Renjana Pendekar 13
Renjana Pendekar Karya Khulung Bagian 13
persamaan."
"O, apa itu?" tanya Pwe-giok.
"Satu2nya hal yang sama adalah sebelum mereka menghilang, semuanya pernah dilihat orang
tinggal di Li-toh-tin ini."
"O, hanya begitu?"
"Ya, tapi yang paling penting adalah sesudah kelihatan di Li-toh-tin sini, lalu tiada orang
melihat mereka lagi."
"Hal ini rada membingungkan aku?" ujar Pwe-giok.
"Dengan lain perkataan, umpama orang itu kemarin kelihatan berada di Li-toh-tin sini, besok
dia lantas lenyap tanpa bekas dan entah ke mana perginya."
476 "Oo...."
"Petunjuk ini sebenarnya tidak begitu jelas, tapi setelah 20 orang lebih sama2 menghilang
dengan cara begitu, maka persoalannya menjadi lain. Para sanak keluarga orang2 yang hilang
itu lantas mengangkat tiga orang wakil mereka ke Li-toh-tin sini untuk menyelidiki urusan ini
dengan lebih jelas."
"Siapakah ketiga orang itu?" tanya Pwe-giok.
"Biar kukatakan nama mereka juga tidak kau kenal," kata Ang-lian-hoa. "Cukup kukatakan
ketiga orang itu tentunya orang2 yang cerdik dan pandai, kalau tidak masa mereka terpilih?"
"O, lalu bagaimana hasil penyelidikan mereka?"
"Apapun tidak dihasilkan oleh mereka."
"Oo" Kenapa begitu?"
"Sebab setiba di Li-toh-tin ini, selamanya merekapun tidak pernah kembali lagi.
"Hah" Lantas bagaimana?"
"Dengan sendirinya urusan ini sangat menggemparkan dan akhirnya dilaporkan kepada Bulim-
bengcu." "Ehm, memang harus begitu."
"Tapi Ji bengcu baru saja kehilangan anaknya, beliau sedang berduka dan belum sempat
memikirkan urusan ini," tutur Ang-lian-hoa. "Dengan sendirinya urusan ini jatuh ke tangan
Kay-pang. Bilamana kaum tukang minta2 itu mau menyelidiki sesuatu, tentunya akan jauh
lebih leluasa daripada orang lain."
"Ya, betul juga," Pwe-giok menyengir.
"Sebab itulah selama setengah bulan ini di Li-toh-tin mendadak kaum pengemis bertambah
banyak. Mereka mengemis pada setiap orang dan setiap rumah, tentu saja tiada orang
menaruh curiga kepada mereka bahwa sebenarnya mereka sedang menyelidiki sesuatu rahasia
yang membikin panik kaum Bu-lim."
"Justeru lantaran itulah, maka di kolong langit ini siapapun tidak berani merecoki Kaypang
kalian," kata Pwe-giok dengan tersenyum.
Ang-lian-hoa tersenyum bangga, sambungnya lagi, "Setelah penyelidikan selama belasan hari
terus menerus, akhirnya diketahui penduduk Li-toh-tin ini adalah rakyat jelata yang patuh dan
tertib, hanya sebuah loteng kecil di belakang Li-keh can itu berdiam dua orang yang sama
sekali tidak diketahui asal-usulnya. Sebab itulah mereka berdua lantas menjadi sasaran
penyelidikan selanjutnya."
"Kemudian?" tanya Pwe-giok.
477 "Sehari suntuk mereka mengintai di sekitar loteng kecil ini, belum lagi menemukan sesuatu
yang mencurigakan, tahu2 si ... si nona cilik yang tinggal di atas loteng kecil itu malah sudah
melihat gerak-gerik kaum jembel itu, malamnya, lima murid kami yang pasang mata di sana
telah dikerjai, kantung yang membedakan tingkatan mereka yang selalu di panggul di
punggung mereka itu tahu2 lenyap secara aneh."
Dia merandek sejenak, lalu menyambung dengan menarik muka, "Padahal anak murid Pang
kami sangat memandang penting kantung yang mereka bawa, tapi orang dapat mencuri
kantung yang melengket di punggung mereka itu tanpa diketahui, maka tahulah mereka
bahwa nona cilik itu ternyata seorang kosen, jelas orang sengaja hendak memperingatkan
mereka agar mereka jangan ikut campur urusan ini."
"Siapa tahu, urusan menjadi runyam malah, bukan?" tanya Pwe-giok. "Betul, sebab hidup
orang Kay pang justeru suka ikut campur urusan."
"Dan lantaran urusan ini pula maka Pangcu datang ke Sujwan sini."
"Bukan cuma itu saja, mestinya Pang kami akan mengadakan rapat besar di Thay-heng-san
untuk menjatuhkan hukuman bagi pengkhianat, karena adanya urusan ini terpaksa tempat
rapat kamipun berpindah ke sini."
Pwe-giok terdiam sejenak, katanya kemudian dengan perlahan, "Dan sekarang Pangcu sudah
merasa pasti bahwa hilangnya ke-20 orang itu ada sangkut pautnya dengan nona Cu yang
tinggal di atas loteng itu?"
"Betul, setelah menerima laporan murid Kaypang, Ji-bengcu lantas mengumpulkan para tokoh
Bu-lim dan datang ke Li-toh-tin ini dengan pura2 main catur Li-keh-can yang terletak di
depan loteng kecil itu, tapi diam2 tempat itu telah dijaga dan di intai, akhirnya dapat
dipastikan bahwa yang tinggal di situ adalah anak keturunan Siau-hun-kiongcu dan Hongsam."
"Kiranya di balik persoalan ini masih ada liku2 begini, tadinya kukira urusan ini sangat
sederhana," ujar Pwe-giok sambil menghela nafas.
Gemerdep sinar mata Ang-lian-hoa, mendadak ia berkata dengan suara kereng, "Jika kau mau
terima nasehatku, lebih baik cepat kau tinggalkan tempat ini, kalau tidak, bila tengah malam
nanti tiba, segalanya akan hancur lebur dan hal itu tentu akan sangat disesalkan."
Pwe-giok berpikir sejenak, katanya kemudian, "Tapi kukira urusannya tidak sederhana
sebagaimana disangka Pangcu."
"Pokoknya beginilah nasehatku, mau percaya atau tidak bergantung padamu sendiri," kata
Ang-lian-hoa. Dia pandang Pwe-giok sekejap, seperti mau omong apa2 lagi, tapi urung
diucapkan, lalu melayang pergi.
Buru2 Pwe-giok menyusuri hutan tadi. Penduduk Li-toh-tin masih berkumpul di situ,
tampaknya mereka tambah cemas.
478 Padahal Pwe-giok juga tidak kurang cemasnya, selama setengah hari ini sudah banyak rahasia
yang didengarnya, namun pikirannya masih penuh diliputi tanda2 tanya yang sukar
dipecahkan. Setelah menyusuri hutan itu, di depan adalah sebuah tanjakan, bila tanjakan itu sudah dilintasi
barulah sampai di kota kecil itu. Pada saat itulah dari balik tanjakan sana Pwe-giok
mendengar suara rintihan orang kesakitan.
Cepat Pwe-giok memburu ke sana, dilihatnya seorang berambut putih sedang berjongkok di
samping sepotong batu besar dan sedang merintih.
Masih musim rontok, hawa belum terlalu dingin, tapi nenek ini memakai baju kapas yang
sangat tebal. Melihat Pwe-giok, segera ia berkeluh dan berseru, "Siau... Siauya, tol...
tolonglah, bantu nenek ini!"
Nenek ini tampaknya cuman sakit keras biasa namun Pwe-giok selalu waspada, betapapun ia
merasa sangsi, ia coba tanya, "Apakah nenek penduduk Li-toh-tin ini?"
"Ya, ben... benar..." jawab nenek itu.
"Orang2 sama berkumpul di hutan sana, mengapa nenek berada sendirian di sini?"
Nenek itu mengucek matanya dengan tangannya yang kurus kering sambil berkata,
"Janganlah Siauya mentertawakan diriku jika kukatakan, hidup nenek ini sebatang kara, tidak
punya sanak keluarga seorangpun, orang lain sama menganggap nenek ini kotor dan sudah tua
renta, tiada seorangpun mau memperhatikan diriku, selama ini hanya Siau Hoa (si belang)
saja yang mendampingi aku."
Sambil omong, meneteslah air matanya, dengan suara tersendat ia menyambung pula, "Tapi
orang itu tidak... tidak mengijinkan kubawa Siau Hoa, seharian ini Siau Hoa tentu akan mati
kelaparan... O Siau Hoa yang baik, Siau Hoa sayang, jangan kau kuatir, sebentar lagi nenek
pasti datang menjenguk kau." segera ia hendak merangkak bangun, tapi jatuh terkulai pula.
Cepat Pwe-giok memayangnya bangun, katanya sambil berkerut kening, "Apakah Siau Hoa
itu cucu nenek" Mengapa mereka tidak mengijinkan kau bawa serta dia?"
"Betul, Siau Hoa adalah cucuku sayang," tutur si nenek sambil menangis. "Cucu orang lain
suka ribut, suka nakal, tapi Siau Hoa sangat jinak, sangat penurut, sepanjang hari hanya
menunggui aku, menangkap tikus saja tidak mau."
"Hah, menangkap tikus?" Pwe-giok melengak, akhirnya ia tertawa geli sendiri dan bertanya,
"O, kiranya Siau Hoa kesayangan nenek itu adalah seekor kucing?"
Tapi nenek itu lantas menangis ter-gerung2, katanya, "Betul, dalam pandangan orang muda
seperti kalian ini Siau Hoa hanya seekor kucing, tapi dalam pandangan nenek yang sudah
hampir masuk liang kubur ini, Siau Hoa justeru adalah jiwaku, sukmaku, tanpa dia bagaimana
aku akan melewatkan hari2 selanjutnya...?" Dia meronta dan hendak merangkak ke depan,
serunya dengan parau, "O, Siau Hoa sayang, cucu sayang, sebentar nenek akan memberi
makan ikan padamu, janganlah kau menangis, biarpun perut nenek akan robek kesakitan juga
akan merangkak pulang untuk memberi makan padamu."
479 Memandangi rambut si nenek yang putih perak dan tubuhnya yang bungkuk, Pwe-giok
membayangkan kehidupan orang tua yang sengsara dan kesepian ini, tanpa terasa ia menjadi
terharu dan ikut pedih, dengan suara keras ia lantas berseru, "Jika Lo-thaythay (nenek) tidak
mampu berjalan lagi, biarlah ku gendong kau saja."
"Kau... kau sudi?" tanya si nenek sambil kucek2 matanya.
"Jika nenekku sendiri masih hidup, beliau tentu juga akan sayang pada Siau Hoa seperti
dirimu," ujar Pwe-giok sambil tertawa ramah.
Maka tertawalah si nenek sehingga kelihatan mulutnya yang ompong dengan gigi yang
tinggal dua, katanya, "Ai, Siauya memang orang baik, tadi begitu mendengar aku akan
memberi makan kepada Siau Hoa, mereka lantas merintangi aku dan melarang aku pulang,
hanya Siauya saja... Ai, begitu melihat Siauya memang sudah kuduga engkau pasti seorang
yang baik hati."
Begitulah sambil mendekam di atas punggung Pwe-giok ia masih terus mengoceh terus dan
memuji Pwe-giok setinggi langit, katanya anak muda itu baik hati, cakap lagi, kelak pasti
akan mendapatkan bini yang cantik dan pintar.
Muka Pwe-giok menjadi merah. Untung tidak lama mereka sudah memasuki kota kecil itu.
Pwe-giok lantas tanya, "Dimanakah Lo-thaythay bertempat tinggal?"
"Tempat tinggalku paling mudah dikenali, sekali pandang saja lantas tahu," kata si nenek.
"O, apakah di depan sana?" tanya Pwe-giok pula dengan tertawa.
"Eh, jadi sudah kau lihat" Memang betul di loteng kecil itulah," kata si nenek.
Air muka Pwe-giok seketika berubah.
Maklumlah, di kota kecil ini hanya terdapat loteng itu, satu2nya loteng kecil itu adalah tempat
tinggal Hong-sam dan Cu Lui-ji, sekarang si nenek ternyata mengaku juga bertempat tinggal
di situ. Diam2 Pwe-giok merasakan gelagat tidak enak, tapi sebelum ia bertindak sesuatu, tahu2
kedua kaki si nenek yang tadinya lemas itu seketika berubah menjadi kuat dan menjepit
tubuhnya seperti tanggam.
Biarpun Pwe-giok memiliki tenaga sakti pembawaan, tapi terjepit oleh kedua kaki si nenek,
jangankan hendak meronta, bernapas saja terasa sesak.
Keruan ia terkejut, serunya, "He, Lothaythay, ap... apa kehendakmu?"
"Aku cuman berharap Siauya akan mengantar ku pulang ke rumah," kata si nenek.
"Tapi... tapi tempat itu..."
480 "Hahhh!" mendadak si nenek mengakak, suara tertawanya seperti bunyi kokok beluk di
malam sunyi dan membuat bulu roma Pwe-giok sama berdiri.
Di dengarnya si nenek berkata pula dengan terkekeh2, "Barangkali Siauya belum tahu bahwa
tempat itulah rumah nenek, yang tinggal di sana, seorang adalah cucuku dan seorang lagi
adalah buyut perempuanku."
Pwe-giok menarik nafas dalam2, sedapatnya ia menahan perasaannya, katanya dengan
perlahan, "Jika Lothaythay ada sengketa apa2 dengan Hong-sian sianseng dan ingin
mencarinya, mengapa engkau perlu ku gendong ke sana" Padahal dengan tenaga kaki nenek
yang kuat, masa tidak dapat naik ke sana?"
Nenek itu tertawa, "Siauya, kau ini orang baik, tapi cucuku itu sedikitpun tidak berbakti
padaku, bila dia melihat nenek datang sendirian ke sana, bukan mustahil sekali depak aku
akan ditendangnya ke bawah loteng."
"Dan sekarang apa yang kau inginkan dariku?" tanya Pwe-giok dengan tersenyum getir.
"Asalkan kau gendong aku ke atas loteng dan katakan kepada mereka bahwa aku ini seorang
nenek yang sudah sakit parah, kau yang menolongku ke sana untuk minta mereka
memberikan obat padaku."
"Kemudian?" tanya Pwe-giok.
"Urusan selanjutnya tidak perlu lagi kau ikut campur... Hehe, kau sendiripun tidak mampu
ikut campur," kata si nenek dengan ter-kekeh2.
Diam2 Pwe-giok membatin "Ya, setelah ku gendong dia ke atas loteng, tentunya dia takkan
melepaskan aku dan akupun tidak perlu ikut campur apa2 lagi." Berpikir demikian, sekujur
badannya lantas basah kuyup oleh keringat dingin.
"Tapi hendaknya sekarang janganlah Siauya merencanakan tindakan yang tidak2, sebab
biarpun usia nenek sudah lanjut, untuk meremas patah tulang lehermu kukira tidak lebih sukar
daripada kupatahkan sepotong ranting kayu."
Pwe-giok menghela nafas, katanya, "Lo thaythay, tiada sesuatu yang kukagumi padamu selain
ceritamu tentang si belang tadi, sungguh sedikitpun tidak menimbulkan curigaku."
***** Pintu di bawah loteng kecil itu hanya dirapatkan saja tanpa dipalang dari dalam.
Di atas loteng Kwe Pian-sian lagi duduk termenung, Ciong Cing mendekap di pangkuannya,
seperti sudah tertidur.
Gin-hoa-nio meringkuk di pojok sana, mukanya yang semula ke-merah2an itu kini tampak
pucat seperti mayat, ia sedang memandangi tempat tidur sana dengan terbelalak, matanya
yang hidup se-olah2 dapat bicara itu kini tampak sayu dan hampa seperti sudah berubah
menjadi seorang linglung.
481 Si sakit, Hong-sam sianseng masih tetap berbaring di tempat tidur dengan tenang, cuma air
mukanya tambah merah dan segar, napasnya juga sudah normal.
Cu Lui-ji berjaga di sampingnya, air mukanya tampak mengunjuk rasa girang.
Pada saat itulah Pwe-giok naik ke atas loteng, begitu melangkah ke atas, dengan suara keras ia
lantas berseru, "Nenek ini mendapat sakit keras di tengah jalan, terpaksa ku gendong dia
pulang... kan tidak dapat kulihat dia mati sakit di tepi jalan bukan?"
Mendengar ini, Kwe Pian-sian berkerut kening. Ciong Cing tetap masih pulas dalam tidurnya.
Gin-hoa-nio tidak memperlihatkan sesuatu perasaan, sedangkan Hong-sam sianseng tetap
diam2 saja tanpa membuka matanya.
Hanya Cu Lui-ji saja yang tersenyum, katanya, "Nenek ini menderita penyakit apa" Biar
ku..." mendadak suaranya terhenti, tanpa berkedip ia pandang nenek itu dengan wajah kerut
dan takut seperti melihat setan saja.
Nenek itu menyembunyikan mukanya di belakang gendongan Pwe-giok, katanya dengan
setengah merintih, "O, kasihanilah nona, berikan obat kepada nenek!"
Siapa tahu mendadak Cu Lui-ji lantas menjerit, "Oh-lolo... Oh-lolo... kau Oh-lolo!"
Tubuh Kwe Pian-sian tergetar demi mendengar nama Oh-lolo atau nenek Oh ini, air mukanya
juga tampak kejut dan jeri se-akan2 ingin kabur saja kalau bisa.
Tangan Pwe-giok juga berkeringat dingin, dia masih ingat kepada cerita ayahnya dahulu
bahwa yang paling jahat dan paling keji di dunia sekarang adalah Oh-lolo. Perempuan yang
paling tinggi ginkangnya dan paling mahir menggunakan racun juga Oh-lolo. Pernah dia
dikerubuti tiga diantara "Kesepuluh tokoh-tokoh jaman ini, dia terkurung di suatu lembah
pegunungan dan bertahan tujuh hari tujuh malam, akhirnya dia tetap dapat lolos dengan
selamat. Begitulah terdengar Oh-lolo menghela nafas di gendongannya sambil berkata, "Tahu aku
bakal dikenali budak cilik ini, untuk apa ku-buang2 tenaga sebanyak ini?" Dia menggapai
Lui-ji dan berkata pula, "Eh, budak cilik, cara bagaimana kau kenal pada nenek" Coba
jelaskan, nanti nenek memberikan permen padamu!"
Tapi Cu Lui-ji telah memegangi tangan Hong sam sianseng, katanya dengan suara gemetar,
"Li... lihatlah Sacek, Oh-lolo tidak mati, sekarang dia datang lagi.
Hong Sam tetap tidak membuka matanya, dengan perlahan dia berucap, "Orang ini bukan Ohlolo.":
"Tapi, kukenal dia... kukenal dia," kata Luji. "Dia masih tetap memakai bajunya yang tebal
itu, sanggulnya memakai tusuk kundai kayu hitam, sepatunya yang dipakainya juga serupa
dengan waktu itu."
"Dia bukan Oh-lolo," jengek Hong Sam. "Oh-lolo sudah mati!"
"Tapi dia... dia sudah hidup kembali!" seru Lui-ji.
482 "Orang yang terkena Hoa-kut-tan (pil penghancur tulang), jangankan dapat hidup kembali,
menjadi setan pun tidak dapat," kata Hong Sam dengan kereng.
Mendadak nenek itu bergelak tertawa, tertawa latah.
Suara seperti bambu patah, pergesekan benda logam, lolong serigala di hutan, bunyi kokok
beluk dan sebagainya adalah suara yang paling menakutkan dan paling menusuk telinga, tapi
suara tertawa nenek ini jauh lebih tidak enak didengar dan jauh lebih menakutkan daripada
suara2 yang disebutkan tadi.
Setelah tertawa seperti orang gila sampai sekian lamanya, lalu nenek itu berkata, "Pantas
kucari kian kemari tidak dapat menemukan adik perempuanku yang keji itu, kiranya dia
memang telah dibunuh oleh kau si setan penyakitan ini... Oo, baik sekali matinya, dia
memang sudah hidup cukup lama dan sudah waktunya harus mati... tapi sesudah dia mati, aku
menjadi sebatang kara begini, cara bagaimana aku dapat hidup sendirian!..."
Dari tertawa mendadak berubah menjadi menangis, suara tangisannya berpuluh kali lebih
menusuk telinga daripada suara tertawanya tadi, kaki Pwe-giok terasa lemas dan hampir2 saja
tidak kuat berdiri.
Akhirnya Hong Sam membuka matanya, sinar matanya berkelebat, setelah menatap si nenek
sekejap lalu katanya dengan bengis, "Kau inikah kakak Oh-lolo?"
Nenek itu menjawab, "Dia adalah aku dan aku adalah dia, dia Oh-lolo, akupun Oh-lolo, kami
kakak beradik berdua sama dengan satu dan tidak terpisahkan."
Tiba2 Kwe Pian-sian paham duduknya perkara, pikirnya, "Pantas orang Kangouw sama
bilang jejak Oh-lolo tidak menentu dan sukar diraba, pada satu hari yang sama ada orang
melihat dia muncul di Holam, tapi ada orang lain yang melihat dia berada di Soa-tang, kiranya
Oh-lolo ini terdiri dari dua kakak beradik kembar yang selamanya berdandan sama."
Tiba2 terdengar si nenek alias Oh-lolo tadi menangis tergerung-gerung sambil berteriak, "Kau
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setan penyakitan busuk, kau telah membunuh adikku, bolehlah kau bunuh saja diriku
sekalian."
"Jadi kau kemari minta kubunuh?" jawab Hong Sam dengan tak acuh. "Baiklah, boleh kau
maju sini!"
"Lihatlah para hadirin!" teriak Oh-lolo. "Di dunia ini ternyata ada orang sekeji ini. Adik
perempuanku sudah dibunuhnya dan sekarang ia ingin membunuhku pula... kau setan
penyakitan ini apakah benar2 tiada punya hati nurani manusia sama sekali?"
"Jika kau tidak ingin mati boleh kau pergi saja," kata Hong Sam pula dengan ketus.
"Pergi ya pergi, jika aku tidak dapat membunuh kau, untuk apalagi berada di sini, hanya kheki
saja bila melihat kau!" kata Oh-lolo.
483 Mendengar si nenek menyatakan mau pergi, segera Pwe-giok hendak membalik tubuh, untuk
turun ke bawah. Padahal ia tahu sekali turun, maka selama hidupnya pasti akan terkekang di
bawah tangan nenek aneh itu.
Siapa tahu belum lagi dia membalik tubuh, se-konyong2 kedua kaki Oh-lolo menggantol
sekuatnya sehingga tubuh Pwe-giok bagian atas menubruk ke depan tanpa kuasa.
Dirasakannya suatu arus tenaga menyalur ke lengannya, tanpa terasa kedua tangannya terus
terangkat dan menghantam ke arah Hong Sam yang masih terbaring itu.
Cara ini benar2 sesuai dengan namanya, yaitu "Cio-to-sat-jin" atau pinjam golok membunuh
orang. Sebab kalau hantaman Pwe-giok itu berhasil, tentu saja sangat baik, tapi kalau Hong Sam
melancarkan serangan balasan, paling2 yang akan terluka ialah Pwe-giok. Oh-lolo yang
mendekap di belakang punggungnya tentu sempat mengundurkan diri bilamana kejadian tidak
menguntungkan. Maklumlah, sebelumnya Oh-lolo sudah memperhitungkan keadaan Hong Sam, lawan ini
berbaring tertutup selimut, jelas tidak dapat mengelak, baginya hanya ada dua jalan, yakni
menerima pukulan kedua tangan Pwe-giok itu atau balas menghantam. Dengan lain perkataan,
apabila Hong Sam tidak mati, maka yang akan mati ialah Pwe-giok.
Tapi kalau Hong Sam mati, apakah Oh-lolo akan membiarkan anak muda itu hidup terus"
Jadi pergi-datang, akhirnya Pwe-giok pasti akan mati.
Keruan Cu Lui-ji menjerit kaget. Dilihatnya tangan Hong Sam yang kurus kering seperti kayu
itu mendadak terjulur keluar dari selimut, entah cara bagaimana tahu2 telapak tangan Pwegiok
kena ditangkapnya.
Sesaat itu Pwe-giok merasakan suatu arus tenaga maha dahsyat timbul dari tangan Hong Sam
siansing, tapi hanya satu putaran segera tenaga itu menyurut kembali.
Menyusul tenaga yang dikerahkan Oh-lolo ke tangannya tadi lantas ikut arus tenaga Hong
Sam siansing itu dan mengalir keluar.
Seketika Pwe-giok merasa kedua tangannya dialiri oleh arus tenaga yang panas dan bergerak
tanpa berhenti, keruan ia terkejut, tapi segera ia tahu apa yang terjadi. Nyata Hong Sam
siansing telah menggunakan lengannya sebagai jembatan untuk menghisap tenaga murni Ohlolo.
Di dunia ini ternyata adalah kungfu ajaib begini, sungguh sukar untuk dibayangkan oleh
siapapun. Agaknya Oh-lolo juga sudah tahu apa yang terjadi, saking takutnya ia berteriak, "Hong Sam...
Hong-locianpwe... berhenti... ampun, aku... aku menyerah padamu!"
Dengan perlahan Hong Sam berkata, "Sebenarnya aku tidak mau sembarangan mengambil
tenaga murni orang lain, tapi kau yang lebih dulu ingin mencabut nyawaku..."
484 "Aku tidak berani lagi, Hong-locianpwe, kumohon sudilah engkau mengampuni diriku," pinta
Oh-lolo dengan suara parau.
Pwe-giok jadi heran dan geli. Kwe Pian-sian juga melenggong.
Mendadak Oh-lolo menggigit telapak tangannya sendiri, kedua kakinya memancal sekuatnya
di punggung Pwe-giok, orangnya terus mencelat pergi dari gendongan Pwe-giok.
"Blang", kepalanya menumbuk langit2 rumah, lalu jatuh ke bawah lagi dan terduduk di lantai
dengan nafas ter-engah2, mendadak ia berlutut menyembah kepada Hong Sam dan berkata,
"Ya, ku tahu akan kesalahanku, kumohon sudilah engkau mengampuni diriku."
Dengan hambar Hong Sam menjawab, "Kau dapat lolos dari tanganku, sungguh tidak
mudah... baiklah, pergilah kau!" lalu ia tersenyum kepada Pwe-giok dan berkata, "Untung
bagimu!" Tadi waktu tubuh Oh-lolo mencelat ke atas, seketika Pwe-giok merasakan tenaga yang
menghisap di telapak tangannya hilang mendadak. Kini di antara kedua tangannya masih
terasa ada hawa hangat yang bergerak tiada hentinya.
Selagi bingung didengarnya Cu Lui-ji berkata kepadanya dengan tertawa, "Tenaga murni
orang yang dipinjam Sacek ada sebagian besar tertinggal di tubuhmu, kau telah mendapatkan
keuntungan tanpa sengaja, masa kau belum lagi tahu?"
Pwe-giok melengak, ia pandang tangan sendiri, lalu pandang Oh-lolo pula, dalam hati entah
bergirang atau berduka.
Dilihatnya Oh-lolo sedang melangkah ke tangga loteng dengan tubuhnya yang bungkuk dan
kelihatan lemas. Meski berjalan dengan tertunduk, tapi sinar matanya yang buas penuh
kebencian masih terus melirik ke arah Hong Sam.
"Jangan kau pergi dulu!" kata Hong Sam mendadak.
Oh-lolo terjingkat, tanyanya dengan suara gemetar, "Hong-samya ingin pesan apa lagi?"
"Selamanya aku tiada hubungan apa2 dengan orang Kangouw, apalagi bermusuhan," ucap
Hong Sam dengan perlahan. "Jika sekarang kau pergi begini saja, tentu dalam anggapanmu
adik perempuanmu telah kubunuh tanpa alasan."
"Mana kuberani berpikir begitu," ujar Oh-lolo dengan kepala tertunduk.
"Bolehlah kau tinggal di sini, dengarkan ceritaku sebab apakah kubunuh dia," kata Hong Sam
pula. "Jika Hong-samya mau bercerita, dengan sendirinya terpaksa kudengarkan," ujar Oh-lolo.
Meski di mulut dia bilang akan mendengarkan karena terpaksa, padahal di dalam hati ia
sangat berharap agar Hong Sam lekas bercerita.
485 Pwe-giok juga tahu apa yang akan diceritakan Hong-sam sianseng sekarang adalah lanjutan
kisahnya yang pernah diceritakan itu. Sudah tentu minatnya terhadap cerita ini tidak di bawah
Oh-lolo. Tak tahunya sebelum Hong Sam berbicara lebih lanjut, tiba2 Cu Lui-ji menyela, "Kukira
lebih baik Sacek istirahat saja dan biarkan kuceritakan kepada mereka."
"Kejadian waktu itu apakah masih kau ingat dengan baik?" tanya Hong Sam dengan
menyesal. Lui-ji menggigit bibir dan menjawab dengan sekata demi sekata, "Meski waktu itu aku masih
kecil, tapi apa yang terjadi seolah2 terukir dalam-dalam hatiku. Asalkan ku pejamkan mata
segera dapat kulihat setiap... setiap raut wajah itu."
Meski dia bicara dengan perlahan, tapi rasa bencinya membuat orang mengkirik, tanpa terasa
Oh-lolo juga merasa seram, katanya dengan mengiring tawa, "Jika demikian, silahkan nona
lekas bercerita."
Tiba2 Lui-ji melotot ke arahnya dan berkata, "Ingin kutanya padamu lebih dulu, tahukah kau
siapa aku ini?"
Dengan menyengir Oh-lolo menjawab, "Di dunia ini, kecuali ibu seperti Cu-kiongcu itu, siapa
lagi yang dapat melahirkan anak perempuan seperti nona Cu ini?"
Lui-ji melototinya sekejap dengan gemas, per-lahan2 ia pejamkan mata dan mulai bercerita
dengan perlahan, "Waktu itu sudah jauh malam, ibu belum lagi tidur, beliau sedang
menjahitkan baju baru bagiku, sepotong baju merah yang disiapkan untuk kupakai pada tahun
baru. Ibu bermaksud pula menyulam seekor Kilin (binatang lambang rejeki) pada baju merah
itu, beliau membisiki diriku, katanya beliau berharap lambang Kilin itu akan membawa
seorang adik lelaki yang mungil bagiku."
Kenangan itu masih terasa hangat dan indah, wajah Lui-ji yang pucat itupun menampilkan
cahaya yang cantik lantaran kenangan yang hangat ini.
Tersembul senyuman manis pada ujung mulut Lui-ji, lalu ia menyambung ceritanya, "Anak
kecil mana yang tidak suka pada baju baru, dengan sendirinya akupun ingin cepat2 memakai
baju baru. Maka meski sudah larut malam, aku masih menunggui ibu menjahit dan tidak mau
tidur." Oh-lolo ber-kedip2, katanya dengan tersenyum, "Siau-hun-kiongcu ternyata mau menjahit
baju, sungguh tak pernah terbayangkan oleh siapa pun juga."
