Pencarian

Renjana Pendekar 7

Renjana Pendekar Karya Khulung Bagian 7


Seketika di dalam gua itu berubah menjadi sunyi senyap, sampai suara tertawa si kakek pun
tidak terdengar lagi.
Kim-yan-cu termangu-mangu sejenak, akhirnya air mata bercucuran, ucapnya dengan
tersendat-sendat: "Semuanya gara-garaku sehingga kau pun ikut susah. Mengapa... mengapa
kau tidak melarikan diri sendiri tadi?"
"Dan kau sendiri mengapa tidak mau lari?" jawab Pwe giok dengan menyesal. "Setelah kau
keluar, kau kan dapat berusaha menolong diriku" Dengan begitu kan lebih baik daripada duaduanya
terkurung mati di sini?"
Kim yan-cu melenggong sejenak, mendadak ia mengikik tawa.
"Apa yang kau tertawakan?" tanya Pwe giok dengan berkerut kening. "Apakah salah
ucapanku?"
"Jika kau kira ucapanmu itu masuk diakal, kenapa kau sendiri tidak lari keluar lebih dulu baru
kemudian berusaha menolong diriku lagi?" jawab Kim-yan-cu.
Sekali ini Pwe giok juga melenggong, sejenak kemudian barulah ia berkata dengan tersenyum
kecut: "Ya, betul juga. Tadinya kukira kau ini nona bodoh, tak tahunya akulah yang jauh lebih
bodoh daripadamu."
"Kau sama sekali tidak bodoh," ujar Kim-yan-cu dengan suara lernbut, "hanya karena terlalu
memikirkan diriku, maka kau lupa akan dirinya sendiri."
Tanpa terasa Pwe-giok membelai rambut si nona, katanya dengan gegetun: "Dan kau sendiri
bagaimana" Bukankah kau pun begitu, demi diriku kau pun lupa pada dirimu sendiri?"
Kim yan-cu bersuara tertahan terus menjatuhkan diri ke pangkuan anak muda itu.
240 Sejak kecil Pwe-giok sudah kehilangan ibu, di bawah didikan sang ayah yang keras, meski
sejak dulu sudah mengikat jodoh, namun jari sang tunangan saja tidak pernah disentuhnya,
bilakah dia pernah merasakan kemesraan muda-mudi begini"
Seketika pikirannya menjadi bingung, entah mesti gembira atau harus sedih. Entah suka entah
duka" Umumnya, orang yang sama-sama berada dalam kesusahan memang lebih mudah
menumbuhkan benih perasaan dengan cepat, kecepatan yang sukar dibayangkan dan juga
sukar dicegah. Entah selang berapa lama, mendadak Kim-yan-cu melompat bangun, dengan muka merah ia
berkata: "Coba lihat, kita telah berubah menjadi tolol semua sehingga tidak terpikir kalau
pintu ini dapat di buka dari luar, dengan sendirinya dapat pula dibuka dari dalam. Kalau tidak,
waktu Siau-hun-kiongcu masih hidup, apakah dia juga harus dibukakan pintu dari luar
bilamana dia ingin keluar?"
Merasa jalan pikirannya ini sangat masuk diakal, tanpa terasa ia menjadi sangat gembira.
Sebaliknya Pwe-giok lantas menghela napas panjang, ucapnya: "Kakek itu sudah tahu dimana
letak kunci pintu keluar masuk tempat ini, dia membawa pula pedang wasiat setajam itu,
cukup sekali bergerak saja semua alat rahasia dapat dirusaknya. Pintu batu ini seberat ribuan
kati, jika pegasnya rusak, siapa lagi yang sanggup menggesernya" jika ia sudah berniat
mengurung kita di sini, tentu juga sudah dipikirkannya segala kemungkinannya."
Kim yan-cu melengak, senyumnya tadi lenyap seketika, katanya dengan ragu-ragu: "Tapi
harta... harta benda yang terdapat di sini, apakah tidak... tidak dikehendakinya lagi?"
"Bila kita mati terkurung di sini, tentu harta karun inipun takkan lari, lambat atau cepat tetap
akan jadi miliknya, untuk apa dia terburu-buru mengambilnya" apalagi tujuannya sebenarnya
bukan terletak pada harta karun ini."
Dengan lemas Kim-yan cu berduduk lagi, ia termangu-mangu sejenak, mendadak ia tertawa
cerah pula dan berkata: "Sebelum pagi hari ini, sungguh mimpipun tak terpikir olehku akan
mati bersamamu di sini. Yang aneh adalah sekarang aku tidak merasa takut sedikitpun. baru
sekarang ku tahu, mati ternyata bukan sesuatu yang menakutkan seperti apa yang pernah
kubayangkan. apalagi kalau dapat mati bersamamu, jelas aku lebih beruntung daripada ke
delapan anak perempuan yang telah mati itu."
Mendadak Pwe-giok terbelalak, serunya: "Kau bilang ke delapan anak perempuan itu?"
Kim-yan cu bingung karena tidak tahu apa sebenarnya anak muda itu berteriak, jawabnya
dengan tergagap: "Be... betul"
Pwe-giok memegang tangan si nona dan menegas: "Apakah sudah kau lihat jelas" Betul-betul
delapan dan bukan sembilan?"
Kim-yan cu berpikir sejenak, lalu menjawab tegas: "Ya, tidak kurang tidak lebih, persis
delapan" ia merandek, kemudian berkata pula: "Tapi delapan atau sembilan, memangnya ada
sangkut paut apa dengan kita?"
241 "Tentu saja ada sangkut pautnya, bahkan sangat besar sangkut pautnya!" seru Pwe-giok.
Melihat anak muda itu mendadak kegirangan, Kim-yan cu menjadi heran, tanyanya: "Ada
sangkut paut apa" Bukankah anak-anak perempuan itu sudah mati semua?"
Pwe-giok menggenggam tangannya erat-erat dan berkata: "Menurut orang tua tadi, katanya
dengan mata kepala sendiri dia menyaksikan sembilan anak perempuan masuk ke sini dan
tiada seorangpun yang pernah keluar. Berdasar ketajaman matanya kupercaya dia pasti tidak
salah hitung, sebaliknya kau cuma melihat delapan sosok mayat dan juga tidak keliru lihat."
Dia menghela napas panjang dan menatap Kim-yan cu tajam-tajam, lalu menyambung pula
sekata demi sekata: "Maka sekarang ingin kutanya padamu, ke mana perginya anak
perempuan yang ke sembilan itu?"
Kim-yan cu melongo bingung seperti paham dan seperti tidak, gumamnya: "Ya, betul,
kemana perginya anak perempuan ke sembilan itu" Kenapa bisa menghilang?"
"Orang sebesar itu masa bisa hilang?" ujar Pwe-giok.
"Betul, orang sebesar itu mustahil bisa hilang?" tukas Kim-yan cu.
Mendadak Pwe-giok berseru: "Masa kau tidak paham, sebabnya anak perempuan ke sembilan
itu bisa menghilang mendadak tentu karena di sini ada jalan keluar lain, kalau tidak,
memangnya dia dapat menyusup masuk ke dalam bumi?"
Akhirnya Kim-yan cu paham duduknya perkara, ia melonjak bangun dan merangkul Ji Pwegiok
serunya dengan tertawa: "Ai, kau memang benar-benar bukan orang bodoh, sebaliknya
aku inilah budak tolol."
Pada saat sudah putus asa tiba-tiba mendapatkan setitik sinar harapan, sudah tentu mereka
kegirangan, Tapi lantaran kelewat bergirang, mereka menjadi lupa bahwa bilamana anak
perempuan ke sembilan itu datang demi mencari harta karun, kalau betul dia sudah keluar
melalui suatu jalan rahasia lain, mengapa harta karun ini tidak dibawa pergi sekalian" Setelah
mencapai tempat penyimpanan harta karun ini apakah mungkin dia keluar lagi dengan tangan
hampa" Si kakek tadi menemukan kitab pusaka Siau-hun-pit-kip pada sebuah almari batu yang
berbentuk aneh, sekarang pintu almari batu itu masih terpentang. Didepan almari batu ada
sebuah kasuran berwarna hijau-kelabu, waktu diperiksa lebih teliti, kasuran ini juga ukiran
dari batu, saking pandainya mengukir sehingga tampaknya seperti kasuran asli.
Bahwa ditengah ruangan hanya tertaruh sebuah kasuran begini, jelas tampaknya agak janggal,
tidak sesuai dan tidak serasi dengan keadaan di ruangan ini, apalagi kasuran ini ukirannya dari
batu hijau, lebih-lebih menurut ingatan Ji Pwe-giok, di bawah kasuran begini biasanya
tersembunyi sesuatu rahasia. Maka begitu melihat kasuran ini, dia lantas tertarik, segera ia
mendekatinya. Namun kasuran ini seperti berakar di tanah, didorong maupun ditarik tidak bergeming
sedikitpun, diputar kesana ke sini juga tidak mau bergetar.
242 Pwe-giok menghela napas kecewa. waktu menengadah, mendadak dilihatnya di dinding
almari batu itupun terukir gambar laki perempuan yang tidak senonoh. Anehnya setiap
pasangan manusia ukiran ini secara indah terangkat menjadi satu huruf sehingga seluruhnya
berbunyi: "Barang siapa mendapat kitab pusaka ku, masuklah ke perguruanku. Terimalah
ilmu tinggalan ku dan menyembah kepada arwahku. Baik buruk atau untung malang, semua
itu mesti tunduk kepada perintahku. Yang melanggar pesan tinggalanku ini akan tertimpa
bencana dan mati."
Disamping kedua baris tulisan yang menyerupai ramalan ini terdapat pula beberapa baris
huruf kecil dan berbunyi: "Barang siapa menemukan harta dan kitab pusakaku, dia harus
masuk ke perguruanku, hendaklah segera berlutut di atas kasuran dan menghadap ke dinding
ini, dengan hati tulus dan bersujud menyembah sembilan kali sembilan sana dengan 81 kali
sebagai penghormatan mengangkat guru, dengan demikian akan mendapatkan rejeki. Tapi
kalau membangkang atas perintahku ini, setelah mendapatkan harta pusaka ini terus pergi,
arwahku pasti akan mengejar dirimu dan mencabut nyawamu. Camkanlah peringatan ini."
Jelas si kakek cahaya perak tidak pernah memperhatikan pesan Siau-hun-kongcu ini, dengan
sendirinya dia tidak percaya orang yang sudah mati masih mampu mencabut nyawanya.
Akan tetapi setelah berpikir sejenak, Pwe-giok benar-benar berlutut di atas kasuran itu dan
mulai menyembah.
Kim-yan cu melenggong, katanya dengan tertawa: "Masa kau benar-benar ingin mengangkat
guru kepada orang mati?"
Sembari menyembah Pwe-giok menjawab: "Pada masa hidupnya, tindak-tanduk Siau-hunkongcu
ini sudah sukar diraba orang. Ketika mendekati ajalnya, tentu dia memeras otak dan
mencari akal yang aneh-aneh untuk mengatur segala sesuatu." "Ya, orang seperti dia itu,
kalau mati tentu juga tidak rela barang tinggalannya dikuras orang dengan begitu saja." ujar
Kim-yan cu. "Sebab itulah, kupikir pesan yang diukir di sini ini pasti juga ada tujuan tertentu, mungkin
disinilah letak rahasianya yang paling besar," kata Pwe-giok.
Kim-yan cu berkerut kening katanya: "Tapi orang sudah mati apa yang dapat diperbuat lagi"
..." Tiba-tiba terpikir sesuatu olehnya, air mukanya berubah pucat, dengan suara gemetar ia
berkata pula: "Jangan-jangan... jangan-jangan dia belum lagi mati?"
Selesai Kim-yan cu bicara, Pwe-giok juga sudah habis menyembah 81 kali.
Sekonyong-konyong dinding batu yang penuh terukir huruf itu terbelah menjadi dua dan
bergeser ke samping. Dibalik dinding tampak cahaya terang gemerlapan menyilaukan mata.
Pada saat itu yang hampir sama, mendadak kasuran batu itu terus meluncur ke arah lemari
batu itu secepat kilat. Pwe-giok sendiri waktu itu merasa dengkulnya kaku kesemutan setelah
berlutut dan menyembah sekian lama, belum lagi dia sempat berbangkit, tahu-tahu kasuran
tempat dia berlutut itu terus meluncur ke balik dinding yang terbelah itu.
243 Tanpa kuasa Pwe-giok terhanyut oleh kasuran batu itu, seketika ia merasa silau dan tidak
melihat apa-apa. Pada saat itu mendadak kasuran batu itu berganti arah terus meluncur balik
ke belakang. Karena dibawa meluncur ke depan dan mendadak membalik lagi ke belakang, tanpa kuasa
Pwe-giok terjungkal ke depan dan jatuh di lantai. "bluk", seperti ada sesuatu barang tertindih
oleh tubuhnya. Menyusul asap tebal lantas muncrat berhamburan.
Kasuran batu tadi telah meluncur keluar dinding dan dinding itu lantas merapat kembali,
semuanya itu berlangsung dengan cepat, hampir seperti terjadi dalam waktu yang sama.
Apa yang terjadi ini sungguh terlalu cepat dan terlalu banyak sehingga Pwe-giok tak sempat
bertindak apapun, hidungnya sempat menghisap bau harum bedak. Meski harum baunya, tapi
terasa gelagat tidak menguntungkan.
Sama sekali tak tersangka oleh Pwe-giok bahwa setelah dia menuruti pesan Siau hun-kiongcu
tadi, sebagai imbalan adalah kejadian yang luar biasa ini dan rejeki nomplok. Segera pula dia
hendak menahan napas, namun bau harum tadi sudah sempat diisapnya sedikit.
Kim yan cu juga mendadak merasakan cahaya yang menyilaukan tadi sehingga matanya sukar
terbuka. Samar-samar ia sempat melihat kasuran tadi meluncur ke dalam lemari batu dengan
membawa Ji pwe giok, waktu dia dapat membuka mata dan melihat lebih jelas, tahu-tahu batu
itu sudah meluncur balik ke tempat semula. Waktu dia pandang almari batu itu, keadaannya
masih utuh seperti tadi, sedikitpun tiada perubahan apapun namun Ji Pwe giok tidak kelihatan
lagi, entah menghilang kemana"
Kim yan cu jadi melongo kesima, sungguh ia tidak percaya kepada pemandangannya sendiri,
apakah yang terjadi sesungguhnya" Mengapa bisa begini"
Hampir saja ia berteriak-teriak, tapi dalam keadaan demikian, sekalipun sampai pecah
kerongkongannya juga tiada seorangpun yang mendengar suaranya.
Kim yan cu sudah cukup berpengalaman berkelana di dunia kangouw, sudah sering juga dia
menghadapi saat-saat antara mati dan hidup, betapapun dia bukan anak perempuan biasa,
walaupun dia kelihatan begitu lemah lembut ketika berada disamping Ji we giok.
Tapi anak perempuan mana di dunia yang tidak kelihatan lemah lembut bila berada bersama
seorang lelaki" Bila berada bersama seorang lelaki, bisa jadi untuk melangkahi selokan yang
setengah meter lebarnya perlu juga dibantu oleh si lelaki Tapi kalau berada sendirian tanpa
didampingi lelaki mungkin sungai yang lebarnya tiga meter akan dapat dilompatinya.
Kalau berada bersama lelaki, setiap anak perempuan pasti akan ketakutan setengah mati
bilamana kebetulan ada seekor tikus menerobos, disamping kakinya, tapi kalau berada
sendirian, biarpun tiga puluh ekor tikus muncul sekaligus juga akan dibinasakan semuanya.
