Pencarian

Renjana Pendekar 10

Renjana Pendekar Karya Khulung Bagian 10


Tong Bu-siang sudah mirip sebuah patung yang tak berjiwa dan tidak bergerak.
"Dengan susah payah kami berusaha, dengan pembantu-pembantu mengawasi gerak-gerikmu,
akhirnya dapatlah kami ciptakan Tong Bu-siang yang kedua. Untuk ini, Tong-heng, kukira
kau harus merasa bangga."
"Tapi..... tapi sesungguhnya apa sebabnya?" tanya Bu-siang.
"Masa sampai sekarang Tong-heng belum lagi paham?" tanya Ji Hong-ho sambil bergelak
tertawa. 359 "Aku benar-benar tidak paham," kata Bu-siang sambil menjilat bibirnya yang kering.
Serentak Ji Hong-ho berhenti tertawa, lalu berucap sekata demi sekata: "Sebab Tong Bu-siang
yang pertama sudah hidup cukup lama, sekarang dia boleh istirahat dengan baik-baik dan
biarkan Tong Bu-siang yang kedua menggantikan kehidupannya."
Sekonyong-konyong Tong Bu-siang bergelak tertawa, tertawa latah.
Ji Hong-ho memandangnya dengan dingin, sejenak kemudian baru ia berucap pula: "Pada saat
demikian Tong-heng masih sanggup tertawa, sungguh peristiwa aneh juga."
"Mengapa aku tidak dapat tertawa, aku justeru tertawa geli," teriak Tong Bu-siang sambil
terbahak-bahak. "Hahaha, dengan boneka ciptaan kalian ini akan kalian gunakan untuk
menggantikan diriku?"
"Kenapa kau heran" Sudah beberapa kali kami berhasil!" jawab Ji Hong-ho dengan dingin.
"Sekarang percayalah aku kepada perkataan Ji Pwe-giok itu, dengan sendirinya akupun tahu
kalian sudah berhasil beberapa kali," kata Tong Bu-siang. "Tapi aku Tong Bu-siang tidaklah
sama dengan kau Ji Hong-ho, juga tidak sama dengan orang-orang seperti Cia Thian-pi, Ong
Ih-lau, Sebun Bu-kut dan sebagainya."
"Di mana perbedaannya?" tanya Ji Hong-ho dengan sinar mata gemerdep.
"Orang-orang ini andaikan tidak berdiri sendirian, orang yang berdekatan dengan mereka juga
tidak banyak, kalian dapat menghancurkan Ji Pwe-giok, dapat memaksa minggat Lim Tay-ih,
tapi dapatkah kalian membunuh habis anak murid keluarga Tong" Meski kalian dapat
membinasakan anakku, Tong Jan, tapi aku masih banyak anak murid yang lain, pada satu hari
rahasia kalian pasti akan terbongkar."
"Begitukah?" ucap Ji Hong-ho dengan tak acuh dan tetap tenang.
"Sekalipun kalian dapat menciptakan orang ini sehingga serupa diriku, bahkan cara bicara dan
gerak-geriknya juga serupa, tapi apakah kalian tahu siapa nama kecil putera puteriku dan
muridku" Tahukah kalian bilakah hari lahir mereka" Tahukah kalian sifat dan perangai
mereka masing-masing"......" Tong Bu-siang terbahak-bahak, lalu menyambung pula: "Suatu
keluarga besar seperti keluarga Tong ini tentu terdapat banyak hal yang tidak diketahui orang
luar, untuk bisa menjadi kepala keluarga sebesar ini, memangnya semudah perkiraan kalian?"
Ji Hong-ho terdiam sejenak, katanya kemudian: "Betul juga ucapanmu, memang ada
sementara hal-hal yang tidak kami ketahui, tapi dengan cepat pasti akan kami ketahui."
"Kukira belum tentu mampu," jengek Bu-siang.
"Tapi aku yakin sanggup, kupercaya kau pasti akan membeberkan segala rahasiamu kepada
kami," kata Ji Hong-ho dengan tertawa.
"Tidak, siapapun jangan harap akan dapat memaksa diriku," bentak Bu-siang.
360 "Orang lain mungkin tidak dapat, tapi kami mempunyai cara tersendiri, mempunyai cara yang
aneh, bolehlah Tong-heng mencobanya...."
Belum habis ucapan Ji Hong-ho, mendadak di luar ada suara suitan. Cepat Ong Kim-liong
memburu keluar dan cepat pula berlari kembali, dengan suara tertahan ia memberi lapor:
"Ada tanda bahaya, seperti kedatangan orang."
"Mundur cepat!" kata Ji Hong-ho. "Segenap penjagaan terang maupun gelap, seluruhnya
meninggalkan pegunungan ini."
"Dan orang ini?" tanya Ong Kim-liong sambil memandang Tong Bu-siang.
"Kerudungi kepalanya dan bawa dia!" kata Ji Hong-ho.
Mendadak Tong Bu-siang melompat ke atas, kedua tangannya bekerja sekaligus, terdengar
suara mendesing ramai, dalam sekejap saja berpuluh biji senjata rahasia telah berhamburan.
"Semuanya jangan bergerak, biar kubereskan dia!" bentak Ji Hong-ho. Berbareng itu ia telah
menanggalkan topinya dan diputar satu lingkaran, seketika senjata rahasia yang bertebaran itu
seperti laron menubruk pelita, semuanya hinggap ke dalam topinya. Akan tetapi dengan kalap
Tong Bu-siang lantas menerjangnya.
Senjata rahasia keluarga Tong tiada bandingannya di dunia ini, Kungfu lain juga tidak lemah.
Rambut dan jenggot putih si kakek ini beterbangan, kedua telapak tangannya serentak
menghantam dengan gencar.
Tapi Ji Hong-ho juga bergerak dengan gesit, bentaknya: "Kau berani melawan?"
"Hm, mau apa kalau melawan?" Tong Bu-siang menyeringai. "Memangnya kau berani
membunuh aku" Kukira kau masih perlu keterangan-keterangan dariku!"
Dalam sekejap mata sudah belasan pukulan dilontarkan, setiap pukulannya cukup keras dan
ganas, bila perlu dia bersedia gugur bersama lawan.
Pertarungan nekat begini benar-benar memusingkan kepala, betapapun tinggi ilmu silat
seseorang, bila ketemu serangan kalap demikian pasti akan kewalahan dan terpaksa harus
menghindar sedapatnya.
Tong Bu-siang hanya ingin mengulur waktu saja, ia pikir asalkan Ji Hong-ho tidak berani
mengadu pukulan, maka dia dapat mengulur tempo sebanyak-banyaknya, dan bila ada yang
datang berarti akan tertolonglah dirinya.
Ji Hong-ho memang tidak berani menyambut serangannya dengan keras lawan keras, sudah
dua-tiga puluh jurus dan tetap tidak balas menyerang. Lim Soh-koan dan Ong Kim-liong juga
tidak membantu, bahkan memandang saja tidak.
Nyata mereka yakin benar-benar Tong Bu-siang pasti tak tahan sekali hantam oleh Bengcu
mereka. 361 Pwe-giok ikut berdebar-debar menyaksikan pertarungan seru itu, sesungguhnya ia ingin tahu
gaya asli ilmu silat "Ji Hong-ho" ini, siapa tahu yang dimainkan "Ji Hong-ho" ini memang
gerakan asli "Bu-kek-bun", yakni perguruan Pwe-giok sendiri, bahkan gerakannya sangat
gesit dan indah, tiada setitik ciri apapun dapat ditemukan.
Padahal di seluruh jagat ini selain Hong-ho Lojin, ayah Pwe-giok sendiri, siapa lagi yang
mampu memainkan Kungfu asli Bu-kek-bun ini"
Seketika Pwe-giok berkeringat dingin dan kebingungan.
Dalam pada itu terdengar Ji Hong-ho sedang berseru dengan tersenyum: "Tong-heng,
seranganmu yang nekat ini akhirnya tetap tiada gunanya.... Pergilah kau!" - Disertai bentakan
perlahan, sebelah tangannya secepat kilat menghantam.
Pukulan Ji Hong-ho ini tampaknya sukar menembus serangan Tong Bu-siang yang gencar itu,
siapa tahu justeru dapat menerobos pada bagian yang sama sekali sukar dipercaya orang.
Begitu terpukul, kontan Tong Bu-siang roboh.
Ji Hong-ho tidak lagi memandangnya, begitu pukulannya dilontarkan, segera ia melompat
mundur sambil berseru: "Bawa dia, lekas ikut mundur!"
Hanya sekejap saja sinar lampu di kelenteng kecil ini sudah padam, semua orang juga sudah
pergi, hanya tertinggal Ji Pwe-giok saja yang masih termangu-mangu di tempat gelap dengan
mandi keringat dingin.
Dimulai sejak munculnya Ong Kim-liong dan Lim Soh-koan sampai dengan kepergian
mereka, jarak waktu itu tidaklah lama, tapi bagi Pwe-giok rasanya seperti sudah selang
setahun lamanya.
Dalam jarak waktu ini Ji Pwe-giok benar-benar bernapas diantara mati dan hidup, seperti telur
di ujung tanduk. Asalkan tempat sembunyinya diketahui orang, maka tamatlah riwayatnya.
Bila orang lain, bisa jadi akan ketakutan setengah mati dan sedikit badannya bergemetar atau
napasnya sedikit keras, bila setitik debu di atas belandar terjatuh, maka selamanya jangan
harap lagi akan meninggalkan kelenteng ini dengan hidup.
Untung Gin-hoa-nio dalam keadaan tertutuk Hiat-to seluruh tubuhnya sehingga tak dapat
bergerak dan bersuara, Pwe-giok sendiri sejak kecil sudah biasa berlatih duduk bersemedi dan
menahan perasaan, sekalipun di bawah panas terik matahari atau di gua es juga dia sanggup
bertahan tanpa bergerak sedikitpun. Sebab itulah dia tidak sampai diketahui musuh.
Tapi sekarang, setelah bebas dari ketegangan yang hebat tadi, ia merasa ingin mencari suatu
tempat untuk berbaring dan istirahat.
Namun iapun tahu kesempatan yang sukar dicari ini tidak boleh disia-siakan. Asalkan dia
dapat mengikuti jejak orang-orang ini secara diam-diam dan berhasil menemukan tempat
penyimpanan Tong Bu-siang asli dan palsu itu, maka besar harapannya akan dapat
membongkar rahasia mereka.
362 Namun iapun menyadari, untuk menguntit tokoh-tokoh kelas satu itu sama halnya berjudi
dengan jiwanya sendiri, meski kesempatan untuk menang tidaklah banyak, namun resiko ini
cukup berharga untuk dihadapi.
Padahal kesempatan ini segera akan lenyap dalam sekejap saja, sungguh peluang untuk
bernapas saja terasa tidak ada.
Dilihatnya Gin-hoa-nio sedang menatapnya dengan terbelalak lebar, meski dia tak dapat
bergerak dan bersuara, namun dia dapat mendengar segala apa yang terjadi.
Pwe-giok tidak sempat banyak berpikir lagi, segera ia membisiki nona itu: "Sebenarnya
hendak ku antar kau ke Tong-keh-ceng agar mereka membuat perhitungan dengan kau, tapi
sekarang..... Ai, biarlah suka-duka kita selanjutnya kuhapus seluruhnya, Hiat-to yang kututuk
dalam waktu tak lama lagi akan punah dengan sendirinya dan kau dapat bergerak kembali.
Semoga selanjutnya jangan kau cari diriku lagi dan akupun takkan mengusik dirimu."
Sesudah memberi pesan ini, segera ia hendak melompat turun dan tinggal pergi.
Siapa tahu, pada saat itu juga dari luar ada suara langkah orang pula disertai berkelebatnya
cahaya lampu, ternyata Ong Kim-liong telah masuk pula dengan membawa dua orang
berseragam hitam.
Heran dan gelisah Pwe-giok, sudah jelas Ji Hong-ho telah pergi bersama anak buahnya,
mengapa Ong Kim-liong dan dua begundalnya kembali lagi ke sini"
Didengarnya Ong Kim-liong lagi berkata: "Lekas kembalikan patung itu dan meja
sembahyang pada tempatnya semula, lalu lantai dibersihkan pula, jangan sampai
meninggalkan sesuatu tanda agar anak murid keluarga Tong tidak dapat memperkirakan ke
mana perginya Tong Bu-siang."
Nyata setiap tindak-tanduk komplotan jahat ini dilakukan dengan sangat cermat dan teliti
tanpa meninggalkan sesuatu apapun.
Pwe-giok menjadi kelabakan. Sudah tentu sekarang ia dapat melompat turun dan
membinasakan ketiga orang itu. Dengan ilmu silatnya jelas ketiga orang itu bukan
tandingannya. Tapi dia kuatir tindakannya ini akan mengejutkan Ji Hong-ho yang pergi belum
jauh itu. Sebaliknya bila ditunggu lagi sampai pekerjaan ketiga orang itu selesai, tentu Ji
Hong-ho juga sudah pergi jauh dan sukar untuk menyusulnya.
Konyolnya, cara kerja kedua orang berseragam itu justeru adem-ayem saja, alon-alon asal
kelakon, sesuatunya dikerjakan dengan sangat cermat. Sudah tentu semuanya ini memakan
waktu lebih lama. Keruan Pwe-giok tambah gelisah, tapi apa daya"
Kini dia hanya berharap semoga ketiga orang ini nanti habis bekerja juga akan menyusul
kepergian Ji Hong-ho, dengan demikian asalkan dia membuntuti ketiga orang, maka jadinya
akan mencapai tujuannya, bahkan penguntitannya nanti akan lebih mudah daripada menguntit
Ji Hong-ho. Karena inilah satu-satunya harapan yang masih ada, maka ia tidak dapat menyerang ketiga
orang ini. 363 Siapa tahu, justeru pada saat itu juga, sekonyong-konyong terdengar suara mendenging
nyaring tiga kali, suara sambaran senjata rahasia dari luar. Kontan kedua lelaki berseragam
hitam tadi menjerit dan roboh terjungkal.
Dengan sendirinya reaksi Ong Kim-liong lebih cepat dan gesit, dia sempat melompat ke atas,
agaknya berhasil dia menghindari serangan senjata rahasia itu, lalu membentak dengan suara
bengis: "Siapa itu, berani menyerang petugas Bengcu di sini, apakah sudah bosan hidup
kau"!"
Di tengah bentakannya, serentak senjata ruyungnya Kim-liong-pian lantas dilolosnya dan
diputar dengan kencang, dia terus menerjang keluar. Dalam kegelapan di luar pintu seperti
ada orang tertawa seram dan misterius.
Pwe-giok terkejut dan juga gelisah. Ia tidak tahu siapakah gerangan orang yang menyergap
Ong Kim-liong bertiga itu dan apa tujuannya"
Melihat serangan yang keji dan tanpa kenal ampun ini, jelas penyerang ini pasti juga bukan
manusia baik-baik. Jangan-jangan anak murid keluarga Tong telah memburu tiba" Meski
kedatangan mereka sangat kebetulan, tapi setitik harapan terakhir Pwe-giok menjadi ikut
buyar. Lampu di meja sembahyang tadi sudah dinyalakan, di bawah gemerdepnya cahaya lampu,
tiba-tiba terlihat Ong Kim-liong masuk lagi dengan mundur.