"Bukan saja menjahit, bahkan ibuku juga mencuci, menanak nasi, menyapu lantai... pendek
kata segala pekerjaan rumah tangga selalu ditanganinya sendiri, masa kau tidak percaya?"
"Apa yang dikatakan nona masakah perlu kuragukan?" jawab Oh-lolo.
"Sementara itu sudah dekat tengah malam, pada umumnya penduduk di kota kecil ini suka
tidur lebih dini, suasana sudah sunyi, tiada terdengar suara apapun, keadaannya serupa
sekarang ini."
486 Angin meniup di luar jendela, suasana memang benar2 hening, entah mengapa dalam hati
masing2 sama timbul rasa seram se-akan2 mendapat firasat tidak enak.
Lui-ji melanjutkan ceritanya, "Tatkala mana ibuku agaknya juga merasakan alamat tidak baik,
pikiran beliau tampaknya juga sedang kacau. Saat itu beliau sedang menyulam mata Kilin,
tapi telah salah sulam tiga kali. Pada saat itulah se-konyong2 terdengar suara menggelepar di
luar, seekor burung malam tiba2 terbang dari atap seberang rumah."
Bicara sampai di sini, senyuman yang menghiasi wajah Lui-ji sudah lenyap, perasaan setiap
orang juga ikut tegang.
"Aku terkejut," sambung Lui-ji pula, "Ku jatuhkan diri ke pangkuan ibu. Sembari menepuk
punggungku dengan perlahan, mendadak ibu meraup segenggam jarum sulam terus
ditaburkan ke lubang angin di ujung atap sana."
"Burung malam terbang terkejut, jelas itu tandanya ada Ya-heng-jin (orang pejalan malam),"
kata Oh-lolo dengan tertawa. "Ibumu memang tidak malu sebagai seorang tokoh Kangouw
kawakan dengan taburan jarum itu, mustahil kalau bocah di luar itu tidak menggeletak."
"Hm, yang di luar jendela itu tak-lain-tak-bukan ialah Oh-lolo!" jengek Lui-ji.
Oh-lolo melengak, ucapnya dengan menyengir, "O, be... begitukah?"
"Tapi begitu jarum itu ditaburkan ibuku, keadaannya seperti batu tenggelam di lautan,
sedikitpun tidak menimbulkan reaksi apa2, maka tahulah ibu telah kedatangan lawan tangguh,
ibu lantas memanggil bangun ay..." dia memejamkan mata dan menghela nafas panjang, lalu
menyambung lagi, "Memanggil bangun Tonghong Bi-giok dan menyerahkan diriku
kepadanya. Tatkala mana kulihat air muka ibu mendadak berubah pucat. Tapi Tonghong Bigiok
itu sebaliknya tampak bergirang."
Pwe-giok menghela nafas gegetun, pikirnya, "Lelaki yang tidak berbudi dan tidak setia
begitu, pantas kalau Lui-ji tidak sudi mengaku ayah padanya."
Terdengar Lui-ji melanjutkan lagi ceritanya, "Dalam pada itu di luar jendela ada orang
berseru dengan tertawa, "Lihay amat hujan jarum yang ditaburkan ini, cuma sayang, terhadap
nenek macam diriku ini menjadi tiada gunanya hujan jarum ini?"
Karena uraian ini, tanpa terasa pandangan semua orang lantas beralih ke arah Oh-lolo.
Nenek itu terbatuk, lalu bertanya, "Waktu itu nona berumur berapa?"
"Empat tahun," jawab Lui-ji. "Masa anak umur empat dapat mengingat sejelas itu apa yang
pernah diucapkan orang lain?" ucap Oh-lolo dengan tertawa.
Dengan hambar Lui-ji menjawab, "Ada sementara orang biarpun hidup sampai nenek2 tapi
makin tua makin pikun. Sebaliknya ada orang yang sekalipun baru berumur empat, tapi sudah
banyak yang dipahaminya, apalagi..."
487 Tanpa berkedip ia pandang Oh-lolo, lalu menyambung sekata demi sekata, "Bilamana ada
orang telah membunuh ibumu pada waktu kau baru berumur empat, maka apapun yang
dikatakannya waktu itu, tentu takkan kau lupakan selamanya biarpun cuma satu kata saja."
Mengkirik Oh-lolo oleh pandangan tajam si nona, ia tertunduk dan berkata, "Adik
perempuanku itu memang keterlaluan, suka campur urusan orang lain."
Lui-ji mendengus, sambungnya pula, "Setelah mendengar ucapan tadi, segera ibuku dapat
menerka siapa yang berada di luar jendela. Beliau lantas berseru, "Oh-lolo, selamanya kita
tiada sengketa apa2, untuk apa kau cari diriku"..." pada waktu itulah daun jendela di sekeliling
rumah lantas terbuka serentak, di dalam rumah tahu2 sudah bertambah belasan orang. Cepat
sekali kedatangan orang2 itu, meski mereka melayang masuk dari luar jendela, tapi rasanya
seperti arwah yang muncul dari bawah bumi."
"Kiranya mereka datang belasan orang sekaligus..." kata Oh-lolo. "Rumah kami memang
tidak besar, tentu saja belasan orang itu segera memenuhi seluruh ruangan," tutur Lui-ji pula.
"Ibuku lantas terkepung di tengah, jalan mundur saja sudah tertutup buntu."
"Bagaimanakah bentuk orang2 itu?" tanya Oh-lolo.
"Yang menjadi kepalanya bertubuh jangkung, berkopiah dan berbaju pertapa, tampaknya
seperti orang yang beribadat dan menimbulkan rasa hormat orang..." tutur Lui-ji. "Padahal
sesungguhnya dia hanya seorang Siaujin (orang kecil, rendah) yang keji."
"Orang ini tentunya Tonghong-sengcu adanya," kata Oh-lolo dengan tertawa.
"Ada seorang lagi yang bermuka penuh berewok, bertubuh tinggi besar, mukanya hitam
seperti pantat kuali, senjata yang dibawanya mirip sebuah pagoda."
"Ah, kiranya Li-thian-ong juga ikut," tukas Oh-lolo.
"Ada pula seorang tua, rambutnya sudah putih seluruhnya, giginya juga sudah ompong
semua, wajahnya senantiasa tersenyum seperti seorang nenek yang welas asih, padahal
hatinya lebih keji dan buas daripada binatang."
Tidak perlu dijelaskan lagi semua orang tahu siapa gerangan yang dimaksudkan, tanpa terasa
pandangan semua orang lantas beralih pula ke arah Oh-lolo.
"Makian yang tepat," kata Oh-lolo dengan tersenyum. "Bilamana kulihat dia, tentu juga akan
ku maki dia se-kenyang2nya." "Sudah tentu ibuku terkejut melihat munculnya orang2 itu, tapi
segera beliau dapat menenangkan diri dan bertanya apa maksud tujuan kedatangan mereka?"
"Ya, biarpun orang2 itu bukan orang sembarangan, tapi Cu-kiongcu tentu juga tidak takut
terhadap mereka," kata Oh-lolo dengan menyengir.
"Tapi Tonghong Tay-beng itu lantas mencaci maki, katanya ibu telah memikat anaknya,
banyak pula kata2 tidak baik yang diucapkannya. Meski ibu sangat marah mendengar makian
orang, tapi beliau menyadari orang itu adalah ayah-mertuanya. Ibu tidak berani
memperlihatkan sikap kasar, beliau mengira apa yang terjadi ini hanya salah paham belaka,
maka berusaha memberi penjelasan."
488 "Huh, si tua Tonghong itu paling suka membela orang sendiri, mana dia mau terima
keterangan ibumu," kata Oh-lolo.
"Benar juga, dia bahkan tidak memberi kesempatan bicara kepada ibuku," tutur Lui-ji. "Ibuku
pikir biarkan Tonghong Be-giok saja yang bicara langsung kepada ayahnya, siapa tahu,
mendadak Tonghong Bi-giok melompat ke belakang ayahnya, lalu menuding dan
mendamprat ibuku, caci-makinya bahkan jauh lebih kotor daripada Tonghong Tay-beng."
"Lelaki kebanyakan memang tidak punya Liangsim (hati nurani yang baik)," kata Oh-lolo
dengan menyesal.
Dalam pada itu Ciong Cing sudah mendusin, perasaannya jadi tersinggung, kembali ia
menangis perlahan.
Lui-ji juga mengembeng air mata, tuturnya pula, "Sampai sekarang barulah ibuku tahu pribadi
Tonghong Bi-giok ternyata begini rendah, nyata cintanya selama ini telah diserahkan kepada
manusia demikian, sesaat itu mendadak ibu merasa putus asa dan lemas lunglai, iapun malas
bicara lagi, ia hanya tanya apakah Tonghong Tay-beng dan Tonghong Bi-giok mau
membesarkan diriku atau tidak?"
Bercerita sampai di sini air mata Lui-ji sudah mengucur deras, bahkan Gin-hoa-nio yang
berhati keras itupun ikut menangis. Perasaan semua orang juga sangat sedih, satu per satu
sama menunduk dan tidak bersuara.
Selang agak lama barulah Lui-ji mengusap air matanya dan melanjutkan ceritanya, "Dengan
sendirinya Tonghong Bi-giok menyatakan sanggup, malahan katanya aku ini anaknya, dengan
sendirinya akan dijaga se-baik2nya. Untuk terakhir kalinya ibuku memandangnya sekejap,
lalu hendak membunuh diri di depannya."
Tanpa terasa semua orang sama menjerit kaget, tapi merekapun tahu ibu si nona itu takkan
mati secepat itu, sebab seterusnya diketahui masih terjadi lagi macam2 urusan.
Dengan pedih Lui-ji berkata pula, "Tatkala mana usiaku masih kecil, namun samar2 sudah
dapat ku terka apa yang terjadi, akupun menangis keras2, namun ibuku sudah nekat dan tidak
menggubris ratapanku, segera ia angkat belati hendak membunuh diri. Pada detik terakhir
itulah se-konyong2 sesosok bayangan putih melayang masuk pula dari luar, begitu cepat dan
gesit gerakan orang itu, tahu2 belati di tangan ibuku sudah dirampasnya."
Semua orang sama berseru heran, "Hei, siapa lagi orang ini?" Lui-ji tidak menjawabnya, ia
meneruskan ceritanya. "Waktu itu meski aku tidak paham tinggi rendahnya ilmu silat, tapi
dapat juga kulihat ginkang orang itu ternyata jauh lebih tinggi daripada ibuku."
"Oo...?" Oh-lolo berseru heran, tanpa terasa ia melirik ke sana, seketika pandangan semua
orang ikut beralih kepada Hong Sam sianseng, dalam hati masing2 samar2 sudah dapat
menduga siapa si pendatang itu.
"Merasa niatnya dirintangi orang, ibuku menjadi gusar, sebelah tangannya lantas
menghantam. Namun dengan enteng dan gesit orang itu dapat menghindarkan serangan ibu.
Kukira sekarang kalian tentu tahu siapa penolong ibuku itu?"
489 "Ehmm," semua orang sama mengangguk.
Lui-ji memandang Hong Sam sekejap, tersembul senyuman hangat pada ujung mulutnya, lalu
katanya, "Waktu itu Sacek masih seorang Kongcu yang gagah dan cakap. Hari itu dia
memakai baju putih mulus seperti salju, ketika melayang tiba dari luar sungguh gayanya
seperti malaikat dewata yang baru turun dari kahyangan."
Oh-lolo berdehem dua kali, katanya, "Kecakapan Hong Sam kongcu, pada masa itu pernah
kudengar juga."
"Padahal Tonghong Tay-beng dan begundalnya juga terhitung tokoh Bu-lim yang top, tapi
melihat gerakan Sacek yang luar biasa, ginkangnya yang tiada bandingannya, mau-tak-mau
mereka sama melongo. Betapapun Tonghong Tay-beng memang lebih tabah, segera ia
menegur Sacek, "Siapa kau" Apa maksud kedatanganmu ini?"
"Rupanya Tonghong Tay-beng sudah terlalu lama tinggal di lautan sana sehingga tidak kenal
lagi kepada Hong-sam sianseng, hal ini dapatlah dimaklumi, tapi Li-thian-ong, adik
perempuanku dan lain2 masa juga tidak dapat menduga pendatang itu ialah Hong-sam
sianseng" Di kolong langit ini, kecuali Hong-sam kongcu, siapa lagi yang berusia semuda itu
dan menguasai Kungfu setinggi itu?"
"Semula ibuku juga melenggong, setelah mendengar teguran Tonghong Tay-beng itu,
mendadak Oh-lolo menjerit kaget dan menyebut nama Sacek. Barulah ibuku tahu telah
kedatangan penolong yang dapat dipercaya, ia merasa tidak perlu kuatir lagi akan difitnah dan
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dikeroyok orang."
Sampai di sini Hong Sam yang berbaring itu menghela nafas panjang, katanya dengan rawan,
"Siapa tahu aku... aku..."
Cepat Lui-ji mendekatinya dan berlutut, ucapnya dengan menangis, "Kejadian itu mana boleh
menyalahkan Sacek" Kenapa Sacek berduka?"
Hong Sam termenung sejenak dan memejamkan matanya, katanya kemudian, "Baiklah, lan...
lanjutkan ceritamu!"
Lui-ji berdiri dengan menunduk kepala, iapun memejamkan mata dan berdiam sejenak, habis
itu barulah dia menyambung kisahnya, "Waktu itu Sacek lantas membongkar seluk beluk
rencana busuk yang diatur Tonghong Bi-giok yang bersengkongkol dengan ayahnya itu,
Sacek mendamprat Tonghong Bi-giok habis2an akan ketidak-setiaan dan ketidak berbudinya.
Begundal Tonghong Tay-beng sama melengak heran dan sangsi, entah mesti percaya atau
tidak terhadap keterangan Sacek itu."
"Biarpun dalam hati mereka tak percaya, di mulut mungkin merekapun tidak berani bicara,"
kata Pwe-giok. "Hanya Li-thian-ong yang biasanya sombong dan suka meremehkan orang lain, meski
Tonghong Tay-beng juga sudah pernah mendengar nama Sacek, tapi iapun belum kenal
betapa lihaynya Sacek, kedua orang sama merasa penasaran menghadapi Sacek yang cuma
490 sendirian itu. Diam2 kedua orang itu saling memberi tanda, serentak mereka melancarkan
serangan maut terhadap Sacek."
"Kedua orang itu mungkin sudah bosan hidup," kata Oh-lolo dengan gegetun.
"Memang," kata Lui-ji. "Orang macam apakah Sacek, sudah tentu beliau sudah
memperhitungkan kemungkinan tindakan mereka itu. Beliau tetap tenang2 saja, waktu itu dari
jauh kulihat senjata Li-thian-ong yang berwujud pagoda baja itu sedikitnya berbobot beberapa
ratus kati sedang menghantam kepala Sacek, begitu dahsyat sehingga tempat aku berdiri juga
merasakan angin damparannya yang keras. Apalagi Tonghong Tay-beng ikut menyerang
sekaligus, sungguh aku menjadi kaget dan kuatir, saking ketakutan aku sampai menangis."
Tanpa terasa semua orang ikut berdebar.
Tapi Lui-ji lantas menyambung, "Siapa tahu, pada saat itu juga mendadak Sacek bersiul
panjang nyaring menggema angkasa, namun suaranya tidaklah menusuk telinga, sebaliknya
kedengarannya sangat merdu."
"Itulah yang disebut kicauan burung Hong menggema ribuan li, menggetar sukma kabur sukar
dicari!" seru Oh-lolo.
"Di tengah suara siulan nyaring itu," demikian Lui-ji melanjutkan, "entah cara bagaimana
tahu2 tubuh Li-thian-ong mencelat, senjata andalannya, yaitu pagoda baja juga sudah
berpindah ke tangan Sacek, dengan enteng Sacek memuntir, seketika pagoda baja itu berubah
menjadi untir2."
Semua orang sama melengak, sungguh mereka tidak pernah mendengar bahwa di dunia ada
Kungfu setinggi ini.
"Agaknya Tonghong Tay-beng juga terkena serangan Sacek," sambung Lui-ji pula, "dia
tampak ketakutan, tapi Sacek hanya memandangnya dengan tertawa dingin, katanya,
"Mengingat menantu perempuanmu, biarlah kuampuni jiwamu!" Sembari bicara Sacek terus
menelikung untir2 baja tadi hingga berubah menjadi sebuah gelang, lalu dilemparkan,
terdengar suara "brak" di kejauhan, sebatang pohon cukup besar seketika patah menjadi dua
dan tumbang."
Bicara sampai di sini, Lui-ji menghela nafas lega, lalu katanya, "Setelah Sacek
memperlihatkan kungfunya, orang2 itu tiada satupun yang berani bergerak lagi."
Semua orang ikut merasa lega juga meski diketahui ibu anak dara itu akhirnya tidak terhindar
dari kematian. Dan ini pula yang membuat mereka heran, entah mengapa kemudian Siau-hunkiongcu
tewas juga dan entah sebab apa Hong-sam sianseng juga terluka.
Cuaca sudah remang2, senja sudah tiba, di atas loteng mulai suram.
Pwe-giok tidak tahan, ia membuka suara, "Apakah kejadian itu kemudian berkembang lagi
lebih mengejutkan orang?"
Lui-ji menuang secangkir teh dan melayani minum Saceknya, habis itu perlahan2 barulah ia
menyambung lagi, "Melihat perbawa Sacek sudah menaklukan musuh, ibu lantas mendekati
491 Sacek dan memberi hormat serta mengucapkan terima kasih atas pertolongannya. Sacek tanya
kepada ibuku, lantas bagaimana akan menyelesaikan urusan ini?"
"Meski Tonghong Bi-giok itu berdosa kepada ibumu, tapi kukira ibumu pasti tidak tega
mencelakai dia," ujar Kwe Pian-sian dengan gegetun.
"Betul, hati perempuan biasanya memang lemah," tukas Oh-lolo.
"Tapi diantaranya ada juga yang berhati keras, bahkan tidak kepalang kerasnya dan
menakutkan," sambung Kwe Pian-sian dengan tersenyum.
Seperti tidak mengikuti ucapan mereka, pandangan Lui-ji menatap keremangan senja di luar
jendela dengan termangu, sejenak kemudian barulah ia menyambung ceritanya, "Karena
pertanyaan Sacek tadi, ibu hanya menangis saja dan tidak bicara. Sacek bertanya pula apakah
lelaki tidak setia itu perlu dibunuh saja" Namun ibu tetap tidak buka mulut, melainkan cuma
menggeleng saja. Maka berkatalah Sacek, "Jika demikian, suruh dia enyah saja sejauh2nya!..."
ia menghela nafas, lalu melanjutkan, "Siapa tahu, ibu lantas menangis tergerunggerung
mendengar ucapan Sacek itu."
"Aneh juga," kata Pwe-giok, "ibumu tidak tega membunuhnya, juga tidak mau melepaskan
dia, sesungguhnya apa kehendaknya?"
Dengan menunduk Lui-ji berkata, "Ibuku... dia..."
Mendadak Hong-sam sianseng menukas, "Boleh kau istirahat dulu, biarkan ku sambung
ceritamu."
Lui-ji mengusap air matanya dan mengiakan dengan menunduk.
Hong Sam lantas berkata, "Waktu itu akupun heran, kalau Cu Bi tidak tega membunuhnya
dan juga tidak mau melepaskan dia pergi, lalu tindakan apa yang harus kulakukan?"
Dia berhenti sejenak, setelah menghela nafas lalu sambungnya, "Pikiran wanita selamanya
memang tak dapat ku raba. Selagi aku merasa bingung, tiba2 Oh-lolo itu menyeletuk, katanya
dia tahu maksud Cu Bi."
"Memang hanya perempuan saja yang mengetahui isi hati sesama perempuan," kata Pwegiok.
"Dengan sendirinya ku silahkan dia bicara," tutur Hong Sam pula. "Maka Oh-lolo lantas
mendekati Cu Bi, tanyanya dengan tersenyum, "Maksud Kiongcu apakah ingin rujuk kembali
dengan Tonghong-kongcu"..." Tentu saja aku menjadi gusar, kupikir sudah jelas Tonghong
Bi-giok itu sedemikian rendah dan tak berbudi terhadap Cu Bi, bilamana Cu Bi tidak
membunuhnya sudah tergolong untung baginya, masa sekarang Cu Bi ingin berhubungan baik
pula dengan dia" Sudah tentu aku tidak percaya, maka aku lantas tanya Cu Bi, apakah
memang begitu maksudnya" Sampai beberapa kali kutanya dia, namun sama sekali dia tidak
mau menjawab meski dia tidak menangis lagi."
"Kalau tidak menangis dan juga tidak menjawab, hal itu berarti diam2 telah membenarkan,"
kata Gin-hoa-nio mendadak.
492 Hong Sam tersenyum pahit, ucapnya, "Sampai lama akhirnya barulah ku paham isi hatinya,
memang betul begitulah kehendaknya. Kurasakan hal itu sungguh terlalu enak bagi keparat
Tonghong Bi-giok itu, tapi Cu Bi sebagai orang yang paling berkepentingan sudah
menghendaki begitu, terpaksa akupun tak dapat berbuat apa2."
"Di dunia ini hanya cinta kasih antara lelaki dan perempuan saja yang tak dapat dipaksakan
oleh siapapun," kata Pwe-giok.
"Melihat sikapku sudah lunak dan tidak merintangi lagi, orang2 itu sama merasa lega," tutur
Hong Sam pula. "Segera Tonghong Tay-beng menarik anaknya maju ke depan, ayah dan anak
itu ber-sama2 meminta maaf kepada Cu Bi. Dalam keadaan demikian aku menjadi lebih2
tidak dapat bicara apa2 lagi."
"Dan bagaimana pula sikap Tonghong Bi-giok itu?" tanya Pwe-giok.
"Sudah tentu wajahnya penuh rasa menyesal," jawab Hong Sam. "Tadinya wajah Cu Bi penuh
rasa gusar, tapi kemudian telah berubah cerah, sinar matanya menjadi terang pula, tampaknya
awan mendung sudah buyar dan segala sesuatu akan menjadi terang. Siapa tahu tiba2 datang
lagi usul Oh-lolo."
"O, usul apa?" tanya Pwe-giok.
"Katanya, meski Tonghong Bi-giok dan Cu Bi sudah suka sama suka, tapi sebelum ada ijin
orang tua serta perantara comblang, betapapun ikatan mereka sebagai suami isteri belum
resmi, sebab itulah sekarang juga dia ingin menjadi comblang bagi mereka agar Tonghong Bigiok
dan Cu Bi dapat terikat menjadi suami isteri di depan ayahnya, dan akupun diminta
menjadi wali bagi Cu Bi."
"Ehm, bukankah itu usul yang bagus?" kata Oh-lolo.
"Hm, semula akupun merasa usulnya memang bagus," jengek Hong Sam. "Maka be-ramai2
semua orang lantas sibuk mengatur seperlunya, di atas loteng kecil inilah diadakan perjamuan
untuk merayakan peresmian pengantin baru mereka."
"Perjamuan?" Pwe-giok menegas dengan terbelalak. "Tentunya tiada perjamuan yang tanpa
arak!" "Betul, perjamuan tentu harus lengkap dengan suguhan arak," kata Hong Sam.
"Jangan2 di dalam arak itulah terjadi sesuatu?" ucap Pwe-giok pula.
Hong Sam menghela nafas panjang, katanya, "Usiamu masih muda belia, tapi nyatanya
pengalaman dan pengetahuanmu sudah jauh lebih luas daripada diriku pada waktu itu."
Diam2 Pwe-giok membatin, "Mungkin lantaran Cianpwe memandang dirimu tiada tandingan
di kolong langit ini dan tidak menaruh perhatian terhadap orang lain, dan tentunya juga tidak
menyangka ada orang berani mencelakai kau dengan cara yang licik."
493 "Sudah tentu pikiran ini tidak berani diutarakannya, tapi didengarnya Hong Sam telah
menyambung pula, "Dalam hatimu tentu kau anggap aku terlalu tinggi hati dan mengira orang
lain tidak berani berbuat apapun kepadaku, soalnya kau tidak mengetahui keadaan pada waktu
itu..." ia menghela nafas panjang, lalu meneruskan, "Apabila waktu itu kaupun di sana dan
melihat setiap orang sama riang gembira, tentu kaupun takkan curiga bahwa sebenarnya
dirimu sedang diincar."
"Jika orang ingin mengerjai Cianpwe, mana bisa sikapnya itu diperlihatkan kepada
Cianpwe?" ujar Pwe-giok tak tahan.
Air muka Hong Sam tampak guram, sampai lama ia tidak bersuara.
Sementara itu Lui-ji sudah cukup beristirahat, segera ia menyela, "Sudah tentu masih ada
alasan lain. Pertama Sacek menganggap orang2 itu adalah tokoh Kangouw terkenal, tentunya
tidak sampai bertindak secara keji dan rendah."
Pwe-giok tersenyum pahit, katanya, "Terkadang orang2 yang sok anggap dirinya kaum
pendekar budiman itulah sering2 dapat bertindak secara kotor dan menakutkan. Sebab kalau
orang2 macam begitu sampai berbuat sesuatu kebusukan, bukan saja orang lain takkan
berjaga-jaga, bahkan juga takkan percaya."
Lui-ji juga terdiam sejenak, katanya kemudian, "Kedua, dengan Kungfu Sacek waktu itu,
sekalipun beliau menenggak habis secawan arak beracun juga takkan menjadi soal, arak
beracun itu pasti dapat didesaknya keluar. Apalagi Sacek menyaksikan sendiri arak yang
disuguhkan itu dituang dari satu poci yang sama."
Kwe Pian-sian memandang Oh-lolo sekejap, lalu berkata, "Kalau racun biasa tentu tidak
beralangan bagi Hong locianpwe, tapi cara penggunaan racun Oh-lolo boleh dikatakan tiada
bandingannya di kolong langit ini, biarpun tenaga dalam Hong locianpwe maha tinggi,
betapapun perutnya bukan terbuat dari baja."
"Baru kemudian Sacek tahu bahwa racun bukan melalui arak yang disuguhkannya itu,"
sambung Lui-ji pula. "Tapi racun dipoles pada cawan arak yang digunakan Sacek dan ibuku,
sungguh racun yang maha lihay."
"Bila di dalam arak beracun, rasa arak tentunya akan berubah," kata Pwe-giok. "Setelah
Hong-locianpwe minum cawan pertama, apakah belum dirasakan ada kelainan pada arak itu
dan mengapa sampai minum lagi cawan yang kedua?"
Kwe Pian-sian tidak tahan, ia menyeletuk pula, "Seumpama Hong-locianpwe tidak dapat
merasakannya, Cu-kiongcu sendiri kan juga seorang ahli racun, masa beliau juga tidak dapat
merasakannya?"
"Justeru lantaran racun dipoles pada cawan arak, sedangkan araknya dingin, ketika cawan
pertama dituang, serentak semua orang angkat cawan dan menghabiskannya, dengan
sendirinya racun yang larut ke dalam arak waktu itu tidak banyak," demikian Lui-ji menutur
dengan gegetun. "Dan kemudian...?" tanya Kwe Pian-sian.
"Kemudian racun yang larut ke dalam arak tentunya makin lama makin cepat dan banyak,"
tutur Lui-ji. "Tapi dalam pada itu arak yang diminum Sacek dan ibuku juga tidak sedikit lagi,
494 daya rasa mereka lambat-laun sudah mulai tumpul... tentunya kalian maklum, saat itu hati
ibuku tentunya sangat gembira. Dalam keadaan terlalu gembira, kewaspadaan seseorang
biasanya tentu akan sangat berkurang."
"Sungguh hebat," ujar Kwe Pian-sian, "tampaknya waktu menaruh racun, setiap kemungkinan
sudah diperhitungkan masak2 oleh Oh-lolo. Kemahiran menaruh racun orang ini sungguh
sukar ditandingi siapapun juga."
Membayangkan betapa rapi cara Oh-lolo menaruh racun serta tindakannya yang keji, tanpa
terasa semua orang sama mengkirik, apalagi sekarang terdapat pula seorang Oh-lolo di depan
mereka, tentu saja timbul rasa was-was dan jemu mereka terhadap nenek ini.
Kebetulan Pwe-giok berdiri di sampingnya, sekarangpun ia merasa ngeri dan cepat
menjauhinya. Bahkan Ciong Cing menjadi ketakutan, memandang saja tidak berani.
Lui-Ji lantas berkata, "Sekian lama mereka minum arak, mendadak ibuku menyembah
beberapa kali kepada Sacek dan ber-ulang2 menyatakan terima kasihnya atas pertolongan
jiwa Sacek."
Ya, akupun merasa heran dalam keadaan begitu tiba2 dia menyatakan terima kasihnya
padaku," tukas Hong Sam dengan menyesal. "Tapi akupun tidak bilang apa2. Kulihat Cu Bi
lantas mendekati Tonghong Bi-giok dan memegang tangannya dengan tersenyum manis,
katanya, "Berkat bantuan para Cianpwe yang hadir di sini sehingga dapatlah kita menjadi
suami isteri secara istimewa. Betapapun hatiku sangat berterima kasih, Dengan sendirinya
Tonghong Bi-giok menyambutnya dengan tertawa dan berkata, "Ya, tentu saja akupun sangat
berterima kasih."
"Dengan tertawa Cu Bi berkata pula, "Kata orang, cinta suami-isteri harus sehidup semati.
Meski aku tak dapat lahir bersama kau pada hari dan saat yang sama, hendaklah kita dapat
mati pada hari dan saat yang sama, apakah kau bersedia?" aku menjadi heran pada hari
bahagianya mengapa tanpa sebab dia bicara tentang kematian."
"Dalam pada itu kudengar Tonghong Bi-giok telah menjawabnya dengan tertawa, "Dalam
suasana bahagia begini, mengapa kau bicara hal2 yang tidak enak ini?" Cu Bi memandangnya
tajam2, ucapnya dengan tersenyum, "Kuminta sukalah kau jawab bersedia atau tidak?" kulihat
tertawa Tonghong Bi-giok sudah berubah menjadi menyengir, terpaksa ia mengangguk,
"Sudah tentu aku bersedia?" Belum habis ucapannya, mendadak Cu Bi memuntir tangannya,
krek, tulang lengan Tonghong Bi-giok telah dipuntirnya hingga patah!"
Tanpa terasa semua orang sama menjerit kaget. Maka dapatlah dibayangkan betapa
terkejutnya Tonghong Tay-beng dan lain2 ketika menyaksikan apa yang terjadi waktu itu.
Dengan pedih Pwe-giok berkata, "Mungkin waktu itu Cu-kiongcu sudah merasakan dirinya
telah keracunan dan tak tertolong lagi, maka lebih dulu ia menghaturkan terima kasih kepada
pertolongan Hong-locianpwe, itulah penghormatan perpisahannya dengan Cianpwe."
