Pencarian

Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 22

Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen Bagian 22


Rupanya orang itu merasa aneh, "Apa" Memberi perpanjangan waktu sampai tiga
hari?" "Benar," kata Han Ping. "kasihlah aku waktu tiga hari 1agi. Setelah tiga hari, aku tentu
akan menyerahkan diri, takkan melawan!"
"Mengapa?" tanya orang itu heran.
"Kalau sekarang engkau membunuhku, pamanku yang terluka ini tentu akan ikut mati.
Dengan begitu berarti engkau membunuh dua jiwa. Maka berilah aku kelonggaran waktu
sampai tiga hari. Biar kusembuhkan luka pamanku ini dulu, baru nanti engkau bunuh.
Bukankah hal itu sama?"
"Bagaimana aku dapat mempercayaimu?"
"Janji seorang lelaki, sampai matipun tentu akan ditepati!"
Orang itu merenung sejenak, berkata, "Begini sajalah! Aku membawa semacam racun.
Setelah minum, dalam waktu tiga hari baru bekerja. Minumlah racun itu baru akan dapat
percaya." "Baik, berikanlah racun itu!" kata Han Ping.
Dari belakang menjulur sebuah tangan yang putih mulus. Dua buah jarinya menjepit
dua butir pil merah.
Han Ping kerutkan alis, pikirnya, "Kulit orang ini putih seperti kumala dan jari2nyapun
runcing. Rupanya tentu bukan orang lelaki. Apakah dia seorang anak perempuan?"
Ia menyambuti pil itu. Pada saat bendak ditelan, tiba-tiba ia mempunyai lain pikirannya,
tanyanya, "Setelah minum racun ini, apakah mempengaruhi ilmu kepandaianku?"
Orang itu tertawa, "Tiga hari kemudian, begitu racun bekerja, engkau tentu mati. Tiada
obatnya lagi. Tetapi selama tiga thari itu, kepapdaianmu tak kurang suatu apa."
"Aku percaya omonganmu!" kata Han Ping terus menelannya,"sekarang silahkan
engkau pergi atau sembunyi di tempat yang gelap untuk mengawasi gerak-gerikku."
Orang itu merenung beberapa saat, menghela napas, "Ucapanmu, patah demi patah,
membuat orang mau tak mau harus percaya. Engkau benar-benar seorang ksatrya yang
dapat dipercaya!"
Terdengar derap langkah yang makin lama makin jauh dan makin tak terdengar.
Setelah menelan pil racun itu, diam-diam hati Han Ping merasa rawan. Teringat akan
dendam sakit hati ayahbundanya, pesan yang diperintahkan Hui Gong taysu, semua belum
dapat dilaksanakannya. Tetapi kini ia harus mati dalam tiga hari nanti. Mungkin
kematiannya itu tiada seorangpun yang tahu. Bahkan siapa yang memaksanya menelan pil
beracun itu, ia tak sempat melihat rupanya.
Dia menghela napas pelahan. Matanya mencurah pada muka Kim Loji. Dilihatnya
sepasang alis pamannya mengerut dan wajahnya menampil kerut wajah kesakitan. Tetapi
mulut Kim Loji tetap mengulum senyum. Jelas pamannya itu menaruh kepercayaan besar
bahwa ia tentu dapat menyembuhkannya. Kerut wajah dan senyum Kim Loji memantulkan
isi hatinya, bahwa saat itu ia benar sudah menyala keinginannya hidup.
Han Ping timbul semangatnya. Beberapa kali ia menghela napas lalu pejamkan mata,
menghapus segala keresahan hati dan satukan pikirannya untuk melakukan pernapasan.
Setelah menerima tendangan dari Thian Hian totiang, Ia malah mendapat keuntungan
besar. Jalandarah Seng-si-hian-kwannya telah terbuka. Sekalipun bagian Jin dan Tok,
belum terbuka. Tetapi ia sudah dapat menyalurkan tenaga-murninya sampai pada titikjalandarah
yang sukar disaluri tenaga murni.
Tadi dalam menyalurkan tenaga-dalam untuk mengobati Kim Loji, karena pikirannya
masih resah, ia belum dapat mencurahkan seluruh tenaga murni. Tetapi kini setelah ia
dapat menghapus semua kesulitan dan keresahan pikirannya, konsentrasinyapun lebih
terarah. Seketika ia rasakan tenaga murninya menyalur lancar dari tenaga dalampun
berhamburan keluar.
Kiranya setelah menyadari bahwa dalam waktu tiga hari ia tentu mati, maka iapun
segera menghapus pikiran untuk melakukan balas dendam. Ia kerahkan seluruh semangat
dan perhatian untuk menolong Kim Loji.
Angin dan hujan makin deras. Butir2 airpun mencurah bagai mutiara. Tenaga murni
Han Ping tak putus-putusnya mengalir, tenaga dalamnya memancar gencar. Dan saat itu
iapun sudah mencapai pada tingkat kehampaan. Pikirannya hanya dipusatkan untuk
menyembuhkan Kim Loji. Curahan hujan yang deras itu sama sekali tak dihiraukannya.
Entah selang berapa lama, akhirnya hujanpun berhenti. Awan hitam berarak buyar.
Matahari sore pun mulai memancar lagi. Cakrawala memancar cahaya kekuning-kuningan
emas. Tiba-tiba dari belakang terdengar suara helaan napas orang, "Hari akan malam lagi.
Apakah engkau tak mau beristirahat?"
Han Ping mengangkat muka memandang langit sahutnya, "Apakah sudah berjalan
sehari semalam?"
"Ya, sudah sehari semalam. Makanan yang kuantar untukmu, sama sekali tak engkau
jamah sehingga tumpah ruah dilanda hujan!" sahut orang itu.
Han Ping memandang ke samping. ternyata didekatnya terdapat sebuah piring besar
tetapi sudah kosong. Tentu tumpah didera hujan.
Ia lanjutkan mengeliarkan mata ke belakang tetapi sinar matanya tertumbuk pada
ujung pakaian waina hitam, hatinya tersirap kaget".
Jilid 28 : Ketua lembah Raja Setan
Han Ping cepat berpaling ke muka lagi. Diam-diam ia bersyukur dalam hati, "Sungguh
berbahaya. Jika aku berpaling ke belakang melihatnya, dia tentu mempunyai alasan untuk
mengatakan bahwa karena aku sudah melihat wajahnya maka perjanjian tiga hari itupun
tak berlaku lagi dan dengan demikian dia dapat membunuh aku!"
Orang aneh yang di belakangnya itu menunggu sampai beberapa saat, tiba-tiba angkat
kaki pelahan-lahan dan pergi.
Han Ping tak berani berpaling melihatnya. Hanya dari langkah kakinya ia dapat
menduga bahwa orang itu sudah jauh dari tempatnya.
Walaupun soal itu tampaknya sederhana sekali tetapi memerlukan suatu kesabaran
besar untuk menindas keinginan hati. Sekali ia mau berpaling, tentulah ia dapat mengenali
siapakah orang itu. Tetapi demi keselamatan Kim Loji, dia terpaksa menekan perasaannya.
Ia tengadahkan kapala menghela napas panjang lalu melakukan pernapasan lagi.
Setelah memulangkan semangat, ia mulai mengurut tubuh Kim Loji.
Berselang beberapa waktu, tiba-tiba ia rasakan pancaran tenaga-dalamnya macet. Ia
terkejut dan hentikan pengurutannya. Pikirnya, "Selama sehari semalam ini tenagadalamku
tak pernah berhenti. Mengapa sekarang tiba-tiba macet?"
Serentak berpikir bagitu, ia rasakan tubuhnya lemas dan lapar sekali. Kembali ia
berpaling memandang ke arah dua piring besar. Pikirnya, "Kalau makanan dalam kedua
piring besar itu tak kehujanan, aku tentu tak sampai menderita kelaparan."
Ia merasa kemacetan tenaganya itu karena lapar. Dan saat itu ia baru menyadari
bahwa sudah dua hari satu malam ia tak makan, Dan makin teringat, makin terasa
laparnya itu. Kalau tak segera mendapat makanan, bukan saja ia tentu tak dapat
melanjutkan memberi pertolongan tenaga dalam kepada paman Kim, pun ia sendiri tentu
tak tahan lagi.
Tak disadarinya, ia meneguk air liur dan menghela napas panjang, "Masih kurang dua
hari dua malam lagi, apakah aku kuat bertahan?"
Tiba-tiba dari belakang menjulur sebuah besi porselin putih dan terdengar suara lembut
berseru, "Engkau tentu lapar sekal. Lekas makanlah separoh ayam ini."
Han Ping memandang basi porselen itu. Selain separo ikan ayam pun masih ada dua biji
bakpao, sekerat daging wangi. Tetapi pada saat ia hendak menjemputnya tiba-tiba
teringatlah ia akan sebuah hal dan iapun menghela napas, "Budi kebaikan saudara, aku
hanya dapat menghaturkan terima kasih saja."
"Engkau tak lapar?" tanya orang itu heran.
"Lapar sekali," sahut Han Ping, "tetapi kedua tanganku ini tak dapat kulepaskan dari
jalan darah di tubuh pamanku. Maka terpaksa tak dapat mengambil makanan itu.
Agaknya orang itu marah sekali. Dengan mendengus dingin ia terus menarik kembali
baki porselen itu.
Han Ping menelan air liur lagi. Ia kertak gigi dan pejamkan sepasang mata, berusaha
keras untuk menindas rasa laparnya. Iapun segera empos semangat tetapi rasa lapar
menyerang hebat sekali sehingga sukar untuk mengerahkan tenaga-murni.
Seperminum teh lamanya, tiba-tiba ia mencium bau daging yang harum. Ketika
membuka mata dilihatnya sepotong paha ayam tengah melekat pada bibirnya. Dan dari
belakangpun terdengar suara yang ramah, "Baiklah, biarlah kumakankan kepadamu."
Karena laparnya, tanpa berkata apa-apa, Han Ping pun membuka mulut dan cepat
melahapnya habis.
Orang yang di belakang itu tertawa, "Apakah engkau lapar sudah lama" Engkau makan
seperti serigala kelaparan." " Kemudian ia menyodorkan bakpao dengan ikan ayam.
Setelah makan separo ayam dan dua buah bakpao, rasa panas yang menyerang
perutnya itu mulai mereda. Ia kesutkan mulutnya pada ujung baju seraya berkata,
"Sekalipun dua hari lagi engkau hendak membunuhku, tetapi budimu memberi makan
pada hari ini, aku tetap merasa berterima kasih sekali."
Orang di belakang itu diam saja. Sampai beberapa jenak baru kedengaran menghela
napas rawan lalu ayunkan langkah.
Mendengar langkah kaki orang itu amat sarat, Han Ping menduga hati orang itu tentu
sedang dilanda pikiran yang berat".
Hanya sejenak memikirkan soal itu, Han Ping terus menghapus segala pikiran dan mulai
mengerahkan tenaga-murni untuk menyaiurkan tenaga dalamnya mengobati paman Kim.
Pada saat ia berhenti lagi tiba-tiba pada ubun-ubun kepalanya bertambah sebuah
beban. Dan ketika menengadah memandang ke atas, ternyata sebuah topi rumput telah
menutup kepalanya. Rupanya untuk melindungi kepalanya dari sinar matahari dan hujan.
Cepat sekali tiga hari telah lewat. Han Ping mempunyai topi untuk mencegah panas dan
hujan dan ada pula orang yang mengantarkan makanan agar tenaganya tetap kuat. Berkat
bantuan itulah maka akhirnya ia berhasil menyelesaikan pertolongan kepada Kim loji.
Orang yang mengantar makanan itu rupanya makin lama makin memperhatikan diri
pemuda itu. Hal itu dapat ditilik dari jenis makanan yang dihidangkan setiap harinya tentu
pilihan dan lezat rasanya.
Hari keempat pagi sekali, Han Ping dapatkan beberapa jalandarah Kim loji sudah mulai
melancar lagi. Lukanya hampir sembuh. Sudah tentu ia amat girang, sekali. Serunya
berbisik, "Paman, sekarang silahkan paman membuka mata melihat-lihat."
Hampir tiga hari lamanya Kim loji dalam keadaan limbung tak ingat diri. Ada kalanya ia
seperti kehilangan kesadaran pikirannya dan tidur pulas. Dan ketika bangun pun tak tahu
apa yang telah terjadi. Tetapi ia tetapi ingat bahwa ia tak boleh membuka mata. Selama
dalam penderitaan itu, banyak sekali hal2 yang membayang di benaknya. Maka
gelagapanlah ia ketika mendengar perintah Han Ping supaya membuka mata itu. Pelahanlahan
ia segera membuka kelopak matanya.
Dengan wajah mengulum senyum, berkatalah Han Ping, "Cobalah paman mencoba
bernapas agar dapat diketahui apakah jalan darah paman yang terluka itu sudah lancar
kembali atau belum."
Kim loji melakukan perintah. Ah, ternyata jalan darahnya sudah lancar lagi. Tiba-tiba ia
berbangkit dan mencekal lengan Han Ping, beberapa airmata menitik turun dari
pelapuknya, "Ah, nak, engkau menderita sekali"."
Selama hidup belum pernah Kim loji memiliki rasa tegang dan terharu seperti saat itu.
Luapan hatinya seperti menyumbat tenggorokan sehingga tak dapat berkata apa-apa. Tak
tahu ia bagaimana harus mulai bicara"."
Han Ping tengadahkan kepada menghela napas. Ia berusaha untuk menekan
perasaannya, "Karena mengobati paman maka tenagaku telah habis. Dan perlu
beristirahat selama beberapa hari. Aku hendak mohon paman supaya membelikan obat
untukku." Teringat bahwa janji-matinya kepada orang yang tak diketahui itu hanya tiga hari dan
hari itu sudah tiba, maka ia harus mencari akal untuk memergikan Kim loji dari situ.
Karena kalau tidak, pamannya itu tentu akan menghalangi pembunuhan itu.
Kim loji serentak menyahut, "Tahukah apa ramuannya" Aku tentu segera
membelikannya."
Han Ping tertawa hambar. Sembarangan saja ia mengatakan beberapa macam obat.
Dia pernah melihat si dara baju ungu menulis resep untuk mengobati luka Ting Ling.
Samar2 ia masih ingat satu dua macam dan mengatakan kepada Kim loji.
Walaupun tak mengerti tentang obat2an, tetapi pengalaman Kim loji dalam dunia
persilatan amat luas sekali. Dia terkesiap kaget ketika Han Ping mengatakan obat2 yang
termasuk dalam resep si dara baju ungu. la segera mencatatnya dalam hati dan berkata,
"Ping-ji, tunggulah aku di sini"."
Sambil memandang ke langit, ia berkata pula, "Sebelum malam hari, aku tentu sudah
kembali ke sini."
Han Ping hanya tersenyum, katanya, "Ah, tak perlu paman bergegas-gegas. Aku hanya
kehilangan tenaga-murni saja. Luka paman baru sembuh, jangan berjalan cepat-cepat.
Jika malam ini tak dapat datang ke mari, besok pagipun tak mengapa."
Rupanya Kim loji ngotot hendak mengobati Han Ping, serunya, "Betapapun juga, malam
ini aku tentu dapat kembali ke sini."
Tanpa menunggu pernyataan Han Ping, Kim loji terus Iari kencang. Memandang
bayangan pamannya, tiba-tiba timbullah rasa rawan dalam hati Han Ping, serunya
pelahan, "Sampai jumpa paman. Pada saat engkau kembali membawa obat, kepalaku
tentu sudah terpisah dari tubuhku."
Dia berkata dengan suara yang amat lirih sekali. Tetapi entah bagaimana, Kim loji
seperti kena stroom dan tiba-tiba berhenti, berpaling ke belakang. Sudah tentu Han Ping
terkejut sekali. Ia kira pamannya tentu mendengar kata-katanya tadi.
