Pencarian

Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 21

Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen Bagian 21


Ting Ling menghela napas, "Dalam saat dan tempat seperti ini, memang paling tepat
menggunakan senjata rahasia. Sayang kita tak membawa senjata rahasia . .."
Tepat pada waktu ia berkata sampai disitu, terdengar angin mengaum diudara,
segerumbul pelor melayang ke arahnya.
Ting Ling segera menyambutnya dengan sabetan sabuk pinggangnya. Beberapa batang
jarum memang dapat disabatnya jatuh tetapi karena tenaga-dalamnya masih belum pulih
hingga ia tak dapat memainkan sabuk pinggangnya dengan gencar, maka diantara berpuluh2
pelor perak itu, ada sebuah yang lolos dan menghantam lengan kirinya. Ting Ling
rasakan lengannya seperti terbakar api, sakitnya bukan kepalang. Dan seketika itu
lengannya membegap sebesar biji kelengkeng yang berwarna biru matang.
Karena sakitnya, Ting Ling hampir menjerit. Tetapi karena kuatir mengganggu
perhatian Han Ping, terpaksa ia tahankan.
Han Ping berpaling dan melihat luka nona itu ia kerutkan kening, "Bagaimana" Apakah
lukamu parah?"
Ting Ling tersenyum, "Tak apa, tidak begitu parah. Tetapi kalau terus menerus begini
saja menghadapi musuh, bukan cara yang tepat. Dalam waktu sejam, mungkin kita semua
akan terluka oleh kawanan Baju Hitam itu."
"Benar," sahut Han Ping. "memang cara ini tidak tepat. Lebih baik kita menyerbu
barisan mereka. Sekalipun tak dapat menghancurkan barisan Thian-kong-tin, tetapi paling
tidak tentu dapat melukai mereka sebagian. Kalau duduk menunggu kematian, lebih baik
kita bertempur mengadu jiwa!"
Kata Ting Ling, "Saat ini memang sudah terlambat. Musuh dengan mengandalkan
tabung senjata rahasia itu telah mengepung kita. Betapapun kepandaian kita, tetap tak
mampu menerobos dari hujan senjata rahasia mereka. Ai, tadi waktu engkau berada
dalam barisan Thian-kong-tin, jika Nyo Bun-giau dan lain-lain dapat menggunakan
kesempatan untuk menerobos keluar, mungkin masih ada setitik harapan. Tetapi sekarang
sudah terlambat?""
Kata-kata nona itu terputus oleh sebuah jeritan ngeri yang rupanya berasal dari mulut
Ca Giok. "Nona Ting, apakah itu bukan suara Ca Giok?" tanya Han Ping.
"Benar, dia tentu terluka!"
Han Ping kerutkan kening lalu berbisik kepada Ting Ling, "Harap engkau menjaga diri
disini, aku hendak menerjang Thian-kong-Tin."
Ting Ling gelengkan kepala, "Saat ini janganlah menuruti nafsu kegagahan dan
bertindak secara gegabah ."
"Apakah kita harus menunggu kematian disini?" balas Han Ping.
"Keadaan saat ini".." tiba-tiba segulung asap tebal melayang ketempat kedua anak
muda itu. Han Ping cepat menyambar tubuh Ting Ling terus dibawa loncat menuju ke lain
makam, "Tutup."
Ia gunakan sepenuh tenaga untuk loncat. Maka ketika musuh hendak menyusuli
menabur senjata rahasia lagi, Han Ping sudah tiba dibelakang makam marmar hijau.
Dilihatnya Ca Cu-jing sedang memeluk Ca Giok. Wajah ketua marga Ca itu merah padam,
sepasang matanya berkilat2 memancar api.
Begitu angin menyambar, dengan kalap Ca Cu-jing terus hendak menghantam. Ting
Ling buru-buru berseru, "Paman Ca, akulah!"
Mendengar itu Ca Cu-jing buru-buru menarik pulang tangannya. Sedang begitu tiba di
tanah, Han Ping terus berseru menanyakan keadaan Ca Ciok.
Ca Giok memandang Han Ping, "Terima kasih, saudara Ji. Aku telah menderita dua
batang jarum beracun!"
Memandang ke arah kedua anak muda itu. Ca Cu-jingpun berseru kaget, "Hai, apakah
nona Ting juga terluka?"
"Dia terkena sebuah pelor perak!" jawab Han Ping.
"Harap saudara ji menjaga serangan nmsuh, aku hendak mengobati mereka," kata Ca
Cujing. Han Ping mengangguk lalu berdiri. Ketua marga Ca itu mengeluarkan sebotol pil,
manuang dua butir lalu diberikan masing-masing sebutir kepada Ting Ling dan Ca Ciok.
katanya, "Lekas minumlah pil pemunah racun ini. Senjata rahasia dari tabung emas itu
mungkin mengandung racun"."
Belum ia selesai berkata, tiba-tiba terdengar Han Ping menggembor keras dan
menghantam. Menyusul gulung api meluncur ke arah tempat mereka. Ca Cu-jing cepat
bertindak. Tangan kin memeluk Ca Giok dan tangan kanan memeluk Ting Ling, Ia berguling2
di tanah, menghindar kesamping.
Bum".tepat pada saat mereka menyingkir, gulungan api itupun jatuh ketanah, meletup
dan menghamburkan percikan api yang me-nyala2.
Han Ping lepaskan sebuah hantaman untuk menghalau api yang hendak melandanya.
Kemudian ia berbalik tubuh dan loncat kesamping Ca Cu-jing. Ia putar pedang Pemutus
Asmara untuk mengenyahkan segerombol pelor perak yang melayang ke arah ketiga
orang itu. Ca Cu-jing beranjak loncat ke balik sebuah akam marmar hijau. Disitu dilihatnya
separuh tubuh Nyo Bun-giau bersembunyi dibalik makam to dan separuh tubuhnya berada
di luar untuk menempur kedua bocah baju putih. Disebelah makam itu terdapat dua buah
makam lagi, Disitu Leng Kong-siau dan Ting Yan-san sedang berlindung untuk melakukan
perlawanan. Cepat Ca Cu-jing letakkan Ca Giok dan Ting ing, Ketika mengangkat muka memandang
ke depan, seorang Baju Hitam menerobos masuk, tabung emas diangkat dan diarahkan ke
punggung Nyo Bun-giau. Melihat itu Ca Cu-jing segera lepaskan pukulan Peh-poh-sinciang.
Belum si Baju Hitam itu sempat menekan tabungnya, lengannya sudah tersambar
angin pukulan Peh-poh-sin-ciang. tabung terpental jatuh dan orangnyapun tersurut
mundur dua langkah ke belakang. Melihat pukulannya berhasil, Ca Cu-jing segera
menyerhu maju dan menghantam dengan jurus Awan turun dari langit.
Oleh karena termakan pukulan Ca Cu-jing tangan si Baju Hitam itu terluka dan
gerakannyapun tidak leluasa lagi. Untuk hantaman Ca Cu " jing yang terakhir itu, ia tak
dapat menghindar lagi. Maka terpaksa ia gunakan tangan kiri untuk menangkis.
Krak .. . tenaga-dalam dari Ca Cing jing yang keras membuat si Baju Hitam terhuyung
ke belakang sampai tiga langkah. Apabila Ca Cu-jing menyusuli pukulan lagi, terang Baju
Hitam itu tentu binasa. Tetapi ketua marga Ca itu menggunakan siasat. Ia ulurkan tangan
kiri gunakan ilmu Kinna-jiu untuk menyengkeram siku kanan orang itu.
Pada saat itu Nyo Bun-giau kebetulan berpaling. Ia berseru girang. "Bagus saudara Ca,
engkau dapat menangkap hidup seorang!"
Ca Cu-jing tertawa nyaring, "Pernahkah saudara Nyo melihat seorang tawanan hidup"
Hendak kulihat orang yang telah dilatih dengan susah payah oleh Ih Thian-heng,
apakah"."
Belum habis berkata, tiba-tiba dua sosok tubuh putih melayang tiba seraya
menghantam dengan pedang.
Ca Cu-jing mengangkat tubuh si Baju Hitam tadi terus diputar untuk menangkis
serangan pedang. ternyata yang menyerang itu adalah dua bocah baju putih. Oleh karena
takut akan melukai si Daju Hitam, kedua bocah baju putih itupun segera hentikan
serangannya. Mereka adalah kedua bocah yang menyerang Nyo Bun-giau tadi.
Ca Cu-jing tertawa gelak-gelak. Ia putar tubuh Baju Hitam dengan jurus Menyapu
ribuan-pasukan dan memaksa kedua bocah baju putih itu mundur dua langkah.
Terdengar Leng Kong-siau berteriak dengan suara yang brengsek macam tambur
pecah, "Saudara Ting, hati-hatilah. Aku sudah terkena empat batang jarum beracun,
mungkin sudah tak dapat melawan lagi!"
Ting Yan-san mencekal kebut hud-tim di tangan kiri dan tangan kanan memegang
pedang. Ia putar kedua senjata itu sederas hujan mencurah untuk menghalau hamburan
senjata rahasia musuh. Mendengar teriakan Leng Kong -siau itu, semangatnya terganggu,
gerakannya agak lamban, Sebatang jarum telah lolos dan menyusup untuk menghalau
hamburan senjata rahasia musuk ketika mendengar teriakan Leng Kong-siau, perhatiannya
terganggu. Sebatang jarum lobos dari hantamannya dan menyusup ke lengan kirinya.
Seketika ia rasakan kesakitan hebat sehingga pedangnya jatuh dan buru-buru ia menyurut
bersembunyi dibalik makam.
Melihat itu musuh segera menyerbu. Empat atau lima orang Baju Hitam segera
menerobos. Begitu berada dibelakang makam, cepat mereka pencar diri lalu
mengacungkan tabung emas kepada musuhnya. Ca Cu-jing mengempos semangat_ Waktu
ia hendak lepaskan pukulan Peh-poh-sinkun. tiba-tiba terdengar Ih Thian-heng tertawa
dingin, "Harap saudara Ca jangan buru-buru turun tangan dulu. Perhatikan dulu keadaan
saat ini baru nanti melanjutkan pertempuran mati2an lagi!"
Ca Cu -jing tertegun dan hentikan tangannya. Tetapi ia tetap bersiap menghadapi
serangan kawanan Baju Hitam.
"Berhenti!" Tiba-tiba Ih Thian-heng berseru nyaring.
Saat itu Nyo Bun-giau masih sibuk bertempur dengan kawanan bocah baju putih.
Mendengar teriakan Ih Thian-heng, kawanan bocah itu segera loncat mundur. Nyo Bungiaupun
berhenti. Berpaling ke belakang. seketika semangatnya menurun. Diam-diam ia
menghela napas, keluhnya dalam hati, "Celaka, habislah sekarang"."
Ternyata situasi dalam gelanggang pertempuran sudah dikuasai oleh kawanan Baju
Hitam. setiap orang telah dikuasai oleh dua orang Baju hitam yang mengarahkan tabung
emas. Asal orang Baju hitam itu menekan alat dibawah tabung, tentu beratus-ratus batang
senjata rahasia akan menabur. Tokoh-tokoh itu sudah melihat sendiri betapa kedahsyatan
senjata rahasia tabung emas itu! Dan betapa banyak macam senjata rahasia itu. Setiap
macam tentu mengandung racun yang ganas. Tokoh yang bagaimana tinggi
kepandaiannyapun sukar untuk meloloskan diri.
Ih Thian-heng segera turun ke gundukan makam marmar hijau itu dan berkata dengan
suara yang serius, "Jika saudara-saudara tetap tak mau menyerah, harap jangan salahkan
aku bertindak ganas .."
Nyo Bun-giau menyahut dingin, "Dalam pertempuran hari ini, walaupun kami kalah
tetapi karena saudara Ih bukan menggunakan kepandaian yang sejati, maka kami kalah
secara penasaran. Kemenangan saudara Ih itupun bukan kemenangan yang gemilang."
Ih Thian heng menengadah tertawa gelak-gelak, serunya, "Ucapan saudara Nyo itu
memang benar. Tetapi kita bukanlah orang yang baru keluar dari gundukan dan sudah
mempunyai nama dalam dunia persilatan. Cita-cita dan berebut nama kosong, bukanlah
langkah yang akan kita ambil"."
Berhenti sejenak, ia berkata pula, "Jika saudara Nyo merasa kepandaian saudara lebih
tinggi dari aku, baiklah kita cari lain kesempatan untuk mengadu kepandaian. Tetapi pada
saat ini keadaannya memang berbeda sehingga aku tak sempat lagi untuk menemani
saudara." Mata Nyo Bun-giau berkeliar kesekeliling. Dilihatnya Leng Kong-siau sedang duduk
bersila mcnyalurkan napas dan tenaga dalam. Ting Yan-san duduk bersandar pada makam
sambil memegang lengan kanan dengan tangan kirinya. Ting Ling dan Ca Giok duduk
bersandar disamping makam, tubuhnya setengah telentang. Kim Loji herjongkok dua
tombak jauhnya ditepi gerumbul rumput. Diapun terluka dan tiada berdaya lagi. Hanya Ca
Cu-jing seorang sekalipun masih segar bugar tetapi sudah dikepung rapat oleh musuh
apabila ketua marga Ca itu berani bergerak, tentu akan digenjot oleh musuh2nya yang
bersenjata tabung emas.
Melihat keadaan itu, Nyo Bun-giau menghela napas, "Sebelum aku menyatakan
menyerah, ingin aku meminta penjelasan sedikit."
Ih Thian-heng tersenyum, "Ah, jangan sungkan, sekiranya saudara Nyo hendak
memberi pesan apa-apa. asal tenagaku mampu, tentu akan kulakukan dengan senang
hati." Kata Nyo Bun-giau, "Boleh dibunuh tetapi tak boleh dihina"."
"Hal itu akupun mengerti, tetapi"."
"Jika saudara Ih hendak memperbudak aku untuk mengerjakan segala perintah, itu tak
mungkin sama sekali!" cepat Nyo Bun-giau menukas.
"Aku bukan bermaksud demikian," kata Ih Thian-heng.
"Walaupun karena terpaksa oleh keadaan, hari ini aku menyerah dengan tak puas,
tetapi akupun tak mau mengecewakan keinginan saudara"." Nyo Bun-giau tiba-tiba
hentikan kata-katanya.
Mengerling ke samping, tampak Han Ping dan Cong To masih bertempur mati2an
melawan anak buah Ih Thian-heng. Ih Thian-heng memandang kelangit, tertawa,
"Sekarang masih pagi. Jika saudara Nyo mau bekerja sama dengan aku. Sebelum hari
petang. kita dapat memasuki makam tunggal itu".." " ia memandang Ca Cu-jing lalu
melanjutkan kata-kata, "Di dunia persilatan telah tersiar luas bahwa partai2 persilatan,
Dua Lembah dan Tiga Marga, telah bersatupadu menghadapi aku."
"Sekalipun terdapat hal itu tetapi aku dan saudara Nyo tak ikut serta," tiba-tiba Ca Cujing
menyeletuk. Ih Thian-heng tersenyum, "Ucapan saudara Ca, meskipun boleh dipercaya, tetapi aku
tak menghiraukan soal itu. Sesungguhnya desas desus itu tetap desas desus. Aku memang
tak percaya bahwa partai2 persilatan besar dapat bersatu dengan Dua Lembah dan Tiga
Marga. Tetapi aku ingin bersama saudara Nyo dan saudara Ca, bersatu membentuk suatu
pimpinan. Saudara Nyo mahir dalam ilmu Bangunan, saudara Ca memiliki kepandaian yang
tinggi, jika giat berlatih ilmu barisan Pat-kwa-kiu -kiong, tentu akan hebat. Dan aku
sendiri, sudah sejak berpuluh tahun tekun mempelajari ilmu kepandaian istimewa dari
berbagai partai persilatan. Kupercaya hasilku tentu memadai. Jika kedua saudara mau
bekerja sama dengan aku, rencana itu tentu akan berhasil. Apalagi dalam makam besar itu
terdapat harta permata yang tiada tara besarnya. Jika saudara berdua mau kerja sama
aku membagi rata harta benda itu. Bagaimana maksud saudara, harap lekas memberi
keputusan!"