Kim-liong-pian atau ruyung naga mas yang dipegangnya tampak terseret di lantai, wajahnya
penuh rasa kejut dan takut, keringat dingin memenuhi dahinya, tapi tiada kelihatan mengalami
sesuatu luka. Matanya tampak melotot penuh rasa takut, entah apa yang membuatnya setakut
ini" Sesungguhnya apa yang dilihatnya"
Terdengar seorang berkata di luar: "Siapa sahabat ini" Kau datang dari mana?"
Suaranya sangat aneh, halus, rendah, tapi membawa semacam nada yang membikin
merinding pendengarannya.
Mendengar suara orang itu, seketika Pwe-giok merasa tidak enak. Ia tidak mengerti mengapa
suara seorang bisa begitu lembut dan halus, tapi juga begitu aneh dan menyeramkan. Sungguh
ia ingin tahu bagaimana macamnya orang yang bicara itu.
Di luar pintu memang kelihatan ada sesosok bayangan manusia. Kelihatan sepasang matanya
yang kelam, sama kelamnya seperti kegelapan malam. Akan tetapi sinar matanya yang
mencorong justeru menampilkan perasaan hampa, semacam kesuraman yang sukar diraba.
Meski sinar mata itu tidak memandang ke arah Ji Pwe-giok, tapi tanpa terasa Pwe-giok
bergidik sendiri.
Terdengar Ong Kim-liong lagi menjawab dengan suara rada gemetar: "Aku she Ong, Ong
Kim-liong, dari Thay-oh."
"O, kiranya kau si raja naga dari Thay-oh," ucap suara yang indah tapi aneh itu. "Untuk apa
kau datang ke sini?"
364 "Ku datang ikut Bu-lim-bengcu," jawab Ong Kim-liong.
"Bu-lim-bengcu" Maksudmu Ji Hong-ho?"
"Betul," jawab Ong Kim-liong pula.
"Mau apa dia datang ke sini?"
"Ada janji dengan Tong Bu-siang untuk bertemu di sini."
Begitulah tiap kali suara itu bertanya segera ia menjawabnya dengan sejujurnya. Ong Kimliong
seolah-olah sudah kehilangan pikiran sehatnya, seperti sama sekali sudah tunduk di
bawah pengaruh sinar mata yang aneh itu. Tanpa terasa Pwe-giok berkeringat dingin
menyaksikan kejadian ini.
Suara aneh itu bertanya pula sesudah termenung sejenak: "Ji Hong-ho bertemu dengan Tong
Bu-siang, mengapa di sini tempatnya" Yang dirundingkan mereka apakah sesuatu rahasia
yang tidak boleh diketahui orang lain?"
"Didalam urusan ini memang betul ada sesuatu rahasia, sebab Bengcu....."
Pwe-giok merasa terkesiap dan bergirang juga karena akan mengetahui rahasia pertemuan
Tong Bu-siang dan "Ji Hong-ho" itu, tak terduga, bicara sampai di sini, mendadak sekujur
badan Ong Kim-liong menggigil dan tutup mulut rapat-rapat.
Sorot mata orang di luar itu semakin mencorong, dengan suara bengis ia mendesak: "Rahasia
apa, kenapa tidak kau ceritakan?"
Ong Kim-liong tetap tutup mulut, keringat dingin tampak berketes-ketes memenuhi dahinya.
Suara itu kembali berubah lunak dan halus sekali, katanya pelahan: "Bicaralah, tidak menjadi
soal! Sesudah kau ceritakan, pasti tiada orang menyalahkan kau."
Tubuh Ong Kim-liong tambah gemetar, mukanya berkerut-kerut, tampaknya sangat
menderita, jelas sedang bergulat dengan batin sendiri yang bertentangan. Akhirnya tercetus
juga ucapannya yang gemetar: "Ti..... tidak, tidak dapat kukatakan."
"Mengapa tidak dapat kau katakan?" ucap suara itu. "Jangan lupa, saat ini tubuhmu, jiwamu,
sukmamu, semuanya sudah menjadi milikku, masa kau berani membangkang?"
Sekonyong-konyong Ong Kim-liong berteriak seperti orang gila: "Tidak, segala apa yang ada
pada diriku ini milik Bengcu, tidak boleh kukhianati dia, kalau tidak, bagiku hanya..... hanya
ada kematian...." mendadak ia angkat ruyungnya terus menghantam kepala sendiri.
Agaknya orang yang berada di luar itu tidak menduga akan tindakan Ong Kim-liong ini, ia
berseru kaget, namun Ong Kim-liong sudah terkapar bermandi darah.
Bercucuran keringat dingin Pwe-giok, apa yang terjadi ini sungguh sukar untuk dimengerti, ia
hampir-hampir tidak percaya pada matanya sendiri.
365 Dalam pada itu dari luar lantas masuk satu orang. Langkahnya enteng, pelahan tanpa suara,
seperti badan halus saja.
Di bawah cahaya lampu kelihatan orang ini memakai baju kain kasar sebangsa kain belacu
yang biasa dipakai kaum petani. Tangan membawa sebuah caping yang sudah rusak,
perawakannya tinggi kurus, wajahnya putih cakap dan agak kurus.
Tampaknya usianya antara 30-an, tapi seperti juga sudah lebih 50. Begitu melangkah masuk,
sorot matanya yang kelam kehijau-hijauan itu seketika lenyap, tiada sesuatu yang menyolok,
hanya tangannya yang panjang dan kurus itu kelihatan putih indah berkilau.
Sama sekali tak terpikir oleh Pwe-giok bahwa mata yang aneh itu bisa tumbuh pada seorang
yang sangat umum ini, lebih-lebih tak terpikir sinar matanya bisa berubah begitu cepat.
Lamat-lamat ia merasa orang ini seperti seekor bunglon yang setiap saat dapat berganti warna
badan untuk mengelabui musuh demi keselamatan sendiri.
Tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan muda menghela napas dan bergumam: "Ah,
sudah mati semua!"
Pandangan Pwe-giok ternyata tertarik sepenuhnya oleh manusia yang aneh ini, baru sekarang
ia tahu di belakang orang ini masih ikut seorang perempuan muda bergaun dan baju kain
kasar, perawakan gadis ini padat dan indah, kepalanya juga memakai caping bambu yang
ditarik rendah ke depan, agaknya tidak suka wajah aslinya dilihat orang. Sungguh aneh,
memangnya siapa yang hendak dihindarinya"
Entah mengapa, Pwe-giok merasa perawakan dan suara gadis itu seperti sudah dikenalnya,
tapi seketika tidak ingat di mana pernah bertemu.
Sementara itu si baju belacu tadi telah mengitari ruangan itu satu kali, lalu ia berpaling
memandang si gadis, dari wajahnya yang bersih itu tiba-tiba menampilkan senyuman yang


Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sangat menarik, ucapnya dengan pelahan: "Pandanganmu memang jitu, orang-orang ini
memang betul sudah mati semua."
Si gadis menggigit bibir, katanya kemudian: "Mereka kan tidak mengganggu kita, mengapa
engkau membunuh mereka?"
"Ucapanmu memang betul, sesungguhnya tidak perlu kubunuh mereka," ujar si baju belacu
dengan tersenyum.
"Jika tidak perlu, mengapa kau bunuh mereka?" kata si gadis.
Orang itu tidak menjawab, ia cuma mengulum senyum dan memandangnya lekat-lekat, tibatiba
ia menghela napas dan berkata: "Cantik, sungguh cantik, kerlingan matamu tertampak
lebih cantik di bawah sinar lampu ini. cukup kau pandang diriku sekejap dan aku rela mati
sepuluh kali bagimu."
366 Tampaknya dia sangat memanjakan nona itu dan sangat sayang padanya, setiap ucapannya
penuh sanjung puji, tapi siapapun dapat mendengar kata-katanya hanya seperti orang tua
membikin senang hati anak kecil saja.
Anehnya, gadis itu sedikitpun tidak merasa dimanjakan atau dibujuk, sebaliknya mukanya
menjadi merah dan terkesima, kemudian menghela napas dan berkata dengan rawan: "Yang
kuharap asalkan selanjutnya jangan kau bunuh orang lagi, asalkan kita dapat meloloskan diri
sekali ini, bolehlah kita mencari suatu tempat yang terpencil jauh di sana dan hidup tenteram
selama hidup."
"Tepat sekali ucapanmu," kata orang itu dengan tersenyum, "kita akan mencari suatu tempat
yang indah, ada gunung ada air, setiap hari akan kuiringi kau pesiar, setiap hari dapat
kudengar suara tertawamu yang lebih merdu daripada burung berkicau."
Pikiran nona itu seakan-akan melayang jauh membayangkan adegan bahagia itu, ia
memejamkan mata dan bergumam: "O, alangkah bahagianya bilamana tiba pada hari
demikian itu, rasanya segala apa yang telah kulakukan tidaklah sia-sia, asalkan datang hari
bahagia itu, andaikan matipun aku rela."
Akhirnya Pwe-giok dapat melihat mukanya, seraut muka yang cantik, muka yang polos dan
murni penuh membayangkan kebahagiaan yang akan datang, dari matanya terembes butir air
mata kegembiraan.
Tiba-tiba Pwe-giok ingat siapa nona ini. Ya, betul, dia inilah Ciong Cing, murid Hoa-san-pay
yang menyambut kedatangannya pada waktu Pwe-giok menghadiri pertemuan Hong-ti tempo
hari. Sungguh aneh, murid dari perguruan ternama itu mengapa sekarang bisa berada bersama
seorang yang aneh dan misterius ini" Apa saja yang telah diperbuatnya demi orang ini seperti
ucapannya tadi"
Seketika Pwe-giok tercengang, sangsi dan juga menyesal.
Si baju belacu tidak memandang lagi si nona, tapi sedang mengamat-amati mayat Ong Kimliong
yang digenangi darah itu, tampaknya dia sedang merenungkan sesuatu sambil
bergumam: "Sesungguhnya rahasia apa yang tersembunyi di dalam hati orang ini" Mengapa
dengan tenaga gaibku tidak mampu menyuruhnya mengaku" Dengan kekuatan gaib apa pula
Ji Hong-ho itu dapat membuat anak buahnya lebih rela mati daripada mengkhianatinya?"
Kembali ia mondar-mandir lagi di ruangan itu dan sorot matanya berubah lebih tajam
daripada mata elang, setelah menyapu pandang kian kemari, tiba-tiba ia berseru perlahan:
"He, lihat, di sini ada sebuah jalan rahasia!"
Ia tepuk patung Toa-pekong dan diputar, segera jalan di bawah tanah itu kelihatan dengan
jelas. Ciong Cing juga berseru: "He, menembus kemanakah jalan di bawah tanah ini?"
Orang itu memejamkan mata dan berpikir sejenak, katanya kemudian dengan tersenyum
cerah: "Ehm, di sini kan bukit di belakang Tong-keh-ceng?"
367 "Ya, betul, jalan ini pasti menembus ke Tong-keh-ceng," seru Ciong Cing.
"Tepat," kata orang itu dengan tertawa. "Kau benar-benar anak perempuan yang cantik dan
cerdik." Muka Ciong Cing menjadi merah pula, ia menunduk dan memainkan ujung bajunya, sejenak
kemudian baru berkata: "Jika tempat ini mengandung rahasia orang lain, lebih baik kita pergi
saja." "Pergi" Mengapa?" ujar orang itu. "Selama hidupku kesenanganku justeru membongkar
rahasia orang lain." - Dia mengusap perlahan muka Ciong Cing, lalu berkata pula: "Ji Hongho
dan Tong Bu-siang main sembunyi-sembunyi, tentu bukan pekerjaan baik yang mereka
lakukan, aku akan memeriksanya melalui jalan rahasia ini, hendaklah kau tunggu saja di sini,
mau?" Ciong Cing lantas memegang tangan orang itu dan menjawab dengan cemas: "Tidak, jangan
kau pergi!"
Seketika sorot mata orang itu berubah sedingin es, ucapnya: "Kenapa" Kau kuatir ku pergi
dan tak kembali lagi?"
Hakekatnya Ciong Cing tidak memperhatikan perubahan sikap orang itu, dengan suara lembut
ia berkata: "Tiada lain, yang kukuatirkan adalah keselamatanmu. Lukamu belum sembuh
benar-benar, sedangkan Tong Bu-siang dan Ji Hong-ho itu adalah tokoh-tokoh yang lihay...."
Pandangan orang yang dingin itu mulai cair lagi, ucapnya dengan tersenyum: "O, kau kuatir
mereka mencelakai diriku?"
Mata Ciong Cing tampak merah dan basah, katanya dengan tersendat: "Jika.... jika terjadi apaapa
atas dirimu, lalu.... lalu aku bagaimana?"
Orang itu tertawa, katanya: "Jangan kuatir, masih jauh jika orang semacam Tong Bu-siang
dan Ji Hong-ho itu hendak mencelakai diriku." - Dengan lembut ia membelai rambut si nona,
lalu menyambung pula: "Kau tunggu saja di sini, sayang, secepatnya aku akan kembali. Ku
berjanji padamu, pasti tiada seorangpun dapat mengusik seujung rambutku."
Habis berkata, sekali berkelebat, tahu-tahu ia sudah menghilang ke jalan di bawah tanah itu.
Dengan termangu-mangu Ciong Cing menyaksikan kepergian orang itu, ia mendekap
mukanya dan menghela napas panjang, gumamnya: "O, apa yang kulakukan ini apakah betul"
atau salah" ...."
"Salah!" tiba-tiba seorang menanggapi dengan suara tertahan.
"Hahh, siapa?" Ciong Cing menjerit kaget sambil melonjak ke atas.
Dilihatnya seorang pemuda dengan tersenyum entah sejak kapan telah berdiri di
belakangnya." Cayhe Ji Pwe-giok!" ucap pemuda itu.
368 "Ji Pwe-giok?" seru Ciong Cing dengan terbelalak.
Ia tahu "Ji Pwe-giok" sudah mati, di kelenteng kecil yang terpencil di pegunungan sunyi ini
mendadak mendengar nama orang yang sudah mati, seketika ia merinding.
Akan tetapi anak muda ini kelihatan sedemikian ramah tamah, ganteng, cakap, sorot matanya
yang mengandung senyuman hangat itu sungguh bisa membuat cair gunung es di bumi ini.
Tidak mungkin ada perempuan bisa takut kepada lelaki muda demikian ini.
Ciong Cing tidak lagi gugup, dengan suara keras ia menjawab: "Betul, aku memang kenal
seorang Ji Pwe-giok, tapi jelas bukan kau. Aku tidak kenal kau!"
"Tapi kukenal nona" kata Pwe-giok.
"Kau kenal aku?" Ciong Cing melengak.
"Ya, nona kan murid Hoa-san dan bernama Ciong Cing?"
Seketika Ciong Cing tegang lagi, dengan suara bengis ia bertanya: "Jadi kedatanganmu ini
adalah untuk menangkap kami?"
Dalam hati Pwe-giok jadi terheran-heran, namun lahirnya dia tenang-tenang saja, katanya
pelahan: "Memangnya apa kesalahan nona" Kenapa takut akan ditangkap orang?"
Jilid 15________
Ciong Cing memandangnya sejenak, ia mulai tenang, jawabnya dengan tersenyum ewa:
"Sudah tentu aku tidak berbuat salah apa-apa, aku cuma mencoba dirimu saja."
Pwe-giok menghela napas, katanya dengan suara halus:
"Kedatanganku ini bukan hendak menangkap nona, juga tidak untuk menyelidiki rahasiamu,
aku hanya ingin memberi nasehat padamu, lebih baik kau pulang saja."
"Pulang" Pulang kemana?" kembali Ciong Cing terkesiap.
