Pencarian

Renjana Pendekar 3

Renjana Pendekar Karya Khulung Bagian 3


Daya serangan Pwe-giok masih tetap dahsyat, namun belum dapat membobol pertahanan
lawan, sebaliknya tubuhnya entah sudah bertambah berapa luka pula.
Hujan semakin deras, angin bertambah kencang, jagat raya ini diliputi kegelapan melulu,
inilah cuaca yang menyeramkan dan menyedihkan, inipun pertarungan maut yang
mengerikan. Melihat Pwe-giok masih terus bertempur dengan mandi darah, sekalipun Ang
Liang-hoa berhati baja juga tidak tahan mengucurkan air mata.
Sekonyong-konyong langkah Pwe giok terhuyung, bagian dada jadi terbuka. Pucat wajah Ang
Lian-hoa, ia menjerit kuatir. Dalam keadaan demikian, sekalipun dia ingin menolong juga
tidak keburu lagi.
80 Terlihat pedang Cia Thian-pi telah menusuk ke depan, ke dada Pwe-giok yang tak terjaga itu.
Serangan cepat ganas. Remuk redam hati Ang Lian-hoa, seketika ia cuma memejamkan mata
saja, ia tidak sampai hati untuk menyaksikan apa yang bakal terjadi.
Sinar kilat berkelebat, tertampak wajah Cia Thian-pi yang pucat itu penuh diliputi napsu
membunuh, ia menyeringai seram, ia yakin tusukannya itu pasti tidak akan meleset. Tapi
cahaya kilat yang gemerdep itu telah membuat matanya ikut berkedip.
Pada saat itu juga lantas terdengar suara "bluk" satu kali, entah dengan cara bagaimana kedua
tangan Ji Pwe-giok telah dapat menjepit pedangnya.
Seketika Cia Thian-pi merasakan pedangnya terjepit oleh sesuatu, seperti terjepit oleh
tanggam yang kuat dan tak dapat bergerak lagi. Menyusul Pwe-giok lantas menggeser maju,
sekali menyikut, "brek", dengan tepat dada Cia Thian-pi kena disodok.
Kontan pandangan Cia Thian-pi menjadi kabur, sakitnya tidak kepalang, pada saat itulah
tangan Pwe-giok juga lantas melayang tiba, "plok", dengan tepat mukanya kena digampar
sehingga dia tergetar setengah lingkaran.
Menjepit menyikut dan menggampar, tiga gerakan itu se-akan2 dikerjakan sekaligus dalam
waktu sekejap. Begitu sinar kilat tadi habis berkelebat, lalu menggelegarlah bunyi guruh.
Pwe-giok terus menubruk maju lagi, ia rangkul tubuh Cia Thian-pi, kedua lengannya seperti
tanggam kuatnya, tulang dada Cia Thian-pi tergencet seakan-akan remuk seluruhnya, ingin
bersuara saja tidak mampu.
Air muka Cia Thian-pi dari pucat berubah menjadi kemerahan dan kembali pucat pula,
sedangkan muka Pwe-giok juga pucat seperti mayat, kedua tangannya mengunci tubuh musuh
dengan kuat, terdengar suara napas Cia Thian-pi mulai megap-megap, lalu menjadi lemah,
menyusul lantas terdengar suara "gemeretak", tulang dadanya sama patah.
Tidak kepalang kagum dan girang Ang-lian-hoa, baru sekarang ia sempat berseru: "Jangan
dibunuh dulu, harus kita tanyai sejelasnya."
Pelahan Pwe-giok melepaskan kedua tangannya, lalu menyurut mundur dengan sempoyongan
seakan-akan roboh, ia menengadah dan tertawa, serunya: "Akhirnya sudah kulaksanakan ....
sudah kulaksanakan..."
Tubuh Cia Thian pi lantas terkulai dengan lemas dan tak bergerak lagi.
Ang-lian-hoa menarik tangan Pwe giok, dengan berseri-seri ia berkata: "Apakah jurus ini
adalah kepandaian Ji-locianpwe yang pernah menggetarkan dunia Kangouw di masa lalu,
yaitu jurus Leng-yang-kua-kak (kambing benggala menggaet tanduk), jurus serangan maut
andalan Bu-kek-pay?"
Pwe-giok tersenyum pedih, jawabnya: "Tapi selama hidup ayah belum pernah mencelakai
orang dengan jurus serangan ini, sebaliknya sekarang Siaute ...." mendadak ia menunduk,
butiran air pun berderai, entah air hujan, entah air mata"
81 "Sungguh jurus serangan yang aneh dan lihay!" ujar Ang-lian-hoa dengan gegetun. "Jurus
serangan ini sungguh sukar dicari cirinya dan timbul dalam keadaan kepepet. Ilmu sakti kaum
Cianpwe sungguh luar biasa, sekarang barulah mataku benar-benar terbuka."
Dia menepuk pundak Pwe giok, lalu berseru pula dengan tertawa: "Kau sendiri memiliki ilmu
sakti ini, mengapa tidak sejak tadi kau keluarkan sehingga membikin aku kuatir bagimu?"
"Siaute . ... Siaute .... " Pwe-giok tidak sanggup melanjutkan, mendadak ia jatuh mendekap
Ang-lian-hoa, nyata ia telah kehabisan tenaga, sampai berdiri saja tidak kuat.
Cepat Ang-lian-hoa mengeluarkan sebiji obat dan dijejalkan ke mulut Pwe-giok, katanya:
"Inilah Siau-hoan-tan Kun-lun-pay yang terkenal, khasiatnya menambah tenaga dan
menimbulkan semangat, obat yang tiada bandingannya di dunia ini."
Mulut Pwe giok terasa sedap dan harum, serunya: "Siau-hoan-tan katamu" Obat yang sukar
dicari ini mengapa .... mengapa kau berikan padaku?"
Ang-lian-hoa terdiam sejenak, katanya kemudian dengan sedih: "Obat ini bukan aku yang
memberikan padamu, tapi Thian-kang Totiang . ..."
"Suhu?" Pwe giok melengak. "Dia..... beliau mengapa . . . . "
"Obat ini kukeluarkan dari bola nasi yang kau terima dari orang tua itu," tutur Ang-lian-hoa
dengan gegetun. "Semula kukira di dalam bola nasi itu ada racunnya, siapa tahu . . . siapa tahu
. . . ." Pwe giok tertunduk muram dengan air mata bercucuran, katanya: "Pantas beliau bilang bola
nasi ini tidak dapat dimakan sembarang orang. Cia Thian-pi, kau jahanam, kau bangsat!. . .. "
Dengan gemas ia berpaling ke sana, tapi mendadak air mukanya berubah pucat pula.
Mayat Cia Thian-pi masih terkapar di pecomberan sana, tapi kepalanya sudah tidak kelihatan
lagi. Padahal sejak tadi hujan masih turun dengan lebatnya, di sekitar sini tiada terlihat
bayangan orang lain, lalu ke mana perginya kepala Cia Thian-pi"
Ang-lian-hoa dan Ji Pwe-giok saling pandang dengan bingung. Kalau kepala Cia Thian-pi
dipenggal orang, hal ini tidak mungkin terjadi. Bila dikatakan kepalanya tidak dipotong orang,
lalu apakah kepalanya dapat terbang sendiri"
Cerdik dan pandai Ang-lian-hoa, masih muda belia sudah mengetuai sebuah organisasi
terbesar di dunia ini, boleh dikatakan tokoh muda yang tiada taranya di jaman sekarang, Tapi
meski dia sudah peras otak, tetap sukar memecahkan teka-teki ini.
Setelah melenggong sejenak, ketika ia menunduk dan memandang lagi hanya sekejap itu
bagian pundak dan dada Cia Thian-pi ternyata sudah lenyap pula.
Mendadak Ang-lian-hoa menepuk pundak Pwe-giok dan berseru: "Aha, tahulah aku!"
"Kau tahu?" Pwe-giok menegas.
"Coba berjongkok dan periksalah yang teliti," kata Ang-lian-hoa.
82 Waktu Pwe-giok melongok pula ke bawah, dilihatnya mayat Cia Thian-pi itu sedikit demi
sedikit telah membusuk, darah daging yang merah segar itu secara aneh berubah menjadi
cairan kuning, lalu lenyap diguyur air hujan.
Pwe-giok merasa mual dan hampir saja tumpah-tumpah, cepat ia berpaling ke arah lain dan
menarik napas dalam-dalam, katanya kemudian: "Jangan-jangan inilah Hoa-kut-tan (obat
pemusnah tulang) yang tersiar di dunia Kangouw itu?"
"Ya, betul," jawab Ang-lian-hoa. "Rupanya dia tahu pasti akan mati, maka dia rela melebur
dirinya menjadi cairan."
"Tapi kedua tangannya sudah patah tergencet, cara bagaimana dia dapat mengambil obatnya?"
tanya Pwe-giok pula.
"Mungkin sebelumnya Hoa-kut-tan itu sudah dikulum di dalam mulutnya, setelah menyadari
akan kematiannya, kapsul obat lantas dikunyahnya. Kalau Hoa-kut-tan itu masuk darah,
segera terjadi pembusukan. Ai, dia lebih suka menerima nasib demikian daripada
membocorkan rahasia komplotannya, sebab dia tahu hanya orang mati saja yang benar-benar
tidak dapat membocorkan lagi sesuatu rahasia.
"Tak tersangka, orang ini pun jantan sejati," kata Pwe-giok.
"Salah besar jika demikian pendapatmu," ujar Ang-lian-hoa dengan tersenyum getir.
"Yang benar, dia tidak berani membocorkan rahasia komplotan jahat mereka, sebab kalau
sampai rahasianya diketahui orang luar, maka kematiannya akan jauh lebih mengerikan
daripada sekarang ini."
"Betul, tampaknya mereka semuanya begitu, lebih baik mati daripada membocorkan rahasia
mereka," ujar Pwe-giok.
"Tapi siapakah sebenarnya pimpinan mereka" Mengapa dapat membuat orang-orang ini
sedemikian takut padanya".....Mati, hal ini sebenarnya cukup menakutkan setiap orang di
dunia ini. Masa pimpinan mereka ini jauh lebih menakutkan daripada soal "mati" ?"
"Dia memang benar lebih menakutkan daripada mati," gumam Ang-lian-hoa. "Saat ini aku
pun tak dapat membayangkan betapa menakutkannya dia itu..."
"Ah, betul," seru Pwe-giok mendadak seperti menemukan sesuatu, "sebabnya Cia Thian-pi ini
bertindak nekat, jelas karena dia tahu bila orang sudah mati, maka tidak mungkin lagi dapat
membocorkan sesuatu rahasia, tapi kalau dia sendiri mati toh tetap rahasianya bisa
terbongkar, kalau tidak, mengapa dia mesti melebur tubuhnya sendiri hingga menjadi cairan?"
"Orang mati juga dapat membocorkan rahasia, maksudmu?" gumam Ang-lian-hoa sambil
berkerut kening.
"Ya, orang mati terkadang juga dapat membocorkan rahasia!" ucap Pwe giok tegas, sekata
demi sekata. 83 "Rahasia apa?" tanya Ang-lian-hoa.
"Rahasia penyamarannya!" jawab Pwe-giok.
Ang-lian-hoa melenggong, sejenak kemudian ia menepuk jidat sendiri dan berseru: "Aha,
memang betul. Dia kuatir setelah mati mukanya dapat kita kenali, sebab inilah rahasia mereka
yang terbesar."
"Justeru lantaran kuatir rahasia mereka ini bocor, maka pimpinan komplotan jahat ini
menyiapkan Hoa-kut-tan bagi mereka, bila perlu, bukan jiwa mereka saja harus melayang,
mayat mereka pun harus dilenyapkan!" seru Pwe-giok dengan menggreget dan meremas
tangan Ang-lian-hoa, lalu sambungnya pula: "Sekarang ku tahu, sedikitnya ada enam orang
yang kuketahui adalah palsu di dunia ini, kecuali diriku sendiri ternyata tiada orang lain lagi
yang mau percaya dan dapat melihat kepalsuan mereka. Yang mengerikan adalah, kecuali ke
enam orang yang sudah kuketahui itu masih ada berapa orang pula yang dipalsukan" Inilah
yang sulit diketahui dan benar-benar mengerikan."
Air muka Ang-lian-hoa juga guram seperti cuaca yang mendung ini. Sebenarnya dia seorang
tokoh yang periang, jarang ada persoalan yang dapat membuatnya sedih dan bingung. Tapi
sekarang, hatinya benar-benar tertekan dan agak cemas.
Dengan suara gemetar Pwe-giok berucap pula: "Umpamanya kalau sanak-kadangmu, sampai
ayahmu sendiri pun bisa jadi anggota komplotan jahat itu, lalu di dunia ini siapa pula yang
dapat kau percayai" Dan kalau di dunia ini sudah tiada seorang pun yang dapat kau percayai,
apakah engkau masib sanggup hidup terus" Bukan .... bukankah peristiwa ini tidak dapat kau
bayangkan"!"
"Cia Thian-pi palsu sudah mati, sekarang tinggal siapa-siapa saja anak buah komplotan jahat
itu yang palsu?" tanya Ang-lian-hoa dengan tenang.
"Ong Uh-lau, Lim Soh-koan, Ong Liong-ong dari Thay-oh, Sim Cin-jiang, Sebun Bu-kut dan
dan orang yang mengaku she Ji itu, sebab ku tahu dengan pasti ke enam orang ini
sesungguhnya sudah meninggal semua.?"
Ang lian-hoa menghela napas panjang, katanya: "Kecuali ke enam orang ini, mungkin tidak
banyak lagi yang dipalsukan."
"Cara bagaimana kau berani memastikannya?" "Sebab hal ini bukan tindakan yang mudah.
Untuk memalsukan pribadi seseorang dan harus dapat mengelabui mata-telinga orang banyak,
sedikitnya diperlukan waktu latihan bertahun-tahun lamanya, kalau tidak, biarpun mukanya
serupa, tapi suaranya, gerak geriknya, sikapnya, tetap akan diketahui orang. Apalagi ilmu
silatnya..."
"Aha, betul, ilmu silatnya!" seru Pwe-giok.
"Jika mereka hendak memalsukan pribadi seseorang, mereka juga harus mahir menirukan
ilmu silatnya."
Habis berkata mendadak ia putar tubuh dan berlari ke sana.
84 Namun Ang-lian-hoa keburu melompat dan menghadang di depannya, ucapnya dengan
tenang: "Leng yang-koa kak, betul tidak?"
"Betul, jurus serangan ini kecuali kami ayah dan anak, di dunia ini tiada orang lain lagi yang
mampu memainkannya," seru Pwe-giok.
"Jika orang yang mengaku she Ji itu tidak mampu memperlihatkan jurus serangan khas ini,
maka terbuktilah kepalsuannya."
"Gagasan ini memang suatu cara yang bagus," ujar Ang-lian-hoa dengan gegetun.
"Cuma sayang, perangai ayahmu membuat gagasanmu ini menjadi tiada gunanya."
"Sebab apa?" tanya Pwe giok.
"Kau tahu perangai yang ramah dan sabar, arif dan bijaksana, setiap orang Bu-lim tahu budi
ayahmu yang luhur. Sekarang coba jawab, andaikan beliau masih hidup, adakah orang yang
dapat memaksa beliau mengeluarkan ilmu simpanannya yang khas ini?"
Sampai lama Pwe-giok melenggong, akhirnya ia jatuh terduduk.