Ca Cu-jing memandang Nyo Bun-giau, tanyanya dengan bisik2, "Bagaimana pendapat
saudara?" "Aku menurut saja bagaimana keputusan saudara Ca," sahut Nyo Bun-giau. Dia
memang seorang rase tua yang licin. Dia meletakkan soal yang sulit itu pada Ca Cu-jing.
Ca Cu-jing berpaling memandang Ca Giok, lalu Ting Yan-san, Leng Kong-siau. Dia
benar-benar merasa sukar untuk mengambil keputusan.
Ih Thian-heng melambaikan tangan kirinya. Seorang Baju Hitam tiba-tiba getarkan
tabung emasnya. Segulung api segera menyembur ke arah Ting Yan-san, Ting Yan-san
terkejut dan buru-buru loncat ke atas. Tetapi api itu cepat sekali. Belum tiba ada tubuh
orang, sudah pecah berhamburan dua meter luasnya. Sudah tentu Ting Yan san tak
berdaya menghindar lagi. Tubuhnya disambar gulungan api itu. Melihat itu Ting Ling
menjerit dan bergeliat bangun terus lari menghampiri pamannya. Tetapi Ih Thian-hengpun
segera melangkah maju menghadang seraya ulurkan tangan kanan mencekal tubuh nona
itu, terus diangkatnya ke atas. Melihat itu Nyo Bun-giau berseru gopoh, "Harap saudara
Nyo bermurah hati, jangan mencelakai nona itu!"
Saat itu Ting Yan-san sedang ber-guling2 di tanah. Tetapi api yang menyambar
tubuhnya pun keras sekali. Pada waktu ia tengkurap, api di dadanya padam, tetapi pada
saat ia membalikkan tubuh, api pun menjilatnya lagi. Sedang Leng Kong-siau yang saat itu
sedang mengobati lukanya, menggigillah hatinya melihat keaaan Ting Yan-san yang begitu
mengerikan. Diam-diam ia berpikir, "Tadi Ih Thian-heng hanya menawarkan kerja sama
kepada Nyo Bun-giau dan Ca Cu-jing. Tetapi tidak kepadaku. Mungkin setelah Ting Yansan,
tentu giliranku yang akan dibakarnya. Dari pada dibakar hidup2an. lebih baik aku
bunuh saja"."
Tetapi sekalipun sudah mengambil keputusan begitu, ia tetap tak rela mati seorang diri.
Sejenak mengeliarkan mata, ia memperhitungkan jarak seorang Baju Hitam yang paling
dekat dari tempatnya. Diam-diam ia kerahkan tenaga-dalam, siap untuk menyerang orang
itu. Matipun ia tak rugi karena mendapat ganti jiwa.
Tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat serempak dengan pancaran sinar biru.
Saat itu Nyo Bun-giau tertawa menjawab permintaan Ca Cu-jing tadi, "Kalau saudara
Nyo suka pada anak perempuan ini, sudah tentu akan kulepaskan"." " belum selesai
berkata, ia diserang oleh sosok bayangan dengan sinar biru tadi. Dalam gugup ia putar
tubuh Ting Ling sebagai senjata untuk menangkis serangan sinar biru yang berasal dari
pedang. Dan gumpalan sinar pedang itu, tiba-tiba menghambur angin pukulan yang keras.
Tubuh Ting Ling tersiak dan sinar pedang itupun menyusup ke dada Ih Thian-heng. Belum
benda itu mengenai dada Ih Thian-heng sudah tertampar oleh hawa dingin.
Ih Thian-heng cepat menghindar kesamping tetapi orang itu tetap membayanginya.
Dalam sekejap saja, ia sudah menyerang lima kali tabasan pedang.
Tiba-tiba sinar pedang itu lenyap dan sebagai gantinya tampaklah Han Ping tegak
berdiri dengan marah sekali. Ujung Pedang Pemutus Asmara ditujukan ke arah dada Ih
Thian-heng. Mereka terpisah tiga empat langkah. Kawanan Baju Hitam yang mengepung
disekeliling, karena melihat jarak Han Ping dengan Ih Thian-heng itu begitu dekat sekali,
tak berani menaburkan tabung emasnya.
Saat itu wajah Ih Thian-heng menampir kebengisan yang belum tampak selama ini.
Pelahan-lahan ia lemparkan tubuh Ting Ling.
Kiranya saat itu Han Ping sedang melakukan posisi menurut ilmupedang yang paling
tinggi tingkatannya. Dia sedang salurkan seluruh tenaga-murni dalam tubuhnya ke batang
pedang. Tadi ketika ia melayang untuk menyerang Ih Thian-heng, dia telah
menghancurkan semua musuh yang hendak merintanginya.
Sedikitpun Ih Thian-heng tak mengira bahwa anak yang semuda itu, telah mencapai
tataran yang begitu tinggi dalam ilmupedang. Diam-diam ia tergetar juga. Pedang
Pemutus Asmara itu akan lebih dahsyat lagi apabila mendapat saluran tenaga-murni
pemuda itu. Saat itu Ting Lingpun menghampiri Ting Yan-san. Melihat itu Kim Loji berseru, "Nona
Ting, lekas suruh dia rebah dan timbunlah dengan pasir!"
"Paman, jangan bergerak!" cepat Ting Ling meneriaki pamannya. Walaupun Ting Yansan
sudah arahkan seluruh tenaga-dalamnya untuk melawan api, tetapi karena sekujur
tubuhnya terbakar, ia menderita kesakitan sekali. Untunglah kesadaran pikirannya masih
belum hilang. Mendengar teriakan anak kemanakannya, iapun menurut tak mau bergerak.
Ting Ling dengan tahankan rasa sakit, paksakan diri untuk menyibak pasir dan
dilemparkan ke tubuh pamannya.
Kawanan Baju Hitam yang mengepung tempat itu, memancarkan sinar mata


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemarahan. Tetapi karena belum mendapat perintah, mereka tak berani bertindak sendiri.
Tiba-tiba Ca Cu-jing berpaling dan melambari, "Saudara Nyo, harap kemari. Aku hendak
mohon petunjuk saudara."
Nyo Bun-giau batuk-batuk kecil. Sejenak memandang ke arah kawanan Baju Hitam, ia
melangkan pelahan-lahan ke tempat Ca Cu-jing Kuatir kalau kawanan Baju Hitam itu akan
melepas senjata rahasia atau turun tangan merintangi, maka diam-diam ia kerahkan
tenaga-dalam siap sedia.
Di luar dugaan, kawanan Baju Hitam itu tak bertindak apa-apa kecuali memandangnya
dengan mata berapi-api.
Begitu tiba lebih kurang setengah meter dari tempat Ca Cu-jing, tiba-tiba Nyo Bun-giau
berhenti. Dia memandang kesekeliling, tiba-tiba ia menghela nanpas dan mengeluh. "Ah ..
.. untuk menerobos keluar dari tempat ini, rasanya lebih sukar dari mendaki tangga
kelangit".."
ternyata ia dapatkan bahwa tempat itu sudah dikepung rapat sekali oleh kawanan Baju
Hitam yang masing-masing mencekal tabung emas. Menurut perhitungannya, seluas 10
tombak telah dikepung rapat oleh kawanan Baju Hitam. Sekalipun burung, juga sukar
untuk terbang keluar dari situ.
Ca Cu-jing menghela napas pelahan, "Apakah saudara Nyo tahu tentang asal usul
pemuda itu?"
Nyo Bun-giau menyatakan tak jelas.
"Aku teringat sesuatu yang menimbulkan kesangsian hatiku," kata Ca Cu-jing pula.
Nyo Bun-giau batuk-batuk lagi, katanya, "Apakah saudara Ca kuatir pertempuran kedua
orang itu kali ini"."
"Jika Ih Thian-heng kalah di tangan pemuda itu, kita semua tentu akan berkubur di
tanah kuburan sini. Asal saudara Nyo meneliti keadaan sekeliling tempat ini tentu
mengetahui bahwa kata-kata- ku ini tidak bohong"."
Sahut Nyo Bun-giau, "Jika yang menang Th Thian-heng, kita tentu mempunyai harapan
hidup, benarkah begitu?"
"Karena itulah maka aku bimbang," kata Ca Cu-jing.
Nyo Bun giau tiba-tiba melangkah dua tindak dan berjajar dengan Ca Cu-jing. Dengan
gunakan ilmu Menyusup-suara, ia berkata, "Situasi saat ini, memang suram. Untung kita
belum memberikan persetujuan pada Ih Thian-heng. Apabila Ih Thian-heng kalah,
kawanan Baju Hitam itu tentu tumpahkan senjata rabasia pada pemuda she Ji itu. Pada
saat itu, mungkin ada kesempatan bagi kita!"
Ca Cu jing juga menyahut dengan ilmu Menyusup-suara. "Memang keadaan saat ini
genting sekali. Sekalipun Ih Thian-heng itu amat sakti, tetapi pemuda she Ji itu mungkin
tak dibawah kepandaiannya. Jika dia menang, di kemudian hari dunia persilatan tentu
timbul suatu bahaya besar. Dia seorang pemuda yang keras kepala dan tinggi hati.
Ditambah pula dengan penasehatnya si pengemis tua itu, kemudian hari dia tentu akan
berdiri sebagai suatu pimpinan lain dalam dunia persilatan. Maka siapa saja dari kedua
orang itu yang menang, bagi kita sama saja, tiada kebaikan suatu apa!"
"Benar," Nyo Bun-giau mengiakan, "tetapi yang penting, baik siapapun yang menang,
tatap akan merupakan penghalang bagi rencana kita memasuki makam besar itu!"
Oleh karena menggunakan ilmu Menyusup suara, maka lain orang tak dapat
menangkap pembicaraan kedua orang itu.
Memandang ke arah pertempuran yang akan dilakukan oleh Ih Thian-heng dan Han
Ping. Ca Cu-jing lanjutkan berkata, "Mereka sudah sama siap, tentu pertempuran segera
berlangsung!"
Kata Nyo Bun-giau, "Jika kita menggunakan kesempatan selagi mereka bertempur
untuk menerobos kepungan kawanan Baju Hitam itu, kita mempunyai harapan setengahsetengah."
"Jika saudara yo dapat menangkap hidup seorang Baju Hitam seperti yang kulakukan
ini, kita dapat menggunakannya sebagai senjata. Dengan begitu harapan kita makin
besar." Nyo Bun-giau tersenyum, "Benar, kelinci mati si rase menangis atau serupa dengan
Tanaman makan pagar. Dengan menggunakan tubuh kawannya sebagai perisai, tentulah
mereka akan gentar!"
Tiba-tiba Ca Cu-jing menghela napas, "Walaupun kita dapat menggunakan kesempatan
kedua orang itu bertempur untuk menerjang kepungan musuh, namun tindakan itu
bukanlah suatu rencana yang terbaik"."
Nyo Bun-giau keliarkan mata, lalu berkata, "Apakah saudara Ca menguatirkan putera
saudara?" "Itu hanya salah satu sebab," kata Ca Cu-jing, "yang panting jika sampai melewatkan
kesempatan saat ini. kita tentu sukar untuk membunuh Ih Thian-heng dan pemuda she Ji
itu. Keduanya merupakan penghalang bagi kita memasuki makam besar itu. Dalam
pertempuran itu, siapapun yang menang, sama tak menguntungkan kita. Jika kita gunakan
kesempatan ini untuk turun tangan, tentulah akan memperoleh hasil."
Merenung beberapa saat, Nyo Bun-giau berkata, "Pandangan saudara Ca itu telah
membuka pikiranku. Tetapi jika yang menang Ih Thian-heng, mungkin rencana kita tentu
akan gagal. Tak mungkin kita dapat menghancurkan anakbuah Ih Thian-heng yang sekian
banyaknya."
Berkata Ca Cu-jing, "Ular takkan jalan tanpa kepala. Burung tak dapat terbang tanpa
sayap. Jika Ih Thian-heng terluka oleh pemuda itu. kawanan Baju Hitam tentu akan pecah
nyalinya. Dengan gunakan kata-kata, kita dapat mempengaruhi. mereka supaya ikut kita."
"Benar, perhitungan saudara Ca memang tepat tetapi resikonya besar sekali. Jika
sampai gagal, bukan saja kawanan Baju Hitam itu menolak ajakan kita, pun bahkan
mereka tentu akan menyerang kita habis-habisan. Dengan begitu, bukankah kita akan
mati dibawah taburan hujan senjata rahasia mereka"."
Berhenti sejenak, Nyo Bun-giau tak mau memberi kesempatan bicara pada Ca Cu-jing,
ia terus berkata, "Bukan aku hendak membangaakan diri, tetapi kecuali aku, walaupun
orang dapat memasuki makam tua itu, tetapi mereka tentu akan celaka oleh alat2
perkakas rahasia dalam makam itu. Daripada kita menempuh bahaya mengurusi mereka,
lebih baik biarkan mereka celaka sendiri dalam makam tua itu!"
Ca Cu-jing berpaling memandang Nyo Bun-giau katanya, "Menurut sepengetahuanku
kotak pedang Pemutus Asmara itu sudah jatuh di tangan orang Lam-hay-bun yalah si dara
baju ungu. Kabarnya, diatas kotak pedang itu terdapat guratan peta tempat penyimpan
harta pusaka dalam makam, dan gambar2 alat2 rahasia makam itu. Saudara Nyo jika tak
memiliki gambar itu, apakah tak sukar memasuki makam?"
Jawab Nyo Bun-giau, "Dalam soal itu harap saudara Ca tak perlu kuatir. Asal dapat
melenyapkan musuh tangguh itu, soal masuk ke dalam makam, serahkan saja padaku."
"Maksudku, lebih dulu kita basmi musuh." kata Ca Cu-jing, "begitu sudah tampak siapa
yang menang. Kita terus saja menyerbunya dengan seluruh kepandaian kita agar sekali
pukul dapat memperoleh kemenangan."
Sejenak merenung, Nyo Bun-giau menyetujui.
Tepat pada saat itu tampak tangan Han Ping bergerak. Pedang Pemutus Asmara
bergemerlapan menabur Ih Thian-heng. Tetapi Ih Thian-heng pun sudah siap. Pada saat
Han Ping bergerak. iapun juga menyerempaki bergerak. Tangan kanannya menodong ke
muka. Segulung angin tenaga-dalam melanda ke muka. Kemudian ia condongkan tubuh
ke belakang sampai melekat tanah, sehingga menyerupai bentuk busur. Kemudian tibatiba
ia ayunkan tubuh keatas lagi. Bagaikan sebatang anak panah yang terlepas dari
busur, tubuhnyapun melesat sampai tiga tombak jauhnya.
Disongsong oleh pukulan Ih Thian-heng itu gerak serangan Han Ping pun agak macet
dan saat itu Th Thian-hengpun sudah lolos.
Tetapi serangan Han Ping itu, dilambari dengan seluruh tenaga-dalamnya. Pedang
pusaka itu menghamburkan angin yang dahsyat dan sinar biru yang menebar seluas satu
tonbak. Walaupun Ih Thian-heng lolos tetapi batu nisan dari kuburan tempat ia beralih
tempat, itu, hancur berantakan dan dua orang Baju Hitam yang berada pada jarak dekat
dengan tempat Han Pingpun terbelah jadi empat tubuhnya. Darah segar muncrat
berhamburan ke empat penjuru.
Memang dalam hal menguasai tenaga-dalam, Han Ping masih belum mencapai tataran
apa yang disebut dapat mengendalikan tenaga-dalam menurut sekehendak hatinya. Oleh
karena ia tak dapat menahan lagi tenaga-dalamnya yang dipancarkas melalui gerakan
pedangnya itu. Selekas pancaran sinar pedang lenyap, tampak Han Ping berdiri tegak ditempatnya
sambil pejamkan mata untuk memulangkan napas.