Gin-hoa-nio menghela nafas gegetun, katanya, "Tatkala mana dia tetap tenang2 saja, kiranya
dia sudah bertekad akan gugur bersama dengan lelaki tidak setia dan tak berbudi itu."
495 "Tapi waktu itu aku belum lagi tahu persoalannya, baru hendak kutanyai dia sebab apa dia
bersikap begitu, tahu2 Tonghong Tay-beng dan begundalnya telah berteriak kaget terus
menubruk ke arahnya," tutur Hong Sam. "Namun lebih dulu Cu Bi telah mencekik leher
Tonghong Bi-giok sambil membentak, "Berhenti! Siapapun diantara kalian berani maju lagi
setindak, segera ku cekik mampus dulu jahanam ini!" Karena itu Tonghong Tay-beng dan
lain2 menjadi kuatir dan tidak berani sembarangan bertindak.
"Habis itu barulah Cu Bi berkata kepadaku dengan pedih bahwa arak telah diberi racun jahat,
racun sudah merasuk tulang dan tak dapat ditolong lagi, karena itu dia hanya memohon agar
aku suka menjaga Lui-ji. Diam2 akupun mengerahkan tenaga, akupun merasakan diriku juga
sudah keracunan, bekerjanya racun sebenarnya sangat lambat, tapi lantaran aku mengerahkan
tenaga, seketika kaki dan tanganku berubah menjadi biru hangus. Melihat keadaanku, tambah
pedih Cu Bi, sebab tahulah dia bahwa racun yang berada dalam tubuhku jauh lebih hebat
daripada dia dan jelas tak tertolong lagi."
Mendengar sampai di sini, hati semua orang seperti tertindih oleh batu, dadapun terasa sesak.
Lui-ji mengusap air mata, katanya dengan perlahan, "Waktu itu aku lagi duduk di suatu kursi
kecil dan asyik makan bakso buatan Ibuku sendiri. Melihat kejadian itu, hampir aku keselak
bakso. Pada saat itu juga kembali Sacek bersiul nyaring pula laksana kicauan burung Hong
itu. Kulihat Oh-lolo menjadi pucat, berulang ia menyurut mundur sambil berteriak, "Racun itu
adalah buatan Tonghong-sengcu yang diracik dengan 81 jenis daun2an, jika kau banyak
bergerak, kematianmu tentu akan tambah cepat dan tak tertolong...!"
"Kenapa racun itu dikatakan buatan Tonghong Tay-beng?" tanya Pwe-giok dengan heran.
Kwe Pian-sian tersenyum, katanya, "Oh-lolo itu licik dan licin, melihat kegagahan Honglocianpwe
yang maha sakti itu, mana dia berani mengaku racun itu berasal dari dia" Apa yang
diucapkannya itu tidak lain hanya ingin membelokkan perhatian Hong-locianpwe agar
Tonghong Tay-beng yang dilabraknya."
"Orang sekeji itu sungguh sangat menakutkan," ujar Pwe-giok.
"Tapi dia terlalu menilai rendah kekuatan Sacek," tutur Lui-ji pula "Meski waktu itu racun
sudah bekerja, namun Sacek menahannya ke dalam perut dengan lweekangnya yang maha
sakti, sambil bersiul nyaring Sacek terus menubruk ke arah Tonghong Tay-beng. Tapi ibuku
lantas berteriak, "Bukan Tonghong Tay-beng yang membuat racun itu, tapi Oh-lolo. Lekas
Hong-locianpwe membekuknya dan memaksa dia menyerahkan obat penawarnya, dengan
begitu mungkin masih dapat tertolong."
"Pada saat ibu bicara itulah, tahu2 kedua tangan Tonghong Tay-beng sudah tergetar patah
oleh pukulan Sacek, menyusul dadanya kena dihantam pula sehingga tumpah darah dan roboh
terkapar. Melihat tokoh semacam Tonghong Tay-beng saja tidak tahan sekali pukul Sacek,
keruan para begundalnya ketakutan setengah mati, segera ada di antaranya bermaksud
melarikan diri. Namun sudah terlambat, Sacek sudah kadung murka, terdengarlah suara krakkrek,
blak-bluk berturut2, suara tulang patah dan orang roboh, para tokoh Bu-lim kelas tinggi
yang memenuhi ruangan itu tiada satupun yang hidup, darah muncrat memenuhi lantai dan
dinding." Baru sekarang Pwe-giok menarik nafas lega, segera ia bertanya, "Dan bagaimana
dengan Oh-lolo?"
496
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hanya Oh-lolo saja yang belum mati, Sacek cuma mematahkan kedua kakinya, akhirnya
memaksa dia agar menyerahkan obat penawarnya," tutur Lui-ji.
"Tapi racun itu katanya diracik dengan 81 jenis tumbuh2an, mungkin dia sendiri juga tidak
mempunyai obat penawarnya. Sungguh sayang!" kata Kwe Pian-sian.
"Ya, memang betul," kata Lui-ji. "Ibu tahu keterangan Oh-lolo itu tidak dusta, maka minta dia
menyebut nama ke-81 jenis tumbuh2an berbisa itu, asalkan tahu namanya tentu dapat mencari
obat penawarnya dengan lengkap, sekalipun untuk itu diperlukan waktu cukup lama."
"Betul juga," ujar Kwe Pian-sian.
"Dan dibeberkan tidak olehnya?" tanya Pwe-giok.
"Rase tua itu ternyata takut mati, asalkan ada kesempatan hidup, mana dia mau menyianyiakannya?"
kata Lui-ji. Tapi baru saja dia menguraikan dua-tiga nama jenis racun, sekonyong2
dari samping menyambar tiba secomot jarum dan bersarang di punggungnya.
Terdengar Tonghong Tay-beng bergelak tertawa dan berseru, "Hong Sam, kau bunuh diriku,
kaupun harus mati bersamaku. Di dunia ini tiada seorangpun yang mampu menyelamatkan
kau." Rupanya lwekangnya sangat hebat, meski terkena pukulan Sacek, tapi seketika belum
mati, ia kuatir Oh-lolo memberitahukan resep obat penawar maka Oh-lolo dibunuhnya lebih
dahulu!" Kisah sedih yang ber-liku2 ini akhirnya tamat juga. Namun betapa pedih hati anak dara itu
setelah menceritakan kemalangan yang menimpa keluarganya tentulah dapat dibayangkan.
Entah berapa lama lagi, terdengar Oh-lolo menghela nafas panjang, gumamnya, "Ai, kiranya
akulah yang salah, akulah yang salah..." ia ulangi beberapa kali ucapannya itu, tiba2 ia
berbangkit dan menjura dalam2 kepada Hong-sam sianseng, ucapnya sambil menunduk
menyesal, "Kiranya adik perempuanku bukan dibunuh oleh Samya, sebaliknya dia yang
telah.. telah membikin susah Samya hingga begini, seumpama Samya yang membunuhnya
juga aku tidak dapat bicara apa2 lagi."
Nenek ini dapat mengucapkan kata2 bijaksana begini, sungguh di luar dugaan siapapun juga.
Sikap Hong Sam tampak sangat kesal, katanya, sambil memberi tanda, "Sudahlah, orang yang
pantas mati sudah mati semua, kejadian yang lampau tidak perlu diungkit lagi, kau boleh..
boleh pergi saja."
"Terima kasih Samya," kata Oh-lolo sambil melangkah ke ujung tangga. Tiba2 ia menoleh
dan berkata pula, "Tonghong Tay-beng itu sok pintar, sesungguhnya iapun keliru besar."
"Oo" Keliru apa?" tanya Hong Sam.
"Dia mengira di dunia ini tiada orang yang sanggup menawarkan racun di tubuhnya Samya,
nyata dia lupa bahwa masih ada seorang nenek reyot macam diriku ini," kata Oh-lolo.
Jilid 20________
"Tapi masih ada satu hal yang tidak diketahui nona," kata Oh-lolo dengan tertawa.
497 "Oo" Hal apa?" tanya Lui-ji.
"Racun itu sebenarnya adalah buatanku, makanya adik perempuanku tidak mempunyai obat
penawarnya," tutur Oh-lolo.
Seketika Lui-ji melonjak kegirangan, teriaknya, "Betul, biarpun racun buatan adik
perempuannya, dengan sendirinya iapun paham cara bagaimana menawarkannya."
Keterangan Oh-lolo ini membuat semua orang terkejut dan juga bergirang.
Saking senangnya muka Cu Lui-ji menjadi merah, serunya dengan suara parau, "Jadi pada...
padamu terdapat obat penawarnya?"
Oh-lolo mengeluarkan sebuah kotak kecil, katanya, "Inilah obat penawarnya."
Kejadian ini datangnya sungguh terlalu mendadak dan terlalu beruntung, benar2 sukar untuk
dipercaya. Cu Lui-ji terbelalak memandangi kotak kecil yang dipegang nenek itu, sekujur
badan sampai bergemetar.
"Obat ini sebenarnya tidak ingin kuberikan," kata Oh-lolo sambil menghela nafas. "Tapi
Samya benar2 seorang berbudi, bilamana orang baik semacam Samya sampai tidak tertolong,
memangnya di dunia ini tidak ada keadilan lagi?"
"Tak ter... tak tersangka kau masih punya Liangsim (hati nurani yang baik)," seru Lui-ji
dengan ter-putus2.
Mendadak ia rampas kotak kecil yang dipegang Oh-lolo itu dan didekap erat2 di dalam
pangkuannya se-olah2 takut direbut orang lagi. Air matapun bercucuran, serunya saking
kegirangan, "Sacek... O, Sacek! Akhirnya... akhirnya kita tertolong! Sudah lama kita seperti
bermimpi buruk dan mimpi buruk kini sudah berakhir. Sacek, apakah engkau bergembira?"
Tampaknya Hong Sam juga sangat terangsang dan hampir tak dapat menguasai perasaannya.
Setelah mengalami siksa derita sekian tahun, kini dapat terlepas dari lautan derita itu, tentu
saja iapun bergirang.
Lui-ji mendekap di depan tempat tidur, saking gembira ia terus menangis ter-gerung2.
Hong Sam membelai rambutnya dengan perlahan, seperti ingin omong apa2, tapi suaranya
tersendat sehingga tiada terucapkan sekatapun.
Tampaknya Oh-lolo juga sangat terharu, desisnya dengan hati lega, "Orang baik tentu
mendapat ganjaran yang baik, keadilan tentu terdapat pada hati setiap orang. Ai, rasanya
sekarang nenek harus pergi saja."
Tapi baru saja ia membalik tubuh, mendadak Pwe-giok menghadang di depannya dan
menegur, "Apakah obat itu benar2 obat penawar?" Oh-lolo tersenyum, katanya, "Ai, anak
muda, mungkin sudah terlalu banyak orang jahat yang kau temui, makanya kau tidak percaya
kepada siapapun. Apakah kau lihat nenek seperti aku ini tega membikin celaka orang macam
Hong-sam sianseng?"
498 "Memang betul sudah terlalu banyak orang jahat yang kutemui, makanya baru sekarang ku
tahu biarpun orang semacam Hong-locianpwe terkadang juga bisa dicelakai orang," jawab
Pwe-giok dengan perlahan.
Tiba2 Kwe Pian-sian juga menimbrung, "Apalagi, Hong-locianpwe sudah pinjam ilmu
silatmu, tapi kau berbalik hendak menolongnya" Betapapun aku menjadi ikut curiga apakah di
dunia ini benar2 ada orang baik hati seperti kau ini?"
Padahal sejak mula ia sudah curiga, cuma urusannya tidak menyangkut kepentingannya, maka
dia diam saja. Kini Pwe-giok sudah mendahului membongkar hal itu, maka iapun
membonceng biar kelihatan berjasa.
Karena ucapan mereka berdua, hati Cu Lui-ji jadi cemas lagi, perlahan ia berbangkit, katanya
dengan melotot terhadap Oh-lolo, "Coba ka... katakan, obatmu ini sesungguhnya obat
penawar atau bukan?"
Oh-lolo menghela nafas, jawabnya, "Kalau nona tidak percaya, boleh kau kembalikan saja
obat itu kepadaku."
"Mana boleh," jawab Lui-ji dengan suara bengis. "Pendek kata jika obat ini bukan obat
penawar, segera kucabut nyawamu!"
"Habis cara bagaimana barulah nona mau percaya?" tanya Oh-lolo sambil menggeleng.
"Coba kau sendiri makan dulu satu biji obat ini," kata Lui-ji.
Pwe-giok mengira sekali ini Oh-lolo pasti akan mengalami 'senjata makan nenek', tak terduga
tanpa sangsi Oh-lolo terus menerima kembali kota obatnya, katanya dengan tertawa, "Jika
demikian, akan ku makan satu biji obat ini."
Tiba2 Kwe Pian-sian menyeletuk lagi, "Apa bila kau sudah makan obat penawar lebih dulu,
sekalipun obat ini adalah racun, tentunya tidak beralangan biarpun kau makan seluruhnya."
Oh-lolo menghela nafas, katanya, "Wah, jika begini jadinya serba salah bagiku."
Dia mengerling, tiba2 ia berkata pula dengan tertawa, "Tapi masih ada satu cara yang dapat
kubuktikan isi kotak ini obat penawar atau racun."
Dengan menggreget Lui-ji berkata, "Sebaiknya kau dapat membuktikannya, kalau tidak...
hmmm!" Dilihatnya Oh-lolo mengeluarkan pula sebuah kotak kayu kecil, kotak inipun diukir dengan
indah, dicat dengan warna merah darah.
"Kotak inilah berisi racun yang pernah digunakan adik perempuanku itu," kata Oh-lolo. Lalu
dari dalam kotak ia mencolek setitik bubuk obat berwarna jambon terus ditelan.
Semua orang sama terkejut, tapi Oh-lolo malah tertawa, katanya, "Tampaknya mata nona
bersinar aneh, kekuatan tubuhmu pasti lain daripada orang biasa. Racun yang dapat
499 membinasakan orang lain kukira takkan beralangan apapun bagi nona." Dia tersenyum, lalu
menyambung, "Entah apa yang kukatakan ini betul atau tidak?"
"Hmk!" Lui-ji hanya mendengus saja. Meski tidak bersuara, tapi di dalam hati diam2 ia
mengagumi penglihatan nenek yang tajam ini.
"Tapi terdapatnya kelainan nona yang hebat ini juga bukan berasal dari pembawaan lahir,
betul tidak?" tanya Oh-lolo pula.
Lui-ji tidak lantas menanggapi, tapi akhirnya ia bersuara, "Betul, hal ini disebabkan aku harus
mencobai racun apakah yang diidap Sacek, maka aku bertekad akan mencicipi setiap macam
racun di dunia ini, dari cara bekerjanya racun yang kucicipi ini akan kupelajari bagaimana
kadar racunnya dan cara bagaimana menawarkannya."
"Betul, racun apapun juga, asalkan makannya tidak melebihi dosisnya tentu takkan
membinasakan. Apalagi kalau sudah banyak memakannya, kelak akan timbul daya tolak mu
terhadap racun ini." Setelah menghela nafas, lalu Oh-lolo menyambung pula, "Tapi urusan ini
tampaknya sangat mudah dilakukan, padahal tidak sembarang orang mampu
melaksanakannya. Sungguh aku sangat kagum terhadap tolak dan kesabaran nona."
Bilamana membayangkan seorang nona cilik seperti Cu Lui-ji setiap hari harus mencobai
macam2 racun, sedikit lengah saja akibatnya adalah mati. Untuk ini semua orang merasa tidak
punya keberanian seperti nona cilik ini dan mau-tak-mau mereka bertambah kagum dan
hormat kepadanya.
Namun Cu Lui-ji hanya menanggapi dengan hambar, "Inipun bukan sesuatu yang luar biasa.
Kau tahu, ada sementara racun bukannya pahit, sebaliknya rasanya sangat manis."
"Ya, obat yang mematikan kebanyakan rasanya manis, obat penolong jiwa rasanya malah
pahit," kata Oh-lolo dengan tertawa. "Tapi menurut pendapatku, obat racun yang ditemukan
nona itu pasti bukan racun yang sukar dicari. Jika racun sebangsa racun ular, kelabang,
ketungging dan sebagainya, tentunya takkan berbahaya bagi nona, tapi bila racunku ini..."
Lui-ji menengadah, seperti mau omong apa2, tapi seketika tak dapat bersuara apapun, sebab
tiba2 dilihatnya muka Oh-lolo yang berkeriput itu kini telah berubah menjadi ungu kebiru2an,
bahkan matanya juga bercahaya ungu, tampaknya menjadi beringas dan menakutkan.
Bukan cuma Lui-ji saja yang terkesiap, ketika semua orang ikut memandang si nenek, hati
semua orangpun terperanjat.
Namun Oh-lolo berkata pula dengan tertawa, "Racun yang baru saja kumakan kini sudah
mulai bekerja. Sebagai seorang ahli racun tentu nona dapat melihatnya, cara bekerja racun ini
apakah serupa dengan keadaan Hong-sam sianseng waktu keracunan dahulu?"
Sampai di sini, suara nenek itu sudah mulai kaku dan hampir tidak jelas terdengar, tubuhnya
juga mulai berkejang.
"Betul, memang begini keadaannya," jawab Lui-ji dengan muka pucat. Lalu Oh-lolo
mengeluarkan satu biji pil dari kotak yang diterimanya kembali dari Lui-ji tadi dan diminum.
500 Meski semua orang berdiri cukup jauh, namun terendus juga bau amis dan busuk dari pil yang
ditelan Oh-lolo itu.
Melihat sikap orang2 itu, Oh-lolo berkata dengan tertawa, "Obat yang mujarab selain pahit
biasanya juga berbau busuk bukan" Tapi obat penyelamat jiwa biarpun berbau tentu juga akan
diminum orang. Sebaliknya kalau racun juga berbau busuk, lalu siapa yang mau
meminumnya?"
Ciong Cing yang sejak tadi berdiam diri itu kini mendadak menghela nafas dan berucap, "Ya,
kata2 ini sungguh mengandung makna yang sangat dalam. Tapi di dunia ini ada berapa orang
yang menyadari hal ini?"
"Eh, nona cilik, ingatlah dengan baik," kata Oh-lolo dengan tersenyum. "Terkadang mulut
lelaki yang manis jauh lebih menakutkan daripada racun yang mematikan."
Ciong Cing memandang Kwe Pian-sian sekejap, lalu menunduk dan tidak bicara lagi.
Selang sejenak, air muka Oh-lolo telah berubah normal kembali. Racun yang diminumnya
meski lihay, tapi obat penawarnya juga sangat mujarab. Nenek itu menghela nafas panjang2,
lalu berkata dengan tertawa, "Nah, sekarang nona percaya tidak?"
Lui-ji menunduk dan berkata, "Tadi aku salah menyesali engkau, hendaklah engkau jangan
marah." "Mana bisa ku marah padamu?" ujar Oh-lolo. "Memang lebih baik kalau ber-hati2."
Sekarang Lui-ji sudah tidak sangsi sedikitpun, ia merasa malu dan juga berterima kasih,
segera ia terima lagi obat penawar itu dan terus berlari ke tempat tidur Hong-sam.
Sorot mata Oh-lolo menyapu pandang sekejap ke arah Ji Pwe-giok dan Kwe Pian-sian,
katanya dengan tersenyum, "Sekarang nenek boleh pergi bukan?"
Meski di dalam hati Pwe-giok masih merasakan sesuatu yang tidak beres pada urusan ini, tapi
bukti terpampang di depan mata, apa yang dapat dikatakannya lagi" Terpaksa ia memberi
hormat dan berkata, "Maaf jika tadi aku bersikap kasar padamu."
Oh-lolo tertawa, tiba2 ia mendekati Kwe Pian-sian.
Teringat sikapnya tadi rada kurang hormat terhadap si nenek, baru sekarang Kwe Pian-sian
menyesal telah menyalahi orang semacam ini, seketika mukanya menjadi rada pucat, cepat ia
berkata, "Harap Cianpwe jangan... jangan..."
"Tidak perlu kau takut," kata Oh-lolo dengan tertawa, "tiada maksudku hendak mencari
perkara padamu. Meski tadi kau rada2 membikin sirik hatiku, tapi akupun tidak menyalahkan
kau, malahan kurasakan kau inipun seorang berbakat, kelak jika perlu boleh coba2 kau cari
diriku untuk ber-bincang2 lebih banyak."
Dia pandang Ciong Cing sekejap dengan tertawa, lalu berkata pula, "Eh, nenek ompong
semacam diriku ini tentunya takkan menimbulkan rasa cemburumu bukan?"
501 Kwe Pian-sian melenggong hingga sekian lamanya, dilihatnya nenek itu telah melangkah ke
bawah loteng, ia menggeleng kepala dengan menyengir, katanya, "Ai, nenek ini sungguh
seorang yang aneh dan sukar untuk diraba..."
Akhirnya Hong-sam telah minum juga obat penawar itu. Mahluk2 berbisa yang memenuhi
kolong selimutnya itu dengan sendirinya telah digiring oleh Cu Lui-ji ke dalam sebuah karung
goni. Kalau racun sudah ditawarkan, untuk apa pula mahluk2 yang menjemukan itu.
Cu Lui-ji tampak berjingkrak kegirangan, seperti burung cucakrowo saja dia mengoceh tiada
hentinya, bertanya ini dan itu. Maka Pwe-giok lantas menceritakan pengalamannya secara
ringkas waktu ditugaskan menjadi utusan Hong-sam.
Hong-sam duduk bersila di tempat tidur, dia berkerut kening dan berkata, "Kiranya tokoh
andalan mereka adalah Lo-cinjin. Konon khikang orang ini tidak lemah, bagaimana menurut
pengalamanmu?"
"Ya, memang tidak bernama kosong," ujar Pwe-giok.
"Betapapun hebat Khikang nya juga tiada gunanya, sekarang racun dalam tubuh Sacek sudah
dipunahkan, betapapun banyak jago mereka, datang satu sikat satu, datang dua sikat sepasang.
Takut apa"!" ujar Lui-ji dengan tertawa.
Pwe-giok diam sejenak, akhirnya ia tidak tahan dan berkata, "Menurut apa yang kulihat dan
kudengar sehari ini, Hong-cianpwe memang seorang berbudi luhur dan sukar dibandingi
siapapun. Cuma kedatangan mereka inipun bukannya tidak beralasan."
"O, apa alasan mereka" Coba ceritakan!" kata Lui-ji dengan mendelik.
Dengan suara berat Pwe-giok berkata, "Yaitu disebabkan tindakan nona..."
Lui-ji melonjak bangun dengan gusar, teriaknya, "Mereka pasti bilang padamu bahwa banyak
orang Kangouw telah hilang, semuanya telah kubunuh, begitu bukan?"
Pwe-giok menarik nafas dalam2, jawabnya, "Ya, memang begitu kata mereka."
"Tapi apa kau tahu sebab apa orang2 itu masuk ke rumah ini?" jengek Lui-ji.
"Tidak tahu," jawab Pwe-giok.
"Karena ada di antaranya ingin mengganggu diriku, ada yang ingin merampok, mereka sendiri
yang bermaksud jahat, makanya kubereskan mereka, salah mereka sendiri," tutur Lui-ji. "Jika
kau lihat kawanan penjahat itu, mungkin kaupun takkan mengampuni mereka."
"Meski ucapan nona juga beralasan, tapi..."
"Tapi apa?" sela Lui-ji. "Sacek menolong orang dan akibatnya keracunan, meski dengan
Lwekangnya yang kuat beliau dapat menahan bekerjanya racun, tapi juga tak dapat bertahan
terlalu lama, terpaksa kami harus berusaha mendesak keluar kadar racun di dalam tubuhnya.
Sebab itulah Sacek memerlukan bantuan tenaga orang lain, kalau tidak, mungkin sudah lama
502 beliau meninggal. Nah, coba katakan Sacek yang pantas mati atau keparat2 itu yang harus
mampus?" Pwe-giok termenung sejenak, ia menghela nafas panjang, katanya, "Urusan di dunia ini
memang sukar ditentukan benar dan salahnya oleh orang di luar garis. Agaknya aku... akupun
salah." "Di dalam persoalan ini memang masih ada sesuatu yang agak luar biasa, yaitu meski Sacek
dapat menggunakan semacam kungfu istimewa untuk menghisap tenaga dalam seseorang dan
dipinjam pakai, akan tetapi tenaga pinjaman itu pun akan terbuang dengan sangat cepat, sebab
itulah hanya sebentar saja beliau perlu mencari pinjaman tenaga baru orang lain lagi..."
"Kalau Hong-locianpwe dapat menggunakan tenaga dalamnya untuk mendesak keluar kadar
racunnya, mengapa perlu menggunakan pula mahluk2 berbisa itu?" Kwe Pian-sian ikut
bertanya. "Soalnya setelah Sacek mendesak keluar racunnya, namun pori2 kulitnya akan menghisap
kembali hawa berbisa yang didesak keluar itu," tutur Lui-ji. "Semula Sacek tidak paham
kejadian ini sehingga beliau membuang tenaga percuma selama beberapa bulan, akhirnya
barulah disadari apa yang terjadi, maka selanjutnya mahluk2 berbisa itu lantas di kerudung di
dalam selimut untuk menghisap hawa berbisa yang keluar dari tubuh Sacek... sekarang
tentunya kalian paham duduknya perkara?"
Pwe-giok lantas berkata, "Setelah keracunan, Hong locianpwe telah dibuat marah lagi
sehingga tenaga murninya buyar, dengan sendirinya beliau tak dapat pergi ke tempat lain dan
terpaksa merawat dirinya di loteng kecil ini, begitu bukan?"
"Ya, sesudah Sacek membunuh kawanan penjahat itu, beliau sendiripun ambruk," tutur Lui-ji.
"Kalau saja Sacek tidak membawa Hoa-kut-tan sungguh aku tidak tahu cara bagaimana harus
membereskan mayat sebanyak itu."
"O, jadi orang2 yang lenyap setelah masuk kemari, dengan sendirinya juga berkat Hoa-kuttan?"
tanya Kwe Pian-sian.
Lui-ji mendengus, katanya, "Hoa-kut-tan ini adalah obat mustajab yang sukar diperoleh,
sesungguhnya terlalu boros kugunakan obat berharga itu bagi orang2 yang lebih rendah
daripada binatang itu."
Pwe-giok menghela nafas panjang, katanya, "Sebelumnya kurasakan berbagai urusan ini
sangat tidak masuk di akal dan sukar dipecahkan, baru sekarang macam2 tanda tanya dalam
benakku dapat terjawab dan tersapu bersih."
Dalam pada itu, se-konyong2 Ciong Cing menjerit kaget, "Hei, li... lihatlah, mengapa...
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengapa Hong-locianpwe berubah menjadi begini?"
Waktu semua orang berpaling, tertampaklah nafas Hong-sam megap2 dengan tubuh
bergemetaran. Sudah jelas yang diminumnya tadi adalah obat penawar, tapi sekarang dia
seperti terserang racun jahat lagi.
503 Keruan semua orang melongo kaget. Saking cemasnya hampir saja Cu Lui-ji menangis,
dirangkulnya Hong-sam sambil berseru dengan suara ter-putus2, "Sacek, ken... kenapa kau?"
Namun mata Hong-sam terpejam rapat, bahkan tampak menggertak gigi hingga bunyi
gemertak dan tak sanggup bicara.
Tidak kepalang kuatir Lui-ji, serunya, "Kalianpun melihat obat tadi jelas2 obat penawar,
mengapa bisa... bisa jadi begini" Sebab... sebab apakah menjadi begini?"
Mendadak Gin-hoa-nio tertawa, katanya, "Ku tahu apa sebabnya."
Lui-ji melompat ke depan Gin-hoa-nio dan bertanya dengan suara parau, "Benar kau tahu?"
"Ehmm," Gin-hoa-nio mengangguk.
"Masa isi kotak Oh-lolo ini bukan obat penawar?" tanya Lui-ji. "Memangnya telah
dicampurnya dengan racun" Atau waktu menyerahkannya kepadaku dia telah main gila
dengan menukar obat penawar dengan racun?"
"Isi kotak ini memang benar2 obat penawar," jawab Gin-hoa-nio. "Di depan kalian iapun
tidak berani main gila. Umpama dia berani main2, masakah mata orang sekian banyak dapat
dikelabui semua?"
"Habis kenapa jadi begini?" seru Lui-ji dengan membanting kaki.
Gin-hoa-nio menghela nafas perlahan, katanya kemudian, "Untuk membuat semacam racun
dari kombinasi sekian puluh jenis bahan racun, kukira tidaklah sederhana sebagaimana bila
kita membuat gado2 atau Cap-jai."
"Ya, betul juga," Kwe Pian-sian meng-angguk2.
"Sebab kadar racun setiap jenis racun kan berbeda-beda," tutur Gin-hoa-nio lebih lanjut.
"Bahkan ada di antara racun itu satu sama lain saling bertentangan. Apabila kau
mencampurkan beberapa jenis menjadi satu, terkadang kadar racunnya malah akan lenyap
sama sekali. Teori ini serupa kalau kita mencampurkan beberapa macam warna menjadi satu,
kadang2 malah akan berubah menjadi warna putih."
"Betul," kata Kwe Pian-sian, "jika cara mencampur racun itu pekerjaan yang gampang, tidak
nanti Oh-lolo mendapat nama besar di dunia persilatan."
"Dan bila kau campur ber-puluh2 jenis bahan racun menjadi satu, maka dosis dari tiap2 jenis
racun itu harus sudah ditakar dengan tepat, sedikitpun tidak boleh lebih banyak atau
berkurang, perbandingan dosis inilah rahasia yang paling besar dan penting dalam hal
membuat racun. Dan obat penawarnya, dengan sendirinya juga harus dibuat dengan cara
perbandingan dosis yang sama pula, tidak boleh selisih sedikitpun, kalau sebaliknya, maka
tidak menimbulkan khasiat apapun."
"Ya, memang begitu," tukas Kwe Pian-sian.
504 "Dan setelah lewat sekian tahun," sambung Gin-hoa-nio lagi, "racun yang mengeram di dalam
tubuh Hong-sam sianseng tentu kadarnya sudah kacau balau, sebab kadar racun ada yang
berat dan ada yang ringan, ada yang sudah didesak keluar oleh tenaga dalamnya. Sebab itulah
obat penawar pemberian Oh-lolo ini sama sekali tidak mempunyai khasiat menawarkan racun
yang mengeram di tubuh Hong-sam sianseng, sebaliknya malah mengganggu racun yang
sudah ditahan secara susah payah itu dan akhirnya racun itu buyar dan bekerja lagi."
Dia menghela nafas, lalu menyambung pula, "Dan di sinilah letak kelihaian cara Oh-lolo
menggunakan racunnya."
Mendadak Cu Lui-ji menjambret baju Gin-hoa-nio dan membentak dengan suara parau, "Jika
kau tahu sejelas ini, mengapa tak kau katakan sejak tadi?"