244 Bila tiada orang yang lain yang dapat diandalkan, setiap anak perempuan bisa mendadak
berubah kuat dan tangkas, apalagi pada dasarnya Kim yan cu memang bukan anak perempuan
lemah. Ia coba membaca tulisan yang terukir di dinding almari itu dan direnungkan berulang ulang,
mendadak ia berseru : "Aha, paham lah aku!..."
Kiranya di bawah kasuran batu itu memang ada pesawat rahasianya. Kasuran baru itu tidak
dapat terbuka juga tidak dapat berputar, tapi harus ditindihi oleh bobot tubuh orang, ditambah
lagi orang itu berlutut diatasnya harus menyembah segala, gerakan itu akan menimbulkan
daya tekanan pula, bilamana sudah menyembah hingga 81 kali, daya tekanan itu sudah cukup
untuk membuka pesawat rahasia yang terpasang di bawah kasuran batu sehingga
menggerakan dinding almari, begitu dinding bergerak dan terpentang, segera segala alat
rahasia yang lain akan ikut tertarik dan kasuran batu itupun terbawa meluncur ke depan,
ketika daya kerja pegas itu sampai pada titik akhirnya, segera kasuran batu itu terpantul balik
ke tempat semula dan dindingpun rapat kembali.
Kalau sudah dijelaskan, apa yang terjadi ini menjadi kelihatan sederhana, cuma Siau Kun
Kiongcu memang sengaja mengaturnya sedemikian rupa sehingga kelihatan lebih misterius
dan menyeramkan.
Kim yan cu tidak ragu lagi, segera iapun berlutut di atas kasuran batu itu dan mulai
menyembah. Tapi ketika menyembah 52 kali, mendadak ia melompat turun, ia memandang
sekitarnya dan menemukan sebuah peti besi sebesar satu meteran, tutup peti besi itu
diambilnya, lalu ditaruh di punggung sendiri, habis itu dia berlutut dan mulai menyembah
lagi. Tak tahunya, sudah 81 kali menyembah, kasuran itu tetap tidak bergerak. Ia menjadi sangsi,
jangan-jangan pesawat rahasia ini hanya bergerak satu kali saja, lalu tidak mau bekerja lagi"
Tapi dia tidak putus asa, ia ingin mencobanya satu kali lagi, sekali ini dia baru menyembah
lima enam kali dan mendadak kasuran itu meluncur keluar sana secepat panah.
Rupanya disebabkan perawakan Kim yan cu yang ramping, bobotnya tidak cukup, mesti
ditambah lagi sebuah tutup peti besi, namun cara menyembahnya menjadi kurang
membungkuk ke bawah sehingga daya tekanannya menjadi berkurang pula. Maka dia perlu
menyembah hingga 86-87 kali barulah daya tekanannya cukup kuat untuk menggerakan
pesawat rahasianya.
Ketika merasa orangnya ikut dibawa meluncur masuk ke balik almari batu, sesudah masuk
dan kasuran batu itu terpantul balik lagi kesana. Namun diam-diam Kim yan cu sudah
mempunyai perhitungan, begitu ia terjerembab ke depan, berbareng itu iapun membuang
tutup besi tadi keluar.
Kepandaian menggunakan Am-gi atau senjata rahasia Kim yan cu terkenal lihai juga di dunia
kangouw, dengan sendirinya cara menyambitkan tutup besi itupun cukup jitu, tutup peti itu
dengan cepat dilemparkan ke tengah-tengah belahan dinding, maka waktu kedua belah
dinding itu akan merapat kembali lantas terhalang oleh tutup peti itu, meski tutup peti itu
tergencet hingga mengeluarkan suara keriat-keriut, namun dinding itupun tidak dapat rapat
sama sekali. 245 Sementara itu mata Kim yan cu sudah terbiasa oleh cahaya silau, akhirnya ia dapat melihat
jelas rahasia di dalam gua misterius ini. Kiranya ruangan batu ini berbentuk segi delapan,
dinding sekelilingnya penuh terhias batu permata dan mutiara sebesar gundu, di belakang
mutiara ini semuanya dilapisi sepotong kaca kecil. karena itulah cahaya mutiara lantas
memantulkan sinar yang kemilauan sehingga kamar inipun gemerlapan dan seperti bintangbintang
yang bertaburan di langit telah dipindahkan oleh Siau hun kiongcu ke kamar ini.
Ditengah-tengah kamar batu ini ada sebuah peti mati batu raksasa, selain peti mati ini sudah
tentu masih ada pula barang lain, tapi Kim yan cu tidak menaruh perhatian lagi, yang
dipikirkannya cuma Pwe giok saja.
Dilihatnya anak muda itu duduk bersila di sana, sekujur badan tampak menggigil, kain putih
yang membalut kepalanya itu sudah basah kuyup seperti habis disiram air. "He, ken.....
kenapa kau" jerit Kim yan cu. Pwe giok menggertak gigi dan tidak menjawab, bahkan
matapun tetap terpejam.
Kim yan cu terkejut dan kuatir, baru saja ia bermaksud memegang tangan Pwe giok,
mendadak tangan Pwe giok malah menghantamnya sehingga Kim yan cu terguling. "He, apaapaan
kau?" jerit Kim yan cu "Jangan ..... jangan kau urus diriku," teriak Pwe giok.
"Biarkan ku istirahat sebentar dan semuanya akan baik lagi" Setiap kata yang diucapkan anak
muda itu seakan akan sangat memakan tenaga, maka Kim yan cu tidak berani bertanya lagi.
Dilihatnya disamping Pwe Giok ada secomot benda yang gemerlapan, benda sebangsa
pecahan kaca berwarna merah muda, entah barang apa.
Waktu ia memandang lagi ke belakang peti mati, di sana juga ada sebuah almari batu, pintu
almari sudah terbuka. Di dalam almari terdapat berpuluh botol kecil berwarna merah muda
dan bercahaya, tampaknya serupa dengan barang pecah yang terdapat di samping Ji Pwe giok
itu. Disamping berpuluh botol kecil itu ada pula beberapa jilid buku berwarna merah, buku ini
serupa kitab yang dibawa pergi si kakek bercahaya perak itu, halaman buku ini tampak
tersingkap, agaknya pernah dibalik-balik orang.
Kim yan cu mengira Pwe giok yang membalik-balik halaman buku itu, ia jadi tertarik juga
dan mendekatinya untuk melihat, tapi baru dua halaman buku itu dibacanya, seketika
mukanya menjadi merah, jantungnya berdetak keras.
Pada halaman pertama buku itu tertulis: "Siau hun pit kip, yang mendapatkannya mencapai
kenikmatan. Siau hun pi yok, yang mendapatkannya naik surga."
Disamping kedua belas huruf besar itu tertulis pula: "Inilah kitab asli Siau hun pit kip, hanya


Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perempuan yang punya rejeki besar yang akan mendapatkannya. Setelah belajar satu tahun,
cukup untuk membuat setiap lelaki di dunia ini tergiur dan jatuh hati. Bila belajar tiga tahun,
dapatlah mematahkan iman siapapun di dunia ini. Kitab yang beredar di luar adalah kitab
tiruan dan sekali-kali tidak boleh sembarangan dipelajari, kalau tidak menurut, akibatnya akan
terjeblos sendiri ke laut penderitaan dan sukar tertolong, berbagai macam penyakit akan
timbul dan tersiksa hingga mati. Inilah pesan perguruan yang harus diperhatikan. Karena kau
sudah datang ke sini dan mendapatkan kitab pusaka ini, maka bahagialah selama hidupmu.
246 Waktu ia baca pula halaman kedua, seketika muka Kim yan cu menjadi panas, sungguh
mimpipun tak pernah terpikirkan olehnya di dunia ini ada kejadian begini dan juga ada cara
begini. Kiranya yang diajarkan dalam kitab ini adalah teknik bercinta yang hampir sukar
dibayangkan siapapun juga.
Hampir saja Kim yan cu merobek kitab itu, tapi entah mengapa, rasanya berat juga untuk
menghancurkan kitab demikian. Selagi ragu-ragu, tiba-tiba tergerak pikirannya, pikirnya:
"Jangan-jangan dia terkena racun yang terisi di botol yang pecah itu" mungkin di dalam kitab
ini ada petunjuk cara menawarkannya..."
Sudah tentu inilah alasan yang paling baik baginya untuk membaca lagi kitab ajaib itu.
Setelah membaca beberapa halaman pula, ditemuinya di dalam kitab benar-benar ada tulisan
yang berbunyi: "Isi botol ini semuanya adalah obat perangsang cinta, ada yang berbentuk pil,
ada yang berwujud bubuk. Lelaki yang meminum obat di dalam botol ini, bila tidak
mendapatkan pelampiasan tubuh perempuan, akibatnya akan mati dengan tujuh lubang (mata,
telinga, hidung dan mulut) berdarah."
Membaca sampai di sini, tanpa terasa Kim-yan-cu bersuara kaget. Jantungnya serasa mau
melompat keluar dari rongga dadanya, ya takut ya kuatir, sungguh tidak keruan rasanya.
Didengarnya Pwe-giok sedang menggertak gigi hingga berbunyi gemertakan, katanya dengan
terputus-putus: "Lekas, ....lekas kau pergi .... lekas pergi saja ..."
Tapi Kim-yan-cu masih tetap berdiri melenggong di tempatnya. Lantaran membela dirinya
sehingga anak muda itu tersiksa begini, mana dia tega tinggal pergi dan membiarkan orang
mati dengan tujuh lubang berdarah"
Mendadak Kim-yan-cu tertawa manis sambil mendekati Pwe-giok. Jantungnya berdebar,
tubuhpun terasa lemas, ia sendiri tidak tahu apakah kuatir, takut, malu atau gembira"
Pwe-giok menatapnya dengan mendelik, teriaknya dengan gemetar: "Jangan kau
mendekatiku, jangan, kumohon dengan sangat, jangan kau mendekat kemari!"
Tapi Kim-yan-cu malah pejamkan mata terus menjatuhkan dirinya ke dalam pangkuan Ji
Pwe-giok. Dia sudah bertekad akan korbankan dirinya sendiri. Akan tetapi anak perempuan manapun
juga tidak nanti mau berkorban bagi lelaki yang tidak disukanya.
Dengan memejamkan mata kim-yan-cu sudah merelakan segalanya, dia sudah siap
mempersembahkan miliknya, dan bersedia menerimanya....
Tak terduga, pada saat itu juga mendadak ia merasakan pinggangnya kaku, ia telah tertutuk
oleh Pwe-giok. menyusul tubuhnya terus dilemparkan keluar oleh anak muda itu. lalu tutup
peti besi tadipun ditendang mencelat dan dinding batu lantas rapat kembali.
Kim-yan-cu terkejut dan melenggong dan juga berterima kasih. Tapi entah mengapa, rasanya
juga rada kecewa, berbagai macam perasaan itu bercampur aduk.
247 Ia tahu Pwe-giok masih punya perasaan, belum hilang akal sehatnya, maka tidak tega
membikin susah padanya.
Ia tahu sebabnya anak muda itu menutuk hiat-tonya adalah karena kuatir dirinya akan masuk
lagi ke sana. Sebabnya dia menutup dinding itu adalah untuk menjaga agar Pwe-giok sendiri
tidak sampai menerjang keluar bilamana tidak tahan oleh rangsangan obat kuat yang
diminumnya. Dan jelas pintu dinding itu tidak mungkin dibuka dari dalam. Sekarang tertinggal Pwe-giok
saja yang terkurung di situ untuk menanti kematian.
Air mata Kim-yan-cu bercucuran, teriaknya dengan suara parau: "Meng.... mengapa kau
begitu bodoh" Memangnya kau kira demi menolong dirimu maka kulakukan seperti tadi itu"
Sesungguhnya aku sendirilah yang rela berbuat begitu, apakah... apakah kau tidak tahu aku
memang suka padamu"..."
Di luar dugaan, suara Kim-yan-cu itu ternyata bisa tersalur ke dalam kamar batu sana, apa
yang diucapkan Kim-yan-cu itu dapat didengar jelas oleh Pwe-giok. Tapi sekarang biarpun
dia ingin memasukkan lagi si nona ke sana juga tidak dapat lagi, semuanya sudah terlanjur.
Pwe-giok memukul-mukul dinding dan berteriak dengan suara gemetar: "Kau tahu, aku tidak
boleh berbuat begitu, aku tidak boleh merusak dirimu"!"
Kim-yan-cu juga dapat mendengar suaranya, iapun berteriak: "Tapi kalau kau tidak berbuat
begitu, terpaksa kau harus mati!"
"O.., kumohon..... maafkan..."
"Kubenci padamu, kubenci...." teriak Kim-yan-cu. "Selamanya takkan kumaafkan kau. Kau
hanya tahu tidak tega mencelakai diriku, tapi tahukah kau dengan penolakanmu ini kau telah
menyakitkan hatiku?"
Sungguh ia tidak tahu mengapa dirinya bisa mengucapkan kata-kata begitu. Bisa jadi ia
sengaja hendak mendorong semangat Pwe-giok agar berusaha keluar.
Sekujur badan Pwe-giok serasa mau meledak, ia berteriak-teriak: "Ya, aku salah. Memang
aku salah besar! Sebenarnya akupun suka padamu!"
"Dan mengapa kau tidak keluar" Apakah sekarang kau tidak dapat keluar"!" teriak Kim-yancu,
betapapun dia masih menaruh harapan.
"Sudah terlambat, sudah terlambat!"
"Tahukah kau, hanya ada kematian jika kau tidak keluar?"
"Biarpun mati akupun berterima kasih kepadamu!" teriak Pwe-giok dengan gemetar.
Tubuhnya merasa panas seperti dibakar, keadaannya sungguh payah dan tak tahan lagi.
248 Ia tidak tahu bahwa pada saat itu juga peti mati batu itupun terbuka, seorang perempuan yang
lebih cantik daripada bidadari, tapi dingin melebihi hantu telah melangkah keluar dari peti
mati itu. Sungguh aneh, masakan mayat perempuan cantik di dalam peti mati itu benar-benar telah
hidup kembali" Baju perempuan itu berwarna putih laksana salju, tapi air mukanya terlebih
putih daripada bajunya.
Dia menyaksikan Ji-Pwe-giok yang lagi berkelojotan di lantai, mendadak ia menjengek: "Hm,
kalian memang benar dua sejoli yang sehidup semati, setelah kalian mati nanti pasti akan ku
kubur kalian bersama."
Suaranya ternyata juga sedingin es, sedikitpun tanpa emosi. Melihat gelagatnya, seumpama
dia memang bukan orang mati, tapi hatinya jelas sudah lama mati, sudah lama beku.
Mendengar suara orang, Pwe-giok terkejut dan cepat berpaling, segera dilihatnya wajah yang
cantik ini, wajah ini membuatnya jauh lebih terkejut daripada melihat setan.
Perempuan yang dingin seperti badan halus ini ternyata Lim-Tay-ih adanya!
Jadi ke delapan anak perempuan yang mati dilorong tadi kiranya anak murid Pek-hoa-bun dan
Lim-Tay-ih adalah anak perempuan yang menghilang secara misterius itu.
Saking terkejutnya Pwe-gok berteriak: "Lim-Tay-ih, ken.... kenapa kau berada di sini?"
Air muka Lim-Tay-ih berubah hebat, jawabnya dengan terkesiap: "Siapa kau" Darimana kau
tahu namaku?"
"Aku inilah Ji-Pwe-giok!" teriak Pwe-giok. Lim-Tay-ih melengak, segera ia menjengek: "Hm,
kiranya kau Ji-Pwe-giok itu, kau ternyata belum mau ganti nama!"