Jelas serangannya itu telah menghabiskan tenaganya.
Nyo Bun-giau dan Ca Cu-jing diam-diam kerahkan tenaga-dalam bersiap. Asal Han Ping
dan Ih Thian-heng sudah ada penyelesaian, siapa yang menang tentu akan diserangnya.
Tetapi di luar dugaan telah terjadi peristiwa yang tak disangka-sangka. Ca Cujing
berpaling kepada Nyo Bun giau, katanya, "Saudara Nyo, harap jangan berburu-buru
dulu"."
Nyo Bun-giau menghela napas pelahan, tanyanya, "Apa yang terjadi saat ini, sungguh
di luar dugaan kita. lalu bagaimana tindakan kita."
"Tunggu perkembangan lebih lanjut," sahut ketua marga Ca.
"Menurut pendapat saudara Ca, perobahan apakah yang akan terjadi nanti" Apakah Ih
Thian-heng akan menyuruh kawanan Baju Hitam itu untuk menaburkan senjata rahasia
kepada pemuda itu?"
"Hal itu sukar dikata," jawab Ca Cu-jing,"Sekalipun Ih Thian-heng memang mempunyai
selera untuk membunuh pemuda itu, tetapi ia tak sampai akan memberi perintah kepada
anakbuahnya untuk melepas senjata rahasia"."
Tiba-tiba saat itu Han Ping membuka mata. Sepasang matanya yang berkilat-kilat tajam
memandang ke sekeliling, serunya, "IhThian-heng, hunuslah senjatamu. Keadaan saat ini
tentu berakhir dengan menyedihkan. Sekalian orang yang berada disini tentu tak mungKin
meninggalkan tempat dengan masih bernyawa"."
Tiba-tiba terdengar derap langkah orang berlari mendatangi sehingga kata-kata Han
Ping terputus. Ketika memandang ke muka tampak si Bungkuk dan si Pendek berlari
mendatangi, mempelopori sebuah tandu bercat ungu. Sedang di belakang tandu itu
tampak diiring si nenek rambut putih Bwe Nio.
Rombongan tandu dan kedua pengawal si Bungkuk dan si Pendek itu segera berhenti di
tempat Han Ping dan Ih Thian-heng. Begitu tandu berhenti, si Bungkuk dan si Pendek
segera agak menyisih kesamping untuk menjaga tandu itu.
Yang memikul tandu adalah dua orang lelaki bertubuh kekar dan bercelana pendek.
Setelah si Bungkuk dan si Pendek melindungi dikedua samping, barulah kedua tukang
tandu itu menurunkan tandunya,
Nenek Bwe Nio cepat menyelinap kemuka untuk membuka tenda tandu. Seorang dara
baju ungu yang mukanya ditutup dengan kerudung hitam, pelahan-lahan melangkah
keluar. Sekalian yang hadir, kecuali kawanan Baju Hitam, semua sudah kenal akan si dara baiu
ungu dan romboogan orang Lam-hay-11u. Mereka mengagumi kecaniikan dara itu. Tetapi
entah apa sebabnya, tiba-tiba saat itu si dara mengenakan kerudung muka.
Tiba-tiba kerudung muka dara itu tampak bergerak-gerak dan tangannya melambai,
"Ca Giok, apakah engkau terluka?"
Ca Giok gembira sekali. Entah bagaimana sakit pada lukanyapun terasa berkurang.
Cepat ia berdiri dan menjawab, "Terima kasih atas perhatian nona. Hanya luka sekecil ini,
tak apa!" Berkata si dara baju ungu kepada Ih Thian-heng, "Ca Giok tentu anakbuahmu yang
melukai, lekas berikan obat penawarnya kepadaku!"
Ih Thian-heng tersenyum ia mengeluarkan sebuah botol kumis, menuang dua butir pil
lalu diserahkan kepada si dara.
Setelah mengucap terima kasih, dara itu menghampiri Ca Giok. Waktu berjalan,
pakaiannya bertebaran menyambar ke samping Han Ping. Serangkum hawa yang harum,
menabur hidung Han Ping. Di luar kesadarannya, Han Ping cepat berpaling memandang
bayangan punggung dara itu.
Dilihatnya dara itu berjalan dengan Iangkah gontai ke tempat Ca Giok. Kemudian
dengan suara lembut berkata, "Inilah obat dari Ih Thian-heng, tak mungkin dia akan
menipu aku. Harap jangan kuatir dan minumlah!"
Dengan tersendat-sendat Ca Ciok berkata, "Apapun yang nona berikan, sekalipun
racun, tentu akan kuterima!" " ia terus menyambuti pil itu.
Karena muka tertutup sutera hitam maka tiada seorangpun yang tahu bagaimana
mimik wajah dara itu. Tetapi yang jelas, betapa mesra dan lembut ia mengucapkan katakatanya
kepada Ca Giok.
Kembali dara itu berseru, "Eh, engkau benar-benar terluka berat! Harap jangan
bergerak, biarlah aku yang meminumkan kepadamu."
Habis berkata dengan tanpa malu2 lagi dara itu terus menyusupkan obat itu ke mulut
Ca Giok. Pada jaman itu sekalipun di antara suami isteri, pun dianggap melanggar kesusilaan
apabila bermesra-mesraan di depan umum. Paling tidak harus di tempat yang sepi tak
dilihat orang. Tetapi ternyata dara baju ungu itu dengan disaksikan oleh berpuluh-puluh orang telah
memberikan obat ke mulut seorang pemuda. Menurut norma kesusilaan, dara itu sudah
melanggar tata kesopanan?"
Jilid 27 : Han Ping dengan suka rela meminum racun
Kucing-kucingan.
Nyo Bun-giau tersenyum, "Kuhaturkan selamat kepadamu, saudara Ca!"
"Musuh masih mengepung kita. hidup dan mati belum dapat diketahui, mengapa
saudara Nyo berkelakar memberi selamat"
Belum Nyo Bun-giau menjawab, dara baju ungupun sudah kedengaran berkata pula
kepada Ca Giok, "Jangan kuatir, sekalipun yang diberikan Ih Thian-heng kepadamu itu
racun sungguh-sungguh, aku tentu dapat menyembuhkanmu."
"Ilmu pengobatan nona, aku sudah mengetahui sendiri. Memang benar dapat
menghidupkan orang yang sudah meregang jiwa," kata Ca Giok.
Dara baju ungu tertawa melengking, "Kepercayaan yang engkau tumpahkan kepadaku
itu, benar-benar membuat aku gembira sekali. Dalam kitab pusaka perguruan Lam-haybun,
selalu berisi ilmu pelajaran silat yang sakti, juga terdapat bermacam2 ilmu
pengobatan. Apa yang kuketahui hanya sedikit sekali. Kelak kita dapat mempelajari kitab
itu tiap malam dan sama-sama meyakinkannya agar kelak engkau menjadi jago nomor
satu di dunia persilatan. Dan aku akan menjadi ahli obat nomor satu di dunia. Engkau
yang membunuh orang, aku yang menyelamatkan umat manusia. Kita sama-sama
berkelana di dunia persilatan."
Hampir Ca Giok tak percaya apa yang didengarnya. Telinganya seperti mendengar dewi
kahyangan mendendang lagu merdu, begitu tegang sekali perasaan pemuda, itu hingga
tubuhnya mandi keringat. Dengan napas terengah kecil ia berkata, "Ucapanmu". itu . .. .
apakah " sungguh". sungguh!"
Karena amat tegang sekali, mulut Ca Giok sampai tercekat tak dapat bicara lancar.
Dara baju ungu itu ulurkan tangan memegang sebelah lengan Ca Giok, serunya, "Setiap
patah kata-kataku itu keluar dari hati nuraniku. Di hadapan sekian hanyak tokoh,
kuperlakukan engkau begini rupa, masakan engkau masih tak percaya?"
"Apakah aku bukan bermimpi?" tanya Ca Cok pula.
"Di bawah sinar matahari musim rontok yang terang benderang. masakan engkau
bermimpi" Mari kita pergi, jangan berada di tempat yang begini belantara!" dengan
langkah gontai dara itu segera berjalan pelahan-lahan.
Entah girang entah kaget, tetapi Ca Giok benar seperti bermimpi. Ia mengikuti berjalan
di samping dara itu seperti sebuah patung yang bernyawa.
Nyo Bun-giau gentakkan kaki ke tanah, serunya, "Mempunyai seorang putera seperti
putera saudara Ca, alangkah bahagianya. Putera saudara Ca itu benar-benar membuat
hatiku iri!"
Ca Cu-jing tersenyum, "Mungkin bukan puteraku itu yang saudara Nyo maksudkan
melainkan kitab pusaka Lam-hay-bun."
"Ah, masakan aku mengandung hati begitu dengki. Belum sempat aku menghaturkan
selamat kepada putera saudara, masakan aku iri kepadanya?"
Tiba-tiba Ca Cu-jing menghela napas, "Perobahan keadaan yang begini mendadak,
kukuatir bukan berarti suatu kebahagiaan tetapi malah suatu malapetaka bagi puteraku."
Setelah menarik tangan Ca Giok berjalan sampai dua tiga tombak jauhnya, barulah
peruuda itu tersadar. Katanya berbisik, "Ayahku masih dalam kepungan musuh. Kalau aku
mengikut nona, hatiku sungguh tak enak."
Sambil berpaling, dara buju ungu itu berkata, "Apakah engkau tak dapat memanggilnya
ikut kemari?"
Ca Giokpun berpaling. Dari tempatnya yang terpisah begitu jauh ia memberi hormat
kepada ayahnya seraya berseru, "Ayah!"
Ca Cu- jing kerutkan alis, menyahut, "Ada urusan apa?" " sambil berseru iapun
melangkah menghampiri. Melihat itu Nyo Bun-giau pun segera ikut di belakangnya.
Tiba-tiba kawanan Baju Hitam yang mengepung di sekeliling penjuru, mengangkat
tabung emas dan ditujukan kepada Ca Cu jing dan Nyo Bun- giau.
"Mau apa kalian?" bentak Ca Cu jing seraya berhenti.
Ca Giok tegang sekali. Ia berpaling ke arah dara baju ungu, katanya, "Ayahku telah
dirintangi anakbuah Ih Thian-heng."
Dara baju ungu serentak mengangkat tangan memberi isyarat kepada Ih Thian-heng,
"Ih Thian-heng, suruh orang-orang itu mengundurkan diri, maukah?"
Ih Thian-heng melangkah maju dan tersenyum berkata, "Aku selalu menurut perintah
nona." Lalu ia bertepuk tangan dua kali dan berseru nyaring, "Sebelum mendadapat
perintahku, tak boleh bertindak sendiri. Siapa melanggar, hukum mati!"
Mendengar itu kawanan Baju Hitam yang sudah mengangkat tabung emas tadi, sama
menurunkannya lagi dan menyurut mundur.
Leng Kong-siau yang masih duduk di samping merawat lukanya, tiba-tiba berdiri dan
lari ke belakang Nyo Bun-giau.
Melihat beberapa orang itu sudah berusaha meloloskan diri, Ting Ling segera berbisik
kepada pamannya, "Apakah paman dapat bergerak?"
Saat itu tubuh Ting Yan-san terbenam dalam pasir dan rambut kepalanyapun terbakar
habis. Wajahnya yang tirus seperti muka kuda penuh dengan noda2 terbakar.
Luka2 itu apabila lalu orang yang menderita, tentu sudah mati. Tetapi berkat


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepandaiannya yang tinggi, Ting Yan-san dapat mengerahkan tenaga-dalam untuk
bertahan. Sekalipun lukanya amat berat, ia tetap dapat bertahan tak sampai pingsan. Ia
tetap mempunyai kemauan keras untuk hidup.
Mendengar pertanyaan anak kemanakannya itu, serentak ia melonjak bangun, serunya,
"Lukaku ini belum sampai dapat mencabut nyawa pamanmu."
Ting Ling memandang keadaan pamannya. Dilihatnya pakaian pamannya itu sudah
sembilan bagian terbakar. Tubuhnya berlumur benjol2 putih bernanah. Boleh dikata
sekujur tubuhnya sudah tak ada daging yang masih utuh lagi. Karena ngeri, Ting Ling
palingkan muka dia menangis, "Luka paman begitu parah sekali"."
"Mengapa engkau menangis!" bentak Ting Yan-san seraya ayunkan langkah.
Nyo Bun-giau, Ca Cu-jing dan Leng Kong-siau berpaling ke belakang. Demi melihat
keadaan luka Ting Yan-san yang begitu mengerikan, menggigillah hati mereka,
Dalam pada itu timbullah rasa heran yang tak dapat dimengerti oleh Han Ping,
mengapa si jelita dara baju ungu bersikap begitu mesra kepada Ca Giok. Entah bagaimana
hati Han Ping merasa iri dan panas. Dia tak tahu perasaan yang dikandung hatinya itu
suatu kebencian atau cinta. Karena selama hidup ia belum pernah dihinggapi perasaan
semacam itu. Sedang Ih Thian-heng hanya tegak berdiri dengan sikap yang lenggang sekali.
Dara baju ungu berjalan di muka dan Ca Giok mengikuti di belakang lalu Ca Cu-jing.
Nyo Bun-giau dan Leng Kong-siau. Sedang Ting Yan-san mengikuti di belakang pada jarak
satu tombak jauhnya. Sekalipun ia berjalan dengan tegakkan kepala dan kembungkan
dada, tetapi langkah kakinya jelas tampak tertatih-tatih. Suatu kenyataan kalau ia hanya
paksakan diri pura-pura dapat bertahan lukanya yang parah itu.
Melihat satu demi satu tokoh-tokoh itu angkat kaki tinggalkan tempat itu, begitu Ca Cujing
lewat di sampingnya, tiba-tiba Ih Thian-heng julurkan tangan manghantamnya,
"Apakah saudara Ca hendak membawa anakbuahku pergi semua?"
Kiranya Ca Cu-jing masih menyeret seorang Baju Hitam. Cepat ia lepaskan orang itu
dengan diserempaki oleh tutukan untuk membuka jalandarahnya yang tertutuk.
Pada saat itu Pengemis-sakti Cong To pun lari menghampiri. Semula dia bertempur
lawan Ih Thian-heng. Tetapi Ih Thian-heng memakai barisan Thian kong-tin untuk
mendesak Ca Cu-jing. Nyo Bun giau dan lain-lain, lalu ia membiarkan Hud Hoa Kongcu dan
tiga bocah baju putih mengurung Cong To. Rencana Ih Thian heng, lebih dulu hendak
menundukkan Ca Cu-jing dan Nyo Bun-giau, setelah itu baru akan menyelesaikan Cong To
dan Han Ping. Adakah ia nanti akan membunuh kedua orang itu atau akan menggunakannya, tetap
akan ia laksanakan dengan tegas. Ia merasa bahwa kedok mukanya sebagai seorang
ksatrya utama saat itu sudah terbuka dan dlketahui oleh tokoh-tokoh persilatan. Maka ia
tak mau kepalang tanggung dan hendak menghancurkan mereka atau menguasainya.
Hampir sejam lamanya ia merancang rencana, ia yakin perkembangan tentu akan
mengunjuk ke arah penentuan.
Siapa tahu rencananya yang bagus itu, ternyata berantakan. Kepandaian Han Ping jauh
di luar perhitungannya. Pada saat ia hendak membujuk Ca Cu-jing dan Nyo Bun-giau
supaya takluk, pemuda itu telah menyerangnya sehingga situasi telah berobah.
Dan kemunculan si dara baju ungupun di luar dugaannya sama sekali.
Semangat Ih Thian-heng seperti tenggelam dalam lautan. Ia melihat situasi berbalik tak
menguntungkan dirinya. Jika ia tak maumemandang muka si dara baju ungu, tentulah
fihak Lam-hay-bun akan membantu musuh. Dan sekali Lam-hay-bun membantu musuh, Ih
Thian-heng tiada harapan menang lagi. Ia cukup memahami kecerdasan dara itu. Jika
dara itu berani memasuki barisan Thian-kong-tin, tentulah ia sudah mempunyai pegangan
untuk menghadapi barisan itu.