"Pulang ke samping gurumu, beliau pasti akan melindungi dirimu agar tidak sampai ditipu
orang lain."
"Memangnya aku tertipu oleh siapa" Berdasarkan apa kau campur urusanku?" kata Ciong
Cing dengan tidak senang.
Pwe-giok menyengir, ucapnya: "Memikirkan diriku sendiri saja repot, sesungguhnya aku
memang tidak pantas ikut campur urusan orang lain. Tapi kata-kata ini seperti duri di
tenggorokan, kalau tidak kukeluarkan terasa tidak lega. Soal kau mau menurut atau tidak
memang terserah kepada keputusan nona sendiri."
Ia memandang mayat yang menggeletak di lantai itu, lalu menghela napas panjang.
369 Kalau setitik harapannya tadi kinipun sudah buyar, untuk apa pula dia tinggal lagi di sini"
Mengenai Giu-hoa-nio yang masih ditinggalkan di atas belandar itu tidak perlu
dikuatirkannya, ia tahu si nona pasti dapat menjaga dirinya sendiri.
Melihat Pwe-giok hendak pergi, Ciong Cing jadi melenggong, seperti mau mencegah, tapi
akhirnya urung.
Tapi sebelum Pwe-giok melangkah keluar pintu, tahu-tahu sesosok bayangan orang seperti
badan halus saja telah melayang dari belakang dan menghadang jalan keluarnya.
"He, begitu cepat kau sudah kembali?" seru Ciong Cing, kejut dan girang.
"Ya, apakah aku kembali terlalu cepat?" jawab orang itu dengan tersenyum.
Ciong Cing tidak merasakan di dalam kata orang itu berduri, ia bertanya pula: "Sudah kau
lihat Ji Hong-ho dan Tong Bu-siang?"
"Tidak, Ji Hong-ho tidak ada, Tong Bu-siang juga menghilang," jawab orang itu. Baru
sekarang sorot matanya yang tajam beralih ke arah Ji Pwe-giok, katanya pula dengan
tersenyum: "Urusan ini memang sangat aneh, betul tidak?"
Meski jalan keluar Pwe-giok terhalang, tapi sedapatnya ia bersabar, ia mengamat-amati orang
aneh itu, tapi betapapun dia mengawasinya dengan cermat tetap tak dapat diketahui orang ini
baik atau jahat, lebih-lebih tak dapat diketahui bagaimana asal usulnya. Hanya dirasakannya
seolah-olah setiap saat timbul semacam tenaga gaib yang berpengaruh dari orang yang
dihadapinya ini.
Pada waktu sorot mata orang ini beralih ke arahnya, seketika jantungnya berdetak.
Orang itu mengulangi lagi pertanyaannya: "Urusan ini memang sangat aneh, bukan?"
"Ya, memang sangat aneh," Pwe-giok hanya tersenyum saja.
"Sesuatu yang aneh, mengapa Anda tidak heran?" kata pula orang itu.
Pwe-giok tahu, menghadapi orang demikian tidak boleh omong sepatahpun. Selagi dia
menimbang cara bagaimana menjawabnya, tiba-tiba orang itu tertawa dan berkata pula
dengan perlahan: "Jika kau tidak suka menjawab, bolehlah kukatakan bagimu... Sebabnya kau
tidak heran atas urusan ini adalah karena sebelumnya rahasia persoalan ini sudah kau
ketahui." Pwe-giok hanya tersenyum sebagai jawabannya.
Tiba-tiba ia merasa mata orang ini meski sangat menakutkan, tapi senyumannya membawa
semacam daya tarik yang sukar dilukiskan, semacam daya gaib yang kuat, jangankan anak
gadis seperti Ciong Cing sekalipun Pwe-giok sendiripun tanpa terasa terpikat oleh daya tarik
yang gaib itu dan sukar memindahkan pandangannya ke arah lain.
370 Orang itupun terus menatapnya lekat-lekat, tiba-tiba menghela napas dan berkata: "Lelaki
yang maha cakap, ya, Anda boleh disebut lelaki cakap yang tiada bandingannya. Jangankan
perempuan, sampai akupun merasa mabuk melihat senyuman Anda."
Dia bicara dengan lambat, suaranya rendah dan juga mengandung daya pikat yang sukar
disebutkan. Sebenarnya bukan Pwe-giok tidak suka, hanya saja setelah mendengarkan dan mendengarkan
lagi, akhirnya kata-kata yang ingin diucapkannya jadinya malah lupa dikatakannya.
Dengan tersenyum orang itu berkata pula: "Orang yang mempunyai muka seperti Anda ini,
bilamana tidak tahu menggunakannya dengan baik-baik sungguh harus disayangkan. Tapi
Anda tidak perlu kuatir, sekalipun Anda tidak tahu cara bagaimana harus mendaya-gunakan
ketampanan sendiri, dengan suka hati akan kubantu berusaha bagimu agar Anda tidak sia-sia
dilahirkan dengan wajah tampan ini."
Apabila kata-kata ini diucapkan orang lain, andaikan Pwe-giok tidak gusar, sedikitnya juga
akan mendongkol. Tapi kata-kata yang keluar dari mulut orang ini ternyata tidak membuat
Pwe-giok naik pitam.
Orang itu tersenyum dan berkata pula dengan suara terlebih halus: "Baiklah, sekarang
bolehlah kau lupakan semuanya. Coba beritahukan padaku sesungguhnya rahasia apakah yang
kau lihat tadi" Sesungguhnya apa yang dirundingkan Ji Hong-ho dan Tong Bu-siang?"
"Kukira lebih baik tidak kukatakan," jawab Pwe-giok hambar.
"Kusuruh kau bicara, maka kau harus bicara, tahu?" ucap orang itu dengan suara tegas, meski
wajahnya masih mengulum senyum, tapi sorot matanya yang aneh itu tampak mendesak,
menatap Pwe-giok tajam-tajam.
Siapa tahu Pwe-giok tetap menjawab dengan hambar: "Memangnya kenapa harus
kukatakan?"
Orang itu lantas mengeluarkan seuntai rantai mutiara dan diayun-ayunkannya di depan Pwegiok,
lalu berkata pula dengan perlahan: "Sebab kau sudah menjadi budakku, setiap
perkataanku harus kau taati, sedikitpun tidak boleh melawan."
Ciong Cing tampak lemas dan kuatir, ia tahu kekuatan gaib orang ini, ia tidak ingin dia
membikin susah orang lain lagi, tapi iapun tidak berani mencegahnya.
Siapa tahu Pwe-giok tetap tenang-tenang saja, sebaliknya ia malah tertawa dan menjawab:
"Selamanya aku adalah orang yang bebas dan merdeka, mengapa tanpa sebab aku harus
menjadi budakmu?"
Air muka orang itu berbalik berubah pucat malah, butiran keringatpun menghiasi jidatnya.
Maklumlah, Liam-sim-tay-hoat yang digunakannya sangat keji, tapi kalau tidak dapat
menguasai pihak lawan, ia sendiri yang akan celaka. Sekarang ia sudah mengerahkan segenap
tenaganya, tapi lawan yang masih muda ini ternyata tiada terpengaruh sedikitpun. Padahal
371 sasaran Liam-sim-tay-hoat ini adalah melunakkan pikiran lawan, peluang itu lantas diselulupi
kekuatan gaibnya dan terpengaruhlah orangnya.
Namun sejak kecil Pwe-giok sudah berlatih semedi dan memusatkan pikiran, akhir-akhir ini
dia malah tergembleng dengan lebih teguh lagi imannya, hatinya kini boleh dikatakan sekeras
baja, semurni emas.
Karena itulah, perasaan orang itu berbalik terguncang dan hampir-hampir saja sukar dikuasai.
Pwe-giok sama sekali tidak tahu mengapa pihak lawan menjadi begitu tegang, dengan tertawa
ia malah bertanya: "Barangkali anda hanya bergurau saja denganku, begitu?"
Tanpa terasa orang itu menjawab: "Ya!"
"Siapakah nama Anda?" Pwe-giok coba bertanya.
"Kwe Pian-sian," jawab orang itu, butiran keringat tampak berketes-ketes seperti hujan. Ia
merasa sinar mata Pwe-giok makin mencorong, ia sendiri berbalik terpengaruh, setiap
pertanyaan Pwe-giok mau-tak-mau harus dijawabnya.
Pwe-giok termenung sejenak, lalu bergumam: "Kwe Pian-sian, nama ini asing bagiku.
Apakah ini nama asli anda?"
Dengan suara gemetar orang itu mengiakan.
Dia memang betul Kwe Pian-sian adanya. Sekarang dia tidak dapat menghindari lagi tatapan
Pwe-giok, apabila Pwe-giok bertanya lebih lanjut, mungkin segala rahasianya akan
dibeberkannya. Pwe-giok jadi heran sendiri, tak tersangka olehnya setiap pertanyaannya akan dijawab secara
jujur oleh lawan. Tiba-tiba terpikir sesuatu olehnya, ia coba bertanya pula: "Apakah nona
Ciong ini melarikan diri bersama anda?"
Kembali Kwe Pian-sian mengiakan.
"Siapakah yang anda hindari?" Tanya Pwe-giok.
Sedapatnya Kwe Pian-sian menggigit bibir agar tidak bersuara, tapi mau tak mau ia berucap
juga: "Ji Siok-cin!"
"Ji Siok-cin" Ji lihiap ketua Hoa san-pay?" Pwe-giok menegas.
Kwe Pian-sian mengiakan lagi.
Pwe-giok berpikir sejenak, katanya kemudian: "Memangnya kau sudah ditawan Ji-lihiap, tapi
nona Ciong jatuh hati padamu dan diam-diam melepaskan kau serta minggat bersamamu?"
"Ya, be....begitulah," jawab Kwe Pian-sian dengan suara terputus-putus.
372 Sekarang ia benar-benar ketakutan setengah mati, namun apa daya ia tidak dapat menguasai
dirinya sendiri lagi.
Melihat keadaan Kwe Pian-sian, Ciong-cing juga melenggong.
Pwe-giok menghela napas, ia memandang Ciong-cing, katanya dengan tersenyum getir: "Tak
tersangka nona sampai hati mengkhianati guru sendiri, tentunya karena cintamu....." belum
habis ucapannya, mendadak berpuluh-puluh bintik sinar perak menyambar ke arahnya.
Kiranya begitu pandangan Pwe-giok beralih, seketika Kwe Pian-sian mendapat kesempatan
untuk melepaskan diri dari pengaruh sinar mata lawan, tanpa ayal kalung mutiara terus
ditebarkan. Sama sekali tak terpikir oleh Ji Pwe-giok bahwa orang yang sudah ketakutan dan menjawab
setiap pertanyaannya secara jujur ini mendadak bisa melancarkan serangan gelap. Karena
kepalanya sudah berpaling ke kiri, sekarang tubuhnya lantas ikut berputar ke arah kiri, kedua
tangannya juga mengebas, seperti penari ia terus berputar satu lingkaran. Tahu-tahu berpuluhpuluh
bintik sinar perak itu seperti ikan yang terisap ke tengah pusaran air dan ikut berputar
mengikuti gerakan Pwe-giok.
Dipandang dari jauh, satu lingkaran sinar perak mengitari seorang penari yang sedang
berputar dengan gaya yang indah.
Tanpa terasa Ciong-cing terkesima menyaksikan kejadian itu, terdengar suara gemerincing,
seperti dering logam digosok, laksana bunyi kecapi, tahu-tahu berpuluh-pulih bintik sinar
perak sudah berserakan di tanah.
Tadi kalau Pwe-giok sengaja menghindar, dalam keadaan kepepet belum tentu dia sanggup
menyelamatkan diri oleh hamburan berpuluh-puluh bintik perak yang terpancar dari jarak
dekat itu. Tapi tanpa sengaja ia berputar, gerakan ini justeru sangat efektif dan ternyata
mendatangkan hasil yang tak terduga.
"Kungfu hebat!" puji Ciong Cing setelah terkesima sejenak.
Dalam pada itu Kwe Pian-sian sudah melancarkan beberapa kali pukulan maut. Walaupun
serangannya ganas, gayanya indah, tapi setiap pukulan belum menggunakan tenaga
sepenuhnya, ia masih menyimpan tenaga untuk menjaga segala kemungkinan.
Maklum, setelah menyaksikan kelihayan Pwe-giok, betapapun ia tidak berani


Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mempertaruhkan seluruh modalnya. Akan tetapi lebih dulu ia perkuat pertahanannya sehingga
tak terkalahkan, habis ini barulah dia melancarkan serangan.
Meski dengan santai Pwe-giok dapat mengelakkan serangan lawan, namun di dalam hati dia
tidak merasa santai. Sebab segera diketahuinya serangan lawan ternyata sangat teratur, licin,
licik dan cekatan, sungguh kepandaian yang belum pernah dilihatnya selama hidup. Ia
menyadari, tidaklah mudah bagi siapapun yang ingin merobohkan orang she Kwe ini.
Dalam pada itu, Kwe Pian-sian sudah melancarkan lagi empat kali pukulan lain, gerakan
serangan ini mendadak berubah, dari ringan berubah menjadi berat, dari lunak berubah
373 menjadi keras. Namun daya pukulannya tetap terbatas, belum menggunakan sepenuh
tenaganya, masih ada tenaga cadangan.
"Apakah anda bertekad akan membinasakan diriku?" tanya Pwe-giok dengan menyesal.
Selesai ucapannya ini, dengan santai empat kali pukulan musuh sudah dihindarinya.
"Betul," jawab Kwe Pian-sian, kembali empat kali pukulan dilontarkan dengan lebih cepat,
selesai ucapannya yang cuma satu kata itu, selesai pula empat kali pukulan.
"Sebab apa?" tanya Pwe-giok pula, begitu cepat serangan lawan, secepat itu pula ia
menghindar. Kwe Pian-sian menjawab: "Sebab kalau anda hidup di dunia ini, maka makan dan tidurku
pasti tidak akan tenteram."
Sekali ini pukulannya berubah menjadi lambat, bicara sepanjang ini juga cuma melancarkan
empat kali pukulan, akan tetapi pukulan yang berat dan mantap.
Jelas inilah Thay kek kun asli, padahal Thay kek kun dan Bu kek bun ada hubungan yang erat.
Cepat Pwe giok melompat mundur dan berseru: "Jangan-jangan Anda ini kaum Cianpwe dari
Thay kek bun?"
Dengan tenaga dalam Kwe Pian sian yang tinggi ini, bilamana betul dia adalah orang Thay
kek bun, maka kedudukannya pasti sangat tinggi, maka Pwe giok menghormatinya dengan
sebutan "Cianpwe".
Siapa tahu Kwe Pian sian malah tertawa dan menjawab: "Apa artinya Thay kek bun bagiku?"
Mendadak pukulan telapak tangannya berubah menjadi kepalan terus menghantam, jurus
pertama adalah "Lo han hok hou" atau Buddha menaklukkan harimau, inilah jurus pembukaan
Lo han kun dari Siau lim Pay.
Pwe giok dibuat terkejut pula. Dalam pada itu pukulan kedua Kwe Pian sian telah berubah
menjadi Tay Hong kun, sampai di tengah jalan, mendadak berubah lagi, sekali ini kedua
kepalannya menghantam berbareng.
Gaya pukulan ini sangat aneh dan belum pernah dilihat Pwe giok, jelas-jelas yang diincar
adalah pipi kanan dan dagu kiri, siapa tahu ketika kepalan sudah dekat, mendadak berubah
lurus menghantam dada.
