakan. Sekarang kutegaskan. Jika engkau coba2
hendak main siasat, jangan engkau sesalkan aku seorang ganas. Engkau seorang cerdik,
tentu dapat mempertimbangkan mana yang menguntungkan dan mana yang merugikan
engkau!" Habis berkata ia lepaskan cengkeramannya.
Ca Giok tahu bahwa dirinya hendak ditekan tetapi apa boleh buat, terpaksa ia
mengiakan saja. Namun diam-diam ia telah merancang dalam hati. Bila nanti berjumpa
Nyo Bun-giau, ia hendak berusaha untuk mengadu domba. Dan apabila kedua setan tua
itu sudah saling berhantam, mudahlah ia untuk meloloskan diri.
Setelah menetapkan keputusan, berkatalah ia, dengan mantap, "Kepergian Ca Giok
bersama locianpwe kali ini, untung atau rugi, sudah menjadi tanggung jawab Ca-ke-poh
dan Lembah Seribu-racun. Harap lo-cianpwe percaya penuh. Tak nanti aku Ca Giok berani
mengandung pikiran yang tidak-tidak!"
Disanjung begitu rupa, diam-diam tersentuh juga hati Leng Kong-siau. Ia tertawa
dingin, "Asal engkau sudah menginsyafi, itulah sudah cukup!"
Kemudian ia ajak pemuda itu segera berangkat. Ca Giak mengiakan. Berputar tubuh ia
terus melangkah cepat. Leng Kong-siaupun segera mengikutinya.
Dalam perjalanan, masing2 mempunyai rencana sendiri2. Pikiran Ca Giok
membayangkan, dengan akal bagaimana ia dapat mengadu domba kedua setan tua itu
agar ia dapat menolong kedua nona Ting itu.
Sedang Leng Kong-siau pun tak tinggal diam. Diam-diam dia pun menimang dalam hati.
Jika tidak ada urusan penting tak mungkin Nyo Bun-giau mau keluar ke dunia persilatan.
Ia tahu bahwa Nyo Bun-giau itu seorang "harimau berselimut domba". Lahirnya bersikap
ramah tetapi hatinya ganas sekali. Kali ini pasti ada sesuatu yang penting sekali maka
orang she Nyo itu sampai membawa kedua nona Hun-bong-ji-kiau itu. Dengan ikut
campur dalam urusan itu, jelas ia pasti bentrok dengan Nyo Bun-giau. Kemungkinan akan
menimbulkan dendam permusuhan, bukanlah suatu hal yang mustahil. Untuk menghadapi
orang she Nyo itu, ia merasa tak berat. Tetapi ia meragukan, apakah Nyo Bun-giau itu
hanya seorang diri saja atau mempunyai kawan lain yang sakti.
Dalam pada itu ia harus memperhitungkan juga diri Ca Giok. Pemuda itu tak kalah licin
dan ganas dengan Nyo Bun-giau. Walaupun saat ini Ca Giok bermulut manis, namun
apabila menghadapi saat2 yang genting siapa tahu pemuda itu akan berbalik haluan. Dan
apabila hal itu sampai terjadi, berarti ia akan menghadapi kesulitan. Sudah bentrok
dengan Nyo Bun-giau, masih diaduk-aduk Ca Giok. Betapa pun halnya, sukarlah baginya
untuk menghadapi empat buah tangan. Ditambah pula dengan hadirnya kedua nona Ting
itu". Sesungguhnya Leng Kong-siau itu seorang yang cermat. Maka dalam perjalanan itu,
diam-diam ia telah meninggalkan sandi pertandaan dari Lembah Seribu-racun. Agar
anakbuahnya segera menyusul.
Ca Giok tak tahu kalau diam-diam Leng Kong-siau memanggil anakbuahnya. Tetapi
sebagai seorang pemuda yang cerdik, ia tahu bahwa rupanya Leng Kong siau tetap
mencurigai dirinya. Maka diam-diam iapun tingkatkan kewaspadaan.
Pada malam itu ketika menginap di sebuah rumah penginapan, kira-kira pada waktu
tengah malam waktu Ca Giok tidur nyenyak, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara ketukan
pelahan pada daun jendela kamarnya.
Ca Giok terkejut. Cepat ia mengetahui bahwa ketukan itu jelas bukan ketukan rahasia
dari kaum Ca-ke-poh. Tetapi karena seseorang hendak menemuinya, iapun tak dapat


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tinggal diam. Setelah turun dari pembaringan, ia membentak pelahan, "Hai, siapakah yang
pada waktu tengah malam buta, hendak menemui aku?"
Dari luar terdengar suara penyahutan dingin, "Jika tiada urusan, masakan aku
mencarimu?"
Jendela terbuka, sesosok tubuh loncat masuk dan di dalam kamar muncul seorang
imam yang bertubuh kurus. Punggung menyanggul pedang, tangan kanannya mencekal
sebatang hudtim atau kebut pertapa!
Waktu mendengar nada suara orang itu, Ca Giok sudah terkejut. Dan ketika melihat
siapa tetamu yang tak diundang itu, ia makin terperanjat. Kiranya pendatang itu bukan
lain adalah Ting Yan-san si Imam-pencabut-nyawa, paman ketiga dari kedua nona Ting.
Ca Giok kejut2 girang melihat tokoh dari Lembah Raja-setan itu. Girang karena Ting
Yan-san tentu akan membantu usahanya untuk menolong kedua nona kemenakannya itu.
Dengan adanya imam itu, sekurang-kurangnya Leng Kong-siau harus berpikir panjang
kalau seandainya mempunyai rencana hendak mencelakai dirinya. Maka diam-diam Ca
Giok merasa lega hatinya.
Tetapi iapun tak lepas dari rasa cemas juga. Baik Nyo Bun-giau, Leng Kong siau
maupun Ting Yan-san ini, adalah tiga setan tua yang terkenal sebagai tokoh-tokoh aneh.
