Renjana Pendekar 6
Renjana Pendekar Karya Khulung Bagian 6
Kata-kata ini membikin Pwe-giok terperanjat.
Siapa tahu orang-orang ini benar-benar lantas melolos pisau dan "krak-krek", beramai-ramai
mereka memotong dua jarinya sendiri.
"Kalian berbuat demikian secara suka rela, bukan?" tanya Leng-yan pula.
"Ya, sukarela." jawab orang-orang itu tanpa perduli darah mengucur dari tangan masingmasing.
"Kalian tidak merasa sakit, sebaliknya malah sangat senang, betul tidak?" tanya Leng-yan
pula. "Betul, hamba gembira sekali," jawab orang-orang itu berbareng.
"Kalau gembira, kenapa tidak tertawa?" kata Leng-yan.
Serentak tertawalah orang-orang itu meski sebenarnya semuanya kesakitan setengah mati,
dengan sendirinya tertawa demikian lebih tepat dikatakan meringis.
Merinding Pwe-giok menyaksikan kejadian luar biasa ini, tanpa terasa iapun berkeringat
dingin. Sungguh sukar dibayangkan, kaum lelaki yang kekar dan segar ini seakan-akan telah menjadi
boneka semata-mata. Mereka hanya mengiakan apa yang dikatakan Ki Leng-yan dan perintah
nona itu lantas dilakukan. Sungguh kalau tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri,
betapapun Pwe-giok tidak percaya di dunia ini ada kejadian aneh begini.
Leng-yan berpaling dan tertawa kepadanya, katanya: "Tahukah kau sebab apa mereka tunduk
kepada perkataanku?"
"Mer...mereka..." Pwe-giok gelagapan.
Tapi Leng-yan lantas menukas: "Sebab mereka telah menjual sukmanya kepadaku."
Bulu roma Pwe-giok merasa berdiri seluruhnya, serunya kaget: "Ap...apakah kau sudah
gila...." Si nona tersenyum tenang, katanya pula: "Bukan saja sudah ku beli sukma mereka, bahkan
sukma mu selekasnya juga akan ku beli, bukan saja mereka tunduk kepada perintahku, nanti
kaupun harus tunduk."
Pwe-giok menjadi gusar, teriaknya: "Kau berani". ber....."
"Sekarang kedua kakimu sudah lemas, sekujur badanmu tidak bertenaga lagi, berdiri saja
tidak sanggup, cukup satu jari saja dapat ku robohkan kau!" kata Leng-yan dengan tertawa.
Mendadak Pwe-giok berdiri, tapi memang betul, kedua kakinya terasa lemas, "bluk", ia jatuh
terduduk pula. 199 "Selang sebentar lagi sekujur badanmu akan terasa sebentar dingin sebentar panas, habis itu
seluruh badan akan terasa sakit dan gatal, rasanya seperti beribu-ribu semut sedang menyusup
ke dalam kulit daging mu."
Padahal tidak perlu sebentar lagi, sekarang juga Pwe-giok sudah mempunyai perasaan begitu,
dengan suara gemetar ia bertanya: "Kau....kau turun tangan keji padaku?"
"Hehe, selain diriku masa ada orang lain?" jawab Leng-yan dengan tersenyum manis.
Gemerutuk gigi Pwe-giok saking ngerinya, teriaknya parau: "Meng...mengapa tidak kau
bunuh saja diriku?"
"Orang berguna seperti kau ini, kan sayang jika kubunuh?" ujar si nona dengan tertawa.
Keringat dingin memenuhi dahi Pwe-giok, tanyanya dengan parau: "Sesungguhnya apa
kehendakmu?"
"Meski sekarang kau merasa seperti terjeblos di dalam neraka," kata Leng-yan pula "Tapi
asalkan kau mau menjual sukma kepadaku, segera dapat kubawa kau menuju ke surga,
bahkan ke dunia yang jauh lebih gembira daripada surga."
Pwe-giok merasa tidak tahan lagi akan siksaan ini, dengan suara serak ia tanya: "Apa yang
kau inginkan?"
"Sekarang, hendaklah segera kau pergi ke suatu tempat yang disebut kim-khak-ceng, 23
penghuni perkampungan itu, tua-muda, laki-perempuan harus kau bunuh seluruhnya......" kata
leng-yan dengan tertawa. "Lo Cu-liang, pemilik perkampungan itu terkenal kaya-raya,
sekaranglah aku sangat memerlukan harta-bendanya itu."
"Apakah dalam keadaan begini aku sanggup membunuh orang?" tanya Pwe-giok dengan
tersenyum pedih.
Saat ini kau memang tidak sanggup membunuh, tapi setiba di Kim-khak-ceng segera kau akan
berubah menjadi maha kuat, bila tenagamu tidak kau keluarkan akan terasa tersiksa malah,
rasanya seperti mau meledak," kata si nona.
Siksaan yang sukar ditahan ini hampir membuat Pwe-giok lupa segalanya, sekuatnya ia
berdiri dan menerjang keluar pintu, tapi mendadak dia berlari balik dan berteriak dengan
parau: "Tidak, tak dapat kulakukan hal ini."
"Kau harus, harus kau lakukan, apakah kau ingin bertaruh denganku?" kata Leng-yan dengan
tertawa. Dengan suara gemetar Pwe-giok berkata: "Tadinya kukira kau ini anak perempuan yang tulus
dan bersih, siapa tahu semua ini cuma pura-pura saja, kau berlagak seperti tidak tahu apa-apa
agar orang lain tidak was-was terhadap dirimu, siapa tahu kau terlebih ..... lebih keji daripada
Ki Leng-hong!"
"Hihi," Leng-yan tertawa misterius. "Memangnya kau kira aku ini siapa?"
200 Pwe-giok memandangnya tajam, tiba-tiba dilihatnya sorot mata si nona yang poos dan bersih
itu memancarkan sinar tajam laksana mata elang. Tanpa terasa Pwe-giok bergidik, ucapnya:
"He, kau.... kau inilah Ki Leng-hong!"
Nona itu tertawa terkekeh-kekeh, dia memang bukan Ki Leng-yang melainkan Ki Leng-hong.
Katanya dengan tertawa: "Sudah belasan hari kau menjadi orang tolol, baru sekarang kau tahu
siapa diriku. Hehe, memangnya kau kira aku benar-benar paham bahasa burung" Di dunia ini
mana ada manusia yang benar-benar paham bahasa burung" Biarpun si idiot Leng-yan sendiri
juga belum tentu paham. Apa yang kau pahami adalah hasil penyelidikanku sendiri dengan
segenap daya upaya ku, kalau manusia saja tidak tahu, darimana burung bisa tahu" Huh, kau
sok anggap dirimu pintar, masa hal ini tak dapat kau pahami?"
Gemetar sekujur badan Pwe-giok, katanya: "Pantas, pantas kau berkeras ingin ikut padaku.
Pantas kau memperhitungkan Khing-hoa samniocu, pasti takkan datang lagi, apalagi datang
ke hotel kecil itu..."
"Ya, meski kau terkena racun Khing-hoa-samniocu, tapi tidak terlalu berat, malahan
tampaknya kau pernah minum semacam obat mujarab apa yang memiliki daya tahan sangat
kuat terhadap segala jenis racun."
"Betul, itulah Siau-hoan-tan dari Kun-lun-pay...?"
"Tepat." sela Leng-hong dengan tertawa.
"Cuma Siau-hoan-tan Kun-lun-pay itu meski dapat menawarkan segala macam racun, namun
terhadap Kek-lok-wan (pil maha girang) yang kuberikan padamu ini sedikitpun tak berguna."
"Kek-lok-wan apa?" Pwe-giok menegas dengan kaget.
"Jadi Kek-lok-wan yang kau beri minum padaku ini telah membikin keadaanku menjadi rusak
sedemikian rupa" apakah orang-orang itupun terkena racun Kek-lok-wanmu, maka... maka
sukma merekapun dijual kepadamu"!"
"Jika Kek-lok-wanku kau anggap sebagai racun, maka itu sama seperti kau menghina diriku,"
kata Leng-hong.
"Meski sekarang kau sangat menderita, tapi cukup minum satu biji Kek-lok-wan, seketika
semua rasa derita akan lenyap, bahkan semangatmu akan timbul berlipat ganda dan
membuatmu merasa nikmat tak terhingga."
"Apakah... apakah Kek-lok-wanmu ini bisa membuat orang ketagihan?" tanya Pwe-giok
dengan suara gemetar.
"Barang siapa sudah keracunan maka setiap hari harus meminumnya, kalau tidak tentu akan
merasa tersiksa dan tak tertahankan?"
"Memang benar perkataanmu," kata Leng-hong dengan tertawa.
"Dalam kek-lok-wanku ini mengandung semacam getah tumbuh-tumbuhan yang berasal dari
negeri barat, tumbuhan ini berbunga sangat indah, tapi getah buahnya dapat membuat hidup
201 orang seperti terbang ke awang-awang, tapi juga dapat membikin orang hidup lebih menderita
daripada mati."
Mendadak ia berpaling dan bertanya kepada orang-orang berbaju hijau: "Hidup kalian
sekarang bukankah sangat bahagia?"
"Ya, selamanya hamba tidak pernah sebahagia sekarang ini." sahut orang-orang itu serentak.
"Dan bagaimana kalau tidak kuberi Kek-lok-wan kepada kalian ?" tanya Leng-hong pula.
Seketika wajah orang-orang itu berkerut-kerut, sorot matanya menampilkan rasa kuatir, jelas
rasa takut ini timbul dari lubuk hati yang dalam, semuanya munduk munduk dan memohon
dengan sangat: "Mohon ampun, nona, apapun akan hamba lakukan bagi nona, asalkan setiap
hari nona memberi satu biji Kek-lok-wan."
"Demi memperoleh satu biji Kek-lok-wan, kalian tidak segan-segan menjual ayah-ibu bahkan
istrinya sendiri, begitu bukan?" tanya Leng-hong lagi.
Serentak orang-orang itu mengiakan.
Leng-hong berpaling ke arah Pwe-giok dan tertawa, katanya: "Meski kau tak punya ayah-ibu
dan istri untuk dijual, tapi kau dapat menjual dirimu sendiri, dengan tubuhmu sebagai
imbalannya akan kau dapatkan kebahagiaan sukma mu yang tak terhingga, tidakkah ini cukup
berharga bagimu?"
Keringat bercucuran dari dahi Pwe-giok, serunya dengan tergagap: "Aku... aku..."
Leng-hong berkata dengan suara lembut: "Kau tidak berdaya melawan lagi, selama delapan
hari itu setiap hari telah kutambah kadar Kek-lok-wan yang kuberi minum padamu,
kecanduanmu sekarang sudah jauh lebih dalam daripada mereka, penderitaan yang kau
rasakan hakekatnya tidak mungkin dapat ditahan oleh siapapun juga, kukira lebih baik kau
tunduk dan menurut perintah saja."
Pwe-giok menggertak gigi, saking tersiksanya sampai bicarapun sukar.
"Lebih cepat kau menyatakan tunduk, lebih cepat pula akan berkurang rasa derita mu, kalau
tidak, kau hanya akan tersiksa lebih lama secara sia-sia, sebab akhirnya kau toh pasti akan
menyerah juga," habis berkata Leng-hong lantas mengeluarkan sebuah botol porselen kecil
dan menuang keluar sebiji obat berwarna coklat, seketika tercium bau harum yang aneh.
Dengan sorot mata yang rakus orang-orang berbaju hijau itu sama melototi pil yang dipegang
Leng-hong itu, tampang mereka itu mirip anjing kelaparan yang melihat tulang, bahkan
orang-orang ini tampaknya terlebih rendah daripada anjing.
Leng-hong menyodorkan obat itu ke depan Pwe-giok, katanya dengan tertawa:
"Ku tahu kau tidak tahan lagi, boleh kau minum dulu satu biji ini, lalu mulailah bekerja.
Asalkan kau menyatakan tunduk padaku, akupun pasti percaya padamu."
Pwe-giok meremas-remas tangan sendiri, serunya dengan parau: "Tid... tidak, aku... aku tidak
boleh!..."
202 Dengan suara terlebih halus Leng-hong berkata pula: "Sekarang, asalkan pil ini kau terima,
seketika dari neraka kau akan menuju ke surga. Kebahagiaan yang dapat kau peroleh dengan
cara semudah ini, jika kau tidak mau, kan bodoh kau?"
Orang-orang berbaju hijau itu sama mendekam di lantai, napas mereka ngos-ngosan seperti
anjing di musim birahi.
Pwe-giok melirik sekejap orang-orang itu, tiba-tiba terpikir olehnya bilamana obat itu
diminum, seketika dirinya akan berubah serendah orang-orang ini dan selama hidup akan
mengesot di bawah kaki Leng-hong untuk memohon belas kasihannya agar memberinya satu
biji Kek-lok-wan, selama hidupnya akan menjadi budaknya dan tenggelam di tengah
penderitaan yang kotor dan rendah serta takkan menjelma lagi untuk selamanya.
Berpikir sampai di sini, sekujur badan Pwe-giok sudah penuh keringat dingin, mendadak ia
meraung keras-keras, dua orang berbaju hijau itu didepaknya hingga terjungkal, seperti orang
gila ia terus menerjang keluar.
Anehnya Ki Leng-hong tidak merintanginya, ia cuma berucap dengan dingin: "Kau mau
pergi, boleh pergilah. Cukup kau ingat, bilamana kau tidak tahan derita lagi, setiap saat kau
boleh pulang kembali ke sini, Kek-lok-wan ini senantiasa menantikan kedatanganmu, bila kau
kembali ke sini segera kau akan mendapatkan pembebasan."
Tersembul senyuman keji pada wajahnya, katanya pula dengan pelahan: "Sekalipun kakimu
di rantai juga kau akan kembali ke sini, biarpun kedua kakimu ditebas buntung merangkak
pun kau akan pulang lagi ke sini."
***** Pwe-giok terus berlari-lari, ia menerjang ke ladang, ia menjatuhkan diri di tanah berpasir,
bergulingan dan meronta, pakaiannya sudah terkoyak-koyak, tubuh pun berdarah, tapi
sedikitpun tidak dirasakannya. Penderitaan lahiriah ini bukan apa-apa, yang sukar ditahan
adalah penderitaan yang timbul dari rohaniahnya.
Jika orang tidak pernah mengalami sendiri, selamanya takkan dapat membayangkan betapa
menakutkan penderitaan yang sukar dilukiskan itu.
Bahkan Pwe-giok membentur-benturkan kepalanya kepada batu padas sehingga berdarah, ia
menggertak gigi kencang-kencang, ujung mulut pun berdarah, ia memukuli dada sendiri dan
menjambak rambut...
Semua itu tetap tiada gunanya, telinganya selalu mengiang ucapan Ki Leng-hong tadi: "Setiap
saat kau boleh pulang kembali ke sini... bila kau kembali ke sini segera kau akan mendapat
pembebasan?"
Pembebasan, saat ini yang dipikirkannya memang cuma mengharapkan pembebasan, apakah
untuk itu harus menjual raga sendiri atau menjual sukma sendiri, ia tidak perduli lagi.
Seperti apa yang sudah diduga Ki Leng-hong, mendadak ia berbangkit dan menerjang
kembali ke arah datangnya tadi.
203 Mendadak seorang tertawa terkekeh-kekeh dan berkata: "Aha, akhirnya kami dapat
menemukan kau."
Tiga sosok bayangan orang segera melayang tiba seperti burung cepatnya dan menghadang di
depan Pwe-giok, tertampak mantel hitam yang gemerlapan tertimpa sinar matahari. Mereka
ternyata "Khing-hoa-samniocu" adanya.
Akan tetapi bagi Pwe-giok sekarang ketiga 'nona bunga' ini tidak menakutkan lagi. Ia
mendelik matanya merah membara, teriaknya parau: "Menyingkir! Biarkan ku lewat!"
Heran dan terkejut juga Khing-hoa samniocu melihat perubahan luar biasa Pwe-giok ini,
ketiga kakak beradik itu saling pandang sekejap, sambil berkerut kening Thi-hoa-nio lantas
berkata: "Pemuda yang cakap dan ganteng mengapa berubah menjadi seperti binatang buas ?"
Belum lenyap suaranya, serentak Pwe-giok menerjang tiba. Saat ini meski tenaganya sengat
kuat, tapi itu cuma tenaga yang timbul secara naluri, ia sudah lupa cara bagaimana
menggunakan tenaga dalam dan kepandaian.
Perlahan Gin-hoa-nio lantas menjulurkan sebelah tangannya untuk menjegal, kontan Pwegiok
jatuh tersungkur. Kaki Gin-hoa-nio lantas menginjak di atas punggung anak muda itu,
katanya dengan tercengang: "Mengapa orang ini berubah menjadi begini, sampai ilmu silat
sendiripun tidak ingat lagi."
"Kumohon, lepaskan diriku!" ratap Pwe-giok sambil meronta dan menggabruki tahan pasir.
"Hm, kau kira kami akan melepaskan kau pergi?" jengek Gin-hoa-nio.
"Jika kalian tidak mau melepaskan diriku, lebih baik kalian bunuh saja diriku!" seru Pwegiok.
"Ai, kenapa kau berubah menjadi begini?" tanya Kim-hoa-nio dengan gegetun: "Apakah kau
terkena sesuatu racun?"
"Kek-lok-wan..... Kek-lok-wan, kumohon beri... berilah satu biji Kek-lok-wan!" teriak Pwegiok
dengan serak. "Apa itu Kek-lok-wan?" tanya Kim-hoa-nio.
"Kuterima segala permintaanmu, ku tunduk kepada segala perintahmu, ku rela menjadi budak
mu, akan kulakukan apa saja...." agaknya anak muda itu sudah kurang sadar sehingga bicara
tak keruan. "Lihay amat Kek-lok-wan itu," Kata Kim-hoa-nio, "Mengapa tak pernah kuketahui barang
apakah Kek-lok-wan ini sehingga dapat mengubah watak seorang yang keras kepala begini
rela menjadi budaknya?"
"Perduli barang apa, pokoknya kita bawa saja dia," kata Thi-hoa-nio setelah berpikir sejenak.
204 Ia memberi tanda, segera beberapa gadis jelita bergaun cekak berlari dari lereng bukit sana,
mereka membawa sebuah karung berwarna putih kelabu, Pwe-giok terus dimasukkan ke
dalam karung itu.
Karung itu entah terbuat dari bahan apa, kuat dan ulet luar biasa, sia-sia Pwe-giok meronta,
memukul dan menendang di dalam sambil berteriak-teriak.
Mungkin mimpipun Ki Leng-hong tidak pernah menyangka Ji Pwe-giok akan ditawan orang
dimasukkan ke dalam karung dan dibawa pergi, kalau tidak, pasti seperti apa yang telah
diucapkannya, biarpun merangkak juga Pwe-giok akan balik lagi ke sana.
"Sungguh aneh sekali racun yang diidapnya, entah cara bagaimana menawarkan nya dan
entah siapa di dunia Kangouw ini yang paham cara menawarkan racun semacam ini." kata
Kim-hoa-nio dengan masgul.
"Jika kita saja tidak sanggup menawarkannya, siapa lagi di dunia ini yang sanggup?" ujar Thihoa-
nio. "Habis, apakah membiarkan dia dalam keadaan demikian?" ucap Kim-hoa-nio sambil
berkerut kening.
"Toaci jangan lupa, dia adalah musuh kita," kata Gin-hoa-nio dengan ketus. "Sekalipun dia
tidak keracunan juga kita akan membunuh dia, sekarang dia keracunan, mengapa kita berbalik
akan menolongnya?"
Kim-hoa-nio menghela napas panjang, jawabnya: "Meski dia musuh kita, tapi melihat
keadaannya aku menjadi tidak tega dan merasa kasihan."
"Toaci sungguh seorang pecinta besar, cuma cintamu rasanya menjadi tidak murni," kata Thihoa-
nio dengan tertawa.
"Memangnya kau kira kasihanku padanya demi diriku sendiri?" kata Kim-hoa-nio dengan
mengulum senyum.
"Bukan demi dirimu, memangnya demi diriku?" ujar Thi-hoa-nio sambil terkikik-kikik.
"Ucapanmu sekali ini memang tepat, apa yang kulakukan ini justeru demi kau," kata Kimhoa-
nio dengan tertawa.
"Aku?" Thi-hoa-nio menegas, mukanya menjadi merah, sambil menggigit bibir ia berkata
pula: "Padahal.... padahal namanya saja aku tidak tahu, masa.... masa Toaci...." - Belum habis
ucapannya mukanya bertambah merah dan mendadak ia berlari menyingkir.
Dalam pada itu sebuah kereta besar dan mewah tampak memapak tiba, segera kawanan gadis
tadi menggotong karung yang berisi Pwe-giok ke dalam kereta. Khing-hoa-samniocu juga
naik kuda masing-masing dan beramai-ramai terus membedal ke depan.
***** 205 Kereta itu terus menuju ke selatan, melalui propinsi Oh-pak, Su-jwan, kemudian ke propinsi
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kui-ciu. Sepanjang jalan Pwe-giok masih terus meronta-ronta dan meraung-raung, jelas
penderitaannya luar biasa. Tapi Khing-hoa-samniocu tidak memperlakukan dia dengan sadis,
sebaliknya malah merawatnya dengan sangat baik.
Thi-hoa-nio yang galak dan liar itu seakan-akan berubah sama sekali sikapnya terhadap Pwegiok,
bahkan kelihatan merasa sedih.
Kim-hoa-nio tahu meski di mulut saudaranya itu tidak bicara, tapi di dalam hati sesungguhnya
sedang berkuatir bagi Pwe-giok.
Sedangkan Gin-hoa-nio terkadang suka menyindir: "Coba lihat Sam-moay (adik ketiga),
orang hampir membunuhnya, tapi dia malah menyukai dia."
Dengan tertawa Kim-hoa-nio berkata: "Biasanya penilaian Sam-moay sangat tinggi, setiap
lelaki di dunia ini dipandangnya seperti kotoran yang tidak laku sepeserpun. Sebenarnya aku
berkuatir kalau-kalau selama hidupnya takkan mendapat pasangan, tapi sekarang dia bisa
jatuh hati kepada seseorang, kan kita harus bergirang baginya."
"Tapi orang yang ditaksirnya justeru adalah musuh kita," kata Gin-hoa-nio.
"Ah, musuh apa?" ujar Kim-hoa-nio dengan tersenyum. "Padahal ada permusuhan apa antara
dia dengan kita, apalagi kalau dia sudah menjadi suami Sam-moay, dari musuh kan terus
berubah menjadi ipar?"
Gin-hoa-nio melengak, ia tertawa, katanya: "Sungguh aku tidak paham mengapa Sam-moay
bisa penujui dia?"
"He, dia kan lelaki cakap yang jarang ada bandingannya, ilmu silatnya juga tergolong pilihan,
pemuda sebaik ini siapa yang tidak menyukainya" apalagi usia sam-moay sudah waktunya
birahi," kata Kim-hoa-nio.
Gin-hoa-nio menggigit bibir dan tidak bicara lagi, ia terus melarikan kudanya ke depan.
Gerak gerik rombongan ini meski misterius, tapi sangat royal, tidak sayang buang uang,
siapapun menghormati mereka, maka sepanjang jalan tiada terjadi sesuatu halangan.
Sesudah menyeberangi Tiangkang, mereka tidak mencari hotel lagi, sepanjang jalan mereka
disambut dengan hormat oleh keluarga hartawan. Rupanya pengaruh Thian-can-kau diamdiam
telah meluas hingga mencapai daerah Kanglam (selatan sungai Tiangkang), kebanyakan
keluarga hartawan di daerah situ sudah masuk menjadi anggota cabang Thian-can-kau.
Yang menggembirakan Kim-hoa-nio dan Thi-hoa-nio adalah keadaan Pwe-giok sudah
semakin baik, penderitaannya sudah jauh berkurang, terkadang sudah dapat tidur dengan
nyenyak. Sudah tentu mereka tidak tahu bahwa bekerjanya racun Kek-lok-wan yang mengandung
morfin itu lambat laun akan berkurang apabila si penderita sanggup bertahan pada masa krisis
206 yang memang sangat menyiksa itu. Tapi bila tiada mendapat pertolongan, satu diantara sejuta
mungkin juga tidak sanggup menahan siksaan batin yang maha hebat itu. Coba kalau Khinghoa-
sam-niocu tidak terus mencari jejak Ji Pwe-giok, saat ini dia mungkin sudah terjerumus
semakin dalam. Melihat keadaan Pwe-giok yang bertambah sehat, Thi-hoa-nio menjadi girang. Sebaliknya
Gin-hoa-nio tampak semakin dongkol, agaknya dia menaruh dendam kepada Pwe-giok.
Meski perlahan-lahan Pwe-giok sudah sadar kembali, tapi keadaannya sangat lemas, seperti
orang yang baru sembuh dari sakit keras.
Bila teringat dirinya hampir terjerumus ke neraka yang sukar melepaskan diri, tanpa terasa
Pwe-giok berkeringat dingin pula. Baik atau buruk, untung atau celaka, nasib manusia
terkadang hanya bergantung pada sekian detik dan sekian jengkal saja.
Namun perlakuan Khing-hoa-samniocu yang teramat baik padanya membuat hatinya merasa
tidak tenteram, ia tidak tahu apa pula maksud tujuan yang telah dirancang oleh ketiga kakak
beradik yang misterius ini.
Dari propinsi Oh-pak mereka telah masuk ke Su-jwan. Suatu hari sampailah mereka di Songpeng-
pah. Song-peng-pah ini bukan kota besar, tapi jalan kota cukup rajin dan terpelihara. Kotanya juga
ramai, orang berlalu lalang, banyak yang tertarik kepada ketiga kakak beradik yang cantik
dengan keretanya yang besar itu.
Ketiga nona ini malah sengaja turun dari kuda masing-masing dan berjalan dengan
bergandeng tangan, mereka melirik ke kanan dan tersenyum ke kiri, sungguh tidak kepalang
senang mereka melihat orang lain sama terpesona terhadap mereka.
Mendadak Gin-hoa-nio menepuk pundak seorang di tepi jalan, tanyanya dengan tersenyum
genit: "Apakah toako penduduk Song-peng-pah sini?"
Tanpa sebab ditepuk seorang nona cantik, tulang orang itu serasa lemas seluruhnya, melihat
tangan yang putih halus itu masih semampir di pundaknya, tanpa terasa orang itu lantas
merabanya dan menjawab dengan menyengir: "Ya, betul!"
Gin-hoa-nio seolah-olah tidak tahu tangannya lagi diraba-raba orang, ia tertawa terlebih
manis, katanya pula: "Jika demikian, tentu Toako tahu di mana kediaman Ma Siau-thian?"
Mendengar nama Ma Siau-thian, seketika orang itu merasa seperti kena dicambuk satu kali,
cepat ia menarik tangannya kembali dan menjawab dengan hormat: "O, kiranya nona ini
kenalan Ma toaya, beliau tinggal tidak jauh di depan sana, di jalan seberang sana, belok ke
kiri, gedung yang berpintu cat merah itulah."
Tiba-tiba Gin-hoa-nio memberikan lirikan genit, lalu membisiki orang itu: "Kenapa kau takut
kepada Ma Siau-thian" Asalkan kau berani, malam nanti boleh kau datang mencari diriku...."
lalu ia meniup pelahan ke telinga orang itu dan tertawa.
207 Sukma orang itu seakan-akan terbang ke awang-awang, dengan muka merah ia menjawab:
"O, aku..... aku tidak berani."
"Huh, percuma!" omel Gin-hoa-nio dengan tertawa menggiurkan sambil mencubit pelahan
pipi orang itu.
Dengan melenggong orang itu menyaksikan kepergian rombongan Gin-hoa-nio, sampai lama
ia masih berdiri terkesima seperti habis mimpi, ia meraba pipinya yang rada-rada gatal dan
bergumam: "Keparat, barang baik hampir semuanya di borong olehmu, Ma Siau-thian,
dasar...." mendadak pipinya yang rada gatal itu berubah menjadi rasa sakit, pipi itu sudah
bengkak seperti kepala babi, kupingnya juga sakit seperti ditusuk-tusuk jarum, ia kesakitan
dan ketakutan sambil terguling-guling dan menjerit.
"Ai, untuk apa kau lakukan?" omel Kim-hoa-nio sambil menggeleng ketika mendengar jeritan
ngeri dari jauh itu.
Gin-hoa-nio terkekeh-kekeh, katanya: "Terhadap lelaki yang suka iseng begini, kalau tidak
dihajar adat sedikit tentu tidak kapok. Tampaknya Toaci telah berubah menjadi welas asih,
apakah benar-benar sudah siap untuk menjadi menantu baik hati keluarga Tong?"
Kim-hoa-nio mendongkol, ia tidak bicara lagi, tapi terus melangkah ke depan dengan cepat.
Terlihat dinding tembok tinggi di depan sana, beberapa orang sebangsa cecunguk sedang
main dadu lempar di samping pintu besar sana.
Gin-hoa-nio mendekatinya, sekali depak ia bikin salah seorang lelaki itu terpental, orangorang
lain terkejut dan gusar, beramai-ramai mereka membentak.
Tapi Gin-hoa-nio memandang mereka dengan tertawa manis, katanya: "Numpang tanya para
Toako, apakah di sini tempat kediaman Ma-toaya?"
Melihat wajah yang cantik itu, rasa gusar orang-orang itu seketika terbang ke awang-awang,
mereka terbelalak memandangi Gin-hoa-nio dari segala sudut ke segenap bagian tubuhnya.
Seorang diantaranya berkata sambil cengar-cengir: "Akupun she Ma, akupun Ma toaya, ada
keperluan apa adik sayang mencari diriku?"
"Ah, kulihat mukamu ini masih boleh juga," ucap Gin-hoa-nio dengan tertawa genit sambil
menjulurkan tangannya untuk meraba muka orang.
Serentak orang itupun mendekatkan mukanya dan bermaksud mencium, tak tersangka dia
lantas dipersen dengan sekali gamparan keras oleh Gin-hoa-nio hingga mencelat.
Keruan lelaki yang lain menjadi gusar terus hendak mengerubutinya.
Dengan tertawa Gin-hoa-nio berkata: "Aku kan tidak mau menjadi menantu orang, biarpun
hatiku keji dan tanganku keras sedikit juga tidak menjadi soal."
Dia ternyata sengaja berolok-olok kepada Kim-hoa-nio, beberapa orang itu terus dilabraknya
hingga terkapar di sana-sini dengan kepala pecah dan darah mengucur.
208 Kim-hoa-nio mendongkol, tapi iapun tidak menghiraukan lagi.
Pada saat itulah terdengar seorang meraung: "Keparat, anak kura-kura darimana, berani ributribut
di depan pintu Locu" semuanya berhenti!"
