Renjana Pendekar 14
Renjana Pendekar Karya Khulung Bagian 14
Sudah barang tentu, yang paling runyam adalah Hay-hong Hujin sendiri, sungguh ia tidak
menyangka dirinya akan terkecoh oleh seorang dara cilik, seketika ia menjadi merah padam
dan tidak dapat bersuara lagi.
515 Syukurlah Pwe-giok lantas bertindak. Betapapun ia masih ingat kebaikan Hay-hong Hujin
ketika menemuinya di bawah sinar purnama dengan lautan bunga yang semerbak itu. Iapun
teringat kepada murid Hay-hong Hujin, yaitu Lim Tay-ih, tunangannya atau calon isterinya.
Maka ia coba menyimpangkan persoalan dan bertanya kepada Ji Hong-ho, "Yang berkunjung
kemari apakah cuma Anda berempat saja?"
Ji Hong-ho tersenyum, jawabnya, "Kami tahu tempat kediaman Hong-locianpwe ini agak
kurang leluasa menerima kunjungan orang banyak, sebab itulah beberapa sahabat terpaksa
kami tinggalkan menunggu di bawah sana."
Cu Lui-ji mendengus, "Hm, tentunya kau kira melulu kalian berempat saja sudah lebih
daripada cukup untuk menghadapi kami bukan" Atau, kalian kuatir kami akan lari, maka lebih
dulu begundal kalian telah diatur menjaga di sekitar tempat ini?"
Ji Hong-ho tidak menjadi marah, dengan tak acuh ia menjawab, "Nona memang pintar bicara,
tapi kalau nona mengira dengan kata2 yang tajam dapat kau bikin jeri kami, maka salahlah
kau. Coba pikirkan, dengan tokoh2 besar seperti Lo-cinjin dan Hay-hong Hujin ini, apakah
beliau ini sudi bertengkar mulut dengan seorang nona cilik hanya untuk kepuasan seketika
saja?" "Tapi mengapa sekarang kau sendiri bertengkar mulut denganku?" jawab Lui-ji. "Memangnya
karena kau merasa harga diri dan kedudukanmu terlebih rendah?"
Ji Hong-ho jadi melengak dan mendongkol, ia pikir kalau adu mulut dengan seorang anak
dara hanya akan menurunkan pamornya sendiri saja, terpaksa ia berlagak tidak dengar olok2
Cu Lui-ji, ia berdehem, lalu berkata terhadap Hong-sam, "Maksud kedatangan kami ini,
kukira Hong-locianpwe tentunya sudah tahu."
"Oo!" demikian Hong-sam sianseng hanya bersuara seperti orang ingin tahu.
Ji Pwe-giok juga berdiri tenang dan mendengarkan di samping.
Lalu Ji Hong-ho menyambung ucapannya, "Tentunya Hong-locianpwe juga tahu bahwa orang
yang kami cari dan akan kami ambil ialah nona Cu ini."
"Ooo?" kembali Hong-sam bersuara seperti keheranan.
Maka Ji Hong-ho melanjutkan lagi, "Soalnya nona Cu ini beberapa tahun akhir2 ini telah
berbuat berbagai urusan yang menimbulkan rasa ketidakpuasan para kawan Kangouw. Dalam
kedudukanku selaku Bengcu, terpaksa kupenuhi permintaan orang banyak dan secara
sembrono berkunjung kemari demi mencari keadilan. Dalam hal ini, asalkan Hong locianpwe
dapat memakluminya dan membiarkan kami membawa pergi nona Cu ini, maka Cayhe akan
menjamin persoalan ini pasti akan ku selesaikan secara adil dan jujur, bahkan pasti takkan
mengganggu ketenangan Hong-locianpwe yang perlu tetirah lebih lama lagi."
"Ooo!?" lagi2 Hong-sam hanya bersuara singkat saja.
Ber-turut2 ia bersuara 'O' tiga kali tanpa memberi reaksi sedikitpun. Hal ini membuat Ji
Hong-ho jadi melengak malah, sebab ia tidak tahu apa artinya 'O' itu, apakah setuju dan
menerima dengan baik atau menolak permintaannya?"
516 Sampai sekian lama baru terdengar Hong-sam sianseng menghela nafas panjang, lalu berkata,
"Bahwa kau berani datang kepada orang she Hong untuk mengambil orang, sungguh nyalimu
tergolong tidak kecil."
Ji Hong-ho tertawa hambar, ucapnya, "Ini disebabkan Hong-sam sianseng sekarang sudah
bukan lagi Hong-sam sianseng di masa dahulu."
Hong-sam tidak menjadi marah. Tiba2 sorot matanya beralih ke arah Lo-cinjin, katanya,
"Yang bicara adalah dia, yang akan bertempur mungkin ialah dirimu, begitu bukan?"
Lo-cinjin bergelak tertawa, jawabnya, "Hahahaha! Memang betul, walaupun Hong-sam
sekarang sudah bukan lagi Hong-sam dahulu, tapi apapun juga, kecuali diriku, mungkin
belum juga ada orang yang mampu melawan kau."
"Hehe, bagus," jengek Hong-sam sianseng. "Site (adik ke empat, maksudnya Ji Pwe-giok),
bolehlah kau maju bergebrak dengan dia."
Pwe-giok mengiakan terus melompat maju, ucapnya sambil memberi hormat kepada Locinjin.
"Silahkan Totiang memberi petunjuk beberapa jurus."
Bahwa yang ditantang ialah Hong-sam sianseng dan dia tidak maju sendiri, juga bukan Cu
Lui-ji yang maju melainkan Ji Pwe-giok yang diajukan sebagai jagonya, hal ini benar2 di luar
dugaan siapapun juga. Lo-cinjin, Ji Hong-ho, Ang-lian-hoa, dan Kun Hay-hong sama
melenggong bingung.
Segera Lo-cinjin berteriak dengan gusar, "Busyet! Masa kau suruh aku bergebrak dengan
bocah yang masih berbau pupuk ini. Memangnya apa maksudmu sebenarnya?"
"Masa maksudnya tidak kau pahami?" tanya Cu Lui-ji dengan perlahan.
"Ya, aku justeru tidak paham!" teriak Lo-cinjin.
"Rupanya tidak cuma badanmu saja kerdil, otakmu juga kerdil," demikian Lui-ji ber-olok2.
"Soalnya hanya dengan sedikit kemahiran mu ini lantas ingin bergebrak dengan Sacek sendiri,
maka kau masih ketinggalan sangat jauh. Kelak kalau kejadian ini tersiar, bukankah di dunia
Kangouw akan ramai orang bilang Sacek hanya mampu mengalahkan seorang kecil macam
kau." Seketika Lo-cinjin berjingkrak pula, kembali ia meraung gusar, "Tapi kenapa aku juga
disuruh bergebrak dengan anak ingusan ini" Sedangkan mengalahkan muridku saja dia tidak
mampu..." "Hm, berdasarkan apa kau berani meremehkan dia?" jengek Hong-sam sianseng. "Seumpama
Hong-sam sekarang bukan lagi Hong-sam dahulu, akan tetapi Ji Pwe-giok sekarang jelas juga
bukan Ji Pwe-giok pada waktu yang lalu."
Sinar mata Ji Hong-ho tampak gemerdep, tiba2 ia berkata, "Jika demikian, jadi urusan hari ini
cukup diandalkan padanya dan segala persoalannya akan dapat diputuskan berdasarkan
pertempurannya ini?"
517 "Ya, begitulah!" jawab Hong-sam sianseng dengan tegas.
"Dan kalau dia kalah, lalu bagaimana?" tanya Ji Hong-ho.
"Bila Sicek (paman ke empat) kalah, segera ku ikut pergi bersama kalian dan terserah akan
diapakan kalian!" seru Lui-ji lantang.
"Apakah ucapan ini dapat dipercaya?" tanya Ji Hong-ho pula.
"Hm, orang macam kau juga berani menyangsikan kepercayaanku?" jengek Hong-sam
sianseng. Terunjuklah rasa kegirangan pada sinar mata Ji Hong-ho, cepat ia berseru, "Jika demikian,
ayolah Totiang, lekas turun tangan, mau tunggu kapan lagi?"
"Kau juga menyuruh aku bergebrak dengan anak kemarin ini?" raung Lo-cinjin.
Dengan tersenyum Ji Hong-ho menjawab, "Tapi Ji-Kongcu ini sekarang sudah menjadi
saudara Hong-sam sianseng, bila Totiang bergebrak dengan dia kan tidak dapat dianggap
orang tua melabrak anak muda lagi?"
"Betul," tukas Hay-hong Hujin, "jika saudara Hong-sam sianseng yang bergebrak dengan
Totiang, apapun juga tak dapat dikatakan telah menurunkan derajat Totiang."
"Akan tetapi, bagaimana dengan janji pihak kalian apabila Totiang kalian yang kalah?" tanya
Lui-ji tiba2. Kembali Lo-cinjin berjingkrak, teriaknya dengan gemas, "Jika aku kalah, segera aku
menyembah padanya dan memanggilnya Suhu!"
"Wah, untuk ini kukira tidak perlu," kata Lui-ji dengan tertawa. "Jika Sicek menerima seorang
murid yang setiap hari senantiasa marah2 saja seperti dirimu ini, bisa jadi Sicek akan kepala
pusing tujuh keliling."
Lo-cinjin meraung pula dengan gusar, "Dalam 50 jurus, bilamana tidak dapat ku robohkan
dia, seketika juga ku angkat kaki dari sini."
Sebenarnya dia masih enggan bertarung dengan Pwe-giok yang dianggapnya tidak sepadan.
Tapi sekarang dia sudah benar2 murka sehingga berubah menjadi tidak boleh tidak harus
bertarung dengan Pwe-giok, kini tiada seorangpun yang dapat mencegah akan niatnya itu.
Dengan tertawa Lui-ji menjawab, "Jangankan cuma 50 jurus... jadikan saja 500 jurus juga
belum tentu dapat kau sentuh ujung baju Sicek. Hanya saja, meski demikian pernyataanmu,
lalu bagaimana pula dengan begundalmu itu?"
"Baiklah, jadi 500 jurus begitu," kata Ji Hong-ho dengan tersenyum. "Dalam 500 jurus itu bila
Lo-cinjin tidak dapat mengalahkan Ji-kongcu ini, seketika juga kami akan angkat kaki dari
sini dan takkan mengganggu gugat padamu lagi."
518 "Apakah pernyataannya juga mewakili kau?" tanya Lui-ji sambil memandang Hay-hong
Hujin. "Ji-kongcu adalah sahabatku, yang kuharap semoga Lo-cinjin hanya merobohkannya saja
tanpa melukainya," ucap Hay-hong Hujin dengan tersenyum.
"Dan kau?" tanya Lui-ji terhadap Ang-lian-hoa.
Sinar mata Ang-lian-hoa tampak guram, siapapun tidak tahu apa yang sedang dipikirkan ketua
Kaypang ini. Dia hanya menjawab dengan dingin, "Setuju!"
Semua orang, termasuk Ang-lian-hoa, siapapun tidak percaya Ji Pwe-giok mampu melawan
Lo-cinjin hingga 500 jurus. Sebab mereka sudah sama menyaksikan kepandaian Pwe-giok,
kalau anak muda itu mampu melawan Sip-hun hingga 500 jurus, hal ini boleh dikatakan
cukup hebat, dan sekarang kalau dia sanggup menahan 50 kali serangan Lo-cinjin, maka hal
ini benar2 suatu keajaiban.
"Jika sudah diputuskan begini, jadi semua orang sudah setuju, tiada orang lain lagi yang bakal
rewel?" demikian Lui-ji menegas.
"Siapa yang berani rewel?" Lo-cinjin meraung pula. "Jika ada yang berani rewel, segera
kupuntir kepalanya di sini juga.
Dia seperti tidak sabar lagi, segera ia berteriak pula, "Nah, bocah she Ji, ayolah mulai serang
dulu, aku akan mengalah tiga jurus padamu."
Sejak tadi Pwe-giok diam2 saja tanpa memberi komentar.
Ia tahu tugas yang dipikulnya sekarang maha berat, sesungguhnya dia sangat tegang dan rada
kebat-kebit, tapi ketika benar2 sudah berhadapan dengan Lo-cinjin, rasa tegangnya lantas
mulai kendur. Diam2 ia berkata kepada dirinya sendiri, "Sabarlah! Apapun juga Lo-cinjin juga cuma
seorang manusia belaka, kenapa aku harus jeri kepadanya?"
Karena lagi memikirkan dirinya sendiri, apa yang dipercakapkan orang lain tiada satu katapun
diperhatikannya, apa yang diperbuat orang lain juga sama sekali tidak dilihatnya.
Perhatiannya kini sudah tercurahkan seluruhnya ke tubuh Lo-cinjin saja.
Tiba2 ia melihat kedua mata Lo-cinjin, kedua alisnya dan kedua tangannya tidak sama rata
besarnya, yang sebelah kanan lebih kecil sedikit daripada yang sebelah kiri. Pada lubang
hidungnya kelihatan menongol tiga utas rambut hitam dan sangat kasar, rambut hidung itu
terlalu panjang hingga ber-getar2 di atas bibir. Pada leher bajunya di depan dada ada sebagian
tergores robek sehingga kelihatan baju dalamnya yang putih.
Lalu diketahui pula kelopak mata kiri Lo-cinjin sedang me-lonjak2, mungkin sedang kedutan,
ujung mulutnya juga ber-kerut2 seperti orang kejang. Kelima jari tangan kanan juga sama
bergemetar, tapi jari tangan kiri terjulur kaku lurus.
519 Apa yang dilihat Pwe-giok itu sebenarnya sedikitpun tidak menarik perhatian orang, akan
tetapi dalam keadaan perhatian Pwe-giok lagi dipusatkan kepada Lo-cinjin seorang saja,
setiap ciri yang paling kecil, tiba2 berubah menjadi begitu leas dan begitu nyata baginya.
Selamanya belum pernah Pwe-giok memperhatikan seseorang dengan sedemikian cermat,
selamanya pula tak terpikir olehnya akan dapat melihat keadaan seseorang dengan sedemikian
jelas. Ia masih terus memandangnya, sampai akhirnya hidung Lo-cinjin itu bagi pandangannya itu
seolah2 telah berubah menjadi sebesar mangkuk, berapa banyak pori2 di atas hidung orang
rasanya seperti dapat dilihatnya dengan jelas...
***** Lo-cinjin sedang berteriak dan meraung, namun Pwe-giok seperti tidak mendengarnya. Sudah
dua kali Lo-cinjin mendesaknya agar anak muda itu lekas mulai, tapi dia masih tetap berdiri
tenang seperti orang linglung, sedikitpun tidak bergerak.
Semua orang menjadi heran, ada yang berpikir, "Jangan2 anak muda ini menjadi ketakutan
dan kesima."
Tanpa terasa tersembul senyuman girang pada ujung mulut Ji Hong-ho.
Lo-cinjin tidak sabar lagi, kembali ia berjingkrak dan meraung, "He, apakah kau..."
Di luar dugaan, sekali ini baru saja kakinya melonjak dan suaranya baru saja bergema, Ji Pwegiok
yang kelihatannya linglung seperti patung itu mendadak melompat maju secepat terbang.
Secepat kilat telapak tangannya juga lantas menabas ke dengkul Lo-cinjin.
Hendaklah dipahami bahwa tokoh besar seperti Lo-cinjin ini, kungfunya boleh dikatakan
sudah mencapai tingkatan yang terlebur menjadi satu dengan jiwa raganya. Pada waktu biasa,
setiap gerak geriknya, sengaja atau tidak sengaja selalu bertindak sesuai dengan kungfunya.
Seperti halnya seorang penari mahir, setiap gerak geriknya pada waktu biasa juga pasti
bergaya jauh lebih indah daripada orang lain.
Sebab itulah, meski Lo-cinjin tampaknya berdiri seenaknya, namun seluruh tubuh se-akan2
juga senantiasa terjaga rapat dan tiada setitik lubangpun untuk diserang.
Tapi, tidak perduli siapapun juga, bilamana sedang marah, selagi berjingkrak seperti orang
kebakaran jenggot, maka setiap gerakannya tentu juga rada teledor, apalagi kalau kedua kaki
sudah terapung di udara dan bukan lagi menendang lawan, maka di bagian bawah pasti akan
memperlihatkan ciri kelemahan.
Dengan memusatkan segenap perhatiannya mengamati lawan, tujuan Pwe-giok justeru ingin
mencari titik kelemahan Lo-cinjin. Maka begitu lawan memperlihatkan kelemahan pada
bagian bawahnya, serentak dia melesat maju, tebasan telapak tangannya justeru menyerang
titik yang paling lemah di tubuh lawan pada sat itu, bagian yang hampir tidak terjaga sama
sekali. 520 Tentu saja Lo-cinjin terkejut, perawakannya yang kurus kecil itu se-konyong2 berputar di
udara, sekaligus kaki dan tangannya balas menyerang Pwe-giok .
Gerakan mengelak sambil balas menyerang atau menyerang untuk menyelamatkan diri ini
ternyata tindakan yang tepat dan hebat. Di sini terbukti bahwa Lo-cinjin memang tidak malu
disebut sebagai tokoh kelas top pada jaman ini, sekalipun menghadapi bahaya tetap tidak
bingung. Pada saat itulah Cu Lui-ji lantas menjengek, "Huh, mau mengalah tiga jurus" Hm...!"
Seperti diketahui, tadi Lo-cinjin menyatakan hendak memberi tiga jurus kepada Pwe-giok.
Tapi sekarang dia bukan cuma mengelak saja, tapi balas menyerang, dengan sendirinya tidak
dapat dianggap sebagai jurus mengalah.
Mendadak terdengar Lo-cinjin bersuit panjang, di tengah suara suitan nyaring itu tahu2
tubuhnya sudah menyurut mundur ke belakang.
Padahal tangan dan kakinya sedang menyerang ke depan, tapi mendadak tubuhnya dapat
menyurut mundur dalam keadaan terapung, kelihatannya jadi seperti ada orang menariknya
dari belakang. Kejadian ini bila dilihat orang biasa, mungkin akan menyangka Tojin kecil itu mahir ilmu
gaib atau sedang main sulap.
Tapi yang hadir di atas loteng ini sekarang hampir boleh dikatakan seluruhnya terdiri dari
jago2 silat kelas satu, semuanya dapat melihat suara suitan Lo-cinjin tadi bukannya tidak ada
gunanya. Dengan bersuit itulah Lo-cinjin mengerahkan hawa murni di dalam tubuhnya dan
dipancarkan. Karena pancaran hawa murni inilah tubuhnya lantas tertolak mundur.
Soal sebab apa pancaran hawa itu dapat membuat orang berbalik terdorong ke belakang, teori
ini dengan sendirinya belum dapat dimengerti orang pada jaman itu. tapi di sini pula setiap
orang dapat menyaksikan betapa hebat Khikang (ilmu mengerahkan hawa dalam perut) Locinjin.
Sampai2 Ang-lian-hoa yang tidak suka sembarangan memuji orang, tanpa terasa iapun
berseru, "Khikang yang hebat!"
Ji Hong-ho tersenyum puas dan bangga, tanyanya pada Ang-lian-hoa, "Menurut pendapat
Pangcu, Ji-kongcu ini kira2 mampu menahan berapa jurus serangan Cinjin?"
Wajah Ang-lian-hoa menampilkan perasaan sayang dan menyesal, jawabnya sesudah berpikir
sejenak, "Kukira paling banyak hanya antara seratus jurus saja."
Ji Hong-ho lantas berpaling ke arah Hay-hong Hujin dan bertanya dengan tersenyum, "Dan
bagaimana pandangan Hujin?"
"Pandangan Ang-lian-pangcu maha tajam, masakan pendapatnya bisa keliru?" ujar Hay-hong
Hujin dengan tersenyum.
521 Sejak awal hingga sekarang Hay-hong Hujin dan Ang-lian-hoa sama sekali tidak memandang
barang sekejap pun ke arah Kwe Pian-sian, se-olah2 di pojok sana hakekatnya tidak terdapat
sesuatu, apalgi ada orang bersembunyi di situ.
Tentu saja diam2 Kwe Pian-sian bergirang karena jejaknya tidak diperhatikan lawan yang
ditakuti itu. Tapi sekarang demi mendengar ucapan mereka, seketika hatinya cemas. Pikirnya,
"Loteng ini hanya sejengkal luasnya, sekalipun aku bersembunyi di sudut segelap ini,
mustahil dengan ketajaman mata mereka tak dapat melihat diriku" Jelas mereka yakin benar2
tiada seorangpun di atas loteng ini yang mampu lolos, makanya mereka sengaja berlagak tak
acuh terhadapku."
Berpikir demikian, seketika keringat dingin membasahi tubuhnya.
Dalam pada itu Lo-cinjin benar2 telah mengalah tiga jurus kepada Pwe-giok, kini dia sudah
mulai melancarkan serangan balasan.
Gaya serangannya tiada memperlihatkan sesuatu tipu istimewa atau gerakan yang luar biasa,
tampaknya tidaklah sesuai dengan nama kebesarannya.
Akan tetapi setelah belasan jurus, daya tekanannya mulai kelihatan hebatnya, serangannya
tambah mantap dan berat.
Gaya serangannya memang tiada sesuatu perubahan yang istimewa dan mengherankan, akan
tetapi antara jurus serangan yang satu dengan serangan berikutnya terpadu sedemikian
rapatnya, terkadang antara dua jurus kelihatan berlawanan, gerak tangan dan arah yang dituju
jelas berbeda. Bila orang lain yang memainkan dua jurus serangan demikian pasti akan
kerepotan atau kalau bisa tentu juga sangat dipaksakan, namun bagi Lo-cinjin ternyata dapat
dimainkan dengan sangat lancar dan serasi se-olah2 jurus yang satu dengan jurus lain
memang sambung menyambung.
Semula Cu Lui-ji rada meremehkan Tojin kerdil ini, diam2 ia lagi melengak, "Hm, rupanya
Lo-cinjin yang termasyhur juga cuma begini saja kemampuannya."
Akan tetapi setelah mengikuti beberapa jurus lagi, mau-tak-mau perasaannya mulai tertekan.
Gerak serangan Lo-cinjin yang kelihatannya lumrah saja itu, makin dipandang makin lihay
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan makin menakutkan. Serangannya tidak banyak variasinya, kalau menghantam ya
menghantam begitu saja seperti sebuah martil besar atau sebuah kapak raksasa, tapi serangan
demi serangan susul menyusul, sambung menyambung tanpa putus.
Melihat gencarnya serangan Lo-cinjin itu, para penonton saja merasa tegang sehingga
bernapas saja hampir2 tak sempat, apalagi Ji Pwe-giok yang langsung menghadapi serangan
dahsyat itu. Dalam cemasnya, Cu Lui-ji coba memandang Hong-sam sianseng sekejap, meski di mulut
tidak bersuara, namun sorot matanya tiada ubahnya seperti ingin bertanya, "Apakah Sacek
yakin jago kita akan sanggup menahan 300 jurus serangan lawan?"
522 Tak terduga Hong-sam sianseng malah terus memejamkan matanya, terhadap pertarungan
mati2an, pertarungan yang menyangkut mati atau hidup, pertarungan yang menyangkut hina
atau jaya namanya itu, sama sekali ia tidak menghiraukan lagi.
Hanya sekejap saja 30 jurus lebih sudah berlangsung, setiap jurus serangan Lo-cinjin semakin
dahsyat dan tambah lihay. Tampaknya Pwe-giok hanya mandah diserang saja, sampai2 tenaga
untuk balas menyerang saja sudah tidak ada lagi.
Begitu berat rasanya Pwe-giok menghadapi lawannya terbukti dari sikapnya yang kelihatan
prihatin, setiap kali dia hendak bergerak, tampaknya kudu berpikir lebih dulu. Padahal
pertarungan di antara tokoh silat kelas tinggi mana ada peluang baginya untuk berpikir segala.
Maka setelah mendekati 50 jurus, unggul dan asor atau kalah dan menang tampaknya sudah
jelas, sudah pasti. Semua orang yakin, apabila Ji Pwe-giok sanggup bertahan sampai 100 jurus
lebih, maka hal inipun sudah terhitung ajaib.
Tiba2 terdengar Ji Hong-ho berkata dengan tertawa, "Haha, pertarungan sebagus ini, sungguh
jarang ditemui selama ratusan tahun ini. Kalau tontonan menarik ini di-sia2kan, sungguh
terasa sangat sayang."
Dengan tersenyum Sip-hun lantas menanggapi, "Jika demikian, biarlah Tecu mengerek semua
kerai jendela loteng ini agar setiap orang dapat ikut menyaksikannya, boleh?"
"Hah, bagus sekali usulmu!" seru Ji Hong-ho dengan bergelak.
Tanpa menunggu perintah lagi, terus saja Sip-hun melipat semua kerai jendela.