Kwe Pian sian kelihatan sangat bangga, katanya dengan tertawa: "Dan tahukah kau pukulan
ini dari aliran mana...?"
Sebenarnya kata-kata Kwe Pian sian ini belum habis terucap, sebab baru saja dia
mengucapkan kata "dari", Pwe giok terpaksa balas menyerang, bahkan dia papak kepalan
lawan yang sedang menghantam itu.
Waktu Kwe Pian sian mengucapkan kata "mana" segera dirasakannya tenaga pukulan Pwe
giok maha dahsyat, cepat ia bermaksud menarik kembali tangannya, sekalipun dia masih
374 menyimpan tenaga cadangan dan keburu menarik pukulannya, namun kepalannya tetap
tersampuk oleh pukulan Pwe giok, seketika ia merasakan ditolak oleh suatu arus tenaga yang
maha kuat seolah-olah gugur gunung dahsyatnya, tubuhnya terus mencelat hingga jauh.
Tenaga sakti pembawaan Pwe giok memang maha hebat, biarpun dia mengerahkan segenap
tenaganya juga belum tentu sanggup bertahan, apalagi dia masih menyisakan sebagian
tenaganya. "Jangan melukai orang?" seru Ciong Cing kuatir.
Pwe giok tersenyum, katanya: "Tiada maksudku hendak mencelakai orang, jika kalian mau
pergi, akupun takkan merintangi!"
Dia sudah kenyang merasakan betapa sengsaranya dibikin celaka orang, maka kalau tidak
terpaksa, betapa pun ia tidak mau membikin susah orang lain.
Kwe Pian sian memang tidak terluka apapun, dia berdiri tegak di sana dan menghela napas.
Ciong Cing memburu ke sana dan memegang tangannya serta memohon: "Marilah kita pergi,
untuk apa kau bergebrak mati-matian dengan dia?"
Sambil menyengir Kwe Pian sian berkata kepada Pwe giok: "Ilmu silat Anda belum nampak
terlalu hebat, tapi tenagamu yang maha sakti ini belum pernah kulihat selama ini, tampaknya
aku pun tak dapat menjatuhkan kau."
"Jika demikian, mengapa kau tidak lepas pergi?" ujar Pwe giok dengan tersenyum.
"Tampaknya aku memang lebih baik pergi saja," kata Kwe Pian sian dengan gegetun. Dia
merangkap kedua tangannya seperti memberi salam dan hendak pergi benar-benar, siapa tahu,
pada saat itu juga tangannya bergerak pula, dari lengan bajunya kembali menyambar keluar
berpuluh bintik hitam.
"He, kau....." Ciong Cing menjerit kaget.
Tapi belum lanjut ucapannya, tahu-tahu tubuhnya sudah diangkat oleh Kwe Pian sian terus
dilemparkan ke arah Pwe giok. Kwe Pian sian sendiri terus menyelinap ke belakang Pwe giok
untuk menyerang pula, langkah ini sungguh teramat keji dan jarang ada di dunia ini.
Untuk menghindarkan hujan senjata rahasia itu saja tidak mudah bagi Ji Pwe giok, apalagi
seumpama dia sempat mengelakkan senjata rahasia, tahu-tahu tubuh Ciong Cing juga sudah
menubruk tiba. Karena nona itu dilemparkan orang, dengan sendirinya kaki dan tangannya
meronta-ronta, apabila Pwe giok tidak menghiraukan tubuh si nona dan hanya melayani Kwe
Pian sian, bukan mustahil Pwe giok akan terluka oleh rontakan si nona yang ingin cari hidup
itu. Sebaliknya kalau Pwe giok menangkap tubuh si nona, sementara itu Kwe Pian sian sudah
menyelinap ke belakangnya, peluang itu pasti akan digunakan orang keji itu untuk menghabisi
dia. 375 Perubahan kejadian ini berlangsung dalam sekejap saja, belum lagi Pwe-giok tahu jelas
duduknya perkara, tahu-tahu Am-gi atau senjata rahasia sudah menyambar tiba, bayangan
orang yang meronta-ronta juga melayang tiba sekaligus.
Mestinya Pwe-giok bermaksud menyampuk balik senjata rahasia musuh, tapi ketika tiba-tiba
diketahuinya bahwa bayangan orang yang ikut melayang tiba itu ialah Ciong Cing, bila
senjata rahasia disampuk balik niscaya akan membinasakan nona itu.
Jadi serba susah bagi Pwe-giok, kalau tidak berkelit, jiwa sendiri bisa celaka. Kalau bertindak,
jiwa Ciong Cing mungkin melayang. Dan Kwe Pian-sian tampaknya sudah memperhitungkan
dia pasti tidak tega membikin celaka Ciong Cing.
Tak terduga, pada detik terakhir tangan Pwe-giok tetap bergerak ke depan secepat kilat, cuma
tenaga yang digunakan kedua tangannya sama sekali berlainan, tenaga tangan kiri lunak,
tenaga tangan kanan keras, tangan kiri bergerak lebih dulu, dengan tenaga lunak ia
mendorong sekaligus tubuh Ciong Cing sehingga meluncur lebih jauh ke sana, sedangkan
tenaga tangan kanan yang dahsyat itu digunakan memapak hujan senjata rahasia musuh. Dan
pada saat itu pula kedua telapak tangan Kwe Pian-sian juga telah menghantam punggungnya.
Karena segenap tenaga sudah dikerahkan, Pwe-giok tidak mempunyai sisa tenaga untuk
menghindar, apalagi sisa tenaga untuk menangkis. Dalam keadaan demikian, siapapun juga
pasti akan binasa di bawah pukulan Kwe Pian-sian.
Akan tetapi di sinilah terlihat ketangkasan Ji Pwe-giok yang lain daripada yang lain,
mendadak tenaga tangan kanannya yang dahsyat tadi berubah menjadi lunak, telapak
tangannya berputar terus ditarik ke belakang, segerombolan senjata rahasia yang tergulung
oleh tenaga pukulannya itu ikut berkisar di udara terus menyamber lewat di samping Pwegiok
dan langsung menyerang Kwe Pian-sian yang berada di belakangnya.
Mimpipun Kwe Pian-sian tidak menyangka Am-gi yang dihamburkannya sendiri kini berbalik
akan makan tuannya malah. Jika pukulannya diteruskan dan dapat melukai Ji Pwe-giok, tapi
tubuh sendiri pasti juga berubah seperti sarang tawon.
Ia menjerit kaget sambil menarik tangan dan mendoyong ke belakang, sekalian ia terus
berjumpalitan ke belakang, sekalipun dia selalu menyiapkan jalan mundur, tidak urung sekali
ini bajunya terserempet robek oleh senjata rahasia sendiri.
Dalam pada itu tubuh Ciong Cing juga telah menumbuk dinding, tapi tenaga dorongan Pwegiok
juga pas sampai di situ saja, maka tumbukan pada dinding itu hampir tidak ada artinya,
tubuhnya memberosot ke bawah dengan air muka pucat, tapi tidak terluka sedikit pun.
Dengan sendirinya Pwe-giok juga tidak cedera, namun gusarnya bukan alang kepalang
terhadap manusia keji ini.
Orang ini ternyata tidak segan-segan mengorbankan gadis yang telah menolongnya, bahkan
mencintainya dengan sepenuh hati, hati orang ini tidakkah berpuluh kali lebih keji dan lebih
ganas daripada binatang buas"
Sambil meraung gusar, Pwe-giok terus menubruk ke arah Kwe Pian-sian.
376 Saking gemasnya, sekali ini dia tidak sungkan-sungkan lagi, dari bertahan ia mulai
menyerang. Tenaga pukulannya bergulung-gulung, tampaknya lunak, namun mendampar
dengan dahsyatnya sehingga patung Toa-pekong ikut bergoncang.
Sekali ini Kwe Pian-sian terpaksa harus menandingi pula dengan sepenuh tenaga.
Meski tenaga dalam Kwe Pian-sian sangat kuat, tapi kelihatan sukar bertahan lama.
Maklumlah, ia tidak biasa bertempur mati-matian dengan lawan, biasanya musuh sukar
menemukan dia, umpama bertemu, dengan tipu akalnya yang licik sudah cukup baginya
untuk menghadapinya, hakekatnya dia jarang mengeluarkan tenaga.
Apalagi akhir-akhir ini dia dilukai pula oleh Kim-yan-cu. Tikaman itu hampir mengirimnya
ke akhirat. Coba kalau dia tidak selalu membawa obat luka mujarab, tidak nanti dia dapat
sembuh dengan cepat, apalagi hendak bertempur dengan Ji Pwe-giok sekarang.
Dengan kekuatannya ini jelas dia bukan tandingan Ji Pwe-giok, tapi jurus serangannya justeru
sedemikian aneh, sedemikian cepat, gerakannya berubah-ubah tidak menentu, pukulan
pertama digunakannya dengan keras, pukulan berikutnya mendadak berubah lunak. Macammacam
gaya dan ragam jurus serangannya, hampir setiap aliran dan perguruan di daerah
Tionggoan dan di luar perbatasan dikuasainya dengan baik.
Diam-diam Pwe-giok terkesiap, beberapa kali ini hampir termakan oleh serangan lawan yang
aneh, mau-tak-mau ia harus bertempur dengan penuh kewaspadaan. Setelah beberapa puluh
jurus, tanpa terasa Pwe-giok sendiri sudah mandi keringat.
Tiba-tiba terdengar Kwe Pian-sian berseru: "Apakah anda bertekad akan membunuhku?"
Pertanyaan ini sebenarnya adalah pertanyaan Pwe-giok, tapi sekarang malah dipertanyakan
olehnya Pwe-giok jadi melengak, jawabnya dengan suara berat: "Betul!"
"Sebab apa?" tanya Kwe Pian-sian pula.
"Sebab kalau anda hidup di dunia ini, makan dan tidurku juga takkan tenteram," kata Pwegiok.
Dilihatnya waktu bicara napas Kwe Pian-sian sudah rada terengah-engah, jelas keadaannya
sudah payah, seperti busur yang sudah terpentang penuh dan sukar ditarik lagi Pwe-giok tidak
ayal, serangannya tambah gencar, ia benar-benar hendak membinasakan orang ini untuk
menyelamatkan masyarakat.
Butiran keringat tampak memenuhi dahi Kwe Pian-sian, gerak serangannya sudah lemah,
semangat ada tenaga kurang, kini serangannya lebih banyak pura-pura belaka, lambat-laun ia
sudah terdesak ke pojok ruangan.
Ciong Cing memandanginya dengan termenung, air mata tampak meleleh di pipinya.
"Baik, lebih baik mati saja," ucap Kwe Pian-sian dengan menyesal. "Memangnya apa artinya
hidup bagiku jika orang yang paling dekat denganku juga tidak sudi lagi membantuku."
377 Wajah Ciong Cing tidak nampak sesuatu perasaan, katanya dengan suara parau: "Jika kau
mati akan kutemani kau!"
"Untuk apa kau temani diriku, temani dia saja!" ucap orang she Kwe itu.
Pwe-giok menjadi gusar, sepenuh tenaga ia menghantam.
Mendadak dilihatnya kedua tangan Kwe Pian-sian menekuk ke kanan dan menikung ke kiri,
seperti lemas tanpa tenaga sedikitpun, akan tetapi gaya pukulannya serupa seratus bunga yang
baru mekar serentak. Pukulan Pwe-giok itu ternyata terbendung, betapapun sukar menembus
pertahanan lawan.
Nyata itulah kungfu istimewa Pek-hoa-bun!
Hendaklah maklum bahwa Kwe Pian-sian sangat merahasiakan asal-usulnya, ia paling tidak
suka ada orang mengetahui hubungannya dengan Hay-hong Hujin. Sebab itulah bila tidak
kepepet, tidak nanti dia mengeluarkan ilmu silat Pek-hoa bun atau perguruan seratus bunga,
lebih-lebih tidak mau memainkan ilmu pukulan Kay-pang.
Hampir seluruh ilmu silat di dunia ini yang dikuasainya dimainkannya, hanya kedua macam
kungfu yang paling menjadi kemahirannya disisakan dan baru dikeluarkan pada waktu
kepepet. Pwe-giok terkesiap melihat Kwe Pian-sian tidak berganti ilmu silat aliran lain lagi. Ia menjadi
heran, pikirnya: "Jangan-jangan ilmu silat Pek hoa-bun adalah kungfu perguruannya yang
sebenarnya?"
Setelah bergebrak lagi beberapa kali, akhirnya Pwe-giok melompat mundur dan berseru:
"Apakah kau murid Pek-hoa-bun?"
Gemerdep sinar mata Kwe Pian-sian, jawabnya perlahan: "Tiada lelaki dalam perguruan Pekhoa-
bun, masa kata-kata ini tidak pernah kau dengar?"
"Jika demikian, mengapa kau sedemikian apal ilmu silat Pek-hoa-bun?"
"Memangnya kungfu aliran lain aku tidak paham?" jawab Kwe Pian-sian dengan angkuh.
Pwe-giok menatapnya pula sejenak, katanya kemudian: "Jadi matipun tidak mau kau katakan
hubunganmu dengan Pek-hoa-bun?"
Kwe Pian-sian menengadah dan bergelak tertawa, ucapnya: "Biarpun lukaku belum sembuh
dan tenaga kurang, kukira kaupun belum tentu dapat membunuh diriku. Memangnya kau kira
orang she Kwe ini akan minta ampun padamu"!"
Pwe-giok jadi melengak, tadinya ia mengira orang ini bukan saja keji, bahkan juga takut mati.
Tak tersangka orang justeru berwatak angkuh begini. Setelah terdiam sejenak, lalu katanya
dengan gegetun: "Jika begini tinggi hati watakmu, mengapa caramu bekerja serendah dan
sekotor ini?"
378 "Hm, selama hidupku, setiap tindak-tandukku hanya ku pertanggung-jawabkan kepada diriku
sendiri, untuk apa harus kupikirkan bagi orang lain" Jika kau bermaksud memeras diriku
dengan kematianku, jalan pikiranmu ini kan teramat mentertawakan?"
Kembali Pwe-giok melengak, kekejian orang ini di luar dugaannya, keangkuhan orang bahkan
lebih-lebih di luar dugaan. Nyata, sejak mula ia sudah salah menilai orang ini.
Tiba-tiba Kwe Pian-sian bertanya: "Kau terus menerus bertanya mengenai hubunganku
dengan Pek-hoa-bun, sesungguhnya ada urusan apa?"
"Soalnya aku tidak bergebrak dengan anak murid Pek-hoa-bun," jawab Pwe-giok.
Berubah air muka Kwe Pian-sian, katanya dengan bengis: "Apa sebabnya" Memangnya apa
hubunganmu dengan Kun Hay-hong?"
Selagi Pwe-giok merasa heran oleh perubahan sikap Kwe Pian-sian itu, mendadak Ciong Cing
melompat maju dan berseru dengan suara terputus-putus: "Kau...kau sudah berjanji padaku
bahwa selanjutnya kau tidak akan menyebut namanya lagi, mengapa... sekarang kau tanyakan
hubungan orang dengan dia" Apakah... kau tetap tak dapat melupakan dia?"
Kwe Pian-sian melototi nona itu, sorot matanya mencorong gusar.
Seketika Ciong Cing menggigil, ucapnya dengan suara parau: "Mengapa kau ikut campur
urusan orang lain dengan dia" Apakah...apakah kau masih cemburu?"