"Aku memang Ji-Pwe-giok, kenapa mesti ganti nama?" jerit Pwe-giok.
"Hm, apakah kau mau ganti nama atau tidak, sekarang bukan soal lagi," dengus Lim-Tay-ih:
"Sebab kau toh bakal mati, setelah kau tahu rahasia tempat ini, bagimu hanya ada mati!"
Sekuatnya Pwe-giok meronta bangun, mendadak dilihatnya di dalam peti mati batu itu masih
ada sesosok mayat perempuan yang sangat cantik dan seperti masih hidup. tanpa terasa ia
menjerit pula: "Se...sesungguhnya bagaimana persoalannya ini?"
"Apakah kau terkejut?" tanya Lim-Tay-ih
"Supaya kau tahu, yang membujur di dalam peti mati inilah jenazah asli Siau-hun-niocu. pada
waktu masih hidup setiap lelaki pasti tergiur padanya, sesudah mati iapun sayang pada
wajahnya dan tidak membiarkannya membusuk."
"Dan...dan kau" Mengapa ... mengapa kau berada di situ?" tanya Pwe-giok.
249 "Ketika kudengar ada orang masuk kemari cepat ku bersembunyi di dalam peti mati itu. Ku
tahu ilmu silatmu tidak lemah, untuk apa ku buang tenaga percuma untuk bergebrak dengan
kau?" "O, jadi obat bius itupun kau yang mengaturnya di sana?"
"Akupun dibawa masuk ke sini oleh luncuran kasuran batu itu, jadi ku tahu bilamana kasuran
batu itu terpantul balik ke sana, orang yang berada di atasnya pasti akan terjerembab ke
depan, maka lebih dulu ku taruh obat bius itu di sana. Untuk mematikan kau, buat apa aku
mesti turun tangan sendiri?"
Baru sekarang Pwe-giok paham duduk persoalannya, ucapannya dengan terputus-putus:
"Sejak kapan kau berubah menjadi... menjadi sekeji ini?"
"Orang keji di dunia ini terlalu banyak," jawab Lim-Tay-ih. "Jika aku tidak keji, tentu aku
yang akan dibinasakan orang."
"Tapi aku ini bakal suamimu, mana boleh kau...."
"Plok", belum habis ucapan Pwe-giok, kontan Lim-Tay-ih menamparnya sambil membentak:
"Persetan kau! Bakal suamiku sudah lama mati, tapi kau berani kurang ajar padaku?"
Tamparan ini cukup keji dan keras, tapi Pwe-giok seperti tidak merasakan apa-apa, ia cuma
menatap si nona dengan matanya yang merah dan bergumam: "Kau tunanganku, kau....kau
bakal istriku!"
Lim-Tay-ih menjadi takut sendiri melihat sorot mata Pwe-giok yang beringas itu, katanya:
"Ap.... apa kehendakmu?"
Tersembul senyuman aneh pada ujung mulut Pwe-giok, dia masih terus bergumam: "Kau
bakal istriku! Kau inilah...." mendadak ia menubruk ke arah Tay-ih.
Tadinya ia gunakan tenaga dalamnya untuk mengekang bekerjanya obat perangsang, sebab
itulah dia masih dapat mempertahankan kejernihan pikirannya, tapi sekarang, obat perangsang
itu akhirnya meledak dan tidak tahan lagi.
Apalagi perempuan cantik di depannya ini adalah bakal isterinya, ia merasa tiada salahnya
kalau... Keruan Lim tay-ih terkejut dan gusar pula tangannya kembali menggampar muka Pwe-giok
sambil membentak: "Kau gila! kau berani!"
Tapi Pwe-giok sama sekali tidak mengelak dan tetap membiarkan mukanya dihantam seperti
tanpa terasa, sebaliknya matanya semakin merah dan menakutkan dan terus menubruk maju.
Baru sekarang Lim Tay-ih ingat muka anak muda itu masih terbalut kain, segera ia ganti
menampar dengan satu pukulan tertuju ke dada Pwe-giok. Tak tersangka hantaman inipun
tetap tak dapat mencegah tindakan buas anak muda itu.
250 Kini obat perangsang itu sudah menyebar, seluruh tubuh Pwe-giok serasa mau meledak,
betapapun keras pukulan Lim Tay-ih bagi Pwe-giok rasanya seperti dipijat malah.
Keruan Tay-ih ketakutan, mendadak ia membalik tubuh terus lari.
Seperti orang gila Pwe-giok lantas mengejar.
Pemuda yang semula ramah tamah dan sopan santun ini sekarang sudah berubah seperti
seekor binatang buas.
Kim-yan-cu yang berada di luar juga terkesiap oleh apa yang terjadi di dalam itu, meski sia
tidak dapat melihat keadaan di dalam kamar batu itu, tapi dari suaranya ia dapat berteriak:
"He, Ji Pwe-giok, apa yang kau lakukan?"
Tapi di dalam hanya terdengar suara dua orang berlari, kejar mengejar, suara napas terengah
engah dan tiada jawaban.
Entah sebab apa, hati Kim-yan-cu serasa dibakar dan seakan akan meledak, mendadak ia
berteriak: "Ji Pwe-giok, mengapa kau tidak menghendaki diriku dan menginginkan dia?"
Terdengar Pwe-giok menjawab dengan napas tersengal-sengal: "Sebab di... dia adalah.."
"Kau sendiri sudah menyatakan suka padaku, betul tidak?" teriak Kim-yan-cu dengan suara
parau. "Aku... aku memang... aku tidak..."
Lim-Tay-ih menjadi murka dan benci, teriaknya: "Kau orang gila, jika kau suka padanya,
mengapa tidak kau cari dia saja?"
"Tidak, aku suka padamu, kau... kau adalah isteriku!" seru Pwe-giok
"Kentut! Memangnya siapa isterimu?" damprat Lim-Tay-ih dengan gusar.
Dalam pada itu Kim-yan-cu telah menanti di luar.
Keadaan ini sangat ruwet, siapapun tidak dapat membayangkannya, siapapun sukar
menjelaskannya. Hubungan antara ketiga orang ini memang luar biasa, cinta dan benci
memangnya sukar dijernihkan, tapi pada saat dan keadaan yang paling serba sulit inilah ketiga
orang ini telah berkumpul di suatu tempat.
Apabila dipikir, sungguh di dunia ini tiada kejadian lain yang lebih gila, lebih aneh, lebih
mustahil dan tidak masuk diakal. Dan semua ini justeru ditimbulkan oleh seorang yang mati.
Jenazah cantik Siau-hun-niocu didalam peti mati tampaknya lagi tersenyum puas.
Kim-yan-cu sedang menangis, ia sendiri tidak tahu mengapa dirinya menangis, daripada
dikatakan dia berduka, kecewa, akan lebih baik kalau dikatakan dia merasa penasaran.
251 Sekonyong-konyong terdengar suara jeritan kaget Lim Tay-ih, jeritan ini laksana sebatang
jarum yang menusuk ulu hati Kim-yan-cu. Ia tahu akhirnya Lim Tay-ih telah berhasil
ditangkap oleh Ji Pwe-giok.
Habis itu lantas terdengar suara rontaan, suara caci maki, suara keluhan, suara napas yang
ngos-ngosan serta suara punggung dipukul, mendadak terdengar pula suara "bles" , habis itu
lantas tidak terdengar apa-apa lagi.
Keheningan ini membikin Kim-yan-cu jauh lebih tersiksa daripada suara apapun, ia ingin
menangis terlebih keras, tapi ingin menangispun tidak sanggup lagi.
Entah berapa lama ia termenung-menung di situ, mendadak terdengar suara kumandangnya
orang berjalan. Kim-yan-cu bergirang, pikirnya: "Nah, jangan-jangan Pwe-giok datang
menolong diriku?" Pada dasarnya Kim-yan-cu bukan perempuan yang berjiwa sempit, tapi
rasa benci itu tidak sampai berlarut-larut.
Tak terduga, suara orang berjalan itu ternyata bukan datang dari dalam melainkan
berkumandang dari luar gua.
Agaknya pada masa hidupnya Siau-hun-kiongcu sengaja ingin tahu setiap suara yang timbul
dari luar maupun dalam gua, maka dia telah mengatur alat penyalur suara sedemikian pekanya
sehingga suara yang lirihpun dapat terdengar.
"Giau-jiu-sam-long, kau memang tidak bernama kosong." demikian terdengar suara seorang
perempuan berseru dengan tertawa genit. "Bilamana tidak ku ajak kau ke sini, mungkin
selama hidupku jangan harap akan dapat masuk ke sini."
Suara perempuan ini terasa agak serak-serak bagus, tapi kedengaran manis dan memikat,
perempuan yang bicara ini seolah-olah setiap detik, senantiasa bergaya genit dan bersikap
manja. Lalu suara seorang lelaki menanggapi dengan tertawa: "Dan tentunya kau tahu bukan aku
sengaja membual bahwa kecuali kedua saudaraku, mungkin terlalu sulit bagi orang lain untuk
masuk ke sini."
"Hihi, lelaki pintar seperti kau ini pasti sangat disukai oleh anak perempuan," demikian
perempuan tadi berkata pula dengan tertawa genit. "Anehnya mengapa sampai sekarang kau
belum lagi beristeri dan berumah-tangga."
Lelaki yang disebut Giau-jiu-sam-long itu terbahak-bahak dan menjawab: "Masa perlu tanya
lagi, aku kan sedang menunggu jawabanmu?"
Begitulah sembari bersenda gurau kedua orang itu lantas main cubit dan colek segala.
Apabila Pwe-giok berada di sini, tentu segera dapat dikenali suara itu adalah suara Gin-hoanio
yang kabur dengan gusar meninggalkan Kim-hoa-nio dan Thi-hoa-nio.
Tapi Kim-yan-cu tidak tahu siapa kedua orang ini, dia cuma merasa mereka memuakkan,
celakanya dirinya sendiri justeru tak dapat berkutik, ingin menghindarpun tak bisa. Tentu saja
252 Kim-yan-cu sekilas dan kuatir, ia berharap semoga pintu batu di luar telah dirusak oleh si
kakek bercahaya perak, dengan demikian kedua orang ini tidak dapat masuk ke situ.
Didengarnya lelaki yang disebut Giau-jiu-sam-long itu mendadak bersuara kaget dan suara
tertawanya lantas berhenti, katanya: "He, dinding ini mengapa berlubang, juga alat rahasianya
hanya tertutup oleh pelat besi, apakah karena kuatir ada orang menerobos keluar dari dalam?"
Terdengar Gin-hoa-nio menanggapi dengan terkesiap: "Ya, mengapa di dalam bisa ada orang,
padahal rahasia tempat ini oleh ayahku hanya diberitahukan kepada kami bertiga kakak
beradik dan orang lain tidak ada yang tahu."
"Tentu rahasia tempat ini sudah bocor." ujar Giau-jiu-sam-long. "Tempat ini pasti sudah
pernah didatangi orang. Dan orang yang mampu datang ke sini pasti bukan kaum lemah,
kukira lebih baik kita..."
Dengan tertawa genit Gin-honio lantas memotong: "Biarpun yang datang ke sini bukan kaum
lemah, tapi sam-siauya kita dari Ji-ih tong masa takut padanya?"
"Mana ku takut padanya?" ujar Giau-jiu-sam-long dengan tertawa. "Siapapun tidak kutakuti,
aku cuma takut padamu, Apabila beberapa jurus kungfu tinggalan siau-hun-niocu itu berhasil
kau yakinkan, wah, aku bisa keok."
Gin-hoa-nio tertawa cekakak-cekikik, jawabnya: "Bila Kungfu siau-hun-niocu berhasil
kuyakinkan, tujuanku kan juga untuk memuaskan kau?"
Ditengah suara tertawa kedua orang itu, "krek", pintu sudah terbuka.
Seorang pemuda berbaju hijau pupus dan membawa cundrik terus melompat masuk,
gerakannya ternyata sangat gesit, tapi mukanya kelihatan pucat, hidungnya besar membetet,
pipinya kempot, bokongnya tepos, jelas potongan orang yang terlalu bekerja keras di waktu
malam. Namun begitu, sorot matanya ternyata tajam ia memandang sekeliling ruangan, lalu terbelalak
ke arah Kim-yan-cu.
Kim-yan-cu juga melotot padanya, tapi tidak bersuara.
Mendadak Giau-jiu-sam-long tertawa, serunya: "He, lihatlah, di sini memang benar ada
orang, bahkan seorang nona jelita, tapi entah Hiat tonya ditutuk siapa ?"
Dengan bersorak gembira Gin-hoa-nio memburu maju, pakaiannya ternyata cukup sopan, tapi
kedua matanya sama sekali tidak kenal sopan, dia melirik genit dan berkata: "Ya, orang yang
menutuk Hiat tonya mengapa tidak kelihatan?" Giau-jiu-sam-long mendekati Kim-yan-cu,
dengan ujung kakinya dia menggelitik pinggang Kim-yan-cu dengan laku bangor. Keruan
Kim-yan-cu gemas setengah mati. Tapi apa daya, sama sekali ia tak dapat bergerak.
Dengan cengar cengir, Giau-jiu-sam-long lantas berkata: "Nona cilik, siapakah yang menutuk


Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hiat-tomu" ai, orang ini keterlaluan, masa tidak kenal kasih sayang kepada nona jelita seperti
kau ini, Eh, katakan saja kepadaku dimana dia nanti kuhajar dia untuk melampiaskan
dendammu" 253 Gin-hoa-nio tertawa cekikikan, katanya: "adik yang baik, lekaslah kau beritahukan padanya,
Sam-siauya (tuan muda ke tiga) kita ini maha pencinta, terutama terhadap anak perempuan
yang cantik, bilamana ada anak perempuan cantik teraniaya, dia terlebih penasaran daripada
siapapun juga"
"Eh, ucapanmu ini kok terasa berbau cuka (maksudnya cemburu)?" seru Giam-jiu-sam-long
dengan tergelak. Gin-hoa-nio terus merangkul lehernya dan berkata: "Kalau aku tidak suka
padamu apakah mungkin bisa cemburu?"
Hampir saja Giam-jiu-sam-long jatuh kelenger oleh rayuan itu, ucapnya dengan tertawa:
"Sudah memiliki kau, masa ku perlu lagi mencari yang lain" Kedua pahamu...." Belum habis
ucapannya, sekonyong-konyong ia jatuh terkulai, sampai menjerit saja tidak sempat dan tahu
sudah putus napasnya, malahan wajahnya masih tersenyum simpul, cara bagaimana matinya
mungkin ia sendiripun tidak tahu.
Sebaliknya Gin-hoa-nio sama sekali tidak berkedip, ia pandang Kim-yan-cu, katanya dengan
tertawa: "Lelaki macam begini, bila melihat perempuan matanya lantas hijau, biarpun
matipun tidak perlu disayang. Tapi kalau bukan lantaran dirimu, sesungguhnya aku rada
merasa berat untuk membunuhnya."
"Lantaran diriku?" Kim-yan-cu menegaskan dengan terbelalak.
"Ai, Cici yang baik, meski kau tidak kenal diriku, tapi sekali kulihat bajumu ini segera
kukenali kau," ucap Gin-hoa-nio dengan suara lembut. "Bukankah kau ini pendekar wanita
Kim-yan-cu yang termasyhur di dunia Kangouw itu?"
"Dan siapa kau?" tanya Kim-yan-cu.
Gin-hoa-nio menghela napas, jawabnya dengan rawan: "Aku adalah seorang anak perempuan
yatim piatu yang sengsara..."
Kim-yan-cu bergelak tertawa dan menyela: "Kudengar kau bilang mempunyai saudara dan
berayah, mengapa sekarang kau katakan yatim piatu dan sengsara?"