Suara angin di luar masih men-deru2 dan menyeramkan, malam tambah kelam, bumi dan
langit se-olah2 penuh diliputi oleh suasana ketegangan.
Di atas wuwungan rumah di sekeliling loteng kecil itu ternyata sudah penuh ditongkrongi
orang, semuanya ingin menonton pertarungan menarik ini meski harus menahan dinginnya
udara malam. Dan begitu kerai jendela dikerek, seketika orang yang menongkrong di atas
wuwungan rumah itu bertambah banyak.
Tadi Kwe Pian-sian bermaksud kabur pada waktu keadaan kemelut, tapi sekarang barulah ia
sadar biarpun mendadak dia tumbuh sayap juga jangan harap akan dapat mabur.
Jilid 21________
Kwe Pian-sian menghela napas, ia tahu tiada gunanya lagi main sembunyi-sembunyi.
Sekalian ia lantas berdiri, dia mengangguk pelahan terhadap Hay-hong Hujin dengan
tersenyum, sikapnya seolah kejut, heran dan juga girang, seperti kekasih yang mendadak
berjumpa kembali setelah berpisah sekian tahun lamanya. Kaceknya cuma dia tidak terus
berlari maju dan merangkul atau memegang tangannya untuk menyatakan rasa rindunya
selama berpisah itu.
Namun Hay-hong Hujin tetap tidak memandangnya barang sekejap pun, seakan-akan di situ
tiada terdapat seorang macam Kwe Pian-sian. Sebaliknya ia malah berkata terhadap Ji Hongho
dengan tersenyum, "Ada satu hal yang sangat mengherankan aku?"
523 "Hujin mengherankan hal apa?" tanya Ji Hong-ho.
"Coba Bengcu memberi komentar, bagaimana daya pukulan Lo-cinjin kalau dibandingkan
mendiang Thian-kang Totiang?" tanya Hay-hong Hujin.
Ji Hong-ho tersenyum, jawabnya, "Ilmu sakti Kun-lun-pay tiada bandingannya. Betapa hebat
kekuatan ilmu pukulan Thian-kang Totiang bahkan sudah lama dikagumi oleh sesama rekan
dunia persilatan, cuma....."
"Cuma kalau dibandingkan Lo-cinjin masih selisih satu tingkat, begitu bukan?" tukas Hayhong
Hujin. Ji Hong-ho hanya tersenyum saja tanpa menjawab. Diam tanpa menyangkal berarti
membenarkan. Maka Hay-hong Hujin berkata pula, "Belasan tahun yang lalu aku ikut almarhum guruku ke
Kun-lun-san, kebetulan menyaksikan Thian-kang Totiang sedang bergebrak dengan orang,
lawannya seperti seorang Lama dari benua barat, kekuatannya juga sangat mengejutkan."
"Mungkin itulah Ang-hun Lama, satu di antara tiga tokoh Lama besar yang terkenal, orang ini
sudah lama bermusuhan dengan Kun-lun-pay, bukan cuma satu kali saja dia menyatroni Kunlun-
san." "Waktu itu jarak berdiri kami dengan kalangan pertempuran mereka sedikitnya ada tujuh atau
delapan tombak, akan tetapi setiap kali Thian-kang Totiang menyerang, dengan jelas kulit
muka terasa perih oleh samberan angin pukulannya, bahkan ujung baju juga sama tergetar dan
berkibar. Tapi sekarang Lo-cinjin bertempur di depan kita dalam jarak sedekat ini, mengapa
sedikitpun tidak kurasakan tenaga pukulannya."
"Hal ini disebabkan Lo-cinjin sudah dapat menguasai tenaga pukulannya dengan sesuka hati,
setiap kali dia memukul, tenaga pukulannya hanya dipusatkan kepada Ji-kongcu seorang saja,
sedikitpun tidak terbuang ke tempat lain, dan bila serangan tidak kena sasaran, segera ia tarik
kembali tenaga pukulannya, sebab itulah beban yang harus dihadapi Ji-kongcu cukup berat,"
setelah tertawa, lalu Ji Hong-ho menyambung, "Kalau tidak begitu, jangan kau dan diriku,
bahkan seluruh loteng kecil ini mungkin sudah tergetar runtuh sejak tadi."
Hay-hong Hujin menghela napas, ucapnya dengan pelahan, "Untung aku bukan Ji Pwe-giok,
kukira saat ini dia tentu sangat tidak enak."
"Hm, juga belum tentu tidak enak sebagaimana dugaanmu," jengek Cu Lui-ji.
"He, kau tahu" Darimana kau tahu?" tanya Hay-hong Hujin dengan tertawa.
Namun Cu Lui-ji tidak menggubrisnya lagi, dia sibuk bergumam dan menghitung jurus
pertempuran mereka, "Sembilan puluh.... sembilan satu..... sembilan dua....."
Cara menghitungnya sesungguhnya terlalu cepat, padahal sampai saat itu antara Lo-cinjin dan
Ji Pwe-giok paling-paling baru bergebrak delapan puluh jurus. Akan tetapi rombongan Ji
524 Hong-ho sudah yakin Pwe-giok pasti tidak sanggup bertahan sampai 300 jurus, sebab itulah
tiada orang yang perduli cara berhitung Lui-ji itu.
Saat mana Pwe-giok sudah mirip sebuah paku, meski terus menerus dihantam oleh sebuah
palu raksasa, tapi bila palu ingin membuat bengkok pakunya juga tidak terlalu gampang.
Tiba-tiba Pwe-giok merasakan daya serang Lo-cinjin itu meski hebat, tapi ternyata tidak
terlalu mendesak, terkadang bila dia menghadapi serangan berbahaya dan seketika sukar
menemukan cara untuk mematahkannya, Lo-cinjin berbalik seperti sengaja memberi
kelonggaran padanya dan memberi waktu berpikir baginya.
Hal ini tentu saja tidak disia-siakan oleh Pwe-giok, caranya menyerang atau menangkis
sengaja lebih diperlambat.
Sebaliknya Cu Lui-ji yang menghitung jumlah gebrakan mereka tambah cepat malah,
berturut-turut ia berseru, "Seratus satu, seratus dua, seratus tiga....."
Ji Hong-ho memandang Ang-lian-hoa sekejap, ucapnya dengan tersenyum, "Seratus jurus
sudah lalu, tak nyana dia masih sanggup bertahan."
"Ya, sungguh tak tersangka." jawab Ang-lian-hoa dengan tak acuh.
Tiba-tiba Sip-hun berkata: "Tenaga dalam Ji-kongcu ini tampaknya mendadak bertambah
lipat ganda, betul tidak?"
"Ya," jawab Ang-lian-hoa.
"Tenaga dalam seorang dapat bertambah sebanyak ini hanya dalam waktu setengah hari ini,
hal ini benar-benar sukar untuk dimengerti," ujar Sip-hun dengan gegetun.
Ji Hong-ho tersenyum, katanya, "Tapi Toheng tidak perlu kuatir, biarpun tenaga dalamnya
lebih kuat lagi juga tetap tidak mampu menahan seratus jurus serangan gurumu."
"Tapi saat ini seratus jurus kan sudah lebih?" ujar Sip-hun.
"Ah, hal itu disebabkan gurumu sengaja hendak mengetahui tinggi-rendah dan asal-usul ilmu
silat lawan saja." kata Ji Hong-ho. "Kalau tidak, pada jurus ke-86 tadi jelas Ji-kongcu sudah
tidak sanggup bertahan lagi. Betul tidak?"
Ucapannya itu ditujukan kepada Sip-hun, tapi suaranya itu justeru diperkeras seakan-akan
kuatir tidak terdengar oleh Lo-cinjin.
Benar saja, Lo-cinjin lantas tertawa dan berkata, "Betul, aku memang ingin tahu Kungfu hebat
apa yang diajarkan Hong Sam kepada bocah ini. Tapi sekarang rasanya sudah cukup bagiku!"
Di tengah suara gelak tertawanya itu mendadak ia pergencar serangannya.
Tak terduga, setiap serangannya selalu dapat dipatahkan oleh Pwe-giok, kalau lawan bergerak
dan menyerang cepat, maka iapun ikut cepat.
525 Hendaklah maklum, sekalipun Ji Pwe-giok sangat pintar dan cerdik, walaupun Hong-sam
sianseng juga tidak sayang mengajarkan segenap Kungfunya, tapi dalam waktu singkat yang
cuma setengah hari itu apa yang dapat dipahaminya tentu juga sangat terbatas dan tidak
banyak. Sebab itulah jurus serangan yang digunakannya untuk melawan Lo-cinjin ini kebanyakan
adalah ciptaannya sendiri secara darurat dan karena itu pula gerak-geriknya dengan sendirinya
tidak leluasa. Akan tetapi setelah lewat seratus jurus, tiba-tiba kecerdasannya tambah meningkat, kini jurus
serangan baru ciptaannya sudah tambah banyak, gerak perubahan jurus serangannya juga
tambah apal. Hal ini serupa main catur dengan orang yang ahli, biarpun baru mulai belajar,
lama-lama tentu juga akan terdesak hingga mendapatkan ilham, tanpa terasa akan memainkan
beberapa langkah ajaib yang sama sekali tak disadarinya.
Dan jurus serangan ciptaan Pwe-giok sekarang juga timbul lantaran terdesak dan terpaksa.
Dalam pada itu Cu Lui-ji masih terus menghitung, "Seratus enam puluh satu, enam dua, satu
enam tiga...."
Tiba-tiba Ji Hong-ho tertawa, katanya, "Ah, apakah hitungan nona tidak salah" Sampai saat
ini kan baru jurus ke 153 saja?"
Tadinya ia anggap tidak menjadi soal meski nona cilik itu menghitung lebih cepat beberapa
jurus, tapi sekarang setelah menyaksikan ketahanan Ji Pwe-giok yang luar biasa, bahkan jurus
serangannya yang baru bertambah lihay, akhirnya ia tidak tahan dan menyatakan
keberatannya terhadap cara hitung Cu Lui-ji.
Lui-ji tertawa terkikik-kikik, katanya, "Bukankah kalian penuh keyakinan akan menang"
Kenapa sekarang kaupun mulai berkuatir" .... Satu enam tujuh, satu enam delapan.... satu
enam sembilan...." begitulah dia masih terus menghitung dengan caranya sendiri, cara
bagaimana orang memprotesnya sama sekali tak dihiraukannya.
"Ya, jika nona tetap menghitung cara demikian juga tidak beralangan, hanya saja nanti harus
dipotong delapan jurus," ujar Ji Hong-ho dengan tertawa.
Mendadak Lo-cinjin meraung gusar, "Biarpun dia menghitung lebih banyak delapan jurus
juga tidak menjadi soal, memangnya dia mampu menyambut 300 jurus seranganku?" - Sambil
menggerung, suatu pukulan dahsyat terus dilontarkan.
"Nah, kalian sudah dengar sendiri, jago kalian menyatakan cukup 300 jurus saja akan
mengalahkan Sicek," seru Lui-ji dengan tertawa. Lalu dia terus menghitung, "Satu tujuh
puluh...."
Dalam pada itu Pwe-giok telah membuat suatu lingkaran dan berhasil mematahkan hantaman
dahsyat lawan. Akan tetapi, biarpun serangan lawan sudah dipatahkan, namun tenaga pukulan
lawan yang maha dahsyat itu masih terus menindihnya.
"Blang", tahu-tahu papan loteng berlubang, Ji Pwe-giok benar-benar seperti sebuah paku,
langsung diketok ambles ke bawah melalui lubang itu.
526 Saat itu Lui-ji baru menghitung sampai, "Satu tujuh satu......." dan karena terkejut, seketika
hitungannya terhenti.
Ji Hong-ho tertawa senang, katanya, "Meskipun Ji-kongcu kalah, tapi dia mampu menahan
ratusan jurus serangan Lo-cinjin, betapapun dia memang hebat."
"Apa" Kalah" Siapa bilang Sicek kalah?" tanya Lui-ji dengan melotot.
"Hah, semua orang menyaksikan dengan jelas, masakah ini belum terhitung kalah?" ujar Ji
Hong-ho dengan tertawa.
Belum lagi Lui-ji menanggapi, sekonyong-konyong terdengar suara "blang" pula, tahu-tahu
Pwe-giok telah muncul lagi dengan menerobos lubang papan loteng tadi. Menyusul sebelah
tangannya lantas menghantam ke arah Lo-cinjin.
"Hahaha! Apa yang kau lihat sekarang" Jelas bukan?" seru Lui-ji sambil berkeplok tertawa.
"Yang pecah adalah papan loteng dan bukan perut Sicekku, masa kau anggap Sicek sudah
kalah" Hahaha, sungguh lucu! Jika papan loteng berlubang lantas dianggap kalah, sekarang
juga dapat kulubangi papan loteng ini tiga puluh lubang sekaligus."
Dan tanpa menunggu jawaban Ji Hong-ho ia terus menyambung hitungannya, "Satu tujuh
sembilan, satu delapan puluh, satu delapan satu...."
Sekali ini hitungannya tidak lebih banyak lagi daripada gebrakan yang sesungguhnya, sebab
pada waktu dia bicara tadi antara Lo-cinjin dan Ji Pwe-giok sudah bergebrak delapan kali..
Ji Hong-ho menjadi bungkam dan tak dapat menyangkal. Ia tersenyum, katanya kemudian,
"Ji-kongcu, papan loteng ini telah menyelamatkan jiwamu, hendaknya jangan kau lupakan hal
ini." Pwe-giok dapat menerima ucapan lawan itu, ia sendiri tahu bilamana tadi papan loteng itu
tidak jebol, tentu dia akan dirobohkan oleh tenaga pukulan Lo-cinjin yang maha dahsyat itu.
Kalau melulu mereka berdua yang bertanding, dengan sendirinya dia harus menyerah kalah
secara jujur. Akan tetapi pertarungan ini justeru menyangkut pula keselamatan orang lain, mau tak mau Ji
Pwe-giok harus melanjutkan pertandingan ini, apapun yang diucapkan Ji Hong-ho
dianggapnya sebagai angin lalu saja dan pura-pura tidak mendengar.
Setelah dua-tiga puluh gebrakan pula, kini senyuman yang menghiasi wajah Ji Hong-ho sudah
tidak nampak lagi, agaknya iapun melihat betapa tangkasnya Ji Pwe-giok dan sukar dijajaki.
Angin pukulan semakin menderu, bayangan orang berkelebat. Di sekeliling loteng kecil yang
penuh kerumunan penonton itu ramai orang berbisik-bisik membicarakan pertandingan
dahsyat ini. Terdengar ada yang sedang berkata, "Sekarang dua ratus jurus sudah berlalu,
apakah kau kira anak muda itu mampu bertahan seratus jurus lagi?"
"Hal ini sukar dipastikan." jawab seorang lain.
527 "Sungguh tak terduga bocah ini ternyata seorang yang tahan gebuk," demikian sambung
seorang lagi. "Pada waktu mulai tadi, tampaknya dia sangat lemah, mungkin sepuluh jurus
saja tidak tahan, tapi makin bergebrak makin tangkas, sekarang malah kelihatan penuh
bersemangat."
Mendadak Lo-cinjin berjingkrak murka dan meraung, "Kalian semuanya tutup bacot! Jika ada
yang berani kentut lagi, seketika juga kumampuskan dia!"
Karena bentakan ini, suara bisik-bisik itu serentak cep-klakep, semuanya diam, tiada yang
berani buka mulut lagi. Namun dalam hati setiap orang cukup maklum bahwa Lo-cinjin
sendiri sekarang juga mulai gopoh.
Dalam pada itu suara hitungan Cu Lui-ji bertambah lantang, "Dua ratus sebelas, dua ratus dua
belas... dua ratus tiga belas.... "
Mencorong juga sinar mata Kwe Pian-sian menyaksikan pertandingan hebat itu.
Hanya Pwe-giok saja yang tahu keadaannya sendiri, hatinya terasa mulai tenggelam..... Tibatiba
ia merasa dirinya tidak sanggup bertahan lagi, mungkin 30 jurus saja tidak kuat bertahan
pula. Pada saat itulah tiba-tiba Hong-sam sianseng membuka matanya, wajahnya yang sejak tadi
selalu tenang itu menampilkan juga setitik rasa cemas, hanya dia dan Ji Pwe-giok saja yang
tahu bahwa tenaga dalam yang dipinjamkan kepada Pwe-giok itu sudah hampir terkuras habis.
Hendaklah diketahui bahwa meski Hong-sam sianseng sejak tadi memejamkan mata, tapi dari
angin pukulan kedua pihak dia dapat mengikuti apa yang terjadi, dari tenaga pukulan kedua
pihak dapat dibedakannya unggul dan asornya. Sebab itulah meski tadi Ji Pwe-giok berada
dalam keadaan terserang, tapi dia tidak merasa kuatir, sebab waktu itu dia tahu tenaga dalam
Pwe-giok masih kuat, sekalipun Lo-cinjin sudah di atas angin juga sukar hendak merobohkan
anak muda itu. Tapi sekarang meski tenaga pukulan Pwe-giok masih tetap kuat, namun untuk menarik
kembali pukulannya justeru terasa payah, bahkan setiap kali menghantam, setiap kali
tenaganya juga menyusut.
Sampai akhirnya menyusutnya tenaga Pwe-giok juga bertambah cepat, begitu cepat seakanakan
dibetot orang dari luar.
Ia tahu bilamana tenaga dalamnya sudah terkuras habis, maka jangan harap akan mampu
menahan sekali hantam Lo-cinjin yang kuat seperti gugur gunung dahsyatnya itu.
Mendadak dilihatnya kepalan Lo-cinjin memukul ke depan dengan gaya menusuk seperti
pedang yang tajam, dalam gugupnya Pwe-giok tidak sempat berpikir lagi, langsung dia
menangkis, karena itu tubuhnya lantas tergetar hingga sempoyongan.
Betapa lihay Lo-cinjin, segera ia tahu lawan sudah tidak tahan lagi, seketika semangatnya
terbangkit, beruntun dia menghantam pula tiga kali sehingga Pwe-giok terdesak ke pojok.
528 Semua orang sama melongo heran, ada yang terkejut dan ada yang bergirang, kalau tadi
mereka tidak paham mengapa Pwe-giok sanggup bertahan, maka sekarang mereka pun tidak
mengerti sebab apa mendadak ia tidak tahan.
Dalam pada itu Cu Lui-ji masih terus menghitung, "Dua dua enam, dua dua tujuh, dua dua
delapan...." meski hitungannya tidak pernah terputus, namun suaranya sudah mulai gemetar.
Kini hanya sisa tujuh puluhan jurus saja, namun untuk sekian jurus ini jelas Ji Pwe-giok tidak
sanggup bertahan lagi. Keadaan ini sekalipun Ciong Cing juga dapat melihatnya.
Hay-hong Hujin menghela napas gegetun, katanya, "Mungkin takkan sampai hitungan dua
ratus enam puluh....."
"Dua ratus lima puluh saja sudah jauh daripada cukup," ujar Ji Hong-ho dengan tersenyum.
Mendadak Lo-cinjin menukas dengan membentak, "Kubilang cukup dua ratus empat puluh
saja!" - Berbareng dengan bentakannya, kepalan kiri dan telapak tangan kanan terus
menghantam sekaligus.
Saat itu Lui-ji lagi menghitung sampai: "Dua ratus tiga puluh delapan....."
Seketika itu juga Pwe-giok merasa angin pukulan dan bayangan telapak tangan beterbangan
dan entah cara bagaimana harus menangkisnya. Apalagi sekalipun dia dapat menangkis juga
sukar menahan tenaga dalam yang maha dahsyat seperti gugur gunung itu.
Tampaknya dia pasti akan terpukul roboh dan tiada pilihan lain....
Wajah Ji Hong-ho kembali menampilkan senyuman gembira, Ang-lian-hoa juga telah
melompat turun dari ambang jendela, Hay-hong Hujin sedang menggeleng kepala, Sip-hun
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
merangkap kedua tangannya di depan dada seperti lagi berdoa....
Tubuh Pwe-giok tampaknya sudah mulai mendoyong ke belakang karena terdesak oleh angin
pukulan yang kuat, seperti sebuah gendewa yang terpentang dan segera akan tertarik patah
mentah-mentah. "Mengaku kalah tidak"!" bentak Lo-cinjin mendadak.
Pwe-giok tidak menjawab, ia menggertak gigi dan bertahan sekuatnya sambil menggeleng
sebagai tanda pantang menyerah.
Segera Lo-cinjin menambah tenaga lagi, teriaknya dengan gusar, "Masih tahan kau" Tidak
roboh sekarang"!"
Akan tetapi Pwe-giok justeru tidak mau roboh, tubuhnya semakin melengkung dan semakin
rendah dengan keringat memenuhi kepalanya, namun matipun dia tidak mau roboh.
Pandangan semua orang terpusat kepada Pwe-giok, sampai berkedip saja tidak. Angin di luar
jendela meniup makin santer seakan-akan merobek bumi raya ini. Sedangkan semua orang
yang berada di dalam sama ikut tegang, suasana sunyi menyesakkan napas.
529 Tiba-tiba terdengar suara keriat-keriut yang timbul dari tulang punggung Pwe-giok, nyata
badannya seakan-akan ditindih patah menjadi dua oleh tenaga tekanan yang maha dahsyat itu.
Ciong Cing sudah mengucurkan air mata, sekujur badannya tampak gemetar. Kwe Pian-sian
juga cemas, berulang-ulang ia mengusap keringatnya.
Sekonyong-konyong Ciong Cing berteriak dengan suara parau, "Ji-kongcu kumohon padamu,
kumohon dengan sangat, hendaklah kau rebah sajalah!"
Hay-hong Hujin menghela napas panjang, ucapnya, "Ai, anak bodoh, untuk apalah kau
bertahan susah payah begitu"....."
Pandangan Cu Lui-ji sudah samar-samar karena kelopak matanya mengembeng air mata, air
mata pun mulai meleleh ke pipinya. Saat ini sampai Lui-ji juga hampir-hampir membujuk
Pwe-giok agar rebah dan mengaku kalah saja.
Remuk redam hati Lui-ji, ia sudah tidak tega memandangnya lagi.
Ang-lian-hoa juga tidak tahan, mendadak ia berseru, "Hong-sam sianseng, apakah kau
menghendaki dia mati tertindih begitu barulah mau mengaku kalah?"
Hong Sam tidak menjawabnya, sejenak kemudian barulah ia berkata dengan rawan, "Urusan
sudah begini, terpaksa aku...."
Tapi mendadak Pwe-giok berteriak: "Tidak, kita belum kalah, aku belum lagi roboh, aku
masih tahan!"
Lo-cinjin menjadi gusar, dampratnya, "Anak busuk, tabiat busuk, memangnya kau minta
benar-benar kuhancurkan kau"!" - Saking gusarnya ia terus mendesak maju satu langkah.
Tak terduga, tiba-tiba kakinya kebetulan menginjak pada sesuatu yang lunak, kiranya dia
menginjak di atas sebuah karung goni. Padahal tenaga injakannya itu tidak kepalang kuatnya,
betapapun kukuhnya karung goni itu juga pecah terinjak.
"Bret", karung goni itu robek, sekonyong-konyong beratus-ratus makhluk berbisa yang sukar
dibedakan jenisnya itu sama merayap ke atas tubuhnya.
Karena kejadian yang tak terduga-duga ini, semua orang sama melenggong.
Lo-cinjin menjadi kaget dan juga gusar, cepat tangannya mengebas dan kaki bergoyang,
maksudnya hendak membikin rontok binatang melata itu tergetar jatuh dari tubuhnya, habis
itu akan diinjaknya hingga hancur.
Akan tetapi binatang melata yang sudah terlanjur merayap ke atas tubuhnya itu terlalu
banyak, seketika sukar dibersihkannya.
Maka terjadilah adegan aneh dan lucu, Lo-cinjin seperti lagi menari, sebentar tangannya
berputar, lain saat kakinya melangkah, mendadak tangan menepuk tubuh sendiri pula. Kalau
saja Khikangnya tidak mencapai tingkatan yang sempurna dan hawa murni meliputi seluruh
530 tubuhnya sehingga sekeras baja, mungkin tubuhnya sudah babak belur digigit oleh kawanan
makhluk berbisa itu.
Mata Cu Lui-ji seketika terbeliak, mendadak ia pergencar hitungannya, "Dua empat satu, dua
empat dua, dua empat tiga......" sekaligus tanpa ganti napas ia terus menghitung, hanya
sekejap saja hitungannya sudah mencapai "dua delapan puluh."
Baru sekarang Ji Hong-ho terkejut dan mengetahui permainan anak dara itu, cepat ia
membentak. "He, tidak, tidak boleh, tidak dapat dianggap!"