Gin-hoa-nio tersenyum hambar, jawabnya, "Jika kau jadi diriku, apakah akan kau katakan?"
Lui-ji jadi melengak dan tak bisa bicara. Maka Gin-hoa-nio menyambung lagi, "Mungkin juga
baru saja dapat kuketahui teori yang kukatakan ini."
Sekarang semua orangpun dapat memahami uraian Gin-hoa-nio itu, teringat bahwa dengan
obat penawarnya saja Oh-lolo juga bisa bikin celaka orang, betapa keji dan betapa jauh tipu
muslihatnya itu sungguh membuat orang bergidik.
Keringat tampak bercucuran dari kepala Hong-sam, jelas dia sedang mengerahkan tenaga
dalam untuk menghimpun kembali kadar racun yang sudah buyar itu. Melihat air mukanya
yang penuh derita itu, dapatlah dibayangkan betapa gawatnya urusan ini.
Lui-ji menunduk perlahan, air matanya kembali berderai.
"Nona tidak perlu cemas," Ciong Cing berusaha menghibur, "kalau sebelum ini Hong-sam
sianseng dapat menahan bekerjanya racun, tentu akan lebih mudah baginya untuk berbuat
sesuatu." "Mestinya betul ucapanmu, tapi... tapi tenaga Sacek sekarang sudah jauh daripada sebelum
ini," kata Lui-ji sambil menangis.
"Apalagi," tukas Gin-hoa-nio, "Dalam keadaan gawat begini dia tidak dapat sembarangan
menggerakkan tenaga murninya, sedangkan musuh akan datang dua-tiga jam lagi, lalu
bagaimana baiknya?"
Dia berucap se-akan2 ikut gelisah bagi keadaan Hong-sam sianseng, padahal siapapun dapat
mendengar nadanya itu mengandung rasa syukur dan senang karena orang lain mendapat
celaka. Dengan gemas Cu Lui-ji lantas mendamprat, "Memangnya kau senang ya" Hm, kalau kami
mati, kaupun jangan harap akan hidup!"
Namun dengan dingin Gin-hoa-nio menjawab, "Betapapun aku sudah cacat begini, mati atau
hidup bagiku tidak menjadi soal lagi."
***** 505 Sang waktu terus berlalu, perasaan semua orang juga semakin tertekan.
Meski Kwe Pian-sian tidak perlu ikut berkuatir bagi mati atau hidupnya Hong-sam sianseng,
tapi bila teringat dirinya masih harus bersandar padanya untuk menghadapi kedatangan Anglian-
hoa dan lain2, bila Hong-sam mati, semua orang yang berada di atas loteng inipun jangan
harap akan hidup.
Sekarang waktunya tinggal dua jam lagi.
Mendadak Pwe-giok berbangkit dan berseru, "Nona Cu, silahkan kau bawa Hong-sam
sianseng dan cepat pergi saja... yang lain2 juga silahkan pergi semua!"
"Dan.. dan kau?" tanya Lui-ji.
"Saat ini di-mana2 tentu sudah dijaga oleh mereka, tapi dengan kekuatan nona dan Kwe-heng
kukira tidak sulit untuk menerjang pergi," kata Pwe-giok. "Yang kukuatirkan hanya kalau Locinjin
dan rombongannya keburu menyusul kemari, maka aku..."
"Kau sengaja tinggal di sini untuk menghadangnya?" sela Lui-ji.
"Biarpun kepandaianku kurang tinggi, tapi untuk merintangi mereka sementara waktu kukira
masih sanggup, dengan demikian nona dan rombongan mungkin sempat pergi agak jauh,"
setelah berhenti sejenak lalu Pwe-giok menyambung pula, "sebab daripada kita menanti
kematian di sini, akan lebih baik aku sendiri saja yang mengadu jiwa dengan mereka. Apalagi,
orang yang hendak mereka cari bukanlah diriku, akupun belum pasti akan mati di tangan
mereka." "Jika yang dicari mereka bukan dirimu, untuk apa kau mengadu jiwa?" tanya Lui-ji.
"Kukira setiap orang pada suatu waktu tentu rela akan mengadu jiwa, bukan?" jawab Pwegiok.
Tiba2 Gin-hoa-nio menjengek, "Hm, tadinya kukira kau ini seorang yang sangat teliti dan
hati2, dapat menghargai jiwanya sendiri, tak tersangka sekarang kaupun dapat berbuat hal2
bodoh dan emosi begini."
"Seorang kalau tidak punya emosi, apakah dia terhitung manusia"' jawab Pwe-giok.
Kwe Pian-sian berdiri dan siap untuk pergi, katanya dengan tertawa, "Seorang lelaki sejati
harus tahu apa yang harus dilakukannya dan apa yang tidak boleh dilakukannya. Ji-heng
memang tidak malu sebagai seorang pendekar sejati, maka kamipun tidak enak untuk
membantah kehendakmu."
"Betul, tekadku sudah bulat, silahkan kalian lekas pergi saja," kata Pwe-giok.
Tak terduga mendadak Hong-sam membuka mata dan menatap Pwe-giok tajam2, ucapnya
dengan kereng, "Caramu bertindak ini, apakah kau kira orang she Hong ini manusia yang
tamak hidup dan takut mati?"
506 "Sama sekali Cayhe tidak bermaksud demikian," jawab Pwe-giok dengan menghela nafas.
"Cuma..."
"Soal mati atau hidup memang sulit diramalkan, tapi bilamana menghadapi pilihan, seorang
lelaki sejati kenapa mesti gentar mati?" kata Hong-sam pula dengan tegas.
"Ya, Tecu tahu," jawab Pwe-giok.
"Jika kau tidak tahu tentu kau takkan tinggal di sini, betul tidak?"
Pwe-giok mengiakan pula.
"Jika demikian, kenapa kau suruh aku lari?" seru Hong-sam dengan gusar. "Memangnya agar
aku dapat menyempurnakan keluhuran budimu sebagai seorang pendekar sejati?"
"Ah, Tecu tidak berani," jawab Pwe-giok dengan menunduk dan kikuk.
Dengan lemas Kwe Pian-sian berduduk kembali, ucapnya dengan menyengir, "Kalau begitu,
biarlah kita semua tinggal saja di sini dan bertempur mati2an menghadapi mereka. Cuma,
kalau kita dapat bertahan satu jam saja sudah untung."
Sorot mata Hong-sam tampak gemerdep, katanya pula sambil menatap Pwe-giok, "Menurut
pendapatmu, apakah kita pasti akan kalah?"
Membayangkan betapa hebat kekuatan lawan, Pwe-giok menjadi ragu2 untuk menjawab,
katanya dengan tergagap, "Cianpwe sendiri tidak dapat turun tangan, kemenangan pihak kita
memang sukar diramalkan."
Hong-sam menepuk tempat tidurnya keras2, ucapnya dengan bengis, "Kematianku tidak perlu
disayangkan, tapi matipun aku pantang dihina orang."
"Apapun juga Sacek tidak boleh turun tangan," seru Lui-ji dengan kuatir.
Hong-sam memandang sekejap pula kepada Pwe-giok, lalu berkata dengan perlahan. "Jika
aku dapat meminjam pakai tenaga dalam orang lain, masakah aku tidak dapat meminjamkan
tenagaku kepada orang lain?"
"Jika Sacek meminjamkan tenagamu kepada orang lain, lalu cara bagaimana akan sanggup
menahan serangan racun dalam tubuhmu?" kata Lui-ji dengan suara gemetar.
"Akan lebih baik aku mati keracunan daripada mati terhina," seru Hong-sam dengan gusar.
"Hanya tidak tahu adakah orang yang sudi bertempur mati2an bagiku?"
Terbeliak mata Kwe Pian-sian dan Gin-hoa-nio, kalau dapat memindahkan segenap tenaga
dalam Hong-sam ke dalam tubuhnya sendiri, hal ini sungguh sangat menarik. Tapi segera
terpikir pula kekuatan Hong-sam sekarang tersisa tidak banyak, andaikan sisa tenaga itu dapat
dipinjamkan seluruhnya kepadanya mungkin juga sukar melawan Lo-cinjin yang maha sakti
itu. Teringat demikian, hasrat mereka jadi dingin lagi.
507 Tiba2 Ciong Cing berkata, "Kalau Cianpwe dapat meminjamkan tenagamu kepada orang lain,
mengapa tidak kau gunakan tenagamu itu untuk menghadapi musuh?"
"Tenagaku yang kusalurkan ke tubuh orang lain akan berjalan perlahan seperti air di sungai,
aku sendiri mungkin dapat menyimpan sedikit sisa tenaga untuk menahan serangan racun,"
tutur Hong-sam. "Sedangkan bila aku harus bergebrak dengan musuh, tenagaku akan meledak
seperti air bah yang sukar ditahan. Dalam keadaan payah seperti diriku sekarang, tidak sampai
tiga kali gebrak saja pasti racun akan bekerja dengan hebat dan membinasakan diriku. Apalagi
pihak lawan sangat banyak dan rata2 sangat lihay, betapapun tidak mungkin dalam tiga kali
gebrak kubinasakan mereka satu per satu."
"Jika... jika demikian, entah bolehkah Tecu membantu Cianpwe?" tanya Ciong Cing dengan
tergagap. "Kau tidak dendam padaku dan bersedia membantuku, kebaikan dan keberanianmu ini
sungguh harus dipuji," jawab Hong-sam. "Cuma sayang badanmu lemah, bakatmu juga
kurang, bilamana kusalurkan tenagaku, mungkin malah akan membikin celaka padamu."
Pada waktu bicara, seperti tidak sengaja sorot matanya mengerling sekejap pula ke arah Pwegiok.
Maka Ciong Cing lantas berkata, "Ji-kongcu, apakah... apakah engkau tak dapat..."
"Sudah tentu akupun sangat ingin membantu Hong locianpwe," kata Pwe-giok dengan
gegetun, "Tapi aku kan tidak dapat menggunakan kesempatan pada waktu orang
kesempitan..."
Ciong Cing berteriak, "Ini kan keinginan Hong-locianpwe sendiri, dia yang meminjamkan
tenaganya padamu, mana bisa dikatakan menggunakan kesempatan pada waktu orang
kesempitan."
Pwe-giok termenung sejenak, tiba2 ia memberi hormat dan berkata kepada Hong-sam, "Entah
Hong-locianpwe sudikah menerima Tecu sebagai murid?"
Nyata, watak Pwe-giok memang jujur dan tulus, bahkan juga pintar dan cerdik. Dengan
tindakannya ini, bila murid meminjam kungfu sang guru, maka soalnya jadi adil dan cukup
berdasar, murid mewakilkan guru bertempur, orang lainpun tak dapat bilang apa2 lagi.
Tak terduga Hong-sam lantas menjawab, "Kau tidak mau menggunakan kesempatan pada
kesempitan ku, mana aku dapat pula memperalat keluhuran budimu dan menyuruh kau
mengangkat guru padaku"... Sebabnya kau mengangkat guru padaku tentunya bukan demi
kepentinganmu, melainkan karena ingin membela diriku, begitu bukan?"
Pwe-giok melengak, jawabnya, "Tapi ini..."
Hong-sam tertawa dan menyela, "Jika kau sudi memanggil Hengtiang (kakak) padaku, maka
puas dan senang lah aku. Hubungan antara kakak dan adik kan jauh lebih akrab daripada
antara guru dan murid" Dan kalau ada saudara seperti dirimu ini menghadapi musuh bagiku,
matipun aku tidak menyesal lagi."
508 Belum habis ucapan Hong-sam, tanpa disuruh segera Cu Lui-ji berlutut dan menyembah
kepada Pwe-giok dan memanggil paman.
Panggilan paman ini membuat Pwe-giok terkesiap dan juga bergirang. Kalau dirinya dapat
mengikat saudara dengan tokoh Bu-lim yang hebat ini, tentu saja suatu kehormatan besar
baginya. Tapi bila teringat betapa berat tugasnya pada pertarungannya nanti, hanya boleh
menang dan tidak boleh kalah, maka perasaannya lantas mirip cuaca di luar, terasa kelam dan
tertekan. ***** Mendadak angin meniup keras, malam semakin larut. Deru angin se-akan2 hendak merobek
sukma. Di atas loteng kecil itu tetap tiada penerangan, gelap dan hening seperti kamar mayat. Hongsam
sianseng duduk bersila di tempat tidurnya tanpa bergerak sedikitpun seperti orang mati.
Padahal setiap orang yang berada di atas loteng itu memang sudah tidak banyak bedanya
daripada orang mati. Kecuali suara bernapas yang semakin berat, selebihnya tiada terdengar
apa2 dan juga tiada terlihat apa2.
Lui-ji bersandar di samping Hong-sam sianseng, tidak meninggalkannya barang sedetikpun.
Ia se-akan2 merasakan semacam firasat tidak baik, merasa waktunya bersandar di tubuh sang
Sacek ini sudah tidak banyak lagi.
Pwe-giok juga duduk diam saja di tempatnya, dengan tekun dia bermaksud mencairkan tenaga
dalam yang diperolehnya tadi agar dapat digerakkan dengan sesukanya, akan tetapi
perasaannya tetap sukar untuk ditenangkan.
Hanya setengah hari yang lalu, mimpipun dia tidak pernah membayangkan akan dapat
bertempur melawan seorang tokoh besar semacam Lo-cinjin. Walaupun pertempuran itu tidak
dapat dikatakan dimenangkan olehnya, tapi kejadian itu cukup membuatnya bergembira.
Maklumlah, di seluruh kolong langit ini ada berapa gelintir manusia yang pernah bertempur
melawan Lo-cinjin"
Sejak tadi Kwe Pian-sian terus berdiri di depan jendela, memandang jauh keluar sana, ke
tengah kota yang mati seperti kuburan itu.
Entah daun jendela rumah siapa yang tidak tertutup rapat, karena tertiup angin sehingga
menerbitkan serentetan suara 'blang-blung' yang keras. Anjing geladak yang meringkuk di
pojok jalan sana terkadang mengeluarkan suara gonggongan yang menyeramkan. Panji
reklame hotel Li-keh-can juga masih berkibar dihembus angin, beberapa genteng jatuh hancur
tertiup angin dan menjangkitkan suara gemertak.
Malam yang dingin dan seram dengan angin puyuh sekeras ini dan suasana setegang ini,
setiap suaranya cukup membuat orang merinding. Tapi kalau keadaan menjadi senyap tanpa
suara, rasanya menjadi semakin menegangkan sehingga membuat dada setiap orang merasa
sesak nafas. 509 Se-konyong2 di ujung jalan yang jauh sana muncul sebuah lentera, cahaya lentera yang guram
itu tampak ber-goyang2 di bawah hembusan angin yang kencang. Tampaknya seperti api
setan (cahaya phosphor) yang berkelip di kejauhan.
Kwe Pian-sian mengembus nafas panjang2, katanya, "Itulah dia... akhirnya datang juga dia!"
***** Datangnya kelip lentera itu sangat lambat, tapi akhirnya sampai juga di depan rumah
berloteng kecil itu.
Di bawah cahaya lampu yang ber-kelip2 guram itu, kelihatan bayangan orang yang tidak
sedikit dengan sorot mata yang gemerdep, setiap bayangan orang itu melangkah dengan
perlahan, berat dan mantap, setiap pasang mata sama bersinar tajam penuh semangat.
Menyusul suara seorang yang lantang dan halus berucap perlahan, "Murid Thian-biau-koan
dari Jingsia, Sip-hun, khusus datang kemari untuk menyampaikan surat, maka mohon
bertemu." "Orang macam apakah Sip-hun ini?" tanya Lui-ji dengan suara bisik2.
"Murid Lo-cinjin," jawab Pwe-giok.
Lui-ji lantas menjengek, "Hm, masuklah, pintu kan tidak terpalang!"
Selang sejenak, terdengarlah suara tangga berbunyi, seorang naik ke atas dengan perlahan.
Bunyi tangga sangat perlahan dan teratur, suatu tanda orang yang datang ini sangat sabar,
bahkan kungfu bagian kakinya sangat mantap.
Maka terlihatlah Tosu muda dengan wajah yang cakap dan tersenyum simpul, meski masih
muda, namun sikapnya tampak alim seperti pertapa tua, siapapun yang melihatnya pasti akan
merasa suka padanya.
Seperti juga waktu pertama kalinya Pwe-giok bertemu dengan dia, semua orang pun heran
mengapa seorang Lo-cinjin yang terkenal berangasan dan pemberang itu bisa mempunyai
seorang murid sehalus ini. Keruan Cu Lui-ji sampai melotot heran.
Di dalam loteng kecil itu benar2 terlalu gelap, Sip-hun baru saja naik ke situ, ia seperti tidak
dapat melihat apa2, namun sedikitpun dia tidak gugup, dia cuma berdiri tenang saja di
tempatnya. Lui-ji lantas mendengus, "Kami berada di sini semuanya, kenapa kau berdiri kesima di situ?"
Sip-hun tidak menjadi marah, juga tidak balas ber-olok2, ia hanya memandang si nona
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekejap, lalu menunduk dan melangkah maju, katanya sambil memberi hormat, "Sip-hun
menyampaikan salam hormat kepada Locianpwe!"
"Tidak perlu banyak adat," jawab Hong-sam.
510 Dengan hormat Sip-hun menyodorkan sebuah kartu dengan kedua tangannya, katanya, "Bulim-
bengcu Ji-locianpwe dan guruku sama menunggu di luar pintu, entah Hong-locianpwe
sudi bertemu atau tidak?"
"Kalau Sacek bilang tidak, memangnya mereka takkan naik kemari?" jengek Lui-ji.
Sip-hun menjawab dengan tetap menunduk, "Tecu hanya melaksanakan tugas belaka, urusan
lain tidak tahu menahu."
"Habis apa yang kau tahu?" tanya Lui-ji.
"Apapun tidak tahu," jawab Sip-hun.
"Hm, murid Lo-cinjin kenapa tidak becus begini?" ejek Lui-ji.
"Guru pandai tidak mempunyai murid baik, memang inilah yang selalu disesalkan oleh
guruku," kata Sip-hun dengan tersenyum.
Nyata bukan saja dalam hal bertanya-jawab Tosu muda ini selalu sopan santun, bahkan
apapun orang mencemoohkan dia, semuanya dia terima tanpa membantah, sedikitpun tidak
marah. Sungguh aneh.
Selama hidup Cu Lui-ji belum pernah melihat orang muda yang berwatak seramah dan
sesabar ini, keruan ia menjadi melenggong sendiri.
Dalam pada itu berkatalah Hong-sam sianseng, "Lo-cinjin mempunyai murid seperti kau ini,
beliau boleh dikatakan sangat bahagia dan tiada penyesalan sedikitpun."
"Ah, Cianpwe terlalu memuji, Tecu menjadi malu diri," jawab Sip-hun cepat sambil memberi
hormat. "Jika demikian, bolehlah kau sampaikan kepada gurumu, katakan orang she Hong menantikan
kedatangannya di sini," kata Hong-sam kemudian.
Kembali Sip-hun memberi hormat sambil mengiakan.
Perlahan ia lantas membalik tubuh dan melangkah turun, tetap ramah dan sabar, sedikitpun
tidak gugup dan ter-buru2.
Lui-ji menjengek pula, "Hm, sudah jelas datang hendak membunuh orang, tapi justeru
berlagak ramah segala, sungguh memuakkan!"
Suaranya cukup keras dan sengaja diperdengarkan kepada Sip-hun, akan tetapi Sip-hun tidak
memberi reaksi apa2, seperti tidak mendengar saja.
Dengan suara tertahan Hong-sam sianseng berkata, "Orang2 ini sama2 berkedudukan sebagai
seorang guru besar suatu aliran tersendiri, dengan sendirinya tindak tanduk mereka menjaga
gengsi agar tidak menurunkan derajat mereka. Hendaklah diketahui, menghormati orang lain
adalah sama dengan menghormati dirinya sendiri."
511 Meski di mulut Lui-ji tidak berani bicara apa2 lagi, namun di dalam hati dia tetap penasaran
dan tidak bisa menerima sikap kawanan pendatang itu.
Yang diminta naik ke atas loteng akhirnya datang juga. Mereka tetap tidak mau kehilangan
sopan santun, lentera yang mereka bawa digantungkan pada tangga loteng dan tidak dibawa
serta ke atas, di tengah remang2 cahaya lentera itu, seorang telah mendahului naik ke atas
loteng. Tertampak orang itu berwajah putih bersih, sikapnya tenang dan sopan. Dia inilah Ji Hong-ho.
Hendaklah diketahui, meski ilmu silat dan nama Lo-cinjin lebih tinggi setingkat daripada Ji
Hong-ho, tapi jelek2 Ji Hong-ho bergelar Bu-lim-bengcu atau ketua perserikatan dunia
persilatan, siapapun tidak boleh berjalan di depannya.
Diam2 Lui-ji membatin, "Hm, jelas2 mereka tahu kami takkan pergi, makanya mereka
sengaja berlagak tertib dan sopan begini untuk naik ke sini, kalau tidak, mustahil kalau
mereka tidak menerjang kemari seperti kawanan anjing gila."
Begitu melihat Ji Hong-ho, seketika darah panas bergolak dalam dada Ji Pwe-giok, hampir
saja ia tidak dapat menahan emosinya, syukur dia masih dapat menahan diri.
Dilihatnya Ji Hong-ho sedang memberi hormat dan berkata, "Wanpwe Ji Hong-ho dari
Kanglam, sudah lama mengagumi nama kebesaran dan keluhuran budi Hong-locianpwe, hari
ini Cianpwe sudah menerima kunjunganku, sungguh sangat beruntung dan berterima kasih."
"Jadi Anda inilah Bu-lim-bengcu seluruh dunia sekarang ini?" tanya Hong-sam sianseng
dengan hambar...
"Ah, tidak berani," jawab Ji Hong-ho dengan rendah hati.
Hong-sam sianseng lantas mengalihkan pandangannya ke arah lain, dia seperti tidak sudi
memandangnya lagi, se-olah2 memandang hina terhadap Bu-lim-bengcu ini dan juga rada
kecewa. Dengan dingin ia hanya berkata, "Baik sekali, silahkan duduk."
Dalam pada itu tiba2 terendus bau harum semerbak menusuk hidung, seketika air muka Kwe
Pian-sian berubah, memangnya dia berduduk jauh di pojokan sana, sekarang dia malah terus
melengos dan meringkuk di belakang Ciong Cing dengan sembunyi2.
Segera Ji Pwe-giok tahu Hay-hong Hujin yang telah datang. Hatinya juga mulai berdetak, ia
tidak tahu apakah Lim Tay-ih ikut datang atau tidak"
Di bawah remang cahaya lentera, Hay-hong Hujin kelihatan anggun, cantik tiada
bandingannya. Iapun melihat Pwe-giok berada di situ, dia seperti tersenyum, lalu dia memberi hormat kepada
Hong-sam dan berkata, "Kun Hay-hong dari Kohsoh menyampaikan salam hormat kepada
Hong-kongcu, baik2kah Kongcu?"
512 Perempuan sejelita ini, sekalipun sama2 perempuan juga ingin memandangnya beberapa
kejap lebih banyak. Siapa tahu Hong-sam sianseng tetap bersikap tawar saja, jawabnya tak
acuh, "Baik, silahkan duduk."
Menyusul muncul lagi seorang dengan baju compang-camping, gagah dan angkuh tanpa
memberi hormat.
Tapi sinar mata Hong-sam lantas gemerdep, tegurnya, "Apakah ini Pangcu dari Kaypang?"
"Ya, Ang-lian-hoa," jawab orang itu.
Tanpa menunggu dipersilahkan duduk, segera ia berduduk di ambang jendela.
Ji Hong-ho dan Kun Hay-hong masih tetap berdiri, sebab di atas loteng kecil ini hakekatnya
tidak ada tempat duduk lain.
Se-konyong2 terdengar suara 'dung' satu kali, seorang Tojin pendek kecil melangkah ke atas
loteng. Begitu mendadak dan cepat, tahu2 dia sudah muncul di ujung tangga loteng, se-olah2
cara naiknya hanya satu kali langkah saja lantas sampai di atas.
Dengan sorot mata yang tajam Tojin ini menatap Hong-sam sianseng dan menegur, "Kau
inikah Hong-sam"!"
"Dan kau inikah Lo-cinjin?" mendadak Lui-ji mendahului menjawab.
Lo-cinjin menjadi gusar, "Kurang ajar! Masa namaku boleh sembarangan dipanggil oleh
budak ingusan seperti kau ini?"
Tidak kurang ketusnya, Lui-ji balas menjengek, "Hm, memangnya nama Sacek juga boleh
sembarangan di-sebut2 oleh orang kerdil semacam kau?"
Saking gusarnya Lo-cinjin sampai melotot, matanya se-akan2 menyemburkan api, mendadak
ia berteriak, "Sip-hun, naik ke sini!"
Baru lenyap suaranya, dengan sangat hormat tahu2 Sip-hun sudah berdiri di sampingnya,
katanya dengan perlahan, "Adakah suhu memberi sesuatu pesan?"
"Cara bicara budak cilik ini tidak bersih, coba kau sikat mulutnya," bentak Lo-cinjin.
Sip-hun mengiakan.
Meski cukup cepat mulutnya mengiakan, tapi kaki tetap tidak bergerak, tetap berdiri di
tempatnya. Lo-cinjin menjadi gusar, bentaknya pula, "Ayo, kenapa tidak lekas kau hajar dia?"
Tapi Sip-hun lantas menunduk dan tetap tidak bergeser selangkahpun.
"He, apakah kau tuli?" teriak Lo-cinjin dengan murka.
513 "Tecu tidak tuli," jawab Sip-hun, tetap perlahan dan halus.
"Kalau tidak tuli, kenapa tidak lekas kau hajar dia?" omel Lo-cinjin lagi.
"Tecu tidak berani," kata Sip-hun dengan menunduk.
"Kurang ajar! Memangnya apa yang kau takuti?" damprat Lo-cinjin sambil mencak2.
"Sekalipun Hong-sam akan merintangi kau, tentu aku yang akan menghadapi dia. Biarkan
murid lawan murid dan guru melawan guru, kenapa kau takut, kenapa kau tidak berani?"
"Memang Tecu tidak ... tidak berani," jawab Sip-hun.
Mendadak sebelah tangan Lo-cinjin terus menampar, 'plok', kontan muka Sip-hun merah
bengap. "Kau mau maju ke sana tidak?" bentak Lo-cinjin dengan murka.
Meski muka Sip-hun seketika tembem seperti kue apem karena gamparan sang guru, tapi dia
tetap tenang dan sabar, sedikitpun tidak memperlihatkan sesuatu perasaan, jawabnya dengan
suara halus, "Selamanya Tecu tidak berani bergebrak dengan kaum wanita."
Kontan Lo-cinjin berjingkrak dan menampar pula sambil membentak, "Bila perempuan itu
akan membunuh dirimu, apakah akan kau julurkan kepalamu untuk dipenggal sesukanya?"
Sembari berjingkrak, sekaligus ia telah menggampar beberapa kali.
Sip-hun tetap berdiri diam saja, semua gamparan sang guru itu diterima tanpa menghindar dan
tidak mengelak, malahan dengan tersenyum ia menjawab, "Nona cilik ini kan tidak
bermaksud membunuh diriku."
Semua orang sama melongo heran dan geli menyaksikan pertunjukan gratis tersebut. Sungguh
tak terbayangkan oleh mereka bahwa di dunia ini terdapat guru begini dan juga murid
demikian. Lui-ji sangat senang juga menyaksikan pertunjukan lucu itu, diam2 iapun mendongkol
terhadap Tojin pemberang itu, ia tidak tahan, tiba2 ia berkata pula, "Yang ku maki adalah
dirimu, mengapa kau tidak berani turun tangan sendiri?"
Lo-cinjin berjingkrak seperti orang kebakaran jenggot, teriaknya murka, "Jika aku bergebrak
dengan budak ingusan seperti kau ini, apakah takkan ditertawakan orang hingga copot
giginya?" "Huh, tiada hujan tanpa angin menghajar muridnya secara tidak se-mena2, apakah perbuatan
demikian tidak takut ditertawakan orang hingga copot giginya?" jengek Lui-ji.
Semua orang mengira Lo-cinjin pasti akan tambah murka dan bukan mustahil sekali hantam
Cu Lui-ji bisa dibinasakannya.
514 Tak terduga, sampai sekian lama Lo-cinjin melototi anak dara itu, akhirnya, bukannya murka,
sebaliknya ia malah bergelak tertawa dan berseru, "Hahaha! Sungguh budak yang hebat, besar
amat nyalimu!"
Bahwa dia tidak menjadi marah, semua orang jadi melengak pula.
Dalam pada itu Hay-hong Hujin sedang memandangi Cu Lui-ji, tiba2 ia bertanya dengan
suara lembut, "Eh, adik cilik, berapakah usiamu tahun ini?"
Dengan acuh tak acuh Lui-ji menjawab, "Kukira selisih tidak banyak dengan engkau?"
"Selisih tidak banyak?" Hay-hong Hujin menegas dengan tertawa geli. "Apakah kau tahu
berapa umurku?"
Lui-ji tidak lantas menjawab, ia pandang orang sejenak, lalu menjawab dengan sikap
sungguh2, "Melihat wajahmu, kukira usiamu kira2 baru dua puluhan."
"Apa iya!?" ucap Hay-hong Hujin dengan tertawa, tanpa terasa ia meraba mukanya sendiri.
"Dan kalau melihat tubuhmu, kukira juga baru berumur dua puluhan," kata Lui-ji pula sambil
memandangi tubuh orang yang bernas itu.
Maka senanglah hati Hay-hong Hujin, ia tertawa nyaring seperti bunyi keleningan, katanya,
"Ai, adik cilik ini benar2 pintar bicara."
Maklumlah, setiap perempuan di dunia ini tentu suka dipuji. Tiada seorang perempuan yang
tidak senang kalau orang memujinya masih cantik dan awet muda. Lebih2 perempuan yang
sudah setengah baya, biarpun muka sudah mulai keriput, tapi pasti gembira kalau orang bilang
dia baru berumur delapan belas.
Dengan lagak seperti sangat kagum Lui-ji lantas berkata pula, "Apalagi kalau melihat
tangannya yang putih dan halus ini, kukira umurmu paling2 baru delapan belas."
Hay-hong Hujin tertawa senang pula, tanpa terasa ia menjulurkan kedua tangannya, se-akan2
hendak dipertunjukkan kepada semua orang.
Di luar dugaan, dengan perlahan Lui-ji lantas menyambung lagi, "Dan kalau ketiga macam
tadi dijumlahkan, total jenderal menjadi 58, maka kukira umurmu belum lagi genap 60, betul
tidak?" Ucapan Lui-ji ini hampir saja meledakkan tertawa semua orang, sampai2 Hong-sam yang
selalu bersikap dingin itupun merasa geli.
Akan tetapi di hadapan Hay-hong Hujin, siapapun tidak berani tertawa.