Dengan perhitungan yang tepat, Ih Thian-hengpun cepat mengambil keputusan untuk
menuruti permintaan dara itu. Dengan tindakan itu, mungkin ia masih mempunyai harapan
untuk kerja-sama dengan Lam-hay-bun. Maka ia memutuskan, mengundurkan diri untuk
memelihara kekuatan daripada maju tetapi menderita kerusakan.
Setelah dapat menerobos ke luar dari kepungan Hud Hoa kongcu dan ketiga bocah baju
putih, Pengemis-sakti Cong To pun segera bergegas menyusul Ting Yan-san yang ke luar
dari daerah kuburan itu. Melihat keadaan Ting Yan-san yang begitu mengerikan, mau tak
mau hati pengemis tua itu ikut ngeri juga. Ia menghela napas.
"Yah," kata Ting Ling seraya menghampiri Cong To, "nasehatkanlah Ji siangkong
supaya ikut kita ke luar. Saat ini bukan saat untuk mengunjuk kegagahan."
Sebagai seorang tokoh yang kenyang akan pengalaman dunia persilatan, memang
Cong To dapat memperhitungkan situasi saat itu. Apabila si dara buju ungu dapat
mengajak sekalian orang ke luar dari kepungan, Ih Thian-heng tentu akan menumpahkan
seluruh kekuatannya untuk menghadapi Han Ping dan ia.
Maka ia setuju akan anjuran Ting Ling, serunya kepada Han Ping, "Mari kita pergi, hari
masih panjang. Kelak masih ada kesempatan untuk mambalas dendam. Tak perlu terburuburu
harus melakukannya sekarang juga!"
"Aku hendak membawa paman Kim ke luar," sahut Han Ping yang selalu memikirkan
keselamatan Kim Loji. Dengan dua kali loncatan, tibalah ia di tempat Kim Loji. Dilihatnya
Kim Loji pejamkan mata, wajahnya lesi tetapi tak terdapat setitik noda darahpun pada
tubuhnya. Han Ping terkejut dan buru-buru menjamah dada pamannya, ternyata masih bernapas.
Cepat ia mendukung pamannya itu. Dengan lintangkan pedang, ia segera melangkah
maju. Saat itu si dara baju ungu dan rombongan Nyo Bun-giau, sudah mencapai 10 tombak
jauhnya. Hanya Pengemis-sakti Cong To yang masih tetap tinggal di tempatnya,
menunggu Han Ping.
Pada saat Han Ping lewat di sampingnya, tiba-tiba Ih Thian-heng ulurkan tangan kiri
pura-pura menghadang, "Engkoh kecil, apakah tak mau tinggal sebentar lagi?"
Han Ping sabetkan pedangnya dan memaksa Ih Thian-heng menyurut mundur. Sedang
Cong To pun cepat loncat menghampiri seraya tertawa dingin, "Ih Thian-heng, apakah
engkau yakin dapat menahan pengemis tua dan Han Ping?"
Berkata Han Ping dengan nada gagah, "Hidupku sekarang ini hanya bertujuan untuk
membalas sakit hati orangtuaku. Asal dapat membunuh musuh itu, sekalipun aku mati
tercincang, tetap tak menyesal. Harap lo-cianpwe suka menolong untuk membawa
pamanku ini ke luar dari tempat berbahaya ini dan carikan seorang tabib pandai untuk
mengobati lukanya. Kemudian minta pada paman supaya menyembahyangi arwah
ayahbundaku dan menuturkan tentang peristiwa yang kulakukan dalam menuntut dendam
itu. Atas bantuan lo-cianpwe, aku merasa berterima kasih tak terhingga," ia terus
sodorkan tubuh Kim Loji kepada Cong To. Sejenak merenung, akhirnya Cong To
menyambutinya juga. Rupanya pengemis tua itu telah memperhitungkan dengan masak.
Secara tiba tiba ia menaruh kepercayaan penuh terhadap Han Ping. Asal pemuda itu
bertempur satu lawan satu dengan Ih Thian-heng, ia percaya tentu akan menang.
Tetapi kebalikannya, saat itu Ih Thian-heng merasa cemas.
Sambil getarkan pedang Pemutus Asmara, berserulah Han Ping, "Ih Thian-heng,
kiranya engkau tentu sudah tahu siapa diriku ini. Tak perlu kuterangkan panjang lebar
lagi. Dengan telingaku sendiri, kudengar engkau mengatakan kalau engkaulah yang
membunuh ayahbundaku. Aku dengan mata kepada sendiri kusaksikan engkau telah
membunuh guruku. Lekas hunus senjatamu!"
Habis berkata Han Ping terus pasang kuda2 dengan lintangkan pedang ke muka dada.
Melihat sikap Han Ping, tiba-tiba tergetarlah nyali Ih Thian-heng. pikirnya, "Entah dan
mana anak itu mendapat kepandaian yang begitu hebat. Ia telah menguasai ilmupedang
sakti." Dengan dua kali loncatan, Cong To yang mendukung Kim Loji tiba di tempat Ting Ling,
"Budak setan!" serunya.
"Yah".,"Ting Ling berpaling menyahut.
"Panggullah orang ini"." tiba-tiba Cong To berkata dengan bisik2, "Tunggulah di biara
tempat aku pernah bertempur dengan Han Ping tempo hari."
Walaupun lengan nona itu terluka tetapi ia tetap melakukan perintah ayah angkatnya
dan menyambut tubuh Kim Loji.
Setelah itu Cong To lalu loncat melambung ke udara. Ia menyambar sebatang dahan
pohon siong lalu berjalan menghampiri ke tempat Han Ping.
Saat itu tiba-tiba si dara baju ungu hentikan langkah dan berkata kepada Ca Giok,
"Bagaimana kalau kita berhenti dulu untuk menyaksikan keramaian itu?"
Ca Giok hanya mengiakan saja. Ia benar-benar terbuai oleh sikap si dara yang begitu
mesra kepadanya. Tiba-tiba ia rasakan tangannya ditekan si dara dan dibawa kembali ke
dalam lingkungan tanah pekuburan lagi.
Nyo Bun-giau, Ca Cu jing dan lain-lain karena sudah keluar dari kepungan kawanan
Baju Hitam, nyali merekapun besar lagi. Mereka hentikan langkah dan hendak
menyaksikan apa yang akan terjadi di lapangan kuburan itu.
Hanya Leng Kong siau dan Ting Yan san yang tanpa berpaling muka lagi tetap
lanjutkan berjalan pergi.
Keduanya menderita luka parah dan harus cepat-cepat tinggalkan tempat itu baru
dapat berusaha untuk mencari obat.
Ting Ling ikut di belakang Ting Yan-san, pada saat lewat di samping si dara baju ungu,
tiba-tiba mendengar dara baju ungu itu berkata, "Orang ini berbahaya sekali keadaannya.
Racun sudah menyusup ke dalam hati. Tiga jam kemudian apabila tak lekas diobati, tentu
akan mati!"
Ting Yan-san melirik ke arah dara baju ungu itu, hendak bicara tetapi tak jadi.
Tiba-tiba baju ungu itu tertawa, "Apa yang engkau pandang" Dalam dunia, hanya aku
seorang yang dapat menolongmu. Dan lagi harus menggunakan tusuk kundai Kumala itu
baru dapat menolongmu."
Agaknya Ting Yan san menyadari bahwa lukanya tiada tertolong lagi. Maka beberapa
kali ia batuk-batuk lalu berbisik kepada Ting Ling, "Leng ji, lekas engkau pulang ke
lembah. Aku sudah tiada harapan lagi. Sekalipun ada harapan, tetapi keadaan diriku yang
begini, rasanya tak dapat kutahan lagi."
Habis berkata Ting Yan san berputar diri lalu berjalan menuju ke timur.
Ting Ling berpaling memandang si dara baju ungu, dilihatnya dara itu berjalan sambil
sandarkan kepalanya ke bahu Ca Giok. Tiba-tiba tergerak hatinya. Diam-diam ia
menimang, "Sekalipun dara ini seorang gadis yang pilihan dan tak mau terikat akan adat
istiadat umum, tetapi tak seharusnya dia begitu rupa menonjolkan diri, tanpa malu2
bertingkah begitu mesra di hadapan sekian banyak orang. Kemungkinan ia tentu
mempunyai maksud lain."
Secepat menduga begitu, Ting Lingpun segera berseru nyaring, "Harap nona berhenti
dulu, aku yang rendah hendak mohon petunjuk."
Dara baju ungu itu ternyata mau berhenti juga dan berpaling, "Nona Ting hendak
mempunyai urusan apa dengan aku?"
"Pamanku rela menderita luka terbakar yang amat parah. Di dunia ini kiranya hanya
nona seorang yang dapat mengobatinya. Entah apakah nona sudi bermurah hati untuk
memberi pertolongan kepada pamanku yang sedang menderita itu?"
"Apakah engkau minta aku untuk menolongnya?"
Dara baju ungu itu tertawa mengikik, "Jika kululuskan untuk menolongnya, entah
dengan cara bagaimana nona hendak berterima kasih kepadaku?"
"Segala apa yang nona perintahkan, asal tenagaku mampu, tentu akan kulakukan,"
sahut Ting Ling.
"Sayang sedikit sekali bantuan yang kuperlukan dari lain orang," kata si dara baju ungu,
"begini sajalah. Soal itu kita catat dalam hati dulu. Kelak apabila aku memerlukan
bantuanmu, baru aku bilang. Setuju?"
Karena memikirkan luka pamannya yang begitu parah, maka tanpa banyak sangsi lagi
Ting Ling segera menyatakan setuju.
Dara baju ungu itu tiba-tiba berpaling kepada kepada induk semangnya, "Bwe-nio,
tutuplah jalandarah orang itu dengan ilmu tutukan perguruan Lam-hay-bun lalu berikan
sebutir pil mujijad padanya, jangan sampai hawa murni dalam tubuhnya lenyap!"
Bwe Nio terkesiap, "Apa" Engkau sungguh-sungguh hendak menolongnya?"
Si dara mengangguk pelahan, "Bwe Nio, adakah saat ini engkau masih sampai hati
untuk menentang kehendak hatiku?" " Nadanya penuh haru keramahan sehingga
membuat hati orang rawan.
Tiba-tiba Bwe Nio mengangkat lengan kiri dan menutup mukanya dengan jubah
lengannya itu, "Nak, terserah engkau hendak berbuat apa aku tentu akan berusaba sekuat
mungkin untuk menolong."
Nenek itu terus loncat ke samping Ting Yan-san lalu angkat tangan menamparnya.
Sekalipun paksakan diri berjalan dengan kerahkan seluruh tenaga-dalam, namun tetap
ia rasakan tubuhnya sakit bukan kepalang. Rasanya seperti dicacah-cacah pisau. Saking
sakitnya ia hampir tak tahan lagi dan terus hendak bunuh diri dengan menghantam batok
kepalanya sendiri. Sekonyong-konyong ia rasakan serangkum angin menampar tubuhnya.
Seketika ia rasakan beberapa jalan darahnya kesemutan dan pingsanlah ia.
Bwe Nio segera mengeluarkan sebutir pil lalu disusupkan ke mulut orang itu.
Dara baju ungu tiba-tiba melambai, "Au Bungkuk, angkutlah orang itu keluar hutan dan
serahkan pada orang supaya dirawat."
Seorang bungkuk segera menghampiri dan terus memanggul tubuh Ting Yan-san
dibawa lari. Ting Ling menghela napas pelahan, serunya, "Terima kasih atas budi pertolongan nona.
Kelak pasti kubalas budimu itu. Karena saat ini nona tak memerlukan aku maka akupun
hendak mohon diri."
"Jangan pergi!" tiba-tiba dara baju ungu berkata, "engkau harus di sini merawat
lukanya. Aku sudah meluluskan permintaanmu untuk menyembuhkan lukanya yang
terbakar itu, tetapi aku tak dapat melakukan perawatannya."
Ting Ling memandang Kim Loji yang masih didukungnya. Ia menghela napas
kehilangan faham.
Saat itu anakbuah Ih Thian-heng sudah berkumpul dan mengepung Han Ping serta
Cong To. "Saudara Ca," bisik Nyo Bun-giau, "rupanya kali ini pemuda she Ji itu pasti bertempur
sungguh dengan Ih Thian-heng. Entah siapa yang menang dan yang kalah, tetapi suatu
keuntungan bagi fihak kita. Hanya sayang masih ada rombongan orang Lam-hay-bun.
Sekalipun kita dapat mengambil ikan yang sudah menggelepar di tanah itu tetapipun kita
tak dapat bergerak leluasa."
Sahut Ca Cu jing, "Keadaan saat ini memang rumit sekali. Sukar diduga bagaimana
perobahannya nanti. Tiada lain jalan kecuali harus bertindak melihat gelagat."
Tiba-tiba Han Ping berseru keras, "Harap saudara-saudara menyingkir lebih jauh agar
jangan sampai aku salah melukai"."
"Kalian menyingkir semua, paling sedikit dua tombak jauhnya," Ih Thian-heng ikut
berseru dengan nada dingin. Kemudian ia tertawa nyaring, serunya pula, "Dalam dunia
persilatan dewasa ini, memang banyak jago yang menggunakan pedang. Tetapi yang
mampu menunggang pedang untuk melukai musuh, rasanya hanya seorang dua orang
saja. Hari ini kalian boleh menyaksikannya"." sengaja ia nyaringkan suaranya agar
sekalian orang dapat mendengar.
Cong To tertegun. Segera ia bertanya bisik2 kepada Han Ping, "Apakah engkau pernah
belajar ilmu naik pedang itu?"
Han Ping tertawa hambar, "Belum, tetapi pernah orang memberi pelajaran itu
kepadaku. Jika Ih Thian-heng tak mengatakan, aku tentu tak tahu kalau kepandaLn itu
disebut ilmu naik pedang."
Sambil lintangkan barang pohon siong, Cong To memandang ke sekeliling dan tertawa,
"Bagus, dalam pertempuran hari ini, entah engkau mati atau beruntung masih hidup tetapi
kegaranganmu akan jatuh dalam dunia perslatan. Selama 60 tahun tiada seorangpun yang
berumur seperti engkau, mampu mempunyai ilmu yang setaraf dengan engkau!"
Ucapan itu merupakan suatu anjuran kepada Han Ping. Ia tegakkan alis dan busungkan
dada. Sambil tengadahkan kepala bersuit panjang, ia berkata, "Ah, lo cianpwe keliwat
memuji. Mungkin dalam pertempuran nanti aku mati di tangan musuh dan dendam sakit
hati itu akan kubawa ke liang kubur. Tetapi kuyakin, Ih Thian-hengpun harus membayar
mahal juga"."
Tiba-tiba ia menghela napas pelahan, ujarnya pula, "Ada sebuah urusan yang hendak
kumohon bantuan pada lo-cianpwe. Entah apakah lo-cianpwe sudi meluluskan?"
"Bilanglah," kata Cong To, "asal pengemis tua dapat melakukan, pasti tak menolak!"
Mata Han Ping berkilat-kilat memandang Ting Ling, ujarnya, "Harap lo cianpwe suka
membawa puteri angkat lo-cianpwe itu tinggalkan tempat ini agar hatiku tenang
bertempur dengan musuh!"
Cong To tertawa, "Dalam hidup pengemis tua ini, boleh dikata telah mengenal seluruh
tokoh dalam dunia persilatan. Tetapi setelah setua ini bertemu dengan engkau, seorang
yang lupa pada persahabatan"."
Han Ping tertawa tawar, "Aku belum pernah meyakinkan ilmu pedang. Tetapi
mengandalkan ingatanku, aku akan mencoba untuk bertempur dengan lawan. Kalah
menang, sudah dapat diperhitungkan. Nama lo-cianpwe amat harum dalam dunia
persilatan, tak selayaknya menewani aku dalam pertempuran ini."