Namun Lui-ji tidak menghiraukannya, ia masih terus menghitung. "Dua delapan satu, dua
delapan dua, dua delapan tiga, dua delapan empat ......"
Mendadak Lo-cinjin meraung keras-keras satu kali, ia injak ke sana-sini dan menginjak mati
kelabang yang terakhir, pada saat itu pula hitungan Cu Lui-ji juga genap "tiga ratus".
Suasana di atas loteng kecil itu seketika sunyi senyap seperti kuburan, selang sekian lamanya
barulah terdengar Ji Hong-ho tertawa terkekeh-kekeh, katanya, "Sudah tentu caramu
menghitung ini tidak sah."
"Hm, sah atau tidak adalah urusan nanti, yang jelas sekarang Sicekku roboh atau tidak"!"
jengek Lui-ji. Dalam pada itu Ji Pwe-giok lagi bersandar di dinding dengan napas terengah-engah, namun
tubuhnya masih berdiri tegak tanpa ambruk.
Terpaksa Ji Hong-ho bungkam dan tak dapat menjawab.
Dengan melotot Lui-ji lantas berkata pula, "Dan kalau Ji-sicek tidak sampai roboh, sedangkan
jago kalian Lo-cinjin juga sudah selesai melancarkan serangan 300 jurus, dengan sendirinya
pertarungan ini telah dimenangkan oleh pihak kami, kenapa kau menyangkal dan berdasarkan
apa tidak kau anggap sah?" jengek Lui-ji.
"Tapi beberapa puluh jurus Lo-cinjin yang terakhir tadi bukan ditujukan untuk melayani Jikongcu,
hal ini disaksikan oleh semua orang, masa aku mengada-ada?"
"Hm, itu kan cuma alasanmu sendiri," jengek Lui-ji. "Jika dia sedang bergebrak dengan
Sicekku, maka setiap jurus dan gerakan yang digunakannya berarti ditujukan kepada Sicek,
jadi setiap gerakan, setiap jurus yang dilontarkan harus dihitung. Kalau dia menghantam dan
menyerang secara ngawur, itu kan salah dia sendiri, kenapa menyalahkan orang lain?"
"Tapi makhluk berbisa itu....."
"Binatang berbisa itu kan terbungkus baik-baik di dalam karung goni, siapapun tidak
mengganggunya, juga kami tidak melepaskannya, sebaliknya tanpa sebab jago kalian telah
menginjaknya hingga mati semua, untuk itu malahan aku hendak minta ganti rugi padanya."
Sudah tentu Ji Hong-ho tahu ucapan anak dara itu hanya pokrol bambu saja, tapi seketika ia
menjadi bungkam dan tidak sanggup menjawab. Ia melenggong sejenak, akhirnya dia
531 berpaling ke arah Lo-cinjin, katanya dengan menyengir: "Kukira urusan ini Lo-cinjin
dipersilahkan memutuskannya sendiri."
Sinar mata Lo-cinjin gemerdep, mendadak ia berseru, "Bocah ini ternyata mampu menahan
300 jurus seranganku, dia benar-benar anak yang hebat."
"Tapi cinjin sendiri tidaklah benar-benar melontarkan 300 jurus serangan ke arahnya," seru Ji
Hong-ho. Lo-cinjin mendelik, katanya, "Siapa bilang aku tidak melontarkan 300 jurus padanya" Jika dia
bertanding denganku, dengan sendirinya setiap gerakanku harus dihitung satu jurus. Kalau
jurus seranganku tidak mampu merobohkan dia, itu juga urusanku, kalian tidak perlu ikut
campur." Seketika Ji Hong-ho melongo dan tak dapat bersuara lagi.
Saking bergirang, akhirnya Cu Lui-ji menubruk maju dan mendekap tubuh Ji Pwe-giok,
teriaknya gembira: "Sicek, O, Sicek, kita menang, kita menang........"
Ji Hong-ho tersenyum, sikapnya sudah tenang kembali, katanya: "Jika Lo-cinjin menyatakan
kalian yang menang, ya dengan sendirinya kalian yang menang."
"Nah, kedua kalimat ucapannya ini masih menyerupai ucapan seorang Bu-lim-bengcu," kata
Lui-ji dengan tertawa.
"Dan sekarang silahkan kalian pergi saja, orang she Ji menjamin pasti tiada orang yang akan
mempersulit kalian," ujar Ji Hong-ho dengan tersenyum hambar.
"Apa katamu" Pergi" Siapa yang pergi"..." Lui-ji menegas dengan mata melotot. "Tempat ini
adalah rumah kami, kenapa kami yang harus pergi" Yang benar kalau omong!"
Air muka Ji Hong-ho rada berubah, tapi Lo-cinjin lantas membentak, "Memang tidak
seharusnya mereka pergi, kitalah yang harus pergi!...."
Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong dari luar jendela menerobos masuk dua orang.
Seorang diantaranya bersinar mata tajam mencorong, muka burik, dengan suara bengis ia
berteriak, "Betul, kita harus pergi. Tapi sebelum pergi kita memenggal dulu kepala mereka."
"Kau ini barang apa?" damprat Lui-ji dengan gusar.
Ji Hong-ho tersenyum, katanya, "Inilah Tio Kun, Tio-tayhiap yang berjuluk "Boan-thian-sing"
(bintang bertaburan di langit), kedua telapak tangan besinya dan ke 72 buah Kim-ci-piaunya
terkenal di sekitar Kamsiok dan Samsay." "
Lalu ia tunjuk seorang lagi yang bermuka lonjong seperti kuda berbaju kuning dan bertubuh
tinggi kurus, sambungnya, "Yang ini adalah Wi Hong, Wi-tayhiap yang berjuluk "Jian-lihong-
ki" (Kuda sakti seribu li), terkenal sebagai kaki cepat nomor satu di daerah Hopak dan
Holam." "Huh, manusia baik-baik kenapa suka disebut sebagai kuda?" jengek Lui-ji. "Coba kawanmu
si burik ini, biarpun mukanya tidak rata kan juga tidak mau dipanggil sebagai Tio si bopeng,
532 meski mukamu serupa kuda kan sepantasnya mencari suatu nama yang lebih enak di
dengar"!"
Muka kuda Wi Hong yang memang panjang itu rasanya semakin panjang oleh karena olokolok
Cu Lui-ji itu, segera ia balas menjengek, "Hm, meski Lo-cinjin bermaksud mengalah
kepada kalian, tapi kami tidak nanti melepaskan kau. Menghadapi kawanan siluman seperti
kalian ini kukira juga tidak perlu bicara tentang peraturan Kangouw apa segala. Nah, budak
cilik, kalau tahu gelagat, ikutlah pergi bersama tuanmu!"
Selagi telapak tangannya yang lebar seperti daun pisang itu terangkat dan hendak meraih ke
arah Lui-ji, sekonyong-konyong bayangan orang berkelebat, tahu-tahu Sip-hun sudah berdiri
di depannya dengan mengulum senyum.
"Guruku sudah menyatakan akan melepaskan mereka, maka Wi-tayhiap hendaknya juga suka
berbuat sama dengan melepaskan mereka," kata Sip-hun dengan ramah.
Tapi Wi Hong lantas menjawab dengan suara bengis, "Urusan kaum Cianpwe dunia Kangouw
mana ada hak bicara bagi orang muda seperti kau ini" menyingkir!" - Tangan yang baru saja
ditarik kembali itu mendadak mendorong pula ke depan.
Akan tetapi Sip-hun masih tetap berdiri di tempatnya dengan tertawa, sama sekali ia tidak
berkelit atau bergerak. Namun gontokan Wi Hong yang keras itu ternyata tidak mampu
membuat Sip-hun bergeming sedikitpun.
Air muka Wi Hong berubah pucat, belum lagi dia bertindak lebih lanjut, Lo-cinjin telah
mendekatinya dan berkata dengan suara tertahan, "Muridku ini memang tidak tahu aturan,
apakah kau ingin mengajar adat padanya?"
Semua orang sudah menyaksikan sikap Lo-cinjin yang kasar itu terhadap muridnya, selain
main bentak juga main pukul. Wi Hong mengira Tosu cilik yang selalu tertawa dan ramah ini
tentu tidak disukai sang guru, maka ia tidak meragukan ucapan Lo-cinjin tadi, dengan tertawa
ia menjawab, "Cayhe memang sembrono dan ingin meng......"
Belum habis ucapannya, kontan Lo-cinjin berjingkrak dan meraung murka, "Kau ini kutu
busuk macam apa" Kaupun sesuai untuk mengajar muridku" Huh, tanganmu yang berbau
busuk ini berani menyentuhnya" Baik!"
Baru saja kata "baik" diucapkan, mendadak pula ia turun tangan, secepat kilat pergelangan
tangan Wi Hong dicengkeramnya, menyusul lantas terdengar suara "krak-krek", tulang
pergelangan tangan itu telah dipatahkannya mentah-mentah.
Keruan Wi Hong meraung kesakitan, segera kaki kanannya menyapu. Dia terkenal sebagai
kaki sakti nomor satu di daerah utara, dengan sendirinya tenaga kakinya tidak boleh dibuat
main-main, sekalipun sepotong cagak batu, sekali disampuk dengan kakinya juga akan
hancur. Namun Lo-cinjin tidak berkelit juga tidak menghindar, dia sengaja menerima serampangan
kaki lawan dengan keras, maka terdengar suara "krek" yang lebih keras, yang patah ternyata
bukan kaki Lo-cinjin melainkan kaki Wi Hong sendiri.
533 Belum lagi Wi-hong sempat menjerit kesakitan, lebih dulu dia sudah kelengar.
Tanpa memandang sekejappun terhadap pecundangnya itu, Lo-cinjin berpaling ke arah Tio
Kun, tanyanya dengan dingin: "Kau anggap kata-kataku seperti orang kentut, kaupun
menghendaki kepala mereka, begitu bukan katamu tadi?"
Muka Tio Kun pucat pasi seperti mayat. Tapi apapun juga dia tergolong tokoh yang sudah
terkenal, di depan orang banyak, betapapun dia tidak mandah diperlakukan kasar begitu,
betapapun dia ingin menjaga kehormatannya.
Dia tertawa terkekeh, lalu berkata: "Baiklah, kalau Cinjin tidak mau ikut campur lagi urusan
ini, boleh serahkan saja kepada kami."
"Serahkan padamu" Huh, kau ini apa?" teriak Lo-cinjin dengan murka. "Apakah karena orang
sudah kehabisan tenaga dan hampir tidak bisa bergerak lagi, maka kau ingin menarik
keuntungan tanpa mengeluarkan tenaga, begitu?"
Begitu habis ucapannya, sekali cengkeram, tahu-tahu leher baju Tio Kun telah dijambretnya,
tubuhnya terus diangkat. Padahal perawakan Lo-cinjin jauh lebih pendek dan kecil daripada
lawannya, tentu saja hal ini membuat semua orang tercengang.
Tio Kun terkejut dan juga gusar, tanpa pikir kedua telapak tangannya terus menghantam ke
bawah dan tepat mengenai pundak kanan-kiri Lo-cinjin.
Seperti sudah diceritakan, Tio Kun terkenal dengan telapak tangan besinya, tapi ketika kena
hantam di tubuh Lo-cinjin, telapak tangan besinya telah berubah menjadi tangan tebu, 'Krakkrek",
kontan tulang tangannya patah semua, kembali ia menjerit ngeri, dari setiap burikan di
mukanya tampak menetes keluar air keringat.
Begitulah dengan tangan kanan Lo-cinjin mencengkeram Tio Kun dan tangan kiri
mengangkat Wi Hong, meski Tojin ini kurus kecil, tapi dua lelaki kekar itu dapat diangkatnya
dengan enteng dan seenaknya, hal ini benar-benar membuat para penonton sama melongo.
Malahan Lo-cinjin seperti sama sekali tidak mengeluarkan tenaga meski kedua tangan
mengangkat dua lelaki besar itu, dia seperti membekuk dua ekor ayam jago saja, ayam jago
yang sudah keok tentunya.
Melihat Kungfu yang mengejutkan ini baru sekarang semua orang teringat kepada Ji Pwegiok,
baru sekarang mereka dapat menilai betapa hebatnya anak muda itu.
Pikir saja, kalau dua tokoh Kangouw terkenal seperti "Boan-Thian-sing" dan "Jian-li-sin-ki"
tidak sanggup menahan sekali gebrak dengan Lo-cinjin, sebaliknya Ji Pwe-giok yang masih
muda belia dan kelihatan lemah lembut itu ternyata sanggup bergebrak dan bertahan sampai
300 jurus. Waktu semua orang berpaling ke arah Ji Pwe-giok, pandangan mereka terhadap anak muda
ini sekarang jelas sudah berbeda daripada tadi.
Ji Hong-ho juga sedang memandang Pwe-giok dengan lekat-lekat, sampai lama sekali dia
menatap anak muda itu.
534 Tiba-tiba Lo-cinjin berteriak gusar, "Nah, siapa lagi yang berani menganggap ucapanku
sebagai kentut" Ayo, bersuara!?"
Suasana menjadi hening, baik orang yang berada di atas loteng maupun yang nongkrong di
sekeliling wuwungan rumah itu tiada seorang pun yang berani bersuara.
"Hmmk!" Lo-cinjin mendengus keras-keras satu kali, lalu melangkah turun ke bawah loteng.
Sip-hun lantas merangkap kedua tangannya di depan dada dan memberi hormat dengan
tersenyum, katanya, "Beruntung hari ini Tecu sempat berjumpa dengan para Cianpwe,
sungguh aku merasa sangat bangga dan bahagia. Semoga selanjutnya dapat sering-sering
mendapat petunjuk lagi dari para Cianpwe."
Meski dia bicara terhadap semua orang, namun matanya terus menerus hanya memandang
kepada Cu Lui-ji.
Lui-ji lantas mendamprat perlahan, "Huh, Tosu bermata maling, lekas kau enyah saja!"
Entah mendengar atau tidak, kembali Sip-hun memberi hormat dengan sopan, lalu iapun
melangkah pergi, sampai di ujung tangga mendadak ia berhenti dan berpaling, katanya
dengan tersenyum, "Silahkan Bengcu jalan dahulu!"
Ji Hong-ho tersenyum, ucapnya, "Hong-locianpwe, selamat tinggal, Ji-kongcu, selamat
tinggal.... Kumohon diri sekarang juga."
Tiba-tiba Hay-hong Hujin berjalan ke arah Kwe Pian-sian.
Keruan orang she Kwe itu menjadi kebat-kebit dan muka pucat.
Tak tersangka Hay-hong Hujin tetap tidak memandangnya barang sekejap pun, yang dituju
adalah Ciong Cing, katanya terhadap nona ini dengan tertawa, "Apakah kau ini murid Ji Siokcin?"
Ciong Cing menunduk kikuk. Tiba-tiba ia merasa dirinya tidak boleh tampak lemah di depan
saingan cintanya, seketika dia menengadah dan menjawab, "Ya!"
Hay-hong Hujin menghela napas, ucapnya kemudian. "O, kasihan, sungguh kasihan. Ai,
sayang, sungguh sayang....."
"Aku..... aku..... " seketika Ciong Cing menjadi bingung dan tidak tahu bagaimana harus
menjawabnya. Ketika melihat wajah Hay-hong Hujin yang bersifat menghina itu, seketika ia
naik pitam, ia tidak pedulikan lagi bagaimana akibatnya, dengan nekat ia berteriak, "Kasihan
apa" Perempuan yang sudah dibuang oleh lakinya itulah yang harus dikasihani!"
Hay-hong Hujin hanya tersenyum hambar saja dan tidak meladeni lagi, dengan lemah gemulai
ia melangkah pergi, ia anggap tidak berharga untuk meladeni olok-olok itu.
Sekujur badan Ciong Cing sampai bergemetar, air mata akhirnya meleleh membasahi pipinya.
535 Yang paling ditakuti seorang perempuan adalah kalau dihina oleh bekas kekasih orang yang
dicintainya sekarang. Hal ini akan sangat menyakitkan hatinya, sebab akan dirasakannya
bahwa orang yang dipandangnya seperti jiwanya, seperti sukmanya, nyatanya tidak lebih
adalah barang bekas orang lain, barang yang sudah dibuang orang lain.
Ang-lian-hoa melototi Kwe Pian-sian sejenak, lalu ia pandang Hong Sam dan pandang pula Ji
Pwe-giok. Mendadak ia berjumpalitan keluar jendela.
Waktu Pwe-giok memandang keluar, ternyata orang-orang yang memenuhi wuwungan
sekeliling loteng kecil itu pun sudah pergi seluruhnya.
Pwe-giok menghela napas panjang, napas yang lega dan akhirnya ia pun roboh terkulai....
***** Lentera yang tergantung di tangga loteng itu ternyata tidak dibawa pergi oleh rombongan Ji
Hong-ho. Pintu juga tidak ditutup kembali, angin meniup masuk membuat sumbu lentera
bergoyang-goyang.
Cahaya lentera yang redup itu menyinari wajah Ji Pwe-giok yang pucat bagaikan kertas.
Lui-ji menubruk maju dan mendekap tubuh anak muda itu, serunya dengan menangis, "O,
Sicek, entah cara bagaimana aku harus berterima kasih padamu"!"
Keadaan Hong-samsianseng juga sangat payah, ia menghela napas panjang dan berkata
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan lemah, "Di hadapan Sicek kenapa kau bicara tentang 'terima kasih'?"
Lui-ji menunduk, air matapun bercucuran memenuhi wajahnya.
Pwe-giok tersenyum hambar, katanya, "Apapun juga kita kan sudah menang, apalagi yang
kau sedihkan?"
Sambil mengusap air matanya Lui-ji berkata, "Aku tidak sedih, tapi..... tapi tidak terlalu
bergembira."
Baru kata "gembira" terucapkan, tangisnya sukar dibendung lagi.
Tiba-tiba Kwe Pian-sian berdehem, lalu berkata dengan tertawa, "Sungguh tidak nyana Locinjin
yang termasyhur dan tiada tandingannya di dunia ini sekarang juga keok di bawah
tangan saudara Ji kita. Setelah pertarungan ini, siapa pula di dunia Kangouw yang takkan
kagum kepada Ji-heng...."
Mendadak Lui-ji berseru, "Dia adalah Sicekku, berdasarkan apa kau berani menyebutnya 'Jiheng'
(saudara Ji)?"
Kwe Pian-sian berdehem-dehem, ia tidak menanggapi dampratan anak dara itu, katanya pula,
"Ya, selanjutnya nama Ji-kongcu pasti akan termasyhur dan mengguncangkan seluruh dunia,
hanya saja...."
"Hanya saja apa?" tanya Lui-ji dengan mendongkol.
536 "Hanya saja, tempat ini bukan lagi tempat yang boleh didiami untuk selamanya," kata Kwe
Pian-sian. "Menurut pendapatku, akan lebih baik kalau lekas pergi saja dari sini."
"Pergi dari sini?" Lui-ji menegas dengan melotot. "Di sinilah rumahku, kenapa kami harus
pergi?" "Nona tahu, meski Ji Hong-ho dan begundalnya tadi mengalami kekalahan, tapi mereka pasti
penasaran dan tidak terima, jika dikatakan mereka benar-benar sudah kapok dan tidak berani
mengganggu lagi ke sini, kukira siapapun takkan percaya." demikian ulasan Kwe Pian-sian.
"Tapi kalau mereka benar-benar hendak mencari kita, biarpun lari juga tiada gunanya, sebab
akhirnya toh pasti akan ditemukan mereka," jengek Lui-ji. "Apalagi, memangnya kau kira
Sacekku ini adalah orang yang suka main lari" Jika mau lari tentu sudah sejak dulu-dulu lari,
untuk apa kami menunggu di sini sampai sekarang?"
"Memang betul juga ucapan nona," kata Kwe Pian-sian. "Tapi.... tapi kalau tetap tinggal di
sini kukira juga bukan... bukan cara yang baik...."
"Jika kau ingin pergi, boleh silahkan pergi saja sesukamu, tiada orang yang akan menahan
dirimu," jengek Lui-ji pula.
Muka Kwe Pian-sian sebentar pucat sebentar merah, ia tidak bicara lagi, juga tidak berani
pergi. Kalau Ang-lian-hoa dan Hay-hong Hujin ada kemungkinan sedang menunggunya diluar sana,
apakah dia berani pergi"
***** Angin menderu-deru di luar, suasana di atas loteng kecil itu justeru sunyi senyap, bila teringat
kepada Ji Hong-ho dan rombongannya itu pasti tidak mau berhenti begitu saja, pikiran setiap
orang menjadi tertekan.
Di tengah suara angin yang menderu-deru itu tiba-tiba terdengar suara anjing mengaing, suara
mengaing yang melengking dan seram seperti jeritan setan.
Tanpa terasa Ciong Cing merinding, katanya, "Mengapa...... mengapa suara anjing itu
sedemikian menakutkan?"
Bulu roma Cu Lui-ji juga berdiri, tapi ia menanggapi dengan tertawa, "Bisa jadi Ji Hong-ho
telah menginjak ekor anjing itu."
Baru habis ucapannya, sekonyong-konyong suara lengking anjing tadi tak terdengar lagi,
mengaingnya sangat mendadak, berhentinya juga secara mendadak. Meski suara
mengaingnya menyeramkan dan menakutkan, tapi suara yang lenyap mendadak itu terlebih
membuat orang mengkirik.
Di jagat raya ini seketika seperti penuh diliputi alamat yang tidak baik.
537 Lui-ji ingin bicara apa-apa untuk memecahkan ketegangan, tapi sukar baginya untuk bicara
dan juga tidak tahu apa yang harus dikatakannya.
Pada saat itu juga, sekonyong-konyong terdengar suara "blung" yang dahsyat, menyusul api
lantas berkobar dan menjulang tinggi ke langit.
Begitu cepat nyala api itu, hanya sebentar saja hampir setengah langit sebelah sana telah
terbakar hingga merah menganga.
"Keji amat tindakan Ji Hong-ho ini, dia hendak membakar mati kita," seru Kwe Pian-sian
dengan kuatir. Air muka Pwe-giok berubah agak pucat juga, katanya, "Pantas lebih dulu dia telah mengusir
seluruh penduduk kota ini, rupanya memang sudah direncanakannya akan
membumihanguskan Li-toh-tin ini. Hm, dia sok anggap dirinya seorang pendekar budiman,
sekarang ternyata tidak segan-segan berbuat serendah ini."
Kobar api makin lama makin dahsyat dan makin mendekati loteng kecil itu, cuma belum lagi
berbentuk suatu lingkaran yang mengepung.
Cepat Kwe Pian-sian melompat bangun, serunya dengan suara parau, "Ayo cepat! Lekas kita
terjang keluar, mungkin masih keburu!"
Lui-ji memandang ke arah Hong Sam. Dilihatnya air muka Hong-samsianseng sangat prihatin
dan tidak memberi komentar apapun.
Dengan tak sabar Kwe Pian-sian berseru pula dengan melotot, "Urusan sudah begini, masa
kalian belum lagi mau pergi"!"
Pwe-giok menghela napas, katanya, "Ya, memang betul, urusan sudah kadung begini, apapun
jadinya terpaksa kita harus menerjang ke luar!"
"Tapi.... tapi luka Sacek...." Lui-ji merasa ragu.
"Biarkan ku gendong Hong-lo.... Hong-samko dan kau ikut saja di belakangku," kata Pwegiok
dengan tersenyum getir.
"Dan aku bagaimana?" tukas Gin-hoa-nio yang sejak tadi tidak pernah ikut bicara. "Tentunya
kalian tidak akan meninggalkan diriku di sini bukan"!"
Lui-ji menggertak gigi, katanya, "Biarkan ku gendong Sacek saja dan kau.... kau gendong
dia." Kwe Pian-sian memandang Ciong Cing sekejap, akhirnya iapun menggendong nona itu,
serunya "Ayolah, kalau tidak berangkat sekarang mungkin tidak keburu lagi!"
"Betul, lekaslah kalian pergi semua," kata Hong-sam sianseng.
"He, Sacek, kau...."
538 Belum lanjut ucapan Lui-ji, dengan menarik muka Hong-sam sianseng lantas membentak
dengan suara bengis. "Sacek tidak apa-apa, masa aku perlu kau gendong dan melarikan
diri"..... Memangnya Sacek adalah manusia pengecut demikian?"
Cahaya api yang berkobar dengan hebatnya telah menyinari mukanya yang kelihatan merah
padam. "Jika demikian, biarlah Siaute saja yang......"
Belum lanjut ucapan Pwe-giok, dengan gusar Hong Sam berkata pula, "Kelak bila orang
Kangouw mengetahui Hong Sam telah melarikan diri dengan digendong orang, lalu kemana
lagi akan ku taruh mukaku ini" Kalau sudah begitu, biarpun hidup apa bedanya lagi dengan
mati?" "Tapi..... tapi urusan dalam keadaan luar biasa," seru Pwe-giok, "Samko, apakah..... apakah
engkau tak dapat memaklumi keadaan"....."
