Pencarian

Renjana Pendekar 9

Renjana Pendekar Karya Khulung Bagian 9


melayang."
Mendadak Ang hou meraung murka, dengan segenap sisa tenaganya, ia menubruk maju,
terdengarlah suara gemuruh, meja ditumbuknya hingga hancur berantakan dan tertindih oleh
tubuhnya yang gede.
Gin hoa nio menghela napas, katanya: "Dengan maksud baik sudah ku peringatkan, mengapa
kau tidak mau percaya padaku?"
Lalu ia mengitari meja dan menuju ke ambang pintu, sambil bersandar di depan pintu ia
berseru dan tersenyum menggiurkan: "Di dalam rumah ada empat orang mati, maukah para
Toako membantuku menggotongnya keluar?"
Sejak tadi anak buah Su ok siu menunggu di luar dengan gelisah, namun disiplin Su ok siu
sangat keras, tanpa diperintah, siapa pun tidak berani meninggalkan tempatnya. Mereka cuma
mendengar suara kacau di dalam rumah dan tidak tahu apa yang terjadi, setelah mereka
dipanggil Gin hoa nio barulah mereka berkerumun maju, mereka jadi melongo kaget setelah
melihat keadaan di dalam rumah.
319 Dengan suara halus Gin hoa nio berkata kepada mereka: "Ku tahu perasaan kalian. Melihat
majikan kalian dibunuh orang, takkan kusalahkan kalian bila kalian ingin menuntut balas bagi
mereka." Melihat Gin hoa nio bersikap tenang dan tertawa riang, bajunya sedikit pun tidak terkoyak
apalagi robek, sebaliknya majikan yang mereka puja seperti malaikat dewata itu semuanya
terkapar seperti anjing mampus, jelas perempuan ini tidak cuma sangat cantik, tapi pasti juga
sangat lihai. Belasan orang ini mana berani lagi bicara tentang menuntut balas, serentak
mereka membalik tubuh dan lari terbirit-birit, hanya sekejap saja sudah hilang tanpa bekas.
"Ai, jaman ini tampaknya kaum penjahat juga kecil hatinya," gumam Gin hoa nio dengan
menghela napas.
***** Apa yang terjadi, semua itu dapat diikuti Kim yan cu dan Bwe Su-bong dengan jelas, mereka
sama melenggong.
Dengan tersenyum getir Bwe Su bong berkata: "Betapa lihai adik perempuanmu, hakekatnya
dapat disejajarkan dengan kelihaiannya Hay hong hujin di masa dahulu. Memang sudah
kuduga orang lain tidak perlu turun tangan, adikmu sendiri pasti sanggup membereskan
mereka." Kim yan cu tidak menanggapi, diam-diam ia pun merasa getir.
"Sekarang bolehlah nona turun ke sana dan aku pun akan pulang," kata Bwe Su bong.
"Kau.... kau tidak turun dan berduduk dulu?" tanya Kim yan cu.
"Biarpun aku sudah kakek-kakek, tapi tetap lelaki, maka lebih baik tidak berjumpa dengan
adikmu..." belum habis ucapannya dia sudah melayang jauh ke sana.
Kim yan cu menghela napas panjang, dilihatnya Gin hoa nio sedang bersandar pula di pintu
dan berkata sambil menengadah ke arahnya: "Tak tersangka di atas loteng juga ada tamu,
maaf jika sambutanku kurang baik."
Tidak tahan lagi Kim Yan cu, mendadak ia melayang turun ke depan Gin hoa nio.
Baru saja Gin hoa nio melengak setelah tahu siapa gerangannya, tahu-tahu mukanya sudah
tertampar dua kali. Cukup keras gamparan itu sehingga Gin hoa nio jatuh ke dalam rumah
sambil berteriak: "He, Toaci.... kau...."
Kim yan cu merasa pukulannya tidak cukup keras, dengan gemas ia mendengus: "Hm, tidak
perlu lagi kau panggil Toaci padaku, mana ku berharga menjadi Toacimu" Jiwa manusia
bagimu tidak lebih seperti semut, bilamana kau mau, bisa jadi aku pun akan kau bunuh."
Gin hoa nio merabai mukanya yang digampar itu, mendadak ia menangis.
"Dengan mudah sekali kau bunuh empat orang ini, seharusnya kau bergembira, apa yang kau
tangisi?" damprat Kim yan cu dengan gusar.
320 "Apakah Toaci mengira aku sangat senang setelah membunuh orang?" seru Gin hoa nio
dengan menangis sedih. "Toaci, jika kau menyaksikan tingkah laku mereka tadi, tentu kau
akan paham bagaimana jadinya jika aku tidak berdaya membinasakan mereka."
Dengan menangis ia menubruk ke bawah kaki Kim yan cu dan berkata pula: "Toaci, kau mau
memukul aku, mau memaki, semua ini bukan soal bagiku, tapi kalau kau tidak mengakui adik
lagi padaku, biarlah sekarang juga ku mati di depanmu."
Setelah memukul dan mendamprat, rasa gusar Kim yan cu sudah hilang sebagian besar,
sekarang mendengar ucapan Gin hoa nio yang mengibakan hati ini, akhirnya ia pun
mengucurkan air mata dan mengomel pula: "Biarpun kau terpaksa, seharusnya tidak boleh
sekeji itu!"
"Ya, Toaci, ku tahu kesalahanku," jawab Gin hoa nio dengan suara gemetar. "Soalnya sejak
kecil aku sudah kenyang dianiaya orang, yang kulihat setiap hari adalah orang-orang yang
kejam, aku.... aku menjadi takut, maka caraku turun tangan menjadi agak kejam." Sembari
menangis ia terus merangkul kaki Kim yan cu dan meratap pula: "O, Toaci, jika kau datang
lebih cepat tentu mereka tidak berani mengganggu diriku dan aku pun takkan bertindak
demikian."
Hati Kim yan cu terharu pula, ia menghela napas dan berkata: "Betul juga, aku pun salah,
seharusnya sejak tadi-tadi ku datang kemari."
Dasar hatinya memang polos, ia merasa kejadian ini tidak dapat menyalahkan orang lain, tapi
dirinya ikut bertanggung jawab. Bicara punya bicara, akhirnya ia merangkul Gin hoa nio dan
menangislah keduanya.
Meski lahirnya Gin hoa nio menangis tergerung-gerung, tapi di dalam hati sebenarnya lagi
tertawa. ***** Sekarang ia telah menemukan suatu kenyataan yakni asalkan sifat seseorang dapat kau raba
dengan jitu, bukan saja lelaki mudah dihadapi, bahkan perempuan juga tidak sulit dilayani,
lebih-lebih perangai anak perempuan seperti Kim yan cu ini.
Dunia Kangouw memang kejam dan berbahaya, tapi juga adil, asalkan manusia yang punya
kemahiran tentu akan menanjak ke atas dan kehidupannya seketika juga akan berubah gilang
gemilang. Cuma saja, ada kehidupan sementara orang yang meski gilang gemilang, tapi
terlalu singkat, seperti meteor saja, hanya sekelebat, lalu lenyap.
Selama beratus tahun sejarah Kangouw entah sudah berapa banyak pahlawan yang baik
bintangnya untuk kemudian lantas tenggelam pula. Tapi di antaranya bukan tiada yang tetap
berdiri tegak tanpa jatuh.
Ada sementara orang, meski orangnya sudah mati, tapi keturunannya, anak cucunya, masih
dapat mempertahankan suatu kekuatan yang tidak pernah runtuh di dunia kangouw, dengan
demikian selamanya juga lantas tetap berjaya dan abadi.
321 Selama 300 tahun ini, kekuatan yang tetap berdiri tegak tanpa ambruk itu, selain Siau-lim pay,
Bu tong pay, dan aliran-aliran besar yang mempunyai sejarah gilang gemilang ini, masih ada
juga keluarga persilatan ternama dan berpengaruh. Keluarga persilatan ini ada sebagian yang
tetap berjaya karena pengorbanan leluhurnya bagi kepentingan dunia persilatan di masa lalu
sehingga mendapat penghormatan dari kaum pahlawan dunia Kangouw, tapi kebanyakan
adalah karena mereka memang mempunyai Kungfu yang istimewa dan sukar ditandingi,
sebab itulah sejarah mereka bisa tetap hidup abadi sepanjang masa.
Di antara keluarga persilatan itu misalnya terdapat keluarga "Thio Kan-cay" di kota-raja yang
terkenal dengan ilmu pertabibannya. Ada keluarga "Pi-lik-tong" di Kanglam yang termasyhur
karena ahli membuat senjata api. Ada keluarga Lam-kiong dengan ilmu pukulannya yang
hebat, ada keluarga "Thian-hi-tong" yang disegani karena kemahirannya menyelam di dalam
air, ada pula keluarga Pang di Holam yang merajai dunia persilatan di wilayahnya karena
permainan Toan bun to yang lihay.
Dan di antara keluarga-keluarga persilatan yang turun temurun itu, yang paling berkesan dan
diketahui setiap orang persilatan kiranya harus ditonjolkan keluarga Tong dari Sujwan yang
termasyhur karena Am-gi atau senjata rahasia yang tiada bandingannya selama ini.
Tong keh ceng atau perkampungan keluarga Tong itu terletak di kaki gunung di luar kota
Cung king, propinsi Sujwan.
Setelah mengalami perbaikan dan perluasan di sana-sini selama berabad-abad, dari
perumahan sederhana dua deret kini telah meluas menjadi sebuah perkampungan yang megah
dan sudah menyerupai sebuah kota kecil.
Ini terbukti bilamana orang masuk pintu gerbang yang tiap tahun dicat satu kali itu, maka
segala keperluan, dari sandang, pangan sampai tempat tinggal dan sarana lain, sekolahan,
hiburan, sampai urusan nikah dan kematian, setiap barang keperluan dapat diperoleh di sini
dan tidak perlu berbelanja ke luar.
Hakekatnya, restoran Sujwan yang paling terkemuka, toko cita yang paling mentereng, toko
barang kosmetik yang mutakhir, semuanya terdapat di perkampungan ini.
Dengan sendirinya anak murid keluarga Tong masing-masing juga mempunyai kepandaian
sendiri-sendiri, mereka dapat mencari nafkah menurut kemahirannya sendiri-sendiri, lalu
dibelanjakan pula kepada toko-toko itu sehingga terjadilah sirkulasi perekonomian yang
makmur di perkampungan ini. Bila mereka ingin menikmati kehidupan yang tinggi, cukup
asalkan mereka berusaha mencari laba segiatnya, dengan dana dan tenaga yang hanya beredar
di lingkungan perkampungan mereka saja, dengan sendirinya makin lama Tong keh ceng
bertambah besar dan kuat.
Sampai Gin hoa nio sendiri, begitu memasuki pintu gerbang perkampungan Tong ini seketika
ia terkesima dan hampir tidak percaya kepada apa yang dilihatnya.
Dia pernah datang ke Tong keh ceng ini, tapi hanya memandangnya dari luar, sama sekali
tidak terbayangkan olehnya bahwa antara luar dan dalam Tong keh ceng terdapat perbedaan
sebanyak ini. 322 Kalau dipandang dari luar, pintu gerbangnya bercat hitam dengan pagar balok kayu sebesar
dahan pohon, panji terkerek tinggi di tiangnya, keadaan demikian tiada bedanya dengan
perkampungan persilatan lain, hanya formatnya saja yang lebih besaran.
Tapi setibanya di dalam pintu gerbang perkampungan, tiba-tiba ia melihat di dalam
perkampungan ini ada sebuah jalan raya, sebuah jalan balok batu yang rajin dan lurus, di
kedua tepi jalan terdapat aneka macam toko, cukup ramai toko-toko itu dikunjungi pembeli,
cuma saja toko-toko itu tidak pasang merek dagang.
Sungguh mimpipun tak terpikir olehnya bahwa keadaan yang demikian ini akan dilihatnya di
dalam suatu "perkampungan", yang lebih mengherankan lagi adalah di dalam perkampungan
keluarga persilatan yang termasyhur ini sama sekali tiada terdapat penjagaan dan tanda-tanda
siap siaga. Sungguh aneh.
Ketika kuda mereka sampai di depan pintu gerbang, Kim yan cu hanya memberitahukan
sekedarnya namanya, lalu mereka disilahkan masuk. Sedangkan penjaga pintu gerbang itu
pun cuma dua kakek reyot.
Gin hoa nio menghela napas panjang, saking tak tahan ia coba bertanya dengan suara
tertahan: "Apakah benar inilah satu-satunya Tong keh ceng yang termasyhur itu?"
"Memangnya kau tidak percaya?" tanya Kim yan cu dengan tertawa.
"Bukannya aku tidak percaya, aku cuma merasa bingung," kata Gin hoa nio dengan gegetun.
Di jalan raya itu banyak juga orang berlalu lalang, sudah barang tentu kedatangan Kim yan cu
dan Gin hoa nio menarik perhatian mereka, tapi mereka pun cuma memandang sekejap saja
dan tiada seorang pun yang mendekat dan menegur mereka.
Kembali Gin hoa nio bertanya: "Orang Kangouw suka bilang Siau lim si, Bu tong san dan
Tong keh ceng adalah tempat-tempat terlarang di dunia persilatan dan jangan harap akan
dapat memasukinya, andaikan dapat masuk, maka jangan mengharapkan akan dapat keluar
dengan hidup. Tapi melihat gelagatnya sekarang, tampaknya seperti setiap orang boleh masuk
dan keluar lagi dengan bebas."
Kim yan cu tersenyum tak acuh, katanya: "Soalnya lantaran kau datang bersamaku."
"O, jika aku datang sendiri pasti tidak dapat menerobos masuk?" tanya Gin hoa nio.
"Masuk sih tidak sulit, tapi keluar lagi tubuhmu akan membujur," jawab Kim yan cu dengan
tertawa. Lalu ia menyambung pula: "Coba kau lihat orang-orang yang berlalu, semuanya
kelihatan ramah tamah bukan" Tapi salahlah jika kau pikir demikian. Sebab sedikit kau
perlihatkan sesuatu yang tidak beres, dari lengan baju setiap orang itu bisa melayang keluar
sesuatu benda untuk mencabut nyawamu."
Diam-diam Gin hoa nio merasa ngeri, tapi di mulut ia menanggapi dengan tertawa: "Tapi kita
sudah masuk ke sini, mengapa tiada seorang pun yang melaporkan dan memberi petunjuk
jalan?" 323 "Darimana kau tahu mereka tiada yang melaporkan kedatangan kita?" tanya Kim yan cu.
"Hanya caranya mereka melapor itu saja tidak diketahui orang luar. Jika tidak percaya, boleh
kau lihat sebentar lagi, segera ada orang keluar menyambut."
"Cujin (majikan, pemilik) perkampungan ini...."
"Maksudmu Bu Siang Lojin" Beliau berdiam di gedung belakang perkampungan sana, tinggal
bersama anak-anaknya. Mungkin kau mengira setiap orang juga dapat menerobos masuk dari
pintu gerbang hingga ke tempat tinggalnya, orang itu sedikitnya harus punya sayap dan
mempunyai beberapa kepala."
Gin hoa nio menghela napas, gumamnya: "Jika dia terus menerus berdiam di tempat aman
begini, pantaslah kalau nyalinya makin lama makin kecil."
"Darimana kau tahu nyali beliau makin lama makin kecil?" tanya Kim yan cu sambil berkerut
kening. Gin hoa nio melengak, cepat ia menjawab: "Ah, aku cuma mendengar orang bercerita
demikian."