Biji mata Gin-hoa-nio berputar, tampaknya air matanya akan menetes, katanya: "Meskipun
aku mempunyai ayah bunda dan saudara, tapi mereka... mereka sama benci padaku, akupun
sendiri tidak mampu membuat mereka suka padaku, akupun tidak berani bertindak keji dan
ganas seperti mereka,"
Hati Gin-hoa-nio rada lunak demi melihat mimik Kim-yan-cu yang memelas itu, namun dia
tetap berteriak: "Dan kau sendiri, caramu membunuh orang barusan ini apakah tidak terhitung
keji dan ganas?"
"O, tahukah betapa aku tersiksa olehnya hanya karena kuminta dia membawaku ke sini?"
tutur Gin hoa-nio dengan suara gemetar. "Apabila tidak kubunuh dia, selama hidupku pasti
akan selalu dianiaya olehnya." Mendadak ia menjatuhkan diri ke pangkuan Kim-yan-cu dan
menangis, katanya dengan tersendat: "O, Cici yang baik, coba katakan, apakah ini salahku?"
254 Hati Kim-yan-cu tambah lunak lagi, ia menghela napas gegetun, katanya: "Ya, betul, kau
memang tidak dapat disalahkan. Ada sementara lelaki di dunia ini memang pantas kalau
dibunuh." Sesungguhnya Kim-yan-cu memang tidak dapat menemukan alasan berdusta si nona jelita ini,
sebab kalau orang bermaksud jahat padanya, bukankah sejak tadi sekali tabas saja sudah dapat
membinasakan dia"
Nyata ia tidak tahu betapa jelimetnya jalan pikiran Gin-hoa-nio, hakekatnya seumur hidupnya
jangan harap akan dapat menerkanya.
Walaupun sudah cukup pengalaman berkelana di dunia Kangouw, tapi kalau dibandingkan
Gin-hoa-nio, hakekatnya Kim-yan-cu seperti anak kecil berbanding orang tua.
Sekalipun Gin-hoa-nio telah menjualnya mungkin dia belum lagi mengetahui apa yang
terjadi. Sementara itu Gin-hoa-nio telah membuka Hiat-to Kim-yan-cu, katanya dengan tertawa
manis: "Tak kuduga Cici akan memaklumi diriku secepat ini, sungguh aku tidak tahu cara
bagaimana harus berterima kasih padamu."
"Kau telah menyelamatkan diriku, akulah yang harus berterima kasih padamu," kata Kimyan-
cu. Gin-hoa-nio menunduk, mendadak ia berkata pula: "Ada sesuatu pikiranku, entah mesti
kukatakan atau tidak?"
"Mengapa tidak kau katakan saja?"
"Aku hidup sengsara sendirian, entah, ... entah Cici sudi menerima diriku sebagai adik atau
tidak?" ucap Gin-hoa-nio dengan rawan.
Kim-yan-cu melengak, serunya; "Kita.. kan baru saja kenal?"
Belum habis ucapannya, bercucuranlah air mata Gin-hoa-nio, katanya: "Kakak kandungku
saja tidak sudi mengakui diriku, orang lain lebih lagi, ai, sungguh aku ini terlalu bodoh, aku. .
.aku ...." sampai di sini, menangislah dia dengan sedihnya.
Tanpa terasa Kim-yan-cu merangkulnya, ucapnya dengan suara lembut: "O, adik yang baik,
siapa bilang aku tidak sudi mengakui kau sebagai adik" Cuma. . . . cuma kau harus
memberitahukan lebih dulu siapa namamu?"
"Ai, aku ini memang pikun.,." seru Gin hoa-nio dengan tertawa cerah. "Cici yang baik,
terimalah hormat adikmu, Hoa Gin hong"
Habis berkata ia benar-benar memberi sembah hormat kepada Kim yan cu.
Cepat Kim yan cu membangunkannya, katanya dengan tertawa: "Aku Kim yan cu (walet
emas) dan kau Gin hong hong (burung Hong perak), tampaknya kita menjadi seperti kakak
adik sekandung."
255 Padahal ia sendiri juga sebatang-kara, tidak punya sanak tidak punya kadang. Sekarang
mendadak mendapatkan seorang adik secantik ini, dengan sendirinya iapun sangat gembira.
Ia tidak tahu bahwa adik perempuannya ini sesungguhnya bukanlah burung Hong segala,
tetapi lebih tepat dikatakan "serigala betina" dan setiap saat dia bisa dicaploknya bulat-bulat.
Lantas untuk apakah sesungguhnya Gin hoa nio memikat Kim yan cu" mengapa dia sengaja
mengangkat saudara dengan Kim yan cu" apa maksud tujuannya"
Semua pertanyaan ini, kecuali Gin hoa nio sendiri mungkin tiada seorangpun yang dapat
menjawab. ***** Gin hoa nio lantas mondar-mandir longak-longok di dalam ruangan ini, tampaknya sangat
gembira, sama sekali ia tidak tanya cara bagaimana Kim yan cu datang ke sini dan siapa yang
menutuknya. Sebaliknya Kim yan cu sendiri tidak tahan, ia buka suara lebih dulu: "Meski benda mestika
berada di sini tidaklah sedikit, tapi harta pusaka Siau hun niocu yang sebenarnya justru
tersimpan di dalam sana."
"Oooh di dalam sana masih ada kamar lain" " tanya Gin hoa nio dengan mata terbelalak.
Padahal sejak tadi dia sudah memperhitungkan di dalam sana pasti masih ada ruangan lain,
kalau tidak, kemana perginya orang yang menutuk hiat-to Kim yan cu itu"
Dengan suara tertahan Kim yan cu lantas berkat: "Boleh kau ikut padaku, tapi harus hati-hati,
tak perduli bertemu dengan siapa dan mengalami kejadian apa, hendaklah kau jangan
bersuara, dapatkah kau turut kepada perkataanku?"
"Kalau adik tidak turut kepada perkataan kakak, habis mesti turut perkataan siapa?" jawab
Gin hoa nio dengan tertawa.
Kim yan cu tertawa, di panggulnya lagi tutup peti besi itu, dia mulai menyembah lagi.
Maklum ia merasa tidak mempunyai akal kecuali mengulangi resep semula.
Gin-hoa-nio hanya memandangi saja dengan diam, meski dalam hati merasa heran, tapi dia
tidak banyak omong. Dalam keadaan bagaimana harus bicara dan dalam keadaan bagaimana
kudu diam, baginya jauh lebih paham daripada orang lain.
Benar juga, kasuran batu itu meluncur masuk lagi ke balik dinding sana, sampai Gin-hoa-nio
juga terkejut menyaksikan kejadian tak terduga itu. Didengarnya Kim-yan-cu lagi menjerit
kaget berada di dalam sana.
Kiranya Ji Pwe-giok dan Lim Tay-ih sudah menghilang.
Pada detik sebelum dinding itu merapat kembali, secepat kilat Gin-hoa-nio ikut menyelinap
masuk ke sana, melihat harta pusaka yang berserakan di situ, kejut dan girang pula Gin-hoaRenjana
Pendekar > Karya Khulung > Diceritakan oleh : GAN KL > buyankaba.com 256
nio. Sebaliknya Kim-yan-cu berdiri ter-mangu2 dan ber-ulang2 bergumam, "Kemana
perginya mereka" Mengapa bisa menghilang?"
"Siapa yang hilang?" tanya Gin-hoa-nio.
Kim-yan-cu tidak menjawabnya, ia mengitari peti mati raksasa itu, mendadak dilihatnya lantai
di belakang peti itu bertambah sebuah lubang, dua botol obat di dalam almari batu juga
tertindih hancur lagi.
Meski dia tergolong anak perempuan yang polos dan masih ke-kanak2an, tidak paham liku2
dan kelicikan orang hidup, tapi hal ini ia tidak berarti dia orang bodoh. Setelah berpikir
sejenak, segera ia dapat menerka apa yang telah terjadi, yakni tentunya Ji Pwe-giok berhasil
menangkap Lim Tay-ih, keduanya terus bergumul dan Lim Tay-ih menindih pecah lagi dua
botol obat sehingga dia sendiri juga sempat menghisap obat perangsang cinta itu, lantaran
itulah dia tidak meronta dan tidak melawan lagi kehendak Ji Pwe-giok. Tapi ketika kedua
orang itu bergumul, tanpa sengaja telah menyentuh tombol pesawat rahasia sehingga timbul
sebuah lubang di bawah tanah, dalam keadaan pikiran me-layang2, tanpa sadar kedua orang
lantas terjeblos ke bawah.
Lubang di bawah tanah itu ternyata gelap gulita, entah berapa dalamnya dan entah tempat apa
di bawah sana. Kim-yan-cu menjadi kuatir dan gelisah, mendadak ia berkata, "Kau tunggu di sini, biar ku
turun ke bawah untuk melihatnya."
Gin-hoa-nio melirik sekejap botol obat dan kitab yang berada di dalam almari batu itu, lalu
berkata, "Hendaklah kau hati2, dengan susah payah aku mendapatkan seorang Cici, jangan
sampai..."
"Jangan kuatir," potong Kim-yan-cu, "Cici takkan mati."
Ia mencoba merangkak ke dalam lubang, diketahuinya lubang ini tidak lurus ke bawah
melainkan miring seperti tangga luncur. Tanpa pikir ia terus pejamkan mata dan membiarkan
tubuhnya meluncur ke bawah.
Ternyata di bawah lubang inilah benar2 'istana bahagia' yang dimaksudkan dalam pesan Siauhun-
kiongcu itu. Inilah sebuah gua batu yang luas, tampaknya gua alam dan tidak mengalami perubahan oleh
tangan manusia. Mutiara dan batu permata berserakan dan memancarkan cahaya sehingga
kelihatan dinding batu yang berbentuk aneh melebihi ukiran.
Di pojok sana ada sebuah tempat tidur yang indah dan di samping tempat tidur ada sebuah
meja kecil yang berbentuk aneh dan di atas meja ada sebuah piala emas dan bokor kemala.
Tempat dimana Kim-yan-cu jatuh itu adalah sebuah kolam yang besar, cuma sekarang kolam
itu kering tanpa air sehingga kelihatan berbagai ukiran di tepi kolam, ukiran yang
menggambarkan adegan main cinta yang merangsang.
257 Kini di gua ini sunyi senyap, tapi dapat dibayangkan dahulu tempat ini pasti selalu dalam
suasana gembira ria. Kini meski di tempat tidur itu tiada terdapat seorang pun, tapi dapat
diduga dahulu selalu berbaring sepasang muda-mudi yang gagah dan cantik. Isi bokor itu
pasti santapan yang paling lezat di dunia ini dan isi piala emas itu pasti juga arak yang paling
sedap. Seorang kalau meluncur dari atas ke bawah dan terperosot ke kolam mandi itu serta melihat
"pemandangan indah" di sekitarnya, bukankah sama halnya terjatuh ke surga yang hangat dan
bahagia. Akan tetapi disinipun Kim-yan-cu tetap tidak melihat Ji Pwe-giok dan Lim Tay-ih.
Ia coba mengitari ruangan gua ini, akhirnya ditemukan di balik batu dinding yang menonjol
sana samar2 seperti ada cahaya yang menembus masuk dari luar. Kiranya di sinilah jalan
keluarnya. Jelas Ji Pwe-giok dan Lim Tay-ih telah pergi.
Padahal Ji Pwe-giok sendiri yang menutuknya dan jelas dia masih terkurung di ruangan sana,
tapi sekarang pemuda itu tinggal pergi begitu saja tanpa menghiraukan dia. Seketika Kimyan-
cu berdiri terkesima dengan air mata bercucuran.
"Cici, kau baik2 bukan?" terdengar Gin-hoa-nio berseru di atas.
Dengan menahan kesedihannya, Kim-yan-cu berseru, "Semuanya baik2, boleh kau turun saja
kemari!" Dia mengusap air matanya, ia bertekad melupakan apa yang terjadi di sini, apa yang
dialaminya ini biarkan seperti mimpi buruk saja dan takkan dipikir lagi, iapun tidak ingin
memikirkan Ji Pwe-giok pula.
Cuma sama sekali tak terpikir olehnya bahwa Lim Tay-ih pasti membenci Ji Pwe-giok sampai
merasuk tulang, mana bisa nona itu pergi bersama Ji Pwe-giok, cinta dan benci di antara
mereka yang sukar dijernihkan itu mana bisa terselesaikan semudah itu"
***** Di luar gua sang surya yang baru terbit sedang memancarkan cahayanya yang gemilang,
bunga hutan yang tak diketahui namanya sedang mekar mewangi diembus oleh silir angin
pagi. Gin-hoa-nio lagi sibuk mengusungi harta karun di dalam gua itu, satu peti demi satu peti
diangkutnya keluar.
Kim-yan-cu menghela nafas rawan, katanya, "Lihatlah butiran embun di kelopak bunga itu,
mana ada mutiara di dunia ini yang lebih indah dari-padanya?"
"Tapi mutiara dapat membuat hidup manusia merasa bahagia dan mendatangkan hormat dan
tunduknya orang lain, sedangkan butiran embun mana ada daya tarik sebesar itu?" ujar Ginhoa-
nio. 258 Kim-yan-cu menatap jauh ke langit, memandangi gumpalan awan, katanya pula, "Tapi kau
pun jangan lupa, di dunia inipun ada barang yang tak dapat ditukar dengan mutiara."
Gin-hoa-nio tertawa, katanya, "Cici, jangan2 engkau menanggung sesuatu kedukaan?"
Kim-yan-cu menghela nafas dan tidak bicara lagi.
"Cici, kau tunggu sebentar di sini, segera ku balik lagi," seru Gin-hoa-nio sambil berlari pergi.
Kim-yan-cu benar2 menunggunya dengan melamun di situ. Tidak sampai satu jam, Gin-hoanio
kelihatan kembali dengan membawa tiga buah kereta sewaan ditambah dua ekor kuda.
Ketiga sais kereta itu melotot heran membantu Gin-hoa-nio mengusung semua peti2 itu ke
atas kereta, tapi tiada satupun yang berani tanya. Asalkan lelaki, tentu Gin-hoa-nio punya akal
untuk membuatnya menurut.
Sebuah sungai mengalir ke bawah melingkari lereng bukit.
Kim-yan-cu menunggang kuda mengikuti laju kereta menyusur jalan di tepi sungai. Tidak
jauh tiba2 dilihatnya di permukaan sungai ada sepotong kain putih yang tersangkut di batu,
masih kelihatan bekas darahnya ketika Kim-yan-cu mengangkat kain itu dengan sepotong
kayu. Jelas itulah kain pembalut kepala Ji Pwe-giok.
Nyata anak muda itu pernah berhenti di tepi sungai ini untuk membuka kain pembalut dan
mencuci muka. Bisa jadi iapun bercermin pada air sungai untuk melihat wajah sendiri. Setelah
mengetahui muka sendiri yang sudah rusak itu, entah bagaimana perasaannya"
Lalu dimanakah saat itu Lim Tay-ih" Apakah dia hanya memandanginya di samping" Apakah
dia tidak benci lagi kepada anak muda itu dan telah mengakui dia adalah bakal suaminya"
Apakah Ji Pwe-giok ini sama orangnya dengan Ji Pwe-giok yang sudah mati itu"
Tapi Ji Pwe-giok yang itu bukankah jelas2 sudah mati" Banyak orang yang menyaksikan
jenazahnya, masa bisa palsu"
Dengan gemas Kim-yan-cu membuang kain putih itu dan melompat lagi ke atas kudanya,
diam2 ia menggerutu, "Aku sudah bertekad tidak mau memikirkannya lagi, kenapa sekarang
kupikirkan dia pula?"