"Sudahlah," ucap Hong Sam dengan tegas, "Tekadku sudah bulat, tiada gunanya kau bicara
lagi, lekas kalian berangkat saja!"
Hampir gila Lui-ji saking cemasnya. Tapi ia pun kenal watak sang paman, bilamana Hongsam
sianseng sudah mengambil keputusan demikian, di dunia ini mungkin tiada seorangpun
yang mampu mengubah pendiriannya.
Pwe-giok berkata pula dengan rawan, "Ku tahu Samko kuatir pada keadaanku yang sudah
lemah ini, maka lebih suka mati sendiri daripada menambah bebanku, tapi hendaklah Samko
mengetahui, Siaute masih..... masih cukup kuat....."
Hong-sam sianseng terus memejamkan mata dan tidak menggubrisnya lagi biarpun apa juga
yang dikatakan Pwe-giok.
Nyala api bertambah hebat dan menjilat ke sekitarnya, hanya sekejap saja api sudah dekat
bangunan loteng kecil itu.
Agaknya Ji Hong-ho dan begundalnya telah memasang bahan-bahan pembakar yang mudah
menyala, sebab itulah api menjalar dengan amat cepat.
Akhirnya Kwe Pian-sian berkata dengan suara serak, "Jika kalian tidak pergi, terpaksa ku
pergi lebih dulu, hendaklah kalian.... kalian...." dia seperti mau omong apa-apa lagi, tapi
urung. Dengan beringas ia terus melompat keluar dengan memondong Ciong Cing.
Terdengar suara tangis Ciong Cing sayup-sayup berkumandang dari luar jendela sana, sejenak
kemudian lantas tidak terdengar apa-apa lagi.
"Kalian pun harus pergi, mengapa masih diam saja di sini?" bentak Hong Sam dengan suara
bengis. Tapi Lui-ji malah berduduk di sampingnya dan berkata, "Sacek tidak pergi, akupun tidak
pergi." 539 "Kau berani membangkang ucapanku?" bentak Hong Sam dengan gusar.
Lui-ji tersenyum pedih, ucapnya, "Apapun ucapan Sacek akan ku patuhi, tapi sekali ini......
sekali ini aku......"
Mendadak Hong Sam angkat tangannya dan mendorong anak dara itu hingga jatuh
tersungkur, lalu bentaknya, "Kau berani membangkang kataku, biar ku pukul mampus kau
lebih dulu."
"Biarpun Sacek pukul mampus diriku tetap aku takkan pergi," jawab Lui-ji tegas.
Hong Sam menjadi kewalahan, ia menghela napas dan menggeleng.
"Ji Pwe-giok!" teriak Gin-hoa-nio mendadak, "Apakah kau juga tidak mau pergi" Apakah kau
hendak mengiringi kematian mereka?"
Tapi Pwe-giok tetap berdiri saja dengan tenang, tampaknya ia pun terkesima.
Ia tahu kalau tetap tinggal di sini dan menunggu mati terbakar, hal ini sungguh perbuatan
yang terlalu bodoh. Tapi apapun juga dia tidak dapat menyelamatkan diri dengan
meninggalkan Cu Lui-ji dan Hong Sam.
Dengan suara parau Gin-hoa-nio berteriak, "Gila, kalian semua orang gila.... Sungguh sial aku
berkumpul dengan kalian!"
Sekuatnya ia meronta ke depan jendela, tanpa pikir ia terus melompat keluar. Akan tetapi sisa
tenaganya sekarang tidak seberapa lagi, baru saja terjun ke bawah segera terdengar ia menjerit
kesakitan, mungkin kakinya terkilir.
Pwe-giok tahu bilamana Gin-hoa-nio hendak lolos di tengah berkobarnya api sehebat itu,
maka peluangnya boleh dikatakan sangat tipis, tanpa terasa ia menghela napas.
Segera Hong Sam berteriak pula dengan beringas, "Kalian benar-benar hendak mati
bersamaku?"
Pwe-giok memandang Lui-ji sekejap, lalu berkata, "Siaute ingin...."
"Bagus, jadi kalian baru mau pergi setelah ku mati, begitu?" seru Hong Sam sambil tertawa
latah, mendadak ia angkat sebelah tangannya terus menghantam kepalanya sendiri.
Keruan Pwe-giok dan Lui-ji menjerit kaget, berbareng mereka memburu maju.
Syukurlah pada saat itu juga mendadak terdengar suara "blang" yang sangat keras, dinding
sekeliling hancur lebur, pecahan papan beterbangan, seorang tiba-tiba menerjang masuk
seperti malaikat yang baru turun dari langit!
Di bawah cahaya api yang berkobar-kobar itu, pandangan Pwe-giok juga cukup tajam, betapa
wajah orang yang menerjang masuk itu seharusnya dapat dilihatnya dengan jelas.
540 Namun gerak tubuh orang itu sungguh terlalu cepat, baru saja terdengar suara gemuruh tadi,
mungkin Hong Sam sendiri juga tertegun, tahu-tahu Pwe-giok melihat sesosok bayangan
menyerempet lewat di sebelahnya, Hong Sam terus diangkatnya, lalu melayang pergi secepat
kilat. Jadi bagaimana wajah pendatang ini, tua atau muda, lelaki atau perempuan, sama sekali
Pwe-giok tidak tahu.
Lui-ji berteriak dengan kaget, "Hai, siapa kau" Kenapa kau menyerobot Sacekku?"
Belum lenyap suaranya, bayangan orang tadi sudah melayang pergi beberapa tombak jauhnya.
Terdengar suara Hong-sam sianseng membentak di kejauhan, "Siapa kau?"
Lalu suara orang yang parau menjawab, "Aku!"
Agaknya Hong-sam sianseng lantas menghela napas panjang, napas yang lega, lalu tidak
bicara lagi. Dalam pada itu Pwe-giok dan Lui-ji juga sudah memburu keluar, dilihatnya bayangan orang
di depan sana melejit-lejit seperti gundu yang dilemparkan, bila lidah api menjilat ke depan,
sekali tangannya mengebas dengan perlahan, kobaran api lantas menyurut, hanya sekejap saja
bayangan orang itu sudah menerjang keluar lautan api.
Meski Pwe-giok dan Lui-ji masih terus mengejar dengan sepenuh tenaga, tapi jaraknya makin
lama makin jauh.
"Tinggalkan Sacekku.... Kumohon, tinggalkan Sacekku!" Lui-ji berteriak-teriak dengan suara
parau. "Wuttt", mendadak gulungan api menyambar lewat, waktu mereka memandang ke depan,
bayangan tadi sudah lenyap. Lui-ji berlari lagi beberapa langkah dan akhirnya jatuh mendekap
di atas tanah serta menangis tergerung-gerung.
Pwe-giok pun iba melihat tangis Lui-ji itu, cepat ia memburu maju untuk membangunkan
anak dara itu. Baru sekarang Lui-ji mengetahui tanpa terasa mereka sudah menerjang keluar
lautan api. Rambut Lui-ji dan bajunya tampak ada bintik-bintik api, beberapa bagian tubuh Pwe-giok
juga hangus terbakar. Tapi dalam keadaan cemas dan gelisah, keduanya sama sekali tidak
merasakan hal itu.
"Kenapa kau menyerobot Sacekku" Cara bagaimana aku dapat hidup lagi selanjutnya?"
demikian Lui-ji meratap dengan sedihnya.
Pwe-giok menghela napas melihat betapa berduka anak dara itu, ucapnya dengan rawan,
"Tampaknya orang tadi tidak bermaksud jahat, coba kalau tiada dia, mungkin kita sudah
terkubur di tengah lautan api itu."
"Tapi.... tapi bagaimana dengan.... dengan Sacek?" kata Lui-ji.
541 "Agaknya Sacekmu kenal dengan orang ini, mungkin sekali mereka adalah sahabat." ujar
Pwe-giok. "Kalau kita melihat betapa tinggi Kungfunya tadi, bila Sacekmu dibawa pergi
olehnya, kita justeru boleh merasa lega malah."
Terhibur juga hati Lui-ji, suara tangisnya mulai lirih. Ucapnya dengan masih tersedu sedan,
"Ya, memang kedengaran tadi Sacek.... Sacek bertanya satu kali padanya, lalu..... lalu tidak
bertanya pula, agaknya mereka memang kenal.... Tapi kalau dia membawa pergi Sacek,
mengapa.... mengapa tidak membawa serta diriku sekalian?"
Dengan suara lembut Pwe-giok berkata, "Hal ini disebabkan..... disebabkan dia tidak kenal
padamu." "Memang." ujar Lui-ji dengan air mata meleleh, "Semua sahabat Sacek di masa dahulu,
satupun tidak ku kenal. Ya, aku tidak kenal siapapun, sebaliknya juga tiada orang yang kenal
diriku. Aku" aku...." teringat kepada nasibnya yang sengsara, tanpa terasa ia menangis sedih
pula. Pwe-giok terharu, hidung pun terasa beringus, air matanya juga hampir-hampir menetes.
Pelahan ia mengebut bintik api yang masih membara di atas tubuh Lui-ji, lalu katanya dengan
tertawa ewa, Tapi Sicek kan kenal padamu dan kau pun kenal Sicek, betul tidak?"
Sambil menangis Lui-ji terus menjatuhkan diri ke pangkuan Pwe-giok, ucapnya dengan suara
terputus-putus, "Sicek, kau.... kau takkan meninggalkan diriku bukan?"
Diam-diam Pwe-giok menghela napas, tapi dimulut ia menjawab dengan tersenyum, "Masa
Sicek akan meninggalkan kau".... Pendek kata, kemana pun Sicek pergi pasti akan kubawa
serta dirimu."
Padahal nasibnya sendiri sekarang juga terkatung-katung, ia sendiri pun ditinggalkan sanak
keluarga dan handai taulan, ia pun tak tahu sekarang harus pergi ke mana. Kalau mengurus
diri sendiri saja repot, mana dia sempat mengurus orang lain lagi"
Sekonyong-konyong terasa hawa panas menyambar dari belakang, rupanya kobaran api telah
menjalar pula ke tempat mereka ini.
Dari jauh terdengar suara ramai orang menangis dan meratap, di tengah hiruk-pikuk itu pun
terseling suara orang mencaci maki, Mungkin penduduk Li-toh-tin menjadi kalap ketika
melihat rumah dan harta benda mereka telah musnah terbakar menjadi abu.
Tiba-tiba terdengar suara seorang berteriak lantang, "Hendaknya kalian jangan susah dan
bingung, pokoknya segala kerugian kalian akan kami ganti sepenuhnya."
Diam-diam Pwe-giok berkerut kening, pikirnya, "Biarpun Li-toh-tin ini kota kecil dan
kebanyakan penduduknya adalah kaum miskin, tapi kalau beratus keluarga jumlahnya kan
jadi tidak sedikit, tapi mereka ternyata bersedia memberi ganti rugi, apakah tujuan mereka
cuma hendak membakar mati beberapa orang ini?"
***** Angin sudah mulai berhenti, tapi malam bertambah kelam.
542 Suara ribut di kejauhan juga mulai sepi, Cu Lui-ji duduk termenung tanpa bergerak, sejak
Pwe-giok membawanya ke tanah pekuburan yang sunyi ini, belum lagi dia berucap satu kata
pun. "Api yang mereka kobarkan itu pasti tidak cuma untuk membakar mati kita saja." kata Pwegiok
tiba-tiba. Dengan sorot mata yang kabur Lui-ji memandangi sebuah kuburan baru di depan sana, ia
hanya menanggapi ucapan Pwe-giok itu dengan suara," Oo?"
"Sebab kalau mereka menghendaki jiwa kita, pasti mereka sudah memasang perangkap di
sekitar tempat yang akan mereka bakar agar kita tak dapat lolos. Tapi sekarang dengan sangat
mudah kita dapat lari keluar, bahkan seorangpun tidak kita pergoki."
"Ehmm!" Lui-ji mengangguk.
"Sebab itulah kupikir, tujuan mereka hanya ingin mengusir kepergian kita saja....."
"Hanya ingin mengusir kita, dan mereka tidak sayang membumihanguskan kota kecil ini,
tidak sayang untuk membayar ganti rugi harta benda sebanyak ini..... Apakah mereka sudah
gila?" demikian tukas Cu Lui-ji.
"Sudah tentu di balik tindakan mereka ini masih ada sebab lain.... ya, pasti masih ada sebab
lain....."
Lui-ji tersenyum getir, katanya, "Semula kurasa sudah jelas duduknya perkara, tapi ucapan
Sicek ini tambah membingungkan aku."
"Semua kejadian yang tidak masuk akal ini hanya ada suatu penjelasannya," kata Pwe-giok
tanpa menghiraukan ucapan Lui-ji itu.
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Penjelasan bagaimana?" tanya anak dara itu.
"Pada loteng kecil tempat tinggal kalian itu pasti tersembunyi sesuatu rahasia besar yang
sangat mengejutkan orang," kata Pwe-giok.
"Rahasia besar"!" Lui-ji melengak.
"Ya, lantaran rahasia itulah maka Tonghong Bi-giok merasa berat meninggalkan ibumu meski
banyak kesempatan baginya untuk pergi," kata Pwe-giok pula, "Karena rahasia itulah maka
Oh-lolo dan lain-lain juga datang, juga lantaran rahasia inilah maka Ji Hong-ho dan
komplotannya tidak segan menyalakan api."
Terbeliak mata Lui-ji, ia bergumam, "Tapi rahasia apakah itu?"
"Apakah kau ingat, sebelum ibumu wafat, pernahkah beliau membicarakan sesuatu yang luar
biasa kepadamu?" tanya Pwe-giok dengan suara tertahan.
543 "Ibu tidak pernah bercerita apa-apa," ujar Lui-ji sambil berkerut kening. "Beliau cuma
memberitahukan padaku bahwa tempat inilah rumahku, tempat inilah satu-satunya benda
yang dapat ditinggalkannya kepadaku, aku disuruh menyayanginya, makanya selama ini aku
tidak mau pergi dari sini...." mendadak suara ucapannya terhenti, matanya tambah terbelalak.
Kedua orang saling pandang sekejap, lalu serentak sama-sama berdiri.
Dalam pada itu api di kejauhan sudah semakin kecil, tampaknya sudah hampir padam.
Akan tetapi api tidak padam seluruhnya, dari ujung dinding, dari kusen pintu atau jendela
yang hangus itu terkadang masih tersembur keluar lidah api dengan membawa asap yang
tebal. Sejauh mata memandang, udara penuh diliputi kabut asap yang tebal sehingga apapun tidak
terlihat jelas.
Pelahan Pwe-giok dan Lui-ji menuju kembali ke tengah tumpukan puing itu.
Di bawah alingan asap, mereka menyelinap diantara reruntuhan puing, tidak lama kemudian
dapatlah dilihat mereka bangunan berloteng kecil itu sudah terbakar roboh.
Hanya Li-keh-can saja, hotel yang dibangun jauh lebih kukuh daripada rumah penduduk itu
tidak seluruhnya runtuh, api sudah padam lebih cepat, tiang belandar sudah terbakar
seluruhnya, tapi sebagian besar dinding temboknya masih tegak.
Berjalan di atas reruntuhan puing itu, Lui-ji merasa telapak kakinya masih panas seperti
menginjak bara.
Waktu ia mengintai ke balik asap tebal sana, dilihatnya di sekitar sana ada beberapa laki-laki
berseragam hitam sedang mondar-mandir membersihkan sisa kebakaran, tapi Ji Hong-ho dan
komplotannya tidak kelihatan, juga penduduk asli Li-toh-tin tidak nampak satupun.
Pwe-giok juga sedang mengintai dari pojok dinding sana.
Dengan suara mendesis Lui-ji bertanya, "Sicek, sekarang juga kita mulai mencari atau
menunggu kedatangan mereka?"
"Sudah bertahun-tahun kau tinggal di sini dan tidak kau temukan rahasia itu, dalam waktu
singkat mana dapat kita menemukannya. Apalagi kobaran api sekarang sudah mereda,
kuyakin selekasnya mereka akan datang lagi ke sini."
"Kalau begitu, apakah kita perlu mencari suatu tempat untuk bersembunyi?"
"Ya, betul," jawab Pwe-giok.
"Wah, sembunyi di mana baiknya?" kata Lui-ji sambil memandang sekitarnya. "Eh, lihat
Sicek, bagaimana kalau di rumah sana?"
"Rumah itu kurang baik," kata Pwe-giok, "Meski saat ini mereka belum menggeledah sampai
sini, tapi selekasnya mereka pasti akan kemari."
544 "Habis sembunyi di mana?" tanya Lui-ji
"Dapur!" kata Pwe-giok.
Waktu Lui-ji memandang ke sana, dilihatnya dapur yang terbuat dari kayu itu sudah habis
terbakar, ia berkerut kening dan berkata, "Dapur sudah terbakar, mana dapat dibuat
sembunyi?"
Pwe-giok tertawa, katanya, "Meski dapur sudah terbakar, tapi di dalam dapur kan masih ada
sesuatu tempat yang takkan musnah terbakar."
Terbeliak mata Cu Lui-ji, serunya dengan suara tertahan, "He, maksudmu tungku" Betul,
hanya batu tungku saja yang takkan musnah terbakar untuk selamanya. Hah, sungguh bagus
gagasanmu ini Sicek!"
Tanpa ayal lagi mereka terus berlari ke arah dapur hotel, terlihat di pojok sana ada sebuah
gentong air yang tidak rusak, cuma air di dalam gentong juga terbakar hingga menguap
seperti digodok.
Pwe-giok menyingkirkan wajan besar di atas tungku, air gentong lantas di tuang ke dalam
tungku. Setelah hawa panas di dalam tungku hilang, mereka lantas menyusup ke dalam perut
tungku dan wajan tadi ditutup lagi di atasnya.
Li-keh-can adalah satu-satunya hotel di Li-toh-tin, tamunya cukup banyak, setiap hari ratarata
harus melayani makan-minum dua-tiga puluh orang.
Dengan sendirinya tungku yang digunakan beberapa kali lebih besar daripada tungku rumah
penduduk. Pwe-giok dan Lui-ji bersembunyi di dalam tungku besar itu sehingga serupa sembunyi di
dalam sebuah kamar sempit. Lubang tungku yang biasanya digunakan untuk menambah kayu
bakar itu menjadi mirip sebuah jendela bagi mereka.
Dinding papan dapur itu sudah terbakar ludes, maka melalui "jendela' ini dapatlah Pwe-giok
dan Lui-ji mengikuti gerak-gerik bangunan berloteng kecil di depan sana.
Di loteng kecil itulah Lui-ji dilahirkan dan dibesarkan, tapi sekarang bangunan itu sudah
berwujud tumpukan puing, tanpa terasa air mata Lui-ji berlinang-linang pula.
Tapi sedapatnya ia tidak memperlihatkan rasa sedih itu, katanya dengan tertawa, "Sicek, kau
lihat tidak" Tungku di rumahku sana juga tidak musnah terbakar."
"Ya, seperti ucapanmu tadi, tungku takkan terbakar rusak untuk selamanya," kata Pwe-giok
dengan suara halus. "Dan bumi juga selamanya takkan rusak terbakar. Bilamana kau suka
pada tempat ini, kelak masih boleh membangun sebuah rumah berloteng seperti tempat
tinggalmu yang dulu."
545 Termangu-mangu Lui-ji memandang ke sana, air mata kembali bercucuran, katanya dengan
hampa, "Rumah loteng memang masih dapat dibangun, tapi hari-hari kehidupan seperti
dahulu tidak mungkin datang kembali lagi."
Pwe-giok juga terkesima oleh ucapan anak dara itu.
Karena ucapan Lui-ji itu, tanpa terasa ia pun terkenang kepada kehidupannya yang bahagia
dan tenteram di masa lalu, teringat olehnya pohon waringin yang rimbun di halaman
rumahnya itu, di bawah pohon itulah setiap musim panas ayahnya suka menyaksikan dia
berlatih menulis, terbayanglah senyuman welas-asih sang ayah....
Semua itu baru saja terjadi setengah tahun yang lampau, tapi bila terkenang sekarang rasanya
seperti sudah jelmaan hidup yang lalu, tanpa terasa matanya menjadi basah lagi. Ucapnya
dengan rawan, "Ya, segala apa yang sudah berlalu takkan kembali lagi untuk selamanya."
"Dahulu," demikian Lui-ji bertutur dengan pelahan, "sebelum fajar menyingsing, tentu aku
sudah mulai memasak bubur, terkadang kubuatkan telur dadar, sedikit sayur asin dan kacang
goreng, maka nafsu makan Sacek lantas bertambah dan satu kuali bubur disikatnya habis, lalu
beliau akan memuji bubur yang ku masak itu harum dan enak, sayur asin dan kacang
gorengnya lezat dan gurih, tapi sekarang....." dia menghela napas, lalu menyambung dengan
menunduk. "Meski tungku di sana belum rusak terbakar, selanjutnya masih dapat ku masak
bubur di tungku itu, namun siapakah yang akan makan bubur yang ku masak itu."
Terharu Pwe-giok, tanpa terasa ia berkata, "Akulah yang akan makan bubur yang kau masak
itu." "Benar?" tanya Lui-ji sambil menengadah.
Sementara itu hari sudah terang, sinar sang surya menembus ke dalam tungku melalui lubang
kecil itu sehingga kelihatan wajah Lui-ji yang masih basah oleh air mata itu. Sinar matanya
gemerdep memancarkan cahaya kegirangan sehingga mirip setangkai bunga teratai putih
dengan butiran embun yang mekar di pagi cerah di musim semi.
Tergetar juga hati Pwee-giok, cepat ia melengos dan tidak berani memandangnya lagi.
Lui-ji menghela napas, katanya, "Ku tahu ucapan Sicek tadi hanya untuk menyenangkan
hatiku saja. Orang semacam Sicek tentu masih banyak urusan penting yang harus dikerjakan,
mana kau sempat datang padaku untuk makan bubur yang ku masak."
Suaranya begitu lirih dan rawan sehingga hati Pwe-giok kembali terharu, jawabnya dengan
tertawa, "Sicek tidak berdusta.... Biarpun banyak urusan yang harus ku selesaikan, tetapi
begitu pekerjaanku selesai, suatu hari aku pasti akan datang ke sini untuk makan bubur yang
kau masak."
Lui-ji tertawa senang seperti bunga yang baru mekar, ucapnya, "Jika begitu, aku akan masak
satu kuali bubur dan menunggu kedatanganmu."
"Setiap hari makan bubur saja tentu juga akan bosan," kata Pwe-giok dengan serius.
"Sebaiknya setiap dua-tiga hari satu kali harus kau buatkan nasi goreng istimewa bagiku,
kalau tidak aku bisa kurus kelaparan karena makan bubur melulu."
546 Lui-ji terkikik-kikik, katanya, "Makan bubur kan waktu pagi, makan siang tentunya lain,
selain nasi goreng, akan kubuatkan pula Ang-sio-tite (kaki babi saus manis), Jau-koh-kek-kiu
(ayam goreng jamur) dan hidangan lain yang lezat, tanggung tidak sampai tiga bulan Sicek
akan tambah gemuk satu kali lipat."
Melihat si nona tertawa girang, Pwe-giok juga bergembira. Tapi bila teringat kepada nasibnya
sendiri, sakit hati ayah belum terbalas, iblis itu masih memalsu dan menyamar sebagai "Ji
Hong-ho" gadungan dengan komplotan jahatnya sehingga segenap kawan Kangouw sama
tertipu, sebaliknya dirinya harus berjuang sendirian, entah kapan intrik musuh baru dapat
terbongkar. Untuk bisa hidup tenang dan gembira untuk makan bubur yang di masak anak
dara ini, mungkin harus menunggu sampai pada penjelmaan yang akan datang.
Selagi Pwe-giok termenung, tiba-tiba Lui-ji menegur, "He, Sicek.... mengapa engkau
menangis"!"
Cepat Pwe-giok mengusap matanya yang basah, jawabnya dengan tertawa, "Ah, anak bodoh,
Sicek sudah tua, mana bisa menangis. Karena asap maka keluar air mata."
Lui-ji termangu sejenak, tiba-tiba ia berkata pula dengan tertawa, "Sicek, masa kau anggap
dirimu sudah tua" Jika Sacek tidak menyuruhku agar panggil Sicek padamu, sebenarnya lebih
tepat kalau ku panggil Siko (kakak ke empat) padamu."
Pwe-giok memandangi wajah si nona yang berseri itu dan tak dapat menjawab. Entah manis,
entah kecut, entah getir, sukar untuk dijelaskan....
