Riwayat Lie Bouw Pek 13
Riwayat Lie Bouw Pek Karya Wang Du Lu Bagian 13
pesannya sanak itu ia sebaliknya sangat bersyukur pada anak
muda itu. Ia tidak pernah sangka yang ia akan dikasi uang
demikian banyak.
Oleh karena ia tahu ia mesti lekas pulang, Cia Mama tidak
mau berdiam lama dibio itu, setelah menghaturkan terima
kasih pula ia berjalan pergi, uangnya ia kekapi.
Bouw Pek awasi orang berlalu, lantas ia masuk kedalam
kamarnya. Ia merasa lega hanya sebentaran, lantas hatinya
jadi pepat pula. Ia keluar pula pergi ketempat mandi guna
bersihkan tubuh, buat bikin dirinya segar, ia niat tidur supaya
bisa mengaso, tetapi ia tidak bisa tidur, ia rebah hanya buat
gulak-gulik. Tempo ia memandang kejendela, ia lihat cuaca
telah menjadi terang.
"Apa periunya aku berdiam lebih lama pula di Pakkhia ?"
demikian mendadak ia pikir. "Kenapa aku tidak mau lantas
angkat kaki" Hari ini terang, jalanan tentu tidak sukar untuk
dilewati. Kalau aku berangkat sekarang, tidak sampai sepuluh
hari aku akan sudah sampai dikampungku. Baru setengah
tahun lebih aku berada di Pakkhia,"
"aku telah angkat namaku, aku telah dapatkan beberapa
sobat, sebenarnya berat buat segera berangkat pergi, tetapi
kalau diingat apa yang aku telah alami, aku tidak perlu
hiraukan. Lebih lekas aku berangkat, lebih baik!...."
Bouw Pek ambil putusan, ia keluar dari kamarnya, dengan
sewa kereta ia berangkat ke Pweelekhu. Sejak ia ikut Su Poan
cu pergi ke Kho-yang, setengah bulan sudah lewat, selama itu
ia tidak pernah ketemu raja muda itu. Maka sekarang,
menemui Tiat Jie-ya, ia jengah sendirinya. Tapi ia terangkan
kenapa ia berlalu dari Pakkhia, malah ia tuturkan tentang
kematiannya Beng Su Ciauw.
Tiat Pweelek manggut2 apabila ia telah dengar keterangan
itu. "Baru saja Siauw Hong datang kemari," berkata ia, "dan
baru saja ia berlalu. Ia juga telah cerita semua kepadaku."
Bouw Pek terperanjat mengetahui Siauw Hong datang pada
pangeran ini. "Entah apa yang ia bicarakan ?" ia duga2. Ia lantas lirik
pangeran itu, roman siapa ia lihat tidak terlalu gembira.
Deagan sungguh2 Tiat Pweelek lantas berkata:
"Bauw Pek, kau adalah anak muda yang berharga ! Kau
adalah bun bu coan cay, kelakuanmupun baik, maka untuk
orang sebagai kau, jangan kata dikalangan Sungai Telaga,
sekalipun kau masuk dalam ketentaraan, adalah mudah untuk
mendirikan jasa, jasa2 yang tidak sembarangan orang mampu
ciptakan. Hanya sayang kau punya satu cacat. Maafkan, aku
bicara terus terang! Mengenai orang perempuan, kau terlalu
lemah....!"
Mukanya Bouw Bek berobah sebab malu dan jengah, Tiat
Pweelek telah beber penyakit hatinya. Tapi berbareng, iapun
terharu, ia berduka.
"Tapi Pweelekya seorang luar, diandaikan ia menjadi aku,
belum tentu iapun bisa menghindarkan diri dari keruwetan" ia
coba hiburkan diri. Ia menghela napas.
Tiat Pweelek meneruskan kata2nya :
"Urusannya Biauw Cin San dan Thio Giok Kin kelihatannya
sudah beres. Tadinya aku duga mereka itu diundang oleh Oey
Kie Pok, kejadiannya akan seperti apa yang sudah terjadi
dengan Phang Bouw, yalah kau orang piebu, siapa menang,
siapa kalah, lantas habis perkara. Aku tidak sangka Biauw Cin
San dan Thio Giok ini ternyata melebihi penjahat2 besar.
Mula2 mereka telah lukakan Khu Kong Ciauw dengan piauw,
lantas mereka ganggu anak perempuan orang! Justeru mereka
lagi main gila, kau sendiri tidak karuan parannya! Sudah
begitu, nona Jie yang menumpang pada Siauw Hong justeru
bermusuh dengan Thio Giok Kin, hingga lantaran itu onar
hampir sampai dipuncaknya. Diluar kota nona Jie telah lukai
Biayw Cin San, yang mati hari itu juga. Atas itu Thio Giok Kin,
yang tidak mengadu pada pembesar negeri, sudah menantang
piebu pada sinona, hingga karenanya polisi mesti turut2an
menjadi repot. Oey Kie Pok jadi ibuk bukan main, Siauw Hong
jadi kuatir tidak kepalang. Melihat demikian aku lantas bicara
pada Teetok Tayjin, supaya ia usir Thio Giok Kin dan
rombongannya itu, maka sekarang segala apa telah menjadi
sirap. Aku dengar Kie Pok lagi rebah karena sakit, ia sekap diri
didalam rumah, tidak keluar2. Kau sekarang kembali, kau
jangan kuatir, tidak nanti ada orang lagi yang hendak satrukan
kau. Perihal kematiannya Siauw Jie di Khoyang, Siauw Hong
sudah terangkan kepadaku Dalam hal ini kau jangan bersusah
hati. Tempo Siauw Jie mau pergi kita bukannya tidak jegah ia,
tetapi ia paksa minggat, dengan curi kudaku. Apa kita bisa
bikin" Hanya aku merasa anak muda gagah seperti ia, binasa
secara kecewa demikian, sungguh harus dibuat sayang.....
Sekarang tinggal urusannya nona Jie, Siauw Jie telah
meninggal dunia, si nona jadi kehilangan andalannya,
kerumah mertuanya ia tolak bisa pergi, dirumahnya sendiri ia
tidak punya orang tua lagi, tak ada orang. Buat tinggal tetap
sama Siauw Hong pun tak mungkin! Maka itu Siauw Hong
punya pikiran, ia ingin kau dan si nona menikah."
Mendengar yang belakangan ini, Bouw Pek lantas geleng
kepala. Tapi Tiat Pweelek berkara terus :
"Aku lihat dalam hal ini tidak bisa digunakan desakan.
Tadipun aku telah kasi mengerti pada Siauw Hong. Sekarang
aku hendak tanya pada kau, aku ingin kau berikan putusanmu
yang pasti ! Sebenarnya, kau suka Siu Lian atau tidak"
Sambil kata begitu, Tiat Jieya awasi muka orang dengan
tajam. Wajahnya Bouw Pek berrobah merah dan puiyat bergantian
Ia tidak nyana yang Tiat Pweelek akan menanyakan ia secara
demikian. Memang ia suka Siu Lian, kalau tidak mustahil ia
jadi seperti orang gila ! Melulu karena ada kesulitan dari Beng
Su Ciauw, ia sekarang jadi berpikir lain menindas hatinya
sendiri. Siauw Hong ia bisa egoskan, bagaimana sekarang
dengan pengeran ini, yang tanya ia secara ringkas" Ia tahu
bagaimana ia mesti menjawab, tapi ia sangsi. Terhadap Tiat
Jieya ia tidak boleh bawa sikap seperti terhadap Tek Siauw
Hong. Akhir2nya, selelah bersangsi, ia berikan jawabannya
"Aku tidak suka nona Jie!"
Tentu saja mulut demikian tetapi hati berpikir lain. Ia
sebenarnya hendak menambahkan keterangan. Tapi Tiat
Pweelek, yang manggut", sudah dului ia
"Baik! Secara begini, semua sudah beres ! Taytianghu
memang mesti omong terus terang dan jelas Sekarang aku
hendak peringatkan : oleh karena kau sudah menyatakan
yang kau tidak suka nona Jie, segala hal yang sudah lewat kau
tidak boleh sebut2 lagi, aku ingin kau dapat pulang
semangatmu, kau mesti pikirkan cita2 kau. Sekarang apa yang
kau sudah pikir untuk kau lakukan ?"
Bouw Pek benar2 terdesak. Tapi karena ia memang sudah
ambil putusan, ia bisa berikan jawabannya dengan tidak
ayal2an lagi. Ia menjawab dengan suara pasti :
"Hari ini atau besok aku hendak berangkat meninggalkan
Pakkhia! Paling dulu aku hendak puiang kerumahku, disana
aku hendak berdiam beberapa bulan, kemudian aku akan pikir
pula : kembali ke Pakkhia atau pergi ke Kanglam !"
Tiat Pweelek manggut2 pula.
"Memang kau sudah berdiam lama juga di Pakkhia, sudah
seharusnya kau pulang dulu," ia bilang. "Apakah kau punya
cukup ongkos untuk itu "
"Cukup," jawab Bouw Pek,
"Baiklah," kata pula Tiat Pweelek. "Sampai kita ketemu pula
! Kalau dibelakang hari ada urusan apa2, kau nanti utus orang
akan undang aku!"
Bouw Pek mengatakan "baik" dan kata pula :
"Jieya, budimu yang besar, aku Lie Pouw Pek tidak akan
bisa lupakan !"
Setelah kata begitu anak muda ini diam. Ia terharu bukan
main. Pangeran Boan ini benar2 manusia ! Ia yang baru
dikenal telah diperhatikan demikian rupa!
Juga Tiat Pweelek terharu, karena ketika ia omong lebih
jauh suaranya tidak sewajarnya.
Sampai disitu dengan merasa berat Bouw Pek ambil
selamat tinggal, lalu dengan naik kereta ia menuju
kerumahnya Tek Siauw Hong.
Orang Boan ini ada dirumah, ketika ia dengar sobatnya
menyalakan mau pulang, ia lantas tarik napas berulang2,
sekian lama ia diam saja. Ia benar2 bersusah hati Ia baru mau
bicara, ketika Bouw Pek sebut buku uang, yang telah dipakai
beberapa puluh tail untuk menolong Cia Mama dan anaknya,
dan buku itu ia sekarang hendak kembalikan.
"Jangan, jangan !" demikian ia mencegah. "Kalau kau
kembalikan buku itu padaku, aku tentunya anggap kau tidak
mau kenal aku, Aku Tek Siauw Hong bukannya hartawan,
tetapi uang sejumlah itu aku tidak perlu pakai! Kau pegang
buku itu, umpama kata kau tidak dapat ketika akan gunai itu,
kau boleh antapi saja ! Itu soal kecil. Yang penting, yang kau
hendak tanyakan, adalah aku ingin ketahui, bagaimana
perasaanmu terhadap Jie Siu Lian : kau masih perhatikan ia
aiau tidak" Satu laki2 tidak melulu hendak angkat namanya,
tetapi ia juga mesti dirikan rumah tangga ! Kau sendiri yang
bilang padaku, melainkan Jie Sioe Lian yang pantas buat jadi
isterimu, sekarang Siu Lian belum menikah, Beng Su Iyiauw
sudah meninggal dunia, maka kalau sekarang lagi sekali
ucapkan mulutku buat rangkap jodoh kau orang berdua
rasanya aku tidak bisa tidak berhasil bukan?"
Lagi sekali Bouw Pek dapat tusukan yang tajam, seperti
tadi ia dapatkan dari Tiat Pweelek, sedang itu adalah tusukan
yang ia paling tidak inginkan !
Tidak tunggu orang teruskan ucapannya, berulang2 Bouw
Pek geleng kepalanya, air mukanya berobah menjadi suram.
"Tentang aku dan Jie Siu Lian jangan disebut pula !"
demikian ia memotong. "Tadi Pweelek hu aku telah berikan
jawabanku pada Tiat Jieya !"
Sauw Hong tercengang, tetapi ia segera bersenyum dingin.
"Jadi satu sobatpun tidak bisa desak kau!" kata orang Boan
ini yang putus asa. "Kalau begitu, sekarang kau mau
berangkat, baik baik, aku akan antar kau...."
"Tidak usah toaku antar aku!" Bouw Pek menyegah. "Aku
pikir hendak berangkat hari ini juga!"
Lagi sekali Siauw Hong terperanyat tapi ia lekas tanya.
"Kau hendak ambil pintu mana?"
"Ciang gie-moei" sahut Bouw Pek, yang akhirnya menghela
napas. "Aku Lie Bouw Pek kenal bukan sedikit orang, akan
tetapi sobat yang aku kagumi dan pada siapa aku sangat
berterima kasih melainkan kau seorang, Tek Toako Percaya
aku, dibelakang hari, asal aku masih bernyawa, aku mesti
balas budi besar ini!"
Pemuda kita begitu terharu, hingga matanya menjadi
merah. ' Juga Siauw Hong tidak kurang terharunya. Ia sebal karena
kebandelannya, tetapi ia sayang sobat ini yang jujur dan
gagah serta setia.
"Jangan mengucap demikian, hiantee" ia kata kemudian.
"Adalah biasa dari aku Ngo Tek, terhadap sobat aku selalu
beber hatiku, apapula terhadap kau. Hiantee kau pergi, ini
adalah kepergian untuk sementara waktu! Aku tahu
dibelakang hari masih banyak waktu untuk kita bertemu pula.
Apa yang aku harap adalah, supaya kau bisa buka sedikit
hatimu, dalam hal apa juga jangan kau gampang berduka dan
putus asa. Umpama kau dapat kesukaran hiatee, aku boleh
cari aku, aku pasti akan bantu kau"
Bouw Pek tidak menjawab, ia hanya manggut.
Siauw Hong tahu sobatnya ini belum bersantap tengahhari,
ia perintah lekas sajikan barang hidangan. Ia ajak
sobatnya itu dahar, undangan mana tidak ditampik. Hanyalah
meski mereka bersantap sambil pasang omong, mereka
kehilangan kegembiraan seperti yang sudah2, karena mereka
hendak berpisahan.....
Baru saja tenggak dua cangkir arak, Bouw Pek sudah
berbangkit buat pamitan. Ia telah ambil putusan buat
berangkat hari itu juga. Ia sebenarnya niat masuk
kepedalaman, untuk ketemui Tek Loothaythay dan Tek
Naynay, tetapi karena ia kuatir nanti ketemu Siu Lian, ia kata
saja pada Siauw Hong: "Aku tidak masuk iagi, tolong kau
sampaikan hormatku kepada pehbo dan enso....."
"Tidak usah banyak adat peradatan, aku nanti tolong
sampaikan" kata Siauw Hong.
Bouw Pek lantas berbangkit dan bertindak keluar.
Siauw Hong pun berbangkit, ia mengantar sampai dipintu
luar, disini mereka saling unjuk hormat dan berpisahan.
Dengan naik kereta Bouw Pek menuju ke Lam-shia, Kota
Selatan. Tempo lewat di Hoe-pong Lioe liekay, ia tadinya pikir
buat singgah sebentar, tetapi kapan ia ingat orang sudah
surati dan untuk menyingkir dari kesedihan, ia batalkan
niatnya itu. Hanya di Poan-cay Hotong Selatan ia berhenti
didepan rumah paman misannya, ia terus masuk kedalam
akan ketemui piauwceknya Kie Thian Sin, untuk kasi tahu
keberangkatannya.
Kie Thian Sin mengalami kesulitan dalam jawatannya,
disebelah itu iapun dengar segala macam kejadian yang
berhubungan dengan keponakannya itu, bahwa keponakan ini
telah bersobat dengan Tiat Pweelek dan orang2 ternama lain
lagi, maka ia anggap baik ia lepas tangan. Sekarang ia dengar
si keponakan mau pulang, ia manggut2.
"Kau mau pulang, baiklah," ia kata. "Bila nanti ada
lowongan yang cocok untuk kau, nanti aku kabarkan."
Kie Thian Sin lantas tulis dua pucuk surat buat dibawa
pulang kekampungnya dan ia bekalkan dua puluh tail pada
keponakannya ini.
Sang encim juga berikan pesanan.
Bouw Pek tidak banyak omong, ia terima semua pesanan
sambil janji akan perhatikan itu, setelah unjuk hormatnya ia
berlalu. "Kapan kau hendak berangkat, toaya ?" kata pengikutnya
Kie Thian Sin. "Bila perlu nanti aku pergi akan bantui kau..."
"Terima kasih buat kebaikanmu" sahut Bouw Pek yang
lantas pulang langsung kebio.
Karena semua sudah beres, anak muda ini merasa hatinya
lega. Karena ia tidak punya apa2, iapun bisa siapkan
Riwayat Lie Bouw Pek Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pauwhoknya dengan cepat, malah kudanya, si hweesio sudah
sediakan. Ia ketemukan semua paderi dari Hoat Beng Sie
untuk pamitan, ia menderma sepuluh tail perak, yang mana
diterima dengan girang oleh orang2 suci itu. Mereka pujikan ia
keselamatan dalam perjalanan.
Bouw Pek tuntun kudanya keluar dari bio, dari Sinsiang
Hotong sampai dijalan baru ia loncat naik atas binatang
tunggangan itu. la ayun cambuknya. Benar seperti ia bilang
pada Siauw Hong, ia menuju ke Ciang-gie mui. Baru saja ia
sampai dipintu kota dan hendak lewatkan itu, tiba2 dari
sebuah kereta yang berhenti dipinggir jalan kelihatan Siauw
Hong lompat keluar dan turun.
Orang Boan ini pakai pakaian biasa, kepalanya ditutup
dengan kopia kecil. Ia menghampirkan dengan air muka
tersungging senyuman.
"Hiantee!" ia menegor "Benar, kau bilang mau berangkat,
lantas kau berangkat! Aku telah tunggu kau disini lama juga,
aku hendak antar kau !"
Bouw Pek tercengang sedetik, tapi ia lantas bersenyum. Ia
mau lompat turun dari kudanya, tapi sobatnya cegah ia.
"Jangan turun !" Siauw Hong bilang "Aku nanti naik
keretaku, aku tidak mau antar jauh pada kau, hanya sampai di
Kwan siang, lantas aku mau pulang kembali !"
Ia naik atas keretanya dan Hok Cu segera kasi jalan kereta
itu. Mereka bicara sambil berendeng, satu diatas kuda, satu
diatas kereta. Siauw Hong nampaknya gembira.
"Hiantee, seberangkat kau aku kesepian!..." ia kata.
Tapi ucapan ini bikin Bouw pek tertusuk, hingga ia jadi
masgul. Ia bisa mengerti, yang sobatnya akan kesepian,
seperti ia sendiri sudah merasakan,
Sejak tadi hawa udara bagus dan langit terang, apa mau
mendadak dalam sekejap saja awan hitam bergumpal2 dibawa
angin utara yang menderu2, hingga hawa jadi sangat dingin.
Salyu memangnya belum lumer semua, dari daun2 diatas
cabang pohon salju turun jatuh menyampok muka orang.
Waktu itu sudah kira2 jam tiga.
"Hiantee kau benar beradat keras dan aneh" akhirnya
Siauw Hong kata "Baru kemarin sore kau kembali atau
sekarang kau pergi pula Sekarang sudah jam tiga, belum
melalui tiga atau empat-puluh lie, langit tentunya sudah gelap!
Lain dari itu aku lihat, rasanya akan turun hujan salyu.-
Ucapan yang terakhir ini membikin Bouw Pek tiba2 ingat
halnya duluan, diwaktu ia antarkan Siu Lian dan ibu ke
Soanhoa, bahwa dalam berjalanan dari Soanhoa ke selatan,
dibukit Kieyong Kwan San ia telah hajar orang2nya Gui Hong
Siang, bahwa kemudian telah hujan besar hingga ia jadi kuyup
lepek. Malam itu ia menginap dihotel di Seho shia, esoknya
Gui Hong Siang satroni ia, ia ditantang berkelahi, bagaimana
ia rubuhkan musuh.Tapi justeru di situ ia jadi berkenalan
dengan Tek Siauw Hong. Sekarang setelah setengah tahun
sobat itupun amat ia yang hendak pulang kekampungnya.
Sekarang ia merasakan benar kebaikannya Siauw Hong
sebagai sobat. Karena persobatan ini, Siauw Hong jadi buang
uang, buang tempo, dapat banyak cape hati, tapi sobat ini
tidak menjadi kecil hati
"Inilah sobat yang sukar didapatkan..." pikir ia, yang terus
menghela napas Kemudian ia kata pada sobatnya itu: "Toako,
silahkan kau kembali! Dibelakang hari kita akan bertemu pula
Barangkali lain tahun, dipermulaan musim, aku akan datang
pula ke Pakkhia ini! Aku tentu akan tengok toako !"
"Baik, baik" Siauw Hong jawab "Baiklah, sampai lain tahun
dipermulaan musim! Waktu itulah kau datang sendiri atau aku
yang undang kau, kita nanti berkumpul pula. Cuma
perjalanan manusia belum bisa ditentukan."
Orang Boan ini tertawa, tertawa dengan meringis. Ia
mendadak inuat hal dirinya, yang telah dapatkan banyak
musuh, terutama Oey Kie Pok. Bagaimana kalau Bouw Pek
sudah tidak berdampingan padanya" Kendati demikian ia tidak
mau utarakan kekuatirannya itu pada Bouw Pek.
Bouw Pek bisa duga kesukaran hati itu, ia lantas berkata:
"Seperti aku, toako, aku minta kau suka kurangkan
pergaulanmu dengan orang dari kalangan Sungai Telaga. Aku
harap kau jangan ladeni Oey Kie Pok. Umpama kala ada orang
yang menyebabkan kegusaranmu, aku minta kau suka
bersabar, tahan sabar untuk sementara waktu Kau tunggu
sampat aku telah kembali ke Pakkhia, waktu itu, aku nanti
bikin kau mendapat kepuasan"
Ia lantas tahan kudnnya, berpaling pada orang Boan itu.
Matanya merah sebab terhiarunya hati
"Sudah cukup, toako!" ia kata "Silahkan kau pulang, tidak
usah kau mengantar lebih jauh..."
Ia lantas angkat tangannya dan kiongkhiu.
Keretanya Siauw Hong juga lantas berhenti. Siauw Hong
sendiri dari atas keretanya segera balas memberi hormat itu.
Sedikit juga Bouw Pek tidak mengunjukkan rasa berat
ketika ia mau mulai berangkat.
"Toako, silahkan kau kembali !"
Siauw Hong tidak menjaWab, tetapi dengan mata tidak
berkesip ia awasi orang larikan kudanya, kuda hitam yang
tertampak teras diantara salyu putih melesak. Ia terus
mengawasi, kendati orang sudah mulai pergi jauh. Ia tidak
merasa yang ia telah kedinginan, sampai tangan dan kakinya
hampir beku. Hok Cu bergidik karena dinginnya hawa salyu masih belum
kering, langit berawan, angin utara besar.
"Looya, apa kita pulang sekarang ?" akhirnya ia menegor.
Siauw Hong menoleh pada kusirnya itu, ia melihat
kesekitarnya, ia memandang pula kedepan dimana
bayangannya Bouw Pekpun sudah tidak kelihatan, ia masih
bingung saja. Tapi akhirnya ia manggut.
"Ya, mari kita pulang" kata ia.
Hok Cu segera putar keretanya, lalu sebentar kemudian
mereka telah masuk di pintu Ciang-gie-mui.
Pikirannya Siauw Hong terganggu sekali didalam keretanya
ia tarik napas panjang beberapa kali. Tatkala mereka sampai
di Houw Hong Kio, dari sebelah depan kelihatan seorang
menghampirkan, buat terus mengasi tanda agar kereta itu
dikasi berhenti.
"Tek Ngo Looya !" demikian berkata orang itu. "Aku punya
urusan penting"
Siauw Hong duduk diam di keretanya, ia pandang orang itu
pakaian siapa rombeng dan kotor, muka kuning dan tubuh
kurus. Ia seperti kenal orang itu, akan tetapi ia lupa, hingga ia
berpikir. Belum terlalu lama, ia segera ingat orang ini, yalah
orang yang duluan datang padanya dengan warta dari Bouw
Pek. Dia itu adalah yang dipanggil Siauw Gia Kang, si Kala
Kecil. "Ada apa?" ia lantas tanya. "Coba kau bicara !"
Siauw Gia Kang datang dekat sekali ke kereta, agaknya ia
ketakutan. "Ngo Looya, aku justru hendak pergi kegedungmu untuk
menyampaikan kabar," kata ia dengan pelahan. "Aku dengar
kabar, sekarang ini Kim khio Thio Giok Kin tidak pulang ke
Holam, ia dan kawan2nya hanya berkumpul di Poteng.
Kemarin dulu. Siu Bie too Oey Kie Pok malah sudah kirim Gu
tauw Hek Sam kesana. Rupanya Siu-Bie too masih berpikir
akan ganggu kau Warta ini bikin Siauw Hong kaget
"Benar seperti dugaanku, Oey Kie Pok tidak mau gampang2
berhenti memusuhi aku" pikir ia. "Siauw Gia Kang ini seorang
miskin, akan tetapi ia ketahui banyak hal. Aku memang
kekurangan pembantu sebagai ia, baiklah aku pakai
tenaganya."
Meskipun hatinya goncang, pada wajahnya orang Boan ini
unjuk ketenangan, malah ia sengaja unjuk senyum ewah.
"Biarlah mereka berdaya upaya akan ganggu aku, aku nanti
siap akan tunggu mereka!" ia kata dengan suara nyaring. Tapi
ia lalu sengaja tanya : "Apakah kau ketahui Lie Bouw Pek
telah pergi kemana?"
"Bukankah Lie Toaya kemarin sore baru masuk kedalam
kota?" Siauw Gia Kang balik menanya. "Apakah ia tidak pergi
ke rumah looya?"
Siauw Hong bersenyum.
"Aku hanya sengaja tanya kau" ia bilang, "aku hendak
ketahui kau tahu atau tidak yang ia telah pulang. Sekarang
aku terangkan padamu, Lie Toaya sudah pergi pula, aku baru
saja antar ia keluar kota. Lie Bouw Pek sudah pergi, buat
sementara waktu ia akan kembali. Kalau kau nanti ketemu
orangnya Oey Kie Pok, kau boleh kasi tahu mereka, bahwa
aku Tek Siauw Hong bukan karena telah pakai si orang she Lie
sebagai pahlawan, maka aku berani tinggal di Pakkhia sebagai
hoohan!" Siauw Gia Kang tertawa apabila ia dengar ucapan itu.
"Siapakah yang tidak ketahui nama besar Ngo Looya ?" ia
kata. "Kau peroleh namamu bukan baru satu atau setengah
tahun!...."
Siauw Hong tidak perdulikan umpakan itu. Ia kata "Kalau
nanti kau dapatkan kabar apa-apa, kau boleh lekas kasi tahu
padaku! Jikalau kau perlu uang, kaupun boleh bicara padaku
!" Setelah itu ia suruh Hok Cu jalankan keretanya.
Hatinya si Kala Kecil girang sekali, karena sekarang ia telah
ikat tali persobatan dengan Tek Siauw Hong. Ia lantas
ngeloyor pergi buat selanjutnya dengar2 keterangan mengenai
Oey Kie Pok dan si orang Boan itu, untuk mengasi kabar
supaya ia bisa dapat upah.
SIAUW HONG pulang kerumahnya dengan masih berpikir
keras. Kepergiannya Bouw Pek tidak bisa dijadikan rahasia" ia
pikir, "maka itu aku perlu bicara seperti tadi pada Siauw Gia
Kang, agar Oey Kie Pok mendapat tahu. Biarlah Kie Pok insaf,
bahwa aku tidak selamanya mau andalkan Bouw Pek. Kalau
Kie Pok satu laki2 dan punya kepandaian, ia mestinya cari
Bouw Pek. Tapi aKu tahu benar Kie Pok adalah orang rendah,
ia tentu akan gunai ketika ini akan cari aku
Dan ini adalah dugaan yang bikin orang Boan ini berduka.
Baru saja Siu Jie tukarkan sepatunya, yang basah terkena
salju dan Siauw Hong hendak salin pakaian, ia lihat Siu Lian
bertindak masuk, maka lekas2 ia berbangkit.
"Duduk, nona duduk !" ia mengundang dengan manis
sambil tertawa.
Pada wajahnya Siauw Hong unjuk kegirangan, hatinya
adalah Thian yang ketahui. Ia kuatir bukan main yang si nona
nanti tanyakan ia halnya Beng Su Ciauw dan Lie Bouw Pek
hal2 yang membikin ia sakit kepala..."
Benar saja nona Jie telah tanyakan, apa yang Bouw Pek
bilang dan bagaimana kabarnya perihal Beng Su Ciauw
Baiknya ia bisa berpikir dengan cepat.
"Tentang Beng Jie siauwya belum ada kabar apa2" ia
menyahut. "Lie Bouw Pek baru pulang satu hari, tetapi
sekarang ia telah pergi pula, aku baru saja kembali habis
antarkan ia keluar dari Ciang-gie-mui....."
Parasnya Siu Lian berubah dengan segera.
"Kenapa Bouw Pek baru pulang dan pergi lagi ?" ia tanya.
"Adatnya Bouw Pek memang aneh," Siauw Hong jawab.
"Kalau ia mau pergi, siapa juga tidak sanggup cegah ia. Sekali
ini ia berangkat pulang ke Lamkiong, boleh jadi lain tahun
dibulan dua atau tiga baru ia akan kembali ke Pakkhia"
Siu Lian gigit bibirnya. Tapi ia sudah lantas berpikir, maka
ia tidak kata apa2. Ia hanya lalu menghela napas.
"Kau baik jangan ibuk, nona" Siauw Hong lalu menghibur.
"Aku minta kau suka bersabar dan tinggal tetap sama kami
disini, nanti kalau Lie Bouw Pek sudah sampai di Kielok dan
telah berhasil mengundang suheng kau, kita baru pikir pula
bagaimana baiknya."
Siu Lian berduka.
"Mana aku punya suheng ?" kata ia dalam hatinya. "Ia
tentu maksudkan sutit dari ayahku, ialah Kim-piauw Yok Thian
Kiat. Tapi ia berada jauh di Holam. Atau barangkali
dimaksudkan bekas pegawai ayahku, yalah Sun Ceng Lee. Cui
Sam dan Lauw Keng. Mana mereka ini mampu bantu aku "
Meski ia pikir demikian, tapi Siu Lian tidak utarakan itu.
"Nah silahkan Ngo-ko beristirahat" kata ia, yang terus
undurkan diri. Siauw Hong awasi orang pergi sambil bersenyum dengan
masgul... Siu Lian masuk kedalam kamarnya, ia tungkulkan diri
dengan duduk diam, karena dirumahnya Siauw Hong ia tidak
punya pekerjaan apa juga. Hari itu udarapun mendung dan
angin meniup keras.
Malamnya nona kita duduk sendirian menghadapi api.
Dengan japit kuningan ia betulkan bara perapian. Karena
berada sendirian, ia teringat pula segala apa yang telah lewat.
Ia tidak mengerti kenapa Bouw Pek seperti selalu mau
menyingkir dari ia.
"Mestinya Bouw Pek ketahui baik halnya Su Ciauw,
melainkan ia tidak mau ketemui aku, ia tidak hendak menutur
jelas" ia menduga "Aku tidak bisa diam secara begini saja.
Baik besok aku susul ia, akan minta keterangannya. Aku tidak
boleh berlaku likat2 lagi, malah bila perlu, biarlah kita
berbentrok asal ia mau bicara ! Biar orang cela aku tak
berbudi, aku tidak boleh lepaskan ia sebelumnya ia cerita
segala apa!...."
Setelah berpikir begini, baru Siu Lian bisa naik
kepembaringan Ia tidur dengan padamkan api.
Esoknya pagi langit tetap mendung. Sedari pagi2 salju
terus turun. Seperti biasanya, pagi2 Siauw Hong sudah dandan dan
dengan ajak Siu Jie ia pergi ketempat kerjanya. Tapi inilah apa
yang ditunggu2 oleh Siu Lian ! Setelah lihat tuan rumah pergi,
ia segera dandan dan siapkan pauwhok, kemudian dari
jendela ia intip Tek Naynay pergi kekamainya loo thaythay,
lalu ia bertindak keluar dengan cepat. Ia tenteng pedang dan
pauwhok dikedua tangannya. Ia menuju langsung keistal
kuda, dimana ia siapkan binatang tunggangannya.