Maka muncul seorang lelaki berjubah sulam dengan wajah merah diiringi beberapa lelaki
kekar. Segera Gin-hoa-nio menanggapi dengan tertawa: "Ah, kukira siapa, rupanya Ma-toaya sudah
keluar! Wah, alangkah gagahnya, alangkah kerengnya!"
Beberapa pengiring itu segera mendelik dan bermaksud mendamprat, tapi Ma Siau-thian
lantas pucat demi melihat ketiga nona ini, serentak ia bertekuk lutut dan menyembah, katanya
dengan hormat: "Tecu Ma Siau-thian dari cabang Sujwan utara menyampaikan sembah bakti
kepada ketiga Hiangcu, mohon maaf, karena tidak tahu akan kedatangan ketiga Hiangcu,
sehingga tidak dilakukan penyambutan selayaknya."
Gin-hoa-nio menarik muka dan mendengus: "Hm, mendingan Ma-toaya masih kenal kami,
untung juga kau keluar pada waktunya yang tepat, kalau tidak kami mungkin bisa mampus
dihajar oleh beberapa tuan yang gagah perkasa ini."
Ma Siau-thian berkeringat dingin, cepat ia menyembah lagi dan berkata: "Kawanan binatang
ini memang pantas mampus, mereka benar-benar buta melek, masa berani bersikap kasar
kepada ketiga Hiangcu, sebentar Tecu pasti memberi hukuman setimpal kepada mereka."
Dengan hambar Kim-hoa-nio lantas berkata: "Sudahlah, yang penting sekarang barangkali
Ma-toaya dapat menyediakan suatu tempat bagi kami, sedapatnya tempat yang tenang, sebab
kami membawa seorang sakit di dalam kereta."
Berulang-ulang Ma Siau-thian mengiakan dan menyambut ketiga nona itu ke dalam rumah.
Beberapa cecunguk itu sama terkesima melihat Ma-toaya yang biasanya malang-melintang itu
sekarang ternyata munduk-munduk dan ketakutan terhadap ketiga nona cantik ini.
Ketika melangkah masuk ke dalam gedung itu, mendadak Gin-hoa-nio mendengus: "Yang
menyudahi persoalan ini dan mengampuni mereka adalah Toaci, aku sendiri tidak berkata
demikian."
Ma Siau-thian menjadi kebat-kebit, katanya dengan tergagap: "Ya, Tecu.... Tecu paham."
Thi-hoa-nio menarik lengan baju Gin-hoa-nio dan berkata: "Ji-ci, kau tahu perasaan Toaci
akhir-akhir ini kurang baik, kenapa kau suka membikin marah dia."
"Dia kan tidak mencarikan pacar bagiku, untuk apa aku mesti menjilat dia?" jengek Gin-hoanio
sambil mengebaskan lengan bajunya dan melengos
Setelah menyilakan 'Khing-hoa-samniocu' ke ruangan tamu, Ma Siau-thian mendadak
menyingkirkan semua anak buahnya, lalu berkata dengan hormat: "Tecu tahu ketiga Hiangcu
suka kepada ketenangan, maka setiap saat senantiasa menyediakan tempat yang baik bagi para
Hiangcu." 209 "O, dimana tempatnya?" tanya Kim-hoa-nio.
"Di sini," jawab Ma Siau-thian. Dengan tersenyum ia lantas menggulung sebuah lukisan besar
di ruangan tamu itu, tertampaklah di balik lukisan itu ada sebuah pintu rahasia. Pintu dibuka
dan tertampaklah sebuah jalan tembus, dibalik pintu terdapat beberapa kamar indah.
"Kami kan tidak mau berbuat sesuatu yang malu dilihat orang, kenapa mesti main sembunyisembunyi,"
jengek Gin-hoa-nio.
Ma Siau-thian menjadi seperti diguyur air dingin, ucapnya dengan gelagapan: "O, jika..... jika
Hiangcu kurang suka, di taman belakang masih ada tempat lain...."
"Biarlah, di sini saja," sela Kim-hoa-nio dengan menarik muka. Segera ia mendahului
melangkah masuk ke kamar rahasia itu, beberapa gadis mengikuti di belakangnya dengan
menggotong Ji Pwe-giok.
Melihat tempat yang dikunjungi ketiga nona ini makin lama makin misterius, entah
bagaimana nasibnya nanti bila digotong masuk ke situ. Namun apa daya, biarpun tidak suka,
mau tak mau Pwe-giok hanya menurut saja karena badan tak bisa berkutik.
Setelah menaruh Pwe-giok di atas tempat tidur, beberapa gadis cantik itu lantas tinggal pergi
dengan merapatkan pintu.
Sunyi senyap, di dalam kamar rahasia itu, selagi Pwe-giok berbaring memandangi langitlangit
kamar dengan melamun, sekonyong-konyong seorang membuka pintu dan melangkah
masuk. Ternyata Thi-hoa-nio adanya.
Nona ini berduduk diam saja di ujung ranjang dan memandangi Pwe-giok dengan mengulum
senyum, satu kata saja tidak bicara.
Akhirnya Pwe-giok tidak tahan, ucapnya: "Sekali ini berkat pertolongan nona, kalau tidak ....
kalau tidak, Cayhe mungkin .... mungkin ...."
"Kau tidak benci kepada kami lagi?" tanya Thi-hoa-nio dengan tersenyum.
Pwe-giok tidak tahu cara bagaimana harus menjawabnya, ia menghela napas, katanya
kemudian: "Cayhe tidak pernah membenci kalian, asalkan para nona jang.... jangan...."
"Jangan membunuh orang, begitu bukan?" tukas Thi-hoa-nio.
"Nona sendiripun bilang begitu, bila terlalu banyak membunuh orang, wajah cantik bisa
berubah menjadi buruk," kata Pwe-giok sambil tersenyum getir.
Thi-hoa-nio memandangnya pula sejenak dengan diam, mendadak ia tertawa dan bertanya:
"Jadi kau ingin supaya aku bertambah cantik?"
Jilid 9________
210 Pwe-giok gelagapan dan tak dapat menjawab, bilang suka terasa tidak tepat, bilang tidak suka
juga terasa tidak betul. Ia menjadi kelabakan, ia merasa untuk menjawab pertanyaan nona ini
jauh lebih sukar daripada berbuat apapun.
Thi Hoa-nio menatapnya tajam-tajam, katanya pula:
"Kalau suka bilang suka, kalau tidak jawab saja tidak suka, kenapa tidak berani menjawab ?"
"Sudah.....sudah tentu suka," akhirnya tercetus juga jawabannya.
"Dan kau menghendaki aku turut perkataanmu," tanya Thi Hoa-nio pula dengan tersenyum.
Nona yang jahil ini semakin aneh pertanyaannya.
Dengan menyengir Pwe-giok menjawab:
"Memikirkan diri sendiri saja tidak sempat, mana berani kuharapkan nona menurut kepada
perkataanku ?"
"Asalkan kau menghendaki demikian, tentu aku akan menurut," ucap Thia Hoa-nio dengan
suara lembut. "Tapi...tapi aku...." Pwe-giok tergagap-gagap pula.
"Apakah kau menghendaki aku membunuh orang ?"
"O, aku tidak bermaksud begitu," jawab Pwe-giok.
"Jika begitu, kau cuma ingin ku turut kepada perkataanmu saja ?"
Pwe-giok menghela nafas dan terpaksa mengiakan.
Mendadak Thi Hoa-nio melonjak bangun dan mencium satu kali di pipinya, lalu berlari pergi
dengan tertawa genit.
Menyaksikan menghilangnya bayangan si nona di luar pintu, Pwe-giok berguman sendiri:
"Aneh, mengapa mendadak dia kegirangan begitu " Apakah dia menyangka aku telah
menyanggupi sesuatu kepadanya ?"
Teringat kepada Tong Kongcu yang digoda mereka, tanpa terasa Pwe-giok jadi ngeri sendiri.
Selama beberapa hari ini, meski keadaannya semakin sehat, tapi tetap dirasakan lemas tak
bertenaga, lesu dan lelah, ia melamun hingga lama dan akhirnya terpulas tanpa terasa.
Entah sudah berapa lama dia tertidur, ketika mendadak dirasakannya sesosok tubuh yang
halus dan lunak menyusup ke dalam selimutnya, pelahan-lahan orang itu menggigit samping
lehernya serta meniup hawa di telinganya.
211 Pwe-giok terjaga bangun, namun lampu sudah padam, apapun tidak kelihatan, hanya
dirasakan gumpalan tubuh yang lunak dalam pelukannya dengan bau yang harum sedap dan
membuat jantung berdetak keras.
"He, sia...siapa kau ?" seru Pwe-giok.
Orang yang berbaring disampingnya tidak menjawab, tapi lantas membuka bajunya serta
merangkulnya, jari-jemari yang halus itu meraba perlahan sekujur badannya.
Pwe-giok tahu orang yang menyerahkan diri ke dalam pelukannya ini pasti Thi Hoa-nio
adanya dan tidak mungkin orang lain. Ia merasa detak jantungnya bertambah keras, dengan
menahan perasaan ia berkata: "Jika kau benar-benar menurut perkataanku, hendaklah lekas
kau keluar !"
Tapi orang di sebelahnya tertawa genit dan menjawab: "Siapa mau turut kepada perkataanmu
" Justru kuharap kau yang turut kepada perkataanku, sayang..." suara yang setengah tertahan
dan rada serak itu penuh daya tarik dan godaan.
"Hei, kau, Gin Hoa-nio !" seru Pwe-giok kaget.
"Ya, makanya kau harus turut kepada perkataanku, pasti takkan ku kecewakan kau," kata Gin
Hoa-nio dengan lembut.
Tenaga Pwe-giok saat ini ternyata lenyap tanpa bekas, ia tertindih di bawah hingga hampir tak
dapat bernapas, jantungnya berdetak-detak keras dan mandi keringat.
"Maukah kau menyalakan lampu ?" kata Pwe-giok mendadak.
"cara begini saja apakah kurang baik ?" tanya Gin Hoa-nio
"Aku ingin melihat dirimu," jawab Pwe-giok.
Gin Hoa-nio tertawa cekikikan, katanya: "Sungguh tidak nyana kau ternyata sudah
berpengalaman dan ahli. Baiklah akan kuturuti kehendakmu."
Dengan kaki telanjang Gin hoa-nio lantas melompat turun dari tempat tidur, digerayanginya
batu api untuk menyalakan lampu. Di bawah cahaya lampu itu tertampak jelas potongan
tubuhnya yang menggiurkan.
"Kau mau lihat, silahkan lihatlah sepuasmu !" katanya dengan tertawa sambil melirik genit
kepada Pwe-giok.
Tapi anak muda itu lantas mendengus: "Hm, memang ingin kulihat betapa bejatmu, betapa
kau tidak kenal malu " Hm, kau kira kau sangat cantik " bagiku justru memualkan !"
Selama hidup Pwe-giok belum pernah mengucapkan kata-kata sekeji ini, apalagi terhadap
seorang perempuan. Tapi sekarang ia sengaja hendak memancing kemarahan Gin Hoa-nio,
maka dipilihnya kata-kata yang paling menyakitkan hati dan dilontarkan langsung:
212 Benarlah senyum yang menghiasi wajah Gin Hoa-nio seketika lenyap, mukanya yang
bersemu merah seketika berubah menjadi kelam, lirikan yang menggoda juga memancarkan
sinar buas, teriaknya dengan suara parau: "Kau... kau berani mempermainkan diriku "!"
Kuatir orang akan menggodanya lagi, Pwe-giok lantas mencaci maki sekalian:
"Sekalipun kau tidak tahu malu, seharusnya kau berkaca dulu agar kau tahu.....", makin
menyakitkan hati makiannya, biarpun perempuan yang sedang dirangsang napsu birahi juga
pasti akan dingin seketika.
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bibir Gin Hoa-nio sampai pucat, teriaknya dengan suara gemetar: "Memangnya kau kira kau
sendiri ini lelaki cakap " Hmm, justru ingin kulihat berapa lama kecakapanmu ini akan
bertahan ?"
Mendadak ia menyambar sebilah golok yang tergantung di dinding dan menerjang ke depan
tempat tidur, dicekiknya leher Pwe-giok sambil menyeringai: "Sekarang juga akan ku bikin
kau berubah menjadi lelaki yang paling buruk di dunia ini, agar setiap perempuan di dunia ini
akan mual bila melihat tampangmu. Akan kulihat apakah kau masih bisa jual tampang atau
tidak ?" Segera Pwe-giok merasakan mata golok yang dingin menggores di pipinya, akan tetapi dia
tidak merasakan sakit, sebaliknya merasakan semacam kesadisan yang menyenangkan, ia
malah bergelak tertawa.
Gin Hoa-nio menyaksikan muka yang tiada cacat itu telah robek di bawah mata goloknya,
darah tertampak mengucur dari wajah yang pucat itu. Seketika Gin Hoa-nio merasakan
tangannya gemetar, sayatan kedua sukar dilakukannya lagi.
Maklum, bilamana seorang harus merusak hasil seni yang indah, betapapun memang bukan
pekerjaan mudah.
Tapi Pwe-giok lantas melotot, teriaknya dengan tertawa: "Hayolah, turun tangan lagi "
Mengapa berhenti " Muka ini bukan milikku, jika kau rusak justru kurasakan sebagai suatu
pembebasan bagiku, aku malah berterima kasih padamu dan takkan sakit hati."
Kulit daging yang tersayat itu jadi merekah akibat tertawa Pwe-giok itu, darah mengucur
lebih deras, tapi sorot matanya juga mengandung semacam pembebasan yang latah.
Gin Hoa-nio merasa keringat dinginnya telah membasahi gagang goloknya, dengan suara
histeris ia berteriak: "Biarpun kau tidak sakit hati, tapi ada orang lain yang akan merasa sakit.
Jika tak dapat ku peroleh kau, biarlah kuhancurkan kau, ingin kulihat apakah dia tetap suka
kepada orang gila bermuka buruk macam kau ?"
Mendadak iapun bergelak tertawa seperti orang gila, sayatan kedua akhirnya dilakukan pula.
Sekonyong-konyong "Blang", pintu didobrak orang, Thi Hoa-nio menerjang masuk dan
merangkul pinggang Gin Hoa-nio terus diseretnya mundur sambil berteriak-teriak:
"Toaci, lekas kemari, jici sudah gila !"
213 Gin Hoa-nio meronta-ronta dan menyikut Thi Hoa-nio, teriaknya dengan tertawa:
"Aku tidak gila, tapi kekasihmu itulah yang gila. Dia bilang mukanya itu bukan miliknya,
biarlah kuberikan si gila ini padamu, sekarang diberikan secara gratis padaku juga aku tidak
mau." Selagi Pwe-giok, Gin Hoa-nio dan Thi Hoa-nio berebutan begitu, datanglah Kim Hoa-nio, ia
kaget melihat muka Pwe-giok berdarah, teriaknya: "He.. apa yang kau lakukan?"
Gin-hoa-nio tertawa, teriaknya parau "Akulah yang melakukannya, apakah.. apakah kau pun
merasa sakit..." Belum habis ucapannya, "plok", mukanya telah digampar sekali oleh Kim-
Hoa-nio. Mendadak suara tertawanya berhenti, suasana yang ribut seketika berubah menjadi hening
pula. Thi Hoa-nio melepaskan pegangannya dan Gin Hoa-nio mundur selangkah sambil meraba
pipinya, sorot matanya memancarkan sinar yang buas, teriaknya gemetar: "Kau pukul aku!
Kau berani pukul aku?"
"Mengapa kau berbuat demikian?" tanya Kim Hoa-nio.
Gin Hoa-nio berteriak sambil berjingkrak: "Mengapa aku tidak boleh berbuat begitu" Kau
hanya tahu losam ( ketiga, maksudnya Thi Hoa-nio ) suka padanya, tapi apakah kau tahu
bahwa akupun suka pada nya" Kalian sudah mempunyai pilihan sendiri-sendiri, mengapa aku
tidak boleh memilihnya pula?"
"Bu... Bukankah kau benci padanya?" Tanya Kim Hoa-nio dengan melengak.
"Betul, kubenci dia, akupun benci padamu," teriak Gin Hoa-nio dengan parau. "Kau hanya
tahu usia losam sudah besar dan perlu mencari lelaki. Tahukah kau bahwa usiaku lebih tua
daripada dia, apakah aku tidak menginginkan lelaki?"
Sejenak Kim Hoa-nio tertegun, akhirnya ia menghela napas dan berkata: "Sungguh tak
terpikirkan olehku bahwa kau masih memerlukan bantuanku untuk mencarikan lelaki bagimu.
Kan sudah.. sudah banyak lelakimu. Masa masih perlu dicarikan orang?"
Mendadak Gin Hoa-nio meraung dan mendadak menerjang keluar.
Terdengar suaranya yang semakin menjauh. "Kubenci padamu, kubenci kepada kalian..
kubenci semua orang di dunia ini, kubenci ... hendaklah semua orang di dunia ini mampus
seluruhnya!"
Kim Hoa-nio berdiri termangu-mangu, sampai lama ia diam saja.
Thi Hoa-nio lantas mendekati tempat tidur, melihat wajah Pwe-giok yang rusak itu,
menangislah dia.
214 Sebaliknya Pwe-giok malah bersikap tenang, gumamnya: "Di dunia ini tiada sesuatu yang
kekal, tiada sesuatu yang sempurna, anehnya logika ini kenapa tidak dipahami oleh Kolothau"
Saat ini bila dia melihat diriku, entah bagaimana pula perasaannya.."
Mendadak ia merasa geli dan tertawa terbahak-bahak. Akhirnya ia merasa terbebas dari suatu
beban yang berat, hati terasa lega sekali.
Thi Hoa-nio berhenti menangis, ia pandang anak muda itu dengan terkesiap, apa yang dipikir
Pwe-giok dengan sendirinya tak diketahuinya, siapapun tak dapat memahaminya.
***** Tiga hari kemudian, Pwe-giok merasa sebagian tenaganya sudah pulih, tapi mukanya
sekarang penuh terbalut kain perban, yang kelihatan hanya hidungnya, matanya dan sebagian
mukanya. Kim Hoa-nio dan Thi Hoa-nio memandangi dia dengan penuh rasa menyesal dan pedih.
Akhirnya Kim Hoa-nio berkata: "Apakah benar kau hendak pergi?"
"Saat kepergianku sudah lama lalu," ujar Pwe-giok dengan tertawa.
Mendadak Thi Hoa-nio menubruk maju dan merangkulnya erat-erat sambil berseru: "Kau
jangan pergi! Bagaimanapun kau berubah, tetap" tetap sama baiknya aku terhadapmu."
"Jika betul kau baik padaku seharusnya kau lepaskan aku pergi," kata Pwe-giok dengan
tertawa. "Seorang kalau tidak dapat bergerak bebas, lalu apa artinya hidup ini baginya?"
"Tapi, sedikitnya, harus kau perlihatkan kepada kami betapa kau telah berubah?" kata Kim
Hoa-nio dengan pedih.
"Betapapun perubahan diriku, aku tetap aku," kata Pew giok.
Pelahan ia mendorong Thi Hoa-nio, lalu berbangkit. Katanya pula mendadak dengan tertawa:
"Tahukah kalian, sepergiku dari sini urusan apa yang akan kulakukan pertama-tama?"
"Jangan-jangan akan mencari Jimoay yang kejam itu?" Kata Kim Hoa-nio.
"Aku memang hendak mencari satu orang, tapi bukan dia yang kucari," jawab Pwe-giok
dengan tertawa.
"Habis siapa yang kau cari?" Tanya Thi Hoa-nio sambil mengusap air matanya.
"Jika kalian mau berduduk saja di sini dan membiarkan ku pergi sendiri, inipun sudah cukup
sebagai tanda terima kasih padaku," kata Pwe-giok. Lalu ia melangkah keluar tanpa menoleh.
Ternyata Kim Hoa-nio dan Thi Hoa-nio juga tidak menguntitnya, air mata mereka sudah
berderai. 215 Hati Pwe-giok terasa lega. Tiada sesuatu yang terpikir dan juga tidak perlu menyesal terhadap
seseorang, jika memang tidak pernah merugikan atau mengingkari orang lain, maka air mata
orang lainpun tak dapat mempengaruhi dia.
Dia membuka pintu ruangan di bawah tanah dan menyingkap lukisan itu, cahaya matahari di
waktu senja menyinari mukanya, meski senja belum tiba, namun sudah dekat magrib.
Agar tidak silau ia angkat sebelah tangannya untuk mengalingi sinar matahari, tangan yang
lain digunakan merapatkan pintu. Sekonyong-konyong kedua tangannya terjulur lemas ke
bawah, kakipun terasa berat untuk melangkah.
Ternyata di ruangan luar ini tergantung sebaris orang di belandar, semuanya sudah mati.
Darah segar masih menetes, agaknya darah mereka belum lagi beku. Leher tiap-tiap orang itu
sama tertembus, lalu lubang yang tembus itu dicocok dengan tali dan digantung mirip ayam
panggang. Orang yang paling depan jelas tuan rumah di sini.
Apa yang terjadi ini jelas baru berlangsung sore tadi, sebab siangnya tuan rumah yang ramah
ini pernah masuk ke ruangan bawah tanah dan mengantar santapan.
Orang sebanyak itu terbunuh sekaligus, tapi di ruangan dalam sedikitpun tidak mendengar,
jelas tindakan si pembunuh sangat gesit, cekatan dan juga keji.
Pwe-giok berdiri termangu sejenak, ia ingin masuk kembali ke ruangan dalam, tapi sekilas
pikir ia berganti haluan, segera melangkah keluar ruangan besar itu.
Sekalipun dalam hatinya rada was-was, tapi orang lain tidak dapat mengetahui perasaannya,
waktu ia lalu di barisan orang mati itu, dia anggap seperti lalu di samping sederetan pohon
saja. "Siapa itu" Berhenti!" mendadak seorang membentak.
Seketika Pwe-giok berhenti, tak terlihat rasa kagetnya sedikitpun, juga tiada tampak rasa
gugup atau rasa terpaksa, seperti sudah tahu sebelumnya bakal dibentak orang begitu.
"Kemari Kau" bentak orang itu pula.
Segera Pwe-giok berputar dan melangkah ke sana, maka dapatlah dilihatnya orang yang baru
keluar dari pintu sana adalah Kim yan cu, si walet emas.
Meski dirasakannya agak di luar dugaan, tapi sikapnya tidak berubah, sebaliknya Kim Yan cu
tampak penuh rasa kejut dan heran, bentaknya pula dengan bengis: "kau keluar dari mana"
Mengapa tadi tidak kulihat kau?"
"Ku keluar dari jalan keluar tentunya!" Jawab Pwe-giok dengan hambar.
Kim yan cu membentak pula: "Apakah kau bersembunyi bersama Khing hoa sam-niocu?"
"Benar atau tidak ada sangkut pautnya apa dengan kau?" jawab Pwe-giok ketus.
216 Belum habis ucapannya, tahu-tahu ujung pedang Kim yan cu sudah mengancam di
tenggorokannya. Dengan sendirinya dia tidak kenal lagi yang dihadapinya ialah Ji Pwe-giok.
Maklumlah, saat ini bukan saja mula Pwe-giok hampir seluruhnya terbalut, bahkan sikapnya
yang tenang dan sewajarnya juga sama sekali berbeda daripada dahulu. Jangankan cuma
sebilah pedang yang mengancam tenggorokannya, sekalipun ada seribu pedang yang sama
menusuk ke dalam dagingnya juga takkan menimbulkan rasa jerinya.
Seorang kalau sudah menyaksikan sendiri kematian ayahnya secara ngeri, tapi ia sendiri
malah dituduh sebagai orang gila, malahan harus mengakui sebagai ayah orang gila, malahan
harus mengakui musuh sebagai ayah yang jelas-jelas sudah mati, lalu kejadian apa di dunia ini
yang tak dapat ditahannya"
Jika seorang berhadapan dengan orang yang dicintainya, tapi tidak dapat mengakui dan
berbicara, lalu urusan apa di dunia ini yang dapat membuatnya lebih pedih.
Bila seorang sudah mengalami beberapa kali ancaman maut dan tidak sampai mati karena
kejadian-kejadian yang ajaib, lalu soal apa di dunia ini yang dapat membuatnya takut"
Apabila seorang dari yang cakap telah berubah menjadi buruk rupa, lalu hal apalagi di dunia
ini yang dapat membuatnya merasa risau"
Seorang kalau sudah mengalami berbagai kejadian yang sukar dibayangkan orang lain, maka
tidak ada sesuatu yang dapat mengguncangkan perasaannya.
Ketenangan dan kewajaran Pwe-giok ini diperolehnya dengan imbalan yang cukup mahal,
rasanya di dunia ini tiada orang lain yang mampu membayar semahal ini. Di dunia ini
memang tiada orang lain lagi yang dapat dibandingkan dengan dia.
***** Begitulah tanpa terasa pedang Kim yan cu terjulur ke bawah. Nyata ketenangan orang ini
telah mempengaruhi dia.
Pwe-giok menatapnya tajam-tajam, tanyanya kemudian dengan tertawa: "Dimana Sin to
kongcu ?" "Kau.....kau kenal padaku ?" seru Kim yan cu dengan melenggong.
"Sekalipun cayhe tidak kenal nona juga tahu bahwa nona dan Sin to kongcu selamanya berada
bersama seperti tubuh dan bayangan yang tak pernah terpisahkan."
Kim yan cu terbelalak, katanya kemudian: "Ya, rasanya aku sudah seperti sudah kenal kau."
"Orang yang terluka dan kepalanya terbalut sudah tentu tidak cuma aku saja," kata Pwe-giok.
"Sesungguhnya siapa kau ?" tanya Kim yan cu
"Ji Pwe-giok !"
217 Wajah Kim yan cu yang cantik itu seketika berkerut-kerut, ucapnya dengan gemetar:
"Ji Pwe-giok kan sudah mati, kau....kau..."
"Tahukah nona di dunia ini ada dua Ji Pwe-giok, yang satunya sudah mati, yang lain masih
hidup, syukur cayhe bukan Ji Pwe-giok yang mati itu, cuma kawannya agaknya memang jauh
lebih banyak dariku."
Kim yan cu menghembus nafas lega, tanyanya mendadak: "Apakah kau yang membunuh
orang-orang ini ?"
"Masa bukan nona yang membunuh orang-orang ini ?" balas Pwe-giok bertanya.
"Kejahatan orang-orang ini sudah kelewat takaran, mati sepuluh kali juga belum cukup untuk
menebus dosa mereka," ucap Kim yan cu dengan gemas.
"Memang sudah lama ingin ku bunuh mereka, cuma sayang kedatanganku sekarang ini agak
terlambat sejenak."
"Jadi nona benar-benar tidak tahu siapa pembunuhnya ?" tanya Pwe-giok
"Aku inilah pembunuhnya !" sekonyong-konyong seorang menanggapi dengan pelahan.
Suaranya begitu datar dan hambar, seolah-olah ucapan demikian sudah sangat biasa baginya,
seperti juga membunuh orang bukan sesuatu yang menakutkan dan mengerikan lagi.
Menyusul ucapan tersebut, seorang mendadak muncul di depan mereka. seorang yang
buntung sebelah tangannya.
Jenggot panjang putih kelabu berjuntai di depan dada orang itu, pinggangnya juga terikat tali
sutera putih kelabu, sepatunya juga berwarna putih kelabu, rambutnya yang juga kelabu
terikat dengan kopiah perak.
Mukanya juga putih kelabu, di bawah alisnya yang sama warna, biji matanya yang juga
kepucat-pucatan itu memancarkan sinar yang tajam.
Sudah lama Kim yan-cu malang melintang di dunia Kangouw, biasanya Ia suka menganggap
dirinya adalah perempuan yang paling berani di dunia ini. Tapi sekarang tidak urung ia
merinding juga melihat orang yang aneh ini, serunya kemudian: "Jadi kau yang membunuh
orang-orang ini?"
Dengan hambar si kakek serba kelabu itu menjawab: "Kau kira dengan sebelah tanganku saja
tak dapat membunuh" Jika aku tidak dapat membunuh, tentu orang jahat di dunia ini sekarang
bertambah banyak daripada dahulu."
"Cianpwe.....entah Cianpwe...."
"Tidak perlu kau tanya namaku," potong si kakek sebelum lanjut ucapan Kim yan-cu. "Kalau
kau memusuhi Thian-can-kau, ini berarti kau sehaluan denganku Kalau tidak, saat ini tentu
kau tidak hidup lagi di dunia ini."
218 Bila orang lain yang bicara demikian pada Kim-yan cu, tentu ujung pedang si walet emas
sudah mengancam di ulu hatinya. Tapi sekarang meski hambar saja ucapan si kakek, namun
bagi pendengaran Kim-yan cu rasanya memang tepat dan pantas. Ia lantas bertanya pula:
"Entah Cianpwe sudah menemukan Khing-hoa-sam niocu atau belum?"
"Kau pun bermusuhan dengan mereka?" tanya si kakek.
"Betapa dalamnya permusuhan ini sukar diceritakan dalam waktu singkat," jawab Kim-yan-cu
dengan menggreget.
"Kau bertekad akan menemukan mereka?" tanya si kakek pula.
"Jika dapat menemukan mereka, tanpa kupikirkan apa imbalannya," jawab Kim-yan cu.
"Baik, bila kau ingin menemukan mereka, ikutlah padaku," kata si kakek sambil melangkah
keluar ruangan besar itu, setelah menyusuri taman dan keluar dari sebuah pintu kecil, jalan
lebar di pinto belakang sunyi senyap tiada nampak bayangan seorangpun.
Kim-yan-cu ikut di belakang si kakek dengan penuh semangat. Pwe-giok juga ikut di
belakang mereka dengan penuh rasa sangsi.
Jelas kakek ini tidak tahu di mana beradanya Khing-hoa-sam niocu mengapa dia bilang
hendak membawa Kim yan-cu pergi mencari mereka. Sekalipun kakek ini dapat membunuh
Ma Siau-thian dan begundalnya, tapi orang yang cuma bertangan satu cara bagaimana
menggantung orang sebanyak itu di belandar" Cukup dengan dua soal ini saja jelas si kakek
telah berdusta. Dan untuk apakah dia berdusta"
Orang yang berdusta kebanyakan bertujuan membikin celaka orang lain. Tapi melihat
kemampuan kakek ini, jika dia mau membunuh Kim-yan-cu boleh dikatakan sangat mudah,
kenapa mesti bersusah payah mencari jalan lain. Sesungguhnya hendak dibawa ke manakah
Kim-yan-cu"
Sejak mula si kakek sama sekali tidak memandang Pwe-giok, seolah-olah tidak merasa ada
seorang Ji Pwe-giok di sekitarnya.