Dengan gusar Kwe Pian-sian mendelik, lama dan lama barulah sorot matanya berubah tenang
kembali, katanya dengan menyesal: "Yang cemburu sekarang bukanlah diriku melainkan
kau." Dengan suara serak Ciong Cing berseru: "Caramu perlakukan diriku tadi membuktikan
sikapmu padaku hanya tipuan belaka. Apabila dia, tentu takkan kau perlakukan dia seperti
caramu tadi. Sekarang kau sangat benci padaku dan lebih suka bila aku mati, begitu bukan?"
Kwe Pian-sian termenung sejenak, jawabnya kemudian dengan perlahan: "Jika aku mati, kau
akan mengiringi aku. Bila kau mati, memangnya harus kuiringi kau?"
Ciong Cing mendekap tubuh sendiri erat-erat, sesaat ini, ia merasa hanyutlah harapannya,
runtuhlah segalanya, air matanya berderai bagai hujan, akhirnya ia menjatuhkan diri ke atas
tanah dan menangis tergerung-gerung.
Pwe-giok jadi melenggong.
Dengan perlahan Kwe Pian-sian berkata pula: "Sekarang tanpa kujelaskan tentu kau tahu apa
hubunganku dengan Pek-hoa-bun bukan?"
"Betul," jawab Pwe-giok sambil menarik napas dalam-dalam.
Perlahan Kwe Pian-sian membelai rambut Ciong Cing, lalu berkata: "Sungguh tak kusangka
anak perempuan selembut ini bisa mempunyai rasa cemburu sebesar ini."
379 Melihat tangan Kwe Pian-sian terletak di atas kepala Ciong Cing, Pwe-giok menjadi kuatir
dan berseru: "Kau...kau hendak membunuhnya?"
"Untuk apa kubunuh dia?" ujar Kwe Pian-sian. "Meski dia telah membocorkan rahasia
pribadiku, semua ini adalah karena cemburunya yang besar. Kalau dia tidak menyukai diriku
dengan sungguh hati masa dia dapat cemburu atas diriku?"
Mendadak ia bergelak tertawa dan menyambung pula: "Hahahaha! Aku dapat membunuh
orang dengan seribu alasan, tapi tidak nanti membunuh dia lantaran cemburu atas diriku!"
"Orang...orang macam kau ini juga memperhatikan urusan begini?" ucap Pwe-giok dengan
sangsi. Perlahan Kwe Pian-sian menghentikan tertawanya, di antara mata-alisnya terlihat
menampilkan semacam rasa kesepian, katanya kemudian: "Kau tahu, meski selama hidupku
mempunyai kekasih yang tak terhitung banyaknya, tapi tiada satu pun yang cemburu atas
diriku seperti dia ini."
Pwe-giok termangu-mangu, akhirnya ia berkata: "Semua ini adalah rahasia lubuk hatimu,
mengapa kau katakan padaku?"
Kwe Pian-sian tersenyum hambar, ucapnya: "Jika seorang tak dapat kubunuh, maka aku harus
menganggap dia sebagai sahabatku. Dengan demikian hatiku akan terasa tenteram, cuma
saja..." Dengan sungguh-sungguh ia menyambung:"... dapat kuberi jaminan padamu, sampai
saat ini, sahabatku belum ada tiga orang."
Dengan tajam Pwe-giok menatapnya, ia merasa watak orang ini benar-benar sangat ruwet dan
sukar dipercaya, dia seolah gabungan dari tiga empat orang yang berwatak paling ekstrim.
Dia mungkin seorang yang takut mati, kalau kau hendak membunuh dia, bisa jadi dia akan
lari atau menipu kau, bahkan menggunakan berbagai tipu muslihat yang sukar kau duga, tapi
pasti tidak akan mohon belas kasihan dan minta ampun padamu, Jika kau bertekad akan
membunuhnya, untuk itu kau harus mengadu jiwa dengan dia.


Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kwe Pian-sian juga sedang memandang Pwe-giok dengan lekat-lekat dan berucap dengan
tersenyum: "Dan sekarang, kau inilah sahabatku yang ketiga."
"Tapi darimana kau tahu aku akan mau menjadi sahabatmu?" jawab Pwe-giok, ia pun tertawa.
Dengan angkuh Kwe Pian-sian berkata: "Diriku ini boleh dikatakan salah seorang tokoh yang
paling berkuasa dan berpengaruh di bu-lim, bahkan juga tokoh yang paling kaya raya di dunia
ini. Barang siapa dapat bersahabat denganku, maka berbahagialah dia selama hidup."
"Bagimu, alasan yang kau katakan memang cukup kuat," ujar Pwe-giok dengan tersenyum tak
acuh. "Tapi bagiku, jika kuterima kehendakmu, bukankah aku seakan-akan menjadi Siaujin
(orang kecil, pengecut) yang suka mengumpak ke atas dan menjilat penguasa?"
Sambil bicara, ia terus membalik tubuh dan melangkah pergi.
"Jangan pergi dulu, sahabat!" bentak Kwe Pian-sian.
380 Meski tidak berpaling, tapi langkah Pwe-giok lantas berhenti, ucapnya perlahan: "Setelah
anda gagal mendapatkan sahabat seperti diriku ini, apakah kau ingin coba-coba lagi
membunuhku?"
"Dapatkah aku membunuh seseorang, cukup ku tahu sendiri dan tak perlu pakai coba-coba,"
kata Kwe Pian-sian. "Hanya saja... Anda sendiri kan belum coba-coba, mengapa kau menolak
tawaranku?"
Pwe-giok menghela napas panjang, katanya: "Perlu diketahui, hanya karena hubungan erat
Anda dengan Pek-hoa-bun, maka sekarang ku pergi dengan hormat, soal bersahabat... orang
macam Anda ini, betapapun aku tidak berani menaksir."
"Soalnya karena kau anggap aku ini orang yang berhati keji dan bertangan ganas, begitu?"
"Memangnya Anda tidak mengaku?"
Kwe Pian-sian tersenyum, katanya pula: "Racun meski dapat membunuh orang, kalau
digunakan dengan tepat, terkadang juga dapat menolong, betul tidak" Ada semboyan yang
menyatakan "menyerang racun dengan racun", tanpa kujelaskan tentu kau pun tahu akan
khasiatnya."
Pwe-giok terdiam sejenak, gumamnya kemudian: "Menyerang racun dengan racun..."
Mencorong sinar mata Kwe Pian-sian, ucapnya pula dengan suara mantap: "Orang seperti
anda ini, apabila dapat bekerja sama denganku, kuberani menjamin, tidak sampai tiga tahun
kita pasti dapat menjagoi bu-lim dan merajai dunia."
Pwe-giok tetap belum lagi berpaling, ucapnya dengan tak acuh: "Tidaklah anda terlalu
membesar-besarkan ambisimu"!"
"Memangnya terhitung ambisi macam apa ini?" seru Kwe Pian-sian. "Seorang lelaki sejati,
hidup di jaman begini, kan seharusnya berbuat sesuatu yang mengguncangkan bumi dan
mengejutkan langit. Kalau Ji Hong-ho itu boleh menjadi bengcu dunia persilatan, kenapa kita
tidak boleh" Orang she Ji itu, hm, tampangnya saja kelihatan halus dan baik budi, padahal
kusangsikan kejujurannya, tindak-tanduknya kelihatan main sembunyi-sembunyi, jelas dia
seorang munafik, asalkan kita dapat membongkar kedoknya..."
Belum habis ucapannya, serentak Ji Pwe-giok membalik tubuh, mukanya yang semula agak
pucat tampak bersemu merah penuh semangat, ia memburu ke depan Kwe Pian-sian dan
berseru: "Baik, cukup satu kata saja persetujuan kita. Selanjutnya kita bersatu-padu untuk
menghadapi manusia yang berhati binatang itu! Supaya mereka pun kenal bagaimana pribadi
Ji Pwe-giok ini!"
Seorang yang biasanya tenang dan lembut, kini mendadak bersemangat dan sangat emosi, hal
ini rada-rada di luar dugaan Kwe Pian-sian, tapi setelah sinar matanya gemerdep, segera ia
menjulurkan tangannya dan berkata dengan tertawa: "Baik, satu kata ini sebagai persetujuan
dan tidak boleh menyesal!"
381 Pwe-giok menengadah dan tergelak, katanya: "Apakah kau lihat aku ini mirip orang yang
suka ingkar janji?"
Mendadak di atas ruangan terdengar seorang tertawa dan berseru: "Haha, hanya kalian berdua
saja ingin malang melintang di dunia ini" Kukira masih selisih sekian jauhnya!"
Orang ini ternyata Gin-hoa-nio adanya.
Tadi Pwe-giok tidak menutuknya dengan tenaga berat, maka sekarang Hiat-to yang tertutuk
itu sudah terbuka dengan sendirinya, maka segera ia tahu siapa orang yang bicara ini.
Sudah tentu yang terkejut ialah Kwe Pian-sian, namun orang ini pun cukup tabah dan tenang,
bahkan mengangkat kepala saja tidak, ia malah menanggapi dengan tertawa seram: "Hm,
selisih apa menurut pendapatmu"!"
"Selisih diriku!" kata Gin-hoa-nio dengan tertawa genit.
Dia sudah melemaskan otot tulangnya di atas belandar, lalu membersihkan debu kotoran yang
menempel bajunya, dikeluarkannya sapu tangan untuk mengusap muka, kemudian baru
melompat turun dengan enteng.
Pribadi Gin-hoa-nio dapat digambarkan sebagai berikut: Kalah kau suruh dia membuka baju
dan menari telanjang di depan lima ratus pasang mata lelaki, maka dia pasti akan
melakukannya dengan muka berseri-seri tanpa malu sedikit pun. Tapi jika menghendaki dia
muncul di depan umum dalam keadaan urat nadinya belum lancar, mukanya belum bersih dan
bajunya kotor, maka mati pun dia tidak mau, sebab hal ini baginya adalah jauh lebih
memalukan daripada perbuatan apa pun.
Kwe Pian-sian hanya memandangnya sekejap, seketika mencorong sinar matanya.
"Hihihi, bagaimana, lumayan bukan aku ini?" ucap Gin-hoa-nio dengan kerlingan yang bisa
bikin lelaki jatuh kelengar.
"Ya, lumayan bahkan lebih dari lumayan," jawab Kwe Pian-sian dengan rada gelagapan.
Gin hoa nio menghela napas, ucapnya pula dengan menunduk:" Sayang diatas sana tidak ada
cermin, kalau ada, tentu aku akan jauh lebih enak dipandang."
"Begini saja sudah cukup," ujar Kwe Pian-sian dengan tertawa.
Mendadak Ciong Cing memburu maju dan membentak dengan mata melotot: "Kau ini siapa"
Mengapa kau mencuri dengar rahasia orang di sini" Apakah kau tidak ingin hidup lagi?"
"Eh, adik cilik," jawab Gin-hoa-nio dengan tertawa nyaring," jangan kau menakuti diriku,
nyaliku biasanya sangat kecil."
"Jika begitu, lekas enyah kau!" bentaknya dengan gusar.
Gin-hoa-nio tertawa ngikik, ucapnya:" Adik cilik yang baik, tidak perlu kau usir diriku, ku
tahu kau ini gentong cuka (maksudnya pencemburu), tapi jangan kau salah sangka,
382 perempuan macamku ini, kalau ingin lelaki, cukup jariku bergerak saja dan lelakipun akan
datang sendiri, masa perlu kurebut lakimu?"
Sampai pucat muka Ciong Cing saking dongkolnya, tapi tak tahu cara bagaimana melayani
orang. Pwe-giok lantas menyela: "Jika kau ingin merecoki anak perempuan, hendaklah kau cari
sasaran yang lain."
Terkial-kial Gin-hoa-nio tertawa, katanya:" Ku tahu Ji-kongcu pasti akan membela keadilan
lagi, tapi ......ai, mohon janganlah engkau marah, aku tidak takut terhadap siapa-siapa, hanya
takut padamu!"
Dia memandang Kwe Pian-sian sekejap, lalu berkata pula dengan tertawa kenes: "Aku dan dia
boleh dikatakan senasib, sama-sama pernah keok di bawah tangan Ji-kongcu. Sekarang kalau
Ji-kongcu menyuruh kami berduduk, tidak nanti kami berani berdiri."
Berulang-ulang dia menyebut "senasib" dan "kami" seolah-olah dia dan Kwe Pian-sian sudah
menjadi sepasang merpati yang sehidup dan semati tak terpisahkan.
Pwe-giok tahu Gin-hoa-nio mulai lagi main gila, hanya dengan beberapa patah-kata saja Kwe
Pian-san sudah digaet ke pihaknya.
"Sesungguhnya apa kehendakmu, boleh cepat kau katakan saja!" ucapnya dengan menghela
napas. Gin-hoa-nio mengerling genit, jawabnya: "Bukankah tadi sudah kukatakan?"
"Tapi aku tidak paham apa maksudmu?" kata Pwe-giok.
"Kan sudah kukatakan, bila kalian ingin merajai dunia, kukira masih selisih sekian jauhnya,
tapi kalau diriku ditambahkan...." dia tertawa manis, lalu menyambung: "Dengan tenaga
gabungan kita bertiga barulah benar-benar tiada tandingannya lagi di dunia ini."
"Hahahaha!" Kwe Pian-sian terbahak-bahak." Kiranya kaupun ingin bersekutu dengan kami."
"Betul, ingin ku jadi sahabatmu yang ke empat," jawab Gin-hoa-nio dengan main mata.
Kwe Pian-sian memandangnya dari atas ke bawah dan kembali dari bawah ke atas, ucapnya
kemudian dengan tersenyum:" Perempuan cantik semacam kau, untuk menjadi selir raja saja
melampaui syarat, tapi belum cukup kalau ingin menjadi sahabatku."
Sambil menggerakkan pinggulnya Gin-hoa-nio bertanya dengan tersenyum genit:" Masa aku
kalah dibandingkan para kekasihmu itu?"
"Kekasih dan sahabat tidaklah sama," ujar Kwe Pian-sian. "Kekasihku memang jumlahnya
sukar dihitung, tapi sahabatku hanya tiga. Malahan yang dua sudah lama mati."
Gin hoa-nio menggigit bibir, katanya kemudian:" Jika demikian, cara bagaimanakah baru
dapat ku jadi sahabatmu?"
383 "Coba katakan dulu syarat apa saja yang kau miliki," kata Kwe Pian-sian.
Dengan kerlingan mautnya, Gin-hoa-nio menjawab dengan tertawa:" Sekalipun aku bukan
perempuan tercantik di dunia ini, tapi ku tahu cara bagaimana membikin senang lelaki. Jika
kau tidak percaya, selanjutnya lambat laun kau pasti akan tahu."
"Ya, kupercaya selekasnya aku pasti akan tahu," kata Kwe Pian-sian dengan memicingkan
mata. "Tapi ini saja belum cukup."
"Akupun terhitung wanita yang paling berpengaruh di dunia ini, cukup dengan sepatah kataku
saja segera dapat kukerahkan beberapa ribu orang di lima propinsi sekitar sini."
Apa yang ditambahkan Gin-hoa-nio ini memang bukan bualan, sebab kekuasaan Thian-cankau
di wilayah propinsi-propinsi yang dimaksud memang sudah tersebar sampai setiap
pelosok. Tapi Kwe Pian-sian tetap menanggapi dengan tertawa hambar:" Kebaikan satu-satunya bila
jumlah orang banyak hanya lebih banyak nasi yang harus disediakan."
Gin hoa nio mengerling, katanya pula: "Dan aku pun wanita yang paling kaya di dunia ini,
kekayaan ku mungkin setan pun dapat ku beli. Jika kau tidak percaya, sebentar lagi dapat
kubuktikan."