Pedang Berkarat Pena Beraksara 12 Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long Durjana Dan Ksatria 10
persamaan."
"O, apa itu?" tanya Pwe-giok.
"Satu2nya hal yang sama adalah sebelum mereka menghilang, semuanya pernah dilihat orang
tinggal di Li-toh-tin ini."
"O, hanya begitu?"
"Ya, tapi yang paling penting adalah sesudah kelihatan di Li-toh-tin sini, lalu tiada orang
melihat mereka lagi."
"Hal ini rada membingungkan aku?" ujar Pwe-giok.
"Dengan lain perkataan, umpama orang itu kemarin kelihatan berada di Li-toh-tin sini, besok
dia lantas lenyap tanpa bekas dan entah ke mana perginya."
476 "Oo...."
"Petunjuk ini sebenarnya tidak begitu jelas, tapi setelah 20 orang lebih sama2 menghilang
dengan cara begitu, maka persoalannya menjadi lain. Para sanak keluarga orang2 yang hilang
itu lantas mengangkat tiga orang wakil mereka ke Li-toh-tin sini untuk menyelidiki urusan ini
dengan lebih jelas."
"Siapakah ketiga orang itu?" tanya Pwe-giok.
"Biar kukatakan nama mereka juga tidak kau kenal," kata Ang-lian-hoa. "Cukup kukatakan
ketiga orang itu tentunya orang2 yang cerdik dan pandai, kalau tidak masa mereka terpilih?"
"O, lalu bagaimana hasil penyelidikan mereka?"
"Apapun tidak dihasilkan oleh mereka."
"Oo" Kenapa begitu?"
"Sebab setiba di Li-toh-tin ini, selamanya merekapun tidak pernah kembali lagi.
"Hah" Lantas bagaimana?"
"Dengan sendirinya urusan ini sangat menggemparkan dan akhirnya dilaporkan kepada Bulim-
bengcu." "Ehm, memang harus begitu."
"Tapi Ji bengcu baru saja kehilangan anaknya, beliau sedang berduka dan belum sempat
memikirkan urusan ini," tutur Ang-lian-hoa. "Dengan sendirinya urusan ini jatuh ke tangan
Kay-pang. Bilamana kaum tukang minta2 itu mau menyelidiki sesuatu, tentunya akan jauh
lebih leluasa daripada orang lain."
"Ya, betul juga," Pwe-giok menyengir.
"Sebab itulah selama setengah bulan ini di Li-toh-tin mendadak kaum pengemis bertambah
banyak. Mereka mengemis pada setiap orang dan setiap rumah, tentu saja tiada orang
menaruh curiga kepada mereka bahwa sebenarnya mereka sedang menyelidiki sesuatu rahasia
yang membikin panik kaum Bu-lim."
"Justeru lantaran itulah, maka di kolong langit ini siapapun tidak berani merecoki Kaypang
kalian," kata Pwe-giok dengan tersenyum.
Ang-lian-hoa tersenyum bangga, sambungnya lagi, "Setelah penyelidikan selama belasan hari
terus menerus, akhirnya diketahui penduduk Li-toh-tin ini adalah rakyat jelata yang patuh dan
tertib, hanya sebuah loteng kecil di belakang Li-keh can itu berdiam dua orang yang sama
sekali tidak diketahui asal-usulnya. Sebab itulah mereka berdua lantas menjadi sasaran
penyelidikan selanjutnya."
"Kemudian?" tanya Pwe-giok.
477 "Sehari suntuk mereka mengintai di sekitar loteng kecil ini, belum lagi menemukan sesuatu
yang mencurigakan, tahu2 si ... si nona cilik yang tinggal di atas loteng kecil itu malah sudah
melihat gerak-gerik kaum jembel itu, malamnya, lima murid kami yang pasang mata di sana
telah dikerjai, kantung yang membedakan tingkatan mereka yang selalu di panggul di
punggung mereka itu tahu2 lenyap secara aneh."
Dia merandek sejenak, lalu menyambung dengan menarik muka, "Padahal anak murid Pang
kami sangat memandang penting kantung yang mereka bawa, tapi orang dapat mencuri
kantung yang melengket di punggung mereka itu tanpa diketahui, maka tahulah mereka
bahwa nona cilik itu ternyata seorang kosen, jelas orang sengaja hendak memperingatkan
mereka agar mereka jangan ikut campur urusan ini."
"Siapa tahu, urusan menjadi runyam malah, bukan?" tanya Pwe-giok. "Betul, sebab hidup
orang Kay pang justeru suka ikut campur urusan."
"Dan lantaran urusan ini pula maka Pangcu datang ke Sujwan sini."
"Bukan cuma itu saja, mestinya Pang kami akan mengadakan rapat besar di Thay-heng-san
untuk menjatuhkan hukuman bagi pengkhianat, karena adanya urusan ini terpaksa tempat
rapat kamipun berpindah ke sini."
Pwe-giok terdiam sejenak, katanya kemudian dengan perlahan, "Dan sekarang Pangcu sudah
merasa pasti bahwa hilangnya ke-20 orang itu ada sangkut pautnya dengan nona Cu yang
tinggal di atas loteng itu?"
"Betul, setelah menerima laporan murid Kaypang, Ji-bengcu lantas mengumpulkan para tokoh
Bu-lim dan datang ke Li-toh-tin ini dengan pura2 main catur Li-keh-can yang terletak di
depan loteng kecil itu, tapi diam2 tempat itu telah dijaga dan di intai, akhirnya dapat
dipastikan bahwa yang tinggal di situ adalah anak keturunan Siau-hun-kiongcu dan Hongsam."
"Kiranya di balik persoalan ini masih ada liku2 begini, tadinya kukira urusan ini sangat
sederhana," ujar Pwe-giok sambil menghela nafas.
Gemerdep sinar mata Ang-lian-hoa, mendadak ia berkata dengan suara kereng, "Jika kau mau
terima nasehatku, lebih baik cepat kau tinggalkan tempat ini, kalau tidak, bila tengah malam
nanti tiba, segalanya akan hancur lebur dan hal itu tentu akan sangat disesalkan."
Pwe-giok berpikir sejenak, katanya kemudian, "Tapi kukira urusannya tidak sederhana
sebagaimana disangka Pangcu."
"Pokoknya beginilah nasehatku, mau percaya atau tidak bergantung padamu sendiri," kata
Ang-lian-hoa. Dia pandang Pwe-giok sekejap, seperti mau omong apa2 lagi, tapi urung
diucapkan, lalu melayang pergi.
Buru2 Pwe-giok menyusuri hutan tadi. Penduduk Li-toh-tin masih berkumpul di situ,
tampaknya mereka tambah cemas.
478 Padahal Pwe-giok juga tidak kurang cemasnya, selama setengah hari ini sudah banyak rahasia
yang didengarnya, namun pikirannya masih penuh diliputi tanda2 tanya yang sukar
dipecahkan. Setelah menyusuri hutan itu, di depan adalah sebuah tanjakan, bila tanjakan itu sudah dilintasi
barulah sampai di kota kecil itu. Pada saat itulah dari balik tanjakan sana Pwe-giok
mendengar suara rintihan orang kesakitan.
Cepat Pwe-giok memburu ke sana, dilihatnya seorang berambut putih sedang berjongkok di
samping sepotong batu besar dan sedang merintih.
Masih musim rontok, hawa belum terlalu dingin, tapi nenek ini memakai baju kapas yang
sangat tebal. Melihat Pwe-giok, segera ia berkeluh dan berseru, "Siau... Siauya, tol...
tolonglah, bantu nenek ini!"
Nenek ini tampaknya cuman sakit keras biasa namun Pwe-giok selalu waspada, betapapun ia
merasa sangsi, ia coba tanya, "Apakah nenek penduduk Li-toh-tin ini?"
"Ya, ben... benar..." jawab nenek itu.
"Orang2 sama berkumpul di hutan sana, mengapa nenek berada sendirian di sini?"
Nenek itu mengucek matanya dengan tangannya yang kurus kering sambil berkata,
"Janganlah Siauya mentertawakan diriku jika kukatakan, hidup nenek ini sebatang kara, tidak
punya sanak keluarga seorangpun, orang lain sama menganggap nenek ini kotor dan sudah tua
renta, tiada seorangpun mau memperhatikan diriku, selama ini hanya Siau Hoa (si belang)
saja yang mendampingi aku."
Sambil omong, meneteslah air matanya, dengan suara tersendat ia menyambung pula, "Tapi
orang itu tidak... tidak mengijinkan kubawa Siau Hoa, seharian ini Siau Hoa tentu akan mati
kelaparan... O Siau Hoa yang baik, Siau Hoa sayang, jangan kau kuatir, sebentar lagi nenek
pasti datang menjenguk kau." segera ia hendak merangkak bangun, tapi jatuh terkulai pula.
Cepat Pwe-giok memayangnya bangun, katanya sambil berkerut kening, "Apakah Siau Hoa
itu cucu nenek" Mengapa mereka tidak mengijinkan kau bawa serta dia?"
"Betul, Siau Hoa adalah cucuku sayang," tutur si nenek sambil menangis. "Cucu orang lain
suka ribut, suka nakal, tapi Siau Hoa sangat jinak, sangat penurut, sepanjang hari hanya
menunggui aku, menangkap tikus saja tidak mau."
"Hah, menangkap tikus?" Pwe-giok melengak, akhirnya ia tertawa geli sendiri dan bertanya,
"O, kiranya Siau Hoa kesayangan nenek itu adalah seekor kucing?"
Tapi nenek itu lantas menangis ter-gerung2, katanya, "Betul, dalam pandangan orang muda
seperti kalian ini Siau Hoa hanya seekor kucing, tapi dalam pandangan nenek yang sudah
hampir masuk liang kubur ini, Siau Hoa justeru adalah jiwaku, sukmaku, tanpa dia bagaimana
aku akan melewatkan hari2 selanjutnya...?" Dia meronta dan hendak merangkak ke depan,
serunya dengan parau, "O, Siau Hoa sayang, cucu sayang, sebentar nenek akan memberi
makan ikan padamu, janganlah kau menangis, biarpun perut nenek akan robek kesakitan juga
akan merangkak pulang untuk memberi makan padamu."
479 Memandangi rambut si nenek yang putih perak dan tubuhnya yang bungkuk, Pwe-giok
membayangkan kehidupan orang tua yang sengsara dan kesepian ini, tanpa terasa ia menjadi
terharu dan ikut pedih, dengan suara keras ia lantas berseru, "Jika Lo-thaythay (nenek) tidak
mampu berjalan lagi, biarlah ku gendong kau saja."
"Kau... kau sudi?" tanya si nenek sambil kucek2 matanya.
"Jika nenekku sendiri masih hidup, beliau tentu juga akan sayang pada Siau Hoa seperti
dirimu," ujar Pwe-giok sambil tertawa ramah.
Maka tertawalah si nenek sehingga kelihatan mulutnya yang ompong dengan gigi yang
tinggal dua, katanya, "Ai, Siauya memang orang baik, tadi begitu mendengar aku akan
memberi makan kepada Siau Hoa, mereka lantas merintangi aku dan melarang aku pulang,
hanya Siauya saja... Ai, begitu melihat Siauya memang sudah kuduga engkau pasti seorang
yang baik hati."
Begitulah sambil mendekam di atas punggung Pwe-giok ia masih terus mengoceh terus dan
memuji Pwe-giok setinggi langit, katanya anak muda itu baik hati, cakap lagi, kelak pasti
akan mendapatkan bini yang cantik dan pintar.
Muka Pwe-giok menjadi merah. Untung tidak lama mereka sudah memasuki kota kecil itu.
Pwe-giok lantas tanya, "Dimanakah Lo-thaythay bertempat tinggal?"
"Tempat tinggalku paling mudah dikenali, sekali pandang saja lantas tahu," kata si nenek.
"O, apakah di depan sana?" tanya Pwe-giok pula dengan tertawa.
"Eh, jadi sudah kau lihat" Memang betul di loteng kecil itulah," kata si nenek.
Air muka Pwe-giok seketika berubah.
Maklumlah, di kota kecil ini hanya terdapat loteng itu, satu2nya loteng kecil itu adalah tempat
tinggal Hong-sam dan Cu Lui-ji, sekarang si nenek ternyata mengaku juga bertempat tinggal
di situ. Diam2 Pwe-giok merasakan gelagat tidak enak, tapi sebelum ia bertindak sesuatu, tahu2
kedua kaki si nenek yang tadinya lemas itu seketika berubah menjadi kuat dan menjepit
tubuhnya seperti tanggam.
Biarpun Pwe-giok memiliki tenaga sakti pembawaan, tapi terjepit oleh kedua kaki si nenek,
jangankan hendak meronta, bernapas saja terasa sesak.
Keruan ia terkejut, serunya, "He, Lothaythay, ap... apa kehendakmu?"
"Aku cuman berharap Siauya akan mengantar ku pulang ke rumah," kata si nenek.
"Tapi... tapi tempat itu..."
480 "Hahhh!" mendadak si nenek mengakak, suara tertawanya seperti bunyi kokok beluk di
malam sunyi dan membuat bulu roma Pwe-giok sama berdiri.
Di dengarnya si nenek berkata pula dengan terkekeh2, "Barangkali Siauya belum tahu bahwa
tempat itulah rumah nenek, yang tinggal di sana, seorang adalah cucuku dan seorang lagi
adalah buyut perempuanku."
Pwe-giok menarik nafas dalam2, sedapatnya ia menahan perasaannya, katanya dengan
perlahan, "Jika Lothaythay ada sengketa apa2 dengan Hong-sian sianseng dan ingin
mencarinya, mengapa engkau perlu ku gendong ke sana" Padahal dengan tenaga kaki nenek
yang kuat, masa tidak dapat naik ke sana?"
Nenek itu tertawa, "Siauya, kau ini orang baik, tapi cucuku itu sedikitpun tidak berbakti
padaku, bila dia melihat nenek datang sendirian ke sana, bukan mustahil sekali depak aku
akan ditendangnya ke bawah loteng."
"Dan sekarang apa yang kau inginkan dariku?" tanya Pwe-giok dengan tersenyum getir.
"Asalkan kau gendong aku ke atas loteng dan katakan kepada mereka bahwa aku ini seorang
nenek yang sudah sakit parah, kau yang menolongku ke sana untuk minta mereka
memberikan obat padaku."
"Kemudian?" tanya Pwe-giok.
"Urusan selanjutnya tidak perlu lagi kau ikut campur... Hehe, kau sendiripun tidak mampu
ikut campur," kata si nenek dengan ter-kekeh2.
Diam2 Pwe-giok membatin "Ya, setelah ku gendong dia ke atas loteng, tentunya dia takkan
melepaskan aku dan akupun tidak perlu ikut campur apa2 lagi." Berpikir demikian, sekujur
badannya lantas basah kuyup oleh keringat dingin.
"Tapi hendaknya sekarang janganlah Siauya merencanakan tindakan yang tidak2, sebab
biarpun usia nenek sudah lanjut, untuk meremas patah tulang lehermu kukira tidak lebih sukar
daripada kupatahkan sepotong ranting kayu."
Pwe-giok menghela nafas, katanya, "Lo thaythay, tiada sesuatu yang kukagumi padamu selain
ceritamu tentang si belang tadi, sungguh sedikitpun tidak menimbulkan curigaku."
***** Pintu di bawah loteng kecil itu hanya dirapatkan saja tanpa dipalang dari dalam.
Di atas loteng Kwe Pian-sian lagi duduk termenung, Ciong Cing mendekap di pangkuannya,
seperti sudah tertidur.
Gin-hoa-nio meringkuk di pojok sana, mukanya yang semula ke-merah2an itu kini tampak
pucat seperti mayat, ia sedang memandangi tempat tidur sana dengan terbelalak, matanya
yang hidup se-olah2 dapat bicara itu kini tampak sayu dan hampa seperti sudah berubah
menjadi seorang linglung.
481 Si sakit, Hong-sam sianseng masih tetap berbaring di tempat tidur dengan tenang, cuma air
mukanya tambah merah dan segar, napasnya juga sudah normal.
Cu Lui-ji berjaga di sampingnya, air mukanya tampak mengunjuk rasa girang.
Pada saat itulah Pwe-giok naik ke atas loteng, begitu melangkah ke atas, dengan suara keras ia
lantas berseru, "Nenek ini mendapat sakit keras di tengah jalan, terpaksa ku gendong dia
pulang... kan tidak dapat kulihat dia mati sakit di tepi jalan bukan?"
Mendengar ini, Kwe Pian-sian berkerut kening. Ciong Cing tetap masih pulas dalam tidurnya.
Gin-hoa-nio tidak memperlihatkan sesuatu perasaan, sedangkan Hong-sam sianseng tetap
diam2 saja tanpa membuka matanya.
Hanya Cu Lui-ji saja yang tersenyum, katanya, "Nenek ini menderita penyakit apa" Biar
ku..." mendadak suaranya terhenti, tanpa berkedip ia pandang nenek itu dengan wajah kerut
dan takut seperti melihat setan saja.
Nenek itu menyembunyikan mukanya di belakang gendongan Pwe-giok, katanya dengan
setengah merintih, "O, kasihanilah nona, berikan obat kepada nenek!"
Siapa tahu mendadak Cu Lui-ji lantas menjerit, "Oh-lolo... Oh-lolo... kau Oh-lolo!"
Tubuh Kwe Pian-sian tergetar demi mendengar nama Oh-lolo atau nenek Oh ini, air mukanya
juga tampak kejut dan jeri se-akan2 ingin kabur saja kalau bisa.
Tangan Pwe-giok juga berkeringat dingin, dia masih ingat kepada cerita ayahnya dahulu
bahwa yang paling jahat dan paling keji di dunia sekarang adalah Oh-lolo. Perempuan yang
paling tinggi ginkangnya dan paling mahir menggunakan racun juga Oh-lolo. Pernah dia
dikerubuti tiga diantara "Kesepuluh tokoh-tokoh jaman ini, dia terkurung di suatu lembah
pegunungan dan bertahan tujuh hari tujuh malam, akhirnya dia tetap dapat lolos dengan
selamat. Begitulah terdengar Oh-lolo menghela nafas di gendongannya sambil berkata, "Tahu aku
bakal dikenali budak cilik ini, untuk apa ku-buang2 tenaga sebanyak ini?" Dia menggapai
Lui-ji dan berkata pula, "Eh, budak cilik, cara bagaimana kau kenal pada nenek" Coba
jelaskan, nanti nenek memberikan permen padamu!"
Tapi Cu Lui-ji telah memegangi tangan Hong sam sianseng, katanya dengan suara gemetar,
"Li... lihatlah Sacek, Oh-lolo tidak mati, sekarang dia datang lagi.
Hong Sam tetap tidak membuka matanya, dengan perlahan dia berucap, "Orang ini bukan Ohlolo.":
"Tapi, kukenal dia... kukenal dia," kata Luji. "Dia masih tetap memakai bajunya yang tebal
itu, sanggulnya memakai tusuk kundai kayu hitam, sepatunya yang dipakainya juga serupa
dengan waktu itu."
"Dia bukan Oh-lolo," jengek Hong Sam. "Oh-lolo sudah mati!"
"Tapi dia... dia sudah hidup kembali!" seru Lui-ji.
482 "Orang yang terkena Hoa-kut-tan (pil penghancur tulang), jangankan dapat hidup kembali,
menjadi setan pun tidak dapat," kata Hong Sam dengan kereng.
Mendadak nenek itu bergelak tertawa, tertawa latah.
Suara seperti bambu patah, pergesekan benda logam, lolong serigala di hutan, bunyi kokok
beluk dan sebagainya adalah suara yang paling menakutkan dan paling menusuk telinga, tapi
suara tertawa nenek ini jauh lebih tidak enak didengar dan jauh lebih menakutkan daripada
suara2 yang disebutkan tadi.
Setelah tertawa seperti orang gila sampai sekian lamanya, lalu nenek itu berkata, "Pantas
kucari kian kemari tidak dapat menemukan adik perempuanku yang keji itu, kiranya dia
memang telah dibunuh oleh kau si setan penyakitan ini... Oo, baik sekali matinya, dia
memang sudah hidup cukup lama dan sudah waktunya harus mati... tapi sesudah dia mati, aku
menjadi sebatang kara begini, cara bagaimana aku dapat hidup sendirian!..."
Dari tertawa mendadak berubah menjadi menangis, suara tangisannya berpuluh kali lebih
menusuk telinga daripada suara tertawanya tadi, kaki Pwe-giok terasa lemas dan hampir2 saja
tidak kuat berdiri.
Akhirnya Hong Sam membuka matanya, sinar matanya berkelebat, setelah menatap si nenek
sekejap lalu katanya dengan bengis, "Kau inikah kakak Oh-lolo?"
Nenek itu menjawab, "Dia adalah aku dan aku adalah dia, dia Oh-lolo, akupun Oh-lolo, kami
kakak beradik berdua sama dengan satu dan tidak terpisahkan."
Tiba2 Kwe Pian-sian paham duduknya perkara, pikirnya, "Pantas orang Kangouw sama
bilang jejak Oh-lolo tidak menentu dan sukar diraba, pada satu hari yang sama ada orang
melihat dia muncul di Holam, tapi ada orang lain yang melihat dia berada di Soa-tang, kiranya
Oh-lolo ini terdiri dari dua kakak beradik kembar yang selamanya berdandan sama."
Tiba2 terdengar si nenek alias Oh-lolo tadi menangis tergerung-gerung sambil berteriak, "Kau
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setan penyakitan busuk, kau telah membunuh adikku, bolehlah kau bunuh saja diriku
sekalian."
"Jadi kau kemari minta kubunuh?" jawab Hong Sam dengan tak acuh. "Baiklah, boleh kau
maju sini!"
"Lihatlah para hadirin!" teriak Oh-lolo. "Di dunia ini ternyata ada orang sekeji ini. Adik
perempuanku sudah dibunuhnya dan sekarang ia ingin membunuhku pula... kau setan
penyakitan ini apakah benar2 tiada punya hati nurani manusia sama sekali?"
"Jika kau tidak ingin mati boleh kau pergi saja," kata Hong Sam pula dengan ketus.
"Pergi ya pergi, jika aku tidak dapat membunuh kau, untuk apalagi berada di sini, hanya kheki
saja bila melihat kau!" kata Oh-lolo.
483 Mendengar si nenek menyatakan mau pergi, segera Pwe-giok hendak membalik tubuh, untuk
turun ke bawah. Padahal ia tahu sekali turun, maka selama hidupnya pasti akan terkekang di
bawah tangan nenek aneh itu.
Siapa tahu belum lagi dia membalik tubuh, se-konyong2 kedua kaki Oh-lolo menggantol
sekuatnya sehingga tubuh Pwe-giok bagian atas menubruk ke depan tanpa kuasa.
Dirasakannya suatu arus tenaga menyalur ke lengannya, tanpa terasa kedua tangannya terus
terangkat dan menghantam ke arah Hong Sam yang masih terbaring itu.
Cara ini benar2 sesuai dengan namanya, yaitu "Cio-to-sat-jin" atau pinjam golok membunuh
orang. Sebab kalau hantaman Pwe-giok itu berhasil, tentu saja sangat baik, tapi kalau Hong Sam
melancarkan serangan balasan, paling2 yang akan terluka ialah Pwe-giok. Oh-lolo yang
mendekap di belakang punggungnya tentu sempat mengundurkan diri bilamana kejadian tidak
menguntungkan. Maklumlah, sebelumnya Oh-lolo sudah memperhitungkan keadaan Hong Sam, lawan ini
berbaring tertutup selimut, jelas tidak dapat mengelak, baginya hanya ada dua jalan, yakni
menerima pukulan kedua tangan Pwe-giok itu atau balas menghantam. Dengan lain perkataan,
apabila Hong Sam tidak mati, maka yang akan mati ialah Pwe-giok.
Tapi kalau Hong Sam mati, apakah Oh-lolo akan membiarkan anak muda itu hidup terus"
Jadi pergi-datang, akhirnya Pwe-giok pasti akan mati.
Keruan Cu Lui-ji menjerit kaget. Dilihatnya tangan Hong Sam yang kurus kering seperti kayu
itu mendadak terjulur keluar dari selimut, entah cara bagaimana tahu2 telapak tangan Pwegiok
kena ditangkapnya.
Sesaat itu Pwe-giok merasakan suatu arus tenaga maha dahsyat timbul dari tangan Hong Sam
siansing, tapi hanya satu putaran segera tenaga itu menyurut kembali.
Menyusul tenaga yang dikerahkan Oh-lolo ke tangannya tadi lantas ikut arus tenaga Hong
Sam siansing itu dan mengalir keluar.
Seketika Pwe-giok merasa kedua tangannya dialiri oleh arus tenaga yang panas dan bergerak
tanpa berhenti, keruan ia terkejut, tapi segera ia tahu apa yang terjadi. Nyata Hong Sam
siansing telah menggunakan lengannya sebagai jembatan untuk menghisap tenaga murni Ohlolo.
Di dunia ini ternyata adalah kungfu ajaib begini, sungguh sukar untuk dibayangkan oleh
siapapun. Agaknya Oh-lolo juga sudah tahu apa yang terjadi, saking takutnya ia berteriak, "Hong Sam...
Hong-locianpwe... berhenti... ampun, aku... aku menyerah padamu!"
Dengan perlahan Hong Sam berkata, "Sebenarnya aku tidak mau sembarangan mengambil
tenaga murni orang lain, tapi kau yang lebih dulu ingin mencabut nyawaku..."
484 "Aku tidak berani lagi, Hong-locianpwe, kumohon sudilah engkau mengampuni diriku," pinta
Oh-lolo dengan suara parau.
Pwe-giok jadi heran dan geli. Kwe Pian-sian juga melenggong.
Mendadak Oh-lolo menggigit telapak tangannya sendiri, kedua kakinya memancal sekuatnya
di punggung Pwe-giok, orangnya terus mencelat pergi dari gendongan Pwe-giok.
"Blang", kepalanya menumbuk langit2 rumah, lalu jatuh ke bawah lagi dan terduduk di lantai
dengan nafas ter-engah2, mendadak ia berlutut menyembah kepada Hong Sam dan berkata,
"Ya, ku tahu akan kesalahanku, kumohon sudilah engkau mengampuni diriku."
Dengan hambar Hong Sam menjawab, "Kau dapat lolos dari tanganku, sungguh tidak
mudah... baiklah, pergilah kau!" lalu ia tersenyum kepada Pwe-giok dan berkata, "Untung
bagimu!" Tadi waktu tubuh Oh-lolo mencelat ke atas, seketika Pwe-giok merasakan tenaga yang
menghisap di telapak tangannya hilang mendadak. Kini di antara kedua tangannya masih
terasa ada hawa hangat yang bergerak tiada hentinya.
Selagi bingung didengarnya Cu Lui-ji berkata kepadanya dengan tertawa, "Tenaga murni
orang yang dipinjam Sacek ada sebagian besar tertinggal di tubuhmu, kau telah mendapatkan
keuntungan tanpa sengaja, masa kau belum lagi tahu?"
Pwe-giok melengak, ia pandang tangan sendiri, lalu pandang Oh-lolo pula, dalam hati entah
bergirang atau berduka.
Dilihatnya Oh-lolo sedang melangkah ke tangga loteng dengan tubuhnya yang bungkuk dan
kelihatan lemas. Meski berjalan dengan tertunduk, tapi sinar matanya yang buas penuh
kebencian masih terus melirik ke arah Hong Sam.
"Jangan kau pergi dulu!" kata Hong Sam mendadak.
Oh-lolo terjingkat, tanyanya dengan suara gemetar, "Hong-samya ingin pesan apa lagi?"
"Selamanya aku tiada hubungan apa2 dengan orang Kangouw, apalagi bermusuhan," ucap
Hong Sam dengan perlahan. "Jika sekarang kau pergi begini saja, tentu dalam anggapanmu
adik perempuanmu telah kubunuh tanpa alasan."
"Mana kuberani berpikir begitu," ujar Oh-lolo dengan kepala tertunduk.
"Bolehlah kau tinggal di sini, dengarkan ceritaku sebab apakah kubunuh dia," kata Hong Sam
pula. "Jika Hong-samya mau bercerita, dengan sendirinya terpaksa kudengarkan," ujar Oh-lolo.
Meski di mulut dia bilang akan mendengarkan karena terpaksa, padahal di dalam hati ia
sangat berharap agar Hong Sam lekas bercerita.
485 Pwe-giok juga tahu apa yang akan diceritakan Hong-sam sianseng sekarang adalah lanjutan
kisahnya yang pernah diceritakan itu. Sudah tentu minatnya terhadap cerita ini tidak di bawah
Oh-lolo. Tak tahunya sebelum Hong Sam berbicara lebih lanjut, tiba2 Cu Lui-ji menyela, "Kukira
lebih baik Sacek istirahat saja dan biarkan kuceritakan kepada mereka."
"Kejadian waktu itu apakah masih kau ingat dengan baik?" tanya Hong Sam dengan
menyesal. Lui-ji menggigit bibir dan menjawab dengan sekata demi sekata, "Meski waktu itu aku masih
kecil, tapi apa yang terjadi seolah2 terukir dalam-dalam hatiku. Asalkan ku pejamkan mata
segera dapat kulihat setiap... setiap raut wajah itu."
Meski dia bicara dengan perlahan, tapi rasa bencinya membuat orang mengkirik, tanpa terasa
Oh-lolo juga merasa seram, katanya dengan mengiring tawa, "Jika demikian, silahkan nona
lekas bercerita."
Tiba2 Lui-ji melotot ke arahnya dan berkata, "Ingin kutanya padamu lebih dulu, tahukah kau
siapa aku ini?"
Dengan menyengir Oh-lolo menjawab, "Di dunia ini, kecuali ibu seperti Cu-kiongcu itu, siapa
lagi yang dapat melahirkan anak perempuan seperti nona Cu ini?"
Lui-ji melototinya sekejap dengan gemas, per-lahan2 ia pejamkan mata dan mulai bercerita
dengan perlahan, "Waktu itu sudah jauh malam, ibu belum lagi tidur, beliau sedang
menjahitkan baju baru bagiku, sepotong baju merah yang disiapkan untuk kupakai pada tahun
baru. Ibu bermaksud pula menyulam seekor Kilin (binatang lambang rejeki) pada baju merah
itu, beliau membisiki diriku, katanya beliau berharap lambang Kilin itu akan membawa
seorang adik lelaki yang mungil bagiku."
Kenangan itu masih terasa hangat dan indah, wajah Lui-ji yang pucat itupun menampilkan
cahaya yang cantik lantaran kenangan yang hangat ini.
Tersembul senyuman manis pada ujung mulut Lui-ji, lalu ia menyambung ceritanya, "Anak
kecil mana yang tidak suka pada baju baru, dengan sendirinya akupun ingin cepat2 memakai
baju baru. Maka meski sudah larut malam, aku masih menunggui ibu menjahit dan tidak mau
tidur." Oh-lolo ber-kedip2, katanya dengan tersenyum, "Siau-hun-kiongcu ternyata mau menjahit
baju, sungguh tak pernah terbayangkan oleh siapa pun juga."