Tampak Kim loji mengangkat lengannya yang tinggal sebelah itu dan berseru, "Jangan
pergi kemana-mana. Sebelum hari gelap, aku tentu sudah kembali."
Habis berseru Kim loji terus gunakan ilmu lari-cepat. Setelah lenyap dari pandangan,
Han Pingpun berbangkit perlahan-lahan. Ia melangkah keluar dari gerumbul rumput.
Dilihatnya rumput menguning kering, daun2 gugur bertebaran di tanah. Suasana diselimuti
dengan hawa kematian.
Tiga penjuru arah dikelilingi gunung. Hanya di sebelah barat yang merupakan hutan
lebat. Merupakan sebuah tempat yang tak pernah dijelajahi manusia. Segerumbul rumput
setinggi orang, tampak merimbun pada jarak setombak jauhnya. Rupanya tanah itu agak
subur karena masih terdapat rumput2 yang hijau.
Hati Han Ping saat itu seperti gelombang air sungai Tiang-kiang. Bergolak dan beralun
hebat. Pelahan-lahan ia menghampiri gerumbul rumput dan berkata seorang diri, "Ah,
tempat ini baik sekali untuk kuburanku."
Dia berdiri termangu-mangu lalu kembali ke tempat alang2 semula tadi, duduk bersila
bersemedhi mengheningkan cipta.
Tetapi ia gagal. Berbagai pikiran melalu lalang di benaknya. Segala kesukaran dan
penderitaan selama ini akhirnya hanya berakhir dengin kematian. Tetapi suatu kematian
yang tak dapat dilawan dengan kegagahan. Karena pikiran kacau, ia tak dapat
menenteramkan pemusatan hatinya.
Tiba-tiba terdengar derap langkah yang berat berjalan pesat dan berhenti di
sampingnya. Han Ping menduga tentulah orang yang membuat janjinya kepadanya itu.
Diam-diam ia pasrah, "Ah, karena aku sudah rela menyerahkan nyawa, tak perlu kuharus
melihat tampang mukanya lagi."
Dengan keputusan itu tanpa membuka mata ia terus berseru, "Silahkan turun tangan!"
Sederhana sekali kata-kata itu tetapi penuh me ngandung luapan perasaan hatinya.
Dendam sakit hati yang belum terhimpas, kawan2 yang tak sempat ditemuinya dan segala
suka duka pengalamannya selama ini, telah campur aduk memenuhi benaknya". . hampir
saja ia tak kuasa menahan diri untuk berteriak menumpahkan isi hatinya. Karena sejak itu
toh ia takkan berada di dunia lagi.
Tiba-tiba orang itu hentikan langkah lalu pelahan-lahan menghampiri ke arahnya. Diamdiam
Han Ping mencurahkan perhatiannya. Dari langkah kaki, mudah-mudahan ia dapat
menduga siapakah orang itu.
Tetapi pada lain saat diam-diam ia menertawakan dirinya sendiri dan hati budi manusia.
Ia heran mengapa selalu terjadi pertentangan antara akal budi yang luas dan perasaan
hati yang pasrah. Bahkan sampai pada detik2 kematian, ia masih mengandung perasaan2
itu. Dalam saat2 itulah ia makin menyelami akan arti jiwa dan perasaan hati manusia.
Langkah kaki pendatang itu makin dekat dan akhirnya berhenti di mukanya. Han Ping
diam-diam menghela napas dan berkata pelahan, "Saat ini waktu perjanjian tiga hari
sudah tiba. Silahkan engkau turun tangan aku". takkan mati dengan penasaran."
Tiba-tiba ia teringat bahwa pengorbanan itu adalah karena menolong seorang keluarga
satu2nya yang dimiliki dalam dunia Mi. Secercah senyuman mengulum di bibir pemuda itu.
Angin musim rontok berhembus. Dan pendatang yang berada di hadapannya itu
berseru kaget, "Turun tangan" Turun tangan bagaimana?"
Han Ping tersenyum dan berkata pelahan, "Karena sudah berjanji dalam waktu tiga
hari, maka sekalipun engkau cincang tubuhku. aku takkan mendendam kepadamu. Saat ini
aku sudah tak menghiraukan soal kematian lagi. Silahkan engkau lekas saja mulai agar
jangan menyiksa diriku begitu lama!"
Nada kata Han Ping begitu tulus dan tak mengandung ketakutan sama sekali.
Pendatang itu diam-diam merasa kagum dan menghela napas.
Tiba-tiba terdengar pula orang itu berkata dengan suara parau yang tersendat-sendat,
"Tuan". . apakah yang engkau katakan itu". . aku benar-benar tak mengerti."
Serentak tergetarlah hati Han Ping, serunya dengan nada heran, "Siapakah saudara
ini?" Walaupun bertanya begitu namun Han Ping tetap tak membuka mata. Tiba-tiba orang
bersuara parau itu berteriak, "Hai". . kiranya tuan ini ?""
Orang itu hendak mengatakan bahwa Han Ping seorang buta tetapi sungkan. Maka
cepat-cepat ia menjawab pertanyaan Han Ping tadi, "Aku bernama Tio Tiong, ada orang
yang menamakan diriku Tio It-ya. Jika tuan hendak memberi pesan apa-apa, silahkan. Aku
masih mempunyai cukup tenaga untuk melakukan. Jika suruh aku turun tangan , sungguh
kebenaran sekali. Tetapi kalau suruh aku mengasah otak, itu"." ia tertawa mengekeh dan
berhenti berkata.
Pikiran Han Ping bergolak tak keruan. Tak tahu ia apakah pendatang itu hendak
mengolok dirinya atau memang tak mempunyai hubungan peristiwa yang menimpa


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dirinya. Akhirnya ia tak kuasa lagi untuk tak membuka mata.
Ketika memandang ke muka, tampak seorang lelaki berumur 30-an tahun, memikul
kayu bakar. Dan pada pinggangnya terselip sebatang kapak besar, dua kali besarnya dari
kapak yang biasa digunakan tukang penebang pohon. Kini sadarlah Han Ping bahwa orang
itu hanya orang yang kebetulan lalu di tempat itu.
Tio Tiong melonjak kaget dan menyurut mundur dua langkah lalu letakkan pikulannya.
Bermula ia kira Han Ping seorang buta. Tak tahunya ternyata bisa melihat bahkan
matanya memancarkan sinar berkilat-kilat tajam sekali.
Han Ping kerutkan dahi dan tertawa hambar, katanya, "Benarkah engkau ini tukang
pencari kayu yang sedang lewat di sini?"
Tio Tiong batuk-batuk lalu menyahut, "Benar! Aku menuntut penghidupan sebagai
pencari kayu di hutan sudah hampir 10 tahun lamanya."
"Apakah tiap hari engkau lalu di sini?"
"Tidak, sudah sebulan Iebih aku tak jalan di sini."
Han Ping menghela napas pelahan, ujarnya, "Kalau begitu engkau tentu tak tahu"."
kata Han Ping kepada orang itu dan dirinya.
Tio Tiong tertawa, "Ah, tuan seorang terpelajar, apa yang tuan ucapkan sudah tentu
aku tak mengerti." " Habis berkata ia terus memikul pikulannya dan hendak angkat kaki.
Melihat kayu yang dipikulnya itu tak kurang dari 200 kati beratnya tetapi tampaknya
dengan mudah sekali orang itu memanggulnya, Han Ping berseru memuji, "Ah, tenagamu
sungguh hebat sekali!"
Kali ini Tio Tiong dapat mengerti kata-kata Han Ping. la merekah tertawa, "Tadi telah
kukatakan bahwa aku ini seperti kerbau liar. Kecuali menebang kayu, lain-lain pekerjaan
aku tak mampu melakukan."
Tergerak hati Han Ping, tegurnya, "Engkau tinggal dengan siapa di rumah?"
"Kecuali ibuku dan aku, tiada lain orang lagi."
Han Ping tertawa rawan, "Ah, engkau sungguh beruntung karena masih mempunyai ibu
yang merawatmu"." " ia merogoh ke dalam saku dan mengeluarkan dua biji uang emas,
katanya, "Ambil dan pakailah."
Seumur hidup Tio Tiong belum pernah melihat uang emas dan sekian banyak uang
perak tercengang dan memandang uang emas itu dengan agak gemetar. Dia benar-benar
terpesona melihat sekian banyak uang emas itu.
Beberapa saat kemudian tiba-tiba ia menghela napas, serunya, "Aku belum
mengerjakan sesuatu untuk tuan, mana bisa menerima sekian banyak hadiah. Taruh kata
aku bekerja padamu selama 10 tahun, pun tak perlu mendapat upah sekian banyak."
Kepolosan dan kesederhanaan pemuda itu membangkitkan perasaan nurani Han Ping,
pikirnya, "Jika aku tak menunaikan tugas membalas sakit hati, kalau aku masih
mempunyai ayah bunda, rela aku hidup sebagai dia, menuntut kehidupan yang
sederhana"." " Han Ping menghela napas, ujarnya, "Uang ini bagiku sudah tiada
gunanya lagi"."
Sepasang mata Tio Tiong terbeliak lebar, serunya, "Aneh, mengapa uang emas tak
berguna" Uang sekian banyak itu dapat dibelikan kerbau dan sawah atau kuda dan kereta.
Suatu kekayaan yang dapat dibuat mencari isteri, Ya, pendek kata dapat dibuat apa saja.
Mengapa tuan katakan tak berguna?"
Han Ping tertawa tawar, "Aku segera akan mati. Ambillah yang ini dan belikan sebuah
peti mati untukku. Besok engkau datang lagi ke mari untuk mengurus mayatku dan
tanamlah di bawah gerumbul rumput itu. Kelebihannya, belikan saja sawah, kuda, kerbau
dan isteri. Rawatlah ibumu sampai masa hari tuanya."
Dengan tangan gemetar, Tio Tiong menerima uang itu, katanya, "Akan kubawa pulang
dulu uang ini dan akan kutanyakan bagaimana pendapat ibuku" " ternyata pemuda yang
jujur dan sederhana ternyata tertarik juga akan harta benda. Diam-diam Han Ping
tersenyum. Rupanya ia makin mengenal lebih dalam tentang hati manusia. Pelahan-lahan
ia pejamkan mata.
Pada saat menghadapi kematian, segala kenangan akan berhamburan melalu lalang.
Setelah menderita kegoncangan perasaan, akhirnva hati Han Pingpun tenang sekali.
Pelahan-lahan ia menyalurkan pernapasan.
Dalam hari2 biasa, sukar orang untuk membersihkan pikirannya dari segala ingatan dan
kenangan. Tetapi saat itu Han Ping benar-benar tetah memasrahkan diri dalam
kehampaan. Hatinya sepi ,dari segala rangsangan nafsu dan Keinginan, kenangan dan
ingatan. Tak berapa lama ia rasakan dari perutnya meluap serangkum hawa-mumi yang
bergolak keras. Kalau biasanya mengalami hal semacam itu, ia tentu segera hentikan
penyaluran papas. Tetapi saat itu ia sudah tak menghiraukan jiwanya lagi. Diam-diam ia
memikir, "Ya, benar, racun yang diberikan orang itu tentu sudah mulai bekerja."
Iapun melanjutkan penyaluran napasnya.
Ia merasakan hawa murni yang meluap itu, menembus ke-12 lapis urat dan jalan darah
lalu menuju ke bagian seng-si-hian-kwan. Darah dalam sekujur tubahnya, pun ikut
bergerak mengikuti hawa-murni itu. Darah yang bergolak naik turun, membuat
perasaannya tak enak dan hati tak tenang.
Tiba-tiba saat itu terdengar derap langkah kaki orang lagi. Dan detik itu Han Ping
sedang mengalami godokan hawa-murni dan darah yang bergolak dan membinal.
Keadaannya menyerupai seekor burung bangau yang kelabakan dalam sangkar dan
hendak menerobos ke luar. Topi rumput yang dikenakannya. pun sudah berlubang besar.
Dia sedang berjuang keras untuk menghamburkan kesemuanya itu ke luar, tetapi lubang
yang hendak ditembusnya itu terlalu kecil. Dia tak dapat menembusnya.
Sekalipun ia merasa bahwa pendatang ita menghampiri ke tempatnya tetapi ia tak
dapat memperhatikannya. Dan memang ia tak mau mengacuhkan siapa pendatang itu.
Karena pikirnya, toh akhirnya ia tentu harus mati
Tiba-tiba tenaga-murni dan darah itu melanda ke atas dan benaknya seolah-olah
bergetar keras. Perasaan dan kegelisahan hatinya lenyap tiba-tiba. Sebagai gantinya ia
merasa seperti dibuai-buai dan ringan sekali tubuhnya.
Tepat pada saat itu, tiba-tiba pergelangan tangan kanannya dicekal orang dan serentak
terdengar suara seseorang yang belum dikenalnya, "Bagus, menjelajah ke seluruh pelosok
dunia, akhirnya tanpa banyak susah payah telah kuketemukan."
Merasa bahwa nada orang itu tak mengandung arti yang baik, mendadak Han Ping
membuka mata. Dilihatnya seorang paderi tinggi besar sedang gunakan tangan kiri untuk
mencekal pergelangan tangan kanannya dan tertawa nyaring.
Setelah mengamati orang itu, tiba-tiba Han Ping teringat. Paderi itu adalah Hui Ko
taysu, salah satu dari kedua orang paderi tingkat Hui dari Siau-lim-si yang masih hidup.
Hui Ko taysu tertawa meringkik seperti naga, sembada sekali dengan perawakannya
yang tinggi besar. Nadanya berkumandang memenuhi gunung.
Rupanya paderi itu gembira sekali, maka ia begitu tegang dan tertawa meringkik
sampai beberapa saat baru berhenti.
"Akhirnya engkau dapat kuketemukan juga, ha, ha. Aku telah mencarimu di seluruh
penjuru dunia," katanya dengan dingin.
Tetapi Han Ping tenang sekali. Setitikpun ia tak gentar dan tertawa tawar, "Karena
sudah menemukan aku, kiranya lo-siansu tak perlu begitu gembira sekali!"
Dahi paderi itu meluap hawa pembunuhan, serunya, "Jangan berlagak pura-pura, lekas
serahkan!"
"Serahkan apa?" tanya Han Ping.
"Pedang Pemutus Asmara!"
Diam-diam Han Ping membatin, "Aku sudah hampir mati, menyimpan pedang pusaka
pun tiada gunanya. Pedang itu kuambil dari Siau-lim-si baik kukembalikan kepada mereka
lagi, daripada jatuh ke tangan orang lain."
Dengan keputusan itu ia segera memasukkan tangannya ke dalam baju dan meraba
pedang pusaka itu, ujarnya, "Terimalah!"
Paderi Hui Ko cepat menyambuti lalu memasukkan ke dalam baju, katanya,
"Kotaknya?"
"Hilang!"
Seketika wajah paderi itu berobah memberingas, serunya, "Sekalipun pedang ini
tajamnya bukan kepalang tetapi kotak pedang itu jauh lebih berharga dari pedang ini. Saat
itu nyawamu berada dalam tanganku. Apabila mati, orang tentu takkan dapat berbuat
suatu apa. Menyimpan kotak pedangpun tiada gunanya. Harap suka menimbang lagi
semasak-masaknya."
Han Ping tengadahkan kepala dan tertawa ringan, "Soal mati dan hidup, aku sudah tak
menghiraukan lagi. Apabila lo-siansu hendak menggertak dengan ancaman itu, rasanya losiansu
salah hitung"."
Ia berhenti sejenak untuk tersenyum lalu berkata pula, "Tetapi pedang itu memang
sebuah pusaka yang jarang terdapat dalam dunia Mengembalikan kepada gereja Siau-lim,
memang sudah selayaknya. Mengenai kotak pedang itu, saat ini berada pada dara baju
ungu dari Lam-hay-bun. Silahkan lo-siansu meminta kepadanya!"