Terbeliaklah mata Kwe Pian sian, ucapnya dengan tertawa: "Wah, kalau begitu, rasanya
sudah mendekati."
"Tapi ini pun belum cukup," tiba-tiba Pwe giok menimbrung.
Gin hoa nio memelototi anak muda itu sekejap, lalu berkata pula dengan perlahan: "Kekejian
hatiku, keganasan caraku, kuyakin tidak di bawah siapa pun juga. Jika kau ingin "menyerang
racun dengan racun", maka tiada yang lebih cocok lagi daripada mencari diriku, apalagi ...."
dengan tersenyum ia meneruskan: "Aku pun seorang perempuan, ada sementara urusan akan
jauh lebih leluasa dilakukan oleh perempuan seperti diriku ini daripada lelaki."
Pwe giok berpikir sejenak, kemudian berkata dengan tertawa: "Baik, kukira sudah cukup
sekarang."
"Dan kau?" tanya Gin hoa nio sambil menatap Kwe Pian sian.
"Kau adalah sahabatku yang ke empat," jawab orang she Kwe itu dengan tertawa.
Gin hoa-nio berkeplok tertawa, katanya: "Bagus, sekarang kalau ada orang yang berani
merecoki kita, maka celakalah dia!"
***** 384 Pada setengah hari sebelumnya, mimpi pun Pwe giok tidak menyangka dirinya dapat
bersekutu dengan seorang lelaki seerti Kwe Pian sian dan seorang perempuan seperti Gin hoa
nio. Tapi sekarang jalan pikirannya sudah berubah sama sekali.
Pertemuan Hong ti tempo hari boleh dikatakan sudah menjaring seluruh pahlawan dan ksatria
golongan Pek to (golongan baik), setiap orang yang mengaku sebagai pendekar pembela
kebenaran dan keadilan, kini sudah tunduk dan menurut kepada "Ji Hong ho", seorang diri
cara bagaimana Ji Pwe giok mampu melawannya" Dan siapa pula yang mau percaya kepada
apa yang dikatakan anak muda ini"
Karena itulah, terpaksa Pwe giok mencari jalan yang lain, satu-satunya jalan yang dapat
ditempuhnya, yaitu: "Menyerang raun dengan racun".
Kini ia sudah tahu jelas wajah asli orang-orang yang menamakan dirinya sebagai pendekar
dan ksatria itu. Misalnya Tong Bu siang, itu ketua keluarga Tong yang termasyhur, berapa
lebih banyak kebaikannya dibandingkan Gin hoa nio"
Maka kawan yang dicarinya sekarang adalah orang-orang yang biasanya dipandang jahat
seperti ular atau kelabang, hanya dengan cara demikian ia dapat menyingkap wajah asli
orang-orang yang mengaku sebagai ksatria dan pendekar itu.
Falsafah yang dianut Pwe giok sekarang adalah berdasarkan hati nuraninya sendiri, asalkan
dirinya merasa benar, maka cukuplah, perduli pendapat orang lain"
***** Di sini adalah sebuah tanah pekuburan yang sepi dan dingin.
Sudah jauh malam, bulan guram bintang suram. Alang-alang tinggi mengelilingi gundukan
kuburan yang tak terawat, barangkali tiada tempat lain di dunia yang lebih hening dan rawan
dari pada tempat ini.
Yang tertanam di sini rata-rata adalah kaum miskin yang hidup sengsara dan direndahkan,
waktu hidup mereka nelangsa, sesudah mati mereka pun kesepian dan kapiran.
Ciong Cing memegangi tangan Kwe Pian sian erat-erat, tapi matanya memelototi Gin hoa nio,
katanya dengan mendongkol: "Untuk apa kau bawa kami ke sini" Apa maksudmu"
Gin hoa nio tertawa, jawabnya: "Apakah kau takut, adik yang baik" Sesungguhnya tempat ini
tidak menakutkan, bahkan boleh dikatakan sangat menarik."
Terbelalak lebar mata Ciong Cing, teriaknya: "Menarik" Kau bilang tempat begini ini
menarik?" "Pada malam bulan purnama, arwah setan kuburan ini akan bangun dari kuburan masingmasing
dan menari di bawah sinar bulan yang terang. Coba lihat, bisa jadi sekarang juga
mereka sudah muncul," dengan tertawa Gin hoa nio berkata.
Kebetulan angin meniup dan api setan (posfor) beterbangan, pepohonan sama bergemerisik
sehingga mirip bisikan setan.
385 Ciong Cing merinding dan menggigil, tapi ia berlagak tabah dan mendengus: "Huh, jika benar
mereka muncul dan menari di sini, aku akan ikut menari bersama mereka."
Gin hoa nio tertawa terkekeh-kekeh, katanya: "Bagus, melihat anak perempuan cantik seperti
kau, tentu saja mereka akan berebut menari dengan kau, bahkan pasti tidak mau melepaskan
kau lagi."
Bergidik Ciong Cing, tanpa terasa ia menubruk ke rangkulan Kwe Pian-sian. Maka tertawalah
Gin-hoa-nio hingga terpingkal-pingkal.
Dengan tersenyum Kwe Pian-sian lantas berkata: "Boleh juga kau, hanya kau yang dapat
menyembunyikan harta pusaka di tempat begini."
Gin-hoa-nio mengerling genit, ucapnya: "Apa yang kulakukan ternyata tak dapat mengelabui
kau. Isi hatiku juga cuma kau saja yang tahu, apakah kita berdua memang berasal dari
sejenis?" Pwe-giok menghela napas, katanya dengan gegetun: "Moga-moga orang sejenis kalian ini
tidak terlalu banyak di dunia ini."
"Orang sejenis kami ini pasti tidak banyak, cukup kami berdua saja," jawab Gin-hoa-nio
dengan tertawa, lalu ia melirik Kwe Pian-sian dan menambahkan: "Betul tidak?"
Baru saja Kwe Pian-sian tertawa dan belum bicara, serentak Ciong Cing melonjak dan
menjengek: "Hm, seumpama kau ingin memikat lelaki, kan tidak perlu di tempat begini?"
"Wah, lihatlah, gentong cuka kita pecah lagi," seru Gin-hoa-nio dengan tertawa.
Pwe-giok berkerut kening, katanya: "Apakah benar kau sembunyikan harta bendamu itu di
dalam kuburan?"
"Betul," jawab Gin-hoa-nio. "Kutemukan dua orang gelandangan, kuberi minum arak mereka,
ketika mereka sudah lebih dari setengah mabuk, kubawa mereka ke sini untuk menggali
sebuah kuburan baru, orang mati di dalam peti kubongkar, lalu kuganti dengan harta pusakaku
dan peti mati kututup kembali."
Dia tertawa terkikik-kikik, lalu menyambung pula: "Coba, bagus tidak akalku ini" Di sini
adalah kuburan setan rudin, maling penggali kuburan juga takkan menaksirnya. Bila kutanam
harta karunku di sini, kecuali setan, siapa yang tahu?"
Kwe Pian-sian tersenyum, katanya: "Dan kedua orang yang kau suruh menggali itu?"
"Kutahu caraku menyelesaikan mereka tentu tak dapat mengelabui kau," ujar Gin-hoa-nio
dengan tertawa. "Setelah mereka membantuku, dengan sendirinya harus kubalas jerih payah
mereka, maka kusediakan satu poci arak yang paling enak, kuiringi mereka menghabiskan
arak sepoci penuh itu..." dia menghela napas, lalu menyambung lagi dengan tersenyum:
"Cuma sayang, dasar orang melarat, diberi arak enak juga tak sanggup menikmatinya, belum
habis arak diminum mereka sudah mabuk dan tak pernah bangun lagi."
386 Perbuatan rendah dan keji ini, andaikan orang lain berani melakukannya, tentu juga tidak
berani membicarakannya kepada orang lain. Tapi cara Gin-hoa-nio bicara bukan saja bangga
seolah-olah harus diberi piala, bahkan ia berkisah seperti perbuatannya ini harus dicatat dalam
sejarah. Kwe Pian-sian memandang Pwe-giok sekejap lalu berkata: "Jika kedua orang itu mau
menggali kuburan bagimu, dengan sendirinya mereka pun bukan manusia baik-baik. Orang
semacam mereka itu biarpun sehari mati sepuluh atau seratus juga tidak perlu disayangkan.
Betul tidak, Ji-heng?"
Sebenarnya Pwe-giok hendak bicara sesuatu, tapi sekarang dia hanya menghela napas saja.
Begitulah mereka berempat terus berputar kian kemari mengelilingi tanah pekuburan itu,
sampai sekian lamanya, mendadak Gin-hoa-nio berhenti dan berkata: "Ini dia, di sini.
Dihitung dari sebelah timur, inilah kuburan ke-27. Pohon kecil di atas kuburan ini malah aku
sendirilah yang menandurnya.
"Tidak perlu kau jelaskan lagi, kupercaya tidak nanti kau lupakan pekerjaanmu ini," kata
Pwe-giok. "Kuburan ini sudah tidak ada orang matinya melainkan cuma terdiri dari gundukan tanah
belaka," kata Gin-hoa-nio pula. "Ku tahu Ji-kongcu kita pasti tidak sudi menggali kuburan,
kalau mencangkul tanah tentunya tidak menjadi soal bukan?"
Padahal sebenarnya dia tidak perlu lagi memancing-mancing Ji Pwe-giok, keadaan anak muda
ini sekarang sudah jauh lebih terbuka daripada dahulu, segala apa dirasakannya sebagai
kejadian biasa saja, mana dia mempersoalkan gali kuburan segala.
Setelah gundukan tanah dibongkar, tertampaknya sebuah peti mati dari kualitas rendah.
"Ini dia, memang peti mati inilah," kata Gin-hoa-nio. "Di atas peti malah sudah kuberi tanda.
Isi peti mati ini sebenarnya seorang perempuan muda, konon mati kaku saking gemasnya
karena suaminya punya istri muda." Mendadak ia berpaling dan tertawa terhadap Ciong Cing,


Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

katanya: "Coba bandingkan, bukankah rasa cemburunya jauh lebih gede daripadamu?"
Muka Ciong Cing tampak pucat pasi, ia menggigit bibir dan tidak menjawab.
Gin-hoa-nio terkikik-kikik, katanya pula: "Konon seorang kalau sudah mati, biarpun
mayatnya sudah digotong pergi, tapi kalau malam tiba, arwah setannya tetap akan pulang dan
tidur di peti matinya. Karena kalian adalah perempuan sejenis, bila kubuka peti mati ini, dia
pasti takkan mencari orang lain, orang pertama yang akan dicarinya pastilah kau. Maka lebih
baik lekas kau menyingkir sejauh-jauhnya."
Meski sedapatnya Ciong Cing bikin tabah hatinya, tapi tanpa terasa langkahnya malah
menyurut mundur. Ketika angin malam meniup, ia merasa punggungnya dingin, rupanya
keringat dingin telah membasahi bajunya.
"Kriuut", tutup peti mati telah dibuka. Gin-hoa-nio sendiri yang bermaksud menakuti orang
mendadak menjerit kaget malah.
387 Suaranya yang parau kedengarannya seperti lengking setan di malam sunyi.
Kwe Pian-sian dan Ji Pwe-giok juga saling pandang belaka, mereka seolah-olah juga
melenggong kaget.
Di dalam peti mati ternyata tiada harta karun segala, yang ada hanya sesosok mayat yang
mengerikan. Wajahnya yang abu-abu dan setengah menyeringai itu seakan-akan hendak
berkata kepada Gin-hoa-nio: "Bukan saja arwah setanku sudah pulang ke sini, bahkan
mayatku juga pulang lagi!"
Angin meniup pula dan alang-alang gemerisik, api setan bertaburan di udara.
Saking kejutnya Gin-hoa-nio berteriak: "Jelas-jelas mayatnya telah ku bongkar keluar dan
jelas-jelas ku taruh harta pusakaku di dalam peti, mengapa...mengapa sekarang..." ia merasa
kedua kakinya lemas, belum habis ucapannya ia lantas jatuh terduduk.
Di bawah cahaya bintang yang remang-remang, tangan orang mati itu tampaknya memegang
secarik kertas. Kwe Pian-sian mendapatkan satu ranting kayu dan mencungkit kertas itu,
ternyata di situ tertulis: "Waktu hidupku keluargaku berantakan akibat seorang perempuan
hina, sesudah mati sekarang kau pun akan merampas lagi rumahku ini?"
Kedua baris huruf itu tertulis dengan tak teratur, kertas itupun terasa seram, Kwe Pian-sian
merasa jari sendiripun rada gemetar dan kertas itu pun terjatuh. Betapapun tabahnya, tidak
urung merinding juga dia.
Hanya Ji Pwe-giok saja, peristiwa aneh dan sukar dibayangkan ini sudah banyak dialaminya,
maka ia tidak kaget juga tidak takut, dengan hambar ia tanya Gin-hoa-nio: "Waktu kau tanam
harta karunmu itu, apakah benar tidak dilihat orang lain?"
Gin-hoa-nio sudah berbangkit, tapi tubuh masih gemetar, jawabnya dengan terputus-putus:
"Ti...tidak ada!"
"Anehlah kalau begitu," kata Pwe-giok sambil berkerut kening.
"Jika demikian, kecuali kedua orang itu hidup kembali, kalau tidak masa..."
Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong di kejauhan berkumandang suara orang tertawa
terkekeh-kekeh sambil berseru:
"Wah, lezat, nikmat, arak enak, arak bagus, tambah satu poci lagi!"
Di tengah suara tertawa aneh itu, sebuah lampu berkerudung warna merah seperti api setan
melayang-layang tiba dalam kegelapan. Sesudah dekat baru kelihatan di balik lampu masih
ada dua sosok bayangan orang.
Gin-hoa-nio ketakutan dan berteriak: "Itu...itu dia...kedua orang inilah!"
Kwe Pian-sian mencengkeram tangannya dan bertanya dengan suara tertahan: "Racunmu
manjur atau tidak?"
388 "Kenapa tidak?" jawab Gin-hoa-nio dengan suara parau. "Racun Thian-can, tiada obatnya di
dunia!" Tiba-tiba orang yang membawa lampu merah itu terkekeh-kekeh pula dan berkata: "Hehehe,
kau kira setelah kami mati kau racuni lantas segala urusan akan beres"!"
Seorang lagi menanggapi dengan suara serak: "Sudah mati kami hidup kembali dan sengaja
hendak menagih nyawa padamu!"
Di bawah cahaya lampu yang merah itu, wajah kedua orang samar-samar kelihatan berlepotan
darah, mata, telinga, hidung, mulut, semuanya penuh darah yang bertetes-tetes.
Mendadak Kwe Pian-sian membentak: "Orang mati mana bisa hidup kembali" Biarlah kalian
mati sekali lagi!" Berbareng itu berpuluh bintik sinar perak terus menyambar ke depan bagai
hujan. Kedua orang itu menjerit satu kali terus roboh terjungkal, lampu merah itu lantas menyala, di
tengah gemerdep cahaya api tubuh kedua orang itu tampak berkelojot, lalu tidak bergerak
lagi. "Haha, kiranya setan juga tidak perlu ditakuti, hanya secomot senjata rahasia saja tidak
tahan!" seru Kwe Pian-sian sambil tertawa.
"Tapi...tapi mereka jelas-jelas sudah pernah mati... masa seorang bisa mati dua kali?" seru
Gin-hoa-nio dengan gemetar.