"Bukan saja menjahit, bahkan ibuku juga mencuci, menanak nasi, menyapu lantai... pendek
kata segala pekerjaan rumah tangga selalu ditanganinya sendiri, masa kau tidak percaya?"
"Apa yang dikatakan nona masakah perlu kuragukan?" jawab Oh-lolo.
"Sementara itu sudah dekat tengah malam, pada umumnya penduduk di kota kecil ini suka
tidur lebih dini, suasana sudah sunyi, tiada terdengar suara apapun, keadaannya serupa
sekarang ini."
486 Angin meniup di luar jendela, suasana memang benar2 hening, entah mengapa dalam hati
masing2 sama timbul rasa seram se-akan2 mendapat firasat tidak enak.
Lui-ji melanjutkan ceritanya, "Tatkala mana ibuku agaknya juga merasakan alamat tidak baik,
pikiran beliau tampaknya juga sedang kacau. Saat itu beliau sedang menyulam mata Kilin,
tapi telah salah sulam tiga kali. Pada saat itulah se-konyong2 terdengar suara menggelepar di
luar, seekor burung malam tiba2 terbang dari atap seberang rumah."
Bicara sampai di sini, senyuman yang menghiasi wajah Lui-ji sudah lenyap, perasaan setiap
orang juga ikut tegang.
"Aku terkejut," sambung Lui-ji pula, "Ku jatuhkan diri ke pangkuan ibu. Sembari menepuk
punggungku dengan perlahan, mendadak ibu meraup segenggam jarum sulam terus
ditaburkan ke lubang angin di ujung atap sana."
"Burung malam terbang terkejut, jelas itu tandanya ada Ya-heng-jin (orang pejalan malam),"
kata Oh-lolo dengan tertawa. "Ibumu memang tidak malu sebagai seorang tokoh Kangouw
kawakan dengan taburan jarum itu, mustahil kalau bocah di luar itu tidak menggeletak."
"Hm, yang di luar jendela itu tak-lain-tak-bukan ialah Oh-lolo!" jengek Lui-ji.
Oh-lolo melengak, ucapnya dengan menyengir, "O, be... begitukah?"
"Tapi begitu jarum itu ditaburkan ibuku, keadaannya seperti batu tenggelam di lautan,
sedikitpun tidak menimbulkan reaksi apa2, maka tahulah ibu telah kedatangan lawan tangguh,
ibu lantas memanggil bangun ay..." dia memejamkan mata dan menghela nafas panjang, lalu
menyambung lagi, "Memanggil bangun Tonghong Bi-giok dan menyerahkan diriku
kepadanya. Tatkala mana kulihat air muka ibu mendadak berubah pucat. Tapi Tonghong Bigiok
itu sebaliknya tampak bergirang."
Pwe-giok menghela nafas gegetun, pikirnya, "Lelaki yang tidak berbudi dan tidak setia
begitu, pantas kalau Lui-ji tidak sudi mengaku ayah padanya."
Terdengar Lui-ji melanjutkan lagi ceritanya, "Dalam pada itu di luar jendela ada orang
berseru dengan tertawa, "Lihay amat hujan jarum yang ditaburkan ini, cuma sayang, terhadap
nenek macam diriku ini menjadi tiada gunanya hujan jarum ini?"
Karena uraian ini, tanpa terasa pandangan semua orang lantas beralih ke arah Oh-lolo.
Nenek itu terbatuk, lalu bertanya, "Waktu itu nona berumur berapa?"
"Empat tahun," jawab Lui-ji. "Masa anak umur empat dapat mengingat sejelas itu apa yang
pernah diucapkan orang lain?" ucap Oh-lolo dengan tertawa.
Dengan hambar Lui-ji menjawab, "Ada sementara orang biarpun hidup sampai nenek2 tapi
makin tua makin pikun. Sebaliknya ada orang yang sekalipun baru berumur empat, tapi sudah
banyak yang dipahaminya, apalagi..."
487 Tanpa berkedip ia pandang Oh-lolo, lalu menyambung sekata demi sekata, "Bilamana ada
orang telah membunuh ibumu pada waktu kau baru berumur empat, maka apapun yang
dikatakannya waktu itu, tentu takkan kau lupakan selamanya biarpun cuma satu kata saja."
Mengkirik Oh-lolo oleh pandangan tajam si nona, ia tertunduk dan berkata, "Adik
perempuanku itu memang keterlaluan, suka campur urusan orang lain."
Lui-ji mendengus, sambungnya pula, "Setelah mendengar ucapan tadi, segera ibuku dapat
menerka siapa yang berada di luar jendela. Beliau lantas berseru, "Oh-lolo, selamanya kita
tiada sengketa apa2, untuk apa kau cari diriku"..." pada waktu itulah daun jendela di sekeliling
rumah lantas terbuka serentak, di dalam rumah tahu2 sudah bertambah belasan orang. Cepat
sekali kedatangan orang2 itu, meski mereka melayang masuk dari luar jendela, tapi rasanya
seperti arwah yang muncul dari bawah bumi."
"Kiranya mereka datang belasan orang sekaligus..." kata Oh-lolo. "Rumah kami memang
tidak besar, tentu saja belasan orang itu segera memenuhi seluruh ruangan," tutur Lui-ji pula.
"Ibuku lantas terkepung di tengah, jalan mundur saja sudah tertutup buntu."
"Bagaimanakah bentuk orang2 itu?" tanya Oh-lolo.
"Yang menjadi kepalanya bertubuh jangkung, berkopiah dan berbaju pertapa, tampaknya
seperti orang yang beribadat dan menimbulkan rasa hormat orang..." tutur Lui-ji. "Padahal
sesungguhnya dia hanya seorang Siaujin (orang kecil, rendah) yang keji."
"Orang ini tentunya Tonghong-sengcu adanya," kata Oh-lolo dengan tertawa.
"Ada seorang lagi yang bermuka penuh berewok, bertubuh tinggi besar, mukanya hitam
seperti pantat kuali, senjata yang dibawanya mirip sebuah pagoda."
"Ah, kiranya Li-thian-ong juga ikut," tukas Oh-lolo.
"Ada pula seorang tua, rambutnya sudah putih seluruhnya, giginya juga sudah ompong
semua, wajahnya senantiasa tersenyum seperti seorang nenek yang welas asih, padahal
hatinya lebih keji dan buas daripada binatang."
Tidak perlu dijelaskan lagi semua orang tahu siapa gerangan yang dimaksudkan, tanpa terasa
pandangan semua orang lantas beralih pula ke arah Oh-lolo.
"Makian yang tepat," kata Oh-lolo dengan tersenyum. "Bilamana kulihat dia, tentu juga akan
ku maki dia se-kenyang2nya." "Sudah tentu ibuku terkejut melihat munculnya orang2 itu, tapi
segera beliau dapat menenangkan diri dan bertanya apa maksud tujuan kedatangan mereka?"
"Ya, biarpun orang2 itu bukan orang sembarangan, tapi Cu-kiongcu tentu juga tidak takut
terhadap mereka," kata Oh-lolo dengan menyengir.
"Tapi Tonghong Tay-beng itu lantas mencaci maki, katanya ibu telah memikat anaknya,
banyak pula kata2 tidak baik yang diucapkannya. Meski ibu sangat marah mendengar makian
orang, tapi beliau menyadari orang itu adalah ayah-mertuanya. Ibu tidak berani
memperlihatkan sikap kasar, beliau mengira apa yang terjadi ini hanya salah paham belaka,
maka berusaha memberi penjelasan."
488 "Huh, si tua Tonghong itu paling suka membela orang sendiri, mana dia mau terima
keterangan ibumu," kata Oh-lolo.
"Benar juga, dia bahkan tidak memberi kesempatan bicara kepada ibuku," tutur Lui-ji. "Ibuku
pikir biarkan Tonghong Be-giok saja yang bicara langsung kepada ayahnya, siapa tahu,
mendadak Tonghong Bi-giok melompat ke belakang ayahnya, lalu menuding dan
mendamprat ibuku, caci-makinya bahkan jauh lebih kotor daripada Tonghong Tay-beng."
"Lelaki kebanyakan memang tidak punya Liangsim (hati nurani yang baik)," kata Oh-lolo
dengan menyesal.
Dalam pada itu Ciong Cing sudah mendusin, perasaannya jadi tersinggung, kembali ia
menangis perlahan.
Lui-ji juga mengembeng air mata, tuturnya pula, "Sampai sekarang barulah ibuku tahu pribadi
Tonghong Bi-giok ternyata begini rendah, nyata cintanya selama ini telah diserahkan kepada
manusia demikian, sesaat itu mendadak ibu merasa putus asa dan lemas lunglai, iapun malas
bicara lagi, ia hanya tanya apakah Tonghong Tay-beng dan Tonghong Bi-giok mau
membesarkan diriku atau tidak?"
Bercerita sampai di sini air mata Lui-ji sudah mengucur deras, bahkan Gin-hoa-nio yang
berhati keras itupun ikut menangis. Perasaan semua orang juga sangat sedih, satu per satu
sama menunduk dan tidak bersuara.
Selang agak lama barulah Lui-ji mengusap air matanya dan melanjutkan ceritanya, "Dengan
sendirinya Tonghong Bi-giok menyatakan sanggup, malahan katanya aku ini anaknya, dengan
sendirinya akan dijaga se-baik2nya. Untuk terakhir kalinya ibuku memandangnya sekejap,
lalu hendak membunuh diri di depannya."
Tanpa terasa semua orang sama menjerit kaget, tapi merekapun tahu ibu si nona itu takkan
mati secepat itu, sebab seterusnya diketahui masih terjadi lagi macam2 urusan.
Dengan pedih Lui-ji berkata pula, "Tatkala mana usiaku masih kecil, namun samar2 sudah
dapat ku terka apa yang terjadi, akupun menangis keras2, namun ibuku sudah nekat dan tidak
menggubris ratapanku, segera ia angkat belati hendak membunuh diri. Pada detik terakhir
itulah se-konyong2 sesosok bayangan putih melayang masuk pula dari luar, begitu cepat dan
gesit gerakan orang itu, tahu2 belati di tangan ibuku sudah dirampasnya."
Semua orang sama berseru heran, "Hei, siapa lagi orang ini?" Lui-ji tidak menjawabnya, ia
meneruskan ceritanya. "Waktu itu meski aku tidak paham tinggi rendahnya ilmu silat, tapi
dapat juga kulihat ginkang orang itu ternyata jauh lebih tinggi daripada ibuku."
"Oo...?" Oh-lolo berseru heran, tanpa terasa ia melirik ke sana, seketika pandangan semua
orang ikut beralih kepada Hong Sam sianseng, dalam hati masing2 samar2 sudah dapat
menduga siapa si pendatang itu.
"Merasa niatnya dirintangi orang, ibuku menjadi gusar, sebelah tangannya lantas
menghantam. Namun dengan enteng dan gesit orang itu dapat menghindarkan serangan ibu.
Kukira sekarang kalian tentu tahu siapa penolong ibuku itu?"
489 "Ehmm," semua orang sama mengangguk.
Lui-ji memandang Hong Sam sekejap, tersembul senyuman hangat pada ujung mulutnya, lalu
katanya, "Waktu itu Sacek masih seorang Kongcu yang gagah dan cakap. Hari itu dia
memakai baju putih mulus seperti salju, ketika melayang tiba dari luar sungguh gayanya
seperti malaikat dewata yang baru turun dari kahyangan."
Oh-lolo berdehem dua kali, katanya, "Kecakapan Hong Sam kongcu, pada masa itu pernah
kudengar juga."
"Padahal Tonghong Tay-beng dan begundalnya juga terhitung tokoh Bu-lim yang top, tapi
melihat gerakan Sacek yang luar biasa, ginkangnya yang tiada bandingannya, mau-tak-mau
mereka sama melongo. Betapapun Tonghong Tay-beng memang lebih tabah, segera ia
menegur Sacek, "Siapa kau" Apa maksud kedatanganmu ini?"
"Rupanya Tonghong Tay-beng sudah terlalu lama tinggal di lautan sana sehingga tidak kenal
lagi kepada Hong-sam sianseng, hal ini dapatlah dimaklumi, tapi Li-thian-ong, adik
perempuanku dan lain2 masa juga tidak dapat menduga pendatang itu ialah Hong-sam
sianseng" Di kolong langit ini, kecuali Hong-sam kongcu, siapa lagi yang berusia semuda itu
dan menguasai Kungfu setinggi itu?"
"Semula ibuku juga melenggong, setelah mendengar teguran Tonghong Tay-beng itu,
mendadak Oh-lolo menjerit kaget dan menyebut nama Sacek. Barulah ibuku tahu telah
kedatangan penolong yang dapat dipercaya, ia merasa tidak perlu kuatir lagi akan difitnah dan
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dikeroyok orang."
Sampai di sini Hong Sam yang berbaring itu menghela nafas panjang, katanya dengan rawan,
"Siapa tahu aku... aku..."
Cepat Lui-ji mendekatinya dan berlutut, ucapnya dengan menangis, "Kejadian itu mana boleh
menyalahkan Sacek" Kenapa Sacek berduka?"
Hong Sam termenung sejenak dan memejamkan matanya, katanya kemudian, "Baiklah, lan...
lanjutkan ceritamu!"
Lui-ji berdiri dengan menunduk kepala, iapun memejamkan mata dan berdiam sejenak, habis
itu barulah dia menyambung kisahnya, "Waktu itu Sacek lantas membongkar seluk beluk
rencana busuk yang diatur Tonghong Bi-giok yang bersengkongkol dengan ayahnya itu,
Sacek mendamprat Tonghong Bi-giok habis2an akan ketidak-setiaan dan ketidak berbudinya.
Begundal Tonghong Tay-beng sama melengak heran dan sangsi, entah mesti percaya atau
tidak terhadap keterangan Sacek itu."
"Biarpun dalam hati mereka tak percaya, di mulut mungkin merekapun tidak berani bicara,"
kata Pwe-giok. "Hanya Li-thian-ong yang biasanya sombong dan suka meremehkan orang lain, meski
Tonghong Tay-beng juga sudah pernah mendengar nama Sacek, tapi iapun belum kenal
betapa lihaynya Sacek, kedua orang sama merasa penasaran menghadapi Sacek yang cuma
490 sendirian itu. Diam2 kedua orang itu saling memberi tanda, serentak mereka melancarkan
serangan maut terhadap Sacek."
"Kedua orang itu mungkin sudah bosan hidup," kata Oh-lolo dengan gegetun.
"Memang," kata Lui-ji. "Orang macam apakah Sacek, sudah tentu beliau sudah
memperhitungkan kemungkinan tindakan mereka itu. Beliau tetap tenang2 saja, waktu itu dari
jauh kulihat senjata Li-thian-ong yang berwujud pagoda baja itu sedikitnya berbobot beberapa
ratus kati sedang menghantam kepala Sacek, begitu dahsyat sehingga tempat aku berdiri juga
merasakan angin damparannya yang keras. Apalagi Tonghong Tay-beng ikut menyerang
sekaligus, sungguh aku menjadi kaget dan kuatir, saking ketakutan aku sampai menangis."
Tanpa terasa semua orang ikut berdebar.
Tapi Lui-ji lantas menyambung, "Siapa tahu, pada saat itu juga mendadak Sacek bersiul
panjang nyaring menggema angkasa, namun suaranya tidaklah menusuk telinga, sebaliknya
kedengarannya sangat merdu."
"Itulah yang disebut kicauan burung Hong menggema ribuan li, menggetar sukma kabur sukar
dicari!" seru Oh-lolo.
"Di tengah suara siulan nyaring itu," demikian Lui-ji melanjutkan, "entah cara bagaimana
tahu2 tubuh Li-thian-ong mencelat, senjata andalannya, yaitu pagoda baja juga sudah
berpindah ke tangan Sacek, dengan enteng Sacek memuntir, seketika pagoda baja itu berubah
menjadi untir2."
Semua orang sama melengak, sungguh mereka tidak pernah mendengar bahwa di dunia ada
Kungfu setinggi ini.
"Agaknya Tonghong Tay-beng juga terkena serangan Sacek," sambung Lui-ji pula, "dia
tampak ketakutan, tapi Sacek hanya memandangnya dengan tertawa dingin, katanya,
"Mengingat menantu perempuanmu, biarlah kuampuni jiwamu!" Sembari bicara Sacek terus
menelikung untir2 baja tadi hingga berubah menjadi sebuah gelang, lalu dilemparkan,
terdengar suara "brak" di kejauhan, sebatang pohon cukup besar seketika patah menjadi dua
dan tumbang."
Bicara sampai di sini, Lui-ji menghela nafas lega, lalu katanya, "Setelah Sacek
memperlihatkan kungfunya, orang2 itu tiada satupun yang berani bergerak lagi."
Semua orang ikut merasa lega juga meski diketahui ibu anak dara itu akhirnya tidak terhindar
dari kematian. Dan ini pula yang membuat mereka heran, entah mengapa kemudian Siau-hunkiongcu
tewas juga dan entah sebab apa Hong-sam sianseng juga terluka.
Cuaca sudah remang2, senja sudah tiba, di atas loteng mulai suram.
Pwe-giok tidak tahan, ia membuka suara, "Apakah kejadian itu kemudian berkembang lagi
lebih mengejutkan orang?"
Lui-ji menuang secangkir teh dan melayani minum Saceknya, habis itu perlahan2 barulah ia
menyambung lagi, "Melihat perbawa Sacek sudah menaklukan musuh, ibu lantas mendekati
491 Sacek dan memberi hormat serta mengucapkan terima kasih atas pertolongannya. Sacek tanya
kepada ibuku, lantas bagaimana akan menyelesaikan urusan ini?"
"Meski Tonghong Bi-giok itu berdosa kepada ibumu, tapi kukira ibumu pasti tidak tega
mencelakai dia," ujar Kwe Pian-sian dengan gegetun.
"Betul, hati perempuan biasanya memang lemah," tukas Oh-lolo.
"Tapi diantaranya ada juga yang berhati keras, bahkan tidak kepalang kerasnya dan
menakutkan," sambung Kwe Pian-sian dengan tersenyum.
Seperti tidak mengikuti ucapan mereka, pandangan Lui-ji menatap keremangan senja di luar
jendela dengan termangu, sejenak kemudian barulah ia menyambung ceritanya, "Karena
pertanyaan Sacek tadi, ibu hanya menangis saja dan tidak bicara. Sacek bertanya pula apakah
lelaki tidak setia itu perlu dibunuh saja" Namun ibu tetap tidak buka mulut, melainkan cuma
menggeleng saja. Maka berkatalah Sacek, "Jika demikian, suruh dia enyah saja sejauh2nya!..."
ia menghela nafas, lalu melanjutkan, "Siapa tahu, ibu lantas menangis tergerunggerung
mendengar ucapan Sacek itu."
"Aneh juga," kata Pwe-giok, "ibumu tidak tega membunuhnya, juga tidak mau melepaskan
dia, sesungguhnya apa kehendaknya?"
Dengan menunduk Lui-ji berkata, "Ibuku... dia..."
Mendadak Hong-sam sianseng menukas, "Boleh kau istirahat dulu, biarkan ku sambung
ceritamu."
Lui-ji mengusap air matanya dan mengiakan dengan menunduk.
Hong Sam lantas berkata, "Waktu itu akupun heran, kalau Cu Bi tidak tega membunuhnya
dan juga tidak mau melepaskan dia pergi, lalu tindakan apa yang harus kulakukan?"
Dia berhenti sejenak, setelah menghela nafas lalu sambungnya, "Pikiran wanita selamanya
memang tak dapat ku raba. Selagi aku merasa bingung, tiba2 Oh-lolo itu menyeletuk, katanya
dia tahu maksud Cu Bi."
"Memang hanya perempuan saja yang mengetahui isi hati sesama perempuan," kata Pwegiok.
"Dengan sendirinya ku silahkan dia bicara," tutur Hong Sam pula. "Maka Oh-lolo lantas
mendekati Cu Bi, tanyanya dengan tersenyum, "Maksud Kiongcu apakah ingin rujuk kembali
dengan Tonghong-kongcu"..." Tentu saja aku menjadi gusar, kupikir sudah jelas Tonghong
Bi-giok itu sedemikian rendah dan tak berbudi terhadap Cu Bi, bilamana Cu Bi tidak
membunuhnya sudah tergolong untung baginya, masa sekarang Cu Bi ingin berhubungan baik
pula dengan dia" Sudah tentu aku tidak percaya, maka aku lantas tanya Cu Bi, apakah
memang begitu maksudnya" Sampai beberapa kali kutanya dia, namun sama sekali dia tidak
mau menjawab meski dia tidak menangis lagi."
"Kalau tidak menangis dan juga tidak menjawab, hal itu berarti diam2 telah membenarkan,"
kata Gin-hoa-nio mendadak.
492 Hong Sam tersenyum pahit, ucapnya, "Sampai lama akhirnya barulah ku paham isi hatinya,
memang betul begitulah kehendaknya. Kurasakan hal itu sungguh terlalu enak bagi keparat
Tonghong Bi-giok itu, tapi Cu Bi sebagai orang yang paling berkepentingan sudah
menghendaki begitu, terpaksa akupun tak dapat berbuat apa2."
"Di dunia ini hanya cinta kasih antara lelaki dan perempuan saja yang tak dapat dipaksakan
oleh siapapun," kata Pwe-giok.
"Melihat sikapku sudah lunak dan tidak merintangi lagi, orang2 itu sama merasa lega," tutur
Hong Sam pula. "Segera Tonghong Tay-beng menarik anaknya maju ke depan, ayah dan anak
itu ber-sama2 meminta maaf kepada Cu Bi. Dalam keadaan demikian aku menjadi lebih2
tidak dapat bicara apa2 lagi."
"Dan bagaimana pula sikap Tonghong Bi-giok itu?" tanya Pwe-giok.
"Sudah tentu wajahnya penuh rasa menyesal," jawab Hong Sam. "Tadinya wajah Cu Bi penuh
rasa gusar, tapi kemudian telah berubah cerah, sinar matanya menjadi terang pula, tampaknya
awan mendung sudah buyar dan segala sesuatu akan menjadi terang. Siapa tahu tiba2 datang
lagi usul Oh-lolo."
"O, usul apa?" tanya Pwe-giok.
"Katanya, meski Tonghong Bi-giok dan Cu Bi sudah suka sama suka, tapi sebelum ada ijin
orang tua serta perantara comblang, betapapun ikatan mereka sebagai suami isteri belum
resmi, sebab itulah sekarang juga dia ingin menjadi comblang bagi mereka agar Tonghong Bigiok
dan Cu Bi dapat terikat menjadi suami isteri di depan ayahnya, dan akupun diminta
menjadi wali bagi Cu Bi."
"Ehm, bukankah itu usul yang bagus?" kata Oh-lolo.
"Hm, semula akupun merasa usulnya memang bagus," jengek Hong Sam. "Maka be-ramai2
semua orang lantas sibuk mengatur seperlunya, di atas loteng kecil inilah diadakan perjamuan
untuk merayakan peresmian pengantin baru mereka."
"Perjamuan?" Pwe-giok menegas dengan terbelalak. "Tentunya tiada perjamuan yang tanpa
arak!" "Betul, perjamuan tentu harus lengkap dengan suguhan arak," kata Hong Sam.
"Jangan2 di dalam arak itulah terjadi sesuatu?" ucap Pwe-giok pula.
Hong Sam menghela nafas panjang, katanya, "Usiamu masih muda belia, tapi nyatanya
pengalaman dan pengetahuanmu sudah jauh lebih luas daripada diriku pada waktu itu."
Diam2 Pwe-giok membatin, "Mungkin lantaran Cianpwe memandang dirimu tiada tandingan
di kolong langit ini dan tidak menaruh perhatian terhadap orang lain, dan tentunya juga tidak
menyangka ada orang berani mencelakai kau dengan cara yang licik."
493 "Sudah tentu pikiran ini tidak berani diutarakannya, tapi didengarnya Hong Sam telah
menyambung pula, "Dalam hatimu tentu kau anggap aku terlalu tinggi hati dan mengira orang
lain tidak berani berbuat apapun kepadaku, soalnya kau tidak mengetahui keadaan pada waktu
itu..." ia menghela nafas panjang, lalu meneruskan, "Apabila waktu itu kaupun di sana dan
melihat setiap orang sama riang gembira, tentu kaupun takkan curiga bahwa sebenarnya
dirimu sedang diincar."
"Jika orang ingin mengerjai Cianpwe, mana bisa sikapnya itu diperlihatkan kepada
Cianpwe?" ujar Pwe-giok tak tahan.
Air muka Hong Sam tampak guram, sampai lama ia tidak bersuara.
Sementara itu Lui-ji sudah cukup beristirahat, segera ia menyela, "Sudah tentu masih ada
alasan lain. Pertama Sacek menganggap orang2 itu adalah tokoh Kangouw terkenal, tentunya
tidak sampai bertindak secara keji dan rendah."
Pwe-giok tersenyum pahit, katanya, "Terkadang orang2 yang sok anggap dirinya kaum
pendekar budiman itulah sering2 dapat bertindak secara kotor dan menakutkan. Sebab kalau
orang2 macam begitu sampai berbuat sesuatu kebusukan, bukan saja orang lain takkan
berjaga-jaga, bahkan juga takkan percaya."
Lui-ji juga terdiam sejenak, katanya kemudian, "Kedua, dengan Kungfu Sacek waktu itu,
sekalipun beliau menenggak habis secawan arak beracun juga takkan menjadi soal, arak
beracun itu pasti dapat didesaknya keluar. Apalagi Sacek menyaksikan sendiri arak yang
disuguhkan itu dituang dari satu poci yang sama."
Kwe Pian-sian memandang Oh-lolo sekejap, lalu berkata, "Kalau racun biasa tentu tidak
beralangan bagi Hong locianpwe, tapi cara penggunaan racun Oh-lolo boleh dikatakan tiada
bandingannya di kolong langit ini, biarpun tenaga dalam Hong locianpwe maha tinggi,
betapapun perutnya bukan terbuat dari baja."
"Baru kemudian Sacek tahu bahwa racun bukan melalui arak yang disuguhkannya itu,"
sambung Lui-ji pula. "Tapi racun dipoles pada cawan arak yang digunakan Sacek dan ibuku,
sungguh racun yang maha lihay."
"Bila di dalam arak beracun, rasa arak tentunya akan berubah," kata Pwe-giok. "Setelah
Hong-locianpwe minum cawan pertama, apakah belum dirasakan ada kelainan pada arak itu
dan mengapa sampai minum lagi cawan yang kedua?"
Kwe Pian-sian tidak tahan, ia menyeletuk pula, "Seumpama Hong-locianpwe tidak dapat
merasakannya, Cu-kiongcu sendiri kan juga seorang ahli racun, masa beliau juga tidak dapat
merasakannya?"
"Justeru lantaran racun dipoles pada cawan arak, sedangkan araknya dingin, ketika cawan
pertama dituang, serentak semua orang angkat cawan dan menghabiskannya, dengan
sendirinya racun yang larut ke dalam arak waktu itu tidak banyak," demikian Lui-ji menutur
dengan gegetun. "Dan kemudian...?" tanya Kwe Pian-sian.
"Kemudian racun yang larut ke dalam arak tentunya makin lama makin cepat dan banyak,"
tutur Lui-ji. "Tapi dalam pada itu arak yang diminum Sacek dan ibuku juga tidak sedikit lagi,
494 daya rasa mereka lambat-laun sudah mulai tumpul... tentunya kalian maklum, saat itu hati
ibuku tentunya sangat gembira. Dalam keadaan terlalu gembira, kewaspadaan seseorang
biasanya tentu akan sangat berkurang."
"Sungguh hebat," ujar Kwe Pian-sian, "tampaknya waktu menaruh racun, setiap kemungkinan
sudah diperhitungkan masak2 oleh Oh-lolo. Kemahiran menaruh racun orang ini sungguh
sukar ditandingi siapapun juga."
Membayangkan betapa rapi cara Oh-lolo menaruh racun serta tindakannya yang keji, tanpa
terasa semua orang sama mengkirik, apalagi sekarang terdapat pula seorang Oh-lolo di depan
mereka, tentu saja timbul rasa was-was dan jemu mereka terhadap nenek ini.
Kebetulan Pwe-giok berdiri di sampingnya, sekarangpun ia merasa ngeri dan cepat
menjauhinya. Bahkan Ciong Cing menjadi ketakutan, memandang saja tidak berani.
Lui-Ji lantas berkata, "Sekian lama mereka minum arak, mendadak ibuku menyembah
beberapa kali kepada Sacek dan ber-ulang2 menyatakan terima kasihnya atas pertolongan
jiwa Sacek."
Ya, akupun merasa heran dalam keadaan begitu tiba2 dia menyatakan terima kasihnya
padaku," tukas Hong Sam dengan menyesal. "Tapi akupun tidak bilang apa2. Kulihat Cu Bi
lantas mendekati Tonghong Bi-giok dan memegang tangannya dengan tersenyum manis,
katanya, "Berkat bantuan para Cianpwe yang hadir di sini sehingga dapatlah kita menjadi
suami isteri secara istimewa. Betapapun hatiku sangat berterima kasih, Dengan sendirinya
Tonghong Bi-giok menyambutnya dengan tertawa dan berkata, "Ya, tentu saja akupun sangat
berterima kasih."
"Dengan tertawa Cu Bi berkata pula, "Kata orang, cinta suami-isteri harus sehidup semati.
Meski aku tak dapat lahir bersama kau pada hari dan saat yang sama, hendaklah kita dapat
mati pada hari dan saat yang sama, apakah kau bersedia?" aku menjadi heran pada hari
bahagianya mengapa tanpa sebab dia bicara tentang kematian."
"Dalam pada itu kudengar Tonghong Bi-giok telah menjawabnya dengan tertawa, "Dalam
suasana bahagia begini, mengapa kau bicara hal2 yang tidak enak ini?" Cu Bi memandangnya
tajam2, ucapnya dengan tersenyum, "Kuminta sukalah kau jawab bersedia atau tidak?" kulihat
tertawa Tonghong Bi-giok sudah berubah menjadi menyengir, terpaksa ia mengangguk,
"Sudah tentu aku bersedia?" Belum habis ucapannya, mendadak Cu Bi memuntir tangannya,
krek, tulang lengan Tonghong Bi-giok telah dipuntirnya hingga patah!"
Tanpa terasa semua orang sama menjerit kaget. Maka dapatlah dibayangkan betapa
terkejutnya Tonghong Tay-beng dan lain2 ketika menyaksikan apa yang terjadi waktu itu.
Dengan pedih Pwe-giok berkata, "Mungkin waktu itu Cu-kiongcu sudah merasakan dirinya
telah keracunan dan tak tertolong lagi, maka lebih dulu ia menghaturkan terima kasih kepada
pertolongan Hong-locianpwe, itulah penghormatan perpisahannya dengan Cianpwe."