Gerak-gerik mereka serba sukar diduga, sikapnya amat dingin. Mudah berobah pendirian,
berbalik haluan. Dengan terjepit di antara ketiga iblis tua itu, Ca Giok merasa amat tak
leluasa sekali bergerak dan bicara.
"Berpisah beberapa hari saja, mengapa sekarang engkau galang-gulung bersama Leng
loji?" sekonyong-konyong ia dikejutkan oleh teguran Ting Yan-san.
Ca Giok tertegun. Ia menyadari bahwa hal itu memerlukan penjelasan yang panjang.
Maka ia pura2 terkejut, "Apakah lo-cianpwe bertanya kepadaku?"
"Adakah di sini terdapat lain orang lagi?"
"Kalau tidak kepadamu, habis kepada siapa kubertanya?"
Ca Giok gelagapan dan menegas pula, "Apakah yang lo-cianpwe hendak tanyakan?"
"Mengapa engkau bersama-sama dengan Leng loji?" seru Ting Yan-san pula.
Ca Giok kerutkan alis mengunjuk wajah cemas, sahutnya, "Harap lo-cianpwe suka
maafkan, tak dapat kuberitahukan soal ini"."
Sambil kibaskan kebutnya, berserulah Ting Yan-san menegas, "Adakah engkau benarbenar
tak mau memberi tahukan?"
Saat itu Ca Giok sudah mempunyai rencana. Pelahan-lahan ia hendak memikatnya ke
dalam perangkap. Maka tertawalah ia dengan hambar, "Bukannya aku tak mau
memberitahu tetapi memang aku mempunyai kesulitan"."
"Dalam soal apa maka engkau begitu sulit memberitahukan?" desak Ting Yan-san.
Ca Giok menghela napas, "Mengingat hubungan antara lembah Raja-setan dengan
fihak kami Ca ke-poh, seharusnya kuberitahukan hal itu kepada lo-ciaupwe. Apalagi tetapo
hari di puncak bukit, lo-cianpwepun tak terpengaruh oleh kata-kata Leng loji. Ca Giok
sungguh takkan melupakan peristiwa itu dan seharusnya nada hal yang harus dirahasiakan
kepada lo-cianpwe"."
Ia berhenti sejenak lalu merenung. Beberapa saat kemudian baru berkata pula, "Dalam
hal ini, aku sungguh tak bebas karena seseorang"."
"Ca Giok bukan pemuda tetape. Sekalipun Leng loji lihay tetapi tak seharusnya engkau
begitu ketakutan kepadanya. Kalau engkau mengatakan kebebasanmu terikat orang,
apakah itu tidak bohong?"
"Ah, lo-cianpwe hanya tahu satu tetapi tak tahu yang kedua," Ca Giok menghela napas.
"Demi mengatakan kesungguhan hati, kumohon locianpwe meluluskan permintaanku dan
nanti tentu kuberitahukan soal itu."
"Baiklah, asal aku mampu saja, tentu akan kululuskan," kata Ting Yan-san.
"Hal itu sebenarnya bukan hal yang sukar. Asal lo-cianpwe meluluskan saja. Cukup asal
lo-cianpwe jangan memberitahukan bahwa aku telah memberitahukan hal itu kepada locianpwe.
Itulah sudah cukup."
Sambil mengusap jenggotnya, berkatalah Ting Yan-san, "Dalam segala tindakan, aku
selalu menjunjung janji Karena engkau sudah mempercai aku, sudah tentu takkan
kubocorkan hal itu kepada orang lain. Harap engkau jangan kuatir"."
"Apakah ucapan lo-cianpwe itu dapat kupe.. gang?" masih Ca Giok menegas.
"Kapankah aku pernah menipumu?"
Ca Giok mengisar maju selangkah. Dengan wajah bersungguh ia berkata, "Kalau begitu,
aku hendak memberitahukan". "
Ia berhenti sejenak lalu, "Tahukah lo-cianpwe apa sebab aku rela menerima tekanan
Leng loji itu?"
Ting Yan-san kicupkan mata, menyahut, "Justeru itulah yang hendak kuketahui!"
"Terus terang, kesemuanya itu hanyalah untuk kepentingan fihak Lembah Rajasetan"."
Ting Yan san mendengus panjang.
"Hubungan Lembah Raja-setan cukup baik dengan Ca-ke-poh dan mengingat kebaikan
lo-cianpwe kepadaku tetapo hari, sudah tentu aku harus membantu kesulitan Lembah
Raja-setan"."
"Eh, kesulitan apakah yang menimpah lembahku" Cobalah engkau jelaskan!"
"Maaf, aku hendak mengajukan pertanyaan. Bagaimanakah hubungan antara Lembah
Raja-setan dengan Nyo-ke-poh di Kimleng itu?"
"Tak ada hubungannya sama sekali. Tetapi juga tak bermusuhan!"
"Adakah lo-cianpwe mengetahui bahwa kedua nona kemenakan lo-cianpwe itu
sekarang bersama-sama dengan Nyo Bun-giau?"
Di luar dugaan Ting Yan-san tak terkejut mendengar hal itu, tanyanya, "Aku bertanya
tentang urusanmu dengan Leng loji, bukan menanyakan soal Nyo Bun-giau!"
Tergetar hati Ca Giok mendapat sambutan itu. Terpaksa ia menjawab, "Soal itu timbul
karena Nyo Bun-giau. Dengan mata kepala sendiri kusaksikan Nyo Bun-giau membawa
kedua nona Ting dalam sebuah kereta yang menuju ke Kimleng"."
"O"." desus Ting Yan-san, "memang kedua budak perempuan itu suka menimbulkan
hal-hal yang tak dimengerti orang!"
Mengkal juga hati Ca Giok karena Ting Yan-san tak dapat dibakar hatinya. Tetapi ia tak
putus asa. Katanya lebih lanjut, "Tetapi jelas bahwa kedua nona itu, tak suka hati. Dengan
begitu, kepergian mereka itu, tentulah karena terpaksa."