Pwe-giok juga mengikuti mereka dengan diam saja tanpa bersuara.
Si kakek dapat menahan perasaannya, Ji Pwe-giok juga cukup sabar, tapi Kim yan-cu yang
tidak tahan akan gejolak pikirannya.
Sementara itu cuaca sudah makin gelap, jalan yang mereka tempuh juga semakin terpencil, di
bawah sinar bulan, kakek yang misterius ini mirip badan halus berwarna kelabu.
"Sesungguhnya Khing-hoa-sam niocu berada di mana?" saking tak tahan akhirnya Kim yancu
bertanya. Si kakek menjawab dengan hambar tanpa menoleh; "Orang yang jahat dengan sendirinya
berada di tempat yang jahat."
"Tempat yang jahat?" tukas Kim-yan-cu.
219 "Ya jika kau tidak berani ke sana, sekarang juga boleh kau putar balik," kata si kakek.
Kim-yan-cu menggreget dan tidak bicara lagi.
Diam-diam Pwe-giok membayangkan kata-kata "tempat yang jahat" tadi, ia merasa maksud
tujuan si kakek lebih-lebih sukar dijajaki.
Lengan baju si kakek yang longgar itu melambai di tanah, jalannya tampaknya tidak cepat,
tapi hanya sebentar saja mereka sudah berada di luar kota.
Kim yan-cu belum lama muncul di Kangouw dan namanya sudah cukup terkenal, dia
memakai nama julukan "walet" dengan sendirinya ahli Gin-kang, namun setelah ikut berjalan
sekian lama bersama si kakek, tanpa terasa mulai terengahlah napasnya.
Mendingan Ji Pwe-giok, meski tenaganya belum pulih seluruhnya, tapi dia belum merasakan
lelah, terhadap kepandaian si kakek diam-diam ia bertambah waspada.
Dilihatnya si kakek berputar kian kemari di tengah hutan, mendadak mereka berada di sutu
lereng bukit yang tidak terlalu tinggi, namun batu padas aneh berserakan di sana sini, lereng
bukit tandus kering, tampaknya sangat curam dan bahaya.
Di tengah lereng terdapat sepotong batu padas besar yang mencuat keluar, pada batu padas itu
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
semula tertatah tiga huruf besar, tapi sekarang penuh dengan bekas bacokan golok, ketiga
huruf itu telah dirusak entah oleh siapa.
"Huruf pada batu padas itu tentu nama gunung ini," demikian Pwe-giok membatin. "Tapi ada
orang sengaja memanjat ke atas dan merusak ketiga huruf itu, apakah maksud tujuannya"
Memangnya nama gunung inipun mengandung sesuatu rahasia sehingga tidak boleh dilihat
orang, masa cuma nama gunung saja mengandung rahasia"
Rupanya setelah beberapa kali menghadapi detik antara mati dan hidup, Pwe-giok bertambah
matang, ia cukup memahami betapa keji dan kejamnya orang hidup ini, maka terhadap segala
sesuatu ia selalu lebih hati-hati. Barang sesuatu yang mungkin dipandang sepele oleh orang
lain, baginya justeru dipandang cukup berharga untuk direnungkan dan dipelajari asalkan ada
sesuatu yang menyangsikan tentu diperhatikannya dengan baik.
Cuma sekarang ia sudah berhasil belajar dari pengalaman, segala sesuatu tentu dipikirnya
lebih mendalam. Sebab itulah rasa sangsinya sekarang juga bertambah besar, namun dia tetap
bersikap tenang dan tidak menyinggungnya.
Setiba di depan batu padas yang mencuat keluar di lereng situ, tanpa kelihatan bergerak, tahutahu
kakek itu telah melayang ke atas padas itu.
Selagi Kim-yan-cu bermaksud ikut melayang ke atas, sekonyong-konyong terdengar suara
keriat-keriut, batu raksasa itu mendadak bergeser pelahan dan tertampaklah sebuah gua yang
gelap di balik gua batu.
Perubahan ini sungguh membuat Pwe-giok terkejut, Kim-yan cu malahan melongo
menyaksikan kejadian itu, dia sudah bergerak mau melompat ke atas, sekarang diurungkan.
220 "Kenapa kalian tidak ikut naik ke sini?" terdengar si kakek berseru.
Kim yan-cu berpaling dan memandang Pwe-giok sekejap, tiba-tiba ia mendesis: "Perjalanan
ini sangat berbahaya, untuk apa kau ikut kemari" Lekas pergi saja!"
Pwe-giok tersenyum, jawabnya: "Sudah ikut sampai di sini, hendak pergipun terasa terlambat
sudah." "Memangnya kenapa?" ujar Kim-yan-cu sambil berkerut kening.
Pwe-giok tidak menjawabnya, segera ia mendahului melayang ke atas. Ia merasakan si kakek
sedang memandangnya dengan sorot mata yang tajam, se-olah2 ingin tahu betapa tinggi
kemampuannya. Tergerak hati Pwe-giok, cepat ia kurangi kekuatannya, hanya setengah
kemampuannya saja dikeluarkannya.
Meski air muka si kakek tidak berubah, tapi sorot matanya mengunjuk perasaan kurang puas.
Sementara itu Kim-yan-cu sudah melompat ke atas dengan sepenuh tenaga dan si kakek
kelihatan merasa senang.
Kembali Pwe-giok merasa heran, Jika si kakek bermaksud jahat terhadap mereka, bila
kepandaian mereka makin rendah kan makin mudah baginya untuk turun tangan, jadi
seharusnya dia merasa senang.
Tapi dari sikapnya ini tampaknya dia mengharapkan ilmu kedua orang muda ini lebih tinggi
lebih baik. Lantas apa maksudnya" Sesungguhnya apa yang dikehendaki"
Saat itu Kim-yan-cu sudah berada di atas batu padas, dilihatnya gua itu gelap gulita, dalamnya
sukar dijajaki, terasa angin dingin meniup keluar dari dalam gua.
Batu raksasa yang bergeser itu tepat ambles ke samping tebing yang mendekuk, jadi sudah diperhitungkan
dengan tepat. Apalagi batu raksasa yang berpuluh ton ini dapat digeser oleh
seorang saja, jelas pesawat rahasianya dibuat sedemikian dan entah betapa banyak memakan
tenaga dan pikiran untuk menciptakan alat rahasia yang hebat ini.
Dan kalau di dalam gua ini tidak tersembunyi sesuatu rahasia yang maha penting, siapa pula
yang sudi mengorbankan tenaga dan pikiran sebesar ini"
Sampai di sini, mau tak mau timbul juga rasa curiga Kim-yan-cu, ia berguman: "Apakah
mungkin Khing-hoa-samniocu berada di gua ini?"
"Gua ini sebenarnya tempat rahasia Thian can-kau, tempat penyimpanan harta karun, apabila
Khing-hoa-samniocu bukan Tancu (kepala seksi) dalam Thian-can-kau, jangan harap dapat
masuk ke sini", kata si kakek
Mendadak Kim-yan-cu bertanya: "Darimana pula Cianpwe mengetahui rahasia Thian-cankau?"
Si kakek tertawa hambar, jawabnya: "hehe, betapa banyak rahasia di dunia ini yang dapat
mengelabui mataku?"
221 Jika kata2 ini diucapkan orang lain, andaikata Kim-yan-cu tidak menganggapnya membual
tentu akan menganggapnya omong besar. Tapi di mulut kakek ini ucapan tersebut memang
lain bobotnya. Kim-yan-cu seperti takluk benar2 lahir batin terhadap kakek itu, setelah berpikir sejenak, ia
bergumam: "Aneh, Thian-can-kau jauh berada di daerah Miau, sebaliknya tempat rahasia
penyimpanan harta pusakanya terletak di sini."
"Kau tidak berani masuk ke situ?" tanya si kakek dengan sorot mata tajam.
Kim-yan-cu menghela napas panjang, katanya keras-keras: "Asalkan dapat menemukan
Khing-hoa-sam niocu, ke gunung golok atau masuk lautan api juga bukan soal bagiku."
Seketika sorot mata si kakek berubah halus lagi, ucapnya: "Bagus, bagus sekali, asalkan kau
tabah dan hati-hati, kujamin kau takkan menghadapi apapun. Kalian boleh masuk saja dan
tidak perlu kuatir."
"Tapi Cayhe tiada maksud buat masuk ke situ," kata Pwe-giok mendadak.
Baru sekarang ia membuka suara, mestinya dia hendak bilang: "Ku tahu Khing-hoa-sam
niocu tidak berada di gua ini, kenapa kau berdusta?"
Tapi dia tahu bilamana kata-kata itu diucapkan, maka si kakek pasti takkan mengampuni dia.
Saat ini ia merasa bukan tandingan si kakek, maka dia sengaja memancingnya dulu dengan
ucapan tadi. Benar juga, segera sorot mata si kakek berubah tajam pula, katanya: "Kau tidak mau masuk
ke sana?" "Cayhe kan tidak ingin mencari Khing-hoa-sam niocu, untuk apa masuk ke situ?" jawab Pwegiok.
"Ya, persoalan ini hakekatnya tiada sangkut pautnya dengan dia, sesungguhnya akupun tidak
kenal dia," demikian cepat Kim-yan-cu menyela.
"Jika kau tidak mau masuk ke sana ya terserah lah, akupun tidak memaksa," kata si kakek
dengan tak acuh.
Seperti tidak sengaja, mendadak tangannya menepuk pelahan pada dinding tebing itu, tiada
terdengar sesuatu suara, tapi di dinding tebing itu lantas bertambah dekukan cap telapak
tangan seperti pahatan senjata tajam.
Dengan tertawa Pwe-giok lantas berkata: "Sebenarnya cayhe tidak berniat masuk ke situ, tapi
kalau benar harta pusaka Thian-can-kau disimpan di sini, kesempatan ini biarlah kugunakan
untuk mencari rejeki."
Si kakek tidak menghiraukan dia lagi, dia mengeluarkan sebuah pedang bersarung perak,
panjangnya cuma setengah meteran, serta sebuah geretan api, semua itu ia serahkan kepada
Kim-yan-cu sambil berkata: "Pedang ini sangat tajam, memotong besi seperti merajang sayur,
222 Geretan api pun bukan barang sembarangan, boleh kau bawa dan tentu banyak gunanya.
Hendaklah kau jaga dengan baik dan jangan sampai hilang."
"Terima kasih," kata Kim-yan-cu.
Begitu dia dan Pwe-giok melangkah masuk gua batu padas raksasa itu pelahan-lahan lantas
bergerak merapat lagi.
Dengan kaget Kim-yan-cu berteriak: "He, jika Cianpwe menutup batu ini, bukankah kami tak
dapat keluar lagi?"
Segera ia bermaksud melompat keluar, siapa tahu mendadak suatu tenaga maha kuat
menolaknya dari luar gua sehingga dia jatuh terjengkang.
Sempat terdengar si kakek berkata: "Jika nanti kau ingin keluar, gunakan pedang pendek itu
mengetuk dinding batu tujuh kali dan segera ku tahu..." belum habis ucapannya batu raksasa
itu sudah menutup rapat.
Seketika keadaan di dalam gua gelap gulita, jari sendiri saja tidak kelihatan.
Mendadak cahaya perak meletik, Km-yan-cu telah menyalakan api geretan yang diberikan si
kakek tadi. Geretan api ini sangat aneh, lelatu berhamburan seperti bunga api dan cahaya
perak yang tidak begitu terang terus terpancar.
Di bawah cahaya perak itu tertampak wajah Pwe-giok yang terbalut kain perban itu, tapi sorot
matanya gemerdep, nyata dia tidak menjadi gugup atau kuatir.
Kim-yan-cu tidak tahu orang ini bodoh atau gendeng, namun jelas nyalinya sangat besar.
Ucapnya dengan menyesal: "Urusan ini kan tiada sangkut-pautnya dengan kau, untuk apa kau
ikut masuk kemari?"
Diam-diam Pwe-giok merasa gegetun: "Meski watak nona ini suka menang, namun hatinya
sangat bajik. Dalam keadaan demikian dia masih juga berpikir bagi orang lain."
Selama beberapa hari ini perempuan yang pernah ditemui Pwe-giok kalau tidak berhati keji
tentu berwatak aneh dan jahil, sekarang mendadak melihat kebaikan hati Kim yan-cu,
seketika timbul kesan baiknya, dengan tersenyum ia menjawab: "Dua orang berada bersama
kan jauh lebih baik daripada menempuh bahaya sendirian?"
"Kau .... kau datang ke sini demi diriku"!" tanya Kim-yan cu dengan melengak.
"Jika nona adalah sahabat Ji Pwe-giok yang itu, maka engkau sama juga kawanku," kata Pwegiok
dengan tertawa.
Kim-yan-cu memandanginya sekejap, mendadak mukanya bersemu merah, untung cahaya
perak itu sangat aneh, air mukanya merah atau putih sukar dibedakan orang lain.
Dia terus melengos ke sana dan terdiam sejenak, kemudian berkata pula: "Menurut
dugaanmu, sesungguhnya apa maksud tujuan orang tua tadi?"
223 "Menurut nona, bagaimana?" Pwe-giok balas bertanya setelah merenung sejenak.
"Jika dia berniat mencelakai diriku, untuk apa pula dia menyerahkan benda berharga ini
kepadaku," kata Kim-yan cu. "Apalagi kalau melihat tenaga pukulannya tadi, jika dia tidak
bermaksud membunuh kita, kukira bukan sesuatu yang sukar baginya."
"Betul, tenaga pukulan orang ini lunak tapi maha kuat, boleh dikatakan sudah terlatih hingga
puncaknya, tampaknya tidak di bawah "Bian-ciang" (pukulan lunak) Jut tun Totiang dari Butong-
pay." "Tapi bila dia tidak bermaksud jahat, mengapa dia memaksa kau masuk kemari, lalu
menyumbat pula jalan keluarnya sehingga kita tiada jalan mundur terpaksa kita harus
menerjang ke depan?"
"Jika demikian, marilah kita menerjang ke depan," kata Pwe-giok dengan tertawa.
Akhirnya Kim-yan-cu berpaling memandangnya lagi sekejap, ucapnya: "Berada di
sampingmu, sekalipun aku merasa takut, akhirnya aku menjadi tidak takut lagi."
Di bawah cahaya perak yang remang-remang, tertawa Kim-yan-cu kelihatan sedemikian
cerah, di balik wajah yang cerah ini tampaknya tiada tersembunyi sesuatu rahasia apa pun.
Diam-diam Pwe-giok menghela napas gegetun, pikirnya: "Apabila setiap perempuan di dunia
ini serupa dia, tentu dunia ini akan jauh lebih aman...."
Kemudian Pwe-giok mengambil oper geretan api itu, dia membuka jalan di depan.
Di bawah cahaya perak tiba-tiba dilihatnya kedua sisi dinding gua ini penuh terukir gambargambar
yang halus dan indah, setiap gambar terdiri dari satu lelaki dan satu perempuan.
Hanya sekejap saja Kim yan-cu memandang ukiran dinding itu, seketika mukanya menjadi
merah, teriaknya: "Tempat setan ini benar-benar tempat jahat, menga... mengapa...."
Muka Pwe-giok terasa panas juga, sungguh tak tersangka olehnya di gua yang misterius ini
bisa terukir gambar-gambar tidak senonoh begini.
Kiranya gambar lelaki dan perempuan yang memenuhi dinding gua itu rata-rata adalah dalam
adegan "hot" di luar susila.
Mendadak Kim-yan-cu mendekap mukanya dan berlari ke depan.
Tak tersangka, sekonyong-konyong dari tempat gelap muncul dua orang, dua golok besar
terus membacok secepat kilat. "Awas!" bentak Pwe-giok.
Begitu bersuara segera ia pun menerjang maju, Kim-yan-cu dirangkulnya dan berguling ke
sana sehingga mata golok menyambar lewat di samping mereka.
"Ah, kiranya cuma dua orang batu saja," ujar Pwe-giok sambil menyengir setelah melihat
jelas kedua penyerang itu.
224 "Tapi kalau tiada kau, bisa jadi aku sudah berubah menjadi orang mati," kata Kim yan-cu.
Pwe-giok merasa bau harum memabukkan, waktu ia menunduk, baru disadarinya Kim-yan-cu
masih berada dalam pelukannya, mulut si nona yang kecil mungil cuma beberapa inci di
bawah mulutnya.
Berdetak keras jantungnya. Selagi ia hendak minta maaf, mendadak Kim yan-cu tertawa
terkekeh-kekeh, katanya: "Sin-to Kongcu yang kau katakan itu tentu akan mati kheki bila
melihat keadaan kita sekarang, Sungguh aku berharap dia benar-benar menyaksikan adegan
ini sekarang."
Tadinya Pwe-giok kuatir si nona akan malu dan menjadi gusar, tak tahunya Kim-yan-cu jauh
lebih terbuka pikirannya daripada nya, bahkan juga tidak pura-pura malu dan berlagak rikuh
segala. Sungguh mujurlah, seorang lelaki dalam keadaan demikian dapat bertemu dengan seorang
nona yang berhati terbuka seperti ini. Mau-tak-mau gembira juga Pwe-giok, katanya dengan
tertawa: "Bahwa sekali ini dia tidak mengikuti kau, sungguh kejadian yang aneh."
Dengan tertawa Kim-yan-cu menjawab: "Sepanjang hari dia terus mengintil di belakangku,
asalkan orang lain memandang sekejap padaku, dia lantas marah. Sungguh aku pun merasa
sebal, maka kucari kesempatan untuk meninggalkan dia..." mendadak sorot matanya menatap
ke belakang Pwe-giok dan berkata pula: "Eh, coba . .. .coba lihat..."
Pwe-giok berpaling, dilihatnya dinding batu di belakangnya seperti berbentuk beberapa daun
pintu, di atas pintu terukir delapan huruf, di bawah cahaya perak itu warnanya kelihatan pucat
kehijau-hijauan.
Ke delapan huruf itu berbunyi: "Siau-hun-bi-kiong, barang siapa masuk mati."
Terbelalak Kim-yan-cu memandangi ukiran itu, katanya sambil berkerut kening: "Tempat
penyimpanan benda pusaka Thian-can-kau mengapa disebut Siau-hun-bi-kiong (istana
penggetar sukma)?"
Tapi dari ukiran cabul yang dilihatnya di dinding gua tadi, lalu melihat lagi nama Siau-hun-bikiong
ini, tahulah Pwe-giok bahwa gua ini tidak saja "jahat", bahkan sangat misterius dan
sangat berbahaya, bisa jadi juga tempat yang sangat mengasyikkan, tempat yang menakutkan
tapi juga menarik seperti dalam dongeng itu.
Mendadak ia menatap Kim-yan-cu dan bertanya: "Kau masih berani masuk ke sana?"
"Apakah dengan kedelapan huruf ini dapat menggertak mundur kita?" jawab Kim-yan-cu
dengan tertawa.
Pwe-giok melengak, katanya kemudian; "Tapi kalau Khing-hoa-sam niocu tidak berada di
dalam sana?"
Kim-yan-cu juga melengak, katanya: "Mengapa mereka tidak berada di dalam" Masa kakek
itu membohongi aku?"
225 "Setahuku, Khing-hoa-sam niocu tidak berada di dalam," tutur Pwe-giok. "Mengenai sebab
apa si kakek membohongi kau, inipun aku tidak habis mengerti,"
Kim-yan-cu berpikir sejenak, katanya kemudian pelahan: "Coba, menurut kau, sesudah
begini, apakah kita masih dapat keluar lagi?"
Dia membetulkan rambutnya yang agak kusut, Ia lalu menyambung pula: "Sekarang biarpun
kita mengetuk tiga ratus kali di dinding batu itu juga si kakek takkan melepaskan kita keluar.
Jika dia telah menipu kita masuk ke sini, betapapun pasti ada maksud tujuannya."
"Setiap langkah di sini ada kemungkinan akan menghadapi bahaya," kata Pwe-giok
kemudian. "Kukira lebih baik kau tunggu di sini saja, biarlah ku masuk lebih jauh untuk memeriksanya."
"Kau sendiri bilang, dua orang berada bersama jauh lebih baik daripada sendirian," ucap Kimyan-
cu dengan tersenyum manis.
Dalam keadaan begini, biasanya watak asli setiap orang akan tertampak, orang yang
menggemaskan bisa bertambah menggemaskan, orang yang menyenangkan bisa pula
bertambah menyenangkan.
Tanpa terasa Pwe-giok menarik tangan Kim-yan-cu, katanya dengan tertawa: "Marilah kita
maju lagi ke sana, asalkan hati-hati kukira takkan..."
Belum habis ucapannya mendadak kaki terasa menginjak tempat kosong, lantai batu di
bawahnya mendadak merekah menjadi sebuah lubang, kontan tubuh kedua orang terjeblos ke
bawah. Kim-yan cu menjerit kaget, tapi segera dirasakan tangan Pwe-giok yang menggandeng
tangannya itu menolaknya dengan kuat, oleh tenaga dorongan yang kuat itu tubuh Kim-yan cu
dapat ditolak ke atas. Sebaliknya Pwe-giok sendiri tetap terjerumus ke bawah.
Berkat tenaga dorongan Pwe-giok itu, Kim-yan-cu berjumpalitan sekali di udara dan
menancapkan kakinya di tepi lubang itu, teriaknya: "He, kau . . . . kau bagaimana?"
Lubang di bawah tanah itu ternyata sangat dalam, cahaya perak geretan api yang dipegang
Pwe-giok kelihatan gemerdep jauh di bawah, tapi tidak jelas apakah anak muda itu masih
hidup atau sudah mati.
Saking cemasnya Kim-yan-cu mengucurkan air mata, teriaknya parau: "Ja... jawablah, kenapa
kau diam saja?"
Tapi tetap tiada suara jawaban dari bawah.
Kim-yan-cu menjadi nekat, ia pejamkan mata dan hendak ikut terjun ke bawah.
Pada saat itulah, sekonyong-konyong seorang telah meraihnya dengan erat. Cepat Kim-yan-cu
membuka mata, cahaya perak kelihatan masih gemerdep di bawah lubang sana, ia terkejut dan
226 heran siapakah yang menariknya. Waktu ia mengawasi lebih cermat, siapa lagi orang yang
berdiri di sebelahnya dengan tersenyum simpul jika bukan Ji Pwe-giok adanya"
Kejut dan girang bercampur aduk, Kim-yan-cu menjerit tertahan terus menubruk ke dalam
pelukan Pwe-giok, serunya: "Ai, kau bikin aku mati kaget, ken .... kenapa tadi kau tidak
bersuara?"
Dengan tersenyum Pwe-giok menjawab: "Dengan menahan napas tadi ku sempat panjat
dinding gua, bila membuka mulut, tentu akan kehilangan tenaga dan bisa jadi benar-benar
terjerumus ke bawah."
"Kulihat gemerdep nya api geretan di bawah sana, kukira .... kukira kau sudah tamat, siapa
tahu geretan api itu cuma terjatuh saja ke bawah dan kau.... kau masih hinggap di dinding gua
dan dapat naik ke atas."
Pwe-giok memandangnya lekat-lekat, ia menghela napas dan berucap: "Dan untuk apa kau
bertindak demikian?"
Yang dimaksudkannya ialah tindakan Kim-yan-cu yang hendak ikut terjun ke bawah tadi.
Kim-yan-cu menunduk, jawabnya pelahan: "Bilamana kau mati lantaran menyelamatkan
diriku, lalu apakah aku dapat hidup sendirian?"
Mendadak ia menengadah dan tertawa cerah, katanya: "Tidak cuma kau saja, siapapun kalau
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mati demi menyelamatkan diriku, kukira aku pasti tak dapat hidup lagi sendirian."
"Apa yang kau katakan terakhir ini sungguh bisa mengecewakan harapanku," Pwe-giok
sengaja menggoda dengan mata berkedip-kedip.
"Ku tahu, orang semacam kau ini pasti sudah lama mempunyai kekasih," ucap Kim-yan-cu
dengan tersenyum. "Sebab itulah bilamana kukatakan akan mati demi dirimu, bukankah akan
membuat kau serba salah?"
Tanpa terasa Pwe-giok memegang pula tangan si nona, katanya dengan tertawa: "Haha,
sungguh kau ini anak perempuan satu-satunya yang tidak membikin kesal daripada semua
anak perempuan yang pernah kukenal."
Ia merasa sangat gembira bisa berada dengan anak perempuan seperti Kim-yan-cu, orangnya
lugu, terus terang, tidak sok, tidak pura-pura dan tidak menonjolkan diri, juga tidak suka
membikin kesal orang. Anak perempuan demikian sungguh terlalu sedikit di dunia ini.
Namun geretan api tadi sudah jatuh ke bawah, sambil memandangi api geretan yang masih
gemerdep itu, kedua orang menjadi sedih.
Sekilas mendadak Pwe-giok melihat pedang pendek bersarung perak itu. Segera ia melolos
pedang itu, sinar pedang kemilauan, ia menusuk pelahan dan hampir seluruh pedang itu
amblas ka dalam batu. Sekali pedang diputar, batu itu lantas berlubang.
"Tajam amat pedang ini," seru Pwe-giok girang. "Untuk menjemput kembali geretan api itu
terpaksa harus kita andalkan pedang ini."
227 Lebih dulu ia mengerek Kim-yan-cu ke bawah, dengan pedang pendek itu Kim-yan-cu
membuat sebaris lubang di dinding, kemudian Pwe-giok merambat ke bawah dengan lubanglubang
di dinding itu sebagai tangga dan geretan api itu berhasil di jemput kembali.
Dilihatnya di dasar gua itu banyak terpasang pisau tajam, ujung pisau penuh berserakan kain
baju dan tulang kering, melihat kain baju yang sudah lapuk itu sedikitnya korban-korban itu
sudah jatuh 20 tahun yang lalu, hanya satu di antaranya, yaitu mayat perempuan berbaju hijau
kelihatan pakaiannya masih baru, mayatnya juga belum membusuk.
Diam-diam Pwe-giok membatin: "Melihat tengkorak-tengkorak ini dan kematian perempuan
berbaju hijau ini jaraknya sedikitnya ada 20 tahun lamanya. Jangan-jangan Siau-hun-bi-kiong
ini sudah 20 tahun tak dikunjungi orang. Jadi rahasia di sini sudah terpendam antara 20 tahun
dan baru akhir-akhir ini ditemukan orang. Dengan sendirinya tempat ini bukan gudang
penyimpan harta pusaka Thian-can-kau segala."
Kim-yan-cu menggosok-gosok sepatunya di lantai untuk menghilangkan lumut dan
kotorannya, maka tertampaklah lantai batu yang rajin dan licin. Ia berkerut kening dan
berkata: "Sepanjang jalan ini mungkin penuh dengan jebakan, cara bagaimana kita harus maju
lebih lanjut?"
"Kau ikut di belakangku, jangan terlalu dekat, dengan demikian, andaikan aku terjeblos kan
masih ada yang bisa menolong," kata Pwe-giok setelah berpikir sejenak.
Mendadak Kim-yan-cu berteriak: "Sebenarnya ini kan urusanku, mestinya aku yang berjalan
di depan, tidak perlu kau anggap aku orang perempuan dan segala sesuatu baru mengalah
padaku!" Pwe-giok tertawa, katanya: "Meski aku tidak ingin menganggap kau sebagai perempuan, tapi
nyatanya kau memang perempuan. Di depan orang perempuan kaum lelaki sok berlagak
sebagai pahlawan, kenapa kau tidak mau mengalah padaku?"
Kim-yan-cu memandangnya tajam-tajam, ucapnya kemudian dengan tertawa: "Sungguh kau
ini satu-satunya lelaki yang tidak menjemukan yang pernah kulihat."
Pwe-giok terus berjalan ke depan dengan lebih hati-hati, sebelum langkahnya terasa mantap,
tentu dia mencoba-cobanya dulu apakah tiada sesuatu jebakan. Sudah tentu reaksinya juga
jauh lebih peka daripada orang lain.
Sepanjang jalan ternyata tiada perangkap lagi, sesudah beberapa tombak jauhnya, sekonyongkonyong
terlihat dua patung batu wanita telanjang yang saling rangkul dengan mesra, bukan
saja perawakan patung itu terukir dengan indah dengan garis-garis tubuhnya yang menyolok,
bahkan wajahnya juga terukir dengan mimik yang "hot" dan penuh daya merangsang. Meski
patung telanjang ini sudah penuh debu, tapi siapapun juga pasti akan berdetak jantungnya bila
melihatnya. Kedua patung batu ini lebih besar sedikit daripada orang hidup dan tepat menghadang di
tengah jalan. 228 Selagi Pwe-giok hendak mencari tombol rahasia untuk menyingkirkan patung itu, dengan
muka merah mendadak Kim-yan-cu merampas geretan api yang dipegang Pwe-giok sambil
mendengus: "Hm, di tempat ini penuh barang begini melulu, sungguh memuakkan."
Sembari berkata mendadak ia mendepak.
Pwe-giok bermaksud mencegahnya, namun sudah terlambat.
Kontan dari pusar salah satu patung perempuan telanjang itu menyemburkan kabut bubuk
putih, cukup keras semburan itu dan langsung menyemprot muka Kim-yan-cu.
Cepat Pwe-giok menariknya ke samping, tanyanya dengan kuatir: "Sudahkah kau cium
baunya?" Karena gugupnya ia sendiripun lupa menahan napas sehingga hidungnya juga sempat
menghisap sedikit bau harum bedak.
Baru saja Kim-yan-cu menggeleng, dilihatnya Pwe-giok telah duduk bersila dan sedang
mengatur pernapasan.
"Kau . . . . kau ..." tanya Kim-yan-cu dengan suara gemetar, ia tahu dirinya yang telah
membikin gara-gara lagi.
Berulang-ulang Pwe-giok mengedipi si nona agar jangan bicara. Meski Kim-yan-cu sudah
tutup mulut, tapi hatinya tambah gelisah. Selang sejenak, dilihatnya Pwe-giok menghela
napas panjang dan berkata: "Untung jarak waktunya sudah terlalu lama sehingga khasiat obat
ini sudah kurang manjur, kalau tidak . . . . "
"Meski khasiat obat sudah kurang manjur, tapi kalau sampai mukaku kesemprot, jiwa tetap
bisa melayang, betul tidak?"
"Bisa jadi!" ucap Pwe-giok. "Kembali kau telah menyelamatkan diriku," kata Kim-yan-cu
dengan menghela napas.
Dengan cahaya geretan Pwe-giok menyinari patung perempuan telanjang itu dan
dipandangnya dengan cermat, sejenak kemudian, mendadak ia berkata; "Coba, pejamkan
matamu?" "Kenapa aku tidak boleh melihatnya?" tanya Kim-yan-cu dengan tertawa.