Seorang bujang lihat nona ini, ia tidak berani mencegah
maka ia lari kedalam untuk mengasi laporan kepada Tek
Naynay. nyonya rumah jadi bingung, terutama karena ia tidak
bisa pergi keistal akan betot kembali nona itu. Maka ia segera
kirim dua bujang perempuan akan coba cegah si nona.
Riwayat Lie Bouw Pek Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Siu Lian sudah tuntun kudanya sampai dipintu luar, ia baru
hendak loncat naik atas kudanya, ketika dua bujang
perempuan itu muncul sambil berlari.
"Nona, kembali ! Nona, kembali!" mereka ini berteriak.
"Toa-naynay lagi ibuk dan ketakutan, katanya kalau sebentar
looya pulang, toanaynay bisa mendapat susah !"
Bujang yang sampai duluan sudah lantas tarik tangan
bajunya nona Jie.
"Jangan, nona, jangan pergi !" kata ia sambil tertawa
alaman. "Nona jangan pergi!...."
Tapi Siu Lian buka matanya lebar2.
"Jangan pegang aku " ia membentak seraya tarik
tangannya. Bujang itu kaget, sampai ia mundur dan kerempat jatuh !
Melihat demikian, Siu Lian toh tertawa.
Kemudian nona ini kata dengan tetap :
"Hari ini siapa juga tidak bisa cegah aku Pergi kau
beritahukan toa-naynay, bahwa aku hendak pergi, lewat lagi
beberapa bulan baru aku akan kembali ! Pada looya juga kau
mesti beritahukan ini, sekalian sampaikan ucapan terima
kasihku." Setelah kata begitu ia loncat naik atas kudanya, kabur
diantaranya salju yang bertebaran ditanah
Sekeluarnya dari Sam tiauw Hotong, tujuan adalah jurusan
barat. Salyu masih turun, tetapi halus sekali, dijalan tidak ada
banyak kereta, maka itu Siu Lian bisa pelahankan lari
kudanya. Ia perlu jalan perlahan, karena tidak kenal jalan2
dikota raja dan perlu sebentar2 menanya orang. Secara begini
baru ia bisa keluar dari Ciang-gie-mui.
Diluar kota orang yang berlaLu-lintas jarang sekali, sudah
begitu salju mulai turun secara besar. Maka jalan sudah lantas
menjadi licin, hingga menyukarkan bagi kuda si nona, meski
kuda itu sebenarnya gagah. Terpaksa binatang itu dikasi jalan
pelahan2. Siu Lian juga merasakan hawa udara yang dingin, karena ia
pakai celana dan baju warna hijau yang biasa. Ia menjadi
ibuk, sedang sebenarnya ia hendak bedal kudanya. Maka
akhirnya ia jadi masgul sekali.
"Lihat, Beng Su Ciauw !" si nona ngelamun seorang diri.
"Lihat, bagaimana sukar aku mencari kau ! Kalau nanti kita
bertemu, aku ingin ketahui apa nanti kau bilang terhadap
aku?" "Dan kau, Lie Bouw Pek, apa sebenarnya kau pikir?" ia
ngelamun lebih jauh. "Diwaktu ayah dan ibu masih hidup, kau
telah bantu kami dengan sungguh2, sekarang setelah aku
yatim-piatu dan keadaanku begini menyedihkan, kenapa kau
tidak sudi menemui aku sekalipun" Aku tahu, kau bukannya
seorang yang tak punya liangsim ! Apa barangkali kau anggap
aku ini nona dari kalangan kangouw saja?"
Nona ini jalankan kudanya sambil tunduk, ia merasakan
kesepian dan iseng sekali.
Berapa jauh ia sudah jalan, inilah Siu Lian tidak ketahui,
ketika dibelakangnya ia dengar suara riuh dari kelenengan
kuda, disusul dengan suara teriakan berulang : "Minggir!
Minggir! Tolong minggir" Maka ia segera menoleh.
Seekor kuda sedang mendatangi dengan lekas,
penunggangnya seorang bertubuh kate dan gemuk, kepalanya
memakai peci yang. rapat dan tubuhnya berkerobong mantel
kulit kambing yang bulunya tebal. Dar1 mulutnya orang itu,
juga dari mulut kudanya, menghembus keluar hawa putih.
"Siapa dia " Apa dia bikin ?" pikir Siu Lian.
Kapan penunggang kuda itu lewat disamping nona kita, ia
mengawasi dengan mata tajam, tetapi karena kudanya jalan
cepat, sekejap saja ia sudah melewati, hingga kemudian
tertampak punggungnya saja.
Mendadak Siu Lian ingat suatu apa!
"Apakah ia bukannya anggota rombongannya Biauw Cin
San dan Thio Giok Kin?" ia berpikir. "Apa mereka telah dapat
tahu aku sudah meninggalkan Pakkhia dan sekarang hendak
susul aku, supaya mereka bisa serang dan bunuh aku
ditengah jalan" Tapi takut apa?"
Dan Siu Lian keprak kudanya dikasi lari, untuk susul
penunggang kuda itu. Tetapi ia sudah ketinggalan jauh dan
penunggang kuda itu lenyap dari pemandangan...
"Aku mesti berhati2 sekarang," pikir Siu Lian kemudian.
"Dijalanan biasanya ada orang jahat dan aku punya musuh2,
yang aku tidak kenal..."
Maka itu ia lalu siapkan siangtoonya.
Hari itu Siu Lian bisa lewati sungai Enteng, ia jalan terus,
maka pada malam jam dua barulah ia sampai di Tiang sintiam.
Ia singgah dihotel dan mengambil kamar.
Bersendirian saja diwaktu malam, dengan menunggang
kuda dan bekal senjata tajam, keadaannya sebenarnya
mencurigakan, tetapi waktu berhadapan dengan pengurus
penginapan ia unjuk sikap yang tenang.
"Tolong kasikan aku sebuah kamar yang bersih dan tolong
piara kudaku," demikian ia kata. "Aku piauwtauw dari Coan
Hin Piauw-tiam dari Yankeng, aku hendak pergi ke Taybenghu
untuk urusan penting. Diwaktu kembali aku akan ambil pula
kamar disini"
Keterangan ini memberikan hasil bagus, karena tuan rumah
lantas siapkan apa yang diminta dan kuda segera dirawat.
Maka dengan tenteng pauwhok dan pedangnya Siu Lian lantas
masuk kedalam kamarnya Tuan rumah telah gantung lampu
ditembok. "Kami sedia mie dan nasi, apa nona niat makan?"
"Bawakan saja satu mangkok mie," sahut si nona.
Tuan rumah lantas undurkan diri. Di-dalam ia kata pada
kulinya : "Dikamar tamu ada piauwsu, ia bawa sepasang golok,
bugeenya mestinya lihay..."
Siu Lian duduk menantikan, didalam kamar ada perapian, ia
merasa tubuhnya hangat, maka belum selang lama lelahnya
hilang. Cuma diluar kamar angin masih meniup2, salju belum
berhenti berterbangan turun.
"Sekarang aku telah terpisah tujuh atau delapan puluh lie
dari Pakkhia, Siauw Hong mestinya ibuk bukan main." Siu Lian
pikir. "Ia ingin nikahkan aku pada Bouw Pek, mana ia ketahui
perasaan hatiku...."
Ia tidak teruskan lamunannya, ia hanya menghela napas.
"Penunggang kuda kate dan gemuk tadi mestinya punya
urusan penting" pikir Siu Lian lebih jauh "kalau tidak, diwaktu
turun salyu dan angin dingin dan ia sendirian saja, kenapa ia
lakukan perjalanan demikian cepat" Ia mencurigakan..."
Tempo tuan rumah datang dengan mie, nona Jie berhenti
berpikir dan lantas dahar.
"Apa salyu sudah berhenti?" ia tanya.
"Belum, malah turunnya makin besar" sahut tuan tumah.
"Barangkali hujan salyu tidak akan berhenti dalam satu hari
ini. Nona jangan kuatir, disini kau bisa berdiam lagi satu atau
dua hari....."
Kemudian ia tambahkan : "Diwaktu turun salyu, jalanan
sukar untuk dilintasi. Sekarang sudah musim dingin ditengah
jalan suka muncul begal"
"Tapi aku tidak takut!" kata Siu Lian.
Tuan rumah lihat golok tamunya dan pandang romannya:
muda dan manis.
"Aneh" pikir ia. "Bagaimana seorang nona bisa menjadi
piauwsu?" Tapi ia tidak berani menanyakan.
"Kalau mie belum cukup, nona bisa minta lagi," kata ia
yang terus undurkan diri.
Siu Lian manggut, ia makan terus.
Belum lama diluar terdengar suara nyaring :
"Aku numpang tanya, tuan rumah, apa disini ada seorang
Lie Toaya ?" demikian suara itu.
Siu Lian terperanjat Lie Toaya ! Apa itu bukan Bouw Pek "
Ia lantas pasang kuping.
Seorang jongos terdengar menyahut.
"Lie Toaya yang mana, tuan " Ia berdagang apa ?"
"Ia bukan pedagang" kata orang diluar. "Ia anak muda,
yang baru kemarin berangkat dari Pakkhia, lantaran turun
salyu aku kira ia singgah disini. Ia bernama Lie Bouw Pek"
Tidak tempo lagi, Siu Lian taroh mangkok dan sumpitnya
dan bertindak keluar. Ia segera lihat sikate dan gemuk, yang
sedang bicara pada tuan rumah.
"Siapa dia" Kenapa ia kenal Bouw Pek" Apa benar Lie
Toako menginap disini?" begitulah pertanyaan yang muncul
diotaknya si nona.
Tuan rumah berlaku baik, ia masuk kedalam, tanyakan
sekalian tamunya apa diantara mereka ada Lie Bouw Pek,
kemudian ia keluar pula dan kata pada orang itu :
"Disini tidak ada tuan Lie Bouw Pek. Ada juga dua orang
she Lie, tetapi mereka saudara2 kulit. Coba tuan tanya Thio
Kee Tiam disebelah"
Si kate-gemuk itu berdiri diam, agaknya seperti kurang
percaya. "Aku sudah tanya hotel2 lain dan semua menjawab tidak
ada," kata ia seorang diri. "Apa bisa jadi Lie Toaya lanjutkan
perjalanannya diyalani hujan salyu" Baik, aku mesti susul ia
malam ini juga!.."
Ia putar tubuhnya dan pergi samperkan kudanya.
Siu Lian maju kedepan.
"Tuan, tunggu dulu!" ia lalu menegor. Ia merasa sangat
heran. Tapi si kate-gemuk seperti tidak dengar panggilan itu, ia
Ioncat naik atas kudanya, larikan tunggangannya kejurusan
selatan. Siu Lian libat orang menghilang ditempai gelap, ia
menghela napas. Ia balik kedalam kamarnya.
"Rupanya Bouw Pek pergi belum seberapa jauh," ia pikir
"Kalau aku berangkat dengan lawan hujan salju, dalam satu
hari aku barangkali bisa susul dia..."
Si nona lantas ambil putusan. Ia lekas makan habis mie itu,
setelah itu ia teriaki tuan rumah akan lakukan pembayaran.
Kemudian ia tenteng pauwhok dan siangtoonya, yang ia bawa
keistal, dimana ia selakan kudanya. Ia tidak perdulikan tuan
rumah awasi ia dengan keheranan,
"Apakah kau tidak mau nginap nona" Besok, diwaktu langit
terang, kau boleh lanjutkan perjalananmu! Sekarang sudah
hampir jam tiga, jalanan licin, banyak saljunya, kudapun sukar
jalan..." Tapi si nona tidak memperdulikan.
"kau tahu, aku punya urusan penting sekali," kaia ia yang
terus loncat naik atas kudanya dan kasi binatang itu jalan
melaju kearah selatan. Ia mesti jalan dengan pelahan, karena
sekarang iapun perlu perhatikan tapak2 kuda dari kudanya si
kate gemuk. Jilid 21 "BELUM pernah aku dengar Lie Bouw Pek punya sobat
semacam dia ini" kemudian Siu Lian bersangsi. "Apa tidak bisa
jadi orang ini konconya penjahat, yang sedang tipu aku,
supaya aku kena dijebak" Apa bisa jadi orang kenalkan aku
dan sengaja atur tipu daya ini, supaya ditengah jalan mereka
bisa cegat aku" Tapi apa aku perduli" Aku tidak takut! Dulu
ayah jerih terhadap Thio Giok Kin, toh akhirnya aku bisa usir
ia! Orang sohorkan Biauw Cin San punya piauw liehay terapi ia
binasa ditanganku! Apa bisa jadi ada orang2 jahat yang
melebihi jahat dan liehaynya Thio Giok Kin dan Biauw Cin
San?" Siu Lian maju dengan hati tidak keder barang sedikit.
Sekalipun diantara salyu, kaki kuda masih menerbitkan suara.
Dan diatas sela siangtoo dari si nona kasi dengar suara karena
saling beradu. Disekitarnya melulu salyu putih melesak yang tertampak.
Malah si nona sendiri telah mandi salyu.
Beberapa desa telah dilalui, Siu Lian tidak lihat rumah
orang darimana molos cahaya terang dari lampu atau pelita,
malah suara anjingpun tidak kedengaran.
Sekarang tidak lagi tertampak kaki kudanya si kate gemuk,
karena salyu yang baru turun telah menutupi itu. Maka Siu
Lian mesti jalan sejalannya saja....
Sekarang nona ini merasakan benar bagaimana sengsara ia
ini. Lagi beberapa lie dilewatkan, lantas sang fajar datang.
Dijurusan timur Batara Surya mulai muncul dengan samar2.
Empat puluh lie telah dilalui, dan sementara itu sang perut
kembali minta makan. Rupanya hawa dingin membikin mesin
didalam perut bekerja lebih gencar!
Yang hebat bagi Siu Lian, ia rasai kakinya seperti beku.
Maka beruntung sekali sekarang salju sudah berhenti turun.
Lagi beberapa lie lantas mata hari kelihatan tedas disebelah
timur. Disebelah depan sudah tertampak orang2 yang berjalan,
antaranya ada yang memikul barang.
Siu Lian turun dari kudanya, ia keprikkan pakaiannya. Kuda
itu yang menghembuskan hawa putih dari mulutnya, telah
mandi keringat.
Selagi kudanya mengaso, Siu Lan buka saputangannya,
yang dipakai membungkus kepalanya, untuk menyeka
mukanya, kemudian ia pakai pula akan bungkus rambutnya.
Tidak lama ia naik pula atas kudanya, yang ia kasi jalan,
sampai disuatu tempat yang ramai sekali.
Ditepi jalan ada penjual teh, Siu Lian turun dari kudanya
dan beli teh untuk bikin hangat perutnya. Baru saja ia, minum
secawan, ia telah rasai tubuhnya hangat dan segar. Ketika
hendak minum pula, tiba-tiba ia lihat seorang anak muda
sedang keluar dari rumah penginapan disebelah timur,
tangannya menuntun seekor kuda baru hitam mulus, sedang
dipanggung binatang tunggangan itu ada buntalan kecil dan
sebatang pedang. Pemuda itu memakai celana pendek dari
sutera hijau dan kepalanya ditutup dengan peci.
Siu Lian telah lihat sebelah mukanya, tetapi ia sudah
terperanjat! "Lie Toako ! Lie Toako !" segera ia memanggil. Hampir ia
lari memburu, kalau si tukang teh tidak tegor ia untuk
pembayaran hingga ia mesti rogoh sakunya dulu untuk
lakukan pembayaran. Tetapi sementara itu ia terus
memandang kejurusan si anak muda.
Riwayat Lie Bouw Pek Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pemuda itu seperti dengar orang memanggil ia, ia menoleh
kesekelilingnya, temponya tidak dengar lagi panggilan. ia
loncat naik atas kudanya dan berangkat menuju keselatan.
Bukan main ibuknya Siu Lian, ia lemparkan uangnya, ia
loncat naik atas kudanya buat menyusul ia telah keluar dari
pasar, tetapi penunggang kuda didepan, yang kudanya
jempolan, telah terpisah dari ia jauhnya kira2 setengah lie,
hingga ia jadi tambah ibuk. Ia keprak kudanya, berulang-ulang
ia berteriak "Lie Toako ! Lie Toako ! Lie Bouw Pek !"
Tetapi Lie Bouw Pek, yalah pemuda itu, telah congklang
terus dengan kudanya, ia rupanya tidak dengar suara itu dan
ia berjalan dengan tidak pernah menoleh kebelakang.
Ibuk, berduka dan berkuatir, itulah perasaannya Siu Lian
ketika itu. Malah ia sedikit mendongkol. Ia sangka Bouw Pek
berpura2 tidak meudengar.
Memang sebenarnya Bouw Pek tidak dapat lihat nona kita
Ia juga sedang kasi kudanya lari dengan pikirannya bekerja,
hingga ia tidak pcidulikan segala apa disekitarnya.
Disebelah depan tertampak tiga penunggang kuda lagi
mendatangi, pakaian mereka mirip dengan hamba2 negeri,
tiba2 silah satu dari ketiga orang itu menunjuk sambil berkata
: "Lihat, lihat, dia jatuh!"
Bouw Pek menoleh, justeru ia nampak jatuhnya orang dari
atas kuda. Diarak mereka satu sama lain kira selepasan
panah. "Ia orang perempuan!" kata si hamba tadi.
Orang perempuan itu telah merayap bangun. Tapi ketika
Bouw Pek dapat tampak siapa adanya orang perempuan itu. ia
terperanjat karena ia segera kenalkan Siu Lian. Ia menjadi
heran sekali dan berkuatir, tidak tempo lagi ia putar kudanya
dan memburu. Siu Lian telah rubuh karena kudanya terpeleset, hingga ia
jadi limbung dan jatuh. la tidak mendapat luka dan bisa
bangun pula dengan cepat. Justeru ia bangun, ia lihat Bouw
Pek datang, segera ia hunus sepasang goloknya, ia unjuk
roman beringas.
"Orang she Lie, tidak perlu kau perdulikan aku lagi!" ia
membentak. "Adalah yang dulu ayahku pesan ketika ia mau
menutup mata supaya kita menjadi engko dan adik, tetapi
sekarang....."
Nona Jie menjadi seperti kalap, sebab ia mendongkol bukan
main, karena ia sangka tadi Bouw Pek sudah tidak perdulikan
dia....... "Sudah di Pakkhia kau tidak perdulikan aku, juga disini..." ia
kata pula, seras tarik kudanya. Ia seperti hendak menangis.
"Aku telah susul kau, berulang2 aku teriaki kau, tetapi kau
berpura2 tuli.... Beginilah sifatmu ! Baik, baiklah kita tidak
usah kenal lagi satu pada lain!..."
Siu Lian masukkan goloknya kedalam serangka, ia loncat
naik atas kudanya dan balik kekota raja.
Bouw Pek menjadi bingung, karena ia tidak ketahui yang
sinona telah keliru menyangka. Tapi karena orang mau pergi,
ia lekas menghampirkan akan lintangkan diri dihadapan
kudanya sinona.
"Sabar, nona," ia berkata. "Mestinya kau telah salah
mengerti. Mari dengar keteranganku......"
Siu Lian rabah gagang senjatanya.
"Apa, kau berani rintangi aku?" ia tanya sambil bersenyum
ewah "Apa kau ingin aku turun tangan" Aku tidak takut!...."
Sampai disitu tiga penunggang kuda yang tadi telah
sampai. "Sudah, sudah," satu diantaranya menyelak. "Jangan gusar,
nona, ada urusan boleh didamaikan secara baik..."
"Sudah, lauwko," kata yang lain pada Bouw Pek "memang
biasanya suami-isteri berselisihan, tetapi janganlah lakukan itu
ditengah jalan besar, orang nanti tertawakan, malu...."
Bouw Pek melengak, sedang Siu Lian sudah jalankan
kudanya. Dua2 mereka menjadi jengah dan malu sendirinya.
Tapi Bouw Pek kemudian susul nona itu.
"Nona Jie tunggu dulu" ia memanggil-manggil. "Tunugu
sebentar aku hendak bicara sedikit!..."
Siu Lian seperti tidak dengar itu. ia kasi kudanya jalan terus
Ia sangat mendongkol.
Sia sia Bouw Pek memanggil, malah si nona larikan
kudanya semakin keras
"Terang ia salah mengerti" pikir ia. "Mana aku tahu ia susul
aku" Akupun tidak dengar panggilannya... Ia rupanya gusar
karena kudanya terpeleset dan ia turut jatuh la beradat keras
sekali, la bilang ia tidak mau kenal aku lagi, itupun tidak ada
halangannya, cuma ia telah salah mengerti...."
Pemuda ini menghela napas.
"Sudahlah," akhirnya ia kata, "biar ia pergi, akupun hendak
pulang..."
Ia tahan kudanya dan putar arahnya kejurusannya sendiri.
Siu Lian tidak perdulikan Bouw Pek dan jalan terus dengan
tidak mau menoleh. Ia salah mengerti dan mendongkol bukan
main Ketika sudah melalui enam atau tujuh lie dan selagi
menoleh tidak lihat si anak muda, ia jadi menyesal
mendadakan. "Buat apa aku susul ia malam2, dengan terjang salyu yang
dingin?" demikian ia kata pada diiinya sendiri. "Bukankah aku
butuhkan keterangannya" Taruh kata ia tidak mau
memperdulikan aku, aku toh mesti tanya juga ia Sekarang"
Kenapa aku mesti turutkan adatku" Apa benar Bouw Pek tidak
sudi gubris aku lagi?"
Siu Lian putar kudanya dan kasi lari balik. Tentu saja ia
tidak berhasil susul Bouw Pek, kuda siapa bisa lari keras...
Tiba2 nona ini jadi mendongkol lagi.
"Apa benar aku mesti mengandal pada orang lain?" ia tanya
dirinya. "Apa aku sendiri tidak mampu cari Beng Su Ciauw"
Dulu masih ada ayah dan ibu, dalam banyak hal aku
senantiasa dicegah, aku tidak boleh sembarangan muncul
dimuka umum. Sekarang" Membunuh orang aku berani, apa
lagi yang aku mesti takuti" Kenapa aku tidak mau andalkan
sepasang golokku akan mengembara dikalangan Sungai
Telaga?" Pikiran ini telah dijadikan pedoman oleh nona Jie, ia bisa
ambil putusan tetap.
"Sekarang aku mesti pergi ke Hong touw koan, ke Jie-sietin,
akan sambangi kuburan ayahku," demikian rencananya
"Dari sana aku mesti pulang ke kielok akan cari Sun Ceng Lee
dan yang lain. Aku mesti cari uang guna angkut pulang
layonya ayah dan ibu...
Dengan pikiran yang tenang Siu Lian bisa kasi kudanya
jalan pelahan2.
Matahari Sudah naik tinggi dan salyu telah mulai lumer,
tapi jalanan jadi lebih becek dan licin. maka itu si nona mesti
berlaku hati kendalikan kudanya.
Jalan kira2 lima lie, ia sampai disuatu tempat dimana ada
rumah penginapan, ia lalu singgah akan minta kamar untuk
mengaso. Ia telah buka sepatunya dan rapikan pakaiannya,
sepatunya ia tukar. Ia telah minta nasi akan tangsal perutnya,
setelah itu ia rebahkan diri. Ia bisa tidur pulas. Ketika ia
mendusin, waktu itu sudah jam tiga. Ia lekas cuci muka,
minum teh panas, hingga ia rasai tubuhnya jadi segar dan
sehat betul. "Aku telah berlaku terlalu menuruti hati" kata ia dalam
hatinya, kapan ia ingat lelakonnya tadi pagi. "Tidak
seharusnya aku berlaku demikian keras dan kasar terhadap Lie
Bouw Pek. Ia telah susul aku, kenapa aku tidak gubris
padanya, hingga ia ngeloyor pergi" Orang tadinya berlaku baik
padaku, ia telah menolong banyak, sekarang aku perlakukan
ia begini rupa, aku tidak berbudi...."
Ia berbangkit seraya menghela napas. Ia pergi keluar akan
lihat jalanan, buat dapat tahu ia bisa lanjutkan perjalanannya
atau tidak. Ia dapat kenyataan salyu sudah lumer semuanya
akan tetapi jalanan penuh air dan lumpur.
Rumah penginapan iiu penuh tamu yang mundar-mandir
dan terbitkan suara ramai
Mereka agaknya juga perhatikan nona kita, yang berada
sendirian dan rupanya menyebabkan terbitnya rasa heran
mereka. Dengan tidak perdulikan orang banyak, dengan unjuk sikap
sopan, Siu Lian berdiri didepan pintu akan perhatikan jalanan.
Adalah sukar akan lanjutkan perjalanan, meski benar ada
sejumlah kereta yang berlalu-lintas, begitupun orang" yang
berjalan kaki. Matahari juga sudah doyong kebarat, tandanya
sang waktu sudah jauh lewat tengah hari.
"Terpaksa aku mesti bermalam disini dan besok aku baru
bisa teruskan perjalanan," pikir ia akhirnya. Ia tidak berdiri
lama, ia masuk kedalam dan balik kekamarnya.
Justeru itu dari hotel didepan keluar empat pemuda, yang
dengan mata alap2 mengimpleng nona kita, hingga Siu Lian
jengah. Tapi karena ia anggap mereka bukan orang baik2, ia
tidak ambil perduli, ia masuk terus.
Didalam kamarnya Siu Lian duduk dengan masgul. Ia
berada sendirian dan tidak kerjakan apa juga. Dengan
saputangan ia gosok senjatanya dikedua belahnya, hingga
goiok itu jadi makin mengkilap.
Mukanya nona ini menjadi guram, apabila ia awasi
goloknya itu. Ia teringat kepada ayahnya, bagaimana ayah itu
telah ajarkan ia silat dan ilmu menggunakan golok.
Waktu itu tuan rumah datang akan menanyakan tamu mau
dahar atau tidak.
"Sebentar lagi" sahut Siu Lian. malam ini aku hendak
tinggal disini dan besok aku hendak melanjutkan
perjalananku. Apa namanya tempat ini" Berapa jauhnya
tempat ini ke Jie-sie-tin di Bong-touw-koan?"
"Disini Tok ciu, nona," sahut tuan rumah, "Sayang aku tidak
tahu berapa jauhnya Bong-touw-koan dari sini, barangkali lagi
lima atau enam perhentian..."
Tuan rumah tampaknya heran melihat golok yang tajam
dari tamunya. "Sudahlah" kala, nona kita, yang bisa duga hati orang,
"kalau sebentar aku hendak dahar, aku nanti minta."
Sambil menyahut "Baik, baik," tuan rumah itu undurkan diri
dengan segera. "Seorang perempuan melakukan perjalanan, benar ia kalah
leluasa daripada orang lelaki" pikir Siu Lian sekeluarnya tuan
rumah. Lantas ia simpan rapi siangtoonya.
Sore itu ia minta nasi siang2, setelah dahar ia tutup pintu
kamarnya, kemudian dengan padamkan api ia naik tidur, la
dapat pulas, kendati ia berdaya2.
Esoknya pagi cuaca terang dan jalanan tidak becek lagi, Siu
Lian dandan dan siap. ia telah panggil tuan rumah untuk
lakukan pembayaran sambil berbareng minta kudanya
disediakan. Maka juga ketika ia keluar kudanya sudah
menantikan. Dengan tuntun kuda itu ia pergi keluar
pekarangan, disini ia loncat naik atas kudanya itu dan mulai
lagi dengan perjalanannya keselatan Matahari pagi teduh,
langit penuh dengan awan putih dan angin utarapun tidak
menyampok keras, hanya hawanya dingin. Sisa salyu masih
sedikit dan telah beku pula. Dari rumah2 penduduk terdengar
ramainya suara ayam jago berkokok. Diatas cabang2 yang
disepanjang tepi jalan masih ada menyangsang sisa salyu.
Jalanan ramai dengan orang2 yang berjalan kaki, naik
kereta atau menunggang kuda, dengan mereka yang memikul
barang Umumnya sesuatu orang awasi nona Jie selagi lewat
atau datang dekat pada mereka.
Siu Lian tetap pakai baju dan celana hijau yang pas betul,
kepalanya dibungkus dengan saputangan. Ia memakai sepatu
yang solnya terbikin dari tembaga. Goloknya tergantung
disamping sela. Ia pandai menunggang kuda dengan tubuh
yang tetap. Dengan cara dandannya itu, dengan romannya
yang menarik, tidak heran ia menarik perhatiannya banyak
orang. lapun jalan sendirian.
Setelah melalui ttga puluh lie Siu Lian sudah keluar dari
daerah Tok ciu. Waktu itu sudah setengah hari, dari pagi ia
belum dahar kuwe atau nasi, maka ia merasa lapar. Ia mampir
disebuah dusun akan cari warung nasi. la masuk kedalam
setelah minta kudanya dikasi makan"
Warung nasi itu kecil tetapi tamunya banyak, suaranya
ramai sedang perapian menambah hawa jadi makin panas.
Kau arak dan bawang telah teraduk menjadi satu. Tidak ada
tempat yang kosong. Disitu pun tidak ada orang perempuan
lain kecuali seorang nyonya dengan boci, yang numprah
ditanah. Kebanyakan tamu adayah tukang2 kereta. Maka
terpaksa ia keluar pula, dengan banyak mata ditujukan pada
dirinya, dengan ada juga yang tertawa".
"Toaso, ruangan itu sesak, baik kau pergi kesana, dikamar
timur," kata tuan rumah yang datang menghampirkan.
Juga tempat yang diunjuk ini tidak memuaskan, meja
terbikin dari batu, tapi sebab kepaksa Siu Lian cari tempat
duduk juga. "Lekas bawakan aku semangkok mie" ia kata, "aku duduk
disini saja."
"Baik, toaso. Apa kau tidak merasa dingin ?"
Nona kita tidak puas yang ia dipanggil "toaso", tetapi ia
tidak bisa marah.
"Pergi lekas ambilkan aku mie" ia kata dengan tidak sabar.
Tuan rumah berlalu dan Siu Lian duduk. Dari sini ia bisa
melihat keluar, keyalan besar dimana banyak orang dan
kereta lewat pergi datang.
Baru saja tuan rumah kembali dengan mie, atau didepan
warung nasi berhenti empat penunggang kuda, semuanya
berpakaian ringkas
"Disini saja !" kata seorang pada tiga kawannya, tetapi
sembari kata begitu, dengan mata jelalatan ia awasi nona kita.
Siu Lian lantas keralkan mereka, itu ada lain orang2 yang
kemarin ini awasi ia dari hotel didepan rumah penginapannya.
"Apa mereka sedang kuntit aku ?" ia jadi curiga. Ia lihat
buntalan panjang", dari dalam mana nongol senjata tajam.
"Mereka orang2 biasa dari kalangan kangouw atau konco2nya
Biauw Cin San dan Thio Giok Kin... Bisa jadi mereka kandung
maksud tidak baik terhadap aku. Tapi apa aku perduli"
Seorang diri Siu Lian jadi bersenyum sendiri.
"Biarlah, aku nanti lihat kepandaian mereka!" pikir ia, yang
terus dahar mienya.
Empat oiang itu melengak-longok kedalam.
"Terlalu banyak orang!" mereka kata satu pada lain.
Riwayat Lie Bouw Pek Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baik kita dahar diluar saja!" kata yang satu. Dan lagi2 ia
incar Siu Lan. "Hawa diluar dingin sekali, aku tidak tahan." kata satu lagi.
"Coba kita lihat warung lain!"
Mereka tuntun kuda mereka, satu antaranya tarik kuda
sinona. "Hei, itu kudaku" Siu Lian menegor. Ia lihat perbuatan
orang itu. "Apa kau mau?"
Orang itu, seorang pemuda dengan mata sebelah dan ada
tai lalatnya yang besar, memang mau bikin sinona bicara.
Ketika ditegor, ia balik mengawasi dengan air muka cengarcengir.
"Benar, aku salah !" kata ia dengan laga dibikin2. "Aku tahu
kuda ini kudamu, enso!...."
Lantas tiga kawannya tertawa berkakakan.
Mukanya Siu Lian mendiadi merah, ia gusar. Kembali orang
panggil ia "enso"!
"Orang2 kurang ajar, kau berani main gila?" ia menegor. Ia
berbangkit sambil sembat cambuknya dan maju
menghampirkan, tahu2 cambuknya itu sudah bekerja, hingga
muka sipemuda jadi balan !"