"Bagaimana engkau tahu itu?" desak Ting Yan-san.
Ca Giok segera menuturkan semua pengalamannya ketika mengikuti jejak Nyo Bungiau.
Hanya tentang Sandi pernyataan Ca-ke-poh yang ditinggalkan di sepanjang jalan, tak
diberitahukannya.
Kini terpengaruh juga Ting Yan-san.
"Adalah demi menolong kedua nona Ting, maka aku terpaksa menderita tekanan dari
Leng loji tetapi dengan timbal balik, ia bersedia ikut aku menuju ke Nyo-ke-poh."
"Mengapa engkau tak mencari tokoh-tokoh lembah Raja-setan?" tegur Ting Yan san.
"Dalam hal ini harap lo-cianpwe suka maafkan. Pertama aku tak yakin bahwa locianpwe
masih berada disini. Dan kedua mengingat bahwa menolong orang itu ibarat
menolong kebakaran, maka aku terpaksa minta bantuan Leng Kong-siau yang dapat
kujumpai disini," Ca Giok memberi jawaban yang beralasan. Untuk itu Ting Yan-san
rupanya dapat menerima.
"Lalu bagaimana kehendakmu sekarang?" tanya Ting Yan-san.
Ca Giok merenung sejenak lalu menyatakan bahwa karena ia telah terlanjur meminta
bantuan Leng loji maka sebaiknya janganlah sampai Leng Kong-siau mengetahui
pertemuan saat itu.
"Besok pagi apabila aku dan Leng loji berangkat, baiklah lo-cianpwe pura2 bergegas
muncul dan menegur kami berdua, kemana kami hendak pergi. Terus terang saja locianpwe
nanti menyatakan telah mendapat laporan dari anak buah Lembah Raja-setan
yang menemukan sandi pertandaan dari kedua nona Ting," kata Ca Giok.
Ting Yan-san menyetujui usul itu. Setelah itu ia tinggalkan kamar penginapan.
Keesokan harinya Leng Kong-siau dan Ca Giok segera berangkat ke Kimleng. Di tengah
jalan mereka dikejutkan sesosok bayangan yang berlari pesat mendatangi.
"Aha, kiranya engkau saudara Ting," tegur Leng Kong-siau, "apakah keperluan saudara
mengejar kami?"
"Ho, bukankah jalan besar ini diperuntukkan setiap orang?" sahut Ting Yan-san agak
kurang senang, "adakah saudara Leng merasa melakukan sesuatu hingga kedatanganku
ini engkau duga tentu hendak mengejarmu?"
Leng Kong-siau tertegun mendapat jawaban yang cukup tajam itu. Sebelum ia
menemukan kata-kata untuk menjawab, Ting Yan-sanpun sudah berkata pula, "Eh,
mengapa saudara Leng bersama dengan anak itu" Bukankah saudara amat
mendendamnya?"
Kuatir kalau Leng Kong-siau salah jawab hingga menimbulkan hal2 yang tak diinginkan,
buru-buru Ca Giok mendahului, "Ah, nama seorang cianpwe seperti Leng lo-cianpwe
sungguh-sungguh mendendam terhadap orang yang lebih muda" Apalagi soal tersebut
hanyalah soal salah faham yang tak berarti, sudah tentu Leng lo-cianpwe berlapang dada
maafkan aku. Eh, hendak kemanakah Leng lo-cianpwe ini" Mengapa begitu ter-buru-buru
sekali tampaknya?"
Diam-diam Leng Kong-siau dan Ting Yan-san memuji kecerdikan pemuda itu. Leng
Kong-siau merasa telah dihindarkan dari kesulitan menjawab pertanyaan Ting Yan-san
Sedang Ting Yan-san merasa telah diberi jalan untuk segera menyatakan tujuannya.
"Ho, ini bukan urusanmu, tak perlu engkau tahu," sahut Ting Yan-san dengan nada
keras. "Ah, mengapa lo-cianpwe mempunyai pikiran begitu" Bukankah kita yang datang ke
gunung ini mempunyai tujuan sama" Bukankah hubungan antara Lembah Raja-setan
dengan marga Ca-ke-poh selama ini baik2 saja" Dengan berdasar dua pegangan itu,
kiranya kita wajib sating bantu. Bukankah demikian, Leng lo-cianpwe?" Ca Giok melirik ke
arah Leng Kong-siau.
Leng Kong-siau hanya mendengus tak jelas.
"Hm, pintar benar sau-pohcu Ca-ke-poh itu bermain lidah," sahut Ting Yan-san, "tetapi
kurasa hal itu tak perlu kuberitahukan, karena menyangkut kepentingan Lembah Rajasetan
sendiri." "Kecuali bagaimana, harap lo-cianpwe sudi mengatakan," cepat Ca Giok mendesak.
"Kecuali kalian memang ingin membantu, barulah dapat ku beritahukan!"
"Ah, mengapa lo-cianpwe mengatakan begitu" Bukankah sudah kunyatakan dalam
perantauan, kita harus saling bantu membantu dengan sahabat. Silahkan lo-cianpwe
memberitahukan, asal kami mampu, tentu dengan senang hati akan membantu locianpwe,"
kata Ca Giok. "Seorang anakbuah Lembah Raja-setan telah menemukan sandi pertandaan yang
ditinggalkan oleh kedua budak perempuan kemenakanku itu. Mengatakan, bahwa kedua
budak itu telah ditawan oleh Nyo Bun-giau ke Kimleng"."
"Hai! Benarkah itu?" Ca Giok pura2 menukas kaget, "benarkah itu" Adakah laporan
anak buah Lembah Raja-setan itu dapat dipercaya?"
"Ehm, peraturan Lembah kami amat keras. Barang siapa berani hohong, matilah
hukumannya!" jawab Ting Yan-san.