"Letak kunci rahasianya di tempat yang kurang sopan," tutur Pwe-giok dengan menyengir.
Belum habis ucapannya, cepat Kim-yan-cu memejamkan matanya. Entah di bagian mana
Pwe-giok telah meraba dan memutarnya, lalu terdengarlah suara "Kreek", kedua patung yang
saling rangkul itu mendadak terpisah sehingga bagian tengah terluang jalan lewat selebar
setengah meteran, segera Kim-yan cu lewat ke sana melalui pangkuan kedua patung telanjang
itu. 229 Ia menghela napas, katanya dengan gegetun; "Tak tersangka kau pun mahir berbagai macam
permainan setan begini. Tanpa kau, mungkin selama hidupku jangan harap akan dapat lewat
kesini." "Menurut pendapatku, daripada masuk ke situ akan lebih baik tidak masuk saja ke sana," kata
Pwe-giok pelahan.
"Sebab apa?" tanya Kim-yan-cu dengan tertawa. "Setiap tempat di sini, seumpama tiada
persoalan Khing-hoa-sam niocu juga aku ingin masuk ke sana untuk melihatnya."
"Tempat yang semakin besar rahasianya, bahaya yang akan timbul juga semakin besar..."
"Ada kau, apa yang kutakuti?"
Terpaksa Pwe-giok menyengir pula. Segera ia membuka jalan di depan. Selewatnya rintangan
patung telanjang itu, debu di lantai juga lebih sedikit, di bawah cahaya perak yang gemerdep
samar-samar kelihatan juga penuh gambar dan corat-coret.
Ternyata corat-coret dan gambar di lantai juga melukiskan adegan mesra antara lelaki dan
perempuan. Pwe-giok mengamatinya sejenak katanya kemudian: "Hendaklah kau ingat di mana kakiku
menginjak dan ke situ pula kau ikut melangkah, jangan sampai salah."
Dan di mana kakinya menginjak pertama ternyata adalah bagian tubuh yang paling tidak
sopan yang terlukis di lantai itu.
Sambil ikut melangkah, berulang-ulang Kim-yan-cu mengomel: "Benar-benar tempat setan
dan tidak boleh didatangi orang baik?"
"Sebabnya tuan rumah sengaja mengatur begini tempatnya, mungkin tujuannya justeru
hendak mencegah datangnya orang baik-baik. Sekalipun orang tahu rahasianya, tapi sungkan
juga datang ke sini. Kalau tidak, mana bisa dia terlepas dari tuntutan hukum."
"Bagaimana dengan kau" Kau orang baik-baik bukan?" tanya Kim-yan-cu dengan tertawa.
"Terkadang baik, terkadang juga tidak," jawab Pwe-giok tertawa.
Kim-yan-cu tertawa genit, katanya: "Kau ternyata tidak menjemukan bahkan rada
menyenangkan..."
Belum habis ucapannya, mendadak suara tertawanya terhenti. Dilihatnya seorang gadis
berbaju merah tergantung terbalik dengan muka yang menyeringai seram.
"He, tampaknya barang siapa masuk mati, kata-kata ini bukan cuma gertak sambel belaka,"
seru si walet emas dengan ketakutan.
Mayat gadis berbaju merah ini masih utuh, paling-paling baru dua-hari dia mati.
230 "Tempat yang sudah terpendam selama puluhan tahun, bilamana diketemukan orang, seketika
akan berbondong-bondong didatangi orang banyak, apakah rahasia yang terdapat di tempat ini
memang betul-betul sedemikian menarik sehingga matipun tak terpikir oleh orang-orang?"
demikian gumam Pwe-giok.
Baru dua-tiga langkah, dilihatnya pula mayat seorang perempuan berbaju ungu, mati
terpantek di dinding oleh sebatang paku raksasa berbentuk aneh. Kedua tangannya tampak
erat memegangi pangkal paku, jelas sebelum mati dia berusaha mencabut paku itu, tapi tidak
mampu mencabutnya sehingga dia mati terpantek hidup-hidup.
Hanya sekejap saja Kim yan-cu memandangnya, ia merasa mual dan hampir saja tumpahtumpah.
Selanjutnya setiap beberapa langkah lagi ke depan pasti ditemukan sesosok mayat perempuan,
ada yang mati terbacok golok, ada yang mukanya hancur, ada yang mati terhimpit di tengah
celah-celah batu.
"Jalan ini benar-benar maut menunggu pada setiap langkah, jika aku tidak mengikuti kau,
mungkin sekarang sudah... sudah mengalami nasib serupa anak-anak perempuan ini," kata
Kim yan-cu dengan suara gemetar.
"Tapi mereka dapat sampai di sini, suatu tanda di antara mereka pasti ada orang yang pintar,"
ujar Pwe-giok. "Darimana kau tahu mereka datang bersama?" tanya Kim-yan-cu.
"Kuyakin mereka pasti satu rombongan," jawab Pwe-giok.
"Pada masa hidupnya anak-anak perempuan ini pasti muda dan cantik, tapi untuk apakah
mereka datang ke tempat setan ini dan mengantarkan nyawa," ujar Kim-yan-cu.
"Hanya ada satu alasan," ujar Pwe-giok, "meski tempat ini bukan gudang penyimpan pusaka
Thian-can-kau, tapi pasti terpendam satu partai harta karun yang tak ternilai jumlahnya."
Mendadak Kim-yan-cu berhenti melangkah dan berkata: "Menurut kau, kakek itu sengaja
menipu kita masuk ke sini, mungkinkah kita hanya dijadikan perintis jalan baginya?"
"Kukira memang demikian, makanya dia berharap lebih tinggi ilmu silat kita akan lebih baik
pula, tidak sayang meminjamkan pedang wasiat kepadamu."
"Wah, kalau begitu, apabila kita bisa masuk ke sana, hal ini sama saja seperti membuka jalan
baginya," seru Kim-yan-cu dengan terkesiap.
"Dan umpama kita menemukan benda mestika terpaksa juga harus diserahkan kepadanya.
Dan kalau kita mati, dia sendiri tidak rugi. Hati orang tua ini sungguh keji, padahal kita tidak
pernah kenal dia, namun dia tega menggunakan jiwa kita sebagai taruhan bagi
kepentingannya."
"Di dalam hal ini masih ada kejadian lain yang aneh," kata Pwe-giok setelah berpikir sejenak.
231 "Hal .... hal apa?" tanya Kim-yan-cu.
"Coba kau lihat, jenazah ini semuanya adalah perempuan, di dasar lubang tadi, kulihat
kerangka tulangnya juga seluruhnya tulang perempuan, apakah orang yang datang ke sini dan
mengincar harta pusaka ini tiada seorang lelaki pun?"
"Hal ini ada dua alasan, apakah kalian ingin tahu?" mendadak seorang menanggapi dengan
tak acuh. Mendengar suara yang datar dan hambar ini, air muka Kim yan-cu seketika berubah, ia tarik
tangan Pwe-giok dan berkata: "Hahh, dia .... dia ikut masuk ke sini."
"Jika kugunakan kalian sebagai perintis jalan dengan sendirinya aku mesti ikut masuk
kemari," kata si kakek.
"Setelah kalian menghancurkan semua perangkap yang terpasang di sini, maka aku pun tidak
perlu bersusah payah lagi."
Di tengah gemerdepnya cahaya perak, tahu-tahu orang tua itu sudah muncul seperti badan
halus. Dongkol dan gusar pula Kim-yan-cu, omelnya: "Kuhormati kau sebagai orang tua, tapi kau
bertindak kejam kepada kami malahan tanpa malu-malu kau mengakui perbuatanmu."
"Meski kalian telah menderita bagiku, tapi juga tidak bekerja percuma, kalianpun akan
menarik keuntungannya," kata si kakek bercahaya perak.
"Apalagi kalian diberi kesempatan pesiar ke sini, andaikan matipun tidak perlu penasaran."
"Sesungguhnya tempat apakah ini?" tanya Kim-yan cu.
"Kenapa kalian tidak melihatnya sendiri, itulah dia!" kata si kakek.
Waktu Kim-yan-cu memandang ke arah yang ditunjuk, terlihat di samping mayat seorang
perempuan berbaju hijau, di atas dinding terukir 16 huruf besar yang berbunyi: "Un-yu-cibiang,
bing-lok-ci-kiong" atau surga yang hangat, istana yang gembira. Lalu di bawahnya:
"Siau-hun-si-kut, jik-tok-ji-hiong" atau sukma tergetar tulang terhapus, selain keji juga ganas.
"Empat puluh tahun yang lalu, tempat inilah surga yang di impi-impikan oleh setiap pendekar
muda di seluruh dunia ini," demikian tutur si kakek. "Barang siapa dapat berkunjung ke sini,
sekalipun tulang terhapus dan sukma tergetar juga rela."
"Apa sebabnya?" tanya Kim-yan-cu dengan terkesiap.
"Sebab kalau sudah berada di sini barulah diketahui sesungguhnya apa kegembiraan kaum
lelaki" Hahaha, cuma sayang, setelah menikmati kebahagiaan ini, lalu orang itupun harus
mati." Sampai di sini, si kakek bergelak tertawa beberapa kali, namun suaranya tetap hambar, tiada
tinggi-rendahnya nada, juga tiada terdengar rasa suka atau duka.
232 Kim-yan-cu menarik napas dingin, ucapnya kemudian: "Jika demikian, mengapa di sini tidak
terlihat mayat lelaki seorangpun?"
"Soalnya waktu itu setiap lelaki harus menunggu setelah masuk istana dan dinilai dulu oleh
Siau-hun Kiongcu (puteri penggetar sukma), habis itu barulah dia akan mati," tutur Si kakek.
"Jika sudah tahu tempat setan yang jahat ini mengapa anak perempuan juga sengaja kemari?"
tanya Kim-yan-cu.
"Untuk ini memang banyak alasannya," tutur pula si kakek. "Ada sementara orang perempuan
yang iri kepada kecantikan Siau-hun-kiongcu dan bertekad akan membunuhnya. Ada lagi
yang dendam karena suami atau kekasih sendiri menjadi korban pikatan sang Kiongcu dan
sengaja datang kemari untuk menuntut balas..."
"Tapi kalau Siau-hun-kiongcu itu masih hidup sampai sekarang, tentunya dia sudah berwujud
siluman tua, mengapa masih tetap ada anak perempuan sebanyak ini yang mengantar nyawa
ke sini?" "Meski Siau-hun-kiongcu sudah mati, tapi harta pusakanya dan kitab wasiat tinggalannya
masih berada di sini," kata si kakek. "Harta pusakanya tidak perlu dipersoalkan, melulu kitab
wasiat pelajaran ilmu silatnya saja selama berpuluh tahun ini selalu diincar oleh setiap
perempuan di dunia ini, tak perduli siapapun, asalkan bisa memperoleh Bikang (ilmu
memikat) Siau hun-kiongcu, maka setiap lelaki di dunia ini pasti akan bertekuk lutut di bawah
kakinya." Kim-yan cu memandang Pwe-giok sekejap, tanpa terasa air mukanya menjadi merah pula,
katanya: "Barang kotor begitu, melihat saja aku tidak sudi."
Si kakek tertawa terkekeh-kekeh, katanya: "Tapi sekali sudah kau lihat mungkin kau akan
merasa berat untuk melepaskannya."
Sekonyong-konyong sorot matanya beralih ke arah Pwe-giok, katanya pula; "Meski ilmu
silatmu kurang memadai, tapi pengetahuanmu dalam hal-hal lain ternyata cukup luas, orang
seperti kau ini rasanya sayang jika kubunuh."
Pwe-giok tersenyum, katanya: "Saat ini kita belum masuk ke istana, dengan sendirinya kau
takkan membunuhku."
Mencorong sinar mata si kakek, ucapnya: "Jika kau dapat membawaku masuk ke istana ini,
bukan saja tidak kubunuh kau, bahkan akan ku bagi sama rata harta pusaka yang kita temukan
nanti." "Dan kalau aku tidak mau?" tanya Pwe-giok.
"Jika kau tidak mau, sekarangpun jangan kau harap akan bisa hidup lagi," kata si kakek
dengan hambar. "Tempat ini sudah didatangi orang, bisa jadi harta pusaka yang terpendam di sini sudah
diambil orang," kata Pwe-giok dengan tertawa.
233 "Sampai saat ini belum pernah ada seorangpun yang dapat keluar dari sini dengan hidup!"
ucap si kakek dengan dingin.
Pwe-giok tertawa, katanya: "Sering kudengar kata-kata seperti ini. Padahal tempat yang tak
dapat keluar dengan hidup justeru selalu ada orang yang keluar dengan hidup, hanya
keluarnya tidak diketahui orang lain."
Si kakek terbahak-bahak, katanya; "Dengan mata kepalaku sendiri kusaksikan ke sembilan
perempuan ini masuk ke sini dan aku sendiri yang menyumbat jalan keluarnya, dua hari pula
ku jaga di luar. Bilamana ada orang keluar di luar tahuku, kedua biji mataku ini rela kukorek
keluar." Dengan sorot mata gemerdep Pwe-giok berkata pula dengan pelahan. "Kau membunuh
segenap keluarga Ma Siau-thian, apakah lantaran kau mencurigai dia membocorkan rahasia
tempat ini kepada ke sembilan perempuan ini."
"Hm, kau sudah bertanya terlalu banyak," jawab si kakek dengan sorot mata tajam.
"Hanya karena mencurigai seorang, lalu kau bunuh segenap keluarganya, tidakkah caramu ini
terlalu keji dan kejam?" seru Kim-yan-cu.
"Jangan lupa, yang kubunuh adalah anggota Thian-Can-kau," jawab si kakek dengan tak acuh.
"Lantaran mereka membocorkan rahasiamu kepada orang lain, makanya kau bunuh mereka,
begitu?" Kim-yan-cu menegas.
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hm!" si kakek cuma mendengus saja.
"Tapi dari mana pula orang Thian-can-kau mengetahui rahasiamu?" teriak Kim-yan-cu.
"Jangan-jangan kau pun sekomplotan dengan mereka?"
Mendadak si kakek membalik tubuh dan "plok", tangannya menepuk dinding batu, lalu
menjawab dengan pelahan: "Kaupun sudah terlalu banyak bertanya."
Melihat dekukan cap tangan di dinding, Kim-yan-cu mencibir dan tidak bersuara pula.
***** Cukup lama Pwe-giok meraba dan mencari dan berulang-ulang bergumam: "Jangan-jangan
pintu masuk istananya tidak terletak di sini?"
"Di depan sudah buntu, kalau pintunya tidak di sini, lalu di mana?" ujar si kakek.
Pwe-giok berpikir sejenak, ia menggeser sesosok mayat perempuan berbaju hijau, tiada
dilihatnya sesuatu luka pada mayat ini, tapi kedua tangannya tampak matang biru.
Ia berjongkok, dengan sarung pedang ia mencungkil jari-jemari mayat itu, dilihatnya jari
telunjuk kanan-kiri masing-masing ada setitik darah kering. Seperti luka yang habis digigit
234 nyamuk atau seperti bekas dicocok jarum bilamana orang hendak diperiksa darahnya pada
jaman ini. Namun begitu sudah mengakibatkan kematian perempuan ini.
Pwe-giok berdiri dan menghela napas panjang, gumamnya pula: "Kiranya rahasia untuk
masuk ke dalam istana ini terletak pada kedua titik di huruf "ci" ini."
Huruf yang terukir di dinding batu itu pun, penuh debu, hanya kedua titik pada huruf "Ci" saja
yang kelihatan licin dan bersih, seolah-olah sering digosok.
Dengan girang Kim-yan-cu berseru: "Aha, betul, aku pun tahu sekarang. Asalkan kedua titik
pada huruf Ci ini ditekan, seketika akan muncul pintunya, begitu bukan?"
Sambil berkata segera ia hendak menekan kedua titik itu.
Cepat Pwe-giok mencegahnya dan berkata: "Apakah kau pun akan meniru perempuan baju
hijau ini" Jika setiap kali hendak membuka pintu istana harus mengorbankan satu nyawa,
harga ini kukira terlalu mahal."
Mendadak sinar perak gemerdep, si kakek telah merampas pedang pendek dan memotong
kedua jari telunjuk mayat itu, lalu digunakan menekan kedua titik huruf Ci itu.
Seketika dinding yang tadinya rapat dan rata itu berbunyi keriat-keriut, pelahan-lahan dinding
itu bergeser dan muncul selapis tirai bermutiara yang melambai hingga menyapu lantai.
Cahaya mutiara gemerlapan menyilaukan mata, di atas juga muncul enam belas huruf yang
berbunyi: "Kegembiraan yang bahagia, dinikmati bersama anda. Masuk ke dalam pintu ini,
sekaligus naik ke surga."
Air muka si kakek yang tadinya dingin dan hambar itu seketika memperlihatkan rasa gembira
dan bersemangat, sinar matanya mencorong terang, mendadak ia menengadah dan tertawa
terbahak-bahak; "Hahaha! Rahasia Siau-hun-niocu akhirnya terjatuh juga di tanganku
sekarang!"
Di tengah gelak tertawanya itu ia lantas menyingkap tirai dan melangkah masuk.
Kim-yan-cu coba memeriksa kedua potong jari kutung yang di buang ke lantai itu, ternyata
pada ujung jari yang sudah hitam kering itu bertambah lagi dua lubang kecil. Ia pandang Pwegiok
sekejap, katanya dengan penuh rasa terima kasih: "Kembali kan telah menyelamatkan
diriku. Sungguh tak tersangka pada kedua titik kecil inipun terpasang perangkap yang dapat
membunuh orang."
Kiranya pada kedua titik itu masing-masing ada sebuah jarum berbisa yang sangat lembut dan
hampir sukar terlihat oleh mata telanjang Bilamana jari itu tercocok jarum, hanya terasa gatal
sedikit dan bilamana mulai merasa sakit, maka tak tertolong lagi orangnya.
Pwe-giok sedang memandangi tirai bertabur mutiara itu, seperti sedang menimbang apakah
harus ikut masuk atau tidak. Sekonyong-konyong sebuah tangan yang pucat terjulur keluar
dari balik tirai dan menarik Kim-yan-cu ke dalam.
235 Terdengar si kakek berkata: "Harta pusaka ini ada separuhnya adalah milikmu, kenapa kau
tidak ikut masuk kemari?"
Belum habis ucapannya Kim yan-cu sudah terseret masuk ke sana.
Diam-diam Pwe-giok merenungkan apa yang bakal terjadi nanti, pikirnya; "Setelah maksud
tujuannya tercapai, orang tua ini pasti takkan melepaskan diriku..."
Sementara itu didengarnya suara sorak gembira Kim-yan-cu, akhirnya Pwe-giok ikut
melangkah masuk ke sana.
Di balik tirai itu memang betul terdapat suatu dunia lain. Seketika Pwe-giok merasa silau oleh
gemerlapnya cahaya emas dan sinar perak sehingga tidak jelas keadaan di dalam.
Tiba-tiba Kim-yan-cu mendekatinya dengan membawa sebuah cangkir kumala, di dalam
cangkir penuh terisi ratna mutu manikam yang kemilauan sehingga wajah si nona yang
berseri-seri itu semakin menarik.
"Lihatlah, betapa indah benda-benda ini?" seru si nona dengan berjingkrak gembira.
"Kau suka?" tanya Pwe-giok.
"Anak perempuan mana yang tidak suka kepada intan permata" Kalau lelaki suka kepada
intan permata adalah karena nilainya yang tinggi, sedangkan perempuan suka kepada intan
permata adalah karena keindahannya. Coba lihat, yang ini bagus atau tidak?"
Dia lantas angkat seuntai kalung mutiara dan digantung di depan lehernya, cahaya mutiara
yang kemilauan menyinari kerlingan matanya yang redup seperti agak mabuk.
Pwe-giok menjawab dengan gegetun: "Betapa pun indahnya mutiara ini, mana bisa lebih
indah daripada kerlingan matamu?"
Kim-yan-cu menunduk dan tertawa, mukanya menjadi merah.
Tapi si kakek bercahaya perak tadi sama sekali tidak memandang mereka, terhadap ratna
mutu manikam yang memenuhi ruangan itu seolah-olah juga tidak tertarik, ia masih terus
mencari dan menggeledah di segenap pelosok.
Mutiara, jamrud, kumala, mirah, safir . . .. satu persatu dibuangnya di lantai seperti
membuang sampah. Sungguh aneh, apakah barang yang dicarinya bisa lebih berharga
daripada benda-benda mestika ini"
"Menurut kau, apakah dia sedang mencari Siau-hun-pit-kip (kitab pusaka penggetar sukma)
tinggalan Siau-hun-kiongcu itu?" tanya Kim-yan cu dengan suara tertahan.
"Kukira begitulah," jawab Pwe-giok.
Kim-yan-cu tertawa cekikik, katanya: "Dia kan bukan perempuan, seumpama berhasil
meyakinkan ilmu memikat tinggalan Siau-hun-kiongcu itu, lalu apa gunanya?"
236 Pwe-giok berpikir sejenak, katanya kemudian: "Bisa jadi Kungfu yang diyakinkan nya
sehaluan dengan ilmu Siau-hun kiongcu ini. Jika keduanya bergabung dan saling menambal
kekurangan masing-masing, dengan sendirinya lantas besar manfaatnya. Atau mungkin juga
dia mempunyai anak perempuan..."
Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong terdengar si kakek bergelak tertawa seperti
orang gila. Terlihat tangannya yang pucat itu memegangi beberapa jilid buku tipis warna
jambon, rasa gembiranya itu jauh melebihi Kim-yan-cu ketika menemukan batu permata tadi.
Tanpa terasa Pwe-giok menghela napas panjang.
"Cita-citaku telah terkabul, kau harus ikut bergembira bagiku, kenapa kau menghela napas?"
omel si kakek dengan tertawa.
"Soalnya Cayhe lantas teringat kepada pepatah "Niau-cin-kiong-cong" (burung habis gendewa
disimpan, kiasan bahwa setelah burung terbidik, gendewa tidak diperlukan lagi), maka aku
menjadi sedih."
"Kan sudah kukatakan takkan kubunuh kau, masa aku ingkar janji," ujar si kakek dengan
tergelak. Lalu ia menggunakan tangan kiri dan memberi tanda garis tengah ruangan itu dan
berkata pula: "Bukan saja jiwamu takkan kuganggu, bahkan aku tetap pegang janji dan akan
ku bagi separoh harta pusaka ini kepadamu. Di sinilah batasnya, yang sebelah sana semuanya
adalah milikmu, boleh kau ambil saja sesukamu."
"Anda dapat pegang janji, tidak sia-sia ku sebut engkau sebagai Cianpwe," ujar Kim-yan-cu
dengan tertawa.
Tapi Pwe-giok menanggapi dengan tak acuh: "Biarpun Cianpwe memberikan kepadaku
seluruh harta pusaka ini, kalau tidak dapat kubawa keluar kan juga percuma dan tiada
gunanya," Sembari bicara, seperti tidak sengaja, ia tetap menghadang di depan pintu tanpa bergeser.
Si kakek tertawa, katanya: "Meski ilmu silatmu kurang tinggi, kukira tenagamu cukup kuat,
boleh kau bungkus saja harta pusaka ini sekantong demi sekantong, kan akhirnya dapat kau
bawa pergi seluruhnya?"
"Sekalipun Cianpwe tidak mengganggu jiwaku, tapi bila Cayhe sedang meringkasi bendabenda
berharga ini, mungkin Cianpwe terus melayang keluar dan menyumbat pintu keluar,
lalu apa gunanya biarpun Cianpwe memberikan seluruh harta karun ini kepadaku?"
Tak tersangka oleh si kakek bahwa pemuda yang tampaknya lugu dan tulus itu dapat menerka
isi hatinya. Sejenak ia melenggong, dari malu ia menjadi gusar, segera ia membentak: "Kau
menghadang di depan pintu, apakah kau kira aku tidak mampu keluar?"
Di tengah bentakannya kelima jarinya laksana kaitan terus mencengkeram urat nadi
pergelangan tangan Pwe-giok.
237 Mendadak Pwe-giok memutar tangannya dan berbalik memotong urat nadi lawan, gerakan
cepat dan balas menyerang secara licin ini membuat si kakek terkejut, cepat telapak
tangannya yang lain juga memukul.
Jilid 10________
Pwe-giok tidak mengelak juga tidak menghindar atas serangan si kakek, ia malah sambut
pukulan lawan dengan sebelah tangannya, "plak" kedua tangan beradu, kedua orang samasama
tergetar mundur dua-tiga tindak.
Si kakek sama sekali tidak menyangka Kungfu anak muda ini bisa sedemikian lihai, ia
terkejut dan gusar, katanya dengan menyeringai: "Tak terduga boleh juga kau, akulah yang
salah pandang!"
Belum habis ucapannya, sekaligus ia sudah menyerang beberapa jurus lagi. Di tengah
serangannya yang aneh itu membawa gerakan keji.
Namun Pwe-giok dapat mematahkan setiap jurus serangan lawan, cuma dia baru sembuh dari
keracunan, setelah belasan gebrakan, tenaga mulai terasa lemah. Mendadak ia membentak
pada Kim-yan cu: "Kenapa kau tidak lekas terjang keluar?"
Kim yan-cu memang lagi kesima menyaksikan pertarungan mereka, ia terkesiap oleh
bentakan Pwe-giok itu, tapi ia lantas menjawab dengan tertawa: "Dua lawan satu kan lebih
baik daripada sendirian biarlah akupun maju..."
Cepat Pwe-giok memotong: "Dengan kepandaianmu, biarpun ikut maju juga tiada gunanya.
Terjang keluar saja dan jangan hiraukan diriku!"
Karena bicara dan sedikit lengah, kembali dia terdesak mundur dua tiga langkah.
Melihat pertarungan kedua orang sedemikian rapatnya sehingga dirinya tidak mungkin ikut
campur, terpaksa Kim-yan cu menghela napas, mendadak ia melompat lewat samping si
kakek. Tak terduga punggung si kakek seakan-akan juga tumbuh mata, sebelah tangannya
menghantam ke belakang. Kim-yan-cu tidak sanggup menangkis, dada terasa sesak, ia
terpental dan jatuh terguling ke belakang.
Pada kesempatan itulah Pwe-giok juga melancarkan serangan sehingga dapat mendesak maju
ke tempat semula. "Apakah kau terluka?" tanyanya kepada Kim-yan-cu.
Tubuh Kim-yan cu terasa pegal seluruhnya tapi dia menjawab dengan tersenyum: "Tidak apaapa
jangan kau pikirkan diriku!"
Melihat senyuman si nona yang setengah meringis itu, Pwe-giok tahu dalam waktu singkat
mungkin Kim-yan-cu tidak sanggup berbangkit. Pikirannya menjadi kusut, kembali dia
terdesak mundur lagi oleh hantaman si kakek.
238 Dengan menggertak gigi Pwe-giok menyambut pula tiga kali pukulan kakek itu. Kedua orang
berdiri di luar dan di dalam tirai, sesudah bergebrak beberapa jurus lagi, tirai itu pun robek,
mutiara dan batu permatanya berserakan di lantai.
"Mengapa kau tidak bersuara, apakah kau terluka?" tanya Kim-yau-cu dengan parau.
Terpaksa Pwe-giok berteriak; "Kau jangan kuatir, aku...." karena bersuara, bawa murni dalam
tubuh tambah lemah, kembali dia terdesak mundur dua langkah, kini ia sudah terdesak ke luar
pintu. Si kakek terus mendesak keluar, serunya dengan tertawa: "Kalian berdua boleh dikatakan dua
sejoli yang sehidup semati, sungguh aku menjadi iri."
Pada waktu si kakek bicara, segera Pwe-giok bermaksud menyerang dan mendesak kembali
ke tempat semula, tapi sayang, tenaga tidak mau menuruti kehendaknya lagi. Kain putih yang
membalut kepalanya juga sudah basah kuyup oleh air keringat. Dalam keadaan demikian
kalau dia mau kabur sendiri mungkin masih ada harapan, tapi mana dia tega meninggalkan
Kim-yan-cu begitu saja"
Agaknya si kakek dapat meraba jalan pikirannya dengan menyeringai ia berkata pula: "Jika
kau tidak keluar sekarang, segera akan kututup pintu ini, akan kukurung dia di dalam, dengan
demikian jangan harap lagi kalian akan berkumpul kembali."
Pwe-giok menghela napas, katanya: "Jika demikian, hendaklah kau memberi jalan, biar aku
lewat ke sana."
Si kakek terbahak-bahak, benar juga ia lantas menyingkir ke samping.
Dengan sedih Pwe giok melangkah ke sana. Tapi baru saja sampai ambang pintu, Cepat Pwe
giok berteriak: "Sudah kutahan dia, lekas kau lari!"
Dengan terhuyung-huyung Kim yan cu berlari keluar, katanya dengan suara gemetar: "Dan. . .
.dan kau?"
Tidak kepalang gemas Pwe giok, sungguh dia ingin mencekik leher si nona dan
menghardiknya: "Kenapa kau tidak lari keluar lebih dulu dan nanti berusaha lagi menolong
diriku?" Tapi ia sendiri sedang terdesak oleh serangan si kakek sehingga tidak sempat bersuara sama
sekali. Si kakek sinar perak tertawa terkekeh-kekeh katanya; "Demi keselamatan dirimu, dia rela
mengorbankan dirinya di sini, apakah kau tega pergi sendirian?"
"Sudah tentu tidak mungkin ku pergi sendiri," jawab Kim-yan-cu tegas.
"Mau mati biarlah kami mati bersama saja."
"Bagus," ujar si kakek dengan tertawa. "Dengan demikian barulah dapat dikatakan punya
perasaan, sungguh aku sangat kagum."
239 Cemas dan gemas Pwe-giok sungguh kalau bisa ingin ditendangnya keluar Kim-yan-cu.
Karena gusarnya itu, sedikit meleng, dada terasa panas, rupanya telah kena getaran pukulan si
kakek. Sekali ini dia tidak mampu balas menghantam lagi.
"Haha, apakah nona tidak ingin masuk lagi ke sana?" seru si kakek dengan tertawa.
"Sudah tentu aku akan masuk ke sana, tidak perlu kau kuatir," teriak Kim-yan cu dengan
suara serak. Pwe giok hendak membentak untuk mencegahnya, tapi belum lagi bersuara, tahu-tahu Kimyan-
cu sudah lari masuk lagi dengan langkah sempoyongan dan menubruk ke dalam
pelukannya. Terdengar si kakek tertawa latah, katanya: "Sudah kukatakan takkan kubunuh kau, tentu ku
pegang teguh janjiku ini. Tapi kalau kalian mati sesak di sini kan bukan salahku."
Habis berkata, "krek" pintu batu itu telah tertutup.