Gin-hoa-nio menghela nafas gegetun, katanya, "Tatkala mana dia tetap tenang2 saja, kiranya
dia sudah bertekad akan gugur bersama dengan lelaki tidak setia dan tak berbudi itu."
495 "Tapi waktu itu aku belum lagi tahu persoalannya, baru hendak kutanyai dia sebab apa dia
bersikap begitu, tahu2 Tonghong Tay-beng dan begundalnya telah berteriak kaget terus
menubruk ke arahnya," tutur Hong Sam. "Namun lebih dulu Cu Bi telah mencekik leher
Tonghong Bi-giok sambil membentak, "Berhenti! Siapapun diantara kalian berani maju lagi
setindak, segera ku cekik mampus dulu jahanam ini!" Karena itu Tonghong Tay-beng dan
lain2 menjadi kuatir dan tidak berani sembarangan bertindak.
"Habis itu barulah Cu Bi berkata kepadaku dengan pedih bahwa arak telah diberi racun jahat,
racun sudah merasuk tulang dan tak dapat ditolong lagi, karena itu dia hanya memohon agar
aku suka menjaga Lui-ji. Diam2 akupun mengerahkan tenaga, akupun merasakan diriku juga
sudah keracunan, bekerjanya racun sebenarnya sangat lambat, tapi lantaran aku mengerahkan
tenaga, seketika kaki dan tanganku berubah menjadi biru hangus. Melihat keadaanku, tambah
pedih Cu Bi, sebab tahulah dia bahwa racun yang berada dalam tubuhku jauh lebih hebat
daripada dia dan jelas tak tertolong lagi."
Mendengar sampai di sini, hati semua orang seperti tertindih oleh batu, dadapun terasa sesak.
Lui-ji mengusap air mata, katanya dengan perlahan, "Waktu itu aku lagi duduk di suatu kursi
kecil dan asyik makan bakso buatan Ibuku sendiri. Melihat kejadian itu, hampir aku keselak
bakso. Pada saat itu juga kembali Sacek bersiul nyaring pula laksana kicauan burung Hong
itu. Kulihat Oh-lolo menjadi pucat, berulang ia menyurut mundur sambil berteriak, "Racun itu
adalah buatan Tonghong-sengcu yang diracik dengan 81 jenis daun2an, jika kau banyak
bergerak, kematianmu tentu akan tambah cepat dan tak tertolong...!"
"Kenapa racun itu dikatakan buatan Tonghong Tay-beng?" tanya Pwe-giok dengan heran.
Kwe Pian-sian tersenyum, katanya, "Oh-lolo itu licik dan licin, melihat kegagahan Honglocianpwe
yang maha sakti itu, mana dia berani mengaku racun itu berasal dari dia" Apa yang
diucapkannya itu tidak lain hanya ingin membelokkan perhatian Hong-locianpwe agar
Tonghong Tay-beng yang dilabraknya."
"Orang sekeji itu sungguh sangat menakutkan," ujar Pwe-giok.
"Tapi dia terlalu menilai rendah kekuatan Sacek," tutur Lui-ji pula "Meski waktu itu racun
sudah bekerja, namun Sacek menahannya ke dalam perut dengan lweekangnya yang maha
sakti, sambil bersiul nyaring Sacek terus menubruk ke arah Tonghong Tay-beng. Tapi ibuku
lantas berteriak, "Bukan Tonghong Tay-beng yang membuat racun itu, tapi Oh-lolo. Lekas
Hong-locianpwe membekuknya dan memaksa dia menyerahkan obat penawarnya, dengan
begitu mungkin masih dapat tertolong."
"Pada saat ibu bicara itulah, tahu2 kedua tangan Tonghong Tay-beng sudah tergetar patah
oleh pukulan Sacek, menyusul dadanya kena dihantam pula sehingga tumpah darah dan roboh
terkapar. Melihat tokoh semacam Tonghong Tay-beng saja tidak tahan sekali pukul Sacek,
keruan para begundalnya ketakutan setengah mati, segera ada di antaranya bermaksud
melarikan diri. Namun sudah terlambat, Sacek sudah kadung murka, terdengarlah suara krakkrek,
blak-bluk berturut2, suara tulang patah dan orang roboh, para tokoh Bu-lim kelas tinggi
yang memenuhi ruangan itu tiada satupun yang hidup, darah muncrat memenuhi lantai dan
dinding." Baru sekarang Pwe-giok menarik nafas lega, segera ia bertanya, "Dan bagaimana
dengan Oh-lolo?"
496
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hanya Oh-lolo saja yang belum mati, Sacek cuma mematahkan kedua kakinya, akhirnya
memaksa dia agar menyerahkan obat penawarnya," tutur Lui-ji.
"Tapi racun itu katanya diracik dengan 81 jenis tumbuh2an, mungkin dia sendiri juga tidak
mempunyai obat penawarnya. Sungguh sayang!" kata Kwe Pian-sian.
"Ya, memang betul," kata Lui-ji. "Ibu tahu keterangan Oh-lolo itu tidak dusta, maka minta dia
menyebut nama ke-81 jenis tumbuh2an berbisa itu, asalkan tahu namanya tentu dapat mencari
obat penawarnya dengan lengkap, sekalipun untuk itu diperlukan waktu cukup lama."
"Betul juga," ujar Kwe Pian-sian.
"Dan dibeberkan tidak olehnya?" tanya Pwe-giok.
"Rase tua itu ternyata takut mati, asalkan ada kesempatan hidup, mana dia mau menyianyiakannya?"
kata Lui-ji. Tapi baru saja dia menguraikan dua-tiga nama jenis racun, sekonyong2
dari samping menyambar tiba secomot jarum dan bersarang di punggungnya.
Terdengar Tonghong Tay-beng bergelak tertawa dan berseru, "Hong Sam, kau bunuh diriku,
kaupun harus mati bersamaku. Di dunia ini tiada seorangpun yang mampu menyelamatkan
kau." Rupanya lwekangnya sangat hebat, meski terkena pukulan Sacek, tapi seketika belum
mati, ia kuatir Oh-lolo memberitahukan resep obat penawar maka Oh-lolo dibunuhnya lebih
dahulu!" Kisah sedih yang ber-liku2 ini akhirnya tamat juga. Namun betapa pedih hati anak dara itu
setelah menceritakan kemalangan yang menimpa keluarganya tentulah dapat dibayangkan.
Entah berapa lama lagi, terdengar Oh-lolo menghela nafas panjang, gumamnya, "Ai, kiranya
akulah yang salah, akulah yang salah..." ia ulangi beberapa kali ucapannya itu, tiba2 ia
berbangkit dan menjura dalam2 kepada Hong-sam sianseng, ucapnya sambil menunduk
menyesal, "Kiranya adik perempuanku bukan dibunuh oleh Samya, sebaliknya dia yang
telah.. telah membikin susah Samya hingga begini, seumpama Samya yang membunuhnya
juga aku tidak dapat bicara apa2 lagi."
Nenek ini dapat mengucapkan kata2 bijaksana begini, sungguh di luar dugaan siapapun juga.
Sikap Hong Sam tampak sangat kesal, katanya, sambil memberi tanda, "Sudahlah, orang yang
pantas mati sudah mati semua, kejadian yang lampau tidak perlu diungkit lagi, kau boleh..
boleh pergi saja."
"Terima kasih Samya," kata Oh-lolo sambil melangkah ke ujung tangga. Tiba2 ia menoleh
dan berkata pula, "Tonghong Tay-beng itu sok pintar, sesungguhnya iapun keliru besar."
"Oo" Keliru apa?" tanya Hong Sam.
"Dia mengira di dunia ini tiada orang yang sanggup menawarkan racun di tubuhnya Samya,
nyata dia lupa bahwa masih ada seorang nenek reyot macam diriku ini," kata Oh-lolo.
Jilid 20________
"Tapi masih ada satu hal yang tidak diketahui nona," kata Oh-lolo dengan tertawa.
497 "Oo" Hal apa?" tanya Lui-ji.
"Racun itu sebenarnya adalah buatanku, makanya adik perempuanku tidak mempunyai obat
penawarnya," tutur Oh-lolo.
Seketika Lui-ji melonjak kegirangan, teriaknya, "Betul, biarpun racun buatan adik
perempuannya, dengan sendirinya iapun paham cara bagaimana menawarkannya."
Keterangan Oh-lolo ini membuat semua orang terkejut dan juga bergirang.
Saking senangnya muka Cu Lui-ji menjadi merah, serunya dengan suara parau, "Jadi pada...
padamu terdapat obat penawarnya?"
Oh-lolo mengeluarkan sebuah kotak kecil, katanya, "Inilah obat penawarnya."
Kejadian ini datangnya sungguh terlalu mendadak dan terlalu beruntung, benar2 sukar untuk
dipercaya. Cu Lui-ji terbelalak memandangi kotak kecil yang dipegang nenek itu, sekujur
badan sampai bergemetar.
"Obat ini sebenarnya tidak ingin kuberikan," kata Oh-lolo sambil menghela nafas. "Tapi
Samya benar2 seorang berbudi, bilamana orang baik semacam Samya sampai tidak tertolong,
memangnya di dunia ini tidak ada keadilan lagi?"
"Tak ter... tak tersangka kau masih punya Liangsim (hati nurani yang baik)," seru Lui-ji
dengan ter-putus2.
Mendadak ia rampas kotak kecil yang dipegang Oh-lolo itu dan didekap erat2 di dalam
pangkuannya se-olah2 takut direbut orang lagi. Air matapun bercucuran, serunya saking
kegirangan, "Sacek... O, Sacek! Akhirnya... akhirnya kita tertolong! Sudah lama kita seperti
bermimpi buruk dan mimpi buruk kini sudah berakhir. Sacek, apakah engkau bergembira?"
Tampaknya Hong Sam juga sangat terangsang dan hampir tak dapat menguasai perasaannya.
Setelah mengalami siksa derita sekian tahun, kini dapat terlepas dari lautan derita itu, tentu
saja iapun bergirang.
Lui-ji mendekap di depan tempat tidur, saking gembira ia terus menangis ter-gerung2.
Hong Sam membelai rambutnya dengan perlahan, seperti ingin omong apa2, tapi suaranya
tersendat sehingga tiada terucapkan sekatapun.
Tampaknya Oh-lolo juga sangat terharu, desisnya dengan hati lega, "Orang baik tentu
mendapat ganjaran yang baik, keadilan tentu terdapat pada hati setiap orang. Ai, rasanya
sekarang nenek harus pergi saja."
Tapi baru saja ia membalik tubuh, mendadak Pwe-giok menghadang di depannya dan
menegur, "Apakah obat itu benar2 obat penawar?" Oh-lolo tersenyum, katanya, "Ai, anak
muda, mungkin sudah terlalu banyak orang jahat yang kau temui, makanya kau tidak percaya
kepada siapapun. Apakah kau lihat nenek seperti aku ini tega membikin celaka orang macam
Hong-sam sianseng?"
498 "Memang betul sudah terlalu banyak orang jahat yang kutemui, makanya baru sekarang ku
tahu biarpun orang semacam Hong-locianpwe terkadang juga bisa dicelakai orang," jawab
Pwe-giok dengan perlahan.
Tiba2 Kwe Pian-sian juga menimbrung, "Apalagi, Hong-locianpwe sudah pinjam ilmu
silatmu, tapi kau berbalik hendak menolongnya" Betapapun aku menjadi ikut curiga apakah di
dunia ini benar2 ada orang baik hati seperti kau ini?"
Padahal sejak mula ia sudah curiga, cuma urusannya tidak menyangkut kepentingannya, maka
dia diam saja. Kini Pwe-giok sudah mendahului membongkar hal itu, maka iapun
membonceng biar kelihatan berjasa.
Karena ucapan mereka berdua, hati Cu Lui-ji jadi cemas lagi, perlahan ia berbangkit, katanya
dengan melotot terhadap Oh-lolo, "Coba ka... katakan, obatmu ini sesungguhnya obat
penawar atau bukan?"
Oh-lolo menghela nafas, jawabnya, "Kalau nona tidak percaya, boleh kau kembalikan saja
obat itu kepadaku."
"Mana boleh," jawab Lui-ji dengan suara bengis. "Pendek kata jika obat ini bukan obat
penawar, segera kucabut nyawamu!"
"Habis cara bagaimana barulah nona mau percaya?" tanya Oh-lolo sambil menggeleng.
"Coba kau sendiri makan dulu satu biji obat ini," kata Lui-ji.
Pwe-giok mengira sekali ini Oh-lolo pasti akan mengalami 'senjata makan nenek', tak terduga
tanpa sangsi Oh-lolo terus menerima kembali kota obatnya, katanya dengan tertawa, "Jika
demikian, akan ku makan satu biji obat ini."
Tiba2 Kwe Pian-sian menyeletuk lagi, "Apa bila kau sudah makan obat penawar lebih dulu,
sekalipun obat ini adalah racun, tentunya tidak beralangan biarpun kau makan seluruhnya."
Oh-lolo menghela nafas, katanya, "Wah, jika begini jadinya serba salah bagiku."
Dia mengerling, tiba2 ia berkata pula dengan tertawa, "Tapi masih ada satu cara yang dapat
kubuktikan isi kotak ini obat penawar atau racun."
Dengan menggreget Lui-ji berkata, "Sebaiknya kau dapat membuktikannya, kalau tidak...
hmmm!" Dilihatnya Oh-lolo mengeluarkan pula sebuah kotak kayu kecil, kotak inipun diukir dengan
indah, dicat dengan warna merah darah.
"Kotak inilah berisi racun yang pernah digunakan adik perempuanku itu," kata Oh-lolo. Lalu
dari dalam kotak ia mencolek setitik bubuk obat berwarna jambon terus ditelan.
Semua orang sama terkejut, tapi Oh-lolo malah tertawa, katanya, "Tampaknya mata nona
bersinar aneh, kekuatan tubuhmu pasti lain daripada orang biasa. Racun yang dapat
499 membinasakan orang lain kukira takkan beralangan apapun bagi nona." Dia tersenyum, lalu
menyambung, "Entah apa yang kukatakan ini betul atau tidak?"
"Hmk!" Lui-ji hanya mendengus saja. Meski tidak bersuara, tapi di dalam hati diam2 ia
mengagumi penglihatan nenek yang tajam ini.
"Tapi terdapatnya kelainan nona yang hebat ini juga bukan berasal dari pembawaan lahir,
betul tidak?" tanya Oh-lolo pula.
Lui-ji tidak lantas menanggapi, tapi akhirnya ia bersuara, "Betul, hal ini disebabkan aku harus
mencobai racun apakah yang diidap Sacek, maka aku bertekad akan mencicipi setiap macam
racun di dunia ini, dari cara bekerjanya racun yang kucicipi ini akan kupelajari bagaimana
kadar racunnya dan cara bagaimana menawarkannya."
"Betul, racun apapun juga, asalkan makannya tidak melebihi dosisnya tentu takkan
membinasakan. Apalagi kalau sudah banyak memakannya, kelak akan timbul daya tolak mu
terhadap racun ini." Setelah menghela nafas, lalu Oh-lolo menyambung pula, "Tapi urusan ini
tampaknya sangat mudah dilakukan, padahal tidak sembarang orang mampu
melaksanakannya. Sungguh aku sangat kagum terhadap tolak dan kesabaran nona."
Bilamana membayangkan seorang nona cilik seperti Cu Lui-ji setiap hari harus mencobai
macam2 racun, sedikit lengah saja akibatnya adalah mati. Untuk ini semua orang merasa tidak
punya keberanian seperti nona cilik ini dan mau-tak-mau mereka bertambah kagum dan
hormat kepadanya.
Namun Cu Lui-ji hanya menanggapi dengan hambar, "Inipun bukan sesuatu yang luar biasa.
Kau tahu, ada sementara racun bukannya pahit, sebaliknya rasanya sangat manis."
"Ya, obat yang mematikan kebanyakan rasanya manis, obat penolong jiwa rasanya malah
pahit," kata Oh-lolo dengan tertawa. "Tapi menurut pendapatku, obat racun yang ditemukan
nona itu pasti bukan racun yang sukar dicari. Jika racun sebangsa racun ular, kelabang,
ketungging dan sebagainya, tentunya takkan berbahaya bagi nona, tapi bila racunku ini..."
Lui-ji menengadah, seperti mau omong apa2, tapi seketika tak dapat bersuara apapun, sebab
tiba2 dilihatnya muka Oh-lolo yang berkeriput itu kini telah berubah menjadi ungu kebiru2an,
bahkan matanya juga bercahaya ungu, tampaknya menjadi beringas dan menakutkan.
Bukan cuma Lui-ji saja yang terkesiap, ketika semua orang ikut memandang si nenek, hati
semua orangpun terperanjat.
Namun Oh-lolo berkata pula dengan tertawa, "Racun yang baru saja kumakan kini sudah
mulai bekerja. Sebagai seorang ahli racun tentu nona dapat melihatnya, cara bekerja racun ini
apakah serupa dengan keadaan Hong-sam sianseng waktu keracunan dahulu?"
Sampai di sini, suara nenek itu sudah mulai kaku dan hampir tidak jelas terdengar, tubuhnya
juga mulai berkejang.
"Betul, memang begini keadaannya," jawab Lui-ji dengan muka pucat. Lalu Oh-lolo
mengeluarkan satu biji pil dari kotak yang diterimanya kembali dari Lui-ji tadi dan diminum.
500 Meski semua orang berdiri cukup jauh, namun terendus juga bau amis dan busuk dari pil yang
ditelan Oh-lolo itu.
Melihat sikap orang2 itu, Oh-lolo berkata dengan tertawa, "Obat yang mujarab selain pahit
biasanya juga berbau busuk bukan" Tapi obat penyelamat jiwa biarpun berbau tentu juga akan
diminum orang. Sebaliknya kalau racun juga berbau busuk, lalu siapa yang mau
meminumnya?"
Ciong Cing yang sejak tadi berdiam diri itu kini mendadak menghela nafas dan berucap, "Ya,
kata2 ini sungguh mengandung makna yang sangat dalam. Tapi di dunia ini ada berapa orang
yang menyadari hal ini?"
"Eh, nona cilik, ingatlah dengan baik," kata Oh-lolo dengan tersenyum. "Terkadang mulut
lelaki yang manis jauh lebih menakutkan daripada racun yang mematikan."
Ciong Cing memandang Kwe Pian-sian sekejap, lalu menunduk dan tidak bicara lagi.
Selang sejenak, air muka Oh-lolo telah berubah normal kembali. Racun yang diminumnya
meski lihay, tapi obat penawarnya juga sangat mujarab. Nenek itu menghela nafas panjang2,
lalu berkata dengan tertawa, "Nah, sekarang nona percaya tidak?"
Lui-ji menunduk dan berkata, "Tadi aku salah menyesali engkau, hendaklah engkau jangan
marah." "Mana bisa ku marah padamu?" ujar Oh-lolo. "Memang lebih baik kalau ber-hati2."
Sekarang Lui-ji sudah tidak sangsi sedikitpun, ia merasa malu dan juga berterima kasih,
segera ia terima lagi obat penawar itu dan terus berlari ke tempat tidur Hong-sam.
Sorot mata Oh-lolo menyapu pandang sekejap ke arah Ji Pwe-giok dan Kwe Pian-sian,
katanya dengan tersenyum, "Sekarang nenek boleh pergi bukan?"
Meski di dalam hati Pwe-giok masih merasakan sesuatu yang tidak beres pada urusan ini, tapi
bukti terpampang di depan mata, apa yang dapat dikatakannya lagi" Terpaksa ia memberi
hormat dan berkata, "Maaf jika tadi aku bersikap kasar padamu."
Oh-lolo tertawa, tiba2 ia mendekati Kwe Pian-sian.
Teringat sikapnya tadi rada kurang hormat terhadap si nenek, baru sekarang Kwe Pian-sian
menyesal telah menyalahi orang semacam ini, seketika mukanya menjadi rada pucat, cepat ia
berkata, "Harap Cianpwe jangan... jangan..."
"Tidak perlu kau takut," kata Oh-lolo dengan tertawa, "tiada maksudku hendak mencari
perkara padamu. Meski tadi kau rada2 membikin sirik hatiku, tapi akupun tidak menyalahkan
kau, malahan kurasakan kau inipun seorang berbakat, kelak jika perlu boleh coba2 kau cari
diriku untuk ber-bincang2 lebih banyak."
Dia pandang Ciong Cing sekejap dengan tertawa, lalu berkata pula, "Eh, nenek ompong
semacam diriku ini tentunya takkan menimbulkan rasa cemburumu bukan?"
501 Kwe Pian-sian melenggong hingga sekian lamanya, dilihatnya nenek itu telah melangkah ke
bawah loteng, ia menggeleng kepala dengan menyengir, katanya, "Ai, nenek ini sungguh
seorang yang aneh dan sukar untuk diraba..."
Akhirnya Hong-sam telah minum juga obat penawar itu. Mahluk2 berbisa yang memenuhi
kolong selimutnya itu dengan sendirinya telah digiring oleh Cu Lui-ji ke dalam sebuah karung
goni. Kalau racun sudah ditawarkan, untuk apa pula mahluk2 yang menjemukan itu.
Cu Lui-ji tampak berjingkrak kegirangan, seperti burung cucakrowo saja dia mengoceh tiada
hentinya, bertanya ini dan itu. Maka Pwe-giok lantas menceritakan pengalamannya secara
ringkas waktu ditugaskan menjadi utusan Hong-sam.
Hong-sam duduk bersila di tempat tidur, dia berkerut kening dan berkata, "Kiranya tokoh
andalan mereka adalah Lo-cinjin. Konon khikang orang ini tidak lemah, bagaimana menurut
pengalamanmu?"
"Ya, memang tidak bernama kosong," ujar Pwe-giok.
"Betapapun hebat Khikang nya juga tiada gunanya, sekarang racun dalam tubuh Sacek sudah
dipunahkan, betapapun banyak jago mereka, datang satu sikat satu, datang dua sikat sepasang.
Takut apa"!" ujar Lui-ji dengan tertawa.
Pwe-giok diam sejenak, akhirnya ia tidak tahan dan berkata, "Menurut apa yang kulihat dan
kudengar sehari ini, Hong-cianpwe memang seorang berbudi luhur dan sukar dibandingi
siapapun. Cuma kedatangan mereka inipun bukannya tidak beralasan."
"O, apa alasan mereka" Coba ceritakan!" kata Lui-ji dengan mendelik.
Dengan suara berat Pwe-giok berkata, "Yaitu disebabkan tindakan nona..."
Lui-ji melonjak bangun dengan gusar, teriaknya, "Mereka pasti bilang padamu bahwa banyak
orang Kangouw telah hilang, semuanya telah kubunuh, begitu bukan?"
Pwe-giok menarik nafas dalam2, jawabnya, "Ya, memang begitu kata mereka."
"Tapi apa kau tahu sebab apa orang2 itu masuk ke rumah ini?" jengek Lui-ji.
"Tidak tahu," jawab Pwe-giok.
"Karena ada di antaranya ingin mengganggu diriku, ada yang ingin merampok, mereka sendiri
yang bermaksud jahat, makanya kubereskan mereka, salah mereka sendiri," tutur Lui-ji. "Jika
kau lihat kawanan penjahat itu, mungkin kaupun takkan mengampuni mereka."
"Meski ucapan nona juga beralasan, tapi..."
"Tapi apa?" sela Lui-ji. "Sacek menolong orang dan akibatnya keracunan, meski dengan
Lwekangnya yang kuat beliau dapat menahan bekerjanya racun, tapi juga tak dapat bertahan
terlalu lama, terpaksa kami harus berusaha mendesak keluar kadar racun di dalam tubuhnya.
Sebab itulah Sacek memerlukan bantuan tenaga orang lain, kalau tidak, mungkin sudah lama
502 beliau meninggal. Nah, coba katakan Sacek yang pantas mati atau keparat2 itu yang harus
mampus?" Pwe-giok termenung sejenak, ia menghela nafas panjang, katanya, "Urusan di dunia ini
memang sukar ditentukan benar dan salahnya oleh orang di luar garis. Agaknya aku... akupun
salah." "Di dalam persoalan ini memang masih ada sesuatu yang agak luar biasa, yaitu meski Sacek
dapat menggunakan semacam kungfu istimewa untuk menghisap tenaga dalam seseorang dan
dipinjam pakai, akan tetapi tenaga pinjaman itu pun akan terbuang dengan sangat cepat, sebab
itulah hanya sebentar saja beliau perlu mencari pinjaman tenaga baru orang lain lagi..."
"Kalau Hong-locianpwe dapat menggunakan tenaga dalamnya untuk mendesak keluar kadar
racunnya, mengapa perlu menggunakan pula mahluk2 berbisa itu?" Kwe Pian-sian ikut
bertanya. "Soalnya setelah Sacek mendesak keluar racunnya, namun pori2 kulitnya akan menghisap
kembali hawa berbisa yang didesak keluar itu," tutur Lui-ji. "Semula Sacek tidak paham
kejadian ini sehingga beliau membuang tenaga percuma selama beberapa bulan, akhirnya
barulah disadari apa yang terjadi, maka selanjutnya mahluk2 berbisa itu lantas di kerudung di
dalam selimut untuk menghisap hawa berbisa yang keluar dari tubuh Sacek... sekarang
tentunya kalian paham duduknya perkara?"
Pwe-giok lantas berkata, "Setelah keracunan, Hong locianpwe telah dibuat marah lagi
sehingga tenaga murninya buyar, dengan sendirinya beliau tak dapat pergi ke tempat lain dan
terpaksa merawat dirinya di loteng kecil ini, begitu bukan?"
"Ya, sesudah Sacek membunuh kawanan penjahat itu, beliau sendiripun ambruk," tutur Lui-ji.
"Kalau saja Sacek tidak membawa Hoa-kut-tan sungguh aku tidak tahu cara bagaimana harus
membereskan mayat sebanyak itu."
"O, jadi orang2 yang lenyap setelah masuk kemari, dengan sendirinya juga berkat Hoa-kuttan?"
tanya Kwe Pian-sian.
Lui-ji mendengus, katanya, "Hoa-kut-tan ini adalah obat mustajab yang sukar diperoleh,
sesungguhnya terlalu boros kugunakan obat berharga itu bagi orang2 yang lebih rendah
daripada binatang itu."
Pwe-giok menghela nafas panjang, katanya, "Sebelumnya kurasakan berbagai urusan ini
sangat tidak masuk di akal dan sukar dipecahkan, baru sekarang macam2 tanda tanya dalam
benakku dapat terjawab dan tersapu bersih."
Dalam pada itu, se-konyong2 Ciong Cing menjerit kaget, "Hei, li... lihatlah, mengapa...
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengapa Hong-locianpwe berubah menjadi begini?"
Waktu semua orang berpaling, tertampaklah nafas Hong-sam megap2 dengan tubuh
bergemetaran. Sudah jelas yang diminumnya tadi adalah obat penawar, tapi sekarang dia
seperti terserang racun jahat lagi.
503 Keruan semua orang melongo kaget. Saking cemasnya hampir saja Cu Lui-ji menangis,
dirangkulnya Hong-sam sambil berseru dengan suara ter-putus2, "Sacek, ken... kenapa kau?"
Namun mata Hong-sam terpejam rapat, bahkan tampak menggertak gigi hingga bunyi
gemertak dan tak sanggup bicara.
Tidak kepalang kuatir Lui-ji, serunya, "Kalianpun melihat obat tadi jelas2 obat penawar,
mengapa bisa... bisa jadi begini" Sebab... sebab apakah menjadi begini?"
Mendadak Gin-hoa-nio tertawa, katanya, "Ku tahu apa sebabnya."
Lui-ji melompat ke depan Gin-hoa-nio dan bertanya dengan suara parau, "Benar kau tahu?"
"Ehmm," Gin-hoa-nio mengangguk.
"Masa isi kotak Oh-lolo ini bukan obat penawar?" tanya Lui-ji. "Memangnya telah
dicampurnya dengan racun" Atau waktu menyerahkannya kepadaku dia telah main gila
dengan menukar obat penawar dengan racun?"
"Isi kotak ini memang benar2 obat penawar," jawab Gin-hoa-nio. "Di depan kalian iapun
tidak berani main gila. Umpama dia berani main2, masakah mata orang sekian banyak dapat
dikelabui semua?"
"Habis kenapa jadi begini?" seru Lui-ji dengan membanting kaki.
Gin-hoa-nio menghela nafas perlahan, katanya kemudian, "Untuk membuat semacam racun
dari kombinasi sekian puluh jenis bahan racun, kukira tidaklah sederhana sebagaimana bila
kita membuat gado2 atau Cap-jai."
"Ya, betul juga," Kwe Pian-sian meng-angguk2.
"Sebab kadar racun setiap jenis racun kan berbeda-beda," tutur Gin-hoa-nio lebih lanjut.
"Bahkan ada di antara racun itu satu sama lain saling bertentangan. Apabila kau
mencampurkan beberapa jenis menjadi satu, terkadang kadar racunnya malah akan lenyap
sama sekali. Teori ini serupa kalau kita mencampurkan beberapa macam warna menjadi satu,
kadang2 malah akan berubah menjadi warna putih."
"Betul," kata Kwe Pian-sian, "jika cara mencampur racun itu pekerjaan yang gampang, tidak
nanti Oh-lolo mendapat nama besar di dunia persilatan."
"Dan bila kau campur ber-puluh2 jenis bahan racun menjadi satu, maka dosis dari tiap2 jenis
racun itu harus sudah ditakar dengan tepat, sedikitpun tidak boleh lebih banyak atau
berkurang, perbandingan dosis inilah rahasia yang paling besar dan penting dalam hal
membuat racun. Dan obat penawarnya, dengan sendirinya juga harus dibuat dengan cara
perbandingan dosis yang sama pula, tidak boleh selisih sedikitpun, kalau sebaliknya, maka
tidak menimbulkan khasiat apapun."
"Ya, memang begitu," tukas Kwe Pian-sian.
504 "Dan setelah lewat sekian tahun," sambung Gin-hoa-nio lagi, "racun yang mengeram di dalam
tubuh Hong-sam sianseng tentu kadarnya sudah kacau balau, sebab kadar racun ada yang
berat dan ada yang ringan, ada yang sudah didesak keluar oleh tenaga dalamnya. Sebab itulah
obat penawar pemberian Oh-lolo ini sama sekali tidak mempunyai khasiat menawarkan racun
yang mengeram di tubuh Hong-sam sianseng, sebaliknya malah mengganggu racun yang
sudah ditahan secara susah payah itu dan akhirnya racun itu buyar dan bekerja lagi."
Dia menghela nafas, lalu menyambung pula, "Dan di sinilah letak kelihaian cara Oh-lolo
menggunakan racunnya."
Mendadak Cu Lui-ji menjambret baju Gin-hoa-nio dan membentak dengan suara parau, "Jika
kau tahu sejelas ini, mengapa tak kau katakan sejak tadi?"
Gin-hoa-nio tersenyum hambar, jawabnya, "Jika kau jadi diriku, apakah akan kau katakan?"