"Leng lo-cianpwe," cepat Ca Giok berpaling ke arah Leng Kong-siau, "karena Ting locianpwe
telah mempercayai kita, sudah pada tetapatnya kita pun harus membantu Ting
lo-cianpwe."
Leng Kong-siau hanya mengangguk saja. Sesungguhnya ia tak senang dengan
tambabnya seorang Ting Yan-san. Tetapi karena orang she Ting itu memang hendak ke
Kimleng, apa boleh buat. Terpaksa ia tak keberatan.
Demikianlah, ketiga orang itu segera melanjutkan perjalanan ke Kimleng. Singkatnya
saja mereka telah mencapai tujuan.
Tengah mereka terpesona memandang sebuah bangunan gedung yang besar dan
mewah, sekonyong-konyong seorang pemuda baju biru muncul dan menanyakan
keperluan ketiga orang itu.
Ketika ketiga orang itu memperkenalkan diri, pemuda baju biru itu tersipu-sipu
memberi hormat dan menyatakan hendak mengantar mereka menemui kepala marga Nyoke-
poh. Pertama-tama, mereka berhadapan dengan 12 buah pagar kayu setinggi dua tombak.
Baik bahan maupun bentuknya, sama semua. Di atas pagar itu tercantum 6 buah huruf
yang dirangkai dari dahan pohon, berbunyi: Kim-leng Nyo-ke-poh.
Kata pemuda itu dengan bangga, "Ke-12 buah pagar itu dibentuk menurut 12 waktu.
Tampaknya serupa tetapi letaknya tak sama. Hanya dua buah pagar yang dapat mencapai
ke gedung. Barang siapa yang gegabah masuk kemari, tentu tersesat dan akan terancam
bahaya maut .. .. "
Jilid 16 : Perangkap berlapis-lapis
Tunas-tunas muda.
Habis memberi keterangan, pemuda itu mengajak ketiga tetamunya kembali masuk ke
dalam padang bunga. Setelah berbalik kian kemari, sekonyong-konyong pemuda itu
meloncat sambil berteriak nyaring, "Harap tuan2 berhati-hati ikut aku masuk ke dalam
gedung!" Ting Yan-san bertiga pusing juga diajak berputar-putar dalam padang bunga itu. Pada
saat mendengar teriakan pemuda itu, tanpa sadar merekapun ikut gerakan pemuda itu
loncat masuk ke dalam sebuah pagar.
Sesungguhnya Ting Yan-san bertiga sudah mengerahkan kewaspadaannya. Setiap
langkah dan setiap tanah yang dilalui, selalu diperhatikan. Tetapi setelah memasuki pager
itu, pandang mata seperti tertutup oleh gerumbul semak dan kabut sehingga tak dapat
memperhatikan sesuatu apa lagi.
Ting Yan-san, Leng Kong-siau dan Ca Giok saling bertukar pandang. Diam-diam mereka
malu dalam hati. Bertahun-tahun mereka berkelana dalam dunia persilatan dan
menghadapi berbagai pengalaman. Tetapi tak terduga-duga, saat itu mereka dapat
digembala oleh seorang pemuda, seperti kerbau tercocok hidungnya.
Pemuda baju biru yang berada dibelakang Ca Giok, saat itu tiba-tiba loncat ke muka
dan tegak berjajar dengan seorang pemuda baju biru yang lain. Sejenak memandang ke
arah ketiga tetamunya, tanpa bilang suatu apa, kedua pemuda itu lanjutkan langkahnya
lagi. Oleh karena sudah memasuki Nyo-ke-poh, terpaksa Ting Yan-san bertiga mengikuti
kedua pemuda itu.
Beberapa saat kemudian, tampak sebatang gala menancap pada gerumbul pohon.
Puncak galah terpancang sehelai bendera bertuliskan tiga buah huruf "Nyo-ke-poh".
Bendera itu berkibar-kibar tertiup angin. Dari celah2 gerumbul pohon sayup2 tampak
genteng merah dari sebuah gedung.
Pemuda baju biru lambatkan langkahnya dan menunjuk ke muka, "Di sebelah depan
itulah gedung Nyo-ke-poh kami!"
Kira-kira tiga empat li lagi, barulah mereka tiba di luar gedung. Pemuda itu merentang
sehelai panji segitiga lalu berjalan lagi. Setelah melintasi sebuah jalanan dari batu marmar
hijau, barulah mereka memasuki halaman.
Tiba di sebuah pintu bundar, pemuda itu berkata, "Pohcu berada di belakang, harap
tuan2 suka menanti sebentar."
Ting Yan-san mendongkol. Jelas Nyo Bun-giau sudah mengetahui kedatangan mereka
tetapi masih jual tingkah seperti tuan besar.
Pemuda itu menekan tombol pintu dan tak berapa lama pintupun terbuka. Empat
pemuda baju biru mungil, masing-masing mencekal sebatang pedang berbentuk ular
hitam. Setelah bicara beberapa jenak, pemuda penunjuk jalan tadi berkata, "Lo-pohcu
menunggu tuan2 di dalam."
Ia memberi hormat lalu keluar.
Sekonyong-konyong bau bedak wangi membaur. Dari balik pintu bundar itu muncul 4
orang dara berumur 17-an tahun. Tiba di muka Ting Yan-san, mereka memberi hormat
dan mempersilahkan masuk.
Tepat pada saat itu terdengarlah suara tertawa panjang dan muncullah pemilik marga
Nyo-ke-poh yakni si Perancang-sakti Nyo Bun-giau.
Begitu melihat ketiga tetamunya, Nyo Bun-giau segera mengangkat tangan memberi
hormat, "Sungguh suatu kehormatan yang tak pernah kusangka bahwa saudara-saudara
bersama-sama berkunjung ke pondokku yang jelek ini"."
Ting Yan-san bertiga tersenyum menyambut pernyataan tuan rumah. Tetapi diam-diam
mereka meningkatkan kewaspadaan.