***** Disiram oleh air hujan lebat, mayat "Cia Thian-pi" itu sudah hilang tak berbekas lagi. Dia
telah lenyap dari muka bumi ini, tapi sesungguhnya siapa dia"
Di dunia ini sebenarnya tiada Cia Thian pi kedua, jika demikian, yang baru saja lenyap ini kan
seharusnya memang tidak ada. Berpikir demikian, Ang-lian-hoa tidak tahu harus menangis
atau mesti tertawa. Sungguh ia tidak berani memikirkannya lagi, bilamana hal-hal demikian
banyak dipikir, sungguh bisa membikin gila.
Dipandangnya tempat mayat yang sudah bersih itu, gumamnya: "Pembunuh Thian kang
Totiang sudah mati, tapi kalau dibicarakan, siapakah gerangan pembunuhnya, siapa yang
dapat membuktikan beradanya si pembunuh ini?"
Melihat sikap Ang-lian hoa yang cemas itu, Pwe-giok jadi merinding, katanya kemudian:
"Engkau juga tidak perlu..."
"Jangan kuatir," seru Ang-lian-hoa dengan tertawa, "meski ada maksudku akan menebus dosa
tapi tidak nanti kutebus kesalahanku dengan kematian. Aku masih ingin hidup terus, tidak
nanti kupenuhi kehendak mereka."
Pwe-giok merasa lega, katanya: "Ya, kutahu engkau bukan manusia biasa, engkau memang
lain daripada yang lain."
Ang-lian-hoa menengadah, membiarkan air hujan menuang ke mukanya, katanya pula dengan
pelahan: "Sekarang, ada suatu urusan mau-tak mau harus kukerjakan."
"Engkau akan pergi ke Kun-lun-san?" tanya Pwe-giok dengan tatapan tajam.
85 "Anak murid Kun-lun berhak mengetahui berita duka Thian-kang Totiang dan aku
berkewajiban menyampaikan berita ini kepada mereka!"
"Tapi pekerjaan di sini juga tidak boleh di tinggal pergi olehmu," ujar Pwe-giok dengan suara
berat. "Perjalanan ke Kun-lun biarlah kuwakilkan kau ke sana."
Di antara mereka tiada lagi kesungkanan, tiada tolak menolak, tiada percakapan yang tidak
perlu, juga tidak ada duka-cita yang tidak perlu, lebih-lebih air mata yang tidak perlu. Sebab
keduanya sama-sama lelaki sejati, sama-sama jantan perkasa. Keduanya berdiri berhadapan di
bawah curahan hujan.
"Baiklah, pergilah kau," kata Ang lian-hoa kemudian. "Tapi kau harus hati-hati, urusan yang
tidak perlu ikut campur hendaklah jangan ikut campur. Jangan lupa, jiwamu sekarang jauh
lebih bernilai daripada jiwa orang lain."
"Kutahu," jawab Pwe-giok singkat. Dilihatnya pedang tadi, dijemputnya dan disisipkan pada
ikat pinggang, bisa jadi di tengah jalan pedang itu akan berguna.
Tiba-tiba Ang-lian-hoa tertawa dan berkata pula: "Ah, lupa kuberitahukan sesuatu padamu."
"Urusan apa?" tanya Pwe-giok dengan nada was-was.
"Urusan baik" kata Ang lian-hoa "Tentang bakal istrimu, Lim Tay-Ih, kau tidak perlu
berkuatir lagi baginya."
Entah mengapa, bila menyebut nama Lim Tay-ih, seketika sikap Ang Lian-hoa berubah
kikuk, biarpun tertawa juga tertawa setengah dipaksakan.
Dengan sendirinya Pwe-giok tidak memperhatikan sikap orang, ia bertanya: "Sebab apa"
Adakah dia...."
"Saat ini dia telah berada di bawah lindungan seorang tokoh yang paling sulit direcoki di
seluruh dunia ini."
"Ya, di bawah perlindungan Ang lian pangcu, memangnya apa yang perlu kukuatirkan lagi?"
Sikap Ang Lian-hoa berubah pula, tapi segera ia berkata dengan tertawa: "Kau jangan salah
tampa, bukan diriku."
"Orang yang paling sulit direcoki di dunia ini siapa lagi kalau bukan dirimu" Apa Jut-tun
Totiang?" "Nama orang ini mungkin tidak lebih terkenal daripada Jut-tun Totiang, tapi orang lain
andaikan berani merecoki Jut-tun Totiang tentu juga tidak berani mengusik orang ini."
"Aha, bunga paling cantik ialah Hay-hong" seru Pwe-giok.
Ang lian-hoa berkeplok, katanya: "Betul, memang dia. Agaknya iapun melihat sesuatu yang
tidak beres, maka iapun ikut campur. Kalau dia sudah menangani sesuatu urusan, tidak nanti
ditinggalkannya setengah jalan."
86 "Wah, tampaknya persoalannya tidak sederhana sebagaimana kita sangka, masih banyak
orang lagi yang...."
"Wah, celaka! Aku melupakan sesuatu lagi!" teriak Ang Lian-hoa mendadak.
"He, urusan baik atau buruk?" tanya Pwe-giok.
"Cia Thian-pi palsu muncul di sini, jangan-jangan Cia Thian-pi yang tulen telah mengalami
nasib buruk, harus lekas ku pergi menjenguknya!" belum habis ucapannya tahu-tahu Ang
Lian-hoa sudah melayang pergi secepat terbang.
Memandangi kepergian ketua kaum jembel yang muda dan perkasa itu, Pwe-giok menghela
napas panjang, ya kagum, ya terharu, ya berduka.....
***** Hujan sudah mereda, tapi belum berhenti, masih gerimis. Anginpun masih meniup, bahkan
tambah dingin. Dengan langkah berat Pwe giok meneruskan perjalanan, hari depannya terasa guram, sama
seperti cuaca yang kelam sekarang ini, sekonyong-konyong terdengar derapan kuda lari yang
riuh. Tujuh atau delapan penunggang kuda membedal lewat, air jalanan yang kotor menciprati
tubuh Ji Pwe giok. Namun pemuda itu sama sekali tidak perduli, mengangkat kepala saja
tidak. Tak terduga, baru saja barisan pemuda itu lewat seseorang mendadak melayang balik dari
kudanya dan menubruk ke arah Pwe-giok.
Dengan terkejut Pwe-giok menyurut mundur dan orang itupun turun di depannya. Dilihatnya
orang ini berpakaian hitam ketat dan basah kuyup oleh air hujan. Sorot matanya tajam, jelas
dikenalnya sebagai pemuda anggota Tiam-jong-pay itu.
Tergerak hati Pwe-giok teringat olehnya ucapan Ang-lian-hoa tadi, tanpa terasa ia berkata:


Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan-jangan... jangan-jangan terjadi sesuatu atas diri Cia-tayhiap"
Murid Tiam-jong-pay itu sebenarnya sedang memberi hormat, demi mendengar ucapan Pwegiok
itu, mendadak ia mengangkat kepalanya dan bertanya: "Darimana Ji-kongcu mendapat
tahu?" "0, aku....aku...." Pwe giok menjadi gelagapan dan tak dapat menjawab.
Murid Tiam-jong-pay itu menarik muka, katanya dengan suara bengis: "Waktu melihat Jikongcu,
sebenarnya Tecu hendak menyampaikan berita duka, tak tersangka Ji-kongcu
ternyata sudah tahu lebih dulu, bukankah sangat aneh?"
"Ah, Cayhe cuma omong iseng saja," ujar Pwe-giok dengan tersenyum kecut.
Murid Tiam-jong-pay itu menjengek: "Semalam Ciangbunjin kami baru lenyap dan hingga
kini belum diketahui jejaknya, kejadian inipun baru dilaporkan kepada Jut-tun Totiang dan
87 Thian-in Taysu pada siang tadi, sedangkan Ji-kongcu sudah berangkat pagi-pagi, darimanakah
engkau mendapat tahu malah?"
Nadanya ternyata tajam dan mendesak, seakan-akan menganggap Ji Pwe-giok ada sangkutpautnya
dengan persoalan ini. Beberapa penunggang kuda tadi juga sudah putar balik, mereka
sama melototi Pwe-giok dengan pandangan sangsi dan benci.
Pwe-giok menghela napas, katanya kemudian: "Bisa jadi, Cia-taihiap hanya keluar untuk
berjalan-jalan saja. mungkin pula bertemu dengan sahabat dan diajak pergi. Dengan ilmu silat
Cia-tayhiap yang tinggi, kuyakin beliau sanggup menjaga dirinya sendiri."
Murid Tiam-jong-pay tadi berkata pula: "Setiap anak murid Tiam-jong, pedang ada orang ada,
pedang hilang orang gugur. Istilah ini tentu Ji-kongcu pernah mendengarnya. Tapi pagi tadi
kami justeru menemukan pedang Ciangbunjin terjatuh di semak-semak rumput di luar kemah,
apabila tiada kejadian yang luar biasa, rasanya tidak mungkin Ciangbunjin bertindak
seceroboh itu dengan meninggalkan pedangnya di sembarang tempat."
"Kupikir ini....... ini......" Pwe-giok jadi gelagapan, mendadak ia merasakan banyak rahasia
yang diketahuinya ternyata sukar diuraikan. Andaikan diceritakan juga orang lain takkan
percaya. Mendadak salah seorang penunggang kuda itu menegur: "Saat ini mengapa Ji kongcu berada
sendirian" Ke mana perginya Thian-kang Totiang?"
Seorang lagi ikut berteriak bengis: "Mengapa keadaan Ji-kongcu juga serba kumal begini"
Jangan-jangan habis bergebrak dengan orang?"
"Di sekitar sini tiada nampak seorang lain, dengan siapakah Ji-kongcu bertempur?" tanya pula
seorang lain. Pertanyaan anak murid Tiam jong-pay itu tiada satu pun dapat dijawab Pwe-giok, betapapun
dia tidak dapat menerangkan bahwa Thian-kang Totiang dibunuh oleh "Cia Thian-pi", ia pun
tak bisa mengatakan bahwa "Cia Thian-pi" itu palsu, sebab "Cia Thian-pi" itu itu sudah
musnah, dengan sendirinya tiada terdapat lagi seorang "Cia Thian-pi".
Dengan meraba pedangnya murid Tiam jong pay itu bertanya pula dengan gusar; "Mengapa
Ji-kongcu tidak bicara?"
"Bila kalian menyangsikan hilangnya Cia-tayhiap ada sangkut-pautnya dengan diriku, maka
hal ini sungguh lucu, apalagi yang dapat kukatakan?"
Air muka murid Tiam jong itu berubah lebih ramah, katanya: "Jika demikian, sebelum urusan
ini menjadi jelas, sebaiknya Ji-kongcu ikut kami pulang dulu, sebab mungkin ada urusan lain
yang tak dapat Ji-kongcu katakan kepada kami, tapi kepada Bengcu tentu dapat engkau
beberkan sejelas-jelasnya."
"Tidak, aku tidak boleh kembali ke sana," jawab Pwe giok tegas.
"Mengapa tidak boleh?" bentak para murid Tiam-jong-pay itu.
88 "Jika tidak berbuat sesuatu kesalahan, mengapa tidak berani kembali ke sana?" demikian
mereka berteriak-teriak sambil melompat turun dari kuda masing-masing, semuanya melolos
pedang dan siap tempur.
Murid Tiam-jong-pay yang menjadi kepala rombongan itu membentak; "Ji Pwe-giok, apa pun
juga alasanmu, kau harus ikut pulang ke sana bersama kami!"
Butiran keringat yang memenuhi dahi Pwe-giok itu berderai ke bawah diguyur oleh air hujan,
tangan dan kakinya terasa dingin. Belum lagi dia menjawab, mendadak dari kejauhan ada
seorang menjengek: "Ji Pwe giok, kau tidak perlu kembali ke sana!"
Tujuh atau delapan Tojin berbakiak dan membawa payung tampak berlari datang di bawah
hujan. Jelas mereka adalah murid Kun lun pay.
Murid Tiam-jong-pay tadi menanggapi dengan suara keren: "Meski orang ini terhitung murid
Kun-lun-pay, tapi dia tetap harus ikut kembali ke sana bersama kami. Selamanya Tiam jong
dan Kun-lun bersahabat, tapi persoalan ini menyangkut mati-hidup Ciangbunjin kami, maka
hendaklah para Toheng tidak marah kepada sikapku yang kurang sopan ini."
Air muka para Tojin Kun-lun-pay tampak jauh lebih kelam dan menakutkan daripada murid
Tiam-jong-pay, Tojin yang menjadi kepala rombongan berwajah putih dengan jenggot yang
jarang-jarang, dengan sorot mata yang tajam ia tatap Pwe giok, katanya: "Tidak perlu kau
kembali ke sana, bahkan tidak perlu lagi ke mana-mana."
Pwe-giok menyurut mundur, murid Tiam jong-pay tadipun heran, tanyanya: "Apa artinya
ucapanmu ini?"
Pek-bin Tojin atau si Tojin bermuka putih tersenyum pedih, katanya: "Meski jejak
Ciangbunjin kalian tidak diketahui ke mana perginya tapi Ciangbunjin kami justeru...
justeru...." mendadak "krek", payung jatuh ke tanah, batang payung telah diremasnya hingga
hancur. Murid Tiam-jong-pay terkejut, serunya; "Apakah... apakah.... Thian-kang Totiang telah....
telah wafat..."
"Guru kami telah disergap orang, telah meninggal tertikam pedang dari belakang," seru Pekbin
Tojin dengan suara parau.
Terperanjat anak murid Tiam-jong-pay itu, katanya; "Kungfu Thian-kang Totiang luar-dalam
sudah terlatih sempurna, daun jatuh dalam jarak beberapa tombak saja tak dapat mengelabui
beliau, sungguh kami tak percaya bahwa beliau kena disergap orang."
Dengan menggereget Pek-bin Tojin menjawab: "Orang yang menyergapnya dengan
sendirinya adalah orang yang berhubungan sangat rapat dengan beliau, seorang yang tidak
pernah dicurigai beliau, sebab beliau tidak percaya bahwa orang ini ternyata manusia yang
berhati binatang."
Belum habis ucapannya, berpasang-pasang mata yang beringas sudah melototi Ji Pwe giok,
semuanya penuh rasa gemas dan dendam.
89 Dengan suara serak Pek Bin Tojin lantas membentak: "Nah, Ji Pwe Giok, cara bagaimana
meninggalnya Suhu, lekas katakan, lekas!"
"Suhu.... beliau...." seluruh tubuh Pwe Giok bergemetar sehingga tidak sanggup melanjutkan.
"Beliau mati di tanganmu bukan?" bentak Pek Bin Tojin pula dengan murka.
Mendadak Pwe Giok mendekap mukanya dan berteriak dengan parau: "Tidak, aku tidak...
matipun aku takkan menyentuh satu jari beliau ..."
"Creng", belum habis ucapannya, tahu-tahu pedang yang terselip di pinggangnya itu telah
dilolos orang. Tangan Pek Bin Tojin memegang pedang rampasan itu, ujung pedang bergetar dan mengarah
ke dada Ji Pwe Giok. Sorot matanya yang merah membara itu menatap anak muda itu,
tanyanya pula dengan beringas: "Katakan, inikah senjata yang kau gunakan untuk membunuh
guru?" Pedang ini memang betul adalah senjata yang digunakan membunuh Thian Kang Totiang itu,
cuma pemilik pedang ini sudah tiada terdapat lagi di dunia ini. Tapi pedang ini sekarang
berada pada Ji Pwe Giok. Lalu apa yang dapat dikatakannya. Hancur perasaan Pwe Giok,
setindak demi setindak ia menyurut mundur.