Mestinya Kim yan cu ingin tanya pula, tapi dari ujung jalan sana sudah muncul beberapa
perempuan menyongsong kedatangan mereka. Perempuan itu semuanya memakai gaun
berwiru banyak, jalannya berlenggang, mungkin itulah gaya berjalan "macan luwah" atau
harimau lapar. Salah seorang perempuan itu, seorang nyonya berbaju putih dan berperawakan semampai,
dari jauh lantas berseru kepada Kim yan cu: "Sam-ya thaucu (budak ketiga), kenapa baru
sekarang kau kemari, sungguh Cici telah lama merindukan kau."
***** Tidak lama kemudian Gin hoa nio lantas tahu bahwa perempuan semampai dan bernas ini
dengan wajah bulat telur dan sedikit berjerawat ini bernama Tong Ki, puteri tertua, anak
kedua Tong Bu-siang. Dia inilah yang memegang kekuasaan rumah tangga di perkampungan
Tong ini. Kemudian dari Kim yan cu juga diketahui Gin hoa nio bahwa Tong ji-kohnaynay (bibi kedua
keluarga Tong) ini memang bernasib malang, meski mukanya tidak jelek, pintar mengurus
rumah tangga pula, tapi sudah dua kali bertunangan, belum lagi menikah, dua kali pula bakal
suaminya meninggal dunia.
Sebab itulah, di belakangnya orang suka bilang mungkin lantaran Tong ji-kohnaynay terlalu
pintar mengurus rumah tangga, tapi membawa sial bagi suami.
Mungkin Tong ji-kohnaynay mendengar desas-desus ini, saking gusarnya ia lantas bersumpah
di depan abu leluhur bahwa selama hidup dia tidak mau menikah.
Dan sekarang Tong ji-kohnaynay inilah menyambut kedatangan Kim yan cu dengan gembira,
ia pun banyak memberi pujian kepada kecantikan "adik baru" Kim yan cu.
324 Mungkin sudah menjadi sifatnya yang khas, tangan Tong jikohnaynay selalu membawa
sepotong handuk kecil, sepanjang jalan bila melihat ada gulungan kertas tercecer atau kulit
buah terbuang, segera dijemputnya dan dibungkus dengan handuknya.
Melihat itu baru Gin hoa nio tahu apa sebabnya Tong keh ceng sedemikian rapi dan bersih.
Diam-diam ia pun mentertawai Tong jikohnaynay kita ini, untung nona ini tidak menikah,
kalau tidak, bisa jadi suaminya akan repot mempunyai isteri begini.
Di antara perempuan-perempuan yang mendampingi Tong Ki, tapi hanya tersenyum dan tidak
bersuara, ialah menantu perempuan tertua Tong Bu-siang, isteri Tong Jan, namanya Li Pweling.
Nyonya menantu ini bermuka bundar, matanya juga bundar, pergelangan tangannya juga bulat
seperti lontong. Potongan nyonya menantu inilah model menantu bijaksana dan membawa
rejeki. Sedangkan adik Tong Ki, namanya Tong Lin, adalah gadis yang lemah tidak tahan angin.
Matanya yang besar kelam itu seolah-olah orang yang selalu menanggung susah.
Gin hoa nio tahu ketiga perempuan inilah orang penting di Tong keh ceng, selebihnya tidak
perlu diperhatikannya.
Setelah melintasi jalan raya dan melalui sebuah jalan berkerikil, tiba-tiba membentang
sebidang hutan di depan sana, di balik pepohonan terdapat pagar tembok bercat merah dengan
genteng warna hijau, disitulah tempat Bu-siang Lojin menikmati kehidupan bahagia di hari
tuanya. Sementara itu, Tong jikohnaynay telah membuang handuk kecil yang penuh membungkus
sampah jemputannya tadi dan dibuang ke keranjang sampah, lalu mencuci tangan pada sungai
kecil yang melingkari pagar tembok, kemudian ia berkata dengan tertawa: "Loyacu (tuan tua)
sedang tidur siang, kukira kalian tidak perlu menjumpai beliau, boleh langsung ke tempat
Toa-so (kakak ipar, isteri kakak) saja, ku tahu di tempatnya ada dua botol Bi kwi lo (arak
mawar), biarlah kita gasak saja."
"Wah, dasar tukang gasak, orang menyimpan dua botol arak saja selalu kau incar," demikian
Li Pwe-ling berseloroh.
Tong Ki, Tong jikohnaynay tertawa, ucapnya: "Terus terang, memang sudah lama ku incar
kedua botol araknya, sekarang mumpung ada tamu, harus kugunakan kesempatan ini untuk
menyikatnya, kalau tidak, bila Toako pulang nanti, mungkin berikut botolnya akan dia lalap
sama sekali."
Kim yan cu tertawa terpingkal-pingkal, Gin hoa nio juga ikut tertawa.
Diam-diam ia pun heran mengapa nona-nona keluarga Tong di Sujwan ini mahir bicara
dengan logat Pakkhia, tapi kemudian diketahuinya bahwa isteri Tong Bu-siang justeru adalah
puteri keluarga ternama dari kota raja.
Pendek kata, sejak masuk pintu gerbang perkampungan Tong, segenap panca indera Gin hoa
nio tidak pernah menganggur, mata telinga dan mulut terus bekerja. Matanya tidak
325 menyampingkan sesuatu benda yang dilihatnya, telinga juga tidak pernah lalai terhadap
sesuatu berita yang dapat didengarnya, malahan mulutnya terus menerus memuji dan
menyanjung. Meski semuanya itu tujuannya cuma satu, yakni ingin mencari kabar, akan tetapi betapa pun
dia berusaha, kabar yang ingin didengarnya tetap sukar didapat. Yakni mengenai diri Jikongcu
atau putera kedua keluarga Tong, kekasih Kim hoa nio, Tong Giok, kemana perginya"
Bahwa dia berusaha mati-matian memikat Kim yan cu dan rela diakui sebagai adiknya,
harapannya justeru ingin dibawa Kim yan cu ke Tong keh ceng untuk mencari tahu


Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagaimana keadaan Tong Giok.
Hanya dua hari saja Gin hoa nio sudah dapat bergaul dengan erat bersama beberapa nona
keluarga Tong. Dari peti benda mestika dikeluarkannya beberapa bentuk permata yang paling
bagus untuk diberikan kepada Tong Ki, Tong Lin dan Li Pwe-ling, dipilihnya pula beberapa
perhiasan lain yang tidak begitu indah, namun juga cukup berharga dan dibagi-bagikannya
kepada setiap nona, setiap menantu keluarga Tong yang ditemuinya.
Sebab itulah, setiap orang yang pernah bertemu dengan dia, di depan maupun di belakang,
semuanya sama memuji betapa baik hati "adik baru" Kim yan cu yang cantik ini.
Dalam pada itu ia pun sudah bertemu dengan Tong Bu-siang, ia tahu orang tua ini belum tentu
dapat mengenalnya.
Maklumlah, kebanyakan orang yang sudah pernah melihat "Khing hoa samniocu", kalau tidak
melenggong kaget tentu juga terkesima oleh dandanan mereka yang aneh-aneh atau bisa juga
melongo lupa daratan melihat tari bugil mereka, jarang ada yang teringat lagi kepada wajah
mereka. Begitulah, hampir setiap anggota keluarga Tong telah dilihatnya di perkampungan ini, hanya
Tong Giok saja yang tidak ditemuinya. Bahkan di Tong keh ceng ini hakekatnya tiada orang
lagi berbicara mengenai Ji kongcu yang romantis itu.
Sudah hampir setiap pelosok Tong keh ceng telah didatanginya terkecuali sebuah gua yang
terletak di lereng bukit belakang perkampungan, setiap kali dia berpura-pura menyelonong ke
sana secara tidak sengaja, setiap kali pula dia dihadang orang dari jauh.
Akhirnya diketahuinya bahwa gua itulah rupanya tempat pembuatan Am-gi atau senjata
rahasia keluarga Tong yang termasyhur itu, tempat itu terlarang dikunjungi orang yang tidak
berkepentingan.
Malam ini, Tong toaso bergilir pula menjadi nyonya rumah, dengan sendirinya kedua botol Bi
kwi lo yang diincar Tong Ki dahulu itu sudah habis terminum, tapi arak enak yang masih
tersedia juga lumayan. Sebenarnya arak bukan minuman yang cocok bagi kaum wanita, tapi
sifat para nona keluarga Tong ini ternyata tidak kalah daripada lelaki, meski makan sayur
sedikit-sedikit, tapi minum arak justeru banyak-banyak.
Cahaya bulan malam ini sangat terang, terendus pula bau harum bunga Kwi di halaman sana,
setelah menenggak arak, ucapan Tong Ki semakin banyak, bahkan Li Pwe-ling yang biasanya
326 jarang bicara kini juga banyak omongnya. Pertemuan di antara kenalan lama, mereka dan Kim
yan cu seakan-akan tidak pernah kehabisan bahan bicara.
Hanya Gin hoa nio saja yang tidak banyak minum arak, pertama dia merasa tiada artinya
minum arak bersama kaum perempuan. Kedua, ia pikir dirinya harus tetap dalam keadaan
sadar. Kedatangannya ini bukan untuk minum arak saja.
Tong Lin juga tidak banyak minum arak, matanya yang besar dan kelam itu seolah-olah
menanggung kesedihan yang semakin berat, tampaknya dia selalu bermalas-malasan, berbuat
apa pun kurang semangat.
Aneh juga, nona cilik yang belum pernah ke luar rumah ini sebenarnya menanggung pikiran
apa. Tiba-tiba Tong Ki melototi Kim yan cu dan bertanya: "He, Sam-ya-thau, tahun ini berapa
umurmu?" Kim yan cu tertawa, jawabnya: "Untuk apa kau tanya urusan ini" Memangnya ingin pacaran
denganku" Cuma sayang kau bukan lelaki, kalau tidak aku ingin menjadi istrimu."
Tong Ki menenggak araknya, lalu berkata pula: "Kau tahu, kau lahir bulan tiga, tahun ini
sudah lebih 20, betul tidak?"
"Ehmm..," Kim yan cu bersuara samar-samar.
"Nona berumur likuran belum lagi kawin, kukira ini rada berbahaya," kata Tong Ki.
Muka Kim yan cu menjadi merah, omelnya: "Kau tidak gelisah bagi dirimu sendiri, mengapa
malah kuatir bagi diriku?"
Kembali Tong Ki minum araknya, ucapnya dengan menghela napas: "Selama hidupku ini
jelas tidak akan menikah, tapi kau.... kau tidak boleh, perempuan harus menikah, bila kau
berumur sebaya diriku baru kau akan tahu betapa susahnya kesepian."
Tanpa terasa pandangan Kim yan cu menjadi suram, tapi ia berucap dengan tersenyum: "Eh,
koh-naynay kita hari ini bisa juga bicara setulusnya."
Sambil memegang cawan araknya Tong Ki berkata pula dengan rawan: "Untuk apa ku purapura
di depan kalian" memangnya aku dilahirkan untuk tidak menikah" Tapi sekarang.... kau
kira aku mesti menikah dengan siapa..." Yang tinggi tidak sudi padaku, yang rendah aku
emoh..." dia angkat cawan araknya dan menenggaknya pula.
"Bicara sesungguhnya, Sam-moay, sampai sekarang apakah kau belum punya pacar?" tanya
Li Pwe-ling dengan tertawa. "Bukankah Sinto Kongcu itu....."
"Jangan kau sebut dia lagi, bila menyebut namanya, arak saja tak dapat kuminum," seru Kim
yan cu. "Aneh, mengapa mendadak kau benci padanya, jangan-jangan kau sudah punya yang lain?"
kata Li Pwe-ling.
327 Muka Kim yan cu menjadi merah, jawabnya dengan tertawa: "Huh, mana ada?"
"Aha, tahulah aku," seru Tong Ki mendadak. "Caramu bicara ini mana bisa menipu orang"
Hayolah, siapa, lekas katakan. Lekas mengaku terus terang, kalau tidak pasti tidak kuampuni
kau." Habis berkata segera dia hendak menggelitik pinggang Kim yan cu. Dengan tertawa Kim yan
cu mengelak dan sembunyi di belakang Tong Lin, ucapnya dengan tertawa: "Usia Simoay
juga tidak kecil lagi, mengapa kalian tidak tanya dia apakah sudah punya pacar atau belum?"
Mendadak Tong Lin berdiri, ucapnya dengan hambar: "Aku tidak ada urusan dengan mereka,
jangan kalian ikut campurkan diriku."
Sembari bicara ia terus melangkah keluar tanpa berpaling.
Kim yan cu jadi melengak: "He, Simoay marah!" serunya.
"Jangan urus dia," kata Tong Ki. "Akhir-akhir ini tampaknya budak ini seperti kesurupan
setan, selalu kurang semangat, entah menanggung pikiran apa?"
Li Pwe-ling tertawa lembut, ucapnya: "Anak perempuan se-usia dia, mana yang tidak
menanggung pikiran" Biar ku keluar melihatnya."
Biji mata Gin hoa nio berputar, mendadak ia mendahului berdiri dan berseru: "Toa-so jangan
repot, biar aku saja yang keluar melihatnya."
"Boleh juga," ujar Li Pwe-ling. "Kalian dapat bicara dengan cocok, cuma selekasnya
hendaklah kembali, sudah ku sediakan ayam goreng untuk makan malam nanti."
Setiba di luar, bau harum bunga terasa semakin semerbak.
Tong Lin kelihatan berdiri di bawah pohon Kwi, bayang-bayang pohon menutupi wajahnya,
nona itu berdiri diam saja tanpa bergerak laksana badan halus di malam sunyi.
Gin hoa nio tidak lantas mendekati nona yang kesepian itu, ia pun mondar-mandir di bawah
cahaya bulan, tiba-tiba ia menghela napas panjang dan bergumam perlahan: "O, kehidupan
manusia sungguh mengecewakan, sinar bulan yang terang, bau harum bunga Kwi, semua ini
paling-paling hanya menambah rasa kesunyian orang hidup saja."
Dia memperhitungkan dengan baik pada waktu murung begini Tong Lin pasti malas untuk
bicara, maka dia sengaja menguraikan kesepian orang hidup, kekecewaan dan sebagainya,
semua ini ternyata tepat mengena di hati Tong Lin.
Ia jadi tertarik dan menoleh, dipandangnya Gin hoa nio hingga sekian lama, akhirnya ia
berucap dengan hampa: "Orang semacam kau, ke mana pun kau dapat pergi, kenapa kau pun
merasakan kesepian" Rasa kesepian hanya diketahui dengan jelas oleh burung yang terkurung
di dalam sangkar."
328 Gin hoa nio menghela napas dan berkata: "Adik yang baik, usiamu masih belia, kau belum
tahu persis sesungguhnya apa kesepian itu. Ada sementara orang meskipun setiap hari dapat
pesiar dan bergurau dengan orang lain, tapi hatinya jauh lebih kesepian daripada siapa pun
juga. Ada lagi setengah orang meski setiap hari hanya berduduk sendirian, tapi asalkan
pikirannya melayang ke tempat yang jauh, di sana pun ada seorang sedang memikirkan dia,
maka apa pun juga ia takkan merasa kesepian."
Tong Lin termenung sejenak, ia mengangguk perlahan dan berkata: "Betul, orang yang belum
pernah merasakan kesepian tak nanti dapat mengucapkan kata-kata demikian... Tapi waktu
pikiranmu melayang ke tempat jauh sana, darimana kau tahu dia juga sedang memikirkan
dirimu?" "Sudah tentu aku tidak tahu, siapa pun tidak tahu soal ini dan inilah penderitaan orang hidup."