"Habis menempuh perjalanan jauh, saudara-saudara tentu letih. Silahkan, mari kita
beristirahat di dalam".." kata Nyo Bun-giau.
Ketiga orang itu dibawa ke dalam sebuah pagoda hunga. Tiga penjuru dari pagoda
bunga itu merupakan air empang. Pada permukaan air, tampak bunga2 teratai
berguguran. Beberapa ekor angsa putih berenang-renang kian kemari.
Setelah menuangkan minuman teh, Nyo Bun-giau berkata pula dengan nada hambar.
"Kedua Lembah dan Ketiga Marga, sudah terkenal di dunia persilatan. Entah apakah Nyoke-
poh ini dalam pandangan saudara bertiga masih dapat dianggap sesuai dengan
kenyataan di dunia persilatan itu"
"Ah, saudara Nyo keliwat merendah. Bangunan dan perlengkapan dalam Nyo-ke poh
ini, benar-benar mengagumkan sekali. Sekalipun kedua Lembah dan ketiga Marga itu
sama-sama termasyhur, tetapi sesungguhnya tak dapat disejajarkan dengan Nyo ke-poh.
"Ah, saudara terlalu menyanjung," kata Nyo Bun-giau.
Ting Yan-san tertawa tawar. "Lembah Raja-setan hanya sebuah gerombolan penyamun
yang merupakan sampah. Tidak seperti Nyo-ke-poh yang diindahkan dunia persilatan."
"Saudara Ting keliwat memuji." Nyo Bun-giau tertawa menyeringai, "siapakah di dunia
persilatan yang tak kenal akan kebesaran nama Lembah Raja-setan" terus terang Lembah
Raja-setan itulah yang paling hebat bangunannya. Konon kabarnya barang siapa
memasuki Lembah Raja-setan, tentu takkan melihat sebuah rumahpun juga. Ciptaan
bangunan yang tak dapat dilihat prang itu, benar-benar mengagumkan sekali. Bagaimana
Nyo-ke-poh dapat dibandingkan dengan Lembah Raja-setan"."
Diam-diam Ting Yan-san girang mendengar pujian itu. Tetapi lahirnya ia tetap tenang.
"Ah, itu hanya secara kebetulan saja berkat keadaan tanahnya. Kurasa tetap Nyo-ke-poh
yang lebih unggul karena dibangun menurut ciptaan saudara!"
Nyo Bun-giau tertawa, "Kedua lembah Seriburacun dan Raja-setan sama-sama
mempunyai keistimewaan. Lembah Raja-setan termasyhur dengan ciptaan bangunan
lembah dan akal muslihatnya yang lihay. Sedang Lembah Seribu-racun termasyhur karena
dapat menjinakkan ular yang berbisa. Dengan mengumpulkan beribu-ribu ular dalant


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lembah, jelas musuh tak mungkin dapat membobolkan pertahanan lembah itu! Ah,
saudara Leng, lembah saudara itu benar-benar tiada taranya dalam dunia."
Leng Kong siau hendak menjawab tetapi Nyo Bun-giau mendahului lagi, "Juga marga
Ca-ke-poh dari wilayah Hopak, tak kurang termasyhurnya. Apalagi ayah saudara Ca ini,
benar-benar seorang tokoh yang kaya akan ilmu kepandaian dan merupakan tokoh
pertama pada dewasa ini."
Ca Giok gelagapan karena dirinya mendapat giliran. Buru-buru ia berkata, "Ah, Nyo
pohcu terlalu memuji. Masakan Ca-ke-poh sepadan disejajarkan dengan kemasyhuran
marga Nyo?"
"Lembah Seribu-racun berbahagia sekali menunggu kunjungan saudara Nyo," Leng
Kong-siau menyelutuk,"Akh, memang sesungguhnya diantara Dua Lembah dan Tiga Marga
itu, Lembah Raja-setanlah yang paling hebat. Teristimewa kedua gadis kemanakan
saudara Tang itu, merupakan sepasang bunga yang amat menyemarakkan nama Lembah
Raja-setan!"
Dengan memuji kedua nona Ting itu, Leng Kong-siau memberi bisikan halus agar Ting
Yan-san segera bertindak. Dan rupanya Ting Yan-sanpun dapat menangkap maksud Leng
Kong-siau. "Saudara Nyo, aku ". baru Ting Yan-san hendak berkata. Nyo Bun-giau cepat
menukas, "Tatkala musim rontok amat sejuk dan nyaman. Mari kita nikmati keindahan
alam sambil minum arak wangi!"
Nyo Bun-giau memang licin. Tahu bahwa apabila Ting Yan-san bicara tentu akan
menimbulkan pertengkaran maka ia cepat-cepat mendahului. Dan habis berkata orang she
Nyo itu terus berseru, "Hai, mana para pelayan cantik!"
Empat gadis cantik yang siap menunggu di luar pagoda bunga, segera masuk dengan
langkah lemah gemulai.
"Suruh orang mengeluarkan 40 jambangan bunga Seruni yang mekar2 dan 2 guci arak
Sian hin yang lama!" seru Nyo Bun-giau. Kemudian ia berpaling kepada ketiga tetamunya,
"Ah, kunjungan saudara bertiga sungguh kebenaran. Di daerah kami seang musim
kepiting. Biarlah kusuruh orang merebuskan kepiting yang gemuk2 dan bertelur untuk
teman arak!"
Tak berapa lama hidangan arak dan kepiting segera keluar. Keempat gadis cantik itu
melayani ketiga tetamu dengan gerak gerik yang menyengsamkan.
Sambil mengangkat cawan arak, Nyo Bun-giau mempersilahkan tetamunya, "Mari,
saudara-saudara, jangan sungkan2. Kita harus minum sepuas-puasnya. Bukankah kita tak
dapat hidup sampai 100 tahun?"