Gin-hoa-nio seperti tidak melihat apapun, iapun tidak tanya Kim-yan-cu. Sebaliknya Kimyan-
cu juga tidak tanya dia kemana iringan kereta ini akan menuju"
Yang pasti iringan kereta itu dilarikan ke arah barat daya, agaknya menuju ke provinsi
Sujwan. Banyak juga kawan orang Kangouw di sepanjang jalan ini, ada yang dari jauh sudah melihat
pakaian Kim-yan-cu yang kuning keemasan dan gemilapan, lalu cepat2 menghindar dengan
membelok ke jalan lain, kalau kepergok paling2 juga cuma menyapa dari jauh. Seharian
sedikitnya ada 40 orang yang kenal Kim-yan-cu, tapi tiada seorangpun yang berani mendekat
untuk mengajaknya bicara.
259 Terkadang Kim-yan-cu ingin bertanya kepada mereka apakah melihat seorang pemuda yang
mukanya terluka bersama seorang anak perempuan cantik. Tapi niat itu selalu urung
dikemukakan. Dengan tertawa Gin-hoa-nio berkata, "Menempuh perjalanan bersama Cici sungguh sangat
senang, siapapun tak berani mengganggu kita. Coba kalau dua anak perempuan biasa
menempuh perjalanan sejauh ini bersama tiga buah kereta besar, mustahil kalau di tengah
jalan tidak banyak mendapat rintangan."
Belum habis ucapannya, tiba2 dari belakang seorang penunggang kuda memburu datang
dengan cepat. Penunggang kudanya tampak berwajah cakap dan gagah dengan baju perlente,
sebilah golok pendek dengan gagang golok penuh berhias mutiara terselip di tali
pinggangnya. Ternyata Sin to Kongcu adanya.
Hanya memandangnya sekejap Kim-yan-cu lantas melengos ke arah lain seperti tidak kenal
saja. Sebaliknya Sin-to Kongcu tampak sangat senang melihat si nona, segera ia berucap
setengah mengomel, "Adik Yan, mengapa kau pergi tanpa pamit, susah payah kucari dirimu."
"Siapa suruh kau cari diriku?" jawab Kim-yan-cu dengan muka bersungut.
Sin-to Kongcu melengak, katanya dengan tergagap. "Habis cari... cari siapa kalau aku tidak
mencari kau?"
"Peduli siapa yang akan kau cari," jengek Kim-yan-cu. "Setiap orang di dunia ini boleh kau
cari, kenapa kau mencari diriku?" "Plak", ia tepuk perut kudanya dan dilarikan jauh ke depan.
Sama sekali Sin-to Kongcu tidak menyangka sikap Kim-yan-cu padanya akan berubah 180
derajad, semula ia kegirangan setengah mati karena dapat menemukan kembali si nona, siapa
tahu kepalanya seperti diguyur air dingin, seketika ia menjadi melenggong.
Gin-hoa-nio mengerling genit dan mendekati Sin-to Kongcu, desisnya, "Hati Ciciku selama
dua hari ini lagi kesal, ada urusan apa boleh kau bicarakan nanti saja."
"Cicimu?" Sin-to Kongcu menegas dengan terbelalak.
"Memangnya kenapa" Kau tidak suka mempunyai adik perempuan seperti diriku?" ucap Ginhoa-
nio dengan tertawa.
Baru sekarang Sin-to Kongcu memandangnya lebih seksama dan melihat jelas senyum
genitnya yang menggiurkan, melihat kerlingan matanya yang membetot sukma. Mendadak ia


Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terkesima dan tidak dapat bicara lagi.
Perlahan Gin-hoa-nio mencubit pinggang Sin-to Kongcu, katanya dengan tertawa genit, "Jika
kau ingin menjadi Cihuku (kakak iparku), maka perlu kau menyanjung diriku dan turut
kepada perkataanku." Habis berkata ia terus membedal kudanya ke depan, mendadak ia
menoleh dan memicingkan matanya dan berseru: "Hayolah, mengapa tidak kau ikut kemari?"
Benar Sin to Kongcu lantas ikut ke sana dengan sangat penurut, rasa gusarnya tadi seketika
lenyap tanpa bekas.
260 Menjelang lohor sampailah mereka di Gak keh tin, suatu kota kecil, di sini mereka istirahat
dan makan siang.
Gin hoa nio memesan santapan dan arah, ditariknya Kim yan cu dan Sin to kongcu agar
berduduk bersama, diam-diam ia bisik-bisik ke sini dan kasak-kusuk kesana sambil tertawa
cekakak-cekikik.
Sin to kongcu yang pecinta itu seakan-akan melupakan Kim yan cu, kalau Gin hoa nio tertawa
iapun ikut tertawa, bila Gin hoa nio mengerling, sayuran yang disumpitnya hampir kesasar
masuk hidungnya.
Mendadak Gin hoa nio mencabut golok pendek di pinggang Sin to Kongcu, katanya dengan
tertawa: "Wah, memang engkau tidak malu bernama Sin to Kongcu, golokmu memang golok
pusaka." Sin to Kongcu menjadi senang, serunya dengan tertawa: "Kau tahu, berapa banyak golok dan
pedang kaum ahli kangouw yang patah oleh golok pusakaku ini?"
Seperti tidak sengaja Gin hoa nio memegang tangan Sin to Kongcu, ucapnya dengan lagak
manja: "Ai, kenapa tidak lekas kau katakan, ada berapa banyak seluruhnya?"
Gin hoa nio menatapnya lekat-lekat seperti tidak kepalang kagumnya dan sangat memujanya,
genggamannya tambah erat seolah-olah tidak mau melepaskannya, katanya dengan tersenyum
menggiurkan: "Didampingi orang seperti kau, sungguh apapun tidak perlu kutakuti lagi."
Jantung Sin to Kongcu berdetak keras seakan-akan melompat keluar dari rongga dadanya,
sungguh ia menjadi bingung dan entah apa pula yang harus diucapkannya.
Meski Kim yan cu tidak mengacuhkan Sin to Kongcu, tapi melihat sikapnya yang linglung
dan lupa daratan itu, seketika ia naik darah. Maklumlah di dunia ini tiada anak perempuan
yang tidak cemburu bila melihat pemuda yang pernah tergila-gila padanya mendadak
menaruh perhatian kepada anak perempuan lain.
Soal dia sendiri suka atau tidak terhadap anak muda ini adalah urusan lain, tapi dia tidak tahan
bila lelaki ini membuat malu padanya. Akhirnya Kim-yan-cu berbangkit dan tinggal pergi
dengan gemas. Mau tak mau Sin-to kongcu merasakan gelagat tidak baik, cepat ia meng-ada2, katanya
dengan tertawa, "eh, apakah kau masih ingat kepada Ji Pwe-giok itu ?"
Nama "Ji Pwe Giok" seolah-olah sebuah kaitan yang dapat seketika menyantol kaki Kim-yancu
dan membuatnya sukar melangkah lagi. Dia berhenti di ambang pintu, setelah detak
jantungnya agak mereda barulah dia berkata dengan dingin, "Bukankah Ji Pwe-giok itu sudah
mati ?" "Sudah mati satu, sekarang muncul satu lagi!" kata Sin-to Kongcu.
Gemetar Kim-yan-cu, ia pegang cagak pintu dan sedapatnya berlagak tak acuh, namun
betapapun air mukanya sukar menutupi perasaannya. Ia pun tidak berani berpaling, iapun
261 tidak melihat betapa lebih hebat perubahan air muka Gin-hoa-nio ketika mendengar nama Ji
Pwe-giok. Kim-yan-cu tidak bersuara, tapi Gin-hoa-nio lantas berteriak, "Jadi kau kenal kedua Ji Pwe
Giok itu ?"
"Kedua orang ini memang seluruhnya pernah kulihat, Hmmm, masa kukenal orang macam
begitu ?" jengek Sin-to Kongcu.
Gin-hoa-nio mengerling genit, ucapnya dengan tertawa, "Konon Ji Pwe-giok yang mati itu
adalah putera Bu-lim-bengcu sekarang, bukan saja mukanya tampan, perangainya juga halus,
entah Ji Pwe-giok yang hidup ini apakah bisa menandingi dia"!"
Muka Sin-to Kongcu menjadi merah padam saking genasnya, jengeknya "Hmm, kalau bicara
tentang rupa, memang tampang Ji Pwe-giok yang sudah mati itu tidak secakap yang masih
hidup ini. Tapi soal kehalusan perangai, kukira keduanya tidak banyak berbeda."
Dia sengaja merendahkan Ji Pwe-giok yang sudah mati itu seolah-olah tidak laku sepeserpun.
Ia tidak tahu bahwa saat ini hati Kim-yan-cu seluruhnya sudah beralih kepada Ji Pwe-giok
yang hidup ini, lebih-lebih mimpipun tak terpikir olehnya bahwa kedua Ji Pwe-giok itu
sebenarnya adalah satu orang yang sama.
Gin Hoa-nio tertawa terkikik-kikik, katanya, "O, apakah Ji Pwe-giok yang ini juga pemuda
tampan ?" Sin-to Kongcu melototi bayangan punggung Kim-yan-cu dan berteriak, "Ji Pwe-giok yang ini
memang tidak perlu malu diberi julukan pemuda tampan. meski entah oleh siapa mukanya
telah disayat, tapi toh masih tetap jauh lebih cakap daripada yang sudah mati itu."
Ucapan Sin-to kongcu ini sebenarnya dimaksudkan untuk membikin dongkol Kim-yan-cu, tak
tersangka Gin-hoa-nio yang menjadi gregetan, saking khekinya sampai ia tidak dapat bersuara
dan tidak dapat tertawa pula.
Diam-diam Kim-yan-cu terkesiap dan juga senang, gumamnya: "Kiranya Ji Pwe-giok yang ini
bukan orang yang sama dengan Ji Pwe-giok yang itu, iapun bukan bakal suami Lim Tay-ih,
kiranya luka di mukanya tidak parah dan tidak menjadi buruk rupa."
Sin-to Kongcu sangat mendongkol, teriaknya: "Kau bilang apa?"
Dengan tak acuh Kim-yan-cu menjawab: "Sebenarnya ada beberapa persoalan yang sukar
kupahami, terima kasih atas keteranganmu."
"Aku...aku tidak paham maksudmu!?" kata Sin-to Kongcu.
"Lebih baik kau tidak paham," ujar Kim-yan-cu.
"Eh, dimana kau melihat dia" sungguh kamipun ingin menemuinya," tiba-tiba Gin-hoa-nio
bertanya dengan tertawa.
262 Sin-to kongcu menarik napas, jawabnya: "Kemarin malam kulihat dia satu kali, waktu itu aku
tidak tahu iapun bernama Ji Pwe-giok, aku tidak memperhatikan dia, tapi kukenal anak
perempuan yang bersama dia itu."
Mata Gin-hoa-nio terbelalak, ia menegas: "Hanya seorang anak perempuan yang bersama
dia?" "Memangnya satu tidak cukup?" jengek Sin-to Kongcu.
"Budak hina, sampai kakak sendiri juga disingkirkan dan mengangkanginya sendiri," ucap
Gin-hoa-nio dengan gemas. Sudah tentu menurut keyakinannya anak perempuan yang
mendampingi Ji Pwe-giok itu pasti Thi-hoa-nio adanya.
Tak terduga Sin-to Kongcu lantas berkata pula dengan tertawa: "Sungguh lucu kalau
kuceritakan, perempuan itu sebenarnya adalah bakal isteri Ji Pwe-giok yang sudah mati itu,
setelah Ji Pwe-giok mati, baru sebentar saja ia sudah kecantol oleh Ji Pwe-giok yang baru
ini..." "Siapakah perempuan yang kau maksudkan itu?" sela Gin-hoa-nio dengan melengak.
"Dengan sendirinya puteri Leng-hoa kiam yang bernama Lim Tay-ih itu, memangnya kau kira
siapa?" jawab Sin-to Kongcu.
Mendadak Gin-hoa-nio bergelak tertawa, serunya: "Ha..ha..ha..., bagus, bagus! Kiranya dia
telah berganti pacar dan juga she Lim. Wah, agaknya orang ini memang seorang maha
pecinta, di mana-mana ada pacar!"
Teringat Thi-hoa-nio juga telah didepak oleh Ji Pwe-giok, gembira sekali tertawanya.
Jilid 11________
Sudah tentu Sin-to Kongcu tidak tahu sebab apa Gin-hoa-nio bergembira dan merasa geli,
yang dirasakan cuma gaya tertawa Gin-hoa-nio yang menggiurkan itu, ia memandangnya
dengan kesima, sampai sekian lamanya barulah ia berkata pula:
"Waktu itu, demi melihat Lim Tay-ih tidak berkabung, sebaliknya malah sudah bergaul
dengan lelaki lain, sungguh hatiku sangat gemas. Kupikir perempuan ini ternyata seorang
munafik, lahirnya kelihatan dingin dan kereng, se-olah2 puteri suci yang tak boleh diganggu,
nyatanya cuma seorang perempuan yang tidak teguh imannya dan berharga murah."
Gin-hoa-nio tertawa ter-kikik2, katanya kemudian, "Berada bersama seorang lelaki kan tidak
berarti perempuan itu suka jual murah. Saat ini bukankah akupun berada bersamamu?"
Hampir semaput Sin-to Kongcu oleh lirikan Gin-hoa-nio yang memikat itu, segera ia
bermaksud lagi meraba tangannya, ucapnya dengan menyengir, "Sudah tentu aku dan kau
bukan?" "Kemudian bagaimana?" mendadak Kim-yan-cu berteriak. "Mengapa tidak kau sambung?"
263 Sin-to Kongcu berdehem perlahan dan menegakkan tubuhnya, tuturnya, "Kemudian kami
mondok di suatu hotel, kulihat mereka tinggal bersama di satu kamar."
"Hm, jadi kau selalu membuntuti mereka?" jengek Kim-yan-cu.
"Apa maksudmu selalu membuntuti orang?" tanya Gin-hoa-nio dengan ter-kekeh2.
"Barangkali kau ingin mengintip... mengintip... atau kau sendiri juga ingin ambil bagian?"
Muka Sin-to menjadi merah, serunya, "Masa aku ini orang macam begitu" Soalnya di sana
hanya ada sebuah hotel, terpaksa akupun masuk hotel itu supaya tidak tidur di jalanan."
Gin-hoa-nio tertawa, katanya, "Jangan kau marah. Padahal lelaki mana yang tidak mata
keranjang. Bilamana lelaki melihat seorang perempuan yang jual murah, kalau dia tidak ikut
mencicipi, maka akan dirasakan rugi besar. Kukira lelaki umumnya sama saja, siapa tahu
kau... kau ternyata lain daripada lelaki lain."
Andaikata Sin-to Kongcu memang rada dongkol, setelah mendengar kata2 ini, lenyap juga
rasa marahnya. Biji mata Gin-hoa-nio berputar, dengan tertawa genit ia berkata pula, "Eh, tapi pada
malamnya kau mengintip juga bukan?"
Cepat Sin-to Kongcu menjawab, "Hah, masa ku intip orang macam begitu" Soalnya kamarku
berada di sebelah mereka, sampai tengah malam kudengar mereka ribut mulut di kamarnya."
Baru sekarang Kim-yan-cu tidak tahan dan bertanya, "Sebab apa mereka bertengkar?"