"Kurang ajar !" kata seorang pemuda lain, yang mukanya
hitam, seraya sambar cambuknya si nona. "Perempuan katak,
kau berani serang saudaraku?"
Sembari kata begitu ia ulur tangannya akan jambak pundak
orang. Siu Lian betot cambuknya dengan dua tangan, berbareng
sebelah kakinya melayang mengenai perut orang, maka
pemuda itu segera jatuh terguling ketanah yang berlumpur.
"Ha !" berseru si tiga kawan.
Siu Lian loncat pada kudanya akan sambar siangtoo, yang
ia terus hunus, hingga cahayanya berkilauan.
Tiga orang itu kaget, mereka lari minggir dengan
tinggalkan kuda mereka.
Si muka hitam, yang berlepotan lumpur, merayap bangun,
tetapi ketika ia lihat si nona cabut golok, bahna kaget ia jatuh
pula numprah ditanah.
Sampai disitu keluar banyak orang, yang datang
memisahkan. Siu Lian simpan goloknya, ia bayar uang mie, kemudian
dengan tidak kata apa2 ia loncat naik atas kudanya.
"Kenapa diluaran banyak orang tak keruan seperti mereka
ini?" pikir ia disepanjang jalan. "Sungguh jarang pemuda
sebagai Lie Bouw Pek, yang gagah dan sopan...."
Kembali nona ini sesalkan diri karena sikapnya kemarin
terhadap pemuda kita.
Selagi ia jalan terus, tiba2 Siu Lian dengar riuhnya suara
kaki kuda disebelah belakangnya, apabila ia menoleh ia lihat
empat pemuda tadi dengan kuda dilarikan keras mendatangi
kejurusannya. Mereka itu agaknya sedang mengejar. Si muka
hitam, yang berlepotan lumpur berada didepan.
Sesaat saja, Siu Lian hendak cabut goloknya dan bersiap,
tetapi kapan ia ingat tempat itu masih dekat tempat ramai, ia
robah pikiran. "Kalau nanti orang banyak datang mereka bisa jadi akan
tertawakan aku...
Karena berpikir demikian ia lantas larikan keras kudanya,
hingga sisa salyu dan lumpur muncrat serabutan, hingga
orang2 ditepi jalan mesti lekas2 menyingkir.
Empat penunggang kuda dibelakang juga telah kasi larat
kuda mereka, selagi mereka, mendatangi dekat lantas
terdengar suara cacian mereka. Terang mereka hendak kejar
nona kita. Dengan tahan sabar Siu Lian larikan kudanya sampai kira2
empat atau lima lie, setelah berada ditempat sepi, dimana
tidak ada orang yang berlalu lintas, ia tahan kudanya. iapun
siap dengan goloknya.
"Kau orang kejar aku, apa kau orang mau" ia segera
menegor, "Apakah kau orang sudah tidak sayang jiwa?"
Empat orang itu hunus senjata, kuda mereka larat, tetapi
kapan mereka lihat si nona siap, tiba2 mereka tahan kudanya
dan mundur sedikit. Si muka hitam nampaknya lebih berani.
"He !" ia menegor. "Kau seorang perempuan, kau bawa
senjata, kau jalan sendirian, kau mestinya bukan orang baik2!
Apa kau bikin?"
"Itulah bukan urusanmu! Aku punya urusanku sendiri, yang
aku tidak perlu beritahukan kepada kau orang segaa kurcaci
cilik ! Sudah jangan banyak omong. Kalau kau orang tidak
senang, hayolah maju, aku nanti melayani. Tapi kau orang
mesti ketahui, siapa terluka ia jangan menyesal! Andaikata
kau orang sayang jiwamu dan tidak ingin golokku melukai kau
orang hingga bercucuran darah, baik mundur dan pergi.
Jikalau kau orang kejar pula aku dan memaki, ingat, aku nanti
bikin kau tidak dapat hidup lebih lama lagi"
Sembari kata begitu Siu Lian mengawasi dengan tajam,
siangtoonya sudah sedia.
Empat orang itu mundurkan lagi kuda mereka, tidak ada
satu yang berani maju kemudian si mata satu ngoce dalam
bahasa rahasia, maksudnya ialah: "Nona ini sendirian saja,
tapi ia begini kosen, boleh jadi ia berkepandaian tinggi, kita
tidak boleh sembarangan, nanti kita ketemu batu..."
Setelah itu, ia angkat kedua tangannya, unjuk hormat pada
nona kita. "Enso apa yang kau bilang, kami sudah mengerti" ia kata
"Kau kosen, kau tidak pandang mata pada kami berempat,
baik, kami tidak mau tarik panjang! Dua-tiga lie dan sini,
disebelah timur, ada desa Lauw-kee-cun, ketuanya adalah
Lauw Cit ya. Cit-ya gemar ilmu silat, ia ternama di kalangan
kang-ouw, maka apa kau berani ikut kami pergi ketemu ia?"
Siu Lan mengerti bahwa orang ini hendak adu dombakan
ia, tetapi ia tidak takut, ia penyaya Lauw Cit-ya itu mestinya
seorang cabang atas atau buaya darat besar, ia tertawa
dingin. "Tidak perduli orang macam apa, Tentu boleh perintah
datang kemari!" ia kata "Aku nanti menunggu disini Buat
suruh aku pergi mengunjungi, itulah tidak bisa!"
Mendengar demikian empat orang itu menerima baik,
malah mereka agaknya lantas mau berlalu. Tapi Siu Lian tidak
mau ijinkan mereka pergi semua. Nona kita pikir:
"Kalau mereka kabur, percuma saja aku dijemur disini.
Kenapa aku begitu tolol?"
Maka ia majukan kudanya akan tahan salah satu dari
mereka. Ia memang mendongkol.
"Tidak bisa kau orang pergi semua!" ia kata "Kau orang
mesti tinggalkan suatu apa selaku barang tanggungan!"
Ia segera maju dan serang si mata satu.
Orang ini tidak mampu bikin perlawanan baru satu kali
menangkis, ia sudah mundur, tetapi karena didesak terus, ia
miringkan tubuhnya dan jatuh ketanah, apa celaka, ia kena
tindih goloknya sendiri, hingga ia menjerit!
Tiga kawannya menjadi gusar, mereka loncat turun dari
kuda mereka dan maju menyerang Siu Lian. Nona kita
mendahului loncat turun dari kudanya akan sambut serangan,
baru segebrakan saja ia sudah rangsak mereka bertiga!
Sebagai kesudahan, tiga orang itu ketakutan, mereka mundur
dan loncat naik atas kuda mereka masing2 dan terus kabur.
Siu Lian tidak mengejar, ia hanya hampirkan si mata
sebelah yang meringkuk ditanah becek. Menuruti
kemendongkolnnya ia ingin bacok pemuda kurang ajar itu,
tapi karena memikir mereka tidak bermusuhan, ia tidak boleh
sembarangan ambil jiwa orang.
"Aku mau pergi sekarang" ia kata pada musuh peryundang
itu, yang ia tuding "kalau mereka datang, kau boleh suruh
mereka susul aku diselatan, aku tidak takut !"
Kendati sedang merintih, si mata satu paksakan menyahut
"Ya."
Siu Lian simpan goloknya, cemplak kudanya yang dilarikan
congklang menuju ke selatan.
Simaia satu terus meringkuk sambil merintih, ia ditolong
dan digotong kepinggir jalan oleh beberapa orang yang lewat
dan direbahkan dibawah pohon. Kudanya yang telah kabur
jauh, ada yang tuntun kembali padanya.
Belum terlalu lama sang tiga kawan telah kembali, bersama
seorang yang mereka namakan Lauw Cit-ya atau Lauw Iyit
Thay-swee, siapapun diiringi oleh enam orang, yang
semuanya bawa senjata, tetapi mereka ini semuanya pada
jalan kaki, sedang si Cit-ya menunggang kuda.
"Mana perempuan yang bersenjata siangtoo itu?" tanya Cit
ya pada si mata satu "Kemana ia sudah pergi?"
"Ia pergi kejurusan selatan." sahut si mata satu "Ia bilang
ia boleh disusul, ia tidak takut!... Aduh, aduh!"
Mukanya Lauw Cit-ya yang memangnya merah, jadi merah
padam. "Kurang ajar, ia menghina aku!" ia menjerit "Gendong ia
pulang" ia perintah satu orangnya, kemudian dengan ajak si
tiga penunggang kuda dan lima orangnya, ia kasi kudanya lari
kearah selatan.
Sementara itu Siu Lian telah kasih kudanya jalan dengan
tenang, ia tidak pikirkan lagi si mata satu, tetapi jalan belum
ada empat lie, ia dengar suara kaki kuda dibelakangnya,
apabila ia menoleh ia lihat beberapa penunggang kuda sedang
mendatangi. "Tentu orang susul aku" pikir ia, yang segera putar balik
kudanya. Penunggang kuda yang didepan bermuka merah dan
tubuhnya besar.
Mengetahui bahwa ia mesti lakukan pertempuran, ia loncat
turun dari kudanya, yang ia tuntun kepinggir, kemudian ia
siapkan sepasang goloknya.
Lekas sekali empat penunggang kuda telah datang dekat.
"Semua turun!" membentak nona kita, yang papaki orang
itu. Lauw Cit tahan kudanya, ia merasa heran karena
keberanian nona kita.
"Kau siapa, she apa?" ia tanya dengan buka matanya
lebar2. "Jangan tanya aku!" Siu Lian jawab. "Hayo turun, mari kita
bertempur!"
Lauw Cit ketahui, bahwa apabila seorang perempuan besar
nyalinya, kepandaiannya juga mesti tinggi, apapula ia lihat
sikapnya nona ini gagah. Meski begitu ia tidak mau kalah
gertak, maka ia bersenyum ewah.
"Aku Lauw Cit-ya!" ia kata dengan cara jumawa "Sudah dua
puluh tahun lebih aku malang melintang dikalangan Sungai
Telaga, aku telah ketemukan bukan sedikit orang gagah,
tetapi sudah sekian lama aku robah cara hidupku, aku tidak
mau berebutan pengaruh lagi dengan orang, terutama dengan
anak2 muda, apapula dalam urusan2 yang tidak ada artinya.
Maka aku heran kau, satu bocah yang masih bau deringo,
berani banyak tingkah dthadapanku malah kau berani lukai
satu saudaraku! Bagaimana aku bisa diam peluk tangan saja"
sebagai orang lebih tua, aku harus kasi pelajaran padamu !
Sekarang kasi tahu padaku, pada siapa kau belajar ilmu
golok?" Siu Lian tidak sabar dengan oceannya orang itu.
"Tidak ada perlunya akan kau ajukan pertanyaanmu
kepadaku! Kau orang telah susul aku, kalau benar kau orang
mau serang aku, hayolah maju semua, berbareng!"
Meski berkata demikian, Siu Lian toh lompat maju, akan
mendului serang kudanya Lauw Cit.
Dato itu mundurkan kudanya, mukanya kembali menjadi
merah padam. "Budak kutang ajar!" ia menjerit, "Cit-ya bicara dengan
baik, kenapa kau tidak mau mengerti?" ia menoleh pada
kawan2nya. "Kau orang mundur, sendirian aku nanti layani
bocah bau deringo ini"
Ia cabut goloknya, begitu lekas sudah loncat turun ia terus
nembacok! Siu Lian ingin uji tenaga orang, sambil berkelit ia tangkis
golok dengan tangan kirinya, atas mana ia rasai tangannya itu
sesemutan, sementara si Dato rasai tangannya bergetar,
hingga keduanya lantas loncat mundur.
Sekarang nona Jie tahu bagaimana ia harus bersikap,
kapan ia menyerang pula ia selalu gunai tangan kanannya,
tangan kirinya dipakai untuk serangan2 yang berbahaya.
"Cara menyerang yang busuk !" kala Lauw Cit Thay-swee,
yang bisa duga maksud orang. Ia tertawa menyindir.
Kemudian iapun balas menyerang secara hebat! la bisa
gerakkan kaki tangannya dengan sebat, tubuhnya gesit sekali.
Sekian lama Siu Lian melayani, ia tidak bisa cari lowongan,
oleh karena ini jadi ketahui yang si Dato ini punya kepandaian
yang berarti. Maka ia lantas berlaku hati2 dan gerakannya
diubah. Tiga puluh jurus telah lewat, setelah mana Lauw Cit
menjadi heran. "Eh, budak perempuan, kau benar liehay!" ia berseru bahna
kagumnya. Sampai disiiu tiga pemuda hunus golok mereka hendak
membantu, tetapi belum sampai mereka turun tangan, lantas
mereka lihat goloknya Lauw Cit Thayswee sekarang telah
diatas angin dan Siu Lian mundur setindak dengan setindak.
Menampak demikian, mereka jadi kegirangan, hingga mereka
urung maju. Sambil tepuk2 tangan, mereka bersorak: "Lihat,
lihat! Cit-ya pasti akan rubuhkan dia!"
Mereka belum rapatkan mulut, atau perobahan telah
terjadi. Di luar dugaan sepasang golok dari si nona telah
bergerak merangsak. Hingga sekarang si Dato yang kena
didesak, napasnya sengal2!
"Kurang ajar !" kata Lauw Cit dalam hatinya, ketika ia
berdongkol seraya menyabet dengan goloknya akan bikin
rubuh lawan itu, yang ia tidak pandang enteng lagi
sebagaimana semula. Ia mesti gunai tipu ini rebut
kemenangan, untuk jaga nama baiknya.
Tapi Siu Lian tidak kena diakali, ia lihat gerakan itu, ia bisa
duga maksud lawan. Selagi golok menyambar, ia gunai tangan
kirinya menangkis, sedang tangan kanannya dengan
berbareng membabat kejurusan pinggangnya si Dato.
Kagetnya Lauw Cit tak kepalang, ia loncat mundur, tetapi
sudab kasip, ia kalah sebat, karena baru saja ia angkat
tubuhnya atau paha kirinya tertusuk golok, hingga sambil
menjerit ia lemparkan golok dan dengan kedua tanganya ia
Riwayat Lie Bouw Pek Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tekap pahanya yang terluka, sedang mukanya menjadi merah
biru dan pucat.
Tiga pemuda itu kaget, mereka lantas meluruk akan
kepung nona kita.
Sedikitpun Siu Lian tidak menjadi jerih, ia sambut mereka
itu dengan gagah tidak perduli mereka nekat dan rangsekan
hebat. Belum ada sepuluh jurus ia telah rubuhkan satu musuh,
hingga ia sekarang hanya melayani dua orang,
Lauw Cit karena sakitnya lukanya, tidak bisa berdiri lama,
dengan meringis2 ia jatuhkan dirinya, duduk numprah ditanah
yang becek. Oleh karena sangat menahan sakit, keringatnya
dijidat sampai turun menetes. Meski demikian ia bisa lihat
jalannya pertempuran, hingga ia lalu berteriak tetiak:
"Kurang ajar ! Aku telah terluka, buat apa kau orang
melawan lebih jauh " Hayo lekas berhenti"
Teriakan itu ada hasilnya, dua pemuda itu lantas lompat
mundur dan berhenti berkelahi atas teriakannya si Dato.
Mereka menghampirkan buat coba angkat bangun Dato ini,
paha siapa masih saja mengucurkan darah, sedang
pakaiannya cupruk
dengan darah dan lumpur. Kedua tangannya juga
berlumuran darah.
Dalam keadaan menyedihkan itu Lauw Cit-ya masih berani
unjuk kemurkaannya.
"Kau benar pandai, aku menyerah kalah !" kata ia dengan
sengit, dengan kemudian ia mendelik. Sekarang kasilah tahu
she dan nama kau!"
Siu Lian telah rebut kemenangan, ia merasa puas sekali,
dengan sebelah tangan mencekal sepasang goloknya, ia
bersenyum menghadapi pecundang itu.
"Kau ingin ketahui she dan namaku?" ia balik menanya. Ia
bersangsi sebentar, karena tadinya ia niat umpatkan nama ia
niat Tapi sekejap kemudian ia pikir lagi, apa halangannya akan
bentahukan she dan namanya : ia toh sebatang kara dan akan
merantau tak berketentuan Maka ia segera teruskan : "Aku Jie
Siu Lian! Tentang ilmu dari sepasang golokku ini ! kalau kau
dengar, jangan kau kaget! Aku belajar ilmu golok dari ayahku,
kau punya Tiat-cie-tiauw Jie Looya!"
Setelah kata itu, dengan tidak tunggu apa lagi, ia putar
tubuhnya menghampirkan kudanya keatas mana ia loncat
naik, kapan ia sudah cantel goloknya ia ambil cambuk sebagai
gantinya, dan kapan ia telah pecut kudanya itu, sambil
menoleh dengan bersenyum, ia pandang Lauw cit, yang lagi
dipepayang oleh dua anak muda. .
Kembali ia menuju keselatan.
Hari itu noni Jie sampai didalam daerah Teng bin-koan, ia
cari hotel untuk beimalam. Hawa udara dibantu oleh sang
angin, adalah dingin, maka didalam k?marnya ia minta jongos
nyalakan perapian, ia duduk didekat situ untuk membikin
hangat dirinya.
Ia merasa puas akan pertempurannya dengan Lauw Cit.
"Mestinya ia satu okpa" ia pikir. "Ilmu goloknya liehay,
tentu ia seorang ternama dalam kalangan Kangouw. Ia telah
tanyakan namaku, rupanya ia berniat mencari balas.
Selanjutnya aku mesti berhati-hati. Thio Giok Kin dan
persaudaraan Ho adalah musuh2 lama dan yang baru adalah
Biauw Cin San dan Lauw cit ini."
Memikir lebih jauh, Siu Lian menjadi berduka. Ia tidak bisa
lupakan nasibnya ayah dan ibunya, layon siapa masih ada di
kampung lain Dengan lenyapnya Beng Su Ciauw, dengan
salah mengertinya terhadap Bouw Pek, ia benar2 merasa
hidup tersendiri. Difihak lain iapun ingat budinya Siauw Hong
dan nyonya. "Aku sebatang kara sendirian, benar susah....." akhirnya ia
sadar. DIKAMAR2 lain sekalian tamu sedang asyik pasang omong
dengan sesamanya mereka nampaknya merdeka dan gembira,
beda daripada nona kita, yang bersendirian saja. Sekalian
tamu itu kebanyakan adalah orang2 dagang.
"Kalau aku seorang lelaki, tidak nanti aku ijinkan Lie Bouw
Pek menjagoi " pikir ia, yang jadi ngelamun.
Justeru itu tuan rumah bertindak masuk.
"Ada apa?" Siu Lian tanya.
"Nona toh nona Jie?" tuan rumah itu tanya.
"Ya, aku orang she Jie" sahut Siu Lian seraya turun dari
pembaringannya, matanya memandang dengan tajam. "Ada
apa ?" "Diluar ada tamu she Su, yang ingin ketemu nona."
Sioe Lian heran, karena ia tidak ingat kenalan dengan she
itu. Ia mau keluar, tetapi si orang she Su itu, yang berdiri
didekat jendelanya dan telah dapat lihat ia, sudah mendahului
bertindak masuk.
"Nona Jie, hari ini kau kena dibikin mendongkol!" kata ia
dengan tiba2. Orang ini bicara dengan lidah Shoa say, tubuhnya kate dan
gemuk, hingga nampaknya sukar ia bongkokkan tubuh akan
menjura pada nona kita.
Segera juga Siu Lian kenali si kate gemuk, yang ia
ketemukan ditengah jalan. Karena orang berlaku hormat, ia
juga berlaku manis.
"Silaukan duduk" ia mengundang. "Ada apa, tuan "
Silahkan bicara."
Orang she Su itu duduk. Dari tarikan napasnya ia seperti
habis lakukan perjalanan jauh.
Setelah besarkan lampu, tuan rumah undurkan diri.
Siu Lian pandang tamunya, yang pakai celana biru dengan
baju tebal yang pendek, jidatnya penuh keringat, karena
orang tidak mau lantas bicara, ia jadi kurang sabaran
"Kau cari aku, ada urusan apa?" ia segera menegor. Ia
tadinya mau tegaskan, apa dia ini yang dihotel mencari Lie
Bouw Pek, tapi tamunya sudah mendahului berkata:
"Banyak yang aku hendak beritahukan nona" ia kata,
"tetapi Lie Bouw Pek telah larang aku bicara pada nona...."
Sekejap saja air mukanya Siu Lian berobah. Ia berbangkit,
matanya dibuka lebar.
"Apa" Jadi Lie Bouw Pek dustakan aku?" ia tanya.
"Sabar nona" orang she Su itu kata seraya usapkan
tangannya. "Sabar nona dan dengarkan aku bicara dengan
pelahan" Su Poan cu demikian si kate dan gemuk ini sudah lantas
perkenalkan diri dengan beritahukan siapa adanya ia
bagaimana persobatannya dengan Bouw Pek, yang ia telah
bantu, bagaimana ia kabur dari kota raja karena membunuh
Poan Louw Sam dan Cie Sielong, hingga ia mesti tinggalkan
warung araknya dan sekarang mesti hidup pula dalam
perantauan Siu Lian tahu Pa san coa Su Kian, yang namanya terkenal
dikalangan kang ouw, maka sekarang berhadapan dengan si
Ular Gunung, ia menjadi heran juga. Tapi pcnuturannya tamu
ini tidak mengenai dirinya, ia pikir buat minta ketegasan.
Selama ia pikir demikian, Su Poan-cu sudah bicara pula,
sekarang dengan sebut2 Siauw Jie.
"Nona tahu, Siauw Jie itu adalah putera kedua dari Beng
Loo-piauwtauw dari Soan hoa-hu" ia terangkan. "Ia adalah
Beng Su Ciauw, tunangan nona sendiri"
Siu Lian tertarik berbareng heran, sampai ia bungkam.
"Beng Su Ciauw telah tinggalkan Pakkhia" Su Poan-cu
terangkan lebih jauh.
"Ditengah jalan, di Kho-yang, ia bertemu dengan
rombongan dari Biauw Cin San dan Thio Giok Kin, karena
bertempur, ia telah mendapat luka parah. Berhubung itu" aku
telah pergi ke Pakkhia mencari Lie Bouw Pek, yang terus
datang menengoki. Beng Su ciauw, karena lukanya itu,
menutup mata didepan Bouw Pek. Mayatnya telah dikubur
dtluar kota Khoyang"
Nyata Su Poan-cu bicara secara polos, ia tuturkan semua
yang ia tahu, malah tidak perduli si nona suka dengar atau
tidak, senang atau tidak senang, iapun kasi tahu pesanannya
Beng Su Ciauw, yang anjurkan Bouw Pek nikah sinona.
Siu Lian melengak, ia tercengang bahna herannya. Baru
sekarang ia ketahui semua Beng Su Ciauw meninggalkan
Pakkhia dan Lie Bouw Pek hendak menyingkir dari ia. Pantas
yang Tek Siauw Hong hendak sembunyikan segala hal
terhadap dia. Tapi sekarang, kendati ia ketahui semua itu, pikirannya Siu
Lian kusut bukan main. Warta itu terlalu hebat baginya. Jadi
nyata yang Beng Su Ciauw telah menutup mata, dalam cara
yang sangat menyedihkan! Kenapa datangnya keterangan
justeru ia lagi hadapi kesulitan"
Siu Lian duduk dipembaringannya, kepalanya pusing, air
matanya mengembeng. la berdiam lama juga, baru ia bisa
tetapkan sedikit hatinya.
"Kiranya duduknya bal begini rupa" akhirnya ia bilang. "Lie
Bouw Pek dan Beng Su Ciauw adalah orang gagah dan Tek
Ngoya orang budiman, melainkan aku, aku seorang
perempuan, yang boleh dipedayakan!.... Dasar aku seorang
perempuan.... Ya, aku mesti kagumi mereka semua!..."
Mau tidak mau, nona ini menangis sesenggukan. Ia gagah,
tetapi ia tetap seorang perempuan, yang hatinya mudah
tersinggung. Suara riuh dikamar lain lantas berhenti, mereka itu merasa
heran, antaranya ada yang ingin tahu telah terjadi apa.
Su Poan cu berdiri seperti patung otaknya bekerja.
Tuan rumah, dengan alasan menyuguhkan teh, datang
masuk. Siu Lian susut air matanya, ia berhenti menangis.
Sesaat tuan rumah mengawasi si nona dan si kate gemuk
itu. "Bagaimana dengan kudamu, tuan?" tanya tuan rumah
pada tamunya. Su Poan cu menoleh, baru sekarang ia ketahui maksudnya
tuan rumah. "Bawa kudaku keistal dan berikan makanan" kata Pa sancoa.
"Tolong kau sediakan kamar untuk aku"
Sambil menyahut "Baik" tuan rumah undurkan diri.
Su Poan-cu awasi si nona, ia sekarang merasa menyesal
yang tadi ia sudah bicara secara polos sekali, hingga si nona
telah merasakan pukulan hebat pada batinnya. Se karang ia
tidak tahu bagaimana harus menghibur.
Kecuali Siu Lian, yang masih sesenggukan, kamar itu sunyi,
karena keduanya diam saja Adalah setelah berselang lama
juga sinona berhenti menangis karena ia anggap percuma saja
ia menangis, ia turun dari pembaringan, ia lepas air matanya.
"Terima kasih buat kebaikanmu tuan," kata ia pada si Ular
Gunung. "Kalau kau tidak berikan keteranganmu ini padaku,
sampai aku menutup mata, tentu aku tetap berada dalam
kegelapan"
"Jangan mengucap terimakasih, nona," kata Su Kian, yang
merasa likat kaiena si nona berlaku demikian manis
kepadanya. Ia menjura. "Aku sendiri ketahui ini belakangan,
sesudah Beng Su Ciauw menutup mata. Kalau waktu bertemu
di Tokciu aku. ketahui Siauw Jie adalah tunangan nona,
niscaya aku cegah ia terjang bahaya, tidak nanti aku kasi ia
bantu Lie Bouw Pek secara mati2an......"
Siu Lian manggut, ia menghela napas.
"Sesudah Beng Jie-ya dikubur, Lie Bouw PeK kembali
kekota raja," Su Poan-cu berkata pula. "Ia tidak ijinkan aku
turut ia, boleh jadi ia kuatir aku ketemu nona dan nanti
ceritakan itu. Tapi aku ini sahabat yang jiatsim, aku kuatirkan
keselamatannya Lie Pouw Pek yang sendirian saja tidak akan
sanggup layani Biauw Cin San sekalian, yang berjumlah besar.
Dengan ajak kawanku, akupun kembali ke kota. Sesampainya
di Pakkhia aku tidak masuk kedalam kota, kendati demikian,
aku ketahui yang Biauw Cin San binasa ditangan nona dan
Thio Giok Kin sekalian telah diusir oleh pembesar negeri. Lie
Bouw Pek sampai dikota satu hari lebih dahulu daripada aku,
lantas dihari kedua ia berangkat pula meninggalkan kota itu. ia
pergi selagi turun salyu besar. Waktu itu aku berniat cari kau,
nona, guna berikan keteranganku, tetapi sebagai orang yang
melanggar undang2 negeri aku takut masuk kedalam kota,
aku tidak mau rembet Tek Ngoya. Begitulah aku kirim orang
buat cari nona, buat minta nona Keluar kota, apa mau
sebelumnya orangku itu kembali, aku lihat nona sendirian
berangkat dari Pakkhia. Aku duga bahwa nona hendak susul
Lie Bouw Pek. Dimana Bouw Pek telah berangkat satu hari
lebih dahulu, ia tentu berada puluhan lie didepan nona, maka
hari itu dihotel aku sengaja omong keras-keras menanyakan
hal dia, maksudku adalah supaya nona dengar dan tahu Lie
Bouw Pek sudah lewat, supaya malam2 juga nona susul dia.
Kalau nona bisa candak Bouw Pek, andai kata rohnya Siauw
Jie mendapat tahu tentu juga merasa girang...."
Mukanya Siu L;an jadi merah berbareng berduka. Ia jengah
sendirinya, yang si kate gemuk ini ketahui urusannya dengan
jelas. Tadinya nona kita hendak bicara, tetapi Su Kian telah
dahului ia: "Untuk bicara terus terang, seyara jujur" demikian katanya,
"disebelah adat raya yang keras dan luar biasa, Lie Boaw Pek
adalah seorang baik. Boegeenya juga iiehay, dikalangan kang
ouw sukar buat tandmgannya. Maka setelah Beng Jie ya
menutup mata, kalau nona menikah pada Bouw Pek, tidaklah
kau terhina... Bicara sebenarnya, nona, sebabnya kenapa aku mau
keluarkan tenaga dan otak membantu Lie Bouw Pek, tidak lain
adalah agar ia menikah dengan nona yang setimbal...."
"Cukup!" Siu Lian memotong, apabila ia dengar orang
mulutnya ngaco-belo
"Ya, ya nona" Su Poan cu manggut2, tapi diam2 ia
bersenyum. Baik, aku nanti oraoag urusan lain.....
Siu Lian mengawasi sahabat yang jiat sim ini.
"Malam itu nona, aku sebenarnya hendak susul kau untuk
lihat pertemuan kau dengan Lie Bouw Pek" Pa-san-coa
lanjutkan omongannya. "Diluar dugaanku, aku nampak
halangan, yaitu kudaku terpeleset jatuh hingga aku turut
rubuh, dan kudaku itu bengkak kakinya. Karena ini aku jadi
tidak tahu nona dapat susul Bouw Pek atau tidak. Tapi tengah
hari barulah aku sampai di Lauw-kee-cun, dfsana aku kunjungi
sahabat baikku, Lauw Cit ya. Aku lacur, sahabatku itu telah
mendapat luka. Ketika aku minta keterangan, nyata ia, karena
main gila terhadap nona, sudah dapatkan bagiannya itu. Aku
Riwayat Lie Bouw Pek Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak kata apa2 pada Lauw cit ya, hanya aku pamitan dan
lantas menyusul kemari. Syukur disini aku bisa cari nona."
"Terima kasih," kata Siu Lian, "terima kasih
Nona ini tidak omong banyak, pikirannya masih ruwet.
Su Poan-cu bisa mengerti kesukaran hati si nona, iapun
lihat nona itu tidak sabaran ia tidak mau menganggu.
"Sekarang kau baik mengaso, malam ini aku juga nginap
disini, nona," kata ia kemudian. "Maka kalau ada urusan,
besok kita nanti omongkan pula. Andai kata nona perlu apa2,
kasi tahulah kepadaku, aku bersedia untuk bekerja gunamu.
Percaya pada Su Poan-cu, ia akan membantu dengan
sungguh!" "Siu Lian bersyukur, ia manggut.
"Terima kasih" ia kaia. "Lain kali aku nahti minta
bantuanmu!"
Su Poan-cu bersenyum, ia manggut pada si nona, lantas
berlalu akan pergi kekamarnya.
Seperginya si Ular Gunung Siu Lian bating2 kaki, lembah air
matanya turun. "Nasibku benar buruk" kata ia dalam hatinya. "Dengan
susah payah aku cari tunanganku, siapa tahu ia binasa
ditangannya Bianw Cin San, benar aku bisa bunuh Biauw Cin
San tetapi ia telah menutup mata, apa artinya itu bagiku" Aku
telah berbuat keliru terhadap Lie Bouw Pek. Ia tentu sangat
berduka karena kematiannya Soe Ciauw, ia tidak membuka
rahasia padaku rupanya ia kuatir aku bersusah hati. Iapun
tentu masgul karena kehilafanku... Coba Beng Su Ciauw
seorang busuk, aku tentu bisa menikah pada Bouw Pek...
Sekarang?"
Siu Lian merasakan seperti ada tangan gaib, yang
permainkan ia bertiga Soe Ciauw dan Bouw Pek. Kalau tidak,
kenapa perkara jadi demikian kusut" Hampir ia putus asa,
baiknya ia kena rebah sepasang goloknya.
"Ayah didik aku sebagai wanita jantan mustahil sekarang,
setelah berada sendirian, aku jadi tidak berdaya?" demikian ia
pikir "Tidak, aku mesti unjuk semangatku!"