"Hm, manusia licik," diam-diam Leng Kong-siau memaki dalam hati, "begitu mendengar
nama kedua nona Ting disinggung, segera engkau alihkan perhatian kepada hidangan
arak. Tetapi. tunggulah saja Nyo Bun-giau!"
"Saudara Nyo," walaupun hati mengutuk tetapi mulut Leng Kong-siau tetap tertawa,
"engkau benar-benar pandai menikmati hidup. Hidupmu engkau nikmati dengan arak dan
wanita. Oh, pantas engkau jarang keluar di dunia persilatan. Kukira engkau seorang alim
yang saleh, ternyata ha, ha, ha, engkau memelihara harem yang hebat!"
"Ah, simpananmu di Lembah Seribu-racun tentu lebih hebat lagi saudara Leng. Jangan
berpurapura suci," jawab Nyo Bun-giau," sesungguhnya aku muak dengan kehidupan
dunia persilatan yang isinya hanya main menang sendiri, sedikit2 bicara dengan pedang.
Aku lebih suka tinggal di kandang saja, mengecap kehidupan yang tenang. Bukan aku
seorang bandot tua. Tetapi memang falsafah hidupku ialah: Hidup itu Indah maka kita
harus bersenang-senang menikmati keindahan Hidup. Mengapa kita harus bersusah hati
dan bermuram durja. Telah kusiapkan beberapa gadis penyanyi untuk menghibur saudarasaudara!"
Nyo Bun-giau memberi isyarat kepada seorang pelayan dan pelayan itu segera mundur
dengan tersenyum simpul.
Tak berapa lama dari gerumbul pohon bambu di seberang, terdengar bunyi bambu
diketuk-ketuk. Dan Nyo Bun-giaupun segera menghampiri pagar lalu mendorongnya. Bum
" terdengar bunyi bergemuruh ketika pagar itu jatuh ke dalam kolam.
Leng Kong-siau bertiga terkejut dan cepat loncat ke tetapat Nyo Bun-giau. Mereka siap
menerjang apabila tuan rumah berani main gila.
Tak berapa saat air kolam berombak-ombak dari dasar air bergerak-gerak sebilah
papan yang terangkat dan menjulang ke permukaan air lalu papan itu menjulur
memanjang keseberang sebelah muka dan terbentuklah sebuah jembatan yang
melengkung seperti busur.
Nyo Bun-giau berpaling seraya tertawa riang. Tiba-tiba ia bersuit nyaring dan dari ujung
jembatan bertebaran bergumpal-gumpal awan berwarna.
Leng Kong-siau, Ting Yan-san dan Ca Giok terkesiap. Ketika memandang dengan
seksama ah, ternyata gumpalan awan berwarna itu ternyata merupakan pakaian yang
berkilau-kilauan dari rombongan dara2 cantik. Dengan langkah yang lemah gemulai
mereka menari-nari sambil menyanyi.
Ting Yan-san, Leng Kong-siau dan Ca Giok kenyang berkelana dalam dunia persilatan.
Tetapi selama itu juga pernah mereka menyaksikan pemandangan yang begitu
menakjubkan seperti saat itu. Ketiga tokoh itu terlongong-longong.
Rombongan dara cantik itu sambil merekah senyum, menari-nari menurut irama lagu.
Sepintas pandang benar-benar menyerupai bidadari2 yang turun dari kahyangan . .
Sambil memandang ke arah ketiga tetamunya, Nyo Bun-giau mengurut-urut jenggot
seraya tertawa, "Ah, sesungguhnya aku hanya menyuguhkan sedikit pertunjukan yang tak
berharga itu kepada saudara-saudara."
Ia tertawa gelak-gelak ketika melihat ketiga tetamunya terpesona.
Ketiga orang itupun terkejut dan Ting Yan-san tersipu-sipu berkata, "Adakah saudara
Nyo bicara pada kami?"
"Entah apakah nyanyian den tarian sekasar itu dapat menyenangkan saudara?" kata
Nyo Bun-giau. "Hidangan saudara Nyo itu sungguh hebat sekali .."
"Memang nyanyian semacam itu hanya terdapat di Nirwana. Di alam dunia, mana
terdapat musik semacam itu"." Leng Kong-siau menyeletuk.
Nyo Bun-giau menunjuk ke arah kolam. "Harap saudara-saudara lihat itu!"
Ketika ketiga tokoh itu memandang ke arah yang dimaksud, tampak seorang bidadari
dalam pakaian warna merah yang tipis bersulam bunga
emas, tengah menghampiri dengan berjalan di atas air. Ah kiranya bidadari itu bukan
menggunakan ilmu kepandaian ginkang berjalan di udara, tetapi berdiri di atas sekuntum
bunga teratai sebesar meja.
Dibawa oleh aliran air, teratai itu meluncur ke bawah jembatan. Tiba-tiba teratai itu
menghambur asap tebal dan dengan membawa sang dara bidadari, bunga itu membubung
ke atas jembatan.
Selusin dara penari tadi segera berhamburan menyongsong kedatangan dara bidadari
itu. Sekilas pandang tampak seperti kawanan kupu2 yang mengerumuni sekuntum bunga.
Sekalipun tokoh-tokoh tua seperti Ting Yan-san dan Leng Kong-siau itu tak suka akan
paras cantik, namun menyaksikan pemandangan yang sedemikian itu, terguncang juga
hati mereka. "Nona itu benar-benar menyerupai bidadari yang turun dari kahyangan," Ting Yan-san
memuji. Nyo Bun-giau tertawa, "Dia adalah seorang sri-panggung yang termasyhur. Entah
berapa banyak pemuda hartawan yang telah jatuh di bawah kakinya , ."
Ia berhenti sejenak untuk tertawa gelak-gelak, "dan akulah yang.beruntung dapat
mengundangnya kemari. Suatu pertanda betapa besar rejeki saudara bertiga ini ".."
Diam-diam Leng Kong-siau terkejut dalam hati.
Pikirnya, "Celaka, jelas orang she Nyo ini hendak menggunakan paras cantik untuk
menjebak kita."