"Waktu kulihat mereka tampaknya Lim Tay-ih sedang sakit, sampai berjalan saja tidak kuat,"
tutur Sin-to Kongcu. "Ji Pwe-giok itu memayangnya dengan penuh kasih mesra, jika aku jadi
dia tentu kikuk dilihat orang banyak. Bila aku tidak tahu seluk beluk mereka, mungkin akan
menyangka mereka itu suami isteri. Ketika kudengar suara pertengkaran mereka, aku menjadi
terheran-heran."
"Hihi... makanya kau tidak tahan dan ingin melihatnya," tukas Gin-hoa-nio dengan tertawa
ngikik. "Tapi aku tidak mengintip," ujar Sin-to Kongcu. "Baru saja ku keluar kamar dan sampai di
halaman, mendadak Lim Tay-ih itu membuka pintu dan menerjang keluar dengan pedang
terhunus."
"Wah, aneh juga nona Lim itu," ujar Gin-hoa-nio dengan tertawa. "Baru sembuh sakitnya
lantas mau membunuh orang. Apakah Ji-kongcu yang telah merawatnya itu dianggap salah?"
"Menurut pengamatanku, tentu Ji Pwe-giok itu telah menggagahi orang pada waktu orang
sedang sakit, makanya begitu menerjang keluar segera Lim Tay-ih itu berteriak, "Hayo
keluar, Ji Pwe-giok, hari ini kalau bukan kau yang mampus, biarlah aku yang mati!" Pada saat
itulah baru ku tahu bocah itu bernama Ji Pwe-giok."
Gin-hoa-nio melirik Kim-yan-cu sekejap, katanya dengan tertawa, "Jika demikian, Lim Tayih
itu se-olah2 benar-benar telah dimakan oleh Ji Pwe-giok itu, makanya dia menjadi dendam
264 dan ingin mengadu jiwa dengan dia. Bagaimana Cici, menurut kau apakah memang begitu
kepribadian Ji-kongcu?"
Sudah tentu Kim-yan-cu tahu apa alasan Lim Tay-ih ingin membunuh Ji Pwe-giok, tapi hal
ini mana boleh diceritakan nya kepada orang lain. Bila teringat kepada apa yang terjadi di
tempat Siau-hun-kongcu itu, Kim-yan-cu sendiri merasakan pahit, getir, manis dan kecut
bercampur aduk dan sukar menyatakan bagaimana rasanya.
Terpaksa ia menjawab dengan dingin, "Dengarkan saja ceritanya, kenapa kau tanya padaku?"
Gin-hoa-nio melelet lidah dan tidak bersuara pula.
Sin-to Kongcu lantas menyambung ceritanya, "Mungkin Ji Pwe-giok itu merasa malu, dia
sembunyi di dalam kamar dan tak berani keluar. Sampai lama Lim Tay-ih mencaci maki di
luar, mendadak ia menerjang masuk lagi ke kamar."
"Masa Ji Pwe-giok belum lagi pergi?" tanya Kim-yan-cu.
"Ji Pwe-giok seolah-olah terkesima, ia duduk di kursinya dengan termangu-mangu," tutur Sinto
Kongcu. "Sementara itu tamu hotel menjadi kaget dan be-ramai-ramai merubung datang
untuk menonton, ada yang menyangka suami isteri sedang bertengkar dan ingin melerai, tapi
baru masuk segera orang itu di depak keluar oleh Lim Tay-ih, keruan yang lain-lain menjadi
ketakutan dan tidak berani mendekat."
"Galak benar nona Lim itu," ujar Gin-hoa-nio dengan tertawa.
"Setelah menerjang ke dalam kamar, Ji Pwe-giok didamperatnya habis-habisan," tutur Sin-to
Kongcu lebih lanjut. "Hakikatnya Ji Pwe-giok dimaki se-olah2 manusia yang paling tidak
kenal malu di dunia ini. Tapi Ji Pwe-giok masih tetap duduk mematung dan tidak
menanggapi."
"Kata peribahasa, bertepuk sebelah tangan takkan berbunyi, kalau orang tidak menjawabnya,
betapapun galaknya nona Lim itu terpaksa tak dapat berbuat apa-apa lagi," ujar Gin-hoa-nio.
"Ya, tadinya akupun anggap begitu," kata Sin-to Kongcu. "Siapa tahu Lim Tay-ih itu seperti
sudah gila, mendadak pedangnya menusuk..."
"Dan dia tidak membalas?" betapapun Kim-yan-cu menjadi kuatir dan bertanya.
Sin-to Kongcu melototinya sekejap, lalu menjawab dengan perlahan, "Bukan saja dia tidak
membalas, bahkan berkelit saja tidak. Ketika pedang Lim Tay-ih mengenai badannya,
hakekatnya dia tidak bergerak sama sekali."
"Parah tidak lukanya?" tanya Kim-yan-cu.
"Tampaknya Lim Tay-ih tidak ingin sekali tusuk membinasakan dia," jawab Sin-to Kongcu
dengan dingin, "sebab itulah tusukannya itu diarahkan ke bahunya, tusukan yang kedua juga
cuma melukai dadanya..."
"Dia tega menusuk lagi"!" seru Kim-yan-cu.
265 "Tidak cuma menusuk lagi, bahkan sembari memaki dan menangis, pedangnya juga tidak
pernah berhenti," jengek Sin-to Kongcu.
Hampir menangis Kim-yan-cu, katanya dengan tersendat, "Masa tidak ada orang yang
mencegahnya?"
"Tadi kan sudah ada yang di depak keluar, siapa lagi yang berani melerainya?" ujar Sin-to
Kongcu. "Dan kau" Kenapa tidak kau cegah dia" Apakah kaupun takut kepada ilmu silatnya?" tanya
Kim-yan-cu. Sin-to Kongcu menunduk, katanya, "Sebenarnya akupun ingin menariknya, tapi begitu
mendengar orang itupun bernama Ji Pwe-giok, entah mengapa, aku menjadi... menjadi marah
bila mendengar nama Ji Pwe-giok."
"Jadi... jadi kau saksikan dia dibunuh orang di depanmu?" tanya Kim-yan-cu pula dengan
suara gemetar. "O, kaupun kenal dia?" tanya Sin-to Kongcu dengan terbelalak. "Mengapa begini besar
perhatianmu kepadanya?"
"Kukenal dia atau tidak, kuperhatikan dia atau tidak, semua ini ada sangkut paut apa
denganmu?" teriak Kim-yan-cu.
Mata Sin-to Kongcu menjadi merah, ia angkat cawan arak, tapi tangannya terasa gemetar
hingga arak berceceran membasahi bajunya. "Tapi Ji Pwe-giok itu apakah betul telah dibunuh
oleh Lim Tay-ih?" timbrung Gin-hoa-nio dengan tertawa genit.
"Sudah tentu, masakah perlu dijelaskan lagi," kata Sin-to Kongcu dengan dingin sambil tetap
menatap Kim-yan-cu.
Se-konyong2 Kim-yan-cu berbangkit, teriaknya dengan parau, "Dan kau... kau ti..."
Sin-to Kongcu juga berdiri dan meraung, "Ji Pwe-giok sendiri tidak menghiraukan dirinya
diserang, jelas ia sendiri rela mati di tangan Lim Tay-ih. Kalau dia sendiri sukarela, mengapa
aku mesti ikut campur urusannya"!"
Dengan sinar mata buram Kim-yan-cu menatap Sin-to Kongcu, selangkah demi selangkah ia
menyurut mundur ke pintu, akhirnya air mata menetes, mendadak ia membalik tubuh terus
berlari pergi dengan mendekap mukanya.
Lama juga Gin-hoa-nio melenggong, lalu ia tertawa ter-kekeh2, katanya, "Hehe, akhirnya Ji
Pwe-giok mati juga, bahkan mati di tangan orang perempuan... jika Losam (si ketiga,
maksudnya Thi-hoa-nio) mendengar berita ini, kuyakin air mukanya pasti sangat lucu."
Waktu ia berpaling, dilihatnya Sin-to Kongcu berdiri kaku seperti patung, air mukanya
sebentar hijau sebentar putih, mendadak "prak", cawan arak yang dipegangnya telah hancur
diremasnya. 266 ***** Kim-yan-cu berlari kembali ke kamarnya dan menjatuhkan diri di ranjang, kepala ditutupnya
dengan selimut lalu menangis ter-gerung2. Ia sendiripun tidak menduga dirinya bisa begini
berduka. Entah sudah berapa lama ia menangis, ia merasa sebuah tangan meraba bahunya dengan
perlahan, ia membuka selimut, dilihatnya Gin-hoa-nio berduduk di tepi ranjang dan lagi
berkata dengan suara lembut, "Orang mati tak dapat hidup kembali, untuk apa Toaci
sedemikian berduka?"
Melihat dia Kim-yan-cu merasa seperti bertemu dengan orang yang paling karib di dunia ini,
ia menubruk ke pangkuan Gin-hoa-nio dan menangis lagi sekian lamanya, habis itu barulah ia
berkata dengan tersendat, "Akupun tidak tahu mengapa aku begini berduka, padahal aku cuma
berada bersama dia satu hari saja, bahkan bagaimana bentuknya sesungguhnya akupun tidak
jelas." "Hah" Kau hanya berkumpul satu hari dengan dia" Hanya satu hari?" Gin-hoa-nio menegas
dengan tercengang.
"Ya, meski cuma satu hari, tapi apa yang terjadi selama sehari itu sudah cukup kukenangkan
untuk selama hidup," kata Kim-yan-cu.
Gemerdep sinar mata Gin-hoa-nio, tanyanya pula dengan perlahan, "Dia sangat baik
padamu"!"
"Ya".
"Tapi Sin-to Kongcu itu kan juga sangat baik padamu?"
"Itu tidak sama," ujar Kim-yan-cu. "Dia baik padaku lantaran ia ingin memiliki diriku, tapi
Ji... Ji Kongcu itu, dia selalu memikirkan kepentinganku, bahkan tidak sayang mengorbankan
dirinya sendiri demi diriku."
"Kukira dia bukan manusia sebaik itu..."
"Kau tahu," mendadak Kim-yan-cu mengangkat kepalanya dan berkata dengan suara agak


Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gemetar, "Sebenarnya dia dapat mendapatkan segalanya dari diriku, aku... aku sudah rela
menyerahkan segalanya kepadanya, tapi dia... dia tidak mau membikin susah padaku..."
Tergetar tubuh Gin-hoa-nio, serunya, "Jadi dia telah menolak dirimu, bisa jadi lantaran dia
memandang rendah dirimu!"
"Tidak, sama sekali bukan begitu," kata Kim-yan-cu. "Kau tidak tahu..."
"Mengapa aku tidak tahu," jengek Gin-hoa-nio. "Sudah lama ku tahu dia bukan manusia yang
tahu kebajikan, sepantasnya kau benci padanya, mengapa kau malah berduka baginya?"
267 Kim-yan-cu menghela nafas, jawabnya, "Sebenarnya akupun rada benci padanya, tapi
sekarang... sekarang aku dapat memahami maksudnya, rupanya dia kuatir kebahagiaan
hidupku menjadi korban, maka dia lebih suka membikin kubenci padanya dan tidak mau
membikin susah padaku. Tiada lain melulu ini saja selama... selama hidupku takkan
kulupakan dia."
Gin-hoa-nio melengak, tapi dia lantas mendengus pula, "Tapi kalau aku sudah ditolak oleh
seorang lelaki, maka aku akan membencinya selama hidup."
Mendadak pintu berkeriut dan terbuka, dengan kaku Sin-to Kongcu berdiri di depan pintu,
wajahnya kelihatan pucat seperti mayat.
Kim-yan-cu menjadi gusar, dampratnya, "Siapa suruh kau kemari" Keluar, lekas keluar!"
Sin-to Kongcu tetap berdiri kesima di situ, mendadak ia menghela nafas panjang, katanya,
"Janganlah kau berduka, Ji Pwe-giok itu tidaklah mati!"
Tercengang Kim-yan-cu, tanyanya, "Habis tadi mengapa... mengapa kau..."
Sin-to Kongcu menunduk, jawabnya, "Tadi aku sengaja membikin marah padamu, tapi... tapi
sekarang, setelah melihat kau sedemikian berduka, aku... aku tidak sampai hati berdusta lebih
jauh." Kim-yan-cu menatapnya dengan terkesima, seketika ia menjadi tak sanggup bicara.
"Jika tiada orang menolongnya, bisa jadi Lim Tay-ih benar2 akan membunuhnya," tutur Sinto
Kongcu lebih lanjut. "Pada saat itulah mendadak seorang melayang masuk dan
menghadang di depan Lim Tay-ih."
"Siapa dia?" tanya Kim-yan-cu cepat.
"Ang-lian hoa!" jawab Sin-to Kongcu.
"Ji Pwe-giok itupun kenal Ang-lian hoa?" seru Kim-yan-cu.
"Meski Ang-lian hoa telah menyelamatkan dia, tapi Ang-lian hoa juga tidak kenal dia,
tampaknya malahan rada jemu terhadap orang she Ji itu, cuma dia merasa kesalahan orang
tidak perlu dihukum mati, maka dia merintangi Lim Tay-ih."
"Darimana kau tahu?" tanya Kim-yan-cu.
"Tatkala mana sekujur badan Ji Pwe-giok sudah mandi darah, siapapun dapat melihat lukanya
cukup parah, tapi Ang-lian hoa sama sekali tidak memandangnya, sebaliknya malah
membujuk dan menghibur Lim Tay-ih, seolah-olah yang terluka bukanlah Ji Pwe-giok
melainkan Lim Tay-ih. Ji Pwe-giok itupun memandangi mereka dengan termangu-mangu
tanpa bicara."
"Kemudian?" tanya Kim-yan-cu.
268 "Kemudian Ang-lian hoa lantas membawa pergi Lim Tay-ih tanpa memperdulikan orang she
Ji itu," tutur Sin-to Kongcu. "Coba pikir, jika dia sahabat Ji Pwe-giok itu atau dia bersimpatik
padanya, paling tidak ia pasti akan memeriksa lukanya."
Sampai di sini barulah Gin-hoa-nio menghela nafas, katanya, "Jika begitu, untuk apa pula
Ang-lian hoa menolongnya. Ang-lian hoa benar2 tidak malu sebagai seorang yang sok ikut
campur urusan tetek bengek. Tapi tidak lambat tidak cepat, justeru pada saat itulah dia
muncul. Jangan-jangan iapun senantiasa menguntit dan mengawasi gerak-gerik mereka?"
"Tapi baru saja Ang-lian hoa dan Lim Tay-ih berangkat, segera ada seorang perempuan
melayang masuk lagi dan memandangi Ji Pwe-giok dengan tertawa," tutur Sin-to Kongcu
pula. "Perempuan itu lantas berkata: "Sebelumnya memang ku tahu ada orang akan menolong
kau, maka sebegitu jauh aku tidak turun tangan..." Coba pikir, kalau dia tidak menguntit
mereka, mana bisa dia bicara begitu?"
"Hm, tampaknya banyak juga pacar Ji Pwe-giok, yang satu menemani dia tidur di hotel, ada
lagi yang diam2 menunggu kesempatan baik untuk menolongnya," jengek Gin-hoa-nio.
"Tapi demi melihat perempuan itu, Ji Pwe-giok seperti melihat setan saja, tanpa
menghiraukan lukanya yang cukup parah itu, dia melompat bangun terus kabur," tutur Sin-to
Kongcu. "Hebat juga ginkangnya, biarpun dalam keadaan terluka, perempuan itu belum tentu
dapat menyusulnya."
Gin-hoa-nio berkerut kening, tanyanya, "Siapa pula perempuan itu" Bagaimana bentuknya?"