Ujung pedang juga mendesak maju setindak demi setindak, meski tajam ujung pedang itu,
tapi sorot mata orang-orang itu rasanya berlipat kali lebih tajam daripada tajam pedang
manapun. Mendadak Pwe Giok menjatuhkan diri ke tanah, sambil berlutut ia menengadah, air mata
bercucuran, ia berteriak kalap: "O, Thian! Mengapa engkau memperlakukan diriku
sedemikian kejam" Apakah aku memang harus mati?"
"Trang", mendadak pedang itu dilemparkan Pek Bin Tojin ke depannya, lalu Tojin itu berkata
tegas: "Hanya ada satu jalan bagimu dan inipun jalan yang paling baik bagimu!"
Betul, memang cuma inilah jalan satu-satunya bagi Pwe Giok. Sebab segala persoalan tiada
mungkin dibeberkan dan dijelaskan olehnya. Fitnah yang ditanggungnya tiada satupun yang
betul, tapi semuanya itu seakan-akan lebih betul daripada yang "betul", sedangkan yang
"betul" justru tak dipercaya oleh siapapun.
Kini satu-satunya orang yang dapat menjadi saksi baginya hanya Ang-lian-hoa saja. Tapi
apakah Ang-lian-hoa dapat membuat semua orang mau percaya padanya" Dengan bukti apa
pula Ang-lian-hoa akan membelanya"
Dalam keadaan biasa sudah tentu setiap kata Ang lian-pangcu sangat berbobot, betapapun
anak murid Kun-lun dan Tiam-jong pasti percaya padanya. Tapi sekarang persoalannya
menyangkut mati-hidup ketua mereka, menyangkut pula segala kemungkinan yang terjadi
pada kedua perguruan itu, bahkan menyangkut nasib dunia persilatan umumnya. Cara
bagaimana mereka dapat mempercayai perkataan orang lain, sekalipun orang ini adalah Ang
lian-hoa yang disegani dan dihormati"
90 Setelah dipikir lagi, Pwe-giok jemput pedang itu, dia memang tiada pilihan lain, sekali pun ....
Mendadak ia meraung murka, pedang diputar kencang, dia terus menerjang ke depan.
Sudah tentu anak murid Kun-lun dan Tiam-jong sama berteriak kaget, keadaan menjadi
kacau. Tapi mereka tidak malu sebagai anak murid perguruan ternama, di tengah kekacauan
ada sebagian sempat melolos pedang dan menyerang.
Terdengar suara "trang tring" beberapa kali, beberapa pedang sama tergetar mencelat, Pwegiok
telah melampiaskan rasa gemas dan penasaran pada pedang itu, sekali pedangnya
berputar, sukarlah bagi lawan untuk menangkis.
Sungguh anak murid Tiam jong dan Kun-lun tidak menyangka anak muda ini memiliki tenaga
sakti sehebat ini. Di tengah kaget dan raung gusar orang banyak, seperti kucing gesitnya Pwegiok
berhasil menerobos keluar kepungan. Hanya beberapa kali lompatan saja, dengan
Ginkangnya yang tinggi, di bawah hujan serta berkelebatnya kilat, dalam sekejap saja ia
sudah melayang berpuluh tombak jauhnya.
Ia terus berlari seperti kesetanan, ia melupakan segalanya, yang dipikir hanya lari dan lari
terus. Ia tidak takut mati, tapi ia tidak boleh mati dengan menanggung penasaran.
Suara bentakan orang banyak masih terdengar di belakang, suara pengejar itu seperti bunyi
cambuk yang memaksanya harus lari terlebih cepat. Ia pun mengerahkan segenap tenaganya
untuk lari di bawah hujan, air hujan berjatuhan di tubuh dan di mukanya seperti batu kerikil
yang menimbulkan sakit pedas, namun semua itu tak dihiraukan lagi.
Suara bentakan orang akhirnya tak terdengar lagi, tapi langkah Pwe-giok tidak pernah
berhenti, hanya sudah mulai kendur, makin lama makin lambat, ia masih terus lari dan lari
lagi, mendadak ia jatuh tersungkur.
Sekuatnya ia meronta bangun, ia terjatuh lagi, pandangannya mulai kabur, hujan lebat
berubah seperti kabut baginya, ia kucek-kucek matanya, tetap tidak jelas pandangannya.
Tiba-tiba ada suara roda kereta di kejauhan dan juga suara kaki kuda. Darimana datangnya
kereta kuda itu?"
Dalam keadaan samar-samar ia seperti melihat sebuah kereta sedang berlari kemari, ia
meronta dan berusaha menghindar, tapi ia jatuh lagi, sekali ini ia tidak sanggup bangun pula,
ia jatuh pingsan.
***** Cuaca tambah kelam. Terdengar suara roda kereta yang gemeretak disertai suara kuda
meringkik pelahan Pwe-giok sudah siuman, ia mendapatkan dirinya sudah berada di dalam
kereta. Terdengar rintik hujan memukul kabin kereta laksana derap kuda berpacu di medan
tempur, seperti genderang bertalu-talu menggebu, suara yang mendebarkan jantung.
Ia menjadi ragu, jangan-jangan dirinya terjatuh dalam cengkeraman musuh"
91 Ia meronta bangun, cuaca sudah kelam, di dalam kereta menjadi tambah gelap. Ada sebuah
lentera bergantung di kabin dan bergoyang-goyang mengikuti guncangan kereta, tapi lentera
itu tidak dinyalakan.
Seputar kabin kereta penuh tertumpuk sapu, pengki, gentong, tampah dan sebangsanya.
Pwe-giok coba menyingkap terpal kereta dan mengintip ke depan, terlihat di bagian kusir
berduduk seorang tua bermantel ijuk dan bertopi caping, meski tidak jelas mukanya, tapi
kelihatan jenggotnya yang sudah ubanan bergerak-gerak di bawah hujan angin itu.
Jelas seorang tua yang miskin dan sederhana secara kebetulan menemukan seorang pemuda
yang jatuh pingsan di tengah jalan serta menolongnya. Tanpa terasa Pwe-giok menghela
napas panjang. "Apakah kau sudah siuman, Ji Pwe-giok?" tiba-tiba terdengar orang tua di luar itu menegur
dengan tertawa.
Pwe-giok terkejut, cepat ia bertanya: "Dar ....darimana kau tahu namaku?"
Kakek itu menoleh, katanya dengan menyipitkan mata; "Tadi kudengar di sekitar sana ada
orang berteriak-teriak dan membentak-bentak," katanya: "Ji Pwe-giok, kau tak dapat lolos."
"Kukira Ji Pwe-giok yang dimaksudkan itu pasti kau, tapi akhirnya kau kan lolos juga!"
Wajah si kakek penuh keriput, suatu tanda sudah kenyang asam-garam kehidupan manusia,
setiap garis keriputnya itu, seakan-akan melambangkan suatu masa penderitaan di waktu yang
lalu. Sinar matanya yang penuh mengandung kecerdasan pengalaman hidup itu juga diliputi
perasaan welas asih dan suka ria.
Pwe-giok menunduk, ucapnya dengan tersendat: "Terima kasih atas pertolongan Lotiang
(bapak)." "Jangan kau berterima kasih padaku," ujar kakek itu dengan tertawa.
"Ku tolong kau adalah karena kulihat kau tidak mirip orang jahat. Kalau tidak, mustahil tidak
kuserahkan dirimu kepada mereka."
Pwe-giok terdiam sejenak, katanya kemudian dengan tersenyum pedih: "Sudah sekian
lamanya, mungkin Lotiang inilah orang pertama yang bilang aku bukan orang jahat!"
"Hahaaha!" kakek itu tergelak. "Biasa, orang muda kalau mengalami sedikit kesusahan lantas
suka mengomel. Biarlah nanti kalau sudah sampai di gubuk kakek, setelah minum semangkuk
dua mangkuk, tanggung semua rasa penasaranmu akan lenyap."
"Tarrr", ia ayun cambuknya dan melarikan keretanya terlebih cepat.
Menjelang petang, hujan masih rintik-rintik. Kereta memasuki sebuah jalan kecil yang tiada
orang berlalu-lalang. Kakek yang miskin ini mungkin tinggal sendirian di rumah gubuknya.
Tapi bagi Pwe-giok hal ini sangat kebetulan malah. Ia lantas berbaring di dalam kereta dan
92 membayangkan dinding gubuk si kakek yang sudah berlubang-lubang dan pembaringannya
yang penuh daki serta tuak kampung yang menusuk tenggorokan itu. Ia merasa dirinya
sekarang bolehlah tidur dengan tenteram.
Tiba-tiba terdengar kakek itu bergumam: "Wahai kudaku sayang, larilah yang cepat, sudah
dekat rumah kita, kau kenal jalan tidak?"
Pwe-giok tidak tahan, ia merangkak bangun pula dan menyingkap terpal untuk mengintip
keluar. Dilihatnya di depan adalah jalan berbatu yang bersih terguyur air hujan. Di ujung jalan
sana adalah sebuah gedung yang mentereng dengan cahaya lampu yang gemilang. Dipandang
pada petang yang hujan ini tampaknya tiada ubahnya seperti sebuah istana kaum bangsawan.
Pwe-giok terkejut, tanyanya dengan ragu-ragu; "Apakah ini . . . ini rumah Lotiang?"
"Betul," jawab si kakek tanpa menoleh.
Pwe-giok membuka mulut, tapi segera ditelannya kembali kata-kata yang hendak
diucapkannya. Dalam hati sungguh penuh rasa heran dan sangsi. Jangan-jangan kakek miskin
ini adalah samaran seorang hartawan" Jangan-jangan dia seorang pembesar yang telah
pensiun" Atau mungkin juga seorang bandit yang sengaja menutupi gerak-geriknya dengan
menyamar sebagai kakek rudin" Apa maksud tujuannya membawa pulang Ji Pwe giok"
Terlihat di luar pintu gerbang yang besar berwarna ungu itu terdapat dua ekor singa batu, di
pinggir pagar bambu sana tertambat beberapa ekor kuda bagus, beberapa lelaki tegap dengan
bergolok dan pakaian ringkas sedang menurunkan pelana kuda.
Siapa yang datang menumpang kuda-kuda itu"
Meski pertanyaan ini belum dapat segera dijawab, tapi kakek ini adalah seorang tokoh Bulim,
hal ini jelas tidak perlu disangsikan lagi. Padahal setiap orang Bulim sekarang, siapakah yang
tidak memusuhi Ji Pwe-giok"!
Tangan dan kaki Pwe-giok terasa dingin, lebih celaka lagi sekujur badan terasa lemas lunglai,
ingin kabur pun tidak dapat. Apalagi, seumpama dia dapat lari kinipun sudah terlambat. Sebab
kereta itu telah masuk ke dalam perkampungan itu.
Pwe-giok menutup kembali terpal kereta, hanya tersisa sela-sela kecil untuk mengintip.
Mendadak terlihat dua sosok bayangan orang melayang kemari, orang di sebelah kiri
dikenalnya sebagai si Pek-bin Tojin dari Kun-lun-pay itu.
Tidak kepalang kejut Pwe-giok, tanganpun agak gemetar.
Pek-bin Tojin itu menghadang di depan kereta dan menegur; "Dalam perjalanan pulang ini,
apakah Lotiang melihat seorang pemuda?"
"Terlalu banyak pemuda yang kulihat, entah yang mana yang kau maksudkan?" jawab si
kakek dengan tertawa.
"Dia berbaju panjang warna hijau, cukup gagah dan ganteng, cuma keadaannya agak
runyam," tutur Pek-bin Tojin.
93 "Aha, kalau pemuda begini memang ada kulihat," seru si kakek.
"Di mana dia?" tanya Pek-bin Tojin cepat.
"Bukan saja kulihat, bahkan telah kutangkap dia ke sini," ujar si kakek sambil tertawa.
Tidak kepalang cemas Pwe-giok, hampir saja ia jatuh kelengar.
Dengan tajam Pek bin Tojin menatap si kakek, katanya dengan tegas; "Biarpun pemuda itu
dalam keadaan runyam, meski dia sudah payah untuk kabur, kalau dirimu saja jelas tidak
mampu menangkapnya pulang. Hendaklah Lotiang ingat selanjutnya, Pek-ho Tojin dari Kunlun
pay biasanya tidak suka berkelakar!"
Habis berkata mendadak ia membalik tubuh dan melangkah kembali ke sana.
Si kakek menghela napas, ucapnya: "Jika sudah jelas kau tahu aku tidak mampu
menangkapnya, untuk apa kau tanya pada diriku?"
Dia tarik lagi tali kendalinya dan menghalau keretanya ke suatu gang kecil, terdengar ia
bergumam sendirian: "Wahai anak muda, sekarang tentunya kau tahu, semakin cerdik
seseorang, semakin mudah pula ditipu. Soalnya hanya dengan cara apa akan kau tipu dia."
Dengan sendirinya ucapan ini sengaja diperdengarkan kepada Ji Pwe-giok, cuma sayang Pwegiok
tidak dapat mendengarnya. Waktu Pwe-giok sudah dapat mendengar, sementara itu tahutahu


Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia sudah berada di dalam rumah si kakek.
Rumah ini memang betul sudah reyot, dinding sekelilingnya sudah banyak yang rontok dan
kotor di atas meja ada sebuah poci yang telah patah corongnya serta dua mangkuk butut,
selain itu ada pula sedikit sisa kacang goreng.
Sebuah lampu minyak dengan cahayanya yang guram tampak bergoyang- tertiup angin
seolah-olah melambangkan kehidupan si kakek.
Di belakang pintu menyantel sehelai selimut lusuh, dari sela-sela pintu air hujan tampak
merembes masuk dan mengalir ke kaki tempat tidur yang terbuat dari bambu. Di tempat tidur
inilah sekarang Pwe-giok berbaring. Bajunya yang basah sudah ditanggalkan, meski sekarang
badannya ditutup dengan sehelai selimut, tapi rasanya masih menggigil.
Si kakek tidak kelihatan berada di dalam rumah, sekuat tenaga Pwe giok meronta turun dari
tempat tidur, dengan selimut membungkus tubuh ia mendekati jendela, jendela terbuat dari
papan kayu, ia mengintip keluar melalui celah-celah papan. Di luar ternyata adalah sebuah
taman yang sangat luas.
Gelap gulita taman itu, meski di kejauhan ada berkerlipnya cahaya lampu, tapi sinarnya tidak
dapat mencapai ke sini, pepohonan yang gelap di bawah hujan tampaknya seperti bayangan
setan yang bergerak-gerak. Pwe-giok merinding, diam-diam ia bertanya kepada dirinya
sendiri: "Sesungguhnya tempat apakah ini" Apa yang telah terjadi dengan diriku?"
94 Tiba-tiba terlihat setitik sinar lampu melayang ke sana di tengah bayangan pohon, seperti api
setan. Kaki Pwe-giok menjadi lemas, ia berdiri bersandar pada ambang jendela. Di tengah
kegelapan sayup-sayup terdengar suara nyanyian yang lembut:
Mana ada malam purnama di tengah kehidupan ini, kecuali dicari di dalam mimpi. Katamu
kau pernah melihat senyuman dewi, adakah itu di dalam mimpi atau nyata"
Suara nyanyian itu hanya sayup-sayup hampir tak terdengar, membawa semacam perasaan
yang hampa, duka dan misterius yang sukar dilukiskan, adakah ini nyanyian orang, bukankah
lebih tepat dikatakan rintihan arwah halus"
Api setan dan suara nyanyian itu semakin dekat, sesosok bayangan putih remang-remang
muncul dengan tangan membawa sebuah lampu kristal yang kecil mungil, melayang tiba di
bawah hujan. Bentuk bayangan ini sedemikian ramping, baju yang basah kuyup melekat pada tubuhnya,
rambut yang panjang terurai juga lengket di atas pundaknya, sinar lampu terpancar menyinari
mukanya. Wajahnya putih pucat pasi, cahaya lampu juga menyinari matanya, sorot mata yang
kelihatan hampa dan bingung, tapi juga sangat cantik. Kehampaan ditambah cantik
menimbulkan semacam perasaan yang sukar diucapkan.