Rupanya Ih Thian-heng tergerak hatinya mendengar kegagahan Han Ping dan
kejujuran Cong To. Ia tersenyum berseru, "Terus terang, akupun tak yakin tentu dapat
mengalahkan engkau. Tetapi aku sudah pernah meyakinkan ilmupedang Kita saling
mempunyai harapan setengah-tengah untuk kalah atau menang. Jika engkau masih ada
pesan lain, pertempuran ini dapat kita pertangguhkan lain hari. Kita tentukan saja
harinya!" Tiba-tiba Ting Ling melangkah ke samping pengemis tua. Melihat itu Cong To
menegurnya, "Mengapa engkau ke mari?"
Ting Ling tertawa, "Karena ayah di sini, akupun tetap menemani di sini juga."
Melihat Kim Loji yang didukung nona itu makin lemah napasnya, tergeraklah hati Han
Ping. Ia segera menghampiri.
Ting Lingpun segera menyerahkan Kim Loji kepada pemuda itu, "Pamanku menderita
luka parah sekali. Aku harus merawatnya dan terpaksa tinggal di sini."
Menyambuti tubuh Kim Loji, Han Ping berkata, "Terima kasih atas bantuan nona. lain
hari tentu akan kubalas."
Sambil memutar pedang Pemutus Asmara, pemuda itu berseru keras, "Siapa
menyingkir, selamat. Siapa menghadang, binasa!" " ia terus menerobos menerjang ke


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

luar dari kepungan.
Yang diarah yalah justeru yang dijaga Hud Hoa kongcu. Pemuda itu walaupun tidak
tolol, tetapi karena sejak kecil dimanjakan di bawah lindungan ayahnya, maka dalam
pergaulan di kalangan Hitam atau Putih, ia selalu membawa sikap yang congkak.
Melihat Han Ping hendak menerjang ke arah tempatnya, marahlah Hud Hoa kongcu itu.
Cepat ia menyongsong sebuah hantaman.
Han Ping tebarkan pedang pusaka dalam lingkaran sinar dingin.
Cret!" Ujung lengan baju Hud Hoa kongcu terpapas dan cepat-cepat ia mengangkat
bahunya kanan untuk menyambut pukulan kongcu itu.
Karena termakan pukulan Hud Hoa kongcu, Han Ping yang melambung di udara itupun
meluncur jatuh ke tanah. Cong To terkejut dan terus hendak menghampiri untuk memberi
pertolongan. Tetapi alangkah kejutnya ketika saat itu ia mendengar Hud Hoa kongcu menjerit keras
dan tiba-tiba menyurut mundur sampai beberapa langkah.
Cong To terkesiap dan hentikan langkah. Sebagai seorang tokoh yang berpengalaman
luas, tahulah ia bahwa Hud Hoa kongcu telah termakan tenaga-membal yang dipancarkan
oleh tubuh Han Ping.
Melihat itu diam-diam Ih Thian-heng bercekat dalam hati, "Tenaga-membal semacam
itu, kecuali ilmu Hian-bun-kong-gi, hanya Pancha-siang-kang dari aliran kaum agama yang
mampu memiliki daya sedemikian hebatnya".."
Tengah ia menimang, tiba-tiba terdengar deru sambaran tongkat. Keempat orangtua
yang mengawal di belakang Hud Hoa kongcu, tiba-tiba serempak maju menerjang dengan
tongkatnya. Han Ping kerutkan alis. Ia murka sekali.
Bukannya mundur tetapi ia malah maju menerjang keempat orangtua itu. Dengan jurus
Thian-ho no-sia, ia taburkan pedang untuk melindungi diri. Tring, tring, tring, keempat
batang tongkat itu terbabat kutung.
Semangat Han Ping makin menyala. Ia balikkan pedang untuk menabas. Walaupun
pedang Pemutus Asmara itu hanya pandak tetapi pedang pusaka itu memancarkan sinar
kebiru-biruan yang mencapai sampai beberapa meter jauhnya. Pada waktu dimainkan,
anginnya dapat menyerang musuh.
Keempat pengawal tua itu setitikpun tak mengira bahwa dalam satu gebrak saja,
senjata mereka sudah terpapas kutung. Mereka agak tertegun dan tahu2 angin pedang
Pemutus Asmara sudah melanda mereka. Mereka terkejut dan cepat-cepat loncat mundur.
Han Ping makin beringas. Kembali ia lancarkan serangan pedang pusaka itu memancar
sampai beberapa meter jauhnya sehingga orang-orang yang berada di sekeliling, sama
berhamburan mundur dan memberi sebuah jalan. Kesempatan itu tak di-sia2-kan Han Ping
untuk menerobos keluar dari kepungan dan terus lari.
Menyaksikan kegagahan Han Ping. tiba-tiba si dara baju ungu menghela napas .. . .
Helaan napas itu bernada rawan sekali sehingga Ca Giok yang berdiri di sampingnya
tergerak juga hatinya.
Selagi suara helaan napas itu masih mengiang di telinga, dari kerudung kain hitam yang
berlapis-lapis menutup wajah dara itu, tiba-tiba terdengar mulutnya berseru marah, "Oh
It-su, lekas tahan dial"
Oh It-su terkejut sekali. Han Ping lari sepesat anakpanah lepas dari busur. Bagaimana
mungkin ia mampu mengejarnya. Namun ia tak berani membantah perintah dara baju
ungu itu. "Hai, berhenti!" didahului oleh teriakan keras ia terus loncat mengejar. Teriakan itu
dilambari dengan seluruh tenaga-dalam yang dimilikinya. Nadanya bagai petir meletus di
angkasa. Saat itu Han Ping sudah berada tujuh delapan tombak jauhnya. Tiba-tiba ia terkejut
mendengar teriakan menggeledek itu dan hentik an larinya. Baru ia berputar tubuh untuk
melihat siapa yang berteriak keras itu. Oh It-su si orang pendek sudah melayang tiba di
hadapannya. Rupanya si bungkuk itu sudah cukup faham akan kepandaian Han Ping, ia tak berani
memandang rendah dan cepat-cepat mencabut senjatanya, sebatang Kim-pit atau penaemas.
"Mau apa engkau?" tegur Han Ping.
Oh It-su sudah kuncup nyalinya akan kegagahan Han Ping. Maka sambil bersiap
dengan kim-pit ia berseru, "Aku mendapat perintah untuk meminta pelajaran barang
beberapa jurus dari saudara!"
"Siapa yang memerintahkan engkau?"
Oh It- su tersenyum, "Sudah tentu nona kami."
"O, si dara baju ungu itukah?" Han Ping menegas.
Sahut Oh It-su dengan hormat, "Puteri dari Lam hay Sin-soh, kedudukannya tinggi
sekali. Bagaimana engkau berani sembarangan mengomong?"
Han Ping tertegun. Sambil menengadah memandang awan putih di langit, ia berkata
seorang diri, "Perlu apa ia merintangi aku?"
Tiba-tiba hatinya terasa sendu. Ia rasakan seluruh manusia di dunia ini seperti jauh dari
dirinya. Ayahbundanya, gurunya dan Hui Gong taysu, manusia yang telah melimpahkan
budi sebesar gunung kepadanya, satu demi satu telah pergi meninggalkannya".
Ia merasa dirinya sudah sebatang kara, tak seorang manusia di dunia yang tahu akan
perasaan hatinya. Ting Ling telah menyerahkan kembali Kim Loji di saat ia sedang siap
melakukan pertempuran terakhir dengan Ih Thian-heng. Ia merasa manusia2 yang
mengelilinginya itu pada saat yang menentukan bahaya, semuanya berbalik muka,
memutuskan ikatan hubungan dan tinggalkan dia berjuang seorang diri".
Han Ping tenggelam dalam lautan penderitaan. Penderitaan dari seorang ksatrya yang
merasa sepi, sunyi dan seorang diri, kelahirannya yang menyedihkan, riwayat hidupnya
yang merawankan, makin membuat perasaannya beku dan perasa sekali. Jauh lebih
sentimentil dari orang biasa.
Karena tercengkam oleh badai prahara dalam hatinya, Han Ping seperti patung tak
bernyawa. Apabila saat itu Oh It-su mau menyerangnya sungguh-sungguh, tak boleh
tidak, Han Ping tentu akan rubuh. Tetapi orang pendek itu merasa heran juga,
"Dalam pertempuran, mati dan hidup hanya tergantung pada kesempatan yang hanya
sehelai rambut besarnya. Apakah yang engkau pikirkan?"
Han Ping gelagapan. Matanya segera mencurah pada Oh It-su, serunya, "Jika engkau
hendak menantang aku berkelahi, mudah sekali. Tunggu setelah kutanya kepadanya, nanti
kita bertempur lagi!"
Oh It-su terbeliak, "Engkau hendak bertanya kepada siapa?"
"Kepada dara baju ungu itu. Aku merasa tak punya dendam permusuhan suatu apa
kepa-danya tetapi mengapa ia suruh engkau menghadang aku?"
Habis berkata ia terus melangkah menghampiri si dara jelita.
Oh It-su sempat memperhatikan betapa sunyi dan rawan senyum yang dikulum Han
Ping ketika berbicara kepadanya tadi. Tampak pemuda itu seperti kehilangan sesuatu
dalam dirinya. Oh It-su juga mempunyai riwayat hidup yang cukup hebat. Dahulu ketika masih malang
melintang di daerah sungai Kanglam utara dan selatan, berpuluh-puluh tahun ia telah
menghadapi musuh2 yang tangguh. Si bungkuk Au dan sipendek Oh, telah diagungkan
orang persilatan sebagai tokoh aneh yang sukar dihadapi.
Tetapi di puncak tangga kemasyhurannya itu, Oh It-su si pendek, pun menderita apa
yang disebut perasaan Sunyi hati dari seorang ksatrya. Maka dapatlah ia memahami
pancaran senyum dari Han Ping tadi. Ia terkecoh hatinya dan tanpa disadarinya, ia segera
menyisth tiga langkah ke samping untuk memberi jalan kepada pemuda itu,
Dengan busungkan dada dan tegakkan kepala, Han Ping melangkah dengan langkah
lebar. Di bawah pandang berpuluh mata, ia tampak makin gagah, makin berwibawa dan
makin mengesankan"..
Banyaklah kawan maupun lawan yang surut nyalinya melihat keberanian pemuda itu.
Tetapi hanya sedikit orang yang pantang mundur itu, bersemayam suatu hati yang
dirundung kesepian dan kepatahan serta kehampaan hidup?".
Tiada seorangpun yang tahu, apakah dara baju ungu yang mukanya ditutup dengan
berlapis kain kerudung hitam, itupun memandang Han Ping juga. Yang nyata dara itu
tetap bersikap tenang sekali. Setenang batu karang di tengah gelombang lautan
Sepasang alis Han Ping yang mengerut marah dan sikapnya yang gagah perwira itu
membuat orang-orang yang hendak dilaluinya, sama menyingkir memberi jalan.
Namun si dara baju ungu tetap tegak di tempatnya. Sedikitpun tak mau berkisar. Angin
musim rontok berhembus meniup pakaiannya yang berwarna ungu. Warna yang
digemarinya".
Han Ping tiba dua meter di hadapan dara itu. Sepasang matanya yang tajam berkilatkilat
memandang dara itu. Seolah-olah hendak menembus lapisan sutera hitam gang
menutup wajah si dara. Untuk mengetahui bagaimana kerut wajahnya. Girangkah atau
marah" Bwe Nio si nenek berambut putih, berdiri kira2 tiga meter dari data itu. Ia sudah siap
kerahkan tenaga- dalam dan mencekal tongkatnya erat2. Apabila Han Ping mengadakan
gerakan yang membahayakan dara itu, Bwe Nio tentu akan segera menerjangnya.
Saat itu seluruh orang yang berada di lapangan kuburan, mencurahkan pandang
matanya ke arah Han Ping dan si dara baju ungu.
Sekalipun pertempurannya dengan Ih Thian-heng tadi dilakukan dengan tergesa- gesa
dia belum ada penyelesaiannya. Tetapi kegagahan dari Han Ping telah merebut had
sekalian tokoh. Walaupun secara terang-terangan mereka belum pernah membicarakan
diri pemuda itu namun dalam hati mereka mengakui bahwa gerak gerik pemuda itu
mempunyai pengaruh besar atas perobahan dalam kancah dunia persilatan. Bahkan akan
membawa akibat yang besar.
Kecantikan dari si dara baju ungu itu, setiap orang yang pernah melihat, tentu masih
terbayang-bayang. Kecerdikan dara itu, setiap orang yang pernah bicara padanya, tentu
merasa takluk dan kagum. Saat itu si dara berdiri tenang seperti patung.
Demikian kedua pemuda dan pemudi yang paling menarik perhatian seluruh tokoh di
tempat itu, saling berhadapan. Sampai sepeminum teh lamanya, mareka tetap tak buka
suara. Sekonyong-konyong terdengar suitan nyaring.
Au bungkuk yang mengantar Ting Yan-san tadi berlari-lari mendatangi.
"Hai, Bungkuk! Mengapa engkau ribut2 seperti orang gila!" bentak Oh pendek.
"Ho, orang cebol, apa engkau berhak mengurus aku?" Au bungkuk balas membentak.
Sekalian terkejut dan berpaling ke arah kedua orang yang bertengkar itu. Adalah pada
saat sekalian orang terkecoh perhatian kepada kedua orang Bungkuk dan Pendek itu, tibatiba
si dara baju ungu membuka mulut menegur Han Ping, "Mengapa engkau memandang
aku begitu rupa" Lekas pergi!"
Han Ping tiba-tiba gentakkan pedang Pemutus Asmara yang masih diregang di tangan,
serunya, "Siapakah yang engkau maki?"
Sekalian orang kembali berpaling dan curahkan perhatian ke arah kedua muda mudi itu.
Si Bungkuk dan si Pendekpun berhenti setori. Keduanya segera menghampiri ke tempat
si dara berhadapan dengan Han Ping.
Dengan nada gemerincing laksana kelinting, dara baju ungu itu melengking, "Engkau
berani membunuh aku?"
Han Ping tertegun. Ia turunkan pedang pusaka dan tertawa dingin, "Seorang lelaki
takkan berkelahi dengan anak perempuan Akupun segan bertanya padamu."
Habis berkata, ia terus berputar tubuh dan melangkah pergi.
Tiba-tiba dara itu menyurut mundur dua langkah. Tubuhnya gemetar dan rubuh di dada
Ca Giok lalu berseru pelahan, "Bwe Nio bunuhlah". dia"."
Nadanya gemetar. Kata-kata itu seperti telah menggunakan seluruh tenaganya. Dan
habis berkata ia terus pingsan di dada Ca Giok.
Nenek Bwe Nio segera gentakkan tongkat daa memekik, "Tahan dia!"
Sambil mengiakan si Bungkuk dan si Pendek terus menyerbu Han Ping. Sedangkan
nenek Bwe Nio segera menghampiri si dara dan bertanya, "Nak, bagaimana engkau?"- ia
meraba dada dara itu. Wajahnya tampak gelisah.
Si Pendek Oh It-su taburkan kim pit dalam jurus Burung-hong-anggukkan-kepala. Kimpit
berhamburan menjadi beribu sinar yang menabur tubuh Han Ping.
Han Ping tak gugup menghadapi serangan kedua tokoh itu. Dengan tangan kiri ia
mainkan pedang Pemutus Asmara untuk menahan serangan kim-pit. Sedang sebelah
kakinya ia gerakkan untuk menendang Au Bungkuk, serunya, "Aku tak bermusuhan
dengan kalian berdua maka tak mau berkelahi dengan kamu"."
Au Bungkuk membentak, "Berkelahi adu kepandaian, yang kuat menang, yang lemah
hancur. Mana ada alasan mau atau tak mau, suka atau tak suka?"
Sekali kedua tangannya bergerak, maka empat buah serangan segera melancar seperti
hujan mencurah.