Hui Ko tersenyum, "Pedang berada di tanganmu, mengapa kotaknya pada lain orang.
Bagaimana aku dapat percaya keteranganmu itu?"
Han Ping berseru lantang, "Apa yang kukatakan memang sungguh2. Tetapi kalau
engkau tak percaya, akupun tak dapat berbuat apa-apa. Hui Gong dan Hui In kedua locianpwe,
adalah paderi yang luhur pribadi. Aneh, mengapa beda sekali dengan engkau
yang begitu tamak. Sesama kaum perguruan dan sama-sama mengabdikan diri dalam
pertapaan mengapa beda sekali sifatnya" Kukembalikan pedang pusaka itu kepadamu
adalah semata-mata karena memandang muka Hui Gong dan Hui lo-cianpwe. Hm, enggan
benar aku berurusan dengan engkau!" " habis berkata ia terus pejamkan mata lagi.
Hui Koh memandang wajah pemuda itu tampak serius. Sedikitpun tak memantulkan
rasa takut mati. Diam-diam paderi itu tergetar hatinya, pikirnya, "Anak yang masih begitu
muda sekali mengapa memandang kematian seperti pulang ke rumah saja."
Entah bagaimana Hui Ko merasa malu dan menyesal. Pelahan-lahan ia lepaskan
cekalannya. Han Pingpun tenang sekali membuka mata dan tertawa hambar, serunya, "Bahwa kotak
pedang Pemutus Asmara berada di tangan dara dari perguruan Lam-hay-bun, seluruh
kaum persilatan dari wilayah Kanglam " Kangpak tahu semua. Mereka menduga
kedatangan dara Lam-hay-bun ke daerah Tiong-goan itu tak lain karena hendak mengejar
kotak itu. Kukira lo-siansupun tentu sudah mendengar berita itu! Saat itu tokoh2 dari Dua
Lembah dan Tiga Marga, telah terkocok dalam lomba perebutan kotak mendapatkan kotak
pedang, itu dari tangan si dara baju ungu. Lo-siansu tentu juga akan mencari kotak itu
maka silahkan saja lekas2 kesana. Kalau terlambat, dikuatirkan akan terjadi perobahan.
Mungkin akan sudah jatuh di tangan orang lain."
"Dimanakah sekarang dara baju ungu itu?" tanya Hui Ko.
"Pada waktu kutinggalkan, mereka masih berada di makam tunggal. Saat ini pergi
kemana, akupun tak tahu. Tetapi la bermarkas di desa Bik Li-san di gunung Long-san.
Nab, apa yang kuketahui sudah kukatakan semua. Kalau lo-siansu pergi, silahkan."
Hui Ko kerutkan sepasang alis, berkata, "Ada sebuah soal yang terkandung dalam
hatiku, entah apakah pantas kutanyakan?"
"Silahkan mengatakan sajalah?"
"Engkau berada di sini ini menunggu siapa?"
"Kematian!"sahut Han Ping.
"Apa" Menunggu mati?" Hui Ko terbeliak kaget.
"Benar, aku memang sedang menunggu kematian." Han Ping berhenti sejenak lalu
berkata, "Jika tidak menunggu kematian, pedang Pemutus Asmara itu tentu takkan
kuserahkan kepadamu! Walaupun pedang itu milik Siau-lim-si, tetapi karena kalah
bertaruh maka Hui Gong lo-cianpwe telah menyerahkannya kepadaku. Bila aku masih
dapat hidup di dunia, aku tentu akan menjaga pedang pusaka itu sebaik-baiknya!"
"Tetapi saat ini engkau toh belum mati mengapa engkau rela melepaskan pedang itu?"
Han Ping tertawa, "Aku akan segera mati, aku takkan hidup lama lagi! Paling lama
hanya sampai besok matahari terbenam. Mungkin dalam beberapa saat ini."
"Walaupun tak faham akan ilmu perbintangan tetapi melihat seri wajahmu, tak seperti
orang yang menderita luka parah. Juga bukan terkena racun ganas. Tetapi mengapa tak
henti2nya engkau mengatakan akan mati saja?"
Han Ping tertawa, "Soal di dunia, memang banyak yang terjadi di luar dugaan orang.
Aku tak suka mengatakan hal itu kepada lain orang, losiansu -"." " belum habis ia
berkata, tiba-tiba terdengar suara orang menggerung hebat, "Menyingkirlah!"
Telinga Hui Ko tajam sekali. Serempak pada saat mulut Han Ping berteriak supaya
menyingkir, paderi itu sudah menangkap sambaran golok menabas. Sekali kedua bahu
paderi itu bergoncang, orangnya pun sudah berkisar semeter. Wut". . . secepat kilat
menyambar muka selarik sinar putih berkelebat di samping telinga Han Ping.
Tanpa berpaling muka, Hui Ko membentak penyerang itu, "Siapakah yang berani
menyerang aku secara pengecut itu?"
Terdengar suara tertawa melengking tinggi dan teriakan, "Cobalah engkau rasakan ilmu
Hujan-mencurah yang kumainkan ini!"
Kembali serangkum sinar putih berkelebat. Sasarannya sungguh aneh. Tidak langsung
menyerang Hui Ko, melainkan tunggu setelah paderi ita berdiri tegak, tiba-tiba ditabur
sinar kemilau seluas dua meter.
Bahu Hui Ko sedikit bergetar dan tiba-tiba tubuhnya miring. Jubahnya yang
bergerombyongan itu sepintas pandang menyerupai kupu2 yang beterbangan, melonjaklonjak
ke atas. Gerakan dan sikapnya tenang sekali. Namun hamburan sinar pedang itu tak
mampu mendekatinya.
Matahari makin panas. Tetapi sinar pedang penyerang itu jauh lebih dahsyat dari sinar
matahari. Dengan sambaran angin yang mendesis-desis, pedang itu membabat kaki Hui
Ko dan melanda ke arah Han Ping.
Han Ping tetap duduk seperti patung. Setitik-pun ia tak jeri melihat sinar pedang
pembawa maut itu. Pada saat masih terpisah setengah meter, tiba-tiba sinar perak itu
lenyap dan menyambar lewat di sisinya. Angin yang tajam menghambur bajunya.
Ternyata saat itu Hui Ko sedang melambung ke atas. Ketika melihat ketenangan Han
Ping. la pun melayang turun lagi ke bumi dan tiba-tiba mengagumi ketenangan pemuda
itu. "Kalau benar dia harus mati hari ini. sungguh suatu kerugian benar bagi dunia
persilatan."
Sesempit-sempit pikirannya, namun ketika melihat kelapangan dada dan ketenangan
pemuda itu, tanpa disadari ia tunduk dalam hati.
Pada saat paderi itu masih menimang-nimang, sekonyong-konyong dari belakang
terdengar suara orang tertawa dingin. Hui Ko kerutkan alis dan berseru, "Setelah Hujanmencurah-
dari-langit, Ialu bagaimana lagi?"
Suara orang di belakang yang bernada seperti suara wanita itu, sepatah demi sepatah
berseru, "Masih ada Bintang-mengalir!"
Kata itu diserempaki dengan sambaran angin dari belakang.
Karena menjaga gengsi tadi Hui Ko tak mau berpaling. Tetapi saat itu ia benar-benar
terkejut mendengar kata-kata orang di belakang itu dan taburan senjatanya yang
menghamburkan angin tajam. Mau tak mau ia berputar tubuh dan terkejut melihat
segumpal sinar perak, lurus menyerang kepadanya.
Gumpalan sinar perak itu mengumpul satu, tipis tetapi tidak buyar, lalu daripada
gumpalan sinar yang tercipta dari jurus Hujan-mencurah-dari-langit tadi. Gumpalan sinar
perak kali ini mengandung perbawa yang membuat hati orang tegang.
Seketika Hui Ko tergetar hatinya. Tanpa menunggu sinar perak itu melanda dirinya,
cepat ia berputar tubuh, dan melesat dua tiga meter jauhnya.
Baru ia bergerak, tiba-tiba terdengar bunyi mendering dan sebersit sinar perak yang
melayang di atas kepalanya itu mendadak meluncur cepat sekaii. Tring, tring, tiga bersit
sinar perak, yang bermula menyerang lurus ke muka tiba-tiba pun berhamburan
membujur ke samping. Dan kemudian terdengar pula berdering-dering suara tajam.
Serentetan sinar perak itu mengumpul jadi satu dalam bentuk gumpalan-gumpalan sinar
yang berhamburan keempat penjuru. Bagaikan hujan mencurah, sinar itu menghambur ke
tubuh Han Ping yang duduk tenang laksana sebuah karang.
Rentetan bunyi mendering itu, tak ubah seperti lonceng kematian yang dicanangkan
oleh malaekat Elmaut. Belum senjata itu tiba-tiba, orang tentu sudah patah nyalinya.
Han Ping membuka mata dan mencurahkan pandang matanya ke arah sebersit benda
bersinar yang berada di tengah gumpalan sinar perak itu.
Sedikitpun ia tak mau mengacuhkan pada lingkaran sinar perak yang berhamburan di
empat penjuru itu.
Pada saat Hui Ko loncat menghindar ke samping tadi, ia masih sempat memandang ke
arah Han Ping. Dilihatnya benda bersinar yang melayang paling depan, saat itu sudah tiba
pada jalan darah berbahaya di dada Han Ping.
Dalam detik2 yang berbahaya itu, tiba-tiba Han Ping ulurkan tangan kanannya. Sekali
jarinya menutuk pelahan, terdengar suara mendering dan benda bersinar itupun tersiak ke
samping. Dan secepat itu, dengan masih dalam keadaan duduk, tubuh pemuda itu
melambung ke udara. Gumpalan sinar perak yang berhamburan tadi, pun melimpah angin
kosong. "Keberanian yang luar biasa" ilmu yang hebat".!" Hui Ko menghamburkan pujian
pelahan. Pun ketika masih dalam sikap duduk dan meluncur turun ke tanah, Han Ping tertawa
tawar, serunya, "Ah, lo-cianpwe keliwat memuji!"
Tetapi paderi itu tak menjawab apa-apa. Pandangan matanya diarahkan ke gerumbul
rumput yang terpisah setombak lebih jauhnya seraya berseru nyaring, "Jurus Hujanmencurah-
dari-Iangit dan Bintang-bintang-mengalir, sudah kuterima. Entah apakah masih
ada lain jurus yang lebih lihay lagi?"
Dari balik gerumbul rumput segera terdengar suara melengking, "Berkisarlah lima
langkah ke kiri dan cobalah pula jurus ilmu Sam-goan-lian-te serta Thian-hui-bong ini!"
Wajah Hui Ko berobah seketika. Serunya, "Untuk menerima kedua ilmu kepandaianmu
itu, aku tak keberatan. Tetapi lebih dulu dapatkah kuketahui siapakah gerangan nona ini?"
Seketika dari balik gerumbul rumput itu muncul seorang gadis berpakaian hitam.
Punggungnya menyanggul sepasang pedang. Dengan langkah palahan ia menghampiri ke
muka. Han Ping terkesiap. Rasanya ia pernah kenal dengan nona itu tetapi sesaat ia lupa
entah di mana. Tampak bola mata nona itu berkeliaran sejenak lalu mencurah ke arah Han Ping dan
tertawa, serunya, "Keberanianmu sungguh membuat orang kagum sekali!" " Kemudian ia


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

alihkan pandang matanya kepada Hui Ko, serunya, "Apakah engkau ini salah seorang
paderi dari gereja Siau-lim-si?"
"Aku adalah Hui Ko dari Siau-lim-si."
Dalam dunia, orang yang mampu menghindar dari taburan ilmu Hujan-mencurah-darilangit
dan Bintang-mengalir-pindah, sedikit sekali. Ilmu kepandaianmu hebat sekali, paderi
tua. Maka kuduga engkau tentu dari gereja itu," seru nona itu.
Hui Ko melihat nona itu berpakaian baju hitam dan wajahnya amat cantik yang
berumur di antara 20-an tahun tetapi dapat menggunakan ilmu kepandaian yang begitu
hebat, tentulah bukan seorang nona sembarangan Maka segera ia berkata dengan serius.
"Entah siapakah nama nona yang mulia?"
Setelah menyaksikan betapa kepandaian Han Ping menghadapi serangan dahsyat dari
nona itu, kecongkakan Hui Ko mulai menurun. Andaikata ia jadi Han Ping, tentulah ia tak
mudah bersikap begitu pasrah seperti anak muda itu.
Tampak nona baju hitam itu tertawa tawar, "Aku bernama Siangkwan Wan-ceng"."
Han Ping tergetar hatinya. Tiba-tiba ia teringat kalau pernah bertempur dan menderita
luka dari nona itu. la menyelutuk, "Aku berjanji padamu dalam waktu tiga tahun. Mungkin
aku tak dapat menetapi janji itu. Maka lebih dulu aku menghaturkan maaf."
Siangkwan Wan-ceng tertawa, "Tak apa, peristiwa yang lampau, tak perlu dipikir lagi."
Sahut Han Ping dengan hambar, "Modal dari seorang lelaki ialah kepercayaan dan budi
luhur. Karena sudah ada janji, sudah tentu tetap kuingat. Tetapi hari ini adalah hari
kematianku .. .."
"Apabila engkau tak mati?" tukas Siangkwan Wan-ceng.
"Sudah tentu aku akan menetapi janji itu!"
Siangkwan Wan-ceng tertawa, "Tetapi sayang engkau akan mati!"
Han Ping menengadah memandang ke gumpalan awan yang berarak di langit. Diamdiam
ia berpikir, "Saat ini sudah hampir petang tetapi orang yang berjanji padaku itu
masih belum datang. Apakah ia lupa" Atau mungkin karena sudah suruhaku minum racun
tensu tak dapat hidup lebih lama dari tiga hari?"
Karena teringat akan kematian, ia tak mau memperhatikan apa yang terjadi pada saat
itu. Angin berhembus menderu. Ketika memandang ke muka dilihatnya Siangkwan Wanceng
sudah mulai bertempur dengan Hui Ko. Keduanya bertempur dengan jurus2 yang
mengejutkan. Setiap pukulan dan jurus, tentu menerbitkan tenaga angin yang dahsyat.
Beberapa saat kemudian, Han Ping mendadak melibat di samping gerumbul rumptut
yang tinggi itu, tegak seorang berbaju putih. Han Ping memiliki mata yang tajam sekali
tetapi tak dapat melihat jelas orang itu kecuali hanya pakaiannya saja yang berwarna
putih. la memandang dengan seksama lagi beberapa saat. Tiba-tiba tergetarlah hatinya.
Tiada sesuatu yang menyakiti pandang mata pada diri orang itu. Tetapi dari kepala
sampai ke kaki dan sekujur tubuhnya. tak tampak tanda-tanda dari orang yang hidup.
Wajahnya seperti diliputi lapisan kerudung hawa yang berwarna biru sehingga sukar
diletahui bagaimana jeleknya, tetapi sekujur tuhuhnya tak mirip dengan manusia hidup.
Mukanya seperti diselubungi lapisan asap hijau sehingga tak tampak bagaimana kerut
wajahnya. Sebuah wajah yang menimbulkan rasa seram pada orang.
Han Ping menghela napas panjang, pikirnya, "Aih, masakan di dunia terdapat manusia
seperti mayat hidup begini"."
Tiba-tiba orang baju putih itu merogoh ke dalam baju dan mengeluarkan sebuah
benda. Matanya herputar-putar seperti memperhitungkan jarak antara dirinya dengan
Siangkwan Wan-ceng dan Hui Ko taysu yang sedang bertempur itu.
Melihat itu Han Ping kuatir dan cepat berseru keras, "Hai, sudahlah, jangan kalian
berkelahi lagi!"