Mencorong sinar mata Pwe-giok, tanyanya dengan suara tertahan: "Apakah betul racun
Thian-can tidak dapat diobati, sampai perguruanmu sendiri juga tidak mempunyai obat
penawarnya?"
Tergetar tubuh Gin-hoa-nio, cepat ia melompat ke depan kedua sosok mayat itu, di bawah
cahaya api yang belum padam itu ia memeriksa sejenak, tiba-tiba dia bergelak tertawa pula.
"Apa yang kau tertawakan" Masa cairan yang mengalir di muka mereka itu bukan darah?"
tanya Kwe Pian sian.
Gin hoa nio tidak menjawabnya, tapi terus tertawa dan berseru: "Ayah, jika Anda sudah
datang, mengapa tidak keluar saja kemari?"
Dalam kegelapan sunyi senyap, mana ada jawaban orang"
Segera Gin hoa nio berkata pula: "Kiranya ayah selalu mengikuti jejakku, harta karun yang
kutanam di sini telah engkau gali. Kuracun mati kedua orang ini, engkau pun menghidupkan
mereka. Engkau tahu aku pasti akan kembali lagi ke sini, maka engkau lantas menggunakan
mereka untuk menakuti diriku?"
Dia tertawa terkekeh-kekeh, lalu menyambung pula: "Sekarang anak benar-benar hampir mati
ketakutan, sekali pun ayah hendak menghukum anak, tapi rasanya anak kan sudah cukup
dihukum dan mestinya engkau tidak keberatan untuk keluar dan bertemu dengan anak?"
389 Di tempat gelap di kejauhan sana akhirnya bergema suara seorang: "Pusaka perguruan kita
ternyata akan kau caplok sendiri, dosamu ini sebenarnya pantas dihukum mati, mayat hidup
tadi hanya sekedar hukuman kecil saja, bila tidak mengingat kau adalah anakku sendiri, tentu
kuhukum kau menurut peraturan perguruan."
Suara itu mengambang terbawa angin, kedengarannya sudah berpuluh tombak jauhnya.
Gin hoa nio menghela napas lega, gumamnya: "Keji amat, satu biji mutiara saja tidak
disisakan bagiku."
Kwe Pian sian termenung agak lama, tiba-tiba ia tertawa dan berkata: "Sang ayah ternyata
tega menyamar sebagai setan untuk menakuti anak perempuan sendiri, kejadian ini sungguh
jarang ada di dunia."
"Apakah kau kira dia benar-benar cuma hendak menakuti aku saja?" tanya Gin hoa nio.
"Masa bukan begitu?" kata Kwe Pian Sian.
"Tadinya dia mengira aku pasti akan datang sendirian, bila aku ketakutan dan jatuh pingsan
maka tamatlah riwayatku. Dengan demikian aku akan mati secara konyol, jadi setan pun tidak
tahu siapa yang membunuh diriku. Beginilah biasanya cara Thian can kau kami membunuh
orang." "Tapi jangan lupa, betapapun dia kan ayahmu?" ujar Pwe giok sambil berkerut dahi.
"Ayah" Memangnya kenapa kalau ayah?" tukas Gin hoa nio dengan hambar. "Thian can kau
hanya kenal peraturan perguruan dan tidak kenal kasih sayang sanak keluarga. Kali ini aku
tidak dibunuhnya hanya karena dia merasa tidak sanggup merecoki kalian berdua."
Tiba-tiba ia tertawa terkial-kial lalu menyambung pula: "Coba kalian pikir, bilamana dia
seorang yang berperasaan, pantaskah menjadi Thian can kaucu?"
Kwe Pian sian menghela napas panjang, katanya: "Sungguh Thian can kaucu yang tidak
bernama kosong! Kekejian hatinya dan keganasan tindakannya sungguh aku pun rada-rada
kagum padanya."
"Dan ada ayah demikian barulah ada anak seperti aku ini," tukas Gin hoa nio. "Meski dia
ingin membunuhku, tapi aku tidak menyalahkan dia, malahan aku merasa bangga mempunyai
ayah seperti dia ini."
"Hm, sekarang kau sepeser saja tidak punya apa yang kau banggakan?" jengek Kwe Pian sian.
Gin hoa nio memandangnya termangu-mangu sejenak, tiba-tiba dia tertawa terkikik-kikik
pula, katanya: "Hihihi, kau memang tidak malu sebagai sejenis denganku. Orang kaya
memandang hina orang miskin, ini kan lumrah. Aku sendiri pun suka menghina orang rudin.
Tapi kalau orang seperti diriku ini sepeser saja tidak punya, bukankah setiap orang di dunia
ini akan mati melarat seluruhnya?"
"Memangnya kau...."
390 Belum lanjut ucapan Kwe Pian sian dengan tertawa Gin hoa nio memotong: "Walaupun aku
tidak tahu diam-diam dibuntuti dia, tapi sebelumnya akupun sudah berjaga-jaga akan
kemungkinan ini. Sebagian harta pusakaku sudah kusembunyikan di tempat lain."
"Oo, di mana kau sembunyikan?" Kwe Pian Sian jadi tertarik.
"Sudah tentu di tempat yang selamanya takkan kalian temukan," ujar Gin hoa nio dengan
tertawa penuh rahasia.
***** Bahwa ada orang yang menyimpan harta karun di suatu tanah pekuburan yang sunyi, di dalam
peti mati seorang perempuan miskin dari rakyat biasa ini saja tidak pernah dibayangkan
orang. Tapi sekarang Gin hoa nio bilang sebagian harta karunnya tersimpan di suatu tempat
yang tak mungkin ditemukan orang lain. Lalu tempat ini bukankah lebih-lebih sukar untuk
dibayangkan?"
Siapa tahu Gin hoa nio bukannya membawa mereka ke suatu tempat yang terlebih sepi dan
lebih seram daripada kuburan, tapi berbalik membawa mereka ke suatu tempat yang ramai, ke
suatu kota kecil yang tidak jauh dari tanah pekuburan itu.
Meski suasana kota sudah sunyi, namun kelihatan bangunan kota kecil ini cukup menarik.
Melihat orang-orang itu sama heran dan sangsi, Gin hoa nio lantas berkata dengan tertawa:
"Tentunya semula kalian menyangka tempat yang akan kutunjukkan pasti suatu tempat
terlebih terpencil dan lebih rahasia, siapa tahu aku malah membawa kalian masuk ke kota
yang ramai ini, jadi kalian terheran-heran, begitu bukan?"
"Ya," jawab Pwe giok.
Gin hoa nio menunjuk deretan rumah di dalam kota dan berkata pula: "Kota kecil ini bernama
Li toh tin, rumah yang agak tinggi di ujung sana itu adalah sebuah rumah penginapan yang
bernama Li keh can. Kira-kira setengah bulan yang lalu pernah kutinggal beberapa hari di
hotel itu dengan membawa harta karunku itu."
"Memangnya sebagian harta itu kau sembunyikan di Li keh can itu?" dengus Ciong Cing.
"Betul, tampaknya kau sudah mulai pintar," kata Gin hoa nio dengan tertawa. Lalu ia
menyambung: "Lebih dulu kubungkus sebagian batu pertama dengan sepotong kain hitam dan
kutaruh bungkusan ini di antara rusuk atap rumah, kemudian ku masukkan sisa harta yang lain
ke dalam peti dan kusembunyikan di peti mati itu.
Ciong Cing mencibir, jengeknya: :Huh, kukira kau sembunyikan barangmu di tempat yang
luar biasa, tak tahunya cuma kau taruh di atap rumah, anak kecil saja dapat menemukan
tempat begini."
"Adik yang baik, meski kau tidak bodoh, bahkan tampaknya mulai pintar, tapi apa yang kau
lihat sesungguhnya terlalu sedikit, banyak urusan yang tidak kau pahami," kata Gin hoa nio
dengan tertawa. "Meski tempat yang kugunakan ini tampaknya sangat sederhana, tapi
391 sebenarnya tempat yang paling aman, bila kau tidak percaya boleh kau tanya dia... Dia pasti
jauh lebih paham daripadamu...." ia melirik ke arah Kwe Pian sian dan bertanya: "Betul
tidak?" "Betul," jawab Kwe Pian sian. "Tempat yang paling mudah diketemukan orang terkadang
malah tidak diperhatikan dan takkan dicari ke situ, sebab siapa pun tidak percaya bahwa
barang-barang yang begitu berharga akan kau sembunyikan di tempat begitu."
"Apalagi," tukas Gin hoa nio, "dengan tindakanku itu, sekalipun ada orang diam-diam
menguntil diriku, ketika melihat kusembunyikan peti harta karun ke dalam peti mati, tentu dia
takkan menyangka sebagian dari harta pusaka itu sudah kusembunyikan dulu di atas rumah."
Dia melirik sekejap ke arah Ciong Cing, lalu bertanya dengan tertawa: "Nah, adik cilik,
sekarang tentunya kau paham bukan?"
"Hm, aku tidak mempunyai kebiasaan main sembunyi-sembunyi begitu, urusan begini
hakekatnya tidak perlu kupahami," jengek Ciong Cing.
"Memang, cukup bagimu asalkan kau paham minum cuka saja," kata Gin hoa nio dengan
tertawa genit. Saking dongkolnya sampai jari Ciong Cing gemetar, tapi tidak sanggup bersuara lagi.
Gin hoa nio berucap pula: "Ku tahu di depan hotel itu ada sebuah rumah kecil berloteng, dari
atas loteng dapat melihat jelas setiap gerak-gerik di sekitarnya. Boleh kita ke loteng itu dulu
baru nanti memutuskan cara bagaimana kita harus bertindak."
"Tak tersangka caramu bekerja juga secermat ini," ujar Kwe Pian sian dengan tersenyum.
"Orang yang bekerja cermat tentu akan hidup lebih lama sedikit.... Bukankah kita bertiga
sama-sama orang yang suka bekerja cermat?" kata Gin hoa nio dengan tertawa.
Di atas loteng kecil itu memang dapat memandang sekelilingnya, bahkan hampir seluruh kota
kecil itu dapat terlihat dengan jelas, di atas loteng inilah Kim yan cu menyaksikan Gin hoa nio
mengerjai "su ok siu" atau tempat binatang buas itu.
Sekarang Gin hoa nio juga mengajak mereka ke atas loteng ini untuk mengintip orang lain.
Mereka mengitar ke belakang rumah, lalu meloncat ke atas loteng.
Baru saja mereka berjongkok dan mengintai ke sana, seketika mereka berempat sama
melenggong. Sudah jauh malam begini, rumah penginapan di depan itu ternyata masih terang benderang,
jendela juga masih terbentang, entah sejak kapan di sekeliling rumah itu sudah ditambah
beberapa bangku tinggi, di atas bangku tersulut lilin raksasa sebesar lengan sehingga rumah
yang paling besar di Li toh tin ini terang benderang seperti di siang hari.
Sebuah meja besar tampak tertaruh di tengah ruangan, dua orang duduk berhadapan sedang
main catur. Di samping mereka berdiri beberapa orang dengan berpangku tangan, asyik
menonton pertandingan catur itu.
392 Main catur sampai jauh malam, hal ini jarang terlihat, bahkan yang menonton juga berminat
mengikutinya sampai laut malam begini, sungguh kecanduan catur mereka ini jarang terdapat.
Yang paling aneh bukanlah permainan catur dan penontonnya melainkan kedua pemain catur,
yakni yang mengejutkan Ji Pwe giok dan lain-lain, karena kedua pemain catur itu adalah Tong
Bu siang dan Ji Hong ho.
Yang menonton di samping selain Lim Soh koan yang dikenal Pwe giok itu, yang lain-lain
kebanyakan gagah perkasa, jelas semuanya jago silat pilihan.
Ciong Cing juga terkejut, sebab mendadak dilihatnya tokoh Kangouw sebanyak itu, ia
menjadi kuatir kalau di antaranya ada yang kenal dia sehingga jejaknya akan ketahuan
gurunya itu. Sedangkan terkejutnya Kwe Pian sian adalah karena semula dia menyangka Tong Bu siang
dan Ji Hong ho sedang berbuat sesuatu yang kotor yang tidak boleh diketahui orang lain. Tak
tersangka kedua orang ini justeru menuju ke Li toh tin sini untuk main catur.
Ji Pwe giok juga terkejut, ia pun tidak menyangka kedua orang itu bisa main catur di sini,
lebih-lebih tidak tahu "Tong Bu siang" yang sedang main catur ini Tong Bu siang tulen atau
palsu. Yang paling terkejut di antara mereka berempat ialah Gin hoa nio. Sampai lama ia
melenggong, akhirnya ia menghela napas perlahan dan berkata: "Thian benar-benar tidak mau
membantu, orang-orang ini tidak mau ke timur atau ke barat, tapi justeru main catur di sini.
Dengan beradanya mereka di situ, untuk mengambil barang, terpaksa kita harus menunggu."
"Marilah pergi saja!" ajak Kwe Pian sian sambil berkerut kening.
"Pergi?" Gin hoa nio menegas.
Kwe Pian sian membisikinya: "Habis kita tidak tahu sampai kapan baru permainan catur
mereka akan berakhir. Bahkan habis main catur mereka pun belum tentu akan segera pergi,
kan percuma kalau kita hanya menunggu saja di sini."
"Tidak, kita tidak boleh pergi," tiba-tiba Pwe giok menyela. "Betapapun, baik tulen atau palsu
"Tong Bu siang" ini, dia harus tetap membayanginya hingga jelas."
Segera Gin hoa nio menyatakan setuju. "Betul, betapa pun kita harus tetap berjaga di sini."
"Tapi fajar sudah hampir menyingsing, apakah kita dapat tinggal lama-lama di sini?" kata
Kwe Pian sian. Gin hoa nio tertawa, katanya: "Di atas sini tentu tidak dapat, tapi di dalam rumah kan boleh?"
Segera ia mengitar ke bagian belakang dan melongok ke bawah, ia coba mendorong daun
jendela tingkat bawah, jendela ternyata tidak tertutup, dengan mudah ia membuka daun
jendela dan melayang turun ke sana.
393 Meski Pwe giok tidak suka sembarangan terobosan di rumah orang, tapi dalam keadaan
mendesak ia pikir memang tidak jalan lain, terpaksa ia pun ikut melayang masuk ke sana.
Di dalam rumah itu tiada lampu, jendela yang lain juga tertutup rapat, suasana dalam rumah
menjadi gelap gulita, sampai jari sendiri pun tidak kelihatan. Gin hoa nio lantas mengeluarkan
ketikan dan membuat api.
Tadinya ia menyangka di dalam rumah pasti tidak ada orang, andaikan ada tentu juga sudah
tidur seperti babi mampus. Siapa tahu, begitu api menyala, tiba-tiba diketahuinya ada dua
pasang mata sedang memandangnya dengan diam-diam.
Kedua pasang mata itu terbelalak lebar, sama sekali tidak berkedip.
Keruan Gin hoa nio terkejut pula, hampir saja obornya jatuh.
Terlihat sekarang, di dalam rumah yang terpajang cukup indah dan resik ini ada sebuah
tempat tidur yang sangat besar, di situ berbaring satu orang dengan rambut kusut, mukanya
pucat dan kurus kering, hampir tidak menyerupai bentuk manusia lagi.
Saat ini belum musim dingin, tapi orang ini memakai beberapa lapis selimut tebal, sekujur
badannya terbungkus rapat di dalam selimut, hanya kepalanya saja yang menongol di luar. Di
sampingnya berduduk seorang anak perempuan yang tampaknya baru berusia 11 atau 12,
anak ini kelihatan ketakutan sehingga tubuhnya meringkuk menjadi satu, hanya kedua
matanya yang besar itu sedang memandang pendatang-pendatang yang tidak diundang ini.