Nona Jie kunci pintu kamar dan padamkan api, lantas ia
naik kepembaringan. Ia tidak bisa lantas pulas, masih saja ada
pikiran yang mengganggu ia. Ia ambil putusan akan tidak
perdultkan Beng Su Ciauw yang sudah menutup mata dan Lie
Bouw Pek yang telah tinggalkan ia, ia mau andalkan goloknya,
guna angkat derajatnya.
Adalah setelah ambil putusannya itu baru ia bisa pulas.
Besoknya pagi, ketika baru saja sadar, Siu Lian sudah
panggil jongos.
"Lekas sediakan kudaku" ia kata. Ia sendiri lantas dandan.
Su Poan-cu tidur dikamar sebelah, ia dengar suaranya si
nona, ia turun dari pembaringannya dan lari menghampirkan.
"Apa nona sudah bangun?" ia tanya dari luar jendela.
"Su Toaya diluar?" Siu Lian jawab. "Silahkan masuk"
Soe Poan-cu buka pintu dan masuk, ia lihat kamar masih
gelap, tetapi ia dapatkan nona itu sudah siap berikut
buntalannya. "Bagaimana, nona" Apa kau hendak berangkat sekarang
juga?" ia tanya.
"Benar, toako, aku hendak berangkat Sekarang!" sahut
nona Jie. Suaranya sekarang beda jauh daripada kemarinnya.
"Syukur kau berikan keteranganmu kepadaku, Su Toako. kalau
tidak, aku tentu masih berada dalam kegelapan, Lie Bouw Pek
adalah saudaraku yang berbudi, bugeenya juga aku kagumi,
tetapi karena duduknya perkara sedemikian rupa, aku tidak
ingin bertemu pula dengan ia! Dengan ini aku juga minta kau
jangan pikir pula hal yang bukan2!"
Su Poan-cu bingung bahna heran. Ia mengerti nona ini
tidak mau lagi orang sebut hal jodohnya dengan Bouw Pek. la
heran yang si nona jauh lebih aneh dari pada si orang she Lie
itu.... "Kalau begitu, kita benar tidak usah capekan diri lagi akan
rekoki jodoh mereka" pikir si Ular Gunung. "Daya upaya kita
tidak akan ada hasilnya dan melulu akan bikin kalap nona ini.-
Mana aku sanggup meladeni kalau ia hunus goloknya yang
dipakai membunuh Biauw Cin San dan melukai Lauw Cit-ya...."
Karena berpikir begini, sembari tertawa ia kata :
"Benar nona. benar urusanmu kami tidak boleh campur
tahu lagi, cuma..." Dan ia unjuk sikap menghormat sekali,
"aku ingin ketahui, seperginya dari sini, nona sebenarnya
menuju kemana?"
"Paling dulu aku mau pergi ke Jie sie lin, di Bong ouw koan,
akan tengok kuburan ayah, buat sekalian pindahkan layonnya
ke Kielok" sahut nona Jie, Kemudian aku niat bawa pulang
juga layon ibuku dari Soanhoa-hu."
"Kau benar nona" Su Poan-cu manggut-manggut
"Bagaimana dengan kuburannya Beng Jie-siauwya di Khoyang,
apa nona tidak niat sambangi?"
Ditanya begitu, air matanya si nona mau molos keluar, tapi
ia lekas-lekas keraskan hati.
"Aku niat tengok" ia menyahut, "kemudian aku mau beri
kabar pada keluarga Beng supaya mereka pindahkan layonnya
ke Soanhoa Kami ditunangkan sedari kecil atas kahendak
orangtua kami, tetapi sampai sebegitu jauh aku belum pernah
lihat atau ketemu Beng Su Ciauw, kendati demikian,
selanjutnya aku tidak mau menikah.
Tapi aku hendak terangkan padamu, aku sekarang anaknya
keluarga Jie dan bukan nona mantunya keluarga Beng!"
Meski ia mengucap demikian, Siu Lian mesti bukan main
keraskan hati. Kalau waktu itu kamar tidak masih gelap, Su Poan-cu tentu
dapat lihat muka sinona merah dan air mata meleleh....
Pa san-coa menghela napas. Ia merasa pasti, bahwa si
nona benar tidak akan menikah, hingga sakit rindu dari Lie
Bouw Pek tentulah sukar dapat disembuhkan......
Ia sudah kenal adatnya, ia tidak mau banyak omong.
"Tetapi nona," kata ia yang putar soal, "aku rasa kau harus
perhatikan suatu urusan lain. Kim-khio Thio Giok Kin masih
belum pergi jauh, aku dengar ia berdiam di Poteng-hu
dirumahnya Hek-houw To Hong si Harimau Hitam. Kesana Oey
Kie Pok sering kirim orangnya, entah apa yang didamaikan,
atau apa yang mereka sedang atur. Sekarang nona mau pergi
ke Bongtouw, itu artinya nona akan lewat di Poteng. Siapa
tahu jikalau mereka tidak ganggu nona...
"Kalau mereka berada di Poteng, inilah lebih baik lagi" Siu
Lian kata "aku nanti cari mereka itu guna tempur mereka!
Mereka adalah musuhku, jikalau mereka tidak desak ayah, tak
mungkin sekarang aku jadi terlunta2 begini...."
"Kepandaiannya Thio Giok Kin tidak berarti," Su Poan-cu
terangkan pula, "tetapi lain halnya dengan Hek-houw To
Hong. Ia muridnya Kim-too Phang Bouw dari Ciam ciu, ia
gunai siangtoo, kabarnya kepandaiannya tidak dibawah
gurunya, maka baiklah nona berhati2. Ia tinggal disebelah
barat kota, ia buka dua piauw tiam, maka itu ia punya
beberapa tukang pukul juga"
Tapi Siu Lian tersenyum tawar.
"Kau baik sekali, Su toako, aku berterima kasih pada kau"
ia kata. "Semua, apa yang toako bilang, aku akan ingat baik
baik. Sekarang silahkan kau pergi, lain kali kita akan bertemu
pula !" Su Poan-cu ketahui adat keras nona itu, maka itu ia tidak
mau memberi nasehat agar si nona ambil jalan mutar. Ia
angkat tangannya seraya berkata :
"Baik2 dijalan, nona! Sampai kita bertemu pula !"
Ia bertindak keluar dan kembali kekamarnya.
Sambil bilang "sampai ketemu pula!" Siu Lian awasi orang
pergi, kemudian ia panggil tuan rumah akan bikin
perhitungan, setelah itu ia bertindak keluar. Dari jongos ia
sambuti kudanya, yang ia tuntun kudanya. yang ia tuntun
sampai dipintu perkarangan. Ia lihat sedikit sinar terang
ditimur ia dapatkan salyu belum lumer dan angin meniup
keras, tetapi karena ia sudah ambil putusannya ia loncat naik
atas kudanya, binatang mana ia kasi jalan dengan lekas. Ia
ingin, pertama hindarkan hawa dingin, kedua hari itu juga biar
sampai di Poteng. Ia ingin dapat bunuh Thio Giok Kin guna
balas sakit hatinya.
Perjalanan pagi adalah suatu penderitaan, tetapi Siu Lian
tidak hiraukan itu. Ketika mendekati tengah hari, baru ia kasi
kudanya jalan pelahan2, akan akhirnya singgah disebuah
dusun, dimana ia cari rumah pondokan. Ia minta barang
makanan, sambil bersantap ia hilangkan lelah Sehabis dahar,
kembali ia lanjutkan perjalanannya.
Angin utara meniup keras dan dingin, rambutnya nona Jie
tersampok2 menjadi kusut, sapu tangannya sampai jatuh dua
kali. Dimana ia lewat, Siu Lian dapatkan orang selalu perhatikan
ia, hingga kadang2 ia mendongkol.
Oleh karena sang kuda dikasi lari keras, pada jam lima
lewat lohor Siu Lian telah sampai di Poteng. Ia masuk dipintu
kota utara dan segera cari hotel.
Waktu itu adalah musim dingin, pada jam lima cuaca sudah
menjadi seperti magrib dan gelap. Didalam kamarnya, Siu Lian
minta api. Ia minta lekas disediakan air untuk cuci muka
Ketika ia masuk kepekarangan hotel, orang banyak telah
perhatikan ia, yang pakai pakaian sedang menunggang kuda
dan membawa golok, rambulnya kusut, mukanya berlepotan
air salyu yang bercampur demi basah, coba orang tidak lihat
sepatunya yang mungil, orang bisa sangka ia lelaki.
Adalah setelah cuci muka dan rapikan pakaiannya, baru
tuan rumah menjadi kagum karena tamunya itu kecuali muda
pun elok. "Apakah nona mau dahar sekarang?" "Ya Lekasan sedikit"
Siu Lian naik ke pembaringan dimana goloknya ia lempar.
Tuan rumah undurkan diri dengan merasa heran, karena ia
tidak bisa duga, tamunya ini sebenarnya orang dari golongan
mana. Siu Lian buka sepatunya, ia duduk mengaso, sampai ia
rasai tubuhnya mulai segar pula la merasakan bagaimana
sengsaranya orang melakukan perjalanan seorang diri, dengan
menunggang kuda, diwaktu angin besar dan salyu turun.
Tidak lama tuan rumah muncul pula, dibelakang ia ikut
seorang lain, yang pakai baju kapas abu, yang tertutup
mantel. "Inilah tuan Thio, kepala kampung kita" kata tuan rumah
yang memperkenalkan.
Siu Lian mengawasi, ia merasa tidak puas.
"Kau kepala kampung, ada urusan apa kau datang kemari?"
ia tanya. "Aku toh tidak undang kau?"
Ketua kampung itu uruti kumisnya, ia bawa lagak seperti
pembesar negeri yang berpangkat tinggi. Ia tidak kelihatan tak
senang, malah ia bersenyum, tetapi waktu buka mulutnya ia
kata dengan tedas : "Oleh karena aku dengar kabar kau bawa
golok, aku sengaja datang untuk mendengar keteranganmu :
Kau ini datang darimana dan hendak pergi kemana" Apa
kerjaan suamimu?"
Siu Lian gusar melihat sikap dan mendengar omongan yang
tidak pantas itu. Memang ia sedang mendongkol.
"Kau tidak perlu tanya aku!" ia membentak. "Lekas pergi!"
Sekarang barulah si kepala kampung ibuk
"Eh, eh," kata ia, "kau seorang perempuan, kenapa datangi
kau omong begini kasar?"
Ia delikan matanya dan tangannya agaknya hendak
menjambak. Siu Lian pakai sepatunya dengan cepat dan ia turun dari
pembaringan. "Kalau hanya kepala kampung, bukannya tiekoan atau
tiehu, kenapa kau sembarangan menghina orang?" ia tegor.
"Pengaruh apa kau andalkan he?"
Sembari kata begitu, nona kita cabut cambuknya dari
dalam buntelan.
Tuan rumah tidak ingin terbit onar dihotelnya, ia lekas maju
seraya memberi hormat sambil menjura pada tamunya itu.
"Jangan gusar dulu nona" ia berkata dengan hormat
"Memang kebiasaannya ditempat kita ini, kalau kita
kedatangan tamu, piauwsu atau cinteng, kalau bawa senjata
tajam, kepala kampung mesti tanya padanya, untuk catat
namanya dan lain2....."
"Tapi aku belum pernah denpar di Poteng hu ada aturan
semayara ini!" Siu Lian membentak.
"Ini adalah aturan baru, yang diadakan belum lama" kata
pula tuan rumah sambil tertawa. "Dikota barat ada Kong Thay
Piauw-kiok, ketuanya To Toaya, ia kuatir dikota ini ada orang2
pengembara yang terbitkan onar, maka itu ia minta kepala
kampung bikin penilikan dan catatan. Tidak ada apa2, nona,
tolong kau beritahukan she dan namamu....."
Si kepala kampung, yang lihat sikap orang begitu garang,
sudah lantas tukar haluan.
"Aku juga lagi lakukan permintaannya To Toaya," ia bilang
"andaikata kau tidak senang, kau boleh lampiaskan itu pada
To Toaya sendiri...."
Siu Lian tambah gusar karena saban2 dengar disebutnya
To Toaya. "Siapa itu To Toaya?" ia tanya. "Apa ia bukannya Hek-houw
To Hong" Kebetulan sekali, aku memang datang ke Poteng ini
untuk tempur dia. Pergi kau orang mengasi kabar supaya ia
datang kemari! Hayo pergi!"
Sembari kata begitu, Siu Lian angkat cambuknya, ia tolak
pinggang. "Mestinya To Hong itu seorang okpa"
nona kita pikir. "Ia seorang kangouw tidak ternama, kenapa
ia bisa perintah2 kepala kampung" Sekarang ia berkawan
dengan Thio Giok Kin sekalian, rupanya ia anggap tidak nanti
ada otang yang berani ganggu ia....."
Kepala kampung itu jadi malu sekali.
"Aku lagi sial ia kata, "tidak keruan, seorang perempuan
muda berani berlaku kurang ajar terhadap aku.... Karena ia
berani maki To Toaya, baiklah, aku nanti sampaikan ini
kepadanya"
Sembari kata begitu ia ngeloyor keluar, tuan rumah ikuti ia
Tapi tidak lama kemudian tuan rumah ini balik dengan bawa
barang makanan.
"Nona, tadi kau omong terlalu banyak" ia kata sambil
Riwayat Lie Bouw Pek Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sajikan barang makanannya itu. Ketika ia menyambung
omongannya suaranya perlahan sekali, tanda bahwa ia
berkuatir. kuatir orang dengar perkataannya : "Si orang she
Thio barusan adalah Thio Jie Huncu, asalnya buaya darat
disini, tetapi sekarang ia telah menjadi kepala kampung.
Sudah begitu, ia telah berkonco dengau Hek-houw To Hong,
pengaruhnya jadi makin besar. Begitupun rumah penginapan
kita ini setiap hari dimestikan menunjang ia serenceng uang,
kalau tidak kita tidak berusaha!"
Siu Lian mendongkol dan gusar mendengar keterangan itu
hingga dengan cambuknya ia sabat meja.
"Terang mereka kawanan okpa bukan?" ia kata dengan
nyaring. "Kenapa bukan nona ?" sahut tuan rumah. "Harap nona
bicara pelahan mereka itu punya banyak kuping dan mata
kalau mereka dapat dengar perkataan nona, jangan harap kau
nanti bisa berlalu dari sini...."
"Kenapa begitu?" tanya nona kita, yang tetap gusar.
"Apakah yang mesti ditakuti dari To Hong?"
"Kalau begitu, kau belum ketahui nona," kata tuan rumah
dengan pelahan sekali. "Hek-houw To Hong adalah hartawan
paling besar disini, sudah begitu ia telah belajar silat pada
Kim-too Phang Bouw dari Cim-ciu, maka siangtoonya liehay
bukan main. Lebih daripada itu, Thio Toa congkoan dari Ciekim-
shia adalah ayah angkatnya. Maka itu dikalangan
pembesar negeri, pengaruhnya besar sekali. Sekarang ini
toko2 besar dikota Poteng kebanyakan adalah kepunyaannya,
sedang dirumahnya sendiri ia buka piauw-kiok memakai nama
Kong Thay Piauw-kiok dengan beberapa puluh piauwsu.
Sebenarnya To Hong tidak hidup dengan andalkan piauwkioknya
itu, dengan itu ia melulu mencari persahabatan. To
Hong sendiri juga tidak terlalu menghina atau membikin orang
susah, yang hebat sepak terjangnya adalah orang2nya yang
sungguh tak boleh dibuat permainan. Mereka ini umpama kata
tidak ada yang mereka tidak berani lakukan...
Siu Lian menjadi gusar sekali.
"Baru saja pada bulan yang lalu To Hong telah kedatangan
serombongan jagoan yang menjadi sahabatnya" tuan rumah
melanjutkan penuturannya, tetap dengan suara pelahan
"Mereka itu adalah piauwtauw yang sengaja diundang dari
Holam, katanya diantaranya ada Biauw Cin San dan Kim-khio
Thio Gtok Kin. Buat beberapa hari mereka berdiam
dirumahnya To Hong, disini mereka bikin banyak kacau, lantas
mereka berangkat ke Pakkhia. Katanya di Pakkhia mereka
telah ketemu batunya, kabarnya Biauw Cin San mati di bunuh
orang. Boleh jadi Thio Giok Kin juga turut jatuh pamornya.
Ketika peti matinya Biauw Cin San diangkut lewat di sini, To
Hong telah menyambut dengan bikin sembahyang dijalan
besar. Aku dengar peti matinya Biauw Cin San sudah diangkut
terus, tetapi Thio Giok Kin masih berdiam disini"
Selagi tuan rumah bicara Siu Lian bersenyum sindir
berulang2, hingga tuan rumah itu menjadi heran.
"Aku tidak takut mereka itu !" kata nona Jie dengan gagah.
"Baiklah aku beritahukan kepada kau, aku datang kemari
justeru perlunya hendak tempur mereka itu Tegasnya, aku
datang dengan sengaja! Sekarang aku hendak makan,
silahkan kau undurkan diri" ia tambahkan.
Tuan rumah itu bingung sebentar, lantas berlalu.
Siu Lian duduk pula dipembaringannya bukannya ia
bersantap, melainkan ia awaskan lampu dengan otaknya
melayang2 "Tuan rumah bicara begini jelas, rupanya benar mereka itu
pernah bikin kacau disini" demikian otaknya bekerja. "Sayang,
selagi mereka datang ke Pakkhia, Lie Bouw Pek kebetulan
tidak ada. Sejak datang dari Lamkiong, belum cukup satu
tahun, Bouw Pek sudah rubuhkan banyak jago, ia telah kenal
banyak sahabat, tapi karena ia tidak ada di Pakkhia, pastilah ia
ditertawai oleh rombongannya Biauw Cin San. Tetapi aku bikin
Thio Giok Kin keok, aku telah talangkan orang lain!...."
Ingat ini, hatinya Siu Lian jadi bertambah besar, hingga ia
bangga sendiri akan kepandaiannya.
"Apa aku melebihi Bouw Pek?" tanya ia pada dirinya sendiri.
Ia jadi sangsi. Ia ingat waktu piebu, dan bagaimana Bouw Pek
telah bantu ayahnya pukul mundur Ho Kiam Go sekalian.
"Maka kalau Biauw Cin San semua ketemu Bouw Pek, tidak
bisa tidak, mereka semua mesti jadi pecundang. Bouw Pek
berlalu dari kota raja karena urusannya Beng Su Ciauw, kalau
tidak, pasti ia bisa hadapi rombongan Biauw Cin San itu...
Kenapa ditengah jalan aku turuti hatiku dan marahi dia"..."
Ingat ini, nona Jie jadi masgul.
Sebelum nona ini sempat ngelamun lebih jauh, tiba2
kupingnya dengar suara riuh diruangan depan, hingga ia jadi
tertarik dan segera pasang kuping, matanya pun memandang
keluar. Suara riuh datangnya dari omongan dan tindakan kaki dari
banyak orang. "Dikamar mana" Dikamar mana?" demikian ia dengar
berulang2. "Itu, dikamar sebelah timur!" terdengar suaranya si kepala
kampung she Thio.
Sekarang Siu Lian ketahui orang datang cari ia, maka ia
turun dari pembaringan sambil sembat siangtoonya, dengan
bawa itu ia buka pintu dan loncat keluar. Dengan begitu ia
segera berhadapan dengan enam orang, yang bawa dua
lentera. "Apakah kau orang cari aku?" ia menegor, seraya
lintangkan goloknya. "Yang mana Hek-houw To-hong" Yang
mana ada Thio Giok Kin" Lekas maju ! Kecuali mereka berdua,
yang lain2 jangan maju, nanti cari mampus secara kecewa!"
Biar ia bersikap gagah dan keraskan suaranya, suaranya itu
tetap nyaring-halus. Dua orang segera tertawakan ia.
"Oh, adikku, kau benar liehay!" kata mereka sambil
mengejek. Siu Lian tidak tunggu orang tutup rapat mulutnya, ia
lompat maju seraya menyerang dua orang itu. Atas itu, dua
orang itu menangis dengan golok mereka.
Si Thio kepala kampung begitu kaget, hingga ia menjerit
dan jatuh terguling sendirinya, hingga dua kawannya segera
gusur ia kepinggir.
Siu Lian menyerang pula.
"Tahan dulu!" kata dua orang itu seraya menangkis.
"Beritahukan namamu !"
Tetapi Siu Lian tidak mau bicara, ia terus menyerang
Dua orang itu kewalahan, malah repot juga, karena kendati
mereka melawan, mereka bingung sebab serangan2 cepat dan
liehay dari si nona, mata mereka jadi seperti kabur. Belum
beberapa jurus, terpaksa mereka lari keluar.
"Lekas lari!" Lekas lari !" berteriak seorang lain, yang tidak
turut berkelahi.
Siu Lian memburu, ia bacok pundak lawan, seperti babi
geguwikan orang itu rubuh dan lenteranya jauh ketanah!
Syukur buat ia kawannya bisa seret dia pergi, sedang si nona
tidak mengejar lebih jauh.
Sambil bersenyum ewah sebab puasnya, Siu Lian balik
kembali kekamarnya. Ia duga orang2 tadi adalah orang2 To
Hong, maka sebentar tentu To Hong sendiri yang datang,
barangkali bersama Thio Giok Kin Sekalian.
"Aku nanti tunggu, mereka Aku mau lihat, apa mereka
hendak bikin"...."
Ketika itu tuan rumah datang masuk sambil berlari2,
mukanya pucat. "Jangan takut, tabahkan hatimu" Siu Lian mendahului
berkata dengan hiburannya. "Aku telah terbitkan onar, aku
akan tanggung jawab, tidak nanti aku rembet2 kau
Hatinya tuan rumah itu menjadi lega apabila ia dengar
perkataan itu. "Jikalau nona kata begitu, aku minta nona jangan pergi
dulu" kata ia, "aku minta nona suka tunggu mereka yang pasti
akan datang pula. Dengan sebenarnya, aku tidak sanggup
hadapi To Toaya...."
"To Toaya apa?" berseru Siu Lian. "Besok aku nanti kutungi
kepalanya To Hong untuk kasi kau orang lihat!"
Siu Lian lemparkan goloknya kepcmbaringan, sampai tuan
rumah kaget. "Tolong panaskan semua barang makanan itu" kemudian si
nona kata. Tuan rumah berlalu dengan bawa makanan yang hendak
dipanaskan, ia nampaknya masgul.
Siu Lian duduk menantikan hatinya girang berbareng
mendongkol. Ketika sebentar kemudian tuan rumah datang
pula, ia tanya berapa jauh letaknya rumahnya To Hong.
"Tidak seberapa jauh nona" tuan rumah jawab. "Ia tinggal
disebelah barat, dari sini cuma lima atau enam lie. Tapi
orang2nya terbesar disemua jalan dan gang, dimana saja
orang bisa ketemu mereka itu. Yang tadi datang kebetulan
sedang minum kemari. Aku percaya sebentar lagi To Hong
akan datang sendiri..."
Siu Lian tertawa.
"Biarlah ia datang! Kalau malam ini ia tidak datang sendiri,
besok pagi aku nanti satroni dia! Aku sekarang berada di
Poteng untuk tempur Thio Giok Kin, guna mencari balas. Maka
sekarang aku sekalian mau singkirkan bahaya disini!"
Sehabis kata begitu, karena sudah lapar Siu Lian lantas
duduk bersantap, sedang tuan rumah, yang masih sedikit
bingung, lantas keluar.
Nona Jie dahar dengan cepat setelah cukup ia naik
kepembaringan dan duduk numprah seperti orang lagi
bersemedhi. Ia pasang kuping, ia mau tunggu kalau2 To Hong
datang, la menunggu sampai jam tiga, tidak ada orang yang
datang, ia lalu tertawa sendirinya.
"Apa benar mereka tak punya guna, hingga mereka takut
datang pula" Apa bisa jadi Thio Giok Kin menduga pada aku
dan sebab ketahui kegagahanku, ia tidak berani cari aku"
Kenapa aku begitu bodoh mesti bangun seantero malam, akan
dengan sia sia menantikan mereka" Kalau besok pagi mereka
tidak datang, aku satroni mereka!"
Lantas Siu Lian kunci pintu dan padamkan api, ia rebahkan
diri dengan siangtoo disampingnya. Bahna lelah dan hati puas,
ia bisa tidur pulas. Seterusnyapun tidak ada gangguan
baginya. esoknya pagi ia mendusin karena ramainya suara
ayam bercukuk. Begitu ingat kejadian semalam, Siu Lian tetapkan apa yang
ia ucapkan. Ia buka pintu dan minta tuan rumah sediakan air
untuk cuci muka dan bersihkan tubuh. Kemudian ia lakukan
pembayaran seraya kata:
"Lekas siapkan kudaku, aku mau pergi cari To Hong,
supaya tidak usah sampai kejadian ia mengadu biru disini"
Tuan rumah girang mendengar itu, sedang ia memang
harap2 si nona lekas berlalu dari hotelnya Ia pergi sambil
berlari-lari, akan sediakan kuda itu.
Siu Lan dandan dengan cepat, dengan cepat juga ia
bungkus buntelan, maka sebentar kemudian ia sudah keluar
sambil tenteng golok dan pauwhoknya. Rambutnya ia bungkus
dengan sapu tangan hitam.
Selagi nona ini tuntun kudanya keluar dari pekarangan
hotel, angin yang berhawa dingin sekali meniup2. Ditimur
matahari bafu saja hendak muncul. Dijatan besar belum banyak
kelihatan orang berlalu lintas.
Baru saja Siu Lian mau loncat naik atas kudanya, atau jauh
dibelakangnya ia dengar orang teriaki dia : "Eh orang she Jie"
Maka ia segera menoleh.
Dijarak sepanahan jauhnya, ada seorang penunggang
kuda: kudanya berbulu merah, penunggangnya masih muda,
mukanya bundar, matanya besar, alisnya gomplok, hingga
romannya kelihatan bengis. Bajunya berwarna biru, begitupun
celananya. Dibelakang pemuda itu ada tiga orang dengan
dandanan seperti khungteng, satu diantara nya membawa
sebatang tumbak panjang yang dihias dengan runce sutera
kuning emas. Setelah mengawasi sekian lama, Siu Lian merasa ia seperti
kenali anak muda itu, hanya ia lupa dimana ia pernah ketemu
atau lihat dia itu. Ia menunggu sambil siap dengan
senjatanya, sebelah tangannya pegangi les kudanya.
"Apakah kau Kim-khio Thio Giok Kin?" ia menegor, apabila
orang itu sudah datang dekat.
Anak muda itu melototkan matanya dan bersenyum sindir.
"Kau sengaja datang cari Thio Toaya kenapa kau tidak
kenali aku ?" ia tanya dengan jumawa. "Mari Kalau kau punya
nyali, mari turut aku Disini jalan besar, tempat yang ramai aku
Thio Giok Kin malu akan layani seorang perempuan!....
Sembari kata begitu ia putar balik kudanya, tampangnya
unjuk senyuman.
Sioe Lian mendongkol sekali.
"Jangan tekebur!" ia kata. "Kemana juga kau pergi aku
tidak takut! Hari ini aku mesti kutungi batang lehermu, akan
ambil kepalamu untuk dipakai menyembahyangi ayahku!"
Lantas ia loncat naik atas kudanya dan Kasi kuda itu
berjalan membuntuti pemuda itu.
Thio Giok Kin kasi kudanya jalan dengan pelahan kendati,
begitu tiga orangnya mesti bertindak cepat mengikuti. Ketika
ia lihat si nona sudah datang dekat, ia menoleh seraya unjuk
pula senyuman tawar.
"Jie Siu Lian, sakit hati kita dalam sekali laksana lautan"
demikian katanya, suaranya menyalakan kesungguhannya.
"Pada tujuh tahun yang lalu, mertuaku lelaki lelah binasa
dibunuh oleh ayahmu, sedang istriku belum lama ini sudah
terluka ditangan kau. Hebat adalah kebinasaannya engku
Biauw Cin San ditangan kau ! Maka, Jie Siu Lian, sekarang
baik kita jangan saling damprat lagi ! Mari kita maju lebih jauh
beberapa tindak, akan cari tempat dimana kita bisa adu jiwa!"
Siu Lian juga sangat mendongkol.
"Baik!" ia menjawab dengan tidak kurang sengitnya "Hari
ini aku mesti bikin pembalasan untuk ayahku!"
Mereka menuju langsung kebarat. Belum ada setengah lie
mereka lelah sampai disebidang tegalan tegalan yang sepi,
karena diempal penjuru tiada kedapatan rumah orang dan
orang yang berlalu-lintaspun tak ada. Salyu seperti menabur
tegalan itu. Dengan tiba2 Thio Giok Kin sambuti tumbaknya, akan
Riwayat Lie Bouw Pek Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan mendadak putar tubuhnya dan tikam Siu Lian! Ia tidak
berkata atau membeti tanda lagi.
Kuda nona Jie, yang dikasi jalan sedikit cepat akan susul
siTumbak Emas itu, membikin si nona telah datang dekat pada
musuhnya, maka itu serangan secara curang itu bikin ia kaget
bukan main, justeru ia sendiri belum bersiap dan senjatanya
masih tercantel disela kuda. Syukur ia tabah, matanya celi,
gerakannya sebat, dalam kagetnya ia egos diri sambil
berbareng ulur kedua tangannya, dengan begitu selagi ujung
tumbak lewat disamping tubuhnya tangannya bisa samber
ujung tumbak dibagian yang tak tajam.
"Inilah caranya satu laki2 ?" ia segera menegor dengan
ejekannya "Kau hendak celakai aku dengan bokonganmu"
Ha!" Dengan sebenarnya Thio Giok Kin hendak curangi si nona,
oleh karena ia jerih terhadap sepasang goloknya yang liehay,
ia ingin dengan sekali tikam saja musuh itu rubuh atau binasa,
siapa tahu si nona benar2 liehay dan tumbaknya kena
dipegang! Tidak ada jalan lain, ia gentak tumbaknya dengan
mendadak, dengari pakai tenaganya. Ia tidak percaya si nona,
kendati pandai silat, tenaganya besar. Tetapi kembali
dugaannya keliru. Pertama kali menggentak ia gagal, kedua
kali ia membetot tidak ada hasilnya, sebab si nona terus
menyekal ujung tumbaknya itu dengan keras. Sesudah
beberapa kali mencoba dengan sia-sia, akhirnya ia jadi ibuk,
hingga ia memaki.
"Oh, perempuan celaka" ia menjerit dengan berulang2.
Adalah pada saat itu tiga konconya Giok Kin telah hunus
senjata mereka akan maju membantu.
Siu Lian mengerti babaya, dengan terus pegangi
tumbaknya Kim-khio ia tidak akan dapatkan faedah suatu apa,
maka justeru ia tampak gerakannya tiga orang itu, dengan
cepat ia lepaskan sebelah tangannya, yang mana ia
langsungkan pakai menyabut goloknya, setelah itu ia loncat
turun dari kudanya dan bacok kuda lawannya !
Thio Giok Kin dapat lihat gerakannya si nona, ia jepit
kudanya buat bikin kuda itu berjingkrak dan lompat maju akan
menyingkir dari bacokan itu, berbareng dengan mana lagi
sekali ia larik tumbaknya dengan sekuat tenaga. Ini kali ia
berhasil melepaskan tumbaknya, karena Siu Lian, yang tidak
ingin dibetot kuda sudah lepaskan cekalannya.
Setelah dapat pulang senjatanya, Thio Giok Kin loncat turun
dari kudanya, dengan tumbaknya itu ia maju menyerang pula
akan desak musuhnya.
"He, perempuan hina tukang bergelandangan, apa kau kira
kau punya Thio Toaya benar2 jerih terhadap kau?" ia
mendamprat. Siu Lian juga berlaku sebat. Selagi musuhnya mundur, ia
sudah loncat kesamping kudanya, akan cabut goloknya yang
kedua, kemudian ia maju sedikit sambil lihat tanah yang
banyak salyunya. Justeru itu Giok Kin maju menyerang, ia
juga lantas maju akan tangkis ujung tumbak sambil balas
menyerang! Ia bisa berlaku begini karena ia bersenjata didua
dua tangan. Ketiga konconya Thio Giok Kin batal maju, malah
sebaliknya mereka menyingkir kepinggir. Kedua kuda, rupanya
karena kaget, sudah lantas kabur....