Siangkwan Wan-ceng bergeliat menghindari serangan Hui Ko taysu dan melesat ke
samping Han Ping. Dengan tersenyum ia menegur, "Mengapa" Apakah engkau kuatir aku
tak dapat mengalahkannya?"
"Bukan," sahut Han Ping.
Setelah bertempur, barulah Hui Ko taysu menyadari bahwa nona itu bukan olah-olah
hebatnya Jurus-jurus yang dimainkan amat aneh dan sukar diduga. Begitupun tenagadalam
nona itu Iaksana sumber air yang tak henti-hentinya mengalir. Benar-benar suatu
hal yang belum pernah dijumpainya seumur hidup. Jika akan diteruskan bertempur, tentu
dalam seratus duaratus jurus belum dapat ditentukan kalah menangnya. Maka begitu
mendengar teriakan Han Ping, iapun segera hentikan serangannya.
Sejenak nona itu keliarkan biji matanya lalu berseru, "Apakah takut kalau aku
melukainya?"
Han Ping gelengkan kepala, "Jika kalian berdua bertempur, kalah atau memang itu
memang sudah wajar, akupun tak perlu mengurus hal itu."
"Eh, begini salah begitu keliru, lalu bagaimana" Apakah memang mulutmu terasa
gatal?" lengking Siangkwan Wan-ceng.
Han Ping kerutkan alis, sahutnya, "Cobalah kalian berputar tubuh dan lihat di tepi
gerumbul rumput itu. Setelah itu kalau man mendamprat aku, boleh2 saja."
Siangkwan Wan-ceng berpaling ke belakang dan serentak tertegunlah nona itu,
serunya, "Uh, mereka itu orang atau setan?"
Karena melihat perwujutan dari orang baju putih yang ternyata banyak jumlahnya,
Siangkwan Wan-ceng melengking. Tetapi pada lain saat cepat ia hentikan kata-katanya.
Sebagai seorang pendekar wanita, tak seharusnya ia jeri terhadap bangsa setan.
Han Ping keliarkan mata memandang. Diam-diam ia terkesiap juga, "Anehl Mengapa
dalam sekejab saja mereka sudah berjumlah sekian banyak?"
Ternyata memang di samping gerumbul rumput itu telah tegak sederet orang baju
putih sebanyak lima orang. Baju mereka dari kain belacu dan wajah berwarna kebirubiruan.
Sukar untuk mengenal wajah mereka.
Hui Ko pun tergetar melihat kemunculan kelima orang baju putih. Tetapi oleh karena
umurnya tua, maka paderi itupun agak Iebih tenang. Diam-diam ia mengingat akan
kawanan baju putih, termasuk golongan apa dalam dunia persilatan.
Tak berapa lama, wajah Siangkwan Wan-cengpun tenang kembali. Ia memiliki ilmu
kepandaian tinggi dan nyali besar. Maka tertawalah ia dengan nada dingin, "Aku tak
percaya di bawah sinar matahari, benar-benar terdapat setan"." " ia berpaling kepada
Han Ping, serunya, "Engkau punya nyali atau tidak, mari kita menghampiri mereka!"
Han Ping gelengkan kepala, "Aku akan menunggu orang disini. Sebelum dia datang,
aku takkan tinggalkan tempat ini."
Siangkwan Wan-ceng meletus tertawa, "Siapa yang engkau tunggu?"
Tiba-tiba hati Han Ping tergetar, sahutnya, "Aku telah berjanji pada orang!"
"Orang itu takkan datang!"
"Bagaimana engkau tahu?" Han Ping heran. "Kalau datang tentu sudah datang.
Sekarang sudah lohor, tentu dia tak datanglah!"
"Ya," sahut Siangkwan Wan-ceng, "bahkan sejak kecil kita berangkat bersama-sama
dan seperti bayangan yang tak pernah berpisah."
Serentak tergetarlah hati Han Ping dan berseru dengan tegang, "Apakah bukan nona
sendiri?" Siangkwan Wan-ceng tertawa mengikik, serunya, "Ah, tak berani?" tak berani"."
Han Ping menghela napas pelahan, "Entah kapankah racun itu akan mulai bekerja?"
Siangkwan Wan-ceng memandang ke langit, tertawa, "Segera".harus tunggu sampai
matahari turun gunung, sinarnya redup."
Han Ping tersenyum, "Kalau begitu aku masih mempunyai waktu dua tiga jam lagi."
Berkata Siangkwan Wan-ceng dengan nada lembut, "Kalau karena sudah lama, obat itu
hilang dayanya, maka engkau tentu takkan mati."
"Lembah Raja-setan?" tiba-tiba Hui Ko taysu berteriak.
Serentak terdengar serangkum tertawa panjang yang seseram burung kukuk beluk
berbunyi di tengah malam.
"Raja dari Lembah-setan telah tiba!" tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi
menyusup tertawa seram itu.
Seruan itu diulang panjang sampai seperminuman teh lamanya. Nadanya masih
berkumandang memenuhi gunung dan lembah.
"Orang-orang lembah Raja-setan benar-benar memang tak punya bau manusia."
Dari balik gerumbul rumput, melesat ke luar dua orang berpakaian hitam memakai topi
putih, pinggangnya bersabuk sabut tali rami.
Kedua orang itu mirip dengan mayat hidup. Waktu berjalan, kedua kaki lurus dan
melonjak-lonjak. Sepasang tangannya menjulai ke bawah, matanya mendelik tak berkedip.
Sungguh tak menyerupai manusia.
Hui Ko taysu merangkap sepasang tangan ke dada dan berseru "omitohud". Doa puji
segera berkumandang menyusup suara tertawa seram tadi.
Diam-diam Han Ping menghela napas, pikirnya, "Ting Ling dan Ting Hong dibesarkan
dalam lingkungan manusia2 seperti itu. Sudah tentu keduanya terlumur sikap yang begitu
dingin. Tetapi setelah kedua nona itu kenal dan bergaul dengannya, pelahan-lahan sikap
merekapun berobah. Terutama Ting Hong, sungguh beruntung sekali dapat keluar dari
lingkungan manusia2 setan itu"."
Pada saat itu kedua orang bertopi putih sudah berhenti melonjak. Dan suara tertawa
seram memanjang itupun ikut berhenti juga.
Dari balik gerumbul rumput tinggi, muncul pula seorang lelaki bertubuh pendek,
berpakaian hitam. Kepalanya besar, mata bundar dan mulut lebar. Walaupun pendek
tetapi waktu berjalan sikapnya amat sombong.
Hui Ko taysu berpaling kepada Han Ping, "Dunia persilatan mengatakan bahwa marga
Ting dari Lembah Raja-setan itu, bentuknya aneh. Mungkin dia adalah Ting Ko, ketua
Lembah Raja-setan itu."
"Apakah lo-siansu tak kenal pada ketua lembah Raja-setan?" tanya Han Ping.
"Ting Ko memang jarang le luar ke dunia persilatan. Walaupun sudah lama kudengar
namanya tetapi belum pernah melihat orangnya!" kata Hui Ko taysu.
Siangkwan Wan-ceng tiba-tiba teringat sebuah hal penting. Katanya dengan berbisik
kepada Han Ping, "Ting Ko dari lembah Raja-setan memiiiki ilmu tenaga-dalam Hian-imkhi-
keng. Ilmu itu telah diyakinkan mencapai taraf yang sukar diduga orang. Pula dia
faham tentang meramu obat bius. Harap engkau berhati-hati."
Saat itu Ting Ko berjalan di tengah kedua orang bertopi putih tadi. Selalu dikawal oleh
beberapa anakbuah lembah Raja-setan. Mereka berhenti di tempat Han Ping dan kedua
kawannya. Sekonyong-konyong Han Ping menutulkan tubuh dan melangkah maju menyongsong
mereka. Siangkwan Wan-ceng hendak menyambar tubuh Han Ping tetapi luput. Ia terus
melesat dan melayang ke depan Han Ping, "Berhenti!" serunya seraya hadangkan
tangannya. Han Ping agak terkesiap tetapi ia menurut dan berhenti. Diam-diam ia berpikir, "Budak
perempuan ini benar-benar congkak sekali. Dia tak mau tahu dengan alasan apa ia berani
menghadang aku."
Dalam pada itu orang aneh berjubah hitam itupun lambaikan tangan. Kedua
pengawalnyapun segera berhenti.
Siangkwan Wan-ceng tak memberi kesempatan Han Ping membuka mulut, cepat ia
mendahului berseru, "Apakah engkau Ting Kau dari Lembah Raja-setan?"
Orang yang kepalanya besar dan mata bundar itu berkilat-kilat memandangnya dan
tertawa seram, "Siapakah engkau" Mengapa engkau berani berkata begitu kepadaku?"
Siangkwan Wan-ceng tertawa, "Bagaimana" Kalau tak kumakimu saja, berarti aku
sudah bersikap sungkan kepadamu!"
Orang aneh berjubah hitam itu tertawa dingin, "Ringkus!"
Pengawal di sebelah kiri segera mengiakan. Secepat kilat ia ulurkan tangan
mencengkeram Siangkwan Wan-ceng.
Siangkwan Wan ceng terbeliak ketika melihat jari tetapak tangan orang itu berwarna
merah ungu. la mendengus dingin, "Tangan kotor!" " seraya melesat ke samping.
Serangannya luput, tiba-tiba orang itu loncat menyerbu. Sepasang tangan diangkat laku
dikatupkan ke bawah.
Dalam pada itu diam-diam Han Ping menimang dalam hati, "Beberapa kali aku telah
bertemu dengan rejeki luar biasa. Kesemuanya itu membuat terbentuknya ilmu sakti pada
diriku. Dendam sakit hati orangtuaku belum terhimpas dan akupun sudah mati di sini.
Mungkin saat ini merupakan kesempatan terakhir bagiku untuk mengembangkan
kepandaianku"."
Pikiran itu telah membangunkan semangatnya dan seketika berseru keraslah ia, "Nona
Siangkwan, biarlah aku yang menghadapinya!"
Ia empos semangat lalu dengan menggunakan jurus Tali emas-mengikat-naga untuk
menyambar lengan kanan orang aneh bertopi putih itu.
Saat itu Siangkwan Wan-ceng sudah loncat dua kali untuk menghindari serangan orang.
Dan secepat kilat ia sudah mencabut sepasang pedang yang terselip di punggungnya.
Tiba-tiba Hui Ko taysu berteriak tertahan, "Dua belas ilmu cengkeraman Kim-liong-jiuhwat
adalah ilmu simpanan dari Siau-lim-si yang tak pernah diwariskan"."
Orang baju hitam dengan topi putih itu walaupun tubuhnya kaku tetapi gerakannya
amat cepat sekali. Sebelum serangannya kedua menumbuk tubuh si nona, tiba-tiba ia
sudah loncat dua meter ke samping untuk menghindari pukulan Han Ping.
"lnilah duabelas ilmu Kim-liong-jiu-hwat dari kuil kalian"!" seru Han Ping seraya maju,
mengangkat tangan dan menampar Ting Kau.
Pengawal di sebelah kanan Ting Kau tiba-tiba menyelinap ke muka ketua Lembah Raja
setan itu dan menangkis dengan kedua tangannya. Serentak Han Ping rasakan serangkum
tenaga-gelap yang luar biasa kuatnya, menyelak pukulannya. Diam-diam pemuda itu
tergetar dalam hati, "Ah, tak kira kalau dia memiliki tenaga-dalam yang sedemikian
kuatnya!" Setelah dapat menghalau pukulan Han Ping, orang itu ulurkan kelima jarinya untuk
mencengkeram kepala Han Ping.
Diam-diam Han Ping terkejut dalam hati, "Kedua manusia bertopi putih ini, waktu
berjalan tampak kaku sekali. Begitu pula sepasang tangannya berbeda dengan orang
kebanyakan. Entah ilmu apakah yang diyakinkan mereka. Baiklah kucobanya untuk
menangkis"." " setelah berpikir begitu ia terus mengangkat tangan kanan.
Han Ping hanya merasa kalau dirinya tentu mati. Maka ia tak peduli lagi ilmu apakah
yang dimiliki orang itu. Ketika saling beradu, serentak ia merasakan tangan orang itu amat
dingin sekali, ia terkejut, "Eh, mengapa tangannya begini dingin sekali?"
Pada saat ia terkesiap itu, tiba-tiba pergelangan tangan kanannya sudah dicengkeram
lawan. Tetapi Han Ping pada saat itu bukanlah Han Ping beberapa bulan yang lalu. Hawa
murni yang disalurkan oleh mendiang Hui Gong taysu sebagian besar sudah diresapkan ke
dalam urat nadinya. Dengan begitu tenaga dalamnyapun maju sekali. Begitu
jalandarahnya tercengkeram, ia segera mengempos hawa-murni disalurkan ke lengan
kanan. Seketika lengannya berobah sekeras baja.
Semula orang bertopi putih itu girang sekali karena dapat mencengkeram tangan Han
Ping. Maka tertawalah ia dengan nyaring dan berseru, "Ilmu kepandaian seperti kutu kayu,
berani jual kesombongan"." " tiba-tiba ia hentikan ejekannya karena saat itu tangan Han
Ping berobah keras sekali dan menghamburkan tenaga yang menyiak longgar
cengkeramannya.
Serentak berhentikah tertawanya, mulutnya yang menganga lebar itupun terkatup
seketika. Wajahnya menyeringai seperti monyet membau terasi.
Orang bertopi putih yang menyerang Siang-kwars Wan-ceng itupun tiba-tiba berputar
tubuh lalu menghantam Han Ping.
Setelah tangannya terbebas dari cengkeraman, tangan Han Pingpun sudah leluasa
bergerak lagi. Mendengar angin menyambar dari belakang cepat ia berputar tubuh dan
menghantam. Pemuda itu tak mengetahui sampai dimana tingkat kepandaiannya saat itu. Ia tak
menyadari bahwa ia sudah mencapai pada tataran "menangkap harimau". Karena mengira
kalau lengannya kanan masih dipegang orang, maka dalam menghantamkan serangan
dari belakang tadi, ia telah gunakan tenaga penuh.
Krak". . . terdengar benturan keras. Penyerang dari belakang itu mengerang tertahan
dan tubuhnya mencelat ke atas lalu jatuh ke tanah. Sepasang tangannya menjulai lurus,
orangnyapun tak berkutik lagi.
Diam-diam Han Ping menghela napas, "Ah, dunia benar-benar penuh dengan tokoh2
sakti. Kedua orang itu, hanya pengawal dari ketua lembah Raja-setan, tetapi mereka
mampu menerima pukulan yang kulambari dengan tenaga penuh. Bahkan mereka diam
tak bergerak di tempatnya, setapakpun tak tersurut mundur .. ."
Tiba-tiba orang itu mengacungkan kedua tangannya ke atas dan mendadak mulutnya
muntah darah, bluk". rubuh ke tanah.
Dugaan Han Ping ternyata salah. Pukulannya tadi memang tampaknya tiada mengunjuk
perbawa yang dahsyat. Tetapi mengandung tenaga-dalam yang luar biasa. Begitu
mengenai orang memang tak cepat mengunjuk reaksi apa-apa. Tetapi beberapa saat
kemudian orang itu tentu muntah darah dan rubuh karena alat2 dalam dadanya, hancur
berantakan. Sekalipun orang yang memiliki ilmu Thiatpoh-san atau ilmu kebal, tetap tak
mampu bertahan.
Pukulan yang luar biasa itu membuat ketua lembah Raja-setan dan Siangkwan Wanceng
terkesima. Tiba-tiba Hui Ko taysu berseru pelahan, "Ah, pukulan Panca, pukulan yang tak boleh
diyakinkan"."
Rupanya paderi itu tak kuasa mengendalikan perasaannya lagi.
Melihat peristiwa itu, orang bertopi putih yang satunya, terlongong berdiri ketakutan.