Setelah mengetahui siapa-siapa yang menghuni kamar ini, Gin hoa nio tidak banyak pikir lagi,
dengan tertawa manis ia menyapa: "Sudah jauh malam begini, apakah kalian belum tidur?"
Nona cilik itu mengiakan sambil manggut-manggut.


Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jika tidak tidur, mengapa tidak menyalakan lampu, seperti kucing saja bersembunyi dalam
kegelapan," kata Gin hoa nio pula.
Kembali nona cilik itu hanya terbelalak dan menggeleng.
Orang yang tampaknya sakit sudah sangat parah itu tiba-tiba tersenyum rawan, ucapnya: "Di
sini tidak ada lampu."
"Tidak ada lampu?" Gin hoa nio menegas dengan berkerut kening.
Si sakit menghela napas, ucapnya: "Jiwaku sudah tinggal menunggu ajal saja, apa gunanya
cahaya lampu" Menanti datangnya ajal dalam kegelapan akan mengurangi rasa takut dan
gelisah." Dia bicara dengan suara lemah, ada hawa tidak ada tenaga, seolah-olah napasnya setiap saat
bisa berhenti. Gin hoa nio memandanginya sejenak, katanya kemudian: "Orang sebanyak ini mendadak
menerobos masuk kamarmu, apakah kau tidak takut?"
394 "Orang yang sudah hampir mati, rasanya tidak ada sesuatu lagi di dunia ini yang perlu
ditakuti," ujar si sakit dengan hambar.
"Betul," tukas Gin hoa nio dengan tertawa, "seorang yang sudah hampir mati memang juga
ada faedahnya. Misalnya.... mestinya akan kubunuh kau, tapi sekarang aku menjadi tidak
tega." Tiba-tiba ia meraba kepala anak perempuan itu dan bertanya dengan suara halus: "Dan kau....
apakah kau pun tidak takut?"
Anak perempuan itu berpikir sejenak, jawabnya kemudian dengan perlahan: "Sacek (paman
ketiga) toh sudah hampir meninggal, maka aku pun tidak ingin hidup lagi."
"Makanya kau tidak takut?" Gin hoa nio menegas.
"Y, tidak takut," jawab anak perempuan itu dengan mata terbelalak lebar.
"Jika kau tidak takut, dengan sendirinya kau tidak akan berseru dan berteriak bukan?" tanya
Gin hoa nio. "Sacek suka ketenangan, selamanya aku tidak pernah bicara dengan suara keras," jawab anak
itu. "Ehm, bagus, jika demikian hidupmu akan bertahan lebih lama," ujar Gin hoa nio dengan
tertawa. Ia tidak menghiraukan lagi kedua orang ini, dia mendorong jendela yang di depan itu,
hanya sedikit saja daun jendela itu terbuka, lalu ia mengintai ke bawah. Ternyata setiap gerakgerik
di rumah seberang sana dapat terlihat dengan jelas.
Sementara itu obor yang dipegang Gin-hoa-nio sudah padam, keadaan gelap gulita pula,
suasana juga sunyi senyap, hanya terkadang terdengar suara "kletak", suara jatuhnya biji catur
di luar sana, suaranya nyaring menyentak pendengaran.
Jilid 16________
Si Sakit telah memejamkan matanya, tapi mata si nona cilik justeru gemerdep di dalam
kegelapan. Diam-diam Pwe-giok mendekatinya dan bertanya dengan suara halus:
"Adik cilik, siapa namamu?"
"Ah, pertemuan secara kebetulan, untuk apa anda tahu namaku." jawab anak perempuan itu
dengan sayu. Anak perempuan sekecil ini dapat mengucapkan kata-kata seperti orang tua, Pwe-giok jadi
melengak malah.
Siapa tahu anak dara itu bahkan menatap Pwe-giok sekian lama, tiba-tiba ia berkata pula:
"Tapi lantaran kau sudah tanya, boleh juga kukatakan padamu. Namaku Cu Liu-ji, Liu artinya
air mata, sebab sejak kecil aku memang anak yang suka mengucurkan air mata."
"Dan sekarang kau..."
395 "Sekarang tidak mengucurkan air mata lagi, mungkin sumber air mataku sudah kering."
Pwe-giok termangu-mangu sejenak, katanya kemudian dengan gegetun:
"Apakah Sacekmu sudah lama sakit ?"
"Ya, sudah empat-lima tahun."
"Kau yang merawat dia selama ini ?"
"Ehmm," Cu Lui ji mengangguk.
"Masa tiada ditemani orang lain ?"
"Sacek tidak mempunyai sanak keluarga lain, hanya diriku." tutur Cu Lui-ji dengan pelahan.
Pwe giok menghela nafas panjang, terbayang olehnya empat-lima tahun yang lalu, tatkala
mana anak perempuan ini hanya berumur tujuh atau delapan tahun. Itulah usia anak yang lagi
nakal dan paling suka bermain, tapi nona cilik ini justru harus menemani seorang sakit yang
sudah kempas-kempis dan telah hidup selama empat-lima tahun di loteng kecil yang sunyi
dan rawan ini, malahan dimalam haripun tanpa lampu.
Setelah menghela nafas panjang, Pwe giok tidak tahu pula apa yang harus diucapkannya.
Suasana di dalam rumah sunyi senyap seperti kuburan, ditengah keheningan yang mencekam
inilah fajar menyingsing dan pelahan-lahan tampak remang-remang menembus kertas jendela,
dikejauhan mulai ramai terdengar ayam berkokok.
Ciong Cing sudah tertidur dengan mendekap di atas tubuh Kwe Pian-sian. Sorot mata Kwe
Pian sian masih terus menatap lekat-lekat kepada orang sakit yang hampir mati itu dan entah
apa pula yang sedang dipikirnya.
Tiba-tiba Gin Hoa nio menguap ngantuk, ucapnya dengan menghela nafas pelahan :
"Setengah malam kedua orang itu main catur, biji catur yang bergeser hanya tiga kali,
tampaknya pertandingan mereka ini biarpun sampai lima tahun depan juga belum berakhir...."
Tiba-tiba pula ia mendekati si anak perempuan dan berkata dengan tersenyum : "Ku tahu kau
ini anak perempuan yang pintar, maukah kau turun ke bawah sana, buatkan nasi yang agak
lembek serta beberapa macam sayur untuk sarapan para paman dan bibi ini ?"
Cu Lui ji sama sekali tidak bergeser, jawabnya dengan tak acuh: "Tidak, aku tidak mau pergi,
tidak boleh kutinggalkan sacek."
"Pergilah sayang, anak kecil mana boleh membantah kehendak orang tua ?" ujar Gin hoa-nio
dengan tertawa.
Cu Lui ji sama sekali tidak memandangnya, jawabnya pula: "Tidak, aku tidak mau !"
396 Tertawa Gin hoa-nio tambah lembut, ucapnya dengan suara halus: "Ku tahu sama sekali kau
tidak takut padaku, makanya tidak menurut kepada perkataanku, begitu bukan ?"
Di mulut ia bicara lembut, tapi tangannya telah menampar satu kali di muka Cu Lui ji. Muka
nona cilik yang putih pucat itu seketika merah bengkak, namun dia tetap tidak bergerak,
bahkan matapun tidak berkedip, seperti tidak mempunyai daya rasa apapun, hanya tetap
terbelalak memandang Gin Hoa-nio.
Gin Hoa nio berkerut kening, tanyanya dengan tersenyum: "Apa yang kau lihat, kau anggap
tamparanku kurang keras, begitu ?"
Segera ia hendak memukul pula, tapi tangannya keburu dipegang Pwe-giok.
"Ai. ku tahu kau akan ikut campur lagi," kata Gin hoa nio dengan gegetun.
Pwe-giok berkata dengan dingin: "Jika kau masih ingin berada bersamaku, selanjutnya
hendaknya....."
Belum lanjut ucapannya, mendadak Cu Lui ji mendekap mukanya dan berseru dengan suara
gemetar: "O, sakit...sakit sekali kau pukul diriku !"
Gin Hoa nio jadi melengak, tanyanya: "Kupukul kau tadi dan baru sekarang kau rasakan
sakit ?" "Oo, sakit...sakit sekali...mati aku!" teriak Cu Lui-ji pula.
Melenggong Gin hoa-nio memandangi anak dara yang aneh itu, seketika ia tidak sanggup
bicara pula. Sungguh tak terpikir olehnya bahwa di dunia ini ada manusia yang berdaya rasa selambat ini,
orang telah memukulnya sejak tadi, sekian lama kemudian baru dia merasakan sakit.
Terlongong Gin Hoa nio memandangi nona cilik itu sehingga urusan makan nasi jadi
terlupakan. Pada saat itulah, si sakit yang seakan-akan sudah tidur itu tiba-tiba menghela nafas dan
berkata : "Jika kau takut sakit, kenapa tidak kau turuti perkataan orang, pergilah ke bawah dan
menanak nasi."
Mendadak Cu Lui ji mendelik, katanya sambil melototi Gin Hoa-nio: "Sacek yang suruh aku
maka kuturuti, jika orang lain, biarpun aku mati dipukul juga takkan kukerjakan."
Dengan pelahan ia turun dari tempat tidur dan alon-alon ia turun ke bawah loteng.
Melihat perawakan si nona yang kurus dan lemah dengan wajah yang pucat, diam-diam Pwe
giok menghela nafas menyesal.
Baru sekarang Gin Hoa-nio tertawa cerah, katanya: "Tak tersangka watak anak ini sedemikian
keras, tampaknya serupa aku waktu kecil..." mendadak ia berhenti bicara, biji matanya
397 tampak berputar, mungkin teringat sesuatu olehnya, segera ia menyambung pula dengan
tertawa : "Tapi kalau anak ini serupa diriku waktu kecil, setelah kita makan nasinya, maka
jangan harap lagi akan dapat pergi dari sini dengan hidup. Rasanya aku harus turun ke bawah
untuk mengawasi dia."
"Anak sekecil itu, masa kau takut diracuni olehnya ?" ucap Pwe-giok dengan dahi berkernyit.
"Ketika aku lebih kecil daripada dia, orang yang mati kuracuni sudah lebih dari 80 orang,"
kata Gin hoa nio sambil menoleh dan tertawa genit.
"O, jadi dia tidak takut padamu, sekarang kau malah takut padanya ?" ujar Pwe-giok dengan
tertawa hambar.
Gin hoa-nio melenggong, sungguh ia sendiripun tidak tahu mengapa bisa timbul semacam
perasaan jeri yang sukar dilukiskan terhadap anak perempuan yang kurus kecil itu. Padahal
menghadapi sorot mata Kwe Pian-sian yang begitu lihai saja tidak merasa takut sedikitpun,
tapi ketika anak perempuan itu menatapnya, dalam hati terasa rada ngeri.
Sampai sekian lama ia melenggong, katanya kemudian dengan tersenyum: "Betapapun kan
tiada buruknya jika hati-hati, masa pesan orang tua ini kau lupakan ?"
Pwe-giok menghela nafas, katanya: "Daripada kau yang turun ke bawah, lebih baik aku saja
turun." Di bawah loteng juga cuma terdiri dari satu ruangan, hampir setengah ruangan tertimbun kayu
bakar dan sebagainya, hanya tersisa suatu sudut yang sempit, di situ ada gentong air, rak
mangkuk dan tungku.
Cu Lui-ji tampak berjongkok disamping gentong dan sedang mencuci beras, sudah sekian kali
ia membilas berasnya, satu biji gabah saja diambilnya dari beras cuciannya dan
dikumpulkannya disamping.
Setelah beras masuk kuali, lalu gabah yang dikumpulkannya tadi dibungkusnya dengan
secarik kertas, kemudian ia membersihkan lantai sebersih-bersihnya.
Pwe giok melihat ruangan seluas ini terawat dengan sangat resik, bahkan tungku yang setiap
hari digunakan juga tiada bekas-bekas minyak setitikpun. Dapur ini ternyata jauh lebih bersih
daripada ruangan tamu orang lain.
Tangan yang kurus dan putih kecil itu setiap hari harus melakukan pekerjaan sebanyak dan
seberat ini tubuh yang kurus kecil ini masa mampu melaksanakan tugas sebanyak ini "
Tanpa terasa Pwe-giok menghela nafas pula, katanya kemudian: "Apakah setiap hari kau
bersihkan ruangan ini sebersih ini ?"
"Aku sudah terbiasa hidup serba bersih," ucap Cu Lui-ji dengan tak acuh. "Karena itulah bila
kulihat sesuatu yang kotor, aku lantas mual. Sesungguhnya, kalau tidak terpaksa, memangnya
siapa yang mau berkumpul dengan orang-orang yang tidak bersih "!" Mendadak ia berpaling
dan menatap Pwe-giok serta bertanya: "Betul tidak ?"
398 Tergerak hati Pwe-giok, jawabnya sambil menyengir: "Betul, siapapun tidak nanti suka
berada bersama orang yang tidak bersih."
Mencorong sinar mata anak dara itu, ucapnya pula dengan pelahan: "Jika begitu" mengapa
kau berada bersama orang yang tidak bersih?"
Seketika Pwe-giok jadi melenggong, sungguh ia tidak tahu cara bagaimana harus
menjawabnya. Sungguh aneh anak perempuan ini, terkadang dia kelihatan begitu lemah dan harus
dikasihani, tapi ada kalanya dia berubah seperti orang dewasa yang sudah kenyang merasakan
asam garamnya orang hidup.
Dalam pada itu Cu Lui ji telah menggeser kesana, dia berduduk di satu bangku kecil dan
mulai mengipasi api tungku sambil berbicara: "Meski aku sangat jarang keluar, tapi di atas
loteng kecil ini banyak sekali yang dapat kulihat. Bilamana kulihat hal-hal yang menarik
lantas kuceritakan kepada Sacek, kalau tidak entah betapa dia akan kesepian."
"Di... di atas loteng ini sering kau lihat hal-hal yang menarik ?" tanya Pwe-giok dengan
keheranan. "Ya, sering"!" jawab Cu Lui ji.
Sejenak kemudian, tiba-tiba ia berpaling pula dan berkata: "Satu hari, pernah kulihat seorang
perempuan yang sangat cantik, dengan caranya yang sangat aneh dia telah membunuh sekian
banyak orang. Coba apakah kau tahu siapa dia ?"
"Ya, ku tahu ialah orang yang memukul kau tadi," jawab Pwe-giok.
"Siapa yang memukul ku tadi " Aku sudah lupa," kata Cu Lui ji dengan tersenyum hambar.
Tiba-tiba Pwe giok melihat muka si nona yang merah bengkak terpukul tadi kini sudah halus
putih lagi, sama sekali tiada meninggalkan bekas setitikpun.
Didengarnya Cu Lui ji berkata pula: "Bila orang memukulmu, kalau kau tidak mampu
membalas, maka jalan paling baik adalah melupakan saja kejadian itu agar hatimu tidak
sedih" "Tapi.... tapi setelah kau dipukul orang, apakah betul harus selang sekian lama barulah kau
rasakan sakit?" tanya Pwe-giok.
Cu Lui-ji mencibir dan tertawa, katanya: "Kalau sudah kena pukul kan mesti merasakan sakit,
Kisah Pedang Di Sungai Es 1 Pendekar Super Sakti Serial Bu Kek Siansu 7 Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bodoh 16
^