Pertempuran sudah lantas terjadi secara seru. Dengan
Naga Naga Kecil 13 Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Lambang Naga Panji Naga Sakti 9
pesannya sanak itu ia sebaliknya sangat bersyukur pada anak
muda itu. Ia tidak pernah sangka yang ia akan dikasi uang
demikian banyak.
Oleh karena ia tahu ia mesti lekas pulang, Cia Mama tidak
mau berdiam lama dibio itu, setelah menghaturkan terima
kasih pula ia berjalan pergi, uangnya ia kekapi.
Bouw Pek awasi orang berlalu, lantas ia masuk kedalam
kamarnya. Ia merasa lega hanya sebentaran, lantas hatinya
jadi pepat pula. Ia keluar pula pergi ketempat mandi guna
bersihkan tubuh, buat bikin dirinya segar, ia niat tidur supaya
bisa mengaso, tetapi ia tidak bisa tidur, ia rebah hanya buat
gulak-gulik. Tempo ia memandang kejendela, ia lihat cuaca
telah menjadi terang.
"Apa periunya aku berdiam lebih lama pula di Pakkhia ?"
demikian mendadak ia pikir. "Kenapa aku tidak mau lantas
angkat kaki" Hari ini terang, jalanan tentu tidak sukar untuk
dilewati. Kalau aku berangkat sekarang, tidak sampai sepuluh
hari aku akan sudah sampai dikampungku. Baru setengah
tahun lebih aku berada di Pakkhia,"
"aku telah angkat namaku, aku telah dapatkan beberapa
sobat, sebenarnya berat buat segera berangkat pergi, tetapi
kalau diingat apa yang aku telah alami, aku tidak perlu
hiraukan. Lebih lekas aku berangkat, lebih baik!...."
Bouw Pek ambil putusan, ia keluar dari kamarnya, dengan
sewa kereta ia berangkat ke Pweelekhu. Sejak ia ikut Su Poan
cu pergi ke Kho-yang, setengah bulan sudah lewat, selama itu
ia tidak pernah ketemu raja muda itu. Maka sekarang,
menemui Tiat Jie-ya, ia jengah sendirinya. Tapi ia terangkan
kenapa ia berlalu dari Pakkhia, malah ia tuturkan tentang
kematiannya Beng Su Ciauw.
Tiat Pweelek manggut2 apabila ia telah dengar keterangan
itu. "Baru saja Siauw Hong datang kemari," berkata ia, "dan
baru saja ia berlalu. Ia juga telah cerita semua kepadaku."
Bouw Pek terperanjat mengetahui Siauw Hong datang pada
pangeran ini. "Entah apa yang ia bicarakan ?" ia duga2. Ia lantas lirik
pangeran itu, roman siapa ia lihat tidak terlalu gembira.
Deagan sungguh2 Tiat Pweelek lantas berkata:
"Bauw Pek, kau adalah anak muda yang berharga ! Kau
adalah bun bu coan cay, kelakuanmupun baik, maka untuk
orang sebagai kau, jangan kata dikalangan Sungai Telaga,
sekalipun kau masuk dalam ketentaraan, adalah mudah untuk
mendirikan jasa, jasa2 yang tidak sembarangan orang mampu
ciptakan. Hanya sayang kau punya satu cacat. Maafkan, aku
bicara terus terang! Mengenai orang perempuan, kau terlalu
lemah....!"
Mukanya Bouw Bek berobah sebab malu dan jengah, Tiat
Pweelek telah beber penyakit hatinya. Tapi berbareng, iapun
terharu, ia berduka.
"Tapi Pweelekya seorang luar, diandaikan ia menjadi aku,
belum tentu iapun bisa menghindarkan diri dari keruwetan" ia
coba hiburkan diri. Ia menghela napas.
Tiat Pweelek meneruskan kata2nya :
"Urusannya Biauw Cin San dan Thio Giok Kin kelihatannya
sudah beres. Tadinya aku duga mereka itu diundang oleh Oey
Kie Pok, kejadiannya akan seperti apa yang sudah terjadi
dengan Phang Bouw, yalah kau orang piebu, siapa menang,
siapa kalah, lantas habis perkara. Aku tidak sangka Biauw Cin
San dan Thio Giok ini ternyata melebihi penjahat2 besar.
Mula2 mereka telah lukakan Khu Kong Ciauw dengan piauw,
lantas mereka ganggu anak perempuan orang! Justeru mereka
lagi main gila, kau sendiri tidak karuan parannya! Sudah
begitu, nona Jie yang menumpang pada Siauw Hong justeru
bermusuh dengan Thio Giok Kin, hingga lantaran itu onar
hampir sampai dipuncaknya. Diluar kota nona Jie telah lukai
Biayw Cin San, yang mati hari itu juga. Atas itu Thio Giok Kin,
yang tidak mengadu pada pembesar negeri, sudah menantang
piebu pada sinona, hingga karenanya polisi mesti turut2an
menjadi repot. Oey Kie Pok jadi ibuk bukan main, Siauw Hong
jadi kuatir tidak kepalang. Melihat demikian aku lantas bicara
pada Teetok Tayjin, supaya ia usir Thio Giok Kin dan
rombongannya itu, maka sekarang segala apa telah menjadi
sirap. Aku dengar Kie Pok lagi rebah karena sakit, ia sekap diri
didalam rumah, tidak keluar2. Kau sekarang kembali, kau
jangan kuatir, tidak nanti ada orang lagi yang hendak satrukan
kau. Perihal kematiannya Siauw Jie di Khoyang, Siauw Hong
sudah terangkan kepadaku Dalam hal ini kau jangan bersusah
hati. Tempo Siauw Jie mau pergi kita bukannya tidak jegah ia,
tetapi ia paksa minggat, dengan curi kudaku. Apa kita bisa
bikin" Hanya aku merasa anak muda gagah seperti ia, binasa
secara kecewa demikian, sungguh harus dibuat sayang.....
Sekarang tinggal urusannya nona Jie, Siauw Jie telah
meninggal dunia, si nona jadi kehilangan andalannya,
kerumah mertuanya ia tolak bisa pergi, dirumahnya sendiri ia
tidak punya orang tua lagi, tak ada orang. Buat tinggal tetap
sama Siauw Hong pun tak mungkin! Maka itu Siauw Hong
punya pikiran, ia ingin kau dan si nona menikah."
Mendengar yang belakangan ini, Bouw Pek lantas geleng
kepala. Tapi Tiat Pweelek berkara terus :
"Aku lihat dalam hal ini tidak bisa digunakan desakan.
Tadipun aku telah kasi mengerti pada Siauw Hong. Sekarang
aku hendak tanya pada kau, aku ingin kau berikan putusanmu
yang pasti ! Sebenarnya, kau suka Siu Lian atau tidak"
Sambil kata begitu, Tiat Jieya awasi muka orang dengan
tajam. Wajahnya Bouw Pek berrobah merah dan puiyat bergantian
Ia tidak nyana yang Tiat Pweelek akan menanyakan ia secara
demikian. Memang ia suka Siu Lian, kalau tidak mustahil ia
jadi seperti orang gila ! Melulu karena ada kesulitan dari Beng
Su Ciauw, ia sekarang jadi berpikir lain menindas hatinya
sendiri. Siauw Hong ia bisa egoskan, bagaimana sekarang
dengan pengeran ini, yang tanya ia secara ringkas" Ia tahu
bagaimana ia mesti menjawab, tapi ia sangsi. Terhadap Tiat
Jieya ia tidak boleh bawa sikap seperti terhadap Tek Siauw
Hong. Akhir2nya, selelah bersangsi, ia berikan jawabannya
"Aku tidak suka nona Jie!"
Tentu saja mulut demikian tetapi hati berpikir lain. Ia
sebenarnya hendak menambahkan keterangan. Tapi Tiat
Pweelek, yang manggut", sudah dului ia
"Baik! Secara begini, semua sudah beres ! Taytianghu
memang mesti omong terus terang dan jelas Sekarang aku
hendak peringatkan : oleh karena kau sudah menyatakan
yang kau tidak suka nona Jie, segala hal yang sudah lewat kau
tidak boleh sebut2 lagi, aku ingin kau dapat pulang
semangatmu, kau mesti pikirkan cita2 kau. Sekarang apa yang
kau sudah pikir untuk kau lakukan ?"
Bouw Pek benar2 terdesak. Tapi karena ia memang sudah
ambil putusan, ia bisa berikan jawabannya dengan tidak
ayal2an lagi. Ia menjawab dengan suara pasti :
"Hari ini atau besok aku hendak berangkat meninggalkan
Pakkhia! Paling dulu aku hendak puiang kerumahku, disana
aku hendak berdiam beberapa bulan, kemudian aku akan pikir
pula : kembali ke Pakkhia atau pergi ke Kanglam !"
Tiat Pweelek manggut2 pula.
"Memang kau sudah berdiam lama juga di Pakkhia, sudah
seharusnya kau pulang dulu," ia bilang. "Apakah kau punya
cukup ongkos untuk itu "
"Cukup," jawab Bouw Pek,
"Baiklah," kata pula Tiat Pweelek. "Sampai kita ketemu pula
! Kalau dibelakang hari ada urusan apa2, kau nanti utus orang
akan undang aku!"
Bouw Pek mengatakan "baik" dan kata pula :
"Jieya, budimu yang besar, aku Lie Pouw Pek tidak akan
bisa lupakan !"
Setelah kata begitu anak muda ini diam. Ia terharu bukan
main. Pangeran Boan ini benar2 manusia ! Ia yang baru
dikenal telah diperhatikan demikian rupa!
Juga Tiat Pweelek terharu, karena ketika ia omong lebih
jauh suaranya tidak sewajarnya.
Sampai disitu dengan merasa berat Bouw Pek ambil
selamat tinggal, lalu dengan naik kereta ia menuju
kerumahnya Tek Siauw Hong.
Orang Boan ini ada dirumah, ketika ia dengar sobatnya
menyalakan mau pulang, ia lantas tarik napas berulang2,
sekian lama ia diam saja. Ia benar2 bersusah hati Ia baru mau
bicara, ketika Bouw Pek sebut buku uang, yang telah dipakai
beberapa puluh tail untuk menolong Cia Mama dan anaknya,
dan buku itu ia sekarang hendak kembalikan.
"Jangan, jangan !" demikian ia mencegah. "Kalau kau
kembalikan buku itu padaku, aku tentunya anggap kau tidak
mau kenal aku, Aku Tek Siauw Hong bukannya hartawan,
tetapi uang sejumlah itu aku tidak perlu pakai! Kau pegang
buku itu, umpama kata kau tidak dapat ketika akan gunai itu,
kau boleh antapi saja ! Itu soal kecil. Yang penting, yang kau
hendak tanyakan, adalah aku ingin ketahui, bagaimana
perasaanmu terhadap Jie Siu Lian : kau masih perhatikan ia
aiau tidak" Satu laki2 tidak melulu hendak angkat namanya,
tetapi ia juga mesti dirikan rumah tangga ! Kau sendiri yang
bilang padaku, melainkan Jie Sioe Lian yang pantas buat jadi
isterimu, sekarang Siu Lian belum menikah, Beng Su Iyiauw
sudah meninggal dunia, maka kalau sekarang lagi sekali
ucapkan mulutku buat rangkap jodoh kau orang berdua
rasanya aku tidak bisa tidak berhasil bukan?"
Lagi sekali Bouw Pek dapat tusukan yang tajam, seperti
tadi ia dapatkan dari Tiat Pweelek, sedang itu adalah tusukan
yang ia paling tidak inginkan !
Tidak tunggu orang teruskan ucapannya, berulang2 Bouw
Pek geleng kepalanya, air mukanya berobah menjadi suram.
"Tentang aku dan Jie Siu Lian jangan disebut pula !"
demikian ia memotong. "Tadi Pweelek hu aku telah berikan
jawabanku pada Tiat Jieya !"
Sauw Hong tercengang, tetapi ia segera bersenyum dingin.
"Jadi satu sobatpun tidak bisa desak kau!" kata orang Boan
ini yang putus asa. "Kalau begitu, sekarang kau mau
berangkat, baik baik, aku akan antar kau...."
"Tidak usah toaku antar aku!" Bouw Pek menyegah. "Aku
pikir hendak berangkat hari ini juga!"
Lagi sekali Siauw Hong terperanyat tapi ia lekas tanya.
"Kau hendak ambil pintu mana?"
"Ciang gie-moei" sahut Bouw Pek, yang akhirnya menghela
napas. "Aku Lie Bouw Pek kenal bukan sedikit orang, akan
tetapi sobat yang aku kagumi dan pada siapa aku sangat
berterima kasih melainkan kau seorang, Tek Toako Percaya
aku, dibelakang hari, asal aku masih bernyawa, aku mesti
balas budi besar ini!"
Pemuda kita begitu terharu, hingga matanya menjadi
merah. ' Juga Siauw Hong tidak kurang terharunya. Ia sebal karena
kebandelannya, tetapi ia sayang sobat ini yang jujur dan
gagah serta setia.
"Jangan mengucap demikian, hiantee" ia kata kemudian.
"Adalah biasa dari aku Ngo Tek, terhadap sobat aku selalu
beber hatiku, apapula terhadap kau. Hiantee kau pergi, ini
adalah kepergian untuk sementara waktu! Aku tahu
dibelakang hari masih banyak waktu untuk kita bertemu pula.
Apa yang aku harap adalah, supaya kau bisa buka sedikit
hatimu, dalam hal apa juga jangan kau gampang berduka dan
putus asa. Umpama kau dapat kesukaran hiatee, aku boleh
cari aku, aku pasti akan bantu kau"
Bouw Pek tidak menjawab, ia hanya manggut.
Siauw Hong tahu sobatnya ini belum bersantap tengahhari,
ia perintah lekas sajikan barang hidangan. Ia ajak
sobatnya itu dahar, undangan mana tidak ditampik. Hanyalah
meski mereka bersantap sambil pasang omong, mereka
kehilangan kegembiraan seperti yang sudah2, karena mereka
hendak berpisahan.....
Baru saja tenggak dua cangkir arak, Bouw Pek sudah
berbangkit buat pamitan. Ia telah ambil putusan buat
berangkat hari itu juga. Ia sebenarnya niat masuk
kepedalaman, untuk ketemui Tek Loothaythay dan Tek
Naynay, tetapi karena ia kuatir nanti ketemu Siu Lian, ia kata
saja pada Siauw Hong: "Aku tidak masuk iagi, tolong kau
sampaikan hormatku kepada pehbo dan enso....."
"Tidak usah banyak adat peradatan, aku nanti tolong
sampaikan" kata Siauw Hong.
Bouw Pek lantas berbangkit dan bertindak keluar.
Siauw Hong pun berbangkit, ia mengantar sampai dipintu
luar, disini mereka saling unjuk hormat dan berpisahan.
Dengan naik kereta Bouw Pek menuju ke Lam-shia, Kota
Selatan. Tempo lewat di Hoe-pong Lioe liekay, ia tadinya pikir
buat singgah sebentar, tetapi kapan ia ingat orang sudah
surati dan untuk menyingkir dari kesedihan, ia batalkan
niatnya itu. Hanya di Poan-cay Hotong Selatan ia berhenti
didepan rumah paman misannya, ia terus masuk kedalam
akan ketemui piauwceknya Kie Thian Sin, untuk kasi tahu
keberangkatannya.
Kie Thian Sin mengalami kesulitan dalam jawatannya,
disebelah itu iapun dengar segala macam kejadian yang
berhubungan dengan keponakannya itu, bahwa keponakan ini
telah bersobat dengan Tiat Pweelek dan orang2 ternama lain
lagi, maka ia anggap baik ia lepas tangan. Sekarang ia dengar
si keponakan mau pulang, ia manggut2.
"Kau mau pulang, baiklah," ia kata. "Bila nanti ada
lowongan yang cocok untuk kau, nanti aku kabarkan."
Kie Thian Sin lantas tulis dua pucuk surat buat dibawa
pulang kekampungnya dan ia bekalkan dua puluh tail pada
keponakannya ini.
Sang encim juga berikan pesanan.
Bouw Pek tidak banyak omong, ia terima semua pesanan
sambil janji akan perhatikan itu, setelah unjuk hormatnya ia
berlalu. "Kapan kau hendak berangkat, toaya ?" kata pengikutnya
Kie Thian Sin. "Bila perlu nanti aku pergi akan bantui kau..."
"Terima kasih buat kebaikanmu" sahut Bouw Pek yang
lantas pulang langsung kebio.
Karena semua sudah beres, anak muda ini merasa hatinya
lega. Karena ia tidak punya apa2, iapun bisa siapkan
Riwayat Lie Bouw Pek Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pauwhoknya dengan cepat, malah kudanya, si hweesio sudah
sediakan. Ia ketemukan semua paderi dari Hoat Beng Sie
untuk pamitan, ia menderma sepuluh tail perak, yang mana
diterima dengan girang oleh orang2 suci itu. Mereka pujikan ia
keselamatan dalam perjalanan.
Bouw Pek tuntun kudanya keluar dari bio, dari Sinsiang
Hotong sampai dijalan baru ia loncat naik atas binatang
tunggangan itu. la ayun cambuknya. Benar seperti ia bilang
pada Siauw Hong, ia menuju ke Ciang-gie mui. Baru saja ia
sampai dipintu kota dan hendak lewatkan itu, tiba2 dari
sebuah kereta yang berhenti dipinggir jalan kelihatan Siauw
Hong lompat keluar dan turun.
Orang Boan ini pakai pakaian biasa, kepalanya ditutup
dengan kopia kecil. Ia menghampirkan dengan air muka
tersungging senyuman.
"Hiantee!" ia menegor "Benar, kau bilang mau berangkat,
lantas kau berangkat! Aku telah tunggu kau disini lama juga,
aku hendak antar kau !"
Bouw Pek tercengang sedetik, tapi ia lantas bersenyum. Ia
mau lompat turun dari kudanya, tapi sobatnya cegah ia.
"Jangan turun !" Siauw Hong bilang "Aku nanti naik
keretaku, aku tidak mau antar jauh pada kau, hanya sampai di
Kwan siang, lantas aku mau pulang kembali !"
Ia naik atas keretanya dan Hok Cu segera kasi jalan kereta
itu. Mereka bicara sambil berendeng, satu diatas kuda, satu
diatas kereta. Siauw Hong nampaknya gembira.
"Hiantee, seberangkat kau aku kesepian!..." ia kata.
Tapi ucapan ini bikin Bouw pek tertusuk, hingga ia jadi
masgul. Ia bisa mengerti, yang sobatnya akan kesepian,
seperti ia sendiri sudah merasakan,
Sejak tadi hawa udara bagus dan langit terang, apa mau
mendadak dalam sekejap saja awan hitam bergumpal2 dibawa
angin utara yang menderu2, hingga hawa jadi sangat dingin.
Salyu memangnya belum lumer semua, dari daun2 diatas
cabang pohon salju turun jatuh menyampok muka orang.
Waktu itu sudah kira2 jam tiga.
"Hiantee kau benar beradat keras dan aneh" akhirnya
Siauw Hong kata "Baru kemarin sore kau kembali atau
sekarang kau pergi pula Sekarang sudah jam tiga, belum
melalui tiga atau empat-puluh lie, langit tentunya sudah gelap!
Lain dari itu aku lihat, rasanya akan turun hujan salyu.-
Ucapan yang terakhir ini membikin Bouw Pek tiba2 ingat
halnya duluan, diwaktu ia antarkan Siu Lian dan ibu ke
Soanhoa, bahwa dalam berjalanan dari Soanhoa ke selatan,
dibukit Kieyong Kwan San ia telah hajar orang2nya Gui Hong
Siang, bahwa kemudian telah hujan besar hingga ia jadi kuyup
lepek. Malam itu ia menginap dihotel di Seho shia, esoknya
Gui Hong Siang satroni ia, ia ditantang berkelahi, bagaimana
ia rubuhkan musuh.Tapi justeru di situ ia jadi berkenalan
dengan Tek Siauw Hong. Sekarang setelah setengah tahun
sobat itupun amat ia yang hendak pulang kekampungnya.
Sekarang ia merasakan benar kebaikannya Siauw Hong
sebagai sobat. Karena persobatan ini, Siauw Hong jadi buang
uang, buang tempo, dapat banyak cape hati, tapi sobat ini
tidak menjadi kecil hati
"Inilah sobat yang sukar didapatkan..." pikir ia, yang terus
menghela napas Kemudian ia kata pada sobatnya itu: "Toako,
silahkan kau kembali! Dibelakang hari kita akan bertemu pula
Barangkali lain tahun, dipermulaan musim, aku akan datang
pula ke Pakkhia ini! Aku tentu akan tengok toako !"
"Baik, baik" Siauw Hong jawab "Baiklah, sampai lain tahun
dipermulaan musim! Waktu itulah kau datang sendiri atau aku
yang undang kau, kita nanti berkumpul pula. Cuma
perjalanan manusia belum bisa ditentukan."
Orang Boan ini tertawa, tertawa dengan meringis. Ia
mendadak inuat hal dirinya, yang telah dapatkan banyak
musuh, terutama Oey Kie Pok. Bagaimana kalau Bouw Pek
sudah tidak berdampingan padanya" Kendati demikian ia tidak
mau utarakan kekuatirannya itu pada Bouw Pek.
Bouw Pek bisa duga kesukaran hati itu, ia lantas berkata:
"Seperti aku, toako, aku minta kau suka kurangkan
pergaulanmu dengan orang dari kalangan Sungai Telaga. Aku
harap kau jangan ladeni Oey Kie Pok. Umpama kala ada orang
yang menyebabkan kegusaranmu, aku minta kau suka
bersabar, tahan sabar untuk sementara waktu Kau tunggu
sampat aku telah kembali ke Pakkhia, waktu itu, aku nanti
bikin kau mendapat kepuasan"
Ia lantas tahan kudnnya, berpaling pada orang Boan itu.
Matanya merah sebab terhiarunya hati
"Sudah cukup, toako!" ia kata "Silahkan kau pulang, tidak
usah kau mengantar lebih jauh..."
Ia lantas angkat tangannya dan kiongkhiu.
Keretanya Siauw Hong juga lantas berhenti. Siauw Hong
sendiri dari atas keretanya segera balas memberi hormat itu.
Sedikit juga Bouw Pek tidak mengunjukkan rasa berat
ketika ia mau mulai berangkat.
"Toako, silahkan kau kembali !"
Siauw Hong tidak menjaWab, tetapi dengan mata tidak
berkesip ia awasi orang larikan kudanya, kuda hitam yang
tertampak teras diantara salyu putih melesak. Ia terus
mengawasi, kendati orang sudah mulai pergi jauh. Ia tidak
merasa yang ia telah kedinginan, sampai tangan dan kakinya
hampir beku. Hok Cu bergidik karena dinginnya hawa salyu masih belum
kering, langit berawan, angin utara besar.
"Looya, apa kita pulang sekarang ?" akhirnya ia menegor.
Siauw Hong menoleh pada kusirnya itu, ia melihat
kesekitarnya, ia memandang pula kedepan dimana
bayangannya Bouw Pekpun sudah tidak kelihatan, ia masih
bingung saja. Tapi akhirnya ia manggut.
"Ya, mari kita pulang" kata ia.
Hok Cu segera putar keretanya, lalu sebentar kemudian
mereka telah masuk di pintu Ciang-gie-mui.
Pikirannya Siauw Hong terganggu sekali didalam keretanya
ia tarik napas panjang beberapa kali. Tatkala mereka sampai
di Houw Hong Kio, dari sebelah depan kelihatan seorang
menghampirkan, buat terus mengasi tanda agar kereta itu
dikasi berhenti.
"Tek Ngo Looya !" demikian berkata orang itu. "Aku punya
urusan penting"
Siauw Hong duduk diam di keretanya, ia pandang orang itu
pakaian siapa rombeng dan kotor, muka kuning dan tubuh
kurus. Ia seperti kenal orang itu, akan tetapi ia lupa, hingga ia
berpikir. Belum terlalu lama, ia segera ingat orang ini, yalah
orang yang duluan datang padanya dengan warta dari Bouw
Pek. Dia itu adalah yang dipanggil Siauw Gia Kang, si Kala
Kecil. "Ada apa?" ia lantas tanya. "Coba kau bicara !"
Siauw Gia Kang datang dekat sekali ke kereta, agaknya ia
ketakutan. "Ngo Looya, aku justru hendak pergi kegedungmu untuk
menyampaikan kabar," kata ia dengan pelahan. "Aku dengar
kabar, sekarang ini Kim khio Thio Giok Kin tidak pulang ke
Holam, ia dan kawan2nya hanya berkumpul di Poteng.
Kemarin dulu. Siu Bie too Oey Kie Pok malah sudah kirim Gu
tauw Hek Sam kesana. Rupanya Siu-Bie too masih berpikir
akan ganggu kau Warta ini bikin Siauw Hong kaget
"Benar seperti dugaanku, Oey Kie Pok tidak mau gampang2
berhenti memusuhi aku" pikir ia. "Siauw Gia Kang ini seorang
miskin, akan tetapi ia ketahui banyak hal. Aku memang
kekurangan pembantu sebagai ia, baiklah aku pakai
tenaganya."
Meskipun hatinya goncang, pada wajahnya orang Boan ini
unjuk ketenangan, malah ia sengaja unjuk senyum ewah.
"Biarlah mereka berdaya upaya akan ganggu aku, aku nanti
siap akan tunggu mereka!" ia kata dengan suara nyaring. Tapi
ia lalu sengaja tanya : "Apakah kau ketahui Lie Bouw Pek
telah pergi kemana?"
"Bukankah Lie Toaya kemarin sore baru masuk kedalam
kota?" Siauw Gia Kang balik menanya. "Apakah ia tidak pergi
ke rumah looya?"
Siauw Hong bersenyum.
"Aku hanya sengaja tanya kau" ia bilang, "aku hendak
ketahui kau tahu atau tidak yang ia telah pulang. Sekarang
aku terangkan padamu, Lie Toaya sudah pergi pula, aku baru
saja antar ia keluar kota. Lie Bouw Pek sudah pergi, buat
sementara waktu ia akan kembali. Kalau kau nanti ketemu
orangnya Oey Kie Pok, kau boleh kasi tahu mereka, bahwa
aku Tek Siauw Hong bukan karena telah pakai si orang she Lie
sebagai pahlawan, maka aku berani tinggal di Pakkhia sebagai
hoohan!" Siauw Gia Kang tertawa apabila ia dengar ucapan itu.
"Siapakah yang tidak ketahui nama besar Ngo Looya ?" ia
kata. "Kau peroleh namamu bukan baru satu atau setengah
tahun!...."
Siauw Hong tidak perdulikan umpakan itu. Ia kata "Kalau
nanti kau dapatkan kabar apa-apa, kau boleh lekas kasi tahu
padaku! Jikalau kau perlu uang, kaupun boleh bicara padaku
!" Setelah itu ia suruh Hok Cu jalankan keretanya.
Hatinya si Kala Kecil girang sekali, karena sekarang ia telah
ikat tali persobatan dengan Tek Siauw Hong. Ia lantas
ngeloyor pergi buat selanjutnya dengar2 keterangan mengenai
Oey Kie Pok dan si orang Boan itu, untuk mengasi kabar
supaya ia bisa dapat upah.
SIAUW HONG pulang kerumahnya dengan masih berpikir
keras. Kepergiannya Bouw Pek tidak bisa dijadikan rahasia" ia
pikir, "maka itu aku perlu bicara seperti tadi pada Siauw Gia
Kang, agar Oey Kie Pok mendapat tahu. Biarlah Kie Pok insaf,
bahwa aku tidak selamanya mau andalkan Bouw Pek. Kalau
Kie Pok satu laki2 dan punya kepandaian, ia mestinya cari
Bouw Pek. Tapi aKu tahu benar Kie Pok adalah orang rendah,
ia tentu akan gunai ketika ini akan cari aku
Dan ini adalah dugaan yang bikin orang Boan ini berduka.
Baru saja Siu Jie tukarkan sepatunya, yang basah terkena
salju dan Siauw Hong hendak salin pakaian, ia lihat Siu Lian
bertindak masuk, maka lekas2 ia berbangkit.
"Duduk, nona duduk !" ia mengundang dengan manis
sambil tertawa.
Pada wajahnya Siauw Hong unjuk kegirangan, hatinya
adalah Thian yang ketahui. Ia kuatir bukan main yang si nona
nanti tanyakan ia halnya Beng Su Ciauw dan Lie Bouw Pek
hal2 yang membikin ia sakit kepala..."
Benar saja nona Jie telah tanyakan, apa yang Bouw Pek
bilang dan bagaimana kabarnya perihal Beng Su Ciauw
Baiknya ia bisa berpikir dengan cepat.
"Tentang Beng Jie siauwya belum ada kabar apa2" ia
menyahut. "Lie Bouw Pek baru pulang satu hari, tetapi
sekarang ia telah pergi pula, aku baru saja kembali habis
antarkan ia keluar dari Ciang-gie-mui....."
Parasnya Siu Lian berubah dengan segera.
"Kenapa Bouw Pek baru pulang dan pergi lagi ?" ia tanya.
"Adatnya Bouw Pek memang aneh," Siauw Hong jawab.
"Kalau ia mau pergi, siapa juga tidak sanggup cegah ia. Sekali
ini ia berangkat pulang ke Lamkiong, boleh jadi lain tahun
dibulan dua atau tiga baru ia akan kembali ke Pakkhia"
Siu Lian gigit bibirnya. Tapi ia sudah lantas berpikir, maka
ia tidak kata apa2. Ia hanya lalu menghela napas.
"Kau baik jangan ibuk, nona" Siauw Hong lalu menghibur.
"Aku minta kau suka bersabar dan tinggal tetap sama kami
disini, nanti kalau Lie Bouw Pek sudah sampai di Kielok dan
telah berhasil mengundang suheng kau, kita baru pikir pula
bagaimana baiknya."
Siu Lian berduka.
"Mana aku punya suheng ?" kata ia dalam hatinya. "Ia
tentu maksudkan sutit dari ayahku, ialah Kim-piauw Yok Thian
Kiat. Tapi ia berada jauh di Holam. Atau barangkali
dimaksudkan bekas pegawai ayahku, yalah Sun Ceng Lee. Cui
Sam dan Lauw Keng. Mana mereka ini mampu bantu aku "
Meski ia pikir demikian, tapi Siu Lian tidak utarakan itu.
"Nah silahkan Ngo-ko beristirahat" kata ia, yang terus
undurkan diri. Siauw Hong awasi orang pergi sambil bersenyum dengan
masgul... Siu Lian masuk kedalam kamarnya, ia tungkulkan diri
dengan duduk diam, karena dirumahnya Siauw Hong ia tidak
punya pekerjaan apa juga. Hari itu udarapun mendung dan
angin meniup keras.
Malamnya nona kita duduk sendirian menghadapi api.
Dengan japit kuningan ia betulkan bara perapian. Karena
berada sendirian, ia teringat pula segala apa yang telah lewat.
Ia tidak mengerti kenapa Bouw Pek seperti selalu mau
menyingkir dari ia.
"Mestinya Bouw Pek ketahui baik halnya Su Ciauw,
melainkan ia tidak mau ketemui aku, ia tidak hendak menutur
jelas" ia menduga "Aku tidak bisa diam secara begini saja.
Baik besok aku susul ia, akan minta keterangannya. Aku tidak
boleh berlaku likat2 lagi, malah bila perlu, biarlah kita
berbentrok asal ia mau bicara ! Biar orang cela aku tak
berbudi, aku tidak boleh lepaskan ia sebelumnya ia cerita
segala apa!...."
Setelah berpikir begini, baru Siu Lian bisa naik
kepembaringan Ia tidur dengan padamkan api.
Esoknya pagi langit tetap mendung. Sedari pagi2 salju
terus turun. Seperti biasanya, pagi2 Siauw Hong sudah dandan dan
dengan ajak Siu Jie ia pergi ketempat kerjanya. Tapi inilah apa
yang ditunggu2 oleh Siu Lian ! Setelah lihat tuan rumah pergi,
ia segera dandan dan siapkan pauwhok, kemudian dari
jendela ia intip Tek Naynay pergi kekamainya loo thaythay,
lalu ia bertindak keluar dengan cepat. Ia tenteng pedang dan
pauwhok dikedua tangannya. Ia menuju langsung keistal
kuda, dimana ia siapkan binatang tunggangannya.