Dia seorang tokoh tua yang berpengalaman. Setelah menyadari hal itu, buru-buru ia
berlaku senang lagi. Diam-diam ia sudah membuat rencana. Sambil menepuk Ting Yansan
ia bertanya, "Saudara Ting, bagaimana pendapatmu tentang nona itu?"
Karena tak tahu maksud orang, maka Ting Yan san agak merah mukanya dan tersipusipu
menyahut, "Menilai kecantikannya, memang nona itu laksana seorang bidadari
menjelma. Seumur hidup belum pernah aku melihat nona secantik itu"."
Tiba-tiba Leng Kong-siau kerutkan wajahnya dan menyanggah, "Ah, ucapan saudara
Ting itu salah!"
"Apanya yang salah?" Ting Yan-san terkejut.
Leng Kong-siau tertawa, "Kedua nona kemenakanmu itu sesungguhnya jelita2 yang
jarang terdapat di dunia. Mana nona itu dapat dibandingkan dengan kedua kemenakan
saudara!" Mendengar Leng Kong-siau mengungkat kedua nona Ting itu lagi, buru-buru
menyelutuk, "Untuk menyatakan terima kasih atas pujian saudara bertiga, biarlah
kupanggilnya kemari untuk menghaturkan arak!"
Habis berkata Nyo Bun-giau melambai dara baju merah kemilau itu. Jelita itupun segera
ayunkan langkahnya yang semampai. Tak berapa lama sudah melangkah masuk ke dalam
pagodabunga. Setelah mengendap tubuh memberi hormat, berserulah ia dengan nada
bagaikan buluh perindu, "Pohcu memanggil diriku, entah hendak perintah apakah?"
Sambil mengurut jenggot, Nyo Bun-giau tersenyum, "Ketiga tetamu kita ini adalah
tokoh-tokoh persilatan ternama yang menjadi sahabatku. Layanilah dengan hidangan arak
agar jangan mengecewakan kegembirakan mereka!"
"Baik tuanku!" sahut jelita itu dengan nada gemetar lalu perlahan2 menghampiri ke
tetapat Ca Giok.
Di antara ketiga tetamu itu, Ca Gioklah yang paling muda dan paling cakap. Sejak
diundang Nyo Bun-giau dengan pikatan intan permata yang berlimpah-limpah, jelita itu
terus disekap dalam sangkar mas sehingga jarang bertemu dengan kaum pria lainnya.
Dan Nyo Bun-giau telah mengadakan peraturan yang sangat keras. Sebelum mendapat
ijin, tiada seorangpun yang diperbolehkan masuk ke dalam tetapat para rombongan gadisgadis
penari itu. Maka taklah mengherankan ketika melihat wajah pemuda Ca Giok yang tampan, hati
jelita itu mendebur keras. Dan pertama-tama yang dihampiri adalah tetapat pemuda itu.
Sambil menjulurkan sepasang tangannya yang putih seperti salju, jelita itu mengangkat
paci arak dan menuangkannya di cawan Ca Giok, disertai ucapan yang merdu, "Sekiranya
tuan tak muak melihat diriku, sudilah tuan mencicipi arak yang kusuguhkan ini."
Walaupun Ca Giok itu seorang pemuda yang baru berumur 20 an tahun, tetapi ia
beradat tinggi. Biasanya ia tak memandang mata kepada para gadis. Memang dari
kejauhan tadi, gadis itu tampaknya secantik bidadari. Tetapi setelah dekat ternyata
kecantikan dara itu hanya karena di make-up dengan bedak yang tebal. Dalam
kecantikannya yang dibuat itu, Ca Giok tak menemukan suatu keagungan dari seorang
wanita jelita. Diam-diam timbullah rasa muaknya. Dan untuk menghindari agar nona itu
lekas2 menyingkir, ia segera menyambar cawan araknya dan sekali teguk terus
menghabiskannya.
Tetapi rupanya nona itu tetap tak mengetahui sikap Ca Giok yang dingin. Melihat
pemuda itu begitu serta merta menyambut arak yang dihidangkannya, ia tertawa riang,
"Terima kasih atas penghargaan tuan yang sudi memandang diriku."
"Ah jangan mengatakan begitu!" sahut Ca Giok dengan dingin.
Dengan merekah senyum riang, gadis itu berkata, "Harap tuan sudi menanti sebentar.
Hamba akan menghidangkan arak kepada tuan tetamu yang lain dahulu."
Nona itu segera melangkah ke tetapat imam-pencabut-nyawa Ting Yan-san. Sambil
menuang arak ke cawan tokoh itu, ia mempersilahkannya supaya minum.
Tetapi jago tua itu hanya tersenyum dan memandang tuanrumah: saudara Nyo keliwat
menyanjung, Ting Lo-san seumur hidup belum pernah merasakan persembahan arak dan
gadis cantik semacam ini. Benar-benar aku merasa tak enak hati."
Habis berkata tokoh itu tertawa gelak-gelak. Nadanya amat kuat penuh kewibawaan
jantan. Pagoda seolah-olah tergetar oleh kumandang ketawanya.
Nona itu serasa pecah anak telinganya. Seketika pucatlah wajahnya, tubuhnyapun
menggigil. Rupanya Nyo Bun giau menyadari hal itu. Buru-buru ia tertawa dingin, serunya,
"Pagoda bunga ini tak berapa kokoh bangunannya. Apabila saudara Ting terus tertawa,
dikuatirkan kita tak leluasa disini."
Dalam ucapan itu jelas secara halus ia memberi peringatan kepada Ting Yan-san.
Ting Yan-san hentikan tertawanya lalu berpaling ke arah nona itu. "Apabila seorang
jelita semacam nona yang menghidangkan, jangankan arak wangi, sekali pun racun, tentu
Ting Yan-san tetap akan meneguknya!"
Ia terus mengangkat cawan lalu diteguknya habis.