Pun dari samping, sipendek Oh It-su menyerang dengan Dua serangan dari dua jago
lihay yang serempak dilancarkan dari dua jurusan itu, memaksa Han Ping harus mundur
tiga langkah. Melihat itu Pengemis-sakti Cong To cepat bergegas lari menghampiri hendak membantu
seraya berteriak mendamprat, "Hai, kalian berdua tokoh Bungkuk dan Pendek yang
termasyhur di dunia persilatan! Apakah kalian tak malu mengeroyok seorang anakmuda
yang tak ternama?"
Si Bungkuk berhenti serentak dan memandang Cong To dengan beringas, "Jika engkau
tak terima, silahkan maju sekali!"
Han Ping berpaling ke arah Cong To, serunya, "Lo-cianpwe, harap menyingkir, jangan
mencampuri urusanku!"
"Apa?" Cong To terkesiap.
"Keadaan saat ini, sudah kupertimbangkan dari segala sudut. Orang-orang Lam-haybun
sudah tanpa alasan apa-apa, memaksa mengajak aku berkelahi. Lo-cianpwe jangan
sampai ikut terlibat diriku menghadapi musuh tangguh ini!" sahut Han Ping dengan nada
rawan. Tanpa menunggu penyahutan Cong To, Han Ping terus berseru kepada kedua
lawannya, "Pedang dan golok tidak bermata, harap kalian berhati-hati!" " cepat ia loncat
dan hamburkan pedang Pemutus Asmara, menyerang si Bungkuk dan si Pendak.
Jurus permainan pedang yang istimewa itu, memaksa si Bungkuk dan si Pendek
mundur selangkah. Diam-diam si Bungkuk tergetar dalam hati, pikirnya, "Benar-benar
jurus ilmupedang yang belum pernah kuketahui seumur hidup!"
Au Bungkuk memang pernah bertempur satu kali dengan Han Ping. Ia tahu pemuda itu
memang lihay dan sukar dihadapi. Apalagi saat itu tambah senjata sebuah pedang pusaka
yang hebat. Pemuda itu benar-benar laksana seekor harimau yang tumbuh sayap. Jika
pemuda itu mendahului kesempatan untuk menyerang lebih dulu, ia pasti akan terdesak.
Au Bungkuk cepat menggembor keras lalu lontarkan sebuah hantaman yang dahsyat.
Sebuah gelombang angin yang mengandung tenaga hebat, segera melanda Han Ping,
Han Ping terkejut. Ia kuatir gelombang tenaga itu akan melukai pamannya Kim Loji
yang didukung di punggungnya. Maka iapun cepat kerahkan tenaga-dalam dan tusukkan
ujung pedang untuk menyongsong. Gerakan itu menimbulkan angin tajam yang memancar
ke muka. Begitu angin pedang dan angin pukulan saling berbentur. Au Bungkuk segera
menyadari bahaya yang mengancamnya. Ia rasakan angin pancaran pedang itu seperti
sebuah palu besi yang tajam membelah angin pukulannya, lalu terus menusuk dirinya. Au
bungkuk terkejut. Cepat ia tarik pulang pukulannya dan loncat menyingkir.
Dalam saat itu, dari sipendek. Oh It-su menusuk dari samping kiri. Tetapi Han Ping
yang mendapat hati karena dapat mengundurkan si Bungkuk, cepat balikkan tangan,
membabat kim-pit dengan pedangnya.
Babatan pedang itu bukan melainkan cepat sekali, pun merupakan suatu gerakan yang
di luar dugaan. Si Bungkuk hendak menarik kembali kimpit dan loncat mundur, sudah tak
keburu lagi. Sekali sinar kebiru-biruan berkilat, terdengarlah dering senjata beradu dan
kim-pit yang dibanggakan si Bungkuk itu, kutung menjadi dua".
Oh It-su mendengus dingin. Cepat ia taburkan kim-pitnya yang kutung itu ke arah Han
Ping. Tring, tetapi Han Pingpun sudah siap menangkis dengan pedangnya. Kutungan kimpit
itu terhantam jatub ke tanah.
Hanya dua jurus ketiga orang itu bertempur. Namun pertempuran itu sudah merupakan
suatu pertempuran maut.
Saat itu si dara baju ungupun sudah siuman. Setelah diurut urut oleh nenek Bwe Nio,
dara itu dapat menghela napas dan tersadar. Ia segera bangun pe-lahan2. Dari sutera
hitam yang berlapis-lapis menutup wajahnya itu, mengucur beberapa titik darah. Jatuh di
tubuh Ca Giok dan pada pakaiannya si dara sendiri.
Pada saat si dara pingsan dan rubuh di dadanya, Ca Giok seperti terpagut aliran listrik.
Semangatnya seperti melayang layang merana. Pikirannya membayangkan kecantikan
yang gemilang dan wajah dara yang rubuh dipelukannya itu. Sedang hidungnyapun
terbaur hawa harum yang semerbak.
Dadanya direbahi seorang bidadari, perasaan Ca Giok tak keruan rasanya. Tak tahu ia,
girang atau takut. Beberapa kali ia gunakan telunjuk jarinya untuk menyingkap ujung
sutera hitam yang menutup wajah dara ayu itu, ingin ia menikmati kecantikan dara yang
termasyhur itu. Tetapi demi melihat betapa serius dan beringas wajah nenek Bwe Nio
dalam usahanya untuk menyadarkan si dara, hati Ca Giokpun kuncup juga. Ia tak berani
bertindak melanggar batas.
Baru setelah dara itu sadar dan menitikkan beberapa tetes darah, tergeraklah hati Ca
Giok. Pikirannya yang limbung tadi, pun tersadar juga.
"Apakah engkau terluka" Apakah Ji Han Ping melukaimu dengan tenaga dalam?" buruburu
ia bertanya. Ia cukup tahu kesaktian Han Ping. Pemuda itu dapat gunakan kepandaiannya untuk
melukai si dara, apabila mau.
Dara baju ungu itu gelengkan kepala, "Tidak jika dia mau turun tangan, mungkin aku
sudah"." tiba-tiba ia hentikan kata-kata karena merasa telah kelepasan omong.
Memandang ke muka, ternyata Han Ping sudah berhasil meloloskan diri.
Kiranya dalam jurus itu, si Bungkuk dan si Pendek menyadari betapa lihay pemuda
yang akan ditangkapnya itu. Apalagi pemuda itu memegang sebatang pedang pusaka.
Pada saat keduanya tertegun bagaikan angin meniup, Han Ping segera menyelinap di
tengah kedua orang itu dan tahu2 sudah berada empat lima tombak jauhnya.
Melihat Han Ping sudah lolos, Cong To berbisik kepada Ting Ling, "Kitapun seharusnya
juga pergi." " pengemis itu terus melesat. Dalam beberapa loncatan ia sudah lenyap ke


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

arah timur. Ting Ling menyadari bahwa kepandaiannya, meringankan-tubuh tak sehebat Han Ping
dan Cong To. Apabila ada salah seorang ditempat itu yani hendak menghalanginya, tentu
mudah sekali. Maka ia tak mau mencontoh tindakan kedua orang itu melainkan berjalan
biasa. Dalam pada itu nenek Bwe Nio menghampiri si Bungkuk dan si Pendek, serunya dingin,
"Biasanya kalian amat angkuh dan tak memandang kepada orang. Tetapi walaupun maju
berdua kalian tak mampu meringkus seorang anakmuda yang masih hijau. Sungguh
seperti menusuk mata kita orang Lam-hay-bun!"
Kata-kata itu, cukup berat. Wajah si Bungkuk dan si Pendek merah padam karena malu.
Mereka tundukkan kepala tak berani memandang nenek Bwe Nio,
Dara baju ungu pun menghampiri. Ia menghela napas, tukasnya, "Bwe Nio. tak bisa
mendamprat mereka berdua. Kepandaian orang itu memang tak dapat mereka kalahkan.
Dan lagi dia mempunyai sebatang pedang pusaka, ibarat macan tambah sayap.
Orangnyapun sudah lolos jauh, memaki mereka berdua, pun tiada dapat menolong
keadaan." Bwe Nio gentakkan tongkatnya ke tanah, "Lain kali kalau berjumpa dengan dia, aku
harus turun tangan sendiri agar dia tak sampai mampu mengejek kita."
"Ilmu kepandaiannya memang aneh sekali. Setiap kali bertemu, dia tentu lebih maju
hebat. Aneh, betapapun cerdasnya seseorang namun tak mungkin dalam waktu sesingkat
itu dapat mencapai kemajuan yang begitu pesat!" kata dara baju ungu.
"Benar, memang mengherankan!"gumam Bwe Nio.
Ih Thian-hengpun menghampiri. Tetapi Ca Cu-jing dan Nyo Bun-giau tetap berdiri di
tempatnya. Ke dua orang itu takut kalau terjebak lagi dalam barisan Thian-kong-tin, maka
mereka tak mau gegabah bergerak. Keduanya mengawasi kawanan Baju Hitam itu dari
jauh. Asal kawanan Baju Hitam itu bergerak, merekapun akan bergerak menurut gelagat.
Ting Ling yang menyadari kalau tak mampu meloloskan diri bahkan dengan langkah
lebar ia malah maju menghampiri juga.
Ca Giok tetap mengikuti di belakang dara baju ungu. Setapakpun tak mau berpisah, si
dara melangkah maju, iapun melangkah maju.
Menyaksikan pertempuran tadi, kecongkakan Hud Hoa kongcu menurun beberapa
derajat. Dia berdiam diri, tegak berjajar dengan keempat orang tua dan enam bocah,
anakbuah Ih Thian heng.
Setiba di hadapan dara baju ungu, Ih Thian-hengpun segera memberi hormat, ujarnya
dengan tertawa, "Segala pesan nona, telah kukerjakan semua. Entah apakah perjanjian
kerjasama kita itu apa masih berlaku?"
"Saat itu dan detik ini, perjanjian itu sudah tentu masih berlaku. Tetapi isi daripada
perjanjian itu, terpaksa harus ada perobahan."
"Silahkan nona mengatakan," kata Ih Thian-heng, "asal menurut cengli (nalar),
sekalipun menderita kerugian, aku tetap akan menerimanya."
"Engkau mendesak hal itu, tak lain tentu karena ingin lekas2 masuk ke dalam makam
kuno setelah memasuki"."
"Ah, nona terlalu banyak pertimbangan," Ih Thian-heng tersenyum menukas.
"Tak perlu engkau gunakan banyak siasat terhadap aku. Dalam makam kuno itu kecuali
dilengkapi dengan pekakas2 rahasia, pun masih ada lain-lain alat terpendam."
"Alat terpendam apa?" tanya Ih Thian-heng.
"Telah kuteliti gurat2 gambar pada kotak pedang Pemutus Asmara itu, kudapatkan ada
beberapa tempat yang aneh. Seharusnva disitu terdapat alat perkakasnya tetapi ternyata
tidak ada. Hal itu berbeda dengan lain-lain kelengkapan. Tetapi akupun tak berdaya untuk
memecahkan persoalan itu. Aku harus datang sendiri ke tempat itu baru dapat
mengetahui perkakas penggeraknya."
Ih Thian heng memandang ke empat penjuru lalu berkata, "Menurut perhitungan nona,
masuk ke dalam makam dan memecahkan segala macam alat rahasia di situ lalu mencapai
pusat tempatnya, kira2 makan waktu berapa lama?"
"Jika jalannya lancar, dalam 12 jam tentu sudah dapat keluar dari makam kuno itu"."
"Jika tidak lancar?" desak Ih Thian-heng.
"Itu sukar dikata," jawab dara baju ungu, "tiga mungkin lima hari. Sukar ditentukan.
Tetapi tak sampai tujuh hari."
"Jika nona suka, bagaimana kalau malam ini kita masuk ke makam itu" Menurut
perhitunganku, dalam tiga hari ini tentu tak ada tokoh persilatan yang datang kemari.
Kecuali mereka yang mendengar berita dan sedang dalam perjalanan menuju ke tempat
ini"."
Dara baju ungu cepat menukas dengan gelengkan kepala. "Membagi rata semua benda
pusaka dalam makam tua, itu saat nanti setelah berhasil keluar dari makam. Tetapi dalam
memasuki makam, sukar ditentukan mati atau hidup. Taruh kata beruntung masih hidup,
pun dikuatirkan saat itu engkau sudah tak mau mendengar perintahku lagi."
Ih Thian-heng tertawa, "Selama ini aku hanya menyaksikan dan mengagumi keadaan
nona. Jika disebut mendengar perintah, eh, kemungkinan dapat menyinggung perasaan."
Dara itu pelahan-lahan ulurkan tangan, menjamah pundak Ca Giok lalu tertawa
mengikik, "Engkau begitu tergesa-gesa hendak masuk ke dalam makam tua agar lekas
mendapatkan pusaka disitu, tak tentu mempunyai dua maksud".."
Ih Thian-heng tertawa, "Entah dua macam maksud yang bagaimana" Harap nona suka
memberi petunjuk."
Dara baju ungu berpaling dan berbisik kepada Ca Giok, "Suruh ayahmu dan Nyo Bungiau
mari." Sejenak meragu, Ca Giok terus bergegas lalu serunya, "Ya, paman Nyo, harap datang
kemari." Ca Cu-jing kerutkan alis, "Mengapa Nona baju ungu hendak membuka rahasia maksud
Ih Thian-heng mau masuk ke dalam makam."
"Harap ayah dan paman suka menjadi saksi."
Nyo Bun-giau keliarkan mata memandang ke-empat penjuru. Dilihatnya keempat
orangtua dan ke enam bocah baju putih serta kawanan Baju hitam masih berada di
tempatnya. Diam-diam hati Nyo Bun-giau longgar, ia tertawa menyambut undangan Ca
Giok, "Urusan itu menyangkut dunia persilatan, baiklah, mari kita ke sana mendengarkan."
Ia berhenti sejenak lalu berpaling tertawa kepada Ca Giok dan berkata bisik2, "Engkau
harus hati-hati menjaga jangan sampai bunga cantik itu jatuh di tangan orang lain. Selain
memperoleh seorang isteri yang cantik jelita, dengan mendapat dukungan dari perguruan
Lam-hay-bun, marga Ca pasti akan menguasai dunia persilatan. Aku yang menjadi paman,
sudah puas kalau menjadi pembantu marga Ca menguasai daerah Kanglam."
"Aku seorang persilatan yang kasar, tak mungkin terpilih dalam pintu gerbang yang
indah," jawab Ca Giok.
Nyo Bun-giau tertawa, "Soal ini, engkau tak perlu kuatir. Jelas di hadapan sekian
banyak tokoh-tokoh persilatan, ia bersikap begitu mesra kepadamu. Sudah tentu ia telah
menjatuhkan pilihan hatinya dengan sungguh-sungguh."
"Lam-hay-to sebuah pulau di seberang lautan, rakyatnya mungkin tak mengerti adat
istiadat orang Tiong-goan," masih Ca Cu-jing membantah.
Nyo Bun-giau tertawa. "Ia cerdas dan cantik luar biasa. Pengetahuannya dalam ilmu
sastra luas sekali. Tak mungkin ia tak mengerti tentang pergaulan wanita dan pria."
Mendengar bantahan Nyo Bun-giau itu, Ca Giok memberi hormat, "Dalam hal ini mohon
paman Nyo suka memberi bantuan yang berharga."
Nyo Bun-giau tertawa, "Dalam dunia persilatan, nona mana yang engkau penuju,
pamanmu ini tentu akan meminangnya. Tetapi terhadap nona yang itu, aku benar-benar
tak berdaya. Gagal atau berhasil, seluruhnya tergantung padamu sendiri."
Dalam bercakap-cakap itu, merekapun sudah tak jauh dari tempat si dara baju ungu
dan Ih Thian-heng.
Nyo Bun-giau batuk-batuk pelahan lalu memberi hormat, "Nona memanggil kami, entah
hendak memberi petunjuk apa?"