Lui-ji jadi melengak dan tak bisa bicara. Maka Gin-hoa-nio menyambung lagi, "Mungkin juga
baru saja dapat kuketahui teori yang kukatakan ini."
Sekarang semua orangpun dapat memahami uraian Gin-hoa-nio itu, teringat bahwa dengan
obat penawarnya saja Oh-lolo juga bisa bikin celaka orang, betapa keji dan betapa jauh tipu
muslihatnya itu sungguh membuat orang bergidik.
Keringat tampak bercucuran dari kepala Hong-sam, jelas dia sedang mengerahkan tenaga
dalam untuk menghimpun kembali kadar racun yang sudah buyar itu. Melihat air mukanya
yang penuh derita itu, dapatlah dibayangkan betapa gawatnya urusan ini.
Lui-ji menunduk perlahan, air matanya kembali berderai.
"Nona tidak perlu cemas," Ciong Cing berusaha menghibur, "kalau sebelum ini Hong-sam
sianseng dapat menahan bekerjanya racun, tentu akan lebih mudah baginya untuk berbuat
sesuatu." "Mestinya betul ucapanmu, tapi... tapi tenaga Sacek sekarang sudah jauh daripada sebelum
ini," kata Lui-ji sambil menangis.
"Apalagi," tukas Gin-hoa-nio, "Dalam keadaan gawat begini dia tidak dapat sembarangan
menggerakkan tenaga murninya, sedangkan musuh akan datang dua-tiga jam lagi, lalu
bagaimana baiknya?"
Dia berucap se-akan2 ikut gelisah bagi keadaan Hong-sam sianseng, padahal siapapun dapat
mendengar nadanya itu mengandung rasa syukur dan senang karena orang lain mendapat
celaka. Dengan gemas Cu Lui-ji lantas mendamprat, "Memangnya kau senang ya" Hm, kalau kami
mati, kaupun jangan harap akan hidup!"
Namun dengan dingin Gin-hoa-nio menjawab, "Betapapun aku sudah cacat begini, mati atau
hidup bagiku tidak menjadi soal lagi."
***** 505 Sang waktu terus berlalu, perasaan semua orang juga semakin tertekan.
Meski Kwe Pian-sian tidak perlu ikut berkuatir bagi mati atau hidupnya Hong-sam sianseng,
tapi bila teringat dirinya masih harus bersandar padanya untuk menghadapi kedatangan Anglian-
hoa dan lain2, bila Hong-sam mati, semua orang yang berada di atas loteng inipun jangan
harap akan hidup.
Sekarang waktunya tinggal dua jam lagi.
Mendadak Pwe-giok berbangkit dan berseru, "Nona Cu, silahkan kau bawa Hong-sam
sianseng dan cepat pergi saja... yang lain2 juga silahkan pergi semua!"
"Dan.. dan kau?" tanya Lui-ji.
"Saat ini di-mana2 tentu sudah dijaga oleh mereka, tapi dengan kekuatan nona dan Kwe-heng
kukira tidak sulit untuk menerjang pergi," kata Pwe-giok. "Yang kukuatirkan hanya kalau Locinjin
dan rombongannya keburu menyusul kemari, maka aku..."
"Kau sengaja tinggal di sini untuk menghadangnya?" sela Lui-ji.
"Biarpun kepandaianku kurang tinggi, tapi untuk merintangi mereka sementara waktu kukira
masih sanggup, dengan demikian nona dan rombongan mungkin sempat pergi agak jauh,"
setelah berhenti sejenak lalu Pwe-giok menyambung pula, "sebab daripada kita menanti
kematian di sini, akan lebih baik aku sendiri saja yang mengadu jiwa dengan mereka. Apalagi,
orang yang hendak mereka cari bukanlah diriku, akupun belum pasti akan mati di tangan
mereka." "Jika yang dicari mereka bukan dirimu, untuk apa kau mengadu jiwa?" tanya Lui-ji.
"Kukira setiap orang pada suatu waktu tentu rela akan mengadu jiwa, bukan?" jawab Pwegiok.
Tiba2 Gin-hoa-nio menjengek, "Hm, tadinya kukira kau ini seorang yang sangat teliti dan
hati2, dapat menghargai jiwanya sendiri, tak tersangka sekarang kaupun dapat berbuat hal2
bodoh dan emosi begini."
"Seorang kalau tidak punya emosi, apakah dia terhitung manusia"' jawab Pwe-giok.
Kwe Pian-sian berdiri dan siap untuk pergi, katanya dengan tertawa, "Seorang lelaki sejati
harus tahu apa yang harus dilakukannya dan apa yang tidak boleh dilakukannya. Ji-heng
memang tidak malu sebagai seorang pendekar sejati, maka kamipun tidak enak untuk
membantah kehendakmu."
"Betul, tekadku sudah bulat, silahkan kalian lekas pergi saja," kata Pwe-giok.
Tak terduga mendadak Hong-sam membuka mata dan menatap Pwe-giok tajam2, ucapnya
dengan kereng, "Caramu bertindak ini, apakah kau kira orang she Hong ini manusia yang
tamak hidup dan takut mati?"
506 "Sama sekali Cayhe tidak bermaksud demikian," jawab Pwe-giok dengan menghela nafas.
"Cuma..."
"Soal mati atau hidup memang sulit diramalkan, tapi bilamana menghadapi pilihan, seorang
lelaki sejati kenapa mesti gentar mati?" kata Hong-sam pula dengan tegas.
"Ya, Tecu tahu," jawab Pwe-giok.
"Jika kau tidak tahu tentu kau takkan tinggal di sini, betul tidak?"
Pwe-giok mengiakan pula.
"Jika demikian, kenapa kau suruh aku lari?" seru Hong-sam dengan gusar. "Memangnya agar
aku dapat menyempurnakan keluhuran budimu sebagai seorang pendekar sejati?"
"Ah, Tecu tidak berani," jawab Pwe-giok dengan menunduk dan kikuk.
Dengan lemas Kwe Pian-sian berduduk kembali, ucapnya dengan menyengir, "Kalau begitu,
biarlah kita semua tinggal saja di sini dan bertempur mati2an menghadapi mereka. Cuma,
kalau kita dapat bertahan satu jam saja sudah untung."
Sorot mata Hong-sam tampak gemerdep, katanya pula sambil menatap Pwe-giok, "Menurut
pendapatmu, apakah kita pasti akan kalah?"
Membayangkan betapa hebat kekuatan lawan, Pwe-giok menjadi ragu2 untuk menjawab,
katanya dengan tergagap, "Cianpwe sendiri tidak dapat turun tangan, kemenangan pihak kita
memang sukar diramalkan."
Hong-sam menepuk tempat tidurnya keras2, ucapnya dengan bengis, "Kematianku tidak perlu
disayangkan, tapi matipun aku pantang dihina orang."
"Apapun juga Sacek tidak boleh turun tangan," seru Lui-ji dengan kuatir.
Hong-sam memandang sekejap pula kepada Pwe-giok, lalu berkata dengan perlahan. "Jika
aku dapat meminjam pakai tenaga dalam orang lain, masakah aku tidak dapat meminjamkan
tenagaku kepada orang lain?"
"Jika Sacek meminjamkan tenagamu kepada orang lain, lalu cara bagaimana akan sanggup
menahan serangan racun dalam tubuhmu?" kata Lui-ji dengan suara gemetar.
"Akan lebih baik aku mati keracunan daripada mati terhina," seru Hong-sam dengan gusar.
"Hanya tidak tahu adakah orang yang sudi bertempur mati2an bagiku?"
Terbeliak mata Kwe Pian-sian dan Gin-hoa-nio, kalau dapat memindahkan segenap tenaga
dalam Hong-sam ke dalam tubuhnya sendiri, hal ini sungguh sangat menarik. Tapi segera
terpikir pula kekuatan Hong-sam sekarang tersisa tidak banyak, andaikan sisa tenaga itu dapat
dipinjamkan seluruhnya kepadanya mungkin juga sukar melawan Lo-cinjin yang maha sakti
itu. Teringat demikian, hasrat mereka jadi dingin lagi.
507 Tiba2 Ciong Cing berkata, "Kalau Cianpwe dapat meminjamkan tenagamu kepada orang lain,
mengapa tidak kau gunakan tenagamu itu untuk menghadapi musuh?"
"Tenagaku yang kusalurkan ke tubuh orang lain akan berjalan perlahan seperti air di sungai,
aku sendiri mungkin dapat menyimpan sedikit sisa tenaga untuk menahan serangan racun,"
tutur Hong-sam. "Sedangkan bila aku harus bergebrak dengan musuh, tenagaku akan meledak
seperti air bah yang sukar ditahan. Dalam keadaan payah seperti diriku sekarang, tidak sampai
tiga kali gebrak saja pasti racun akan bekerja dengan hebat dan membinasakan diriku. Apalagi
pihak lawan sangat banyak dan rata2 sangat lihay, betapapun tidak mungkin dalam tiga kali
gebrak kubinasakan mereka satu per satu."
"Jika... jika demikian, entah bolehkah Tecu membantu Cianpwe?" tanya Ciong Cing dengan
tergagap. "Kau tidak dendam padaku dan bersedia membantuku, kebaikan dan keberanianmu ini
sungguh harus dipuji," jawab Hong-sam. "Cuma sayang badanmu lemah, bakatmu juga
kurang, bilamana kusalurkan tenagaku, mungkin malah akan membikin celaka padamu."
Pada waktu bicara, seperti tidak sengaja sorot matanya mengerling sekejap pula ke arah Pwegiok.
Maka Ciong Cing lantas berkata, "Ji-kongcu, apakah... apakah engkau tak dapat..."
"Sudah tentu akupun sangat ingin membantu Hong locianpwe," kata Pwe-giok dengan
gegetun, "Tapi aku kan tidak dapat menggunakan kesempatan pada waktu orang
kesempitan..."
Ciong Cing berteriak, "Ini kan keinginan Hong-locianpwe sendiri, dia yang meminjamkan
tenaganya padamu, mana bisa dikatakan menggunakan kesempatan pada waktu orang
kesempitan."
Pwe-giok termenung sejenak, tiba2 ia memberi hormat dan berkata kepada Hong-sam, "Entah
Hong-locianpwe sudikah menerima Tecu sebagai murid?"
Nyata, watak Pwe-giok memang jujur dan tulus, bahkan juga pintar dan cerdik. Dengan
tindakannya ini, bila murid meminjam kungfu sang guru, maka soalnya jadi adil dan cukup
berdasar, murid mewakilkan guru bertempur, orang lainpun tak dapat bilang apa2 lagi.
Tak terduga Hong-sam lantas menjawab, "Kau tidak mau menggunakan kesempatan pada
kesempitan ku, mana aku dapat pula memperalat keluhuran budimu dan menyuruh kau
mengangkat guru padaku"... Sebabnya kau mengangkat guru padaku tentunya bukan demi
kepentinganmu, melainkan karena ingin membela diriku, begitu bukan?"
Pwe-giok melengak, jawabnya, "Tapi ini..."
Hong-sam tertawa dan menyela, "Jika kau sudi memanggil Hengtiang (kakak) padaku, maka
puas dan senang lah aku. Hubungan antara kakak dan adik kan jauh lebih akrab daripada
antara guru dan murid" Dan kalau ada saudara seperti dirimu ini menghadapi musuh bagiku,
matipun aku tidak menyesal lagi."
508 Belum habis ucapan Hong-sam, tanpa disuruh segera Cu Lui-ji berlutut dan menyembah
kepada Pwe-giok dan memanggil paman.
Panggilan paman ini membuat Pwe-giok terkesiap dan juga bergirang. Kalau dirinya dapat
mengikat saudara dengan tokoh Bu-lim yang hebat ini, tentu saja suatu kehormatan besar
baginya. Tapi bila teringat betapa berat tugasnya pada pertarungannya nanti, hanya boleh
menang dan tidak boleh kalah, maka perasaannya lantas mirip cuaca di luar, terasa kelam dan
tertekan. ***** Mendadak angin meniup keras, malam semakin larut. Deru angin se-akan2 hendak merobek
sukma. Di atas loteng kecil itu tetap tiada penerangan, gelap dan hening seperti kamar mayat. Hongsam
sianseng duduk bersila di tempat tidurnya tanpa bergerak sedikitpun seperti orang mati.
Padahal setiap orang yang berada di atas loteng itu memang sudah tidak banyak bedanya
daripada orang mati. Kecuali suara bernapas yang semakin berat, selebihnya tiada terdengar
apa2 dan juga tiada terlihat apa2.
Lui-ji bersandar di samping Hong-sam sianseng, tidak meninggalkannya barang sedetikpun.
Ia se-akan2 merasakan semacam firasat tidak baik, merasa waktunya bersandar di tubuh sang
Sacek ini sudah tidak banyak lagi.
Pwe-giok juga duduk diam saja di tempatnya, dengan tekun dia bermaksud mencairkan tenaga
dalam yang diperolehnya tadi agar dapat digerakkan dengan sesukanya, akan tetapi
perasaannya tetap sukar untuk ditenangkan.
Hanya setengah hari yang lalu, mimpipun dia tidak pernah membayangkan akan dapat
bertempur melawan seorang tokoh besar semacam Lo-cinjin. Walaupun pertempuran itu tidak
dapat dikatakan dimenangkan olehnya, tapi kejadian itu cukup membuatnya bergembira.
Maklumlah, di seluruh kolong langit ini ada berapa gelintir manusia yang pernah bertempur
melawan Lo-cinjin"
Sejak tadi Kwe Pian-sian terus berdiri di depan jendela, memandang jauh keluar sana, ke
tengah kota yang mati seperti kuburan itu.
Entah daun jendela rumah siapa yang tidak tertutup rapat, karena tertiup angin sehingga
menerbitkan serentetan suara 'blang-blung' yang keras. Anjing geladak yang meringkuk di
pojok jalan sana terkadang mengeluarkan suara gonggongan yang menyeramkan. Panji
reklame hotel Li-keh-can juga masih berkibar dihembus angin, beberapa genteng jatuh hancur
tertiup angin dan menjangkitkan suara gemertak.
Malam yang dingin dan seram dengan angin puyuh sekeras ini dan suasana setegang ini,
setiap suaranya cukup membuat orang merinding. Tapi kalau keadaan menjadi senyap tanpa
suara, rasanya menjadi semakin menegangkan sehingga membuat dada setiap orang merasa
sesak nafas. 509 Se-konyong2 di ujung jalan yang jauh sana muncul sebuah lentera, cahaya lentera yang guram
itu tampak ber-goyang2 di bawah hembusan angin yang kencang. Tampaknya seperti api
setan (cahaya phosphor) yang berkelip di kejauhan.
Kwe Pian-sian mengembus nafas panjang2, katanya, "Itulah dia... akhirnya datang juga dia!"
***** Datangnya kelip lentera itu sangat lambat, tapi akhirnya sampai juga di depan rumah
berloteng kecil itu.
Di bawah cahaya lampu yang ber-kelip2 guram itu, kelihatan bayangan orang yang tidak
sedikit dengan sorot mata yang gemerdep, setiap bayangan orang itu melangkah dengan
perlahan, berat dan mantap, setiap pasang mata sama bersinar tajam penuh semangat.
Menyusul suara seorang yang lantang dan halus berucap perlahan, "Murid Thian-biau-koan
dari Jingsia, Sip-hun, khusus datang kemari untuk menyampaikan surat, maka mohon
bertemu." "Orang macam apakah Sip-hun ini?" tanya Lui-ji dengan suara bisik2.
"Murid Lo-cinjin," jawab Pwe-giok.
Lui-ji lantas menjengek, "Hm, masuklah, pintu kan tidak terpalang!"
Selang sejenak, terdengarlah suara tangga berbunyi, seorang naik ke atas dengan perlahan.
Bunyi tangga sangat perlahan dan teratur, suatu tanda orang yang datang ini sangat sabar,
bahkan kungfu bagian kakinya sangat mantap.
Maka terlihatlah Tosu muda dengan wajah yang cakap dan tersenyum simpul, meski masih
muda, namun sikapnya tampak alim seperti pertapa tua, siapapun yang melihatnya pasti akan
merasa suka padanya.
Seperti juga waktu pertama kalinya Pwe-giok bertemu dengan dia, semua orang pun heran
mengapa seorang Lo-cinjin yang terkenal berangasan dan pemberang itu bisa mempunyai
seorang murid sehalus ini. Keruan Cu Lui-ji sampai melotot heran.
Di dalam loteng kecil itu benar2 terlalu gelap, Sip-hun baru saja naik ke situ, ia seperti tidak
dapat melihat apa2, namun sedikitpun dia tidak gugup, dia cuma berdiri tenang saja di
tempatnya. Lui-ji lantas mendengus, "Kami berada di sini semuanya, kenapa kau berdiri kesima di situ?"
Sip-hun tidak menjadi marah, juga tidak balas ber-olok2, ia hanya memandang si nona
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekejap, lalu menunduk dan melangkah maju, katanya sambil memberi hormat, "Sip-hun
menyampaikan salam hormat kepada Locianpwe!"
"Tidak perlu banyak adat," jawab Hong-sam.
510 Dengan hormat Sip-hun menyodorkan sebuah kartu dengan kedua tangannya, katanya, "Bulim-
bengcu Ji-locianpwe dan guruku sama menunggu di luar pintu, entah Hong-locianpwe
sudi bertemu atau tidak?"
"Kalau Sacek bilang tidak, memangnya mereka takkan naik kemari?" jengek Lui-ji.
Sip-hun menjawab dengan tetap menunduk, "Tecu hanya melaksanakan tugas belaka, urusan
lain tidak tahu menahu."
"Habis apa yang kau tahu?" tanya Lui-ji.
"Apapun tidak tahu," jawab Sip-hun.
"Hm, murid Lo-cinjin kenapa tidak becus begini?" ejek Lui-ji.
"Guru pandai tidak mempunyai murid baik, memang inilah yang selalu disesalkan oleh
guruku," kata Sip-hun dengan tersenyum.
Nyata bukan saja dalam hal bertanya-jawab Tosu muda ini selalu sopan santun, bahkan
apapun orang mencemoohkan dia, semuanya dia terima tanpa membantah, sedikitpun tidak
marah. Sungguh aneh.
Selama hidup Cu Lui-ji belum pernah melihat orang muda yang berwatak seramah dan
sesabar ini, keruan ia menjadi melenggong sendiri.
Dalam pada itu berkatalah Hong-sam sianseng, "Lo-cinjin mempunyai murid seperti kau ini,
beliau boleh dikatakan sangat bahagia dan tiada penyesalan sedikitpun."
"Ah, Cianpwe terlalu memuji, Tecu menjadi malu diri," jawab Sip-hun cepat sambil memberi
hormat. "Jika demikian, bolehlah kau sampaikan kepada gurumu, katakan orang she Hong menantikan
kedatangannya di sini," kata Hong-sam kemudian.
Kembali Sip-hun memberi hormat sambil mengiakan.
Perlahan ia lantas membalik tubuh dan melangkah turun, tetap ramah dan sabar, sedikitpun
tidak gugup dan ter-buru2.
Lui-ji menjengek pula, "Hm, sudah jelas datang hendak membunuh orang, tapi justeru
berlagak ramah segala, sungguh memuakkan!"
Suaranya cukup keras dan sengaja diperdengarkan kepada Sip-hun, akan tetapi Sip-hun tidak
memberi reaksi apa2, seperti tidak mendengar saja.
Dengan suara tertahan Hong-sam sianseng berkata, "Orang2 ini sama2 berkedudukan sebagai
seorang guru besar suatu aliran tersendiri, dengan sendirinya tindak tanduk mereka menjaga
gengsi agar tidak menurunkan derajat mereka. Hendaklah diketahui, menghormati orang lain
adalah sama dengan menghormati dirinya sendiri."
511 Meski di mulut Lui-ji tidak berani bicara apa2 lagi, namun di dalam hati dia tetap penasaran
dan tidak bisa menerima sikap kawanan pendatang itu.
Yang diminta naik ke atas loteng akhirnya datang juga. Mereka tetap tidak mau kehilangan
sopan santun, lentera yang mereka bawa digantungkan pada tangga loteng dan tidak dibawa
serta ke atas, di tengah remang2 cahaya lentera itu, seorang telah mendahului naik ke atas
loteng. Tertampak orang itu berwajah putih bersih, sikapnya tenang dan sopan. Dia inilah Ji Hong-ho.
Hendaklah diketahui, meski ilmu silat dan nama Lo-cinjin lebih tinggi setingkat daripada Ji
Hong-ho, tapi jelek2 Ji Hong-ho bergelar Bu-lim-bengcu atau ketua perserikatan dunia
persilatan, siapapun tidak boleh berjalan di depannya.
Diam2 Lui-ji membatin, "Hm, jelas2 mereka tahu kami takkan pergi, makanya mereka
sengaja berlagak tertib dan sopan begini untuk naik ke sini, kalau tidak, mustahil kalau
mereka tidak menerjang kemari seperti kawanan anjing gila."
Begitu melihat Ji Hong-ho, seketika darah panas bergolak dalam dada Ji Pwe-giok, hampir
saja ia tidak dapat menahan emosinya, syukur dia masih dapat menahan diri.
Dilihatnya Ji Hong-ho sedang memberi hormat dan berkata, "Wanpwe Ji Hong-ho dari
Kanglam, sudah lama mengagumi nama kebesaran dan keluhuran budi Hong-locianpwe, hari
ini Cianpwe sudah menerima kunjunganku, sungguh sangat beruntung dan berterima kasih."
"Jadi Anda inilah Bu-lim-bengcu seluruh dunia sekarang ini?" tanya Hong-sam sianseng
dengan hambar...
"Ah, tidak berani," jawab Ji Hong-ho dengan rendah hati.
Hong-sam sianseng lantas mengalihkan pandangannya ke arah lain, dia seperti tidak sudi
memandangnya lagi, se-olah2 memandang hina terhadap Bu-lim-bengcu ini dan juga rada
kecewa. Dengan dingin ia hanya berkata, "Baik sekali, silahkan duduk."
Dalam pada itu tiba2 terendus bau harum semerbak menusuk hidung, seketika air muka Kwe
Pian-sian berubah, memangnya dia berduduk jauh di pojokan sana, sekarang dia malah terus
melengos dan meringkuk di belakang Ciong Cing dengan sembunyi2.
Segera Ji Pwe-giok tahu Hay-hong Hujin yang telah datang. Hatinya juga mulai berdetak, ia
tidak tahu apakah Lim Tay-ih ikut datang atau tidak"
Di bawah remang cahaya lentera, Hay-hong Hujin kelihatan anggun, cantik tiada
bandingannya. Iapun melihat Pwe-giok berada di situ, dia seperti tersenyum, lalu dia memberi hormat kepada
Hong-sam dan berkata, "Kun Hay-hong dari Kohsoh menyampaikan salam hormat kepada
Hong-kongcu, baik2kah Kongcu?"
512 Perempuan sejelita ini, sekalipun sama2 perempuan juga ingin memandangnya beberapa
kejap lebih banyak. Siapa tahu Hong-sam sianseng tetap bersikap tawar saja, jawabnya tak
acuh, "Baik, silahkan duduk."
Menyusul muncul lagi seorang dengan baju compang-camping, gagah dan angkuh tanpa
memberi hormat.
Tapi sinar mata Hong-sam lantas gemerdep, tegurnya, "Apakah ini Pangcu dari Kaypang?"
"Ya, Ang-lian-hoa," jawab orang itu.
Tanpa menunggu dipersilahkan duduk, segera ia berduduk di ambang jendela.
Ji Hong-ho dan Kun Hay-hong masih tetap berdiri, sebab di atas loteng kecil ini hakekatnya
tidak ada tempat duduk lain.
Se-konyong2 terdengar suara 'dung' satu kali, seorang Tojin pendek kecil melangkah ke atas
loteng. Begitu mendadak dan cepat, tahu2 dia sudah muncul di ujung tangga loteng, se-olah2
cara naiknya hanya satu kali langkah saja lantas sampai di atas.
Dengan sorot mata yang tajam Tojin ini menatap Hong-sam sianseng dan menegur, "Kau
inikah Hong-sam"!"
"Dan kau inikah Lo-cinjin?" mendadak Lui-ji mendahului menjawab.
Lo-cinjin menjadi gusar, "Kurang ajar! Masa namaku boleh sembarangan dipanggil oleh
budak ingusan seperti kau ini?"
Tidak kurang ketusnya, Lui-ji balas menjengek, "Hm, memangnya nama Sacek juga boleh
sembarangan di-sebut2 oleh orang kerdil semacam kau?"
Saking gusarnya Lo-cinjin sampai melotot, matanya se-akan2 menyemburkan api, mendadak
ia berteriak, "Sip-hun, naik ke sini!"
Baru lenyap suaranya, dengan sangat hormat tahu2 Sip-hun sudah berdiri di sampingnya,
katanya dengan perlahan, "Adakah suhu memberi sesuatu pesan?"
"Cara bicara budak cilik ini tidak bersih, coba kau sikat mulutnya," bentak Lo-cinjin.
Sip-hun mengiakan.
Meski cukup cepat mulutnya mengiakan, tapi kaki tetap tidak bergerak, tetap berdiri di
tempatnya. Lo-cinjin menjadi gusar, bentaknya pula, "Ayo, kenapa tidak lekas kau hajar dia?"
Tapi Sip-hun lantas menunduk dan tetap tidak bergeser selangkahpun.
"He, apakah kau tuli?" teriak Lo-cinjin dengan murka.
513 "Tecu tidak tuli," jawab Sip-hun, tetap perlahan dan halus.
"Kalau tidak tuli, kenapa tidak lekas kau hajar dia?" omel Lo-cinjin lagi.
"Tecu tidak berani," kata Sip-hun dengan menunduk.
"Kurang ajar! Memangnya apa yang kau takuti?" damprat Lo-cinjin sambil mencak2.
"Sekalipun Hong-sam akan merintangi kau, tentu aku yang akan menghadapi dia. Biarkan
murid lawan murid dan guru melawan guru, kenapa kau takut, kenapa kau tidak berani?"
"Memang Tecu tidak ... tidak berani," jawab Sip-hun.
Mendadak sebelah tangan Lo-cinjin terus menampar, 'plok', kontan muka Sip-hun merah
bengap. "Kau mau maju ke sana tidak?" bentak Lo-cinjin dengan murka.
Meski muka Sip-hun seketika tembem seperti kue apem karena gamparan sang guru, tapi dia
tetap tenang dan sabar, sedikitpun tidak memperlihatkan sesuatu perasaan, jawabnya dengan
suara halus, "Selamanya Tecu tidak berani bergebrak dengan kaum wanita."
Kontan Lo-cinjin berjingkrak dan menampar pula sambil membentak, "Bila perempuan itu
akan membunuh dirimu, apakah akan kau julurkan kepalamu untuk dipenggal sesukanya?"
Sembari berjingkrak, sekaligus ia telah menggampar beberapa kali.
Sip-hun tetap berdiri diam saja, semua gamparan sang guru itu diterima tanpa menghindar dan
tidak mengelak, malahan dengan tersenyum ia menjawab, "Nona cilik ini kan tidak
bermaksud membunuh diriku."
Semua orang sama melongo heran dan geli menyaksikan pertunjukan gratis tersebut. Sungguh
tak terbayangkan oleh mereka bahwa di dunia ini terdapat guru begini dan juga murid
demikian. Lui-ji sangat senang juga menyaksikan pertunjukan lucu itu, diam2 iapun mendongkol
terhadap Tojin pemberang itu, ia tidak tahan, tiba2 ia berkata pula, "Yang ku maki adalah
dirimu, mengapa kau tidak berani turun tangan sendiri?"
Lo-cinjin berjingkrak seperti orang kebakaran jenggot, teriaknya murka, "Jika aku bergebrak
dengan budak ingusan seperti kau ini, apakah takkan ditertawakan orang hingga copot
giginya?" "Huh, tiada hujan tanpa angin menghajar muridnya secara tidak se-mena2, apakah perbuatan
demikian tidak takut ditertawakan orang hingga copot giginya?" jengek Lui-ji.
Semua orang mengira Lo-cinjin pasti akan tambah murka dan bukan mustahil sekali hantam
Cu Lui-ji bisa dibinasakannya.
514 Tak terduga, sampai sekian lama Lo-cinjin melototi anak dara itu, akhirnya, bukannya murka,
sebaliknya ia malah bergelak tertawa dan berseru, "Hahaha! Sungguh budak yang hebat, besar
amat nyalimu!"
Bahwa dia tidak menjadi marah, semua orang jadi melengak pula.
Dalam pada itu Hay-hong Hujin sedang memandangi Cu Lui-ji, tiba2 ia bertanya dengan
suara lembut, "Eh, adik cilik, berapakah usiamu tahun ini?"
Dengan acuh tak acuh Lui-ji menjawab, "Kukira selisih tidak banyak dengan engkau?"
"Selisih tidak banyak?" Hay-hong Hujin menegas dengan tertawa geli. "Apakah kau tahu
berapa umurku?"
Lui-ji tidak lantas menjawab, ia pandang orang sejenak, lalu menjawab dengan sikap
sungguh2, "Melihat wajahmu, kukira usiamu kira2 baru dua puluhan."
"Apa iya!?" ucap Hay-hong Hujin dengan tertawa, tanpa terasa ia meraba mukanya sendiri.
"Dan kalau melihat tubuhmu, kukira juga baru berumur dua puluhan," kata Lui-ji pula sambil
memandangi tubuh orang yang bernas itu.
Maka senanglah hati Hay-hong Hujin, ia tertawa nyaring seperti bunyi keleningan, katanya,
"Ai, adik cilik ini benar2 pintar bicara."
Maklumlah, setiap perempuan di dunia ini tentu suka dipuji. Tiada seorang perempuan yang
tidak senang kalau orang memujinya masih cantik dan awet muda. Lebih2 perempuan yang
sudah setengah baya, biarpun muka sudah mulai keriput, tapi pasti gembira kalau orang bilang
dia baru berumur delapan belas.
Dengan lagak seperti sangat kagum Lui-ji lantas berkata pula, "Apalagi kalau melihat
tangannya yang putih dan halus ini, kukira umurmu paling2 baru delapan belas."
Hay-hong Hujin tertawa senang pula, tanpa terasa ia menjulurkan kedua tangannya, se-akan2
hendak dipertunjukkan kepada semua orang.
Di luar dugaan, dengan perlahan Lui-ji lantas menyambung lagi, "Dan kalau ketiga macam
tadi dijumlahkan, total jenderal menjadi 58, maka kukira umurmu belum lagi genap 60, betul
tidak?" Ucapan Lui-ji ini hampir saja meledakkan tertawa semua orang, sampai2 Hong-sam yang
selalu bersikap dingin itupun merasa geli.
Akan tetapi di hadapan Hay-hong Hujin, siapapun tidak berani tertawa.
Pedang Berkarat Pena Beraksara 12 Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long Durjana Dan Ksatria 10