Han Ping sendiripun terkejut atas hasil pukulannya itu. Dipandangnya orang yang rubuh
ke tanah itu lalu berputar ke belakang dan membentak pelahan, "Lepaskan tanganmu!"
Orang bertopi yang mencengkeram lengan anak muda itu, agaknya tersadar oleh
bentakan Han Ping. Cepat ia mengangkat tangan dan meninju dada pemuda itu.
Han Ping menangkis dengan jurus Lima gunung-mengurung-naga. Gerakan tangan itu
berhasil mencengkeram lengan orang.
"Lepaskan!" bentak Han Ping pula. Dan orang itu seperti kena pengaruh. Ia menurut
untuk melepaskan cengkeramannya.
Kiranya sewaktu Han Ping berhasil mencengeram lengan lawan, ia memijit dengan
sedikit menambah tenaga. Orang itu rasakan separoh tubuhnya kesemutan dan terpaksa
lepaskan cengkeramannya.
Saat itu Han Ping seperti dirangsang oleh hawa pembunuhan. Ia hendak menghantam


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang itu tetapi akhirnya ia lepaskan juga cengkeramannya seraya berkata, "Engkau bukan
tandinganku. Aku hendak menempur Ting Kau ketua lembah Raja-setan!"
Sejak keluar dari perguruan, ia sering mendengar orang mengagungkan kebesaran
nama Ting Kau ketua lembah Raja-setan. Maka ia memutusIan. sebelum mati ia hendak
mengajak berkelahi tokoh lembah Raja-setan yang termasyhur itu. Dengan demikian ia
dapat menggunakan hidupnya yang tak berapa lama itu untuk kepentingan dunia
persilatan. Ia anggap pertempuran kali itu adalah pertempuran terakhir kali yang ia dapat lakukan,
maka ia segera bersiap menghadapi lawan berat itu.
Ting Kau berdiri di depannya pada jarak setombak jauhnya. Orang bertopi putih yang
dilepaskan Han Ping itu, tak segera angkat kaki melainkan masih tetap tegak berdiri di
tempatnya tak bergerak, seperti seorang yang terluka.
Ting Ko tertawa seram, "Ho, apakah engkau sungguh2 hendak bertempur dengan aku"
Beritahukan namamu lebih dulu!"
Han Ping tertawa nyaring, "Aku Ji Han Ping!"
Tiba-tiba orang berbaju hitam yang tak bergerak itu membuka mata. Secepat kilat
tangan kanannya menggurat ke tangan kanan Han Ping.
"Huh, engkau mau cari mati?" Han Ping membentak marah seraya membalikkan tangan
menghantarnnya. Duk". tinjunya tepat mendarat ke dada prang itu. Terdengar jeritan
ngeri dan rubuh. Dan orang itu terjungkal ke belakang. Tetapi tangan kirinya masih
sempat mencakar lengan kiri Han Ping. Han Ping rasakan tangannya agak sakit. Ketika
memeriksa, ternyata lengan kirinya terdapat gurat darah bekas kuku orang tadi. Karena
lukanya tak seberapa, iapun tak menghiraukan.
Mendadak Ting Ko mengisar maju, serunya. "Ji Han Ping tiada mempunyai nama dalam
dunia persilatan. Tetapi merupakan salah seorang tokoh sakti yang pernah kujumpai
selama ini. Orang yang mampu menghantam mati pengawalku, memang jarang sekali.
Menilik bukti2 itu, engkau cukup berharga untuk bertempur dengan aku!"
Sambil memandang ke arah kedua orang baju hitam yang menggeletak di tanah itu,
Han Ping berkata, "Ah, sungguh beruntung sekali aku dapat menemani!"
"Hati-hatilah" teriak Ting Ko sambil tertawa nyaring dan memukul pelahan-lahan.
Han Ping cepat menghindar ke samping seraya menghantam dengan jurus Lima-jarimemetik-
senar. Dalam beberapa bulan karena bertempur dengan tokoh2 kelas satu, ia
dapat menarik pelajaran dan tambah pengalaman. Ia tahu kemasyhuran nama ketua
lembah Raja-setan itu. Walaupun gerak pukulannya pelahan tetapi tentu mengandung
serangan maut. Jika tidak suatu gerak memancing tentulah dalam pukulan itu disertai
dengan tenaga-dalam yang hebat. Maka ia cepat mengirim serangan dari samping untuk
menindas tenaga lawan. Setelah itu iapun menghindar untuk mengatur langkah
selanjutnya. Apa yang diperhitungkan memang tak salah. Ketika kedua pukulan saling beradu,
ternyata pukulan ketua Lembah Raja-setan itu mengandung tenaga dalam membal. Han
Ping rasakan pukulannya seperti membentur sebuah aliran yang memancur ke bawah.
Dalam kelunakan tenaga lawan itu mengandung tenaga-membal yang kuat.
Ting Ko tertawa dingin lalu menyusuli sebuah hantaman lagi dengan tangan kiri.
Setelah mengetahui jenis pukulan orang, Han Ping makin berhati-hati. Sambil tegak
berdiri iapun lontarkan sebuah hantaman, kali ini ia gunakan delapan bagian tenaga.
Dan kakinyapun melangkah pada bentuk segitiga Jelas dia berketetapan untuk
menyambut pukulan raja Lembah Setan itu.
Pada saat kedua pukulan tenaga dalam saling berbentur, anginpun berputar putar
menimbulkan hawa dingin. Bagaikan taburan pukul-besi menyusup tenaga dalam yang
melindungi tubuh Han Ping. Seketika pemuda itu rasakan tubuhnya mengigil kedinginan
dan pada lain saat tubuhnya berlumuran dengan bintik2 kecil sebesar mata ayam. Ia
terkejut dan cepat-cepat loncat menghindar ke samping.
Sepasang mata raja dari Lembah Setan itu berkilat-kilat tajam dan membentak keras,
"Cobalah engkau sambuti sebuah pukulanku lagi!" " secepat kilat tangan kanannya
mendorong ke muka.
Serangan Ting Ko kali ini jauh bedanya dengan yang tadi, Angin pukulannya jauh lebih
dahsyat. Han Ping tak gentar. la dorongkan kedua tangannya untuk menyongsong.
Sesosok bayangan berkelebat. Tubuh Ting Ko yang pendek secepat kilat melesat
bersama dengan datangnya pukulan.
Dua kali menerima pukulan raja dari Lembah Raja-setan itu, hati Han Ping tergetar. Di
luar kehendaknya, ia menyurut mundur tiga langkah.
Tetapi dari samping, terdengar Ting Ko tertawa dingin dan sebelah tangannya yang
besarpun segera mencengkeram bahu pemuda itu.
Gerak yang luar biasa cepatnya itu benar-benar membuat Han Ping kelabakan. Dalam
gugup, ia mengendap ke bawah dan rubuh menyentuh tanah, tiba-tiba ia berputar diri
terus bergeliatan dua meter ke samping.
"Dalam-mega-membalik-tubuh yang bagus!" dengus Ting Ko seraya menyerempaki
maju. Sebelum tubuh Han Ping dapat berdiri tegak, pukulan tangan kanan dari raja
Lembah Setan itu sudah melanda beberapa dim di sampingnya.
Tiada lain pilihan bagi Han Ping. Kalan tidak menerima pukulan tentu harus adu
kekerasan. Han Ping memilih jalan yang kedua. Cepat balikkan tangan kanan dan
menyambut pukulan ketua Lembah Raja-setan itu.
Tetapi Ting Ko seorang tokoh yang licin dan julig. Bermula ia tak "mengisi" pukulannya
itu dengan tenaga dalam, begitu beradu pukulan dengan tangan lawan, barulah ia
pancarkan tenaga-dalam Han- im-khi-kang. Maksudnya, ia hendak menghancurkan urat2
jantung pemuda itu.
Menerima tenaga-membal dari Ting Ko, Han Ping tersurut mundur sampai empat
langkah. Tubuhnya terhuyung-huyung dan langkahnya sempoyongan.
"Sinar kunang2 mengapa berani beradu dengan sinar rembulan" Nih, terimalah sebuah
pukulan lagi!" dengan Ting Ko seraya maju memburu dan menghantam dada lawan
dengan tangan kanan.
Saat itu Han ping rasakan dirinya seperti terbenam dalam genangan salju dingin.
Dinginnya sampai menggigit ke tulang-tulang. Dan pada saat itu pula ia melihat Ting Ko
menyerangnya lagi. Seketika bangunlah semangat pemuda itu. Dengan menggembor
keras, ia menangkis lagi. Kali ini ia gunakan tenaga penuh. Tetapi gerak pukulannya itu
sama sekali tak menerbitkan suara desir angin. Ia gunakan pukulan sakti Pancha cianghwat.
Pada saat untuk yang keempat kalinya mereka adu pukulan, ternyata tidak seperti yang
tadi, kali ini sama sekali tak rriengeluarkan suara apa-apa.
Tiba-tiba Ting Ko mendengus tertahan tubulanya yang pendek menyurut mundur
sampai dua meter. Tetapi kali ini bukan saja tak apa-apa bahkan Han Ping memburu maju
menyerang lagi dengan tangan kiri dan jari kanan.
Saat itu kecongkakan Ting Ko, seperti lenyap dihembus angin. Matanya membelalak
lebar2, wajahnva mengerut serius. Jelas ia tak berani memandang rendah pada pemuda
itu lagi. Pertempuran berlangsung makin dahsyat. Ke dua fihak sama-sama hendak merebut
kemenangan dengan serangan kilat. jurus2 yang digunakan, jarang sekali tampak di dunia
persilatan. Siangkwan Wan-ceng dan Hui Ko taysu terkesiap dan mencurahkan perhatian untuk
mengikuti. Tiba-tiba bibir Han Ping bergerak-gerak, Dan mengalunlah dendang lagu dari mulutnya.
Wajahnya yang mengikuti dendang itu berobah serius. Serangannya yang cepat pun tibatiba
berobah pelahan.
Siangkwan Wan-ceng amat gelisah, Pikirnya, "Eh, mengapa dalam menghadapi
pertempuran maut begitu genting, seharusnya ia dapat melancarkan serangan kilat untuk
merebut kemenangan tetapi tiba-tiba dia malah menyanyi"."
Ketika berpaling, nona itu melihat Hui Ko taysu membelalakkan mata dan pelahan-lahan
mengisar kaki. Tampaknya ia makin terbenam dalam perhatian.
Tiba-tiba Ting Ko bersuit nyaring dan secepat kilat lepaskan sebuah hantaman lalu
tergopoh-gopoh berputar tubuh dan lari. Han Ping tak mau mengejar. Ia memandang
dengan terlongong pada ketua lembah Raja setan itu. Dendang nyanyiannya pun terhenti.
Seorang baju putih yang berada di gerumbul rumput tak jauh dari tempat pertempuran
itu, pun segera angkat kaki mengikuti Ting Ko.
Memandang ke arah orang baju hitam bertopi putih yang mati menggeletak di tanah,
Han Ping menghela napas panjang. Kemudian ia memandang ke arah barat bisiknya, "Ah,
matahari segera akan silam ke balik gunung"."
Siangkwan Wan-ceng menghampiri, serunya, "Apakah engkau benar-benar takut mati?"
Han Ping tertawa hambar, "Mengingat bahwa di dunia ini masih banyak pekerjaan yang
harus kulakukan, memang saat itu tidak tepat waktunya kalau aku mati."
Tiba-tiba Hui Ko taysu menghampiri. Sambil menggeliat-geliatkan pedang Pemutus
Asmara yang berkilau-kilauan ditingkah sinar matahari senja kala, ujarnya, "Pedang ini
lebih baik untuk sementara waktu engkau yang menjaga!"
Han Ping gelengkan kepala tertawa, "Pedang itu berasal dari Siau-lim-si, sudah
selayaknya kalau kembali pada Siau-lim-si lagi. Lebih baik lo-siansu yang menyimpannya
saja!" Kata-kata Han Ping itu penuh mengandung nada keputus-asaan dari seorang yang
sudah hampir mati.
Tiba-tiba Siangkwan Wan-ceng ulurkan tangan dan tertawa, "Mana, serahkan
padakulah! Biar kuwakilinya untuk menjaga pedang itu!"
Tetapi Hui Ko taysu menarik pulang tangannya, "Apakah engkau tak merasa terlalu
tamak". Cepat ia membalikkan pedang dan disohorkan kepada Han Ping, serunya, "Huh,
kepandaianmu berharga untuk menggunakan pedang ini. sampai ketemu lagi." " habis
berkata ia terus berputar tubuh dan melangkah pergi,
Sambil memandang bayangan paderi itu, diam-diam Han Ping heran, "Aneh, dia begitu
bernafsu sekali untuk memburu pedang ini sampai ke seluruh penjuru dunia. Tetapi
mengapa setelah mendapatkan dia malah mengembalikan lagi kepadaku.
Tiba-tiba Siangkwan Wan-ceng ulurkan tangannya pula seraya tertawa, "Karena dia tak
mau, serahkan saja kepadaku!"
Sahut Han Ping dengan nada serius, "Pedang ini adalah pusaka Siau-lim-si, aku tak
dapat menyerahkan kepadamu. Tetapi aku dapat tak minta kembali kepadamu."
Kata-kata itu berarti bahwa karena sudah berjanji. Siangkwan Wan-ceng boleh
membunuhnya. Dengan begitu ia tentu tak dapat meminta kembali pedang itu dari tangan
si nona. Siangkwan Wan-ceng keliarkan mata memandang keempat penjuru. Setelah tak
melihat seorangpun, tiba-tiba nona itu tersipu-sipu malu dan tundukkan kepala, "Hm,
kepandaianmu jauh sekali majunya dengan dulu. Saat ini aku merasa tak dapat
menandingimu. Janji yang engkau berikan kepadaku itu, kuhapus saja!"
"Apapun yang nona putuskan, aku tentu menurut," kata Han Ping. Tiba-tiba ia teringat
sesuatu lalumengajak nona itu, "Maukah nona menuju kesana?"
"Baik, seharusnya aku menurut perintahmu," sahut Siangkwan Wan-ceng.
"Tunggu dulu!" seru Han Ping seraya lari ke gerumbul rumput dan setelah menulis
beberapa huruf, ia segera lari menuju ke arah timur.
Siangkwan Wan-cengpun mengikutinya. Tampaknya Han Ping lari tanpa tujuan
tertentu. Ketika tiba di kaki gunung, terdengar gemuruh air terjun dari atas gunung
mengalir ke bawah, lalu berhenti di sebuah kolam. Kolam itu dinaungi oleh pohon siang.
Tertarik akan ketenangan alam disitu, Han Ping berhenti lalu duduk pejamkan mata.
Melihat pemuda itu sama sekali tak mengacuhkan dirinya, marahlah Siangkwan Wanceng.
Ia palingkan muka tak mau memandang Han Ping.
Lama sekali keduanya diam. Akhirnya Siangkwan Wan-cenglah yang tak tahan,
tegurnya lebih dulu, "Mengapa engkau tak bicara?"
Tampak bibir Han Ping agak gemetar, sahutnya dingin, "Lebih baik engkau pergi, perlu
apa engkau tinggal di sini?"
Seumur hidup Siangkwan Wan-ceng belum pernah menerima hinaan semacam itu.
Serentak ia melonjak bangun dan berseru marah! "Engkau yang suruh aku kesini, hm,
siapa yang kepingin ikut padamu?"
Tiba-tiba Han Ping membuka mata. Melihat cakrawala sudah berwarna kuning emas,
pertanda datangnya magrib, ia menghela napas pelahan dari ber-kata-kata seorang diri,
"Paman Kim tentu segera kembali. Mudah-mudahan dia jangan sampai menyusul kemari."
Pemuda itu seperti kehilangan kesadaran pikirannya. Ia lupa bahwa Siangkwan Wanceng
berada disitu. Maka sama sekali nona itu tak dihiraukan.