T A M A T Bagian Pertama
Pedang Dan Kitab Suci 20 Pendekar Kembar Karya Gan K L Pendekar Panji Sakti 2
Sudah barang tentu, yang paling runyam adalah Hay-hong Hujin sendiri, sungguh ia tidak
menyangka dirinya akan terkecoh oleh seorang dara cilik, seketika ia menjadi merah padam
dan tidak dapat bersuara lagi.
515 Syukurlah Pwe-giok lantas bertindak. Betapapun ia masih ingat kebaikan Hay-hong Hujin
ketika menemuinya di bawah sinar purnama dengan lautan bunga yang semerbak itu. Iapun
teringat kepada murid Hay-hong Hujin, yaitu Lim Tay-ih, tunangannya atau calon isterinya.
Maka ia coba menyimpangkan persoalan dan bertanya kepada Ji Hong-ho, "Yang berkunjung
kemari apakah cuma Anda berempat saja?"
Ji Hong-ho tersenyum, jawabnya, "Kami tahu tempat kediaman Hong-locianpwe ini agak
kurang leluasa menerima kunjungan orang banyak, sebab itulah beberapa sahabat terpaksa
kami tinggalkan menunggu di bawah sana."
Cu Lui-ji mendengus, "Hm, tentunya kau kira melulu kalian berempat saja sudah lebih
daripada cukup untuk menghadapi kami bukan" Atau, kalian kuatir kami akan lari, maka lebih
dulu begundal kalian telah diatur menjaga di sekitar tempat ini?"
Ji Hong-ho tidak menjadi marah, dengan tak acuh ia menjawab, "Nona memang pintar bicara,
tapi kalau nona mengira dengan kata2 yang tajam dapat kau bikin jeri kami, maka salahlah
kau. Coba pikirkan, dengan tokoh2 besar seperti Lo-cinjin dan Hay-hong Hujin ini, apakah
beliau ini sudi bertengkar mulut dengan seorang nona cilik hanya untuk kepuasan seketika
saja?" "Tapi mengapa sekarang kau sendiri bertengkar mulut denganku?" jawab Lui-ji. "Memangnya
karena kau merasa harga diri dan kedudukanmu terlebih rendah?"
Ji Hong-ho jadi melengak dan mendongkol, ia pikir kalau adu mulut dengan seorang anak
dara hanya akan menurunkan pamornya sendiri saja, terpaksa ia berlagak tidak dengar olok2
Cu Lui-ji, ia berdehem, lalu berkata terhadap Hong-sam, "Maksud kedatangan kami ini,
kukira Hong-locianpwe tentunya sudah tahu."
"Oo!" demikian Hong-sam sianseng hanya bersuara seperti orang ingin tahu.
Ji Pwe-giok juga berdiri tenang dan mendengarkan di samping.
Lalu Ji Hong-ho menyambung ucapannya, "Tentunya Hong-locianpwe juga tahu bahwa orang
yang kami cari dan akan kami ambil ialah nona Cu ini."
"Ooo?" kembali Hong-sam bersuara seperti keheranan.
Maka Ji Hong-ho melanjutkan lagi, "Soalnya nona Cu ini beberapa tahun akhir2 ini telah
berbuat berbagai urusan yang menimbulkan rasa ketidakpuasan para kawan Kangouw. Dalam
kedudukanku selaku Bengcu, terpaksa kupenuhi permintaan orang banyak dan secara
sembrono berkunjung kemari demi mencari keadilan. Dalam hal ini, asalkan Hong locianpwe
dapat memakluminya dan membiarkan kami membawa pergi nona Cu ini, maka Cayhe akan
menjamin persoalan ini pasti akan ku selesaikan secara adil dan jujur, bahkan pasti takkan
mengganggu ketenangan Hong-locianpwe yang perlu tetirah lebih lama lagi."
"Ooo!?" lagi2 Hong-sam hanya bersuara singkat saja.
Ber-turut2 ia bersuara 'O' tiga kali tanpa memberi reaksi sedikitpun. Hal ini membuat Ji
Hong-ho jadi melengak malah, sebab ia tidak tahu apa artinya 'O' itu, apakah setuju dan
menerima dengan baik atau menolak permintaannya?"
516 Sampai sekian lama baru terdengar Hong-sam sianseng menghela nafas panjang, lalu berkata,
"Bahwa kau berani datang kepada orang she Hong untuk mengambil orang, sungguh nyalimu
tergolong tidak kecil."
Ji Hong-ho tertawa hambar, ucapnya, "Ini disebabkan Hong-sam sianseng sekarang sudah
bukan lagi Hong-sam sianseng di masa dahulu."
Hong-sam tidak menjadi marah. Tiba2 sorot matanya beralih ke arah Lo-cinjin, katanya,
"Yang bicara adalah dia, yang akan bertempur mungkin ialah dirimu, begitu bukan?"
Lo-cinjin bergelak tertawa, jawabnya, "Hahahaha! Memang betul, walaupun Hong-sam
sekarang sudah bukan lagi Hong-sam dahulu, tapi apapun juga, kecuali diriku, mungkin
belum juga ada orang yang mampu melawan kau."
"Hehe, bagus," jengek Hong-sam sianseng. "Site (adik ke empat, maksudnya Ji Pwe-giok),
bolehlah kau maju bergebrak dengan dia."
Pwe-giok mengiakan terus melompat maju, ucapnya sambil memberi hormat kepada Locinjin.
"Silahkan Totiang memberi petunjuk beberapa jurus."
Bahwa yang ditantang ialah Hong-sam sianseng dan dia tidak maju sendiri, juga bukan Cu
Lui-ji yang maju melainkan Ji Pwe-giok yang diajukan sebagai jagonya, hal ini benar2 di luar
dugaan siapapun juga. Lo-cinjin, Ji Hong-ho, Ang-lian-hoa, dan Kun Hay-hong sama
melenggong bingung.
Segera Lo-cinjin berteriak dengan gusar, "Busyet! Masa kau suruh aku bergebrak dengan
bocah yang masih berbau pupuk ini. Memangnya apa maksudmu sebenarnya?"
"Masa maksudnya tidak kau pahami?" tanya Cu Lui-ji dengan perlahan.
"Ya, aku justeru tidak paham!" teriak Lo-cinjin.
"Rupanya tidak cuma badanmu saja kerdil, otakmu juga kerdil," demikian Lui-ji ber-olok2.
"Soalnya hanya dengan sedikit kemahiran mu ini lantas ingin bergebrak dengan Sacek sendiri,
maka kau masih ketinggalan sangat jauh. Kelak kalau kejadian ini tersiar, bukankah di dunia
Kangouw akan ramai orang bilang Sacek hanya mampu mengalahkan seorang kecil macam
kau." Seketika Lo-cinjin berjingkrak pula, kembali ia meraung gusar, "Tapi kenapa aku juga
disuruh bergebrak dengan anak ingusan ini" Sedangkan mengalahkan muridku saja dia tidak
mampu..." "Hm, berdasarkan apa kau berani meremehkan dia?" jengek Hong-sam sianseng. "Seumpama
Hong-sam sekarang bukan lagi Hong-sam dahulu, akan tetapi Ji Pwe-giok sekarang jelas juga
bukan Ji Pwe-giok pada waktu yang lalu."
Sinar mata Ji Hong-ho tampak gemerdep, tiba2 ia berkata, "Jika demikian, jadi urusan hari ini
cukup diandalkan padanya dan segala persoalannya akan dapat diputuskan berdasarkan
pertempurannya ini?"
517 "Ya, begitulah!" jawab Hong-sam sianseng dengan tegas.
"Dan kalau dia kalah, lalu bagaimana?" tanya Ji Hong-ho.
"Bila Sicek (paman ke empat) kalah, segera ku ikut pergi bersama kalian dan terserah akan
diapakan kalian!" seru Lui-ji lantang.
"Apakah ucapan ini dapat dipercaya?" tanya Ji Hong-ho pula.
"Hm, orang macam kau juga berani menyangsikan kepercayaanku?" jengek Hong-sam
sianseng. Terunjuklah rasa kegirangan pada sinar mata Ji Hong-ho, cepat ia berseru, "Jika demikian,
ayolah Totiang, lekas turun tangan, mau tunggu kapan lagi?"
"Kau juga menyuruh aku bergebrak dengan anak kemarin ini?" raung Lo-cinjin.
Dengan tersenyum Ji Hong-ho menjawab, "Tapi Ji-Kongcu ini sekarang sudah menjadi
saudara Hong-sam sianseng, bila Totiang bergebrak dengan dia kan tidak dapat dianggap
orang tua melabrak anak muda lagi?"
"Betul," tukas Hay-hong Hujin, "jika saudara Hong-sam sianseng yang bergebrak dengan
Totiang, apapun juga tak dapat dikatakan telah menurunkan derajat Totiang."
"Akan tetapi, bagaimana dengan janji pihak kalian apabila Totiang kalian yang kalah?" tanya
Lui-ji tiba2. Kembali Lo-cinjin berjingkrak, teriaknya dengan gemas, "Jika aku kalah, segera aku
menyembah padanya dan memanggilnya Suhu!"
"Wah, untuk ini kukira tidak perlu," kata Lui-ji dengan tertawa. "Jika Sicek menerima seorang
murid yang setiap hari senantiasa marah2 saja seperti dirimu ini, bisa jadi Sicek akan kepala
pusing tujuh keliling."
Lo-cinjin meraung pula dengan gusar, "Dalam 50 jurus, bilamana tidak dapat ku robohkan
dia, seketika juga ku angkat kaki dari sini."
Sebenarnya dia masih enggan bertarung dengan Pwe-giok yang dianggapnya tidak sepadan.
Tapi sekarang dia sudah benar2 murka sehingga berubah menjadi tidak boleh tidak harus
bertarung dengan Pwe-giok, kini tiada seorangpun yang dapat mencegah akan niatnya itu.
Dengan tertawa Lui-ji menjawab, "Jangankan cuma 50 jurus... jadikan saja 500 jurus juga
belum tentu dapat kau sentuh ujung baju Sicek. Hanya saja, meski demikian pernyataanmu,
lalu bagaimana pula dengan begundalmu itu?"
"Baiklah, jadi 500 jurus begitu," kata Ji Hong-ho dengan tersenyum. "Dalam 500 jurus itu bila
Lo-cinjin tidak dapat mengalahkan Ji-kongcu ini, seketika juga kami akan angkat kaki dari
sini dan takkan mengganggu gugat padamu lagi."
518 "Apakah pernyataannya juga mewakili kau?" tanya Lui-ji sambil memandang Hay-hong
Hujin. "Ji-kongcu adalah sahabatku, yang kuharap semoga Lo-cinjin hanya merobohkannya saja
tanpa melukainya," ucap Hay-hong Hujin dengan tersenyum.
"Dan kau?" tanya Lui-ji terhadap Ang-lian-hoa.
Sinar mata Ang-lian-hoa tampak guram, siapapun tidak tahu apa yang sedang dipikirkan ketua
Kaypang ini. Dia hanya menjawab dengan dingin, "Setuju!"
Semua orang, termasuk Ang-lian-hoa, siapapun tidak percaya Ji Pwe-giok mampu melawan
Lo-cinjin hingga 500 jurus. Sebab mereka sudah sama menyaksikan kepandaian Pwe-giok,
kalau anak muda itu mampu melawan Sip-hun hingga 500 jurus, hal ini boleh dikatakan
cukup hebat, dan sekarang kalau dia sanggup menahan 50 kali serangan Lo-cinjin, maka hal
ini benar2 suatu keajaiban.
"Jika sudah diputuskan begini, jadi semua orang sudah setuju, tiada orang lain lagi yang bakal
rewel?" demikian Lui-ji menegas.
"Siapa yang berani rewel?" Lo-cinjin meraung pula. "Jika ada yang berani rewel, segera
kupuntir kepalanya di sini juga.
Dia seperti tidak sabar lagi, segera ia berteriak pula, "Nah, bocah she Ji, ayolah mulai serang
dulu, aku akan mengalah tiga jurus padamu."
Sejak tadi Pwe-giok diam2 saja tanpa memberi komentar.
Ia tahu tugas yang dipikulnya sekarang maha berat, sesungguhnya dia sangat tegang dan rada
kebat-kebit, tapi ketika benar2 sudah berhadapan dengan Lo-cinjin, rasa tegangnya lantas
mulai kendur. Diam2 ia berkata kepada dirinya sendiri, "Sabarlah! Apapun juga Lo-cinjin juga cuma
seorang manusia belaka, kenapa aku harus jeri kepadanya?"
Karena lagi memikirkan dirinya sendiri, apa yang dipercakapkan orang lain tiada satu katapun
diperhatikannya, apa yang diperbuat orang lain juga sama sekali tidak dilihatnya.
Perhatiannya kini sudah tercurahkan seluruhnya ke tubuh Lo-cinjin saja.
Tiba2 ia melihat kedua mata Lo-cinjin, kedua alisnya dan kedua tangannya tidak sama rata
besarnya, yang sebelah kanan lebih kecil sedikit daripada yang sebelah kiri. Pada lubang
hidungnya kelihatan menongol tiga utas rambut hitam dan sangat kasar, rambut hidung itu
terlalu panjang hingga ber-getar2 di atas bibir. Pada leher bajunya di depan dada ada sebagian
tergores robek sehingga kelihatan baju dalamnya yang putih.
Lalu diketahui pula kelopak mata kiri Lo-cinjin sedang me-lonjak2, mungkin sedang kedutan,
ujung mulutnya juga ber-kerut2 seperti orang kejang. Kelima jari tangan kanan juga sama
bergemetar, tapi jari tangan kiri terjulur kaku lurus.
519 Apa yang dilihat Pwe-giok itu sebenarnya sedikitpun tidak menarik perhatian orang, akan
tetapi dalam keadaan perhatian Pwe-giok lagi dipusatkan kepada Lo-cinjin seorang saja,
setiap ciri yang paling kecil, tiba2 berubah menjadi begitu leas dan begitu nyata baginya.
Selamanya belum pernah Pwe-giok memperhatikan seseorang dengan sedemikian cermat,
selamanya pula tak terpikir olehnya akan dapat melihat keadaan seseorang dengan sedemikian
jelas. Ia masih terus memandangnya, sampai akhirnya hidung Lo-cinjin itu bagi pandangannya itu
seolah2 telah berubah menjadi sebesar mangkuk, berapa banyak pori2 di atas hidung orang
rasanya seperti dapat dilihatnya dengan jelas...
***** Lo-cinjin sedang berteriak dan meraung, namun Pwe-giok seperti tidak mendengarnya. Sudah
dua kali Lo-cinjin mendesaknya agar anak muda itu lekas mulai, tapi dia masih tetap berdiri
tenang seperti orang linglung, sedikitpun tidak bergerak.
Semua orang menjadi heran, ada yang berpikir, "Jangan2 anak muda ini menjadi ketakutan
dan kesima."
Tanpa terasa tersembul senyuman girang pada ujung mulut Ji Hong-ho.
Lo-cinjin tidak sabar lagi, kembali ia berjingkrak dan meraung, "He, apakah kau..."
Di luar dugaan, sekali ini baru saja kakinya melonjak dan suaranya baru saja bergema, Ji Pwegiok
yang kelihatannya linglung seperti patung itu mendadak melompat maju secepat terbang.
Secepat kilat telapak tangannya juga lantas menabas ke dengkul Lo-cinjin.
Hendaklah dipahami bahwa tokoh besar seperti Lo-cinjin ini, kungfunya boleh dikatakan
sudah mencapai tingkatan yang terlebur menjadi satu dengan jiwa raganya. Pada waktu biasa,
setiap gerak geriknya, sengaja atau tidak sengaja selalu bertindak sesuai dengan kungfunya.
Seperti halnya seorang penari mahir, setiap gerak geriknya pada waktu biasa juga pasti
bergaya jauh lebih indah daripada orang lain.
Sebab itulah, meski Lo-cinjin tampaknya berdiri seenaknya, namun seluruh tubuh se-akan2
juga senantiasa terjaga rapat dan tiada setitik lubangpun untuk diserang.
Tapi, tidak perduli siapapun juga, bilamana sedang marah, selagi berjingkrak seperti orang
kebakaran jenggot, maka setiap gerakannya tentu juga rada teledor, apalagi kalau kedua kaki
sudah terapung di udara dan bukan lagi menendang lawan, maka di bagian bawah pasti akan
memperlihatkan ciri kelemahan.
Dengan memusatkan segenap perhatiannya mengamati lawan, tujuan Pwe-giok justeru ingin
mencari titik kelemahan Lo-cinjin. Maka begitu lawan memperlihatkan kelemahan pada
bagian bawahnya, serentak dia melesat maju, tebasan telapak tangannya justeru menyerang
titik yang paling lemah di tubuh lawan pada sat itu, bagian yang hampir tidak terjaga sama
sekali. 520 Tentu saja Lo-cinjin terkejut, perawakannya yang kurus kecil itu se-konyong2 berputar di
udara, sekaligus kaki dan tangannya balas menyerang Pwe-giok .
Gerakan mengelak sambil balas menyerang atau menyerang untuk menyelamatkan diri ini
ternyata tindakan yang tepat dan hebat. Di sini terbukti bahwa Lo-cinjin memang tidak malu
disebut sebagai tokoh kelas top pada jaman ini, sekalipun menghadapi bahaya tetap tidak
bingung. Pada saat itulah Cu Lui-ji lantas menjengek, "Huh, mau mengalah tiga jurus" Hm...!"
Seperti diketahui, tadi Lo-cinjin menyatakan hendak memberi tiga jurus kepada Pwe-giok.
Tapi sekarang dia bukan cuma mengelak saja, tapi balas menyerang, dengan sendirinya tidak
dapat dianggap sebagai jurus mengalah.
Mendadak terdengar Lo-cinjin bersuit panjang, di tengah suara suitan nyaring itu tahu2
tubuhnya sudah menyurut mundur ke belakang.
Padahal tangan dan kakinya sedang menyerang ke depan, tapi mendadak tubuhnya dapat
menyurut mundur dalam keadaan terapung, kelihatannya jadi seperti ada orang menariknya
dari belakang. Kejadian ini bila dilihat orang biasa, mungkin akan menyangka Tojin kecil itu mahir ilmu
gaib atau sedang main sulap.
Tapi yang hadir di atas loteng ini sekarang hampir boleh dikatakan seluruhnya terdiri dari
jago2 silat kelas satu, semuanya dapat melihat suara suitan Lo-cinjin tadi bukannya tidak ada
gunanya. Dengan bersuit itulah Lo-cinjin mengerahkan hawa murni di dalam tubuhnya dan
dipancarkan. Karena pancaran hawa murni inilah tubuhnya lantas tertolak mundur.
Soal sebab apa pancaran hawa itu dapat membuat orang berbalik terdorong ke belakang, teori
ini dengan sendirinya belum dapat dimengerti orang pada jaman itu. tapi di sini pula setiap
orang dapat menyaksikan betapa hebat Khikang (ilmu mengerahkan hawa dalam perut) Locinjin.
Sampai2 Ang-lian-hoa yang tidak suka sembarangan memuji orang, tanpa terasa iapun
berseru, "Khikang yang hebat!"
Ji Hong-ho tersenyum puas dan bangga, tanyanya pada Ang-lian-hoa, "Menurut pendapat
Pangcu, Ji-kongcu ini kira2 mampu menahan berapa jurus serangan Cinjin?"
Wajah Ang-lian-hoa menampilkan perasaan sayang dan menyesal, jawabnya sesudah berpikir
sejenak, "Kukira paling banyak hanya antara seratus jurus saja."
Ji Hong-ho lantas berpaling ke arah Hay-hong Hujin dan bertanya dengan tersenyum, "Dan
bagaimana pandangan Hujin?"
"Pandangan Ang-lian-pangcu maha tajam, masakan pendapatnya bisa keliru?" ujar Hay-hong
Hujin dengan tersenyum.
521 Sejak awal hingga sekarang Hay-hong Hujin dan Ang-lian-hoa sama sekali tidak memandang
barang sekejap pun ke arah Kwe Pian-sian, se-olah2 di pojok sana hakekatnya tidak terdapat
sesuatu, apalgi ada orang bersembunyi di situ.
Tentu saja diam2 Kwe Pian-sian bergirang karena jejaknya tidak diperhatikan lawan yang
ditakuti itu. Tapi sekarang demi mendengar ucapan mereka, seketika hatinya cemas. Pikirnya,
"Loteng ini hanya sejengkal luasnya, sekalipun aku bersembunyi di sudut segelap ini,
mustahil dengan ketajaman mata mereka tak dapat melihat diriku" Jelas mereka yakin benar2
tiada seorangpun di atas loteng ini yang mampu lolos, makanya mereka sengaja berlagak tak
acuh terhadapku."
Berpikir demikian, seketika keringat dingin membasahi tubuhnya.
Dalam pada itu Lo-cinjin benar2 telah mengalah tiga jurus kepada Pwe-giok, kini dia sudah
mulai melancarkan serangan balasan.
Gaya serangannya tiada memperlihatkan sesuatu tipu istimewa atau gerakan yang luar biasa,
tampaknya tidaklah sesuai dengan nama kebesarannya.
Akan tetapi setelah belasan jurus, daya tekanannya mulai kelihatan hebatnya, serangannya
tambah mantap dan berat.
Gaya serangannya memang tiada sesuatu perubahan yang istimewa dan mengherankan, akan
tetapi antara jurus serangan yang satu dengan serangan berikutnya terpadu sedemikian
rapatnya, terkadang antara dua jurus kelihatan berlawanan, gerak tangan dan arah yang dituju
jelas berbeda. Bila orang lain yang memainkan dua jurus serangan demikian pasti akan
kerepotan atau kalau bisa tentu juga sangat dipaksakan, namun bagi Lo-cinjin ternyata dapat
dimainkan dengan sangat lancar dan serasi se-olah2 jurus yang satu dengan jurus lain
memang sambung menyambung.
Semula Cu Lui-ji rada meremehkan Tojin kerdil ini, diam2 ia lagi melengak, "Hm, rupanya
Lo-cinjin yang termasyhur juga cuma begini saja kemampuannya."
Akan tetapi setelah mengikuti beberapa jurus lagi, mau-tak-mau perasaannya mulai tertekan.
Gerak serangan Lo-cinjin yang kelihatannya lumrah saja itu, makin dipandang makin lihay
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan makin menakutkan. Serangannya tidak banyak variasinya, kalau menghantam ya
menghantam begitu saja seperti sebuah martil besar atau sebuah kapak raksasa, tapi serangan
demi serangan susul menyusul, sambung menyambung tanpa putus.
Melihat gencarnya serangan Lo-cinjin itu, para penonton saja merasa tegang sehingga
bernapas saja hampir2 tak sempat, apalagi Ji Pwe-giok yang langsung menghadapi serangan
dahsyat itu. Dalam cemasnya, Cu Lui-ji coba memandang Hong-sam sianseng sekejap, meski di mulut
tidak bersuara, namun sorot matanya tiada ubahnya seperti ingin bertanya, "Apakah Sacek
yakin jago kita akan sanggup menahan 300 jurus serangan lawan?"
522 Tak terduga Hong-sam sianseng malah terus memejamkan matanya, terhadap pertarungan
mati2an, pertarungan yang menyangkut mati atau hidup, pertarungan yang menyangkut hina
atau jaya namanya itu, sama sekali ia tidak menghiraukan lagi.
Hanya sekejap saja 30 jurus lebih sudah berlangsung, setiap jurus serangan Lo-cinjin semakin
dahsyat dan tambah lihay. Tampaknya Pwe-giok hanya mandah diserang saja, sampai2 tenaga
untuk balas menyerang saja sudah tidak ada lagi.
Begitu berat rasanya Pwe-giok menghadapi lawannya terbukti dari sikapnya yang kelihatan
prihatin, setiap kali dia hendak bergerak, tampaknya kudu berpikir lebih dulu. Padahal
pertarungan di antara tokoh silat kelas tinggi mana ada peluang baginya untuk berpikir segala.
Maka setelah mendekati 50 jurus, unggul dan asor atau kalah dan menang tampaknya sudah
jelas, sudah pasti. Semua orang yakin, apabila Ji Pwe-giok sanggup bertahan sampai 100 jurus
lebih, maka hal inipun sudah terhitung ajaib.
Tiba2 terdengar Ji Hong-ho berkata dengan tertawa, "Haha, pertarungan sebagus ini, sungguh
jarang ditemui selama ratusan tahun ini. Kalau tontonan menarik ini di-sia2kan, sungguh
terasa sangat sayang."
Dengan tersenyum Sip-hun lantas menanggapi, "Jika demikian, biarlah Tecu mengerek semua
kerai jendela loteng ini agar setiap orang dapat ikut menyaksikannya, boleh?"
"Hah, bagus sekali usulmu!" seru Ji Hong-ho dengan bergelak.
Tanpa menunggu perintah lagi, terus saja Sip-hun melipat semua kerai jendela.