Lencana Pembunuh Naga 6 Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko Pendekar Super Sakti 19
Kata-kata ini membikin Pwe-giok terperanjat.
Siapa tahu orang-orang ini benar-benar lantas melolos pisau dan "krak-krek", beramai-ramai
mereka memotong dua jarinya sendiri.
"Kalian berbuat demikian secara suka rela, bukan?" tanya Leng-yan pula.
"Ya, sukarela." jawab orang-orang itu tanpa perduli darah mengucur dari tangan masingmasing.
"Kalian tidak merasa sakit, sebaliknya malah sangat senang, betul tidak?" tanya Leng-yan
pula. "Betul, hamba gembira sekali," jawab orang-orang itu berbareng.
"Kalau gembira, kenapa tidak tertawa?" kata Leng-yan.
Serentak tertawalah orang-orang itu meski sebenarnya semuanya kesakitan setengah mati,
dengan sendirinya tertawa demikian lebih tepat dikatakan meringis.
Merinding Pwe-giok menyaksikan kejadian luar biasa ini, tanpa terasa iapun berkeringat
dingin. Sungguh sukar dibayangkan, kaum lelaki yang kekar dan segar ini seakan-akan telah menjadi
boneka semata-mata. Mereka hanya mengiakan apa yang dikatakan Ki Leng-yan dan perintah
nona itu lantas dilakukan. Sungguh kalau tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri,
betapapun Pwe-giok tidak percaya di dunia ini ada kejadian aneh begini.
Leng-yan berpaling dan tertawa kepadanya, katanya: "Tahukah kau sebab apa mereka tunduk
kepada perkataanku?"
"Mer...mereka..." Pwe-giok gelagapan.
Tapi Leng-yan lantas menukas: "Sebab mereka telah menjual sukmanya kepadaku."
Bulu roma Pwe-giok merasa berdiri seluruhnya, serunya kaget: "Ap...apakah kau sudah
gila...." Si nona tersenyum tenang, katanya pula: "Bukan saja sudah ku beli sukma mereka, bahkan
sukma mu selekasnya juga akan ku beli, bukan saja mereka tunduk kepada perintahku, nanti
kaupun harus tunduk."
Pwe-giok menjadi gusar, teriaknya: "Kau berani". ber....."
"Sekarang kedua kakimu sudah lemas, sekujur badanmu tidak bertenaga lagi, berdiri saja
tidak sanggup, cukup satu jari saja dapat ku robohkan kau!" kata Leng-yan dengan tertawa.
Mendadak Pwe-giok berdiri, tapi memang betul, kedua kakinya terasa lemas, "bluk", ia jatuh
terduduk pula. 199 "Selang sebentar lagi sekujur badanmu akan terasa sebentar dingin sebentar panas, habis itu
seluruh badan akan terasa sakit dan gatal, rasanya seperti beribu-ribu semut sedang menyusup
ke dalam kulit daging mu."
Padahal tidak perlu sebentar lagi, sekarang juga Pwe-giok sudah mempunyai perasaan begitu,
dengan suara gemetar ia bertanya: "Kau....kau turun tangan keji padaku?"
"Hehe, selain diriku masa ada orang lain?" jawab Leng-yan dengan tersenyum manis.
Gemerutuk gigi Pwe-giok saking ngerinya, teriaknya parau: "Meng...mengapa tidak kau
bunuh saja diriku?"
"Orang berguna seperti kau ini, kan sayang jika kubunuh?" ujar si nona dengan tertawa.
Keringat dingin memenuhi dahi Pwe-giok, tanyanya dengan parau: "Sesungguhnya apa
kehendakmu?"
"Meski sekarang kau merasa seperti terjeblos di dalam neraka," kata Leng-yan pula "Tapi
asalkan kau mau menjual sukma kepadaku, segera dapat kubawa kau menuju ke surga,
bahkan ke dunia yang jauh lebih gembira daripada surga."
Pwe-giok merasa tidak tahan lagi akan siksaan ini, dengan suara serak ia tanya: "Apa yang
kau inginkan?"
"Sekarang, hendaklah segera kau pergi ke suatu tempat yang disebut kim-khak-ceng, 23
penghuni perkampungan itu, tua-muda, laki-perempuan harus kau bunuh seluruhnya......" kata
leng-yan dengan tertawa. "Lo Cu-liang, pemilik perkampungan itu terkenal kaya-raya,
sekaranglah aku sangat memerlukan harta-bendanya itu."
"Apakah dalam keadaan begini aku sanggup membunuh orang?" tanya Pwe-giok dengan
tersenyum pedih.
Saat ini kau memang tidak sanggup membunuh, tapi setiba di Kim-khak-ceng segera kau akan
berubah menjadi maha kuat, bila tenagamu tidak kau keluarkan akan terasa tersiksa malah,
rasanya seperti mau meledak," kata si nona.
Siksaan yang sukar ditahan ini hampir membuat Pwe-giok lupa segalanya, sekuatnya ia
berdiri dan menerjang keluar pintu, tapi mendadak dia berlari balik dan berteriak dengan
parau: "Tidak, tak dapat kulakukan hal ini."
"Kau harus, harus kau lakukan, apakah kau ingin bertaruh denganku?" kata Leng-yan dengan
tertawa. Dengan suara gemetar Pwe-giok berkata: "Tadinya kukira kau ini anak perempuan yang tulus
dan bersih, siapa tahu semua ini cuma pura-pura saja, kau berlagak seperti tidak tahu apa-apa
agar orang lain tidak was-was terhadap dirimu, siapa tahu kau terlebih ..... lebih keji daripada
Ki Leng-hong!"
"Hihi," Leng-yan tertawa misterius. "Memangnya kau kira aku ini siapa?"
200 Pwe-giok memandangnya tajam, tiba-tiba dilihatnya sorot mata si nona yang poos dan bersih
itu memancarkan sinar tajam laksana mata elang. Tanpa terasa Pwe-giok bergidik, ucapnya:
"He, kau.... kau inilah Ki Leng-hong!"
Nona itu tertawa terkekeh-kekeh, dia memang bukan Ki Leng-yang melainkan Ki Leng-hong.
Katanya dengan tertawa: "Sudah belasan hari kau menjadi orang tolol, baru sekarang kau tahu
siapa diriku. Hehe, memangnya kau kira aku benar-benar paham bahasa burung" Di dunia ini
mana ada manusia yang benar-benar paham bahasa burung" Biarpun si idiot Leng-yan sendiri
juga belum tentu paham. Apa yang kau pahami adalah hasil penyelidikanku sendiri dengan
segenap daya upaya ku, kalau manusia saja tidak tahu, darimana burung bisa tahu" Huh, kau
sok anggap dirimu pintar, masa hal ini tak dapat kau pahami?"
Gemetar sekujur badan Pwe-giok, katanya: "Pantas, pantas kau berkeras ingin ikut padaku.
Pantas kau memperhitungkan Khing-hoa samniocu, pasti takkan datang lagi, apalagi datang
ke hotel kecil itu..."
"Ya, meski kau terkena racun Khing-hoa-samniocu, tapi tidak terlalu berat, malahan
tampaknya kau pernah minum semacam obat mujarab apa yang memiliki daya tahan sangat
kuat terhadap segala jenis racun."
"Betul, itulah Siau-hoan-tan dari Kun-lun-pay...?"
"Tepat." sela Leng-hong dengan tertawa.
"Cuma Siau-hoan-tan Kun-lun-pay itu meski dapat menawarkan segala macam racun, namun
terhadap Kek-lok-wan (pil maha girang) yang kuberikan padamu ini sedikitpun tak berguna."
"Kek-lok-wan apa?" Pwe-giok menegas dengan kaget.
"Jadi Kek-lok-wan yang kau beri minum padaku ini telah membikin keadaanku menjadi rusak
sedemikian rupa" apakah orang-orang itupun terkena racun Kek-lok-wanmu, maka... maka
sukma merekapun dijual kepadamu"!"
"Jika Kek-lok-wanku kau anggap sebagai racun, maka itu sama seperti kau menghina diriku,"
kata Leng-hong.
"Meski sekarang kau sangat menderita, tapi cukup minum satu biji Kek-lok-wan, seketika
semua rasa derita akan lenyap, bahkan semangatmu akan timbul berlipat ganda dan
membuatmu merasa nikmat tak terhingga."
"Apakah... apakah Kek-lok-wanmu ini bisa membuat orang ketagihan?" tanya Pwe-giok
dengan suara gemetar.
"Barang siapa sudah keracunan maka setiap hari harus meminumnya, kalau tidak tentu akan
merasa tersiksa dan tak tertahankan?"
"Memang benar perkataanmu," kata Leng-hong dengan tertawa.
"Dalam kek-lok-wanku ini mengandung semacam getah tumbuh-tumbuhan yang berasal dari
negeri barat, tumbuhan ini berbunga sangat indah, tapi getah buahnya dapat membuat hidup
201 orang seperti terbang ke awang-awang, tapi juga dapat membikin orang hidup lebih menderita
daripada mati."
Mendadak ia berpaling dan bertanya kepada orang-orang berbaju hijau: "Hidup kalian
sekarang bukankah sangat bahagia?"
"Ya, selamanya hamba tidak pernah sebahagia sekarang ini." sahut orang-orang itu serentak.
"Dan bagaimana kalau tidak kuberi Kek-lok-wan kepada kalian ?" tanya Leng-hong pula.
Seketika wajah orang-orang itu berkerut-kerut, sorot matanya menampilkan rasa kuatir, jelas
rasa takut ini timbul dari lubuk hati yang dalam, semuanya munduk munduk dan memohon
dengan sangat: "Mohon ampun, nona, apapun akan hamba lakukan bagi nona, asalkan setiap
hari nona memberi satu biji Kek-lok-wan."
"Demi memperoleh satu biji Kek-lok-wan, kalian tidak segan-segan menjual ayah-ibu bahkan
istrinya sendiri, begitu bukan?" tanya Leng-hong lagi.
Serentak orang-orang itu mengiakan.
Leng-hong berpaling ke arah Pwe-giok dan tertawa, katanya: "Meski kau tak punya ayah-ibu
dan istri untuk dijual, tapi kau dapat menjual dirimu sendiri, dengan tubuhmu sebagai
imbalannya akan kau dapatkan kebahagiaan sukma mu yang tak terhingga, tidakkah ini cukup
berharga bagimu?"
Keringat bercucuran dari dahi Pwe-giok, serunya dengan tergagap: "Aku... aku..."
Leng-hong berkata dengan suara lembut: "Kau tidak berdaya melawan lagi, selama delapan
hari itu setiap hari telah kutambah kadar Kek-lok-wan yang kuberi minum padamu,
kecanduanmu sekarang sudah jauh lebih dalam daripada mereka, penderitaan yang kau
rasakan hakekatnya tidak mungkin dapat ditahan oleh siapapun juga, kukira lebih baik kau
tunduk dan menurut perintah saja."
Pwe-giok menggertak gigi, saking tersiksanya sampai bicarapun sukar.
"Lebih cepat kau menyatakan tunduk, lebih cepat pula akan berkurang rasa derita mu, kalau
tidak, kau hanya akan tersiksa lebih lama secara sia-sia, sebab akhirnya kau toh pasti akan
menyerah juga," habis berkata Leng-hong lantas mengeluarkan sebuah botol porselen kecil
dan menuang keluar sebiji obat berwarna coklat, seketika tercium bau harum yang aneh.
Dengan sorot mata yang rakus orang-orang berbaju hijau itu sama melototi pil yang dipegang
Leng-hong itu, tampang mereka itu mirip anjing kelaparan yang melihat tulang, bahkan
orang-orang ini tampaknya terlebih rendah daripada anjing.
Leng-hong menyodorkan obat itu ke depan Pwe-giok, katanya dengan tertawa:
"Ku tahu kau tidak tahan lagi, boleh kau minum dulu satu biji ini, lalu mulailah bekerja.
Asalkan kau menyatakan tunduk padaku, akupun pasti percaya padamu."
Pwe-giok meremas-remas tangan sendiri, serunya dengan parau: "Tid... tidak, aku... aku tidak
boleh!..."
202 Dengan suara terlebih halus Leng-hong berkata pula: "Sekarang, asalkan pil ini kau terima,
seketika dari neraka kau akan menuju ke surga. Kebahagiaan yang dapat kau peroleh dengan
cara semudah ini, jika kau tidak mau, kan bodoh kau?"
Orang-orang berbaju hijau itu sama mendekam di lantai, napas mereka ngos-ngosan seperti
anjing di musim birahi.
Pwe-giok melirik sekejap orang-orang itu, tiba-tiba terpikir olehnya bilamana obat itu
diminum, seketika dirinya akan berubah serendah orang-orang ini dan selama hidup akan
mengesot di bawah kaki Leng-hong untuk memohon belas kasihannya agar memberinya satu
biji Kek-lok-wan, selama hidupnya akan menjadi budaknya dan tenggelam di tengah
penderitaan yang kotor dan rendah serta takkan menjelma lagi untuk selamanya.
Berpikir sampai di sini, sekujur badan Pwe-giok sudah penuh keringat dingin, mendadak ia
meraung keras-keras, dua orang berbaju hijau itu didepaknya hingga terjungkal, seperti orang
gila ia terus menerjang keluar.
Anehnya Ki Leng-hong tidak merintanginya, ia cuma berucap dengan dingin: "Kau mau
pergi, boleh pergilah. Cukup kau ingat, bilamana kau tidak tahan derita lagi, setiap saat kau
boleh pulang kembali ke sini, Kek-lok-wan ini senantiasa menantikan kedatanganmu, bila kau
kembali ke sini segera kau akan mendapatkan pembebasan."
Tersembul senyuman keji pada wajahnya, katanya pula dengan pelahan: "Sekalipun kakimu
di rantai juga kau akan kembali ke sini, biarpun kedua kakimu ditebas buntung merangkak
pun kau akan pulang lagi ke sini."
***** Pwe-giok terus berlari-lari, ia menerjang ke ladang, ia menjatuhkan diri di tanah berpasir,
bergulingan dan meronta, pakaiannya sudah terkoyak-koyak, tubuh pun berdarah, tapi
sedikitpun tidak dirasakannya. Penderitaan lahiriah ini bukan apa-apa, yang sukar ditahan
adalah penderitaan yang timbul dari rohaniahnya.
Jika orang tidak pernah mengalami sendiri, selamanya takkan dapat membayangkan betapa
menakutkan penderitaan yang sukar dilukiskan itu.
Bahkan Pwe-giok membentur-benturkan kepalanya kepada batu padas sehingga berdarah, ia
menggertak gigi kencang-kencang, ujung mulut pun berdarah, ia memukuli dada sendiri dan
menjambak rambut...
Semua itu tetap tiada gunanya, telinganya selalu mengiang ucapan Ki Leng-hong tadi: "Setiap
saat kau boleh pulang kembali ke sini... bila kau kembali ke sini segera kau akan mendapat
pembebasan?"
Pembebasan, saat ini yang dipikirkannya memang cuma mengharapkan pembebasan, apakah
untuk itu harus menjual raga sendiri atau menjual sukma sendiri, ia tidak perduli lagi.
Seperti apa yang sudah diduga Ki Leng-hong, mendadak ia berbangkit dan menerjang
kembali ke arah datangnya tadi.
203 Mendadak seorang tertawa terkekeh-kekeh dan berkata: "Aha, akhirnya kami dapat
menemukan kau."
Tiga sosok bayangan orang segera melayang tiba seperti burung cepatnya dan menghadang di
depan Pwe-giok, tertampak mantel hitam yang gemerlapan tertimpa sinar matahari. Mereka
ternyata "Khing-hoa-samniocu" adanya.
Akan tetapi bagi Pwe-giok sekarang ketiga 'nona bunga' ini tidak menakutkan lagi. Ia
mendelik matanya merah membara, teriaknya parau: "Menyingkir! Biarkan ku lewat!"
Heran dan terkejut juga Khing-hoa samniocu melihat perubahan luar biasa Pwe-giok ini,
ketiga kakak beradik itu saling pandang sekejap, sambil berkerut kening Thi-hoa-nio lantas
berkata: "Pemuda yang cakap dan ganteng mengapa berubah menjadi seperti binatang buas ?"
Belum lenyap suaranya, serentak Pwe-giok menerjang tiba. Saat ini meski tenaganya sengat
kuat, tapi itu cuma tenaga yang timbul secara naluri, ia sudah lupa cara bagaimana
menggunakan tenaga dalam dan kepandaian.
Perlahan Gin-hoa-nio lantas menjulurkan sebelah tangannya untuk menjegal, kontan Pwegiok
jatuh tersungkur. Kaki Gin-hoa-nio lantas menginjak di atas punggung anak muda itu,
katanya dengan tercengang: "Mengapa orang ini berubah menjadi begini, sampai ilmu silat
sendiripun tidak ingat lagi."
"Kumohon, lepaskan diriku!" ratap Pwe-giok sambil meronta dan menggabruki tahan pasir.
"Hm, kau kira kami akan melepaskan kau pergi?" jengek Gin-hoa-nio.
"Jika kalian tidak mau melepaskan diriku, lebih baik kalian bunuh saja diriku!" seru Pwegiok.
"Ai, kenapa kau berubah menjadi begini?" tanya Kim-hoa-nio dengan gegetun: "Apakah kau
terkena sesuatu racun?"
"Kek-lok-wan..... Kek-lok-wan, kumohon beri... berilah satu biji Kek-lok-wan!" teriak Pwegiok
dengan serak. "Apa itu Kek-lok-wan?" tanya Kim-hoa-nio.
"Kuterima segala permintaanmu, ku tunduk kepada segala perintahmu, ku rela menjadi budak
mu, akan kulakukan apa saja...." agaknya anak muda itu sudah kurang sadar sehingga bicara
tak keruan. "Lihay amat Kek-lok-wan itu," Kata Kim-hoa-nio, "Mengapa tak pernah kuketahui barang
apakah Kek-lok-wan ini sehingga dapat mengubah watak seorang yang keras kepala begini
rela menjadi budaknya?"
"Perduli barang apa, pokoknya kita bawa saja dia," kata Thi-hoa-nio setelah berpikir sejenak.
204 Ia memberi tanda, segera beberapa gadis jelita bergaun cekak berlari dari lereng bukit sana,
mereka membawa sebuah karung berwarna putih kelabu, Pwe-giok terus dimasukkan ke
dalam karung itu.
Karung itu entah terbuat dari bahan apa, kuat dan ulet luar biasa, sia-sia Pwe-giok meronta,
memukul dan menendang di dalam sambil berteriak-teriak.
Mungkin mimpipun Ki Leng-hong tidak pernah menyangka Ji Pwe-giok akan ditawan orang
dimasukkan ke dalam karung dan dibawa pergi, kalau tidak, pasti seperti apa yang telah
diucapkannya, biarpun merangkak juga Pwe-giok akan balik lagi ke sana.
"Sungguh aneh sekali racun yang diidapnya, entah cara bagaimana menawarkan nya dan
entah siapa di dunia Kangouw ini yang paham cara menawarkan racun semacam ini." kata
Kim-hoa-nio dengan masgul.
"Jika kita saja tidak sanggup menawarkannya, siapa lagi di dunia ini yang sanggup?" ujar Thihoa-
nio. "Habis, apakah membiarkan dia dalam keadaan demikian?" ucap Kim-hoa-nio sambil
berkerut kening.
"Toaci jangan lupa, dia adalah musuh kita," kata Gin-hoa-nio dengan ketus. "Sekalipun dia
tidak keracunan juga kita akan membunuh dia, sekarang dia keracunan, mengapa kita berbalik
akan menolongnya?"
Kim-hoa-nio menghela napas panjang, jawabnya: "Meski dia musuh kita, tapi melihat
keadaannya aku menjadi tidak tega dan merasa kasihan."
"Toaci sungguh seorang pecinta besar, cuma cintamu rasanya menjadi tidak murni," kata Thihoa-
nio dengan tertawa.
"Memangnya kau kira kasihanku padanya demi diriku sendiri?" kata Kim-hoa-nio dengan
mengulum senyum.
"Bukan demi dirimu, memangnya demi diriku?" ujar Thi-hoa-nio sambil terkikik-kikik.
"Ucapanmu sekali ini memang tepat, apa yang kulakukan ini justeru demi kau," kata Kimhoa-
nio dengan tertawa.
"Aku?" Thi-hoa-nio menegas, mukanya menjadi merah, sambil menggigit bibir ia berkata
pula: "Padahal.... padahal namanya saja aku tidak tahu, masa.... masa Toaci...." - Belum habis
ucapannya mukanya bertambah merah dan mendadak ia berlari menyingkir.
Dalam pada itu sebuah kereta besar dan mewah tampak memapak tiba, segera kawanan gadis
tadi menggotong karung yang berisi Pwe-giok ke dalam kereta. Khing-hoa-samniocu juga
naik kuda masing-masing dan beramai-ramai terus membedal ke depan.
***** 205 Kereta itu terus menuju ke selatan, melalui propinsi Oh-pak, Su-jwan, kemudian ke propinsi
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kui-ciu. Sepanjang jalan Pwe-giok masih terus meronta-ronta dan meraung-raung, jelas
penderitaannya luar biasa. Tapi Khing-hoa-samniocu tidak memperlakukan dia dengan sadis,
sebaliknya malah merawatnya dengan sangat baik.
Thi-hoa-nio yang galak dan liar itu seakan-akan berubah sama sekali sikapnya terhadap Pwegiok,
bahkan kelihatan merasa sedih.
Kim-hoa-nio tahu meski di mulut saudaranya itu tidak bicara, tapi di dalam hati sesungguhnya
sedang berkuatir bagi Pwe-giok.
Sedangkan Gin-hoa-nio terkadang suka menyindir: "Coba lihat Sam-moay (adik ketiga),
orang hampir membunuhnya, tapi dia malah menyukai dia."
Dengan tertawa Kim-hoa-nio berkata: "Biasanya penilaian Sam-moay sangat tinggi, setiap
lelaki di dunia ini dipandangnya seperti kotoran yang tidak laku sepeserpun. Sebenarnya aku
berkuatir kalau-kalau selama hidupnya takkan mendapat pasangan, tapi sekarang dia bisa
jatuh hati kepada seseorang, kan kita harus bergirang baginya."
"Tapi orang yang ditaksirnya justeru adalah musuh kita," kata Gin-hoa-nio.
"Ah, musuh apa?" ujar Kim-hoa-nio dengan tersenyum. "Padahal ada permusuhan apa antara
dia dengan kita, apalagi kalau dia sudah menjadi suami Sam-moay, dari musuh kan terus
berubah menjadi ipar?"
Gin-hoa-nio melengak, ia tertawa, katanya: "Sungguh aku tidak paham mengapa Sam-moay
bisa penujui dia?"
"He, dia kan lelaki cakap yang jarang ada bandingannya, ilmu silatnya juga tergolong pilihan,
pemuda sebaik ini siapa yang tidak menyukainya" apalagi usia sam-moay sudah waktunya
birahi," kata Kim-hoa-nio.
Gin-hoa-nio menggigit bibir dan tidak bicara lagi, ia terus melarikan kudanya ke depan.
Gerak gerik rombongan ini meski misterius, tapi sangat royal, tidak sayang buang uang,
siapapun menghormati mereka, maka sepanjang jalan tiada terjadi sesuatu halangan.
Sesudah menyeberangi Tiangkang, mereka tidak mencari hotel lagi, sepanjang jalan mereka
disambut dengan hormat oleh keluarga hartawan. Rupanya pengaruh Thian-can-kau diamdiam
telah meluas hingga mencapai daerah Kanglam (selatan sungai Tiangkang), kebanyakan
keluarga hartawan di daerah situ sudah masuk menjadi anggota cabang Thian-can-kau.
Yang menggembirakan Kim-hoa-nio dan Thi-hoa-nio adalah keadaan Pwe-giok sudah
semakin baik, penderitaannya sudah jauh berkurang, terkadang sudah dapat tidur dengan
nyenyak. Sudah tentu mereka tidak tahu bahwa bekerjanya racun Kek-lok-wan yang mengandung
morfin itu lambat laun akan berkurang apabila si penderita sanggup bertahan pada masa krisis
206 yang memang sangat menyiksa itu. Tapi bila tiada mendapat pertolongan, satu diantara sejuta
mungkin juga tidak sanggup menahan siksaan batin yang maha hebat itu. Coba kalau Khinghoa-
sam-niocu tidak terus mencari jejak Ji Pwe-giok, saat ini dia mungkin sudah terjerumus
semakin dalam. Melihat keadaan Pwe-giok yang bertambah sehat, Thi-hoa-nio menjadi girang. Sebaliknya
Gin-hoa-nio tampak semakin dongkol, agaknya dia menaruh dendam kepada Pwe-giok.
Meski perlahan-lahan Pwe-giok sudah sadar kembali, tapi keadaannya sangat lemas, seperti
orang yang baru sembuh dari sakit keras.
Bila teringat dirinya hampir terjerumus ke neraka yang sukar melepaskan diri, tanpa terasa
Pwe-giok berkeringat dingin pula. Baik atau buruk, untung atau celaka, nasib manusia
terkadang hanya bergantung pada sekian detik dan sekian jengkal saja.
Namun perlakuan Khing-hoa-samniocu yang teramat baik padanya membuat hatinya merasa
tidak tenteram, ia tidak tahu apa pula maksud tujuan yang telah dirancang oleh ketiga kakak
beradik yang misterius ini.
Dari propinsi Oh-pak mereka telah masuk ke Su-jwan. Suatu hari sampailah mereka di Songpeng-
pah. Song-peng-pah ini bukan kota besar, tapi jalan kota cukup rajin dan terpelihara. Kotanya juga
ramai, orang berlalu lalang, banyak yang tertarik kepada ketiga kakak beradik yang cantik
dengan keretanya yang besar itu.
Ketiga nona ini malah sengaja turun dari kuda masing-masing dan berjalan dengan
bergandeng tangan, mereka melirik ke kanan dan tersenyum ke kiri, sungguh tidak kepalang
senang mereka melihat orang lain sama terpesona terhadap mereka.
Mendadak Gin-hoa-nio menepuk pundak seorang di tepi jalan, tanyanya dengan tersenyum
genit: "Apakah toako penduduk Song-peng-pah sini?"
Tanpa sebab ditepuk seorang nona cantik, tulang orang itu serasa lemas seluruhnya, melihat
tangan yang putih halus itu masih semampir di pundaknya, tanpa terasa orang itu lantas
merabanya dan menjawab dengan menyengir: "Ya, betul!"
Gin-hoa-nio seolah-olah tidak tahu tangannya lagi diraba-raba orang, ia tertawa terlebih
manis, katanya pula: "Jika demikian, tentu Toako tahu di mana kediaman Ma Siau-thian?"
Mendengar nama Ma Siau-thian, seketika orang itu merasa seperti kena dicambuk satu kali,
cepat ia menarik tangannya kembali dan menjawab dengan hormat: "O, kiranya nona ini
kenalan Ma toaya, beliau tinggal tidak jauh di depan sana, di jalan seberang sana, belok ke
kiri, gedung yang berpintu cat merah itulah."
Tiba-tiba Gin-hoa-nio memberikan lirikan genit, lalu membisiki orang itu: "Kenapa kau takut
kepada Ma Siau-thian" Asalkan kau berani, malam nanti boleh kau datang mencari diriku...."
lalu ia meniup pelahan ke telinga orang itu dan tertawa.
207 Sukma orang itu seakan-akan terbang ke awang-awang, dengan muka merah ia menjawab:
"O, aku..... aku tidak berani."
"Huh, percuma!" omel Gin-hoa-nio dengan tertawa menggiurkan sambil mencubit pelahan
pipi orang itu.
Dengan melenggong orang itu menyaksikan kepergian rombongan Gin-hoa-nio, sampai lama
ia masih berdiri terkesima seperti habis mimpi, ia meraba pipinya yang rada-rada gatal dan
bergumam: "Keparat, barang baik hampir semuanya di borong olehmu, Ma Siau-thian,
dasar...." mendadak pipinya yang rada gatal itu berubah menjadi rasa sakit, pipi itu sudah
bengkak seperti kepala babi, kupingnya juga sakit seperti ditusuk-tusuk jarum, ia kesakitan
dan ketakutan sambil terguling-guling dan menjerit.
"Ai, untuk apa kau lakukan?" omel Kim-hoa-nio sambil menggeleng ketika mendengar jeritan
ngeri dari jauh itu.
Gin-hoa-nio terkekeh-kekeh, katanya: "Terhadap lelaki yang suka iseng begini, kalau tidak
dihajar adat sedikit tentu tidak kapok. Tampaknya Toaci telah berubah menjadi welas asih,
apakah benar-benar sudah siap untuk menjadi menantu baik hati keluarga Tong?"
Kim-hoa-nio mendongkol, ia tidak bicara lagi, tapi terus melangkah ke depan dengan cepat.
Terlihat dinding tembok tinggi di depan sana, beberapa orang sebangsa cecunguk sedang
main dadu lempar di samping pintu besar sana.
Gin-hoa-nio mendekatinya, sekali depak ia bikin salah seorang lelaki itu terpental, orangorang
lain terkejut dan gusar, beramai-ramai mereka membentak.
Tapi Gin-hoa-nio memandang mereka dengan tertawa manis, katanya: "Numpang tanya para
Toako, apakah di sini tempat kediaman Ma-toaya?"
Melihat wajah yang cantik itu, rasa gusar orang-orang itu seketika terbang ke awang-awang,
mereka terbelalak memandangi Gin-hoa-nio dari segala sudut ke segenap bagian tubuhnya.
Seorang diantaranya berkata sambil cengar-cengir: "Akupun she Ma, akupun Ma toaya, ada
keperluan apa adik sayang mencari diriku?"
"Ah, kulihat mukamu ini masih boleh juga," ucap Gin-hoa-nio dengan tertawa genit sambil
menjulurkan tangannya untuk meraba muka orang.
Serentak orang itupun mendekatkan mukanya dan bermaksud mencium, tak tersangka dia
lantas dipersen dengan sekali gamparan keras oleh Gin-hoa-nio hingga mencelat.
Keruan lelaki yang lain menjadi gusar terus hendak mengerubutinya.
Dengan tertawa Gin-hoa-nio berkata: "Aku kan tidak mau menjadi menantu orang, biarpun
hatiku keji dan tanganku keras sedikit juga tidak menjadi soal."
Dia ternyata sengaja berolok-olok kepada Kim-hoa-nio, beberapa orang itu terus dilabraknya
hingga terkapar di sana-sini dengan kepala pecah dan darah mengucur.
208 Kim-hoa-nio mendongkol, tapi iapun tidak menghiraukan lagi.
Pada saat itulah terdengar seorang meraung: "Keparat, anak kura-kura darimana, berani ributribut
di depan pintu Locu" semuanya berhenti!"