Sikap Han Ping yang begitu tak acuh itu, benar-benar membuat Siangkwan Wan-ceng
makin penasaran sekali. Saking marahnya ia terus mencabut pedang dan ditusukkan ke
dada Han Ping. Tetapi rupanya Han Ping seperti tak merasa sama sekali. Walaupun ujung pedang si
nona sudah menembus bajunya, namun ia tetap duduk pejamkan mata. Sedikitpun tidak
bergerak. Siangkwan Wan-ceng cepat menarik pulang pedangnya. Karena tak dapat
menumpahkan amarahnya, airmatanyapun berderai-derai turun.
Bermula ia mengira bahwa Han Ping tentu akan bangun dan berkelahi. Atau pemuda itu
tentu akan memberi penjelasan untuk meminta kembali pedang pusaka Pemutus Asmara.
Sekurang-kurangnya pemuda itu tentu akan membuka mulut untuk membujuk atau
mendampratnya. Tetapi ternyata tidak. Han Ping tetap membisu dan tak menghiraukan
segala apa. Siangkwan Wan ceng benar-benar terkejut melihat gerak tingkah pemuda itu.
Sesungguhnya jika mau, Han Ping tentu dapat membunuhnya. Tetapi nyatanya pemuda
itu diam saja seperti patung. Saking jengkelnya, Siangkwan Wan-ceng menangis sendiri.
Pelahan-lahan Han Ping membuka mata dan tertawa hambar, "Apa yang engkau
tangiskan?"
Siangkwan Wan-ceng membanting pedang ke tanah lalu membesut airmatanya dengan
ujung baju dan melengking marah, "Aku senang menangis, apa pedulimu" Lekas ambil
pedang pusaka itu di tanah. Akan kuberimu kesempatan untuk menang. Kali ini kalau tiada
yang mati, tidak boleh berhenti."
Memandang pedang pusaka itu, Han Ping berkata, "Pada saat aku menderita lapar
sekali, engkau telah mengantar makanan. Topi untuk melindungi kepalaku dari panas dan
hujan itu tentulah engkau yang memberi"."
"Jangan mengungkat hal itu lagi!" tukas Siangkwan Wan-ceng.
Han Ping tersenyum, ia melanjutkan pula, "Tetapi aku sudah meluluskan untuk tak
meminta kembali pedang sebagai terima kasihku. Dengan begitu, budi dan dendam antara
kita pun sudah selesai"."
"Siapa sudi akan pedangmu itu!" lengking Siangkwan Wan-ceng lalu mencabut pedang
Pemutus Asmara terus dilontarkan. Pedang itu berkilat-kilat laksana sebuah meteor dan
hinggap masuk ke dalam sebuah batu karang hingga hanya tinggal tangkainya saja yang
masih kelihatan.
Rupanya nona itu masih belum puas. Ia mencabut pedangnya sendiri lalu mencongkel
pedang Pemutus Asmara di tanah terus dilontarkan ke arah Han Ping, "Sambutilah!"
Han Ping menyambuti pedang tetapi terus diletakkan di samping, serunya, "Janji
bertempur dengan pedang, nona katakan sendiri sudah hapus!"
Wajah Siangkwan Wan-ceng berobah-robah, pucat lalu gelap. Jelas nona itu sedang
menahan hawa kemarahan yang meluap-luap. Dengan mata berkilat-kilat ia memandang
Han Ping. serunya, "Aku tak mau membunuh seorang yang duduk mematung seperti
menunggu kematian. Jika engkau tak mau bertempur, pakailah pedang itu untuk bunuh
diri!" Agaknya saat itu Han Ping tersinggung oleh kata-kata si nona. Serentak ia berdiri dan
mencekal pedang.
Siangkwan Wan-ceng tertawa dingin, "Bagus, begitulah baru sikap seorang lelaki!"
Habis berkata ia terus gunakan jurus Naga berjalan-lurus, menyerang Han Ping.
Serangan itu merupakan hamburan dari kemarahannya. Maka hebatnya bukan alang
kepalang. Han Ping melangkah ke samping tiga tindak, lemparkan pedang ke tanah lalu
membusungkan dada ke muka dan tertawa ramah, "Aku sudah hampir mati, tiada
mempunyai selera untuk mencari kemenangan lagi."
Siangkwan Wan-ceng cepat menarik pulang pedangnya dan membentak, "Ngaco
belo"."
"Engkau tak percaya omonganku?" teriak Han Ping dengan wajah berobah, "memang
aku tak dapat memaksamu percaya. Tetapi aku paling benci bicara bohong!" " habis
berkata ia pejamkan mata lalu duduk bersila di tanah lagi.
Siangkwan Wan-ceng tertegun. Ia melangkah pelahan-lahan. Dilihatnya wajah Han-Ping
berselaput cahaya biru. Ah, pertanda itu terkena racun yang sudah mendalam. Seketika
nona itu seperti seorang yang terkena pukulan keras. Tring" pedangnya jatuh ke tanah
dan pelahan-lahan ia berlutut ke tanah, serunya, "Bagaimana hal itu dapat terjadi?"
Dengan wajah mengerut serius, Han Ping menjawab dingin, "Lekas pungutlah pedang
Pemutus Asmara itu! Dengan suka rela aku telah meminum pil darimu yang beracun itu.
Tetapi setitikpun aku tak membencimu"."
Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan lagi, "Saat ini aku sedang gunakan tenaga-dalam
melawan racun itu"." " wajahnya mengerut serius lalu sambil tersenyum Han Ping
melanjutkan, "Aku bukanlah pemuda seperti yang engkau bayangkan dalam hatimu. Aku
tak mau bertempur dengan engkau, adalah karena aku merasa berterima kasih sekali
kepadamu. Dalam saat2 aku menderita kelaparan, apabila tak engkau antari makanan,
sekalipun tak menelan pil beracun itu, tentu aku sudah mati. Ah, apabila saat itu aku mati,
tentu akan menyeret juga paman Kim-ku ke liang kubur"!"
Tiba-tiba Siangkwan Wan-ceng melengking, "Hai, pil yang kuberikan kepadamu itu
bukan pil beracun, mengapa engkau terkena racun" Ah, sungguh membuat aku gugup
setengah mati"."
Sekonyong-konyong Han Ping membuka mata. Dipandangnya Siangkwan Wan-ceng
dengan tajam. Tampak mata si nona yang berlinang airmata itu mengandung rasa kasih
yang cemas. Nona yang malang melintang di dunia persilatan daerah barat dan utara itu,
saat itu tiba-tiba berobah seperti seekor domba yang jinak.
Dan terdengarlah mulut nona itu berkata dengan nada setengah terisak setengah
menyesali nasibnya, "Sejak aku mengerti urusan dunia, tak ada orang yang berani
menghina diriku. Ayah bunda memanjakan aku dengan cinta kasih dan guruku
menyayangi aku dengan melimpahkan budi dan ilmu. Dalam lingkungan itulah aku hidup


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sampai berangkat dewasa"."
"Ah, engkau sungguh beruntung," tukas Han Ping dengan senyum rawan.
Sambil mengusap airmata dengan lengan baju, nona itu berkata pula, "Kuingat selama
ini aku belum pernah mengucurkan airmata". .."
"Kami kaum pria, apabila menghadapi peristiwa yang menyakitkan hati, di tempat yang
tak diketahui orang, juga sering menangis. Maka kalau anak perempuan menangis, itu
juga bukan suatu hal yang memalukan!"
Memang sebesar itu Han Ping tak pernah bergaul dengan para gadis, maka ia tak tahu
isi hati seorang gadis. Kata-kata yang sebenarnya dimaksud hendak menghibur pun
kedengarannya kaku dan menusuk perasaan.
Siangkwan Wan-ceng tertegun. Ia menghela napas, "Ah, sejak turun gunung dan
malang melintang di daerah barat dan timur, selama ini aku belum pernah bertemu
dengan musuh yang setanding. Tetapi ketika di terowongan rahasia milik Ih Thian-heng
tempo hari, aku telah bertempur dan sama-sama menderita kekalahan. Sejak hari itu, aku
benci sekali kepadamu. Entah berapa kali aku bersumpah dalam hati untuk
membunuhmu?"
"Ah, pikiran anak perempuan benar-benar sempit," selutuk Han Ping, "Kita Berdua
sudah sama-sama menderita luka, masakan engkau masih mendendam kepadaku?"
"Maka ketika bertemu dengan engkau," kata Siangkwan Wan-ceng tanpa menghiraukan
gangguan Han Ping, "aku memang benar sudah mengambil putusan untuk
membunuhmu"."
Han Ping tertawa hambar, "Seharusnya sekarang engkau gembira karena aku tetap
akan mati di tanganmu. Tetapi bagiku, dalam saat2 kematian ini, aku tetap tak
membencimu. Untuk membunuh jiwa seseorang, tidaklah sukar. Tetapi untuk
melenyapkan hati seseorang yang tidak membencimu, bukanlah mudah!"
"Tetapi aku, aku". sudah tak bermaksud hendak membunuhmu lagi. Entah" entah aku
tiba-tiba mengetahui bahwa hatiku sebenarnya tak sungguh2 membencimu."
"Tetapi diam-diam engkau sudah bersumpah berulang kali hendak membunuh aku,
apakah itu bukan karena engkau sungguh2 membenciku?"
Siangkwan Wan-ceng tertawa hambar, "Akupun tak mengerti. Pokoknya, hal itu
memang tak sesungguhnya. Pil beracun yang kuberikan kepadamu itu, sebenarnya adalah
pil manjur pengobat luka, buatan ayahku sendiri. Bukan saja takkan mematikan engkau,
bahkan kebalikannya akan menambah daya tenaga pada dirimu. Tetapi mengapa engkau
terkena racun sesungguhnya"."
Nona itu mengicupkan sepasang matanya yang bundar. Dua butir airmata menitik turun
laksana mutiara terlepas dari ikatannya. Kemudian berkata pula, "Memang benar-benar
engkau terkena racun. Wajahmu memantulkan warna yang menyatakan bahwa racun itu
sudah menyusup ke dalam isi dadamu. Engkau benar-benar tak dapat hidup." " mata
nona itu memancarkan sinar beriba-iba penuh harap.
Han Ping tersenyum, serunya, "Ya, memang benar, aku tak dapat hidup lama di dunia
ini." " ia menengadah memandang ke langit, katanya, "Hari sudah hampir malam
seharusnya engkau tinggalkan tempat ini!"
Siangkwan Wan-ceng mengharap dalam jawaban Han Ping akan menemukan seutas
harapan tetapi ternyata jawaban pemuda itu amat mengecewakan. Pemuda itu seperti
sudah merelakan jiwanya. sehingga membuat orang putus asa.
Siangkwan Wan-ceng juga seorang gadis yang punya keangkuhan. Tetapi entah
bagaimana, saat itu ia bersikap lunak dan lembut, katanya dengan suara pelahan, "Apakah
engkau benar-benar suruh aku pergi?"
"Aku segera mati, kalau engkau tinggal di sini, apakah engkau bersedia untuk
mengurus mayatku?"tanya Han Ping.
Siangkwan Wan-ceng tertawa, "Baiklah, tak peduli bagaimana engkau hendak
mengejek aku, aku tetap akan menurut padamu"." " ia terus berbangkit pelahan-lahan
lalu ayunkan langkah.
Sambil memandang bayangan nona itu, Han Ping berkata seorang diri, "Ah, hati wanita
memang paling sukar dimengerti. Dia memaksa aku minum pil beracun, di saat aku
menghadapi kematian dia berbalik begini baik sekali kepadaku"."
Tak berapa lama, Siangkwan Wan-ceng muncul kembali dengan membawa seikat
ranting2 kering. Terpisah dari Han Ping dua tiga meter jauhnya, ia membuat api unggun.
Karena api itu maka sekeliling tempat di situ menjadi terang.
Kemudian nona itu menghampiri ke sisi Han Ping lalu duduk di bahu kiri pemuda itu
seraya tertawa, "Bagaimana engkau rasakan sekarang" Kalau saat ini kubunuhmu, engkau
tentu tiada mempunyai daya perlawanan?"
Han Ping tersenyum, "Sekali pun tenaga perlawanan itu masih ada, tetapi akupun
sudah tak ingin melawan lagi."
Tiba-tiba Siangkwan Wan-ceng menghela napas rawan, "Seorang yang sudah tak
memiliki gairah hidup, sekalipun tersedia pil mujijat yang dapat merebut jiwanya dari
cengkeraman maut pun sia2. Meskipun racun itu sudah mendalam di tubuhmu engkau
belum tiba pada tingkat yang tak dapat ditolong. Asal hatimu bangkit berjuang
mempertahankan hidup, pengobatannya tentu tak sukar."
Han Ping hanya tersenyum hambar, "Benar, aku memang merasa kalau racun itu sudah
menyusup dalam2. Tetapi kalau mengatakan bahwa malam ini nyawaku tentu amblas, ah,
itu belum tentu."
"Lalu mengapa engkau mengatakan tentu akan mati?" tanya si nona.
"Jika engkau suka sedikit cepat tinggalkan tempat ini, mungkin aku tak mati."
Mendengar jawaban itu seketika wajah Siangwan Wan-ceng berobah. Plak". ia
ayunkan tangannya menampar muka Han Ping. Pipi anakmuda itu seketika membekas
lima buah jari.
Siangkwan sudah berusaha sekerasnya untuk bersikap lembut dan menindas
perangainya. Tetapi serta mendengar ucapan Han Ping yang menyakitkan hati itu, ia tak
dapat menahan luapan amarahnya.
Han Ping membuka mata memandang sejenak kepada gadis itu lalu tertawa tawar,
"Pukulan yang bagus!"
Tiba-tiba Siangkwan Wan-ceng melengking terus rubuhkan kepala ke dada Han Ping
dan menangis terisak-isak seraya berbisik, "Aku sebenarnya tak bermaksud memukulmu
tetapi aku tak dapat menahan luapan hatiku."
"Engkau memukul bagus sekali. Waktunya amat tepat. Dalam keadaan seperti sekarang
in seharusnya engkau memukul lagi beberapa kali kepadaku. Aku takkan membalasmu,"
kata Han Ping. "Jika engkau mau memukul aku, tentu aku tak sampai begini marah," kata si nona.
Han Ping tertawa, "Pada saat hendak mati kata-kata orang itu tentu baik. Hatiku saat
ini tenang sekali."
Siangkwan Wan-ceng menghela napas pelahan, pikirnya, "Ah, mengapa dia begitu
pasrah dan sama sekali tak punya gairah hidup lagi" Tentu sukar pertolongannya."
Satu perasaan duka merayap di hati nona itu, ia melolos baju luarnya yang hitam lalu
dikerudungkan ke badan Han Ping seraya berkata, "Matilah dengan tenang! Aku akan
menunggu di sampingmu. Aku dapat mengangkut jenazahmu ke gunung marga
Siangkwan di Kanglam. Memilih sebuah tempat yang tenang dan indah alamnya, lalu
menguburmu di situ". . "
Han Ping gelengkan kepala, "Jangan, pada saat ini aku merasa racun sudah bekerja,
aku segera akan loncat terjun ke dalam lembah karang agar tubuhku hancur lebur dan
menjadi makanan binatang buas."
Jawab Siangkwan Wan-ceng, "Aku sungguh2 tak memberi pil beracun. Tetapi engkau
benar-benar terkena racun. Sebelum mati, seharusnya engkau menyelidiki siapakah yang
mencelakai dirimu itu. Apakah paderi tua itu atau si raja lembah Setan Ting Ko."
Tiba-tiba Han Ping tersadar. Ia ingat pada saat menghantam mati kedua pengawal Ting
Ko, lengannya telah tergurat oleh kuku jari salah seorang pengawal. Cepat ia
menundukkan kepala memeriksa. Dilihatnya luka pada lengannya itu hanya tinggal bekas
berwarna putih.