"Perempuan itu berbaju putih mulus, tampaknya juga tergolong perempuan cantik, ilmu
silatnya juga tergolong kelas tinggi, tapi aku tidak tahu di Kangouw ada seorang tokoh
semacam dia, bisa jadi baru saja muncul," tutur Sin-to Kongcu pula dengan wajah pucat dan
agak linglung, orang bertanya diapun menjawab, sampai di sini mendadak ia menatap lagi
Kim-yan-cu, katanya dengan perlahan, "Sekarang apa yang kulihat sudah kuceritakan
seluruhnya, meski di balik urusan ini pasti masih ada hal2 lain yang ter-belit2, tapi aku tidak
tahu lagi, akupun tidak tahu kemana perginya Ji Pwe-giok itu."
Dengan nada yang agak terangsang kemudian dia menyambung pula, "Tapi kelak bila kulihat
dia pasti akan kusuruh dia mencari dirimu, ku tahu isi hatimu, apapun sikapmu terhadapku
tidak menjadi soal, paling tidak aku sendiri tidak... tidak berbuat salah padamu!"
Habis berkata segera ia membalik badan dan melangkah pergi. Padahal biasanya dia se-akan2
lengket terhadap Kim-yan-cu, tapi kepergiannya ini ternyata cukup ikhlas.
"Orang ini meski terkadang terasa menjemukan, tak tersangka cukup keras juga kepalanya,"
ujar Gin-hoa-nio dengan tertawa.
Kim-yan-cu ter-mangu2 sejenak, katanya kemudian dengan menyesal, "Dia memang tidak
bersalah padaku, tapi aku merasa tidak enak padanya."
"Tadi aku cuma berpikir bicara dengan Cici dan tidak menyangka dia akan mencuri dengar di
luar pintu," kata Gin-hoa-nio. "Jika dia tidak mendengar perkataan Cici tadi, tentu dia takkan
pergi seperti sekarang ini."
269 "Sebabnya dia selalu melengket pada diriku adalah karena dia mengira aku pasti jauh lebih
dingin terhadap orang lain daripada sikap dinginku terhadap dia. Sekarang setelah dia tahu
hatiku sudah terisi orang lain, barulah dia ikhlas melepaskan diriku. Dengan demikian akupun
tidak perlu repot lagi menghadapi dia."
"Tapi mengapa Toaci membikin dia putus asa" Jika dia selalu masih berharap akan memiliki
Toaci, tentu dia akan senantiasa mengintil di belakang kita, jika kau suruh dia ke timur, tidak
nanti dia berani ke barat. Dengan demikian bukankah akan sangat menyenangkan. Apalagi
anak perempuan seperti kita yang suka berkelana di Kangouw justeru memerlukan pesuruh
semacam dia."
Sama sekali Kim-yan-cu tidak pernah membayangkan jalan pikiran yang bukan2 seperti apa
yang dikatakan Gin-hoa-nio ini, karena pikiran sendiri sedang kusut, maka iapun tidak
menanggapinya. Ia cuma menghela nafas dan berkata, "Aku sangat lelah dan ingin istirahat,
harap kau keluar saja."
Namun Gin-hoa-nio masih tetap duduk saja, ia malah berkata lagi dengan mata terbelalak,
"Toaci, menurut kau, sebab apakah nona Lim itu ingin membunuh Ji-kongcu?"
Kim-yan-cu membalik tubuh, memejamkan mata dan tidak menggubrisnya lagi.
"Menurut pendapatku, belum tentu nona Lim itu hendak membunuh Ji-kongcu," kata Ginhoa-
nio pula. "Dalam hal ini ada dua titik yang mencurigakan, masa Toaci tidak dapat
membayangkannya?"
Mesti tidak mau menggubrisnya, tak tahan juga Kim-yan-cu mendengar ucapan tersebut,
segera ia bertanya, "Hal apa yang mencurigakan?"
Gin-hoa-nio tertawa, katanya, "Melihat sikap Ji-kongcu terhadap nona Lim itu, pasti dia tidak
berprasangka jelek apapun terhadap nona itu, bahkan tidak cuma satu hari saja mereka berada
bersama." "Ini kan juga tidak perlu diherankan"
"Jika begitu, kesempatan bagi nona Lim untuk membunuh Ji-kongcu tentunya sangat banyak,
mengapa dia sengaja menunggu sampai malam itu, di tempat yang banyak orang dan sengaja
ribut2 sehingga ditonton orang?"
"Bisa jadi dia tidak sengaja mengagetkan orang, mungkin dia tidak sabar lagi dan akhirnya
ribut," ujar Kim-yan-cu setelah berpikir sejenak.
"Seorang perempuan kalau sudah benci kepada seorang lelaki, bahkan ingin membunuhnya,
maka dia pasti takkan ribut dengan dia secara terbuka, jika sampai ribut2 begitu, tentu dia
tidak bermaksud membunuhnya... Toaci, engkau juga perempuan, kau bilang uraianku ini
masuk di akal atau tidak?"
Setelah termenung sejenak, akhirnya Kim-yan-cu mengangguk, "Ya, betul juga."
"Selain itu, jika benar nona Lim itu ingin membunuh Ji-Kongcu, di depan orang banyak
kenapa tidak sekali tusuk dibinasakannya?"
270 "Mungkin dia ingin menyiksanya secara perlahan."
"Menurut pendapatku, hati nona Lim itu pasti tidak sekeji itu, apalagi seumpama benar ia
maksud menyiksanya secara perlahan, tentu serangannya juga tidak seringan itu."
"Darimana kau tahu serangannya ringan atau berat?"
"Jika serangannya cukup berat, masakah kemudian Ji-kongcu mampu kabur dengan
menggunakan ginkangnya?"
Kim-yan-cu termenung, tanyanya kemudian, "Habis kalau menurut kau, sesungguhnya
permainan apakah itu?"
"Menurut pendapatku, apa yang dilakukan nona Lim itu hanya sekedar dilihat orang lain
saja." "Mengapa dia berbuat begitu agar dilihat orang lain?"
"Apa sebabnya akupun tidak tahu, bisa jadi Toaci tahu..."
"Aku cuma tahu dia memang sangat benci kepada Ji Pwe-giok dan memang ada alasannya
untuk membunuhnya. Di dunia ini jika ada seorang yang benar2 ingin membunuh Ji Pwegiok,
maka orang itu ialah Lim Tay-ih."
Walaupun di mulut dia bicara penuh keyakinan, tapi dalam hati lamat2 juga merasakan di
balik urusan ini pasti masih ada persoalan lain yang tersembunyi. Tapi tak terpikir olehnya
bahwa urusan ini sesungguhnya memang sangat ruwet, sangat pelik, berpuluh kali lebih ruwet
dan pelik daripada apa yang pernah dibayangkannya.
***** Kereta mereka beristirahat sehari penuh di kota kecil ini, esok paginya, belum lagi terang
tanah Gin-hoa-nio sudah bangun untuk mendesak kusir kereta agar mengatur segala sesuatu
yang perlu untuk segera berangkat.
Kim-yan-cu semalaman tak dapat tidur, baru saja ia terpulas sudah dikejutkan lagi oleh suara2
di halaman, terpaksa ia bangun dan membuka pintu kamar, tanyanya kepada Gin-hoa-nio
dengan dahi berkerut, "Pagi2 begini sudah mau berangkat?"
Gin-hoa-nio menyongsongnya, katanya dengan mengiring tawa, "Sudah ku pesan mereka agar
jangan mengejutkan Toaci hingga terjaga, dasar orang kasar, sukar diatur."
"Sekalipun mereka tidak mengejutkan tidurku, toh kau juga akan membangunkan aku," ujar
Kim-yan-cu hambar.
Karena isi hatinya tepat dibongkar, muka Gin-hoa-nio menjadi merah, baru sekarang ia tahu
meski Kim-yan-cu tampaknya serba gampangan, tapi juga tidak sederhana seperti apa yang
disangkanya. 271 Kim-yan-cu balik ke dalam kamar, katanya pula, "Kau ter-gesa2 hendak berangkat, kukira
kau pasti sudah mempunyai tempat tujuan. Sesungguhnya hendak kemana" Mengapa tidak
kau katakan padaku?"
Gin-hoa-nio tertawa dan menjawab, "Sejauh ini Toaci tidak tanya, maka..."
"Kan sudah kutanyakan sekarang?"
"Soalnya begini," tutur Gin-hoa-nio, "begini banyak harta benda yang kita bawa, rasanya agak
kurang leluasa bila kita menempuh perjalanan jauh, maka kupikir barang2 ini harus kita
titipkan pada suatu tempat yang dapat dipercaya."
"Ingin kau titipkan dimana?"
"Adik baru saja berkecimpung di Kangouw dan belum banyak kenalanku, untuk ini dengan
sendirinya mesti minta petunjukmu."
Setelah kejadian kemarin, meski lamat2 Kim-yan-cu juga merasakan adik angkat yang baru
ini tidak sederhana, tapi iapun tidak menyangka orang ada intrik apa2 terhadap dirinya.
Setelah berpikir, kemudian ia berkata, "Harta benda sebanyak itu memang tidak leluasa
biarpun dititipkan dimana saja. Sekalipun kita percaya penuh kepada orang yang kita titipi,
orang lain belum tentu sanggup menerima resiko sebesar ini."
"Betul juga ucapan Toaci," kata Gin-hoa-nio. "Makanya orang yang akan kita titipi selain
harus dapat dipercaya juga harus berani bertanggung jawab, kalau tidak, titipan harta benda
ini jangan2 malah bisa membikin celaka dia."
Kim-yan-cu berpikir sejenak, katanya kemudian, "Orang yang kau maksudkan kuingat
memang ada satu di dekat sini."
"Ha, siapa?" seru Gin-hoa-nio cepat dan girang.
"Keluarga Tong di Sujwan..."
Belum habis ucapan Kim-yan-cu, serentak Gin-hoa-nio berkeplok dan berseru, "Aha, nama
besar keluarga Tong di Sujwan memang sudah lama kudengar. Jika peti2 ini dapat dititipkan
di sana, sudah tentu tidak perlu dikuatirkan lagi. Selain itu, dengan nama baik ayah beranak
keluarga Tong itu, tentu orangpun tak berani menyatroni mereka dan mengincar harta benda
ini." Tiba2 ia berkerut kening dan menyambung pula, "Cuma orang2 keluarga Tong itu biasanya
berwatak aneh, suka menyendiri dan jarang bergaul. Jika Toaci tidak kenal mereka, kukira
merekapun tak mau menerima titipan ini."
Kim-yan-cu tersenyum, katanya, "Jika kau tahu seluk beluk dunia Kangouw, mengapa kau
tidak tahu aku dan Tong-bun-su-siu (empat cantik dari Keluarga Tong) juga bersaudara
angkat?" Meski ia merasa rasa girang Gin-hoa-nio itu rada kelewatan, tapi ia sangka mungkin karena
adik angkat ini terlalu memikirkan keselamatan harta benda itu. Ia tidak tahu sebabnya GinRenjana
Pendekar > Karya Khulung > Diceritakan oleh : GAN KL > buyankaba.com 272
hoa-nio memikat dan bersaudara dengan dia justeru lantaran sebelumnya sudah diketahui dia
adalah saudara angkat dari para nona keluarga Tong. Kalau tidak tentu sudah lama dia
dibunuhnya. Begitulah terlihat Gin-hoa-nio sangat gembira dan tertawa terus menerus, katanya, "Toaci dan
Tong-bun-su-siu adalah saudara angkat, wah, kalau begitu adik kan juga ikut2an menjadi
saudara mereka" Biasanya aku sebatang kara dan hidup ter-lunta2, kini mendadak
mendapatkan kakak2 sebanyak ini dan rata2 orang termasyhur, aku sangat girang."
Melihat kegembiraan orang Kim-yan-cu juga tertawa, katanya, "Disiplin keluarga Tong
biasanya sangat keras, para nona dan menantunya jarang keluar rumah, mereka selalu merasa
kekurangan teman, bilamana mendapat seorang adik cilik yang menyenangkan seperti kau,
mereka pasti juga akan kegirangan."
Teringat kepada nasib Gin-hoa-nio yang sebatang kara dan hidup sengsara, sekalipun
pandangannya terhadap harta benda sedemikian penting, hal inipun dianggapnya lumrah.
Karena pikiran ini, rasa was-wasnya terhadap Gin-hoa-nio kemarin lantas tersingkirkan
semua, ia malah menyesal pagi tadi tidak pantas bersikap dingin padanya. Karena itulah
sepanjang jalan kembali ia mengajaknya bersenda gurau lagi.
Perjalanan ke Sujwan cukup sulit ditempuh sebab pada umumnya jalan daerah Sujwan adalah
lereng2 bukit. Tapi saat ini mereka berada di dataran Sujwan tengah yang jarang lereng
bukitnya, bahkan Sujwan tengah sejak jaman dahulu terkenal sebagai daerah yang subur dan
makmur, sepanjang jalan cukup ramai orang berlalu lalang sehingga tidak terasakan kesepian.
Setelah melintasi In-yang-to dan menyusur lembah Tiangkang, jalanan semakin lapang, tapi
sepanjang jalan mulai banyak tertampak kawanan pengemis, kebanyakan berkelompok dalam
jumlah tiga atau lima orang. Kawanan jembel inipun menempuh perjalanan ke depan dengan
teratur, melihat kaum saudagar dan orang lalu, mereka suka memberi jalan dengan sikap
hormat, tapi tidak minta2 seperti biasanya. Bahkan di antara kaum jembel itu ada yang
kelihatan angkuh, se-olah2 memandang rendah kaum awam ini.
Agaknya Gin-hoa-nio tertarik, ia membisiki Kim-yan-cu, "Tampaknya kawanan pengemis ini
sama mahir ilmu silat dan bukan tukang minta2 biasa... jangan2 mereka inilah anak murid
Kay-pang?"
Suara Gin-hoa-nio sangat lirih, tapi seorang pengemis yang berjalan sendirian beberapa
tombak di depan mendadak menoleh dan tersenyum padanya dan berkata, "Nona cantik
hendaklah menempuh perjalanannya sendiri dan tidak perlu ikut campur urusan orang lain."
Pakaian pengemis ini juga compang-camping dan berlepotan debu kotoran, tapi wajahnya
yang agak kurus itu tampak tercuci bersih, sorot matanya juga gemerdep tajam. Gin-hoa-nio
melelet lidah dan tertawa genit, katanya, "Wah, tajam benar telinga Cianpwe, Anda tentu
Tianglo di dalam Kay pang?"
Mendadak pengemis setengah umur itu menarik muka, mata alisnya memperlihatkan rasa
marah, tapi setelah memandang sekejap Kim-yan-cu yang berada di sebelah Gin-hoa-nio,
dengan dingin dia berkata, "Aku bukan Cianpwe segala, juga bukan Tianglo apa, mungkin
nona yang salah lihat."
273 Gin-hoa-nio ingin bicara lagi, tapi pengemis setengah umur itu sudah melangkah ke sana, ia
menuju ke bawah pohon di tepi jalan, dikeluarkannya sebuah buli2 kayu, isi buli2 tentunya
arak, maka ditenggaklah araknya.
Dalam sekejap saja kereta sudah lalu di samping pengemis itu, Gin-hoa-nio menggeleng dan
bergumam, sungguh aneh tabiat orang ini, aku tidak bersalah padanya, mengapa dia merasa
marah padaku?"
Kim-yan-cu tidak menjawabnya, selang tak lama, mendadak ia berkata, "Di depan adalah kota
Li-toh-tin, hendaklah kau tunggu diriku di hotel Li-keh-can sana, sebelum ku datang jangan
pergi dulu."
"Toaci hendak ke mana?" tanya Gin-hoa-nio dengan tercengang.
"Tiba2 teringat sesuatu olehku..."