Seorang bujang lihat nona ini, ia tidak berani mencegah
maka ia lari kedalam untuk mengasi laporan kepada Tek
Naynay. nyonya rumah jadi bingung, terutama karena ia tidak
bisa pergi keistal akan betot kembali nona itu. Maka ia segera
kirim dua bujang perempuan akan coba cegah si nona.
Riwayat Lie Bouw Pek Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Siu Lian sudah tuntun kudanya sampai dipintu luar, ia baru
hendak loncat naik atas kudanya, ketika dua bujang
perempuan itu muncul sambil berlari.
"Nona, kembali ! Nona, kembali!" mereka ini berteriak.
"Toa-naynay lagi ibuk dan ketakutan, katanya kalau sebentar
looya pulang, toanaynay bisa mendapat susah !"
Bujang yang sampai duluan sudah lantas tarik tangan
bajunya nona Jie.
"Jangan, nona, jangan pergi !" kata ia sambil tertawa
alaman. "Nona jangan pergi!...."
Tapi Siu Lian buka matanya lebar2.
"Jangan pegang aku " ia membentak seraya tarik
tangannya. Bujang itu kaget, sampai ia mundur dan kerempat jatuh !
Melihat demikian, Siu Lian toh tertawa.
Kemudian nona ini kata dengan tetap :
"Hari ini siapa juga tidak bisa cegah aku Pergi kau
beritahukan toa-naynay, bahwa aku hendak pergi, lewat lagi
beberapa bulan baru aku akan kembali ! Pada looya juga kau
mesti beritahukan ini, sekalian sampaikan ucapan terima
kasihku." Setelah kata begitu ia loncat naik atas kudanya, kabur
diantaranya salju yang bertebaran ditanah
Sekeluarnya dari Sam tiauw Hotong, tujuan adalah jurusan
barat. Salyu masih turun, tetapi halus sekali, dijalan tidak ada
banyak kereta, maka itu Siu Lian bisa pelahankan lari
kudanya. Ia perlu jalan perlahan, karena tidak kenal jalan2
dikota raja dan perlu sebentar2 menanya orang. Secara begini
baru ia bisa keluar dari Ciang-gie-mui.
Diluar kota orang yang berlaLu-lintas jarang sekali, sudah
begitu salju mulai turun secara besar. Maka jalan sudah lantas
menjadi licin, hingga menyukarkan bagi kuda si nona, meski
kuda itu sebenarnya gagah. Terpaksa binatang itu dikasi jalan
pelahan2. Siu Lian juga merasakan hawa udara yang dingin, karena ia
pakai celana dan baju warna hijau yang biasa. Ia menjadi
ibuk, sedang sebenarnya ia hendak bedal kudanya. Maka
akhirnya ia jadi masgul sekali.
"Lihat, Beng Su Ciauw !" si nona ngelamun seorang diri.
"Lihat, bagaimana sukar aku mencari kau ! Kalau nanti kita
bertemu, aku ingin ketahui apa nanti kau bilang terhadap
aku?" "Dan kau, Lie Bouw Pek, apa sebenarnya kau pikir?" ia
ngelamun lebih jauh. "Diwaktu ayah dan ibu masih hidup, kau
telah bantu kami dengan sungguh2, sekarang setelah aku
yatim-piatu dan keadaanku begini menyedihkan, kenapa kau
tidak sudi menemui aku sekalipun" Aku tahu, kau bukannya
seorang yang tak punya liangsim ! Apa barangkali kau anggap
aku ini nona dari kalangan kangouw saja?"
Nona ini jalankan kudanya sambil tunduk, ia merasakan
kesepian dan iseng sekali.
Berapa jauh ia sudah jalan, inilah Siu Lian tidak ketahui,
ketika dibelakangnya ia dengar suara riuh dari kelenengan
kuda, disusul dengan suara teriakan berulang : "Minggir!
Minggir! Tolong minggir" Maka ia segera menoleh.
Seekor kuda sedang mendatangi dengan lekas,
penunggangnya seorang bertubuh kate dan gemuk, kepalanya
memakai peci yang. rapat dan tubuhnya berkerobong mantel
kulit kambing yang bulunya tebal. Dar1 mulutnya orang itu,
juga dari mulut kudanya, menghembus keluar hawa putih.
"Siapa dia " Apa dia bikin ?" pikir Siu Lian.
Kapan penunggang kuda itu lewat disamping nona kita, ia
mengawasi dengan mata tajam, tetapi karena kudanya jalan
cepat, sekejap saja ia sudah melewati, hingga kemudian
tertampak punggungnya saja.
Mendadak Siu Lian ingat suatu apa!
"Apakah ia bukannya anggota rombongannya Biauw Cin
San dan Thio Giok Kin?" ia berpikir. "Apa mereka telah dapat
tahu aku sudah meninggalkan Pakkhia dan sekarang hendak
susul aku, supaya mereka bisa serang dan bunuh aku
ditengah jalan" Tapi takut apa?"
Dan Siu Lian keprak kudanya dikasi lari, untuk susul
penunggang kuda itu. Tetapi ia sudah ketinggalan jauh dan
penunggang kuda itu lenyap dari pemandangan...
"Aku mesti berhati2 sekarang," pikir Siu Lian kemudian.
"Dijalanan biasanya ada orang jahat dan aku punya musuh2,
yang aku tidak kenal..."
Maka itu ia lalu siapkan siangtoonya.
Hari itu Siu Lian bisa lewati sungai Enteng, ia jalan terus,
maka pada malam jam dua barulah ia sampai di Tiang sintiam.
Ia singgah dihotel dan mengambil kamar.
Bersendirian saja diwaktu malam, dengan menunggang
kuda dan bekal senjata tajam, keadaannya sebenarnya
mencurigakan, tetapi waktu berhadapan dengan pengurus
penginapan ia unjuk sikap yang tenang.
"Tolong kasikan aku sebuah kamar yang bersih dan tolong
piara kudaku," demikian ia kata. "Aku piauwtauw dari Coan
Hin Piauw-tiam dari Yankeng, aku hendak pergi ke Taybenghu
untuk urusan penting. Diwaktu kembali aku akan ambil pula
kamar disini"
Keterangan ini memberikan hasil bagus, karena tuan rumah
lantas siapkan apa yang diminta dan kuda segera dirawat.
Maka dengan tenteng pauwhok dan pedangnya Siu Lian lantas
masuk kedalam kamarnya Tuan rumah telah gantung lampu
ditembok. "Kami sedia mie dan nasi, apa nona niat makan?"
"Bawakan saja satu mangkok mie," sahut si nona.
Tuan rumah lantas undurkan diri. Di-dalam ia kata pada
kulinya : "Dikamar tamu ada piauwsu, ia bawa sepasang golok,
bugeenya mestinya lihay..."
Siu Lian duduk menantikan, didalam kamar ada perapian, ia
merasa tubuhnya hangat, maka belum selang lama lelahnya
hilang. Cuma diluar kamar angin masih meniup2, salju belum
berhenti berterbangan turun.
"Sekarang aku telah terpisah tujuh atau delapan puluh lie
dari Pakkhia, Siauw Hong mestinya ibuk bukan main." Siu Lian
pikir. "Ia ingin nikahkan aku pada Bouw Pek, mana ia ketahui
perasaan hatiku...."
Ia tidak teruskan lamunannya, ia hanya menghela napas.
"Penunggang kuda kate dan gemuk tadi mestinya punya
urusan penting" pikir Siu Lian lebih jauh "kalau tidak, diwaktu
turun salyu dan angin dingin dan ia sendirian saja, kenapa ia
lakukan perjalanan demikian cepat" Ia mencurigakan..."
Tempo tuan rumah datang dengan mie, nona Jie berhenti
berpikir dan lantas dahar.
"Apa salyu sudah berhenti?" ia tanya.
"Belum, malah turunnya makin besar" sahut tuan tumah.
"Barangkali hujan salyu tidak akan berhenti dalam satu hari
ini. Nona jangan kuatir, disini kau bisa berdiam lagi satu atau
dua hari....."
Kemudian ia tambahkan : "Diwaktu turun salyu, jalanan
sukar untuk dilintasi. Sekarang sudah musim dingin ditengah
jalan suka muncul begal"
"Tapi aku tidak takut!" kata Siu Lian.
Tuan rumah lihat golok tamunya dan pandang romannya:
muda dan manis.
"Aneh" pikir ia. "Bagaimana seorang nona bisa menjadi
piauwsu?" Tapi ia tidak berani menanyakan.
"Kalau mie belum cukup, nona bisa minta lagi," kata ia
yang terus undurkan diri.
Siu Lian manggut, ia makan terus.
Belum lama diluar terdengar suara nyaring :
"Aku numpang tanya, tuan rumah, apa disini ada seorang
Lie Toaya ?" demikian suara itu.
Siu Lian terperanjat Lie Toaya ! Apa itu bukan Bouw Pek "
Ia lantas pasang kuping.
Seorang jongos terdengar menyahut.
"Lie Toaya yang mana, tuan " Ia berdagang apa ?"
"Ia bukan pedagang" kata orang diluar. "Ia anak muda,
yang baru kemarin berangkat dari Pakkhia, lantaran turun
salyu aku kira ia singgah disini. Ia bernama Lie Bouw Pek"
Tidak tempo lagi, Siu Lian taroh mangkok dan sumpitnya
dan bertindak keluar. Ia segera lihat sikate dan gemuk, yang
sedang bicara pada tuan rumah.
"Siapa dia" Kenapa ia kenal Bouw Pek" Apa benar Lie
Toako menginap disini?" begitulah pertanyaan yang muncul
diotaknya si nona.
Tuan rumah berlaku baik, ia masuk kedalam, tanyakan
sekalian tamunya apa diantara mereka ada Lie Bouw Pek,
kemudian ia keluar pula dan kata pada orang itu :
"Disini tidak ada tuan Lie Bouw Pek. Ada juga dua orang
she Lie, tetapi mereka saudara2 kulit. Coba tuan tanya Thio
Kee Tiam disebelah"
Si kate-gemuk itu berdiri diam, agaknya seperti kurang
percaya. "Aku sudah tanya hotel2 lain dan semua menjawab tidak
ada," kata ia seorang diri. "Apa bisa jadi Lie Toaya lanjutkan
perjalanannya diyalani hujan salyu" Baik, aku mesti susul ia
malam ini juga!.."
Ia putar tubuhnya dan pergi samperkan kudanya.
Siu Lian maju kedepan.
"Tuan, tunggu dulu!" ia lalu menegor. Ia merasa sangat
heran. Tapi si kate-gemuk seperti tidak dengar panggilan itu, ia
Ioncat naik atas kudanya, larikan tunggangannya kejurusan
selatan. Siu Lian libat orang menghilang ditempai gelap, ia
menghela napas. Ia balik kedalam kamarnya.
"Rupanya Bouw Pek pergi belum seberapa jauh," ia pikir
"Kalau aku berangkat dengan lawan hujan salju, dalam satu
hari aku barangkali bisa susul dia..."
Si nona lantas ambil putusan. Ia lekas makan habis mie itu,
setelah itu ia teriaki tuan rumah akan lakukan pembayaran.
Kemudian ia tenteng pauwhok dan siangtoonya, yang ia bawa
keistal, dimana ia selakan kudanya. Ia tidak perdulikan tuan
rumah awasi ia dengan keheranan,
"Apakah kau tidak mau nginap nona" Besok, diwaktu langit
terang, kau boleh lanjutkan perjalananmu! Sekarang sudah
hampir jam tiga, jalanan licin, banyak saljunya, kudapun sukar
jalan..." Tapi si nona tidak memperdulikan.
"kau tahu, aku punya urusan penting sekali," kaia ia yang
terus loncat naik atas kudanya dan kasi binatang itu jalan
melaju kearah selatan. Ia mesti jalan dengan pelahan, karena
sekarang iapun perlu perhatikan tapak2 kuda dari kudanya si
kate gemuk. Jilid 21 "BELUM pernah aku dengar Lie Bouw Pek punya sobat
semacam dia ini" kemudian Siu Lian bersangsi. "Apa tidak bisa
jadi orang ini konconya penjahat, yang sedang tipu aku,
supaya aku kena dijebak" Apa bisa jadi orang kenalkan aku
dan sengaja atur tipu daya ini, supaya ditengah jalan mereka
bisa cegat aku" Tapi apa aku perduli" Aku tidak takut! Dulu
ayah jerih terhadap Thio Giok Kin, toh akhirnya aku bisa usir
ia! Orang sohorkan Biauw Cin San punya piauw liehay terapi ia
binasa ditanganku! Apa bisa jadi ada orang2 jahat yang
melebihi jahat dan liehaynya Thio Giok Kin dan Biauw Cin
San?" Siu Lian maju dengan hati tidak keder barang sedikit.
Sekalipun diantara salyu, kaki kuda masih menerbitkan suara.
Dan diatas sela siangtoo dari si nona kasi dengar suara karena
saling beradu. Disekitarnya melulu salyu putih melesak yang tertampak.
Malah si nona sendiri telah mandi salyu.
Beberapa desa telah dilalui, Siu Lian tidak lihat rumah
orang darimana molos cahaya terang dari lampu atau pelita,
malah suara anjingpun tidak kedengaran.
Sekarang tidak lagi tertampak kaki kudanya si kate gemuk,
karena salyu yang baru turun telah menutupi itu. Maka Siu
Lian mesti jalan sejalannya saja....
Sekarang nona ini merasakan benar bagaimana sengsara ia
ini. Lagi beberapa lie dilewatkan, lantas sang fajar datang.
Dijurusan timur Batara Surya mulai muncul dengan samar2.
Empat puluh lie telah dilalui, dan sementara itu sang perut
kembali minta makan. Rupanya hawa dingin membikin mesin
didalam perut bekerja lebih gencar!
Yang hebat bagi Siu Lian, ia rasai kakinya seperti beku.
Maka beruntung sekali sekarang salju sudah berhenti turun.
Lagi beberapa lie lantas mata hari kelihatan tedas disebelah
timur. Disebelah depan sudah tertampak orang2 yang berjalan,
antaranya ada yang memikul barang.
Siu Lian turun dari kudanya, ia keprikkan pakaiannya. Kuda
itu yang menghembuskan hawa putih dari mulutnya, telah
mandi keringat.
Selagi kudanya mengaso, Siu Lan buka saputangannya,
yang dipakai membungkus kepalanya, untuk menyeka
mukanya, kemudian ia pakai pula akan bungkus rambutnya.
Tidak lama ia naik pula atas kudanya, yang ia kasi jalan,
sampai disuatu tempat yang ramai sekali.
Ditepi jalan ada penjual teh, Siu Lian turun dari kudanya
dan beli teh untuk bikin hangat perutnya. Baru saja ia, minum
secawan, ia telah rasai tubuhnya hangat dan segar. Ketika
hendak minum pula, tiba-tiba ia lihat seorang anak muda
sedang keluar dari rumah penginapan disebelah timur,
tangannya menuntun seekor kuda baru hitam mulus, sedang
dipanggung binatang tunggangan itu ada buntalan kecil dan
sebatang pedang. Pemuda itu memakai celana pendek dari
sutera hijau dan kepalanya ditutup dengan peci.
Siu Lian telah lihat sebelah mukanya, tetapi ia sudah
terperanjat! "Lie Toako ! Lie Toako !" segera ia memanggil. Hampir ia
lari memburu, kalau si tukang teh tidak tegor ia untuk
pembayaran hingga ia mesti rogoh sakunya dulu untuk
lakukan pembayaran. Tetapi sementara itu ia terus
memandang kejurusan si anak muda.
Riwayat Lie Bouw Pek Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pemuda itu seperti dengar orang memanggil ia, ia menoleh
kesekelilingnya, temponya tidak dengar lagi panggilan. ia
loncat naik atas kudanya dan berangkat menuju keselatan.
Bukan main ibuknya Siu Lian, ia lemparkan uangnya, ia
loncat naik atas kudanya buat menyusul ia telah keluar dari
pasar, tetapi penunggang kuda didepan, yang kudanya
jempolan, telah terpisah dari ia jauhnya kira2 setengah lie,
hingga ia jadi tambah ibuk. Ia keprak kudanya, berulang-ulang
ia berteriak "Lie Toako ! Lie Toako ! Lie Bouw Pek !"
Tetapi Lie Bouw Pek, yalah pemuda itu, telah congklang
terus dengan kudanya, ia rupanya tidak dengar suara itu dan
ia berjalan dengan tidak pernah menoleh kebelakang.
Ibuk, berduka dan berkuatir, itulah perasaannya Siu Lian
ketika itu. Malah ia sedikit mendongkol. Ia sangka Bouw Pek
berpura2 tidak meudengar.
Memang sebenarnya Bouw Pek tidak dapat lihat nona kita
Ia juga sedang kasi kudanya lari dengan pikirannya bekerja,
hingga ia tidak pcidulikan segala apa disekitarnya.
Disebelah depan tertampak tiga penunggang kuda lagi
mendatangi, pakaian mereka mirip dengan hamba2 negeri,
tiba2 silah satu dari ketiga orang itu menunjuk sambil berkata
: "Lihat, lihat, dia jatuh!"
Bouw Pek menoleh, justeru ia nampak jatuhnya orang dari
atas kuda. Diarak mereka satu sama lain kira selepasan
panah. "Ia orang perempuan!" kata si hamba tadi.
Orang perempuan itu telah merayap bangun. Tapi ketika
Bouw Pek dapat tampak siapa adanya orang perempuan itu. ia
terperanjat karena ia segera kenalkan Siu Lian. Ia menjadi
heran sekali dan berkuatir, tidak tempo lagi ia putar kudanya
dan memburu. Siu Lian telah rubuh karena kudanya terpeleset, hingga ia
jadi limbung dan jatuh. la tidak mendapat luka dan bisa
bangun pula dengan cepat. Justeru ia bangun, ia lihat Bouw
Pek datang, segera ia hunus sepasang goloknya, ia unjuk
roman beringas.
"Orang she Lie, tidak perlu kau perdulikan aku lagi!" ia
membentak. "Adalah yang dulu ayahku pesan ketika ia mau
menutup mata supaya kita menjadi engko dan adik, tetapi
sekarang....."
Nona Jie menjadi seperti kalap, sebab ia mendongkol bukan
main, karena ia sangka tadi Bouw Pek sudah tidak perdulikan
dia....... "Sudah di Pakkhia kau tidak perdulikan aku, juga disini..." ia
kata pula, seras tarik kudanya. Ia seperti hendak menangis.
"Aku telah susul kau, berulang2 aku teriaki kau, tetapi kau
berpura2 tuli.... Beginilah sifatmu ! Baik, baiklah kita tidak
usah kenal lagi satu pada lain!..."
Siu Lian masukkan goloknya kedalam serangka, ia loncat
naik atas kudanya dan balik kekota raja.
Bouw Pek menjadi bingung, karena ia tidak ketahui yang
sinona telah keliru menyangka. Tapi karena orang mau pergi,
ia lekas menghampirkan akan lintangkan diri dihadapan
kudanya sinona.
"Sabar, nona," ia berkata. "Mestinya kau telah salah
mengerti. Mari dengar keteranganku......"
Siu Lian rabah gagang senjatanya.
"Apa, kau berani rintangi aku?" ia tanya sambil bersenyum
ewah "Apa kau ingin aku turun tangan" Aku tidak takut!...."
Sampai disitu tiga penunggang kuda yang tadi telah
sampai. "Sudah, sudah," satu diantaranya menyelak. "Jangan gusar,
nona, ada urusan boleh didamaikan secara baik..."
"Sudah, lauwko," kata yang lain pada Bouw Pek "memang
biasanya suami-isteri berselisihan, tetapi janganlah lakukan itu
ditengah jalan besar, orang nanti tertawakan, malu...."
Bouw Pek melengak, sedang Siu Lian sudah jalankan
kudanya. Dua2 mereka menjadi jengah dan malu sendirinya.
Tapi Bouw Pek kemudian susul nona itu.
"Nona Jie tunggu dulu" ia memanggil-manggil. "Tunugu
sebentar aku hendak bicara sedikit!..."
Siu Lian seperti tidak dengar itu. ia kasi kudanya jalan terus
Ia sangat mendongkol.
Sia sia Bouw Pek memanggil, malah si nona larikan
kudanya semakin keras
"Terang ia salah mengerti" pikir ia. "Mana aku tahu ia susul
aku" Akupun tidak dengar panggilannya... Ia rupanya gusar
karena kudanya terpeleset dan ia turut jatuh la beradat keras
sekali, la bilang ia tidak mau kenal aku lagi, itupun tidak ada
halangannya, cuma ia telah salah mengerti...."
Pemuda ini menghela napas.
"Sudahlah," akhirnya ia kata, "biar ia pergi, akupun hendak
pulang..."
Ia tahan kudanya dan putar arahnya kejurusannya sendiri.
Siu Lian tidak perdulikan Bouw Pek dan jalan terus dengan
tidak mau menoleh. Ia salah mengerti dan mendongkol bukan
main Ketika sudah melalui enam atau tujuh lie dan selagi
menoleh tidak lihat si anak muda, ia jadi menyesal
mendadakan. "Buat apa aku susul ia malam2, dengan terjang salyu yang
dingin?" demikian ia kata pada diiinya sendiri. "Bukankah aku
butuhkan keterangannya" Taruh kata ia tidak mau
memperdulikan aku, aku toh mesti tanya juga ia Sekarang"
Kenapa aku mesti turutkan adatku" Apa benar Bouw Pek tidak
sudi gubris aku lagi?"
Siu Lian putar kudanya dan kasi lari balik. Tentu saja ia
tidak berhasil susul Bouw Pek, kuda siapa bisa lari keras...
Tiba2 nona ini jadi mendongkol lagi.
"Apa benar aku mesti mengandal pada orang lain?" ia tanya
dirinya. "Apa aku sendiri tidak mampu cari Beng Su Ciauw"
Dulu masih ada ayah dan ibu, dalam banyak hal aku
senantiasa dicegah, aku tidak boleh sembarangan muncul
dimuka umum. Sekarang" Membunuh orang aku berani, apa
lagi yang aku mesti takuti" Kenapa aku tidak mau andalkan
sepasang golokku akan mengembara dikalangan Sungai
Telaga?" Pikiran ini telah dijadikan pedoman oleh nona Jie, ia bisa
ambil putusan tetap.
"Sekarang aku mesti pergi ke Hong touw koan, ke Jie-sietin,
akan sambangi kuburan ayahku," demikian rencananya
"Dari sana aku mesti pulang ke kielok akan cari Sun Ceng Lee
dan yang lain. Aku mesti cari uang guna angkut pulang
layonya ayah dan ibu...
Dengan pikiran yang tenang Siu Lian bisa kasi kudanya
jalan pelahan2.
Matahari Sudah naik tinggi dan salyu telah mulai lumer,
tapi jalanan jadi lebih becek dan licin. maka itu si nona mesti
berlaku hati kendalikan kudanya.
Jalan kira2 lima lie, ia sampai disuatu tempat dimana ada
rumah penginapan, ia lalu singgah akan minta kamar untuk
mengaso. Ia telah buka sepatunya dan rapikan pakaiannya,
sepatunya ia tukar. Ia telah minta nasi akan tangsal perutnya,
setelah itu ia rebahkan diri. Ia bisa tidur pulas. Ketika ia
mendusin, waktu itu sudah jam tiga. Ia lekas cuci muka,
minum teh panas, hingga ia rasai tubuhnya jadi segar dan
sehat betul. "Aku telah berlaku terlalu menuruti hati" kata ia dalam
hatinya, kapan ia ingat lelakonnya tadi pagi. "Tidak
seharusnya aku berlaku demikian keras dan kasar terhadap Lie
Bouw Pek. Ia telah susul aku, kenapa aku tidak gubris
padanya, hingga ia ngeloyor pergi" Orang tadinya berlaku baik
padaku, ia telah menolong banyak, sekarang aku perlakukan
ia begini rupa, aku tidak berbudi...."
Ia berbangkit seraya menghela napas. Ia pergi keluar akan
lihat jalanan, buat dapat tahu ia bisa lanjutkan perjalanannya
atau tidak. Ia dapat kenyataan salyu sudah lumer semuanya
akan tetapi jalanan penuh air dan lumpur.
Rumah penginapan iiu penuh tamu yang mundar-mandir
dan terbitkan suara ramai
Mereka agaknya juga perhatikan nona kita, yang berada
sendirian dan rupanya menyebabkan terbitnya rasa heran
mereka. Dengan tidak perdulikan orang banyak, dengan unjuk sikap
sopan, Siu Lian berdiri didepan pintu akan perhatikan jalanan.
Adalah sukar akan lanjutkan perjalanan, meski benar ada
sejumlah kereta yang berlalu-lintas, begitupun orang" yang
berjalan kaki. Matahari juga sudah doyong kebarat, tandanya
sang waktu sudah jauh lewat tengah hari.
"Terpaksa aku mesti bermalam disini dan besok aku baru
bisa teruskan perjalanan," pikir ia akhirnya. Ia tidak berdiri
lama, ia masuk kedalam dan balik kekamarnya.
Justeru itu dari hotel didepan keluar empat pemuda, yang
dengan mata alap2 mengimpleng nona kita, hingga Siu Lian
jengah. Tapi karena ia anggap mereka bukan orang baik2, ia
tidak ambil perduli, ia masuk terus.
Didalam kamarnya Siu Lian duduk dengan masgul. Ia
berada sendirian dan tidak kerjakan apa juga. Dengan
saputangan ia gosok senjatanya dikedua belahnya, hingga
goiok itu jadi makin mengkilap.
Mukanya nona ini menjadi guram, apabila ia awasi
goloknya itu. Ia teringat kepada ayahnya, bagaimana ayah itu
telah ajarkan ia silat dan ilmu menggunakan golok.
Waktu itu tuan rumah datang akan menanyakan tamu mau
dahar atau tidak.
"Sebentar lagi" sahut Siu Lian. malam ini aku hendak
tinggal disini dan besok aku hendak melanjutkan
perjalananku. Apa namanya tempat ini" Berapa jauhnya
tempat ini ke Jie-sie-tin di Bong-touw-koan?"
"Disini Tok ciu, nona," sahut tuan rumah, "Sayang aku tidak
tahu berapa jauhnya Bong-touw-koan dari sini, barangkali lagi
lima atau enam perhentian..."
Tuan rumah tampaknya heran melihat golok yang tajam
dari tamunya. "Sudahlah" kala, nona kita, yang bisa duga hati orang,
"kalau sebentar aku hendak dahar, aku nanti minta."
Sambil menyahut "Baik, baik," tuan rumah itu undurkan diri
dengan segera. "Seorang perempuan melakukan perjalanan, benar ia kalah
leluasa daripada orang lelaki" pikir Siu Lian sekeluarnya tuan
rumah. Lantas ia simpan rapi siangtoonya.
Sore itu ia minta nasi siang2, setelah dahar ia tutup pintu
kamarnya, kemudian dengan padamkan api ia naik tidur, la
dapat pulas, kendati ia berdaya2.
Esoknya pagi cuaca terang dan jalanan tidak becek lagi, Siu
Lian dandan dan siap. ia telah panggil tuan rumah untuk
lakukan pembayaran sambil berbareng minta kudanya
disediakan. Maka juga ketika ia keluar kudanya sudah
menantikan. Dengan tuntun kuda itu ia pergi keluar
pekarangan, disini ia loncat naik atas kudanya itu dan mulai
lagi dengan perjalanannya keselatan Matahari pagi teduh,
langit penuh dengan awan putih dan angin utarapun tidak
menyampok keras, hanya hawanya dingin. Sisa salyu masih
sedikit dan telah beku pula. Dari rumah2 penduduk terdengar
ramainya suara ayam jago berkokok. Diatas cabang2 yang
disepanjang tepi jalan masih ada menyangsang sisa salyu.
Jalanan ramai dengan orang2 yang berjalan kaki, naik
kereta atau menunggang kuda, dengan mereka yang memikul
barang Umumnya sesuatu orang awasi nona Jie selagi lewat
atau datang dekat pada mereka.
Siu Lian tetap pakai baju dan celana hijau yang pas betul,
kepalanya dibungkus dengan saputangan. Ia memakai sepatu
yang solnya terbikin dari tembaga. Goloknya tergantung
disamping sela. Ia pandai menunggang kuda dengan tubuh
yang tetap. Dengan cara dandannya itu, dengan romannya
yang menarik, tidak heran ia menarik perhatiannya banyak
orang. lapun jalan sendirian.
Setelah melalui ttga puluh lie Siu Lian sudah keluar dari
daerah Tok ciu. Waktu itu sudah setengah hari, dari pagi ia
belum dahar kuwe atau nasi, maka ia merasa lapar. Ia mampir
disebuah dusun akan cari warung nasi. la masuk kedalam
setelah minta kudanya dikasi makan"
Warung nasi itu kecil tetapi tamunya banyak, suaranya
ramai sedang perapian menambah hawa jadi makin panas.
Kau arak dan bawang telah teraduk menjadi satu. Tidak ada
tempat yang kosong. Disitu pun tidak ada orang perempuan
lain kecuali seorang nyonya dengan boci, yang numprah
ditanah. Kebanyakan tamu adayah tukang2 kereta. Maka
terpaksa ia keluar pula, dengan banyak mata ditujukan pada
dirinya, dengan ada juga yang tertawa".
"Toaso, ruangan itu sesak, baik kau pergi kesana, dikamar
timur," kata tuan rumah yang datang menghampirkan.
Juga tempat yang diunjuk ini tidak memuaskan, meja
terbikin dari batu, tapi sebab kepaksa Siu Lian cari tempat
duduk juga. "Lekas bawakan aku semangkok mie" ia kata, "aku duduk
disini saja."
"Baik, toaso. Apa kau tidak merasa dingin ?"
Nona kita tidak puas yang ia dipanggil "toaso", tetapi ia
tidak bisa marah.
"Pergi lekas ambilkan aku mie" ia kata dengan tidak sabar.
Tuan rumah berlalu dan Siu Lian duduk. Dari sini ia bisa
melihat keluar, keyalan besar dimana banyak orang dan
kereta lewat pergi datang.
Baru saja tuan rumah kembali dengan mie, atau didepan
warung nasi berhenti empat penunggang kuda, semuanya
berpakaian ringkas
"Disini saja !" kata seorang pada tiga kawannya, tetapi
sembari kata begitu, dengan mata jelalatan ia awasi nona kita.
Siu Lian lantas keralkan mereka, itu ada lain orang2 yang
kemarin ini awasi ia dari hotel didepan rumah penginapannya.
"Apa mereka sedang kuntit aku ?" ia jadi curiga. Ia lihat
buntalan panjang", dari dalam mana nongol senjata tajam.
"Mereka orang2 biasa dari kalangan kangouw atau konco2nya
Biauw Cin San dan Thio Giok Kin... Bisa jadi mereka kandung
maksud tidak baik terhadap aku. Tapi apa aku perduli"
Seorang diri Siu Lian jadi bersenyum sendiri.
"Biarlah, aku nanti lihat kepandaian mereka!" pikir ia, yang
terus dahar mienya.
Empat oiang itu melengak-longok kedalam.
"Terlalu banyak orang!" mereka kata satu pada lain.
Riwayat Lie Bouw Pek Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baik kita dahar diluar saja!" kata yang satu. Dan lagi2 ia
incar Siu Lan. "Hawa diluar dingin sekali, aku tidak tahan." kata satu lagi.
"Coba kita lihat warung lain!"
Mereka tuntun kuda mereka, satu antaranya tarik kuda
sinona. "Hei, itu kudaku" Siu Lian menegor. Ia lihat perbuatan
orang itu. "Apa kau mau?"
Orang itu, seorang pemuda dengan mata sebelah dan ada
tai lalatnya yang besar, memang mau bikin sinona bicara.
Ketika ditegor, ia balik mengawasi dengan air muka cengarcengir.
"Benar, aku salah !" kata ia dengan laga dibikin2. "Aku tahu
kuda ini kudamu, enso!...."
Lantas tiga kawannya tertawa berkakakan.
Mukanya Siu Lian mendiadi merah, ia gusar. Kembali orang
panggil ia "enso"!
"Orang2 kurang ajar, kau berani main gila?" ia menegor. Ia
berbangkit sambil sembat cambuknya dan maju
menghampirkan, tahu2 cambuknya itu sudah bekerja, hingga
muka sipemuda jadi balan !"