Pwe-giok menjadi lemas dan tak dapat bergerak menghadapi taman yang luas dan seram itu
dengan bayangan yang menyerupai badan halus . . . .
Sekonyong-konyong pintu berkeriut dan terbuka, dengan kaget Pwe-giok berpaling,
dilihatnya si kakek dengan mantel ijuk dan bercaping entah sejak kapan sudah berada di situ.
Pwe-giok menubruk maju dan memegang bahunya sambil berseru: "Sia .... siapa itu di luar?"
Si kakek tersenyum jawabnya: "Mana ada orang di luar?"
Sudah tentu Pwe-giok tidak percaya, ia membuka pintu dan melongok keluar, di luar hanya
taman yang luas dan gelap, mana ada bayangan orang segala"
Si kakek kelihatan tersenyum-senyum, seperti mengejek dan juga merasa kasihan. Pwe-giok
mencengkeram leher bajunya dan berseru dengan suara gemetar: "Sesungguhnya tempat ....
tempat apakah ini" Siapa kau sesungguhnya?"
"Siapa" Kan cuma seorang kakek yang telah menyelamatkan kau," jawab si kakek dengan
tenang. Pwe giok jadi melenggong dan melepaskan cengkeramannya, ia menyurut mundur dan jatuh
berduduk di atas kursi bambu, baru sekarang keringat dinginnya menetes.
"Kau lelah, kau terlalu lelah," kata si kakek, "Janganlah berpikir yang bukan-bukan,
istirahatlah."
Sambil memegangi sandaran kursi bambu Pwe-giok berseru pula: "Tapi. ... tapi jelas-jelas
kulihat........."
95 "Kau tidak melihat apa-apa, bukan" Ya, apapun tidak kau lihat...... "si kakek memandangnya
lekat-lekat. Tiba-tiba Pwe-giok merasa sorot mata si kakek ada semacam kekuatan yang sukar dilawan,
tanpa terasa ia menunduk, ia tersenyum pedih, katanya: "Ya, aku memang tidak melihat
apapun." "Memang begitulah," ujar si kakek dengan tertawa, "semakin sedikit yang kau lihat, semakin
sedikit pula rasa kesalmu."
Lalu dia menaruh sebuah kuali kecil di atas meja di depan Pwe giok, katanya; "Sekarang
boleh minumlah kuah pedas ini dan tidurlah baik-baik. Besok, tentulah hari yang tidak sama,
entah betapa bedanya besok dengan hari ini?"
"Ya, apapun juga, hari ini pun sudah lalu....." ucap Pwe-giok dengan tersenyum pedih.
***** Dalam mimpinya, Pwe-giok merasa bumi ini makin lama makin gelap, tubuhnya seakan-akan
terhimpit oleh bumi raya yang gelap ini, ia berkeringat" ia meronta,
mengerang..............Selimut serasa sudah basah, tempat tidur bambu itu berbunyi keriatkeriut!
Sekonyong-konyong ia membuka mata di bawah cahaya pelita yang guram dilihatnya
sepasang tangan!
Sepasang tangan yang putih mulus!
Kedua tangan ini sedang menggeser ke lehernya, seakan-akan hendak mencekiknya,
"Sia.................siapa kau?" jerit Pwe-giok saking kaget dan takutnya.
Di bawah sinar lampu yang guram, dilihatnya seraut wajah yang pucat dengan rambut yang
panjang serta sepasang mata yang indah dengan pandangannya yang rawan. Ketika rambut
yang panjang itu tersebar, bayangan putih itupun melayang pergi seperti angin, tahu-tahu
lantas lenyap dalam kegelapan. Bukankah itu badan halus yang dilihatnya di bawah hujan itu"
Cepat Pwe-giok melompat bangun, ia meraba leher sendiri dengan napas terengah-engah.
Sesungguhnya bayangan tadi manusia atau setan" Apakah dirinya hendak dibunuhnya tadi"
Tapi sebab apa orang hendak membunuhnya"
Si kakek tidak diketahui ke mana perginya dan celah-celah papan jendela terlihat cuaca sudah
remang-remang, fajar sudah menyingsing. Daun pintu kelihatan masih bergoyang-goyang.
Sesungguhnya bayangan tadi manusia atau setan" Jika benar hendak membunuhnya tentu
sudah dilakukannya sejak tadi. Kalau tiada maksud jahat, mengapa dia menyusup datang
seperti badan halus dan melayang pergi pula seperti arwah gentayangan"
Jantung Pwe-giok berdebar keras, di tepi tempat tidurnya ada seperangkat baju bekas, tanpa
pikir dipakainya dengan tergesa-gesa, lalu ia berlari keluar.
96 Kabut pagi masih menyelimuti halaman taman yang sunyi senyap ini. Hujan sudah berhenti,
cuaca remang-remang, lembab, sejuk dan rada-rada menggigilkan. Remang-remang kabut
membuat taman yang sunyi ini menimbulkan semacam keindahan yang misterius.
Diam-diam Pwe-giok menyusuri jalan berbatu itu, langkahnya sangat perlahan, seakan-akan
kuatir memecahkan kesunyian bumi raya ini.
Tiba-tiba didengarnya suara kicau burung, semula suara seekor dengan bunyi yang merdu dari
pucuk pohon sini terus berpindah ke pucuk pohon sana.
Menyusul suara lain lantas berbangkit, lalu seluruh taman seolah-olah pecah suara burung
berkicau dengan nyaringnya.
Pada saat inilah kembali Pwe-giok melihat si "dia" lagi.
Dia masih mengenakan jubah panjang warna putih dan berdiri di bawah pohon yang sana. Dia
sedang menengadah dan memandangi pucuk pohon, rambutnya mengkilap, jubah putih dan
rambut panjangnya berkibaran tertiup angin, di tengah remang kabut pagi ini dia bukan lagi
badan halus, tapi serupa dewi kahyangan.
Dengan langkah lebar Pwe-giok mendekatinya, ia kuatir orang akan menghilang pula seperti
badan halus. Namun si dia masih menengadah tanpa bergerak sedikit pun.
Sesudah dekat, dengan suara keras Pwe-giok menegur; "He, kau......."
Baru sekarang si dia memandang Pwe giok sekejap sorot matanya yang indah itu penuh rasa
bingung seperti orang kehilangan ingatan. Sementara itu kabut sudah mulai hilang, sinar sang
surya sudah mulai mengintip di ufuk timur, butiran air hujan atau embun laksana mutiara
menghias dedaunan.
Mendadak Pwe-giok merasa si dia ini bukan si "dia".
Meski si dia ini juga berjubah putih dan berambut panjang, juga bermuka pucat, juga bermata
indah, tapi cantiknya terlalu bersahaja. Dari gemerdep matanya dapat terlihat betapa suci
murninya, betapa gemilang dan betapa tenangnya.
Sedangkan si "dia" yang dilihatnya semalam itu jelas sangat misterius dan juga sangat rumit,
bahkan mengandung semacam hawa yang aneh dan sukar untuk dipahami.
Cepat Pwe giok berkata pula dengan menyesal; "O, maaf aku salah lihat."
Ia pandang Pwe-giok dengan tenang, mendadak ia membalik tubuh dan kabur seringan
burung. Tanpa terasa Pwe-giok berseru: "Nanti dulu, nona! Apakah engkau juga penghuni
perkampungan ini?"
Nona itu sempat menoleh dan tertawa kepada Pwe-giok, tertawa yang cantik, tapi juga
mengandung rasa hampa dan linglung yang sukar dilukiskan. Habis itu lenyaplah dia di
tengah kabut. 97 Sampai lama Pwe giok termenung, ia ingin membalik ke arah datangnya tadi, tapi langkah
kakinya justeru menggeser ke depan, jalan punya jalan, tiba-tiba ia merasa ada sepasang mata
sedang mengintainya di balik pohon sana. Mata yang begitu jernih, begitu bening. Pelahanlahan
Pwe-giok menghentikan langkahnya dan berdiri tenang di situ, sedapatnya ia tidak mau
mengejutkan orang.
Akhirnya si dia muncul sendiri dan memandang Pwe-giok dengan linglung.
Baru sekarang Pwe-giok berani tertawa padanya dan menyapa: "Nona, apakah boleh kutanya
beberapa kata padamu?"
Dengan tertawa linglung nona itu mengangguk.
"Tempat apakah ini?" tanya Pwe-giok.
Nona itu tetap tertawa sambil menggeleng.
Dengan kecewa Pwe giok menghela napas, ia tidak tahu mengapa tempat ini sedemikian
misterius, mengapa tidak seorang pun mau memberitahukan padanya?"
Tapi ia tidak putus asa, ia tanya pula: "Jika nona penghuni perkampungan ini, mengapa tidak
tahu tempat apakah ini?"
"Aku bukan manusia," tiba-tiba nona itu bersuara dengan tertawa. Suaranya nyaring merdu
seperti kicauan burung.
Jawaban itu membuat Pwe-giok terkejut. Jika kata itu diucapkan orang lain paling-paling
Pwe-giok cuma tertawa saja. Tapi nona yang berwajah bingung ini sesungguhnya mempunyai
kecerdasan yang melebihi orang lain.
Dengan tergagap kemudian Pwe-giok bertanya pula: "Masa kau bukan .. . . "
"Aku seekor burung," ucap si nona pula sambil menggigit bibir. Ia menengadah memandangi
pucuk pohon, di mana hinggap beberapa ekor burung kecil yang tak diketahui namanya
sedang berkicau. Dengan tertawa ringan nona itu berkata pula: "Akupun serupa burung di atas
pohon itu, aku adalah saudara mereka."
Pwe-giok terdiam sejenak, tanyanya kemudian: "Jadi nona sedang bicara dengan mereka?"
Nona baju putih itu berpaling dan tertawa. Mendadak matanya terbelalak dan bertanya: "Kau
percaya pada perkataanku"!"
"Sudah tentu kupercaya," jawab Pwe-giok dengan suara halus.
Sorot mata si nona menampilkan perasaan hampa, ucapnya dengan menyesal; "Tapi orang
lain tidak mau percaya."
"Bisa jadi mereka orang tolol semuanya," ujar Pwe giok.
98 Sampai lama si nona memandangi Pwe giok dengan tenang, tiba-tiba ia tertawa nyaring,
katanya: "Jika demikian, bolehkah kukatakan padamu bahwa aku ini seekor burung kenari."
Dia tertawa riang, lalu berlari pergi pula.
Pwe giok tidak merintanginya, ia termangu-mangu sejenak, timbul semacam perasaan yang
belum pernah dirasakannya selama ini. Perlahan-lahan ia melangkah balik ke rumah kecil
tadi. Baru saja ia melangkah masuk rumah, sekonyong-konyong dari balik pintu sebatang pedang
mengancam punggungnya. Ujung pedang yang tajam dingin itu seakan-akan menusuk ke
dalam hati Pwe-giok.
Terdengar seorang bersuara sedingin es; "Jangan bergerak, sekali bergerak segera kutusuk
tembus punggungmu....." Jelas ini suara seorang perempuan, juga nyaring dan merdu.
Tanpa terasa Pwe giok menoleh, kembali ia melihat jubah putih dengan rambut panjang
terurai dan muka yang pucat serta mata yang indah. Ini bukanlah badan halus semalam, tapi
dewi kahyangan pagi ini.
Kejut dan heran Pwe-giok, dengan mendongkol ia berkata sambil menyengir: "Nona kenari,
masa kau tidak kenal lagi padaku?"
"Sudah tentu aku tidak kenal kau!" kata nona itu dengan suara bengis.
"Tapi .... tapi barusan kita baru .... baru saja bicara."
"Hm, mungkin kau melihat setan," jengek si nona.
Pwe giok jadi melenggong dan tak dapat bersuara. Sorot mata si nona sekarang telah berubah
menjadi tajam dan dingin, tapi alisnya, mulutnya dan hidungnya jelas-jelas si nona cantik tadi.
Mengapa mendadak dia berubah begini" Mengapa sikapnya berubah ketus begini" Kembali
Pwe giok kebingungan, ucapnya kemudian dengan tersenyum pedih: "Apakah benar kulihat
setan?" "Siapa kau?" bentak nona itu dengan bengis.
"Mengapa kau berada di tempat Ko lothau (kakek Ko)" Ingin mencuri atau ada pekerjaan
lain" Lekas mengaku terus terang, lekas!"
"Begitu ujung pedangnya didorong sedikit, seketika darah mengucur dari punggung Pwegiok.
"Aku tidak tahu, apa pun aku tidak tahu," jawab Pwe-giok sambil menghela napas. Ia merasa
setiap penghuni perkampungan ini seakan-akan orang gila semua, terkadang sedemikian baik
padanya, tapi mendadak bisa berubah menjadi garang.
99 Sebentar bersikap ramah, lain saat berubah beringas seperti hendak membunuhnya, "Kau
tidak tahu?" jengek nona itu pula. "Baik, akan kuhitung sampai tiga, jika kau tetap bilang
tidak tahu, segera kutusukkan pedang ini hingga menembus dadamu."
Lalu ia berseru: "Satu." Pwe-giok hanya berdiri tegak tanpa bersuara. "Dua . . .. " teriak pula
si nona. Pwe-giok tetap berdiri saja tanpa bicara. Hakekatnya memang tiada apa-apa yang
dapat dikatakannya. Si nona seperti melengak juga, tapi akhirnya ia berseru pula: Tiga!
Pada saat yang sama, sekonyong-konyong Pwe giok menggeser ke samping selicin belut,
berbareng tangannya menyampuk balik, seketika tangan si nona kaku kesemutan, pedang
mencelat dan menancap di belandar.
Sampukan Pwe-giok ini sangat kuat. Si nona jadi melenggong. Pwe-giok memandangnya
dengan dingin, katanya: "Nona kenari, sekarang bolehlah kutanyai kau bukan" Tentunya
jangan pura-pura bodoh lagi, sebaiknya kau bicara dengan bahasa manusia, aku tidak paham
bahasa burung."
Nona itu mengerling sekejap, mendadak ia tertawa nyaring, katanya: "Hihi, aku cuma
berkelakar saja dengan kau. Jika kau ingin belajar bahasa burung biarlah kuajari kau besok."
Dengan enteng ia terus membalik tubuh dan berlari pergi. "Nanti dulu!" seru Pwe-giok sambil
mengejar. Tapi mendadak dilihatnya si kakek menghadang di depannya sambil menegur: "Telah
kuselamatkan jiwamu, tapi bukan maksudku membawa kau ke sini untuk menakuti orang."
"Kedatangan Lotiang sangat kebetulan," jengek Pwe-giok.