Maka muncul seorang lelaki berjubah sulam dengan wajah merah diiringi beberapa lelaki
kekar. Segera Gin-hoa-nio menanggapi dengan tertawa: "Ah, kukira siapa, rupanya Ma-toaya sudah
keluar! Wah, alangkah gagahnya, alangkah kerengnya!"
Beberapa pengiring itu segera mendelik dan bermaksud mendamprat, tapi Ma Siau-thian
lantas pucat demi melihat ketiga nona ini, serentak ia bertekuk lutut dan menyembah, katanya
dengan hormat: "Tecu Ma Siau-thian dari cabang Sujwan utara menyampaikan sembah bakti
kepada ketiga Hiangcu, mohon maaf, karena tidak tahu akan kedatangan ketiga Hiangcu,
sehingga tidak dilakukan penyambutan selayaknya."
Gin-hoa-nio menarik muka dan mendengus: "Hm, mendingan Ma-toaya masih kenal kami,
untung juga kau keluar pada waktunya yang tepat, kalau tidak kami mungkin bisa mampus
dihajar oleh beberapa tuan yang gagah perkasa ini."
Ma Siau-thian berkeringat dingin, cepat ia menyembah lagi dan berkata: "Kawanan binatang
ini memang pantas mampus, mereka benar-benar buta melek, masa berani bersikap kasar
kepada ketiga Hiangcu, sebentar Tecu pasti memberi hukuman setimpal kepada mereka."
Dengan hambar Kim-hoa-nio lantas berkata: "Sudahlah, yang penting sekarang barangkali
Ma-toaya dapat menyediakan suatu tempat bagi kami, sedapatnya tempat yang tenang, sebab
kami membawa seorang sakit di dalam kereta."
Berulang-ulang Ma Siau-thian mengiakan dan menyambut ketiga nona itu ke dalam rumah.
Beberapa cecunguk itu sama terkesima melihat Ma-toaya yang biasanya malang-melintang itu
sekarang ternyata munduk-munduk dan ketakutan terhadap ketiga nona cantik ini.
Ketika melangkah masuk ke dalam gedung itu, mendadak Gin-hoa-nio mendengus: "Yang
menyudahi persoalan ini dan mengampuni mereka adalah Toaci, aku sendiri tidak berkata
demikian."
Ma Siau-thian menjadi kebat-kebit, katanya dengan tergagap: "Ya, Tecu.... Tecu paham."
Thi-hoa-nio menarik lengan baju Gin-hoa-nio dan berkata: "Ji-ci, kau tahu perasaan Toaci
akhir-akhir ini kurang baik, kenapa kau suka membikin marah dia."
"Dia kan tidak mencarikan pacar bagiku, untuk apa aku mesti menjilat dia?" jengek Gin-hoanio
sambil mengebaskan lengan bajunya dan melengos
Setelah menyilakan 'Khing-hoa-samniocu' ke ruangan tamu, Ma Siau-thian mendadak
menyingkirkan semua anak buahnya, lalu berkata dengan hormat: "Tecu tahu ketiga Hiangcu
suka kepada ketenangan, maka setiap saat senantiasa menyediakan tempat yang baik bagi para
Hiangcu." 209 "O, dimana tempatnya?" tanya Kim-hoa-nio.
"Di sini," jawab Ma Siau-thian. Dengan tersenyum ia lantas menggulung sebuah lukisan besar
di ruangan tamu itu, tertampaklah di balik lukisan itu ada sebuah pintu rahasia. Pintu dibuka
dan tertampaklah sebuah jalan tembus, dibalik pintu terdapat beberapa kamar indah.
"Kami kan tidak mau berbuat sesuatu yang malu dilihat orang, kenapa mesti main sembunyisembunyi,"
jengek Gin-hoa-nio.
Ma Siau-thian menjadi seperti diguyur air dingin, ucapnya dengan gelagapan: "O, jika..... jika
Hiangcu kurang suka, di taman belakang masih ada tempat lain...."
"Biarlah, di sini saja," sela Kim-hoa-nio dengan menarik muka. Segera ia mendahului
melangkah masuk ke kamar rahasia itu, beberapa gadis mengikuti di belakangnya dengan
menggotong Ji Pwe-giok.
Melihat tempat yang dikunjungi ketiga nona ini makin lama makin misterius, entah
bagaimana nasibnya nanti bila digotong masuk ke situ. Namun apa daya, biarpun tidak suka,
mau tak mau Pwe-giok hanya menurut saja karena badan tak bisa berkutik.
Setelah menaruh Pwe-giok di atas tempat tidur, beberapa gadis cantik itu lantas tinggal pergi
dengan merapatkan pintu.
Sunyi senyap, di dalam kamar rahasia itu, selagi Pwe-giok berbaring memandangi langitlangit
kamar dengan melamun, sekonyong-konyong seorang membuka pintu dan melangkah
masuk. Ternyata Thi-hoa-nio adanya.
Nona ini berduduk diam saja di ujung ranjang dan memandangi Pwe-giok dengan mengulum
senyum, satu kata saja tidak bicara.
Akhirnya Pwe-giok tidak tahan, ucapnya: "Sekali ini berkat pertolongan nona, kalau tidak ....
kalau tidak, Cayhe mungkin .... mungkin ...."
"Kau tidak benci kepada kami lagi?" tanya Thi-hoa-nio dengan tersenyum.
Pwe-giok tidak tahu cara bagaimana harus menjawabnya, ia menghela napas, katanya
kemudian: "Cayhe tidak pernah membenci kalian, asalkan para nona jang.... jangan...."
"Jangan membunuh orang, begitu bukan?" tukas Thi-hoa-nio.
"Nona sendiripun bilang begitu, bila terlalu banyak membunuh orang, wajah cantik bisa
berubah menjadi buruk," kata Pwe-giok sambil tersenyum getir.
Thi-hoa-nio memandangnya pula sejenak dengan diam, mendadak ia tertawa dan bertanya:
"Jadi kau ingin supaya aku bertambah cantik?"
Jilid 9________
210 Pwe-giok gelagapan dan tak dapat menjawab, bilang suka terasa tidak tepat, bilang tidak suka
juga terasa tidak betul. Ia menjadi kelabakan, ia merasa untuk menjawab pertanyaan nona ini
jauh lebih sukar daripada berbuat apapun.
Thi Hoa-nio menatapnya tajam-tajam, katanya pula:
"Kalau suka bilang suka, kalau tidak jawab saja tidak suka, kenapa tidak berani menjawab ?"
"Sudah.....sudah tentu suka," akhirnya tercetus juga jawabannya.
"Dan kau menghendaki aku turut perkataanmu," tanya Thi Hoa-nio pula dengan tersenyum.
Nona yang jahil ini semakin aneh pertanyaannya.
Dengan menyengir Pwe-giok menjawab:
"Memikirkan diri sendiri saja tidak sempat, mana berani kuharapkan nona menurut kepada
perkataanku ?"
"Asalkan kau menghendaki demikian, tentu aku akan menurut," ucap Thia Hoa-nio dengan
suara lembut. "Tapi...tapi aku...." Pwe-giok tergagap-gagap pula.
"Apakah kau menghendaki aku membunuh orang ?"
"O, aku tidak bermaksud begitu," jawab Pwe-giok.
"Jika begitu, kau cuma ingin ku turut kepada perkataanmu saja ?"
Pwe-giok menghela nafas dan terpaksa mengiakan.
Mendadak Thi Hoa-nio melonjak bangun dan mencium satu kali di pipinya, lalu berlari pergi
dengan tertawa genit.
Menyaksikan menghilangnya bayangan si nona di luar pintu, Pwe-giok berguman sendiri:
"Aneh, mengapa mendadak dia kegirangan begitu " Apakah dia menyangka aku telah
menyanggupi sesuatu kepadanya ?"
Teringat kepada Tong Kongcu yang digoda mereka, tanpa terasa Pwe-giok jadi ngeri sendiri.
Selama beberapa hari ini, meski keadaannya semakin sehat, tapi tetap dirasakan lemas tak
bertenaga, lesu dan lelah, ia melamun hingga lama dan akhirnya terpulas tanpa terasa.
Entah sudah berapa lama dia tertidur, ketika mendadak dirasakannya sesosok tubuh yang
halus dan lunak menyusup ke dalam selimutnya, pelahan-lahan orang itu menggigit samping
lehernya serta meniup hawa di telinganya.
211 Pwe-giok terjaga bangun, namun lampu sudah padam, apapun tidak kelihatan, hanya
dirasakan gumpalan tubuh yang lunak dalam pelukannya dengan bau yang harum sedap dan
membuat jantung berdetak keras.
"He, sia...siapa kau ?" seru Pwe-giok.
Orang yang berbaring disampingnya tidak menjawab, tapi lantas membuka bajunya serta
merangkulnya, jari-jemari yang halus itu meraba perlahan sekujur badannya.
Pwe-giok tahu orang yang menyerahkan diri ke dalam pelukannya ini pasti Thi Hoa-nio
adanya dan tidak mungkin orang lain. Ia merasa detak jantungnya bertambah keras, dengan
menahan perasaan ia berkata: "Jika kau benar-benar menurut perkataanku, hendaklah lekas
kau keluar !"
Tapi orang di sebelahnya tertawa genit dan menjawab: "Siapa mau turut kepada perkataanmu
" Justru kuharap kau yang turut kepada perkataanku, sayang..." suara yang setengah tertahan
dan rada serak itu penuh daya tarik dan godaan.
"Hei, kau, Gin Hoa-nio !" seru Pwe-giok kaget.
"Ya, makanya kau harus turut kepada perkataanku, pasti takkan ku kecewakan kau," kata Gin
Hoa-nio dengan lembut.
Tenaga Pwe-giok saat ini ternyata lenyap tanpa bekas, ia tertindih di bawah hingga hampir tak
dapat bernapas, jantungnya berdetak-detak keras dan mandi keringat.
"Maukah kau menyalakan lampu ?" kata Pwe-giok mendadak.
"cara begini saja apakah kurang baik ?" tanya Gin Hoa-nio
"Aku ingin melihat dirimu," jawab Pwe-giok.
Gin Hoa-nio tertawa cekikikan, katanya: "Sungguh tidak nyana kau ternyata sudah
berpengalaman dan ahli. Baiklah akan kuturuti kehendakmu."
Dengan kaki telanjang Gin hoa-nio lantas melompat turun dari tempat tidur, digerayanginya
batu api untuk menyalakan lampu. Di bawah cahaya lampu itu tertampak jelas potongan
tubuhnya yang menggiurkan.
"Kau mau lihat, silahkan lihatlah sepuasmu !" katanya dengan tertawa sambil melirik genit
kepada Pwe-giok.
Tapi anak muda itu lantas mendengus: "Hm, memang ingin kulihat betapa bejatmu, betapa
kau tidak kenal malu " Hm, kau kira kau sangat cantik " bagiku justru memualkan !"
Selama hidup Pwe-giok belum pernah mengucapkan kata-kata sekeji ini, apalagi terhadap
seorang perempuan. Tapi sekarang ia sengaja hendak memancing kemarahan Gin Hoa-nio,
maka dipilihnya kata-kata yang paling menyakitkan hati dan dilontarkan langsung:
212 Benarlah senyum yang menghiasi wajah Gin Hoa-nio seketika lenyap, mukanya yang
bersemu merah seketika berubah menjadi kelam, lirikan yang menggoda juga memancarkan
sinar buas, teriaknya dengan suara parau: "Kau... kau berani mempermainkan diriku "!"
Kuatir orang akan menggodanya lagi, Pwe-giok lantas mencaci maki sekalian:
"Sekalipun kau tidak tahu malu, seharusnya kau berkaca dulu agar kau tahu.....", makin
menyakitkan hati makiannya, biarpun perempuan yang sedang dirangsang napsu birahi juga
pasti akan dingin seketika.
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bibir Gin Hoa-nio sampai pucat, teriaknya dengan suara gemetar: "Memangnya kau kira kau
sendiri ini lelaki cakap " Hmm, justru ingin kulihat berapa lama kecakapanmu ini akan
bertahan ?"
Mendadak ia menyambar sebilah golok yang tergantung di dinding dan menerjang ke depan
tempat tidur, dicekiknya leher Pwe-giok sambil menyeringai: "Sekarang juga akan ku bikin
kau berubah menjadi lelaki yang paling buruk di dunia ini, agar setiap perempuan di dunia ini
akan mual bila melihat tampangmu. Akan kulihat apakah kau masih bisa jual tampang atau
tidak ?" Segera Pwe-giok merasakan mata golok yang dingin menggores di pipinya, akan tetapi dia
tidak merasakan sakit, sebaliknya merasakan semacam kesadisan yang menyenangkan, ia
malah bergelak tertawa.
Gin Hoa-nio menyaksikan muka yang tiada cacat itu telah robek di bawah mata goloknya,
darah tertampak mengucur dari wajah yang pucat itu. Seketika Gin Hoa-nio merasakan
tangannya gemetar, sayatan kedua sukar dilakukannya lagi.
Maklum, bilamana seorang harus merusak hasil seni yang indah, betapapun memang bukan
pekerjaan mudah.
Tapi Pwe-giok lantas melotot, teriaknya dengan tertawa: "Hayolah, turun tangan lagi "
Mengapa berhenti " Muka ini bukan milikku, jika kau rusak justru kurasakan sebagai suatu
pembebasan bagiku, aku malah berterima kasih padamu dan takkan sakit hati."
Kulit daging yang tersayat itu jadi merekah akibat tertawa Pwe-giok itu, darah mengucur
lebih deras, tapi sorot matanya juga mengandung semacam pembebasan yang latah.
Gin Hoa-nio merasa keringat dinginnya telah membasahi gagang goloknya, dengan suara
histeris ia berteriak: "Biarpun kau tidak sakit hati, tapi ada orang lain yang akan merasa sakit.
Jika tak dapat ku peroleh kau, biarlah kuhancurkan kau, ingin kulihat apakah dia tetap suka
kepada orang gila bermuka buruk macam kau ?"
Mendadak iapun bergelak tertawa seperti orang gila, sayatan kedua akhirnya dilakukan pula.
Sekonyong-konyong "Blang", pintu didobrak orang, Thi Hoa-nio menerjang masuk dan
merangkul pinggang Gin Hoa-nio terus diseretnya mundur sambil berteriak-teriak:
"Toaci, lekas kemari, jici sudah gila !"
213 Gin Hoa-nio meronta-ronta dan menyikut Thi Hoa-nio, teriaknya dengan tertawa:
"Aku tidak gila, tapi kekasihmu itulah yang gila. Dia bilang mukanya itu bukan miliknya,
biarlah kuberikan si gila ini padamu, sekarang diberikan secara gratis padaku juga aku tidak
mau." Selagi Pwe-giok, Gin Hoa-nio dan Thi Hoa-nio berebutan begitu, datanglah Kim Hoa-nio, ia
kaget melihat muka Pwe-giok berdarah, teriaknya: "He.. apa yang kau lakukan?"
Gin-hoa-nio tertawa, teriaknya parau "Akulah yang melakukannya, apakah.. apakah kau pun
merasa sakit..." Belum habis ucapannya, "plok", mukanya telah digampar sekali oleh Kim-
Hoa-nio. Mendadak suara tertawanya berhenti, suasana yang ribut seketika berubah menjadi hening
pula. Thi Hoa-nio melepaskan pegangannya dan Gin Hoa-nio mundur selangkah sambil meraba
pipinya, sorot matanya memancarkan sinar yang buas, teriaknya gemetar: "Kau pukul aku!
Kau berani pukul aku?"
"Mengapa kau berbuat demikian?" tanya Kim Hoa-nio.
Gin Hoa-nio berteriak sambil berjingkrak: "Mengapa aku tidak boleh berbuat begitu" Kau
hanya tahu losam ( ketiga, maksudnya Thi Hoa-nio ) suka padanya, tapi apakah kau tahu
bahwa akupun suka pada nya" Kalian sudah mempunyai pilihan sendiri-sendiri, mengapa aku
tidak boleh memilihnya pula?"
"Bu... Bukankah kau benci padanya?" Tanya Kim Hoa-nio dengan melengak.
"Betul, kubenci dia, akupun benci padamu," teriak Gin Hoa-nio dengan parau. "Kau hanya
tahu usia losam sudah besar dan perlu mencari lelaki. Tahukah kau bahwa usiaku lebih tua
daripada dia, apakah aku tidak menginginkan lelaki?"
Sejenak Kim Hoa-nio tertegun, akhirnya ia menghela napas dan berkata: "Sungguh tak
terpikirkan olehku bahwa kau masih memerlukan bantuanku untuk mencarikan lelaki bagimu.
Kan sudah.. sudah banyak lelakimu. Masa masih perlu dicarikan orang?"
Mendadak Gin Hoa-nio meraung dan mendadak menerjang keluar.
Terdengar suaranya yang semakin menjauh. "Kubenci padamu, kubenci kepada kalian..
kubenci semua orang di dunia ini, kubenci ... hendaklah semua orang di dunia ini mampus
seluruhnya!"
Kim Hoa-nio berdiri termangu-mangu, sampai lama ia diam saja.
Thi Hoa-nio lantas mendekati tempat tidur, melihat wajah Pwe-giok yang rusak itu,
menangislah dia.
214 Sebaliknya Pwe-giok malah bersikap tenang, gumamnya: "Di dunia ini tiada sesuatu yang
kekal, tiada sesuatu yang sempurna, anehnya logika ini kenapa tidak dipahami oleh Kolothau"
Saat ini bila dia melihat diriku, entah bagaimana pula perasaannya.."
Mendadak ia merasa geli dan tertawa terbahak-bahak. Akhirnya ia merasa terbebas dari suatu
beban yang berat, hati terasa lega sekali.
Thi Hoa-nio berhenti menangis, ia pandang anak muda itu dengan terkesiap, apa yang dipikir
Pwe-giok dengan sendirinya tak diketahuinya, siapapun tak dapat memahaminya.
***** Tiga hari kemudian, Pwe-giok merasa sebagian tenaganya sudah pulih, tapi mukanya
sekarang penuh terbalut kain perban, yang kelihatan hanya hidungnya, matanya dan sebagian
mukanya. Kim Hoa-nio dan Thi Hoa-nio memandangi dia dengan penuh rasa menyesal dan pedih.
Akhirnya Kim Hoa-nio berkata: "Apakah benar kau hendak pergi?"
"Saat kepergianku sudah lama lalu," ujar Pwe-giok dengan tertawa.
Mendadak Thi Hoa-nio menubruk maju dan merangkulnya erat-erat sambil berseru: "Kau
jangan pergi! Bagaimanapun kau berubah, tetap" tetap sama baiknya aku terhadapmu."
"Jika betul kau baik padaku seharusnya kau lepaskan aku pergi," kata Pwe-giok dengan
tertawa. "Seorang kalau tidak dapat bergerak bebas, lalu apa artinya hidup ini baginya?"
"Tapi, sedikitnya, harus kau perlihatkan kepada kami betapa kau telah berubah?" kata Kim
Hoa-nio dengan pedih.
"Betapapun perubahan diriku, aku tetap aku," kata Pew giok.
Pelahan ia mendorong Thi Hoa-nio, lalu berbangkit. Katanya pula mendadak dengan tertawa:
"Tahukah kalian, sepergiku dari sini urusan apa yang akan kulakukan pertama-tama?"
"Jangan-jangan akan mencari Jimoay yang kejam itu?" Kata Kim Hoa-nio.
"Aku memang hendak mencari satu orang, tapi bukan dia yang kucari," jawab Pwe-giok
dengan tertawa.
"Habis siapa yang kau cari?" Tanya Thi Hoa-nio sambil mengusap air matanya.
"Jika kalian mau berduduk saja di sini dan membiarkan ku pergi sendiri, inipun sudah cukup
sebagai tanda terima kasih padaku," kata Pwe-giok. Lalu ia melangkah keluar tanpa menoleh.
Ternyata Kim Hoa-nio dan Thi Hoa-nio juga tidak menguntitnya, air mata mereka sudah
berderai. 215 Hati Pwe-giok terasa lega. Tiada sesuatu yang terpikir dan juga tidak perlu menyesal terhadap
seseorang, jika memang tidak pernah merugikan atau mengingkari orang lain, maka air mata
orang lainpun tak dapat mempengaruhi dia.
Dia membuka pintu ruangan di bawah tanah dan menyingkap lukisan itu, cahaya matahari di
waktu senja menyinari mukanya, meski senja belum tiba, namun sudah dekat magrib.
Agar tidak silau ia angkat sebelah tangannya untuk mengalingi sinar matahari, tangan yang
lain digunakan merapatkan pintu. Sekonyong-konyong kedua tangannya terjulur lemas ke
bawah, kakipun terasa berat untuk melangkah.
Ternyata di ruangan luar ini tergantung sebaris orang di belandar, semuanya sudah mati.
Darah segar masih menetes, agaknya darah mereka belum lagi beku. Leher tiap-tiap orang itu
sama tertembus, lalu lubang yang tembus itu dicocok dengan tali dan digantung mirip ayam
panggang. Orang yang paling depan jelas tuan rumah di sini.
Apa yang terjadi ini jelas baru berlangsung sore tadi, sebab siangnya tuan rumah yang ramah
ini pernah masuk ke ruangan bawah tanah dan mengantar santapan.
Orang sebanyak itu terbunuh sekaligus, tapi di ruangan dalam sedikitpun tidak mendengar,
jelas tindakan si pembunuh sangat gesit, cekatan dan juga keji.
Pwe-giok berdiri termangu sejenak, ia ingin masuk kembali ke ruangan dalam, tapi sekilas
pikir ia berganti haluan, segera melangkah keluar ruangan besar itu.
Sekalipun dalam hatinya rada was-was, tapi orang lain tidak dapat mengetahui perasaannya,
waktu ia lalu di barisan orang mati itu, dia anggap seperti lalu di samping sederetan pohon
saja. "Siapa itu" Berhenti!" mendadak seorang membentak.
Seketika Pwe-giok berhenti, tak terlihat rasa kagetnya sedikitpun, juga tiada tampak rasa
gugup atau rasa terpaksa, seperti sudah tahu sebelumnya bakal dibentak orang begitu.
"Kemari Kau" bentak orang itu pula.
Segera Pwe-giok berputar dan melangkah ke sana, maka dapatlah dilihatnya orang yang baru
keluar dari pintu sana adalah Kim yan cu, si walet emas.
Meski dirasakannya agak di luar dugaan, tapi sikapnya tidak berubah, sebaliknya Kim Yan cu
tampak penuh rasa kejut dan heran, bentaknya pula dengan bengis: "kau keluar dari mana"
Mengapa tadi tidak kulihat kau?"
"Ku keluar dari jalan keluar tentunya!" Jawab Pwe-giok dengan hambar.
Kim yan cu membentak pula: "Apakah kau bersembunyi bersama Khing hoa sam-niocu?"
"Benar atau tidak ada sangkut pautnya apa dengan kau?" jawab Pwe-giok ketus.
216 Belum habis ucapannya, tahu-tahu ujung pedang Kim yan cu sudah mengancam di
tenggorokannya. Dengan sendirinya dia tidak kenal lagi yang dihadapinya ialah Ji Pwe-giok.
Maklumlah, saat ini bukan saja mula Pwe-giok hampir seluruhnya terbalut, bahkan sikapnya
yang tenang dan sewajarnya juga sama sekali berbeda daripada dahulu. Jangankan cuma
sebilah pedang yang mengancam tenggorokannya, sekalipun ada seribu pedang yang sama
menusuk ke dalam dagingnya juga takkan menimbulkan rasa jerinya.
Seorang kalau sudah menyaksikan sendiri kematian ayahnya secara ngeri, tapi ia sendiri
malah dituduh sebagai orang gila, malahan harus mengakui sebagai ayah orang gila, malahan
harus mengakui musuh sebagai ayah yang jelas-jelas sudah mati, lalu kejadian apa di dunia ini
yang tak dapat ditahannya"
Jika seorang berhadapan dengan orang yang dicintainya, tapi tidak dapat mengakui dan
berbicara, lalu urusan apa di dunia ini yang dapat membuatnya lebih pedih.
Bila seorang sudah mengalami beberapa kali ancaman maut dan tidak sampai mati karena
kejadian-kejadian yang ajaib, lalu soal apa di dunia ini yang dapat membuatnya takut"
Apabila seorang dari yang cakap telah berubah menjadi buruk rupa, lalu hal apalagi di dunia
ini yang dapat membuatnya merasa risau"
Seorang kalau sudah mengalami berbagai kejadian yang sukar dibayangkan orang lain, maka
tidak ada sesuatu yang dapat mengguncangkan perasaannya.
Ketenangan dan kewajaran Pwe-giok ini diperolehnya dengan imbalan yang cukup mahal,
rasanya di dunia ini tiada orang lain yang mampu membayar semahal ini. Di dunia ini
memang tiada orang lain lagi yang dapat dibandingkan dengan dia.
***** Begitulah tanpa terasa pedang Kim yan cu terjulur ke bawah. Nyata ketenangan orang ini
telah mempengaruhi dia.
Pwe-giok menatapnya tajam-tajam, tanyanya kemudian dengan tertawa: "Dimana Sin to
kongcu ?" "Kau.....kau kenal padaku ?" seru Kim yan cu dengan melenggong.
"Sekalipun cayhe tidak kenal nona juga tahu bahwa nona dan Sin to kongcu selamanya berada
bersama seperti tubuh dan bayangan yang tak pernah terpisahkan."
Kim yan cu terbelalak, katanya kemudian: "Ya, rasanya aku sudah seperti sudah kenal kau."
"Orang yang terluka dan kepalanya terbalut sudah tentu tidak cuma aku saja," kata Pwe-giok.
"Sesungguhnya siapa kau ?" tanya Kim yan cu
"Ji Pwe-giok !"
217 Wajah Kim yan cu yang cantik itu seketika berkerut-kerut, ucapnya dengan gemetar:
"Ji Pwe-giok kan sudah mati, kau....kau..."
"Tahukah nona di dunia ini ada dua Ji Pwe-giok, yang satunya sudah mati, yang lain masih
hidup, syukur cayhe bukan Ji Pwe-giok yang mati itu, cuma kawannya agaknya memang jauh
lebih banyak dariku."
Kim yan cu menghembus nafas lega, tanyanya mendadak: "Apakah kau yang membunuh
orang-orang ini ?"
"Masa bukan nona yang membunuh orang-orang ini ?" balas Pwe-giok bertanya.
"Kejahatan orang-orang ini sudah kelewat takaran, mati sepuluh kali juga belum cukup untuk
menebus dosa mereka," ucap Kim yan cu dengan gemas.
"Memang sudah lama ingin ku bunuh mereka, cuma sayang kedatanganku sekarang ini agak
terlambat sejenak."
"Jadi nona benar-benar tidak tahu siapa pembunuhnya ?" tanya Pwe-giok
"Aku inilah pembunuhnya !" sekonyong-konyong seorang menanggapi dengan pelahan.
Suaranya begitu datar dan hambar, seolah-olah ucapan demikian sudah sangat biasa baginya,
seperti juga membunuh orang bukan sesuatu yang menakutkan dan mengerikan lagi.
Menyusul ucapan tersebut, seorang mendadak muncul di depan mereka. seorang yang
buntung sebelah tangannya.
Jenggot panjang putih kelabu berjuntai di depan dada orang itu, pinggangnya juga terikat tali
sutera putih kelabu, sepatunya juga berwarna putih kelabu, rambutnya yang juga kelabu
terikat dengan kopiah perak.
Mukanya juga putih kelabu, di bawah alisnya yang sama warna, biji matanya yang juga
kepucat-pucatan itu memancarkan sinar yang tajam.
Sudah lama Kim yan-cu malang melintang di dunia Kangouw, biasanya Ia suka menganggap
dirinya adalah perempuan yang paling berani di dunia ini. Tapi sekarang tidak urung ia
merinding juga melihat orang yang aneh ini, serunya kemudian: "Jadi kau yang membunuh
orang-orang ini?"
Dengan hambar si kakek serba kelabu itu menjawab: "Kau kira dengan sebelah tanganku saja
tak dapat membunuh" Jika aku tidak dapat membunuh, tentu orang jahat di dunia ini sekarang
bertambah banyak daripada dahulu."
"Cianpwe.....entah Cianpwe...."
"Tidak perlu kau tanya namaku," potong si kakek sebelum lanjut ucapan Kim yan-cu. "Kalau
kau memusuhi Thian-can-kau, ini berarti kau sehaluan denganku Kalau tidak, saat ini tentu
kau tidak hidup lagi di dunia ini."
218 Bila orang lain yang bicara demikian pada Kim-yan cu, tentu ujung pedang si walet emas
sudah mengancam di ulu hatinya. Tapi sekarang meski hambar saja ucapan si kakek, namun
bagi pendengaran Kim-yan cu rasanya memang tepat dan pantas. Ia lantas bertanya pula:
"Entah Cianpwe sudah menemukan Khing-hoa-sam niocu atau belum?"
"Kau pun bermusuhan dengan mereka?" tanya si kakek.
"Betapa dalamnya permusuhan ini sukar diceritakan dalam waktu singkat," jawab Kim-yan-cu
dengan menggreget.
"Kau bertekad akan menemukan mereka?" tanya si kakek pula.
"Jika dapat menemukan mereka, tanpa kupikirkan apa imbalannya," jawab Kim-yan cu.
"Baik, bila kau ingin menemukan mereka, ikutlah padaku," kata si kakek sambil melangkah
keluar ruangan besar itu, setelah menyusuri taman dan keluar dari sebuah pintu kecil, jalan
lebar di pinto belakang sunyi senyap tiada nampak bayangan seorangpun.
Kim-yan-cu ikut di belakang si kakek dengan penuh semangat. Pwe-giok juga ikut di
belakang mereka dengan penuh rasa sangsi.
Jelas kakek ini tidak tahu di mana beradanya Khing-hoa-sam niocu mengapa dia bilang
hendak membawa Kim yan-cu pergi mencari mereka. Sekalipun kakek ini dapat membunuh
Ma Siau-thian dan begundalnya, tapi orang yang cuma bertangan satu cara bagaimana
menggantung orang sebanyak itu di belandar" Cukup dengan dua soal ini saja jelas si kakek
telah berdusta. Dan untuk apakah dia berdusta"
Orang yang berdusta kebanyakan bertujuan membikin celaka orang lain. Tapi melihat
kemampuan kakek ini, jika dia mau membunuh Kim-yan-cu boleh dikatakan sangat mudah,
kenapa mesti bersusah payah mencari jalan lain. Sesungguhnya hendak dibawa ke manakah
Kim-yan-cu"
Sejak mula si kakek sama sekali tidak memandang Pwe-giok, seolah-olah tidak merasa ada
seorang Ji Pwe-giok di sekitarnya.