Suara angin di luar masih men-deru2 dan menyeramkan, malam tambah kelam, bumi dan
langit se-olah2 penuh diliputi oleh suasana ketegangan.
Di atas wuwungan rumah di sekeliling loteng kecil itu ternyata sudah penuh ditongkrongi
orang, semuanya ingin menonton pertarungan menarik ini meski harus menahan dinginnya
udara malam. Dan begitu kerai jendela dikerek, seketika orang yang menongkrong di atas
wuwungan rumah itu bertambah banyak.
Tadi Kwe Pian-sian bermaksud kabur pada waktu keadaan kemelut, tapi sekarang barulah ia
sadar biarpun mendadak dia tumbuh sayap juga jangan harap akan dapat mabur.
Jilid 21________
Kwe Pian-sian menghela napas, ia tahu tiada gunanya lagi main sembunyi-sembunyi.
Sekalian ia lantas berdiri, dia mengangguk pelahan terhadap Hay-hong Hujin dengan
tersenyum, sikapnya seolah kejut, heran dan juga girang, seperti kekasih yang mendadak
berjumpa kembali setelah berpisah sekian tahun lamanya. Kaceknya cuma dia tidak terus
berlari maju dan merangkul atau memegang tangannya untuk menyatakan rasa rindunya
selama berpisah itu.
Namun Hay-hong Hujin tetap tidak memandangnya barang sekejap pun, seakan-akan di situ
tiada terdapat seorang macam Kwe Pian-sian. Sebaliknya ia malah berkata terhadap Ji Hongho
dengan tersenyum, "Ada satu hal yang sangat mengherankan aku?"
523 "Hujin mengherankan hal apa?" tanya Ji Hong-ho.
"Coba Bengcu memberi komentar, bagaimana daya pukulan Lo-cinjin kalau dibandingkan
mendiang Thian-kang Totiang?" tanya Hay-hong Hujin.
Ji Hong-ho tersenyum, jawabnya, "Ilmu sakti Kun-lun-pay tiada bandingannya. Betapa hebat
kekuatan ilmu pukulan Thian-kang Totiang bahkan sudah lama dikagumi oleh sesama rekan
dunia persilatan, cuma....."
"Cuma kalau dibandingkan Lo-cinjin masih selisih satu tingkat, begitu bukan?" tukas Hayhong
Hujin. Ji Hong-ho hanya tersenyum saja tanpa menjawab. Diam tanpa menyangkal berarti
membenarkan. Maka Hay-hong Hujin berkata pula, "Belasan tahun yang lalu aku ikut almarhum guruku ke
Kun-lun-san, kebetulan menyaksikan Thian-kang Totiang sedang bergebrak dengan orang,
lawannya seperti seorang Lama dari benua barat, kekuatannya juga sangat mengejutkan."
"Mungkin itulah Ang-hun Lama, satu di antara tiga tokoh Lama besar yang terkenal, orang ini
sudah lama bermusuhan dengan Kun-lun-pay, bukan cuma satu kali saja dia menyatroni Kunlun-
san." "Waktu itu jarak berdiri kami dengan kalangan pertempuran mereka sedikitnya ada tujuh atau
delapan tombak, akan tetapi setiap kali Thian-kang Totiang menyerang, dengan jelas kulit
muka terasa perih oleh samberan angin pukulannya, bahkan ujung baju juga sama tergetar dan
berkibar. Tapi sekarang Lo-cinjin bertempur di depan kita dalam jarak sedekat ini, mengapa
sedikitpun tidak kurasakan tenaga pukulannya."
"Hal ini disebabkan Lo-cinjin sudah dapat menguasai tenaga pukulannya dengan sesuka hati,
setiap kali dia memukul, tenaga pukulannya hanya dipusatkan kepada Ji-kongcu seorang saja,
sedikitpun tidak terbuang ke tempat lain, dan bila serangan tidak kena sasaran, segera ia tarik
kembali tenaga pukulannya, sebab itulah beban yang harus dihadapi Ji-kongcu cukup berat,"
setelah tertawa, lalu Ji Hong-ho menyambung, "Kalau tidak begitu, jangan kau dan diriku,
bahkan seluruh loteng kecil ini mungkin sudah tergetar runtuh sejak tadi."
Hay-hong Hujin menghela napas, ucapnya dengan pelahan, "Untung aku bukan Ji Pwe-giok,
kukira saat ini dia tentu sangat tidak enak."
"Hm, juga belum tentu tidak enak sebagaimana dugaanmu," jengek Cu Lui-ji.
"He, kau tahu" Darimana kau tahu?" tanya Hay-hong Hujin dengan tertawa.
Namun Cu Lui-ji tidak menggubrisnya lagi, dia sibuk bergumam dan menghitung jurus
pertempuran mereka, "Sembilan puluh.... sembilan satu..... sembilan dua....."
Cara menghitungnya sesungguhnya terlalu cepat, padahal sampai saat itu antara Lo-cinjin dan
Ji Pwe-giok paling-paling baru bergebrak delapan puluh jurus. Akan tetapi rombongan Ji
524 Hong-ho sudah yakin Pwe-giok pasti tidak sanggup bertahan sampai 300 jurus, sebab itulah
tiada orang yang perduli cara berhitung Lui-ji itu.
Saat mana Pwe-giok sudah mirip sebuah paku, meski terus menerus dihantam oleh sebuah
palu raksasa, tapi bila palu ingin membuat bengkok pakunya juga tidak terlalu gampang.
Tiba-tiba Pwe-giok merasakan daya serang Lo-cinjin itu meski hebat, tapi ternyata tidak
terlalu mendesak, terkadang bila dia menghadapi serangan berbahaya dan seketika sukar
menemukan cara untuk mematahkannya, Lo-cinjin berbalik seperti sengaja memberi
kelonggaran padanya dan memberi waktu berpikir baginya.
Hal ini tentu saja tidak disia-siakan oleh Pwe-giok, caranya menyerang atau menangkis
sengaja lebih diperlambat.
Sebaliknya Cu Lui-ji yang menghitung jumlah gebrakan mereka tambah cepat malah,
berturut-turut ia berseru, "Seratus satu, seratus dua, seratus tiga....."
Ji Hong-ho memandang Ang-lian-hoa sekejap, ucapnya dengan tersenyum, "Seratus jurus
sudah lalu, tak nyana dia masih sanggup bertahan."
"Ya, sungguh tak tersangka." jawab Ang-lian-hoa dengan tak acuh.
Tiba-tiba Sip-hun berkata: "Tenaga dalam Ji-kongcu ini tampaknya mendadak bertambah
lipat ganda, betul tidak?"
"Ya," jawab Ang-lian-hoa.
"Tenaga dalam seorang dapat bertambah sebanyak ini hanya dalam waktu setengah hari ini,
hal ini benar-benar sukar untuk dimengerti," ujar Sip-hun dengan gegetun.
Ji Hong-ho tersenyum, katanya, "Tapi Toheng tidak perlu kuatir, biarpun tenaga dalamnya
lebih kuat lagi juga tetap tidak mampu menahan seratus jurus serangan gurumu."
"Tapi saat ini seratus jurus kan sudah lebih?" ujar Sip-hun.
"Ah, hal itu disebabkan gurumu sengaja hendak mengetahui tinggi-rendah dan asal-usul ilmu
silat lawan saja." kata Ji Hong-ho. "Kalau tidak, pada jurus ke-86 tadi jelas Ji-kongcu sudah
tidak sanggup bertahan lagi. Betul tidak?"
Ucapannya itu ditujukan kepada Sip-hun, tapi suaranya itu justeru diperkeras seakan-akan
kuatir tidak terdengar oleh Lo-cinjin.
Benar saja, Lo-cinjin lantas tertawa dan berkata, "Betul, aku memang ingin tahu Kungfu hebat
apa yang diajarkan Hong Sam kepada bocah ini. Tapi sekarang rasanya sudah cukup bagiku!"
Di tengah suara gelak tertawanya itu mendadak ia pergencar serangannya.
Tak terduga, setiap serangannya selalu dapat dipatahkan oleh Pwe-giok, kalau lawan bergerak
dan menyerang cepat, maka iapun ikut cepat.
525 Hendaklah maklum, sekalipun Ji Pwe-giok sangat pintar dan cerdik, walaupun Hong-sam
sianseng juga tidak sayang mengajarkan segenap Kungfunya, tapi dalam waktu singkat yang
cuma setengah hari itu apa yang dapat dipahaminya tentu juga sangat terbatas dan tidak
banyak. Sebab itulah jurus serangan yang digunakannya untuk melawan Lo-cinjin ini kebanyakan
adalah ciptaannya sendiri secara darurat dan karena itu pula gerak-geriknya dengan sendirinya
tidak leluasa. Akan tetapi setelah lewat seratus jurus, tiba-tiba kecerdasannya tambah meningkat, kini jurus
serangan baru ciptaannya sudah tambah banyak, gerak perubahan jurus serangannya juga
tambah apal. Hal ini serupa main catur dengan orang yang ahli, biarpun baru mulai belajar,
lama-lama tentu juga akan terdesak hingga mendapatkan ilham, tanpa terasa akan memainkan
beberapa langkah ajaib yang sama sekali tak disadarinya.
Dan jurus serangan ciptaan Pwe-giok sekarang juga timbul lantaran terdesak dan terpaksa.
Dalam pada itu Cu Lui-ji masih terus menghitung, "Seratus enam puluh satu, enam dua, satu
enam tiga...."
Tiba-tiba Ji Hong-ho tertawa, katanya, "Ah, apakah hitungan nona tidak salah" Sampai saat
ini kan baru jurus ke 153 saja?"
Tadinya ia anggap tidak menjadi soal meski nona cilik itu menghitung lebih cepat beberapa
jurus, tapi sekarang setelah menyaksikan ketahanan Ji Pwe-giok yang luar biasa, bahkan jurus
serangannya yang baru bertambah lihay, akhirnya ia tidak tahan dan menyatakan
keberatannya terhadap cara hitung Cu Lui-ji.
Lui-ji tertawa terkikik-kikik, katanya, "Bukankah kalian penuh keyakinan akan menang"
Kenapa sekarang kaupun mulai berkuatir" .... Satu enam tujuh, satu enam delapan.... satu
enam sembilan...." begitulah dia masih terus menghitung dengan caranya sendiri, cara
bagaimana orang memprotesnya sama sekali tak dihiraukannya.
"Ya, jika nona tetap menghitung cara demikian juga tidak beralangan, hanya saja nanti harus
dipotong delapan jurus," ujar Ji Hong-ho dengan tertawa.
Mendadak Lo-cinjin meraung gusar, "Biarpun dia menghitung lebih banyak delapan jurus
juga tidak menjadi soal, memangnya dia mampu menyambut 300 jurus seranganku?" - Sambil
menggerung, suatu pukulan dahsyat terus dilontarkan.
"Nah, kalian sudah dengar sendiri, jago kalian menyatakan cukup 300 jurus saja akan
mengalahkan Sicek," seru Lui-ji dengan tertawa. Lalu dia terus menghitung, "Satu tujuh
puluh...."
Dalam pada itu Pwe-giok telah membuat suatu lingkaran dan berhasil mematahkan hantaman
dahsyat lawan. Akan tetapi, biarpun serangan lawan sudah dipatahkan, namun tenaga pukulan
lawan yang maha dahsyat itu masih terus menindihnya.
"Blang", tahu-tahu papan loteng berlubang, Ji Pwe-giok benar-benar seperti sebuah paku,
langsung diketok ambles ke bawah melalui lubang itu.
526 Saat itu Lui-ji baru menghitung sampai, "Satu tujuh satu......." dan karena terkejut, seketika
hitungannya terhenti.
Ji Hong-ho tertawa senang, katanya, "Meskipun Ji-kongcu kalah, tapi dia mampu menahan
ratusan jurus serangan Lo-cinjin, betapapun dia memang hebat."
"Apa" Kalah" Siapa bilang Sicek kalah?" tanya Lui-ji dengan melotot.
"Hah, semua orang menyaksikan dengan jelas, masakah ini belum terhitung kalah?" ujar Ji
Hong-ho dengan tertawa.
Belum lagi Lui-ji menanggapi, sekonyong-konyong terdengar suara "blang" pula, tahu-tahu
Pwe-giok telah muncul lagi dengan menerobos lubang papan loteng tadi. Menyusul sebelah
tangannya lantas menghantam ke arah Lo-cinjin.
"Hahaha! Apa yang kau lihat sekarang" Jelas bukan?" seru Lui-ji sambil berkeplok tertawa.
"Yang pecah adalah papan loteng dan bukan perut Sicekku, masa kau anggap Sicek sudah
kalah" Hahaha, sungguh lucu! Jika papan loteng berlubang lantas dianggap kalah, sekarang
juga dapat kulubangi papan loteng ini tiga puluh lubang sekaligus."
Dan tanpa menunggu jawaban Ji Hong-ho ia terus menyambung hitungannya, "Satu tujuh
sembilan, satu delapan puluh, satu delapan satu...."
Sekali ini hitungannya tidak lebih banyak lagi daripada gebrakan yang sesungguhnya, sebab
pada waktu dia bicara tadi antara Lo-cinjin dan Ji Pwe-giok sudah bergebrak delapan kali..
Ji Hong-ho menjadi bungkam dan tak dapat menyangkal. Ia tersenyum, katanya kemudian,
"Ji-kongcu, papan loteng ini telah menyelamatkan jiwamu, hendaknya jangan kau lupakan hal
ini." Pwe-giok dapat menerima ucapan lawan itu, ia sendiri tahu bilamana tadi papan loteng itu
tidak jebol, tentu dia akan dirobohkan oleh tenaga pukulan Lo-cinjin yang maha dahsyat itu.
Kalau melulu mereka berdua yang bertanding, dengan sendirinya dia harus menyerah kalah
secara jujur. Akan tetapi pertarungan ini justeru menyangkut pula keselamatan orang lain, mau tak mau Ji
Pwe-giok harus melanjutkan pertandingan ini, apapun yang diucapkan Ji Hong-ho
dianggapnya sebagai angin lalu saja dan pura-pura tidak mendengar.
Setelah dua-tiga puluh gebrakan pula, kini senyuman yang menghiasi wajah Ji Hong-ho sudah
tidak nampak lagi, agaknya iapun melihat betapa tangkasnya Ji Pwe-giok dan sukar dijajaki.
Angin pukulan semakin menderu, bayangan orang berkelebat. Di sekeliling loteng kecil yang
penuh kerumunan penonton itu ramai orang berbisik-bisik membicarakan pertandingan
dahsyat ini. Terdengar ada yang sedang berkata, "Sekarang dua ratus jurus sudah berlalu,
apakah kau kira anak muda itu mampu bertahan seratus jurus lagi?"
"Hal ini sukar dipastikan." jawab seorang lain.
527 "Sungguh tak terduga bocah ini ternyata seorang yang tahan gebuk," demikian sambung
seorang lagi. "Pada waktu mulai tadi, tampaknya dia sangat lemah, mungkin sepuluh jurus
saja tidak tahan, tapi makin bergebrak makin tangkas, sekarang malah kelihatan penuh
bersemangat."
Mendadak Lo-cinjin berjingkrak murka dan meraung, "Kalian semuanya tutup bacot! Jika ada
yang berani kentut lagi, seketika juga kumampuskan dia!"
Karena bentakan ini, suara bisik-bisik itu serentak cep-klakep, semuanya diam, tiada yang
berani buka mulut lagi. Namun dalam hati setiap orang cukup maklum bahwa Lo-cinjin
sendiri sekarang juga mulai gopoh.
Dalam pada itu suara hitungan Cu Lui-ji bertambah lantang, "Dua ratus sebelas, dua ratus dua
belas... dua ratus tiga belas.... "
Mencorong juga sinar mata Kwe Pian-sian menyaksikan pertandingan hebat itu.
Hanya Pwe-giok saja yang tahu keadaannya sendiri, hatinya terasa mulai tenggelam..... Tibatiba
ia merasa dirinya tidak sanggup bertahan lagi, mungkin 30 jurus saja tidak kuat bertahan
pula. Pada saat itulah tiba-tiba Hong-sam sianseng membuka matanya, wajahnya yang sejak tadi
selalu tenang itu menampilkan juga setitik rasa cemas, hanya dia dan Ji Pwe-giok saja yang
tahu bahwa tenaga dalam yang dipinjamkan kepada Pwe-giok itu sudah hampir terkuras habis.
Hendaklah diketahui bahwa meski Hong-sam sianseng sejak tadi memejamkan mata, tapi dari
angin pukulan kedua pihak dia dapat mengikuti apa yang terjadi, dari tenaga pukulan kedua
pihak dapat dibedakannya unggul dan asornya. Sebab itulah meski tadi Ji Pwe-giok berada
dalam keadaan terserang, tapi dia tidak merasa kuatir, sebab waktu itu dia tahu tenaga dalam
Pwe-giok masih kuat, sekalipun Lo-cinjin sudah di atas angin juga sukar hendak merobohkan
anak muda itu. Tapi sekarang meski tenaga pukulan Pwe-giok masih tetap kuat, namun untuk menarik
kembali pukulannya justeru terasa payah, bahkan setiap kali menghantam, setiap kali
tenaganya juga menyusut.
Sampai akhirnya menyusutnya tenaga Pwe-giok juga bertambah cepat, begitu cepat seakanakan
dibetot orang dari luar.
Ia tahu bilamana tenaga dalamnya sudah terkuras habis, maka jangan harap akan mampu
menahan sekali hantam Lo-cinjin yang kuat seperti gugur gunung dahsyatnya itu.
Mendadak dilihatnya kepalan Lo-cinjin memukul ke depan dengan gaya menusuk seperti
pedang yang tajam, dalam gugupnya Pwe-giok tidak sempat berpikir lagi, langsung dia
menangkis, karena itu tubuhnya lantas tergetar hingga sempoyongan.
Betapa lihay Lo-cinjin, segera ia tahu lawan sudah tidak tahan lagi, seketika semangatnya
terbangkit, beruntun dia menghantam pula tiga kali sehingga Pwe-giok terdesak ke pojok.
528 Semua orang sama melongo heran, ada yang terkejut dan ada yang bergirang, kalau tadi
mereka tidak paham mengapa Pwe-giok sanggup bertahan, maka sekarang mereka pun tidak
mengerti sebab apa mendadak ia tidak tahan.
Dalam pada itu Cu Lui-ji masih terus menghitung, "Dua dua enam, dua dua tujuh, dua dua
delapan...." meski hitungannya tidak pernah terputus, namun suaranya sudah mulai gemetar.
Kini hanya sisa tujuh puluhan jurus saja, namun untuk sekian jurus ini jelas Ji Pwe-giok tidak
sanggup bertahan lagi. Keadaan ini sekalipun Ciong Cing juga dapat melihatnya.
Hay-hong Hujin menghela napas gegetun, katanya, "Mungkin takkan sampai hitungan dua
ratus enam puluh....."
"Dua ratus lima puluh saja sudah jauh daripada cukup," ujar Ji Hong-ho dengan tersenyum.
Mendadak Lo-cinjin menukas dengan membentak, "Kubilang cukup dua ratus empat puluh
saja!" - Berbareng dengan bentakannya, kepalan kiri dan telapak tangan kanan terus
menghantam sekaligus.
Saat itu Lui-ji lagi menghitung sampai: "Dua ratus tiga puluh delapan....."
Seketika itu juga Pwe-giok merasa angin pukulan dan bayangan telapak tangan beterbangan
dan entah cara bagaimana harus menangkisnya. Apalagi sekalipun dia dapat menangkis juga
sukar menahan tenaga dalam yang maha dahsyat seperti gugur gunung itu.
Tampaknya dia pasti akan terpukul roboh dan tiada pilihan lain....
Wajah Ji Hong-ho kembali menampilkan senyuman gembira, Ang-lian-hoa juga telah
melompat turun dari ambang jendela, Hay-hong Hujin sedang menggeleng kepala, Sip-hun
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
merangkap kedua tangannya di depan dada seperti lagi berdoa....
Tubuh Pwe-giok tampaknya sudah mulai mendoyong ke belakang karena terdesak oleh angin
pukulan yang kuat, seperti sebuah gendewa yang terpentang dan segera akan tertarik patah
mentah-mentah. "Mengaku kalah tidak"!" bentak Lo-cinjin mendadak.
Pwe-giok tidak menjawab, ia menggertak gigi dan bertahan sekuatnya sambil menggeleng
sebagai tanda pantang menyerah.
Segera Lo-cinjin menambah tenaga lagi, teriaknya dengan gusar, "Masih tahan kau" Tidak
roboh sekarang"!"
Akan tetapi Pwe-giok justeru tidak mau roboh, tubuhnya semakin melengkung dan semakin
rendah dengan keringat memenuhi kepalanya, namun matipun dia tidak mau roboh.
Pandangan semua orang terpusat kepada Pwe-giok, sampai berkedip saja tidak. Angin di luar
jendela meniup makin santer seakan-akan merobek bumi raya ini. Sedangkan semua orang
yang berada di dalam sama ikut tegang, suasana sunyi menyesakkan napas.
529 Tiba-tiba terdengar suara keriat-keriut yang timbul dari tulang punggung Pwe-giok, nyata
badannya seakan-akan ditindih patah menjadi dua oleh tenaga tekanan yang maha dahsyat itu.
Ciong Cing sudah mengucurkan air mata, sekujur badannya tampak gemetar. Kwe Pian-sian
juga cemas, berulang-ulang ia mengusap keringatnya.
Sekonyong-konyong Ciong Cing berteriak dengan suara parau, "Ji-kongcu kumohon padamu,
kumohon dengan sangat, hendaklah kau rebah sajalah!"
Hay-hong Hujin menghela napas panjang, ucapnya, "Ai, anak bodoh, untuk apalah kau
bertahan susah payah begitu"....."
Pandangan Cu Lui-ji sudah samar-samar karena kelopak matanya mengembeng air mata, air
mata pun mulai meleleh ke pipinya. Saat ini sampai Lui-ji juga hampir-hampir membujuk
Pwe-giok agar rebah dan mengaku kalah saja.
Remuk redam hati Lui-ji, ia sudah tidak tega memandangnya lagi.
Ang-lian-hoa juga tidak tahan, mendadak ia berseru, "Hong-sam sianseng, apakah kau
menghendaki dia mati tertindih begitu barulah mau mengaku kalah?"
Hong Sam tidak menjawabnya, sejenak kemudian barulah ia berkata dengan rawan, "Urusan
sudah begini, terpaksa aku...."
Tapi mendadak Pwe-giok berteriak: "Tidak, kita belum kalah, aku belum lagi roboh, aku
masih tahan!"
Lo-cinjin menjadi gusar, dampratnya, "Anak busuk, tabiat busuk, memangnya kau minta
benar-benar kuhancurkan kau"!" - Saking gusarnya ia terus mendesak maju satu langkah.
Tak terduga, tiba-tiba kakinya kebetulan menginjak pada sesuatu yang lunak, kiranya dia
menginjak di atas sebuah karung goni. Padahal tenaga injakannya itu tidak kepalang kuatnya,
betapapun kukuhnya karung goni itu juga pecah terinjak.
"Bret", karung goni itu robek, sekonyong-konyong beratus-ratus makhluk berbisa yang sukar
dibedakan jenisnya itu sama merayap ke atas tubuhnya.
Karena kejadian yang tak terduga-duga ini, semua orang sama melenggong.
Lo-cinjin menjadi kaget dan juga gusar, cepat tangannya mengebas dan kaki bergoyang,
maksudnya hendak membikin rontok binatang melata itu tergetar jatuh dari tubuhnya, habis
itu akan diinjaknya hingga hancur.
Akan tetapi binatang melata yang sudah terlanjur merayap ke atas tubuhnya itu terlalu
banyak, seketika sukar dibersihkannya.
Maka terjadilah adegan aneh dan lucu, Lo-cinjin seperti lagi menari, sebentar tangannya
berputar, lain saat kakinya melangkah, mendadak tangan menepuk tubuh sendiri pula. Kalau
saja Khikangnya tidak mencapai tingkatan yang sempurna dan hawa murni meliputi seluruh
530 tubuhnya sehingga sekeras baja, mungkin tubuhnya sudah babak belur digigit oleh kawanan
makhluk berbisa itu.
Mata Cu Lui-ji seketika terbeliak, mendadak ia pergencar hitungannya, "Dua empat satu, dua
empat dua, dua empat tiga......" sekaligus tanpa ganti napas ia terus menghitung, hanya
sekejap saja hitungannya sudah mencapai "dua delapan puluh."
Baru sekarang Ji Hong-ho terkejut dan mengetahui permainan anak dara itu, cepat ia
membentak. "He, tidak, tidak boleh, tidak dapat dianggap!"
Namun Lui-ji tidak menghiraukannya, ia masih terus menghitung. "Dua delapan satu, dua
delapan dua, dua delapan tiga, dua delapan empat ......"