"Waktu nona itu mengancam punggungku dengan pedang, mengapa Lotiang tidak lantas
muncul?" Kakek itu tidak bersuara, ia masuk ke rumah dan berduduk, diambilnya cangklong
tembakaunya, disulutnya dengan api dan mulai merokok, setelah menghisap tembakaunya
satu-dua kali barulah ia berucap:
"Biarlah kukatakan terus terang padamu, di perkampungan ini memang banyak hal-hal yang
aneh, bila kau dapat anggap tidak dengar dan tidak lihat, tentu kau takkan dicelakai orang.
Jika sebaliknya, tentu akan mendatangkan musibah bagimu."
"Sekalipun aku berlagak tidak dengar dan tidak lihat, kan nona tadi juga hendak
membunuhku"!" seru Pwe giok dengan gusar.
Si kakek menghela napas, katanya: "Persoalan tadi hendaklah jangan kau pikirkan lagi,
mereka adalah anak perempuan yang harus dikasihani, nasib mereka sangat malang, kau harus
memaafkan mereka."
Dan kerut wajahnya dapat terlihat si kakek jelas sangat berduka ketika membicarakan nona
tadi, Pwe-giok termenung sejenak, tanyanya kemudian: Siapakah mereka?"
"Untuk apa kau ingin tahu siapa mereka?"
100 "Dan, mengapa kau tidak mau memberitahukan padaku?" seru Pwe-giok.
Si kakek menghela napas panjang, katanya: "Bukannya aku tidak mau memberitahukan
padamu, soalnya akan lebih baik jika kau tidak tahu."
Kembali Pwe-giok termenung sejenak, ia memberi hormat, lalu berkata pula dengan suara
berat: "Terima kasih banyak-banyak atas pertolongan jiwa Lotiang, kelak pasti akan kubalas
kebaikanmu ini."
"Kau mau pergi?" tanya si kakek sambil menoleh.
"Kupikir, lebih baik ku pergi saja," ujar Pwe-giok sambil menyengir.
"Tapi ratusan anak murid Kun-lun dan Tiam-jong saat ini masih berkeliaran di sekitar
perkampungan ini, jika kau pergi, dapatkah kau lolos dari pengawasan mereka?"
Pwe-giok jadi ragu-ragu, tanyanya pula: "Sesungguhnya ada hubungan apa antara
perkampungan ini dengan Kun-lun dan Tiam-jong-pay?"
Si kakek tersenyum hambar, katanya: "Jika tempat ini ada hubungannya dengan Kun-lun dan
Tiam-jong, mungkinkah kau diberi kesempatan tinggal di sini?"
Pwe-giok terkesiap dan menyurut mundur; "Apakah... apakah engkau sudah tahu..."
"Aku sudah tahu semuanya," ucap si kakek sambil menyipitkan matanya.
Pwe-giok menubruk maju dan memegang bahu si kakek, serunya dengan parau: "Aku tidak
membunuh Cia Thian-pi, lebih-lebih tidak pernah membunuh Thian-kang Totiang, kau harus
percaya padaku."
"Sekalipun aku percaya, tapi orang lain apakah juga percaya?" kata si kakek.
Pwe-giok melepaskan tangannya dan menyurut mundur selangkah demi selangkah hingga
bersandar pada dinding.


Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terpaksa kau harus berdiam di sini, nanti kalau keadaan sudah aman, baru kau kubawa
pergi," ujar si kakek dengan gegetun.
"Pada kesempatan ini pula dapat kau istirahat dan memulihkan tenagamu di sini."
Basah mata Pwe-giok, katanya: "Lotiang, semestinya engkau .... engkau tidak perlu sebaik ini
kepadaku."
Si kakek menghisap lagi tembakaunya, lalu berkata dengan ikhlas: "Sekali sudah
kuselamatkan kau, tidak nanti kusaksikan lagi kau mati di tangan orang lain."
Sekonyong-konyong seutas tali menyambar ke atas dan persis menjerat batang pedang yang
menancap di belandar, sedikit ditarik, pedang itu lantas jatuh ke bawah dan tepat diraih oleh
sebuah tangan yang putih halus.
101 Tahu-tahu si nona telah berdiri di ambang pintu dan berkata kepada si kakek dengan tertawa;
"Ko-lothau, ibu ingin melihat dia."
Si kakek memandang Pwe-giok sekejap. Segera Pwe-giok dapat melihat perubahan air muka
si kakek, matanya yang menyipit mendadak terbelalak, katanya dengan berkerut kening:
"Ibumu ingin melihat siapa?"
"Di rumah ini selain kau dan aku, ada siapa lagi?" ucap si nona baju putih dengan tertawa.
"Untuk...... untuk apa ibumu ingin melihat dia?" tanya si kakek Ko.
Nona itu melirik Pwe-giok sekejap, katanya; "Akupun tidak tahu, lekas kau bawa dia ke
sana." Lalu ia memutar tubuh dan melangkah pergi pula.
Sampai lama si kakek berdiri termangu.
Pwe-giok tidak tahan, tanyanya. "Siapakah ibunya?"
"Cengcu-hujin (nyonya kepala perkampungan)," jawab Ko-lothau sambil mengetuk pipa
tembakaunya, lalu disisipkannya diikat di pinggang dan berkata pula: "Marilah berangkat,
ikut saja di belakangku. Hendaklah hati-hati, saat ini di perkampungan ini terdapat tidak
sedikit anak murid Tiam-jong dan Kun-lun pay.
"Sungguh aku tidak paham," kata Pwe-giok dengan gegetun, "kalau kalian sudah mau
menerima diriku, mengapa kalianpun menerima mereka di sini. Jika kalian telah menerima
mereka di sini, mengapa kalian kuatir pula diriku dilihat mereka?"
Si kakek tidak menghiraukan gerundelan Pwe-giok itu, ia membawa anak muda itu menyusur
kian kemari di antara pepohonan yang lebat, di jalan berbatu licin bersih, kabut di tengah
pepohonan itu sudah buyar.
"Kalau sekarang aku harus menemui Cengcu-hujin, sedikitnya engkau harus memberitahukan
padaku sesungguhnya di sini ini perkampungan apa?" kata Pwe-giok pula.
"Sat jin-ceng!" jawab Ko-lothau singkat.
"Sat-jin-ceng (perkampungan membunuh orang)?" seru Pwe giok terkejut dan berhenti
melangkah mendadak.
Sementara itu mereka sudah sampai di sebuah serambi yang melingkar, bangunan serambi ini
sangat indah dan mentereng, tapi langkan serambi kelihatan tak terawat, catnya yang
berwarna merah sudah banyak yang mengelupas, debu memenuhi lantai.
"Kau heran pada nama perkampungan ini?" "Ya, mengapa diberi nama seaneh ini?"
"Sebabnya setiap orang boleh membunuh orang di sini secara bebas, tiada seorangpun yang
akan melarangnya. Setiap orang juga dapat terbunuh di sini dan pasti tiada seorangpun yang
mau menolong dia!" tutur si kakek Ko.
102 Pwe-giok merasa merinding, ucapnya dengan ngeri: "Sebab apa, sebab apa begitu?"
"Apa sebabnya kukira lebih baik jangan kau tanya," jawab Ko lothau.
"Masa......masa selama ini tiada orang ikut campur?"
"Tidak ada, selamanya tidak ada yang berani."
"Masa Cengcu kalian juga tidak ikut campur urusan perkampungan?"
Mendadak Ko-lothau menoleh dengan senyuman yang misterius, ucapnya sekata demi sekata:
"Cengcu kami selamanya tidak ikut campur urusan, sebab dia..............."
Belum habis ucapannya, tiba-tiba terdengar suara langkah orang berkumandang dari ujung
serambi sana. cepat Ko lothau menarik Pwe-giok dan menyelinap ke balik pintu samping
yang berkerai. Suara langkah orang itu semakin dekat, pelahan-lahan berlalu ke sana.
Pwe-giok mengintip ke luar, dilihatnya bayangan dua Tojin berjubah ungu dan menyandang
pedang, jelas mereka murid Kun-lun-pay.
Diam-diam Pwe-giok menghela napas lega, katanya; "Apakah setiap orang boleh bergerak
secara bebas di perkampungan kalian ini?"
"Siapa yang ingin membunuh orang dengan sendirinya boleh bebas bergerak, tapi orang yang
mungkin akan terbunuh cara berjalannya harus berhati-hati... berhati-hati sekali."
"Kalau orang di sini setiap saat mungkin terbunuh, mengapa mereka masih juga datang
kemari" Bukankah tempat lain jauh lebih aman bagi mereka?"
"Bisa jadi dia sudah kehabisan jalan, atau mungkin dia tidak tahu seluk-beluk tempat ini.
Mungkin pula ia tertipu ke sini, boleh jadi lagi iapun ingin membunuh orang."
Pwe-giok merinding pula, gumamnya; "Sungguh tepat sekali alasan ini, ke empat alasan ini
memang tepat......" segera ia menyusul ke depan dan bertanya: Tapi Cengcu kalian
mengapa.,.."
Belum habis ucapannya, tiba-tiba terdengar suara nyaring merdu berkata: "Dia sudah datang,
ibu......" Waktu Pwe-giok memandang ke sana, di ujung serambi ada sebuah pintu berukir
daun pintu kelihatan terbuka sedikit, suara merdu itu berkumandang dan balik pintu.
Sepasang mata jeli yang semula mengintip di balik pintu kini mendadak lenyap. Dengan
langkah berat Ko lothau mendekati pintu itu dan mengetuknya pelahan sambil berseru:
"Apakah Hujin ingin bertemu dengan bocah ini?"
"Ya, masuk!" ucap seorang perempuan dengan suara lirih. Hanya dua kata ini saja yang
terdengar, namun mengandung semacam daya tarik yang aneh luar biasa, rasanya suara ini
seperti tersiar dari suatu dunia yang lain.
103 Mendadak pintu terbuka, Di dalam sangat gelap, sinar sang surya pagi cukup benderang, tapi
tak dapat menyorot ke dalam rumah.
Entah mengapa, jantung Pwe giok berdebar keras, pelahan ia melangkah masuk. Dalam
kegelapan sepasang mata yang terang sedang menatapnya, mata yang indah dan juga hampa,
Nyonya rumah dari Sat-jin ceng ini ternyata tidak-lain-tidak-bukan adalah "badan halus" yang
dilihatnya di bawah hujan itu.
Pwe-giok terkesiap. Segera dilihatnya pula sepasang tangan yang putih dan halus, jelas itulah
tangan yang hendak mencekiknya waktu dia tidur itu. Butiran keringat terasa mengucur dari
dahinya .... Sepasang mata yang jeli itu masih menatapnya lekat-lekat tanpa bergerak. Pwe-giok juga
tidak bergerak, lamat-lamat ia merasa di sampingnya juga ada satu orang. Waktu matanya
sudah terbiasa dalam kegelapan, tiba-tiba dilihatnya orang di samping ini tersenyum manis,
senyuman yang suci dan bersahaja.
Hai, bukankah ini si dewi yang dilihatnya di tengah pepohonan pagi tadi"
Sekonyong-konyong pintu tertutup pula, segera Pwe-giok berpaling. Di dekat pintu kembali
dilihatnya sepasang mata yang sudah dikenalnya, mata yang sama jelinya, alis yang sama
lentiknya dan mulut yang sama mungilnya.
Bedanya, sorot mata yang satu sedemikian halus dan bersahaja, yang satu lagi justeru begitu
tajam dan dalam. Kalau diperumpamakan seorang seperti burung Kenari yang lincah dan
riang, seakan-akan tidak kenal arti susah orang hidup. Yang seorang lagi dapat di ibaratkan
burung elang di padang pasir, garang dan selalu mengincar hati setiap mangsanya.
Baru sekarang Pwe-giok paham duduknya perkara. Rupanya si burung Kenari yang
ditemuinya di hutan pagi tadi serta si elang yang mendorongnya dengan pedang itu adalah
kakak beradik kembar.
Ia pandang ke depan dan melihat ke belakang, ia merasa kedua kakak beradik ini benar-benar
mirip seperti pinang yang dibelah dua, sampai-sampai ibu mereka, si badan halus di tengah
hujan itu, arwah dalam mimpi, si Cengcu-hujin yang misterius ini, juga serupa benar dengan
kedua puterinya. Hanya saja, watak di antara ibu dan kedua puterinya sama sekali berbeda
dan terdiri dan tiga jenis watak yang tak sama.
Seketika Pwe-giok tidak tahu apa yang harus dilakukannya, entah kejut, heran, bingung atau
merasa lucu. Segera terngiang pula ucapan si kakek Ko: "Mereka adalah perempuan yang
harus dikasihani."
Perempuan yang harus dikasihani" Mengapa....
Cengcu-hujin masih menatapnya lekat-lekat, mendadak ia tertawa dan berkata: "Di sini sangat
gelap, bukan?"
104 Pada wajah yang pucat dan penuh rasa hampa itu bisa menampilkan senyuman, sungguh
sesuatu yang hampir sukar dibayangkan. Pwe-giok merasa terpengaruh oleh semacam daya
tarik, yang aneh, dengan menunduk ia mengiakan.
Dengan rawan Cengcu-hujin berkata pula: "Aku suka kepada kegelapan dan benci pada sinar
matahari. Sinar matahari hanya mencorong bagi orang yang gembira ria, orang yang berduka
selalu hanya kebagian kegelapan."
Mestinya Pwe-giok ingin tanya sebab apa si nyonya berduka, mengapa tidak gembira saja"
Tapi pertanyaan ini tidak jadi dilontarkannya.
Sorot mata Cengcu-hujin tidak pernah bergeser dari muka Pwe-giok, tanyanya kemudian:
"Kau she apa dan siapa namamu?"
"Cayhe she....... " belum lanjut ucapan Pwe-giok, tiba-tiba Ko-lothau berdehem pelahan, maka
Pwe-giok lantas menyambung: "Yap, namaku Yap Giok-pwe."
"Kau tidak she Ji?" Cengcu-hujin menegas.
Kembali Pwe-giok terkesiap, ia tidak menjawab.
"Bagus, kau tidak she Ji," ucap pula si Cengcu-hujin. "Dahulu seorang she Ji pernah
membunuh seorang yang sangat rapat denganku, maka menurut perasaanku setiap orang she
Ji pasti bukanlah manusia baik-baik."
Pwe-giok tak dapat menjawab apa-apa, terpaksa ia hanya mengiakan saja, "Aku sangat senang
atas kedatanganmu ke perkampungan kami ini, kuharap kau dapat tinggal beberapa hari lebih
lama di sini, rasanya banyak yang ingin kubicarakan denganmu."
"Terima. . . . . terima kasih... ." ucap Pwe-giok.
Mendadak si nona elang melolos pedang dan mengetuk belakang dengkul anak muda itu,
keruan Pwe-giok kesakitan dan tanpa terasa ia berlutut.
Pada saat itu juga tahu-tahu seorang menerjang masuk, siapa lagi kalau bukan Pek-ho Tojin
dari Kun-lun-pay.
Sekilas melirik Pwe-giok melihat beberapa murid Tiam-jong pay juga ikut masuk bersama
Pek-ho Tojin. Begitu masuk mereka lantas memandang sekitar ruangan, tapi orang-orang
yang berada di situ seolah-olah tidak memperdulikan kedatangan mereka.
Dengan bertolak pinggang si nona elang lantas mendamprat: "Selanjutnya kalau kau berani
membangkang dan malas kerja.. pasti akan kupatahkan kaki-anjingmu."
Dengan kepala tertunduk Pwe-giok mengiakan dengan suara yang dibikin serak, Pek-ho Tojin
masih memandang kian kemari, tapi tidak memperhatikan "tukang kebun" yang berlutut di
sampingnya. Baru sekarang ia memberi hormat kepada Cengcu hujin dan bertanya: "Apakah
Hujin melihat seorang pemuda asing masuk kemari?"