"Betul, inilah penderitaan orang hidup," tukas Tong Lin dengan rawan dan menunduk.
"Sudah lama sekali," tutur Gin hoa nio, "ada kukenal seorang pemuda, namanya The Giok
long, hanya satu kulihat dia, tapi siang dan malam aku merindukan dia, mungkin.... mungkin
namaku saja dia tidak tahu...."
Gin hoa nio tahu kelemahan anak perempuan umumnya, bilamana kau ingin seorang anak
perempuan membeberkan rahasia isi hatinya, maka jalan yang paling baik adalah
menceritakan dulu rahasia di hatinya sendiri.
Sebab itulah dia lantas membuat suatu nama dan mengarang satu cerita.
Benarlah, tubuh Tong Lin kelihatan rada gemetar, selang sejenak, ia coba bertanya lagi:
"Sudah banyak tempat yang kau jelajahi?"
"Ehmm," Gin hoa nio mengangguk.
"Ya, banyak sekali," jawab Gin hoa nio dengan tersenyum getir.
Tong Lin menunduk, jelas hatinya sedang meronta dan bergolak, ia terdiam lagi sebentar
barulah mengambil keputusan, mendadak ia mengangkat kepala dan menatap Gin hoa nio,
ucapnya sekata demi sekata: "Tahukah kau seorang na... namanya Ji Pwe giok?"
Ji Pwe giok! Kembali Ji Pwe giok!
Jantung Gin hoa nio hampir melompat keluar dari rongga dadanya. Namun air mukanya tidak
memperlihatkan sesuatu tanda sedikit pun, dengan tersenyum ia bertanya: "Kakimu tidak
pernah melangkah keluar Tong keh ceng ini, cara bagaimana kau kenal Ji Pwe giok?"
"Beberapa hari yang lalu dia pernah kemari," tutur Tong Lin perlahan.
"Berkunjung kemari" Beberapa hari yang lalu?" tukas Gin hoa nio tanpa terasa.
Tong Lin menggigit bibir, ucapnya pula: "Dia datang mencari ayahku. Hari itu, kebetulan
Toako dan Toa-so keluar mengantar keberangkatan Toako, hanya aku saja yang di rumah.
329 Cukup lama dia bicara dengan ayah, tiba-tiba ayah menyatakan mau keluar, seperti akan
mencarikan seseorang baginya, maka.... maka aku lantas dipanggil untuk menemani dia..."
Cahaya bulan menembus celah-celah dedaunan yang menyinari wajahnya, menyinari
matanya, wajahnya kemerah-merahan, matanya bersinar laksana kerlip bintang di langit.
Dengan tenang Gin hoa-nio mendengarkan dan tidak memutus ceritanya.
Sampai lama Tong Lin termangu-mangu, kemudian disambungnya dengan perlahan:
"Sebenarnya aku tidak suka bicara dengan orang yang baru kukenal, tapi di depannya aku
merasakan tiada sesuatu kekangan, setiap gerak geriknya kurasakan begitu halus, apa yang
diucapkannya terasa penuh rasa simpatik dan pengertian. Tatkala mana dia seperti baru
terluka parah, tapi dia tidak memperlihatkan rasa menderita sedikitpun, jelas karena dia tidak
ingin ku ikut susah, nyata, setiap urusan apa pun selalu dia pikirkan dulu bagi orang lain."
Dia bercerita dengan perlahan seperti orang yang mengigau dalam mimpi.
"Kemudian bagaimana?" tanya Gin hoa nio tak tahan.
"Kemudian ayahku pulang dan terpaksa ku kembali ke kamarku, kukira esoknya dapat kulihat
dia lagi, siapa tahu, pada.... pada malam itu juga dia telah berangkat, ayah pun tidak mau
memberitahukan kemana perginya, hanya menyampaikan terima kasihnya atas
pembicaraanku dengan dia waktu dia ku ajak ngobrol. Ai, aku.... kukira selama hidup ini
takkan melihat dia lagi." Dia menunduk dengan air mata bercucuran.
"Kau kan baru melihat dia satu kali, masa dia begitu penting bagimu?" ucap Gin hoa nio
dengan perlahan.
"Dan kau sendiri bukankah... bukankah juga baru bertemu satu kali dengan The Giok Long
yang kau sebut tadi?"
Baru Gin hoa nio ingat pada bualannya tadi, katanya pula: "Jika benar-benar kau tak dapat
melihat dia lagi, lalu bagaimana?"
"Ya, apa boleh buat!?" jawab Tong Lin dengan suara agak gemetar. "Tapi selama... selama
hidupku ini mungkin akan selalu.... merana."
Gin hoa jio memandangnya tajam-tajam, tanyanya kemudian: "Bagaimana kalau ada orang
yang dapat membuat kau bertemu dengan dia?"
Mendadak Tong Lin memegang tangan Gin hoa nio erat-erat, serunya dengan gemetar: "Jika
ada orang dapat mempertemukanku dengan dia, aku bersedia melakukan apapun juga
baginya.... Ya, apapun juga akan kulakukannya, selama hidupku ini tidak pernah gila bagi
urusan apa pun, tapi sekarang, rasanya aku benar-benar hampir gila."
Gin hoa nio menghela napas, katanya dengan tertawa: "Pikiran anak gadis, ya, inilah pikiran
anak gadis."
Sekujur badan Tong Lin gemetar pula, pegangannya bertambah erat, ia menegas:
"Dapatkah.... dapatkah kau memper...."
330 Gin hoa nio menarik tangannya, ia tidak lantas menjawab, ia sengaja jual mahal, sejenak
kemudian barulah ia menjawab secara licin: "Aku pun ingin melihat sesuatu, entah kau dapat
membantu atau tidak?"
"Urusan apa" katakan saja, katakan!" desak Tong Lin.
"Kudengar cerita orang, konon tempat keluargamu menggembleng am-gi adalah tempat yang
paling misterius dan tempat yang paling menarik, mimpi pun aku ingin masuk ke sana untuk
melihatnya," jawab Gin hoa nio.
Seketika air muka Tong Lin berubah, katanya: "Ah, tempat itu tiada sesuatu yang menarik."
"Tak apalah jika kau tak dapat membantu keinginanku ini," ucap Gin hoa nio tak acuh.
Sejenak kemudian tiba-tiba ia berkata: "O, sebentar, aku akan minum dulu."
Tapi sebelum Gin hoa nio melangkah pergi, cepat Tong Lin menariknya dan berkata: "Jika
kubantu keinginanmu ini, apakah kau...."
"Aku pun akan membantu terpenuhi keinginanmu," tukas Gin hoa nio dengan tertawa.
Tong Lin berpikir sejenak, akhirnya ia menjawab dengan menggreget: "Baik, akan kubawa
kau ke sana. Tapi berhasil atau tidak tak berani kujamin. Selain itu, kau mesti berjanji juga
padaku, setelah masuk ke sana, tidak boleh kau menyentuh sesuatu barang apa pun."
Dengan girang Gin hoa jio menjawab: "Asalkan melihatnya saja hatiku sudah puas, pasti
takkan ku sentuh."
"Baik, sekarang juga kita pergi kesana," kata Tong Lin.
Tapi Gin hoa nio menariknya pula dan berkata: "Biarlah kita kembali dulu ke dalam, agar
mereka tidak curiga. Ku tahu di sana ada sebuah gardu kecil, nanti kalau mereka sudah mabuk
dan tertidur kita bertemu kembali di gardu itu."
Tong Lin mengangguk setuju, tiba-tiba air matanya bercucuran, ratapnya di dalam hati: "Ji
Pwe giok, wahai Joi Pwe giok, sejauh ini kulakukan bagimu, tapi apakah kau tahu....?"
***** Tengah malam Gin hoa nio sudah datang ke gardu kecil itu, sebelumnya Tong Lin sudah
menunggunya dengan tak sabar, begitu melihat Gin hoa nio muncul dari kejauhan segera ia
menggapai dengan tangannya.
Jarak gardu kecil ini dengan gua itu masih cukup jauh, tapi gerak-gerik Tong Lin tampak
sangat hati-hati. Gin hoa nio juga tahu di tempat ini tidak boleh sembrono.
Kelihatan dua lelaki baju hitam mondar-mandir di depan gua sana, di dalam gua tampak ada
cahaya lampu, selain itu tiada kelihatan bayangan orang lain.
331 Di kejauhan ada suara air gemercik, Gin hoa nio, tahu itulah sebuah sumber air hangat di
tebing bukit sana. Konon sebabnya racun senjata rahasia keluarga Tong tidak dapat ditiru
orang lain adalah karena dicampur dengan sumber air yang istimewa ini. Tapi sesungguhnya
masih ada sebab lain atau tidak sukar dipastikan.
Gin hoa nio lantas mendesis: "Apakah sekarang kita dapat masuk ke sana?"
Muka Tong Lin tampak lebih pucat daripada kertas, katanya sambil menggeleng: "Tidak, saat
ini yang dinas jaga gua ini adalah Si-suhengku, Tong Siu-hong, dia berwatak keras dan kaku,
bila kita ingin masuk ke sana sekarang, hakekatnya setitik harapan saja tidak ada."
"Jika demikian, hayolah kita pulang saja!" ucap Gin hoa nio dengan kurang senang.
Tapi Tong Lin lantas mendesis: "Sabar dulu, ketahuilah orang yang dinas jaga di sini akan
berganti pada tengah malam tepat, maka boleh kita tunggu lagi sejenak, bila yang dinas jaga
nanti adalah Toa suheng atau Jit-suheng, maka bereslah, sebab kedua orang ini paling mudah
diajak bicara."
Gin hoa nio tersenyum cerah dan tidak bersuara lagi.
Tidak lama kemudian, Tong Lin tak tahunya ia bertanya: "Apakah kau pun kenal... kenal Ji
kongcu?" Gin hoa nia mengiakan.
Tong Lin menggigit bibir. "Cara bagaimana kau kenal dia?" tanyanya kemudian.
"Jangan kuatir," ujar Gin hoa nio dengan tertawa. "Aku dan dia cuma kawan biasa saja, aku
sendiri sudah punya pacar."
Muka Tong Lin yang pucat itu seketika merah semarak, ia menunduk dan tidak bicara lagi.
Lewat sejenak pula, Gin hoa nio juga tidak tahan, ia bertanya: "Konon tidak lama mukanya
telah dilukai orang, entah betul atau tidak?"
"Betul," jawab Tong Lin dengan menyesal, "Mukanya memang ada bekas luka, dia bilang
padaku, seorang perempuan paling keji dan paling licin di dunia ini yang melukainya."
Tentu saja Gin hoa nio merasa gregetan tapi di mulut ia berkata dengan tertawa: "Jika bukan
perempuan yang keji, siapa yang sampai hati melukai dia?"
Tiba-tiba Ton Lin tertawa, katanya: "Bila perempuan ini bermaksud merusak wajahnya, maka
dia pasti akan kecewa."
"Oo!" Sebabnya?" tanya Gin hoa nio.
"Sebab setelah mukanya bertambah bekas luka itu, dia bukannya menjadi buruk rupa, tapi
malah menambah perbawa kelelakiannya," tutur Tong Lin. "Kupikir pada sebelum terluka
begitu tentu wajahnya berbau pupur, pasti tidak sebaik sekarang."
332 Hampir meledak dada Gin hoa nio saking gemasnya, dia hanya menggreget secara diam-diam
saja, tapi menanggapi dengan tertawa: "Kukira itulah yang dinamakan di mata pacar timbul
bidadari, biarpun seperti siluman juga tampaknya maha cakap."
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara langkah orang ramai, menyusul dari jalan kecil sana
lantas muncul dua baris bayangan orang, jumlahnya ada 20-30 orang, empat orang yang di
depan dan di belakang sama memegang lampu kerudung kertas.
Seorang pendek gemuk berjalan paling depan, dia tidak membawa senjata, tapi pinggangnya
menonjol, jelas banyak am-gi atau senjata rahasia yang dibawanya.
"Wah, mujur kita, yang ganti dinas jaga memang betul Jit-suko," ucap Tong Lin dengan
senang.

Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Si gemuk kecil inikah Jit-sukomu?" tanya Gin hoa nio.
"Meski Jit-suko kami ini tampaknya ramah tamah, tapi ilmu silatnya tergolong kelas satu,
orang Kangouw memberi julukan "Jian jiu mi to" (Buddha gemuk bertangan seribu) padanya.
Di Tong keh ceng sini, kecuali Toako dan Toa-suheng kami, mungkin nama Jitsuko yang
paling gemilang."
"Sungguh tidak dinyana, padahal kelihatannya dia seperti kasir di restoran yang berperut
buncit," Gin hoa nio berseloroh.
Tong Lin juga tertawa geli, katanya: "Pada waktu tidak dinas jaga, pekerjaannya memang
kasir restoran. Setiap orang yang berkunjung ke perkampungan ini seluruhnya dilayani oleh
dia, yang bermaksud mengacau ke sini juga harus melalui rintangannya dulu."
Gadis yang baru pertama kali jatuh cinta ini sejak merasa ada harapan akan bertemu lagi
dengan orang yang dicintainya, hati yang tadinya murung kini mulai cerah dan bergairah
hingga kata-katanya juga bertambah banyak. Dalam pada itu Jian jiu mi to Tong Siu jing
sudah berhenti di depan gua sana, dari bajunya ia mengeluarkan sebuah pelat hitam dan
diserahkan kepada lelaki yang berjaga di luar gua tadi.
Lelaki itu memberi hormat, lalu berlari masuk ke dalam gua. Tidak lama kemudian dia keluar
lagi bersama seorang lelaki kekar bermuka lebar dan berjenggot hitam.
"Si-suheng tentu sudah capai!" sapa Tong Siu jing sambil menyongsong ke depan.
Yang baru keluar itu memang Tong Siu hong, ia memandang kedua barisan tadi, lalu berkata
dengan kurang senang: "Mengapa yang datang cuma 29 orang?"
Dengan mengiring tawa Tong Siu jing memberi penjelasan: "Isteri Siau hou cu melahirkan,
kuberi dia cuti satu hari."
Dengan muka bersungut Tong Siu hong berkata: "Punya anak juga bukan sesuatu yang luar
biasa, di Tong keh ceng ini hampir setiap hari ada anak lahir. Waktu susomu (kakak iparmu)
melahirkan, bukankah akupun tetap berdinas jaga?"
Tong Siu jing menunduk, jawabnya tetap dengan mengiring tawa: "Ya, inilah kesalahanku..."
333 "Sekali ini tidak jadi soal, bulan depan dia harus tambah dinas sehari," ucap Tong Siu hong
tegas. "Tapi tenaga hari ini tetap tidak boleh berkurang satu."
"Sudah belasan tahun tempat ini selalu aman tenteram, hanya kurang satu orang masa menjadi
soal?" ujar Siu jing dengan tertawa.
"Lojit, salah besar ucapanmu ini," kata Siu hong dengan bengis. "Biarpun seribu tahun tidak
pernah terjadi apa-apa, tetap penjagaan kita tidak boleh teledor. Sebabnya orang luar tidak
berani menerobos masuk ke sini justeru karena ketatnya penjagaan di sini."
Terpaksa Tong Siu jing menunduk dan mengiakan.