Mendadak Lo-cinjin meraung keras-keras satu kali, ia injak ke sana-sini dan menginjak mati
kelabang yang terakhir, pada saat itu pula hitungan Cu Lui-ji juga genap "tiga ratus".
Suasana di atas loteng kecil itu seketika sunyi senyap seperti kuburan, selang sekian lamanya
barulah terdengar Ji Hong-ho tertawa terkekeh-kekeh, katanya, "Sudah tentu caramu
menghitung ini tidak sah."
"Hm, sah atau tidak adalah urusan nanti, yang jelas sekarang Sicekku roboh atau tidak"!"
jengek Lui-ji. Dalam pada itu Ji Pwe-giok lagi bersandar di dinding dengan napas terengah-engah, namun
tubuhnya masih berdiri tegak tanpa ambruk.
Terpaksa Ji Hong-ho bungkam dan tak dapat menjawab.
Dengan melotot Lui-ji lantas berkata pula, "Dan kalau Ji-sicek tidak sampai roboh, sedangkan
jago kalian Lo-cinjin juga sudah selesai melancarkan serangan 300 jurus, dengan sendirinya
pertarungan ini telah dimenangkan oleh pihak kami, kenapa kau menyangkal dan berdasarkan
apa tidak kau anggap sah?" jengek Lui-ji.
"Tapi beberapa puluh jurus Lo-cinjin yang terakhir tadi bukan ditujukan untuk melayani Jikongcu,
hal ini disaksikan oleh semua orang, masa aku mengada-ada?"
"Hm, itu kan cuma alasanmu sendiri," jengek Lui-ji. "Jika dia sedang bergebrak dengan
Sicekku, maka setiap jurus dan gerakan yang digunakannya berarti ditujukan kepada Sicek,
jadi setiap gerakan, setiap jurus yang dilontarkan harus dihitung. Kalau dia menghantam dan
menyerang secara ngawur, itu kan salah dia sendiri, kenapa menyalahkan orang lain?"
"Tapi makhluk berbisa itu....."
"Binatang berbisa itu kan terbungkus baik-baik di dalam karung goni, siapapun tidak
mengganggunya, juga kami tidak melepaskannya, sebaliknya tanpa sebab jago kalian telah
menginjaknya hingga mati semua, untuk itu malahan aku hendak minta ganti rugi padanya."
Sudah tentu Ji Hong-ho tahu ucapan anak dara itu hanya pokrol bambu saja, tapi seketika ia
menjadi bungkam dan tidak sanggup menjawab. Ia melenggong sejenak, akhirnya dia
531 berpaling ke arah Lo-cinjin, katanya dengan menyengir: "Kukira urusan ini Lo-cinjin
dipersilahkan memutuskannya sendiri."
Sinar mata Lo-cinjin gemerdep, mendadak ia berseru, "Bocah ini ternyata mampu menahan
300 jurus seranganku, dia benar-benar anak yang hebat."
"Tapi cinjin sendiri tidaklah benar-benar melontarkan 300 jurus serangan ke arahnya," seru Ji
Hong-ho. Lo-cinjin mendelik, katanya, "Siapa bilang aku tidak melontarkan 300 jurus padanya" Jika dia
bertanding denganku, dengan sendirinya setiap gerakanku harus dihitung satu jurus. Kalau
jurus seranganku tidak mampu merobohkan dia, itu juga urusanku, kalian tidak perlu ikut
campur." Seketika Ji Hong-ho melongo dan tak dapat bersuara lagi.
Saking bergirang, akhirnya Cu Lui-ji menubruk maju dan mendekap tubuh Ji Pwe-giok,
teriaknya gembira: "Sicek, O, Sicek, kita menang, kita menang........"
Ji Hong-ho tersenyum, sikapnya sudah tenang kembali, katanya: "Jika Lo-cinjin menyatakan
kalian yang menang, ya dengan sendirinya kalian yang menang."
"Nah, kedua kalimat ucapannya ini masih menyerupai ucapan seorang Bu-lim-bengcu," kata
Lui-ji dengan tertawa.
"Dan sekarang silahkan kalian pergi saja, orang she Ji menjamin pasti tiada orang yang akan
mempersulit kalian," ujar Ji Hong-ho dengan tersenyum hambar.
"Apa katamu" Pergi" Siapa yang pergi"..." Lui-ji menegas dengan mata melotot. "Tempat ini
adalah rumah kami, kenapa kami yang harus pergi" Yang benar kalau omong!"
Air muka Ji Hong-ho rada berubah, tapi Lo-cinjin lantas membentak, "Memang tidak
seharusnya mereka pergi, kitalah yang harus pergi!...."
Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong dari luar jendela menerobos masuk dua orang.
Seorang diantaranya bersinar mata tajam mencorong, muka burik, dengan suara bengis ia
berteriak, "Betul, kita harus pergi. Tapi sebelum pergi kita memenggal dulu kepala mereka."
"Kau ini barang apa?" damprat Lui-ji dengan gusar.
Ji Hong-ho tersenyum, katanya, "Inilah Tio Kun, Tio-tayhiap yang berjuluk "Boan-thian-sing"
(bintang bertaburan di langit), kedua telapak tangan besinya dan ke 72 buah Kim-ci-piaunya
terkenal di sekitar Kamsiok dan Samsay." "
Lalu ia tunjuk seorang lagi yang bermuka lonjong seperti kuda berbaju kuning dan bertubuh
tinggi kurus, sambungnya, "Yang ini adalah Wi Hong, Wi-tayhiap yang berjuluk "Jian-lihong-
ki" (Kuda sakti seribu li), terkenal sebagai kaki cepat nomor satu di daerah Hopak dan
Holam." "Huh, manusia baik-baik kenapa suka disebut sebagai kuda?" jengek Lui-ji. "Coba kawanmu
si burik ini, biarpun mukanya tidak rata kan juga tidak mau dipanggil sebagai Tio si bopeng,
532 meski mukamu serupa kuda kan sepantasnya mencari suatu nama yang lebih enak di
dengar"!"
Muka kuda Wi Hong yang memang panjang itu rasanya semakin panjang oleh karena olokolok
Cu Lui-ji itu, segera ia balas menjengek, "Hm, meski Lo-cinjin bermaksud mengalah
kepada kalian, tapi kami tidak nanti melepaskan kau. Menghadapi kawanan siluman seperti
kalian ini kukira juga tidak perlu bicara tentang peraturan Kangouw apa segala. Nah, budak
cilik, kalau tahu gelagat, ikutlah pergi bersama tuanmu!"
Selagi telapak tangannya yang lebar seperti daun pisang itu terangkat dan hendak meraih ke
arah Lui-ji, sekonyong-konyong bayangan orang berkelebat, tahu-tahu Sip-hun sudah berdiri
di depannya dengan mengulum senyum.
"Guruku sudah menyatakan akan melepaskan mereka, maka Wi-tayhiap hendaknya juga suka
berbuat sama dengan melepaskan mereka," kata Sip-hun dengan ramah.
Tapi Wi Hong lantas menjawab dengan suara bengis, "Urusan kaum Cianpwe dunia Kangouw
mana ada hak bicara bagi orang muda seperti kau ini" menyingkir!" - Tangan yang baru saja
ditarik kembali itu mendadak mendorong pula ke depan.
Akan tetapi Sip-hun masih tetap berdiri di tempatnya dengan tertawa, sama sekali ia tidak
berkelit atau bergerak. Namun gontokan Wi Hong yang keras itu ternyata tidak mampu
membuat Sip-hun bergeming sedikitpun.
Air muka Wi Hong berubah pucat, belum lagi dia bertindak lebih lanjut, Lo-cinjin telah
mendekatinya dan berkata dengan suara tertahan, "Muridku ini memang tidak tahu aturan,
apakah kau ingin mengajar adat padanya?"
Semua orang sudah menyaksikan sikap Lo-cinjin yang kasar itu terhadap muridnya, selain
main bentak juga main pukul. Wi Hong mengira Tosu cilik yang selalu tertawa dan ramah ini
tentu tidak disukai sang guru, maka ia tidak meragukan ucapan Lo-cinjin tadi, dengan tertawa
ia menjawab, "Cayhe memang sembrono dan ingin meng......"
Belum habis ucapannya, kontan Lo-cinjin berjingkrak dan meraung murka, "Kau ini kutu
busuk macam apa" Kaupun sesuai untuk mengajar muridku" Huh, tanganmu yang berbau
busuk ini berani menyentuhnya" Baik!"
Baru saja kata "baik" diucapkan, mendadak pula ia turun tangan, secepat kilat pergelangan
tangan Wi Hong dicengkeramnya, menyusul lantas terdengar suara "krak-krek", tulang
pergelangan tangan itu telah dipatahkannya mentah-mentah.
Keruan Wi Hong meraung kesakitan, segera kaki kanannya menyapu. Dia terkenal sebagai
kaki sakti nomor satu di daerah utara, dengan sendirinya tenaga kakinya tidak boleh dibuat
main-main, sekalipun sepotong cagak batu, sekali disampuk dengan kakinya juga akan
hancur. Namun Lo-cinjin tidak berkelit juga tidak menghindar, dia sengaja menerima serampangan
kaki lawan dengan keras, maka terdengar suara "krek" yang lebih keras, yang patah ternyata
bukan kaki Lo-cinjin melainkan kaki Wi Hong sendiri.
533 Belum lagi Wi-hong sempat menjerit kesakitan, lebih dulu dia sudah kelengar.
Tanpa memandang sekejappun terhadap pecundangnya itu, Lo-cinjin berpaling ke arah Tio
Kun, tanyanya dengan dingin: "Kau anggap kata-kataku seperti orang kentut, kaupun
menghendaki kepala mereka, begitu bukan katamu tadi?"
Muka Tio Kun pucat pasi seperti mayat. Tapi apapun juga dia tergolong tokoh yang sudah
terkenal, di depan orang banyak, betapapun dia tidak mandah diperlakukan kasar begitu,
betapapun dia ingin menjaga kehormatannya.
Dia tertawa terkekeh, lalu berkata: "Baiklah, kalau Cinjin tidak mau ikut campur lagi urusan
ini, boleh serahkan saja kepada kami."
"Serahkan padamu" Huh, kau ini apa?" teriak Lo-cinjin dengan murka. "Apakah karena orang
sudah kehabisan tenaga dan hampir tidak bisa bergerak lagi, maka kau ingin menarik
keuntungan tanpa mengeluarkan tenaga, begitu?"
Begitu habis ucapannya, sekali cengkeram, tahu-tahu leher baju Tio Kun telah dijambretnya,
tubuhnya terus diangkat. Padahal perawakan Lo-cinjin jauh lebih pendek dan kecil daripada
lawannya, tentu saja hal ini membuat semua orang tercengang.
Tio Kun terkejut dan juga gusar, tanpa pikir kedua telapak tangannya terus menghantam ke
bawah dan tepat mengenai pundak kanan-kiri Lo-cinjin.
Seperti sudah diceritakan, Tio Kun terkenal dengan telapak tangan besinya, tapi ketika kena
hantam di tubuh Lo-cinjin, telapak tangan besinya telah berubah menjadi tangan tebu, 'Krakkrek",
kontan tulang tangannya patah semua, kembali ia menjerit ngeri, dari setiap burikan di
mukanya tampak menetes keluar air keringat.
Begitulah dengan tangan kanan Lo-cinjin mencengkeram Tio Kun dan tangan kiri
mengangkat Wi Hong, meski Tojin ini kurus kecil, tapi dua lelaki kekar itu dapat diangkatnya
dengan enteng dan seenaknya, hal ini benar-benar membuat para penonton sama melongo.
Malahan Lo-cinjin seperti sama sekali tidak mengeluarkan tenaga meski kedua tangan
mengangkat dua lelaki besar itu, dia seperti membekuk dua ekor ayam jago saja, ayam jago
yang sudah keok tentunya.
Melihat Kungfu yang mengejutkan ini baru sekarang semua orang teringat kepada Ji Pwegiok,
baru sekarang mereka dapat menilai betapa hebatnya anak muda itu.
Pikir saja, kalau dua tokoh Kangouw terkenal seperti "Boan-Thian-sing" dan "Jian-li-sin-ki"
tidak sanggup menahan sekali gebrak dengan Lo-cinjin, sebaliknya Ji Pwe-giok yang masih
muda belia dan kelihatan lemah lembut itu ternyata sanggup bergebrak dan bertahan sampai
300 jurus. Waktu semua orang berpaling ke arah Ji Pwe-giok, pandangan mereka terhadap anak muda
ini sekarang jelas sudah berbeda daripada tadi.
Ji Hong-ho juga sedang memandang Pwe-giok dengan lekat-lekat, sampai lama sekali dia
menatap anak muda itu.
534 Tiba-tiba Lo-cinjin berteriak gusar, "Nah, siapa lagi yang berani menganggap ucapanku
sebagai kentut" Ayo, bersuara!?"
Suasana menjadi hening, baik orang yang berada di atas loteng maupun yang nongkrong di
sekeliling wuwungan rumah itu tiada seorang pun yang berani bersuara.
"Hmmk!" Lo-cinjin mendengus keras-keras satu kali, lalu melangkah turun ke bawah loteng.
Sip-hun lantas merangkap kedua tangannya di depan dada dan memberi hormat dengan
tersenyum, katanya, "Beruntung hari ini Tecu sempat berjumpa dengan para Cianpwe,
sungguh aku merasa sangat bangga dan bahagia. Semoga selanjutnya dapat sering-sering
mendapat petunjuk lagi dari para Cianpwe."
Meski dia bicara terhadap semua orang, namun matanya terus menerus hanya memandang
kepada Cu Lui-ji.
Lui-ji lantas mendamprat perlahan, "Huh, Tosu bermata maling, lekas kau enyah saja!"
Entah mendengar atau tidak, kembali Sip-hun memberi hormat dengan sopan, lalu iapun
melangkah pergi, sampai di ujung tangga mendadak ia berhenti dan berpaling, katanya
dengan tersenyum, "Silahkan Bengcu jalan dahulu!"
Ji Hong-ho tersenyum, ucapnya, "Hong-locianpwe, selamat tinggal, Ji-kongcu, selamat
tinggal.... Kumohon diri sekarang juga."
Tiba-tiba Hay-hong Hujin berjalan ke arah Kwe Pian-sian.
Keruan orang she Kwe itu menjadi kebat-kebit dan muka pucat.
Tak tersangka Hay-hong Hujin tetap tidak memandangnya barang sekejap pun, yang dituju
adalah Ciong Cing, katanya terhadap nona ini dengan tertawa, "Apakah kau ini murid Ji Siokcin?"
Ciong Cing menunduk kikuk. Tiba-tiba ia merasa dirinya tidak boleh tampak lemah di depan
saingan cintanya, seketika dia menengadah dan menjawab, "Ya!"
Hay-hong Hujin menghela napas, ucapnya kemudian. "O, kasihan, sungguh kasihan. Ai,
sayang, sungguh sayang....."
"Aku..... aku..... " seketika Ciong Cing menjadi bingung dan tidak tahu bagaimana harus
menjawabnya. Ketika melihat wajah Hay-hong Hujin yang bersifat menghina itu, seketika ia
naik pitam, ia tidak pedulikan lagi bagaimana akibatnya, dengan nekat ia berteriak, "Kasihan
apa" Perempuan yang sudah dibuang oleh lakinya itulah yang harus dikasihani!"
Hay-hong Hujin hanya tersenyum hambar saja dan tidak meladeni lagi, dengan lemah gemulai
ia melangkah pergi, ia anggap tidak berharga untuk meladeni olok-olok itu.
Sekujur badan Ciong Cing sampai bergemetar, air mata akhirnya meleleh membasahi pipinya.
535 Yang paling ditakuti seorang perempuan adalah kalau dihina oleh bekas kekasih orang yang
dicintainya sekarang. Hal ini akan sangat menyakitkan hatinya, sebab akan dirasakannya
bahwa orang yang dipandangnya seperti jiwanya, seperti sukmanya, nyatanya tidak lebih
adalah barang bekas orang lain, barang yang sudah dibuang orang lain.
Ang-lian-hoa melototi Kwe Pian-sian sejenak, lalu ia pandang Hong Sam dan pandang pula Ji
Pwe-giok. Mendadak ia berjumpalitan keluar jendela.
Waktu Pwe-giok memandang keluar, ternyata orang-orang yang memenuhi wuwungan
sekeliling loteng kecil itu pun sudah pergi seluruhnya.
Pwe-giok menghela napas panjang, napas yang lega dan akhirnya ia pun roboh terkulai....
***** Lentera yang tergantung di tangga loteng itu ternyata tidak dibawa pergi oleh rombongan Ji
Hong-ho. Pintu juga tidak ditutup kembali, angin meniup masuk membuat sumbu lentera
bergoyang-goyang.
Cahaya lentera yang redup itu menyinari wajah Ji Pwe-giok yang pucat bagaikan kertas.
Lui-ji menubruk maju dan mendekap tubuh anak muda itu, serunya dengan menangis, "O,
Sicek, entah cara bagaimana aku harus berterima kasih padamu"!"
Keadaan Hong-samsianseng juga sangat payah, ia menghela napas panjang dan berkata
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan lemah, "Di hadapan Sicek kenapa kau bicara tentang 'terima kasih'?"
Lui-ji menunduk, air matapun bercucuran memenuhi wajahnya.
Pwe-giok tersenyum hambar, katanya, "Apapun juga kita kan sudah menang, apalagi yang
kau sedihkan?"
Sambil mengusap air matanya Lui-ji berkata, "Aku tidak sedih, tapi..... tapi tidak terlalu
bergembira."
Baru kata "gembira" terucapkan, tangisnya sukar dibendung lagi.
Tiba-tiba Kwe Pian-sian berdehem, lalu berkata dengan tertawa, "Sungguh tidak nyana Locinjin
yang termasyhur dan tiada tandingannya di dunia ini sekarang juga keok di bawah
tangan saudara Ji kita. Setelah pertarungan ini, siapa pula di dunia Kangouw yang takkan
kagum kepada Ji-heng...."
Mendadak Lui-ji berseru, "Dia adalah Sicekku, berdasarkan apa kau berani menyebutnya 'Jiheng'
(saudara Ji)?"
Kwe Pian-sian berdehem-dehem, ia tidak menanggapi dampratan anak dara itu, katanya pula,
"Ya, selanjutnya nama Ji-kongcu pasti akan termasyhur dan mengguncangkan seluruh dunia,
hanya saja...."
"Hanya saja apa?" tanya Lui-ji dengan mendongkol.
536 "Hanya saja, tempat ini bukan lagi tempat yang boleh didiami untuk selamanya," kata Kwe
Pian-sian. "Menurut pendapatku, akan lebih baik kalau lekas pergi saja dari sini."
"Pergi dari sini?" Lui-ji menegas dengan melotot. "Di sinilah rumahku, kenapa kami harus
pergi?" "Nona tahu, meski Ji Hong-ho dan begundalnya tadi mengalami kekalahan, tapi mereka pasti
penasaran dan tidak terima, jika dikatakan mereka benar-benar sudah kapok dan tidak berani
mengganggu lagi ke sini, kukira siapapun takkan percaya." demikian ulasan Kwe Pian-sian.
"Tapi kalau mereka benar-benar hendak mencari kita, biarpun lari juga tiada gunanya, sebab
akhirnya toh pasti akan ditemukan mereka," jengek Lui-ji. "Apalagi, memangnya kau kira
Sacekku ini adalah orang yang suka main lari" Jika mau lari tentu sudah sejak dulu-dulu lari,
untuk apa kami menunggu di sini sampai sekarang?"
"Memang betul juga ucapan nona," kata Kwe Pian-sian. "Tapi.... tapi kalau tetap tinggal di
sini kukira juga bukan... bukan cara yang baik...."
"Jika kau ingin pergi, boleh silahkan pergi saja sesukamu, tiada orang yang akan menahan
dirimu," jengek Lui-ji pula.
Muka Kwe Pian-sian sebentar pucat sebentar merah, ia tidak bicara lagi, juga tidak berani
pergi. Kalau Ang-lian-hoa dan Hay-hong Hujin ada kemungkinan sedang menunggunya diluar sana,
apakah dia berani pergi"
***** Angin menderu-deru di luar, suasana di atas loteng kecil itu justeru sunyi senyap, bila teringat
kepada Ji Hong-ho dan rombongannya itu pasti tidak mau berhenti begitu saja, pikiran setiap
orang menjadi tertekan.
Di tengah suara angin yang menderu-deru itu tiba-tiba terdengar suara anjing mengaing, suara
mengaing yang melengking dan seram seperti jeritan setan.
Tanpa terasa Ciong Cing merinding, katanya, "Mengapa...... mengapa suara anjing itu
sedemikian menakutkan?"
Bulu roma Cu Lui-ji juga berdiri, tapi ia menanggapi dengan tertawa, "Bisa jadi Ji Hong-ho
telah menginjak ekor anjing itu."
Baru habis ucapannya, sekonyong-konyong suara lengking anjing tadi tak terdengar lagi,
mengaingnya sangat mendadak, berhentinya juga secara mendadak. Meski suara
mengaingnya menyeramkan dan menakutkan, tapi suara yang lenyap mendadak itu terlebih
membuat orang mengkirik.
Di jagat raya ini seketika seperti penuh diliputi alamat yang tidak baik.
537 Lui-ji ingin bicara apa-apa untuk memecahkan ketegangan, tapi sukar baginya untuk bicara
dan juga tidak tahu apa yang harus dikatakannya.
Pada saat itu juga, sekonyong-konyong terdengar suara "blung" yang dahsyat, menyusul api
lantas berkobar dan menjulang tinggi ke langit.
Begitu cepat nyala api itu, hanya sebentar saja hampir setengah langit sebelah sana telah
terbakar hingga merah menganga.
"Keji amat tindakan Ji Hong-ho ini, dia hendak membakar mati kita," seru Kwe Pian-sian
dengan kuatir. Air muka Pwe-giok berubah agak pucat juga, katanya, "Pantas lebih dulu dia telah mengusir
seluruh penduduk kota ini, rupanya memang sudah direncanakannya akan
membumihanguskan Li-toh-tin ini. Hm, dia sok anggap dirinya seorang pendekar budiman,
sekarang ternyata tidak segan-segan berbuat serendah ini."
Kobar api makin lama makin dahsyat dan makin mendekati loteng kecil itu, cuma belum lagi
berbentuk suatu lingkaran yang mengepung.
Cepat Kwe Pian-sian melompat bangun, serunya dengan suara parau, "Ayo cepat! Lekas kita
terjang keluar, mungkin masih keburu!"
Lui-ji memandang ke arah Hong Sam. Dilihatnya air muka Hong-samsianseng sangat prihatin
dan tidak memberi komentar apapun.
Dengan tak sabar Kwe Pian-sian berseru pula dengan melotot, "Urusan sudah begini, masa
kalian belum lagi mau pergi"!"
Pwe-giok menghela napas, katanya, "Ya, memang betul, urusan sudah kadung begini, apapun
jadinya terpaksa kita harus menerjang ke luar!"
"Tapi.... tapi luka Sacek...." Lui-ji merasa ragu.
"Biarkan ku gendong Hong-lo.... Hong-samko dan kau ikut saja di belakangku," kata Pwegiok
dengan tersenyum getir.
"Dan aku bagaimana?" tukas Gin-hoa-nio yang sejak tadi tidak pernah ikut bicara. "Tentunya
kalian tidak akan meninggalkan diriku di sini bukan"!"
Lui-ji menggertak gigi, katanya, "Biarkan ku gendong Sacek saja dan kau.... kau gendong
dia." Kwe Pian-sian memandang Ciong Cing sekejap, akhirnya iapun menggendong nona itu,
serunya "Ayolah, kalau tidak berangkat sekarang mungkin tidak keburu lagi!"
"Betul, lekaslah kalian pergi semua," kata Hong-sam sianseng.
"He, Sacek, kau...."
538 Belum lanjut ucapan Lui-ji, dengan menarik muka Hong-sam sianseng lantas membentak
dengan suara bengis. "Sacek tidak apa-apa, masa aku perlu kau gendong dan melarikan
diri"..... Memangnya Sacek adalah manusia pengecut demikian?"
Cahaya api yang berkobar dengan hebatnya telah menyinari mukanya yang kelihatan merah
padam. "Jika demikian, biarlah Siaute saja yang......"
Belum lanjut ucapan Pwe-giok, dengan gusar Hong Sam berkata pula, "Kelak bila orang
Kangouw mengetahui Hong Sam telah melarikan diri dengan digendong orang, lalu kemana
lagi akan ku taruh mukaku ini" Kalau sudah begitu, biarpun hidup apa bedanya lagi dengan
mati?" "Tapi..... tapi urusan dalam keadaan luar biasa," seru Pwe-giok, "Samko, apakah..... apakah
engkau tak dapat memaklumi keadaan"....."