"Bolehkah adik mengiringi kepergian Toaci?"
Kim-yan-cu seperti tidak sabar, katanya sambil berkerut kening, "Biar kau tunggu saja di Litoh-
tin, tidak sampai tiga hari tentu ku datang mencari kau, masa kau takut ku kabur?"
Cepat Gin-hoa-nio menjawab, "Baiklah, adik menurut saja."
Melihat Gin-hoa-nio sudah jauh membawa kedua keretanya, mendadak Kim-yan-cu memutar
balik kudanya dan dilarikan ke tempat tadi. Dilihatnya si pengemis setengah baya itu sudah
tertidur di tepi jalan di bawah pohon.
Kalau pengemis yang lain, banyak atau sedikit, tentu membawa beberapa karung goni sebagai


Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanda tingkatannya, makin banyak karung goni yang dibawanya, makin tinggi kedudukannya.
Jika tidak membawa karung berarti murid yang belum resmi masuk perkumpulan.
Sikap pengemis setengah baya ini sangat angkuh, langkahnya cepat enteng, jelas sangat tinggi
ilmu silatnya, tidak mungkin dia murid Kay-pang yang belum resmi, tapi buktinya dia tidak
membawa sebuah karungpun.
Pakaian pengemis yang lain juga compang camping, tapi kebanyakan tercuci bersih, hanya
wajah masing2 jelas kelihatan sudah kenyang menderita gemblengan kehidupan sebagai
tukang minta2. Sebaliknya meski pakaian pengemis setengah baya ini penuh kotoran, namun
mukanya justeru putih bersih, kulit badannya juga halus, bahkan tiada tampak garis keriput
sama sekali. Bila pengemis lain sama berkelompok dan saling menyapa, tapi pengemis aneh ini justeru
menempuh perjalanan sendirian dengan langkah angkuh se-akan2 tidak sudi bergaul dengan
orang lain. Tujuan Kim-yan-cu sebenarnya hendak mencari Ang-lian hoa untuk ditanyai apa yang terjadi
tempo hari, untuk ini mestinya ia dapat minta keterangan kepada pengemis yang lain. Tapi dia
merasa heran terhadap pengemis setengah umur ini, timbul rasa ingin tahunya. Dari kejauhan
ia sudah turun dari kudanya, lalu mendekati pohon itu dan berduduk di situ.
274 Pengemis2 yang lain sama heran melihat seorang nona jelita berduduk di samping pengemis
setengah umur yang sedang tidur itu. Ketika lalu di depan mereka, langkah mereka lantas
dibikin perlahan, tampaknya kuatir mengganggu tidur pengemis setengah umur yang nyenyak
itu. Kim-yan-cu juga bersabar sebisanya dan tidak membangunkan orang.
Terdengar suara dengkuran perlahan pengemis aneh itu, tidurnya sangat lelap, malahan
samar-samar terdengar ia sedang mengigau.
Kim-yan-cu coba pasang kuping dengan cermat, didengarnya orang sedang berkata, "Begitu
banyak benda berharga yang termuat di kereta itu, kenapa tidak cepat melanjutkan perjalanan,
untuk apa kau cari si tukang minta2 ini" Apakah hendak memberi sedekah?"
Terkejut Kim-yan-cu, diam-diam ia mengakui ketajaman pandangan orang.
Kalau barang muatan kereta itu adalah sebangsa emas-perak yang berat bobotnya, debu yang
mengepul yang ditimbulkan oleh roda kereta itu pasti berbeda, orang Kangouw kawakan
sekali pandang akan segera tahu hal ikhwalnya.
Tapi sekarang barang yang dimuat kedua kereta itu hanya benda2 berharga yang ringan
bobotnya sebangsa ratna mutu manikam, sungguh luar biasa pengemis aneh inipun dapat
mengetahuinya. Begitulah semakin kejut dan heran, semakin bersabar pula Kim-yan-cu, betapapun lama si
pengemis aneh ini akan pura2 tidur tetap akan ditunggunya.
Selang sejenak, mendadak pengemis aneh bergelak tertawa dan berbangkit, katanya, "Hahaha,
Kang-lam-lihiap Kim-yan-cu yang termasyhur ternyata menunggui tidur seorang tukang
minta2, apakah tidak kuatir dijadikan bahan tertawa orang!"
Kim-yan-cu terkesiap, "Kiranya Cianpwe kenal Tecu."
"Bukan cuma kau si walet ini yang kukenal, bahkan kukenal pula si elang," ucap pengemis itu
dengan tertawa.
Supaya diketahui, guru Kim-yan-cu bernama In Tiat-ih, berjuluk "Sin-eng" atau elang sakti,
seorang pendekar termasyhur pada 30 tahun yang lalu.
Selama hidup In Tiat-ih melaksanakan tugas mulianya dengan sendirian, musuhnya tersebar
di mana2, sampai tua dia cuma menerima Kim-yan-cu sebagai murid satu2nya. Tapi ketika
Kim-yan-cu tamat belajar dan terjun di dunia Kangouw, tatkala mana In Tiat-ih sendiri jatuh
sakit berat. Ia tahu musuhnya terlalu banyak dan mungkin akan menimbulkan kesukaran bagi
Kim-yan-cu, maka wanti2 dia pesan Kim-yan-cu agar tidak mengatakan asal-usul
perguruannya dan selama ini di dunia Kangouw memang tiada yang tahu siapa gurunya.
Bahkan Ang-lian hoa yang terkenal serba tahu itupun tidak tahu.
Tapi sekarang pengemis setengah umur ini kontan dapat membongkar rahasia perguruannya,
tentu saja Kim-yan-cu terkejut dan cepat berdiri, tapi perlahan2 dia lantas duduk lagi, katanya
275 dengan tersenyum ewa, "Entah siapa nama Cianpwe yang mulia, darimana Anda tahu nama
mendiang guruku."
Pengemis aneh itu ayun tangan memotong ucapannya, katanya dengan berkerut kening, "Jika
ingin orang lain tidak tahu, kecuali diri sendiri tidak berbuat. Masa kau lupa akan peribahasa
ini" Mengenai namaku, biar kukatakan juga kau tidak kenal."
Kim-yan-cu menjadi bingung karena tidak tahu sebab apa orang menjadi marah, maka ia tidak
berani bertanya pula.
Pengemis aneh itu melototinya sejenak, tapi mendadak wajahnya cerah lagi da berkata, "Kau
cari padaku, sesungguhnya ada urusan apa" Apakah sangat penting?"
"Tecu ingin mencari Ang-lian-pangcu dari Pang kalian," jawab Kim-yan-cu. "Sebab itu
mohon Cianpwe sudi membawa..."
"Jadi maksudmu mencariku hanya minta aku menjadi penunjuk jalan bagimu?" teriak
pengemis itu dengan gusar.
Waktu bicara biji mata orang itu se-akan2 memancarkan dua jalur sinar tajam dan membuat
orang tidak berani memandangnya. Tapi dalam sekejap lantas tertawa pula dan membuat
orang seperti ditiup angin sejuk.
Selama hidup Kim-yan-cu tidak pernah melihat orang marah dan tertawa dapat berubah
secepat ini, selagi ter-heran2, tiba2 pengemis aneh itu menengadah dan bergelak tertawa,
katanya, "Jika aku yang kau minta untuk mencari Ang-lian hoa, baiklah akan kubawa kau ke
sana. Nah, lekas naik kudamu dan ikut berangkat."
Kim-yan-cu tidak tahu mengapa orang marah2 tadi dan juga heran apa sebabnya orang
tertawa te-bahak2 pula dan begitu aneh cara tertawanya, seketika ia menjadi terkesima
bingung. Sementara itu pengemis itu sudah berbangkit, ia melangkah dua tiga tindak, tiba2 ia menoleh
dan membentak, "Suruh kau ikut berangkat, mengapa kau malah diam saja?"
Kim-yan-cu menyengir dan terpaksa berbangkit, ia kuatir membikin marah pengemis yang
aneh ini, ia menuntun kudanya dan mengikuti di belakang orang, ia tidak berani menunggang
kudanya. Dalam pada itu hari sudah remang2, orang berlalu lalang sudah mulai jarang2, hanya ada
kawanan pengemis yang ber-kelompok2 masih menempuh perjalanan dengan ter-gesa2.
Ketika melihat pengemis aneh itu mereka lantas memberi jalan, sikap mereka seperti agak
segan dan takut2 tapi tiada seorangpun yang menyapanya.
Pengemis setengah baya itupun tidak menghiraukan kawanan pengemis itu, tampaknya dia
seperti bukan orang Kay-pang, tapi kalau bukan orang Kay-pang mengapa dia berdandan
sebagai pengemis" Bahkan menempuh perjalanan searah dengan kawanan pengemis itu"
Begitulah Kim-yan-cu semakin heran, diam2 iapun menyesal. Ia merasa salah alamat bertanya
keterangan kepada pengemis aneh itu. Pikirnya, "Tingkah laku orang aneh ini kelihatan
276 misterius, jangan2 dia musuh Kay-pang" Yang hendak kucari adalah Ang-lian-pangcu, untuk
apa mesti ku ikuti dia?"
Dilihatnya pengemis aneh itu makin cepat jalannya dan makin jauh tanpa menoleh. Mendadak
Kim-yan-cu mencemplak ke atas kudanya terus dilarikan dengan cepat, dalam sekejap saja
pengemis setengah umur itu sudah tertinggal jauh di belakang, bahkan bayangan anggota
Kay-pang yang lain juga tidak kelihatan lagi.
Kim-yan-cu menghela nafas lega, gumamnya, "Sekarang, barulah..." belum habis ucapannya,
tahu-tahu di bawah pohon di tepi jalan sana seorang mendengus, "Hm, katanya kau ingin
mencari Ang-lian hoa, jelas kau telah kesasar!"
Siapa lagi orang itu kalau bukan si pengemis setengah umur yang misterius itu" Sungguh
kejut Kim-yan-cu tak terkatakan, tanpa bersuara ia memutar kudanya, tanpa membedakan
arah ia larikan kudanya seperti kesetanan.
Setelah membedal kudanya sekian lama, baru saja ia hendak berhenti, tahu2 pengemis aneh
itu sudah berdiri lagi di depan sana sedang menantikan kedatangannya dan mengejeknya,
"Kau kesasar lagi!"
Gerak-gerik orang ini secepat hantu, meski biasanya Kim-yan-cu juga bukan orang penakut,
tapi memang aneh, pada pertama kali dia bertemu dengan pengemis ini rasanya dia sudah
terpengaruh oleh daya gaibnya, sebab itulah secara aneh dia tidak mencari orang lain tapi
justeru mencari dia dan secara tidak sadar menunggui dia tidur, kemudian secara
membingungkan ia membedal kudanya berlari tak keruan.
Sekarang ia merasakan kaki dan tangan lemas semua, ingin melarikan kudanya juga tak bisa
bergerak lagi, dengan suara rada gemetar ia bertanya, "Apa... apa kehendakmu?"
Pengemis itu memandangnya sekejap dengan tertawa, jawabnya kemudian, "Kan kau sendiri
yang minta kubawa kau pergi mencari Ang-lian hoa, sekarang aku kan cuma memenuhi
permintaanmu dan membawa kau kesana?"
"Sek...sekarang aku tidak... tidak ingin pergi," jawab Kim-yan-cu.
Seketika pengemis aneh itu menarik muka, katanya dengan ketus, "Sekali kau minta kubawa
kau pergi, maka tetap kau harus pergi."
Bila orang lain yang bicara begini kepadanya, mustahil kalau Kim-yan-cu tidak melabraknya,
tapi aneh, di depan pengemis misterius ini sama sekali dia tidak mempunyai keberanian untuk
melawan. Seketika pengemis itu membalik tubuh dan berjalan lagi ke depan, sama sekali Kim-yan-cu
tidak berani kabur, ia mengikuti di belakangnya dengan baik2, sampai ia sendiri tidak tahu
mengapa dia menjadi penurut begini.
Didengarnya pengemis itu berkata dengan perlahan, "Saat ini tentunya kau menyesal karena
kau justeru mencari diriku."
Kim-yan-cu menggreget dan diam saja.
277 "Tapi kaupun tidak perlu menyesal, sebenarnya bukan kau yang mencari diriku melainkan
aku yang mencari dirimu."
Kembali Kim-yan-cu terkejut, serunya, "Kau yang mencari diriku?"
"Betul, aku yang mencari kau," mendadak pengemis itu membalik tubuh. "Cuma kau sendiri
tidak tahu."
Memandangi mata orang yang bercahaya itu, tiba2 Kim-yan-cu ingat sejak dia melihat mata
orang secara aneh dan tanpa terasa lantas timbul keinginannya untuk kembali ke sana untuk
mencarinya sampai Gin-hoa-nio yang mengajak bicara sejenak itupun dirasakan mengganggu,
hatinya terasa gelisah dan tidak tenteram. Tatkala mana ia tidak tahu apa sebabnya, tapi
sekarang ia tahu bahwa segala perubahan yang aneh ini adalah disebabkan oleh sinar mata
orang yang penuh daya tarik aneh dan berpengaruh ini.
Berpikir demikian, tanpa terasa Kim-yan-cu berkeringat dingin, tanyanya dengan suara
gemetar, "Sebab apa... sebab apa kau cari diriku?"
"Ada tiga sebab," jawab pengemis itu.
"Tiga sebab?" Kim-yan-cu melenggong.
"Ya, ada tiga sebab," tukas pengemis itu dengan perlahan. "Pertama karena kau murid In Tiatih..."
"Sesungguhnya ada hubungan apa antara kau dengan mendiang guruku?"
Pengemis itu tidak menjawabnya dengan kalem ia menyambung, "Sebab kedua adalah karena
kau ingin mencari Ang-lian hoa!"
"Jangan2 kaupun ada permusuhan dengan Ang-lian-pangcu?"
Tetap pengemis itu tidak menjawab, sebaliknya ia tersenyum dan melanjutkan, "Sebab ketiga
adalah karena kau seorang perempuan, bahkan perempuan yang sangat cantik."
Karena tertawa, wajahnya yang kurus itu mendadak kelihatan sangat jahat, sinar matanya
menimbulkan rasa yang memuakkan. Dipandang oleh mata orang, Kim-yan-cu merasa dirinya
se-olah2 sudah telanjang bulat, ia merasa malu, kalau ada lubang ingin segera diselusupinya.
"Tapi kaupun jangan takut, aku takkan membikin susah padamu," dengan tersenyum
pengemis itu berkata pula.
"Habis... apa kehendakmu?" tanya Kim-yan-cu gemetar. Sungguh kalau bisa dia ingin punya
sayap dan segera melarikan diri. Tapi sinar mata orang se-akan2 memancarkan semacam daya
tarik yang aneh, bukan saja dia tidak dapat lari, hakekatnya mata ingin berkedip saja tidak
bisa. 278 Dengan kalem pengemis itu berkata pula, "Sebabnya kuinginkan kau cari padaku adalah
karena... karena aku hendak melindungi kau... melindungi kau...," suaranya semakin perlahan,
semakin lirih, juga semakin halus.
Kim-yan-cu merasa pikirannya mulai kabur, seperti tertidur, tapi juga merasa seperti jauh
lebih sadar daripada biasanya, tanpa terasa ia ikut berkata, "Ya, betul, kau akan melindungi
diriku..."
"Dan sekarang tentunya kau tahu bahwa di dunia ini hanya aku inilah satu2nya orang yang
paling akrab dengan kau," kata pula pengemis.
"Ya, betul, engkaulah orang yang paling karib dengan diriku."
Cinta Bernoda Darah 1 Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl Pendekar Kembar 4
^