Pandangan Siu hong beralih kepada seorang lelaki penjaga tadi dan berkata: "Kemarin waktu
istirahat makan, diam-diam kau minum dua ceguk arak, mestinya akan kuhukum kau setelah
pulang nanti, tapi sekarang Siu hou cu tidak masuk kerja, bolehlah kau wakilkan dia dinas
satu hari lagi."
Lelaki itu tidak berani membantah dan mengiakan dengan hormat.
Habis ini barulah Tong Siu hong memberi tanda, segera Tong Siu jing membawa kedua
barisan tadi masuk ke dalam gua.
Menyusul di dalam gua lantas bergema suara bentakan disertai suara nyaring pintu pagar besi
dibuka dan ditutup lagi, lalu ada pula 29 orang berjalan keluar dalam dua barisan.
Tong Siu hong memeriksa pula dengan teliti ke 29 orang ini, air mukanya yang keren barulah
rada cerah, lalu ia berpaling dan berkata kepada Siu jing: "Besok sesudah pulang dari dinas,
datanglah ke rumah Siko, Si-suso kemarin baru saja masak Ang sio tite, dia tahu
kegemaranmu dan disediakan bagimu."
"Baik, Si-sute akan datang dengan membawa arak," jawab Siu jing dengan tertawa.
Kemudian Siu hong memberi tanda lagi dan membawa pergi kedua barisan tadi. Beberapa
langkah kemudian ia berpaling pula dan berseru: "Jangan terlalu banyak arak yang kau bawa
nanti agar tidak sampai mabuk, bisa terlantar pekerjaan kita."
Siu jing tertawa dan mengiakan.
***** Tempat yang selalu aman tenteram selama belasan tahun ini sampai sekarang masih tetap
dijaga seketat ini, mau tak mau hati Gin hoa nio terkesiap dan kagum juga menyaksikan
semua ini. Baru sekarang ia tahu sebabnya nama Tong keh ceng di Sujwan tetap jaya, sebab memang tak
mudah memasukinya. Untung ia tidak sembarangan bertindak, kalau tidak, bisa jadi saat ini
dia sudah digotong keluar dalam keadaan tak bernyawa.
334 Sesudah Tong Siu hong dan kedua barisannya lenyap dari pandangan barulah Tong Lin
menghela napas lega, ia tarik lengan baju Gin hoa nio dan berkata: "Hayolah, sekarang kita
boleh coba-coba mengadu untung."
Segera ia mengajak Gin hoa nio menuju ke gua sana. Baru sampai di luar gua, segera penjaga
membentak: "Siapa itu?"
"Aku, masa tidak kenal?" sahut Tong Lin.
"O, kiranya nona Lin," cepat lelaki itu memberi hormat.
"Ada urusan yang ingin kutemui Jitsuko..." sambil bicara Tong Lin terus hendak menerobos
ke dalam. Siapa tahu lelaki itu lantas menghadang di depan, katanya dengan tertawa: "Maaf nona, tanpa
perintah tuan besar, bila hamba membiarkan nona masuk, besok hamba pasti akan mendapat
hukuman berat."
Terpaksa Tong Lin berhenti dan berkata: "Jika demikian, kukira boleh kau panggilkan Jitsuko
saja." Orang itu tampak ragu sejenak, tapi kemudian mengiakan.
Namun Tong Siu jing tidak perlu dipanggil lagi, dengan tertawa ia sudah memapak keluar. Ia
memandang Gin hoa nio sekejap, lalu berkata: "Simoay, mengapa kau bawa tamu ke tempat
ini, cara bagaimana harus kuladeni kalian?"
Gin hoa nio tersenyum dan memberikan lirikan genit, lalu menunduk malu-malu.
Tong Lin menjawab dengan tertawa: "Kau tahu dia ini tamu, jadi kau sudah tahu siapa dia?"
"Sudah dua hari kudengar nona Kim datang dengan membawa seorang adik perempuan,
kudengar juga dua botol bi kwi lo simpanan Toaso telah terminum habis, padahal kedua arak
itupun sudah lama ku incar, tapi Jikohnaynay tidak mengundang diriku, tentu saja aku tidak
berani nyelonong ke perjamuannya."
"Pantas Jici (kakak kedua) selalu bilang Jit-suko bertelinga panjang, nyatanya segala urusan
besar kecil di perkampungan ini tiada satupun dapat mengelabui mata telingamu," ujar Tong
Lin dengan tertawa.
"Ah, tidak perlu kau mengumpak diriku, tentu ada yang kau harapkan dariku," kata Tong Siu
jing. "Coba jawab saja, ada tamu, cara bagaimana kau memberi pelayanan?" kata Tong Lin.
"Ai, kan sudah kukatakan, di sini tiada sesuatu yang cocok untuk melayani tamu. Tapi lusa
siang pasti akan kusiapkan satu meja perjamuan besar, semoga para nona sudi hadir."
"Huh, perjamuan apa, paling-paling juga cuma Hay hong hi sit (sup sirip ikan dan telur
kepiting), Yan oh keh yong (sarang burung masak ayam) dan sebagainya, sudah bosan!" seru
335 Tong Lin. Mendadak ia menarik lengan baju Tong Siu jing dan berkata pula dengan
tersenyum manis: "Dia hanya ingin meninjau sejenak saja ke dalam, harap Jitsuko memberi
izin. Kan tempo hari Jici juga membawa tamunya kemari dan kaupun membiarkan mereka
masuk" Jika Jici kau beri kesempatan, supaya adil akupun mesti diberi kesempatan. Kalau
tidak, lain kali takkan kuhiraukan kau lagi, jika ku masak wikeh kuah juga takkan kuberikan
padamu." Tong Siu jing menghela napas, katanya: "Begitu melihat kedatanganmu segera ku tahu
maksudmu, kalau tidak, kenapa tidak cepat tidak lambat, begitu aku dinas jaga segera kau
muncul?" Gin hoa nio sengaja mengikik tawa dan berbisik-bisik pada Tong Lin: "Betul tidak, kan sudah
kukatakan dia tak dapat dikelabui, kukira lebih baik panggil Jici saja kemari."
Dia seperti bicara terhadap Tong Lin, padahal sengaja diperdengarkan kepada Tong Siu jing,
maka meski suaranya kedengarannya lirih, tapi cukup untuk didengar Tong Siu jing.
"Ai, kutakut pada Ji-siocia, memangnya Si-siocia kutakuti?" ujar Tong Siu Jing dengan
menyesal. "Padahal Si-siocia jauh lebih sulit untuk dilayani."
Dia membungkuk tubuh sebagai tanda menyilakan dan berkata pula: "Baiklah, kedua nona
silahkan masuk saja, lekas! Cuma kalian harus mengikuti petunjukku, tidak boleh
sembarangan bergerak, tidak boleh sembarangan pegang dan aku akan berterima kasih jika
semua itu kalian patuhi."
***** Dipandang dari jauh hakekatnya gua itu tiada terlihat pintunya, tapi setiba di mulut gua segera
akan tertampak tiga lapis pagar besi yang tertanam di dinding batu. Melulu ketiga pagar besi
ini saja sukar diterobos oleh segala orang, maklum terali besinya yang sebesar lengan bayi itu
jelas tidak mudah digeser orang.
Akan tetapi Tong Siu jing hanya menekan perlahan pada suatu tempat di dinding batu dan
pagar besi itu lantas menghilang ke dalam dinding tanpa mengeluarkan suara.
Di balik pintu besi itu sudah kelihatan keadaan gua yang curam dan berbahaya, pada setiap
batu yang mencuat keluar pasti ada seorang lelaki berseragam hitam berjaga di situ.
Setelah melintasi ketiga lapis pagar besi itu, hati setiap orang lantas mulai tegang, rasanya
seperti masuk ke sebuah biara kuno yang seram, seperti juga masuk ke sebuah hutan purba,
secara aneh dirinya sendiri terasa berubah sedemikian kelunya, di segenap penjuru seolaholah
penuh terpendam bahaya yang sukar diraba.
Gin hoa nio menghela napas, desisnya: "Padahal tanpa dipesan, di tempat begini, siapakah
yang berani sembarangan bergerak?"
Tong Lin mencibir, katanya: "Jika tidak menemani kau, tidak nanti ku datang ke tempat setan
ini." 336 Meski di mulut dia bilang "tempat setan", tapi aneh, sukar menutupi rasa senangnya. Soalnya
tempat ini tidak cuma dipandang sebagai "tanah suci" oleh anak murid Tong, bahkan juga
dianggap tempat suci oleh orang Kangouw, justeru inilah yang selalu dibanggakan oleh setiap
anggota keluarga Tong.
Gua ini cukup dalam dan berliku-liku, tempat demikian seharusnya terasa gelap dan seram,
tapi justeru semakin ke dalam rasanya semakin hangat, menyusul lantas terdengar
gemerciknya air mengalir.
Setelah membelok lagi satu tikungan, pandangan Gin hoa nio mendadak terbeliak.
Gua yang semula berliku-liku itu, sampai di sini mendadak terbuka, perut gunung ini ternyata
kosong, berwujud sebuah terowongan raksasa, atapnya yang bulat melengkung berpuluh
tombak tingginya, luasnya entah berapa ratus tombak, seorang berteriak dari ujung sini
umpamanya, waktu dia tutup mulut, barulah suaranya dapat berkumandang sampai di ujung
sana. Anehnya meski tempat ini termasuk di dalam perut gunung, tapi di sini dialiri sebuah sungai
kecil. Air sungai berwarna kuning bahkan mengepulkan asap dan berhawa panas.
Di tepi sepanjang sungai kecil itu terdapat berpuluh tungku tembaga antik yang beraneka
ragam bentuknya, di antara tungku satu dan tungku lain teraling oleh pintu angin batu
setengah alam dan setengah buatan tenaga manusia.
Pada saat ini, di samping setiap tungku terdapat dua lelaki kekar dengan telanjang badan
bagian atas, kedua orang sedang memukul dan menggembleng di atas talenan besi, palu yang
digunakan mereka tidak terlalu besar, jelas barang yang mereka gembleng itu sangat kecil,
tapi air muka mereka sama prihatin, seolah-olah menanggung beban beribu kati, segenap
tenaga dan perhatian mereka tidak berani lena sedikit pun.
Setelah orang-orang pada tungku pertama selesai membuat benda itu lalu dilempar ke dalam
keranjang bambu yang terikat dan terendam di dalam air sungai, setelah digerujuk dan dicuci
oleh air sungai yang mengalir tanpa henti itu, lalu orang-orang yang menunggui tungku kedua
akan menggantol keranjang bambu itu, terus digembleng dan ditempa pula.
Begitulah setelah mengalami lima kali gemblengan, hasil produksi itu direndam lagi di dalam
air sungai sampai sekian lamanya, akhirnya akan dikumpulkan oleh seorang lelaki berseragam
hitam dan diantar ke dalam rumah batu yang terdapat berderet di dinding tebing sana.
Di depan pintu rumah batu terpasang kerai, di dalam terkadang juga bergema suara
gemblengan, untuk bisa melihat keadaan di dalam rumah harus menyingkap kerai.
Cara bekerja orang-orang itu sangat tekun dengan sikap prihatin pula, terhadap segala urusan
dari luar seolah-olah tidak dilihat dan tidak didengarnya. Dunia mereka, kehidupan mereka
seolah-olah sudah tercurahkan pada benda kecil yang mereka pegang, padahal benda-benda
kecil itu tidak lebih hanya sepotong besi atau sepotong kawat.
337 Amgi atau senjata rahasia keluarga Tong dari propinsi Sujwan yang termasyhur selama
beratus tahun rupanya berasal dari potongan besi atau kawat kecil melalui proses produksi
orang-orang ini.
Sampai kesima Gin hoa nio menyaksikan semua ini. Tidak pernah terbayang olehnya bahwa
pembuatan sepotong senjata rahasia sekecil itu mengalami proses produksi seruwet ini.
Melihat Gin hoa nio kesemsem, Tong Lin tertawa, katanya: "Sudah cukup kau lihat?"
Gin hoa nio memegang tangannya dan berkata: "Adik yang baik, jangan kau tertawakan
diriku, aku benar-benar seperti katak baru keluar dari tempurung, aku merasa bingung dan
tidak tahu apa yang harus kukatakan."
"Mana bisa kutertawai kau," kata Tong Lin. "Setiap orang yang berkunjung ke sini semuanya
berubah seperti dirimu. Sebab tiada seorang pun yang membayangkan bahwa untuk membuat
satu biji senjata rahasia sekecil itu ternyata sedemikian ruwetnya."
"Ya, memang betul, aku benar-benar bingung," kata Gin hoa nio.
Setelah berpikir sejenak, Tong Lin mengeluarkan sepotong amgi yang berwarna hitam, amgi
ini kalau dipandang mirip setangkai bunga, kalau diamati lagi barulah kelihatan bukan bunga.
"Kau tahu barang apakah ini?" tanya Tong Lin.
"Entah, aku... aku tidak tahu," jawab Gin hoa nio dengan mata terbelalak.
"Inilah Thi cit le (besi berduri) yang disegani orang Kangouw," tutur Tong Lin. "Sebenarnya
Thi cit le bukan senjata rahasia yang lebih lihay dari pada amgi lain, hanya thi cit le buatan
keluarga Tong memang lain daripada yang lain dan lebih lihay, sebab proses pembuatannya
berbeda jauh daripada Thi cit le biasa."
"Ah, tidak kulihat ada sesuatu perbedaannya," Gin hoa nio sengaja membantah.
"Cara membuat Thi cit le, biasanya orang lain harus membuat cetakan modelnya, lalu
menuangkan cairan bajanya ke dalam cetakan, sesudah cairan baja dingin barulah selesai
pembuatannya."
"Dan bagaimana cara keluargamu membuatnya?" tanya Gin hoa nio.
Thi cit le keluarga kami dimulai dengan membuat daun-daunnya yang kecil-kecil, habis itu
sepotong demi sepotong dibentuk menjadi satu, apabila Thi cit le ini disambitkan dan masuk
tubuh manusia, segera daun-daunnya akan mekar, bila senjata rahasia ini hendak dikeluarkan,
sedikitnya sebagian kulit daging akan terkoyak."
"Wah, sakitnya pasti setengah mati!" seru Gin hoa nio dengan lagak terperanjat.
"Kalau jiwa dapat tertolong, rasa sakit sih tidak menjadi soal," ujar Tong Lin dengan
tersenyum. "Cuma sayang, ketika senjata rahasia ini dapat dikeluarkan, jiwanya juga tak tertolong lagi"
338 "Memangnya sebab apa?" tanya Gin-hoa-nio pura-pura bingung.
Sebab Am-gi ini dibentuk dengan 13 sayap, bukan saja setiap sayapnya sudah direndam
racun, bahkan jenis racunnya tidak sama, ke-13 macam racun sama lihaynya, asal masuk
darah lantas meluas, biarpun malaikat dewata juga tidak mampu menyelamatkan jiwanya"
Diam-diam Gin-hoa-nio merasa ngeri juga setelah mengetahui betapa lihay senjata rahasia
keluarga Tong ini. Katanya kemudian: "Pantas orang Kangouw sama bilang, lebih baik
ketemu setan daripada ketemu am-gi keluarga Tong"
Tapi Tong Lin lantas bercerita lebih lanjut: "Di antara ke tujuh macam Am-gi keluarga Tong
yang paling lihay, Thi-cit-le ini tergolong yang paling umum dan paling sederhana. Thi-cit-le
hanya dibentuk dari 13 kepingan besi, masih ada Am-gi lain yang dibentuk dari berpuluhpuluh
potong onderdil. Misalnya Kiu-thian-sin-ciam, jarum sakti ini harus disemburkan
dengan sebuah bumbung. Untuk merakit bumbung ini sampai saat ini masih merupakan
rahasia besar bagi orang Kangouw"
Gemerdep sinar mata Gin-hoa-nio, katanya: "Makanya kalian sengaja memisahkan orangorang
yang membuat am-gi ini, tujuannya adalah untuk menjaga rahasia ini agar tidak
dibocorkan oleh mereka, betul tidak?"