"Sudahlah," ucap Hong Sam dengan tegas, "Tekadku sudah bulat, tiada gunanya kau bicara
lagi, lekas kalian berangkat saja!"
Hampir gila Lui-ji saking cemasnya. Tapi ia pun kenal watak sang paman, bilamana Hongsam
sianseng sudah mengambil keputusan demikian, di dunia ini mungkin tiada seorangpun
yang mampu mengubah pendiriannya.
Pwe-giok berkata pula dengan rawan, "Ku tahu Samko kuatir pada keadaanku yang sudah
lemah ini, maka lebih suka mati sendiri daripada menambah bebanku, tapi hendaklah Samko
mengetahui, Siaute masih..... masih cukup kuat....."
Hong-sam sianseng terus memejamkan mata dan tidak menggubrisnya lagi biarpun apa juga
yang dikatakan Pwe-giok.
Nyala api bertambah hebat dan menjilat ke sekitarnya, hanya sekejap saja api sudah dekat
bangunan loteng kecil itu.
Agaknya Ji Hong-ho dan begundalnya telah memasang bahan-bahan pembakar yang mudah
menyala, sebab itulah api menjalar dengan amat cepat.
Akhirnya Kwe Pian-sian berkata dengan suara serak, "Jika kalian tidak pergi, terpaksa ku
pergi lebih dulu, hendaklah kalian.... kalian...." dia seperti mau omong apa-apa lagi, tapi
urung. Dengan beringas ia terus melompat keluar dengan memondong Ciong Cing.
Terdengar suara tangis Ciong Cing sayup-sayup berkumandang dari luar jendela sana, sejenak
kemudian lantas tidak terdengar apa-apa lagi.
"Kalian pun harus pergi, mengapa masih diam saja di sini?" bentak Hong Sam dengan suara
bengis. Tapi Lui-ji malah berduduk di sampingnya dan berkata, "Sacek tidak pergi, akupun tidak
pergi." 539 "Kau berani membangkang ucapanku?" bentak Hong Sam dengan gusar.
Lui-ji tersenyum pedih, ucapnya, "Apapun ucapan Sacek akan ku patuhi, tapi sekali ini......
sekali ini aku......"
Mendadak Hong Sam angkat tangannya dan mendorong anak dara itu hingga jatuh
tersungkur, lalu bentaknya, "Kau berani membangkang kataku, biar ku pukul mampus kau
lebih dulu."
"Biarpun Sacek pukul mampus diriku tetap aku takkan pergi," jawab Lui-ji tegas.
Hong Sam menjadi kewalahan, ia menghela napas dan menggeleng.
"Ji Pwe-giok!" teriak Gin-hoa-nio mendadak, "Apakah kau juga tidak mau pergi" Apakah kau
hendak mengiringi kematian mereka?"
Tapi Pwe-giok tetap berdiri saja dengan tenang, tampaknya ia pun terkesima.
Ia tahu kalau tetap tinggal di sini dan menunggu mati terbakar, hal ini sungguh perbuatan
yang terlalu bodoh. Tapi apapun juga dia tidak dapat menyelamatkan diri dengan
meninggalkan Cu Lui-ji dan Hong Sam.
Dengan suara parau Gin-hoa-nio berteriak, "Gila, kalian semua orang gila.... Sungguh sial aku
berkumpul dengan kalian!"
Sekuatnya ia meronta ke depan jendela, tanpa pikir ia terus melompat keluar. Akan tetapi sisa
tenaganya sekarang tidak seberapa lagi, baru saja terjun ke bawah segera terdengar ia menjerit
kesakitan, mungkin kakinya terkilir.
Pwe-giok tahu bilamana Gin-hoa-nio hendak lolos di tengah berkobarnya api sehebat itu,
maka peluangnya boleh dikatakan sangat tipis, tanpa terasa ia menghela napas.
Segera Hong Sam berteriak pula dengan beringas, "Kalian benar-benar hendak mati
bersamaku?"
Pwe-giok memandang Lui-ji sekejap, lalu berkata, "Siaute ingin...."
"Bagus, jadi kalian baru mau pergi setelah ku mati, begitu?" seru Hong Sam sambil tertawa
latah, mendadak ia angkat sebelah tangannya terus menghantam kepalanya sendiri.
Keruan Pwe-giok dan Lui-ji menjerit kaget, berbareng mereka memburu maju.
Syukurlah pada saat itu juga mendadak terdengar suara "blang" yang sangat keras, dinding
sekeliling hancur lebur, pecahan papan beterbangan, seorang tiba-tiba menerjang masuk
seperti malaikat yang baru turun dari langit!
Di bawah cahaya api yang berkobar-kobar itu, pandangan Pwe-giok juga cukup tajam, betapa
wajah orang yang menerjang masuk itu seharusnya dapat dilihatnya dengan jelas.
540 Namun gerak tubuh orang itu sungguh terlalu cepat, baru saja terdengar suara gemuruh tadi,
mungkin Hong Sam sendiri juga tertegun, tahu-tahu Pwe-giok melihat sesosok bayangan
menyerempet lewat di sebelahnya, Hong Sam terus diangkatnya, lalu melayang pergi secepat
kilat. Jadi bagaimana wajah pendatang ini, tua atau muda, lelaki atau perempuan, sama sekali
Pwe-giok tidak tahu.
Lui-ji berteriak dengan kaget, "Hai, siapa kau" Kenapa kau menyerobot Sacekku?"
Belum lenyap suaranya, bayangan orang tadi sudah melayang pergi beberapa tombak jauhnya.
Terdengar suara Hong-sam sianseng membentak di kejauhan, "Siapa kau?"
Lalu suara orang yang parau menjawab, "Aku!"
Agaknya Hong-sam sianseng lantas menghela napas panjang, napas yang lega, lalu tidak
bicara lagi. Dalam pada itu Pwe-giok dan Lui-ji juga sudah memburu keluar, dilihatnya bayangan orang
di depan sana melejit-lejit seperti gundu yang dilemparkan, bila lidah api menjilat ke depan,
sekali tangannya mengebas dengan perlahan, kobaran api lantas menyurut, hanya sekejap saja
bayangan orang itu sudah menerjang keluar lautan api.
Meski Pwe-giok dan Lui-ji masih terus mengejar dengan sepenuh tenaga, tapi jaraknya makin
lama makin jauh.
"Tinggalkan Sacekku.... Kumohon, tinggalkan Sacekku!" Lui-ji berteriak-teriak dengan suara
parau. "Wuttt", mendadak gulungan api menyambar lewat, waktu mereka memandang ke depan,
bayangan tadi sudah lenyap. Lui-ji berlari lagi beberapa langkah dan akhirnya jatuh mendekap
di atas tanah serta menangis tergerung-gerung.
Pwe-giok pun iba melihat tangis Lui-ji itu, cepat ia memburu maju untuk membangunkan
anak dara itu. Baru sekarang Lui-ji mengetahui tanpa terasa mereka sudah menerjang keluar
lautan api. Rambut Lui-ji dan bajunya tampak ada bintik-bintik api, beberapa bagian tubuh Pwe-giok
juga hangus terbakar. Tapi dalam keadaan cemas dan gelisah, keduanya sama sekali tidak
merasakan hal itu.
"Kenapa kau menyerobot Sacekku" Cara bagaimana aku dapat hidup lagi selanjutnya?"
demikian Lui-ji meratap dengan sedihnya.
Pwe-giok menghela napas melihat betapa berduka anak dara itu, ucapnya dengan rawan,
"Tampaknya orang tadi tidak bermaksud jahat, coba kalau tiada dia, mungkin kita sudah
terkubur di tengah lautan api itu."
"Tapi.... tapi bagaimana dengan.... dengan Sacek?" kata Lui-ji.
541 "Agaknya Sacekmu kenal dengan orang ini, mungkin sekali mereka adalah sahabat." ujar
Pwe-giok. "Kalau kita melihat betapa tinggi Kungfunya tadi, bila Sacekmu dibawa pergi
olehnya, kita justeru boleh merasa lega malah."
Terhibur juga hati Lui-ji, suara tangisnya mulai lirih. Ucapnya dengan masih tersedu sedan,
"Ya, memang kedengaran tadi Sacek.... Sacek bertanya satu kali padanya, lalu..... lalu tidak
bertanya pula, agaknya mereka memang kenal.... Tapi kalau dia membawa pergi Sacek,
mengapa.... mengapa tidak membawa serta diriku sekalian?"
Dengan suara lembut Pwe-giok berkata, "Hal ini disebabkan..... disebabkan dia tidak kenal
padamu." "Memang." ujar Lui-ji dengan air mata meleleh, "Semua sahabat Sacek di masa dahulu,
satupun tidak ku kenal. Ya, aku tidak kenal siapapun, sebaliknya juga tiada orang yang kenal
diriku. Aku" aku...." teringat kepada nasibnya yang sengsara, tanpa terasa ia menangis sedih
pula. Pwe-giok terharu, hidung pun terasa beringus, air matanya juga hampir-hampir menetes.
Pelahan ia mengebut bintik api yang masih membara di atas tubuh Lui-ji, lalu katanya dengan
tertawa ewa, Tapi Sicek kan kenal padamu dan kau pun kenal Sicek, betul tidak?"
Sambil menangis Lui-ji terus menjatuhkan diri ke pangkuan Pwe-giok, ucapnya dengan suara
terputus-putus, "Sicek, kau.... kau takkan meninggalkan diriku bukan?"
Diam-diam Pwe-giok menghela napas, tapi dimulut ia menjawab dengan tersenyum, "Masa
Sicek akan meninggalkan kau".... Pendek kata, kemana pun Sicek pergi pasti akan kubawa
serta dirimu."
Padahal nasibnya sendiri sekarang juga terkatung-katung, ia sendiri pun ditinggalkan sanak
keluarga dan handai taulan, ia pun tak tahu sekarang harus pergi ke mana. Kalau mengurus
diri sendiri saja repot, mana dia sempat mengurus orang lain lagi"
Sekonyong-konyong terasa hawa panas menyambar dari belakang, rupanya kobaran api telah
menjalar pula ke tempat mereka ini.
Dari jauh terdengar suara ramai orang menangis dan meratap, di tengah hiruk-pikuk itu pun
terseling suara orang mencaci maki, Mungkin penduduk Li-toh-tin menjadi kalap ketika
melihat rumah dan harta benda mereka telah musnah terbakar menjadi abu.
Tiba-tiba terdengar suara seorang berteriak lantang, "Hendaknya kalian jangan susah dan
bingung, pokoknya segala kerugian kalian akan kami ganti sepenuhnya."
Diam-diam Pwe-giok berkerut kening, pikirnya, "Biarpun Li-toh-tin ini kota kecil dan
kebanyakan penduduknya adalah kaum miskin, tapi kalau beratus keluarga jumlahnya kan
jadi tidak sedikit, tapi mereka ternyata bersedia memberi ganti rugi, apakah tujuan mereka
cuma hendak membakar mati beberapa orang ini?"
***** Angin sudah mulai berhenti, tapi malam bertambah kelam.
542 Suara ribut di kejauhan juga mulai sepi, Cu Lui-ji duduk termenung tanpa bergerak, sejak
Pwe-giok membawanya ke tanah pekuburan yang sunyi ini, belum lagi dia berucap satu kata
pun. "Api yang mereka kobarkan itu pasti tidak cuma untuk membakar mati kita saja." kata Pwegiok
tiba-tiba. Dengan sorot mata yang kabur Lui-ji memandangi sebuah kuburan baru di depan sana, ia
hanya menanggapi ucapan Pwe-giok itu dengan suara," Oo?"
"Sebab kalau mereka menghendaki jiwa kita, pasti mereka sudah memasang perangkap di
sekitar tempat yang akan mereka bakar agar kita tak dapat lolos. Tapi sekarang dengan sangat
mudah kita dapat lari keluar, bahkan seorangpun tidak kita pergoki."
"Ehmm!" Lui-ji mengangguk.
"Sebab itulah kupikir, tujuan mereka hanya ingin mengusir kepergian kita saja....."
"Hanya ingin mengusir kita, dan mereka tidak sayang membumihanguskan kota kecil ini,
tidak sayang untuk membayar ganti rugi harta benda sebanyak ini..... Apakah mereka sudah
gila?" demikian tukas Cu Lui-ji.
"Sudah tentu di balik tindakan mereka ini masih ada sebab lain.... ya, pasti masih ada sebab
lain....."
Lui-ji tersenyum getir, katanya, "Semula kurasa sudah jelas duduknya perkara, tapi ucapan
Sicek ini tambah membingungkan aku."
"Semua kejadian yang tidak masuk akal ini hanya ada suatu penjelasannya," kata Pwe-giok
tanpa menghiraukan ucapan Lui-ji itu.
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Penjelasan bagaimana?" tanya anak dara itu.
"Pada loteng kecil tempat tinggal kalian itu pasti tersembunyi sesuatu rahasia besar yang
sangat mengejutkan orang," kata Pwe-giok.
"Rahasia besar"!" Lui-ji melengak.
"Ya, lantaran rahasia itulah maka Tonghong Bi-giok merasa berat meninggalkan ibumu meski
banyak kesempatan baginya untuk pergi," kata Pwe-giok pula, "Karena rahasia itulah maka
Oh-lolo dan lain-lain juga datang, juga lantaran rahasia inilah maka Ji Hong-ho dan
komplotannya tidak segan menyalakan api."
Terbeliak mata Lui-ji, ia bergumam, "Tapi rahasia apakah itu?"
"Apakah kau ingat, sebelum ibumu wafat, pernahkah beliau membicarakan sesuatu yang luar
biasa kepadamu?" tanya Pwe-giok dengan suara tertahan.
543 "Ibu tidak pernah bercerita apa-apa," ujar Lui-ji sambil berkerut kening. "Beliau cuma
memberitahukan padaku bahwa tempat inilah rumahku, tempat inilah satu-satunya benda
yang dapat ditinggalkannya kepadaku, aku disuruh menyayanginya, makanya selama ini aku
tidak mau pergi dari sini...." mendadak suara ucapannya terhenti, matanya tambah terbelalak.
Kedua orang saling pandang sekejap, lalu serentak sama-sama berdiri.
Dalam pada itu api di kejauhan sudah semakin kecil, tampaknya sudah hampir padam.
Akan tetapi api tidak padam seluruhnya, dari ujung dinding, dari kusen pintu atau jendela
yang hangus itu terkadang masih tersembur keluar lidah api dengan membawa asap yang
tebal. Sejauh mata memandang, udara penuh diliputi kabut asap yang tebal sehingga apapun tidak
terlihat jelas.
Pelahan Pwe-giok dan Lui-ji menuju kembali ke tengah tumpukan puing itu.
Di bawah alingan asap, mereka menyelinap diantara reruntuhan puing, tidak lama kemudian
dapatlah dilihat mereka bangunan berloteng kecil itu sudah terbakar roboh.
Hanya Li-keh-can saja, hotel yang dibangun jauh lebih kukuh daripada rumah penduduk itu
tidak seluruhnya runtuh, api sudah padam lebih cepat, tiang belandar sudah terbakar
seluruhnya, tapi sebagian besar dinding temboknya masih tegak.
Berjalan di atas reruntuhan puing itu, Lui-ji merasa telapak kakinya masih panas seperti
menginjak bara.
Waktu ia mengintai ke balik asap tebal sana, dilihatnya di sekitar sana ada beberapa laki-laki
berseragam hitam sedang mondar-mandir membersihkan sisa kebakaran, tapi Ji Hong-ho dan
komplotannya tidak kelihatan, juga penduduk asli Li-toh-tin tidak nampak satupun.
Pwe-giok juga sedang mengintai dari pojok dinding sana.
Dengan suara mendesis Lui-ji bertanya, "Sicek, sekarang juga kita mulai mencari atau
menunggu kedatangan mereka?"
"Sudah bertahun-tahun kau tinggal di sini dan tidak kau temukan rahasia itu, dalam waktu
singkat mana dapat kita menemukannya. Apalagi kobaran api sekarang sudah mereda,
kuyakin selekasnya mereka akan datang lagi ke sini."
"Kalau begitu, apakah kita perlu mencari suatu tempat untuk bersembunyi?"
"Ya, betul," jawab Pwe-giok.
"Wah, sembunyi di mana baiknya?" kata Lui-ji sambil memandang sekitarnya. "Eh, lihat
Sicek, bagaimana kalau di rumah sana?"
"Rumah itu kurang baik," kata Pwe-giok, "Meski saat ini mereka belum menggeledah sampai
sini, tapi selekasnya mereka pasti akan kemari."
544 "Habis sembunyi di mana?" tanya Lui-ji
"Dapur!" kata Pwe-giok.
Waktu Lui-ji memandang ke sana, dilihatnya dapur yang terbuat dari kayu itu sudah habis
terbakar, ia berkerut kening dan berkata, "Dapur sudah terbakar, mana dapat dibuat
sembunyi?"
Pwe-giok tertawa, katanya, "Meski dapur sudah terbakar, tapi di dalam dapur kan masih ada
sesuatu tempat yang takkan musnah terbakar."
Terbeliak mata Cu Lui-ji, serunya dengan suara tertahan, "He, maksudmu tungku" Betul,
hanya batu tungku saja yang takkan musnah terbakar untuk selamanya. Hah, sungguh bagus
gagasanmu ini Sicek!"
Tanpa ayal lagi mereka terus berlari ke arah dapur hotel, terlihat di pojok sana ada sebuah
gentong air yang tidak rusak, cuma air di dalam gentong juga terbakar hingga menguap
seperti digodok.
Pwe-giok menyingkirkan wajan besar di atas tungku, air gentong lantas di tuang ke dalam
tungku. Setelah hawa panas di dalam tungku hilang, mereka lantas menyusup ke dalam perut
tungku dan wajan tadi ditutup lagi di atasnya.
Li-keh-can adalah satu-satunya hotel di Li-toh-tin, tamunya cukup banyak, setiap hari ratarata
harus melayani makan-minum dua-tiga puluh orang.
Dengan sendirinya tungku yang digunakan beberapa kali lebih besar daripada tungku rumah
penduduk. Pwe-giok dan Lui-ji bersembunyi di dalam tungku besar itu sehingga serupa sembunyi di
dalam sebuah kamar sempit. Lubang tungku yang biasanya digunakan untuk menambah kayu
bakar itu menjadi mirip sebuah jendela bagi mereka.
Dinding papan dapur itu sudah terbakar ludes, maka melalui "jendela' ini dapatlah Pwe-giok
dan Lui-ji mengikuti gerak-gerik bangunan berloteng kecil di depan sana.
Di loteng kecil itulah Lui-ji dilahirkan dan dibesarkan, tapi sekarang bangunan itu sudah
berwujud tumpukan puing, tanpa terasa air mata Lui-ji berlinang-linang pula.
Tapi sedapatnya ia tidak memperlihatkan rasa sedih itu, katanya dengan tertawa, "Sicek, kau
lihat tidak" Tungku di rumahku sana juga tidak musnah terbakar."
"Ya, seperti ucapanmu tadi, tungku takkan terbakar rusak untuk selamanya," kata Pwe-giok
dengan suara halus. "Dan bumi juga selamanya takkan rusak terbakar. Bilamana kau suka
pada tempat ini, kelak masih boleh membangun sebuah rumah berloteng seperti tempat
tinggalmu yang dulu."
545 Termangu-mangu Lui-ji memandang ke sana, air mata kembali bercucuran, katanya dengan
hampa, "Rumah loteng memang masih dapat dibangun, tapi hari-hari kehidupan seperti
dahulu tidak mungkin datang kembali lagi."
Pwe-giok juga terkesima oleh ucapan anak dara itu.
Karena ucapan Lui-ji itu, tanpa terasa ia pun terkenang kepada kehidupannya yang bahagia
dan tenteram di masa lalu, teringat olehnya pohon waringin yang rimbun di halaman
rumahnya itu, di bawah pohon itulah setiap musim panas ayahnya suka menyaksikan dia
berlatih menulis, terbayanglah senyuman welas-asih sang ayah....
Semua itu baru saja terjadi setengah tahun yang lampau, tapi bila terkenang sekarang rasanya
seperti sudah jelmaan hidup yang lalu, tanpa terasa matanya menjadi basah lagi. Ucapnya
dengan rawan, "Ya, segala apa yang sudah berlalu takkan kembali lagi untuk selamanya."
"Dahulu," demikian Lui-ji bertutur dengan pelahan, "sebelum fajar menyingsing, tentu aku
sudah mulai memasak bubur, terkadang kubuatkan telur dadar, sedikit sayur asin dan kacang
goreng, maka nafsu makan Sacek lantas bertambah dan satu kuali bubur disikatnya habis, lalu
beliau akan memuji bubur yang ku masak itu harum dan enak, sayur asin dan kacang
gorengnya lezat dan gurih, tapi sekarang....." dia menghela napas, lalu menyambung dengan
menunduk. "Meski tungku di sana belum rusak terbakar, selanjutnya masih dapat ku masak
bubur di tungku itu, namun siapakah yang akan makan bubur yang ku masak itu."
Terharu Pwe-giok, tanpa terasa ia berkata, "Akulah yang akan makan bubur yang kau masak
itu." "Benar?" tanya Lui-ji sambil menengadah.
Sementara itu hari sudah terang, sinar sang surya menembus ke dalam tungku melalui lubang
kecil itu sehingga kelihatan wajah Lui-ji yang masih basah oleh air mata itu. Sinar matanya
gemerdep memancarkan cahaya kegirangan sehingga mirip setangkai bunga teratai putih
dengan butiran embun yang mekar di pagi cerah di musim semi.
Tergetar juga hati Pwee-giok, cepat ia melengos dan tidak berani memandangnya lagi.
Lui-ji menghela napas, katanya, "Ku tahu ucapan Sicek tadi hanya untuk menyenangkan
hatiku saja. Orang semacam Sicek tentu masih banyak urusan penting yang harus dikerjakan,
mana kau sempat datang padaku untuk makan bubur yang ku masak."
Suaranya begitu lirih dan rawan sehingga hati Pwe-giok kembali terharu, jawabnya dengan
tertawa, "Sicek tidak berdusta.... Biarpun banyak urusan yang harus ku selesaikan, tetapi
begitu pekerjaanku selesai, suatu hari aku pasti akan datang ke sini untuk makan bubur yang
kau masak."
Lui-ji tertawa senang seperti bunga yang baru mekar, ucapnya, "Jika begitu, aku akan masak
satu kuali bubur dan menunggu kedatanganmu."
"Setiap hari makan bubur saja tentu juga akan bosan," kata Pwe-giok dengan serius.
"Sebaiknya setiap dua-tiga hari satu kali harus kau buatkan nasi goreng istimewa bagiku,
kalau tidak aku bisa kurus kelaparan karena makan bubur melulu."
546 Lui-ji terkikik-kikik, katanya, "Makan bubur kan waktu pagi, makan siang tentunya lain,
selain nasi goreng, akan kubuatkan pula Ang-sio-tite (kaki babi saus manis), Jau-koh-kek-kiu
(ayam goreng jamur) dan hidangan lain yang lezat, tanggung tidak sampai tiga bulan Sicek
akan tambah gemuk satu kali lipat."
Melihat si nona tertawa girang, Pwe-giok juga bergembira. Tapi bila teringat kepada nasibnya
sendiri, sakit hati ayah belum terbalas, iblis itu masih memalsu dan menyamar sebagai "Ji
Hong-ho" gadungan dengan komplotan jahatnya sehingga segenap kawan Kangouw sama
tertipu, sebaliknya dirinya harus berjuang sendirian, entah kapan intrik musuh baru dapat
terbongkar. Untuk bisa hidup tenang dan gembira untuk makan bubur yang di masak anak
dara ini, mungkin harus menunggu sampai pada penjelmaan yang akan datang.
Selagi Pwe-giok termenung, tiba-tiba Lui-ji menegur, "He, Sicek.... mengapa engkau
menangis"!"
Cepat Pwe-giok mengusap matanya yang basah, jawabnya dengan tertawa, "Ah, anak bodoh,
Sicek sudah tua, mana bisa menangis. Karena asap maka keluar air mata."
Lui-ji termangu sejenak, tiba-tiba ia berkata pula dengan tertawa, "Sicek, masa kau anggap
dirimu sudah tua" Jika Sacek tidak menyuruhku agar panggil Sicek padamu, sebenarnya lebih
tepat kalau ku panggil Siko (kakak ke empat) padamu."
Pwe-giok memandangi wajah si nona yang berseri itu dan tak dapat menjawab. Entah manis,
entah kecut, entah getir, sukar untuk dijelaskan....
T A M A T Bagian Pertama
Pedang Dan Kitab Suci 20 Pendekar Kembar Karya Gan K L Pendekar Panji Sakti 2