"Jika orang berbaju hitam itu yang menyusupkan racun ke tubuhku, luka pada lenganku
ini tentu akan membusuk. Dan tak mungkin racun akan bekerja sedemikian cepatnya Ah,
tak mungkin dia ?"" pikir Han Ping.
"Siapa itu?" tiba-tiba Siangkwan Wan-ceng melengking marah.
Han Pingpun cepat berpaling. Tampak di belakang api unggun itu sesosok tubuh yang
tinggi besar. Tetapi tak jelas wajahnya.
Sekonyong-konyong dari lain arah terdengar suara seseorang tertawa dingin,
"Jangankan engkau ternyata hanya bersembunyi di bawah karang gunung sini, Sekalipun
engkau bersembunyi di ujung dunia, aku tentu dapat mencarimu!"
Nada suara itu melengking tinggi, jelas dari seorang wanitu.
Han Ping merasa kenal dengan nada suara itu. Tetapi ia lupa2 ingat. Dengan dingin ia
berpaling memandangnya. Tampak sosok2 bayangan berkelebat di bawah sinar bulan.
Dengan tertawa hambar, kembali ia pejamkan mata.
Siangkwan Wan-ceng keliarkan mata. Tiba-tiba ia menggeliat bangun dan secepat kilat
terus lari ke samping batu besar. Mencabut pedang Pemutas Asmara lalu cepat-cepat
loncat pula ke samping Han Ping. Sambil menjungkirkan ujung pedang ia berkata kepada
Han Ping, "Lekas terima pedang ini!"
Bibir pemuda itu bergerak, menyambuti pedang lalu ditaruh lagi di mukanya.
Siangkwan Wan-cengpun mencabut sepasang pedang di tanah lalu berteriak dingin,
"Hai, siapakah engkau" Lekas beritahukan namamu kalau tidak, jangan salahkan aku
berlaku ganas!"
Dari arah barat terdengar suara orang tertawa nyaring. "Ho, besar sekali mulutmu,
budak perempuan!"
Han Ping berbisik, "Sebelum mereka mendekat, harap nona lekas pergi. Kita sudah
terkepung!"
Siangkwan Wan-ceng tertawa melengking, sahutnya dengan lembut, "Tak apa, apakah
engkau sungguh tak dapat bertempur!"
Han Ping belalakkan kedua mata tetapi secepat itu pula ia mengatupkan lagi, katanya,
"Mungkin aku sudah tak dapat berbuat apa-apa, lekaslah engkau pergi!"
Sambil membereskan rambutnya yang terurai tens angin malam, ia tertawa, "Kalau
begitu, aku makin tak boleh tinggalkan engkau!"
"Kenapa?" kata Han Ping heran.
"Aku akan berada di sini melindungi engkau!"
Tiba-tiba dari arah utara terdengar suara orang menghela napas, "Ah, mungkin engkau
juga tak dapat melindungi dirimu sendiri!"
Nada suaranya bening seperti lonceng pagi. Han Ping cepat membuka mata dan
mengetahui siapa yang datang itu.
Dari belakang api unggun sesosok tubuh tinggi besar pelahan-lahan melangkah maju
dan tak berapa lamapun sudah tiba di muka api unggun.
Dari pancaran api unggun dapatlah diketahui perwujudan orang itu. Mukanya persegi,
telinga besar, rambut janggutnya menjulai sampai ke dada. Ah, dia tak lain adalah Ong
Kwan-tiong, kepala desa Bik-lo-san-cung, toa suheng dari dara si baju ungu Lam-hay-bun.
Sikapnya serius sekali. Sepasang alisnya mengerut sinar kedukaan. Tetapi gerak geriknya
amat tenang. Dengan langkah yang sarat ia menghampiri api unggun.
Setelah terpisah dua meter, Siangkwan Wan-ceng tiba-tiba memungut pedangnya dan
membentak dingin, "Berhenti maju selangkah lagi, aka terpaksa akan gerakkan
pedangku!"
Dengan pandangan dingin, Ong Kwan-tiong memandang ke arah nona itu dan berteriak
sarat, "Ji Han Ping, bukalah matamu!"
Pelahan-lahan Han Ping membuka mata dan menatap wajah Ong Kwan-tiong lalu
bertanya dengan khidmat, "Ada urusan apa?"
Ong Kwan-tiong tertawa dingin, "Di dunia ada berapa orang Ji Han Ping?"
Menyahut Han Ping dengan tertawa hambar, "Menurut sepengetahuanku. hanya ada
seorang?" "Tetapi aku pernah melihat ada dua"." kata Ong Kwan-tiong, ia berhenti sejenak lalu
lanjutkan, "Sayang Ji Han Ping yang satunya sudah mati!"
Mendengar itu Siangkwan Wan-ceng tertegun. Ia berpaling memandang Han Ping
dengan mataberkicup-kicup. Seolah-olah hendak menembus isi hati Han Ping.
Pembicaraan itu benar-benar menimbulkan perhatian besar pada Siangkwan Wan-ceng.
Han Ping tersenyum, "Jika dalam dunia ini terdapat dua orang Ji Han Ping, mungkin
seorang yang masih hidup itu pun tak lama tentu akan mati juga!"
"Bagus! Bagus!" seru Ong Kwan-tiong, "seorang yang dapat mengetahui hari
kematiannya, adalah orang yang paling pandai!"
Siangkwan Wan-ceng memandang Han Ping dengan seksama. Tetapi ia dapatkan Han
Ping yang di hadapannya saat itu, tetap sama dengan Han Ping yang dilihatnya pertama
kali dulu, pernah membenci pemuda itu dalam hati. Maka membuat kesan yang mendalam
sekali akan tampang mukanya. Dan Han Ping yang dilihatnya saat itu, memang sama
dengan Han Ping yang berada dalam kenangannya.
Sambil menggerakkan pedang, ia menuding Ong Kwan-tiong dan membentaknya
dingin, "Engkau itu orang gila! Jangan ngaco belo!"
Tiba-tiba dari belakang terdengar Han Ping berkata, "Dia tak mempunyai hubungan
apa-apa dengan engkau. Lebih baik jangan cari perkara dengannya!"
Siangkwan Wan-ceng berpaling. Di belakang ada jarak setombak jauhnya, tampak
berdiri seorang wanita tua berambut putih, tangannya mencekal sebatang tongkat bambu.
Wajahnya menampil kerut hawa pembunuhan. Matanya menatap lekat kepada dirinya.
Siangkwan Wan-ceng bercekat dalam hati. Pada lain saat meluaplah amarahnya ia bolangbalingkan
pedang seraya berteriak marah, "Engkau melihat apa?"
Belum nenek berambut putih itu menjawab, tiba-tiba dari belakang melesat keluar
seorang wanita berkerudung kain sutera hitam seraya menyelutuk, "Melihat sampai
dimana kecerdasanmu sebagai manusia"."
Siangkwan Wan-ceng makin marah, "Kalau sudah mengetahui lalu mau apa?"
Sekali ayunkan tangan, nona itu segera taburkan dua buah benda berkilat-kilat .. . .
Jilid 29. Hutang kepala. Han Ping terkejut. Ia tahu kepandaian melontarkan senjata rahasia dari Siangkwan
Wan-ceng itu lihai sekali. Tanpa disadari, ia menguatirkan keselamatan si dara baju ungu.
"Nona Siangkwan, jangan"." serunya berbisik.
Nenek Bwe putar tongkatnya menjadi sebuah lingkaran sinar. Tring, tring, tring,
terdengar suara berdering-dering dan beberapa benda berkilat itupun berhamburan
terpukul jatuh.
Bukan main kejutnya hati Siangkwan Wan-ceng. Ia tak menyangka bahwa nenek
berambut putih itu memiliki kepandaian yang begitu sakti.
Han Ping memandang ke sekeliling. Tampak si Bungkuk, si Kate dan seorang lelaki baju
merah yang memakai tongkat besi untuk penyanggah tubuhnya, berpencaran
mengepungnya. Ia pun serempak berbangkit dan berseru nyaring, "Apakah maksud kalian membentuk
diri dalam barisan ini?"
Sahut Ong Kwan-tiong, "Akan meminta sebuah benda kepadamu!"
"Benda apakah yang engkau kehendaki dari diriku?" tanya Han Ping.
"Batang kepala yang berada di lehermu itu!" jawab Ong Kwan-tiong.
Han Ping tertawa tawar, "Asal kalian mau bersabar menunggu sampai besok malam,
hal itu tentu tak sukar!"
Ucapan itu benar-benar membuat Ong Kwan-tiong tertegun kaget, serunya, "Apa?"
"Asal kalian mau bersabar sampai nanti terang tanah, tidak sukar untuk mengambil
batang kepalaku ini"." Han Ping memandang ke langit dan berkata pula, "sekarang sudah
hampir tengah malam, rasanya tak terlalu lama dari terang tanah."
Suasana hening seketika. Orang-orang yang mendesak ke tempat Han Ping pun
serempak berhenti. Rupanya mereka terkejut mendengar kata-kata anak muda itu.
Gerumbul pohon siong yang tertiup angin, mengeluarkan bunyi berdesir-desir. Makin
menambah keseraman suasana.
Siangkwan Wan-ceng turunkan pedangnya yang melempang ke muka dada lalu pelahan2
menghampiri ke samping Han Ping, tegurnya, "Apakah engkau ingin sekali mati?"
"Kalau tidak mati tentu berabe! Habis mereka menghendaki batang kepalaku, apa
daya?" jawab Han Ping.
"Tanganmu?"
Sambil mengangkat kedua tangannya, Han Ping menjawab, "Tumbuh di atas kedua
lenganku ini!"
"Apa gunanya" Kalau orang hendak membunuhmu, apakah engkau tak dapat
melawan?" seru si nona.
Han Ping menghela napas pelahan, "Sekalipun dapat kubunuh mereka beberapa orang,
tetapi racun dalam tubuhku tentu bakal bekerja dan aku tetap mati."
Siangkwan Wan-ceng terkesiap, "Lalu engkau rela dibunuh orang?"
Han Ping tertawa hambar lalu lambaikan tangan ke arah Ong Kwan-tiong, "Jika kalian
menginginkan aku menyerah, lebih dulu berilah jalan untuk nona ini."
Ong Kwan-tiong berpaling kepada si dara baju ungu. Rupanya dia tak dapat mengambil
keputusan sendiri.
Tiba-tiba Siangkwan Wan-ceng bolang balingkan pedang dan berseru, "Tak perlu diberi
jalan, aku dapat menerobos keluar sendiri"
"Walaupun kepandaianmu tambah setingkat lebih tinggi lagi, tetap bukan tandingan
mereka!" kata Han Ping.
"Walaupun bukan tandingannya tetapi aku tak sudi menyerah mentah2. Melawan
sampai titik darah yang penghabisan masih perwira daripada menyerah mentah2!"
Han Ping tertawa, "Yang hendak dibunuh adalah aku. Mengapa engkau bingung
sendiri?" Siangkwan Wan-ceng terkesiap, serunya marah, "Apakah hanya lain orang yang dapat
membunuh engkau dan aku tak dapat membunuhmu?"
"Nona salah faham," kata Han Ping, "maksudku hanya mengatakan bahwa dalam
persoalan ini, sama sekali tiada hubungannya dengan dirimu. Sebaiknya janganlah engkau
terseret dalam urusan itu."
Dengan masih mengkal Siangkwan Wan-ceng berkata, "Aku senang berbuat apa, ya
bertindak apa! Hm, sedang ayahku saja tak mempedulikan diriku, apakah dirimu ini" Mau
mengurus aku?"


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Han Ping terkesiap. Dengan wajah ber-sungguh2 ia berkata, "Sekalipun kepandaianmu
cukup tinggi, tetapi jika engkau seorang diri hendak mengalahkan mereka, jelas tak
mungkin"."
Sekonyong-konyong si dara baju ungu berseru nyaring, "Karena nona Siangkwan itu
ingin menemaninya dalam kubur. lekaslah kalian turun tangan!"
Ong Kwan-tiong menyingkap jubahnya dan mengeluarkan sebuah senjata Thiat-ci atau
Garisan-besi. "Sejak tinggalkan Lam hay dan menetap di Tiong-goan, belum pernah aku bertempur
dengan menggunakan senjata. Oleh karena pertempuran malam ini harus mempunyai
penyelesaian mati atau hidup, maka tak perlu bertempur dengan pukulan atau tinju, agar
lekas selesai!"
Bahu Han Ping agak tergetar, serunya, "Kini sudah hampir menjelang tengah malam.
Waktu satu malam itu, apakah kerugiannya untuk kalian" Apakah kalian benar-benar tak
dapat bersabar untuk beberapa jam lagi?"
Ong Kwan-tiong tertawa dingin, "Dewasa ini memang banyak sekali tokoh2 sakti dalam
dunia persilatan. Tetapi aku peribadi tetap mengindahkan engkau sebagai seorang
pemuda jantan, gagah dan perwira. Oleh karena itu maka aku baru mau menggunakan
senjata"."
Sepasang mata Han Ping membelalak dan serunya marah, "Sudah tahu bahwa aku
tentu akan menetapi setiap patah kata-kataku, mengapa kalian begitu mati-matian
mendesak kemarahanku" Mungkin kalian takkan menerima keuntungan apa-apa!"
Siangkwan Wan-ceng tertawa melengking dan berpaling ke arah Han Ping, serunya,
"Ucapan itubaru berjiwa seorang ksatrya!"
Si Baju Merah bertongkat besi, membentak murka, "Kalau mau menyerah, sekarang
juga engkau bunuh diri, perlu apa harus tunggu sampai terang tanah" Tetapi kalau tak
mau bertindak sekarang, terpaksa kami akan turun tangan!"
Jawab Han Ping dengan gagah, "Jika kalian ingin coba menggunakan kekerasan,
akupun tak dapat berbuat apa-apa. Tetapi senjata itu tiada bermata. Apabila bertempur
tentu tak dapat terhindar dari luka atau terbunuh!"
Si Baju Merah yang berkaki satu dan diganti dengan tongkat besi itu, walaupun cacat
tetapi wataknya berangasan sekali. Ia cepat membentak keras, "Lihat saja nanti siapa
yang akan mati!" " Habis berkata ia terus gentakkan tongkat besi dan melambung ke
udara melayang ke arah Han Ping.
Siangkwan Wan-ceng cepat putar pedang untuk menyongsongnya. Tring, tring, tring".
terdengar dering gemerincing dari senjata beradu. Si Baju Merah terlempar turun dari
udara. Tetapi Siangkwan Wan-cengpun menyurut mundur selangkah.
Si Baju Merah berkaki buntung itu terkesiap. Setitikpun ia tak menyangka bahwa
seorang nona yang tampaknya lemah gemulai dan cantik, ternyata memiliki tenaga yang
sedemikian kuat dan mampu menahan terjangannya.
Juga Ong Kwan-tiong terbeliak kaget atas peristiwa itu. Cepat ia berseru nyaring, "Nona
ternyata memiliki tenaga dalam yang hebat sekali. Maka tak heran kalau nona agak
congkak!" Ia menutup kata-kata-nya dengan memutar thiat-ci dan melangkah maju.
Siangkwan Wan-ceng menggunakan sepasang pedang. Ia putar pedang di tangan kiri
untuk menghalau serangan Ong Kwan-tiong..
Tetapi ketika pedang bersentuhan dengan senjata thiat-ci, lingkaran sinar pedang
Siangkwan Wan-ceng pun segera bergabung dan membentur senjata lawan.
Nona itu terkesiap kaget ketika rasakan pedangnya seperti tersedot dan melekat pada
thiat-ci lawan. Cepat nona itu sabetkan pedang tangan kanannya ke tangan Ong Kwantiong.