"Betul, orang yang dipekerjakan di sini, meski semuanya jujur dan setia, tapi bukan mustahil
ada juga yang tidak tahan pancingan dan paksaan orang lain", kata Tong Lin. "Dan leluhur
keluarga Tong sudah memikirkan hal-hal demikian, sebab itulah hakekatnya tiada seorangpun
di antara mereka yang mengetahui rahasia seluruhnya dari proses pembuatan Am-gi ini, jadi,
seumpama mereka ingin membocorkannya juga sukar membocorkannya secara lengkap dan
jelas." Dia tuding salah seorang pekerja itu, lalu menyambung pula: "Umpama orang ini, tugasnya
hanya membuat salah satu daun Thi-cit-le, maka selama hidupnya juga melulu bekerja
menggembleng sayap Thi-cit-le ini, pekerjaan lain tidak pernah tahu, sampai-sampai
bagaimana bentuk sayap Thi-cit-le yang lain juga tidak diketahuinya."
"Selama hidup hanya itu-itu saja yang mereka kerjakan, sampai akhirnya dengan sendirinya
hasil pekerjaannya semakin sempurna, pantas Am-gi keluarga Tong selamanya tak dapat
ditiru orang," ujar Gin hoa nio dengan gegetun.
"Cara demikian juga masih ada kebaikan lain yaitu di luar pekerjaan ini mereka dapat hidup
seperti orang biasa, tidak perlu kuatir ada orang luar akan membawa lari mereka dan kita pun
tidak perlu mengawasinya."
Gin hoa nio memandang ke deretan rumah batu sana dan bertanya: "Lalu, bagaimana dengan
orang-orang di dalam sana?"
"Ya, hanya orang-orang di dalam itulah yang mengetahui rahasia pembuatan amgi, sebab
setelah onderdilnya selesai dibuat, semuanya dikumpulkan dan diantar ke tempat mereka
untuk dirakit."
"Apakah mereka takkan membocorkan rahasianya?" tanya Gi hoa nio.
339 "Orang-orang di dalam rumah itu adalah kakek yang telah pensiun, kebanyakan di antaranya
juga sebatangkara, maka sukarela bekerja di situ. Sebab, setelah memangku pekerjaan ini,
selama hidup tak boleh lagi keluar dari gua ini."
Gin hoa nio menghela napas, katanya: "Pantas mereka bekerja dengan sepenuh tenaga,
kiranya mereka sudah mempersembahkan jiwa raga mereka buat amgi ini, asalkan dapat


Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuat sebuah amgi yang baik dan sempurna agar sejarah keluarga Tong tetap gemilang,
maka itu pun merupakan kebahagiaan mereka."
"Ucapan nona memang tepat," tukas Tong Siu jing mendadak dengan tertawa. Meski
kehidupan kakek-kakek itu kesepian, tapi tekad mereka adalah menegakkan dan
mempertahankan nama baik keluarga Tong tetap jaya abadi. Setiap anggota keluarga Tong
memang sanggup menderita apa pun."
"Eh, silahkan kalian omong-omong dulu, ku pergi ke sana untuk menjenguk seseorang," tibatiba
Tong Lin berkata.
"He, Simoay, jangan lupa kau...." tapi belum sempat Tong Siu jing mencegah lebih jauh, tahutahu
Tong Lin sudah melompati sungai kecil itu dan berlari ke sana.
Dengan lagak malu-malu dan menunduk Gin hoa nio melayani pembicaraan Tong Siu jing,
tapi perhatiannya sebenarnya selalu mengikuti gerak-gerik Tong Lin.
Dilihatnya nona itu berlari secepat terbang ke dalam deretan rumah batu sana dan langsung
masuk ke rumah ketiga dari sebelah kiri. Begitu cepat gerak tubuh nona itu, kerai baru
tersingkap segera tertutup kembali lagi.
Akan tetapi cukup sekejap itu lamat-lamat Gin-hoa-nio sudah dapat melihat ada orang berada
di dalam rumah. Orang itu duduk membelakangi pintu dan tanpa bergerak, tapi tidak
menyerupai orang yang lagi asyik bekerja melainkan lebih mirip orang yang lagi duduk
melamun. Dengan sendirinya mukanya tidak kelihatan, hanya tertampak rambutnya hitam
gelap, bahkan Gin-hoa-nio yakin matanya sendiri pasti tidak keliru lihat, usia orang itu pasti
sangat muda. Kalau menurut cerita Tong Lin tadi, bahwa yang bekerja di dalam rumah-rumah batu itu
adalah kakek-kakek yang sudah pensiun, mengapa sekarang ada seorang muda di sana" Untuk
apa pula Tong Lin sengaja menjenguknya"
Mendadak jantung Gin-hoa-nio berdetak: "Ha..Tong Giok! Orang itu pasti Tong Giok adanya.
Kiranya Tong Bu-sian menyembunyikan puteranya yang kedua ini di sini, pantas dicari sekian
lamanya tidak bisa ditemukan"
Saking girangnya hampir saja Gin-hoa-nio berjingkrak, tapi ia tetap tidak lupa melayani
bicara Tong Siu-jing. Mata Tong Siu-jing memandangnya semakin mencorong dan semakin
lengket. Tentu saja Gin-hoa-nio berlagak semakin malu kucing, mengangkat kepala saja tidak berani.
340 Tong Siu-jing berkata: "Sudikah nona dan nona Kim makan siang di rumah makanku besok
pagi?". Gin-hoa-nio menjadi merah mukanya: "Kalau cici Kim bersedia aku bersedia juga".
Dia berjalan ke arah sungai kecil dan berkata: "Dapatkah aku mencuci tangan di sini?"
Tong Siu-jing menjawab: "Tentu saja"
Gin-hoa-nio mencelupkan dan mencuci tangannya ke dalam air. Tong Siu-jing terpesona
melihat tangannya yang anggun dan indah.
Tong Lin kembali dan kelihatan sedikit jengkel, dia berkata: "Dia jadi sangat aneh, dia bahkan
tidak mau memandangku"
Tong Siu-jing berkata: "Belakangan ini perasaannya tidak enak, jangan perdulikan dia"
Gin-hoa-nio yakin bahwa orang yang dimaksud adalah Tong Giok, diam-diam dia jatuhkan
sapu tangan ungunya ke dalam air. Dia berdiri dan berkata: "Adik ke empat, aku rasa aku
sudah cukup melihat semuanya"
Tong Siu-jing berkata: "Kakak ke empat...."
Tong Lin menyela: "Adik ke tujuh, tidak usah kuatir. Kita belum merepotkanmu"
Tong Siu-jing berkata: "Lain kali....."
Tiba-tiba Tong Siu-jing melihat air sungai bergolak dan mengeluarkan asap ungu. Asap itu
segera berubah menjadi kabut tebal. Dalam waktu singkat kabut itu menjadi semakin tebal,
bahkan orang-orang tidak bisa melihat siapa yang berdiri disampingnya.
Dengan terkejut Tong Siu-jing membentak: "Setiap orang tetap berjaga di tempat masingmasing.
Jangan sembarang bergerak!"
"Aku bagaimana"..." seru Tong Lin.
"Kau awasi kawanmu, juga jangan pergi dulu!" bentak Tong Siu-jing dengan bengis.
Ditengah suara bentakannya ia sudah membuat obor, di tengah kabut tebal itu api obor
ternyata tiada artinya, hanya remang-remang seperti kunang-kunang.
Tong Lin bermaksud meraih Gin-hoa-nio, tapi ternyata meraih tempat kosong, keruan ia
terkejut dan berseru: "He, Hoa-cici, Hoa-cici, di mana kau?"
Meski cukup keras teriakannya, namun sayang selamanya tiada jawaban lagi.
***** Kiranya sejak tadi Gin-hoa-nio telah mengincar baik-baik arah rumah batu tadi, begitu kabut
ditebarkan, secepat anak panah terlepas dari busurnya ia terus melayang ke sana, langsung ia
menerobos ke dalam rumah itu sambil berseru tertahan: "Tong Giok, Tong-kongcu, di mana
kau?" 341 Terdengar seorang menjawab dengan suara serak: "Siapa kau" Untuk apa mencari diriku?"
Belum habis ucapannya, tahu-tahu Gin-hoa-nio telah menarik tangannya terus diseret
menerjang ke luar, tidak lupa ia menjawab: "Masa kau tidak kenal suaraku lagi?"
"Hah, kau"!" seru Tong Giok.
"Betul, siapa lagi?" jawab Gin-hoa-nio dengan tertawa. "Hampir gila Toaci memikirkan
dirimu, tanpa menghiraukan bahaya ku datang mencari kau, hayolah lekas lari!"
"Tapi....tapi ayah...." tampaknya anak muda itu masih ragu-ragu, namun tubuhnya sudah tidak
berkuasa lagi, ia terseret keluar.
"Ai, kau tidak punya liangsim, masakah kau tidak ingin menemui toaci?" kata Gin-hoa-nio.
Sembari menyeret Tong Giok dengan tangan kiri dan menerobos keluar rumah batu itu, lalu
tangan kanan terangkat, kontan sejalur sinar perak terpancar ke depan, seperti meteor yang
melintas angkasa gua itu, hanya sekelebat saja sinar perak itu lantas lenyap.
Jilid 14________
Sekilas itu Gin-hoa-nio sudah dapat membedakan arah mulut gua, segera ia melayang ke sana
secepat terbang, baru sekarang ia merasakan bobot tubuh Tong Giok sangat berat, hakekatnya
anak muda itu seperti tidak mau ikut pergi kalau tidak diseret.
Dalam pada itu terdengar suara Tong Siu-jing lagi membentak: "Jaga rapat mulut gua,
siapapun dilarang meninggalkan tempatnya!"
Gin-hoa-nio menjadi gelisah, katanya: "Tong Giok, bila kau tidak mau ikut pergi, kalau aku
kepepet, tentu takkan menguntungkan kita masing-masing."
Entah takut digertak atau mendadak berubah pikiran, segera Tong Giok juga bergerak cepat
ke depan, kedua orang menerjang keluar bersama. Dari lengan baju Gin-hoa-nio mendadak
terpancar pula selarik sinar perak.
Sekali ini sinar perak itu menyambar ke luar gua, waktu itu para penjaga mulut gua sedang
menggeser pintu besi dan ada yang hendak menghadang mereka dengan golok terhunus, tapi
senjata rahasia Gin-hoa-nio lantas dihamburkan menyusul dengan terpancarnya sinar perak
tadi. Terdengar serentetan jeritan ngeri, Gin-hoa-nio dan Tong Giok sudah menerjang keluar gua.
Di luar bintang-bintang masih berkelip bertaburan di langit, malam masih sunyi senyap,
Kekacauan yang terjadi di dalam gua belum lagi tersiar keluar, hanya seorang penjaga segera
memapak mereka dan membacok dengan goloknya, tapi sekali Gin-hoa-nio angkat tangannya,
setitik sinar perak menyambar ke depan, kontan orang itu roboh terkapar.
Pada saat itulah di dalam gua baru terdengar suara tanda bahaya, suara bende bertalu-talu,
serentak terdengar pula suara bende dimana-mana, perkampungan yang tadinya tenggelam
342 dalam kesunyian malam itu seketika terjaga bangun, hanya sekejap saja dari berbagai penjuru
lantas muncul bala bantuan.
Akan tetapi selama beberapa hari ini Gin-hoa-nio sudah mempelajari keadaan perkampungan
ini, setiap jalan keluar sudah diperhitungkannya, tanpa pikir ia terus meluncur ke arah
tenggara. Tong Giok sudah berubah seperti boneka saja dan membiarkan dirinya ditarik lari oleh Ginhoa-
nio, ke timur ia ikut ke timur, ke selatan ia turut ke selatan, hanya mulutnya masih
melawan: "Penjagaan di sini sangat ketat, tidak nanti kau dapat kabur."
"Mungkin orang lain memandangnya seperti tembok tembaga dan dinding besi, tapi bagiku
tiada ubahnya seperti jalan rata, mau datang atau ingin pergi dapat sesukaku," kata Gin-hoanio
dengan tertawa.
Sementara itu pagar tembok perkampungan Tong sudah kelihatan di depan, memang dengan
leluasa ia dapat keluar tanpa halangan. Tapi ucapan Gin-hoa-nio itu agaknya terlalu pagi,
sebab mendadak di atas pagar tembok muncul belasan lelaki kekar berseragam hitam, tangan
kanan memegang golok dan tangan kiri membawa busur. Yang memimpin barisan ini ternyata
Tong Siu-hong adanya.
Terkejut Gin-hoa-nio melihat munculnya Tong Siu-hong secara mendadak ini. Lebih-lebih
tangan kirinya kelihatan memakai sarung tangan kulit, entah berapa banyak jiwa orang pernah
melayang di bawah hamburan senjata rahasianya.
"Berhenti! Kalau tidak, senjata rahasia kami tidak kenal ampun lagi!" bentak Tong Siu-hong
dengan bengis. "Memangnya senjata rahasia hanya monopoli kalian dan aku tidak mempunyai senjata
rahasia?" jengek Gin-hoa-nio dengan tertawa genit. "Kalau perlu, boleh kita coba-coba senjata
rahasia siapa yang lebih lihay."
Tangan Tong Siu-hong yang sudah terangkat itu lantas diturunkan. Begitu juga, mestinya
Gin-hoa-nio hendak menyerang, tapi telah dicegah Tong Giok.
Mendadak Tong Giok mengacungkan sepotong pelat besi dan berteriak: "Siapa yang berani
merintangi diriku?"
Melihat pelat besi itu, Tong Siu-hong tampak tunduk benar-benar, sambil mengiakan ia lantas
memberi tanda. Serentak belasan orang berseragam hitam itu menghilang dengan cepat dan
mendadak seperti munculnya tadi.
Di tengah tertawa Gin-hoa-nio bersama Tong Giok mereka lantas melayang keluar pagar
tembok. Di luar sana adalah lereng bukit, suasana malam tetap sunyi. Namun langkah Gin-hoa-nio
tidak pernah berhenti, ia melintasi lereng bukit, di kaki gunung ada sebuah kelenteng Toapekong
tanpa penghuni. Ke situlah ia menuju, agaknya sebelumnya tempat ini sudah
dipilihnya. 343 Orang yang cerdik takkan menjadi maling jika tidak lebih dulu mengatur jalan larinya.
Setiba di kelenteng itu barulah Gin-hoa-nio menghela napas lega, ucapnya dengan tersenyum:
"Betapapun kau masih punya liangsim dan mau membantuku lari keluar, tidak percuma kami
kakak beradik sayang padamu...."
Sambil bicara ia terus membuat api dan menyalakan lampu minyak di atas meja sembahyang.
Tiba-tiba ia melenggong setelah lampu menyala.
Di bawah cahaya lampu kelihatan muka Tong Giok coreng-moreng tak keruan seperti muka
setan. Setelah dipandang lebih cermat baru diketahui dia memakai kedok tipis yang aneh dan
buruk. Gin-hoa-nio tertawa, katanya: "Mau pakai topeng kan seharusnya pilih topeng yang sedap
dipandang, mengapa kau pakai topeng setan begini" Kaget aku, kukira Cihuku yang cakap itu
mukanya telah dirusak orang."