Dara baju ungu menyahut, "Sengaja hendak mendatangkan dua orang untuk menjadi
saksi." "Menjadi saksi soal apa?" tanya Ca Cu jing.
Dara baju ungu pelahan-lahan mengisar ke samping Ca Giok lalu berseru nyaring, "Ih
Thian-heng, kedua maksud yang engkau kandung dalam hati itu yalah, Kesatu, hendak
mencari ilmu pelajaran silat yang ditinggalkan oleh Ko Tok lojin dalam makam tua itu.
Setelah berhasil meyakinkan ilmu sakti itu, engkau hendak bercita-cita menguasai dunia
persilatan"."
Ih Thian-heng tertawa, "Saat ini, siapakah yang yakin tahu tentang diri Ko Tok lojin itu,
yang konon dikabarkan telah mencatat seluruh ilmu kepandaiannya dalam makam tua.
Selama ini kau selalu mengagumi kecerdasan nona. Tetapi ucapan nona kali ini, benarbenar
seperti orang menubruk bayangan kosong."
Dara baju ungu tertawa, "Sekalipun dalam makam itu benar-benar tak terdapat kitab
peninggalan Ko Tok Lojin, tetapi engkaupun dapat membuat sebuab kitab palsu untuk
mengelabui dunia. Tujuanmu agar engkau benar-benar dianggap telah memperoleh ilmu
kesaktian agar orang-orang jeri dan tunduk padamu."
Ih Thian-heng mengusap jenggot tertawa keras. "Benar atau salahnya tebakan itu
bukan soal. Tetapi bahwa nona dapat merangkai suatu pandangan yang begitu luar biasa
dan tak dapat dicapai pikiran orang biasa, aku menaruh rasa kagum yang tak terhingga!"
"Tujuan yang kedua," demikian dara itu melanjutkan pula, "benar-benar amat ganas
dan tentu mengejutkan orang yang mendengar. Maka lebih baik tak kukatakan saja."
Seketika wajah Ih Thian-heng berobah tetapi cepat pula ia tenang lagi, bahkan tertawa,
"Silahkan nona mengatakan seluruhnya!"
"Jika engkau tetap menghendaki supaya aku mengatakan maka janganlah engkau
menyesali diriku karena telah menelanjangi isi hatimu yang ganas itu," seru si dara.
"Ah, nona terlalu memuji," Ih Thian-heng tertawa, "aku merasa tak mampu mencapai
kesan2 yang nona simpulkan itu."
Seru si dara, "Engkau hendak pinjam makam tua yang penuh dengan alat2 rahasia itu
untuk melenyapkan tokoh-tokoh persilatan yang berilmu tinggi."
Nyo Bun-giau menghela napas panjang serunya, "Sungguh cara yang bagus sekali.
Setiap orang memang tahu bahwa dalam makam kuno itu telah diperlengkapi dengan
beberapa macam perkakas rahasia yang berbahaya. Orang yang berani masuk,
sembilanpuluh persen tentu mati. Tetapi orangpun sesungguhnya tak sabar untuk
mengetahui keadaan makam itu. Asal menerima undangan, mereka tentu akan datang."
Sekonyong-konyong Ih Thian-heng memberi hormat kepada dara baju ungu, serunya,
"Manerima petunjuk yang berharga, semua rintangan menjadi terbuka. Kecerdikan nona
benar-benar melampaui orang. Hanya sayang"." " pelahan-lahan ia alihkan pandang
matanya ke arah Ca Cu-jing dan Nyo Bun-giau. Pada kerut dahinya, memancar hawa
pembunuhan. "Hanya sayangnya terdengar olehku dan saudara Ca?" Nyo Bun-giau menyelutuk.
Ih Thian-heng tertawa hambar, "Rahasia ini memang tak kuinginkan sampai bocor di
luar maka terpaksa harus kulenyapkan kalian berdua!"
"Sekalipun rencana saudara Ih itu tepat, tetapi mungkin pelaksanaannya tak seperti
yang engkau kehendaki. Walaupun Ting Yan-san terluka parah tetapi belum mati. Fihak
Lembah Raja-setan tentu takkan tinggal diam. Leng Kong-siau adalah adik dari ketua
Lembah-racun. Tak nanti ketua Lembah Seribu-racun tinggal diam saja adiknya dilukai
orang begitu rupa"."
Ih Thian heng menyelutuk tertawa, "Kecuali Lembah Seribu-racun dan Lembah Rajasetan,
pun masih ada kalian marga Nyo dan marga Ca"."
Tiba-tiba tubuh si dara menjorok ke muka. Ia tekan dahinya dengan tangan dan
berseru, "Ih, kepalaku sakit sekali. Bwe Nio bawalah aku ke dalam tandu!"
Nenek berambut putih itupun cepat memondongnya dan dimasukkan ke dalam tandu
lalu menutup kain tendanya.
Ca Giok tergopoh-gopoh lari menghampiri dan berseru, "Apakah sakit kepalamu itu
berat sekali?"
Dari dalam tandu itu terdengar suara penyahutan yang lemah dari si dara, "Engkau
harus sabar menunggu, aku hendak pergi dulu"."
Setiap angin berhembus. Ca Giok rasakan, musim rontok akan segera habis dan
mulailah musim dingin datang. Karena diam-diam ia rasakan bahunya tiba-tiba terasa
dingin. Ia terlongong-longong memandang tandu itu makin lama makin jauh, meninggalkan
bayangan yang memanjang dari tandu yang menyongsong ke arah matahari terbenam.
Datang secara tiba-tiba, pergipun dengan mendadak. Ca Giok seperti terbuai di antara
kenyataan dan impian.
Lama sekali baru kedengaran ia menghela napas, pikirnya, "Jika benar-benar ia jatuh
hati kepadaku, mengapa ia bersikap begitu memandang enteng diriku" Mau pergi terus
pergi, datangpun terus datang. Adakah ia tak tahu perasaan hatiku" Tak tahu bahwa aku
tentu menderita" Namun kalau ia tak sungguh-sungguh mencintai aku, mengapa ia
bersikap begitu rupa terhadap diriku"."
Sebenarnya Ca Giok seorang pemuda yang cerdas. Maka dalam keadaan remuk rendam
seperti itu, ia masih dapat mengadakan analisa terhadap dirinya. Namun betapa dingin
pikirannya untuk menyelami sikap si dara yang jinak2 merpati itu, tetap ia bingung
memikirkannya. Tak tahu bagaimana hati dara jelita itu kepadanya.
Ih Thian-heng mengurut-urut jenggotnya sambil keliarkan matanya memandang Ca
Giok. Tiba-tiba ia tertawa gelak-gelak, "Adakah saudara Ca masih merenungkan dara ayu
yang kecantikannya tiada tandingannya di dunia itu?"
Ca Giok tertegun.
Kembali Ih Thian-heng tertawa nyaring dan berseru, "Apakah saudara Ca sedang
merangkai dugaan adakah dara itu mempunyai hati atau tidak kepada saudara?"
Ih Thian heng menghela napas dan gelengkan kepala, "Sungguh atau pura-pura, cinta
atau benci, memang sukar untuk ditujukan kepadamu."
Jantung Ca Giok mendebur keras dan wajahnya pun berobah-robah warna. Dan habis
berkata Ih Thian-hengpun berputar diri lalu melangkah pergi. Ia menghampiri Nyo Bungiau.
Dengan mengulum senyum yang sukar ditafsirkan, berkatalah ia pelahan-lahan,
"Tentang isi hatimu saat ini saudara Nyo".heh, heh, engkau tentu sedang menimang
dalam hati. Adakah hari ini engkau dapat tinggalkan tempat ini dengan masih hidup atau
tidak." Tergetar hati Nyo Bun giau. Namun menyahutlah ia dengan nada tawar, "Benarkah
begitu?" Sejenak memandang ke sekeliling, segera ia menyadari suasana saat itu Kawanan Baju
Hitam dan ketiga orangtua serta keenam bocah baju putih semua berada di tempat yang
jauh. Dalam waktu singkat, tak mungkin mereka dapat menghampiri. Maka tenanglah hati
Nyo Bun-giau. Ia yakin kalau hanya Ih Thian-beng seorang, tentu sukar untuk
mengalahkan dirinya.
Ih Thian-heng tersenyum, "Saat ini anakbuahku berada pada jarak 30 tombak, dengan
kecepatan kaki mereka, tak mungkin dalam waktu beberapa kejab mereka dapat datang
dengan segera kalau kupanggil ke mari. Oleh karena itu, tak perlulah saudara Nyo gelisah
dan boleh yakin bahwa dengan tenagaku seorang diri, tentu tak mampu menahan kalian
berdua. Benar bukan?"
Karena dibuka isi hatinya, Nyo Bun-giau yang sudah berusaha untuk bersikap setenang
mungkin, mau tak mau, berobah juga warna mukanya. Serunya dingin, "Pandangan
saudara Ih, benar-benar membuat aku kagum sekali. Hanya bagiku yang tolol ini, belum
dapat meraih pemikiran yang begitu jauh."
Ih Thian-heng menengadah ke langit dan tertawa, "Walaupun tak tahu akan
kepandaian orang tetapi untuk menduga apa yang terkandung dalam hati saudara Nyo,
rasanya tentu takkan menyimpang jauh."
Tiba-tiba Ih Thian-heng mengakhiri tertawanya dengan sebuah pukulan.
Nyo Bun-giau terkesiap. Setiap angin dahsyat menderu lewat di sisinya. Tenaga
pukulannya sedemikian dahsyatnya, membuatnya terkejut sekali. Belum pernah seumur
hidup ia melihat suatu pukulan yang begitu hebat perbawanya.
Berpaling ke belakang, dilihatnya gerumbul rumput dan pasir berhamburan keempat
penjuru Bahkan batang pohon jati tua yang tumbuh di situ ikut berguncang-guncang.
Dalam pada itu terdengarlah sebuah suara dengus tertahan. Dan Ca Cu-jing yang
mengisar langkah hendak maju ke muka, cepat-cepat harus menyurut mundur tiga
langkah lagi. Diam-diam Nyo Bun-giau tergetar hatinya. Ia menyadari bahwa pukulan yang
dilepaskan Ih Thian- hen tadi, barulah benar-benar menggunakan tenaga dalam yang
sesungguhnya. Ih Thian-hengpun tertawa, "Apakah saudara Ca merasa dapat menyambuti pukulanku
tadi" Jika saudara yakin mampu menyambuti, maka kupersilahkan saudara bertindak
bebas." Wajah Ca Cu-jingpun berobah. Tanpa bicara apa-apa ia melangkah kembali ke
tempatnya tadi. Jelas ia tak dapat menjawab pertanyaan Ih Thian-heng itu.
Sekali berputar tubuh, Nyo Bun-giaupun segera melesat ke samping Ca Cu jing dan
berdiri di sampingnya.
Dengan mata berkilat-kilat, Ih Thian-heng memandang kedua orang lalu berseru dingin,
"Apakah saudara berdua hendak mencoba pukulanku?"
Nyo Bun-giau tengadahkan kepala menghela napas, sahutnya, "Bila saudara Ih
memang tetap hendak mendesak, kamipun terpaksa akan berusaha untuk menjaga diri."
Suatu ucapan yang menyatakan kepasrahan.
Dengan wajah mengerut serius, Ih Thian heng melangkah maju dua langkah, katanya,
"Saudara berdua adalah tokoh yang faham akan suasana dunia persilatan. Aku hendak
bicara beberapa patah kepada saudara, entah apakah saudara berdua suka
mendengarkannya?"
Sahut Ca Cu-jing, "Seorang jantan lebih baik mati daripada dihina. Sekalipun kami
berdua terjerat dalam kepungan anakbuah saudara yang ketat, tetapi rasanya kamipun tak
rela menerima hinaan."
Ih Thian-heng tertawa, "Harap saudara jangan kuatir. Aku tak bermaksud hendak
menekan orang"."
Tiba-tiba ia mengurut jenggot dan menghela napas, ujarnya, "Kekuatan fihak Lam-haybun,
telah menyusup dalam2 di daerah Tiong-goan. Dengan kecantikan yang gilang
gemilang dan ilmu silat yang luar biasa anehnya, dara baju ungu itu telah mempermainkan
kita kaum persilatan dunia Tiong-goan. Yang lucu adalah kaum persilatan dunia Tionggoan


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sendiri. Mereka seperti keenakan tidur pulas. Sama sekali tak mempunyai
kewaspadaan"."
Nyo Bun-giau kerutkan dahi, katanya, "Bukankah saudara Ih telah bersekutu dengan
Lam-hay-bun. Lebih dulu hendak mendapatkan pusaka dalam makam tua itu lalu
merencanakan untuk membagi kekuasaan. Tetapi mengapa sekarang tiba-tiba saudara
hendak berpaling haluan?"
Jawab Ih Thian-heng hambar, "Jika aku sungguh-sungguh hendak berserikat dengan
budak baju ungu itu, mungkin saat ini saudara berdua kalau tidak sudah menjadi mayat
yang terkapar di tanah, tentu sudah terikat dengan berhias luka parah."
Walaupun ucapan Ih Thian-heng itu menyinggung perasaan, tetapi Ca Cu-jing dan Nyo
Bun-giau mau tak mau harus merenungkan dengan seksama. Mereka menyadari bahwa
apa yang dikatakan Ih Thian-heng itu memang benar. Tak perlu fihak Lam-hay-bun turun
tangan; cukup anakbuah Ih Thian-heng saja, tentu sudah cukup untuk mencelakai mereka
berdua. Nyo Bun- giau saling bertukar pandang dengan Ca Cu jing. Keduanya sama-sama diam.
Sejenak merenung, Ih Thian heng berkata pula, "Aku bicara dengan terus terang.
Apabila menyinggung perasaan saudara berdua, harap suka memaafkan".."
"Kurasa aku dengan saudara Nyo tentu masih pertimbangan yang sehat. Harap saudara
Ih katakan," sahut Ca Cu-jing.
Kata Ih Thian-heng, "Seribu patah kata sesungguhnya hanya sepatah intinya. Kaum
persilatan dunia Tiong-goan, jika tak lekas sadar untuk bersatu, tentu lambat laun akan
dikuasai oleh budak baju ungu dan Lam-hay-bun iru. Tanpa menggunakan kekerasan dan
mengucurkan darah, ia dapat mengadu domba antara satu tokoh dengan lain tokoh dunia
persilatan Tiong-goan ini."
Ca Cu-jing merenungkan sampai beberapa saat, baru in membuka mulut, "Ucapan
saudara Ih memang tak salah tetapi hal itu menyangkut seluruh dunia persilatan. Bukan
aku dan saudara Nyo berdua yang mampu memutuskan."
Walaupun ia sudah mendengar dan dapat menduga ucapan Ih Thian-heng tadi, namun
ia tak mau mendahului membuka mulut. Maka sengaja ia pura-pura tak mengerti.
Ih Thian-heng tersenyum, "Dalam saat dan soal seperti ini, sudah bukan saatnya untuk
menjaga gengsi. Karena saudara berdua pura-pura tak mengerti, aku terpaksa akan
mengatakan dengan jelas!"
Merahlah muka Nyo Bun-giau dan Ca Cu-jing karena isi hatinya dibuka oleh Ih Thianheng.
Ih Thian-heng tertawa hambar, serunya, "Saat ini kekuatan fihak Lam-hay-bun belum
berkembang jauh di dunia persilatan Tiong-goan. Menurut hematku, dalam perguruan
Lam-hay-bun itu yang dapat digolongkan jago2 tingkat ko jiu (kelas satu), hanya enam
tujuh orang saja. Apabila saudara berdua mau menghapus segala prasangka dan suka
bersekutu dengan aku. Tentu tak sukar untuk menghadapi mereka."
Ca Cu-jing tertawa gelak-gelak. serunya, "Ucapan saudara Ih memang tepat sekali.
Hanya soal menghapus prasangka itu, mudah diucap tetapi sukar dilakukan."
"Kalau begitu kalian tak suka bekerjasama dengan aku?" Ih Thian-heng menegas.