"Kurang ajar !" kata seorang pemuda lain, yang mukanya
hitam, seraya sambar cambuknya si nona. "Perempuan katak,
kau berani serang saudaraku?"
Sembari kata begitu ia ulur tangannya akan jambak pundak
orang. Siu Lian betot cambuknya dengan dua tangan, berbareng
sebelah kakinya melayang mengenai perut orang, maka
pemuda itu segera jatuh terguling ketanah yang berlumpur.
"Ha !" berseru si tiga kawan.
Siu Lian loncat pada kudanya akan sambar siangtoo, yang
ia terus hunus, hingga cahayanya berkilauan.
Tiga orang itu kaget, mereka lari minggir dengan
tinggalkan kuda mereka.
Si muka hitam, yang berlepotan lumpur, merayap bangun,
tetapi ketika ia lihat si nona cabut golok, bahna kaget ia jatuh
pula numprah ditanah.
Sampai disitu keluar banyak orang, yang datang
memisahkan. Siu Lian simpan goloknya, ia bayar uang mie, kemudian
dengan tidak kata apa2 ia loncat naik atas kudanya.
"Kenapa diluaran banyak orang tak keruan seperti mereka
ini?" pikir ia disepanjang jalan. "Sungguh jarang pemuda
sebagai Lie Bouw Pek, yang gagah dan sopan...."
Kembali nona ini sesalkan diri karena sikapnya kemarin
terhadap pemuda kita.
Selagi ia jalan terus, tiba2 Siu Lian dengar riuhnya suara
kaki kuda disebelah belakangnya, apabila ia menoleh ia lihat
empat pemuda tadi dengan kuda dilarikan keras mendatangi
kejurusannya. Mereka itu agaknya sedang mengejar. Si muka
hitam, yang berlepotan lumpur berada didepan.
Sesaat saja, Siu Lian hendak cabut goloknya dan bersiap,
tetapi kapan ia ingat tempat itu masih dekat tempat ramai, ia
robah pikiran. "Kalau nanti orang banyak datang mereka bisa jadi akan
tertawakan aku...
Karena berpikir demikian ia lantas larikan keras kudanya,
hingga sisa salyu dan lumpur muncrat serabutan, hingga
orang2 ditepi jalan mesti lekas2 menyingkir.
Empat penunggang kuda dibelakang juga telah kasi larat
kuda mereka, selagi mereka, mendatangi dekat lantas
terdengar suara cacian mereka. Terang mereka hendak kejar
nona kita. Dengan tahan sabar Siu Lian larikan kudanya sampai kira2
empat atau lima lie, setelah berada ditempat sepi, dimana
tidak ada orang yang berlalu lintas, ia tahan kudanya. iapun
siap dengan goloknya.
"Kau orang kejar aku, apa kau orang mau" ia segera
menegor, "Apakah kau orang sudah tidak sayang jiwa?"
Empat orang itu hunus senjata, kuda mereka larat, tetapi
kapan mereka lihat si nona siap, tiba2 mereka tahan kudanya
dan mundur sedikit. Si muka hitam nampaknya lebih berani.
"He !" ia menegor. "Kau seorang perempuan, kau bawa
senjata, kau jalan sendirian, kau mestinya bukan orang baik2!
Apa kau bikin?"
"Itulah bukan urusanmu! Aku punya urusanku sendiri, yang
aku tidak perlu beritahukan kepada kau orang segaa kurcaci
cilik ! Sudah jangan banyak omong. Kalau kau orang tidak
senang, hayolah maju, aku nanti melayani. Tapi kau orang
mesti ketahui, siapa terluka ia jangan menyesal! Andaikata
kau orang sayang jiwamu dan tidak ingin golokku melukai kau
orang hingga bercucuran darah, baik mundur dan pergi.
Jikalau kau orang kejar pula aku dan memaki, ingat, aku nanti
bikin kau tidak dapat hidup lebih lama lagi"
Sembari kata begitu Siu Lian mengawasi dengan tajam,
siangtoonya sudah sedia.
Empat orang itu mundurkan lagi kuda mereka, tidak ada
satu yang berani maju kemudian si mata satu ngoce dalam
bahasa rahasia, maksudnya ialah: "Nona ini sendirian saja,
tapi ia begini kosen, boleh jadi ia berkepandaian tinggi, kita
tidak boleh sembarangan, nanti kita ketemu batu..."
Setelah itu, ia angkat kedua tangannya, unjuk hormat pada
nona kita. "Enso apa yang kau bilang, kami sudah mengerti" ia kata
"Kau kosen, kau tidak pandang mata pada kami berempat,
baik, kami tidak mau tarik panjang! Dua-tiga lie dan sini,
disebelah timur, ada desa Lauw-kee-cun, ketuanya adalah
Lauw Cit ya. Cit-ya gemar ilmu silat, ia ternama di kalangan
kang-ouw, maka apa kau berani ikut kami pergi ketemu ia?"
Siu Lan mengerti bahwa orang ini hendak adu dombakan
ia, tetapi ia tidak takut, ia penyaya Lauw Cit-ya itu mestinya
seorang cabang atas atau buaya darat besar, ia tertawa
dingin. "Tidak perduli orang macam apa, Tentu boleh perintah
datang kemari!" ia kata "Aku nanti menunggu disini Buat
suruh aku pergi mengunjungi, itulah tidak bisa!"
Mendengar demikian empat orang itu menerima baik,
malah mereka agaknya lantas mau berlalu. Tapi Siu Lian tidak
mau ijinkan mereka pergi semua. Nona kita pikir:
"Kalau mereka kabur, percuma saja aku dijemur disini.
Kenapa aku begitu tolol?"
Maka ia majukan kudanya akan tahan salah satu dari
mereka. Ia memang mendongkol.
"Tidak bisa kau orang pergi semua!" ia kata "Kau orang
mesti tinggalkan suatu apa selaku barang tanggungan!"
Ia segera maju dan serang si mata satu.
Orang ini tidak mampu bikin perlawanan baru satu kali
menangkis, ia sudah mundur, tetapi karena didesak terus, ia
miringkan tubuhnya dan jatuh ketanah, apa celaka, ia kena
tindih goloknya sendiri, hingga ia menjerit!
Tiga kawannya menjadi gusar, mereka loncat turun dari
kuda mereka dan maju menyerang Siu Lian. Nona kita
mendahului loncat turun dari kudanya akan sambut serangan,
baru segebrakan saja ia sudah rangsak mereka bertiga!
Sebagai kesudahan, tiga orang itu ketakutan, mereka mundur
dan loncat naik atas kuda mereka masing2 dan terus kabur.
Siu Lian tidak mengejar, ia hanya hampirkan si mata
sebelah yang meringkuk ditanah becek. Menuruti
kemendongkolnnya ia ingin bacok pemuda kurang ajar itu,
tapi karena memikir mereka tidak bermusuhan, ia tidak boleh
sembarangan ambil jiwa orang.
"Aku mau pergi sekarang" ia kata pada musuh peryundang
itu, yang ia tuding "kalau mereka datang, kau boleh suruh
mereka susul aku diselatan, aku tidak takut !"
Kendati sedang merintih, si mata satu paksakan menyahut
"Ya."
Siu Lian simpan goloknya, cemplak kudanya yang dilarikan
congklang menuju ke selatan.
Simaia satu terus meringkuk sambil merintih, ia ditolong
dan digotong kepinggir jalan oleh beberapa orang yang lewat
dan direbahkan dibawah pohon. Kudanya yang telah kabur
jauh, ada yang tuntun kembali padanya.
Belum terlalu lama sang tiga kawan telah kembali, bersama
seorang yang mereka namakan Lauw Cit-ya atau Lauw Iyit
Thay-swee, siapapun diiringi oleh enam orang, yang
semuanya bawa senjata, tetapi mereka ini semuanya pada
jalan kaki, sedang si Cit-ya menunggang kuda.
"Mana perempuan yang bersenjata siangtoo itu?" tanya Cit
ya pada si mata satu "Kemana ia sudah pergi?"
"Ia pergi kejurusan selatan." sahut si mata satu "Ia bilang
ia boleh disusul, ia tidak takut!... Aduh, aduh!"
Mukanya Lauw Cit-ya yang memangnya merah, jadi merah
padam. "Kurang ajar, ia menghina aku!" ia menjerit "Gendong ia
pulang" ia perintah satu orangnya, kemudian dengan ajak si
tiga penunggang kuda dan lima orangnya, ia kasi kudanya lari
kearah selatan.
Sementara itu Siu Lian telah kasih kudanya jalan dengan
tenang, ia tidak pikirkan lagi si mata satu, tetapi jalan belum
ada empat lie, ia dengar suara kaki kuda dibelakangnya,
apabila ia menoleh ia lihat beberapa penunggang kuda sedang
mendatangi. "Tentu orang susul aku" pikir ia, yang segera putar balik
kudanya. Penunggang kuda yang didepan bermuka merah dan
tubuhnya besar.
Mengetahui bahwa ia mesti lakukan pertempuran, ia loncat
turun dari kudanya, yang ia tuntun kepinggir, kemudian ia
siapkan sepasang goloknya.
Lekas sekali empat penunggang kuda telah datang dekat.
"Semua turun!" membentak nona kita, yang papaki orang
itu. Lauw Cit tahan kudanya, ia merasa heran karena
keberanian nona kita.
"Kau siapa, she apa?" ia tanya dengan buka matanya
lebar2. "Jangan tanya aku!" Siu Lian jawab. "Hayo turun, mari kita
bertempur!"
Lauw Cit ketahui, bahwa apabila seorang perempuan besar
nyalinya, kepandaiannya juga mesti tinggi, apapula ia lihat
sikapnya nona ini gagah. Meski begitu ia tidak mau kalah
gertak, maka ia bersenyum ewah.
"Aku Lauw Cit-ya!" ia kata dengan cara jumawa "Sudah dua
puluh tahun lebih aku malang melintang dikalangan Sungai
Telaga, aku telah ketemukan bukan sedikit orang gagah,
tetapi sudah sekian lama aku robah cara hidupku, aku tidak
mau berebutan pengaruh lagi dengan orang, terutama dengan
anak2 muda, apapula dalam urusan2 yang tidak ada artinya.
Maka aku heran kau, satu bocah yang masih bau deringo,
berani banyak tingkah dthadapanku malah kau berani lukai
satu saudaraku! Bagaimana aku bisa diam peluk tangan saja"
sebagai orang lebih tua, aku harus kasi pelajaran padamu !
Sekarang kasi tahu padaku, pada siapa kau belajar ilmu
golok?" Siu Lian tidak sabar dengan oceannya orang itu.
"Tidak ada perlunya akan kau ajukan pertanyaanmu
kepadaku! Kau orang telah susul aku, kalau benar kau orang
mau serang aku, hayolah maju semua, berbareng!"
Meski berkata demikian, Siu Lian toh lompat maju, akan
mendului serang kudanya Lauw Cit.
Dato itu mundurkan kudanya, mukanya kembali menjadi
merah padam. "Budak kutang ajar!" ia menjerit, "Cit-ya bicara dengan
baik, kenapa kau tidak mau mengerti?" ia menoleh pada
kawan2nya. "Kau orang mundur, sendirian aku nanti layani
bocah bau deringo ini"
Ia cabut goloknya, begitu lekas sudah loncat turun ia terus
nembacok! Siu Lian ingin uji tenaga orang, sambil berkelit ia tangkis
golok dengan tangan kirinya, atas mana ia rasai tangannya itu
sesemutan, sementara si Dato rasai tangannya bergetar,
hingga keduanya lantas loncat mundur.
Sekarang nona Jie tahu bagaimana ia harus bersikap,
kapan ia menyerang pula ia selalu gunai tangan kanannya,
tangan kirinya dipakai untuk serangan2 yang berbahaya.
"Cara menyerang yang busuk !" kala Lauw Cit Thay-swee,
yang bisa duga maksud orang. Ia tertawa menyindir.
Kemudian iapun balas menyerang secara hebat! la bisa
gerakkan kaki tangannya dengan sebat, tubuhnya gesit sekali.
Sekian lama Siu Lian melayani, ia tidak bisa cari lowongan,
oleh karena ini jadi ketahui yang si Dato ini punya kepandaian
yang berarti. Maka ia lantas berlaku hati2 dan gerakannya
diubah. Tiga puluh jurus telah lewat, setelah mana Lauw Cit
menjadi heran. "Eh, budak perempuan, kau benar liehay!" ia berseru bahna
kagumnya. Sampai disiiu tiga pemuda hunus golok mereka hendak
membantu, tetapi belum sampai mereka turun tangan, lantas
mereka lihat goloknya Lauw Cit Thayswee sekarang telah
diatas angin dan Siu Lian mundur setindak dengan setindak.
Menampak demikian, mereka jadi kegirangan, hingga mereka
urung maju. Sambil tepuk2 tangan, mereka bersorak: "Lihat,
lihat! Cit-ya pasti akan rubuhkan dia!"
Mereka belum rapatkan mulut, atau perobahan telah
terjadi. Di luar dugaan sepasang golok dari si nona telah
bergerak merangsak. Hingga sekarang si Dato yang kena
didesak, napasnya sengal2!
"Kurang ajar !" kata Lauw Cit dalam hatinya, ketika ia
berdongkol seraya menyabet dengan goloknya akan bikin
rubuh lawan itu, yang ia tidak pandang enteng lagi
sebagaimana semula. Ia mesti gunai tipu ini rebut
kemenangan, untuk jaga nama baiknya.
Tapi Siu Lian tidak kena diakali, ia lihat gerakan itu, ia bisa
duga maksud lawan. Selagi golok menyambar, ia gunai tangan
kirinya menangkis, sedang tangan kanannya dengan
berbareng membabat kejurusan pinggangnya si Dato.
Kagetnya Lauw Cit tak kepalang, ia loncat mundur, tetapi
sudab kasip, ia kalah sebat, karena baru saja ia angkat
tubuhnya atau paha kirinya tertusuk golok, hingga sambil
menjerit ia lemparkan golok dan dengan kedua tanganya ia
Riwayat Lie Bouw Pek Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tekap pahanya yang terluka, sedang mukanya menjadi merah
biru dan pucat.
Tiga pemuda itu kaget, mereka lantas meluruk akan
kepung nona kita.
Sedikitpun Siu Lian tidak menjadi jerih, ia sambut mereka
itu dengan gagah tidak perduli mereka nekat dan rangsekan
hebat. Belum ada sepuluh jurus ia telah rubuhkan satu musuh,
hingga ia sekarang hanya melayani dua orang,
Lauw Cit karena sakitnya lukanya, tidak bisa berdiri lama,
dengan meringis2 ia jatuhkan dirinya, duduk numprah ditanah
yang becek. Oleh karena sangat menahan sakit, keringatnya
dijidat sampai turun menetes. Meski demikian ia bisa lihat
jalannya pertempuran, hingga ia lalu berteriak tetiak:
"Kurang ajar ! Aku telah terluka, buat apa kau orang
melawan lebih jauh " Hayo lekas berhenti"
Teriakan itu ada hasilnya, dua pemuda itu lantas lompat
mundur dan berhenti berkelahi atas teriakannya si Dato.
Mereka menghampirkan buat coba angkat bangun Dato ini,
paha siapa masih saja mengucurkan darah, sedang
pakaiannya cupruk
dengan darah dan lumpur. Kedua tangannya juga
berlumuran darah.
Dalam keadaan menyedihkan itu Lauw Cit-ya masih berani
unjuk kemurkaannya.
"Kau benar pandai, aku menyerah kalah !" kata ia dengan
sengit, dengan kemudian ia mendelik. Sekarang kasilah tahu
she dan nama kau!"
Siu Lian telah rebut kemenangan, ia merasa puas sekali,
dengan sebelah tangan mencekal sepasang goloknya, ia
bersenyum menghadapi pecundang itu.
"Kau ingin ketahui she dan namaku?" ia balik menanya. Ia
bersangsi sebentar, karena tadinya ia niat umpatkan nama ia
niat Tapi sekejap kemudian ia pikir lagi, apa halangannya akan
bentahukan she dan namanya : ia toh sebatang kara dan akan
merantau tak berketentuan Maka ia segera teruskan : "Aku Jie
Siu Lian! Tentang ilmu dari sepasang golokku ini ! kalau kau
dengar, jangan kau kaget! Aku belajar ilmu golok dari ayahku,
kau punya Tiat-cie-tiauw Jie Looya!"
Setelah kata itu, dengan tidak tunggu apa lagi, ia putar
tubuhnya menghampirkan kudanya keatas mana ia loncat
naik, kapan ia sudah cantel goloknya ia ambil cambuk sebagai
gantinya, dan kapan ia telah pecut kudanya itu, sambil
menoleh dengan bersenyum, ia pandang Lauw cit, yang lagi
dipepayang oleh dua anak muda. .
Kembali ia menuju keselatan.
Hari itu noni Jie sampai didalam daerah Teng bin-koan, ia
cari hotel untuk beimalam. Hawa udara dibantu oleh sang
angin, adalah dingin, maka didalam k?marnya ia minta jongos
nyalakan perapian, ia duduk didekat situ untuk membikin
hangat dirinya.
Ia merasa puas akan pertempurannya dengan Lauw Cit.
"Mestinya ia satu okpa" ia pikir. "Ilmu goloknya liehay,
tentu ia seorang ternama dalam kalangan Kangouw. Ia telah
tanyakan namaku, rupanya ia berniat mencari balas.
Selanjutnya aku mesti berhati-hati. Thio Giok Kin dan
persaudaraan Ho adalah musuh2 lama dan yang baru adalah
Biauw Cin San dan Lauw cit ini."
Memikir lebih jauh, Siu Lian menjadi berduka. Ia tidak bisa
lupakan nasibnya ayah dan ibunya, layon siapa masih ada di
kampung lain Dengan lenyapnya Beng Su Ciauw, dengan
salah mengertinya terhadap Bouw Pek, ia benar2 merasa
hidup tersendiri. Difihak lain iapun ingat budinya Siauw Hong
dan nyonya. "Aku sebatang kara sendirian, benar susah....." akhirnya ia
sadar. DIKAMAR2 lain sekalian tamu sedang asyik pasang omong
dengan sesamanya mereka nampaknya merdeka dan gembira,
beda daripada nona kita, yang bersendirian saja. Sekalian
tamu itu kebanyakan adalah orang2 dagang.
"Kalau aku seorang lelaki, tidak nanti aku ijinkan Lie Bouw
Pek menjagoi " pikir ia, yang jadi ngelamun.
Justeru itu tuan rumah bertindak masuk.
"Ada apa?" Siu Lian tanya.
"Nona toh nona Jie?" tuan rumah itu tanya.
"Ya, aku orang she Jie" sahut Siu Lian seraya turun dari
pembaringannya, matanya memandang dengan tajam. "Ada
apa ?" "Diluar ada tamu she Su, yang ingin ketemu nona."
Sioe Lian heran, karena ia tidak ingat kenalan dengan she
itu. Ia mau keluar, tetapi si orang she Su itu, yang berdiri
didekat jendelanya dan telah dapat lihat ia, sudah mendahului
bertindak masuk.
"Nona Jie, hari ini kau kena dibikin mendongkol!" kata ia
dengan tiba2. Orang ini bicara dengan lidah Shoa say, tubuhnya kate dan
gemuk, hingga nampaknya sukar ia bongkokkan tubuh akan
menjura pada nona kita.
Segera juga Siu Lian kenali si kate gemuk, yang ia
ketemukan ditengah jalan. Karena orang berlaku hormat, ia
juga berlaku manis.
"Silaukan duduk" ia mengundang. "Ada apa, tuan "
Silahkan bicara."
Orang she Su itu duduk. Dari tarikan napasnya ia seperti
habis lakukan perjalanan jauh.
Setelah besarkan lampu, tuan rumah undurkan diri.
Siu Lian pandang tamunya, yang pakai celana biru dengan
baju tebal yang pendek, jidatnya penuh keringat, karena
orang tidak mau lantas bicara, ia jadi kurang sabaran
"Kau cari aku, ada urusan apa?" ia segera menegor. Ia
tadinya mau tegaskan, apa dia ini yang dihotel mencari Lie
Bouw Pek, tapi tamunya sudah mendahului berkata:
"Banyak yang aku hendak beritahukan nona" ia kata,
"tetapi Lie Bouw Pek telah larang aku bicara pada nona...."
Sekejap saja air mukanya Siu Lian berobah. Ia berbangkit,
matanya dibuka lebar.
"Apa" Jadi Lie Bouw Pek dustakan aku?" ia tanya.
"Sabar nona" orang she Su itu kata seraya usapkan
tangannya. "Sabar nona dan dengarkan aku bicara dengan
pelahan" Su Poan cu demikian si kate dan gemuk ini sudah lantas
perkenalkan diri dengan beritahukan siapa adanya ia
bagaimana persobatannya dengan Bouw Pek, yang ia telah
bantu, bagaimana ia kabur dari kota raja karena membunuh
Poan Louw Sam dan Cie Sielong, hingga ia mesti tinggalkan
warung araknya dan sekarang mesti hidup pula dalam
perantauan Siu Lian tahu Pa san coa Su Kian, yang namanya terkenal
dikalangan kang ouw, maka sekarang berhadapan dengan si
Ular Gunung, ia menjadi heran juga. Tapi pcnuturannya tamu
ini tidak mengenai dirinya, ia pikir buat minta ketegasan.
Selama ia pikir demikian, Su Poan-cu sudah bicara pula,
sekarang dengan sebut2 Siauw Jie.
"Nona tahu, Siauw Jie itu adalah putera kedua dari Beng
Loo-piauwtauw dari Soan hoa-hu" ia terangkan. "Ia adalah
Beng Su Ciauw, tunangan nona sendiri"
Siu Lian tertarik berbareng heran, sampai ia bungkam.
"Beng Su Ciauw telah tinggalkan Pakkhia" Su Poan-cu
terangkan lebih jauh.
"Ditengah jalan, di Kho-yang, ia bertemu dengan
rombongan dari Biauw Cin San dan Thio Giok Kin, karena
bertempur, ia telah mendapat luka parah. Berhubung itu" aku
telah pergi ke Pakkhia mencari Lie Bouw Pek, yang terus
datang menengoki. Beng Su ciauw, karena lukanya itu,
menutup mata didepan Bouw Pek. Mayatnya telah dikubur
dtluar kota Khoyang"
Nyata Su Poan-cu bicara secara polos, ia tuturkan semua
yang ia tahu, malah tidak perduli si nona suka dengar atau
tidak, senang atau tidak senang, iapun kasi tahu pesanannya
Beng Su Ciauw, yang anjurkan Bouw Pek nikah sinona.
Siu Lian melengak, ia tercengang bahna herannya. Baru
sekarang ia ketahui semua Beng Su Ciauw meninggalkan
Pakkhia dan Lie Bouw Pek hendak menyingkir dari ia. Pantas
yang Tek Siauw Hong hendak sembunyikan segala hal
terhadap dia. Tapi sekarang, kendati ia ketahui semua itu, pikirannya Siu
Lian kusut bukan main. Warta itu terlalu hebat baginya. Jadi
nyata yang Beng Su Ciauw telah menutup mata, dalam cara
yang sangat menyedihkan! Kenapa datangnya keterangan
justeru ia lagi hadapi kesulitan"
Siu Lian duduk dipembaringannya, kepalanya pusing, air
matanya mengembeng. la berdiam lama juga, baru ia bisa
tetapkan sedikit hatinya.
"Kiranya duduknya bal begini rupa" akhirnya ia bilang. "Lie
Bouw Pek dan Beng Su Ciauw adalah orang gagah dan Tek
Ngoya orang budiman, melainkan aku, aku seorang
perempuan, yang boleh dipedayakan!.... Dasar aku seorang
perempuan.... Ya, aku mesti kagumi mereka semua!..."
Mau tidak mau, nona ini menangis sesenggukan. Ia gagah,
tetapi ia tetap seorang perempuan, yang hatinya mudah
tersinggung. Suara riuh dikamar lain lantas berhenti, mereka itu merasa
heran, antaranya ada yang ingin tahu telah terjadi apa.
Su Poan cu berdiri seperti patung otaknya bekerja.
Tuan rumah, dengan alasan menyuguhkan teh, datang
masuk. Siu Lian susut air matanya, ia berhenti menangis.
Sesaat tuan rumah mengawasi si nona dan si kate gemuk
itu. "Bagaimana dengan kudamu, tuan?" tanya tuan rumah
pada tamunya. Su Poan cu menoleh, baru sekarang ia ketahui maksudnya
tuan rumah. "Bawa kudaku keistal dan berikan makanan" kata Pa sancoa.
"Tolong kau sediakan kamar untuk aku"
Sambil menyahut "Baik" tuan rumah undurkan diri.
Su Poan-cu awasi si nona, ia sekarang merasa menyesal
yang tadi ia sudah bicara secara polos sekali, hingga si nona
telah merasakan pukulan hebat pada batinnya. Se karang ia
tidak tahu bagaimana harus menghibur.
Kecuali Siu Lian, yang masih sesenggukan, kamar itu sunyi,
karena keduanya diam saja Adalah setelah berselang lama
juga sinona berhenti menangis karena ia anggap percuma saja
ia menangis, ia turun dari pembaringan, ia lepas air matanya.
"Terima kasih buat kebaikanmu tuan," kata ia pada si Ular
Gunung. "Kalau kau tidak berikan keteranganmu ini padaku,
sampai aku menutup mata, tentu aku tetap berada dalam
kegelapan"
"Jangan mengucap terimakasih, nona," kata Su Kian, yang
merasa likat kaiena si nona berlaku demikian manis
kepadanya. Ia menjura. "Aku sendiri ketahui ini belakangan,
sesudah Beng Su Ciauw menutup mata. Kalau waktu bertemu
di Tokciu aku. ketahui Siauw Jie adalah tunangan nona,
niscaya aku cegah ia terjang bahaya, tidak nanti aku kasi ia
bantu Lie Bouw Pek secara mati2an......"
Siu Lian manggut, ia menghela napas.
"Sesudah Beng Jie-ya dikubur, Lie Bouw PeK kembali
kekota raja," Su Poan-cu berkata pula. "Ia tidak ijinkan aku
turut ia, boleh jadi ia kuatir aku ketemu nona dan nanti
ceritakan itu. Tapi aku ini sahabat yang jiatsim, aku kuatirkan
keselamatannya Lie Pouw Pek yang sendirian saja tidak akan
sanggup layani Biauw Cin San sekalian, yang berjumlah besar.
Dengan ajak kawanku, akupun kembali ke kota. Sesampainya
di Pakkhia aku tidak masuk kedalam kota, kendati demikian,
aku ketahui yang Biauw Cin San binasa ditangan nona dan
Thio Giok Kin sekalian telah diusir oleh pembesar negeri. Lie
Bouw Pek sampai dikota satu hari lebih dahulu daripada aku,
lantas dihari kedua ia berangkat pula meninggalkan kota itu. ia
pergi selagi turun salyu besar. Waktu itu aku berniat cari kau,
nona, guna berikan keteranganku, tetapi sebagai orang yang
melanggar undang2 negeri aku takut masuk kedalam kota,
aku tidak mau rembet Tek Ngoya. Begitulah aku kirim orang
buat cari nona, buat minta nona Keluar kota, apa mau
sebelumnya orangku itu kembali, aku lihat nona sendirian
berangkat dari Pakkhia. Aku duga bahwa nona hendak susul
Lie Bouw Pek. Dimana Bouw Pek telah berangkat satu hari
lebih dahulu, ia tentu berada puluhan lie didepan nona, maka
hari itu dihotel aku sengaja omong keras-keras menanyakan
hal dia, maksudku adalah supaya nona dengar dan tahu Lie
Bouw Pek sudah lewat, supaya malam2 juga nona susul dia.
Kalau nona bisa candak Bouw Pek, andai kata rohnya Siauw
Jie mendapat tahu tentu juga merasa girang...."
Mukanya Siu L;an jadi merah berbareng berduka. Ia jengah
sendirinya, yang si kate gemuk ini ketahui urusannya dengan
jelas. Tadinya nona kita hendak bicara, tetapi Su Kian telah
dahului ia: "Untuk bicara terus terang, seyara jujur" demikian katanya,
"disebelah adat raya yang keras dan luar biasa, Lie Boaw Pek
adalah seorang baik. Boegeenya juga iiehay, dikalangan kang
ouw sukar buat tandmgannya. Maka setelah Beng Jie ya
menutup mata, kalau nona menikah pada Bouw Pek, tidaklah
kau terhina... Bicara sebenarnya, nona, sebabnya kenapa aku mau
keluarkan tenaga dan otak membantu Lie Bouw Pek, tidak lain
adalah agar ia menikah dengan nona yang setimbal...."
"Cukup!" Siu Lian memotong, apabila ia dengar orang
mulutnya ngaco-belo
"Ya, ya nona" Su Poan cu manggut2, tapi diam2 ia
bersenyum. Baik, aku nanti oraoag urusan lain.....
Siu Lian mengawasi sahabat yang jiat sim ini.
"Malam itu nona, aku sebenarnya hendak susul kau untuk
lihat pertemuan kau dengan Lie Bouw Pek" Pa-san-coa
lanjutkan omongannya. "Diluar dugaanku, aku nampak
halangan, yaitu kudaku terpeleset jatuh hingga aku turut
rubuh, dan kudaku itu bengkak kakinya. Karena ini aku jadi
tidak tahu nona dapat susul Bouw Pek atau tidak. Tapi tengah
hari barulah aku sampai di Lauw-kee-cun, dfsana aku kunjungi
sahabat baikku, Lauw Cit ya. Aku lacur, sahabatku itu telah
mendapat luka. Ketika aku minta keterangan, nyata ia, karena
main gila terhadap nona, sudah dapatkan bagiannya itu. Aku
Riwayat Lie Bouw Pek Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak kata apa2 pada Lauw cit ya, hanya aku pamitan dan
lantas menyusul kemari. Syukur disini aku bisa cari nona."
"Terima kasih," kata Siu Lian, "terima kasih
Nona ini tidak omong banyak, pikirannya masih ruwet.
Su Poan-cu bisa mengerti kesukaran hati si nona, iapun
lihat nona itu tidak sabaran ia tidak mau menganggu.
"Sekarang kau baik mengaso, malam ini aku juga nginap
disini, nona," kata ia kemudian. "Maka kalau ada urusan,
besok kita nanti omongkan pula. Andai kata nona perlu apa2,
kasi tahulah kepadaku, aku bersedia untuk bekerja gunamu.
Percaya pada Su Poan-cu, ia akan membantu dengan
sungguh!" "Siu Lian bersyukur, ia manggut.
"Terima kasih" ia kaia. "Lain kali aku nahti minta
bantuanmu!"
Su Poan-cu bersenyum, ia manggut pada si nona, lantas
berlalu akan pergi kekamarnya.
Seperginya si Ular Gunung Siu Lian bating2 kaki, lembah air
matanya turun. "Nasibku benar buruk" kata ia dalam hatinya. "Dengan
susah payah aku cari tunanganku, siapa tahu ia binasa
ditangannya Bianw Cin San, benar aku bisa bunuh Biauw Cin
San tetapi ia telah menutup mata, apa artinya itu bagiku" Aku
telah berbuat keliru terhadap Lie Bouw Pek. Ia tentu sangat
berduka karena kematiannya Soe Ciauw, ia tidak membuka
rahasia padaku rupanya ia kuatir aku bersusah hati. Iapun
tentu masgul karena kehilafanku... Coba Beng Su Ciauw
seorang busuk, aku tentu bisa menikah pada Bouw Pek...
Sekarang?"
Siu Lian merasakan seperti ada tangan gaib, yang
permainkan ia bertiga Soe Ciauw dan Bouw Pek. Kalau tidak,
kenapa perkara jadi demikian kusut" Hampir ia putus asa,
baiknya ia kena rebah sepasang goloknya.
"Ayah didik aku sebagai wanita jantan mustahil sekarang,
setelah berada sendirian, aku jadi tidak berdaya?" demikian ia
pikir "Tidak, aku mesti unjuk semangatku!"
Nona Jie kunci pintu kamar dan padamkan api, lantas ia
naik kepembaringan. Ia tidak bisa lantas pulas, masih saja ada
pikiran yang mengganggu ia. Ia ambil putusan akan tidak
perdultkan Beng Su Ciauw yang sudah menutup mata dan Lie
Bouw Pek yang telah tinggalkan ia, ia mau andalkan goloknya,
guna angkat derajatnya.