Sambil mengawasi sang tetamu meneguk arak, Nyo Bun-giau mengurut-urut
jenggotnya dan tertawa "Sikap saudara Ting yang jantan itu memang merupakan sifat2
ksatrya yang perwira. Tetapi harap jangan kuatir, rumah marga Nyo disini hanya
menyediakan arak wangi untuk menghormat tetamu, sama sekali bukan racun untuk
mencelakai orang!"
Kembali orang she Nyo itu tertawa gelak dengan amat nyaring.
Ting Yan-sanpun tertawa. "Ah, memang aku orang she Ting ini rakus dengan minuman
arak sehingga menjadi buah tertawaan saudara Nyo".."
Diam-diam dia mengutuk, "Huh, jangan jual lagak di hadapanku. Arak atau racun, aku
tetap tak sudi melihat tingkahmu yang memuakkan itu!"
Imam Pencabut-nyawa Ting Yan-san seorang tokoh yang licin. Maka pada saat nona
cantik itu menyuguhkan arak kepadanya, ia sengaja tertawa keras. Tetapi bukan karena
terpikat kecantikan nona itu, melainkan mempunyai maksud lain. Pertama, agar suara
ketawanya yang nyaring dapat didengar oleh kedua kemenakannya Ting Hong dan Ting
Ling. Kedua, ia ingin mengetahui apakah setelah bertetapur dengan Han Ping tetapo hari,
tenaga-dalamnya sudah pulih kembali.
Dan ketika meneguk arak, ia gunakan tenaga dalam untuk memusatkan arak itu di
suatu tetapat. Ia tahu bahwa Nyo Bun-giau itu hukan seorang ksatrya. Sudah tentu
mempunyai maksud tertentu dalam menghidangkan arak itu.
Demikian setelah menghidangkan arak kepada Ting Yan-san, jelita itu terus pindah
menuju ke tetapat Leng Kong-siau. Sambil tersenyum simpul, ia menuang arak ke cawan
jago tua itu seraya berkata, "Tuan adalah tetamu terhormat dari poh-cu kami, silahkan
menikmati cawan arak ini"."
Leng Kong-siau juga jago tua yang amat licin. Sejenak memandang lebih dulu kepada
Ting Yan-san, baru ia menatap jelita itu. "Maaf, aku tak pernah minum arak"."
Habis berkata ia tertawa pula.
Jelita itu meletakkan poci arak, lalu mengangkat cawan dan dengan setengah meratap
berkata, "Tuan adalah tetamu kami yang terhormat. Sudilah menerima suguhan kami "."
Dengan nada dingin, Leng Kong-siau menyahut, "Seumur hidup aku tak minum arak,
harap nona jangan sibuk!"
Tolakan itu membuat wajah si jelita merah. Ia berpaling ke arah Nyo Bun-giau. Tetapi
orang itu sedang memandang ke arah jembatan dan seolaholah tak menghiraukan
pandangan si jelita.
Jelita itu sekali lagi membujuk Leng Kong-siau tetapi rupanya jago dari Lembah Seriburacun
itu tetap tak mau minum.
Beberapa saat kemudian barulah Nyo Bun-giau berputar tubuh, memandang ke arah
Leng Kongsiau dan nona cantik serunya, "Apakah saudara Leng tak minum arak?"
Sambil mengangkat cawan arak, nona cantik itu menjelaskan, "Tuan ini seumur hidup
tak pernah minum arak maka tak mau memberi muka kepada hamba!"
"Dan engkau tak dapat membujuknya?"
Jelita itu tundukkan kepala dan berkata dengan pelahan, "Hamba sudah berulang kali
menganjurkan"."
Dengan mata dingin, Nyo Bun-giau memandang sejenak ke arah Leng Kong-siau lalu
menyuruh nona itu. "Kemarilah engkau .."
Nona itu meletakkan cawan arak lalu menghampiri ke tetapat Nyo Bun-giau.
"Banarkah engkau sudah membujuknya?" Nyo Bun-giau menegas.
Nona itu kisarkan tubuh maju ke hadapan Nyo Bun-giau dan mengangguk pelahan.
"Benar, hamba sudah berusaha".."
"Hm" manusia tak berguna "." dengus Nyo Bun-giau. Nona itu terkejut ketika melihat
pandangan mata Nyo Bun-giau berkilat-kilat menakutkan. Ia hendak memberi penjelasan
lagi tetapi sudah terlambat. Tangan kanan orang she Nyo itu menampar punggung dan
huak ". nona cantik itu menguak, mulutnya muntah darah dan tubuhnya yang semampai
pun terlempar ke dalam kolam.
Tindakan Nyo Bun-giau itu benar mengejutkan ketiga tetamunya. Bahkan Ting Yan-san
yang banyak pengalaman pun tergetar hatinya.
Tetapi tampaknya Nyo Bun-giau tenang-tenang saja. Ia mengangkat cawan arak dan
meneguk habis. Kemudian meletakkan cawan dan berkata seorang diri, "Jika saudara Leng
benar-benar menolak, aku sungguh tak punya muka lagi"."
"Giok-lan, kemarilah!" serunya seraya mendorong poci arak.
Seorang nona cantik yang memakai baju biru menyala, segera tampil dari jembatan.
Setelah datang di hadapannya, Nyo Bun-giau menunjuk ke arah Leng Kong-siau, "Tuan
Leng itu adalah tetamuku yang terhormat. Engkau harus pandas melayaninya dan
haturkan secawan arak kehormatan kepadanya?"
Dengan rawan nona baju!aim itu mengangguk lalu menghampiri ke muka Leng Kongsiau.
Setelah menuangkan arak ia menghaturkan dengan kedua tangannya, "Harap tuan
sudi menerima persembahan arak ini?"
Sebenarnya Leng Kong-siau tak mau mempedulikan tetapi ia berpaling juga menatap
Pedang Dan Kitab Suci 19 Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung Neraka Hitam 5
^