"Justeru lantaran ayahku kuatir ku lari dan bertemu dengan orang luar, maka aku diberinya
topeng ini," ucap Tong Giok dengan menyesal.
Gin-hoa-nio menjulur lidah, katanya dengan tertawa: "Wah, ketat amat pengawasan bapakmu,
tapi sekarang topeng setan ini dapat kau tanggalkan bukan?"
"Topeng ini dipasang dengan lem buatan khusus ayahku, jika ditanggalkan sebelum
waktunya, mungkin kulit mukaku bisa ikut terbeset," jawab Tong Giok. Kembali Gin-hoa-nio
melenggong, ucapnya kemudian: "Wah, langkah ini ternyata tepat juga, dengan memakai
topeng setan ini memang tak dapat dikenali siapapun juga, tapi aku.... tetap kuingat
bagaimana bentukmu, biar kau memakai topeng apapun tetap tidak menjadi soal bagiku."
"Masa benar-benar kau masih ingat akan diriku?" tanya Tong Giok.
Gin-hoa-nio menunduk, jawabnya perlahan: "Meski Toaci selalu menyembunyikan dirimu,
walaupun cuma satu kali kulihat kau dan hanya beberapa kalimat saja percakapan kita, tapi....
tapi selamanya takkan kulupakan suaramu!"
Tong Giok termenung sejenak, ia menghela napas panjang dan berkata: "Apakah baik-baik
saja Toacimu?"
Mendadak Gin-hoa-nio mengangkat kepalanya, matanya tampak basah, ucapnya dengan suara
rada gemetar: "Dengan susah payah ku tolong kau dari penjara maut itu, kau.... kau sama
sekali tidak mengucapkan terima kasih padaku, tapi buru-buru tanya tentang Toaci?"
Dengan suara halus Tong Giok berkata: "Aku memang harus berterima kasih padamu.
Sungguh tidak mudah kau dapat menemukan diriku."
Gin-hoa-nio menunduk dan memainkan ujung bajunya sambil menggigit bibir, ucapnya malumalu:
"Asal kau tahu saja."
"Sungguh aku tidak tahu dengan cara bagaimana kau dapat menemukan diriku?" tanya Tong
Giok. 344 Gin-hoa-nio tertawa cerah, katanya: "Kau kenal Kim-yan-cu?"
"Sep.... seperti pernah kudengar nama ini," jawab Tong Giok.
"Tidak perlu kau dusta," omel Gin-hoa-nio, "Aku takkan cemburu, masa kau tidak kenal dia,
bukankah dia saudara angkat kakak ipar dan kakak perempuanmu?"
"Ya, aku memang kenal dia," kata Tong Giok dengan tertawa.
"Sebelumnya memang sudah kuketahui hubungannya yang erat dengan keluarga Tong, demi
menemukan dirimu, maka akupun telah mengangkat saudara dengan dia."
"Kau.... kaupun mengangkat saudara dengan dia?" Tong Giok menegas.
"Tidak perlu kau terkejut," ujar Gin-hoa-nio dengan tertawa. "Dengan sendirinya dia tidak
tahu sesungguhnya siapa aku ini. Dia cuma tahu aku ini anak perempuan yang sebatang kara
dan memerlukan seorang sahabat atau kakak yang dapat melindunginya."
"Ai, dia ternyata sangat mudah ditipu orang," ujar Tong Giok dengan gegetun.
"Jangan kau remehkan dia," kata Gin-hoa-nio. "Waktu kuminta dia membawaku ke Tongkeh-
ceng ini perlu ku bujuk dengan susah payah."
"Oo!" melenggong Tong Giok.
"Semula dia ogah-ogahan, untung aku baru menemukan beberapa peti batu permata, maka
sengaja kukatakan hendak mencari suatu tempat penitipan yang dapat dipercaya, benarlah dia
lantas mengusulkan titip saja di Tong-keh-ceng ini."
"Dan sekarang kau rela meninggalkan barang-barang berharga itu di Tong-keh-ceng?" tanya
Tong Giok. "Haha, memangnya kau kira aku begitu murah hati dan meninggalkan barang-barang berharga
itu bagi orang lain?" kata Gin-hoa-nio dengan tertawa. "Kau tahu, sepanjang perjalanan
hampir sembilan bagian isi peti itu sudah kukeluarkan dan kuganti dengan barang palsu,
hanya bagian atas saja ada beberapa potong permata tulen yang memang hendak kuberikan
kepada kakak-kakakmu. Selebihnya tidak berharga sama sekali. Mengenai permata yang tulen
itu ...." Dia mengerling genit, lalu menyambung: "Permata yang tulen itu memang tidak sedikit
jumlahnya, cara bagaimanapun akan kau gunakan atau dihamburkan, selama hidup juga
takkan habis."
"Dan mengapa Tong Lin mau membawa kau ke gua itu?" tanya Tong Giok pula.
"Adik perempuanmu itu sedang birahi," tutur Gin-hoa-nio dengan tertawa. "Beberapa hari
yang lalu konon dia baru kenal seorang lelaki, sekali bertemu dia lantas tergila-gila padanya.
Kukatakan dapat kutemukan lelaki itu baginya, maka segala apapun akan dikerjakannya
untukku." 345 Tong Giok termenung-menung sejenak, akhirnya ia menghela napas dan berkata:
"Tampaknya kau telah banyak memeras tenaga bagiku, bilamana diketahui Toacimu, dia pasti
sangat berterima kasih padamu."
Tiba-tiba wajah Gin-hoa-nio yang berseri-seri berubah menjadi murung, matanya basah lagi,
ucapnya dengan tersendat: "Kembali Toaci dan Toaci lagi, kau.... kau hanya tahu Toaci saja,
tapi tahukah kau betapa susah payah usahaku mencari kau, waktu itu dia lagi bekerja apa?"
"Darimana ku tahu?" jawab Tong Giok.
"Dia.... dia.... " belum lanjut ucapannya air matanya lantas berderai.
"Apakah.... apakah terjadi sesuatu atas dirinya?" tanya Tong Giok.
"Tiada terjadi apa-apa atas dirinya," jawab Gin-hoa-nio sambil mendekap mukanya.
"Habis mengapa kau menangis?"
"Tolol, aku tidak menangis baginya, tapi bagimu!" omel Gin-hoa-nio sambil membanting
kaki. "Bagiku" Sebab apa?"
"Sebab.... sebab aku kasihan padamu, sungguh aku tidak tahan dan berduka bagimu."
"Berduka bagiku" Memangnya kenapa?"
Mendadak Gin-hoa-nio mendongak dan berseru dengan parau: "Biarlah kukatakan terus
terang padamu, pada.... pada waktu kau menderita baginya, dia sendiri justeru......"
"Dia kenapa?" Tong Giok menegas
"Dia.... dia justeru berada dalam rangkulan lelaki lain," seru Gin-hoa-nio sambil mendekap
mukanya. Tong Giok seperti melenggong, hingga lama ia tidak bersuara.
"Sebenarnya tidak pantas kukatakan padamu, tapi..... tapi akupun tidak tega membohongimu,
sungguh aku..... aku ikut sedih," sambil menangis mendadak Gin-hoa-nio menjatuhkan
dirinya ke pangkuan Tong Giok.
Sama sekali Tong Giok tidak bergerak, ucapnya sekata demi sekata: "Siapa lelaki itu?"
"Tak dapat kukatakan lagi...." jawab Gin-hoa-nio sambil menangis. "Aku.... aku sudah
bersalah kepada Toaci."
"Kan lebih baik jika lebih cepat kau katakan padaku, kalau tidak...."
346 "Baik, biar kukatakan padamu," kata Gin-hoa-nio dengan parau: "Lelaki itu bernama Ji Pwegiok!"
"Ji Pwe-giok!?" Tong Giok menegas.
"Betul. Kau kenal dia?"
"Baru sekarang kudengar namanya," jawab Tong Giok perlahan.
"Untung kau tidak kenal dia, kalau tidak, tentu kaupun akan tertipu."
"Oo!?" Tong Giok melongo
"Orang ini sangat culas dan keji, tapi justeru mempunyai seraut wajah yang menyenangkan,
wajah yang putih dan cakap, iapun mahir membujuk rayu terhadap perempuan, sebab itulah
Toaci ter.... tertipu olehnya."
Kembali Tong Giok termenung agak lama, katanya kemudian dengan muka masam: "Jika hati


Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Toacimu sudah berubah, untuk apa pula kau cari diriku?"
"Masa.... masa kau tidak paham?" kata Gin-hoa-nio sambil membenamkan kepalanya ke
rangkulan anak muda itu.
"Aku tidak paham," jawab Tong Giok perlahan
"Ai, kau memang....tolol!" omel Gin-hoa-nio
"Aku memang tolol, kalau tidak masa......"
"Cukup, tidak perlu kau katakan lagi," sela Gin-hoa-nio. "Meski Toaciku membuat salah
padamu, tapi aku...." ia bergeliat dalam pangkuan Tong Giok, ia ingin menggunakan tingkahlakunya
sebagai ganti ucapannya.
Perlahan-lahan akhirnya tangan Tong Giok terangkat dan merangkul pinggang si nona.
"Ooo sayang, padamkan dulu lampunya," ucap Gin-hoa-nio sambil berkeluh.
"Jangan dipadamkan, sebab ingin kupandang kau sejelasnya," kata Tong Giok.
"Ai, bu.... busuk amat kau!" omel Gin-hoa-nio.
"Ingin kupandang sejelasnya mengapa di dunia ini ada perempuan sekotor, sekeji dan tidak
tahu malu seperti kau ini...."
Tidak kepalang kejut Gin-hoa-nio seperti melihat setan, teriaknya: "Apa katamu?"
Segera ia bermaksud melepaskan diri dari rangkulan Tong Giok, namun sudah terlambat,
tangan Tong Giok telah bekerja, sekaligus beberapa Hiat-to di punggungnya sudah tertutuk.
347 Seketika Gin-hoa-nio menggeletak di lantai dan tak dapat berkutik, serunya kuatir: "He, apaapaan
kau ini?" Tong Giok menjengek: "Apakah betul suara Tong Giok selama hidup tak terlupakan
olehmu?" Sekujur badan Gin-hoa-nio terasa lemas dan dingin, serunya: "He, masa kau bu...... bukan
dia....." Sungguh mimpipun tak terpikir olehnya bahwa orang yang dibawanya lari keluar dari tempat
yang terjaga ketat dan hampir tidak mungkin dimasuki orang luar itu, ternyata bukan Tong
Giok, bahkan sampai detik inipun dia tidak pernah meragukannya.
Lantas siapakah orang ini kalau bukan Tong Giok" Mengapa dia sedemikian jelas mengetahui
urusan Tong Giok dan Kim-hoa-nio"
"Se...... sesungguhnya siapa kau?" tanya Gin-hoa-nio sambil memandangi orang dengan
cemas. Dengan perlahan "Tong Giok" berkata pula: "Sekalipun kau ini perempuan paling licin di
dunia juga tak dapat menerka siapakah diriku ini." - Perlahan ia lantas membuka kedoknya
yang berwujud buruk itu dan tertampaklah wajah aslinya.
Sungguh sebuah wajah yang sukar dibayangkan, Wajah yang sukar ditemukan setitik ciripun.
Meski pada wajah ini terdapat bekas luka sayatan pisau yang cukup panjang, tapi bekas luka
ini tidak membuat orang merasa muak, sebaliknya malah menambah daya tarik kelelakiannya.
Seperti orang gila Gin-hoa-nio menjerit: "Ji Pwe-giok! Kau.... mengapa bisa kau?" - Seketika
hatinya terasa seperti tenggelam ke dalam kegelapan yang tidak ketahuan dasarnya.
Tersembul senyuman mengejek pada ujung mulut Ji Pwe-giok, ucapnya dengan tak acuh.
"Tentu tak kau sangka bukan" Salah mu sendiri, nasibmu yang jelek, masa membuat desasdesus
Ji Pwe-giok di depan Ji Pwe-giok. Kalau tidak, cara bagaimana kau memaki Ji Pwegiok
di depan orang pasti akan dipercaya penuh oleh siapa saja yang mendengar."
Gin-hoa-nio seperti terkesima saking kagetnya dan tidak mendengarkan ucapan anak muda
itu, Ia memandangnya dengan linglung dan berulang-ulang bergumam: "Mengapa bisa kau....
mengapa bisa kau...."
"Masa tidak pernah kau dengar dari Tong Lin bahwa pernah ku datang ke Tong-keh-ceng
sini?" tanya Pwe-giok.
"Ya, tahulah aku," seru Gin-hoa-nio, "Karena kau sudah kepepet dan menghadapi jalan buntu,
akhirnya kau minta bantuan Tong Bu-siang agar menyembunyikan kau.... Ai, mengapa
sebelum ini tidak pernah kupikirkan hal ini."
Ji Pwe-giok menghela napas, katanya: "Ucapanmu memang tepat, sesungguhnya aku sudah
kepepet dan sudah buntu, pula terluka. Tapi Tong Bu-siang tidak menghina diriku, ia malah
melanggar kebiasaannya dan menyembunyikan diriku di tempatnya yang paling rahasia."
348 Kini Gin-hoa-nio sudah mulai tenang kembali, ia lantas menjengek: "Tua bangka itu memang
tidak jelek terhadapmu, sampai anak perempuannya juga dikelabuinya dan mengira kau ini
Tong Giok yang tulen, bahkan menyesali kau tidak mengajak bicara padanya."
Pwe-giok tersenyum, ucapnya: "Soalnya dia benar-benar tak dapat melupakan suara Tong
Giok." "O, jika memang demikian, jadi Tong Giok tadinya memang betul-betul disembunyikan di
rumah batu itu?"
"Ya, bukan saja memang berada di rumah batu itu, bahkan mukanya juga diberi topeng ini.
Tong Bu-siang membawa aku ke sana, lalu memindahkan topeng yang dipakai Tong Giok ke
mukaku serta menukarkan pakaian kami. Semua anak murid keluarga Tong yang berdinas di
sana juga cuma tahu Tong Bu-siang datang dengan membawa seorang pengiring, hanya
sebentar saja mereka lantas pergi lagi. Maka tiada seorangpun yang tahu apa yang terjadi
sesungguhnya."
"Apakah Tong Giok yang asli dibawa pergi Tong Bu-siang?"
"Ya, masa perlu ditanya pula?"
"Dibawa kemana?" tanya Gin-hoa-nio.
"Akupun tidak tahu," jawab Pwe-giok dengan tersenyum tak acuh. "Seumpama tahu,
seandainya kuberitahukan kepadamu, mungkin kaupun tak dapat mencarinya lagi untuk
selamanya."
Pucat air muka Gin-hoa-nio, tanyanya dengan takut: "Akan.... akan kau apakan diriku?"
Pwe-giok memandangnya tanpa menjawab.
"Aku yang melukai wajahmu, ku tahu kau pasti sangat benci padaku...." tanpa memberi
kesempatan bagi Pwe-giok untuk bicara, segera ia berteriak dengan suara parau: "Tapi hanya
kusayat mukamu satu kali, sebaliknya orang lain telah menusuk dan menabas kau berkali-kali,
mengapa kau tidak benci padanya dan cuma dendam padaku."
Orang lain yang dimaksudkannya jelas Lim Tay-ih adanya.