Pwe-giok juga mengikuti mereka dengan diam saja tanpa bersuara.
Si kakek dapat menahan perasaannya, Ji Pwe-giok juga cukup sabar, tapi Kim yan-cu yang
tidak tahan akan gejolak pikirannya.
Sementara itu cuaca sudah makin gelap, jalan yang mereka tempuh juga semakin terpencil, di
bawah sinar bulan, kakek yang misterius ini mirip badan halus berwarna kelabu.
"Sesungguhnya Khing-hoa-sam niocu berada di mana?" saking tak tahan akhirnya Kim yancu
bertanya. Si kakek menjawab dengan hambar tanpa menoleh; "Orang yang jahat dengan sendirinya
berada di tempat yang jahat."
"Tempat yang jahat?" tukas Kim-yan-cu.
219 "Ya jika kau tidak berani ke sana, sekarang juga boleh kau putar balik," kata si kakek.
Kim-yan-cu menggreget dan tidak bicara lagi.
Diam-diam Pwe-giok membayangkan kata-kata "tempat yang jahat" tadi, ia merasa maksud
tujuan si kakek lebih-lebih sukar dijajaki.
Lengan baju si kakek yang longgar itu melambai di tanah, jalannya tampaknya tidak cepat,
tapi hanya sebentar saja mereka sudah berada di luar kota.
Kim yan-cu belum lama muncul di Kangouw dan namanya sudah cukup terkenal, dia
memakai nama julukan "walet" dengan sendirinya ahli Gin-kang, namun setelah ikut berjalan
sekian lama bersama si kakek, tanpa terasa mulai terengahlah napasnya.
Mendingan Ji Pwe-giok, meski tenaganya belum pulih seluruhnya, tapi dia belum merasakan
lelah, terhadap kepandaian si kakek diam-diam ia bertambah waspada.
Dilihatnya si kakek berputar kian kemari di tengah hutan, mendadak mereka berada di sutu
lereng bukit yang tidak terlalu tinggi, namun batu padas aneh berserakan di sana sini, lereng
bukit tandus kering, tampaknya sangat curam dan bahaya.
Di tengah lereng terdapat sepotong batu padas besar yang mencuat keluar, pada batu padas itu
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
semula tertatah tiga huruf besar, tapi sekarang penuh dengan bekas bacokan golok, ketiga
huruf itu telah dirusak entah oleh siapa.
"Huruf pada batu padas itu tentu nama gunung ini," demikian Pwe-giok membatin. "Tapi ada
orang sengaja memanjat ke atas dan merusak ketiga huruf itu, apakah maksud tujuannya"
Memangnya nama gunung inipun mengandung sesuatu rahasia sehingga tidak boleh dilihat
orang, masa cuma nama gunung saja mengandung rahasia"
Rupanya setelah beberapa kali menghadapi detik antara mati dan hidup, Pwe-giok bertambah
matang, ia cukup memahami betapa keji dan kejamnya orang hidup ini, maka terhadap segala
sesuatu ia selalu lebih hati-hati. Barang sesuatu yang mungkin dipandang sepele oleh orang
lain, baginya justeru dipandang cukup berharga untuk direnungkan dan dipelajari asalkan ada
sesuatu yang menyangsikan tentu diperhatikannya dengan baik.
Cuma sekarang ia sudah berhasil belajar dari pengalaman, segala sesuatu tentu dipikirnya
lebih mendalam. Sebab itulah rasa sangsinya sekarang juga bertambah besar, namun dia tetap
bersikap tenang dan tidak menyinggungnya.
Setiba di depan batu padas yang mencuat keluar di lereng situ, tanpa kelihatan bergerak, tahutahu
kakek itu telah melayang ke atas padas itu.
Selagi Kim-yan-cu bermaksud ikut melayang ke atas, sekonyong-konyong terdengar suara
keriat-keriut, batu raksasa itu mendadak bergeser pelahan dan tertampaklah sebuah gua yang
gelap di balik gua batu.
Perubahan ini sungguh membuat Pwe-giok terkejut, Kim-yan cu malahan melongo
menyaksikan kejadian itu, dia sudah bergerak mau melompat ke atas, sekarang diurungkan.
220 "Kenapa kalian tidak ikut naik ke sini?" terdengar si kakek berseru.
Kim yan-cu berpaling dan memandang Pwe-giok sekejap, tiba-tiba ia mendesis: "Perjalanan
ini sangat berbahaya, untuk apa kau ikut kemari" Lekas pergi saja!"
Pwe-giok tersenyum, jawabnya: "Sudah ikut sampai di sini, hendak pergipun terasa terlambat
sudah." "Memangnya kenapa?" ujar Kim-yan-cu sambil berkerut kening.
Pwe-giok tidak menjawabnya, segera ia mendahului melayang ke atas. Ia merasakan si kakek
sedang memandangnya dengan sorot mata yang tajam, se-olah2 ingin tahu betapa tinggi
kemampuannya. Tergerak hati Pwe-giok, cepat ia kurangi kekuatannya, hanya setengah
kemampuannya saja dikeluarkannya.
Meski air muka si kakek tidak berubah, tapi sorot matanya mengunjuk perasaan kurang puas.
Sementara itu Kim-yan-cu sudah melompat ke atas dengan sepenuh tenaga dan si kakek
kelihatan merasa senang.
Kembali Pwe-giok merasa heran, Jika si kakek bermaksud jahat terhadap mereka, bila
kepandaian mereka makin rendah kan makin mudah baginya untuk turun tangan, jadi
seharusnya dia merasa senang.
Tapi dari sikapnya ini tampaknya dia mengharapkan ilmu kedua orang muda ini lebih tinggi
lebih baik. Lantas apa maksudnya" Sesungguhnya apa yang dikehendaki"
Saat itu Kim-yan-cu sudah berada di atas batu padas, dilihatnya gua itu gelap gulita, dalamnya
sukar dijajaki, terasa angin dingin meniup keluar dari dalam gua.
Batu raksasa yang bergeser itu tepat ambles ke samping tebing yang mendekuk, jadi sudah diperhitungkan
dengan tepat. Apalagi batu raksasa yang berpuluh ton ini dapat digeser oleh
seorang saja, jelas pesawat rahasianya dibuat sedemikian dan entah betapa banyak memakan
tenaga dan pikiran untuk menciptakan alat rahasia yang hebat ini.
Dan kalau di dalam gua ini tidak tersembunyi sesuatu rahasia yang maha penting, siapa pula
yang sudi mengorbankan tenaga dan pikiran sebesar ini"
Sampai di sini, mau tak mau timbul juga rasa curiga Kim-yan-cu, ia berguman: "Apakah
mungkin Khing-hoa-samniocu berada di gua ini?"
"Gua ini sebenarnya tempat rahasia Thian can-kau, tempat penyimpanan harta karun, apabila
Khing-hoa-samniocu bukan Tancu (kepala seksi) dalam Thian-can-kau, jangan harap dapat
masuk ke sini", kata si kakek
Mendadak Kim-yan-cu bertanya: "Darimana pula Cianpwe mengetahui rahasia Thian-cankau?"
Si kakek tertawa hambar, jawabnya: "hehe, betapa banyak rahasia di dunia ini yang dapat
mengelabui mataku?"
221 Jika kata2 ini diucapkan orang lain, andaikata Kim-yan-cu tidak menganggapnya membual
tentu akan menganggapnya omong besar. Tapi di mulut kakek ini ucapan tersebut memang
lain bobotnya. Kim-yan-cu seperti takluk benar2 lahir batin terhadap kakek itu, setelah berpikir sejenak, ia
bergumam: "Aneh, Thian-can-kau jauh berada di daerah Miau, sebaliknya tempat rahasia
penyimpanan harta pusakanya terletak di sini."
"Kau tidak berani masuk ke situ?" tanya si kakek dengan sorot mata tajam.
Kim-yan-cu menghela napas panjang, katanya keras-keras: "Asalkan dapat menemukan
Khing-hoa-sam niocu, ke gunung golok atau masuk lautan api juga bukan soal bagiku."
Seketika sorot mata si kakek berubah halus lagi, ucapnya: "Bagus, bagus sekali, asalkan kau
tabah dan hati-hati, kujamin kau takkan menghadapi apapun. Kalian boleh masuk saja dan
tidak perlu kuatir."
"Tapi Cayhe tiada maksud buat masuk ke situ," kata Pwe-giok mendadak.
Baru sekarang ia membuka suara, mestinya dia hendak bilang: "Ku tahu Khing-hoa-sam
niocu tidak berada di gua ini, kenapa kau berdusta?"
Tapi dia tahu bilamana kata-kata itu diucapkan, maka si kakek pasti takkan mengampuni dia.
Saat ini ia merasa bukan tandingan si kakek, maka dia sengaja memancingnya dulu dengan
ucapan tadi. Benar juga, segera sorot mata si kakek berubah tajam pula, katanya: "Kau tidak mau masuk
ke sana?" "Cayhe kan tidak ingin mencari Khing-hoa-sam niocu, untuk apa masuk ke situ?" jawab Pwegiok.
"Ya, persoalan ini hakekatnya tiada sangkut pautnya dengan dia, sesungguhnya akupun tidak
kenal dia," demikian cepat Kim-yan-cu menyela.
"Jika kau tidak mau masuk ke sana ya terserah lah, akupun tidak memaksa," kata si kakek
dengan tak acuh.
Seperti tidak sengaja, mendadak tangannya menepuk pelahan pada dinding tebing itu, tiada
terdengar sesuatu suara, tapi di dinding tebing itu lantas bertambah dekukan cap telapak
tangan seperti pahatan senjata tajam.
Dengan tertawa Pwe-giok lantas berkata: "Sebenarnya cayhe tidak berniat masuk ke situ, tapi
kalau benar harta pusaka Thian-can-kau disimpan di sini, kesempatan ini biarlah kugunakan
untuk mencari rejeki."
Si kakek tidak menghiraukan dia lagi, dia mengeluarkan sebuah pedang bersarung perak,
panjangnya cuma setengah meteran, serta sebuah geretan api, semua itu ia serahkan kepada
Kim-yan-cu sambil berkata: "Pedang ini sangat tajam, memotong besi seperti merajang sayur,
222 Geretan api pun bukan barang sembarangan, boleh kau bawa dan tentu banyak gunanya.
Hendaklah kau jaga dengan baik dan jangan sampai hilang."
"Terima kasih," kata Kim-yan-cu.
Begitu dia dan Pwe-giok melangkah masuk gua batu padas raksasa itu pelahan-lahan lantas
bergerak merapat lagi.
Dengan kaget Kim-yan-cu berteriak: "He, jika Cianpwe menutup batu ini, bukankah kami tak
dapat keluar lagi?"
Segera ia bermaksud melompat keluar, siapa tahu mendadak suatu tenaga maha kuat
menolaknya dari luar gua sehingga dia jatuh terjengkang.
Sempat terdengar si kakek berkata: "Jika nanti kau ingin keluar, gunakan pedang pendek itu
mengetuk dinding batu tujuh kali dan segera ku tahu..." belum habis ucapannya batu raksasa
itu sudah menutup rapat.
Seketika keadaan di dalam gua gelap gulita, jari sendiri saja tidak kelihatan.
Mendadak cahaya perak meletik, Km-yan-cu telah menyalakan api geretan yang diberikan si
kakek tadi. Geretan api ini sangat aneh, lelatu berhamburan seperti bunga api dan cahaya
perak yang tidak begitu terang terus terpancar.
Di bawah cahaya perak itu tertampak wajah Pwe-giok yang terbalut kain perban itu, tapi sorot
matanya gemerdep, nyata dia tidak menjadi gugup atau kuatir.
Kim-yan-cu tidak tahu orang ini bodoh atau gendeng, namun jelas nyalinya sangat besar.
Ucapnya dengan menyesal: "Urusan ini kan tiada sangkut-pautnya dengan kau, untuk apa kau
ikut masuk kemari?"
Diam-diam Pwe-giok merasa gegetun: "Meski watak nona ini suka menang, namun hatinya
sangat bajik. Dalam keadaan demikian dia masih juga berpikir bagi orang lain."
Selama beberapa hari ini perempuan yang pernah ditemui Pwe-giok kalau tidak berhati keji
tentu berwatak aneh dan jahil, sekarang mendadak melihat kebaikan hati Kim yan-cu,
seketika timbul kesan baiknya, dengan tersenyum ia menjawab: "Dua orang berada bersama
kan jauh lebih baik daripada menempuh bahaya sendirian?"
"Kau .... kau datang ke sini demi diriku"!" tanya Kim-yan cu dengan melengak.
"Jika nona adalah sahabat Ji Pwe-giok yang itu, maka engkau sama juga kawanku," kata Pwegiok
dengan tertawa.
Kim-yan-cu memandanginya sekejap, mendadak mukanya bersemu merah, untung cahaya
perak itu sangat aneh, air mukanya merah atau putih sukar dibedakan orang lain.
Dia terus melengos ke sana dan terdiam sejenak, kemudian berkata pula: "Menurut
dugaanmu, sesungguhnya apa maksud tujuan orang tua tadi?"
223 "Menurut nona, bagaimana?" Pwe-giok balas bertanya setelah merenung sejenak.
"Jika dia berniat mencelakai diriku, untuk apa pula dia menyerahkan benda berharga ini
kepadaku," kata Kim-yan cu. "Apalagi kalau melihat tenaga pukulannya tadi, jika dia tidak
bermaksud membunuh kita, kukira bukan sesuatu yang sukar baginya."
"Betul, tenaga pukulan orang ini lunak tapi maha kuat, boleh dikatakan sudah terlatih hingga
puncaknya, tampaknya tidak di bawah "Bian-ciang" (pukulan lunak) Jut tun Totiang dari Butong-
pay." "Tapi bila dia tidak bermaksud jahat, mengapa dia memaksa kau masuk kemari, lalu
menyumbat pula jalan keluarnya sehingga kita tiada jalan mundur terpaksa kita harus
menerjang ke depan?"
"Jika demikian, marilah kita menerjang ke depan," kata Pwe-giok dengan tertawa.
Akhirnya Kim-yan-cu berpaling memandangnya lagi sekejap, ucapnya: "Berada di
sampingmu, sekalipun aku merasa takut, akhirnya aku menjadi tidak takut lagi."
Di bawah cahaya perak yang remang-remang, tertawa Kim-yan-cu kelihatan sedemikian
cerah, di balik wajah yang cerah ini tampaknya tiada tersembunyi sesuatu rahasia apa pun.
Diam-diam Pwe-giok menghela napas gegetun, pikirnya: "Apabila setiap perempuan di dunia
ini serupa dia, tentu dunia ini akan jauh lebih aman...."
Kemudian Pwe-giok mengambil oper geretan api itu, dia membuka jalan di depan.
Di bawah cahaya perak tiba-tiba dilihatnya kedua sisi dinding gua ini penuh terukir gambargambar
yang halus dan indah, setiap gambar terdiri dari satu lelaki dan satu perempuan.
Hanya sekejap saja Kim yan-cu memandang ukiran dinding itu, seketika mukanya menjadi
merah, teriaknya: "Tempat setan ini benar-benar tempat jahat, menga... mengapa...."
Muka Pwe-giok terasa panas juga, sungguh tak tersangka olehnya di gua yang misterius ini
bisa terukir gambar-gambar tidak senonoh begini.
Kiranya gambar lelaki dan perempuan yang memenuhi dinding gua itu rata-rata adalah dalam
adegan "hot" di luar susila.
Mendadak Kim-yan-cu mendekap mukanya dan berlari ke depan.
Tak tersangka, sekonyong-konyong dari tempat gelap muncul dua orang, dua golok besar
terus membacok secepat kilat. "Awas!" bentak Pwe-giok.
Begitu bersuara segera ia pun menerjang maju, Kim-yan-cu dirangkulnya dan berguling ke
sana sehingga mata golok menyambar lewat di samping mereka.
"Ah, kiranya cuma dua orang batu saja," ujar Pwe-giok sambil menyengir setelah melihat
jelas kedua penyerang itu.
224 "Tapi kalau tiada kau, bisa jadi aku sudah berubah menjadi orang mati," kata Kim yan-cu.
Pwe-giok merasa bau harum memabukkan, waktu ia menunduk, baru disadarinya Kim-yan-cu
masih berada dalam pelukannya, mulut si nona yang kecil mungil cuma beberapa inci di
bawah mulutnya.
Berdetak keras jantungnya. Selagi ia hendak minta maaf, mendadak Kim yan-cu tertawa
terkekeh-kekeh, katanya: "Sin-to Kongcu yang kau katakan itu tentu akan mati kheki bila
melihat keadaan kita sekarang, Sungguh aku berharap dia benar-benar menyaksikan adegan
ini sekarang."
Tadinya Pwe-giok kuatir si nona akan malu dan menjadi gusar, tak tahunya Kim-yan-cu jauh
lebih terbuka pikirannya daripada nya, bahkan juga tidak pura-pura malu dan berlagak rikuh
segala. Sungguh mujurlah, seorang lelaki dalam keadaan demikian dapat bertemu dengan seorang
nona yang berhati terbuka seperti ini. Mau-tak-mau gembira juga Pwe-giok, katanya dengan
tertawa: "Bahwa sekali ini dia tidak mengikuti kau, sungguh kejadian yang aneh."
Dengan tertawa Kim-yan-cu menjawab: "Sepanjang hari dia terus mengintil di belakangku,
asalkan orang lain memandang sekejap padaku, dia lantas marah. Sungguh aku pun merasa
sebal, maka kucari kesempatan untuk meninggalkan dia..." mendadak sorot matanya menatap
ke belakang Pwe-giok dan berkata pula: "Eh, coba . .. .coba lihat..."
Pwe-giok berpaling, dilihatnya dinding batu di belakangnya seperti berbentuk beberapa daun
pintu, di atas pintu terukir delapan huruf, di bawah cahaya perak itu warnanya kelihatan pucat
kehijau-hijauan.
Ke delapan huruf itu berbunyi: "Siau-hun-bi-kiong, barang siapa masuk mati."
Terbelalak Kim-yan-cu memandangi ukiran itu, katanya sambil berkerut kening: "Tempat
penyimpanan benda pusaka Thian-can-kau mengapa disebut Siau-hun-bi-kiong (istana
penggetar sukma)?"
Tapi dari ukiran cabul yang dilihatnya di dinding gua tadi, lalu melihat lagi nama Siau-hun-bikiong
ini, tahulah Pwe-giok bahwa gua ini tidak saja "jahat", bahkan sangat misterius dan
sangat berbahaya, bisa jadi juga tempat yang sangat mengasyikkan, tempat yang menakutkan
tapi juga menarik seperti dalam dongeng itu.
Mendadak ia menatap Kim-yan-cu dan bertanya: "Kau masih berani masuk ke sana?"
"Apakah dengan kedelapan huruf ini dapat menggertak mundur kita?" jawab Kim-yan-cu
dengan tertawa.
Pwe-giok melengak, katanya kemudian; "Tapi kalau Khing-hoa-sam niocu tidak berada di
dalam sana?"
Kim-yan-cu juga melengak, katanya: "Mengapa mereka tidak berada di dalam" Masa kakek
itu membohongi aku?"
225 "Setahuku, Khing-hoa-sam niocu tidak berada di dalam," tutur Pwe-giok. "Mengenai sebab
apa si kakek membohongi kau, inipun aku tidak habis mengerti,"
Kim-yan-cu berpikir sejenak, katanya kemudian pelahan: "Coba, menurut kau, sesudah
begini, apakah kita masih dapat keluar lagi?"
Dia membetulkan rambutnya yang agak kusut, Ia lalu menyambung pula: "Sekarang biarpun
kita mengetuk tiga ratus kali di dinding batu itu juga si kakek takkan melepaskan kita keluar.
Jika dia telah menipu kita masuk ke sini, betapapun pasti ada maksud tujuannya."
"Setiap langkah di sini ada kemungkinan akan menghadapi bahaya," kata Pwe-giok
kemudian. "Kukira lebih baik kau tunggu di sini saja, biarlah ku masuk lebih jauh untuk memeriksanya."
"Kau sendiri bilang, dua orang berada bersama jauh lebih baik daripada sendirian," ucap Kimyan-
cu dengan tersenyum manis.
Dalam keadaan begini, biasanya watak asli setiap orang akan tertampak, orang yang
menggemaskan bisa bertambah menggemaskan, orang yang menyenangkan bisa pula
bertambah menyenangkan.
Tanpa terasa Pwe-giok menarik tangan Kim-yan-cu, katanya dengan tertawa: "Marilah kita
maju lagi ke sana, asalkan hati-hati kukira takkan..."
Belum habis ucapannya mendadak kaki terasa menginjak tempat kosong, lantai batu di
bawahnya mendadak merekah menjadi sebuah lubang, kontan tubuh kedua orang terjeblos ke
bawah. Kim-yan cu menjerit kaget, tapi segera dirasakan tangan Pwe-giok yang menggandeng
tangannya itu menolaknya dengan kuat, oleh tenaga dorongan yang kuat itu tubuh Kim-yan cu
dapat ditolak ke atas. Sebaliknya Pwe-giok sendiri tetap terjerumus ke bawah.
Berkat tenaga dorongan Pwe-giok itu, Kim-yan-cu berjumpalitan sekali di udara dan
menancapkan kakinya di tepi lubang itu, teriaknya: "He, kau . . . . kau bagaimana?"
Lubang di bawah tanah itu ternyata sangat dalam, cahaya perak geretan api yang dipegang
Pwe-giok kelihatan gemerdep jauh di bawah, tapi tidak jelas apakah anak muda itu masih
hidup atau sudah mati.
Saking cemasnya Kim-yan-cu mengucurkan air mata, teriaknya parau: "Ja... jawablah, kenapa
kau diam saja?"
Tapi tetap tiada suara jawaban dari bawah.
Kim-yan-cu menjadi nekat, ia pejamkan mata dan hendak ikut terjun ke bawah.
Pada saat itulah, sekonyong-konyong seorang telah meraihnya dengan erat. Cepat Kim-yan-cu
membuka mata, cahaya perak kelihatan masih gemerdep di bawah lubang sana, ia terkejut dan
226 heran siapakah yang menariknya. Waktu ia mengawasi lebih cermat, siapa lagi orang yang
berdiri di sebelahnya dengan tersenyum simpul jika bukan Ji Pwe-giok adanya"
Kejut dan girang bercampur aduk, Kim-yan-cu menjerit tertahan terus menubruk ke dalam
pelukan Pwe-giok, serunya: "Ai, kau bikin aku mati kaget, ken .... kenapa tadi kau tidak
bersuara?"
Dengan tersenyum Pwe-giok menjawab: "Dengan menahan napas tadi ku sempat panjat
dinding gua, bila membuka mulut, tentu akan kehilangan tenaga dan bisa jadi benar-benar
terjerumus ke bawah."
"Kulihat gemerdep nya api geretan di bawah sana, kukira .... kukira kau sudah tamat, siapa
tahu geretan api itu cuma terjatuh saja ke bawah dan kau.... kau masih hinggap di dinding gua
dan dapat naik ke atas."
Pwe-giok memandangnya lekat-lekat, ia menghela napas dan berucap: "Dan untuk apa kau
bertindak demikian?"
Yang dimaksudkannya ialah tindakan Kim-yan-cu yang hendak ikut terjun ke bawah tadi.
Kim-yan-cu menunduk, jawabnya pelahan: "Bilamana kau mati lantaran menyelamatkan
diriku, lalu apakah aku dapat hidup sendirian?"
Mendadak ia menengadah dan tertawa cerah, katanya: "Tidak cuma kau saja, siapapun kalau
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mati demi menyelamatkan diriku, kukira aku pasti tak dapat hidup lagi sendirian."
"Apa yang kau katakan terakhir ini sungguh bisa mengecewakan harapanku," Pwe-giok
sengaja menggoda dengan mata berkedip-kedip.
"Ku tahu, orang semacam kau ini pasti sudah lama mempunyai kekasih," ucap Kim-yan-cu
dengan tersenyum. "Sebab itulah bilamana kukatakan akan mati demi dirimu, bukankah akan
membuat kau serba salah?"
Tanpa terasa Pwe-giok memegang pula tangan si nona, katanya dengan tertawa: "Haha,
sungguh kau ini anak perempuan satu-satunya yang tidak membikin kesal daripada semua
anak perempuan yang pernah kukenal."
Ia merasa sangat gembira bisa berada dengan anak perempuan seperti Kim-yan-cu, orangnya
lugu, terus terang, tidak sok, tidak pura-pura dan tidak menonjolkan diri, juga tidak suka
membikin kesal orang. Anak perempuan demikian sungguh terlalu sedikit di dunia ini.
Namun geretan api tadi sudah jatuh ke bawah, sambil memandangi api geretan yang masih
gemerdep itu, kedua orang menjadi sedih.
Sekilas mendadak Pwe-giok melihat pedang pendek bersarung perak itu. Segera ia melolos
pedang itu, sinar pedang kemilauan, ia menusuk pelahan dan hampir seluruh pedang itu
amblas ka dalam batu. Sekali pedang diputar, batu itu lantas berlubang.
"Tajam amat pedang ini," seru Pwe-giok girang. "Untuk menjemput kembali geretan api itu
terpaksa harus kita andalkan pedang ini."
227 Lebih dulu ia mengerek Kim-yan-cu ke bawah, dengan pedang pendek itu Kim-yan-cu
membuat sebaris lubang di dinding, kemudian Pwe-giok merambat ke bawah dengan lubanglubang
di dinding itu sebagai tangga dan geretan api itu berhasil di jemput kembali.
Dilihatnya di dasar gua itu banyak terpasang pisau tajam, ujung pisau penuh berserakan kain
baju dan tulang kering, melihat kain baju yang sudah lapuk itu sedikitnya korban-korban itu
sudah jatuh 20 tahun yang lalu, hanya satu di antaranya, yaitu mayat perempuan berbaju hijau
kelihatan pakaiannya masih baru, mayatnya juga belum membusuk.
Diam-diam Pwe-giok membatin: "Melihat tengkorak-tengkorak ini dan kematian perempuan
berbaju hijau ini jaraknya sedikitnya ada 20 tahun lamanya. Jangan-jangan Siau-hun-bi-kiong
ini sudah 20 tahun tak dikunjungi orang. Jadi rahasia di sini sudah terpendam antara 20 tahun
dan baru akhir-akhir ini ditemukan orang. Dengan sendirinya tempat ini bukan gudang
penyimpan harta pusaka Thian-can-kau segala."
Kim-yan-cu menggosok-gosok sepatunya di lantai untuk menghilangkan lumut dan
kotorannya, maka tertampaklah lantai batu yang rajin dan licin. Ia berkerut kening dan
berkata: "Sepanjang jalan ini mungkin penuh dengan jebakan, cara bagaimana kita harus maju
lebih lanjut?"
"Kau ikut di belakangku, jangan terlalu dekat, dengan demikian, andaikan aku terjeblos kan
masih ada yang bisa menolong," kata Pwe-giok setelah berpikir sejenak.
Mendadak Kim-yan-cu berteriak: "Sebenarnya ini kan urusanku, mestinya aku yang berjalan
di depan, tidak perlu kau anggap aku orang perempuan dan segala sesuatu baru mengalah
padaku!" Pwe-giok tertawa, katanya: "Meski aku tidak ingin menganggap kau sebagai perempuan, tapi
nyatanya kau memang perempuan. Di depan orang perempuan kaum lelaki sok berlagak
sebagai pahlawan, kenapa kau tidak mau mengalah padaku?"
Kim-yan-cu memandangnya tajam-tajam, ucapnya kemudian dengan tertawa: "Sungguh kau
ini satu-satunya lelaki yang tidak menjemukan yang pernah kulihat."
Pwe-giok terus berjalan ke depan dengan lebih hati-hati, sebelum langkahnya terasa mantap,
tentu dia mencoba-cobanya dulu apakah tiada sesuatu jebakan. Sudah tentu reaksinya juga
jauh lebih peka daripada orang lain.
Sepanjang jalan ternyata tiada perangkap lagi, sesudah beberapa tombak jauhnya, sekonyongkonyong
terlihat dua patung batu wanita telanjang yang saling rangkul dengan mesra, bukan
saja perawakan patung itu terukir dengan indah dengan garis-garis tubuhnya yang menyolok,
bahkan wajahnya juga terukir dengan mimik yang "hot" dan penuh daya merangsang. Meski
patung telanjang ini sudah penuh debu, tapi siapapun juga pasti akan berdetak jantungnya bila
melihatnya. Kedua patung batu ini lebih besar sedikit daripada orang hidup dan tepat menghadang di
tengah jalan. 228 Selagi Pwe-giok hendak mencari tombol rahasia untuk menyingkirkan patung itu, dengan
muka merah mendadak Kim-yan-cu merampas geretan api yang dipegang Pwe-giok sambil
mendengus: "Hm, di tempat ini penuh barang begini melulu, sungguh memuakkan."
Sembari berkata mendadak ia mendepak.
Pwe-giok bermaksud mencegahnya, namun sudah terlambat.
Kontan dari pusar salah satu patung perempuan telanjang itu menyemburkan kabut bubuk
putih, cukup keras semburan itu dan langsung menyemprot muka Kim-yan-cu.
Cepat Pwe-giok menariknya ke samping, tanyanya dengan kuatir: "Sudahkah kau cium
baunya?" Karena gugupnya ia sendiripun lupa menahan napas sehingga hidungnya juga sempat
menghisap sedikit bau harum bedak.
Baru saja Kim-yan-cu menggeleng, dilihatnya Pwe-giok telah duduk bersila dan sedang
mengatur pernapasan.
"Kau . . . . kau ..." tanya Kim-yan-cu dengan suara gemetar, ia tahu dirinya yang telah
membikin gara-gara lagi.
Berulang-ulang Pwe-giok mengedipi si nona agar jangan bicara. Meski Kim-yan-cu sudah
tutup mulut, tapi hatinya tambah gelisah. Selang sejenak, dilihatnya Pwe-giok menghela
napas panjang dan berkata: "Untung jarak waktunya sudah terlalu lama sehingga khasiat obat
ini sudah kurang manjur, kalau tidak . . . . "
"Meski khasiat obat sudah kurang manjur, tapi kalau sampai mukaku kesemprot, jiwa tetap
bisa melayang, betul tidak?"
"Bisa jadi!" ucap Pwe-giok. "Kembali kau telah menyelamatkan diriku," kata Kim-yan-cu
dengan menghela napas.
Dengan cahaya geretan Pwe-giok menyinari patung perempuan telanjang itu dan
dipandangnya dengan cermat, sejenak kemudian, mendadak ia berkata; "Coba, pejamkan
matamu?" "Kenapa aku tidak boleh melihatnya?" tanya Kim-yan-cu dengan tertawa.