105 "Satu-satunya orang asing yang menerobos masuk ke sini ialah anda," jengek Cengcu-hujin.
"Tapi barusan jelas-jelas ada...... . . " Belum lanjut ucapan Pek-ho Tojin, mendadak si nona
elang melompat ke depannya dan menghardik: "Jelas-jelas apa" Memangnya kau kira kami
ibu dan anak main pat-gulipat dengan lelaki di sini"!"
Pek-ho Tojin melengak, cepat ia menjawab dengan menyengir: "O, mana berani
kumaksudkan demikian."
"Hm, lalu, seorang pertapa seperti dirimu ini berani sembarangan menerobos ke kamar orang
perempuan, lantas apa maksud tujuanmu" Apakah kau ingin baca kitab di sini?" jengek si
nona elang. Sama sekali Pek-ho To-jin tidak menyangka sedemikian lihaynya nona jelita ini, begini tajam
kata-katanya sehingga sukar baginya untuk menjawab. Terpaksa ia berkata: "Pernah kutanya
kepada Ceng-cu, katanya....."
"Betul, jika kalian ingin membunuh orang, setiap rumah boleh kalian masuki dengan bebas,"
potong si nona elang dengan suara bengis. "Tapi rumah ini dikecualikan, betapapun tempat ini
adalah kediaman Cengcu-hujin, kau tahu tidak?"
"Ya,ya...." terpaksa Pek-ho Tojin memberi hormat dengan munduk-munduk, lalu
mengundurkan diri bersama kawan-kawannya. Meski dia tergolong murid Kun-lun-pay yang
paling cekatan, menghadapi siocia galak begini iapun mati kutu.
Baju Pwe-giok sudah basah oleh keringat dingin, ia masih berlutut, waktu mengangkat kepala,
dilihatnya kedua tangan Cengcu-hujin yang putih mulus itu, tapi sekarang ia tahu kedua
tangan ini semalam sebenarnya tiada maksud hendak mencekiknya, kalau tidak, barusan
Cengcu hujin tentu akan menyerahkannya kepada Pek-ho Tojin dan tidak perlu turun tangan
membunuhnya. Cengcu hujin memandangnya lekat-lekat, tanyanya kemudian: "Tampaknya kau takut. Sebab
apa kau takut?"
"Cayhe.... Cayhe...."
"Sudahlah, tidak perlu kau katakan padaku." ujar Cengcu hujin dengan tertawa. "Setiap orang
yang datang ke Sat-jin-ceng ini pasti merasa takut. Tapi siapapun tidak perlu menceritakan
alasan takutnya". Tiba-tiba pandangannya beralih kepada Ko-lothau dan berkata pula: "Kau
boleh pergi saja."
Ko-lothau ragu-ragu, katanya: "Dan dia......"
"Dia tinggal di sini, aku ingin bicara dengan dia," ujar Cengcu hujin.
Walaupun masih ragu, akhirnya Ko-lothau memberi hormat dan mengundurkan diri. Kedua
nona kembar tadi ternyata juga ikut keluar. Si nona Kenari seperti tertawa terkikik-kikik,
sedangkan si Nona Elang sama sekali tidak bersuara.
Daun pintu menutup dengan keras. Kesunyian di dalam rumah mendadak terasa menakutkan,
sampai detak jantung sendiri dapat didengar oleh Pwe-giok.
106 Cengcu hujin masih memandangnya lekat-lekat, hanya memandangnya saja. Pwe-giok ingin
bicara tapi sama sekali tidak sanggup buka mulut, terpengaruh oleh pandangan orang yang
berdaya misterius ini.
Jendelapun tertutup oleh tirai, di dalam rumah semakin gelap, semacam hawa seram dan tua
meliputi setiap sudut ruangan.
Cengcu-hujin tetap tidak bicara, bahkan bergerakpun tidak. Ia tetap menatap Pwe-giok tanpa
berkedip, seolah-olah juru tembak sedang mengincar sasarannya, seperti nelayan sedang
memandangi kailnya.
Jilid 5________
Lambat-laun Pwe-giok merasa tidak tenteram, pikirnya: "Mengapa dia pandang diriku cara
begini", mengapa"...."
Pada saat itulah tiba-tiba di luar jendela sana berkumandang suara orang tertawa riuh.
Pwe giok mendekati jendela dan sedikit menyingkap ujung tirai serta mengintip keluar,
dilihatnya seekor kucing hitam sedang berlari-lari dikejar oleh seorang pendek kurus kecil
dengan jubah kembang. Wajahnya yang pucat itu kelihatan berjenggot, tapi perawakannya
serupa anak berumur dua belasan, gerak-geriknya juga kekanak-kanakan.
Muka orang kerdil ini penuh butiran keringat, rambutnya juga kusut, bahkan sebelah
sepatunya juga sudah copot, keadaannya kelihatan serba konyol, ya kasihan, ya lucu, ya
menggelikan. Belasan lelaki kekar berpakaian mentereng tampak mengikuti di belakang orang kerdil ini
dengan gelak tertawa, seperti orang yang sedang melihat tontonan menarik, ada yang
berkeplok gembira, ada yang menimpuki kucing hitam tadi dengan batu.
Melihat itu, tanpa terasa Pwe-giok menghela napas panjang.
"Kenapa kau menghela napas panjang, apa yang kau sesalkan?" tiba-tiba seorang bertanya di
belakangnya. Kiranya Cengcu-hujin itu entah sejak kapan sudah berdiri di belakangnya dan juga sedang
memandang keluar.
"Cayhe melihat orang ini dipermainkan orang banyak seperti badut, hati merasa tidak tega,"
kata Pwe-giok dengan menyesal.
Cengcu-hujin diam saja, wajahnya kaku tanpa memperlihatkan sesuatu perasaan, sejenak
kemudian barulah ia berkata dengan perlahan:" Orang ini adalah suamiku."
"Apa.....apa katamu" Dia.... dia suamimu" Dia inilah Cengcu?" tanya Pwe-giok dengan
terkesiap. "Betul, dia inilah Cengcu dari Sat-jin-ceng ini," jawab Cengcu-hujin dengan dingin.
107 Pwe-giok melenggong hingga sekian lamanya ia tak dapat bersuara. Baru sekarang ia paham
apa sebabnya ketiga ibu beranak ini disebut sebagai "perempuan yang harus dikasihani".
Sekarang iapun tahu duduk perkara sebab apa di perkampungan ini orang boleh bebas bunuh
membunuh. Rupanya Cengcu dari Sat-jin-ceng ini adalah seorang badut yang harus dikasihani, seorang
kerdil yang malang. Setiap orang boleh datang ke sini dan mempermainkan dia dengan sesuka
hati. Dalam pada itu Cengcu-hujin sudah kembali ke tempat duduknya dan memandangi Pwegiok
tanpa bicara. Kini Pwe-giok dapat menahan perasaannya, sebab sekarang sudah timbul rasa simpatinya
terhadap perempuan di depannya ini, simpati yang tak terhingga terhadap segenap keluarga
yang malang ini, sekalipun banyak sekali tingkah-laku mereka yang aneh, tapi itupun dapat
dimaklumi. Entah sejak kapan mereka sudah disediakan santapan, Cengcu hujin hampir tidak menyentuh
hidangan itu, tapi Pwe-giok telah makan dengan lahapnya.
Di dunia ini memang tiada sesuatu persoalan yang dapat mengganggu selera makan anak
muda. Dan begitulah waktu telah berlalu dengan begitu cepat.
Di dalam rumah semakin gelap, wajah Cengcu hujin mulai samar-samar, rumah ini mirip
sebuah kuburan yang akan mengubur masa mudanya yang bahagia.
"Mengapa dia memandang diriku cara begini"!" demikian Pwe-giok bertanya-tanya di dalam
hati, ia merasa kasihan dan juga merasa heran.
Mendadak Cengcu hujin berbangkit, katanya dengan hampa: "Hari sudah gelap, maukah kau
mengiringi aku keluar berjalan-jalan?"
***** Inilah sebuah taman yang teramat luas dan juga sangat seram, di tengah-tengah semak-semak,
di balik bayangan pohon, di mana-mana seakan-akan ada hantu yang sedang mengintai. Jalan
berbatu yang mereka lalui berbunyi gemerisik.


Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pwe-giok merasa sangat dingin. Sedangkan Cengcu-hujin sudah tertinggal di belakang.
Cahaya rembulan yang baru menyingsing melemparkan bayangan Cengcu hujin yang panjang
itu ke sebelah sini. entah darimana mendadak berkumandang bunyi burung hantu.
Tanpa terasa Pwe-giok merinding, ia memandang jauh ke sana, tiba-tiba di balik bayangan
pohon yang seram sana terdapat sebuah rumah ke kelabu-kelabuan dan berbentuk aneh.
Rumah itu tidak ada cahaya lampu, hakekatnya tiada jendela, runcing atapnya, pintu
gerbangnya dari besi warna hitam itu agaknya sudah karatan, rumah aneh yang berdiri
terpencil di tengah taman yang seram ini menimbulkan rasa ngeri dan penuh misteri yang
sukar dilukiskan.
108 Terasa takut dan juga heran Pwe-giok, tanpa terasa ia terus mendekat ke sana.
"Jangan ke sana" tiba2 didengarnya bentakan Cengcu hujin, suara yang terasa lembut itu
mengandung rasa cemas.
"Sebab apa?" Pwe-giok terkejut dan berhenti.
"Barang siapa mendekati rumah itu, dia pasti mati!" kata Cengcu-hujin.
Pwe-giok tambah terkejut, tanyanya pula: "Seb ..... Sebab apa?"
Ujung mulut Cengcu-hujin kembali menyembulkan senyuman misterius, ucapnya kemudian
dengan pelahan: "Sebab di dalam rumah itu adalah orang mati semua, mereka ingin menyeret
orang lain untuk menemani mereka."
"orang mati" Semua orang mati?" Pwe-giok menegas.
Dengan pandangan yang hampa Cengcu-hujin menatap jauh ke depan, katanya: "Rumah ini
adalah makam keluarga Ki kami. Yang terkubur di dalam rumah seluruhnya adalah leluhur
keluarga Ki. Sedangkan leluhur keluarga Ki seluruhnya adalah orang gila. Yang masih hidup
gila, yang sudah mati juga gila."
Pwe-giok mengkirik oleh cerita yang aneh dan seram itu, tangannya penuh keringat dingin.
Di depan ada sebuah gardu segi delapan, mereka mendaki undak-undakan dan naik ke tengah
gardu, sekeliling langkan di tengah-tengah gardu itu mengitari sebuah lubang gua yang gelap
dan dalam, setelah diperiksa lebih teliti, kiranya adalah sebuah sumur.
"Inilah sebuah sumur yang aneh," Cengcu Hujin (nyonya Ki) itu bergumam, seperti bicara
kepada dirinya sendiri dan tidak ditujukan kepada orang lain.
Tapi Pwe-giok tidak tahan, ia bertanya: "Mengapa sumur ini kau katakan aneh?"
"Sumur ini disebut Mo kia (cermin hantu)" jawab Ki-hujin.
Pwe-giok tambah heran, ia tanya pula: "Mengapa disebut Mo kia?"
"Konon sumur ini dapat meramal kejadian yang akan datang," tutur Ki hujin dengan pelahan.
Di malam bulan purnama, bila kau berdiri di tepi sumur ini dan bayangan mu tersorot ke
dalam sumur, maka bayangan di dalam sumur itulah menunjukkan nasibmu yang akan
datang" "Aku ... aku rada bingung," kata Pwe-giok.
"Umpamanya, bila bayangan seorang tersorot ke dalam sumur dan bayangannya lagi tertawa,
padahal ia sendiri tidak tertawa, maka ini melambangkan hidupnya akan beruntung.
Sebaliknya jika bayangan di dalam sumur itu menangis, padahal ia tidak menangis, maka
kehidupannya pasti akan penuh kedukaan, penuh kemalangan."
"Hah, masa betul begitu?" seru Pwe-giok terkesiap.
109 Dengan pelahan Ki-hujin menutur pula: "Tapi ada juga cahaya bulan tak dapat menyorotkan
bayangan seseorang ke dalam sumur, di dalam sumur hanya terlihat cahaya darah belaka,
maka hal ini melambangkan orang itu akan segera tertimpa bencana, bahkan menuju
kematian."
"Aku... Aku tidak percaya," ucap Pwe-giok, tanpa terasa ia mengkirik pula.
"Kau tidak percaya" Kenapa tidak kau coba?" ujar Ki-hujin.
"Aku...aku tidak ingin...." meski di mulut dia bilang tidak, tapi sumur ini rupanya memang
sebuah sumur hantu yang punya daya tarik yang kuat, tanpa terasa ia mendekati tepi sumur
dan melongok ke bawah.
Sumur itu sangat dalam, gelap gulita dan tidak kelihatan dasarnya, hakekatnya Pwe-giok tidak
melihat sesuatu apapun, tapi tanpa terasa kepalanya semakin menunduk dan semakin ke
bawah. Mendadak Ki-hujin menjerit: "Da... darah... darah... "
Kejut dan ngeri Pwe-giok luar biasa, ia melongok lebih ke bawah lagi, sekonyong-konyong
langkan sumur itu jebol, tubuhnya lantas terjerumus ke dalam sumur.
Terdengar Ki-hujin sedang menjerit jerit pula: "Darah... darah... Mo-kia... lalu berlari pergi
seperti kesetanan.
Pada saat itulah di dalam sumur baru terdengar suara "plung" ini jelas suara jatuhnya Pwegiok
didalam sumur. Sumur hantu ini dalamnya luar biasa untung ada airnya, airnya juga
sangat dalam. Tubuh Pwe-giok langsung terbanting di permukaan air sumur sehingga ruas
tulang sekujur badannya seakan akan terlepas. Ia terus tenggelam ke bawah, sampai lama
sekali belum lagi timbul.
Apabila tubuh Pwe-giok tidak gemblengan seolah-olah otot kawat tulang besi, waktu timbul
lagi ke permukaan air mungkin sudah berwujud sesosok mayat.
Suara jeritan ngeri Ki-hujin itu seakan-akan masih mengiang di telinganya, dalam keadaan
masih berdebar Pwe-giok berendam didalam air sumur yang dingin seperti es, ia menggigil
tiada hentinya.
"Mengapa dia mencelakai diriku"... " "Ah, aku sendiri yang kurang hati-hati dan terpeleset
hingga jatuh ke dalam sumur, mana boleh ku salahkan orang lain "..." "Tapi mengapa dia
tidak menolong diriku"... " "Ah, jiwanya memang sangat lemah, saat ini dia sendiri sangat
ketakutan, mana dapat menolong diriku"... " "Apalagi, tentu dia mengira aku sudah mati, buat
apa bersusah payah menolong aku"... "
Begitulah macam-macam pikiran terlintas dalam benak Pwe-giok, akhirnya dia hanya dapat
menyesal dan menyalahkan dirinya sendiri: "Ai, aku memang seorang yang malang, selama
hidup ini penuh diliputi ketidak beruntungan."
110 Kemalangan yang tidak pernah dibayangkan orang lain, baginya boleh dikatakan sudah biasa
seperti makanan sehari hari.
Sumur itu sangat lebar, jika berdiri ditengah tengah dan merentangkan kedua tangan tetap tak
dapat mencapai dinding sumur. Apalagi dinding sumur penuh lumut hijau yang tebal dan
licin, siapapun jangan harap dapat memanjat ke atas.