Dengan pedih Pwe-giok menghela napas panjang, lalu memejamkan matanya.
Melihat sikap anak muda itu, seketika mata Gin-hoa-nio mencorong terang, serunya pula:
"Apalagi, seumpama kulukai dan memaki kau, semua ini hanya karena ku cinta padamu,
saking cintanya baru timbul benci. Apakah.... apakah tidak kau pikirkan sampai di sini?"
Akhirnya Pwe-giok bersuara perlahan: "Jangan kuatir, pasti tidak kubunuh kau." - Dia
tersenyum pedih, lalu menyambung pula: "Ucapanmu tidak salah, sesungguhnya memang
terlalu banyak orang yang pernah mencelakai dan memaki diriku, mengapa aku hanya
dendam padamu seorang" Mengapa aku cuma membalas kepadamu saja?"
"Kau tidak benci padaku?" semakin mencorong sinar mata Gin-hoa-nio.
349 "Tidak, aku tidak benci padamu, akupun tidak bermaksud mengganggu seujung
rambutmupun," jawab Pwe-giok. "Aku...... aku hanya akan mengantar kau pulang ke Tongkeh-
ceng." Seketika air muka Gin-hoa-nio berubah pucat lagi, serunya dengan suara serak: "Jika..... jika
kau tidak dendam padaku, mengapa kau perlakukan diriku cara begini! Tentunya kau tahu
bilamana berada di Tong-keh-ceng, bagiku hanya ada kematian belaka."
"Kan sudah kukatakan, biar kau dusta padaku, memaki padaku, bahkan membunuhku juga
tidak menjadi soal dan takkan kupikirkan, tapi tak dapat kubiarkan kau menipu dan
mencelakai orang lain lagi."
Baru sekarang Gin-hoa-nio kelabakan, teriaknya dengan suara serak: "Kau binatang, kau
pendusta, bicaramu muluk, tapi hatimu terlebih keji dari siapapun. Kau ingin membunuhku,
tapi sengaja meminjam tangan orang lain." - Mendadak ia berteriak lebih keras: "Orang she Ji,
bila benar kau lelaki sejati, kalau berani, hayolah turun tangan sendiri dan bunuhlah diriku,
untuk itu aku akan kagum padamu. Tapi kalau kau bawa diriku ke Tong-keh-ceng, maka kau
adalah hewan, hewan yang lebih kotor daripada babi dan anjing."
Pwe-giok memandangnya dengan tenang, ia tidak marah juga tidak bicara, menghadapi lelaki
demikianlah Gin-hoa-nio benar-benar mati kutu.
Saking gemas dan cemasnya Gin-hoa-nio benar-benar menangis.
Pwe-giok menghela napas, katanya: "Jika sebelum ini kau tahu menghargai orang dan tidak
menganggap orang lain semuanya orang tolol, tentu nasibmu takkan seperti sekarang...."
Mendadak terdengar suara derapan kuda lari, ditengah malam sunyi di angkasa pegunungan,
suara derapan kaki kuda terdengar lebih jelas.
Sebelum suara derap kaki kuda mendekat, lebih dulu Pwe-giok telah memadamkan api lampu,
Ia tutuk Hiat-to bisu Gin-hoa-nio, iapun sudah meneliti keadaan ruangan kelenteng kecil ini.
Apa yang dilakukan ini bukan lantaran nyalinya kecil, tapi disebabkan dia sudah kenyang
pahit-getirnya pengalaman, maka tindakannya sekarang jauh lebih hati-hati daripada orang
lain. Suara derapan kaki kuda tadi sangat cepat dan ramai, sedikitnya ada tiga penunggang kuda
yang datang. Jauh malam begini mengapa mereka menempuh perjalanan tergesa-gesa begini"
Apalagi menuju ke tempat terpencil ini"
Memangnya Pwe-giok sudah sangsi, apalagi kemudian didengarnya suara kuda lari itu
menuju ke kelenteng ini, cepat ia angkat tubuh Gin-hoa-nio, terus melompat ke atas belandar.
Jika orang lain, tempat yang dibuat sembunyi kalau tidak panggung pemujaan tentu adalah
kolong meja. Namun tempat-tempat itu diketahui oleh Pwe-giok dalam keadaan bersih, tidak
banyak debunya, hal ini menandakan tempat-tempat itu sering digunakan orang.
350 Hal-hal ini pasti takkan ditemukan orang lain, andaikata diketahui juga takkan diperhatikan,
namun Pwe-giok sudah kenyang mengalami mara bahaya sehingga setiap tindak tanduknya
sekarang berpuluh kali lebih hati-hati dan lebih cepat daripada orang lain.
Benarlah, beberapa penumpang kuda itu akhirnya berhenti di luar kelenteng kecil ini.
Terdengar seorang diantaranya bertanya: "Apakah di sini?"
"Ya, di sini," jawab seorang lagi. "Silahkan kalian masuk."
Dalam kegelapan Pwe-giok melihat berturut-turut masuk tiga orang, wajah mereka tidak
terlihat jelas, hanya perawakan orang pertama kelihatan jangkung, tampaknya sangat hapal
terhadap keadaan kelenteng ini.
Selagi heran, orang itu sudah menyalakan lampu minyak di atas meja. Di bawah cahaya
lampu dapatlah Pwe-giok melihat jelas muka ketiga orang itu. Betapa kagetnya hampir saja ia
jatuh terjungkal dari tempat sembunyinya.
Orang yang berperawakan jangkung itu adalah seorang pemuda berpakaian perlente,
pinggangnya bergantung sebuah kantung kulit beraneka warna, itulah tanda pengenal khas
anggota keluarga Tong.
Dua orang yang ikut masuk itu, yang satu berjubah sulam dan berkopiah tinggi, pedang
bergantung di pinggang, rambutnya sudah mulai ubanan, tapi sikapnya tetap gagah, tiada
sedikitpun tanda-tanda ketuaannya.
Seorang lagi berwajah kereng, langkahnya mantap, perbawanya besar.
Kedua orang ini ternyata Leng hoa-kiam Lim Soh-koan dan Ong Kim-liong dari Thay-oh.
Kedua tokoh yang rapat hubungannya dengan Ji Hong-ho ini datang bersama anak murid
keluarga Tong, bahkan tidak menuju ke Tong-keh-ceng sebaliknya datang ke tempat terpencil
seperti ini, lalu apakah yang hendak mereka lakukan"
Kejut dan heran Pwe-giok, bahkan juga kesal.
Yang membuatnya kesal ialah Lim Soh-koan dan Ong Kim-liong ini, baik gerak-gerik
maupun wajahnya sungguh mirip dengan yang asli, tampaknya intrik mereka ini benar-benar
sukar untuk dibongkar.
Dilihatnya mata Ong Kim-liong mencorong seperti sinar kilat, ucapnya sambil mengusap
jenggot: "Mengapa Bu-siang Lojin mengundang kami ke tempat terpencil dan kotor ini untuk
bertemu" Coba kalau Tong-kongcu tidak datang sendiri, tentu kami akan merasa curiga
kesungguhan hati Bu-siang Lojin."
Pemuda baju perlente itu menjawab dengan tersenyum: "Demi keamanan agar tidak dilihat
orang dengan sendirinya ayahku bertindak sehati-hatinya. Kecuali Wanpwe sendiri, anak
murid perguruan kami tiada satupun yang tahu. Bukankah kedua Cianpwe juga menghendaki
agar urusan ini jangan terlalu banyak diketahui orang."
351 "Hahahaha, betul, memang inilah transaksi perdagangan kita sendiri dan tidak perlu diketahui
orang lain." ujar Ong Kim-liong dengan bergelak tertawa.
Pwe-giok tambah terkejut. Ia yakin pemuda perlente itu tentu Tong Jan, putera sulung Tong
Bu-siang. Sedangkan kedatangan Lim Soh-koan dan Ong Kim-liong ini adalah untuk
memenuhi janji pertemuan dengan Tong Bu-siang. Sesungguhnya transaksi perdagangan apa
yang hendak mereka lakukan" Dan mengapa transaksi ini harus dirahasiakan"
Sejenak kemudian, terdengar Ong Kim-liong berkata pula: "Waktu yang dijanjikan ayahmu
apakah betul pada malam ini juga?"
"Betul, urusan sepenting ini masa Wanpwe bisa salah ingat?" jawab Tong Jan dengan tertawa.
Tiba-tiba Lim Soh-koan menyeletuk: "Konon keparat itu sangat tinggi ilmu silatnya, bahkan
sangat licin, apakah ayahmu yakin benar-benar dapat menangkapnya?"
Tong Jan tersenyum, "Biarpun keparat ini sangat licin, tapi terhadap ayahku dia percaya
penuh dan tidak sangsi sedikitpun. Apalagi ayah sudah menjebloskan dia ke tempat yang
terjaga sangat ketat dan dilarang didatangi siapapun juga, sekalipun dia tidak terluka juga
jangan harap akan dapat kabur."
Lim Soh-koan tersenyum, ucapnya: "Jahe memang pedas yang tua, cara kerja Bu-siang Lojin
sungguh sangat mengagumkan kami."
Ong Kim-liong lantas berkata pula: "Tapi Kongcu perlu tahu, terhadap keparat itu, Bengcu
juga tiada maksud jahat, yang dikuatirkan adalah kemungkinan keparat itu akan memperalat
nama mendiang putera Bengcu untuk bertindak sewenang-wenang di luaran, sebab itulah
Bengcu ingin menemukan dia...."
"Ya, Wanpwe paham," tukas Tong Jan dengan tertawa.
Ong Kim-liong juga tertawa, katanya: "Setelah ayahmu menyelesaikan urusan ini bagi
Bengcu, dengan sendirinya Bengcu takkan melupakan kebaikannya. Tapi saat ini Bengcu
mengemban tugas pengamanan dunia persilatan, setiap tindakannya tentu akan menarik
perhatian orang, beliau kuatir ada anasir-anasir tak bertanggung jawab akan menggunakan
kesempatan ini untuk menyiarkan desas-desus, sebab itulah urusan ini perlu dirahasiakan."
"Cianpwe jangan kuatir, Wanpwe pasti takkan membocorkan sedikitpun urusan ini," kata
Tong Jan. Mendengar sampai di sini, kaki dan tangan Pwe-giok terasa dingin seluruhnya.
"Keparat" yang disinggung Lim Soh-koan dan begundalnya itu tidak perlu disangsikan lagi
pastilah dirinya. Nyata, iblis yang menyaru sebagai ayahnya, yaitu Ji Hong-ho, masih juga
tidak mau mengabaikan dia.
Lalu Tong Bu-siang yang mau melanggar peraturannya dan menerima dia itu ternyata juga
jahanam yang bermuka manusia tapi berhati binatang, setelah dia disembunyikan di Tongkeh-
ceng, diam-diam ia telah dijualnya.
352 Untung secara tidak sengaja Gin-hoa-nio telah menyerobotnya keluar, kalau tidak, saat ini
mungkin dirinya sudah terjeblos di dalam cengkeraman kawanan iblis ini dan nasibnya sukar
untuk dibayangkan.
Berpikir sampai di sini, seketika Pwe-giok bermandi keringat dingin.
Didengarnya Tong Jan berkata pula: "Setelah urusan ini selesai, diharap cianpwe juga jangan
lupa kepada urusan yang telah dijanjikan."
"Ucapan Bengcu laksana gunung kukuhnya, masa ingkar janji?" ujar Lim Soh-koan dengan
serius. Ong Kim-liong tertawa dan berkata: "Asalkan ayahmu dapat dipercaya ucapannya, kami
menjamin akan menumpas Khing-hoa-samniocu. Bengcu memerintah seluruh dunia
persilatan, kekuasaannya tak terbatas, masa cuma Thian-jan-kau yang tiada artinya itu tak
dapat membereskannya?"
"Bila Bengcu sudi menumpaskan bibit bencana bagi ayahku, selanjutnya apapun perintah
Bengcu, segenap anggota keluarga Tong yang berjumlah beberapa ratus jiwa pasti siap
melaksanakannya," kata Tong Jan.
Kiranya Tong Bu-siang takut diganggu oleh "Khing-hoa-samniocu", demi menghilangkan
penyakit ini dia rela mengkhianati Ji Pwe-giok.
Dan rupanya inilah transaksi dagang mereka.
Mendengar semua percakapan itu, sungguh Pwe-giok sangat sedih, ingin menangispun tidak
keluar air matanya. Tak tersangka olehnya seorang tokoh suatu perguruan besar yang disegani
sebagai Tong Bu-siang bisa berubah menjadi pengecut dan rendah begini.
"Krek", mendadak terdengar bunyi sesuatu, tempat patung pemujaan mendadak bergeser,
menyusul Tong Bu-siang muncul dari meja sembahyang.
Di bawah meja sembahyang itu ternyata ada sebuah jalan tembus di bawah tanah, kiranya
patung Toa-pekong itulah pusat pengendali jalan rahasia ini. Untung sebelumnya Ji Pwe-giok
bertindak sangat hati-hati, kalau dia sembarangan mencari tempat sembunyi, saat ini dia tentu
sudah kepergok.
Di bawah cahaya lampu kelihatan Tong Bu-siang bermuka pucat dan lesu, ia berusaha
menenangkan diri dan memberi hormat serta menyapa: "Anda berdua sungguh orang yang
bisa pegang janji, kedatanganku agak terlambat, harap maaf."
Gemerdep sinar mata Ong Kim-liong, ia membalas hormat dan berkata: "Ah, tidak apa-apa.
Tentunya Tong-tayhiap telah membawa kemari Ji Pwe-giok itu?"
Tong Bu-siang berdehem beberapa kali, lalu menjawab: "Sebenarnya urusan ini tidak menjadi
soal, siapa tahu.... siapa tahu...."
Seketika Ong Kim-liong menarik muka dan berkata: "Adakah sesuatu perubahan mendadak?"
353 Tong Bu-siang menghela napas panjang, jawabnya kemudian dengan menyengir: "Urusan ini
memang betul ada perubahan, sebab Ji Pwe-giok telah.... telah kabur."
"Apa katamu?" Ong Kim-liong menegas dengan melengak.
"Perubahan yang tak terduga ini, sungguh membuatku merasa malu, sekali lagi kuminta
maaf," ucap Tong Bu-siang dengan menyesal.
"Perubahan tak terduga bagaimana" Hm, jangan-jangan kau sengaja hendak mempermainkan
kami?" tanya Ong Kim-liong dengan gusar.
"Biarlah langit dan bumi menjadi saksi, apa yang kukatakan adalah sejujurnya," jawab Tong
Bu-siang sambil menyengir.
"Seumpama betul keteranganmu, masa Tong-keh-ceng yang gilang gemilang dapat dibuat
terobosan orang sesukanya?" jengek Lim Soh-koan.
"Anda mungkin tidak tahu bahwa demi membuat tenteram hati Ji Pwe-giok itu, maka waktu
ku ajak dia masuk ke gua rahasia kami, secara tidak sengaja telah kuserahkan sebuah Lengpay


Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

(pelat besi tanda perintah) yang biasanya dapat digunakan untuk keluar masuk tanpa
rintangan," demikian tutur Tong Bu-siang.
"Tanpa sengaja apa?" damperat Ong Kim-liong dengan gusar. "Kukira kau mempunyai tipu
muslihat lain"!"
"Ah, sama sekali tiada maksud demikian!" jawab Tong Bu-siang.
"Jika kau tiada mempunyai tipu muslihat lain, maka pastilah kau ini sudah tua dan pikun...."
jengek Lim Soh-koan.