Dengan menggembor keras, Ong Kwan-tiong lemparkan pedang si nona yang disedot
itu lalu ia menangkis tabasan pedang di tangan kanan Siangkwan Wan ceng. Dengan
gerak Menyiak-bunga-menghembus-pohon liu, ia menutuk dada nona itu.
Siangkwan Wan ceng menyurut mundur tiga langkah lalu mainkan pula sepasang
pedangnya untuk menyerang. Cepat dan ganas sekali serta penuh dengan perobahan
yang sukar diduga sehingga Ong Kwan-tiong kehilangan kesempatan untuk balas
menyerang. Empat lima jurus kemudian, tiba-tiba Siangkwan Wan-ceng rasakan ada sesuatu yang
tak wajar. Ia merasa senjata thiat-ci yang hitam mengkilap itu seperti mengandung
tenaga-penyedot yang keras. Gerak pedangnya seperti menderita hambatan sehingga tak
leluasa untuk mengembangkan perbawanya. Setiap gerakannya tentu selain kalah dulu
dan ditindas lawan.
Han Ping yang mengikuti pertempuran itu dari samping, ia pun merasa bahwa senjata
murid pertama dari perguruan Lam-hay-bun itu memang mempunyai kegunaan istimewa.
Dan jelas bahwa gerakan pedang Siangkwan Wan-ceng itu telah menderita rintangan
keras. Sepuluh jurus kemudian, Siangkwan Wan-ceng makin terdesak dan sibuk sekali. Apabila
berlangsung 10 jurus lagi, nona itu pasti akan terluka oleh senjata lawan.
Han Ping kerutkan alis lalu ulurkan tangan memungut pedang Pemutus Asmara di
tanah, ia memandang pertempuran itu dengan pandangan terlongong dan tak tahu
bagaimana harus bertindak.
Untung dalam situasi yang genting, Siangkwan Wan-ceng dapat mengeluarkan dua
buah jurus ilmu pedang yang aneh sehingga dapat memaksa Ong Kwan-tiong mundur
selangkah. Nona itu cepat loncat ke luar dari gelanggang dan berseru, "Curang! Senjatamu
itu bukan senjata yang umum. Pertempuran ini tidak adil!"
Sambil memandang ke arah thiat-ci, berkatalah Ong Kwan-tiong, "Pertempuran malam
ini memang bukan pertempuran untuk merebut nama. Orang boleh menggunakan senjata
apa saja untuk mencapai kemenangan. Memang senjataku thiat-ci itu tidak sama dengan
senjata yang umum dipakai orang persilatan. Tetapi sama sekali bukan macam senjata
kaum Hitam. Jika engkau takut, lebih baik engkau menyerah saja"."
Sejenak melirik ke arah pedang Pemutus Asmara di tangan Han Ping, serunya pula,
"Pedang yang berada di tangannya itu, dapat membelah emas memotong kumala. Juga
bukan senjata biasa. Apakah juga tak boleh digunakan dalam pertempuran ini?"
"Pedang pusaka adalah senjata kaum Putih!" teriak Siangkwan Wan-ceng marah,
"tetapi senjatamu itu golok bukan golok, pedangpun bukan pedang. Dan mengandung
tenaga untuk menyedot senjata lawan. Bentuk dan khasiatnya yang aneh itu, jelas bukan
termasuk senjata yang wajar!"
Si kaki buntung baju merah segera gentakkan tongkat besinya dan berseru marah,
"Toa-suheng, tak perlu meladeni budak perempuan semacam dia. Waktunya sudah
mendesak!"
Mendengar itu Siangkwan Wan-ceng cepat merogoh baju dan menggenggam
serangkum jarum emas, serunya, "Karena engkau tetap menggunakan senjata setan,
terpaksa akupun akan memakai senjata rahasia!"
"Pertempuran mati hidup, tidak terpancang pada peraturan pertandingan. Silahkan
nona mengeluarkan kepandaianmu semua!" sahut Ong Kwan-tiong.
"Bagus," lengking Siangkwan Wan-ceng, "jika terluka karena senjata rahasiaku, jangan
sesalkan aku berlaku kejam!" " Ia menutup kata-katanya dengan ayunkan tangan.
Ong Kwan-tiong menggembor keras seraya putar thiat-ci. Taburan berpuluh batang
jarum emas dari sinona itu dapat disapu bersih dan disedot oleh thiat-ci.
Diam-diam Siangkwan Wan-ceng mengeluh dalam hati, "Ih, dari bahan apakah
senjatanya itu dibuat" Menilik gelagatnya, ilmu kepandaianku melontarkan senjata rahasia,
tanpa guna"."
Bermula ia mempunyai rencana untuk menaburkan jarum emas secara cepat dan pada
jarak yang amat dekat. Di luar dugaan, senjata thiat-ci dari Ong Kwan-tiong itu justeru
khusus untuk melenyapkan senjata rahasia. Kali ini Siangkwan Wan-ceng benar-benar
ketemu batunya!
Ong Kwan-tiong tertawa nyaring, "Budak perempuan, engkau masih mempungai
senjata rahasia apalagi, hayo, keluarkanlah! Dalam hal ini akan kusuruh engkau tunduk
betu12!" Siangkwan Wan-ceng gelisah dan marah. Dengan melengking nyaring ia menyerbu lagi.
Melihat kenekatan sinona, Ong Kwan-tiong tertawa dingin. Thiat-ci atau senjata yang
bentuknya menyerupai penggaris besi dan berwarna hitam mengkilap, segera diputar
dalam ilmu istimewa perguruan Lam-hay bun, Setelah dapat menutup amukan pedang,
thiat-ci secepat kilat balas menyerang sampai lima jurus.
Lima jurus itu cepat dan ganas sekali. Si nona terdesak sampai sibuk tak keruan.
Sesungguhnya dalam soal ilmu silat dan ilmu pedang, Siangkwan Wan-ceng dapat
mengimbangi kepandaian Ong Kwan-tiong. Tetapi karena tokoh Lam-hay-bun itu memiliki
senjata aneh yang dapat menyedot senjata lawan, pedang Siangkwan Wan-ceng tak dapat
bergerak lancar sehingga dapat dikuasai lawan.
Dara itu tetap keras kepala. Namun setelah lima jurus kemudian, keadaannya makin
payah. Melihat keadaan itu, Han Ping tak mau berpeluk tangan lagi. Dengan mengempos
semangat, ia berseru nyaring, "Berhenti!"
Tetapi bukan saja tidak berhenti, Ong Kwan-tiong malah memperhebat gerak thiat- ci.
Setelah dapat menyedot pedang di tangan si nona, ia terus menabas siku lengan nona itu.
Karena pedang di tangan kanan tertekan, Siangkwan Wan-ceng tak dapat berbuat apaapa
lagi. Ia terpaksa lepaskan pedang di tangan kiri lalu cepat-cepat menghindar mundur.
Ong Kwan-tiong maju selangkah. Dengan gaya seperti sebatang pit (pena), ia tusukkan
thiat-ci ke dada si nona.
"Kusuruh berhenti mengapa kalian tak mendengar!" teriak Han Ping seraya lepaskan
sebuah hantaman. Angin menderu-deru melanda ke arah Ong Kwan-tiong.
Saat itu senjata Ong Kwan-tiong masih tetap mengejar Siangkwan Wan-ceng. Ia
gerakkan tangan kiri untuk mendorong, menangkis hantaman Han Ping.
Saat itu tenaga-dalam Han Ping bukan olah hebatnya. Karena perhatiannya terbagi
kepada Siangkwan Wan ceng dan Han Ping maka Ong Kwau-tiong menderita kerugian
besar. Begitu kedua pukulan mereka saling beradu, timbullah angin menderu kencang.
Kedua bahu Han Ping tampak tergetar tetapi Ong Kwan tiong tersurut mundur dua
langkah. Menggunakan keluangan itu, Siangkwan Wan-ceng menggeliat menghindari thiat-ci,
lalu menyambar pedangnya yang jatuh di tanah seraya melesat ke samping.
Si Kaki-buntung baju merah berkaok-kaok seperti orang kebakaran jenggot. Sekali
tekankan tongkatnya ke tanah, tubuhnya melambung ke udara. Tongkat berputar
menderu-deru menghantam kepala Han Ping.
Anak muda itu menghindar ke sebelah kiri seraya sabetkan pedang Pemutus Asmara.
Gerak menghindar dan menabas itu hampir dilakukan pada waktu yang serempak. Kakibuntung
terkejut ketika hantaman tongkatnya mengenai angin kosong dan dirinya ditabas
pedang. Cepat ia bergeliatan di udara dan melayang ke tanah beberapa langkah jauhnya.
Tetapi ketika ia memeriksa dirinya, kejutnya bukan alang kepalang. Separoh jubahnya
bagian bawah telah terpapas hilang oleh pedang Han Ping. Karena main, marahlah si Kakibuntung
Cepat ia enjot tuhuhnya menyerbu Han Ping lagi. Pada saat melayang di udara, ia
bolang-balingkan tongkatnya laksana hujan mencurah. Melihat hebatnya gerak tongkat si
Buntung, Han Ping mundur dua langkah. Tongkat itu menimbulkan angin yang menderuderu
dan hamburan tenaga-dalam yang melanda ke dada.
Tiba-tiba Han Ping terkejut dan ayunkan tangan kiri untuk menangkis sebuah pukulan.
Sejenak berpaling, baru ia mengetahui bahwa yang menyerang itu si Au Bungkuk.
Si Kate Oh It-sun mengeluarkan sebatang pit-besi lalu loncat menerjang Siangkwan
Wan-ceng. Senjatanya yang asli sebenarnya pit-emas. Tetapi pit-emas itu telah dibabat
kutung oleh pedang pusaka Han Ping. Maka ia berganti memakai pit besi.
Serempak dengan itu Ong Kwan-tiongpun menyerang dari samping. Dengan begitu
Siangkwan Wan-ceng diserang dari kanan kiri.
Han Ping gerakkan pedangnya dalam jurus yang istimewa Burung-merak-rentang
sayap. Setelah dapat mengundurkan si Kaki-buntung, cepat berseru kepada Siangkwan
Wan-ceng, "Harap nona bertempur bahu membahu dengan aku!"
Rupanya Siangkwan Wan-ceng memang sudah gentar menghadapi senjata thiat-ci dari
Ong Kwan-tiong. Mendengar ajakan Han Ping itu cepat ia mengisar kaki menghampiri. Kini
dapatlah Han Ping berkelahi dengan leluasa.
Pedang segera diganti jurus, berhamburan memancarkan gulungan sinar yang
menyambut gerakan serangan senjata thiat-ci Ong Kwan tiong. Dengan begitu dapatlah
Siangkwan Wan-ceng melayani serangan si Bungkuk dan si Kate.
Memang tenaga-sedot dari senjata thiat-ci menghambat gerakan pedang Han Ping.
Tapi untunglah tenaga dalam anak muda itu amat kuat dan pedang Pemutus Asmara itu
sebuah senjata mestika sehingga dapat mengatasi rintangan dari tenaga penyedot senjata
lawan. Pertempuran saat itu merupakan sebuah pertempuran yang jarang terjadi dalam dunia
persilatan. Orang-orang yang bertempur, termasuk tokoh2 kelas satu dalam dunia
persilatan. Pukulan dan senjata berhamburan, ditingkah dengan deru angin tongkat yang
dahsyat. Serang menyerang, hindar menghindar, tipu menipu, berlangsung amat cepat
sekali. Setelah terlepas dari libatan senjata thiat-ci Ong Kwan-tiong, Siangkwan Wan-ceng
dapat mengembangkan permainan sepasang pedangnya dalam jurus2 permainan yang
istimewa. Setiap tusukan pedangnya selalu mengarah jalan darah maut dari si Bungkuk
dan si Kate. Dalam beberapa kejab saja, pertempuran sudah berlangsung lima enampuluh jurus.
Saat itu Han Ping merasa bahwa gerakan pedangnya makin seret. Diam-diam ia
menimang dalam hati, "Senjata thiat-cinya, di samping mempunyai jurus2 permainan yang
aneh, pun mengandung tenaga-sedot yang kuat. Jika terus bertempur dengan cara begini,
tentu akan berlangsung lama. Untuk merebut kemenangan tiada lain jalan kecuali harus
mengalahkan Ong Kwan-tiong ini. Kalau perlu melukainya dengan pedang Pemutus
Asmara"."
Dengan keputusan itu, segera ia bersuit panjang, menghindarkan diri dari serangan
tongkat besi si Kaki-satu lalu menyerang Ong Kwan- tiong.
Serangan itu membuat Ong Kwan-tiong terkesiap. Ia merasakan senjatanya mendapat
tekanan hebat. Pedang pemuda itu mengeluarkan perbawa yang hebat. Sebelum pedang
tiba, sambaran anginnya sudah menderu tajam sehingga membuat orang ngeri.
Tiba-tiba sepasang pedang Siangkwan Wan-ceng pun menyambut tongkat besi si Kaki
satu. Tetapi dengan tindakan itu, si nona menderita kesukaran. Tongkat besi dari si Kaki
satu itu selain dahsyat dan ganas, pun mengandung tenaga yang luar biasa kerasnya.
Begitu pedang terbentur dengan tongkat besi, Siangkwan Wan-ceng merasakan tangannya
tergetar dan kesemutan dan hampir saja ia tak kuasa memegang pedangnya.
Tetapi nona itu memang keras kepala. Sekalipun tahu kekuatan lawan lebih hebat,
namun ia tetap tak gentar dan diam-diam mengerahkan seluruh tenaga dalam. Dengan
menggertak gigi, ia tak mau unjuk kelemahan.
Ilmu kepandaian dari perguruan Lam-hay-bun memang mengutamakan kekerasan dan
keganasan. Ilmu silat Siangkwan Wan-ceng pun termasuk jenis aliran ganas juga. Begitu
kedua orang itu bertempur, gaya permainan mereka sama-sama mengejutkan.
Hanya gaya permainan pedang Han Ping yang berbeda dari mereka. Dia mengganti
ilmu Tongkat-penunduk-iblis yang terdiri dari 36 jurus dengan menggunakan pedang.
Tongkat-penakluk iblis merupakan salah sebuah ilmu dalam kitab pusaka Ih-kin-keng dan
diajarkan secara lisan oleh mendiang Hui Gong taysu kepada Han Ping.
Begitu Han Ping mainkan pedangnya, maka segera tampak gaya alirannya sebagai ilmu
pedang golongan Putih. Tetapi gerak perobahan dan corak permainannya, benar-benar
menakjubkan sekali.
Senjata thiat-ci dari Ong Kwan-tiong pelahan-lahan telah tertindas oleh sinar pedang
Han Ping. Sekonyong-konyong si dara baju ungu yang mukanya ditutup dengan kain kerudung
hitam itu, berteriak, "Toa-suheng, lekas gunakan ilmu Burung rajawali-terbang- delapanbelas-
kali dari perguruan kita. Kalau tidak, paling banyak engkau hanya mampu bertahan
dalam sepuluh jurus lagi. Jika engkau terkurung sama sekali dalam lingkaran sinar
pedangnya, jangan harap engkau dapat balas menyerang!"
Memang Ong Kwan-tiong merasa bahwa dalam menghadapi serangan Han Ping itu, ia
tak dapat mengeluarkan kepandaiannya. Setiap gerakannya selalu ditindas lawan sehingga
sering2 separoh jurus saja terpaksa ia hentikan setengah jalan.
Setelah mendengar teriakan si dara baju ungu, seperti disadarkan. Dengan berteriak
keras, that-ci tiba-tiba dirobah gerakannya, menusuk ke dada Han Ping.
Dengan kerahkan tenaga, Han Ping cepat memapas thiat-ci lawan. Ia yakin, pedang
Pemutus Asmara tentu dapat memapas kutung senjata aneh dari tokoh Lam-hay-bun itu.
Jodoh Rajawali 31 Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl Kisah Pendekar Bongkok 11
^