Jika orang lain mungkin sudah berteriak teriak minta tolong. Tapi Pwe-giok sam sekali tidak
berani bersuara, apalagi berteriak minta tolong. Sebab kalau suara teriakannya didengar
musuh yang sedang mencarinya, bukankah dia akan mati konyol terlebih cepat".
Untung Pwe-giok mahir berenang sehingga tidak sampai tenggelam, namun tubuh yang
terendam di air sumur yang dingin seperti es itu membuat badannya mulai kaku, lambat atau
cepat dia tetap akan tenggelam juga.
Semua ini seolah-olah impian buruk saja, sungguh ia tidak mau percaya, tapi tidak dapat tidak
percaya. Sejak dia berlatih menulis di taman kediamannya sendiri dengan disaksikan ayahnya tempo
hari, dimulai dengan penyampaian surat oleh Hek-kap-cu, kehidupan Pwe-giok lantas seperti
berada didalam mimpi buruk, dan sekarang, apakah hidupnya akan tamat di sini "!
Ia tidak suka membayangkannya, juga tidak berani memikirkannya, akan tetapi mau tak mau
ia justeru harus memikirkannya, teringat apa apa yang telah dialaminya itu, sungguh ia hampir
gila. Dan malam yang gelap gulita inipun berlalu ditengah penderitaan yang membuatnya gila
itu. Samar-samar mulut sumur sudah kelihatan remang-remang, tapi cahaya itu terasa sedemikian
jauhnya dan sukar dijangkau.
Dari kejauhan yang sukar dijangkau itu tiba-tiba berkumandang suara kicau burung yang
merdu. Bagi pendengaran Pwe-giok, suara burung ini adalah satu langkah kejutan yang sama
sekali tak pernah terpikir oleh orang itu. Coba, siapa yang pernah berpikir suara burung
berkicau demikian dapat menyelamatkan orang "
Maka mulailah Pwe-giok menirukan suara burung berkicau, Sejenak kemudian, dikejauhan
tiba-tiba berkumandang suara nyanyian yang terlebih merdu daripada kicau burung. Suara itu
makin dekat dan dekat, akhirnya dimulut sumur muncul sepasang mata yang jeli.
Baru sekarang Pwe-giok berani berseru perlahan: "Nona Kenari... "
Terbelalak mata yang indah itu, serunya: "He kiranya kau" Pantas tidak kupahami apa yang
kau katakan, rupanya kau bukan... bukan burung."
"Aku berharap dapat menjadi burung, nona Kenari," kata Pwe-giok dengan menyengir.
Nona Kenari itu berkedip-kedip, katanya kemudian: "Jelas kau bukan burung, sampai bertemu
pula!" ia angkat kepala terus hendak pergi.
111 Cepat Pwe-giok berseru: "Hei, nona, ada orang jatuh didalam sumur, masa kau tidak
mengereknya ke atas?"
Si nona kenari melongok pula ke dalam sumur, ucapnya dengan tertawa: "Mengapa harus ku
kerek kau ?"
"Sebab... sebab... " Sebenarnya jawaban ini sangat sederhana, tapi seketika Pwe-giok justeru
tidak dapat menjawabnya.
"Hi, hi, ku tahu kau tidak punya alasannya." seru si nona Kenari sambil berkeplok gembira."
Aku akan pergi!"
Sekali ini dia benar-benar pergi dan tidak kembali lagi.
Pwe-giok menjadi melenggong dan serba susah, ia jadi gemas terhadap dirinya sendiri dan
ingin menggampar mukanya sendiri, masa jawaban sederhana begitu saja tidak sanggup
bicara. "Apakah segenap anggota keluarga Ki memang orang gila semua?" demikian Pwe-giok
bertanya tanya pula di dalam batin.
Pedih rasanya, kecuali hatinya yang masih ada perasaan, bagian tubuh lain hampir seluruhnya
sudah kaku, sekujur badannya mirip sepotong kayu yang terendam di dalam air. Ia meraup
secomot air untuk membasahi bibirnya yang kering.
Sekonyong-konyong seutas tali panjang terjulur dari atas.
Pwe-giok kegirangan, cepat ia pegang tali itu. Tapi segera teringat sesuatu, ia memandang ke
atas dengan kuatir. Ternyata di atas tiada orang. Dengan suara yang dibikin serak ia bertanya:
"Siapa di sana " Siapa yang menolong diriku ?"
Namun tiada jawaban. Ia menjadi ragu-ragu, Jangan-jangan orang Kun-lun-pay atau anak
murid Tiam-jong-pay "
Jangan-jangan komplotan jahat itu sengaja hendak mengereknya ke atas untuk kemudian
membunuhnya"
Pwe-giok menggreget, dipegangnya erat-erat tali itu, perlahan-lahan ia merambat ke atas,
Betapapun akan lebih baik daripada mati terendam hidup-hidup di sumur hantu ini.
Dalam keadaan demikian, selain menuruti perkembangan, memangnya apa yang dapat
diperbuatnya" Hakekatnya tiada pilihan lain baginya.
Dari bawah sampai di mulut sumur, jarak ini seolah-olah perjalanan yang paling panjang yang
pernah ditempuhnya selama hidup. Tapi akhirnya sampai juga di tempat tujuan.
Pagi ini tidak ada kabut, cahaya matahari yang keemas-emasan menyinari seluruh halaman
taman, sampai-sampai gardu yang tak terawat dengan cat pada pilar dan langkan yang sudah
banyak terkelupas inipun kelihatan sangat indah di bawah sinar matahari yang terang.
112 Dapat hidup terus, betapapun adalah kejadian yang baik.
Tapi di atas tetap tiada terlihat bayangan seorangpun. Tali panjang itu kiranya terikat pada
pilar gardu. Lalu sesungguhnya siapa yang menolongnya" Mengapa penolong itu tidak
memperlihatkan dirinya"
Dengan kuatir dan sangsi Pwe-giok selangkah semi selangkah menuruni undak-undakan.
Sekonyong-konyong di belakangnya ada burung bercuit, cepat ia menoleh, maka terlihatlah
pula si dia, si nona Kenari.
Dia duduk bersandar di luar lantakan gardu, rambutnya yang indah kemilau tertimpa sinar
matahari. Seekor burung hijau kecil hinggap di lengannya yang halus itu, tampaknya seperti
benar-benar lagi bicara dengan si nona.
"He, kau." seru Pwe-giok girang. "Meng... mengapa kau tolong juga diriku ke atas?"
Si nona Kenari tertawa manis, ucapnya: "Dia inilah yang minta kutarik kau ke atas."
"Dia"... dia siapa ?" tanya Pwe-giok.
Penjelasan si nona kenari membelai bulu hijau burung kecil itu, ucapnya dengan lembut:
"Adik kecil, katamu dia orang baik, kau bilang pula dia tidak punya sayap seperti kau, maka
perlu orang lain menariknya ke atas, begitu bukan" Akan tetapi dia tidak berterima kasih
padamu." Burung hijau itu lantas bercuat-ciut, tampaknya sangat gembira.
Termangu-mangu Pwe-giok memandangi nona kenari itu, ia tidak tahu sesungguhnya gadis
ini teramat pintar atau seorang gila"
"Apakah kau benar-benar paham bahasa burung ?" tanyanya kemudian saking tak tahan.
Mendadak si nona Kenari berbangkit dan melangkah kesana, tampaknya sangat marah,
katanya: "jadi kaupun tidak percaya seperti orang-orang itu." "Aku... aku percaya." kata Pwegiok.
"Tapi cara bagaimana pula kau dapat belajar bahasa burung?"
"Aku tidak perlu belajar," ujar si nona Kenari dengan tertawa manis, "Begitu melihat mereka
aku lantas paham dengan sendirinya."
Dalam sekejap itu sorot matanya yang buram dan linglung itu mendadak penuh bercahaya
terang, entah sebab apa, Pwe-giok se-akan2 percaya saja kepada keterangannya, tiba2 ia
bertanya pula: "Dan gembirakah mereka?"
"Ada yang gembira, ada sebagian tidak, terkadang suka ria, terkadang?" mendadak si nona
tertawa dan menyambung pula: "Tapi setidak2nya mereka jauh lebih bergembira daripada
manusia yang tolol."
113 Pwe-giok termangu sejenak, katanya kemudian dengan menyesal: "Memang betul, manusia
memang teramat tolol, di dunia mungkin hanya manusia saja yang suka mencari susah
sendiri." Si nona kenari tertawa, katanya: "Asalkan kau tahu saja, maka kau harus...." mendadak
burung kecil di tangannya itu bercuit nyaring terus terbang ke udara. Seketika air muka si
nona juga berubah.
Tentu saja Pwe-giok merasa heran, tanyanya: "Nona, kau...."
Tiba2 si nona Kenari menggoyangkan tangan memutuskan ucapan Pwe-giok, lalu ia
membalik tubuh dan berlari pergi secepat terbang, mirip seekor burung yang terbang terkejut.
Selagi Pwe-giok terbelalak bingung, tiba2 terdengar semacam suara aneh berkumandang dari
semak2 pohon sebelah kiri sana, suara orang menggali tanah.
Diam2 ia menunduk ke sana dan mengintipnya, benar juga, dilihatnya seorang pendek kecil
sedang berjongkok dan menggali tanah, dia memakai jubah kembang yang longgar, kedua
tangannya kecil seperti kanak2, siapa lagi dia kalau bukan si "badut" yang dilihatnya kemarin,
Cengcu atau kepala kampung Sat jin ceng ini.
Kucing hitam yang diuber2 kemarin itu kini sudah mati dalam keadaan luluh, sangat
mengerikan kematiannya.
Selesai menggali liang, Cengcu kerdil itu memasukkan bangkai kucing itu ke dalam liang,
lalu ditimbuni bunga, kemudian diuruk dengan tanah. Terdengar ia bergumam: "Orang bilang
kucing mempunyai sembilan nyawa, mengapa kau cuma punya satu nyawa" ....O, kasihan
anakku, kau menipu orang2 itu ataukah orang2 itu yang membodohi kau?"
Memandangi perawakan orang yang kerdil itu, memandangi gerak-gerik orang yang serupa
anak kecil yang masih polos itu, tanpa terasa Pwe-giok menghela napas,
Cengcu itu terkejut dan melonjak bangun sambil membentak: "Siapa?"
Cepat Pwe-giok melangkah keluar, ucapnya dengan suara halus: "Jangan kau takut, aku tidak
bermaksud jahat."
"Kau....kau siapa?" tanya sang Cengcu dengan melotot tegang.
Sedapatnya Pwe-giok bersikap ramah agar orang tidak ketakutan; jawabnya dengan
tersenyum "Akupun tamu di sini, namaku Ji Pwe-giok."
Ternyata Pwe-giok merasa urusan apapun tidak perlu mengelabui orang kerdil, sebab ia yakin
manusia yang mempunyai kelainan tubuh ini pasti mempunyai sebuah hati yang bajik dan
luhur. Contohnya, kalau terhadap seekor kucing saja dia begitu welas-asih, mana mungkin dia
mencelakai manusia"
Muka sang Cengcu kerdil yang putih pucat tapi cukup cakap dan seperti wajah anak kecil
yang belum akil balig itu akhirnya tampak tenang kembali, dia tertawa, lalu berkata: "Jika kau
tamu, aku inilah tuan rumahnya. Namaku Ki Song-hoa,"
114 "Kutahu," ujar Pwe-giok.
"Kau tahu?" si kerdil Ki Song-hoa menegas dengan mata terbelalak.
"Ya, aku sudah bertemu dengan isteri dan puterimu," tutur Pwe-giok dengan tertawa.
Perlahan2 Ki Song-hoa menunduk, ucapnya dengan tersenyum pedih: "Kebanyakan orang
seolah2 harus menemui mereka lebih dahulu baru kemudian bertemu dengan diriku."
Mendadak ia pegang tangan Ji Pwe-giok dan berseru: "Tapi jangan kau percaya kepada
ocehan mereka. Otak isteriku itu tidak waras, tidak normal, boleh dikatakan gila. Anak
perempuanku yang besar itu lebih2 judas, cerewet, tiada orang yang berani merecoki dia,
bahkan akupun tidak berani. Meski mereka sangat cantik, tapi hatinya berbisa, lain kali bila
kau bertemu lagi dengan mereka, hendaklah kau hindari mereka sejauh2nya."
Sungguh tak pernah terpikir oleh Pwe-giok bahwa si kerdil ini akan bicara demikian
mengenai anak dan istrinya, Apakah betul ucapannya" Atau cuma omong kosong belaka"
Tapi tampaknya tiada alasan baginya untuk berdusta" Seketika Pwe-giok jadi melenggong
dan tidak dapat bicara.
Dengan suara rada gemetar Ki Song-hoa lantas berkata pula: "Apa yang kukatakan ini demi
kebaikanmu, kalau tidak, untuk apa aku mesti mencaci-maki sanak keluargaku sendiri?"
Akhirnya Pwe-giok menghela napas panjang dan mengucapkan terima kasih. Sejenak
kemudian, karena ingin tahu, ia bertanya pula: "Dan masih ada pula seorang nona yang fasih
berbahasa burung ...."
Baru sekarang Ki Song-hoa tertawa, katanya: "Apakah kau maksudkan Leng-yan" Ya, hanya
dia saja yang tidak bakalan mencelakai orang, sebab ....sebab dia seorang idiot, miring...."
"Apa" Ia .... idiot?" seru Pwe-giok dengan tercengang.
Pada saat itulah di tengah pepohonan sana tiba2 terdengar gemerisik orang berjalan.
Cepat Ki Song-hoa menarik tangan Pwe-giok dan berkata: "Mungkin mereka yang datang,
jangan sampai kau dilihat mereka lagi, kalau tidak, jiwamu pasti sukar diselamatkan. Hayolah
lekas ikut pergi bersamaku!"
Segera terbayang oleh Pwe-giok sumur hantu yang seram itu, teringat tangan yang akan
mencekik lehernya itu, tiba2 ia merasa alasan pembelaannya bagi Ki hujin sebelum ini hanya
sia2 belaka dan tiada gunanya.


Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dilihatnya Ki Song-hoa menariknya berputar kian kemari di antara pepohonan dan sampailah
di depan sebuah gunung2an, setelah menerobosi gunung2an itu, di situ ada sebuah kamar,
ruangan kamar itu penuh berdebu dan gelagasi, kertas bertulis yang menghiasi sekeliling
dinding ruangan itupun sama berwarna kuning.
Di tengah ruangan ada kasuran bundar dan sudah tua, ruangan ini sangat sempit, untuk berdiri
dua orang saja terasa sesak, namun Ki Song-hoa lantas menghela napas lega, katanya: "Di
sinilah tempat yang paling aman, tidak nanti ada orang datang kemari,"
115 Selama hidup Pwe-giok belum pernah melihat rumah sekecil ini, ia coba bertanya: "Tempat
apakah ini?"
"Di sinilah pada masa tua mendiang ayahku suka menyepi dan membaca kitab." tutur Ki
Song-hoa. "Sejak berumur 50 beliau lantas berdiam di sini, satu langkahpun tidak pernah
keluar hingga 20 tahun lamanya."
"Selama 20 tahun tidak pernah keluar dari tempat ini"....." tukas Pwe-giok dengan terkesima.
"Tapi ruangan ini sedemikian sempitnya, berdiri saja tidak dapat tegak, berbaringpun kurang
leluasa, mengapa ayahmu suka menyiksa diri cara begini?"