Adalah setelah ambil putusannya itu baru ia bisa pulas.
Besoknya pagi, ketika baru saja sadar, Siu Lian sudah
panggil jongos.
"Lekas sediakan kudaku" ia kata. Ia sendiri lantas dandan.
Su Poan-cu tidur dikamar sebelah, ia dengar suaranya si
nona, ia turun dari pembaringannya dan lari menghampirkan.
"Apa nona sudah bangun?" ia tanya dari luar jendela.
"Su Toaya diluar?" Siu Lian jawab. "Silahkan masuk"
Soe Poan-cu buka pintu dan masuk, ia lihat kamar masih
gelap, tetapi ia dapatkan nona itu sudah siap berikut
buntalannya. "Bagaimana, nona" Apa kau hendak berangkat sekarang
juga?" ia tanya.
"Benar, toako, aku hendak berangkat Sekarang!" sahut
nona Jie. Suaranya sekarang beda jauh daripada kemarinnya.
"Syukur kau berikan keteranganmu kepadaku, Su Toako. kalau
tidak, aku tentu masih berada dalam kegelapan, Lie Bouw Pek
adalah saudaraku yang berbudi, bugeenya juga aku kagumi,
tetapi karena duduknya perkara sedemikian rupa, aku tidak
ingin bertemu pula dengan ia! Dengan ini aku juga minta kau
jangan pikir pula hal yang bukan2!"
Su Poan-cu bingung bahna heran. Ia mengerti nona ini
tidak mau lagi orang sebut hal jodohnya dengan Bouw Pek. la
heran yang si nona jauh lebih aneh dari pada si orang she Lie
itu.... "Kalau begitu, kita benar tidak usah capekan diri lagi akan
rekoki jodoh mereka" pikir si Ular Gunung. "Daya upaya kita
tidak akan ada hasilnya dan melulu akan bikin kalap nona ini.-
Mana aku sanggup meladeni kalau ia hunus goloknya yang
dipakai membunuh Biauw Cin San dan melukai Lauw Cit-ya...."
Karena berpikir begini, sembari tertawa ia kata :
"Benar nona. benar urusanmu kami tidak boleh campur
tahu lagi, cuma..." Dan ia unjuk sikap menghormat sekali,
"aku ingin ketahui, seperginya dari sini, nona sebenarnya
menuju kemana?"
"Paling dulu aku mau pergi ke Jie sie lin, di Bong ouw koan,
akan tengok kuburan ayah, buat sekalian pindahkan layonnya
ke Kielok" sahut nona Jie, Kemudian aku niat bawa pulang
juga layon ibuku dari Soanhoa-hu."
"Kau benar nona" Su Poan-cu manggut-manggut
"Bagaimana dengan kuburannya Beng Jie-siauwya di Khoyang,
apa nona tidak niat sambangi?"
Ditanya begitu, air matanya si nona mau molos keluar, tapi
ia lekas-lekas keraskan hati.
"Aku niat tengok" ia menyahut, "kemudian aku mau beri
kabar pada keluarga Beng supaya mereka pindahkan layonnya
ke Soanhoa Kami ditunangkan sedari kecil atas kahendak
orangtua kami, tetapi sampai sebegitu jauh aku belum pernah
lihat atau ketemu Beng Su Ciauw, kendati demikian,
selanjutnya aku tidak mau menikah.
Tapi aku hendak terangkan padamu, aku sekarang anaknya
keluarga Jie dan bukan nona mantunya keluarga Beng!"
Meski ia mengucap demikian, Siu Lian mesti bukan main
keraskan hati. Kalau waktu itu kamar tidak masih gelap, Su Poan-cu tentu
dapat lihat muka sinona merah dan air mata meleleh....
Pa san-coa menghela napas. Ia merasa pasti, bahwa si
nona benar tidak akan menikah, hingga sakit rindu dari Lie
Bouw Pek tentulah sukar dapat disembuhkan......
Ia sudah kenal adatnya, ia tidak mau banyak omong.
"Tetapi nona," kata ia yang putar soal, "aku rasa kau harus
perhatikan suatu urusan lain. Kim-khio Thio Giok Kin masih
belum pergi jauh, aku dengar ia berdiam di Poteng-hu
dirumahnya Hek-houw To Hong si Harimau Hitam. Kesana Oey
Kie Pok sering kirim orangnya, entah apa yang didamaikan,
atau apa yang mereka sedang atur. Sekarang nona mau pergi
ke Bongtouw, itu artinya nona akan lewat di Poteng. Siapa
tahu jikalau mereka tidak ganggu nona...
"Kalau mereka berada di Poteng, inilah lebih baik lagi" Siu
Lian kata "aku nanti cari mereka itu guna tempur mereka!
Mereka adalah musuhku, jikalau mereka tidak desak ayah, tak
mungkin sekarang aku jadi terlunta2 begini...."
"Kepandaiannya Thio Giok Kin tidak berarti," Su Poan-cu
terangkan pula, "tetapi lain halnya dengan Hek-houw To
Hong. Ia muridnya Kim-too Phang Bouw dari Ciam ciu, ia
gunai siangtoo, kabarnya kepandaiannya tidak dibawah
gurunya, maka baiklah nona berhati2. Ia tinggal disebelah
barat kota, ia buka dua piauw tiam, maka itu ia punya
beberapa tukang pukul juga"
Tapi Siu Lian tersenyum tawar.
"Kau baik sekali, Su toako, aku berterima kasih pada kau"
ia kata. "Semua, apa yang toako bilang, aku akan ingat baik
baik. Sekarang silahkan kau pergi, lain kali kita akan bertemu
pula !" Su Poan-cu ketahui adat keras nona itu, maka itu ia tidak
mau memberi nasehat agar si nona ambil jalan mutar. Ia
angkat tangannya seraya berkata :
"Baik2 dijalan, nona! Sampai kita bertemu pula !"
Ia bertindak keluar dan kembali kekamarnya.
Sambil bilang "sampai ketemu pula!" Siu Lian awasi orang
pergi, kemudian ia panggil tuan rumah akan bikin
perhitungan, setelah itu ia bertindak keluar. Dari jongos ia
sambuti kudanya, yang ia tuntun kudanya. yang ia tuntun
sampai dipintu perkarangan. Ia lihat sedikit sinar terang
ditimur ia dapatkan salyu belum lumer dan angin meniup
keras, tetapi karena ia sudah ambil putusannya ia loncat naik
atas kudanya, binatang mana ia kasi jalan dengan lekas. Ia
ingin, pertama hindarkan hawa dingin, kedua hari itu juga biar
sampai di Poteng. Ia ingin dapat bunuh Thio Giok Kin guna
balas sakit hatinya.
Perjalanan pagi adalah suatu penderitaan, tetapi Siu Lian
tidak hiraukan itu. Ketika mendekati tengah hari, baru ia kasi
kudanya jalan pelahan2, akan akhirnya singgah disebuah
dusun, dimana ia cari rumah pondokan. Ia minta barang
makanan, sambil bersantap ia hilangkan lelah Sehabis dahar,
kembali ia lanjutkan perjalanannya.
Angin utara meniup keras dan dingin, rambutnya nona Jie
tersampok2 menjadi kusut, sapu tangannya sampai jatuh dua
kali. Dimana ia lewat, Siu Lian dapatkan orang selalu perhatikan
ia, hingga kadang2 ia mendongkol.
Oleh karena sang kuda dikasi lari keras, pada jam lima
lewat lohor Siu Lian telah sampai di Poteng. Ia masuk dipintu
kota utara dan segera cari hotel.
Waktu itu adalah musim dingin, pada jam lima cuaca sudah
menjadi seperti magrib dan gelap. Didalam kamarnya, Siu Lian
minta api. Ia minta lekas disediakan air untuk cuci muka
Ketika ia masuk kepekarangan hotel, orang banyak telah
perhatikan ia, yang pakai pakaian sedang menunggang kuda
dan membawa golok, rambulnya kusut, mukanya berlepotan
air salyu yang bercampur demi basah, coba orang tidak lihat
sepatunya yang mungil, orang bisa sangka ia lelaki.
Adalah setelah cuci muka dan rapikan pakaiannya, baru
tuan rumah menjadi kagum karena tamunya itu kecuali muda
pun elok. "Apakah nona mau dahar sekarang?" "Ya Lekasan sedikit"
Siu Lian naik ke pembaringan dimana goloknya ia lempar.
Tuan rumah undurkan diri dengan merasa heran, karena ia
tidak bisa duga, tamunya ini sebenarnya orang dari golongan
mana. Siu Lian buka sepatunya, ia duduk mengaso, sampai ia
rasai tubuhnya mulai segar pula la merasakan bagaimana
sengsaranya orang melakukan perjalanan seorang diri, dengan
menunggang kuda, diwaktu angin besar dan salyu turun.
Tidak lama tuan rumah muncul pula, dibelakang ia ikut
seorang lain, yang pakai baju kapas abu, yang tertutup
mantel. "Inilah tuan Thio, kepala kampung kita" kata tuan rumah
yang memperkenalkan.
Siu Lian mengawasi, ia merasa tidak puas.
"Kau kepala kampung, ada urusan apa kau datang kemari?"
ia tanya. "Aku toh tidak undang kau?"
Ketua kampung itu uruti kumisnya, ia bawa lagak seperti
pembesar negeri yang berpangkat tinggi. Ia tidak kelihatan tak
senang, malah ia bersenyum, tetapi waktu buka mulutnya ia
kata dengan tedas : "Oleh karena aku dengar kabar kau bawa
golok, aku sengaja datang untuk mendengar keteranganmu :
Kau ini datang darimana dan hendak pergi kemana" Apa
kerjaan suamimu?"
Siu Lian gusar melihat sikap dan mendengar omongan yang
tidak pantas itu. Memang ia sedang mendongkol.
"Kau tidak perlu tanya aku!" ia membentak. "Lekas pergi!"
Sekarang barulah si kepala kampung ibuk
"Eh, eh," kata ia, "kau seorang perempuan, kenapa datangi
kau omong begini kasar?"
Ia delikan matanya dan tangannya agaknya hendak
menjambak. Siu Lian pakai sepatunya dengan cepat dan ia turun dari
pembaringan. "Kalau hanya kepala kampung, bukannya tiekoan atau
tiehu, kenapa kau sembarangan menghina orang?" ia tegor.
"Pengaruh apa kau andalkan he?"
Sembari kata begitu, nona kita cabut cambuknya dari
dalam buntelan.
Tuan rumah tidak ingin terbit onar dihotelnya, ia lekas maju
seraya memberi hormat sambil menjura pada tamunya itu.
"Jangan gusar dulu nona" ia berkata dengan hormat
"Memang kebiasaannya ditempat kita ini, kalau kita
kedatangan tamu, piauwsu atau cinteng, kalau bawa senjata
tajam, kepala kampung mesti tanya padanya, untuk catat
namanya dan lain2....."
"Tapi aku belum pernah denpar di Poteng hu ada aturan
semayara ini!" Siu Lian membentak.
"Ini adalah aturan baru, yang diadakan belum lama" kata
pula tuan rumah sambil tertawa. "Dikota barat ada Kong Thay
Piauw-kiok, ketuanya To Toaya, ia kuatir dikota ini ada orang2
pengembara yang terbitkan onar, maka itu ia minta kepala
kampung bikin penilikan dan catatan. Tidak ada apa2, nona,
tolong kau beritahukan she dan namamu....."
Si kepala kampung, yang lihat sikap orang begitu garang,
sudah lantas tukar haluan.
"Aku juga lagi lakukan permintaannya To Toaya," ia bilang
"andaikata kau tidak senang, kau boleh lampiaskan itu pada
To Toaya sendiri...."
Siu Lian tambah gusar karena saban2 dengar disebutnya
To Toaya. "Siapa itu To Toaya?" ia tanya. "Apa ia bukannya Hek-houw
To Hong" Kebetulan sekali, aku memang datang ke Poteng ini
untuk tempur dia. Pergi kau orang mengasi kabar supaya ia
datang kemari! Hayo pergi!"
Sembari kata begitu, Siu Lian angkat cambuknya, ia tolak
pinggang. "Mestinya To Hong itu seorang okpa"
nona kita pikir. "Ia seorang kangouw tidak ternama, kenapa
ia bisa perintah2 kepala kampung" Sekarang ia berkawan
dengan Thio Giok Kin sekalian, rupanya ia anggap tidak nanti
ada otang yang berani ganggu ia....."
Kepala kampung itu jadi malu sekali.
"Aku lagi sial ia kata, "tidak keruan, seorang perempuan
muda berani berlaku kurang ajar terhadap aku.... Karena ia
berani maki To Toaya, baiklah, aku nanti sampaikan ini
kepadanya"
Sembari kata begitu ia ngeloyor keluar, tuan rumah ikuti ia
Tapi tidak lama kemudian tuan rumah ini balik dengan bawa
barang makanan.
"Nona, tadi kau omong terlalu banyak" ia kata sambil
Riwayat Lie Bouw Pek Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sajikan barang makanannya itu. Ketika ia menyambung
omongannya suaranya perlahan sekali, tanda bahwa ia
berkuatir. kuatir orang dengar perkataannya : "Si orang she
Thio barusan adalah Thio Jie Huncu, asalnya buaya darat
disini, tetapi sekarang ia telah menjadi kepala kampung.
Sudah begitu, ia telah berkonco dengau Hek-houw To Hong,
pengaruhnya jadi makin besar. Begitupun rumah penginapan
kita ini setiap hari dimestikan menunjang ia serenceng uang,
kalau tidak kita tidak berusaha!"
Siu Lian mendongkol dan gusar mendengar keterangan itu
hingga dengan cambuknya ia sabat meja.
"Terang mereka kawanan okpa bukan?" ia kata dengan
nyaring. "Kenapa bukan nona ?" sahut tuan rumah. "Harap nona
bicara pelahan mereka itu punya banyak kuping dan mata
kalau mereka dapat dengar perkataan nona, jangan harap kau
nanti bisa berlalu dari sini...."
"Kenapa begitu?" tanya nona kita, yang tetap gusar.
"Apakah yang mesti ditakuti dari To Hong?"
"Kalau begitu, kau belum ketahui nona," kata tuan rumah
dengan pelahan sekali. "Hek-houw To Hong adalah hartawan
paling besar disini, sudah begitu ia telah belajar silat pada
Kim-too Phang Bouw dari Cim-ciu, maka siangtoonya liehay
bukan main. Lebih daripada itu, Thio Toa congkoan dari Ciekim-
shia adalah ayah angkatnya. Maka itu dikalangan
pembesar negeri, pengaruhnya besar sekali. Sekarang ini
toko2 besar dikota Poteng kebanyakan adalah kepunyaannya,
sedang dirumahnya sendiri ia buka piauw-kiok memakai nama
Kong Thay Piauw-kiok dengan beberapa puluh piauwsu.
Sebenarnya To Hong tidak hidup dengan andalkan piauwkioknya
itu, dengan itu ia melulu mencari persahabatan. To
Hong sendiri juga tidak terlalu menghina atau membikin orang
susah, yang hebat sepak terjangnya adalah orang2nya yang
sungguh tak boleh dibuat permainan. Mereka ini umpama kata
tidak ada yang mereka tidak berani lakukan...
Siu Lian menjadi gusar sekali.
"Baru saja pada bulan yang lalu To Hong telah kedatangan
serombongan jagoan yang menjadi sahabatnya" tuan rumah
melanjutkan penuturannya, tetap dengan suara pelahan
"Mereka itu adalah piauwtauw yang sengaja diundang dari
Holam, katanya diantaranya ada Biauw Cin San dan Kim-khio
Thio Gtok Kin. Buat beberapa hari mereka berdiam
dirumahnya To Hong, disini mereka bikin banyak kacau, lantas
mereka berangkat ke Pakkhia. Katanya di Pakkhia mereka
telah ketemu batunya, kabarnya Biauw Cin San mati di bunuh
orang. Boleh jadi Thio Giok Kin juga turut jatuh pamornya.
Ketika peti matinya Biauw Cin San diangkut lewat di sini, To
Hong telah menyambut dengan bikin sembahyang dijalan
besar. Aku dengar peti matinya Biauw Cin San sudah diangkut
terus, tetapi Thio Giok Kin masih berdiam disini"
Selagi tuan rumah bicara Siu Lian bersenyum sindir
berulang2, hingga tuan rumah itu menjadi heran.
"Aku tidak takut mereka itu !" kata nona Jie dengan gagah.
"Baiklah aku beritahukan kepada kau, aku datang kemari
justeru perlunya hendak tempur mereka itu Tegasnya, aku
datang dengan sengaja! Sekarang aku hendak makan,
silahkan kau undurkan diri" ia tambahkan.
Tuan rumah itu bingung sebentar, lantas berlalu.
Siu Lian duduk pula dipembaringannya bukannya ia
bersantap, melainkan ia awaskan lampu dengan otaknya
melayang2 "Tuan rumah bicara begini jelas, rupanya benar mereka itu
pernah bikin kacau disini" demikian otaknya bekerja. "Sayang,
selagi mereka datang ke Pakkhia, Lie Bouw Pek kebetulan
tidak ada. Sejak datang dari Lamkiong, belum cukup satu
tahun, Bouw Pek sudah rubuhkan banyak jago, ia telah kenal
banyak sahabat, tapi karena ia tidak ada di Pakkhia, pastilah ia
ditertawai oleh rombongannya Biauw Cin San. Tetapi aku bikin
Thio Giok Kin keok, aku telah talangkan orang lain!...."
Ingat ini, hatinya Siu Lian jadi bertambah besar, hingga ia
bangga sendiri akan kepandaiannya.
"Apa aku melebihi Bouw Pek?" tanya ia pada dirinya sendiri.
Ia jadi sangsi. Ia ingat waktu piebu, dan bagaimana Bouw Pek
telah bantu ayahnya pukul mundur Ho Kiam Go sekalian.
"Maka kalau Biauw Cin San semua ketemu Bouw Pek, tidak
bisa tidak, mereka semua mesti jadi pecundang. Bouw Pek
berlalu dari kota raja karena urusannya Beng Su Ciauw, kalau
tidak, pasti ia bisa hadapi rombongan Biauw Cin San itu...
Kenapa ditengah jalan aku turuti hatiku dan marahi dia"..."
Ingat ini, nona Jie jadi masgul.
Sebelum nona ini sempat ngelamun lebih jauh, tiba2
kupingnya dengar suara riuh diruangan depan, hingga ia jadi
tertarik dan segera pasang kuping, matanya pun memandang
keluar. Suara riuh datangnya dari omongan dan tindakan kaki dari
banyak orang. "Dikamar mana" Dikamar mana?" demikian ia dengar
berulang2. "Itu, dikamar sebelah timur!" terdengar suaranya si kepala
kampung she Thio.
Sekarang Siu Lian ketahui orang datang cari ia, maka ia
turun dari pembaringan sambil sembat siangtoonya, dengan
bawa itu ia buka pintu dan loncat keluar. Dengan begitu ia
segera berhadapan dengan enam orang, yang bawa dua
lentera. "Apakah kau orang cari aku?" ia menegor, seraya
lintangkan goloknya. "Yang mana Hek-houw To-hong" Yang
mana ada Thio Giok Kin" Lekas maju ! Kecuali mereka berdua,
yang lain2 jangan maju, nanti cari mampus secara kecewa!"
Biar ia bersikap gagah dan keraskan suaranya, suaranya itu
tetap nyaring-halus. Dua orang segera tertawakan ia.
"Oh, adikku, kau benar liehay!" kata mereka sambil
mengejek. Siu Lian tidak tunggu orang tutup rapat mulutnya, ia
lompat maju seraya menyerang dua orang itu. Atas itu, dua
orang itu menangis dengan golok mereka.
Si Thio kepala kampung begitu kaget, hingga ia menjerit
dan jatuh terguling sendirinya, hingga dua kawannya segera
gusur ia kepinggir.
Siu Lian menyerang pula.
"Tahan dulu!" kata dua orang itu seraya menangkis.
"Beritahukan namamu !"
Tetapi Siu Lian tidak mau bicara, ia terus menyerang
Dua orang itu kewalahan, malah repot juga, karena kendati
mereka melawan, mereka bingung sebab serangan2 cepat dan
liehay dari si nona, mata mereka jadi seperti kabur. Belum
beberapa jurus, terpaksa mereka lari keluar.
"Lekas lari!" Lekas lari !" berteriak seorang lain, yang tidak
turut berkelahi.
Siu Lian memburu, ia bacok pundak lawan, seperti babi
geguwikan orang itu rubuh dan lenteranya jauh ketanah!
Syukur buat ia kawannya bisa seret dia pergi, sedang si nona
tidak mengejar lebih jauh.
Sambil bersenyum ewah sebab puasnya, Siu Lian balik
kembali kekamarnya. Ia duga orang2 tadi adalah orang2 To
Hong, maka sebentar tentu To Hong sendiri yang datang,
barangkali bersama Thio Giok Kin Sekalian.
"Aku nanti tunggu, mereka Aku mau lihat, apa mereka
hendak bikin"...."
Ketika itu tuan rumah datang masuk sambil berlari2,
mukanya pucat. "Jangan takut, tabahkan hatimu" Siu Lian mendahului
berkata dengan hiburannya. "Aku telah terbitkan onar, aku
akan tanggung jawab, tidak nanti aku rembet2 kau
Hatinya tuan rumah itu menjadi lega apabila ia dengar
perkataan itu. "Jikalau nona kata begitu, aku minta nona jangan pergi
dulu" kata ia, "aku minta nona suka tunggu mereka yang pasti
akan datang pula. Dengan sebenarnya, aku tidak sanggup
hadapi To Toaya...."
"To Toaya apa?" berseru Siu Lian. "Besok aku nanti kutungi
kepalanya To Hong untuk kasi kau orang lihat!"
Siu Lian lemparkan goloknya kepcmbaringan, sampai tuan
rumah kaget. "Tolong panaskan semua barang makanan itu" kemudian si
nona kata. Tuan rumah berlalu dengan bawa makanan yang hendak
dipanaskan, ia nampaknya masgul.
Siu Lian duduk menantikan hatinya girang berbareng
mendongkol. Ketika sebentar kemudian tuan rumah datang
pula, ia tanya berapa jauh letaknya rumahnya To Hong.
"Tidak seberapa jauh nona" tuan rumah jawab. "Ia tinggal
disebelah barat, dari sini cuma lima atau enam lie. Tapi
orang2nya terbesar disemua jalan dan gang, dimana saja
orang bisa ketemu mereka itu. Yang tadi datang kebetulan
sedang minum kemari. Aku percaya sebentar lagi To Hong
akan datang sendiri..."
Siu Lian tertawa.
"Biarlah ia datang! Kalau malam ini ia tidak datang sendiri,
besok pagi aku nanti satroni dia! Aku sekarang berada di
Poteng untuk tempur Thio Giok Kin, guna mencari balas. Maka
sekarang aku sekalian mau singkirkan bahaya disini!"
Sehabis kata begitu, karena sudah lapar Siu Lian lantas
duduk bersantap, sedang tuan rumah, yang masih sedikit
bingung, lantas keluar.
Nona Jie dahar dengan cepat setelah cukup ia naik
kepembaringan dan duduk numprah seperti orang lagi
bersemedhi. Ia pasang kuping, ia mau tunggu kalau2 To Hong
datang, la menunggu sampai jam tiga, tidak ada orang yang
datang, ia lalu tertawa sendirinya.
"Apa benar mereka tak punya guna, hingga mereka takut
datang pula" Apa bisa jadi Thio Giok Kin menduga pada aku
dan sebab ketahui kegagahanku, ia tidak berani cari aku"
Kenapa aku begitu bodoh mesti bangun seantero malam, akan
dengan sia sia menantikan mereka" Kalau besok pagi mereka
tidak datang, aku satroni mereka!"
Lantas Siu Lian kunci pintu dan padamkan api, ia rebahkan
diri dengan siangtoo disampingnya. Bahna lelah dan hati puas,
ia bisa tidur pulas. Seterusnyapun tidak ada gangguan
baginya. esoknya pagi ia mendusin karena ramainya suara
ayam bercukuk. Begitu ingat kejadian semalam, Siu Lian tetapkan apa yang
ia ucapkan. Ia buka pintu dan minta tuan rumah sediakan air
untuk cuci muka dan bersihkan tubuh. Kemudian ia lakukan
pembayaran seraya kata:
"Lekas siapkan kudaku, aku mau pergi cari To Hong,
supaya tidak usah sampai kejadian ia mengadu biru disini"
Tuan rumah girang mendengar itu, sedang ia memang
harap2 si nona lekas berlalu dari hotelnya Ia pergi sambil
berlari-lari, akan sediakan kuda itu.
Siu Lan dandan dengan cepat, dengan cepat juga ia
bungkus buntelan, maka sebentar kemudian ia sudah keluar
sambil tenteng golok dan pauwhoknya. Rambutnya ia bungkus
dengan sapu tangan hitam.
Selagi nona ini tuntun kudanya keluar dari pekarangan
hotel, angin yang berhawa dingin sekali meniup2. Ditimur
matahari bafu saja hendak muncul. Dijatan besar belum banyak
kelihatan orang berlalu lintas.
Baru saja Siu Lian mau loncat naik atas kudanya, atau jauh
dibelakangnya ia dengar orang teriaki dia : "Eh orang she Jie"
Maka ia segera menoleh.
Dijarak sepanahan jauhnya, ada seorang penunggang
kuda: kudanya berbulu merah, penunggangnya masih muda,
mukanya bundar, matanya besar, alisnya gomplok, hingga
romannya kelihatan bengis. Bajunya berwarna biru, begitupun
celananya. Dibelakang pemuda itu ada tiga orang dengan
dandanan seperti khungteng, satu diantara nya membawa
sebatang tumbak panjang yang dihias dengan runce sutera
kuning emas. Setelah mengawasi sekian lama, Siu Lian merasa ia seperti
kenali anak muda itu, hanya ia lupa dimana ia pernah ketemu
atau lihat dia itu. Ia menunggu sambil siap dengan
senjatanya, sebelah tangannya pegangi les kudanya.
"Apakah kau Kim-khio Thio Giok Kin?" ia menegor, apabila
orang itu sudah datang dekat.
Anak muda itu melototkan matanya dan bersenyum sindir.
"Kau sengaja datang cari Thio Toaya kenapa kau tidak
kenali aku ?" ia tanya dengan jumawa. "Mari Kalau kau punya
nyali, mari turut aku Disini jalan besar, tempat yang ramai aku
Thio Giok Kin malu akan layani seorang perempuan!....
Sembari kata begitu ia putar balik kudanya, tampangnya
unjuk senyuman.
Sioe Lian mendongkol sekali.
"Jangan tekebur!" ia kata. "Kemana juga kau pergi aku
tidak takut! Hari ini aku mesti kutungi batang lehermu, akan
ambil kepalamu untuk dipakai menyembahyangi ayahku!"
Lantas ia loncat naik atas kudanya dan Kasi kuda itu
berjalan membuntuti pemuda itu.
Thio Giok Kin kasi kudanya jalan dengan pelahan kendati,
begitu tiga orangnya mesti bertindak cepat mengikuti. Ketika
ia lihat si nona sudah datang dekat, ia menoleh seraya unjuk
pula senyuman tawar.
"Jie Siu Lian, sakit hati kita dalam sekali laksana lautan"
demikian katanya, suaranya menyalakan kesungguhannya.
"Pada tujuh tahun yang lalu, mertuaku lelaki lelah binasa
dibunuh oleh ayahmu, sedang istriku belum lama ini sudah
terluka ditangan kau. Hebat adalah kebinasaannya engku
Biauw Cin San ditangan kau ! Maka, Jie Siu Lian, sekarang
baik kita jangan saling damprat lagi ! Mari kita maju lebih jauh
beberapa tindak, akan cari tempat dimana kita bisa adu jiwa!"
Siu Lian juga sangat mendongkol.
"Baik!" ia menjawab dengan tidak kurang sengitnya "Hari
ini aku mesti bikin pembalasan untuk ayahku!"
Mereka menuju langsung kebarat. Belum ada setengah lie
mereka lelah sampai disebidang tegalan tegalan yang sepi,
karena diempal penjuru tiada kedapatan rumah orang dan
orang yang berlalu-lintaspun tak ada. Salyu seperti menabur
tegalan itu. Dengan tiba2 Thio Giok Kin sambuti tumbaknya, akan
Riwayat Lie Bouw Pek Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan mendadak putar tubuhnya dan tikam Siu Lian! Ia tidak
berkata atau membeti tanda lagi.
Kuda nona Jie, yang dikasi jalan sedikit cepat akan susul
siTumbak Emas itu, membikin si nona telah datang dekat pada
musuhnya, maka itu serangan secara curang itu bikin ia kaget
bukan main, justeru ia sendiri belum bersiap dan senjatanya
masih tercantel disela kuda. Syukur ia tabah, matanya celi,
gerakannya sebat, dalam kagetnya ia egos diri sambil
berbareng ulur kedua tangannya, dengan begitu selagi ujung
tumbak lewat disamping tubuhnya tangannya bisa samber
ujung tumbak dibagian yang tak tajam.
"Inilah caranya satu laki2 ?" ia segera menegor dengan
ejekannya "Kau hendak celakai aku dengan bokonganmu"
Ha!" Dengan sebenarnya Thio Giok Kin hendak curangi si nona,
oleh karena ia jerih terhadap sepasang goloknya yang liehay,
ia ingin dengan sekali tikam saja musuh itu rubuh atau binasa,
siapa tahu si nona benar2 liehay dan tumbaknya kena
dipegang! Tidak ada jalan lain, ia gentak tumbaknya dengan
mendadak, dengari pakai tenaganya. Ia tidak percaya si nona,
kendati pandai silat, tenaganya besar. Tetapi kembali
dugaannya keliru. Pertama kali menggentak ia gagal, kedua
kali ia membetot tidak ada hasilnya, sebab si nona terus
menyekal ujung tumbaknya itu dengan keras. Sesudah
beberapa kali mencoba dengan sia-sia, akhirnya ia jadi ibuk,
hingga ia memaki.
"Oh, perempuan celaka" ia menjerit dengan berulang2.
Adalah pada saat itu tiga konconya Giok Kin telah hunus
senjata mereka akan maju membantu.
Siu Lian mengerti babaya, dengan terus pegangi
tumbaknya Kim-khio ia tidak akan dapatkan faedah suatu apa,
maka justeru ia tampak gerakannya tiga orang itu, dengan
cepat ia lepaskan sebelah tangannya, yang mana ia
langsungkan pakai menyabut goloknya, setelah itu ia loncat
turun dari kudanya dan bacok kuda lawannya !
Thio Giok Kin dapat lihat gerakannya si nona, ia jepit
kudanya buat bikin kuda itu berjingkrak dan lompat maju akan
menyingkir dari bacokan itu, berbareng dengan mana lagi
sekali ia larik tumbaknya dengan sekuat tenaga. Ini kali ia
berhasil melepaskan tumbaknya, karena Siu Lian, yang tidak
ingin dibetot kuda sudah lepaskan cekalannya.
Setelah dapat pulang senjatanya, Thio Giok Kin loncat turun
dari kudanya, dengan tumbaknya itu ia maju menyerang pula
akan desak musuhnya.
"He, perempuan hina tukang bergelandangan, apa kau kira
kau punya Thio Toaya benar2 jerih terhadap kau?" ia
mendamprat. Siu Lian juga berlaku sebat. Selagi musuhnya mundur, ia
sudah loncat kesamping kudanya, akan cabut goloknya yang
kedua, kemudian ia maju sedikit sambil lihat tanah yang
banyak salyunya. Justeru itu Giok Kin maju menyerang, ia
juga lantas maju akan tangkis ujung tumbak sambil balas
menyerang! Ia bisa berlaku begini karena ia bersenjata didua
dua tangan. Ketiga konconya Thio Giok Kin batal maju, malah
sebaliknya mereka menyingkir kepinggir. Kedua kuda, rupanya
karena kaget, sudah lantas kabur....
Pertempuran sudah lantas terjadi secara seru. Dengan
Naga Naga Kecil 13 Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Lambang Naga Panji Naga Sakti 9