Sejak tadi Tong Jan sudah menahan gusar, sekarang mendadak ia menggebrak meja dan
membentak: "Kalian ini menganggap dirimu ini apa" Berani bicara sekasar ini kepada
ayahku?" Kalau Tong Bu-siang tambah tua tambah penakut, tidak perkasa lagi seperti waktu mudanya,
sedangkan putranya justeru menginjak masa keras dan berani, maka bentakannya tadi
membuat Lim Soh-koan dan Ong Kim-liong terkejut.
Dengan bengis Tong Jan berteriak pula: "Hendaklah kalian jangan lupa tempat apakah sini.
cukup orang she Tong memberi aba-aba, mungkin tidaklah mudah bagi kalian untuk pergi
dengan selamat!"
Mendadak Ong Kim-liong bergelak tertawa, katanya: "Kenapa Tong-kongcu marah-marah
begini" Yang kami sayangkan hanya karena urusan penting ini telah gagal, sekalipun ada
ucapan kami yang kurang pantas, masakah kami berani berlaku kasar terhadap Tongkongcu?"
Mendengar nada orang berubah lunak, Tong Bu-siang lantas membusungkan dada, ucapnya
dengan tersenyum sambil mengusap jenggotnya: "Meski urusan kita telah gagal, tapi biarpun
Bengcu datang sendiri juga takkan menyalahkan diriku."
354 "Apakah betul?" ujar Ong Kim-liong dengan tersenyum aneh.
Sekonyong-konyong terdengar suara langkah orang yang ramai, delapan orang berseragam
hitam ringkas dan bercaping dengan golok terhunus menerobos masuk.
Tong Bu-siang terkejut, serunya: "He, ada.... ada apa ini?"
Belum lenyap suaranya, seorang kakek berbaju hijau dengan wajah putih bersih melangkah
masuk dengan pelahan, siapa lagi dia kalau bukan Bulim-bengcu sekarang, Ji Hong-ho
adanya. Keringat dingin membasahi tangan Ji Pwe-giok. Dahi Tong Bu-siang juga berkeringat.
Terpaksa ia menyapa sambil memberi hormat: "Maaf, hamba tidak tahu Bengcu akan
berkunjung kemari sehingga tidak dilakukan penyambutan selayaknya, mohon Bengcu
memberi ampun."
"Ah, ucapan Tong-heng terlalu sungkan," jawab Ji Hong-ho dengan tak acuh. Ia memandang
sekejap ke arah Tong Jan yang masih bersikap marah itu dan menambahkan: "Yang ini
tentunya putera Anda bukan?"
"Betul, dia anak sulungku, Tong Jan," jawab Bu-siang dengan mengiring tawa.
Ji Hing-ho mengangguk dan tersenyum, katanya: "Bagus, bagus, benar-benar ksatria muda
perkasa, tidak malu sebagai putera dari ayah ternama.... Eh, entah sudah berapa usianya tahun
ini?" "Wanpwe berusia 26 tahun," jawab Tong Jan sambil membungkuk tubuh.
"Wah, orang pemberang begini dapat hidup selama 26 tahun, sungguh tidak mudah," ujar Ji
Hong-ho dengan acuh tak acuh.
Setelah Tong Jan melengak, mukanya menjadi pucat.
Pelahan Ji Hong-ho berkata pula: "Di hadapan orang tua bisa jadi orang muda akan bersikap
kurang hormat, ini dapat dimengerti, tapi kalau sampai menggebrak meja segala, kukira cara
demikian agak keterlaluan."
Tong Jan tidak tahan, ia membantah: "Tapi sikap Tecu itu bukannya mengacau tanpa
beralasan."
"Oo, jadi Tong-kongcu tidak terima ucapanku ini" Memangnya tadi orang she Ji yang
mengacau tanpa alasan?" kata Ji Hong-ho dengan tersenyum.
Belum Tong Jan menjawab, cepat Tong Bu-siang membentaknya, dengan mengiring tawa ia
berkata kepada sang Bengcu: "Maaf, jika anak ini ada kesalahan, biarlah kumohonkan ampun
baginya." Tiba-tiba Ji Hong-ho menarik muka dan berkata: "Yang kutanya ialah putramu, sebaiknya
Tong-heng jangan ikut bicara."
355 Dan Tong Bu-siang benar-benar tidak berani ikut bicara lagi.
Tong Jan menarik napas dalam-dalam, ucapnya kemudian dengan suara berat: "Biarpun
Wanpwe orang bodoh, pernah juga kubaca kitab ajaran Nabi, mana berani ku lawan orang tua.
Tapi kalau orang lain menghina ayahku, betapapun Wanpwe tidak dapat tinggal diam!!"
"Lalu mau apa kalau tidak dapat tinggal diam?" tanya Ji Hong-ho.
Saking tak tahan Tong Jan berteriak: "Barang siapa menghina ayahku, biarpun mengadu jiwa
juga akan ku labrak dia."
Ji Hong-ho tersenyum, katanya: "Oo, apa betul" Sungguh terpuji......" belum lanjut
ucapannya, mendadak tangannya menampar ke samping.
Entah karena keder terhadap perbawa sang Bengcu atau memang tak dapat menghindar
serangan kilat itu, tahu-tahu "plok", muka Tong Bu-siang tergampar dengan telak.
Lalu Ji Hong-ho berpaling pula kepada Tong Jan dan bertanya dengan tersenyum: "Nah,
bagaimana?"
Air muka Tong Jan sebentar pucat sebentar hijau, meski mengepal, tapi tangan terasa
gemetar. Sambil mendekap mukanya yang bengap, dengan suara serak Tong Bu-siang membentak:
"Kau binatang yang durhaka, masa kau berani kurang ajar terhadap Bengcu?"
"Sudah tentu ia tidak berani," tukas Ji Hong-ho dengan tersenyum tak acuh, "plak", mendadak
sebuah tangannya menyampuk pula dan tepat mengenai muka Tong Bu-siang.
Tong Jan tidak tahan lagi, air matanya bercucuran dan menangis sedih, teriaknya: "Ayah,
anak tidak berbakti dan tidak..... tidak dapat...." di tengah jerit pilu dan murkanya serentak ia
menubruk ke arah Ji Hong-ho.
"Jangan, anak Jan!" Tong Bu-siang menjerit kaget.
Akan tetapi sudah terlambat, pukulan Tong Jan tepat mengenai bahu Ji Hong-ho, "krek",
tahu-tahu pergelangan tangan Tong Jan sendiri tergetar patah, tubuhnya juga terpental dan
mencelat. Sebaliknya Ji Hong-ho masih tenang-tenang saja sambil memangku tangan, ucapnya dengan
tertawa, "Tong-heng, nyali putramu memang teramat besar."
Tong Bu-siang lantas berjongkok di tanah dengan air mata bercucuran, katanya dengan
terputus-putus: "Anak kecil tidak tahu aturan, mohon.... mohon Bengcu memberi ampun
padanya...."
356 Ji Hong-ho menghela napas, katanya: "Sudah tentu tidak kupikirkan perbuatannya, hanya
saja..... kaupun peserta pertemuan Hong-ti, masa kau tidak tahu hukuman apa bagi orang yang
berani menghina dan menyerang Bengcu?"
Tong Bu-siang menyembah dan berkata pula: "Mohon Bengcu sudi mengampuni jiwanya,
biar kupotong sendiri kedua tangannya untuk minta maaf kepada Bengcu."
Ji Hong-ho tidak menjawab, ia berpaling ke arah Ong Kim-liong dan bertanya:
"Bagaimana"!"
Dengan suara bengis Ong Kim-liong lantas berseru: "Undang-undang yang ditetapkan dalam
pertemuan Hongti mendapat perhatian sepenuhnya di seluruh dunia, apabila undang-undang
itu dilanggar, lalu siapa pula yang akan menghargai Bengcu, siapa pula yang menghargai
pertemuan Hongti?"
Ji Hong-ho lantas berpaling pula ke arah Tong Bu-siang dan berkata: "Dan bagaimana dengan
pendapatmu" Terikat oleh undang-undang, terpaksa aku tak dapat berbuat apa-apa."
Dalam pada itu Ong Kim-liong sudah menggusur Tong Jan keluar, menyusul lantas terdengar
jeritan ngeri di luar. Dengan sempoyongan Tong Bu-siang berdiri, hampir saja jatuh terkulai
lagi di lantai.
Di tempat sembunyinya Ji Pwe-giok dapat mengikuti adegan dramatis itu, tanpa terasa air
matanya berlinang-linang. Kalau saja dia harus bertahan hidup demi perjuangannya yang
belum selesai, tentu dia sudah melompat turun untuk mengadu jiwa.
Dilihatnya Ji Hong-ho sedang menatap Tong Bu-siang dengan tajam, lama dan lama sekali,
tiba-tiba ia berkata pula: "Kau berduka atas kematian anakmu, tentunya Tong-heng
bermaksud menuntut balas bukan?"
Dengan napas terengah-engah Tong Bu-siang menjawab dengan menunduk: "Apa yang
terjadi adalah akibat perbuatan anak itu sendiri, mana berani kusalahkan orang lain."
Ji Hong-ho tertawa cerah, katanya: "Bagus, Tong-heng memang orang yang bijaksana."
Makin rendah Tong Bu-siang menunduk, begitu rendah sampai Ji Pwe-giok ikut malu
baginya. Terdengar Ji Hong-ho berkata pula: "Dari jauh ku datang ke sini, tahukah Tong-heng apa
tujuanku?"
"Dengan sendirinya untuk Ji Pwe-giok itu," jawab Bu-siang dengan ragu.
"Hahaha, salah kau!" seru Ji Hong-ho dengan tertawa.
"Salah?" Tong Bu-siang melengak.
"Ketahuilah, tujuanku mencari Ji Pwe-giok itu adalah karena ingin kuselidiki asal-usulnya,
sebab ku kuatir dia adalah putraku yang durhaka itu, tapi sekarang sudah jelas diketahui
357 bahwa dia memang orang lain. Sebab itulah, selanjutnya tentang orang ini, apakah dia masih
hidup atau sudah mampus tidak ku perduli lagi."
Urusan ini sebenarnya suatu rahasia, kini Ji Hong-ho menguraikannya secara blak-blakan,
tentu saja Ji Pwe-giok terkesiap, lebih-lebih Tong Bu-siang, ia terkejut dan sangsi pula,
tanyanya dengan tergagap-gagap: "Jika demikian, untuk.... untuk keperluan apakah
kedatangan Bengcu ini?"
"Kedatanganku ini adalah ingin memperkenalkan beberapa sahabat kepadamu," jawab Ji
Hong-ho. Tong Bu-siang tambah heran, ia berkedip-kedip tanyanya: "Sahabat" Entah siapa-siapa saja?"
"Memang aneh kalau diceritakan," ujar Ji Hong-ho dengan tertawa. "Terhadap orang ini jelas
Tong-heng sudah sangat kenal, sebaliknya orang ini selamanya tidak pernah melihat Tongheng."
Seketika Bu-siang melongo, sama sekali tak dapat dirabanya siapakah gerangan yang
dimaksudkan, iapun tidak tahu untuk maksud apakah Ji Hong-ho hendak memperkenalkannya
kepada "sahabat" yang disebut itu.
Tiba-tiba ia merasa wajah Ong Kim-liong dan Lim Soh-koan menampilkan semacam
senyuman yang misterius, seketika timbul rasa ngerinya dari kaki ke ulu hati.
Diam-diam Pwe-giok juga merasa heran. Untuk apakah Ji Hong-ho sengaja membawa
seorang "sahabat" untuk dipertemukan kepada Tong Bu-siang, bahkan sebelumnya dengan
suatu dan lain alasan dibunuhnya lebih dulu anak lelaki Tong Bu-siang.
Apakah karena orang ini tidak boleh dilihat oleh Tong Jan"
Siapakah orang ini sesungguhnya" Mengapa begini misteriusnya"
Intrik apa yang tersembunyi di balik semua kejadian ini"
Pwe-giok merasa tangan dan kakinya rada dingin, dahinya juga berkeringat dingin.
Dalam pada itu Ji Hong-ho telah memberi tanda, beberapa lelaki berseragam hitam tadi lantas
melangkah keluar, menyusul dari kegelapan di luar lantas menyelinap masuk seorang.
Orang ini memakai kopiah dan berjubah hijau. Waktu Pwe-giok mengintai dari atas, tentu saja
muka orang ini tidak kelihatan. Tapi Tong Bu-siang dapat melihat dengan jelas wajah orang
yang baru masuk ini.
Tiba-tiba Pwe-giok melihat, setelah berhadapan dengan orang yang baru masuk ini, seketika
wajah Tong Bu-siang merinding seperti melihat setan, air mukanya penuh rasa takut,
tubuhnya berkejang dan mulut melongo....
Pwe-giok terperanjat, ia tidak tahu sesungguhnya terdapat keanehan apa pada wajah orang
yang baru datang ini sehingga dapat membuat Tong Bu-siang ketakutan setengah mati.
358 Dengan tersenyum Ji Hong-ho lantas berkata: "Bagaimana, Tong-heng. Tidak keliru bukan
perkataanku, bukankah kau sudah kenal dia?"
"Aku...... aku..... dia....." Tong Bu-siang gelagapan dengan suara parau, kerongkongannya
seperti tersumbat dan tak dapat bicara lancar.
"Sudah lama dia ingin bertemu dengan Tong-heng, cuma waktunya yang tepat belum tiba,
juga aku tidak menghendaki Tong-heng bertemu dengan dia..... Apakah Tong-heng sudah
tahu apa sebabnya?"
"Ti...... tidak tahu." jawab Bu-siang.
"Sebab tidak kuhendaki Tong-heng mati terlalu cepat," ujar Ji Hong-ho dengan tersenyum.
Dahi Tong Bu-siang penuh keringat, baru diusap keringat sudah merembes keluar lagi,
dengan suara parau ia tanya: "Ap.... apa maksudnya?"
"Sebab pada waktu kalian bertemu, pada saat itu pula ajalmu tiba," jawab Ji Hong-ho dengan
tertawa. Terbelalak lebar mata Tong Bu-siang, ia menatap orang yang misterius itu, butiran keringat
berketes-ketes di mukanya dan merembes ke matanya, tapi dia sama sekali tidak berkedip.
"Apakah kau ingin memandangnya dengan lebih jelas" .... Baik!" mendadak Ji Hong-ho
menyingkap topi orang itu yang berpinggir lebar dan....
Ternyata wajah orang inipun wajah "Tong Bu-siang", mukanya, alisnya, matanya, hidungnya,
semuanya mirip, persis seperti berasal dari satu cetakan.
Baru sekarang Pwe-giok dapat melihatnya dengan jelas, tidak kepalang tegangnya sehingga
sekujur badan sama gemetar.
Akhirnya dengan mata kepala sendiri ia dapat menyaksikan rahasia kawanan iblis ini!,
Didengarnya Ji Hong-ho lagi berkata dengan tertawa: "Nah, sekarang Tong-heng sudah
melihat jelas bukan" Bukankah ini suatu karya seni yang belum pernah ada sejak dahulu
hingga kini. Biarpun seniman paling tersohor dari jaman dulu hingga sekarang banyak yang
dapat melukis dengan sedemikian indahnya, tapi semuanya itu adalah benda mati. Dan buah
karya kami sekarang, bukan saja terdiri dari darah daging, bahkan juga berjiwa."
Pendekar Kembar 8 Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L Anak Berandalan 7
^