"Soalnya ayahku merasa di waktu mudanya terlalu banyak membunuh, sebab itulah pada
masa tuanya beliau berusaha merenungkan segala dosanya. Beliau merasa asalkan berhasil
mencapai ketenangan batin, hal penderitaan badan bukan apa2 baginya."
"Beliau, sungguh seorang yang luar biasa," ujar Pwe-giok dengan menghela napas panjang.
Teringat olehnya ucapan Ki hujin yang menyatakan segenap leluhur keluarga Ki adalah orang
gila semuanya, diam2 ia tersenyum kecut dan menggeleng.
Ki Song-hoa menepuk tangan Pwe-giok, katanya pula: "Hendaklah kau sembunyi di sini
dengan tenang, makan-minum akan ku antarkan ke sini, tapi jangan sekali2 kau lari keluar, di
perkampungan ini sudah terlalu banyak banjir darah, sungguh aku tidak ingin menyaksikan
darah mengalir lagi."
Memandangi kepergian orang kerdil itu, diam2 Pwe-giok terharu, pikirnya: "Istrinya gila,
anak perempuan berotak miring, ia sendiripun bertubuh tidak normal, selamanya menjadi
bulan2an orang, hidupnya ini bukankah jauh lebih malang daripada ku" Tapi terhadap orang
lain dia masih begitu baik hati, begitu welas asih, jika aku menjadi dia, apakah aku akan
berbuat sebaik dia?"
Di lantai penuh debu belaka, Pwe-giok berduduk di kasuran bundar itu. Kamar ini tiada
dinding tembok, sekelilingnya ditutup dengan kotakan pintu dan jendela yang terbuat dari
kertas. Tempat demikian tentu sangat menyusahkan di musim dingin atau di waktu hujan
angin. Pwe-giok coba mengamat2i sekitar ruangan, ia merasa di lantai yang penuh debu itu ada
gambar loreng2, ia robek sepotong lengan bajunya untuk mengusap lantai, maka tertampaklah
sebuah gambar Pat-kwa.
Bagi anak murid "Bu-kek-pay", perhitungan Pat-kwa dan pelajaran ilmu alam yang aneh2
sudah tidak asing lagi. Pwe-giok adalah putera tokoh ternama dari Bu-kek-pay, terhadap ilmu
pengetahuan begituan boleh dikatakan sangat mahir.
Dengan tekun ia memandangi lukisan Pat-kwa itu, dengan jarinya ia coba menggoresi garis2
gambar itu menuruti lukisannya. Mendadak kasuran yang didudukinya bisa bergeser, lalu
tertampaklah sebuah lubang di bawah tanah yang gelap dan sangat dalam.
116 Pwe-giok jadi tertarik dan melangkah ke bawah. Pada saat itu juga, mendadak berpuluh
pedang mengkilap telah menusuk ke tempat duduknya secepat kilat dan tanpa suara.
Tidak kepalang kaget Pwe-giok. Coba kalau dia tidak menemukan lukisan Pat-kwa di lantai
dan kalau dia tidak mahir ilmu pengetahuan begitu, jika dia masih tetap berduduk di atas
kasur, saat ini tubuhnya tentu sudah berubah menjadi sarang tawon ditembus oleh berpuluh
senjata tajam itu.
Sungguh kejadian yang sangat kebetulan dan juga sangat berbahaya. Antara mati dan hidup
benar-benar bergantung pada sedetik dua detik saja. Jiwa Pwe-giok boleh dikatakan direnggut
kembali dari cengkeraman elmaut. Tapi dalam keadaan demikian sama sekali ia tidak berani
memikirkannya, lekas-lekas ia tutup lubang di atas lantai itu dengan kasur tadi.
Pada saat lain lantas terdengar suara orang berseru di luar ruangan sana: "He, mengapa
kosong, tidak ada seorangpun!"
Lalu "blang", dinding kertas ruangan itu telah dijebol orang, sekeliling ruangan penuh berdiri
anak murid Kun-lun-pay dan Tiam jong pay, semua berseru kaget: "He, mengapa sudah
kabur!?" "Ya, dari mana dia mendapatkan berita akan digerebek?" terdengar Pek-ho Tojin berkata.
"Dia pasti takkan lari jauh, lekas kita kejar!" seru seorang pula.
Lalu terdengar suara kain baju berkibar, beberapa orang telah melayang pergi, hanya sekejap
saja keadaan sudah sunyi kembali.
Sampai lama Pwe giok menunggu di bawah baru berani menggeser lagi kasuran itu sedikit,
dilihatnya benar-benar tiada orang lagi barulah dia berani merayap naik ke atas.
Ada suara gemericiknya air di luar serta gemerisiknya daun kering tertiup angin, mungkin
suara berisik inilah yang menutupi suara kedatangan orang-orang tadi sehingga sebelumnya
Pwe-giok tidak tahu sama sekali.
Tapi mengapa mereka dapat mencari ke tempat ini" Darimana mereka mendapat tahu Pwegiok
berada di sini"
Betapapun hati Pwe-giok menjadi kebat-kebit, ia merasa di tengah "Sat jin-ceng" ini di manamana
penuh orang gila, hakekatnya tiada seorangpun yang dapat dipercaya.
Lalu, dalam keadaan demikian, ke mana pula dia harus pergi"
Kini rambutnya sudah kusut masai, matanya penuh garis-garis merah, pemuda yang tadinya
cakap dan lembut kini telah berubah seperti seekor binatang buas, seekor binatang yang
terluka. Ia tidak memiliki keyakinan akan sanggup bertempur dengan orang, hakekatnya ia
tidak punya tenaga untuk bertempur lagi.
Sekonyong-konyong terdengar seorang memanggil dengan suara tertahan: "Yap-kongcu ...
Yap Giok-pwe ... . "
117 Semula Pwe giok melengak, tapi segera ia menyadari yang dipanggil itu ialah dirinya. Meski
dia tidak kenal suara siapakah itu, tapi orang yang dapat memanggil nama samarannya ini
kecuali ibu dan anak itu jelas tiada orang lain lagi.
Tanpa pikir ia terus menerobos masuk pula ke dalam liang di bawah tanah serta menutup
lubang itu dengan kasuran tadi. Keadaan di dalam liang itu gelap gulita, jari sendiri saja tidak
kelihatan. Ia merasa liang di bawah tanah ini sangat besar, tapi iapun tak berani sembarangan bergerak,
ia cuma berdiri bersandar saja di situ. Sampai lama sekali, lamat-lamat ia tertidur akhirnya.
Sekonyong-konyong cahaya terang menyorot ke bawah, kasuran itu telah digeser orang.
Dengan terkejut Pwe-giok menoleh, segera dilihatnya wajah yang pucat dan bajik itu, wajah
itu kelihatan terkejut dan juga bergirang, terdengar ia berseru lega: "O, syukur alhamdulillah
kau ternyata masih berada di sini."
Sebaliknya Pwe-giok tidak mengunjuk rasa girang sedikitpun, ia menjengek: "Hm, akan kau
bikin susah lagi padaku?"
Mendadak Ki Song-hoa memukul dadanya sendiri dan berkata: "Ai, semuanya gara-garaku.
Waktu itu kubawa kau ke sini telah dilihat oleh isteriku, mungkin dia yang memberi tahukan
kepada pengganas-pengganas Kun-lun-pay dan Tiam-jong-pay itu."
"Hm, masakah kau kira aku percaya lagi padamu?" jengek Pwe-giok.
"Jika kukhianati kau, saat ini mengapa tidak kubawa mereka ke sini?"
Baru sekarang Pwe-giok percaya penuh, ia melompat ke atas, katanya dengan menyesal: "Ai,
rupanya aku telah salah sangka padamu."
Ki Song-hoa mendepak kasuran itu ke tempat semula, ditariknya Pwe-giok dan berkata:
"Sekarang bukan waktunya minta maaf segala. Hayolah, lekas pergi!"
"Hah, mau ke mana"!" mendadak seorang mendengus sambil tertawa latah.
Sungguh tidak kepalang kaget Pwe-giok Belum lagi dia bertindak apa-apa, tahu-tahu sinar
pedang sudah menyambar tiba: "Sret-sret-sret", tiga pedang menusuk sekaligus.
"Hei, hei, berhenti" Ki Song hoa berteriak-teriak. "Kalian tidak boleh....."
Tapi pedang yang sambar menyambar itu tidak menghiraukan seruannya, tubuh Pwe giok
sudah tersayat dua baris luka, anak murid Kun- lun dan Tiam-Jong telah mengepungnya
dengan rapat. Dengan mati-matian Pwe-giok berusaha membobol kepungan tapi dalam
sekejap saja ia sudah mandi darah.
"Jangan dibunuh, akan kutanyai dia!" terdengar Pek-ho Tojin berseru dengan suara bengis.
Pwe-giok menghindarkan tabasan dua pedang, habis itu mendadak ia menghantam ke depan
ke arah Pek-ho Tojin. "Blang", Pek-ho Tojin sempat mengegos, sebaliknya tiang rumah kecil
118 itu telah tergetar patah oleh pukulan Pwe-giok yang dahsyat ini, rumah kecil itu runtuh dan
ambruk, tanpa pikir Pwe-giok mengangkat sepotong tiang kayu, tiang itu terus diputarnya
dengan kalap. Di tengah jeritan kaget, seorang murid Tiam-jong pay tersabet tiang itu hingga tulang dada
remuk, pedang dua kawannya juga terlepas dari pegangan.
"Keparat ini sudah nekat, dibunuhpun tak menjadi soal lagi!" bentak Pek-ho Tojin.
Sekali berputar, Pwe giok mengayun tiang kayu yang bulatan tengahnya sebesar mangkuk itu
seperti kitiran, tubuh manusia yang terdiri dari darah-daging mana mampu menahan hantaman
yang begini dahsyat"
Ki Song hoa berdiri jauh di samping sana, tampaknya iapun terkesima dan bergumam sendiri:
"Besar amat tenaganya, sungguh hebat tenaganya. . . ."
Pwe-giok benar-benar sudah kalap, tiada sesuatu yang dilihat dan tiada sesuatu yang
didengarnya lagi, ia masih terus memutar tiangnya seperti orang gila. Mendadak putarannya
mengendor, tiang yang beratnya ratusan kati itu dengan tenaga maha dahsyat mendadak
dilepaskan sehingga meluncur ke depan, seorang Tojin Kun-lun pay tepat menjadi sasaran
utama, tiang itu menembus perutnya. Terdengarlah jeritan ngeri memanjang menggema
angkasa disertai muncratnya darah.
Tentu saja orang lain sama pecah nyalinya dan cepat menyingkir ke samping. Kesempatan itu
tidak disia-siakan Pwe-giok, ia terus menerjang keluar. Hakekatnya ia tidak membedakan arah
dan tidak melihat jalan lagi, ia hanya berlari dan berlari terus seperti orang kesetanan, ia
menerobos pepohonan dan menyusup ke semak-semak. Tubuhnya sudah penuh dicocok duri
tetumbuhan, tapi suara bentakan orang mengejar lambat laun juga menjauh, tiba-tiba di
depannya muncul pula rumah aneh warna kelabu itu.
Rumah setan itu atau makam, bukankah di situ tempat sembunyi yang paling bagus"
Tanpa pikir Pwe-giok terus menerjang ke sana. Tapi mendadak sinar pedang berkelebat,
seorang telah merintangi jalannya.
"Berani kau masuk ke rumah ini, segera kucabut nyawamu!" demikian suara seorang
perempuan membentak dengan bengis.
Jalan Pwe-giok sudah sempoyongan, yang dapat dilihatnya hanya bayangan seorang secara
samar-samar, seperti berambut panjang, berjubah putih, bermata jeli.
Akhirnya Pwe giok dapat mengenalinya, ialah anak perempuan sulung Ki Song hoa, si elang
padang pasir yang galak itu.
Dengan tersenyum pedih Pwe-giok berkata: "Bagus sekali jika dapat mati di tanganmu,
sedikitnya kau bukan orang gila . ..." dia sudah kehabisan tenaga, belum habis ucapannya
iapun jatuh pingsan.
***** 119 Waktu siuman kembali, Pwe-giok merasa berada di dalam sebuah kamar gelap, tapi segera ia
mengenali tempat ini adalah kamar tidur Ki-hujin.
Tapi segera iapun mengetahui dirinya tidak siuman sendiri, tapi ada orang yang membuatnya
siuman. Sekarang meski di dalam rumah tiada orang, tapi daun pintu yang berat itu berbunyi
berkeriut didorong orang hingga terbuka.
Lalu sesosok tubuh kerdil melongok ke dalam, siapa lagi kalau bukan Ki Song-hoa, si Cengcu
Sat-jin-ceng yang tidak diketahui bajik atau jahat itu.
Gemetar juga tubuh Pwe giok, katanya: "Selamanya kita tiada permusuhan, mengapa kau
berkeras akan mencelakai diriku?"
Ki Song-hoa mendekati pembaringan Pwe-Giok, ucapnya dengan menunduk dan menyesal;
"Maaf, mestinya ingin ku tolong kau, siapa tahu malah bikin susah padamu .... Sungguh aku
tidak tahu bahwa orang-orang itu selalu membuntuti diriku."
"Jika begitu, sekarang juga lekas kau keluar," kata Pwe-giok.
"Tidak, tidak boleh kutinggalkan kau kepada mereka," kata Ki Song-hoa.
"Tapi merekalah yang menyelamatkan diriku, aku takkan pergi," ucap Pwe-giok dengan
tersenyum pedih.
"Anak muda, kau tidak tahu," kata Ki Song-hoa dengan menghela napas panjang. "Mereka
menolong kau adalah karena ingin menyiksa kau secara perlahan-lahan agar kau mati di
tangan mereka."
Pwe-giok merinding, tanyanya: "Sebab.... sebab apa mereka berbuat demikian?"
"Kau benar-benar tidak tahu?"
"Sungguh aku tidak mengerti."
"Istriku itu paling benci kepada orang she Ji. Memangnya kau kira dia tidak tahu kau ini she
Ji?" "O.... aku sampai lupa...." seru Pwe-giok. Sampai di sini, ia tidak sangsi lagi, segera ia
meronta turun. Tapi mendadak seorang masuk lagi, orang ini berjubah putih dan berambut panjang, siapa lagi
kalau bukan si nona Elang. Dia menyelinap masuk tanpa suara dan melototi Ki Song-hoa
dengan dingin, sama sekali tiada perasaan kasih sayang antara ayah dan anak sebagaimana
umumnya, sebaliknya malahan kelihatan sikapnya yang benci dan kasar, bahkan lantas
membentak: "Keluar!"
Keruan Ki Song-hoa berjingkrak, teriaknya: "Ki Leng-hong, jangan lupa, aku ini bapakmu.
Terhadap ayahmu kaupun bicara sekasar ini?"
120 Dia berjingkrak dan marah-marah seolah-olah mendadak berubah menjadi gila, wajahnya
yang kekanak-kanakan itupun berubah menjadi beringas menakutkan.
Pwe-giok terkesima oleh perubahan luar biasa ini, tapi si nona Elang atau Ki Leng-hong itu
masih tetap berdiri tegak, sama sekali tidak takut, sebaliknya makin dingin sorot matanya,
katanya pula sekata demi sekata: "Kau keluar tidak?"
Ki Song-hoa mengepal tinjunya dan mendelik, saking gregetan seakan-akan ingin mencaplok
mentah-mentah si nona. Namun Ki Leng-hong itu masih tetap memelototinya dengan sikap
Golok Yanci Pedang Pelangi 1 Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen Rajawali Hitam 8
^