"Letak kunci rahasianya di tempat yang kurang sopan," tutur Pwe-giok dengan menyengir.
Belum habis ucapannya, cepat Kim-yan-cu memejamkan matanya. Entah di bagian mana
Pwe-giok telah meraba dan memutarnya, lalu terdengarlah suara "Kreek", kedua patung yang
saling rangkul itu mendadak terpisah sehingga bagian tengah terluang jalan lewat selebar
setengah meteran, segera Kim-yan cu lewat ke sana melalui pangkuan kedua patung telanjang
itu. 229 Ia menghela napas, katanya dengan gegetun; "Tak tersangka kau pun mahir berbagai macam
permainan setan begini. Tanpa kau, mungkin selama hidupku jangan harap akan dapat lewat
kesini." "Menurut pendapatku, daripada masuk ke situ akan lebih baik tidak masuk saja ke sana," kata
Pwe-giok pelahan.
"Sebab apa?" tanya Kim-yan-cu dengan tertawa. "Setiap tempat di sini, seumpama tiada
persoalan Khing-hoa-sam niocu juga aku ingin masuk ke sana untuk melihatnya."
"Tempat yang semakin besar rahasianya, bahaya yang akan timbul juga semakin besar..."
"Ada kau, apa yang kutakuti?"
Terpaksa Pwe-giok menyengir pula. Segera ia membuka jalan di depan. Selewatnya rintangan
patung telanjang itu, debu di lantai juga lebih sedikit, di bawah cahaya perak yang gemerdep
samar-samar kelihatan juga penuh gambar dan corat-coret.
Ternyata corat-coret dan gambar di lantai juga melukiskan adegan mesra antara lelaki dan
perempuan. Pwe-giok mengamatinya sejenak katanya kemudian: "Hendaklah kau ingat di mana kakiku
menginjak dan ke situ pula kau ikut melangkah, jangan sampai salah."
Dan di mana kakinya menginjak pertama ternyata adalah bagian tubuh yang paling tidak
sopan yang terlukis di lantai itu.
Sambil ikut melangkah, berulang-ulang Kim-yan-cu mengomel: "Benar-benar tempat setan
dan tidak boleh didatangi orang baik?"
"Sebabnya tuan rumah sengaja mengatur begini tempatnya, mungkin tujuannya justeru
hendak mencegah datangnya orang baik-baik. Sekalipun orang tahu rahasianya, tapi sungkan
juga datang ke sini. Kalau tidak, mana bisa dia terlepas dari tuntutan hukum."
"Bagaimana dengan kau" Kau orang baik-baik bukan?" tanya Kim-yan-cu dengan tertawa.
"Terkadang baik, terkadang juga tidak," jawab Pwe-giok tertawa.
Kim-yan-cu tertawa genit, katanya: "Kau ternyata tidak menjemukan bahkan rada
menyenangkan..."
Belum habis ucapannya, mendadak suara tertawanya terhenti. Dilihatnya seorang gadis
berbaju merah tergantung terbalik dengan muka yang menyeringai seram.
"He, tampaknya barang siapa masuk mati, kata-kata ini bukan cuma gertak sambel belaka,"
seru si walet emas dengan ketakutan.
Mayat gadis berbaju merah ini masih utuh, paling-paling baru dua-hari dia mati.
230 "Tempat yang sudah terpendam selama puluhan tahun, bilamana diketemukan orang, seketika
akan berbondong-bondong didatangi orang banyak, apakah rahasia yang terdapat di tempat ini
memang betul-betul sedemikian menarik sehingga matipun tak terpikir oleh orang-orang?"
demikian gumam Pwe-giok.
Baru dua-tiga langkah, dilihatnya pula mayat seorang perempuan berbaju ungu, mati
terpantek di dinding oleh sebatang paku raksasa berbentuk aneh. Kedua tangannya tampak
erat memegangi pangkal paku, jelas sebelum mati dia berusaha mencabut paku itu, tapi tidak
mampu mencabutnya sehingga dia mati terpantek hidup-hidup.
Hanya sekejap saja Kim yan-cu memandangnya, ia merasa mual dan hampir saja tumpahtumpah.
Selanjutnya setiap beberapa langkah lagi ke depan pasti ditemukan sesosok mayat perempuan,
ada yang mati terbacok golok, ada yang mukanya hancur, ada yang mati terhimpit di tengah
celah-celah batu.
"Jalan ini benar-benar maut menunggu pada setiap langkah, jika aku tidak mengikuti kau,
mungkin sekarang sudah... sudah mengalami nasib serupa anak-anak perempuan ini," kata
Kim yan-cu dengan suara gemetar.
"Tapi mereka dapat sampai di sini, suatu tanda di antara mereka pasti ada orang yang pintar,"
ujar Pwe-giok. "Darimana kau tahu mereka datang bersama?" tanya Kim-yan-cu.
"Kuyakin mereka pasti satu rombongan," jawab Pwe-giok.
"Pada masa hidupnya anak-anak perempuan ini pasti muda dan cantik, tapi untuk apakah
mereka datang ke tempat setan ini dan mengantarkan nyawa," ujar Kim-yan-cu.
"Hanya ada satu alasan," ujar Pwe-giok, "meski tempat ini bukan gudang penyimpan pusaka
Thian-can-kau, tapi pasti terpendam satu partai harta karun yang tak ternilai jumlahnya."
Mendadak Kim-yan-cu berhenti melangkah dan berkata: "Menurut kau, kakek itu sengaja
menipu kita masuk ke sini, mungkinkah kita hanya dijadikan perintis jalan baginya?"
"Kukira memang demikian, makanya dia berharap lebih tinggi ilmu silat kita akan lebih baik
pula, tidak sayang meminjamkan pedang wasiat kepadamu."
"Wah, kalau begitu, apabila kita bisa masuk ke sana, hal ini sama saja seperti membuka jalan
baginya," seru Kim-yan-cu dengan terkesiap.
"Dan umpama kita menemukan benda mestika terpaksa juga harus diserahkan kepadanya.
Dan kalau kita mati, dia sendiri tidak rugi. Hati orang tua ini sungguh keji, padahal kita tidak
pernah kenal dia, namun dia tega menggunakan jiwa kita sebagai taruhan bagi
kepentingannya."
"Di dalam hal ini masih ada kejadian lain yang aneh," kata Pwe-giok setelah berpikir sejenak.
231 "Hal .... hal apa?" tanya Kim-yan-cu.
"Coba kau lihat, jenazah ini semuanya adalah perempuan, di dasar lubang tadi, kulihat
kerangka tulangnya juga seluruhnya tulang perempuan, apakah orang yang datang ke sini dan
mengincar harta pusaka ini tiada seorang lelaki pun?"
"Hal ini ada dua alasan, apakah kalian ingin tahu?" mendadak seorang menanggapi dengan
tak acuh. Mendengar suara yang datar dan hambar ini, air muka Kim yan-cu seketika berubah, ia tarik
tangan Pwe-giok dan berkata: "Hahh, dia .... dia ikut masuk ke sini."
"Jika kugunakan kalian sebagai perintis jalan dengan sendirinya aku mesti ikut masuk
kemari," kata si kakek.
"Setelah kalian menghancurkan semua perangkap yang terpasang di sini, maka aku pun tidak
perlu bersusah payah lagi."
Di tengah gemerdepnya cahaya perak, tahu-tahu orang tua itu sudah muncul seperti badan
halus. Dongkol dan gusar pula Kim-yan-cu, omelnya: "Kuhormati kau sebagai orang tua, tapi kau
bertindak kejam kepada kami malahan tanpa malu-malu kau mengakui perbuatanmu."
"Meski kalian telah menderita bagiku, tapi juga tidak bekerja percuma, kalianpun akan
menarik keuntungannya," kata si kakek bercahaya perak.
"Apalagi kalian diberi kesempatan pesiar ke sini, andaikan matipun tidak perlu penasaran."
"Sesungguhnya tempat apakah ini?" tanya Kim-yan cu.
"Kenapa kalian tidak melihatnya sendiri, itulah dia!" kata si kakek.
Waktu Kim-yan-cu memandang ke arah yang ditunjuk, terlihat di samping mayat seorang
perempuan berbaju hijau, di atas dinding terukir 16 huruf besar yang berbunyi: "Un-yu-cibiang,
bing-lok-ci-kiong" atau surga yang hangat, istana yang gembira. Lalu di bawahnya:
"Siau-hun-si-kut, jik-tok-ji-hiong" atau sukma tergetar tulang terhapus, selain keji juga ganas.
"Empat puluh tahun yang lalu, tempat inilah surga yang di impi-impikan oleh setiap pendekar
muda di seluruh dunia ini," demikian tutur si kakek. "Barang siapa dapat berkunjung ke sini,
sekalipun tulang terhapus dan sukma tergetar juga rela."
"Apa sebabnya?" tanya Kim-yan-cu dengan terkesiap.
"Sebab kalau sudah berada di sini barulah diketahui sesungguhnya apa kegembiraan kaum
lelaki" Hahaha, cuma sayang, setelah menikmati kebahagiaan ini, lalu orang itupun harus
mati." Sampai di sini, si kakek bergelak tertawa beberapa kali, namun suaranya tetap hambar, tiada
tinggi-rendahnya nada, juga tiada terdengar rasa suka atau duka.
232 Kim-yan-cu menarik napas dingin, ucapnya kemudian: "Jika demikian, mengapa di sini tidak
terlihat mayat lelaki seorangpun?"
"Soalnya waktu itu setiap lelaki harus menunggu setelah masuk istana dan dinilai dulu oleh
Siau-hun Kiongcu (puteri penggetar sukma), habis itu barulah dia akan mati," tutur Si kakek.
"Jika sudah tahu tempat setan yang jahat ini mengapa anak perempuan juga sengaja kemari?"
tanya Kim-yan-cu.
"Untuk ini memang banyak alasannya," tutur pula si kakek. "Ada sementara orang perempuan
yang iri kepada kecantikan Siau-hun-kiongcu dan bertekad akan membunuhnya. Ada lagi
yang dendam karena suami atau kekasih sendiri menjadi korban pikatan sang Kiongcu dan
sengaja datang kemari untuk menuntut balas..."
"Tapi kalau Siau-hun-kiongcu itu masih hidup sampai sekarang, tentunya dia sudah berwujud
siluman tua, mengapa masih tetap ada anak perempuan sebanyak ini yang mengantar nyawa
ke sini?" "Meski Siau-hun-kiongcu sudah mati, tapi harta pusakanya dan kitab wasiat tinggalannya
masih berada di sini," kata si kakek. "Harta pusakanya tidak perlu dipersoalkan, melulu kitab
wasiat pelajaran ilmu silatnya saja selama berpuluh tahun ini selalu diincar oleh setiap
perempuan di dunia ini, tak perduli siapapun, asalkan bisa memperoleh Bikang (ilmu
memikat) Siau hun-kiongcu, maka setiap lelaki di dunia ini pasti akan bertekuk lutut di bawah
kakinya." Kim-yan cu memandang Pwe-giok sekejap, tanpa terasa air mukanya menjadi merah pula,
katanya: "Barang kotor begitu, melihat saja aku tidak sudi."
Si kakek tertawa terkekeh-kekeh, katanya: "Tapi sekali sudah kau lihat mungkin kau akan
merasa berat untuk melepaskannya."
Sekonyong-konyong sorot matanya beralih ke arah Pwe-giok, katanya pula; "Meski ilmu
silatmu kurang memadai, tapi pengetahuanmu dalam hal-hal lain ternyata cukup luas, orang
seperti kau ini rasanya sayang jika kubunuh."
Pwe-giok tersenyum, katanya: "Saat ini kita belum masuk ke istana, dengan sendirinya kau
takkan membunuhku."
Mencorong sinar mata si kakek, ucapnya: "Jika kau dapat membawaku masuk ke istana ini,
bukan saja tidak kubunuh kau, bahkan akan ku bagi sama rata harta pusaka yang kita temukan
nanti." "Dan kalau aku tidak mau?" tanya Pwe-giok.
"Jika kau tidak mau, sekarangpun jangan kau harap akan bisa hidup lagi," kata si kakek
dengan hambar. "Tempat ini sudah didatangi orang, bisa jadi harta pusaka yang terpendam di sini sudah
diambil orang," kata Pwe-giok dengan tertawa.
233 "Sampai saat ini belum pernah ada seorangpun yang dapat keluar dari sini dengan hidup!"
ucap si kakek dengan dingin.
Pwe-giok tertawa, katanya: "Sering kudengar kata-kata seperti ini. Padahal tempat yang tak
dapat keluar dengan hidup justeru selalu ada orang yang keluar dengan hidup, hanya
keluarnya tidak diketahui orang lain."
Si kakek terbahak-bahak, katanya; "Dengan mata kepalaku sendiri kusaksikan ke sembilan
perempuan ini masuk ke sini dan aku sendiri yang menyumbat jalan keluarnya, dua hari pula
ku jaga di luar. Bilamana ada orang keluar di luar tahuku, kedua biji mataku ini rela kukorek
keluar." Dengan sorot mata gemerdep Pwe-giok berkata pula dengan pelahan. "Kau membunuh
segenap keluarga Ma Siau-thian, apakah lantaran kau mencurigai dia membocorkan rahasia
tempat ini kepada ke sembilan perempuan ini."
"Hm, kau sudah bertanya terlalu banyak," jawab si kakek dengan sorot mata tajam.
"Hanya karena mencurigai seorang, lalu kau bunuh segenap keluarganya, tidakkah caramu ini
terlalu keji dan kejam?" seru Kim-yan-cu.
"Jangan lupa, yang kubunuh adalah anggota Thian-Can-kau," jawab si kakek dengan tak acuh.
"Lantaran mereka membocorkan rahasiamu kepada orang lain, makanya kau bunuh mereka,
begitu?" Kim-yan-cu menegas.
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hm!" si kakek cuma mendengus saja.
"Tapi dari mana pula orang Thian-can-kau mengetahui rahasiamu?" teriak Kim-yan-cu.
"Jangan-jangan kau pun sekomplotan dengan mereka?"
Mendadak si kakek membalik tubuh dan "plok", tangannya menepuk dinding batu, lalu
menjawab dengan pelahan: "Kaupun sudah terlalu banyak bertanya."
Melihat dekukan cap tangan di dinding, Kim-yan-cu mencibir dan tidak bersuara pula.
***** Cukup lama Pwe-giok meraba dan mencari dan berulang-ulang bergumam: "Jangan-jangan
pintu masuk istananya tidak terletak di sini?"
"Di depan sudah buntu, kalau pintunya tidak di sini, lalu di mana?" ujar si kakek.
Pwe-giok berpikir sejenak, ia menggeser sesosok mayat perempuan berbaju hijau, tiada
dilihatnya sesuatu luka pada mayat ini, tapi kedua tangannya tampak matang biru.
Ia berjongkok, dengan sarung pedang ia mencungkil jari-jemari mayat itu, dilihatnya jari
telunjuk kanan-kiri masing-masing ada setitik darah kering. Seperti luka yang habis digigit
234 nyamuk atau seperti bekas dicocok jarum bilamana orang hendak diperiksa darahnya pada
jaman ini. Namun begitu sudah mengakibatkan kematian perempuan ini.
Pwe-giok berdiri dan menghela napas panjang, gumamnya pula: "Kiranya rahasia untuk
masuk ke dalam istana ini terletak pada kedua titik di huruf "ci" ini."
Huruf yang terukir di dinding batu itu pun, penuh debu, hanya kedua titik pada huruf "Ci" saja
yang kelihatan licin dan bersih, seolah-olah sering digosok.
Dengan girang Kim-yan-cu berseru: "Aha, betul, aku pun tahu sekarang. Asalkan kedua titik
pada huruf Ci ini ditekan, seketika akan muncul pintunya, begitu bukan?"
Sambil berkata segera ia hendak menekan kedua titik itu.
Cepat Pwe-giok mencegahnya dan berkata: "Apakah kau pun akan meniru perempuan baju
hijau ini" Jika setiap kali hendak membuka pintu istana harus mengorbankan satu nyawa,
harga ini kukira terlalu mahal."
Mendadak sinar perak gemerdep, si kakek telah merampas pedang pendek dan memotong
kedua jari telunjuk mayat itu, lalu digunakan menekan kedua titik huruf Ci itu.
Seketika dinding yang tadinya rapat dan rata itu berbunyi keriat-keriut, pelahan-lahan dinding
itu bergeser dan muncul selapis tirai bermutiara yang melambai hingga menyapu lantai.
Cahaya mutiara gemerlapan menyilaukan mata, di atas juga muncul enam belas huruf yang
berbunyi: "Kegembiraan yang bahagia, dinikmati bersama anda. Masuk ke dalam pintu ini,
sekaligus naik ke surga."
Air muka si kakek yang tadinya dingin dan hambar itu seketika memperlihatkan rasa gembira
dan bersemangat, sinar matanya mencorong terang, mendadak ia menengadah dan tertawa
terbahak-bahak; "Hahaha! Rahasia Siau-hun-niocu akhirnya terjatuh juga di tanganku
sekarang!"
Di tengah gelak tertawanya itu ia lantas menyingkap tirai dan melangkah masuk.
Kim-yan-cu coba memeriksa kedua potong jari kutung yang di buang ke lantai itu, ternyata
pada ujung jari yang sudah hitam kering itu bertambah lagi dua lubang kecil. Ia pandang Pwegiok
sekejap, katanya dengan penuh rasa terima kasih: "Kembali kan telah menyelamatkan
diriku. Sungguh tak tersangka pada kedua titik kecil inipun terpasang perangkap yang dapat
membunuh orang."
Kiranya pada kedua titik itu masing-masing ada sebuah jarum berbisa yang sangat lembut dan
hampir sukar terlihat oleh mata telanjang Bilamana jari itu tercocok jarum, hanya terasa gatal
sedikit dan bilamana mulai merasa sakit, maka tak tertolong lagi orangnya.
Pwe-giok sedang memandangi tirai bertabur mutiara itu, seperti sedang menimbang apakah
harus ikut masuk atau tidak. Sekonyong-konyong sebuah tangan yang pucat terjulur keluar
dari balik tirai dan menarik Kim-yan-cu ke dalam.
235 Terdengar si kakek berkata: "Harta pusaka ini ada separuhnya adalah milikmu, kenapa kau
tidak ikut masuk kemari?"
Belum habis ucapannya Kim yan-cu sudah terseret masuk ke sana.
Diam-diam Pwe-giok merenungkan apa yang bakal terjadi nanti, pikirnya; "Setelah maksud
tujuannya tercapai, orang tua ini pasti takkan melepaskan diriku..."
Sementara itu didengarnya suara sorak gembira Kim-yan-cu, akhirnya Pwe-giok ikut
melangkah masuk ke sana.
Di balik tirai itu memang betul terdapat suatu dunia lain. Seketika Pwe-giok merasa silau oleh
gemerlapnya cahaya emas dan sinar perak sehingga tidak jelas keadaan di dalam.
Tiba-tiba Kim-yan-cu mendekatinya dengan membawa sebuah cangkir kumala, di dalam
cangkir penuh terisi ratna mutu manikam yang kemilauan sehingga wajah si nona yang
berseri-seri itu semakin menarik.
"Lihatlah, betapa indah benda-benda ini?" seru si nona dengan berjingkrak gembira.
"Kau suka?" tanya Pwe-giok.
"Anak perempuan mana yang tidak suka kepada intan permata" Kalau lelaki suka kepada
intan permata adalah karena nilainya yang tinggi, sedangkan perempuan suka kepada intan
permata adalah karena keindahannya. Coba lihat, yang ini bagus atau tidak?"
Dia lantas angkat seuntai kalung mutiara dan digantung di depan lehernya, cahaya mutiara
yang kemilauan menyinari kerlingan matanya yang redup seperti agak mabuk.
Pwe-giok menjawab dengan gegetun: "Betapa pun indahnya mutiara ini, mana bisa lebih
indah daripada kerlingan matamu?"
Kim-yan-cu menunduk dan tertawa, mukanya menjadi merah.
Tapi si kakek bercahaya perak tadi sama sekali tidak memandang mereka, terhadap ratna
mutu manikam yang memenuhi ruangan itu seolah-olah juga tidak tertarik, ia masih terus
mencari dan menggeledah di segenap pelosok.
Mutiara, jamrud, kumala, mirah, safir . . .. satu persatu dibuangnya di lantai seperti
membuang sampah. Sungguh aneh, apakah barang yang dicarinya bisa lebih berharga
daripada benda-benda mestika ini"
"Menurut kau, apakah dia sedang mencari Siau-hun-pit-kip (kitab pusaka penggetar sukma)
tinggalan Siau-hun-kiongcu itu?" tanya Kim-yan cu dengan suara tertahan.
"Kukira begitulah," jawab Pwe-giok.
Kim-yan-cu tertawa cekikik, katanya: "Dia kan bukan perempuan, seumpama berhasil
meyakinkan ilmu memikat tinggalan Siau-hun-kiongcu itu, lalu apa gunanya?"
236 Pwe-giok berpikir sejenak, katanya kemudian: "Bisa jadi Kungfu yang diyakinkan nya
sehaluan dengan ilmu Siau-hun kiongcu ini. Jika keduanya bergabung dan saling menambal
kekurangan masing-masing, dengan sendirinya lantas besar manfaatnya. Atau mungkin juga
dia mempunyai anak perempuan..."
Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong terdengar si kakek bergelak tertawa seperti
orang gila. Terlihat tangannya yang pucat itu memegangi beberapa jilid buku tipis warna
jambon, rasa gembiranya itu jauh melebihi Kim-yan-cu ketika menemukan batu permata tadi.
Tanpa terasa Pwe-giok menghela napas panjang.
"Cita-citaku telah terkabul, kau harus ikut bergembira bagiku, kenapa kau menghela napas?"
omel si kakek dengan tertawa.
"Soalnya Cayhe lantas teringat kepada pepatah "Niau-cin-kiong-cong" (burung habis gendewa
disimpan, kiasan bahwa setelah burung terbidik, gendewa tidak diperlukan lagi), maka aku
menjadi sedih."
"Kan sudah kukatakan takkan kubunuh kau, masa aku ingkar janji," ujar si kakek dengan
tergelak. Lalu ia menggunakan tangan kiri dan memberi tanda garis tengah ruangan itu dan
berkata pula: "Bukan saja jiwamu takkan kuganggu, bahkan aku tetap pegang janji dan akan
ku bagi separoh harta pusaka ini kepadamu. Di sinilah batasnya, yang sebelah sana semuanya
adalah milikmu, boleh kau ambil saja sesukamu."
"Anda dapat pegang janji, tidak sia-sia ku sebut engkau sebagai Cianpwe," ujar Kim-yan-cu
dengan tertawa.
Tapi Pwe-giok menanggapi dengan tak acuh: "Biarpun Cianpwe memberikan kepadaku
seluruh harta pusaka ini, kalau tidak dapat kubawa keluar kan juga percuma dan tiada
gunanya," Sembari bicara, seperti tidak sengaja, ia tetap menghadang di depan pintu tanpa bergeser.
Si kakek tertawa, katanya: "Meski ilmu silatmu kurang tinggi, kukira tenagamu cukup kuat,
boleh kau bungkus saja harta pusaka ini sekantong demi sekantong, kan akhirnya dapat kau
bawa pergi seluruhnya?"
"Sekalipun Cianpwe tidak mengganggu jiwaku, tapi bila Cayhe sedang meringkasi bendabenda
berharga ini, mungkin Cianpwe terus melayang keluar dan menyumbat pintu keluar,
lalu apa gunanya biarpun Cianpwe memberikan seluruh harta karun ini kepadaku?"
Tak tersangka oleh si kakek bahwa pemuda yang tampaknya lugu dan tulus itu dapat menerka
isi hatinya. Sejenak ia melenggong, dari malu ia menjadi gusar, segera ia membentak: "Kau
menghadang di depan pintu, apakah kau kira aku tidak mampu keluar?"
Di tengah bentakannya kelima jarinya laksana kaitan terus mencengkeram urat nadi
pergelangan tangan Pwe-giok.
237 Mendadak Pwe-giok memutar tangannya dan berbalik memotong urat nadi lawan, gerakan
cepat dan balas menyerang secara licin ini membuat si kakek terkejut, cepat telapak
tangannya yang lain juga memukul.
Jilid 10________
Pwe-giok tidak mengelak juga tidak menghindar atas serangan si kakek, ia malah sambut
pukulan lawan dengan sebelah tangannya, "plak" kedua tangan beradu, kedua orang samasama
tergetar mundur dua-tiga tindak.
Si kakek sama sekali tidak menyangka Kungfu anak muda ini bisa sedemikian lihai, ia
terkejut dan gusar, katanya dengan menyeringai: "Tak terduga boleh juga kau, akulah yang
salah pandang!"
Belum habis ucapannya, sekaligus ia sudah menyerang beberapa jurus lagi. Di tengah
serangannya yang aneh itu membawa gerakan keji.
Namun Pwe-giok dapat mematahkan setiap jurus serangan lawan, cuma dia baru sembuh dari
keracunan, setelah belasan gebrakan, tenaga mulai terasa lemah. Mendadak ia membentak
pada Kim-yan cu: "Kenapa kau tidak lekas terjang keluar?"
Kim yan-cu memang lagi kesima menyaksikan pertarungan mereka, ia terkesiap oleh
bentakan Pwe-giok itu, tapi ia lantas menjawab dengan tertawa: "Dua lawan satu kan lebih
baik daripada sendirian biarlah akupun maju..."
Cepat Pwe-giok memotong: "Dengan kepandaianmu, biarpun ikut maju juga tiada gunanya.
Terjang keluar saja dan jangan hiraukan diriku!"
Karena bicara dan sedikit lengah, kembali dia terdesak mundur dua tiga langkah.
Melihat pertarungan kedua orang sedemikian rapatnya sehingga dirinya tidak mungkin ikut
campur, terpaksa Kim-yan cu menghela napas, mendadak ia melompat lewat samping si
kakek. Tak terduga punggung si kakek seakan-akan juga tumbuh mata, sebelah tangannya
menghantam ke belakang. Kim-yan-cu tidak sanggup menangkis, dada terasa sesak, ia
terpental dan jatuh terguling ke belakang.
Pada kesempatan itulah Pwe-giok juga melancarkan serangan sehingga dapat mendesak maju
ke tempat semula. "Apakah kau terluka?" tanyanya kepada Kim-yan-cu.
Tubuh Kim-yan cu terasa pegal seluruhnya tapi dia menjawab dengan tersenyum: "Tidak apaapa
jangan kau pikirkan diriku!"
Melihat senyuman si nona yang setengah meringis itu, Pwe-giok tahu dalam waktu singkat
mungkin Kim-yan-cu tidak sanggup berbangkit. Pikirannya menjadi kusut, kembali dia
terdesak mundur lagi oleh hantaman si kakek.
238 Dengan menggertak gigi Pwe-giok menyambut pula tiga kali pukulan kakek itu. Kedua orang
berdiri di luar dan di dalam tirai, sesudah bergebrak beberapa jurus lagi, tirai itu pun robek,
mutiara dan batu permatanya berserakan di lantai.
"Mengapa kau tidak bersuara, apakah kau terluka?" tanya Kim-yau-cu dengan parau.
Terpaksa Pwe-giok berteriak; "Kau jangan kuatir, aku...." karena bersuara, bawa murni dalam
tubuh tambah lemah, kembali dia terdesak mundur dua langkah, kini ia sudah terdesak ke luar
pintu. Si kakek terus mendesak keluar, serunya dengan tertawa: "Kalian berdua boleh dikatakan dua
sejoli yang sehidup semati, sungguh aku menjadi iri."
Pada waktu si kakek bicara, segera Pwe-giok bermaksud menyerang dan mendesak kembali
ke tempat semula, tapi sayang, tenaga tidak mau menuruti kehendaknya lagi. Kain putih yang
membalut kepalanya juga sudah basah kuyup oleh air keringat. Dalam keadaan demikian
kalau dia mau kabur sendiri mungkin masih ada harapan, tapi mana dia tega meninggalkan
Kim-yan-cu begitu saja"
Agaknya si kakek dapat meraba jalan pikirannya dengan menyeringai ia berkata pula: "Jika
kau tidak keluar sekarang, segera akan kututup pintu ini, akan kukurung dia di dalam, dengan
demikian jangan harap lagi kalian akan berkumpul kembali."
Pwe-giok menghela napas, katanya: "Jika demikian, hendaklah kau memberi jalan, biar aku
lewat ke sana."
Si kakek terbahak-bahak, benar juga ia lantas menyingkir ke samping.
Dengan sedih Pwe giok melangkah ke sana. Tapi baru saja sampai ambang pintu, Cepat Pwe
giok berteriak: "Sudah kutahan dia, lekas kau lari!"
Dengan terhuyung-huyung Kim yan cu berlari keluar, katanya dengan suara gemetar: "Dan. . .
.dan kau?"
Tidak kepalang gemas Pwe giok, sungguh dia ingin mencekik leher si nona dan
menghardiknya: "Kenapa kau tidak lari keluar lebih dulu dan nanti berusaha lagi menolong
diriku?" Tapi ia sendiri sedang terdesak oleh serangan si kakek sehingga tidak sempat bersuara sama
sekali. Si kakek sinar perak tertawa terkekeh-kekeh katanya; "Demi keselamatan dirimu, dia rela
mengorbankan dirinya di sini, apakah kau tega pergi sendirian?"
"Sudah tentu tidak mungkin ku pergi sendiri," jawab Kim-yan-cu tegas.
"Mau mati biarlah kami mati bersama saja."
"Bagus," ujar si kakek dengan tertawa. "Dengan demikian barulah dapat dikatakan punya
perasaan, sungguh aku sangat kagum."
239 Cemas dan gemas Pwe-giok sungguh kalau bisa ingin ditendangnya keluar Kim-yan-cu.
Karena gusarnya itu, sedikit meleng, dada terasa panas, rupanya telah kena getaran pukulan si
kakek. Sekali ini dia tidak mampu balas menghantam lagi.
"Haha, apakah nona tidak ingin masuk lagi ke sana?" seru si kakek dengan tertawa.
"Sudah tentu aku akan masuk ke sana, tidak perlu kau kuatir," teriak Kim-yan cu dengan
suara serak. Pwe giok hendak membentak untuk mencegahnya, tapi belum lagi bersuara, tahu-tahu Kimyan-
cu sudah lari masuk lagi dengan langkah sempoyongan dan menubruk ke dalam
pelukannya. Terdengar si kakek tertawa latah, katanya: "Sudah kukatakan takkan kubunuh kau, tentu ku
pegang teguh janjiku ini. Tapi kalau kalian mati sesak di sini kan bukan salahku."
Habis berkata, "krek" pintu batu itu telah tertutup.
Lencana Pembunuh Naga 6 Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko Pendekar Super Sakti 19