"Bukan aku dan saudara Ca tak suka bekerjasama dengan saudara Ih. Tetapi karena
siasat hati saudara Ih itu keliwat mendalam sekali sehingga kami sukar untuk menaruh
kepercayaan," kata Nyo Bun-giau.
"Entah dengan cara bagaimana saudara berdua baru dapat percaya kepadaku?" tanya
Ih Thian-heng. "Soal itu sukar dijelaskan," kata Ca Cu-jing.
"Aku punya suatu cara, yang dapat membuktikan bahwa saudara Ih benar-benar
mendendam permusuhan dengan Lam-hay-bun?" kata Nyo Bun-giau.
"Aku senang mendengarkannya," kata Ih Thian-heng.
"Saat ini dara baju ungu itu tentu belum jauh," kata Nyo Bun-giau, "mari kita kejar. Jika
saudara Ih mau menyerang mereka lebih dulu, aku dan saudara Ca tentu akan turun
tangan." Ih Thian-heng tertawa, "Adakah saudara berdua yakin bahwa kekuatan kita bertiga
mampu untuk mengalahkan mereka?"
Jawab Ca Cu-jing, "Menurut hematku, di antara tokoh Lam hay-bun yang paling sukar
dihadapi, ialah sinenek tua beramhut putih itu. Selain dia, yang lainnya tak perlu
dikuatirkan."
"Pendapatku beda dengan saudara Ca," kata Ih Thian-heng.
"Aku girang sekali mendengar pendapat saudara Ih," kata Ca Cu jing.
Ih Thian-heng menghela napas, "Yang kukuatirkan bahkan si dara baju ungu itu. Selain
luar biasa cerdas dan cantiknya, pun setiap patah ucapannya sukar sekali ditafsirkan
maksudnya."
"Baju ungu itu?" seru Ca Cu-jing.
"Putera saudaralah yang bertugas untuk menghadapinya," Nyo Bun-giau tertawa.
Berkata Ih Thian-heng, "Menghadapi Lam-hay-bun, selain dengan ilmu kepandaian
silat, pun harus dengan rencana yang cermat baru dapat bertindak. Apabila saudara
berdua suka bersama-sama mempersiapkan rencana itu, silahkan saudara beristirahat ke
dalam gubukku. Sambil menikmati hidangan dan minuman, kita dapat menggunakan
kesempatan untuk merancang rencana menghadap fihak Lam-hay-bun."
"Kebaikan saudara Ih, kami sungguh berterima kasih sekali. Tetapi lebih baik jangan
mengganggu saudara," kata Nyo Bun-giau.
Ih Thian-heng, cepat memberi hormat, serunya, "Biarlah aku yang menjadi penunjuk
jalan," ia terus berputar tubuh dan melangkah lebih dulu.
Ca Cu-jing melirik. Dilihatnya keempat orang tua dan keenam bocah baju putih serta
kawanan Baju Hitam, sudah mengundurkan diri semua.
Maka timbullah nyalinya. Segera ia menggandeng tangan Ting Ling terus diajak
berjalan mengikuti di belakang Ih Thian-heng.
Kira2 berjalan empat lima li, tibalah mereka di sebuah rimba pohon bambu. Menunjuk
ke arah rimba bambu itu, Ih Thian-heng berseru tertawa, "Itu!ah pondok kami," " ia
membungkukkan tubuh selaku menghormat kedatangan kedua tetamu itu.
ooo000ooo Sementara itu Han Ping yang masih mendukung Kim Loji, lari sampai belasan li
jauhnya. Saat itu ia berpaling. Setelah melihat tiada orang yang mengejar barulah ia
berhenti. Pe-lahan2 ia letakkan tubuh pamannya ke tanah. Dipanggilnya dengan nada rawan,
"Paman, paman."
Kim Loji yang napasnva sudah terengah-engah itu, pelahan-lahan membuka mata.
Sinar matanya sudah pudar. Namun dengan paksakan tersenyum rawan, ia berkata, "Nak,
dudukkanlah aku. Aku hendak menyampaikan beberapa patah kata penting kepadamu."
Han Ping gelengkan kepala tertawa sedih, katanya, "Luka paman amat parah sekali.
Saat ini tak baik kalau banyak bicara. Lebih baik paman beristirahat merawat luka."
Kim Loji tertawa hampa, "Nak, tak usah engkau gelisah. Kecuali ayahmu, dalam dunia
dewasa ini, yang tahu akan rahasia Ih Thian-heng hanyalah aku seorang. Oleh karena itu
dia harus membunuh aku baru akan merasa puas. Maka tadi dia telah melakukan
penganiayaan yang berat. Selagi aku masih ada napas untuk bicara, hendak kusampaikan
kepadamu beberapa hal yang penting. Engkaupun tahu bagaimana kematian ayahmu yang
mengenaskan itu."
"Soal itu paman ketika sudah memberitahukan kepadaku. Dan lagi akupun sudah
mendengar mulut Ih Thian-heng mengatakan sendiri. Walaupun di dalam hal itu masih
ada beberapa hal yang belum jelas tetapi tak apa. Jelas Ih Thian-heng itulah
pembunuhnya!"
"Ai," Kim Loji menghela napas, "separoh tubuhku saat ini sudah mati-rasa. Kecuali Ih
Thian-heng yang mungkin masih mempunyai cara untuk menolong aku, mungkin di dunia
ini tiada seorangpun yaug mampu merebut kembali jiwaku dari cengkeraman maut." "
Kembali ia menghela napas dan pelahan-lahan mengatupkan mata. Seolah-olah
pembicaraannya itu telah menghabiskan seluruh sisa tenaganya.
Melihat pamannya mengatupkan mata dan wajahnyapun diam seperti orang mati,
terkejutlah Han Ping. Pikirnya, "Rupanya ia sudah bertekad untuk mati. Sekalipun
memberinya obat mujijat, juga tak berguna. Maka yang harus kuberinya adalah anjuran
supaya ia masih ingin hidup, setelah itu baru kuusahakan cara pertolongannya"."
Setelah mendapat pikiran begitu, ia segera berkata, "Sekalipun ilmu tutukan Ih Thianheng
itu amat ganas, tetapi jika mengatakan tiada orang yang mampu membuka
jalandarahnya yang tertutuk itu, rasanya berlebih-lebihan"."
Sambil masih meram, Kim Loji geleng-geleng kepala, katanya, "Tak usah engkau
bersusah payah aku sudah tiada harapan lagi!" " nadanya amat lemah, tiada nyala hidup
lagi. Tiba-tiba hati Han Ping serasa tersayat. Ia merasa semua orang di dunia telah
meninggalkan dia. Hatinya terangsang dan beberapa butir airmata menitik turun dari
pelupuknya. "Paman, apakah engkau sungguh-sungguh hendak meninggalkan aku?" " katanya
dengan nada yang keluar dari hati nuraninya. Penuh keharuan, penuh kehampaan.
Tiba-tiba mata Kim Loji terbuka dan matanya pun memancar sinar berkilat. Ia
menghela napas, serunya, "Ilmu tutukan dari Ih Thian heng yang istimewa itu, bukan saja
lain orang sukar untuk membukanya, pun ganasnya bukan kepalang. Seluruh uratnadi
dalam tubuh, pelahan-lahan akan mengeras dan akhirnya mati, karena darah tak dapat
berjalan lagi. Derita kesakitannya, sukar dilukiskan lagi. Nak, sekalipun aku sanggup untuk
menahan penderitaan itu, tetapi karena tiada orang yang mampu menolong, akhirnya
tetap sama saja."
"Biarlah aku yang mencobanya. Yang ku-minta paman harus mempunyai semangat
untuk hidup agar usahaku dapat berhasil," kata Han Ping.
Pada waktu belakangan ini, Han Ping telah mencapai kemajuan pesat dalam ilmu
peyakinannya. Isi pelajaran dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng telah difahami dan dipelajari
sungguh-sungguh. Ia teringat bahwa dalam kitab itu terdapat pelajaran apa yang disebut
Ih kin-si cui atau Menggerakkan-urat-untuk mencuci-sumsum. Kemungkinan pelajaran itu
dapat digunakan untuk menolong Kim Loji.
Kelopak mata Kim Loji bergerak-gerak dan mulutnya meluncur kata, "Baiklah, silahkan
engkau mencobanya!"
Hatinya tergerak mendengar ucapan Han Ping tadi. Dan seketika semangatnya untuk
hiduppun menyala kembali. Ia gelorakan semangatnya untuk bertahan hidup.
Melihat kesediaan pamannya itu, semangat Han Pingpun mulai timbul lagi. Dipeluknya
sang paman lalu dibawa ke sebuah tempat yang aman. Di situ ia segera kerahkan tenagadalam
untuk mengurut tubuh pamannya.
Sambil diam-diam menghafal isi kitab, ia mulai menyalurkan tenaga-murninya ke dalam
tulang2 Kim Loji melalui pengurutannya itu. Dua jam kemudian, sekujur tubuhnya mandi
keringat, kepalanyapun pening. Adalah pada saat kepalanya pening itu, ia dapat
menyelami arti dari perkataan dalam pelajaran kitab itu.
Segera ia mengangkat muka dan menghela napas panjang. Seketika ia rasakan
semangatnya yang letih itu hilang. Dan ketika merenungkan pelajaran kitab itu lagi,
semangatnya mulai menggelora.
Kiranya isi pelajaran kitab pusaka itu walaupun dapat menyembuhkan luka Kim Loji,
tetapi harus dilakukan selama 36 jam berturut-turut tanpa berhenti mengurutnya. Memang
boleh juga kalau hendak beristirahat sebentar tetapi kedua tangannya tak boleh lepas dari
tubuh si penderita sakit.
Han Ping menyadari hal itu. Ia tak sanggup melakukan pengurutan selama 36 jam
tanpa berhenti. Apalagi selama 36 jam itu ia tak dapat berbuat apa-apa apabila ada musuh
yang tiba-tiba muncul dan menyerangnya, Dan musuh itu, tak perlu yang berilmu cukup
tinggi, orang yang tak mengertipun mampu membunuhnya juga"..
Kim Loji yang masih pejamkan mata, tiba-tiba membuka matanya dan memandang Han
Ping yang kepalanya basah kuyup keringat. Diam-diam ia menghela napas, ujarnya, "Ah,
nak, engkau letih sekali"."
Tergetar hati Han Ping dan menyahutlah ia dengan semangat menyala, "Aku sudah
mendapatkan cara menyembuhkan jalan darah paman yang terluka."
"Nak, engkau amat susah payah"."
Han Ping mengunjuk senyum gembira, katanya, "Tetapi waktunya memang agak
panjang. Kuharap paman suka bersabar."
"Soal itu tak perlu engkau kuatir. Aku ingin menyaksikan dengan tanganmu sendiri
engkau dapat membunuh Ih Thian-heng untuk membalas sakit hati toako dan toasoh,
baru aku dapat mati dengan tenteram."
Kuatir pamannya tahu kalau ia lelah, buru-buru ia menyanggapi, "Pada saat
menjalankan pengobatan ini, paman harus meram, jangan melihat."
Kim Loji tersenyum, "Baiklah, tetapi kuharap engkau jangan sampai kehabisan tenaga,"
" ia terus pejamkan mata.
Han Ping mengamatinya. Dilihatnya wajah pamannya itu menampilkan seri cahaya yang
tenang. Suatu tanda bahwa paman itu menaruh kepercayaan besar akan usaha Han Ping.
Han Ping tengadahkan kepala, menghela napas panjang. Diam-diam ia timbul suatu
rasa tanggung jawab. Katanya dalam hati, "Han Ping, Han Ping. Di dunia engkau hanya
punya seorang paman itu. Betapapun susah payahnya, engkau harus berusaha
menolongnya, sekalipun harus mati, janganlah engkau sayang jiwamu"."
Seketika bangkitlah semangat Han Ping. Ia tambahkan tenaganya dan mulai mengurut
tubuh Kim Loji.
Tubuhnya basah kuyup seperti mandi keringat. Semangatnyapun lelah sekali. Sambil
mengurut tak henti2nya ia mengingat pelajaran dalam kitab pusaka itu.
Entah selang berapa lama, akhirnya Han Ping rasakan sekujur tubuhnya dingin dan
tiba-tiba pikirannya yang hampir limbung itupun terang kembali.
Memandang ke atas, dilihatnya langit berkabut awan hitam. Entah kapan, ternyata
hujan turun deras.
Tiba-tiba terdengar Kim Loji berkata dengan suara lemah, "Ping-ji, apakah sekarang
hujan?" "Benar! Tetapi luka paman, masih harus berapa waktu lagi. Sekalipun turun hujan, kita
tak boleh bergerak," kata Han Ping.
"Ah, nak, apakah tak menyusahkan engkau?"
"Aku hanya menyesal karena kepandaianku rendah sehingga tak dapat menolong
paman dalam waktu yang cepat"."
"Masih berapa lama lagikah baru dapat mnyembuhkan urat yang terluka itu?" tanya Kim
Loji. Diam-diam Han Ping menimang. Jika ia memberitahu terus terang, mungkin akan
menimbulkan kesulitan. Maka baiklah ia membohonginya saja, "Mungkin dalam 12 jam
lagilah." Kim Loji menghela napas tak mau bicara lagi.
Han Ping menunduk, ia mengusap peluhnya dengan ujung baju Ketika ia mengangkat
muka lagi, tiba-tiba ia rasakan lehernya dingin. Ia rasakan hawa dingin itu bukan seperti
air hujan. Diam-diam ia tergetar hatinya. Rasa lelah, lenyap seketika. Dan serempak
dengan itu ia rasakan lehernya sakit. Beberapa tetes darah mengucur jatuh ke tanah.
Saat itu ia menyadari bahwa sebatang senjata tajam, telah melekat pada lehernya,
bahkan telah mengupas kulit kepalanya. Namun ia tak gugup dan hanya batuk-batuk kecil
lalu gunakan ilmu Menyusup suara, menegur, "Siapakah engkau"."
Tiba-tiba ia kuatir orang itu akan menjawab sehingga mengejutkan Kim Loji. Maka
buru-buru ia menyusuli kata, "Gunakan ilmu Menyusup-suara untuk menjawab
pertanyaanku, agar jangan membikin kaget orang sakit."
Orang yang di belakangnya itu benar-benar gunakan ilmu Menyusup suara dan
menyahut dingin, "Dapatkah engkau menebak aku ini siapa?"
Han Ping seperti tak asing dengan nada suara itu. Tetapi sesaat ia lupa siapa. Saat itu
ia sudah letih sekali. Sekalipun tak menggunakan pedang dilekatkan pada lehernya, iapun
sudah tiada mampu melawan lagi. Maka iapun menghela napas pelahan, ujarnya,
"Suaranya aku tak asing. Tetapi sesaat aku tak ingat lagi. Entah apakah aku boleh
berpaling ke belakang untuk melihatmu?"
Orang di belakang itu tertawa ringan, "Engkau ingin mati dengan gamblang, itupun
bukan permintaan yang berlebih-lebihan. Silahkan engkau berpaling ke belakang!"
Han Ping terus akan berpaling tetapi pada saat itu timbullah pikirannya, "Jika aku
berpaling melihat mukanya, dia tentu segera membunuh aku".."
Maka ia meragu. Hampir seperminuman teh lamanya, orang di belakang itu rupanya tak
sabar lagi, serunya, "Mengapa engkau tak berpaling melihat aku?"
"Kalau aku berpaling melihatmu, bukankah engkau segera segera membunuhku?"
jawab Han Ping.
Orang itu menyahut dingin, "Sudah tentu! Kalau tak kubunuh, bukankah akan
merupakan bahaya di kemudian hari?"
"Kalau aku tak berpaling melihatmu, apakah engkau mau memperpanjang kematianku
itu sampai tiga hari lagi?"
Suling Emas Dan Naga Siluman 14 Golok Halilintar Karya Khu Lung Suling Emas Dan Naga Siluman 17
^